Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kegawatdaruratan obstetri dan neonatal merupakan suatu kondisi yang dapat
mengancam jiwa seseorang, hal ini dapat terjadi selama kehamilan, ketika kelahiran
bahkan saat hamil. Sangat banyak sekali penyakit serta gangguan selama kehamilan
yang bisa mengancam keselamatan ibu maupun bayi yang akan dilahirkan.
Kegawatan tersebut harus segera ditangani, karena jika lambat dalam menangani akan
menyebabkan kematian pada ibu dan bayi baru lahir (Walyani & Purwoastuti, 2015).
Dari berbagai faktor yang berperan pada kematian ibu dan bayi, kemampuan
kinerja petugas kesehatan berdampak langsung pada peningkatan kualitas pelayanan
kesehatan maternal dan neonatal terutama kemampuan dalam mengatasi masalah
yang bersifat kegawatdaruratan. Semua penyulit kehamilan atau komplikasi yang
terjadi dapat dihindari apabila kehamilan dan persalinan direncanakan, diasuh dan
dikelola secara benar. Untuk dapat memberikan asuhan kehamilan dan persalinan
yang cepat tepat dan benar diperlukan tenaga kesehatan yang terampil dan profesional
dalam menanganan kondisi kegawatdaruratan.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa Pengertian Abortus?
2. Bagaimana Penanganan Abortus Imminens?
3. Bagaimana Penanganan Abortus Insipiens?
4. Bagaimana Penanganan Abortus Inkomplit?
5. Bagaimana Penanganan Abortus Komplit?
6. Bagaimana Penanganan Kehamilan Ektopik Terganggu?
7. Bagaimana Penanganan Molahidatidosa?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk Mengetahui Apa Pengertian Abortus?
2. Untuk Mengetahui Bagaimana Penanganan Abortus Imminens?
3. Untuk Mengetahui Bagaimana Penanganan Abortus Insipiens?
4. Untuk Mengetahui Bagaimana Penanganan Abortus Inkomplit?
5. Untuk Mengetahui Bagaimana Penanganan Abortus Komplit?

1
6. Untuk Mengetahui Bagaimana Penanganan Kehamilan Ektopik Terganggu?
7. Untuk Mengetahui Bagaimana Penanganan Molahidatidosa?

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Abortus

Abortus adalah berakhirnya suatu kehamilan (oleh akibat-akibat tertentu) pada


atau sebelum kehamilan tersebut berusia 22 minggu atau buah kehamilan belum mampu
untuk hidup diluar kandungan (Prawiroharjo, 2006).
Abortus adalah pengeluaran hasil konsepsi yang usia kehamilannya kurang dari
20 minggu. Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya amenore, tanda-tanda
kehamilan, perdarahan hebat per vagina, pengeluaran jaringan plasenta dan
kemungkinan kematian janin.Pada abortus septik, perdarahan per vagina yang banyak
atau sedang, demam (menggigil), kemungkinan gejala iritasi peritoneum, dan
kemungkinan syok.

2.2 Etiologi Abortus


Abortus pada wanita hamil bisa terjadi karena beberapa sebab diantaranya :
1. Kelainan pertumbuhan hasil konsepsi
Kelainan inilah yang paling umum menyebabkan abortus pada kehamilan
sebelum umur kehamilan 8 minggu. Beberapa faktor yang menyebabkan
kelainan ini antara lain :
a. kelainan kromoson/genetik,
b. lingkungan tempat menempelnya hasil pembuahan yang tidak bagus atau
kurang sempurna, dan
c. pengaruh zat zat yang berbahaya bagi janin seperti radiasi, obat obatan,
tembakau, alkohol dan infeksi virus.

3
2. Kelainan pada plasenta
Kelainan ini bisa berupa gangguan pembentukan pembuluh darah pada plasenta
yang disebabkan oleh karena penyakit darah tinggi yang menahun.
3. Faktor ibu
seperti penyakit penyakit khronis yang diderita oleh sang ibu seperti radang
paru paru, tifus, anemia berat, keracunan dan infeksi virus toxoplasma.
4. Kelainan yang terjadi pada organ kelamin ibu
seperti gangguan pada mulut rahim, kelainan bentuk rahim terutama rahim yang
lengkungannya ke belakang (secara umum rahim melengkung ke depan),
mioma uteri, dan kelainan bawaan pada rahim.

