Anda di halaman 1dari 27

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK (PPOK)


1. PENGERTIAN
PPOK adalah kependekan dari Penyakit Paru Obstruksi Kronik
yang merupakan penyakit paru yang bersifat progresif atau memburuk dari
waktu ke waktu ditandai oleh adanya hambatan aliran udara dan bersifat
ireversible berkaitan dengan respon onflamasi paru terhadap artikel atau
zat berbahaya dari luar. (NHLBI).
PPOK adalah penyakit paru yang dapat dicegah dan diobati
ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel
bersifat progresif dan berhubungan dengan respon inflamasi paru terhadap
artikel atau gas yang beracun / berbahaya, disertai efek ekstraparu yang
berkontribusi terhadap derajat berat penyakit.(PDPI, 2011)
Penyakit Paru Obstruksi Kronis, atau COPD, mengacu pada
sekelompok penyakit yang menyebabkan penyumbatan aliran udara dan
masalah-pernapasan terkait. Ini termasuk didalamnya emfisema, bronkitis
kronis.(NLM)
Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah penyakit yang dapat
dicegah dan diobati yang menyebabkan sulitnya udara keluar dari paru
yang bersifat kronis. (American Thoracic Society. 2005)
2. FAKTOR RISIKO
Faktor Risiko PPOK meliputi berbagai hal yakni (PDPI, 2011) :
a. Asap Rokok
b. Polusi udara baik dalam ruangan maupun luar ruangan
c. Stres Oksidatif
d. Gen
e. Tumbuh Kembang Paru
f. Sosial Ekonomi

1
3. PATOGENESIS DAN PATOLOGI
a. Patogenesis

Sel Inflamasi PPOK ditandai dengan pola tertentu peradangan


yang melibatkan neutrofil, makrofag, dan limfosit. Sel-sel ini
melepaskan mediator inflamasi dan berinteraksi dengan sel struktural
dalam saluran udara dan parenkim paru.
b. Patologi
Keterbatasan aliran udara yang bersifat progresif pada PPOK
disebabkan dua proses patologis, yaitu :
- Airway remodelling dan penyempitan jalan napas kecil
- Destruksi parenkim paru disertai rusaknya jaringan penyangga
alveolar
Kedua proses ini menyebabkan berkurangnya elastic recoil,
tahanan aliran udara yang meningkat akibat fibrosis serta
meningkatnya air trapping dalam paru. Progresiviti kerusakan paru
akan menyebabkan penurunan faal paru antara lain kapasiti vital paksa
(KVP) dan volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1).

2
4. TANDA DAN GEJALA
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala,
gejala ringan hingga berat. Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan
jelas dan tanda inflasi paru. Gejala yang sering dijumpai yakni : sesak nafas
yang bersifat kronis dan progresif memberat seiring berjalannya waktu dan
bertambah berat dengan aktivitas. Menetap sepanjang hari, dan pasien
mengeluhkan usaha bernafas. Selain itu dijumpai pula batuk kronik yang
hilang timbul berdahak, serta riwayat terpajan asap rokok, debu, bahan
kimia ataupun asap dapur. (PDPI, 2011)

5. DIAGNOSIS

a. Gambaran Klinis

1) Anamnesis
a) Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa
gejala pernapasan
b) Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
c) Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
d) Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat
badan lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang,
lingkungan asap rokok dan polusi udara
e) Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
f) Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi

2) Pemeriksaan Fisik

a) Inspeksi
- Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
- Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal
sebanding)

3
- Penggunaan otot bantu napas
- Hipertropi otot bantu napas
- Pelebaran sela iga
- Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena
jugularis i leher dan edema tungkai
- Penampilan pink puffer atau blue bloater
b) Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
c) Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak
diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah
d) Auskultasi
- Suara napas vesikuler normal, atau melemah
- Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa
atau pada ekspirasi paksa
- Ekspirasi memanjang
- Bunyi jantung terdengar jauh
3) Pemeriksaan Penunjang
a) Pemeriksaan rutin
i. Faal paru
 Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP

- Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % )
dan atau VEP1/KVP ( % ).
- Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80%
VEP1% (VEP1/KVP) < 75 %
- VEP1 merupakan parameter yang paling umum
dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan
memantau perjalanan penyakit.
- Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin
dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, dapat

