Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tujuan pembangunan kesehatan menuju Indonesia sehat adalah

meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang

agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang memiliki derajat kesehatan yang

optimal diseluruh wilayah republik Indonesia (Depkes, 2014). Pesatnya

perkembangan ilmu kesehatan memberikan pertimbangan dalam pemberian jenis

tindakan yang digunakan guna mengupayakan kesehatan, Salah satu

perkembangannya di dunia medis adalah pengobatan melalui operasi.

Operasi atau pembedahan merupakan semua tindakan pengobatan yang

menggunakan cara invasif dengan membuka atau menampilkan bagian tubuh yang

akan ditangani. Pembukaan bagian tubuh ini umumnya dilakukan dengan

membuat sayatan, setelah bagian yang akan ditangani ditampilkan, dilakukan

tindakan perbaikan yang diakhiri dengan penutupan dan penjahitan luka

(Sjamsuhidajat, 2013).

Menurut World Health Organization (WHO) jumlah pasien dengan

tindakan operasi mencapai angka peningkatan yang sangat signifikan dari tahun

ke tahun. Tercatat di tahun 2014 terdapat 140 juta pasien di seluruh rumah sakit

di dunia, sedangkan pada tahun 2015 data mengalami peningkatan sebesar 148

juta jiwa. Tindakan operasi di Indonesia pada tahun 2016 mencapai 1,2 juta jiwa.

1
2

Tindakan operasi dapat menimbulkan kecemasan, akibat tingkat kesulitan

operasi, kemampuan individu menghadapi masalah, ekspetasi kultural dan

pengalaman operasi sebelumnya (Black & Hawks, 2014). Data WHO tahun 2015

menyatakan bahwa 25,1% atau 8.922 orang klien post operasi yang dirawat di unit

perawatan intensif mengalami gangguan kejiwaan dan 7% atau 2.473 orang klien

mengalami kecemasan.

Pasien yang akan mengahadapi operasi namun tidak mampu mengontrol

kecemasan maka akan terjadi masalah dalam tubuh. Sebab jika tidak segera

diatasi akan meningkatkan tekanan darah dan pernapasan yang dapat

menyebabkan pendarahan baik pada saat pembedahan ataupun pasca operasi

(Efendy, 2005). Intervensi keperawatan yang tepat untuk menangani kecemasan

diperlukan untuk mempersiapkan klien baik secara fisik maupun psikis sebelum

dilakukan operasi (Efendy, 2005).

Intervensi kecemasan dapat dilakukan dengan pemberian terapi

farmakologi seperti antiansietas atau antidepresan (Kaplan dan Sadock, 2010).

Selain terapi farmakologi, saat ini telah banyak dikembangkan terapi

nonfarmakologi dalam mengurangi tingkat kecemasan yang dapat dilakukan oleh

perawat sebagai salah satu tindakan mandiri keperawatan, salah satunya adalah

terapi musik. Terapi musik dapat menekan sistem saraf simpatik yang terlibat

dengan penurunan respon stres tubuh. Musik juga memicu otak untuk melepaskan

endorfin, meningkatkan kadar dopamin, dan memblokir jalur nyeri, semua yang

dapat membantu untuk meningkatkan rasa nyaman (Masdin, 2010).


3

Terapi Musik terbukti dapat menurunkan kecemasan. Hal ini dibuktikan

dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Simbolon (2015), tentang

pengaruh terapi musik terhadap tingkat kecemasan pada pasien pre operasi di

ruang rawat bedah Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan tahun 2015. Hasil

penelitian didapatkan penurunan tingkat kecemasan. Hal ini juga selaras dengan

penelitian yang dilakukan Waryanuarita (2017), tentang pengaruh pemberian

terapi musik terhadap kecemasan pasien pre general anestesi di RS PKU

Muhammadiyah Yogyakarta. Hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa

pemberian terapi musik berpengaruh dalam nilai kecemasan pasien preoperasi

bedah.

Ditinjau dari hasil praktek lapangan mahasiswa di Rumah Sakit Umum

Tangerang, selama ini dengan melihat dan menanyakan langsung kepada pasien

yang akan menjalani operasi, banyak mengatakan bahwa pasien merasa cemas

menghadapi operasi. Selain itu data pendukung yang diperoleh bahwa pasien yang

akan menghadapi operasi rata-rata mengalami peningkatan tekanan darah yang

mana ini adalah salah satu dari tanda gejala kecemasan. Berdasarkan fenomena di

atas penulis tertarik untuk melakukan studi kasus Asuhan keperawatan mengenai

“Pengaruh Terapi Musik Terhadap Tingkat Kecemasan Pada Pasien Pre

operasi Di Ruang Mawar Rumah Sakit Umum Tangerang Tahun 2018”.


4

B. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mendapatkan pengalaman nyata melaksanakan studi kasus pada pasien pre

operasi yang mengalami kecemasan secara komprehensif meliputi aspek bio,

psiko, social dan spiritual dengan menggunakan pendekatan proses

keperawatan. Selain itu juga mampu melakukan tindakan mandiri keperawatan

terapi murotal dalam menangani kecemasan pada pasien pre operasi.

2. Tujuan Khusus

1. Mampu melakukan pengkajian pada klien pre operasi.

2. Mampu menganalisis data pada klien pre operasi.

3. Mampu menegakan diagnosa keperawatan pada klien pre operasi.

4. Mampu melakukan tindakan keperawatan mandiri terutama tindakan terapi

musik terhadap klien pre operasi yang mengalami kecemasan.

5. Mampu mengevaluasi asuhan keperawatan pada klien pre operasi.

6. Mengidentifikasi tingkat kecemasan pada pasien pre operasi sebelum

dilakukan terapi musik.

7. Mengidentifikasi tingkat kecemasan pada pasien pre operasi setelah

dilakukan terapi musik.

8. Mengidentifikasi pengaruh terapi musik terhadap penurunan tingkat.

kecemasan pasien pra operasi di Ruang Bedah Mawar RSU Tangerang.


5

C. Manfaat Penelitian

1. Pelayanan keperawatan

Hasil analisis praktik ilmiah akhir ini diharapkan dapat menjadi

referensi dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien yang akan

menjalani operasi. Selain itu, diharapkan juga dapat meningkatkan motivasi

perawat untuk semakin menambah pengetahuan tentang tindakan

keperawatan yang berbasis pembuktian ilmiah.

2. Pengembangan keilmuan keperawatan

Hasil analisis praktik ilmiah akhir ini diharapkan dapat menjadi

penambah khasanah keilmuan keperawatan berbasis bukti khususnya dalam

penerpan intervensi keperawatan berbasis bukti ilmiah pada pasien yang

akan menjalani operasi. Menambah kekayaan keilmuan keperawatan

khususnya yang berhubungan dengan peran perawat sebagai pemberi asuhan

peneliti, pendidik, dan peran sebagai inovator.

