Anda di halaman 1dari 15

BAB II

DASAR TEORI

2.1. Massa Batuan


Massa batuan adalah susunan blok–blok material batuan yang dipisahkan oleh
berbagai ketidak menerusan geologi berdasarkan Hoek Brown tahun 1980. Proses
terbentuknya massa batuan berlangsung secara alamiah, sehingga memiliki sifat
yang cenderung unik (tidak ada kembarannya). Meskipun secara deskriptif
namanya sama tetapi antara batuan sejenis hampir pasti tidak sama persis.
1. Heterogen, artinya :
a. Mineralogis : Jenis mineral pembentuk batuan berbeda.
b. Butiran Padat : Ukuran dan bentuknya berbeda.
c. Void : Ukuran, bentuk dan penyebarannya berbeda.
2. Anisotrop
Artinya mempunyai sifat-sifat yang berbeda pada arah yang berbeda.
3. Diskontinu
Artinya massa batuan selalu mengandung unsur struktur geologi yang
mengakibatkannya tidak kontinu seperti kekar, sesar, retakan, fissure,
bidang perlapisan, dan lain-lain. Struktur geologi ini cenderung
memperlemah kondisi massa batuan.
Kondisi alamiah massa batuan sebelum penambangan bersifat heterogen-
anisotrop-diskontinu. Jika dilakukan kegiatan penggalian bawah tanah, maka
keadaan tegangan disekitar lubang bukaan menjadi terganggu karena distribusinya
menjadi tidak ideal sehingga kekuatan massa batuan dapat berkurang. Hal ini
dapat menyebabkan kerusakan atau bahkan keruntuhan bak pada atap maupun
dinding lubang bukaan. Persoalan di atas akan menjadi lebih rumit apabila
penggalian dilakukan pada batuan yang lunak atau terkekarkan, karena harus
dapat mengantasipasi keruntuhan yang sewaktu-waktu dapat terjadi. Sebuah
filosofi rancangan yang baik diberikan oleh Evert Hoek (1980) sebagai berikut :
bahwa tujuan dasar dari setiap rancangan untuk penggalian di bawah tanah

5
(Underground Excavating) harus menggunakan batuan itu sendiri sebagai
penyangga utama, menghasilkan gangguan sekecil mungkin selama penggalian.
Prinsip utama penyanggaan adalah untuk membantu menambah kekuatan batuan
disekitar lubang bukaan agar dapat menyangga dirinya sendiri.
Secara umum bidang diskontinu merupakan bidang yang membagi-bagi
massa batuan menjadi bagian-bagian yang terpisah. Menurut Priest (1979), bidang
diskontinu adalah setiap bidang lemah yang terjadi pada bagian yang memiliki
kuat tarik paling lemah dalam batuan. Keterjadian bidang diskontinu tidak
terlepas dari masalah perubahaan stress (tegangan), temperatur, strain (regangan),
mineralisasi dan rekristalisasi yang terjadi dalam waktu yang panjang.
Secara tiga dimensi, struktur diskontinuitas pada batuan disebut sebagai
struktur batuan sedangkan batuan yang tidak pecah disebut sebagai material
batuan yang bersama struktur batuan, membentuk massa batuan. Beberapa macam
bidang diskontinu yang digolongkan berdasarkan ukuran dan komposisi bidang
diskontinu adalah sebagai berikut:
1. Fault atau Patahan
adalah bidang diskontinu yang secara jelas memperlihatkan tanda-tanda
bidang tersebut mengalami pergerakan. Tanda-tanda tersebut diantaranya
adalah adanya zona hancuran maupun slickensided atau jejak yang
terdapat disepanjang bidang fault. Fault dikenal sebagai weakness zone
karena akan memberikan pengaruh pada kestabilan massa batuan dalam
wilayah yang luas.
2. Joint atau Kekar
Beberapa pengertian joint atau kekar berdasarkan ISRM (1980), joint atau
kekar adalah bidang diskontinu yang terbentuk secara alami tanpa ada
tanda-tanda pergeseran yang terlihat. Joint berdasarkan lokasi
keterjadiannya dapat dikelompokkan menjadi :
a. Foliation joint adalah bidang diskontinu yang terbentuk sepanjang
bidang foliasi pada batuan metamorf.
b. Bedding joint adalah bidang diskontinu yang terbentuk sepanjang
bidang perlapisan pada batuan sedimen.