2.2.1 Abortus Imminens


Abortus Imminens dapat juga dikatakan sebagai abortus mengancam, karena
masih ada harapan untuk mempertahankannya.
a. Ciri-ciri abortus imminens:
1) Ostium uteri tertutup.
2) Besar uterus sesuai usia kehamilan.
3) Terdapat sedikit perdarahan.
4) Dapat disertai rasa nyeri perut bawah atau punggung.
b. Penanganan abortus imminens :
1) Tidak perlu pengobatan khusus atau tirah baring total.
2) Jangan melakukan aktivitas fisik berlebihan atau hubungan seksual.
3) Perdarahan berhenti, lakukan asuhan antenatal seperti biasa. Lakukan
penilaian jika perdarahan terjadi lagi.
4) Perdarahan terus berlangsung : nilai kondisi janin (uji kehamilan/USG).
Lakukan konfirmasi kemungkinan adanya penyebab lain. Perdarahan
berlanjut, khususnya jika ditemui uterus yang lebih besar dari yang
diharapkan, mungkin menunjukkan kehamilan ganda atau mola
5) Tidak perlu terapi hormonal (estrogen atau progestin) atau tokolitik
(seperti salbutamol atau indometasis ) karena obat-obat ini tidak dapat
mencegah abortus
c. Penanganan abortus imminens di Puskesmas:
1) Tirah baring sedikitnya 2-3 hari (sebaiknya rawat inap).
2) Pantang senggama.

4
3) Setelah tirah baring 2-3 hari, lakukan evaluasi ulang diagnosis, bila
masih abortus imminens tirah baring dilanjutkan.
4) Mobilisasi bertahap (duduk-berdiri-berjalan) dimulai bila diyakini tidak
ada perdarahan pervaginam selama 24 jam.
5) Bila mungkin lakukan stabilisasi keadaan umum dengan pembebasan
jalan nafas, pemberian oksigenasi (O2 2-4 liter per menit), pemasangan
cairan IV (Ringer Laktat atau NaCL 0,9%) sesuai pedoman resusitasi.
6) Pasien dirujuk setelah tanda vital dalam batas normal ke Puskesmas
Perawatan atau Rumah Sakit.

2.2.2 Abortus Insipiens


Abortus ini sedang berlangsung dan tidak dapat dicegah lagi. Abortus insipiens
didiagnosis apabila pada wanita hamil ditemukan perdarahan banyak, kadang-
kadang keluar gumpalan darah yang disertai nyeri karena kontraksi rahim kuat
dan ditemukan adanya dilatasi serviks sehingga jari pemeriksa dapat masuk dan
ketuban teraba. Kadang-kadang perdarahan dapat menyebabkan kematian bagi
ibu dan jaringan yang tertinggal dapat menyebabkan infeksi, oleh karena itu,
evakuasi harus segera dilakukan.
a. Ciri-ciri abortus insipiens:
1) Ostium uteri terbuka.
2) Teraba ketuban.
3) Nyeri perut bagian bawah atau nyeri kolik uterus yang hebat.
4) Hasil pemeriksaan USG mungkin didapatkan jantung janin masih
berdenyut.
5) Kehamilan sudah tidak dapat dipertahankan lagi.
b. Penanganan abortus insipiens:
1. Lakukan konseling terhadap kehamilan yang tidak dapat dipertahankan.
2. Lakukan rujukan ibu ketempat layanan sekunder.
3. Informasi mengenai kontrasepsi pasca keguguran.
4. Jelaskan kemungkinan risiko dan rasa tidak nyaman selama tindakan
evakuasi.
5. Lakukan pemantauan pascatindakan setiap 30 menit selama 2 jam. Bila
kondisi ibu baik, pindahkan ibu ke ruang rawat.

5
6. Lakukan pemeriksaan jaringan secara makroskopik dan kirimkan untuk
pemeriksaan patologi ke laboratorium.
7. Lakukan evaluasi tanda vital, perdarahan pervaginam, tanda akut
abdomen, dan produksi urin setiap 6 jam selama 24 jam. Periksa kadar
hemoglobin setelah 24 jam. Bila hasil pemantauan baik dan kadar Hb >8
g/dl, ibu dapat diperbolehkan pulang.
c. Penanganan abortus insipiens di Puskesmas:
1. Berikan antibiotika profilaksis (Ampisilin) secara IV sebelum tindakan
kuretase.
2. Segera lakukan pengeluaran hasil konsepsi dan pengosongan kavum
uteri. Dapat dilakukan dengan abortus tang, sendok kuret dan sendok
hisap.
3. Uterotonika; Oksitosin 10 IU secara IM.

