Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG MASALAH

Penyakit infeksi kecacingan merupakan salah satu penyakit yang masih banyak terjadi

di masyarakat namun kurang mendapatkan perhatian (neglected diseases). Penyakit yang

termasuk dalam kelompok neglected diseases memang tidak menyebabkan wabah yang

muncul dengan tiba-tiba ataupun menyebabkan banyak korban, tetapi merupakan penyakit

yang secara perlahan menggerogoti kesehatan manusia, menyebabkan kecacatan tetap,

penurunan intelegensia anak dan pada akhirnya dapat pula menyebabkan kematian.

Salah satu jenis penyakit dari kelompok ini adalah penyakit kecacingan yang

diakibatkan oleh infeksi cacing kelompok Soil Transmitted Helminth (STH), yaitu kelompok

cacing yang siklus hidupnya melalui tanah. Penyakit parasitik yang termasuk ke dalam

neglected diseases tersebut merupakan penyakit tersembunyi atau silent diseases, dan kurang

terpantau oleh petugas kesehatan.

Penyakit kecacingan yang diakibatkan oleh infeksi Soil Transmitted Helminth

merupakan salah satu penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Infeksi

kecacingan ini dapat mengakibatkan menurunnya kondisi kesehatan, gizi, kecerdasan dan

produktivitas penderita sehingga secara ekonomi banyak menyebabkan kerugian, karena

adanya kehilangan karbohidrat dan protein serta kehilangan darah yang pada akhirnya dapat

menurunkan kualitas sumber daya manusia.

Prevalensi infeksi kecacingan di Indonesia masih relatif tinggi pada tahun 2006, yaitu

sebesar 32,6 %, terutama pada golongan penduduk yang kurang mampu dari sisi ekonomi.

Kelompok ekonomi lemah ini mempunyai risiko tinggi terjangkit penyakit kecacingan karena

kurang adanya kemampuan dalam menjaga higiene dan sanitasi lingkungan tempat
tinggalnya. Lima spesies cacing yang termasuk dalam kelompok Soil Transmitted Helminth

yang masih menjadi masalah kesehatan, yaitu Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura,

Strongyloides stercoralis dan cacing tambang (Necator americanus dan Ancylostoma sp).

Cutaneous Larva Migrans (CLM) adalah penyakit infeksi kulit parasit yang

merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di negara-negara berkembang

khususnya pada daerah tropik yang diakibatkan infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah.

Awalnya ditemukan pada daerah – daerah tropikal dan subtropikal beriklim hangat, saat ini

karena kemudahan transportasi keseluruh bagian dunia, penyakit ini tidak lagi dikhususkan

pada daerah – daerah tersebut. Creeping itch atau rasa gatal yang menjalar, merupakan

karakteristik utama dari CLM.

Faktor resiko utama bagi penyakit ini adalah kontak dengan tanah lembab atau

berpasir, yang telah terkontaminasi dengan feces anjing atau kucing. Penyakit ini lebih sering

dijumpai pada anak-anak dibandingkan pada orang dewasa. Pada orang dewasa, faktor

resikonya adalah pada tukang kebun, petani, dan orang-orang dengan hobi atau aktivitas yang

berhubungan dengan tanah lembab dan berpasir.

Aktivitas hidup cacing tanah dalam suatu ekosistem tanah dapat dipengaruhi oleh

berbagai faktor, seperti: iklim (curah hujan, intensitas cahaya dan lain sebagainya), sifat fisik

dan kimia tanah (temperatur, kelembaban, kadar air tanah, pH dan kadar organik tanah),

nutrien (unsur hara) dan biota (vegetasi dasar dan fauna tanah lainnya) serta pemanfaatan dan

pengelolaan tanah. Kelembaban sangat berpengaruh terhadap aktivitas pergerakan cacing

tanah karena sebagian tubuhnya terdiri atas air berkisar 75-90 % dari berat tubuhnya. Itulah

sebabnya usaha pencegahan kehilangan air merupakan masalah bagi cacing tanah. Meskipun

demikian cacing tanah masih mampu hidup dalam kondisi kelembaban yang kurang

menguntungkan dengan cara berpindah ke tempat yang lebih sesuai atau pun diam.
Lumbricus terrestris misalnya, dapat hidup walaupun kehilangan 70% dari air tubuhnya.

Kekeringan yang lama dan berkelanjutan dapat menurunkan jumlah cacing tanah.

Infeksi akibat cacing umumnya tidak menyebabkan penyakit berat sehingga sering kali

diabaikan walaupun sesungguhnya memberikan gangguan kesehatan. Tetapi dalam keadaan

infestasi berat atau keadaan yang luar biasa, kecacingan cenderung memberikan analisa keliru

kearah penyakit lain dan tidak jarang dapat berakibat fatal. Penularan infeksi cacing tambang

melalui hewan vektor (zoonosis) dengan gejala klinis berupa ground itch dan creeping

eruption, Pneumonitis, abdominal discomfort, hipoproteinemia dan anemia defisiensi besi

merupakan manifestasi infeksi antropofilik. Komponen sistim imun yang berperan utama

ialah eosinofil, IgE, IgG4 dan sel Th2. Tidak terdapat kekebalan yang permanen dan adekuat

terhadap infeksi cacing tambang. Diagnosis data epidemiologi berupa pengamatan

manifestasi klinis, pemeriksaan penunjang termasuk pemeriksaan imunologis.

Pengobatan dilakukan dengan mebendazole, albendazole, pirantel pamoat dan

berbagai terapi suportif. Belum ada vaksin yang efektif terhadap cacing tambangsehingga

perbaikan higiene dan sanitasi adalah hal yang utama. CLM dapat diterapi dengan beberapa

cara yang berbeda, yaitu: terapi sistemik (oral) atau terapi topikal. Berdasarkan beberapa

penelitian yang ada terapi sistemik merupakan terapi yang terbaik karena tingkat

keberhasilannya lebih baik daripada terapi topikal.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN PERMASALAHAN

2.1. INFEKSI CACING TAMBANG

2.1.1. DEFINISI

Infeksi cacing tambang pada manusia terutama disebabkan oleh Ancylostoma duodenale (A.

duodenale) dan Necator americanus (N.americanus). Kedua spesies ini termasuk dalam

famili Strongyloidae dari filum Nematoda. Selain kedua spesies tesebut, dilaporkan juga

infeksi zoonosis oleh Ancylostoma braziliense dan Ancylostoma caninum yang ditemukan

pada berbagai jenis karnivora dengan manifestasi klinik yang relatif lebih ringan, yaitu

creeping eruption akibat cutaneus larva migrans. Terdapat juga infeksi Ancylostoma

ceylanicum yang diduga menyebabkan enteritis eosinofilik pada manusia.