6
3. Tectonic joint (kekar tektonik)
adalah bidang diskontinu yang terbentuk karena tegangan tarik yang
terjadi pada proses pengangkatan atau tegangan lateral, atau efek dari
tekanan tektonik regional (ISRM, 1975). Kekar tektonik pada umumnya
mempunyai permukaan datar (planar), kasar (rough) dengan satu atau dua
joint set.
4. Fracture
adalah bidang diskontinu pada batuan yang terbentuk karena adanya
proses pelipatan dan patahan yang intensif (Glossary of Geology, 1980).
Fracture adalah istilah umum yang dipakai dalam geologi untuk semua
bidang diskontinu. Namun istilah ini jarang dipakai untuk kepentingan
yang berhubungan dengan rock engineering dan engineering geology.
5. Crack
adalah bidang diskontinu yang berukuran kecil atau tidak menerus
(ISRM1975). Namun beberapa rock mechanic engineer menggunakan
istilah fracture dan Crack untuk menjelaskan pecahan atau Crack yang
terjadi pada saat pengujian batuan, peledakan dan untuk menjelaskan
mekanisme pecahnya batuan.
6. Rupture
adalah pecahan atau bidang diskontinu yang terjadi karena proses
ekskavasi atau pekerjaan manusia yang lain.
7. Bedding
Merupakan istilah untuk bidang perlapisan pada batuan sedimen. Bedding
terdapat pada permukaan batuan yang mengalami perubahan ukuran dan
orientasi butir dari batuan tersebut serta perubahan mineralogi yang
terjadi selama proses pembentukan batuan sedimen.
8. Shear
adalah bidang pergeseran yang berisi material hancuran akibat tergerus
oleh pergerakan kedua sisi massa batuan dengan ukuran celah yang lebih
lebar dari kekar. Ketebalan material hancuran yang berupa batu atau tanah
ini bervariasi dari ukuran beberapa millimeter sampai meter.

7
Pada perkerjaan tambang tanah, lubang bukaan harus mampu menerima
perpindahan sebagai hasil dari perubahan kondisi distribusi tegangan sebanding
dega kemajuan tambang. Pada batuan yang harus disangga, penyanggaaan harus
tetap efektif sebanding dengan penurunan kekuatan batuan.

2.2. Klasifikasi Massa Batuan


Klasifikasi massa batuan dikembangkan untuk mengatasi permasalahan
yang timbul dilapangan.
A. Tujuan dari klasifikasi massa batuan antara lain sebagai berikut:
 Membagi massa batuan kedalam kelompok-kelompok yang
mempunyai kesamaan sifat dan kualitas .
 Menyediakan pengertian dasar mengenai sifat karakteristik setiap
kelas massa batuan.
 Menghubungkan berdasarkan pengalaman kondisi massa batuan
ditempat dengan kondisi massa batuan ditempat lain.
 Memperoleh data kuantitatif dan acuan untuk desain teknik.
 Menyediakan dasar acuan untuk komunikasi antara geologist dan
engineer.
B. Beberapa klasifikasi massa batuan yang dikenal saat ini adalah antara lain:
1.Metode Klasifikasi Beban Batuan (Rock Load)
Metode ini dikenalkan oleh Karl Von Terzaghi pada tahun 1946
merupakan metode pertama yang cukup rasional untuk mengevaluasikan
beban batuan untuk desain terowongan dengan penyangga baja. Metode ini
dipakai di Amerika Serikat selama kurun waktu 50 tahun.
2. Metode Klasifikasi Stand-Up Time
Metode ini diperkenalkan oleh Laufer pada tahun 1958. Dasar dari
metode ini adalah bahwa dengan bertambahnya span terowongan akan
menyebabkan berkurangnya waktu berdirinya terowongan tersebut tanpa
penyanggaan. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap stand-up time
antara lain adalah arah sumbu terowongan, bentuk potongan melintang,
metode penggalian dan metode penyangaan.