4
dipakai sebagai alternatif dengan memantau
variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%
Uji bronkodilator
- Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila
tidak ada gunakan APE meter.
- Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak
8 hisapan, 15 - 20 menit kemudian dilihat
perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1
atau APE < 20% nilai awal dan < 200 ml
- Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil
ii. Darah rutin : Hb, Ht, leukosit
iii. Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk
menyingkirkan penyakit paru lain. Pada emfisema terlihat
gambaran :
- Hiperinflasi
- Hiperlusen
- Ruang retrosternal melebar
- Diafragma mendatar
- Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye
drop appearance)
Pada bronkitis kronik :
- Normal
- Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus
b) Pemeriksaan khusus (tidak rutin)
i. Faal paru
- Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional
(KRF), Kapasiti Paru Total (KPT), VR/KRF,
- VR/KPT meningkat
- DLCO menurun pada emfisema
- Raw meningkat pada bronkitis kronik

5
- Sgaw meningkat
- Variabiliti Harian APE kurang dari 20 %
ii. Uji latih kardiopulmoner
- Sepeda statis (ergocycle)
- Jentera (treadmill)
- Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal
iii. Uji provokasi bronkus
Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada
sebagian kecil PPOK terdapat hipereaktiviti bronkus derajat
ringan
iv. Uji coba kortikosteroid
Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian
kortikosteroid oral (prednison atau metilprednisolon)
sebanyak 30 - 50 mg per hari selama 2minggu yaitu
peningkatan VEP1 pascabronkodilator > 20 % dan minimal
250 ml. Pada PPOK umumnya tidak terdapat kenaikan faal
paru setelah pemberian kortikosteroid
v. Analisis gas darah
Terutama untuk menilai :
- Gagal napas kronik stabil
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik
vi. Radiologi
- CT - Scan resolusi tinggi
Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis
serta derajat emfisema atau bula yang tidak terdeteksi
oleh foto toraks polos
- Scan ventilasi perfusi
Mengetahui fungsi respirasi
paru vii. Elektrokardiografi
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai
oleh Pulmonal dan hipertrofi ventrikel kanan.

6
viii. Ekokardiografi
Menilai funfsi jantung kanan
ix. Bakteriologi
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram
dan kultur resistensi diperlukan untuk mengetahui pola
kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat. Infeksi
saluran napas berulng merupakan penyebab utama
eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia.
x. Kadar alfa-1 antitripsin
Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema
herediter (emfisema pada usia muda), defisiensi antitripsin
alfa-1 jarang ditemukan di Indonesia. (PDPI, 2014)

6. DIAGNOSIS BANDING
Berbagai penyakit dapat memiliki gejala dan tanda yang
menyerupai PPOK. Oleh sebab itu harus didasarkan pada anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Berbagai penyakit yang dapat menjadi diagnosis banding dari PPOK
yakni:
a. Asma : onset awal sering pada anak, gejala bervariasi dari hari ke
hari, disertai atopi, rinitis, riwayat keluarga dengan asma, sebagian
besar reversibel
b. Gagal jantung kongestif : auskultasi terdengar ronki halus dibagian
basal, foto toraks tampak jantung membesar, edema paru, uji faal paru
menunjukkan restriksi, bukan obstruksi.
c. Bronkiektasis : sputum produktif dan purulen, awalnya terkait dengan
infeksi bakteri, auskultasi terdengar ronki kasar, foto toraks
menunjukkan pelebaran bronkus.
d. Tuberkulosis : onset segala usia, foto toraks menunjukkan infiltrat,
konfirmasi mikrobiologi(sputum BTA), prevalensi di daerah endemis.

7
7. KLASIFIKASI

Berdasarkan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) PPOK


diklasifikasikan kedalam (Gold 2010)

