Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus yang melemahkan kekebalan tubuh
manusia. Sedangkan Acquired Immune Deficiency Sindrome (AIDS) merupakan berbagai gejala
penyakit yang disebabkan oleh HIV yang merusak sistem kekebalan tubuh sehingga menyebabkan
kematian.
Menurut United Nations Programme on HIV dan AIDS (UNAIDS) tahun 2012, terdapat 34 juta
orang dengan HIV di seluruh dunia, diantaranya 2,1 juta orang berusia kurang dari 15 tahun. Pada
tahun 2010 di regional Asia Tenggara, jumlah anak berusia kurang dari 15 tahun yang terinfeksi HIV
sebanyak 87.000 orang dengan kasus baru sebanyak 48.000 orang. Data UNAIDS (2009),
menunjukkan sebanyak 22.000 anak terinfeksi HIV di wilayah Asia-Pasifik (Kemenkes, 2013).
Menurut data WHO (World Health Organization) (2014), tahun 2013 sebanyak 37,2 juta orang
menderita HIV, diperkirakan 0,8% dari kelompok umur 15-49 tahun di seluruh dunia hidup dengan
HIV.Menurut Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementrian Republik
Indonesia (PP dan PL Kemenkes RI) tahun 2011, kasus baru HIV dan AIDS menunjukkan adanya
peningkatan setiap tahunnya. Pada tahun 2009 ditemukan kasus baru HIV dan AIDS sebanyak 3.863
kasus, kemudian pada tahun 2010—2011 mengalami peningkatan sebanyak 4.917 dan sebanyak
1.805 kasus. Dilihat dari data umur HIV dan AIDS terbanyak terjadi pada umur 25-29 tahun sebesar
45,9%, menunjukkanbahwa kelompok usia 25-29 tahun merupakan kelompol yang sangat rentan
terhadap penularan HIV dan AIDS.
Penyebaran HIV di Indonesia masih terkonsentrasi pada populasi kunci yaitu pekerja seks,
pelanggan pekerja seks, laki-laki yang melakukan hubungan seks dengan laki-laki, waria dan
pengguna jarum suntik. Estimasi wanita pekerja seks (WPS) di Indonesia pada tahun 2006
diperkirakan sekitar 0,3% dari populasi perempuan dewasa (15-49 tahun). Kelompok WPS sangat
rentan tertular HIV akibat hubungan seks dan perilaku seks yang tidak aman. Seks komersial
merupakan penyebab utama infeksi HIV di Indonesia setelah pemakaian napza suntik yang saling
bergantian. Berdasarkan surveilans terpadu biologis perilaku pada kelompok berisiko tinggi di
Indonesia tahun 2007 antara 6-16% wanita pekerja seks langsung dan 2-9% wanita pekerja seks tidak
langsung telah terinfeksi HIV. Sebagian besar WPS terinfeksi pada saat enam bulan pertama bekerja
menjajakan seks (Depkes RI, 2010)

1
Masalah stigma masih merupakan masalah serius dalam upaya pencegahan HIV. Kurangnya
pengetahuan tentang HIV/AIDS, persepsi terhadap perilaku ODHA, pandangan bahwa AIDS
merupakan penyakit yang mengancam merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya
stigma. Faktor penghambat yang paling utama dalam melakukan VCT adalah takut akan stigma dan
mengetahui status HIV setelah melakukan tes (Meiberg et al., 2013). Layanan kesehatan yang
pertama dalam pencegahan penularan HIV adalah layanan VCT (Voluntary Counseling and Testing).
VCT merupakan komponen penting dalam pemberantasan HIV, yang meliputi upaya pencegahan,
perawatan dan pengobatan. Dalam upaya meningkatkan pencegahan dan pengobatan, peningkatan
konseling dan tes HIV sangat diperlukan. Secara global masyarakat yang melakukan tes HIV sampai
saat ini masih rendah. Semua itu menunjukkan bahwa masalah AIDS adalah suatu masalah besar dari
kehidupan kita semua. Dengan pertimbangan-pertimbangan dan alasan itulah kami sebagai pelajar,
sebagai bagian dari anggota masyarakat dan sebagai generasi penerus bangsa, merasa perlu
memperhatikan hal tersebut.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan permasalahan yang diajukan dalam makalah ini
sebagai berikut: “Apakah stigma HIV/AIDS berhubungan dengan pemanfaatan layanan VCT pada
ODHA (Orang dengan HIV AIDS)?”

