Anda di halaman 1dari 16

“PERANG ACEH I DAN II”

Disusun oleh:

Kelompok 3

SUCI MURNITA HR

KHALIFAH FURQAN

EMA SRI DEWI

JULIA SAPUTRI

ZULFAHMI

PRODI TEKNIK INDUSTRI

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS TEUKU UMAR

TAHUN 2019
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
limpahan rahmatNya-lah maka kami bisa menyelesaikan makalah dengan tepat waktu.
Berikut ini kami mempersembahkan sebuah makalah tentang “Perlawanan Terhadap
Kolonialisme Belanda”, yang menurut kami dapat memberikan manfaat yang besar bagi kita
untuk mempelajari berbagai sejarah tentang cikal bakal Bangsa Indonesia dan bisa mengetahui
perjuangan dari rakyat-nya itu sendiri.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran
dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah
ini.
Dengan ini, kami mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terima kasih dan semoga
Allah SWT memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat untuk semua pihak.

I
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………….………………….....i
DAFTAR ISI……………………………………………………………..……………………...ii
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………..……………………......1
1.1 Latar Belakang ……………………………………………….….………………………...1
1.2 Rumusan Masalah …………………………………………….….………………………...2
1.3 Tujuan Pembahasan …………………………………………….……………………….....2
BAB II PEMBAHASAN …………………………………………….………………………..3
2.1 Latar Belakang Terjadinya perang aceh I dan II ……………………………………… …3
2.2 Tokoh / Pemimpin Perang …………………………………………………………….…..4
2.3 Proses Perlawanan …………………………………………………………………….…..5
2.4 Akhir Perlawanan …………………………………………………………………………8
BAB III PENUTUP ………………………………………………………………..…………10
3.1 Kesimpulan ………………………………………………………………………………..10
3.2 Saran ………………………………………………………………………………...……..11
DAFTAR
PUSTAKA ………………………………………………………………………………...…..12

II
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pentingnya pembahasan topik ini adalah untuk mengetahui bagaimana penderitaan bangsa
Indonesia ketika di jajah oleh bangsa-bangs Eropa, sehingga terjadi perlawanan-perlawanan di
berbagai daerah untuk menusir para penjajah, khususnya para penjajah Belanda.
Sampai dengan abad 18 penetrasi kekuasaan Belanda semakin besar dan meluas, bukan hanya
dalam bidang ekonomi dan politik saja namun juga meluas ke bidang-bidang lainnya seperti
kebudayaan dan agama. Penetrasi dan dominasi yang semakin besar dan meluas terhadap
kehidupan bangsa Indonesia menyebabkan terjadinya berbagai peristiwa perlawanan dan
perang melawan penindasan dan penjajahan bangsa Eropa. Tindakan sewenang-wenang dan
penindasan yang dilakukan oleh penguasa kolonial Eropa telah menimbulkan kesengsaraan dan
kepedihan bangsa Indonesia. Menghadapi tindakan penindasan itu, rakyat Indonesia
memberikan perlawanan yang sangat gigih. Perlawanan mula-mula ditujukan kepada
kekuasaan Portugis dan VOC.

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang melatar belakangi dalam prlawanan tersebut ?
2. Bagaimana strategi yang dilakukan di setiap daerah untuk melawan Belanda?
3. Siapa tokoh yang paling berperan dalam perlawanan tersebut?
4. Bagaimana proses dalam perlawanan tersebut ?
5. Bagaimana akhir dari perlawanan tersebut ?

1.3 Tujuan Pembahasan


Supaya kita dapat mengetahui susah payahnya para pejuang yang peduli akan keadaan
Bangsa Indonesia.

2
BAB II
PEMBAHASAN
(PERLAWANAN ACEH)

2.1 Latar Belakang Terjadinya perang aceh I dan II


Aceh memiliki kedudukan yang sangat strategis sebagai pusat perdagangan. Aceh banyak
menghasilkan lada dan tambang serta hasil hutan. Oleh karena itu, Belanda berambisi untuk
mendudukinya. Sebaliknya, orang-orang Aceh tetap ingin mempertahankan kedaulatannya.
Sampai dengan tahun 1871, Aceh masih mempunyai kebebasan sebagai kerajaan yang
merdeka.

