Anda di halaman 1dari 5

KASUS ARBITRASE NEWMONT, RI TERANCAM BAYAR US$ 2,5 M

Harian Investor Daily, 09/12/2008 17:02:32 WIB


Oleh Heriyono dan Dudi Rahman

Jakarta, Investor Daily


Pemerintah Indonesia optimistis bakal memenangi arbitrase internasional kasus PT
Newmont Nusa Tenggara (NNT) yang sidang perdananya dijadwalkan berlangsung di Jakarta,
Selasa (9/12). Namun, pemerintah RI terancam untuk membayar kewajiban senilai US$ 2,5
miliar atau sekitar Rp 29 triliun.Besaran kewajiban tersebut terdiri atas segala biaya yang
dikeluarkan NNT berdasarkan nilai buku dan beban atas 7.000 karyawan perusahaan tambang
yang mayoritas sahamnya dikuasai Sumitomo Corp dan Newmont Corporation Ltd tersebut.
Selain itu, pemerintah pun harus menyelesaikan kewajiban NNT terhadap pembeli yang
terkontrak, pemasok, dan kreditor.
Kemungkinan pemerintah bakal rugi bila memenangi arbitrase melawan NNT ini pun
secara eksplisit tampak dalam perjanjian kontrak karya (KK) yang diteken pemerintah RI dan
NNT. Pasal 22 butir (5) KK yang diteken NNT dan pemerintah RI pada 2 Desember 1986
menyatakan; apabila pengakhiran (terminasi) terjadi selama periode operasi atau sebagian
akibat habisnya jangka waktu persetujuan ini, semua harta kekayaan perusahaan, baik yang
bergerak maupun tidak bergerak, yang berada di dalam wilayah KK harus ditawarkan untuk
dijual kepada pemerintah dengan harga yang besarnya sama dengan ongkos perolehan atau
menurut harga pasar, mana yang lebih rendah, tetapi bagaimana pun tidak akan lebih rendah
dari nilai buku.
Dirjen Mineral, Batubara, dan Panas Bumi (Minerbapabum) Departemen ESDM Bambang
Setiawan mengatakan, bila pemerintah Indonesia memenangi gugatan, pihaknya tidak
mempersoalkan sekiranya harus memenuhi kewajiban yang diputuskan dalam arbitrase.
“Kalau memang itu diatur dalam KK, ya harus dipenuhi. Namun, tidak serta merta pemerintah
yang membelinya, mungkin melalui BUMN sektor pertambangan, seperti PT Aneka Tambang
Tbk atau PT Tambang Batubara Bukit Asam (PTBA) Tbk,” ujar Bambang kepada Investor Daily
di Jakarta, akhir pekan lalu.
Kendati begitu, Bambang berpendapat, nilai aset buku PT NNT saat ini harus dibuktikan
terlebih dahulu oleh sebuah lembaga audit independen. “Tidak bisa asal disebut saja,” ujarnya.
Pasal 24 ayat 33 KK antara pemerintah RI dan NNT menyatakan; pemegang saham asing NNT
diwajibkan menawarkan saham NNT sehingga pada 2010 minimal 51% saham NNT akan
beralih ke pemerintah Indonesia atau peserta Indonesia lainnya. Saat ini, 80% saham NNT
yang mengeksploitasi tambang tembaga dan emas di Batu Hijau, Kabupaten Sumbawa Barat,
Nusa Tenggara Barat (NTB) dikuasai Nusa Tenggara Partnership (Newmont 45% dan
Sumitomo 35%). Sisa 20% saham dimiliki PT Pukuafu Indah.
Pada 2006, NNT menawarkan 3% senilai US$ 109 juta saham kepada mitra Indonesia
dan masing-masing 7% pada 2007 senilai US$ 282 juta dan 2008 sebesar US$ 426 juta. Dua
tahun lalu, NNT menawarkan saham kepada pemerintah daerah. Pemkab Sumbawa dan
Pemprov NTB memperoleh 2%, sedangkan Pemkab Sumbawa Barat 3%.
Dalam proses penawaran saham mencuat perbedaan penafsiran terhadap KK
khususnya pasal 24 antara pemerintah dan NNT. Persoalan yang muncul antara lain soal
saham NNT yang digadaikan kepada kreditor, kendati sebetulnya telah disetujui pemerintah
Indonesia pada 1997. Karena tidak ada kesepakatan, belakangan pemerintah Indonesia secara
bersamaan dengan PT NNT membawa kasus tersebut ke ke arbitrase.
Menurut anggota Komisi VII DPR dari Fraksi PAN Alvien Lie, bila ada ketentuan
pemerintah harus membayar kewajiban kepada NNT, pemerintah dapat membeli perusahaan
tersebut dengan diangsur. “Tidak ada aturan yang harus membayarnya secara tunai. Diangsur
saja misalnya 50 tahun,” jelasnya.
Dirut PTBA Sukrisno mengatakan, pihaknya hingga kini belum bisa berkomentar terkait
usulan pemerintah mengharuskan perusahaan membeli aset NNT. “Kami belum tahu asal usul
kedudukan NNT. Kalau pun ada gambaran soal pembelian, masih akan dibicarakan lebih lanjut
antara direksi, komisaris, dan pemegang saham,” katanya di Jakarta, akhir pekan lalu.
Senior Director, Communications and Media Relations Newmont Mining Corporation
Omar Jabara yang dihubungi melalui surat elektronik di Denver, AS, Minggu (7/12) tak bersedia
memberi tanggapan. Juru bicara Newmont Rubi W Purnomo kepada Investor Daily, kemarin,
mengatakan, sampai saat ini pihaknya ingin memberikan kesempatan bagi proses penyelesaian
atas perbedaan melalui arbitrase yang bebas dari sorotan dan spekulasi di media massa.
“Untuk itu, pada saat ini, kami tidak ingin memberikan pernyataan apapun yang berhubungan
dengan arbitrase dan divestasi PT NNT,” ujarnya.

