PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Pendidikan matematika terdiri dari dua kata; pendidikan dan matematika. Ribuan
intelektual mendefinisikan masing-masing kata tersebut dalam bahasa mereka sendiri.
Matematika dimaknai berbeda oleh kaum absolutis dan fallibilis. Sementara di sisi lain,
pendidikan dimaknai berbeda antara kaum industrial,humanis tua, ataupun konstruktivisme
sosial.
Filsafat matematika memberikan rekaman sifat dan metodologi matematika serta
memahamkan kedudukan matematika di dalam kehidupan manusia. Benar bahwasanya
kebenaran matematika mutlak, bahwa matematika adalah pengetahuan yang pasti,
pengetahuan yang obyektif dan yang tidak perlu dipertanyakan serta bersifat obyektif. Hal ini
berlawanan dengan pandangan fallibilis yang menentang bahwa kebenaran matematika adalah
sesuatu yang dapat diperbaiki dalam arti dapat direvisi dan dikoreksi. Kebenaran matematika
bisa saja keliru dan bisa saja benar, dan tidak pernah bisa dianggap bebas.
Banyak yang membuat absolutis-fallibilis berbeda. Pandangan absolutist matematika
menyatakan bahwa kebenaran matematika adalah pasti secara mutlak, dan bahwa matematika
adalah ilmu pengetahuan yang tidak diragukan lagi dan objektif. Pandangan ini bertentangan
dengan pandangan fallibilist yang menyatakan bahwa matematika dapat direvisi dan dikoreksi.
Pandangan fallibilist memiliki dua bentuk yang ekuivalen, satu positif dan satu negatif. Bentuk
negatifnya menitikberatkan pada penolakan absolutisme yang menurutnya, pengetahuan
matematika bukanlah kebenaran absolut dan tidak memiliki validitas absolut. Sedangkan,
bentuk positifnya adalah bahwa pengetahuan matematika bisa saja benar dan secara terus
menerus terbuka untuk direvisi.
Filsafat matematika dengan hipotesisnya yang menyatakan bahwa pengetahuan
matematika adalah seperangkat kebenaran dalam bentuk seperangkat proposisi disertai
pembuktian, dan fungsi filsafat matematika adalah mempertahankan kepastian pengetahuan
matematika, akhirnya tidak bisa diterima karena hipotesis tersebut tidak dapat
mempertahankan kebenaran dan kepastian matematika hanya dengan logika deduktif.
Sehingga, para matematikawan terpaksa mempertimbangkan kembali sifat alami filsafat
matematika dengan melakukan rekonseptualisasi filsafat matematika.
Dari pandangan filosofis tersebut, penulis ingin mengkaji hal-hal yang mendasari
perspektif epistemologis itu yang dominan dalam matematika.
BAB 2
“Rekonseptualisasi Filsafat Matematika”
A. Aliran Absolutis
Dalam bab sebelumnya kami memandang pengikut aliran logis, formalis dan
intusionis adalah pengikut aliran absolutis. Kami telah memberikan contoh kegagalan
pemikiran aliran ini dan kami juga telah membuktikan ketaktepatan aliran absolutis untuk
filsafat matematika. Berdasarkan pada kriteria diatas, kami dapat memberikan kritik lebih
jauh terkait dengan ketidaksesuaian aliran ini sebagai filsafat matematika.
C. Platonisme
Platonisme adalah pandangan bahwa objek matematika memiliki eksistensi objektif
yang nyata dalam beberapa wilayah ideal. Pandangan ini berasal dari Plato dan dapat
dilihat dalam tulisan penganut aliran Logis seperti Frege dan Rusell, dan juga Cantor,
Bernays (1934), Hardy (1967) dan Godel (1964).Penganut aliran Platonis berpendapat
bahwa objek dan struktur matematika memiliki eksistensi nyata yang terpisah dari
kemanusiaan dan oleh karena itu matematika adalah proses untuk menemukan hubungan
yang ada dibaliknya. Menurut penganut aliran Platonis pengetahuan matematika terdiri
dari penjelasan objek-objek dan hubungan dengan struktur yang menghubungkan mereka.
Platonisme dengan jelas memberikan pemecahan terhadap persoalan objektifitas
matematika. Platonisme mencakup baik kebenarannya dan eksistensi objeknya
sebagaimana juga kemandirian matematika yang memiliki hukum dan logika
sendiri.Yang lebih menarik disini adalah adanya fakta bahwa filsafat yang tampaknya
tidak masuk akal ini berhasil menciptakan ahli matematika seperti Cantor dan Godel.
