Anda di halaman 1dari 8

AJARAN SOSIAL GEREJA, COUNTER TERHADAP

Maret 11th, 2010 | Author: marinus


Oleh Marinus Waruwu
Pengantar
Judul di atas menarik untuk diperbincangkan. Hal tersebut tak terlepas dari posisi ajaran sosial
Gereja yang tidak berat sebelah dalam menilai dua aliran besar dunia yakni kapitalisme dan
sosialisme. Artinya bahwa nilai-nilai hidup positif yang ditawarkan kedua paham tersebut tentu
saja ditanggapi secara positif oleh Gereja. Sebaliknya, segala pemikiran negatif dari kapitalisme
dan sosialisme yang mengakibatkan penderitaan hidup manusia dikutuk keras oleh Gereja.
Misalnya, pemikiran paham sosialisme-komunisme (marxis radikal)[1] yang berpendapat bahwa
perubahan terjadi hanya melalui kekerasan, pertumpahan darah, konflik sosial yang terjadi antara
kelas. Marxis merupakan kaum proletar yang mempunyai dua arti yaitu satu partai, dan satu
pemimpin yang bisa melahirkan dictator, atau kontrol Negara tanpa batas terhadap warganya,
rezim otoritarian, ateisme atau penolakan terhadap eksistensi Tuhan, atau pengekangan hak-hak
pribadi demi keberlangsungan kehidupan masyarakat secara umum, dan sebagainya.
Sementara pemikiran-pemikiran aliran kapitalisme yang menjadi sasaran kritik Gereja adalah
persaingan tanpa batas. Persaingan tanpa batas ini telah mengakibatkan kesenjangan ekonomi
antara kaum kaya dan miskin, berkembangnya ateisme, kaum buruh sering kali menjadi korban
persaingan pemilik modal. Singkatnya, kapitalisme ini telah menyebabkan perbudakan,
penjajahan, penindasan, labor, dan sebagainya.[2] Di sisi lain, Gereja juga menyerap, dan
mengakui nilai-nilai positif yang ditawarkan oleh kedua aliran tersebut, misalnya, soal
demokrasi, keadilan, persamaan hak antara kaum buruh dan pemilik modal, dan lain sebagainya.
Sebab pemikiran-pemikiran positif kedua aliran tersebut memiliki banyak kesamaan dengan
pandangan Gereja dalam membangun manusia, dan dunia.
Maka dalam uraian berikut kita akan melihat tentang paham kapitalisme dan sosialisme serta
pemikiran-pemikiran kedua paham tersebut. Setelah itu akan dijelaskan pandangan Gereja
terhadap keduanya. Mudah-muahan kita bisa memahami!
1. Apa itu Kapitalisme?
Istilah kapitalisme dalam bahasa Inggris adalah capitalism. Kata ini berasal dari bahasa Latin
yakni caput (kepala). Kata kapitalis dikaitkan dengan usaha untuk mempertahankan kepala,
kehidupan, dan kesejahteraan[3]. Maka, kapitalisme dapat artikan sebagai sistem perekonomian
yang lebih menekankan peranan capital (modal). Kapital (modal) yang dimaksud di sini adalah
segala bentuk kekayaan, termasuk barang-barang yang digunakan dalam produksi barang
lainnya. Kapitalisme pada awalnya dikaitkan dengan Adam Smith. Dia menganjurkan permainan
pasar bebas yang memiliki aturannya sendiri.[4] Berbagai kepentingan ekonomi harus jalan
sendiri tanpa ada kendali dari pihak pemerintahan.
Adam Smith mengemukakan lima teori dasar dari kapitalisme.[5] Pertama, Pengakuan hak milik
pribadi tanpa batasbatas tertentu. Kedua, Pengakuan hak pribadi untuk melakukan kegiatan
ekonomi demi meningkatkan status sosial ekonomi. Ketiga, Pengakuan adanya motivasi
ekonomi dalam bentuk semangat meraih keuntungan semaksimal mungkin. Keempat, Kebebasan
melakukan kompetisi. Kelima, Mengakui hukum ekonomi pasar bebas/mekanisme pasar.