C. Tujuan
Dapat menjelaskan tentang stigma HIV//AIDS berhubungan dengan pemanfaatan layanan VCT
pada ODHA (Orang dengan HIV AIDS).

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Sejarah Singkat VCT

Voluntary Counseling and Testing (VCT) pertama kali dicetuskan oleh World Health
Organization (WHO) pada Oktober 1999 saat 30th Regional Health Ministers’ Conference di
Seychelles. Kemudian penerapannya sendiri di Indonesia dilakukan tidak lama setelah itu. Namun
perundangan secara jelas yang mengatur tentang pemberlakuan VCT baru dicanangkan pemerintah
Indonesia melalui Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1507 Tahun 2005 tentang Pedoman
Pelayanan dan Tseting HIV/AIDS secara Sukarela (Depkes RI, 2005). Kini layanan VCT telah
banyak dilakukan di berbagai daerah di Indonesia baik itu oleh pihak pemerintah maupun pihak
swasta, dimana pelayanan VCT oleh pihak swasta telah diatur dalam Surat Keputusan Menteri
Kesehatan No. 04 Tahun 2002 tentang Laboratorium Klinik Swasta (LKS) (Depkes RI, 2002).
Selain itu aturan lain mengenai Tim Pelatih Konseling dan Testing HIV Secara Sukarela diatur
dalam Keputusan Menkes RI No. 060 tahun 2009 (Depkes RI, 2009).
Provinsi Bali sendiri telah memiliki beberapa fasilitas layanan VCT yang tersebar di 9
kabupaten/kota, salah satu layanan VCT yang terdapat di kota Denpasar adalah layanan VCT di
Yayasan Kerti Praja (YKP). YKP merupakan organisasi swasta non-profit yang bergerak di bidang
promosi kesehatan komunitas, deteksi dini penyakit dan prompt treatment, pelayanan kesehatan,
rehabilitasi, serta riset dan pengembangan komunitas utamanya berfokus pada infeksi HIV dan
infeksi menular seksual (IMS). Sejak tahun 2000 YKP telah membuka klinik VCT terakreditasi
pertama di Indonesia. Klinik VCT ini terbuka untuk umum dan mengajak seluruh individu dengan
tingakt risiko tinggi HIV (utamanya pekerja seks) untuk melakukan test HIV reguler dan konseling
setiap 2-3 bulan.

B. Gambaran Umum Pelaksanaan Voluntary Counseling and Testing (VCT)


Voluntary Counseling and Testing (VCT) adalah suatu proses konseling terhadap suatu
individu sehingga individu tersebut memperoleh informasi dan dapat memutuskan untuk
melakukan tes HIV atau tidak, dimana keputusan yang diambil oleh individu tersebut merupakan
keinginan dari dalam dirinya sendiri tanpa paksaan dan hasil tes sepenuhnya dirahasiakan dari
pihak lain. Konseling dalam VCT merupakan kegiatan konseling yang menyediakan dukungan
psikologis, informasi dan pengetahuan HIV/AIDS, mencegah penularan HIV, mempromosikan
perubahan perilaku yang bertanggungjawab, pengobatan antiretroviral (ARV) dan memastikan
pemecahan berbagai masalah terkait dengan HIV/AIDS yang bertujuan untuk perubahan perilaku

3
ke arah perilaku lebih sehat dan lebih aman (CDC, 2014).
Proses konseling dilakukan oleh konselor terlatih yang memiliki keterampilan konseling
serta pemahaman akan HIV. Adapun pihak-pihak yang membutuhkan VCT antara lain: mereka
yang ingin mengetahui status HIVnya karena merasa telah melakukan tindakan yang berisiko untuk
tertular HIV, mereka yang telah tertular HIV dan keluarganya, mereka yang membutuhkan VCT
untuk kepentingan dinas atau pekerjaan, serta mereka yang termasuk ke dalam kelompok berisiko
tinggi.

