PENDAHULUAN
1
6. Untuk Mengetahui Bagaimana Penanganan Kehamilan Ektopik Terganggu?
7. Untuk Mengetahui Bagaimana Penanganan Molahidatidosa?
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
2. Kelainan pada plasenta
Kelainan ini bisa berupa gangguan pembentukan pembuluh darah pada plasenta
yang disebabkan oleh karena penyakit darah tinggi yang menahun.
3. Faktor ibu
seperti penyakit penyakit khronis yang diderita oleh sang ibu seperti radang
paru paru, tifus, anemia berat, keracunan dan infeksi virus toxoplasma.
4. Kelainan yang terjadi pada organ kelamin ibu
seperti gangguan pada mulut rahim, kelainan bentuk rahim terutama rahim yang
lengkungannya ke belakang (secara umum rahim melengkung ke depan),
mioma uteri, dan kelainan bawaan pada rahim.
4
3) Setelah tirah baring 2-3 hari, lakukan evaluasi ulang diagnosis, bila
masih abortus imminens tirah baring dilanjutkan.
4) Mobilisasi bertahap (duduk-berdiri-berjalan) dimulai bila diyakini tidak
ada perdarahan pervaginam selama 24 jam.
5) Bila mungkin lakukan stabilisasi keadaan umum dengan pembebasan
jalan nafas, pemberian oksigenasi (O2 2-4 liter per menit), pemasangan
cairan IV (Ringer Laktat atau NaCL 0,9%) sesuai pedoman resusitasi.
6) Pasien dirujuk setelah tanda vital dalam batas normal ke Puskesmas
Perawatan atau Rumah Sakit.
5
6. Lakukan pemeriksaan jaringan secara makroskopik dan kirimkan untuk
pemeriksaan patologi ke laboratorium.
7. Lakukan evaluasi tanda vital, perdarahan pervaginam, tanda akut
abdomen, dan produksi urin setiap 6 jam selama 24 jam. Periksa kadar
hemoglobin setelah 24 jam. Bila hasil pemantauan baik dan kadar Hb >8
g/dl, ibu dapat diperbolehkan pulang.
c. Penanganan abortus insipiens di Puskesmas:
1. Berikan antibiotika profilaksis (Ampisilin) secara IV sebelum tindakan
kuretase.
2. Segera lakukan pengeluaran hasil konsepsi dan pengosongan kavum
uteri. Dapat dilakukan dengan abortus tang, sendok kuret dan sendok
hisap.
3. Uterotonika; Oksitosin 10 IU secara IM.
6
6) Lakukan evaluasi tanda vital, perdarahan pervaginam, tanda akut
abdomen, dan produksi urin setiap 6 jam selama 24 jam. Periksa kadar
hemoglobin setelah 24 jam. Bila hasil pemantauan baik dan kadar Hb
>8 g/dl, ibu dapat diperbolehkan pulang serta pastikan untuk tetap
memantau kondisi ibu setelah penanganan.
b. Penanganan abortus inkomplitus di Puskesmas:
1. Perlu segera dilakukan pengosongan kavum uteri, dapat dilakukan
dengan abortus tang, sendok kuret dan kuret hisap.
2. Segera atasi kegawatdaruratan; oksigenasi 2-4 liter per menit, pemberian
cairan IV (NaCL 0,9%, Ringer Laktat atau Ringer Asetat).
7
2.2.5 Kehamilan Ektopik Terganggu
A. Definisi KET
8
B. Tanda dan Gejala KET
1. Perdarahan pervaginam dari bercak hingga sedang.
2. Kesadaran menurun.
3. Denyut nadi cepat atau lemah (kurang dari 60x/ menit atau lebih dari
100x/ menit).