Diperkirakan terdapat 1 miliar orang di seluruh dunia yang menderita infeksi cacing

tambang dengan populasi penderita terbanyak di daerah tropis dan subtropis, terutama di Asia

dan subsahara Afrika. Infeksi N. americanus lebih luas penyebarannya dibandingkan A.

duodenale, dan spesies ini juga merupakan penyebab utama infeksi cacing tambang di

Indonesia. Infeksi A. duodenale dan N. americanus merupakan penyebab terpenting anemia

defisiensi besi. Selain itu infeksi cacing tambang juga merupakan penyebab hipoproteinemia

yang terjadi akibat kehilangan albumin, karena perdarahan kronik pada saluran cerna.

Anemia defisiensi besi dan hipoproteinemia sangat merugikan proses tumbuh kembang anak

dan berperan besar dalam mengganggu kecerdasan anak usia sekolah.

Penyakit akibat cacing tambang lebih banyak didapatkan pada pria yang umumnya

sebagai pekerja di keluarga. Hal ini terjadi karena kemungkinan paparan yang lebih besar

terhadap tanah terkontaminasi larva cacing. Sampai saat ini infeksi cacing tambang masih

merupakan salah satu penyakit tropis terpenting. Penurunan produktifitas sebagai indikator
beratnya gangguan penyakit ini. Dalam kondisi infeksi berat, infeksi cacing tambang ini

dapat menempati posisi di atas tripanosomiasis, demam dengue, penyakit chagas,

schisostomiasis dan lepra.

2.1.2 TAKSONOMI

Cacing tambang merupakan salah satu cacing usus yang termasuk dalam kelompok

cacing yang siklus hidupnya melalui tanah (soil transmitted helminth) bersama dengan

Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura dan Strongyloides stercoralis.. Cacing ini termasuk

dalam kelas nematoda dari filum nemathelminthes. Famili Strongyloidae dari kelas nematoda

terdiri atas dua genus, yaitu genus Ancylostoma dan genus Necator. Dari genus Ancylostoma

dapat ditemukan Ancylostoma duodenale, Ancylostoma caninum, Ancylostoma brazilliensis

dan Ancylostoma ceylanicum. Sedangkan dari genus Necator dapat ditemukan Necator

americanus. Taksonomi cacing tambang secara lengkap diuraikan sebagai berikut.

Sub Kingdom : Metazoa

Phylum : Nemathelminthes

Kelas : Nematoda

Sub Kelas : Phasmidia

Ordo : Rhabtidia

Super Famili : Strongyloidea

Famili : Strongyloidae

Genus : Ancylostoma, Necator

Spesies :

• Ancylostoma duodenale,

• Ancylostoma caninum,

• Ancylostoma brazilliensis,
• Ancylostoma ceylanicum,

• Necator americanus

2.1.3 MORFOLOGI DAN SIKLUS HIDUP CACING TAMBANG

2.1.3.1 Ancylostoma duodenale dan Necator americanus

Cacing dewasa berbentuk silindris dengan kepala membengkok tajam ke belakang.

Cacing jantan lebih kecil dari cacing dewasa. Spesies cacing tambang dapat dibedakan

terutama karena rongga mulutnya dan susunan rusuknya padabursa. Namun telur-telurnya

tidak dapat dibedakan. Telur-telurnya berbentuk ovoid dengan kulit yang jernih dan

berukuran 74 –76 μ x 36 – 40 μ. Bila baru dikeluarkan di dalam usus telurnya mengandung

satu sel tapi bila dikeluarkan bersama tinja sudah mengandung 4 – 8 sel, dan dalam beberapa

jam tumbuh menjadi stadium morula dan kemudian menjadi larva rhabditiform (stadium

pertama).

Cacing tambang dewasa adalah nematoda yang kecil, seperti silindris. Bentuk

kumparan (fusiform) dan berwarna pulih keabu - abuan. Cacing betina ( 9- 13x 0,35 - 0,6

mm) lebih besar daripada yang jantan (5 - 11 x 0,3 - 0,45 mm). A.duodenale lebih besar dari

pada N. americanus. Cacing ini mempunyai kutikilum yang relative tebal. Pada ujung

posterior terdapat bursa kopulatrik yang dipakai untuk memegang cacing betina selama

kopulasi. Bentuk badan N.americanus biasanya menyerupai huruf S, sedangkan A. duodenale

mempunyai huruf C. Telur kedua cacing ini sulit dibedakan satu sama lainnya. Telur

berbentuk lonjong atau ellips dengan ukuran sekitar 65x40 mikron. Telur yang tidak

berwarna ini memiliki dinding tipis yang tembus sinar dan mengandung embrio dengan

empat blastomer. Telur cacing tambang mempunyai ukuran 56-60 x 36-40 mikron berbentuk

bulat lonjong, berdinding tipis. Didalamnya terdapat 1- 4 sel telur dalam sediaan tinja segar.

Terdapat dua stadium larva, yaitu larva rhabditiform yang tidak infektif danlarva filariform
yang infektif. Larva rhabditiform bentuknya agak gemuk dengan panjang sekitar 250 mikron,

sedangkan larva filariform yang bentuknya langsing, panjangnya kira-kira 600 mikron.

Gambar Cacing Ancylostoma duodenale Dewasa

Gambar Cacing Necator americanus Dewasa


Telur-telur yang keluar bersama feses biasanya pada stadium awal pembelahan.

Bentuknya lonjong dengan ujung bulat melebar dan berukuran kira-kira, panjang 60 μm dan

lebar 40 μm. Ciri khasnya yaitu adanya ruang yang jernih diantara embrio dengan kulit telur

yang tipis.

