Anda di halaman 1dari 22

Kejahatan Seksual pada Anak Dibawah Umur

Disusun oleh :

1. Mc Girt Lamberth Robert Uniplaita 102011088


2. Ellen Eunike Selvana W 102011416
3. Winy Regina 102013076
4. Hendricus Novaldo Widodo Putra 102013262
5. Afifah Nur Utami 102013448
6. Stefanie 102014035
7. Aldesy Yustika Indriani 102014076
8. Eri Aprilia 102014130
9. Marcho Tanzil 102014142
10. Christy Cahya Resky Dampung 102014219

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Jl. Arjuna Utara No.6 Jakarta 11510

1
Pendahuluan
Secara umum suatu tindak kejahatan dapat diartikan sebagai perilaku yang bertentangan
dengan nilai dan norma yang berlaku dan yang telah disahkan oleh hukum tertulis, sedangkan
arti kesusilaan itu sendiri merupakan suatu yang berkaitan dengan adab sopan santun atau norma
atau kelakuan baik. Dalam kasus ini kejahatan susila secara khusus dapat diartikan sebagai suatu
perilaku yang dalam hal ini merupakan suatu “persetubuhan” yang merupakan suatu tindak
pidana. Kejahatan terhadap kesusilaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan oleh seseorang
yang menimbulkan kepuasan seksual dan di sisi lain perbuatan tersebut menggangu kehormatan
orang lain. Kejahatan terhadap kesusilaan dapat berupa persetubuhan, percabulan maupun
pelecehan seksual. Dewasa ini kejahatan susila atau kejahatan seksual makin marak terjadi,
terutama anak-anak di bawah umur sebagai korbannya. Dengan alasan tindak kejahatan yang
beraneka ragam, tidak dipungkiri anak-anak merupakan korban yang paling rentan namun juga
paling mudah menjadi korban kejahatan susila. Dampak yang diakibatkan pasca kejahatan susila
terhadap seorang anak sangatlah berbahya, baik dalam segi fisik maupun psikis. Hal tersebut lah
yang menyebabkan rusaknya kepribadian dan terjadinya gangguan perkembangan dari anak
tersebut. Dalam menangani kasus tindak kejahatan seperti ini tetap dibutuhkan suatu penyidikan
dalam penindakan pengadilan kasus ini. Ilmu kedokteran forensik berperan besar dalam
menentukan penyidikan kasus kejahatan seksual.Interaksi antara bidang medis dan hukum pada
saat ini tidak dapat diragukan lagi, yang mana semakin meluas dan berkembang dari waktu ke
waktu. Di sinilah peranan forensik klinis yang merupakan suatu ruang lingkup keilmuan yang
berintegrasi antara bidang medis dan bidang hukum diperlukan. Forensik Klinik adalah bagian
dari ilmu kedokteran forensik yang mencakup pemeriksaan forensik terhadap korban hidup dan
investigasinya, kemudian aspek medikolegal, juga psikopatologinya, dengan kata lain forensik
klinik merupakan area praktek medis yang mengintegrasikan antara peranan medis dan hukum.1.2

Skenario

Seorang ibu muda bersama dengan seorang anak perempuannya yang berusia 11 tahun datang ke
poliklinik anak di sebuah rumah sakit. Setelah berada di dalam ruang periksa, si ibu menjelaskan bahwa
anaknya mengeluh sakit bila inginkencing sejak dua hari yang lalu. Dalam wawancara berikutnya dokter
tidak memperoleh keterangan lain, maka dokter pun memulai melakukan pemeriksaaan fisik si anak.

2
Pada pemeriksaan fisik dokter menemukan robekan lama selaput dara disertai dengan erosi dan
peradangan jaringan vulva sisi kanan. Dokter berkesimpulan bahwa sangat besar kemungkinan terjadi
”persetubuhan” beberapa hari sebelumnya. Dokter pun lebih intensif mengorek keterangan dari si anak
dan si ibu. Akhirnya terungkaplah fakta bahwa si anak telah di setubuhi oleh seorang laki – laki yang
telah lama dikenal sebagai pacar si ibu. Si ibu telah bercerai 3 tahun dengan suaminya ( ayah si anak) dan
saat ini sedang menjalin hubungan dengan laki –laki lain sebagai pacarnya. Si ibu meminta kepada dokter
agar jangan membawa kasus ini ke polisi karena ia akan malu dibuatnya. Ia berjanji untuk memutuskan
hubungan dengan si laki – laki tersebut agar kejadian serupa tidak terulang lagi. Dokter menilai bahwa
pasien perlu dikonsultasikan kepada ahlinya.

Aspek Hukum

Pemeriksaan kasus-kasus persetubuhan yang merupakan tindak pidana, hendaknya


dilakukan dengan teliti dan waspada. Pemeriksa harus yakin akan semua bukti-bukti yang
ditemukannya karena berbeda dengan di klinik ia tidak lagi mempunyai kesempatan untuk
melakukan pemeriksaan ulang guna memperoleh lebih banyak bukti. Tetapi dalam melaksanakan
kewajiban itu dokter jangan sampai meletakkan kepentingan sikorban di bawah kepentingan
pemeriksaan. Terutama bila korban masih anak-anak hendaknya pemeriksaan itu tidak sampai
menambag trauma psikis yang sudah dideritanya.1,2

UU No.23/2002 tentang Perlindungan Anak

1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan
memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun
dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit
Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang
yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk
anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.1

Pasal 81 UU 23/2002 Tentang Perlindungan Anak

Dengan kekerasan atau ancaman memaksa anak ( belum 18 tahun ) bersetubuh dengannya atau
orang lain dipidana maksimum 3 hingga 15 tahun dan denda Rp 60 juta hingga Rp 300 juta.1

3
Pasal 82 UU 23/2002 Tentang Perlindungan Anak

Dengan kekerasan atau ancaman tipuan, kebohongan, bujukan, terhadap anak ( belum 18 tahun )
berbuat cabul dengannya atau orang lain, dipidana maksimum 3 hingga 15 tahun dan denda Rp
60 juta hingga Rp 300 juta.1