4. Hipotensi.
5. Hipovolemik.
6. Nyeri abdomen akut dan pelvis.
7. Distensi abdomen.
8. Nyeri lepas.
9. Pucat.
C. Penyebab KET
Ovum yang telah dibuahi berimplantasi di tempat lain selain di
endometrium kavum uteri. Prinsip patofisiologi; gangguan/ interferensi
mekanik terhadap ovum yang telah dibuahi dalam perjalanannya menuju
kavum uteri. Kejadian ini sering terjadi pada hal-hal berikut ini:
a. Kelainan tuba atau adanya riwayat penyakit tuba (misal: salpingitis),
menyebabkan kerusakan silia tuba.
b. Riwayat operasi tuba (sterilisasi).
c. Riwayat penyakit radang pangggul.
d. Penggunaan IUD.
e. Ovulasi yang multiple akibat induksi obat-obatan, usaha fertilisasi in
vitro dan sebagainya. Isi konsepsi yang berimplantasi melakukan
penetrasi terhadap lamina propria dan pars muskularis dinding tuba.
f. Abortus provokatus dengan infeksi. Makin sering dilakukan abortus
provokatus makin tinggi kemungkinan terjadi salpingitis.
g. Adhesi peritubal yang terjadi setelah infeksi seperti apendisitis atau
endometritis.
h. Tuba dapat tertekuk dan menyempit, biasanya terjadi pada wanita diatas
usia 40 tahun.
i. Pernah menderita kehamilan ektopik sebelumnya.
9
Menurut Saifuddin tahun 2009 faktor-faktor yang memegang peranan
dalam hal ini ialah sebagai berikut:
1. Faktor tuba
a. Adanya peradangan atau infeksi pada tuba menyebabkan lumen tuba
menyempit atau buntu.
b. Keadaan uterus yang mengalami hipoplasia dan saluran tuba yang
berkelok-kelok panjang yang dapat menyebabkan fungsi silia tuba
tidak berfungsi dengan baik.
c. Keadaan pasca operasi rekanalisasi tuba dapat merupakan predisposisi
terjadinya kehamilan ektopik.
d. Faktor tuba yang lain ialah adanya kelainan endometriosis tuba atau
divertikel saluran tuba yang bersifat congenital.
e. Adanya tumor disekitar saluran tuba, misalnya mioma uteri atau tumor
ovarium yang menyebabkan perubahan bentuk juga dapat menjadi
etiologi kehamilan ektopik terganggu.
2. Faktor abnormalitas dari zigot
Apabila tumbuh terlalu cepat atau tumbuh dengan ukuran besar, maka
zigot akan tersendat dalam perjalanan pada saat melalui tuba, kemudian
berhenti dan tumbuh di saluran tuba.
3. Faktor ovarium
Bila ovarium memproduksi ovum dan ditangkap oleh tuba dapat
membutuhkan konsep khusus atau waktu yang lebih panjang sehingga
kemungkinan terjadinya kehamilan ektopik lebih besar.
4. Faktor hormonal
Pada akseptor, pil KB, yang hanya mengandung progesteron dapat
mengakibatkan gerakan tuba melambat. Apabila terjadi pembuahan dapat
menyebabkan terjadinya kehamilan ektopik.
5. Faktor lain
Termasuk disini antara lain adalah pemakaian IUD dimana proses
peradangan yang dapat timbul pada endometrium dan endosalping dapat
menyebabkan terjadinya kehamilan ektopik. Faktor umur penderita yang
sudah menua dan faktor perokok juga sering dihubungkan dengan
terjadinya kehamilan ektopik.
10
D. Jenis-jenis KET
1. Kehamilan Tuba
Menurut tempat nidasinya, kehamilan ektopik dibedakan menjadi:
a. Kehamilan ampula (terjadi di ampula tuba).
b. Kehamilan istmus (terjadi di istmus tuba).
c. Kehamilan interstisial (terjadi di pars interstisial tuba).
Kehamilan tuba tidak dapat mencapai cukup bulan, biasanya berakhir
pada minggu ke 6-12, keadaan yang paling sering antara minggu ke 6-8.
Berakhirnya kehamilan tuba ada 2 cara, yaitu; abortus tuba dan ruptur
tuba.
2. Kehamilan Servikal
Kehamilan ini jarang terjadi. Pada implantasi di serviks, dapat terjadi
perdarahan tanpa disertai rasa nyeri dan kemungkinan terjadinya abortus
spontan sangat besar.