Gambar Telur Cacing Tambang

Telur dapat tetap hidup dan larva akan berkembang secara maksimum pada keadaan

lembab, teduh dan tanah yang hangat, telur akan menetas 1-2 hari kemudian. Dalam 5-8 hari

akan tumbuh larva infektif filariform dan dapat tetap hidup dalam tanah untuk beberapa

minggu. Infeksi pada manusia didapat melalui penetrasi larva filariform yang terdapat di

tanah ke dalam kulit. Setelah masuk ke dalam kulit, pertama-tama larva di bawa aliran darah

vena ke jantung bagian kanan dan kemudian ke paru-paru. Larva menembus alveoli,

bermigrasi melalui bronki ke trakea dan faring, kemudian tertelan sampai ke usus kecil dan

hidup di sana. Mereka melekat di mukosa, mempergunakan struktur mulut sementara,

sebelum struktur mulut permanen yang khas terbentuk. Bentuk betina mulai mengeluarkan

telur kira-kira 5 (lima) bulan setelah permulaan infeksi, meskipun periode prepaten dapat

berlangsung dari 6-10 bulan. Apabila larva filariform Ancylostoma duodenale tertelan,

mereka dapat berkembang menjadi cacing dewasa dalam usus tanpa melalui siklus paru-paru.
Patologi dan Gejala Klinis

Gejala-gejala awal setelah penetrasi larva ke kulit seringkali tergantung dari jumlah

larva. Dapat timbul rasa gatal yang minimal sampai berat dengan kemungkinan infeksi

sekunder apabila lesi menjadi vesicular dan terbuka karena garukan. Berkembangnya vesikel

dari ruam papula eritematosa disebut sebagai ”ground itch”. Pneumonitis yang disebabkan

karena migrasi larva tergantung dari pada jumlah larva yang ada. Gejala-gejala infeksi pada

fase usus disebabkan oleh nekrosis jaringan usus yang berada dalam mulut cacing dewasa

dan kehilangan darah langsung dihisap oleh cacing dan terjadinya perdarahan terus-menerus

di tempat asal perlekatannya, yang kemungkinan diakibatkan oleh sekresi antikoagulan oleh

cacing.

Pada infeksi akut dengan banyak cacing, dapat disertai kelemahan, nausea, muntah,

sakit perut, diare dengan tinja hitam atau merah (tergantung jumlah darah yang keluar), lesu

dan pucat. Seperti pada infeksi parasit lainnya, jumlah cacing yang banyak pada anak-anak

dapat menimbulkan gejala sisa serius dan kematian. Selama fase usus akut dapat dijumpai

peningkatan eosinofilia perifer. Pada infeksi kronik, gejala utamanya adalah anemia

defisiensi besi dengan tanda pucat, edema muka dan kaki, lesu dan kadar hemoglobin ≤

5g/dL . Dapat dijumpai kardiomegali, serta retardasi mental dan fisik.

2.1.3.2 Strongyloides stercoralis

Manusia merupakan hospes utama cacing ini. Cacing ini dapat menyebabkan penyakit

stongilodiasis. Nematoda ini terutama terdapat di daerah tropik dan subtropik sedangkan di

daerah yang beriklim dingin jarang ditemukan.

Cacing betina yang hidup sebagai parasit di vilus duodenalum dan yeyunum. Cacing

betina berbentuk filiform, halus, tidak berwarna dan panjangnya kira-kira 2 mm.
Cacing ini mempunyai tiga macam daur hidup :

1. Siklus langsung

Sesudah 2 sampa 3 hari di tanah, larva rhabditiform yang berukuran kira-kira 225 x

16 mikron berubah menjadi larva filariform dengan bentuk langsing dan merupakan bentuk

yang infektif, panjangnya kira-kira 700 mikron. Bila larva filariform menembus kulit

manusia, larva tumbuh, masuk kedalam peredaran darah vena dan kemudian melalui jantung

kanan sampai ke paru. Dari paru parasit yang mulai menjadi dewasa menembus alveolus,

masuk ke trakea dan laring. Setelah sampai di laring terjadi refleks batuk sehingga perasit

tertelan kemudian sampai di usus halus bagian atas dan menjadi dewasa. Cacing betina yang

dapat bertelur ditemukan kira-kira 28 hari sesudah infeksi.

2. Siklus tidak langsung

Pada siklus tidak langsung, larva rhabditiform di tanah berubah menjadi cacing jantan

dan cacing betina bentuk bebas. Bentuk-bentuk bebas ini lebih gemuk dari bentuk parasitik.

Cacing yang betina berukuran 1mm x 0,06 mm, yang jantan berukuran 0,75 mm x 0,04 mm,

mempunyai ekor melengkung dengan 2 buah spikulum. Sesudah pembuahan cacing betina

menghasilkan telur yang menetas menjadi larva rhabditiform dan selama beberapa hari

menjadi larva filariform yang infektif dan masuk dalam hospes baru atau larva rhabditiform

dapat mengulangi fase hidup bebas. Siklus tidak langsung ini terjadi bilamana keadaan

lingkungan sekitarnya optimum yaitu sesuai dengan keadaan yang dibutuhkan untuk hidup

bebas parasit ini.

3. Autoinfeksi

Larva rhabditiform kadang-kadang menjadi larva filariform di usus atau di sekitar

anus, misalnya pada pasien yang menderita obstipasi lama sehinggabentuk rhabditiform

sempat berubah menjadi filariform di dalam usus, pada penderita diare menahun dimana

kebersihan kurang diperhatikan, bentuk rhabditiform akan menjadi filariform pada tinja yang
masih melekat di sekitar dubur. Adanya autoinfeksi dapat menyebabkan strongiloidiasis

menahun pada penderita.

Patologi dan Gejala Klinis

Bila larva filariform dalam jumlah besar menembus kulit akan timbul kelainan kulit

yang dinamakan creeping eruption yang sering disertai dengan rasa gatal yang hebat. Cacing

dewasa menyebabkan kelainan pada mukosa usus muda. Infeksi ringan pada umumnya

terjadi tanpa diketahui hospesnya karena tidak menimbulkan gejala. Infeksi sedang dapat

menyebabkan rasa sakit seperti tertusuk-tusuk di daerah epigastrium tengah dan tidak

menjalar. Gejala lain adalah ada terasa mual dan muntah, diare dan konstipas yang saling

bergantian. Pada Strongiloidiasis juga terjadi autoinfeksi dan hiperinfeksi. Sindroma

Hiperinfeksi Autoinfeksi merupakan mekanisme terjadinya infeksi jangka panjang, apabila

pada saat-saat tertentu keseimbangan dan imunitas penderita menurun, maka infeksinya

semakin meluas dengan peningkatan produksi larva dan larva dapat ditemukan pada setiap

jaringan tubuh, sehingga terjadi kerusakan pada jaringan tubuh. Penderita dapat meninggal

akibat terjadinya peritonitis, kerusakan otak dan kegagalan pernafasan.

Respons Imun Terhadap Infeksi Cacing Tambang

Respon imun dari tubuh manusia sebagai host definitif tergantung dari stadium cacing

tambang yang menginfeksi.

a. Terhadap larva filariform

Saat menembus kulit, larva filariform melepaskan bagian luar kutikula dan

mensekresi berbagai enzim yang mempermudah migrasinya. Pada proses ini banyak larva

yang mati dan mengakibatkan pelepasan berbagai molekul imunoreaktif oleh tubuh. Saat

memasuki sirkulasi, terutama sirkulasi paru, larva filariform menghasilkan berbagai antigen
yang bereaksi dengan sistem imun peparu dan menyebabkan penembusan sejumlah kecil

alveoli. Pada infeksi zoonotik (melalui vektor), terjadi creeping eruption atau ground itch

akibat terperangkapnya larva dalam lapisan kulit, yang menyebabkan reaksi hipersensitivitas

tipe I (alergi). Jumlah larva yang masuk ke sirkulasi jauh lebih banyak dari yang berdiam di

kulit. Pada infeksi antropofilik (langsung pada manusia) tidak terjadi kumpulan larva di kulit.

