Anda di halaman 1dari 26

REFERAT

ILMU PENYAKIT DALAM

HEMOPTISIS

Pembimbing:

dr. Sri Sarwosih Indah Sp.P

Penyusun:

Bara Pawana Satya Nagara 20190420064

DEPARTEMEN PARU

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HANG TUAH

SURABAYA

2019
LEMBAR PENGESAHAN

Referat Ilmu Penyakit Dalam

“Hemoptisis”

Oleh
Bara Pawana Satya Nagara 20190420064

Referat “Hemoptisis ” ini telah diperiksa, disetujui, dan diterima


sebagai salah satu tugas dalam rangka menyelesaikan studi kepaniteraan
klinik di bagian Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Angkatan Laut Dr.
Ramelan Surabaya.

Surabaya, 24 Agustus 2019


Mengesahkan,
Dokter Pembimbing

dr. Sri Sarwosih Indah Sp.P

i
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ i


DAFTAR ISI ..................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................... 4
2.1 Definisi Hemoptisis ................................................................................ 4
2.2 Etiologi .................................................................................................. 5
2.3 Patofisiologi ....................................................................................... 7
2.4 Klasifikasi ........................................................................................... 9
2.5 Manifestasi Klinis ............................................................................. 10
2.6 Diagnosis ............................................................................................. 12
2.7 Penatalaksanaan ................................................................................. 15
2.8 Komplikasi ........................................................................................... 20
2.9 Prognosis ............................................................................................. 21
BAB III KESIMPULAN .................................................................................. 22
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 23

ii
DAFTAR TABEL

Tabel 1. 1 Perbedaan Batuk Darah Dengan Muntah Darah (Snell,2009) .... 11

1
BAB I
PENDAHULUAN

Batuk darah (Hemoptisis) dapat merupakan tanda atau gejala yang


muncul pada beberapa penyakit serius, walaupun jumlahnya sedikit.
Hemoptisis merupakan situasi emergensi dan sering kali merupakan reflex
seriusnya penyakit yang mendasari. Hemoptisis adalah darah atau dahak
bercampur darah yang dibatukkan yang berasal dari saluran pernafasan
bagian bawah (mulai glotis ke arah distal).Biasanya penderita menahan
batuk karena takut kehilangan darah yang lebih banyak sehingga
menyebabkan penyumbatan karena bekuan darah. Batuk darah pada
dasarnya akan berhenti sendiri asal tidak ada robekan
pembuluhdarah,berhenti sedikit-sedikit pada pengobatan penyakit
dasar.Batuk darah merupakan suatu gejala atau tanda suatu penyakit
infeksi. Volume darah yang dibatukkan bervariasi dan dahak bercampur
darah dalam jumlah minimal hingga masif, tergantung laju perdarahan dan
lokasi perdarahan. (Alsagaff,2009)
Batuk darah atau hemoptisis adalah ekspektorasi darah akibat
perdarahan pada saluran napas di bawah laring, atau perdarahan yang
keluar melalui saluran napas bawah laring. Batuk darah lebih sering
merupakan tanda atau gejala penyakit dasar sehingga etiologi harus dicari
melalui pemeriksaan yang lebih teliti. Batuk darah masif dapat
diklasifikasikan berdasarkan volume darah yang dikeluarkan pada periode
tertentu. Batuk darah masif memerlukan penanganan segera karena
dapat mengganggu pertukaran gas di paru dan dapat mengganggu
kestabilan hemodinamik penderita sehingga bila tidak ditangani dengan
baik dapat mengancam jiwa. (Alsagaff,2009)
Angka kejadian hemoptisis di klinik paru berkisar antara 10 sampai
15 persen dan untuk negara dengan angka kejadian tuberkulosis yang
tinggi merupakan penyebab terjadinya hemoptisis masif sebesar 20
persen. Sedangkan yang disebabkan oleh bronkiektasis sebesar 45
persen dan pada tumor sebesar 10 persen. (Price & Wilson, 2012)

2
Hemoptisis masif yang tidak diterapi mempunyai angka mortaliti
lebih dari 50% dan perlu dicari sumber perdarahannya sehingga terapi
definitif dapat dilakukan untuk menghentikan perdarahan. Hemoptisis
masif sering terjadi pada bronkiektasis, bekas tuberkulosis, karsinoma
bronkogenik, tuberkulosis aktif, kistik fibrosis,Artery-venous malformation
(AVM), bronkiektasis nontuberkulosis dan ditemukan pada kasus yang
jarang seperti lesi infiltratif peribronkial. Sebagian besar kasus hemoptisis
dapat diterapi secara konservatif namun pada kasus hemoptisis berat
diperlukan tindakan pembedahan. Pemeriksaan penunjang yang
diperlukan dalam tatalaksana hemoptisis masif adalah foto toraks,
Computed tomography scanning (CT-scan) dan bronkoskopi. (Swanson et
all, 2002)
Komplikasi yang sering terjadi adalah asfiksia, kehilangan darah
yang banyak dalam waktu singkat dan penyebaran penyakit ke jaringan
paru yang sehat. Batuk darah sendiri terkadang sulit didiagnosis, salah
satu faktor penyebabnya adalah akibat ketakutan pasien mengenai gejala
ini hingga terkadang pasien akan menahan batuknya,hal ini akan
memperburuk keadaan karena akan timbul penyulit. Oleh sebab itu
pengertian yang seksama mengenai hemoptisis diharapkan mampu
memberikan penatalaksanaan yang optimal pada penderita. (Price &
Wilson, 2012) (Arief,2009)