8
3.Rock Quality Designation (RQD)
RQD dikembangkan pada tahun 1964 oleh Deere. Metode ini didasarkan
pada penghitungan persentase inti terambil yang mempunyai panjang 10 cm
atau lebih. Berdasarkan RQD massa batuan diklasifikasikan sebagai berikut:
< 25% Sangat jelek
25 – 50% Jelek
50 – 75% Sedang
75 – 90% Baik
90 – 100% Sangat baik
4. Rock Structure Rating (RSR)
RSR diperkenalkan pertama kali oleh Wickam, Tiedemann dan Skinner
pada tahun 1972 di AS. Konsep ini merupakan metode kuantitatif untuk
menggambarkan kualitas suatu massa batuan dan menentukan jenis
penyanggaan di terowongan.
RSR merupakan penjumlahan rating dari parameter-parameter
pembentuknya yang terdiri dari 2 katagori umum, yaitu:
1. Parameter geoteknik; jenis batuan, pola kekar, arah kekar, jenis bidang
lemah, sesar, geseran, dan lipatan, sifat material; pelapukan, dan alterasi.
2. Parameter konstruksi; ukuran terowongan, arah penggalian, metode
penggalian.
5. Rock Mass Rating (RMR)
Pada penelitian ini, klasifikasi massa batuan yang digunakan adalah
klasifikasi massa batuan versi tahun 1989 (Bieniawski, 1989). Parameter yang
digunakan dalam klasifikasi massa batuan menggunakan Sistem RMR
1. Kuat Tekan Uniaxial Batuan Utuh.
2. Rock Quality Designatian (RQD).
3. Spasi Bidang Dikontinyu.
4. Kondisi Bidang Diskontinyu.
5. Kondisi Air Tanah.
6. Orientasi/arah Bidang Diskontinyu.

9
2.3. Deformasi Batuan
Deformasi adalah perubahan bentuk, posisi, dan dimensi dari suatu benda
(Kuang, 1996). Berdasarkan definisi tersebut deformasi dapat diartikan sebagai
perubahan kedudukan atau pergerakan suatu titik pada suatu benda secara absolut
maupun relatif. Dikatakan titik bergerak absolut apabila dikaji dari perilaku
gerakan titik itu sendiri dan dikatakan relatif apabila gerakan itu dikaji dari titik
yang lain. Perubahan kedudukan atau pergerakan suatu titik pada umumnya
mengacu kepada suatu sistem kerangka referensi.
Untuk mengetahui terjadinya deformasi pada suatu tempat diperlukan
suatu survei deformasi dan geodinamika yaitu survei geodetik yang dilakukan
untuk mempelajari fenomena-fenomena deformasi dan geodinamika. Fenomena-
fenomena tersebut terbagi atas fenomena alam seperti pergerakan lempeng
tektonik, aktivitas gunung api, dan lain-lain. Fenomena yang lain adalah
fenomena manusia seperti bangunan, jembatan, bendungan, permukaan tanah.

2.3.1. Tahapan Deformasi


Ketika suatu batuan dikenakan tekanan dengan besar tertentu maka batuan
tersebut akan mengalami 3 tahapan deformasi, yaitu:
1.Elastic Deformation
Elastic Deformation adalah deformasi sementara tidak permanen atau
dapat kembali kebentuk awal (reversible). Begitu stress hilang, batuan kembali
kebentuk dan volume semula. Seperti karet yang ditarik akan melar tetapi jika
dilepas akan kembali ke panjang semula. Elastisitas ini ada batasnya yang disebut
elastic limit, yang apabila dilampaui batuan tidakakan kembali pada kondisi awal.
Di alam tidak pernah dijumpai batuan yang pernah mengalami deformasi elastis
ini, karena tidak meninggalkan jejak atau bekas, karena kembali ke keadaan
semula, baik bentuk maupun volumenya. Sir Robert Hooke (1635-1703) adalah
orang pertama yang memperlihatkan hubungan antara stress dan strain yang
sesuai dengan batuan. Hukum Hooke mengatakan sebelum melampaui batas
elastisitasnya hubungan stress dan strain suatu material adalah linier.