Situasi ini mulai berubah dengan adanya Traktrat Sumatra (yang ditandatangani Inggris dengan
Belanda pada tanggal 2 November 1871). Isi dari Traktrat Sumatra 1871 itu adalah pemberian
kebebasan bagi Belanda untuk memperluas daerah kekuasaan di Sumatra, termasuk Aceh.
Dengan demikian, Traktrat Sumatra 1871 jelas merupakan ancaman bagi Aceh.
Karena itu Aceh berusaha untuk memperkuat diri, yakni mengadakan hubungan dengan Turki,
Konsul Italia, bahkan dengan Konsul Amerika Serikat di Singapura. Tindakan Aceh ini sangat
mengkhawatirkan pihak Belanda karena Belanda tidak ingin adanya campur tangan dari luar.
Belanda memberikan ultimatum, namun Aceh tidak menghiraukannya. Selanjutnya, pada
tanggal 26 Maret 1873, Belanda memaklumkan perang kepada Aceh.

3
2.2 Tokoh / Pemimpin Perang
Perang Aceh Pertama [1873-1874] dipimpin oleh Panglima Polim & Sultan Mahmud Syah
melawan Belanda yg dipimpin Köhler. Köhler dengan 3000 serdadunya dapat dipatahkan,
dimana Köhler sendiri tewas pada tanggal 14 April 1873. Sepuluh hari kemudian, perang
berkecamuk di mana-mana. Yang paling besar saat merebut kembali Masjid Raya
Baiturrahman, yg dibantu oleh beberapa kelompok pasukan. Ada di Peukan Aceh, Lambhuk,
Lampu’uk, Peukan Bada, sampai Lambada, Krueng Raya. Beberapa ribu orang juga
berdatangan dari Teunom, Pidie, Peusangan, & beberapa wilayah lain. Perang Aceh Pertama
ialah ekspedisi Belanda terhadap Aceh pada tahun 1873 yg bertujuan mengakhiri Perjanjian
London 1871, yg menindaklanjuti traktat dari tahun 1859 [diputuskan oleh Jan van Swieten].
Melalui pengesahan Perjanjian Sumatera, Belanda berhak mendapatkan pantai utara Sumatera
yg di situ banyak terjadi perompakan. Komisaris Pemerintah Frederik Nicolaas
Nieuwenhuijzen yg mengatur Aceh mencoba mengadakan perundingan dengan Sultan Aceh
namun tak mendapatkan apa yg diharapkan sehingga ia menyatakan perang pada Aceh atas
saran GubJen James Loudon. Blokade pesisir tak berjalan sesuai yg diharapkan.

Perang Aceh Kedua


Pada Perang Aceh Kedua [1874-1880], di bawah Jend. Jan van Swieten, Belanda berhasil
menduduki Keraton Sultan, 26 Januari 1874, & dijadikan sebagai pusat pertahanan Belanda. 31
Januari 1874 Jenderal Van Swieten mengumumkan bahwa seluruh Aceh jadi bagian dari
Kerajaan Belanda. Ketika Sultan Machmud Syah wafat 26 Januari 1874, digantikan oleh
Tuanku Muhammad Dawood yg dinobatkan sebagai Sultan di masjid Indragiri.

4
Perang Aceh Ketiga
Perang ketiga [1881-1896], perang dilanjutkan secara gerilya & dikobarkan perang fisabilillah.
Dimana sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1904. Perang gerilya ini
pasukan Aceh di bawah Teuku Umar bersama Panglima Polim & Sultan. Pada tahun 1899
ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van der Dussen di Meulaboh, Teuku Umar gugur.
Tetapi Cut Nyak Dhien istri Teuku Umar kemudian tampil menjadi komandan perang gerilya.

Perang Aceh Keempat


Perang keempat [1896-1910] ialah perang gerilya kelompok & perorangan dengan perlawanan,
penyerbuan, penghadangan & pembunuhan tanpa komando dari pusat pemerintahan
Kesultanan.

2.3 Proses Perlawanan


Sebelum terjadi peperangan, Aceh telah melakukan persiapan-persiapan. Sekitar 3.000 orang
dipersiapkan di sepanjang pantai dan sekitar 4.000 orang pasukan disiapkan di lingkungan
istana. Pada tanggal 5 April 1873, pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Jenderal J.H.R.
Kohler melakukan penyerangan terhadap Masjid Raya Baiturrahman Aceh. Pada tanggal 14
April 1873, Masjid Raya Aceh dapat diduduki oleh pihak Belanda dengan disertai pengorbanan
besar, yakni tewasnya Mayor Jenderal Kohler.Setelah Masjid Raya Aceh berhasil dikuasai oleh
pihak Belanda, maka kekuatan pasukan Aceh dipusatkan untuk mempertahankan istana Sultan
Mahmuh Syah. Dengan dikuasainya Masjid Raya Aceh oleh pihak Belanda, banyak
mengundang para tokoh dan rakyat untuk bergabung berjuang melawan Belanda.

