Anda di halaman 1dari 41

LAPORAN KASUS

“APPENDISITIS AKUT”

Pembimbimg :
dr. Winoto hardjolukito, Sp.B

Disusun oleh :
Farkhan Reza Sulaeman (2014730029)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA CEMPAKA PUTIH
PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2019
KATA PENGANTAR

Assalammu’alaikum wr wb,
Dengan memanjatkan puja dan puji syukur ke hadirat Allah SWT Tuhan
Yang Maha Esa karena atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya kami dapat
menyelesaikan penulisan laporan kasus mengenai Prolonged Fever
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan
arahan demi terselesaikannya laporan kasus ini khususnya kepada dr. XXX, Sp.B
selaku pembimbing laporan kasus.
Kami sangat menyadari dalam proses penulisan laporan kasus ini masih jauh
dari kesempurnaan baik materi maupun metode penulisan. Namun demikian, kami
telah mengupayakan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki. Kami
dengan rendah hati dan dengan tangan terbuka menerima segala bentuk masukan,
saran dan usulan guna menyempurnakan laporan kasus ini.
Kami berharap semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi siapapun
yang membacanya.
Wassalammu’alaikum wr wb.

Jakarta, Agustus 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..............................................................................................i


DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii

BAB I STATUS PASIEN ........................................................................................3


1.1. Identitas Pasien..............................................................................................3
1.2. Anamnesis .....................................................................................................3
1.3. Pemeriksaan Fisik .........................................................................................4
1.5. Pemeriksaan Penunjang ................................................................................6
1.6. Resume ..........................................................................................................7
1.7. Diagnosis Kerja .............................................................................................7
1.8. Tatalaksana....................................................................................................7
1.9. Prognosis .......................................................................................................8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................10


2.1. Anatomi Apendiks ......................................................................................10
2.2. Fisiologi Appendiks ....................................................................................12
2.3. Histologi ......................................................................................................12
2.4. Definisi Appendisitis Akut..........................................................................13
2.5. Epidemiologi ............................................................................................... 14
2.6. Etiologi ........................................................................................................14
2.7. Klasifikasi/Tipe ...........................................................................................16
2.8. Patofisiologi ................................................................................................ 18
1.9. Manifestasi Klinis .......................................................................................20
1.10. Diagnosis .....................................................................................................22
1.11. Diagnosis Bandiug ......................................................................................30
1.12. Komplikasi ..................................................................................................32
1.13. Tatalaksana..................................................................................................32
1.14. Prognosis .....................................................................................................39

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................40

ii
BAB I
STATUS PASIEN

1.1. Identitas Pasien


Nama Pasien : Tn.S
Usia Pasien : 44 tahun
Alamat Pasien : Pulo Kecil, Sunter Jaya RT02/09, Kel. Sunter Jaya, Kec.
Tanjung Priok, Kota Jakarta Utara, Prov. DKI Jakarta
Agama Pasien : Islam
Suku Bangsa : jawa
Pendidikan : S1
Pekerjaan : PNS
Status Pernikahan : Menikah

1.2. Anamnesis
Keluhan Utama
Nyeri perut kanan bawah sejak 3 hari SMRS.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSIJ Cempaka Putih dengan keluhan nyeri perut kanan
bawah sejak 3 hari SMRS. Awalnya nyeri dirasakan di ulu hati lalu berpindah ke perut
kanan bawah. Nyeri yang dirasakan tajam seperti ditusuk jarum dan hilang timbul
sepanjang hari. Nyeri bertambah parah ketika pasien hendak bangun dari tempat tidur
ataupun batuk dan membaik ketika pasien diam dan beristirahat. Pasien merasakan nyeri
dengan skala 6 dari 10. Pasien juga mengeluhkan adanya mual dan muntah setelah mulai
merasa nyeri. Sejak timbulnya gejala, nafsu makan pasien berkurang. 2 hari SMRS pasien
mengalami demam. Pasien menyangkal mengalami sulit atau nyeri saat BAK ataupun
gangguan pola BAB. Tidak ada riwayat penurunan berat badan drastis dalam beberapa
bulan terakhir.
Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat Diabetes Mellitus : disangkal
- Riwayat Hipertensi : disangkal
- Riwayat penyakit jantung : disangkal
- Riwayat asma : disangkal
- Riwayat operasi : disangkal
- Riwayat kelainan organ tubuh sejak lahir : disangkal
- Riwayat ikterik pada tubuh : disangkal
Penyakit Keluarga
Tidak ada riwayat penyakit keluarga.
Riwayat Pengobatan
Pasien belum berobat untuk keluhannya saat ini.
Riwayat Alergi
Tidak ada riwayat alergi obat, makanan, cairan, ataupun cuaca.
Riwayat Psikososial
Pasien menyangkal memiliki kebiasaan merokok, minum alkohol atau
menggunakan obat-obatan rutin.

1.3. Pemeriksaan Fisik


Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Keasadaran : Compos mentis / E4 M6 V5
Berat Badan : 65 kg
Tinggi Badan : 170 cm
IMT : 22,49
Status Gizi : Normoweight
Tanda Vital
Tekanan Darah : 110/80 mmHg
Suhu : 38,0 oC
Laju Nadi : 88 kali/menit
Laju Napas : 20 kali/menit
VAS : 6/10

4
Status Generalisata
Kepala : Normocephal.
Rambut : Alopecia (-), distribusi merata.
Mata : Sklera Ikterik (-/-). Konjungtiva Anemis (+/+). RCL (+/+). RCTL (+/+).
Hidung : Deviasi septum (-), mukosa normal, hipertrofi konka (-), sekret (-/-).
Telinga : Normotia, secret (-/-), membran timpani intak (+/+).
Mulut : Mukosa oral lembab, palatum intak. Faring hiperemis (-). Tonsil T1/T1.
Leher : Trakea di tengah. KGB tidak teraba. Tiroid tidak teraba.
Thorax : Normochest.
Paru
Inspeksi : Gerak napas simetris, retraksi (-), barrel chest (-).
Palpasi : Gerakan napas teraba simetris, vokal fremitus taktil kanan = kiri.
Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru.
Auskultasi: Bronkovesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-).
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat.
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba.
Perkusi : Batas jantung atas : linea parasternal dextra ICS IV.
Batas jantung kanan : linea parasternal sinistra ICS II.
Batas jantung kiri : linea parasternal sinistra ICS IV.
Auskultasi: Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-).
Abdomen
Inspeksi : Tampak datar, tidak ada bekas operasi.
Auskultasi: Bising usus (+) 8x/menit.
Palpasi : Nyeri tekan McBurney (+), nyeri lepas titik McBurney (+), Rovsing
sign (+), nyeri lepas indirek (+), defans muskular lokal (+), Psoas sign
(+), Obturator sign (+), hepar dan limpa sulit dinilai karena nyeri
Perkusi : Timpani di seluruh lapang abdomen
Genitalia : Tidak dilakukan pemeriksaan.
Punggung : Alignment vertebra baik.
Ekstremitas :
Atas : Lengkap, akral hangat, CRT ≤ 2 detik, edema (-/-).

5
Bawah : Lengkap, akral hangat, CRT ≤ 2 detik, edema (-/-)

1.5. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Laboratorium
PEMERIKSAAN NILAI SATUAN NILAI NORMAL
HEMATOLOGI
Hemoglobin 13 g/dL 13.5-17.5
Hematokrit 46 % 40-50
Eritrosit 4.3 106/µL 4.5 – 5.8
Leukosit 14,1 103/µL 5.8-10.0
Trombosit 271 103/µL 150 -400
MCV 86 fL 82-98
MCH 29 pg 27-33
MCHC 33 g/dL 31-37
KOAGULASI
PT 12,3 detik 11 – 18
APTT 34,2 detik 27 – 42
KIMIA KLINIK
Ureum 24 mg/dL 81 – 92
Kreatinin 0,9 mg/dL 27 – 31
GDS 112 mg/dL <200
Natrium 143 mmol/L 135 - 147
Kalium 4,8 mmol/L 3,5 – 5,0
Klorida 104 mmol/L 95 – 105

Pemeriksaan Rontgen Thorax :


Kesan : Tidak tampak kelainan pada cor/pulmo saat ini.