10
2. Ductile deformation
Merupakan deformasi dimana elastic limit dilampaui dan perubahan
bentuk dan volume batuan tidak kembali. (gambar 1.1) didapat dari percobaan
menekan contoh batuan silindris. Mula-mula kurva stess-strain naik
tajam sepanjang daerah elastis sesampai pada elastic limit (Z),
kurvanya mendatar. Penambahan stress menyebabkan deformasi ducktile. Bila
stress dihentikan pada titik X silinder kembali sedikit kearah semula.
Strain menurun sepanjang kurva XY. Strain permanennya adalah XY yang
merupakan deformasi ductile.
3. Fracture Deformation
Tejadi apabila batas atau limit elastik dan deformasi ducktile dilampaui.
Pada gambar 1.1 yang semula stress dihentikan pada X, disini dilanjutkan
menaikkan stress. Kurva stress-strain berlanjut sampai titik F dan batuan pecah
melalui rekahan. Deformasi rekah (fracture deformation) dan lentur (ductile
deformation) adalah sama, menghasilkan regangan (strain) yang tidak kembali
ke kondisi semula.

.
(Sumber : Bieniawski 1986)

Gambar 2.1 Grafik stress strain

11
2.3.2 Faktor Yang Mengontrol Terjadinya Deformasi
1. Temperatur dan tekanan ke semua arah pada temperature dan tekanan yang
rendah akan lebih cepat terjadi patahan, pada temperatur dan tekanan yang
tinggi akan terjadi lenturan atau bahkan lelehan.
2. Kecepatan gerakan yang disebabkan oleh gaya yang diberikan; gerakan yang
cepat dapat menyebabkan patahan, sedangkan gerakan yang lambat dapat
menimbulkan lenturan, tergantung dari bahan yang bersangkutan. dan dari
keadaan-keadaan lain.
3. Sifat material, yang bisa lebih rapuh atau lebih lentur.
Tekanan merupakan gaya yang diberikan atau dikenakan pada suatu medan
atau area. Tekanan terbagi menjadi tekanan seragam (uniform stress ) yaitu
gaya yang bekerja pada suatu materi sama atau seragam di semua arah, dan
tekanan diferensial atau tekanan dengan gaya yang bekerja tidak sama di
setiap arah.
2.4. Terowongan
Terowongan pada dasarnya didefinisikan sebagai sebuah tembusan dibawah
permukaan tanah atau gunung. Terowongan umunya tertutup diseluruh sisi
kecuali di kedua ujungnya yang terbuka pada lingkaran luar.pada proses
penambangan terowongan merupakan lubang bukaan yang dipersiapkan untuk
kelancaran produksi tambang bawah tanah yang berfungsi sebagai jalan masuk
dan keluar bagi karyawan dan jalan angkut material yang ditambang dibawah
tanah. Fungsi lain dari terowongan adalah Mengangkut material trava system
telekomunikasi, pipa air dan pipa lumpur. Bentuk-bentuk terowongan antara lain
bentuk lingkaran, segi empat, trapesium, tapal kuda, dan bentuk polygon. Bentuk
dari terowongan dapat dilihat dari sifat fisik material itu sendiri struktur yang
terjadi di daerah tersebut.
Tahapan perencanaan pembuatan sebuah terowongan dapat dilihat pada gambar
1.2.

12
PENGUMPULAN DATA AWAL

UMPAN BALIK
STUDI KELAYAKAN

KARAKTERISTIK LOKASI
TEKNIK

ANALISIS STABILITAS

RANCANGAN AKHIR DAN


KONSTRUKSI

Gambar 2.2.Tahapan Perencanaan Pembuatan Terowongan (Bieniawski, 1984)

2.4.1 Metode rancangan terowongan


Metode rancangan dilakukan untuk menilai kestabilan suatu penggalian bawah
tanah (tambang bawah tanah atau terowongan) dapat dikategorikan sebagai berikut
(Bieniawski, 1984)
1) Metode Analitik (analytical methods)
Metode analitik digunakan untuk menganalisis tegangan dan deformasi
disekitar lubang bukaan. Teknik-teknik yang dipakai adalah solusi
closed from dan metode numerik yaitu :
− Perhitungan numerik seperti metode elemen hingga (finite elements
methods), metode perbedaan hingga (finite difference method), metode
elemen batas (boundary elementsmethod).
− Simulasi analogi (analog simulation) seperti analogi listrik dan fotoelastik.