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Hemoptisis


Hemoptisis berasal dari bahasa Yunani yaitu “heima” yang berarti
darah dan “ptysis” yaitu perludahan. Batuk darah atau hemoptisis
didefinisikan sebagai ekspektorasi darah atau dahak berdarah berasal dari
saluran napas bawah pita suara apa bila berasal dari perdarahan dari
napas saluran atas tidak termasuk dalam definisi hemoptisis. (Jeudy et
all,2010)
Hemoptisis merupakan salah satu bentuk kegawatan paru yang
paling sering terjadi diantara bentuk-bentuk klinis lainnya. Tingkat
kegawatan dari hemoptisis ditentukan oleh 3 faktor:
a. Terjadinya asfiksia oleh karena terdapatnya bekuan darah di
dalam saluran pernapasan. Terjadinya asfiksia ini tidak
tergantung pada jumlah perdarahan yang terjadi, akan tetapi
ditentukan oleh reflek batuk yang berkurang atau terjadinya
efek psikis dimana pasien takut dengan perdarahan yang
terjadi.
b. Jumlah darah yang dikeluarkan selama terjadinya hemoptisis
dapat menimbulkan renjatan hipovolemik (hypovolemic
shock). Bila perdarahan yang terjadi cukup banyak, maka
hemoptisis tersebut digolongkan ke dalam hemoptisis masif
walaupun terdapat beberapa kriteria, antara lain:
1) Kriteria Yeoh (1965) menetapkan bahwa
hemoptisis masif terjadi apabila jumlah perdarahan
yang terjadi adalah sebesar 200 cc/24 jam.
2) Kriteria Sdeo (1976) menetapkan bahwa
hemoptisis masif terjadi apabila jumlah perdarahan
yang terjadi lebih dari 600 cc/24 jam.
c. Adanya pneumonia aspirasi, yaitu suatu infeksi yang terjadi
beberapa jam atau beberapa hari setelah perdarahan.

4
Keadaan ini merupakan keadaan yang gawat, oleh karena
baik bagian jalan napas maupun bagian fungsionil paru tidak
dapat berfungsi sebagaimana mestinya akibat terjadinya
obstruksi total.
(Pitoyo, 2012)

2.2 Etiologi
Penyebab dari batuk darah (hemoptoe) dapat dibagi atas :

1. Infeksi, terutama tuberkulosis, abses paru, pneumonia, dan


kaverne oleh karena jamur dan sebagainya.

2. Kardiovaskuler, stenosis mitralis dan aneurisma aorta.

3. Neoplasma, terutama karsinoma bronkogenik dan poliposis


bronkus.

4. Gangguan pada pembekuan darah (sistemik).

5. Benda asing di saluran pernapasan.

6. Faktor-faktor ekstrahepatik dan abses amuba. (Jeudy et all,2010)

Etiologi lain hemoptisis adalah sebagai berikut :

1. Batuk darah idiopatik

Batuk darah idiopatik adalah batuk darah yang tidak diketahui


penyebabnya, dengan insiden 0,5 sampai 58% . dimana perbandingan
antara pria dan wanita adalah 2:1. Biasanya terjadi pada umur 30-50
tahun kebanyakan 40-60 tahun dan berhenti spontan dengan suportif
terapi.

2. Batuk darah sekunder

Batuk darah sekunder adalah batuk darah yang diketahui penyebabnya.

a. Oleh karena keradangan, ditandai vaskularisasi arteri bronkiale >


4% (normal1%)

1) TB:batuk sedikit-sedikit, masif perdarahannya dan


bergumpal.

2) Bronkiektasis : bercampur purulen.

5
3) Abses paru : bercampur purulen.

4) Pneumonia : warna merah bata encer berbuih.

5) Bronkitis : sedikit-sedikit campur darah atau lendir.

b. Neoplasma

1) Karsinoma paru.

2) Adenoma.

c. Lain-lain

1) Trombo emboli paru – infark paru.

2) Mitral stenosis.

3) Kelainan kongenital aliran darah paru meningkat.

 ASD (Arterial Septal Defect)

 VSD (Ventricular Septal Defect)

4) Trauma dada. (Rani et all, 2012) (Ward, 2008)

Berdasarkan usia penderita :

1. Anak-anak dan remaja:

a. Bronkiektasis

b. Stenosis mitral

c. Tuberkulosis

2. Umur 20 – 40 tahun:

a. Tuberkulosis

b. Bronkiektasis

c. Stenosis mitral

3. Umur lebih dari 40 tahun:

a. Karsinoma bronkogen

b. Tuberkulosis

c. Bronkiektasis. (Snell,2009)