Alvarado Score :
Temuan Poin Pasien
Perpindahan nyeri ke fossa iliaca dextra 1 1
Anoreksia 1 1
Mual atau muntah 1 1
Nyeri tekan : fossa iliaca dextra 2 2
Nyeri lepas : fossa iliaca dextra 1 1
Demam ≥36,3oC 1 1
Leukositosis ≥10 x 109/L 2 2
Shift to the left of neutrophils 1 0
Total 10 9

Interpretasi : Kemungkinan besar apendisitis (≥7)

6
1.6. Resume
Pasien TnS, 44 tahun datang ke IGD dengan keluhan nyeri perut kanan bawah
sejak 3 hari SMRS. Awalnya pada ulu hati lalu berpindah ke kanan bawah. Nyeri dirasa
tajam seperti ditusuk jarum dan hilang timbul. Bertambah parah ketika hendak bangun
dari tidur atau batuk dan membaik ketika diam dan beristirahat. Skala nyeri 6 dari 10.
Terdapat mual, muntah dan penurunan nafsu makan. 2 hari SMRS mengalami demam.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak sakit sedang, compos mentis
dan GCS 15. Tekanan darah 110/80 mmHg, pernafasan 20x/menit, nadi 88x/menit, suhu
38C, dan VAS 6/10. Pada status generalis tidak ditemukan kelainan, kecuali abdomen.
Dari inspeksi didapatkan abdomen datar. Dari auskultasi didapatkan bising usus (+)
8x/menit. Dari palpasi didapatkan nyeri tekan titik McBurney (+), nyeri lepas titik
McBurney (+), Rovsing sign (+), nyeri lepas indirek (+), Psoas sign (+), Obturator sign
(+), dan defans muskular lokal(+). Dari perkusi didapatkan timpani di seluruh lapang
abdomen.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis (14.170/μL). Selain itu
pemeriksaan hematologi, koagulasi, kimia klinik, dan urinalisi masih dalam batas normal.
Didapatkan skor 9 pada Alvarado score, yang diinterpretasikan sebagai kemungkinan
besar apendisitis (skor ≥7).

1.7. Diagnosis Kerja


Apendisitis akut

1.8. Tatalaksana
Operatif : dilakukan apendektomi.

Persiapan operasi :
1. Puasa 6- 8 jam sebelum operasi
2. Periksa Lab (darah lengkap, fungsi hati, faktor pembekuan, fungsi ginjal) dan
foto thorax  normal
3. Ceftriaxone 2 gram IV dalam NaCl 0.9% 100 ml 2 jam sebelum operasi
4. Informed consent
5. Konsul anestesi

7
Laporan operasi :
Operasi Apendektomi (9 Agustus 2019)
1. Pasien supine di atas meja operasi dalam anestesi umum
2. Antisepsis daerah lapangan operasi dan sekitarnya
3. Inisisi melewati titik McBurney menembus kutis, subkutis, fascia
4. Saat peritoneum dibuka, tampak ileum
5. Identifikasi caecum, tampak apendiks ukuran 6x2x1 cm, hiperemis, edema,
perforasi (-), pus (-), letak retrocaecal intraperitotneal
6. Dilakukan apendektomi putung apendiks dibenamkan dalam caecum
7. Luka operasi dicuci dengan aksa lembab NaCl 0,9% steri
8. Luka operasi ditutup lapis demi lapis
9. Operasi selesai
Instruksi pasca operasi :
1. Awasi TTV
2. IVFD RL 500cc/6 jam
3. Cegah nyeri : Ketorolac 3x 30 mg
4. Cegah infeksi : Ceftriaxone 1x 2 g
5. Cegah stress ulcer : Ranitidine 2x50 mg
6. Diet lunak
7. Luka operasi di cek, GV jika rembes
Edukasi sebelum pulang :
- Kurangi aktifitas mengangkat berat, mengedan dan kegiatan lain yang dapat
meningkatkan tekanan perut kurang lebih selama 6- 8 minggu.
- Perawatan luka dan menjaga kebersihan agar tidak terjadi infeksi, diharapkan luka
akan sembuh 6- 8 minggu.
- Minum obat yang diberikan secara teratur
- Makanan tidak ada yang pantang, tingkatkan gizi
- Kontrol 1 minggu setelah keluar dari RS

1.9. Prognosis
- Ad Vitam : ad bonam
- Ad Funtionam : ad bonam

8
- Ad Sanationam : ad bonam

9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

ASPEK DIAGNOSIS
2.1. Anatomi Apendiks

Gambar 1. Anatomi appendiks

Appendiks merupakan organ dengan struktur tubular yang rudimeter dan tanpa
fungsi yang jelas. Appendiks berkembang dari posteromedial caecum dengan panjang
yang bervariasi namun pada orang dewasa sekitar 5-15 cm dan diameter sekitar 0,5-0,8
cm. Appendiks merupakan derivat bagian dari midgut yang terdapat di antara Ileum dan
Colon ascendens. Caecum terlihat pada minggu ke-5 kehamilan dan apppendiks terlihat
pada minggu ke-8 kehamilan yaitu bagian ujung dari protuberans caecum. Dalam proses
perkembangannya, awalnya apendiks berada pada apeks caecum, tetapi kemudian
berotasi dan terletak lebih medial ekat Plica ileocaecalis. Lumen apendiks sempit
dibagian proksimal dan melebar di bagian distal. Hampir seluruh permukaan apendiks
dikelilingi oleh peritoneum dan mesoapendiks (mesenter dari appendiks) yang
merupakan lipatan peritoneum yang berjalan kontinyu sepanjang appendiks dan berakhir
di ujung appendiks.(1)

10
Gambar 2. Embriologi appendiks

Pada appendiks terdapat 3 taenia coli yang menyatu di persambungan caecum dan
bisa berguna dalam menandakan tempat untuk mendeteksi appendiks. Posisi apendiks
terbanyak adalah retrocaecal 65.28% baik intraperitoneal maupun retroperitoneal dimana
appendiks berputar ke atas di belakng caecum. Selain itu juga terdapat posisi pelvic
(panggul) 31,01% (appendiks menggantung ke arah pelvic minor), subcaecal ( dibawah
caecum) 2,26% retroileal (dibelakang usus halus) 0,4%, retrokolika, dan pre-ileal. (1)

Gambar 3. Variasi Letak Appendiks

Vaskularisasi appendiks berasal dari arteri appendikularis yang berjalan di


sepanjang masoapendiks dan merupakan cabang dari arteri ileocolica dan yang
merupakan cabang trunkus mesenterik superior. Selain dari arteri apendikular yang
memperdarahi hampir seluruh apendiks, juga terdapat kontribusi dari arteri asesorius.

11
Untuk aliran balik, vena apendiseal cabang dari vena ileocoli berjalan ke vena mesentrik
superior dan masuk ke sirkulasi portal.
Persarafan parasimpatis dari apendiks berasal dari cabang nervus vagus yang
mengikuti a. Mesenterica superior dan a. Apendikularis, sedangkan persarafan simpatis
berasal dari n. Thorakalis X.(1)

2.2. Fisiologi Appendiks


Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu secara normal
dicurahkan kedalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir
di muara appendiks tampaknya berperan pada patogenesis appendisitis.(3)
Awalnya, apendiks dianggap tidak memiliki fungsi. Namun akhir-akhir ini,
appendiks dikatakan sebagai organ imunologi yang secara aktif mensekresikan
Imunoglobulin A (IgA). Walaupun appendiks merupakan komponen integral dari sistem
Gut Associated Lymphoid Tissue (GALT), imunoglobulin ini sangat efektif sebagai
pelindung terhadap infeksi yaitu mengontrol proliferasi bakteri, netralisasi virus, serta
mencegah penetrasi enterotoksin dan antigen intestinal lainnya. Namun, pengangkatan
appendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh sebab jumlah jaringan sedikit sekali
jika dibandingkan dengan jumlah di saluran cerna dan seluruh tubuh. (3)

2.3. Histologi
Komposisi histologi serupa dengan usus besar, terdiri dari empat lapisan yakni
mukosa, submukosa, muskularis eksterna, dan lapisan serosa. Permukaan dalam atau
mukosa secara umum sama seperti mukosa colon, berwarna kuning muda dengan
gambaran nodular, dan komponen limfoid yang prominen. Komponen limfoid ini
mengakibatkan lumen dari appendiks seringkali berbentuk irreguler (stelata) pada
potongan melintang.Dindingnya berstruktur sebagai berikut :(3)
A. Tunica mucosa
Tidak mempunyai villi intestinalis.
1. Epitel, berbentuk silindris selapis dengan sel piala. Banyak ditemukan
selargentafin dan kadang-kadang sel paneth.