Derajat Klinis Faal Paru


Gejala klinis(batuk, Normal
produktif sputum)
Derajat I: PPOK Gejala batuk kronik dan VEP1/KVP<70%
ringan produksi sputum ada VEP1 >80% prediksi
tetapi tidak sering. Pada
derajat ini pasien sering
tidak menyadari bahwa
faal paru mulai menurun
Derajat II: PPOK Gejala sesak mulai VEP1/KVP <70%
sedang dirasakan saat aktivitas 50% < VEP1 <80%
dan kadang ditemukan prediksi
gejala batuk dan
produksi sputum. Pada
derajat ini biasanya
pasien mulai
memeriksakan
kesehatannya
Derajat III: PPOK Gejala sesak lebih berat, VEP1/KVP <70%
berat penurunan aktivitas,rasa 30% < VEP1 <50%
lelah dan serangan prediksi
eksaserbasi semakin
sering dan berdampak
pada kualitas hidup
pasien
Derajat IV: PPOK Gejala diatas ditambah VEP1/KVP <70%
sangat berat tanda-tanda gagal napas VEP1 <30% prediksi
atau gagal jantung atau VEP1 <50%
kanan dan prediksi disertai gagal
ketergantungan oksigen. napas kronik
Pada derajat ini kualitas
hidup pasien memburuk
dan jika eksaserbasi
dapat mengancam jiwa

8
8. KOMPLIKASI
Komplikasi pada PPOK merupakan bentuk perjalanan penyakit
yang progresif dan tidak sepenuhnya reversibel seperti
a. Gagal nafas kronik maupun akut. Gagal nafas kronik ditandai oleh
analisis gas darah PO2 < 60 mmHg dan PCO2 >60mmHg dan pH
normal. Sedangkan gagal nafas akut ditandai oleh sesak nafas dengan
atau tanpa sianosis, sputum bertambah dan purulen, demam,
kesadaran menurun.
b. Infeksi berulang. Pada pasien PPOK produksi sputum yang
berlebihan menyebabkan terbentuk koloni kuman yang memudahkan
terjadinya infeksi ditandai dengan menurunnya kadar limfosit darah
c. Kor pulmonale. Ditandai oleh gelombang P pulmonal pada EKG,
hematokrit >50% dapat disertai gagal jantung kanan.

9. PENATALAKSANAAN
a. Edukasi
`
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka
panjang pada PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan
edukasi pada asma. Karena PPOK adalah penyakit kronik yang
ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan
keterbatasan aktivitas dan mencegah kecepatan perburukan fungsi
paru. Berbeda dengan asma yang masih bersifat reversibel,
menghindari pencetus dan memperbaiki derajat adalah inti dari
edukasi atau tujuan pengobatan dari asma.Bahan dan cara pemberian
edukasi harus disesuaikan dengan derajat berat penyakit, tingkat
pendidikan, lingkungan sosial, kultural dan kondisi ekonomi penderita.
Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah
1) Pengetahuan dasar tentang PPOK
2) Obat - obatan, manfaat dan efek sampingnya
3) Cara pencegahan perburukan penyakit
4) Menghindari pencetus (berhenti merokok)
5) Penyesuaian aktivitas
Agar edukasi dapat diterima dengan mudah dan dapat
dilaksanakan ditentukan skala prioritas bahan edukasi sebagai berikut :

9
1) Berhenti merokok
2) Pengunaan obat - obatan
3) Penggunaan oksigen
4) Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen
5) Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya
6) Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi
7) Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktivitas
Pemberian edukasi berdasar derajat penyakit :
1) Ringan
- Penyebab dan pola penyakit PPOK yang ireversibel
- Mencegah penyakit menjadi berat dengan menghindari
pencetus, antara lain berhenti merokok
- Segera berobat bila timbul gejala
2) Sedang
- Menggunakan obat dengan tepat
- Mengenal dan mengatasi eksaserbasi dini
- Program latihan fisik dan pernapasan
3) Berat
- Informasi tentang komplikasi yang dapat terjadi
- Penyesuaian aktiviti dengan keterbatasan
- Penggunaan oksigen dirumah
b. Obat - obatan
- Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis
bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat
penyakit. Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi, nebuliser
tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat
berat diutamakan pemberian obat lepas lambat ( slow release ) atau
obat berefek panjang ( long acting ).
Macam - macam bronkodilator :
a) Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping
sebagai bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir
(maksimal 4 kali perhari).
b) Golongan agonis beta - 2