Kapitalisme atau kapital adalah suatu paham yang meyakini bahwa pemilik modal bisa
melakukan usahanya untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Demi prinsip tersebut, maka
pemerintah tidak dapat melakukan intervensi pasar guna keuntungan bersama. Walaupun
demikian, kapitalisme sebenarnya tidak memiliki definisi universal yang bisa diterima secara
luas. Beberapa ahli mendefinisikan kapitalisme sebagai sebuah sistem yang mulai berlaku di
Eropa pada abad ke-16 hingga abad ke-19, yaitu pada masa perkembangan perbankan komersial
Eropa di mana sekelompok individu maupun kelompok dapat bertindak sebagai suatu badan
tertentu yang dapat memiliki maupun melakukan perdagangan benda milik pribadi, terutama
barang modal, seperti tanah dan manusia guna proses perubahan dari barang modal ke barang
jadi. Untuk mendapatkan modal-modal tersebut, para kapitalis harus mendapatkan bahan baku
dan mesin dahulu, baru buruh sebagai operator mesin dan juga untuk mendapatkan nilai lebih
dari bahan baku tersebut.[6]
Secara sosiologis paham kapitalisme berawal dari perjuangan terhadap kaum feodal, salah satu
tokoh yang terkenal Max Weber dalam karyanya The Protestan Ethic of Spirit Capitalism,
mengungkapkan bahwa kemunculan kapitalisme erat sekali dengan semangat religius terutama
kaum protestan. Pendapat Weber ini didukung Marthin Luther King yang mengatakan bahwa
lewat perbuatan dan karya yang lebih baik manusia dapat menyelamatkan diri dari kutukan
abadi.[7] Tokoh lain yang mendukung adalah Benjamin Franklin dengan mottonya yang sangat
terkenal yaitu Time Is Money, bahwa manusia hidup untuk bekerja keras dan memupuk
kekayaan.
Sementara menurut, Ayn Rand dalam Kapitalisme (1970), ada tiga asumsi dasar kapitalisme.[8]
Pertama, kebebasan individu. Kedua, kepentingan diri (selfishness), dan ketiga, pasar bebas.
Menurut Rand, kebebasan individu merupakan tiang pokok kapitalisme, karena dengan
pengakuan hak alami tersebut individu bebas berpikir, berkarya dan berproduksi untuk
keberlangsungan hidupnya. Pada gilirannya, pengakuan institusi hak individu memungkinkan
individu untuk memenuhi kepentingan dirinya. Menurut Rand, manusia hidup pertama-tama
untuk dirinya sendiri, bukan untuk kesejahteraan orang lain. Rand menolak keras kolektivisme,
altruisme, mistisisme. Konsep pasar bebas Rand merupakan aplikasi sosial dan pandangan
epistemologisnya yang natural mekanistik. Terpengaruh oleh gagasan “the invisible hand” dari
Smith, pasar bebas dilihat oleh Rand sebagai proses yang senantiasa berkembang dan selalu
menuntut yang terbaik atau paling rasional. Smith pernah berkata: “…free marker forces is
allowed to balance equitably the distribution of wealth”. (Robert Lerner, 1988).[9]
Singkatnya ada tiga hal yang menjadi prinsip dasar kapitalisme[10]. Pertama, Eksploitasi. Ini
berarti pengerukan secara besar-besaran dan habis- habisan terhadap sumber daya alam maupun
sumber daya manusia, seperti yang terjadi pada jaman penjajahan, bahkan sampai sekarang
meskipun dalam bentuk yang tidak sama. Kaum kapitalis akan terus melakukan perampokan
besar- besaran terhadap kekayaan alam kita and terus mengeksploitasi para buruh demi
kepentingan dan keuntungan pribadi.
Kedua, Akmulasi. Secara harfiah akumulasi berarti penumpukan, sifat inilah yang mendasari
kenapa capitalist tidak pernah puas dengan dengan apa yang telah diraih. Misalnya, kalau
pertama modal yang dipunyai adalah Rp.1.000.000 maka si kapitalis akan berusaha agar bisa
melipatgandakan kekayaannya menjadi Rp.2.000.000 dan seterusnya. Sehingga kaum kapitalis
selalu menggunakan segala cara agar kekayaan mereka berkembang dan bertambah.
