Anda di halaman 1dari 51

BAB I

PENDAHULUAN

Cervical spondylotic myelopathy (CSM) adalah penyakit degeneratif yang


progresif dan merupakan penyebab paling sering disfungsi medulla spinalis. CSM
dapat disebabkan oleh compresi langsung dari medulla spinalis, atau pembuluh darah di
sekitarnya, yang ditunjukkan dalam beragam gejala klinis. Spondylosis telah
ditunjukkan sebagai etiologi paling sering untuk mielopati servikal pada usia 55 tahun
kebawah. Insiden rawat inap terkait dengan CSM diperkirakan mencapai 4,04 per
100.000 orang per-tahun, dan jumlah pasien yang menjalani perawatan bedah
meningkat tiap tahun hingga 7 kali lipat. Angka dan Tingkat kerusakan neurologis
bervariasi dan Strategi manajemen optimal sangat kompleks.1

Insidensi CSM terus meningkat dan berisiko tinggi untuk kecacatan


Berdasarkan tingkat non traumatik dari spinal cord injury (SCI), Nouri dkk
diperkirakan bahwa insidensi dan prevalensi CSM yang berhubungan dengan SCI di
Amerika Utara-wilayah masing-masing adalah 4,10 dan 6,05 per 100.000 orang. Studi
prospektif menemukan bahwa CSM menjadi yang paling umum diagnosis (23,6%)
pada 585 pasien dirawat di rumah sakit di Inggris dengan gejala tetraparesis atau
paraparesis.8 Di Amerika Serikat, jumlah pasien CSM yang dirawat di instalasi gawat
darurat meningkat 2 kali lipat dari tahun 1993 sampai 2002 (3,73-7,8 per 100 000
orang). Jumlah pasien yang menjalani operasi rekonstruksi vertebra servikal ini
menunjukkan peningkatan 7 kali lipat. Insidensi CSM dan jumlah pembedahan vertebra
servikal dapat terus meningkat sebagaimana populasi lanjut usia di Amerika Serikat
mengalami peningkatan.1

Penyebab paling umum radikulopati adalah stenosis foraminal dengan


perambahan saraf vertebra terutama disebabkan oleh penurunan tinggi discus dan
perubahan degeneratif sendi vertebral. Jalur umum akhir untuk mielopati cervicalis
adalah ruang menurun yang tersedia untuk medula spinalis yang mengarah ke kompresi
medula spinalis. Banyak pasien dengan cervical spondylotic myelopathy dari

1
perubahan degeneratif murni juga memiliki beberapa derajat stenosis spinal kongenital.
Perubahan degeneratif yang berkaitan dengan usia yang terlihat di seluruh vertebra
adalah patologi dominan dalam cervical spondylotic myelopathy. Kompresi medula
spinal yang dihasilkan dari perubahan degeneratif yang berkaitan dengan usia ini
biasanya merupakan proses progresif yang lambat. Cervical kyphosis juga sering terjadi
pada pasien dengan perubahan spondilotik yang signifikan, dan deformitas ini
memperburuk derajat kompresi ketika medulla spinalis meregang di atas aspek
posterior diskus dan corpus vertebral. Kompresi medulla dinamis dapat terjadi dengan
ekstensi atau fleksi pada pasien dengan lumen kanal yang sangat terganggu. Pasien
dengan spondylosis cervicalis kronis yang menderita trauma minor akut, terutama
cedera hiperextension, dapat mempertahankan cedera medulla spinalis akut dengan
berbagai tingkat keparahan yang akan berakibat pada mielopati yang lama. Biasanya,
ini muncul sebagai central cord sindrom dengan kelemahan yang lebih besar pada
ekstremitas atas daripada ekstremitas bawah, dan keterlibatan otot proksimal daripada
distal di setiap ekstremitas.1

Ada beberapa perubahan anatomis pada jalan napas geriatri seperti hilangnya
gigi, tumor orofaring, atrofi otot pada sekitar bibir, dan penurunan pergerakan leher.
Juga terdapat perubahan fisiopatologis pada paru seperti obstructive sleep apnea (OSA)
dan COPD, pada gastrointestinal seperti gastroesofageal reflux disease (GERD).
Perubahan ini dapat menyebabkan kesulitan pada penanganan jalan napas yang dapat
menyebabkan komplikasi.22

Pasien geriatri dengan gangguan vertebra cervicalis memiliki insiden kesulitan


intubasi dan kesulitan penggunaan laryngeal mask airway yang lebih tinggi, dan
kemungkinan kesulitan ini meningkat pada pasien dengan keterbatasan gerakan
vertebra. Pada kasus ini akan dibahas mengenai manajemen anestesi umum pada pasien
geriatri dengan spondylosis cervicalis.1

2
LAPORAN KASUS

Seorang pria usia 77 tahun dengan berat badan 62kg dan tinggi badan 161cm
dikonsul elektif dari bagian Bedah Onkologi tangal 8 Desember 2017 dengan diagnosis
Basalioma Regio Preaurikula Dextra Ukuran 4x2cm + Spondylosis &
Spondylolysthesis Vertebra Cervical yang direncanakan Wide Eksisi.

Anamnesis

 Keluhan Utama : tahi lalat pada depan telinga kanan


 Riwayat penyakit sekarang : tahi lalat pada depan telinga kanan sejak 5 tahun
yang lalu yang semakin lama semakin membesar
 Riwayat operasi sebelumnya (-)
 Riwayat penyakit paru/asma : tidak ada
 Riwayat penyakit jantung/vaskuler : ASD
 Riwayat penyakit Sistem Saraf Pusat(SSP) : tidak ada
 Riwayat penyakit darah/gangguan pembekuan darah: tidak ada
 Riwayat penyakit hati/gastrointestinal : tidak ada
 Riwayat penyakit ginjal hipertensi : hipertensi sejak 1 tahun
 Riwayat penyakit muskuloskeletal : kaku pada leher diperhatikan sejak 3 tahun
 Riwayat alergi obat/makanan : tidak ada
 Riwayat minum obat-obatan/jamu : tidak ada
 Riwayat merokok/minum alkohol : tidak ada
 Riwayat minum obat-obatan saat ini : amlodipin 10mg/24jam/oral,
valsartan 80mg/24jam/oral

3
Pemeriksaan Fisik

 Status generalis : Sakit sedang / Gizi cukup / Sadar


 Status vitalis :

Tekanan Darah : 120/80 mmHg Nadi : 68 x/menit


Suhu : 36,7 derajat celcius Pernafasan : 16x/menit
VAS : 1/10
 Kepala / Leher : Buka Mulut 4cm, Mallampati 3, TMD 5 cm, gigi palsu pada
rahang atas dan bawah, tampak basalioma ukuran 4x2cm pada preaurikula
dextra
 Thorax : Tidak ditemukan kelainan
 Abdomen : Tidak ditemukan kelainan
 Ekstremitas : Tidak ditemukan kelainan

Gambar 1. Foto Klinis Pasien


Pemeriksaan Penunjang
 Darah rutin dan kimia darah (6 Desember 2017)
Hb : 13,7 g/dL Ureum : 17 mg/dL

4
Hct : 43,2% Kreatinin : 0,8 mg/dL
WBC : 9.490/mm3 SGOT : 15 U/L
PLT : 250.100/mm3 SGPT : 19 U/L
CT : 8’00” BT : 2’00”
GDS : 84 mg/dL
 Foto Thorax (16 November 2017)

Gambar 2. Foto Thorax


Kesan: Cardiomegaly, CTI 0,56
 Elektrokardiografi (7 Desember 2017)
Kesan: Sinus ritme, HR 68x/menit
 MRI dan MR Myelography Vertebra Cervical (16 November 2017)

5
Gambar 3. MRI dan MR Myelografi Vertebra Cervical
 Kesan:
o Spondylosis & Spondylolisthesis CV C4 Terhadap CV C5
o Protrusio disc CV C3- C4 dan CV C4-C5 ke posterior yang menekan thecal
sac dan nerve root bilateral yang sedikit menekan spinal cord
o Protrusio disc parasentral sinistra level CV C5-C6 dan C6-C7 yang
menekan thecal sac dan nerve root bilateral terutama sinistra
o Bulging disc CV C2-C3 ke posterior yang menekan thecal sac dan verve
root bilateral terutama sinistra
o Hypertrophy ligamentum flavum level CV C4-C5, C5-C6 dan C6-C7
o Osteroporosis senilis
o MR Myelografi: stenosis canalis spinalis pada level CV C3-C4, C4-C5, dan
C5-C6
Diagnosis
Basalioma Regio Preaurikula Dextra Ukuran 4x2cm + Spondylosis &
Spondylolysthesis Vertebra Cervical

6
Kesimpulan
Pasien termasuk ASA PS KELAS II (dua)

Rencana penatalaksanaan anestesi


Rencana anestesi GALMA

Instruksi preoperatif
 Premedikasi alprazolam 0,25mg, amlodipin 10mg, valsartan 80mg pukul 22.00
WITA
 Puasa mulai jam 01.00 (8/12/2017)
 Pasang IV Catheter ukuran 18G pada tangan kiri dengan cairan RL 24 TPM
 Antibiotik profilaksis Ceftriaxon 1gr/IV jam 08.00 (8/12/2017)
 Injeksi Dexamethason 10mg/IV jam 08.00 (8/12/2017)
 Injeksi Ondansentron 5mg/IV, Ranitidin 50mg/IV dan Ketorolac 30mg/IV jam
08.30 (8/12/2017)
 Berikan Amlodipin 10mg dengan sedikit air jam 06.00 (8/12/2017)
 Pasien didorong ke OK jam 08.30 (8/12/2017)

Identifikasi Masalah
1. Masalah medis
 Sistem kardiovaskuler: riwayat hipertensi terkontrol, cardiomegaly
 Sistem muskuloskeletal: kaku pada leher akibat spondylosis dan
spondylolisthesis vertebra cervical
2. Masalah anestesi
 Potensi kesulitan ventilasi dan intubasi

Persiapan preoperatif
 Informasi ke pasien tentang prosedur yang akan dilakukan dan persetujuan dari
pasien
 Persiapan obat dan alat untuk anestesi umum menggunakan LMA maupun
intubasi endotrakeal dengan persiapan kesulitan intubasi

Intraoperatif (8/12/2017)

7
 Pasien diposisikan terlentang dengan IV Catheter 18G terpasang di tangan kiri
dengan cairan maintenance RL 20 TPM, terpasang monitor standar (EKG,
SPO2, dan tensimeter)
 Premedikasi: Midazolam 3mg, Fentanyl 120mcg
 Preoksigenasi: O2 8lpm via face mask
 Induksi dengan Propofol 120mg dosis titrasi, ventilasi adekuat
 Insersi LMA iGel No. 5, ditemukan leak, ganti dengan LMA Klasik No. 5, dan
juga ditemukan leak
 Diputuskan untuk dilakukan intubasi endotrakeal, diberikan atracurium 30mg,
lidokain 1% 80mg, visualisasi plica vocalis dengan menggunakan C-Mac,
insersi ETT ID 7,0mm, kembangkan cuff, bunyi pernapasan kiri dan kanan
sama, tidak ada bunyi tambahan, fiksasi ETT pada kedalaman 19cm di sudut
kiri mulut
 Maintenance: O2 60% 4lpm, sevofluran 1.5-2 vol%, fentanyl 30mcg/30 menit,
atracurium 15mg /30-45 menit
 Anestesi selesai, napas spontan adekuat, hemodinamik stabil, pasien sadar baik,
ekstubasi sadar
 Pasien pindah ke PACU