10
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak,
peningkatan jumlah penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya
eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya digunakan
bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat
digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak

dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang.Bentuk injeksi


subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.
c) Kombinasi antikolinergik dan agonis beta - 2
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat
efek bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat kerja
yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih
sederhana dan mempermudah penderita.
d) Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan
pemeliharaan jangka panjang, terutama pada derajat sedang
dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk mengatasi
sesak ( pelega napas ), bentuk suntikan bolus atau drip untuk
mengatasi eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang
diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah.
- Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral
atau injeksi intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi,
dipilih golongan metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi
sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji
kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP1
pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg.
- Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang
digunakan :
- Lini I : amoksisilin, makrolid
- Lini II : amoksisilin dan asam klavulanat, sefalosporin,
kuinolon, makrolid baru

- Amoksilin dan klavulanat


- Sefalosporin generasi II & III injeksi

11
- Kuinolon per oral

- ditambah dengan yang anti pseudomonas:


- Aminoglikose per injeksi
- Kuinolon per injeksi
- Sefalosporin generasi IV per injeksi
- Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti
hidup, digunakan N - asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK
dengan eksaserbasi yang sering, tidak dianjurkan sebagai
pemberian yang rutin
- Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan
mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik
dengan sputum yang viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK
bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin.
- Antitusif
Diberikan dengan hati – hati.
c. Terapi Oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan
yang menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi
oksigen merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan
oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun
organ - organ lainnya. Indikasi:
- Pao2 < 60mmHg atau Sat O2 < 90%
- Pao2 diantara 55 - 59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Kor
Pulmonal, perubahan P pullmonal, Ht >55% dan tanda-tanda gagal
jantung kanan, sleep apnea, penyakit paru lain
Terapi oksigen dapat dilaksanakan di rumah maupun di rumah
sakit. Terapi oksigen di rumah diberikan kepada penderita PPOK stabil
derajat berat dengan gagal napas kronik. Sedangkan di rumah sakit
oksigen diberikan pada PPOK eksaserbasi akut di unit gawat daruraat,

12
ruang rawat ataupun ICU. Pemberian oksigen untuk penderita PPOK
yang dirawat di rumah dibedakan :
- Pemberian oksigen jangka panjang ( Long Term Oxygen Therapy
= LTOT )
- Pemberian oksigen pada waktu aktiviti
- Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak
Terapi oksigen jangka panjang yang diberikan di rumah pada
keadaan stabil terutama bila tidur atau sedang aktiviti, lama pemberian
15 jam setiap hari, pemberian oksigen dengan nasal kanul 1 - 2 L/mnt.
Terapi oksigen pada waktu tidur bertujuan mencegah hipoksemia yang
sering terjadi bila penderita tidur. Terapi oksigen pada waktu aktiviti
bertujuan menghilangkan sesak napas dan meningkatkan kemampuan
aktiviti. Sebagai parameter digunakan analisis gas darah atau pulse
oksimetri. Pemberian oksigen harus mencapai saturasi oksigen di atas
90%. Alat bantu pemberian oksigen:
- Nasal kanul
- Sungkup venturi
- Sungkup rebreathing
- Sungkup nonrebreathing
Pemilihan alat bantu ini disesuaikan dengan tujuan terapi
oksigen dan kondisi analisis gas darah pada waktu tersebut.
d. Ventilasi Mekanik
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi
dengan gagal napas akut, gagal napas akut pada gagal napas kronik
atau pada pasien PPOK derajat berat dengan napas kronik. Ventilasi
mekanik dapat digunakan di rumah sakit di ruang ICU atau di rumah.
e. Nutrisi
Kondisi malnutrisi akan menambah mortaliti PPOK karena
berkolerasi dengan derajat penurunan fungsi paru dan perubahan
analisis gas darah.

13
Mengatasi malnutrisi dengan pemberian makanan yang agresis
tidak akan mengatasi masalah, karena gangguan ventilasi pada PPOK
tidak dapat mengeluarkan CO2 yang terjadi akibat metabolisme
karbohidrat. Diperlukan keseimbangan antara kalori yang masuk
denagn kalori yang dibutuhkan, bila perlu nutrisi dapat diberikan
secara terus menerus (nocturnal feedings) dengan pipa nasogaster.
Gangguan keseimbangan elektrolit sering terjadi pada PPOK
karena berkurangnya fungsi muskulus respirasi sebagai akibat sekunder
dari gangguan ventilasi. Gangguan elektrolit yang terjadi adalah :
- Hipofosfatemi
- Hiperkalemi
- Hipokalsemi
- Hipomagnesemi
Gangguan ini dapat mengurangi fungsi diafragma. Dianjurkan
pemberian nutrisi dengan komposisi seimbang, yakni porsi kecil
dengan waktu pemberian yang lebih sering.
f. Rehabilitasi PPOK
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi
latihan dan memperbaiki kualiti hidup penderita PPOK.

