Referat Drug Eruption
Referat Drug Eruption
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Saat ini semakin banyak obat yang dapat dibeli secara bebas tanpa resep
dari dokter, hal ini meningkatkan kemungkinan timbulnya efek samping yang tidak
perubahan pada kulit dengan atau tanpa melibatkan organ lain, yang timbul setelah
pemakaian obat pada dosis yang digunakan untuk pencegahan, diagnosis, atau
Kulit merupakan salah satu organ yang paling sering menjadi target reaksi
simpang obat. Manifestasi klinis erupsi kulit akibat obat sangat beragam, dari gejala
yang ringan hingga mengancam jiwa. Insidensi dan prevalensi erupsi kulit akibat
obat hingga saat ini masih sangat bervariasi. Data epidemiologi erupsi kulit akibat
obat di Indonesia umumnya, dan di Propinsi Jawa Timur, khususnya masih sangat
pelaporan menjadi tidak akurat. Erupsi kulit akibat obat merupakan suatu bentuk
reaksi pada kulit atau jaringan mukokutan akibat pemberian obat sistemik atau
Pada suatu penelitian didapatkan angka kejadian erupsi kulit akibat obat
sebesar 2,15% dari seluruh pasien di bagian kulit. Angka kejadian erupsi kulit
akibat obat dibagian rawat inap menunjukkan adanya variasi dengan kisaran 1-3%
hingga 10-15%. Manifestasi klinis erupsi kulit akibat obat cukup beragam dan
Sebagian besar manifestasi erupsi kulit akibat obat merupakan kelainan kulit yang
ringan dengan gejala lokal maupun sistemik. Perbedaan pola penggunaan obat dan
Erupsi obat adalah efek samping obat yang paling sering ditemui. Studi
yang dilakukan Nandha R. dan kawan-kawan pada tahun 2011 menunjukkan bahwa
kejadian erupsi obat di negara maju sekitar 1-3%, sedangkan di negara berkembang
2-5%. Hal ini serupa dengan studi yang dilakukan Chatterjee S dan kawan-kawan
di India pada tahun 2006 bahwa erupsi obat terjadi pada 2,66% pasien. Tipe erupsi
yang paling sering dilaporkan pada beberapa studi adalah lesi makulopapular,
pasti erupsi obat memungkinkan untuk berulangnya kejadian tersebut, hal ini
kualitas hidup pasien. Bervariasinya jenis erupsi obat yang timbul menyebabkan
mengenai erupsi obat masih sangat terbatas (Anggraini dan Sigit, 2015).
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Patofisiologi
lebih berat tetapi kejadiannya relatif jarang, timbul pada individu yang
dipengaruhi oleh faktor imunologis dan genetik. Sebagian besar erupsi obat
(75-80%) disebabkan oleh tipe A, sisanya disebabkan oleh efek yang tidak
klinis, dibagi menjadi 4 tipe yaitu tipe I (dimediasi oleh IgE), tipe II (reaksi
sitotoksik), tipe III (kompleks imun), dan tipe IV (reaksi tipe lambat).
(TEN). Beberapa erupsi obat timbul tidak hanya karena 1 tipe reaksi
2.2 Etiologi
Berbagai obat telah dilaporkan sebagai pemicu erupsi obat berat, dan
resiko reaksi yang ebih tinggi. Sepanjang sejarah, obat anti epilepsi
Obat anti epilepsi lain seperti fenitoin juga dinyatakan berhubungan dengan
lebih besar sama dengan 200 mg per hari berhubungan dengan risiko lebih
tinggi untuk terjadinya SJS/TEN. Selain allopurinol dan agen anti epilepsi
2018).
adalah usia, jenis kelamin, riwayat alergi obat sebelumnya, genetik, dan
riwayat atopi. Seiring bertambahnya usia, maka risiko pajanan obat akan
semakin meningkat. Erupsi kulit akibat obat banyak terjadi pada dekade
kedua hingga keempat. Perempuan memiliki risiko dua kali lebih besar
untuk mengalami erupsi kulit akibat obat jika dibandingkan dengan laki-
laki. Faktor lain yang berpengaruh adalah faktor obat (sifat, bivalensi, rute
obat lain, adanya penyakit yang mendasari (infeksi virus), kehamilan, dan
obat dapat bervariasi, dipengaruhi oleh jenis obat penyebab (Sasi dan
Hidayat, 2016).
2.4 Diagnosis Erupsi Obat
Tinjau daftar obat lengkap pasien, termasuk resep dan obat bebas
bakteri)
immunocompromise
menyebabkan anafilaksis)
pemberian kembali
Pemeriksaan Fisik
Lepuh
Tanda Nikolsky
Erythema konfluen
Purpura teraba
Nekrosis kulit
Limfadenopati
atau sakit tenggorokan, dapat muncul 1-3 hari sebelum lesi kulit. Pasien
yang dimulai secara simetris pada wajah dan bagian atas batang tubuh.
Gejala mata muncul sebagai gejala awal hingga 45% dari kasus.
purpura yang lebih gelap. Lesi berbeda dari lesi target klasik eritema
target klasik memiliki tiga zona warna: purpura sentral, kehitaman, atau
mungkin scarlatiniform.
Lesi mulai simetris pada wajah dan bagian atas batang tubuh dan
memanjang dengan cepat, dengan ekstensi maksimal dalam 2-3 hari. Dalam
matahari.
menyakitkan dapat muncul pada telapak tangan dan telapak kaki. Kulit
30%.
(nekrolisis epidermal toksik tanpa bercak) tidak memiliki lesi targetoid, dan
detasemen epidermal kurang dari 10% dari BSA, tetapi lesi target khas atau
2.6 Tatalaksana
Terapi kortikosteroid
kasus dan seri kasus. Administrasi pada awal perjalanan penyakit telah
manfaat atau tingkat morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi terkait
dengan sepsis. Risiko ini mungkin sebanding dengan area kulit yang
mengelupas. Kortikosteroid dikaitkan dengan peningkatan tingkat infeksi,
Mata
Mata harus diperiksa oleh dokter mata sebagai bagian dari penilaian
awal dan setiap hari setelahnya selama fase akut. Pelumas mata harus
kerusakan permukaan okular pada fase akut SJS / TEN. Untuk pasien yang
dapat dipertimbangkan. Manfaat yang diusulkan dari AMT dalam fase akut
termasuk pengurangan ammasi, peningkatan epitelisasi, dan pengurangan
Mulut
setiap hari dengan obat kumur salin hangat atau spons oral. Gunakan
dua kali per hari. Jika tidak ada infeksi sekunder, pertimbangkan untuk
menggunakan kortikosteroid topikal empat kali per hari (mis. Obat kumur
Betesol 0,5 mg dalam 10 mL air sebagai persiapan bilas dan ludah 3 menit)
(Griffiths, et al,2016).
Saluran genital
Anggraini DR, Sigit CR, 2015, Penatalaksanaan Pasien Erupsi Obat di Instalasi
Rawat Inap (IRNA) Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo
Vol. 27 / No. 1
Februari 2019
Publishing, USA
Khan DA, Solensky R. Drug allergy. Am Acad Allergy Asthma Immunol 2010;
125 (2):S126-37.
Obat Di Bagian Ilmu Kesehatan Kulit Dan Kelamin Rumah Sakit Saiful
Anwar Malang, SMF Ilmu Kesahatan Kulit dan Kelamin RSUD Syaiful