PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Muslim adalah seseorang yang berserah diri (kepada Allah), termasuk segala
makhluk yang ada di langit dan bumi. Pada zaman sekarang kalimat muslim merujuk
kepada penganutagama Islam. Muslim sebutan untuk pria Islam sedangkan muslimah
sebutan untuk wanita Islam. Sedangkan Sains adalah pengetahuan yang diperoleh
melalui pembelajaran dan pembuktian. Sains merupakan produk dan proses yang
tidak dapat dipisahkan, sains sebagai proses merupakan langkah-langkah yang
ditempuh para ilmuwan untuk melakukan penyelidikan dalam rangka mencari
penjelasan tentang gejala-gejala alam seperti merumuskan masalah, merumuskan
hipotssesis, merancang eksperimen, mengumpulkan data, menganalisis dan akhimya
menyimpulkan. Dari sini tampak bahwa karakteristik yang mendasar dari Sains ialah
kuantifikasi artinya gejala alam dapat berbentuk kuantitas.
1
orang-orang barat adalah orang-orang yang cerdas dan memiliki andil yang paling
besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan saat ini.
B. Rumusan Masalah
Untuk memperjelas apa yang ingin dibahas oleh penulis, maka penulis merumuskan
beberapa permasalahan, yaitu sebagai berikut.
1. Apa yang dimaksud dengan sains?
2. Bagaimana pendidikan sains yang relevan dengan ajaran Islam?
3. Bagaimana al-Qur’an (sumber hukum Islam) sebagai sumber ilmu sains?
2
BAB II
A. Pengertian Sains
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sains berarti(1) ilmu teratur (sistematis)
yang dapat diuji kebenarannya; (2) ilmu yang berdasarkan kebenaran atau kenyataan
semata (fisika, kimia dan biologi).
Istilah common sense sering dianalogikan dengan good sense, karena seseorang
dapat menerima dengan baik. Jadi, kaitannya dengan sains, sains beranjak dari
common sense, dari peristiwa sehari-hari yang dialami manusia namun terus
dilanjutkan dengan suatu pemikiran yang logis dan teruji.
Sains adalah gambaran yang lengkap dan konsisten tentang berbagai fakta
pengalaman dalam suatu hubungan yang mungkin paling sederhana (simple possible
terms). Sains dalam hal ini merujuk kepada sebuah sistem untuk mendapatkan
pengetahuan yang dengan menggunakan pengamatan dan eksperimen untuk
menggambarkan dan menjelaskan fenomena – fenomena yang terjadi di alam .
Bahasa yang lebih sederhana, sains adalah cara ilmu pengetahuan yang didapatkan
dengan menggunakan metode tertentu.
Sains dengan definisi diatas seringkali disebut dengan sains murni, untuk
3
membedakannya dengan sains terapan, yang merupakan aplikasi sains yang ditujukan
untuk memenuhi kebutuhan manusia. ilmu sains biasanya diklasifikasikan menjadi
dua yaitu :
1. Natural sains atau Ilmu pengetahuan Alam
2. Sosial sains atau ilmu pengetahuan sosial
Berikut ini adalah contoh dari begitu banyak pembagian bidang – bidang sains,
khususnya natural sains atau IPA:
1. BIOLOGI (Biology) : Anatomi,biofisika,genetika, Ekologi, Fisiologi, taksonomi,
virulogi, zoologi, dll
2. KIMIA (Chemistry) : Kimia Analitik, Elektrokimia, Kimia organik, kimia
anorganik, ilmu material, kimia polimer, thermokimia
3. Fisika (Physics) : Astronomi, fisika nuklir, kinetika, dinamika, fisika material,
optik, mekanika quantum, thermodinamika
4. Ilmu Bumi (Earth Science) : Ilmu lingkungan, geodesi, geologi, hydrologi,
meteorologi, paleontologi, oceanografi.1
B. Kerja Sains
C. Karakteristik Sains
Sejarah membuktikan bahwa dengan metode sains telah membawa manusia pada
kemajuan dalam pengetahuan. Randall dan Buchker mengemukakan beberapa ciri
umum sains:
1. Hasil sains bersifat akumulatif dan merupakan milik bersama,artinya hasil sains
yang lalu dapat digunakan untuk penyelidikan hal yang baru, dan tidak memonopoli.
Setiap orang dapat memanfaatkan hasil penemuan orang lain.
2. Hasil sains kebenarannya tidak mutlak dan bisa terjadi kekeliruan karena yang
menyeidikinya adalah manusia.
3. Sains bersifat objektif ,artinya prosedur kerja atau cara penggunaan metode sains
tidak tergantung kepada siapa yang menggunakan, tidak tekrgantung pada
1
Irawan, Pengantar Singkat Ilmu Filsafat, (Bandung: Intelekia Pratama, 2008). h.20.
4
pemahaman secara pribadi.
Ralph Ross dan Ernest Van den Haag mengemukakan ciri-ciri sains, yaitu: 1)
bersifat rasional (hasil dari proses berpikir dengan menggunakan rasio atau akal), 2)
bersifat empiris (pengalaman oleh panca indra), 3) bersifat umum (hasil sains bisa
digunakan oleh semua orang tanpa terkecuali), 4) bersifat akumulatif (hasil sains
dapat dipergunakan untuk dijadikan objek penelitian berikutnya)2
Konsepsi siswa tentang sains sangat dipengaruhi oleh pandangan guru tentang
sains. Secara sederhana sains dapat berarti sebagai tubuh pengetahuan (body of
knowledge) yang muncul dari pengelompokkan secara sistematis dari berbagai
penemuan ilmiah sejak zaman dahulu, atau biasa disebut sains sebagai produk.
Produk yang dimaksud adalah fakta-fakta, prinsip-prinsip, model-model, hukum-
hukum alam, dan berbagai teori yang membentuk semesta pengetahuan ilmiah.
Sains juga bisa berarti suatu metode khusus untuk memecahkan masalah, atau biasa
disebut sains sebagai proses. Sains sebagai proses ini sudah terbukti ampuh
memecahkan masalah ilmiah yang juga membuat sains terus berkembang dan
merevisi berbagai pengetahuan yang sudah ada.
Selain itu sains juga bisa berarti suatu penemuan baru atau hal baru yang dapat
digunakan setelah kita menyelesaikan permasalahan teknisnya, yang biasa disebut
sebagai teknologi. Teknologi merupakan suatu sifat nyata dari aplikasi sains, suatu
konsekuensi logis dari sains yang mempunyai kekuatan untuk melakukan sesuatu.
Sehingga biasanya salah satu definisi popular tentang sains termasuk juga teknologi
di dalamnya.
Sejarah perkembangan sains menunjukkan bahwa sains berasal dari penggabungan
dua tradisi tua, yaitu tradisi pemikiran filsafat yang dimulai oleh bangsa Yunani kuno
serta tradisi keahlian atau keterampilan tangan yang berkembang di awal peradaban
manusia yang telah ada jauh sebelum tradisi pertama lahir. Filsafat memberikan
sumbangan berbagai konsep dan ide terhadap sains sedangkan keahlian tangan
memberinya berbagai alat untuk pengamatan alam. Sains modern bisa lahir dari
perumusan metode ilmiah yang disumbangkan Rene Descartes yang menyodorkan
logika rasional dan deduksi serta oleh Francis Bacon yang menekankan pentingnya
eksperimen dan observasi.
