PEMBAHASAN
A. MUNAKAHAT
1. Pengertian
Kata nikah berasal dari bahasa arab yang didalam bahasa Indonesia
sering diterjemahkan dengan perkawinan. Nikah menurut istilah syariat Islam
adalah akad yang menghalalkan pergaulan antara laki – laki dan perempuan
yang tidak ada hubungan Mahram sehingga dengan akad tersebut terjadi hak
dan kewjiban antara kedua insan.
Hubungan antara seorang laki – laki dan perempuan adalah merupakan
tuntunan yang telah diciptakan oleh Allah SWT dan untuk menghalalkan
hubungan ini maka disyariatkanlah akad nikah. Pergaulan antara laki – laki dn
perempuan yang diatur dengan pernikahan ini akan membawa keharmonisan,
keberkahan dan kesejahteraan baik bagi laki – laki maupun perempuan, bagi
keturunan diantara keduanya bahkan bagi masyarakat yang berada
disekeliling kedua insan tersebut.
Berbeda dengan pergaulan antara laki – laki dan perempuan yang tidak
dibina dengan sarana pernikahan akan membawa malapetaka baik bagi kedua
insan itu, keturunannya dan masyarakat disekelilingnya. Pergaulan yang diikat
dengan tali pernikahan akan membawa mereka menjadi satu dalam urusan
kehidupan sehingga antara keduanya itu dapat menjadi hubungan saling
tolong menolong, dapat menciptkan kebaikan bagi keduanya dan menjaga
kejahatan yang mungkin akan menimpa kedua belah pihak itu. Dengan
pernikahan seseorang juga akan terpelihara dari kebinasaan hawa nafsunya.
Allah SWT berfirman dalam surat An – Nisa Ayat 3 sebagai berikut :
“Maka kawinilah wanita – wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga
atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan brlaku adil maka
(kawinilah) seorang saja .” (An – Nisa : 3).
Ayat ini memerintahkan kepada orang laki – laki yang sudah mampu
untuk melaksanakan nikah. Adapun yang dimaksud adil dalam ayat ini adalah
adil didalam memberikan kepada istri berupa pakaian, tempat, giliran dan lain
– lain yang bersifat lahiriah. Ayat ini juga menerangkan bahwa islam
memperbolehkan poligami dengan syarat – syarat tertentu.
2. Hukum dan Dalilnya
Pada dasarnya Islam sangat menganjurkan kepada umatnya yang
sudah mampu untuk menikah. Namun karena adanya beberapa kondisi yang
bermacam – macam, maka hukum nikah ini dapat dibagi menjadi lima
macam.
a. Sunnah, bagi orang yang berkehendak dan baginya yang mempunyai
biaya sehingga dapat memberikan nafkah kepada istrinya dan keperluan
– keperluan lain yang mesti dipenuhi.
b. Wajib, bagi orang yang mampu melaksanakan pernikahan dan kalau
tidak menikah ia akan terjerumus dalam perzinaan.
Sabda Nabi Muhammad SAW. :
“Hai golongan pemuda, barang siapa diantara kamu yang cukup
biaya maka hendaklah menikah. Karena sesumgguhnya nikah itu
enghalangi pandangan (terhadap yang dilarang oleh agama.) dan
memlihara kehormatan. Dan barang siapa yang tidak sanggup, maka
hendaklah ia berpuasa. Karena puasa itu adalah perisai baginya.” (HR
Bukhari Muslim).
c. Makruh, bagi orang yang tidak mampu untuk melaksanakan pernikahan
Karena tidak mampu memberikan belanja kepada istrinya atau
kemungkinan lain lemah syahwat.
Firman Allah SWT :
“Hendaklah menahan diri orang – orang yang tidak
memperoleh (biaya) untuk nikah, hingga Allah mencukupkan dengan
sebagian karunia-Nya.” (An Nur / 24:33)
d. Haram, bagi orang yang ingin menikahi dengan niat untuk menyakiti
istrinya atau menyia – nyiakannya. Hukum haram ini juga terkena bagi
orang yang tidak mampu memberi belanja kepada istrinya, sedang
nafsunya tidak mendesak.
e. Mubah, bagi orang – orang yang tidak terdesak oleh hal – hal yang
mengharuskan segera nikah atau yang mengharamkannya.