Kejahatan terhadap kesusilaan

Pasal 284 KUHP

1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan:


a. seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal
diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya,
b. seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui
bahwa pasal 27 BW berlaku baginya;
c. seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya
bahwa yang turut bersalah telah kawin;
d. seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu,
padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27
BW berlaku baginya.
2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan
bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti
dengan permintaan bercerai atau pisah-meja dan ranjang karena alasan itu juga.
3) Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, 73, dan 75.
4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum
dimulai.
5) Jika bagi suami-istri berlaku pasal 27 BW, pengaduan tidak diindahkan selama
perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum putusan yang menyatakan
pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap.1

Pasal 285 KUHP

4
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang wanita
bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan, dengan pidana
penjara paling lama dua belas tahun.1

Pada tindak pidana diatas perlu dibuktikan telah terjadi prsetubuhandan telah terjadi paksaan
dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan. Dokter dapat menentukan apakah
persetubuhan telah terjadi atau tidak, dan apakah terdapat tanda – tanda kekerasan. Tetapi ia
tidak dapat menetukan apakah terdapat unsur paksaan pada tindak pidana ini. Ditemukannya
kekerasan pada tubuh korban tidak selalu akibat paksaan, mungkin juga disebabkan oleh hal –
hal lain yang tidak ada hubungannya dengan paksaan. Demikian pula jika dokter tidak
menemukan tanda kekerasan, maka hal itu belum merupakan bukti bahwa paksaan tidak terjadi.2

Pasal 286 KUHP

Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, pada hal diketahui
bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana paling lama
sembilan tahun.1

Pada tindak pidana diatas harus terbukti bahwa perempuan berada dalam keadaan
pingsan atai tidak berdaya ketika terjadi persetubuhan. Dokter harus mencata dalam anamnesa
apakah korban sadar ketika terjadi persetubuhan, adakah penyakit yang diderita korban yang
sewaktu – waktu dapat mengakibatkan korban pingsan atau tidak berdaya, misalnya epilepsi,
katalepsi, syncope. Jika korban mengatakan ia menjadi pingsan, maka perlu diketahui bagaimana
terjadinya keadaan pingsan itu, apakah trjadi setelah korban diberikan minuman atau makanan.
Pada pemeriksaan perlu diperhatikan apakah korban menunjukkan tanda – tanda bekas hilang
kesadaran, atau tanda – tanda telah berada dibawah pengaruh alkohol, hipnotik atau narkotik.
Apabila ada petunjuk bila alkohol, hipnotik atau narkotik telah dipergunakan, maka dokter perlu
mengambil urin dan darah untuk pemeriksaan toksikologik. Jika terdakwa terbukti telah
membuat wanita itu pingsan atau tak berdaya, ia dapat dituntut telah melakukan tindak pidana
perkosaan, karena dengan membuat wanita itu pingsan dan tidak berdaya ia telah melakukan
kekerasan.2

Pasal 89 KUHP

Membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan.2

5
Pasal 287 KUHP

1) Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, pada hal diketahui
atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau kalau
umurnya tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin, diancam dengan pidana penjara
paling lama sembilan tahun.
2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umurnya wanita belum sampai
dua belas tahun atau jika salah satu hal tersebut pasal 291 dan pasal 294.1

Pasal 289 KUHP

Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang untuk


melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan
yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.1

Pasal 290 KUHP

Diancam dengan pidana paling lama tujuh tahun:

1) Barang siapa melakukan perbuatan cabul, dengan seorang pada hal diketahui, bahwa
orang itu pingsan atau tidak berdaya;
2) Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang pada hal diketahui atau
sepatutunya harus diduga, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya
tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin;
3) Barang siapa membujuk seorang yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa
umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak ternyata, bawha belum
mampu dikawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, atau
bersetubuh di luar perkawainan dengan orang lain.1

Pasal 291 KUHP

1) Jika salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 286, 287, 289, dan 290
mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama 12 tahun.
2) Jika salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 285, 286, 287, dan 290 itu
mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.1

Pasal 294 KUHP

6
Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, anak di
bawah pengawasannya, yang belum cukup umur, atau dengan orang yang belum cukup umur
pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya, diancam dengan pidana
penjarapaling lama tujuh tahun:

1) Pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang karena jabatan adalah
bawahannya, atau dengan orang yang penjagaannya dipercayakan atau diserahkan
kepadanya:
2) Seorang pengurus, dokter, guru, pegawai, pengawas atau pesuruh dalam penjara, tempat
pekerjaan negara, tempat pemudikan, rumah piatu, rumah sakit, rumah sakit ingatan atau
lembaga sosial, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dimasukkan ke
dalamnya.1

Pasal 295 KUHP

(1) Diancam:
1. Dengan pidana penjara paling lama 5 tahun, barang siapa dengan sengaja
menghubungkan atau memudahkan dilakukannya perbuatan cabul oleh anaknya, anak
tirinya, anak angkatnya, atau anak di bawah pengawasannya yang belum cukup umur,
atau oleh orang yang belum cukup umur yang pemeliharaannya, pendidikan, atau
penjagaannya diserahkan kepadanya, atau pun oleh bujangnya atau bawahannya yang
belum cukup umur, dengan orang lain;
2. Dengan pidana penjara paling lama empat tahun, barang siapa dengan sengaja
menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul kecuali tersebut ke-1 di atas yang
dilakukan oleh orang yang diketahui belum cukup umurnya atau yang sepatutnya harus
diduga demikian, dengan orang lain.
(2) Jika yang bersalah, melakukan keahatan itu sebagai pencaharian atau kebiasaan, maka pidana
dapat ditambah sepertiga.1

Pasal 296 KUHP

Barang siapa dengan sengaja menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain
dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencaharian atau kebiasaan, diancam dengan
pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan, atau denda paling banyak seribu rupiah.1