Sumbangan konsep dan ide dalam sains terbukti telah banyak mengubah pandangan
manusia terhadap alam sekitarnya. Contoh yang paling terkenal adalah teori
relativitas dari Albert Einstein. Teori relativitas umum ini misalnya telah mengubah
pandangan orang secara drastis akan sifat kepastian waktu serta sifat massa yang
dianggap tetap. Disamping kekuatan konsep dan ide, melalui keampuhan alat dan
telitinya pengamatan, kegiatan sains juga terbukti menjadi pemicu berbagai revolusi
ilmiah. Pengamatan bintang-bintang oleh Edwin Hubble melalui teleskop di Gunung
2
Prasetya, Filsafat Pendidikan, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000). H.49
5
Wilson pada tahun 1920-an misalnya, membawa beberapa implikasi seperti adanya
galaksi lain selain Bimasakti dan adanya penciptaan alam semesta secara ilmiah
dengan makin populernya teori ledakan besar (Big Bang).
Teori-teori dalam sains terus berkembang dengan pesatnya. Suatu teori adalah
suatu konstruksi yang biasanya dibuat secara logis dan matematis yang bertujuan
untuk menjelaskan fakta ilmiah tentang alam sebagaimana adanya. Suatu teori yang
baik harus mempunyai syarat lain selain dapat menjelaskan, yaitu dapat memberikan
adanya prediksi; contohnya dengan pertanyaan: Bila saya melakukan hal ini apa yang
terjadi? sebagai contoh, teori kuno yang menyatakan alam ini terdiri dari empat unsur
yaitu tanah, udara, api dan air memenuhi syarat dapat menjelaskan komposisi alam,
namun gagal bila mencoba memperkirakan dari mana semua unsur itu berasal dan
bagaimana interaksinya dalam mahluk hidup.
Namun terkadang teori juga tidak bisa berbuat banyak karena konsekuensinya
terlalu rumit bahkan untuk sekedar diramalkan. Untuk mengatasi hal ini para
ilmuwan mengembangkan apa yang disebut dengan model. Model merupakan
penyederhanaan dari suatu teori yang menjelaskan alam semesta misalnya secara
lebih mudah akan satu aspek tertentu, namun menghilangkan aspek lainnya.
Perkembangan teori atom memberikan kita contoh nyata tentang tentatifnya suatu
teori dalam ilmu pengetahuan. Mengapa hal ini bisa terjadi? Hal ini disebabkan
karena teori-teori atau hukum-hukum alam dalam sains adalah suatu generalisasi atau
ekstrapolasi dari pengamatan, dan bukan pengamatan itu sendiri. Sedangkan
pengamatan itu sendiri selalu tidak akurat atau tidak menjelaskan semua aspek yang
seharusnya diamati. Apa yang dijelaskan dengan model atom Thomson contohnya,
hanya berdasar pengamatan dari percobaan sinar katoda saja; model ini direvisi oleh
Rutherford setelah dia membuktikan keberadaan inti. Sehingga unsur ketidakpastian
dan kerelatifan menjadi hal yang penting dalam ilmu pengetahuan modern yang
membuatnya terus berkembang.3
3
Sadullah, Uyoh, Pengantar filsafat Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2007). H. 24
6
Artinya : Rasulullah SAW. bersabda : “Mencari ilmu itu hukumnya wajib bagi
setiap orang Islam laki-laki dan perempuan.”4
Dalam hadits tersebut memang jelas disebutkan bahwa hukum mencari ilmu
adalah fardhu ain (harus dilakukan per individu). Tapi, banyak pendapat yang muncul
dalam menentukan ilmu mana yang dimaksud dalam hadits tersebut. Para ahli ilmu
kalam memandang bahwa belajar teologi merupakan sebuah kewajiban, sementara
para fuqaha’ berpikir bahwa ilmu fiqih dicantumkan dalam al-Qur’an. Sedangkan
menurut Imam Ghazali, ilmu yang wajib dicari menurut agama adalah terbatas pada
pelaksanaan kewajiban syari’at Islam yang harus diketahui dengan pasti. Misalnya,
seseorang yang bekerja sebagai peternak binatang, haruslah mengetahui hukum-
hukum tentag zakat.5
Dari pendapat-pendapat diatas, dapat kita lihat bahwa ajaran Islam juga
mencakup tentang pendidikan sains yang notabennya adalah ilmu yang berguna bagi
kehidupan (dunia) manusia.
Tapi, disini, ilmu (sains) yang dipelajari haruslah bertujuan untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa, menyejahterakan umat, mensyiarkan ajaran-ajaran
agama Islam. Tidak dibenarkan, apabila ada orang Islam yang menuntut ilmu
pengetahuan hanya untuk mengejar pangkat, mencari gelar, dan keuntungan pribadi.
4
Al-Imam al-Syaikh Ibrahim bin Ismail, Ta’lim al-Muta’allim, ( Semarang: Pustaka al-
Alawiyah,2002) h.4.
5
Dr. Mahdi Ghulsyani, Filsafat-Sains Menurut Al-Qur’an (Diterjemahkan oleh Agus Efendi dari
Buku The Holy Quran and the Science of Nature), (Bandung :Mizan, 2001), h.40.
7
Selain itu, ilmu yang telah didapat harus disebarkan (diajarkan kepada orang lain) dan
diamalkan (tingkah lakunya sesuai dengan ilmunya).6
Bila seseorang dapat melakukan ketiga hal tersebut, maka derajat orang
tersebut diangkat oleh Allah dan disamakan dengan orang-orang yang berjuang di
medan perang (berjihad di jalan Allah). Tentu kita sebagai hambaNya menginginkan
hal tersebut.
Memang benar peribahasa “........... bersusah-susah dahulu, bersenang-senang
kemudian”, untuk menggapai sesuatu yang diinginkan dan diimpi-impikan tentu tidak
mudah, sehingga untuk mendapatkan ilmu pengetahuan (sains) yang dapat
mensejahterakan kehidupan dunia sekaligus mendapatkan derajat yang tinggi di Mata
Allah, seseorang harus berperang dengan hawa nafsunya yang selalu mementingkan
kehidupan duniawi. Kebanyakan ilmuwan, bahkan ilmuwan Muslin lupa akan tujuan
ukhrowinya, mereka lebih senang menganggap bahwa sains merupakan sarana
mencari penghidupan, bukan sarana mendekatkan diri kepada Sang Maha Kuasa.
Konsep sains seperti itu lebih mirip dengan konsep sains Barat, yang tentunya salah.