Gambar 4. Monitoring Hemodinamik Intraoperatif

Gambar 5. Status Anestesi Pasien

8
Gambar 6. Monitoring Hemodinamik Postoperatif

9
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. ANATOMI

Vertebra cervical pada dewasa: anatomi dan stabilitas

Anatomi vertebra cervicalis

Vertebra cervicalis pertama, atlas, adalah struktur berbentuk cincin dengan


lengkungan anterior dan posterior tebal yang menyatu dengan massa lateral yang besar
(Gambar 1). Depresi besar berbentuk ginjal pada aspek atas dari massa lateral
mengartikulasikan diri dengan kondilus oksipital tengkorak. Permukaan interior yang
datar dari massa lateral mengirimkan beban berat tengkorak ke sendi facet superior dari
axis, vertebra cervicalis kedua. Corpus axis memanjang ke atas untuk membentuk
proses odontoid; pinggang yang menyempit dari proses odontoid tertambat ke posterior
oleh ligamen transversal. Ligamentum alar dan apikal mengembang ke atas dari proses
odontoid untuk menyisipkan pada margin anterior dari foramen magnum tengkorak.2

Gambar 1 detail anatomi dari articulatio atlantoaxial2

10
Vertebra cervicalis subaksial dari C3 ke C5 adalah vertebra anatomi yang lebih
khas. Ada discus intervertebral antara C2 dan C3 dan masing-masing pasangan vertebra
di bawah, dan discus ini sekitar 25% dari total panjang vertebra saat dewasa. Discus
terdiri dari fibrocartilage perifer, anulus fibrosis, yang mengelilingi inti sentral yang
lunak, nukleus pulposus. Nukleus mengandung proporsi tinggi glikosaminoglikan
hidrofilik dan berfungsi sebagai bantalan. Arcus vertebra servikal subaksial
mengartikulasikan satu sama lain dengan sendi facet yang berorientasi horizontal.2

Ligamen longitudinal anterior ascenden di sepanjang permukaan anterior


vertebra. Ini berakhir di atas lengkungan anterior dari atlas menyisipkan pada pangkal
tengkorak. Ligamentum longitudinal posterior ke atas sepanjang permukaan dorsal
corpus vertebral. Ligamentum flavum menghubungkan lamina yang berdekatan.
Ligamen interspinosus dan supraspinosus merupakan ligamen yang menghubungkan
antara prosesus spinosus.2

Anatomi vertebra pada usia tua

Vertebra yang menua mengalami perubahan besar dalam anatomi. Kuantitas air
yang ada di inti discus menurun dan baik tinggi vertebra maupun efek bantalan yang
dijelaskan sebelumnya berkurang. Kesenjangan dan celah dapat berkembang di discus,
dan dengan waktu mereka dapat menjadi kering dan bahkan mengeras. Ketika vertebra
berkurang panjangnya, mungkin ada buckling dari ligamen longitudinal anterior dan
posterior. Ligamentum posterior yang membengkak dapat memproyeksikan diri ke
kanal vertebra, mengurangi ruang yang tersedia untuk medulla spinalis. Osteofit tulang
dan ekskresinya dapat berkembang di daerah tubuh vertebral; end plate osteophytes
dapat tumbuh di seluruh ruang discus dan bergabung dengan osteofit vertebra yang
terletak di bawah untuk membentuk osteofit yang saling menjembatani. Jika osteofit
menjembatani ini melibatkan posterior end plates, mereka juga dapat mempersempit
lumen.2

11
Gerakan dan stabilitas dari vertebra cervicalis

Fleksi-ekstensi terjadi di vertebra cervicalis atas baik pada artikulasi


atlantooccipital dan atlantoaxial dan gabungan 24 derajat gerak dapat dicapai. Agar
rahang terbuka lebar, ekstensi kepala harus terjadi secara bersamaan. Ekstensi mungkin
memfasilitasi pembukaan mulut dengan meregangkan otot-otot leher yang bertanggung
jawab untuk rahang menganga, memungkinkan mereka untuk memendek dengan
panjang absolut yang lebih besar dan meningkatkan pembukaan mulut. Ekstensi kepala
menurunkan kelas Mallampati dengan rata-rata 0,5 untuk kelas 2, 3, dan 4
dibandingkan dengan ketika pemeriksaan dilakukan dengan kepala dalam posisi netral.
Secara signifikan mengurangi perpanjangan batas pembukaan mulut dan Calder dan
rekan telah melaporkan bahwa pemisahan terbatas dari elemen posterior vertebra atas
mengurangi baik ekstensi kepala dan pembukaan mulut sehingga laringoskopi direk
lebih sulit.2

Ligamen yang berkontribusi terhadap stabilitas kompleks atas adalah ligamen


transversal, apikal, dan alar, serta terminasi superior ligamen longitudinal anterior dan
posterior. Pada orang dewasa, ligamentum transversal membatasi pemisahan prosesus
odontoid (dens) dan lengkungan anterior atlas menjadi kurang dari atau sama dengan 3
mm; celah ini disebut '‘atlasdens anterior interval.’ Destruksi ligamen ini merupakan
konsekuensi umum dari rheumatoid arthritis yang parah dan lama dan juga terlihat
umum pada sindrom Down. Interval antara aspek posterior dari proses odontoid dan
aspek anterior cincin posterior atlas disebut '' posterior atlas-dens interval '' dan juga
disebut sebagai '' ruang yang tersedia untuk spinal cord. '' Sebuah interval atlas-dens
posterior yang berkurang telah diidentifikasi sebagai prediksi dari peningkatan potensi
untuk gangguan neurologis dibandingkan dengan peningkatan interval atlas-dens
anterior. Ruang yang tersedia untuk medula spinalis di C1 dapat dibagi menjadi satu
setengah medula spinalis dan satu setengah 'ruang' '; ruang memungkinkan untuk
beberapa perambahan lumen vertebra tanpa medula spinalis gangguan (Gbr. 2).

12
Penyempitan saluran yang progresif dikombinasikan dengan pelebaran diameter
medula spinalis mengurangi ruang yang tersedia untuk medula spinalis antara tingkat
C4 dan C7 sehingga pada tingkat yang lebih rendah, medulla spinalis biasanya mengisi
sekitar 75% dari luas penampang saluran.2

Gambar 2. Ruang yang tersedia untuk medula spinalis (SAC) pada tingkat C1. Prosesus
odontoid menempati sekitar sepertiga dari ruang potensial, medulla spinalis sekitar
sepertiga, dan sisanya tersedia sebagai cadangan; dua pertiga dari lumen dianggap
sebagai SAC2

Pada orang dewasa, dimensi medulla spinal midcervical tetap relatif konstan
dengan diameter medula spinalis midsagittal rata-rata 8 sampai 9 mm tetapi kanalis
vertebral pada tingkat yang sama menunjukkan variasi individu yang substansial. Kanal
dianggap stenosis ketika dimensi midsagitalnya kurang dari 13 mm pada radiografi
lateral atau ketika rasio Torg-Pavlov (dihitung dengan membandingkan diameter sagital
kanal vertebra dengan korpus vertebra yang sesuai) kurang dari 0,8. Kanal yang
menyempit kongenital dihipotesiskan untuk meningkatkan ancaman pada medulla
spinalis dengan kedua stenosis yang diperoleh dan setelah cedera traumatis dan juga
merupakan faktor yang terkait dalam neuropraksia cervical transien setelah cedera.2

Ekstensi fleksi yang lebih dari 66 derajat dapat dicapai pada vertebra cervicalis
bawah dengan segmen C5 hingga C7 yang berkontribusi pada komponen terbesar. Ada

13
hubungan terbalik antara usia dan rentang gerak (yaitu, seiring pertambahan usia,
mobilitas menurun).2

II. BIOMEKANIK DARI SPINAL CORD & CANALIS SPINALIS

Untuk berfungsinya medula spinalis dengan baik, lumen saluran minimum


diperlukan, baik saat istirahat dan selama gerakan, dan gangguan medula spinalis
terjadi jika ruang saluran kurang dari yang diperlukan; cedera neurologis terjadi jika
pengurangan ini persisten. Cedera hasil dari tekanan mekanis berkelanjutan pada
medula spinalis yang menyebabkan deformasi anatomi dan iskemia. Meskipun defisit
neurologis tidak secara langsung berkorelasi dengan tingkat pengurangan saluran pasca
trauma, impuls kanal lebih sering diamati pada pasien dengan kedua cedera vertebra
dan defisit neurologis daripada pada pasien yang tidak memiliki defisit setelah cedera
vertebra.2

Ketika vertebra fleksi, elemen vertebra posterior, termasuk kanal,


mentranskripsikan busur, tetapi lingkaran yang lebih besar daripada elemen anterior
dan kanal secara aksial memanjang. Ketika memanjang, luas penampangnya berkurang,
dan karena lebih pendek (dalam ekstensi), daerahnya meningkat; perilaku ini disebut
'Efek Poisson'. '' Dengan fleksi, medula spinalis direntangkan dan diameternya juga
berkurang dan efek sebaliknya terjadi dalam ekstensi. Pemendekan dan pelipatan
medula spinalis saat vertebra dalam ekstensi dapat menyebabkan peningkatan relatif
dalam rasio ukuran medula spinalis ke lumen kanal, meskipun potensi peningkatan
lumen. Penonjolan posterior dari anulus cakram dan tekuk ligamentum flavum terjadi
dalam ekstensi, yang selanjutnya dapat mengurangi dimensi saluran pada tingkat yang
diberikan. Sejumlah proses patologis terkait usia, termasuk pembentukan osteofit dan
osifikasi ligamentum longitudinal posterior, dapat menyebabkan impingsemen lebih
lanjut pada lumen kanal; ini biasanya memanifestasikan dampak yang lebih besar
selama ekstensi vertebra dan dapat menyebabkan oklusi kanal (Gambar 3). Medula
spinalis mentolerir derajat deformasi elastis sementara tetap mempertahankan fungsi

14
neurologis normal. Deformasi ini dapat, seiring waktu, menghasilkan regangan dan
gaya geser ke medula spinalis dan akhirnya menghasilkan mielopati.2

Gambar 3. Dampak ekstensi pada perubahan yang berkaitan dengan usia. Posterior
bridging osteophytes yang digambarkan pada tingkat C3-C4 dan C5-C6 dan buckling
ligamentum longitudinal posterior ditunjukkan pada C4-C5 (A). Dengan perluasan
yang ditunjukkan dalam (B), kanal memendek dan dampak dari perubahan posterior
pada ruang lumenal meningkat; kompresi medula spinalis dapat terjadi atau
diperburuk.2