3. Pendidikan keperawatan

Hasil analisis praktik ilmiah akhir ini diharapkan dapat dijadikan

sebagai sumber pengembangan bahan ajar tentang asuhan keperawatan

pasien yang akan menjalani operasi yang dapat diajarkan kepada

mahasiswa.
6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori

1. Tinjauan Umum Tentang Terapi Musik

a. Definisi terapi musik

Terapi musik adalah suatu proses yang menggabungkan

antara aspek penyembuhan musik itu sendiri dengan kondisi dan

situasi, fisik/tubuh, emosi, mental, spiritual, kognitif dan kebutuhan

sosial seseorang. Hal yang paling penting dalam proses terapi

musik adalah bagai mana seorang terapis menggunakan alat musik

dan memilih jenis musik untuk mencapain hasil akhir yang tepat

bagi klienya. Terapi musik adalah adalah sebuah usaha untuk

meningkatkan kualitas fisik dan mental dengan menggunakan

rangsangan suara yang terdiri dari melodi,ritme harmoni,timbre,

yang bertujuan untuk kesehatan fisik dan mental (Natalina, 2013).

b. Manfaat Terapi Musik

Menurut Natalina (2013) Terapi musik merupakan

pengobatan secara holistik yang langsung menuju pada simptom

penyakit. Terapi ini akan berhasil jika ada kerja sama antara klien

dengan terapis. Proses penyembuhan sepenuhnya tergantung pada

kondisi klien, apakah seseorang akan benar-benar siap menerima


7

proses seara keseluruhan. Terapi musik memiliki beberapa

manfaat, diantaranya:

1) Musik pada bidang kesehatan

a. Menurunkan tekanan darah – melalui ritmik musik yang

stabil memberi irama teratur pada sistem kerja jantung

manusia.

b. Menstimulasi kerja otak – mendengar musik dengan harmony

yang baik akan menstimulasi otak untuk melakukan proses

analisa terhadap lagu tersebut.

c. Meningkatkan imunitas tubuh – suasana yang ditimbulkan

oleh musik akan mempengaruhi sistem kerja hormon

manusia, jika kita mendengar musik yang baik/positif maka

hormon yang meningkatkan imunitas tubuh juga akan

berproduksi.

d. Memberikan keseimbangan pada detak jantung dan denyut

nadi.

2) Musik meningkatkan kecerdasan

a. Daya ingat – menyanyi dengan menghafal lirik lagu, akan

melatih daya ingat.

b. Konsentrasi – saat terlibat dalam bermusik (menyanyi,

bermain instrument) akan menyebabkan otak bekerja secara

terfokus.
8

c. Emosional – musik mampu memberi pengaruh secara

emosional terhadap makhluk hidup.

3) Musik mengingkatkan kerja otot – mengaktifkan motorik kasar

dan halus musik untuk kegiatan gerak tubuh (menari, olahraga,

dsb)

4) Musik meningkatan produktifitas, kreatifitas dan imajinasi.

5) Musik menyebabkan tubuh menghasilkan hormone beta-

endofrin. Ketika mendengar suara kita sendiri yang indah maka

hormone ‘kebahagiaan’ (beta-endofrin) akan diproduksi.

6) Musik membentuk sifat seseorang – meningkatkan mood.

Karakter makhluk hidup dapat terbentuk melalui musik,

rangkaian nada yang indah akan membangkitkan perasaan

bahagia/ semangat positif.

7) Musik mengembangkan kemampuan berkomunikasi dan

sosialisasi, bermusik akan menciptakan sosialisasi karena dalam

bermusik dibutuhkan komunikasi.

8) Meningkatkan visualisasi melalui warna musik – musik mampu

membangkitkan imajinasi melalui rangkaian nada-nada

harmonisnya.
9

c. Jenis terapi musik

Terapi musik terdiri dari dua jenis menurut Natalina, (2013):

1. Aktif-Kreatif

Terapi musik diterapkan dengan melibatkan klien secara

langsung untuk ikut aktif dalam sebuah sesi terapi melalui

cara:

a. Menciptakan lagu (composing); klien di ajak untuk

menciptakan lagu sederhana ataupun membuat lirik dan

terapis yang akan melengkapi secara harmoni.

b. Improvisasi; klien membuat musik secara spontan

dengan menyanyi ataupun bermain musik pada saat itu

juga atau membuat improvisasi dari musik yang

diberikan oleh terapis. Improvisasi dapat juga sebagai

ungkapan perasaan klien akan mood-nya, situasi yang

dihadapi maupun perasaan terhadap seseorang.

c. Re-creating musik; klien menyanyi ataupun bermain

instrument musik dari lagu-lagu yang sudah dikenal.

2. Pasif-Reseptif

Dalam sesi reseptif, klien akan mendapat terapi dengan

mendengarkan musik. Terapi ini menekankan pada fisik,

Emosi, intelektual dan spiritual dari musik itu sendiri sehingga

klien akan merasakan ketenangan atau relaksasi. Musik yang


10

di gunakan dapat bermacam jenis dan style tergantung dengan

kondisi yang dihadapi klien.

Terapi musik diterapkan dalam dua kelas,yaitu kelas

individu dan kelas grup. Sedangkan kelas individu, klien

diterapi secara personal melalui cara kreatif maupun reseptif.

Melalui proses membuat lagu,kondisi relaksasi dan suasana

yang nyaman, aklan membantu klien untuk merasakan

ketenangan. Sedangkan dalam kelas grup, dengan metode yang

sama melalui kreatif dan reseptif, namun dapat lebih bervariasi

dengan melakukan paduan suara, ensemble perkusi, menari

secara bersama maupun membuat permainan.

Sesi terapi musik juga diperhatikan hal-hal berikut ini:

a. Usia klien: anak-anak, remaja, dewasa, usia lanjut.

b. Gender ;perempuan atau laki-laki.

c. Latar belakang kesehatan: kondisi kesehatan klien, apakah

ada penyakit tertentu pada bagian tubuh (digestif, nerfus,

kardio, dll). klien dalam kondisi sehat atau sedang dalam

perawatan.
11

2. Tinjauan umum tentang Kecemasan

a. Definisi kecemasan

Menurut Sulistiawati (2005) kecemasan merupakan respon

individu terhadap suatu keadaan yang tidak menyenangkan dan

dialami oleh semua makhluk hidup dalam kehidupan sehari-hari.

Kecemasan dikomunikasikan secara interpersonal dan merupakan

bagian dari kehidupan sehari-hari, menghasilkan peringatan yang

berharga dan penting untuk upaya memelihara keseimbangan diri

melindungi diri.

Menurut Murwani (2008) kecemasan digambarkan sebagai suatu

respon perasaan tidak berdaya dan tidak terkendali. Sumber yang

tidak jelas, samar-samar dan tidak diketahui bisa menyebabkan

kecemasan. cemas berbeda dengan rasa takut, yang mana merupakan

respon dari suatu ancaman yang jelas, diketahui, dan bukan bersifat

konflik.

Menurut Muttaqin (2008) kecemasan adalah kekhawatiran yang

tidak jelas dan menyebar, yang berkaitan dengan perasaan tidak pasti

dan tidak berdaya. Keadaan emosi ini tidak memliki objek yang

spesifik. Ansietas dialami secara subjektif dan dikomunikasikan

secara interpersonal.

b. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan

Faktor yang dapat menjadi penyebab seseorang merasa cemas

dapat berasal dari diri sendiri (faktor internal) maupun dari luar
12

(faktor eksternal). Menurut Stuart (2013), yang mempengaruhi

kecemasan pasien pre operasi adalah:

a) Faktor eksternal :

1) Ancaman integritas diri, meliputi ketidakmampuan fisiologis

atau gangguan terhadap kebutuhan dasar (penyakit, trauma

fisik, pembedahan yang akan dilakukan).

2) Ancaman sistem diri antara lain : ancaman terhadap identitas

diri, harga diri, dan hubungan interpersonal, kehilangan serta

perubahan status/peran.

b) Faktor internal antara lain :

1. Usia : menunjukkan ukuran waktu pertumbuhan dan

perkembangan seorang individu. Usia berkorelasi dengan

pengalaman, pengelaman berkorelasi dengan pengetahuan,

pemahaman dan pandangan terhadap suatu penyakit atau

kejadian sehingga akan membentuk persepsi dan sikap.

Kematangan dalam proses berfikir individu yang berumur

dewasa lebih memungkinkannya untuk menggunakan

mekanisme koping yang baik dibandingkan kelompok umur

anak-anak.