Penerimaa
n terhadap
status HIV
positif Memotivasi
Perencanaa perubahan
n masa perilaku
depan

Pencegaha
Normalisasi n
dari stigma transmisi
HIV ibu-anak
VCT
Dukungan Pencegahan,
sosial dan skrining, dan
komunitas penanganan
(grup HIV) IMS

Penangana
Akses untuk n awal
kondom Akses ke infeksi
pelayanan oportunisti
kesehatan (ARV, k
anti TB)

Peranan layanan VCT pada berbagai aspek layanan kesehatan VCT harus meliputi tiga tahapan
berikut yakni:

a. Konseling Pre Test


Merupakan diskusi antara klien dan konselor yang bertujuan untuk menyiapkan klien
untuk testing, memberikan pengetahuan pada klien tentang HIV/AIDS. Isi diskusi yang
disampaikan adalah

1. Klarifikasi pengetahuan klien tentang HIV/AIDS


2. Menyampaikan prosedur tes dan pengelolaan diri setelah menerima hasil tes,
menyiapkan klien menghadapi hari depan,
3. Membantu klien memutuskan akan tes atau tidak,
4. Mempersiapkan informed consent dan konseling seks yang aman.

4
b. Tes HIV

Secara konvensional tes HIV dilakukan dengan mendeteksi antibodi HIV. Jika
seseorang memiliki antibodi terhadap HIV di dalam darahnya, hal ini berarti orang itu telah
terinfeksi HIV. Kini berbagai varian tes antibodi HIV telah tersedia antara lain Enzyme-
linked Immunoabsorbent Assay (ELISA), Western Blot dan tes lainnya yang prinsip
penggunaannya lebih mudah dan harga lebih terjangkau. Hasil test HIV dapat digolongkan
ke dalam 3 hasil yakni:
1. Non Reaktif

Hasil tes non reaktif menunjukkan bahwa tidak terdeteksi antibodi di dalam darah.
Hasil ini dapat mempunyai beberapa arti yakni individu tersebut tidak terinfeksi HIV
atau individu tersebut mungkin terinfeksi HIV tetapi tubuhnya belum dapat
memproduksi antibodi HIV dimana dalam kondisi ini individu tersebut berada dalam
status window period sehingga untuk memastikannya dapat dilakukan kembali tes HIV
3 atau 6 berikutnya.
2. Reaktif
Hasil tes reaktif menunjukkan bahwa antibodi HIV terdeteksi di dalam darah. Hasil ini
menunjukkan bahwa individu dengan hasil tes HIV reaktif berarti telah terinfeksi HIV,
tetapi belum tentu individu tersebut telah mengidap AIDS. Untuk hasil tes reaktif
konselor akan menjelaskan makna hasil tes reaktif dan menanyakan kepada klien siapa
saja yang boleh mengetahui hasil tes. Sedangkan untuk hasil tes non reaktif dan
intermediate konselor menjelaskan makna hasil tes dimana klien juga diberikan
konseling mengenai perubahan perilaku.