Ketiga, Ekspansi. Ini berarti pelebaran sayap atau perluasan wilayah pasar, seperti yang pada
kapitalisme fase awal. Yaitu dari perdagangan sandang diperluas pada usaha perkapalan,
pergudangan, barang- barang mentah dan selanjutnya barang- barang jadi.Dan yang terjadi
sekarang adalah kaum kolonialis melakukan ekspansi ke seluruh penjuru dunia melalui modal
dan pendirian pabrik pabrik besar yang nota bene adalah pabrik lisensi. Yang semakin
dimuluskan dengan jalan globalisasi.
A.2 Apa itu Sosialisme?
Istilah sosialisme atau sosialis dapat mengacu ke beberapa hal yang berhubungan dengan
ideologi atau kelompok ideologi, sistem ekonomi, dan negara. Istilah ini mulai digunakan sejak
awal abad ke-19.[11] Dalam bahasa Inggris, istilah ini digunakan pertama kali untuk menyebut
pengikut Robert Owen pada tahun 1827. Di Perancis, istilah ini mengacu pada para pengikut
doktrin Saint-Simon pada tahun 1832 yang dipopulerkan oleh Pierre Leroux dan J. Regnaud
dalam l’Encyclopdie Nouvelle.[12] Penggunaan istilah sosialisme sering digunakan dalam
berbagai konteks yang berbeda-beda oleh berbagai kelompok, tetapi hampir semua sepakat
bahwa istilah ini berawal dari pergolakan kaum buruh industri dan buruh tani pada abad ke-19
hingga awal abad ke-20 berdasarkan prinsip solidaritas dan memperjuangkan masyarakat
egalitarian yang dengan sistem ekonomi menurut mereka dapat melayani masyarakat banyak
daripada hanya segelintir elite. [13]
Untuk memahami apa itu sosialisme, kita perlu mengetahui empat hal penting. Pertama,
Kolektivisme, sosialisme, Marxis, dan Komunisme. Keempat hal ini merupakan ciri khas aliran
sosialisme.[14]
Pertama, kolektivisme (collectivism). Sebuah pandangan tentang hidup bermasyarakat sebagai
keseluruhan, dan martabat pribadi anggotanya dikesampingkan demi hidup bersama. Bagi aliran
ini, pribadi manusia tidak mempunyai nilai pribadi. Kepentingan dan hak, milik dan urusan
kolektif sangat ditekankan, sehingga anggota masyarakat diperlakukan sebagai alat atau objek
dan bukan sebagai subjek atau tujuan masyarakat yang bersangkutan. Manusia hanya dilihat
hanya bernilai jika berfungsi dan bernilai untuk anggota masyarakat banyak. Nilai positif dari ini
adalah gotong royong, kekeluargaan, dan toleransi, serta musyawarah.
Kedua, komunisme (communism). Tujuan dari komunisme adalah pengawasan ketat atas seluruh
anggota masyarakat. Caranya dengan mengambil semua alat produksi dan konsumsi. Pola
pemerintahan juga sentralistis, dan penghapusan segala ciri-ciri khusus dalam masyarakat.
Manusia, keluarga, kaum minoritas, dan umat beragama dikorbankan demi kepentingan kolektif
pimpinan partai komunis. Komunisme bersifat ateis karena berdasar pada materialisme yang
menolak adanya jiwa rohani dan Tuhan, menindas kebebasan pribadi, dan agama. Nilai dan
kebutuhan rohani disangkal.
Ketiga, Marxisme (Marxism). Marxisime merupakan kumpulan ajaran yang merupakan dasar
ajaran sosialisme dan komunisme abad-19 dan abad-20. Tujuan utama Marxisme adalah
menghapus kapitalisme, yang sangat merugikan kaum proletar. Menurut mereka, manusia
bukanlah pribadi yang bernilai melainkan hanya sekedar unsur yang sangat terbatas dalam proses
perubahan universal. Manusia bernilai jika mampu meleburkan diri melalui hukum materi. Pada
dasarnya marxisme adalah anti kemanusiaan.