2. Jenis kelamin : Gangguan panik merupakan gangguan cemas

yang ditandai oleh kecemasan yang spontan dan episodik,

gangguan ini lebih sering dialami oleh wanita dari pada pria.

Perempuan memiliki tingkat kecemasan yang lebih tinggi


13

dibandingkan subjek berjenis kelamin laki-laki. Dikarenakan

perempuan lebih peka terhadap dengan emosinya, yang pada

akhirnya peka juga terhadap perasaan kecemasan. Perbedan

ini juga bukan hanya dipengaruhi oleh faktor emosi, tapi juga

dipengaruhi oleh faktor kognitif. Perempuan cenderung

melihat hidup atau peristiwa yang dialaminya dari segi detail,

sedangkan laki-laki cara berfikirnya cenderung global atau

tidak detail. Individu yang melihat lebih detail, akan juga

lebih mudah dirundung oleh kecemasan karena informasi

yang dimiliki lebih banyak dan itu akhirnya bisa benar-benar

menekan perasaannya.

3. Pendidikan dan status ekonomi : tingkat pendidikan dan

status ekonomi yang rendah pada seseorang akan

menyebabkan orang tersebut mudah mengalami kecemasan,

tingkat pendidikan seseorang atau individu akan berpengaruh

terhadap kemampuan berfikir, semakin tinggi tingkat

pendidikan akan semakin mudah berfikir rasional dan

menangkap informasi baru termasuk dalam menguraikan

masalah yang baru

4. Potensi stressor : stressor psikososial merupakan setiap

keadaan atau peristiwa yang menyebabkan perubahan dalam

kehidupan seseorang sehingga itu terpaksa mengadakan

adaptasi.
14

5. Maturitas : individu yang memiliki kematangan kepribadian

lebih sukar mengalami gangguan kecemasan, karena individu

yang matur mempunyai daya adaptasi yang lebih besar

terhadap kecemasan.

6. Keadaan fisik : seseorang mengalami gangguan fisik seperti

cidera, operasi akan mudah mengalami kelelahan fisik

sehingga lebih mudah mengalami kecemasan.

c. Tingkat dan manifestasi kecemasan

Menurut Videbeck (2014) dan Stuart (2013) ada empat

tingkat kecemasan yaitu ringan, sedang, berat dan berat sekali atau

panik. Pada masing-masing individu yang mengalami kecemasan

memperlihatkan perubahan perilaku, kemampuan kognitif dan

respon emosional antara lain :

a) Kecemasan ringan

Kecemasan ringan dihubungkan dengan ketegangan yang

dialami sehari-hari. Individu masih waspada dan kelapangan

persepsinya masih luas, menajamkan indra. Dapat memotivasi

individu untuk belajar dan mampu untuk memecahkan masalah

secara efektif dan menghasilkan pertumbuhan dan kreatifitas.

Respon fisiologis ditandai dengan sesekali nafas pendek,

nadi dan tekanan darah naik, gejala ringan pada lambung,

muka berkerut, bibir bergetar. Respon kognitif merupakan

lapang persepsi luas, mampu menerima rangsangan yang


15

kompleks, konsentrasi pada masalah, menyelesaikan masalah

secara efektif. Respon perilaku dan emosi seperti tidak dapat

duduk tenang, tremor halus pada tangan, suara kadang-kadang

meningkat.

b) Kecemasan sedang

Individu hanya berfokus pada pikiran yang menjadi

perhatiannya, terjadi penyempitan lapangan persepsi, masih

dapat melakukan sesuatu dengan arahan orang lain.

Respon fisiologis sering nafas pendek, nadi dan tekanan

darah meningkat, mulut kering, diare, gelisah. Respon kognitif

: lapang persepsi menyempit, rangsangan luar tidak mampu

diterima, berfokus pada apa yang menjadi fokus perhatiannya.

Respon perilaku dan emosi : meremas tangan, bicara banyak

dan lebih cepat, susah tidur dan perasaan tidak enak.

c) Kecemasan berat

Lapang persepsi individu sangat sempit. Pusat perhatiannya

pada detil yang kecil (spesifik) dan tidak dapat berpikir tentang

hal-hal lain. Seluruh perilaku dimaksudkan untuk

menghilangkan kecemasan dan perlu perintah.

Respon fisiologis : nafas pendek, nadi dan tekanan darah

meningkat, berkeringat, ketegangan dan sakit kepala. Respon

kognitif : lapang persepsi amat sempit, tidak mampu


16

menyelesaikan masalah. Respon perilaku dan emosi : perasaan

ancaman meningkat.

d) Panik

Pada kondisi panik individu kehilangan kendali diri dan

detil perhatian hilang. Karena hilangnya kontrol, maka tidak

mampu melakukan apapun meskipun dengan perintah. Terjadi

peningkatan aktivitas motorik, berkurangnya kemampuan

berhubungan dengan orang lain, penyimpangan persepsi dan

hilangnya pemikiran rasional, tidak mampu befungsi secara

efektif. Biasanya disertai dengan disorganisasi kepribadian.

Respon kognitif : lapang persepsi sangat sempit, tidak

dapat berfikir logis. Respon perilaku dan emosi : mengamuk,

marah, ketakutan dan kehilangan kendali.

d. Cara menilai kecemasan

Menurut Hawari (2007), untuk mengetahui untuk mengetahui

derajat kecemasan seseorang digunakan alat ukur (instrument) yang

disebut Hamilton Rating Scale for Anxiety (HRS-A), adapun hal-hal

yang dinilai dalam alat ukur tersebut adalah : 1) Ansietas yang

ditandai dengan cemas, firasat buruk, mudah tersinggung dan takut

akan pikiran sendiri. 2) Ketegangan, ditandai dengan tegang, lesu,

mudah terkejut, tidak bisa istirahat dengan tenang, gemetar,menangis,

gelisah. 3) Ketakutran yang ditandai dengan takut akan gelap, takut

ditinggal sendiri, takut pada orang asing, takut pada keramaian lalu
17

lintas, takut pada keramaian. 4) Gangguan tidur yang ditandai dengan

terbangun pada malam hari, tidak mampu tidur dengan nyenyak,

bangun tidur lesu, mimpi buruk. 5) Gangguan kecerdasan yang

ditandai dengan berkurangnya konsentrasi, daya ingat menurun. 6)

Perasaan depresi ditandai dengan kehilangan minat, sedih, bangun dini

hari, kesenangan pada hobi berkurang, perasaan labil. 7) Gejala

somatik ditandai dengan nyeri pada otot, kedutan otot, kaku, gigi

gemerutuk, suara tidak stabil. 8) Gejala sensorik ditandai dengan

tinnitus, penglihatan kabur, muka merah dan pucat, perasaan seperti

ditusuk-tusuk, lemah. 9) Gejala kardiovaskuler ditandai takikardi,

berdebar-debar, nyeri dada, denyut nadi mengeras, rasa ingin pingsan,

detak jantung hilang sekejap. 10) Gejala pernapasan ditandai dengan

rasa seperti tertekan di dada, perasaan tercekik, nafas pendek, sering

menarik napas panjang. 11) Gejala gastrointestinal ditandai dengan

sulit menelan, gangguan pencernaan, perut melilit, mual, nyeri

lambung setelah atau sebelum makan, rasa panas di perut, perut terasa

kembung, muntah, defekasi lembek, berat badan menurun, konstipasi.

12) Gejala urogenital ditandai dengan sering kencing, tidak dapat

menahan kencing, amenorrhoe, menorrhagia, ejakulasi dini, ereksi

melemah, ereksi hilang, impoten. 13) Gejala otonom ditandai dengan

mulut kering, muka merah, mudah berkeringat, pusing, sakit kepala,

kepala terasa berat, bulu-bulu berdiri. 14) Sewaktu diwawancarai


18

perilaku gelisah, tidak tenang, jari gemetar, mengerutkan dahi atau

kening, muka tegang, tonus otot meningkat, nafas pendek dan cepat.

