PENDAHULUAN
1
pada tahun 2012 menurut data dari Departemen Kesehatan mencapai 14.449 jiwa.
Kasus CHF kebanyakan berada pada usia lebih dari 50 tahun. Sekitar 75 % pasien
yang dirawat dengan CHF berusia usia 65 – 75 tahun. Resiko kematian yang
diakibatkan oleh CHF adalah sekitar 5-10 % per tahun pada kasus gagal jantung.
Sebagian besar lansia yang didiagnosis menderita CHF tidak dapat hidup lebih
dari 5 tahun.2
Berdasarkan pada data tersebut, perlu dilakukan berbagai langkah agar
diperoleh tatalaksana yang adekuat bagi penderita gagal jantung kongestif jumlah
prevalensi dan insidensi kejadian serta kematian akibat penyakit ini dapat
menurun.
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Gagal jantung adalah ketidakmampuan jantung untuk memompakan darah
dalam jumlah yang memadai untuk memenuhi kebutuhan metabolik atau
kemampuan tersebut hanya dapat terjadi dengan tekanan pengisian jantung yang
tinggi, atau kedua – duanya.1 Gagal jantung merupakan suatu sindroma klinis
kompleks, yang disadari oleh ketidakmapuan jantung untuk memompakan darah
keseluruh jaringan tubuh secara adekuat, akibat adanya gangguan struktural dan
fungsional dari jantung.3 Gambaran sindroma klinis tersebut seperti:
1. Gejala gagal jantung seperti sesak napas saat istirahat atau aktivitas
berat, letih, bengkak pada pergelangan kaki dan lain-lain
2. Gejala khas gagal jantung seperti takikardi, takipneu, efusi pleura,
tekanan vena jugular yang meningkat, edema perifer dan lain-lain
3. Adanya bukti abnormalitas struktur dan fungsi jantung saat istirahat,
seperti kardiomegali, bising jantung dan lain-lain.3
Gagal jantung kongestif adalah gagal jantung yang disebabkan gagal pada
jantung kiri dalam jangka panjang yang diikuti dengan gagal pada jantung kanan,
demikian juga gagal jantung kanan dalam jangka oanjang yang diikuti gagal
jantung kiri, dan hal ini berlangsung pada saat yang sama.1
2.2. Epidemiologi
Gagal jantung kongestif adalah salah satu masalah kesehatan yang
prevalensinya terus meningkat, baik di Indonesia maupun di dunia secara
keseluruhan. Data dari WHIO memaparkan bahwa sebanyak 17,3 juta orang
meninggal akibat penyakit ini setiap tahunnya, mewakili 30% dari semua
kematian global. American Heart Association ( AHA ) melaporkan bahwa
sebanyak 5,7 juta penduduk Amerika Serikat menderita penyakit ini.1 Data – data
ini tidak jauh berbeda dengan data – data di Indonesia. Data Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) menyebut bahwa prevalensi penyakit jantung secara nasional
3
adalah 7,2% dengan jumlah penderita yang terdeteksi dan dirawta di rumah sakit
mencapai 14.449 orang, sebagian besar diderita pada kelompok usia diatas 50
tahun dan jumlah kematian akibat penyakit ini berada pada proporsi 4,6% dari
seluruh kematian serta sebagian penderita gagal jantung yang berada pada usia
lanjut mengalami kematian dalam 5 tahun.2
2.3. Etiologi
2.3.1. Aterosklerosis koroner
Mengakibatkan disfungsi miokardium karena terganggunya aliran
darah ke otot jantung. Terjadi hipoksia dan asidosis (akibat penumpukan
asam laktat). Infark miokardium (kematian sel jantung) biasanya
mendahului terjadinya gagal jantung. Peradangan dan penyakit miokardium
degeneratif, berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi yang secara
langsung merusak serabut jantung, menyebabkan kontraktilitas menurun.4
2.3.2. Hipertensi
Menyebabkan gagal jantung kongestif melalui mekanisme
disfungsi sistolik dan diastolik dari ventrikel kiri. Hipertrofi ventrikel kiri
menjadi predisposisi terjadinya infark miokard, aritmia atrium dan ventrikel
yang nantinya akan berujung pada gagal jantung kongestif.4
2.3.3. Konsumsi alkohol
Alkohol memiliki efek toksik terhadap jantung yang menyebabkan
atrial fibrilasi ataupun gagal jantung akut. Konsumsi alkohol dalam jangka
panjang menyebabkan dilated cardiomiopathy. Didapati 2-3% kasus gagal
jantung kongestif yang disebabkan oleh konsumsi alkohol jangka panjang. 4
2.3.4. Kelainan katup jantung
Dari beberapa kasus kelainan katup jantung, yang paling sering
menyebabkan gagal jantung kongestif ialah regurgitasi mitral. Regurgitasi
mitral meningkatkan preload sehingga terjadi peningkatan volume di
jantung. Peningkatan volume jantung memaksa jantung untuk berkontraksi
lebih kuat agar darah tersebut dapat didistribusi ke seluruh tubuh. Kondisi
ini jika berlangsung lama menyebabkan gagal jantung kongestif. 4
4
2.4. Patofiologi
Pada awal fase diastol pada jantung normal, katup mitral terbuka dan darah
mengalir dengan dari atrium kiri ke ventrikel kiri, sehingga ada perbedaan tekanan
di antara dua ruang tersebut namun tidak signifikan. Pada mitral stenosis, terjadi
sumbatan aliran darah pada katup mitral, sehingga pengosongan atrium kiri
terhambat dan ada tekanan gradien abnormal antara atrium kiri dan ventrikel kiri.