12
2 . Lamina propria, hampir seluruhnya terisi oleh jaringan limfoid dengan
adanya pula nodulus Lymmphaticus yang tersusun berderet-deret sekeliling
lumen. Diantaranya terdapat crypta lieberkuhn
3. Lamina muscularis mucosa, sangat tipis dan terdesak oleh jaringan limfoid
dan kadang-kadang terputus-putus
B. Tunica submucosa
Tebal, biasanya mengandung sel-sel lemak dan infiltrasi limfosit yang merata. Di
dalam jariangan tunica submucosa terdapat anyaman pembuluh darah dan saraf.
C. Tunica muscularis
Walaupun tipis, tapi masih dapat dibedakan adanya lapisan dua lapisan.
D. Tunica serosa
Tunica serosanya mempunyai struktur yang tidak pada intestinum tenue. Kadang-
kadang pada potongan melintang dapat diikuti pula mesoappendix yang
merupakan alat penggantung sebagai lanjutan peritoneum viserale.

Gambar 4. Potongan melintang appendiks vermiformis normal (1)

2.4. Definisi Appendisitis Akut


Appendisitis adalah peradangan pada organ appendiks vermiformis atau yang di
kenal juga sebagai usus buntu. Diklasifikasikan sebagai suatu kasus medical emergency
dan merupakan salah satu kasus akut abdomen yang paling sering ditemui. Obstruksi
lumen merupakan penyebab utama appendisitis. Erosi membran mukosa appendiks dapat
terjadi karena parasit seperti Entamoeba histolytica, Trichuris trichiura, dan Enterobius
vermikularis.Penelitian Collin (1990) di Amerika Serikat pada 3.400 kasus, 50%

13
ditemukan adanya faktor obstruksi. Obstruksi yang disebabkan hiperplasi jaringan
limfoid submukosa 60%, fekalith 35%, benda asing 4%, dan sebab lainnya 1%.(4)

Gambar 5. Inflamasi Appendiks

2.5. Epidemiologi
Insidens apendisitis akut di negara maju lebih tinggi daripada di negara
berkembang, tetapi beberapa tahun terakhir angka kejadiannya menurun bermakna.Hal
ini disebabkan oleh meningkatnyapenggunaan makanan berserat dalam menu sehari-
hari.Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu
tahun jarang dilaporkan.Insidens tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu
menurun.Insidens pada lelaki dan perempuan umumnya sebanding, kecuali pada umur
20-30 tahun, insidens pada lelaki lebih tinggi. Meskipun jarang, pernah dilaporkan kasus
appendiks neonatal dan prenatal. Pasien dengan usia yang lebih dari 60 tahun dilaporkan
sebanyak 50% meninggal akibat apendisitis.

2.6. Etiologi
Appendisitis disebabkan karena adanya obstruksi pada lumen appendiks sehingga
terjadi kongesti vaskuler, iskemik nekrosis dan akibatnya terjadi infeksi. Appendisitis
akut dapat disebabkan oleh proses radang bakteria yang dicetuskan oleh beberapa faktor
pencetus diantaranya hiperplasia jaringan limfa, fekalith, tumor apendiks, dan cacing
askaris yang menyumbat.

14
Beberapa faktor yang mempermudah terjadinya radang appendiks, diantaranya :
a. Faktor sumbatan
Faktor obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis (90%)
yang diikuti oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh hiperplasia
jaringan limfoid submukosa,35% karena stasis fekal, 4% karena benda asing dan
sebab lainnya 1% diantaranya sumbatan oleh parasit dan cacing. Obstruksi yang
disebabkan oleh fekalith dapat ditemui pada bermacam-macam apendisitis akut
diantaranya : 40% pada kasus apendisitis kasus sederhana, 65% pada kasus
apendisitis akut gangrenosa tanpa ruptur dan 90% pada kasus apendisitis akut
dengan ruptur.
b. Faktor bakteri
Infeksi enterogen merupakan faktor patogenesis primer pada apendisitis
akut. Adanya fekalith dalam lumen apendiks yang telah terinfeksi memperburuk
dan memperberat infeksi, karena terjadi peningkatan stagnasi feses dalam lumen
apendiks. Pada kultur didapatkan terbanyak ditemukan adalah kombinasi antara
Bacteriodes fragilis dan E.coli, Splanchicus, Lacto-bacilus, Pseudomonas,
Bacteriodes splanicus. Sedangkan kuman yang menyebabkan perforasi adalah
kuman anaerob sebesar 96% dan aerob <10%.
Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis ialah erosi
mukosa appendiks karena parasit seperti E. Histolytica. Ulserasi mukosa
merupakan tahap awal dari kebanyakan penyakit ini. Berbagai spesies bakteri
yang dapat diisolasi pada pasien apendisitis yaitu :
c. Faktor konstipasi dan pemakaian laksatif
Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal yang berakibat timbulnya
sumbatan fungsional apendiks dan meningkatkan pertumbuhan kuman flora kolon
biasa sehingga mempermudah timbulnya apendisitis akut. Penggunaan laksatif
yang terus-menerus dan berlebihan memberikan efek merubah suasan flora usus
dan menyebabkan terjadinya hiperesi usus yang merupakan permulaan dari proses
inflamasi. Pemberian laksatif pada penderita apendisitis akan merangsang
peristaltik dan merupakan predisposisi terjadinya perforasi dan peritonitis.
d. Kecenderungan familiar

15
Hal ini dihubungkan dengan terdapatnya malformasi yang herediter dari
organ, appendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik dan letaknya
yang mudah terjadi appendisitis. Hal ini juga dihubungkan dengan kebiasaan
makanan dalam keluarga terutama denga diet rendah serat dapat memudahkan
terjadinya fekalith dan mengakibatkan obstruksi lumen.
e. Faktor ras dan diet
Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makan sehari-hari.
Bangsa kulit putih yang dulunya pola makan rendah serat mempunyai resiko lebih
tinggi dari negara yang pola makannya banyak serat. Namun saat sekarang,
kejadiannya terbalik. Bangsa kulit putih telah merubah pola makan mereka ke
pola makan tinggi serat. Justru negara berkembang, yang dulunya memiliki tinggi
serat kini beralih ke pola makan rendah serat, memiliki resiko appendisitis yang
lebih tinggi.

