Anda di halaman 1dari 39

LaLAPORAN PENDAHULULaporan Akhir

TINJAUAN PUSTAKA
BAB
II

2.1. MASTERPLAN INSFRASTRUKTUR


Rencana Induk Sistem (RIS)/ Masterplan Infrastruktur menguraikan rencana
kebutuhan pengembangan dan pembangunan infrastruktur secara rinci sebagai pendukung
utama fungsi-fungsi sistem sosial dan ekonomi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat yang
dilengkapi dengan peta/ gambar pendukung yang sesuai dan lengkap. Tujuan dari
penyusunan masterplan bagi Kabupaten/Kota adalah untuk melaksanakan pembangunan
infrastuktur secara terarah dan terencana dalam kurun waktu selama 10-20 tahun (Rencana
Program Investasi Jangka Menengah Dirjen Cipta Karya, 2007).
Infrastuktur disini merupakan infrastuktur mengenai persampahan. Masterplan
bidang persampahan merupakan suatu dokumen perencanaan dasar yang menyeluruh
mengenai pengembangan sarana dan prasarana persampahan untuk periode 20 (dua puluh)
tahun. Di dalam masterplan ini termasuk gambaran arah pengembangan, strategi
pengembangan dan prioritas-prioritas pengembangan sarana dan prasarana persampahan.
Masterplan sistem pengelolaan sampah mencakup 5 aspek, teknis operasional, kelembagaan
dan organisasi, pembiayaan, peraturan, dan peran serta masyarakat.

2.2. DEFINISI SAMPAH


Terdapat beberapa definisi sampah, yaitu :
1. Sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/ atau dari proses alam yang
berbentuk padat (UU No. 18 Tahun 2008).
2. Sampah adalah sisa kegiatan sehari–hari manusia dan/ atau proses alam yang
terbentuk padat yang terdiri dari sampah rumah tangga maupun sampah sejenis
sampah rumah tangga (Permendagri No 33 Tahun 2010).
3. Sampah yang harus dikelola berdasarkan UU No. 18 Tahun 2008 yaitu:
a. Sampah rumah tangga, berasal dari kegiatan sehari-hari dalam rumah tangga,
tidak termasuk tinja dan sampah spesifik

Rencana Induk Pengelolaan Persampahan Kabupaten Jepara II - 1


LaLAPORAN PENDAHULULaporan Akhir

b. Sampah sejenis rumah tangga, berasal dari kawasan komersial, kawasan industri,
kawasan khusus, fasilitas sosial, fasilitas umum, dan/atau fasilitas lainnya
c. Sampah spesifik, sampah yang karena sifatnya, konsentrasi, dan/atau volumenya
memerlukan pengelolaan khusus.
4. Secara garis besar komposisi sampah dibagi menjadi tiga jenis, yaitu (Sejati, 2009) :
a. Sampah organik/basah
Sampah basah merupakan sampah yang berasal dari makhluk hidup, seperti
daun-daunan, sampah dapur, sampah restoran, sisa sayuran, dan sisa buah.
Sampah jenis ini dapat terdegradasi secara alami
b. Sampah anorganik/kering
Sampah kering adalah sampah yang tidak dapat terdegradasi secara alami.
Contohnya logam, besi, kaleng, plastik, karet, dan botol.
c. Sampah berbahaya
Sampah jenis ini berbahaya bagi manusia, seperti baterai, jarum suntik bekas,
limbah racun kimia,dsb. Sampah jenis ini memerlukan penanganan khusus.

2.3. SUMBER DAN KARAKTERISTIK SAMPAH


2.3.1. Sumber Sampah
Terdapat beberapa kategori sumber sampah, yaitu (Darmasetiawan, 2004) :
1. Sumber sampah dari daerah perumahan
Sumber sampah dari daerah perumahan dibagi atas :
a. Perumahan masyarakat berpenghasilan tinggi (High income)
b. Perumahan masyarakat berpenghasilan menengah (Middle income)
c. Perumahan masyarakat berpenghasilan rendah (Low income).
2. Sumber sampah dari daerah komersil
Daerah komersil biasanya terdiri dari daerah perniagaan / perdagangan. Daerah
komersil meliputi:
a. Pasar
b. Pertokoan
c. Hotel
d. Restoran
e. Bioskop
f. Industri dan lain-lain.

Rencana Induk Pengelolaan Persampahan Kabupaten Jepara II - 2


LaLAPORAN PENDAHULULaporan Akhir

3. Sumber sampah dari fasilitas umum


Fasilitas umum yaitu prasarana/sarana perkotaan yang dipergunakan untuk
kepentingan umum. Fasilitas umum meliputi :
a. Perkantoran
b. Sekolah
c. Rumah sakit
d. Apotek
e. Taman
f. Jalan
g. Saluran atau sungai dan lain-lain.
4. Sumber sampah dari fasilitas sosial
Fasilitas sosial yaitu prasarana atau sarana perkotaan yang digunakan untuk
kepentingan sosial. Fasilitas sosial meliputi:
a. Panti-panti sosial (panti asuhan dll)
b. Tempat-tempat ibadah (masjid, gereja dll).
5. Sumber - sumber lain
Sumber-sumber lain merupakan pengembangan sumber sampah sesuai dengan
kondisi kotanya atau peruntukan tata guna lahannya. Contoh : Kota yang mempunyai
Rumah Pemotongan Hewan (RPH) maka RPH tersebut merupakan sumber sampah.

2.3.2. Jenis Sampah


Jenis sampah secara garis besar dapat di kelompokkan sebagai berikut:
1. Sampah basah (Garbage)
Sampah basah adalah sampah yang berasal dari sisa pengolahan, sisa makanan atau
sisa makanan yang telah membusuk. Sampah jenis ini biasanya bersumber dari
kegiatan domestik atau industri pengolahan makanan. Sampah Organik mempunyai
sifat cepat membusuk jika dibiarkan dalam keadaan basah pada temperatur
optimum yang diperlukan untuk membusuk, (20-30)oC sampai 65oC.
2. Sampah kering (Rubbish)
Sampah kering yaitu sampah sisa pengolahan yang tidak membusuk, sampah kering
dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu:
a. Sampah yang tidak mudah membusuk, tetapi mudah terbakar, seperti kayu, bahan
plastik, kain, bahan sintetik dan sebagainya.

Rencana Induk Pengelolaan Persampahan Kabupaten Jepara II - 3


LaLAPORAN PENDAHULULaporan Akhir

b. Sampah yang tidak mudah membusuk dan tidak mudah terbakar, seperti logam,
kaca, keramik dan sebagainya.
3. Sampah lembut
Sampah lembut yaitu sampah yang berasal dari berbagai jenis abu, merupakan
partikel-partikel kecil yang mudah beterbangan dan dapat mengganggu pernafasan
dan mata.
4. Sampah berbahaya
Sampah bila ditinjau dari tingkat bahayanya, dapat dibagi menjadi empat golongan,
yaitu:
a. Sampah patogen, yaitu sampah yang berasal dari rumah sakit atau klinik.
b. Sampah beracun, yaitu sampah sisa-sisa pestisida, kertas bekas pembungkus
bahan-bahan beracun dan sebagainya.
c. Sampah radioaktif, yaitu sampah dari bahan nuklir.
d. Sampah yang dapat meledak.
5. Sampah balokan(bulky waste)
Sampah balokan atau lebih dikenal dengan nama bulky waste sesuai dengan namanya
merupakan sampah yang berbentuk balokan. Contoh dari sampah ini adalah mobil
rusak, kulkas rusak, pahon tumbang, balok kayu dan sebagainya.
6. Sampah jalan
Sampah jalan yaitu sampah atau kotoran yang berserakan di sepanjang jalan, seperti
sisa-sisa pembungkus dan sisa makanan, kertas, daun dll.
7. Sampah binatang mati
Sampah binatang mati adalah istilah yang digunakan untuk menyebut sampah yang
berasal dari bangkai binatang yang telah mati. Berbagai macam bangkai seperti
bangkai kucing, ayam, anjing, tikus dan sebagainya merupakan contohnya.
8. Sampah bangunan
Bagian dari bangunan yang telah tidak terpakai lagi akan menjadi sampah. Sampah ini
bisa terbentuk pada waktu pembangunana maupun pembongkaran bangunan.
Contohnya adalah potongan kayu, pecahan atap genteng, bata, buangan adukan dan
lain-lain.
9. Sampah industri
Sampah industri yaitu sampah yang berasal dari kegiatan industri, sampah jenis ini
biasanya lebih seragam bila dibandingkan dengan sampah jenis lainnya. Sampah

Rencana Induk Pengelolaan Persampahan Kabupaten Jepara II - 4


LaLAPORAN PENDAHULULaporan Akhir

industri ada yang beracun bila mengandung logam-logam berat, sisa pestisida dan
sebagainya. Yang tidak berbahaya umpamanya sisa makanan karyawan, kertas dll.
10. Sampah khusus
Sampah dari benda-benda berharga atau sampah dokumentasi, misal rahasia patent
dari pabrik, surat rahasia negara dan sebagainya.
11. Sampah kandang / pemotongan hewan
Kotoran hewan, sisa-sisa makannya, kulit, sisa-sisa daging, tulang isi perut dan lain
sebagainya.
12. Sampah lumpur
Merupakan sampah setengah padat, yaitu lumpur selokan, riol, lumpur dari
bangunan pengolah air buangan, septik tank dan sebagainya.