B. Kritik dan Ajaran Gereja terhadap Kapitalisme dan Sosialisme
B.2 Kritik dan ajaran sosial Gereja tentang kapitalisme
Terlepas dari sisi positif kapitalisme yang berhasil membawa kemajuan dalam dunia modern, ada
beberapa kritik dan solusi yang disampaikan Gereja terhadap kapitalisme.[15]
Pertama, Paus Leo melalui ensiklik Rerum Novarum, memberi tanggapan atas berbagai masalah
sosial akibat revolusi industri dalam alam liberal. Perlu diketahui bahwa pusat revolusi industri
ketika itu adalah Inggris. Menurut Paus Leo XII perindustrian yang maju tersebut telah
menimbulkan ketidakadilan sosial. Industri telah menyebabkan kesenjangan sosial dan
kemerosatan moral. Kaum pekerja berada dalam situasi yang tanpa pengayoman, dan menjadi
mangsa para majikan yang tidak berperikemanusiaan dan ketamakan kaum majikan dalam hawa
nafsu persaingan bebas (Rerum Novarum 1-2).[16] Maka, dalam Gaudiem et spes No.14
memberi penekanan pada prinsip prioritas kerja atas modal. Paus Yohanes Paulus II juga
menekankan hal yang sama dalam ensiklik Laborem Exercens. Menurut Paus Yohaness Paulus
II, mesin dan modal tak lebih dari hasil kerja. Manusia dalam melakukan kerjanya harus
manusiawi.
Kedua, berhubungan dengan para pekerja dan modal. Menurut Paus Pius XI, sistem ekonomi
tidak benar jika modal mengeksploitasi para pekerja sehingga seluruh perindustrian dan
kehidupan ekonomi memperoleh keuntungan sebesar-besarnya, tanpa memperhitungkan
martabat kemanusiaan kaum pekerja, aspek-aspek sosial dan kehidupan ekonomi, keadilan
sosial, dan kesejahteraan bersama (Quadragesimo Anno 102). Sistem ekononomi yang
disebutnya sebagai rezim kapitalis ini (Quadragesimo Anno 103) telah meluas sehingga Paus
Pius perlu mencurahkan perhatiannya bukan hanya bagi mereka yang ada di Negara-negara
kapitalis tetapi juga kepada semua orang di bumi (QA 104).[17]
Dalam QA 107: Konsentrasi kekuasaan maupun kekuatan itu, seakan-akan ciri khas eknomi
zaman sekarang, merupakan buah yang dengan sendirinya dihasilkan oleh kebebasan tak
terbatas dalam perjuangan antara pihak-pihak yang bersaing, dan membiarkan pihak yang
paling kuat tetap bertahan. Dan sering itu sama saja dengan mengatakan mereka yang dalam
perjuangan menggunakan kekerasan paling besar, mereka yang paling sedikit menggunakan
suara hati mereka.[18] Konsekuensi dari ini adalah semangat individualisme dalam bidang
ekonomi, persaingan bebas tanpa batas, bahkan diktator ekonomi, ambisi-ambisi tak terkendali
untuk berkuasa dan mencari untung. Kehidupan ekonomi pun menjadi keras, tegar, dan
kejam.[19]
Solusi yang ditawarkan dalam dokumen QA ini adalah Bahwa untuk menghindari
Individualisme maupun kolektivisme, kedua sifat, yakni perorangan dan sosial, baik pada modal
atau pemilikan maupun pada kerja, harus diberi bobot yang selayaknya. Hubungan timbal balik
antara keduanya harus disesuaikan dengan hukum-hukum keadilan yang ketat, yang disebut
keadilan komutatif.[20] Persaingan bebas harus berlangsung dalam dalam batas-batas dan
sewajarnya, dan diktator ekonomi harus secara efektif dibawakan kepada pemerintahan dalam
hal-hal yang termasuk fungsi pemerintahan.[21]
Ketiga. Berhubungan dengan ateisme. Tanggapan terhadap ateisme ini terutama disinggung
dalam Gaudium et Spes. Dokumen ini menyatakan bahwa bentuk ateis yang diakibatkan oleh