Cara menilai kecemasan menurut Hawari (2007) adalah sebagai

berikut : a) Skor 0 : tidak ada gejala. b) Skor 1 : 1 dari gejala yang

ada. c) Skor 2 : separuh dari gejala yang ada. d) Skor 3 : lebih dari

separuh gejala yang ada. 4) Skor 4 : semua gejala ada.

Penilaian hasil yaitu dengan menjumlahkan nilai skor item 1

sampai dengan 14 dengan ketentuan sebagai berikut : a) Skor kurang

dari 14 = tidak ada kecemasan. b) Skor 14 sampai dengan 20 =

kecemasan ringan. c) Skor 21 sampai dengan 27 = kecemasan sedang.

d) Skor 28 sampai dengan 41 = kecemasan berat. e) Skor 42 sampai

dengan 56 = panik.

3. Tinjauan umum tentang operasi

a. Definisi

Bedah atau operasi merupakan tindakan pembedahan cara dokter untuk

mengobati kondisi yang sulit atau tidak mungkin disembuhkan hanya dengan

obat-obatan sederhana. Pembedahan merupakan cabang dari ilmu medis yang ikut

berperan terhadap kesembuhan dari luka atau penyakit melalui prosedur manual

atau melalui operasi dengan tangan (Wanenoor, 2010).


19

b. Indikasi Pembedahan

Tindakan pembedahan atau operasi dilakukan berdasarkan atau sesuai

dengan indikasi. Beberapa indikasi yang dapat dilakukan pembedahan

diantaranya sebagai berikut :

a. Diagnostik, misalnya biopsi atau laparatomi eksplorasii

b. Kuratif, misalnya eksisi tumor atau mengangkat apendiks yang mengalami

inflamasi.

c. Reparatif, misalnya memperbaiki luka multiple.

d. Rekonstruksi atau kosmetik, misalnya mammoplasty atau bedah plastik.

e. Paliatif, misalnya menghilangkan nyeri atau memperbaiki masalah, seperti

pemasangan selang gastrostomi yang dipasang untuk mengkompensasi

terhadap ketidakmampuan menelan makanan.

f. Klasifikasi Pembedahan

Klasifikasi pembedahan (operasi) didasarkan berbagai pertimbangan,

diantaranya adalah :

Berdasarkan urgensinya, maka tindakan pembedahan dapat diklasifikasikan

menjadi 5 (lima) tingkatan, yaitu :

1) Darurat (emergency)

Pembedahan yang dilakukan karena pasien membutuhkan perhatian

segera, karena gangguan atau mungkin karena mengancam jiwa. Indikasi

dilakukan pembedahan tidak bisa ditunda. Contohnya pembedahan dilakukan

pada perdarahan hebat, obstruksi kandung kemih atau usus, fraktur tulang

tengkorak, luka tembak atau tusuk, dan luka bakar yang sangat luas.
20

2) Urgen

Pembedahan yang dilakukan karena pasien membutuhkan perhatian segera, akan

tetapi pembedahan dapat dilakukan atau ditunda dalam waktu 24-30 jam.

Contohnya adalah pembedahan pada infeksi kandung kemih akut, hyperplasia

prostat dengan obstruksi, batu ginjal atau batu pada uretra.

3) Diperlukan

Pembedahan yang dilakukan dimana pasien harus menjalani pembedahan untuk

mengatasi masalahnya, akan tetapi pembedahan dapat direncanakan dalam

beberapa minggu atau bulan. Contohnya adalah hiperplasia prostat (BPH)

tanpa obstruksi kandung kemih, gangguan tiroid, dan penyakit katarak.

4) Elektif

Pasien harus menjalani pembedahan ketika diperlukan, dan bila tidak dilakukan

tidak terlalu membahayakan. Contohnya adalah perbaikan skar, hernia

sederhana, atau perbaikan vaginal.

5) Pilihan

Keputusan tentang dilakukan pembedahan diserahkan sepenuhnya pada pasien.

Indikasi pembedahan merupakan pilihan pribadi dan biasanya terkait dengan

estetika. Contohnya adalah bedah plastik atau kosmetik.

b) Berdasarkan faktor resikonya dibagi menjadi :

1) Bedah minor

Bedah minor adalah pembedahan yang dapat menimbulkan trauma fisik yang

minimal dengan resiko kerusakan yang minim, misalnya insisi dan drainase

kandung kemih, dan sirkumsisi.


21

2) Bedah mayor

Bedah mayor adalah pembedahan yang dapat menimbulkan trauma fisik yang

luas, dan resiko kematiannya sangat serius, misalnya total abdominal

histerektomi, reseksi kolon, dan lain-lain.

c) Berdasarkan kebersihannya dibedakan menjadi :

1) Pembedahan bersih, adalah pembedahan yang dilakukan dimana kontaminasi

endogen minimal dan luka operasi tidak terinfeksi. Misalnya herniorafi.

Karakteristiknya adalah non traumatik, tidak terinfeksi, tidak ada inflamasi,

tidak melanggar teknik aseptik, penutupan secara primer, tidak ada drain

(beberapa institusi membolehkan penggunaan penghisapan luka tertutup

untuk operasi bersih)

2) Pembedahan bersih terkontaminasi, adalah pada pembedahan yang dilakukan

terjadi kontaminasi bakteri yang dapat terjadi sumber dari endogen. Misalnya

operasi appendiktomi. Karakteristik : melanggar teknik aseptik, dan luka

dapat berair.

3) Pembedahan terkontaminasi, adalah pembedahan yang dilakukan dimana

telah terjadi kontaminasi oleh bakteri. Misalnya perbaikan trauma baru

terbuka. Misalnya terjadi percikan dari traktus gastrointestinal (GI) urin; urin

atau empedu terinfeksi. Karakteristik: luka terbuka traumatik yang baru;

inflamasi nonpurulen akut dan melanggar teknik aseptik.

4) Pembedahan kotor, adalah pembedahan yang dilakukan pada jaringan yang

terinfeksi, jaringan mati, atau adanya kontaminasi mikroba. Misalnya

drainase abses. Karakteristik : luka traumatik lama (lebih dari 12 jam); luka
22

terinfeksi, organ viseral yang mungkin mengalami perforasi (Majid dkk,

2011).

c. Faktor Resiko Pembedahan

Faktor resiko terhadap pembedahan menurut Potter & Perry antara lain:

a) Usia

Pasien dengan usia yang terlalu muda (bayi/anak-anak) dan usia lanjut

mempunyai resiko lebih besar. Hal ini diakibatkan cadangan fisiologis pada

usia tua sudah sangat menurun, sedangkan pada bayi dan anak-anak

disebabkan oleh karena belum maturnya semua fungsi organ.

b) Nutrisi

Kondisi malnutrisi dan obesitas/kegemukan lebih beresiko terhadap

pembedahan dibandingkan dengan orang normal dengan gizi baik terutama

pada fase penyembuhan. Pada orang malnutrisi maka orang tersebut

mengalami defisiensi nutrisi yang sangat diperlukan untuk proses

penyembuhan luka. Nutrisinutrisi tersebut antara lain adalah protein, kalori,

air, vitamin C, vitamin B kompleks, vitamin A, Vitamin K, zat besi dan seng

(diperlukan untuk sintesis protein). Pada pasien yang mengalami obesitas.

Selama pembedahan jaringan lemak, terutama sekali sangat rentan terhadap

infeksi. Selain itu, obesitas meningkatkan permasalahan teknik dan mekanik.