2.3.3. Karakteristik Sampah


Menurut Suwito (1989) karakteristik sampah mencakup antara lain; (a) komposisi fisik
sampah, (b) komposisi kimia sampah, (c) kepadatan (densitas) sampah (d) kadar air sampah
dan (e) distribusi ukuran partikel sampah.
1. Komposisi fisik sampah
Informasi dan data tentang komposisi fisik dari sampah penting dalam menganalisa
dan merencanakan pengolahan maupun pembuangan akhir sampah. Jenis sampah di
kota-kota di Indonesia mempunyai komposisi dari tahun ke tahun yang
berbeda/berfluktuasi dengan pola yang relatif hampir sama.
2. Komposisi kimia sampah
Informasi mengenai komposisi kimia sampah penting dalam evaluasi pemilihan
alternatif pengolahan dan pemanfaatan sampah. Dari hasil analisa kimia sampah
dapat ditentukan cara pengolahan sampah yang sesuai.
3. Kepadatan sampah
Kepadatan sampah menyatakan berat sampah per satuan volume. Data kepadatan
sampah penting dalam beberapa hal seperti pemiliha jenis peralatan pengumpul dan
peralatan pemindahan. Di samping juga penting untuk perencanaan sistem
pembuangan akhir, karena rendahnya kepadatan sampah menyebabkan
meningkatnya luas areal yang diperlukan untuk pembuangan akhir dan penurunan
permukaan tanah setelah penimbunan.
Umumnya sampah yang berasal dari daerah dengan tingkat ekonomi tinggi akan
cenderung mempunyai kepadatan rendah, demikian pula sebaliknya. Diperkirakan,

Rencana Induk Pengelolaan Persampahan Kabupaten Jepara II - 5


LaLAPORAN PENDAHULULaporan Akhir

rendahnya kepadatan sampah di negara-negara industri dikarenakan tingginya


prosentase sampah yang tidak membusuk seperti kertas, plastik dan sebagainya. Di
negara berkembang, kepadatan ini lebih dipertinggi lagi dengan aktifitas pemulungan
sampah mulai dari sumber sampai di TPA. Kepadatan sampah berbeda-beda nilainya
tergantung dari lokasi, musim dan lamanya pewadahan/penyimpanan (Suwito, 1989).
Di lokasi pembuangan akhir, sampah-sampah yang diturunkan oleh kendaraan
pengangkut sampah dipadatkan oleh alat berat sampai mencapai kepadatan yang
direncanakan. Kepadatan yang dicapai tergantung pada:
a. Jumlah lintasan yang dilalui alat berat
b. Karakteristik dari sampah itu sendiri
c. Ketebalan lapisan sampah
d. Bobot dari jenis alat berat yang digunakan
4. Kadar air sampah
Data kadar air sampah berguna dalam perencanaan dan desain sistem pengolahan.
Kadar air sampah biasanya dinyatakan sebagai berat air per satuan berat basah atau
berat kering dari material sampah. Kadar air sampah di negara-negara berkembang
besarnya cenderung antara 40 % sampai 70 %, sementara negara-negara industri
umumnya antara 20 % sampai 25 % (Suwito, 1989).
5. Distribusi ukuran partikel sampah
Distribusi ukuran partikel sampah mempengaruhi dua hal pada perencanaan
pengolahan sampah, yaitu:
a. Kebutuhan untuk pemadatan dantanah penutup pada sanitary landfill. Semakin
besar ukuran partikel sampah semakin lama pemadatan dilakukan dan semakin
banyak tanah penutup yang diperlukan.
b. Kebutuhan untuk menguragi ukuran dengan shredding pendahuluan untuk
pengkomposan, produksi biogas dan insinerasi. Pada pengkomposan dan produksi
biogas ukuran partikel yang kecil akan mempercepat proses pembusukan. Pada
insinersi pengecilan ukuran bertujuan untuk memperluas permukaan sampah
sehingga mempercepat penguapan, dengan demikian menurunkan kadar air dari
sampah yang akan di bakar.
Hal tersebut membutuhkan data distribusi ukuran partikel sampah. Dalam
literatur dari negara-negara maju yang membahas hal ini, pada umumnya
beranggapan bahwa pemotongan sampah sebagai reduksi ukuran menjadi partikel
sampah yang lebih kecil merupakan bagian dari suatu skema pengolahan sampah,

Rencana Induk Pengelolaan Persampahan Kabupaten Jepara II - 6


LaLAPORAN PENDAHULULaporan Akhir

sedangkan dalam literatur dari negara-negara sedang berkembang hal di atas


tidak begitu diperhatikan akan tetapi lebih menekankan perhatiannya pada
masalah pengumpulan sampah daripada masalah pengolahan dan pembuangan
akhir sampah.

2.3.4. Definisi Timbulan Sampah


Timbulan sampah yang dihasilkan dari suatu kota pada dasarnya sangat ditentukan
oleh seluruh aktifitas masyarakat di kota tersebut. Untuk menentukan timbulan sampah
pada umumnya memakai satuan ukur volume (m3/hari) atau ukuran berat sampah (ton/ hari)
(Darmasetiawan, 2004). Timbulan sampah dihitung berdasarkan banyaknya sampah dalam
(Darmasetiawan, 2004):
1. Satuan berat: kilogram per orang perhari (kg/org/h) atau kilogram per meter-per¬segi
bangunan perhari (kg/m2/h) atau kilogram per tempat tidur perhari (kg/bed/h), dsb.
2. Satuan volume: liter/orang/hari (L/o/h), liter per meter-persegi bangunan per hari
(L/m2/h), liter per tempat tidur perhari (L/bed/h), dsb. Kota-kota di Indonesia
umumnya menggunakan satuan volume.
Menurut Dirjen Cipta Karya, untuk menentukan kuantitas sampah umumnya dipakai
ukuran volume yang dinyatakan dalam meter kubik per hari (m3/hari) atau dipakai ukuran
berat sampah dalam ton per hari.
1. Produksi/timbulan sampah
Faktor umum yang menyebabkan meningkatnya produksi sampah perkotaan
diantaranya yaitu pertambahan penduduk dan arus urbanisasi yang pesat sehingga
telah menyebabkan timbulan sampah di daerah perkotaan semakin tinggi, kendaraan
pengangkut baik jumlah maupun kondisinya kurang memadai, sistem pengelolaan
TPA yang kurang tepat dan tidak ramah lingkungan dan belum diterapkannya
pendekatan reduce, reuse dan recycle (3R). Laju timbulan sampah berdasarkan
komponen-komponen utama dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Rencana Induk Pengelolaan Persampahan Kabupaten Jepara II - 7


LaLAPORAN PENDAHULULaporan Akhir

Tabel 2.1.
Laju Timbulan Sampah Berdasarkan Komponen Utama
Besaran
No Sumber Sampah
Volume (liter) Berat (kg)
1 Rumah permanen (org/hr) 2,25 – 2,50 0,35 – 0,40
2 Rumah semi permanen (org/hr) 2,00 – 2,25 0,30 – 0,35
3 Rumah non permanen (org/hr) 1,75 – 2,00 0,25 – 0,30
4 Kantor (pegawai/hari) 0,50 – 0,75 0,025 – 0,10
5 Sekolah (murid/hari) 0,10 – 0,15 0,01 – 0,02
6 Jalan protokol (m/hari) 0,10 – 0,20 0,02 – 0,10
7 Jalan kolektor (m/hari) 0,10 – 0,15 0,01 – 0,05
8 Jalan penghubung (m/hari) 0,05 – 0,10 0,005 – 0,025
9 Pasar (m2/hari) 0,20 – 0,60 1,00 – 3,00
10 Toko (petugas/hari) 2,50 – 3,00 0,15 – 0,35
Sumber : SNI 3242-2008
Tabel 2.2.
Besaran Timbulan Sampah Berdasarkan Klasifikasi Kota
Volume Berat
No Klasifikasi Kota
(L/orang/hari) (kg/orang/hari)
1 Kota besar 2.75 – 3.25 0.70 – 0.80
2 Kota sedang 2.75 – 3.25 0.70 – 0.80
3 Kota kecil 2.5 – 2.75 0.625 – 0.70
Sumber : SNI 3242-2008

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya timbulan sampah


Terdapat empat faktor yang mempengaruhi timbulan sampah, yaitu :
a. Jenis bangunan-bangunan yang ada.
Bangunan kantor, sampah yang dominan adalah combustible rubbish. Pasar,
sampah garbage dan rubbish (garbage lebih banyak). Bangunan industri, produksi
sampah sebagian besar sejenis.
b. Tingkat aktivitas
Jumlah sampah yang timbul pada setiap bangunan berhubungan langsung dengan
tingkatan aktivitas orang-orang yang mempergunakannya, misalnya:
 Pabrik gulamakin besar kapasitas produksinya, makin besar sampah tebunya.
 Bangunan pasar makin beraneka ragam yang diperdagangkan, makin besar
timbulan sampahnya.
c. Kepadatan penduduk dan jumlah penduduk
Pada beberapa kota besar, makin padat penduduknya, makin besar pula sampah
yang timbul. Sebaliknya lokasi tempat pengelolaan sampah makin menyempit.

Rencana Induk Pengelolaan Persampahan Kabupaten Jepara II - 8


LaLAPORAN PENDAHULULaporan Akhir

d. Sosial-ekonomi
Apabila keadaan ekonomi baik, maka akan besar pula timbulan sampahnya.
Sebaliknya pada keadaan ekonomi kurang baik, produksi sampah akan menurun
pula.
Data tentang jumlah produksi sampah adalah hal yang penting dalam pengelolaan
sampah. Menurut Tchobanoglous (1993), jumlah timbulan dari sampah dapat diprediksi
berdasarkan data yang telah terkumpul dengan menggunakan studi analisa tentang
karakterisrik sampah, penggunaan data-data sebelumnya, atau kombinasi dari kedua
pendekatan tersebut. Metode yang sering digunakan untuk menentukan jumlah produksi
sampah adalah (1) analisis beban, (2) analisis berat-volume, (3) analisis kesetimbangan
material.
1. Analisis beban
Dalam metode ini, jumlah dari masing-masing sumber dan data tentang karakteristik
limbah yang berhubungan dicatat dalam suatu rentang waktu tertentu. Jika
memungkinkan perlu dicatat juga data tentang berat dari sampah tesebut.
2. Analisis berat-volume
Metode ini dilakukan dengan pengukuran berat dan volume dari sampah yang
dihasilkan dengan alat ukur pada tiap sumber timbulan sampah. Dengan metode ini
akan didapatkan data spesifik dari berat dan volume sampah.
3. Analisis kesetimbangan material
Analisis kesetimbangan material untuk tiap sumber timbulan sampah adalah cara
untuk menentukan produksi dan pergerakan sampah dengan tingkat faliditas yang
tinggi. Berikut ini adalah diagram analisa kesetimbangan materi menurut
Tchobanoglous (1993).

