Anda di halaman 1dari 11

TINEA KORPORIS

I. PENDAHULUAN
Tinea korporis adalah penyakit dermatofit pada kulit glabrosa, selain kulit kepala,
wajah, kaki, telapak tangan dan kaki, janggut dan lipatan paha.1 Manifestasinya akibat
infiltrasi dan proliferasinya pada stratum korneum dan tidak berkembang pada jaringan
yang hidup.1 Metabolisme dari jamur dipercaya menyebabkan efek toksik dan respon
alergi. Tinea korporis umumnya tersebar pada seluruh masyarakat tapi lebih banyak di
daerah tropis.1
Penyakit ini dapat terjadi pada semua umur dan paling sering terjadi pada iklim
yang panas (tropis dan subtropis).2 Ada beberapa macam variasi klinis dengan lesi yang
bervariasi dalam ukuran derajat inflamasi dan kedalamannya. Variasi ini akibat perbedaan
imunitas hospes dan spesies dari jamur.2

DEFINISI
Penyakit kulit yang disebabkan oleh jamur superfisial golongan dermatofita,
menyerang daerah kulit tak berambut pada wajah, badan, lengan dan tungkai.

II. EPIDEMIOLOGI
Tinea korporis merupakan infeksi yang umumnya sering dijumpai didaerah yang
panas, Tricophyton rubrum merupakan infeksi yang paling umum diseluruh dunia dan
sekitar 47 % menyebabkan tinea korporis. Tricophyton tonsuran merupakan dermatofit
yang lebih umum menyebabkan tinea kapitis, dan orang dengan infeksi tinea kapitis
antropofilik akan berkembang menjadi tinea korporis.. Walaupun prevalensi tinea
korporis dapat disebabkan oleh peningkatan Tricophyton tonsuran, Microsporum canis
merupakan organisme ketiga sekitar 14 % menyebabkan tinea korporis.3
Tinea korporis mungkin ditransmisikan secara langsung dari infeksi manusia atau
hewan melalui autoinokulasi dari reservoir, seperti kolonisasi T.rubrum di kaki. Anak-
anak lebih sering kontak pada zoofilik patogen seperti M.canis pada kucing atau anjing.
Pakaian ketat dan cuaca panas dihubungkan dengan banyaknya frekuensi dan beratnya
erupsi.4
Infeksi dermatofit tidak menyebabkan mortalitas yang signifikan tetapi mereka
bisa berpengaruh besar terhadap kualitas hidup. Tinea korporis prevalensinya sama antara
pria dan wanita. Tinea korporis mengenai semua orang dari semua tingkatan usia tapi
prevalensinya lebih tinggi pada preadolescen. Tinea korporis yang berasal dari binatang
umumnya lebih sering terjadi pada anak-anak. Secara geografi lebih sering pada daerah
tropis daripada subtropis.
Berdasarkan habitatnya dermatofit digolongkan sebagai antropofilik (manusia),
zoofilik (hewan), dan geofilik (tanah). Dermatofit yang antropofilik paling sering sebagai
sumber infeksi tinea, tetapi sumber yang zoofilik di identifikasi (jika mungkin) untuk
mencegah reinfeksi manusia.5

III. ETIOLOGI
Tinea korporis dapat disebabkan oleh berbagai spesies dermatofit seperti
Trichophyton, Microsporum, dan Epidermophyton. Variasi penyebabnya dapat ditemukan
berdasarkan spesies yang terdapat di daerah tertentu. 1 Namun demikian yang lebih umum
menyebabkan tinea korporis adalah T.rubrum, T.mentagrophytes, dan M.canis.1

IV. PATOGENESIS
Dermatofitosis bukanlah patogen endogen. Transmisi dermatofit kemanusia dapat
melalui 3 sumber masing-masing memberikan gambaran tipikal. Karena dermatofit tidak
memiliki virulensi secara khusus dan khas hanya menginvasi bagian luar stratum
korneum dari kulit.6
Types Of Dermatophytes Based On Mode Of Transmission
Category Mode of transmission Typical clinical features
Antropofilik Manusia ke manusia Ringan, tanpa inflamasi, kronik
Zoofilik Hewan ke manusia Inflamasi hebat (mungkin pustula dan
Geofilik Tanah ke manusia atau hewan vesikel), akut.
Inflamasi sedang