3. SYARAT DAN RUKUN MUNAKAHAT
Rukun nikah ada lima macam, yaitu :
a. Calon suami
Calon suami harus memenuhi syarat – syarat sebagai berikut :
1) Beragama Islam
2) Benar – benar pria
3) Tidak dipaksa
4) Bukan mahram calon istri
5) Tidak sedang ihram, haji, atau umroh
6) Usia sekurang – kurangnya 19 Tahun
b. Calon istri
Calon istri harus memiliki syarat – syarat sebagai berikut :
1) Beragama Islam
2) Benar – benar perempuan
3) Tidak dipaksa,
4) Halal bagi calon suami
5) Bukan mahram calon suami
6) Tidak sedang ihram, haji, atau umroh
7) Usia sekurang – kurangnya 16 Tahun
c. Wali
Wali harus memenuhi syarat – syarat sebagi berikut :
1) Beragama Islam
2) Baligh (dewasa)
3) Berakal Sehat
4) Tidak sedang ihram, haji, atau umroh
5) Adil (tidak fasik)
6) Mempunyai hak untuk menjadi wali
7) Laki – laki
d. Dua orang saksi
Dua orang saksi harus memenuhi syarat – syarat sebagai berikut :
1) Islam
2) Baligh (dewasa)
3) Berakal Sehat
4) Tidak sedang ihram, haji, atau umroh
5) Adil (tidak fasik)
6) Mengerti maksud akad nikah
7) Laki – laki
Pernikahan yang dilakukan tanpa saksi tidak sah. Sabda Nabi SAW. :
“Tidak sah nikah melainkan dengan wali dan dua orang saksi yang adil.” (Riwayat
Ahmad.)
e. Ijab dan Qabul
ZZ Allah dan kamu menghalalkan mereka dengan kalimat Allah”. (HR. Muslim).
4. HIKMAH DAN TUJUAN
1. Perkawinan Dapat Menentramkan Jiwa
Dengan perkawinan orang dapat memnuhi tuntutan nasu seksualnya dengan rasa
aman dan tenang, dalam suasana cinta kasih, dan ketenangan lahir dan batin.
Firman Allah SWT :
“Dan diantara tanda – tanda kekuasaa-Nya ialah dia menciptkan istri – istri dari
jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya.” (Ar
Rum/30:21)
2. Perkawinan dapat Menghindarkan Perbuatan maksiad.
Salah satu kodrat manusia adalah penyaluran kodrat biologis. Dorongan biologis
dalam rangka kelangsugan hidup manusia berwujud nafsu seksual yang harus
mendapat penyaluran sebagaimana mestinya. Penyaluran nafsu seksual yang tidak
semestinya akan menimbulkan berbagai perbuatan maksiat, seperti perzinaan yang
dapat megakibatkan dosa dan beberapa penyakit yang mencelakakan. Dengan
melakukan perkawinan akan terbuaka jalan untuk menyalurkan kebutuhan biologis
secara benar dan terhindar dari perbuatan – pebuatan maksiad.
3.Perkawinan untuk Melanjutkan Keturunan
Dalam surah An Nisa ayat 1 ditegaskan bahwa manusia diciptakan dari
yang satu, kemudian dijadika baginya istri, dan dari keduanya itu berkembang biak
menjadi manusia yang banyak, terdiri dari laki – laki dan perempuan.
Memang manusia bisa berkembang biak tanpa melalui pernikahan, tetapi akibatnya
akan tidak jelas asal usulnya / jalur silsilah keturunannya. Dengan demikian, jelas
bahwa perkawinan dapat melestarikan keturunan dan menunjang nilai – nilai
kemanusiaan.