2.2.3 Abortus Inkomplit


Abortus inkomplit didiagnosis apabila sebagian dari hasil konsepsi telah lahir
atau teraba di vagina, tetapi sebagian tertinggal (biasanya jaringan plasenta) di
dalam rahim. Perdarahan terus berlangsung, cenderung banyak dan dapat
membahayakan kondisi ibu. Serviks sering tetap membuka karena masih ada
yang tertinggal di dalam rahim yang dianggap asing.
a. Penanganan abortus inkomplitus:
1) Lakukan konseling kemungkinan adanya sisa kehamilan.
2) Jika perdarahan ringan atau sedang dan usia kehamilan < 16 mg,
gunakan jari atau forsep cincin untuk mengeluarkan hasil konsepsi
yang mencuat dari serviks.
3) Jika perdarahan berat dan usia kehamilan < 16 mg, dilakukan evakuasi
isi uterus. Jika evakuasi tidak dapat segera dilakukan, berikan
ergometrin 0,2 mg IM (dapat diulang 15 menit kemudian bila perlu).
4) Jika usia kehamilan > 16 mg, berikan infus 20 IU oksitosin dalam 500
ml NaCl 0,9% atau Ringer Laktat dengan kecepatan 40 tetes per menit
untuk membantu pengeluaran hasil konsepsi.
5) Jika perlu berikan misoprostol 200 mcg pervaginam setiap 4 jam
sampai terjadi ekspulsi hasil konsepsi (maksimal 800 mcg).

6
6) Lakukan evaluasi tanda vital, perdarahan pervaginam, tanda akut
abdomen, dan produksi urin setiap 6 jam selama 24 jam. Periksa kadar
hemoglobin setelah 24 jam. Bila hasil pemantauan baik dan kadar Hb
>8 g/dl, ibu dapat diperbolehkan pulang serta pastikan untuk tetap
memantau kondisi ibu setelah penanganan.
b. Penanganan abortus inkomplitus di Puskesmas:
1. Perlu segera dilakukan pengosongan kavum uteri, dapat dilakukan
dengan abortus tang, sendok kuret dan kuret hisap.
2. Segera atasi kegawatdaruratan; oksigenasi 2-4 liter per menit, pemberian
cairan IV (NaCL 0,9%, Ringer Laktat atau Ringer Asetat).

2.2.4 Abortus Komplit


Seluruh bagian bayi telah lahir dengan lengkap, ostium tertutup atau terbuka,
uterus lebih kecil dari usia kehamilan dan kavum uteri kosong. Pada abortus ini,
perdarahan segera berkurang setelah isi rahim dikeluarkan dan perdarahan
berhenti karena dalam masa ini luka rahim telah sembuh.
a. Penanganan abortus komplitus :
1. Tidak diperlukan evakuasi lagi
2. Lakukan konseling untuk memberikan dukungan emosional dan
menawarkan kontrasepsi pasca keguguran
3. Observasi keadaan ibu
4. Apabila terdapat anemia sedang, berikan tablet sulfas ferosus 600
mg/hari selama 2 minggu, jika anemia berat berikan transfusi darah
5. Evaluasi keadaan ibu setelah 2 minggu.
b. Penanganan abortus komplitus di Puskesmas:
1. Evaluasi komplikasi abortus (anemia dan infeksi).
2. Apabila dijumpai komplikasi, penatalaksanaan disesuaikan.
3. Apabila tanpa komplikasi, tidak perlu penatalaksanaan khusus.

