BUKU 1
AGUS SUNYOTO
Pengantar Redaksi
Daya tahan setiap pemikiran, ajaran, aliran, ideologi, peradaban,
dan semacamnya sangat ditentukan oleh seberapa besar
pemikiran tersebut dapat diterima di tengah masyarakat,
penguasa, dan komitmen para pengikutnya dalam menjaga
kelangsungan. Bila ketiga komponen tersebut tumbuh subur maka
akan menemukan masa kejayaan. Sebaliknya, bila satu dari ketiga
komponen tersebut tidak seiring maka akan mengalami
ketersendatan, keterpurukan, bahkan kepunahan.
Oleh karena itu, wajar bila sering kali terjadi sebuah pemikiran
pada satu zaman masyhur, namun pada zaman yang berbeda
mengalami keredupan, atau sebaliknya. Pada periode tertentu
dikutuk, pada saat yang lain dipuja habis-habisan. Dalam situasi
seperti ini kaum elit (masyarakat-agamawan-penguasa-intelektual)
memegang peran yang sangat menentukan.
1
Salah satu contoh peran signifikan kaum elit ini dapat disimak
dalam kasus yang menimpa Syaikh Siti Jenar. Dalam cerita-cerita
babad, ajaran-ajaran Syaikh Siti Jenar dianggap sebagai bid’ah,
menyimpang dari ajaran Islam. Oleh karena itu, melalui sidang
dewan Wali Syaikh Siti Jenar dihukum mati. Polemik terjadi tatkala
kitab rujukan yang berbeda kita jajarkan. Katakanlah novel yang
akan dibaca ini kita jadikan rujukan.
3
Membaca Sejarah Tanpa Kepentingan
Kekacauan itu tidak hanya pada kehidupan lahir, tapi juga pada
kebeningan dan penalaran. Dalam sejarah umat Islam sendiri, kita
dapat melihat banyak perilaku tak Islam pada orang-orang Islam.
Perilaku ini akibat kekacauan berpikir tercampur dengan semangat
keberagaman yang tidak ditunjang oleh pendalaman pemahaman,
plus kebodohan menyadari garis batas yang memang tipis antara
ghirah (semangat) keagamaan dan nafsu tersembunyi. Tengoklah
kekacauan yang terjadi sejak zaman sahabat Usman bin Affan
hingga sekarang, baik yang jelas asal-usul persoalannya hingga
yang samar.
5
Buku-buku yang ditulis belakangan tentang “tokoh kontroversial”
itu umumnya sekadar menjelaskan sebab musabab kenapa beliau
dihukum. Orang hampir tak pernah disuguhi riwayat pribadinya
sebagai manusia beriman. Untunglah ada Saudara Agus Sunyoto
yang menyusun buku tentang tokoh legendaris itu dengan maraji’
(referensi) yang lain sehingga kita bisa membaca riwayat hidupnya
yang hanya kita kenal sebagai ‘pesakitan’ saja.
6
Exegese
Kita tidak tahu apa yang sebenarnya telah dilakukan oleh para
pemenang perang setelah kekalahan Maharaja Rahwana. Kita
hanya tahu bahwa, menurut epos Ramayana yang ditulis para
pemenang, leluhur Maharaja Rahwana adalah bangsa raksasa
yang kejam, jahat, licik, rakus, brutal, haus darah, dan biadab.
Padahal, di dalam berbagai versi tentang epos Ramayana selalu
kita temukan gambaran bahwa Maharaja Rahwana hidup di
Alengka, sebuah kota yang penuh bangunan berarsitektur tinggi,
makmur, mewah, dan memiliki sistem pemerintah yang bersifat
musyawarah dengan penasihat-penasihat maharaja yang cerdik
dan bijak. Sebaliknya, para pemenang perang selalu digambarkan
hidup di lingkungan hutan dengan penghuni “masyarakat kera”
yang berperadaban rendah dan sistem pemerintahan bersifat
kultus individu.
Lepas dari benar tidaknya epos Ramayana dalam konteks
objektivitas sejarah, kita bisa menangkap terjadi proses ethnic
7
cleansing dalam bentuk tumpas kelor terhadap Rahwana, saudara-
saudara, keturunan, bala tentara, dan bahkan bangsanya. Proses
itu mungkin terjadi karena di dalam pemikiran masyarakat yang
terhegemoni pengaruh peradaban Aryan, puak-puak masyarakat
yang digolongkan sebagai raksasa adalah musuh dewa-dewa dan
manusia yang wajib dibasmi kapan pun dan di mana pun mereka
berada. Lalu terjadilah ethnic cleansing itu. Komunitas “raksasa”
yang melarikan diri tentu saja segera tersingkir dari lingkungan
peradaban tinggi di Alengka. Bangsa raksasa, di kelak kemudian
hari selalu digambarkan sebagai penghuni rimba raya.
Sampai sekarang pun getaran rasa takut dan tegang masih terasa
pada mereka yang menjadi pengikut Syaikh Siti Jenar. Entah takut
entah tidak, entah tegang entah tidak, buktinya para pengikut
Tarekat Akmaliyyah, tarekat yang dinisbatkah kepada Syaikh Siti
Jenar, selalu mengamalkan dan melestarikan ajarannya secara
sembunyi-sembunyi. Dogma dan doktrin dari amalan-amalan
Tarekat Akmaliyyah haram diajarkan kepada masyarakat umum.
Nama Syaikh Siti Jenar seolah-olah mewakili rasa takut dan tegang
bagi mereka yang sekadar simpati kepadanya.
11
Lepas dari soal takut dan tegang, citra Syaikh Siti Jenar sendiri
selama kurun lebih empat abad memang tidak bisa lepas dari
stigma kebid’ahan, kesesatan, kecacingan, dan keanjingan.
Sementara, kita tidak pernah tahu apakah ia benar-benar jelmaan
cacing. Kita juga tidak pernah tahu apakah ketika mati jasad Syaikh
Siti Jenar berubah menjadi anjing. Bahkan kita tidak pernah tahu
apakah bangkai anjing itu benar-benar dikubur di kompleks Masjid
Agung Demak.
Lepas dari pro dan kontra kisah Rahwana, Indian, dan Syaikh Siti
Jenar, ternyata faktor sumber-sumber naskah yang dijadikan
acuan data dalam menggambarkan para tokoh itu menempati
posisi kunci. Dikatakan posisi kunci kaerna sumber naskah acuan
itulah yang sebenarnya membentuk frame of reference pembaca.
Karena, naskah-naskah itulah yang sesungguhnya membangun
12
asumsi, simpulan, opini, dan wacana tentang pokok masalah yang
diperdebatkan.
Kita tidak tahu apakah Syaikh Siti Jenar yang dikenal penyebar
bid’ah dan sesat itu sejatinya memang demikian, sesuai tuduhan
yang dialamatkan kepadanya. Yang jelas, pencitraan dan stigma
itu tergantung sepenuhnya pada sumber-sumber historiografi yang
mencatat tentangnya. Kenyataan tentang perbedaan sumber-
sumber historiografi inilah yang diam-diam telah mendorong dan
memotivasi saya untuk menulis kisah Syaikh Siti Jenar dari sisi
lain. Siapa tahu dengan sumber-sumber asal Cirebon itu kita dapat
menempatkan tokoh Syaikh Siti Jenar dalam bentuk yang berbeda
dengan yang kita kenal selama ini. Maksudnya, siapa tahu bahwa
di balik stigma kebid’ahan, kesesatan, kecacingan, dan keanjingan
itu ternyata tersembunyi kemanusiaan atau bahkan
keadimanusiaan.
Saya tidak tahu apakah gambaran utuh Syaikh Siti Jenar dalam
bentuk konstruk pemahaman saya itu lebih proporsional dan lebih
objektif dibanding gambaran yang dibangun sumber-sumber
historiografi sejenis babad. Yang jelas, menyusun gambaran utuh
Syaikh Siti Jenar ke dalam bentuk penelitian kualitatif sesuai
tuntutan metodologi (an sich), saya rasakan mengalami banyak
kesulitan, bahkan kemustahilan. Karena, keberadaan Syaikh Siti
Jenar dan ajarannya terkait dengan pergulatan sosio-religi,
ideologi, dogma, doktrin, dan pengalaman ruhani yang sulit
dijabarkan oleh kaidah-kaidah ilmiah yang bertolak dari paradigma-
paradigma, postulat-postulat, dan aksioma-aksioma sekular-
materialistis. Oleh karena itu, saya memilih alternatif paling
memungkinkan, yakni menyajikan hasil tangkapan saya terhadap
sosok Syaikh Siti Jenar dan ajarannya dalam bentuk fiksi. Sajian
itu saya beri judul Suluk Abdul Jalil: Perjalanan Ruhani Syaikh Siti
Jenar.
14
memahami kisah tokoh kontroversi ini dari sisi pandang yang lain.
Sebab, melalui karya fiksi, pengungkapan dan pemaparan hal-hal
yang bersifat abstrak dan absurd dapat dijembatani oleh pilihan
kata-kata dan kalimat-kalimat konotatif dan metaforik.
16
terdapatnya ungkapan-ungkapan teknis sufisme yang bersifat
esoteris di dalam buku ini sengaja tidak diberi makna dan
penjelasan, agar tidak terjadi monopoli penafsiran oleh pengarang.
Semoga isi buku ini bisa menjadi masukan dan bahan renungan
bagi para pencari Kebenaran Sejati.
Agus Sanyoto
17
Yang Dikutuk yang Dipuji
18
Lebih sewindu lalu, menurut cerita burung yang menyebar dari
mulut ke mulut, terjadi prahara yang mengerikan dan menabur
kebinasaan di Nusa Jawa. Prahara itu akibat benturan dahsyat dua
angin berkekuatan besar yang membadai; yang satu adalah badai
merah yang datang dari arah barat, sedang yang lain adalah badai
putih yang datang dari timur. Padahal, kedua badai itu pada
awalnya sama, yakni angin sejuk dan segar yang berembus sepoi-
sepoi membasahi pepohonan, rerumputan, serta bebatuan.
19
Menurut cerita, benturan dua badai berlawanan arah itu puncaknya
terjadi di Kesultanan Demak, pusat kekuasaan Islam yang paling
awal di Nusa Jawa. Tragisnya, prahara yang merupakan bagian
dari drama di atas panggung kehidupan itu adalah benturan antara
angin Islam dan angin Islam sendiri. Tragedi anak manusia apakah
yang sedang berlangsung di zaman itu?
Pada perempat awal abad ke-16 Masehi, angin sejuk Islam yang
dibawa oleh para penyebarnya sedang berembus kencang dan
membadai di pantai utara Nusa Jawa. Bagaikan tiupan dari tengah
samudera melanda gugusan pantai, demikianlah angin hijau yang
semula sepoi-sepoi membasahi kegersangan jiwa para penghuni
negeri yang telah letih dipanggang hingar-bingar tungku
peperangan itu, berangsur-angsur menjadi badai yang
menggetarkan. Hal itu berlangsung ketika menara gading
Majapahit yang pernah menebarkan zaman keemasan di segenap
penjuru negeri telah tak berdaya lagi. Padam. Terpuruk menjadi
reruntuhan puing yang dihuni tikus, anjing geladak, burung gagak,
rayap, dan kuman penyakit.
Embusan angin sejuk Islam yang bertiup makin kencang dari dua
arah yang berlawanan itu ternyata tunduk pada hukum alam. Saat
mereka bertemu pada satu pusaran tiba-tiba berubah menjadi
puting beliung berkekuatan raksasa yang berpusar dahsyat
melanda dan membinasakan segala yang diterjangnya. Keduanya
bertumbuk. Dorong-mendorong pun berlangsung seru. Namun,
kekuatan dahsyat angin dari timur terbukti memenangkan
pergulatan sehingga angin prahara Islam yang membawa
gumpalan kabut itu terdorong ke arah barat.
22
Syaikh Siti Jenar, sang penebar badai, konon mati di tengah
amukan prahara itu. Tak seorang pun tahu di mana kuburnya.
Menurut cerita, ada orang yang menyaksikan mayat Syaikh Siti
Jenar berubah menjadi bangkai anjing. Sebagian menyatakan
bangkai itu dihanyutkan ke sungai. Sebagian lagi menyatakan
bangkai itu dikubur di Mantingan. Sedang menurut kesaksian yang
lain, bangkai anjing jelmaan Syaikh Siti Jenar dimakamkan di
belakang mihrab Masjid Agung Demak. Aneh, bangkai anjing
dikubur di belakang mihrab masjid. Lebih aneh lagi ada yang
menyaksikan bangkai Syaikh Siti Jenar menebarkan bau wangi
semerbak.
24
Hari dan pekan berlalu. Bulan dan tahun pun berganti. Namun rasa
takut, gelisah, resah, dan curiga yang mencekam relung-relung
jiwa para penghuni Nusa Jawa masih tetap bercokol kuat. Sebab
kawanan gagak jelmaan iblis masih terus beterbangan menebar
fitnah. Mereka selalu mengikuti ke arah mana serigala-serigala
haus darah mencari mangsa. Dan saat kawanan serigala
meninggalkan sisa-sisa daging mangsanya, datanglah kawanan
gagak yang dengan kerakusan tiada tara memunguti serpih-serpih
daging yang sudah basah oleh liur. Itulah upah mereka sebagai
penebar fitnah.
26
dengan berbagai kisah terpuji dan mulia tentang tokoh utama yang
merupakan santri generasi pertama itu.
Pada satu sisi banyak beredar cerita kelam dan hitam tentang
Syaikh Datuk Abdul Jalil. Misalnya, ada kisah yang menuturkan
bahwa ia semula merupakan santri taat yang berubah menjadi
jahat dan murtad karena mengikuti ajaran sesat setelah tinggal di
Baghdad. Konon, di sana ia berguru kepada raja jin. Ada pula kisah
yang menyatakan bahwa ia sesat karena mempelajari ilmu dari
para tukang sihir Baghdad. Kisah sejenis yang lain lagi menuturkan
bahwa santri pertama itu adalah anak yang durhaka terhadap
orang tuanya sehingga diusir dan hidup dalam kesesatan. Ada lagi
yang menyebutnya sebagai anak seorang rsi yang masuk Islam,
namun kemudian memilih jalan sesat hingga murtad kembali.
Bahkan muncul pula kasak-kusuk yang mengatakan bahwa Syaikh
Datuk Abdul Jalil sebenarnya bukan dari golongan manusia. Ia
adalah jelmaan cacing menjijikkan. Karena itu, kemuliaan Islam tak
membawa manfaat apa-apa baginya kecuali kesesatan yang
menuju ke kenistaan dan kehinaan. Bukti bahwa ia bukan manusia
adalah saat mati mayatnya menjelma menjadi anjing.
28
Sultan Demak, karena ayahandanya merupakan sepupu Sultan
Tranggana.
Raden Ketib merupakan pemuda yang rendah hati. Itu tampak dari
kegemarannya mengajak kawan-kawannya sesama santri untuk
berkunjung ke ndalem Pamelekaran mendengarkan cerita-cerita
menakjubkan yang pernah dialami kakeknya. Ia juga dikenal
dermawan sehingga tak jarang uang saku yang diperoleh dari
kakeknya habis dibagi-bagikan untuk kawan-kawannya. Sering
juga ia ikut berkunjung ke rumah salah seorang kawannya yang
ayahnya hanya seorang gedeng atau malah kuwu.
33
Keinginan kuat Raden Ketib untuk menguak rahasia Syaikh Datuk
Abdul Jalil ternyata makin meningkatkan kecurigaan para santri,
nayaka, dan abdi Kasunanan Cirebon Girang. Dengan cara terang-
terangan atau samar, mereka berusaha menghindar setiap kali
didekati Raden Ketib. Sebagai orang yang tanggap dengan
keadaan, ia cepat menyadari bahwa dirinya diam-diam telah
dikucilkan dari kehidupan pesantren maupun kasunanan.
Lain dari itu, Raden Ketib beroleh pula penjelasan tentang siapa
saja di antara santri-santri Giri Amparan Jati generasi pertama
yang kemudian menjadi pengikut Syaikh Datuk Abdul Jalil. Di
antara mereka itu, menurut cerita yang didengar Raden Ketib,
adalah Ki Gedeng Pasambangan, cucu Ki Gedeng Tapa, Ki
Gedeng Tegal Alang-Alang, Ki Gedeng Babadan, Ki Gedeng
Surantaka dan Ki Gedeng Singapura. Mereka itu adalah kawan-
kawan akrab Syaikh Datuk Abdul Jalil sejak usia lima tahunan di
bawah asuhan Syaikh Datuk Kahfi. Mereka tumbuh bersama di
lingkungan yang sama hingga dewasa. Itu sebabnya, mereka
mengetahui benar kelebihan-kelebihan sekaligus kekurangan
sahabat yang akhirnya menjadi guru ruhani mereka.
35
Bagi pemuda remaja yang haus pengetahuan dan ingin beroleh
kebenaran, menelusuri jejak-jejak kehidupan Syaikh Datuk Abdul
Jalil yang penuh liku-liku merupakan tantangan yang memesona.
Bagai orang kehausan meminum air laut, begitulah Raden Ketib
terus berusaha mencari titik terang tentang tokoh aneh yang
dikutuk sekaligus dipuji itu. Dan semakin ditelusuri semakin
ditemukan keanehan-keanehan dari jejak-jejak yang ditinggalkan
oleh Syaikh Datuk Abdul Jalil. Para sahabat karibnya yang sudah
meninggal dunia, misalnya, tidak ada satu pun yang diketahuhi di
mana kuburnya. Pihak keluarga yang ditanya tentang
ketidaklaziman itu umumnya hanya memberi penjelasan bahwa
para sahabat dan murid Syaikh Datuk Abdul Jalil jika akan
meninggal dunia selalu meninggalkan wasiat yang menyatakan
bahwa kubur mereka hendaknya tidak diberi batu nisan atau tanda
apa pun. Alasannya, mereka tidak mau diberhalakan oleh anak dan
cucunya.
Tanpa terasa, telah tiga tahun Raden Ketib tinggal sebagai santri
di Giri Amparan Jati. Tanpa terasa pula usianya bertambah.
36
Keakraban antara Raden Ketib dan kakeknya makin erat manakala
Nyai Mertasari, istri kakeknya, melahirkan putera yang diberi nama
Raden Santri. Raden Ketib yang hampir dua puluh usianya itu
harus memanggil ‘paman’ kepada bayi yang baru lahir. Aneh sekali
rasanya seorang pemuda memanggil bayi dengan sebutan paman.
Sebenarnya, jika ditelusuri lebih jauh, hal yang dialami oleh Raden
Ketib itu tidak aneh dibanding silsilah kakeknya. Pangeran
Pamelekaran yang bernama Raden Kusen itu kedudukannya
adalah adik tiri sekaligus kemenakan Raden Fatah, Adipati Demak
Bintara. Bagaimana hal rumit itu bisa terjadi?
38
“Iya, Eyang,” sahut Raden Ketib, “sebab menurut cerita-cerita yang
saya dengar, yang berperan penting dalam kematian Syaikh Datuk
Abdul Jalil adalah Susuhunan Kudus, yaitu menantu Eyang.
Kemudian, sultan yang mendiamkan saja pembunuhan itu adalah
kemenakan Eyang.”
42
Anak Yatim Piatu
45
Benarkah bintang-bintang yang berkilauan memenuhi langit itu jika
pagi menjelang bersembunyi di lautan dan menyinari dunia
bawah? Kenapa bintang tidak pernah berada satu langit dengan
matahari? Benarkah malaikat hanya turun ke bumi pada malam
hari untuk memberkati dan melimpahi rezeki bagi orang-orang
yang tekun menjalankan sembahyang malam? Di bintang-bintang
itukah para malaikat tinggal? Apakah Arsy, singgasana Allah,
terletak di salah satu bintang di langit?
San Ali! Begitu aneh nama itu untuk zamannya. Namun, keanehan
itu menjadi keakraban bagi mereka yang telah mengenalnya. Dan
bagaikan orang yang mengenal rajanya, begitulah orang di sekitar
gunung Sembung dan Pakuwuan Caruban mengenal nama San
Ali, sosok aneh tetapi akrab di mata, telinga, dan hati. Sebuah citra
48
yang diharapkan bakal menjadi pemimpin besar di negeri
kelahirannya.
San Ali sebenarnya nama yang kurang lazim digunakan orang baik
di Jawa maupun di tanah Pasundan. Namun nama itu pemberian
ayahandanya, Ki Danusela, Kuwu Caruban. Ceritanya, tiga bulan
menjelang kelahiran putera sulungnya, penguasa Pakuwuan
Caruban itu memperoleh impian menakjubkan tentang sembilan
ekor kumbang hitam yang terbang mengitari tlatah Majapahit dan
Pajajaran yang sedang dilanda bencana serbuan jutaan tikus yang
merusak sawah dan ladang. Kesembilan ekor kumbang hitam itu
dengan ajaib menyemburkan cairan hijau dari tubuh mereka.
Cairan itu terbawa aliran sungai yang mengairi sawah dan ladang
sehingga tikus-tikus perusak itu binasa. Kemudian secara ajaib
pula kesembilan ekor kumbang itu menyemburkan air suci Amrtha
yang membuat padi dan tanaman lain tumbuh subur seperti
sediakala. Orang-orang yang semula bersedih dan putus asa kini
bersorak-sorai meluapkan kegembiraan. Kehidupan kembali
menjadi tenteram, aman, sentosa, dan kertaraharja.
50
Menurut cerita, saat Sultan Muzaffar Syah naik ke tangga
kekuasaan Kesultanan Malaka menggantikan saudaranya yang
terbunuh, terjadi perselisihan antara pejabat-pejabat keturunan
Tamil yang dipimpin Tun Ali dan bangsawan-bangsawan Melayu
yang dipimpin Seri Wak Raja I. ibunda Sultan Muzaffar Syah
sendiri adalah keturunan Tamil dan sesaudara dengan Tun Ali.
Demikianlah, golongan Tamil yang dipimpin Tun Ali menang dan
bangsawan-bangsawan Melayu tersingkir dari lingkaran
kekuasaan. Di antara bangsawan yang tersingkir itu tersebutlah
nama Syaikh Datuk Sholeh.
51
Di bandar Dermayu itulah Syaikh Datuk Sholeh tinggal dan
berdagang sambil menyiarkan agama Islam. Tempat itu,
menurutnya, dianggap tepat karena tidak seorang pun saudagar
Tamil dijumpai di sana. Syaikh Datuk Sholeh dengan cepat
menjalin keakraban dengan penduduk bandar Dermayu yang
umumnya terdiri atas orang-orang Cina Muslim, Melayu Muslim,
Melayu Bengali, Jawa, dan Sunda yang masih beragama Hindu-
Budha.
Sebagai saudagar sekaligus penyiar agama Islam, Syaikh Datuk
Sholeh dikenal pandai, lurus hati, dermawan, santun, dan pintar
bergaul. Ia disukai orang-orang. Dalam waktu singkat ia dikenal
sampai ke Caruban. Di antara sejumlah orang yang dikenalnya
dengan baik adalah Ki Danusela. Meski Ki Danusela beragama
Hindu-Budha, hubungan mereka sangat akrab. Sering mereka
berdua kelihatan berbicara soal kehidupan masyarakat, tata
pemerintahan, dan bahkan falsafah hidup.
52
Ki Danusela adalah keturunan Prabu Kertawijaya, Maharaja
Majapahit. Dia menikahi Ratu Inten Dewi, puteri Prabu Surawisesa
Ratu Sanghiang, Ratu Aji di Pakuan, keturunan Sri Baduga
Maharaja, yakni Maharaja Pajajaran yang gugur dalam peristiwa
Bubat. Oleh Prabu Surawisesa mertuanya, Ki Danusela diangkat
sebagai kuwu di Caruban dengan tugas utama emmantau
Kerajaan Galuh yang merupakan bawahan Kerajaan Pajajaran.
53
Melalui Ki Gedeng Danuwarsih, yang tak lain adalah sahabat Ki
Danusela, Raden Walangsungsang bekerja di Pakuwuan Caruban.
Bahkan ia diberi kepercayaan besar menduduki jabatan
pangraksabhumi menggantikan Ki Danusela. Melalui Raden
Walangsungsang inilah Ki Danusela mengetahui perkembangan
Kerajaan Galuh, dimana kesetiaan kerajaan itu terhadap Pajajaran
masih sangat kuat. Melalui Raden Walangsungsang juga Ki
Danusela mengetahui perkembangan agama Islam di pesisir utara
Nusa Jawa, terutama di Dermayu.
Selama menjabat sebagai pangraksabhumi, Raden
Walangsungsang berkenalan dengan Syaikh Datuk Kahfi dan
Syaikh Datuk Sholeh. Ia kemudian berguru agama Islam kepada
Syaikh Datuk Kahfi. Setelah mengetahui keluasan ilmu gurunya, ia
memohon agar Syaikh Datuk Kahfi membuka sebuah padepokan
untuk mendidik masyarakat.
54
Meski berbeda agama, antara Ki Danusela dan Ki Samadullah
terjalin kecocokan terutama tentang hal-hal yang bersifat ruhani.
Mereka sering terlihat berdua di pendapa sepanjang malam
membahas pengalaman ruhani masing-masing. Bahkan sebuah
kitab rontal milik Ki Danusela warisan Maharaja Majapahit yang
dikenal dengan nama Catur Viphala, mereka jadikan bahasan
mendalam.
55
menumpahkan seluruh kasih dan sayang mereka kepada bayi San
Ali yang kini yatim piatu.
56
Ki Samadullah, Ki dan Nyi Danusela merelakan putera sulung
mereka yang ketika itu berusia lima tahun dikirim ke Padepokan
Giri Amparan Jati untuk dididik ilmu pengetahuan agama. Sebulan
sekali, Ki Danusela bergantian dengan Ki Samadullah menjenguk
San Ali, melimpahkan kasih dan sayang kepada bocah itu.
57
semua perubahan itu terjadi setelah San Ali dan Syaikh Datuk
Kahfi berbincang membahas berbagai persoalan hidup.
59
Tentang kemestian kehidupan pedih yang bakal dilewati San Ali,
Syaikh Datuk Kahfi juga telah menguraikannya kepada Ki
Samadullah dalam suatu pertemuan rahasia di Masjid Giri
Amparan Jati. Dengan penuh harap, dia meminta agar Ki
Samadullah dengan suka cita menjadi pembela dalam persoalan
apa saja yang berkenaan dengan lingkaran nasib yang bakal
menjerat San Ali. Dengan hati diliputi keprihatinan, Syaikh Datuk
Kahfi menjelaskan nasib pedih yang bakal dialami San Ali.
“Jagalah rahasia Allah ini! Jangan sekali-kali ada yang
mengetahuinya, termasuk San Ali,” ujarnya mewanti-wanti.
60
San Ali tampaknya merasakan perubahan sikap ayahanda asuh
tercintanya itu. Ia juga merasakan perubahan sikap dari guru
agungnya. Bahkan sikap ayahanda dan ibundanya. Dan ujung dari
perasaannya itu, ia merasa tidak bahagia dengan itu semua. Ia
menangkap sasmita bahwa kecintaan orang-orang di sekitarnya
terhadap dirinya, tentu ada batasnya. Cinta mereka bukanlah cinta
sejati yang abadi sepanjang masa.
Kesadaran San Ali tentang hakikat ‘aku’ pribadi dan ‘Aku’ semesta
itu telah membawanya ke suatu hamparan keagamaan luar biasa
dalam memaknai hidup. Jika sebelumnya, seperti murid-murid
padepokan yang lain, ia memiliki harapan besar untuk menjadi
penghuni surga yang penuh kenikmatan maka kini ia meragukan
harapannya itu sebagai kebenaran mutlak. Bukankah surga pada
hakikatnya adalah ‘aku’ pribadi – dan bukan ‘Aku’ semesta yang
menjadi sumber segala ‘aku’? Bukankah ‘aku’-ku akan menyatu
dengan ‘aku’ surga jika harapanku memang ke sana? Bukankah
agama mengajarkan intisari hakikat inna li Allahi wa inna ilaihi
rajiun, yang bermakna sesungguhnya semua ‘aku’ berasal dari
‘Aku’, dan semua ‘aku’ akan kembali ke ‘Aku’ sebagai asal segala
‘aku’.
62
Dengan kesadaran itu San Ali mulai merasakan kegelisahan
mencakari jiwanya. Ia mulai mempertanyakan segala perilaku
ibadah yang telah dijalankannya selama ini. Gusti Allah yang
bagaimana yang ia sembah selama ini? Apakah ketundukan ‘aku’-
nya di dalam sembahyang benar-benar perwujudan dari
ketundukan ‘aku’ terhadap ‘Aku’? bukankah sampai saat ini ia
belum menemukan hakikat dari ‘aku’ pribadinya? Di manakah ‘aku’
pribadiku berada? Di mana ‘aku’ pribadiku bisa ditemukan?
Apakah ‘aku’-ku bersembunyi di kedalaman hati, jantung, paru-
paru, aliran darah, sumsum, atau otak? Tidak satu pun pelajaran
yang diterimanya dari Syaikh Datuk Kahfi memberikan penjelasan
yang memuaskan tentang semua pertanyaan ini. Dan San Ali
mendapati kenyataan yang makin membuatnya gamang: “Jika
keberadaan ‘aku’ pribadiku saja belum kuketahui hakikatnya,
bagaimana mungkin aku mengetahui hakikat ‘Aku’ semesta? Dan
jika hakikat ‘Aku’ semesta belum kuketahui, bagaimana ‘aku’ bisa
sampai kepada-Nya?”
63
Kepergian San Ali dari Padepokan adalah bagian dari pencarian
sejati dari hakikat ‘aku’ yang bermuara ke ‘aku’. Sebab, bagi
‘harimau’ seperti San Ali dibutuhkan rimba raya yang lebih luas
untuk menemukan sarangnya yang sejati. Bagi Syaikh Datuk Kahfi,
kepergian San Ali merupakan bagian dari ujian menunaikan tekad
untuk mencari hakikat sejati ‘Aku’ yang menurut para pencari-Nya
dilingkari tujuh samudera, tujuh lembah, tujuh gunung, tujuh jurang,
tujuh gurun, tujuh rimba, dan tujuh benteng yang dipenuhi pasukan
penghalang berkekuatan mahadahsyat. Hanya dia yang berjiwa
ksatria dan benar-benar berjuang keras menuju ‘Aku’ yang akan
sampai kepada-Nya.
66
yang sekarang menduduki kursi Kuwu Caruban?” sergah San Ali
dengan suara ditekan keras.
67
“Pamanda akan memenjarakan saya?” tanya San Ali
mengernyitkan dahi.
“Hal itu tidak akan terjadi,” kata Rsi Bungsu datar, “sebab jika
engkau dijatuhi hukuman penjara maka orang-orang akan
membenarkan tuduhanmu yang keji itu. Untuk kesalahanmu itu, o
San Ali, aku selaku Kuwu Caruban yang mewakili Maharaja
Pajajaran, menyatakan bahwa sejak saat ini engkau telah
dianggap bukan lagi bagian dari keluarga pakuwuan, apalagi
keturunan Ramanda Prabu Surawisesa. San Ali tidak berhak lagi
menyandang gelar kebangsawanan. San Ali sudah menjadi kawula
alit dari kaum sudra papa yang tidak memiliki martabat dan derajat
apa pun di bumi Pajajaran ini.”
68
apa pun gelar yang engkau berikan, mereka tetaplah hewan
karena darah, daging, dan tulang mereka adalah hewan.”
69
San Ali merasakan kepalanya bagai disambar petir. Ia tercengang
mendengar uraian Rsi Bungsu. Ia benar-benar kebingungan.
Tubuhnya tiba-tiba terasa panas dingin. Benarkah ia bukan anak
kandung Ki Danusela? Kenapa selama ini tidak ada yang
membicarakan persoalan itu? Benarkah ayahandanya orang asing
keturunan Melayu-Jambudwipa bernama Datuk Sholeh? Benarkah
ayahanda dan ibunda kandungnya telah meninggal terkena
pageblug? Kenapa guru agung tidak pernah menceritakan hal itu?
70
Meninggalkan Orang-Orang Tercinta
71
“Sudahlah Ki Sanak, tidak usah bersandiwara di depanku,” ujar
San Ali tenang, “Sebagai putera ibunda Nyi Ratu Inten Dewi dan
cucu Prabu Surawisesa, Ratu Aji di Pakuan, aku tahu persis watak
dari Pamanda Rsi Bungsu yang licik.”
Mendengar bahwa San Ali adalah putera Nyi Ratu Inten Dewi, istri
Ki Danusela, mantan junjungannya, orang itu tercengang
kebingungan. Dia seperti baru sadar bahwa pemuda di depannya
itu adalah San Ali. Namun, sebelum sempat dia berpikir lebih lanjut,
tiba-tiba terdengar hiruk pikuk dari sekeliling hutan bakau yang
diikuti oleh menghamburnya orang-orang bersenjata yang dengan
beringas dan berteriak-teriak menyerbu San Ali.
“Bunuh!”
“Cincang!”
“Habisi!”
72
Dengan berlari cepat, San Ali telah membagi kekuatan lawan
sedemikian rupa. Hanya mereka yang kuat tenaga dan cepat
larinya yang bisa mendekatinya. Siasat San Ali ini mengena. Para
pemburu beriringan mengejarnya. Ketika ada yang berhasil
mendekat, serta merta ia memperlambat laju larinya. Dan saat
jarak mereka tinggal satu tombak, tiba-tiba ia berbalik sambil
menyabetkan kakinya ke bawah dengan gerakan setengah
lingkaran.
Desh!
Blukk!
Sabetan kaki San Ali dengan telak menghantam kaki lawan. Dan
tanpa ampun lagi, lawan yang terserimpung kakinya itu tumbang
ke atas tanah. San Ali cepat bergerak lagi menjauh. Pada saat
berurutan, para pemburu yang berlari cepat di belakang tak sempat
menghentikan langkah saat mengetahui kawan di depannya
tersungkur mendadak. Dan peristiwa menakjubkan pun terjadi,
orang-orang yang berlomba memburu San Ali bergantian jatuh
karena tersandung tubuh kawannya yang tersungkur lebih dulu.
Disertai sumpah serapah, mereka yang bertumpang tindih itu
memaki-maki San Ali dengan penuh amarah. Namun, sebelum
mereka dapat berbuat sesuatu tiba-tiba San Ali melompat ke arah
mereka. Kemudian dengan pukulan dan tendangan yang mantap,
satu demi satu para pemburu yang bergelimpangan itu dihajarnya.
73
Gerak cepat San Ali dalam melumpuhkan lawan itu tidak
berlangsung lama, sebab para pemburu lain sudah dekat jaraknya.
Dengan gerakan secepat kijang ia melompat dan mengambil
langkah seribu meninggalkan lawan-lawan yang terus
mengejarnya. Tadinya ia sempat meragukan kemampuannya
untuk mengalahkan lawan yang jumlahnya sekitar seratus orang.
Namun, dengan keyakinan bahwa Allah akan senantiasa
menolong hamba-Nya, ia terus berusaha melumpuhkan lawan
dengan cara mengajaknya lari berputar-putar di sekitar pepohonan
bakau. Lawan yang jaraknya dekat langsung dihantam dan
ditinggal lagi, begitu seterusnya.
74
San Ali tercengang. Ia seperti bermimpi ketika menyaksikan
puluhan orang berpakaian serba putih dengan menunggang kuda
menyabetkan pedangnya ke kanan dan ke kiri. Dalam tempo
singkat, ia melihat puluhan mayat bertumpuk-tumpuk di sekitarnya.
Bahkan sekumpulan orang yang sedang mengepung dirinya tiba-
tiba berhenti bergerak dan mendongak ke atas dengan wajah
pucat. Kemudian bagaikan dikomando, para pengeroyok itu
berhamburan ke arah utara menyelamatkan diri. Setelah suasana
terkendali barulah San Ali mengetahui bahwa di antara para
penunggang kuda itu terdapat ayahanda asuhnya, Ki Samadullah.
76
“Aku sengaja bersembunyi di gunung Sembung, Anakku. Sebab,
aku mendapat firasat tidak baik berkenaan dengan pamanmu Rsi
Bungsu, segera setelah kuperoleh berita bahwa ayahandamu
meninggal akibat diserang harimau di hutan Kawali. Karena itu,
tanpa sepengetahuan Rsi Bungsu, aku membawa tiga puluh
prajurit keluar pakuwuan untuk bersembunyi, dengan harapan
rentangan waktu akan membongkar kebusukan Rsi Bungsu.
“Jadi?”
77
“Salam takzim, Pamanda,” kata San Ali menyalami dan mencium
tangan lelaki itu.
78
“O Anakku, tambatan kesayanganku,” kata Ki Samadullah sambil
mengelus-elus rambut San Ali. “Sungguh malang nasibmu.
Ibundamu hanya sempat tinggal sekitar sepekan bersama kami di
gunung Sembung. Dia pergi begitu saja tanpa pamit. Ibundamu,
Nyi Kuwu, hanya sempat mengatakan kepada istriku bahwa dia
akan mencari ke mana pun ayahandamu berada, meski nantinya
yang ditemukan hanya tulang berbalut tanah. Sekitar sepekan
setelah kepergiannya, salah seorang prajuritku menemukan
ibundamu sakit keras di pinggiran hutan Kawali.
80
lengkap telah patik siagakan di sekitar pakuwuan. Sekitar seratus
orang pengikut Ki Gedeng Babadan juga sudah bersiaga. Dan
sekitar tiga ratus orang pengikut patik dari Tegal Alang-Alang pun
sudah mengitari pakuwuan sejak sore tadi.”
81
“Sejahat itukah laporan Pamanda Bungsu kepada Uwak Prabu
Ratu Dewata?” San Ali menyergah bagai tak percaya.
82
pengikut Ki Gedeng Babadan, dan tiga ratus pengikut Ki
Samadullah dari Tegal Alang-Alang. Tak sedikit pun suara keluar
dari rombongan berkuda itu, kecuali detak-detak ladam yang
menghantam tanah berbatu. Gerakan pasukan yang dipimpin
Raden Kusen benar-benar seperti siluman: tanpa suara, tetapi
langsung menembus ke kediaman musuh.
83
mengepung pakuwuan. Setelah menghormat, prajurit itu dengan
gerak lincah berlari menembus kegelapan malam.
“Kita belum dapat laporan dari medan laga,” sahut Raden Kusen
singkat.
“Agar lawan mengira jumlah kita banyak maka setiap prajurit akan
menyalakan dua obor. Kita akan menyerbu dari kegelapan dengan
suara hiruk-pikuk dan obor yang digoyang-goyang,” kata Raden
Kusen.
86
dengan suara menggelegar bagai guntur. Sedeti sesudah itu ia
memacu kudanya. Para prajurit di belakangnya buru-buru
mengikuti. Bagaikan naga bertubuh api yang merayap di
kegelapan malam, begitulah pasukan berkuda yang membawa
obor itu bergerak ke pakuwuan.
Barisan berkuda yang datang bagaikan air bah itu terus maju tak
mempedulikan apa pun. Barang siapa menghalangi akan diinjak.
87
Para penyerbu gabungan dari Padepokan Giri Amparan Jati, Kuwu
Babadan, dan Tegal Alang-Alang yang melihat kedatangan bala
bantuan segera menyibak memberi jalan. Dan pasukan berkuda
pimpinan Raden Kusen itu dengan leluasa menerobos ke dalam
pakuwuan. Dengan cambuk ekor ikan pari, pedang, tombak, dan
panah, mereka membinasakan prajurit pakuwuan.
91
Hujan tombak di kegelapan malam itu dalam tempo singkat
menambah jumlah korban di pihak lawan. Dengan cepat tubuh
sebagian mereka yang turun ke laut terlihat mengapung menjadi
mayat dengan tikaman panah dan tombak. Sementara itu, prajurit-
prajurit lain yang masih di atas perahu enggan turun. Dan
kepanikan makin meningkat manakala dari tepi pantai terlihat
beribu-ribu obor dinyalakan.
92
“Jika Pamanda menyayangi saya setulus hati, tentu Paman bisa
memahami bahwa tujuan utama saya bukanlah kekuasaan
duniawi. Karena itu, jika Paman memaksa saya untuk menduduki
kursi Kuwu Caruban, berarti Paman telah memberikan beban yang
sangat berat yang sangat mungkin tidak mampu saya pikul,” kata
San Ali.
“jika engkau menolak jabatan kuwu,” kata Ki Samadullah, “lantas
siapa yang akan menggantikan kedudukan ayahandamu?”
93
Dan sekeluar saya dari padepokan, makin kuatlah tekad saya
untuk melaksanakan impian saya itu.”
“Pamanda Rsi Bungsu,” kata San Ali. “Dan beliau benar, bukan?”
94
“Saya tahu, Pamanda, bibi, ayahanda, ibunda, dan guru agung
menyimpan rahasia ini agar saya tidak sedih dan merasa
sebatangkara di dunia. Tatapi, Paman, dengan terbukanya
kenyataan ini makin kuatlah keinginan saya mengejar impian.
Sebab, dengan menyadari kesebatangkaraan saya maka saya
makin mudah melepaskan segala sesuatu selain ‘Dia’ yang saya
tuju.”
95
pengikut Rsi Bungsu. Bahkan Raden Kusen dengan penuh
keberanian membuat keputusan bahwa Pakuwuan Caruban bukan
lagi menjadi bagian wilayah Pajajaran, melainkan bagian wilayah
Kadipaten Demak.
“Bertanyalah, o Anakku.”
97
“Benarkah leluhur hamba berasal dari negeri Malaka?” tanya San
Ali tegas.
98
“Sejauh yang kupahami dari kitab-kitab memang demikian, o
Anakku.”
99
Menyeberangi Samudera
100
Di ujung geladak di atas riak gelombang pantai, San Ali berdiri
tegak memandangi hamparan lembah, gunung, dan rimbunan
pohon yang hijau kebiruan di balut kabut tipis: hamparan bumi
Caruban, tanah kelahiran yang mengukir jiwa dan raganya. Ia
memejamkan mata dan memanjatkan doa mohon agar jiwanya
dikuatkan untuk meninggalkan rangkaian kenangan indah yang
mengukir ingatannya.
San Ali menarik napas panjang dan berat. Ia sadar bahwa hatinya
berat meninggalkan rentangan kenangan yang sudah berurat dan
berakar di jiwanya. Itu sebabnya, dengan menguatkan hati ia
berbisik kepada ungkapan suara jiwanya.
101
“Adakah kehidupan yang mengalir tanpa perpisahan dan
kesedihan? Air memancar dari mata air kemudian meninggalkan
sumbernya untuk menuju ke sungai hingga ke muara dan
memasuki samudera raya. Manusia lahir dari kandungan
ibundanya kemudian tumbuh dewasa dan akhirnya mati
meninggalkan segala yang melekat pada dirinya. Dunia beserta
segala isinya dan alam semesta pun pada akhirnya mengalir ke
suatu masa yang disebut Yaumul Akhir. Jadi, perpisahan dan
kesedihan adalah bagian dari hidup. Sesungguhnya tidak ada yang
langgeng di permukaan bumi ini.”
Ketika San Ali sedang bergulat dengan suara jiwanya, perahu yang
bakal membawanya pergi dari bumi Caruban datang. Pemilik
perahu itu bernama Tahrimah, laki-laki setengah umur dengan
tubuh tegap dan otot-otot tangan kukuh. Wajahnya yang keras
menunjukkan bahwa dia adalah orang yang tabah melintasi
kerasnya kehidupan. Dan sorot matanya yang berbinar-binar
102
menunjukkan betapa teguhnya laki-laki itu memegang prinsip.
Sementara kulitnya yang coklat kehitaman terbakar sinar matahari
mencerminkan semangat hidup yang tak luntur terkena hujan dan
tak lekang terkena panas.
103
berdoalah agar kita selamat melintasi lautan yang kadang-kadang
mengamuk.”
104
“Sebelumnya aku sempat berpikir bahwa bumi Caruban, anak, istri,
rumah, orang tua, sahabat, guru, dan segala apa yang kucintai
adalah milikku. Pada akhirnya kusadari bahwa semua itu bukan
apa-apaku, apalagi milikku. Tubuh dan jiwaku pun pada hakikatnya
bukanlah milikku.”
105
“Itu aku tahu, Paman,” San Ali memohon, “tetapi berikanlah
kepadaku barang satu atau dua patah nasihat yang akan kujadikan
bekal perjalananku.”
108
Apakah pengosongan diri menjadi syarat mutlak bagi perjuangan
menuju ‘Aku’?
Tanpa dapat dicegah benak San Ali dijejali oleh kilasan bayangan
api neraka yang berkobar-kobar menelan dirinya manakala ia
tanggalkan jubah dan surban dan hukum syarak. Namun, secepat
itu di benaknya terbayang tentang perjalanan mencari hakikat ‘Aku’
sebagai pangkal segala ‘aku’. Mengapa ‘aku’-ku harus takut
terhadap ‘aku’ neraka? Bukankah ‘aku’ neraka juga seperti ‘aku’-
ku, yaitu berasal dari ‘Aku’ semesta?
110
kesakitan dan kehausan. Semuanya untuk menghilangkan
keakuan di dalam dirinya.
Berbagai latihan jiwa telah dilakukan San Ali, baik puasa, samadi,
makanan dan minuman yang baik, tidur, hingga yoga. Dengan
bimbingan langsung dari Rsi Samsitawratah, ia mengalami
kemajuan pesat terutama dalam perjuangan meniadakan diri.
Namun, ujung dari semua itu ia merasa betapa setelah keakuan
dirinya mengembara ke berbagai perwujudan pada akhirnya akan
kembali lagi pada keakuan diri. San Ali merasa pengembaraan
jiwanya itu seperti pelarian diri yang tak diketahui ujungnya. Ia
111
merasa seperti melanglang jagad untuk meninggalkan tubuhnya
yang menyembunyikan ‘aku’, namun pelarian itu ternyata hanya
sementara waktu. Ia merasa tidak menjadi lebih bijaksana dari
sebelumnya. Ia tidak merasa telah beroleh pencerahan sejati.
Bagi San Ali, peristiwa di hutan itu justru telah menyadarkan dirinya
bahwa apa yang selama ini dipelajarinya di asrama bukanlah
tujuan akhir yang hendak dicapainya. Ia merasa bahwa ‘jalan
keselamatan’ menuju ‘Aku’ akan sulit dijangkau dengan cara yang
selama ini dipelajarinya di asrama. Ia menangkap sasmita bahwa
apa yang dijalankannya dengan latihan-latihan ketat selama ini
justru tidak sesuai dengan intisari maknawi dari kitab rontal Catur
Viphala.
114
“Itu semua bukanlah keinginanku,” San Ali tersenyum. “Yang Mulia
Guru Agung Samsitawratah lebih mengetahui tentang apa yang
menjadi keinginan utamaku. Karena itu, o kawan-kawan tercinta,
beliau menghendaki aku pergi dari asrama ini untuk mencari muara
yang bakal mengantarku ke samudera kebebasanku.”
Pertemuan itu terjadi secara tidak sengaja. Ketika itu, kapal yang
ditumpangi ulama asal negeri Samarkand itu dirampok oleh Thio
Bun Cai di sekitar kepulauan Anambas. Syaikh Ibrahim saat itu
sedang dalam perjalanan dari Pandurangga di negeri Campa ke
Palembang untuk mengunjungi kemenakan tiri istrinya yang
menjadi Adipati Palembang. Dalam peristiwa itu, Thio Bun Cai
menyaksikan keajaiban pada diri Syaikh Ibrahim. Ceritanya, saat
kapal dari Campa itu dikepung, terjadi kepanikan di antara para
penumpangnya. Bahkan dalam kepanikan itu seorang penumpang
anak-anak berusia lima tahun jatuh ke laut dan hilang ditelan
116
ombak. Saat itulah, seorang penumpang yang kemudian dikenal
bernama Syaikh Ibrahim as-Samarkandy melompat ke laut. Ajaib,
tubuhnya tidak tenggelam. Sebaliknya dengan tenang ia berdiri di
atas hamparan air laut. Kemudian ia membungkuk dan tangannya
menggapai ke bawah. Lalu dalam sekejap terlihatlah anak kecil
yang sebelumnya sudah tenggelam itu. Dan seperti gerakan
rajawali, Syaikh Ibrahim menggendong anak itu dan membawanya
melompat ke atas kapal.
Sepulang haji, Thio Bun Cai mendapat nama baru: Haji Nasuhah.
Karena, dia telah berikrar untuk melakukan taubatan nashuhah,
yakni tidak akan mengulangi kesalahan dan kekeliruannya di masa
lampau. Dan sejak itu, perkumpulan bajak laut yang dipimpinnya
117
dibubarkan. Atas jasa baik Syaikh Ibrahim, para bekas anak
buahnya dijadikan pengawal samudera Adipati Palembang. Thio
Bun Cai yang sudah menjadi Haji Nasuhah menghabiskan sisa
hidupnya dengan memperbanyak ibadah. Kalau pun dia dituntut
untuk bekerja maka hal itu dilakukan hanya sebatas mengantarkan
orang-orang yang butuh tenaga dan keterampilannya mengarungi
samudera.
Putaran roda kehidupan Haji Nasuhah sangat menarik hati San Ali.
Itu sebabnya, sepanjang perjalanan mengarungi laut, ia terus
bertanya berbagai hal, terutama tentang Syaikh Ibrahim as-
Samarkandy yang memiliki kelebihan karomah. Haji Nasuhah,
entah kenapa, didesak oleh semacam keharusan untuk menjawab
semua pertanyaan San Ali. Lantaran itu, hampir seluruh waktu
senggang mereka gunakan untuk berbicara berbagai hal, terutama
yang bersangkut-paut dengan perjuangan menuju ‘Aku’ yang
dilingkari berlapis-lapis hijab.
Lewat perbincangan dan membanding-bandingkan pengalaman
masing-masing, San Ali menangkap kesamaan dalam tataran
amaliah ketika seseorang melakukan taubatan nashuhah –
menghadapkan pikiran dan perasaan hanya kepada Allah – untuk
menuju hakikat ‘Aku’. Kesamaan itu meliputi ‘kewajiban’
meninggalkan segala sesuatu, baik sukarela atau terpaksa, kecuali
Allah. Meski menangkap adanya kesamaan, San Ali tetap
menginginkan kepastian dari simpulannya itu dengan menanyakan
langsung kepada Haji Nasuhah. “Apakah orang-orang yang
menuju ke Dia memang ‘wajib’ meninggalkan segala sesuatu yang
bukan Dia?”
118
“Aku kira engkau sudah mengalami peristiwa itu. Aku kira engkau
pun sudah merasakan betapa pahitnya harus melepas segala yang
pernah engkau miliki. Dan kita masing-masing akan mengalami
tingkat kepahitan sesuai tingkat kepemilikan kita. Semakin kuat
perasaan dan pikiran kita mencintai segala yang kita anggap milik
kita maka semakin kuat pula tingkat kepahitan yang harus kita
telan,” kata Haji Nasuhah.
“Istri mati mungkin masih bisa aku mencari ganti. Tetapi, kalau
anak lelaki hilang tak tentu rimba ke mana pula harus kucari ganti?
119
Karena itu, o Anak Muda, waktu itu kulewati dengan segala
kepanikan. Kuancam bunuh semua orang kepercayaanku jika
mereka tidak menemukan anak yang kuamanatkan penjagaannya
kepada mereka. Kusekap anak-anak mereka untuk memaksa agar
mereka benar-benar mencari anakku.”
120
“Bagi mereka yang sudah ‘bangun’, seluruh manusia pada
dasarnya sebatangkara di dunia ini. Itu sebabnya, bagi mereka
yang sudah ‘bangun’ tidak dikenal kebanggaan atas ras, suku
bangsa, marga, keluarga, nama besar, atau apa saja yang bersifat
kelompok. Dan bagi mereka yang sudah ‘bangun’, menjadi suatu
‘kewajiban’ untuk menggantungkan kesebatangkaraannya kepada
Dia Yang Mahatunggal; Dia Yang Mahasebatangkara, yang tidak
memiliki istri, anak, keluarga, dan kerabat; kepada Dia jua kita,
orang-orang sebatangkara ini, wajib mengarahkan harapan dan
tujuan.”
“Jika demikian, kenapa kita harus bekerja mencari nafkah jika pada
akhirnya kita harus menganggap dunia ini penjara yang tidak
menyenangkan?”
“Karena tubuh kita adalah bagian dari jazad maddi (materi) maka
tubuh kita pun membutuhkan makanan dan minuman bersifat
maddi (materi). Karena itulah, agama mengajarkan agar kita,
manusia, keturunan Adam dan Hawa, tidak berlebihan dalam
memanfaatkan dunia apalagi sampai mencintainya.”
Pemburu itu tahu bahwa kera sangat suka buah ceri. Ia sangat
paham cara berpikir kera. Itu sebabnya, ia menempatkan buah-
buah ceri ke dalam botol gelas bening yang berleher sempit.
Kemudian ia letakkan botol gelas itu di tempat kera-kera biasanya
berkeliaran.
122
Tak lama, pemburu itu melihat seekor kera datang. Kera itu
memasukkan tangannya ke dalam botol dan mengambil buah ceri
dalam jumlah banyak. Tetapi, dia kemudian sadar bahwa
tangannya yang menggenggam buah ceri tidak bisa ditarik keluar.
123
Cahaya Iman
125
mengirim upeti sebagai bukti bahwa bandar itu tunduk di bawah
kekuasaan Kaisar Cina.
Kerajaan Majapahit yang makin melemah kekuatannya tidak
mengambil tindakan apa pun terhadap kebijakan Kaisar Cina yang
telah menjadikan Palembang sebagai bagian dari kekuasaannya.
Majapahit terus disibukkan dengan pemberontakan-
pemberontakan di dalam negeri. Namun, saat Prabu Kertawijaya
naik takhta dengan gelar Sri Prabu Kertawijaya Wijaya
Parakramawarddhana yang lazim disebut Brawijaya V, masalah
Palembang mulai menjadi perhatian penting. Ia mengirimkan
seorang puteranya yang bernama Ario Damar sebagai Adipati
Palembang dengan tugas utama mengembalikan bandar tua itu ke
pangkuan Majapahit.
126
Oleh didikan Ki Kumbharawa dan Ibundanya, Ario Damar tumbuh
sebagai pemuda yang memiliki berbagai kesaktian dan
kedigdayaan luar biasa. Itu sebabnya, saat mengabdi ke Majapahit
ia dapat menyelesaikan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya.
Bahkan di antara penganut ajaran Bhirawatantra kala itu, Ario
Damar dianggap sebagai salah seorang tokoh yang paling
sempurna ilmunya sehingga ia disegani baik oleh kawan maupun
lawan.
128
kampung yang dinamakan Pedamaran (artinya: kediaman Ario
Damar). Dari Pedamaran itulah ia memberitakan kebenaran ajaran
Islam. Mula-mula ia menyiarkan kepada penduduk di sekitar
Pedamaran. Dulu penduduk di sana terkenal sangat menentang
ajaran Islam yang disebarkan oleh Syarif Husin Hidayatullah,
bangsawan Arab yang menjadi pemimpin di daerah Usang
Sekampung. Namun, di bawah bimbingan Ario Abdillah, penduduk
dengan sukarela berkenan memeluk Islam. Begitulah, daerah-
daerah kafir seperti Talang Lindung Bunyian, Lebak Teluk Rasau,
Lebak Air Hitam, dan Lebak Segalauh telah menjadi
perkampungan muslim.
Ketika San Ali mendekat, Ario Abdillah dengan tanpa menoleh dan
tangan tetap mencabuti akar-akaran mendendangkan lagu,
“Engkau adalah hijab bagi dirimu sendiri, o manusia, maka
keluarlah engkau dari padanya. Pengembaraan adalah
pematangan bagi jiwa yang mentah. Jika engkau sudah keluar dari
hijabmu maka akan engkau temukan alam semesta di dalam
dirimu, ibarat lautan engkau temukan di dalam perahu.”
“Tapi, Tuan?”
131
Hal itu akan hamba jadikan pedoman dalam perjalanan hamba
menuju Dia.”
“Ada banyak orang berkata tentang aku, namun apa yang mereka
katakan itu pada hakikatnya tidak tepat sebagaimana aku
mengatakan tentang diriku. Akhirnya, akupun bingung tentang
siapa yang paling benar mengatakan tentang aku. Lantaran itu, o
Anak, kutinggalkan segala perkataan tentang aku, karena itu
semua semakin membingungkan ‘aku’-ku. Dan ketahuilah, o Anak,
ketika engkau berkata tentang jalanku maka saat itulah engkau
telah memunculkan keakuan, baik keakuanmu maupun
keakuanku; yang ujung dari semua itu adalah sia-sia.”
“Jika Tuan ingin kembali hanya kepada-Nya, hamba yakin itu akan
terjadi. Tetapi, mohon Tuan jelaskan kepada hamba bagaimana
dengan nasib uwak dan ibunda Tuan yang tetap tinggal di dalam
kegelapan ajaran najis itu?” kata San Ali.
134
muslim yang dianugerahi iman maka sesungguhnya engkau
berada dalam golongan yang tercerahkan oleh cahaya salah satu
nama indah-Nya, yakni al-Hadi (Yang Memberi Petunjuk) yang
dari-Nya mengalir para malaikat, nabi, rasul, wali, dan orang-orang
saleh.”
“Sudah tertulis di dalam dalil: nurun ‘ala nurin yahdi Allahu linurihi
man yasya’u (Cahaya di atas cahaya, Dia membimbing dengan
cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki). Tertulis pula dalil: man
yahdi Allahu fala mudhilla lahu wa man yudhlilhu fala hadiya lahu
(Siapa yang ditunjuki Allah, engkau tak bisa menyesatkannya; dan
siapa yang disesatkan Allah, tak bisa engkau menunjukinya). Jadi,
jalan terang atau jalan gelap, pada hakikatnya tergantung mutlak
pada kehendak-Nya.”
135
“Engkau anggap suci ajaran agamamu karena engkau berada di
dalam pandangan agamamu yang menganggap ajaran lain sesat
dan najis. Namun, jika engkau berada di dalam ajaran lain maka
ajaran yang lain itu akan menilai sesat dan najis agamamu. Dia
memang menempatkan sudut pandang yang berbeda bagi tiap-
tiap umat untuk memandang kenyataan yang tergelar di
hadapannya. Dengan sudut pandang itulah masing-masing
manusia memiliki perbedaan dalam memandang kebenaran
agama yang dianutnya. Semuanya, terutama yang awam, memiliki
penilaian bahwa agama yang dianutnya itulah yang paling baik.”
136
tumbuhan, jin, setan, bahkan iblis adalah penyembah dan pemuja
Dia, meski dengan sebutan dan tata cara yang berbeda.
Sesungguhnya Dia itu Esa. Tidak ada sesuatu yang menyamai
apalagi menyaingi Dia. Sebab, telah tertulis dalam dalil: kana
Allahu wa lam yakun ma’ahu syai’un (Dia ada. Tidak ada sesuatu
bersama Dia).
137
Sebelum San Ali bertanya tiba-tiba Ario Abdillah menjelaskan
bahwa mereka berada sekitar tujuh puluh depa dari permukaan
tanah. “Ini merupakan lapisan pertama dari kediaman anak cucu
makhluk-makhluk penghuni bumi sebelum Nabi Adam diturunkan.
Mereka adalah keturunan Banu al-Jaan. Mereka mendiami dasar
bumi hingga lapis yang ke tujuh.
“Tuanku, apakah mereka itu disebut jin?” tanya San Ali takjub.
138
“Apakah Tuanku akan mengajak hamba mengunjungi kota-kota
mereka?” tanya San Ali dengan rasa ingin tahu yang berkobar-
kobar. “Apakah mereka tidak menyerang kita?”
Ario Damar diam sesaat. Sejenak sesudah itu dengan suara berat
dan penuh keseriusan dia mulai menguraikan tentang makhluk-
makhluk penghuni dasar bumi. Menurut Ario Damar, leluhur
makhluk-makhluk itu pada zaman dahulu kala menghuni
permukaan bumi selayaknya manusia. Namun, mereka sangat
sombong dan membanggakan ilmu pengetahuannya. Akhirnya,
terperangkaplah mereka ke dalam kebiasaan menumpahkan
darah sesamanya. Dengan kereta perang yang bisa terbang,
mereka menembus langit menuju ke bintang-bintang tempat
kediaman para malaikat, makhluk yang dicipta Allah dari cahaya.
“Tuanku,” San Ali berkata setelah melihat Ario Abdillah berdiam diri
agak lama, “guru agung hamba, Syaikh Datuk Kahfi, pernah
membawakan riwayat hadits yang menjelaskan bahwa sebelum
140
Nabi Adam, bumi ini dihuni makhluk dari bangsa jin. Menjelang
Nabi Adam turun ke bumi, makhluk-makhluk dari bangsa Jin itu
dihalau ke pulau-pulau di samudera. Tetapi, itu semua hanya
penuturan beliau, Tuanku. Hamba belum menyaksikan sendiri.”
“Di Jawadwipa?” seru San Ali heran. “Kenapa kita tidak melewati
laut?”
“Kita tidak melewati laut karena kita berada di dasar bumi,” Ario
Abdillah menjelaskan. “Dan ketahuilah bahwa bentangan pulau-
141
pulau di Nusantara pada hakikatnya satu kesatuan ikatan. Adanya
laut yang memisahkan pulau satu dengan pulau yang lain bersifat
permukaan belaka.”
143
Ario Abdillah menjelaskan bahwa kota itu terletak di lapis bumi
ketujuh, lapisan yang paling dekat dengan tungku bumi. Para
penghuninya berperadaban lebih maju dibanding penghuni di
lapisan lain. Meski mereka maju, naluri suka menghirup darah
manusia tetap belum hilang. Pada saat-saat tertentu, ketika bumi
diliputi kegelapan, terutama saat terjadi gerhana, para penghuni
lapis ketujuh itu beramai-ramai keluar dari kediaman mereka
melalui kawah gunung berapi dan gua-gua. Mereka beriringan
mencari mangsa untuk dijadikan jamuan pesta besar di bumi utara
yang tenggelam dalam kegelapan selama lima bulan.
146
tumbuhan, jin, malaikat, setan, iblis, bulan, bintang, matahari, dan
berbagai makhluk ciptaan-Nya yang tak diketahui. Makhluk-
makhluk itu hanyalah sebagian kecil saja dari ciptaan-Nya.”
“Bukankah Tuanku masih kuat dan sehat?” tanya San Ali. “Hamba
tak yakin barang sepuluh atau lima belas tahun lagi Tuanku bakal
meninggal dunia.”
147
“Tuanku,” sergah San Ali heran, “bagaimana Tuanku bisa tahu
dengan sangat jelas saat kematian Tuan?”
“Hamba mohon doa restu, Tuanku,” kata San Ali mencium kaki Ario
Abdillah. Ia rasakan ada rongga kosong di dadanya, seperti
kehilangan sesuatu yang sangat berharga, meskitidak tahu
gerangan apa yang hilang itu. Dan sesaat ia merasa kehangatan
membasahi pipinya. Sadarlah ia bahwa diam-diam titik-titik air
bening telah menetes dari kelopak matanya.
148
Mereka Yang Terhijab
150
“Iya,” sahut Abul Mahjuubin pendek. “Dan aku heran, kenapa awak
memilih berguru kepada aku?”
“Yang Mulia Ario Abdillah, Yang Dipertuan Palembang,
menyarankan saya jika ingin mencari ‘Aku’ hendaknya berguru
kepada Tuan,” ujar San Ali apa adanya.
“Aneh-aneh saha bicara si Tua Bangka itu. Tapi apa maksud dia
menyuruh awak berguru kepada aku?” tanya Abul Mahjuubin
mengertak gigi tanda tak senang.
“Apa yang awak punya untuk bekal berguru kepada aku?” tanya
Abul Mahjuubin mengangkat wajahnya ke atas.
151
“Saya tidak punya apa-apa, o Tuan Guru,” kata San Ali datar,”
sebab kita sesungguhnya tidak memiliki apa-apa. Hanya Allah
yang memiliki segala.”
“Awak bicara seperti itu sebagai apa?” sahut Abul Mahjuubin sinis.
“Sebagai orang zuhud? Atau sebagai orang miskin yang menutupi
kemiskinannya dengan alasan yang dibuat-buat? Atau si Tua
Bangka itu yang mengajar awak bicara begitu?”
“Bagus jika itu yang awak mau,” Abul Mahjuubin berkata dengan
suara ditekan. “Mulai sekarang, awak boleh ikut aku. Tapi ingat,
awak harus sabar dan tawakal. Awak harus bisa membuktikan jika
awak benar-benar orang zuhud yang tidak terpengaruh oleh
gemerlap duniawi.”
152
Malaka. Tidak main-main, San Ali dijadikan saudagar yang
berkuasa penuh atas kedai tersebut.
153
Entah ujian Tuhan atau keberuntungan sedang berpihak kepada
San Ali. Dalam beberapa pekan ia sudah mengeruk keuntungan
besar dan mendapatkan pelanggan baru. Dengan kejujuran,
kesederhanaan, kepolosan, dan bahkan kenaifannya dalam
berniaga, telah menjadikannya mengenal banyak orang, mulai dari
saudagar besar, nahkoda, pelaut, tukang perahu, pedagang pasar,
sampai kuli pelabuhan.
Semula San Ali tidak mengetahui perilaku buruk Abul Maisir. Itu
sebabnya, selama beberapa waktu ia selalu menyisihkan uang
154
keuntungan kedai untuk diambil oleh Abul Maisir. Namun, bersama
dengan bergulirnya waktu, terutama setelah ia ditanya oleh Abul
Mahjuubin tentang hasil keuntungan dari kedai yang dikelolanya,
barulah ia sadar bahwa Abul Maisir adalah orang yang keranjingan
judi.
Jika Abul Maisir sedang kalah judi, begitu yang diketahui San Ali,
dia akan marah-marah dan kemudian meminta uang kepada
istrinya. Jika tidak ada uang dia akan meminta perhiasan atau
barang apa pun yang bisa dijual. Jika tidak dipenuhi dia tidak
segan-segan menghajar anak-anak dan istrinya. Abul maisir selalu
bermata gelap. San Ali menilai betapa Abul Maisir sebenarnya
sudah tidak waras. Jika sedang berjudi, bukan hanya anak dan istri
155
yang dia lupakan, bahkan untuk mandi dan berganti pakaian pun
dia seperti tidak ingat. Itu sebabnya, dia selalu tampil kuyu, kumal,
dan tengik.
“Aku sebenarnya malu punya anak macam itu,” kata Syaikh Abul
Mahjuubin suatu hari dengan wajah penuh duka. “Tetapi,
bagaimana lagi? Dia anak sulung yang aku cintai. Dia itu tumpuan
harapan aku. Karena itu, aku senantiasa berharap moga-moga dia
bisa sadar.”
“Apa Tuan Guru tidak pernah menegurnya?” tanya San Ali ingin
tahu.
156
membuat aku selalu merasa iba dan kasihan terhadap dia. Saat
dia sakit demam aku berikrar bahwa andaikan dia sembuh maka
segala keinginannya akan aku penuhi.”
Ada sebuah peristiwa yang melukai jiwa San Ali, setidaknya yang
berkenaan dengan kisah pedih para penjudi. Suatu saat, ia
mendapati seorang saudagar Cina bernama Sian Coa, kawan judi
Abul Maisir, tega menggadaikan istrinya gara-gara kalah berjudi.
Betapa bodoh Sian Coa. Sudah seluruh miliknya ludes, istrinya pun
tergadai. Bagi San Ali, kasus Sian Coa benar-benar kebodohan
yang tak bisa diampuni. Sementara di kalangan kuli pelabuhan,
beberapa kali terjadi perkelahian yang berakhir dengan
pembunuhan. Bahkan yang sering terjadi, para kuli pelabuhan itu
tertangkap mencuri uang gara-gara tak kuat menahan hasrat untuk
berjudi.
Lain Abul Maisir lain pula Abul Khamrun, anak kedua Syaikh Abul
Mahjuubin. Beda dengan kakaknya, Abul Khamrun gemar sekali
mabuk-mabukan. Namun, perbedaan itu hanya pada tingkat
kegemaran. Intinya keduanya adalah benalu. Karena, Abul
Khamrun pun suka meminta uang kepada para pengelola kedai
ayahnya. Lebih parah lagi, dia sering mengganggu orang lain jika
sedang mabuk. Abul Khamrun dikenal sebagai pemabuk yang
suka berkelahi.
158
Anak kedua Syaikh Abul Mahjuubin itu juga terseret melakukan
perzinaan ke rumah-rumah pelacuran. Jika sudah mabuk dia
melupakan anak-anak dan istrinya. Pekerjaan sehari-hari dia
abaikan. Satu-satunya pekerjaan rutin Abul Khamrun adalah
menunggu datangnya sore hari, ketika orang usai bekerja. Saat
itulah, dia bersama-sama kawan-kawannya menikmati minuman
keras di lepau tuak; sambil bernyanyi, tertawa-tawa, menari-nari,
menantang-nantang, memaki-maki, dan sering berujung dengan
perkelahian antara sesama pemabuk.
Bagi yang belum kenal dekat dengan Abul Kadzib, selalu muncul
kesan bahwa anak bungsu Syaikh Abul Mahjuubin itu adalah salah
seorang pangeran di antara putera-putera sultan. Kesan itu timbul
karena penampilannya memang selalu mewah dan mengesankan
gerak-gerik kebangsawanan. Namun, bagi yang sudah kenal dekat
160
apalagi sudah pernah ditipu, tentu akan segera mafhum. Dia
berpenampilan seperti itu untuk menipu calon korbannya.
161
seseorang hidup dalam lingkaran nafsu maka akan semakin tebal
dinding hijab yang menutupinya dari cahaya kebenaran.
Cerita Datuk Musa itu tentu saja dapat dipahami San Ali.
Sepengetahuannya, ayahanda dan guru agungnya sampai tinggal
di negeri Caruban pun pada dasarnya karena sultan keturunan
Tamil yang berkuasa saat itu mengancam hidup mereka. Jadi,
cerita Datuk Musa tentang keprihatinan hidup keluarga
ayahandanya merupakan hal yang wajar bagi dirinya. Apa pun
keadaannya, ia sangat ingin menemui Syaikh Datuk Ahmad.
“Sudah sebulan ini,” kata Syaikh Datuk Ahmad terisak, “aku selalu
bermimpi didatangi si Sholeh. Tidak tahunya awak sudah sampai
kemari. Meski Sholeh sudah meninggal, awak adalah bagian dari
jiwanya yang tetap hidup. Awak harus bisa meneruskan
perjuangan keluarga kita di dalam menegakkan kebenaran di muka
bumi. Awak adalah harapan keluarga besar kita. Aku berharap
moga-moga awak memiliki semangat juang seperti si Sholeh yang
tak mau tunduk kepada siapa pun dalam menegakkan kebenaran
Ilahi.”
“Guru agung saya, Syaikh Datuk Kahfi,” sahut San Ali, “Selalu
menanamkan itu kepada saya. Beliau selalu menekankan bahwa
di setiap kesempatan apa pun saya harus tetap berjuang
membawa kebenaran. Di setiap keadaan saya harus bisa menjadi
cahaya penerang bagi mereka yang kegelapan. Dan beliau selalu
berwasiat agar saya tak kenal menyerah menghadapi tantangan
seberat apa pun.”
“Ah . . . ah, aku tidak menyangka jika anak aku, si Kahfi, berhasil
menjadi orang besar di rantau,” kata Syaikh Datuk Ahmad
mengusap air mata. “Alhamdulillah, Ya Allah, Engkau angkat
derajat kami melalui anak kami. Alhamdulillah, Ya Allah!”
164
“Uwak,” tanya San Ali dengan kening berkerut, “benarkah Syaikh
Datuk Kahfi adalah putera Uwak?”
“Si Kahfi selalu punya alasan jika melakukan sesuatu hal,” Syaikh
Datuk Ahmad menarik napas berat. “Bisa saja dia mengatakan itu
karena tahu engkau dilahirkan dalam keadaan yatim dan kemudian
piatu. Sehingga, sebagai satu-satu keluarga, si Kahfi ingin
mendudukkan dirinya sebagai pengganti orang tuamu. Sebab, bagi
seorang anak yatim dan piatu, kawan sebaya mudah dicari, namun
yang bersikap seperti orang tua sangat sulit didapat.
Dari beberapa surat yang dia kirim tidak pernah berkisah kalau dia
sudah menjadi orang besar di negeri orang. Dia selalu bercerita
kehidupannya dilindungi Allah. Rupanya, anak itu tidak ingin
165
keluarganya di sini mendapat masalah besar jika tahu salah
seorang di antara kami ada yang jadi orang besar di rantau.”
167
“Anak aku, kenapa awak sekarang ini justru menjadi saudagar
kaya? Kenapa awak bukannya menjadi seorang guru agama
seperti leluhur-leluhur awak?”
“Apa pun yang Uwak berikan akan saya terima,” kata San Ali
memegangi kedua tangan Syaikh Datuk Ahmad. “Hanya doa,
berkah, dan restu dari Uwak yang selalu saya harapkan. Semoga
saya kuasa menjalankan pesan-pesan dan amanat keluarga kita.”
“Ingat-ingatlah, o Anak Saudara aku,” kata Syaikh Datuk Ahmad
bersemangat, “sejak kini awak akan disebut orang dengan nama
Datuk Abdul Jalil. Jika awak nanti menjadi guru agama yang arif
dan bijak, awak berhak menggunakan gelaran nama Syaikh Datuk
Abdul Jalil. Semoga Allah senantiasa merahmati awak. Semoga
170
awak bisa mencapai cita-cita awak dan senantiasa menjadi hamba
dari Robbul Jalil yang sejati.”
“Amin!”
171
diperolehnya untuk dibagi-bagikan kepada para kuli atau
gelandangan yang berkeliaran di pelabuhan.
Abdul Jalil yang sejak awal tidak sedikit pun tertarik menjadi
saudagar, dengan tenang menjawab semua dampratan Abul
Mahjuubin sambil tertawa. “Tuan Guru tak perlu marah! Karena,
saya tidak merugikan Tuan dengan apa yang telah saya lakukan
ini. Apa yang sudah saya lakukan itu adalah tuntutan agama kita.”
“Tapi andaikata tidak awak ambil separo, keuntungan itu kan masih
utuh? Apakah awak tidak merasa aneh dengan tindakan membagi-
172
bagi wang itu? Tanyakan kepada seluruh saudagar di Malaka dan
di seluruh dunia, adakah mereka yang berbuat seperti awak?” Abul
Mahjuubin marah sambil mengertak gigi.
“Aku tidak pernah menilai begitu. Itu adalah anggapan awak sendiri
yang tidak memahami bagaimana maksud aku sebenarnya,” kata
Abul Mahjuubin datar.
173
“Tuan Guru,” sergah Abdul Jalil dengan wajah mengeras, “Tuan
telah melihat sendiri bahwa sampai sejauh ini hati saya tetap tidak
terpaut dengan harta benda duniawi. Bahkan Tuan Guru tahu
bahwa uang dari kedai ini lebih banyak dihamburkan oleh Abul
Maisir, Abul Khamrun, dan Abul Kadzib, anak-anak Tuan Guru
terkasih daripada oleh saya. Sebab itu, o Tuan Guru, izinkanlah
saya meninggalkan pekerjaan ini. Terbukti sudah bahwa hati dan
pikiran saya tetap tidak terpengaruh bisikan duniawi sampai kapan
pun saya bekerja sebagai saudagar.”
Lepas dari kelegaan akibat hidupnya terbebas dari Abdul Jalil yang
dicurigai penguasa, Syaikh Abul Mahjuubin merasakan betapa
jauh di dalam relung-relung jiwanya dia memendam seberkas
penyesalan atas jalan hidupnya yang penuh liku-liku kesulitan;
melintasi samudera, gunung, lembah, jurang, dan ngarai bendawi
yang tak bertepi. Dia sadar bahwa keberadaann ‘aku’ dirinya sudah
terhijab oleh berlapis-lapis tirai bendari dari ‘Aku’. Dia sadar,
lantaran keterhijaban itu maka ketiga anaknya terperosok ke dalam
lingkaran kemaksiatan yang bakal membawanya ke tungku
neraka.
175
yang aku jalani sekarang ini adalah kehendak-Nya juga?”
gumamnya menghibur diri.
176
Hijab-Hijab
178
kembali dari perang kecil untuk menuju perang besar, yakni perang
melawan nafsu.”
Berbagai pengalaman pahit dan getir yang ia lampaui telah
mengajarkannya bahwa melawan kehendak nafsu adalah
perjuangan paling dahsyat, baik yang ia lihat pada orang-orang
yang pernah dikenalnya maupun pada dirinya sendiri. Orang-orang
seperti Syaikh Abul Mahjuubin dan anak-anaknya, misalnya,
adalah gambaran dari hidup terkucil di pulau keakuan yang
gersang tanpa mata air dan pepohonan. Mereka adalah gambaran
dari orang-orang yang bukan saja tidak mempunyai keinginan
melintasi, melainkan juga sangat ketakutan ketika mendengar
keberadaan tujuh samudera, tujuh gurun, tujuh gunung, tujuh
lembah, tujuh jurang, tujuh rimba, dan tujuh benteng.
179
Tantangan kedua yang tak kalah dahsyat adalah Tujuh Jurang
Futur yang menganga siap menelan siapa saja yang jatuh ke
dalamnya. Siapa pun yang melihat ke dasar jurang yang seperti
tanpa dasar itu lazimnya akan menjadi lemah pendirian dan runtuh
tekadnya untuk melanjutkan perjalanan. Bagi para pencari yang
masih kuat terpengaruh kehidupan duniawi, Tujuh Jurang Futur itu
sangatlah menakutkan sehingga mereka lebih suka tidak
melanjutkan perjalanan daripada melintasinya dengan resiko tak
pernah kembali. Kebimbangraguan selalu mencekam siapa saja
yang mencari-Nya ketika harus melewati tujuh jurang ini.
181
ukiran dan hiasan indah. Benteng-benteng itu dihuni oleh warga
yang hidup dalam kemakmuran dan kelimpahan rezeki. Para
pencari yang melintasi tujuh benteng ini biasanya terpesona oleh
keindahan arsitektur dan kemakmuran para penghuninya. Para
pencari yang terpesona ini tak jarang terjebak mengaku bahwa
benteng-benteng itu adalah miliknya dan merekalah yang
membangunnya. Para pencari yang demikian tak menyadari
bahwa saat mereka mengakui keindahan amaliah ibadahnya maka
saat itu pula benteng-benteng itu menjadi pasir yang luruh tertiup
angin.
183
kebanyakan. Namun, dia yakin bahwa Abdul Jalil adalah orang
yang tulus dan pantang menyerah. Itu sebabnya, dia berharap
Abdul Jalil akan beroleh cakrawala baru setibanya di Basrah dan
Baghdad.
184
kedengarannya. Tapi, rasanya nama kakek Tuan berkaitan dengan
nama Tuan.”
“Mendalam sekali nama Tuan dan Kakek Tuan,” kata Abdul Jalil
menarik napas berat. “Kakek Tuan pastilah seorang sufi agung
yang sudah mencapai maqam wahdat al-af’al.”
187
kulitnya, demikianlah ia mengalami kesadaran baru: menguak
hijab gaib Ilahi dalam kaitan dengan nama-nama.
188
Ia merenungkan pula tentang keberadaan kapal yang
ditumpanginya. Ternyata, ia tidak menemukan satu pun tempat di
kapal yang bernama “kapal”. Kapal menjadi ada karena ia terdiri
atas bagian-bagian, yakni lambung, geladak, tiang, layar,
anjungan, kemudi, jangkar, dan tali. Layar pun jika direnungkan
ternyata tidak ada. Layar ada karena sebutan. Sejatinya, layar ada
karena terbentuk dari tiang, kain, dan tali-temali. Sedang kain layar
pun hakikatnya tidak ada, yang ada adalah jalinan benang. Benang
pun kalau diurai adalah kumpulan serat.
190
kaitan dengan keberadaan segala ciptaan: dia adalah kenyataan
dari segala sesuatu yang tersembunyi. Dan bersama itu pula, rasa
ingin tahunya tentang Syaikh Abdul Mubdi al-Baghdady semakin
kuat.
“Tapi Tuan Abdul Jalil, kitab-kitab itu adalah kitab-kitab besar yang
tidak sembarang orang bisa mempelajarinya. Apakah Tuan bisa
membaca dan memahami isinya? Saya sendiri setelah membuka
beberapa bagian sudah merasa tidak sanggup melanjutkan.”
191
“Tuan,” kata Abdul Jalil tersenyum, “sekalipun Tuan mengenal
saya sebagai saudagar, perlu Tuan ketahui bahwa sejak kecil saya
dididik di Padepokan Giri Amparan Jati di bawah asuhan kakak
sepupu saya, Syaikh Datuk Kahfi. Saya sudah menguasai Nahwu,
Sharf, dan Balaghah. Saya juga sudah paham tentang ilmu tafsir,
mustholah al-hadits, ushul al-fiqh, dan manthiq. Jadi, Insya Allah
saya akan mampu mempelajari kitab-kitab peninggalan kakek
Tuan.”
“Karena itu, saya yakin dalam tempo tidak lama mereka akan
beramai-ramai memeluk agama Islam,” kata Abdul Jalil.
193
kawan akrab kakeknya. Mereka berdua sering terlibat
perbincangan rahasia yang tak seorang pun boleh mendengarkan.
Sebagai pemuda yang sejak kecil terpisah dari orang tua dan hidup
di padepokan dengan penuh keprihatinan, Abdul Jalil merasakan
keramahan yang diberikan ayahanda dan ibunda Ahmad at-
Tawallud sebagai kehangatan ayah dan ibu yang didambanya
dalam mimpi-mimpinya. Itu sebabnya, untuk mengisi waktu
senggang saat beristirahat setelah penat mempelajari kitab-kitab,
ia gunakan untuk berbincang-bincang dengan mereka.
198
Kasyf al-Mahjub
201
“Keputusan itu kutetapkan setelah aku yakin bahwa puteriku diam-
diam mencintai Tuan, begitu pula sebaliknya,” kata Ahmad at-
Tawallud tegar.
“Nafsa mencintai saya?” Abdul Jalil tersentak kaget. Ia rasakan
kobaran api menggelora di dalam dadanya.
“Ya.”
“Aku tidak peduli apa pun kata Tuan,” tukas Ahmad at-Tawallud
menarik napas panjang. “Maksud utamaku adalah demi
keselamatan puteriku sekaligus keberhasilan Tuan dalam meniti
jembatan menuju Dia.”
202
“Aku tak peduli apa pun penilaian Tuan,” kata Ahmad at-Tawallud
datar, “yang jelas, aku tidak akan mengorbankan puteriku menjadi
sekutu-Nya bagi Tuan. Aku tidak akan menikahkan puteriku
dengan siapa pun yang telah dipilih-Nya menjadi kekasih, tetapi
belum mampu menjaga kesetiaan kepada-Nya.”
204
alami ini adalah kesalahan besar. Saya sadar bahwa kehadiran
Nafsa bisa menggagalkan perjalanan saya menuju Dia. Saya
sadar bahwa Nafsa adalah bagian dari hijab-Nya. Tapi Tuan, saya
sungguh-sungguh tidak mampu berbuat apa-apa untuk
menghapus citra Nafsa dari hati dan pikiran saya. Saya benar-
benar tak berdaya Tuan. Tolonglah saya, o Tuan.”
“Tuan Abdul Jalil,” kata Ahmad at-Tawallud lirih, “bukankah selama
ini Tuan ingin merasakan dan menghayati Af’al Allah secara nyata?
Nah, dalam kasus yang Tuan alami sekarang ini, apakah Tuan
beranggapan bahwa Tuan memiliki niat dan kemampuan pribadi
untuk berkehendak dan berbuat, terutama mencintai Nafsa?”
“Tidak, o Tuan,” kata Abdul Jalil pedih, “saya sadar bahwa saya tak
memiliki kemampuan apa pun. Sekarang ini saya benar-benar tak
berdaya. Bahkan meminta tolong kepada-Nya pun saya seperti
tidak mampu. Saya seperti sebutir debu diempas angin.”
“Jika Tuan sudah sadar akan apa yang sebenarnya sedang terjadi
pada diri Tuan,” kata Ahmad at-Tawallud tenang, “maka Tuan
sebaiknya pergi ke Baghdad. Di sana Tuan dapat tinggal di rumah
saya. Saya tahu Tuan tidak akan kuat menahan perasaan ketika
harus menyaksikan Nafsa bersanding di pelaminan dengan
suaminya. Pemandangan itu akan meremukkan hati Tuan.”
205
“Itu sangat baik Tuan. Untuk menuju ke muara-Nya, Tuan harus
menjadi butiran air yang baik dan setia mengikuti arus.”
“Bolehkah saya bertanya satu hal?”
“Soal apa?”
“Ibunda saya yang memberi tahu. Sebagai orang tua yang sudah
berpengalaman, beliau menangkap isyarat yang terpancar dari
kedalaman jiwa Tuan saat bertatap mata dengan Nafsa, yang
diikuti oleh perubahan sikap Tuan. Beliau tahu Tuan diam-diam
memendam rasa cinta kepada Nafsa. Dan satu malam, lewat kata-
kata yang halus penuh kebijakan, ibunda saya berhasil menggali
perasaan Nafsa. Apakah penjelasan ini penting bagi Tuan?
Apakah Tuan masih berkukuh untuk menyimpan harapan dari
selain Dia? Bukankah Tuan harus bertobat?”
206
“Saya pun pada hakikatnya tidak memiliki kehendak dan gerak
sendiri. Semua adalah dari-Nya semata. La haula wa la quwwata
illa bi Allahi. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dari-Nya!” timpal
Ahmad at-Tawallud.
Panas gurun yang memuai dari atas dan bawah dengan hembusan
angin kering membara telah menguapkan kekuatannya. Bagaikan
belukar di gugusan gurun, begitulah ia melangkah gontai di tengah
deru angin yang bersiut-siut. Dan di antara bibirnya yang kering
dan gemetar, ia dengan teguh menyebut-nyebut Asma Allah.
207
lantak dipanggang bara kesengsaraan gurun, bayangan Nafsa
masih juga memasuki hati dan pikirannya, meski mulutnya tak
henti-henti melafalkan Asma Allah.
Dengan air mata bercucuran dan ratap tangis pedih, para murid itu
kembali dan memberitakan hal Syaikh San’an kepada keluarga
dan kawan-kawannya. Akhirnya, berkatalah seorang darwis tua
kepada seluruh murid Syaikh San’an agar mereka beramai-ramai
mendoakan gurunya. Hanya Allah jua yang sanggup menolong
Syaikh San’an dari pesona bendawi yang bersifat sementara.
“Jika engkau menganggap cerita itu ada, tidak ada masalah. Jika
engkau menganggapnya sindiran bagi dirimu, itu juga tidak apa-
apa. Semua tergantung pada pemahamanmu dalam memaknai
kisah itu.”
“Tuan,” kata Abdul Jalil cepat, “bolehkah saya tahu di mana Tuan
tinggal? Berkenankah Tuan memberi saya arah menuju Dia?”
211
Dengan termangu takjub Abdul Jalil menatap kepergian Abdus
Sukr ar-Rajul sampai lelaki itu hilang di garis cakrawala. Seraya
melangkah penuh semangat, ia merenungkan pertemuannya yang
aneh dengan pengembara yang hidup bagai debu diembus angin
itu.
212
Pesta semarak yang diikuti sekitar seratus orang itu menyuguhkan
makanan dan minuman. Diramaikan pula oleh al-Qawwali, grup
musik kenamaan di Baghdad, yang dipimpin pemusik terkenal
Ahmad al-Qawwal. Dan yang mengejutkan, penyanyi tersohor
Baghdad, Abdul Warid al-Wajd, hadir di pesta itu tanpa diundang.
Kehadiran Abdul Warid al-Wajd memang bukan untuk kali
pertama. Namun, malam saat pesta itu digelar dia sedang diminta
menyanyi di rumah Abu Syarr azh-Zhulmi, seorang pejabat
pemungut pajak. Padahal di pesta kaum fakir itu dia tidak dibayar.
213
syahwat, hatiku meronta dan memaksaku agar pergi meninggalkan
mereka. Hatiku berkata orang-orang seperti itu tidak akan bisa
mendengarkan lagu-lagu yang kunyanyikan. Telinga mereka
sudah pekak. Tuli. Mereka tidak bisa membedakan antara syair
dan ringkik keledai. Mereka tidak bisa membedakan antara alunan
musik sejati dan derit roda gerobak. Telinga mereka hanya bisa
mendengar suara gemerincing dinar.”
