Anda di halaman 1dari 16

STRATEGI PERUBAHAN PERILAKU

KASUS 3
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Promosi Kesehatan di Semester III
Disusun oleh :
Fiera Riandini
Galuh Tyas Wijiastuti
Ghea Asmarandhana
Gheacita Ramadhani
Habibah Apriliani
Hanny Septiani
Intan Puteranti
Iqbal Sapta Nugraha
Tingkat 2B

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN BANDUNG


JURUSAN KEPERAWATAN BANDUNG
Jalan Dr. Otten No 32

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami penjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat-Nya
maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul Strategi
Perubahan Perilaku pada Kasus 3 sebagai salah satu tugas dan persyaratan untuk
Mata Kuliah Promosi Kesehatan di Politeknik Kesehatan Kemenkes Bandung.
Dalam penyusunan makalah ini, penyusun merasakan masih banyak
kekurangan-kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi. Mengingat
akan kemampuan yang dimiliki penyusun. Untuk itu kritik dan saran yang bersifat
membangun dari semua pihak sangat diharapkan demi penyempurnaan pembuatan
makalah ini. Penyusun menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang
membantu dalam menyelesaikan makalah ini, khususnya kepada dosen
pembimbing Ibu Tati Suhaeti, SPd., Mkes.
Akhir kata, penyusun berharap semoga Allah SWT memberikan imbalan
yang setimpal pada yang telah memberikan bantuan, dan dapat menjadikan semua
bantuan ini sebagai ibadah, Amin.
Bandung, September 2014
Penyusun

DAFTAR ISI

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Diare masih merupakan masalah kesehatan utama pada anak terutama balita
di negara berkembang karena angka kesakitan dan kematiannya masih tinggi.
Sekitar 80% kematian karena diare terjadi pada anak di bawah 2 tahun. Di
Indonesia terdapat kecenderungan yang meningkat, pada tahun 1996 sejumlah
1.078 menjadi 1278 per 1000 anak pada tahun 2000. Tahun 2003 diperkirakan
1,87 juta anak kurang dari 5 tahun meninggal karena diare. Delapan dari 10
kematian terjadi pada anak kurang dari 2 tahun dengan angka kesakitan diare 374
per 1.000 penduduk dan episode pada balita 1,08 kali per tahun.1,2.
Berdasarkan data tahun 2007, dari 29.943 penderita diare di kota Semarang
sepertiganya adalah balita. Angka kesakitan sebesar 20,11 per 1.000 penduduk,
terjadi peningkatan dari tahun berikutnya. Profil kesehatan Indonesia 2003,
penyakit diare menempati urutan kelima dari 10 penyakit utama pada pasien rawat
jalan di Rumah Sakit dan menempati urutan pertama pada pasien rawat inap di
Rumah Sakit. Berdasarkan data tahun 2003 terlihat bahwa frekuensi kejadian luar
biasa (KLB) penyakit diare sebanyak 92 kasus dengan 3865 orang penderita, 113
orang meninggal, dan Case Fatality Rate (CFR) 2,92% (Depkes RI 2005).
Penyebab diare adalah multifaktorial, sebagian besar disebabkan oleh
infeksi. Kerusakan pada mukosa usus dengan derajat ringan maupun berat,
membutuhkan waktu untuk kembali normal. Pada sebagian kasus, diare yang baru
sembuh dapat kambuh atau berulang kembali. Kemungkinan akibat dari
penyembuhan kurang sempurna, adanya infeksi menetap, reinfeksi patogen lain
ataupun gangguan penyerapan.
Fakta ini seolah mengatakan bahwa kesadaran penduduk Indonesia akan
kesehatan teramat minim. Dan bukan tidak mungkin bahwa kesadaran yang
minim tersebut disebabkan oleh tingkat pengetahuan yang kurang tentang diare,
serta penanganan dan pencegahannya. Oleh sebab itu, maka peneliti merasa perlu
untuk meneliti bagaimana pengetahuan, sikap dan tindakan masyarakat terhadap
diare.