Sehingga sebagai umat Muslim, kita membutuhkan sains yang disusun dari
kandungan Islam yang memiliki proses dan metodologi yang mempu bekerjasama
dengan semangat nilai-nilai Islami dan yang dilaksanakan semata-mata untuk
mendapatkan keridhaan dari Allah. Sains semacam ini akan mampu memenuhi
kebutuhan masyarakat Muslim dan bekerjasama dalam konteks etika Islam. Sifat
dasar dan jenis sains ini harus jauh berbeda dari sains Barat.7
Tapi, untuk mendapatkan bentuk sains yang seperti ini, hampir tidak mungkin,
bila dilihat dari kesadaran dan pemahaman kaum Muslimin sekarang. Bila dilihat,
mereka lebih banyak meniru dan menganut pendapat-pendapat ilmuwan Barat, yang
sudah jelas-jelas salah. Ini sangat ironis, karena Islam yang dulu pernah menguasai
ilmu pengetahuan dunia, kini malah meniru dan berkiblat kepada sains Barat, tanpa
berusaha mencari kebenaran sains yang hakiki.
Dalam memecahkan masalah ini, penulis perlu memaparkan bahwa Islam
adalah sebuah sistem agama, kebudayaan, dan peradaban secara menyeluruh. Ia
merupakan sistem holistik dan nilai-nilainya menyerap setiap aktivitas manusia, yang
tentunya sains termasuk di dalamnya. Dan bila diulas kembali makna sains sebagai
metode yang rasional dan empiris untuk mempelajari fenomena alam, maka menggali
ilmu sains dalam Islam adalah satu-satunya cara untuk mencapai pemahaman yang
lebih mendalam tentang Sang Pencipta, dan menyelesaikan berbagai persoalan
masyarakat Islam. Ia sendiri tidak akan berakhir. Oleh karena itu, sains tidak
6
Lilis Fauziyah R.A. dan Andi Setyawan, Kebenaran al-Qur’an dan Hadits, (Solo: Tiga Serangkai,
2009), h.114.
7
Nasim Butt, Sains dan Masyarakat Islam (Diterjemahkan oleh Masdar Hilmy dari Buku Science and
Muslim Society),( Bandung :Pustaka Hidayah, 2001), h.63-64.
8
dipelajari untuk sains itu sendiri, akan tetapi untuk mendapatkan Ridha Allah SWT.
dengan mencoba memahami ayat-ayatNya.
Dalam dunia sains, konsep sains seperti ini sering disebut sebagai konsep sains
Islam, yang notabennya adalah ilmu sains yang dalam mempelajarinya tidak akan
pernah bertentangan dengan hukum dan ajaran Islam. Karena sains itu sendiri
dijadikan sarana untuk beribadah kepadaNya, Sang Maha Pemilik Ilmu.
Penerapan sains Islam akan menciptakan suasana yang menggugah ingatan kita
kepada Allah, mendorong perilaku yang sesuai dengan ketentuan syariat, dan
mengingatkan nilai-nilai konseptual yang ada dalam al-Qur’an.
Dalam bidang pendidikan (khususnya Pendidikan Agama Islam), bentuk sains
seperti ini sangat diperlukan untuk mewujudkan kaum pelajar yang benar-benar
memahami konsep sains Islam, sehingga mereka tidak memiliki keraguan dan
ketakutan dalam mempelajari sains. Selain itu, untuk menghindarkan mereka dari
perbuatan yang dilarang oleh agama, yang biasanya disebabkan oleh minimnya
pemahaman mereka. Jadi, secara jelas konsep sains Islam akan menghasilkan
kesempurnaan pemahaman sains, dan mendatangkan kenikmatan kehidupan duniawi
dan ukhrowi, yang tentunya diidam-idamkan oleh semua orang yang beriman. Selain
itu, buah manis dari konsep sains Islam adalah akan melahirkan ilmuwan-ilmuwan
Islam, yang nantinya akan membangkitkan semangat kaum Muslimin dalam bidang
ilmu pengetahuan. Hal inilah akan menjadi jawaban dari pertanyaan, “Mengapa orang
Islam makin banyak, tapi kualitas mereka jauh menurun dibanding dengan orang-
orang Islam dahulu?”.
Tentang tujuan ilmu pengetahuan, ada beberapa perbedaan pendapat antara
filosof dengan para ulama. Sebagian berpendapat bahwa pengetahuan sendiri
merupakan tujuan pokok bagi orang yang menekuninya, dan mereka ungkapkan
tentang hal ini dengan ungkapan, ilmu pengetahuan untuk ilmu pengetahuan, seni
untuk seni, sastra untuk sastra, dan lain sebagainya. Menurut mereka ilmu
pengetahuan hanyalah sebagai objek kajian untuk mengembangkan ilmu pengetahuan
sendiri. Sebagian yang lain cenderung berpendapat bahwa tujuan ilmu pengetahuan
merupakan upaya para peneliti atau ilmuwan menjadikan ilmu pengetahuan sebagai
alat untuk menambahkan kesenangan manusia dalam kehidupan yang sangat terbatas
dimuka bumi ini. Menurut pendapat yang kedua ini, ilmu pengetahuan itu untuk
meringankan beban hidup manusia atau untuk membuat manusia senang, karena dari
lmu pengetahuan itulah yang nantinya akan melahirkan teknologi. Teknologi jejas
sangat dibutuhkan oleh manusia untuk mengatasi berbagai masalah, dan lain
sebagainya. Sedangkan pendapat yang lainnya cenderung menjadikan ilmu
9
pengetahuan sebagai alat untuk meningkatkan kebudayaan dan kemajuan bagi umat
manusia secara keseluruan.8
F. Al-Qur’an Sebagai Sumber Ilmu Sains
Di zaman sekarang, bila kita amati banyak orang yang mencoba menafsirkan
beberapa ayat al-Qur’an dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan modern. Tujuan
utamanya adalah untuk menunjukkan mukjizat al-Qur’an sebagai sumber segala ilmu,
dan untuk menumbuhkan rasa bangga kaum muslimin karena telah memiliki kitab
yang sempurna ini.
Tetapi, pandangan yang menganggap bahwa al-Qur’an sebagai sebuah sumber
seluruh ilmu pengetahuan ini bukanlah sesuatu yang baru, sebab kita mendapati
banyak ulamak besar kaum muslim terdahulu pun berpandangan demikian.
Diantaranya adalah Imam al-Ghazali. Dalam bukunya Ihya ‘Ulum al-Din, beliau
mengutip kata-kata Ibnu Mas’ud: “Jika seseorang ingin memiliki pengetahuan masa
lampau dan pengetahuan modern, selayaknya dia merenungkan al-Qur’an”.
Selanjutnya beliau menambahkan: “Ringkasnya, seluruh ilmu tercakup di dalam
karya-karya dan sifat-sifat Allah, dan al-Qur’an adalah penjelasan esensi, sifat-sifat,
dan perbuatan-Nya. Tidak ada batasan terhadap ilmu-ilmu ini, dan di dalam al-Qur’an
terdapat indikasi pertemuannya (al-Qur’an dan ilmu-ilmu)”.9
Bahkan pada sebuah sumber yang dikutip oleh penulis, dijelaskan bahwa
mukjizat Islam yang paling utama ialah hubungannya dengan ilmu pengetahuan.
Surah pertama (al-Alaq, ayat 1-5) yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW
ialah nilai tauhid, keutamaan pendidikan, dan cara untuk mendapatkan ilmu
pengetahuan diberikan penekanan yang mendalam.10
Kata “bacalah” dalam ayat tersebut mengandung arti tentang perintah menuntut ilmu,
apalagi pada saat itu (awal kenabian), bangsa Arab sedang berada pada zaman
jahiliyah (kebodohan).