214
rindu mendengar suara kebenaran. Dan hati mereka yang hadir di
sini adalah singgasana persemayaman at-Tawajjud.”
Abdul Jalil yang sejak tinggal di Baghdad tiga bulan silam berusaha
keras mengikis citra keindahan Nafsa dari hati dan pikirannya,
sesaat sempat terjerat kembali pada kilasan khayal ketika alunan
suara Abdul Warid al-Wajd menerobos pendengarannya. Betapa
indah dan nikmatnya jika saat ini ia bermadu kasih bersama Nafsa
tercinta. Namun, secepat itu pula ia memusatkan konsentrasi ke
satu titik, yakni Dia. Ia harus bertobat. Mengarahkan hati dan
pikiran hanya kepada Dia.
215
Setelah bergulat sengit menghalau semua bayangan yang
melintas di hati dan pikirannya, ia merasa kesadarannya terbuai
oleh lantunan nyanyian Abdul Warid al-Wajd dan alunan musik al-
Qawwali. Ia merasa ada daya tarik yang menenggelamkan
keakuannya. Ia merasa kesadarannya larut ke dalam lantunan
nyanyian dan alunan musik.
216
mengepakkan sayap, terbang ke arah pancaran cahaya gemilang,
menyusul para hadirin yang telah terbang lebih dulu.
219
samudera raya. Hal itu disadarinya karena nyala api yang
benderang di kejauhan itu sangat aneh sekali keberadaannya;
sekali waktu tampak sangat terang dan dekat, tetapi pada saat lain
tiba-tiba menjauh. Pernah suatu kali nyala api itu begitu dekat
dengan “penglihatan”-nya sehingga membutakan mata dan
membuatnya tidak tahu arah.
220
Futuhat al-Insaniyyah
222
Khawatir kata-kata itu dimaksudkan untuk menyindir soal
keanehan yang bakal ditemuinya nanti, Abdul Jalil memilih diam
meski di kepalanya berkecamuk lingkaran tanda tanya. Ia
berusaha keras untuk tidak bertanya-tanya sesuatu pun. Ia
menunggu sampai Ahmad at-Tawallud menjelaskan sendiri hal
tersebut.
225
Raja, ksatria, dan warga kerajaan dongeng yang terlena menikmati
kesuburan negeri dan memuja-muji kecantikan puterinya, bergetar
ketika mendengar raungan para penyerbu yang haus darah. Bulu
roma mereka berdiri mendengar derak gerbang kota kebanggaan
mereka didobrak kawanan pengembara liar yang meraung dan
melolong bagai serigala. Dan ketika para penguasa kerajaan
masih gemetar dicekam rasa takut dan gentar, para pengembara
perkasa yang datang dari relung-relung terdalam kebiadaban itu
menebarkan malapetaka kebinasaan.
“Itulah cerita Puteri Baghdad yang sudah lapuk dimakan usia dan
telah mengenyam pahit dan getir kehidupan,” kata Ahmad at-
Tawallud. “Kini tinggal sekawanan domba dan seekor anjing kurus
yang setia menungguinya. Sekarang, dia hanya seorang wanita
tua, meski gurat-gurat kecantikan masih tersisa di wajahnya. Dia
tidak secantik dan semenarik dulu. Taman-taman dan kebun-
kebun yang menghiasi mahligai kerajaan pun sudah berlalu. Jika
musim kering datang, meranalah tanah itu menjadi dataran tandus
yang hanya digunakan sebagai lintasan bagi para gembala ke
padang rumput di ujung gunung. Saat musim hujan, meluaplah
banjir dengan genangan air kotor beserta penyakit. Keagungan,
kemuliaan, kelimpahruahan, keindahan, dan kemakmuran yang
pernah dicurahkan ke atas negeri dongeng dengan puterinya yang
menawan itu kini sirna.”
Kini, Puteri Baghdad telah menjadi tua renta dan lelah melewati
lintasan waktu yang begitu panjang dan penuh derita. Raja demi
raja bergantian memahkotai kecantikan dan kesuburannya.
Namun, semua raja memiliki kebiasaan yang sama: menganggap
Baghdad sebagai puteri cantik yang menawan dan menjadikannya
rebutan. Dan setiap pemenang akan memperkosa dan
menjarahnya habis-habisan, tanpa sisa. Bahkan di usianya yang
tua, Baghdad yang sudah terseok-seok itu tetap menarik perhatian
para lelaki perkasa untuk memperebutkan dan menjadikannya
sebagai sundal yang bermanfaat untuk mengeruk keuntungan.
228
Keheningan dinihari telah turun menutupi Puteri Baghdad. Cahaya
rembulan yang menyinari bumi hanya membias di atap-atap
bangunan raksasa dan kubah-kubah masjid. Selimut kabut
memenuhi lorong-lorong dan permukaan bumi. Hening mencekam.
Sunyi menerkam.
230
“Saya baru saja mendengar perbedaan suara itu, o Tuan Yang
Mulia,” kata Abdul Jalil meminta penjelasan. “Saya sempat berpikir
itu hanya mimpi atau khayalan saja.”
231
Bagi Ahmad at-Tawallud, perilaku murid-murid kakeknya itu sangat
memuakkan. Berbeda dengan gelora semangat yang mengobari
perjuangan kakeknya dalam menyeberangi samudera kebenaran,
perjuangannya para murid itu dilandasi oleh semangat kecintaan
duniawi. Mereka menabalkan diri sebagai mursyid yang
menentukan arah kebenaran bagi pengikut-pengikutnya. Mereka
menebarkan pandangan bahwa mereka adalah kekasih Allah yang
bisa memberi limpahan berkah kepada siapa saja yang
dikehendakinya. Dan sebaliknya bisa mendatangkan laknat dan
kutukan dari Allah kepada siapa saja yang mencemoohkan dan
tidak menghargai mereka. Celakanya, antara murid satu dan yang
lain saling berlomba menjelek-jelekkan dan memfitnah, dengan
tujuan utama memenangkan persaingan untuk memperoleh
pengikut paling banyak.
Di antara murid-murid kakeknya, Ahmad at-Tawallud paling
banyak mengamati perilaku Syaikh Abu azh-Zhulmi. Karena, selain
lokasi pesulukannya dekat, dia juga paling licik kelakuannya.
232
cerita menakjubkan berkait dengan berbagai karomah yang ada
pada dirinya. Padahal, segala cerita tentang karomah yang
disebarkan itu isapan jempol belaka.
“Tapi Tuan, kenapa hati Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi bisa tertabiri
kekufuran dan kesesatan?” Abdul Jalil heran. “Bukankah dia
muslim?”
234
“Tidak ada yang tidak mungkin, Tuan,” kata Abdul Jalil. “Tapi,
bagaimana hal itu bisa terjadi setelah dia beroleh cahaya iman?”
235
“Awalnya proses itu berlangsung sederhana dan sangat lembut,
seperti berbohong yang dibiasakan. Padahal, dengan berbohong
seseorang secara hakiki telah menafikan sifat Allah Yang Maha
Melihat. Jika awalnya hanya menafikan maka lama-kelamaan
orang itu akan mengabaikan dan bahkan tidak meyakini hari
perhisaban di akhirat. Bohong demi bohong dilakukan. Berarti dosa
demi dosa telah dilakukan. Karena, dengan berbohong ia telah
terkondisi oleh keadaan jiwa seolah-olah Allah tidak mengetahui
perbuatan dosanya. Dan ujung dari proses itu adalah mengingkari
keberadaan Allah. Setelah melewati proses yang lama, yang ada
bagi seorang pembohong dan penipu adalah dirinya sendiri. Itu
sebabnya, alih-alih pembohong itu mulutnya berdzikir mengingat
Allah, sesungguhnya hati dan pikirannya berdzikir untuk mengingat
keberadaan dirinya sendiri. Artinya, secara hakiki dia telah menjadi
pemuja nafs-nya sendiri. Dia telah memuja kepada selain Allah.”
Al-Insan sirri wa ana sirruhu (Manusia adalah rahasia-Ku dan Aku
adalah rahasianya). Meski singkat, hadits Rasulallah Saw. ini
mengandung makna yang luar biasa dahsyat tentang misteri yang
menyelubungi keberadaan manusia. Berbagai pengalaman hidup
yang dialami Abdul Jalil, terutama yang terkait dengan keberadaan
orang-orang yang pernah dikenalnya, memberikan pemahaman
baru yang sama sekali berbeda dari pandangan masyarakat
awam.
236
di bandar-bandar pelabuhan yang tersebar di berbagai negeri,
yang selalu disibuki oleh urusan-urusan perniagaan. Sementara
penipu tengik yang terhijab dari-Nya justru ditampakkan dalam
wujud “beliau yang terhormat” guru tarekat yang penuh barokah
dan karomah, seperti Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi.
238
Berdasar uraian Ahmad at-Tawallud tentang zawa’id, lawami’, dan
fawa’id, tanpa disadari Abdul Jalil terbawa arus ke lingkaran
rahasia para penganut Tarekat Ananiyyah pimpinan Syaikh Abu
Syarr azh-Zhulmi.
Pelajaran awal bagi murid yang baru masuk tarekat, ungkap Ibnu
Mushtawif, adalah melatih diri melepaskan hal-hal duniawi dari hati
dan pikiran. Hal itu dilakukan dengan mewajibkan murid-murid
memberikan seperlima dari harta mereka kepada mursyid. Harta
ini akan digunakan untuk berjuang di jalan Allah. Selain itu, mereka
juga diwajibkan melunasi zakat dan aqiqah yang belum dibayarkan
sejak mereka lahir. Semua itu sebagai sarana pembersih jiwa.
241
Ibnu Mushtawif bukanlah orang yang cerdas, meski dia dianggap
paling senior di antara murid-murid Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi.
Sebab, dengan “pancingan” seratus dirham emas saja dia sudah
yakin bahwa Abdul Jalil masuk ke dalam perangkap. Hal itu
setidaknya terlihat dari sikap Ibnu Mushtawif yang begitu terbuka
menjelaskan berbagai hal bersifat propaganda tentang tarekat dan
mursyid panutannya.
242
para pasya pun mempraktikkan hal serupa ketika mengangkat
para as-sanaziq.
243
Ketika Abdul Jalil menuturkan kembali cerita-cerita Ibnu Mushtawif,
Ahmad at-Tawallud mengungkapkan suatu rahasia Ilahi di balik
kehidupan makhluk-Nya. “Sudah menjadi hukum-Nya bahwa
berbagai jenis makhluk akan digolongkan ke dalam lingkungan
yang sejenis. Harimau hidup di lingkungan harimau. Kuda hidup di
lingkungan kuda. Domba hidup di lingkungan domba. Anjing hidup
di lingkungan anjing. Tikus hidup di lingkungan tikus. Karena itu,
jangan gampang terkecoh oleh ucapan tikus yang dengan pongah
mengatakan bahwa dirinya adalah bagian dari kawanan harimau.
Untuk mengetahui berjenis-jenis makhluk dalam kehidupan
manusia memang sulit, karena manusia satu dengan manusia
yang lain diselubungi hijab. Hanya mereka yang sudah tersingkap
fawa’id dan terpancar cahaya lawami’ saja yang dapat melihat
hakikat masing-masing manusia.”
244
“Sebelum Sultan Muhammad al-Fatih wafat, beliau sudah
berwasian agar yang diangkat menjadi sultan pengganti dirinya
adalah putera terkecil, Jammun. Namun, Bayazid selaku putera
sulung mempersetankan wasiat itu. Dia naik takhta dan
menyingkirkan adiknya. Terjadi perang seru antara dua kekuatan.
Setelah berperang selama tujuh tahun, kekuatan Jammun hancur.
Tanpa belas kasihan, Bayazid membinasakan Jammun dan sisa-
sisa pengikutnya serta memburu semua simpatisannya.”
246
ketidakjujuran, gurun kerakusan, dan matahari kecemburuan.
Hidungnya yang bengkok seperti paruh rajawali bagai menyimpan
sejuta lakon sandiwara dunia yang penuh kecurangan dan
kelicikan. Dan kebiasaannya menggerak-gerakkan tangan ketika
berbicara, seperti penipu yang berusaha mengalihkan perhatian
orang dari ucapan-ucapannya.
247
terkena musibah itu,” ujar Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi disambut
decak kagum para pengikutnya.
Bagaikan guru ruhani yang sabar dan tawakal, Syaikh Abu Syarr
azh-Zhulmi menyampaikan bahwa keberadaannya selaku mursyid
Tarekat Ananiyyah banyak dikecam, difitnah, dicaci maki, dan
dianggap menyimpang oleh orang-orang, terutama kawan-
kawannya yang pernah berguru kepada Syaikh Abdul Mubdi al-
Baghdady. “Mereka iri hati kepadaku sejak dulu. Mereka tak
pernah sadar bahwa Syaikh Abdul Mubdi al-Baghdady adalah aulia
yang arif billah. Mereka tidak bisa memahami kenapa guruku itu
sangat cinta dan hormat kepadaku. Mereka dengki. Dan
kedengkian adalah sifat Iblis!” ujarnya berapi-api.
Menurut cerita Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi, ketika itu Nabi Khidir
berjalan di atas air sungai Dajlah. Nabi Khidir, lanjutnya, memberi
tahu bahwa musibah tahunan yang menimpa penduduk di sekitar
sungai Eufrat dan Tigris pada hakikatnya adalah murka Allah
karena perilaku orang-orang yang telah berlaku sangat keji kepada
para pengamal Tarekat Ananiyyah, terutama kepada mursyidnya.
250
Bagai orang kehausan minum air laut, selama hampir tiga jam
berceramah di atas mimbar, Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi terus-
menerus membuat cerita dan fatwa yang ujungnya adalah
kemuliaan, keluhuran, kemasyhuran, dan kehebatan dirinya
sebagai kekasih Allah. Dan di atas segala uraiannya, dengan
kelihaiannya berbicara dan bercerita serta memperkuat apa yang
disampaikannya itu dengan dalil-dalil Al-Qur’an dan hadits, dia
meyakinkan para pengikutnya bahwa tidak ada yang benar, baik,
mulia, luhur, dan diridhoi Allah kecuali Tarekat Ananiyyah,
terutama mursyidnya.
Puncak dari bualan Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi adalah saat dia
berkisah tentang pertemuan gaibnya dengan Rasulallah Saw lewat
mimpi yang tergolong ar-ru’yah ash-shadiqah. Dalam pertemuan
itu, bualnya, Rasulallah Saw. memintanya agar mengumpulkan
semua pengikutnya untuk melakukan dzikir dan doa bersama guna
mendukung Lahi bin Zhann azh-Zhulmah agar bisa meraih jabatan
pasya di Baghdad, menggantikan Kadar bin Katsif al-Mayl yang
sudah uzur.
251
keturunan Rasulallah Saw., ia akan membawa berkah, karomah,
dan rahmat bagi alam semesta.”
Abdul Jalil yang tekun mendengarkan segala bualan itu terkejut
demi mendengar nama Lahi azh-Zhulmah disebut-sebut sebagai
keturunan Rasulallah Saw.. Lebih terkejut lagi ketika Abu Syarr
azh-Zhulmi menyebutnya sebagai calon pasya di Baghdad.
Padahal, berdasarkan keterangan dari Ahmad at-Tawallud,
manusia bernama Lahi azh-Zhulmah adalah pedagang budak yang
licik, jahat, keji, dan nista perbuatannya.
252
Jika di antara hamba-hamba sahaya itu ada yang berwajah cantik
maka Lahi azh-Zhulmah akan menikmati mereka sepuas-puasnya
dulu. Jika ada yang hamil maka mereka akan dikirim ke
penampungan khusus hingga melahirkan. Kemudian perempuan-
perempuan itu langsung dijual sebagai budak belian. Sementara
bayi mereka akan diasuh dan dididik sebagai calon pedagang
budak.
256
bidikan panahnya, akhirnya hanya bisa menggeleng-gelengkan
kepala sambil memuji kebesaran Allah.
Wujud sempurna manusia yang menjadi rahasia Ilahi itu terdiri atas
tiga bagian utama, yakni al-basyar, an-nafs, dan ar-ruh. Al-basyar
adalah wujud manusia yang terdiri atas gumpalan daging. Allah
mencipta al-basyar dari tanah lempung kering (shalshalin/adamah)
yang adonannya “diolah dengan kedua Tangan-Nya” (QS al-Hijr:
28; QS Shad: 75). Al-basyar sendiri mengacu pada makna: “diolah
oleh-Nya dengan kelembutan” (al-mubasyarah). Al-basyar yang
terbentuk dari bahan tanah (ath-thin) inilah yang oleh iblis dianggap
lebih rendah derajatnya daripada dirinya yang terbentuk dari bahan
api (QS Shad: 76). Iblis tidak mengetahui rahasia di balik
keberadaan al-basyar sebagai ciptaan baru yang diberi-Nya
anugerah kemuliaan sebagai khalifah Allah.
259
Dengan memahami keberadaan mausia sebagai kesatuan entitas,
Abdul Jalil menarik kesimpulan bahwa Abu Syarr azh-Zhulmi
adalah manusia yang sudah kalah dalam pertarungan internal. Abu
Syarr azh-Zhulmi sudah jauh terseret ke gugusan terendah dari
dunia materi. Dia adalah citra dari manusia yang hidup di bawah
kendali naluriah al-basyar dan an-nafs. Dan citra burung nazar
pada Abu Syarr azh-Zhulmi yang sempat ditangkap pandangan
mata batin Abdul Jalil adalah citra an-nafs al-hayawaniyyah yang
bersimaharajalela menguasai dirinya. Dan lantaran pemahaman
baru inilah ia dapat memahami penjelasan Ahmad at-Tawallud
yang menunjuk Abu Syarr azh-Zhulmi sebagai orang yang hatinya
tertutupi oleh rain. Tindakan apa pun yang diusahakan oleh orang-
orang yang tertutupi tabir rain hanya akan mendatangkan tabir bagi
hatinya (QS al-Muthaffifin: 14).
262
Selama melampaui pintu gerbang pelepasan keakuan pribadi,
seseorang harus sabar. Karena, di situ dia akan mengalami
keadaan di mana dia harus menerima pilihan-pilihan dan kehendak
yang sering kali bertentangan dengan pilihan dan kehendaknya
sendiri. Sering dia harus menerima suatu pilihan yang tidak
disukainya. Namun, dia harus tetap sabar. Dalam menerima
pilihan-Nya dan kehendak-Nya, seorang salik yang berjuang
melepaskan keakuan pribadi tidak boleh mengeluh. Karena,
mengeluh adalah ungkapan rasa tidak sabar.
Yang dimaksud setia adalah keteguhan sikap di dalam melintasi
gerbang keakuan pribadi menuju ke terminal akhir, yakni Yang
Wujud. Berbagai hambatan dan rintangan yang menghalangi
perjalanan menuju-Nya tidak boleh disimpangkan ke arah selain
Dia. Kesetiaan kepada jalan yang ditempuh akan membawa ke
arah pintu gerbang kepasrahan, yakni gerbang paling ujung di
dalam perjuangan menuju Dia.
263
mengirimkan tabib sekaligus penghibur untuk mengobati
kepedihan jiwanya.
266
Ishthilam
“Tapi, tidak ada yang sempurna di dunia ini,” kata Qalby Ishthifa
menarik napas berat. “Istri yang kunilai setia, sabar, patuh, dan
pandai melayani suami itu ternyata berkhianat. Diam-diam, ketika
aku tidak di rumah, ia menjalin hubungan dengan penjual susu
keliling. Meski tidak terbukti melakukan perbuatan zina, dia
mengaku bahwa hatinya tertarik kepada penjual susu itu.”
269
“Derita yang kualami belumlah usai. Abdullah Waqi’a, anak
sulungku, minggat dari rumah karena malu diolok-olok temannya
sebagai anak penjual susu. Abdullah Khathir, adiknya, juga
mengikuti jejak kakaknya. Alasannya, ia juga malu diolok-olok
temannya. Tidak cukup dengan kepergian dua anak laki-lakiku,
anakku perempuan, Ummu Safah, sakit dan meninggal dunia.”
“Tuan,” kata Abdul Jalil, “jika Tuan tidak cinta, kenapa Tuan sangat
peduli kepada istri Tuan? Jika Tuan tidak cinta, biar saja dia
melakukan perbuatan durhaka. Peduli apa dengan orang yang
tidak Tuan cintai. Justru dengan amarah Tuan itu sebenarnya
terbukti sudah bahwa Tuan sangat mencintai istri Tuan. Tuan akan
menderita selamanya jika mengingkari kenyataan itu.”
272
negeri Ikhtiyar yang merupakan bagian dari kerajaan Iradah yang
dipimpin oleh Maharaja Malik al-Mulki.
“Sebagai seorang raja bawahan,” ungkap Qalby Mushthalam al-
Bala’, “aku sangat patuh dan setia kepada Sang Maharaja. Aku
patuhi berbagai peraturan yang ditetapkan-Nya. Sedikit pun aku
tidak berani melanggar ketentuan-ketentuan yang telah digariskan-
Nya. Aku sadar bahwa Sang Maharaja mengetahui segala sesuatu
yang kuperbuat.”
273
menyantuni orang-orang miskin, dan melakukan amal ibadah
terpuji yang lain.”
“Kelalaian yang kulakukan itu baru kusadari ketika badai derita dan
kepedihan meluluhlantakkan hatiku. Kadar, putera tunggal yang
kucintai, jatuh dari kuda ketika kuajak berburu kijang di padang ad-
Dunya. Setelah mengalami demam semalaman, tiba-tiba dia tidak
sadarkan diri. Tak pernah kubayangkan putera kesayanganku
begitu cepat dipanggil kembali ke haribaan-Nya.”
275
Seperti pertemuan dengan orang-orang sebelumnya, Abdul Jalil
pun menyapa dengan salam dan kemudian menanyakan asal dan
tujuannya. Sa’ad bin Abu Qabdh at-Talbis dengan jujur
menuturkan bahwa dia telah melintasi padang kehidupan ganas
dalam upaya memburu kemegahan dan kelezatan duniawi.
Kekayaan, pangkat, derajat, dan kemuliaan duniawi telah
diperolehnya sebagai kemestian dari usahanya yang diraih dengan
susah payah itu. Dia telah memperoleh segala apa yang diinginkan
dan diimpikannya.
“Saya tidak mengerti, kenapa segala sesuatu yang saya miliki dan
saya cintai harus terempas dari genggaman saya. Padahal, saya
rajin beribadah. Shalat selalu tepat waktu. Puasa Senin dan Kamis
saya jalankan sepanjang waktu. Shalatul Lail juga tidak pernah
terluang. Shalat Dhuha apalagi. Saya juga sudah cukup banyak
menyumbang pembangunan masjid, menyantuni yatim dan piatu,
menafkahi janda-janda tua dan orang-orang terlantar. Infak dan
sadaqah yang saya lakukan sudah berlebih. Apalagi yang kurang?
Kenapa Allah masih merampas milik saya yang saya cintai?”
277
Mendengar keluh kesah Sa’ad bin Abu Qabdh at-Talbis, tiba-tiba
saja Abdul Jalil merasakan pancaran nur lawami’ dan pemahaman
fawa’id meledak di relung-relung kesadarannya. Bagaikan
didorong oleh kekuatan gaib, ia menanggapi keluhan Sa’ad bin
Abu Qabdh at-Talbis. “Jika Tuan beranggapan bahwa Allah tidak
adil dan sewenang-wenang karena telah merampas milik yang
dicintai hamba-Nya yang patuh menjalankan perintah-Nya maka
Tuan telah salah memandang Dia. Sebab, dengan ungkapan Tuan
tentang kepatuhan menjalankan perintah-Nya maka Tuan
sebenarnya telah berpamrih. Artinya, Tuan menjalankan perintah-
Nya tidak semata-mata karena Dia. Tuan menjalankan perintah-
Nya jelas untuk kepentingan Tuan sendiri. Tuan berharap dengan
patuh pada perintah-Nya maka Tuan akan bisa kekal dan abadi
mengangkangi semua milik Tuan di dunia ini. Adakah sesuatu di
dunia ini yang kekal dan abadi?”
279
Aku adalah “Dia” yang terbatas yang mengejawantah dalam
makna tersembunyi Ruh al-Haqq. Engkau adalah Dia Yang Tak
Terbatas, Zat Yang Meliputi, Yang Maha Melihat, Mahakuasa,
Yang Tersembunyi pada batin segala yang lahiriah. Engkau
Mahasuci dari segala sesuatu. Karena itu, jika aku
pengejawantahan Ruh al-Haqq, mengarahkan kiblat hanya kepada
Engkau, pasrah di haribaan-Mu, mengikuti jalan-Mu, dan
terbimbing kembali kepada-Mu, maka terlepaslah segala sesuatu
selain Engkau dari lingkaran keakuanku.
Ketika Dia Yang Tak Terbatas berkehendak menarik “Dia” yang
terbatas yang mengejawantah dalam makna tersembunyi Ruh al-
Haqq, yang terpenjara oleh tubuh duniawi, keakuan, maka
disucikanlah Benteng persemayaman Ruh al-Haqq dari segala
terali penjara keakuan duniawiah. Dan jika saat yang dikehendaki-
Nya telah tiba, sesuai kehendak-Nya, maka luluh lantaklah penjara
keakuan duniawi oleh serbuan api bala’ yang tercurah dari langit
dan memancar dari dasar bumi. Benteng hari persemayaman Ruh
al-Haqq hancur, remuk redam menjadi reruntuhan dan puing-puing
yang disebut Qalb al-Mushthalam, “hati yang hancur.”
Abdul Jalil, anak Adam yang sejak lahir ke dunia fana telah ditimpa
api bala’ dari segala penjuru kehidupan, ternyata Benteng hatinya
belum tersucikan sama sekali dari terali-terali penjara keakuan
duniawi. Di dalam relung-relung Benteng hatinya masih
terpampang citra indah bidadari dan hantu hitam yang
menyelubungi kesucian Ruh al-Haqq. Itu sebabnya, bola-bola api
dari langit jiwanya bagai malapetaka Sodom dan Gomorah
280
tercurah ke Benteng hatinya, meluluhlantakkan segala sesuatu
yang bukan Dia yang bersarang di dalamnya.
Ia yang selalu tangguh dan ulet dalam menangkis serbuan api bala’
dari atas langit dan dasar bumi jiwanya. Ia yang melepas segala
miliknya, prajurit-prajurit, benteng-benteng, puri-puri, gudang
makanan, gudang perbendaharaan, mahkota, perisai, baju zirah,
busur, anak panah, pedang, tombak, dan bahkan sepatu miliknya
demi keselamatan jiwanya, ternyata harus tersungkur tanpa daya
ketika menghadapi serbuan akhir. Ia rupanya terpojok. Ia sudah
kehilangan segala sesuatu yang berharga yang dapat digunakan
untuk mempertahankan dirinya. Dan selembar jubah sutra
bersulam keindahan bidadari dan bunga-bunga, yang dikenakan
sebagai pakaian kebesaran terakhirnya yang berharga, ternyata
harus direnggut dan dicampakkan ke dalam kobaran api bala’ yang
tak kenal ampun.
281
Tetesan air mata yang membasahi dukacita Nafsa, ungkap Ahmad
at-Tawallud, adalah rentangan panjang kehidupan yang
membukan kesadarannya tentang makna bala’ dan Qalb al-
Mushthalam. Nafsa menyadari bahwa setiap tetesan air mata yang
tertumpah adalah air bening yang menyucikan jiwanya. Dia sadar
bahwa segala derita yang menimpanya adalah makna termulia dari
kecintaan-Nya terhadap dirinya. Itu sebabnya, dia tidak pernah
mau menukar kepedihan jiwanya dengan keriangan dan gelak
tawa duniawi.
“Nafsa ingin tetap menjadi hamba-Nya yang menderita,” kata
Ahmad at-Tawallud. “Karena, di dalam derita itu dia senantiasa
mengingat-Nya. Dia tahu di antara tetesan air matanya itulah
keagungan, kemuliaan, dan cinta kasih-Nya merambat dan
merayapi getar-getar jiwanya. Di dalam hati yang remuk, dia
menangkap pengejawantahan (tajalliyat) Ilahi.”
282
Namun, Nafsa tetaplah Nafsa, bidadari berhati lembut yang sejak
kecil hidup dalam kemanjaan dan sukacita. Tubuhnya yang lemah
gemulai laksana merpati itu tidak mampu menahan derita panjang
yang direguk dan dicecapnya sebagai madu dan susu kehidupan.
Tak sampai empat tahun dia menjadi istri Hajibur Rahman at-
Takalluf, tubuhnya telah kurus laksana burung merana di
sangkarnya. Kehausan telah mencekik lehernya, meski di luar
sangkar terdapat kolam berair jernih. Kelaparan telah menerkam
perutnya, meski biji jelai terhampar di hadapannya.
283
Ia tercenung sebisu patung batu. Seperti berada di alam mimpi.
Namun, sejenak kemudian ia bagai tersadar oleh hamparan
kenyataan yang menunjukkan bahwa dirinya sekarang ini bagaikan
raja tanpa mahkota, tanpa kekuasaan, tanpa istana, tanpa tahta,
tanpa rakyat, bahkan tanpa pakaian kebesaran. Abdul Jalil
menyadari betapa satu-satunya jubah kebesaran terindah yang
dikenakannya telah terbakar habis tak bersisa. Citra indah sulaman
bidadari dan bunga-bunga itu telah sirna. Harapan dan angan-
angannya tentang jubah indah itu telah pupus. Merana. Dan tebing
keteguhan hatinya pun runtuh bersama butir-butir air bening yang
bergulir dari kelopak matanya, membasahi pipinya.
Ketika malam dibungkus selimut hitam, saat orang-orang
meringkuk kedinginan dalam tidur lelap, Abdul Jalil duduk di teras
Masjid al-Ishthilam sambil membatin, “Kehilangan adalah
kepedihan. Berbahagialah engkau, o musafir papa, yang tak
memiliki apa-apa. Sebab, engkau yang tidak memiliki apa-apa
maka tidak akan pernah kehilangan apa-apa.”
284
Ketika ia sedang terbang bebas dengan burung khayalnya, tiba-
tiba muncul seseorang yang kemudian dikenalnya bernama Ali
Anshar at-Tabrizi, musafir asal negeri Persia. Sebagai sesama
perantau, dalam tempo singkat mereka terlihat akrab; berkisah
tentang asal usul, perjalanan hidup, pandangan-pandangan
keagamaan, prinsip-prinsip tauhid, bahkan konsep-konsep dan
amaliah perjuangan (jihad) menuju Sang Sumber Sejati.
285
Ali Anshar menuturkan kisah percintaannya dengan Kamilah,
tetangga sebelah rumahnya yang telah dikenalnya sejak masa
kanak-kanak. Berbeda dengan keluarga Kamilah yang kaya dan
terhormat, keluarga Ali Anshar hidup dalam keterbatasan meski
darah yang mengalir di tubuh keluarganya adalah darah Alawiyyin
keturunan Rasulallah Saw. “Keluarga kami adalah pendukung
setia keluarga Safawy yang sedang berjuang menegakkan
kekuasaan ahlul bait. Itu sebabnya, keluarga kami selalu dalam
buruan dan penindasan penguasa yang zalim. Namun, kami
bertahan terhadap semua tekanan yang diarahkan kepada kami,”
katanya dengan mata berapi-api.
Sebagai pendukung setia keluarga Safawy ternyata membawa
akibat pedih baginya. Keluarga Kamilah yang sangat membenci
perjuangan kaum Safawy tegas-tegas melarang Ali Anshar
berhubungan dengan puteri mereka. Mereka tidak ingin
tersangkut-paut dengan gerakan pemberontak. “Aku memprotes
keputusan itu. Aku katakan kepada ayahanda Kamilah bahwa
persoalan cinta tidak ada kaitan dengan perjuangan kaum Safawy.
Namun, mereka malah mengusirku. Dan puncaknya, ketika
keluarga itu dengan paksa menikahkan Kamilah dengan seorang
petugas penarik pajak yang licik dan kejam,” ujar Ali Anshar
menarik napas dalam-dalam.
286
didapat Kamilah dari suaminya, melainkan silih berganti
perempuan cantik dibawa ke rumah dan diperkenalkan sebagai
istri-istri baru. Namun, ternyata para perempuan itu tidak
melahirkan anak seorang pun bagi suami Kamilah.
Keakraban Abdul Jalil dan Ali Anshar semakin erat. Hal itu terjadi
bukan saja karena Ali Anshar memiliki pengetahuan yang luas
tentang berbagai hal, melainkan yang tak kalah penting adalah
karena sahabatnya, Ahmad at-Tawallud sedang pergi berlayar ke
berbagai negeri mengurus perniagaannya. Abdul Jalil ditinggalkan
sendirian di rumahnya yang megah di Baghdad. Ia hanya ditemani
beberapa pelayan. Kesendirian di tengah semarak kota Baghdad
itulah yang mendekatkan hubungan mereka.
289
Sebagai orang muda yang telah menyaksikan sekaligus
mengalami sendiri berbagai sisi kehidupan yang penuh pahit dan
getir, Abdul Jalil dengan apa adanya menceritakan perjalanannya
dari awal hingga terdampar di Baghdad. Tanpa kecurigaan ia
menuturkan bahwa kepergiannya hingga ke negeri dongeng itu
adalah bagian dari pencariannya terhadap al-Khaliq. Itu sebabnya,
ia sangat tidak tertarik dengan hal-hal yang berhubungan dengan
kehidupan duniawi. “Telah jelas bagiku bahwa segala sesuatu
yang berhubungan dengan selain Dia akan berakhir dengan
kekecewaan dan penderitaan.
“Tuan masih muda dan memiliki kecerdasan luar biasa,” Ali Anshar
memuji. “Tuan ibarat buah masak sebelum waktunya. Namun,
Tuan harus selalu ingat bahwa nenek moyang kita Muhammad
Saw. adalah pejuang kemanusiaan yang agung yang rela
berkorban apa saja demi tugas sucinya. Berbelas tahun beliau
menyepi sendiri di gua Hira untuk mencari Kebenaran Sejati.
Setelah beliau menemukan Kebenaran Sejati, terutama dalam
peristiwa agung isra’ wa mi’raj, di mana beliau telah berhadapan
langsung dengan Allah, ternyata tidak membuat beliau terputus
dengan kehidupan duniawi. Beliau tidak menjadi pertapa yang
290
mengasingkan diri. Beliau justru kembali ke kehidupan dunia
dengan mengemban tugas suci dari-Nya; berjuang menegakkan
kebenaran agama-Nya, memimpin umat ke jalan-Nya, menjadi
teladan umat manusia, menjadi kepala keluarga, dan bahkan
menjadi panglima tinggi perang bagi umatnya.”
292
Merasa diabaikan, Abdul Jalil justru mendekat dan ikut berjongkok
di depannya sambil mengulurkan tangan. Laki-laki tua itu masih
dalam sikap acuh tak acuh mengulurkan tangan menyalami sambil
menggumam, “Tidak hinakah seorang keturunan Rasulallah Saw
menyalami fakir papa ini?”
293
“Saya akan berusaha istiqamah dan memohon kepada-Nya agar
hati saya senantiasa dikosongkan dari sesuatu selain Dia,” kata
Abdul Jalil takzim.
“Ketahuilah bahwa hubungan anak dan ayah, anak dan ibu, suami
dan istri, serta laki-laki dan perempuan sesungguhnya adalah
294
hubungan yang bersifat duniawi. Ingatlah, ketika Adam a.s.
diciptakan di Jannah Darussalam tidak dibutuhkan ibu dan bapak.
Ingat pula ketika Adam a.s. membelah diri saat kemunculan Hawa.
Proses itu terjadi bukan di dunia. Karena itu, kebapakan Adam a.s.
dan keibuan Hawa saat melahirkan putera-putera terjadinya di
bumi. Dan jika engkau naik ke langit maka engkau akan mendapati
bahwa di sana tidak ada perbedaan laki-laki dan perempuan, anak
dan ayah, anak dan ibu, suami dan istri. Semua adalah universal;
bulan, bintang, bumi, matahari, bintang, planet, malaikat.”
295
“Karena itu, hatimu harus hancur dari segala hal duniawi jika
engkau menghendaki keakraban dengan-Nya,” kata ‘Ainul
Barazikh, yang tiba-tiba saja berdiri kemudian membalikkan badan.
296
Baitul Haram
297
di dalam ibadah yang membawa abid memalingkan kiblat dari
Ma’bud.
Menjelang musim haji, Abdul Jalil yang sudah menyiapkan
kebersihan jiwanya untuk memasuki maqam ruhaniyyah,
berangkat ke tanah suci dengan melewati samudera. Hasrat dan
keinginan hatinya untuk melakukan ziarah ke makam para
leluhurnya, yakni Imam Husein di Karbala, Imam Ali di Najaf, Imam
Ja’far Shadiq, Imam Muhammad al-Baqir, Imam Ali Zainal Abidin
di Baqi’, dan terutama makam Rasulullah Saw. di samping Masjid
Nabawi, diurungkannya. Uraian Ainul Barazikh tentang hakikat
Tauhid telah meruntuhkan semua dorongan hatinya untuk
menapaki kemuliaan dan keluhuran para leluhurnya dengan tujuan
mengangkat keberadaan dirinya. Soal ibadah, menurut hematnya,
adalah soal pengkiblatan antara abid dengan Ma’bud. Karena itu,
tidak sekali-kali abid diperbolehkan menggunakan atribut-atribut di
dalam mengarahkan kiblatnya kepada Ma’bud.
298
sebuah kemestian ibadah yang sangat didambakan. Karena
jiwanya yang sudah menapaki maqam ruhaniyyah itu ibarat
hamparan samudera yang bersih dari hiruk pikuk duniawi.
Sekalipun ia sudah dinyalakan api tekad untuk tidak menghiraukan
segala sesuatu selain Dia, pada kenyataannya ia tidak mempu
menghindar dari kehidupan duniawi sehari-hari. Selama di atas
kapal, misalnya, meski sudah diusahakan untuk lebih banyak
melakukan amaliah ibadah, tak urung ia sempat pula mengenal
beberapa penumpang dan awak kapal. Salah seorang penumpang
yang dikenalnya saat kapal akan berangkat di pelabuhan Basrah,
yang kemudian menjadi kawan berbicara selama di perjalanan,
adalah laki-laki peranakan Arab-Persia bernama Husein bin Amir
Muhammad bin Abdul Qadir al-Abbasi. Pemuda tiga puluh tahunan
asal Pasai.
299
tempuh sangat berlainan, meski arahnya sama, yakni menuju ke
Pelabuhan Sejati,” bisiknya perlahan ke dekat telinga Abdul Jalil.
300
Berdasar uraian Husein itulah Abdul Jalil mengetahui bahwa
pengaruh Alawiyyin khususnya yang berasal dari Persia sangat
kuat. Di Pasai menurut Husein, paham yang kuat dianut
masyarakat adalah Syiah. Bahkan ibundanya adalah wanita
peranakan Persia, puteri Hujjatul Islam Hasan Khair bin al-Amir Ali
Astrabadi. “Jadi, kakek saya dari pihak ibu adalah ulama besar asal
Persia.”
301
mengorbankan masyarakat untuk kepentingan pribadi mereka.
“Hanya aroma keharuman Islam sebagai rahmatan lil alamin
sajalah yang bisa membebaskan orang-orang dari penindasan
atas sesamanya. Karena, di dalam Islam tidak dikenal golongan-
golongan manusia berdasar nasab. Tidak ada sudra tidak ada
paria. Semua sama di hadapan Allah, yang membedakan hanyalah
ketakwaan.” Ujar Abdul Jalil.
304
“Bahkan salah seorang tetangga aku di Malaka, Maulana Ishak,
tiada lain adalah putera Syaikh Ibrahim al-Ghozi as-Samarkandy.
Padahal, Syaikh Ibrahim adalah putera Syaikh Jamaluddin Husein,
saudara tua Syaikh Datuk Isa, kakek kita. Hal itu baru aku ketahui
ketika ia menunaikan ibadah haji beberapa tahun silam. Padahal,
selama ini aku hanya mengenalnya sebagai tetangga asal Pasai
yang pernah bermukim di Jawa. Ya, siapa yang mengira kehendak
Allah menentukan seperti itu. Kita tidak mengetahui sesuatu jika
tidak dikehendaki-Nya,” ujar Syaikh Bayanullah.
Selain menuturkan hal Maulana Ishak, Syaikh Bayanullah juga
menuturkan saudara lain ibu dari Maulana Ishak, yakni Ali Rahmat
dan Ali Murtadho. Kedua orang tersebut telah menjadi orang-orang
terkemuka di Jawa. Ali Rahmat menjadi guru agung di negeri
Ampel Denta. Ali Murtadho menjadi guru agung di negeri Tandhes
(Gresik). Putera Maulana Ishak yang bernama ‘Ainul Yaqin telah
menjadi penguasa di Giri. Bahkan ‘Ainul Yaqin bersama Mahdum
Ibrahim, putera Ali Rahmat, pernah tinggal di Malaka setahun. “Aku
kira, Maulana Ishak khawatir berdekatan dengan keluarga aku
yang diawasi penguasa terus-menerus sehingga ia juga tidak tahu
jika sebenarnya kami masih sesaudara.”
305
Silsilah Raden Ali Rahmatullah (susuhunan Ampel 1), sepupu
Abdul Jalil
306
buru-buru ia mengalihkan kilasan-kilasan pikirannya dengan
memperteguh keyakinan bahwa ia tidak boleh membanggakan
sesuatu bahkan berpikir sesuatu selain Allah. Itu sebabnya, ia lebih
banyak menjadi pendengar setia dari kisah-kisah kebesaran sanak
kerabat yang dikemukakan kakak sepupunya itu. Abdul Jalil
berteguh hati, bahwa di Haramain ini ia adalah ‘abid yang sedang
menjalankan amaliah ‘ibadah untuk mengarahkan kiblat kepada
Ma’bud.
308
dengan rasa takjub tak terhingga, ia rasakan tubuhnya terdorong
dan terhimpit ke satu arah, yakni ke sudut Hajar Aswad. Kemudian
, bagaikan bermimpi tiba-tiba di hadapannya sudah terpampang
batu hitam yang dijadikan rebutan bagi mereka yang ingin
menciumnya. Abdul Jalil tercenung takjub. Sesaat kemudian, ia
merasakan bagian belakang kepalanya disentuh oleh tangan yang
mendorongnya ke arah depan sehingga wajahnya mencium Hajar
Aswad.
309
Usai shalat sunnah, ia melakukan sa’i. Bagai setetes air, ia
mengikuti arus jama’ah laksana aliran sungai. Ia biarkan
keakuannya terseret arus keakuan jama’ah. Ketika sedang
tenggelam di dalam pusaran arus jama’ah sa’i yang hingar-bingar,
tiba-tiba pandangan matanya tertumbuk ke arah salah seorang
jama’ah yang sedang melakukan doa di atas bukit Marwa. Karena
hitungan sa’inya sudah selesai dan berjarak hanya beberapa
langkah maka ia dapat mengamati orang itu dengan lebih cermat.
310
lelaki dewasa. Dia memancarkan kemuliaan, namun juga
mengisap kemuliaan. Dia dinaungi, namun juga menaungi.
Keagungan berada di dalam dan di luar dirinya. Pemuda itu benar-
benar rumit, tetapi sederhana.
311
Pemuda aneh itu tidak berkata sesuatu. Sebaliknya, dengan
isyarat (berbicara melalui bahasa perlambang) dan al-ima’
(berbicara tanpa bahasa lisan dan tanpa bahasa perlambang) dia
mengungkapkan bahwa jalan pengetahuan menuju-Nya tidak
dapat diungkapkan melalui bahasa manusia yang paling fasih
sekalipun. Itu sebabnya, ada “jalan” (sabil) dan “cara” (thariq) yang
bisa membawa kepada-Nya.
312
Kemudian dia mengungkapkan tentang keberadaan Ka’bah di
Makah dalam kaitannya dengan keberadaan Ka’bah di dalam diri
manusia. Hati (qalb) manusia adalah Baitullah atau Ka’bah. Hati
manusia bisa memuat Allah jika disiapkan untuk menyambut
kedatangan-Nya, dengan cara dibersihkan dan disucikan dari
sesuatu selain Dia. Karena, di dalam hati manusia terdapat citra
samawi Ka’bah. Citra samawi Ka’bah di dalam hati manusia penuh
dengan sifat-sifat Ilahi. Berbagai hakikat ruhaniah manusia
mengelilingi hati tersebut, bagaikan orang-orang beriman
mengelilingi Ka’bah.
313
Di dalam diri manusia itulah, tersembunyi Ruh al-Haqq (ruh-Nya
yang ditiupkan saat penciptaan manusia). Ruh al-Haqq itu
bersemayam di dalam Baitul Haram yang memuat hakikat tahta
‘arsy di dalam hati manusia. Ketersembunyian Ruh al-Haqq ditabiri
oleh ghain yang menghijab kesadaran manusia. Setiap manusia,
termasuk nabi dan rasul, hatinya tertabiri oleh ghain. Sedang
orang-orang kafir, hatinya ditabiri ghain dan rain.
315
“Jika engkau menjalankan “jalan” dan “cara” yang telah kujelaskan
tadi maka engkau telah mengenal sahabat terkasih Muhammad
Saw. karena, apa yang telah kujelaskan dengan isyarat dan al-ima’
itu adalah apa yang telah diperoleh Abu Bakar ash-Shiddiq dari
Rasulallah Saw.,” ujarnya sambil berlalu, menghilang di antara
pusaran jama’ah tawaf.
316
SULUK ABDUL JALIL
BUKU 2
AGUS SUNYOTO
Pengantar Redaksi
Oleh karena itu, wajar bila sering kali terjadi sebuah pemikiran
pada satu zaman masyhur, namun pada zaman yang berbeda
mengalami keredupan, atau sebaliknya. Pada periode tertentu
dikutuk, pada saat yang lain dipuja habis-habisan. Dalam situasi
seperti ini kaum elit (masyarakat agamawan-penguasa-intelektual)
memegang peran yang sangat menentukan.
317
Salah satu contoh peran signifikan kaum elit ini dapat disimak
dalam kasus yang menimpa Syaikh Siti Jenar. Dalam cerita-cerita
babad, ajaran-ajaran Syaikh Siti Jenar dianggap sebagai bid’ah,
menyimpang dari ajaran Islam. Oleh karena itu, melalui sidang
dewan Wali, Syaikh Siti Jenar dihukum mati. Polemik terjadi tatkala
kitab rujukan yang berbeda kita jajarkan. Katakanlah novel yang
ada di tangan pembaca ini kita jadikan rujukan.
318
dikembangkan secara masif oleh Syaikh Siti Jenar ini
mendapatkan perlawanan dari penguasa absolut, monarki, raja.
Karena dengan musyarakah, hak-hak prerogatif (mutlak) raja
mendapatkan kendali. Konsep kawula yang secara kebahasaan
(apalagi secara istilahi) berkonotasi ketakberdayaan manusia satu
atas manusia yang lain, semakin redup
319
Nafs al Haqq
320
Sosok itu sangat nyata dalam pandangan mata batinnya (ain al-
bashirah).
322
kaum fakir yang tetap berjuang di jalan Allah (QS al-Baqarah: 273),
yakni kaum yang lambungnya jauh dari tempat tidur, sedangkan
mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan penuh
harap (QS as-Sajdah: 16). Apakah ketundukanmu kepada-Nya
karena mengikuti (taqlid) seseorang atau mengikuti akalmu (dalil)
sendiri?”
323
“Pahamilah tanda-tanda-Nya di dalam dirimu. Sesungguhnya, Dia
Maha Meliputi segala sesuatu (QS Fushshilat: 54). Dia bersamamu
di mana pun engkau berada dan Dia Maha Melihat apa yang
engkau kerjakan (QS al-Hadid: 4). Dia lebih dekat daripada urat
lehermu (QS Qaf: 16). Sesungguhnya, Allah bersama kita (QS at-
Taubah: 40).”
Pada tahap fana’ ini tidak ada lagi pihak yang menyaksikan dan
Pihak Yang Disaksikan. Kemenduaan, kegandaan, dan kejamakan
telah lebur. Pada tahap ini, al-Haqq yang tersembunyi secara
rahasia di dalam Ruh al-Haqq telah manunggal dengan Huwa (Dia
Yang Mahamutlak), sebagaimana kemanunggalan butiran garam
dengan air laut. Inilah tahap wahdah al-wujud (kesatuan Wujud),
yakni bersatunya al-Haqq dengan Huwa.
Keempat tahap itu adalah satu kesatuan dari Asma’, Af’al, Shifat,
dan Dzat yang tidak bisa dipisah-pisahkan satu dengan yang lain-
326
Nya. Itu berarti, mengenal Dia harus melalui empat tahap
pengenalan. Pertama, mengenal Asma’ (Nama). Kedua, mengenal
Af’al. Ketiga, mengenal Shifat. Keempat, mengenal Dzat. Dan
pengenalan ini tidak bisa dituturkan dengan bahasa manusia,
tetapi harus dialami sendiri sebagai sebuah pengalaman yang
sangat pribadi. Bisakah seseorang merasakan manisnya buah
anggur dengan hanya mendengarkan cerita dan gambaran
tentangnya? Bisakah seekor anai-anai dikatakan telah mengenal
nyala api jika tubuhnya belum terbakar?
329
Ia merasa qalbu-nya tiba-tiba menyatu dengan Nur yang
menyilaukan itu. Ia merasa Nur itu adalah Nur Muhammad.
330
Ketika matahari memancarkan panas api ke permukaan bumi
hingga hamparan pasir dan bebatuan memuai, di tengah hingar-
bingar suara ribuan jama’ah melakukan wukuf, mengagungkan
dan memuliakan Ilahi pada Yaum al-Arafah (Hari Arafah), Abdul
Jalil duduk tegar di bawah bayangan tiang batu yang tegak
menjulang di puncak Jabal Rahmah. Tanpa mempedulikan
sengatan matahari, ia menghadapkan kiblat hati dan pikirannya
hanya kepada Allah.
331
Ia merasakan ada keanehan dengan keberadaan laki-laki tua yang
terhuyung-huyung hampir tumbang itu. Sebab, sedikitpun ia tidak
merasakan kilasan nur lawami’ dan pemahaman fawa’id muncul
dari kedalaman jiwanya. Lantaran itu, ia hanya menduga-duga dan
mengira bahwa laki-laki tua itu tentu memiliki anggapan bahwa
tawaf selain dilakukan di Ka’bah juga dilakukan di Jabal Rahmah.
Setelah itu, Abdul Jalil menjelaskan kepada lelaki tua yang ternyata
bernama Rsi Punarjanma bahwa bukit yang dikira gunung Kailasa
itu adalah Jabal Rahmah, gunung kasih sayang, tempat leluhur
pertama manusia, Nabi Adam dan Ibu Hawa dipertemukan oleh
yang Mahatunggal. Sedang hamparan di sekitar Jabal Rahma itu
disebut Arafah, tempat umat Islam menunaikan ibadah haji. Jadi,
tiang batu di atas bukit itu bukan Syiwalingga.
333
“Bapa Rsi kemari hanya karena mimpi?” seru Abdul Jalil heran.
Berangkat dari mimpi sama yang berulang tiga kali itulah dia
kemudian mencari tahu dimana lingga agung dan mulia itu berada.
Meski dari kawan-kawannya tak diperoleh penjelasan tentang
adanya sthana Syiwa seperti terlikis di dalam mimpinya, berkat
kegigihannya akhirnya dia beroleh penjelasan dari seorang muni
yang pernah berziarah ke Kailasa. Menurut muni itu, bukit tempat
334
sthana Syiwa berada adalah di Kailasa. Beberapa orang kawannya
malah memberi tahu bahwa beberapa Rsi dari Jawadwipa setiap
tahun sekali berziarah ke sana untuk melakukan pradaksina,
mengitari gunung yang garis kelilingnya empat puluh pal.
Ketika para pelaut Arab itu bertanya dengan bahasa Arab yang
sama sekali tiak dipahaminya maka terpaksa Rsi Punarjanma
menjelaskan dengan isyarat tangan bahwa dia bermaksud ke
gunung Kailasa untuk melakukan pradaksina dalam rangka
memuja lingga. Dia menjelaskan pula bahwa sesuai mimpinya dia
hanya berbekal selembar kain putih untuk menjemput
kematiannya.
“Saya percaya itu, Bapa,” kata Abdul Jalil dengan suara berbisik
ketika melihat Rsi Punarjanma makin melemah. “Namun, sekarang
Bapa Rsi harus menyatukan hati dan pikiran untuk menghadap Dia
Yang Tunggal, Sang Sumber Sejati, tempat seluruh ciptaan-Nya
kembali.”
337
“Nirartha,” ujar Rsi Punarjanma dengan suara tercekat di
tenggorokan.
339
Dengan rasa takjub dan heran ia menyaksikan betapa manusia
raksasa bercahaya terang dengan tiga barisan manusia pengiring
bergerak ke arahnya. Makin lama bayangan itu makin jelas;
seorang manusia setinggi enam puluh hasta dengan tubuh
dipenuhi bulu dan rambut terurai ke punggung. Wajahnya
bercahaya kilau-kemilau.
342
Pergulatan Ibrahim dalam peristiwa itu adalah pergulatan ruhaniah
manusia dalam mencapai hadirat-Nya sebagai manusia yang
menauhidkan Satu Ilah. Abdul Jalil seolah-olah bisa merasakan
bagaimana Ibrahim harus menolak konsep bapak-anak yang
menjadi konsep dasar aturan kebumian. Ibrahim juga harus
menolak konsep akal manusia di dalam melaksanakan keyakinan
imannya. Ibrahim juga harus menolak pamrih duniawi karena harus
kehilangan anak yang dijanjikan-Nya akan mengembangkan
keturunannya beriap-riap di muka bumi. Ibrahim harus menolak
segala sesuatu kecuali Dia. Ibrahim harus menegaskan yang
selain Dia, termasuk keberadaan anak gantungan harapannya.
Dan, akhirnya Ibrahim berhasil menegaskan segala sesuatu selain
Dia dari hati dan pikirannya.
344
“Aku tahu, o yang dikutuk, bahwa engkau adalah bagian dari Iblis,
sang bayangan maya, yang tidak wujud. Aku tahu, Iblis dan engkau
beserta balamu adalah khayyal (ilusi) ciptaan-Nya yang memancar
dari nama-Nya, al-Mudhill (Yang Maha Menyesatkan). Karena itu,
o setan, akan sia-sia saja aku melempar keberadaanmu karena
engkau bersembunyi di mahligai nafsuku,” kata Abdul Jalil tegas.
346
Abdul Jalil diam. Ia terus melangkah mendekati tiang batu. Tidak
dihiraukannya seruan-seruan setan yang mengharu biru di
belakangnya.
347
Asrar Muhammad
349
Meski belum pernah bertemu muka, Abdul Jalil melalui berbagai
hadits meyakini bahwa Muhammad al-Mushthafa Saw dalam
penampilan fisik akan melampaui pemuda asing dan aneh yang
ditemuinya di Ka’bah maupun hadhrat Abu Bakar ash Shiddiq.
Sebab, penampilan fisik pemuda asing yang aneh itu hanya dapat
dilihat oleh segelintir orang yang dianugerahi nur lawami’ dan
pemahaman fawaid. Sementara penampilan fisik Muhammad al-
Mushthafa Saw dapat disaksikan oleh semua orang yang hidup
sezaman, kecuali mereka yang jiwanya tertutup hijab rain
kekufuran.
351
Tidak dapat diingkari bahwa setelah perjumpaan menakjubkan
dengan hadhrat Abu Bakar ash-Shiddiq di ‘alam al-khayal,
kesadaran demi kesadaran baru yang tersingkap dari tirai-tirai
kemanusiaannya berlangsung begitu mencengangkan sekaligus
membingungkan. Namun, di antara kesadaran-kesadaran baru itu,
yang paling penting dan dinilai sangat revolusioner oleh Abdul Jalil
adalah terkuaknya rahasia keberadaan Muhammad al-Mushthafa
Saw. sebagai pengejawantahan paling sempurna dari Yang
Terpuji. Selama ini ia telah memahami pemetaan secara
konseptual dan pemahaman ruhani tentang keberadaan-Nya di
dalam Benteng Tak Tertembus, termasuk petunjuk tentang “jalan”
dan “cara” menuju Benteng-Nya. Namun, yang belum
ditemukannya justru keberadaan “pintu” (bab) dan “kunci” (miftah)
untuk masuk ke dalam Benteng-Nya. Selama ini ia hanya berputar-
putar dan berkeliling.
353
Sadarlah Abdul Jalil bahwa sabda Allah, “Kholaqtuka min nuri wa
kholaqtu khalqa min nurika” (hadits Qudsi) itu berkaitan langsung
dengan sabda Allah, “Sungguh telah datang seorang rasul dari
nafs-mu sendiri (QS At-Taubah: 128).”
357
“Maksud saya,” Abdul Jalil memburu, “apakah ayat demi ayat itu
turun dalam bentuk lembaran tertulis atau bagaimana?”
“Berarti Tuan yakin bahwa shalat yang tidak disertai salawat adalah
batal dan tidak sah?” tanya Abdul Jalil memancing.
“Ya, karena itu sudah aturan syari’at. Kita ikuti saja tanpa perlu
menakwilkan macam-macam,” sahut Abu Talbis az-Zur gerah.
“Ya.”
359
“Muhammad Rasul Allah.”
361
Abdul Jalil buru-buru melerai, apalagi saat itu ia melihat beberapa
orang pengikut Husein berlarian ke arah mereka. Ia berulang-ulang
memohon kepada Husein agar bersabar dalam menunaikan
perjalanan suci ke makam Muhammad Saw.. Sebaliknya, kepada
Abu Talbis az-Zur, ia juga memohon agar bersabar dalam
melanjutkan perjalanan kembali ke negerinya.
365
Dia selalu menyertai mereka yang sabar. Dan Dia adalah ash-
Shabir (Yang Sabar) itu sendiri.”
367
Jama’ah Karamah al-Auliya’
368
Quthb al-Aqthab disebut juga al-Ghauts. Artinya, orang yang
menolong dan melindungi dengan kasih sayang. Disebut al-Ghauts
karena dia bisa melimpahi orang dengan inayah, yaitu rahmat dan
kasih sayang Allah. Quthb al-Aqthab atau al-Ghauts hidup
sendirian pada zamannya (wahid az-zaman bi-‘ainihi). Jika
seorang Quthb al-Aqthab wafat maka dia akan diganti oleh Quthb
al-Aqthab lain.
369
Selama berjalan ke daerah Uhud yang terletak di utara Yatsrib,
Abdul Jalil diam-diam merasa aneh. Ia, misalnya, merasa betapa
langkah kakinya sangat ringan. Seolah-olah terbang di atas
permukaan tanah. Bahkan yang mengherankan, baru beberapa
puluh kali melangkahkan kaki, hamparan gunung batu Uhud telah
terpampang di hadapannya.
370
oleh-Nya untuk mengetahui kekasih-kekasih-Nya yang diselubungi
hijab-hijab tak tertembus dari pengetahuan manusia.
373
Abdul Jabbar Shahibul Hal at-Tirmidzi, asal Termez (Uzbekistan).
375
dengan susah payah mendaki lereng bukit Uhud langsung
disambut dengan penuh hormat oleh para kekasih-Nya. Abdus
Salam ath-Thayy menggelar surbannya sebagai alas duduk
Misykat al-Marhum. Dan bagaikan orang tua pikun, dia menurut
saja ketika dibimbing dan disuruh duduk di atas hamparan
tersebut.
Berbeda dengan para wali karomah lain, Abdul Jalil yang baru
malam itu ditabalkan sebagai anggota Jama’ah Karamah al-
Auliya’, merasa resah karena belum mengetahui apa yang harus
dilakukannya untuk menghadapi Dajjal beserta bala tentaranya.
Keresahan itu rupanya diketahui oleh Misykat al-Marhum yang
masih berbincang-bincang dengan Ahmad at-Tawallud. Hal itu
384
terlihat ketika dengan lambaian tongkatnya, dia menyuruh Abdul
Jalil mendekat dan duduk dihadapannya.
386
rendah, terbatas, dan terikat oleh dalil-dalil indriawi yang mengikat
(‘iql) kebebasanmu dalam menjalin hubungan dengan Dia.”
387
tenggelam di tengah kilasan-kilasan cahaya dalam keadaan antara
sadar dan tidak, antara hidup dan mati.
388
Meski dengan pandangan kabur, ia paksakan juga mengamati
hamparan hitam yang tergelar di hadapannya. Saat itulah, secara
samar-samar ia menyaksikan kilasan-kilasan pemandangan yang
menggetarkan. Di tengah hamparan itu, dari lubang yang hitam
pekat, muncullah bayangan seekor ular raksasa berkepala empat
sedang menggeliat dan mendesis-desis kelaparan. Dari keempat
mulutnya menghamburlah berbagai hewan: buaya, biawak, katak,
kalajengking, kelabang, cacing, dan makhluk menjijikkan lainnya.
Mereka menebar dan meriap-riap mengerumuni sang ular raksasa
berkepala empat.
390
Seiring dengan semakin sengitnya perkelahian terdengarlah
ringkik kuda dan jeritan gajah yang diikuti oleh gerakan
bergelombang para penunggangnya ke arah bukit harta dan
makanan. Roda kereta perang melaju ke arah bukit. Bahkan kereta
manjanik mulai menghamburkan batu sebesar kepala kerbau.
Hap!
399
Bulatan cahaya kuning terang yang memancar di atas hamparan
samudera kuning mendadak bergerak cepat ke arah Abdul Jalil.
Seiring dengannya, bergerak pula anjing raksasa dengan mulut
menganga. Abdul Jalil merasakan tubuhnya terisap oleh arus gaib
yang makin lama makin cepat. Dan ia pun tercekat ketika
mendapati dirinya masuk ke dalam mulut anjing raksasa, lalu terus
tembus ke bulatan cahaya kuning.
402
Anehnya, bagai antri menunggu giliran dijadikan mangsa, para
pemenang terus berbaris dan berdesak-desakan menuju ke arah
bulatan cahaya. Dan kera raksasa yang berada di depan cahaya
berwarna merah itu tinggal menerkam, membanting, dan
memasukkan tubuh mereka ke mulutnya.
Pada dimensi ini pun Abdul Jalil disadarkan melalui al-ima’ bahwa
apa yang disaksikannya itu bukanlah di luar dirinya, melainkan ada
di dalam diri sendiri. Karena itu, secara manusiawi ia pun memiliki
bakat untuk melakukan apa yang dilakukan oleh orang-orang yang
disaksikannya di dimensi ini, yakni orang-orang yang terpengaruh
an-nafs al-ammarrah dan bisikan jahat iblis.
405
Tiba-tiba sang raksasa memperdengarkan suara seperti orang
menguap. Dan sedetik sesudah itu dari mulutnya menghambur
berpuluh, beratus, bahkan beribu makhluk sekecil ibu jari kaki
berkulit hijau. Bagai rayap mengerumuni ratunya, demikianlah
makhluk-makhluk itu mengerumuni raksasa hijau yang masih
rukuk.
Sang raksasa acap kali terlihat bingung karena pada saat berbuka
puasa dan tidak rukuk ia mendapati dirinya terseret masuk ke
dimensi an-nafs al-ammarrah dan an-nafs al-musawwilah. Namun,
secepat itu pula ia segera sadar dan memaki-maki dirinya sendiri.
Sang raksasa tidak segan-segan mencela perbuatannya yang
tidak terpuji. Ia selalu menyesali kesalahannya. Namun, bagaikan
seorang pelupa, ia cenderung mengulang-ulang perbuatan serupa.
Dan bagai berputar-putar di labirin yang membingungkan, dia
terus-menerus terombang-ambing antara rasa sedih yang mengalir
dari penyesalan diri dan rasa gembira yang mengalir dari
406
kesadaran terhadap luasnya rahmat Allah, Sang Penguasa
samudera tobat.
407
Pada dimensi durrah al-khadhr yang serba hijau itu Abdul Jalil
disadarkan oleh al-ima’ bahwa ia pun sebagaimana manusia lain
memiliki bakat untuk menjadi raksasa hijau yang rindu dengan
kesempurnaan diri, namun selalu terperangkap ke dalam tindakan
tercela yang tak layak dilakukan manusia paripurna.
408
Beberapa jenak kemudia muncul raksasa berkulit biru terang dari
arah bulatan cahaya. Tak berbeda dengan raksasa berkulit hijau,
raksasa berkulit biru ini berwajah mirip dengan dirinya. Hanya saja,
taringnya tidak sebesar taring raksasa hijau.
411
dengan mata bersinar laksana bintang beterbangan dengan
sayap-sayap putih. Orang-orang berkulit putih itu bercengrama
dengan bidadari-bidadari di atas tilam sutera sambil menikmati
makanan dan minuman. Mereka tertawa riang mendengar alunan
musik surgawi yang mengiringi nyanyian bidadari-bidadari yang
melantunkan kasidah-kasidah yang syair-syairnya memuji
kebesaran Ilahi.
412
Bulatan cahaya putih terang yang menerangi hamparan luas tanpa
batas itu mendadak memancarkan cahaya yang berpendar-pendar
menyilaukan mata. Sedetik kemudian, bulatan cahaya itu melesat
dengan kecepatan luar biasa ke arahnya. Ia terkesima takjub ketika
menyaksikan hamparan luas di depannya terlipat dengan garis
cakrawala bergerak tak beraturan. Kilasan-kilasan gambar taman-
taman yang indah dengan seluruh penghuninya melenyap. Yang
tersisa dari bentuk-bentuk yang mewujud di hamparan luas itu
hanya sosok laki-laki berkulit putih dan perempuan cantik yang
berwajah mirip dirinya.
414
Peristiwa yang disaksikan Abdul Jalil, terutama tampilnya laki-laki
yang dipancari dua cahaya itu adalah manifestasi dari nur al-
baidha’ (cahaya putih) atau gambaran ruhaniah dari wujud niscaya
ana yang merupakan citra dari jiwa pertama Adam, yakni
pengejawantahan dari an-nafs al-wahidah (QS al-A’raf: 189),
sumber asal kejadian manusia. An-nafs al-wahidah ini dicipta
dengan “kedua belah tangan” Allah (QS Shad: 75), yaitu pancaran
hakiki al-Jalal (Mahaagung) dan al-Jamal (Mahaindah).
Al-Jalal adalah manifestasi ketakterbandingan Allah (tanzih). Sifat-
sifat Keagungan-Nya mencakup al-‘Azhim (Mahaagung), al-
Qahhar (Mahagagah), al-Qawiy (Mahakuat), al-Jabbar
(Mahaperkasa), al-Muntaqim (Maha Penyiksa).
415
itu, seluruh malaikat diperintahkan sujud kepada Adam (QS Shad:
72).
416
Ketika Abdul Jalil sedang terkesima takjub menyaksikan keajaiban
manifestasi an-nafs al-wahidah dalam wujud citra Adam Ma’rifat
yang berwajah mirip dirinya, dengan tubuh memancarkan cahaya,
tiba-tiba ia menyaksikan citra Adam Ma’rifat itu memancarkan
cahayan yang sangat menyilaukan. Ia terperangah takjub. Sedetik
kemudian, ia merasakan kesadarannya terisap oleh cahaya yang
memancar dari citra Adam Ma’rifat.
Isapan cahaya itu sangat dahsyat. Bagaikan anak panah lepas dari
busurnya, kesadaran Abdul Jalil melesat dan menancap ke citra
Adam Ma’rifat. Namun, ia tidak tahu apakah kesadarannya sudah
berada di dalam atau masih di luar citra Adam Ma’rifat. Ia hanya
menyaksikan kilasan-kilasan cahaya berkumpar-kumpar dalam
aneka bentuk ketika melintasi tirai-tirai gaib.
Sosok sebesar ibu jari tangan itu adalah manifestasi dari ar-ruh al-
idhafi, yakni ruh-Nya yang ditiupkan ke dalam diri al-basyar (QS
Shad: 72). Ruh ini memiliki sifat manusiawi sekaligus ilahiah.
Lantaran itu disebut ar-ruh al-idhafi, yakni ruh yang “dinisbatkan”
kepada Allah.
418
“Jangan syak dan ragu lagi, o Abdul Jalil, bahwa akulah kesadaran
‘aku’ yang terpendam dan tersuci dari kesadaran kemanusiaanmu.
Akulah hakikat keberadaanmu yang sejati. Sebab, engkau tiada
lain adalah bayangan dari keberadaan sejatiku. Engkau adalah
Buah Tauhid segar dari Pohon Kehidupan (syajarah al-hayy) yang
tumbuh di Taman Alam Raya (al-jannah al-kauniyyah). Engkaulah
salah satu buah terbaik di antara buah yang baik yang dilahirkan
untuk manusia (QS Ali ‘Imran: 110), yakni buah yang tumbuh dari
Ranting Kesempurnaan (kamaliyyah) yang merupakan cabang dari
Dahan Pengetahuan (ma’rifat).”
“Jika aku adalah Buah Tauhid yang mulia yang tumbuh dari benih
Adam,” ujar Abdul Jalil, “berarti ada buah yang lain yang tidak
termasuk ke dalam kumpulan Buah Tauhid. Dan apakah yang
Tuan maksud dengan perumpamaan buah, benih, dahan, cabang,
dan ranting itu bermakna dunia ini adalah gambaran simbolik dari
419
sebatang Pohon Dunia (syajarah ad-dunya) yang tumbuh di
Taman Alam Raya (al-jannah al-kauniyyah)?”
420
“Ketahuilah, o Buah Tauhid, bahwa keberadaan ashhab al-yamin
dan ashhab asy-syimal adalah keniscayaan dari keberadaan
Pohon Dunia. Karena itu, Sang Pemilik (Malik al-Mulki) Pohon
Dunia dan Taman Alam Raya akan memerintahkan para pemetik
yang dipimpin oleh Izrail untuk mengambil Buah Tauhid yang
terikat dalam kumpulan ashhab al-yamin dengan cara yang baik
(husn al-khatimah). Buah-Buah Tauhid itu akan ditempatkan di
Keranjang Penantian (al-barzakh) yang baik untuk
dipersembahkan kepada Sang Pemilik saat Hari Pemilihan tiba
(yaum al-hisab). Saat dihidangkan, buah-buah terpilih itu akan
ditempatkan dalam Talam ‘Iliyyn yang tak terbayangkan
keindahannya untuk dijadikan “santapan” Sang Pemilik. Bahkan,
bagi Buah-Buah Tauhid yang benar-benar terpilih dan disukai
Sang Pemilik, begitu dipetik akan langsung dipersembahkan
sebagai “santapan” kesukaan Sang Pemilik.”
421
“Bagaimana dengan peristiwa pemetikan massal buah-buah busuk
seperti pada zaman Nuh, Syuaib, Shalih, dan Luth?” tanya Abdul
Jalil. “Apakah itu berarti Buah Kekufuran lebih banyak jumlahnya
dibanding Buah Tauhid? Jika sudah demikian, kenapa Pohon
Dunia tidak ditebang saja?”
422
“Melalui Kehendak-Nya dan Kekuasaan-Nya pula Sang Maha
Penjaga (al-Muhaimin), Yang Maha Memelihara (al-Hafizh), Maha
Penyelamat (as-Salam), Maha Pengasih (ar-Rahman), Maha
Penyayang (ar-Rahim), dan Maha Pengampun (al-Ghaffar) saat itu
meninggalkan Pohon Dunia. Dan jika sudah demikian, tak perlu
dijelaskan lagi apa yang harus dilakukan oleh Sang Pemilik
terhadap Buah-Buah Kekufuran yang sudah membusuk dan
membahayakan Pohon Dunia.”
424
Ketika sedang merangkai-rangkai dan mengait-ngaitkan
pengalaman menakjubkan yang baru saja dialaminya dengan
warna-warna tongkat, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara Misykat al-
Marhum yang menyitir sebuah hadits, “Istafti qalbaka wa in aftauka
wa aftauka wa aftauka. Mintalah fatwa kepada qalb-mu walau
orang lain telah berfatwa kepadamu, telah berfatwa kepadamu,
telah berfatwa kepadamu.”
425
perjalananmu. Sebab ar-ruh al-idhafi hanyalah guru sejati tempat
engkau bertanya tentang berbagai hal, baik yang ukhrawi maupun
duniawi. Dia seibarat bola kaca di atas tongkat ini. Di atas
pelambang bola kaca ini masih ada yang tak tampak dan tak dapat
dilambangkan, yaitu ar-Ruh al-Haqq. Di atas ar-Ruh al-Haqq masih
ada lagi yang lebih tak dapat dilambangkan dan disetarakan
sesuatu, yaitu al-Haqq.”
“Saya paham Tuan,” kata Abdul Jalil sambil meneteskan air mata,
“namun setelah melewati pengalaman tadi saya seperti tidak
sanggup lagi menjalani kesengsaraan dan penderitaan hidup di
dunia ini. Saya ingin tinggal di sana.”
426
“Laki-laki sejati yang telah dipilih-Nya tidak juga boleh terikat oleh
zaman dari Taman Alam Raya, apalagi zaman dari Pohon Dunia.
Sebab, laki-laki yang sudah terpilih selalu bersama Sang Waktu
Abadi (ad-Dahr). Dia berada di dalam lingkaran zaman hanya
untuk menunggu panggilan Sang Waktu Abadi. Lantaran itu,
berada di mana pun dan pada saat kapan pun dia tidak boleh
memilih-milih yang disukai nafsunya. Bahkan jika harus
ditempatkan di neraka jahanam pun dia tidak boleh menolak,
karena laki-laki yang terpilih selalu bersama-Nya, Sang Pencipta
(al-Khaliq) yang tidak terikat dan tidak terpengaruh oleh ciptaan-
Nya (makhluk).”
Sekalipun apa yang diyakini oleh Abdul Jalil ini secara konseptual
tidak ditolak oleh umat Islam pada umumnya, pada tingkat praktik
hal itu jarang diterima apalagi dijalankan secara konsekuen.
427
Maksudnya, kaum Muslimin umumnya lebih memilih dan berusaha
menjadikan diri mereka sebagai sesuatu yang serba
menyenangkan dan menguntungkan. Jika disuruh memilih jenis
kelamin, misalnya, seorang Muslim cenderung akan memilih laki-
laki. Kalau disuruh memilih status maka mereka cenderung
memilih lahir dari keluarga yang kaya dan terhormat. Bahkan kalau
disuruh memilih istri maka mereka akan memilih istri cantik, kaya,
bangsawan, dan salehah. Begitu juga jika disuruh memilih
martabat, pangkat, dan derajat hidup maka akan dipilihnya hidup
yang serba dilimpahi rezeki, dilingkari kemewahan, ditaburi puja
dan puji, dijejali kesenangan dan kelezatan. Jika mati akan memilih
husn al-khatimah dan masuk surga tanpa hisab.
432
Pada malam pertama perkawinan, ketika angin musim semi
menebarkan wangi asap dupa dan harum bunga-bunga, Abdul Jalil
tegak memandangi mempelai wanita yang tidur di atas tilam hijau
terbuai mimpi indah. Ada suasana aneh dan asing merayap diam-
diam di relung-relung jiwanya. Ia merasa betapa liku-liku
kehidupannya membentangkan keindahan yang menakjubkan,
meski di hampir setiap sudut jalan ia dapati telaga air mata
kepedihan.
Rasa aneh dan asing yang dialami Abdul Jalil itu makin lama makin
menguak tirai kesadaran hakiki tentang adanya tangan gaib
dengan jari-jemari lembut yang diam-diam dan tanpa diketahui
telah mengatur setiap gerak dan langkahnya. Ia sadar bahwa pada
hakikatnya ia tidak memiliki kehendak pribadi. Semua adalah
kehendak-Nya. Perkawinannya dengan Fatimah binti Abdul Malik
al-Baghdady ini pun bukanlah kehendak pribadinya. Itu sebabnya,
ia merasa aneh dan asing ketika harus memasuki mahligai
perkawinan yang menakjubkan ini.
433
Dalam ketermanguan di tengah ketakjuban dan keanehan, ia
mendengarkan suara ar-ruh al-haqq mengumandang di cakrawala
jiwanya melalui al-ima’. “Jika Dia sudah berkehendak maka ikutilah
kehendak-Nya, meski samudera api dan padang ilalang pedang
menghadang di hadapanmu. Jika payung kemuliaan-Nya
ditudungkan di atas kepalamu maka bernaunglah di bawah-Nya
walau hari terang tanpa hujan setetes pun. Sebab, sebagaimana
Dia memuliakan siang yang terang benderang oleh pancaran
cahaya mentari, demikianlah Dia memuliakan malam dengan kilau-
kemilau cahaya bintang-bintang yang gemerlap laksana permata.”
435
fitrah dikaruniai anugerah oleh-Nya untuk mengenal jati dirinya
yang sejati.
438
Ia sendiri merasakan perbedaan besar saat menapaki tangga
istighfar, salawat, tahlil, dan nafs al-haqq sebelum dan sesudah
melintasi mahligai perkawinan. Kini, ia merasakan kebebasan dan
keleluasaan, betapa perjalanan ruhaninya tidak lagi seperti
menaiki anak tangga, tetapi bagai melintasi hamparan permadani
luas.
Hikmah di balik perkawinan Abdul Jalil dengan Fatimah binti Abdul
Malik al-Baghdady ternyata sulit diuraikan dengan penjelasan
manusiawi. Sebab, mahligai perkawinan itu bukan sekadar telah
menyingkap hakikat ketunggalan manusia secara jasmani dan
ruhani, melainkan telah pula membuka cakrawala baru dalam
memandang kehidupan di alam semesta ini. Hal itu terutama
dirasakannya setelah ia terlibat perbincangan lebih akrab dengan
mertuanya.
439
“Berarti pertautan ‘abid dengan Ma’bud bukan akhir perjalanan?”
tanya Abdul Jalil minta penegasan.
441
Al-Malamatiyyah
443
Anshar kepadanya muncul dari sesuatu yang sebenarnya tidak
pernah ia harapkan, yakni pernikahannya dengan Fatimah.
444
“Bagi mereka yang terhijab seperti Ali Anshar, penjelasan apa pun
tidak akan bisa meyingkapkan tirai kesadarannya,” jelas Syaikh
Abdul Malik al-Baghdady.
“Saya paham, Ayahanda,” ujar Abdul Jalil. “Apakah itu berarti saya
tidak perlu menanggapi Ali Anshar? Biarlah Allah sendiri yang
mengurusnya?”
447
kepada satu perempuan sangat kuat daya rekatnya dibanding cinta
seorang laki-laki kepada banyak perempuan.”
448
miliki itu adalah sarana untuk mengarahkan kiblat cinta hanya
kepada-Nya.”
454
Syaikh Abdul Ghafur yang sejak awal duduk tenang bagai patung
batu tiba-tiba merangkul dan menepuk-nepuk punggung Abdul Jalil
dengan mesra. Saat orang-orang keheranan menyaksikan
peristiwa langka itu, dia malah berbisik ke telinga Abdul Jalil.
“Tuan sudah tahu semuanya,” bisik Abdul Jalil, “tapi saya belum
apa-apa.”
“Itu hanya soal waktu saja,” bisiknya, “Akhirnya engkau pun akan
tahu bahwa kita ini bukanlah orang lain.”
455
“Saya camkan benar ucapan Tuan.”
456
Salah seorang di antara al-Malamatiyyah yang dikenal Abdul Jalil
di negeri Gujarat adalah Syaikh Abdul Ghafur al-Gujarati. Laki-laki
yang tinggal sendirian di masjid itu dapat dikatakan sebagai orang
aneh dan misterius. Dikatakan aneh karena dia yang lahir dari
kalangan darah biru itu sejak kecil dikenal sebagai orang cerdik
dan memiliki sifat-sifat terpuji. Oleh Sultan Mahmud Bigarah, Raja
Gujarat yang tidak lain adalah saudara sepupunya, dia ditawari
untuk memilih jabatan tinggi sesuai dengan kemampuannya.
Namun, seluruh tawaran itu ditolaknya.
Pilihan hidup dan sikap teguh Syaikh Abdul Ghafur tentu saja aneh
menurut ukuran wajar manusia. Sebab, pada saat semua orang
berlomba-lomba meraih jabatan tinggi, kehidupan mulia di istana,
dan berbagai atribut kebangsawanan, dia yang berasal dari
lingkungan bangsawan dan diberi kesempatan menduduki jabatan
tinggi justru menolak dan memilih hidup di masjid. Kemisteriusan
Syaikh Abdul Ghafur terlihat dari pandainya dia menyembunyikan
identitas dirinya sehingga nyaris tidak ada yang tahu siapa dia
sesungguhnya. Orang-orang yang selama ini mengenalnya
sebagai orang sebatangkara yang tinggal di masjid memanggilnya
dengan sebutan yang bernada sangat menghina, yakni hadhrat
457
asy-syaikh (Tuan Guru), padahal mereka tahu dia tidak mengajar
siapa pun.
“Karena telah bebas dari jasad dan dari perintah nafsu maka ruh
tiap manusia yang mati akan ditempatkan di alam arwah yang
membentang dari al-‘Illiyan hingga ke pintu alam barzakh. Namun,
tidak berarti ruh masing-masing manusia lepas dan bebas. Sebab,
masing-masing ruh tetap memiliki hubungan dengan jasad dan
nafsunya. Itu sebabnya, ketika malaikat Rumman datang dan
menyiksa ahli kubur yang durhaka, ruhnya dapat menyaksikan dan
merasakan betapa pedih dan sengsaranya siksaan itu. Hal itu
terjadi karena kesadaran jasad, kesadaran nafsu, dan kesadaran
ruh yang terpisah di alam masing-masing itu merasakan kepedihan
dan kesengsaraan sesuai kadar kesadaran masing-masing.”
Saat malaikat Munkar dan Nakir datang dan menanyai amaliah ahli
kubur, jasad manusia yang selama hidup di dunia terhijab dari
kebenaran-Nya tidak akan dapat menjawab pertanyaan-
pertanyaan tersebut. Sebab, nafsu dan ruhnya sudah berada di
alam barzakh dan alam arwah. Ruh sebenarnya bisa menjawab
pertanyaan-pertanyaan malaikat, namun ia tidak dapat
461
menyampaikan jawaban kepada jasad karena tersekat oleh alam
barzakh. Karena itu, ruh ahli kubur yang durhaka dari detik ke detik
mengetahui dengan pasti apa yang bakal menimpanya ketika
ditanyai malaikat Rumman dan disusul pertanyaan dari malaikat
Munkar dan Nakir. Bahkan saat siksaan bertubi-tubi ditimpakan
atas jasadnya di alam kubur, ruhnya di alam arwah dan nafsunya
di alam barzakh ikut merasakan pedih dan sakitnya siksaan itu.”
“Ada dua belas tingkatan dari alam kubur ke alam jabarut, yang
disebut dengan barzakh, yakni sekat-sekat,” ujar Syaikh Abdul
Ghafur. “Namun, kedua belas tingkat itu tidaklah bisa disebut alam
lagi karena hakikat keberadaan kedua belasnya tidak bisa
dijelaskan.”
“Saya paham Tuan,” ujar Abdul Jalil. “Kedua belas tingkatan itulah
yang dilambangkan dengan kelahiran dan kematian Muhammad
al-Mushthafa Saw yang tepat pada tanggal 12, lahir tanggal 12,
466
dan wafat tanggal 12. artinya, beliau turun sebagai manusia
tingkatan yang paling bawah, yakni yang kedua belas. Dan beliau
naik ke tingkatan yang paling atas, yaitu yang kedua belas.”
467
Mengikuti arah yang ditunjuk Syaikh Abdul Ghafur, ia menyaksikan
sosok bercahaya itu tersenyum memandangnya. Kemudian secara
menakjubkan sosok itu mendekat hingga berjarak sekitar dua
busur panah.
470
perjuanganmu dan kawan-kawanmu’,” ujar Syaikh Abdurrahman
Sajistani.
471
Selama perjalanan dia merasakan dirinya seperti dibimbing oleh
kekuatan gaib yang membuatnya sangat disukai dan dipercaya
oleh orang-orang yang baru dikenalnya. Itu terbukti saat dia
menyampaikan kebenaran Islam kepada orang-orang yang
dijumpainya sepanjang perjalanan dari Delhi ke Ajmir, seruannya
diterima dengan sukacita. “Saat memasuki kawasan Rajputana,
aku tinggal di rumah keluarga Karamchand Gauda, brahmana
yang dihormati di Delhi dan Bengali. Keluarga itu selain tergolong
ke dalam Panca Gauda, juga merupakan penasihat ruhaniah raja.
Dan justru keluarga itulah yang menerima kebenaran Islam yang
aku sampaikan,” papar Syaikh Abdurrahman Sajistani.
472
Syaikh Abdul Malik Karim menuturkan perjalanan hidupnya hingga
tiba di Benggala. Pilihan hidupnya ini sangat ditentang oleh
keluarganya yang hidup dilimpahi kemakmuran di Tabriz. Sikap
keluarganya, menurutnya, sangat wajar karena menurut
pandangan masyarakat umum tidak ada sesuatu yang bisa
diperoleh di Benggala, kecuali kesengsaraan dan kemiskinan.
473
Pengganti Syaikh Abdul Malik Karim adalah Syaikh Abdul Qohar
al-Bukhari yang memiliki nama asli Sayyid Jalaluddin al-Bukhari.
Dia merupakan keturunan keempat Syaikh Sayyid Ismail al-
Bukhari, penyiar agama Islam di Lahore yang termasyhur. Syaikh
Abdul Qohar tidak tinggal di Benggala, seperti Syaikh Abdul Malik
Karim at-Tabrizi yang digantikannya, tetapi berasal dari wilayah
Rajputana, tepatnya di daerah Bahawalpur, di kota kecil Ukh.
475
Setelah itu, ia menyaksikan kumpulan orang yang berkerumun di
luar pintu gerbang. Mereka dengan sangat bernafsu menyaksikan
kenikmatan hidup di dalam taman. Mereka ingin masuk, namun
tidak bisa. Menurut Syaikh Abdul Ghafur, mereka adalah orang-
orang yang berjuang di jalan Allah, namun hati mereka dinodai oleh
pamrih-pamrih pribadi untuk kesombongan diri. Mereka sangat
bangga dengan amaliahnya dan suka sekali memamer-mamerkan
perjuangannya. Lantaran perbuatannya itu, seluruh amaliah
mereka terhapus bagaikan impian.
476
kejahatan menyembunyikan harta benda yang bukan haknya.
Tentunya mereka akan mengalami nasib yang lebih buruk.
480
“Di dalam persahabatan sejati,” ungkapnya, “kita tidak boleh
mengedepankan kepentingan pribadi. Sebab, segala keburukan
persahabatan sumbernya dari keakuan diri. Orang yang telah
berhasil mengesampingkan kepentingan pribadi demi kepentingan
sahabatnya maka orang itu telah berhasil dalam persahabatan.”
481
Karena sering berkeliling, Abdul Jalil memiliki banyak kawan dan
kenalan. Namun, yang tetap mengherankan orang-orang adalah
kawan-kawannya umumnya terdiri atas para yogi, brahmin, rsi, dan
sufi yang hidupnya miskin. Mereka silih berganti datang bertamu
untuk membicarakan hal-hal yang tak dipahami masyarakat.
Untung saja Adamji Muhammad sejak awal sudah diberi tahu oleh
pir panutannya, Syaikh Abdul Ghafur, tentang keanehan putera
menantunya itu sehingga kasak-kusuk para tetangga tidak sedikit
pun dia hiraukan.
482
Adamji sendiri sekalipun sudah memahami bahwa Abdul Jalil
menjalankan tugas-tugas Allah, sesekali masih juga dirayapi rasa
heran dengan peri kehidupan putera menantunya itu. Perasaan
heran itu dirasakannya setelah secara diam-diam dia mengamati
perilaku Abdul Jalil ketika berbicara, berjalan, tidur, makan,
menerima tamu, dan bahkan saat berbincang-bincang. Namun,
keheranan Adamji Muhammad tak berlangsung lama ketika pir
Agungnya menguraikan sifat-sifat Abdul Jalil. “Ia sendiri
sebenarnya tidak ingin memiliki perilaku seperti itu. Namun, apa
yang bisa ia perbuat jikalau Allah menghendakinya berperilaku
demikian,” ujar Syaikh Abdul Ghafur.