Out flow

(gas dan debu)


Out flow
Inflow Stored Material
(bahan baku, produk, sampah) (material)
Out flow
(material)
(produk)
Out flow
Sumber: Tchobanoglous, 1993
(sampah, padatan dalam limbah cair)
Gambar 2.1. Analisis Kesetimbangan Material

Rencana Induk Pengelolaan Persampahan Kabupaten Jepara II - 9


LaLAPORAN PENDAHULULaporan Akhir

Timbulan sampah kota didapatkan dari hasil penjumlahan sampah yang berasal dari
seluruh sumber sampah baik dari kawasan perumahan, komersial, fasilitas umum, fasilitas
sosial dan sumber lainnya yang telah dikonversikan dalam satuan yang sama (m3/hari atau
ton/hari). Berbagai faktor yang mempengaruhi timbulan sampah kota menurut
Darmasetiawan (2004) adalah jenis bangunan, tingkat aktifitas, jumlah dan kepadatan
penduduk serta kondisi sosial ekonomi suatu kota atau negara. Secara umum dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1. Jenis bangunan yang ada
Jenis dan luas bangunan berpengaruh pada jumlah sampahnya. Makin luas suatu
bangunan makin banyak timbulan sampahnya.
2. Tingkat aktifitas
Jumlah sampah yang timbul pada setiap bangunan berhubungan langsung dengan
tingkat aktifitas oleh penghuninya, misalnya:
a. Bangunan pasar, makin beraneka ragam barang yang diperdagangkan maka makin
besar pula besar timbulan sampahnya
b. Perkantoran, makin banyak aktifitas yang dilakukan makin banyak timbulan
sampahnya.
c. Industri, makin besar kapasitas produksinya (aktifitas tinggi), makin banyak
timbulan sampahnya.
3. Jumlah dan kepadatan penduduk
Setiap pertambahan penduduk akan diikuti oleh kenaikan jumlah sampah. Demikian
juga dengan tingkat kepadatan penduduknya, makin padat penduduk yang tinggal di
suatu daerah makin banyak timbulan sampahnya. Karena tidak ada ruang lagi yang
dapat digunakan untuk mengelola sampah secara on site.
4. Sosial ekonomi dan budaya
Makin tinggi tingkat ekonomi suatu daerah, maka tingkat konsumsi masyarakatnya
pun akan semakin tinggi, sehingga laju timbulan sampahnya pun akan meningkat.
Demikian pula dengan budaya masyarakat setempat akan sangat berpengaruh pada
timbulan sampahnya. Mengingat kesulitan dalam pengkuantitatifan faktor yang lain,
maka faktor yang ditinjau dalam analisis prediksi timbulan sampah hanya faktor
penduduk dan pola hidup/tingkat sosial ekonomi. Lebih khusus lagi, adalah faktor
pertumbuhan penduduk dan peningkatan konsumsi akibat peningkatan pendapatan
masyarakat.

Rencana Induk Pengelolaan Persampahan Kabupaten Jepara II - 10


LaLAPORAN PENDAHULULaporan Akhir

2.4. HIRARKI PENGELOLAAN SAMPAH


Hirarki pengelolaan sampah ditetapkan untuk mengidentifikasi elemen kunci dalam
pengelolaan persampahan. Konsep pengelolaan adalah :
1. Reduce
Pencegahan dan desain ulang produk atau melakukan perubahan pola konsumsi dan
penggunaan produk
2. Reuse
Penggunaan produk lebih dari satu kali untuk tujuan penggunaan yang sama seperti
penggunaan ulang botol minuman atau dikembalikan lagi ke perusahaan untuk diisi
ulang
3. Resource Recovery
Pemulihan material dan energi antara lain melalui :
a. Recycling: pengumpulan, pemrosesan ulang untuk diolah dan digunakan kembali
b. Composting: dekomposisi biologis sampah organik dalam kondisi aerobik
c. Energy Recovery: konversi energi, pembuatan biogas, penggunaan pembakaran
sampah untuk menghasilkan energi
4. Landfilling
Pembuangan sisa sampah dengan penimbunan yang tidak membahayakan kesehatan
manusia dan lingkungan. Berikut ini adalah Gambar 2.2 yang menunjukkan hirarki
pengolahan sampah.

Gambar 2.2.
Piramida Hirarki Pengelolaan Sampah

Rencana Induk Pengelolaan Persampahan Kabupaten Jepara II - 11


LaLAPORAN PENDAHULULaporan Akhir

2.5. SISTEM PENGELOLAAN SAMPAH PERKOTAAN


2.5.1. Pengertian
Pengertian awal berkaitan dengan pengelolaan sampah perkotaan berdasarkan SNI
3242-2008 antara lain adalah sebagai berikut:
1. Sampah adalah limbah yang bersifat padat terdiri dari zat organik dan zat anorganik
yang dianggap tidak berguna lagi dan harus dikelola agar tidak membahayakan
lingkungan dan melindungi investasi pembangunan.
2. Sampah perkotaan adalah sampah yang timbul di kota (tidak termasuk sampah yang
berbahaya dan beracun).
3. Timbulan sampah adalah banyaknya sampah yang dihasilkan per orang per hari
dalam satuan volume maupun berat.
4. Pewadahan sampah adalah cara penampungan sampah sementara di sumbernya baik
individual maupun komunal.
5. Pewadahan individual adalah cara penampungan sampah sementara di masing-
masing sumbernya.
6. Pewadahan komunal adalah cara penampungan sampah sementara secara bersama-
sama pada satu tempat.
7. Pengumpulan sampah adalah proses penanganan sampah dengan cara pengumpulan
dari masing-masing sumber sampah untuk diangkut ke tempat pembuangan
sementara atau langsung ke tempat pembuangan akhir tanpa melalui proses
pemindahan.
8. Pola pengumpulan individual langsung adalah cara pengumpulan sampah dari rumah-
rumah/sumber sampah dan diangkut langsung ke tempat pembuangan akhir tanpa
melalui proses pemindahan.
9. Pola pengumpulan individual tidak langsung adalah cara pengumpulan sampah dari
masing-masing sumber sampah dibawa ke lokasi pemindahan (menggunakan
gerobak) untuk kemudian diangkut ke tempat pembuangan akhir.
10. Pola pengumpulan komunal langsung adalah cara pengumpulan sampah dari masing-
masing titik wadah komunal dan diangkut langsung ke tempat pembuangan akhir.
11. Pola pengumpulan komunal tidak langsung adalah cara pengumpulan sampah dari
masing-masing titik pewadahan komunal dibawa ke lokasi pemindahan
(menggunakan gerobak) untuk kemudian diangkut ke tempat pembuangan akhir.
12. Pola penyapuan jalan adalah proses pengumpulan sampah hasil penyapuan jalan
dengan mengunakan gerobak.

Rencana Induk Pengelolaan Persampahan Kabupaten Jepara II - 12


LaLAPORAN PENDAHULULaporan Akhir

13. Pemindahan sampah adalah tahap memindahkan sampah hasil pengumpulan ke


dalam alat pengangkut untuk dibawa ke tempat pembuangan akhir.
14. Pengangkutan sampah adalah tahap membawa sampah dari lokasi pemindahan atau
langsung dari sumber sampah menuju ke tempat pembuangan akhir
15. Pengolahan sampah adalah suatu upaya untuk mengurangi volume sampah atau
mengubah bentuk menjadi yang bermanfaat, antara lain dengan cara pembakaran,
pengkomposan, pemadatan, penghancuran, pengeringan dan pendaur ulangan.
16. Pengkomposan (composting) adalah sistem pengolahan sampah organik dengan
bantuan mikroorganisme sehinggga terbentuk pupuk organis (pupuk kompos).
17. Pembakaran sampah adalah salah satu teknik pengolahan sampah dengan membakar
sampah secara terkendali, sehingga terjadi perubahan bentuk/reduksi dari sampah
padat menjadi abu, gas, dan cairan.
18. Pemadatan adalah upaya mengurangi volume sampah dengan cara dipadatkan baik
secara manual maupun mekanis, sehingga pengangkutan ke tempat pembuangan
akhir lebih efisien.
19. Daur ulang adalah proses pengolahan sampah yang dapat menghasilkan produk yang
bermanfaat lagi.
20. Pembuangan akhir sampah adalah tempat untuk mengkarantinakan (menyingkirkan)
sampah kota sehingga aman.

Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi sistem pengelolaan


sampah,berdasarkan SNI 3242-2008, antara lain sebagai berikut:
1. Rencana penggunaan lahan
Penggunaan lahan untuk fasilitas pengelolaan sampah seperti lahan tempat
pemindahan sampah dan TPA harus direncanakan oleh pemerintah setempat. Lahan
yang dipilih harus disesuaikan dengan syarat-syarat yang ditentukan. Pemilihan lahan
yang tepat akan mendukung sistem pengelolaan persampahan.
2. Kepadatan dan penyebaran penduduk
Semakin padat jumlah penduduk, maka semakin besar volume sampah yang
dihasilkan sehingga kebutuhan fasilitas pengelolaan sampah akan semakin banyak
sebanding dengan peningkatan volume sampah. Sistem pengelolaan sampah perlu
disesuaikan pula dengan penyebaran penduduk. Semakin padat penduduk, maka
semakin kompleks sistem pengelolaan sampah yang diperlukan.

Rencana Induk Pengelolaan Persampahan Kabupaten Jepara II - 13


LaLAPORAN PENDAHULULaporan Akhir

3. Karakteristik lingkungan fisik, biologi dan sosial ekonomi


Sistem pengelolaan sampah yang ditentukan oleh pemerintah jangan sampai
merusak lingkungan fisik maupun biologi dan juga perlu mempertimbangkan aspek
sosial ekonomi yang dalam hal ini berkaitan dengan pendanaan dan masyarakat.
4. Kebiasaan masyarakat
Masyarakat yang senantiasa peduli terhadap pengelolaan sampah akan mendukung
kebersihan lingkungan, begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu masyarakat perlu
dibiasakan untuk peduli terhadap lingkungan. Pola makan juga mempengaruhi jenis
sampah yang dihasilkan. Semakin banyak masyarakat yang menkonsumsi makanan
instant, maka jumlah sampah anorganik yang dihasilkan akan makin banyak pula.
5. Karakteristik sampah
Jenis sampah yang dihasilkan akan mempengaruhi pengolahan yang diperlukan.
Sampah organik lebih mudah diolah daripada sampah anorganik.
6. Peraturan – peraturan/ aspek legal nasional dan daerah setempat
Teratur tidaknya pengelolaan sampah suatu wilayah sangat bergantung pada
peraturan yang mengaturnya dan komitmen seluruh elemen masyarakat untuk
mematuhinya.
7. Sarana pengumpulan, pengangkutan, pengolahan dan pembuangan
Semakin banyak sarana pengumpulan dan pengangkutan, maka sampah yang
dibuang tidak pada tempatnya makin berkurang dan semakin banyak pula sampah
yang bisa terangkut ke TPA. Sistem pengolahan yang baik akan mampu mereduksi
sampah yang dibuang ke TPA, sehingga dapat memperpanjang usia TPA. Perlu juga
diterapkan sistem pembuangan sampah yang baik.
8. Lokasi pembuangan akhir
Lokasi pembuangan akhir harus ditentukan sesuai dengan syarat-syarat pemilihan
lokasi, sehingga tidak ada pihak-pihak yang dirugikan.
9. Biaya yang tersedia
Semakin banyak biaya yang tersedia untuk pengolahan sampah, akan semakin baik
sistem yang bisa diusahakan oleh pemerintah.
10. Rencana tata ruang dan pengembangan kota
Sistem pengelolaan sampah harus menjadi salah satu hal yang dipertimbangkan
dalam penyusunan rencana tata ruang dan pengembangan kota, sehingga
pengembangan kota akan diikuti dengan penambahan sarana pengelolaan sampah.