8
Atan Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum, (Bandung: CV.Pustaka Setia, 2008)
h.1
9
Mahdi, Ghulsyani, Filsafat-Sains Menurut Al-Qur’an (Diterjemahkan oleh Agus Efendi dari Buku
The Holy Quran and the Science of Nature). Bandung: Penerbit Mizan, 2001) h. 137
10
Noordin, Sulaiman, Sains Menurut Perspektif Islam (Diterjemahkan oleh Munfaati). (Jakarta: Dwi
Rama, 2000). Hal. 1
11
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta,
2001), h.1079.
10
Jika sains dikaitkan dengan fenomena alam, maka dalam al-Qur’an lebih dari 750
ayat menjelaskan tentang fenomena alam. Salah satunya adalah pada Surah Luqman,
ayat 10.
Artinya: “Dia menciptakan langit tanpa tiang yang kamu melihatnya dan dia
meletakkan gunung-gunung (di permukaan) bumi supaya bumi itu tidak
menggoyangkan kamu; dan memperkembang biakkan padanya segala macam jenis
binatang. dan kami turunkan air hujan dari langit, lalu kami tumbuhkan padanya
segala macam tumbuh-tumbuhan yang baik.”
Dalam potongan ayat tersebut, Allah menjajarkan iman dengan ilmu. Disinilah
terlihat betapa pentingnya ilmu, karena orang yang beriman tanpa memiliki ilmu
maka segala ibadahnya akan ditolak. Sedangkan sebaliknya, orang berilmu tanpa
beriman, maka ilmunya dapat menyesatkannya menuju jalan yang dilarang dan
dilaknatNya.
Disinilah, kita sebagai hambaNya yang beriman harus ekstra hati-hati dalam
mempelajari suatu ilmu. Kita harus selalu mengembalikan semuanya kepadaNya, kita
harus berusaha mencocokkan segala jenis ilmu dengan kalamNya (al-Qur’an) yang
sempurna.
Karena sudah jelas, al-Qur’an membahas banyak Ilmu, antara lain ilmu yang
berhubungan dengan kemasyarakatan yang memberi pedoman dan petunjuk berkaitan
11
dengan perundang-undangan tentang halal dan haramnya suatu aktiviti, peradaban,
muamalat antara manusia dalam bidang ekonomi, perniagaan, sosiobudaya,
peperangan dan perhubungan antar bangsa. Juga terdapat maklumat ataupun isyarat
(hint-suggestions) tentang perkara-perkara yang telah menjadi tumpuan kajian sains,
misalnya, sidik jari sebagai tanda pengenal, penciptaan bumi dan langit, dan lain-lain.
Dari sini, maka pantaslah kalau di zaman ini banyak ilmuwan (ilmuwan Barat
khususnya) yang berusaha mempelajari al-Qur’an demi memahami suatu kajian sains.
Tapi, kita sebagai umat Muslim jangan sampai kalah dengan mereka, sehingga
peradaban Islam dapat bangkit kembali. Ketika peradaban Islam mulai bangkit, maka
kemungkinan besar dunia dapat dikuasai oleh Islam, sehingga konsep Islam sebagai
agama yang “Rahmatan lil-‘Alamin” (kesejahteraan bagi seluruh dunia) dapat
terwujud secara nyata.
12
Mulai dari hal yang kecil, seperti Metodologi Penelitian. Islam memandang
bahwa dalam menyususn penelitian, seorang peneliti harus dapat memandang
permasalahan secra jujur an melepaskan subyektifnya, baik subyektif dalam hal
perasaan ataupun lingkungannya. Dalam Al-Maidah ayat 27-31 disebutkan bahwa
seorang anak Adam yang mengambil kesimpulan berdasarkan subyektifnya, akan
berakibat melakukan tindak pidana pembunuhan terhadap saudaranya. Akibat dari
tindak-tanduknya yang tidak mampu menyelesaikan permasalahan secara tuntas,
membuatnya bingung sendiri. Selain itu, ayat ini menjelaskan bahwa manusia banyak
pula mengambil pelajaran dari alam dan jangan segan-segan mengambil pelajaran
dari yang lebih rendah tingkatan pengetahuannya.
Berikut ini beberapa potongan ayat tentang teknologi.
Yunus:101,
Katakanlah:”Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah
bermanfat tanda kekuasaan Allah dan asul-rasul yang memberi peringatan bagi
orang-orang yang tidak beriman”.
Thaahaa:114
Maka Maha Tinggi Allah Raja Yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu
tergesa-gesa membaca Al Qur’an sebelum disempurnakan mewahyukannya
kepadamu, dan katkanlah:”Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku Ilmu
Pengetahuan”.
Al-Mulk:3-4
Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis.Kamu sekali-kali tidak
melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang.
Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak
seimbang?Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali
padamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itupun dalam
keadaan payah.
Al-Alaq:1-5
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhan-mu Yang menciptakan. Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha
Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan
kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
Pendapat mengenai ilmu di abad tengah simpang siur. Para sejarawan
terdahulu memandang ilmu dijaman itu, belum terbebaskan dari beban dogmatis dan
tahayul. Sementara sejarawan lainnya mencoba menunjukkan bahwa banyak fakta
dan prinsip pokok ilmu modern ditemukan pada waktu itu. Orang terpelajar dijaman
dulu tidak semuanya mencoba melaksanakan penelitian ilmiah. Filsafat alamiah dan
fakta-fakta khusus dipelajari terutama dalam hubungannya dalam agama juga untuk
menjelaskan teks-teks al kitab yang penuh kiasan.
Di antara ilmu dan agama pernah dibungkam secara aneh. Contohnya, teori
Darwin tentang seleksi alamnya. Dan orang akan ragu untuk berbicara lebih jauh.
13
Seperti yang begitu banyak dilakukan nenek moyang kita tentang apa-apa yang ragu
diantara ilmu dan agama. Sebagai hal yang tak terhindarkan. Memang benarlah
bahwa segelintir penulis pendukung masih merasa kesulitan untuk memutuskan isu-
isu seperti apakah eksistensi kehidupan pada dunia lain akan memerlukan penetapan
kembali adanya kejatuhan dalam dosa dan penebusan yang diajarkan agama.
Satu-satunya cabang ilmu yang masih mampu mendorong perdebatan teologis
dengan penuh semangat, sampai sekarang adalah ilmu-ilmu humaniora ketimbang
ilmu-ilmu alamiah. Implikasi-implikasi psikologi Freudian terhadap doktrin rahmat
dan kegunaan obat-obat bius yang menimbulkan khayalan untuk menghasilkan
pengalaman-pengalaman kuasi-mistik adalah topic-topik diskusi yang hangat dimasa
kini bukan lagi evolusi, astrofisika dan geologi histories.12
12
Jerome R Ravertz, Filsafat Ilmu, Pustaka Pelajar, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004). hal.18
14
bencana alam: Tsunami, gempa dan kacaunya iklim dan cuaca dunia akibat
pemanasan global yang disebabkan tingginya polusi industri di negara-negara maju;
Kehancuran ekosistem laut dan keracunan pada penduduk pantai akibat polusi yang
diihasilkan oleh pertambangan mineral emas, perak dan tembaga, seperti yang terjadi
di Buyat, Sulawesi Utara dan di Freeport Papua, Minamata Jepang. Kebocoran
reaktor Nuklir di Chernobil, Rusia, dan di India, dll. Krisis Ekonomi dan politik yang
terjadi di banyak negara berkembang dan negara miskin, terjadi akibat ketidakadilan
dan ’penjajahan’ (neo-imperialisme) oleh negara-negara maju yang menguasai
perekonomian dunia dan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Negara-negara yang berpenduduk mayoritas Muslim, saat ini pada umumnya
adalah negara-negara berkembang atau negara terkebelakang, yang lemah secara
ekonomi dan juga lemah atau tidak menguasai perkembangan ilmu pengetahuan dan
sains-teknologi. Karena nyatanya saudara-saudara Muslim kita itu banyak yang masih
bodoh dan lemah, maka mereka kehilangan harga diri dan kepercayaan dirinya.