Akibatnya, tekanan atrium kiri lebih tinggi dari normal agar darah dapat didorong
melewati katup yang terhambat. Luas diameter katup mitral normal adalah 4 - 6
cm2. Mitral stenosis memberikan dampak secara hemodinamik ketika area
diameter katup berkurang menjadi < 2 cm. Meskipun tekanan ventrikel kiri
biasanya normal pada mitral stenosis, gangguan pengisian ke ventrikel melalui
katup mitral yang menyempit dapat mengurangi stroke volume dan cardiac
output.
Tekanan atrium kiri yang tingi pada mitral stenosis secara pasif
ditransmisikan ke sirkulasi paru yang mengakibatkan peningkatan tekanan vena
dan kapiler paru. Peningkatan tekanan hidrostatik dalam pembuluh darah paru ini
dapat menyebabkan transudasi plasma ke dalam interstitium paru dan alveoli.
Pasien akan mengalami sesak nafas dan gejala lain dari gagal jantung kongestif.
Pada kasus yang berat, tekanan vena paru yang meningkat menyebabkan
pembukaan pembuluh darah kolateral antara vena paru dan vena bronkial.
Seterusnya, tekanan pembuluh darah paru yang tinggi bisa mengakibatkan
pecahnya pembuluh darah bronkial ke parenkim paru, yang mengakibatkan batuk
darah.
Peningkatan tekanan atrium kiri pada mitral stenosis dapat menghasilkan dua
bentuk hipertensi pulmonal: pasif dan reaktif. Kebanyakan pasien mitral stenosis
mengalami hipertensi pulmonal pasif, yang terkait dengan aliran darah balik ke
pembuluh darah paru akibat tekanan LA yang meninggi. Sekitar 40% pasien
mitral stenosis menunjukkan hipertensi pulmonal reaktif dengan hipertrofi medial
dan fibrosis intimal dari arteriol paru. Hipertensi pulmonal reaktif menimbulkan
efek menguntungkan karena peningkatan tahanan arteriolar yang menghambat
aliran darah ke kapiler paru membesar dan dengan demikian mengurangi tekanan
5
hidrostatik kapiler. Namun, manfaat ini menyebabkan penurunan aliran darah
pada pembuluh darah paru dan peningkatan tekanan jantung kanan, yang
disebabkan pompa ventrikel kanan terhadap peningkatan tahanan. Peningkatan
kronis tekanan ventrikel kanan menyebabkan hipertrofi dan dilatasi ruang dan
akhirnya gagal jantung sisi kanan.
Peningkatan tekanan yang kronis dari atrium kiri pada mitral stenosis
menyebabkan pembesaran atrium kiri. Dilatasi atrium kiri meregangkan serat
konduksi atrium dan dapat mengganggu integritas sistem konduksi jantung,
sehingga menyebabkan fibrilasi atrial. Fibrilasi atrial menyebabkan penurunan
curah jantung karena denyut jantung yang meningkat menurunkan diastol. Hal
ini menyebabkan waktu pengaliran darah melalui katup mitral ke ventrikel kiri
menurun, dan pada waktu yang bersamaan tekanan atrium kiri meninkat.
Stagnasi relatif aliran darah pada atrium kiri yang dilatasi terutama bila
disertai dengan fibrilasi atrial, yang menjadi predisposisi pembentukan trombus
intra atrium. Tromboemboli ke organ perifer dapat terjadi yang mengarah pada
komplikasi seperti oklusi serebrovaskular (stroke). Maka pasien mitral stenosis
yang memiliki fibrilasi atrial membutuhkan tatalaksana antikoagulan
berkelanjutan.
6
Gambar 1. Patofisiologi Mitral Stenosis. Clinician Update: Current Evaluation and Management
of Patients With Mitral Stenosis. Page 1184. Rahimmtoola, Shahbudin, etc.
2.5. Klasifikasi
Klasifikasi gagal jantung dapat dibagi berdasarkan kelainan struktural
jantung atau berdasarkan gejala yang berkaitan dengan kapasitas fungsional.4
Tabel 2.1. Klasifikasi gagal jantung
Klasifikasi berdasarkan kelainan Kelainan berdasarkan
struktural jantung kapasitas fungsional (NYHA)
Stadium A Kelas I
Memiliki risiko tinggi untuk Tidak terdapat batasan dalam
berkembang menjadi gagal jantung. melakukan aktivitas fisik.
Tidak terdapat gangguan struktural atau Aktivitas fisik sehari-hari tidak
fungsional jantung, tidak terdapat tanda menimbulkan kelelahan,
atau gejala. palpitasi, atau sesak napas.
Stadium B Kelas II
Telah terbentuk penyakit struktur Terdapat batasan aktivitas ringan.
7
jantung yang berhubungan dengan Tidak terdapat keluhan saat
perkembangan gagal jantung, istirahat, namun aktivitas fisik
tidakterdapat tanda atau gejala. sehari-hari menimbulkan
kelelahan, palpitasi, atau sesak
napas.
Stadium C Kelas III
Gagal jantung yang simptomatik Terdapat batasan aktivitas
berhubungan dengan penyakit bermakna. Tidak terdapat
struktural jantung yang mendasari. keluhan saat istirahat, tetapi
aktivitas fisik ringan
menyebabkan kelelahan,
palpitasi, atau sesak napas.
Stadium D Kelas IV
Penyakit jantung struktural lanjut serta Tidak dapat melakukan aktivitas
gejala gagal jantung yang sangat fisik tanpa keluhan. Terdapat
bermakna saat istirahat walaupun sudah gejala saat istirahat. Keluhan
mendapat terapi medis maksimal meningkat saat melakukan
(refrakter). aktivitas.
Sumber: Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, 2015.
Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung.