B. PNEUMONIA
1. Definisi Pneumonia
Pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru yang
disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit).
Pneumonia yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak
termasuk. Sedangkan peradangan paru yang disebabkan oleh
nonmikroorganisme (bahan kimia, radiasi, aspirasi bahan toksik, obat-
obatan dan lain-lain) disebut pneumonitis (PDPI, 2014).
Sedangkan pneumonia komunitas adalah peradangan akut pada
parenkim paru yang didapat di masyarakat. Pneumonia komunitas sering
terjadi dan biasanya serius, berhubungan dengan angka kesakitan dan

14
kematian, khususnya usia lanjut dan pasien dengan komorbid (File et al,
2013).
2. Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam
mikroorganisme, yaitu bakteri, virus, jamur dan protozoa. Dari
kepustakaan pneumonia komuniti yang diderita oleh masyarakat luar
negeri banyak disebabkan bakteri Gram positif, sedangkan pneumonia di
rumah sakit banyak disebabkan bakteri Gram negatif sedangkan
pneumonia aspirasi banyak disebabkan oleh bakteri anaerob. Akhir-akhir
ini laporan dari beberapa kota di Indonesia menunjukkan bahwa bakteri
yang ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita pneumonia komuniti
adalah bakteri Gram negatif (PDPI, 2014).
Pada pasien penyakit paru kronik seperti bronkiektasis, fibrosis
kistik dan PPOK bila terjadi infeksi biasanya berhubungan dengan kuman
Gram negative seperti Pseudomonas aeruginosa. Faktor risiko yang
berkaitan dengan infeksi pseudomonas menurut ATS/IDSA 2007 adalah
pemakaian kortikosteroid ≥10mg perhari, riwayat penggunaan antibiotic
spectrum luas ≥ 7 hari pada bulan sebelumnya dan malnutrisi. Factor
risiko yang berhubungan dengan infeksi Gram negative lainnya adalah
keganasan, penyakit kardiovaskular dan merokok (File et al,2013).
3. Patogenesis
Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroornagisme
di paru. Keadaan ini disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru. Apabila
terjadi ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dapat
berkembang biak dan menimbulkan penyakit. Resiko infeksi di paru
sangat tergantung pada kemampuan mikroorganisme untuk sampai dan
merusak permukaan epitel saluran napas. Ada beberapa cara
mikroorganisme mencapai permukaan :
a. Inokulasi langsung
b. Penyebaran melalui pembuluh darah

15
c. Inhalasi bahan aerosol
d. Kolonisasi dipermukaan mukosa
Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah secara
Kolonisasi. Secara inhalasi terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme
atipikal, mikrobakteria atau jamur. Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5 -
2,0 m melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveol dan
selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas
atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan
terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini merupakan permulaan infeksi dari
sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari sebagian kecil sekret orofaring
terjadi pada orang normal waktu tidur (50 %) juga pada keadaan penurunan
kesadaran, peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse). Sekresi
orofaring mengandung konsentrasi bakteri yang tinggi 10 8-10/ml, sehingga
aspirasi dari sebagian kecil sekret (0,001 - 1,1 ml) dapat memberikan titer
inokulum bakteri yang tinggi dan terjadi pneumonia. Pada pneumonia
mikroorganisme biasanya masuk secara inhalasi atau aspirasi. Umumnya
mikroorganisme yang terdapat disaluran napas bagian atas sama dengan di
saluran napas bagian bawah, akan tetapi pada beberapa penelitian tidak di
temukan jenis mikroorganisme yang sama (PDPI, 2014).
4. Patologi
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli
menyebabkan reaksi radang berupa edema seluruh alveoli disusul dengan
infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit sehingga terjadi permulaan
fagositosis sebelum terbentuknya antibodi. Sel-sel PMN mendesak bakteri
ke permukaan alveoli dan dengan bantuan leukosit yang lain melalui
psedopodosis sitoplasmik mengelilingi bakteri tersebut kemudian
dimakan. Pada waktu terjadi peperangan antara host dan bakteri maka
akan tampak 4 zona pada daerah parasitik terset yaitu :
1. Zona luar : alveoli yang tersisi dengan bakteri dan cairan edema.