Oleh karenanya defisiensi dan infeksi luka, umum terjadi. Pasien obesitas

sering sulit dirawat karena tambahan berat badan; pasien bernafas tidak

optimal saat berbaring miring dan karenanya mudah mengalami hipoventilasi

dan komplikasi pulmonari pasca operatif. Selain itu, distensi abdomen,


23

flebitis dan kardiovaskuler, endokrin, hepatik dan penyakit biliari terjadi lebih

sering pada pasien obesitas.

c) Penyakit Kronis

Pada pasien yang menderita penyakit kardiovaskuler, diabetes, PPOM

(Penyakit Paru Obstruksi Menahun), dan insufisiensi ginjal menjadi lebih

sukar terkait dengan pemakaian energi kalori untuk penyembuhan primer.

Dan juga pada penyakit ini banyak masalah sistemik yang mengganggu

sehingga komplikasi pembedahan maupun pasca pembedahan sangat tinggi.

Ketidaksempurnaan respon neuroendokrin pada pasien yang mengalami

gangguan fungsi endokrin, seperti diabetes mellitus yang tidak terkontrol,

bahaya utama yang mengancam hidup pasien saat dilakukan pembedahan

adalah terjadinya hipoglikemia yang mungkin terjadi selama pembiusan

akibat agen anestesi, atau juga akibat masukan karbohidrat yang tidak adekuat

pasca operasi atau pemberian insulin yang berlebihan. Bahaya lain yang

mengancam adalah asidosis atau glukosuria. Pasien yang mendapat terapi

kortikosteroid beresiko mengalami insufisinsi adrenal. Penggunaan obat-

obatan kortikosteroid harus sepengetahuan dokter anestesi dan dokter bedah.

d) Merokok

Pasien dengan riwayat merokok biasanya akan mengalami gangguan

vaskuler, terutama terjadi arterosklerosis pembuluh darah, yang akan

meningkatkan tekanan darah sistemik.


24

e) Alkohol dan obat-obatan

Individu dengan riwayat alkoholik kronik seringkali menderita malnutrisi

dan masalah-masalah sistemik, seperti gangguan ginjal dan hepar yang akan

meningkatkan resiko pembedahan (Potter dan Perry, 2005).


25

BAB III

LAPORAN KASUS

A. Pengkajian

1. Indentitas Klien

Klien Ny. U berusia 63 tahun, beragama Islam, bertempat tinggal

di Kresek. Masuk Rumah Sakit dengan diagnosa medis Hernia

Nukleus Pulposus, pasien masuk kerumah sakit pada tanggal 21

November 2018, selama dirumah sakit yang bertanggung jawab adalah

Tn. R berusia 22 tahun, pekerjaan sebagai mahasiswa bertempat

tinggal bersama pasien, hubungan dengan klien adalah anak

Pengkajian dilakukan di Ruang Mawar pada tanggal 22 November

2018 . Sumber informasi yang didapatkan selama ini berasar dari hasil

anamnesa, rekam medis dan pemeriksaan fisik.

2. Alasan masuk rumah sakit

Klien mengataan masuk rumah sakit karena keluhan nyeri di

punggung bagian bawah akibat jatuh sekitar 6 bulan yang lalu, pada

saat dikaji oleh perawat pada tanggal 22 November 2018, klien

mengatakan nyeri di punggung bagian bawah, nyeri terasa jika

punggung digerakan, nyeri seperti ditusuk-tusuk, nyeri menjalar ke

punggung atas, skala nyeri 8, nyeri hilang timbul. Sebelum masuk

rumah sakit klien sudah 4 kali kontrol ke poli bedah saraf dan pada
26

kontrol yang ke 3 klien dirujuk untuk dilakukan operasi di RSU

Kabupaten Tangerang.

3. Riwayat Kesehatan

klien mengatakan nyeri di punggung bagian bawah, nyeri terasa

jika punggung digerakan, nyeri seperti ditusuk-tusuk, nyeri menjalar

ke punggung atas, skala nyeri 8, nyeri hilang timbul. Klien mengatakan

lemas, klien mengatakan tidak mampu beraktifitas yang berlebihan

karena punggungnya nyeri jika digerakan, klien mengatakan tidak

mampu duduk dan berdiri terlalu lama karena nyeri di punggung

bagian bawahnya.

Riwayat kesehatan lalu klien mengatakan tidak mempunyai riwayat

kesehatan dahulu, tidak penah dirawat dirumah sakit sebelumnya, klien

tidak memiliki alergi makanan atau obat.

Riwayat kesehatan keluarga, klien merupakan anak pertama dari 4

bersaudara, klien mempunyai anak 3, klien tinggal bersama suami dan

anak-anaknya, tidak ada riwayat penyakit seperti hipertensi, jantung,

diabetes militus, hepatitis, HIV/AIDS dan TB Paru.

4. Pola Kesehatan

Pola persepsi dan penanganan klien mengatakan bahwa kesehatan

itu penting karena kesehatan merupakan karunia dari Allah dan sakit

merupakan cobaan yang harus dihadapi dengan ikhlas. Arti sehat dan

sakit bagi klien yaitu sehat yang berarti dapat melakukan apa saja dan

sakit berarti tidak dapat melakukan apa-apa. Klien mengetahui bila


27

saat ini terdapat masalah pada sarafnya. Klien mengatakan rutin

melakukan pemeriksaan kesehatan dan mengonsumsi obat-obatan yang

didaptakn dari dokter.

Pola nutrisi metabolisme, sebelum sakit klien makan 3x hari

sebanyak 1 porsi dengan nasi, sayur, dll. Klien mengatakan selama di

rumah rutin minum air putih. Selama sakit klien mengatakan makan

3x/ hari dan menghabiskan setiap porsi yang didapat. Saat ini BB/TB

Klien 70 kg / 157 cm dengan IMT 28.

Pola eliminasi, Pola eliminasi klien klien terpasang DC, dengan

warna urin kekuningan kurang lebih 550-900 cc/8 jam, tidak ada

dysuria. Eleminasi fekal klien BAB 2 kali sehari dengan warna feses

kuning kecoklatan dan padat.

Pola aktivitas dan olahraga, klien mengatakan sehari-hari

bekerja sebagai ibu rumah tangga, jarang berolahraga. Aktivitas

menyenangkan yang dilakukan bersantai dengan keluarga dan

menonton TV.

Pola istirahat tidur sebelum sakit klien mengatakan tidur 6

jam sampai 8 jam tanpa menggunakan obat tidur, klien tidur dari jam

10 dan bangun jam setengah 5. Selama sakit klien mengatakan sulit

untuk tidur pada malam hari.

Pola kognitif perseptual, klien mampu berbicara dengan lancar,

penglihatan klien sedikit jelas dan pendengaran klien masih normal.

klien mengatakan nyeri di punggung bagian bawah, nyeri terasa jika


28

punggung digerakan, nyeri seperti ditusuk-tusuk, nyeri menjalar ke

punggung atas, skala nyeri 8, nyeri hilang timbul. Klien mengatakan

lemas, klien mengatakan tidak mampu beraktifitas yang berlebihan

karena punggungnya nyeri jika digerakan, klien mengatakan tidak

mampu duduk dan berdiri terlalu lama karena nyeri di punggung

bagian bawahnya

Pola persepsi konsep diri, sebelum sakit klien adalah seorang ibu

rumah tangga, klien merasa dihargai oleh anggota keluarganya dan

masyarakat sekitar dan ditandai dengan adanya komunikasi baik, klien

merasa mensyukuri seluruh anggota tubuhnya. Selama sakit klien tidak

mampu berperan baik sebagai ibu rumah tangga karena tidak mampu

beraktivitas seperti biasanya.