Posisi tengkurap sering dikaitkan dengan derajat ekstensi sederhana, dan ada
bukti bahwa stenosis kanal meningkat pada pasien dengan mielopati cervical yang
diposisikan rawan. Sekali lagi, ini mungkin merupakan manifestasi dari perambahan
jaringan lunak pada kanal vertebra dengan ekstensi dan diperparah oleh gangguan kanal
yang sudah ada sebelumnya. Relevansi klinis dari temuan ini adalah bahwa malposisi
yang persisten dari leher yang abnormal dapat mengakibatkan tingkat kompresi medula
spinalis. Jika abnormalitasnya sedang, kemungkinan bahwa malposisi harus lebih besar
dan terus-menerus menyebabkan bahaya; karena gangguan anatomi meningkat, durasi
tekanan posisional yang diperlukan untuk menyebabkan kerusakan menjadi lebih
singkat. Posisi tengkurap juga dikaitkan dengan peningkatan tekanan vena kava, yang
selanjutnya dapat mengurangi aliran darah medula spinalis yang telah dikompromikan

15
oleh kompresi medula spinalis dengan meningkatkan resistensi pada saluran keluar
vena.2

III. SPONDYLOSIS CERVICALIS

III.I. DEFINISI

Cervical spondylotic myelopathy (CSM) adalah penyakit degeneratif


yang progresif dan merupakan penyebab paling sering disfungsi medulla
spinalis. CSM dapat disebabkan oleh compresi langsung dari medulla spinalis,
atau pembuluh darah di sekitarnya, yang ditunjukkan dalam beragam gejala
klinis.1,3

III.II. EPIDEMIOLOGI

Prevalensi dan Insidensi CSM yang dilaporkan bervariasi dikarenakan


oleh klasifikasi yang beragam dari proses degeneratif CSM. Data saat ini
terbatas pada studi berbasis populasi pada tingkat rawat inap CSM. Boogaarts
dan Bartels6 memperkirakan prevalensi CSM menjadi 1,60 per 100000
penduduk berdasarkan kasus CSM yang diobati dengan operasi pada rumah
sakit di Belanda.6 Mengevaluasi database 12 tahun secara nasional di Taiwan,
Wu dkk5 secara retrospektif memperkirakan bahwa insidens keseluruhan rawat
inap CSM adalah 4,04 per 100.000 orang per-tahun. Wu dkk5 mengamati
bahwa usia yang lebih tua dan gender laki-laki berhubungan dengan insidensi
CSM yang lebih tinggi.1,3
Insidensi CSM terus meningkat dan berisiko tinggi untuk kecacatan
Berdasarkan tingkat non traumatik dari spinal cord injury (SCI), Nouri dkk7

16
diperkirakan bahwa insidensi dan prevalensi CSM yang berhubungan dengan
SCI di Amerika Utara-wilayah masing-masing adalah 4,10 dan 6,05 per
100.000 orang. Studi prospektif menemukan bahwa CSM menjadi yang paling
umum diagnosis (23,6%) pada 585 pasien dirawat di rumah sakit di Inggris
dengan gejala tetraparesis atau paraparesis.8 Di Amerika Serikat, jumlah pasien
CSM yang dirawat di instalasi gawat darurat meningkat 2 kali lipat dari tahun
1993 sampai 2002 (3,73-7,8 per 100 000 orang).4 Jumlah pasien yang
menjalani operasi rekonstruksi vertebra servikal ini menunjukkan peningkatan 7
kali lipat. Insidensi CSM dan jumlah pembedahan vertebra servikal dapat terus
meningkat sebagaimana populasi lanjut usia di Amerika Serikat mengalami
peningkatan.1,3

III.III. PATOFISIOLOGI

Patofisiologi dari CSM bersifat multifaktorial dan sifatnya yang kronik


menginduksi mekanisme kompensatori dari saraf. Berdasarkan titik
anatomisnya, saraf berisiko mengalami kompresi akibat penonjolan diskus
vertebralis, deformitas corpus vertebrae, hipertrofi faceet joint, lesi osteofitik,
hipertrofi ligamentum flavum, dan osifikasi ligamentum longitudinal posterior.
Proses degeneratif ini dapat menyebabkan kompresi statik, dan mengakibatkan
eksaserbasi kompresi medula spinalis pada pergerakan dinamis. Kompresi statik
dan dinamik akan mengakibatkan kerusakan axonal yang berhubungan dengan
penegangan saraf, iskemia medula spinalis karena kompresi vaskular dan
kongesti vena. Eksperimen yang membuktikan iskemia saraf pada CSM masih
sedikit. Patofisiologi CSM belum dapat dijelaskan sepenuhnya dengan model
statik dan dinamik yang disebutkan sebelumnya. Dari sudut pandang molekuler,
kerusakan iskemik menyebabkan kematian sel secara nekrosis, sel saraf juga
telah diperhatikan mengalami apoptosis pada CSM. Bukti yang telah ada dari
studi sains dasar mendemonstrasikan adanya hubungan antara myelopathy dan
disrupsi blood-spinal cord barrier, neuroinflamasi akut dan kronik.4,5

17
III.IV. MANIFESTASI KLINIS

CSM merupakan penyebab terbanyak disfungsi medula spinalis non


traumatik dan biasanya muncul dengan berbagai macam keluhan neurologi yang
kurang spesifik. Karakteristik gejala dan tanda dapat muncul secara tiba-tiba
dan gejalannya terdiri dari hilangnya keterampilan tangan, kelemahan,
kekakuan, meningkatanya urgensi, frekuensi atau sulit memulai miksi,
spastisitas pada ekstremitas, dan gangguan gaya berjalan (kaku atau spastik)
(Table 1). Gangguan keseimbangan dan gaya berjalan akibat kelemahan
proksimal ekstremitas bawah merupakan manfestasi klinis awal yang
berhubungan dengan usia tua dan dilaporkan memperlambat penegakan
diagnosis sampai 6 tahun. Temuan gangguan sensorik meliputi hilangnya
propriosepsi dan hilangnya glove sensation pada tangan, yang dapat tumpang
tindih dengan diabetes melitus atau neuropati perifer yang terjadi pada waktu
bersamaan.1,3,4
Tanda Upper Motor Neuron seperti Hoffman’s sign, inversi refleks
radius, klonus patologis, dan Babinski’s sign dapat ditemukan.Hoffman’s sign
dideskripsikan sebagai fleksi cepat dari ibu jari dan telunjuk ketika kuku jari
tengah disentakkan.Lhermitte’s sign adalah sensasi seperti tersetrum listrik yang
terjadi sepanjang bagian tengah punggung pasien menuju ke ekstremitas pada
saat dilakukan fleksi leher, yang dapat ditemukan pada CSM atau pasien
multiple sclerosis.Pemeriksaan klinis tambahan dapat membantu
menggambarkan CSM-like symptoms, antara lain Romberg’s test, number of
handgrip and releases, 9-hole peg test, timed gait, tandem gait, dan triangle
step test. Jarang ditemukan pasien dengan CSM berat mengalami gangguan
saluran cerna dan kontrol berkemih.1,3,4,5

Tabel 1. Manifestasi Klinis dan Pemeriksaan1,3

18
Gejala dan tanda motorik
 Kelemahan pada triseps dan otot intrinsik tangan
 Atrofi otot intrinsik tangan
 Kehilangan keterampilan motorik halus
 Kelemahan pada proksimal ekstremitas bawah

Gejala dan tanda Upper motor neuron


 Hoffman’s sign (fleksi dari ibu jari dan jari telunjuk ketika jari tengah disentakkan)
 Inverted radial reflex (fleksi jari pada refleks brachioradialis)
 Klonus patologis
 Babinski sign

Disfungsi sensoris
 Hilangnya glove-like sensory pada tangan
 Disfungsi proprioseptif

Perangkat penilaian
 Lhermitte sign
 Romberg test
 9-hole peg test
 Grip and release test (observasi penurunan jumlah tiap siklus)
 Timed gait, tes berjalan 30-m
 Tandem gait
 Triangle step test

Riwayat Alamiah Penyakit CSM dapat bervariasi secara luas dan


seringkali tidak dapat diprediksi.Pada tahun 1956, Clark dan Robinson pertama
kali menginvestigasi sejarah alami CSM pada 26 pasien. Para penulis
menemukan jalannya penyakit untuk mengikuti 1 dari 3 pola: (1) 75%
memburuk secara bertahap, (2) 20% lambat, perkembangan penyakit yang
mantap, dan (3) 5% mengalami onset gejala yang cepat dan tanda-tanda,
kemudian tetap stabil selama bertahun-tahun. Pada tahun 1963, Lees dan Turner
meneliti sejarah alam pasien berusia di atas 10 tahun dan juga menemukan
bahwa penurunan fungsi awal mungkin turun dan stabil selama bertahun-tahun.

19
Hasil ini diperkuat oleh Nurick pada tahun 1972 setelah memeriksa 37 pasien
CSM yang dirawat secara konservatif.Kedua kelompok juga mengamati
persentase pasien yang terus memburuk.Cusick dan Cooper mencatat bahwa
sejumlah studi klinis komparatif mengamati hingga 50% pasien CSM dapat
terus menurun fungsi dari waktu ke waktu.1,3
Tahun 1998, Nakamura et al secara retrospektif menganalisa 64 pasien
yang diobati secara konservatif dengan rentang follow up 3 sampai 10 tahun dan
sekitar 26% sampai 27% pasien melaporkan tidak ada kecacatan pada
ekstremitas atas atau bawah. Dalam database nasional 12 tahun dari Taiwan,
Wu et al mengamati bahwa SCI (12 dalam 1000 orang-tahun) lebih cenderung
berkembang dalam manajemen konservatif daripada kelompok
bedah.Singkatnya, hasil ini menunjukkan bahwa CSM ringan dapat berhasil
diobati dengan tindakan konservatif untuk sejumlah besar pasien.Namun, pada
pasien tertentu, kemunduran dapat terjadi seiring berjalannya waktu dan pasien
ini perlu diikuti secara dekat dengan tanda-tanda penurunan neurologis.1,3
Faktor risiko prognosis buruk pada pasien dengan CSM termasuk
tingkat keparahan cacat pada presentasi, usia dan lamanya gejala. Pencitraan
radiologis juga telah diselidiki sebagai alat prognostik.Dua penelitian
menyelidiki sinyal intensitas pada MRI dan saat menggunakan JOA sebagai
skala penilaian fungsional.Matsumoto et al secara retrospektif menguji
intensitas sinyal yang meningkat pada gambar MRI T2 di 52 pasien dirawat
secara konservatif.Rata-rata tindak lanjutnya adalah 3-tahun dan intensitas
sinyal yang meningkat tidak ditemukan berkorelasi dengan hasil yang
buruk.Shimomura et al secara prospektif memeriksa faktor prognostik yang
memperburuk gejala klinis CSM pada 56 pasien setelah perawatan konservatif.
Shimomura dkk menemukan bahwa 11/56 (19,6%) memburuk menjadi moderat
atau berat, namun tidak ada perbedaan statistik dalam skor JOA yang diamati
setelah perawatan konservatif. Adanya sinyal T2 yang tinggi pada MRI sagital
tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kondisi klinis; Sebaliknya satu-
satunya faktor yang ditemukan secara signifikan memperburuk gejala klinis

20
adalah kompresi sumsum tulang keliling di segmen kompresi maksimum pada
MRI aksial.1,3