5
Tampilah tokoh-tokoh seperti Panglima Polim, Teuku Imam Lueng Bata, Cut Banta, Teungku
Cik Di Tiro, Teuku Umar dan isterinya Cut Nyak Dien. Serdadu Belanda kemudian bergerak
untuk menyerang istana kesultanan, dan terjadilah pertempuran di istana kesultanan. Dengan
kekuatan yang besar dan semangat jihad, para pejuang Aceh mampu bertahan, sehingga
Belanda gagal untuk menduduki istana.
Pada akhir tahun 1873, Belanda mengirimkan ekspedisi militernya lagi secara besar-besaran di
bawah pimpinan Letnan Jenderal J. Van Swieten dengan kekutan 8.000 orang tentara.
Pertempuran seru berkobar lagi pada awal tahun 1874 yang akhirnya Belanda berhasil
menduduki istana kesultanan. Sultan beserta para tokoh pejuang yang lain meninggalkan istana
dan terus melakukan perlawanan di luar kota. Pada tanggal 28 Januari 1874, Sultan Mahmud
Syah meninggal, kemudian digantikan oleh putranya yakni Muhammad Daud Syah.
Sementara itu, ketika utusan Aceh yang dikirim ke Turki, yaitu Habib Abdurrachman tiba
kembali di Aceh tahun 1879 maka kegiatan penyerangan ke pos-pos Belanda diperhebat. Habib
Adurrachman bersama Teuku Cik Di Tiro dan Imam Lueng Bata mengatur taktik penyerangan
guna mengacaukan dan memperlemah pos-pos Belanda.
Menyadari betapa sulitnya mematahkan perlawanan rakyat Aceh, pihak Belanda berusaha
mengetahui rahasia kekuatan Aceh, terutama yang menyangkut kehidupan sosial-budayanya.
Oleh karena itu, pemerintah Belanda mengirim Dr. Snouck Hurgronye (seorang ahli tentang
Islam) untuk meneliti soal sosial budaya masyarakat Aceh. Dengan menyamar sebagai seorang
ulama dengan nama Abdul Gafar, ia berhasil masuk Aceh.

6
Hasil penelitiannya dibukukan dengan judul De Atjehers (Orang Aceh). Dari hasil
penelitiannya dapat diketahui bahwa sultan tidak mempunyai kekuatan tanpa persetujuan para
kepala di bawahnya dan ulama mempunyai pengaruh yang sangat besar di kalangan rakyat.
Dengan demikian langkah yang ditempuh oleh Belanda ialah melakukan politik "de vide et
impera ( memecah belah dan menguasai). Cara yang ditempuh kaum ulama yang melawan
harus dihadapi dengan kekerasan senjata; kaum bangsawan dan keluarganya diberi kesempatan
untuk masuk korps pamong praja di lingkungan pemerintahan kolonial.

Belanda mulai memikat hati para bangsawan Aceh untuk memihak kepada Belanda. Pada
bulan Agustus 1893, Teuku Umar menyatakan tunduk kepada pemerintah Belanda dan
kemudian diangkat menjadi panglima militer Belanda. Teuku Umar memimpin 250 orang
pasukan dengan persenjataan lengkap, namun kemudian bersekutu dengan Panglima Polim
menghantam Belanda.
Tentara Belanda di bawah pimpinan J.B. Van Heutz berhasil memukul perlawanan Teuku
Umar dan Panglima Polim. Teuku Umar menyingkir ke Aceh Barat dan Panglima Polim
menyingkir ke Aceh Timur. Dalam pertempuran di Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899,
Teuku Umar gugur.

7
Sementara itu, Panglima Polim dan Sultan Muhammad Daud Syah, masih melakukan
perlawanan di Aceh Timur. Belanda berusaha melakukan penangkapan. Pada tanggal 6
September 1903 Panglima Polim beserta 150 orang parjuritnya menyerah setelah Belanda
melakukan penangkapan terhadap keluarganya. Hal yang sama juga dilakukan terhadap Sultan
Muhammad Daud Syah. Pada tahun 1904, Sultan Aceh dipaksa untuk menandatangani Plakat
Pendek yang isinya sebagai berikut.
1) Aceh mengakui kedaulatan Belanda atas daerahnya.
2) Aceh tidak diperbolehkan berhubungan dengan bangsa lain selain dengan belanda.
3) Aceh menaati perintah dan peraturan Belanda.