Berdasarkan hal tersebut, maka permasalahan mengenai diare di


masyarakat kami jadikan pembahasan untuk makalah ini. Pembuatan makalah ini
juga bukan semata-mata untuk memenuhi tugas mata kuliah Promosi Kesehatan.
Dari tugas ini juga bisa di jadikan sumber informasi untuk pembaca dan
memberikan manfaat-manfaat yang berguna.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa permasalahan yang ditimbulkan?
2. Apa faktor yang menjadi masalah (Lingkungan, Dari dalam dirinya
3.

sendiri, atau pelayanan kesehatan)?


Bagaimana strategi perubahan perilaku yang dapat dibuat?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui permsalahan apa yang ditimbulkan.
2. Untuk mengetahui apa faktor yang menyebabkan terjadinya masalah.
3. Untuk mengetahui strategi apa yang harus dilakukan untuk mengubah
perilaku masyarakat dalam penanganan diare.
1.4 Manfaat
Memberikan wawasan kepada para pembaca mengenai strategi perubahan
perilaku, dimana kita menjadi mampu menganalisa perilaku seseorang dan
kita mampu menciptakan strategi untuk merubah perilaku tersebut

BAB II
TINJAUAN TEORI
Perubahan Perilaku
Telah menjadi pemahaman umum, perilaku merupakan diterminan kesehatan yang
menjadi sasaran dari promosi atau pendidikan kesehatan. Dengan perkataan lain
promosi atau pendidikan kesehatan bertujuan untuk mengubah perilaku (behavior
change). Perubahan perilaku kesehatan sebagai tujuan dari promosi atau
pendidikan kesehatan, sekurang-kurangnya mempunyai 3 dimensi, yaitu:
a. Mengubah perilaku negatif (tidak sehat) menjadi perilaku positif (sesuai
dengan nilai-nilai kesehatan).
b. Mengembangkan perilaku positif (pembentukan atau pengembangan perilaku
sehat).
c. Memelihara perilaku yang sudah positif atau perilaku yang sudah sesuai
dengan norma/nilai kesehatan (perilaku sehat). Dengan perkataan lain
mempertahankan perilaku sehat yang sudah ada.
Karena perubahan perilaku merupakan tujuan dari pendidikan atau promosi
kesehatan, maka teori-teori tentang perubahan perilaku perlu dipahami dengan
baik bagi praktisi promosi atau pendidikan kesehata.
A. TEORI-TEORI PERUBAHAN PERILAKU
Banyak teori tentang perubahan perilaku ini, antara lain akan diuraikan di bawah
ini.
1. Teori Stimulus Organisme (SOR)
Teori ini didasarkan pada asumsi bahwa penyebab terjadinya perubahan perilaku
tergantung kepada kualitas rangsang (stimulus) yang berkomunikasi dengan
organisme. Artinya, kualitas dari sumber komunikasi (sources) misalnya
kredibilitas kepemimpinan, dan gaya berbicara sangat menentukan keberhasilan
perubahan perilaku seseorang, kelompok, atau masyarakat.

Hostland, et al. (1953) mengatakan bahwa perubahan perilaku pada hakikatnya


adalah sama dengan proses belajar. Proses perubahan perilaku tersebut
menggambarkan proses belajar pada individu yang terdiri dari:
a)

Stimulus (rangsang) yang diberikan kepada oragnisme dapat diterima atau


ditolak. Apabila stimulus tersebut tidak diterima atau ditolak berarti stimus itu
tidak efektif dalam mempengaruhi perhatian individu, dan berhenti di sini.
Tetapi bila stimulus diterima oleh organisme berarti ada perhatian dari indvidu

dan stimulus tersebut efektif.


b) Apabila stimulus telah mendapatkan perhatian dari organisme (diterima) maka
ia mengerti stimulus ini dan dilanjutkan kepada proses berikutnya.
c) Setelah itu organisme mengelolah stimulus tersebut sehingga terjadi kesediaan
untuk bertindak demi stimulus yang telah diterimanya (bersikap).
d) Akhirnya dengan dukungan fasilitas serta dorongan dari lingkungan maka
stimulus stimulus tersebut mempunyai efek tindakan dari individu tersebut
(perubahan perilaku).
Selanjutnya teori ini mengatakan bahwa perilaku dapat berubah hanya apabila
stimulus (rangsang) yang diberikan benar-benar melibihi dari stimulus semula.
Stimulus yang dapat melibihi stimulus semula ini berarti stimulus yang diberikan
harus dapat meyakinkan organisme. Dalam meyakinkan organisme faktor
reinforcement memegang peranan penting. Proses perubahan perilaku berdasarkan
teori SOR dapat digambarkan sebagai berikut.
TEORI SOR