III.V. DIAGNOSIS BANDING

Tanda dan gejala klinis yang telah disebutkan di atas tidak spesifik
terhadap CSM. Penting untuk menyingkirkan diagnosis lain yang dapat
menimbulkan tanda dan gejala yang sama. Amyotrophic lateral sclerosis (ALS)
merupakan kelainan degeneratif yang sulit untuk dikenali akibat demografik
dan gejala klinis yang tumpang tindih dengan CSM.Insidens spondylosis tinggi
pada pasien dengan usia rata-rata pada onset ALS (55,7 tahun). ALS dapat
disertai dengan upper and lower motor neuron deficits, dan cranial nerve
deficits. Kemungkinan adanya ALS harus dipertimbangkan pada evaluasi pasien
dengan kelemahan disertai temuan radiologis.Adanya fasikulasi pada
pemeriksaan klinis tanpa disertai gangguan sensorik membuat diagnosis
semakin terarah ke ALS.Perburukan gejala neurologis yang berlanjut setelah
dilakukannya dekompresi secara bedah membuat kecurigaan terhadap ALS
semakin tinggi.Pemeriksaan elektromyografi yang menunjukkan pola denervasi
dapat menjadi bukti diagnostik terhadap ALS.1,3,4,5
Diagnosis banding lainnya dapat berupa proses demyelinasi, tumor,
trauma, dan hidrosefalus dengan tekanan normal. Guillain-Barre syndrome
dapat muncul dengan onset subakut dari kelemahan yang terjadi secara
progresif.Selain itu, tidak adanya refleks dan defisit nervus kranialis membuat
diagnosis terarah ke Guillain-Barre Syndrome.Gangguan berjalan dan gangguan
berkemih dapat ditemukan pada pasien dengan hidrosefalus tekanan normal.
Adanya tambah abnormalitas nervus kranialis dan/atau hiperaktifitas jaw jerk
reflex menunjukkan adanya lesi batang otak atau intrakranial.2 Ganggan kognitif
dapat membantu untuk membedakan hidrosefalus tekanan normal dan CSM.
Pemeriksaan radiologi dapat digunakan untuk membedakan lebih lanjut CSM
dan penyakit lainnya.1,3,4,5

21
III.VI. PEMERIKSAAN RADIOLOGI

Computed tomography (CT) scan dapat memberikan penilaian yang


akurat karena keunggulannya dalam mengevaluasi tulang.Myelografi atau
injeksi intratechal menggunakan kontras dapat digunakan untuk pemeriksaan
CT scan.Namun saat ini jarang digunakan karena ditemukannya Magnetic
Resonance Imaging (MRI), kecuali ada kontraindikasi terhadap MRI.MRI
cervical spine dapat digunakan sebagai tes inisial pada pasien yang dicurigai
CSM.Adanya sinyal berkekuatan tinggi di medula spinalis pada T2-weighted
imaging dapat mengindikasikan adanya kerusakan medula spinalis permanen
atau myelomalasia. Pemeriksaan MRI saja memiliki sensitivitas rendah untuk
mendeteksi adanya kerusakan medula spinalis yang minimal, terutama pada
pasien dengan gejala kronik. Sebuah meta analisis mengenai diffuse tensor
imaging (DTI) pada pasien CSM menunjukkan adanya reduksi signifikan pada
anisotropy fraksional dan peningkatan pada koefisien difusi yang nyata bila
dibandingkan dengan kelompok subyek yang sehat.17 Di masa depan,
diperkirakan peran DTI akan meningkat untuk membedakan pasien CSM
dengan subyek yang sehat.3,6,7

III.VII. SKALA FUNGSIONAL

Berbagai macam skala fungsional telah dikembangkan dalam menilai


dan mengukur disablitas fungsi dari penderita CSM. Dua hal yang sering
digunakan dalam skala di US adalah Nurick Grade (Lihat table) dan the
modified Japanese Orthopaedic Associa- tion(mJOA)scale(Table3). Nurick
classification adalah sebuah skala ordinal 6 tingkatan yang terutama didasarkan
pada pekerjaan dan gangguan gaya berjalan. Nurick scae menunjukkan korelasi
tang baik dengan Japanese OrthopaedicAssociation (JOA) scale dengan
reliabilitas antar dan intrarater yang tinggi. Akan tetapi keduanta memiliki
sensitifias yang rendah dan sulit dimodifikasi.1,3,4

22
Skala JOA asli telah dimodifikasi dari klsifikasi menggunakan sumpit
(banyak digunakan di negara-negara Asia timur) dan klasifikasi menggunakan
sendok (banyak digunakan di negara-negara Barat).Skala JOA bersifat
multidimensional, dan dapat menikai disfungsi ekstremitas atas, disfungsi
extremitas bawah dan disfungsi sistemik pada kandung kemih pada penderita
CSM.1,3,4

Tabel 2. Nurick Grades,1,3,4

0 Tanda atau gejala adanya keterlibatan serabut saraf tanpa ditemukannya penyakit
medulaspinalis
1 Tanda adanya penyakit medula spinalis namun tidak ada gangguan berjalan
2 Adanya gangguan berjalan yang sedikit tanpa mengganggu aktivitas sehari-hari
3 Gangguan berjalan yang mengganggu aktivitas sehari-hari, namun tidak berat
sampai harusdibantu untuk berjalan
4 Hanya dapat berjalan apabila dibantu oleh orang lain atau menggunakan alat bantu
5 Bergantung pada kursi roda atau tirah baring

Tabel 3. Modified Japanese Orthopaedic Association Scoring System


Disfungsi Motorik
Upper Extremities / Extremitas Atas
0 Tidak dapat menggerakkan tangan
1 Tidak dapat makan dengan sendok akan tetapi dapat menggerakkan tangan
2 Tidak dapat membuka kancing baju namun dapat makan dengan sendok
3 Dapat membuka kancing baju dengan sangat kesulitan
4 Dapat membuka kancing baju dengan sedikit kesulitan
Lower Extremities / Extremitas Bawah

23
0 Fungski sensoris dan motoris hilang total
1 Fungsi sensoris baik namun tidak dapat menggerakkan kaki
2 Dapat menggerakkan kaki tapi tidak dapat berjalan
3 Dapat berjalan menggunakan alat bantu
4 Dapat naik turun tangga menggunakan alat bantu
5 Moderate hingga severe instabilitas namun dapat naik turun tangga tanpa
alat bantu
6 Dapat berjalan tanpa alat bantu
7 Tidak ada disfungsi
Disfungsi sensorik
Upper Extremities / Extremitas Atas
0 Kehilangan sensori tangan secara total
1 Kehilangan sensori dan sensasi nyeri berat
2 Kehilangan sensori dan sensasi nyeri sedang
3 Tidak ada Kehilangan sensori dan sensasi nyeri
Disfungsi Sphincter
0 Tidak dapat buang air sendiri
1 Ada kesuliat buang air sendiri yang nyata
2 Ringan hingga berat kesulitan buang air sendiri
3 Fungsi miksi normal

III.VIII. TATALAKSANA
III.VIII.I. KONSERVATIF

Pengobatan konservatif untuk CSM sering mencakup immobilisasi


leher, perawatan farmakologis, modifikasi gaya hidup, dan modalitas fisik.
Oleh karena itu, terapi konservatif sering dimulai berdasarkan preferensi
atau spesialisasi dokter.1,3,4
Gambaran dibawah memperlihatkan latihan yang dapat membantu
melonggarkan sendi kaku dan memperkuat otot leher pada spondylosis
cervicalis8
(1) Tarik kembali kepala Anda dengan lembut, sehingga sesuai dengan
bahu Anda. Tahan selama lima hingga 10

24
detik. Ulangi 3-5 kali. (gambar 4)

Gambar 48

(2) Gerakkan kepala Anda secara perlahan ke kiri, dengan telinga


bergerak ke arah bahu Anda. Sekarang ulangi di sisi kanan. Ulangi
3-5 kali. (Gambar 5)

Gambar 58

(3) Dengan perlahan gerakkan kepala Anda ke depan, rasakan sedikit


peregangan di belakang leher Anda. Kemudian kembali ke postur
yang santai. Perlahan-lahan gerakkan kepala Anda ke belakang lalu
kembalikan ke postur yang relaks. Ulangi 3-5 kali

25
Gambar 68

(4) Perlahan putar kepala ke kiri sampai Anda merasakan sedikit


peregangan. Kemudian kembali ke posisi netral dan rileks.

Gambar 78

(5) Sekarang ulangi di sisi kanan. Ulangi 3-5 kali.

Petunjuk: Anda harus mulai berolahraga dengan lembut dan secara


bertahap meningkatkan jumlah yang dapat Anda lakukan. Adalah normal
apabila mengalami ketidaknyamanan pada awalnya.

26
III.VIII.II. PEMBEDAHAN

Kadanka et al melakukan rando- mizedcontrolled untuk membandingkan


perawatan konservatif dan operasi pada ringan dan sedang, tidak progresif,
dan perlahan progresif perlahan pada penderita SCM (skor mJOA> 12) di
68 pasien berusia selama 3 tahun. Penelitian 3 tahun tersebut tidak
menunjukkan bahwa operasi lebih unggul daripada pengobatan konservatif.
Mungkin masa tindak lanjut yang lebih lama diperlukan untuk menilai
perbedaannya.Namun, hasil ini menunjukkan bahwa pengobatan CSM
ringan mungkin melibatkan terapi konservatif untuk 3 tahun pertama
setelah diagnosis.1,3,4
Namun terdapat dua penelitian komparatif yang menyimpulkan tindakan
operatif lebih baik.Sampath et al menyimpulkan dari penelitian multicenter
melibatkan 43 pasien dengan CSM ringan yang ditangani secara
pembedahan dan secara konservatif.dan konservatif. Pasien yang ditangani
secara pembedahan membaik, sedangkan grup konsevatif tidak.Sampath et
al menyimpulkan bahwa pembedahan meningkatan status fungsional, status
neurologis membaik dan peningkatan kepuasan pasien.Yoshimatsu et al
dalam studi retrospektifnya membandingkan pasien CSM yang terpilih
untuk menjalani perawatan bedah segera (32patients,JOA<13) dan
kelompok konserfatif 69 pasien, JOA >13).Penulis menemukan bahwa
kelompok pasien yang diatangani secara pembedahan menunjukkan
perbaikan yang lebih cepat.Rhee dkk secara sistematis meninjau kembali
literatur dan menyimpulkan bahwa ada sedikit bukti bahwa pengobatan
konservatif menghasilkan hasil yang berbeda daripada operasi pada orang
dengan miopati ringan.Namun, untuk mielopati sedang sampai berat,
pengobatan konservatif memiliki hasil inferior dibandingkan pembedahan
pada penelitian retrospektif, walaupun pasien yang diobati dengan
pembedahan lebih parah kondisi awalnya.1,3,4

27
Dalam tinjauan indikasi operasi untuk mielopati servikal, Law et al
mengidentifikasi beberapa faktor prognostik yang buruk dengan
pengobatan konservatif, yang mencakup perkembangan gejala, adanya
myelopathy selama lebih dari 6 bulan, rasio kompresi mendekati 0,4
(menunjukkan perataan korda). Banyak faktor berperan dalam proses
pengambilan keputusan untuk intervensi bedah, yang meliputi lamanya
gejala, tingkat disfungsi medulla spinalis, kesehatan umum pasien, tingkat
kerusakan fungsional, dan temuan grafis radiologi.1,3,4