Kali ini ia tidak lagi melihat bayangan ular raksasa berkepala empat
dengan hewan-hewan melata yang mengerumuninya. Suasana di
situ juga tidak sepekat pada pengalaman sebelumnya. Ia hanya
menyaksikan hamparan hitam memenuhi segenap penjuru
penglihatan batinnya. Kemudian bagai matahari terbit di pagi hari,
ia mendapati penglihatan batinnya secara jernih dan terang
menyingkapkan keberadaan dimensi hitam itu sebagai manifestasi
dari an-nafs al-hayawaniyyah dengan segala sifat dan
kecenderungannya.
484
Karena, Abdul Jalil telah menyumbat sumber hasrat kebendaan
dari hati dan pikirannya. Maka, kilasan gambaran-gambaran
bentuk itu terhapus. Gambaran dari bentuk-bentuk itu adalah ilusi
maya tidak berwujud yang berasal dari lembah angan-angan dari
pikiran yang rendah dan berliku-liku. Gambaran ilusi itu baru bisa
mewujud dalam bentuk-bentuk manakala hasrat kebendaan yang
memancar dari kedalaman relung an-nafs al-hayawaniyyah
dibiarkan mengalir menuju ke sungai pikiran yang juga rendah dan
berliku-liku.
485
Di sini pun ia tidak menyaksikan bayangan anjing raksasa berbulu
kuning keemasan berkepala empat. Pemandangan yang
terhampar di hadapannya hanyalah wujud serba kuning.
Kemudian, dengan mata batinnya yang terang benderang ia
mengetahui bahwa dimensi serba kuning itu adalah manifestasi
dari an-nafs al-musawwilah dengan semua sifat dan
kecenderungannya. Dan ketiadaan kilasan bentuk-bentuk apa pun
dikarenakan ia sudah menyumbat sumber hasrat kesyahwatan dari
pikiran dan hatinya.
488
penuh kesengsaraan dan penderitaan. Wujud mereka memang
manusia, namun nalurinya binatang dan jiwanya setan terkutuk.
492
“Tidakkah engkau ingin tahu hakikat terahasia dari
keberadaanku?”
“Tuan yang berwujud mirip saya, tentu Tuan lebih tahu tentang
hakikat kerahasiaan di balik keberadaan Tuan daripada saya.
Namun bagi saya, Tuan adalah manifestasi belaka dari
keberadaan al-Haqq. Sebab, menurut keyakinan saya, al-Haqq
tidak akan sama dan serupa dengan al-insan. Al-Khaliq tidak bisa
dibandingkan dengan makhluk. Dia tidak bisa disetarakan dengan
sesuatu (laisa kamitslihi syaiun). Jadi, menurut keyakinan saya,
hanya karena Dia, dengan Dia, melalui Dia, dan kehendak Dia
semata saya akan menyaksikan kebenaran wujud-Nya entah itu
pada tingkat Asma’-Nya, Shifat-Nya, Af’al-Nya, maupun Dzat-Nya.
Dan andaikata Dia menetapkan bahwa saya hanya boleh
mengenal-Nya dalam wujud manifestasi Tuan maka saya
menerima itu sebagai anugerah paling berharga dari-Nya,” ujar
Abdul Jalil.
“Karena Haikal Muqaddas sangat suci dan tidak bisa dimasuki oleh
makhluk, maka engkau, makhluk yang berkeinginan memasuki
Haikal Muqaddas, hendaknya suci dari semua anasir
kemanusiaanmu. Karena itu, o makhluk yang dikasihi-Nya,
masuklah engkau ke dalam Haikal Muqaddas melalui pintu al-
mir’ah al-hayya’i (cermin memalukan) yang wajib dilalui siapa pun
yang ingin masuk ke dalam sini.”
“Siapakah engkau?”
“Ana al-Haqq!”
498
Tiba-tiba bayangan dirinya di cermin memancarkan cahaya yang
sangat menyilaukan hingga nyaris membutakan mata batinnya.
Seiring dengan pancaran cahaya itu, dirinya hilang dan bayangan
dirinya pun ikut lenyap. Yang tertinggal hanyalah pancaran cahaya
yang sangat terang.
499
Ar Risalah al Islamiyyah
“Putera saya baru saja lahir,” kata Abdul Jalil, “apakah pantas jika
dia saya tinggalkan?”
501
“Ini bukan soal pantas atau tidak. Ini juga bukan soal masuk akal
atau tidak. Ini adalah tugas suci yang wajib engkau tunaikan.
Bukankah keadaanmu ini lebih ringan dibanding Ibrahim al-Khalil
yang harus meninggalkan istri dan putera sulungnya di lembah tak
berair tak bertetumbuhan? Bukankah mertuamu dengan tulus akan
mengambil alih tanggung jawab atas istri dan puteramu? Dan aku,
tentu akan bersedia menjadi guru bagi puteramu,” kata Syaikh
Abdul Ghafur menguatkan.
“Terima kasih, Tuan guru,” kata Abdul Jalil. “Saya serahkan putera
saya, Darbuth, sepenuhnya di bawah asuhan Tuan guru.”
“Darbuth.”
“Abdul Jalil, apa yang telah engkau alami adalah rahasia-Nya. Jadi,
jangan sekali-kali engkau gegabah mengungkapkan kepada
orang-orang yang tidak berhak.”
502
“Tapi, bukankah itu kehendak-Nya juga?”
506
“Bukankah tadi Tuan katakan bahwa manusia adalah percikan api
dari Bunga Api Abadi?” tanya Abdul Jalil. “Bukankah percik-percik
api itu adalah sama dalam zat dan sifat-sifat, meski bentuk dan
kecemerlangannya berbeda-beda? Bukankah masing-masing
percik api itu sesungguhnya dapat kembali ke Bunga Api Abadi?”
508
Sang Avatar Agung, Muhammad Saw., mengajarkan bahwa Bunga
Api Abadi yang merupakan pangkal segala kejadian (al-Khaliq)
tidak membeda-bedakan percik api yang memancar dari-Nya
(makhluk). Yang membedakan adalah kedekatan. Yang paling
dekat dengan Sumber Api Abadi itulah yang paling cemerlang
sinarnya dan paling mulia. Dan kedekatan dengan Sumber Api
Abadi, menurut Sang Avatar Agung, tidaklah berkaitan dengan
warna kulit dan anasir-anasir keturunan.”
509
Tuan Guru, apakah kami boleh menjadi pengikut Sang Avatar
Agung? Apakah Tuan dan saudara-saudara Tuan berkenan
menerima kami yang hina ini sebagai saudara? Apakah syarat-
syarat yang harus kami penuhi untuk menjadi pengikut Avatar
Agung?” “
513
Suatu pagi Abdul Jalil sampai di pasar dekat perkampungan suku
Kanbi yang ramai. Saat itu bertepatan dengan datangnya
pedagang-pedagang suku Kharwa yang membawa gerabah dan
pecah-belah. Di tengah pasar, didampingi Warnasamkara
Saswata, ia berkata kepada orang-orang yang mengerumuninya.
“Aku akan mengajarkan kepada kalian cara menjadi manusia
paripurna (al-insan al-kamil) yang memegang jabatan wakil Tuhan
di mukan bumi (khalifah Allah fi al-ardh). Tahukah kalian siapakah
yang disebut manusia paripurna? Manusia paripurna adalah
manifestasi Tuhan di dunia yang memiliki kewajiban utama
mengagungkan dan memuliakan Sang Pencipta. Karena
kewajiban utama itulah maka manusia paripurna dianugerahi hak-
hak istimewa oleh Tuhan untuk mengatur kehidupan di bumi
sebagai wakil-Nya. Dan karena itu, kepada manusia paripurnalah
seluruh makhluk di permukaan bumi harus tunduk dan mengikuti
perintahnya.” “
514
Namun, sungguh malang nasib manusia. Dari zaman ke zaman
hingga zaman ini, manusia cenderung terperosok ke jurang
kehinaan yang mengerikan. Manusia tidak hanya kehilangan
keparipurnaannya, tetapi yang lebih mengenaskan adalah mereka
telah jatuh ke jurang kenistaan dan kehinaan sebagai makhluk
serendah hewan. Mereka seolah tidak mengetahui lagi tentang
kemuliaan dan keagungan yang telah diperolehnya dari Sang
Pencipta. Mereka telah menjadi hewan buas yang memangsa
sesamanya. Mereka memperbudak sesamanya. Mereka menindas
sesamanya. Bahkan mereka telah memuja dan menyembah
sesamanya.”
515
Namun, yang paling penting kalian lampaui adalah menjadi
manusia terlebih dahulu. Sebab, banyak di antara manusia yang
tidak menyadari bahwa dirinya adalah manusia. Banyak di antara
manusia yang merayap di permukaan bumi bagaikan hewan
melata yang tidak mampu membayangkan sesuatu selain
melampiaskan hasrat hewani untuk memangsa dan berkembang
biak. Sungguh banyak di antara manusia yang hidup dengan
kesadaran hewan bagaikan cacing, kalajengking, kadal, ular,
buaya, tikus, kucing, anjing, kera, dan harimau.”
517
dapat membebaskan diri dari rantai-rantai yang membelenggu
kebebasan hidupmu.” “
Tapi Tuan Guru,” seru Upahata minta penjelasan, “apa yang Tuan
Guru ungkapkan itu bagi kami hanya mimpi indah. Sebab, kami
lahir papa, hina, dan nista. Tatanan kehidupan telah menentukan
keberadaan kami sebagai telapak kaki yang peran utamanya
adalah diinjak-injak.” “
518
Dengarlah, o Manusia,” seru Abdul Jalil berapi-api, “aku ajarkan
kepadamu tentang cara menjadi manusia paripurna. Karena itu,
aku serukan kepadamu, jangan mempercayai mereka yang
mengajarkan kepadamu adanya perbedaan hakikat manusia
karena warna kulit, bahasa, kekayaan dan kemiskinan, nama
marga, dan keturunan. Itu semua adalah kebohongan yang dilatari
maksud jahat merendahkan harkat dan martabat manusia yang
sesungguhnya sangat mulia dan agung. Mereka adalah peracun
jahat. Mereka tidak sadar telah meracuni jiwa, pikiran, dan tubuh
sendiri sehingga mereka pun akan membusuk bersama-sama
orang yang mempercayai kedustaan mereka.” “
520
Benar, Tuan Guru,” sahut Upahata. “Babuji Warnasamkara itulah
pemimpin kami. Jika beliau melarang kami melakukan segala
sesuatu maka kami akan patuh.” “
Tapi Babuji?” “
521
Terang matahari dan luas kubah biru akan menguji kehendakku,”
Sahut Warnasamkara Saswata. “Terang matahari dan luasnya
kubah biru akan memberiku keleluasaan untuk mewujudkan diri
menjadi diriku yang sebenarnya.” “
Babuji?” “
525
Abdul Malik Israil al-Gharnatah adalah kekasih Allah dari Bani
Israil. Dia bukan anggota Jama’ah Karamah al-Auliya’, namun
Allah sangat mencintainya. Dia hidup menggelandang dari satu
tempat ke tempat lain untuk menyampaikan kebenaran Islam.
Menjelang usia tuanya dia mengajak cucu sulungnya, Syarif
Hidayatullah, berkelana ke berbagai negeri. Hal itu dilakukan atas
petunjuk besannya yang memintanya agar membawa Syarif
Hidayatullah mengembara ke negeri timur.
Syarif Hidayatullah atau Syarif Hidayat saat itu baru berusia lima
belas tahun. Namun, tempaan hidup yang diajarkan kakeknya,
Wali besar Abdullah Kahfi al-Mishri, telah menjadikannya sebagai
pemuda tangguh yang tak pernah mengeluh. Ketika diajak oleh
kakeknya dari pihak ibu, Abdul Malik Israil al-Gharnatah, untuk
mengembara ke timur dengan melintasi berbagai tantangan dan
rintangan, dia sangat tabah dan sabar mengahadapi berbagai ujian
berupa kekurangan makanan, cuaca ganas, orang-orang yang
tidak ramah, bahkan penyakit.
526
“Diakah cucu Yang Mulia Syaikh Abdullah Kahfi al-Mishri?” tanya
Abdul Jalil sambil menepuk-nepuk bahu Syarif Hidayat.
“Dia juga cucuku,” Abdul Malik Israil tertawa, “karena ibunya adalah
puteriku.”
“Namun, perjalananku masih jauh dan berat karena aku belum tahu
dengan pasti di mana aku harus tinggal,” kata Abdul Jalil.
“Aku yang memberi tahu,” kata Abdul Malik Israil. “Aku sendiri
diberi tahu oleh guruku, Syaikh Abdul Malik al-Isbiliy. Dan Tuan
pasti tahu, guruku diberi tahu oleh Yang Mulia Misykat al-Marhum.”
529
Abdul Jalil diam. Beberapa jenak kemudian ia menoleh dan
menatap dalam-dalam Syarif Hidayat yang berdiri di sisinya.
Setelah itu, ia dengan bahasa isyarat mengatakan kepada Abdul
Malik Israil untuk menjelaskan kepada Syarif Hidayat tentang
hakikat tersembunyi di balik akan dihapusnya Islam dari bumi
Andalusia. Abdul Malik Israil mengangguk tanda setuju.
530
Persoalan Bani Israil dengan Allah pada dasarnya adalah cermin
hubungan antara manusia dan Sang Pencipta. Itu sebabnya, inti
dan hakikat persoalannya hanya mencakup tiga hal utama.
Pertama, sejak manusia pertama dicipta (Adam) sudah diadakan
perjanjian antara manusia dan Sang Pencipta (Hosyea 6:7) di
mana manusia harus patuh dan taat kepada perintah Sang
Pencipta (Beresyit 2:16-17). Namun, manusia pertama, leluhur kita
Adam, justru telah melanggar perintah-Nya sehingga dijatuhi
hukuman menanggung derita di muka bumi (Beresyit 3:6-19).
Kecenderungan manusia keturunan Adam mengingkari perjanjian
yang dibuat dengan Sang Pencipta selalu terjadi setiap kurun
zaman dan selalu mendatangkan hukuman.
Saya akan selalu ingat pesan Kakek,” sahut Syarif Hidayat takzim.
“
Saya akan selalu ingat pesan Paman,” sahut Syarif Hidayat takzim.
Karena perjanjian antara Allah dan Bani Israil telah dilanggar maka
Allah mengadakan Perjanjian Baru (Ibrani: Berith Hadasya)
dengan keluarga Israel dan keluarga Yehuda (Ibrani: Bait Yisrael
we Bait Yehuda), bukan seperti perjanjian terdahulu yang telah
diingkari oleh Israel dan Yehuda. Dalam perjanjian baru itu Allah
akan menaruh Taurat di dalam batin dan menuliskannya di dalam
hati pemegang perjanjian baru, di mana Allah akan menjadi Tuhan
mereka dan mereka menjadi umat Allah (we hayu li le am wa ani
eheye lahem lelohim, Yirmeyahu 31: 31-33). Perjanjian Baru itulah
543
yang disebut Perjanjian Salam (Ibrani:Berith Syalom; Berith Olam)
sebagaimana disampaikan Nabi Yehezkiel a.s. (Yekhezqel 34: 25;
37: 26-27).” “
544
monopolian keunggulan manusia berdasar warna kulit dan azas
keturunan, apalagi berdasar kekayaan bendawi.” “
545
Itu semua adalah kehendak-Nya juga, Cucuku.” Kata Abdul Malik
Israil. “Dengan dilahirkannya Perjanjian Salam bukan berarti
seluruh umat manusia di dunia harus menjadi pemegang perjanjian
itu. Karena, keagungan dan kemuliaan Allah justru akan engkau
dapati di atas semua keanekaragaman. Dengan demikian, adanya
agama Islam, Yahudi, Nasrani, Majusi, Budha, Hindu, dan
berbagai kepercayaan, pada hakikatnya adalah kehendak-nya
semata. Dan karena itu, engkau harus memiliki pandangan yang
luas bahwa semua agama adalah baik bagi pengikut-pengikutnya
masing-masing. Sebab, orang menjadi Muslim, Nasrani, Majusi,
Yahudi, Hindu, atau Budha pada hakikatnya bukanlah atas
kemauannya sendiri, melainkan karena memang telah ditentukan
oleh-Nya.”
546
Tarekat al-Akmaliyyah
548
“Bagaimana Paman bisa tahu masjid ini dibangun oleh para
pengikut Sayyid Makhdum Gisudaraz dengan susah payah?” tanya
Syarif Hidayat heran. “Bukankah tadi Paman mengatakan baru
sekali ini ke Belgaum.”
“Di pintu masuk kota tadi,” kata Abdul Jalil tenang, “Sayyid
Makhdum Gisudaraz menjemputku dan memintaku shalat di
masjid yang dibangun oleh para pengikutnya. Dia memintaku
berdoa bagi keberkahan warga Belgaum dan keturunan mereka
agar tetap diberikan cahaya kebenaran hidayah oleh-Nya.”
552
“Saya paham, Paman,” kata Syarif Hidayat, “Karena itu saya
mohon agar paman tidak bosan membimbing saya.”
Setelah tinggal selama tiga hari di Belgaum, Abdul Jalil dan Syarif
Hidayat melanjutkan perjalanan ke barat, menuju bandar Goa.
Sepanjang perjalanan itulah mereka menyaksikan kehidupan
orang-orang dari kasta rendah yang dililit kesengsaraan dan
kehinaan. Panasnya matahari dan semburan debu yang meliputi
permukaan bumi yang kering menghamparkan pemandangan
menyedihkan tentang anak-anak manusia yang hidup sengsara
tanpa harapan.
553
Tuan jangan mundur menghadapi mereka,” sahut Abdul Jalil,
“sebab Tuan bukanlah orang yang bertugas mengislamkan
manusia. Tuan sekedar menyampaikan. Ingatlah: Tuan hanya
menyampaikan kebenaran Islam! Tidak lebih! Karena itu, jika Tuan
belum berhasil dengan tugas Tuan maka hendaknya Tuan
mengubah cara penyampaian yang sesuai dengan pemahaman
mereka.”
554
“Saya sudah bertahun-tahun berdoa terutama dalam shalat
malam. Namun, sampai saat ini belum ada tanda-tanda bahwa doa
saya dikabulkan-Nya,” ujar Fadillah Ahmad kecewa.
“Itu bukan berarti doa Tuan tidak dijawab oleh-Nya,” sahut Abdul
Jalil tenang. “Mungkin saja Tuan terlalu mendikte Dia dengan
kemauan Tuan sendiri. Tuan berdoa kepada-Nya dengan harapan
Dia mengabulkan permohonan Tuan sesuai dengan yang Tuan
bayangkan dalam benak Tuan. Padahal, Dia sering kali
mengabulkan permohonan hamba-Nya dengan bentuk yang tidak
sesuai dengan kehendak yang dibayangkan hamba-Nya. Selain
itu, manusia pada umumnya cenderung menginginkan segala
sesuatu yang berkaitan dengan permohonan dan pekerjaan yang
dijalankannya dapat terwujud dalam waktu cepat.”
557
Akhirnya Abdul Jalil tidak dapat menolak keinginan Fadillah Ahmad
untuk menjadi muridnya. Namun, sebelum itu ia menjelaskan
tentang makna ajaran yang bakal disampaikannya, “Jika Tuan
berhasrat kuat untuk mengikuti jalan kami maka yang wajib Tuan
sadari pertama-tama adalah kenyataan yang berkait dengan ‘cara’
(thariq) kami yang berbeda dengan ‘cara’ yang umum dianut
manusia. Maksudku, tarekat yang kami anut tidak mengenal
adanya pir atau mursyid. Karena, yang disebut pir atau mursyid,
menurut ‘cara’ kami, berada di dalam diri manusia sendiri.
Sementara keberadaan guru hanya terbatas sebagai petunjuk
untuk menuntun langkah awal seorang salik dalam mencari guru
sejati.” “
Tuan boleh menamai ‘cara’ ini sesuka hati Tuan,” sahut Abdul Jalil.
“Namun, hendaknya Tuan ketahui bahwa Nabi Muhammad al-
Mushthafa Saw telah mewariskan dua ‘cara’ kepada manusia.
‘Cara’ yang pertama adalah Tarekat al-Akmaliyyah yang
558
diwariskan lewat hadhrat Abu Bakar ash-Shiddiq. ‘Cara’ yang
kedua adalah Tarekat al-Anfusiyyah yang diwariskan melalui
hadhrat Ali bin Abu Thalib. Tarekat yang akan Tuan pelajari dariku
adalah Tarekat al-Akmaliyyah.” “
Hakikatnya sama, hanya nama saja yang berbeda,” ujar Abdul Jalil.
“Karena, Akmaliyyah berasal dari al-kamal, yakni
pengejawantahan dari al-Kamal yang dibentuk oleh al-Jalal dan al-
Jamal. Al-kamal itulah Adam Ma’rifat yang kepadanya ditiupkan
ruh-Nya, yakni Ruh al-Haqq di mana tersembunyi al-Haqq. Al-
kamal atau Adam Ma’rifat itulah yang disebut al-Insan al-Kamil.” “
Hal yang paling penting Tuan pahami lagi adalah Tarekat al-
Akmaliyyah ini hanyalah suatu ‘cara’ untuk melewati ‘jalan lurus’.
Jadi, jangan beranggapan bahwa ‘cara’ ini adalah segala-galanya.
Artinya, jangan menganggap bahwa siapa saja yang
mengamalkan ‘cara’ ini dan mengikuti ‘jalan lurus’ yang ada di
dalamnya pasti akan selamat sampai kepada-Nya. Sebab,
keputusan akhir ada di tangan-Nya juga. Artinya, sangat terbuka
kemungkinan pengamal ‘cara’ ini justru akan sesat jalan, jika Dia
menghendaki demikian.” “
561
Pertama-tama yang harus Tuan pahami,” kata Abdul Jalil
menguraikan, “bahwa Allah, tujuan akhir kita, adalah bukan
makhluk dan tidak dapat dibayang-bayangkan apalagi dibanding-
bandingkan dengan sesuatu bentuk apa pun (laisa kamitslihi
syaiun). Karena itu, merupakan suatu keharusan fundamental
bahwa untuk menuju Dia, seorang salik harus mengarahkan kiblat
hati dan pikirannya hanya kepada-Nya. Artinya, seorang salik
harus berjuang keras meninggalkan rasa kepemilikan,
ketergantungan, kecintaan, keterikatan, dan keterkaitan dengan
segala sesuatu selain Dia.” “
Sama sekali keliru pemahaman itu,” ujar Abdul Jalil, “justru sang
salik harus menjadikan kehidupan di dunia ini sebagai medan
perjuangan dalam menuju Dia. Bahkan setelah berhasil mencapai-
Nya, ia memiliki kewajiban fundamental untuk kembali ke tengah
kehidupan manusia biasa sebagaimana hal itu diteladankan oleh
Muhammad al-Mushthafa Saw..” “
562
Dengan demikian, hendaknya sejak awal Tuan sadari bahwa yang
dimaksud meninggalkan segala sesuatu selain Dia bukanlah
bermakna meninggalkan hidup keduniawian secara mutlak.
Karena, yang dimaksud meninggalkan itu berkaitan dengan
suasana batin. Jadi, boleh saja seorang salik menjadi raja besar
seperti Daud dan Sulaiman, namun kiblat hati dan pikiran tetap
hanya mengarah kepada-Nya.” “
Namun, di antara tujuh hal yang terkait dengan alam semesta ini,
yang paling penting Tuan sadari adalah tujuh lapis hal yang
berhubungan dengan keberadaan manusia yang diberi tujuh tahap
usia, yakni radhi’, fathim, shabiy, ghulam, syabb, kuhl, dan syaikh;
yang berkait dengan tujuh nafsu manusia, yakni musawwilah,
hayawaniyyah, ammarrah, lawwammah, mulhamah,
muthma’innah,dan wahidah. Sebab, dengan menyadari adanya
tujuh nafsu maka Tuan akan memahami adanya tujuh martabat
yang wajib Tuan lampaui untuk menuju kepada-Nya. Dan sekali
lagi ingat-ingatlah bahwa perjalanan ruhani bukan perjalanan ajaib
yang bisa tercapai dalam waktu singkat. Rasulallah sendiri
membutuhkan waktu lima belas tahun berkhalwat untuk mencapai
tahap bertemu Jibril a.s. di gua Hira. Dan perjalanan itu masih terus
beliau laksanakan dengan tekun dan istiqamah hingga beliau
mengalami peristiwa Isra’ Mi’raj: menghadap ke hadirat al-Khaliq.”
“
Adapun tentang Ya’juj wa Ma’juj yang berasal dari kata ajij dalam
bentuk yaf’ul dan maf’ul, yang bermakna ‘semburan api’, adalah
pengikut-pengikut setia Dajjal yang di setiap tempat di permukaan
bumi akan menyemburkan api untuk membinasakan manusia-
manusia yang melawan mereka, guna membinasakan kehidupan
di permukaan bumi. Ya’juj wa Ma’juj, sebagaimana Dajjal, jika
berjalan sangat cepat. Karena, Ya’juj wa Ma’juj bisa dimaknai dari
kata ajja yang berarti asra’a, yakni ‘berjalan cepat’.” “
571
Namun, Tuan Syaikh,” seru Shadgap Dewadatta berapi-api, “jika
kesalahan dan dosa besar telah dilakukan oleh pemimpin-
pemimpin kami, kenapa pula kai yang tidak tahu-menahu ikut
memikul akibatnya? Di manakah letak keadilan Allah?” “
Satu siang seusai duduk, makan, dipijit, dan dikipasi, seperti biasa
sang raja tidur mendengkur di atas singgasana. Begitu lelapnya
sehingga mahkota sang raja terjatuh ke lantai. Para budak yang
berada di sekitarnya berebut mengambil dan memahkotakan
kembali. Padahal, salah seorang pengawal raja tua bangka itu
sempat membayangkan seandainya sang raja tetap tidur dan
mahkotanya tetap dibiarkan tergeletak di lantai. Bahkan ia sempat
berpikir betapa mudah sebenarnya membanting tubuh renta itu ke
lantai hingga remuk tulang-belulangnya. Bukankah dengan sekali
banting saja raja tua itu akan mati? Namun, kilasan pikiran
pengawal itu hanya sampai pada bentangan angan-angan dan
gambaran-gambaran khayal belaka. Para pengawal – apalagi para
budak – tidak ada yang berani mengganggu sang raja rua bangka
yang makin lama makin lapuk digeragoti zaman.” “
572
Nah, Bapa Tua, menurutmu apakah kejahatan yang dilakukan para
wazir, qadhi, kepala daerah, dan aparat kerajaan itu semata-mata
kesalahan mereka yang memanfaatkan rajanya yang pikun?
Apakah para pengawal dan budak-budak yang setia kepada raja
tua bangka yang pikun itu tidak ikut bersalah?”
574
Pada awal abad ke 10 Hijriah, kota pelabuhan Goa telah menjadi
pusat perniagaan bagi wilayah Deccan yang diperintah oleh dinasti
Bahmani. Jika sebelumnya Goa tak pernah diperhitungkan maka
sejak Zafar Khan Bahmani memisahkan wilayahnya dari
Kesultanan Delhi dan dinasti Tughlak pada pertengahan abad ke 9
Hijriah, Goa perlahan-lahan menemui makna pentingnya sebagai
pelabuhan di wilayah Deccan. Sekalipun pada tahun 905 Hijriah
wilayah Berar memisahkan diri, disusul pemberontakan Adil Shahi
yang menginginkan wilayah Bijapur yang dikuasainya lepas dari
Deccan; dinasti Bahmani tetap mempertahankan Goa sebagai
pelabuhan utama Deccan.
575
bagian dari hiruk-pikuk kehidupan manusia yang bagai tak memiliki
tepi.
577
Kira-kira dua puluh lima tahun silam di sebuah hutan di lereng
pegunungan Nilgiri, hiduplah seorang brahmin muda di tengah
kesunyian. Sebenarnya, dia adalah putera Raja Vijayanagar. Dia,
atas kemauannya sendiri, meninggalkan takhta dan kemuliaan
yang bakal menjadi miliknya untuk digantikan dengan kesunyian
hutan. Bertahun-tahun pemuda itu mengakrabi kesunyian dengan
tujuan utama memasrahkan seluruh hidupnya kepada Sang
Pencipta. Berbagai upaya yang dilakukan oleh keluarganya agar
dia membatalkan tekadnya tidak mendapatkan hasil apa-apa,
kecuali kepedihan.
578
Namun, hati ibu tetaplah hati ibu yang tak bisa ditipu. Diam-diam,
sang ibu tetap yakin bahwa sang putera belumlah mati apalagi
moksha. Itu sebabnya, diam-diam ia mulai berkeliling dari satu kota
ke kota lain untuk menelusuri di mana sang putera berada. Bahkan
ia menyebar pengawal lain ke berbagai pertapaan untuk mencari
tahu berita sang putera.
Usaha keras sang ibu tidak sia-sia. Ceritanya, ketika sang ibu
melakukan perjalanan ke kota Dwarasamudra, tanpa sengaja ia
menyaksikan seorang brahmin yang kotor dan lusuh sedang duduk
di pinggir jalan. Sebagai ibu yang telah mengandung dan
melahirkan, ia tidak syak lagi bahwa brahmin itu adalah puteranya
tercinta. Dengan penuh cinta kasih, sang ibu memeluk dan
menciumi sang putera yang telah mencapai pencerahan itu.
579
“Dia putera Raja Vijayanagar?” tanya Syarif Hidayat terheran-
heran.
“Dia benar,” sahut Abdul Jalil. “Karena, lebih memilih Sang Raja
dan Sang Pemilik Kemuliaan Abadi.”
580
“Saya tidak tahu, Tuan Syaikh,” jawab Fadillah Ahmad.
581
“Bagi manusia tengik seperti saudagar budak itu, persoalan agama
dan iman hanyalah dianggap sebagai suatu kemestian untuk
meraih keberhasilan hidup dalam masyarakat. Bagi manusia
seperti dia, Allah hanyalah semacam dongeng yang
keberadaannya tidak bisa dibuktikan sehingga dengan leluasa dia
melakukan kejahatan dan kekejian tanpa pernah digetari rasa
takut. Dia adalah orang yang sudah tebal hijabnya. Hatinya sudah
berkarat. Dan lantaran itu, aku katakan bahwa dia bukanlah dari
golonganku,” ujar Abdul Jalil.
“Aku dan Tuan Syaikh Abdul Malik Israil hendak memberi tahu
sekaligus mengajarkan kepada kalian berdua tentang pandangan
dan prinsip hidup yang kami anut. Tegasnya, bagi kami, yang kami
anggap saudara adalah manusia-manusia pecinta Allah yang kiblat
hati dan pikirannya diarahkan hanya kepada Allah. Kami tidak
peduli apakah agama yang mereka anut Islam, Hindu, Budha,
Yahudi, Nasrani, atau Majusi; asal mereka sama dengan kami
maka mereka adalah saudara kami. Sebaliknya, manusia-manusia
yang kiblat hati da pikirannya hanya ke arah duniawi bukanlah
golongan kami, apalagi saudara kami. Mereka adalah pengikut
Dajjal. Mereka akan menjadi bagian dari Ya’juj wa Ma’juj.
Sekalipun agama mereka Islam, tetaplah tidak bisa kami
582
golongkan sebagai golongan kami, apalagi saudara kami,” ujar
Abdul Jalil.
583
“Benar begitu,” kata Abdul Jalil, “sebab ayahandaku, Syaikh Datuk
Sholeh, adalah putera Syaikh Datuk Isa Malaka. Dan kakekku itu
adalah putera Syaikh Sayyid Ahmadsyah Jalaluddin bin Abdullah
Amir Khan bin Abdul Malik al-Qozam.”
584
Di dalam berbagai tarekat, misalnya, akan engkau dapati
pemaknaan inti dari hakikat istigfar, salawat, tahlil, dan nafs al-
haqq yang sering dipilah-pilah sebagai dzikir jahr dan dzikir sirri.
Semua tarekat pasti mengajarkan istighfar, salawat, tahlil, dan nafs
al-haqq. Semua tarekat pasti mengajarkan rahasia Muhammad
sebagai ‘pintu’ dan ‘kunci’ untuk membuka hijab-Nya,” ujar Abdul
Jalil. “
Pahamilah, o Salik, bahwa apa yang menjadi dasar dari Tarekat al-
Akmaliyyah adalah kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala,
Tuhan, Pencipta yang tak bisa dibayangkan dan tidak pula bisa
dibandingkan dengan sesuatu. Singkatnya, dasar utama dari
Tarekat al-Akmaliyyah adalah perjalanan kembali ke asal: Inna li
585
Allahi wa inna ilaihi raji’un! Kembali kepada Yang Mahagaib.
Mahakosong. Mahahampa. Maha Tak Terbandingkan.” “
587
Warisan Bani Adam
Fitrah Adam yang dicipta sesuai gambar Allah (khalaq al-insan ‘ala
shurah ar-Rahman) sebagai makhluk sempurna (al-kamal), yang
kepadanya ditiupkan ruh ilahiah (ruh al-haqq) dan dikaruniai
kemuliaan untuk disujudi malaikat, ternyata hanya pencitraan yang
bersifat nisbi. Artinya, saat iblis muncul dan berhasil
memperdayanya maka citra ar-Rahman, al-Kamal, al-Haqq, al-
Jalal, al-Jamal, dan berbagai kemuliaan-Nya yang melekat pada
Adam terserap kembali kepada-Nya.
Tak jauh berbeda dengan apa yang telah diwarisi Habil dan Qabil
dari ayahanda mereka, Adam, yang kemuliaannya senantiasa
terancam intaian kenistaan iblis, Abdul Jalil pun dalam meniti jalan
kesempurnaan ruhani ternyata diintai oleh iblis yang mewujud
dalam bentuk Ali Anshar at-Tabrizi. Laki-laki yang dikenalnya di
Baghdad dan kemudian diketahui sebagai pengikut Syaikh Abdul
Malik al-Baghdady itu ternyata memiliki aliran nasib yang tak jauh
berbeda dengan Qabil. Bagaikan mengulang sejarah, Ali Anshar
pun tanpa sadar telah terperosok ke dalam lingkaran kuasa iblis.
Bagaimana mungkin Abdul Jalil yang tidak jelas galur nasabnya itu
tiba-tiba bisa masuk ke dalam keluarga Syaikh Abdul Malik?
Bagaimana mungkin Abdul Jalil yang sebelumnya tak pernah
dikenal itu mendadak bisa menjadi menantu Syaikh Abdul Malik
594
yang terhormat? Jika tanpa tipuan atau pengaruh ilmu sihir mana
mungkin ia bisa menipu Syaikh Abdul Malik?
595
Sebenarnya, ayahanda mertua Abdul Jalil telah mengetahui bara
api yang berkobar di hati Ali Anshar karena hasrat cintanya kepada
Fatimah tidak kesampaian. Sebagai seorang wali Allah, Syaikh
Abdul Malik al-Baghdady paham benar betapa berbahayanya jiwa
Ali Anshar yang sudah dikuasai nafsu setani. Itu sebabnya, dengan
penuh kebijakan dia perintahkan Abdul Jalil secepatnya pergi dari
Baghdad ke negeri Jawy.
Selain fitnah, dia juga menyebarkan berita buruk tentang Abdul Jalil
kepada sejumlah pejabat Deccan yang setia kepada Brahmani.
Dikatakannya bahwa Abdul Jalil adalah pengikut Sultan Umar
Syaikh Mirza, penguasa kerajaan Farghana. Abdul Jalil membawa
misi sultan keturunan Timur I Lenk itu untuk memecah-belah
kekuasaan raja-raja Muslim di selatan, termasuk Deccan.
598
Ali Anshar yang memiliki pengetahuan luas dengan mudah
meyakinkan pejabat-pejabat Deccan dengan mengajukan bukti-
bukti tentang adanya tengara bahwa Adil Shahi ingin memisahkan
diri dari Deccan untuk menjadi raja Bijapur. Jika hal itu dibiarkan
maka kekuasaan dinasti Bahmani akan hancur dalam tempo lima
belas tahun mendatang. “Setelah Berar dan Bijapur lepas,
bagaimana jika Golkunda, Ahmadnagar, Bidar, Gulbarga, dan
Raicur ikut-ikutan memisahkan diri? Bukankah itu akan membuat
dinasti Bahmani hancur berkeping-keping karena semuanya ingin
menjadi raja sendiri-sendiri di wilayahnya?”
599
Bagi sebuah dinasti yang berusia hampir satu setengah abad,
kekuasaan Bahmani atas wilayah Deccan memang semakin
merosot. Korupsi di kalangan pejabat berlangsung semena-mena.
Keamanaan rakyat tidak terjamin. Kemakmuran makin jauh. Pada
saat seperti itu, fitnah dan adu domba berlangsung sangat
mengerikan karena bermuara pada terciptanya kerusuhan yang
berujung pada kematian dan kerusakan. Pihak kerajaan sendiri
tidak mampu lagi bersikap arif dalam mengatasi perubahan-
perubahan. Yang terjadi justru sebaliknya, pihak kerajaan menjadi
sangat sensitif dan penuh curiga terhadap berita dan laporan yang
acap kali hanya didasarkan pada prasangka-prasangka dan
bahkan fitnah.
“Terima kasih atas kebaikan hati Tuan,” kata Abdul Mailk Israil,
“namun saya akan menemui sahabat dan cucu saya lebih dulu.
Sekali lagi, terima kasih atas kebeikan Tuan yang sangat peduli
kepada kami.”
602
Setelah beberapa jenak berjalan, tepat di tikungan dekat pasar dia
bertemu dengan Abdul Jalil, Syarif Hidayat, dan Fadillah Ahmad.
Rupanya, saat Abdul Malik Israil bertamu ke rumah Ramchandra
Gauranga untuk menegaskan keberangkatan mereka ke Malaka
esok pagi, ketiganya menunggu di pinggir jalan. Abdul Jalil
tampaknya sudah menangkap gelagat tidak baik jika ia juga ikut
bertamu. Itu sebabnya, ia memilih menunggu di luar.
Berita yang dibawa Abdul Malik Israil bahwa pasukan dari Deccan
telah masuk ke gerbang utara kota Goa untuk mencari Abdul Jalil
diterima dengan tarikan napas berat. Setelah berdiam beberapa
jenak, ia kemudian berkata dengan suara datar, “Andaikata aku
ikut ke rumah Ramchandra, kenalan saudaraku Malik Israil,
tentulah dia akan menerima musibah dari kehadiranku. Dia akan
celakan oleh sesuatu yang dianggapnya baik, yaitu menolong
orang yang membutuhkan bantuannya. Namun, Allah Maha
Mengatur semuanya.”
603
bahwa Ramchandra tidak bakal menemui kesulitan dengan kaki
tangan Adil Shahi.”
“Ya, itu suara derap ladam kuda,” kata Abdul Malik Israil.
604
Abdul Jalil diam seolah tidak menghiraukan ucapan Fadillah
Ahmad. Sebaliknya, ia bersujud ke hamparan jalan berdebu sambil
menggumam lirih, “Ya Allah, jika Engkau hendak menguji hamba
dengan rasa takut maka hamba memohon kepada-Mu agar hamba
senantiasa dikuatkan dan diteguhkan dalam keberanian. Sungguh,
hanya Engkau yang hamba takuti. Hamba yakin pasukan-pasukan
berkuda itu hanya ‘alat’ yang Engkau jadikan sarana untuk menguji
iman hamba.”
606
Rasulullah Saw. dengan menyediakan punggungnya sebagai
perisai untuk panah-panah yang dibidikkan musuh!”
607
“Saya tadi sempat takut, Paman,” kata Syarif Hidayat polos,
“namun sekarang tidak lagi. Rasa takut saya sudah hilang.”
“Kalau begitu, ikuti aku!” kata Abdul Jalil menarik tangan Fadillah
Ahmad dan mengajaknya berjalan ke arah lorong mengikuti jejak
Abdul Malik Israil dan Syarif Hidayat.
609
untuk alasan duniawi apa sehingga pedagang budak itu ikut
bersama pasukan kerajaan mencari gurunya.
“Cari kawannya!”
613
Setelah sekitar seperempat jam berjalan, sampailah mereka di
suatu tempat yang ditumbuhi pohon-pohon Chatka dan
Saptaparna. Di tempat itu telah menunggu tiga laki-laki berkulit
legam yang membawa lima ekor kuda. Ketiga orang itu rupanya
adalah pengikut Brahmin. Itu terlihat dari sikap mereka yang sangat
hormat kepadanya.
Brahmin yang kemudian dikenali oleh Abdul Jalil dan Abdul Malik
Israil sebagai Pangeran Bharatchandra Jagaddhatri, tanpa berkata
sesuatu mempersilakan mereka menaiki kuda. Namun, Abdul Jalil
tidak segera naik, sebaliknya ia melangkah mendekat sambil
berkata lirih, “Saya mengucapkan terima kasih atas kebaikan
Pangeran Bharatchandra Jagaddhatri yang telah menolong kami.”
614
Tuan telah “terbangun” dari tidur sesaat di dunia ini dan
menyaksikan kenyataan yang sebenarnya dari kehidupan ini.”
Fadillah Ahmad, Syarif Hidayat, dan ketiga orang berkulit hitam itu
tercengang keheranan melihat adegan aneh itu. Mereka benar-
benar tidak bisa memahami apa yang sebenarnya telah terjadi,
terutama ketika mendengar isi pembicaraan keduanya. Bahkan
yang paling takjub adalah ketiga orang berkulit hitam yang
sepanjang hidupnya belum pernah melihat junjungannya itu
tersenyum apalagi tertawa. Lantaran itu, mereka bertiga
merasakan seolah-olah sedang bermimpi.
615
“Perahunya di mana, Tamrej?” seru Brahmin kepada salah
seorang lelaki berkulit hitam yang bertubuh paling tinggi.
“jauh sekali.”
617
Ketika bayangan tujuh ekor kuda itu makin dekat, tampaklah para
penunggangnya mengacungkan pedang sambil berteriak-teriak.
Bharatchandra bergeming dan tetap membungkukkan badan.
Penunggang kuda paling depan mengangkat pedangnya tinggi-
tinggi, hendak diayun menebas ke arah depan. Bharatchandra
tetap menunggu.
618
Ketujuh penunggang kuda yang sudah dirasuk amarah itu dengan
sumpah serapah yang kasar terus memburu ke mana pun
Bharatchandra memacu kudanya. Dada mereka bahkan hendak
meledak ketika melihat Bharatchandra mempermainkan irama lari
kudanya. Kadang lambat dan kadang cepat. Mereka terus
memburu Bharatchandra hingga tidak sadar telah masuk ke
kawasan selatan Belgaum yang dikuasai oleh para pengikut Adil
Shahi.
619
Ketika kabut mulai turun menyelimuti bumi, pertanda dinihari, tiba-
tiba Abdul Jalil menangkap sasmita bahwa sesuatu yang tidak
diharapkan telah terjadi pada diri Bharatchandra. Itu sebabnya, ia
bangkit dari duduk dan melangkah ke arah kuda tunggangannya.
Ia memutuskan menyusul Bharatchandra apa pun resiko yang
bakal dihadapinya.
620
dengan posisi tertelungkup. Di punggungnya tertancap sebatang
anak panah.
622
“Tapi Tuan Syaikh,” ujar Fadillah Ahmad, “Bolehkah saya bertanya
sesuatu tentang Tarekat asy-Syatariyyah yang Tuan suruh saya
berbaiat kepadanya?”
624
dengan cucuku. Jadi, aku pun tidak akan bertemu dia,” ujar Abdul
Jalil.
“Tentang apa?”
Begitulah Raden, kisah sahabat dan guru Aki, Syaikh Datuk Abdul
Jalil. Cerita Aki disudahi dulu sampai di sini. Soalnya, tidak terasa
627
sudah semalam suntuk Aki bercerita. Sekarang waktu subuh
sudah datang.” “
Sebelumnya Aki mohon maaf, Raden, jika dalam bercerita ada hal-
hal yang tidak sengaja atau sengaja Aki tambah-tambahi tentang
sahabat dan guru Aki itu. Namun, itulah garis besar perjalanannya
di dalam mencari Kebenaran Sejati. Apakah Raden menganggap
dia orang sesat atau tidak, itu terserah sepenuhnya kepada
Raden,” Ki Gedeng Pasambangan tertawa hangat. “
628
Ki Gedeng Pasambangan mengangguk sambil tertawa hangat.
Setelah itu, dia berdiri dan melangkah menuju ke masjid diikuti oleh
Raden Ketib.
629
Raden Ketib tersentak kaget mendengar bisikan Ki Gedeng
Pasambangan. Di tengah kekagetannya itu ia merasakan bisikan
Ki Gedeng Pasambangan mengalir deras ke kedalaman jiwanya
bagaikan cahaya. Ia biarkan bisikan itu meluncur terus menembus
relung-relung jiwanya hingga cakrawala kesadaran di hamparan
jiwanya yang ditutupi lapisan-lapisan hijab tersingkap bagai tirai
disibakkan. Raden Ketib merasakan matahari kesadarannya
bersinar kilau-kemilau menerangi jiwa.
631
SANG PEMBAHARU
BUKU 3
AGUS SUNYOTO
Pengantar Redaksi
Oleh karena itu, wajar bila sering kali terjadi sebuah pemikiran
pada satu zaman masyhur, namun pada zaman yang berbeda
mengalami keredupan, atau sebaliknya. Pada periode tertentu
dikutuk, pada saat yang lain dipuja habis-habisan. Dalam situasi
seperti ini kaum elit (masyarakat agamawan-penguasa-intelektual)
memegang peran yang sangat menentukan.
632
Salah satu contoh peran signifikan kaum elit ini dapat disimak
dalam kasus yang menimpa Syaikh Siti Jenar. Dalam cerita-cerita
babad, ajaran-ajaran Syaikh Siti Jenar dianggap sebagai bid’ah,
menyimpang dari ajaran Islam. Oleh karena itu, melalui sidang
dewan Wali, Syaikh Siti Jenar dihukum mati. Polemik terjadi tatkala
kitab rujukan yang berbeda kita jajarkan. Katakanlah novel yang
ada di tangan pembaca ini kita jadikan rujukan.
633
mendapatkan perlawanan dari penguasa absolut, monarki, raja.
Karena dengan Musyarakah hak-hak prerogatif (mutlak) raja
mendapatkan kendali. Konsep kawula yang secara kebahasaan
(apalagi secara istilahi) berkonotasi ketakberdayaan manusia satu
atas manusia yang lain, semakin redup.
634
Ain al-Bashirah
Dengan ketakjuban luar biasa, saat itu sang salik akan merasakan
pancaran kecermelangan purnama ruhani (zawa’id) melimpahi
relung-relung kalbunya yang diliputi pemahaman ruhani (fawa’id).
Ia juga akan merasakan betapa menggetarkan dan memesonanya
saat mata batin (‘ain al-bashirah) dengan kejernihan dan
kebeningan kesadaran jiwanya menyaksikan pancaran keindahan
bintang-gemintang pengetahuan hati (thawali’) yang tak
tergambarkan oleh bahasa manusia.
636
Di tengah semerbak wangi bunga-bunga, sejuk udara, dingin
embun, dan hangatnya mentari pagi, sang kupu-kupu yang keluar
dari kepompong mengepakkan sayap untuk mencari sari madu di
antara kelopak bunga sambil memuji keagungan dan kemuliaan
Ilahi. Sang kupu-kupu merasa dunianya adalah dunia keindahan
dan kesucian yang diliputi keagungan dan kemuliaan. Namun, saat
terbang di antara bunga-bunga itulah dengan pandang heran ia
melihat – dengan pandangan mata seekor kupu-kupu – kawanan
ulat yang ganas dan rakus menggeragoti daun-daun, buah, dan
bunga dari Pohon Kehidupan. Ah, betapa rakus. Betapa ganas.
Betapa menjijikkan. Tidak ada manfaat apa pun dari ulat-ulat ganas
dan rakus itu selain merusak dan membinasakan Pohon
Kehidupan. Dan, sang kupu-kupu pun berkata dalam hati,
“Sesungguhnya, dari ulat-ulat yang ganas, rakus, dan menjijikkan
itulah aku dulu berasal.”
637
Pengalaman ruhani adalah pengalaman rasa. Itu sebabnya, Raden
Ketib tidak bisa menjelaskan dalam bahasa manusia bahwa
sesungguhnya keakuannya tidak ikut campur dalam proses
menguak lapisan kepompong saat ia merasakan keberadaan
dirinya sebagai kupu-kupu. Ia tidak bisa menjelaskan
pengalamannya secara tepat, kecuali mengungkapkan dengan
jujur betapa dirinya dalam bentuk kupu-kupu itu telah diserap oleh
semacam “daya gaib” yang mendorongnya keluar dari kepompong.
Bahkan, saat dirinya telah keluar dari kepompong pun ia hanya
bisa mengungkapkan perasaan betapa semua gerak dari
kehidupannya sebagai kupu-kupu seolah-olah diarahkan dan
dituntun oleh “daya gaib” tersebut.
641
Tetapi seibarat matahari yang tak pernah menyisakan pamrih akan
kecemerlangan cahayanya saat menerangi dunia, demikianlah
Syaikh Datuk Abdul Jalil meninggalkan semua hasil
perjuangannya, demi menyongsong datangnya malam indah yang
diterangi bulan sabit dan berjuta-juta bintang yang gemerlapan
memenuhi penjuru langit,” ujar Syaikh Maulana Jati tentang Syaikh
Datuk Abdul Jalil yang sangat dihormati dan dimuliakannya.
642
keberadaan Syaikh Datuk Bardud di kediaman kakeknya sangat
dirahasiakan hingga ia pun tidak diperbolehkan mengetahuinya?
645
Apakah Rakanda melihat saya tergolong d antara mereka yang
sudah tercelikkan mata batinnya?” tanya Raden Ketib meminta
penjelasan.
648
Kembali ke Sarang
652
Rasulullah Saw. sudah menyatakan jaminan bahwa barang siapa
di antara manusia saat menjelang ajal bisa berujar tidak ada
sesembahan yang lain selain Allah (La ilaha illa Allah), ia bakal
masuk surga tanpa hisab. Namun, prasyarat sederhana itu
ternyata menjadi masalah maharumit manakala dihadapkan pada
kenyataan hidup. Bahkan, jumlah umat Islam yang bisa mengucap
La ilaha illa Allah dalam makna yang sebenarnya saat menjelang
ajal bisa dihitung dengan jari. Karena itu, o Ramanda Guru,
sungguh arif keinginan paduka yang menempatkan tuntunan yang
benar saat menjelang ajal itu sebagai pilihan utama. Sebab, di
situlah terletak kunci rahasia keselamatan yang hampir selalu
dilalaikan manusia,” kata Abdul Jalil.
653
Engkau benar sekali, Anakku. Memang Allah SWT. selama ini telah
mengajarkan jalan Kebenaran kepadaku. Namun, jalan Kebenaran
yang aku lewati itu belum selesai aku lintasi. Kini Allah SWT.
menyuruhku agar meminta engkau menuntun aku melewati
lintasan jalan akhir kebenaran-Nya. Maklum, mungkin aku sudah
tua bangka, rabun, dan tidak kuat lagi berjalan di atas jalan
Kebenaran-Nya sehingga aku harus dituntun oleh yang lebih muda
dan yang lebih tahu arah.”
654
Syaikh Datuk Kahfi tidak menjawab. Diam seribu bahasa. Hanya
air matanya tiba-tiba jatuh bercucuran membasahi pipinya yang
keriput. Setelah beberapa jenak terisak dia berkata tersendat-
sendat, “Ibundamu kurang beruntung, o Anakku. Barang tiga bulan
yang lalu dia telah dipanggil menghadap hadirat-Nya. Sungguh
menyedihkan, dia tidak sempat melihat putera kesayangannya
kembali dari rantau.” “
Inna li Allahi wa inna ilaihi raji’un,” desah Abdul Jalil menarik napas
panjang dan berat. “
655
Apa yang membuat ibunda terpukul dengan masuk Islamnya
Raden Anggaraksa?” “
Jadi, ibunda saya sudah tahu jika yang menyuruh para begal itu
adalah Pamanda Rsi Bungsu?” “
656
Di manakah ibunda saya dimakamkan?” “
Jika demikian,” sahut Abdul Jalil, “di manakah selama ini kakak
saya tinggal?” “
660
Manusia pada hakikatnya hanya berusaha, tetapi Allah jua yang
menentukan dan mengatur segala sesuatu,” gumam Abdul Jalil
seolah kepada diri sendiri sambil menarik napas dalam-dalam. “
661
Ya, karena dia sudah bersumpah untuk tidak menikah sebelum
bertemu denganmu.” “
663
Selama beberapa waktu kedua gadis kecil itu tinggal di Padepokan
Kuro. Tergugah oleh rasa iba melihat nasib mereka maka Syaikh
Datuk Kahfi meminta keduanya tinggal di Padepokan Giri Amparan
Jati sekaligus menemani Nyi Rara Anjung, yang akan ditinggalkan
selama dia pergi mencari San Ali. “Saat aku kembali dari Baghdad
dengan istri dan ketiga orang kemenakan istriku yang masih belum
dewasa, mereka kuasuh bersama-sama dengan Umi Kalsum dan
Siti Zainab. Setelah cukup umur mereka aku nikahkan.
Abdurrahman Rumi aku nikahkan dengan Umi Kalsum.
Abdurrahim Rumi aku nikahkan dengan Siti Zainab.” “
Kata orang, saat berdinas sebagai raja pun Sri Mangana selalu
terlihat bersahaja, malah sangat bersahaja dibandingkan dengan
para raja di Bumi Pasundan yang lain. Ia tidak pernah terlihat
mengenakan mahkota emas bertatah intan permata. Ia juga tidak
pernah terlihat mengenakan perhiasan tubuh sebagaimana
lazimnya pakaian kebesaran para raja di Bumi Pasundan. Saat
berdinas sebagai raja tubuhnya yang gagah hanya ditutupi jubah
putih. Kepalanya ditutupi destar polos putih. Semuanya dibuat dari
kain katun kasar dan tanpa hiasan. Satu-satunya benda mewah
667
yang melekat di tubuhnya adalah sebilah keris bergagang gading
berukir kepala naga dengan serasa emas dan hiasan intan
permata gemerlapan. Keris itu masyhur disebut orang: Kanta
Naga.
668
desa-desa di lereng gunung tunduk patuh di bawah kuasa dan
wibawanya yang luar biasa.
Tidak berbeda jauh dengan Sri Mangana, Nyi Indang Geulis, sang
permaisuri yang adalah ibunda asuh Abdul Jalil, dalam pertemuan
itu juga tampil seperti biasanya, yakni sangat bersahaja sehingga
tidak mengesankan bahwa dia adalah permaisuri raja. Dia tidak
mengenakan perhiasan berlebih di tubuhnya, kecuali dua pasang
giwang emas dengan hiasan permata sebesar butiran kacang.
Meski demikian, keanggunan dan kewibawaan seorang permaisuri
memancar agung dari citra dirinya. Sejumlah uban yang tampak
menyelip di rambutnya yang hitam tidak menghapus gari-garis
kecantikan yang masih membias di wajahnya.
Bagi Abdul Jalil, ibunda asuh yang dihadapinya malam itu, meski
sudah berubah dalam tampilan, yakni lebih tua dan lebih
berwibawa, tidaklah berubah dalam sikap. Ibunda asuhnya itu
seperti tidak peduli bahwa ia telah tumbuh menjadi laki-laki dewasa
yang telah merasakan pahit dan getir kehidupan. Ibunda asuhnya
seolah-olah tetap menganggap San Ali kecil yang bisa digendong,
ditimang, dimanja, dan diawasi gerak-geriknya. Di atas itu semua,
Abdul Jalil menangkap kesan bahwa ibunda asuhnya kini telah
berubah menjadi perempuan yang tegas, penuh semangat, tegar,
berwibawa, bahkan cenderung menguasai.
675
Dengan mata berkaca-kaca Nyi Indang Geulis bertanya,
“Benarkah ucapan ayahandamu itu, o Puteraku?” “
Karena itu, o Ibunda, sangatlah wajar jika Ibunda saat ini yang
sudah berada di puncak justru merasakan ada jarak gaib yang
memisahkan ibunda dengan suami, putera-puteri, dan segala
sesuatu yang Ibunda miliki. Karena, Ibunda sudah berada di
puncak kehidupan yang sejati. Saat ini sejauh Ibunda menyapukan
pandangan, hanya langit luas, gumpalan awan, gugusan sawah,
hutan, desa-desa, aliran sungai, dan lautan saja yang tampak di
kejauhan. Ibunda tidak merasa memiliki semuanya. Ada jarak yang
memisahkan Ibunda dengan mereka. Bahkan, jika dirasa-rasakan
saat ini Ibunda sesungguhnya tegak sendirian di puncak gunung
kehidupan. Ibunda hanya dikawani rasa sunyi, senyap, hening, dan
hampa. Dan, sesungguhnya rasa hampa yang meliputi Ibunda,
yakni rasa hampa yang tak terjangkau akal, tak tersentuh pikiran,
tak terbayangkan, tak terbandingkan, itulah hakikat sejati dari
kedekatan Ibunda dengan Sang Hampa (laisa kamitslihi syaiun)
yaitu Sang Mahaada (al-Wujud), Yang Zhahir dan Batin.” “
Maksud Ibunda?” “
Seperti tanpa beban apa pun Nyi Indang Geulis menuturkan liku-
liku cerita yang melatari perkawinan suaminya. Mula-mula, ia
memaparkan kenyataan betapa selama bertahun-tahun
perkawinannya ternyata tidak dikaruniai keturunan. Namun, saat
itu dia tidak pernah merasakan keadaan itu sebagai sesuatu yang
berat karena dia selalu menumpahkan kasih sayang seorang ibu
kepada putera asuhnya, San Ali. “Tetapi, semenjak kepergianmu,
o Puteraku, aku rasakan hidupku tiba-tiba menjadi sepi dan
lengang. Apa yang aku rasakan itu ternyata dirasakan juga oleh
ramandamu. Akhirnya, aku meminta saran guru agung. Dan, beliau
menuturkan tentang ketentuan hukum kauniyah adanya
682
pertemuan dan perpisahan, di mana keberadaan agama pada
hakikatnya adalah melatih manusia untuk tulus mengikuti hukum
kauniyah itu dengan pengekangan-pengekangan dan bahkan
penyiksaan diri,” ujar Nyi Indang Geulis.
683
Dari ibundamu Nyi Ratu Inten Dewi, beliau memang tidak memiliki
keturunan. Namun, dari istrinya yang bernama Ratu Arumsari,
puteri Yang Dipertuan Singhapura, beliau memiliki puteri bernama
Nyi Retna Riris.” “
685
Sebab, di balik niat perkawinan ayahandamu dengan Ratu
Arumsari tersembunyi iktikad untuk menghilangkan pengaruh
Majapahit. Itu sebabnya, setelah penguasa Singhapura, Dyah
Surawijaya Bhre Singhapura, meninggal, yang menggantikannya
adalah kakekku, Ki Gedeng Tapa, yakni kemenakan tirinya. Di
bawah kakekku itulah nama Singhapura diam-diam
ditenggelamkan oleh nama Pasambangan.”
Orang bilang jumlah kumbang jantan yang luka tertusuk duri bunga
Gandasari sudah tidak terhitung. Di antara beberapa kumbang
jantan yang terbanting dari kelopak bunga harum Gandasari yang
diingat orang adalah Ki Gedeng Plered, Ki Gedeng Dermayu, Ki
Gedeng Pekandangan, Ki Gedeng Paluamba, Ki Gedeng
Sindanggaru, Ki Gede Sembung, Ki Gede Bungko, dan Syaikh
Magelung.
Betapa aneh hidup ini jika direnungkan, ujarnya dalam hati. Betapa
berbelit hidup ini jika dipikir-pikir. Betapa mengherankan hidup ini
jika dibayang-bayangkan. Dan, betapa berat hidup ini jika diingat-
ingat lekuk dan likunya. Namun sebagai manusia yang sudah
merasakan pahit dan getir hidup hingga mencapai kedewasaan
ruhani, aku sadar bahwa hidup adalah untuk dinikmati dan dijalani
apa adanya tanpa perlu dipikir-pikir, direnung-renung, dibayang-
bayangkan, dan diingat-ingat. Hidup adalah ibarat setitik air yang
691
harus setia pada aliran hukum kauniyah yang menyeretnya ke
lingkaran siklus, yaitu menuju ke Muara dan sekaligus Sumber
Sejati.
692
bisa berbesar hati menerima kehendak-Nya meski itu sering tidak
engkau pahami.” “
Satu hal yang harus engkau ketahui, yaitu adik yang terus-menerus
engkau rindukan sekarang telah kembali dengan membawa
kemenangan. Maksudku, ia telah berhasil meraih keinginannya
yaitu menemukan Kebenaran Sejati. Itu sebabnya, sebagaimana
aku, hendaknya engkau pun belajar darinya tentang jalan
Kebenaran Sejati.” “
693
Nyi Mas Gandasari tersentak kaget mendengar ujar Abdul Jalil.
Sebab, beberapa macam ilmu yang disebut oleh adiknya itu justru
merupakan ilmu andalan yang dia warisi dari Sri Mangana dan Ki
Gede Selapandan, gurunya. Sambil tersenyum kecut dia berkata
kepada Sri Mangana, “Ramanda Ratu ternyata benar. Rupanya,
dia bisa mengetahui segala apa yang ada di dalam diri kita. Itukah
yang disebut waskita? Weruh sadurunge winara?” “
694
Abdul Jali tertegun. Sesaat kemudian ia pun tertawa.
695
Tanah Samiddha “
Memang, antara Guru Agung Syaikh Datuk Kahfi dan Rsi Bungsu
tak pernah terjadi perselisihan,” ujar Sri Mangana. “Namun, sejak
Raden Anggaraksa, puteranya, memeluk Islam dan meminta
perlindungan kepada uwaknya di Giri Amparan Jati, api kebencian
telah membakar hatinya yang sudah hangus menghitam itu. Itu
sebabnya, tanpa hujan tanpa angin, tiba-tiba ia memerintahkan
sekawanan begal yang dipimpin Bergola Hideung untuk menjarah
696
dan membakar seluruh bangunan yang ada di Giri Amparan Jati.
Untung yang terbakar hanya tiga pondok hunian siswa.” “
698
Sebagai raja yang sudah puluhan tahun merasakan pahit dan getir
kehidupan, Sri Mangana paham apa yang dimaksud oleh putera
asuhnya. Dengan menggumam seolah-olah berkata kepada
dirinya sendiri dia berkata, “Rsi Bungsu dalam pandanganku tak
lebih dari seekor anjing hutan yang kelaparan, tetapi lehernya diikat
tali yang kuat. Saat melihat segumpal daging segar ia menggeram
dan meneteskan air liur. Namun setiap kali ia meronta berusaha
menerkam dan menyantap daging itu, selalu saja tali yang
mengikat lehernya itu mencekiknya. Tali itu terlalu kuat untuk
diputuskan oleh rontaan tubuh, gigitan taring, atau cakaran
kukunya. Kini saat anjing tua itu sudah sangat kelaparan dan
kehilangan daya, tiba-tiba ia dikebiri pula oleh pemeliharanya. Ya
Allah, siksa dan azab apa yang Engkau timpakan kepada manusia
celaka itu?” “
699
Sampai usianya masuk tiga puluh tahun dia tidak mau menikah.
Malah sekaran ini dia memeluk Islam. Bukankah itu sama artinya
dengan dikebiri bagi Rsi Bungsu?” “
Tapi ada satu hal yang perlu engkau ketahui tentang Rsi Bungsu,
o Puteraku,” ujar Sri Mangana. “
701
pemimpin kawanan begal, membakar Padepokan Giri Amparan
Jati.” “
702
Belum pernah, kecuali saat Pamanda Rsi Bungsu merebut
Pakuwuan Caruban.” “
Aku tidak tahu pasti sejak kapan tempat ini menjadi samiddha.
Tetapi sejak zaman kuno, menurut cerita, tanah ini sudah menjadi
batas antara Bumi Pasundan dan Bumi Jawa. Engkau tentu masih
ingat batas sebelah timur dari Caruban Larang adalah Cipamali
(Sungai Pamali), yakni sungai larangan. Dikatakan sungai
703
larangan karena sejak zaman kuno sungai itu tidak boleh diakui
sebagai milik raja-raja Sunda maupun raja-raja Jawa.” “
Aku sendiri semula tidak paham tentang hal itu,” sahut Sri
Mangana, “tetapi akhirnya ayahandaku menjelaskan bahwa Yang
Mulia Ario Abdillah sesungguhnya seorang putera raja berdarah
Majapahit-Sunda.” “
Ya. Sebab, kakek beliau yang bernama Kaki Palupa adalah kepala
prajurit pembawa gada (rakryan atandha ing palu-palu) Kerajaan
Sunda. Kaki Palupa termasuk salah satu pengikut setia kakek
buyutku, Prabu Linggabhuwana Wisesa Sri Maharaja Sunda Sang
Mokteng Bubat, yang berhasil lolos dari malapetaka di Bubat.
Beliau bisa lolos dari maut karena memiliki ilmu sakti seratus ribu
hulubalang. Kaki Palupa kemudian menjadi pendeta Bhairawa (Pu
711
Palyat) di hutan Wanasalam yang terletak di sebelah selatan ibu
kota Majapahit.” “
Benarlah apa yang engkau katakan itu, o Puteraku. Karena itu, aku
berharap engkau mengikuti jejak Guru Agung Syaik Datuk Kahfi.
Maksudku, meski niat utama beliau membangun padepokan di
tanah larangan ini adalah semata-mata untuk mengembangkan
dakwa Islam, beliau tetap menghormati kepercayaan orang-orang
setempat. Beliau memahami bahwa sesungguhnya Padepokan
Giri Amparan Jati yang terletak di samiddha Caruban tidak hanya
dianggap sebagai milik orang-orang muslim, tetapi juga dianggap
sebagai milik semua orang Sunda dan Jawa, tidak peduli apakah
dia Muslim, Hindu atau Budha,” ujar Sri Mangana.
714
Di bagian belakang Bangsal Kaprabon, yang dibatasi dinding
tinggi, adalah wilayah puri kediaman pribadi raja. Di dalamnya
terdapat Bale Rangkang, Parapuri, Purasabha, Kaputrian, dan
Kebon Raja. Agak jauh ke arah selatan tetapi masih di dalam
dinding baluwarti (benteng) terdapat kawasan hunian pejabat
khusus pembantu raja, yakni para pakring (mangilala drwya haji).
Kawasan hunian pejabat pangkring itu disebut Pakringan.
715
Lawang Gede (gapura agung) juga memeriksa orang-orang yang
akan menghadap raja.
717
Pada saat Prabu Niskala Wastu Kancana berkuasa, ungkap Sri
Mangana, yang ditunjuk sebagai penguasa samiddha Caruban
adalah cucunya, Dyah Surawijaya Bhre Singhapura, yaitu
keturunan yang diperoleh dari hasil pernikahan puterinya, Tohaan
di Galuh, dengan Prabu Kertawijaya Maharaja Majapahit.
Sedangkan yang ditunjuk sebagai mangkubhumi, pemangku
Kabhumian, adalah Ratu Kasmaya, putera Prabu Garbha Menak,
cucu Prabu Niskala Wastu Kancana. Ratu Kasmaya menikah
dengan sepupunya, kakak Dyah Surawijaya yang bernama Dyah
Suragharini Bhre Singhapura.
720
Sri Maharaja Jayabhupati sendiri sesungguhnya masih kerabat
Ratu Stri Bhattari Prthiwi, yaitu keturunan Wangsa Sanjaya dari
galur Rahyang Tamperan. Menurut silsilah, baik Ratu Stri Bhattari
Prthiwi maupun Sri Maharaja Jayabhupati adalah keturunan kedua
belas Rahyang Tamperan dari galur Maharaja Mataram Raka i
Watukara Dyah Balitung Sri Dharmodaya Mahasambhu.
721
Ketika terjadi kemelut dalam pemerintahan Dyah Wawa Sri
Wijayaloka, pengganti Tulodong, kekuasaan terpecah menjadi
dua. Pertama, menantu Dyah Wawa yang bernama Raka i Hino Pu
Sindok Sri Isanatunggawijaya membangun kekuasaan di wilayah
timur dengan kedaton di Watu Galuh. Kedua, Prabu Arya Galuh
putera Prabu Hari Murti tetap berkuasa di Adi Mulya.
Sri Jayabhupati dikenal sebagai raja yang adil dan bijaksana serta
sangat memperhatikan kehidupan kawulanya. Anehnya, diam-
diam orang menjulukinya dengan sebutan bernada merendahkan,
yaitu Prabu Lutung Kasarung (Sunda: penguasa Sungai Cilutung
yang sesat jalan). Sri Jayabhupati disebut raja sesat jalan karena
dia telah murtad dari agama yang dianut ayahanda dan ibunda
serta leluhurnya. Seluruh kawula Kerajaan Palutungan dan semua
leluhur Sri Maharaja Jayabhupati adalah pemuja Wisynu,
sementara Sri Jayabhupati justru menjadi pemuja Syiwa
Mahaguru. Dan lantaran itu, selain disebut dengan nama Prabu
Lutung Kasarung, ia juga disebut Guru Minda yang bermakna
“yang berpindah (memuja) Sang Syiwa Mahaguru.”
726
Sementara itu, tempat pendharmaan Sri Maharaja Jayabhupati di
lereng Gunung Ceremai dijadikan Kerajaan Leluhur oleh Raja
Galuh Sri Prabu Dharmaraja. Ia dipuja sebagai Syiwa Mahaguru
Sang Girinatha. Pendharmaan Sri Maharaja Jayabhupati yang
disucikan dan dijadikan Kerajaan Leluhur itu disebut
Linggasasana.
731
Benar demikian adanya.” “
Maksudnya?” “
Maksudnya?” “
735
Tanpa Caruban dan Banten, takhta Kerajaan Sunda tidak memiliki
wibawa apa-apa.”
Lepas benar atau tidak pandangan para sesepuh itu,” ujar Sri
Mangana, “yang jelas, sejak Sang Ganesha dipuja kembali di
Palimanan dan kemudian ditambat dan dijinakkan dengan mantra-
mantra di Pagajahan, terbukti pengaruh jahat dari Sang Gajah tidak
terjadi lagi atas Bumi Pasundan. Sejarah mencatar, Sang Gajah
Mada, Mahapatih Majapahit, tidak pernah menginjakkan kaki ke
Bumi Pasundan.” “
737
Ya, seperti kebiasaan raja-raja Sunda dan Jawa, runtuhnya
kerajaan selalu disebabkan oleh perebutan takhta di antara
keturunan sang raja. Kerajaan Galuh Singhapura yang besar
pecah menjadi dua pada masa Prabu Bhattara Hyang Purnawijaya
dan Sri Prabu Dharmaraja. Sepeninggal Prabu Bhattara Hyang
Purnawijaya terjadi perebutan di antara keturunannya.” “
738
Begitulah adanya sehingga pada masa kakek buyutku berkuasa
bukan saja kraton Singhapura menjadi tidak terurus dan merana,
melainkan pendharmaan Prabu Stri Bhattari Prthiwi di Kabhumian
pun tak terawat. Kawasan itu benar-benar terlantar hingga
ditumbuhi rumput alang-alang sehingga disebut Tegal Alang-
Alang.” “
739
Warisan Sang Udang?” Abdul Jalil heran. “Siapakah yang
dimaksud Sang Udang?” “
Kini, dalam tempo sekitar tujuh belas tahun, Kutha Caruban telah
berubah menjadi kutharaja yang jauh lebih besar dan lebih ramai
dibandingkan dengan Dermayu. Bale Pakuwuan yang dibangun
menjadi Bangsal Kaprabon telah menjelma menjadi istana raja
yang megah dan indah dilingkari tembok baluwarti. Bangunan-
bangunan besar tempat nayakapraja bekerja ditata selayaknya
kutharaja kerajaan besar. Bekas Kerajaan Leluhur Kabhumian
dibangun lebih megah. Lemah Wungkuk yang terlantar pun telah
dibangun kembali sebagai Siti Hinggil kerajaan. Bahkan, alur
perdagangan tidak saja dibuka bagi pedagang-pedagang
pedalaman, tetapi dibuka pula bagi saudagar-saudagar
mancanegara. Sungguh, hanya manusia besar yang mampu
melahirkan karya besar, kata Abdul Jalil dalam hati memuji
ayahanda asuhnya.
744
Dang Hyang Semar
747
Perbincangan antara Abdul Jalil dan Sri Mangana ternyata makin
menusuk ke masalah yang terkait pemujaan arwah leluhur.
Sekalipun Sri Mangana sudah menjelaskan tentang kenyataan
yang menunjuk bahwa sesungguhnya di balik pemujaan terhadap
dewa-dewa itu sejatinya adalah pemujaan terhadap arwah leluhur,
dia belum bisa menjelaskan bagaimana hal itu bisa terjadi.
“Sepengetahuanku, para brahmana, wiku, sadhu, acarya, guru-
gama, tuha-gama, dan surak-loka selalu mengajarkan tuntunan
agama sesuai hukum suci Weda. Tetapi kenyataannya, pada
tingkat amaliah semua itu berubah menjadi seperti yang kita lihat.
Baik raja-raja Sunda maupun raja-raja Jawa hampir tidak ada yang
benar-benar memuja dewa dalam makna yang sebenarnya,” ujar
Sri Mangana.
“Tapi, jika memang itu yang terjadi maka kita tentu tidak bisa
berbuat apa-apa.”
748
persoalan yang rumit. Itu sebabnya, ia memasrahkan urusan itu
kepada Allah. Biarlah Allah yang memutuskan bagaimana yang
terbaik bagi-Nya untuk dipuja dan disembah suatu bangsa,
katanya dalam hati.
750
“Beliau tidak berkenan disembahsujudi sesama manusia dan
beliau menyatakan tidak berkenan bertemu dengan Ramanda
Ratu,” jelas Abdul Jalil.
752
“Perubahan apakah yang sesungguhnya akan engkau embuskan
di sini?”
“Jika engkau berbicara tentang barisan nabi, guru suci, para tapa,
dan para bijak, tentunya apa yang akan engkau sampaikan tidak
akan jauh berbeda dengan apa yang telah aku sampaikan selama
ini.”
“Pada awalnya, kehadiran kami ditolak baik oleh para raja dari
bangsa berbadan halus itu maupun para kera raksasa dan ratu
siluman. Satu demi satu mereka berhasil aku halau dan singkirkan,
meski beratus-ratus pengikutku meninggal akibat berbagai macam
penyakit. Namun, mereka, khususnya para raja bangsa berbadan
halus, terus mengganggu pengikutku. Akhirnya, setelah berselisih
selama tiga ratusan tahun, aku dan para raja bangsa halus
mencapai kesepakatan untuk bisa hidup berdampingan. Dalam
kesepakatan itu ditetapkan lima syarat yang harus dipatuhi oleh
masing-masing pihak.”
755
“Dengan kelima syarat itu, akhirnya bangsa manusia berhasil
tinggal di Pulau Kendhang dan hidup berdampingan dengan
bangsa berbadan halus yang telah lebih dulu menghuninya.
Sebagaimana tugas utama yang kuemban dari Sanghyang Taya
maka aku pun menjadi guru loka di Pulau Kendhang untuk
mengajar manusia menyembah Sanghyang Taya secara benar.”
“Jika Dia, Taya, adalah Sang Hampa, yang tidak diketahui dan tak
dikenali,” tanya Abdul Jalil, “bagaimana manusia bisa mengenal
dan menyembah-Nya?”
756
yakni Pribadi Ilahi yang memiliki Nama dan Sifat sebagai pengenal
keberadaan diri-Nya.”
“Maksud paduka?”
“Yang kedua adalah sifat Tu atau To yang tidak baik, yaitu yang
mendatangkan kejahatan, kehinaan, kenistaan, dan kebinasaan.
757
Tu itulah yang dikenal dengan nama han-Tu. Sifat Tu yang tidak
baik, yaitu han-Tu, itulah yang disebut dengan nama Sanghyang
Manikmaya (Jawa Kuno: Permata Khayalan). Sanghyang
Manikmaya, Pribadi Ilahi yang hanya diketahui nama dan sifat-Nya
itu, tak berbeda dengan Sanghyang Tunggal, yakni memiliki nama
dan sifat Wenang (Mahakuasa).”
758
“Benarlah demikian adanya,” ujar Dang Hyang Semar. “Yang
berbeda hanya jalannya saja. Jika kita memuja Sanghyang
Tunggal maka kita hanya melewati jalan lempang di dalam menuju
Sanghyang Taya (monoteis). Sebaliknya, jika kita memuja
Sanghyang Manikmaya maka kita akan melewati banyak jalan
untuk menuju Sanghyang Taya (politeis).”
762
“Tidak semua yang beroleh Tu-ah dan Tu-lah berderajat sama.
Sebab para pemuja dan penyembah Sanghyang Taya
sesungguhnya terpilah menjadi empat golongan manusia.”
769
“Sedangkan ajaran To-gog jauh lebih rumit karena mengikuti
banyak jalan sebagai pengejawantahan Sanghyang Manikmaya.
Di samping itu, ajaran Sang To-gog sangat dipenuhi dengan
pamrih-pamrih duniawi dan ukhrawi. Ajaranku tidak mengenal
sesaji. Ajaran Sang To-gog justru mensyaratkan penggunaan
sesaji. Karena ajaran yang disampaikan Sang To-gog melewati
banyak jalan di mana masing-masing jalan memiliki aturan dan
pranata sendiri maka para pengikut Sang To-gog sering menemui
kesulitan dalam memuja-Nya.”
771
Sang Sarawita (Jawa Kuno: inti, energi, benda) adalah anak Sang
To-gog yang mengajarkan manusia untuk memuja dan
menyembah Sanghyang Manikmaya melalui berbagai sarana
bantu. Tujuan utama mereka memuja dan menyambah Sanghyang
Manikmaya adalah mengharap agar semua hasrat kecintaan
manusia terhadap benda-benda dan kekuasaan duniawi terpenuhi.
Sang Sarawita dan pengikutnya yakin bahwa pemuja dan
penyembah Sanghyang Manikmaya akan dilimpahi Tu-ah dan Tu-
lah yang berguna untuk menguasai benda-benda sekaligus
menjadi pemegang kekuasaan dunia.
To-gog adalah orang yang suka bercanda dan tidak bisa bertindak
tegas terhadap perilaku anak-anaknya yang menyimpang. Itu
sebabnya, ketika anaknya yang bernama Sang Kere dipengaruhi
Sang Idajil, ia tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menangis dan
meratap meminta bantuanku untuk melawan Sang Idajil. Namun,
aku tidak bisa membantunya karena Sang Idajil diam-diam mulai
berusaha mempengaruhi umatku juga. Sehingga, aku dan ketiga
orang anakku harus berjuang keras melawan pengaruh jahat Sang
Idajil yang menyesatkan itu.”
773
“Ibadah sehari-hari para pemuja Sang Idajil, Si Urat Napas Juling,
ditandai oleh dua ciri yang sama dengan hakikat nama Idajil.
Pertama, melalui pengaturan pernapasan lewat urat napas
sebagaimana diajarkan Sang Idajil, mereka akan mencapai tahap
tidak sadarkan diri dan kemudian mengomel tidak karuan. Mereka
tidak tahu apa yang sesungguhnya telah mereka ucapkan dalam
omelan itu. Mereka seperti keranjingan arwah, padahal
sesungguhnya hal itu terjadi karena getar urat napas yang diatur
secara keliru sehingga mempengaruhi kesadaran. Kedua, seperti
Sang Idajil yang juling, mereka selalu keliru dalam memandang
Kebenaran. Mereka tidak pernah tahu hakikat Tu, Pribadi Ilahi,
apalagi hakikat Sanghyang Taya. Mereka hanya mengenal Tu-han
sebagai kuasa terang dan kebaikan, sedangkan han-Tu
merupakan kuasa kegelapan dan kejahatan. Terang dan gelap
adalah dua kekuatan yang saling bertarung memperebutkan
keunggulan masing-masing. Itu sebabnya, pengikut Sang Idajil
menganggap kebenaran itu dua, bukan sa-Tu atau Tu-nggal.”
“Saya akan mengikuti jejak paduka. Sebab, telah jelas bagi saya
bahwa ajaran Islam adalah ajaran Tauhid yang dijadikan rahmat
oleh-Nya bagi seluruh makhluk di alam semesta. Sesungguhnya,
tugas utama saya hanyalah sebagai penyampai berita Kebenaran
Islam saja. Saya sekali-kali bukan pengusir bangsa lain apalagi
penimbul kebinasaan.”
780
“Itu baik dan sesuai dengan semangat ajaran Kapitayan.”
“Tentu saja,” jawab Dang Hyang Semar. “Dia dulu memasang Tu-
mbal di beberapa tempat di pantai utara Nusa Jawa dengan
menebarkan tanah dari Negeri Persia. Saat memasang Tu-mbal itu
ia mengibarkan bendera hitam yang disebut Tunggul Wulung.”
“Ya.”
781
“Ditanah kulon tempat aku dan Sang To-gog pertama kali
terdampar seusai banjir besar, yaitu di Gunung Karang Tumaritis,
Gunung Pulasari, dan Gunung Lancar.”
782
“Menurut kesaksian ananda, beliau dan keturunannya adalah nabi-
nabi yang membawa ajaran lurus keesaan Ilahi kepada manusia,
khususnya di Nusa Jawa. Tetapi, sejak Ki Buyut Sodong,
keturunan terakhirnya, wafat tanpa keturunan maka tidak ada lagi
yang meluruskan ajaran Kapitayan.”
783
“Berarti, ajaran Islam dengan mudah akan berkembang di Nusa
Jawa karena kehadiran Islam seperti membangkitkan ajaran lama
yang sudah dikenal semua orang.”
“Caranya bagaimana?”
784
“Tidak Ramanda Ratu,” sahut Abdul Jalil, “tetapi dengan menebar
tanah dari Negeri Persia.”
785
“Mudah-mudahan dengan mengingat nama Dukuh Semar, orang
senantiasa akan mengingat pembawa ajaran Tauhid yang paling
awal di Nusa Jawa,” kata Abdul Jalil.
Sejak bertemu dengan ruh Dang Hyang Semar, Abdul Jalil sadar
bahwa berbagai kecenderungan para penghuni Bumi Pasundan
dan Nusa Jawa untuk mengikuti naluri memuja arwah leluhur,
terutama memuja arwah ra-Tu, bukan sesuatu yang berdiri sendiri,
melainkan suatu rangkaian sambung menyambung yang
bersumber dari pendangkalan ajaran suci Kapitayan. Pemujaan
terhadap arwah ra-Tu terutama amaliah kalangan Tu-gul di dalam
menerapkan ajaran Kapitayan pada kehidupan sehari-hari.
786
Berbeda dengan Abdul Jalil, Sri Mangana justru dicekam
kegelisahan mendalam usai bertemu Dang Hyang Semar. Dia
merasa ada gumpalan kabut hitam menyelimuti kejernihan hatinya
yang diliputi rasa bersalah. Penolakan Dang Hyang Semar benar-
benar merupakan pukulan dahsyat yang membuatnya makan tak
enak dan tidur tak nyenyak.
“Abdul Jalil,” ujar Syaikh Datuk Kahfi, “aku kira engkau lebih tahu
apa yang seharusnya engkau lakukan untuk menolong
ayahandamu.”
788
‘sesuatu’ di dalam relung-relung jiwa, yaitu ilmu seratus ribu
hulubalang,” kata Abdul Jalil.
Saat itu, antara sadar dan tidak, antara tidur dan terjaga, dia
seolah-olah berjalan dengan seorang anak muda di sebuah tanah
menjorok lurus yang pada sisi kanan dan kirinya merupakan
789
bentangan lautan luas tanpa tepi. Di tempat aneh itu dia merasa
berjumpa dengan Khidir a.s. “Dari tengah tanah menjorok itu aku
melihat sekawanan udang berenang hilir-mudik di lautan sebelah
kananku. Sedangkan di lautan sebelah kiriku, aku juga melihat
sekawanan udang berenang di antara batu-batuan dan sebagian
bersembunyi di batu-batuan tersebut.”
794
“Ternyata, Nabi Musa a.s. tidak peduli dengan bekal itu. Ia justru
menyatakan bahwa tempat di mana ikan itu melompat ke laut
adalah tempat yang dicarinya sehingga tersingkaplah gumpalan
kabut ghain dari kesadaran Nabi Musa a.s.. Saat itulah purnama
ruhani zawa’id berkilau dan Nabi Musa a.s. dapat melihat Khidir
a.s., hamba yang dilimpahi rahmat dan kasih sayang (rahmah al-
khashshah) yang memancar dari citra ar-Rahman dan ar-Rahim
dan Ilmu Ilahi (‘ilm ladunni) yang memancar dari Sang
Pengetahuan (al-Alim).”
“Jika demikian, beri tahukan aku makna perjalanan Nabi Musa a.s.
dan Khidir a.s. agar kelak dapat aku jadikan pedoman di dalam
meniti jalan Kebenaran Sejati.”
796
“Setelah berada di wilayah perbatasan, Khidir a.s. dan Nabi Musa
a.s. digambarkan melanjutkan perjalanan memasuki Lautan
Makna (bahr al-ma’na), yaitu alam tidak kasatmata. Mereka
kemudian digambarkan menumpang perahu. Sesungguhnya,
perahu yang mereka gunakan untuk menyeberang itu adalah
perlambang dari wahana (syari’ah) yang lazimnya digunakan oleh
kalangan awam untuk mencari ikan, yakni perlambang pahala
perbuatan baik (al-amal ash-shalih). Padahal, perjalanan
mengarungi Lautan Makna (bahr al-ma’na) menuju Kebenaran
Sejati adalah perjalanan yang sangat pribadi menuju Lautan Wujud
(bahr al-wujud). Itu sebabnya, perahu (syari’ah) itu harus dilubangi
agar air dari Lautan Makna (bahr al-ma’na) masuk ke dalam perahu
dan penumpang perahu mengenal dari hakikat air yang mengalir
dari lubang tersebut.”
798
“Pedomannya tetap Kitab Allah dan Sunnah Rasul, tetapi
pemahamannya bukan denga akal (‘aql) melainkan dengan dzauq,
yaitu cita rasa ruhani. Inilah yang disebut cara (thariqah). Di sini,
sang salik selain harus berjuang keras juga harus pasrah kepada
kehendak-Nya. Sebab, telah termaktub dalam dalil araftu rabbi bi
rabbi bahwa kita hanya mengenal Dia dengan Dia. Maksudnya, jika
Tuhan tidak menghendaki kita mengenal-Nya maka kita pun tidak
akan bisa mengenal-Nya. Dan, kita mengenal-Nya pun maka
hanya melalui Dia. Itu sebabnya, di alam tidak kasatmata yang tak
jelas batas dan tanda-tandanya itu kita tidak dapat berbuat sesuatu
kecuali pasrah seutuhnya dan mengharap limpahan rahmah dan
hidayah-Nya.”
“Tapi kenapa di dalam perjalanan itu tidak ada uraian lanjutan yang
menjelaskan penemuan Khazanah Perbendaharaan yang
tersembunyi?”
801
“Kisah perjalanan ruhani Nabi Musa a.s. menembus alam gaib
memang tidak diungkapkan sampai adegan penemuan Khazanah
Perbendaharaan. Sebab, Khazanah Perbendaharaan itu sendiri
tidak bisa dijelaskan dengan bahasa manusia.”
“Kenapa dua anak yatim dalam kisah Qur’ani ini engkau tafsirkan
sama dengan Nabi Musa a.s., yaitu Nabi Musa a.s. dengan
bayangannya di depan Cermin Memalukan? Apakah itu berarti
jasad ragawi dan ruhani Nabi Musa a.s. lahir dari Sumber yang
berlainan?”
802
“Hal itu tidak akan pernah terjadi, Ramanda Ratu,” papar Abdul
Jalil. “Sebab, saat keduanya berdiri berhadap-hadapan di depan
Dinding al-Jalal (al-jidar al-Jalal) dan mendapati dinding itu runtuh
maka saat itu yang ada hanya satu anak yatim. Maksudnya, saat
itu keberadaan al-basyar ‘anak’ Adam a.s. akan terserap ke dalam
ruh ‘anak’ Nur Muhammad. Saat itulah sang anak sadar bahwa ia
sejatinya berasal dari Cahaya di Atas Cahaya (Nurun ‘ala Nurin)
yang merupakan pancaran dari Khazanah Perbendaharaan.
Sesungguhnya, hal semacam itu tidak bisa diuraikan dengan
kaidah-kaidah nalar manusia karena akan membawa kesesatan.