STIMULUS

ORGANISME
-Perhatian
-Pengertian

PROMOSI
KESEHATAN

-Penerimaan
RESPONS
(Perubahan Perilaku)

RESPONS
(PERUBAHAN
TINDAKAN)
2. Teori Festinger (Dissonance Theory)
Teori Disonansi (Cognitive disonance theory) diajukan oleh festinger (1957) telah
banyak pengaruhnya dalam psikologi sosial. Teori ini sebenarnya sama dengan
konsep imbalance (tidak seimbang). Hal ini berarti bahwa keadaan cognitive
dissonance merupakan ketidakseimbangan psikologis yang diliputi oleh
ketegangan diri yang berusaha untuk mencapai keseimbangan kembali. Apabila
terjadi keseimbangan dalam diri individu, maka berarti sudah terjadi ketegangan
diri lagi, dan keadaan ini disebut consonance (keseimbangan).
Dissonance (ketidakseimbangan) terjadi karena dalam diri individu terdapat dua
elemen kognisi yang saling bertentangan. Yang dimaksud elemen kognisi adalah
pengetahuan, pendapat atau keyakinan. Apabila individu menghadapi suatu
stimulus atau objek, dan stimulus tersebut menimbulkan pendapat atau keyakinan
yang berbeda.bertentangan di dalam diri individu itu sendiri, maka terjadilah
dissonance. Sherwood dan Borrou merumuskan dissonance itu sebagi berikut.
Pentingnya stimulus X jumlah kognitif dissonance
Dissonance =
Pentingnya stimulus X jumlah kognitig consonance
Rumus ini menjelaskan bahwa ketidakseimbangan dalam diri seseorang yang akan
menyebabkan perubahan perilaku dikarenakan adanya perbedaan jumlah elemen
kognitif yang seimbang dengan jumlah elemen kognitif elemen yang tidak
seimbang sama-sama pentingnya. Hal ini menimbulkan konflik pada diri individu
tersebut.
Contoh seorang ibu rumah tangga yang bekerja di kantor. Di satu pihak, dengan
bekerja ia dapay tambahan pendapatan bagi keluarganya, yang akhirnya dapat
memenuhi kebutuhan bagi keluarga dan anak-anaknya, termasuk kebutuhan

makanan yang bergizi. Apabila ia tidak bekerja, jelas ia tidak dapat memnuhi
kebutuhan pokok keluarga. Di pihak lain, apabila ia bekerja, ia khawatir
perawatan

anak-anaknya

akan

menimbulkan

masalah.

Kedua

elemen

(argumentasi) ini sama-sama pentingnya, yakni rasa tanggung jawabnya sebagai


ibu rumah tangga yang baik.
Titik berat dari penyelesaian konflik ini adalah penyesuaian diri secara kognitif.
Dengan penyesuaian diri ini maka akan terjadi keseimbangan kembali.
Keberhasilan yang ditunjukan dengan tercapainya keseimbangan kembali
menunjukan adanya perubahan sikap, dan akhirnya akan terjadi perubahan
perilaku.
3. Teori Fungsi
Teori ini berdasarkan anggapan bahwa perubahan perilaku individu tergantung
pada kebutuhan. Hal ini berarti bahwa stimulus yang dapat mengakibatkan
perubahan perilaku seseorang adalah stimulus yang dapat dimengerti dalam
konteks kebutuhan orang tersebut. Menurut Katz (1960) perilaku dilatarbelakangi
oleh kebutuhan individu yang bersangkutan. Katz berasumsi bahwa:
a) Perilaku memiliki fungsi instrumental, artinya dapat berfungsi dan
memberikan pelayanan terhadap (berperilaku) positif terhadap objek demi
pemenuhan kebutunhannya. Sebaliknya bila objek tidak dapat memenuhi
kebutunhannya maka ia akan berperilaku negative. Misalnya, orang mau
membuat jamban tersebut benar-benar sudah menjadi kebutuhannya.
b) Perilaku berfungsi sebagai defence mechanism atau sebagai pertahanan
diri dalam menghadapi lingkungannya. Artinya, dengan perilakunya,
dengan tindakan-tindakannya, manusia dapat melindungi ancamanancaman yang datang dari luar. Misalnya, orang dapat menghindari
penyakit demam berdarah, karena penyakit tersebut merupakan ancaman
bagi dirinya.
c) Perilaku berfungsi sebagai penerima objek dan pemberi arti. Dalam
perannya dengan tindakan itu seseorang senantiasa menyesuaikan diri
dengan lingkungannya. Dengan tindakan sehari-hari tersebut seseorang