Pemerintah Kalah
Secara terpisah, Direktur Centre for Indonesian Mining and Resources Law Ryad A
Chairil mengungkapkan, pemerintah tidak mungkin memenangi gugatan arbitrase NNT. Sejak
17% saham itu ditawarkan, menurut Ryad, pemerintah pusat maupun daerah tidak bisa
menunjukkan dengan jelas pihak mana yang akan membeli saham tersebut.
“Secara finansial, pemerintah bahkan mengakui tidak cukup uang untuk menebus 17% saham
Newmont. Karena itu, gugatan arbitrase tersebut adalah cara elegan untuk membebaskan
pemerintah dari hak pertama membeli saham dan membolehkan Newmont menawarkan pada
pihak lain yang mampu membeli saham tersebut,” katanya.
Pemerintah disarankan menunjuk BUMN yang memiliki kemampuan secara finansial
untuk mengakuisisi saham Newmont. Ryad menambahkan, pemerintah salah fatal dan
melanggar kesepakatan yang tertera dalam KK terkait dugaan lalai (default) yang diajukan
Dirjen Minerbapabum (saat itu Simon Felix Sembiring) terkait belum tuntasnya penawaran 17%
saham NNT kepada pemda. “Menurut kesepakatan, default hanya bisa diajukan bila para pihak
tidak sedang terlibat dalam masalah. Pemerintah sudah melanggar kesepakatan tersebut,”
ujarnya.

Analisa Kasus;
Di zaman sekarang ini, dalam menyelesaikan sengketanya, para pihak dihadap banyak
sekali pilihan. Tidak hanya melalui pengadilan, mereka juga bisa menyelesaikan sengketanya di
luar pengadilan, yang salah satu bentuknya yaitu Arbitrase. Masing-masing media
penyelesaian sengketa mempunyai kelebihan dan kekurangan. Hal tersebut tergantung pada
pada beberapa faktor yang mempengaruhinya misalnya jenis dan sifat penyelesaian
sengketa; strategi masing-masing pihak yang bersengketa dan pelaksanaannya.
Seperti halnya dalam kasus di atas yaitu perselisihan sengketa antara Pemerintah RI Indonesia
dan PT. Newmont Nusa Tenggara. Kedua belah pihak dalam menyelesaikan sengketanya
memilih Arbitrase sebagai tempat mencari penyelesaian sengketa. Pemerintah Indonesia
mempermasalahkan kelalaian PT Newmont yang gagal melaksanakan kewajibannya dan
menyatakan bahwa dapat diakhirinya kontrak PT Newmont. Kasus sengketa antara Pemerintah
RI dengan PT Newmont NNT dilatar belakangi dengan tuduhan wan prestasi atau pengingkaran
janji yang dilakukan oleh PT Newmont telah melewati sebuah perdebatan hebat di forum
arbitrase internasional, akhirnya putusan arbitrase international memutus PT Newmont NNT
bersalah dan dibebani kewajiban untuk mendivestasikan saham sesuai dengan besaran yang
tertera dalam perjanjian kontrak yang telah disepakati.