2.7. Klasifikasi/Tipe
Ada beberapa jenis apendisitis yang memiliki perubahan yang berbeda
berhubungan dengan apendisitis, sehingga ada perbedaan gejala, pengobatan dan
prognosis. Appendisitis diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Appendisitis akut
a. Appendisitis akut sederhana ( Cataral Appendicitis)
Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa disebabkan
obstruksi. Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen appendiks dan terjadi
peningkatan tekanan dalam lumen yang mengganggu aliran limfe, mukosa
appendiks jadi menebal, edema, dan kemerahan. Gejala diawali dengan rasa
nyeri di daerah umbilikus, mual, muntah, anoreksia, dan demam ringan. Pada
appendisitis cataral terjadi leukositosis dan appendiks terlihat normal,
hiperemia, edema, dan tidak ada eksudat serosa.
b. Appendisitis akut purulent (Supurative Appendicitis)
Tekanan dalam lumen terus bertambah disertai edema menyebabkan
terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks dan menimbulkan
trombosis. Keadaan ini memperberat iskemik dan edema pada apendiks.
Mikroorganisme yang ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding appendiks

16
menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi
eksudat dan fibrin. Pada appendiks dan mesoappendiks terjadi edema,
heperemia, dan di dalam lumen terdapat eksudat fibrinopurulen.
Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan,
nyeri lepas di titik Mc Burney, defans muskuler, dan nyeri pada gerak aktif
dan pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai
dengan tanda-tanda peritonitis umum.
c. Appendisitis akut gangrenosa
Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai
terganggu sehingga terjadi infark dan gangren. Selain didapatkan tanda-tanda
supuratif, appendiks mengalami gangren pada bagian tertentu. Dinding
appendiks berwarna ungu, hijau keabuan atau merah kehitaman. Apada
appendisitis akut gangrenosa terdapat mikroperforasi dan kenaikan cairan
peritoneal yang purulen.
2. Appendisitis infiltrat
Appendisitis infiltrat adalah proses radang appendiks yang penyebarannya
dapat dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan peritoneum sehingga
membentuk gumpalan massa flegmon yang melekat erat satu dengan yang
lainnya.
3. Appendisitis abses
Terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah (pus), biasanya di
fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrocaecal, sucaecal, dan pelvic.
4. Appendisitis perforasi
Adalah pecahnya appendiks yang sudah gangren yang menyebabkan pus
masuk kedalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum. Pada dinding
appendiks tampak daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan nekrotik.
5. Appendisitis kronis
Merupakan lanjutan appendisitis akut supuratif sebagai proses radang
yang persisten akibat infeksi mikroorganisme dengan virulensi rendah, khususnya
obstruksi parsial terhadap lumen. Diagnosis appendisitis kronis baru dapat
ditegakkan jika ada riwayat serangan nyeri berulang di perut kanan bawah lebih
dari dua minggu, radang kronik appendiks secara makroskopik dan mikroskopik.

17
Secara histologi, dinding appendiks menebal, sub mukosa dan muskularis propia
mengalami fibrosis. Terdapat infiltrat sel radang limfosit dan eosinofil pada sub
mukosa, muskularis propia, dan serosa. Pembuluh darah serosa tampak dilatasi.

2.8. Patofisiologi
A
Sebagian besar appendiks disebabkan oleh sumbatan yang kemudian diikuti oleh
infeksi. Beberapa hal ini dpat menyebabkan sumbatan, yaitu hiperplasia jaringan limfoid,
fekalith, benda asing, striktur, kingking, perlengketan.

Bila bagian proksimal appendiks tersumbat, terjadi sekresi mukus yang tertimbun
dalam lumen appendiks, sehingga tekanan intra luminer tinggi. Tekanan ini akan
mengganggu aliran limfe sehingga terjadi edema dan terdapat luka pada mukosa, stadium
ini disebut Appendisitis Akut Ringan. Tekanan yang meninggi, edema dan disertai
inflamasi menyebabkan obstruksi aliran vena sehingga menyebabkan trombosis yang
memperberat iskemi dan edema. Pada lumen appendiks juga terdapat bakteri, sehingga
dalam keadaan tersebut suasana lumen appendiks cocok buat bakteri untuk diapedesis
dan invasi ke dinding dan membelah diri sehingga menimbulkan infeksi dan
menghasilkan pus. Stadium ini disebut Appendisitis Akut Purulenta.

Proses tersebut berlangsung terus sehingga pada suatu saat aliran darah arteri juga
terganggu, terutama bagian ante mesenterial yang mempunyai vaskularisasi minimal,
sehingga terjadi infark dan gangren, stadium ini disebut Appendisitis Gangrenosa. Pada
stadium ini sudah terjadi mikroperforasi, karena tekanan intraluminal yang tinggi
ditambah adanya bakteri dan mikroperforasi, mendorong pus serta produk infeksi
mengalir ke rongga abdomen. Stadium ini disebut Appendisitis Akut Perforasi, dimana
menimbulkan peritonitis umum dan abses sekunder. Tapi proses perjalanan appendisitis
tidak mulus seperti tersebut di atas, karena ada usaha tubuh untuk melokalisir tempat
infeksi dengan cara “Walling Off” oleh omentum, lengkung usus halus, caecum, colon,
dan peritoneum sehingga terjadi gumpalan massa plekmon yang melekat erat. Keadaan
ini disebut Appendisitis Infiltrate.

Appendisitis infiltrate adalah suatu plekmon yang berupa massa yang membengkak
dan terdiri dari appendiks, usus, omentum, dan peritoneum dengan sedikit atau tanpa

18
pengumpulan pus. Usaha tubuh untuk melokalisir infeksi bisa sempurna atau tidak
sempurna, baik karena infeksi yang berjalan terlalu cepat atau kondisi penderita yang
kurang baik, sehingga appendikular infiltrate dibagi menjadi dua :

a. Appendikuler infiltrate mobile

b. Appendikuler infiltrate fixed

Perforasi mungkin masih terjadi pada walling off yang sempurna sehingga akan
terbentuk abses primer. Sedangkan pada walling off yang belum sempurna akan terbentuk
abses sekunder yang bisa menyebabkan peritonitis umum.

Appendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan
membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitarnya
dan menimbulkan obstruksi. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang di
perut kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan
sebagai mengalami eksaserbasi akut. Appendisitis terjadi dari proses inflamasi ringan
hingga perforasi, khas dalam 24-36 jam setelah munculnya gejala, kemudian diikuti
dengan pembentukan abses setelah 2-3 hari.

Gambar 6 (a). Patofisiologi Appendisitis

19
Gambar 6 (b). Patofisiologi Appendisitis

1.9. Manifestasi Klinis


a. Nyeri abdominal
Karena adanya kontraksi appendix, distensi dari lumen appendix ataupun
karena tarikan dinding appendx yang mengalami peradangan. Mula-mula nyeri

20
dirasakan samar-samar, tumpul dan hilang timbul yang merupakan nyeri viseraldi
daerah epigastrium atau sekitar umbilicuskarena appendix dan usus halus
mempunyai persarafan yang sama. Setelah beberapa jam (4-6 jam) nyeri
berpindah dan menetap di abdomen kanan bawah (titik Mc Burney). Apabila
terjadi inflamasi (>6 jam) akan terjadinyeri somatik setempatyang berarti sudah
terjadi rangsangan pada peritoneum parietal dengan sifat nyeri yang lebih tajam,
terlokalisir serta nyeri akan lebih hebat bila batuk ataupun berjalan kaki.
Selain gejala klasik, ada beberapa gejala lain yang dapat timbul sebagai
akibat dari apendisitis. Timbulnya gejala ini bergantung pada letak apendiks
ketika meradang. Berikut gejala yang timbul tersebut :
 Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, yaitu di belakang sekum
(terlindung oleh sekum), tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas
dan tidak ada tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah perut
kanan atau nyeri timbul pada saat melakukan gerakan seperti berjalan,
bernafas dalam, batuk, dan mengedan. Nyeri ini timbul karena adanya
kontraksi m. psoas mayor yang menegang dari dorsal.
 Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada rektum, akan timbul
gejala dan rangsangan sigmoid atau rektum, sehingga peristaltik
meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-
ulang (diare).
 Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada kandung kemih, dapat
terjadi peningkatan frekuensi kemih, karena rangsangan dindingnya.
b. Mual-muntah biasanya pada fase awal
Disebabkan karena rangsangan visceral akibat aktivasi nervus vagus.
Timbul beberapa jam sesudah rasa nyeri yang timbul saat permulaan.Hampir 75%
penderita disertai dengan vomitus, namun jarang berlanjut menjadi berat dan
kebanyakan vomitus hanya sekali atau dua kali.
c. Nafsu makan menurun (anoreksia)
Timbul beberapa jam sesudahrasa nyeri yang timbul saat permulaan.
Keadaan anoreksia hampir selalu ada pada setiap penderita appendisitis akut, bila
hal in tidak ada maka diagnosis appendisitis akut perlu dipertanyakan.
d. Obstipasi dan diare pada anak-anak.