Dengan ini, berarti sejak 1904 Aceh telah berada di bawah kekuasaan pemerintah Belanda.

2.4 Akhir Perlawanan


Berdasarkan pengalaman Snouch Hurgronje, pada tahun 1899, Belanda mengirim Jenderal Van
Heutsz untuk mengadakan serangan umum di Aceh Besar, Pidie dan Samalanga. Serangan
umum di Aceh itu dikenal dengan Serangan Sapurata dari pasukan Marchausse (arsose) dengan
anggota pasukannya erdiri dari orang-orang Indonesia yang sudah dilatih oleh Belanda.
Pasukan inilah yang benar-benar telah mematahkan semangat juang para pejuang Aceh. Dalam
serangan itu banyak putra-putra Aceh yang gugur. Sambil memberi perlawanan yang sengit,
rakyat Aceh mundur ke pedalaman. Untuk menyerbu ke pedalaman. Untuk menyerbu ke
pedalaman, Belanda mengirim pasukannya di bawah pimpinan Jendral Van Daalen. Rakyat
Aceh ternyata tidak siap dan kurang perlengkapan sehingga laskar menjadi kocar-kacir dan
terpaksa lari mengundurkan diri dari Medan pertempuran Gerilya.

8
Dalam waktu singkat Belanda merasa berhasil menguasai Aceh. Kemudian Belanda membuat
Perjanjian Pendek, dimana kerajaan-kerajaan kecil terikat oleh perjanjian ini. Kerajaan-
kerajaan kecil itu tunduk pada Belanda dan seluruh kedudukan politik diatur oleh Belanda,
sehingga masing-masing kerajan daharuskan untuk:
· Mengakui daerahnya sebagai bagian dari kekuasaan Belanda
· Berjanji tidak akan berhubungan dengan suatu pemerintahan asing
· Berjanji akan menaati perintah-perintah yang diberikan oleh pemerintah Belanda
Perjanjian pendek juga bertujuan untuk mengikat raja-raja kecil atau mengikat kepala-kepala
daerah. Pemerintahan Belanda juga mengikat raja-raja yang besar kekuasaannya, diantaranya
Deli Serdang, Asahan, langkat, Siak, dan sebagainya dengan suatu perjanjian.
Demikianlah perang yang terjadi di Aceh yang mengorbankan putra-putra tanah Aceh seperti
Teungku Umar, Panglima Polim, eungki Cik di Tiro, Tjut Nyak Dien, Tjut Mutiah, Tuanku
Muhammad Dawodsyah dan rakyat Aceh yang dapat kita anggap sebagai tokoh perjuangan
kemerdekaan Bangsa Indonesia.

9
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Latar belakang Perang Aceh, yang utama yaitu Adanya Imperialisme Barat yang berlomba-
lomba menguasai Asia Tenggara, terutama Belanda yang melakukan “Politik Pax Neerlandica”
serta anggapan dunia luar bahwa keamanan pelayaran ada dibawah tanggung jawab Belanda.
Factor inilah yang merupakan latar belakang pokok mengapa Belanda berkeinginan menguasai
Aceh.
Perang Aceh dibagi menjadi tiga periode, Periode Perang I (1873-1880), Periode Perang II
(1880-1890), Periode Perang III (1890-1904). Berakhirnya Perang Aceh ditandai dengan
penandatangan Plakat Pendek oleh Sultan Sigli dan Panglima Polim pada tahun 1904.

10
3.2 Saran
Semoga dengan dibuatnya makalah ini, kita bisa mengetahui bagaimana susahnya pejuang
Indonesia zaman dahulu merebut NKRI, dari bertaruh harta maupun nyawa. Janganlah
melupakan jasa pahlawan yang telah gugur dalam membela Indonesia dan semoga kita bisa
mengambil nilai-nilai luhur dari mereka.

11
DAFTAR PUSTAKA

http://iskandarberkasta-sudra.blogspot.com/2011/02/kedatangan-belanda-ke-indonesia.html
Notosusanto, Nugroho:Poesponegoro Marwati Djoened. 2008. Sejarah Nasional
Indonesia Jilid IV. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Suyono Capt.R.P. 2003. Peperangan Kerajaan di Nusantara. Jakarta:PT Gramedia
Hanna, Williard. 1996. Ternate dan Tidore. Jakarta : PT Penebar Swadaya

12

Anda mungkin juga menyukai