melakukan keputusan-keputusan sehubungan dengan objek atau stimulus


yang dihadapi. Pengambilan keputusan mengakibatkan tindakan-tindakan
tersebut dilakukansecara spontan dan dalam waktu yang singkat.
Misalnya, bila seseorang merasa sakit kepala, maka seecara cepat, tanpa
berpikir lama, ia akan bertindak untuk mengatasi rasa sakit tersebut
dengan membeli obat di warung dan kemudian meminumnya, atau
tindakan-tindakan lain.
d) Perilaku berfungsi sebagai nilai ekspresif dari diri seseorang dalam
menjawab suatu situasi. Nilai ekspresif ini berasal dari konsep seseorang
dan merupakan pencerminan dari hati sanubari. Oleh sebab itu, perilaku
dapat merupakan layar di mana segala ungkapan diri orang dapat dilihat.
Misalnya orang yang sedang marah, senang, gusar, dan sebagainya dapat
dilihat dari perilaku atau tindakannya.
Teori ini berkeyakinan bahwa perilaku mempunyai fungsi untuk menghadapi
dunia

luar

individu,

dan

senantiasa

menyesuaikan

diri

dengan

lingkungannyamenurut kebutuhannya. Oleh sebab itu di dalam kehidupan


manusia perilaku itu tampak terus-menerus dan berubah secara relative.
4. Teori Kurt Lewin
Kurt Lewin (1970) berpendapat bahwa perilaku manusia adalah suatu keadaan
yang seimbang antara kekuatan-kekuatan pendorong (driving forces) dan
kekuatan-kekuatan penahan (restrining forces). Perilaku itu dapat berubah apabila
terjadi ketidakseimbangan antara kedua kekuatan tersebut di dalam diri seseorang
sehingga ada tiga kemungkinan terjadinya perubahan perilaku pada diri seorang
yakni:
a. Kekuatan-kekuatan pendorong meningkat. Hal ini terjadi karena adanya
stimulus-stimulus yang mendorong untuk terjadinya perubahan-perubahan
perilaku. Stimulus ini berupa penyuluhan-penyuluhan atau informasiinformasi sehubungan dengan perilaku yang bersangkutan. Misalnya,
seseorang yang belum ikut KB (ada keseimbangan antara pentingnya
mempunyai anak sedikit dengan kepercayaan banyak anak banyak rejeki)

dapat berubah perilakunya ber-KB, dinaikkan dengan penyuluhanpenyuluhan atau usaha-usaha lain.

Kekuatan pendorong meningkat


Perilaku semula
Kekuatan penahan tetap
b. Kekuatan-kekuatan semula menurun. Hal ini terjadi karena adanya
stimulus-stimulus yang memperlemah kekuatan penahan tersebut.
Misalnya pada contoh di atas.dengan pemberian pengertian kepada yang
salah, maka kekuatan penahan tersebut melemah dan akan terjadi
perubahan perilaku pada orang tersebut
Pendorong tetap
Perilaku semula
Penahan, menurun
perilaku baru
c. Kekuatan pendorong meningkat, kekuatan penahan menurun. Dengan
keadaan semacam ini jelas akan terjadi perubahan perilaku. Seperti pada
contoh juga, penyuluhan KB yang memberikan pengertian terhadap orang
tersebut tentang pentingnya ber-KB dan tidak benarnya kepercayaan
banyak anak banyak rezeki akan meningkatkan kekuatan pendorong, dan
sekaligus menurunkan kekuatan penahan.
Pendorong - meningkat
Perilaku semula
Penahan - menurun
perilaku baru
B. STRATEGI PERUBAHAN PERILAKU