Jadi, harus dijalani dan dialami sendiri sebagai sebuah
pengalaman pribadi.”
803
“Benar demikian, Ramanda Ratu.”
805
“Ya, ya, sesungguhnya tiap-tiap bangsa memang telah didampingi
oleh masing-masing nabi pada zamannya,” ujar Syaikh Datuk Kahfi
menarik napas berat. “Apakah engkau masih ingat pelajaran di
waktu kecil dulu tentang jumlah nabi-nabi yang wajib diyakini umat
Islam?”
“Yang utama, di antara nabi dan rasul ada dua puluh lima orang.
Namun, nabi yang lain jumlahnya seratus dua puluh empat ribu
orang. Saya merasa beruntung karena ditakdirkan oleh-Nya untuk
bertemu dengan salah seorang di antara nabi-nabi mulia tersebut.”
806
Sri Mangana menarik napas berat, dari dahinya terlihat titik-titik
keringat bercucuran.
Angin Perubahan
807
Ibarat orang yang tiba-tiba tersentak bangun pada malam hari dan
menyadari bakal terjadi bencana yang membahayakan kehidupan
di sekitarnya, seorang ‘arif memiliki kewajiban utama
membangunkan orang-orang di sekitarnya agar segera bangkit
dan beramai-ramai melakukan usaha untuk menghindari bencana
tersebut. Dan, sebagai seorang anak negeri yang sudah
“terbangun” di antara saudara-saudara sebangsanya, Abdul Jalil
sadar bahwa kewajiban utama yang harus dijalankannya adalah
“membangunkan” saudara-saudaranya dari tidur panjang dengan
mimpi kosong. Ia harus memperingatkan saudara-saudaranya
tentang akan datangnya marabahaya yang mengintai kehidupan
bangsa.
Bagi Abdul Jalil, seorang ‘arif, manusia yang sudah terbangun dan
tercelikkan mata hatinya, adalah manusia yang sadar bahwa ia
harus menghancurleburkan keakuan pribadi beserta pamrih-
pamrih duniawi demi lahirnya suatu kehidupan baru yang selaras
dan seimbang dengan hukum-hukum kauniyah. Seorang ‘arif
808
harus menjadi gumpalan awan yang rela menghamburkan
khazanah air yang dikandungnya sebagai hujan demi tumbuhnya
benih-benih kehidupan baru. Atau, seperti matahari yang
menebarkan kehangatan bagi kehidupan makhluk penghuni bumi
tanpa meminta imbalan apa pun. Atau, seperti bumi yang
merelakan dirinya diinjak-injak, dilukai dengan cangkul dan bajak,
diludahi, dikencingi, bahkan diberaki demi kelangsungan hidup
para penghuninya. Dan di atas itu semua, seorang ‘arif haruslah
meneladani gerak kehidupan Nabi Muhammad Saw., sang
limpahan rahmah bagi alam semesta.
809
“Sebagai orang yang sudah ‘terjaga’, aku sadar bahwa
keberadaanku sebagai seorang ‘alim adalah pewaris nabi-nabi (al-
‘ulama’ waratsat al-anbiya’). Karena itu, sudah menjadi kewajiban
asasiku untuk melanjutkan tugas utama para nabi dan rasul, yaitu
melakukan perubahan dan pembaruan – terutama menyadarkan
manusia tentang keberadaannya sebagai makhluk paripurna (al-
insan al-kamil) yang menjadi wakil Allah di muka bumi (khalifah
Allah fi al-ardh) – di mana pun aku berada. Merubah dan
memperbarui sesuatu ke arah yang lebih baik, itulah tugas
utamaku.”
811
mendidik di padepokan yang didirikannya tersebut dengan cara-
cara yang sangat mencengangkan.
812
dilakukan orang di padepokan mana pun di Bumi Pasundan dan
Nusa Jawa.
814
Perubahan ketentuan dalam penerimaan siswa itu, meski sangat
mengejutkan banyak pihak pada awalnya, akhirnya dapat
dipahami dan diterima, terutama setelah mendapat dukungan dari
Ratu Caruban Larang, Sri Mangana. Bahkan, ketentuan
penerimaan siswa baru itu mempercepat terjadinya perubahan di
Padepokan Giri Amparan Jati. Padepokan yang sebelumnya
hanya berisi sekitar empat puluh siswa tiba-tiba dibanjiri tujuh ratus
orang lebih. Siswa baru yang belajar di Padepokan Giri Amparan
Jati bukan hanya anak-anak penduduk Caruban Larang dan
sekitarnya, bahkan tak kurang ada di antara mereka berasal dari
tempat yang jauh seperti Dermayu, Tegal, Samarang, dan Demak.
818
Abdul Jalil menarik napas berat dan kemudian berbisik lirih,
“Ramanda Guru adalah seorang ‘alim yang benar-benar menjadi
cerminan pewaris Nabi Muhammad Saw. Ananda bersaksi saat ini
Ramanda Guru adalah benar-benar al-‘alim pengejawantahan al-
‘Alim. Itu sebabnya, Ramanda Guru sesungguhnya tidak
membutuhkan lagi kesaksian siapa pun di antara manusia tentang
apa yang telah Ramanda Guru jalankan selama ini sebagai
penebar ilmu.”
819
Ketika senjakala turun melingkupi Giri Amparan Jati dengan
gumpalan awan kelabu di langit menaburkan rinai gerimis, diiringi
isak tangis istri, kerabat, sahabat, dan siswa-siswa, di bawah
bimbingan Abdul Jalil, Syaikh Datuk Kahfi menghadap ke hadirat
Ilahi dalam usia tujuh puluh tiga tahun. Saat itu pohon-pohon jati
yang terhampar di sekitar padepokan berdiri tegak bergeming
seolah-olah ikut mengantar kepergian Syaikh Datuk Kahfi
menghadap Khaliknya. Daun-daun jati yang jatuh berserakan
diterpa angin menimbulkan suara gemerisik seolah-olah ratapan
pedih anak-anak yang ditinggal orang tuanya. Tetes-tetes air hujan
yang jatuh dari daun-daun jati menitik bagaikan tangisan pedih
alam atas keprgian sang ‘alim. Ikan-ikan di sungai dan lautan
berhenti berenang beberapa jenak. Burung-burung tidak ada yang
terbang. Semuanya terdiam, seolah-olah ikut mengiringkan
kepergian sang penebar ilmu, citra indah pengejawantahan Sang
Ilmu (al-‘Alim), yang kembali ke hadirat-Nya.
Kesepakatan para siswa dan kerabat itu ternyata ditolak oleh Abdul
Jalil. Ia mengemukakan alasan bahwa pola lama kepemimpinan
padepokan yang dipegang oleh satu tangan sudah saatnya
diakhiri. Untuk menjalankan sebuah lembaga pendidikan yang
memiliki siswa ratusan orang tidak akan bisa diatasi oleh satu
tangan. Itu sebabnya, ia mengusulkan agar dibentuk dewan guru
(syura al-masyayikh). Masing-masing anggota dewan itu memiliki
kewajiban bersama untuk bertanggung jawab atas keberhasilan
proses belajar dan mengajar di padepokan.
821
Mendengar usulnya itu para kerabat dan siswa sadar bahwa hal itu
merupakan keharusan bagi sebuah padepokan yang memiliki
siswa berjumlah ratusan orang. Mereka sepakat untuk membentuk
dewan guru. Dan sesuai kesepakatan, mereka yang akhirnya
tergabung dalam dewan guru adalah Abdul Jalil, Sri Mangana,
Syaikh Ibrahim Akbar (mertua Sri Mangana), Ki Gedeng
Pasambangan, Ki Gedeng Babadan, Ki Gedeng Surantaka, Haji
Musa bin Hasanuddin, Syaikh Jurugem bin Hasanuddin,
Abdurrahman Rumi, Abdurrahim Rumi, Syarif Hidayatullah, Raden
Sahid, dan Raden Qasim.
Entah sengaja entah tidak, ketika dewan guru sudah terbentuk dan
tinggal menentukan siapa di antara mereka yang ditunjuk sebagai
ketua, terjadi suatu ketidaklaziman. Dikatakan tidak lazim karena
Abdul Jalil yang diharapkan menjadi ketua justru menunjuk Syarif
Hidayatullah. Padahal, semua mengetahui bahwa Syarif
Hidayatullah selain usianya masih sangat muda juga bukan
kerabat atau siswa Syaikh Datuk Kahfi. Bukankah masih ada
anggota dewan guru yang lebih tua dan merupakan siswa Syaikh
Datuk Kahfi seperti Syaikh Ibrahim Akbar, Sri Mangana, Ki Gedeng
Pasambangan, Ki Gedeng Babadan, dan Ki Gedeng Surantaka?
Bukankah masih ada keluarga Syaikh Datuk Kahfi seperti Abdul
Jalil, Abdurrahman Rumi, Abdurrahim Rumi? Kenapa bukan salah
satu di antara mereka yang ditunjuk memimpin dewan guru?
Usul Syarif Hidayatullah itu ada yang menerima dan ada pula yang
menolak. Yang menerima beranggapan bahwa istilah itu lebih
tepat dibandingkan padepokan. Sedangkan yang menolak
beranggapan bahwa istilah pondok (funduq) yang bermakna
tempat kediaman sering diartikan rumah penginapan, yaitu tempat
siapa saja di antara manusia bisa menginap asal membayar.
Padahal, para siswa adalah orang-orang yang bertujuan menuntut
ilmu pengetahuan dan tinggal di padepokan tanpa membayar
sepeser pun.
827
Mula-mula para teman lama itu, khususnya Ki Gedeng
Pasambangan dan Ki Gedeng Babadan, hanya ingin melepas
rindu sebagai sahabat lama sekaligus berziarah ke makam Guru
Agung Syaikh Datuk Kahfi. Namun, setelah berbincang-bincang
secara mendalam tentang berbagai hal yang menyangkut
kehidupan, terutama tentang hakikat Kebenaran Ilahi, mereka pun
menjadi tertarik dengan apa yang dikemukakan Abdul Jalil.
Pandangan, gagasan, dan jalan pikiran Abdul Jalil yang dicitrai
kerangka pandang kota antarabangsa Baghdad benar-benar telah
memesona kawan-kawan lamanya.
828
dicontohkan Nabi Muhammad Saw. saat menata kehidupan warga
kota Yatsrib. Dimulai dari Pondok Pesantren Giri Amparan Jati dan
padepokan baru yang akan didirikannya itu, ia berharap akan
terbentuk tatanan kehidupan baru masyarakat di Caruban Larang.
Akibat dicekam oleh gagasan tentang masyarakat itulah selama
beberapa malam Abdul Jalil tidak tidur. Ia terlihat mencorat-coret
pena ke atas lembaran-lembaran kertas yang sudah penuh
gambar bagan dan catatan.
829
Dengan pengetahuannya yang luas tentang perubahan dunia
Islam, Abdul Jalil menjelaskan kepada Sri Mangana bahwa
perubahan besar akibat kedatangan Dajjal penyesat yang
membawa pasukan perusak dunia Ya’juj wa Ma’juj tidak bisa lagi
dihindari. Itu berarti, segala sesuatu yang terkait dengan
keberadaan suatu bangsa yang kurang kuat memegang nilai-nilai
yang sesuai dengan ajaran kebenaran akan tersapu dari
permukaan bumi. “Karena bagian terbesar bangsa Sunda adalah
kawula dan sedikit sekali yang berasal dari golongan menak
berdarah biru maka ananda yakin bangsa ini tidak akan mampu
menghadapi serbuan Dajjal dan Ya’juj wa Ma’juj yang membawa
nilai-nilai baru yang menyesatkan. Sebab, para kawula sedikit pun
tidak memiliki kepedulian tentang nasib bangsa dan negerinya.
Artinya, jika sang raja sebagai penguasa tunggal di seluruh negeri
Sunda sudah takluk kepada musuh maka seluruh kawula raja akan
ikut tunduk pula kepada tuan barunya,” ujar Abdul Jalil.
830
“Apakah mungkin engkau membangun tatanan dunia baru di
negeri ini, o Puteraku?” tanya Sri Mangana seolah menguji
keseriusan Abdul Jalil. “Bukankah tatanan yang ada di negeri ini
sangat berbeda dengan tatanan di negeri Arabia pada masa Nabi
Muhammad Saw.?”
831
“Titik utama di sudut pertama adalah gambaran Giri Amparan Jati
yang akan ananda jadikan pusat lahirnya tatana komunitas yang
disebut kaum (qaum). Titik utama di sudut kedua adalah gambaran
Puri Caruban Girang yang akan ananda jadikan pusat lahirnya
tatana komunitas yang disebut kelompok (tha’ifah). Titik utama di
sudut ketiga belum ananda tentukan tempatnya dan nanti akan
ananda jadikan pusat lahirnya tatanan komunitas yang disebut
kabilah (qabilah). Sedangkan titik pusat dari segitiga tersebut
adalah Kutha Caruban yang akan ananda jadikan pusat lahirnya
tatana komunitas yang disebut lapisan (thabaqah).”
835
“Bukan. Sekali-kali bukan karena tidak masuk akal. Tetapi,
gagasan yang engkau ungkapkan barusan sesungguhnya sama
artinya dengan engkau memerintahkan aku secara langsung atau
tidak langsung untuk menyiapkan angkatan perang yang kuat,”
jawab Sri Mangana sambil terus tertawa terkekeh-kekeh.
“Apakah engkau pikir tidak akan ada pihak yang dirugikan oleh
gagasanmu itu?”
837
memulai pertempuran dengan siapa pun yang mengahalangi cita-
cita yang mulia itu, pastilah akan aku lakukan juga.”
839
“Tetapi kenyataannya, sejak zaman dahulu kala, kehadiran bangsa
manusia selalu berakibat bencana bagi bangsa kami. Menurut
kakek buyutku, beliau dulu adalah raja besar penghuni dunia.
Namun sejak manusia ditirunkan ke dunia, bangsa kami diusir ke
tengah lautan dan menghuni pulau-pulau yang terpencil. Sampai
kini ternyata bangsa manusia terus bertebaran ke segenap penjuru
dunia dan bahkan merambah lautan. Mereka seolah-olah tidak rela
melihat bangsa kami menghuni bumi. Mereka ingin mengusir kami
ke tengah lautan dan bahkan keluar dari dunia ke gugusan bintang-
bintang. Sungguh jahat watak manusia.”
840
“Engkau mungkin tidak merasa aneh dengan adat kebiasaan
bangsamu sebab engkau memandangnya berdasarkan
pandangan bangsamu. Tetapi bagi manusia, kebiasaan bangsamu
itu sangat menakutkan karena merekalah yang menjadi korban
sembelihan bangsamu.”
841
“Apakah engkau memiliki ruh Ilahiah?” tanya Setan Kabir Sinis.
“Tunjukkan kepadaku dimana ruh Ilahiah yang tersembunyi di
dalam dirimu yang menyebabkan para malaikat harus tunduk dan
bersujud kepada leluhurmu yang bernama Adam!”
Sesuai isyarat dari Ruh al-Haqq, Abdul Jalil meminta Setan Kabir
untuk mendekat dan melihat ke dalam rongga mulutnya yang
ternganga. Mendapat permintaan Abdul Jalil, ganti Setan Kabir
yang kebingungan. Namun dengan menundukkan tubuh ke depan,
akhirnya Setan Kabir melihat ke dalam rongga mulut Abdul Jalil.
Saat Setan Kabir melihat rongga mulut Abdul Jalil, dia tiba-tiba
tersentak kaget bagaikan disambar petir. Sekujur tubuhnya
bergetar keras. Seiring kekagetannya itu, dia tampak tercengang
takjub dengan mata tetap terarah ke dalam rongga mulut Abdul
Jalil.
842
Saat itu Setan Kabir menyaksikan pemandangan yang sangat
menakjubkan. Di dalam rongga mulut Abdul Jalil terdapat
hamparan samudera mahaluas dengan gelombang bergulung-
gulung susul-menyusul. Di tengah samudera itu terlihat pula
gugusan pulau dan benua, hutan rimba yang lebat, jajaran gunung,
gurun, lembah, ngarai, dan jurang. Setelah itu, di atas suatu
daratan luas terlihat berjuta-juta bangsa jin sedang berperang
saling membunuh sesamanya. Mayat para jin bergelimpangan dan
bertumpuk-tumpuk membentuk bukit mayat. Pekik peperangan
terus terdengar sahut menyahut di tengah suara gemerincing
senjata.
844
“Ya, saat itu beliau memberitahuku tentang keberadaan bangsamu
yang sudah menghuni Nusa Jawa jauh sebelum kehadiran bangsa
manusia. Beliau bahkan telah mengizinkan aku untuk
menyebarkan ajaran kebenaran Islam yang merupakan ajaran
sempurna dari ajaran Kapitayan di Nusa Jawa.”
“Benarkah demikian?”
845
kewajibanku pun hanya menyampaikan ajaran Kebenaran Ilahi,
tidak lebih.”
“Karena itu, o Setan Kabir, apa yang telah dilakukan oleh Dang
Hyang Semar dengan leluhurmu dalam ikatan perjanjian itu
sesungguhnya sudah sesuai dengan hukum alam (sunnah Allah),
di mana penghuni Nusa Jawa yang dijadikan mangsa dalam pesta
darah bangsamu itu adalah manusia-manusia sesat pemuja
kebendaan (thaghut) yang hidup bergelimang kejahatan. Dengan
demikian, satu pun diantara lima butir perjanjian itu tidak akan aku
perbarui. Artinya, mangsalah dan jadikanlah santapan dalam pesta
846
darahmu para penghuni Nusa Jawa yang sesat, yakni mereka,
para pemuja kebendaan, yang bergelimang kejahatan meskipun
mereka mengaku-aku umat Islam.”
“Aku akan sampaikan berita gembira ini kepada para raja di antara
bangsaku,” ujar Setan Kabir. “Aku akan sampaikan pula bahwa
manusia yang harus kami patuhi mulai saat ini adalah paduka,
Syaikh Datuk Abdul Jalil, penerus dan penyempurna ajaran Dang
Hyang Semar.”
“Tapi ada satu tugas khusus yang harus engkau jalankan dariku.”
847
Setelah berkeliling ke berbagai tempat di sekitar Caruban Larang,
Abdul Jalil akhirnya menemukan suatu tanah terlantar berupa
hamparan rumput alang-alang yang terletak di sebelah tenggara
Kutha Caruban dan Puri Caruban Girang. Tanah itu sesungguhnya
masuk ke dalam wilayah Negari Japura yang dirajai Prabu Amuk
Marugul. Namun, Negari Japura telah dimasukkan ke dalam
wilayah samiddha Caruban Larang setelah Prabu Amuk Marugul
diangkat menjadi penasihat maharaja di Pakuan Pajajaran.
Jika diukur, jarak tanah yang dipilih Abdul Jalil itu hampir sama
dengan jarak Pesantren Giri Amparan Jati ke Puri Caruban Girang.
Hanya saja, Giri Amparan Jati terletak di sebelah utara Puri
Caruban Girang, sedangkan tanah itu terletak di sebelah tenggara.
Dan, jika ditarik garis lurus maka antara Puri Caruban Girang, Giri
Amparan Jati, dan tanah baru itu akan membentuk segitiga dengan
Kutha Caruban terletak di tengahnya.
Sementara itu, saat mengetahui tanah yang ditunjuk Abdul Jalil, Sri
Mangana terheran-heran dan bertanya, “Kenapa engkau memilih
tanah yang ganas dan tidak ramah itu, o Puteraku terkasih?
Kenapa engkau tidak memilih tanah yang lebih baik di sekitar
Kutha Caruban seperti tanah kosong di sebelah selatan Kesambi
atau Kalijaga?”
Dengan anugerah tanah shima seluas dua ratus jung itu, Abdul Jalil
sadar bahwa ia sesungguhnya telah mulai menapakkan kaki ke
dunia nyata untuk mewujudkan gagasan besar yang selama ini
tersembunyi di relung-relung impiannya. Namun sebelum memulai
pekerjaan awal membangun tanah itu menjadi pemukiman bagi
komunitas qabilah, Abdul Jalil terlebih dulu harus memasang Tu-
mbal sebagaimana pernah dilakukan Syaikh Syamsuddin al-Baqir
al-Farisi atas petunjuk Dang Hyang Semar. Meski semula tanah
yang akan disebar di tempat yang bakal dijadikan bangunan hunian
itu adalah tanah dari Karbala bekal dari mertuanya, Abdul Jalil tiba-
tiba beroleh ilham untuk mencampur tanah Karbala dengan tanah
dari pendharmaan Bhattari Prthiwi di Kabhumian.
850
Peran utama manusia itu setidaknya terlihat pada peristiwa
pemasangan Tu-mbal yang telah dilakukan oleh Syaikh
Syamsuddin al-Baqir al-Farisi. Meski telah memasang Tu-mbal
tanah dari Karbala, ternyata pengaruh jahat bangsa halus tidak
bisa dihindari. Ketika Syaikh Syamsuddin al-Baqir al-Farisi kembali
ke Persia, para pengikutnya dijadikan “santapan” para penghuni
purwakala Nusa Jawa.
856
Bumi Pasundan
857
perubahan yang membobol kemandekan sungai zaman dengan
kekuatan dahsyat yang merusak dan membinasakan.
Abdul Jalil tidak tahu apa sesungguhnya yang ada di dalam benak
para lelaki Sunda itu dengan cara hidup yang nyaris tanpa
tantangan sedikit pun. Ia melihat betapa para lelaki itu jika
kehabisan uang untuk berjudi akan memeras istri-istrinya demi
memenuhi keinginannya memperoleh uang. Jika para istri tidak
bisa menyediakan uang maka mereka akan dianiaya dan disiksa.
Bahkan tak jarang seorang suami menggadaikan istri dan anak-
anaknya untuk taruhan judi.
862
menggadaikan istri yang ia saksikan di pedalaman Bumi Pasundan
justru dianggap sebagai kelaziman di kalangan penduduk.
863
Dengan mata kepala sendiri ia menyaksikan betapa seorang
bapak yang butuh uang dengan bebas sewaktu-waktu menjual
anak-anaknya kepada pedagang budak. Ia juga saksikan seorang
suami dengan bebas menggadaikan istrinya sebagai taruhan judi.
Bahkan, tak jarang juga anak-anak kecil yang sejatinya haus kasih
sayang orang tua tiba-tiba dijadikan budak oleh bapaknya hanya
untuk membayar hutang.
868
“Wahai Rabb yang di genggaman-Mu nyawa hamba-Mu ini berada!
Wahai Rabb yang disebut dengan Nama al-Mudhill, al-Jabbar, al-
Mutakabbir, al-Qahhar, al-Qabidh, al-Khafidh, al-Qawiy, al-Mumit,
al-Muqtadir, al-Muntaqim, adh-Dharr, sesungguhnya mata indriawi
hamba-Mu ini tidak kuat menyaksikan pemandangan yang tergelar
di hadapan hamba-Mu itu. Sungguh hamba-Mu ini penuh diliputi
kelemahan dan ketidakberdayaan. Sungguh, hanya Engkau Yang
Mahaagung dan Mahaperkasa tiada tandingan.”
870
“Ketahuilah, o Abdul Jalil, bahwa terbitnya bulan sabit dan bintang
yang bercahaya cemerlang sebagaimana engkau saksikan tidak
hanya memiliki makna terbitnya Islam sebagai tatanan baru
memuja Dia yang disebut dengan nama Allah. Sebab, di balik
terbitnya bulan sabit dan bintang sesungguhnya juga memiliki
makna sebagai tatanan baru memuja Dia yang disebut dengan
nama Chandrasekara (Sansekerta: Yang Bermahkota Bulan Sabit)
dan Mahaguru Sang Bintang Bha (canopus). Ketehuilah, o Abdul
Jalil, bahwa sesungguhnya akan terjadi perubahan sehingga para
pemuja Syiwa tidak perlu lagi memuja Syiwalingga dalam bentuk
batu. Sebab, Syiwa akan menempatkan lingga-Nya ke dalam hati
para pemuja-Nya. Sesungguhnya, Syiwa akan dapat ditemukan
oleh siapa saja di antara hamba-Nya yang memahami kulatattwa.”
Abdul Jalil melihat kilasan cahaya bulan sabit dan bintang itu
berpendar-pendar menyilaukan. Sesaat setelah itu, semuanya
lenyap. Ia kembali melihat kobaran api menjilat-jilat angkasa. Saat
itulah Ruh al-Haqq di kedalaman jiwanya menyuruhnya segera
meninggalkan tempat itu. Abdul Jalil dengan diikuti tujuh orang
santri Giri Amparan Jati melanjutkan perjalanan, meninggalkan
Tanjungpura dengan diiringi pandangan heran para penduduk
yang mengikuti upacara bela pati.
873
Setelah berkuasa selama tiga puluh tujuh tahun, Sri Purnawarman
mangkat. Penggantinya adalah puteranya, Sri Maharaja
Suryyawarman Mahapurusa Bhimaparakrama Hariwangsa
Digwijayabhuanatala. Setelah berkuasa selama tiga puluh enam
tahun, Sri Maharaja Suryyawarman mangkat. Digantikan oleh
puteranya yang bergelar Sri Cakrawarman Kroncaryadhipahanda
Bhimaparakramanindita Digjayotunggadewa. Cakrawarman
mangkat digantikan oleh puteranya, Sri Indrawarman. Ketika Sri
Indrawarman mangkat ia digantikan oleh Sri Kesariwarman. Saat
Sri Kesariwarman berkuasa, ia mengangkat adiknya,
Singhawarman menjadi raja muda di Negeri Panjalu di Jawa.
876
Niat baiknya ternyata membuat marah laki-laki Majapahit itu.
Tanpa berkata ba atau bu laki-laki itu sekonyong-konyong
menikam Abdul Jalil dengan kerisnya. Mendapat serangan
mendadak, Abdul Jalil menghindar dengan memiringkan tubuh.
Kemudian dengan gerak refleks, tangan kanannya menerkam
bahu laki-laki Majapahit itu. Dan, dengan gerak refleks pula Abdul
Jalil mengempaskan tubuh laki-laki itu ke samping.
878
Kami tidak berani, Gusti.” “
Kenapa demikian?” “
884
SANG PEMBAHARU
BUKU 4
AGUS SUNYOTO
Pengantar Redaksi
Oleh karena itu, wajar bila sering kali terjadi sebuah pemikiran
pada satu zaman masyhur, namun pada zaman yang berbeda
mengalami keredupan, atau sebaliknya. Pada periode tertentu
dikutuk, pada saat yang lain dipuja habis-habisan. Dalam situasi
seperti ini kaum elit (masyarakat agamawan-penguasa-intelektual)
memegang peran yang sangat menentukan.
885
Salah satu contoh peran signifikan kaum elit ini dapat disimak
dalam kasus yang menimpa Syaikh Siti Jenar. Dalam cerita-cerita
babad, ajaran-ajaran Syaikh Siti Jenar dianggap sebagai bid’ah,
menyimpang dari ajaran Islam. Oleh karena itu, melalui sidang
dewan Wali, Syaikh Siti Jenar dihukum mati. Polemik terjadi tatkala
kitab rujukan yang berbeda kita jajarkan. Katakanlah novel yang
ada di tangan pembaca ini kita jadikan rujukan.
887
Kerajaan Sunda
890
membawa upeti dan hadiah. Dari Kraton Sang Bhima inilah seluruh
tatanan kehidupan di Bumi Pasundan dikendalikan.
892
Penduduk kutaraja Pakuan Pajajaran umumnya terdiri atas
pedagang besar, pejabat penarik cukai, punggawa kraton, dan
para seniman kerajaan. Para pedagang besar menguasai lalu
lintas perdagangan dari daerah pedalaman ke bandar-bandar
perniagaan seperti Kalapa, Tangeran, banten, Muara Jati, dan
Pontang. Sedangkan para pejabat penarik cukai bertugas
memungut cukai bagi semua barang niaga yang melintasi gerbang
luar di Pakeun Tubui dan gerbang kedua di Pakeun Tayeum
sebelum masuk ke kutaraja Pakuan Pajajaran.
“Belum.”
898
Gunung Pulasari
899
Menurut keyakinan sebagian orang-orang Islam, para makhluk
gaib yang disebut umum dengan nama bangsa jin adalah makhluk
berbadan halus keturunan al-Jann. Lantaran itu mereka disebut
Banu al-Jann (keturunan al-Jann), yaitu makhluk yang dicipta dari
api beracun (nar al-samum) yang menyala-nyala (marij al-nar) (QS
al-Hijr:27 ; ar-Rahman:15). Mereka adalah makhluk seketurunan
yang merupakan kegandaan dari Sang Iblis (QS al-Kahfi:50). Dan
lantaran itu, seperti juga Iblis melihat Adam a.s. sebagai makhluk
baru terbuat dari tanah, para jin memandang manusia sebagai
keturunan Adam a.s. yang rendah dan tidak memiliki ruh bersifat
Ilahiyyah. Namun, saat mereka mengetahui ternyata ada menusia
yang bisa menunjukkan kekuatan dan kekuasaan ruh bersifat
Ilahiyyah di dalam dirinya, maka mereka pun akan tunduk penuh
hormat dan bersedia patuh di bawah perintah manusia tersebut.
900
Banten. Sebagian yakin dengan cerita Setan Kabir, sebagian lagi
penuh prasangka.
Sementara itu, ketika para raja makhluk gaib penghuni Nusa Jawa
yang sudah berada di puncak Gunung Pulasari melihat Abdul Jalil
mendaki susah payah dengan kaki bengkak dan terompah robek,
mereka menyuruh Setan Kabir untuk menyambutnya dengan
didampingi seorang raja jin dari Kalapabernama Sapuregel.
Dengan kecepatan angin Setan Kabir dan Sapuregel melesat
turun. Saat keduanya sampai di depan Abdul Jalil, mereka
mengucap salam dan berkata, “Jika paduka menghendaki, kami
bisa membawa paduka dengan cepat ke punacak Gunung
Pulasari. Paduka tidak perlu susah payah berjalan kaki.”
902
Abdul Jalil menjawab salam dan berujar, “Terima kasih, aku akan
berjalan sendiri untuk menunjukkan rasa syukurku kepada Dia
yang telah memberiku dua kaki dan daya kekuatan manusiawi
untuk bisa sampai ke atas.”
905
Tanpa curiga sedikit pun Abdul Jalil berjalan sambil menyapukan
pandangan ke arah kerumunan para raja makhluk gaib yang duduk
berkitar membentuk setengah lingkaran. Saat jarak Abdul Jalil
dengan batu datar dan tugu tinggal dua tombak, ketujuh makhluk
gaib itu mendaulatnya untuk duduk di atas batu datar tersebut.
Didaulat seperti itu Abdul Jalil terhenyak seolah dihentakkan oleh
suatu kekuatan gaib dari dalam relung-relung jiwanya. Untuk
beberapa saat ia berdiri termangu-mangu sambil menatap batu
datar dan tugu yang terletak berhadap-hadapan. Sedetik sesudah
itu Ruh al-Haqq di kedalaman jiwanya memberitahu bahwa tugu
batu itu sesungguhnya lingga lambang pemujaaan Syiwa,
sedangkan ketujuh raja makhluk gaib itu sesungguhnya hendak
mengujinya.
Abdul Jalil yang mengetahui siasat licik para raja makhluk gaib itu
tidak marah. Ia sadar naluri jin pada dasarnya tidak berbeda jauh
dengan leluhurnya, Sang Iblis, yang cenderung menyesatkan
manusia (QS al-An’am:128). Itu sebabnya, setelah meletakkan
Syiwalingga di atas batu datar, Abdul Jalil berdiri di sampingnya
dan berkata, “Aku beritahukan kepada kalian bahwa
907
sesungguhnya bangsa manusia dan bangsa jin tidaklah diciptakan
kecuali semata-mata untuk memuja dan menyembah-Nya (QS
adz-Dzariyat:56). Sesungguhnya bangsa kalian dicipta dari api
beracun (QS al-Hijr:27), sedangkan bangsa manusia dicipta dari
tanah liat (QS al-Hijr:28). Meskipun bangsa kalian merasa lebih
unggul dan lebih mulia daripada manusia, hendaknya kalian tahu
bahwa pada manusia tersembunyi ruh bersifat Ilahiyyah yang
menjadikan seluruh makhluk bersujud kepadanya (QS al-Hijr:29-
30) kecuali leluhurmu, Sang Iblis, yang membanggakan asal
kejadiannya (QS al-Hijr:33).” “
Sebagai makhluk penghuni alam gaib, kalian tentu telah tahu siapa
sesungguhnya manusia-manusia beriman, baik pemeluk Islam
mau pun yang bukan pemeluk Islam yang memuja Allah SWT dan
siapa di antara mereka yang memuja hawa nafsunya. Kalian lebih
tahu siapa manusia yang serakah hingga buta mata hatinya dan
tuli pendengaran jiwanya. Kalian pun lebih tahu siapa yang suara
nuraninya sudah bisu akibat jiwanya sesak dihuni taghut.
Mangsalah mereka itu. Sebab, semua itu adalah kehendak-Nya
semata demi menjaga kelestarian bumi dan kelangsungan hidup
penghuninya.”
Dengan tatap tak percaya para raja jin memandang Abdul Jalil
seusai mendengar yang baru saja dikemukakannya. Pemuka
makhluk gaib merah yang berasal dari Wirabhumi bernama
Balabatu berdiri dan berkata, “Jika paduka menolak kedudukan
guru loka Nusa Jawa, apakah paduka akan mengubah butir yang
lain dari perjanjian leluhur kami dengan Dang Hyang Semar?” “
Selain itu, engkau camkan dan ingat-ingat benar bahwa yang aku
tetapkan sebagai larangan bagi kalian yang bukan pemeluk Islam
adalah meminum darah manusia beriman yang bukan beragama
Islam. Larangan pun berlaku bagi saudara-saudaramu yang
beragama Islam untuk tidak meminum darah manusia beriman di
antara umat Islam. Ingat-ingat benar perbedaan antara manusia
beriman dan manusia sebagai pemeluk suatu agama.” “
915
Kelompok dari golongan ketiga itulah yang sesungguhnya disebut
golongan ingkar (kufr) dan munafik. Mereka sesungguhnya tidak
mengenal Tuhan yang gaib. Mereka rakus, tamak, serakah, dan
tak pernah puas dengan apa yang telah diperoleh. Dengan
keserakahan dan ketamakannya mereka selalu menyandang citra
makhluk perusak bumi. Mereka itulah yang halal kalian mangsa.
Sebab, bumi tidak akan cukup memuat keserakahan mereka. Hari-
hari dari kehidupan mereka senantiasa dicitrai oleh bencana dan
malapetaka yang mereka timbulkan bagi kehidupan di sekitarnya.
Mereka selalu menjadi binatang bagi sesamanya.” “
916
Apakah paduka ingin memasang perangkap yang berbahaya bagi
kawula kami?”
917
perubahan yang terjadi di dunia manusia, pada dasarnya tidak
mengubah hukum kauniyah yang berlaku.”
918
Mendengar pengakuan Abdul Jalil, brahmana itu ganti
memperkenalkan diri sebagai Brahmana Kandali, pemimpin para
Rsigana Domas, yakni delapan ratus orang resi yang tinggal di
Gunung Pulasari. Setelah itu, masih dengan tatap mata penuh
curiga dia berkata, “Mata hati saya menyaksikan betapa Tuan
adalah orang jujur yang berjiwa bersih. Namun, mata indriawi saya
melihat Tuan dengan penuh curiga. Wajah Tuan bukan wajah
orang Sunda. Pakaian Tuan adalah pakaian orang Islam. Tuan
datang ke puncak Pulasari dengan mengangkat Syiwalingga yang
kami puja. Jika Tuan mengatakan bahwa apa yang Tuan lakukan
adalah atas permohonan arwah Bhattari Parwati Tunggal Prthiwi,
tolong jelaskan kepada kami ketidaksesuaian antara penglihatan
mata hati dan mata indriawi saya ini.”
919
Bisakah Tuan memberi contoh kepada saya jika ketidaksesuaian
itu pernah terjadi pada Tuan, agar bisa saya jadikan pedoman
dalam perjalanan ruhani saya.”
921
Brahmana Kandali tak dapat lagi menahan gejolak perasaannya.
Ia mengucurkan air mata dan berkata tersendat-sendat, “Tuan,
apakah Tuan merawat jenasah beliau dengan baik?”
923
Caruban Larang maka hal itu tentunya adalah atas kehendak
Bhattara Syiwa sendiri.”
“Sebab tidak lama lagi akan datang Dajjal Sang Penyesat yang
akan membawa manusia ke zaman malapetaka. Pengikut Sang
Penyesat akan membawa manusia ke jalan kebinasaan dengan
mengingkari keberadaan Tuhan secara benar. Sang Penyesat
dengan pesonanya akan membalik kiblat berpikir manusia. Jika
saya dan seluruh umat Islam meyakini bahwa Tuhan adalah Sang
Pencipta sebagaimana keyakinan Tuan dan saudara-saudara
Tuan yang beragama Hindu, maka Sang Penyesat akan
mengatakan bahwa manusialah yang mencipta Tuhan. Jika
manusia tidak mencipta Tuhan maka Tuhan tentunya tidak ada.”
925
“Sesungguhnya mereka adalah para pembohong dan penyesat
umat manusia yang bakal membawa kerusakan di permukaan
bumi. Tidak umat Islam, tidak umat Hindu, tidak umat Budha, jika
menjadi pengikut Dajjal maka akan sesat juga jadinya. Mereka
sesungguhnya orang-orang yang sudah buta mata hatinya, tuli
telinga jiwanya, dan bisu suara nuraninya. Mereka tidak bisa
melihat sesuatu kecuali benda-benda yang kasatmata. Mereka
tidak percaya ruh. Mereka tidak percaya adanya hidup setelah
mati. Bahkan, andaikata mereka berbicara tentang agama maka
sesungguhnya mereka telah menipu karena bagi mereka agama
adalah ‘alat’ yang bisa mereka gunakan untuk membenarkan
perilaku mereka yang jahat.”
926
“Ya, ketika kanak-kanak kami pernah mendengar cerita semacam
itu.”
927
“Tuan Brahmana, saya tidak keberatan Tuan hendak belajar
menempuh jalan ruhani kepada saya. Tetapi, saya tidak pernah
mensyaratkan seseorang harus berpindah agama untuk menjadi
siswa saya. Sebab, masalah agama – dalam makna syari’at –
bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan. Sungguh, tidak ada
paksaan dalam agama. Dan sudah menjadi keyakinan saya,
sesungguhnya telah menjadi kehendak-Nya semata bahwa umat
manusia harus hidup beraneka ragam baik dalam hal kebangsaan,
bahasa, budaya, maupun agama.”
928
Al-Wahm
931
“Apakah beda karunia ruhani Ilahi dan Kebenaran Ilahi?”
932
“Kami berdua merasa tidak punya kemampuan apa-apa untuk bisa
menghadap hadirat-Nya. Itu sebabnya, kami memohon bantuan
wasilah kepada guru agung kami yang suci agar menyampaikan
hajat kami kepada-Nya. Kami berdua pun tidak berani berharap
lebih dari sekedar beroleh karunia ruhani dari-Nya.”
933
melakukannya. Kalian berdua masih mengharap turunnya karunia
ruhani dari-Nya.”
934
Abdul Jalil termangu-mangu. Ia menatap tajam Raden Sahid dan
Raden Qasim ganti-berganti seolah-olah hendak mengukur
pedalaman kedua adik seperguruannya. Beberpa jenak setelah itu
ia bertanya, “Apakah kalian berdua apakah memang sering tafakur
di depan makam Guru Agung Syaikh Datuk Kahfi?”
“Selain itu, ada satu hal yang wajib kalian ingat-ingat! Jika kalian
belum dikaruniai pengetahuan rahasia untuk bisa menembus alam
gaib, jangan sekali-kali kalian tafakur di depan kuburan.
Sesungguhnya tindakan bertafakur berlama-lama di suatu
kuburan, meski itu kuburan guru agung, adalah tindakan yang
berbahaya. Sebab, setiap saat bisa saja manusia terperangkap
oleh bisikan setan yang bersembunyi di dalam nafsunya. Dan,
935
biasanya setan akan membuat seolah-olah bisikan itu berasal dari
ruh ahli kubur bersangkutan.”
“Hal kedua yang harus selalu kalian ingat,” kata Abdul Jalil,
“sekalipun Kebenaran bersemayam di dalam diri manusia sendiri,
pada hakikatnya ia tidak terperangkap di dalam tubuh manusia. Ia
tidak bisa dibayang-bayangkan seperti sebilah pedang yang
berada di dalam sarungnya. Sebab, secara hakiki Kebenaran tidak
berada di dalam dan tidak berada di luar diri manusia. Kebenaran
tidak terpisah dari diri manusia.” “
Hal keempat yang tidak boleh dilupakan,” kata Abdul Jalil dengan
suara ditekan, “kalian berdua jangan pernah berpikir bahwa
Kebenaran secara kebetulan bisa menghampiri seorang pemalas
yang tidak mencari-Nya. Kebenaran bukan hak tukang mimpi.
Kebenaran juga bukan hak para pembual. Ingat-ingatlah selalu, o
Saudara-saudaraku, bahwa peristiwa Nabi Muhammad Saw.
menerima Wahyu Ilahi9 di Gua Hira bukanlah peristiwa kebetulan.
Lima belas tahun sebelum beroleh Kebenaran Sejati beliau telah
berjuang keras meakukan pencarian dengan tanpa kenal lelah dan
putus asa. Siapa yang bisa mengingkari Kebenaran sejarah bahwa
beliau telah beriktikaf di Gua Hira selama lima belas tahun? Jika
kalian berdua membaca liku-liku kehidupan yang beliau jalani
maka kalian akan mendapati kenyataan betapa sesungguhnya
beliau bukanlah pemalas, bukan pengkhayal, dan bukan pula
pembual. Itu sebabnya, jika Adinda berdua hendak berjuang keras
mencari Kebenaran, teladanilah jalan hidup beliau!”
937
Setelah memberi petunjuk jalan ruhani secukupnya kepada Raden
Sahid dan Raden Qasim, Abdul Jalil berangkat ke Kuta Caruban
untuk menghadap Sri Mangana. Namun, tanpa diduga seorang
santri menghadap dan melapor ada tamu asing menunggu di
bawah pondok. Ternyata tamu asing itu adalah Abdul Malik Israil
al-Gharnatah, kakek Syarif Hidayatullah.
“Tepat, itu yang aku maksudkan,” kata Abdul malik Israil. “Kalau
kita bercermin pada sejarah, sesungguhnya keberadaan Bani Israil
sangat tergantung pada kelestarian tradisi dan budaya mereka.
Puak-puak Bani Israil yang sudah terusir dari negerinya selama
beribu-ribu tahun tetap menunjukkan jati dirinya dengan
memegang erat tradisi dan budaya warisan leluhurnya. Karena itu,
sebagaimana Bani Israil dapat bertahan dari musuh-musuhnya ,
demikianlah hendaknya bangunan masyarakat di negeri ini engkau
tegakkan di atas sendi-sendi tradisi dan budayanya.”
939
“Itu berarti, membangun tradisi bernalar harus dibelakangkan dan
jika mungkin hanya dilakukan sedikit orang,” Abdul Jalil menarik
napas berat.
“Aku kira itulah pilihan yang bijaksana,” kata Abdul Malik Israil.
“Engkau harus membangkitkan kebanggaan (ta’ashahub)
terhadap jati diri budaya pengikut-pengikutmu. Dengan cara itu
engkau dapat membangun benteng-benteng yang sulit ditembus
pasukan Dajjal yang bakal menyerbu dunia.”
940
“Berarti kita harus berkompromi dengan kepercayaan mereka
tentang ratusan jenis hantu, ramalan nasib, hitungan hari baik dan
buruk, mengeramatkan batu dan kuburan, masalah tabu, sampai
menghitung keberuntungan dan kesialan orang berdasar suara
tokek?” sergah Abdul Jalil.
941
“Akan halnya orang-orang Moab, mereka pun memaknai nama
suku itu berdasarkan bunyi suara dan makna kata. Karena Moab
ditafsirkan me-ab (dari ayah) maka dilahirkanlah kisah bahwa Nabi
Luth a.s. telah berzinah dengan puteri-puteri kandungnya sehingga
lahir orang Moab. Begitulah kisah-kisah miring tentang utusan-
utusan Allah yang suci berlaku di kalangan Bani Israil akibat
perangkap pikiran itu. Sehingga, seluruh nabi Bani Israil adalah
orang-orang yang tidak sempurna dan tercela; Nuh a.s mabuk dan
tidur telanjang lalu mengutuk Kana’an, puteranya; Daud a.s
berzina dengan istri Uria, Batsyeba; Ibrahim menikahi saudaranya
lain ibu, Sarah.”
“Jika kita telusuri nasib malang yang selalu dialami Bani Israil dari
waktu ke waktu, bagian terbesar di antaranya adalah akibat
kebiasaan mereka membuat cerita-cerita tercela yang menista dan
menghina nabi-nabi utusan Allah. Untuk menghindari terulangnya
kecenderungan itu, ajaran Islam dengan tegas menetapkan sifat
maksum, amanah, fathanah atas nabi-nabi utusan Tuhan.
Ketetapanyang menjadi rukun itu tak bisa ditawar sehingga dengan
itu semua penganut Islam menampik mutlak citra buruk yang
dialamatkan kepada nabi-nabi suci Bani Israil itu.”
“Aku kira, dengan uraianku ini telah jelas bahwa tugas yang engkau
jalankan adalah tugas mahaberat, seibarat tugas nabi-nabi Bani
Israil dalam menghadapi kaumnya. Itu berarti, engkau harus siap-
siap diperosokkan ke dalam lumpur fitnah dan kenistaan karena
ingin membawa kaummu kepada Kebenaran Sejati.”
942
Setelah berbincang-bincang tentang berbagai hal terkait dengan
usaha pembangunan tatanan baru masyarakat di Nusa Jawa,
Abdul Jalil dan Abdul Malik Israil memperbincangkan Syarif
Hidayatullah yang baru ditinggal wafat istri tercintanya. Abdul Maik
Israil mengusulkan cucunya itu segera dicarikan istri lagi agar tidak
terus-menerus teringat pada istrinya. Lantaran di Giri Amparan Jati
ada Syarifah, adik Abdurrahman dan Abdurrahim Rumi, yang
sudah berusia sebelas tahun, maka disepakatilah untuk
menikahkannya dengan Syarif Hidayatullah. Hari itu juga secara
sederhana Syarifah dan Syarif Hidayatullah dinikahkan.
943
Abdul Jalil termangu-mangu memandang Ballal Bisvas. Ia
merenungkan makna ruhani di balik kehadiran para utusan
sahabatnya itu. Saat kali pertama bertemu dengan Ballal Bisvas,
Abdul Jalil mendapat isyarat dari Ruh al-Haqq bahwa ia sedang
berhadapan dengan seorasng pendeta bhairawa yang memiliki
kesaktian luar biasa. Apakah maksud Sang Brahmin Agung
mengirimkan pendeta bhairawa untuk mendukung perjuangannya?
Apakah perjuangannya akan diwarnai oleh pertumpahan darah
seperti pernah dikatakan Sri Mangana saat ia menyampaikan
gagasan membangun tatanan baru?
945
“Ya, kenapa?”
946
“Memang demikian adanya, Ramanda Ratu,” kata Abdul Jalil.
“Bukankah saat menjelang ajal seseorang ditentukan oleh
rekaman kenangannya? Bukankah karena alasan itu jua jarang
sekali kita jumpai orang menghadapi sakaratul maut dengan hanya
mengingat Allah SWT? bukankah karena alasan itu Rasulullah
Saw menjamin bahwa barang siapa di antara manusia pada akhir
hayatnya bisa mengucap ‘tidak ada Tuhan selain Allah’ – la ilaha
illa Allah – bakal masuk surga Allah tanpa hisab?”
947
tanah sekat (barzakh) di antara dua lautan dan bahkan telah
bertemu Nabi Khidir a.s.?”
948
“Sebab, yang Ramanda Ratu pahami selama ini memang terbatas
pada keinginan beroleh karunia ruhani dari Allah SWT.. Artinya,
Ramanda Ratu sesungguhnya tidak berjuang menuju Dia,” ujar
Abdul Jalil.
950
Maha Menutupi, Maha Menyembunyikan dan Maha
Menyelubungi.” “
Itulah kekeliruan yang baru aku sadari sekarang ini,” kata Sri
Mangana. “Tapi, bagaimana caraku meninggalkan matra istighfar
menuju matra salawat? Apakah makna perlambang matra
salawat?” “
Matra nafs al-haqq adalah matra rahasia yang tidak bisa diuraikan.
Sebab, matra ini menyangkut Perbendaharaan Tersembunyi yang
terdapat di bawah dinding. Tak ada satu pun di antara makhluk
yang mengetahui keberadaan-Nya, kecuali memang dikehendaki-
Nya. Jika Al-Qur’an saja tidak memberikan penjelasan tentang apa
sesungguhnya Perbendaharaan, tentunya manusia tidak boleh
mengkhayal-khayal tentang Perbendaharaan itu. Gambaran Nabi
Musa a.s. yang berpisah dengan Khidir a.s. di matra itu adalah
kearifan dari Sang Pencerita untuk tidak mengungkapkan apa yang
tidak dapat dipahami pendengar-Nya.” “
953
Khotbah Pembaharuan
954
Ternyata kunci pertumbuhan pesat Lemah Abang itu terletak pada
kebijakan Abdul Jalil sendiri yang menghibahkan tanah kepada
siapa saja yang berhasarat tinggal di tempat baru itu. Dalam waktu
kurang dari sebulan sejak ia berkeliling ke pedalalman Bumi
Pasundan, tutur para murid, tak kurang dari delapan puluh kepala
keluarga datang ke Lemah Abang. Mereka mendirikan rumah di
sekitar Tajug Agung dan mengubah padang alang-alang untuk
dijadikan lahan partanian. Dan jumlah itu terus bertambah dari
waktu ke waktu.
958
“Tahukah kalian apakah nafsu rendah badani manusia itu? Nafsu
rendah badani manusia adalah jiwa manusia yang cenderung
berhasrat kuat mencintai kebendaan. Akibat kecenderungannya itu
maka dia bertekuk lutut di hadapan manusia lain sambil berkata,
‘Bebanilah punggungku dengan kebohongan-kebohongan dan
janji-janji palsu, o Tuanku, agar aku dengan penuh sukacita dapat
memamerkan kesetiaanku kepada Tuan yang bisa memberiku
sekadar makanan dan benda-benda. Sesungguhnya aku adalah
jiwa keledai, jiwa unta, jiwa kuda beban yang akan menderita sakit
jika punggungku tidak Tuan bebani. Tubuhku akan merasa remuk
dan aku malas bekerja jika Tuan belum menderaku dengan
cambuk. Telingaku akan tuli dan jiwaku akan merana jika Tuan
belum mencacimakiku dengan hinaan.”
959
Wahai saudara-saudaraku, warga Lemah Abang yang mengaku
murid-muridku, apakah engkau sekalian ingin selamanya menjadi
makhluk rendah pembawa beban seperti keledai, unta, kuda
beban, kerbau? Inginkah kalian selamanya berlutut di depan
manusia lain dengan beban di punggung? Inginkah kalian
selamanya menerima deraan, caci-maki dan hinaan dari
sesamamu?” “
“Jika selama ini aku masih melihat sebagian dari kalian berlutut dan
menyembah raja-rajamu dan pemimpin-pemimpinmu maka mulai
sekarang semua itu hendaknya harus diubah. Sebab, tidak ada
tatanan hukum Ilahi yang ‘mengharuskan’ kalian berlutut dan
menyembah kepada selain Allah. Lantaran itu, semua kebiasaan
itu harus diperbaharui dengan tatanan baru yang sesuai dengan
kodratmu sebagi wakil Allah di muka bumi: jangan berlutut dan
menyembah sesuatu selain Dia yang telah mengangkatmu
sebagai waki-Nya.”
964
“Jika ada di antara kalian yang bertanya bagaimanakah tatana baru
yang sesuai bagi para wakil Allah di muka bumi? Kukatakan
kepada kalian bahwa tatanan yang berlaku di kediaman kalian,
Lemah Abang ini, adalah bukti dari tatanan baru tersebut. Aku
katakan tatanan di Lemah Abang adalah tatanan baru sebab ia
adalah tatanan yang ditegakkan berdasarkan hukum Ilahi yang
diperuntukkan bagi para wakil Allah.”
965
mengambil apa saja yang dimiliki kawula, termasuk mengambil
nyawa tanpa hak.”
966
“Keberadaan masing-masing pribadi manusia sebagai calon wakil-
wakil Allah di muka bumi, di Lemah Abang ini, wajib diakui,
dihargai, dan dihormati. Itulah asas tatanan baru berdasar hukum
Ilahi yang aku maksud. Ingat-ingat! Siapa saja yang berada di
Lemah Abang ini sama kedudukan dan derajatnya sebagai
manusia. Semua sesaudara, keturunan Adam a.s.. Sebagaimana
para raja yang menyatakan diri mereka sebagai pengejawantahan
Tuhan di dunia, begitulah semua manusia di Lemah Abang ini
harus dipandang sebagai pengejawantahan Tuhan di dunia. Di
Lemah Abang ini setiap manusia adalah wakil Tuhan di muka bumi.
Di Lemah Abang ini tidak ada raja dan tidak ada kawula. Tidak ada
gusti dan tidak ada hamba sahaya. Semua manunggal sebagai
anak cucu Adam a.s.. Semua adalah sesaudara karena semua
berkedudukan sebagai wakil Allah.”
“Jika di antara kalian ada yang bertanya apakah tatanan baru ini
adalah hasil olah pikiran Syaikh Lemah Abang sendiri? Aku
katakan kepada kalian bahwa seribu tahun silam peraturan ini
sudah pernah oleh seorang laki-laki buta huruf yang agung dan
mulia di kota bernama Yatsrib yang terletak di negeri Arabia. Beliau
adalah Nabi Muhammad Saw.. Saat itu tidak ada perbedaan
derajat antara Bilal bin Rabah yang bekas budak dan bangsawan
serta saudagar kaya seperti Utsman bin Affan. Setiap manusia
dihargai sebagai pribadi yang utuh. Beliau mengajarkan tiap-tiap
manusia baik raja maupun budak akan diminti
pertanggungjawaban secara pribadi atas segala apa yang telah
diperbuatnya selama hidup di dunia.”
967
“Dengan memahami bahwa tatanan yang berlaku di Lemah Abang
ini hanya meniru tatana hukum Ilahi yang sudah pernah diterapkan
seribu tahun silam maka sesungguhnya tatanan ini tidaklah baru.
Jikalau aku sebut tatanan ini baru karena memang baru di Bumi
Pasundan dan Majapahit. Sebagaimana saat tatanan itu
diterapkan pada zaman Nabi Muhammad Saw., saat sekarang pun
tatanan itu banyak menghadapi tantangan dan rintangan. Sebab,
dengan tatanan baru itu sesungguhnya sangat banyak para
pendusta dan pencinta nafsu duniawi akan dirugikan. Lantaran itu,
kalian harus menyiapkan dan menyiagakan diri untuk berhadapan
dengan mereka yang mengutuki tatanan baru yang kita berlakukan
di Lemah Abang ini.”
968
“Pertama-tama, hendaknya kalian semua menyadari bahwa
dengan menduduki derajat adimanusia dan menyandang jabatan
wakil Allah di muka bumi, sesungguhnya secara fitrah keberadaan
kalian merupakan manusia menyandang nama (asma’), sifat
(shifat), perbuatan (af’al) Allah. Maksudnya, dengan didudukkan
pada derajat adimanusia, sesungguhnya kalian memancarkan citra
makhluk mulia yang mewakili Yang Mahasempurna di muka bumi
(khalifah al-Kamal fi al-ardh), yaitu pancaran citra wakil Allah di
muka bumi (khalifah Allah fi al-ardh).”
969
“Dengan memahami dan menyadari bahwa tiap-tiap manusia
adalah wakil al-Haqq di muka bumi maka keberadaan tiap-tiap
manusia wajib diakui, dihargai, dan dihormati sebagai pribadi yang
memiliki hak-hak fitrah sebagai makhluk paling sempurna.
Tahukah kalian apa yang dinamakan hak-hak filtrah manusia
sebagai wakil al-Haqq? Yaitu, hak diakui keberadaannya melalui
kebebasan menyampaikan Kebenaran. Itulah hak paling fitrah dari
wakil al-Haqq di muka bumi yang wajib dihargai dan dihormati.”
“Dengan apa yang telah aku paparkan ini, jelaslah sudah bahwa
pengakuan, penghargaan, dan penghormatan terhadap manusia
sebagai wakil al-Haqq di muka bumi adalah semata-mata atas
kehendak-Nya. Itu sebabnya, Nabi Muhammad Saw. sebagai
penyampai Kebenaran Ilahi menjalankan amanah-Nya itu dengan
sempurna. Dan karena aku adalah ulama pewaris Nabi (al-ulama’
waratsat al-anbiya’) maka aku pun berkewajiban untuk meneladani
beliau. Kalian sebagai murid-muridku hendaknya mengikuti
jejakku, yaitu mengakui, menghargai, dan menghormati manusia
lain terutama suara Kebenaran yang disampaikannya.” “
“Selain hak milik kalian atas tanah, rumah, dan harta benda
dihargai serta dihormati, hak milik kalian atas keluarga juga
dihargai dan dihormati di Lemah Abang ini. Sebab, kalian juga
adalah wakil Yang Maha Menjaga dan Maha Memberi
Kebahagiaan di muka bumi (khalifah al-Muhaimin fi al-ardh).
Sesungguhnya anak-anak dan istri kalian adalah titipan dari al-
975
Muhaimin yang diamanatkan kepada kalian, wakil-Nya, untuk
kalian jaga dan kalian bahagiakan. Sebagaimana hak milik kalian
atas tanah, rumah, dan harta benda, sebagai wakil al-Muhaimin
pun kalian tidak lepas dari kedudukan wakil al-Haqq. Kalian adalah
wakil al-Haqq dan wakil al-Muhaimin sekaligus. Sehingga, hukum
Ilahi menetapkan bahwa setiap manusia hendaknya membangun
keluarga dengan cara-cara yang hak.”
977
“Satu hal lagi yang penting kalian ingat-ingat, bahwa sebagaimana
margasatwa yang bebas dalam menapaki kehidupannya, begitulah
hendaknya bagi tiap-tiap warga di Lemah Abang mempunyai hak
fitrah untuk memilih sesuatu yang sesuai dengan kehendaknya.
Warga Lemah Abang bebas memilih agama, cara mencari nafkah,
pemimpin, tatanan hidup, dan kumpulan yang sesuai keinginannya
selama tidak melanggar hak-hak manusia lain. Sesungguhnya,
dalam penciptaan wakil-Nya di muka bumi, Dia telah
menganugerahi manusia tangan, kaki, tubuh, nafsu, akal, dan ruh
sehingga manusia menjadi makhluk paling sempurna di jagad
raya. Kesempurnaannya itulah yang membedakan manusia
dengan makhluk lain dalam kewenangan memilih. Sebab,
keberadaan adimanusia juga menyandang atribut wakil Yang
Maha Menentukan di muka bumi (khalifah al-Muqtadir fi al-ardh).
Sehingga, dengan kedudukan itu tiap-tiap manusia secara fitrah
memiliki hak untuk memilih yang terbaik bagi dirinya sendiri
sepanjang pilihan itu tidak melanggar hak manusia lain.”
978
“Jika ada yang bertanya kenapa manusia sebagai wakil al-
Muqtadir memiliki hak fitrah untuk memilih agama, maka aku
katakan bahwa masing-masing atribut Ilahi yang disandang
manusia saling terkait satu dengan yang lain. Di atas itu semua,
pertentangan masing-masing atribut itu adalah citra kesempurnaan
dari hakikat asma’, shifat, dan af’al-Nya. Lantaran kewakilan
manusia begitu sempurna dalam mencitrakan asma’, shifat, dan
af’al Allah maka diwajibkan bagi manusia untuk menjalani hidup
dengan berpedoman pada hukum suci Ilahi demi terwujudnya
tatanan yang seimbang dalam kehidupan di bumi.”
979
“Ketahuilah, o Saudara-saudaraku, bahwa rahasia atas agama-
agama adalah mutlak milik-Nya. Tidak satu pun di antara wakil-Nya
yang berhak ikut campur menentukan ke arah mana “wajah al-
Hadi” dihadapkan atau dengan cara bagaimana Dia disembah
hamba-Nya. Tidak satu pun di antara wakil-Nya boleh berkata:
‘Allah harus disembah dengan cara begini dan begitu. Yang ini
benar dan yang itu salah. Surga itu kecil dan karenanya hanya
muat untuk saya dan jama’ah saya. Neraka itu besar untuk seluruh
makhluk di luar jama’ah saya.”
“Yang tak kalah penting di antara hak fitrah memilih itu adalah yang
terkait dengan kehendak bebas memilih pemimpin. Sebagai wakil
al-Muqtadir di muka bumi (khalifah al-Muqtadir fi al-ardh), kalian
memiliki hak untuk menentukan siapa di antara manusia di dalam
golonganmu yang pantas menjadi pemimpinmu. Jika selama ini, di
dalam tatanan lama, kalian tidak dilibatkan dalam menentukan
siapa pemimpin yang sesuai dengan yang kalian kehendaki maka
mulai sekarang hal itu wajib ditinggalkan. Di Lemah Abang akan
segera diadakan pemilihan pemimpin berdasarkan pilihan warga.
Sebab, tidak ada kehidupan makhluk tanpa pemimpin.”
985
“Aku paham jika banyak di antara kalian masih dicekam oleh rasa
takut dan ragu untuk mengamalkan ajaranku dan mengikuti
tatanan baru di Lemah Abang ini. Selama berpuluh bahkan beratus
tahun kalian hidup di lingkungan yang tidak mengenal hak-hak
fitrah seorang manusia, wakil Allah di muka bumi. Selama beratus
tahun kalian tidak mengetahui jika kalian adalah wakil Allah di
muka bumi, yang memiliki ‘kuasa-kuasa kodrati’ dari asma’, shifat,
dan af’al Allah. Selama ini yang diakui keberadaannya sebagai
wakil Tuhan hanya raja. Sementara kalian selama ini ditempatkan
sebagai kawula, yang tidak memiliki hak apa pun termasuk hak
atas hidup kalian sendiri.”
“Kini aku katakan kepada kalian semua bahwa di Lemah Abang ini
sudah tidak ada lagi peraturan yang membedakan kedudukan
orang seorang sebagai kawula dan sebagai gusti. Kumpulan
manusia di Lemah Abang inilah yang disebut kabilah, sebagai
bagian dari masyarakat ummah, yaitu kumpulan pribadi manusia
yang mempunyai hak milik atas tanah dan kekayaan pribadi, hak
milik atas keluarga, hak milik atas agama, hak untuk mencari
nafkah, hak untuk memilih pemimpin. Kumpulan manusia yang
memiliki tujuan dan kiblat yang sama yakni mewujudkan jati diri
sebagai wakil Allah di muka bumi. Jika nanti ada pihak-pihak yang
mengancam keselamatan kalian maka bekerjasamalah kalian
dengan kabilah lain sehingga terbentuk ra’yat dan masyarakat
ummah. Insya Allah, dengan bekerjasama dengan manusia lain
sebagai masyarakat ummah, kalian akan kuat sentosa
menghadapi segala tantangan dan rintangan.”
986
“Jika di antara kalian ada yang bertanya kenapa ra’yat Lemah
Abang harus bekerja sama dengan sesama anggota ra’yat? Maka,
aku akan balik bertanya, apakah engkau yang sudah memahami
intisari khotbah-khotbahku tentang keberadaan manusia sebagai
wakil Allah di muka bumi benar-benar berani dan mampu
mewujudkannya seorang diri? Aku memahami bahwa tiap-tiap
kalian masih dihantui oleh rasa takut untuk mempertahankan hak-
hak yang kalian miliki sebagai wakil Allah.”
987
masyarakat ummah untuk menghadapi segala kesulitan yang
bakal menghadang di tengah jalan.”
990
segala isinya, karena hal itu akan menyesatkanmu dari jalan
Kebenaran-Nya.”
991
“Sungguh picik mereka yang menafsirkan ucapanku tentang
kesetaraan dan kesederajatan manusia sebagai wakil Allah di
muka bumi dengan pemahaman seperti itu. Sebab, sebagaimana
namanya, Lemah Abang bermakna tanah merah subur yang
memberikan kesempatan sama bagi semua benih untuk tumbuh.
Di tanah ini tidak ada perbedaan benih ini boleh tumbuh dan benih
itu terlarang tumbuh. Benih apa pun boleh tumbuh di Lemah
Abang. Tetapi, waktu dan perilaku alam akan menguji daya tumbuh
masing-masing benih. Benih yang kuat dan mampu menghadapi
tantangan alam akan tumbuh besar dan sentosa dengan akar-akar
yang kuat serta buah yang lebat. Namun, benih yang lemah dan
tidak mampu mengatasi tantangan alam akan meranggas, merana,
layu, dan mati. Demikianlah perumpamaan tentang tatanan baru di
Lemah Abang.”
Abdul Jalil yang tak menduga bakal ditanya, terdiam beberapa saat
tak menjawab. Sejurus kemudian terdengar keributan di utara
desa. Sebagian warga yang sedang berjalan ke rumah masing-
masing berhamburan bagai air lautan diaduk. Keributan pun makin
hingar-bingar ketika orang-orang berteriak sahut-menyahut dan
sambung-menyambung.
999
“Maafkan kami, Tuan Syaikh,” kata sang penanya blingsatan
dengan muka kecut. “Kami sekarang memahami apa yang telah
Tuan Syaikh jelaskan.”
1000
Wilayah al Ummah
1002
“Sesungguhnya para pendusta yang telah mencipta monster
bernama kerajaan itu adalah makhluk-makhluk yang lemah dan tak
berdaya. Mereka jauh lebih lemah daripada cacing-cacing
penghuni tanah. Meski lemah, mereka memiliki akal yang jauh
lebih licik dan lebih curang dibandingkan akal busuk serigala.
Mereka juga memiliki suara geraman dan gonggongan yang lebih
kuat dibanding anjing. Mereka memiliki pamrih yang jauh melebihi
pamrih udang di balik batu. Mereka memiliki tubuh yang lebih licin
dari belut. Mereka dapat terbang tinggi di angkasa laksana burung
nazar pemakan bangkai. Mereka bahkan dapat mengubah-ubah
warna kulit melebihi bunglon. Dan, yang membuat mereka menjadi
kuat melebihi kekuatan harimau adalah kemampuan mereka untuk
bersekongkol dalam kejahatan dengan sesamanya.”
“Lihatlah apa yang diperbuat para pendusta itu saat mereka sudah
memiliki timbunan harta benda yeng mereka peroleh dari sisik,
bulu, rambut, dan kotoran makhluk pemangsa ciptaan mereka.
Lihatlah apa yang mereka lakukan ketika perut mereka sudah
kembung berisi kotoran kerajaan yang najis. Lihatlah apa yang
mereka lakukan ketika mereka sudah berkerumun di sekitar
tonggak kekuasaan. Dengarkan apa yang mereka ucapkan
dengan bahasa dustanya. Lihat! Dengar! Renungkan! Apa yang
diperbuat para pendusta terkutuk itu di sana!”
1006
Sang Raja yang wajib disembah dengan segala kepatuhan dan
ketundukan. Ya, Sang Raja, jelmaan Tuhan di dunia.’”
“Sejak zaman awal hingga akhir nanti Dia, Yang Maha Merajai (al-
Malik), tidak pernah ingkar janji dan tidak pernah menyimpang dari
asma’ dan shifat-Nya. Jika Dia mewajibkan hamba-Nya untuk
patuh, tunduk, dan setia kepada-Nya maka Dia akan melimpahkan
semua anugerah yang tak terbayangkan kepada hamba tersebut,
baik di dunia maupun di akhirat. Hamba-hamba yang tunduk,
patuh, dan setia akan dianugerahi-Nya pangkat takwa. Mereka
akan dimuliakan dan diagungkan sepanjang masa.”
1007
“Sementara itu, jika kalian mempercayai dongengan para
pendusta, dengan menganggap raja-rajamu sebagai jelmaan al-
Malik di dunia, justru kesengsaraan dan kehinaan yang terbukti
engkau terima. Ketundukan, kepatuhan, dan kesetiaanmu sebagai
hamba dari raja-rajamu tidak mendatangkan manfaat apa-apa
bagimu kecuali penderitaan. Sebab, engkau yang tunduk, patuh,
dan setia kepada rajamu akan ditempatkan sebagai hamba sahaya
yang selalu hidup dalam keadaan kekurangan, tertindas, teraniaya,
dan dizalimi. Raja-rajamu dengan semena-mena bisa bebas
merampas harta benda milikmu, bahkan merampas nyawamu.
Engkau sekalian tidak diperkenankan memiliki sesuatu melebihi
rajamu. Engkau ditempatkan dalam keadaan serba kekurangan,
sedangkan rajamu dalam kelimpahruahan.”
1011
“Jika sebelum ini, para ‘alim yang menjadi pemimpin kalian
mengatakan: jangan berlutut dan bersujud kepada batu-batu dan
kayu-kayu yang dipahat! Maka sekarang aku katakan: Jangan
kalian berlutut dan bersujud kepada raja-rajamu! Jangan
menyembah raja-rajamu seperti engkau menyembah Tuhanmu.
Sesungguhnya, makhluk pemangsa jahat bernama kerajaan yang
ditunggangi sang raja itu adalah berhala baru yang bakal
menyesatkan kalian dari jalan Kebenaran Sejati.” “
1013
Merekalah adimanusia yang hendaknya dijadikan kiblat dan
rujukan keteladanan dalam memimpin manusia.”
Kalian bukan lagi kawula dari raja. Kalian adalah suatu kabilah.
Maka hendaklah kalian memilih salah seorang di antara kalian
sendiri sebagai pemimpin kabilah. Sesungguhnya, pemimpin
kabilah adalah salah seorang di antara kalian yang mendapat
kepercayaan dari warga kabilahnya. Dia dipilih dan dikukuhkan
oleh warga kabilah dengan tujuan untuk membawa anggota-
1016
anggota kabilah yang dipimpinnya ke arah kesejahteraan,
keadilan, kedamaian, kebahagiaan, dan keselamatan.”
1017
kebendaan dan pengumbaran nafsu rendah badani maka semakin
tidak layak orang tersebut dipilih menjadi wali nagari.”
Lantaran ketentuan ini sangat berat maka sampai saat ini aku
belum tahu siapa di antara orang-orang yang aku kenal di bumi
Caruban Larang ini yang layak untuk ditunjuk dan dipilih bersama
sebagai kalifah ar-rasul sayyidin panatagama. Tetapi, aku yakin dia
akan muncul tak lama lagi di antara kita. Ya, dia yang dengan
sukarela melepaskan seluruh ikatan dunia untuk berkhidmad
kepada tugasnya sebagai wakil Allah di muka bumi itu tidak lama
lagi akan kita ketahui keberadaannya.”
1020
Api Perubahan di Lemah Abang
1021
Sementara itu, khotbahnya lebih mudah dipahami jika disampaikan
dalam bentuk dongeng. Ia menilai para pendengarnya adalah
manusia yang tidak dibiasakan hidup dalam tradisi bernalar. Itu
berarti, penilaian Abdul Malik Israil tentang kemiripan kerangka
pikir orang-orang Campa, Sunda, dan Jawa, dengan Bani Israil
pada masa kemundurannya tidaklah keliru. Ternyata mereka
memang lebih memahami maksudku lewat bahasa dongeng
daripada dalam bahasa nalar, katanya dalam hati.
1023
merasa jijik. Namun, harimau jantan memaksanya memakan
daging itu.
1026
Tidak bisa dielakkan, bermula dari perubahan warga Lemah Abang
yang dianggap aneh, sebuah perubahan besar tampaknya sedang
terjadi di Caruban Larang. Bagaikan memiliki daya pesona yang
kuat, kabar perubahan warga Lemah Abang telah memunculkan
rasa ingin tahu warga dari desa lain di wilayah Caruban Larang.
Entah siapa yang memulai, dengan berkelompok-kelompok atau
sendiri-sendiri, warga dari berbagai desa berdatangan ke Lemah
Abang. Sambil berbelanja atau menjual sesuatu mereka ingin
menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana
sesungguhnya keanehan tatanan baru dari kehidupan warga
Lemah Abang sebagaimana yang mereka dengar.
1027
Tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi dengan
peniruan-peniruan yang dilakukan oleh warga desa yang pernah
datang ke Lemah Abang tersebut. Orang hanya mengetahui
bahwa dalam berbagai perbincangan di antara para petani,
nelayan, perajin, tukang, dan pedagang di desa-desa, warga
Lemah Abang selalu dikesankan sebagai warga yang berani dalam
memperjuangkan harkat dan martabatnya sebagai manusia.
Dengan terheran-heran mereka memperbincangkan bagaimana
para petani, pedagang kecil, tukang, perajin, kuli, bahkan janda tua
di Lemah Abang berani menyatakan diri sebagai manusia yang
sederajat dengan manusia lain. Ya, dengan sangat percaya diri
orang-orang Lemah Abang menyatakan punya “hak milik” pribadi
atas tanah, rumah, harta benda, keluarga, agama, dan bahkan hak
memilih pemimpin; suatu hal aneh yang tidak dipunyai warga desa
lain.
1034
Sekalipun janda tua dan anak yatim di Lemah Abang tidak tampak
sebagai orang-orang yang tak berdaya, Syaikh Lemah Abang telah
menetapkan bahwa nafkah mereka dijamin oleh siapa saja di
antara manusia yang melangkah di jalan Kebenaran. Syaikh
Lemah Abang telah memerintahkan kepada semua warga desa
dan semua yang mengaku mengikuti jalannya untuk menyantuni
dan memuliakan para penghuni gubuk itu. Sebagaimana ajarannya
tentang keberadaan manusia sebagai wakil Allah di muka bumi,
menyisihkan sebagian nafkah untuk menyantuni janda miskin dan
anak-anak yatim adalah bagian dari kewajiban manusia yang
menempati kedudukan wakil Yang Maha Pemberi rezeki (khalifah
al-Razzaq fi al-ardh).
1037
berkhalwat tanpa kenal lelah dan patah semangat,” ujar Syaikh
Lemah Abang.
1040
Sementara itu, di bagian utara desa – dalam jarak sekitar satu pal
dari Tajug Agung – terletak pasar desa. Hari pasar berlangsung
sepekan sekali pada hari selasa. Pada hari itu pedagang tidak
hanya menjual sayur-mayur, lauk-pauk, garam, gula, sirih, kacang,
gambir, beras, terasi, dan lada, tetapi menjual juga bahan kain,
sisir, kemenyan, kayu gaharu, cermin, peralatan dapur, gerabah,
obat-obatan, hewan ternak, dan hasil kerajinan. Di sekitar pasar
selain terdapat kedai-kedai yang menjual makanan juga terdapat
kedai-kedai yang menjual roda pedati, tapal kuda, pelana, sabuk,
cambuk, sabit, cangkul, dan terompah. Sementara di sebelah timur
pasar terletak sederetan bangunan yang digunakan untuk kegiatan
pande besi, pembuatan gerobak, keranjang, alat-alat dapur, dan
bahkan penyamakan kulit.
1042
Tumenggung Limbar Kanchana juga melihat keanehan cara
berpakaian warga lelakinya. Laki-laki pribumi mengenakan kain
yang menutupi tubuh mereka mulai sebatas pinggang hingga ke
bagian bawah lutut jika berada di luar rumah. Selain itu, para laki-
laki pribumi mengenakan destar. Mereka yang berambut panjang
menggelung rambutnya ke dalam destar. Mereka yang
menggunakan destar batik atau kain wulung adalah warga yang
masih mengikuti agama leluhur. Sedangkan laki-laki berambut
pendek, gundul, atau berambut panjang tetapi digulung ke dalam
destar warna putih adalah warga Lemah Abang yang beragama
Islam.
Larangan lain yang juga aneh dan tidak lazim yang wajib dipatuhi
oleh seluruh warga adalah menjalankan upacara Ma-lima.
Larangan itu, menurut Tumenggung Limbar Kanchana, pasti akan
menimbulkan huru-hara jika diterapkan di tempat lain sebab
upacara Ma-lima sudah menjadi bagian kehidupan warga di
seluruh jengkal Bumi Pasundan.
1044
Larangan lain di Lemah Abang yang tak kalah mengherankan bagi
Tumenggung Limbar Kanchana adalah larangan menikah lebih
dari satu istri jika alasannya semata-mata untuk memenuhi hasrat
nafsu belaka. Pernikahan lebih dari satu istri sah dan bahkan
dianjurkan jika memiliki alasan bersifat ruhani. “Jika engkau takut
tidak bisa berbuat adil maka hendaknya engkau nikahi satu
perempuan saja. Yang dimaksud adil adalah al-‘Adl. Maksudnya,
jika kiblat hati dan pikiranmu tidak bisa engkau arahkan kepada al-
‘Adl, yaitu Tuhan, maka janganlah engkau memiliki istri lebih dari
satu. Sebab, jika engkau paksakan hasratmu sesungguhnya
engkau telah terpedaya oleh bujuk rayu setan yang bersembunyi
di dalam nafsumu,” ujar penduduk menirukan kata-kata Syaikh
Lemah Abang.
1045
Dengan keterampilan berkuda dan memanah, warga Lemah
Abang ternyata tidak hanya berburu, tetapi sering pula
mengadakan acara lomba ketangkasan. Lomba diadakan tiga
pekan sekali pada hari rabu. Pada hari itu warga dari desa-desa
sekitar pun berduyun-duyun ke sana. Seiring semaraknya lomba
ketangkasan berkuda dan memanah, kebiasaan warga pribumi
menyabung ayam berangsur-angsur jarang dijumpai di desa-desa
sekitar Lemah Abang.
1046
terangan akan melawan punggawa kerajaan yang datang
merampas anak-anak dan istri mereka.
1047
Api Perubahan Berkobar di Caruban
Larang
1049
bawahannya untuk melakukan hal yang sama seperti yang berlaku
di Lemah Abang.
1050
Pengumuman resmi Yang Dipertuan Caruban Larang itu bagaikan
halilintar menyambar di siang hari, mengagetkan seluruh
penguasa Bumi Pasundan dan kawula Caruban Larang. Penguasa
Pasundan langsung menghamburkan sumpah serapah yang
mengutuki kebijakan itu sebagai ambisi tidak waras seorang ratu
yang berhasrat menduduki takhta Kerajaan Sunda. Sementara di
kalangan kawula Caruban Larang terjadi perbincangan hangat dari
mulut ke mulut menyambut peraturan yang mereka nilai aneh itu.
Lepas dari aneh atau tidak aneh, seluruh kawula Caruban Larang
dengan kegembiraan meluap-luap akhirnya menyambut peraturan
tersebut.
1053
Perselisihan di antara warga Cina pendatang sempat pecah
menjadi perkelahian massal di Kuta Caruban. Puluhan korban
jatuh. Suasana kota menjadi tegang. Sri Mangana yang mendapat
laporan tersebut buru-buru memanggil para pemimpin kelompok
itu ke Bangsal Keprabon untuk didamaikan. Setelah melalui
perundingan yang lama akhirnya semua pihak sepakat bahwa
warga Cina di seluruh wilayah Caruban Larang akan mengikuti
tatanan sesuai dengan yang diberlakukan di lingkungan warga
setempat. Maksudnya, sebagaimana warga setempat yang
dipimpin oleh para gedeng, demikianlah para pemuka suku Cina
itu akan memimpin kelompoknya sendiri-sendiri. Dengan demikian,
Haji Shang Shu tetap memimpin suku Hui, Lie Han Siang
memimpin suku Han asal Shanghai, Liu Sung memimpin suju
Tunsiang, dan Ling Tan memimpin suku Han asal Kanton. Dan
tentu saja, semua pemimpin menyatakan setia berada di bawah
lindungan ratu Caruban Larang.
1055
Sesungguhnya kecurigaan-kecurigaan yang diarahkan kepada
Sulaiman Rumi dan keluarganya itu tanpa dasar. Sebab, Syaikh
Baha’uddin Rumi nasabnya bersambung kepada Abu Bakar ash-
Shiddiq. Bahkan, sepupu Syaikh Baha’uddin Rumi yang bernama
Syaikh Muhammad bin Hamzah al-Dimassyqi al-Rumi adalah
ulama masyhur yang menjadi guru Sultan Muhammad al-Fatih,
penakluk Konstantinopel, sehingga tuduhan bahwa keluarga
Sulaiman Rumi pendukung Shafawy adalah salah alamat. Namun,
kecintaan keluarga Sulaiman terhadap golongan Alawiyyin yang
mereka muliakan sebagai ahlul bait, telah mengundang kecurigaan
berlebihan dari pihak penguasa. Sulaiman Rumi dituduh penganut
Syi’ah dan kaki tangan Shafawy yang menjalankan taqiyyah untuk
menutupi gerakan makarnya. Walhasil, seperti nasib awal ketika
terusir dari Konya, Sulaiman Rumi dan pengikutnya terusir dari
Baghdad hanya karena kecintaan mereka terhadap golongan
Alawiyyin.
1056
Muaththal mengancam akan mengusir mereka dari Caruban
Larang jika tidak mau mengakui kepemimpinannya.
1058
Khilafah
1062
“Apakah Ramanda Ratu melihat ayat demi ayat dari surah itu
membuka selubung jati diri?”
1065
“Apa yang harus aku lakukan sekarang ini?” tanya Sri Mangana
dengan wajah tiba-tiba diliputi harapan dan gairah hidup. “Karena
aku sudah menduga jika diriku gila.”
Kabar dari para pengintai tentu saja membuat para penguasa dan
ningrat darah biru Sunda tertegun-tegun. Mereka tidak bisa
memahami lahirnya sebuah tatanan baru yang menempatkan
keberadaan seorang pemimpin didasarkan atas pilihan para
gedeng. Tatanan itu benar-benar aneh dan mengherankan
mereka. Peraturan yang berlaku selama ini menunjukkan bahwa
para gedeng adalah pejabat daerah yang ditunjuk dan diangkat
1068
oleh adipati. Sementara adipati-adipati diangkat atas tunjukan ratu.
Dengan demikian, jelaslah bahwa tatanan baru di Caruban Larang
merupakan hal aneh karena terbalik dengan tatanan yang ada.
Belum usai para penguasa dan ningrat darah biru Sunda terheran-
heran dengan pengangkatan Sri Mangana sebagai kalifah, mereka
memperoleh kabar yang lebih mengejutkan. Menurut laporan
lanjutan para pengintai, segera setelah dinyatakan terpilih sebagai
kalifah, Sri Mangana meninggalkan Puri Kaprabon dan tinggal di
gubuk kayu beratap daun kawung yang terletak di luar tembok
baluwarti, tepatnya di utara Lawang Gede. Gubuk kayu kecil itu
dinamai Pekalipan (pekalifahan), yaitu tempat kediaman sang
kalifah. Sementara seluruh keluarganya juga meninggalkan puri
dan tinggal di dalam tembok di dekat Lawang Gede. Kediaman
baru keluarga sang kalifah itu juga berupa gubuk-gubuk kayu yang
sangat sederhana dan disebut ndalem Pekalipan. Dan yang lebih
aneh lagi, sekarang ini seluruh kawula dan bahkan budak sekali
pun setiap saat dapat menghadap sang kalifah. Bahkan, sejumlah
pejabat penting kalifah adalah kawula yang berasal dari kasta
rendahan.
“Maksudnya?”
1077
“Ananda berharap Ramanda Prabu Guru Dewata, Ratu Aji di
Surawisesa, dapat menggunakan apa yang telah ananda peroleh
itu untuk menyingkirkan penguasa Caruban Larang yang sudah
tidak waras lagi. Tanpa bermaksud menggurui, ananda berharap
Ramanda Prabu dapat memanfaatkan kesempatan itu dengan
baik. Maksud ananda, hendaknya Ramanda Prabu dapat
menggunakan masalah banyaknya orang asing dalam
pemerintahan di Caruban Larang itu untuk menyulut kebencian
orang-orang Sunda. Ananda yakin setiap orang Sunda akan sakit
hati jika melihat susunan pemerintahan ratu Caruban Larang.”
1080
gedeng kepada Ballal Bisvas yang namanya diganti menjadi
Suranenggala, seorang pendeta Bhairawa asal Bharatnagari.
1081
Jabatan syahbandar diberikan kepada Li Han Siang, pemuka
warga Cina asal Dermayu. Pejabat pabean dipercayakan kepada
Haji Shang Shu, pemuka warga Cina Kuta Caruban. Jabatan juru
sukat dipercayakan kepada Ling Tan, pemuka warga Cina asal
Junti. Jabatan baru wazir dipercayakan kepada Syaikh Bentong,
saudara tua Haji Musa. Jabatan manggalayuddha Caruban
dipegang sendiri oleh Sri Mangana. Sedangkan jabatan kepala
perdagangan diserahkan kepada Abdurrahman Rumi, kakak
Abdurrahim Rumi, dengan dibantu Wu Lien dan Wang Tao,
keduanya orang Cina asal Karawang. Sementara orang-orang
Sunda hanya diberi kepercayaan menduduki jabatan demang,
wadana, juru demung (kepala pegawai di istana), rangga (pejabat
istana), juru gusali (kepala pande besi), juru dyah (kepala pelayan
istana), juru taman (kepala tukang kebun istana), juru pangalasan
(kepala prajurit pangalasan), tumenggung (pejabat tinggi kraton),
dan nayarma domas (komandan batalyon).
1082
Amarah Para Bangsawan
1083
“Apakah engkau diusir dari kadipaten?” tanya Prabu Surawisesa
berang.
1084
“Jelaslah kini bahwa dengan tindakannya itu Yang Dipertuan
Caruban Larang memang berkeinginan menghancurkan Kerajaan
Sunda yang kita agungkan dan kita muliakan. Bayangkan, dengan
mula-mula membuat aturan yang berbunyi ‘tanah untuk ra’yat’ dan
‘pemimpin dipilih dari ra’yat’, Pamanda Sri Mangana berusaha
mempengaruhi para kawula agar memandang kita sebagai
pendusta dan penipu yang rakus dan menguntungkan diri sendiri.”
1085
“Sesungguh-sungguhnya, satu hal yang paling tidak kami sukai
dari sepak terjang Yang Dipertuan Caruban Larang. Apakah itu?
Dia kelihatannya telah bersekongkol dengan maharaja Cina untuk
menghancurkan Kerajaan Sunda. Jika dugaan ini benar,
kekuasaan yang dia tegakkan di Caruban Larang sebenarnya
adalah kepanjangan tangan dari maharaja Cina. Hal itu jelas telah
menginjak-injak harga diri dan kehormatan kita sebagai orang
Sunda. Sebagai bukti bahwa penguasa Caruban Larang adalah
begundal maharaja Cina, paman-paman sekalian bisa melihat
nama pejabat baru yang diangkat sang kalifah. Menurut daftar ini,
lebih dari separo pejabat Caruban Larang adalah orang-orang Cina
perantauan yang tak diketahui asal-usulnya,” ujar Rsi Bungsu
sembari menyerahkan susunan pejabat baru Caruban Larang
kepada raja muda Talaga, Prabu Pucuk Umun.
1086
Akhirnya, dengan dada dikobari api amarah, Prabu Pucuk Umun
kembali ke kratonnya di Talaga. Ia kemudian mengirim para
pengintai ke Kuta Caruban untuk membuktikan kebenaran data
dari Rsi Bungsu. Prabu Pucuk Umun sendiri sesungguhnya sudah
lama mendengar kabar mengkhawatirkan tentang saudaranya
yang menjadi penguasa Caruban Larang. Namun, akibat sibuk
menikmati kemewahan dan sanjungan di kratonnya, ia tidak
menganggap serius kabar tersebut. Dengan sangat yakin diri ia
selalu berkata, “Sebuas-buas harimau tidak akan memangsa
saudaranya sendiri.”
1088
Majasih, Rambatan, Tegalwurung, Malang Sumirang, dan
Sindang.”
Dengan peraturan baru itu bukan berarti para demang dan wadana
bisa menikmati bagian besar dari hasil sewa tanah dengan
percuma. Sebab masing-masing demang dibebani kewajiban
memelihara seratus prajurit, sementara wadana berkewajiban
menggalang sepuluh kesatuan prajurit yang dipelihara demang. Itu
berarti, bagian yang didapata dari sewa tanah itu digunakan para
demang untuk membiayai kehidupan seratus prajurit. Menurut
kabar, dalam waktu kurang dari tiga bulan sejak peraturan baru itu
diterapkan, Galuh Pakuan sudah memiliki prajurit sekitar 100.000
orang.