8
Cepat lelah Bising jantung
Bengkak di pergelangan kaki
Kurang tipikal Kurang tipikal
Batuk di malam atau dini hari Edema perifer
Mengi Krepitasi pulmonal
Berat badan bertambah lebih Suara pekak di basal paru
dari 2 kilogram per minggu pada perkusi
Berat badan turun (gagal Takikardia
jantung stadium lanjut) Nadi ireguler
Perasaan kembung atau begah Napas cepat
Nafsu makan menurun Hepatomegali
Perasaan bingung (terutama Asites
pasien usia lanjut) Kaheksia
Depresi
Berdebar
Pingsan
Sumber: Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, 2015. Pedoman
Tatalaksana Gagal Jantung.
2.7. Diagnosis
Diagnosis dapat dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
elektrokardiografi, foto toraks, ekokardiografi Doppler, ekokardiografi
transesofagus dan ekokardiografi beban.4 Kriteria Framingham dapat pula
dipakai untuk diagnosis gagal jantung kongestif.
Kriteria Mayor
Paroksismal nocturnal dyspnea
Distensi vena leher
Ronki paru
Kardiomegali
Edema paru akut
9
Gallop S3
Peninggian tekanan vena jugularis
Refluks hepatojugular
Kriteria minor
Edema ekstremitas
Batuk malam hari
Dyspnea d’effort
Hepatomegali
Efusi pleura
Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
Takikardia (>120 kali per menit)
Mayor atau minor
Penurunan berat badan >4,5 kilogram dalam 5 hari pengobatan.
Diagnosis gagal jantung dapat ditegakkan jika terdapat minimal 1 kriteria
mayor dan 2 kriteria minor.4
2. 7. 1 Elektrokardiografi (EKG)
Pemeriksaan elektrokardiogram harus dikerjakan pada semua
pasien diduga gagal jantung. Abnormalitas EKG sering dijumpai pada
gagal jantung. Abnormalitas EKG memiliki nilai prediktif yang kecil dalam
mendiagnosis gagal jantung, jika EKG normal, diagnosis gagal jantung
khususnya dengan disfungsi sistolik sangat kecil (< 10%).4
Tabel 2.3. Abnormalitas EKG yang umum dijumpai pada gagal jantung
Abnormalitas Penyebab Implikasi Klinis
Sinus takikardia Gagal jantung Penilaian klinis
dekompensasi, anemia, Pemeriksaan
demam, hipertroidisme laboratorium
Sinus Obat penyekat β, anti Evaluasi terapi obat
bradikardia aritmia, hipotiroidisme, Pemeriksaan
sindroma sinus sakit laboratorium
10
Atrial Hipertiroidisme, infeksi, Perlambat konduksi AV,
takikardia/futer/ gagal jantung konversi medik,
fibrilasi dekompensasi, infark elektroversi, ablasi
miokard kateter, antikoagulasi
Aritmia Iskemia, infark, Pemeriksaan
ventrikel kardiomiopati, laboratorium, tes latihan
miokardits, hipokalemia, beban, pemeriksaan
hipomagnesemia, perfusi, angiografi
overdosis digitalis koroner, ICD
Iskemia/infark Penyakit jantung koroner Ekokardiografi, troponin,
Angiografiikoroner,
revaskularisasi
Gelombang Q Infark, kardiomiopati Ekokardiografi,
hipertrofi, LBBB, angiografii koroner
preeksitasi
Hipertrofi Hipertensi, penyakit Ekokardiografi, doppler
ventrikel kiri katup aorta,
kardiomiopati hipertrofi
Blok Infark miokard, Evaluasi penggunaan
atrioventrikular Intoksikasi obat, obat, pacu jantung,
miokarditis, sarkoidosis, penyakit sistemik
Penyakit Lyme
Mikrovoltase Obesitas, emfisema, efusi Ekokardiograf, rontgen
perikard, amiloidosis toraks
Durasi QRS > Disinkroni elektrik dan Ekokardiograf, CRT-P,
0,12 detik mekanik CRT-D
dengan
morfologi LBBB
11
LBBB = Lef Bundle Branch Block; ICD = Implantable Cardioverter
Defbrillator CRT-P = Cardiac Resynchronizaton Therapy-PACEImaker;
CRT-D = Cardiac Resynchronizaton Therapy-Defbrillator
Sumber: Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, 2015. Pedoman
Tatalaksana Gagal Jantung.