3. Intermediate
Hasil tes intermediate menunjukkan hal sebagai berikut: individu tersebut mungkin
terinfeksi HIV dan sedang dalam proses membentuk antibodi (serokonversi akut), atau
individu tersebut mempunyai antibodi dalam darah yang mirip dengan antibodi HIV.

b. Konseling Post Test


Konseling post-test merupakan diskusi antara konselor dengan klien yang bertujuan
menyampaikan hasil tes HIV klien, membantu klien beradaptasi dengan hasil tes,
menyampaikan hasil secara jelas, menilai pemahaman mental emosional klien, membuat
rencana dengan menyertakan orang lain yang bermakna dalam kehidupan klien,

5
menjawab, menyusun rencana tentang kehidupan yang mesti dijalani dengan menurunkan
perilaku berisiko dan membuat perencanaan dukungan.

C. Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Status HIV Positif

Salah satu teori mengenai status kesehatan dicetuskan oleh Hendrik L. Blum, dimana Blum
dalam Sudarma menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi status kesehatan
masyarakat atau perorangan ditentukan oleh empat faktor. Faktor pertama yakni faktor lingkungan
yang memiliki pengaruh terbesar yakni sebesar 45%. Yang kedua yakni faktor perilaku
berpengaruh sebesar 30%, karena sehat atau tidaknya lingkungan kesehatan individu, keluarga,
dan masyarakat sangat tergantung pada perilaku manusia itu sendiri. Pelayanan kesehatan
merupakan faktor ketiga yang berpengaruh terhadap status kesehatan masyarakat sebesar 20%.
Faktor pelayanan kesehatan berpengaruh karena keberadaan sarana dan prasarana kesehatan
sangat menentukan pelayanan pemulihan kesehatan, pencegahan penyakit, pengobatan, dan
perawatan masyarakat yang membutuhkan pelayanan kesehatan. Faktor yang terakhir dan
sekaligus memberikan pengaruh paling kecil yakni keturunan (genetik) yang merupakan faktor
yang telah dibawa oleh manusia sejak lahir berperan sebesar 5% saja (Sudarma, 2008). Bila status
HIV positif dihubungkan dengan teori Blum, maka beberapa faktor yang berpengaruh terhadap
status HIV seseorang adalah sebagai berikut:
1. Faktor Lingkungan

Hal-hal yang termasuk ke dalam faktor lingkungan dan berhubungan dengan status HIV
positif seseorang, meliputi individu itu sendiri dan karakteristik lingkungannya atau bisa
kita golongkan sebagai karakteristik sosiodemografi. Karakteristik sosiodemografi
seseorang yakni antara lain: usia, jenis kelamin, status perkawinan, tingkat pendidikan,
pekerjaan, tingkat penghasilan, wilayah tempat tinggal dan suku atau asal seseorang.
Penjelasan lebih lanjut mengenai hubungan karakteristik sosiodemografi tersebut dengan
status HIV positif seseorang adalah sebagai berikut:
a. Usia
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kelompok usia tertentu memiliki
angka prevalensi untuk kejadian HIV di masyarakat. Seperti penelitian yang dilakukan
oleh Jilia Roza pada klien VCT di RSUD Mandau Riau menyebutkan bahwa dari total
38 klien VCT dengan status HIV 36 orang atau 94% tergolong ke dalam usia produktif
(15-65 tahun) (Roza, 2013). Penelitian lainnya dilakukan oleh Hutapea dkk pada
pasien dengan status HIV/AIDS positif di klinik VCT Rumah Sakit Umum HKBP

6
Baliage menyatakan bahwa proporsi tertinggi pasien dengan status HIV/AIDS berada
pada kelompok umur 30-39 tahun yakni sebesar 58,6% (Hutapea dkk, 2012).
Sejalan dengan kedua penelitian tersebut, berdasarkan WHO dan UNAIDS pada
tahun 2006 mengestimasi bahwa kasus global HIV/AIDS sampai dengan tahun 2006
jumlah orang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA) pada kelompok umur 15-49 tahun
(dewasa) adalah sebesar 37,2 juta atau 94,2% dari jumlah total 39,5 juta. Data-data
tersebut menunjukkan bahwa proporsi klien VCT dengan status HIV positif terbanyak
berada pada kelompok usia produktif hal ini berarti usia produktif memiliki peran
besar dalam penularan atau sebagai pihak yang ditularkan HIV (UNAIDS, 2006).
b. Jenis kelamin