Pola hubungan peran, klien mengatakan sebelum sakit hubungan

dengan keluarga dan masyarakat baik. Selama sakit pun mengatakan

hubungan keluarga masih baik.

Pola mekanisme koping, Klien mengatakan cemas dan gelisah

karna akan dilakukan operasi pertama kalinya, klien mengatakan takut

punggungnya tidak bisa sembuh seperti semula, klien mengatakan

badanya lemah dan mudah lelah, klien tidak dapat istirahat dengan

tenang, nadi teraba kuat dan cepat, klien tampak berkeringat dingin,

tangan terabasa basah berkeringat, klien mengatakan sulit tidur pada

malam hari dan suka mengalami mimpi buruk. setelah dilakukan

pengkajian menggunakan kuesioner Hamilton Anxiety Rating Scale


29

didapatkan hasil intrepertasi data point 31 (kecemasan berat). Respon

terhadap stress sering menanyakan perkembangana penyakitnya.

Strategi mengatasi stress yang biasa digunakan yaitu pengobatan dan

mencari informasi yang dapat dipercayai.

Pola keyakinan dan nilai, klien merupakan etnis Jawa, dan

beragama Islam. Saat sakit maupun sebelum sakit klien mampu

beribadah seperti biasanya.

5. Pemeriksaan fisik

Dari hasil pemeriksaan fisik yang didapatkan bahwa pasien berada

dalam kesadaran penuh (composmentis), saat dilakukan pemeriksaan

di dapatkan hasil tanda-tanda vital, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi

112x/menit, dan teraba kuat, pernafasan 21x/menit.

a. Kepala dan Leher

Inpeksi: bentuk kepala simetris, tidak ada lesi, tidak ada memar,

distribusi rambut merata, warna rambut hitam dan putih.

Palpasi: tidak ada nyeri, tidak ada benjolan, kulit kepala klien

bersih, dan tidak ada ketombe.

b. Mata

Inpeksi: tidak ada eksoptalmus, tidak ada strabismus, tidak ada

nistagmus bola mata kanan dan kiri simetris, klien mampu

mengikuti arahan perawat (perawat meluruskan jari dan

mendekatkan dengan jarak (25-30 cm), klien mampu mengikuti

gerakan jari perawat pada 8 arah (bergerak dengan baik anatara


30

kanan dan kiri ), tidak ada xantelasma, tidak ada lesi, konjungtiva

klien anemis, scklera klien an ikterik, tidak ada kekeruhan pada

kornea, tidak ada lesi. Pupil klien miosis kanan dan kiri, tidak ada

ketegangan bola mata klien kanan dan kiri.

Palpasi: tidak ada nyeri tekan pada area sekitar kelopak mata,

tidak ada benjolan pada sekitar kelopak mata.

c. Teliga

Inpeksi : daun teliga klien simetris kanan dan kiri, tidak terdapat

luka insisi pada teliga, tidak terdapat keluaran cairan dari telinga.

Palpasi: tidak terdapat nyeri tekan pada telinga, tidak terdapat

pembengkakan tulang mastoid.

Pemeriksaan fungsi pendengaran Tes bisik: klien mampu

mengulangi angka yang disebutkan perawat pada teliga kiri dan

kanan. Tes garputala: Rinne Tes: kiri (+), kanan (+) artinya bahwa

hantaran tulang lebih kuat dari pada hantaran udara, Weber test:

tidak ada laterisasi, Swabah test: kiri (persepsi klien dan perawat

sama), kanan (persepsi klien dan perawat sama).

d. Hidung dan sinus

Inpeksi: hidung klien kanan dan kiri simetris, tidak ada lesi, tidak

ada benjolan, tidak ada kemerahan, tidak ada cairan yang keluar,

dan tidak ada pernafasan cuping hidung.

Palpasi: tidak ada nyeri tekan dan tidak ada benjolan atau masa.
31

Pemerikasaan fungsi penghidung: klien mampu mengenali bau

minya kayu putih, kopi yang di tes oleh perawat.

e. Mulut, lidah, dan tonsil

Inpeksi: mulut klien simetris, tidak ada lesi, tidak ada benjolan,

warna bibir pucat, mukosa bibir klien lembab, uvula klien berada

ditengah, tidak ada pembesaran tonsil, tidak ada peradangan tonsil,

tidak menggunakan gigi palsu, tida ada caries, lidah klien bersih,

tidak ada pembesaran pada gusi.

Palpasi: tidak ada nyeri tekan pada area mulut, tidak ada

pembesaran tonsil, tidak ada nyeri saat menelan.

f. Paru-paru

Inpeksi: bentuk dada klien simetris, tidak ada penggunaan otot

bantu pernafasan, tidak tampak retraksi dinding dada, tidak tampak

pergerakan nafas yang tertinggal, tidak ada lesi, irama nafas

reguler, tidak terdapat penggunaan cuping hidung.

Palpasai : tidak ada nyeri tekan, tidak teraba masa/benjolan,

perkembangan paru normal 3-5 cm.

Perkusi : batas paru atas pada fossa supraklavikularis kanan-kiri,

terdapat suara perkusi yaitu tympani.

Auskultasi: pada trakea terdengar trac-bronkhial, di daerah paru

terdengar bronchovesikuler, keseluruhan paru vesikuler, tidak ada

suara tambahan.
32

g. Jantung

Inpeksi: bentuk dada klien simetris, tidak ada lesi

Palpasi: tidak ada nyeri tekan, tidak terba massa/ benjolanphasil

perkusi: suara terdengar dulnes

Auskultasi: S1 S2, tidak terapat murmur, tidak terdapat gallop.

h. Abdomen

Inpeksi: bentuk bulat simetris, tidak ada spider naefi, tidak ada

massa, tidak ada pembesaran hati, tidak ada tanda murfhi, tida ada

hemoroid.

Perkusi: suara terdengar dullness.

Palpasi: abdomen teraba lunak, tidak ada nyeri tekan, ada

mual/muntah, tidak ada lesi.

Auskultasi: bising usus 8x/menit

i. Endokrin

Tidak ada perasaan sering haus, tidak terdapat perasaan sering haus

dan sering BAK.

j. Ekstremitas : kekuatan tonus otot ekstremitas atas kanan 5555,

ekstremitas atas kiri 5555, ekstremitas bawah kanan 5555,

ekstremitas bawah kiri 5555.

6. Pemeriksaan penunjang

pemeriksaan penunjang pada pasien meliputi pemeriksaan patologi

anatomi dan pemeriksaan labotarium. Pemeriksaan patologi anatomi

dilakukan pada tanggal 21 November 2018 didapatkan pada hasil pada


33

pemeriksaan CT-scan lumbal menunjukkan bahwa terdapat diskus

yang mengalami herniasi. Pemeriksaan labotarium dilakukan pada

tanggal 21 November 2018: Hemoglobin 11 g/dl (11.7 – 15.5 g/dl),

leukosit 6,21 x10^3/ul (3.60 – 11.00 x10^3/), Hematokrit 36 % (35 –

47 %) dan trombosit 304 x10^3/ul (140 – 440 x10^3/ul).

7. Terapi

Terapi yang diperoleh pasien pada tanggal 21-24 November 2018 di

Ruang Mawar anatara lain infus NaCI 0,9% 500CC/12 jam, obat

suntik gentamicin 2x1, ketorolac 3 x 40 mg amp, ranitidin 2 x 2 mg

dan Ceftriaxon 3 x 1 gr.