Jika kehamilan tumbuh sampai besar, akan terjadi perdarahan atau ruptur
yang sangat hebat sehingga perlu dilakukan histerektomi total.
3. Kehamilan Ovarial
4. Kehamilan Interstisial
Implantasi telur biasanya terjadi dalam pars interstitialis tuba.
Miometrium memiliki lapisan yang lebih tebal sehingga ruptur terjadi
lebih lambat (kira-kira terjadi di bulan ke 3 atau 4). Apabila terjadi
ruptur, maka akan terjadi perdarahan yang hebat karena tempat ini
banyak terdapat pembuluh darah sehingga dalam waktu singkat dapat
terjadi kematian.
5. Kehamilan Abdominal
Kehamilan ini terbagi atas 2, yaitu:
a. Kehamilan abdominal primer, terjadi bila telur dari awal
berimplantasi dalam rongga perut.
b. Kehamilan abdominal sekunder, berasal dari kehamilan tuba dan
setelah ruptur baru mengalami kehamilan abdominal.
11
E. Penanganan KET
1. Tata laksana umum:
Restorasi cairan tubuh dengan cairan NaCL 0,9% atau Ringer
Laktat. 500ml dalam 15 menit pertama atau 2L untuk 2 jam.
2. Tata laksana khusus:
Jika fasilitas memungkinan, segera lakukan uji silang darah dan
laparotomi.
Jika fasilitas tidak memungkinan, segera rujuk ke fasilitas lebih
lengkap.
Saat laparotomi, eksplorasi kedua ovari dan tuba falopi:
1. Jika terjadi kerusakan berat pada tuba, lakukan salpingektomi
(eksisi bagian tuba yang mengandung hasil konsepsi).
2. Jika terjadi kerusakan ringan pada tuba, lakukan salpingostomi
(hasil konsepsi dikeluarkan, tuba dipertahankan).
3. Sebelum memperbolehkan pasien pulang, lakukan konseling
dan nasihat mengenai prognosis kesuburannya. Mengingat
meningkatnya risiko akan kehamilan ektopik berulang.
Konseling metode kontrasepsi dan penyediaan metode
kontrasepsi.
4. Perbaiki anemia dengan tablet Fe 600mg/ hari per oral selama
2 minggu.
5. Jadwalkan kunjungan berikutnya untuk pemantauan dalam
waktu 4 minggu.
12
2.2.6 Molahidatidosa
A. Definisi Molahidatidosa
13
Dalam sebuah penelitian, risiko terjadinya Molahidatidosa meningkat 2,0
kali lipat untuk wanita di atas usia 35 tahun dan 7,5 kali lipat untuk wanita
di atas 40 tahun.
b. Status Gizi
Dalam masa kehamilan, keperluan akan zat-zat gizi meningkat. Hal ini
diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan dan perkembangan
janin, apabila zat-zat gizi tidak memenuhi kebutuhan ibu dan janin maka
akan mengakibatkan gangguan dalam pertumbuhan dan perkembangan
janin.
c. Riwayat Obstetri
Apabila ibu pernah mengalami Molahidatidosa, maka risiko
Molahidatidosa berulang cukup besar. Ibu multipara pun cenderung
berisiko terjadinya Molahidatidosa karena trauma kelahiran atau
penyimpangan trasnmisi secara genetik.
d. Genetik
Ada kemungkinan, pada wanita dengan kelainan sitogenetik lebih banyak
mengalami gangguan proses meiosis berupa nondysjunction, sehingga lebih
banyak terjadi ovum yang kosong atau intinya tidak aktif.
e. Kontrasepsi Oral
Salah satu penelitian mengungkapkan bahwa penggunaan kontrasepsi oral
dalam jangka waktu yang lama (10 tahun atau lebih) dapat meningkatkan
risiko terjadinya Molahidatidosa lebih dari 2 kali lipat.