6
2.3 Patofisiologi
Setiap proses yang terjadi pada paru akan mengakibatkan
hipervaskularisasi dari cabang-cabang arteri bronkialis yang berperan
untuk memberikan nutrisi pada jaringan paru ,juga bila terjadi kegagalan
arteri pulmonalis dalam melaksanakan fungsinya untuk pertukaran gas.
(Pitoyo, 2011)
Mekanisme terjadinya batuk darah adalah sebagai berikut :
1. Batuk darah pada tuberculosis pada umumnya terjadi oleh karena:
a. Adanya Rasmussen’s aneurysm yang pecah.
Teori dimana terjadi perdarahan aneurisma dari
Rasmussen ini telah lama dianut, tetapi beberapa laporan otopsi
lebih membuktikan terdapat hipervaskularisasi bronkus yang
merupakan percabangan dari arteri bronkialis lebih banyak
merupakan asal dari perdarahan. Setelah berkembangnya
arteriografi dapat dibuktikan bahwa pada setiap proses paru
terjadi hipervaskularisasi dari cabang-cabang arteri bronkialis
yang berperan memberikan nutrisi pada jaringan paru bila
terdapat kegagalan arteri pulmonalis dalam melaksanakan
fungsinya untuk pertukaran gas. Oleh karena itu terdapatnya
Rasmussen aneurisma pada kaverna tuberculosis yang
merupakan asal perdarahan diragukan.
b. Adanya kekurangan protrombin yang disebabkan oleh toksemia
dari basil tuberkulosa yang menginfeksi parenkim paru.
2. Batuk darah pada karsinoma paru.
Terjadi oleh karena erosi permukaan tumor dalam lumen
bronkus atau berasal dari jaringan tumor yang mengalami nekrosis,
pecahnya pembuluh darah kecil pada area tumor atau invasi tumor ke
pembuluh darah pulmoner.
3. Batuk darah pada bronkiektasis:
a. Mukosa bronkus yang sembab mengalami infeksi dan trauma
batuk menyebabkan perdarahan.

7
b. Terjadi anastomose antara pembuluh darah bronchial dan
pulmonal dan juga terjadi aneurisma, bila pecah terjadi
perdarahan.
c. Pecahnya pembuluh darah dari jaringan granulasi pada dinding
bronkus yang mengalami ektasis.
4. Batuk darah pada bronchitis kronis:
Terjadi oleh karena mukosa yang sembab akibat radang,
terobek oleh mekanisme batuk.
5. Batuk darah pada abses paru:
Pada abses kronik dengan kavitas berdinding tebal yang sukar
menutup, maka pembuluh darah pada dinding tersebut mudah pecah
akibat trauma pada saat batuk.
6. Batuk darah pada mitral stenosis dan gagal jantung kiri akut:
a. Bila batuk darah ringan, perdarahan terjadi secara perdiapedesis,
karena tekanan dalam vena pulmonalis tinggi menyebabkan
rupture vena pulmonalis atau distensi kapiler sehingga butir darah
merah masuk ke alveoli.
b. Menurut ferguson, batuk darah terjadi karena pecahnya varises di
mukosa bronkus.
c. Pada otopsi ternyata ada anastomose vena pulmonalis dan vena
bronkialis yang hebat sehingga tampak seperti varises.
7. Batuk darah pada infark paru:
Pada infark paru karena adanya penutupan arteri, maka terjadi
anastomose. Selain itu juga terjadi reflek spasme dari vena di daerah
tersebut, akibatnya terjadi daerah nekrosis dimana butir-butir darah
masuk ke alveoli dan terjadi batuk darah.
8. Batuk darah pada Good Pasture syndrome:
Terjadi kelainan pada membrane basalis alveol kapiler yaitu
terbentuknya antibody to glomerular basement membrane (anti GBM
Ab) lebih spesifiknya kolagen tipe IV pada paru sehingga membuat
hilangnya keutuhan membranan basalis epithelial-endotelial dan

8
memudahkan masuknya sel darah merah dan netrofil masuk ke dalam
alveoli.
9. Batuk darah pada infeksi jamur:
Terjadi friksi pada pergerakan mycetoma dan terjadi pelepasan
antikoagulan serta enzim proteoitik yang menyerupai tripsin dari jamur.
10. Batuk darah pada batuk keras:
Sifat khas bahwa darah terletak di permukaan sputum, jadi tidak
bercampur di dalamnya.
a. Kelenjar getah bening yang mengapur, waktu batuk terjadi erosi
pada bronkus yang berdekatan.
b. Mungkin bronkolit yang ada pada saat batuk menggeser
lumennya.
c. Batuk yang keras dan berulang-ulang merobek mukosa bronkus.
11. Cedera dada
Akibat benturan dinding dada, maka jaringan paru akan
mengalami transudasi ke dalam alveoli dan keadaan ini akan memacu
terjadinya batuk darah. (Rani et all, 2012) (Ward, 2008)

2.4 Klasifikasi
Klasifikasi didasarkan pada perkiraan jumlah darah yang dibatukkan.
(Arief, 2009)
1. Bercak (Streaking) : <15-20 ml/24 jam
Yang sering terjadi darah bercampur dengan sputum. Umumnya pada
bronkitis.
2. Hemoptisis: 20-600 ml/24 jam
Hal ini berarti perdarahan pada pembuluh darh yang lebih besar.
Biasanya pada kanker paru, pneumonia, TB, atau emboli paru.
3. Hemoptisis massif : >600 ml/24 jam
Biasanya pada kanker paru, kavitas pada TB, atau bronkiektasis.
4. Pseudohemoptisis
Merupakan batuk darah dari struktur saluran napas bagian atas (di
atas laring) atau dari saluran cerna atas atau hal ini dapat berupa
perdarahan buatan (factitious).