21
Penderita appendisitis akut juga mengeluh obstipasi sebelum datangnya
rasa nyeri dan beberapa penderita mengalami diare. Hal tersebut timbul biasanya
pada letak appendix pelvikal yang merangsang daerah rektum.
e. Demam
Demam yang tidak terlalu tinggi, yaitu suhu antara 37,50 – 38,50C tetapi
bila suhu lebih tinggi, diduga telah terjadi perforasi.
Kelainan patologi Keluhan dan tanda
Peradangan awal Kurang enak ulu hati/daerah pusat,
mungkin kolik.
Apenditis mukosa Nyeri tekan kanan bawah
(rangsaganan automik).
Radang di seluruh ketebalan dinding Nyeri sentral pindah ke kanan bawah,
mual dan muntah.
Apendisitiskomplet radang Rangsangan peritoneum lokal (somatik),
peritoneum parietale appendiks nyeri pada gerak aktif dan pasif,defans
muskuler lokal.
Radang alat/jaringan yang menempel Genitalia interna, ureter, m.psoas mayor,
pada appendiks kantung kemih, rektum.
Apendisitis gangrenosa Demam sedang, takikardia,
mulai toksik, leukositosis.
Perforasi Nyeri dan defans muskuler seluruh
perut.
Pembungkusan tidak berhasil Demam tinggi, dehidrasi,
syok, toksik
Pembungkusan berhasil Massa perut kanan bawah, keadaan
umum berangsur membaik
Abses Demam remiten, keadaan umum toksik,
keluhan dan tanda setempat

1.10. Diagnosis
a. Anamnesis
Untuk menegakkan diagnosis pada apendisitis didasarkan atas anamnesis
ditambah dengan pemeriksaan laboratorium sarta pemeriksaan penunjang lainnya.
Gejala appendisitis ditegakkan dengan anamnesis, ada 4 hal penting yaitu :
- Nyeri mula – mula di epigastrium ( nyeri visceral ) yang beberapa waktu
kemudian menjalar ke perut kanan bawah.
- Muntah oleh karena nyeri visceral
- Demam

22
- Gejala lain adalah badan lemah dan kurang nafsu makan, penderita
nampak sakit, menghindarkan pergerakan pada daerah perut.
b. Pemeriksaan fisik
1) Inspeksi
Kadang sudah terlihat waktu penderita berjalan sambil bungkuk dan
memegang perut. Penderita tampak kesakitan. Pada inspeksi perut tidak
ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering terlihat pada penderita dengan
komplikasi perforasi. Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada massa
atau abses appendikuler.
2) Auskultasi
Peristaltik usus sering normal. Peristaltic dapat hilang pada ileus paralitik
karena peritonitis generalisata akibat appendisitis perforata.
3) Palpasi
4) Dengan palpasi di daerah titik Mc. Burney didapatkan tanda-tanda peritonitis
lokal yaitu:
 Nyeri tekan (+) Mc. Burney
Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan kuadran bawah atau titik Mc
Burney dan ini merupakan tanda kunci diagnosis.
 Nyeri lepas (+)karena rangsangan peritoneum
Rebound tenderness (nyeri lepas tekan) adalah rasa nyeri yang hebat
(dapat dengan melihat mimik wajah) di abdomen kanan bawah saat
tekanan secara tiba-tiba dilepaskan, setelah sebelumnya dilakukan
penekanan yang perlahan dan dalam dititik Mc Burney.
 Defens muskuler(+) karena rangsangan M.Rektus Abdominis
Defens muskuler adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen yang
menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietal.Pada appendiks
letak retroperitoneal, defans muscular mungkin tidak ada, yang ada nyeri
pinggang.
 Pemeriksaan Rectal Toucher
Akan didapatkan nyeri pada jam 9-12. Pada apendisitis pelvika akan
didapatkan nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur.
5) Perkusi : nyeri ketuk (+)

23
c. Pemeriksaan khusus/tanda khusus
 Rovsing sign
Penekanan perut kiri bawah terjadi nyeri perut kanan bawah, karena
tekanan merangsang peristaltic dan udara usus, sehingga menggerakkan
peritoneum sekitar appendix yang meradang (somatic pain)
 Blumberg sign
Disebut juga dengan nyeri lepas. Palpasi pada kuadran kiri bawah atau
kolateral dari yang sakit kemudian dilepaskan tiba-tiba, akan terasa nyeri
pada kuadran kanan bawah karena iritasi peritoneal pada sisi yang
berlawanan.
 Psoas sign
Dilakukan dengan rangsangan muskulus psoas. Ada 2 cara memeriksa:
1. Aktif : Pasien telentang, tungkai kanan lurus ditahan pemeriksa,
pasien memfleksikan articulation coxae kanan, psoas sign (+) bila
terasa nyeri perut kanan bawah.
2. Pasif: Pasien miring kekiri, paha kanan dihiperekstensikan
pemeriksa, psoas sign (+) bila terasa nyeri perut kanan bawah.

Gambar 7. Cara melakukan Psoas Sign


 Obturator sign
Dilakukan dengan menyuruh pasien tidur telentang, lalu dilakukan
gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul atau articulation coxae.
Obturator sign (+) bila terasa nyeri di perut kanan bawah.

24
Gambar 8. Cara melakukan Obturator Sign
d. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan laboratorium
 Pemeriksaan darah : pada laboratorium darah terdapat leukositosi ringan
(10.000 – 18.000/mm3) yang didominasi >75% oleh sel Polimorfonuklear
(PMN), netrofil (shift to the left) dimana terjadi pada 90% pasien. Hal ini
biasanya terdapat pada pasien dengan akut appendisitis dan apendisitis
tanpa komplikasi. Sedangkan leukosit >18.000/mm3meningkatkan
kemungkinan terjadinya perforasi apendiks dengan atau tanpa abses.
 Pemeriksaan urin : untuk melihat adanya eritrosit, leukosit, dan bakteri
dalam urin. Pemeriksaan ini sangat membantu dalam menyingkirkan
diagnosis banding seperti infeksi saluran kemih atau batu ginjal yang
mempunyai gejala klinis yang hampir sama dengan appendisitis.
 Pemeriksaan laboratorium lain yang mendukung diagnosa appendisitis
adalah C- reaktif protein. CRP merupakan reaktan fase akut terhadap
infeksi bakteria yang dibentuk di hepar. Kadar serum mulai meningkat
pada 6-12 jam setelah inflamasi jaringan. Tetapi pada umumnya,
pemeriksaan ini jarang digunakan karena tidak spesifik. Spesifitasnya
hanya mencapai 50-87% dan hasil dari CRP tidak dapat membedakan tipe
dari infeksi bakteri.
2) Foto polos abdomen