Faktor Prognosis Pembedahan


Efek dari penemuan radiologis preoperative dan usia pada prognosis
klinis penderita CSM setelah intervensi pembedahan telah diinvestigasi.
Alafifi et al menganalisa secara retrospektif 76 pasien CSM yang teah
menjalani pembedahan dekompresi servikal dengan analisa pre-dan
postoperative MRI (2-4 bulan).Peneliti menganalisa pre-dan postoperative
MRI dengan outcome pasien dengan Nurick Score. Alafi et al
mengobservasi bahwa kurangnya keuntungan yang terlihat pada
intramedullary signa di T1-weighted imaging, klonus dan
spasifitas.Hasilnya mengusulkan bahwa waktu pembedahan sangat penting
dalam optimalisasi keadaan pasca operasi pasien CSM. Holly et al secara
retrospektif menganalsis studi kohor dari 36 pasien lansia (>75 tahun) dan
pasien yang lebih muda (<65 tahun) dibawah pembedahan dekompresi
CSM.Rollof up rata-rata selama 24 bulan.Kedua kelompok menunjukan
kemajuan signifikan. Sebagai catatan, komplikasi post-operatif lebih tinggi
pada kelompok lansia (38% vs 6%). Bagaimanapun, peneliti melaporkan
bahwa komplikasi tersebut self-timing dan tidak mempengaruhi keluaran
neurologis.1,3,4

Anterior Versus Posterior atau Kombinasi Keduanya


Teknik operasi yang optimal tidak selalu jelas dan telah dipelajari
selama 30 tahun terakhir (Tabel 4).Teknik operasi dengan pendekatan dari

28
anterior memiliki beberapa kelebihan; dekompresi langsung dari keadaan
patologi yang terletak didepan vertebra servikal (seperti osteofit, osifikasi
ligamen longitudinal posterior, herniasi diskus), pembedahan otot minimal
untuk mengurangi nyeri pasca operasi, penurunan kemungkinan infeksi,
kemampuan untuk dekompresi dan memperbaiki kifosis servikal, dan pada
individu dengan radikulopati.Kebanyakan ahli bedah vertebra lebih
memilih pendekatan anterior ketika menghadapi kasus yang mengenai 1
hingga 2 vertebra (Gambar 1 dan Tabel 5).Ketika mengenai 3 atau lebih
vertebra, kemungkinan komplikasi pada pendekatan anterior meningkat
dan perlu dipertimbangkan pendekatan dari posterior.Pada pendekatan
posterior dapat dilakukan dekompresi yang lebih luas dan tergantung
kemampuan kord untuk menjauh dari lesi anterior.Maka sangat penting
untuk mempertimbangkan garis sagital servikal, karena kord tidak
mengarah kebelakang dengan kifosis servikal signifikan.1,3,4,5
Derajat kifosis dan lordosis dapat diukur dengan menggunakan sudut
servikal sagital Cobb (dalam derajat).Lordosis C2-C7 diukur sebagai sudut
antara garis vertikal yang digambar sejajar ke bawah C2-C7.Shamji dkk
secara menganalisis pemeriksaan neurologi secara prospektif pada 124
pasien dengan CSM berdasarkan sudut Cobb sagital servikal. Penulis
mengetahui bahwa pasien lordosis memperlihatkan kemajuan yang sama
dengan pendekatan anterior atau posterior, dimana pasien kifosis
memperlihatkan kemajuan yang lebih dengan pendekatan anterior atau
keduanya. Terbaru, garis sagital servikal yang dinilai dengan menggunakan
aksis vertikal sagital (SVA) C2-C7 juga menunjukkan peran yang besar
dalam kondisi klinis (Gambar 2). SVA servikal diukur dengan deviasi dari
garis tegak lurus pada C2 dari posterior superior C7 yang sebelumnya telah
diketahui berhubungan dengan skor disabilitas post operasi. Tang dkk
menganalisis secara retrospektif 113 pasien yang mengalami fusi servikal
posterior multilevel untuk mengetahui stenosis servikal, myelopati, dan
kifosis, dan mendapatkan batas ≥40mm menunjukkan disabilitas
berhubungan erat dengan SVA servikal. Hardacker dkk juga sebelumnya

29
menunjukkan bahwa SVA servikal pada gambaran radiografi 100 pasien
dengan tanpa gejala radikuler tangan dan leher menunjukkan SVA servikan
16,8±11,2 mm. Pengukuran ini dapat membantu ahli bedah vertebra untuk
memilih teknik operasi yang memberikan hasil garis sagital servikal yang
optimal pasca operasi.1,3,4,5
Bukti yang tersedia saat ini belum cukup jelas membandingkan teknik
yang lebih superior antara kedua pendekatan tersebut. Garis sagital, jumlah
vertebra yang mengalami kondisi patologis dan derajat kompresi anterior
atau posterior mengarahkan teknik operasi mana yang lebih baik untuk
dekompresi. Luo dkk melakukan tinjauan secara sistemik dengan
percobaan terkontrol yang membandingkan teknik operasi dengan
pendekatan anterior dan posterior pada pasien dengan kondisi CSM
multilevel (≥3).Hasilnya juga menunjukkan angka penyembuhan, skor
JOA, angka komplikasi, angka reoperasi, darah yang keluar, waktu operasi,
dan lama perawatan. Penulis memasukkan 10 penelitian komparatif yang
memiliki kualitas tinggi oleh Newcastle-Ottawa scale. Sebuah meta
analisis subgrup menunjukkan hasil berikut; skor pasca operasi 24 bulan
JOA secara signifikan lebih tinggi pada grup dengan teknik operasi
anterior, angka penyembuhan antara grup mirip pada 24 bulan, angka
komplikasi secara signifikan lebih tinggi pada teknik operasi anterior,
angka reoperasi secara signifikan lebih tinggi pada grup teknik operasi
anterior, jumlah darah yang hilang pada intraoperatif dan waktu operasi
secara signifikan lebih tinggi pada grup teknik operasi anterior dan lama
rawat inap secara signifikan lebih rendah pada grup teknik operasi anterior.
Tidak terdapat perbedaan yang nyata pada proses penyembuhan saraf dan
kesimpulan pasti berdasarkan teknik operasi yang lebih efektif untuk CSM
multilevel tidak dapat dibuat. Kumpulan hasil penelitian tingkat bawah
dengan berbagai indikasi bedah dan teknologi dapat berkontribusi pada
heterogenitas klinis yang di observasi pada analisis mereka.Temuan ini
sejalan dengan investigasi sebelumnya dan dapat diklarifikasi ketika hasil

30
dari penelitian dengan percobaan randomisasi terkontrol multi institusional
tersedia.1,3,4,5

31
Tabel 4. Teknik Operasi dengan Pendekatan Anterior dan Posterior yang Umum
Teknik Operasi Indikasi Utama Pro Kontra Kompliasi Umum Kontraindikasi
Diskektomi servikal  Patologi  Nyeri pascaoperasi  Ketika 3 atau lebih  Cedera saraf (palsi saraf  Radiasi sebelumnya pada
anterior dan fusi anterior kurang tulang yang terkena, C5) leher anterior
 Kifosis  Angka infeksi lebih angka komplikasi  Cedera saraf vertebra  Deformitas dada
 ≤ 2 tulang rendah dengan pendekatan  Hematom  Patologi posterior
 Mampu dekompresi anterior meningkat  Disfagia  Arteri vertebra abberant
dan memperbaiki  Komplikasi graft  Perforasi esofagus  Riwayat cedera iatrogenik
kifosis servikal tulang  Cedera arteri vertebra atau saraf laring pada sisi
 Sulit menelan atau karotis kontralateral
suara serak  Pseudoartrosis
 Kesulitan
memperbaiki kondisi
patologi yang
menekan posterior
Korpektomi anterior  Dekompresi  Dekompresi lebih luas  Kehilangan darah  Selain diatas  Osteoporosis berat
sirkumferensial  Lebih sedikit lebih banyak  Cedera arteri vertebra  Rekonstruksi >3
pada saraf permukaan graft  Peningkatan waktu  Durotomi  Radiasi sebelumnya pada
spinal servikal untuk fusi operasi  Kebocoran LCS leher anterior
ventral  Memiliki sumber  Insiden komplikasi  Degenerasi segmen sekitar  Deformitas dada
untuk autograft lebih tinggi  Arteri vertebra abberant
 Dapat dikombinasikan  Riwayat cedera iatrogenik
dengan ACDF saraf laring pada sisi
kontralateral
Artroplasti  CSM 1-2  Pemeliharaan gerakan  Perubahan degeneratif  Radikulopati onset baru  Kifosis servikal
vertebra segmental dengan signifikan beresiko  Subsidence  Instabilitas servikal
perawatan stabilitas untuk perubahan lebih  Migrasi implant  Ankylosis servikal
yang adekuat lanjut pada regio yang  Sendi ankylosis  Osteoporosis
terkena (pembentukan tulang
heterotopik signifikan

32
sekitar implant)

Teknik Operasi Indikasi Utama Pro Kontra Kompliasi Umum Kontraindikasi


Hanya  Patologi posterior  Pendekatan  Kifosis pascaoperasi  Radikulopati C5  Ketidakmampuan untuk
laminektomi  Netral hingga lordosis langsung lambat  Durotomi toleransi posisi pronasi
servikal  Kebocoran LCS  Infeksi aktif posterior
 Radiasi sebelumnya pada
leher posterior
 Deformitas dada
 Kifosis servikal signifikan
 Instabilitas signifikan
Laminektomi  Patologi posterior  Stabilisasi  Bergantung pada  Palsi C5  Ketidakmampuan untuk
servikal dan fusi  CSM multilevel multilevel kemampuan saraf untuk  Cedera arteri vertebra toleransi posisi pronasi
 Dekompresi lebih menjauh dari lesi anterior  Infeksi luka  Infeksi aktif posterior
luas dari patologi  Kompliasi yang  Kebocoran LCS  Radiasi sebelumnya pada
posterior dengan berhubungan dengan leher posterior
memberikan sekrup yang salah letak  Kifosis servikal signifikan
stabilisasi via fusi
Laminoplasti  Alternatif “tissue-  Mempertahankan  Dekompresi posterior  Cedera saraf C5 yang  Ketidakmampuan untuk
servikal sparing” untuk kompresi elemen posterior terbatas lambat toleransi posisi pronasi
saraf spinal  Instabilitas akhir  Nyeri leher  Infeksi aktif posterior
 Nyeri leher yang  Penurunan ROM  Radiasi sebelumnya pada
membaik secara tidak  Kifosis onset baru leher posterior
tetap  Nyeri leher signifikan
 Kifosis servikal signifikan
 Instabilitas tulang servikal
Kombinasi ACDF  Kifosis fokal signifikan  Meningkatkan  Teknik lebih menantang  Sama dengan pendekatan  Ketidakmampuan untuk
dan leminektomi dan patologi kompresi stabilisasi  Meningkatkan waktu posterior diatas toleransi posisi pronasi

33
dan fusi posteror  Meningkatkan operasi  Infeksi aktif posterior
 Dekompresi multilevel dekompresi  Sering membutuhkan  Radiasi sebelumnya pada
 Instabilitas staging leher posterior