13
− Model fisik (physical modelling) seperti penggunaan maket.
2) Metode Obeservasi (observational methods)
Metode observasi yaitu mengadakan analisis berdasarkan pada data
pemantauan pergerakan massa batuan sewaktu penggalian untuk mengamati
ketidakmantapan dan analisis interaksi penyanggaan terhadap massa
batuan. Pada metode ini dikenal NATM (New Austrian Tunneling Method) dan
“Convergence-Confinement Method”. Disamping merupakan metode yang
terpisah metode ini merupakan cara untuk memeriksa balik hasil dari metode
lain
3) Metode Empirik (empirical methods)
Metode empirik adalah metode untuk menilai kestabilan sebuah tambang
bawah tanah dan terowongan dengan menggunakan analisis statistik. Pada
umumnya dilakukan pendekatan berdasarkan pengalaman yang didapat dari
beberapa pekerjaan yang serupa sebelumnya.
2.4.2 Parameter rancangan terowongan
Kualitas rancangan sangat ditentukan oleh kualitas data masukan.Data
masukan yang diperlukan untuk tujuan rancangan meliputi karateristik geologi
dari massa batuan, evaluasi dari tegangan mula-mula (intial stress) di dalam
massa batuan, sifat-sifat mekanik dari massa batuan dan kondisi air tanah.
Penyelidikan dan pengukuran untuk mendapatkan data masukan tersebut harus
direncanakan dengan baik dengan mengikuti prosedur dan metode pengukuran
yang telah dibakukan dan harus sesuai dengan maksud dari proyek yang
dirancang. Penentuan parameter masukan untuk rancangan harus direncanakan
agar sebanyak mungkin data-data yang diperoleh adalah data kuantitatif, dari
pada data kualitatif.
Mengenai data masukan ini ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan yaitu:
1.Kualitas dari rancangan rekayasa langsung dipengaruhi oleh kualitas dari
setiap parameter masukan.
2.Setiap prosedur dan metode yang digunakan untuk mendapatkan data masukan
dapatsepenuhnya dibenarkan dan direncanakan dengan baik.

14
3.Informasi secara kuantitatif lebih banyak dibutuhkan dari pada secara kualitatif
untuk keperluan rancangan.
2.4.3 Estimasi Kekuatan Massa Batuan
Peak Strength atau kekuatan puncak, adalah tegangan maksimal, pada
suatu bidang, yang bisa ditahan oleh batuan pada kondisi tertentu. Setelah
kekuatannya terlampaui, batuan tetap memiliki kapasitas atau kekuatan untuk
menahan beban yang disebut minimum atau residual strength.
2.4.4 Kriteria Runtuhan Batuan
Kriteria asli Hoek Brown diterbitkan pada atahun 1980. Berdasarkan
pengalaman dalam menggunakan criteria tersebut, versi yang lebih baru
diterbitkan pada tahun 1998 (Hoek and Brown, 1988) yang selanjutnya
dimodifikasi pada tahun 1992 (Hoek et al, 1992)
Bentuk paling umum dari kriteria Hoek-Brown yang menggunakan
persamaan asli dan modifikasi adalah:
σ3’
σ1 ’ = σ3 ’ + σc [𝑚𝑏 σc + 𝑠] a
σc

𝑚𝑏 = konstanta m untuk massa batuan


S = konstanta yang bergantung pada karakteristik massa batuan
σc = uniaxial Compressive Strength (UCS) batuan intact
σ1 ’ = Tegangan efektif prinsipal major
σ3 ’= Tegangan efektif prinsipal minor
Kriteria asli Hoek Brown terbukti dapat digunakan pada batuan dengan
kondisi baik. Keruntuhan massa batuan tersebut dapat didefinisikan dengan
memasukkan nilai a = 0.5 pada persamaan 8.3, sehingga persamaan tersebut
menjadi:

σ3’
σ1 ’= σ3 ’ + σc [𝑚𝑏 σc + 𝑠] 0,5 .
σc

Persamaan diatas tidak memiliki nilai praktis kecuali nilai konstanta mb,
s, dan a dapat diestimasi dengan suatu cara. Hoek-Brown (1988) menyarankan
17 bahwa konstanta tersebut dapat diestimasi dengan menggunakan Rock Mass