liberalisme dan kapitalisme ini adalah bahwa menganggap kebebasan manusia sebagai tujuan
bagi dirinya sendiri; manusia satu-satunya perencana dan pelaksana riwayatnya sendiri. Ajaran
ini didukung oleh perasaan berkuasa yang ditanam pada manusia oleh kemajuan teknologi zaman
sekarang. Pandangan ateisme ini juga berpandangan bahawa agama menjadi penghalang bagi
kebebasan manusia.[22] Jawaban Gereja terhadap ateisme yang diakibatkan oleh kapitalisme ini
adalah Gereja mengecam ateisme. Gereja berpendirian bahwa pengakuan terhadap Allah tak
berlawanan dengan martabat manusia, sebab martabat itu didasarkan pada Allah sendiri dan
disempurnakan dalamnya. Manusia dipanggil sebagai putera untuk hidup dalam persekutuan
dengan Allah dan ikut serta menikmati kebahagiaannya. Bahwa berbagai tugas-tugas duniawi
harus didasarkan pada nilai-nilai dasar keilahian akan hidup yang kekal.[23]
Keempat, Ketidakadilan pasar bebas. Dalam dokumen Populorum Progresio Paus Paulus VI
melihat bahwa dalam kapitalisme, keuntungan ekonomi merupakan motif utama kemajuan
ekonomi. Persaingan bebas merupakan hukum ekonomi yang tertinggi. Penguasaan atas alat
produksi merupakan hak yang mutlak dan tanpa batas dan tidak mengandung nilai sosial sedikit
pun.[24] Terjadi juga persaingan perdagangan yang tidak adil di tingkat internasional. Akibatnya
muncul kesenjangan antara Negara kaya di satu pihak, dan Negara miskin di lain pihak.[25]
Gereja di satu pihak juga percaya akan nilai-nilai positif yang dihembuskan oleh kapitalisme
seperti efisiensi ekonomi, perlindungan pribadi terhadap kekuasaan Negara, dan sebagai reaksi
terhadap totalitarianisme politik.[26]
Kelima, Kolegialitas (Caritas In Veritate)[27]. Kolegialitas yang dimaksud adalah prinsip sosial
terutama dalam dunia usaha dan bisnis. Hubungan antara bawahan dan atasan, atau buruh dengan
majikan. Salah satu prinsip ekonomi kapitalisme adalah prinsip efisiensi. Artinya prinsip yang
lebih menekankan penurunan biaya. Maka mengakibatkan dua hal. Pertama, upah buruh ditekan
sampai serendah mungkin. Kedua, kaum mudah di PHK (Pemutusan hubungan kerja). Buruh
menjadi korban pertama jika terjadi PHK. Ketiga, buruh menjadi korban dalam dua hal: pertama,
tenaga manusia diambil alih oleh tenaga mesin. Kedua, out sourcing, produksi di tempat lain jika
tidak menguntungkan.
Maka, Menurut Paus Benektus XVI dalam dokumen Caritas In Veritatae, para buruh bukanlah
hanya sekedar objek produksi melainkan, subjek produksi, partnert. Paus pun mengusulkan tiga
hal tentang kolegialitas ini. Pertama, co- determinasi, yakni para buruh ikut menentukan apa
yang terjadi dalam perusahaan. Karena itu, ada perwakilan buruh, team konsultasi. Kedua, co-
ownership, yakni buruh ikut memiliki perusahaan sehingga ada rasa tanggung jawab dari buruh.
Ketiga, peluang mendirikan serikat buruh yang berusaha memperjuangkan co-determinasi dan
co-ownership sehingga menciptakan loyalitas, produktivitas buruh terhadap perusahaan.[28]
Keenam, Fraternitas (caritas in veritatae).[29] Membangun fraternitas dilatarbelakangi oleh
situasi kapitalisme global yang menguasai dunia saat ini. Bahwa egoisme, dan materialisme telah
merasuki hidup manusia. Panggilan spiritualitas manusia adalah materialisme. Bukan Allah.