9
Dalam menegakkan diagnosis dapat menemui kesulitan karena pada
hemoptisis selain terjadi vasokontriksi perifer, juga terjadi mobilisasi dari
depot darah, sehingga kadar Hb tidak selalu memberikan gambaran
besarnya perdarahan yang terjadi. Kriteria dari jumlah darah yang
dikeluarkan selama hemoptisis juga mempunyai kelemahan oleh karena:
a. Jumlah darah yang dikeluarkan bercampur dengan sputum dan
terkadang dengan cairan lambung, sehingga sukar untuk menentukan
jumlah darah yang hilang sesungguhnya.
b. Sebagian dari darah tertelan dan dikeluarkan, bersama-sama dengan
tinja, sehingga tidak ikut terhitung.
c. Sebagian dari darah masuk ke dalam paru-paru akibat aspirasi.
(Ward, 2008) (Snell, 2009)
Oleh karena itu suatu nilai kegawatan dari hemoptisis ditentukan oleh:
a. Apakah terjadi tanda-tanda hipotensi yang mengarah pada renjatan
atau shock hipovolemik.
b. Apakah terjadi obstruksi total maupun parsial dari bronkus yang dapat
dinilai dengan adanya iskemia miokardium, baik berupa gangguan
aritmia, gangguan mekanik jantung, maupun aliran darah serebral.
(Eddy,2010)
Bila terjadi hemoptisis, maka harus dilakukan penilaian terhadap:
a. Warna darah untuk membedakannya dengan hematemesis
b. Lamanya perdarahan
c. Terjadinya mengi (wheezing) untuk menilai besarnya obstruksi
d. Keadaan umum pasien, tekanan darah, nadi dan kesadaran.
(Osaki et all, 2013)

2.5 Manifestasi Klinis


Untuk mengetahui penyebab batuk darah kita harus memastikan
bahwa perdarahan tersebut berasal dari saluran pernafasan bawah, dan
bukan berasal dari nasofaring atau gastrointestinal. Dengan perkataan lain
bahwa penderita tersebut benar-benar batuk darahdan bukan muntah

10
darah. Maka dari itu dijelaskan pada tabel 1.1 perbedaan batuk darah
dengan muntah darah. (Nirwan,2009)

Tabel 1. 1 Perbedaan Batuk Darah Dengan Muntah Darah (Snell,2009)

No Keadaan Batuk Darah Muntah Darah

1 Prodromal Darah dibatukkan Darah dimuntahkan


dengan rasa panas di dengan rasa mual
tenggorokan (Stomach Distress)
2 Onset Darah dibatukkan, dapat Darah dimuntahkan,
disertai dengan muntah dapat disertai dengan
batuk
3 Tampilan Darah berbuih Darah tidak berbuih
4 Warna Merah segar Merah tua
5 Isi Lekosit, mikroorganisme, Sisa makanan
hemosiderin, makrofag
6 Ph Alkalis Asam
7 Riwayat Penyakit paru Peminum alkohol, ulcus
penyakit pepticum, kelainan
dahulu (RPD) hepar
8 Anemis Kadang tidak dijumpai Sering disertai anemis
9 Tinja Blood test (-) / Blood Test (+) /
Benzidine Test (-) Benzidine Test (+)

Kriteria batuk darah:


1. Batuk darah ringan (<25cc/24 jam).
2. Batuk darah berat (25-250cc/ 24 jam).
3. Batuk darah masif (batuk darah masif adalah batuk yang mengeluarkan
darah sedikitnya 600 ml dalam 24 jam). (Ward, 2008)

Kriteria yang paling banyak dipakai untuk hemoptisis masif yang


diajukan Busroh (1978) :

11
1. Apabila pasien mengalami batuk darah lebih dari 600 cc / 24 jam dan
dalam pengamatannya perdarahan tidak berhenti.
2. Apabila pasien mengalami batuk darah kurang dari 600 cc / 24 jam dan
tetapilebih dari 250 cc / 24 jam jam dengan kadar Hb kurang dari 10
g%, sedangkanbatuk darahnya masih terus berlangsung.
Apabila pasien mengalami batuk darah kurang dari 600 cc / 24 jam dan
tetapilebih dari 250 cc / 24 jam dengan kadar Hb kurang dari 10 g%,
tetapi selamapengamatan 48 jam yang disertai dengan perawatan
konservatif batuk darahtersebut tidak berhenti. (Snell, 2009)

2.6 Diagnosis
Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan gambaran radiologis. Untuk menegakkan diagnosis,
seperti halnya pada penyakit lain perlu dilakukan urutan-urutan dari
anamnesis yang teliti hingga pemeriksaan fisik maupun penunjang
sehinggapenanganannya dapat disesuaikan.( Rani et all, 2012)
1. Anamnesis
Hal-hal yang perlu ditanyakan dalam hal batuk darah adalah:
a. Jumlah dan warna darah yang dibatukkan.
b. Lamanya perdarahan.
c. Batuk yang diderita bersifat produktif atau tidak.
d. Batuk terjadi sebelum atau sesudah perdarahan.
e. Ada merasakan nyeri dada, nyeri substernal atau nyeri pleuritik.
f. Hubungannya perdarahan dengan : istirahat, gerakan fisik, posisi
badan dan batuk
g. Wheezing
h. Perdarahan di tempat lain bersamaan dengan batuk darah
i. Perokok berat dan telah berlangsung lama
j. Sakit pada tungkai atau adanya pembengkakan serta sakit dada
k. Hematuria yang disertai dengan batuk darah.
l. Riwayat penyakit paru atau jantung terdahulu. (Eddy,2010)