“Tapi dia itu siapa? Ada hubungan darah apa dia dengan
kemuliaan dan kesucian darah Quraisy? Dia anak negeri Sunda,
yang kebetulan anak maharaja. Jadi, dia itu hanya layak jadi ratu
di negerinya. Ingat itu: Sri Mangana hanya layak jadi ratu. Ratu.
Sekali lagi, hanya ratu. Sedang untuk jabatan kalifah, kalifah ar-
rasul, dia sama sekali tidak memiliki hak,” kata Sayyid Habibullah
al-Mu’aththal dengan sudut bibir mulai membusa.
1095
Sesuatu di dalam diri Abdul Jalil bergolak saat mendengar ucapan
Sayyid Habibullah al-Mu’aththal yang merendahkan Sri Mangana.
Untuk beberapa jenak ia terdiam. Setelah itu, sesuatu yang
bergolak di dalam jiwanya itu menghambur lewat mulut bagaikan
semburan kawah gunung berapi.
“Jika Anda menilai Sri Mangana tidak pantas menjadi kalifah ar-
rasul dengan alasan keempat sahabat Nabi Muhammad Saw. yang
menjadi kalifah adalah orang Quraisy, maka aku katakan bahwa
Anda telah keliru memahami maksudku. Dalam berbagai
kesempatan telah aku jelaskan bahwa tatanan baru yang disebut
masyarakat ummah tidak didasarkan atas ikatan keturunan,
kesukuan, kebangsaan, bahasa, dan agama tertentu. Dengan
demikian, jelaslah bahwa seorang pemimpin masyarakat ummah
yang menduduki jabatan wali al-Ummah pun wajib mengikuti
ketentuan yang sama. Sungguh aneh dan lucu jika tatanan
masyarakat ummah itu diikuti ketentuan yang mengatakan bahwa
pemimpin masyarakat ummah hendaknya berasal dari suku atau
keluarga tertentu. Kalau ketentuan itu yang diterapkan, pastilah
yang akan menduduki jabatan kalifah ar-rasul sayyidin
panatagama di Caruban Larang anda sendiri. Karena, menurut
cerita orang Anda adalah ahlul bait keturunan Rasul Allah Saw.
yang berasal dari antara orang Quraisy.”
“Nah, dengan tujuh syarat itu, mohon Anda tunjukkan kepada aku
siapa di antara keturunan Quraisy di Caruban Larang ini yang bisa
memenuhinya? Anda tunjukkan kepada aku calon kalifah yang
memenuhi syarat-syarat itu! Jika Anda bisa menunjukkan
kepadaku calon kalifah yang memenuhi syarat itu, sekarang juga
aku akan pergi ke Kuta Caruban. Aku akan meminta Sri Mangana
meletakkan jabatan dan mendaulat sang calon tersebut untuk
menggantikannya, dengan catatan calon itu disetujui oleh para
gedeng.”
1097
“Sungguh, demi Allah aku bersumpah, sepanjang aku lahir hingga
sekarang belum pernah aku jumpai orang di Bumi Caruban Larang
yang bisa memenuhi tujuh syarat itu. Bahkan, orang-orang yang
mengaku keturunan Quraisy pun tidak. Yang aku saksikan di
antara mereka yang mengaku berdarah Quraisy justru para
pemalas yang mengaku keturunan Nabi Muhammad Saw., namun
hidup menganggur (mu’aththal). Tidak bekerja. Menikahi anak
pejabat negeri setempat. Menambah jumlah istri dan menafkahi
istri barunya dengan harta mertua. Anaknya tercecer di mana-
mana. Bahkan yang menyedihkan, mereka tidak memahami ajaran
Islam dengan baik. Sembahyang lima waktu tidak dijalankan.
Puasa Ramadhan tidak dilakukan, apalagi zakat, infak, dan
sadaqah. Mereka berdiri di atas permadani ketidakbersalahan dan
merasa sudah beroleh jaminan sebagai penghuni surga karena
merasa anak cucu Rasulullah Saw.. Sungguh memuakkan tingkah
mereka itu bagiku.”
1099
“Siapa yang bisa mengingkari kenyataan bahwa Sri Mangana
adalah pribadi agung seorang pejuang yang tak pernah kenal
istirahat dalam menjalankan dharma sebagai wakil Allah di muka
bumi? Seluruh ra’yat Caruban Larang tentu sudah tahu bahwa Sri
Mangana adalah satu-satunya raja di Bumi Pasundan yang sangat
membenci pesta pora mengumbar kesenangan. Dia pekerja keras
yang tidak suka kemalasan. Hartanya lebih banyak didermakan
kepada para fakir dan orang-orang yang membutuhkan. Dan yang
terpenting di atas itu semua, dia adalah raja yang dicintai oleh
seluruh ra’yatnya, kecuali orang-orang yang pamrih pribadinya
terhambat oleh keberadaannya. Sehingga, bagiku, apa yang
terkait dengan keberadaan Sri Mangana sebagai kalifah adalah
sah dan tidak melanggar kaidah-kaidah kekalifahan yang
kumaksud. Entah jika kekalifahan itu menurut Anda.”
“Aku tidak tahu makhluk satu itu tubuhnya dibuat dari bahan apa.
Aku sering melihat dia suka tidur di atas kursi di rumahnya sambil
mendengkur keras-keras. Tubuhnya aku bayangkan seperti kain
disangkutkan ke sandaran kursi. Sungguh tidak ada kesan lain
yang kutangkap dari al-Mu’aththal kecuali kemalasan. Dengan
bualannya yang membosankan, ia berikan alasan-alasan kepada
mertuanya untuk menanggung nafkah keluarganya. Bahkan tanpa
tahu malu, saat menikah lagi, ia juga menafkahi istri-istri barunya
dengan harta mertuanya. Dan yang paling memuakkan, dengan
istri-istrinya itu ternyata dia belum puas juga. Kata orang, al-
Mu’aththal suka bercanda dan menggoda pelayan-pelayan warung
tempat ia mengudap. Sehingga, di Trusmi banyak kedapatan anak-
anak pelayan warung yang berwajah Arab. Mereka, entah benar
entah tidak, adalah anak gelap al-Mu’aththal dengan para pelayan
warung.”
“Tapi, dia alat dari ratu Caruban belaka. Jadi menurutku, tidak ada
gunanya membunuh dia. Karena hal itu hanya akan menyulut
amarah ratu Caruban Larang,” kata Prabu Surawisesa.
1105
“Mohon ampun, sesungguhnya Ramanda Prabu sangat keliru
menilai Abdul Jalil,” kata Rsi Bungsu. “Dia bukanlah alat Pamanda
Sri Mangana. Justru dialah sesungguhnya binatang penghasut
yang telah mempengaruhi saudara Ramanda Prabu itu dengan
ilmu sihirnya.”
1107
mengaitkan sembuhnya sakit Sri Mangana dan kedatangan Abdul
Jalil?”
“Jadi, menurut hemat ananda, akar dari semua masalah ini adalah
Abdul Jalil.”
1108
menjadi sosok yang diam-diam dikagumi putera tunggalnya,
Raden Anggaraksa, hingga puteranya itu memeluk Islam.
1110
Hantu-Hantu Hitam Berkeliaran
1111
Beda yang dirasakan penduduk, beda pula yang dirasakan Sri
Mangana dan para pemuka masyarakat ummah di Caruban
Larang. Pengerahan pasukan besar-besaran dari tiga kerajaan itu
bagi mereka adalah bagian dari sebuah “perang siasat” yang
sudah berlangsung sejak tengara perubahan dikumandangkan.
Maksudnya, meski pasukan ketiga kerajaan dan Caruban Larang
tidak berhadap-hadapan sebagai lawan di medan tempur, di
bawah permukaan kedua pihak sejatinya sudah saling berusaha
mengalahkan satu sama lain dengan siasat yang sering kali tidak
disangka-sangka. Ketika gemuruh perubahan berlangsung di
segenap penjuru Caruban Larang, misalnya, tanpa terduga tiba-
tiba para gedeng di Palimanan memilih adipatinya. Dan, sang
adipati terpilih menyatakan diri bernaung di bawah kekuasaan
Rajagaluh.
Dalam “perang siasat” itu jelas sekali bahwa pihak Caruban Larang
telah kalah karena keliru mengambil langkah. Sebab, dengan
tindakan menjadikan Kuningan dan Luragung sebagai bagian dari
wilayah Caruban Larang, meski dengan cara pemilihan adipati oleh
1112
para gedeng, tersulutlah amarah Yang Dipertuan Galuh Pakuan.
Ujung dari peristiwa saling berebut wilayah itu adalah terjadinya
pengerahan besar-besaran pasukan Galuh Pakuan di sepanjang
tepian Sungai Sanggarung, yang diikuti Talaga dan Rajagaluh.
Para saudagar dan ningrat darah biru Galuh Pakuan yang sangat
cemas dengan keadaan buruk itu memohon kepada Prabu
Surawisesa agar melakukan larangan bagi pedagang-pedagang
Caruban Larang untuk berdagang di wilayah Galuh Pakuan.
Sebab, mereka khawatir para pedagang itu adalah mata-mata para
begal. Ketika Prabu Surawisesa memenuhi permintaan para
saudagar dan ningrat darah biru itu, pihak Caruban Larang
membalas dengan tindakan yang sama: melarang semua jenis
perahu asal Galuh Pakuan melayari Sungai Sanggarung. Kepala
perdagangan Caruban Larang, Abdurrahman Rumi, menetapkan
larangan bagi pedagang-pedagang Caruban Larang untuk menjual
garam, terasi, petis, dan hasil ikan laut kepada pedagang asal
Galuh Pakuan, Talaga, dan Rajagaluh. Langkah itu diikuti oleh
para pedagang Dermayu.
1115
Talaga, Rajagaluh, dan bahkan Caruban Larang digagalkan oleh
para rishi yang menjadi siswa Syaikh Lemah Abang.
1116
Perang siasat yang terjadi antara Caruban Larang di satu pihak
dan Galuh Pakuan, Rajagaluh, dan Talaga di pihak lain,
sesungguhnya dapat digambarkan seperti pertarungan harimau-
harimau dalam memperebutkan daerah kekuasaan. Masing-
masing harimau merunduk dan menggeram untuk menakuti lawan.
Tidak satu pun yang berani menyerang lebih dulu. Harimau-
harimau itu hanya meraung dan menggeram-geram sambil
mengais-ngaiskan cakarnya ke arah lawan. Harimau-harimau itu
hanya menyeringai menunjukkan gigi dan taringnya yang tajam.
Namun, bagi binatang lain yang lebih kecil, geraman harimau-
harimau yang sedang berlaga itu sungguh sangat menakutkan.
“Tetapi, membunuh jelas tindakan yang tanpa hak. Tidak ada dalil
dan contoh dari Rasulullah Saw. yang membenarkan tindakan itu.
Bahkan, kepada orang-orang yang teraniaya Rasulullah Saw.
memerintahkan mereka untuk melakukan hijrah,” ujar Sayyid
Habibullah al-Mu’aththal.
1121
Para hadirin serentak melemparkan pandangan ke arah Syaikh
Abdul Malik Israil yang duduk diapit Abdul Jalil dan Syarif
Hidayatullah. Syaikh Abdul Malik Israil yang tidak menduga bakal
didaulat untuk berbicara mengernyitkan dahi dan menyapukan
pandangan ke arah hadirin yang duduk melingkar. Kemudian
dengan suara yang lain, ia berkata, “Sesungguhnya tiap-tiap
kelompok bangsa menganut nilai-nilai yang berbeda. Itu sebabnya,
anasir-anasir yang mengikuti perubahan suatu bangsa tidaklah
wajib sama dengan bangsa yang lain. Gerakan pembaharuan yang
saat ini sedang berlaku di negeri Caruban Larang adalah gerakan
dari suatu kelompok bangsa yang memiliki nilai-nilai sendiri yang
berbeda dengan apa yang pernah terjadi di belahan bumi lain.
Maksud kami, apa yang saat ini sedang terjadi pada tatanan
kehidupan masyarakat ummah yang berasal dari gagasan saudara
kami Syaikh Datuk Abdul Jalil, tentu berbeda keadaannya dengan
saat tatanan ummah yang ditegakkan kali pertama oleh Baginda
Rasulullah Saw. di Yatsrib.”
1122
Sebaliknya, penduduk negeri ini adalah kawula yang bermakna
sama dengan budak. Penduduk negeri tidak diakui keberadaannya
sebagai anggota komunitas. Yang ada dan diakui keberadannya
hanya raja dan para pemimpin komunitas. Nilai-nilai yang dibentuk
pun adalah nilai-nilai budak. Itu sebabnya, jika seorang raja
sebagai pemimpin kawula kalah maka kawula akan memindahkan
kiblat panutan kepada tuannya yang baru. Nilai-nilai budak itu
rupanya sudah merasuk ke dalam jaringan darah dan segenap
penjuru jiwa dan raga para kawula negeri ini.”
“Kami kira, apa yang sudah dialami Bani Israil saat dipimpin Musa
a.s. keluar dari Mesir tidak berbeda dengan yang sedang terjadi di
Caruban Larang sekarang ini. Maksud kami, bangsa ini masih kuat
tercekam oleh nilai-nilai kawula yang membentuk alam pikiran dan
jiwa mereka. Menurut hemat kami, sangat perlu rangkaian tindak
kekerasan sebagaimana yang pernah diberikan Allah SWT.
terhadap Bani Israil selama empat puluh tahun pengembaraan di
gurun untuk menghilangkan noda-noda hitam dari sisa-sisa jiwa
budak yang melekat di tengah matahari keagungan manusia.
Sejarah Bani Israil mencatat, betapa generasi tua yang terbentuk
oleh nilai-nilai di Mesir itu telah bertumbangan di atas bumi tanpa
nyawa ketika generasi baru Bani Israil berhasil menduduki tanah
yang dijanjikan Tuhan kepada mereka.”
“Bagi kami, para pendatang dari Baghdad yang terusir dari tanah
kelahiran kami, sebagai seorang laki-laki sejati tidak ada pilihan
lain kecuali mengangkat senjata mempertahankan apa yang sudah
kami miliki di Caruban Larang ini. Kami semua siap syahid di
medan tempur karena kami yakin apa yang kami dukung dalam
1126
perjuangan ini adalah Kebenaran yang sesuai dengan ajaran Allah
dan Rasul-Nya.”
Kisah Nabi Musa a.s. memimpin Bani Israil dari keluar dari gerbang
perbudakan di Mesir menuju tanah yang dijanjikan bagi sebagian
orang dianggap sebagai kisah biasa yang berisi keteladanan
seorang utusan Allah dalam menegakkan ajaran Tauhid. Namun
bagi Sri Mangana, kisah yang dipaparkan Syaikh Abdul Malik Israil,
meski sudah ia ketahui sebelumnya, menjadi cahaya benderang
bagi tersingkapnya kesadaran baru. Sri Mangana mendadak
merasakan betapa sesungguhnya ia telah melakukan kesalahan
besar dalam menilai gerakan pembaharuan bagi lahirnya tatanan
1127
baru yang disebut masyarakat ummah. Ia sadar bahwa langkahnya
sesungguhnya terlalu terburu-buru.
“Ampun seribu ampun, Ramanda Ratu,” kata Abdul Jalil kepada Sri
Mangana yang sedang berbincang-bincang dengan Nyi Indang
Geulis dan Nyi Muthma’inah di ndalem Pekalipan, “Ananda mohon
petunjuk tentang apa yang sebaiknya kita lakukan untuk mengatasi
perkembangan keadaan yang semakin tak menentu ini. Sebagian
besar penduduk di Caruban Larang beramai-ramai meninggalkan
kampung halamannya. Sementara yang tersisa ananda kira tidak
akan cukup mampu menghadapi kekuatan gabungan Galuh
Pakuan, Talaga, dan Rajagaluh.”
1131
“Berapakah sesungguhnya kekuatan pasukan Caruban Larang?”
“30.000 orang.”
“Jadi, dia sudah minta bantuan Pasir Luhur?” gumam Sri Mangana
dengan wajah merah menahan amarah. “Jika kabar itu benar,
berarti dia benar-benar menginginkan perang terbuka. Ini tidak bisa
kubiarkan. Besok akan kugerakkan pasukanku. Akan aku
hancurkan seluruh kekuatan Galuh Pakuan.”
1134
“Sesungguhnya kekuatan yang sebenarnya di Nusa Jawa dan
Bumi Pasundan ini berada di tangan mereka. Sebab, mereka
adalah petarung-petarung yang memiliki kesaktian luar biasa dan
tanpa tanding. Seratus prajurit pun tidak akan mampu
mengalahkan seorang bhairawa karena mereka memiliki ilmu
seratus ribu hulubalang. Namun, mereka adalah orang-orang
merdeka yang enggan mengabdi kepada kerajaan karena aturan-
aturan kerajaan yang bertentangan dengan ajaran mereka. Nah,
jika kita dapat merangkul mereka, pastilah kita tidak perlu khawatir
dengan kekuatan Galuh Pakuan, Talaga, Rajagaluh, dan bahkan
Pakuan Pajajaran sekalipun.”
1135
“Apakah Ramanda Ratu akan berkeliling ke ksetra-ksetra untuk
meminta bantuan?”
1136
“Ananda mohon petunjuk,” kata Abdul Jalil. “Ananda tidak
memahami siyasah, tata negara, dan kemiliteran. Jadi, ananda
tidak tahu harus berbuat apa dalam keadaan seperti ini.”
1137
“Bukankah engkau sudah membuka Lemah Abang di Karawang
dan Sukapura?”
“Sementara itu, kesalahan yang juga tak kalah penting yang telah
kita perbuat adalah kekeliruan kita dalam membaca keberadaan
penduduk negeri. Selama ini baik aku maupun engkau sendiri
selalu menganggap semua orang sama dengan kita yang dibentuk
oleh nilai-nilai yang berbeda dengan seumumnya penduduk.
Syaikh Abdul Malik Israil yang menyadarkan aku tentang itu.
Karena itu, o Puteraku, hendaknya di dalam menebar benih-benih
Lemah Abang di tempat lain masalah itu harus engkau perhatikan
benar. Engkau harus sadar bahwa yang akan kita ubah adalah
nilai-nilai, bukan sekadar tatanan. Sehingga, sejak awal engkau
harus sadar bahwa menata nilai-nilai baru itu membutuhkan waktu
lama, setidaknya satu sampai dua generasi.”
1140
Sandyakala Majapahit
1142
Dukungan adipati Kendal ternyata tidak hanya pemberian hadiah
tanah shima. Sekitar 500 orang prajurit pilihan dikirimnya ke
Caruban Larang untuk membantu perjuangan kalifah dan
memberikan semangat kepada warga Kendal di Caruban Larang.
Sang adipati tampaknya sadar bahwa warga Kadipaten Kendal
yang tinggal di Caruban Larang berjumlah ribuan orang, terutama
warga asal Kendal, Magelung, Getas, Pandes, dan Gebang.
Sehingga, menurut sang adipati, kehancuran kalifah Caruban
Larang akan bermakna kehancuran pula bagi warga Caruban
Larang asal Kendal. Sebelum pergi meninggalkan kadipaten,
Abdul Jalil mendapat kepastian bahwa sang adipati akan segera
mewujudkan gagasan masyarakat ummah di Kadipaten Kendal.
Raden Sahun adalah saudara lain ibu Raden Kusen. Ibunya yang
bernama Nyimas Sahilan merupakan puteri Syarif Husein
Hidayatullah, keturunan Arab yang menjadi pemuka penduduk
Usang Sekampung. Lantaran perkawinan ibundanya dengan Ario
Abdillah maka kakeknya diangkat menjadi bangsawan Palembang
dengan gelar Menak Usang Sekampung. Boleh jadi karena
1143
ibundanya berdarah Arab maka Raden Sahun memiliki tubuh lebih
tinggi, hidung lebih mancung, kumis dan cambang lebih lebat, serta
suara yang lebih lantang dibandingkan orang-orang di sekitarnya.
1145
Muhammad Saw. dan keempat sahabat penggantinya, tentunya
menjadi keniscayaan yang tak bisa mereka ingkari.
1146
Rembang senja yang remang-remang itu pula yang sejatinya
sedang terjadi di cakrawala jiwa manusia-manusia yang
mempermaklumkan dirinya sebagai bagian dari kebesaran dan
keagungan Majapahit. Cahaya kebenaran yang menyinari hati
mereka telah redup. Di tengah suasana hati yang remang-remang
itu mereka tidak dapat lagi membedakan secara semestinya apa
yang disebut baik dan buruk, benar dan salah, mulia dan hina, adil
dan tidak adil, beradab dan biadab. Bahkan, di ambang kegelapan
cakrawala jiwanya itu mereka telah menjelma menjadi hantu-hantu
jahil yang liar, buas, kejam, rakus, licik , dan tengik.
Hukum jalanan yang tak kalah kejam dari hukuman picis adalah
hukum pendem. Seorang terhukum, konon, tubuhnya akan
dipendam sebatas leher. Kepala terhukum digunduli. Setelah itu
didatangkan puluhan ekor ayam kelaparan yang tidak diberi makan
selama tiga hari. Kemudian, sambil bersorak-sorak orang-orang
menaburkan butiran jagung ke atas kepala si terhukum yang
menyembul di permukaan tanah. Hukuman ini diberlakukan
sampai si terhukum mati. Namun apa pun namanya, semua hukum
jalanan tetap diperuntukkan bagi kalangan kawula alit sendiri. Para
ningrat berdarah biru dan orang-orang kaya pemilik uang tidak
pernah menjadi korban hukum jalanan.
1149
kalangan jelata yang sarat gegwantuhuwan (Jawa Kuno: takhayul)
menyesatkan.
1150
pasti telah meranggas, keropos, membusuk, dan akan tumbang
digeragoti zaman.
1152
Akibat kegemaran Bhre Parameswara menikmati kemewahan,
sanjungan, dan menumpuk kekayaan, berkerumunlah di
sekitarnya para penjilat berakhlak bejat dan berjiwa bobrok. Bhre
Parameswara yang bertubuh tambun dan berperut buncit telah
menjadi tak lebih berharga dari sebongkah bangkai busuk yang
dikerumuni lalat-lalat menjijikkan. Bagi Bhre Parameswara dan
begundal-begundalnya, nilai kesetiaan, kejujuran, keteguhan,
kesederhanaan, dan keberanian tidak lagi dijadikan ukuran utama
untuk menilai keberadaan seorang abdi negara. Mereka yang
paling pintar menyanjung, menjilat, dan menyenangkan hati
atasan, itulah abdi negara yang dinilai terbaik dan terkasih.
1159
Usaha Dyah Kertawijaya membuka cakrawala pemikiran dan
pandangan para pengikutnya tidak sekadar dilakukan melalui
musyawarah pertukaran pikiran, melainkan pula melalui
pembagian gelar tituler baru kepada keturunan dan sanak keluarga
kerajaan seperti Bhre Kretabhumi, Bhre Singapura, Bhre Kabalan,
Tuhan Galuh, dan Tuhan Majaya. Namun, segala usaha itu tidak
semua berhasil baik karena komplotan manusia berjiwa kerdil
dengan wawasan sempit yang menjamur di Majapahit terbukti lebih
kuat menancapkan kuku-kuku tajam kekuasaannya. Keberadaan
Sri Prabu Kertawijaya yang berdarah campuran Majapahit-Sunda
dan berpandangan jauh ke depan tetap menumbuhkan benih-
benih kekhawatiran dan ketakutan yang berujung pada suburnya
rasa ketidakpuasan di lingkungan kerabat maharaja dan pejabat
kerajaan.
1162
para pengawal yang sudah terhasut dan tidak puas itu telah
meninggalkan maharajanya seorang diri.
1166
Naiknya Hyang Purwawisesa ke puncak takhta Majapahit berhasil
meredam gejolak. Namun, keadaan Majapahit benar-benar
terpuruk dan membutuhkan perjuangan keras untuk menatanya
kembali. Itu sebabnya, hampir seluruh waktu Hyang Purwawisesa
digunakan untuk menata pemerintahan baru yang porak-poranda.
Mula-mula ia tangani hal-hal yang terkait dengan pemeliharaan
keamanan dan ketertiban di ibu kota. Setelah itu ia adakan
perbaikan militer. Namun, usaha itu terbentur berbagai rintangan
karena perekonomian buruk dan terutama mental pejabat yang
keropos. Lantaran sibuk menata ibu kota yang sarat berisi pejabat
berakhlak bejat dan berjiwa bobrok maka kerajaan-kerajaan
bawahan yang jauh dari ibu kota tak terhiraukan. Kerajaan-
kerajaan itu banyak yang diam-diam melepaskan diri dari
Majapahit.
1171
Peristiwa penyerbuan pasukan Demak yang dipimpin Lembusora
ke Samarang dengan cepat menyulut amarah putera-puteri Sri
Prabu Kertawijaya. Mereka paham Bhre Kretabhumi bukanlah
maharaja yang kuat dan tangguh. Itu sebabnya, mereka serentak
menyatakan bela pati atas kematian dua orang saudara mereka,
Syaikh Suta Maharaja dan Bhattara Katwang. Ario Damar
membawa armada besar dari Palembang dan mendaratkan
pasukan di Samarang (tempat mendarat itu kemudian disebut
Pedamaran). Raden Patah dengan dibantu sepupunya, Ki
Wanasalam, memimpin orang-orang Bintara dan Glagah Arum
untuk memberontak terhadap atasannya, adipati Demak,
Lembusora. Raden Kusen membawa pasukan dari Terung dan
Surabaya ke Demak. Bahkan Adipati Andayaningrat yang merasa
bersalah tiba-tiba mengirimkan pasukan Pengging untuk ikut
menghukum Lembusora.
1173
Setelah itu, sesuai keahliannya, Bhre Kretabhumi menyebar
kasak-kusuk menuduh adipati Demak yang berdarah campuran
Majapahit-Sunda-Cina-Palembang sebagai calon maharaja yang
bakal menghancurkan Majapahit dari dalam. Bahkan lafal Demak
(Jawa Kuno: hadiah) yang semula bermakna “ganjaran untuk
tunjangan keluarga raja”, telah disimpangkan menjadi lafal
nDemak (Jawa Kuno: menyerang) yang bermakna “menyerang
dengan mendadak”.
1174
Sirna Hilang Kertaning Bhumi
Sebagai maharaja yang berwawasan sempit
dan tidak memiliki pandangan jauh ke depan,
Bhre Kretabhumi ternyata sangat ketakutan
dengan kenyataan yang menunjukkan kuatnya
“jaringan hijau” yang dibangun Sri Prabu
Kertawijaya dan dilanjutkan oleh Sri Prabu Adi-
Suraprabhawa. Itu sebabnya, ia kemudian
terlihat lebih mengarahkan kewaspadaan
terhadap perkembangan yang terjadi di kawasan pantai utara, di
mana kekuatan Islam mulai berkembang kuat. Beribu-ribu telik
sandhi disebarkannya untuk memantau segala gerak-gerik para
bangsawan, saudagar, guru, nelayan, pedagang kecil, bahkan
tukang dan kuli yang rumahnya dekat surau dan pusat-pusat
perdagangan orang-orang muslim.
1175
Api dendam yang membakar jiwa dan pikiran Dyah Ranawijaya
meledak menjadi malapetaka besar bagi Majapahit. Itu terlihat saat
ia dengan seratus ribu prajurit datang ke ibu kota untuk mengambil
kembali haknya atas takhta Majapahit yang sudah dirampas Bhre
Kretabhumi. Dyah Ranawijaya dengan dendam kesumat tak
bertepi menyerbu dan melakukan kebiadaban tak terbayangkan.
Dikatakan kebiadaban tak terbayangkan sebab dalam penyerbuan
itu bala tentara Daha yang dipimpin oleh Dyah Ranawijaya sendiri
telah melibatkan para kawula alit untuk menjarah ibu kota.
1177
Selama tiga hari tiga malam ibu kota Majapahit dimangsa
keganasan api. Menjelang hari keempat api mulai padam.
Kesenyapan dan kesunyian pun menggelar permadani hitam yang
melingkupi reruntuhan bekas ibu kota maha-kerajaan itu. Sejauh
mata memandang hanya tumpukan abu hitam dan asap tipis yang
mengepul di antara mayat manusia dan bangkai binatang yang
hangus meranggas. Sebuah citra kematian yang mencekam dan
menakutkan. Di tengah kesenyapan dan kesucian mahakuta yang
pernah menjadi kebanggaan itu, para kawi menggubah syair dan
kidung ratapan dengan mengguratkan tanah (pena batu) di atas
karas (papan batu) yang melukiskan malapetaka itu dengan
ungkapan: “Sirna Hilang Kertaning Bhumi” (sirna dan hilang
maharaja Kretabhumi) dan “Sunya Nora Yuganing Wwang”
(kosong tiada anak manusia), yakni menandai tahun 1400 Saka
ketika bencana menggiriskan itu terjadi.
1178
Sesungguhnya, pudarnya keperkasaan dan kewibawaan
Majapahit tidak terlepas dari para pewaris takhta kekuasaan yang
makin lama makin lemah seperti Bhre Pamotan Sang Sinagara,
Bhre Kretabhumi, dan Dyah Ranawijaya. Para pewaris takhta yang
hidup di tengah kemewahan dan sanjungan itu tidak saja menjadi
lemah, tetapi wawasan mereka pun sempit. Mereka tidak lagi
memiliki wawasan luas dan pandangan jauh ke depan seperti
pendahulunya. Mereka seolah-olah tidak sadar jika negara yang
mereka warisi adalah sebuah kekaisaran maharaksasa yang
memiliki wilayah membentang dari Lamuri di barat hingga Wuanin
di timur dan solor di utara.
1180
hidupnya justru selalu dihantui rasa curiga dan ketakutan jika
takhta yang sudah didudukinya dirampas oleh sanak kerabatnya.
1182
Akibat kepindahan ibu kota Majapahit yang diikuti perubahan
tatanan pemerintahan yang semula bersifat kelautan menjadi
pertanian, ternyata mendatangkan peristiwa-peristiwa yang sangat
menyedihkan. Dikatakan menyedihkan karena seiring pernyataan
maharaja Majapahit yang memaklumatkan wilayah kekuasaannya
hanya mencakup Kahuripan, Daha, Janggala, dan Kadhiri;
kerajaan-kerajaan bawahan yang berada di luar wilayah empat
tersebut merasa tidak lagi sebagai bagian dari wilayah Majapahit.
Akibatnya, kerajaan-kerajaan bawahan yang selama berbilang
abad tunduk, patuh, dan setia kepada Majapahit beramai-ramai
melepaskan diri dari pemerintahan pusat yang sudah tak bergigi
itu.
Bagaikan rajawali tua dengan kedua sayap patah, Sri Prabu Natha
Girindrawarddhana yang picik dan kurang cerdas itu hanya bisa
kebingungan ketika dipaksa menyaksikan satu demi satu wilayah
yang semula dianggapnya bagian Majapahit, memisahkan diri
secara diam-diam dari induknya. Ia tidak paham kenapa hal itu bisa
terjadi. Ia hanya tertegun-tegun ketika menerima laporan bahwa
para raja muda Wirabhumi, Lumajang, Wengker, Kahuripan,
Matahun, Pawanuhan, Mataram, Pajang, Pengging, Demak, Giri,
Gresik, Siddhayu, Kendal, Samarang, dan Lasem menyatakan
kerajaannya berdiri sendiri-sendiri sebagai kekuasaan yang
berdaulat dan tidak lagi tunduk kepada maharaja Majapahit.
Entah bodoh, entah kejam, entah bengis, entah tidak memiliki hati
nurani, entah setan berwujud manusia, para penguasa kadipaten
gurem itu memperkenalkan berbagai jenis pajak yang sebelumnya
tidak pernah dikenal oleh penduduk untuk memenuhi segala hajat
mereka. Menurut catatan juru manghuri Terung, para penguasa
memungut berbagai jenis pajak kepada warganya secara semena-
mena berupa pajak tanah (pajeg), pajak pekarangan (karang
kopek), pajak rumah tangga (pacumpleng), pajak penghasilan
(upajiwa), pajak keamanan (rajabhaja), pajak jalan (kerigaji), pajak
untuk upacara-upacara kerajaan (rajawali), pajak pembangunan
1185
rumah pejabat (taker turun), pajak cacah jiwa (peniti), pajak hajatan
pejabat (pasumbang), pajak kunjungan pejabat (pajidralan), pajak
perkenalan pejabat (uwang bekti), dan seterusnya.
Sementara itu, bagi warga miskin yang tidak memiliki tanah dan
rumah dikenakan pajak dalam bentuk kerja-wajib tanpa bayar,
seperti menjaga rumah pejabat (kemit), melayani pejabat (pancen),
membantu urusan rumah tangga pejabat (ayeran), membuat dan
memperbaiki jalan umum (krigaji), mengangkut barang milik
pejabat (gladhag). Bahkan tak jarang di antara kalangan bernasib
sial ini yang harus menyetor anak-anaknya kepada penguasa
untuk dijadikan budak, wadal, dan tumbal.
1188
Orang bijak berkata: runtuhnya sebuah bangsa selalu ditandai oleh
jungkir baliknya nilai-nilai tatanan kehidupan yang dianut bangsa
itu. Tengara kehancuran Majapahit diawali oleh tanda jungkir
baliknya nilai-nilai dan tatanan kehidupan yang pernah dijunjung
dan dimuliakan di situ.
1189
Berawal dari Sang Chakreswara ini, selama puluhan dan bahkan
ratusan tahun, jumlah golongan jelata yang menempati kedudukan
penting di lingkaran anggota chakra makin tak terhitung jumlahnya.
Bahkan pada gilirannya tidak sekadar di lingkaran anggota chakra,
golongan jelata ini pun akhirnya muncul di berbagai sisi kekuasaan
Majapahit, yang hal itu mulai kentara pada masa kekuasaan Prabu
Stri Suhita dan dilanjutkan oleh Prabu Kertawijaya Wijaya
Parakramawarddhana.
1192
Pertarungan Rajawali
1194
Karena Sri Prabu Adi-Suraprabhawa mangkat dalam perjalanan
maka Udara dan kawan-kawannya kemudian mengabdikan diri
kepada Dyah Ranawijaya, putera junjungannya. Rupanya bintang
Udara sedang bersinar terang sehingga dia menduduki jabatan
patih Daha. Jabatan itu meningkat menjadi patih Majapahit dan
namanya diganti menjadi Mahodara segera setelah Dyah
Ranawijaya dinobatkan sebagai maharaja Majapahit dengan gelar
Sri Prabu Natha Girindrawarddhana. Untuk memperkuat
kedudukan, Mahodara menikahkan puteranya, Menak Supethak,
dengan puteri Sri Prabu Natha Giridrawarddhana yang bernama
Ratu Kadhiri.
Raden Kusen, adipati Terung, cucu Sri Prabu Kertawijaya dan juga
sepupu Sri Prabu Natha Girindrawarddhana, adalah satu-satunya
pejabat kerajaan yang berani menantangnya. Malah secara
“kurang ajar” Raden Kusen sering menghina dengan menyebutkan
namanya yang asli, Udara, yang dianggapnya bekas abdi dari
uwaknya, Pangeran Menak Sunaya. Dan yang paling tak pernah
diduga, pangeran asal Palembang itu berani menghancurkan
pasukan yang dikirim Mahodara untuk mengusir pemukim-
pemukim muslim dari Surabaya.
1196
Sementara itu, menurut Raden Kusen, pertarungannya menentang
Patih Majapahit lebih disebabkan oleh prinsip-prinsip hidup yang
sudah diwariskan oleh leluhurnya secara turun-temurun. Hampir
tidak ada yang memahami bahwa di tengah hingar-bingar
kebangkitan Majapahit itu sesungguhnya terjadi persaingan dan
sekaligus persekongkolan antara keturunan Akuwu Tumapel, Sang
Jayakerta Tunggul Ametung, dan keturunan raja Tumapel,
Ranggah Rajasa Sang Amurwabhumi. Keturunan Sang Jayakerta
Tunggul Ametung menggunakan wangsakara Warddhana, yang
bermakna pelindung agama dan pemakmur bumi. Sedangkan
keturunan Rangga Rajasa Sang Amurwabhumi menggunakan
wangsakara Rajasa, yang bermakna diberkati sifat rajas (nafsu
berahi).
1197
“Kali ini sudah agak beda masalahnya,” kata Raden Kusen. “Dulu
saat pertama kali bertempur, aku hancurkan seluruh pasukannya
di Sungai Terung. Tidak satu pun prajuritnya yang aku biarkan
hidup. Bahkan, tidak satu pun perahu yang digunakan mengangkut
prajurit itu yang tidak dibakar.”
“Ya,” kata Raden Kusen datar. “Dia tidak menyangka jika aku akan
membela Surabaya.”
“Ya, sama,” kata Raden Kusen. “Perang terjadi ketika patih jahat
itu memerintahkan para prajurit untuk mengusir orang-orang Islam
di Wirasabha dan kemudian menyuruh anaknya, Menak Supethak,
mengusir dan membunuhi orang-orang Islam di Garudha. Aku
gempur Garudha. Aku gempur Japan. Bahkan aku sudah
menggerakkan pasukan melintasi Wirasabha untuk mengepung
ibu kota Daha. Tetapi, Sri Prabu Natha memohon agar aku tidak
melanjutkan tindakan menyerang Daha karena orang bisa
menyangka aku melakukan pemberontakan.”
1204
SANG PEMBAHARU
BUKU 5
AGUS SUNYOTO
Pengantar Redaksi
Oleh karena itu, wajar bila sering kali terjadi sebuah pemikiran
pada satu zaman masyhur, namun pada zaman yang berbeda
mengalami keredupan, atau sebaliknya. Pada periode tertentu
dikutuk, pada saat yang lain dipuja habis-habisan. Dalam situasi
seperti ini kaum elit (masyarakat agamawan-penguasa-intelektual)
memegang peran yang sangat menentukan.
1205
Salah satu contoh peran signifikan kaum elit ini dapat disimak
dalam kasus yang menimpa Syaikh Siti Jenar. Dalam cerita-cerita
babad, ajaran-ajaran Syaikh Siti Jenar dianggap sebagai bid’ah,
menyimpang dari ajaran Islam. Oleh karena itu, melalui sidang
dewan Wali, Syaikh Siti Jenar dihukum mati. Polemik terjadi tatkala
kitab rujukan yang berbeda kita jajarkan. Katakanlah novel yang
ada di tangan pembaca ini kita jadikan rujukan.
Pada buku kelima ini aroma konflik dan peperangan terasa kental.
Peperangan antara pihak yang menerima tatanan baru masyarakat
ummah dan pihak yang mempertahankan tatanan lama kawula-
gusti. Syaikh Siti Jenar pun mulai menuai kebencian dari orang-
orang yang merasa dirugikan akibat gagasan pembaharuan yang
dibawanya. Jerat fitnah itu berasal dari para darah biru dan pejabat
yang merasa kehilangan sumber pendapatan dengan
dihapuskannya sistem sewa tanah; amarah pemuka masyarakat
Campa akibat sikap keras Syaikh Siti Jenar dalam hal takhayul
yang tidak sesuai dengan syari’at, kebencian penduduk berjiwa
pengecut yang kehilangan ketentraman akibat perang; dendam
1206
kesumat dari Rsi Bungsu; kemarahan para dukun, jawara, jajadug,
serta pedagang jimat, haekal, dan jampi.
1207
Wahdah al-Adyan
Padepokan itu terletak kira-kira empat atau lima pal dari candi,
berdiri di atas tanah shima (perdikan) milik candi, yang menurut
cerita adalah tanah milik Dang Acarya Tunglur, pemangku Candi
Surabhawana. Padepokan itu sendiri, menurut cerita, dibangun
oleh cucu buyut Dang Acarya Tunglur yang bernama Wiku Suta
Lokeswara, seorang guru agung para pendeta bhairawa di negeri
Daha. Di padepokan itulah para pendeta penganut ajaran
Bhairawapaksa – salah satu sekte dari madzhab Kalacakra yang
paling berpengaruh di Majapahit menuntut ilmu kepada Wiku Suta
Lokeswara.
Malam itu, di tengah kegelapan langit dan bumi, sang wiku terlihat
duduk di atas batu gilang yang terletak di halaman asrama. Di
1208
hadapannya para siswa duduk bersila menirukan sikap duduk sang
guru agung. Malam itu Wiku Suta Lokeswara akan memberikan
wejangan. Namun, baru berujar beberapa kata tiba-tiba salah
seorang siswa datang dan menyembah sambil berkata, “O Guru
Agung, hamba melaporkan bahwa serombongan tamu yang
mengaku dari Kadipaten Terung menunggu di luar padepokan.
Mereka ingin bertemu dengan Guru Agung. Bicara mereka sangat
aneh dan tidak hamba mengerti. Tetapi, satu orang yang bernama
Syaikh Lemah Abang berbicara tentang Rishi Purnajanma dan
Wahanten Girang. Hamba menduga mereka adalah orang
Wahanten Girang dan orang-orang Terung.”
“Ah rakanda Rishi, engkau telah mendahului kami,” kata Wiku Suta
Lokeswara menarik napas berat dengan mata berkaca-kaca, saat
mengetahui kakaknya telah pergi ke Syiwapada dengan kisah
yang begitu aneh.
1209
Kabar meninggalnya Rishi Purnajanma yang dibawa Abdul Jalil
memang menyulut tanda tanya besar dalam benak Wiku Suta
Lokeswara. Sebab, apa yang dikemukakan Abdul Jalil tentang
kematian kakaknya itu seperti dongeng yang tidak masuk akal.
Bagaimana mungkin seorang rishi meninggal di tanah suci milik
orang Islam? Bagaimana mungkin di tanah suci orang-orang Islam
yang suka mencela orang-orang Hindu sebagai pemuja berhala
ternyata terdapat lingga raksasa di atas bukit yang disucikan?
Bagaimana mungkin ada seseorang beragama Islam bersedia
dengan susah payah datang ke negeri Daha yang sedang dilanda
peperangan hanya untuk menyampaikan amanat seorang rishi?
Abdul Jalil tercenung lama. Ia sungguh tak mengira, rishi tua yang
memiliki kisah hidup menakjubkan itu adalah pejabat tinggi
keagamaan di Majapahit. Namun, dengan kenyataan itu Abdul Jalil
pun akhirnya memahami kenapa Rishi Purnajanma begitu
dihormati oleh para Rsigana Domas. Rupanya, pengetahuan dan
wawasan sang rishi yang jauh melebihi para anggota Rsigana
1211
Domas lain itu karena latar belakangnya sebagai pejabat tinggi
Majapahit.
1213
tentu buruk. Sedang apa yang Engkau anggap baik, pastilah itu
yang terbaik.”
1214
“Ah, kami ingin sekali bertemu dengannya,” kata Abdul Jalil.
1216
“Jadi, dengan memahami bahwa keberadaan Ka’bah bagi orang-
orang Islam adalah tidak berbeda dengan keberadaan Lingga bagi
orang-orang Hindu, yakni sebagai lambang pemujaan kepada
Yang Mutlak, maka kami katakan, sangatlah tidak benar jika ada
yang menganggap orang-orang Islam adalah penyembah kuburan
pendeta agungnya yang bernama Muhammad Saw.. Sebab,
orang-orang Islam jika bersembahyang menghadap ke arah
Ka’bah, bukan ke arah makam Nabi Muhammad Saw.. Bahkan jika
dihitung dengan ukuran, jarak antara makam Nabi Muhammad
Saw. di kota Yatsrib dan Ka’bah di kota Makah jauhnya hampir
empat ratus yojana.”
1217
“Sementara itu, umat Hindu awam yang mencela Islam sebagai
agama pemuja kuburan pun sebenarnya berpangkal dari
ketidaktahuan mereka tentang hakikat ajaran Islam yang
sempurna. Mereka tidak mengetahui bahwa kiblat umat Islam
bukan kuburan Nabi Muhammad Saw., melainkan Ka’bah, yakni
pratima yang disebut Rumah Tuhan (Baitullah) yang terletak di kota
Makah. Yang membedakan Ka’bah dan Syiwalinnga adalah
pratima Ka’bah itu merupakan satu kiblat pemujaan umat Islam di
seluruh dunia, sedangkan Syiwalingga berada di berbagai tempat
di mana orang bisa memuja-Nya. Dan sejatinya, baik Ka’bah
maupun Syiwalingga adalah pratima, yakni lambang Yang Ilahi
dalam bentuk batu.”
1219
“Tentang itu kami tidak tahu. Kami bertemu sangat singkat di
Surabaya. Tetapi yang kami dengar, dia memang tidak memiliki
istri. Tapi dia memiliki puteri angkat,” kata Abdul Jalil.
Kami pernah diberi tahu oleh Tuan Abdurrahman Tan King Ham,
saudagar Cina di kutaraja Majapahit, bahwa di dalam ajaran Islam
sebenarnya dikenal juga tentang loka-loka dari tiga dunia yang
mirip dengan ajaran Syiwa-Budha tentang Bhur Bhuwa Swa. Yang
membedakan adalah orang-orang Islam meyakini bahwa
kehidupan si swarga dan neraka itu kekal abadi. Sedang, menurut
Syiwa-Budha, yang abadi hanya Brahman. Swarga dan neraka
akan hancur karena keduanya adalah ciptaan. Keduanya bersifat
maya,” kata Wiku Suta Lokeswara.
1220
“Apakah di dalam ajaran Islam yang disebut swarga itu juga
bertingkat-tingkat seperti yang diyakini oleh kalangan kami, yaitu
ada Bhurloka, Bhuwarloka, Swarloka, Maharloka, Janarloka,
Tapoloka, dan Satyaloka?”
1225
“Dengan demikian, terlebih dahulu kami beri tahukan hendaknya
Paduka Wiku nanti tidak terkejut jika kelak melihat orang-orang
Islam mengibarkan panji-panji berlambang bulan sabit dengan
bintang di atasnya. Sebab, sesungguhnya itulah lambang-lambang
keagungan Sang Chandrasekhara, Sankara, dan Agastya. Itulah
lambang ardachandra, nada, dan windu yang membentuk kata suci
OM. Jika nanti Paduka Wiku menyaksikan juga panji-panji
bergambar Trisula bercadik (tulisan Allah dalam huruf Arab)
dikibarkan orang-orang Islam, maka itulah penampakan lambang
Syiwa, Mahadewa Yang Bersenjata Trisula. Jika Paduka Wiku
kelak menyaksikan orang-orang Islam mengibarkan lambang
harimau Ali (kaligrafi mirip harimau), maka itulah lambang
penampakan pakaian Syiwa yang terbuat dari kulit harimau.
Bahkan, jika Paduka Wiku menyaksikan orang-orang Islam ke
mana-mana membawa aksamala (biji tasbih), maka mereka itu
sejatinya menampakkan lambang atribut Syiwa,” ujar Abdul Jalil.
1227
jiwa dan cermin keberpantangan untuk menyerah dalam
menghadapi tantangan seberat apa pun.
1229
Kenapa nilai-nilai yang bersumber dari kebanggaan akan sifat-sifat
keagungan dan penaklukan itu bisa membawa Majapahit pada
kebesaran dan keagungan? Sesungguhnya, nilai-nilai itu menjadi
daya hidup yang kuat ketika berada di tangan para pemimpin yang
lahir dari antara manusia-manusia unggul. Para pemimpin yang
memiliki wawasan luas, pandangan jauh ke depan, dan dapat
mempersatukan seluruh kekuatan wangsa-wangsa yang terbentuk
atas nilai-nilai keagungan dan penaklukan. Para manusia unggul
itulah yang di dalam sejarah dikenal dengan nama Sri Prabu
Kertanegara, Sri Prabu Kertarajasa Jayawarddhana, Sri Prabu
Tribhuwanatunggadewi, Sri Prabu Rajasanagara, Sri Prabu
Wikramawarddhana, dan terakhir Sri Prabu Kertawijaya.
1231
Dengan terbitnya cakrawala kesadaran itulah Nirartha kemudian
mempelajari nilai-nilai baru kepada Abdul Jalil, yaitu nilai-nilai asing
yang sebelumnya tak pernah dikenalnya. Nilai-nilai tentang
penghormatan dan keselarasan hidup yang bertolak dari ajaran
Islam tentang kesabaran, kerelaan (ridho), keadilan (‘adl),
keikhlasan, pengorbanan (qurb), kerukunan (ukhuwah), tawakal,
sederhana (qama’ah), randah hati (tawadhu’), sebagai
penyeimbang dari nilai-nilai keagungan dan penaklukan yang
bersumber pada kebanggaan terhadap sifat adhigana, adhigung,
adhiguna, rajas, niratisaya, jaya, nirbhaya. Ya, dengan nilai-nilai
baru yang masih asing inilah, pikir Nirartha, sejatinya sisa-sisa
penduduk Majapahit dapat diselamatkan dari kebinasaan.
1232
Penerimaan Nirartha terhadap nilai-nilai baru itu tidak sekadar
penerimaan dalam pemikiran dan pemahaman. Ia menerima dan
sekaligus menerapkannya sebagai jalan hidup. Itu terbukti saat ia
dengan tegas memohon Abdul Jalil berkenan menjadi guru ruhani
yang mengajarkan rahasia Kebenaran dari agama yang selama ini
dianggapnya asing. Rupanya, bertolak dari nilai penghormatan dan
keselarasan itu, Nirartha akhirnya menyadari bahwa “jalan”
Kalachakra yang diikutinya harus diakhiri. Upacara meminum
darah dan memakan daging manusia yang dikorbankan, apa pun
alasannya, adalah tindakan yang tidak bisa diterima apalagi jika
dikaitkan dengan nilai penghormatan dan keselarasan. Sehingga,
di hadapan Abdul Jalil, ia mengikrarkan diri untuk tidak lagi
melakukan upacara-upacara itu.
1233
Di tengah kegelisahannya itulah Nirartha menyaksikan cakrawala
baru yang dibentangkan Abdul Jalil, yang dirasanya jauh lebih
manusiawi dan lebih masuk akal. Itu sebabnya, ia sangat menaruh
minat besar terhadap ajaran Islam yang disampaikan Abdul Jalil.
Nirartha menilai ajaran baru itu sangat sederhana dan gampang
dipahami. Akhirnya, pada hari kesembilan dari perjumpaannya
dengan Abdul Jalil, Nirartha mengambil baiat Tarekat Akmaliyyah.
1234
Belajar kepada Pendeta Bhairawa
1235
Seorang raja dalam tata praja Majapahit adalah pusat seluruh
kekuasaan dalam negara. Itu sebabnya, raja haruslah titisan
dewata yang suci (avatar) dan mampu menjalankan tugas-
tugasnya baik sebagai pelindung dunia, pemelihara agama,
penjaga moral, pemakmur bumi, maupun penyejahtera kawula.
Ukuran kelayakan seorang raja adalah tuntunan tentang Astabrata
(Delapan Ajaran) yang memberikan gambaran ideal tentang raja
yang dapat menjalankan tugasnya sebagaimana dewa-dewa
memelihara seluruh dunia. Tetapi di atas itu semua, untuk
menduduki jabatan raja, seseorang harus memiliki hubungan
darah dengan raja terdahulu yang sudah membuktikan “kedewaan”
dirinya. Dan para raja Majapahit adalah pewaris keagungan dan
kemuliaan darah Raja Tumapel pertama, Ranggah Rajasa Sang
Amurwabhumi, titisan Brahma, Bhattara Guru, dan Wisynu yang
mengalirkan benihnya ke dunia lewat cahaya (teja) yang
memancar dari “rahasia” Ken Dedes, naraiswari (raja puteri)
Kerajaan Purwa.
1237
Dengan pandangan bahwa raja adalah titisan dewa, menurut
hemat Abdul Jalil, sesungguhnya sebuah tatanan kekuasaan
memang bisa menjadi sangat ideal terutama jika sang raja benar-
benar dapat berkuasa sesuai sifat-sifat dewa dalam Astabrata.
Namun, bahaya dari tatanan semacam itu adalah saat tampilnya
raja yang jahat dan mengabaikan Astabrata. Bahkan bahaya yang
lebih dahsyat lagi, jika anak-anak raja yang sama-sama mengaku
titisan dewa itu kemudian berebut takhta sepeninggal orang
tuanya. Tak pelak lagi, akan terjadi keguncangan jagad semesta
karena anak-anak dewa tersebut saling bertempur mengadu
kekuatan. Kemunduran Majapahit jelas berpangkal dari
pertarungan “anak-anak dewa” itu dalam berebut mahkota. Mereka
melibatkan para pemuja dan penyembahnya masing-masing.
Bahkan, di tengah kecamuk perang bermunculan adipati-adipati
gurem yang mengaku “cucu dewa”, “cucu buyut dewa”, dan bahkan
“keturunan kelima dewa”, merki kenyataan menunjuk bahwa
bagian terbesar di antara mereka adalah begundal Patih
Mahodara.
1239
Demikianlah, semakin memahami tata praja Majapahit, semakin
sadarlah Abdul Jalil bahwa gagasannya merupakan sesuatu yang
asing di Majapahit dan Sunda. Bahkan, kelihatannya para adipati
muslim di pesisir utara pun tidak semuanya bisa menerima utuh
gagasannya tentang khilafah, terutama yang terkait dengan
wilayah al-Ummah.
1245
Dengan membandingkan tatanan tata praja Majapahit yang begitu
rumit, feodal, menguntungkan para petualang tengik, dan sangat
menyengsarakan kawula, Abdul Jalil melihat kemungkinan-
kemungkinan buruk dari gagasan khilafah yang ditawarkannya.
Maksudnya, meski gagasan khilafah jauh lebih baik dan lebih ideal
dibandingkan dengan tatanan kerajaan, gagasan itu sejatinya juga
mengandung bahaya yang tidak kalah dahsyat. Sebab, jika
gagasan khilafah yang didasarkan pada konsep masyarakat
ummah dan wilayah al-Ummah itu diselewengkan oleh manusia-
manusia berakhlak bejat dan berjiwa bobrok, sebagaimana para
petualang busuk memanfaatkan tatanan kerajaan di Majapahit,
boleh jadi gagasan khilafah itu justru akan menjadi monster yang
jauh lebih kejam, lebih buas, dan lebih biadab daripada monster
kerajaan. “
1246
“Berarti penduduk Majapahit di pedesaan jarang yang mengenal
dewa-dewa Hindu-Budha?”
1247
mereka dalam memuja batu-batu keramat dari leluhur pembuka
desanya,” kata Wiku Suta Lokeswara.
“Itu benar sekali,” sahut Abdul Jalil. “Di Caruban pun kepercayaan
itu sangat kuat diyakini orang-orang keturunan Campa. Tapi,
bagaimana pengaruh itu bisa sampai ke Terung?”
1249
“Sepengetahuan kami, kepercayaan Campa mulai dikenal di
sekitar kutaraja kira-kira tujuh windu silam. Saat itu Prabu
Kertawijaya menikahi puteri Darawati dari Campa. Para pengiring
sang puteri tinggal dan menetap di kutaraja. Mereka itu orang-
orang Islam yang sangat ramah dan karenanya disukai oleh warga
kutaraja. Mereka menikah dengan orang-orang Majapahit dan
tinggal di kutaraja. Mereka itulah yang kami ketahui memiliki adat
yang jauh lebih rumit daripada adat orang-orang Majapahit.
Tentang berkembangnya kepercayaan itu hingga ke Terung, kami
tidak tahu pasti. Tetapi, kami mengira itu berkaitan dengan
pengungsian besar-besaran warga kutaraja saat terjadi
penyerbuan Dyah Ranawijaya Girindrawarddhana. Sehari sebelum
kutaraja dihancurkan, orang-orang Islam telah keluar
meninggalkan kutaraja dibawah lindungan adipati Terung,” kata
Wiku Suta Lokeswara.
1251
Ya, orang-orang keturunan Campa sangat meyakini bahwa orang-
orang yang mati dalam keadaan buruk, seperti kecelakaan atau
bunuh diri, arwahnya akan gentayangan menjadi hantu yang suka
menggoda orang lewat. Para ibu yang mati saat melahirkan juga
akan menjadi hantu. Orang mati yang tidak dilepas ikatan tali
mayitnya akan menjadi hantu juga. Anak-anak yang dikorbankan
untuk mencari kekayaan akan menjadi hantu. Bayi-bayi yang mati
karena keguguran juga akan menjadi hantu. Pendek kata, mereka
meyakini orang mati masih terikat dengan kehidupan di dunia ini
dalam wujud arwah gentayangan. Padahal, keyakinan itu menurut
akidah Islam sangat ganjil dan menyesatkan dan tanpa dasar sama
sekali.
Abdul Jalil sendiri sangat heran dengan cara pandang dan cara
bernalar orang-orang keturunan Campa yang sarat dikuasai
takhayul. Mereka sangat yakin suara tokek dapat mendatangkan
keberuntungan sekaligus kesialan. Lantaran itu, saat mendengar
tokek bersuara, mereka akan menghitung jumlah bunyi untuk
menentukan keberuntungan dan kesialan yang ditimbulkannya.
Takhayul lain yang tak kalah ganjil adalah, meski orang-orang
Campa dan keturunannya adalah muslim, mereka yakin bahwa
leluhur mereka merupakan binatang seperti harimau, banteng, ikan
lele, belalang, buaya, kura-kura, burung, atau kucing sehingga
mereka tabu memakan daging binatang-binatang tersebut. Mereka
pantang menyebut harimau sebagai harimau, melainkan
menyebutnya dengan penuh hormat dengan sebutan “Yang”
(kakek). Mereka juga pantang menyebut tikus sebagai tikus,
namun menyebutnya dengan penuh hormat dengan sebutan “tuan
yang tampan”. Bahkan di kalangan keturunan Campa di Junti,
1252
Abdul Jalil pernah mendengar cerita takhayul yang sangat
merusak akidah, yang intinya begini:
1254
Menyadari “medan tempur” yang dihadapinya begitu berat, Abdul
Jalil sadar dirinya tidak akan cukup mampu mempengaruhi
perubahan tersebut seorang diri. Sebab, yang dihadapinya adalah
pekerjaan maharaksasa yang hanya mungkin dilakukan secara
serentak oleh banyak pihak dengan risiko akan jatuh banyak
korban. Bagaikan orang mendirikan bangunan baru dari
reruntuhan bangunan lama, hendaknya ada martir yang bersedia
menjadi umpak, dinding, tiang, sakaguru, blandar, dan atapnya.
Bagi Abdul Jalil, cukuplah dirinya menjelma sebagai tanah yang
menghampar bangunan baru yang disebut khilafah itu akan
ditegakkan agar bisa dijadikan tempat berlindung yang aman bagi
penghuninya.
1255
Karttikeyasingha Sang Nrpati
Dewasimha
1257
“Pasukan Patih Mahodara,” gumam Wiku Suta Lokeswara dingin.
1260
Seiring berkelebatnya bayangan hitam, terjadi suatu keanehan
lagi: prajurit Daha tiba-tiba saling bertabrakan dengan sesama
kawannya. Terdengar suara caci maki, lalu umpatan-umpatan
balasan. Setelah itu terdengar jerit kesakitan yang diikuti
gemerincing senjata yang beradu. Rupanya terjadi pertempuran di
antara prajurit Daha sendiri. Mereka saling menikam.
Ia baru sadar dirinya terpisah dari rombongan yang lain pada dini
hari ketika berada di tepi sungai Nilakantha di utara Jnanabharan.
Ceritanya, saat itu tanpa diduga di depan Abdul Jalil telah berdiri
sosok sebesar gajah yang tadi dilihatnya di padepokan. Abdul Jalil
terkejut dengan kemunculan tiba-tiba sosok itu. Dari kegelapan ia
mengamati sosok tersebut berwujud manusia raksasa setinggi
sekitar tujuh depa. Rambutnya yang panjang dan lebat terurai
hingga ke bawah lutut. Matanya menyala hijau dengan manik-
manik kecil. Abdul Jalil cepat tersadar bahwa sosok di depannya
itu bukanlah manusia, melainkan sebangsa makhluk berbadan
halus dari antara bangsa jin.
1263
“Apakah di kalangan bangsamu dalam waktu dekat ini tidak ada
perhelatan besar pesta darah?”
1267
sesuatu yang ada di depannya sebagaimana gelombang
menghancurkan kapal-kapal dan desa-desa di pesisir.
1268
Sebagai manusia besar yang pernah malang melintang di atas
takhta kencana yang menyatukan dua puluh tujuh kerajaan di
samudera raya, sang Nrpati Dewasimha sudah tentu sangat
memahami tata negara dan tata kehidupan penduduk negerinya.
Saat Abdul Jalil memintanya untuk menunjukkan keburukan dan
kelemahan khilafah, dengan sangat tenang sang Nrpati
Dewasimha berkata, “Tidak ada yang buruk dan tidak ada yang
lemah dari gagasanmu itu, o Anak. Yang aku tertawakan adalah
rencanamu untuk menerapkan tatanan agung dan mulia itu di
negeri ini tanpa memperhitungkan watak dasar dari manusia-
manusia yang engkau harapkan mendukung gagasan itu. Sebab,
dengan mengabaikan watak dasar manusia pendukung, engkau
dapat diibaratkan seperti orang yang berusaha menjadikan sebuah
kota sebagai hunian kawanan binatang buas. Sehingga bukan
keamanan, ketenteraman, kedamaian, kemakmuran, keadilan, dan
kesentosaan yang akan engkau hadapi jika gagasanmu itu
dijalankan, sebaliknya kekacauan dan kerusakanlah yang akan
terjadi jika gagasan itu engkau laksanakan.”
“Aku tidak tahu pasti berapa puluh ribu manusia setengah binatang
yang terbunuh atas nama hukum Kalingga yang keras. Sebab,
tidak kenal kawula, tidak kenal nayakapraja, tidak kenal keluarga
raja, yang melanggar peraturan akan dijatuhi hukuman berat.
Waktu itu aku dicaci maki oleh semua orang sebagai raja setan
yang jahat dan haus darah. Tetapi, aku menutup mata dan
telingaku. Tidak ada yang aku dengarkan di antara semua suara
itu, kecuali suara hukum yang jernih laksana pantulan denting
pedang yang lurus dan tajam.”
1270
“Akhirnya, selama puluhan tahun sejak hukum ditegakkan dengan
keras, penduduk Kalingga benar-benar menjadi manusia yang baik
budi pekertinya. Sifat-sifat buruk warisan para Kalakeya, Danawa,
Daitya, Rakshasa, Pisaca, Yaksa, Naga, Anjing, Wanara, Lembu,
dan Barwang telah lari bersembunyi di kedalaman jiwa seluruh
penduduk. Seluruh warga Kalingga hidup dalam keadaan aman,
damai, tenteram, makmur, dan sentosa. Kejahatan sekecil apa pun
tidak terjadi di Bumi Kalingga karena semua penduduk tunduk
pada hukum. Semua penduduk sudah menjadi manusia utuh.”
“Selama dua tahun tidak satu pun orang berani menyentuh pundi-
pundi itu. Tetapi, putera mahkotaku justru mengijak-injaknya,
sebagai ungkapan sikap bahwa tumpukan emas baginya bukanlah
barang berharga. Rupanya dia tidak sadar bahwa hukum Kalingga
melarang orang-seorang mengganggu barang milik orang lain.
Lantaran itu, dia diancam hukuman mati. Sebagaimana aku, istriku
yang menggantikan kekuasaanku pun dengan tegas menjatuhkan
hukuman mati atas putera mahkota. Hak atas takhta dicabut
darinya. Hanya atas saran para pejabat tinggi kerajaan akhirnya
1271
hukuman mati dicabut dan diganti hukuman potong kedua kaki.
Demikianlah, Pradah Putra, sang putera mahkota dipotong kedua
kakinya tanpa ampun. Itulah hukum adil yang harus dipatuhi oleh
setiap penghuni negeri tidak pandang kawula, tidak pandang
keluarga raja.”
1273
Di Padepokan Wanasalam
Abdul Jalil yang baru sekali itu melihat ksetra merasakan bulu
kuduknya meremang saat menekuri tulang-tulang itu. Berulang-
ulang ia menarik napas panjang. Tulang-tulang itu, katanya dalam
hati, pastilah tulang belulang anak-anak muda dan bayi-bayi tak
berdosa. Mereka dirampas dari dekapan kasih orang tuanya untuk
dijadikan “jalan pintas” menuju pembebasan jiwa oleh sekelompok
orang yang mencari Kebenaran Sejati. Andaikata tidak ada cahaya
iman yang dipancarkan Allah SWT. lewat Ario Damar dan Ki
Wanasalam, tentulah ksetra itu masih digunakan.
1276
Belum lama Raden Sulaiman menggantikan ayahandanya,
kehidupan di Majapahit mengalami perubahan yang sangat
menyedihkan. Perang antarwangsa untuk berebut pengaruh dan
kekuasaan telah melahirkan kehidupan yang kacau-balau.
Penjarahan terjadi di mana-mana. Penduduk desa yang
kehilangan rumah dan harta bendanya datang ke kota-kota
terdekat dengan pakaian compang-camping untuk meminta-minta.
Di tengah suasana kacau-balau itulah penduduk yang sudah
menjadi gelandangan menggantungkan harapan mereka kepada
orang-orang Islam di pedalaman. Banyak di antara penduduk itu
kemudian memeluk Islam. Kehidupan mereka menjadi lebih baik
karena mendapat bantuan dari saudagar-saudagar muslim di
pesisir.
1277
Ketenangan dan kedamaian penduduk beragama Islam di
pedalaman Majapahit ternyata tidak langgeng. Pada saat
perselisihan antarwangsa berlangsung sengit, pemegang
kekuasaan di Majapahit adalah penguasa-penguasa yang
berpikiran picik dan berjiwa kerdil. Penghargaan dan
penghormatan atas keberbedaan sebagaimana maharaja
terdahulu menjadi terabaikan. Penduduk beragama Islam di
pedalaman mulai merasakan tekanan-tekanan dan ancaman-
ancaman, bahkan tindak-tindak kekerasan.
1280
“Ndalem Leba mereka kepung. Kemudian, sambil berteriak
serentak bagaikan suara guruh bersahut-sahutan, mereka
melepaskan beratus-ratus panah berapi. Terjadi hujan api. Dalam
sekejap Balai Rangkang dan bangunan-bangunan utama Ndalem
Leba tenggelam dalam lautan api. Saat itu semua orang yang
berada di makam saling berdesak-desak dan menjerit-jerit
ketakutan. Suasana makin tegang, ketakutan makin memuncak,
manakala mereka menyaksikan pasukan Patih Mahodara
berbondong-bondong masuk ke halaman Ndalem Leba menuju
arah makam. Tanpa ada yang menyuruh, semua beramai-ramai
melafalkan kalimah tahlil La ilaha illa Allah berulang-ulang karena
mereka mengira saat itu adalah saat terakhir mereka hidup di
dunia.”
1282
“Saya kira mereka takut,” kata Raden Sulaiman. “Siapa pun di
antara warga Wirasabha entah dia prajurit atau bukan, pastilah
mereka sudah mendengar jika hutan Wanasalam adalah hutan
angker, tempat kediaman para bhairawa yang suka memakan
manusia. Munculnya Ki Wedung dalam bentuk raksasa telah
menciutkan nyali mereka. Saya kira, sebagian besar mereka pun
sudah pernah mendengar cerita keangkeran hutan Wanasalam. Di
antara mereka tentu banyak yang pernah mendengar cerita jika
leba Wirasabha pertama adalah kerabat pemangku Padepokan
Wanasalam.”
“Ah, aku paham sekarang,” kata Abdul Jalil tiba-tiba teringat pada
Ki Wanasalam yang ditemuinya di Kadipaten Demak, “kenapa
prajurit-prajurit Demak sangat ditakuti di berbagai tempat, bahkan
di Bumi Pasundan. Kalau tidak salah karena prajurit-prajurit Demak
dipimpin oleh Ki Wanasalam, mantan pendeta bhairawa yang
termasyhur sakti mandraguna asal Wanasalam.”
1283
“Ya, mereka semua memang beragama Islam. Tetapi, sebelum
berangkat ke Demak mereka adalah siswa Padepokan
Wanasalam. Mereka baru memeluk Islam beberapa waktu
sebelum berangkat ke Demak. Menurut adat kebiasaan, mereka
selalu mengucapkan ikrar keislaman diNdalem Leba Wirasabha.
Ya, para calon punggawa Demak selalu mengikrarkan dua kalimah
syahadat di depan leba Wirasabha sebelum berangkat ke Demak.
Ketentuan itu ditetapkan oleh Patih Wanasalam sejak ayah kami
masih hidup,” kata Raden Sulaiman.
1287
para punggawa dan kawula Majapahit jauh lebih mengenal nama
besar sang patih daripada namanya.”
“Kalau begitu, ratu Japan tidak boleh disebut sebagai ‘ratu sangkar
emas’ peliharaan adipati Terung. Sebab, dia jauh lebih berkuasa
dibanding Sri Surawiryawangsaja. Dia tidak berada di bawah
kendali adipati Terung. Bahkan, dia sehari-harinya tinggal di
Japan, sedangkan adipati Terung tinggal di Terung.”
1290
“Apakah tombak itu juga butuh makan dan minum seperti
manusia?” tanya Abdul Jalil heran.
1291
Setelah diam beberapa jenak, Abdul Jalil bertanya lagi kepada
Kasan, “Apakah engkau pernah bertemu dengan penghuni tombak
itu?”
“Kami mengikuti apa yang diajarkan orang tua kami, Tuan Syaikh.”
1292
“Ampun Tuan Syaikh, mohon Tuan Syaikh tidak melakukan itu.
Sebab, kami tidak ingin menerima akibat buruk jika penghuni
tombak itu marah,” kata Kasan mengiba dan bersujud di kaki Abdul
Jalil.
“Apakah nanti dia tidak akan kembali lagi ke rumahnya dan marah-
marah kepada kami?”
1293
“Ketahuilah, he Kasan, di dalam tubuhmu sesungguhnya terdapat
kekuatan yang jauh lebih dahsyat dibanding penghuni tombak ini.
Engkau adalah anak cucu Adam a.s. yang lebih agung dan lebih
mulia daripada setan penghuni pusakamu. Sebab, engkau lebih
sempurna dalam penciptaan dibanding setan,” ujar Abdul Jalil
menyadarkan.
“Apakah ajaran ganjil itu berasal dari mereka?” tanya Abdul Jalil.
1297
dada, ketiga di pusar, keempat di paha, kelima di betis, keenam di
mata, ketujuh di kaki.
1298
Para Penguasa Surabaya
1299
Mahodara. “Semua rombongan dari Caruban juga ikut ke
Surabaya,” kata Pangeran Kanduruwan.
“Ya.”
“Empat hari lalu rombongan pendeta muda Nirartha dari Daha tiba
di sini dengan dikawal prajurit-prajurit Terung. Dia datang bersama
istri-istri dan anak-anaknya. Tapi, dua hari lalu dia pergi bersama-
sama dengan adipati Tepasana, Menak Lampor. Katanya, dia akan
ke Bali karena padepokannya di Daha dihancurkan Patih
Mahodara,” kata Pangeran Kanduruwan.
“Ya.”
1300
“Dia sampai ke sini esok hari setelah kedatangan Nirartha.”
1301
“Patih Mahodara itu cerdik, sekalipun oleh banyak orang dia
dianggap keturunan seekor anjing. Dalam dua pertempuran yang
tidak dimenangkannya itu, rupanya dia sadar tidak boleh lagi
membentur kekuatan Islam yang terbukti sudah sangat kuat di
pesisir. Itu sebabnya, dia kemudian berusaha memperkuat
pertahanan dirinya dengan memanfaatkan dukungan pemuka-
pemuka Islam,” kata Pangeran Kanduruwan.
“Dia adalah adik Syaikh Maulana Ishak,” ujar Raden Sulaiman. “Dia
juga paman Prabu Satmata, Yang Dipertuan Giri Kedhaton.”
“Dia memang cerdik, licin, ulet, namun licik seperti ular yang
menakutkan,” kata Pangeran Kanduruwan.
1304
Keberadaan para pelaut di Surabaya itu mendorong penduduk
untuk berusaha memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari.
Agak jauh di selatan dermaga rahasia berdiri puluhan warung-
warung makan. Di kanan kiri warung-warung itu terdapat sejumlah
rumah petak milik para mucikari yang dihuni pelacur-pelacur.
Kawasan itu diawasi oleh seorang juru jalir (Jawa Kuno: pengawas
pelacuran) yang selain mengutip pajak pelacuran juga berhak
menangkap bangsawan dan perwira yang kedapatan masuk
daerah tersebut. Sesuai penghuninya, tempat itu dinamai
Srenggakarana (Jawa Kuno: pembangkit nafsu syahwat). Di
seberang barat Srenggakarana, dipisahkan Sungai Patukangan,
terdapat tempat orang-orang menggelar pertunjukan wayang,
sandiwara, tayuban, dan berjenis-jenis tontonan. Kawasan ini
diawasi oleh seorang tuha padahi (Jawa Kuno: pengawas seni
pertunjukan). Dan sesuai kegunaannya, tempat itu disebut
Panggung (Jawa Kuno: pentas pertunjukan). Kedua tempat itu
ramai dikunjungi oleh para prajurit laut rendahan Majapahit.
1305
Karena ketatnya pemeriksaan maka kapal-kapal niaga yang akan
menuju kutaraja Majapahit untuk berdagang di pelabuhan Canggu
nyaris tidak ada yang masuk melalui Sungai Mas. Mereka biasanya
masuk lewat muara Sungai Brantas yang terletak sekitar dua puluh
pal di timur Sungai Mas. Kapal-kapal itu akan masuk lewat Supit
Urang, terus ke Gsang, Tda, dan Canggu tanpa diperiksa. Jalur
lain yang juga ramai dan sejak zaman kuno digunakan oleh kapal-
kapal ukuran besar adalah muara Sungai Porong dengan dermaga
di Kambang Sri, Jedong, Terung, dan Canggu. Kapal-kapal dan
perahu niaga itu baru dikenai pungutan cukai dan biaya sandar di
Canggu.
1309
sudut-sudut kampung terlihat kerumunan orang membawa
berbagai jenis senjata.
1311
Penduduk secara gotong royong membangun rumah-rumah yang
rusak.
1312
Entah benar entah tidak, menurut dongeng orang-orang tua, sejak
Pangeran Arya Lembu Sura berkuasa sebagai raja terbentuklah
untuk kali pertama perkampungan muslim di Surabaya.
Perkampungan itu terletak di seberang timur kraton dan dinamai
Pinilih (Jawa Kuno: bebas memilih). Penduduk muslim di Kampung
Pinilih umumnya perajin, pedagang kecil, dan pengecor logam.
Mereka adalah para pembuat tikar rotan (agawai lampit), pemintal
benang (angapus), tu-kang jagal (juru bapuh), tukang celup
(mangkala), buruh yang mengurusi ayam aduan (juru kurung), dan
penempa logam (apande salwir ning apande). Untuk kepentingan
ibadah warga muslim di Pinilih, Pangeran Arya Lembu Sura
membangun masjid di sana. Itulah masjid pertama di Surabaya.
1317
Sebagai satu-satunya pangeran Majapahit yang beragama Islam
di zamannya, Arya Lembu Sura dikenal sebagai pelindung dan
sekaligus tumpuan bagi orang-orang Islam di Majapahit. Lewat
tangan Arya Lembu Sura, sejumlah jabatan penting di Majapahit
diduduki oleh orang-orang Islam. Abdurrahim bin Kourames al-
Abbasi, menantu Arya Lembu Sura, misalnya, diangkat oleh Prabu
Wikramawarddhana menjadi syahbandar di Tuban. Ia dianugerahi
gelar Arya Teja. Arya Bribin, puteranya, diangkat menjadi adipati di
Arosbaya. Sayyid Malik Ibrahim diangkat menjadi imam masjid di
Tandhes dan memimpin warga muslim di sana. Ia bahkan
dianugerahi gelar Raja Pandita.
1318
Ketika usia Arya Lembu Sura mencapai hampir tujuh puluh, Dyah
Kertawijaya, kedatangan tiga orang kemenakan istrinya. Karena
Dyah Kertawijaya masih seorang pangeran yang sedang bersaing
memperebutkan takhta yang sedang diduduki kakaknya, Prabu Stri
Suhita, maka ketiga orang kemenakannya itu dititipkan kepada
Arya Lembu Sura. Ketiga kemenakan itu adalah Sayyid Ali
Murtadho, Sayyid Ali Rahmatullah, dan Abu Hurairah. Ketiganya
kemenakan Ratu Darawati, istri Prabu Kertawijaya yang berasal
dari negeri Campa.
Akhirnya, pada usia tujuh puluh dua tahun Arya Lembu Sura Wafat.
Ia dimakamkan di Batu Putih yang terletak di seberang timur
Kampung Ampel Denta. Namun seiring kabar kematiannya itu,
tersiar pula kabar tentang wasiatnya yang menunjuk Raden Ali
Rahmatullah sebagai penggantinya. Kabar terakhir itu sangat
mengejutkan para pejabat Majapahit. Sebab bagi Majapahit,
Surabaya selain masih menjadi pangkalan angkatan laut juga
menjadi gerbang perniagaan yang mengalirkan dana sangat besar
bagi kas kerajaan. Penyerahan tampuk kekuasaan di Surabaya ke
tangan orang asing yang beragama Islam secara sederhana dapat
dianggap sebagai ancaman yang berbahaya bagi Majapahit.
1321
Arya Sena, pecat tandha di Terung, putera almarhum Arya Lembu
Sura.
1324
Perselisihan antara Adipati Terung dan Patih Mahodara sendiri
sejatinya telah menguras segenap daya dan kekuatan kedua belah
pihak. Bukan hanya pasukan Terung dan Daha yang bertempur,
melainkan para Adipati yang memihak masing-masing kekuatan
pun jumlahnya mencapai puluhan. Lantaran itu, untuk
menghentikan perselisihan dibutuhkan kesepakatan dari para
adipati yang terlibat untuk mengakhiri peperangan yang
menyengsarakan kawula. Raden Ali Rahmatullah mengumpulkan
seluruh sanak kerabat dan siswanya yang menjadi penguasa-
penguasa di pesisir, terutama para keturunan Prabu Kertawijaya,
Bhre Tumapel dan Bhre Wirabhumi. Sedangkan Syaikh Maulana
Gharib mengumpulkan para adipati yang mendukung Patih
Mahodara. Kabar berkumpulnya para adipati itu dengan cepat
meluas ke berbagai tempat. Tak lama kemudian penduduk
Surabaya menyaksikan para adipati dari berbagai daerah
berdatangan ke kotanya. Mereka ditempatkan di kraton Surabaya,
meski rencana pertemuan akan digelar di Masjid Ampel Denta.
Abdul Jalil yang agak terlambat mendengar kabar itu dari Pangeran
Kanduruwan bergegas ke Surabaya bersama-sama dengan
Raden Sulaiman. Namun, saat tiba di Surabaya ternyata
pertemuan itu belum dilakukan. Para adipati dan raja muda yang
hadir masih tinggal di kraton Surabaya untuk menunggu saudara-
saudaranya yang belum datang. Abdul Jalil dan Raden Sulaiman
kemudian menghadap Raden Ali Rahmatullah yang tinggal di
sebuah pondok kecil di samping Masjid Ampel Denta.
1325
Kepada sepupu jauhnya itu, Abdul Jalil menuturkan semua
pengalamannya selama berada di pedalaman Majapahit yang
begitu kacau balau. Ia meminta saran dan petunjuk apa yang
sebaiknya ia lakukan untuk menghadapi perubahan yang berat itu.
Ternyata, saran dan petunjuk Raden Ali Rahmatullah tidak jauh
berbeda dengan apa yang telah dipikirkannya; bahwa perjuangan
mengubah tatanan kehidupan di tengah reruntuhan Majapahit
harus dilakukan secara serentak oleh banyak orang yang memiliki
pandangan dan semangat yang sama, yaitu para pejuang yang
memiliki semangat perbaikan (islah) untuk menciptakan kehidupan
anak manusia yang lebih baik.
1326
Bhayangkari Islah
Abdul Jalil yang diberi tahu oleh Raden Sulaiman tentang kasak-
kusuk yang menghangat di antara hadirin hanya tersenyum tanpa
memberikan tanggapan apa pun. Ia menerima kenyataan itu
dengan lapang dada. Ia sangat sadar bahwa bagian terbesar dari
1337
peserta pertemuan itu adalah penguasa-penguasa yang picik dan
mandek pemikiran maupun jiwanya karena lingkaran kemapanan.
Mereka hanya bisa berpikir dangkal betapa mereka bakal
kehilangan wibawa dan kekayaan jika menerima dan menerapkan
tatanan baru masyarakat ummah dan wilayah al-Ummah yang
berbeda dengan tatanan Kawula dan Kerajaan. Memang, kata
Abdul Jalil dalam hati, hampir tidak ada manusia yang mau
menerima sesuatu yang baru yang jelas-jelas mengancam
kepentingan pribadinya.
Para kerabat dan murid yang selama ini sangat patuh dan sangat
memahami kehebatan Raden Ali Rahmatullah di dalam merancang
suatu gerakan untuk perubahan, tidak sedikit pun menolak rencana
pembentukan syura tersebut. Bahkan saat Raden Ali Rahmatullah
1339
mengusulkan nama Bhayangkari Islah untuk syura tersebut,
semuanya menerima dengan takzim. Dan sesuai kesepakatan,
mereka yang ditetapkan sebagai anggota Bhayangkari Islah
adalah Syaikh Maulana Gharib, Raden Ahmad Khatib Ampel
Denta, Raden Mahdum Ibrahim Imam Masjid Demak, Raden Patah
Adipati Demak, Prabu Satmata Ratu Giri Kedhaton, Kalifah Husayn
Arosbaya, Raden Yusuf Siddhiq Adipati Siddhayu, Raden Zainal
Abidin Adipati Tandhes, Pangeran Pandanarang Adipati
Samarang, Pangeran Gandakusuma Adipati Kendal, Raden Qasim
Wali Nagari Caruban, Syarif Hidayatullah Wali Nagari Gunung Jati,
Raden Sulaiman Leba Wirasabha, Abdul Malik Israil, dan Syaikh
Lemah Abang. Atas usul Abdul Jalil, Raden Sahid yang sedang
“berjuang” di Galuh Pakuan dimasukkan ke dalam anggota
Bhayangkari Islah.
1342
Syaikh Lemah Abang pasti sudah mafhum jika hal itu butuh waktu
lama,” ujar Raden Ali Rahmatullah.
1343
Para Penghindar Kematian
Di pengujung musim hujan ini deretan gubuk dan tenda kumuh itu
terus-menerus diguyur hujan lebat disertai angin dan halilintar. Jika
hujan melebat, debu merah yang menempel di daunan dan atap-
atap terlihat berdesak-desakan turun menuju permukaan tanah,
menggenang, dan kemudian menjadi kubangan keruh berwarna
coklat kemerahan. Tidak hanya debu, tetapi tahi sapi, tahi kerbau,
1344
tahi kambing, tahi bebek, dan tahi ayam pun berbaris bersama air
hujan menuju kubangan demi kubangan. Hujan yang tak kenal
waktu telah mengubah tanah menjadi kubangan lumpur berupa
gumpalan lempung bercampur kotoran mirip sawah yang baru
dibajak dan ditaburi rabuk. Bagaikan kerumunan makhluk aneh,
gubuk dan tenda kumuh itu meringkuk kedinginan di tengah
kubangan lumpur raksasa. Tidak ada suara di situ selain rintik
hujan, desau angin, gemuruh guruh, ledakan halilintar, tangis anak
kecil, dan gerutu orang-orang yang mengutuk hujan tak kenal
istirahat.
Bagi para pengungsi, bukan hanya debu, pasir, tanah, dan hujan
yang teraduk menjadi kubangan lumpur bergumpal lempung. Jiwa
mereka pun dari waktu ke waktu diaduk-aduk oleh kecemasan,
ketakutan, kegamangan, dan kebingungan akibat peperangan
yang berkecamuk dengan simpang-siur berita yang tidak menentu.
Jiwa mereka sekeruh lumpur dan teraduk-aduk. Ketidakpastian
telah membanting-banting jiwa dan raga. Di tengah
1345
keremukluluhan itulah mereka dengan harap-harap cemas akan
menanya siapa saja di antara orang yang datang ke situ tentang ini
dan itu sekitar kecamuk perang. Bahkan di tengah hujan lebat pun,
dengan bertudung daun pisang, para lelaki akan keluar dari gubuk
untuk menanya siapa saja di antara orang-orang yang datang;
apakah perang masih berlanjut atau sudah selesai.
“Ya, Tuan.”
“Karena sudah ada bukti bahwa mereka adalah orang tak berguna,
orang yang mau enak sendiri dan tidak mau susah, maka rumah
dan hartanya hendaknya diberikan kepada orang-orang yang telah
bertaruh nyawa menjaganya. Itu hukum perang yang berlaku di
mana saja.” Abdul Halim Tan Eng Hoat sambil berpaling meminta
pertimbangan Syarif Hidayatullah, “Bukankah demikian,
Saudaraku?”
1351
Liku-liku kehidupan yang dijalaninya dengan berbagai gambaran
manusia dari aneka bangsa telah memahamkan Abdul Jalil tentang
betapa kuat kalangan orang-orang kebanyakan terjajah oleh
kekuasaan kebendaan (thaghut). Rupanya, pikir Abdul Jalil, kiblat
hati dan pikiran dari kalangan itu lebih terarah pada kebendaan.
Kehidupan sehari-hari mereka lebih banyak diwarnai oleh ingatan
tentang harta benda dan bayangan-bayangan kelezatan. Mereka
adalah orang-orang lemah yang gampang terseret bayangan nafsu
rendah duniawi. Mereka tidak pernah siap menghadapi kesulitan
dan tantangan dalam dunia nyata yang tergelar di hadapannya.
Mereka selalu menggerutu dan berkeluh kesah saat menghadapi
ujian, namun lupa daratan jika beroleh kesenangan. Ya, merekalah
manusia berderajat rendah pendamba dunia. Mereka adalah para
pemimpi kenikmatan dunia tetapi dihajar oleh cambuk ganas
kenyataan hidup. Mereka mendamba hidup abadi, namun yang
diperoleh justru kebinasaan. Mereka para pengkhayal yang
terperosok ke jurang kehidupan maya di bawah bayang-bayang
Sang Penyesat. Mereka para penghindar Kematian, namun jalan
yang mereka pilih justru menuju altar Kematian. Dan Kematian
yang tak kenal kenyang dan lapar itu sepanjang waktu dengan
lahap menyantap mereka sebagai hidangan kesukaan.
1352
mereka. Namun, di antara gerutu dan keluh-kesah itu ada yang
sangat mengejutkan dan tak pernah disangka-sangka.
“Kalau saja Syaikh Lemah Abang tidak bikin ulah, pasti tidak akan
ada perang laknat ini.”
“Aku memang pernah dengar cerita itu. Katanya, dia itu orang yang
tidak tanggung jawab. Suka bikin kisruh. Setelah keadaan kisruh,
dia minggat. Yang susah adalah orang-orang yang ditinggalkan.”
“Ee, hati-hati kau. Kalau bicara jangan keras-keras! Kata orang, dia
itu tukang sihir yang jahat.”
“Alah, tukang sihir apa. Kalau dia sakti, pasti sudah disihirnya
orang-orang Rajagaluh yang memusuhinya.”
1353
“Ya, kita doakan saja mudah-mudahan tukang sihir laknat itu cepat-
cepat mati disambar petir!”
1354
“Heh, bagaimana Tuan Syaikh ini? Bukankah tiap-tiap telik sandhi
harus dibunuh? Bukankah seorang telik sandhi lebih berbahaya
daripada seribu prajurit?”
“Paduka Wiku, jika dia memang terbukti telik sandhi maka biarlah
prajurit Caruban yang menangkapnya. Tapi, kita belum punya
cukup bukti jika dia seorang telik sandhi. Kita menduga dia telik
sandhi karena kebetulan kita mendengar dia menggerutu dan
mengumpat salah satu di antara kita. Kami menganggap yang dia
lakukan itu bukan suatu kesalahan,” kata Abdul Jalil.