7
Prosedur Medikolegal

Pengertian dari medikolegal sendiri adalah aspek hukum dari dunia medis atau dari
profesi dokter, di dalam medikolegal dokter berkewajiban menjalankan praktek profesi dan
membantu penyidik dalam menangani suatu kasus pidana. Pengaturan prosedur medikolegal
diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Didalam KUHAP
disebutkan pengaturan dari penemuan atau pelaporan hingga dijatuhkannnya vonis atau
hukuman.1

1. Penemuan dan pelaporan


Sesuai dengan pasal 1 ayat 25 KUHAP, laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan
oleh seorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang
berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana. Penemuan
dan pelaporan dilakukan oleh warga masyarakat yang melihat, mengetahui atau mengalami
suatu kejadian yang diduga merupakan suatu tindak pidana. Pelaporan dilakukan ke pihak
yang berwajib dan dalam hal ini yaitu Kepolisian RI, dll. Pelaporan juga bisa dilakukan
melalui instansi pemerintah terdekat seperti RT (Rukun Tetangga) atau RW (Rukun Warga).
Hak dan kewajiban pelaporan ini diatur didalam pasal 108 KUHAP.1
2. Penyelidikan
Sesuai dengan pasal 1 ayat 5 KUHAP, penyelidikan adalah serangkaian tindakan
penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana
guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur oleh
undang-undang. Penyelidik yang dimaksud adalah setiap pejabat polisi negara Republik
Indonesia yang tertera didalam Pasal 4 KUHAP. Didalam Pasal 5 KUHAP disebutkan
wewenang dan tindakan yang dilakukan oleh penyelidik:1
1) Penyelidik sebagaimana dimaksud pasal 4:
a. Karena kewajibannya mempunyai wewenang:
 Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak
pidana
 Mencari keterangan dan barang bukti

8
 Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta
memeriksa tanda pengenal diri Mengadakan tindakan lain menurut
hukum yang bertanggung jawab
b. Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa:
 Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan
penyitaan
 Pemeriksaan dan penyitaan surat
 Mengambil sidik jari dan memotret seseorang
 Membawa dan menghadapkan seseorang pada penyidik
2) Penyelidik membuat dan menyampaikan laporan hasil pelaksanaan tindakan
sebgaimana tersebut pada ayat (1) huruf a dan b kepada penyidik.1
3. Penyidikan
Sesuai dengan pasal 1 ayat 1 KUHAP, penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik
dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang
terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Penyidikan dilakukan oleh penyidik yaitu pejabat
polisi Negara RI dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh
undang-undang sebagaimana diatur di dalam pasal 6 KUHAP. Penyidik dapat meminta
bantuan seorang ahli dan didalam hal kejadian mengenai tubuh manusia, maka penyidik
dapat meminta bantuan dokter untuk dilakukan penanganan secara kedokteran forensik.
Kewajiban seorang dokter antara lain:
 Melakukan pemeriksaan kedokteran forensik atas korban apabila diminta secara
resmi oleh penyidik.
 Menolak melakukan kedokteran pemeriksaan kedokteran forensik tersebut diatas
dapat dikenai pidana penjara , selama lamanya 9 bulan.1

Kewajiban untuk membantu peradilan sebagai seorang dokter forensik itu diatur dalam asal
133 KUHAP dimana seperti yang disebutkan diatas penyidik berwenang muntuk mengajukan
permintaan keterangan ahli pada dokter forensik atau kedokteran kehakiman. Untuk Hak
dokter menolak menjadi saksi/ahli diatur dalam Pasal 120, 168, 170 KUHAP. Sedangkan
sangsi bagi pelanggar kewajiban dokter diatur di dalam Pasal 216, 222, 224, 522 KUHP.

9
Untuk melakukan prosedur Bedah mayat klinis, anatomis, dan transplantasi oleh seorang
dokter forensik diatur menurut peraturan pemerintah No.18 Tahun 1981. Dan bagi seorang
dokter forensik yang membuat sebuah keterangan palsu didalam hasil akhir pemeriksaan
dikenakan Pasal 267 KUHP dan pasal 7 KODEKI.1

4. Pemberkasan perkara
Hal dilakukan oleh penyidik, menghimpun semua hasil penyidikannya, termasuk hasil
pemeriksaan kedokteran forensik yang dimintakan kepada dokter. Dan nanti hasil berkas
perkara ini akan diteruskan ke penuntut umum.1
5. Penuntutan
Sesuai dengan pasal 1 ayat 7 KUHAP. Penuntutan yaitu tindakan penuntut Umum untuk
melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus
oleh Hakim di sidang Pengadilan.1
6. Persidangan
Didalam persidangan dipimpin oleh hakim atau majelis hakim. Dimana didalam persidangan
itu dilakukan pemeriksaan terhadap terdakwa, para saksi dan juga para ahli. Dokter dapat
dihadirkan di sidang pengadilan untuk bertindak selaku saksi ahli atau selaku dokter
pemeriksa. Dokter pun berhak menolak menjadi saksi/ahli yang sebagaimana diatur dalam
pasal 120, 168, 179 KUHAP.1
7. Putusan pengadilan
Vonis dijatuhkan oleh hakim dengan ketentuan sebagai berikut:
 Keyakinan pada diri hakim bahwa memang telah terjadi suatu tindak pidana dan
bahwa terdakwa memang bersalah melakukan tindak pidana tersebut
 Keyakinan Hakin Harus Ditunjang oleh sekurang-kurangnya 2 alat bukti yang sah
yang diatur dalam pasal 184 KUHAP ( keterangan saksi, keterangan ahli, surat,
petunjuk, keterangan terdakwa).1

Informed Consent

Pada pelaksanaan pemeriksaan kasus ini, terlebih dahulu perlu dijelaskan kepada ayah
korban dan atau korban sendiri atas tindakan-tindakan apa yang akan dilakukan pada korban.
Sebelumnya yang perlu diingat adalah menanyakan kepada ayah korban apa maksud dari tujuan