12
2. Pemeriksaan fisik
Untuk mengetahui perkiraan penyebab.
a. Panas merupakan tanda adanya peradangan.
b. Auskultasi :
1) Kemungkinan menonjolkan lokasi.
2) Ronchi menetap, whezing lokal, kemungkinan penyumbatan oleh :
Ca, bekuan darah.
c. Friction Rub : emboli paru atau infark paru
d. Clubbing finger : memberikan petunjuk kemungkinan keganasan
intratorakal dan supurasi intratorakal (abses paru, bronkiektasis).
(Rani et all,2012) (Ward,2008)

3. Pemeriksaan penunjang
a. Foto toraks dalam posisi PA dan lateral hendaklah dibuat pada
setiap penderita hemoptisis masif. Gambaran opasitas dapat
menunjukkan tempat perdarahannya. Pemeriksan foto thoraks
merupakan salah satu komponen penting dalam pemeriksaan untuk
mengetahui penyebab perdarahan terutama kelainan parenkim
paru, misalnya pemeriksaan dengan kaviti, tumor, infiltrat dan
atelektasis. Perdarahan intra-alveolar menimbulkan pola infiltrat
retikulonedular. Namun demikian gambaran foto thoraks bisa normal
ataupun tidak informatif. (Kosasih et all,2010)
b. Pemeriksaan bronkografi untuk mengetahui adanya bronkiektasis,
sebab sebagian penderita bronkiektasis sukar terlihat pada
pemeriksaan X-foto toraks. (Arief, 2009)
c. Pemeriksaan dahak baik secara bakteriologi maupun sitologi (bahan
dapat diambil dari dahak dengan pemeriksaan bronkoskopi atau
dahak langsung). (Arief, 2009)
Pemeriksaan sputum yang dapat dilakukan adalah untuk
pemeriksaan bakteri pewarnaan gram, basil tahan asam (BTA).
Pemeriksaan dahak sitologi dilakukan apabila penderita berusia >40

13
tahun dan perokok. Biakan kuman juga dapat dilakukan terutama
untuk BTA dan jamur. (Kosasih et all,2010)
d. Laboratorium
a. Pemeriksaan darah tepi lengkap
i. Peningkatan Hb dan Ht kehilangan darah yang akut
ii. Leukosit meningkat  infeksi
iii. Trombositopenia koagulopati
iv. Trombositosis  kanker paru
b. CT dan BT; PT dan APTT jika dicurigai adanya koagulopati atau
pasien menerima warfarain/heparin
c. Analisa gas darah arterial harus diukur jika pasien sesak yang
jelas dan sianosis. (Osaki et all, 2013)
e. Pemeriksaan bronkoskopi
Bronkoskopi dilakukan untuk menentukan sumber perdarahan
dan sekaligus untuk penghisapan darah yang keluar, supaya tidak
terjadi penyumbatan. Sebaiknya dilakukan sebelum perdarahan
berhenti, karena dengan demikian sumber perdarahan dapat
diketahui. (Swanson et all, 2002) (Arief, 2009)
Adapun indikasi bronkoskopi pada batuk darah adalah :
1) Bila radiologik tidak didapatkan kelainan
2) Batuk darah yang berulang
3) Batuk darah masif : sebagai tindakan terapeutik
Tindakan bronkoskopi merupakan sarana untuk menentukan
diagnosis, lokasiperdarahan, maupun persiapan operasi, namun
waktu yang tepat untukmelakukannya merupakan pendapat yang
masih kontroversial, mengingatbahwa selama masa perdarahan,
bronkoskopi akan menimbulkan batuk yanglebih impulsif, sehingga
dapat memperhebat perdarahan disampingmemperburuk fungsi
pernapasan. Lavase dengan bronkoskop fiberoptik dapatmenilai
bronkoskopi merupakan hal yang mutlak untuk menentukan
lokasiperdarahan. ( Swanson et all, 2002)

14
Dalam mencari sumber perdarahan pada lobus superior,
bronkoskop serat optikjauh lebih unggul, sedangkan bronkoskop
metal sangat bermanfaat dalammembersihkan jalan napas dari
bekuan darah serta mengambil benda asing,disamping itu dapat
melakukan penamponan dengan balon khusus di tempatterjadinya
perdarahan. ( Swanson et all, 2002)