f. Golongan darah
Ibu dengan golongan darah A dan ayah dengan golongan darah A atau O
memiliki resiko meningkat dibandingkan dengan semua kombinasi
golongan darah lain . Penemuan ini mendukung faktor genetik atau faktor
imunologik berkaitan dengan histokompatibilitas ibu dan jaringan
trofoblas. (Hoskins WJ, 2005)
g. Merokok, konsumsi alkohol, infeksi
Merokok dilaporkan meningkatkan resiko GTD. Resiko relatif wanita yang
merokok lebih dari 15 batang per hari adalah 2,6 dibandingkan 2,2 pada
wanita yang merokok kurang dari 15 batang per hari. Lama waktu merokok
berhubungan dengan insiden GTD. Peran alkohol dan infeksi (Human
14
Papilloma virus, Adenovirus, dan Tuberkulosis) juga telah
dipertimbangkan (Berek, 2009).
C. Klasifikasi Molahidatidosa
Molahidatidosa dibagi menjadi 2 klasifikasi, yaitu:
a. Mola Hidatidosa Komplit (MHK)
Mola Hidatidosa (MHK) merupakan kehamilan abnormal tanpa
embrio yang seluruh vili korialisnya mengalami degenerasi hidrofik yang
menyerupai anggur. Dulu MHK rata-rata dapat dideteksi pada saat usia
kehamilan memasuki 16 minggu, tetapi saat ini dengan kemajuan teknologi
USG, MHK dapat dideteksi secara dini. Secara klinis tampak pembesaran
uterus yang lebih besar dibanding usia kehamilannya. Abortus terjadi
dengan perdarahan abnormal dan disertai dengan keluarnya jaringan mola.
Secara makroskopis ditandai dengan adanya gelembung-gelembung
putih, tembus pandang dan berisi cairan jernih dengan ukuran yang
bervariasi. Massa tersebut dapat tumbuh besar sehingga memenuhi uterus.
Perbedaan MHK dengan missed abortion adalah pada saat
pemeriksaan USG, pasien dengan MHK menunjukan perubahan vesikular
menyebar di dalam plasenta dan tidak adanya kantung kehamilan.
15
D. Gejala Molahidatidosa
Gejala yang dapat ditemukan pada Molahidatidosa diantaranya:
a. Perdarahan
Perdarahan uterus hampir bersifat universal dan dapat bervariasi mulai dari
bercak hingga perdarahan hebat.
b. Ukuran Uterus
Uterus yang membesar tidak sesuai dengan usia kehamilan.
c. Aktivitas Janin
Walaupun uterus cukup besar sehingga mencapai jauh diatas simfisis, bunyi
jantung janin biasanya tidak terdeteksi dan tidak adanya gerakan janin yang
dirasakan ibu.
d. Hiperemesis Gravidarum
Pada kehamilan Molahidatidosa, jumlah hormon estrogen dan
gonadotropin korionik terlalu tinggi dan menyebabkan hiperemesis
gravidarum.
e. Tanda toksemia/ pre-eklampsia pada kehamilan trimester I
Pre-eklampsia pada Molahidatidosa tidak berbeda dengan kehamilan biasa,
bisa ringan, sedang bahkan sampai eklampsia. Hanya saja pada
Molahidatidosa terjadinya lebih dini. Hal yang paling penting adalah
keterkaitan Molahidatidosa dengan pre-eklampsia yang menetap hingga
trimester II. Karena pre-eklampsia jarang dijumpai sebelum 24 minggu,
pre-eklampsia ini mengisyaratkan Molahidatidosa.
16
E. Manifestasi Klinis
a. Amenorrhoe dan tanda-tanda kehamilan.
b. Perdarahan pervaginam dari bercak sampai perdarahan berat. merupakan
gejala utama dari mola hidatidosa, sifat perdarahan bisa intermiten selama
berapa minggu sampai beberapa bulan sehingga dapat menyebabkan
anemia defisiensi besi.
c. Uterus sering membesar lebih cepat dari biasanya tidak sesuai dengan usia
kehamilan.
d. Tidak dirasakan tanda-tanda adanya gerakan janin maupun ballottement.
e. Hiperemesis, pasien dapat mengalami mual dan muntah cukup berat.