Rencana Induk Pengelolaan Persampahan Kabupaten Jepara II - 14


LaLAPORAN PENDAHULULaporan Akhir

11. Iklim dan musim


Sampah kering lebih mudah diolah daripada sampah basah, jika hujan maka volume
sampah basah akan bertambah, sehingga wadah sampah seharusnya diberi tutup.

2.5.2. Dasar – Dasar Sistem Pengelolaan Sampah


Menurut Gunadi (2004), pengelolaan sampah perkotaan pada dasarnya dilihatsebagai
komponen-komponen sub sistem yang saling mendukung, saling berinteraksi untuk mencapai
tujuan kota yang bersih, sehat. Komponen itu adalah:
1. Sub Sistem Kelembagaan dan organisasi
2. Sub Sistem Hukum dan peraturan
3. Sub Sistem Teknik operasional
4. Sub Sistem Pembiayaan
5. Sub Sistem Peran serta masyarakat
Menurut Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang pengolahan sampah,
pengertian pengelolaan sampah adalah kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan
berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah. Sistem pengelolaan
sampah perkotaan dapat dilihat pada Gambar 2.3 sebagai berikut :

Sumber: Gunadi, 2004


Gambar 2.3.
Komponen Sistem Pengelolaan Sampah Perkotaan

Rencana Induk Pengelolaan Persampahan Kabupaten Jepara II - 15


LaLAPORAN PENDAHULULaporan Akhir

2.5.2.1. Sub Sistem Kelembagaan


Pengelola di pemukiman harus berfokus pada peningkatan kinerja institusipengelola
sampah, dan perkuatan fungsi regulator dan operator. Sasaran yang harus dicapai adalah
sistem dan institusi yang mampu sepenuhnya mengelola dan melayani persampahan di
lingkungan dengan mengikutsertakan masyarakat dalam pengelolaan dan retribusi atau iuran
serta semaksimal mungkin melaksanakan konsep 3R di sumber (SNI 3242-2008).
Kelembagaan yang diharapkan dalam pengelolaan sampah adalah kelembagaan yang
sesuai dengan amanat PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, PP
41/2007 tentang Pemerintahan Daerah, PP Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum, serta Permendagri Nomor 61 Tahun 2009 tentang Pola
Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah. Perangkat peraturan tersebut di atas
digunakan sebagai dasar untuk meningkatkan kelembagaan pengelolaan sampah, antara lain:
a. Memisahkan regulator dan operator pengelola sampah, misalnya membentuk UPTD
atau kerjasama dengan swasta sebagai operator;
b. Peningkatan kualitas SDM melalui training dan rekruitmen SDM untuk jangka panjang
sesuai dengan kualifikasi bidang keahlian persampahan/manajemen karena struktur
organisasi mencerminkan tugas dan tanggung jawab yang jelas dalam kegiatan-
kegiatan penanganan sampah yang harus senantiasa ditunjang dengan kapasitas
serta kualitas SDM yang memadai;
c. Untuk pengelolaan sampah lintas kabupaten/kota, dapat dibentuk lembaga pengelola
di tingkat provinsi, sedangkan untuk pengelolaan sampah lintas provinsi, dapat
dibentuk lembaga pengelola di tingkat nasional.
Tabel 2.3.
Bentuk Kelembagaan Pengelola Sampah Berdasarkan Kategori Kota
No Kategori Kota Jumlah Penduduk (Jiwa) Bentuk Kelembagaan
1 Kota Besar > 1.000.000 a. Perusahaan Daerah
b. Dinas
2 Kota Sedang I (Ibu Kota) 250.000 – 500.000 Dinas
3 Kota Sedang II (Kota) 100.000 – 250.000 Dinas / Sub Dinas
UPTD / PU
Seksi / PU
4 Kota Kecil 20.000 – 100.000 UPTD / PU
Seksi / Dinas
Sumber : Lokakarya Studi Evaluasi TPA Jawa Tengah, 2003

Rencana Induk Pengelolaan Persampahan Kabupaten Jepara II - 16


LaLAPORAN PENDAHULULaporan Akhir

Jumlah unit pengelola persampahan harus cukup memadai baik kualitas maupun
kuantitasnya sesuai dengan tugasnya. Dalam pengelolaan persampahan masalah kemampuan
manajemen dan teknik sangat diperlukan, oleh karena itu untuk tingkat pimpinan, sebaiknya
klasifikasinya harus mempertimbangkan faktor kemampuan (Dirjen Cipta Karya).
Jumlah kebutuhan staf tenaga pengelola persampahan harus memperhatikan:
1. Struktur Organisasi
2. Beban Tugas
Sedangkan jumlah tenaga operasional pengelolaan persampahan harus
memperhatikan:
1. Pengendalian
2. Jumlah peralatan
3. Rancangan operasional
4. Keperluan tenaga penunjang
5. Beban pengawasan
Untuk memudahkan perhitungan kebutuhan personil dapat dilakukan dengan
pendekatan setiap 1000 jiwa penduduk dibutuhkan 2 orang petugas (termasuk dari swadaya
masyarakat).
Kerjasama dan Kemitraan
Berdasarkan Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah
disebutkan bahwa pemerintah daerah dapat melakukan kerjasama antar pemerintah daerah
dalam melakukan pengelolaan sampah. Kerjasama yang dimaksud dapat diwujudkan dalam
bentuk kerjasama dan/atau pembuatan usaha bersama pengelolaan sampah dengan
pedoman pelaksanaannya diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan dalam negeri. Salah satu bentuk kerjasama antar pemerintah daerah dalam
melakukan pengelolaan sampah adalah dengan menerapkan sistem pengelolaan sampah
regional.
Pemerintah daerah kabupaten/kota secara sendiri-sendiri atau bersama-sama dapat
bermitra dengan badan usaha pengelolaan sampah dalam penyelenggaraan pengelolaan
sampah. Kemitraan tersebut dapat dituangkan dalam bentuk perjanjian atau draft
kesepakatan bersama antara pemerintahanan daerah kabupaten/kota dan badan usaha yang
bersangkutan, dengan tata cara pelaksanaannya mengacu pada peraturan perundang-
undangan.

Rencana Induk Pengelolaan Persampahan Kabupaten Jepara II - 17


LaLAPORAN PENDAHULULaporan Akhir

2.5.2.2. Sub Sistem Hukum dan Peraturan


Peraturan-peraturan tersebut melibatkan wewenang dan tanggung jawab pengelola
kebersihan serta partisipasi masyarakat dalam menjaga kebersihan dan pembayaran
retribusi. Peraturan daerah yang merupakan dasar hukum bagi pelaksanaan pengelolaan
persampahan adalah sebagai berikut (Damanhuri, 2010):
1. Ketertiban umum yang terkait dengan penanganan sampah
2. Rencana induk pengelolaan sampah kota
3. Bentuk lembaga dan organisasi pengelola
4. Tata cara penyelenggaraan pengelolaan
5. Besaran tarif jasa pelayanan atau retribusi
6. Kerjasama dengan berbagai pihak terkait, diantaranya kerjasama antar daerah, atau
kerjasama dengan pihak swasta.
Dengan adanya berbagai produk hukum yang mengatur pengelolaan sampah
diharapkan seluruh elemen masyarakat peduli terhadap kebersihan lingkungan.

2.5.2.3. Sub Sistem Pembiayaan


Pengelolaan persampahan membutuhkan sejumlah dana untuk mendukung investasi,
operasi, pemeliharaan, pergantian peralatan serta peningkatan pelayanan dana untuk
pengelolaan persampahan suatu kota besarnya 5 – 10 % dari APBD (Dirjen Cipta Karya). Biaya
pengelolaan yang tersedia digunakan untuk mencukupi semua kegiatan operasional dan
pendukungnya secara bertanggung jawab.
Pembiayaan yang diharapkan dalam pengelolaan sampah adalah :
1. Investasi yang lebih memadai yang didasarkan pada kebutuhan dan peningkatan
sarana prasarana, kapasitas SDM, serta kampanye dan edukasi bidang persampahan;
2. Biaya operasi dan pemeliharaan yang mencukupi untuk kebutuhan pengoperasian
sarana prasarana persampahan yang perhitungannya didasarkan pada kebutuhan
alternatif pengoperasian seluruh kegiatan penanganan sampah dari sumber sampai
TPA (Tempat Pengelolaan Akhir) sampah untuk jangka panjang;
3. Tarif atau retribusi yang disusun berdasarkan struktur/klasifikasi wajib retribusi (cross
subsidi), kemampuan daerah, kemampuan masyarakat yang dapat mencukupi
kebutuhan operasional pengelolaan sampah (mengarah pada pola cost recovery);
4. Penerapan pola insentif dan disinsentif bagi para pelaku yang terlibat dalam
pengelolaan persampahan;

Rencana Induk Pengelolaan Persampahan Kabupaten Jepara II - 18


LaLAPORAN PENDAHULULaporan Akhir

5. Pendapatan dari penarikan tarif atau retribusi harus terkoordinasi dan tercatat secara
baik dan transparan serta diinvestasikan kembali untuk kepentingan pengelolaan
sampah.
Struktur biaya operasional pengelolaan sampah di suatu kota atau daerah
berdasarkan SNI 19-2454-2002 adalah sebagai berikut:
1. Pengumpulan 20 – 40 %
2. Pengangkutan 40 – 60 %
3. Pembuangan akhir 10 – 30 %

2.5.2.4. Sub Sistem Peran Serta Masyarakat


Pengelolaan persampahan sebenarnya tidak hanya menjadi tanggung jawab
pemerintah, tetapi juga merupakan tanggung jawab seluruh masyarakat. Untuk mewujudkan
peran masyarakat, diperlukan upaya yang dapat membangkitkan motivasi, kemampuan,
kesempatan dan menggali serta mengembangkan sumber yang ada pada masyarakat.
Aspek peran serta masyarakat menurut Revisi SNI 03-3242-2994, antara lain:
1. Melakukan pemilahan sampah di sumber.
2. Melakukan pengolahan sampah dengan konsep 3R.
3. Berkewajiban membayar iuran/ retribusi sampah.
4. Mematuhi aturan pembuangan sampah yang ditetapkan.
5. Turut menjaga kebersihan lingkungan sekitarnya.
6. Berperan aktif dalam sosialisai pengelolaan sampah lingkungan.