25
Radiologi polos tidak spesifik, umunya tidak efektif untuk biaya, dan
dapat menyesatkan dalam stuasi tertentu. Dalam <5%, suatu fekalith buram
mungkin tidak terlihat di kuadran kanan bawah. Foto polos abdomen dapat
digunakan untuk menyingkirkan diagnosis banding. Pada appendisitis akut
dapat terlihat abnormal “gas pattern” dari usus, tapi hal ini tidak spesifik.
Ditemukan fekalith dapat mendukung diagnosis. Dapat ditemukan pula
adanya local air fluid level, peningkatan densitas jaringan lunak pada kuadran
kanan bawah, perubahan bayangan psoas line, dan free air (jarang) bila terjadi
perforasi. Foto polos umumnya tidak dianjurkan kecuali kondisi tertentu
misalnya perforasi, obstruksi usus, saluran kemih kalkulus. Walaupun
demikian, foto polos abdomen bukanlah sesuatu yang rutin atau harus
dikerjakan dalam mengevaluasi pasien dengan nyeri abdomen yang akut.
3) USG
Merupakan pemeriksaan yang akurat untuk menentukan diagnosis
appendisitis. Tekniknya tidak mahal, dapat dilakukan dengan cepat, tidak
invasif, tidak membutuhkan kontras dan dapat digunakan pada pasien yang
sedang hamil karena tidak mengganggu paparan radiasi. Secara sonografi,
appendiks diidentifikasikan sebagai “blind end”, tanpa peristaltik usus.
Kriteria sonografi untuk mendiagnosis appendisitis akut adalah adanya
noncompressible appendiks sebesar 6 mm atau lebih pada diameter
anteroposterior, adanya appendicolith, interupsi pada kontinuitas lapisan
submukosa, dan cairan atau massa periappendiceal. Temuan perforasi
appendisitis termasuk cairan pericecal loculated, phlegmon (sebuah definisi
penyakit lapisan struktur dinding appendiks) atau abses, lemak pericecal
menonjol, dan kehilangan keliling dari layer submukosa.
False (+) dapat ditemukan pada adanya dilatasi tuba falopii dan pada
pasien yang obese hasilnya bisa tidak akurat, divertikulum Meckel,
divertikulitis cecal, penyakit radang usus, penyakit radang panggul, dan
endometriosis. Sedangkan false (-) didapatkan pada appendiks.
4) Barium enema
Yaitu suatu pemeriksaan X-Ray dengan memasukkan barium ke colon
melalui anus. Barium enema merupakan kontra indikasi pada suspek

26
appendisitis akut sebab pada apendisitis akut ada kemungkinan sudah terjadi
mikroperforasi sehingga kontras dapat masuk ke intraabdomen menyebabkan
penyebaran kuman ke intraabdomen. Barium enema indikasi untuk apendisitis
kronik. Apendikogram dilakukan dengan cara pemberian kontras BaSO4
serbuk halus yang diencerkan dengan perbandingan 1 : 3 secara peroral dan
diminum sebelum kurang lebih 8 – 10 jam untuk anak – anak atau 10 – 12 jam
untuk dewasa. Pemeriksaan ini dikatakan positif bila menunjukkan appendiks
yang non-filling dengan indentasi dari caecum menunjukkan adanya
appendisitis kronis. Hal ini menunjukkan adanya inflamasi pericaecal. False
negative (partial filling) didapatkan pada 10% kasus. Barium enema ini sudah
tidak lagi digunakan secara rutin dalam mengevaluasi pasien yang dicurigai
menderita appendisitis akut.
5) CT Scan
Sangat berguna pada pasien yang dicurigai mengalami proses
inflamasi pada abdomen dan adanya gejala tidak khas untuk appendisitis.
Appendiks normal akan terlihat struktur tubular tipis pada kuadran kanan
bawah yang dapat menjadi opak dengan kontras. Appendicolith terlihat
sebagai kalsifikasi homogenus berbentuk cincin (halo sign), dan terlihat pada
25% populasi. (7)
Appendisitis akut dapat didiagnosa berdasarkan CT-Scan apabila
didapatkan appendiks yang abnormal dengan inflamasi pada periappendiceal.
Appendiks dikatakan abnormal apabila terdistensi atau menebal dan
membesar >5-7 mm. Sedangkan yang termasuk inflamasi periappendiceal
antara lain adalah abses, kumpulan cairan, edema, dan phlegmon. Inflamasi
periappendiceal atau edem terlihat sebagai perkapuran dari lemak
mesenterium (“dirty fat”), penebalan fascia lokalis, dan peningkatan densitas
jaringan lunak pada kuadran kanan bawah. CT-Scan khususnya digunakan
pada pasien yang mengalami penanganan gejala klinis yang telat (48-72 jam)
sehingga dapat berkembang menjadi phlegmon atau abses. Fekalith dapat
dengan mudah terlihat, tetapi adanya fekalith bukan patognomonik adanya
appendisitis. Temuan penting adalah arrowhead sign yang disebabkan
penebalan dari caecum. (6)

27
Kekurangan dari CT-Scan termasuk mungkin iodinasi-kontras-media
alergi, ketidaknyamanan pasien dari pemberian media kontras (terutama jika
media kontras rektal digunakan), paparan radiasi pengion, biaya dan tidak
dapat digunakan untuk wanita hamil. (6)
e. Scoring Appendisitis
Skor Alvarado(9)
Semua penderita dengan suspek appendisitis akut dibuat skor alvarado
dan diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu : skor <6 dan skor >6.
Selanjutnya dilakukan apendiktomi, setelah operasi dilakukan pemeriksaan
PA terhadap jaringan apendiks dan hasilnya diklasifikasikan menjadi 2
kelompok yaitu : radang akut dan bukan radang akut.

Keterangan Alvarado score :


 Interpretasi dari Modified Alvarado Score :
1–4 sangat mungkin bukan appendisitis akut
5–7 sangat mungkin appendisitis akut
8 – 10 pasti appendisitis akut
 Penanganan berdasarkan skor Alvarado :
1–4 : observasi
5–7 : antibiotik
8 – 10 : operasi dini
Ohmann Score.U (9)
Sign/Symptom Value
Pain on compression in the lower right quadrant 4,5

28
Rebound pain 2,5
Absence of urinary symptoms 2,0
Continuous pain 2,0
White blood cell count > 10000/mIL 1,5
Age under 50 years 1,5
Migration of pain to the right lower quadrant 1,0
Involuntary muscular tension (defense) 1,0
Low : < 5, Moderate : 6 – 11, High : 12 – 13
Skoring appendisitis pada anak – anak(9)
Yang sering digunakan adalah Samuel Score. Sistem penilaian ini
meliputi 9 variabel untuk menilai appendisitis akut :
No Kriteria Skoring
1. Gender
1) Laki-laki 2
2) Perempuan 0
2. Intensitas Nyeri
1) Berat 2
2) Sedang 0
3. Perpindahan nyeri
1) Ya 4
2) Tidak 0
4. Nyeri perut kuadran kanan bawah
1) Ya 4
2) Tidak 0
5. Muntah
1) Ya 2
2) Tidak 0
6. Suhu badan
1) 37,50C 3
2) <37,50C 0
7. Guarding
1) Ya 2
2) Tidak 0
8. Bising Usus
1) Absent/meningkat 4
2) Normal 0
9. Rebound tenderness
1) Ya 7
2) Tidak 0
 Appendisitis akut mempunyai nilai 0 sampai nilai maksimal 32. Dan nilai
ini digunakan untuk mendiagnosa ada atu tidaknya appendisitis akut.
 Nilai batas untuk appendisitis akut adalah >21 kemungkinan besar
appendisitis akut.

29
 Jika nilai <15, kemungkinan untuk appendisitis akut adalah rendah.

1.11. Diagnosis Bandiug


Diagnosis banding appendisitis dapat bervariasi tergantung dari usia dan jenis
kelamin :
- Pada anak – anak dan balita : intususepsi, diverkulitis dan gastroenteritis akut
Intususepsi paling sering didapatkan pada anak – anak berusia dibawah 3 tahun.
Divertikulitis jarang terjadi jika dibandingkan appendisitis. Nyeri divertikulitis
hampir sama dengan appendisitis, tetapi lokasinya berbeda, yaitu pada daerah
periumbilikal. Pada pencitraan dapat diketahui adanya inflammatory mass di
daerah abdomen tengah. Diagnosis banding yang agak sulit ditegakkan adalah
gatroenteritis akut, karena memiliki gejala-gejala yang mirip dengan appendisitis,
yakni diare, mual, muntah, dan ditemukan leukosit pada feses.
- Pada anak – anak usia sekolah : gastroenteritis, konstipasi, infark omentum
Pada gastroenteritis, didapatkan gejala-gejala yang mirip dengan appendisitis,
tetapi tidak dijumpai adanya leukositosis. Konstipasi, merupakan salah satu
penyebab nyeri abdomen pada anak-anak, tetapi tidak ditemukan adanya demam.
Infark omentum jug dapat dijumpai pada anak-anak dan gejala-gejalanya dapat
menyerupai appendisitis. Pada infark omentum, dpaat teraba massa apada
abdomen dan nyerinya tidak berpindah.
- Pada pria dewasa muda : crohn’s disease, kolik traktur urogenitalis dan
epididimitis.
Pemeriksaan fisik pada skrotum dapat membantu menyingkirkan diagnosis
epididimitis. Pada epididimitis, pasien merasa sakit pada skrotum. Pada crohn’s
disease terdapat gejala kram dan diare yang lebih menyolok, sedangkan anoreksia
tidak terdapat. Pada kolik traktus urogenital didapatkan gejala yang menjalar dari
pinggang ke genitalia, pada pemeriksaan urin terdapat kelainan sedimen misalnya
eritrosit meningkat dan biasanya tidak disertai leukositosis.
- Pada wanita usia muda : pelvic onflammatory disease (PID), kita ovarium, infeksi
saluran kencing
Pada PID, nerinya bilateral dan dirasakan pada abdomen bawah. Pada kista
ovarium, nyeri dapat dirasakan bila terjadi ruptur ataupun torsi.