7
2.2.5 Kehamilan Ektopik Terganggu
A. Definisi KET

Kehamilan Ektopik Terganggu (KET) adalah kehamilan dimana sel


telur yang dibuahi berimplantasi dan bertumbuh di luar endometrium kavum
uterus, tumbuh dan berkembang di luar endometrium normal. Kehamilan
ektopik ini merupakan kehamilan yang berbahaya bagi wanita yang
bersangkutan berhubung dengan besarnya kemungkinan terjadi keadaan
gawat.
Keadaan gawat ini dapat terjadi apabila Kehamilan Ektopik Terganggu
(KET) dimana terjadi abortus maupun ruptur tuba. Abortus dan ruptur tuba
menimbulkan perdarahan ke dalam kavum abdominalis yang bila cukup
banyak dapat menyebabkan hipotensi berat atau syok. Bila tidak atau
terlambat mendapat penanganan yang tepat penderita akan meninggal akibat
kehilangan darah yang sangat banyak. Dari seluruh kematian ibu yang
disebabkan oleh perdarahan dalam kehamilan. Kehamilan ektopik adalah
impantasi ovum yang telah dibuahi di luar kavum uteri (Gondo, Suwardewa,
2012).
Kehamilan ektopik merupakan kehamilan yang berbahaya karena
tempat implantasinya tidak memberikan kesempatan untuk tumbuh
kembang mencapai aterm.12 Kehamilan ektopik terganggu (KET) adalah
keadaan di mana timbul gangguan pada kehamilan tersebut sehingga terjadi
abortus maupun ruptur yang menyebabkan penurunan keadaan umum
pasien.

8
B. Tanda dan Gejala KET
1. Perdarahan pervaginam dari bercak hingga sedang.
2. Kesadaran menurun.
3. Denyut nadi cepat atau lemah (kurang dari 60x/ menit atau lebih dari
100x/ menit).
4. Hipotensi.
5. Hipovolemik.
6. Nyeri abdomen akut dan pelvis.
7. Distensi abdomen.
8. Nyeri lepas.
9. Pucat.
C. Penyebab KET
Ovum yang telah dibuahi berimplantasi di tempat lain selain di
endometrium kavum uteri. Prinsip patofisiologi; gangguan/ interferensi
mekanik terhadap ovum yang telah dibuahi dalam perjalanannya menuju
kavum uteri. Kejadian ini sering terjadi pada hal-hal berikut ini:
a. Kelainan tuba atau adanya riwayat penyakit tuba (misal: salpingitis),
menyebabkan kerusakan silia tuba.
b. Riwayat operasi tuba (sterilisasi).
c. Riwayat penyakit radang pangggul.
d. Penggunaan IUD.
e. Ovulasi yang multiple akibat induksi obat-obatan, usaha fertilisasi in
vitro dan sebagainya. Isi konsepsi yang berimplantasi melakukan
penetrasi terhadap lamina propria dan pars muskularis dinding tuba.
f. Abortus provokatus dengan infeksi. Makin sering dilakukan abortus
provokatus makin tinggi kemungkinan terjadi salpingitis.
g. Adhesi peritubal yang terjadi setelah infeksi seperti apendisitis atau
endometritis.
h. Tuba dapat tertekuk dan menyempit, biasanya terjadi pada wanita diatas
usia 40 tahun.
i. Pernah menderita kehamilan ektopik sebelumnya.

9
Menurut Saifuddin tahun 2009 faktor-faktor yang memegang peranan
dalam hal ini ialah sebagai berikut:

1. Faktor tuba
a. Adanya peradangan atau infeksi pada tuba menyebabkan lumen tuba
menyempit atau buntu.
b. Keadaan uterus yang mengalami hipoplasia dan saluran tuba yang
berkelok-kelok panjang yang dapat menyebabkan fungsi silia tuba
tidak berfungsi dengan baik.
c. Keadaan pasca operasi rekanalisasi tuba dapat merupakan predisposisi
terjadinya kehamilan ektopik.
d. Faktor tuba yang lain ialah adanya kelainan endometriosis tuba atau
divertikel saluran tuba yang bersifat congenital.
e. Adanya tumor disekitar saluran tuba, misalnya mioma uteri atau tumor
ovarium yang menyebabkan perubahan bentuk juga dapat menjadi
etiologi kehamilan ektopik terganggu.
2. Faktor abnormalitas dari zigot
Apabila tumbuh terlalu cepat atau tumbuh dengan ukuran besar, maka
zigot akan tersendat dalam perjalanan pada saat melalui tuba, kemudian
berhenti dan tumbuh di saluran tuba.
3. Faktor ovarium
Bila ovarium memproduksi ovum dan ditangkap oleh tuba dapat
membutuhkan konsep khusus atau waktu yang lebih panjang sehingga
kemungkinan terjadinya kehamilan ektopik lebih besar.
4. Faktor hormonal
Pada akseptor, pil KB, yang hanya mengandung progesteron dapat
mengakibatkan gerakan tuba melambat. Apabila terjadi pembuahan dapat
menyebabkan terjadinya kehamilan ektopik.
5. Faktor lain
Termasuk disini antara lain adalah pemakaian IUD dimana proses
peradangan yang dapat timbul pada endometrium dan endosalping dapat
menyebabkan terjadinya kehamilan ektopik. Faktor umur penderita yang
sudah menua dan faktor perokok juga sering dihubungkan dengan
terjadinya kehamilan ektopik.