Jenis kelamin atau gender menjadi isu yang sangat sensitif terhadap kejadian
HIV/AIDS. Proporsi penderita HIV/AIDS antara laki-laki dan perempuan tidak
menunjukkan perbedaan yang signifikan melihat hasil-hasil penelitian sebelumnya
yang tidak condong terhadap salah satu gender seperti misalnya penelitian oleh
Hutapea dkk pada klien VCT di RSU HKBP Baliage menunjukkan bahwa dari 145
sampel klien dengan status HIV positif ditemukan bahwa sebanyak 109 orang atau
75,2% berjenis kelamin laki-laki (Hutapea dkk, 2012). Sedangkan menurut WHO
proporsi antara laki-laki dan perempuan yang terjangkit HIVAIDS sebanding yakni
sebesar 48-53% untuk jenis kelamin perempuan (WHO, 2011). Sedangkan UNICEF
Indonesia menyatakan bahwa pada tahun 2010 terdapat 39% kasus baru HIV/AIDS
untuk perempuan dan sebesar 61% untuk laki-laki. Namun hingga Desember 2011,
kasus baru HIV/AIDS pada perempuan dilaporkan sebanyak 44% sedangkan pada
laki-laki sebanyak 56%. Dimana hal ini menunjukkan, meskipun proporsi tetap lebih
banyak pada jenis kelamin pria namun terdapat peningkatan kasus baru pada jenis
kelamin wanita dari semula 39% menjadi 44% dimana perempuan lebih rentan untuk
terjangkit HIV karena peran tradisional mereka dalam masyarakat utamanya dalam
umah tangga (Unicef Indonesia, 2012).
c. Status Perkawinan
Perkawinan merupakan hubungan Berdasarkan penelitian Roza pada klien VCT
RSUD Mandau Riau pada tahun 2012 dimana dari 38 klien dengan status HIV positif
klien dengan status perkawinan menikah memiliki proporsi terbanyak untuk status HIV
positif yakni sebesar 4,4% (Roza, 2013). Penelitian lainnya adalah oleh Hutapea pada
klien VCT RSUD Baliage menunjukkan bahwa dari 145 sampel dengan status HIV
positif dari tahun 2008-2012 sebanyak 77% dengan status perkawinan menikah

7
(Hutapea, 2012). Faktor risiko HIV terkait dengan status perkawinan adalah masalah
kesetiaan terhadap pasangan (faithful), dimana seringkali ditemukan kasus istri yang
mendapat transmisi dari suaminya, akibat suami yang tidak setia pada satu pasangan
sehingga berpengaruh pada meningkatnya angka HIV pada istri dan Kemetrian
Kesehatan Indonesia memproyeksikan terdapatnya peningkatan kasus baru HIV pada
anak seiring dengan meningkatnya kasus HIV pada perempuan (Unicef Indonesia,
2012).
d. Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan seseorang berkaitan erat dengan pengetahuan seseorang,


idealnya semakin tinggi pendidikan seseorang maka akan semakin banyak
pengetahuan atau ilmu yang dimilikinya, begitu pula dengan pengetahuan tentang
HIV. Studi kohort longitudinal sejak tahun 1992 pada populasi di distrik Rakai,
Uganda yang dilakukan oleh Kirunga dan Ntozi menunjukkan bahwa terdapat korelasi
positif antara tingkat pendidikan dengan status HIV dimana dari 389 sampel dengan
status HIV positif sebanyak 203 sampel tergolong ke dalam sampel dengan tingkat
pendidikan rendah (tidak menyelesaikan pendidikan dasar) (Kirunga&Notzi, 1997).
e. Pekerjaan