Dalam program-program kesehatan, agar diperoleh perubahan perilaku yang


sesuai dengan norma-norma kesehatan, sangat diperlukan usaha-usaha konkret
dan positif. Beberapa strategi untuk memperoleh perubahan perilaku tersebut oleh
WHO dikelompokkan menjadi tiga.
1. Menggunakan Kekuatan (Enforcement)
Dalam hal ini perubahan perilaku dipaksakan kepada sasaran atau masyarakat
sehingga ia mau melakukan (berperilaku) seperti yang diharapkan. Cara ini dapat
ditempuh menggunakan cara-cara kekuatan baik fisik maupun psikis, misalnya
dengan cara mengintimidasai atau ancaman-ancaman agar masyarakat atau orang
mematuhinya. Cara ini akan menghasilkan perilaku yang cepat, akan tetapi
perubahan tersebut belum tentu akan berlangsung lama karena perubahan perilaku
yang terjadi tidak atau belum didasari oleh kesadaran sendiri.
2.

Menggunakan kekuatan peraturan atau hokum (Regulation)

Perubahan-perubahan perilaku masyarakat melalui peraturan, perundangan, atau


peraturan-peraturan tertulis ini sering juga disebut law enforcement atau
regulation. Artinya masyarakat diharapkan berprilaku, diatur melalui peraturan
atau undang-udang secara tertulis. Misalnya, Peraturan Daerah DKI Jakarta tentag
merokok ditempat-tempat umum. Atau misalnya dilingkup pemerintah desa atau
kelurahan, dikeluarkannya aturan, keluarga-keluarga yang istrinya tidak
memeriksakan kehamilannya, maka tidak akan diberikan surat keterangan lahir
bagi bayi yang dilahirkan. Perubahan perilaku menggunakan pendekatan
peraturan, hukum, undang-undang, dan sebagainya ini sering juga disebut low
enforcement.
3. Pendidikan (education)
Perubahan perilaku kesehatan memalui cara pendidikan atau promosi kesehatan
ini diawali dengan cara pemberian informasi-informasi kesehatan. Dengan
memberikan informasi-informasi tentang cara-cara mencapai hidup sehat, cara
pemeligharaan kesehatan, cara menghindari penyakit, dan sebagainya akan
meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang hal tersebut.
Selanjutnya dengan pengetahuan-pengetahuan itu akan menimbulkan kesadaran
mereka, dan akhirnya akan menyebabkan orang berperilaku sesuai dengan

pengetahuan yang dimilikinya itu. Hasil atau perubahan perilaku dengan cara ini
memakan waktu lama, tetapi perubahan yang dicapai akan bersifat langgeng
karena didasari oleh kesedaran mereka sendiri (bukan karena paksaaan).
Perubahan perilaku dengan pendidikan akan menghasilkan perubahan yang efektif
bila dilakukan melalui metoda Diskusi Partisipasi. Cara ini adalah sebagai
peningkatan cara yang kedua yang dalam memberikan informasi tentang
kesehatan tidak bersifat searah saja, tetapi dua arah. Hal ini berarti bahwa
masyarakat tidak hanya pasif menerima informasi, tetapi juga harus aktif
berpatisipasi melalui diskusi-diskusi tentang informasi yang diterimanya. Dengan
demikian maka pengetahuan kesehatan sebagai dasar perilaku mereka diperoleh
secara mantap dan lebih mendalam, dan akhirnya perilaku yang mereka peroleh
akan lebih mantap juga, bahkan merupaka referensi perilaku orang lain. Sudah
barang tentu cara ini akan memakan waktu yang lebih lama dari cara yang kedua
tersebut, dan jauh lebih baik dengan cara yang pertama.
Diskusi partisipasi adalah salah satu cara yang baik dalam rangkamemberikan
informasi-informasi dan pesan-pesan kesehatan.

BAB III
PEMBAHASAN

BAB IV
PENUTUP

DAFTAR PUSTAKA
http://eprints.undip.ac.id/29133/2/Bab_1.pdf
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23134/5/Chapter%20I.pdf

Anda mungkin juga menyukai