Lingkungan kulit yang sesuai merupakan faktor penting dalam perkembangan


klinis dermatofitosis. Infeksi alami disebabkan oleh deposisi langsung spora atau hifa
pada permukaan kulit yang mudah dimasuki dan umumnya tinggal di stratum korneum,
dengan bantuan panas, kelembaban dan kondisi lain yang mendukung seperti trauma,
keringat yang berlebih dan maserasi juga berpengaruh.3,7

Patogen menginvasi lapisan kulit yang paling atas, yaitu pada stratum korneum,
lalu menghasilkan enzim keratinase dan menginduksi reaksi inflamasi pada tempat yang
terinfeksi. Inflamasi ini dapat menghilangkan patogen dari tempat infeksi sehingga
patogen akan mecari tempat yang baru di bagian tubuh. Perpindahan organisme inilah
yang menyebabkan gambaran klinis yang khas berupa central healing.

Gambar 1. Penampakan lesi pada kulit luar (ringworm)

Pemakaian bahan yang tidak berpori akan meningkatkan temperatur dan keringat
sehingga mengganggu fungsi barier stratum korneum. Infeksi dapat ditularkan melalui
kontak langsung dengan individu atau hewan yang terinfeksi, benda-benda seperti
pakaian, alat-alat dan lain-lain. Infeksi dimulai dengan terjadinya kolonisasi hifa atau
cabang-cabangnya dalam jaringan keratin yang mati. Hifa ini memproduksi enzim
keratolitik yang mengadakan difusi ke dalam jaringan epidermis dan merusak
keratinosit.3,7
Setelah masa perkembangannya (inkubasi) sekitar 1-3 minggu respon jaringan
terhadap infeksi semakin jelas dan meninggi yang disebut ringworm, yang menginvasi
bagian perifer kulit. Respon terhadap infeksi, dimana bagian aktif akan meningkatkan
proses proliferasi sel epidermis dan menghasilkan skuama. Kondisi ini akan menciptakan
bagian tepi aktif untuk berkembang dan bagian pusat akan bersih. Eliminasi dermatofit
dilakukan oleh sistem pertahanan tubuh (imunitas) seluler.3,7
Pada masa inkubasi, dermatofit tumbuh dalam stratum korneum, kadang-kadang
disertai tanda klinis yang minimal. Pada carier, dermatofit pada kulit yang normal dapat
diketahui dengan pemeriksaan KOH atau kultur.7

V. GAMBARAN KLINIK
Tinea korporis bisa mengenai bagian tubuh manapun meskipun lebih sering
terjadi pada bagian yang terpapar. Pada penyebab antropofilik biasanya terdapat di daerah
yang tertutup atau oklusif atau daerah trauma.9
Tinea korporis dapat bermanifestasi sebagai gambaran tipikal, dimulai sebagai
lesi eritematosa, plak yang bersisik yang memburuk dan membesar, selanjutnya bagian
tengah dari lesi akan menjadi bentuk yang anular akan mengalami resolusi, dan bentuk
lesi menjadi anular. berupa skuama, krusta, vesikel, dan papul sering berkembang,
khususnya pada bagian tepinya. Kadang-kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan.
Lesi pada umumnya merupakan bercak terpisah satu dengan yang lainnya.7
Pada tinea korporis yang menahun, tanda radang akut biasanya tidak terlihat lagi.
Kelainan ini dapat terjadi pada tiap bagian tubuh dan bersama-sama dengan kelainan
pada sela paha. Dalam hal ini disebut tinea korporis dan kruris.
Bentuk khas tinea korporis yang disebabkan oleh Trichophyton concentricum
disebut tinea imbrikata. Tinea imbrikata mulai dengan bentuk papul berwarna coklat,
yang perlahan-lahan menjadi besar. Stratum korneum bagian tengah ini terlepas dari
dasarnya dan melebar. Proses ini setelah beberapa waktu mulai lagi dari bagian tengah,
sehingga terbentuk lingkaran-lingkaran skuama yang konsentris.3
Tinea korporis lebih sering ditemukan sebagai asimptomatik atau gatal ringan.
Secara obyektif tipikal lesinya mulai sebagai makula eritematosa atau papul yang
menjalar dan berkembang menjadi anular, dan lesi berbatas tegas, skuama atau vesikel,
tepi yang berkembang dan healing center. Tinea korporis lebih sering pada permukaan
tubuh yang terbuka antara lain wajah, lengan dan bahu.10