Pengertian Mawaris
Kata mawaris berasal dari kata waris atau Al-miirats, waritsa yang berarti berpindahnya
sesuatu yakni harta yang berupa materi dari seseorang yang disebut sebagai pewaris kepada
orang lain yang disebut sebagai ahli waris. Ilmu yang mempelajari hal-hal yang menyangkut
waris disebut dengan ilmu mawaris atau dikenal juga dengan istilah fara’id (baca hukum
menuntut ilmu). Kata fara’id atau dalam bahasa arab, mafrud’ah, adalah bagian pada harta
peninggalan yang telah ditentukan kadarnya. sedangkan secara istilah mawaris atau
Warisan diartikan sebagai perpindahan harta atau kepemilikan suatu benda dari orang
meninggal dunia atau pewaris kepada ahli warisnya yang masih hidup.
Harta warisan atau harta peninggalan dalam ilmu mawaris dikenal dengan sebutan tirkah
yang artinya peninggalan. Tirkah diartikan sebagai sesuatu atau harta yang berupa materi
ditinggalkan oleh pewaris atau orang yang meninggal, dan pembagiannya harus sesuai
dengan syariat Islam.
Dasar Hukum Mawaris
Hukum mawaris mengatur hal-hal yang menyangkut harta peninggalan (warisan) yang
ditinggalkan oleh ahli waris atau orang yang meninggal. Ilmu mawaris dalam islam mengatur
peralihan harta peninggalan dari pewaris kepada nasabnya atau ahli warisnya yang masih
hidup. Adapun dasar-dasar hukum yang mengatur ilmu mawaris adalah sebagai berikut:
“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-
bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah
ditetapkan”. (QS. An-nisa (4): 7)
سا ًء فَ ْوقَ اثْنَتَي ِْن فَلَ ُه َّن ثُلُثَا َما ت ََركَ ۖ َوإِ ْن كَانَتْ َواحِ َدة ً فَلَ َها َ ِّللاُ فِي أ َ ْو ََل ِد ُك ْم ۖ لِلذَّك َِر مِ ثْ ُل َح ِظ ْاْل ُ ْنثَيَي ِْن ۚ فَإ ِ ْن ُك َّن ن
َّ ُوصي ُك ُم ِ ي
ُ ث ۚ فَإ ِ ْن َكانَ لَه ُ ُُس مِ َّما ت ََركَ ِإ ْن َكانَ لَه ُ َولَ ٌد ۚ فَإ ِ ْن لَ ْم َي ُك ْن لَه ُ َولَ ٌد َو َو ِرثَهُ أ َ َب َواهُ فَ ِِل ُ ِم ِه الثُّل ُ سد ُّ ف ۚ َو ِْل َ َب َو ْي ِه ِلكُ ِل َواحِ ٍد مِ ْن ُه َما ال
ُ ص
ْ ِالن
َّ َضةً مِ ن
ّللاِ ۗ ِإ َّن َ ُوصي بِ َها أ َ ْو َدي ٍْن ۗ آبَا ُؤ ُك ْم َوأ َ ْبنَا ُؤ ُك ْم ََل تَد ُْرونَ أ َيُّ ُه ْم أ َ ْق َربُ لَ ُك ْم نَ ْفعًا ۚ فَ ِري ِ ُس ۚ مِ ْن بَ ْع ِد َو
ِ صيَّ ٍة ي ُّ ِإ ْخ َوة ٌ فَ ِِل ُ ِم ِه ال
ُ سد
َ َّللا َكان
علِي ًما َحكِي ًما َ َّ
Adapun rukun dan syarat yang harus ada dalam ilmu mawaris ada 3 hal utama yaitu:
1. Al-Muwaris (pewaris)
Orang yang memiliki harta warisan yang telah meninggal dunia dan mewariskannya
kepada ahli warisnya. Syaratnya adalah al-muwaris benar-benar telah dinyatakan
meninggal baik secara hukum maupun medis.