16
2. Zona permulaan konsolidasi : terdiri dari PMN dan beberapa eksudasi
sel darah merah.
3. Zona konsolidasi yang luas : daerah tempat terjadi fagositosis yang
aktif dengan jumlah PMN yang banyak.
4. Zona resolusi E : daerah tempat terjadi resolusi dengan banyak bakteri
yang mati, leukosit dan alveolar makrofag.
Red hepatization ialah daerah perifer yang terdapat edema dan
perdarahan 'Gray hepatization' ialah konsolodasi yang luas.
5. Klasifikasi Pneumonia
a. Berdasarkan klinis dan epideologis :
1) Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia)
2) Pneumonia nosokomial (hospital-acqiured pneumonia /
nosocomial pneumonia).
3) Pneumonia aspirasi.
4) Pneumonia pada penderita Immunocompromised pembagian ini
penting untuk memudahkan penatalaksanaan.
b. Berdasarkan bakteri penyebab
1) Pneumonia bakterial / tipikal. Dapat terjadi pada semua usia.
Beberapa bakteri mempunyai tendensi menyerang sesorang yang
peka, misalnya Klebsiella pada penderita alkoholik,
Staphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza.
2) Pneumonia atipikal, disebabkan Mycoplasma, Legionella dan
Chlamydia.
3) Pneumonia virus.
4) Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi
terutama pada penderita dengan daya tahan lemah
(immunocompromised).
c. Berdasarkan predileksi infeksi
1) Pneumonia lobaris. Sering pada pneumania bakterial, jarang pada
bayi dan orang tua. Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau

17
segmen kemungkinan sekunder disebabkan oleh obstruksi bronkus
misalnya : pada aspirasi benda asing atau proses keganasan.
2) Bronkopneumonia. Ditandai dengan bercak-bercak infiltrat pada
lapangan paru. Dapat disebabkan oleh bakteria maupun virus.
Sering pada bayi dan orang tua. Jarang dihubungkan dengan
obstruksi bronkus.
3) Pneumonia interstisial.
6. Diagnosis
a. Gambaran klinis
1) Anamnesis
Gambaran klinik biasanya ditandai dengan demam,
menggigil, suhu tubuh meningkat dapat melebihi 400C, batuk
dengan dahak mukoid atau purulen kadang-kadang disertai darah,
sesak napas, dan nyeri dada.
2) Pemeriksaan fisik
Temuan pemeriksaan fisis dada tergantung dari luas lesi di
paru. Pada inspeksi dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu
bernapas, pasa palpasi fremitus dapat mengeras, pada perkusi redup,
pada auskultasi terdengar suara napas bronkovesikuler sampai
bronkial yang mungkin disertai ronki basah halus, yang kemudian
menjadi ronki basah kasar pada stadium resolusi.
b. Pemeriksaan penunjang
1) Gambaran radiologis
Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang
utama untuk menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat
berupa infiltrat sampai konsolidasi dengan "air broncogram",
penyebab bronkogenik dan interstisial serta gambaran kaviti. Foto
toraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab
pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi,
misalnya gambaran pneumonia lobaris tersering disebabkan oleh
Steptococcus pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa sering

18
memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia
sedangkan Klebsiela pneumonia sering menunjukkan konsolidasi
yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat mengenai
beberapa lobus.
2) Pemeriksaan labolatorium
Pada pemeriksaan labolatorium terdapat peningkatan jumlah
leukosit, biasanya lebih dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai
30.000/ul, dan pada hitungan jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri
serta terjadi peningkatan LED. Untuk menentukan diagnosis etiologi
diperlukan pemeriksaan dahak, kultur darah dan serologi. Kultur
darah dapat positif pada 20-25% penderita yang tidak diobati.
Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia dan hikarbia, pada
stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik.
Diagnosis pneumonia komuniti didapatkan dari anamnesis, gejala
klinis pemeriksaan fisis, foto toraks dan labolatorium. Diagnosis pasti
pneumonia komuniti ditegakkan jika pada foto toraks terdapat infiltrat
baru atau infiltrat progresif ditambah dengan 2 atau lebih gejala di
bawah ini :
• Batuk-batuk bertambah
• Perubahan karakteristik dahak / purulen