Beberapa di antara mereka kemudian menjadi hamba budaya dan pengikut buta
kepentingan negara-negara Barat. Mereka menyerap begitu saja nilai-nilai, ideologi
dan budaya materialis (’matre’) dan sekular (anti Tuhan) yang dicekokkan melalui
kemajuan teknologi informasi dan media komunikasi Barat. Akibatnya krisis-krisis
sosial-moral dan kejiwaan pun menular kepada sebagian besar bangsa-bangsa
Muslim.
Kenyataan memprihatikan ini sangat ironis. Umat Islam yang mewarisi ajaran
suci Ilahiah dan peradaban dan Iptek Islam yang jaya di masa lalu, justru kini
terpuruk di negerinya sendiri, yang sebenarnya kaya sumber daya alamnya, namun
miskin kualitas sumberdaya manusianya (pendidikan dan Ipteknya). Ketidakadilan
global ini terlihat dari fakta bahwa 80% kekayaan dunia hanya dikuasai oleh 20 %
penduduk kaya di negara-negara maju. Sementara 80% penduduk dunia di negara-
negara miskin hanya memperebutkan remah-remah sisa makanan pesta pora bangsa-
bangsa negara maju.
Ironis bahwa Indonesia yang sangat kaya dengan sumber daya alam minyak
dan gas bumi, justru mengalami krisis dan kelangkaan BBM. Ironis bahwa ditengah
keberlimpahan hasil produksi gunung emas-perak dan tembaga serta kayu hasil hutan
yang ada di Indonesia, kita justru mengalami kesulitan dan krisis ekonomi, kelaparan,
busung lapar, dan berbagai penyakit akibat kemiskinan rakyat. Kemana harta
kekayaan kita yang Allah berikan kepada tanah air dan bangsa Indonesia ini?
Mengapa kita menjadi negara penghutang terbesar dan terkorup di dunia?
Kenyataan menyedihkan tersebut sudah selayaknya menjadi cambuk bagi kita
bangsa Indonesia yang mayoritas Muslim untuk gigih memperjuangkan kemandirian
politik, ekonomi dan moral bangsa dan umat. Kemandirian itu tidak bisa lain kecuali
dengan pembinaan mental-karakter dan moral (akhlak) bangsa-bangsa Islam
sekaligus menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang dilandasi keimanan-taqwa
kepada Allah SWT. Serta melawan pengaruh buruk budaya sampah dari Barat yang
Sekular, Matre dan hedonis (mempertuhankan kenikmatan hawa nafsu).
15
Akhlak yang baik muncul dari keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT
Sumber segala Kebaikan, Keindahan dan Kemuliaan. Keimanan dan ketaqwaan
kepada Allah SWT hanya akan muncul bila diawali dengan pemahaman ilmu
pengetahuan dan pengenalan terhadap Tuhan Allah SWT dan terhadap alam semesta
sebagai tajaliyat (manifestasi) sifat-sifat KeMahaMuliaan, Kekuasaan dan
Keagungan-Nya.
Islam, sebagai agama penyempurna dan paripurna bagi kemanusiaan, sangat
mendorong dan mementingkan umatnya untuk mempelajari, mengamati, memahami
dan merenungkan segala kejadian di alam semesta. Dengan kata lain Islam sangat
mementingkan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Berbeda dengan pandangan dunia Barat yang melandasi pengembangan
Ipteknya hanya untuk kepentingan duniawi yang ’matre’ dan sekular, maka Islam
mementingkan pengembangan dan penguasaan Iptek untuk menjadi sarana ibadah-
pengabdian Muslim kepada Allah SWT dan mengembang
amanat Khalifatullah (wakil/mandataris Allah) di muka bumi untuk berkhidmat
kepada kemanusiaan dan menyebarkan rahmat bagi seluruh alam (Rahmatan lil
’Alamin). Ada lebih dari 800 ayat dalam Al-Qur’an yang mementingkan proses
perenungan, pemikiran dan pengamatan terhadap berbagai gejala alam, untuk
ditafakuri dan menjadi bahan dzikir (ingat) kepada Allah. Yang paling terkenal
adalah ayat:
“ Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya
malam dan siang terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang berakal,
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam
keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi
(seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau ciptakan ini dengan sia-sia.
Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS Ali Imron [3] :
190-191)
“Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu
pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Mujadillah [58] : 11 )
Bagi umat Islam, kedua-duanya adalah merupakan ayat-ayat (atau tanda-
tanda/sinyal) Ke Maha Kuasaan dan Keagungan Allah
SWT. Ayat tanziliyah/naqliyah (yang diturunkan atau transmited knowledge), seperti
kitab-kitab suci dan ajaran para Rasulullah (Taurat, Zabur, Injil dan Al Qur’an),
maupun ayat-ayat kauniyah (fenomena, prinsip-prinsip dan hukum alam), keduanya
bila dibaca, dipelajari, diamati dan direnungkan, melalui mata, telinga dan hati (qalbu
+ akal) akan semakin mempertebal pengetahuan, pengenalan, keyakinan dan
keimanan kita kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa, Wujud yang wajib,
Sumber segala sesuatu dan segala eksistensi). Jadi agama dan ilmu pengetahuan,
dalam Islam tidak terlepas satu sama lain. Agama dan ilmu pengetahuan adalah dua
sisi koin dari satu mata uang koin yang sama. Keduanya saling membutuhkan, saling
menjelaskan dan saling memperkuat secara sinergis, holistik dan integratif.
Bila ada pemahaman atau tafsiran ajaran agama Islam yang menentang fakta-
fakta ilmiah, maka kemungkinan yang salah adalah pemahaman dan tafsiran terhadap
16
ajaran agama tersebut. Bila ada ’ilmu pengetahuan’ yang menentang prinsip-prinsip
pokok ajaran agama Islam maka yang salah adalah tafsiran filosofis atau paradigma
materialisme-sekular yang berada di balik wajah ilmu pengetahuan modern tersebut.
Karena alam semesta –yang dipelajari melalui ilmu pengetahuan–, dan ayat-
ayat suci Tuhan (Al-Qur’an) dan Sunnah Rasulullah SAAW — yang dipelajari
melalui agama– , adalah sama-sama ayat-ayat (tanda-tanda dan perwujudan/tajaliyat)
Allah SWT, maka tidak mungkin satu sama lain saling bertentangan dan bertolak
belakang, karena keduanya berasal dari satu Sumber yang Sama, Allah Yang Maha
Pencipta dan Pemelihara seluruh Alam Semesta.