f. Preklampsi dan eklampsi sebelum minggu ke-24
g. Keluar jaringan mola seperti buah anggur, yang merupakan diagnosa pasti
h. Gejala Tirotoksikosis
17
3. Pemeriksaan USG serial tunggal
a. Sudah dapat dipastikan MH tampak seperti TV rusak
b. Tidak terdapat janin
c. Tampak sebagian plasenta normal dan kemungkinan dapat tampak janin
4. Pemeriksaan laboratorium
a. β-hCG urin tinggi lebih dari 100.000 mIU/ml
b. β-hCG serum di atas 40.000 mIU/ml (Manuaba, 2007).
1. Memasukkan sonde intrauterin, jika tanpa tahanan, hanifa positif. Hal ini
berarti MH.
2. Penyuntikan bahan kontras secara intrauterin, foto abdomen, akan tampak
gambaran seperti sarang tawon.
3. Pemeriksaan MRI
a. Tidak tampak janin
b. Jaringan MH jelas terlihat
G. Penatalaksanaan
a. Tatalaksana Umum
Diagnosis dini tanda mola
Beri infus NS/RL preventif terhadap perdarahan hebat
Observasi kadar HCg
Observasi kadar Hb dan T/N/S serta perdarahan pervaginam
Rujuk ke fasilitas yang lebih lengkap untuk dilakukan evakuasi
jaringan mola
b. Tatalaksana Khusus
Pasang infus oksitosin 10 unit dalam 500 ml NaCl 0.9% atau RL
dengan kecepatan 40-60 tetes/menit untuk mencegah perdarahan.
Pengosongan isi uterus dengan menggunakan Aspirasi Vakum Manual
(AVM)
18
Ibu dianjurkan menggunakan kontrasepsi hormonal bila masih ingin
memiliki anak, atau tubektomi bila ingin menghentikan kesuburan
Selanjutnya ibu dipantau:
1) Pemeriksaan HCG serum setiap 2 minggu.
2) Bila hasil HCG serum terus menetap atau naik dalam 2 kali
pemeriksaan berturut-turut, ibu dirujuk ke rumah sakit rujukan
tersier yang mempunyai fasilitas kemoterapi
c. Penanganan Selanjutnya
Pasien dianjurkan menggunakan kontrasepsi hormonal atau tubektomi
Lakukan pemantauan setiap 8 minggu selama minimal 1 tahun pasca
evakuasi dengan menggunakan tes kehamilan dengan urin karena
adanya resiko timbulnya penyakit trofoblas yang menetap
Jika tes kehamilan dengan urin yang belum memberi hasil negatif
setelah 8 minggu atau menjadi positif kembali dalam satu tahun
pertama, rujuk ke rumah sakit rujukan tersier untuk pemantauan dan
penanganan lebih lanjut.
19
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Abortus adalah berakhirnya suatu kehamilan (oleh akibat-akibat tertentu)
pada atau sebelum kehamilan tersebut berusia 22 minggu atau buah kehamilan
belum mampu untuk hidup diluar kandungan.
Kehamilan ektopik adalah implantasi dan pertumbuhan hasil konsepsi
diluar endometrium kavum uteri , hamil ini di tandai dengan : Amenorea , gejala
kehamilan muda dan pendarahan yang berwarna cokelat , dan pemeriksaan
vagina terdapat nyeri goyang bila serviks digoyangkan nyeri pada perabaan dan
kavum douglasi menonjol karena ada pembekuan darah. Pada kasus seperti ini,
segera ambil tindakan.
Mola hidatidosa adalah kehamilan dimana setelah terjadi fertilitasi tidak
berkembang menjadi embrio, tetapi terjadi poliferasi trofoblast, dan ditemukan
villi koriolis yang mengalami perubahan degenarasi hidropik dan stroma yang
hipo vaskuler atau avaskuler, janin biasanya meninggal akan tetapi villus-villus
yang membesar dan edematus itu hidup dan tumbuh terus, gambaran yang
diberikan adalah sebagai segugus buah anggur.
3.2 Saran
20