Antibodi humoral terhadap N. americanus hanya reaktif terhadap lapisan dalam kutikula, hal

ini menjelaskan mengenai minimnya reaksi kulit terhadap parasit ini. Antibodi yang berperan

ialah Imunoglobulin M (IgM), IgG1 dan IgE. Yang paling spesifik ialah IgE yang bersifat

cross reactive. Diduga reaksi hipersensitivitas tipe II (antibody dependent cell mediated

cytotoxicity) juga berperan disini.

Sistem kekebalan seluler pada infeksi cacing tambang terutama dilakukan oleh

eosinofil. Hal ini dicerminkan oleh tingginya kadar eosinofil darah tepi. Eosinofil melepaskan

superoksida yang dapat membunuh larva filariform. Jumlah eosinofil makin meningkat saat

larva berkembang menjadi bentuk dewasa (cacing) di saluran cerna. Sistem komplemen

berperan dalam perlekatan larva pada eosinofil.29) Bukti-bukti penelitian menunjukkan bahwa

eosinofil lebih berperan dalam membunuh larva filariform, bukan terhadap bentuk dewasa.

Interleukin-5 (IL-5) yang berperan dalam pertumbuhan dan diferensiasi eosinofil meningkat

pada infeksi larva yang diinokulasikan pada tikus percobaan. Pada manusia hal tersebut

belum terbukti.

b. Respons terhadap infeksi cacing tambang dewasa

Respons humoral dilakukan oleh IgG1, IgG4 dan IgE, yang dikontrol oleh pelepasan

sitokin pengatur sel Th2. Sitokin yang utama, ialah IL-4. Pada percobaan, setelah 1 tahun

pemberian terapi terhadap infeksi N. americanus, didapatkan bahwa kadar IgG terus menurun

sementara kadar IgM dapat meningkat kembali meskipun tidak setinggi seperti sebelum

dilakukan terapi. Di sini kadar IgE hanya menurun sedikit, sedangkan kadar IgA dan IgD
meningkat setelah 2 tahun pasca terapi. Para pakar menyimpulkan bahwa dibutuhkan lebih

sedikit paparan antigen untuk meningkatkan IgE, IgA dan IgD dibandingkan untuk

meningkatkan IgG dan IgM. Selain itu disimpulkan bahwa kadar IgG dan IgM merupakan

indikator terbaik untuk infeksi cacing tambang dewasa dan untuk menilai efikasi pengobatan.

Hanya sedikit bukti yang menyatakan bahwa kadar antibodi berhubungan dengan

imunoproteksi terhadap infeksi cacing tambang dewasa.3) Sitokin perangsang sel T helper 2

(Th2), yaitu IL-4, IL-5 dan IL-13 yang merangsang sintesis IgE, merupakan sitokin yang

predominan, sedangkan sitokin perangsang sel Th1 seperti interferon yang menghambat

produksi IgE, lebih sedikit ditemukan. Para peneliti membuktikan bahwa IgE lebih sensitif

untuk menentukan adanya infeksi baik infeksi larva maupun cacing tambang dewasa,

sedangkan IgG4 lebih spesifik sebagai marker infeksi cacing dewasa N. americanus. Pada

infeksi A. caninum, ternyata IgE lebih spesifik dibandingkan IgG4. Peran IgG4 belum

diketahui sepenuhnya. Kemungkinan IgG4 berperan menghambat respons imun dengan

inhibisi kompetitif terhadap mekanisme kekebalan tubuh yang dimediasi oleg IgE, misalnya

aktivasi sel mast. Imunoglobulin G4 tidak mengikat komplemen dan hanya mengikat reseptor

Fc-g secara lemah. Pada infeksi cacing tambang didapatkan fenomena pembentukan

autoantibodi IgG terhadap IgE.3 Respons imun seluler terhadap infeksi cacing tambang

dewasa adalah terutama oleh adanya respons sel Th2 yang mengatur produksi IgE dan

menyebabkan eosinofilia. Terjadinya eosinofilia dimulai segera setelah L3 menembus kulit

dengan puncak pada hari ke 38 sampai hari ke 64 setelah infeksi. Sel mast yang terdegradasi

akibat pengaruh IgE melepaskan berbagai protease terhadap kutikula kolagen N. americanus.

Selain itu terjadi pelepasan neutralizing antibody terhadap IL-9, yang akan menghambat

perusakan sel mast oleh enzim mast cells protease I. Cacing tambang tampaknya lebih tahan

terhadap reaksi inflamasi dibandingkan dengan famili

nematoda lainnya.
c. Bentuk larva hipobiosis

Pada infeksi A. duodenale dapat terjadi bentuk hipobiosis di mana terjadi penghentian

pertumbuhan larva pada jaringan otot. Pada waktu tertentu, misalnya saat mulai bersinarnya

bulan ini, merupakan saat yang optimal untuk pelepasan larva A. doudenale. Penyebab

fenomena tersebut tidak diketahui. Pada bentuk hipobiosis pelepasan telur cacing melalui

feses baru terjadi 40 minggu setelah masuknya larva A. duodenale melalui kulit. Fenomena

ini juga terjadi pada infeksi A. caninum pada anjing. Bukti-bukti menunjukkan bahwa

aktivasi bentuk hipobiosis pada akhir kehamilan yang berakhir dengan penularan

transmamaria/transplasental dari A. duodenale. Proteksi sistem imun terhadap infeksi cacing

tambang, tidak terdapat bukti yang jelas mengenai proteksi imunologis tubuh terhadap infeksi

cacing tambang. Beberapa penelitian di Papua New Guinea menunjukkan bahwa penderita

yang memiliki titer IgE lebih tinggi, lebih jarang mengalami reinfeksi N. americanus.

Diagnosis Cacing Tambang

Untuk kepentingan diagnosis infeksi cacing tambang dapat dilakukan secara klinis

dan epidemiologis. Secara klinis dengan mengamati gejala klinis yang terjadi pada penderita

sementara secara epidemiologis didasarkan atas berbagai catatan dan informasi terkait dengan

kejadian infeksi pada area yang sama dengan tempat tinggal penderita periode sebelumnya.