• Suhu tubuh > 380C (aksila) / riwayat demam


• Pemeriksaan fisis : ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas
bronkial dan ronki
• Leukosit > 10.000 atau < 4500
Penilaian Derajat Keparahan penyakit
Penilaian derajat keparahan penyakit pneumonia komuniti dapat
dilakukan dengan menggunakan sistem skor menurut hasil penelitian
Pneumonia Patient Outcome Research Team (PORT) seperti tabel di
bawah ini :

19
Karakteristik penderita Jumlah point

Faktor demografi
Usia : laki-laki umur (tahun)
Perempuan umur (tahun) – 10
Perawatan di rumah +10
 
Penyakit penyerta

Keganasan +30

Penyakit hati +20

Gagal jantung kongestif +10

Penyakit serebrovaskuler +10

Penyakit ginjal +10
Pemeriksaan fisis
Perubahan status mental +20

Pernapasan > 30 kali/menit +20

Tekanan darah sistolik < 90 mmHg +20
 o o
- Suhu tubuh < 35 atau > 40 C +15

- Nadi > 125 kali/menit +10
Hasil laboratorium / radiologi

- Analisa gas darah arteri : pH < 7,35 +30

- BUN > 30 mg/dL +20

- Natrium < 130 mEq/liter +20
 - Glukosa > 250 mg/dL +10
- Hematokrit < 30% +10
- PO2 < 60 mmHg +10
Efusi pleura +10
Tabel 1. Sistem skor pada pneumonia komuniti berdasarkan PORT
Menurut American Thoracic Society (ATS), kriteria pneumonia
berat bila dijumpai 'salah satu atau lebih' kriteria di bawah ini.
 
 Kriteria minor :
• Frekuensi napas > 30/menit
• Pa02/FiO2kurang dari 250 mmHg

20
• Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral
• Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus
• Tekanan sistolik < 90 mmHg
• Tekanan diastolik < 60 mmHg
 
 Kriteria mayor :
• Membutuhkan ventilasi mekanik
• Infiltrat bertambah > 50%
• Membutuhkan vasopresor > 4 jam (septik syok)
• Kreatinin serum > 2 mg/dl atau peningkatan > 2 mg/dI, pada
penderita riwayat penyakit ginjal atau gagal ginjal yang
membutuhkan dialisis
Berdasarkan kesepakatan PDPI, kriteria yang dipakai
untuk indikasi rawat inap pneumonia komuniti adalah :
1. Skor PORT lebih dari 70
2. Bila skor PORT kurang < 70 maka penderita tetap perlu dirawat inap
bila dijumpai salah satu dari kriteria dibawah ini.
• Frekuensi napas > 30/menit
• Pa02/FiO2 kurang dari 250 mmHg
• Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral
• Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus
- Tekanan sistolik < 90 mmHg
- Tekanan diastolik < 60 mmHg
3. Pneumonia pada pengguna NAPZA
Kriteria perawatan intensif
Penderita yang memerlukan perawatan di Ruang Rawat Intensif
adalah penderita yang mempunyai paling sedikit 1 dari 2 gejala mayor
tertentu [membutuhkan ventalasi mekanik dan membutuhkan vasopressor
> 4 jam (syok septik)] atau 2 dari 3 gejala minor tertentu (PaO2/FiO2
kurang dari 250 mmHg, foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral,
dan tekanan sistolik < 90 mmHg). Kriteria minor dan mayor yang lain
bukan merupakan indikasi untuk perawatan Ruang Rawat Intensif.