2.7 Penatalaksanaan
Tujuan pokok terapi ialah:
1. Mencegah asfiksia.
2. Menghentikan perdarahan.
3. Mengobati penyebab utama perdarahan.
Langkah-langkah:
1. Pemantauan menunjang fungsi vital
a. Pemantauan dan tatalaksana hipotensi, anemia dan kolaps
kardiovaskuler.
b. Pemberian oksigen, cairan plasma expander dan darah
dipertimbangkan sejak awal.
c. Pasien dibimbing untuk batuk yang benar. (Snell, 2009)
2. Mencegah obstruksi saluran napas
a. Kepala pasien diarahkan ke bawah untuk cegah aspirasi.
b. Kadang memerlukan pengisapan darah, intubasi atau bahkan
bronkoskopi.
3. Menghentikan perdarahan
a. Pemasangan kateter balon oklusi forgarty untuk tamponade
perdarahan.
b. Teknik lain dengan embolisasi arteri bronkialis dan
pembedahan.
Sasaran-sasaran terapi yang utama adalah memberikan
support kardiopulmoner danmengendalikan perdarahan sambil
mencegah asfiksia yang merupakan penyebabutama kematian pada
para pasien dengan hemoptisis masif. (Pitoyo, 2012) (Snell, 2009)

15
Masalah utama dalam hemoptisis adalah terjadinya pembekuan
dalam saluran napas yang menyebabkan asfiksia. Bila terjadi afsiksi,
tingkat kegawatan hemoptisis paling tinggi dan menyebabkan
kegagalan organ yang multipel. Hemoptosis dalam jumlahkecil dengan
refleks batuk yang buruk dapat menyebabkan kematian. Dalam
jumlahbanyak dapat menimbukan renjatan hipovolemik. (Pitoyo, 2012)
(Snell, 2009)

Pada prinsipnya, terapi yang dapat dilakukan adalah :


1. Terapi konservatif
Dasar-dasarpengobatanyangdiberikan sebagai berikut :
a. Mencegah penyumbatan saluran nafas
Penderita yang masih mempunyai refleks batuk baik dapat
diletakkan dalam posisi duduk, atau setengah duduk dan disuruh
membatukkan darah yang terasa menyumbat saluran nafas.
Dapat dibantu dengan pengisapan darah dari jalan nafas dengan
alat pengisap. Jangan sekali-kali disuruh menahan batuk.
Penderita yang tidak mempunyai refleks batuk yang baik,
diletakkan dalam posisi tidur miring kesebelah dari mana diduga
asal perdarahan, dan sedikit trendelenburg untuk mencegah
aspirasi darah ke paru yang sehat. Kalau masih dapat penderita
disuruh batuk bila terasa ada darah di saluran nafas yang
menyumbat, sambil dilakukan pengisapan darah dengan alat
pengisap. Kalau perlu dapat dipasang tube endotrakeal. (Rani et
all, 2012)
Batuk-batuk yang terlalu banyak dapat mengakibatkan
perdarahan sukar berhenti. Untuk mengurangi batuk dapat
diberikan Codein 10 - 20 mg. Penderita batuk darah masif
biasanya gelisah dan ketakutan, sehingga kadang-kadang
berusaha menahan batuk. Untuk menenangkan penderita dapat
diberikan sedatif ringan (Valium) supaya penderita lebih
kooperatif.(Ward , 2009)

16
b. Memperbaiki keadaan umum penderita
Bila perlu dapat dilakukan :
1) Pemberian oksigen.
2) Pemberian cairan untuk hidrasi.
3) Tranfusi darah.
4) Memperbaiki keseimbangan asam dan basa.

c. Menghentikan perdarahan
Pada umumnya hemoptisis akan berhenti secara spontan. Di
dalam kepustakaan dikatakan hemoptisis rata-rata berhenti
dalam 7 hari. Pemberian kantongan es diatas dada, hemostatiks,
vasopresin (Pitrissin)., ascorbic acid dikatakan khasiatnya belum
jelas. Apabila ada kelainan didalam faktor-faktor pembekuan
darah, lebih baik memberikan faktor tersebut dengan infus.
Pemberian obat – obat penghenti perdarahan (obat – obat
hemostasis), misalnya vit. K, ion kalsium, trombin dan
karbazokrom.
Di beberapa rumah sakit masih memberikan Hemostatika
(Adona Decynone) intravena 3 - 4 x 100 mg/hari atau per oral.
Walaupun khasiatnya belum jelas, paling sedikit dapat memberi
ketenangan bagi pasien dan dokter yang merawat. (Snell, 2009)
d. Mengobati penyakit yang mendasarinya (underlying disease)
Pada penderita tuberkulosis, disamping pengobatan tersebut
diatas selalu diberikan secara bersama obat anti tuberkulosis.
Kalau perlu diberikan juga antibiotika yang sesuai.
2. Terapi pembedahan
Pembedahan merupakan terapi definitif pada penderita batuk darah
masif yang sumber perdarahannya telah diketahui dengan pasti,
fungsi paru adekuat, tidak ada kontraindikasi bedah. Reseksi bedah
segera pada tempat perdarahan merupakan pilihan. (Tabrani,
2010)
Tindakan operasi ini dilakukan atas pertimbangan:

17
a. Terjadinya hemoptisis masif yang mengancam kehidupan
pasien.
b. Pengalaman berbagai penyelidik menunjukkan bahwa angka
kematian padaperdarahan yang masif menurun dari 70%
menjadi 18% dengan tindakanoperasi. (Rani et all, 2012)
Etiologi dapat dihilangkan sehingga faktor penyebab
terjadinya hemoptisis yang berulang dapat dicegah.
Tindakan bedah meliputi: (Jeudy, 2010) (Kosasih, 2008)
1. Reseksi paru: lobektomi atau pneumonektomi
Reseksi paru ditujukan untuk membuang sisa-sisa kerusakan
akibat penyakit dasarnya. Macam reseksi:
- Pneumonektomi: reseksi satu paru seluruhnya
- Bilobektomi : reseksi dua lobus
- Lobektomi : reseksi satu lobus
- Wedgeresection: reseksi sebagian kecil jaringan paru
- Enukleasi : bila kelainan patologis kecil dan jinak
- Segmentektomi: reseksi segmen bronkopulmonal
Berdasarkan foto thoraks dan pemeriksaan faal paru,
luasnya operasi dapat ditentukan sebelum operasi.
Prinsipnya adalah mempertahankan sebanyak mungkin
jaringan paru yang dianggap sehat. Luas dan jenis lesi
(proses inflamasi, abses atau kavitas) menentukan jenis
reseksi yang akan dilaksanakan.
2. Terapi kolaps: pneumoperitoneum, pneumotoraks artifisia,
torakoplasti, frenikolisis (membuat paralise N. phrenicus).
Terapi kolaps bertujuan untuk mengistirahatkan bagian paru
yang sakit dengan cara membuat kolaps jaringan paru yang sakit
tersebut. Pendapat ini benar untuk kelainan berbentuk kavitas,
tetapi cara ini banyak ditinggalkan karena komplikasinya banyak.
Prosedur yang termasuk dalam kelompok terapi kolaps:
- Pneumotoraks artificial yaitu dengan memasukkan udara ke
rongga pleura kemudian secara bertahap ditambahkan udara

18
sehingga teracapai kolaps pada jaringan paru yang sakit.
Bila paru kolaps maka bagian tersebut dapat istirahat
sehingga mempercepat proses penyembuhan. Bila terdapat
adhesi dan paru tidak dapat kolaps dilakukan
intrapleuralpneumonolysis (operasi Jacoboes), tetapi sering
terjadi komplikasi perdarahan. Karena sering terjadi
empyema setelah pneumotorak artifisial, tindakan ini sudah
tidak dilakukan lagi.
- Pneumoperitoneum yaitu tindakan memasukkan udara ke
rongga peritoneum dengan tujuan menaikkan diafragma agar
terjadi kolaps pada jaringan paru dengan harapan lesi di
apikal akan menyembuh.
- Paralise nervus phrenicus yaitu dengan cara anestesi local
nervus phrenicus dibebaskan dari perlekatannya di M.
scalenus anterior, kemudian saraf dirusak (crushed)
sehingga timbul paralise diafragma. Akibatnya akan terjadi
elevasi diafragma dan diharapkan apeks paru dapat
diistirahatkan sehingga, terjadi proses penyembuhan.
- Torakoplasti yaitu suatu bentuk operasi dimana kolaps paru
terjadi dengan cara menghilangkan supporting framework-
nya, misalkan dengan membuang tulang iga dari dinding
dada. Indikasi torakoplasti:
Dulu: torakoplasti hamper selalu dilakukan setelah lobektomi
atau pneumonektomi dengan tujuan meminimalisasi
kemungkinan terjadinya over distensi parenkim paru yang
tersisa selain itu dead space akan segera menutup
(obliterasi) sehimgga resiko terbentuknya fistula
bronkopleural dan empyema dapat dikurangi.
Sekarang: kebutuhan torakoplasti diragukan dan dilakukan
bila direncanakan reseksi lebih dari 1 lobus atau mengatasi
komplikasi tindakan reseksi seperti fistula bronkopleura dan
empiema.

19
3. Lain-lain: embolisasi artifisial.
Embolisasi artifisial atau Bronchial Artery Embolization (BAE)
adalah penyuntikan gel foam atau polivinil alcohol melalui
katerisasi pada arteri bronkialis. Menurut Ingbar embolisasi
berhasil menghentikan perdarahan 95%. Dengan meningkatnya
penggunaan embolisasi arteriografi, sekarang penggunaan
tindakan pembedahan untuk pengelolaan batuk darah massif
mulai ditinggalkan.

2.8 Komplikasi
Komplikasi yang dapat mengancam jiwa penderita adalah asfiksia,
sufokasi dan kegagalan sirkulasi akibat kehilangan banyak darah dalam
waktu singkat. Komplikasi lain yang mungkin terjadi adalah penyebaran
penyakit ke sisi paru yang sehat dan atelektasis. Atelektasis dapat terjadi
karena sumbatan saluran napas sehingga paru bagian distal akan
mengalami kolaps dan terjadi atelektasis. Atelektasis dapat terjadi karena
sumbatan saluran napas sehingga paru bagian distal akan mengalami
kolaps dan terjadi atelektasis.(Kosasih, 2010)

Tingkat kegawatan dari batuk darah ditentukan oleh 3 faktor:


1. Terjadinya asfiksia karena adanya pembekuan darah dalam saluran
pernapasan. Pada dasarnya asfiksia tergantung dari:
a. Frekuensi batuk darah
b. Jumlah darah yang dikeluarkan
c. Kecemasan penderita
d. Siklus inspirasi
e. Reflek batuk yang buruk
f. Posisi penderita
2. Jumlah darah yang dikeluarkan selama terjadinya batuk darah dapat
menimbulkan syok hipovolemik. Bila jumlah perdarahan banyak maka
digolongkan dalam massive hemoptysis. Kriteria massive hemoptysis