10
pemeriksaan yang ingin dilakukan. Selain itu penting untuk meminta ijin tertulis dari korban
sendiri, atau jika korban adalah seorang anak, dapat diminta dari orangtua atau walinya.2

Anamnesis

Anamnesis merupakan sesuatu yang tidak dapat dilihat atau ditemukan oleh dokter
sehingga bukan merupakan pemeriksaan yang obyektif. Jadi, seharusnya anamnesis tidak
dimasukkan dalam Visum et Repertum. Anamnesis dibuat terpisah dan dilampirkan pada Visum
et Repertum dengan judul "keterangan yang diperoleh dari korban". Dalam mengambil
anamnesis, dokter meminta pada korban untuk menceritakan segala sesuatu tentang kejadian
yang dialaminya dan sebaiknya terarah. Anamnesis terdiri dari bagian yang bersifat umum dan
khusus. Anamnesa diberikan bila diminta oleh penyidik dan tidak secara otomatis dilampirkan
dalam Visum et Repertum. Anamnesis umum meliputi pengumpulan data tentang : umur,
tanggal, dan tempat lahir, status perkawinan, siklus haid, penyakit kelamin dan kandungan, dan
penyakit lain seperti epilepsi, katalepsi, syncope. Cari tahu pula apakah pernah, saat persetubuhan
terakhir, adanya penggunaan kondom.2

Hal khusus yang perlu diketahui adalah tanggal dan jam kejadian. Bila antara kejadian
dan pelaporan kepada yang berwajib berselang beberapa hari/minggu, dapat diperkirakan bahwa
peristiwa itu bukan perkosaan tetapi persetubuhan yang pada dasarnya tidak disetujui oleh wanita
yang bersangkutan karena berbagai alasan, misalnya merasa tertipu, cemas terjadi kehamilan
atau karena ketakutan diketahui orangtuanya bahwa dia sudah pernah bersetubuh maka mengaku
disetubuhi secara paksa. Jika korban benar telah diperkosa biasanya akan segera melapor. Pada
pelaporan yang terlambat, ada kemungkinan pula karena korban diancam untuk tidak melapor ke
polisi. Hal selanjutnya yang ditanyakan adalah tempat kejadian. Adanya rumput, tanah dan
lainnya yang melekat pada pakaian dan tubuh korban dapat dijadikan petunjuk dalam pencarian
trace evidence yang berasal dari tempat kejadian. Perlu diketahui pula apakah korban melawan
atau korban pengsan. Semasa disetubuhi ditanyakan adakah ada penetrasi dan ejakulasi atau
tidak.2

Pemeriksaan pakaian

Sebelum melakukan pemeriksaan pakaian korban, perlu ditanyakan pula apakah setelah
kejadian korban mencuci, mandi, dan mengganti pakaian. Pemeriksaan pakaian perlu dilakukan

11
dengan teliti helai demi helai, apakah terdapat robekan lama atau baru sepanjang jahitan atau
melintang pada pakaian, kancing yang terputus akibat tarikan, bercak darah, air mani, lumpur,
dan lainnya yang berasal dari tempat kejadian. Apakah pakaian dalam keadaan rapi atau tidak.
Bila tidak ada fasilitas pemeriksaan, maka benda-benda yang melekat dan pakaian yang dipakai
ketika terjadi persetubuhan dikirim ke laboratorium forensik di kepolisian atau bagian ilmu
kedokteran forensik dalam keadaan dibungkus, tersegel dan disertai berita acara pembungkusan
dan penyegelan.2

Pemeriksaan tubuh korban

Pemeriksaan tubuh korban meliputi pemeriksaan umum seperti penampilan rambut yang
rapi atau kusut, wajah dalam keadaan emosional, tenang atau sedih/gelisah. Adakah tanda-tanda
bekas kehilangan kesadaran akibat pemberian obat tidur/bius, apakah ada needle marks. bila ada
indikasi maka diperlukan pengambilan urin dan darah. Adakah tanda – tanda bekas kekerasan,
memar atau luka lecet. pada daerah mulut, leher, pergelangan tangan, lengan, paha bagian dalam
dan pinggang. Dicatat pula tanda perkembangan alat kelamin sekunder, pupil, refleks cahaya,
pupil pinpoint, tinggi dan berat badan, tekanan darah, keadaan jantung, paru, dan abdomen.
Adakah trace evidence yang melekat pada tubuh korban.2

Pemeriksaan bagian khusus (daerah genitalia) meliputi ada tidaknya rambut kemaluan
yang saling melekat menjadi satu karena air mani yang mengering, gunting untuk pemeriksaan
laboratorium. Cari pula bercak air mani di sekitar alat kelamin, kerok dengan sisi tumpul skapel
atau ‘swab’ dengan kapas lidi yang dibasahi dengan larutan garam fisiologis. Pada vulva teliti
adanya tanda – tanda bekas kekerasan, seperti hiperemi, edema, memar dan luka lecet (goresan
kuku). Introitus vagina apakah hiperemi/edema?. Dengan kapas lidi diambil bahan untuk
pemeriksaan sperma dari vestibulum.2

Periksa jenis selaput darah, adakah ruptur atau tidak. Bila ada, tentukan ruptur baru atau
lama dan catat lokasi ruptur tesebut, teliti apakah sampai insertion atau tidak. Tentukan besar
orifisium, sebesar ujung jari kelingking, jari telunjuk atau 2 jari. Sebagai gantinya boleh juga
ditentukan ukuran lingkaran orifisium, dengan cara jari kelingking atau telunjuk dimasukkan
dengan hati – hati kedalam orifisium sampai terasa tepi selaput darah menjepit ujung jari, beri
tanda pada sarung tangan dan lingkaran pada titik yang diukur. Ukuran pada seorang perawan
kira – kira 2,5 cm. lingkaran yang memungkinkan persetubuhan dapat terjadi menurut Voight