2.5.2.5. Sub Sistem Teknik Operasional


A. Tingkat Pelayanan
Menurut SK 19-2454-2002 (1991) tingkat pelayanan dapat dibagi dalam beberapa
kondisi sebagai berikut:
a. Wilayah dengan pelayanan intensif adalah daerah di jalan protokol, pusat kota,
kawasan pemukiman tidak teratur dan daerah komersil.
b. Wilayah dengan pelayanan menengah adalah kawasan pemukiman teratur.
c. Wilayah dengan pelayanan rendah adalah daerah pinggiran kota.
B. Daerah Pelayanan
Daerah urban merupakan pusat kota pemukiman dengan pola kepadatan yang lebih
dari 100 jiwa/ha, dengan keterbatasan lahan mengharuskan pengelolaan mendesak. Konsep
pengembangan mengarah pada wilayah terdekat dengan rute pengangkutan.

Rencana Induk Pengelolaan Persampahan Kabupaten Jepara II - 19


LaLAPORAN PENDAHULULaporan Akhir

Daerah dengan daya dukung lahan yang tinggi dan jauh dari rute pengangkutan mendapat
prioritas pengelolaan terakhir disamping itu prioritas pelayanan juga harus memperhatikan
kendala pembiayaan yang ada. Prioritas untuk daerah pelayanan adalah :
a. Daerah komersial, institusi, saluran/sungai, tempat umum, daerah yang berkembang
menjadi daerah pemukiman.
b. Daerah urban dengan kepadatan > 50 jiwa/ha.
c. Sistem Operasional Pengelolaan Sampah
Prinsip penanganan sampah adalah menjauhkan sampah dari sumber ke suatu
tempat pembuangan akhir. Secara umum sistem operasional pengelolaan sampah tersebut
dapat dilihatpada gambar berikut ini:

Timbulan Sampah

Pewadahan/
Pemilihan

Pengumpulan

Pemindahan Dan
Pengolahan
Pengangkutan

Pemrosesan Akhir Sampah

Gambar 2.4.
Teknik Operasional Pengelolaan Sampah

Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi sistem pengelolaan sampah,


berdasarkan SNI 3242-2008, antara lain sebagai berikut:
1. Rencana penggunaan lahan
Penggunaan lahan untuk fasilitas pengelolaan sampah seperti lahan tempat
pemindahan sampah dan TPA harus direncanakan oleh pemerintah setempat.Lahan
yang dipilih harus disesuaikan dengan syarat-syarat yang ditentukan. Pemilihan lahan
yang tepat akan mendukung sistem pengelolaan persampahan.
2. Kepadatan dan penyebaran penduduk
Semakin padat jumlah penduduk, maka semakin besar volume sampah yang
dihasilkan sehingga kebutuhan fasilitas pengelolaan sampah akan semakin banyak
sebanding dengan peningkatan volume sampah. Sistem pengelolaan sampah perlu
disesuaikan pula dengan penyebaran penduduk. Semakin padat penduduk, maka
semakin kompleks sistem pengelolaan sampah yang diperlukan.

Rencana Induk Pengelolaan Persampahan Kabupaten Jepara II - 20


LaLAPORAN PENDAHULULaporan Akhir

3. Karakteristik lingkungan fisik, biologi dan sosial ekonomi


Sistem pengelolaan sampah yang ditentukan oleh pemerintah jangan sampai
merusak lingkungan fisik maupun biologi dan juga perlu mempertimbangkan aspek
sosial ekonomi yang dalam hal ini berkaitan dengan pendanaan dan masyarakat.
4. Kebiasaan masyarakat
Masyarakat yang senantiasa peduli terhadap pengelolaan sampah akan mendukung
kebersihan lingkungan, begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu masyarakat perlu
dibiasakan untuk peduli terhadap lingkungan.Pola makan juga mempengaruhi jenis
sampah yang dihasilkan. Semakin banyak masyarakat yang menkonsumsi makanan
instant, maka jumlah sampah anorganik yang dihasilkan akan makin banyak pula.
5. Karakteristik sampah
Jenis sampah yang dihasilkan akan mempengaruhi pengolahan yang diperlukan.
Sampah organik lebih mudah diolah daripada sampah anorganik.
6. Peraturan – peraturan/aspek legal nasional dan daerah setempat
Teratur tidaknya pengelolaan sampah suatu wilayah sangat bergantung pada
peraturan yang mengaturnya dan komitmen seluruh elemen masyarakat
7. Sarana pengumpulan, pengangkutan, pengolahan dan pembuangan
Semakin banyak sarana pengumpulan dan pengangkutan, maka sampah yang dibuang
tidak pada tempatnya makin berkurang dan semakin banyak pula sampah yang bisa
terangkut ke TPA. Sistem pengolahan yang baik akan mampu mereduksi sampah yang
dibuang ke TPA, sehingga dapat memperpanjang usia TPA. Perlu juga diterapkan
sistem pembuangan sampah yang baik.
8. Lokasi pembuangan akhir
Lokasi pembuangan akhir harus ditentukan sesuai dengan syarat-syarat pemilihan
lokasi, sehingga tidak ada pihak-pihak yang dirugikan.
9. Biaya yang tersedia
Semakin banyak biaya yang tersedia untuk pengolahan sampah, akan semakin baik
sistem yang bisa diusahakan oleh pemerintah.
10. Rencana tata ruang dan pengembangan kota
Sistem pengelolaan sampah harus menjadi salah satu hal yang dipertimbangkan
dalam penyusunan rencana tata ruang dan pengembangan kota, sehingga
pengembangan kota akan diikuti dengan penambahan sarana pengelolaan sampah.

Rencana Induk Pengelolaan Persampahan Kabupaten Jepara II - 21


LaLAPORAN PENDAHULULaporan Akhir

11. Iklim dan musim


Sampah kering lebih mudah diolah daripada sampah basah, jika hujan maka volume
sampah basah akan bertambah, sehingga wadah sampah seharusnya diberi tutup. Hal
ini menunjukkan bahwa musim sangat mempengaruhi sistem pengelolaan sampah.
Prinsip penanganan sampah adalah menjauhkan sampah dari sumber ke suatu
tempat pembuangan akhir.
1. Sistem Pewadahan
Menurut SNI 3242-2008, pewadahan sampah adalah suatu cara penampungan
sampah sementara di sumbernya baik individual maupun komunal. Pewadahan sampah tidak
ada ketentuan tentang pewadahan sampah yang harus digunakan oleh masyarakat, baik
bentuk, ukuran maupun bahan wadah sampah.
Pengadaan dan pemeliharaan wadah sampah merupakan tanggung jawab masing-
masing penghasil sampah baik kelompok masyarakat dalam pemukiman ataupun di pusat
kegiatan yang lain. Pemerintah daerah atau dinas kebersihan hanya menyediakan dan
memelihara wadah sampah yang ada di jalan. Sedangkan menurut (Damanhuri 2010) pola
dan karakteristik pewadahan sampah seperti pada tabel berikut :
Tabel 2.4.
Pola dan Karakteristik Pewadahan Sampah
Pola Pewadahan
No Karakteristik
Individu Komunal
1 Bentuk/ Jenis Kotak, silinder, kontainer, bin Kotak, silinder, kontainer, bin (tong),
(tong), semua tertutup
semua tertutup, dan kantong
plastik
2 Sifat Ringan, mudah dipindahkan, Ringan, mudah dipindahkan,
dan mudah dikosongkan dan mudah dikosongkan
3 Bahan Logam, plastik, fiberglass, Logam, plastik, fiberglass, kayu,
kayu, bambu, rotan
bambu, rotan, kertas
4 Volume Pemukiman dan toko kecil Pinggir jalan dan taman = 30 - 40 L
10 - 40 L Pemukiman dan pasar = 100 - 1000 L
5 Pengadaan Pribadi, instansi, pengelola Instansi, pengelola
Sumber: Damanhuri, 2010

Berdasarkan SNI 3242-2008, jumlah wadah sampah per rumah minimal 2 buah,
dengan tujuan untuk memilah jenis sampah mulai di sumber:
a. Wadah sampah organik untuk mewadahi sampah sisa sayuran, sisa makanan, kulit
buah – buahan, dan daun – daunan menggunakan wadah dengan warna gelap.

Rencana Induk Pengelolaan Persampahan Kabupaten Jepara II - 22


LaLAPORAN PENDAHULULaporan Akhir

b. Wadah sampah anorganik untuk mewadahi sampah jenis kertas, kardus, botol, kaca,
plastik, dan lain – lain menggunakan wadah warna terang.
Tabel 2.5.
Contoh Wadah dan Penggunaannya
Umur wadah (life
No. Wadah Kapasitas Pelayanan Keterangan
time)
1 Kantong 10 - 40 L 1 KK 2 - 3 hari Individual
plastik
2 Bin 40 L 1 KK 2 - 3 tahun Maksimal
pengambilan
3 hari 1 kali
3 Bin 120 L 2 - 3 KK 2 - 3 tahun Toko
4 Bin 240 L 4 - 6 KK 2 - 3 tahun
5 Kontainer 1000 L 80 KK 2 - 3 tahun Komunal
6 Kontainer 500 L 40 KK 2 - 3 tahun Komunal
7 Bin 30 - 40 L Pejalan 2 - 3 tahun
kaki,
Taman
Sumber: Damanhuri, 2010

Berdasarkan Permen PU Nomor 21/PRT/M/2006, diperlukan adanya pengurangan


volume sampah di mulai dari masyarakat dimana dalam hal ini adalah sumber timbulan.
Selain pemilahan berdasarkan jenis pewadahannya, menurut Sejati (2009), adapun prinsip –
prinsip 4R yang bisa diterapkan dalam keseharian yaitu sebagai berikut:
a. Reduce (mengurangi)
Meminimalisasi barang atau mengurangi material yang kita gunakan. Semakin banyak
kita menggunakan material, semakin banyak sampah yang dihasilkan.
b. Reuse (memakai kembali)
Memilih barang – barang yang bisa dipakai kembali, menghindari pemakaian barang –
barang yang disposable (sekali pakai, buang).
c. Replace (mengganti)
Memakai barang – barang yang ramah lingkungan. Misalnya, tas kresek diganti
dengan keranjang dan jangan pergunakan styrofoam karena kedua bahan ini (tas
kresek dan styrofoam) tidak terdegradasi secara alamiah.
d. Recycle (mendaur ulang)
Tidak semua barang bisa didaur ulang, namun saat ini sudah ada industri non-formal
dan rumah tangga yang memanfaatkan sampah menjadi barang lain.