30
- Pada uasia lanjut : keganasan dari traktus gastrointestinal dan saluran reproduksi,
diverkulitis, perforasi ulkus, dan kolesistitis.
Appendisitis pada usia lanjut sering sukar untuk didiagnosis. Keganasan dapat
terlihat di CT-Scan dam gejalanya muncul lebih lambat daripada appendisitis.
Pada orang tua, divertikulitis sering sukar untuk dibedakan dengan appendisitis,
karena lokasinya yang berada pada abdomen kanan. Perforasi ulkus dapat
diketahui dari onset yang akut dan nyerinya tidak berpindah. Pada orang tua,
pemeriksaan dengan CT-Scan lebih berarti dibandingkan dengan pemeriksaan
laboratorium.
Tanda – tanda yang membedakan apendisitis dengan penyakit lain adalah :
a. Gastroenteritis
Pada gastroenteritis, mual-muntah dan diare mendahului rasa sakit. Sakit perut
lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Hiperperistaltik sering ditemukan. Panas
dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan dengan appendisitis.
b. Limfadenitis mesenterica
Biasanya didahului oleh enteritis atau gastroenteritis. Ditandai dengan nyeri perut
yang samar-samar terutama disebelah kanan, dan disertai dengan perasaan mual-
muntah.
c. Peradangan pelvis
Tuba Fallopi kanan dan ovarium terletak dekat appendiks. Radang kedua organ
ini sering bersamaan sehingga disebut salpingo-ooforitis atau adnesitis. Untuk
menegakkan diagnosis penyakit ini didapatkan riwayat kontak seksual. Suhu
biasanay lebih tinggi daripada appendisitis dan nyeri perut bagian bawah lebih
difus. Biasanya disertai dengan keputihan. Pada colok vaginal jika uterus
diayunkan maka akan terasa nyeri.
d. Kehamilan Ektopik
Adanay riwayat terhambat menstruasi denga keluhan yang tidak menentu. Jika
terjadi ruptur tuba atau abortus diluar rahim dengan perdarahan akan timbul nyeri
yang mendadak difus di daerah pelvis dan mungkin akan terjadi syok
hipovolemik. Pada pemeriksaan colok vaginal didapatkan nyeri dan penonjolan
kavum douglas, dan pada kuldosentesis akan di dapatkan darah.
e. Diverticulitis

31
Meskipun diverculitis biasanya terletak di perut bagian kiri, tetapi kadang-kadang
dapat juga terjadi di sebelah kanan. Jika terjadi peradangan dan ruptur pada
diverticulum gejala klinis akan sukar dibedakan dengan gejala-gejala appendisitis.
f. Batu ureter atau batu ginjal
Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal kanan
merupakan gambaran yang khas. Hematuria sering ditemukan. Foto polos
abdomen atau urografi intravena dapat memastikan penyakit tersebut.

1.12. Komplikasi
Komplikasi yang dapat ter
- Apendikular infiltrat : infiltrat atau massa yang terbentuk akibat mikro atau makro
perforasi dari appendiks yang meradang kemudian ditutupi oleh omentum, usus
halus atau usus besar.
- Apendikular abses : abses yang terbentuk akibat mikro atau makro perforasi dari
appendiks yang meradang kemudian ditutupi oleh omentum, usus halus atau usus
besar.
- Perforasi : gejalanya ialah nyeri berat dan demam >38,3 0C
- Peritonitis : peritonitis lokal dihasilkan dari perforasi gangren appendiks, yang
kemudian dapat menyebar ke seluruh rongga peritoneum. Gejalanya ialah :
peningkatan kekakuan oto abdomen, distensi abdominal dan demam tinggi.
- Ileus

1.13. Tatalaksana
Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah apendektomi
dan merupakan satu-satunya pilihan yang terbaik. Penundaan appendiktomi sambil
memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi. Insidensi appendiks
normal yang dilakukan pembedahan sekitar 20%. Pada appendisitis akut tanpa
komplikasi tidak banyak masalah. Pada apendisitis akut, abses, dan perforasi diperlukan
tindakan operasi apendiktomi cito.
Untuk pasien yang dicurigai Apendisitis :
 Puasakan

32
 Penelitian menunjukkan bahwa pemberian analgesik tidak akan menyamarkan
gejala saat pemeriksaan fisik.
 Pertimbangkan DD/ KET terutama pada wanita usia produktif.
 Berikan antibiotika IV pada pasien dengan gejala sepsis dan yang membutuhkan
Laparotomi.
Terapi Non-Operatif
 Penelitian menunjukkan pemberian antibiotika intravena dapat berguna untuk
appendisitis akut bagi mereka yang sulit mendapatkan intervensi operasi
(misalnya untuk pekerja di laut lepas), atau bagi mereka yang memiliki resiko
tinggi untuk dilakukan operasi.
 Rujuk ke dokter spesialis bedah.
Terapi Operatif
Antibiotika preoperatif (persiapan preoperatif)
 Pemberian antibiotika preoperatif efektif untuk menurunkan terjadinya infeksi
post operasi.
 Diberikan antibiotika spektrum luas dan juga untuk gram negatif dan anaerob.
 Antibiotika preoperatif diberikan oleh ahli bedah.
 Antibiotika profilaksis harus diberikan sebelum operasi dimulai. Biasanya
digunakan antibiotik kombinasi, seperti Cefotaxime dan Clindamycin, atau
Cefepime dan Metronidazole. Kombinasi ini dipilih karena frekuensi bakteri yang
terlibat, termasuk Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa, Enterococcus,
Streptococcus viridans, Klebsiella, dan Bacteroides.
Indikasi Appendiktomi :
 Appendisitis akut
 Appendisitis kronik
 Periapendikular infiltrat dalam stadium tenang
 Apendiks terbawa dalam operasi kandung kemih
 Apendisitis perforata
Teknik operasi Apendiktomi :
1) Open Appendectomy
- Dilakukan tindakan aseptik dan antiseptik
- Dibuat sayatan kulit :

33
Lokasi Insici
 Incisi Grid Iron (McBurney Incision)
Insisi Gridiron pada titik Mc Burney. Garis insisi paralel dengan otot
oblikus eksternal, melewati titik Mc Burney yaitu 1/3 lateral garis yang
menghubungkan spina illiaka anterior superior kanan dan umbilikus. Lapisan
kulit yang dibuka pada Appendiktomi : cutis - sub cutis - fascia scarfa - fascia
camfer - aponeurosis MOE – MOI - M. Transversus - fascia transversalis - pre
peritoneum – peritoneum.
Sayatan ini mengenai kutis, subkutis dan fasia. Otot – otot dinding
perut dibelah secara tumpul menurut arah serabutnya. Setelah itu akan tampak
peritoneum parietal ( mengkilat dan berwarna biru keabu-abuan) yang disayat
secukupnya untuk meluksasi sekum. Sekum dikenali dari ukurannya yang
besar dan mengkilat dan lebih kelabu/putih, mempunya haustrae dan taenia
koli, sedangkan ileum lebih kecil, lebih merah dan tidak mempunyai haustrae
dan taenia koli. Basis appendiks dicari pada pertemuan ketiga taenia koli.
Teknik inilah yang paling sering dikerjakan karena keuntungannya tidak
terjadi benjolan dan tidak mungkin terjadi herniasi, trauma operasi minimum
pada alat –alat tubuh, dan masa istirahat pasca bedah lebih pendek karena
masa penyembuhannya lebih cepat. Kerugiannya adalah lapangan iperasi
terbatas, sulit diperluas, dan waktu operasi lebih lama. Lapangan operasi dapat
diperluas dengan memotong secara tajam.