2. 7. 2 Foto toraks
Merupakan komponen penting dalam diagnosis gagal jantung. Rontgen
toraks dapat mendeteksi kardiomegali, kongesti paru, efusi pleura dan dapat
mendeteksi penyakit atau infeksi paru yang menyebabkan atau memperberat sesak
napas. Kardiomegali dapat tidak ditemukan pada gagal jantung akut dan kronik.4
Tabel 2.4. Abnormalitas foto toraks yang umum ditemukan pada gagal jantung
12
peningkatan tekanan nonkardiak
pengisian jika efusi (jika efusi
bilateral banyak)
Infeksi paru, pasca
bedah/ keganasan
Garis Kerley B Peningkatan tekanan Mitral stenosis/gagal
Limfatik jantung kronik
Area paru Emboli paru atau Pemeriksaan CT,
hiperlusen emfisema Spirometri,
ekokardiografi
Infeksi paru Pneumonia sekunder Tatalaksana kedua
akibat penyakit:
kongesti paru gagal jantung dan
infeksi paru
Infiltrat paru Penyakit sistemik Pemeriksaan
diagnostik lanjutan
Sumber: ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and
chronic heart failure 2008
2. 7. 3 Ekokardiografi
Istilah ekokardiograf digunakan untuk semua teknik pencitraan ultrasound
jantung termasuk pulsed and continuous wave Doppler, colour Doppler dan tissue
Doppler imaging (TDI). Konfirmasi diagnosis gagal jantung dan/atau disfungsi
jantung dengan pemeriksaan ekokardiografi adalah keharusan dan dilakukan
secepatnya pada pasien dengan dugaan gagal jantung. Pengukuran fungsi
ventrikel untuk membedakan antara pasien disfungsi sistolik dengan pasien
dengan fungsi sistolik normal adalah fraksi ejeksi ventrikel kiri (normal > 45 -
50%).4
Pada gambaran ekokardiografi normal, didapatkan ukuran area katup
mitral 4 – 6 cm2. Pada mitral stenosis derajat ringan, ukuran area katup mitral < 2
cm2, derajat sedang 1,1 – 1,5 cm2, dan derajat berat < 1 cm2. Diagnosis gagal
13
jantung dengan fraksi ejeksi normal (HFPEF/ heart failurewith preserved ejection
fraction)
Ekokardiografi mempunyai peran penting dalam mendiagnosis
gagaljantung dengan fraksi ejeksi normal. Diagnosis harus memenuhi tigakriteria:
1. Terdapat tanda dan/atau gejala gagal jantung
2. Fungsi sistolik ventrikel kiri normal atau hanya sedikitterganggu (fraksi
ejeksi > 45 - 50%)
3. Terdapat bukti disfungsi diastolik (relaksasi ventrikel kiriabnormal /
kekakuan diastolik)
Ekokardiografi transesofagus
Direkomendasikan pada pasien dengan ekokardiografi transtorakal tidak
adekuat (obesitas, pasien dengan ventlator), pasien dengan kelainan katup,
pasien endokardits, penyakit jantung bawaan atau untuk mengeksklusi
trombus di left atrial appendage pada pasien fibrilasi atrial.4
Ekokardiografi beban
Ekokardiografi beban (dobutamin atau latihan) digunakan untuk mendeteksi
disfungsi ventrikel yang disebabkan oleh iskemia dan menilai viabilitas
miokard pada keadaan hipokinesis atau akinesis berat.4
Tabel 2.5. Abnormalitas ekokardiografik yang sering dijumpai pada gagal jantung
Pengukuran Abnormalitas Implikasi Klinis
Fraksi ejeksi Menurun (< 40 %) Disfungsi sistolik
ventrikel kiri
Fungsi ventrikel Akinesis, hipokinesis, Infark/iskemia
kiri, diskinesis miokard,
global dan fokal kardiomiopati,
miokardits
Diameter akhir Meningkat (> 55 mm) Volume berlebih,
diastolik sangat
(End-diastolik mungkin gagal
diameter = EDD) jantung
14
Diameter akhir Meningkat (> 45 mm) Volume berlebih,
sistolik sangat
(End-systolic mungkin disfungsi
diameter = ESD) sistolik
Fractonal Menurun (< 25%) Disfungsi sistolik
shortening
Ukuran atrium Meningkat (> 40 mm) Peningkatan tekanan
kiri pengisian, disfungsi
katup mitral, fibrilasi
atrial
Ketebalan Hipertrofi (> 11-12 mm) Hipertensi, stenosis
ventrikel aorta,
kiri kardiomiopati
hipertrofi
Struktur dan Stenosis atau Mungkin penyebab
fungsi regurgitasi katup primer atau sebagai
katup (terutama stenosis aorta komplikasi gagal
dan insufsiensi mitral) jantung, nilai gradien
dan fraksi regurgitan,
nilai konsekuensi
hemodinamik,
pertimbangkan
operasi
Profil aliran Abnormalitas pola Menunjukkan
diastolik pengisian diastolik dini disfungsi
mitral dan lanjut diastolik
dankemungkinan
mekanismenya
15
Kecepatan Meningkat (> 3 m/detk) Peningkatan tekanan
puncak sistolik ventrikel
regurgitasi kanan,
trikuspid curiga hipertensi
pulmonal
Profil Perikardium Efusi, hemoperikardium, Pertimbangkan
mitral Penebalan perikardium tamponade jantung,
Perika uremia, keganasan,
penyakit sistemik,
perikarditis akut atau
kronik,perikarditis
konstriktif
Aortic outlow Menurun (< 15 cm) Isi sekuncup rendah
velocity time integral atau berkurang
atau
Profil Vena cava Dilatasi Retrograde flow Peningkatan tekanan
inferior atrium
mitral kanan,disfungsi
ventrikel kanan,
kongesti hepatik
Konges
Sumber: ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and
chronic heart failure 2008
16
tekanan dinding ventrikel. Peptida natriuretic mempunyai waktu paruh yang
panjang, penurunan tiba- tiba tekanan dinding ventrikel tidak langsung
menurunkan kadar peptide natriuretik. 4
2.8. Penatalaksanaan
2. 8. 1 Tatalaksana farmakologi
Tujuan diagnosis dan terapi gagal jantung yaitu untuk mengurangi
morbiditas dan mortalitas. Tindakan preventif dan pencegahan perburukan
penyakit jantung tetap merupakan bagian penting dalam tata laksana penyakit
jantung.4
Tabel 2.6. Tujuan pengobatan gagal jantung
17
Timbul kembali gejala dan akumulasi
cairan
Rawat inap
Sumber: ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and
chronic heart failure 2008
18
Penyekat β
Kecuali kontraindikasi, penyekat β harus diberikan pada semua
pasien gagal jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %.