Pemeriksaan penunjang saat awal infeksi (fase migrasi larva) mendapatkan: a) eosinofilia

(1.000-4.000 sel/ml), b) feses normal, c) infiltrat patchy pada foto toraks dan d) peningkatan

kadar IgE. Pemeriksaan feses basah dengan fiksasi formalin 10% dilakukan secara langsung

dengan mikroskop cahaya. Pemeriksaan ini tidak dapat membedakan N. Americanus dan A.

duodenale. Pemeriksaan yang dapat membedakan kedua spesies ini ialah dengan faecal

smear pada filter paper strip Harada-Mori. Kadang-kadang perlu dibedakan secara

mikroskopis antara infeksi larva rhabditiform (L2) cacing tambang dengan larva cacing
strongyloides stercoralis. Pemeriksaan penunjang pada cacing tambang dewasa dilakukan

dan dapat menemukan telur cacing dan atau cacing dewasa pada pemeriksaan feses.

Hal-hal penting pada pemeriksaan laboratorium, diantaranya adalah telur cacing tambang

yang ditemukan dalam tinja sering dikacaukan oleh telur A. lumbricoides yang berbentuk

dekortikasi. Tinja yang dibiarkan lebih dari 24 jam tanpa diawetkan maka telur yang ada di

dalamnya akan berkembang, menetas dan mengeluarkan larva labditiform. Larva labditiform

cacing tambang harus dibedakan dengan Stronyloides stercoralis dan Trichostrongylus

(melalui pembiakan larva metode Harada Mori). Telur cacing tambang mudah rusak oleh

perwanaan permanen dan telur lebih mudah di lihat pada sediaan basah.

Siklus Biologis Cacing Tambang

Cacing tambang jantan berukuran 8-11 mm sedangkan yang betina berukuran 10-13 mm.

Cacing betina menghasilkan telur yang keluar bersama feses pejamu (host) dan mengalami

pematangan di tanah. Setelah 24 jam telur akan berubah menjadi larva tingkat pertama (L1)

yang selanjutnya berkembang menjadi larva tingkat kedua (L2) atau larva rhabditiform dan

akhirnya menjadi larva tingkat ketiga (L3) yang bersifat infeksius. Larva tingkat ketiga

disebut sebagai larva filariform. Proses perubahan telur sampai menjadi larva filariform

terjadi dalam 24 jam. Larva filariform kemudian menembus kulit terutama kulit tangan dan

kaki, meskipun dikatakan dapat juga menembus kulit perioral dan transmamaria. Adanya

paparan berulang dengan larva filariform dapat berlanjut dengan menetapnya cacing di

bawah kulit (subdermal). Secara klinis hal ini menyebabkan rasa gatal serta timbulnya lesi

papulovesikular dan eritematus yang disebut sebagai ground itch. Dalam 10 hari setelah

penetrasi perkutan, terjadi migrasi larva filariform ke paru-paru setelah melewati sirkulasi

ventrikel kanan. Larva kemudian memasuki parenkim paruparu lalu naik ke saluran nafas

sampai di trakea, dibatukkan, dan tertelan sehingga masuk ke saluran cerna lalu bersarang
terutama pada daerah 1/3 proksimal usus halus. Pematangan larva menjadi cacing dewasa

terjadi disini. Proses dari mulai penetrasi kulit oleh larva sampai terjadinya cacing dewasa

memerlukan waktu 6-8 minggu. Cacing jantan dan betina berkopulasi di saluran cerna

selanjutnya cacing betina memproduksi telur yang akan dikeluarkan bersama dengan feses

manusia. Pematangan telur menjadi larva terutama terjadi pada lingkungan pedesaan dengan

tanah liat dan lembab dengan suhu antara 23-33o C. Penularan A. Duodenale selain terjadi

melalui penetrasi kulit juga melalui jalur orofekal, akibat kontaminasi feses pada makanan.

Didapatkan juga bentuk penularan melalui hewan vektor (zoonosis) seperti pada anjing yang

menularkan A. brazilienze dan A. caninum. Hewan kucing dan anjing juga menularkan A.

ceylanicum. Jenis cacing yang yang ditularkan melalui hewan vektor tersebut tidak

mengalami maturasi dalam usus manusia. Cacing N. americanus dewasa dapat memproduksi

5.000 - 10.000 telur/hari dan masa hidup cacing ini mencapai 3-5 tahun, sedangkan A.

duodenale menghasilkan 10.000-30.000 telur/hari, dengan masa hidup sekitar 1 tahun.

Larva di
atas rumput Larva masuk / penetrasi ke
kulit, masuk ke aliran
darah
Telur dikeluarkan
bersama dengan
feces

Larva
berkembang

Larva dibatukkan dan


tertelan
Cacing dewasa

Larva dewasa masuk


ke usus halus

Gambar Siklus Biologis Cacing Tambang


2.2. CUTANEOUS LARVA MIGRANS

2.2.1 Definisi dan Etiologi

Cutaneus larva migrans adalah kelainan kulit khas berupa garis lurus atau berkelok-

kelok, progresif, akibat larva yang menginvasi kulit. Sedangkan creeping eruption, istilah ini

digunakan pada kelainan kulit yang merupakan peradangan berbentuk linear atau berkelok-

kelok, menimbul dan progresif, disebabkan oleh invansi larva cacing tambang yang berasal

dari anjing dan kucing.

Cutaneous larva migrans dapat juga disebut creeping eruption, dermatosis linearis

migrans, sandworm disease (di Amerika Selatan larva sering ditemukan di tanah pasir atau di

pantai), atau strongyloidiasis (creeping eruption pada punggung). Etiologi umum kulit larva

migrans (CLM) yang paling sering ditemukan adalah sebagai berikut:

1. Braziliense Ancylostoma (cacing tambang dan domestik anjing liar dan kucing) adalah

penyebab paling umum. Hal ini dapat ditemukan di Amerika Serikat tengah dan

selatan, Amerika Tengah, Amerika Selatan, dan Karibia.

2. Ancylostoma caninum (cacing tambang anjing) ditemukan di Australia.

3. Uncinaria stenocephala (cacing tambang anjing) ditemukan di Eropa.

4. Bunostomum phlebotomum (ternak cacing tambang)

Etiologi lainnya meliputi:

a. Ancylostoma ceylonicum

b. Ancylostoma tubaeforme (cacing tambang kucing)

c. Necator americanus (cacing tambang manusia)

d. Strongyloides papillosus (parasit domba, kambing, dan sapi)

e. Strongyloides westeri (parasit kuda)

f. Ancylostoma duodenale
g. Pelodera (Rhabditis) strongyloides

2.2.2 Patogenesis

Penyebab utama adalah larva yang berasal dari cacing tambang binatang anjing dan

kucing, yaitu Ancylostoma braziliense dan Ancylostoma caninum. Selain itu dapat pula

disebabkan oleh larva dari beberapa jenis lalat, seperti Castrophillus (the horse bot fly) dan

cattle fly. Biasanya larva ini merupakan stadium ketiga siklus hidup. Nematoda hidup pada

hospes (anjing, kucing atau babi), ovum terdapat pada kotoran binatang dan karena

kelembaban berubah menjadi larva yang mempu mengadakan penetrasi ke kulit. Larva ini

tinggal di kulit berjalan-jalan sepanjang dermo-epidermal, setelah beberapa jam atau hari,

akan timbul gejala di kulit.