34
III.IX. TATALAKSANA ANESTESI UMUM

Pembedahan vertebra cervical paling mudah didiskusikan bersama dua


kategori utama: emergensi dan elektif. Prosedur bedah elektif termasuk
prosedur dekompresif, discus, dan stabilisasi dan umumnya diperlukan untuk
pengobatan mielopati cervicalis sebagai akibat dari perubahan degeneratif pada
vertebra yang terjadi dan meningkat seiring bertambahnya usia, dan usia sering
dianggap sebagai faktor risiko untuk melakukan operasi. Kekhawatiran tentang
usia ini diterjemahkan ke dalam berbagai pendekatan bedah dan komorbiditas
terkait. Sebagai contoh, pendekatan anterior umumnya disukai dibanding
posterior pada kelompok usia geriatrik dan tingkat lebih tinggi didekompresi
pada saat operasi dibandingkan dengan kelompok yang lebih muda.1,6,9
Jenis operasi yang dilakukan pada vertebra meliputi operasi untuk
trauma, deformitas, dan mielopati. Kerumitan prosedur terus meningkat dan
pasien yang lebih tua dengan komorbiditas yang signifikan sedang ditawarkan
prosedur yang lebih besar yang sebelumnya tidak dipertimbangkan.
Peningkatan jumlah prosedur dekompresif untuk kompresi medulla spinalis
metastatik sedang dilakukan sebagai hasil dari peningkatan terapi onkologi. 2,9

Pertimbangan umum

Komorbiditas pasien akan menginformasikan proses persetujuan. Ada


insiden komplikasi yang signifikan pada sebagian besar operasi vertebra dan
sangat penting bahwa pasien memahaminya dan realistis tentang hasil
pembedahannya. Kehilangan darah besar, infeksi, dan komplikasi pernapasan
pasca operasi semuanya umum terjadi. Ada kebutuhan yang sering untuk
transfusi darah bahkan dengan penggunaan rutin penyelamatan sel darah merah
dan asam traneksamat. Momok kerusakan medulla spinalis dan kelumpuhan

35
perlu ditingkatkan: insiden ini 1% dalam operasi deformitas vertebra
korektif.2,10

Penilaian Preoperatif

Ketika menilai pasien sebelum operasi vertebra, perawatan khusus harus


diberikan pada sistem pernapasan, kardiovaskular, dan neurologis; semua
mungkin dipengaruhi oleh patologi yang diusulkan operasi vertebra.
Dekompresi dan fusi cervicalis anterior merupakan operasi yang umum
dilakukan untuk spondylosis cervicalis yang menyebabkan myelopathy. Akses
ke vertebra membutuhkan retraksi dari lapisan karotis. Akibatnya, beberapa
ketidakstabilan kardiovaskular dapat terjadi dan untuk alasan inilah pemantauan
tekanan arteri invasif harus dipertimbangkan. Pembuluh darah ke kelenjar tiroid
mungkin harus dikorbankan meningkatkan risiko hematoma pasca operasi.
Retraksi medial esofagus biasanya akan menyebabkan disfagia pasca
operasi.2,10,11
Pasien diposisikan supinasi dengan lengan mereka di sisi mereka. Leher
diekstensikan dan sejumlah traksi terbatas diterapkan dengan pita di bawah
dagu. Atau, traksi juga dapat dicapai dengan menggunakan pin kranial yang
melekat pada berat badan. Akses ke tangan dibatasi sehingga i.v. line cairan
diperpanjang atau dipasang di kaki.2,10,11

Airway assessment

Pasien dengan gangguan vertebra cervicalis memiliki insiden intubasi


yang lebih tinggi daripada yang diantisipasi dibandingkan dengan kontrol yang
cocok, dan kemungkinan kesulitan ini meningkat pada pasien dengan
keterbatasan berat gerakan vertebra. Pada sebagian besar pasien yang datang
dengan prosedur terbatas (misalnya, diskektomi anterior) dan pada pasien
dengan rentang gerak vertebra yang terawetkan dengan baik, bagaimanapun,

36
timbulnya kesulitan dengan pendekatan manajemen saluran napas dari kontrol
normal.2,10,11
Pasien dengan proses penyakit yang mengakibatkan ketidakstabilan
atlantoaxial memerlukan pertimbangan khusus untuk manajemen saluran napas.
Ketika seorang pasien dengan ketidakstabilan atlantoaxial berbaring terlentang,
gerakan pasif kepala baik fleksi atau ekstensi dapat mengakibatkan pemisahan
atlas dan aksis mengakibatkan peningkatan subluksasi. Secara khusus, posisi
mengendus dapat secara signifikan meningkatkan subluksasi. Posisi ini dapat
dicapai dengan penggunaan bantal datar kecil di mana ditempatkan bantal
berbentuk donat. Perawatan harus dilakukan untuk meminimalkan gerakan
selama intervensi saluran napas pada pasien ini.2,10,11
Empat penulis telah mengevaluasi dampak dari teknik imobilisasi yang
umum digunakan, termasuk imobilisasi in-line manual (MILI), dalam
membatasi gerakan vertebra pada model vertebra yang tidak stabil. Semua
menyimpulkan bahwa jumlah gerakan yang diukur selama intervensi saluran
napas ialah kecil, meskipun tidak berkurang secara seragam dibandingkan
dengan gerakan yang terjadi ketika tidak ada imobilisasi yang diterapkan.2,10,12
Gerakan vertebra cervical umumnya kurang ketika rigid laryngoscopes
indirect digunakan dibandingkan dengan laringoskop direk, dengan
pengecualian dari Glidescope, yang menghasilkan besaran gerakan yang sama.
Visualisasi glotis juga ditingkatkan dengan penggunaan laringoskopi yang rigid.
Pemasanan saluran udara laryngeal mask menghasilkan gerakan vertebra yang
sedikit, meskipun pemasangan dapat menyebabkan tekanan tinggi terhadap
vertebra servikal atas. Relevansi klinis dari temuan ini belum diklarifikasi.
Akhirnya, gerakan vertebra yang dihasilkan dari krikotirotomi kecil dan mirip
dengan yang dicatat selama intervensi saluran napas lainnya.2
Tujuan MILI adalah untuk menerapkan kekuatan yang cukup untuk
kepala dan leher sehingga membatasi gerakan yang mungkin terjadi selama
penatalaksanaan saluran napas. Tujuannya adalah untuk menerapkan kekuatan
yang sama besarnya dan berlawanan arah dengan yang dihasilkan oleh
laringoskopi untuk menjaga kepala dan leher dalam posisi netral. Menghindari

37
kekuatan traksi selama penerapan MILI mungkin sangat penting ketika ada
ketidakstabilan vertebra yang nyata. MILI mengurangi gerakan vertebra total
selama proses laringoskopi dan intubasi trakea, meskipun Lennarson dan
rekannya tidak dapat menunjukkan bahwa itu menghasilkan pengurangan
gerakan di lokasi ketidakstabilan dalam model kadaver.2
Meskipun MILI tampaknya memiliki dampak paling kecil dari semua
teknik imobilisasi pada manajemen saluran napas, hal ini dapat membuat
laringoskopi direk lebih sulit pada beberapa pasien daripada jika tidak ada
kekuatan imobilisasi yang diterapkan. Tekanan laring atau krikoid anterior
sering meningkatkan pandangan laring saat leher diimobilisasi dengan MILI.2
Jika vertebra cervicalis sangat tidak stabil, pertimbangan harus diberikan
baik intubasi trakea dan posisi pasien saat mereka masih terjaga. Ini dapat
dilakukan dengan sedasi yang bijaksana dan aplikasi anestesi lokal yang hati-
hati ke trakea dan tengkorak sebelum penempatan intubasi dan caliper.
Meskipun pendekatan yang hati-hati, harus diakui bahwa hanya penilaian
neurologis yang akurasinya dapat dikurangi oleh sedasi yang diberikan.2

Sistem Respiarasi

Sebelum operasi, fungsi pernapasan harus dinilai dengan riwayat


menyeluruh, dengan fokus pada gangguan fungsional, pemeriksaan fisik, dan
investigasi yang tepat. Kelainan darah-gas yang paling umum adalah
berkurangnya tekanan oksigen arteri dengan tekanan karbon dioksida arteri
yang normal, sebagai akibat ketidaksesuaian antara ventilasi dan perfusi pada
unit paru hipoventilasi. Gangguan fungsi pernapasan harus dioptimalkan dengan
mengobati setiap penyebab disfungsi pulmonal yang reversibel. , termasuk
infeksi, dengan fisioterapi dan bronkodilator nebulasi seperti yang
ditunjukkan.2,11,13

Sistem Kardiovaskular

38
Gangguan jantung mungkin merupakan akibat langsung dari patologi
yang mendasarinya, misalnya pada pasien dengan distrofi otot. Disfungsi
jantung juga dapat terjadi sekunder pada skoliosis, yang menyebabkan distorsi
mediastinum, dan kor pulmonale sekunder akibat hipoksemia kronis dan
hipertensi pulmonal. Penilaian gangguan fungsi kardiovaskular sulit pada pasien
yang bergantung pada kursi roda. Pemeriksaan minimal harus mencakup
elektrokardiograf, dan ekokardiografi untuk menilai fungsi ventrikel kiri dan
tekanan arteri pulmonal. Dobutamine stress echocardiography dapat digunakan
untuk menilai fungsi jantung pada pasien dengan toleransi latihan yang
terbatas.2,13,14

Profilaksis tromboembolik

Pasien yang menjalani operasi vertebra mungkin berisiko mengalami


penyakit tromboemboli sebagai akibat dari operasi yang berkepanjangan, posisi
tengkurap, keganasan, dan periode panjang dari tirah baring pasca operasi.
Penggunaan stoking kompresi dan / atau sepatu pneumatik dianjurkan. Banyak
ahli bedah memilih untuk tidak menggunakan antikoagulan karena
penggunaannya mungkin berhubungan dengan komplikasi hemoragik, termasuk
peningkatan kehilangan darah dan hematoma epidural.2,13,14

Sistem Neurologi
Penilaian neurologis lengkap pasien harus dilakukan sebelum operasi.
Ini harus didokumentasikan karena tiga alasan. Pertama, pada pasien yang
menjalani operasi vertebra cervicalis, ahli anestesi memiliki tanggung jawab
untuk menghindari kerusakan neurologis lebih lanjut selama manuver seperti
intubasi trakea dan posisi pasien. Kedua, distrofi otot mungkin melibatkan otot
bulbar, meningkatkan risiko aspirasi pasca operasi. Ketiga, tingkat cedera dan
waktu yang berlalu sejak kejadian adalah prediktor gangguan fisiologis sistem

39
kardiovaskular dan pernapasan yang terjadi perioperatif. Jika operasi dilakukan
dalam waktu 3 minggu setelah cedera, syok vertebra mungkin masih ada.
Setelah waktu ini, dysreflexia otonom dapat terjadi.2,13,14

Teknik Anestesi

Jenis pemantauan yang dipilih untuk menilai integritas saraf vertebra memiliki
pengaruh pada teknik anestesi yang digunakan.2