Penyekat β memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup,
mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung,
dan meningkatkan kelangsungan hidup.4
Tabel 2.8. Cara pemakaian penyekat beta
Beta- First dose Increments Target dose Titration
blocker (mg) (mg.day) (mg.day) period
Bisoprolol 1,25 2,5; 3,75; 5; 10 Minggu-
7,5; 10 Bulan
Metoprolol 5 10; 15; 30; 150 Minggu-
suksinat 50; 75; 100 Bulan
CR
Carvendilol 12,5/25 25; 50; 100; 200 Minggu-
200 Bulan
Nebivolol 3,125 6,25; 12,5; 50 Minggu-
25; 50 Bulan
Sumber: Ghanie, A., 2014. Gagal Jantung Kronik.
Antagonis aldosterone
Kecuali kontraindikasi, penambahan obat antagonis aldosteron
dosis kecil harus dipertimbangkan pada semua pasien dengan fraksi
ejeksi ≤ 35 % dan gagal jantung simtomatik berat (kelas fungsional III -
IV NYHA) tanpa hiperkalemia dan gangguan fungsi ginjal berat.
Antagonis aldosteron mengurangi perawatan rumah sakit karena
perburukan gagal jantung dan meningkatkan kelangsungan hidup.4
Angiotensin receptor blockers (ARB)
Kecuali kontraindikasi, ARB direkomendasikan pada pasien gagal
jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % yang tetap
simtomatik walaupun sudah diberikan ACEI dan penyekat β dosis
19
optimal, kecuali juga mendapat antagonis aldosteron. Terapi dengan
ARB memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi
angka perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung ARB
direkomedasikan sebagai alternatif pada pasien intoleran ACEI. Pada
pasien ini, ARB mengurangi angka kematian karena penyebab
kardiovaskular.4
Hydralazine dan isosorbide dinitrate (H-ISDN)
Pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40
%, kombinasi H-ISDN digunakan sebagai alternatif jika pasien
intoleran terhadap ACEI dan ARB.4
Digoksin
Pada pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrial, digoksin dapat
digunakan untuk memperlambat laju ventrikel yang cepat, walaupun
obat lain (seperti penyekat beta) lebih diutamakan. Pada pasien gagal
jantung simtomatik, fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % dengan irama
sinus, digoksin dapat mengurangi gejala, menurunkan angka
perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung,tetapi tidak
mempunyai efek terhadap angkakelangsungan hidup.4
Diuretik
Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan
tanda klinis atau gejala kongesti. Tujuan dari pemberian diuretik
adalah untuk mencapai status euvolemia (kering dan hangat) dengan
dosis yang serendah mungkin, yaitu harus diatur sesuai kebutuhan
pasien, untuk menghindari dehidrasi atau resistensi.4
2. 8. 2 Tatalaksana non-farmakologi
Manajemen perawatan mandiri
Manajemen perawatan mandiri mempunyai peran dalam
keberhasilan pengobatan gagal jantung dan dapat memberi dampak
bermakna perbaikan gejala gagal jantung, kapasitas fungsional, kualitas
hidup, morbiditas dan prognosis. Manajemen perawatan mandiri dapat
20
didefinisikan sebagai tindakan-tindakan yang bertujuan untuk menjaga
stabilitas fisik, menghindari perilaku yang dapat memperburuk kondisi
dan mendeteksi gejala awal perburukan gagal jantung.4
Ketaatan pasien berobat
Ketaatan pasien berobat menurunkan morbiditas, mortalitas dan
kualitas hidup pasien. Berdasarkan literatur, hanya 20 - 60% pasien yang
taat pada terapi farmakologi maupun non-farmakologi.4
Pemantauan berat badan mandiri
Pasien harus memantau berat badan rutin setap hari, jika terdapat
kenaikan berat badan > 2 kg dalam 3 hari, pasien harus menaikan dosis
diuretik atas pertimbangan dokter.4
Asupan cairan
Restriksi cairan 1,5 - 2 Liter/hari dipertimbangkan terutama pada
pasien dengan gejala berat yang disertai hiponatremia. Restriksi cairan
rutin pada semua pasien dengan gejala ringan sampai sedang tidak
memberikan keuntungan klinis.4
Pengurangan berat badan
Pengurangan berat badan pasien obesitas (IMT > 30 kg/m2)
dengan gagal jantung dipertimbangkan untuk mencegah perburukan
gagal jantung, mengurangi gejala dan meningkatkan kualitas hidup.4
Kehilangan berat badan tanpa rencana
Malnutrisi klinis atau subklinis umum dijumpai pada gagal jantung
berat. Kaheksia jantung (cardiac cachexia) merupakan prediktor
penurunan angka kelangsungan hidup. Jika selama 6 bulan terakhir berat
badan > 6 % dari berat badan stabil sebelumnya tanpa disertai retensi
cairan, pasien didefinisikan sebagai kaheksia. Status nutrisi pasien harus
dihitung dengan hati-hati.4
Latihan fisik
Latihan fisik direkomendasikan kepada semua pasien gagal jantung
kronik stabil. Program latihan fisik memberikan efek yang sama baik
dikerjakan di rumah sakit atau di rumah.4
21
2.9. Prognosis
Gagal jantung kongestif umumnya adalah penyakit progresif dengan
periodestabilitas diselingi oleh eksaserbasi klinis episodik. Faktor yang
terlibat dalam menentukan prognosis untuk pasien meliputi sifat dari
penyakit jantung yang mendasarinya, respon terhadap obat, sejauh mana
sistem organ lain yang terlibat dan tingkat keparahan kondisi lain yang
menyertainya.4
22
batuk darah (hemoptisis).