21
7. Penatalaksanaan
Dalam hal mengobati penderita pneumonia perlu diperhatikan
keadaan klinisnya. Bila keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat
dapat diobati di rumah. Juga diperhatikan ada tidaknya faktor modifikasi
yaitu keadaan yang dapat meningkatkan risiko infeksi dengan
mikroorganisme patogen yang spesifik misalnya S. pneumoniae yang
resisten penisilin. Yang termasuk dalam faktor modifikasis adalah :
a. Pneumokokus resisten terhadap penisilin
• Umur lebih dari 65 tahun
• Memakai obat-obat golongan P laktam selama tiga bulan terakhir
• Pecandu alkohol
• Penyakit gangguan kekebalan
• Penyakit penyerta yang multipel
b. Bakteri enterik gram negatif
• Penghuni rumah jompo
• Mempunyai penyakit dasar kelainan jantung paru
• Mempunyai kelainan penyakit yang multipel
• Riwayat pengobatan antibiotik
• Pseudomonas aeruginosa
• Bronkiektasis
• Pengobatan kortikosteroid > 10 mg/hari
• Pengobatan antibiotik spektrum luas > 7 hari pada bulan terakhir
• Gizi kurang
Penatalaksanaan pneumionia komuniti dibagi menjadi :

22
Evaluasi pengobatan
Jika setelah diberikan pengobatan secara empiris selama 24 - 72
jam tidak ada perbaikan, kita harus meninjau kernbali diagnosis, faktor-
faktor penderita, obat-obat yang telah diberikan dan bakteri penyebabnya.

23
8. Prognosis
Pada umumnya prognosis adalah baik, tergantung dari faktor
penderita, bakteri penyebab dan penggunaan antibiotik yang tepat serta
adekuat. Perawatan yang baik dan intensif sangat mempengaruhi
prognosis penyakit pada penderita yang dirawat. Angka kematian
penderita pneumonia komuniti kurang dari 5% pada penderita rawat jalan ,
sedangkan penderita yang dirawat di rumah sakit menjadi 20%. Menurut
Infectious Disease Society Of America (IDSA) angka kematian
pneumonia komuniti pada rawat jalan berdasarkan kelas yaitu kelas I 0,1%
dan kelas II 0,6% dan pada rawat inap kelas III sebesar 2,8%, kelas IV
8,2% dan kelas V 29,2%. Hal ini menunjukkan bahwa meningkatnya
risiko kematian penderita pneumonia komuniti dengan peningkatan risiko
kelas. Di RS Persahabatan pneumonia rawat inap angka kematian tahun
1998 adalah 13,8%, tahun 1999 adalah 21%, sedangkan di RSUD Dr.
Soetomo angka kematian 20 35%.
9. Pencegahan
 Pola hidup sebut termasuk tidak merokok

 Vaksinasi (vaksin pneumokokal dan vaksin influenza). Sampai saat ini
masih perlu dilakukan penelitian tentang efektivitinya.

24
DAFTAR PUSTAKA

ATS Statement. Standars for the diagnostic and care of patient with chronic
obstructive disease. Am J Respir crit Care Med 1995; 152:S77-120.

BTS. Guidelines for the management of chronic obstructive pulmonary disease.


Thorax 1997;52:S1-25.

COPD International. COPD Statistical Information. 2004.


COPD: Working towards a greater understanding. Chest 2000;117:325S-01S.
Mechanisme and management of COPD. Chest 1998;113;233S-87S.
COPD:Clearing the air. Chest 2000;117:1S-69S.

Snow V,Lascher S. Pilson CH. The evidence base for management of acute
exacerbations of COPD. Chest 2001;119:118-9.

Global Initiative for Chronic obstructive lung Disease (GOLD). Global strategy
for the diagnosis, management, and prevention of chronic obstructive
pulmonary disease. National Institute of health. National Heart, Lung, and
Blood Insitute, Update 2003.

Global Initiative for Chronic obstructive lung Disease (GOLD). Pocket guide to
COPD diagnosis, management and prevention. . National Institute of health.
National Heart, Lung, and Blood Insitute, Update July, 2003.

Global Initiative for Chronic obstructive lung Disease (GOLD). Global strategy
for the diagnosis, management, and prevention of chronic obstructive
pulmonary disease. National Institute of health. National Heart, Lung, and
Blood Insitute, Update 2009.

File TM, Bartlett JG, Thomer A. Treatment of Community-aqcuired pneumonia in


adults who require hospitalization 2013, diunduh dari
http://www.uptodate.com/contents/treatment-of-community-acquired-
pneumonia-in-adults-who-require-hospitalization pada tanggal 21 September
2014.
PDPI. 2014. Pneumonia Komunitas Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di
Indonesia. Ed 2. Jakarta : PDPI

25
26
27

Anda mungkin juga menyukai