10
D. Jenis-jenis KET
1. Kehamilan Tuba
Menurut tempat nidasinya, kehamilan ektopik dibedakan menjadi:
a. Kehamilan ampula (terjadi di ampula tuba).
b. Kehamilan istmus (terjadi di istmus tuba).
c. Kehamilan interstisial (terjadi di pars interstisial tuba).
Kehamilan tuba tidak dapat mencapai cukup bulan, biasanya berakhir
pada minggu ke 6-12, keadaan yang paling sering antara minggu ke 6-8.
Berakhirnya kehamilan tuba ada 2 cara, yaitu; abortus tuba dan ruptur
tuba.
2. Kehamilan Servikal
Kehamilan ini jarang terjadi. Pada implantasi di serviks, dapat terjadi
perdarahan tanpa disertai rasa nyeri dan kemungkinan terjadinya abortus
spontan sangat besar.
Jika kehamilan tumbuh sampai besar, akan terjadi perdarahan atau ruptur
yang sangat hebat sehingga perlu dilakukan histerektomi total.
3. Kehamilan Ovarial
4. Kehamilan Interstisial
Implantasi telur biasanya terjadi dalam pars interstitialis tuba.
Miometrium memiliki lapisan yang lebih tebal sehingga ruptur terjadi
lebih lambat (kira-kira terjadi di bulan ke 3 atau 4). Apabila terjadi
ruptur, maka akan terjadi perdarahan yang hebat karena tempat ini
banyak terdapat pembuluh darah sehingga dalam waktu singkat dapat
terjadi kematian.
5. Kehamilan Abdominal
Kehamilan ini terbagi atas 2, yaitu:
a. Kehamilan abdominal primer, terjadi bila telur dari awal
berimplantasi dalam rongga perut.
b. Kehamilan abdominal sekunder, berasal dari kehamilan tuba dan
setelah ruptur baru mengalami kehamilan abdominal.

11
E. Penanganan KET
1. Tata laksana umum:
 Restorasi cairan tubuh dengan cairan NaCL 0,9% atau Ringer
Laktat. 500ml dalam 15 menit pertama atau 2L untuk 2 jam.
2. Tata laksana khusus:
 Jika fasilitas memungkinan, segera lakukan uji silang darah dan
laparotomi.
 Jika fasilitas tidak memungkinan, segera rujuk ke fasilitas lebih
lengkap.
 Saat laparotomi, eksplorasi kedua ovari dan tuba falopi:
1. Jika terjadi kerusakan berat pada tuba, lakukan salpingektomi
(eksisi bagian tuba yang mengandung hasil konsepsi).
2. Jika terjadi kerusakan ringan pada tuba, lakukan salpingostomi
(hasil konsepsi dikeluarkan, tuba dipertahankan).
3. Sebelum memperbolehkan pasien pulang, lakukan konseling
dan nasihat mengenai prognosis kesuburannya. Mengingat
meningkatnya risiko akan kehamilan ektopik berulang.
Konseling metode kontrasepsi dan penyediaan metode
kontrasepsi.
4. Perbaiki anemia dengan tablet Fe 600mg/ hari per oral selama
2 minggu.
5. Jadwalkan kunjungan berikutnya untuk pemantauan dalam
waktu 4 minggu.