12
adalah minimal 9 cm. harus diingat bahwa persetubuhan tidak selalu disertai dengan deflorasi.
Pada ruptur lama, robekan menjalar sampai ke insertion disertai adanya parut pada jaringan
dibawahnya. Ruptur yang tidak sampai ke insertion, bila sudah sembuh tidak dapat dikenal lagi.
Periksa pula apakah frenulum labiorum pudenda dan commisura labiorum posterior utuh atau
tidak. Periksa vagina dan serviks dengan speculum, bila keadaan alat genital mengijinkan.
Adalah tanda penyakit kelamin.2

Lakukan pengambilan bahan untuk pemeriksaan laboratorium. Untuk pemeriksaan cairan


mani dan sel mani dalam lender vagina, lakukan dengan mengambil lender vagina menggunakan
pipet Pasteur atau diambil dengan ose batang gelas, atau swab. Bahan diambil dari forniks
posterior, bila mungkin denga spekulum. Pada anak – anak biasa selaput darah utuh,
pengambilan bahan sebaiknya dibatai dari vestibulum saja. Pemeriksaan terhadap kuman N.
gonorrhea dari sekret urether (urut dengan jari) dan dipulas dengan pewarnaan gram.
Pemeriksaan dilakukan pada hari ke-I, III, V dan VII. Jika pada pemeriksaan didapatkan N.
gonorrhea berarti terbukti adanya kontak seksual dengan seorang penderita, bila pada pria
tertuduh juga ditemukan N gonorrhea, ini merupakan petunjukyang cukup kuat. Jika terdapat
ulkus, sekret perlu diambil untuk pemeriksaan serologik atau bakteriologik. Pemeriksaan
kehamilan dan pemeriksaan toksikologik terhadap darah dan urin juga dilakukan bila ada
indikasi.2

Pemeriksaan Pria Tersangka

Pemeriksaan pria tersangka dapat dilakukan terhadap pakaian, catat adanya bercak
semen, darah. Bercak semen tidak mempunyai arti dalam pembuktian sehingga tidak perlu
ditentukan. Darah mempunyai nilai karena kemungkinan berasal dari darah deflorasi. Di sini
penetuan golongan darah penting untuk dilakukan. Mungkin dapat ditemukan tanda bekas
kekerasan akibat perlawanan oleh korban. Untuk mengetahui apakah seorang pria baru
melakukan persetubuhan, dapat dilakukan pemeriksaan ada tidaknya sel epitel vagina pada glans
penis. Perlu pula dilakukan pemeriksaan sekret uretra untuk menentukan adanya penyakit
kelamin. Trace evidence pada pakaian yang dipakai ketika terjadi persetubuhan harus diperiksa.
Bila fasilitas untuk pemeriksaan tidak ada, kirim ke laboratorium forensik di Kepolisian atau
bagian Ilmu Kedokteran Forensik, dibungkus, disegel serta membuat berita acara pembungkusan
dan penyegelan. Rambut dan barang bukti lain yang ditemukan diperlakukan serupa. Jika dokter

13
menemukan rambut kemaluan yang lepas pada badan wanita ia harus mengambil beberapa helai
rambut kemaluan dari wanita dan lai – laki sebagai bahan pembanding (matching).2

Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan cairan mani

Cairan mani merupakan cairan agak kental, bewarna putih kekuningan, keruh, dan berbau
khas. Cairan mani pada saat ejakulasi kental kemudia akibat enzim proteolitik menjadi cair
dalam waktu yang singkat (10-20menit). Dalam keadaan normal, volume cairan mani 3-5 ml
pada satu kali ejakulasi dengan pH 7.2-7.6. cairan mani mengandung spermatozoa, sel-sel epitel
dan sel-sel lain yang tersuspensi dalam cairan yang disebut plasma seminal yang mengandung
spermin dan beberapa enzim seperti Fofastase asam. Spermatozoa mempunyai bentuk khas untuk
spesies tertentu dengan jumlah yang bervariasi, biasanya antara 60 samapi 120 juta per ml.
Untuk menentukan adanya cairan mani dalam vagina guna membuktikan adanya suatu
persetubuhan, perlu diambil bahan forniks posterior vagina dan dilakukan pemeriksaan-
pemeriksaan laboratorium sebagai berikut;2