Peningkatan tekanan atrium kiri pada mitral stenosis dapat menghasilkan
dua bentuk hipertensi pulmonal: pasif dan reaktif. Kebanyakan pasien mitral
stenosis mengalami hipertensi pulmonal pasif, yang terkait dengan backflow ke
pembuluh darah paru akibat dari tekanan LA yang meninggi. Sekitar 40% pasien
mitral stenosis menunjukkan hipertensi pulmonal reaktif dengan hipertrofi medial
dan fibrosis intimal dari arteriol paru. Hipertensi pulmonal reaktif menimbulkan
efek menguntungkan karena peningkatan tahanan arteriolar yang menghambat
aliran darah ke kapiler paru membesar dan dengan demikian mengurangi tekanan
hidrostatik kapiler. Namun, manfaat ini menyebabkan penurunan aliran darah
pada pembuluh darah paru dan peningkatan tekanan jantung kanan, yang
disebabkan pompa ventrikel kanan terhadap peningkatan tahanan. Peningkatan
kronis tekanan ventrikel kanan menyebabkan hipertrofi dan dilatasi ruang dan
akhirnya gagal jantung sisi kanan.
Peningkatan tekanan yang berkepanjangan dari LA pada mitral stenosis
menyebabkan pembesaran atrium kiri. Dilatasi atrium kiri dapat meregangkan
serat konduksi atrium dan dapat mengganggu integritas sistem konduksi jantung,
sehingga menyebabkan fibrilasi atrial. Fibrilasi atrial menyebabkan penurunan
curah jantung karena denyut jantung yang meningkat menurunkan diastole. Hal
ini menyebabkan waktu pengaliran darah melalui katup mitral ke LV menurun,
dan pada waktu yang bersamaan tekanan atrium kiri meningkat.
Stagnasi relatif aliran darah pada LA yang dilatasi terutama bila disertai
dengan fibrilasi atrial, predisposisi pembentukan trombus intra atrium.
Tromboemboli ke organ perifer dapat terjadi yang mengarah pada komplikasi
seperti oklusi serebrovaskular (stroke). Maka pasien mitral stenosis yang
memiliki fibrilasi atrial membutuhkan tatalaksana antikoagulan berkelanjutan.5
23
BAB 3
STATUS ORANG SAKIT
Kepaniteraan Klinik RSUP H. Adam Malik
Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Medan 2016
ANAMNESIS
Autoanamnesis Alloanamnesis
24
tenggorokan berulang semasa kecil disangkal.Riwayat nyeri sendi berulang
disangkal.
Faktor Risiko PJK : diabetes melitus, hipertensi, riwayat PJK dalam keluarga
Riwayat Penyakit Terdahulu : CHF ec MS, hipertensi, DM Tipe II
Riwayat Pemakaian Obat : Furosemid, Spironolakton, Digoksin, Bisoprolol
Status Presens :
KU: Lemah Sianosis : (-)
Kesadaran : CM Ortopnu : (+)
TD : 130/80 mmHg Dispnu : (+)
HR: 88 x/i Ikterus (-)
RR : 22 x/i Edema : (-)
Suhu : 36,50C Pucat : (-)
Pemeriksaan Fisik :
Kepala : Konjungtiva palpebra inferior anemis (-/-) / sklera ikterik (-/-)
Leher : Trakea medial, TVJ R+ 2
Dinding thoraks : Inspeksi : simetris fusiformis
Palpasi : stem fremitus kanan = kiri, iktus kordis teraba ICS V
Perkusi : sonor pada kedua lapangan paru
Batas jantung : Atas : ICS II, LMCS
Bawah : Diafragma
Kanan : ICS IV LPSD
Kiri : ICS IV 1 cm medial LMCS
Auskultasi
Jantung : S1(+), S2(+), S3(-), S4 (-) Ireguler
Murmur : (+), Tipe: MDM, Grade II/4
Punctum Maximum : - Radiasi : -
Paru : Suara pernafasan : Vesikuler
Suara tambahan : (-/-) Wheezing : (-/-)
25
Abdomen : Palpasi Hepar/Lien : Tidak teraba
Asites : (-)
Ekstremitas : Superior : Sianosis (-) Clubbing : (-/-)
Inferior : Edema (-) Pulsasi arteri : (+/+)
Akral : Hangat
26
Gambar 3.1. Hasil EKG
Intepretasi Rekaman EKG
27
Irama : Atrial Fibrilation
Rate : v : 90x/i
Gelombang P : sulit dinilai
Interval PR :0,86 detik
Kompleks QRS : sulit dinilai
Segmen ST : Depresi di lead II, III, aVL, V2-V6
Gelombang T : sulit dinilai
Interval QT : sulit dinilai
Kesan EKG
AF NVR + Iskemik inferoanterolateral
28
29
Intepretasi Foto Thoraks
CTR : 56%
Segmen Aorta : normal
Kostofrenikus : normal (lancip)
Segmen Pulmonal : Normal
Pinggang Jantung : Mendatar
Apeks : Downward
Kongestif : -
Infiltrat : -
Kesan Foto Thoraks
Kardiomegali
Hasil laboratorium
Darah Lengkap
Hb : 12,4 g/dl
RBC : 3,94 x 106/µl
WBC : 8,440 / µl
Trombosit : 339.000/µl
Ht: 36%