12
2.2.6 Molahidatidosa
A. Definisi Molahidatidosa

Hamil mola adalah suatu kehamilan di mana setelah fertilisasi hasil


konsepsi tidak bekembang menjadi embrio tetapi terjadi proliferasi dan vili
koriales disertai dengan degenerasi hidropik. Uterus melunak dan berkembang
lebih cepat dari usia gestasi yang normal tidak djumpai adanya janin, kavum
uteri hanya terisi oleh jaringan seperti rangkaian buah anggur.
Berdasarkan morfologi, histopatologi, dan kariotipenya, molahidatidosa
dibagi menjadi mola komplet dan mola parsial. Pada mola komplet, secara
umum vili korialis terlihat sebagai vesikel-vesikel jernih yang ukurannya
bervariasi. Mola hidatidosa komplit disebabkan ovum dibuahi oleh sperma
haploid yang menduplikasikan kromosomnya sendiri setelah meiosis,
sedangkan kromosom ovum tidak ada sehingga menyebabkan kariotipe menjadi
46,XX dengan 2 set kromosom berasal dari ayah. Pada keadaan lain dapat juga
terjadi pola kromosom mungkin menjadi 46,XY karena fertilisasi dispermik.
Pada mola hidatidosa parsial terdapat bagian dari janin ditambah dengan
adanya degenerasi hidropik, edema vili, dan proliferasi sel trofoblas yang
bersifat fokal dan bervariasi. Kariotipe biasanya triploid yaitu 69,XXX , 69,
XXY , atau 69, XYY. Kariotipe terdiri dari satu set kromosom haploid ibu dan
dua set kromosom haploid ayah.
B. Faktor Risiko Molahidatidosa
Faktor risiko penyebab terjadinya Molahidatidosa, diantaranya:
a. Usia Ibu
Usia ibu yang ekstrim (terlalu tua atau terlalu muda) berhubungan dengan
keadaan patologis ovum premature dan postmature.

13
Dalam sebuah penelitian, risiko terjadinya Molahidatidosa meningkat 2,0
kali lipat untuk wanita di atas usia 35 tahun dan 7,5 kali lipat untuk wanita
di atas 40 tahun.
b. Status Gizi
Dalam masa kehamilan, keperluan akan zat-zat gizi meningkat. Hal ini
diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan dan perkembangan
janin, apabila zat-zat gizi tidak memenuhi kebutuhan ibu dan janin maka
akan mengakibatkan gangguan dalam pertumbuhan dan perkembangan
janin.
c. Riwayat Obstetri
Apabila ibu pernah mengalami Molahidatidosa, maka risiko
Molahidatidosa berulang cukup besar. Ibu multipara pun cenderung
berisiko terjadinya Molahidatidosa karena trauma kelahiran atau
penyimpangan trasnmisi secara genetik.
d. Genetik
Ada kemungkinan, pada wanita dengan kelainan sitogenetik lebih banyak
mengalami gangguan proses meiosis berupa nondysjunction, sehingga lebih
banyak terjadi ovum yang kosong atau intinya tidak aktif.
e. Kontrasepsi Oral
Salah satu penelitian mengungkapkan bahwa penggunaan kontrasepsi oral
dalam jangka waktu yang lama (10 tahun atau lebih) dapat meningkatkan
risiko terjadinya Molahidatidosa lebih dari 2 kali lipat.
f. Golongan darah
Ibu dengan golongan darah A dan ayah dengan golongan darah A atau O
memiliki resiko meningkat dibandingkan dengan semua kombinasi
golongan darah lain . Penemuan ini mendukung faktor genetik atau faktor
imunologik berkaitan dengan histokompatibilitas ibu dan jaringan
trofoblas. (Hoskins WJ, 2005)
g. Merokok, konsumsi alkohol, infeksi
Merokok dilaporkan meningkatkan resiko GTD. Resiko relatif wanita yang
merokok lebih dari 15 batang per hari adalah 2,6 dibandingkan 2,2 pada
wanita yang merokok kurang dari 15 batang per hari. Lama waktu merokok
berhubungan dengan insiden GTD. Peran alkohol dan infeksi (Human