Al waris atau ahli waris adalah orang yang dinyatakan memiliki hubungan nasab
atau kekerabatan yang merupakan hubungan darah, hubungan akibat perkawinan,
atau akibat memerdekakan budak atau hamba sahayanya. Syarat, ahli waris adalah
ia dalam keadaan hidup pada saat al-muwaris Atau orang yang memiliki harta waris
meninggal dunia. Termasuk dalam hal ini adalah bayi yang masih berada dalam
kandungan meskipun ia masih menyerupai janin dan ia terkait nasab dengan al
mawaris. Baik pria dan wanita memiliki hak untuk memperoleh harta warisan. (baca
kedudukan wanita dan peran wanita dalam islam)
3. Tirkah
Tirkah adalah harta atau hak yang berpindah dari al muwaris atau pewaris kepada
ahli warisnya. Harta tersebut dapat dikatakan tirkah apabila harta peninggalan
almuwaris yang telah dikurangi biaya perawatan, pengurusan jenazah, hutang dan
wasiat yang sesuai syariat agama islam untuk selanjutnya diberikan kepada ahli
waris (baca keutamaan bersedekah). Dari pengertian tersebut maka dapat diketahui
perbedaan harta peninggalan dengan harta warisan. Harta peninggalan adalah
semua materi yang ditinggalkan oleh pewaris yang telah meninggal dunia secara
keseluruhan sedangkan harta waris atau tirkah adalah harta peninggalan yang
sesuai syara berhak diberikan kepada ahli waris setelah dikurangi hak orang lain di
dalamnya.
Kekerabatan artinya hubungan nasab (baca arti nasab dan muhrim dalam islam)
antara orang yang Memberi warisan atau almuwaris dengan orang yang diwarisi dan
hal ini disebabkan oleh kelahiran atau hubungan darah. Kekerabatan atau hubungan
darah adalah sebab yang paling utama dalam menerima warisan karena hubungan
darah tidak dapat dihilangkan. Allah swt berfirman dalam Qur’an Surat Al Anfal
Hubungan pernikahan dalam hal ini adalah sebab mendapatkan warisan dan hal ini
terjadi setelah akad nikah yang sah dilakukan dan terjadi hubungan antara suami
istri meskipun belum terjadi persetubuhan (baca nikah siri). Adapun suami istri yang
melakukan pernikahan tidak sah tidak menyebabkan adanya hak waris (baca hukum
pernikahan dalam islam). Istri yang telah mendapatkan talak (baca hukum talak
dalam pernikahan dan perbedaan talak satu, dua dan tiga) tidak berhak menerima
warisan dari mantan suaminya.
3. Karena wala’
Wala’ adalah sebab memperoleh warisan akibat jasa seseorang yang telah
memerdekakan seorang hamba dikemudian hari budak atau hamba sahaya tersebut
menjadi kaya. Jika bekas hamba atau budak tersebut yang dimerdekakan meninggal
dunia, maka orang yang memerdekakannya berhak mendapatkan warisan.
Ilmu mawaris penting dipelajari bagi umat islam agar harta warisan dapat diberikan
sesuai ketentuan kepada yang berhak dan dimanfaatkan untuk hal-hal yang
bermanfaat. (baca ibu tiri dalam islam dan hak waris anak tiri dalam islam)
A. Adab Bertamu dalam Islam
1. Pengertian Bertamu
Bertamu adalah salah satu cara untuk menyambung tali persahabatan yang dianjurkan oleh
Islam. Islam memberi kebebasan untuk umatnya dalam bertamu. Tata krama dalam
bertamu harus tetap dijaga agar tujuan bertamu itu dapat tercapai. Apabila tata krama ini
dilanggar maka tujuan bertamu justru akan menjadi rusak, yakni merenggangnya hubungan
persaudaraan. Islam telah memberi bimbingan dalam bertamu, yaitu jangan bertamu pada
tiga waktu aurat.