Disamping hal yang menarik seperti itu, platonisme memiliki dua kelemahan penting.
Pertama, aliran ini tidak mampu menawarkan penjelasan yang tepat terkait dengan
bagaimana ahli matematika memperoleh akses kedalam pengetahuan yang ada dalam
wilayah platonic. Kedua, aliran ini tidak mampu memberikan deskripsi yang tepat untuk
matematika baik secara internal atau eksternal. Karena aliran ini tidak dapat memenuhi
persyaratan diatas, platonisme ditolak sebagai filsafat matematika.
D. Konvensionalisme
Pandangan pengikut aliran konvensionalis menyebutkan bahwa pengetahuan
matematika dan kebenaran didasarkan pada konvensi(kesepakatan) linguistik. Atau lebih
jauh kebenaran logika dan matematika memiliki sifat analitis, benar karena ada hubungan
nilai dari makna istilah yang digunakan. Bentuk moderat dari konvensionalisme seperti
Quine (1936) atau Hempel (1945) menggunakan konvensi linguistik sebagai sumber
kebenaran matematika dasar yang menjadi landasan konstruksi bangunan matematika.
Bentuk konvensionalisme ini sedikit banyak sama dengan “ifthenisme” yang dijelaskan
di Bab 1 sebagai posisi mempertahankan diri aliran pondasionis yang sudah kalah.
Pandangan ini tetap saja absolutis dan tetap dapat dikenakan penolakan yang sama.
Filasafat matematika konvensionalis telah dikritik oleh penulis sebelumnya dengan dua
alasan. Pertama, dikatakan disini bahwa aliran ini tidak banyak memberikan informasi.
Terlepas dari penjelasan tentang sifat social matematika, konvensionalisme hanya
memberikan sedikit informasi. Kedua, penolakan dari Quine. Penolakan Quine tidak
memiliki alasan kuat karena penolakan itu tidak dapat dikenakan pada bahasa asli dan
dikenakan pada peran pembatas pada konvensi umum. Sebaliknya dia benar dengan
mengatakan bahwa kita tidak akan menemukan semua kebenaran matematika dan logika
yang dikemukakan secara literal seperti aturan dan konvensi linguistik. Meskipun Quine
mengkritik konvensionalisme terkait dengan logika, dia memandang aliran ini memiliki
potensi menjadi filsafat matematika yang sedikit berbeda.
E. Empirisme
Pandangan empiris tentang pengetahuan matematika (“empirisme naif” untuk
membedakannya dengan “empirisme kuasi”nya Lakatos) menyebutkan bahwa kebenaran
matematika adalah generalisasi empirik (pengamatan). Kami membedakan dua tesis
empiris: (i) konsep matematika memiliki asal usul empirik dan (ii) kebenaran matematika
memiliki dasar kebenaran empirik maka diambil dari dunia nyata. Tesis pertama tidak
dapat disangkal dan telah diterima oleh sebagian besar filsuf matematika (sehingga
banyak konsep tidak terbentuk secara langsung dari pengamatan tetapi terdefinisi karena
adanya konsep lain yang menyebabkan terbentuknya konsep dari pengamatan melalui
serangkaian definisi). Tesis yang kedua ditolak oleh semua pihak kecuali penganut aliran
empiris karena arahnya yang mengarah ke ketidakjelasan. Penolakan pertama beralasan
bahwa sebagian besar ilmu matematika diterima dengan dasar alasan teoritis dan bukan
empiris. Oleh karena itu saya tahu bahwa 999.999
+ 1 = 1.000.000 tidak melalui pengamatan kebenarannya di dunia tetapi melalui
pengetahuan teoritis saya tentang angka dan penjumlahan.
Empirisme terbuka untuk sejumlah kritik. Pertama, ketika pengalaman
kita berlawanan dengan kebenaran matematika dasar, kita
tidak akan menyangkalnya (Davis dan Hersh, 1980). Kita justru akan berasumsi bahwa
mungkin ada kesalahan dalam penalaran kita karena ada kesepakatan bersama tentang
matematika sehingga kita tidak dapat menolak kebenaran matematika (Wittgenstein,
1978). Oleh karena itu, “1 + 1 = 3” sangat jelas salah, bukan karena jika seekor kelinci
ditambahkan ke kelinci lainnya tidak dapat berjumlah tiga kelinci tetapi dengan definisi
“1+ 1” artinya “pengganti dari 1” dan “2” adalah pengganti dari “1”.Kedua, matematika
sangat abstrak dan begitu banyak konsepnya tidak memiliki keaslian dalam pengamatan
di dunia nyata. Justru konsep tersebut didasarkan pada konsep yang sudah terbentuk
sebelumnya. Kebenaran- kebenaran tentang konsep seperti itu yang membentuk
bangunan matematika tidak dapat dikatakan berasal dari kesimpulan dari observasi dunia
luar. Ketiga, empirisme bisa dikritik karena terfokus secara eksklusif (khusus) pada
masalah-masalah pondasionis dan gagal menguraikan kecukupan tentang pengetahuan
matematika. Dengan dasar kritik ini kami menolak pandangan empirik sebagai filsafat
matematika yang tepat.