1. Penentuan spermatozoa (mikroskopis)


Tujuan : Menentukan adanya sperma
Bahan pemeriksaan : cairan vagina
Metode pemeriksaan :
a. Tanpa pewarnaan
Untuk melihat motilitas spermatozoa. Pemeriksaan ini paling bermakna untuk
memperkirakan saat terjadinya persetubuhan.
 Cara pemeriksaan : Letakkan satu tetes cairan vagina pada kaca objek kemudian
ditutup. Periksa dibawah mikroskop dengan pembesaran 500 kali. Perhatikan
pergerakkan spermatozoa.
 Hasil : Umumnya disepakati dalam 2 – 3 jam setelah persetubuhan masih dapat
ditemukan spermatozoa yang bergerak dalam vagina. Haid akan memperpanjang
waktu ini sampai 3 – 4 jam. Berdasarkan beberapa penelitian, dapat disimpulkan
bahwa spermatozoa masih dapat ditemukan 3 hari, kadang – kadang sampai 6 hari
pasca persetubuhan. Pada orang mati, spermatozoa masih dapat ditemukan hingga
2 minggu pasca persetubuhan, bahkan mungkin lebih lama lagi.2
14
b. Dengan Pewarnaan
 Cara pemeriksaan : Buat sediaan apus dan fiksasi dengan melewatkan gelas
sediaan apus tersebut pada nyala api. Pulas dengan HE, biru metilen atau hijau
malakit. Cara pewarnaan yang mudah dan baik untuk kepentingan forensik adalah
pulasan dengan hijau malakit dengan prosedur sebagian berikut : Buat sediaan
apus dari cairan vaginal pada gelas objek, keringkan diudara, dan fiksasi dengan
melewatkan gelas sediaan apus tersebut pada nyala api, warnai dengan Malachite-
green 1% dalam air, tunggu 10-15 menit, cuci dengan air, warnai dengan larutan
Eosin Yellowish 1 %dalam air, tunggu selama 1 menit, cuci lagi dengan air,
keringkan dan periksa dibawah mikroskop.2
 Hasil : Keuntungan dengan pulasan ini adalah inti sel epitel dan leukosit tidak
terdiferensiasi, sel epitel berwarna merah muda merata dan leukosit tidak
terwarnai. Kepala spermatozoa tampak merah dan lehernya merah muda, ekornya
berwarna hijau. Bila persetubuhan tidak ditemukan, belum tentu dalam vagina
tidak ada ejakulat karena kemungkinan azoosperma atau pascavasektomi. Bila hal
ini terjadi, maka perlu dilakukan penentuan cairan mani dalam cairan vagina.2
2. Penentuan Cairan Mani (kimiawi)
Untuk membuktikan terjadinya ejakulasi pada persetubuhan dari ditemukan cairan mani
dalam sekret vagina, perlu dideteksi adanya zat-zat yang banyak terdapat dalam cairan mani,
yaitu dengan pemeriksaan laboratorium :2
a. Reaksi Fosfatase Asam
Merupakan tes penyaring adanya cairan mani, menentukan apakah bercak tersebut
adalah bercak mani atau bukan, sehingga harus selalu dilakukan pada setiap sampel yang
diduga cairan mani sebelum dilakukan pemeriksaan lain. Reaksi fosfatase asam
dilakukan bila pada pemeriksaan tidak ditemukan sel spermatozoa. Tes ini tidak spesifik,
hasil positif semu dapat terjadi pada feses, air teh, kontrasepsi, sari buah dan tumbuh-
tumbuhan.2
 Dasar reaksi (prinsip) : Adanya enzim fosfatase asam dalam kadar tinggi yang
dihasilkan oleh kelenjar prostat. Enzim fosfatase asam menghidrolisis natrium
alfa naftil fosfat. Alfa naftol yang telah dibebaskan akan bereaksi dengan

15
brentamin menghasilkan zat warna azo yang berwarna biru ungu. Bahan
pemeriksaan yang digunakan adalah cairan vaginal.2
 Reagen :
Larutan A
 Brentamin Fast Blue B 1 g (1)
 Natrium asetat trihidrat 20 g (2)
 Asam asetat glasial 10 ml (3)
 Askuades 100 ml (4)
(2) dan (3) dilarutkan dalam (4) untuk menghasilkan larutan penyangga
dengan pH 5, kemudian (1) dilarutkan dalam larutan peyangga tersebut.2
Larutan B
Natrium alfa naftil fosfat 800 mg + aquades 10 ml.
89 ml Larutan A ditambah 1 ml larutan B, lalu saring cepat ke dalam botol
yang berwarna gelap. Jika disimpan dilemari es, reagen ini dapat bertahan
berminggu-minggu dan adanya endapan tidak akan mengganggu reaksi.2
 Cara pemeriksaan : Bahan yang dicurigai ditempelkan pada kertas saring yang
terlebih dahulu dibasahi dengan aquades selama beberapa menit. Kemudian kertas
saring diangkat dan disemprotkan / diteteskan dengan reagen. Ditentukan waktu
reaksi dari saat penyemprotan sampai timbul warna ungu, karena intensitas warna
maksimal tercapai secara berangsur-angsur.2
 Hasil : Bercak yang tidak mengandung enzim fosfatase memberikan warna
serentak dengan intensitas tetap, sedangkan bercak yang mengandung enzim
tersebut memberikan intensitas warna secara berangsur-angsur. Waktu reaksi 30
detik merupakan indikasi kuat adanya cairan mani. Bila 30 – 65 detik, masih perlu
dikuatkan dengan pemeriksaan elektroforesis. Waktu reaksi > 65 detik, belum
dapat menyatakan sepenuhnya tidak terdapat cairan mani karena pernah
ditemukan waktu reaksi > 65 detik tetapi spermatozoa positif. Enzim fosfatase
asam yang terdapat di dalam vagina memberikan waktu reaksi rata-rata 90 – 100
detik. Kehamilan, adanya bakteri-bakteri dan jamur, dapat mempercepat waktu
reaksi.2
b. Reaksi Florence

16
Reaksi ini dilakukan bila terdapat azoospermia/tidak ditemukan spermatozoa atau
cara lain untuk menentukan semen tidak dapat dilakukan.
 Dasar : Menentukan adanya kolin
 Reagen (larutan lugol) dapat dibuat dari : Kalium yodida 1,5 g, Yodium 2,5, dan
Akuades 30 ml
 Cara pemeriksaan : Cairan vaginal ditetesi larutan reagen, kemudian lihat dibawah
mikroskop
 Hasil : Bila terdapat mani, tampak kristal kolin periodida coklat berbentuk jarum
dengan ujung sering terbelah. Test ini tidak khas untuk cairan mani karena bahan
yang berasal dari tumbuhan atau binatang akan memperlihatkan kristal yang
serupa tetapi hasil postif pada test ini dapat menentukan kemungkinan terdapat
cairan mani dan hasil negative menentukan kemungkinan lain selain cairan mani.2
c. Reaksi Berberio
Reaksi ini dilakukan dan mempunyai arti bila mikroskopik tidak ditemukan
spermatozoa.
 Dasar reaksi : Menentukan adanya spermin dalam semen.
 Reagen : Larutan asam pikrat jenuh.
 Cara pemeriksaan (sama seperti pada reaksi Florence) : Bercak diekstraksi dengan
sedikit akuades. Ekstrak diletakkan pada kaca objek, biarkan mengering, tutup
dengan kaca penutup. Reagen dialirkan dengan pipet dibawah kaca penutup.
 Hasil : Hasil positif bila, didapatkan kristal spermin pikrat kekuningan berbentuk
jarum dengan ujung tumpul. Kadang-kadang terdapat garis refraksi yang terletak
longitudinal. Kristal mungkin pula berbentuk ovoid.2