Sementara kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin semakin tidak terelakkan. Maka,
menurut Paus Benediktus untuk mengurangi hal itu perlu membangun persaudaraan global
(global fraternity). Pemikiran fraternitas menegaskan bahwa pada dasarnya manusia adalah
makhluk transenden yang artinya pertama, mengatasi diri ke arah sesama. Inilah yang disebut
manusia gift. Manusia yang menjadi rahmat bagi sesama. Pendapat ini merupakan counter
terhadap Individualisme. Kedua, Mengatasi diri demi keterarahan kepada Allah. Penyelamat
orang modern bukan lagi Allah melainkan kemakmuran (prosperity). Karena itu perlu mengatasi
diri demi hidup yang transenden (Allah). Dalam global fraternitas yang ditekankan bukan lagi
produksi ekonomi, tetapi tanggapan manusia terhadap Allah.
B.2 Kritik dan Ajaran Gereja terhadap sosialisme
Kritik dan solusi yang ditujukan Gereja terhadap aliran kapitalisme, tak kalah seru juga kritiknya
terhadap paham sosialisme. Aliran sosialisme lahir sebagai counter terhadap aliran kapitalisme
yang dimotori oleh Amerika dan Negara-negara barat lainnya. Aliran ini pun berusaha
menawarkan pemikiran-pemikiran yang sangat berlawanan dengan ajaran-ajaran kapitalisme.
Namun pemecahan yang ditawarkan oleh sosialisme justru menimbulkan berbagai masalah,
misalnya tidak diakuinya hak-hak individu, munculnya rezim otoriter, kebebasan warga
dikekang, bahkan sampai pada ateisme materialis ala Karl Marx, dan lain sebagainya. Melihat
gelagat sosialisme inilah yang kemudian dicoba dilawan oleh Gereja.
Beberapa hal penting yang menjadi kritik Gereja terhadap sosialisme. Pertama, Sosialisme
merupakan pemecahan yang salah. Dalam ensiklik Rerum Novarum, Paus Leo XIII mengatakan
bahwa sosialisme merupakan bentuk pemecahan masalah yang salah. Bahwa untuk
menyembuhkan berbagai penyakit masyarakat, kaum sosialis mengobarkan rasa benci dan
dengki terhadap kaum kaya. Mereka beranggapan bahwa usaha untuk menghapuskan kejahatan
adalah penghapusan milik pribadi, dan harta-kepunyaan pribadi dijadikan milik bersama.
Menurut mereka, dengan itu akan terjadi pembagian modal yang adil melalui pengawan
Negara.[30] Paus berpendapat hal itu akan merugikan para pekerja. Orang bekerja bertujuan
untuk mendapatkan materi sebagai miliknya sendiri demi kelangsungan hidupnya sendiri.
Mereka berhak atas barang miliknya. Bahwa konsep milik bersama akan nasib pekerja tidak
menentu, dan mereka tak punya harapan untuk memperbaiki nasib mereka. Menurut Paus bahwa
pemilikan harta benda bersumber dari hukum kodrati. Manusia lebih tua dari Negara. Karena itu
Negara tidak boleh ikut campur dalam kepemilikan pribadi. Bahwa sebelum ada Negara sudah
menerima dari kodratnya hak untuk menyusun perencanaan bagi hidup maupun rejeki
hidupnya.[31] Manusia secara kodrati tinggal di bumi ini untuk hidup bermasyarakat, tunduk
kepada kekuasaan Allah, memuji dan memuliakan penciptanya. Masalahnya adalah kaum
sosialisme mengabaikan hal ini. Mereka beranggapan bahwa masyarakat manusia diciptakan
untuk mengejar kemajuan duniawi semata. Dasarnya adalah materialisme, yang menolak asas
kebebasan.[32]
Kedua, Ateisme. Berkaitan dengan tanggapan Gereja terhadap ateisme yang ditularkan oleh
paham sosialisme-komunisme ini, Gereja melihat bahwa ciri ateis modern adalah ateisme yang
mendambakan pembebasan manusia di bidang ekonomi dan sosial. Ateisme ini beranggapan
bahwa agama meritangi kebebasan, mengingat bahwa agama menawarkan harapan semu[33] di
masa mendatang, serta mengelak dari pembangunan masyarakat dunia. Karena itu, jika ada
Negara yang menentang agama berarti mereka menyebarluaskan ateisme. Sikap Gereja terhadap
ateisme ini adalah mengecam ajaran-ajaran dan tindakannya. Gereja tetap berpendirian bahwa
pengakuan terhadap Allah sama sekali tidak berlawanan dengan martabat manusia. Sebab Allah
sebagai pencipta telah menempatkan manusia sebagai ciptaan yang berakalbudi dan
berkehendak bebas.[34] Penolakan terhadap Tuhan adalah justru merampas kepribadian
manusia. Hal ini mengakibatkan pengabaian martabat dan tanggung jawab pribadi manusia.[35]
Ketiga, kekuasaan terpusat.[36] Kekuasaan terpusat merupakan salah satu ciri khas sosialisme-
komunisme. Kendati komunisme sudah runtuh, namun dalam ensiklik Caritas In Veritatae
menyinggung tentang ini. Counter terhadap ini disebut oleh Paus Benediktus sebagai
subsidiaritas. Menurut Paus, subsidiaritas yang dimaksud adalah. Pertama, pusat memberi
kepercayaan, peluang kepada daerah, atau bawahan untuk membuat keputusan sendiri. Objek
keputusan adalah subjek keputusan. Karena itu, keputusan diserahkan kepada orang yang secara
langsung mengalami dampak keputusan itu. Komunisme adalah paham yang mengabaikan
prinsip subsidiaritas.