Rencana Induk Pengelolaan Persampahan Kabupaten Jepara II - 23


LaLAPORAN PENDAHULULaporan Akhir

2. Sistem Pengumpulan
Pengumpulan sampah adalah proses penanganan sampah dengan cara pengumpulan
dari masing - masing sumber sampah untuk diangkut ke tempat pembuangan sementara atau
langsung ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) tanpa melalui proses pemindahan (SNI 3242-
2008).Termasuk dalam sistem pengumpulan adalah penyapuan jalan atau pembersihan
selokan. Pola pengumpulan dapat dilihat pada Gambar 2.5 sebagai berikut:

Sumber: SNI 3242-2008


Gambar 2.5.
Pola Pengumpulan Sampah

Menurut SNI 3242-2008, pola pengumpulan sampah terdiri dari :


a. Pola individual langsung
Merupakan proses pengumpulan sampah dengan cara mengumpulkan sampah dari
setiap sumber sampah dan diangkut langsung ke TPA tanpa melalui proses
pemindahan.
Persyaratan :
 Kondisi topografi bergelombang (lebih dari 8 %), alat pengumpul non mesin sulit
beroperasi.
 Jalan cukup lebar dan operasi tidak mengganggu.
 Kondisi dan jumlah alat memungkinkan.

Rencana Induk Pengelolaan Persampahan Kabupaten Jepara II - 24


LaLAPORAN PENDAHULULaporan Akhir

 Jumlah timbulan sampah besar (lebih dari 0,5 m3/hari).


Pola ini diterapkan untuk kota sedang dan kecil, karena kesederhanaan
pengendaliannya, jarak ke TPA tidak jauh, daerah pelayanan tidak luas dan sulit
dijangkau.
b. Pola individual tak langsung
Merupakan proses pengumpulan dengan cara mengumpulkan sampah dari sumber
sampah dan diangkut ke TPA melalui proses pemindahan.
Persyaratan :
 Partisipasi masyarakat rendah.
 Lahan untuk lokasi pemindahan tersedia.
 Kondisi topografi relatif datar (rata-rata < 5 %) dapat menggunakan alat
pengumpul non mesin (gerobak, becak).
 Jalan cukup lebar dan operasi tidak mengganggu.
 Organisasi harus siap dengan sistem pengendalian.
 Jadwal selaras antara pengumpul dan pengangkutan.
Pola ini diterapkan untuk kota sedang dan besar, terutama pada perumahan ekonomi
sedang dan tinggi, pertokoan dan komersial. Pola ini secara unit biaya merupakan
alternatif termahal.
c. Pola komunal langsung
Merupakan proses pengumpulan dengan cara mengumpulkan sampah dari setiap
titik pewadahan komunal langsung diangkut ke TPA tanpa proses pemindahan.
Persyaratan :
 Alat bantu terbatas.
 Pengendalian alat dan personil terbatas.
 Alat pengumpul sulit menjangkau sumber sampah.
 Peran serta masyarakat tinggi.
 Wadah komunal mudah dijangkau alat pengangkut.
Secara unit biaya merupakan alternatif termurah, karena komponen aktivitas
sederhana, kebutuhan alat dan tenaga rendah.
d. Pola komunal tak langsung
Merupakan proses pengumpulan dengan cara mengumpulkan sampah dari setiap
titik pewadahan komunal, ke lokasi pemindahan lalu diangkut ke TPA.
Persyaratan :
 Peran serta mayarakat tinggi

Rencana Induk Pengelolaan Persampahan Kabupaten Jepara II - 25


LaLAPORAN PENDAHULULaporan Akhir

 Wadah komunal sesuai kebutuhan dan lokasinya mudah dijangkau


 Lahan untuk lokasi pemindahan tersedia
 Kondisi topografi datar
 Organisasi pengelola harus ada
Pola ini biasanya sangat cocok untuk Kota Metropolitan dan Kota Besar yang
kecepatan pertumbuhannya tinggi.
e. Pola penyapuan jalan
Merupakan proses pengumpulan sampah hasil penyapuan jalan dengan
menggunakan gerobak.
Adapun syarat penyapuan jalan adalah:
 Juru sapu harus mengetahui cara penyapuan untuk setiap daerah pelayanan.
 Penanganan penyapuan jalan untuk setiap daerah berbeda tergantung pada
fungsi dan nilai daerah yang dilayani.
 Pengumpulan sampah hasil penyapuan jalan diangkut ke lokasi pemindahan
unuk kemudian diangkut ke TPA.
 Pengendalian personel dan peralatan harus baik.
Tipe tempat pengumpulan dapat dilihat pada tabel berikut sebagai berikut :
Tabel 2.6.
Tipe Tempat Pengumpulan
Sifat Bahan Kebaikan Kekurangan Keterangan
Tetap Batu bata (bak Tahan lama, volume Tidak estetis, Tidak
sampah) besar 1 – 8 m3 operasi sulit, dianjurkan
bahaya lecheate
Semi Besi, seng (tong Tahan lama, volume 1 Operasi sulit, Lebih baik
tetap sampah pakai – 2 m3 mahal, sering tidak
tiang dan tutup) hilang dianjurkan
Tidak Bin, plastik, Relatif tahan lama, Operasi murah, Dianjurkan
tetap keranjang bambu fleksibel 6 – 8 m3 mudah, estetis
Sumber : Pelatihan Tingkat Lanjutan Bidang Persampahan (I).1994

3. Sistem Pemindahan
Pemindahan sampah merupakan tahap pemindahan sampah hasil pengumpulan ke
dalam alat pengangkut untuk dibawa ke Tempat Pembuangan Akhir (SNI 3242-2008). Sarana
pemindahan radius pelayanan tiap lokasi maksimum 1 km. Lokasi pemindahan harus
memperhatikan ketentuan-ketentuan seperti :
a. Letak harus memudahkan bagi sarana pengumpul dan pengangkut untuk masuk dan
keluar dari lokasi pemindahan.

Rencana Induk Pengelolaan Persampahan Kabupaten Jepara II - 26


LaLAPORAN PENDAHULULaporan Akhir

b. Letak tidak jauh dari sumber sampah.


c. Berdasarkan sifat lokasi pemindahan terdiri dari terpusat (transfer depo) dan tersebar
(transfer depo tipe II dan tipe III).
Berdasarkan proses operasinya, sistem pemindahan dapat diklasifikasikan sebagai
berikut :
a. Tidak Langsung
Terdiri atas 2 tahapan, yaitu :
 Pembuangan sampah dari alat pengumpul ke lokasi pemindahan.
 Pemindahan sampah dari lokasi pemindahan ke alat angkut.
Lokasi pemindahan umumnya berupa bak beton/ pasangan bata (5 – 10 m3) atau
tanah terbuka. Kelemahan sistem pemindahan tidak langsung adalah proses yang
berlangsung tidak lengkap, tidak praktis dan membutuhkan waktu lebih lama.
b. Langsung
Pada proses ini, sampah hasil pengumpulan dipindahkan ke dalam kontainer yang
nantinya ikut dibawa alat pengangkut. Volume kontainer 5 – 10 m3. Cara pemindahan
sampah dapat dilakukan sebagai berikut :
 Secara manual oleh petugas pengumpul
 Secara mekanis dengan menggunakan alat bantu mekanis
 Dengan cara campuran, pengisisan kontainer dilakukan secara manual oleh
petugas pengumpul, sedangkan pengangkutan kontainer ke atas truk dilakukan
secara mekanis (load haul).
Tabel 2.7.
Tipe Pemindahan
No Uraian Transfer Depo Tipe I Transfer Depo Tipe II Transfer Depo Tipe III
1 Luas > 200 m2 60 m2 - 200 m2 10 - 20 m2
Lahan
2 Fungsi 1. Tempat pertemuan 1. Tempat pertemuan 1. Tempat pertemuan
peralatan peralatan gerobak
pengumpul sebelum pengumpul dan kontainer ( 6 -
pemindahan danpengangkutan 10 m3)
2. Tempat sebelum 2. Lokasi penempatan
penyimpanan pemindahan kontainer
atau kebersihan 2. Tempat parkir komunal(1 - 10 m3)
3. Bengkel sederhana gerobak
4. Kantor wilyah/ 3. Tempat pemilahan
pengendali
5. Tempat Pemilahan
6. Tempat
Pengomposan

Rencana Induk Pengelolaan Persampahan Kabupaten Jepara II - 27


LaLAPORAN PENDAHULULaporan Akhir

No Uraian Transfer Depo Tipe I Transfer Depo Tipe II Transfer Depo Tipe III
3 Daerah Baik sekali untuk Daerah padat tapi masih Daerah yang sulit
Pemakai daerah yang mudah ada lahan mendapat lahan
mendapat lahan yang kosong dan
daerah protokol
Sumber: SNI 19-2454-2002
4. Sistem Pengangkutan
Pengangkutan sampah adalah tahap membawa sampah dari lokasi pemindahan atau
langsung dari sumber sampah ke tempat pembuangan akhir (SNI 3242-2008). Menurut SNI
19-2454-2002 pola pengangkutan dapat dilakukan dengan metode :
a. Pengangkutan sampah dengan sistem pengumpulan individual langsung (door to
door) dengan prinsip:
 Truk pengangkut sampah dari pool menuju titik sumber sampah pertama untuk
mengambil sampah
 Selanjutnya mengambil sampah pada titik-titik sumber sampah berikutnya
sampai truk penuh sesuai dengan kapasitasnya
 Selanjutnya diangkut ke TPA sampah
 Setelah pengosongan di TPA, truk menuju ke lokasi sumber sampah berikutnya,
sampai terpenuhi ritasi yang ditetapkan.
b. Pengangkutan sampah dengan sistem pengumpulan sampah dengan transfer depo,
dengan prinsip :
 Dari pool alat angkut keluar langsung ke lokai pemindahan unuk mengangkut
sampah ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
 Dari Tempat Pembuangan Akhir (TPA) alat pengangkut kembali ke transfer depo,
mengambil sampah untuk ritasi selanjutnya.
c. Pengumpulan sampah dengan sistem kontainer, dibagi menjadi :
 Sistem kontainer yang diangkut.
 Sistem Kontainer yang Diganti
 Sistem Kontainer Tetap
Berdasarkan SNI 19-2454-2002 persyaratan peralatan dan perlengkapan yang
digunakan adalah sebagai berikut :
a. Sampah harus tertutup selama pengangkutan, minimal ditutup dengan jaring
b. Tinggi bak maksimum 1,6 m
c. Sebaiknya ada alat ungkit
d. Disesuaikan dengan kondisi jalan yang akan dilalui
e. Disesuaikan dengan kemampuan dana pengadaan dan teknik pemeliharaan