15
Rating Bieniawski (1979) dengan mengasumsikan kondisi kering dan orientasi
kekar yang bagus. Metode ini dapat diterima pada massa batuan dengan RMR
< 25, tetapi tidak pada massa batuan yang jelek karena RMR terkecil yang
dapat diasumsikan adalah 18. Untuk mengatasi keterbatasan ini, metode
Geological Strength Index (GSI) diperkenalkan. Nilai GSI berkisar antara 10
untuk massa batuan yang jelek dan 100 untuk batuan intact. Hubungan antara
mb/mi, s dan a dan GSI dapat dilihatpada persamaan berikut:
𝑚𝑏 GSI−100
= exp
𝑚𝑖 28
GSI−100
S = exp exp 9

a = 0.5 Untuk GSI > 25 (Massa batuan tidak terganggu)


GSI
S = 0 a = 0.65 – 200

Klasifikasi RMR Bieniawski 1989, dapat digunakan untuk memperkirakan


nilaiGSI dengan cara yang sama dengan Klasifikasi RMR Bieniawski 1976.
Dalam kasus ini, nilai air tanah = 15 dan orientasi kekar = 0. Perlu diperhatikan
bahwa nilai minimum yang bisa didapat dari klasifikasi adalah 23, yang
mengakibatkan nilai RMR Bieniawski 1989 sedikit lebih besar daripada nilai
RMR Bieniawski 1976.
Untuk nilai RMR 89’ > 18
Klasifikasi RMR Bieniawski 1989 tidak dapat digunakan untuk
memperkirakan GSI dengannilai RMR89’ < 18 sehingga harus menggunakan nilai
Q klasifikasi Barton, Lein, and Lunde.
2.4.5. Estimasi Kekuatan Massa Batuan Residual
Untuk mendesain bukaan tanah dengan baik, diperlukan nilai kekuatan puncak
maupun residu massa batuan. Para peneliti lebih banyak terfokus untuk 18
menentukan kekuatan puncak massa batuan, sedangkan penelitian yang
membahas cara pengestimasian nilai residual sangat terbatas hingga saat ini.
Ruso et al. menyatakan penetapan nilai GSI residual sebesar 36% nilai GSI
peak. Selain itu, pada tahun 200, Ribacchi menyarankan penggunaan hubungan
mr=0,65mb, sr = 0,04s, dan σcr = 0.2σc. berdasarkan data uji triaxial pada

16
limestone. Wang et al. (2012) menyatakan bahwa dengan memodelkan 35% nilai
kekuatan rata-rata intact rock untuk model ekivalen massa batuan disekitar
penambangan bijih bawah tanah, hasil pengukuran lapangan mendapatkan
kecocokan dengan perhitungan numerik
2.5. Analisis Perilaku Terowongan
Sebuah terowongan berbentuk lingkaran dengan radius r0 dikenai tegangan
hidrostatis p0 dan internal support pressure pi seragam diilustrasikan pada
Gambar 3.2. Karakterisitik massa batuan asli diberikan oleh nilai Modulus Young
E dan nisbah Poisson v. Kriteria runtuhan material asli ditentukan oleh persamaan
3.2. Saat mengalami failure, massa batuan di sekitar terowongan menjadi bersifat
plastik dan kekuatannya menurun menjadi
1
σ1 ’= σ3 ’ + (𝑚𝑏2 𝜎𝑐𝜎3 + 𝑠2 𝜎𝑐𝜎 𝑐 2 )2

Gambar 2.3 Tipe runtuhan yang terjadi pada massa batuan yang berbeda dalam
kondisi tegangan in situ yang rendah dan yang tinggi
Zona plastik diperkirakan terbentuk mencapai radius rp. Besar rp
dipengaruhi oleh nilai tegangan in situ po, tegangan penyangga pi, dan
karakteristik elastik dan plastik dari material. Dengan mengetahui σθ = σ1 dan
σr = σ3, maka pada zona plastik persamaan 3.10 menjadi

1
𝜎𝜃′ ’= 𝜎𝜃′ +’(𝑚𝑏2 𝜎𝑐 𝜎𝑟 + 𝑠2 𝜎 2𝑐 )2

17
Pada kasus cylindrical symmetry, persamaan diferensial untuk
kesetimbangan adalah
𝜕𝜎𝑟 𝜎𝑟 −𝜎𝜃
= =0
𝜕𝑟 𝑟

Untuk mengetahui nilai tegangan σrp dan radius rp zona plastik,


kriteria runtuh massa batuan asli harus terpenuhi pada batas dalam
zone elastik, yaitu pada r = re = rp dimana perbedaan nilai tegangan
utama adalah