Pertanyaan pun muncul: Apakah Ajaran Sosial Gereja merupakan jalan ketiga terhadap
kapitalisme dan sosialisme? Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita tentu harus mengacu
terhadap fungsi utama Gereja dan ajaran-ajaran sosialnya terhadap hidup manusia. Bahwa fungsi
utama Gereja terutama dalam ranah moral, spiritual, ilahi, dan sebagainya. Tentu saja fungsi
Gereja tersebut sangat kontras dengan kedua paham raksasa tersebut yang identik dengan politik,
ekonomi, sosial, kebudayaan, dan sebagainya. Karena itu, dapat dikatakan bahwa Ajaran Sosial
Gereja bukanlah sebuah paham baru, sebuah alternatif baru terhadap kedua paham tersebut,
melainkan semacam pesan moral di mana dalam pesan moral tersebut Gereja memberikan
penilaian moral baik secara negatif maupun positif terhadap paham kapitalisme dan sosialisme.
Ajaran sosial Gereja adalah sebuah tawaran. Keterlibatan Gereja sendiri tak terlepas dari
pandangan Gereja terhadap keberadaan manusia. Dalam Ensiklik Mater et Magistra, Paus
Yohanes XXIII mengatakan bahwa keterlibatan sosial Gereja dilatarbelakangi oleh pandangan
Gereja yang menganggap pribadi manusia sebagai dasar, sebab, tujuan yang terutama dari
lembaga sosial (No.219)[37]. Di sini Gereja mempertahankan martabat pribadi manusia sebagai
dasar, tujuan. Karena itu, melalui ajaran sosialnya, Gereja berusaha mengatur hubungan yang
saling menguntungkan (mutual relationship) di antara manusia.[38] Prinsip-prinsip tersebut tentu
saja disesuaikan dengan situasi zaman yang selalu berubah, dan berkembang.

[1] Lihat Mata Kuliah Seminar Filsafat dan Teologi: Ensiklik Caritas In Veritae dari Paus Benediktus XVI oleh
Pastor Agus Rahmat Widiyanto, OSC.
[2] Lihat Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme,
(Yogyakarta: Gramedia, 1999), hlm. 3-12.
[3] Lihat Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1996), hlm. 391.
[4] Ibid., hlm. 391.
[5] Lihat Joseph Losco, dan L. Williams, Political Theory: Classic and Contemporary Readings (2003),
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Haris Munandar, Teori Politik: Kajian Klasik dan Kotemporer
(Jakarta: Grafindo, 2005), hlm. 681.
[6] Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Kapitalisme, diakses Jumat 13 Februari 2010.
[7] Lihat Bahan Kuliah Fenomenologi Agama oleh Fransiskus Borgias. Dalam salah satu bab dijelaskan bahwa
kemuncullan kapitalisme erat hubungannya dengan reformasi protestan yang dimotori oleh Martin Luther.
[8] Lihat http://media.isnet.org/islam/Etc/Kapitalisme.html5712, diakses Jumat, 13 Februari 2010.