https://id.scribd.com/doc/25097767/KASUS-ARBITRASE
DUALISME PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH DICEMASKAN
Oleh Liputan 6 pada 19 Jun 2011, 16:20 WIB

Liputan6.com, Jakarta: Dualisme penyelesaian secara hukum (litigasi) dalam sengketa


ekonomi syariah yang bisa ditangani Pengadilan Agama maupun Pengadilan Umum
dikhawatirkan membuat kegamangan bagi kepastian hukum ekonomi syariah di masa
mendatang. Demikian diungkapkan Ketua Asosiasi Bank Syariah Indonesia (ASBISINDO) Dr.
H. A. Riawan Amin, M.Sc. usai seminar "Penyelesaian Hukum Sengketa Ekonomi Syariah di
Indonesia", yang diselenggarakan Himpunan Ilmuwan dan Sarjana Syariah Indonesia (HISSI),
Jakarta, Sabtu (18/6).
Riawan Amin berpendapat seharusnya penyelesaian masalah melalui Badan Arbritase
Syariah Nasional (Basyarnas) bisa dimaksimalkan. Menurutnya, Badan itu bisa menjadi
alternatif untuk menghindari persengketaan melalui musyawarah untuk mufakat. Namun, Ia
mengingatkan, jika masalah itu memasuki wilayah persengketaan maka Pengadilan Agamalah
yang berhak menanganinya sesuai dengan UU tentang Peradilan Agama No. 50/2009 yang
menyempurnakan UU No. 3/2006.
Selain itu, Riawan menambahkan, Mahkamah Agung juga telah banyak menginvestasikan
pengembangan sumber daya dengan mengadakan pelatihan serta mengirimkan sejumlah
hakim agama keluar negeri guna mempelajari berbagai kasus yang menyangkut ekonomi
syariah. Karenanya, mantan Direktur Bank Muammalat itu mengimbau agar Bank-bank Syariah
ikut mendukungnya, termasuk membawa masalah yang berkenaan dengan ekonomi syariah ke
peradilan agama bukan peradilan umum.
Mengenai adanya kesangsian publik atas kemampuan mengatasinya, Riawan meminta
agar semua pihak memberikan kesempatan kepada peradilan agama untuk berkembang
dengan berlatih menghadapi berbagai kasus. Ia mengingatkan pernyataannya bukanlah
keberpihakan namun juga harus dilihat dari kelayakannya. Jika sengketa ekonomi syariah
dibawa ke pengadilan umum, mungkin saja hakimnya lebih paham tentang masalah niaga
tetapi apakah mereka paham tentang syariah? Begitu juga sebaliknya. "Proporsional saja,
mana yang lebih diprioritaskan bisnisnya atau syariahnya?" ujar Riawan.
Hakim Utama Pengadilan Tinggi Agama Jakarta Drs. H. Khalilrrahman, MH. MBA,
berpendapat diperlukan kejelasan pembagian pangaturan dalam sistem peradilan, terutama jika
menyangkut masalah hukum ekonomi syariah seharusnya diselesaikan di pengadilan, hakim
dan cara sesuai syariah. Menurutnya, beberapa masalah hukum yang ditangani pengadilan
agama saat ini tidak hanya masalah perkawinan dan warisan saja, melainkan juga masalah
ekonomi. Bahkan, banyak beberapa masalah yang diputuskan cukup memuaskan masyarakat.
Staf ahli Komisi III yang membidangi masalah hukum, Deni Hariyatna, MH. berpendapat
keluarnya UU Perbankan Syariah No 21 tahun 2008 merupakan masa transisi bagi Peradilan
Agama untuk mempersiapkan menyiapkan baik sumber daya maupun sistemnya lebih baik lagi
ke depan. Dalam UU itu pada pasal 55 ayat 22 menyebutkan penyelesaian sengketa memang
bisa dilakukan melalui musyawarah, mediasi perbankan, melalui Basyarnas dan a/atau melalui
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Menurutnya, perlu ada peran aktif masyarakat
jika ingin mengajukan keberatan atas keluarnya dua UU tersebut jika dianggap tumpang
tindih.
Sementara Ketua HISSI Prof. Amin Summa berharap seluruh pihak bisa mencari solusi
terbaik dalam menuntaskan dualisme dalam penyelesaikan sengketa hukum ekonomi syariah.
Kendati demikian, pihaknya belum berpikir untuk melakukan judicial review karena seminar
yang diselenggarakan saat ini baru sebatas mendiskusikan masalah tersebut dengan berbagai
kalangan dalam forum.

Analisa Kasus;

Anda mungkin juga menyukai