𝜎′𝜃𝑒 − 𝜎 ′ 𝑟𝑒 = 2 (𝜌𝑜 − 𝜎𝑟𝑒 )

Dengan mensubtitusi σθe = σ1 dan σre = σ3 pada persamaan 3.2,


maka persamaan 3.2 akan menjadi
𝜎𝑟𝑒
𝜎 ′ 𝜃𝑒 − 𝜎 ′ 𝑟𝑒 = 𝜎𝑐 [𝑚𝑏 + 𝑠] 0.5
𝜎𝑐
Persamaan 3.13 dan 3.14 akan mengasilkan
𝜎 ′ 𝑟𝑒 = 𝜌𝑜 − 𝑚𝜎𝑐
Dimana
1 𝑚𝑏 2 𝜌 𝑚𝑏
M=
2
[(
4
) + 𝑚𝑏 𝜎𝑜 + 𝑆]2.5 - 8
𝑐

Pengintegralan persamaan 3.12 dan pemberian nilai tegangan


penyangga pada dinding terowongan σr = pi akan menghasilkan nilai
tegangan radial pada batas zona plastik sebesar
𝑚𝑟 𝜎𝑐 𝑟 𝑟
𝜎 ′ 𝑟𝑒 = 24 (In ( 𝑒⁄𝑟𝑜 )) 2 + In ( 𝑒⁄𝑟𝑜 ) (𝑚𝑟 𝜎𝑐 𝜌𝑖 + 𝑠𝑟 𝜎 2𝑐 )12 + 𝜌𝑖

Nilai σre pada persamaan 3.15 dan 3.17 menghasilkan persamaan

untuk menentukan radius plastik zoneType equation here.


2 1
(𝑁− (𝑚 𝜎 𝜌 + 𝑠 ) )
𝑟𝑒 = 𝑟𝑖 𝑒 𝑚𝑟 𝜎𝑐 𝑟 𝑐 𝑖 𝑟 𝜎 2𝑐 2

Dimana
1
2
N=𝑚 [𝑚𝑟 𝜎𝑐 𝜌𝑂 + 𝑠𝑟 𝜎 2𝑐 − 𝑚𝑟 𝜎𝑐2 𝑀]2
𝑟 𝜎𝑐

18
Dari persamaan 3.15, zona plastik hanya akan terbentuk jika nilai kritis
𝜌𝑖𝑐𝑟 𝜌𝑖 < 𝜌𝑖𝑐𝑟 = 𝜌𝑂 𝑚𝜎𝑐

Gambar 2.4 Terowongan berbentuk lingkaran dan tegangan-tegangan yang


bekerja padanya

2.6 Pengertian Squeezing


Squeezing merupakan suatu tekanan yang terjadi akibat tindihan pada
batuan atas dan samping sekitar terowongan bawah tanah. Prediksi potensi
squeezing massa batuan dapat ditentukan pada daerah dimana titik-titik
pemantauan menggunakan convergenmeter. Dengan memanfaatkan deformasi
massa batuan dan karakteristik penyangga yang dipasang, didapatkan bahwa
dinding, atap, dan area di antaranya mengalami squeezing pada titik-titik
pemantauan.
Hoek dan Marinos (2000) melakukan prediksi squeezing pada massa
batuan di sekitar bukaan bawah dengan melihat strain yang terjadi pada batas
terowongan. Memprediksi masalah squeezing terowongan pada massa batuan
heterogen yang lemah. Hasil akhir dari analisis yang disajikan dapat diketahui
terlebih dahulu perkiraan tingkat keparahan masalah perengkahan yang potensial
dan indikasi jenis-jenisnya. solusi yang dapat dipertimbangkan dalam mengatasi
masalah ini berkaitan dengan memperkirakan kekuatan dan sifat deformasi massa
batuan heterogen yang lemah dengan prediksi terowongan masalah squeezing.

19

Anda mungkin juga menyukai