Reaksi yang timbul pada kulit, bukan diakibatkan oleh parasit, tetapi disebabkan oleh

reaksi inflammasi dan alergi oleh sistem immun terhadap larva dan produknya. Pada hewan,

larva ini mampu menembus dermis dan melengkapi siklus hidupnya dengan berkembang biak

di organ dalam. Sedangkan pada manusia, larva memasuki kulit melalui folikel, fissura atau

menembus kulit utuh menggunakan enzim protease, tapi infeksi nya hanya terbatas pada

epidermis karena tidak memiliki enzym collagenase yang dibutuhkan untuk penetrasi

kebagian kulit yang lebih dalam.


2.2.3 Gejala Klinis

Masuknya larva ke kulit biasanya disertai rasa gatal dan panas. Mula-mula, pada point

of entry akan timbul papul, kemudian diikuti oleh bentuk yang khas, yakni lesi berbentuk

linear atau berkelok – kelok (snakelike appearance – bentuk seperti ular) yang terasa sangat

gatal, menimbul dengan lebar 2 – 3 mm, panjang 3 – 4 cm dari point of entry, dan berwarna

kemerahan. Adanya lesi papul yang eritematosa ini menunjukkan larva tersebut telah berada

di kulit selama beberapa jam atau hari. Rasa gatal dapat timbul paling cepat 30 menit setelah

infeksi, meskipun pernah dilaporkan late onset dari CLM.

Perkembangan selanjutnya papul merah ini menjalar seperti benang, berkelok- kelok,

polisiklik, serpiginosa, menimbul dan membentuk terowongan (burrow), mencapai panjang

beberapa sentimeter dan bertambah panjang beberapa milimeter atau beberapa sentimeter

setiap harinya. Umumnya pasien hanya memiliki satu atau tiga lintasan dengan panjang 2-5

cm. Rasa gatal biasanya lebih hebat pada malam hari, sehingga pasien sulit tidur. Rasa gatal

ini juga dapat berlanjut, meskipun larva telah mati. Terowongan yang sudah lama, akan
mengering dan menjadi krusta, dan bila pasien sering menggaruk, dapat menimbulkan iritasi

yang rentan terhadap infeksi sekunder. Larva nematoda dapat ditemukan terperangkap dalam

kanal folikular, stratum korneum atau dermis.

Tempat predileksi adalah di tempat – tempat yang kontak langsung dengan tanah,

baik saat beraktivitas, duduk, ataupun berbaring, seperti di tungkai, plantar, tangan, anus,

bokong dan paha juga di bagian tubuh dimana saja yang sering berkontak dengan tempat

larva berada.

2.2.4 Diagnosis

Berdasarkan bentuk yang khas, yakni terdapatnya kelainan seperti benang yang lurus

atau berkelok – kelok, menimbul dan terdapat papul atau vesikel diatasnya.

Gambar Creeping Eruption


Gambar Creeping Eruption

2.2.5 Diagnosis Banding

a. Skabies: Pada skabies terowongan yang terbentuk tidak sepanjang seperti pada penyakit ini

b. Dermatofitosis : Bentuk polisiklik menyerupai dermatofitosis

c. Dermatitis insect bite : Pada permulaan lesi berupa papul, yang dapat menyerupai insect

bite
d. Herpes zooster : Bila invasi larva yang multipel timbul serentak, papul-papul lesi dini

dapat menyerupai herpes zooster stadium permulaan.

2.2.6 Prognosis

Penyakit ini dapat sembuh sendiri setelah beberapa minggu atau beberapa bulan.

Pengobatan dimaksudkan untuk mempercepat penyembuhan dan mengurangi rasa

ketidaknyamanan pasien. Umumnya pengobatan selalu memberikan hasil yang baik.

2.2.7 Mortalitas

Mortalitas karena penyakit ini belum pernah dilaporkan. Kebanyakan kasus larva

migran sembuh sendiri dengan atau tanpa pengobatan, dan tanpa diikuti efek samping jangka

panjang apapun.
2.2.8 Morbiditas

Morbiditas dikaitkan dengan pruritus hebat dan kemungkinan infeksi bakterial

sekunder. Sangat jarang sekali, dapat terjadi migrasi ke jaringan dalam, seperti ke paru dan

usus, yang dapat menyebabkan pneumonitis (Loeffler’s Syndrome), enteritis, myositis (nyeri

otot.

2.2.9 Pencegahan

Di Amerika serikat, telah dilakukan de-worming atau pemberantasan cacing pada

anjing dan kucing, dan terbukti mengurangi secara signifikan insiden penyakit ini. Larva

cacing umumnya menginfeksi tubuh melalui kulit kaki yang tidak terlindungi, karena itu

penting sekali memakai alas kaki, dan menghindari kontak langsung bagian tubuh manapun

dengan tanah.

2.2.10 Penatalaksanaan

Modalitas topikal seperti spray etilklorida, nitrogen cair, fenol, CO2 snow, piperazine

citrate, dan elektrokauter umumnya tidak berhasil sempurna, karena larva sering tidak lolos

atau tidak mati. Demikian pula kemoterapi dengan klorokuin, dietiklcarbamazine dan

antimony jugatidak berhasil. Terapi pilihan saat ini adalah dengan preparat antihelmintes baik

topikal maupun sistemik.

PENGOBATAN SISTEMIK (ORAL)

1. Tiabendazol (Mintezol), antihelmintes spektrum luas. Dosis 50 mg/kgBB/hari, sehari 2

kali, diberikan berturut – turut selama 2 hari. Dosis maksimum 3 gram sehari, jika belum

sembuh dapat diulangi setelah beberapa hari. Sulit didapat. Efek sampingnya mual, pusing,

dan muntah.
2. Solusio topikal tiabendazol dalam DMSO, atau suspensi tiabendazol secara oklusi selama

24 – 48 jam. Dapat juga disiapkan pil tiabendazol yang dihancurkan dan dicampur dengan

vaseline, di oleskan tipis pada lesi, lalu ditutup dengan band-aid/kasa. Campuran ini

memberikan jaringan kadar antihelmintes yang cukup untuk membunuh parasit, tanpa disertai

efek samping sistemik.