Dalam membicarakan tentang iptek mulai dikaitkan dengan moral dan agama. Dalam
kaitan ini, keterkaitan iptek dengan moral (agama) diharapkan bukan hanya pada
aspek penggunaannya saja ( aksiologi), tapi juga pada pilihan objek (ontology) dan
metodologi(epistemology)nya sekaligus.
Dinegara ini gagasan tentang pendidikan imtak dan iptek sudah lama di
gulirkan seperti yang diterapkan BJ.Habibie karena adanya problem dikotomi antara
apa yang di namakan ilmu-ilmu umum(sains) dan ilmu-ilmiu agama (islam) juga
disebabkan adanya kenyataan bahwa pengembangan iptek dalam system pendidikan
di Indonesia tampaknya berjalan sendiri tanpa dukungan asas iman dan taqwa yang
kuat sehingga pengembangan dan kemajuan iptek tidak memiliki nilai tambah dan
manfaat untuk kemaslahatan umat dan bangsa.
Secara lebih spesifik integrasi pendidikan imtak dan iptek di perlukan karena
empat alasan :
Iptek akan memberikan berkah dan manfaat yang sangat besar bagi kesejahteraan
hidup manusia bila iptek disertai oleh asas iman dan taqwa kepada allah SWT.
Sebaliknya, tanpa asas imtak,iptek bias disalah gunakan pada tujuan-tujuan yang
bersifat destruktif (merusak)
Iptek yang menjadi dasar modernisme, telah menimbulkan pola dan gaya hidup baru
yang bersifat sekularistik,materialistic dan hedonistic yang sangat berlawanan dengan
nilai-nilai budaya dan agama yang di anut oleh bangsa Indonesia
Dalam kehidupan, manusia tidak hanya memerlukan sepotong roti (kebutuhan
jasmani), tetapi juga membutuhkan imtak dan nilai-nilai surgawi( kebutuhan
spiritual) oleh karena itu, penekanan pada salah satu sisi, akan menyebabkan
kehidupan menjadi pincangdan berat sebelah , dan menyalahi hipnat kebijaksanaan
tuhan yang telah menciptakan manusia dalam kesatuan jiwa raga, lahir dan batin,
dunia dan akhirat
Imtaq menjadi landasan dan dasa paling kuat yang akan mengantar manusia
menggapai kebahagiaan hidup.tanpa dasar imtak, segala atribut duniawi,seperti harta,
pangkat, ipte, dan keturunan, tidak akan mampu alias gagal mengantar manusia
meraih kebahagiaan. Kemajuan dalam semua itu, tanpa iman dan upaya mencari ridha
allah SWT, hanya akan menghasilkan fatamorgana yang tidak menjanjikan apa-apa
selain bayangan palsu (QS.an-nur 39 ) maka itegrasi imtak dan iptek harus di
upayakan dalam format yang tepat , sehingga keduanya berjalan seimbang dan dapat
17
mengantar manusia meraih kebaikan dunia (hasanah fi al-dunya) dan kebaikan
akhirat ( hasanah fi al-akhira).( QS Al-baqaraah:201).
a.Aqidah Islam Sebagai Dasar Iptek
Inilah peran pertama yang dimainkan Islam dalam iptek, yaitu aqidah Islam
harus dijadikan basis segala konsep dan aplikasi iptek. Inilah paradigma Islam
sebagaimana yang telah dibawa oleh Rasulullah SAW.
Paradigma Islam inilah yang seharusnya diadopsi oleh kaum muslimin saat
ini.Bukan paradigma sekuler seperti yang ada sekarang. Diakui atau tidak, kini umat
Islam telah telah terjerumus dalam sikap membebek dan mengekor Barat dalam
segala-galanya; dalam pandangan hidup, gaya hidup, termasuk dalam konsep ilmu
pengetahuan. Bercokolnya paradigma sekuler inilah yang bisa menjelaskan,mengapa
di dalam sistem pendidikan yang diikuti orang Islam, diajarkan system ekonomi
kapitalis yang pragmatis serta tidak kenal halal haram. Eksistensi paradigma sekuler
itu menjelaskan pula mengapa tetap diajarkan konsep pengetahuan yang bertentangan
dengan keyakinan dan keimanan muslim. Misalnya; Teori Darwin yang dusta dan
sekaligus bertolak belakang dengan Aqidah Islam. Bahwa manusia adalah hasil
evolusi dari organisme sederhana yang selama jutaan tahun berevolusi melalui seleksi
alam menjadi organisme yang lebih kompleks hingga menjadi manusia modern
sekarang.
Kekeliruan paradigmatis ini harus dikoreksi. Ini tentu perlu perubahan
fundamental dan perombakan total. Dengan cara mengganti paradigma sekuler
yangada saat ini, dengan paradigma Islam yang memandang bahwa Aqidah Islam
(bukan paham sekularisme) yang seharusnya dijadikan basis bagi bangunan ilmu
pengetahuan manusia.
Namun di sini perlu dipahami dengan seksama, bahwa ketika Aqidah Islam
dijadikan landasan iptek, bukan berarti konsep-konsep iptek harus bersumber dari Al-
Qur`an dan Al-Hadits, tapi maksudnya adalah konsep iptek harus distandardisasi
benar salahnya dengan tolok ukur Al-Qur`an dan Al-Hadits dan tidak boleh
bertentangan dengan keduanya (Al-Baghdadi, 1996:12).
Jika kita menjadikan Aqidah Islam sebagai landasan iptek, bukan berarti
bahwa ilmu astronomi, geologi, agronomi, dan seterusnya, harus didasarkan pada
ayat tertentu, atau hadis tertentu. Kalau pun ada ayat atau hadis yang cocok dengan
fakta sains, itu adalah bukti keluasan ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu(lihat
QS An-Nisaa` [4] :126 dan QS Ath-Thalaq [65] :12), bukan berarti konsep iptek
harus bersumber pada ayat atau hadis tertentu. Misalnya saja dalam astronomi ada
ayat yang menjelaskan bahwa matahari sebagai pancaran cahaya dan panas (QS Nuh
[71] : 16), bahwa langit (bahan alam semesta) berasal dari asap (gas) sedangkan
galaksi-galaksi tercipta dari kondensasi (pemekatan) gas tersebut (QS Fushshilat [41]
: 11-12), dan seterusnya. Ada sekitar 750 ayat dalam Al-Qur`an yang semacam ini
(Lihat Al-Baghdadi, 2005:113). Ayat-ayat ini menunjukkan betapa luasnya ilmu
Allah sehingga meliputi segala sesuatu, dan menjadi tolok ukur kesimpulan iptek,
bukan berarti bahwa konsep iptek wajib didasarkan pada ayat-ayat tertentu.