LED: 5 mm/jam
N/L/M/E/B: 62,6/28,2/8,6/0,1/0,5
Faal Hemostasis
PT: 75,0 detik
INR: 5,36
aPTT: 68
TT: 20,9 detik
Ginjal
BUN /Ur/Cr : 36/77/1,09
Elektrolit
Na/K/Cl : 126/6,2/90
30
Metabolisme Karbohidrat
KGD ad random : 212 mg/Dl
KGD 2 Jam PP : 299 mg/dL
Hb-A1c : 7,5%
Lemak
Kolesterol total: 109 mg/dL
Trigliserida: 170 mg/dL
HDL: 26 mg/dL
LDL: 53 mg/dL
Diagnosis Kerja : CHF Fc III ec MS + DM Tipe II + AF NVR
1. Fungsional : CHF Fc III
2. Anatomi : Mitral Valve
3. Etiologi : Mitral Stenosis
Differensial Diagnosa :
Edema paru
COPD
Pneumonia
Diseksi aorta
Pengobatan :
Bedrest
O2 2-4L/i nasal canule
IVFD NaCl 0,9% 10gtt/i mikro
Tab Furosemid 1 x 40 mg
Tab Spironolakton 1 x 25 mg
Tab Bisoprolol 1 x 2,5 mg
Tab Simarc 1 x 2 mg
Inj Hemalog mix 10 – 0 – 10
31
Rencana pemeriksaan Lanjutan :
EKG 12 lead per hari
KGD Puasa, 2 jam PP per hari
RFT
Elektrolit
32
BAB 4
FOLLOW UP PASIEN
Tanggal S O A P
31/10/2016 Sesak Vital Sign -CHF fc II ec -Bed rest
10.00 napas Sensorium : CM MS -02 2-4 l/i
(+) TD: 130/80 mmHg -AF NVR -IVFD NaCL
HR:88 x/i -DM Tipe II 0,9% 10gtt/i
RR:22 x/i (micro)
Temp : 36 ͦ C -Furosemid 1x40
Pem. Fisik mg
Kepala : mata : anemis (-/-), -Spironolakton
ikterik (-/-) 1x25mg
Leher : TVJ : R+2cmH2O -Bisoprolol 1x2,5
Thoraks : mg
Cor : S1S2 N, murmur (+) -Simarc 1x2mg
MDM 2/4 di apex, LLSB
Pulmo : SP : vesikuler, ST :
(-)
Abdomen : soepel, BU(+)N
Ekstremitas : akral hangat,
oedem pretibial (-)
EKG: AF NVR
Pem. Lab
Darah Lengkap
Hb: 12,6 g/dl
RBC:4,28 juta/mil
WBC:10,680/mil
Ht: 38%
PLT:251.000/mil
33
Kimia Klinik
GDS: 299mg/dl
BUN:12mg/dl
Ureum :26mg/dl
Kreatinin:1,20mg/dl
Na :143mEq/l
K:3,3 mEq/l
Cl:98 mEq/l
34
1/11/2016 -Sesak Vital Sign -CHF fc II ec -Bed rest
06.00 napas Sensorium : CM MS -02 2-4 l/i
(+) TD: 120/70mmHg -AF NVR -IVFD NaCL
HR: 80x/i -DM Tipe II 0,9% 10gtt/i
RR: 30x/i (micro)
Pem. Fisik -Furosemid 1x40
Kepala : mata : anemis (-/-), mg
ikterik (-/-) -Spironolakton
Leher : TVJ : R+2cmH2O 1x25mg
Thoraks : -Bisoprolol 1x2,5
Cor : S1S2 (+) N, murmur(+) mg
MDM 2/4 di apex, LLSB -Simarc 1x2mg
Pulmo : SP : vesikuler, ST :
(-)
Abdomen : soepel, BU(+)N
Ekstremitas : akral hangat
oedema pretibial (-/-)
Pem. Lab
Kimia Klinik
GDP: 212mg/dl
GD 2 jam PP :275mg/dl
HbA1C:7,5%
Kolestrol Total: 109mg/dl
Trigliserida:170mg/dl
HDL:26mg/dl
LDL: 53mg/dl
35
2/11/2016 -Sesak Vital Sign -CHF fc II ec -Bed rest
06.00 napas Sensorium : CM MS -02 2-4 l/i
(+) TD: 120/70mmHg -AF NVR -IVFD NaCL
HR: 66x/i -DM Tipe II 0,9% 10gtt/i
RR: 20x/i (micro)
Temp :37,0 ͦ C -Furosemid 1x40
Pem. Fisik mg
Kepala : mata : anemis (-/-), -Spironolakton
ikterik (-/-) 1x25mg
Leher : TVJ : R+2cmH2O -Bisoprolol 1x2,5
Thoraks : mg
Cor : S1S2 (+) N, murmur(+) -Simarc 1x2mg
MDM 2/4 di apex, LLSB, -Inj Humalog mix
gallop (-) 10 – 0 – 10
Pulmo : SP : vesikuler, ST :
(-)
Abdomen : soepel, BU(+)N,
H/L/R ttb
Ekstremitas : akral hangat,
oedema pretibial (-/-)
Pem. Lab
Darah Lengkap
Hb: 12,4 g/dl
RBC:3,94 juta/mil
WBC:8,440/mil
Ht: 36%
PLT:339.000/mil
36
Kimia Klinik
GDS: 279mg/dl
BUN: 36mg/dl
Ureum : 77mg/dl
Kreatinin:1,09mg/dl
Na :126 mEq/l
K: 6,2 mEq/l
Cl:90 mEq/l
37
4/11/2016 --Sesak Vital Sign - CHF fc II ec -Bed rest
06.00 napas Sensorium : CM MS -Tab Aptor
(-) TD:90/70mmHg -AF NVR 1x100mg
HR: 60x/i -DM Tipe II - Clopidogrel
RR: 20x/i 1x75mg
Temp : 37,0 ͦ C -Bisoprolol
Pem. Fisik 1x2,5 mg
Kepala : mata : anemis (-/-), -Simarc 1x2mg
ikterik (-/-) - Spironolakton
Leher : TVJ : R+2cmH2O 1x25mg
Thoraks : -Inj Humalog mix
Cor : S1S2 (+) reguler, 10 – 0 – 10
murmur (-), gallop (-) -Furosemid 1x40
Pulmo : SP : vesikuler, ST : mg
(-) 1x10mg
Abdomen : soepel, BU(+)N, R/ EKG pagi
H/L/R ttb
Ekstremitas : akral hangat,
oedema pretibial (-/-)
38
BAB 5
DISKUSI KASUS
TEORI KASUS
Definisi
Gagal jantung merupakan Seorang perempuan, 51 tahun, menikah
suatu sindroma klinis kompleks, yang datang dengan keluhan sesak. Hal ini
disadari oleh ketidakmapuan jantung dialami pasien sejak 25 tahun yang lalu.