3. Penentuan Golongan Darah ABO Pada Cairan Mani


Pada individu yang termasuk golongan sekretor (85% dari populasi), substansi
golongan darah dapat dideteksi dalam cairan tubuhnya seperti air liur, sekret vagina, cairan
mani, dan lain-lain. Substansi golongan darah dalam cairan mani jauh lebih banyak dari pada
air liur (2 – 100 kali). Hanya golongan sekretor saja yang golongan darahnya dapat
ditentukan dalam semen yaitu dilakukan dengan cara absorpsi inhibisi.2

Aspek psikososial

17
Pelaku merupakan pelaksana utama dalam hal terjadinya perkosaan tetapi bukan berarti
terjadinya perkosaan tersebut semata-mata disebakan oleh perilaku menyimpang dari pelaku,
tetapi dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang berada di luar diri si pelaku. Namun secara umum
dapat disebutkan bahwa faktor-faktor penyebab timbulnya kejahatan dibagi dalam 2 bagian
yaitu: faktor interna, dan faktor eksterna.3

1. Faktor Interna
Faktor-faktor yang terdapat pada diri individu. Faktor ini khusus dilihat dari individu serta
dicari hal-hal yang mempunyai hubungan dengan kejahatan perkosaan. Hal ini dapat ditinjau
dari:
 Faktor Kejiwaan, yakni kondisi kejiwaan atau keadaan diri yang tidak normal dari
seseorang dapat juga mendorong seseorang melakukan kejahatan. Misalnya, nafsu
seksyang abnormal, sehingga melakukan perkosaan terhadap korban wanita yang
tidak menyadari keadaan diri si penjahat, yakni sakit jiwa, psycho patologi dan aspek
psikologis
 Faktor Moral. Moral merupakan faktor penting untuk menentukan timbulnya
kejahatan.Moral sering disebut sebagai filter terhadap munculnya perilaku yang
menyimpang, sebab moral itu adalah ajaran tingkah laku tentang kebaikan-kebaikan
dan merupakan hal yang vital dalam menentukan tingkah laku. Dengan bermoralnya
seseorang maka dengan sendirinya dia akan terhindar dari segala perbuatan yang
tercela, sedangkan orang yang tidak bermoral cenderung untuk melakukan kejahatan.3
2. Faktor Eksterna
Faktor eksterna adalah faktor-faktor yang berada di luar diri si pelaku. Faktor eksterna ini
berpangkal pokok pada individu. Dicari hal-hal yang mempunyai hubungan dengan
kejahatan kesusilaan. Hal ini dapat ditinjau dari:
 Faktor Sosial Budaya, meningkatnya kasus-kasus kejahatan kesusilaan atau
perkosaan terkait erat dengan aspek sosial budaya. Karena aspek sosial budaya yang
berkembang ditengah-tengah masyarakat itu sendiri sangat mempengaruhi naik
turunnya moralitas seseorang. Suatu kenyataan yang terjadi dewasa ini, sebagai akibat
pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka tidak dapat dihindarkan
timbulnya dampak negatif terhadap kehidupan manusia. Akibat modernisasi tersebut,
berkembanglah budaya yang semakin terbuka pergaulan yang semakin bebas,cara

18
berpakaian kaum hawa yang semakin merangsang, dan kadang-kadang dan berbagai
perhiasan yang mahal, kebiasaan bepergian jauh sendirian, adalah factor - faktor
dominan yang mempengaruhi tingginya frekuensi kasus perkosaan. Nainggolan LH.
Bentuk- bentuk kekerasan terhadap anak di bawah umur.3

Visum et Repertum

Visum et Repertum (VeR) adalah surat keterangan yang dikeluarkan dokter untuk polisi
dan pengadilan. VeR mempunyai daya bukti dan alat bukti yang sah dalam perkara pidana. VeR
berisi laporan tertulis tentang apa yang dilihat dan ditemukan pada benda-benda/korban yang
diperiksa VeR diminta untuk orang hidup, misalnya korban yang luka-luka karena kekerasan,
keracunan, perkosaan, dan kasus psikiatri. VeR untuk jenazah dapat dibedakan atas visum
dengan pemeriksaan luar dan visum dengan pemeriksaan luar dan dalam.4

Pada kasus perkosaan terdapat kesulitan jika korban dikirim terlambat karena hasil
pemeriksaan tidak menunjukkan keadaan sebenarnya, misalnya luka pada tubuh dan genitqalia
eksterna sudah sembuh, sel mani dalam liang senggama negatif dan sebaginya. Bedah mayat
kedokteran kehakiman harus objektif tanpa pengaruh dari mereka yang berkepentingan dalam
perkara. Keterangan hendaknya dalam istilah yang mudah dipahami, berdasarkan apa yang
dilihat dan ditemukan, sehingga tidak berulang kali dipanggil ke pengadilan untuk dimintakan
keterangan tambahan.4

Tujuan pemeriksaan kedokteran forensik pada korban hidup adalah untuk mengetahui
penyebab luka/sakit dan derajat parahnya luka atau sakitnya tersebut. Umumnya korban dengan
luka ringan datang ke dokter setelah melapor ke penyidik/pejabat kepolisian, sehingga mereka
datang dengan membawa serta surat permintaan visum et repertum. Sedangkan pada korban luka
sedang dan berat akan datang ke dokter atau rumah sakit sebelum melapor ke penyidik, sehingga
surat permintaan visum et repertum akan datang terlambat.5

Pada korban kejahatan susila yang dimintakan visum et repertumnya kepada dokter
adalah kasus dugaan adanya persetubuhan yang diancam hukuman oleh KUHP. Persetubuhan
yang diancam pidana oleh KUHP meliputi pemerkosaan, persetubuhan pada wanita yang tidak
berdaya, persetubuhan dengan wanita yang belum cukup umur. Untuk kepentingan peradilan,
dokter berkewajiban untuk membuktikan adanya persetubuhan, adanya kekerasan (termasuk