Yang dimaksud dengan tiga waktu aurat ialah sehabis zuhur, sesudah isya’, dan sebelum
subuh. Allah SWT berfirman:
َصال ِة ْالفَجْ ِر َو حين َ ت مِ ْن قَ ْب ِل َ َ يا أَيُّ َها الَّذينَ آ َمنُوا ِل َي ْست َأ ْ ِذ ْن ُك ُم ا َّلذينَ َم َلكَتْ أَيْمانُ ُك ْم َو الَّذينَ لَ ْم َي ْبلُغُوا ْال ُحلُ َم مِ ْن ُك ْم ث
ٍ الث َم َّرا
ع َل ْي ُك ْم َ ع َل ْي ِه ْم ُجنا ٌح بَ ْع َده َُّن
َ َط َّوافُون َ ع َل ْي ُك ْم َوَل َ ت َل ُك ْم َلي
َ ْس ٍ ع ْورا َ الث ُ َ صالةِ ْالعِشاءِ ث َ هيرةِ َو مِ ْن بَ ْع ِد َ الظ َّ َضعُونَ ثِيابَ ُك ْم مِ ن َ َت
علي ٌم َحكي ٌم ِ ض كَذلِكَ يُبَيِنُ هللاُ لَ ُك ُم ْاْليا
َ ُت َو هللا َ ض ُك ْم
ٍ على بَ ْع ُ بَ ْع
Artinya: “hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita)
yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig di antara kamu, meminta izin
kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) yaitu: sebelum sembahyang subuh, ketika
kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari dan sesudah sembahyang
Isya’.(Itulah) tiga ‘aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas
mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada
keperluan) kepada sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat
bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.(QS An Nur : 58)
Ketiga waktu tersebut dikatakan sebagai waktu aurat karena waktu-waktu itu
biasanya digunakan. Lazimnya, orang yang beristirahat hanya mengenakan pakaian
yang sederhana (karena panas misalnya) sehingga sebagian dari auratnya terbuka.
Apabila budak dan anak-anak kecil saja diharuskan meminta izin bila akan masuk ke
kamar ayah dan ibunya, apalagi orang lain yang bertamu. Bertamu pada waktu-
waktu tersebut tidak mustahil justru akan menyusahkan tuan rumah yang hendak
istirahat, karena terpaksa harus berpakaian rapi lagi untuk menerima kedatangan
tamunya.
2. Contoh Bertamu
a. Berpakaian yang rapi dan pantas
Bertamu dengan memakai pakaian yang pantas berarti menghormati tuan rumah
dan dirinya sendiri. Tamu yang berpakaian rapi dan pantas akan lebih dihormati oleh
tuan rumah, demikian pula sebaliknya. Allah SWT berfirman :
Artinya: “Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan
jika kamu berbuat jahat maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri.... ” (QS Al Isra : 7)
َعلى أ َ ْهلِها ذ ِل ُك ْم َخي ٌْر لَ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَذَ َّك ُرون ُ ِغي َْر بُيُوتِ ُك ْم َحتَّى ت َ ْست َأْن
َ ُ سوا َو ت
َ س ِل ُموا َ ً يا أَيُّ َها الَّذينَ آ َمنُوا َل ت َ ْد ُخلُوا بُيُوتا
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang
bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya.
Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat.” (QS An Nur : 27)
Diriwayatkan bahwa:
f. Tamu lelaki dilarang masuk kedalam rumah apabila tuan rumah hanya seorang
wanita
Dalam hal ini, perempuan yang berada di rumah sendirian hendaknya juga tidak
memberi izin masuk tamunya. Mempersilahkan tamu lelaki ke dalam rumah
sedangkan ia hanya seorang diri sama halnya mengundang bahaya bagi dirinya
sendiri. Oleh sebab itu, tamu cukup ditemui diluar saja.
g. Masuk dan duduk dengan sopan
Setelah tuan rumah mempersilahkan untuk masuk, hendaknya tamu masuk dan
duduk dengan sopan di tempat duduk yang telah disediakan. Tamu hendaknya
membatasi diri, tidak memandang kemana-mana secara bebas. Pandangan yang
tidak dibatasi (terutama bagi tamu asing) dapat menimbulkan kecurigaan bagi tuan
rumah.