Empirisme Kuasi
Empirisme kuasi adalah nama yang diberikan kepada filsafat matematika yang
dikembangkan oleh Imre Lakatos (1976, 1978). Aliran ini memandang matematika
sebagai apa yang ahli matematika lakukan dan dengan semua kekurangan yang melekat
pada aktifitas atau ciptaan manusia. Empirisme kuasi menampilkan “arah baru dalam
filsafat matematika” (Tymoczko, 1986), karena penekanannya pada praktek matematika.
Para pendukung dari pandangan ini adalah Davis (1975), Hallett (1979), Hersh (1979),
Tymoczko (1979) dan setidaknya sebagian,
Putnam (1975).
Berikut ini adalah sketsa awal dari pemikiran empirisme kuasi. Matematika adalah
sebuah dialog diantara orang-orang yang mencoba menyelesaikan persoalan matematika.
Ahli matematika tidak bisa lepas dari kesalahan dan produk mereka termasuk konsep dan
pembuktian tidak dapat dianggap produk akhir atau sempurna tetapi masih membutuhkan
negosiasi kembali sebagai standar perubahan yang harus dilakukan dengan teliti atau
sebagai tantangan baru atau makna yang muncul. Sebagai aktifitas manusia, matematika
tidak dapat dipandang sebagai sesuatu yang terpisah dari sejarah dan aplikasinya kedalam
sains dan ilmu lainnya. Empirisme kuasi menampilkan “kembangkitan kembali
empirisme dalam filsafat matematika terkini” (Lakatos, 1967).
Lima tesis dari empirisme kuasi dapat diidentifikasi sebagai berikut:
Pengetahuan matematika dapat keliru
Matematika Bersifat Hipotetis-dukatif
Sejarah adalah pusat
Penegasan Pentingnya Matematika Informal
Dimasukkannya Teori Penciptaan Pengetahuan
Ada pola sederhana untuk penemuan matematika atau pertumbuhan teori
matematika informal. Pola tersebut terdiri dari tahap-tahap berikut:
1. Dugaaan awal.
2. Pembuktian (eksperimen atau argument, perubahan dari dugaan awal menjadi sub-
dugaan atau lemma).
3. Kontra contoh “global” (kontra contoh untuk dugaan sederhana)
4. Bukti pengujian kembali: “lemma yang salah” untuk kontra contoh global adalah
kontra contoh “local”.
Empat tahap ini adalah inti dari analisa bukti. Tetapi ada beberapa tahap standar
berikutnya yang sering muncul:
5. Bukti pengujian teori lainnya
6. Pengecekkan hasil yang diterima saat itu dari dugaan aslinya dan yang sekarang
dibuktikan kesalahannya.
7. Kontra Contoh menjadi contoh baru – wilayah baru dari penemuan terbuka.
Dapat dilihat disini bahwa inti filsafat matematika Lakatos adalah sebuah teori
asal usul pengetahuan matematika. yaitu teori praktek matematika dan teori sejarah
matematika. Lakatos tidak menawarkan teori psikologi penciptaan atau penemuan
matematika karena dia tidak menyentuh asal-usul aksioma, definisi dan dugaan dalam
pikiran orang perorang. Fokus dia adalah pada proses yang merubah penciptaan individu
menjadi pengetahuan matematikan public yang diterima luas, terkait hal tersebut,
filsafatnya sama dengan filsafat sains falsifikasionis-nya Karl Popper, pandangan yang
Lakatos sudah ketahui. Popper (1959) mengemukakan dalil sebuah “logika penemuan
ilmiah” dimana dia berpendapat bahwa sains berkembang melalui proses pembentukan
dugaan dan pembukian keliru. Perbedaannyaa dalah bahwa Popper focus pada
rekonstruksi rasional atau idealisasi teori dan menolak validitas filsafat dari penerapan
model sainsnya ke sejarah. Lakatos, sebaliknya menolak memisahkan perkembangan
teori filsafat pengetahuan dari realitas sejarahnya.