19
pemberian racun/obat/zat agar menjadi tidak berdaya) serta usia korban. Untuk dapat memeriksa
wanita korban tersebut selain visum et repertum, dokter sebaiknya mempersiapkan si korban atau
orang tuanya bila masih belum cukup umur, agar dapat dilakukan pemeriksaan serta saksi atau
pendamping perawat wanita dan pemeriksaan sebaiknya dilakukan dalam ruang tertutup dan
yang tenang.5

Usia korban biasanya dapat diketahui bila identitasnya dan asal-usulnya jelas. Bila
usianya tidak jelas, maka harus dicari tanda-tanda medic guna memperkirakannya. Adanya haid
menunjukkan usia 12 tahun atau lebih, sedangkan adanya tanda seks sekunder yang berkembang
menunjukkan usia 15 tahun atau lebih. Pada kesimpulan visum et repertum korban kejahatan
susila diharapkan tercantum perkiraan tentang usia korban, ada atau tidaknya tanda persetubuhan
dan bila mungkin, menyebutkan kapan perkiraan terjadinya, dan ada atau tidaknya tanda
kekerasan.5

Peran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)

Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan adalah lembaga independen yang
didirikan pada tanggal 15 Oktober 1998, berdasarkan keputusan presiden No. 181/1998 dan
diperbaharui dengan Peraturan Presiden No.65/2005. Komnas Perempuan lahir dari tuntutan
masyarakat sipil, terutama kaum perempuan, kepada pemerintah untuk mewujudkan tanggung
jawab negara dalam menangapi dan menangani persoalan kekerasan terhadap perempuan.
Tuntutan tersebut berakar dari tragedi kekerasan seksual yang dialami terutama perempuan etnis
Tionghoa dalam kerusuhan Mei 1998 di berbagai kota besar di Indonesia. Fokus perhatian
Komnas Perempuan pada saat ini adalah perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga;
perempuan pekerja rumah tangga yang bekerja di dalam negeri maupun di luar negeri sebagai
buruh migran; perempuan korban kekerasan seksual yang menjalankan proses peradilan;
perempuan yang hidup di daerah konflik bersenjata; dan, perempuan kepala keluarga yang hidup
di tengah kemiskinan di daerah pedesaan. Dalam menjalankan mandatnya, Komnas Perempuan
mengambil peran sebagai berikut :

1) Menjadi resource center tentang hak asasi perempuan sebagai hak asasi manusia dan
kekerasan terhadap perempuan sebagai pelanggaran HAM;

20
2) Menjadi negosiator dan mediator antara pemerintah dengan komunitas korban dan
komunitas pejuang hak asasi perempuan, dengan menitikberatkan pada kepentingan
korban;
3) Menjadi inisiator perubahan serta perumusan kebijakan;
4) Menjadi pemantau dan pelapor tentang pelanggaran Ham berbasis jender dan pemenuhan
hak korban;
5) Menjadi fasilitator pengembangan dan penguatan jaringan di tingkat lokal, nasional dan
internasional untuk kepentingan pencegahan, peningkatan kapasitas penanganan dan
penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.6

Kesimpulan

Dalam kasus kejahatan susila, perlu diketahui apakah merupakan kejahatan berupa
persetubuhan, pencabulan maupun pelecehan seksual. Usia korban merupakan hal penting perlu
diperhatikan karena mengacu pada hukum yang menindak lanjuti kejahatan susila tersebut.
Tanda-tanda kekerasan maupun persetubuhan yang ditemukan haruslah nyata untuk dapat
melukai korban baik dari segi fisik maupun psikisnya. Waktu terjadinya kejadian menjadi
informasi penting dalam melakukan pemeriksaan-pemeriksaan yang kemudian dapat menjadi
alat bukti yang sah.

Forensik Klinik adalah bagian dari ilmu kedokteran forensik yang mencakup
pemeriksaan forensik terhadap korban hidup dan investigasinya, kemudian aspek medikolegal,
juga psikopatologinya, dengan kata lain forensik klinik merupakan area praktek medis yang
mengintegrasikan antara peranan medis dan hukum terutama dalam kasus-kasus berkaitan
kejahatan susila. Namun, Untuk menyelesaikan permasalahan kasus kejahatan seksual, tidak
hanya membutuhkan intervensi medis semata-mata tapi, menuntut diambilnya langkah
penanganan yang holistik dan komprehensif termasuk dukungan psikososial yang secara
otomatis membutuhkan dukungan optimal dari keluarga dan masyarakat. Tugas dokter tidak
hanya menjalankan fungsi maksimal dalam bidang kesehatan, namun dokter tersebut dituntut
untuk memanfaatkan ilmu pengetahuan kedokteran seoptimal mungkin dan mematuhi tuntutan
undang-undang terhadapnya terutama dalam kasus-kasus yang melibatkan proses hukum.

21
Daftar Pustaka

1. Safitry O. Kompilasi Peraturan Perundang-undangan terkait praktik kedokteran. Jakarta :


Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal FKUI;2014.
2. Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S, Mun’in TWA, Sidhi, Hertian S, et al. Ilmu
kedokteran forensik. Edisi ke-2. Jakarta : Bagian Kedokteran Forensik Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia;1997.
3. Jurnal Equality. Universitas Sumatra Utara. 2008;13(1). Diunduh dari :
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18417/1/equ-feb2008-13%20(2).pdf,
pada tanggal 1 Januari 2018.
4. Hanafiah MJ, Amir A. Etika kedokteran dan hukum kesehatan. Ed.4. Jakarta: EGC;
2009.h.93.
5. Safitry O. Mudah membuat visum et repertum kasus luka. Jakarta : Departemen Ilmu
Kedokteran Forensik dan Medikolegal FKUI;2016.
6. Erfan Kusuma S. Kejahatan Seksual Lab Ilmu Kedokteran Forensik.. Jurnal Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga. Surabaya, 2009.

22

Anda mungkin juga menyukai