3. Albendazol (Albenza), dosis 400mg dosis tunggal, diberikan tiga hari berturut – turut.

4. Ivermectin (Stromectol)

AGEN PEMBEKU TOPIKAL

1. Cryotherapy dengan CO2 snow (dry ice) dengan penekanan selama 45 detik sampai 1

menit, selama 2 hari berturut – turut.

2. Nitrogen liquid.

3. Kloretil spray, yang disemprotkan sepanjang lesi. Agak sulit karena tidak diketahui secara

pasti dimana larva berada, dan bila terlalu lama dapat merusak jaringan disekitarnya.

4. Direkomendasikan pula penggunaan Benadryl atau krim anti gatal (Calamine lotion atau

Cortisone) untuk mengurangi gatal.


2.3. Ekologi Cacing Tanah

Aktivitas hidup cacing tanah dalam suatu ekosistem tanah dapat dipengaruhi oleh

berbagai faktor, seperti: iklim (curah hujan, intensitas cahaya dan lain sebagainya), sifat fisik

dan kimia tanah (temperatur, kelembaban, kadar air tanah, pH dan kadar organik tanah),

nutrien (unsur hara) dan biota (vegetasi dasar dan fauna tanah lainnya) serta pemanfaatan dan

pengelolaan tanah (Buckman & Brady, 1982). Selanjutnya Wallwork (1970) menjelaskan

bahwa keberadaan dan kepadatan fauna tanah, khusunya cacing tanah sangat ditentukan oleh

faktor abiotik dan biotik. Disamping itu faktor lingkungan lain dan sumber bahan makanan,

cara pengolahan tanah, seperti di daerah perkebunan dan pertanian turut mempengaruhi

keberadaan dan distribusi cacing tanah tersebut. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi

keberadaan cacing tanah sebagai berikut:

a. Kelembaban tanah

Kelembaban sangat berpengaruh terhadap aktivitas pergerakan cacing tanah karena

sebagian tubuhnya terdiri atas air berkisar 75-90 % dari berat tubuhnya. Itulah sebabnya

usaha pencegahan kehilangan air merupakan masalah bagi cacing tanah. Meskipun demikian

cacing tanah masih mampu hidup dalam kondisi kelembaban yang kurang menguntungkan

dengan cara berpindah ke tempat yang lebih sesuai atau pun diam. Lumbricus terrestris

misalnya, dapat hidup walaupun kehilangan 70% dari air tubuhnya. Kekeringan yang lama

dan berkelanjutan dapat menurunkan jumlah cacing tanah.

Menurut Rukmana (1999) menjelaskan bahwa kelembaban tanah yang terlalu tinggi

atau terlalu basah dapat menyebabkan cacing tanah berwarna pucat dan kemudian mati.

Sebaliknya bila kelembaban tanah terlalu kering, cacing tanah akan segera masuk ke dalam

tanah dan berhenti makan serta akhirnya mati.


b. Suhu (temperatur) tanah

Kehidupan hewan tanah juga ikut ditentukan oleh suhu tanah. Suhu yang ekstrim

tinggi atau rendah dapat mematikan hewan tanah. Di samping itu suhu tanah pada umumnya

mempengaruhi pertumbuhan, reproduksi dan metabolisme hewan tanah. Tiap spesies hewan

tanah memiliki kisaran suhu optimum (Odum, 1996). Suhu tanah pada umumnya dapat

mempengaruhi pertumbuhan, reproduksi dan metabolisme. Tiap spesies cacing tanah

memiliki kisaran suhu optimum tertentu, contohnya L. rubellus kisaran suhu optimumnya 15
0 0
– 18 C, L. terrestris ± 10 C, sedangkan kondisi yang sesuai untuk aktivitas cacing tanah di
0
permukaan tanah pada waktu malam hari ketika suhu tidak melebihi 10,5 C (Wallwork,

1970).

c. pH tanah

Kemasaman tanah sangat mempengaruhi populasi dan aktivitas cacing tanah sehingga

menjadi faktor pembatas penyebaran dan spesiesnya. Umumnya cacing tanah tumbuh baik

pada pH sekitar 4,5- 6,6, tetapi dengan bahan organik tanah yang tinggi mampu berkembang

pada pH 3 (Fender dan Fender, 1990). Tanah pertanian di Indonesia umumnya bermasalah

karena pH-nya asam. Tanah yang pH-nya asam dapat mengganggu pertumbuhan dan daya

berkembangbiak cacing tanah, karena ketersediaan bahan organik dan unsur hara (pakan)

cacing tanah relatif terbatas (Rukmana, 1999). Di samping itu, tanah dengan pH asam kurang

mendukung percepatan proses pembusukan (fermentasi) bahan-bahan organik. Oleh karena

itu, tanah pertanian yang mendapatkan perlakuan pengapuran sering banyak dihuni cacing

tanah. Pengapuran berfungsi menaikkan (meningkatkan) pH tanah sampai mendekati pH

netral (Brata, 2006).

Cacing tanah sangat sensitif terhadap keasaman tanah, karena itu pH merupakan

faktor pembatas dalam menentukan jumlah spesies yang dapat hidup pada tanah tertentu.

Dari penelitian yang telah dilakukan secara umum didapatkan cacing tanah menyukai pH
tanah sekitar 5,8-7,2 karena dengan kondisi ini bakteri dalam tubuh cacing tanah dapat

bekerja optimal untuk mengadakan pembusukan. Penyebaran vertikal maupun horizontal

cacing tanah sangat dipengaruhi oleh pH tanah (Edwards & Lofty, 1970).

d. Kadar Organik

Menurut Suin (1997) mengatakan materi organik tanah sangat menentukan kepadatan

organisme tanah. Materi organik tanah merupakan sisa-sisa tumbuhan, hewan organisme

tanah, baik yang telah terdekomposisi maupun yang sedang terdekomposisi. Selanjutnya

Buckman & Brady (1982) mengatakan bahwa materi organik dalam tanah tidaklah statis

tetapi selalu ada perubahan dengan penambahan sisa-sisa tumbuhan tingkat tinggi dan

penguraian materi organik oleh jasad pengurai. Materi organik mempunyai pengaruh besar

pada sifat tanah karena dapat menyebabkan tanah menjadi gembur, meningkatkan

kemampuan mengikat air, meningkatkan absorpsi kation dan juga sebagai ketersediaan unsur

hara.