20
menurut Yeoh adalah perdarahan 200 cc dalam 24 jam sedangkan
menurut Sdeo adalah perdarahan lebih dari 600 cc dalam 24 jam.
3. Aspirasi pneumonia
Yaitu infeksi yang terjadi beberapa jam atau beberapa hari setelah
perdarahan. Aspirasi adalah masuknya bekuan darah ke dalam
jaringan paru yang mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
a. Meliputi bagian yang luas dari paru
b. Terjadi pada bagian percabangan bronkus yang lebih kecil
c. Disamping perdarahan dapat pula disebabkan oleh masuknya
cairan lambung ke dalam paru karena penutupan glottis yang tidak
sempurna
d. Dapat diikuti sekunder infeksi.
Aspirasi pneumonia merupakan keadaan berat karena saluran
napas dan bagian fungsional paru tidak dapat berfungsi dengan baik.
(Pitoyo, 2011)

2.9 Prognosis
Pada hemoptosis idiopatik prognosisnya baik kecuali bila penderita
mengalami hemoptosis yang rekuren.(Rani et all, 2012) Sedangkan pada
hemoptisis sekunder ada beberapa faktor yang menentukan prognosis :
1. Tingkatan hemoptisis: hemoptisis yang terjadi pertama kali mempunyai
prognosis yang lebih baik.
2. Jenis penyakit dasar yang menyebabkan hemoptisis.
3. Cepatnya kita bertindak, misalnya bronkoskopi yang segera dilakukan
untuk menghisap darah yang beku di bronkus dapat menyelamatkan
penderita.
a. Hemoptisis <200ml/24jam prognosa baik
b. Profuse massive>600cc/24jamprognosa jelek 85% meninggal.
(Arief,2009) (Pitoyo, 2011)

21
BAB III
KESIMPULAN

1. Hemoptisis merupakan salah satu gejala pada penyakit paru saluran


pernapasan dan atau kardiovaskuler yang disebabkan oleh berbagai
macam etiologi.
2. Untuk mengetahui penyebab batuk darah kita harus memastikan
bahwa perdarahan tersebut berasal dari saluran pernafasan bawah,
dan bukan berasal dari nasofaring atau gastrointestinal.
3. Pada umumnya hemoptosis ringan tidak diperlukan perawatan khusus
dan biasanya berhenti sendiri. Yang perlu mendapat perhatian yaitu
hemoptisis yang masif.
4. Tujuan pokok terapi hemoptisis ialah mencegah asfiksia,
menghentikan perdarahan dan mengobati penyebab utama
perdarahan
5. Batuk darah lebih sering merupakan tanda atau gejala dari penyakit
dasar sehingga etiologi harus dicari melalui pemeriksaan yang lebih
teliti.
6. Pada prinsipnya penanganan hemoptisis ditujukan untuk memperbaiki
kondisi kardiopulmoner dan mencegah semua keadaan yang dapat
menyebabkan kematian. Penanganan tersebut dilakukan secara
konservatif maupun dengan operasi, tergantung indikasi serta berat
ringannya hemoptisis yang terjadi.
7. Prognosis dari hemoptisis ditentukan oleh tingkatan hemoptisis,
macam penyakit dasar dan cepatnya tindakan yang dilakukan.

22
DAFTAR PUSTAKA

Alsagaff, Hood. 2009. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya :


Airlangga University Press.

Arief,Nirwan. 2009. Kegawatdaruratan Paru. Jakarta: Departemen


Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UI.

Eddy, JB. Clinical assessment and management of massive hemoptysis.


Crit Care Med 2010; 28(5):1642-7

Jeudy J, Khan AR, Mohammed TL, et al. ACR Appropriateness Criteria


hemoptysis. J Thorac Imaging. 2010;25:67–9.
Kosasih A., Susanto AD., Pakki TR., Martini T., Diagnosis dan tatalaksana
kegawatdaruratan paru dalam praktek sehari-hari, Jakarta : Sagung Seto,
2008. Hal 1-15.

Osaki S, Nakanishi Y, Wataya H, Takayama K, Inoue K, Takaki Y, etal.


2013. Prognosis of bronchial artery embolization in the management of
hemoptysis. Respiration 67:412-6

Pitoyo CW. 2011. Hemoptisis. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,


Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku ajar ilmu penyakit dalam, jilid
II, edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

Price SA.Wilson LM. 2012.Patofisiologi Konsep Klinik Proses-proses


Penyakit ed.6, Jakarta: EGC.

Rani Aziz, Sugondo Sidartawan, Nasir Anna U.Z., Wijaya Ika Prasetya,
Nafrialdi, Mansyur Arif. 2012. Hemoptisis. Dalam: Panduan pelayanan
medik. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

Snell, SS. Thorak dalam buku anatomi klinik. Jakarta: EGC; 2009.Hal : 94-
95

Swanson KL, Johnson CM, Prakash UB, McKusick MA, Andrews JC,
Stanson AW.Bronchial artery embolization, experience with 54 patients.
Chest 2002; 121: 789-95.

Ward JPT, Ward J, Leach RM, Wiener CM. Tuberkulosis paru dalam buku
at a glance Sistem respirasi. Jakarta: Erlangga; 2008.hal.80-81.

23

Anda mungkin juga menyukai