Munadhir menyebutkan bahwa kelompok yang rentan tertular HIV/AIDS


merupakan mereka dengan mobilitas tinggi karena pekerjaan (Munadhir, 2011). Hal
ini menguatkan hasil penelitian oleh Suarmiartha (dalam Gunawan, 2001) di Bali
dimana ditemukan 120 pengemudi truk dengan trayek Denpasar-Surabaya sebanyak
68% sering mencari pekerja seks di tempat- tempat peristirahatan selama dalam
perjalanan dimana 87% dari mereka berganti-ganti pasangan pekerja seks sedangkan
sisanya memiliki pasangan tetap (Gunawan, 2001). Studi lainnya yakni oleh Hutapea
dkk pada klien VCT RSUD Baliage menunjukkan dari 145 sampe dengan HIV positif
proporsi stertinggi terdapat pada kelompok wiraswasta yakni sebesar 36,6% (Hutapea
dkk, 2012).
f. Tingkat Penghasilan
Menurut studi kohort longitudinal sejak tahun 1992 pada populasi di distrik Rakai,
Uganda yang dilakukan oleh Kirunga dan Ntozi menunjukkan bahwa terdapat korelasi
positif antara tingkat penghasilan dengan status HIV dimana dari 389 sampel dengan
status HIV positif sebanyak 199 sampel tergolong ke dalam kelompok dengan tingkat
penghasilan sedang dan 120 sampel tergolong ke dalam kelompok dengan tingkat

8
penghasilan tinggi.
g. Wilayah tempat tinggal.
Wilayah tempat tinggal berkaitan dengan status HIV positif dikarenakan norma-
norma yang dianut oleh masyarakat perkotaan telah semakin memudar bila
dibandingkan dengan masyarakat di pedesaan yang masih kental dan kuat dalam
menganut norma dan etika, sehingga hal ini berhubungan dengan perilaku seks bebas
yang semakin banyak dianut masyarakat perkotaan (Roza, 2014)

2. Faktor Perilaku

Perilaku merupakan suatu kegiatan aktifitas organisme atau makhluk hidup yang
bersangkutan. Dimana menurut UNAIDS terdapat 70% penularan HIV/AIDS yang
disebaarkan melalui perilaku seksual. Faktor perilaku yang berhubungan status HIV positif
seseorang merupakan perilaku individu yang tergolong ke dalam perilaku berisiko tertular
HIV/AIDS. Perilaku berisiko tersebut dapat kita bagi sebagai berikut:
a. Kelompok Risiko Tinggi

Kelompok risiko tinggi merupakan kelompok masyarakat yang tergolong ke


dalam subjek-subjek rentan untuk tertular HIV seperti contoh pekerja seks, waria, gay,
gigolo, laki-laki pembeli seks maupun istri dengan pasangan yang telah terinfeksi HIV.
Data oleh Unicef Indonesia menunjukkan bahwa pada tahun 2011, sepertiga
perempuan pekerja seks menyatakan tidak menggunakan kondom dengan pelanggan
terakhir mereka.

Terdapat kurang dari setengah pengguna narkoba suntik yakni 41% yang secara
konsisten menggunakan kondom dengan pasangan tidak tetap. Kira-kira 39% laki-laki
pelanggan perempuan pekerja seks tidak menggunakan kondom dalam hubungan
seksual komersial terakhir mereka. Sekitar 40% laki-laki usia subur yang berhubungan
seks dengan lebih dari satu pasangan menyatakan tidak menggunakan kondom dalam
hubungan seksual terakhir mereka. Dimana hal ini menunjukkan kelompok dengan
risiko tinggi tidak diikuti dengan perilaku untuk melakukan seks yang aman (dengan
menggunakan kondom) dan hal ini berpengaruh terhadap peningkatan infeksi HIV
(Unicef Indonesia, 2012).
b. Transmisi Penularan