18
Jadi, yang dimaksud menjadikan Aqidah Islam sebagai landasan iptek
bukanlah bahwa konsep iptek wajib bersumber kepada Al-Qur`an dan Al-Hadits, tapi
yang dimaksud, bahwa iptek wajib berstandar pada Al-Qur`an dan Al-
Hadits.Ringkasnya, Al-Qur`an dan Al-Hadits adalah standar (miqyas) iptek, dan
bukannya sumber (mashdar) iptek. Artinya, apa pun konsep iptek yang
dikembangkan, harus sesuai dengan Al-Qur`an dan Al-Hadits, dan tidak boleh
bertentangan dengan Al-Qur`an dan Al-Hadits itu. Jika suatu konsep iptek
bertentangan dengan Al-Qur`an dan Al-Hadits, maka konsep itu berarti harus ditolak.
Misalnya saja Teori Darwin yang menyatakan bahwa manusia adalah hasil evolusi
dari organisme sederhana yang selama jutaan tahun berevolusi melalui seleksi alam
menjadi organisme yang lebih kompleks hingga menjadi manusia modern sekarang.
Berarti, manusia sekarang bukan keturunan manusia pertama, Nabi Adam AS, tapi
hasil dari evolusi organisme sederhana. Ini bertentangan dengan firman Allah SWT
yang menegaskan, Adam AS adalah manusia pertama, dan bahwa seluruh manusia
sekarang adalah keturunan Adam AS itu, bukan keturunan makhluk lainnya
sebagaimana fantasi Teori Darwin (Zallum, 2001). Firman Allah SWT (artinya) :
(Dialah Tuhan) yang memulai penciptaan manusia dari tanah, kemudian Dia
menciptakan keturunannya dari sari pati air yang hina (mani). (QS As-Sajdah[32] :
7)
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya
kamu saling kenal mengenal.(QS Al-Hujuraat [49] : 13)
Implikasi lain dari prinsip ini, yaitu Al-Qur`an dan Al-Hadits hanyalah standar
iptek, dan bukan sumber iptek, adalah bahwa umat Islam boleh mengambi iptek dari
sumber kaum non muslim (orang kafir). Dulu Nabi SAW menerapkan penggalian
parit di sekeliling Madinah, padahal strategi militer itu berasal dari tradisi kaum
Persia yang beragama Majusi. Dulu Nabi SAW juga pernah memerintahkan dua
sahabatnya memepelajari teknik persenjataan ke Yaman,padahal di Yaman dulu
penduduknya adalah Ahli Kitab (Kristen). Umar bin Khatab pernah mengambil
sistem administrasi dan pendataan Baitul Mal (Kas Negara),yang berasal dari
Romawi yang beragama Kristen. Jadi, selama tidak bertentangandengan aqidah dan
syariah Islam, iptek dapat diadopsi dari kaum kafir.Syariah Islam Standar
Pemanfaatan Iptek.
Peran kedua Islam dalam perkembangan iptek, adalah bahwa Syariah Islam
harus dijadikan standar pemanfaatan iptek. Ketentuan halal-haram (hukum-hukum
syariah Islam) wajib dijadikan tolok ukur dalam pemanfaatan iptek, bagaimana pun
juga bentuknya. Iptek yang boleh dimanfaatkan, adalah yang telah dihalalkan oleh
syariah Islam. Sedangkan iptek yang tidak boleh dimanfaatkan, adalah yang telah
diharamkan syariah Islam.
Keharusan tolok ukur syariah ini didasarkan pada banyak ayat dan juga hadits yang
mewajibkan umat Islam menyesuaikan perbuatannya (termasuk menggunakan iptek)
dengan ketentuan hukum Allah dan Rasul-Nya. Antara lain firman Allah (artinya) :
19
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga
mereka
menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka
perselisihkan (QS An-Nisaa` [4] : 65)
Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu
mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya (QS Al-A?raaf [7] : 3)
Sabda Rasulullah SAW :
Barangsiapa yang melakukan perbuatan yang tidak ada perintah kami atasnya,
maka perbuatan itu tertolak. (HR Muslim)
Kontras dengan ini, adalah apa yang ada di Barat sekarang dan juga negeri-
negeri muslim yang bertaqlid dan mengikuti Barat secara membabi buta. Standar
pemanfaatan iptek menurut mereka adalah manfaat, apakah itu dinamakan
pragmatisme atau pun utilitarianisme. Selama sesuatu itu bermanfaat,
yakni dapat memuaskan kebutuhan manusia, maka ia dianggap benar dan absah untuk
dilaksanakan. Meskipun itu diharamkan dalam ajaran agama.
Keberadaan standar manfaat itulah yang dapat menjelaskan, mengapa orang
Barat mengaplikasikan iptek secara tidak bermoral, tidak berperikemanusiaan, dan
bertentangan dengan nilai agama. Misalnya menggunakan bom atom untuk
membunuh ratusan ribu manusia tak berdosa, memanfaatkan bayi
tabung tanpa melihat moralitas (misalnya meletakkan embrio pada ibu pengganti),
mengkloning manusia (berarti manusia bereproduksi secara a-seksual, bukan
seksual), mengekploitasi alam secara serakah walaupun menimbulkan pencemaran
yang berbahaya, dan seterusnya.
Karena itu, sudah saatnya standar manfaat yang salah itu dikoreksi dan diganti
dengan standar yang benar. Yaitu standar yang bersumber dari pemilik segala ilmu
yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, yang amat mengetahui mana yang secara
hakiki bermanfaat bagi manusia, dan mana yang secara hakiki berbahaya bagi
manusia. Standar itu adalah segala perintah dan larangan Allah SWT yang bentuknya
secara praktis dan konkret adalah syariah Islam.
Setiap manusia diberi hidayah allah SWT berupa ‘’ Alat” untuk mencapai dan
membuka kebenaran. Hidayah tersebut adalahIndra, untuk menangkap kebenaran
fisikNaluri, untuk mempertahankan hidup dan kelangsungan hidup manusiasecara
pribadi ,aupun social. Pikiran dan atau kemampuan rasional yang mampu
mengmbangkan kemampuan tiga jenis pengetahuan akali (pengetahuan biasa,ilmiah
dan fisafih). Akal juga merupakan pengantar untuk menuju kebenaran tertinggi.