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Dalam patogenesisnya, jamur patogen akan menyebabkan kelainan pada kulit
sehingga atas dasar kelainan kulit inilah kita dapat membangun diagnosis. Akan tetapi
kadang temuan efloresensi tidak khas atau tidak jelas, sehingga diperlukan pemeriksaan
penunjang. Sehingga diagnosis menjadi lebih tepat.
Pemeriksaan mikroskopik langsung terhadap bahan pemeriksaan merupakan
pemeriksaan yang cukup cepat, berguna dan efektif untuk mendiagnosis infeksi jamur.9
Pemeriksaan KOH merupakan pemeriksaan tunggal yang paling penting untuk
mendiagnosis infeksi dermatofit secara langsung dibawah mikroskop dimana terlihat hifa
diantara material keratin.2
Gambaran effloresensinya sebagai berikut 9
Penyakit jamur Floresensi
Tinea kapitis Hijau, biru kehijauan Kuning keemasan

VII. DIAGNOSIS
Diagnosis ditetapkan berdasarkan gambaran klinis dan lokalisasinya atau
pemeriksaan sediaan langsung kerokan lesi dengan larutan KOH 20%, untuk melihat
elemen jamur dermatofit. Biakan jamur diperlukan untuk identifikasi spesies jamur
penyebab yang lebih akurat.7
Diagnosis pasti digunakan melkukan pemeriksaan dengan menggunakan
mikroskop untuk mengidentifikasi adanya hifa dan spora untuk mengetahui infeksi
dermatofit. Infeksi dapat dikonfirmasi atau beberapa dari keadaan ini diidentifikasi dari
hasil positif kerokan oleh kultur jamur.11

VIII. DIAGNOSIS BANDING


Bergantung variasi gambaran klinis, tinea korporis kadang sulit dibedakan dengan
beberapa kelainan kulit yang lainnya.
Kandidosis Pasien mengeluh rasa gatal yang hebat disertai rasa panas seperti
terbakar, terkadang juga nyeri jika ada infeksi sekunder. Lokasi biasanya terdapat di
bokong sekitar anus, lipat ketiak lipat paha, lipat bawah payudara, sekitar umbilikus,
garis-garis kaki dan tangan, kuku. Efloresensi berupa daerah yang eritematosa, erosif,
kadang dengan papul dan skuama. Pada keadaan yang kronik dapat terjadi likenifikasi,
hiperpigmentasi, hyperkeratosis, dan kadang berfisura. Pada tes KOH ditemukan
pseudohifa, Pada media Sabouroud terlihat koloni berwarna coklat mengkilat,
permukaannya basah.
Psoriasis dimulai dengan makula dan papula eritematosa dengan ukuran lentikular
sampai nummular, menyebar secara sentrifugal. Lokasi biasanya pada siku, lutut, kulit
kepala, telapak kaki dan tangan, punggung, tungkai atas dan bawah, serta kuku.
Efloresensi berupa macula eritematosa yang besarnya bervariasi dari miliar sampai
nummular, dengan gambaran yang beraneka ragam, dapat arsinar, sirsinar, polisiklis, dan
geografis. Macula ini berbatas tegas, ditutupi oleh skuama yang kasar berwarna putih
mengkilat. Jika skuama digores dengan benda tajam menunjukkan tanda tetesan lilin. Jika
penggoresan diteruskan maka akan timbul titik-titik perdarahan yang disebut sebagai
Auspitz sign. Dapat pula menunjukkan fenomena Koebner atau reaksi isomorfik, yaitu
timbul lesi-lesi psoriasis pada bekas trauma atau garukan.8
Pitiriasis rosea, yang distribusi kelainan kulitnya simetris dan terbatas, tubuh dan
bagian proksimal anggota badan, sukar dibedakan dengan tinea korporis tanpa heral
patch yang dapat membedakan penyakit ini dengan tinea korporis. Pemeriksaan
laboratoriumlah yang dapat memastikan diagnosisnya.