Transmisi penularan HIV berkaitan erat dengan etiologi seseorang terinfeksi HIV.
Berdasarkan studi literatur disebutkan beberapa transmisi penularan HIV yakni:

9
melakukan seks vaginal berisiko, melakukan seks anal berisiko, transfusi darah
berisiko, penggunaan jarum suntik berisiko, serta transmisi perinatal dari ibu ke anak.
Penelitian oleh Hutapea dkk pada klien VCT di RSUD Baliage menunjukkan dari 145
sampel positif HIV AIDS proporsi tertinggi terdapat pada kelompok dengan transmisi
penularan melalui seks vaginal berisiko yakni sebesar 66,6% (Hutapea dkk, 2012).
Sedangkan berdasarkan data Ditjen PP&PL Depkes RI menunjukkan dari seluruh
presentase kasus kumulatif HIV/IDS menurut faktor risiko sampai dengan Desember
2007 terdapat 49,86% merupakan penggunanarkoba dengan jarum suntik (Injecting
Drug User), 41,86% melalui hubungan heteroseksual, 3,90% melalui hubungan
homoseksual, 2,59% transmisi perinatal, 1,70% melalui transfusi darah, dan 2,59%
tidak diketahui sebabnya (Ditjen PP&PL Depkes RI, 2006). Data lainnya yakni dari
Unicef Indonesia menunjukkan pada tahun 2011 menunjukkan terdapat prevalensi
HIV sebesar 36% pada pengguna narkoba suntik, 22% pada waria transgender, 10%
pada perempuan pekerja seks dan 8,5% pada laki-laki yang berhubungan seks dengan
laki-laki (Unicef Indonesia, 2012).

c. Orientasi seksual

Orientasi seksual merupakan pola ketertarikan seksual emosional terhadap laki-


laki, wanita, keduanya, atau bahkan tidak kepada keduanya. Orientasi seksual biasanya
dikelompokkan menurut gender atau jenis kelamin yang dianggap menarik dan dibagi
atas heteroseksual, homoseksual, dan biseksual (American Psychological Association,
2003). Penelitian oleh Hutapea dkk menunjukkan dari 145 sampel positif HIV
sebanyak 66,9% memiliki orientasi heteroseksual (Hutapea dkk, 2012). Penelitian
lainnya dilakukan oleh Gangamma dkk mengenai risiko HIV pada pemuda pemudi
gay, lesbian, biseksual, dan heteroseksual yang tunawisma didapatkan data bahwa
risiko tertinggi HIV ditemukan pada kelompok lesbian dan wanita biseksual
(Gangamma dkk, 2008).

Penelitian lainnya dilakukan oleh Laksana dan Lestari yang membandingkan


faktor risiko penularan HIV antara laki-laki homoseksual dan heteroseksual didapatkan
data diantara responden yang pernah melakukan hubungan seksual, sebagian besar
laki-laki homoseksual memiliki partner hubungan seks lebih dari satu orang, yaitu
72,0% memiliki lebih dari 1 partner. Pada kelompok laki-laki heteroseksual, sebagian
besar yakni 68,3% hanya memiliki satu orang partner hubungan seksual. Hal ini
berkaitan dengan lebih tingginya risiko pada kelompok laki-laki homoseksual utnuk