untuk memompakan darah keseluruh Sesak terasa seperti diremas-remas,
jaringan tubuh secara adekuat, akibat muncul secara tiba-tiba, memberat saat
adanya gangguan struktural dan beraktivitas berat. Pasien merasa sesak
fungsional dari jantung.3 Gambaran nafas lebih berat ketika berbaring dan
sindroma klinis tersebut seperti: sesak nafas berkurang jika posisi tubuh
1.Gejala gagal jantung seperti sesak setengah duduk dan kepala diganjal
napas saat istirahat atau aktivitas dengan bantal. Durasi sesak nafas ± 15
berat, letih, bengkak pada pergelangan menit, dan berlangsung 2 – 3 kali sehari.
kaki dan lain-lain. Pasien juga mengeluh sering terbangun
2. Gejala khas gagal jantung seperti di malam hari karena sesak nafas. Pasien
takikardi, takipneu, efusi pleura, pernah mengalami bengkak pada kedua
tekanan vena jugular yang meningkat, kaki. Namun pasien mengaku sudah
edema perifer dan lain-lain tidak mengalami lagi sekarang.
3. Adanya bukti abnormalitas struktur
dan fungsi jantung saat istirahat,
seperti kardiomegali, bising jantung
dan lain-lain.3
Etiologi
Aterosklerosis koroner Pada kasus:
Mengakibatkan disfungsi miokardium Pasien mempunyai faktor resiko PJK
karena terganggunya aliran darah ke seperti hipertensi, DM, dislipidemia, dan
otot jantung. Terjadi hipoksia dan pasien memiliki kedua orang tua dengan
39
asidosis (akibat penumpukan asam riwayat penyakit jantung koroner.Pasien
laktat). Infark miokardium (kematian menderita penyakit darah tinggi sejak
sel jantung) biasanya mendahului usia 20 tahun dengan tekanan darah
terjadinya gagal jantung. Peradangan tertinggi 150/90 mmHg. Pasien
dan penyakit miokardium degeneratif, mengkonsumsi obat tekanan darah
berhubungan dengan gagal jantung tinggi secara teratur dalam 2 bulan ini.
karena kondisi yang secara langsung
merusak serabut jantung,
menyebabkan kontraktilitas menurun.4
Hipertensi
Menyebabkan gagal jantung kongestif
melalui mekanisme disfungsi sistolik
dan diastolik dari ventrikel kiri.
Hipertrofi ventrikel kiri menjadi
predisposisi terjadinya infark miokard,
aritmia atrium dan ventrikel yang
nantinya akan berujung pada gagal
jantung kongestif.
Diagnosa
Kriteria Framingham dapat pula Pasien mengeluh sering terbangun di
dipakai untuk diagnosis gagal jantung malam hari karena sesak nafas. (PND)
kongestif.6 Kardiomegali (+) dengan CTR 56%.
Kriteria Mayor TVJ R+2cm H2O, S1(+), S2(+), S3(+),
Paroksismal nocturnal dyspnea S4 (+) Ireguler
Distensi vena leher Paien mengeluh sesak terasa seperti
Ronki paru diremas-remas, muncul secara tiba-tiba,
40
Peninggian tekanan vena jugularis
Refluks hepatojugular
Kriteria minor
Edema ekstremitas
Batuk malam hari
Dyspnea d’effort
Hepatomegali
Efusi pleura
Penurunan kapasitas vital 1/3 dari
normal
Takikardia (>120 kali per menit)
41
Kesan EKG
AF NVR + Iskemik
inferoanterolateral
Penatalaksanaan
Pengobatan CHF pada prinsipnya Bedrest
berupa : O2 2-4L/i nasal canule
1. Oksigenase IVFD NaCl 0,9% 10gtt/i mikro
2.Diuretik jika terdapat tanda kongesti Medicamentosa:
3.ACE-inhibitor/ARB (jika tidak Tab Furosemid 1 x 40 mg
tertoleransi) Tab Spironolakton 1 x 25 mg
4. B-blocker Tab Bisoprolol 1 x 2,5 mg
5. Digoksin diberikan pada gagal
Tab Simarc 1 x 2 mg
jantung kanan dengan fibrilasi atrial
Inj Hemalog mix 10 – 0 – 10
6.ISDN digunakan jika intoleran
terhadap ACE-I dan ARB
42
BAB 6
KESIMPULAN
43
DAFTAR PUSTAKA
1. Sitompul, B., and Sugeng, J. I., 2014.Gagal Jantung. In: Rilantono, L. I.,
Baraas, F., Karokaro, S., and Roebiono, P. S.,. (eds). Buku Ajar
Kardiologi. Jakarta: Interna Publishing, 115-128
2. Gray. H. H., Dawkins, K. D., Simpson, I. A., and Morgan, J. M., 2014.
Lecture Notes: Kardiologi. 4th ed. Jakarta: Erlangga.
3. Panggabean, M.M., 2014. Gagal Jantung. In: Setiati, S., Alwi, I., Sudoyo,
A.W., Simadibrata, M.,Setyohadi, B., and Syam, A.F. (eds). Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam.Jakarta: Interna Publishing, 1132-1135.
4. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Pedoman
Tatalaksana Gagal Jantung, 2015.
5. Lilly, L.S., 2011. Pathophysiology of Heart Disease.Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins.
.
44