Rencana Induk Pengelolaan Persampahan Kabupaten Jepara II - 28


LaLAPORAN PENDAHULULaporan Akhir

Jenis peralatan yang digunakan dapat berupa :


a. Truk (ukuran besar atau kecil)
b. Dump truck/tipper truck
c. Arm roll truck
d. Compactor truck
e. Truk dengan crane
f. Mobil penyapu jalan
g. Truk gandengan
Dari jenis peralatan yang disebutkan di atas, jenis kendaraan truk terbuka, dump
truck dan armroll truck yang biasa sering digunakan sebagai sarana pengangkutan.
Perbandingan ketiga jenis alat tersebut dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 2.8.
Jenis Peralatan Pengangkutan dan Karakteristiknya
Jenis Kendaraan Kapasitas Kekurangan Kebaikan
3
Truk bak-terbuka (kayu) 8m 1. Tenaga banyak 1. Biaya O & M rendah
10 m3 2. Perlu penutup 2. Sesuai untuk door to
12m3 3. Operasi lambat door
3. Umur 5 tahun
4. 2-3 rit/hari
3
Dump Truk 6m 1. Tenaga banyak 1. Biaya O & M rendah
8 m3 2. Perlu penutup 2. Untuk pasar &door to
10m3 3. Operasi cepat door
4. Bising 3. Mobilitas tinggi
4. Umur 5-7 tahun
5. 2-3 rit/hari
3
Arm roll truck/truk 6m 1. Mahal 1. Mobilitas tinggi
kontainer 8 m3 2. Perlu container 2. Fleksibel dan elastis
3. Biaya O&M 3. Untuk pemukiman &
tinggi pasar
4. Umur 5 tahun
5. 5 rit/hari
Sumber : SNI 3242-2008

5. Sistem Pengolahan dan Daur Ulang Sampah


Pengolahan sampah merupakan kegiatan yang dimaksudkan untuk mengurangi
jumlah sampah, disamping memanfaatkan nilai yang masih terkandung dalam sampah itu
sendiri (bahan daur ulang, produk lain, dan energi). Teknik – teknik pengolahan sampah
dapat berupa (Dirjen Cipta Karya, 2012) :
a. Pengomposan
 Berdasarkan kapasitas (individual, komunal, dan skala lingkungan)

Rencana Induk Pengelolaan Persampahan Kabupaten Jepara II - 29


LaLAPORAN PENDAHULULaporan Akhir

 Berdasarkan proses (alami, biologis dengan cacing, biologis dengan


mikroorganisme, tambahan)
b. Insenerasi yang berwawasan lingkungan
c. Daur ulang
 Sampah anorganik disesuaikan dengan jenis sampah
 Menggunakan kembali sampah organik sebagai makanan ternak
d. Pengurangan volume sampah dengan pencacahan atau pemadatan
e. Biogasifikasi (pemanfaatan energi hasil pengolahan sampah)

6. Sistem Pemrosesan Akhir Sampah


Landfilling atau penimbunan merupakan pilihan pembuangan tertua dan yang paling
banyak dipraktekan. Lahan penimbunan telah dikembangkan dari tak terkendali (uncontrolled
dumping) menjadi lebih baik dengan pengolahan yang dirancang dan dikelola dengan ilmu
rekayasa. Dimana terdapat penanganan untuk instalasi gas yang timbul dari proses
dekomposisi bioreaksi sampah, yang mana dapat dimanfaatkan sebagai energi. Peralatan dan
perlengkapan yang digunakan di TPA sampah sebagai berikut (SNI 19-2454-2002):
a. Buldoser untuk perataan, pengurugan, dan pemadatan.
b. Crawl/ track dozer untuk pemadatan pada tanah lunak.
c. Wheel dozer untuk perataan, pengurugan.
d. Loader dan powershowel untuk penggalian, perataan, pengurugan, dan pemadatan.
e. Dragline untuk penggalian dan pengurugan.
f. Scrapper untuk pengurugan tanah dan perataan.
g. Comapctor (landfill compactor) untuk pemadatan timbunan sampah pada lokasi
dalam.
Beberapa metoda Pemrosesan Akhir, meliputi :
a. Metoda Penimbunan Terbuka (Open dumping)
Penimbunan Terbuka adalah proses penimbunan sampah di TPA tanpa melalui proses
pemadatan dan penutupan secara berkala (UU No. 18 Tahun 2008). Dimana metode
ini merupakan suatu sistem pemrosesan akhir yang paling sederhana, dimana
sampah hanya ditimbun di suatu tempat tanpa tindak lanjut berikutnya. Timbunan
sampah terbuka dapat menimbulkan gangguan terhadap lingkungan berupa bau,
lalat, pencemaran air, estetika dan lain-lain. Metoda ini tidak direkomendasikan
untuk digunakan lagi (Sudirman, 2005).

Rencana Induk Pengelolaan Persampahan Kabupaten Jepara II - 30


LaLAPORAN PENDAHULULaporan Akhir

 Fasilitas yang diperlukan


Fasilitas yang diperlukan dalam pembuangan sampah dengan metoda open
dumping adalah sebagai berikut:
a. Jalan masuk ke lokasi TPA.
b. Jalan operasi di dalam TPA.
c. Pos jaga.
d. Memenuhi syarat sebagai lokasi TPA.
e. Saluran drainase.
f. Konstruksi kedap air (lempung).
g. Alat berat sewa/Institusi lain.
 Kebaikan Sistem Open dumping :
a. Biaya penanganannya relatif murah
b. Dapat menampung berbagai jenis sampah.
c. Memanfaatkan lahan yang tidak digunakan
d. Dalam waktu lama dapat menyuburkan lahan tersebut.
 Kelemahan Sistem Open dumping :
a. Mudahnya berkembang hama tikus, insekta, mikroorganisme dan organisme
lainya.
b. Pencemaran air karena lindi yang dihasilkan.
c. Penurunan nilai estetika lingkungan, karena sampah dibiarkan begitu saja.
Metode penimbunan terbuka ini dapat dideskripsikan pada gambar berikut:

Sampah
Muka tanah

Sumber: Sudirman, 2005


Gambar 2.6.
Metode Open dumping

b. Metode Lahan Urug Terkendali (Controlled Landfill)


Metode Lahan Urug Terkendali adalah metode pengurugan di areal pengurugan
sampah, dengan cara dipadatkan dan ditutup dengan tanah penutup sekurang-

Rencana Induk Pengelolaan Persampahan Kabupaten Jepara II - 31


LaLAPORAN PENDAHULULaporan Akhir

kurangnya setiap tujuh hari. Metode ini merupakan metode yang bersifat antara,
sebelum mampu menerapkan metode lahan urug saniter (UU No. 18 Tahun 2008).
Metode ini merupakan perbaikan dari open dumping, dimana sampah secara
bertahap ditutup dengan lapisan tanah untuk mengurangi kemungkinan gangguan
pencemaran terhadap lingkungan sekitarnya. Selain itu perlu dilakukan usaha
proteksi pencemaran leachate dan gas dengan cara yang sederhana seperti:
Pengumpulan leachate didasar TPA, Pengumpulan dan penyaluran gas methane,
Pengolahan leachate di dalam kolam-kolam, Pemagaran lokasi dan sistem drainase
merupakan fasilitas tambahan. Pada akhir pengoperasiannya TPA ini semua timbunan
sampah akan tertutup oleh lapisan tanah (Sudirman, 2005).
 Fasilitas yang diperlukan antara lain :
a. Jalan masuk lokasi TPA.
b. Jalan operasi didalam TPA.
c. Tempat penimbangan.
d. Pos jaga.
e. Memenuhi standart sebagai lokasi TPA.
f. Saluran drainase.
g. Tanah penutup berkala.
h. Konstruksi kedap air (lempung).
i. Pipa pengumpul lindi.
j. Pipa ventilasi gas.
k. Instalasi pengolahan lindi.
l. Kendaraan pengangkut sampah.
m. Peralatan berat
 Langkah yang dilaksanakan dalam pengelolaan akhir sampah sistem Controlled
Landfill adalah :
a. Penyiapan lahan Tempat Pengelolaan Akhir.
 Pembuatan petak Tempat Pengelolaan Akhir.
 Pekerjaan penggalian dan pengurugan tanah.
b. Pemusnahan Sampah
 Pembuangan sampah yang diturunkan dari truk sampah ke lahan yang
telah disediakan.
 Penyebaran sampah dengan tenaga manusia atau alat lainnya.
 Pemadatan sampah dengan alat-alat berat.

Rencana Induk Pengelolaan Persampahan Kabupaten Jepara II - 32


LaLAPORAN PENDAHULULaporan Akhir

 Pekerjaan pelapisan akhir sampah dengan tanah penutup.


 Kebaikan Sistem Controlled Landfill :
a. Mudah dilaksanakan karena menggunakan metode yang sederhana
b. Lahan yang tersedia tidak memerlukan konstruksi.
c. Murah dalam operasi dan pemeliharaan karena sistem dan peralatan yang
digunakan tidak terlalu kompleks.
d. Tidak menimbulkan dampak negatif bagi estetika kota karena sampah tidak
tersebar sembarangan.
e. Tidak mengakibatkan dampak negatif bagi kesehatan lingkungan karena
gangguan bau sampah dan penyebaran vektor penyakit dapat dihindari.
 Kelemahan Sistem Controlled Landfill :
a. Memerlukan luas lahan yang cukup besar untuk lokasi Tempat Pengelolaan
Akhir.
b. Memerlukan anggaran biaya khusus untuk pembayaran tenaga operasional
serta operasi dan pemeliharaan peralatan.
c. Kurang memperhatikan segi perlindungan kualitas lingkungan karena air
luruhan hasil dekomposisi sampah (lindi) tidak mengalami pengolahan.
Deskripsi mengenai pengolahan sampah Metode Lahan Urug Terkendali (Controlled
Landfill) dapat dilihat pada gambar berikut.:
Lapisan Tanah Penutup Sampah

Muka Tanah

Sumber: Sudirman, 2005


Gambar 2.7.
Pengolahan Sampah Controlled Landfill di TPA

c. Metode Lahan Urug Saniter (Sanitary Landfill)


Metode Lahan Urug Saniter adalah metode pengurugan di areal pengurugan sampah
yang disiapkan dan dioperasikan secara sistematis, dengan penyebaran dan
pemadatan sampah pada area pengurugan serta penutupan sampah setiap hari (UU
No. 18 Tahun 2008).
Pada metode ini penutupan dengan lapisan tanah dilakukan pada tahap akhir hari
operasi, sehingga setelah operasi berakhir tidak akan terlihat adanya timbunan