Premedikasi
Penggunaan agen bronkodilator dapat bermanfaat dalam
mengoptimalkan fungsi pernapasan sebelum operasi. Pada pasien dengan lesi
medula spinalis tinggi, atau mereka yang menjalani intubasi serat optik harus
dilakukan, pemberian agen antikolinergik seperti atropin atau glycopyrrolate
(200 ± 400 mg dengan injeksi i.v atau i.m.) harus dipertimbangkan. Banyak
pasien akan memiliki faktor yang meningkatkan risiko regurgitasi dan aspirasi
isi lambung, seperti pemberian opioid, cedera vertebra yang tinggi, atau cedera
traumatis. Dalam keadaan ini, mungkin lebih bijaksana untuk mendahulukan
pasien dengan antagonis reseptor histamin-2 seperti ranitidine, atau inhibitor
pompa proton seperti omeprazole, dan dengan natrium sitrat. Beberapa pasien
mungkin memiliki tabung nasogastrik in situ, yang menurunkan kompetensi
sfingter esofagus bagian atas.2,10,11,13

Induksi
Pilihan teknik induksi, i.v. atau inhalasi, dipandu terutama oleh kondisi
pasien dan dengan pertimbangan mudahnya trakea diintubasi. Preoksigenasi
dianjurkan pada semua pasien. Kecuali ada kekhawatiran atas stabilitas vertebra
cervicalis atau pemeliharaan saluran napas (lihat di bawah), i.v. induksi cocok
untuk semua pasien yang paling sakit.2,10,11,13
Penggunaan dosis bolus i.v. agen induksi mengurangi amplitudo respon
potensial yang ditimbulkan, dan khususnya, respons kortikal. Agen inhalasi

40
mengurangi amplitudo respon potensial yang ditimbulkan ke tingkat yang lebih
besar daripada i.v. agen induksi, tetapi tidak ada studi yang membandingkan
teknik induksi inhalasi dengan i.v. teknik dalam hal ini.2,10,11,13

Intubasi
Keputusan harus dibuat pada penilaian pra operasi apakah untuk mengintubasi
pasien terjaga atau tertidur, dan apakah laringoskopi serat optik akan
diperlukan. Pasien harus diberi konseling penuh tentang keputusan saat
ini.2,10,11,13

Terjaga atau tertidur?


Indikasi untuk intubasi terjaga termasuk risiko pengosongan lambung
yang tertunda, kebutuhan untuk menilai neurologi setelah intubasi selesai
(dalam kasus-kasus seperti vertebra cervix yang tidak stabil), atau adanya alat
stabilisasi leher (seperti traksi halo), yang mencegah perawatan saluran napas
yang adekuat pada pasien yang tidak sadar. Jika tidak, i.v. induksi anestesi
diikuti oleh obat penghambat neuromuskular non-depolarisasi adalah teknik
pilihan.2,10,11,13

Direct atau fibre-optic laryngoscopy?


Ada kontroversi mengenai apakah laringoskopi direk merupakan faktor
utama yang berkontribusi terhadap cedera saraf pada pasien dengan
ketidakstabilan vertebra cervicalis. Faktor-faktor lain seperti hipotensi dan
posisi pasien mungkin sama pentingnya. Laringoskopi direk dengan stabilisasi
in-line manual atau kerah keras, merupakan sarana intubasi yang diterima untuk
banyak pasien asalkan ini dapat dicapai tanpa pergerakan leher. Memperbaiki
kelainan bentuk fleksi, yang melibatkan vertebra torakalis dan leher atas dapat
membuat laringoskopi direk menjadi tidak mungkin. Pasien-pasien ini
memerlukan penggunaan laringoskopi serat optik untuk memfasilitasi intubasi
trakea. Saluran udara masker laring intubasi mungkin merupakan alternatif yang

41
berguna, dengan atau tanpa panduan serat optik, untuk anestesi yang akrab
dengan penggunaannya.2,10,13
Intubasi serat optik yang terjaga akan diperlukan pada pasien yang
memakai alat stabilisasi seperti rompi halo, yang membuat akses jalan nafas
konvensional menjadi tidak mungkin, dan di mana kesulitan diantisipasi karena
alasan anatomis, misalnya mikrognatia, pembukaan mulut terbatas. Pada pasien
dengan vertebra cervicalis yang tidak stabil, pemberian anastesi lokal ke dalam
saluran napas untuk memfasilitasi intubasi yang terjaga dapat menyebabkan
batuk yang kuat. Dalam kasus seperti itu, lebih baik untuk menggunakan
lidokain nebulizer daripada injeksi krikotiroid atau administrasi anestesi lokal
melalui lingkup serat optik.2,10,13

Maintenance
Diperlukan kedalaman anestesi yang stabil. Suatu teknik yang
melibatkan nitrous oxide 60% dan isoflurane kurang dari 0,5 MAC kompatibel
dengan somatosensory evoked potential (SSEP) monitoring, tetapi dalam
nitrous oxide 60%, konsentrasi isoflurane end-tidal lebih besar dari 0,87%
membuat monitoring MEP tidak dapat diinterpretasi. Oleh karena itu, teknik
menggunakan propofol direkomendasikan. Neurofisiologis yang memantau
potensi yang ditimbulkan harus dibuat sadar akan adanya penurunan tekanan
arteri yang mendadak, atau kebutuhan untuk mengelola bolus opioid atau
mengubah kedalaman anestesi. Ketidakstabilan kardiovaskular mendadak
selama anestesi dapat terjadi akibat refleks spinal dan batang otak, dari distorsi
mediastinum sebagai akibat manipulasi bedah, atau lebih sering dari kehilangan
darah.2,10,13

Muscle relaxant
Ketika respon motorik otak muncul, blok neuromuskular harus dipantau
secara hati-hati dan kedalaman konstan blok dipertahankan. Dianjurkan untuk
memberikan obat penghambat neuromuskular non-depolarisasi seperti

42
atracurium dengan menggunakan i.v. perangkat infus selama operasi vertebra
besar.2, 10

Monitoring Intraoperatif dan memposisikan pasien

Pemantauan kardiovaskular
Anestesi yang berkepanjangan dalam posisi yang tidak biasa,
dikombinasikan dengan kehilangan darah yang signifikan, efek hemodinamik
dari bedah toraks, dan di mana hipotensi yang terkontrol dengan tepat,
memerlukan pemantauan rinci dari sistem kardiovaskular. Pemantauan tekanan
arteri invasif wajib dilakukan.2,10

Pemantauan pernapasan
Pemantauan sistem pernapasan harus selalu mencakup konsentrasi akhir
karbon dioksida dan tekanan puncak saluran napas. Dalam operasi besar,
pengukuran serial tekanan oksigen arteri dianjurkan.2,10

Pemantauan suhu tubuh


Thermoregulasi mungkin sudah terganggu pada pasien yang memiliki
lesi medula spinalis sebelum operasi. Anestesi berkepanjangan menyebabkan
kehilangan panas yang signifikan. Penggunaan pemantauan suhu, pemanasan
semua i.v. cairan, dan perangkat kasur udara hangat dianjurkan.2,10

Positioning
Posisi pasien untuk operasi vertebra bervariasi tergantung pada tingkat
vertebra yang akan dioperasikan dan sifat dari operasi yang diusulkan. Pasien
dapat direposisi secara intraoperatif. Penting bahwa tekanan vena di situs bedah

43
tetap rendah untuk mengurangi pendarahan (kemiringan Trendelenburg terbalik
dan perut bebas), dan saraf perifer, tonjolan tulang, dan mata dilindungi.
Penting juga untuk menghindari perpindahan fraktur yang tidak stabil selama
pemosisian pasien. Pencitraan x-ray intraoperatif sering diperlukan. Tingkat
vertebra yang relevan harus, oleh karena itu, ditempatkan jauh dari pusat
dukungan dari meja operasi radiolusen.2,10

Cervical surgery
Pasien biasanya diposisikan dengan kaki mereka dekat dengan mesin
anestesi. Ini memungkinkan akses bedah ke kepala dan leher. Perluasan untuk
sirkuit pernapasan dan i.v. garis, dan mungkin berguna untuk menempatkan i.v.
kanula di kaki pasien. Tabung trakea harus diamankan dengan hati-hati tanpa
menimpa lapangan kerja bedah.2,10
Untuk operasi anterior, tabung trakea yang diperkuat akan mengurangi
risiko obstruksi saluran napas saat retraksi trakea terjadi selama operasi. Kepala
didukung pada kepala cincin empuk, atau `tapal kuda 'dari lampiran operasi
bedah bedah Mayfield. Traksi mungkin diperlukan oleh jepitan dan beban yang
ditempatkan ke dalam tulang vertebra tengkorak untuk beberapa atau semua
prosedur. Posisi Trendelenburg terbalik meminimalkan perdarahan vena dan
memberikan traksi kontra untuk berat yang melekat pada kepala. 2,10
Untuk pendekatan posterior ke vertebra cervicalis, kepala pasien
tengkurap dapat didukung pada tapal kuda yang terbuat dari gel-empuk dari,
atau ditempatkan di penjepit tengkorak. Orbita, saraf orbital superior, dan kulit
di atas maksila berisiko mengalami cedera iskemik tertentu jika posisi tidak
benar. Masalah-masalah ini dihindari dengan menggunakan penjepit tengkorak.
Tinggi kepala dan tingkat fleksi leher dapat disesuaikan pada intraoperatif, dan
area tekanan harus diperiksa ulang setelah manuver tersebut. Dukungan untuk
tabung trakea dan sirkuit pernafasan sulit dilakukan; perawatan harus diambil
jika peralatan berpindah ke meja operasi.2,10
Emboli udara vena adalah risiko bagi pasien-pasien ini karena vena di
tempat operasi berada di atas tingkat jantung. Sayangnya, metode untuk

44
mengurangi kehilangan darah seperti tekanan vena yang berkurang
meningkatkan risiko komplikasi ini.2,10

Pemantauan Spinal cord


Selama pembedahan, ketika gaya korektif diterapkan pada vertebra,
sementara kanal vertebra diserang secara operasi, atau ketika osteotomy harus
dilakukan, medulla spinalis berisiko cedera. Insiden defisit motorik atau
paraplegia setelah operasi untuk memperbaiki skoliosis dengan tidak adanya
teknik pemantauan medulla spinalis telah dikutip antara 3,7 dan 6,9% 0,2170
Angka ini dapat dikurangi dengan pemantauan intraoperatif (IOM) menjadi
0,5%. Amerika Academy of Neurology telah menerbitkan pedoman pada IOM
menyimpulkan `bukti yang cukup mendukung penggunaan pemantauan sebagai
alat yang aman dan berkhasiat dalam situasi klinis di mana ada risiko sistem
saraf yang signifikan, asalkan keterbatasannya dihargai '. Sekarang dianggap
wajib untuk memantau fungsi medulla spinalis untuk jenis prosedur ini.13-15
IOM idealnya mendeteksi gangguan pada fungsi medulla spinalis awal
agar ahli bedah dapat mengambil langkah yang tepat untuk memperbaikinya
sebelum kerusakan permanen terjadi. Waktu, bagaimanapun, antara perubahan
dalam rekaman elektrofisiologi dari medula spinalis setelah over-gangguan, dan
timbulnya kerusakan iskemik ireversibel dalam urutan hanya 5 ± 6 menit dalam
penelitian pada hewan.13-15
Defisit motor secara fungsional lebih merusak pasien daripada defisit
sensorik. Hal ini penting untuk dipertimbangkan ketika mengevaluasi manfaat
relatif dari masing-masing metode pemantauan, beberapa di antaranya menilai
traktus motorik, dan beberapa traktus sensoris dari medula spinalisnya.13-15