1355
Mendengar ucapan Abdul Jalil, Wiku Sura Lokeswara menghela
napas panjang dan kemudian melemparkan tubuh laki-laki yang
dicengkeramnya itu ke atas tanah. Tubuh laki-laki itu terguling-
guling berlepot lumpur. Secepat itu dia berusaha bangkit, namun
tubuhnya terguling. Akhirnya, dengan gemetaran dan tubuh kotor
penuh lumpur laki-laki muda itu merangkak dan menyembah di
hadapan Abdul Jalil sambil mengiba memohon ampun. Abdul Jali
menarik bahu laki-laki itu ke atas dan berkata, “Berdirilah! Tidak
boleh ada manusia berlutut dan menyembah kepada sesama
manusia. Tetapi, mulai sekarang berhati-hatilah engkau jika
berbicara. Sebab, celaka dan tidaknya seseorang sering kali
disebabkan oleh ketidakmampuannya dalam menjaga mulut.”
Ujian berat (bala’) selalu ditimpakan kepada para nabi, wali, dan
orang-orang semisal mereka, demikian sabda Nabi Muhammad
Saw.. Sebagai salah seorang anggota Jama’ah Karamah al-
Auliya’, Abdul Jalil tampaknya tak luput dari keniscayaan sabda
Nabi Saw. tersebut.
Abdul Jalil sendiri hanya bisa menarik napas panjang saat Abdul
Qadir menyampaikan amanat terakhir Fatimah. Di tengah kecamuk
perang dan beban berat seorang penggagas pembaharuan yang
dimusuhi banyak orang, menjadi seorang ayah dan sekaligus ibu
bagi seorang puteri bukanlah hal ringan. Sementara ayahanda
mertuanya, Syaikh Abdul Malik al-Baghdady, tidak ketinggalan
menitipkan pula sebuah amanah berupa “perintah” agar ia
memberikan hukuman kepada Ali Anshar at-Tabrizi. Rupanya Ali
Anshar telah berkhianat hingga menyebabkan Syaikh Abdul Malik
al-Baghdady dan pengikutnya diburu-buru penguasa Baghdad. Ali
Anshar, menurut Abdul Qadir, ditengarai pergi ke Nusa Jawa untuk
1364
melampiaskan dendam kesumatnya kepada Abdul Jalil. Dan tentu
saja, amanah istri dan ayahanda mertuanya itu menambah berat
beban yang harus dipikulnya di tengah ketidakpastian keadaan
yang membayanginya.
“Para laskar berpikir gajah bernama Sang Bango itu adalah gajah
siluman bersayap dan bisa terbang seperti burung bangau. Karena
itu, saat mereka berhadap-hadapan dengan pasukan Rajagaluh
yang dipimpin oleh Adipati Kiban, mereka lari tunggang langgang
karena takut dengan gajah siluman itu,” kata Abdul Malik Israil.
1369
“Tentu saja tidak,” kata Abdul Malik Israil, “Mereka harus kita bawa
secara perlahan-lahan untuk mengenal Tauhid melalui tahapan-
tahapan, yaitu melalui pengenalan kekuatan gaib doa, hizb, wafak,
dan khasiat ayat-ayat al-Qur’an untuk keperluan hidup sehari-hari.
Aku kira, dengan cara itu mereka akan dapat kita arahkan ke pusat
Kebenaran, meski harus melewati jalan berliku dan berbelit-belit.”
1370
Di tengah kegelapan malam Kematian membentangkan sayap dan
mencengkeramkan kuku-kuku tajamnya di atas langit Caruban
Larang, memperdengarkan suara-Nya yang melengking,
meruntuhkan nyali seluruh makhluk hidup. Meski tidak semua
orang mengetahui apa yang disebut Kematian, bagi mereka yang
waskita, Kematian adalah sisi lain dari Kehidupan. Kematian dan
Kehidupan ibarat sosok dan bayangan yang berhadap-hadapan di
depan cermin yang sama. Sebagaimana Kehidupan yang tak
pernah kekurangan dan berkurang dalam menumbuhkan segala
sesuatu yang hidup, Kematian pun tidak pernah kekenyangan dan
tidak pernah pula terpuaskan, meski setiap waktu Dia melahap
jiwa-jiwa segala sesuatu yang hidup.
1373
“Apakah Rajagaluh menyerang dengan mendadak tanpa alasan
sehingga Ramanda Ratu tidak siap menghadapinya?” tanya Abdul
Jalil meminta penjelasan. “Kenapa pula yang bertempur adalah
pasukan Kuningan? Dan bagaimana mungkin pertempuran
pertama pecah di Bobos, yang termasuk ke dalam wilayah
Palimanan?”
“Ya, itu semua gara-gara si Angga, wali nagari Kuningan yang tidak
dapat menahan diri,” Sri Mangana memaparkan. “Saat dia hendak
ke Giri Amparan Jati untuk memberi tahu Syarif Hidayatullah
bahwa adik perempuannya, Ong Tien, istri Syarif Hidayatullah,
telah melahirkan seorang putera, ia bertemu dengan wahuta
(pemungut pajak) Rajagaluh, Ki Dipasara. Ki Dipasara ingin
menemui Syarif Hidayatullah untuk membicarakan kewajiban
membayar pajak kepada Yang Dipertuan Rajagaluh. Namun,
Syarif Hidayatullah tidak ada di tempat. Penasaran mengetahui
pejabat Rajagaluh berada di Giri Amparan Jati, Angga pun
meminta penjelasan Ki Dipasara tentang kehadirannya di situ.
Jawaban Ki Dipasara yang menyatakan bahwa kehadirannya di
situ untuk kepentingan memungut pajak dari Giri Amparan Jati
menyulut amarahnya. Menurutnya, Giri Amparan Jati adalah
bagian dari Caruban Larang sehingga Rajagaluh tidak berhak
memungut pajak. Lalu terjadi selisih paham yang berujung
pecahnya peperangan.”
1374
“Itu memang bagian dari perang siasat Rajagaluh. Tetapi, si Angga
rupanya tidak bisa menahan sabar. Dia terpancing. Bahkan yang
sangat aku sesalkan, dia memimpin pasukan Kuningan untuk
menyerang pasukan Rajagaluh yang berpangkalan di Bobos tanpa
memberi tahu aku,” kata Sri Mangana.
1377
Menyiapkan Perang Peradaban “
1380
“Gambaran wadag khilafah dan kerajaan bisa saja sama. Tetapi,
tata aturan dan daya hidup di antara keduanya jelas sangat
berbeda. Ibarat sebuah lomba pacuan kuda, tata aturan kerajaan
menetapkan bahwa kuda yang boleh mengikuti hanyalah kuda asal
gurun yang warna bulunya hitam, coklat, dan putih. Kuda-kuda asal
gurun yang memiliki warna jragem dan abu-abu dilarang ikut
pacuan. Sementara, tata aturan khilafah tidak membatasi asal-usul
kuda, apakah kuda Arab, kuda Persia, ataukah kuda Cina, bahkan
kuda warna apa pun boleh ikut pacuan. Yang terkuat dan
terperkasa di antara kuda-kuda itulah yang bakal menjadi
pemenang.”
1381
“Sesungguhnya, dengan gagasan khilafah yang ananda tawarkan,
berbagai ketidakmungkinan yang tak teratasi dalam tatanan
kerajaan akan dapat dilampaui. Cerita Karna anak kusir Adiratha,
misalnya, tidak perlu menumbuhkan dendam berkelanjutan akibat
putera-putera Pandu menghinanya sebagai orang yang tak layak
mengikuti lomba karena bukan dari kalangan ningrat darah biru.
Dengan demikian, jelaslah bahwa gagasan khilafah yang ananda
tawarkan adalah gagasan yang memberikan kemungkinan bagi
siapa saja yang mau berjuang keras untuk meraih kemenangan.
Tidak peduli apakah orang seorang dari kalangan brahmana,
ksatria, waisya, sudra, paria, mleccha, mambang, kewel, domba,
bahkan potet sekalipun dapat menjadi pimpinan, asal memenuhi
prasyarat-prasyarat dan berhasil melampaui ujian-ujian yang
menghadang di tengah jalan.”
“Tapi, engkau tak perlu khawatir,” kata Sri Mangana, “sebab apa
yang engkau rintis di Lemah Abang telah menunjukkan hasil.
Warga di sana telah berubah menjadi penduduk yang gagah
berani. Menurut laporan-laporan yang aku terima, di bawah
pimpinan Sang Lokajaya, mereka berani menghadang dan
merampok para bangsawan Galuh Pakuan. Tanpa kenal takut
mereka melintasi perbatasan Caruban-Galuh Pakuan seperti anak-
anak singa melompati sungai kecil di padang perburuan.”
“Raden Sahid.”
“Di sana pun aku tidak melepaskannya sendiri,” kata Sri Mangana.
“Tun Abdul Qadir, wali nagari Sindangkasih, aku beri kepercayaan
untuk mendampingi dan membimbingnya. Sebab, pemberontak
asal pulau Upih di Malaka itu aku ketahui kemampuannya sangat
mengagumkan dalam bertempur maupun mempengaruhi orang-
orang. Aku berharap Raden Sahid dapat belajar dengan baik
kepadanya.”
1388
“Bagaimana dengan rumah, tanah, dan harta benda mereka?”
1389
berbincang-bincang dengan Tun Abdul Qadir dan Raden Sahid
tentang berbagai hal mengenai perubahan di Caruban.
“Kami sudah tahu itu. Aku pribadi benar-benar bangga kepada para
pemberani ini. Bahkan, nama Sang Lokajaya pertama kali aku
1390
dengar saat aku berada di Pasir Luhur,” kata Raden Mahdum
Ibrahim.
1391
“Dia sudah mengikrarkan keislaman di hadapanku,” kata Raden
Mahdum Ibrahim.
1393
Sadar akan kelemahan diri yang tidak begitu mendalam
memahami adab dan adat istiadat, Abdul Jalil pun memohon
kepada Syaikh Bayanullah dan Raden Mahdum Ibrahim untuk
mengatasi masalah tersebut. Syaikh Bayanullah sudah terbukti
tidak hanya mengetahui dengan mendalam adat istiadat Melayu,
tetapi pandai pula bercerita tentang riwayat hidup nabi-nabi dan
menghafal di luar kepala dongeng-dongeng Melayu dan Persia.
Dengan kemampuannya itu, Syaikh Bayanullah diharapkan dapat
menanamkan nilai-nilai baru untuk diselaraskan dengan nilai-nilai
lama. Nilai-nilai gabungan itulah yang akan disebarluaskan dan
dijadikan acuan utama dalam menegakkan nilai baik dan buruk,
benar dan salah, haram dan halal, serta pantas dan tidak pantas
dalam kehidupan masyarakat ummah. Dengan kuatnya benteng
pertahanan adab dan adat istiadat, masyarakat ummah dapat
bertahan dalam menghadapi terpaan badai kehidupan dari
berbagai penjuru dunia, termasuk prahara yang ditimbulkan oleh
Dajjal kelak.
1397
Ajaran Tentang Hidup dan Mati
1398
Belum dingin berita kekonyolan laskar muslim Caruban itu, muncul
berita menggembirakan tetapi juga menjengkelkan. Laskar muslim
Caruban yang berhasil memukul mundur pasukan Rajagaluh di
Jamaras tidak berani mengejar musuh yang menyeberangi sungai
karena mereka meyakini bahwa siapa saja yang berperang lalu
menyeberangi sungai itu akan kejatuhan sial. Keberhasilan mereka
memukul mundur pasukan Rajagaluh diyakini akibat kesalahan
pasukan Rajagaluh yang telah menyeberangi sungai. Sementara
laskar Caruban di Plumbon diberitakan meninggalkan
pangkalannya di Sindangmekar dan mundur hingga Cempaka
gara-gara pasukan Rajagaluh yang dipimpin oleh Ki Demang
Surabangsa menyerang dari Girinatha. Laskar Caruban tidak saja
ketakutan dengan kabar yang mengatakan bahwa gajah
tunggangan Ki Demang Surabangsa adalah jelmaan Bhattara
Gana, tetapi juga ketakutan karena mereka menyangka Ki
Demang Surabangsa adalah titisan Sanghyang Girinatha.
1400
kemari, saya baru saja menyerahkan kepemimpinan laskar kepada
adik ipar Tuan Syaikh, Abdul Qadir al-Baghdady.”
1401
“Sungguh telah keliru mereka mengatakan Kematian adalah akhir
dari Kehidupan. Sebab, apa yang disebut Sang Maut (al-Mumit)
sejatinya adalah Satu Diri dengan Sang Hidup (al-Hayy). Hanya
mereka yang bodoh dan lancang mulut yang mengatakan
Kematian adalah akhir dari Kehidupan. Apakah mereka sangka
Allah bisa mati tidak bernyawa? Aku katakan sekali lagi, sungguh
bodoh dan lancang mulut mereka yang mengatakan Mati sebagai
Sesuatu yang tidak bernyawa.”
“Jika kalian memahami apa yang aku ajarkan ini maka tidak ada
pilihan lain bagi kalian dalam menyongsong Sang Maut yang pasti
datang itu. Pertama, kalian sadar dan dengan gagah perkasa
menyongsong Sang Maut dengan keinginan menjadi makhluk baru
yang seindah kupu-kupu. Makhluk baru yang terbang di alam
bebas mengisap saripati madu yang mengalir dari wangi bunga-
bunga. Atau pada pilihan kedua, kalian ketakutan menghadapi
Sang Maut dengan keinginan menjadi ulat perusak yang merayap-
rayap di dedaunan, yang akan berakhir menjadi tahi hewan.”
1403
“Memang, dalam menghadapi Sang Maut, masing-masing
manusia memiliki gambaran yang berbeda. Tetapi, aku katakan
kepada kalian bahwa sangat keliru mereka yang menduakan
gambaran hakiki Hidup dan Mati. Sebab, mereka yang mengaku
mencintai Sang Hidup hendaknya mencintai pula Sang Maut.
Mereka yang mencintai Kehidupan tetapi membenci Kematian
adalah orang yang belum mengenal Tuhan dalam makna sejati
asma’, shifat, dan af’al Ilahi. Mereka masih mendua dalam Tauhid.”
“Aku ajarkan kepada kalian bahwa Sang Maut dan Sang Hidup
tidaklah terpisah jauh dan tidak pula dekat dengan makhluk. Mati
dan Hidup tidak berada di luar dan tidak berada di dalam diri
makhluk. Tetapi, setiap makhluk terikat dan berada di dalam liputan
Maut dan Hidup. Sebab, kita, makhluk tak berdaya ini, adalah
wujud yang tergantung (mumkin al-wujud), sedangkan Mati dan
Hidup adalah Citra Hakiki dari Wujud Mutlak (al-Wujud al-Muthlaq).
Sebagaimana hidup dan mati ikan berada di dalam air, demikianlah
hidup dan mati kita berada di dalam liputan-Nya. Aku tahu bahwa
apa yang aku ajarkan ini sulit dicerna oleh pikiran awam yang
sudah terjajah oleh berbagai bentuk takhayul yang membayangkan
Kematian adalah bagian dari kegelapan yang dipenuhi banyak
hantu dan setan menakutkan. Karena itu, aku akan mengajarkan
kepada kalian sesuatu yang baru: belajar mati! Meski kedengaran
aneh, dengan belajar mati kalian akan mengenal Sang Maut dalam
asma’, shifat, dan af’al. Sehingga, kelak saat Sang Maut
membentangkan sayap kematian dan mencengkeram kuku-kuku
sakarat al-maut yang tajam, tidak menjadikan kalian gentar dan
ketakutan.”
1404
“Aku katakan kepada kalian, dengan belajar mati maka kalian akan
mengenal Sang Maut sehingga akan menghilangkan keraguan dan
kegentaran kalian menghadapi-Nya. Di saat ajal kalian tidak akan
menyeringai, meringis, tersengal-sengal, tercekik-cekik, meraung-
raung, dan mengorok seperti hewan sekarat. Hadapilah Sang Maut
dengan ramah dan penuh sukacita sebab engkau yang sudah
mengenal-Nya akan disambut dengan kemegahan dan kemuliaan
seorang sahabat dan kekasih. Engkau akan dimahkotai bunga-
bunga surgawi karena telah kembali sebagai pahlawan dengan
kemenangan besar.”
Para laskar asal Baghdad, baik yang Arab baik yang Persia,
tercengang-cengang mendengar khotbah Abdul Jalil. Sebagian
besar di antara mereka tidak memahami intisari khotbah. Hanya
Syaikh Duyuskhani, Abdul Qadir dan Abdul Qahhar al-Baghdady,
dan beberapa pemuka laskar yang paham.
“Tukang sihir celaka itu telah menyihir para laskar dan penduduk
desa untuk melawan kita. Jadi, saat bertempur sesungguhnya para
laskar itu sedang berada dalam pengaruh sihir Syaikh Lemah
Abang. Mereka dalam keadaan tidak sadar,” kata Rsi Bungsu.
1409
“Tapi, bagaimana mungkin dia bisa menyihir beribu-ribu orang
dalam waktu yang sama,” kata Pangeran Arya Mangkubhumi,
manggalayuddha Rajagaluh. “Sebab, sepengetahuanku, pengaruh
sihir hanya bisa dilakukan pada beberapa orang saja dalam waktu
yang tidak lama. Padahal, selama hampir sepekan pertempuran di
berbagai medan, beribu-ribu laskar menyerang tak kenal siang dan
malam.”
“Kalaupun kita kalah maka kita tidak perlu malu karena kita
dikalahkan oleh saudara kita sendiri. Kita tidak malu karena
sebagai ksatria kita kalah oleh ksatria lain. Tetapi, kalau kita
sampai kalah dengan laskar gelandangan yang tidak terhormat itu
maka itu sama artinya dengan kita membiarkan wajah kita dilumuri
kotoran. Itu sangat memalukan. Memalukan.” Pangeran Arya
Mangkubhumi berang.
1411
“Sepuluh ribu itu hanya dugaanmu saja. Sebab setahuku, sudah
lebih tujuh tahun silam pamanda ratu menggalang kekuatan militer.
Karena itu, jumlah sepuluh ribu adalah dugaan yang mengada-
ada. Bahkan kalaupun benar jumlah pasukan Caruban sepuluh
ribu, belum tentu kita dapat mengalahkannya dengan mudah.
Bukankah kekalahan pasukan kita membuktikan bahwa
menghadapi laskar muslim tak terlatih yang jumlahnya tidak
sampai sepuluh ribu saja sudah membuat kita kocar-kacir, apalagi
menghadapi pasukan Caruban Larang yang terlatih,” kata
Pangeran Arya Mangkubhumi.
Hargo Belah, yang sampai usia enam puluh tahun tidak menikah
karena suka gemblakan, tersulut amarah mendengar penjelasan
Ki Badong. Ia benar-benar merasa ditelanjangi dan dipermalukan
oleh Syaikh Lemah Abang. Ia tidak bisa menerima hujatan Syaikh
Lemah Abang terhadap perilaku perkelaminan antara lelaki dan
lelaki sebagai kepercayaan setan yang sesat. Itu sebabnya,
dengan kepala memuai dan dada terbakar, ia berkata meledak-
ledak, “Apa yang sekarang harus kita perbuat untuk
menghancurkan si keparat itu, Ki?”
“Tidak, tidak boleh kita berlaku demikian. Sebab, itu akan menyulut
amarah para pengikutnya.”
1414
“Lalu apa yang akan kita lakukan?”
“Itu cara yang sangat baik, Ki,” kata Hargo Belah genit. “Aku akan
membuat pertunjukan terbuka untuk memamerkan ilmu
kawedukan, aji kememayam, pangabaran, karosan, kateguhan,
dan pangerutan.”
1416
Perang Caruban-Rajagaluh
1423
“Sesungguhnya Allah SWT. bersama hamba-Nya yang berjuang di
jalan-Nya.”
1424
Ketika orang-orang Rajagaluh masih sibuk membicarakan
kesatuan Naga Laut dan Liman Bhuwana, Sri Mangana
mengumumkan lagi pembentukan kesatuan baru, yaitu Paksi Raja
yang dipimpin Bhatamantri Tun Abdul Qadir, wali nagari
Sindangkasih, pemimpin para pemberontak asal Malaka. Kesatua
Paksi Raja terdiri atas seribu pasukan laut Caruban ditambah tiga
ribu laskar muslim asal Malaka, Campa, Keling, Pegu, Yawana,
Kendal, dan Palembang. Tun Abdul Qadir dibantu empat
bhrtyamantri, yaitu wali nagari Gegesik, Li Han Siang, Syaikh
Bentong, dan Haji Shang Shu.
1429
manusia berdasar keturunan, yaitu tatanan ideal yang diidamkan
oleh para penganut ajaran bhairawa.
”Mereka lari!”
“Kejar!”
1437
Dengan susah payah wali nagari Kuningan, Ki Demang Singagati,
Ki Anggasura, dan Ki Anggarunting berhasil meloloskan diri dari
kejaran pasukan Rajagaluh. Meski mereka berhasil selamat
mencapai Pancalang dan meneruskan perjalanan ke Kuningan,
pasukan mereka sudah hancur binasa. Tidak kurang dari tiga ribu
prajurit Kuningan terbunuh pada hari kedua pertempuran. Sedang
pihak Rajagaluh hanya kehilangan sekitar empat ratus prajurit.
Menurut sisa-sisa prajurit Kuningan yang berhasil meloloskan diri,
mayat kawan-kawan mereka bergelimpangan antara hutan Kepuh
hingga Pancalang. Sebagian besar di antara mayat-mayat itu saat
ditemukan sudah tidak berkepala lagi.
1439
Sri Mangana yang sudah memperoleh laporan lengkap tentang
jalannya pertempuran, dengan penuh wibawa mengingatkan wali
nagari Kuningan tentang kekeliruan-kekeliruan yang telah
dilakukannya selama pertempuran. “Ada tiga sebab utama yang
menurut hematku menjadi penyebab dari kekalahanmu. Pertama-
tama, saat engkau tidak menyetujui kebijakanku menunjuk Nyi Mas
Gandasari sebagai agra-senapati. Tanpa mengetahui kemampuan
orang lain, engkau hanya mengemukakan alasan bahwa seorang
perempuan tidak boleh memimpin para lelaki. Sekarang ini,
kenyataan menunjukkan bahwa engkau dan pasukanmu yang
bertempur di Kepuh hancur berantakan digilas pasukan
Leuwimunding. Sementara Nyi Mas Gandasari yang membawa
pasukan Liman Bhuwana berhasil menghancurkan pasukan
Rajagaluh di Tegal Karang. Bahkan dua orang manggala
Rajagaluh, yaitu Tumenggung Bhaya Pethak dan Arya Pekik,
menyerah dan ditawan. Bagaimana ini? Apakah aku yang salah
memilih orang atau engkau yang terlalu takkabur dan menilai diri
terlalu tinggi?”
1441
“Dan kesalahanmu yang ketiga, engkau dan seluruh pasukan yang
engkau pimpin menggantungkan hidup dan mati pada jimat dan
pusakan bikinan dukun dan jawara lepus. Aku tidak tahu sudah
berapa banyak dana yang engkau hamburkan untuk membeli
keris, cincin bermata akik, badong, akar bahar, kutang
antakusuma, kuku dan kumis macan, rajah-rajah, juga kalung
rantai babi yang engkau anggap bertuah. Aku juga tidak tahu
berapa banyak dana yang dibelanjakan prajuritmu untuk membeli
benda-benda tak berguna itu. Yang aku tahu, semua jimat dan
pusaka yang dijadikan bekal andalan oleh prajuritmu itu tidak
berguna. Buktinya, mereka terbunuh beramai-ramai di medan
perang. Mana kekuatan sakti dari benda-benda itu?”
1442
Para hadirin diam mendengar uraian Sri Mangana. Sebagian di
antara mereka memahami simpang-siur yang berkembang selama
ini adalah sesuatu yang salah. Namun di antara para hadirin, yang
paling merasa gerah adalah para jawara, dukun, dan jajadug.
Mereka seolah-olah ditampar oleh kalifah Caruban di hadapan
orang banyak tanpa bisa membela diri. Saat api amarah di
pedalaman jiwa mereka bagaikan hutan terbakar, berkelebatanlah
bayangan Abdul Jalil di benak mereka sebagai sasaran yang harus
mereka lumat dan musnahkan.
1446
“Apakah tidak mungkin saat kita mengepung Kuta Rajagaluh, pihak
musuh yang berpangkalan di Palimanan tiba-tiba menerobos dan
menyerang Kuta Caruban?” tanya Pangeran Sabrang Lor.
1447
Akhirnya, semua hadirin sepakat mendukung rencana yang
diajukan Sri Mangana. Nyi Mas Gandasari, panglima puteri
Caruban, ditugaskan memimpin penyerbuan ke Kuta Rajagaluh
dari arah timur, dengan membawahi 20.000 orang prajurit. Ia
dibantu oleh perwira-perwira dan penasihat-penasihat unggul,
seperti Pangeran Soka, Pangeran Pandyunan, Pangeran
Kadhyaksan, Wali Nagari Gegesik, Abdul Karim Wang Tao, Wali
Nagari Gunung Jati, Abdul Halim Tan Eng Hoat, Wali Nagari
Susukan, Abdul Razaq Wu Lien, Wali Nagari Cangkuang, Abdul
Qadir al-Baghdady, Syaikh Bentong, Li Han Siang, Abdul Qahhar
al-Baghdady, Syaikh Ibrahim Akbar, dan Haji Shang Shu.
Sedangkan Sri Mangana akan memimpin 6.000 prajurit gabungan
Caruban dan Demak, dibantu oleh perwira-perwira dan penasihat-
penasihat unggulan seperti Pangeran Raja Sanghara, Pangeran
Sabrang Lor, Pangeran Luhung, Pangeran Kejawan, Wali Nagari
Losari, Syaikh Duyuskhani, Wali Nagari Sindangkasih, Abdul Malik
Israil, Ki Wedung, Ki Waruanggang, Ki Tameng, Ki Tedeng, Ki
Sukawiyana, dan Syaikh Lemah Abang.
1448
Raden Mahdum Ibrahim tersentak kaget. Dengan suara bergetar
ia berkata lirih, “Semalam saya juga bermimpi didatangi beliau.
Tapi, beliau tidak berkata apa-apa. Beliau hanya tersenyum.”
1451
“Dijagal?” Ki Gedeng Leuwimunding tercengang. “Bukankah Kuta
Caruban sudah kosong?”
1452
Panglima Puteri Caruban
1453
Malam itu ketika para prajurit dan tetunggul Caruban Larang
sedang beristirahat sambil membayangkan kemenangan esok
hari, di tengah liputan kabut bergumpal dan bentangan selimut
kegelapan, penduduk Palimanan, tidak kenal tua, muda, laki-laki,
perempuan, dan bahkan anak-anak, tiba-tiba keluar beramai-ramai
dari rumah masing-masing dengan membawa obor, parang, arit,
cangkul, bedog, pentung, dan pisau. Mereka berjalan dalam iring-
iringan kecil menuju ujung desa dan bergabung dengan tetangga
lain yang sudah berkumpul di sana.
1454
Malam yang membentangkan selimut hitam di langit Caruban telah
menjelmakan keindahan sangat menakjubkan ketika bentangan
cakrawalanya ditebari beribu-ribu obor yang menyala di desa-desa
yang terletak di sekitar Kadipaten Palimanan hingga desa-desa di
lereng Gunung Ceremai. Bagaikan kawanan kunang-kunang yang
terbang dalam kerumunan di tengah kegelapan malam, beribu-ribu
obor itu terlihat bergerak menuju satu arah. Mereka itulah
penduduk dari berbagai desa yang beriring-iringan menuju
Kadipaten Palimanan untuk menyambut kehadiran Sri Mangana
beserta pasukannya esok hari.
1456
Tanpa menunggu waktu, para prajurit pengawal yang juga dicekam
ketakkutan itu berhamburan sibuk mengumpulkan istri-istri, anak-
anak, dan harta benda sang adipati. Arya Kiban yang gelisah
terlihat berdiri kebingungan di Balai Witana. Wajahnya pucat.
Dahinya penuh dengan butiran peluh. Tubuhnya basah. Dan
napasnya tersengal ketika di benaknya berkelebatan beribu-ribu
wajah prajurit Caruban yang menyeringai ganas. Wajah-wajah itu
beringas dan buas. Kemudian beribu-ribu mulut menjijikkan
dengan gigi bertaring tajam berkerumun dan mengepung
menggeram-geram seolah-olah hendak merobek-robek tubuhnya.
Bagai orang terbangun dari mimpi buruk, sang adipati berdiri
menggigil sambil menyandarkan tubuh pada tiang saka. Ia benar-
benar ketakutan. Dengan tatap mata nanar ia menyaksikan para
prajurit pengawalnya menyelamatkan harta bendanya dariNdalem
Kadipaten. Ia sudah memutuskan, apa pun yang terjadi ia harus
secepatnya menjauh dari sini.
1457
Anggapan Arya Kiban bahwa ia akan dapat lolos dari sergapan
musuh dengan secepatnya keluar lewat pintu belakang ternyata
keliru. Saat ia dan para pengawal berada pada jarak sekitar tiga
pal di barat Ndalem Kadipaten, ia menyaksikan beratus-ratus
bahkan beribu-ribu obor yang menyala laksana lautan api
bertebaran di segenap penjuru. Nyala obor itu makin lama makin
dekat ke arahnya dengan suara gemuruh derap kaki dan celoteh
yang menggema di kegelapan malam.
“Yang Mulia harus turun dari tandu,” kata kepala pengawal tegas.
“Kemudian melepas pakaian dan seluruh atribut adipati. Yang
Mulia harus menyamar sebagai penduduk desa.”
1458
Akhirnya, di tengah kengerian yang mencekam, Arya Kiban
beserta keluarga dan para pengawal memutuskan untuk
menyamar sebagai penduduk desa. Mereka melepas seluruh
pakaian dan perhiasan yang gemerlapan yang melumuri wajah dan
tangan dengan tanah basah. Mereka teraduk-aduk bersama-sama
dengan beribu-ribu orang yang bergerak dalam kerumunan-
kerumunan menuju Kadipaten Palimanan. Dan akhirnya, dengan
sangat susah payah sang adipati bersama rombongannya berhasil
meloloskan diri menuju arah Rajagaluh.
1461
Meski tidak mengetahui apa yang berkecamuk di dalam benak
Abdul Jalil, Sri Mangana saat menerima para pemuka warga di
Balai Witana Kadipaten Palimanan menyatakan bahwa sejak saat
ini tatanan yang diberlakukan di Palimanan adalah sama dengan
tatanan yang diberlakukan di Caruban. Salah satu tatanan di
Caruban yang harus dijalankan saat itu juga adalah meninggalkan
adat kebiasaan penduduk untuk bersembah sujud di hadapan raja.
Masyarakat Caruban yang ingin menunjukkan hormat kepada
rajanya cukup dengan menghadap dan bersalaman sambil
mencium tangan raja. Para pemuka warga, tentu sangat terkejut
mendengar peraturan baru itu. Namun mereka tidak berani
menolaknya. Meski dengan terheran-heran, mereka menyatakan
ketundukan dan kesetiaan untuk mengikuti apa saja yang
ditetapkan oleh Sri Mangana. Bahkan, mereka menyatakan bahwa
ketundukan dan kesetiaan mereka tidak pernah luntur meski
selama bertahun-tahun berada di bawah tekanan Ki Gedeng Kiban
dan kawan-kawannya yang berkuasa dengan mengatasnamakan
warga Palimanan.
“Kata orang, senjata itu memiliki mulut seperti naga yang bisa
menyemburkan api. Senjata itu hanya digunakan pada malam hari.
Jikalau pagi datang senjata-senjata itu dimasukkan ke dalam
kotak-kotak dan diselimuti kain hitam. Bukankah hanya setan yang
keluar pada malam hari?” kata Ki Gedeng Leuwimunding.
1466
Usaha pasukan Rajagaluh untuk menyergap pasukan Majapahit
yang bersenjata naga setan dilakukan setelah para tetunggul
Rajagaluh mendapat laporan tempat senjata-senjata setan itu
“tidur”. Tanpa menguji ulang kesahihan laporan itu, Pangeran Arya
Mangkubhumi yang sudah dicekam kebingungan memerintahkan
Ki Demang Surabangsa untuk menghancurkan senjata-senjata
setan itu pada pagi hari, yakni saat setan-setan tidur.
1467
“Lari!”
“Kita dijebak!”
1471
Ketika para tetunggul Rajagaluh memperoleh laporan tentang
pelarian prajurit-prajurit tersebut, keadaan sudah parah.
Persediaan gabah di lumbung kraton lebih dari separo raib.
Sejumlah pos penjagaan dijaga oleh orang-orangan dari jerami.
Tombak, pedang, panah, busur, dan gada bertumpuk-tumpuk di
sejumlah barak. Prajurit yang tersisa pun semangatnya sangat
merosot. Dan saat dihitung, jumlah mereka sudah berkurang lebih
dari separo, termasuk perwira-perwira yang lari bersama
keluarganya.
Kabar larinya para prajurit dari kutaraja itu berusaha ditutup keras
oleh para tetunggul Rajagaluh. Perintah Pangeran Arya
Mangkubhumi “bersikaplah seolah-olah tidak terjadi sesuatu agar
musuh tidak mengetahui peristiwa memalukan ini” dijalankan
dengan patuh oleh prajurit yang tersisa. Namun, tetap juga kabar
memalukan tersebut menyebar bagaikan sekam diterbangkan
angin, terutama saat perwira-perwira yang menyingkir tertangkap
oleh prajurit Caruban yang curiga dengan barang bawaan mereka
yang mewah. Dari mulut merekalah kabar itu menyebar.
1472
Para penasihat kalifah seperti Pangeran Raja Sanghara, Syaikh
Ibrahim Akbar, Syaikh Lemah Abang, dan Syaikh Bentong dapat
memahami perasaan sang kalifah yang tidak cukup tega untuk
menumpahkan darah Prabu Chakraningrat dan keluarganya, yang
bagaimanapun adalah saudara sedarah dan sedagingnya. Namun
beda dengan para penasihat, para tetunggul Caruban yang
bertempur di medan perang tidak memahami pemikiran dan
perasaan Sri Mangana. Mereka bersikukuh memohon agar sang
kalifah secepatnya memerintahkan penyerangan ke kubu
pertahanan musuh yang sedang lemah. Dengan semangat
berkobar-kobar mereka menyampaikan alasan-alasan tentang
pentingnya serangan akhir ke kutaraja musuh untuk meraih
kemenangan gemilang. “Jika kita berhasil menduduki Rajagaluh,
berarti kita mencatat sejarah bahwa inilah kemenangan pertama
umat Islam di negeri ini,” kata Pangeran Sabrang Lor didukung
tetunggul yang lain.
1473
Rencana yang dirancang manusia sering kali meleset jauh dari
harapan. Beda yang dibayangkan dalam angan-angan, beda pula
yang dihadapi dalam kenyataan. Ketika beribu-ribu pasukan
Caruban mulai menyerbu Kutaraja Rajagaluh, terlihatlah manusia
mengepung dari selatan, timur, barat, dan utara laksana
gelombang samudera mengepung pulau karang di tengah lautan.
Umbul-umbul, bendera, panji-panji, dan tombak teracung naik dan
turun bagaikan hutan diterpa angin. Pekik peperangan
menggemuruh laksana bukit runtuh. Kaki kuda berlomba dengan
kaki para prajurit menuju gerbang di empat penjuru kuta dan yang
terbesar di gapura alit di utara kuta.
Ketika cipratan air terdengar dari parit yang terinjak ribuan pasang
kaki, disusul prajurit-prajurit yang berebut masuk membelah air
menuju ujung parit hingga air merendam dada mereka, terjadi
peristiwa yang mencengangkan dan membuat terbelalak mata
para penyerbu. Saat itu para penyerbu mendadak terpaku serentak
bagai orang kebingungan dan kehilangan akal. Mereka tertegun-
tegun bagaikan sedang berada di alam mimpi. Darah mereka
tersirap manakala menyaksikan air yang menggenangi parit di
sekeliling baluwarti itu menggelegak panas. Beberapa prajurit yang
berada di garis depan terlihat berlari-lari menjauhi parit seperti
orang tersiram air panas. Yang lebih aneh lagi, mereka
menyaksikan dinding-dinding baluwarti yang terbuat dari kayu
kusam dan berlumut di depan mereka tiba-tiba hilang dari
penglihatan. Mereka merasa seolah-olah telempar ke suatu dunia
lain yang tak mereka kenal.
1474
Menghadapi kenyataan mencengangkan itu, para prajurit Caruban
yang sebagian besar belum terbebas sama sekali dari kekuasaan
takhayul tidak dapat menahan diri. Sambil berteriak-teriak
ketakutan mereka berhamburan melarikan diri ke garis belakang.
Para kepala pasukan yang berteriak-teriak memerintahkan mereka
untuk mundur secara teratur tidak digubris sama sekali. Prajurit
Caruban terus berlarian sambil melolong-lolong dengan wajah
pucat dan peluh bercucuran menyimbah tubuh.
1475
“Kami merasa bersalah, Pamanda Ratu,” ucap Pangeran Sabrang
Lor lirih. “Ini akan menjadi pelajaran bagi kami selanjutnya.
Sekarang kami memang kebingungan karena tidak mampu
memulihkan semangat prajurit yang runtuh. Kami mohon petunjuk
dan perintah dari Pamanda Ratu untuk mengatasi hal ini.”
1479
Sangga Kamulan, tempat arwah leluhur Prabu Chakraningrat
dipuja, adalah sebuah bangunan suci yang terletak di bagian utara
puri. Panjangnya sekitar empat belas depa, lebar tiga belas depa,
dan dilingkari tembok bata setinggi tiga depa. Di dalam Sangga
Kamulan terdapat empat bangunan utama, yaitu Kamulan,
Palinggih, Angrurah, dan Pahyasan. Satu-satunya pintu masuk ke
Sangga terletak di selatan dan disebut pamedalan. Di Sangga
Kamulan itulah ibunda, kakek, dan nenek Prabu Chakraningrat dari
pihak ibu dipuja sebagai Dewa Pitara.
1480
tidak mengetahuinya karena pandangannya terarah pada pinggul
Nyi Mas Gandasari.
1483
para prajurit disebarkan kabar bahwa penyerbuan ke Kutaraja
Rajagaluh itu akan dipimpin sendiri oleh Sri Mangana.
1485
Sambil bersorak-sorai mengacung-acungkan tombak dan panji-
panji, di tengah hujan lebat dan guntur bersahut-sahutan, prajurit
Caruban mengalir masuk bagaikan air bah. Gerbang timur, barat,
dan utara berubah laksana pintu air yang jebol mengalirkan air bah
yang berpusar dan teraduk-aduk memenuhi penjuru kuta. Prajurit
mengalir ke jalan-jalan dan lorong-lorong kuta untuk mencari
musuh-musuhnya. Cipratan air yang terinjak ribuan kaki terdengar
menggiriskan. Setiap kali para prajurit itu menjumpai prajurit
musuh, tanpa ampun mereka akan menggulung dan
menghempaskannya menjadi serpihan daging dan genangan
darah.
1488
“Ki Gedeng Leuwimunding, Ki Dipati Kiban, Celeng Igel,
Sanghyang Sutem, Sanghyang Tubur, dan Sanghyang Gempol
berhasil meloloskan diri ke utara melewati gapura alit. Mereka lari
dengan menyamar sebagai pengungsi,” kata Ki Demang Suradipa.
1489
“Ayo, kalian ikut aku mencari beliau.” Pangeran Arya
Mangkubhumi melesat keluar puri dengan langkah lebar. Namun,
baru sampai di teras puri ia sudah menyaksikan beratus-ratus
prajurit Caruban memenuhi halaman purinya. Sisa-sisa prajurit
pengawalnya dengan sekuat tenaga berusaha menahan serangan
musuh, meski tubuh mereka sudah penuh luka. Sebagai putera
mahkota yang sejak kecil dididik dengan adat kebiasaan ksatria, ia
tidak gentar menghadapi musuh yang menghadang berapa pun
jumlahnya. Dengan wajah ia menoleh sambil berkata kepada
pengawal Ki Demang Suradipa, “Kemarikan busurmu! Aku akan
hadapi mereka sebagai ksatria! Ayo, ambil anak panahku di kamar.
Layani aku!”
1490
Al-Mir’ah al-Ghaib
1494
“Apa yang engkau harapkan dariku?”
“Engkau adalah ibu dan bapak yang telah melahirkan kami,” suara-
suara itu terdengar bagaikan ciap-ciap anak burung di sarang.
“Tunggulah kami! Suapi kami dengan nilai-nilai luhur yang engkau
masak dari berbagai jenis makanan jiwa yang menyehatkan dan
menguatkan. Susui kami dengan cerita-cerita dan dongeng-
dongeng menakjubkan yang menyadarkan keberadaan kami.
Tuntun dan bimbing kami meniti jembatan kehidupan agar kami
dapat melampaui kemanusiaan dan sampai ke puncak mahligai
adimanusia. Pupuklah agar kami bisa tumbuh! Tumbuh menjadi
adimanusia sesuai kehendak-Nya dan bukan sesuai
kehendakmu.”
Abdul Jalil tertawa. Ia sadar bahwa tiap-tiap jiwa akan tumbuh dan
berkembang sesuai kehendak-Nya. Suara-suara itu, katanya
dalam hati, benar adanya. Suara-suara itu mengingatkan betapa
sombongnya aku yang memimpikan lahirnya adimanusia menurut
pikiran dan mimpi-mimpiku. Dan betapa benarnya suara-suara itu
yang menginginkan agar aku mematahkan kesombonganku.
1496
gemerisik seperti derik ribuan ular. Suara gemerisik itu makin lama
makin menggema, menjadi kata-kata.
“O Syaikh Lemah Abang. Hari ini kami, anak-anak yang lahir dari
pikiran dan mimpi-mimpimu, telah memenangkan pertempuran.
Musuh-musuh kami telah bergelimpangan tanpa nyawa dan
sisanya melarikan diri dengan tubuh penuh luka. Kami telah
mengibarkan bendera kemenangan. Kami telah menyanyikan lagu
kemenangan. Kami telah beroleh dan membagi-bagi pampasan.
Tetapi, kami tidak bisa berhenti sampai di situ. Kami tidak bisa
kembali ke rumah dengan setumpuk cerita bualan kepada anak-
anak dan istri-istri kami. Kami akan terus bergerak ke depan dan
mendaki ke atas untuk melampaui kelemahan kami, sebagaimana
yang engkau ajarkan. Kami yang berasal dari kalangan rendah dan
lemah, yaitu kawanan binatang melata yang engkau sebut cacing-
cacing tanah, telah menunjukkan bukti kekuatan kami sebagai
adimanusia. Kami akan berebut menaiki singgasana yang telah
kami gulingkan. Kami akan menjadi pengganti singa tua yang
sudah tenggelam ditelan air bah perubahan. Kamilah yang kini
menjadi penguasa. Kamilah kini yang menentukan arah kehidupan
manusia.”
Kini, setelah gua yang sempit dan pengap itu kosong, tiba-tiba
bayangan-bayangan hitam yang muncul dari gelora bah
berkeliaran dan berkerumun mengitari gua. Bayangan-bayangan
hitam itu saling desak, saling dorong, saling sikut, saling gigit, dan
saling cakar untuk berebut duduk di atas batu singgasana sang
singa tua. “Akankah sebuah bayangan hitam lebih agung jika
menjadi penguasa gua dibanding seekor singa?” seru Abdul Jalil
seolah berkata kepada diri sendiri. “Dihuni singa atau bayangan
hitam, sesungguhnya gua tetaplah gua; sebuah keangkeran yang
1502
menakutkan bagi manusia. Tetapi, keangkeran yang lahir dari
wibawa seekor singa jauh lebih agung dibanding keangkeran yang
lahir dari kawanan hantu. Itulah perumpamaan singgasana
Rajagaluh jika diduduki Prabu Chakraningrat dan jika diduduki
anak-anakku yang belum sempurna menjadi manusia-hewan,”
katanya lantang.
Citra Angga yang dilihat Abdul Jalil di cermin sebagai burung gagak
ternyata memunculkan masalah baru tak lama setelah Caruban
memperoleh kemenangan dalam perang. Sebagai gagak yang tak
mampu terbang tinggi dan tidak mengetahui jika di atas langit
masih ada langit, dia sangat marah dan merasa terhina ketika
menerima kabar kemenangan Caruban, terutama saat dia
mendengar kegagahan dan keperkasaan Nyi Mas Gandasari,
rajawali betina yang dielu-elukan seluruh pasukan karena
keberaniannya tak tertandingi.
1510
Teka-Teki Sang Rajawali
1511
Para kekasih Allah itu tanpa ada yang mengetahui tiba-tiba muncul
di tengah galau pertempuran dalam wujud seorang prajurit
rendahan, perwira, penabuh genderang, tukang masak,
pengungsi, orang gila, dan bahkan manusia-manusia misterius dari
alam gaib (ar-rijal al-ghaib). Di tengah gemuruh hujan, beberapa
saat menjelang gerbang Kutaraja Rajagaluh akan dibuka, Abdul
Jalil, Abdul Malik Israil, dan Sri Mangana sempat berbincang-
bincang dengan Wahisy al-Majdzub, Ibrahim al-Uryan, Syaikh
Ahmad al-Bakhathi, tiga orang kekasih Allah yang dikenal dengan
perilaku anehnya. Dengan menyamar sebagai juru jalir (pengawas
pelacuran), Wahisy telah membawa para pelacur keluar dari kuta
tanpa ditanyai ini dan itu oleh para prajurit Caruban yang
mengepung kutaraja. Ibrahim al-Uryan dengan tubuh tanpa kain
selembar pun menggiring para ibu dan anak-anak keluar dari kuta.
Prajurit Caruban yang melihatnya tertawa-tawa dan
menganggapnya gila. Sementara Syaikh Ahmad al-Bakhathi
membawa para pendeta dan prajurit Rajagaluh yang terluka keluar
dari kuta tanpa diketahui para pengepung.
Ketika Abdul Jalil memberi tahu bahwa ketiga orang aneh yang
diajaknya berbincang-bincang itu adalah Wahisy, Ibrahim al-Uryan,
dan Syaikh Ahmad al-Bakhathi, Syarif Hidayatullah amat terkejut.
Sebab, sejak lama ia sering mendengar nama buruk ketiga orang
tersebut. Itu sebabnya, dengan suara ditekan tinggi ia memprotes
tindakan Abdul Jalil, “Kenapa Paman berbicara akrab dengan
mereka? Bukankah ketiga orang itu terkenal di mana-mana
sebagai orang tidak waras? Bukankah Wahisy itu orang gila yang
suka berkeliaran di rumah-rumah pelacuran? Bukankah Syaikh
Ibrahim al-Uryan itu dikenal sebagai orang gila yang suka telanjang
jika berkhotbah di mimbar? Bukankah Syaikh Ahmad al-Bakhathi
itu dikenal sebagai orang yang suka meludahi orang lain?”
1513
“Engkau kelak akan mengetahuinya, o Anakku,” kata Abdul Jalil
membolak-balik kayu pemukulnya. “Sebab, apa yang engkau lihat
dengan mata inderamu tidaklah menunjukkan Kebenaran Sejati
tentang sesuatu. Orang-orang seperti Wahisy, misalnya, sekalipun
tidur sekamar dengan seratus pelacur tidak akan terkena dosa
sebagaimana ditetapkan hukum syari’at. Bahkan aku berani
bersaksi, Wahisy tetap suci dan tak ternoda meski ia sudah bergaul
dengan ribuan pelacur selama bertahun-tahun.”
“Maksud Paman?”
“Dia sudah bukan lagi laki-laki dan bukan pula perempuan. Dia
sudah lepas dari jenis kelamin. Hanya tubuh manusiawinya saja
yang berkelamin laki-laki, namun jiwanya merupakan semesta.
Dan seperti makhluk-makhluk semesta yang lain; bulan, bintang,
matahari, malaikat, iblis, Wahisy tidak kenal lagi perbedaan
kelamin seperti layaknya manusia dan binatang sehingga
kepadanya tidak bisa dikenakan hukum-hukum syari’at yang
didasarkan pada penafsiran fiqhiyyah atas ayat-ayat Allah dan
sunnah Rasul.”
1514
“Karena itu, o Anakku, jika kelak engkau menjadi seorang guru
manusia dan menemui orang-orang seperti Wahisy dan Ibrahim al-
Uryan, kenakanlah kepada mereka itu hukum syari’at yang
diberlakukan bagi orang gila. Maksudnya, tidak ada hukum syari’at
yang melarang orang gila bergaul dengan pelacur. Tidak ada juga
hukum syari’at yang melarang orang gila telanjang. Namun, hukum
syari’at juga tidak melarang seseorang untuk berbicara dengan
orang gila,” Abdul Jalil mendekap kayu pemukulnya.
“Aku bukan peramal. Aku bukan tukang sihir. Aku juga bukan
‘orang berkelebihan’ yang dapat melihat gambaran masa depan.
Aku hanya seorang tidak waras yang kebetulan melihat dunia
masa depan lewat alam khayalku. Ya, aku saksikan bagaimana
1516
kapal-kapal berlayar di lautan dan kapal-kapal tertambat di
dermaga. Kapal-kapal itu tidak pula memuat manusia dan tidak
memuat barang-barang kebutuhan manusia. Sebaliknya, kapal-
kapal itu berisi serigala, musang, dan makhluk-makhluk pemangsa
dari Kegelapan yang rakus dan tak pernah kenyang. Sungguh,
telah aku saksikan kawanan makhluk mengerikan yang buas dan
licik itu menjelma menjadi manusia-manusia berparas
mengagumkan dan sangat santun, namun sangat berbahaya.
Mereka akan mendatangi manusia dengan senyuman, namun
tangan mereka yang tersembunyi di belakang punggungnya
menggenggam pisau beracun. Setiap manusia yang lengah dan
terpesona oleh ucapan-ucapan manis itu akan ditikamnya.”
1517
“Demikianlah, penglihatan yang aku tangkap dari dunia masa
depan. Sesungguhnya, segala sesuatu yang mengerikan dari
masa depan itu tidaklah terjadi kecuali semata-mata karena
kehendak-Nya. Sesungguhnya, jika Allah menimpakan
marabahaya (mudharat) kepada makhluk-Nya maka tidak ada
yang dapat menghindarinya, kecuali Dia sendiri. Jika Allah
menghendaki kebaikan bagi makhluk-Nya maka tidak ada yang
dapat menolak kebaikan-Nya. Dia memberikan kebaikan kepada
siapa saja yang dikehendaki-Nya (QS. Yusuf: 107).”
1518
“Apakah kita akan membangun pertahanan di balik benteng-
benteng peradaban sebagaimana pernah Paman katakan?” tanya
Syarif Hidayatullah minta penjelasan.
1520
“Dengan sukacita saya akan menerima ujian itu Paman,” kata
Syarif Hidayatullah mantap.
1521
“Tuan Syaikh telah menjadi pendamping dan penasihat kalifah
sehingga berhak mendapat pampasan. Selain itu, kami tidak
berani membantah titah paduka kalifah,” kata Pangeran Soka.
“Itu bukan hibah atau sedekah,” kata Abdul Jalil sambil berlalu,
“tapi untuk membayar utangku.”
“Ya.”
1522
“Apakah anehnya Syaikh Lemah Abang punya utang? Apakah
engkau juga menganggap aneh jika mengetahui bahwa Nabi
Muhammad Saw. pun pernah berutang?” kata Abdul Jalil
melanjutkan perjalanan.
1523
“Kami adalah anak-anakmu, o Syaikh Lemah Abang,” kata sosok
itu dengan suara gemerisik bagai gesekan batang bambu ditiup
angin.
1528
“Sesungguhnya aku tidak pernah mengajarkan kepada engkau
sekalian untuk menjadi seorang mutajarrid yang melakukan uzlah
meninggalkan kehidupan duniawi. Aku justru mengajarkan kepada
engkau sekalian untuk menjadi seorang mutasabbib yang
berkhidmat kepada masyarakat untuk mendekatkan diri kepada-
Nya. Untuk menjadi seorang mutasabbib, kewajiban utama yang
harus dijalani adalah berkorban. Berkorban. Berkorban. Seribu kali
berkorban. Berkorban sampai lenyap semua keakuanmu menjadi
korban persembahan untuk-Nya.”
1529
Tanpa menunggu waktu, kumpulan bayangan hitam itu
membalikkan badan dan melesat di atas tanah melintasi ‘lembah
kejahilan’ di tengah tatap dungu dan pandir kawan-kawannya yang
masih duduk melamun, asyik mendengarkan cerita yang
disampaikan Abdul Jalil. Melihat pemandangan itu Abdul Jalil
menarik napas panjang. Ia sadar tidak banyak manusia yang cukup
cerdas untuk menerima ajaran yang disampaikannya. Mereka,
keluhnya dalam hati, lebih suka terbuai cerita dan lalmunan
daripada menjalani apa yang diajarkannya. Ajaran sasyahidan
yang disampaikannya hanya cocok bagi manusia-manusia yang
kuat, cerdas, tabah, berani, dan pantang menyerah dalam
mewujudkan jati diri menjadi adimanusia.
1535
manggalayuddha karena dianggap mewarisi bakat ayahandanya
dalam memimpin militer.
Ya.” “
Saya paham itu, Rakanda,” kata Raden Ketib. “Tapi, satu hal yang
saya mohon dari Rakanda agar dikabulkan.” “
Apa itu?” “
Ya.” “
1539
Di manakah beliau sekarang tinggal?” “
Aku tidak berhak memberi tahu. Tetapi jika engkau ingin menjadi
putera ruhani Syaikh Datuk Abdul Jalil, engkau harus mencari dan
menemukan sendiri jawaban dari pertanyaanmu itu. Sebab
sebagaimana kita tahu, dia membenci kemalasan. Lantaran itu, dia
selalu membawa tongkat pemukul untuk menghardik para
pemalas. Dan dia selalu membentengi diri dengan banyak teka-teki
untuk mendidik manusia agar tidak malas berpikir dan malas
berusaha. Dengan kemampuanmu, o Adinda terkasih, aku yakin
engkau akan dapat memecahkan teka-teki ini.” “
1541
SULUK MALANG SUNGSANG
BUKU 6
AGUS SUNYOTO
Pengantar Redaksi
1542
Hegemoni menurut Gramsci bukan semata-mata dominasi,
melainkan juga “kepemimpinan” dan “kekuasaan” kelompok sosial
tertentu yang diwujudkan dalam masyarakat luas melalui
keberhasilan untuk mendapatkan pengaruh.
1544
Kesadaran Burung
Saya tidak tahu, Paman,” jawab Raden Ketib polos. “Saya hanya
menangkap sasmita bahwa jajanan itu mengandung makna
perlambang. Bahkan nama Paman, Luwung Salawe, pun menurut
penangkapan saya memiliki makna perlambang yang sangat
dalam. Jadi, saya merasa Kangjeng Susuhunan memberi
pelajaran kepada saya melalui perlambang-perlambang. Karena
itu, saya mohon agar Paman berkenan menerangkan makna
perlambang di balik dua belas jenis jajanan ini.” “
1553
Terima kasih, Paman. Saya sudah paham. Saya paham jika tahap
kemunculan Ahmad bila mim sebagai Ahmad sang manusia
sempurna tidak bakal terwujud tanpa melalui Luwung Salawe,”
kata Raden Ketib. “
Apakah itu berarti para pengikut Syaikh Datuk Abdul Jalil tidak
boleh terikat dengan keberadaannya, sebagaimana para salik tidak
boleh terikat pada duniawi?” tanya Raden Ketib. “
1557
bersamanya selama lima tahun mengembara ke berbagai tempat.”
“
Akhirnya, dengan bekal Ngalah itulah aku hadapkan kiblat hati dan
pikiranku hanya kepada Allah. Seluruh keraguanku kusingsingkan.
Seluruh keinginanku kusingsingkan. Bahkan, seluruh gantungan
harapanku kusingsingkan. Saat semua menyingsing, terbukalah
1558
hijab demi hijab yang menyelubungi Kebenaran. Saat itulah aku
beroleh pencerahan ruhani sebagaimana yang pernah engkau
alami saat mencapai kesadaran burung. Dan ternyata, saat itu pula
Syaikh Datuk Abdul Jalil datang menemuiku sambil berkata,
‘Sesungguhnya, aku mengusirmu dengan tujuan utama agar aku
tidak menjadi hijab antara engkau dan Dia.’ Saat itulah aku baru
sadar tentang ketinggian martabatnya sebagai pengajar Tauhid.
Bahkan, setelah itu ia menikahkan aku dengan puterinya Zainab.
Sebagai lambang keberhasilanku dalam beroleh pencerahan, ia
mengganti nama Zainab menjadi Ratu Arafah.” “
1562
Keanehan-Keanehan
1564
“Apa yang engkau alami ini, menurut hematku, karena engkau
telah banyak melupakan-Nya. Karena itu, kembalilah kepada-Nya.
Ingatlah Dia sebanyak mungkin, niscaya engkau akan lepas dari
penderitaanmu.”
“Tidak. Aku yakin yang akan engkau ajarkan tidak sama dengan
mereka. Di tengah kesempitan yang menyesakkan ini aku justru
melihat bayanganmu berkelebat memasuki ingatanku seperti
cahaya matahari menerangi malam yang gelap gulita. Aku yakin
isyarat yang aku terima itu benar, meski selama ini yang kuingat
tentangmu adalah kecemburuan dan kebencian. Aku yakin hanya
engkaulah yang bisa menunjukkan jalan Kebenaran sehingga aku
1565
terlepas dari himpitan kehidupan yang menyiksa ini,” kata Angga
tiba-tiba merangkul lutut Abdul Jalil.
“Apa pun yang engkau tunjukkan akan aku jalankan, apa pun
tantangannya.”
1567
“Paduka Khalifah telah bercerita banyak kepadaku tentang Angga,”
kata Abdul Jalil dengan suara perlahan. “Betapa sejak kecil Angga
dan saudara-saudaranya sudah dicekoki oleh dendam dan
kebencian terhadap kakeknya, Prabu Guru Dewata Prana, dan
terutama kepada para pendeta kerajaan. Itu sebabnya, dalam
setiap perbedaan sekecil apa pun dengan pihak kerajaan Sunda
selalu ditanggapinya secara berlebihan, seolah-olah maharaja
Sunda dan semua kekuatan pendukungnya adalah musuh utama
yang harus dibinasakan.”
1569
Dengan alasan demi keselamatan kerajaan dan seluruh kawula,
Prabu Guru Dewata Prana akhirnya merelakan selirnya, Puteri
Jata Mernam, dijadikan aci. Tetapi, dengan alasan Puteri Jata
Mernam masih hamil maka pelaksanaan korban itu menunggu
hingga ia dilahirkan. Demikianlah, setelah melahirkan seorang bayi
perempuan yang dinamai Dewi Siliwangi, Puteri Jata Mernam
dijadikan korban untuk para bhuta. Bayi Dewi Siliwangi dijauhkan
dari kraton dengan cara dikembalikan kepada kakek dan
neneknya, Haji Ma Huang dan Nyi Rara Rudra yang tinggal di
Caruban.
“Apakah itu berarti bahwa usaha apa pun yang dilakukan oleh
manusia pada dasarnya tidak dapat menolak takdir Ilahi, begitukah
Tuan Syaikh?” tanya Liu Sung.
“Itulah makna hakiki dari peristiwa itu,” tegas Abdul Jalil. “Pada
dasarnya manusia tidak memiliki kehendak apa pun kecuali apa
yang dikehendaki Allah (QS. at-Takwir: 29). Lantaran itu, sekeras
apa pun perjuangan orang seorang dalam berusaha, menurut para
arif billah, tidak akan menembus tirai takdir (sawabiq al-himami la
takhriqu aswar al-aqdar).”
1573
“Lantaran itu, aku menerima kehadirannya dengan rasa syukur dan
kemudian memenuhi keinginannya untuk dibaiat. Aku yakin,
kehadirannya ke sini bukanlah atas kehendaknya sendiri,
melainkan atas kehendak-Nya jua. Aku yakin Allah akan
mengakhiri semua dendam yang menguasai jiwanya dengan
lantaran amaliah yang kuajarkan. Mudah-mudahan semua kotoran
jiwa Angga akan bisa disucikan sehingga dia secepatnya sadar jika
dendam kesumat itu hanya membuat rusaknya jiwa,” kata Abdul
Jalil.
1574
Ketika ia mengaitkan antara gelegak jiwanya dan liku-liku
perjalanan hidupnya di tengah arus perubahan yang telah
dilaluinya, ia mendadak terkejut sendiri. Sebab, di hadapannya
terpampang dengan jelas sebuah kenyataan yang mengejutkan
dan membuatnya makin sadar diri akan kekurangannya. Ia
menyaksikan kenyataan betapa tugas yang dijalankannya sebagai
penyulut api perubahan belumlah tuntas. Pekerjaan besar untuk
menata nilai-nilai kehidupan sebuah bangsa yang ambruk masih
belum selesai. Kenyataan itu membuatnya sadar, sekalipun setiap
usai memimpin sembahyang isya ia selalu mengajarkan kepada
murid-muridnya tentang jalan lurus (sabil huda) bagi manusia di
dalam menuju Kebenaran, yaitu jalan lurus yang membebaskan
manusia dari rasa takut atas segala sesuatu selain Yang
Mahabenar, yang membebaskan manusia dari keputusasaan,
yang membebaskan manusia dari perangkap penderitaan dan
kesengsaraan, yang membebaskan manusia dari kejahilan, yang
membebaskan manusia dari khayalan sesat tentang Kematian
maupun Kehidupan, yang menuntun manusia pada Kebenaran
hakiki; pada kenyataannya ia tetap merasakan betapa semua itu
masih belum cukup. Ya, ia merasa masih belum cukup memberi
kepada manusia. Ia merasa selama ini masih belum cukup
menyampaikan Kebenaran hakiki kepada manusia. Ia merasa
betapa masih cukup banyak tugas yang diembannya dalam
membentangkan cakrawala baru itu yang belum terselesaikan dan
bahkan terbengkalai.
1576
Ki Gedeng Pasambangan mengaku telah mencatat cerita dan
dongeng yang terkait dengan adab keluarga muslim. Ia telah
menyelesaikan sejumlah naskah yang diberi judul Kitab Fatimah,
Ilmu Adab, Kitab Piwulang Istri, Smaragama, Carita Panganten
Tujuh, Doa dan Mantra Kaluwarga, Doa Istifal, Doa Gua Hira.
Syaikh Abdul Malik Israil mengaku telah menyusun cerita dan
dongeng serta tuntunan amaliah yang terkait dengan Bani Israil. Ia
telah menyelesaikan sejumlah naskah yang diberi judul Carita Nabi
Yusuf, Sajarah Para Anbiya, Tujuh Asma’ Suryaniyyah, Asma’
Qamar, Asma’ Asha Musa, Doa Nabi Sulaiman, Doa Nabi
Daniyyal, dan saduran Kitab Jaljalut. Sementara Syaikh Bentong
menyusun naskah yang terkait dengan pranata mangsa dan
dongeng Campa. Ia mengaku telah menyelesaikan sejumlah
naskah yang diberi judul Primbon Palintangan, Primbon Mujarobat,
Doa Dzulfaqor, Mantra Tulak Bala, Kitab Ayat Lima Belas, Kitab
Ayat Pitu, dan Pantun Sang Kodok.
1577
“Tapi, bagaimana caranya? Apakah naskah itu ditulis dalam jumlah
banyak dan kemudian disebarkan ke berbagai tempat?” tanya
Abdul Malik Israil.
“Tentu saja tidak mungkin melakukan cara itu,” kata Abdul Jalil.
“Sebab, penduduk di Pasundan dan Majapahit yang bisa baca dan
tulis hanya kalangan kraton. Padahal, kita ingin menyebarkan ini
ke seluruh penduduk. Menurutku, semua naskah harus disebarkan
dari mulut ke mulut hingga dipahami semua orang.”
“Aku sangat setuju dengan cara itu. Aku sendiri sudah menyiapkan
sejumlah muridku untuk tugas itu,” tukas Syaikh Bentong. “Tapi,
1578
bagaimana dengan bekal kehidupan mereka selama menjalankan
tugas?”
“Tentu saja dari kita,” kata Abdul Jalil. “Selama ini aku sudah
mengeluarkan dana yang cukup besar untuk membiayai Raden
Sahid dan kawan-kawannya yang berkeliling di pedalaman
sebagai pamancangah menmen. Jika ada yang bertanya dari
mana aku beroleh uang dan perhiasan? Aku katakan, sebagian
aku dapat utang dari Li Han Siang dan sampai sekarang belum
lunas.”
Syaikh Abdul Malik Israil yang mendengar ucapan Abdul Jalil tiba-
tiba tertawa terkekeh-kekeh. Kemudian dengan menahan geli dia
berkata, “Kehendak Allah memang aneh dan sering tak bisa
dipahami. Orang-orang yang memiliki iktikad baik untuk
berkhidmat kepada masyarakat justru diberi kesempitan dalam
kebutuhan duniawi sehingga berutang kesana-kemari. Sementara
orang yang berkhidmat kepada diri pribadi justru dilimpahi
perbendaharaan duniawi hingga jiwanya terkubur di bawah benda-
benda. Aneh sekali. Aneh.”
1579
Tulah Sang Naga Shesha
1582
saat mengalami kekecewaan dan dibakar api amarah. Celakanya,
peristiwa itu terjadi bertepatan waktu dengan maraknya kabar
tentang peristiwa-peristiwa aneh di berbagai tempat. Lantaran itu,
orang cenderung mengaitkannya satu sama lain. Untuk
mengingatkan para pengikutnya agar tidak terjebak pada cara
berpikir otak-atik mathuk, Abdul Jalil bertanya kepada Kyayi Tapak
Menjangan, “Andaikata engkau, o Saudaraku, belum mengikuti
ajaranku dan mengalami peristiwa seperti yang dialami oleh
Adipati Terung, apakah yang akan engkau lakukan?”
1585
Kabar peristiwa-peristiwa aneh yang disampaikan para kepala
dukuh Lemah Abang itu ternyata tidak berhenti pada pengaitan tu-
lah Sang Naga Shesha, tetapi lebih berbahaya adalah tersebarnya
kasak-kusuk yang menyatakan bahwa peristiwa tersebut
merupakan hukuman para dewa, karena orang-orang telah
meninggalkan ajaran leluhur untuk mengikuti ajaran baru dari
negeri asing. Yang tak kalah berbahaya, kasak-kusuk itu
mengaitkan peristiwa aneh tersebut dengan pembukaan dukuh-
dukuh Lemah Abang yang tidak sesuai dengan tatanan umum
yang berlaku. Dukuh-dukuh Lemah Abang yang dibuka, yang
katanya diperuntukkan bagi para wiku, ternyata dijadikan hunian
penduduk dari berbagai kalangan. “Hal itulah yang menurut desas-
desus telah menimbulkan tu-lah Sang Naga Shesha dan sekaligus
amarah para dewa. Lantaran itu, kata mereka, selama menunggu
giliran Dukuh Lemah Abang tertimpa bencana, desa-desa di
sekitarnya dulu yang menanggung akibat buruk itu,” kata Kyayi
Menjangan Tumlaka.
Sadar peristiwa aneh yang tak terduga itu bakal menjadi petaka
besar bagi perubahan yang sedang dirintisnya, Abdul Jalil buru-
buru pergi ke Caruban untuk menemui Sri Mangana dan ibunda
asuhnya. Ia ingin meminta petunjuk mereka tentang apa yang
harus dilakukannya tentang peristiwa-peristiwa aneh yang dialami
penduduk Wirasari, Lasem, Pengging, Japan, Terung, dan
Wirasabha. Secara kebetulan, saat Abdul Jalil datang, Sri
Mangana dan permaisuri sedang memperbincangkan masalah
tersebut dengan Raden Sepat, Ki Waruanggang, Ki Tameng, Ki
Tedeng, dan Ki Sukawiyana. Raden Sepat adalah undagi (arsitek)
termasyhur dari Majapahit yang dikirim Adipati Terung untuk
membantu perluasan Tajug Agung Caruban. Dari Raden Sepatlah
kabar tentang peristiwa aneh di Japan, Terung, dan Wirasabha itu
sampai ke Caruban.
1587
“Jadi peristiwa serupa juga terjadi di Wirasari, Pengging, dan
Lasem?” kata Sri Mangana menoleh ke arah permaisurinya dan
kemudian berkata kepada Abdul Jalil, “Kami semua sebenarnya
sedang membicarakan masalah itu dan berkeinginan
memanggilmu. Ternyata engkau sudah datang sendiri. Jadi,
biarlah ibundamu yang akan menjelaskannya karena dia tahu
banyak tentang masalah itu.”
“Kami paham itu, Tuan Syaikh. Tetapi, maksud kami, sarana jimat
apakah yang Tuan gunakan untuk ditanam di bawah hulu
bangunan? Sebab, hal itu sangat menentukan dalam suatu
upacara penyucian tanah,” tanya Raden Sepat.
“Kami tidak mengikuti aturan yang lazim, Yang Mulia,” kata Abdul
Jalil menjelaskan. “Sebab, yang kami sucikan bukan sepetak atau
dua petak tanah, melainkan tanah se-Nusa Jawa. Tanah Majapahit
dan Pasundan. Bahkan di balik itu, kami ingin menutup ksetra-
ksetra dan tempat-tempat pemujaan Sang Bhumi yang meminta
korban manusia dengan cara membuat tawar daya shakti dari
tempat-tempat tersebut. Kami sudah mengikat suatu perjanjian
dengan Ibunda Prthiwi, Sang Bhumi. Itu sebabnya, kami tidak
menggunakan sarana jimat yang lazim.”
1591
“Jika boleh tahu, sarana apakah itu?” tanya Raden Sepat makin
penasaran.
“Maksudnya?”
“Ananda kira itu tidak perlu, Ibunda Ratu,” kata Abdul Jalil menutup
kembali lengan jubahnya. “Ananda paham, apa yang dilakukan
1592
Ibunda Bhumi itu hanyalah suatu ujian. Ujian untuk menguji putera-
puteranya, manusia-manusia yang rela berkorban sebagaimana
pengorbanan Ibunda Bhumi yang merelakan tubuhnya diinjak-injak
dan dilukai oleh putera-puteranya. Dan ananda, selaku putera
Ibunda Bhumi, ingin membuktikan bahwa di antara putera-putera
Sang Bhumi itu ada yang rela berkorban tanpa meminta imbalan
apa-apa. Itu berarti, ananda ingin menunjukkan pada Ibunda
Bhumi bahwa ada puteranya yang melebihinya dalam berkorban.
Sebab, dengan cara melebihi keikhlasan Ibunda Bhumi saja
kekuatan ‘haus darah’ dari Sang Prthiwi itu dapat ditawarkan.”
“Tentu saja tidak, o Ibunda Ratu. Sebab, yang lebih mendasar dari
perjanjian kami dengan Ibunda Bhumi adalah jati diri kami yang
dijadikan jimat di bawah hulu bangunan. Maksud ananda,
sebagaimana jimat yang ditanam di bawah hulu bangunan,
demikianlah jati diri kami wajib diinjak-injak dan direndahkan oleh
setiap manusia yang menghuni permukaan bumi. Itu berarti, setiap
manusia harus merendahkan dan menista ananda sebagaimana
mereka memperlakukan bumi,” kata Abdul Jalil tegas.
1594
Bhumi adalah makhluk perusak dan penghancur ibunya. Ananda
ingin menunjukkan bahwa tidak semua putera-putera Bhumi
adalah manusia tak tahu budi. Ananda akan menunjukkan bahwa
ananda adalah putera Ibunda Bhumi yang tahu berterima kasih
karena ananda telah memakan sesuatu dari Ibunda Bhumi secara
haqq dan tidak berlebihan. Ananda ingin menunjukkan bahwa
ananda adalah putera Bhumi yang lebih ikhlas dan lebih tanpa
pamrih dalam berkorban dibanding Sang Bhumi sendiri.”
“Sekarang ini diam adalah yang utama,” kata Abdul Jalil tegas.
“Katakan kepada seluruh warga Lemah Abang untuk tidak sekali-
kali memuji aku. Maksudku, jika kalian tidak bisa menista dan
merendahkan aku maka sebaiknya kalian diam dan tidak memuji
aku sekecil apa pun. Diam. Diam. Seribu kali diam.”
1596
Jalil memaparkan makna di balik perubahan-perubahan jabatan
itu.
1597
Senjata bedil dan bedil besar sudah digunakan barang seratus
tahun silam oleh orang-orang Majapahit yang membelinya dari
pedagang-pedagang India. Sebelumnya, pedagang-pedagang
India membeli senjata-senjata api tersebut dari saudagar-saudagar
Turki. Kira-kira lima puluh tahun silam, usaha membuat sendiri
bedil besar dilakukan untuk kali pertama oleh Ario Damar Adipati
Palembang, dengan dibantu ahli-ahli mesiu Cina Palembang dan
orang-orang Kerala. Usaha membuat bedil besar, memang
dimungkinkan karena tekniknya jauh lebih sederhana dibanding
bedil yang rumit. Meski begitu, sejumlah bedil besar hasil
pengecoran di Palembang itu meledak saat dicoba dan menelan
korban jiwa. Meski bedil besar buatan Palembang belum
sempurna, Ario Damar berhasil membangun pabrik mesiu besar di
sana.
1598
Lantaran kebijakan Ario Damar seperti itu, keberadaan bedil besar
banyak didapati orang di Kadipaten Samarang, Demak, Madura,
dan Terung, tempat putera-puteranya menjadi penguasa di situ.
Malahan, di tengah kekacauan yang berlangsung tak kunjung
berhenti di ibu kota Majapahit, hampir seluruh bedil besar milik
kerajaan dikuasai oleh Raden Kusen Adipati Terung. Itu sebabnya,
di antara penguasa-penguasa Majapahit, kekuatan tempur yang
dimiliki Kadipaten Terunglah yang paling kuat karena selain
memiliki pasukan gurnita, juga memiliki pasukan bedil besar dan
bedil. Di berbagai medan tempur, termasuk dalam peperangan
dengan Patih Mahodara, selalu saja pihak Terung beroleh
kemenangan.
1599
bedil besar di Japara dengan bantuan para ahli dari Palembang,
Terung, Lawe, dan Kerala.
1602
Perubahan Demi Perubahan
1603
ini Kadipaten Gresik dan Siddhayu akan ikut juga,” ujar Syaikh
Garigis.
1604
Kemapanan sebagai seorang pangeran kaya raya dan sekaligus
khalifah tarekat yang dimuliakan manusia ternyata tidak
menjadikan Pangeran Arya Pinatih berpuas diri menikmatinya. Di
usianya yang makin senja itu dia sering meninggalkan
kediamannya untuk mendakwahkan Kebenaran Islam di
pedalaman. Melalui salah seorang kepala wisaya di Tumapel yang
menjadi muridnya, yaitu Kyayi Gribik, dia menyebarkan pengaruh
Islam di pedalaman hingga ke daerah Sengguruh dan Lumajang di
selatan. Hanya pada saat-saat tertentu saja dia kembali ke
padepokannya di selatan atau ke purinya yang terletak di
Kedhanyang di selatan Puri Giri Kedhaton. Dia dikaruniai dua
putera, Pangeran Pringgabhaya dan Pangeran Kedhanyang.
1605
Selama berbincang-bincang dengan Pangeran Arya Pinatih dan
para putera Prabu Satmata, Abdul Jalil menangkap keluasan
wawasan dan kedalaman pengetahuan para pangeran tersebut.
Tetapi, ia sangat terkejut ketika Pangeran Arya Pinatih
menyinggung-nyinggung nama Hasan Ali, orang asal Caruban
yang mengaku murid Syaikh Lemah Abang yang bernama asli San
Ali Anshar. “Aku curiga dengan pengakuannya. Karena yang
kuketahui, nama asli Syaikh Lemah Abang adalah Syaikh Datuk
Abdul Jalil,” kata Pangeran Arya Pinatih.
1607
perjanjianmu dengan Sang Bhumi akan tergenapi, kata Ruh al-
Haqq.
1608
“Ada empat, yaitu Ksetra Adhidewa, Mangare, Dara, dan
Indrabhawana.”
1610
“Yang memilih adipati para gedeng?” sergah Raden Ahmad bagai
tak percaya. “Berarti, gagasan wilayah al-Ummah benar-benar
dijalankan di Caruban?”
1611
“Ya, Paman. Semua wisaya dan desa di Kadipaten Surabaya,
Terung, dan Bubat telah diubah serentak,” Raden Hamzah
menjelaskan. “Wisaya Bukul dipimpin oleh Ki Ageng Bukul, Syaikh
Mahmudin, putera Ki Buyut Bukul. Wisaya Sumber Urip dipimpin
Ki Ageng Banyu Urip, Ki Wiryo Saroyo, putera Ki Bang Kuning.
Wisaya Sapanjang dipimpin oleh Ki Ageng Sapanjang, yaitu adik
kami sendiri, Raden Mahmud. Pendek kata, semua wisaya di tlatah
Terung dan Bubat seperti Wringin Sapta, Lemah Tulis,
Pagedangan, Pagerwaja, Sukadana, Talsewu, Hanyiru, Awang-
Awang, Penggiring, Terung, Kapulungan, Kejapanan, Gerongan,
Gunung Gangsir, Pandakan, dan Tunggul Wulung semuanya
sudah dipimpin oleh para Ki Ageng.”
1612
“Mudah-mudahan dengan memandang kebesaran ayahandamu,
perubahan besar bagi tatanan kehidupan di Majapahit akan segera
terwujud,” kata Abdul Jalil berharap.
“Tapi, Paman, terus terang saja sampai saat ini kami belum paham
dengan makna yang sebenarnya di balik perubahan gelar-gelar
jabatan tersebut. Sungguh, ketetapan itu dibuat saudara kami
semata-mata karena kepatuhan dan penghormatannya kepada
ayahanda kami. Karena kami semua mengetahui jika gagasan itu
asalnya dari Paman maka kami mohon penjelasan langsung dari
Paman, kenapa gelar-gelar jabatan Buyut dan Rama harus diubah.
Kenapa gelar Buyut harus diubah menjadi Ki Ageng dan gelar
Rama diubah menjadi Ki Lurah? Kenapa pula para kawula
diharuskan menggunakan kata ganti diri ingsun?” tanya Raden
Qasim.
Penduduk akan memuja batu tanda kematian sang Buyut dan sang
Rama sebagai Kabuyutan dan punden Karaman, Paman,” tukas
Raden Qasim mulai menangkap makna ucapan Abdul Jalil.
1614
“Tentu tidak bisa, Paman. Jumlahnya beratus-ratus dan bahkan
beribu-ribu.”
“Kami paham, Paman,” kata Raden Ahmad. “Tapi kenapa gelar Sri,
Prabu, Adipati, dan Ratu tidak ikut diubah? Bukankah raja-raja itu
jika mangkat arwahnya dipuja di candi-candi?”
1617
Rahasia Dukuh Lemah Abang
1618
Boleh jadi karena berdarah campuran dari bermacam-macam
bangsa, bentuk fisik Syaikh Jumad al-Kubra sangat berbeda
dengan orang-orang di Kraton Surabaya. Lantaran itu, dia menjadi
pusat orang-orang di sekitarnya. Bentuk tubuhnya tentu lebih tinggi
dan lebih besar dibanding orang-orang di sekitar. Kulitnya sangat
putih hingga terkesan bule (albino). Hidungnya yang mancung
dikesankan seperti hidung Petruk. Matanya yang bening
kecoklatan dikesankan seperti mata kucing. Rambut dan
cambangnya yang coklat kemerahan dikesankan seperti rambut
singa. Sungguh, penampilan Syaikh Jumad al-Kubra menimbulkan
keheranan orang-orang Surabaya. Itu sebabnya, para pelayan di
Kraton Surabaya sering terlihat berkerumun memandanginya
bagaikan melihat makhluk aneh. Bahkan, saat mendengar dia
berbicara dalam bahasa Melayu dengan logat aneh, orang-orang
menduganya sebagai makhluk berasal dari negeri Atas Angin,
negeri asing di angkasa.
1619
Sementara itu, kepada Abdul Jalil, Syaikh Jumad al-Kubra
mengungkapkan bahwa kehadirannya ke Nusa Jawa pada
dasarnya untuk memenuhi amanat almarhum guru ruhaninya
tercinta, Syaikh Sayyid Abdullah Barzisyabadi. “Kira-kira tiga puluh
tahun silam, syaikh kami telah menyuruhku berkelana untuk
mencari seorang mujaddid (pembaharu) yang melakukan tajdid
(pembaharuan) di suatu negeri. Jika sudah bertemu, aku
diperintahkan untuk menyerahkan taj (mahkota sufi) kepadanya.
Aku juga diperintahkan untuk ikut serta mengambil bagian dalam
gerakan pembaharuan tersebut. Demi kepatuhanku kepada
guruku, aku berkelana berkeliling ke berbagai belahan dunia untuk
mencari sang mujaddid tersebut. Tetapi mulai negeri Khanat
Bukhara, Khanat Jaghatai, Kipchak, Mameluk, Khurasan,
Baghdad, Hijaz, Yaman, hingga Gujarat tidak kutemukan adanya
gema pembaharuan dalam tatanan kehidupan manusia. Aku tidak
menemukan sang mujaddid tersebut sehingga aku mulai
meragukan kebenaran wasiat syaikh kami.”
“Aku kira nama Lemah Abang sedikit pun tidak terkait dengan kibrit
ahmar. Pertama-tama, aku sengaja memilih nama Lemah Abang
karena terkait dengan pengetahuan rahasia yang disebut
perundagian, yang salah satu tata caranya menggunakan sarana
sejenis wafak yang menggunakan aksara AH dan ANG, yang
melambangkan makna laki-laki dan perempuan. Itu terkait dengan
pemujaan Dewi Bhumi, Prthiwi. Yang kedua, nama Lemah Abang
aku maksudkan untuk menandai perubahan suatu rentangan
zaman, di mana kesadaran manusia yang kacau telah diarahkan
1622
ke kesadaran Tauhid, ibarat penyucian diri manusia dari jiwa-jiwa
rendah. Lemah Abang merupakan perlambang penyucian jiwa
tanah dari kuasa nafsu-nafsu rendah bendawi. Lantaran itu,
dengan jiwa tanah yang suci itu, aku berharap akan lahir
adimanusia (insan kamil) yang lepas dari ikatan kuat jiwa bumi.”
1623
“Kenapa Tuan Syaikh harus menyucikan tanah? Adakah rahasia di
balik itu? Bukankah menyucikan tanah itu tidak dikenal dalam
ajaran Islam?”
“Sejak masa purwakala, para orang tapa waskita yang datang dari
berbagai negeri sudah melakukan penyucian tanah Nusa Jawa
dalam upaya menentukan tempat yang hak untuk berpijak bagi
manusia. Karena itu, tempat yang hak itu dibatasi oleh dharma
(anusuk). Tetapi, apa yang aku lakukan bukan sekadar
menyucikan tanah yang disebut bhumisoddhana, melainkan juga
menyucikan anasir tanah yang membentuk tubuh manusia yang
disebut bhuta-suddhi,” kata Abdul Jalil menjelaskan.
“Ya,” sahut Abdul Jalil. “Menurut ibunda asuhku, Nyi Indang Geulis,
sarana yang digunakan oleh beliau-beliau itu untuk menyucikan
tanah Nusa Jawa meliputi lambang-lambang yang terkait dengan
empat macam warna (catur warna) yaitu hitam, kuning, merah, dan
putih.”
“Aku percaya dengan apa yang Tuan Syaikh lakukan,” kata Syaikh
Jumad al-Kubra.
1628
Caturbhasa Mandala
Sebab, Banu al-Jann tinggal di dalam perut bumi. Asal Tuan tahu,
perut bumi ini sebagian berupa air dan sebagia lagi berupa api
yang berwarna merah menyala. Almarhum Ario Damar Adipati
Palembang pernah mengajakku masuk ke perut bumi mengunjungi
puak-puak dari Banu al-Jann. Mereka tinggal di bagian api yang
merah menyala. Karena itu, jika mereka keluar ke permukaan bumi
maka lazimnya melalui kawah gunung berapi, gua-gua, atau setiap
lubang yang terhubung dengan perut bumi. Sebagaimana lahar
gunung berapi yang berbahaya, nafs al-Ammarrah perlambang api
dari Sang Bumi harus disucikan terlebih dulu. Di Nusa Jawa, para
tapa yang waskita sudah mengetahui sejak lama bahwa anasir api
dari Sang Bhumi telah menjadi penyebab utama dari tumpahnya
darah manusia-manusia. Lantaran itu, jika anasir api sebagai
perlambang nafs al-Ammarah dari Sang Bhumi tidak didahulukan
penyuciannya, aku khawatir manusia-manusia penghuni Nusa
1629
Jawa akan segera habis dimangsa Banu al-Jann yang merupakan
salah satu aspek pengejawantahan Sang Maut,” jelas Abdul Jalil.
1632
“Sungguh luar biasa kedahsyatan Dewi Bhumi yang disembah
penduduk negeri ini. Sungguh aku takjub dengan kehebatan Tuan
Syaikh yang ingin menutup tempat-tempat pemujaan Sang Bhumi
melalui dukuh-dukuh Lemah Abang, Lemah Ireng, Lemah Putih,
dan Lemah Jenar,” kata Syaikh Jumad al-Kubra.
“Perlu Tuan ketahui, aku tidak punya hak untuk menutup tempat
pemujaan apa pun. Aku hanya berupaya untuk membuat tawar
pengaruh darah dan mayat pada tempat-tempat Sang Bhumi
dipuja baik melalui bhumisoddhana maupun bhutasuddhi. Tempat-
tempat yang disebut Kabhumian (Kebumen), Patanahan,
Palemahan, Dara, dan ksetra-ksetra adalah tempat-tempat para
perawan (dara) dipersembahkan sebagai korban sembelihan.
Hatiku tidak cukup kuat untuk menyaksikan upacara semacam itu
dilakukan orang di sekitarku. Jiwaku tidak bisa berdiam diri
membiarkan pembunuhan-pembunuhan atas nama kepercayaan
terhadap Sang Bhumi. Selain itu, ibunda asuhku, Nyi Indang
Geulis, memang memintaku untuk berjuang keras mengakhiri
upacara korban manusia itu. Dan, yang paling penting, Syiwa
sendiri telah berkehendak untuk menyingsingkan wajah-Nya yang
menakutkan (Bhairawa) untuk digantikan dengan wajah-Nya yang
memancar penuh kasih sayang (Shankara). Syiwa telah
menetapkan bahwa untuk bertemu dengan-Nya, para pemuja-Nya
dapat menjumpai-Nya di mana saja karena Dia berada di dalam
diri manusia yang memahami Kulatattwa.”
“Aku akan selalu ingat-ingat petunjuk Tuan,” kata Syaikh Jumad al-
Kubra. “Tapi, ada satu hal yang ingin aku peroleh dan perkenan
Tuan Syaikh.”
“Apa itu?”
1636
“Prabu Satmata adalah khallifah Giri Kedhaton. Dia putera saudara
sepupu Tuan, Syaikh Maulana Ishak. Dia keturunan Sayyid Amir
Ahmad Khan Jalaluddin seperti kita. Dia seorang pengamal
Tarekat Ni’matullah. Almarhum ayahandanya, Syaikh Maulana
Ishak, adalah mursyid Tarekat Ni’matullah yang tinggal di Pasai.
Sekarang ini yang menggantikan Syaikh Maulana Ishak sebagai
mursyid di Nusa Jawa adalah Prabu Satmata,” kata Abdul Jalil.
1638
“Kenapa kami katakan dia kecewa dengan cara itu? Sebab kalau
ia memilih cara langsung seperti itu, tentunya sebagai raja
Surabaya ia sudah melakukannya sejak lama. Kenyataannya, ia
membiarkan Ksetra Nyu Denta seperti adanya. Jadi, menurut kami,
yang ia inginkan adalah mengakhiri upacara korban manusia,
sekali-kali bukan sekadar menutup ksetra. Sebab, upacara-
upacara korban manusia tidak selalu dilakukan di ksetra. Di tempat
pemujaan Sang Bhumi, di bangunan-bangunan besar yang butuh
wadal, di tempat-tempat orang mencari pesugihan, bahkan saat
orang mengamalkan ilmu kadigdayan pun korban manusia bisa
dilakukan. Karena itu, kami kurang sepakat jika Yang Mulia Adipati
Bubat akan membuat ketetapan menutup ksetra-ksetra di wilayah
kekuasaannya. Hal itu tidak saja akan menyulut kekisruhan besar
akibat perlawanan para pendeta, penduduk sekitar, dan ‘penguasa
ksetra’, tetapi yang terpenting, ketetapan itu tidak mengakhiri
kebiasaan korban manusia.”