Bahan organik tanah sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan populasi

cacing tanah karena bahan organik yang terdapat di tanah sangat diperlukan untuk

melanjutkan kehidupannya. Bahan organik juga mempengaruhi sifat fisik-kimia tanah dan

bahan organik itu merupakan sumber pakan untuk menghasilkan energi dan senyawa

pembentukan tubuh cacing tanah (Anwar, 2007) .

e. Vegetasi

Menurut Suin (1982) menyatakan bahwa pada tanah dengan vegetasi dasarnya rapat,

cacing tanah akan banyak ditemukan, karena fisik tanah lebih baik dan sumber makanan yang

banyak ditemukan berupa serasah. Menurut Edwards & Lofty (1977) faktor makanan, baik

jenis maupun kuantitas vegetasi yang tersedia di suatu habitat sangat menentukan

keanekaragaman spesies dan kerapatan populasi cacing tanah di habitat tersebut. Pada

umumnya cacing tanah lebih menyenangi serasah herba dan kurang menyenangi serasah
pohon gugur dan daun yang berbentuk jarum. Selanjutnya dijelaskan bahwa cacing tanah

lebih menyenangi daun yang tidak mengandung tanin.


2.4. PERMASALAHAN

2.4.1 Data Administrasi Pasien

a. Nama / Umur : An. W/ 5 tahun

b. No. register : Karang Anyar

c. Status kepegawaian :-

d. Status sosial : Anak ke 1 dari 2 bersaudara

2.4.2 Data Demografis

a. Alamat : Karang Anyar

b. Agama : Islam

c. Suku : Rejang

d. Pekerjaan :-

e. Bahasa Ibu : Bahasa rejang

f. Jenis Kelamin : Laki-laki

2.4.3 Data Biologik

a. Tinggi Badan : 78 cm

b. Berat Badan : 15 kg

c. Habitus : Astenikus

2.4.4 Data Klinis

a. Anamnesis :

Keluhan utama : Timbul bintil- bintil merah dan hitam menyebar menjadi

garis lurus yang semakin memanjang, menimbul dan berkelok-kelok bersisik


di punggung tangan kanan disertai rasa gatal sejak 1 minggu yang lalu.

Riwayat Penyakit sekarang :

 1 bulan yang lalu, ibu pasien mengeluh timbul bintil berwarna merah

pada punggung tangan kanan pasien berbentuk seperti digigit semut.

Bintil tersebut merasa gatal dan pasien sering menggaruk sehingga

terjadi luka. Pasien tidak berobat.

 3 minggu yang lalu, bintil merah menyebar membuat garis lurus

berkelok- kelok ke bagian tepi kiri punggung tangan kanan pasien.

Keluhan gatal semakin hebat terutama pada malam hari.

 2 minggu yang lalu, bintil tersebut semakin memanjang pada

punggung tangan kanan pasien. Timbul sisik akibat garaukan. Ibu

pasien menemukan bintil- bintil awal yang bergaris lurus berkelok-

kelok sudah sembuh.

 Kisaran 1 minggu yang lalu, ibu pasien menemukan kulit pada bagian

lesi pada punggung tangan kanan pasien terkelupas.

 Pasien sering bermain di tanah dengan menggunakan tangan dan tidak

mencuci tangan setelah bermain

b. Pemeriksaan jasmani

 Tanda vital

 Tekanan Darah : tidak diperiksa

 Nadi : tidak diperiksa

 Respirasi : tidak diperiksa

 Suhu : tidak diperiksa

 Untuk dugaan diagnosa :


STATUS DERMATOLOGIKUS

Regio dorsum manus dekstra: Papul eritematosa: Multipel, linier,

berbatas tegas, penyebaran serpiginosa; permukaan ditutupi skuama

halus selapis putih. Pada bagian proximal lesi: Papul hiperpigmentasi:

Multipel, berbentuk bulat, diskret.

 Dugaan DD

 (-)

2.4.5 Pemeriksaan Penunjang

Tidak dilakukan.

Anjuran Pemeriksaan Penunjang :

Tidak diperlukan.

2.4.6 Diagnosis

Cutaneous Larva Migrans


BAB III

PERENCANAAN DAN PEMILIHAN INTERVENSI

3.1. Metode Penyuluhan

Metode penyuluhan yang dilakukan untuk mensosialisasikan penyakit Cutaneous

Larva Migrans adalah metode penyuluhan berkelompok dengan sasaran utama yang memiliki

anak, dilakukan diskusi dua arah dan pembagian lembaran leaflet.

3.2. Intervensi

 Menjelaskan kepada orangtua pasien tentang penyakit, bahwa penyakit Cutanoeus

Larva Migrans ditularkan melalui kontak dengan tanah lembab atau berpasir, yang

telah terkontaminasi dengan feces anjing atau kucing.

 Memberikan edukasi kepada pasien mengenai terapi terhadap penyakit.

 Menjelaskan kepada para orangtua agar anaknya jangan dibiarkan bermain di tanah,

pasir atau rumput tanpa alas kaki.

 Memberitahukan agar segera berobat ke dokter apabila menjumpai tanda-tanda cacing

kulit.

 Menjelaskan bahwa jangan menggaruk lesi agar tidak terjadi infeksi sekunder.
BAB IV

PELAKSANAAN (PROSES INTERVENSI)

4.1. Strategi Penanganan Masalah

Diagnosis Klinis : Cutaneous Larva Migrans

Penanganan masalah :

 Promotif  penyuluhan tentang penyakit & cara penularan penyakit

Cutaneous Larva Migrans.

 Preventif  penyuluhan tentang upaya-upaya supaya penyakit tidak

berulang kembali.

 Kuratif  medikamentosa

 Rehabilitatif  anjuran agar pasien kontrol kembali untuk menilai

keefektifan terapi dan upaya agar penyakit tidak menjadi buruk

Diagnosis sosial : Belum mengetahui cara penularan dan pencegahan penyakit.

Penanganan masalah : Berobat ke Puskesmas dan mengikuti penyuluhan yang

diberikan.

4.2. Pelaksanaan Intervensi


BAB V

MONITORING DAN EVALUASI

5.1 Evaluasi

 Diharapkan pasien dan keluarga mengerti tentan penyakitnya, cara penularan,

pencegahan dan pengobatan penyakitnya.

 Anggota keluarga ataupun tetangga sekitar rumah yang menderita gejala yang sama

agar segera datang ke pelanan kesehatan untuk diobati.

 Mengetahui cara pengobatan yang benar, berdarkan anjuran dokter.

 Tidak memelihara binatang peliharaan.

 Merawat kebersihan diri ( mandi minimal 2x sehari)

 Membiasakan perilaku cuci tangan sebelum dan sesudah makan, setelah melakukan

aktivitas seperti bermain, berkebun dan mengetahui cara cuci tangan yang benar.

Anda mungkin juga menyukai