Imajinasi, daya hayal yang mampu menghasilkan kreativitas dan menyempurnakan
pengetahuannya
Hati nurani, suatu kemampuan manusia untuk dapat menangkap kebenaran
tingkah laku manusia sebagai makhluk yang harus bermoral
Dalam menghadapi perkembangan budaya,manusia dengan perkembangan
iptek yang pesat,perlu mencari keterkaitan antara sistem nilai dan norma-norma islam
dengan perkembangan tersebut.Menurut Mehdi Ghulsyani (1995),Menurut Al-Faruqi
yang mengintrodusir istilah. Al-Qur’an memberikan dalil yang berisi khikmah dan
20
kekuasaan-Nya bahwa Allah Maha Bijaksana dalam menciptakannya.13
Terjadi pemisahan agama dari ilmu pengetahuan sebagaimana tersebut di atas
terjadi pada abad pertengahan, yaitu pada saat umat islam kurang memperdulikan
(meninggalkan iptek). Pada masa itu yang berpengaruh di masyarakat Islam adalah
ulama tarikat dan ulama fiqih. Keduanya menanamkan paham taklid dan membatasi
kajian agama hanya dalam bidang yang sampai sekarang masih dikenal sebagai ilmu-
ilmu agama seperti tafsir, fiqih,dan tauhid. Ilmu tersebut mempunyai pendekatan
normatif dan tarekat, tarekat hanyaut dalam wirit dan dzikir dalam rangka
mensucikan jiwa dan mendekatkan diri pada Allah dengan menjauhkan kehidupan
duniawi.14
I. Definisi Agama
Dalam sosiologi agama, masalah bagaimana dan apa definisi agama berperan
besar dalam perkembangan disiplin ini secara keseluruhan. Secara umum, perdebatan
tentang definisi agama bisa dilihat dari berbagai sisi dasar konseptual. Misalnya, ada
perbedaan mendasar antara perspektif reduksionis dengan non-reduksionis. Perspektif
yang pertama cenderung melihat agama sebagai epifenomena, sebuah refleksi atau
ekspresi dari sisi yang lebih dasariah dan permanen yang ada dalam perilaku
individual dan masyarakat manusia. Penulis-penulis semacam Pareto, Lenin, Freud
13
zzudin Tafiq, Muhammad, Dalil Afaq Al-Qur’an Dan Alam Semesta (Memahami Ayat-Ayat
Penciptaan dan Syubhat, (Solo: PT. Tiga Serangkai, 2006). H.1
14
Ibrahim Hilal, Tasawuf Antara Agama Dan Filsafat, (Bandung: Pustaka Hidayah,2002). H.5
21
dan Engels memandang agama sebagai produk atau refleksi mental dari kepentingan
ekonomi, kepentingan biologis atau pengalaman ketertindasan kelas.
Implikasi pandangan reduksionis ini adalah kesimpulan yang mengatakan
keyakinan-keyakinan religius sama sekali keliru, karena yang diacu adalah kriteria-
kriteria saintifik atau positifistik. Oleh karena itu memegang keyakinan religius
adalah tindakan irrasional, karena yang dirujuk adalah kriteria logis pemikiran.
Implikasi terakhir reduksionisme kaum positifistik adalah bahwa agama dilihat
sebagai aktifitas kognitif nalar individual yang satu dan lain sebab telah salah kiprah
memahami hakikat kehidupan empiris dan sosial (Goode, 1951).
Salah satu definisi klasik agama yang muncul pada abad 19 adalah “definisi
minimum”-nya E.B. Tylor. Dia mengatakan agama sebagai “kepercayaan terhadap
hal-hal yang bersifat spiritual”. Agama lahir dari upaya para “filosof primitive” untuk
mengerti dan memahami pengalaman-pengalaman mental mereka. Kita dapat lihat
tipe definisi ini sangat individualistik, kognitif dan rasionalis, karena tidak khusus
diarahkan pada praktek atau symbol-simbol religius dalam kaitannya dengan
organisasi sosial, dan definisi semacam ini menerima kriteria sains-sains Barat
sebagai kebenaran yang tak bisa diganggu gugat dan satu-satunya landasan
rasionalitas.
Maka sejarah sosiologi agama bisa dipandang sebagai gerak teoritis yang
melepaskan diri dari reduksionisme positif menuju telaah yang lebih apresiatif
terhadap arti penting ritual religius dalam organisasi sosial dan menuju pada satu
kesadaran bahwa ternyata sains positifistik bukanlah alat ukur yang tepat untuk
menentukan rasionalitas agama. Dalam antropologi, perubahan perspektif ini sering
dikaitkan dengan pembuktian yang mengatakan bahwa “masyarakat primitive pun”
juga telah membedakan dengan jelas mana yang magis dan mana yang teknologis;
magis hanya berperan dalam situasi ketidakpastian dan bahaya (Malinowki, 1948).15
15
Bryan S. Turner, Agama&Teori Sosial, ( Yogyakart: Ijang Grafika, 2 006). Cet II hal, 415 – 416
22
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Muslim artinya orang yang telah berpasrah diri, dalam hal ini berpasrah
kepada Tuhan, tetapi dalam tingkatan manusia berkualitas, seorang yang baru pada
tingkat muslim berada pada tingkatan terendah. Sedangkan sains adalah pengetahuan
yang diperoleh melalui pembelajaran dan pembuktian atau pengetahuan yang
melingkupi suatu kebenaran umum dari hukum – hukum alam yang terjadi misalnya
didapatkan dan dibuktikan melalui metode ilmiah.
Sains merupakan produk dan proses yang tidak dapat dipisahkan, sains
sebagai proses merupakan langkah-langkah yang ditempuh para ilmuwan untuk
melakukan penyelidikan dalam rangka mencari penjelasan tentang gejala-gejala alam.
Langkah tersebut adalah merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, merancang
eksperimen, mengumpulkan data, menganalisis dan akhimya menyimpulkan.
Hubungan muslim dan sains merupakan hubungan organik antara sains,
ilmuwan, serta keismanan dan prakteknya. Di satu sisi, hubungan itu adalah antara
apa yang seorang individu persepsikan sebagai kewajiban pribadinya dan perannya
dalam memenuhi kewajiban komunal . Tetapi, hal ini bukan berarti tidak ada
ketegangan atau konflik di dalam ilmiah tradisi Islam.Pandangan Islam terhadap
semua sains apakah ilmiah atau sebaliknya melalui perspektif unik yang memiliki
kesatuan pengetahuan, arah, dan tujuan tertentu.
Sikap kaum Muslim terhadap sains terpecah menjadi tiga. Ada yang anti dan
menolak mentah-mentah, ada yang menelan bulat-bulat tanpa curiga sedikitpun, dan
ada yang menerima dengan penuh kewaspadaan. Sikap yang pertama maupun yang
kedua kurang tepat karena sama-sama ekstrim. Sikap yang paling bijak adalah
bersikap adil, pandai menghargai sesuatu dan meletakkannya pada tempatnya.
B. Saran
Tuhan Semesta Alam telah mewahyukan kepada manusia perihal ilmu
pengetahuan. Pengetahuan berasal dari Allah. Jika agama adalah jalan untuk menuju
Allah, Tuhan kita, sementara pengetahuan adalah karunia Allah kepada kita sebagai
Makhluk yang berpikir, maka bagaimana mungkin jalan menuju Allah dan karunia
dari Allah bisa bermusuhan? Karena itulah ilmu pengetahuan seharusnyaselalu
berjalan seiringan dangan agama. Agama seharusnya menjadi pedoman dalam setiap
kegiatan yang kita lakukan
23
DAFTAR PUSTAKA
Al-Imam al-Syaikh Ibrahim bin Ismail, Ta’lim al-Muta’allim, Semarang:
Pustaka al-Alawiyah,2002.
Atan Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum, Bandung:
CV.Pustaka Setia, 2008.
Lilis Fauziyah R.A. dan Andi Setyawan, Kebenaran al-Qur’an dan Hadits,
Solo: Tiga Serangkai, 2009.
Nasim Butt, Sains dan Masyarakat Islam (Diterjemahkan oleh Masdar Hilmy
dari Buku Science and Muslim Society), Bandung :Pustaka Hidayah, 2001.
24
zzudin Tafiq, Muhammad, Dalil Afaq Al-Qur’an Dan Alam Semesta
(Memahami Ayat-Ayat Penciptaan dan Syubhat, Solo: PT. Tiga Serangkai, 2006.
25