[9] Ibid.,
[10] Lihat Lihat Koerniatmanto Soetoprawiro,Bukan Kapitalisme Bukan Sosialisme: Ajaran Sosial Gereja,
(Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm. 94-95.
[11] Lihat http://www.icl-fi.org/bahasa/oldsite/KS_DOP.HTM, diakses Jumat 13 Februari 2010.
[12] Ibid.,
[13] Ibid.,
[14] Lihat Koerniatmanto Soetoprawiro,Bukan Kapitalisme Bukan Sosialisme: Ajaran Sosial Gereja,op. cit.,hlm.
106-108.
[15] Ibid., hlm. 94-105.
[16] Ibid., hlm. 98.
[17] Ibid., hlm. 99.
[18] Lihat Dokumen Gerejawi, Ajaran Sosial Gereja Tahun 1891-1991: Quadragesimo Anno, (Jakarta: Dopken
KWI, 1999), hlm. 107.
[19] Ibid.,No. 109, hlm. 107.
[20] Keadilan Komutatif (commutative justice) adalah keadilan yang mengatur pertukaran barang dan jasa.
Disebut keadilan komutatif jika ada kesetaraan antara barang dan jasa. Sumber: Lihat Mata Kuliah Seminar
Filsafat dan Teologi: Ensiklik Caritas In Veritae dari Paus Benediktus XVI oleh Pastor Agus Rahmat Widiyanto,
OSC.
[21] Ibid., No. 110, hlm. 108.
[22] Gaudiem et Spes, No. 20, hlm. 291.
[23] Ibid., No. 21, hlm. 292.
[24] Populorum Progresio, No. 26. hlm. 410.
[25] Lihat Koerniatmanto Soetoprawiro, Bukan Kapitalisme Bukan Sosialisme: Ajaran Sosial Gereja, op. cit.,
hlm. 102. Lihat juga Buku Dokumen Gerejawi, Ajaran Sosial Gereja Tahun 1891-1991: Populorum Progresio,
[
op. cit., hlm. 427.
[26] Ibid., hlm. 103
[27] Lihat Mata Kuliah Seminar Filsafat dan Teologi: Ensiklik Caritas In Veritae dari Paus Benediktus XVI oleh
Pastor Agus Rahmat Widiyanto, OSC.
[28] Ibid.,
[29] Ibid.,
[30] Lihat Buku Dokumen Gerejawi, Ajaran Sosial Gereja Tahun 1891-1991: Rerum Novarum No.3, op. cit., hlm.
19.
[31] Lihat Ibid., No.7, hlm. 21. Lihat juga dokumen Laborens Exercens tentang Konflik antara kerja dan modal
pada tahap sejarah masa kini terutama yang diakibatkan oleh paham sosialisme. No. 11-15.
[32] Lihat Dokumen Gerejawi, Ajaran Sosial Gereja Tahun 1891-1991: Qudragesimo Anno, op.cit., hlm. 189-190
[33] Pendapat ini dilontarkan oleh Karl Marx. Pendapat ini merupakan salah satu kritiknya kepada Gereja Kristen.
Diambil dari Mata Kuliah Hermeneutik oleh Prof. Dr. Bambang Sugiharto.
[34] Lihat Buku Dokumen Gerejawi, Ajaran Sosial Gereja Tahun 1891-1991: Gaudium et Spes No.20-21, op. cit.,
hlm. 291-292.
[35] Lihat Lihat Buku Dokumen Gerejawi, Ajaran Sosial Gereja Tahun 1891-1991: Centesimus Annus No.13.
[36] Mata Kuliah Seminar Filsafat dan Teologi: Ensiklik Caritas In Veritae dari Paus Benediktus XVI oleh Pastor
Agus Rahmat Widiyanto, OSC.
[37] Lihat Dokumen Gerejawi, Ajaran Sosial Gereja Tahun 1891-1991: Mater et Magistra, op.cit., hlm. 199.
[38] Lihat Koerniatmanto Soetoprawiro, Bukan Kapitalisme Bukan Sosialisme: Ajaran Sosial Gereja, op. cit., hlm.
121.

Anda mungkin juga menyukai