B. Diagnosa Keperawatan

Dalam menentukan prioritas, penulis menerapkan berdasarkan keadaan

kondisi klien, keadaan ruangan dan sumber daya dari tim kesehatan. Pada

penentuan kriteria waktu, penulis juga menetapkan berdasarkan kondisi klien

sehingga penulis berharap tujuan yang sudah disusun dan telah ditetapkan

dapat tercapai. Adapun prioritas diagnosis keperawatan pada Ny. U dengan

Hernia Nuklesu Pulposus (HNP) yaitu:

1. Nyeri akut berhubungan dengan herniasi lumbal, ditandai dengan klien

mengeluh nyeri pada punggung bagian bawah, Paliatif : klien mengatakan

nyeri jika digerakan, Quality : nyeri seperti ditusuk –tusuk, Regio :

punggung bawah, Severity : 6 (berat), Time : hilang timbul. Serta

didukung dengan data objektif klien tampak meringis kesakitan, tekanan

darah 120/90 mmHg, nadi 112 x/menit.


34

2. Ansietas berhubungan dengan akan dilakukannya tindakan operasi,

ditandai dengan Klien mengatakan cemas dan gelisah karna akan

dilakukan operasi pertama kalinya, klien mengatakan takut punggungnya

tidak bisa sembuh seperti semula, klien mengatakan badanya lemah dan

mudah lelah, klien tidak dapat istirahat dengan tenang. Serta didukung

dengan data objektif nadi teraba kuat dan cepat, klien tampak berkeringat

dingin, tangan teraba basah berkeringat, klien mengatakan sulit tidur pada

malam hari dan suka mengalami mimpi buruk, skor kecemasan

menggunakan kuisoner HARS adalah 31 yaitu cemas berat.

3. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan tingkat nyeri, ditandai

dengan klien mengatakan bahwa badannya lemas, klien mengatakan tidak

mampu beraktifitas yang berlebihan karena punggungnya nyeri jika

digerakan, skala nyeri 8, klien mengatakan tidak mampu duduk dan berdiri

terlalu lama karena nyeri di punggung bagian bawahnya. Didukung dengan

data objektif tingkat ketergantungan partial care, klien tampak kesulitan

membolak-balikkan posisi secara mandiri tonus otot: ekstremitas atas

kanan 5555, ekstremitas atas kiri 5555, ekstremitas bawah kanan 5555,

ekstremitas bawah kiri 5555.

C. Rencana Asuhan Keperawatan

Intervensi yang dilakukan selama Ny. U menjalani perawatan berdasarkan

diagnosis keperawatan yang ditegakkan yaitu:

1. Nyeri akut berhubungan dengan herniasi lumbal. Penulis menyusun

rencana keperawatan dengan tujuan setelah dilakukan asuhan keperawatan


35

selama 3 hari nyeri menurun, dengan kriteria hasil : Tingkat nyeri:

keluhan nyeri menurun, tingkat nyeri pada skala yang rendah, meringis

menurun.

Intervensi yang dilakukan yaitu dengan Manajemen nyeri yang

terdiri dari Kaji nyeri, meliputi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,

kualitas dan intensitas, Observasi tanda-tanda vital, Informasikan pada

pasien tentang prosedur yang dapat meningkatkan nyeri, berikan kondisi

yang nyaman, ajarkan penggunaan teknik nonfarmaklologi untuk

mengurangi nyeri yaitu dengan tekhnik relaksasi nafas dalam, atur posisi

yang nyaman untuk mengurangi nyeri, kolaborasi dengan dokter untuk

pemberian analgesik farmakologis untuk mengurangi nyeri, dukung

istirahat/tidur yang adekuat untuk membantu penurunan tingkat nyeri,

Kolaborasi pemberian obat analgetik ketorolac 3 x 30 mg.

2. Ansietas berhubungan dengan akan dilakukannya tindakan operasi.

Penulis menyusun rencana keperawatan dengan tujuan setelah dilakukan

asuhan keperawatan selama 3 hari diharapkan ansietas teratasi, dengan

kriteria hasil: penurunan kecemasan : mengenal perasaan cemas yang

dirasakan, dapat mengidentifikasi penyebab atau faktor yang

mempengaruhinya, menyatakan ansietas berkurang/hilang (cemas ringan),

TTV dalam batas normal.

Intervensi yang diberikan yaitu Manajemen ansietas dengan

tindakan yang dilakukan adalah monitor tanda-tanda vital, Kaji tanda

verbal dan non verbal kecemasan, ulai melakukan tindakan untuk


36

mengurangi kecemasan, beri lingkungan yang tenang dan suasana penuh

istirahat, rientasikan klien terkait prosedur operasi, berikan tindakan terapi

nonfarmakologi untuk menurunkan kecemasan yaitu dengan

mendengarkan terapi musik klasik selama 10 menit, menjelaskan manfaat

terapi musik, uji tingkat kecemasan dengan kuesioner (kuesioner Hamilton

Anxiety Rating Scale), evaluasi dan dokumentasikan respon terhadap

relaksasi.

3. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan tingkat nyeri. Penulis

menyusun rencana keperawatan dengan tujuan setelah dilakukan asuhan

keperawatan selama 3 hari diharapkan Hambatan mobiltas fisik teratasi

dengan kriteria hasil: status mobilitas: nafsu makan sedang, mual

menurun, keinginan muntah menurun.

Intervensi yang dilakukan yaitu Self care : ADLs : dengan tindakan

yang dilakukan monitor kemampuan perawatan diri secara mandiri,

monitor kebutuhan pasien terkait dengan kegiatan sehari-hari di rumah

sakit dan ajarkan keluarga untuk mendukung kemandirian dengan

membantu hanya ketika pasien tak mampu melakukan perawatan diri.

D. Implementasi Keperawatan

1. Implementasi Diagnosa Nyeri Akut

Pada tanggal 22 November 2018 perawat mengkaji TTV, mengkaji

karakteristik nyeri, dengan respon hasil klien mengatakan nyeri

dibagian punggung bawahnya, nyeri seperti ditusuk tusuk, nyeri


37

berkurang saat tenang atau rileks dan nyeri bertambah saat di gerakkan,

nyeri terus menerus dan skala nyeri 8, lalu mengajarkan teknik relaksasi

nafas dalam, dengan respon hasil pasien mampu mengikuti cara tarik

nafas dalam dan mampu mengulangnya, memonitor tanda-tanda vital

seperti tekanan darah, nadi, suhu, dan pernafasan, dengan respon hasil

didapatkan TD 120/80 mmHg, Nadi 112 x/menit, RR 20 x/menit, S

36,6 0C , dan berkolaborasi memberikan keterolac 2x1 amp.

Hari kedua tanggal 23 November 2018 perawat mengkaji TTV,

mengkaji karakteristik nyeri, dengan respon hasil klien mengatakan

masih merasa nyeri dibagian punggung bawahnya, nyeri seperti ditusuk

tusuk, nyeri berkurang saat tenang atau rileks dan nyeri bertambah saat

di gerakkan, nyeri terus menerus dan skala nyeri 5, mengajarkan teknik

relaksasi nafas dalam, berkolaborasi memberikan obat Ketorolac 5 mg

dalam 10 cc aquabides.

Hari ketiga tanggal 24 November 2018 mengkaji karakteristik

nyeri, dengan respon hasil klien mengatakan masih merasa nyeri

dibagian punggung bawahnya, nyeri seperti ditusuk tusuk, nyeri

berkurang saat tenang atau rileks dan nyeri bertambah saat di gerakkan,

nyeri terus menerus dan skala nyeri 2, mengajarkan teknik relaksasi

nafas dalam, menganjurkan klien untuk memposisikan diri semi frowler

untuk menambah kenyamanan, berkolaborasi memberikan obat

Ketorolac 4 mg dalam 10 cc aquabides. Hasil pengkajian TTV


38

didapatkan TD 110/80 mmHg, Nadi 90 x/menit, RR 20 x/menit, S

370C.