14
Papilloma virus, Adenovirus, dan Tuberkulosis) juga telah
dipertimbangkan (Berek, 2009).

C. Klasifikasi Molahidatidosa
Molahidatidosa dibagi menjadi 2 klasifikasi, yaitu:
a. Mola Hidatidosa Komplit (MHK)
Mola Hidatidosa (MHK) merupakan kehamilan abnormal tanpa
embrio yang seluruh vili korialisnya mengalami degenerasi hidrofik yang
menyerupai anggur. Dulu MHK rata-rata dapat dideteksi pada saat usia
kehamilan memasuki 16 minggu, tetapi saat ini dengan kemajuan teknologi
USG, MHK dapat dideteksi secara dini. Secara klinis tampak pembesaran
uterus yang lebih besar dibanding usia kehamilannya. Abortus terjadi
dengan perdarahan abnormal dan disertai dengan keluarnya jaringan mola.
Secara makroskopis ditandai dengan adanya gelembung-gelembung
putih, tembus pandang dan berisi cairan jernih dengan ukuran yang
bervariasi. Massa tersebut dapat tumbuh besar sehingga memenuhi uterus.
Perbedaan MHK dengan missed abortion adalah pada saat
pemeriksaan USG, pasien dengan MHK menunjukan perubahan vesikular
menyebar di dalam plasenta dan tidak adanya kantung kehamilan.

b. Mola Hidatidosa Parsial (MHP)


Merupakan keadaan dimana perubahan mola bersifat lokal serta
belum begitu jauh dan masih terdapat janin atau sedikitnya kantung
kehamilan. Apabila terdapat janin, umumnya janin mati pada bulan
pertama.
Secara makroskopis tampak gelembung mola yang disertai janin atau
bagian janin. Pada MHP sering dijumpai komponen janin. Sering dijumpai
pada usia kehamilan 18-20 minggu.

15
D. Gejala Molahidatidosa
Gejala yang dapat ditemukan pada Molahidatidosa diantaranya:
a. Perdarahan
Perdarahan uterus hampir bersifat universal dan dapat bervariasi mulai dari
bercak hingga perdarahan hebat.
b. Ukuran Uterus
Uterus yang membesar tidak sesuai dengan usia kehamilan.
c. Aktivitas Janin
Walaupun uterus cukup besar sehingga mencapai jauh diatas simfisis, bunyi
jantung janin biasanya tidak terdeteksi dan tidak adanya gerakan janin yang
dirasakan ibu.
d. Hiperemesis Gravidarum
Pada kehamilan Molahidatidosa, jumlah hormon estrogen dan
gonadotropin korionik terlalu tinggi dan menyebabkan hiperemesis
gravidarum.
e. Tanda toksemia/ pre-eklampsia pada kehamilan trimester I
Pre-eklampsia pada Molahidatidosa tidak berbeda dengan kehamilan biasa,
bisa ringan, sedang bahkan sampai eklampsia. Hanya saja pada
Molahidatidosa terjadinya lebih dini. Hal yang paling penting adalah
keterkaitan Molahidatidosa dengan pre-eklampsia yang menetap hingga
trimester II. Karena pre-eklampsia jarang dijumpai sebelum 24 minggu,
pre-eklampsia ini mengisyaratkan Molahidatidosa.

16
E. Manifestasi Klinis
a. Amenorrhoe dan tanda-tanda kehamilan.
b. Perdarahan pervaginam dari bercak sampai perdarahan berat. merupakan
gejala utama dari mola hidatidosa, sifat perdarahan bisa intermiten selama
berapa minggu sampai beberapa bulan sehingga dapat menyebabkan
anemia defisiensi besi.
c. Uterus sering membesar lebih cepat dari biasanya tidak sesuai dengan usia
kehamilan.
d. Tidak dirasakan tanda-tanda adanya gerakan janin maupun ballottement.
e. Hiperemesis, pasien dapat mengalami mual dan muntah cukup berat.
f. Preklampsi dan eklampsi sebelum minggu ke-24
g. Keluar jaringan mola seperti buah anggur, yang merupakan diagnosa pasti
h. Gejala Tirotoksikosis

F. Dasar Diagnosis Molahodatidosa


Diagnosis diagnosis MH berdasarkan :
1. Gejala hamil muda yang sangat menonjol
a. Emesis gravidarum – hiperemesis gravidarum
b. Terdapat komplikasi
1) Tirotoksikosis (2-5%)
2) Hipertensi – preeklamsia (10-15%)
3) Anemia akibat perdarahan
4) Perubahan hemodinamik kardiovaskuler berupa gangguan fungsi
jantung dan gangguan fungsi paru akibat edema atau emboli paru
2. Pemeriksaan palpasi
a. Uterus
1) Lebih besar dari usia kehamilan (50-60%)
2) Besarnya sama dengan usia kehamilan (20-25%)
3) Lebih kecil dari usia kehamilan (5-10%)
b. Palpasi lunak seluruhnya
1) Tidak teraba bagisan janin
2) Terdapat bentuk asimetris, bagian menonjol agak padat-mola
destruen.