IX. PENATALAKSANAAN
Menghilangkan faktor predisposisi penting, misalnya mengusahakan daerah lesi
selalu kering dan memakai baju yang menyerap keringat.
A. Terapi topikal
Terapi direkomendasikan untuk infeksi lokal karena dermatofit biasanya
hidup pada jaringan. Berbagai macam preparat imidazol dan alilamin tersedia
dalam berbagai formulasi. Dan semuanya memberikan keberhasilan terapi (70-
100%). Terapi topikal digunakan 1-2 kali sehari selama 2 minggu tergantung
agen yang digunakan. Topikal azol dan allilamin menunjukkan angka perbaikan
perbaikan klinik yang tinggi.3
Berikut obat yang sering digunakan :
1. Topical azol terdiri atas :
a. Econazol 1 %
b. Ketoconazol 2 %
c. Clotrinazol 1%
d. Miconazol 2% dll.
Derivat imidazol bekerja dengan cara menghambat enzim 14-alfa-
dimetilase pada pembentukan ergosterol membran sel jamur.3
2. Allilamin bekerja menghambat allosterik dan enzim jamur skualen 2,3
epoksidase sehingga skualen menumpuk pada proses pembentukan
ergosterol membran sel jamur.(10) yaitu aftifine 1 %, butenafin 1% Terbinafin
1% (fungisidal bersifat anti inflamasi ) yang mampu bertahan hingga 7 hari
sesudah pemakaian selama 7 hari berturut-turut.3
3. Sikloklopirosolamin 2% (cat kuku, krim dan losio) bekerja menghambat
masuknya bahan esensial selular dan pada konsentrasi tinggi merubah
permeabilitas sel jamur merupakan agen topikal yang bersifat fungisidal dan
fungistatik, antiinflamasi dan anti bakteri serta berspektrum luas.3
4. Kortikosteroid topikal yang rendah sampai medium bisa ditambahkan pada
regimen anti jamur topikal untuk menurunkan gejala. Tetapi steroid hanya
diberikan pada beberapa hari pertama dari terapi.2,3
B. Terapi sistemik
Pedoman yang dikeluarkan oleh American Academy of Dermatology
menyatakan bahwa obat anti jamur (OAJ) sistemik dapat digunakan pada kasus
hiperkeratosis terutama pada telapak tangan dan kaki, lesi yang luas, infeksi
kronis, pasien imunokompromais, atau pasien tidak responsif maupun intoleran
terhadap OAJ topikal.
1. Griseofulvin 3
Obat ini berasal dari penicillium griceofulvum dan masih dianggap baku emas
pada pengobatan infeksi dermatofit genus Trichophyton, Microsporum,
Epidermophyton. Berkerja pada inti sel, menghambat mitosis pada stadium
metafase.
2. Ketokonazol
Merupakan OAJ sistemik pertama yang berspektrum luas, fungistatik,
termasuk golongan imidazol. Absorbsi optimum bila suasana asam.
3. Flukonazol
Mempunyai mekanisme kerja sama dengan golongan imidazol, namun
absorbsi tidak dipengaruhi oleh makanan atau kadar asam lambung.
4) Itrakonazol
Merupakan OAJ golongan triazol, sangat lipofilik, spektrum luas, bersifat
fungistatik dan efektif untuk dermatofita, ragi, jamur dismorfik maupun jamur
dematiacea. Absorbsi maksimum dicapai bila obat diminum bersama dengan
makanan.
5. Amfosterin B
Merupakan anti jamur golongan polyen yang diproduksi oleh Streptomyces
nodosus. Bersifat fungistatik, pada konsentrasi rendah akan menghambat
pertumbuhan jamur, protozoa dan alga. Digunakan sebagai obat pilihan pada
pasien dengan infeksi jamur yang membahayakan jiwa dan tidak sembuh
dengan preparat azol.12