1640
engkau akan mendirikan empat wilayah lemah larangan (tanah
terlarang)?”
“Kami belum bisa menentukan siapa saja mereka itu. Tetapi, kami
sudah membicarakan masalah tersebut dengan almarhum
saudara kami, Raden Ali Rahmatullah, dan Prabu Satmata serta
Adipati Demak tentang perlunya dibentuk suatu Majelis Guru Suci
(Syura al-Masyayikh) untuk mempersatukan dan sekaligus
menjadi naungan ruhani bagi kadipaten-kadipaten di Nusa Jawa.
1641
Maksudnya, melalui Majelis Guru Suci yang merupakan lambang
Nawadewata itulah kita dapat menyatukan semua kekuasaan yang
terpecah-pecah,” jawab Abdul Jalil.
“Maksudmu?”
“Itu bagus sekali. Aku setuju. Aku berharap dengan gagasan itu,
perubahan besar akan cepat terjadi di tengah jungkir baliknya
tatanan kehidupan di negeri ini. Tetapi, ada satu hal yang perlu
engkau jelaskan tentang mandala-mandala yang bakal engkau
dirikan itu. Bagaimana caramu meyakinkan penduduk bahwa
mandala-mandala tersebut memang sebuah mandala dan bukan
hunian biasa?” tanya Raden Kusen ingin tahu.
1643
“Kami akan menandai tiap mandala yang kami dirikan dengan
aturan ketat yang wajib dipatuhi oleh penghuninya. Maksud kami,
kami akan mendirikan dukuh-dukuh yang semua penduduknya
menjalankan syari’at Islam secara ketat, terutama dalam hal
berpakaian, berpantang makanan dan minuman, berpantang
dalam bertindak asusila, bersikap hidup luhur, dan sebagainya,”
kata Abdul Jalil.
1645
kami tekankan untuk menjauhi minuman keras (apaya-paya) dan
makanan najis (camah) sebagaimana laku seorang wiku.”
1649
Mandala Lemah Putih
Setelah gagasan untuk membuat tawar
pengaruh daya shakti ksetra-ksetra
disepakati melalui pembukaan caturbhasa
mandala, Abdul Jalil bersama Syaikh Jumad
al-Kubra, Abdul Malik Israil, Ki Waruanggang,
Raden Sulaiman, Raden Sahid, Liu Sung,
dan para putera Raden Ali Rahmatullah
membuka dukuh baru yang terletak antara
Ksetra Nyu Denta (kelapa gading) dan Masjid Ampel Denta (bambu
gading), yaitu tanah shima (perdikan) Kasyaiwan Batu Putih.
Dipilihnya Batu Putih karena tempat itu dulunya adalah sebuah
Syiwa prathista (candi) tempat Syiwa dipuja dalam lambang lingga
putih dan sudah lebih dari tiga dasawarsa tidak digunakan lagi.
Daerah Batu Putih sendiri dijadikan pekuburan keluarga raja
Surabaya. Bahkan raja Surabaya pertama, Arya Lembusura,
dimakamkan di situ. Satu-satunya hunian dekat dengan Batu Putih
adalah Srenggakarana, tempat pelacuran yang terletak barang
satu yojana di sebelah selatannya.
1650
mendirikan dukuh adalah tanah angker (Imah abeng), tanah
kutukan (carik), lapangan dekat pertanian (patara tanya), tanah
tertutup (kuluwuk), dan tanah dekat pembakaran mayat
(Smasana). Sebagaimana Dukuh Lemah Abang, penetapan Batu
Putih sebagai dukuh pun pada dasarnya sudah memenuhi syarat-
syarat mendirikan sebuah dukuh.
“Jika dengan cara-cara yang sudah aku ajarkan itu Tuan dapat
membebaskan jiwa-jiwa mereka dari pengaruh alam dunia ke alam
perbatasan (barzakh), maka dengan sendirinya kekuatan daya
shakti ksetra-ksetra dan tempat pemujaan Sang Bhumi akan
menjadi tawar. Kalaupun di situ masih ada sisa daya shakti, itu
adalah kekuatan dari makhluk-makhluk purwakala, yaitu para
1651
bhuta dan kala dari antara Banu al-Jann yang merupakan
kegandaan dari ablasa yang nirwujud. Untuk menghindarinya,
Tuan bisa menggunakan doa-doa keselamatan penolak pengaruh
jahat Banu al-Jann sesuai tuntunan Rasul Saw.. Berdasarkan
pengalamanku membuka dukuh-dukuh Lemah Abang, kurun
waktu yang dibutuhkan untuk menyucikan tanah lamanya sekitar
40 hari. Selalma 40 hari itulah kita akan tahu apakah tindakan yang
kita lakukan itu berhasil atau gagal,” kata Abdul Jalil.
“Satu hal lagi yang wajib Tuan ingat-ingat dari usaha penyucian
ini.”
1652
“Aku belum tahu pasti. Menurut ibunda asuhku, Sang Akasha,
pengejawantahan nafs al-Muthma’innah Sang Bhumi, biasanya
meminta tebusan jiwa putih yang ikhlas. Maknanya, Tuan akan
diminta menjalankan amukti palapa. Yang dimaksud amukti
palapa, pertama-tama kita tidak boleh memakan makanan yang
berasal dari pajak, upeti, bulu bekti, dan segala sesuatu yang
diperoleh dari pemungutan atas hasil tanah. Kedua, kita tidak boleh
memakan makanan dengan bumbu-bumbu. Ketiga, kita dan
keluarga tidak boleh mengambil manfaat dari perikatan janji kita
untuk pamrih duniawi.”
“Bagiku, semua itu bukan hal yang berat untuk dipenuhi oleh
manusia tak beranak istri seperti aku.”
“Aku yakin Tuan akan bisa mengatasinya,” kata Abdul Jalil sambil
tertawa. “Karena itu, aku ingin menambahkan nama kehormatan
bagi Tuan: al-Qalandar, sehingga orang akan menyebut Tuan
sebagai Syaikh Jumad al-Kubra al-Qalandar.”
1653
“Aku setuju dengan nama kehormatan al-Qalandar, namun dengan
makna gelandangan tengik yang suka pamer keadaan ruhaninya
dengan bertingkah menyimpang.”
1654
mulai menjalankan penyucian tanah untuk membuka Dukuh Batu
Putih dengan didampingi Ki Waruanggang.
Pada saat Syaikh Jumad al-Kubra tidak berdaya dan pasrah itulah
Ki Waruanggang tiba-tiba beringsut ke depan dengan sikap takzim.
Berbeda dengan Syaikh Jumad al-Kubra yang tercengang tak
berdaya, ia yang sudah pernah menyaksikan penampakan yang
dahsyat itu saat melakukan upacara bhuta-suddhi – menyucikan
unsur-unsur yang membentuk tubuhnya – meski terkejut, tidak
terguncang. Malahan, dengan penglihatan mata batin ia tidak
1659
melihat perwujudan sosok apa pun, kecuali pancaran cahaya putih
yang sangat cemerlang berpendar-pendar di angkasa jiwanya.
Setelah terdiam sejenak ia berkata dengan bahasa perlambang.
“Tapi, aku tidak melihat cahaya putih apa pun,” kata Syaikh Jumad
al-Kubra, “yang aku saksikan justru perwujudan dahsyat yang
sangat mengerikan.”
1663
“Astaghfirullah, aku baru ingat sekarang. Tadi siang aku sempat
berbicara dengan Ki Waruanggang tentang tanah shima Batu Putih
dengan makna-makna perlambangnya. Rupanya, gambaran yang
dipaparkan Ki Waruanggang masih melekat di ingatanku sehingga
aku tadi tidak menggunakan mata batin, tetapi malah terseret
angan-angan kosong,” kata Syaikh Jumad al-Kubra berulang-
ulang membaca istighfar.
1664
Asma’, Shifat, dan Af’al-Nya dari cakrawala lama ke cakrawala
baru,” kata Abdul Jalil.
1669
menggunakan Nabe Niskala kepada Hyang Widhi, yaitu madiksha-
widhi. Kyayi Menjangan Tumlaka juga menuturkan dia tertari
dengan ajaran Paduka karena dia dapat bertemu dengan Syiwa
dan bahkan Paramasyiwa. Karena itu, o Paduka Syaikh, hamba
mohon agar Paduka berkenan membimbing hamba sebagai sisya
(murid),” Dang Acaryya memohon sambil menyembah.
“Hal ini perlu kami sampaikan kepada Tuan terlebih dulu karena
banyak di antara dikshita (salik) yang belum bisa membedakan
tahapan-tahapan ruhani dari bhaktimarga (syari’at), karmamarga
(thariqat), jnanamarga (haqiqat), dan yogamarga (ma’rifat) telah
tergelincir ke jurang kesesatan, karena mereka tanpa sadar telah
terpeleset oleh kekaburan batasan sakala (zahir), sakala-niskala
(barzakh) dan niskala (al-Batin). Mereka dengan pongah merasa
telah dianugerahi-Nya pengetahuan untuk mengenal-Nya.
Padahal, mereka saat itu sedang berada di ambang pengetahuan.
Mereka akan ditandai dengan kepintaran dalam berbicara tentang
Adwaya (Tauhid) dengan seluk-beluknya. Sementara jika dilihat
dengan mata batin, jiwa mereka telah tertutup pamrih pribadi. Jiwa
mereka adalah jiwa serigala, musang, gagak, dan bahkan
bayangan makhluk nirwujud.”
“Kami akan patuhi semua titah Paduka,” kata Dang Acaryya Laban
sambil bersujud menyembah, seolah dia sudah lupa dengan
ucapan Abdul Jalil yang baru saja melarangnya dengan bersujud
kepada sesama.
“Ya, aku paham, tapi ... “ sahut Raden Muhammad Yusuf mencibir.
1677
“Jadi, sebagaimana bentuk susunan kraton-kraton Jawa yang lain,
ksetra merupakan bagian tak terpisahkan dari kraton. Kalau
sampai ada perubahan susunan dengan munculnya asrama para
wiku baru yang disebut Dukuh Lemah Putih di dekat ksetra dan
Rsigana Domas, maka dipastikan akan menimbulkan kekacauan.
Sebab, yang akan melakukan perlawanan bukan hanya para
penguasa ksetra, melainkan pendeta dan penduduk juga akan
marah dan menentang. Karena itu, menurut hematku, letak Dukuh
Lemah Putih sebaiknya memang agak jauh dari pusat ksetra,”
papar Abdul Jalil.
1678
Barunadwipa, yaitu dari keluarga Orob. Sedangkan ibu Raden
Muhammad Yusuf berasal dari Malaka.
Dengan dikawal sekitar tiga puluh prajurit Giri, Abdul Jalil dan
rombongan dengan berjalan kaki meninggalkan Bangsal Sri
Manganti menuju arah selatan. Setelah melewati padang alang-
alang dan tanah berawa-rawa, sampailah mereka di Wisaya
Damyan. Sesudah singgah sebentar di kediaman Ki Ageng
Damyan, perjalanan dilanjutkan ke arah selatan dengan melewati
bukit-bukit berbatu kapur terjal. Di beberapa tempat di perbukitan
itu Abdul Jalil menemukan sejumlah lemah larangan yang layak
dijadikan dukuh, yaitu mala ning lemah seperti cerukan bukit
(sodong), batu padas bergantung (cadas gantung), tiga onggokan
batu melingkari suatu tanah (mungkal pategang), ngarai (lebak),
tanah tandus yang curam (lmah laki). Tapi, ia masih belum
menemukan yang benar-benar sesuai dengan hasrat hatinya.
1681
“Kami siap melaksanakan perintah, Kangjeng Syaikh,” kata kepala
pengawal sambil memerintahkan anak buahnya untuk memulai
pekerjaan membabat alang-alang dan semak belukar, menguruk
tanah berair, membuat pematang melingkar sebagai tanggul kecil,
dan memotong batang pohon untuk bahan bangunan.
Sebagaimana pembukaan desa-desa Lemah Abang, Abdul Jalil
menebarkan sarana tu-mbal. Tetapi, sedikit berbeda dengan di
Lemah Abang, di tempat yang akan dinamai Lemah Putih itu selain
menggunakan tanah, ia juga menambahkan garam dan beras.
1682
Mencekam. Lima pondok yang baru selesai didirikan sudah tidak
terlihat karena diselimuti kabut tebal.
1683
seolah-olah menginginkan nyawa kita. Apakah sesungguhnya
yang terjadi di tempat ini, o Paman?”
1684
“Apa yang harus kita lakukan, o Kangjeng Syaikh?” tanya kepala
pengawal Giri Kedhaton gemetar.
1685
Sementara itu, Abdul Jalil yang bagai tak peduli dengan keadaan
sekitar yang mencekam, mengangkat tongkatnya ke atas sambil
berseru, “O Prabu Yaksha dan Nyi Wuragil, penguasa bumi
Tandhes dan Giripura, salam sejahtera untuk kalian berdua dan
kawula kalian. Aku minta kalian berdua tidak mengganggu
pekerjaan Syaikh Jumad al-Kubra, saudara kami yang membuka
dukuh baru di tempat ini. Kalian berdua adalah penghuni perut
bumi. Kami penghuni permukaan bumi. Kami tidak mengganggu
wilayah kekuasaan kalian maka kalian pun aku minta tidak
mengganggu kami.”
1688
mereka itu tidak bisa ditawarkan?” bagaimana jika mereka tetap
melakukan upacara korban?”
1689
Mandala Siti Jenar
“Itu yang masih belum jelas,” kata Wiku Citragati. “Tetapi, menurut
kabar yang berkembang di kalangan prajurit, maling aguna yang
telah masuk ke dalam kaputren itu disebut sebagai seorang
pemuda tampan bernama Gendam Smaradahana asal Daha.
Anehnya, semua telik sandhi dari Terung yang ditempatkan di
Daha tidak satu pun menemukan hubungan antara Gendam
Smaradahana dan Gusti Patih Mahodara. Itu sebabnya, Yang
Mulia Adipati Terung sampai sekarang masih kebingungan karena
hanya bisa menduga-duga siapa dalang di balik peristiwa itu.”
1696
Di depan Kraton Majahapit, tepatnya di seberang alun-alun,
terletak Kepatihan, tempat kerja sekaligus kediaman patih. Yang
diangkat menjadi patih adalah Arya Timbul, putera Arya Menak
Sunaya, adipati Pamadegan, Madura. Arya Menak Sunaya adalah
putera Ario Damar dengan Dewi Wahita, janda dari Bhre Daha,
asal Pamadegan. Jadi sang patih adalah kemenakan Raden
Kusen. Di sebelah selatan Kepatihan terletak Kepanjen, tempat
para panji (pejabat kraton bawahan sang pameget) yang
menjalankan tugas sebagai nayaka di bidang peradilan. Di sebelah
utara alun-alun terletak mandala Dapur Kajambon, yaitu
madhyadesa, lambang Jambhudwipa (satu dari tujuh benua yang
mengitari Gunung Meru) yang dijaga oleh para dapur (penduduk
desa dari kasta rendah). Sementara tepat di tengah-tengah alun-
alun berdiri Bale Bang yang di dalamnya tersimpan payung
khutlima berwarna merah yang disebut Jongbang (Jawa Kuno:
payung merah).
1698
Sadar bahwa di pedalaman seperti Wirasabha dan Daha masih
cukup banyak orang yang memahami tatanan lama, sebagaimana
Raden Kusen yang dengan mudah menerka jalan pikirannya yang
ingin mewujudkan Caturbhasa mandala, maka Abdul Jalil
memutuskan untuk tidak menggunakan nama-nama yang
mencolok dari mandala yang bakal dibukanya di Wirasabha. Ia
tidak ingin menimbulkan konflik dengan munculnya dukuh-dukuh
baru berciri mandala yang empat (caturbhasa). Lantaran itu, ia
memutuskan untuk tidak membuka dukuh dan sebaliknya hanya
menanam tu-mbal untuk membuat tawar daya shakti ksetra-ksetra.
“Ya,” jawab Abdul Jalil singkat. “Sahabat kita Syaikh Jumad al-
Kubra sekarang sedang menulis wafak di atas lempengan perak
untuk ditanam di suatu tempat. Dan, sesuai tu-mbal, maka tempat
itu akan dinamai Dukuh Salaka atau Perak.”
1702
bertemu dengan Syaikh Lemah Abang. Mereka berbincang-
bincang dan bertukar pikiran sampai jauh malam.
“Aku tidak paham dengan apa yang baru saja engkau ucapkan, o
Saudaraku. Tetapi, dengan tindakan yang telah engkau lakukan
selama ini: melukai tubuh dan menumpahkan darah di setiap
mandala Lemah Abang, adalah sesuatu yang sebelumnya tak
pernah terlintas di dalam pikiranku. Bahkan, ikatan perjanjian
dengan Sang Bhumi yang sudah engkau lakukan di mandala-
mandala kuning, bahwa engkau dan seluruh keturunanmu tidak
akan menikmati kemakmuran bumi dan akan mengingkari
kemasyhuran, adalah hal yang sulit dipahami. Bagaimana mungkin
ada seorang manusia rela berkorban untuk kepentingan orang lain
dengan memangkas seluruh pamrih pribadi hingga ke seluruh
garis keturunannya? Padahal, yang banyak aku jumpai adalah
manusia-manusia yang rela berkorban demi kejayaan
keturunannya mendatang. Ini sungguh aneh dan tak terpahami, o
Saudaraku.”
1706
“Kini, di tengah keletihan tubuh yang melemahkan jiwa kita, setelah
berkali-kali engkau menumpahkan darahmu di mandala-mandala
Lemah Abang, tiba-tiba saja engkau mengatakan akan
mempersembahkan keakuanmu untuk dijadikan santapan
Mahasitisuta, Sang Narakasura. Aku tidak paham maksudmu, o
Saudaraku terkasih. Apakah maksud ucapanmu itu? Siapakah
yang engkau maksud dengan Mahasitisuta, Sang Narakasura itu?”
1707
jagat raya ini kecuali di neraka paling bawah,” kata Abdul Jalil
tegas.
1709
“Apakah tindakanmu itu bisa meredakan amarah Sang Bhumi?”
“Ya, aku yakin,” sahut Syaikh Lemah Abang tegas. “Allah telah
menetapkan sebab-sebab untuk menjaga keseimbangan hukum
kauniyah yang ditetapkan-Nya. Apa yang aku lakukan
sesungguhnya hanya sebagian kecil sekali dari unsur-unsur yang
menjadi penyebab terciptanya keseimbangan itu, termasuk
meredanya amarah Sang Bhumi yang bisa menimbulkan
keguncangan.”
Saat itu Raden Sahid melihat Syaikh Lemah Abang diam seolah-
olah tidak mendengar ucapan Syaikh Jumad al-Kubra. Tetapi,
sejenak setelah itu, dengan tatapan mata diarahkan ke gugusan
bukit di lereng Gunung Mahendra yang membentang di selatan, dia
melihat Syaikh Lemah Abang berkata, “Mandala Siti Jenar yang
akan kita tegakkan ini belumlah akhir dari perjalanan. Bhumi
1710
Mataram (Sansekerta: Ibu Prthiwi) dan Kabhumian (Jawa Kuno:
wilayah khusus Sang Bhumi) masih menunggu kita di sebelah
barat. Artinya, kita masih harus mengucurkan darah kita dengan
ikhlas dan tanpa pamrih supaya Ibunda kita itu malu.”
Syaikh Jumad al-Kubra tidak berkata-kata. Dia diam dan tidak tidur
hingga pagi. Seiring terbitnya sang bagaskara di ufuk timur, Raden
Sahid menyaksikan Syaikh Lemah Abang memulai pekerjaan
membuka Dukuh Lemah Abang di antara kaki Gunung Mahendra
dan Bengawan Sori. Tampaknya pekerjaan memasang tu-mbal di
bakal Dukuh Lemah Abang kali ini sangat berat dibanding
sebelumnya. Hal itu mulai terlihat gelagatnya ketika usai
“mengucurkan darah” di atas sebongkah batu hitam, sebagaimana
diisyaratkan Sang Bhumi, Raden Sahid melihat Syaikh Lemah
Abang berjalan gontai tak tentu arah sambil menggumamkan
sesuatu yang tak jelas. Dia menduga saat itu sang syaikh sedang
membaca doa-doa.
1714
kuning dari tengah lautan. Sambil menggosok-gosok mata, dia
membaca doa-doa dengan hati diliputi ketegangan.
1716
Melihat penampakan aneh itu, Syaikh Jumad al-Kubra dan Abdul
Malik Israil menangkap sasmita tidak baik. Tanpa diperintah,
mereka serentak bangkit sebab mengkhawatirkan keselamatan
sahabat mereka, Abdul Jalil. Sambil membaca doa-doa penolak
kekuatan jahat jin dan setan, mereka melangkah ke arah altar
persembahan. Ketika jarak mereka tinggal sejangkauan, Syaikh
Jumad al-Kubra menerkam tengkuk Ki Belawwalu yang bersila di
kaki altar, sementara Abdul Malik Israil menjambak rambut Ki
Gagangaking yang sedang bersujud.
Ketika sadar usaha itu gagal, mereka pun menggunakan cara lain.
Mereka menangkap tubuh Ki Belawwalu dan Ki Gagangaking.
Kemudian dengan langkah lebar mereka berlari ke arah altar dan
melemparkan tubuh keduanya ke sisi altar. Terjadi peristiwa aneh
yang menakjubkan, tubuh Ki Belawwalu dan Ki Gagangaking yang
terlempar keras itu membentur sisi altar dan jatuh terguling dengan
kepala berdarah. Tetapi, secara bersamaan tubuh Syaikh Jumad
al-Kubra dan Abdul Malik Israil tiba-tiba terpental lagi dan
bergulingan di atas tanah. Saat mereka berusaha bangkit, kobaran
api terbalut cahaya dan gumpalan awan hitam yang melesat dari
arah selatan dan utara itu meluncur makin dekat ke altar.
Syaikh Jumad al-Kubra, Abdul Malik Israil, dan Raden Sahid yang
melihat peristiwa aneh itu buru-buru mendekat dan bertanya
dengan penuh rasa khawatir, “Bagaimana, Saudaraku, apakah
engkau tidak apa-apa? Apa yang baru saja terjadi?”
Abdul Jalil menarik napas berat sambil melepas kain putih yang
menutupi tubuhnya. Setelah diam sejenak, ia menoleh dan
berkata, “Alhamdulillah, zaman baru bagi timbulnya matahari
keselamatan (Islam) di Nusa Jawa sudah terbit. Tugas kita
membuat tawar daya shakti ksetra-ksetra sudah selesai. Berarti,
munculnya Islam sebagai penyempurna Syiwa-Budha akan
menjadi keniscayaan. Tetapi, sebagaimana hukum alam (Sunnah
Allah) yang ditetapkan-Nya, para pelaku kejahatan moral,
pelanggar kepantasan adab, dan pemuja benda-benda duniawi
(thaghut) pada saat-saat tertentu akan tetap menjadi santapan
kesukaan Durga, Kali, Prthiwi, para bhuta dan kala dalam pesta
darah, meski mereka sudah mengaku Muslim.”
1720
“Kenapa Dhari Durga dan Kala Rudra tidak memangsamu yang
menyediakan diri sebagai korban?”
“Itu yang aku tidak mengerti,” kata Abdul Jalil. “Padahal, aku sudah
benar-benar pasrah menyerahkan hidupku untuk mereka jadikan
mangsa.”
1722
Ksatria dan Prajurit tuhan
1723
Sebagai anak seorang penguasa kota, Vasco da Gama dididik di
lingkungan bangsawan yang penuh pujian dan sanjungan. Dalam
usia muda ia sudah bekerja di Pengadilan Raja Joao II. Lantaran
pekerjaannya itu, ia banyak mengenal para pelaku kriminal dan
sampah masyarakat yang berurusan dengan pengadilan. Ia
dikenal sangat kejam dan tak kenal ampun. Karena perangainya
itu, Raja Joao II mengirimnya ke pantai barat Afrika untuk
memperkuat benteng pertahanan di Benteng Setubal, Algarvia,
dan koloni Portugis di pantai barat Afrika dalam upaya menghadapi
serbuan armada Perancis yang akan menghancurkan jalur
perniagaan Portugis di lautan. Selama menjalankan tugas di
angkatan laut Portugis itulah reputasinya sebagai manusia kejam
yang berdarah dingin makin termasyhur.
1724
Sesungguhnya, bukan hanya raja-raja Portugis yang bermimpi
bisa menemukan negeri Kristen yang bernama India itu. Raja
Spanyol, Inggris, Italia, Belanda, Perancis, dan bahkan raja-raja
kecil dari kekuasaan-kekuasaan gurem di Eropa beramai-ramai
bermimpi bisa mencapai India. Sebab, telah terikat di dalam alam
pikiran Eropa saat itu bahwa siapa saja di antara raja-raja yang
bisa menguasai jalur perdagangan langsung dengan India, pasti
akan menuai keuntungan berlimpah. Sebab, menjalin perniagaan
langsung dengan India berarti akan memperoleh harga-harga
barang yang murah dan sekaligus akan memotong jalur
perniagaan di Laut Tengah yang selama itu dikuasai pedagang-
pedagang Muslim. Dan yang lebih penting dari itu, mereka akan
dengan mudah akan bisa mengajak raja India yang beragama
Kristen itu untuk bersekutu melawan dunia Islam.
1725
Ketika Manuel naik tahta menggantikan Joao II pada 1495, ia
memutuskan untuk memilih orang yang telah dinominasikan oleh
ayahnya: Vasco da Gama. Dalam sebuah audisi di Monte Moro-o-
Novo, Manuel mendapati betapa Vasco da Gama adalah perwira
muda yang jauh lebih kuat, lebih telangas, lebih dingin, dan lebih
fanatik dibanding Bartholomew Diaz. Vasco da Gama lahir di
Sines, Provinsi Alemtejo, Portugis, pada tahun 1469. darah yang
mengalir di tubuhnya adalah darah keluarga bangsawan da Gama,
yaitu keluarga ksatria dari ordo St. James. Estevao da Gama, ayah
Vasco, adalah ksatria ordo yang dianugerahi gelar Alcaide-Moor.
Ada suatu hal aneh yang terselip pada citra diri ksatria tuhan ini.
Pertama-tama, meski mengaku keberadaan dirinya sebagai ksatria
tuhan, ia tidak memiliki cukup pengetahuan yang mendalam
tentang Tuhan dan jalan Tuhan. Bahkan, hari demi hari dilewatinya
dengan ingatan kuat yang terarah pada kelimpahan benda-benda,
jabatan, dan kemasyhuran nama pribadi. Tidak sedikit pun citra
Kristus yang penuh kasih tercermin pada sikap hidup dan tindakan-
1726
tindakannya yang kejam dan tak kenal ampun itu. Sikap dan
perilaku anehnya itu semakin tampak ke permukaan ketika Manuel
menunjuknya sebagai pemimpin armada Portugis ke India.
1729
Vasco da Gama sendiri selaku kuasa dagang Portugis yang
mengaku wakil raja Portugis, Manuel, disambut dan dijamu oleh
Sultan Mozambique dengan sangat ramah. Sultan menduga Vasco
da Gama pastilah saudagar kaya raya yang ditunjuk raja Portugis
untuk membuka hubungan dagang dengan Mozambique. Sultan
Mozambique yang berkulit hitam, tampan, dan bertubuh tegap itu
menyambut Vasco da Gama dengan tata cara kebangsawanan.
Dalam menyambut Vasco da Gama, dia mengenakan pakaian
kebesaran seorang sultan: memakai celana putih hingga menutupi
mata kaki. Mengenakan mantel biru bersulam kembang dan
benang emas yang panjangnya hingga ke lutut. Ikat pinggangnya
dari sutra bersulam benang emas, disitu terselip pisau dan pedang
bergagang perak. Mahkotanya dari sutra aneka warna yang dibiasi
sulaman benang emas.
1730
Vasco da Gama memang bukan saudagar. Ia adalah perwira
angkatan laut Portugis yang terkenal kejam, sombong, dan suka
merendahkan orang. Ia adalah manusia yang tercekam oleh
angan-angan kosong sebagai ksatria tuhan yang berkedudukan
paling tinggi di antara manusia. Lantaran itu, ia tidak mengira jika
Sultan Mozambique berkulit hitam itu merasa tersinggung ketika
diberinya hadiah barang murahan yang dibangga-banggakan
bangsanya itu. Bahkan, ia merasa heran ketika dalam tempo yang
sangat singkat tersebar kabar di antara pedagang-pedagang
Mozambique yang menyatakan bahwa orang-orang Portugis yang
datang itu bukanlah saudagar-saudagar kaya utusan raja Portugis
yang ingin berniaga, melainkan bajak laut yang berniat merampok.
Sultan yang tidak ingin kerusuhan pecah di wilayahnya akibat
kehadiran armada Portugis yang dicurigai penduduk sebagai
kawanan bajak laut itu, meminta Vasco da Gama untuk secepatnya
meninggalkan negerinya.
“Saya bertemu dua orang Moor yang bisa berbahasa Spanyol dan
Italia, Tuan,” kata Joao Nunes melapor. “Mereka bercerita banyak
tentang negeri Kozhikode, Tuan.”
1734
“Tunggu!” sergah Vasco da Gama. “Mereka bilang orang Islam di
sini sedikit jumlahnya?”
“Benar tuan.”
“Alasannya?”
1735
“Kurang ajar. Mereka menghina kita.”
“Ya, Tuan. Mereka kurang ajar, Tuan. Sungguh kurang ajar mereka
itu, Tuan.”
“Sudah, Tuan.”
1738
Sebagai ksatria tuhan yang otaknya sudah diikat dengan
keyakinan membuta bahwa penduduk India beragama Kristen,
Vasco da Gama sangat yakin bahwa orang-orang India adalah
penganut Kristen. Itu sebabnya, ia menganggap wajar
penyambutan besar itu dilakukan untuknya sebagai wakil kerajaan
Kristen di Barat. Bahkan saat ia diturunkan dari atas tandu untuk
mengunjungi sebuah kuil yang besar dengan pilar-pilar tegak
menjulang, ia menduga kuil itu sebuah katedral. Patung-patung
dewi yang ada di kuil itu dianggapnya sebagai patung Bunda Maria.
Telinganya seolah-olah mendengar seruan Maria! Maria!
didengungkan orang dari dalam kuil. Sementara itu, gambar dewa-
dewi yang menghiasi dinding kuil ia kira gambar para santo, karena
di dalam dongeng-dongeng yang pernah didengarnya, beberapa
santo memang memiliki lengan empat atau lima sebagaimana
gambar dewa-dewi di kuil itu.
1743
Vasco da Gama sering terlihat menggeleng-gelengkan kepala,
menyesali ketololan raja-raja India, terutama ketika ia diberi tahu
oleh awak kapalnya bahwa maharaja Wijayanagara yang
beragama “Kristen” itu memiliki pasukan pengawal khusus yang
tangguh dan terkenal kesetiaannya, yaitu pasukan yang anggota-
anggotanya adalah orang-orang Muslim dari suku Mappila. Tidak
tanggung-tanggung, jumlah pasukan khusus itu sekitar 2.000
orang. Sedangkan pada pasukan reguler Wijayanagara terdapat
sekitar 10.000 orang prajurit Muslim. Pasukan-pasukan Muslim itu
sudah dibentuk sejak era Maharaja Dewaraya I (1397 – 1426 M).
Bahkan, Vasco da Gama sempat tak percaya ketika diberi tahu
bahwa salah seorang menantu Maharaja Dewaraya I yang
bernama Firuz Khan adalah raja dari kerajaan Islam dinasti
Bahmanidi Deccan.
1751
Sang tuhan
Akhir tahun 1501 dan awal 1502 M, tatkala Vasco da Gama sang
ksatria tuhan sedang sibuk menata barisan prajurit tuhan untuk
1755
menghukum penduduk Muslim Kozhikode di India, Syah Ismail
sang tuhan justru telah menumpahkan darah orang-orang muslim
tak bersalah di negeri Persia. Berdasar catatan-catatan para
pelarian yang tercecer, tersusun kabar bahwa segera setelah Syah
Ismail naik takhta, ia terbang ke angkasa angan-angan kebesaran
diri dan membayangkan dirinya tuhan, zat yang mahaberkuasa
dan mahaberkehendak yang berhak menata kehidupan manusia
dalam segala hal, termasuk dalam tata cara menyembah Allah.
Dan tentu saja, selaku sang tuhan, ia merasa berkewajiban menata
seluruh tatanan kehidupan manusia yang berada di wilayah
kekuasaannya untuk mengarahkan kiblat pada keberadaan dirinya
selaku reinkarnasi tuhan.
“Inilah firman tuhan yang wajib dipatuhi oleh seluruh hamba tuhan.
Pertama-tama, hendaknya umat manusia mengarahkan kiblat hati
dan pikiran ke satu arah, yaitu al-Haqq (Kebenaran). Karena kiblat
Kebenaran bagi manusia hanya satu maka jalan (thariq) yang
dilewati pun wajib satu. Itu sebabnya, keragaman jalan-jalan
(tarekat) wajib dihapuskan! Seragamkanlah keragaman tarekat-
tarekat di bawah satu bendera: Safawiyyah! Maklumkan kepada
manusia-manusia sesat yang mengaku sebagai mursyid penunjuk
jalan kebenaran dan pengikut-pengikut tololnya, bahwa setiap
1756
makhluk yang hidup di permukaan bumi Persia wajib bernaung di
bawah bendera Safawiyyah!”
1757
Allah di dunia. Mereka yang tidak menerima ketentuan ini:
binasakan!”
Firman Syah Ismail, sang tuhan, yang maha berkuasa dan maha
berkehendak itu meledak bagaikan halilintar menyambar
permukaan bumi. Langit Persia yang terang dengan cahaya
matahari bersinar cemerlang tiba-tiba gelap diselimuti awan hitam
yang bergumpal-gumpal. Beberapa kejap kemudian, secara tiba-
tiba seluruh permukaan bumi Persia berubah menjadi gelap
berkabut. Burung-burung tidak berani terbang ke angkasa.
Margasatwa tidak berani keluar sarang. Ikan-ikan berhenti
berenang. Manusia tergulung di dalam selimut. Angin tidak berani
bertiup kencang. Air sungai berhenti mengalir. Pendek kata,
seluruh kehidupan makhluk mendadak seperti berhenti. Roda
waktu seperti mandek. Seiring firman tuhan itu, bumi Persia
mendadak berubah menjadi sebuah hamparan negeri asing yang
lengang dan menakutkan. Seluruh jiwa makhluk tercekam oleh
rasa takut yang mengambang laksana kabut tebal di permukaan
tanah.
1758
kerangka pikir, gagasan, angan-angan, nilai-nilai, dan bahkan
khayalan yang sama dengan apa yang dikehendaki Syah Ismail.
1759
Sementara itu, sesuai firman Syah Ismail, untuk menegakkan
kemurnian tauhid, kawanan manusia bayangan itu menempatkan
para mursyid tarekat dan pengikut-pengikutnya yang dianggap
melawan, menentang, berseberangan, berbeda, atau tidak sejalan
dengan titah sang tuhan sebagai musuh. Malahan, tidak cukup
memburu dan membinasakan manusia-manusia yang mereka
anggap merusak tauhid itu dengan keberingasan tak terbayangkan
kawanan makhluk buas yang tak kenal ampun itu, beriap-riap
menuju sejumlah kuburan para mursyid dari tarekat-tarekat yang
ramai diziarahi penduduk negeri. Dengan suara hiruk pikuk dan
meraung-raung, mereka menyalak dan menyatakan bahwa
perbuatan penduduk menyembah kubur-kubur mursyid adalah
musyrik. Karena itu, kuburan-kuburan itu mereka bongkar dan
ratakan dengan tanah.
Menurut kabar yang dibawa para mursyid tarekat yang terusir dari
negerinya, sejak Syah Ismail berkuasa semua kegiatan mengkaji
Al-Qur’an telah terpenjara oleh terali-terali ketakutan yang
dibangun sang tuhan. Penduduk negeri hanya berani membaca Al-
Qur’an tanpa tahu maknanya sebab para mullah yang mengajar
tafsir Al-Qur’an sudah diawasi dari segenap penjuru. Jika terdapat
seorang mullah menafsir satu ayat Al-Qur’an yang berbeda dengan
yang dikehendaki penguasa maka terali penjara telah
menunggunya. Dan Al-Qur’an yang selama hampir seribu tahun
menjadi bacaan dan kajian sehari-hari bangsa Persia, tiba-tiba
telah menjadi kitab yang sangat disucikan hingga tak gampang
ditafsirkan maknanya, kecuali oleh manusia-manusia ilahi yang
bergelar ayatullah yang direstui Syah Ismail. Para ayatullah yang
tidak direstui Syah Ismail, tentu akan tersingkir dan bahkan binasa
jika tidak meninggalkan bumi Persia.
1765
Perlawanan para Hamba Tuhan
Ibarat pepatah pucuk dicinta ulam tiba, tidak lama armada Portugis
itu menunggu, lewatlah sebuah kapal penumpang India yang
memuat jama’ah muslim Kozhikode (Calicut/India). Kapal
berpenumpang 380 orang itu baru kembali dari Makah mengantar
1766
pulang jama’ah haji ke Kozhikode. Tanpa curiga sedikit pun kapal
itu melenggang di atas debur gelombang lautan. Nakhoda kapal
yang sudah beratus kali melintasi kawasan itu tidak menduga
bahwa kebinasaan sedang mengintainya.
1767
Samaritu menolak maka ia akan menghadapi pembalasan dari
Portugis.
1775
Syi’ah dan menghalau bangsa Portugis dengan senjata di mana
pun mereka berada.
“Bumi ini milik Allah, Tuan Syaikh,” kata Abdul Jalil. “Karena itu,
tidak ada hak satu bangsa melarang bangsa lain untuk
menginjakkan kaki di bumi Allah kecuali jika bangsa pendatang itu
telah terbukti berbuat zalim terhadap penduduk setempat.
Sepengetahuan kami, tidak ada dalil-dalil maupun teladan dari
Rasulullah Saw. bahwa kita mengusir saudara seagama atau
menyambut orang-orang yang mau berniaga dengan senjata. Jika
Syah Ismail berbuat kejam di Persia maka hendaknya hal itu
diselesaikan di sana. Janganlah penganut Syi’ah yang tidak tahu
apa-apa di negeri ini disangkut pautkan dengan tindakan bodoh
anak bangsa Azeri yang mengaku keturunan Nabi Saw. itu.
Bahkan, jika Tuan memiliki rasa bermusuhan dengan suatu kaum,
janganlah Tuan melibatkan orang lain dalam permusuhan itu.
Sebab, hal itu akan menunjukkan bukti bahwa Tuan kurang yakin
diri dalam menghadapi musuh Tuan.”
1776
membunuh para guru suci tarekat. Apakah kita akan berdiam diri
melihat kesesatan mereka?”
“Karena itu, o Tuan Syaikh, kami sangat tidak setuju jika kita ikut-
ikutan berpikir picik seperti Syah Ismail untuk membunuh setiap
penganut Syi’ah hanya gara-gara tindakan sepihak makhluk
pendusta yang mabuk kekuasaan duniawi. Sebab, menurut hemat
kami, tidak semua penganut Syi’ah sepaham dengan Syah Ismail.
Dan tentang penganut Syi’ah di Nusa Jawa ini, hendaknya tidak
kita ganggu karena mereka tidak memiliki kaitan dengan gerakan
Syah Ismail di Persia,” kata Abdul Jalil.
1777
“Siapa bilang Syi’ah itu satu napas dan satu jiwa? Siapa pula yang
bilang jika Sunni itu satu napas dan satu jiwa? Bukankah Tuan
Syaikh sudah paham bahwa hukum kauniyah yang ditetapkan
Allah itu tidak akan berubah oleh tindakan orang-seorang?
Maksudnya, jika hukum kauniyah tentang keragaman itu menjadi
keniscayaan bagi tatanan kehidupan di alam semesta, tentulah
mustahil jika keragaman itu bisa diseragamkan oleh seorang
manusia, apalagi pembohong tengik seperti Syah Ismail,” kata
Abdul Jalil.
1778
“Kami adalah guru ruhani yang mengajarkan Tarekat Akmaliyyah
yang dinisbatkan kepada hadhrat Abu Bakar ash-Shiddiq. Tetapi,
kami tidak peduli apakah dituduh Syi’ah atau penyembah setan
sekalipun, karena tugas utama kami adalah menjaga
keseimbangan tatanan kehidupan manusia di dunia ini. Itu
sebabnya, ketika para pengikut ayahanda mertua kami yang
datang ke Caruban memburu-buru Syaikh Duyuskhani dan
pengikutnya untuk dibunuh, kami cegah sekuat kuasa kami.
Sebab, kami tahu pasti bahwa Syaikh Duyuskhani sekalipun orang
Persia dan penganut Syi’ah, ia tidak memiliki hubungan apa pun
dengan gerakan Syah Ismail. Dengan begitu, menurut hemat kami,
sungguh tidak pantas jika Syaikh Duyuskhani dan pengikutnya
yang tidak tahu-menahu tentang perbuatan Syah Ismail di Persia
itu harus ikut menanggung akibat hanya karena kebetulan
pahamnya sama.”
1781
“Terus terang, kami tidak percaya dengan pandangan Tuan yang
menilai bangsa Portugis itu busuk dan tengik semua. Menurut
kami, hukum alam telah menetapkan bahwa di antara bangsa-
bangsa manusia itu wajib ada yang baik dan wajib pula ada yang
tidak baik. Lantaran itu, kami beranggapan kebaikan dan
keburukan tidak bersangkut paut dengan kebangsaan, warna kulit,
bahasa, dan keturunan orang seorang. Apakah menurut Tuan
semua orang Maghrib itu baik semua? Apakah orang-orang
Maghrib semuanya bersifat seperti malaikat yang tidak mempunyai
nafsu, tidak rakus harta, tidak suka perempuan, dan tidak gila
kekuasaan duniawi?” tanya Abdul Jalil.
“Kami kira tiap bangsa memang ada yang baik dan ada pula yang
buruk. Tetapi, bagaimana dengan kebencian mereka yang
berlebihan terhadap agama kita? Apakah kita akan mendiamkan
mereka? Apakah kita akan membiarkan agama kita mereka
hancurkan?”
“Begini Tuan Syaikh,” kata Abdul Jalil tenang. “Jika Tuan datang
ke pedalaman Nusa Jawa, kemudian Tuan menemukan suatu
kaum yang tinggal di suatu tempat memiliki keyakinan bahwa
Tuhan itu Esa, Tuhan tidak bisa disetarakan dengan sesuatu, yakin
akan datang hari kehancuran jagat raya, yakin jika surga dan
neraka itu bertingkat-tingkat, mereka berpuasa, bersembahyang,
1783
tidak makan babi, tidak makan anjing, tidak makan sesuatu yang
najis, tidak meminum minuman keras, tidak berjudi, tidak mencuri,
tidak menyakiti, beristri paling banyak empat, dan berusaha
menjalani kehidupan yang suci. Menurut Tuan, siapakan mereka
itu?”
“Tuan telah keliru menilai,” kata Abdul Jalil menukas, “sebab kaum
yang kami sebutkan itu adalah para pendeta Syiwa-Budha.”
1784
“Kami kira, Tuan keliru dalam menilai orang-orang Portugis.
Mereka beda dengan penduduk Nusa Jawa. Kalau saja Tuan
pernah dekat dengan mereka, kami yakin Tuan akan memiliki
penilaian yang sama dengan kami. Tuan akan melihat betapa
berbahayanya meraka itu jika dibiarkan.”
1785
“Jika demikian, kenapa Tuan mau tinggal di tempat terpencil
seperti ini? Bukankah kehidupan di Baghdad jauh lebih
menyenangkan?” tanya Sidi Abdul Qadir el-Kabiry makin heran.
“Bagaimana Tuan bisa yakin jika di antara mereka itu ada yang
bukan pecinta tubuh dan pemuja dunia? Bukankah mereka jauh-
jauh dari negerinya hingga ke India sesungguhnya karena
berkeinginan merebut dan menguasai harta dunia? Mungkinkah di
antara mereka itu ada yang tidak sejenis dengan kawan-
kawannya?” gumam Sidi Abdul Qadir el-Kabiry.
“Keyakinan Tuan itu hanya pada tingkat gagasan saja. Tuan akan
kecewa jika mengetahui kenyataan betapa di antara mereka itu
tidak ada satu pun orang yang tidak mencintai tubuh dan memuja
dunia. Mereka selalu menyatakan diri sebagai prajurit tuhan,
ksatria tuhan, dan bahkan anak-anak tuhan. Tetapi, kiblat hati dan
pikiran mereka selalu tertuju pada benda-benda duniawi dan
pengumbaran nafsu.”
1787
“Kapan rombongan Tuan akan balik ke India?” tanya Abdul Jalil
dengan pertanyaan lain.
1789
“Karena kami yang membantu menyelundupkan mereka dari
wilayah perbatasan Usmani di Moson dengan melewati Sungai
Danube,” kata Sidi Abdul Qadir el-Kabiry.
“Saya tidak tahu, Tuan Syaikh,” kata Sidi Abdul Qadir el-Kabiry.
“Tetapi, kami mengira mereka akan memberikan laporan-laporan
kepada para penguasa Usmani tentang kekuatan musuh.”
“Maksudnya?”
“Tuan tunggulah barang satu atau dua dasawarsa lagi,” kata Abdul
Jalil dengan mata memandang kejauhan. “Tuan akan melihat hasil
perjuangan mereka yang gilang-gemilang sesuai hukum alam
tentang keragaman.”
1790
“Menurut dugaan kami, dengan pengetahuan mereka yang
mendalam tentang al-Kitab, mereka akan berhasil menciptakan
keragaman gereja. Itu berarti, kebenaran agama bukan hanya
ditentukan oleh gereja Roma, melainkan akan ditentukan oleh
gereja di berbagai negeri di Eropa.”
1791
Majelis Wali Songo
Para ulama dan Ibn Tikish untuk sesaat bisa tertawa-tawa gembira
karena telah berhasil menyingkirkan “orang tak berguna” yang
berbahaya seperti Syaikh Majiduddin al-Baghdady. Para ulama
bisa tertawa-tawa gembira sebagaimana sebelumnya mereka
menghasut penguasa Khwarazm untuk membunuh Syaikh
Syihabuddin Yahya Suhrawardi dan Syaikh Ruzbihan Baqly. Tapi,
apa yang terjadi setelah kematian Syaikh Majiduddin al-
Baghdady? Sejarah mencatat, Al-Waly, Sang Kekasih, yang
selama itu melingkupi Syaikh Syihabuddin, Syaikh Ruzbihan
Baqly, dan Syaikh Majiduddin al-Baghdady meluapkan amarah
kemurkaan terhadap tindakan penguasa Khwarazm dan para
ulama jahat. Allah mengirim Ya’juj wa Ma’juj yang dipimpin oleh
seorang pembinasa: Jenghiz Khan.
1799
“Itu memang benar, Pangeran. Tetapi, semuanya masih dilakukan
secara sendiri-sendiri dan terbatas pada lingkungan sekitar kita.
Kalaupun ada Bhayangkari Islah, itu pun dilakukan pada batas-
batas wilayah sendiri. Padahal, yang kita butuhkan sekarang ini
adalah gerakan serentak di seluruh negeri untuk memperkuat
benteng nilai-nilai berasas Tauhid. Sebab, kawanan bajak laut itu
tidak akan mampu menembus pertahanan nilai-nilai suatu bangsa
yang tegak di atas landasan Tauhid. Karena itu, sekarang inilah
waktu yang tepat bagi kita untuk memulai kerja keras membangun
benteng pertahanan nilai-nilai sebelum para pecinta tubuh dan
pemuja dunia itu datang ke hadapan kita.”
1800
“Dengan alasan agar khalifah tidak menjadi fir’aun maka melalui
Majelis Wali Songo, kekuasaan khalifah akan dibagi menjadi dua.
Yang pertama, khalifah hanya menjadi penguasa wilayah dan
menjalankan pemerintahan duniawi sehingga lebih tepat jika ia
disebut al-amir atau as-sultan. Jabatan al-amir atau as-sultan akan
dipegang oleh seorang adipati yang ditunjuk oleh para adipati.
Yang kedua, kekuasaan ruhani yang meliputi kekuasaan agama
yang mengatur penduduk yang tinggal di wilayah kekuasaan as-
sultan. Kekuasaan itu dipegang oleh para guru suci (susuhunan) di
bawah kendali satu orang pemimpin ruhani (al-imam al-ummah).
Itu berarti, baik al-amir atau as-sultan dan seluruh penduduk wajib
tunduk kepada kekuasaan Wali Songo terutama yang terkait
dengan penegakan aturan-aturan syarak,” kata Abdul Jalil.
1801
“Kenapa majelis itu harus disebut wali? Kenapa pula berjumlah
sembilan?” tanya Pangeran Zainal Abidin.
“Sebutan wali memiliki dua sisi makna,” ujar Abdul Jalil. “Pertama-
tama, bagi penduduk beragama Syiwa-Budha, kata wali bermakna
pendeta yang melaksanakan upacara caru demi terciptanya
keseimbangan kehidupan manusia. Mereka dimuliakan karena
dianggap memiliki kemampuan melakukan upacara bhumisuddha.
Sementara itu, dengan kenyataan yang menunjuk bahwa para wali
yang sembilan itu selain melaksanakan upacara juga adalah guru
suci (susuhunan), maka kedudukannya adalah sama dengan guru,
yang bersthana di Kailasa: Syiwa. Dengan begitu, penduduk
beragama Syiwa-Budha akan menganggap mereka sebagai
penjelmaan Nawadewata.”
1802
tinggi dibanding jabatan al-amir, as-sultan, dan adipati karena
berkedudukan ruhaniah.”
1804
Menangkap ketidakpahaman Raden Ahmad, Abdul Jalil kemudian
memaparkan gagasan Wali Songo sebagaimana yang pernah ia
sampaikan kepada Raden Ali Rahmatullah, Prabu Satmata, da
Raden Kusen, “Sesungguhnya di balik perubahan Nawadewata
menjadi Wali Songo terkait dengan perubahan jabatan Buyut
menjadi Ki Ageng dan jabatan Rama menjadi Ki Lurah. Semuanya
bertujuan menegakkan Tauhid. Dengan begitu, sebagaimana
jabatan Ki Ageng dan jabatan Ki Lurah yang berujung pada
penghapusan kabuyutan-kabuyutan dan punden-punden karaman
(makam para Buyut dan Rama yang disembah-sembah), jabatan
Wali Songo pun pada akhirnya berujung pada penghapusan
pemujaan terhadap guru suci dan raja sebagai dewa. Sebab,
mereka yang menjadi anggota Wali Songo, al-amir, atau as-sultan
bukanlah jelmaan Tuhan, melainkan hanya sahabat-sahabat dan
kekasih-kekasih Tuhan. Sehingga, saat anggota-anggota Majelis
Guru Suci yang menjadi anggota Majelis Wali Songo dan para
adipati meninggal, kuburnya tidak akan disembah penduduk.”
“Anggota Wali Songo terdiri atas guru suci, baik mursyid maupun
khalifah tarekat yang memiliki kewenangan untuk melakukan
upacara madhiksa (baiat).”
“Kita tidak perlu mengikuti cara berpikir Syah Ismail di Persia sana.
Kita tidak perlu mengikuti cara pikir penduduk Syi’ah di Nusa Jawa.
Kita harus bertindak dengan cara pikir penduduk Nusa Jawa yang
bakal menerima gagasan kita. Maksudnya, jika selama ratusan
tahun penduduk Nusa Jawa tidak mengenal imam yang dua belas
sebaliknya mereka lebih mengenal Nawadewata (sembilan dewa)
dan Trisamaya (tiga dewa), yang kesemua jumlahnya dua belas,
kenapa kita harus memaksa mereka dengan sesuatu yang tidak
mereka kenal? Menurut hematku, penduduk Nusa Jawa akan lebih
mudah menerima keberadaan Majelis Wali Songo sebagai
pengejawantahan Nawadewata dan Trisamaya. Itu berarti, kita
tidak perlu lagi terperangkap ke dalam perbedaan Sunni-Syi’ah.
Kita hanya mengenal paham tentang Jawa dan bukan Jawa,” kata
Abdul Jalil menegaskan.
1807
Akhirnya, semua pihak memahami pandangan dan gagasan yang
disampaikan Abdul Jalil. Mereka semua sepakat membentuk
Majelis Wali Songo yang ternyata sudah disetujui oleh almarhum
Raden Ali Rahmatullah.
1808
Di Sagaramadhu (lautan madhu), Prabu Satmata sebagai
susuhunan Tarekat Ni’matullah mengajarkan ilmu ma’rifat kepada
murid-murid utama yang tergolong ahl al-ahadiyyah di mana nama
Sagaramadhu terkait dengan lambang lautan wujud (bahr al-
wujud). Di Kembang (bunga), Prabu Satmata mengajarkan ilmu
haqiqat kepada murid-murid yang tergolong ahl al-wahdat di mana
nama Kembang terkait dengan lambang barzakh al-jami’. Di
Sukarajya, Prabu Satmata mengajarkan ilmu thariqat kepada
murid-murid yang tergolong ahl al-wahidiyyah di mana nama
Sukarajya terkait dengan lambang Sukhayajna (pemujaan), yakni
jihad an-nafs. Dan di Sekarkurung, sang susuhunan mengajarkan
ilmu syari’at kepada murid-murid yang tergolong ahl asy-syar’i di
mana nama sekar kurung (bunga yang terkurung) terkait dengan
lambang selimut (kukub), yakni perlambang orang-orang yang
kesucian jati dirinya masih terselubung hijab (mahjubin).
1811
Syaikh Jumad al-Kubra ditetapkan sebagai lambang Rudra yang
berkedudukan di tenggara dan sekaligus menjadi penguasa dan
susuhunan pada caturbhasa mandala di Siddhasrema,
Pagedangan, Sagara, dan Tunggul Wulung. Di keempat mandala
itu Syaikh Jumad al Kubra mengajarkan kepada para dikshita jalan
lurus menuju Kebenaran, berdasar tingkatan syari’at, thariqat,
haqiqat, ma’rifat. Sebagai lambang Rudra, Syaikh Jumad al-Kubra
memberikan wewenag kepada Syaikh Lemah Abang untuk
menjadi penjaga empat lemah larangan, yaitu Ksetra Candika,
Ksetra Rabut Carat, Keboireng, Lemah Abang.
1812
Keberadaan Syaikh Lemah Abang (Abdul Jalil) sebagai pendeta
yang paling berpengalaman dalam meredam dan membuat tawar
ksetra-ksetra, telah mendudukannya sebagai salah satu dari
anggota Wali Songo yang tidak sekadar bertugas menjaga empat
lemah larangan yang sebagian besar adalah ksetra di sembilan
wilayah, melainkan pula menjadi penguasa dan guru suci di
mandala-mandala yang mengandung makna empat warna seperti
Lemah Abang, Kajenar, Lemah Putih, Lemah Ireng, Kemuning,
Wulung, Sekar Putih, Perak, Batu Putih, Silapethak, Selamirah.
Untuk tugas itu, Syaikh Lemah Abang mempercayakan semua
wilayah yang dijaganya kepada para murid kepercayaannya. Ia
sendiri terlihat lebih banyak berkelana dari satu tempat ke tempat
lain.
“Tapi, kulit Tuan Syaikh tidak putih. Mata Tuan tidak biru. Rambut
Tuan tidak kuning kemerahan,” sergah Patih Mahodara
mengerutkan kening, penuh curiga.
1816
“Mereka itu bangsa yang sombong, Paduka. Mereka suka
merendahkan orang lain yang kulitnya lebih gelap daripada
mereka. Karena itu, di mana pun mereka datang, mereka akan
membahayakan penduduk yang didatangi. Kenapa berbahaya?
Sebab, mereka punya kebiasaan yang aneh, Paduka,” papar Abdul
Malik Israil.
1818
“Sungguh gila,” seru Patih Mahodara agak marah. “Kalau begitu,
mereka jangan boleh mengunjungi negeri kita. Mereka harus kita
usir sebelum mengacau dan membinasakan kita.”
“Bagaimana caranya?”
“Dalam pertemuan di Giri Kedhaton pekan lalu, para guru suci telah
sepakat membentuk Majelis Wali Songo. Mereka adalah wali yang
memiliki tugas utama melakukan upacara-upacara yadna demi
keseimbangan hidup penduduk di Nusa Jawa. Mareka adalah para
pendeta yang menjadi pelindung ruhani bagi kekuasaan-
kekuasaan para adipati yang sepakat menolak kehadiran Peranggi
di Nusa Jawa,” papar Abdul Malik Israil.
1819
Abdul Jalil menukas dengan suara lain, “Kami menjamin bahwa
selama kami hidup, Wali Songo tidak akan berkaitan dengan
kekuasaan duniawi. Sebab, kami yang merupakan salah satu
penggagas menempatkan Wali Songo semata-mata berkaitan
dengan tatanan ruhani. Wali Songo adalah kumpulan para
pendeta. Sebagai bukti bahwa Wali Songo adalah kumpulan
pendeta yang bertujuan menjaga keseimbangan kehidupan
penduduk di Nusa Jawa. Susuhunan Giri Gajah Pangeran Arya
Pinatih telah mengirim utusan ke Puri Kutulingkup di Bali. Sebagai
sesama keturunan Dewa Manggis Kuning, ia memberi tahu
penguasa Puri Kutulingkup, Kyayi Anglurah Agung Pinatih, untuk
bersiaga menghadapi kehadiran orang-orang Peranggi yang bakal
menjarah kekayaan negeri-negeri subur. Ia bahkan meminta
sejumlah pendeta dari Bali untuk membantu pelaksanaan upacara
bhumisoddhana di Jawa. Susuhunan Giri juga mengirim utusan ke
Blambangan dengan maksud yang sama, yaitu mengingatkan
penguasa Blambangan bakal datangnya bahaya bangsa Peranggi
dan meminta bantuan dalam melaksanakan upacara
bhumisoddhana di Jawa.”
“Kami kira, tidak lama lagi akan datang utusan dari Demak ke Daha
untuk meminta dukungan bagi persiapan menghadapi kedatangan
Peranggi.”
1820
“Aku kira, Sri Prabu Surawiryyawangsaja tidak akan keberatan
bergabung dengan seluruh kekuatan adipati di Nusa Jawa untuk
menghadapi serbuan orang-orang Peranggi yang aneh itu,” kata
Patih Mahodara.
1822
Hidayah al-Hadi
1826
dermaga untuk menenangkan jiwanya yang teraduk-aduk seperti
ombak lautan.
“Kami tidak pernah mengatakan sesat dan tidak sesat atas orang
seorang,” kata Abdul Jalil menjelaskan. “Kami selalu mengatakan
manusia yang beroleh pancaran hidayah dan manusia yang
diselubungi selimut thaghut. Manusia yang beroleh pancaran
1827
hidayah, segala tindakan yang dilakukan selalu dibimbing oleh akal
(‘aql) yang diterangi burhan dan dipancari cahaya mata batin (‘ain
al-bashirah). Manusia seperti itu ditandai oleh sikap dan tindakan
yang selaras dan terkendali. Sedangkan manusia yang diselubungi
selimut thaghut yang gelap, segala tindakannya dibimbing oleh
keakuan kerdil yang mengikat (‘iql) akal (‘aql) dengan nafsu-nafsu
rendah (hawa). Manusia seperti ini sikap dan tindakannya
cenderung melampaui batas (thagy), lalim (thagin), menindas
(thaghiyah), dan sewenang-wenang (thughyan). Itu berarti, orang-
orang yang sudah mengikrarkan dua kalimah syahadat pun, jika
sikap dan tindakannya dibimbing oleh keakuan kerdil yang diikat
akal dan nafsu-nafsu rendah, tetaplah sebagai manusia yang
masih diselubungi selimut thaghut yang memancar dari al-Mudhil.”
“Kami sepaham dengan Tuan dalam hal itu. Tetapi, kami sangat
sulit menerima pandangan yang mengatakan bahwa hidayah bisa
diperoleh oleh orang yang bukan muslim. Bagaimana orang yang
tidak mengucapkan dua kalimah syahadat bisa disebut beroleh
hidayah?” kata Sidi Abdul Qadir el-Kabiry tak paham.
“Manusia yang beroleh hidayah bisa kita lihat dari sikap dan
tindakannya dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana telah kami
uraikan. Sementara pernyataan tentang manakah agama yang
benar menurut Allah, menurut kami adalah pernyataan yang
kurang pantas. Sebab, pada hakikatnya semua agama adalah
benar menurut penganutnya masing-masing. Maksudnya,
keragaman agama adalah kehendak Allah semata. Dia, Allah,
Tuhan Yang Maha Esa, ingin disembah ciptaan-Nya dengan
segala macam cara sebatas kemampuan dan pemahaman
penyembah bersangkutan. Dengan begitu, orang-orang yang
menyembah Allah dalam bentuk arca, batu, kayu, pohon, gunung,
bulan, bintang, matahari, dan bahkan manusia pada hakikatnya
menyembah-Nya juga sesuai kadar kemampuannya mengenal
Allah,” papar Abdul Jalil.
“Kalau itu, Tuan bisa bertanya kepada anak kami, Raden Sahid.
Sebab, dia telah mengetahui rahasia untuk menilai tingkat
Ketauhidan suatu ajaran.”
1830
“Benarkah demikian, o Anak Muda?” tanya Sidi Abdul Qadir el-
Kabiry kepada Raden Sahid.
“Benar, Tuan.”
1833
pernyataan itu. Menurut pikirannya, sangatlah aneh seseorang
yang mengenakan pakaian Muslim mengaku sebagai pendeta.
1835
yang memiliki senjata? Apakah saat itu malaikat-malaikat
pelindung mereka lari ketakutan?”
“Ya.”
1836
“Bagaimana dengan orang-orang yang dibunuh? Bukankah
mereka mati sebelum batas waktunya?”
“Apakah orang yang tidak berdosa, orang yang suci dari dosa,
akan beroleh hidup abadi?”
1838
mencintai pula Kematian sebagaimana mereka mencintai
Kehidupan,” kata Abdul Jalil.
1839
“Jika ada jaminan aku tidak mati maka aku berani mengikutimu, o
Bapa Pendeta.”
Abdul Jalil dan Abdul Malik Israil tertawa bersama. Barbosa heran
dan merasa tersinggung. Dengan nada marah dia bertanya,
“Kenapa Bapa Pendeta menertawakan aku?”
1840
“Bagaimana mungkin orang waras bisa menjamin dirinya bakal
tetap hidup sampai esok hari?”
1841
berdaya dia berkata, “Memang tidak ada yang bisa menjamin hidup
dan mati orang seorang.”
“Bukan saja tidak ada yang bisa menjamin, melainkan sering juga
Kematian datang mendadak tanpa terduga-duga,” kata Abdul Malik
Israil sambil mencabut belati dari balik jubahnya. “Apakah pernah
terlintas di pikiranmu jika secara tiba-tiba aku menikam dadamu
dengan belati ini?”
“Ya, ya, aku paham Bapa Pendeta,” kata Barbosa dengan wajah
makin pucat. “Kematian bisa datang sewaktu-waktu dan tanpa kita
sangka-sangka.”
1842
“Bapa Pendeta,” kata Barbosa merendah,” sejak masih kanak-
kanak, aku memang bercita-cita menjadi pahlawan pemberani
yang tidak takut mati. Sewaktu aku masuk dinas militer sebagai
pasukan meriam, aku sudah berusaha menunjukkan kepada
orang-orang di sekitarku bahwa aku adalah pahlawan pemberani
yang tidak takut mati. Ternyata, malam ini Bapa Pendeta berdua
telah menelanjangi kebohongan yang aku tutup-tutupi. Ya, aku
masih takut mati. Karena itu, aku akan belajar kepada Bapa
Pendeta untuk mengenal Kematian sesuai yang Bapa Pendeta
ajarkan agar aku benar-benar tidak takut mati.”
1843
“Soal Islam adalah urusan as-Salam. Soal Hidayah adalah
sepenuhnya urusan al-Hadi. Soal Iman adalah urusan al-Mu’minin.
Maksud kami, meski al-Hadi telah memancarkan hidayah kepada
Francisco Barbosa, kalau pancaran-Nya belum seiring dengan as-
Salam yang memancarkan amanah ke dalam jiwanya, maka jika
dia diminta mengucapkan dua kalimah syahadat, hal itu justru akan
membahayakan dirinya sendiri dan orang lain,” kata Abdul Jalil
menjelaskan.
1844
“Kami sangat menghargai saudara-saudara kami yang
menganggap bukti kemusliman orang seorang. Tetapi, kebiasaan
yang kami lakukan adalah memperkukuh dulu landasan Tauhid
dari manusia-manusia yang beroleh pancaran cahaya hidayah dari
al-Hadi sampai terpancar cahaya salamah dan cahaya amanan
laksana bentangan pelangi di cakrawala jiwa. Jika Tuan bertanya
kenapa kami melakukan kebiasaan itu? Maka, kami akan
menjawab bahwa kami sangat meyakini betapa sesungguhnya
makna hakiki dari Islam adalah pancaran rahasia cahaya matahari
Kebenaran yang mengejawantahkan citra Kelempangan (al-Hadi),
Keselamatan (as-Salam), Keamanan (al-Mu’min), Kemurahan (al-
Karim), Kesabaran (ash-Shabur), Pengampunan (al-Ghaffar),
Kesucian (al-Quddus), Kesantunan (al-Halim), Kecintaan (ar-
Rahman), Kasih (ar-Rahim), dan pancaran dari Asma’, Shifat, Af’al
Allah yang mulia yang menerangi alam semesta dengan rahmat-
Nya (rahmatan lil al-‘alamin).”
“Dengan pandangan kami itu, jelaslah bagi kami bahwa apa yang
disebut al-Islam adalah ruhaniah. Al-Islam mutlak berada di dalam
genggaman Allah. Karena itu, kami menganggap tidak bijak jika
meminta Barbosa mengucapkan dua kalimah syahadat sebagai
tanda kemusliman, sementara kami menangkap isyarat ruhani
bahwa dia belum waktunya mengikrarkan keislaman dirinya. Jika
Barbosa dengan terburu-buru kita minta mengikrarkan syahadat,
maka dia akan secepatnya terlempar dari kaumnya dan bahkan
akan kehilangan nyawanya. Sementara dengan membiarkan dia
sebagaimana adanya, dia akan menjadi perantara bagi
terpancarnya cahaya hidayah kepada kaumnya. Lantaran itu, kami
sangat yakin jika waktunya telah datang, dia akan menemukan
1845
sendiri Kebenaran Sejati meski tanpa bimbingan kami. Kenapa
kami berpendapat demikian? Karena menurut pandangan kami,
persaksian keislaman orang seorang tidak bisa dipaksakan
waktunya. Jika sudah tiba saatnya, di mana pun dia berada akan
mempersaksikan dirinya sebagai Muslim. Dan kami sangat yakin
jika mereka telah dipancari hidayah oleh al-Hadi akan terbimbing
di jalan-Nya, meski mereka berada di lingkungan yang membenci
Islam,” kata Abdul Jalil.
“Kami tidak memiliki kewenangan apa pun untuk itu. Jika Tuan
bertanya kenapa kami melakukan itu hanya kepada Barbosa?
Maka, akan kami jawab bahwa hal itu kami lakukan untuk
membuktikan kepada Tuan bahwa tidak semua orang Portugis
kejam seperti pemimpin dan kawan-kawan Barbosa. Di damping
itu, Allah memang sudah memilih Francisco Barbosa sebagai salah
seorang manusia yang dianugerahi hidayah oleh al-Hadi untuk
menerima benderang nyala api al-Islam di relung-relung
sanubarinya,” papar Abdul Jalil.
“Baik, kami paham itu,” kata Sidi Abdul Qadir el-Kabiry. “Sebelum
berpisah, kami ingin Tuan Syaikh memberikan fatwa khusus
kepada kami agar bisa kami jadikan pedoman dalam melintasi
kehidupan yang kacau ini.”
1847
Abdul Jali tertawa dan kemudia berkata, “Sesungguhnya, saudara
Tuan, Syaikh Abdul Jabbar el-Kabiry, lebih layak memberikan
fatwa kepada Tuan sebab pengetahuan ruhaninya sangat luas dan
mendalam. Tetapi, Tuan tidak bisa melihat kelebihannya karena
Tuan terlalu dekan dengannya.”
“Kami tahu itu. Tapi, kami benar-benar ingin beroleh fatwa khusus
dari Tuan Syaikh agar bisa kami jadikan pelengkap pedoman
hidup, di samping terbukanya kesadaran kami tentang betapa
beragamnya pemikiran kaum Muslimin dalam memandang dan
menyikapi suatu persoalan.”
“Yang paling penting untuk Tuan sadari,” kata Abdul Jalil dengan
suara lain, “dalam menjalankan amaliah keislaman, Tuan jangan
sekali-kali terpengaruh oleh pandangan sempit orang-orang fanatik
seperti kawan-kawan Barbosa dan Syah Ismail. Maksud kami,
Tuan jangan pernah menggembar-gemborkan diri sebagai
pahlawan pembela Islam, apalagi mengaku-aku prajurit Allah
(jundu Allah). Sebab, pada saat orang seorang sudah menyatakan
diri sebagai pahlawan pembela Islam atau prajurit Allah, maka
orang tersebut telah mendangkalkan hakikat al-Islam menjadi
berhala yang penuh ditempeli atribut pamrih duniawi. Padahal, al-
Islam adalah sesuatu yang bersifat ruhaniah. Orang bisa menjadi
Islam bukan karena kehendak pribadi, melainkan kehendak Allah.
Al-Islam adalah pancaran cahaya Ilahi yang memancar dari Asma’,
Shifat, dan Af’al Allah yaitu as-Salam. Lantaran itu, al-Islam selalu
terpelihara dan terjaga dengan cara yang tidak terjangkau oleh akal
pikiran manusia.”
1848
“Kenapa kita tidak boleh mengaku-aku? Bukankah Rasulullah
Saw. mengajarkan bahwa keislaman kita harus dipermaklumkan
kepada manusia?”
“Berarti Tuan Syaikh percaya bahwa di dunia ini ada yang disebut
Jama’ah Wali-Wali?”
1851
Syaikh Malaya
1852
sehingga nalurimu untuk mengepakkan sayap akan muncul
dengan sendirinya,” katanya sambil berlalu.
“Tapi Paman,” kata Raden Sahid dengan bibir bergetar dan dada
naik turun, “sekarang ini kita sedang berada jauh di negeri orang.
Bagaimana mungkin Paman bisa sampai hati meninggalkan saya
sendirian?”
“Itulah yang aku maksud dengan bukit dan jurang tempatmu jatuh
melayang menuju kebinasaan. Jadilah rajawali perkasa jika
engkau ingin selamat dan aman sampai ke Tujuan.”
“Dia tidak meninggalkan kita,” kata Abdul Malik Israil dingin, “dia
meninggalkan engkau sendirian.”
1853
“Meninggalkan saya sendiri? Kenapa Eyang berkata demikian?”
1854
tatapan menerawang kejauhan seolah ingin mencari sesuatu yang
tersembunyi di balik barisan gunung-gunung yang diselimuti awan.
1855
sengatan panas matahari dan dinginnya udara malam hari yang
menggigit dan mengoyak-koyak tubuhnya.
1857
Sebagaimana lazimnya para pemenang, bangsa penyerbu kulit
putih itu menghinakan bangsa-bangsa kulit hitam sebagai budak
nista tak bermartabat. Tetapi, hinaan dan nistaan para penyerbu
kulit putih tidak melemahkan penduduk kulit hitam, sebaliknya
membangkitkan perlawanan di mana-mana. Muncul perlawanan
pahlawan dari laut bernama Vritra, mengamuk dan mengobrak-
abrik Indraloka. Tetapi, kelicikan Indra berhasil mematahkan
perlawanan Vritra. Setelah itu, bermunculan terus perlawanan dari
pahlawan-pahlawan kulit hitam seperti Hiranyakasipu, Paulana,
Kesin, Niwatakawaca, dan Kalakeya. Dan seperti nasib penentang
Indra, para pahlawan kulit hitam itu jatuh satu demi satu digilas
kelicikan Sang Surapati (Indra).
1858
Di tengah gemuruh perubahan di utara, yang ditandai lambang
perkawinan Syiwa dan Parvati, yang dihadiri dewa-dewi, pergilah
Rishi Agastya ke selatan. Sang Rishi yang terhormat, yang
bertubuh pendek dan berkulit hitam, tidak membangun kekuatan
senjata untuk melawan para penyerbu kulit putih dari utara yang
dipimpin Indra. Putera Varuna dengan Urvashi itu membangun
sangam (akademi) di Dakshinakasi di wilayah hutan Pancavati, di
Gunung Malaya, dan kemudian di bukit Pothigai di negeri Pandya.
Ia mendidik 12 orang siswa utama dan mengajarkan kepada para
siswanya di sangam tentang ilmu ketabiban, ilmu perbintangan,
filsafat, tata krama, upacara-upacara keagamaan, mantra-mantra,
ilmu hitam, dan ilmu batiniah. Untuk mengukuhkan keberadaan
peradaban bangsa kulit hitam, sang rishi menyusun tata bahasa
Dravida, bangsa keturunan Dewi Ida.
1860
“O, engkau yang lahir bersama fajar, telah menyingsing kegelapan
nafsu-nafsu rendahmu oleh pancaran cahaya rahasia
pengetahuan. Sebab, orang yang memiliki pengetahuan tinggi
memiliki pancaran cahaya rahasia (Rgveda VII. 76:4). Terangilah
kegelapan dunia dengan cahaya rahasiamu, laksana Varuna
memancarkan pengetahuan kepada orang-orang yang tertutupi
ketidaktahuan. Sesungguhnya, seorang guru yang menanamkan
pengetahuan ke dalam jiwa siswa-siswanya adalah ibarat matahari
menerangi cakrawala siang dan rembulan serta bintang-bintang
menerangi cakrawala malam dengan cahayanya yang cemerlang.
Para guru adalah matahari yang menyebarkan terang (Rgveda VII.
79:2). Karena itu, seorang guru adalah orang yang sudah
memperoleh pencerahan jiwa dan dia tidak akan menutup
keingintahuan para siswanya (Atharvaveda XX. 21:2).”
1863
cendana yang menebarkan wangi ke segenap penjuru
penciumannya.
Kisah Bhisma dan nelayan tukang ikan adalah cerita bijak tentang
harkat dan kedudukan manusia. Bhisma ditempatkan sebagai
manusia berkedudukan mulia (brahmana), sedangkan nelayan
sebagai manusia berkedudukan rendah (sudra). Bhisma, putera
Santanu, putera mahkota Hastina, datang ke sebuah desa nelayan
untuk melamar Rara Amis (gadis bau ikan), anak nelayan, sebagai
istri ayahandanya yang sedang mabuk kepayang oleh cinta.
Bhisma adalah ksatria sejati yang dengan tulus ingin berbakti
kepada ayahandanya. Ia rela berkorban apa saja asalkan
ayahandanya berbahagia. Beda Bhisma, beda pula nelayan.
Melihat kesempatan emas di balik kabar mabuk cintanya sang raja
terhadap puterinya, sang nelayan mengajukan syarat yang wajib
dilaksanakan jika Bhisma bersungguh-sungguh ingin melamar
puterinya untuk mendampingi raja Hastina. Pertama-tama, sang
nelayan menginginkan puterinya, Rara Amis, berkedudukan
sebagai permaisuri raja.
1870
Bharatchandra Jagaddhatri tertawa mendengar kata-kata Raden
Sahid yang bergelora. Dia menepuk-nepuk bahu Raden Sahid
sambil membisikkan sesuatu ke telinganya. Sejenak setelah itu,
dia membalikkan badan dan melangkah ke arah hutan dan
menghilang di balik pepohonan. Abdul Jalil yang berdiri di samping
Raden Sahid tanpa menoleh bertanya lirih, “Dia membisikkan apa
ke telingamu?”
“Kalau tidak salah, seorang rishi harus melihat ke arah depan dan
bersikap bijaksana.”
“Itu kurang tepat, yang dia maksud adalah seorang guru harus
memiliki wawasan ke depan dan bersikap bijaksana. Itu berarti, dia
berharap engkau bisa menjadi guru yang bijaksana bagi umat
manusia, bukan pertapa yang mengasingkan diri dari kehidupan
duniawi,” kata Abdul Jalil.
1871
“Karena itu, mulai sekarang orang akan menyebut namamu Syaikh
Malaya. Sebab, engkau telah beroleh pencerahan di Gunung
Malaya melalui Rishi Agastya,” kata Abdul Jalil.
“Saya menerima sebutan itu dengan suka cita, Paman. Tetapi, ada
satu hal yang ingin saya tanyakan kepada Paman,” kata Raden
Sahid.
1872
SULUK MALANG SUNGSANG
BUKU 7
AGUS SUNYOTO
Pengantar Redaksi
1873
Hegemoni menurut Gramsci bukan semata-mata dominasi,
melainkan juga “kepemimpinan” dan “kekuasaan” kelompok sosial
tertentu yang diwujudkan dalam masyarakat luas melalui
keberhasilan untuk mendapatkan pengaruh.
1875
Cambuk Peringatan Tuhan
1882
Boleh jadi akibat kesamaan nasib karena terus-menerus menjadi
korban peperangan, orang-orang Mappila keturunan Arab asal
Yaman dan Teluk Persia itu pada gilirannya dapat berbaur dengan
penduduk setempat yang menganut Hindu dan Jaina. Bukan
hanya dalam hal bahasa Malayalam yang mereka gunakan
sebagai bahasa ibu, melainkan adat istiadat dan kepercayaan
mereka pun menunjukkan hasil perpaduan antara pengaruh Islam-
Hindu-Jaina. Lantaran itu, adat istiadat mereka agak berbeda
dengan muslim lain di Bharatnagari. Sekalipun hampir seluruh
penduduk muslim Kerala mengaku sebagai muslim penganut
Sunni dan bermadzhab Syafi’i, secara aneh mereka menjalankan
kebiasaan-kebiasaan yang lazimnya dijalankan oleh penganut
Syi’ah, Hindu, dan Jaina.
1883
mengaku bernasab kepada Nabi Muhammad Saw. melalui galur
Fatimah az-Zahrah dan Imam Ali bin Abi Thalib.
“Itu sudah pasti, Tuan Syaikh,” kata Salim Chandidas dengan gigi
berkerut-kerut menahan amarah, “hal itu kami kira tinggal
menunggu waktu saja.”
“Tapi, kami dengar kapal-kapal milik orang Cochazhi tidak ada satu
pun yang hilang sebab penguasa mereka bersekutu dengan
Portugis. Apakah orang-orang Kozhikode tidak bisa menjalin
hubungan baik dengan Portugis sebagaimana dilakukan orang
Cochazhi?” tanya Abdul Jalil.
1889
kebijakan penguasanya yang bersahabat dengan Portugis karena
mereka orang-orang yang lemah dan kurang percaya diri.”
1891
Ketika sore tiba, Abdul Jalil dan Raden Sahid terlihat berdiri di
sudut jalan yang menuju dermaga Kozhikode. Sambil memandangi
kapal-kapal dan perahu-perahu yang diayun-ayun gelombang laut,
di tengah kerdipan cahaya kuning matahari yang memantul di
permukaan air, Abdul Jalil menangkap sasmita di balik rangkaian
penderitaan yang dialami penduduk muslim Kozhikode sejak
kehadiran orang-orang Portugis. Orang-orang malang itu
sesungguhnya sedang dicambuk oleh peringatan Tuhan melalui
keganasan Ya’juj wa Ma’juj dalam wujud orang-orang Portugis.
Dengan kobaran dari senjata-senjata penyembur api, ketenangan
hidup penduduk muslim Kozhikode dijungkirbalikkan. Sasmita itu
sendiri sejatinya sudah ditangkapnya bertahun-tahun silam saat ia
berada dalam perjalanan dari Gujarat menuju Goa.
1892
“Karena Asma’, Af’al, dan Shifat Yang Menyesatkan (al-Mudhill)
dan Yang Memberi Petunjuk (al-Hadi) yang mengejawantahkan
kehendak Zat Yang Mahamutlak secara rahasia selalu berjalin
berkelindan dan berganti-ganti dalam menunjuki dan menyesatkan
manusia (QS. al-Fathir: 8), melalui pengilhaman terhadap jiwa
manusia atas kefasikan dan ketakwaan (QS. asy-Syams: 8), maka
manusia sebagai citra ar-Rahman (shurah ar-Rahman) terpilah
sesuai Asma’, Af’al dan Shifat-Nya, yaitu menjadi golongan yang
disesatkan dan golongan yang diberi petunjuk. Mereka yang
disesatkan akan dilimpahi azab Allah yang pedih (QS. Shad: 26).”
1894
“Tahukah engkau, o Anakku, bahwa mereka yang bersembahyang
di masjid umumnya hanya kalangan ulama dan murid-muridnya?”
tanya Abdul Jalil.
1898
“Apakah itu bermakna bahwa Allah akan mencambuk mereka
dengan lebih keras lagi?”
1901
Mezbah Persembahan Baru
1906
pasrah (qaum al-muslimin), menyembelih saudara-saudaranya
seiman, dengan harapan mendapat berkah dan ridho-Mu.”
“Ya.”
1907
“Coba terangkan kepadaku, kenapa engkau mengatakan kaum
muslimin membangun mezbah-mezbah baru? Kenapa engkau
menilai mereka menyembelih saudara-saudaranya seiman demi
beroleh berkah dan ridho Tuhan?”
1908
“Kakanda,” kata Abdul Jalil lirih, “Jika kita melihat Kebenaran Hakiki
dengan hati yang jernih di balik terbunuhnya Husein, tidaklah kita
menyaksikan betapa sejatinya dia adalah korban sembelihan dari
orang-orang yang menganggap tindakannya paling benar?”
“Memang demikian.”
“Nah, jika dilihat dari Kebenaran Hakiki dengan hati yang jernih,
bukankah madzhab-madzhab yang dianut oleh para pembunuh
Husein itu sejatinya telah diberhalakan? Bukankah kita
menyaksikan secara hakiki bahwa madzhab-madzhab itu telah
menjadi mezbah persembahan dan Husein adalah korban
sembelihannya? Kebenaran Hakiki inilah, o Kakanda, yang tadi
aku saksikan bersinar gemilang di cakrawala kesadaranku.
Lantaran itu, aku tadi menertawakan kebingunganku yang selama
ini menganggap mezbah-mezbah persembahan hanya mutlak
milik penganut Bhairawa-Tantra. Aku menertawakan ketololanku
yang membayangkan mezbah-mezbah persembahan hanya
berbentuk batu yang dipahat dengan korban manusia di atasnya.”
1911
Abdul Jalil diam. Ia mengalihkan tatapan pada Fadhillah Khan dan
bertanya, “Kalau engkau, o Putera saudaraku, berapa usiamu?”
1913
“Tidak hanya tentang Yang Ilahi. Ajaran Muhammad Saw. tentang
Nabi-Nabi pembawa Kebenaran pun ditandai oleh pengabdian
yang tulus dan tanpa pamrih. Di antara keimanan terhadap Nabi-
Nabi, terutama dua puluh lima orang Nabi dan Rasul Allah yang
wajib diyakini sebagai pembawa Kebenaran, tidak satu pun
menunjuk kepada salah satu dhatu leluhur bangsanya, kecuali
Ismail a.s. Leluhur suku-suku Arab yang dipuja sebagai
sesembahan oleh bangsa Arab justru ditetapkannya sebagai
pangkal kemusyrikan yang bertentangan dengan ajaran
Kebenaran Tauhid. Bahkan, dengan tulus dan ikhlas Muhammad
Saw. mewajibkan para pengikutnya untuk mengimani Kenabian
para Nabi Bani Israil seperti Ishak, Ya’kub, Yusuf, Musa, Harun,
Yusak, Sulaiman, Daud, Ilyas, Zakaria, Yahya, Isa a.s. dan
sebaliknya menolak keilahian dhatu-dhatu leluhur Arab yang
dituhankan seperti Latta, Uzza, Manat, dan Hubal. Keikhlasan
dalam menempatkan Kebenaran di atas segala itulah yang
membuat Muhammad Saw. menempati kedudukan melampaui
ishthina’, yaitu kedudukan ruhani orang yang tak terikat keakuan
manusiawi lagi.”
1921
“Kaki tangan Syah memaksaku untuk mengikuti jalan akal yang
mereka lalui, yaitu jalan yang penuh belokan, putaran, tanjakan,
liku-liku membingungkan, dan tebaran jebakan yang
membahayakan jiwa. Mereka tidak paham. Akal, sekalipun tinggi
dan mulia, bukanlah sang jalan., tetapi cahaya yang menunjukkan
jalan. Dengan cahaya akal orang dapat membedakan mana
keburukan, mana musuh dan mana kawan, mana benar dan mana
batil. Tetapi, dengan seberkas cahaya akal, orang tidak akan
mecapai tujuannya sampai dia menemukan jalan itu. Barangsiapa
yang telah diberi penerangan jalan, cahaya akalnya akan
tenggelam dalam pancaran matahari bashirah yang memancar
dari al-Bashir.”
Abdul Jalil menepuk bahu kanan dan bahu kirinya. Setelah itu, ia
menepuk bahu Fadhillah dan Tughril. Kedua orang kemenakannya
itu beringsut ke depan, berlutut dan bergantian mencium tangan
Na’ina Husam. Meski orang-orang yang berkerumun di sekitar
mereka tidak memahami apa yang sesungguhnya terjadi antara
Abdul Jalil dan Na’ina Husam yang bersyair itu, Tughril dan
Fadhillah menangkap peristiwa itu sebagai pelajaran ruhani yang
sangat dalam dan penuh diliputi rahasia jiwa tak terungkapkan.
“Sekali lagi aku ingatkan kepada kalian bahwa apa yang disebut
hidayah adalah pancaran dari Yang Memberi Petunjuk (al-Hadi).
Lantaran itu, di dalam hidayah tersimpan daya-daya iman yang
merupakan pancaran Yang Memberi Keamanan (al-Mu’min), daya-
daya Islam yang merupakan pancaran Yang Memberi Kedamaian
(as-Salam), dan daya-daya ruhani lain yang merupakan pancaran
Asma’, Shifat, dan Af’al Yang Ilahi, yang kesemua daya itu
bermuara ke samudera takwa, yakni pancaran Yang Memberi
Kekuatan (al-Qawiy).”
1930
“Justru di bawah kekuasaan musuh itulah para penumpang kapal
memulai perjuangan yang sesungguhnya dalam menegakkan
Tauhid Mulukiyyah,” kata Abdul Jalil.
1931
“Sesungguhnya, Sang Maharajadiraja semesta adalah Penguasa
semesta ciptaan. Dia menolak disekutukan. Dia ingin dijadikan
sebagai satu-satu-Nya kiblat Sesembahan dan Gantungan
harapan umat-Nya. Dia Maha Pencemburu dengan sekutu-sekutu.
Itu sebabnya, tugas utama para pemimpin kaum muslim beriman
di sebuah kapal adalah menciptakan keadaan di mana seluruh
penumpang kapal menjadi orang-orang yang bertakwa; yang
memuliakan keagungan-Nya sebagai Rabb, Maharajadiraja dan
Sesembahan seluruh makhluk. Semua penumpang wajib
menjadikan-Nya sebagai Pelabuhan harapan dan Kiblat Tujuan.
Para pemumpin kaum muslimin yang beriman dan bertakwa tidak
boleh membiarkan para penumpang kapal berlebihan dalam
mengumbar kesenangan nafsu; pesta pora menyantap makanan
lezat, menenggak khamr sampai mabuk, menari-nari, menyanyi-
nyanyi, menikmati kesyahwatan tanpa kendali hingga melanggar
aturan yang ditetapkan Sang Maharajadiraja semesta.
Demikianlah hukum kauniyah yang menetapkan syarat-syarat agar
kapal yang ditumpangi suatu kaum tidak merampas dan dikuasai
musuh,” papar Abdul Jalil.
“Tidak ada sesuatu yang tidak mungkin di dunia ini,” sahut Abdul
Jalil dingin, “Tetapi, semua kemungkinan itu tergantung pada
ketakwaan orang-orang di suatu negeri.”
1932
“Maksud Tuan Syaikh?”