2. Implementasi Diagnosa Ansietas

Pada tanggal 22 November 2018 perawat mengkaji tingkat

kecemasan klien menggunakan Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS),

dengan hasil tingkat kecemasan 31 (cemas berat), perawat menjelaskan

cara untuk mengurangi rasa cemas itu dengan menggunakan terapi

musik, dengan respon hasil pasien mau menerima penjelasan yang

dijelaskan oleh perawat dan mau mendengarkan musik, menjelaskan

manfaat dari terapi musik, dengan respon hasil pasien memahami apa

manfaat terapi musik, selanjutnya pasien diberikan waktu untuk

mendengarkan musik dengan earphone selama 10 menit, dengan respon

hasil pasien mengikuti terapi mendengarkan musik sampai dengan

selesai. Setelah dilakukan tindakan pemberian terapi music perawat

mengkaji ulang tingkat kecemasan menggunakan HARS dengan hasil

skor 27 (Cemas sedang).

Hari kedua tanggal 23 November 2018 perawat mengkaji tingkat

kecemasan klien menggunakan HARS, dengan hasil skor tingkat

kecemasan 27 (cemas sedang), selanjutnya pasien diberikan waktu

untuk mendengarkan musik dengan earphone selama 10 menit, dengan

respon hasil pasien mengikuti terapi mendengarkan musik sampai

dengan selesai. Setelah dilakukan tindakan pemberian terapi musik


39

perawat mengkaji ulang tingkat kecemasan menggunakan HARS

dengan hasil skor 22 (Cemas sedang).

Hari ketiga tanggal 24 November 2018 perawat mengkaji tingkat

kecemasan klien menggunakan HARS, dengan hasil skor tingkat

kecemasan 23 (cemas sedang), selanjutnya pasien diberikan waktu

untuk mendengarkan musik dengan earphone selama 10 menit, dengan

respon hasil pasien mengikuti terapi mendengarkan musik sampai

dengan selesai. Setelah dilakukan tindakan pemberian terapi musik

perawat mengkaji ulang tingkat kecemasan menggunakan HARS

dengan hasil skor 15 (Cemas ringan).

3. Implementasi Diagnosa Hambatan Mobilitas Fisik

Implementasi keperawatan pada diagnosa keperawatan hambatan

mobilitas fisik yang dilakukan oleh perawat dari tanggal 22 November

2018 sampai dengan 23 November 2018 yaitu memonitor kebutuhan

pasien terkait dengan kegiatan sehari-hari di rumah sakit dan

mengajarkan keluarga untuk mendukung kemandirian dengan

membantu hanya ketika pasien tak mampu melakukan secara mandiri,

dengan respon hasil ADL pasien terpenuhi dengan bantuan orang lain

E. Evaluasi Keperawatan

Pada diagnosa keperawatan pertama nyeri akut pada pasien Ny. U

menjalalani perawatan selama 3 hari, dari tanggal 22 November 2018


40

sampai dengan 24 November 2018 didapatkan evaluasi dengan data

sebagai berikut:

1. Nyeri akut

Hasil evaluasi pada tanggal 22 November 2018 dengan metode

SOAP, respon subjektif klien mengatakan nyeri sedikit berkurang, nyeri

pada punggung bawah, nyeri hilang timbul skala nyeri 5 dan data objektif

pasien tampak meringis kesakitan. Respon objektif, TTV didapatkan TD :

120/70 mmHg, N : 108 x/menit, RR 20 x/menit, S 36,6 0C, Analisis

masalah teratasi sebagian, Planning lanjutkan intervensi, observasi

karakteristik nyeri (PQRST), gunakan teknik relaksasi tarik nafas jika

nyeri timbul, kolaborasi pemberian analgetik.

Hasil evaluasi pada tanggal 23 November 2018 dengan metode

SOAP, respon subjektif klien mengatakan nyeri sedikit berkurang, nyeri

pada punggung bawah, nyeri hilang timbul skala nyeri 4 dan data objektif

pasien tampak meringis kesakitan. Respon objektif, TTV didapatkan TD :

120/70 mmHg, N : 90 x/menit, RR 20 x/menit, S 36,6 0C, Analisis

masalah teratasi sebagian, planning lanjutkan intervensi, observasi

karakteristik nyeri (PQRST), gunakan teknik relaksasi tarik nafas dalam,

kolaborasi pemberian analgetik.

Hasil evaluasi pada tanggal 24 November 2018 dengan metode

SOAP, respon subjektif klien mengatakan nyeri berkurang, nyeri pada

punggung bawah, nyeri hilang timbul skala nyeri 2 dan data objektif

pasien tampak meringis kesakitan. Respon objektif, TTV didapatkan TD :


41

120/70 mmHg, N : 90 x/menit, RR 20 x/menit, S 36,6 0C, Analisis

masalah teratasi, Planning hentikan intervensi.

2. Ansietas

Hasil evaluasi pada tanggal 22 November 2018 dengan metode

SOAP. Respon subjektif klien mengatakan masih merasa takut, masih

merasa cemas, sedikit lebih tenang dari sebelumnya, klien mengatakan

senang mendengarkan music. Respon objektif klien masih tampak tegang,

gelisah lagi, skor kecemasan 27 (cemas berat), TTV didapatkan TD :

120/70 mmHg, N : 108 x/menit, RR 20 x/menit, S 36,6 0C, analisis

masalah teratasi sebagian, planning lanjutkan intervensi, dengan berikan

terapi musik pada saat rasa cemas itu muncul kembali secara rutin.

Hasil evaluasi pada tanggal 23 November 2018 dengan metode

SOAP. Respon subjektif klien mengatakan sedikit merasa tenang, cemas

sedikit berkurang, sedikit tampak lebih tenang dari sebelumnya, klien

mengatakan senang mendengarkan musik. Respon objektif klien tampak

tenang, gelisah sedikit berkurang, skor kecemasan 22 (cemas sedang),

TTV didapatkan TD : 120/70 mmHg, N : 90 x/menit, RR 20 x/menit, S

36,6 0C, analisis masalah teratasi sebagian, planning lanjutkan intervensi,

dengan berikan terapi musik pada saat rasa cemas itu muncul kembali

secara rutin.

Hasil evaluasi pada tanggal 24 November 2018 dengan metode

SOAP. Respon subjektif klien mengatakan merasa tenang, cemas

berkurang, merasa tampak lebih tenang dari sebelumnya. Respon objektif


42

klien tampak tenang, gelisah berkurang, skor kecemasan 15 (cemas

ringan), TTV didapatkan TD : 120/70 mmHg, N : 90 x/menit, RR 20

x/menit, S 36,6 0C, Analisis masalah teratasi, Planning hentikan intervensi.

3. Hambatan mobilitas fisik

Hasil evaluasi pada tanggal 22 November 2018 dengan metode

SOAP. Respon subjektif klien mengatakan masih belum bisa beraktivitas

secara mandiri. Respon objektif klien tampak dibantu untuk minum,

makan dan ADL pasien terpenuhi dengan bantuan orang lain, analisis

masalah teratasi sebagian, planning lanjutkan intervensi, latih ADL pasien

untuk mandiri.

Hasil evaluasi pada tanggal 23 November 2018 dengan metode

SOAP. Respon subjektif klien mengatakan masih belum bisa beraktivitas

secara mandiri. Respon objektif klien tampak dibantu untuk minum,

makan dan ADL pasien terpenuhi dengan bantuan orang lain, analisis

masalah teratasi sebagian, planning lanjutkan intervensi, latih ADL pasien

untuk mandiri.

Anda mungkin juga menyukai