17
3. Pemeriksaan USG serial tunggal
a. Sudah dapat dipastikan MH tampak seperti TV rusak
b. Tidak terdapat janin
c. Tampak sebagian plasenta normal dan kemungkinan dapat tampak janin
4. Pemeriksaan laboratorium
a. β-hCG urin tinggi lebih dari 100.000 mIU/ml
b. β-hCG serum di atas 40.000 mIU/ml (Manuaba, 2007).

Pemeriksaan lain yang dapat digunakan adalah :

1. Memasukkan sonde intrauterin, jika tanpa tahanan, hanifa positif. Hal ini
berarti MH.
2. Penyuntikan bahan kontras secara intrauterin, foto abdomen, akan tampak
gambaran seperti sarang tawon.
3. Pemeriksaan MRI
a. Tidak tampak janin
b. Jaringan MH jelas terlihat

Pemeriksaan terakhir jarang dipergunakan karena dengan USG diagnosis


sudah jelas. Sekitar 10% kasus dijumpai MHP (Manuaba, 2007).

G. Penatalaksanaan
a. Tatalaksana Umum
 Diagnosis dini tanda mola
 Beri infus NS/RL preventif terhadap perdarahan hebat
 Observasi kadar HCg
 Observasi kadar Hb dan T/N/S serta perdarahan pervaginam
 Rujuk ke fasilitas yang lebih lengkap untuk dilakukan evakuasi
jaringan mola
b. Tatalaksana Khusus
 Pasang infus oksitosin 10 unit dalam 500 ml NaCl 0.9% atau RL
dengan kecepatan 40-60 tetes/menit untuk mencegah perdarahan.
 Pengosongan isi uterus dengan menggunakan Aspirasi Vakum Manual
(AVM)

18
 Ibu dianjurkan menggunakan kontrasepsi hormonal bila masih ingin
memiliki anak, atau tubektomi bila ingin menghentikan kesuburan
 Selanjutnya ibu dipantau:
1) Pemeriksaan HCG serum setiap 2 minggu.
2) Bila hasil HCG serum terus menetap atau naik dalam 2 kali
pemeriksaan berturut-turut, ibu dirujuk ke rumah sakit rujukan
tersier yang mempunyai fasilitas kemoterapi
c. Penanganan Selanjutnya
 Pasien dianjurkan menggunakan kontrasepsi hormonal atau tubektomi
 Lakukan pemantauan setiap 8 minggu selama minimal 1 tahun pasca
evakuasi dengan menggunakan tes kehamilan dengan urin karena
adanya resiko timbulnya penyakit trofoblas yang menetap
 Jika tes kehamilan dengan urin yang belum memberi hasil negatif
setelah 8 minggu atau menjadi positif kembali dalam satu tahun
pertama, rujuk ke rumah sakit rujukan tersier untuk pemantauan dan
penanganan lebih lanjut.

19
BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan
Abortus adalah berakhirnya suatu kehamilan (oleh akibat-akibat tertentu)
pada atau sebelum kehamilan tersebut berusia 22 minggu atau buah kehamilan
belum mampu untuk hidup diluar kandungan.
Kehamilan ektopik adalah implantasi dan pertumbuhan hasil konsepsi
diluar endometrium kavum uteri , hamil ini di tandai dengan : Amenorea , gejala
kehamilan muda dan pendarahan yang berwarna cokelat , dan pemeriksaan
vagina terdapat nyeri goyang bila serviks digoyangkan nyeri pada perabaan dan
kavum douglasi menonjol karena ada pembekuan darah. Pada kasus seperti ini,
segera ambil tindakan.
Mola hidatidosa adalah kehamilan dimana setelah terjadi fertilitasi tidak
berkembang menjadi embrio, tetapi terjadi poliferasi trofoblast, dan ditemukan
villi koriolis yang mengalami perubahan degenarasi hidropik dan stroma yang
hipo vaskuler atau avaskuler, janin biasanya meninggal akan tetapi villus-villus
yang membesar dan edematus itu hidup dan tumbuh terus, gambaran yang
diberikan adalah sebagai segugus buah anggur.

3.2 Saran

20

Anda mungkin juga menyukai