Ankle clonus test


Secara historis, ini adalah tes pertama yang digunakan. Clonus adalah
gerakan ritmik berulang yang ditimbulkan oleh refleks peregangan. Tes klonus
biasanya dilakukan selama munculnya, baik pada akhir operasi atau selama tes

45
bangun. Hanya ada periode singkat antara anestesi dan terjaga ketika mungkin
untuk mendapatkan clonus. Cedera medulla spinalis ditandai dengan tidak
adanya gerakan berulang pada sendi pergelangan kaki.13-15
Pada individu yang neurologisnya utuh, pusat kortikal yang lebih tinggi
memiliki pengaruh penghambatan descending pada refleks, dan clonus tidak
diamati setelah peregangan pergelangan kaki. Pada individu yang sehat selama
anestesi, pusat-pusat kortikal dihambat dan ada kehilangan inhibisi descending
melalui jalur medula spinalis pada refleks sendi pergelangan kaki. Oleh karena
itu, Clonus dapat ditemukan pada peregangan pergelangan kaki, terutama
selama munculnya dari anestesi. Jika medulla spinalis terluka, bagaimanapun,
medula spinalis mengalami periode syok vertebra, dan ada hilangnya aktivitas
refleks disertai dengan paralisis flaccid, sehingga refleks ankle clonus tidak
akan hadir.13-15

Stagnara wake-up test


Ini pertama kali dijelaskan pada tahun 1973. Sebelum operasi,
kebutuhan untuk tes dijelaskan. Ketika pasien menjadi lebih sadar, mereka
diinstruksikan terlebih dahulu untuk melakukan tindakan yang melibatkan
kelompok otot di atas tingkat kerusakan medula spinalis potensial, biasanya
melibatkan ekstremitas atas (misalnya, untuk menggenggam jari-jari anestesi).
Ketika respon positif diperoleh, pasien kemudian diinstruksikan untuk
menggerakkan kaki mereka, dan respon terhadap perintah ini dicatat. Jika
pasien dapat menggerakkan kaki mereka, anestesi diperdalam dan operasi
kembali dilakukan. Jika pasien tidak dapat menggerakkan kaki mereka,
tindakan korektif segera dilakukan.16

III.X. PERAWATAN PASCA OPERASI

Pasien yang menjalani operasi vertebra sering memiliki komorbiditas


yang signifikan. Pembedahan membebankan tekanan lebih lanjut kehilangan
darah yang signifikan, anestesi berkepanjangan, dan kesulitan dalam

46
manajemen nyeri pasca operasi akut. Ahli bedah lebih memilih pasien untuk
sadar dan mampu merespon perintah segera setelah anestesi, untuk penilaian
neurologis awal. Juga penting bahwa pasien dapat meludah, dan mematuhi
fisioterapi sedini mungkin pada periode pasca operasi.2,10

Analgesia postoperatif
Pendekatan multimodal untuk analgesia dianjurkan, menggunakan
kombinasi analgesik primer sederhana, opioid, dan teknik anestesi regional
yang sesuai. Untuk analgesia pasca operasi awal, akan berguna untuk memulai
kembali, jika mungkin, semua analgesik yang pasien terima sebelum operasi.
Tidak diragukan lagi, kebutuhan pasien akan meningkat pasca operasi dan
terapi tambahan akan diperlukan.2,10

Opioid Parenteral
Penggunaan opioid parenteral telah menjadi analgesia andalan untuk
semua pasien yang menjalani operasi vertebra. Opioid dapat diberikan melalui
i.m., i.v. (Infus kontinyu dan perangkat analgesia yang dikontrol pasien dengan
atau tanpa infus latar belakang), intrapleural, epidural, dan rute intratekal.
Penggunaannya, melalui rute i.v. khususnya, berhubungan dengan efek samping
seperti depresi pernapasan, mual dan muntah, sedasi, dan ileus gastrointestinal.
Yang terakhir mungkin sangat merugikan setelah operasi vertebra besar, ketika
beberapa derajat ileus paralitik umum terjadi.2,10

Obat Anti Inflamasi Non Steroid


Analgesik sederhana saja memberikan analgesia yang tidak adekuat
bahkan untuk pembedahan vertebra yang relatif kecil. Obat antiinflamasi
nonsteroid (NSAID), baik penghambat siklooksigenase non-selektif, dan
penghambat selektif siklo-oksigenase 2 (COX 2), telah berhasil digunakan
setelah operasi vertebra. Penggunaan NSAID dapat meningkatkan waktu

47
perdarahan sebesar 30 ± 35%, menyebabkan gastritis, dan berhubungan dengan
gagal ginjal akut, terutama pada hipovolemia dan hipotensi.2,10

Analgesia Epidural
Penggunaan agen anestesi lokal, sendiri atau dalam kombinasi dengan
opioid, dengan rute epidural setelah operasi vertebra telah dijelaskan, kateter
epidural ditempatkan intraoperatif oleh ahli bedah. Dua penelitian terbaru
membandingkan analgesia epidural dengan morfin parenteral yang diberikan
melalui perangkat analgesia terkontrol pasien (PCA) setelah operasi vertebra
besar.2,10

III.XI. KOMPLIKASI

Komplikasi saluran napas sering terjadi setelah operasi spinal servikal


anterior dan dapat berkisar dari obstruksi jalan napas akut sampai disfungsi pita
suara kronis. Variabel yang terkait dengan komplikasi saluran napas pasca
operasi adalah paparan yang melibatkan lebih dari tiga corpus vertebral atau
melibatkan C2, C3, atau C4; kehilangan darah lebih dari 300 mL; waktu operasi
lebih dari 5 jam; dan gabungan operasi kombinasi vertebra cervicalis
anteroposterior. Kelumpuhan pita suara yang disebabkan oleh kelumpuhan saraf
laringneus rekuren adalah komplikasi otolaryngologic yang paling umum
setelah operasi vertebra servikal anterior; Kejadiannya bervariasi dalam laporan
yang tersedia. Insidennya dapat setinggi 8% pada penilaian prospektif, dan
bahwa asimptomatik palsy dua kali lipat. Disfungsi saraf bersifat sementara dan
sebagian besar kasus diselesaikan pada 3 bulan. Komplikasi saluran napas juga
dapat terjadi setelah operasi vertebra cervicalis dilakukan dalam posisi
tengkurap dan terutama terdiri dari edema laring dan makroglosia.2,10,17-19
Penurunan aliran balik vena dari wajah dan saluran udara bagian atas
telah diimplikasikan sebagai faktor etiologi; operasi yang lama dan posisi fleksi
ekstrim dapat meningkatkan risiko.20

48
Kehilangan penglihatan pasca operasi setelah operasi vertebra
Kehilangan penglihatan pasca operasi adalah komplikasi langka dari
operasi vertebra dan lebih sering dikaitkan dengan prosedur lumbar dan toraks.
Hanya 4 (5%) dari 93 kasus yang dilaporkan ke American Society of
Anesthesiologists, Post Operative Visual Loss Registry, yang melibatkan
operasi pada tingkat cervical atau cervicothoracic. Para pasien umumnya sehat
dengan usia rata-rata 50 tahun dan sebagian besar kasus kehilangan penglihatan
pasca operasi yang dihasilkan dari neuropati optik iskemik. Pembedahan
cenderung ekstensif, melibatkan berbagai tingkat pada kebanyakan pasien;
durasi anestesi rata-rata lebih dari 9 jam dan kehilangan darah rata-rata 2 L.20-21

IV. KESIMPULAN
Kebanyakan pasien yang datang untuk operasi vertebra cervicalis
melakukannya karena proses degeneratif yang berkaitan dengan usia, yang
menyebabkan rasa sakit dan biasanya terdpat gangguan neurologis. Prosedur
bedah biasanya terbatas dalam besarnya dan tingkat kesulitan yang diantisipasi
dengan manajemen saluran napas biasanya proporsional dengan dampak
biomekanik dari proses penyakit yang mendasarinya. Evaluasi preoperatif yang
hati-hati, pencitraan diagnostik yang tepat, dan pendekatan untuk perawatan
yang dirumuskan oleh interaksi kolegial antara ahli anestesi dan ahli bedah
melayani pasien ini dengan baik.

49
BAB III
DAFTAR PUSTAKA

1. Lebi DR et al. Cervical Spondylotic Myelopathy: Pathophysiology, Clinical


Presentation, and Treatment. 2011. USA. 7(1):p. 170-178
2. Crosby, Edward T. Considerations for Airway Management for Cervical Spine
Surgery in Adults. 2007. Canada. 25: p511–533
3. Kelly JC et al. The Natural History and Clinical Syndromes of Degenerative
Cervical Spondylosis. 2012. Ireland. 1(1):p.1-5
4. Durge P et al. Neurological deterioration during intubation in cervical spine
disorders. 2014. India. 58(6):p.1-10
5. Mullin J et al. 2011. Overview of Cervical Spondylosis Pathophysiology and
Biomechanics. Canada. 2(1):p.89-97
6. Han YZ et al. Neck circumference to inter-incisor gap ratio: a new predictor of
difficult laryngoscopy in cervical spondylosis patients. 2017. China. 17(55):
p.1-6
7. Han YZ et al. Radiologic indicators for prediction of difficult laryngoscopy in
patients with cervical spondylosis. 2018. China. 62(1):p.474-482
8. NN. NHS. Cervical Spodylilosis. 2017. 1(1):p.1-3
9. Xu M et al. Shikani Optical Stylet versus Macintosh Laryngoscope for
Intubation in Patients Undergoing Surgery for Cervical Spondylosis: A
Randomized Controlled Trial. 2017. 130(1):p.1-6

50
10. Nowicki, Robert WA. Anaesthesia for major spinal surgery. 2013. UK.
14(4):p.147-152
11. Raw DA et al. Anaesthesia for spinal surgery in adults. 2003. UK. 91(1):p.886-
904
12. Mohanty S. et al. Optimal Perioperative Management of the Geriatric Patient: A
Best Practices Guideline from the ACS NSQIP/American Geriatrics Society.
2016. USA.
13. Reves JG et al. Geriatric Anesthesiology third edition.2018. USA: Springer
14. Barnett SR. Manual of Geriatric Anesthesia. 2013. USA: Springer
15. Iorio JA. Neurological complications in adult spinal deformity surgery. 2016.
USA. 9(1):p.290-298
16. World Health Organization. Airway Management and Surgical
Cricothyroidotomy.
17. Pacheco-Lopez, Paulette C. et al. Complications of Airway Management.
2014;59(6): p1006-1021.
18. Kanonidou, et al. Anesthesia for the elderly. USA. 2007; 11 (4): p180-182
19. Avram, Michael J. Anesthesia for Spine Surgery. 2012. New York. 119: p240–1
20. Miller, Richard A., et al. Exacerbated Spinal Neurologic Deficit during Sedation
of a Patient with Cervical Spondylosis. 1987. USA. 67:p844-846
21. Lee, Han-Chiang et al. Cervical Spodylilosis and Difficult Intubation. 1979.
New York. 58: p. 434-435

51

Anda mungkin juga menyukai