X. PROGNOSIS
Untuk tinea korporis yang bersifat lokal, prognosisnya akan baik dengan tingkat
kesembuhan 70-100% setelah pengobatan dengan azol topikal atau allilamin atau dengan
menggunakan anti jamur sistemik.3

XI. KESIMPULAN
Tinea korporis adalah penyakit dermatofit pada kulit glabrosa, selain kulit kepala,
wajah, kaki, telapak tangan dan kaki, janggut dan lipatan paha. Manifestasinya akibat
infiltrasi dan proliferasinya pada stratum korneum dan tidak berkembang pada jaringan
yang hidup. Metabolisme dari jamur dipercaya menyebabkan efek toksik dan respon
alergi. Tinea korporis umumnya tersebar pada seluruh masyarakat tapi lebih banyak pada
didaerah tropis.
Tinea korporis lebih sering ditemukan sebagai asimptomatik atau gatal ringan.
Secara obyektif tipikal lesinya mulai sebagai makula eritematosa atau papul yang
menjalar dan berkembang menjadi anular, dan lesi berbatas tegas, skuama atau vesikel,
tepi yang berkembang dan healing center. Tinea korporis lebih sering pada permukaan
tubuh yang terbuka antara lain wajah, lengan dan bahu.11
Untuk tinea korporis yang bersifat lokal, prognosisnya akan baik dengan tingkat
kesembuhan 70-100% setelah pengobatan dengan azol topikal atau allilamin atau dengan
menggunakan anti jamur sistemik 3
DAFTAR PUSTAKA
1. Patel S, Meixner JA, Smith MB, McGinnis MR. Superficial mycoses and
dermatophytes. In : Tyring SK, Lupi O, Hengge UR, editors. Tropical
dermatology. China: Elsenvier inc, 2006. p.185-92.
2. Habif TP. Clinacal dermatology. 4th ed. Edinburgh: Mosby, 2004
3. Rushing ME. Tinea corporis. Online journal. 2017 mei 06; available from;
http://www.emedicine.com/asp/tinea corporis/article/page type=Article.htm
4. Nelson MM, Martin AG, Heffernan MP. Fungal disease with cutaneus
involvement. In : Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA,
Katz SI. Fitzpatrick’s: Dermatology in general medicine. 6th ed. New York: Mc
graw hill, 2004.p:1908-2001.
5. Noble SL, Forbes RC, Stamm PL. Diagnosis and management of common tinea
infections. 1998 July 1, available from: http://www.afp.org/journal/asp/.htm
6. Sobera JO, Elewski BE. Fungal disease. In : Bolognia JL, Jorizzo JL, Raiini RP,
editors. Dermatology. Spain : Elsevier Science; 2003. p.1174-83.
7. Amiruddin MD. Ilmu penyakit kulit. Makassar: Percetakan LKiS, 2003
8. Bramono, K. Dermatofitosis. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RSCM; 2010.
9. Goedadi MH, Suwito PS. Tinea korporis dan tinea kruris. In : Budimulja U,
Kuswadji, Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widaty S, editors.
Dermatomikosis superfisialis. Jakarta: Balai penerbit FKUI, 2004.p.31-4
10. Arndt KA, Bowers KE. Manual of dermatology therapeutics with essential of
diagnostic. 6th ed. Philadelphia: Lippincot Williams & willkins.2002.
11. Nugroho SA. Pemeriksaan penunjang diagnosis dermatomikosis superfisialis. In :
Budimulja U, Kuswadji, Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widaty S,
editors. Dermatomikosis superfisialis. Jakarta: Balai penerbit FKUI, 2004.p.99-
106.
12. Kuswadji, Widaty KS. Obat anti jamur. In : Budimulja U, Kuswadji, Bramono K,
Menaldi SL, Dwihastuti P, Widaty S, editors. Dermatomikosis superfisialis.
Jakarta: Balai penerbit FKUI, 2004.p.108-16

Referat
Tinea Korporis
Putri Amalia
11.2016.083

Pembimbing :
Dr. Endang Soekmawati Sp.KK

KEPANITERAN KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
RS MARDI RAHAYU KUDUS
PERIODE 24 APRIL – 27 MEI 2017

Anda mungkin juga menyukai