Gambar 9. Incisi Grid Iron (McBurney Incision)


 Teknik apendiktomi Mc Burney : (10)

34
a) Pasien berbaring telentang dalam anestesi umum atau regional. Kemudian
lakukan tindakan asepsis dan antisepsis pada daerah perut kanan bawah.
b) Dibuat sayatan menurut Mc Burney sepanjang kurang lebih 10 cm dan
dinding perut dibelah menurut arah serabut otot secara tumpul, berturut –
turut M. Oblikus abdominis eksternus, M. Abdominis internus, sampai
tampak peritonium.
c) Peritonium disayat cukup lebar untuk eksplorasi.
d) Sakum dan apendiks diluksasi keluar.
e) Mesoapendiks dibebaskan dan dipotong dari apendiks secara biasa, dari
apendiks ke arah basis.
f) Semua perdarahan dirawat.
g) Disiapkan tabac sac mengelilingi basis apendiks dengan sutra, basis
apendiks kemudian dijahit dengan catgut.
h) Lakukan pemotongan apendiks apikal dari jahitan tersebut.
i) Puntung apendiks diolesi betadine.
j) Jahitan tabac sac disimpulkan dan puntung dikuburkan dalam simpul
tersebut. Mesoapendiks diikat dengan sutera.
k) Dilakukan pemeriksaan terhadap rongga peritoneum dan alat – alat
didalamnya, semua perdarahan dirawat.
l) Sekum dikembalikan ke dalam abdomen.
m) Sebelum ditutup, peritoneum dijepit dengan minimal 4 klem dan
didekatkan untuk memudahkan penutupannya. Peritoneum dijahit jelujur
dengan chromic cat gut dan otot – otot dikembalikan.
n) Dinding perut ditutup lapis demi lapis, fasia dengan sutera, sub cutis
dengan cat gut dan akhirnya kulit dengan sutera.
o) Luka operasi dibersihkan dan ditutup dengan kasa steril.

35
Gambar 10. Teknik Appendiktomi
 Lanz transverse incision
Insisi dilakukan pada 2 cm dibawah pusat, insisi transversal pada garis
midklavikula-midinguinal. Mempunyai keuntungan kosmetik yang lebih baik
dari pada insisi grid iron.

36
Gambar 11. Lanz transverse incision

 Rutherford Morisson’s incision (insisi suprainguinal)


Merupakan insisi perluasan dari insisi Mc Burney. Dilakukan jika
apendiks terletak di parasekal atau retrosekal dan terfiksir.

Gambar 12. Rutherford Morisson’s incision (insisi suprainguinal)

 Low Midline Incision


Dilakukan jika appendiks sudah terjadi perforasi dan terjadi peritonitis umum.
 Insisi paramedian kanan bawah
Insisi vertikal paralel dengan midline 2,5 cm dibawah umbilikus sampai di
atas pubis.

37
Gambar 13. Lokasi Insisi Appendectomy

Perawatan Pasca Bedah(11)


Pada hari operasi penderita diberikan infus menurut kebutuhan sehari
kurang lebih 2 – 3 liter cairan Ringer Laktat dan Dekstrosa. Pada appendisitis
tanpa perforasi : antibiotik diberikan hanya 1 x 24 jam. Pada appendisitis
dengan perforasi : antibiotik diberikan hingga jika gejala klinis infeksi reda
dan laboratorium normal. Mobilisasi secepatnya setelah penderita sadar
dengan menggerakkan kaki miring ke kiri dan ke kanan bergantian dan duduk.
Penderita boleh berjalan pada hari pertama pasca operasi. Pemberian makan
peroral di mulai dengan memberikan minum sedikit-sedikit (50 cc) tiap jam
apabila sudah ada aktifitas usus yaitu adanya flatus dan bising usus. Bilamana
dengan pemberian minum bebas penderita tidak kembung maka pemberian
makanan peroral dimulai. Jahitan diangkat pada hari kelima sampai hari ke
tujuh pasca bedah.
2) Laparoscopic Appendectomy
Pertama kali dilakukan pada tahun 1983. Laparoscopicdapat dipakai
sarana diagnosis dan terapeutik untuk pasien dengan nyeri akut abdomen dan
suspek appendisitis akut. Laparoscopickemungkinan sangat berguna untuk
pemeriksaan wanita dengan keluhan abdomen bagian bawah. Membedakan

38
penyakit akut ginekologi dari appendisitis akut sangat mudah dengan
menggunakan laparoskop.

Gambar 14. Laparoscopic Incisions

Komplikasi
Durante Operasi : perdarahan intraperitoneal, dinding perut, robekan pada caecum atau
usus lain.
Pasca bedah dini : perdarahan, infeksi, hematom, paralitik ileus, peritonitis, fistel usus,
abses intraperitoneal.

1.14. Prognosis
Mortalitas adalah 0,1% jika appendisitis akut tidak pecah, dan 15% jika pecah
pada orang tua. Kematian biasanya akibat dari sepsis, emboli paru, atau aspirasi.
Prognosis membaik dengan diagnosis dini sebelum perforasi terjadi dan dengan antibiotik
yang adekuat. Morbiditas meningkat seiring dengan perforasi dan usia tua.

39
DAFTAR PUSTAKA

1. Shrestha, S. Anatomy of appendix and appendicitis. http://medchrome.com/basic-


science/anatomy/anatomy-appendix-appendicitis/. Accesed in August,22,2019.
2. Faiz,O, balckburn,S, Moffat,D. Anatomy At A Glance. Edisi Ketiga. England : Oxford;2011.
H 36.
3. urDocter. Anatomy and physiology of Appendix. Http://healthycase.com/articles/surgery/19-
anatomy-and-physiology-of-appendix. Accessed in August,22,2019.
4. Kevin P. Lally, Charles S. Cox JR. Dan Richard J. Andrassy. Appendix on Chapter 47 in
Sabiston Textbook of Surgery 17ed ebook. New york: Saunders; 2004.h 1381-1400
5. Addiss,D G. The epidemiology of appendicitis and appendectomy in the United States.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/2239906. Accessed in August,22,2019.
6. Brunicardi C, Anderson DK, Billiar T, Duhn DL, Hunter JG, Mathews JB, Pallock RC. 2010.
The Appendix on Chapter 30 in Schwartz’s Principles of Surgery 9ed ebook. New York:
McGraw-Hills.
7. Annonymmous. Appendicits Type. http://www.appendicitissymptoms.org.uk/appendicitis-
types.htm. Accessed in August,22,2019.
8. Old JL. Imaging for Suspected Appendicitis. Available at :
http://www.aafp.org/afp/2005/0101/p71.html#afp20050101p71-b15. Accessed in
August,22,2019.
9. Vanjak D. Analysis of Scores in Diagnosis of Acute Appendicitis in women. Available at :
www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10356580. Accessed in August,22,2019.
10. Dudley H.A.F. apendisitis akut dalam Hamilton Bailey Ilmu Bedah Gawat Darurat edisi 11.
Gajah Mada Unv Press. 1992. Hal 441-452
11. Craig, Sandy. 2008. Appendicitis, Acut-Follw-Up. Available at :
http://emedicine.medscape.com/article/773895-followup. Accessed in August,22,2019.

40

Anda mungkin juga menyukai