10
terkena HIV akibat kebiasaan berganti-ganti pasangan yang merupakan faktor risiko
untuk transmisi penularan HIV (Laksana&Lestari, 2010).
3. Faktor Pelayanan Kesehatan
Pelayanan kesehatan merupakan hal mutlak yang harus tersedia di suatu di negara.
Karena tingkat pelayanan kesehatan berbanding lurus dengan derajat kesehatan masyarakat
dan memiliki pengaruh sebesar 20% terhadap derajat kesehatan masyarakat. Pelayanan
kesehatan terdiri atas empat hal yakni dari segi promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Layanan kesehatan untuk kasus HIV/AIDS sendiri telah dicanangkan pemerintah melalui
Program Layanan Komprehensif Berkesinambungan (LKB) HIV dimana telah mencakup
keempat lini layanan kesehatan yakni promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif terdiri
atas: kegiatan Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) pengetahuan komprehensif, promosi
penggunaan kondom, pengendalian faktor risiko, layanan VCT, pencegahan penularan dari
Ibu ke anak (PPIA), pengurangan dampak buruk NAPZA, pencegahan penularan melalui
donor darah serta monitoring dan evaluasi surveilans epidemiologi di Puskesmas. Melalui
layanan kesehatan yang memadai dan menyasar seluruh komponen masyarakat diharapkan
dapat mengurangi transmisi HIV/AIDS maupun untuk mengurangi stigma ODHA di
masyarakat.
4. Faktor Genetik

Faktor genetik berperan penting dalam transmisi HIV/AIDS sebab salah satu etiologi
dari infeksi HIV adalah transmisi perinatal yakni dari ibu ke anak, dimana apabila seorang
ibu telah terjangkit virus HIV dan kemudian melahirkan bayi secara normal serta terjadi
kontak cairan tubuh maka anak tersebut juga akan terkena infeksi HIV (Saspriyana, 2013).

11
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Voluntary Counselling and Testing atau yang lebih dikenal dengan VCT HIV & AIDS
merupakan salah satu program yang dilaksanakan dalam upaya mencegah penyebaran penyakit
HIV & AIDS. Voluntary Counselling and Testing (VCT) merupakan entry point untuk
memberikan perawatan, dukungan dan pengobatan bagi ODHA. VCT juga merupakan salah satu
model untuk memberikan informasi secara menyeluruh dan dukungan untuk merubah perilaku
berisiko serta mencegah penularan HIV/AIDS. (Haruddin, dkk., 2007). Sedangkan, Provider-
initiated HIV testing and counseling (PITC) adalah suatu tes HIV dan konseling yang diinisiasii
oleh petugas kesehatan kepada pengunjung sarana layanan kesehatan sebagai bagian dari standar
pelayanan medis. (Kemenkes RI, 2011). Kegiatan VCT dan PITC hampir sama yaitu meliputi
konseling pra tes, informed concent, tes HIV, dan konseling pasca tes. Tetapi VCT dan PITC
memliki perbedaan diantaranya klien VCT datang ke UPK khusus untuk test HIV, sudah siap
untuk tes HIV, biasanya asimptomatik, sedangkan klien PITC Datang ke klinik karena TB atau
symptom TB, tidak selalu siap untuk tes HIV.

B. Saran
Program VCT dan PITC sudah cukup baik namun masih belum optimal dalam
pelaksanaannya, mulai dari aspek input, proses maupun output. Diperlukan komitmen dan kerja
sama dari berbagai pihak untuk dapat mewujudkan optimalisasi program pencegahan dan
penanggulangan HIV/AIDS yang lebih komprehensif. Diperlukan peran petugas kesehatan yang
terlatih dalam penerapan VCT dan PITC secara komprehensif dalam upaya menurunkan angka
kesakitan, kematian dan yang lebih penting menurunkan terjadinya penularan HIV/AIDS.

12
DAFTAR PUSTAKA
Rahayu, M., et al. 2013. Pemanfaatan Tumbuhan Obat Secara Tradisional Oleh Masyarakat Lokal Di
Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara. Bogor: Bidang Botani

Ditjen PP dan PL 2010. Profil Kesehatan Indonesia. Departemen Kesehatan R I. 2010

Departemen Kesehatan R I. Ditjen PP dan PL 2010. Pedoman Pelayanan Konseling dan Testing
HIV/AIDS secara sukarela (voluntary counselling and testing). Diakases 17 November
2010.http://www.aidsina.org/files/publikasi/panduanvct.pdf

Kemenkes Ri. 2013. Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta: Balitbang Kemenkes Ri

13

Anda mungkin juga menyukai