j. Makanlah dengan tangan kanan, ambilah yang terdekat dan jangan memilih
Islam telah memberi tuntunan bahwa makan dan minum hendaknya dilakukan
dengan tangan kanan, tidak sopan dengan tangan kiri (kecuali tangan kanan
berhalangan). Cara seperti ini tidak hanya dilakukan saat bertamu saja. Melainkan
dalam berbagai suasana, baik di rumah sendiri maupun di rumah orang lain.
e. Lama waktu
Sesuai dengan hak tamu, kewajiban memuliakan tamu adalah tiga hari, termasuk
hari istimewanya. Selebihnya dari waktu itu adalah sedekah baginya. Sabda
Rasulullah SAW:
َ ُ ص َدقَة
علَ ْي ِه (متفق عليه َ لضيَافَة ُ ثَالَثَةُ اَي ٍَّام فَ َما َكانَ َو َرا َء ذَالِكَ فَ ُه َو
ِ َ )ا
Artinya: “ Menghormati tamu itu sampai tiga hari. Adapun selebihnya adalah
merupakan sedekah baginya.” (HR Muttafaqu Alaihi)
Artinya mengimani bahwa Allah SWT. telah menuliskan ketetapan segala sesuatu
dalam Lauh Mahfuzh.
Kedua tingkatan ini sama-sama dijelaskan oleh Allah SWT. dalam firman-Nya:
ِير
ْ ّللا يَس َ َس َماء َو ْاْل َ ْرض إِ َّن ذَلِك فِي ِكت َاب إِ َّن ذَلِك
ِ َّ علَى َّ أَلَم ْعلَم أ َ َّن
َّ ّللا يَ ْعلَ ُم َما فِي ال
“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja
yang ada di langit dan di bumi; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam
sebuah kita (Lauh Mahfuzh). sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi
Allah”. (Al-Hajj:70)
Dalam ayat ini disebutkan lebih dahulu bahwa Allah SWT. mengetahui apa saja
yang ada dilangit dan di bumi, kemudian dikatakan bahwa yang demikian itu tertulis
dalam sebuah kitab Lauh Mahfuzh.
ع َم ًال َ ْالَّذِي َخلَقَ ْال َم ْوتَ َو ْال َح َياة َ ِل َي ْبلُ َو ُك ْم أَيُّكُ ْم أَح
َ س ُن
“Yang menjadikan hidup dan mati, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu
yang lebih baik amalnya”. (Al-Mul: 2).[4]
2.4 Hikmah Iman kepada Qadha dan Qadar
1. Keimanan kepada takdir dapat mengkristalkan makna-makna rububiyah yang
menyebabkan seseorang bertawakal kepada-Nya dan ikhlas, serta semata-mata
hanya menyembah kepada-Nya. Inilah buah keimanan terhadap takdir yang
tertinggi.
2. Ridha dengan hukum Allah SWT. dan pilihanya. Hal ini bertujuan untuk
membersihkan hati dan mengosongkannya dari kesusahan dan kesedihan. Firman
Allah SWT.
علِي ٌم
َ ٍيء
ْ ش َّ اَّلل َي ْه ِد قَ ْل َبهُ َو
َ ّللاُ ِب ُك ِل ِ َّ صي َب ٍة ِإَل ِبإ ِ ْذ ِن
ِ َّ ّللا َو َم ْن يُؤْ مِ ْن ِب ِ اب مِ ْن ُم
َ صَ َ َما أ
“Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah;
dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk
kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. at-Taghabun:
11).
َّ علَى َما فَات َ ُك ْم َوَل ت َ ْف َر ُحوا ِب َما آت َا ُك ْم َو
ٍ ّللاُ َل يُحِ بُّ ُك َّل ُم ْخت َا ٍل فَ ُخ
ور َ ْ َكيْال ت َأ
َ س ْوا
Firman-Nya pula, “(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka
cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira
terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang
yang sombong lagi membanggakan diri.” (Al-Hadid: 23)
http://manabdurrahman.blogspot.com/2017/01/makalah-adab-bertamu-dan-menerima-
tamu.html