Rencana Induk Pengelolaan Persampahan Kabupaten Jepara II - 33


LaLAPORAN PENDAHULULaporan Akhir

sampah. Selain itu upaya pengendalian leachate dan gas lebih baik/aman dari
sebelumnya. Kelemahan dari metode ini adalah biaya operasi dan pemeliharaan yang
mahal sehingga umumnya Pemerintah Daerah belum mampu melaksanakannya
(Sudirman, 2005).
 Fasilitas yang diperlukan
a. Jalan masuk lokasi TPA.
b. Jalan operasi didalam TPA.
c. Tempat penimbangan.
d. Pos jaga.
e. Saluran drainase.
f. Konstruksi kedap air (lempung).
g. Tanah penutup harian/rutin.
h. Pipa pengumpul lindi.
i. Pipa ventilasi gas
j. Instalasi pengolah lindi.
k. Kendaraan pengangkut sampah.
l. Peralatan berat
 Kebaikan Sanitary Landfill :
a. Sistem ini sangat fleksibel dalam penanganan saat terjadi fluktuasi dalam
jumlah timbulan sampah.
b. Mampu menerima segala jenis sampah sehingga mengurangi pekerjaan
pemisahan awal sampah.
c. Memberikan dampak positif bagi estetika kota, yang mungkin timbul akibat
adanya sampah dapat dieliminasi.
d. Adanya penanganan khusus untuk leachate dan gas hasil dekomposisi
sampah agar tidak mencemari lingkungan.
e. Luas lahan yang dibutuhkan untuk sistem sanitary landfill lebih kecil dari pada
sistem open dumping karena pengurangan volume akibat pemadatan
 Kekurangan Sistem Sanitary Landfill :
a. Metode yang diterapkan cukup kompleks, sehingga memerlukan peralatan
dan konstruksi khusus.
b. Biaya pembangunan awal cukup mahal.

Rencana Induk Pengelolaan Persampahan Kabupaten Jepara II - 34


LaLAPORAN PENDAHULULaporan Akhir

Tanah Penutup akhir


Lapisan Tanah Penutup Tanah Penutup

Muka Tanah

Muka Tanah
Pipa Penangkap Leadhate

Sumber: Sudirman, 2005


Gambar 2.8.
Pengolahan Sampah Sanitary Landfill di TPA

d. Persyaratan Lokasi TPA


Persyaratan lokasi TPA berdasarkan SNI 3242-2008, adalah sebagai berikut:
 Sudah tercakup dalam perencanaan tata ruang kota dan daerah
 Jenis tanah kedap air
 Daerah yang tidak produktif untuk pertanian
 Dapat dipakai minimal untuk 5-10 tahun
 Tidak membahayakan/ mencemari sumber air
 Jarak dari daerah pusat pelayyanan ± 10 km
 Daerah bebas banjir
Fasilitas yang diperlukan dalam operasional TPA adalah sebagai berikut.
 Fasilitas umum
a. Jalan masuk
b. Jalan operasi
Terdiri dari jalan operasi penimbunan sampah yang bersifat temporer dan
jalan penghubung antar fasilitas yang bersifat permanen.
c. Bangunan Penunjang
Seperti pusat pengendali TPA untuk monitoring/ pengawasan, teknis -
administrasi, persediaan tanah penutup, fasilitas keamanan, bengkel dan
gudang/garasi berikut fasilitas listrik, air bersih, tempat cuci kendaraan dan
fasilitas sanitasi (kamar mandi/WC), gudang serta jembatan timbang.
d. Drainase
Berupa drainase permanen maupun operasional. Drainase permanen
berfungsi untuk mengalirkan air dari luar TPA agar tidak melintasi TPA dan

Rencana Induk Pengelolaan Persampahan Kabupaten Jepara II - 35


LaLAPORAN PENDAHULULaporan Akhir

mengalirkan limpasan air hujan agar keluar dari TPA. Sedangkan drainase
operasional dibuat pada zone yang akan dioperasikan, sekitar pembentukan
sel-sel menuju ke arah saluran drainase tetap, setelah sel selesai tidak
diperlukan lagi.
e. Pagar kerja
Berfungsi untuk mencegah masuknya binatang atau manusia yang tidak
berkepentingan serta untuk mencegah sampah plastik/ kertas beterbangan
keluar lokasi TPA dan juga berfungsi sebagai pembatas wilayah operasional
TPA dan untuk menjaga keamanan lingkungan TPA.
f. Papan nama
Berisi nama TPA, lokasi TPA, jenis sampah dan pengolahan sampah di TPA,
pengelola, dan waktu kerja.
g. Zona Penyangga
Berupa jalur hijau/ pagar tanaman sekitar TPA dengan jenis tanaman tinggi
dan kerapatan pohon 2-5 m. Selain itu juga untuk menjaga estetika TPA.
 Fasilitas Perlindungan Lingkungan
Fasilitas TPA yang harus ada meminimasi dampak lingkungan di sekitar TPA,
antara lain:
a. Saluran Pengumpul Lindi
Berfungsi unutuk menangkap perkolasi lindi dari timbunan sampah. Terdiri
dari saluran primer dan sekunder. Saluran sekunder akan menerima aliran
dari dasar lahan sedangkan saluran primer berupa pipa yang menuju bak
pengumpul lindi. Pengaliran secara gravitasi.
b. Sistem Pengolahan Lindi
Berfungsi untuk menghilangkan atau mengurangi kandungan pencemar
dalam lindi agar dapat dibuang ke badan air penerima tanpa mencemari.
c. Ventilasi Gas
Berfungsi untuk mengalirkan dan mengurangi akumulasi tekanan gas, baik
secara vertikal maupun horisontal. Berupa pipa ventilasi yang dipasang dari
dasar TPA secara bertahap pada setiap lapisan sampah.
d. Sumur Uji
Berfungsi untuk mengetahui apakah terjadi perubahan kualitas air tanah
akibat operasi TPA, lokasi sebelum lokasi penimbunan sampah, lokasi di kuar
area penimbunan dan lokasi setelah penimbunan.

Rencana Induk Pengelolaan Persampahan Kabupaten Jepara II - 36


LaLAPORAN PENDAHULULaporan Akhir

 Peralatan operasional TPA


Menurut SNI 3242-2008, peralatan yang umum digunakan dalam operasional
TPA, antara lain sebagai berikut :
a. Buldozer untuk perataan, pengurugan dan pemadatan.
b. Crawl/ truck dozer untuk pemadatan pada tanah lunak
c. Wheel dozer untuk perataan dan pengurugan
d. Loader dan Powershowel untuk penggalian, perataan, pengurugan dan
pemadatan.
e. Dragline untuk penggalian dan pengurukan
f. Scraper untuk pengurugan tanah dan perataan.
g. Compactor untuk pemadatan sampah pada lokasi datar.

2.5.3. Asas Pengelolaan Sampah


Berdasarkan UU No. 18 Tahun 2008 tentang pengelolaan sampah, pengelolaan
sampah diselenggarakan berdasarkan Asas-asas sebagai berikut:
1. Asas Tanggung Jawab
Pemerintah dan Pemerintah Daerah mempunyai tanggung jawab pengelolaan
sampah dalam mewujudkan hak masyarakat terhadap lingkungan hidup yang baik
dan sehat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Asas Berkelanjutan
Pengelolaan sampah dilakukan dengan menggunakan metode dan teknik yang ramah
lingkungan sehingga tidak menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan
masyarakat dan lingkungan, baik pada generasi masa kini maupun pada generasi yang
akan datang.
3. Asas Manfaat
Pengelolaan sampah perlu menggunakan pendekatan yang menganggap sampah
sebagai sumber daya yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat.
4. Asas Keadilan
Dalam pengelolaan sampah, pemerintah dan pemerintah daerah memberikan
kesempatan yang sama kepada masyarakat dan dunia usaha untuk berperan secara
aktif dalam pengelolaan sampah.

Rencana Induk Pengelolaan Persampahan Kabupaten Jepara II - 37


LaLAPORAN PENDAHULULaporan Akhir

5. Asas Kesadaran
Dalam pengelolaan sampah, pemerintah dan pemerintah daerah mendorong setiap
orang agar memiliki sikap, kepedulian, dan kesadaran untuk mengurangi dan
menangani sampah yang dihasilkannya.
6. Asas Kebersamaan
Pengelolaan sampah diselenggarakan dengan melibatkan seluruh pemangku
kepentingan.
7. Asas Keselamatan
Pengelolaan sampah harus menjamin keselamatan manusia.
8. Asas Keamanan
Pengelolaan sampah harus menjamin dan melindungi masyarakat dari berbagai
dampak negatif.
9. Asas Nilai Ekonomi
Sampah merupakan sumber daya yang mempunyai nilai ekonomi yang dapat
dimanfaatkan sehingga memberikan nilai tambah.

2.5.4. Kebutuhan Peralatan/Bangunan dan Personil


Seperti yang telah dijelaskan di bagian sebelumnya, bahwa terdapat beberapa
klasifikasi pengelolaan sampah. Berdasarkan klasifikasi pengelolaan tersebut, maka
ditetapkan kebutuhan minimal peralatan/ bangunan dan personilnya. Tabel berikut
memberikan deskripsi jelas mengenai kebutuhan minimal peralatan/bangunan dan personil
klasifikasi pengelolaan sampah.
Tabel 2.9.
Kebutuhan Minimal Peralatan/Bangunan dan Personil
Klasifikasi I II III IV
No Pengelolaan 80 81-500 501-2000 > 2000
Jenis Peralatan Rumah Rumah Rumah Rumah
1 Timbulan sampah 0,5m3 7,5m3 30m3 >30m
 Wadah indvidual 50-80 buah 81-500 buah 501 - >2.000
 Wadah komunal 3 buah 2.000 buah
12 buah >12 buah
2 Alat pengumpul
 Gerobak sampah/ 1 3 buah 16 buah >16 buah
sejenisnya
3 Alat angkut
 Mini truk 1 buah 1 buah >1 buah
 Truk sampah >1 buah
 Arm roll truck + kontainer

Rencana Induk Pengelolaan Persampahan Kabupaten Jepara II - 38


LaLAPORAN PENDAHULULaporan Akhir

Klasifikasi I II III IV
No Pengelolaan 80 81-500 501-2000 > 2000
Jenis Peralatan Rumah Rumah Rumah Rumah
4 Transfer depo I
Transfer depo II 1 buah 1 buah >1 buah
Transfer depo III >1 buah
5 Kebutuhan personil
 Pengumpul 1 4 16 >16
 Pengangkutan, 6 8 >8
Pemrosesan Akhir & staf
administrasi
Sumber: SNI3242-1008

Rencana Induk Pengelolaan Persampahan Kabupaten Jepara II - 39

Anda mungkin juga menyukai