1934
Al-Maratib al-Wujud
1935
Agak jauh dari bukit Malaka terdapat bukit kecil lain yang disebut
orang dengan nama Bukit Cina. Bukit Cina adalah kediaman Puteri
Hang Li Po, anak kaisar Yung Lo, yang dipersunting Sultan
Mansyur Syah, kakek Sultan Mahmud Syah. Para pangeran
keturunan Sultan Mansyur Syah dan Puteri Hang Li Po hanya
sedikit yang terlibat di pemerintahan. Mereka umumnya menjadi
saudagar. Mereka masih tinggal di Bukit Cina, meski jaraknya
cukup jauh dari pusat perniagaan di kutaraja. Dengan tetap tinggal
di Bukit Cina, mereka seolah-olah ingin menunjukkan kepada
semua orang bahwa mereka adalah bagian dari keluarga besar
Sultan Malaka.
1936
Beberapa ruas jalan yang agak lebar menebarkan debu jika
dilewati.
1938
Ketika takhta Malaka diduduki Muzaffar Syah inilah tampil seorang
negarawan ulung bernama Tun Perak yang menduduki jabatan
Bendahara Paduka Raja (Perdana Menteri). Dengan kecerdasan
dan kepiawaiannya menata pemerintahan, Malaka diarahkan
menjadi kekuatan maritim yang heba. Berbagai negeri sekitar
Malaka seperti Perak, Pahang, Johor, Kelantan, Rokan, Aru, Siak,
Kampar, Indragiri, Riau, dan Lingga ditaklukkan. Malaka
melengkapi kekuatan armadanya dengan senjata-senjata bikinan
Jawa. Lantaran armada Malaka sudah sedemikian rupa kuat maka
sewaktu pasukan dari Siam menyerbu, terjadi pertempuran sengit
di dekat Muar yang berakibat hancur binasanya pasukan Siam.
1940
Tindakan Tun Mutahir yang sewenang-wenang itu ternyata
menimbulkan reaksi. Tanpa ada yang menggalang, diam-diam
bermunculan pihak-pihak di lingkungan kerajaan yang melakukan
perlawanan terhadapnya. Pejabat-pejabat tinggi dan rendahan,
meski tak banyak jumlahnya, diam-diam menggalang kekuatan
untuk mendukung kekuasaan sultan. Gerakan itu ternyata
disambut baik oleh sultan yang merasa tak berdaya.
1941
Di tengah suasana pengap, tengik, busuk, dan menyesakkan hati
nurani itulah Abdul Jalil menginjakkan kakinya untuk kali kedua di
Malaka. Sebagai manusia yang hidup diterangi hati nurani, setelah
hampir tiga dasawarsa meninggalkan Malaka, ia tiba-tiba
merasakan dirinya seolah-olah orang asing yang belum pernah ke
Malaka. Entah apa yang telah berubah dari bandar itu, ia tidak
tahu. Ia hanya merasa tak mengenal lagi kota itu. Sejak turun dari
kapal menuju pusat kota dengan diikuti istri, anak, dan Raden
Sahid, ia menoleh ke kanan dan ke kiri seolah-olah asing dengan
bangunan-bangunan dan orang-orang yang tak dikenalnya. Ia
tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi dengan bandar Malaka,
bandar niaga ini benar-benar telah berubah dan nyaris tak dikenal
lagi, katanya dalam hati.
1949
cahaya di dada itu tidak sama pula, bahkan sangat banyak di
antaranya yang terlihat sangat redup.
Abdul Jalil tertawa. Setelah itu, dengan suara lain ia berkata dalam
bahasa perlambang, “Benarlah apa yang engkau ungkapkan itu, o
1952
Anakku. Sebab, sejatinya di balik kehadiran (hadrah) segala
sesuatu yang maujud di alam semesta ini tidak ada yang terlepas
atau terpisah sama sekali dari Kehadiran Zat Wajib al-Wujud, yaitu
Zat Yang Serba Meliputi segala sesuatu yang diperbuat makhluk
(QS. al-Anfal: 47; Hud: 92; al-Isra’: 60). Segala ciptaan-Nya berasal
dari-Nya dan senantiasa berada di dalam liputan kekuasaan-Nya.
Dia Yang Mahaawal, Mahaakhir, Mahazahir, Mahabatin, dan Maha
Mengetahui tiap-tiap sesuatu (QS. al-Hadid: 3). Karena Dia
meliputi segala sesuatu maka ke mana pun engkau
menghadapkan wajah, di situ terpampang wajah-Nya (QS. al-
Baqarah: 115). Dan segala sesuatu yang maujud pasti rusak
binasa bentuknya kecuali wajah-Nya (QS. al-Qashash: 88).”
1954
“Sungguh, engkau telah menangkap perlambang hakiki, betapa di
balik luas dan sempitnya tepian sungai kehidupan duniawi
sejatinya tersembunyi Kehadiran Asma’, Af’al, dan Shifat Yang
Maha Menyempitkan (al-Qabith), Yang Maha Meluaskan (al-
Bhasit), Yang Maha Menjaga (al-Muhaimin). Engkau telah
menangkap perlambang hakiki betapa di balik arus sungai yang
deras maupun yang lembut itu sejatinya tersembunyi Kehadiran
Asma’, Af’al, dan Shifat Yang Mahalembut (al-Latif), Yang Maha
Memaksa (al-Qahhar), Yang Maha Memberi Bahaya (adh-Dharr).
Engkau telah menangkap perlambang hakiki betapa di balik
lekukan dan liku-liku sungai kehidupan duniawi sejatinya
tersembunyi Kehadiran Asma’, Af’al, dan Shifat Yang Mahalurus
(al-Hadi), Yang Maha Membelokkan (al-Mudhill), Yang Maha
Menentukan (al-Muqtadir). Engkau telah menangkap perlambang
hakiki betapa di balik muara sungai kehidupan sejatinya
tersembunyi Kehadiran Asma’, Af’al, dan Shifat Yang Maha
Menghimpun (al-Jami’), Yang Maha Membuka (al-Fattah), Yang
Maha Memajukan (al-Muqaddim).”
1956
“Janganlah engkau menyimpulkan sesuatu yang engkau saksikan
melalui mata batin dengan akal pikiranmu. Sebab, hal itu akan
menjerat hakikat Kebenaran yang tersembunyi di balik rahasia-
Nya. Engkau akan terpeleset oleh nalar untuk menafikan azh-
Zhahir dan mengisybatkan al-Bathin. Lantaran itu, cukup arif jika
engkau menilai apa yang engkau saksikan sebagai tingkatan-
tingkatan kehadiran Yang Wujud itu dengan istilah sederhana
tetapi rumit: awang-awang, yaitu ungkapan yang mewakili makna
Kehampaan sekaligus Kepenuhan. Janganlah kata-kata itu ditafsir-
tafsir lagi dengan nalar sehingga Keduanya menjadi terpisah
sendiri-sendiri sebagai Kehampaan dan Kepenuhan yang saling
Berdiri sendiri satu sama lain, atau Kedua-nya bisa saling menyatu
Satu sama lain. Apa yang telah engkau saksikan tidak boleh
ditafsir-tafsir.”
1960
“Sesungguhnya, apa yang mereka ucapkan dalam celoteh dan
omelan itu pada hakikatnya adalah ungkapan kehadiran ilham
kefasikan yang memancar dari kuasa nirwujud (ablasa) yang
tersembunyi di dalam nafs manusia, yaitu di relung-relung mahligai
kantha-mula atau dar al-khanjarah. Celoteh dan omelan itu
bukanlah bahasa ruh suci yang mahalanggeng melainkan
ungkapan kehadiran ilham kefasikan yang akan menghijab
manusia dari Kebenaran. Itu sebabnya, mereka yang terperangkap
pada jalan kefasikan yang ditebari jaring-jaring al-wahm dan al-
idhlal yang kosong tak bermakna itu, akan terbelenggu dalam
kerangkeng hijab dirinya dan jauh (bu’d) dari Kebenaran Sejati.
Mereka adalah manusia menyedihkan karena kesadaran jiwanya
sudah dikuasai imajinasi nirwujud yang tidak memiliki kiblat yang
Benar ke arah Tauhid.”
1961
melainkan sekadar pengejawantahan khayalan-khayalan nirwujud
yang menyesatkan,” papar Abdul Jalil.
1965
mengenakan jubah keislaman atau jubah agama lain yang
kelihatan santun dan baik,” kata Abdul Jalil.
1967
Tengara Murka Tuhan
1971
“Bukankah engkau sudah menyaksikan tujuh cahaya pada tubuh
manusia?” bisik Abdul Jalil. “Yang engkau saksikan itu adalah
orang-orang yang hidupnya digerakkan oleh cahaya yang
memanjang di ujung tulang ekornya. Itulah tanda manusia yang
hidupnya terbimbing nafsu rendah hewani.”
1972
bedil ketika mereka dengan teriakan keras melompat ke arah
orang-orangan jerami sambil mengayunkan pedang.
1973
Abdul Jalil diam. Dalam diam ia menangkap sasmita betapa
rapuhnya usaha Sultan Malaka dalam memperkuat pertahanan
diri. Jika sultan merasa kuat dengan dukungan pasukan sewaan
yang besar jumlahnya maka sejatinya sultan seperti sedang
membangun benteng dari jaring laba-laba yang rapuh dan mudah
hancur. Sebab, seberapa kuatkah kesetiaan prajurit sewaan?
Bukankah mereka setiap waktu bisa mengalihkan pengabdian
kepada tuan yang membayar sewa lebih mahal?
1976
“Aku malah menyaksikan, bagaimana tidak lama setelah mayat
manusia lintah itu dikubur, ketiga orang anaknya merancang
kebohongan dengan membuat surat warisan palsu yang terkait
dengan pembagian harta peninggalan ayahanda mereka. Mereka
tanpa malu sedikit pun saling bertengkar, merebut warisan. Mereka
mengeluarkan banyak uang untuk menyuap hakim dan saksi
palsu. Mereka menyuap pejabat-pejabat korup agar berkenan
membela mereka masing-masing. Walhasil, tidak sampai tiga
bulan seluruh kekayaan yang sudah dikumpulkan dengan penuh
kecurangan oleh Syaikh Abul Mahjuubin selama bertahun-tahun itu
lenyap seperti tersapu angin prahara. Demikianlah, pada bulan
keempat setelah kematian Syaikh Abul Mahjuubin, orang melihat
Abul Maisir dan Abul Khamrun hidup menggelandang di pasar-
pasar sebagai orang setengah waras. Sedang Abul Kadzib, anak
bungsunya, diketahui orang keluar masuk gedung pengadilan dan
dijatuhi hukuman dera berulang-ulang akibat tidak bisa
meninggalkan kebiasaannya menipu.”
1978
Kabar serbuan Laksamana Kunjali Marakkar ke Cochazhi yang
membuat Portugis dan sekutunya tunggang-langgang, ternyata
dengan cepat menyebar ke bandar-bandar perniagaan di selatan,
termasuk Malaka. Hal itu diketahui Abdul Jalil ketika ia berbincang-
bincang dengan Syaikh Dara Putih, adik lain ibu Syaikh Jumad al-
Kubra, dan Datuk Musa, saudara sepupunya, di rumahnya yang
terletak di kampung Pulau Upih. Anehnya, orang-orang Malaka
kelihatan tidak sedikit pun menganggap serius kabar pertempuran
Laksamana Kunjali Marakkar dengan Portugis itu. Mereka seolah-
olah menganggap peristiwa itu sebagai sesuatu yang biasa,
sebagaimana layaknya peristiwa perselisihan antarsaudagar atau
antarpenguasa bandar. Mereka justru jauh lebih menganggap
serius perselisihan antara pengikut Sunni dan Syi’ah.
1981
“Bagaimana engkau, o Saudaraku, bisa menilai kalau Malaka
bakal dilecut cambuk Tuhan seperti Kozhikode dan Cochazhi?”
tanya Datuk Masa seperti belum memahami sepenuhnya makna di
balik ucapan Abdul Jalil.
“Apakah hanya karena riba yang merajalela di negeri ini sudah bisa
menjadi penyebab penduduknya dilecut oleh cambuk Tuhan?
Tidakkah penduduk Malaka yang lain masih cukup banyak yang
baik? Tidakkah saudaraku melihat orang-orang yang menjalankan
shalat jama’ah di masjid-masjid?” tanya Datuk Musa.
1984
“Aku katakan: celaka! Seribu kali celaka manusia yang telah
merendahkan dan menista makna hakiki Kebenaran pancaran al-
Haqq, Kelurusan pancaran al-Hadi, Penghukuman pancaran al-
Hakam, Keadilan pancaran al-‘Adl, dan Kebijaksanaan pancaran
al-Hakim untuk menjadi sekadar uang recehan (al-fakkah al-
nuqud). Sebab, mereka dengan kesadaran kaum penyekutu Tuhan
yang jahil telah mengkhianati dan menista Asma’, Af’al, dan Shifat
Ilahi. Mereka dengan kejahilannya telah membuka (fakka)
kecaman (naqada) atas diri sendiri dan keluarganya, yaitu
kejahilan yang bakal mengangakan paruh burung (manaqid)
neraka di mana mereka akan dijadikan santapan utamanya.
Akankah Allah sebagai Rabb dari Semua Rabb (Rabb al-Arbab)
membiarkan para pengkhianat yang menista Asma’, Af’al, dan
Shifat-Nya itu bergembira ria menikmati hasil pengkhianatannya?”
1985
rendahan di kerajaan ini telah memanfaatkan kekuasaan yang
mereka miliki untuk memenuhi kehendak nafsunya.”
1991
pamrih pribadi. Maklum, tidak semua orang di negeri ini memiliki
kearifan seperti Tuan Syaikh.”
1993
“Jika engkau bertanya tentang kemungkinan negeri Jawa akan
dihajar cambuk Tuhan, maka aku katakan bahwa hal itu tidak akan
terjadi selama pemimpin-pemimpin di sana menjalankan tugas
dengan baik. Ketahuilah, o Saudaraku, di Jawa sudah terbentuk
suatu tatanan pemerintahan yang berasaskan Tauhid. Di Jawa
sekarang ini selain terdapat sultan sebagai pemimpin persekutuan
raja-raja, juga terdapat sebuah Majelis Guru Suci (syura al-
masyayikh) yang beranggotakan para pemimpin ruhani yang
disebut Wali Songo. Majelis itu anggotanya terdiri atas para guru
suci tarekat-tarekat. Mereka memiliki peran dan tugas utama
mengatur kehidupan penduduk dalam hal Tauhid. Majelis itu
mempersatukan dan sekaligus menjadi naungan ruhani bagi
kadipaten-kadipaten di Nusa Jawa. Majelis berkewajiban
menegakkan akidah dan akhlak bagi seluruh penduduk negeri.
Mereka memiliki tugas utama menyusun rancangan dakwa untuk
mentauhidkan penduduk dan menyerahkan rancangan tersebut
kepada sultan untuk dilaksanakan. Majelis memiliki kewenangan
untuk melantik sultan yang merupakan pemimpin tertinggi dari
persekutuan raja-raja di Nusa Jawa. Majelis berhak mengontrol
tindakan sultan dan raja-raja di Jawa yang berkaitan dengan
pelaksanaan agama. Majelis juga berhak menolak pelantikan
sultan yang dinilai kurang mampu atau kurang sesuai menurut
ketentuan agama.”
1995
“Aku paham,” kata Datuk Musa. “Aku berencana akan membuka
pemukiman baru di dekat Sepang, kampung halaman istriku.
Tetapi daerah itu terkenal sangat angker. Aku tidak memiliki
pengetahuan sedikit pun untuk membuka daerah-daerah gawat
semacam itu.”
1997
Kue Appam dan Orang-Orang Takut
“Tidak Tuan Syaikh. Yang tinggal di sini hanya empat ratus orang.
Saudara kami yang lain ada yang tinggal di Pasai, Malaka, Demak,
Tuban, dan Gresik,” kata Ali Ladka Musliyar.
2001
“Kira-kira tiga pekan lalu. Aku dengar kabar itu saat berada di
Malaka.”
2003
“Apakah Tuan Syaikh belum mengetahui kabar itu?”
Enceng terdiam. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Tapi, setelah
menoleh ke arah kawan-kawannya, dengan terbata-bata dia
berkata, “Kami belum dianggap dewasa, Tuan Syaikh. Bapak dan
kakak-kakak kami sudah berangkat ke medan perang dipimpin Ki
Dipati Suranenggala. Ibu kami menyuruh kami mengikuti Kenduri
Neja agar arwah leluhur kami dan arwah pelindung desa kami
berkenan melindungi bapak dan kakak-kakak kami.”
“Kami tidak tahu, Tuan Syaikh. Kami hanya mengikuti perintah ibu
kami. Ibu kami pun mengikuti suruhan guru mengaji kami, Tuan
Guru Kasim Kharab Andhkar,” kata Enceng polos.
2004
“Apakah ibumu tidak pernah memberi tahumu tentang guna dan
manfaat dari kue appam dalam upacara Kenduri Neja itu?” tanya
Abdul Jalil.
“Kami tidak tahu, Tuan Syaikh. Kami hanya mengikuti apa yang
diajarkan ibu kami. Menurutnya, arwah orang mati memang suka
sekali mengisap saripati kue appam.”
“Selain arwah orang mati suka saripati kue appam, apa lagi yang
dikatakan ibumu?”
2005
“Itu benar, Tuan Syaikh.”
“Menurut ibu, kue appam bisa digunakan untuk melindungi diri dari
hal-hal mengerikan baik di alam kubur maupun di alam akhirat.”
“Apa itu?”
2010
Abdul Jalil menarik napas panjang melihat suasana yang
melingkupi pesantren tempat ia pernah di tempa itu. Suasana asri
dan damai yang mencitrai pesantren, saat-saat senja hari seperti
sekarang ini selalu diwarnai alunan suara anak-anak mengaji atau
menghafal pelajaran dengan nyanyian, tiba-tiba telah berubah
mencekam. Benderang nyala pelita yang menghiasi tiap-tiap
bangunan di lingkungan pesantren tidak lagi terlihat. Semua pelita
dipadamkan. Sejauh mata memandang, hanya keremangan
senjakala menyelimuti pohon-pohon jati dengan kelebatan
bayangan santri-santri kecil di sekitar gerbang. Sejauh telinga
mendengar, hanya nyanyian serangga dan cacing tanah yang
terdengar bersahutan di tengah gemerisik daun-daun jati kering
yang diserakkan angin ke berbagai arah.
2012
Ketika Abdul Jalil akan memberikan wejangan kepada santri-santri
kecil yang dicekam ketakutan itu, tanpa sengaja ia melihat ke
bagian bawah bukit. Ia tercekat ketika melihat puluhan nyala obor
bergerak di antara bebatuan yang bertonjolan menuju pondok. Ia
mengerutkan kening. Ia tidak tahu siapa orang-orang yang naik ke
pondok dengan membawa obor itu. Ia menajamkan penglihatan
dan pendengaran ketika obor-obor itu semakin dekat dan
mendengar suara puluhan kaki menginjak ranting dan daun-daun
jati kering. Lalu, terdengar celoteh gaduh dari orang-orang yang
membawa obor itu. Ia merasa lega ketika mendengar namanya
disebut-sebut di tengah celotehan gaduh itu. Rupanya, malam itu
kabar kedatangannya ke Giri Amparan Jati telah disebarkan oleh
orang-orang Kalisapu ke desa-desa di sekitar Gunung Jati.
Akibatnya, penduduk sekitar Gunung Jati yang sedang dicekam
ketakukan berbondong-bondong pergi ke pondok pesantren untuk
menemuinya.
2016
“Wahai Engkau, Rabb al-Arbab, Zat Yang Maha Memelihara!
Engkaulah Gembala bagi hama-Mu di padang gembalaan duniawi
yang dihuni hewan-hewan pemangsa ganas. Bimbing dan
gembalakan kami, hamba-Mu, di padang gembalaan-Mu yang
subur dan penuh limpahan keselamatan. Lindungi kami, hamba-
Mu, dari intaian para pemangsa yang haus darah. Jauhkan kami,
hamba-Mu, dari orang-orang fasik. Jauhkan kami, hamba-Mu, dari
orang-orang tamak, loba, serakah, lalim, kejam, penindas, yang
mulutnya penuh fitnah dan sumpah serapah. Gembalakan kami,
hewan peliharaan-Mu, ke padang gembalaan yang aman dan
penuh dilimpahi kedamaian. Jangan biarkan kami jatuh ke jurang
kefasikan. Jangan biarkan kami memasuki gua singa. Peliharalah
kami dari segala kejahatan makhluk ciptaan-Mu. Lindungilah kami
dari panah-panah musuh yang dibidikkan dari tempat gelap.
Engkau adalah Pelindung kami. Engkau adalah Perisai kami.”
2018
Dicekam Bayang Bayang Musuh
2020
“Mohon maaf, apakah Kangjeng Syaikh belum tahu jika Yang Mulia
Syarif Hidayatullah sudah menjadi menantu Paduka Khalifah?”
“Benar, Paman.”
“Masalah itu tidak perlu dibuat rumit. Kami pasti tidak akan
mengingkari darah daging kami, Paman.”
2031
“Menurut perkiraanku, kabar kepergian Paduka Khalifah ke
‘Gunung Panawarjati’ itulah yang dijadikan alasan utama oleh
Yang Dipertuan Galuh Pakuwan untuk menyerang Caruban secara
mendadak. Aku mengira, Prabu Surawisesa memaknai ‘Gunung
Panawarjati’ sebagai obat atau jampi-jampi sehingga menduga
Yang Dipertuan Caruban sesungguhnya sedang sakit. Prabu
Surawisesa tentunya sudah tahu bahwa kekuatan utama Caruban
terletak di genggaman tangan saudaranya, yaitu Paduka Khalifah
Sri Mangana. Nah, dengan kepergian Paduka Khalifah selama dua
bulan lebih, maka Prabu Surawisesa menyimpulkan kalau
kekuatan Caruban sedang lemah dengan kemungkinan sakitnya
Sri Mangana tidak terobati,” kata Abdul Jalil menyimpulkan.
2032
Abdul Jalil tertawa dan menggelengkan kepala sambil berkata,
“Aku sangat yakin, fitnah keji itu pasti keluar dari kegelapan relung-
relung jiwa Rsi Bungsu. Mahasuci Allah, Zat Yang Mencipta
makhluk sekelam Rsi Bungsu.”
2034
lebih. Kenyataan itu membuat hatinya semakin diliputi
kegundahan.
“Aku tidak tahu pasti ke mana dia pergi. Sebelum berpisah dia
mengatakan akan berkunjung ke Cochizha. Katanya, dia mau
mengingatkan beberapa keluarga Bani Israil dan pemukim Cina di
Cochizha. Keluarga-keluarga Bani Israil itu dikenal penduduk
2035
setempat sebagai lintah darat besar. Sementara pemukim Cina di
Cochizha dikenal sebagai pedagang yang curang, kikir, kelewat
takabur, dan hanya berpikir tentang keuntungan saja sampai-
sampai mereka itu membahayakan saudaranya sesama muslim di
negeri Cina. Menurut kakekmu, dia akan mengingatkan keluarga-
keluarga Bani Israil itu agar tidak beternak ular riba karena hal itu
akan mendatangkan murka Tuhan. Pemukim-pemukim Cina
Cochizha juga akan diingatkan agar menyadari bahwa tindakan
mereka tidak saja akan membuat murka kaisar Cina tapi juga akan
mendatangkan murka Tuhan,” kata Abdul Jalil.
“Aku tidak tahu pasti. Tetapi, kira-kira tiga pekan lalu, saat aku di
Malaka, aku mendapat kabar jika kota Cochizha baru saja diserbu
pasukan Kozhikode yang dipimpin Laksamana Kunjali Marakkar.
Kota Cochizha dijarah. Persekutuan dagang antara raja Cochizha
dan orang-orang Portugis, sekutunya, lari tunggang-langgang
meninggalkan kota dan bersembunyi di pulau Vypin. Menurut
dugaanku, dalam serbuan itu rumah keluarga Bani Israil dan
pemukim Cina di kota Cochizha tentunya ikut dijarah kalau tidak
malahan ada di antara mereka itu yang tewas terbunuh,” kata
Abdul Jalil.
2036
bertanya, “Apakah kakek kami tidak meninggalkan sesuatu pesan
untuk kami?”
2037
“Aku kira pesan kakekmu tidak tegas-tegas menunjuk pada
keberadaan suatu bangsa. Yang aku tangkap dari pesan kakekmu,
justru dia ingin memberi tahu engkau bahwa zaman kemunculan
manusia-manusia ‘berekor’ pecinta tubuh dan pendamba
kehidupan dunia, yang digambarkan dengan perlambang kawanan
serigala dan musang, sudah sangat dekat waktunya.”
2038
Taj dan Khirqah Sufi
2040
“Kami memahami perilaku orang-orang yang terhijab dari
Kebenaran memang seperti itu. Tetapi dari uraian Paman tadi,
pangkal keterperangkapan mereka ke dalam khayalan nirwujud
(al-mumtani’) itu berawal dari jiwa anak-anak yang memerangkap
mereka. Apakah sesungguhnya yang Paman maksud dengan jiwa
anak-anak itu? Kenapa mereka bisa terjerat oleh jiwa itu?” tanya
Syarif Hidayatullah minta penegasan.
2042
dilarang melacur, dilarang membungakan uang, dilarang ini dan
itu, yang semua larangan itu sebenarnya nikmat dan lezat.”
2044
“Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, o Anakku,” kata Abdul
Jalil menegaskan, “Tetapi ada satu hal yang patut engkau jadikan
pedoman dalam memaknai kabar langit yang disampaikan Syaikh
Ibrahim al-Uryan, yang sasmita gaibnya telah aku tangkap dengan
makna yang lebih tegas.”
2045
“Waspadalah terhadap mereka. Sebab, sebagai pengumpul
benda-benda duniawi, pemuja bumi, pengumbar nafsu rendah
badani, pendamba kelezatan duniawi, penyembah Prthiwi, mereka
adalah manusia-manusia berekor pemuja bumi sejati. Maknanya,
sebagai pemuja bumi sejati, manusia-manusia berekor itu akan
menampik semua ajaran agama yang bersifat ukhrawi karena tidak
berkaitan dengan bumi. Bagi mereka, kebenaran hanyalah sesuatu
yang terkait dengan bumi. Sehingga, segala sesuatu yang tidak
berkaitan dengan bumi apalagi tidak bisa dinikmati di bumi ini akan
mereka tampik sebagai kebohongan besar. Namun demikian,
hendaknya engkau selalu waspada karena manusia-manusia
berekor itu dalam usahanya merampok, menjarah, merampas, dan
menguasai negeri-negeri dan bangsa-bangsa di bumi hampir
selalu mengibarkan bendera agama-agama untuk mengecoh
manusia yang kurang waspada.”
2056
Bermula dari Kemenangan Tak
Terduga
2057
Di tengah suasana mencekam, di antara hamparan tanah lumpur
yang teraduk-aduk, di sela-sela tubuh-tubuh manusia tak
bernyawa dan bangkai-bangkai yang berserakan, Abdul Jalil dan
Raden Mahdum Ibrahim berdiri termangu-mangu sambil sesekali
memuji kebesaran Ilahi karena mereka menangkap ‘bekas jejak’
Sang Maut melingkupi tempat itu. Tapi belum lama mereka
meresapi ‘bekas jejak’ Sang Maut yang mengerikan itu, tiba-tiba
dari arah puncak gunung terlihat iring-iringan orang menuruni
jalanan berlumpur yang terjal. Iring-iringan itu tidak lain dan tidak
bukan adalah prajurit dan pejuang Caruban yang terluka. Jumlah
mereka sekitar tiga puluh orang. Sebagian di antara mereka adalah
penduduk Kalisapu, Jatimerta, Babadan, dan Muara. Di antara
mereka terlihat Syaikh Duyuskhani, Abdul Karim Wang Tao, dan Ki
Anggasura yang terluka agak parah.
Ketika para prajurit dan pejuang Caruban itu melihat Abdul Jalil,
mereka tampak terkejut dan terperangah kebingungan. Mereka
saling pandang. Lalu, seperti tidak peduli dengan luka yang diderita
dan rasa sakit yang dirasakan, mereka berhamburan menghapiri
Abdul Jalil sambil berteriak-teriak kegirangan seperti anak kecil.
Mereka berebut menyalami dan mencium tangannya. Sebagian
lagi merangkul kaki Abdul Jalil dengan isak tangis dan yang lain
menarik-narik jubahnya atau mengusap kakinya. Abdul Jalil yang
heran melihat tindakan mereka, dengan suara ditekan tinggi
bertanya, “Ada apa ini? Apa sesungguhnya yang telah terjadi
sampai kalian bertindak berlebihan seperti ini?”
2058
Para prajurit dan pejuang Caruban yang mengerumuni Abdul Jalil
diam. Satu pun tidak ada yang menjawab pertanyaannya.
Sebaliknya, mereka malah bersujud beramai-ramai dan menangis
terisak. Abdul Jalil yang terheran-heran melangkah ke depan
mendekati Syaikh Duyuskhani sambil bertanya, “Apakah
sesungguhnya yang telah terjadi, Tuan Syaikh? Kenapa mereka
berlebihan seperti itu menyambut aku? Bukankah yang
seharusnya dielu-elukan sebagai pahlawan adalah mereka?”
“Peristiwa ajaib apakah itu, o Tuan Syaikh?” tanya Abdul Jalil ingin
tahu.
2062
Ketika sangkakala dibunyikan pertanda pertarungan usai, terjadi
kericuhan kecil saat sebagian prajurit Caruban terlibat tantang-
menantang dengan prajurit Galuh Pakuwan. Lalu terjadi
perkelahian kecil yang merembet menjadi besar, terutama ketika
Sanghyang Gempol memerintahkan pasukan Galuh Pakuwan
untuk menyerang perkemahan pasukan Caruban di puncak
gunung Gundul. Beribu-ribu prajurit Galuh Pakuwan yang
membawa obor mengepung puncak. Perlahan-lahan tetapi pasti,
lautan obor yang memenuhi delapan penjuru lereng itu terus
bergerak mengerucut ke atas laksana lautan api sabut yang belum
terbakar.
2063
Ketika semua orang Caruban terheran-heran menyaksikan musuh
yang saling berperang sendiri itu, terjadi peristiwa ajaib yang tak
kalah mengherankan. Tiba-tiba, terdengar seruan sambung-
menyambung di tengah kegelapan yang menyatakan bahwa Sri
Mangana telah muncul beserta bala bantuan dan menyerbu
gunung Gundul dari lembah utara. Orang-orang Caruban yang
memalingkan pandangan ke lembah utara melihat beribu-ribu titik
api memenuhi lembah dan bergerak cepat ke selatan. Semangat
pihak Caruban yang sudah surut mendadak berkobar kembali.
Takbir dikumandangkan sahut-menyahut.
2064
“Bukankah semua itu Af’al Allah dan tidak terkait dengan
keterlibatan makhluk-Nya?”
2065
Abdul Jalil menatap puncak gunung Gundul dan kemudian
berusaha mengalihkan pembicaraan dengan bertanya,
“Berapakah jumlah pasukan Caruban yang semalam terkepung di
puncak, Tuan Syaikh?”
2070
Prabu Surawisesa terperangah kaget mendengar kabar serangan
bertubi-tubi itu. Ia tidak pernah menduga jika penguasa Pasir Luhur
dan penguasa Caruban bakal berkomplot untuk menyerang
kratonnya dalam waktu bersamaan. Padahal, seluruh kekuatan
Galuh Pakuwan saat itu sedang dipusatkan di Caruban. Itu
sebabnya, dengan terburu-buru ia mengumpulkan para menteri
dan penasihat untuk membicarakan masalah pelik itu. “Apa yang
bisa kita lakukan sekarang ini? Seluruh pasukan kita berada di
Caruban dan kabarnya sudah dikalahkan. Apa yang harus kita
lakukan?” tanya Prabu Surawisesa kebingungan.
2072
Bermula dari kemenangan beruntun pasukan Caruban, yang
ditandai dengan awal kemenangan tak terduga di puncak gunung
Gundul, terjadilah sesuatu yang membingungkan dan sekaligus
merisaukan Abdul Jalil. Di tengah semarak kabar kemenangan tak
terduga pasuka Caruban di gunung Gundul, tersebar di bawah
permukaan tentang kabar burung yang menyatakan bahwa
kemenangan ajaib itu adalah berkat kekeramatan Syaikh Lemah
Abang. Lalu, seperti hempasan air bah tak terbendung, kabar
burung itu dengan deras melanda seluruh negeri. Tanpa ada yang
menduga sebelumnya, tiba-tiba kediaman Abdul Jalil di Lemah
Abang diserbu beratus-ratus bahkan beribu-ribu orang dari
berbagai tempat yang memiliki tujuan utama: mencari berkah
keselamatan dan bermacam-macam keperluan lain.
2075
“Kenapa Syaikh Lemah Abang dinamai Sang Pajuningrat? Sebab,
dengan baji ia diharapkan dapat membelah kerasnya hati manusia
yang melebihi keras biji kemiri. Dengan baji, ia diharapkan dapat
menumbangkan pohon-pohon kemusyrikan di dalam jiwa manusia.
Dengan baji, ia diharapkan menghancurkan berhala-berhala
sesembahan baik dari kayu pahatan, batu pahatan, maupun
manusia pahatan. Dengan baji, ia diharapkan dapat memisahkan
benalu kemusyrikan dari pohon Tauhid. Dan apa yang diharapkan
dengan nama Pajuningrat itu telah aku genapi. Telah kubersihkan
dan kusucikan Pohon Tauhid dari benalu kemusyrikan dan
pemberhalaan.”
2078
Sadar sesuatu sedang terjadi pada dirinya, sepekan setelah
kediamannya yang terletak di samping masjid Lemah Abang itu
diserbu ribuan orang yang meminta berkah keselamatan, Abdul
Jalil diam-diam mengajak istri dan anaknya pergi ke kuta Caruban
untuk menghadap Sri Mangana dan Nyi Indang Geulis di
Pekalifahan. Di hadapan ayahanda dan ibunda asuh yang sangat
dihormati dan dimuliakannya itu, ia menyembah dan berpamitan
akan pergi meninggalkan Caruban dalam waktu yang tak terbatas.
Sri Mangana dan permaisuri terkejut mendengar permintaan pamit
Abdul Jalil yang tak terduga-duga itu.
2082
Sri Mangana diam. Ia memejamkan mata dan menarik napas berat
berulang-ulang. Nyi Indang Geulis yang sejak tadi diam, dengan
mata berkaca-kaca bertanya, “Akan pergi ke manakah engkau, o
Puteraku?”
2084
Berbagi Keberlebih-Kelimpahan
Ketika suatu pagi Abdul Jalil berjalan ke sungai kecil berair jernih
untuk mengambil air dengan tabung bambu, tiba-tiba ia tersentak
kaget ketika melihat bayangannya terpantul di permukaan air. Ia
merasakan sekujur tubuhnya gemetar dan dadanya berdegup
keras. Ia menajamkan pandangan. Jelas sudah, bayangan itu
bukan bayangan dirinya: wajah sangar, kulit gelap, tubuh bongkok,
tangan sangat panjang sampai melebihi lutut, mata terbelalak
lebar, hidung besar, dan mulut jelek dengan gigi tak beraturan.
2087
Lalu, bayangan itu secara menakjubkan bangkit dari dalam air
tanpa basah tubuhnya. Tanpa mengucap salam atau
memperkenalkan diri, bayangan manusia buruk rupa itu
sekonyong-konyong bertanya, “Siapakah engkau, o manusia jelek
pengambil air?”
“Bukankah Abdul Jalil, guru manusia itu, adalah aku?” tukas Abdul
Jalil terheran-heran.
Sosok tambun mirip Abdul Jalil itu dengan gerakan lamban dan
sangat susah payah, berkata terbata-bata dengan suara serak
seperti kambing mengembik, “Maafkan aku, o Saudara. Bukan
maksudku tidur-tiduran di jalan untuk menikmati hangatnya
matahari sebagaimana anjing berjemur kehangatan matahari.
Bukan pula maksudku menghalang-halangi orang-orang yang
berjalan. Sebaliknya, ini yang harus engkau ketahuhi, aku adalah
manusia malang yang tidak kuat lagi menanggung beban
keberlebih-kelimpahan yang menghimpitku laksana bongkahan
batu gunung. Kakiku tidak cukup kuat menahan beban keberlebih-
kelimpahan yang memberati tubuhku. Itu sebabnya, aku
tersungkur tak berdaya karena napas dan tenagaku hampir habis
menahan beban keberlebih-kelimpahan yang terus bertambah
menindihku dari waktu ke waktu. Aku sudah tidak kuat menahan.
2091
Aku merasakan diriku seperti jembatan bambu rapuh yang tidak
kuat lagi menahan arus sungai yang meluap ganas akibat banjir di
hulu. Aku hanya bisa menunggu datangnya orang-orang yang
dengan suka rela menolongku; membagi keberlebih-kelimpahanku
kepada mereka yang membutuhkan. Aku hanya bisa menunggu.
Menunggu. Seribu kali menunggu. Dan engkau barusan tadi malah
menabrakku. Apakah dengan suka rela mau menolongku? Apakah
engkau bersedia membagi-bagi keberlebih-kelimpahanku kepada
mereka yang membutuhkan?”
“Ketika kucing hutan itu pergi ke hutannya dan aku mengisi tabung
bambu dengan air, tiba-tiba muncul seekor sapi betina yang
berjalan terseok-seok dan menangis kesakitan. Dia mengeluh
kepadaku telah berbilang pekan ini sekujur tubuhnya meriang
kesakitan. Pasalnya, air susunya tidak ada yang mengisap dan
tidak pula ada yang memerah. Dia meratap dan memohon
kepadaku untuk menolongnya: memeras air susunya dan
membagi-bagikan air susu itu kepada siapa pun di antara bayi yang
membutuhkan susu. Aku tidak kuasa menolak keinginan makhluk
mulia yang menderita sakit karena tidak bisa mendermakan
keberlebih-kelimpahannya kepada sesama. Lalu aku menemuimu,
meminta pendapatmu apakah engkau berkenan membantuku
memerah susu sapi yang kesakitan itu, dengan imbalan engkau
akan beroleh manfaat dari susunya. Itulah sebabnya, o Istriku, aku
kembali tanpa membawa air setetes pun,” kata Abdul Jalil.
2093
Shafa tertawa. Lalu dengan manja ia bertanya, “Adakah sesuatu
pesan di balik ceritamu itu, o Suamiku?”
2097
Syaikh Jabarantas
Abdul Jalil tidak peduli dengan sebutan itu. Ia malah suka dengan
nama baru itu karena dapat menghapus kemasyhuran nama
Syaikh Lemah Abang yang sudah diberhalakan manusia.
Anehnya, dengan nama baru Syaikh Jabarantas itu, penghormatan
terhadap dirinya tidak berkurang, kalau tidak boleh dibilang malah
bertambah-tambah. Entah apa yang sesungguhnya terjadi, setiap
kali ia hadir di sebuah dukuh atau padepokan, ia justru disambut
dengan sangat berlebihan. Ia merasa betapa semua wiku yang
ditemuinya, tanpa sedikit pun membantah, mengikuti pandangan-
pandangan dan petunjuk-petunjuknya tentang keislaman sebagai
tatanan baru penyempurna tatanan Syiwa-Buda yang sudah ada.
Bahkan, saat ia meminta agar peraturan hidup para wiku di dukuh-
2098
dukuh disebarkan ke desa-desa sekitar, sebagaimana yang sudah
diberlakukan di dukuh-dukuh yang dibukanya, mereka dengan
patuh menjalankannya. Demikianlah, tanpa kesulitan berarti
lahirlah dukuh-dukuh baru bercitra caturbhasa mandala di Galuh
Pakuwan yang menjadi pelopor gerakan pembaharuan bagi desa-
desa di sekitarnya, seperti dukuh Sirnabhaya, Sukahurip, Kawasen
Ratawangi, Karangpawitan, dan Pamwatan.
2099
Keberadaan orang-orang keturunan Cina dan Campa di
pedalaman Galuh Pakuwan paling tidak memberikan semacam
kemudahan bagi Abdul Jalil dalam berbagi keberlebih-kelimpahan.
Sebab, mereka yang masih menyimpan sisa-sisa ‘ingatan purwa’
di alam bawah sadarnya yang berakar dari ajaran Islam tidak sulit
menerima apa yang disampaikan Abdul Jalil. Lewat merekalah
Abdul Jalil dikenal dan dijadikan guru panutan oleh pemuka-
pemuka masyarakat Sunda asli. Lewat mereka, Abdul Jalil beroleh
kemudahan jalan untuk berbagi keberlebih-kelimpahan. Lewat jasa
mereka pula, Abdul Jalil tanpa kesulitan membangun dukuh-dukuh
bercitra caturbhasa mandala di pedalaman Galuh Pakuwan.
2101
Sadar halangan berat sedang menghadang langkahnya, dengan
suara getir Abdul Jalil berkata kepada beberapa orang pengikutnya
yang melapor, “Kejadian-kejadian ini bukanlah suatu peristiwa
kebetulan atau sebuah musibah. Aku menangkap sasmita,
kejadian-kejadian itu adalah suatu gerakan terencana yang
memiliki tujuan utama merusak citra diri dan ajaranku. Aku
menduga sebentar lagi akan berembus badai fitnah yang
menyambar-nyambar ganas ke arahku.”
Melihat air mata membasahi wajah yang sejak dulu tak pernah
menangis itu, Shafa terkejut. Meski tubuhnya masih menggigil
diterkam demam, dia dengan suara bergetar bertanya, “Kenapa
engkau menangis, o Tuan? Apakah keteguhan jiwamu sudah mulai
goyah? Apakah yang menyebabkan air mata itu menetes, o
Dewaku?”
“Apakah Tuan tidak akan mencari bunga lain jika kuntum bunga
yang Tuan hinggapi sudah layu?”
“Bunga yang tulus memberikan madu tidak pernah layu bagi sang
kumbang. Sebab, yang dilihat sang kumbang bukanlah bentuk
ragawi bunga lagi, melainkan citra indah dari jiwa bunga yang tak
pernah layu. Itulah bunga abadi yang keharumannya memabukkan
bagi sang kumbang,” kata Abdul Jalil mengelus tulang pipi istrinya
yang kurus.
2113
Keiinginan raja untuk menguji kesaktian semua orang sakti di
Kabhumian disambut penuh semangat oleh semua undangan yang
merasa memiliki keunggulan dalam olah kanuragan maupun olah
kebatinan. Lalu, terjadilah unjuk kehebatan di antara orang-orang
yang berhasrat kuat menjadi guru suci kerajaan yang sangat
terhormat dan mulia itu. Namun, sesuatu yang tak terduga terjadi
ketika Syaikh Jabarantas tiba-tiba muncul dan berhasil lolos dari
ujian yang berat itu. Dalam ujian yang diselenggarakan raja Pasir
Luhur itu, Syaikh Jabarantas dengan cara sangat menakjubkan
yang sebelumnya belum pernah disaksikan orang. Ia dengan
mudah membuat tawar tuah dan tulah para penguasa ksetra dan
penguasa sanggar pemujaan Sang Prthiwi, melumpuhkan
keampuhan mantera-mantera para balian dan dukun-dukun,
membuat tidak berdaya kesaktian dan kedigdayaan para
pendekar, menggagalkan permainan ruh para kumara, dan
melemahkan daya sakti pusaka-pusaka keramat.
2117
Serpihan-Serpihan Manusia
2119
Sepanjang perjalanan memasuki wilayah yang bakal diterjang
bencana itu, Abdul Jalil menyaksikan jungkir baliknya tatanan nilai-
nilai yang dianut penduduk di kawasan tersebut. Ia menduga,
kemerosotan Majapahit yang diikuti tumbuh suburnya kerajaan-
kerajaan kecil dan kadipaten-kadipaten gurem yang saling
berselisih telah menjadi penyebab utama bagi lahirnya sebuah
tatanan baru masyarakat yang kabur dan tidak jelas kekuatan
tiang-tiang penyangganya. Kehidupan masyarakat telah teraduk-
aduk dan berantakan karena pilar-pilar kekuasaan, hukum,
keamanan, dan ketertiban telah runtuh serta hilang tersapu badai
keserakahan dan keganasan para penguasa yang berselisih
memperebutkan kuasa dan wibawa. Kekuasaan sudah berbaur
dengan ketidakteraturan. Hukum sudah bercampur dengan
perdagangan. Keadilan sudah sama dan sebangun dengan
keberpihakan. Kejujuran telah menyatu dengan dusta. Kebaikan
telah bercampur aduk dengan kejahatan. Kebenaran telah
tumpang tindih dengan kebatilan. Semua nilai telah kabur. Buram.
Gelap. Menyesakkan.
2120
tanah, pajak, cacah jiwa, administrasi, hingga status warga dan
jumlah nayakapraja. Di tengah ketumpangtindihan itu, rakyat
sengaja dibiarkan hidup dengan pilihan-pilihannya sendiri,
termasuk dalam hal melindungi diri sendiri dari berbagai masalah
berat yang seharusnya menjadi kewajiban penguasa. Akibatnya,
kerusuhan-kerusuhan kerap kali terjadi, baik dalam bentuk
perampokan, penyerobotan tanah, tawuran antardesa,
pembunuhan-pembunuhan, dan penjarahan-penjarahan. Para
penguasa biasanya pura-pura menutup mata seolah tidak
mengetahui keadaan carut marut yang terjadi di wilayah
kekuasaannya.
2127
“Dengar! Dengarlah sabdaku, o pemimpin-pemimpin manusia
yang tinggal di wilayah kekuasaanku! Bukalah telingamu lebar-
lebar sebelum aku tusuk dengan batang bambu! Camkan
peringatan yang aku sampaikan ini! Pertama-tama, untuk apa
engkau sekalian melakukan upacara persembahan kepada
Tuanku, Sang Kala Rudra, dengan cara berlebihan? Untuk apa
tumpeng, ayam panggang, domba sembelihan, arak wangi, dan
dupa harum engkau suguhkan untuk Tuanku, jika apa yang kalian
persembahkan itu adalah hasil rampokan dan jarahan? Apakah
kalian menganggap Tuanku pemimpin perampok yang
memerintahkan kalian untuk merampas dan menjarah? Sungguh,
persembahan kalian adalah penistaan dan kejijikan bagi Tuanku.
Sungguh, perayaan upacara yang kalian adakan ini adalah suatu
kejahatan yang memalukan bagi Tuanku.”
“Jika kalian ikuti petunjukku maka kalian akan selamat dari murka
Tuanku. Sekalipun kesalahan kalian sudah sehitam jelaga, jika
mengikuti petunjukku dengan benar maka kesalahan kalian akan
2129
dibersihkan dan disucikan seputih kapas. Jika kalian mau
mendengar dan menuruti petunjukku maka kelimpahan yang
Tuanku berikan akan semakin bertambah-tambah. Tetapi
sebaliknya, jika kalian menentang dan melawan petunjukku maka
kalian akan dimangsa oleh naga api raksasa yang bakal keluar dari
kraton Tuanku. Sekarang dengarkan dan ikuti seruanku: seibarat
kecepatan awan yang berarak ditiup angin kencang, begitulah
engkau dengan keluargamu hendaknya pergi jauh-jauh dari
wilayah kekuasaan Tuanku! Pergilah kalian menjauh dari tempat
ini karena murka Tuanku sudah tidak tertahankan lagi. Dia akan
menumpahkan murka-Nya ke empat penjuru negeri.”
Tiap-tiap umat memiliki ajal. Jika ajal suatu umat sudah datang
menghampiri, waktunya tidak dapat diundur atau dimajukan.
Sebagaimana keniscayaan hukum kehidupan, suatu umat yang
sedang menunggu ajal selalu menampakkan tanda-tanda yang
nyaris sama: mata nuraninya buta, telinga jiwanya tuli, lidah
kebenaran-hatinya bisu, cakrawala kesadaran ruh manusiawinya
tertutup gumpalan kabut pekat kejahilan. Sehingga, tidak seberkas
pun keindahan wejangan yang dapat mereka lihat, tidak secuil pun
kemerduan nasihat dapat mereka dengar, tidak sekerat pun
kelezatan petunjuk dapat mereka nikmati, dan tidak sebersit pun
bentangan cahaya Kebenaran dapat mereka ketahui. Mereka
seperti orang buta, tuli dan bisu yang berada di dalam sel penjara
yang gelap sehingga seberkas apa pun orang berusaha
mengingatkan mereka tentang terangnya Kebenaran pastilah tidak
akan mereka hiraukan.
2130
Sebagai seorang manusia yang memiliki kepekaan dalam
membaca tanda-tanda Kehidupan, Abdul Jalil sebenarnya
menangkap sasmita bakal terjadinya bencana sejak kali pertama
ia menginjakkan kaki di tanah yang dikerudungi kabut kejahatan.
Keluh kesah penduduk tentang serbuan hama tikus dan belalang
di sawah-sawah, disusul serangan penyakit ganas yang
menewaskan ternak, dan disambung terjangan angin puyuh yang
merusakkan tanah pertanian dan pemukiman, adalah tengara awal
yang ditangkapnya tentang bakal terjadinya bencana dahsyat di
daerah itu akibat kejahatan manusia. Ia tidak terkejut ketika
kemudian mendapati kejahatan demi kejahatan yang dilakukan
manusia-manusia dekil dan yang sudah buta nurani, tuli jiwa, dan
bisu batinnya itu tergelar di depan matanya. Ia hanya merasakan
dadanya sesak ketika dari waktu ke waktu menyaksikan ruh
kejahatan terus datang membadai dan sambung-menyambung,
menyelimuti jiwa manusia laksana embusan angin menggiring
gumpalan awan yang bakal menghamburkan prahara; badai
Kematian ganas yang ditunggangi Sang Maut, Penguasa
Kematian, Pembinasa Yang mengangkat cakar-cakar Kehancuran
dan akan menyantap nyawa semua makhluk yang ditemui-Nya.
2132
menghadapkan wajah, di situ mereka menyaksikan wajah
Kematian yang tak tergambarkan dahsyatnya.
Ketika hari menjelang sore dan Abdul Jalil berdiri di atas bukit
dikerumuni orang-orang yang mengikutinya, orang-orang meyakini
bahwa dirinya adalah dewa yang turun ke dunia untuk
menyelamatkan mereka. Dengan tatap nanar ia memandang
Kebinasaan yang terhampar di sekitarnya. Setelah diam beberapa
lama, ia dengan suara lain yang aneh berkata, menasihati orang-
orang yang begitu mencintai dan memujanya.
2138
“Inilah pemandangan mengerikan bagi manusia yang memiliki
penglihatan batin. Sebab, jauh sebelum pemandangan
mengerikan ini terjadi sebagai kenyataan, mata batin mereka telah
menyaksikan terlebih dahulu pemandangan ini. Mereka sudah
menyaksikan keberadaan serpihan-serpihan jiwa manusia yang
terkoyak-koyak dan hangus terbakar sehitam jelaga. Mereka
sudah menangkap sasmita tentang bakal terjadinya Kebinasaan
mengerikan karena Penguasa dunia tidak sudi lagi melihat citra-
Nya berantakan menjadi serpihan-serpihan ragawi yang
kehilangan jiwa insani. Lantaran itu, hendaknya kalian mengingat
bahwa kemuliaan ragawi yang selama ini diagungkan oleh kaum
sebangsamu, pada dasarnya tidak lebih dari kemuliaan palsu,
ibarat cerminan azab neraka yang memantul ke dunia. Semakin
kuat seorang manusia ingin mewujudkan Kehidupan surga di dunia
dengan diri dan keluarganya menjadi penghunianya,
sesungguhnya dia sedang membangun neraka yang mengerikan.”
2142
Syaikh Siti Jenar
2144
Dengan nama baru itu, Abdul Jalil menduga dirinya tidak bakal
dikenal oleh banyak orang karena dukuh Siti Jenar berada di
tengah hutan dan jauh dari keramaian. Namun, dugaan itu meleset.
Sebab, tidak berbeda dengan kebiasaannya selama itu, di dukuh
Siti Jenar yang terpencil itu ia tidak pernah berhenti mengajarkan
Sasyahidan, belajar mati, menaklukkan setan, dan menjadi
adimanusia kepada siapa saja tanpa memandang derajat dan
pangkat, sehingga keberadaannya sebagai guru manusia yang
ditandai citra berbagai keberlebih-kelimpahan dalam waktu singkat
telah menjadi buah bibir penduduk sekitar. Buah bibir itu makin
panjang sambung-menyambung ketika orang mengenal bahwa
dia, guru suci, yang disebut orang dengan nama Syaikh Siti Jenar,
tidak lain dan tidak bukan adalah Syaikh Jabarantas yang juga
disebut orang sebagai Syaikh Lemah Abang. Bahkan, sebagian
pengikut menyebutnya dengan nama hormat Susuhunan Binang
atau Syaikh Sitibrit, yang maknanya sama: guru suci dari Lemah
Abang. Lalu, terjadilah sesuatu di luar dugaannya. Bagaikan
kawanan anai-anai melihat cahaya pelita, atau kawanan lalat
membaui bangkai, atau seperti iring-iringan semut menyerbu gula,
penduduk dari berbagai desa di seputar lereng gunung Mahendra
dan tlatah timur Pajang berdatangan ke dukuh Siti Jenar untuk
beroleh berkah keselamatan dan limpahan kekeramatan.
2148
tengah (wasathan), yaitu madya. Madya. Madya. Seribu kali
madya.”
“Di dalam pengetahuan tentang Yang Ilahi pun prinsip madya itu
hendaknya tetap kalian pusakakan. Sebab, ada di antara umat
Islam yang memiliki pandangan berlebihan dalam memaknai Yang
Ilahi. Mereka memandang bahwa Allah adalah Zat Yang Mahasuci,
Mahasempurna, Mahabaik, Mahakasih. Lantaran itu, dari Allah
selalu memancar Kebaikan, Kesempurnaan, Kesucian, dan Kasih.
Mereka menganggap mustahil dari Allah bisa memancar
ketidakbaikan, ketidaksempurnaan, ketidaksucian, dan
kemurkaan. Pandangan semacam itu sah bagi pengikut paham itu.
Pandangan itu benar bagi yang meyakininya.”
2150
Setelah memberikan petunjuk secukupnya kepada para sesepuh
di antara murid-muridnya, Abdul Jalil bersama istri meninggalkan
dukuh Siti Jenar. Kali ini karena sang istri sedang hamil tua, ia
berusaha menghindari desa-desa yang memungkinkan ia singgah
dan beroleh penghormatan berlebih yang mengakibatkan istrinya
terabaikan. Ia memilih melewati jalan setapak berliku di hutan atau
lembah yang tak banyak dilewati manusia. Namun, sepanjang
perjalanan yang diliputi kesunyian itu, ia justru merasakan
kerinduan yang kuat untuk berbagi keberlebih-kelimpahannya
kepada manusia. Ia merasa berat untuk menggenggam tangannya
erat-erat dan tidak memberi. Ia merasakan jiwanya seperti mata air
berbual-bual yang airnya tidak dapat mengalir karena tertahan
tumpukan batu-batu berbalut lumpur kotor.
2152
berkata, “Tunggu! Tunggu! Jangan tinggalkan aku! Aku adalah
bayanganmu.”
2158
Ketercengangan para pendeta, terutama pendeta-pendeta kraton,
wajar karena mereka sadar bahwa kemunculan tak terduga
seorang guru suci bernama Syaikh Siti Jenar, yang belakangan
menjadi buah bibir di pedalaman dan bahkan menjadi guru panutan
para buyut di Pengging, tidak saja akan mengubah tatanan
Kehidupan penduduk di Pengging, melainkan akan mengancam
pula kedudukan mereka. Sementara, para bangsawan Pengging
pun tidak kurang merasakan ancaman yang berat karena mereka
sadar ajaran-ajaran Syaikh Siti Jenar sangat membahayakan
kedudukan mereka. Lantaran itu, disatukan oleh kepentingan yang
sama, mereka berusaha keras menolak kehadiran Syaikh Siti
Jenar di wilayah Pengging. Mula-mula mereka berusaha
mempengaruhi raja agar menggunakan kekuasaannya untuk
mengusir Syaikh Siti Jenar dari wilayah Pengging. Namun, raja
Pengging tidak percaya begitu saja dengan alasan-alasan mereka,
terutama setelah mendapat laporan dari nayaka kepercayaannya
bahwa guru suci yang dikenal dengan nama Syaikh Siti Jenar itu
sebenarnya bernama Syaikh Abdul Jalil, berasal dari dukuh Lemah
Abang di Caruban. Raja Pengging tahu pasti siapa guru suci yang
belakangan termasyhur dengan nama Syaikh Siti Jenar itu.
Lantaran itu, ia justru membuat keputusan yang mengecewakan
para pendeta fanatik dan bangsawan-bangsawan yang ketakutan.
“Jika guru suci yang disebut Syaikh Siti Jenar itu adalah Abdul Jalil,
orang asal Lemah Abang Caruban, maka dia tidak lain dan tidak
bukan adalah kerabatku sendiri. Karena ayahandanya, Ki
Danusela, adalah saudara tua istriku. Biarlah dia tinggal di
Pengging dan menyebarkan ajarannya di tlatah ini.”
2159
Kecewa karena tidak berhasil mempengaruhi raja, para pendeta
dan bangsawan yang bersekutu itu berusaha menghadang
kehadiran Abdul Jalil melalui putera mahkota Pengging, Pangeran
Kebo Kanigara. Pangeran muda yang dikenal angkuh dan
pemarah itu dengan gampang terhasut. Dengan sedikit memuji-
muji kehebatan ilmu kesaktian dan kedigdayaan Syaikh Siti Jenar,
mereka berhasil membakar api kebesaran diri putera mahkota.
Tanpa berpamitan kepada ayahandanya, Pangeran Kebo
Kanigara dengan diiringi sepuluh orang pendeta kraton mengajak
adiknya, Kebo Kenanga, untuk mencegat Abdul Jalil yang sedang
berjalan bersama istri dan anaknya menuju kutaraja Pengging.
2161
“Usia kami jauh lebih tua dari Pangeran. Pengalaman hidup kami
pun lebih banyak dibanding Pangeran. Tempat-tempat di dunia
yang pernah kami datangi lebih banyak daripada Pangeran.
Bahkan, dalam hal menyelam di dunia ruhani pun kami merasa
lebih dalam.”
“Apa yang akan Pangeran pertaruhkan dalam adu akal pikiran dan
pengetahuan ruhani ini?”
“Apa pun yang Tuan Syaikh inginkan akan aku pertaruhkain: emas,
permata, uang, tanah, atau apa? Sebaliknya, apa yang akan Tuan
Syaikh pertaruhkan?” tantang Pangeran Kebo Kanigara jumawa.
2162
“Taruhan kami adalah jiwa dan raga kami. Maksudnya, jika kami
kalah, kami akan menjadi hamba Pangeran. Hidup dan mati kami
akan kami pasrahkan kepada Pangeran sebagai budak, karena
kami adalah hamba dan pangeran adalah tuan kami.”
“Lalu taruhan apa yang akan Tuan Syaikh minta dari aku?”
“Mahkota.”
“Baik, jika itu keinginan Tuan Syaikh. Mulai sekarang ini aku
tetapkan bahwa andaikata nanti aku kalah dalam mengadu akal
pikiran dan pengetahuan ruhani dengan Tuan Syaikh Siti Jenar,
2163
maka mahkota Pengging kelak akan jatuh ke tangan adik
kandungku, Pangeran Kebo Kenanga,” kata Pangeran Kebo
Kanigara sambil menepuk-nepuk bahu adiknya yang terheran-
heran.
2166
manganak dan mangendog, umumnya muncul ke dunia melalui
cara masemi,” kata Abdul Jalil menjelaskan.
2167
“Kami akan menjawab dengan satu Kebenaran. Tapi tidak dengan
kata-kata dan bahasa manusia.”
2168
“Aku mendengar suara genta berdentang-dentang memenuhi
seluruh pendengaranku.”
2170
Al-Fard
Setelah tinggal selama empat puluh hari di
lingkungan Kraton Pengging dan menjadi salah
satu penyebab bagi masuk Islamnya Pangeran
Kebo Kenanga, dengan diiringi tangis pedih
para pemuka penduduk yang menjadi
muridnya, Abdul Jalil meneruskan perjalanan
ke arah timur untuk berbagi keberlebih-
kelimpahan. Memang, empat puluh hari adalah
sebuah rentang waktu yang terlalu pendek bagi seseorang untuk
melakukan perubahan. Namun, dalam keterbatasan waktu yang
menghimpit itulah Abdul Jalil menunjukkan kelebihan yang sulit
dicari tolok bandingan pada zamannya: menjadi penggerak utama
sebuah perubahan.
2171
Bagaimana mungkin manusia berkasta rendah dapat disejajarkan
dengan manusia luhur berkasta tinggi? Bukankah perubahan itu
akan merusak tatanan yang sudah berlaku beribu tahun?
Bagaimana mungkin Prabu Andayaningrat bisa menista peraturan
agamanya sendiri?
Keterkejutan para bangsawan dan warga Pengging adalah
keterkejutan yang ke sekian kali. Sebelum itu, mereka sudah
dikejutkan oleh kabar yang nyaris tidak masuk akal: mahkota
Pangeran Kebo Kanigara telah diserahkan kepada adiknya,
Pangeran Kebo Kenanga, setelah putera mahkota tersebut kalah
bertaruh dengan Syaikh Siti Jenar. Di saat orang masih ramai
membincang peristiwa aneh itu, telah tersiar lagi kabar yang sangat
tak terduga-duga: raja dan putera mahkota Pengging yang baru,
Pangeran Kebo Kenanga, menyatakan memeluk agama Islam.
2172
segar dari mulutnya yang berkelebih-kelimpahan kepada manusia
yang kehausan. Laksana bongkahan batu karang di tengah telaga
yang bergeming diterpa hujan, badai, dan panas, di tengah
gemuruh kecaman, caci maki, umpatan, fitnah, dan ancaman, ia
dengan ramah memberikan keberlebih-kelimpahannya kepada
makhluk yang menghampirinya.
2173
jagad raya, yaitu wakil Allah yang menjadikan para malaikat
bersujud kepadanya.
2174
Diserbu berarus-ratus dan bahkan beribu-ribu orang yagn meminta
berkah, Abdul Jalil untuk kali ke sekian merasa dihadapkan pada
persoalan yang membingungkan. Dikatakan membingungkan
karena setelah melampaui keadaan (hal), tingkatan (makanah),
derajat (martabat), dan kedudukan (maqam) ruhani yang tak
terhitung, ia tetap merasa sebagai orang bodoh yang belum
banyak mengetahui rahasia di balik kehendak Allah atas dirinya. Ia
sering terheran-heran dan kebingungan menghadapi hal-hal tak
terduga: ia diberhalakan manusia di saat ia meyakini jika
kedudukannya sebagai ‘yang terendah’ dalam perubahan tatanan
itu makin mendekati kenyataan. Bagaimana mungkin ia yang sejak
awal perubahan tatanan kehidupan baru sudah menempatkan diri
pada kedudukan di bawah seibarat tanah tempat berpijak, tiba-tiba
diserbu beribu-ribu orang dan disanjung-sanjung manusia setinggi
langit?
2179
“Aku beri tahukan kepadamu bahwa jalan Kebenaran adalah jalan
berliku-liku dan berkelok-kelok, terjal, curam, dan carut-marut
membingungkan jika tidak diterangi cahaya matahari Kebenaran.
Jalan Kebenaran yang terhampar pada Kitab Suci hanya mungkin
dilewati hingga ke mahligai Kebenaran Sejati jika ia diterangi
cahaya matahari Kebenaran yang tersembunyi di langit batin. Jika
suatu saat nanti engkau sekalian mendapati bayangan palsuku
mengaku-aku sebagai diriku, maka bentangkanah jalan Kebenaran
Kitab Suci dan berjalanlah di bawah pancaran cahaya matahari
Kebenaran yang menerangi penglihatan mata batinmu. Dengan
piranti Kitab Suci sebagai jalan Kebenaran dan penglihatan mata
batin sebagai cahaya matahari Kebenaran, engkau sekalian
dengan mudah akan bisa membedakan mana Syaikh Siti Jenar
yang sesungguhnya dan mana pula yang bayangan palsunya.
Ujilah kemunculan setan pengaku-aku itu dengan Kitab Suci dan
penglihatan mata batin, niscaya engkau sekalian akan
menemukan Kebenaran bahwa dia, bayangan palsuku, itu
hanyalah bayangan maya fatamorgana yang menyesatkan.”
2180
Sewaktu perjalanan yang dilakukannya sampai di Giri Kedhaton,
Abdul Jalil mendapati orang sedang sibuk mempersiapkan
peringatan khaul kesembilan wafatnya Prabu Satmata Sri
Naranatha Giri Kedhaton Susuhunan Ratu Tunggul Khalifatullah.
Ia buru-buru menemui Pangeran Zainal Abidin Dalem Timur,
putera Prabu Satmata yang menggantikan kedudukan
ayahandanya baik sebagai raja Giri Kedhaton maupun guru suci
Tarekat Ni’matullah. Saat bertemu dengan Pangeran Zainal Abidin
yang disebut orang dengan gelar Susuhunan Dalem Timur, ia
beroleh kabar yang mengejutkan, terkait dengan Majelis Wali
Songo. Setelah Prabu Satmata Susuhuna Giri Kedhaton mangkat,
anggota majelis lain yang meninggal adalah Pangeran Arya Pinatih
Susuhunan Giri Gajah, Khalifah Husein Imam Madura, dan Syaikh
Jumad al-Kubra. “Kakek kami, Susuhunan Giri Gajah digantikan
oleh putera Eyang Susuhunan Ampel Denta, Raden Qasim. Yang
Mulia Khalifah Husein digantikan oleh putera sulungnya, Usman
Haji. Yang Mulia Syaikh Jumad al-Kubra digantikan oleh adiknya,
Syaikh Dara Pethak. Sementara Paman, yang tak pernah
terdengar kabarnya, digantikan oleh Raden Sahid Susuhunan
Kalijaga. Yang menunjuk Raden Sahid sebagai pengganti Paman
adalah Syaikh Dara Putih,” kata Pangeran Zainal Abidin
menjelaskan.
“Benar Paman. Kami juga tidak mengira kalau dia bakal naik
takhta.”
2182
“Bagaimana para adipati dapat memilih dia sebagai sultan?”
2185
“Satu tahun delapan bulan,” jawab Shafa.
“Siapa namanya?”
“Fardun.”
“Maaf Tuan, apakah dengan itu berarti kami sudah tidak menjadi
anggota Jama’ah Karamah al-Auliya’?”
“Maksudnya?”
2186
“Keberadaan Tuan sebagai apa pun sudah selesai,” kata Ahmad
at-Tawallud lepas. “Artinya, Tuan tidak boleh lagi menjadi guru
manusia atau menjadi apa pun yang berkaitan dengan urusan
duniawiah. Tuan harus meninggalkan segala-galanya. Tuan telah
dipilih-Nya untuk menjadi kekasih-Nya yang setia. Kekasih yang
tidak memalingkan kiblat kepada yang lain kecuali kepada-Nya.
Dia menginginkan Tuan utuh sebagai pribadi tanpa predikat dan
atribut apa pun. Tuan akan dijadikan-Nya sebagai Abdul Jalil
(hamba Yang Mahaagung) dalam makna yang sebenar-benarnya.
Tuan akan dijadikan sebagai ‘yang sendiri’, kekasih ‘Yang Tunggal’
(al-Fard).”
“Apakah tidak ada sedikit ruang yang tersisa bagi kami, istri dan
anak-anaknya?”
2189
Citra Bayangan Sang Maut
2190
Abdul Jalil menahan napas dan merasakan dadanya sesak
menyaksikan penglihatan batin yang mengerikan. Dengan suara
tergetar ia bertanya kepada Ahmad at-Tawallud, “Apakah Tuan
menyaksikan bayangan Sang Maut di cakrawala sebagaimana
yang kami saksikan? Apakah itu memiliki keterkaitan dengan jalan
yang harus kami lampaui untuk menjadi ‘yang sendiri’?”
2191
“Seberat itukah jaan yang harus aku lampaui untuk menjadi ‘yang
sendiri’?” Abdul Jalil merasakan dadanya semakin sesak.
2192
Ahmad at-Tawallud diam dengan mata menerawang ke garis
cakrawala. Beberapa bentar kemudian ia duduk di atas hamparan
pasir dan memberi isyarat agar Abdul Jalil duduk di sampingnya.
Setelah itu, dengan suara lain dia mulai bercerita tentang badai
Kebinasaan yang telah melanda negeri-negeri di sebelah barat.
2195
Sementara bayangan Sang Maut berkeliaran memangsa bangsa-
bangsa muslim di Persia, Khanat Bukhara, Samarkand, Ferghana,
Afghan, dan Punjab, di anak benua India bertiup badai Kebinasaan
yang tidak kalah dahsyat.
2199
berserpihan dan ceceran darah berserakan di bawah intaian
ratusan gagak yang berteriak-teriak serak di angkasa.
2203
Dua Penguasa Berebut Kuasa
2206
Ratu Banjaransari dengan sikap sangat hormat menjawab, “Kami
sedang merencanakan pesta, paduka.”
“Benar Paduka.”
2207
Tengara bakal berembusnya badai Kebinasaan di Nusa Jawa
makin kuat ditangkap Abdul Jalil manakala ia menyaksikan
kenyataan-kenyataan yang berkaitan dengan keberadaan orang-
orang terbawa badai itu, bagaikan sebuah rangkaian cerita yang
sudah diatur.
2216
Setelah melantik Tranggana, Majelis Wali Songo melantik
Pangeran Hunus yang telah dipilih para adipati-adipati
persekutuan adipati dengan gelar kebesaran Adipati Hunus
Sinihun Natapraja Amir al-Mukminin Senapati Jimbun Sabrang.
Dengan dikukuhkannya gelar Adipati Hunus pada Pangeran Hunus
dan gelar Ki Mas Palembang pada Tranggana, sesungguhnya
Majelis Wali Songo secara simbolik tidak saja telah memilahkan
secara tegas kekuasaan sultan dan adipati dengan wewenangnya
masing-masing, tetapi yang tak kalah penting adalah memilahkan
kedudukan garis nasab masing-masing, di mana nama Hunus
sama makna dengan Orob menunjuk bahwa pemilik nama tersebut
adalah bagian dari marga Orob, bangsawan asal Lawe,
Barunadwipa, sedang nama Ki Mas Palembang menunjuk bahwa
pemilik nama adalah keturunan sultan pertama Demak,
Panembahan Palembang. Dengan kebijakan itu, api di dalam
sekam yang selama itu membara di bawah permukaan Kesultanan
Demak untuk sementara dapat dipadamkan, karena dua orang
penguasa pengganti Sultan Abdurrahman Surya Alam sudah
memiliki kedudukan dan kewenangan sendiri-sendiri, baik
kedudukan dalam garis nasab maupun kedudukan di dalam
mengatur kekuasaan masing-masing; sultan Demak
berkedudukan di Demak dan Adipati Hunus berkedudukan di
Japara.
2217
Tiupan Badai Kematian
2218
Salah satu langkah nyata Tranggana untuk membangun kekuatan
yang mengukuhnak kuasa dan wibawanya adalah ia tidak segan
mengawinkan sauradi-saudari, kemenakan, dan putera-puterinya
dengan putera-puteri adipati-adipati, guru-guru suci, kepala-kepala
marga, pemuka-pemuka penduduk berpengaruh. Setelah
menikahkan adiknya yang bernama Nyi Mas Ratu Winong dengan
Pangeran Arya Terung, Tranggana menikahkan lagi dua orang
adiknya yang lain, Nyi Mas Ratu Pembayun dan Nyi Mas Ratu
Nyawa, dengan dua orang putera Syarif Hidayatullah Susuhunan
Gunung Jati dari istri Syarifah Bahgdad, yaitu Pangeran
Jayakelana dan Pangeran Bratakelana. Syarif Hidayatullah yang
merupakan anggota Majelis Wali Songo, sekaligus menantu yang
mewakili Ratu Caruban Sri Mangana, menyatakan dukungan
kepadanya. Itu berarti,Tranggana memiliki tiga kekuatan
pendukung, yaitu Kerajaan Caruban Larang, Kerajaan Pasir, dan
Kadipaten Sengguruh. Ia juga nikahkan seorang puterinya yang
baru berusia sepuluh tahun, Nyi Mas Ratu Aria Japara, dengan
seorang nakhoda asal negeri Cina bernama Thio Bin Tang.
Dengan mengambil menantu seorang nakhoda Cina berpengaruh
maka penduduk Cina pelarian di Nusa Jawa akan menjadi
pendukungnya. Ia yakin, lewat menantunya itu, para pemukim Cina
yang terhempas badai bakal menjadi abdi-abdinya yang setia.
2220
Anugerah tanah perdikan dan gelar kebangsawanan dari
Tranggana disambut gembira oleh para alim di antara orang-orang
terbawa badai itu. Namun demikian, karena yang tinggal lebih
dahulu di Demak adalah alim ulama asal Campa dan Kerala yang
sudah memiliki pengaruh cukup kuat di kalangan penduduk bumi
putera, maka merekalah yang paling beruntung dengan kebijakan
tersebut. Di antara mereka yang beruntung itu adalah alim ulama
yang kelak dikenal penduduk dengan nama terhormat: Kyayi
Ageng Kali Podang, Kyayi Ageng Kaliputu, Kyayi Ageng Germi,
Kyayi Ageng Medini, Kyayi Ageng Panawangan, Kyayi Ageng
Hujung Semi, Kyayi Ageng Tajug, Kyayi Telingsing, Kyayi Sun
Ging, Kyayi Anom Martani, Raden Ketib Anom Maranggi, dan
Raden Pengulu Terkesi.
2228
kedudukan Caruban akan berada di tengah-tengah jika sewaktu-
waktu ia terlibat perselisihan bersenjata dengan Tranggana.
2229
Besarnya kekuasaan yang diterima Adipati Hunus yang masih
sangat muda usia itu ternyata telah mendorong sikap gegabah dan
cepat bangga dirinya. Dukungan dari kerabat dan sahabat-sahabat
membuatnya besar kepala. Hari-hari dari kesibukannya
memperkuat armada tempur nyaris tak pernah sepi dari puja dan
puji tentang kehebatan pasukannya yang paling perkasa di dunia.
Ia bangga dengan kapalnya yang dilengkapi meriam-meriam besar
yang diikat di geladak kapal, tanpa peduli dengan laporan-laporan
tentang bentuk kapal-kapal Portugis yang selalu unggul dalam
pertempuran laut. Hari-hari dilewatinya dengan semangat
bertempur yang menyala-nyala. Semangat tempurnya makin
menyala dan berkobar-kobar ketika seorang Portugis muslim
bernama Khwaja Zainal Abidin, yang sangat ahli dalam membuat
dan mengoperasikan meriam, yang bekerja di galangan kapal
Demak, diperbantukan Tranggana kepadanya untuk membantu
perbaikan mutu pengecoran meriam di Japara. Meski awalnya ia
curiga dan khawatir dengan orang kiriman Tranggana itu, pada
akhirnya ia malah sangat mempercayainya. Bahkan, Khwaja
Zainal Abidin yang memiliki nama asli Francisco Barbosa diangkat
sebagai penasihat utamanya. Atas nasihat Khwaja, ia
memerintahkan kapal-kapal perang Japara yang akan
menggempur Malaka dilapisi bahan besi.
2232
Seiring berakhirnya suara sang alim, terdengar suara gemuruh
orang-orang meneriakkan takbir, mengagungkan kebesaran Allah,
sambil mengacung-acungkan tombak. Disertai pekikan perang
sahut-menyahut, iring-iringan barisan seba putih itu bergerak cepat
dahulu-mendahului memasuki desa. Suara derap langkah dan
pekikan yang membelah ketenangan mengejutkan penduduk.
Semua mata diarahkan pada suara gemuruh. Semua mata pun
membelalak ketika menyaksikan peristiwa tak tersangka-sangka
yang sebelumnya tidak pernah mereka bayangkan: tombak-
tombak menghambur, mata-mata terbelalak, pedang-pedang
berkelebat, mulut-mulut terngaga, tangan-tangan menggapai ke
atas, leher-leher tersembelih, darah semburat ke mana-mana,
dada-dada berlubang, kepala-kepala bergelindingan, serta tubuh-
tubuh bertumbangan di atas bumi di tengah jerit Kematian dan
lolongan ketakutan. Para alim dengan satuan-satuan bersenjata
tombak, abdi setia Sultan Tranggana, sedang menjalankan tugas
suci melakukan penertiban terhadap penduduk yang telah
menyelewengkan agama, menghina alim ulama, membangun
agama baru, murtad dari agama. Demikian kabar yang tersebar
dari mulut ke mulut yang seketika menyulut rasa takut setiap orang.
Abdul Jalil sadar, menjadi “yang sendiri” tidak berarti harus hidup
mengucilkan diri meninggalkan Kehidupan duniawi dengan
menjadi pertapa yang mengasingkan diri di gua-gua atau hutan-
hutan. Sebaliknya, menjadi “yang sendiri” harus dimaknai sebagai
proses pelepasan dari segala sesuatu yang melekat, terikat,
terhubung, terjalin, atau memiliki kaitan dengan keberadaan “aku”
yang sedang mengalami proses menjadi “yang sendiri”. Lantaran
itu, ia merasa dituntut oleh suatu keharusan untuk menyiapkan diri
menjadi “aku” yang “tunggal”, “aku” yang “terkucil”, “aku” yang tidak
memiliki keterkaitan apa pun dengan segala citra kemanusiaan. Ia
sadar sesadar-sadarnya bahwa keakuannya sedang mengalami
“proses menjadi” sesuatu yang benar-benar tunggal, sebatang
kara, mufrad, tiada duanya, esa yang unik; sebuah ketunggalan
yang mencerminkan citra Keberadaan Yang Tunggal Tak
Terbandingkan (al-Fard).
2237
Wejangan Terakhir
Ketika semua dada terasa sesak dan semua mata meneteskan air
mata kepedihan akibat peristiwa memalukan itu, terjadi peristiwa
yang membuat semua mata terpejam dan semua hati tergetar.
Satuan-satuan bersenjata yang dipimpin alim ulama Demak, yang
dengan ganas telah menertibkan Kehidupan beragama di setiap
sudut Kadipaten Demak, tiba-tiba mengarahkan pandangan ke
kadipaten lain: Samarang, Japara, Tetegal, Kendal, Rembang,
Siddhayu, dan Tedunan. Lalu, dengan gerakan sangat
menakjubkan laksana kawanan hewan buas keluar sarang,
mereka beriringan dengan suara gemuruh menerjang desa-desa
yang terletak di sekitar Lemah Abang sambil meneriakkan takbir.
Para alim dan pasukan tombaknya itu rupanya mendapat perintah
untuk menyerang desa-desa di sekitar dukuh-dukuh Lemah Abang
dengan tuduhan-tuduhan tanpa dasar. Sebagaimana peristiwa
2238
mengerikan yang telah terjadi di Demak, dengan alasan
menertibkan agama Islam yang telah disimpangkan penduduk,
satuan-satuan bersenjata tombak pimpinan alim ulama itu
melakukan perburuan dan penjagalan terhadap siapa saja di
antara manusia yang dituduh mengajarkan agama tanpa izin,
menyelewengkan agama, menyebarkan ajaran sesat, atau murtad
dari agama Islam.
2243
Abdul Jalil sadar, cepat atau lambat ia bakal menyaksikan
kehancuran dukuh-dukuh yang mengabadikan karya besarnya itu.
Untuk itu, ia berusaha melepaskan segala keterkaitan dirinya
dengan tempat-tempat bersejarah itu. Ia ingin melupakan semua
kenangan yang menghubungkan dirinya dengan dukuh-dukuh
yang ditinggali murid-muridnya itu. Namun, hal itu tentu saja tidak
mudah. Sebab, rangkaian kenangan yang menandai jejak
langkahnya di dukuh-dukuh itu telah menjadi taman indah Tauhid
yang menebarkan wangi bunga-bunga Kebenaran. Menghapus
rangkaian kenangan yang telah mewujud menjadi keindahan akan
menimbulkan rasa kehilangan yang menyesakkan dada. Itu
sebabnya, pada saat ia menyaksikan para alim dengan satuan-
satuan bersenjatanya yang memburu orang-orang yang mereka
tuduh ahli bid’ah dan penyeleweng agama mendekat ke dukuh-
dukuh Lemah Abang, tanpa ia sadari tiba-tiba ia sudah bergerak
dan tahu-tahu sudah berada di dukuh Lemah Abang yang terletak
di Kadipaten Samarang. Hiruk pun pecah ketika Ki Wujil Kunting,
pemimpin dukuh dan pengikut-pengikutnya mengetahui
kedatangan Abdul Jalil. Beramai-ramai mereka mengerumuninya.
Menyaksikan wajah pengikut-pengikutnya yang diliputi ketegangan
itu, ia merasa trenyuh. Lalu, dengan penuh kasih ia berkata kepada
mereka dengan suara lain yang terdengar aneh.
“Jika ada yang bertanya tentang makna apa di balik awrad yang
aku wariskan. Aku katakan, ia ibarat sebutir biji nangka, yang aku
tinggalkan sebagai satu-satunya warisan. Seperti biji nangka yang
2245
memuat hakikat batang, dahan, ranting, daun, bunga, akar, dan
buah yang akan tumbuh dengan baik di tanah subur yang terawat,
begitulah awrad rahasia itu jika kalian tanam di jiwa yang baik dan
dirawat dengan baik akan tumbuh menjadi pohon ruhani
Kemanusiaan Sempurna. Buah dari pohon ruhani Kemanusiaan
Sempurna itu bisa kalian bagi-bagi kepada siapa pun yang
membutuhkan. Tetapi, biji dari buah nangka itu akan tumbuh lagi
jika ditanam di tanah yang sesuai. Dengan demikian, selama kalian
setia memelihara dan mewariskan awrad yang aku tinggalkan
maka saat itu pula kalian telah mewarisi warisanku. Inilah pesan-
pesanku terakhir yang hendaknya kalian pusakakan: jadikan awrad
rahasia dariku itu sebagai satu-satunya warisan dariku untuk
wahana kembali menuju Sang Pencipta. Jadikanlah ia wahana
menuju inna li Allahi wa inna ilaihi raji’un !”
2246
Para pengikut yang tak kuasa menahan haru mendengar wejangan
guru ruhani yang mereka cintai serentak menjatuhkan diri dan
merangkul kaki Abdul Jalil sambil mencucurkan air mata. Ki Wujil
Kunting yang terlihat tegar pun tak kuasa menahan haru. Dengan
napas tersengal menahan tangis, dia bersimpuh dan bertanya.
“Jika Kangjeng Syaikh kembali kepada-Nya tanpa meninggalkan
bekas bendawi, bagaimana kami dapat mengingat paduka yang
telah menyalakan api kesadaran di jiwa kami tentang Tauhid?
Bagaimana kami dapat melepaskan kerinduan kami kepada
Kangjeng Syaikh?”
2247
Abdul Jalil diam. Ia tidak memberikan jawaban. Ia paham, terlalu
banyak hal yang tidak dapat dijelaskan kepada pengikut-
pengikutnya. Namun, ia sadar bahwa semua itu adalah kehendak
Allah semata. Lantaran itu, ia memasrahkan semua urusan yang
terkait dengan pengikut-pengikunya itu kepada-Nya. Beberapa
jenak kemudian, ia pun berkata dengan suara tegar diliputi getar-
getar keanehan.
2250
adalah angan-angan. Masa lampau adalah kenang-kenangan.
Semua akan bermakna jika ditarik ke masa kini.”
2252
termaktub dalam Kitab Suci al-Qur’an, yang jika ditafsirkan kira-kira
begini maknanya:
2256
Buah Dalima dan Makna-Makna
“Aku tahu bahwa tugas yang diberikan sultan kepada Tuan dan
kawan-kawan Tuan adalah menjadikan manusia di Nusa Jawa
tunduk dan setia hanya kepadanya. Mereka yang mengingkari
kekuasaan sultan harus dibinasakan. Tetapi, Tuan telah bertindak
berlebihan dan melampaui batas. Tuan telah memerintahkan
pembunuhan terhadap orang-orang yang Tuan anggap pengikut
Syi’ah. Tuan telah memerintahkan pembunuhan terhadap orang-
orang yang menurut Tuan berbeda akidah. Tidakkah Tuan tahu
bahwa Kebenaran di dalam Islam adalah pribadi sifatnya?
Tidakkah Tuan tahu bahwa ketakwaan orang seorang tidak bisa
diukur dengan paham, firqah, madzhab, jama’ah? Tidakkah Tuan
tahu bahwa pertanggung jawaban manusia di hadapan Allah
2259
adalah bersifat pribadi dan bukan jama’ah? Apakah Tuan dapat
menunjukkan dalil-dalil kepada aku bahwa seluruh pengikut Syi’ah
akan masuk neraka dan Tuan beserta pengikut Tuan yang
membunuhi penganut Syi’ah itu akan masuk surga? Apakah Tuan
punya dalil bahwa Allah mencipta surga semata-mata
diperuntukkan bagi Tuan dan pengikut Tuan?”
2260
Syaikh Maulana Maghribi yang merasa terpojok tampak memerah
wajahnya dan matanya berkilat-kilat. Ingin rasanya ia memakan
dan mengunyah-kunyah Abdul Jalil dan kemudian menelannya
bulat-bulat. Namun, baru saja dia akan membuka mulut, tiba-tiba
Abdul Jalil sudah bergerak mendekatinya. Kemudian dengan
memegang kedua bahunya, Abdul Jalil berbisik lirih, “Aku tahu,
Tuan tidak pantas melakukan tindakan memalukan ini apalagi
dengan mengatasnamakan demi kesucian Islam. Sebab, Tuan
sendiri sesungguhnya telah melakukan tindakan yang lebih keji
dan lebih memalukan: menghamili seorang gadis tanpa hak dan
meninggalkannya begitu saja tanpa tanggung jawab. Aku tahu,
Tuan telah menghamili gadis bernama Nyi Mas Rasa Wulan dan
membuatnya sangat menderita. Dan asal Tuan tahu, kakak
kandung gadis malang itu, seorang laki-laki gagah bernama Raden
Sahid, adalah menantuku. Mereka berdua adalah putera-puteri
Adipati Tuban. Jika menantuku itu sampai tahu perbuatan terkutuk
Tuan, aku kira dia akan memburu Tuan sampai ke ujung dunia. Dia
akan membawa pasukan dari Tuban. Dia akan mengejar Tuan
sambil menyebarkan aib Tuan itu ke segenap penjuru dunia.”
“Aku tidak bisa menjelaskan kepada Tuan. Tapi, jika di akhirat nanti
Tuan dihisab pada bagian itu maka Tuan hendaknya ingat bahwa
Allah Mahatahu. Maha Menghisab.”
2263
Tuan bisa membaca catatan amaliah saya?”
Pemuka dukuh yang lain lagi memaknai buah dalima kiriman guru
ruhaninya sebagai perlambang permata mirah dalima yang
disatukan di dalam wadah laksana biji-biji dalima di dalam kulit
buah. Mereka berusaha mendapatkan permata mirah dalima
sebagai tanda pengikut Syaikh Siti Jenar. Mereka akan menolak
siapa pun di antara manusia yang mengaku pengikut Syaik Siti
Jenar jika tidak bisa menunjukkan permata mirah dalima sebagai
tanda kemuridan mereka. Sementara pemuka dukuh yang lain
menafsirkan buah dalima sebagai perlambang bahwa mereka
harus berperilaku seperti buah dalima; kesat dan padat kulit
luarnya tetapi jernih laksana biji permata di dalamnya.
2268
Seorang anggota satuan tombak yang tersinggung ulama
panutannya dipermalukan, tidak dapat menahan diri. Dengan
teriakan keras, ia hujamkan tombak yang digenggamnya ke dada
Ki Wanabaya sekuat tenaga. Terdengar suara derak tulang patah
ketika mata tombak menembus dada Ki Wanabaya. Lelaki berusia
setengah abad itu tersentak ke belakang. Namun, dia tidak
tumbang. Dengan memegangi dadanya yang dihiasi batang
tombak, dia menatap tajam ke arah Kiai Ageng Kalipitu sambil
tersenyum. Setelah itu dengan napas tersengal-sengal dia berkata,
“Lihatlah Tuan, apa yang aku alami ini. Sang Maut datang
menjemputku dengan senyum kegembiraan. Dia tersenyum
gembira. Ya tersenyum gembira. Sebab, Dia tidak aku sambut
dengan ketakutan dan kegentaran, melainkan dengan cinta dan
kerinduan. Kehadiran Sang Maut adalah pertanda cinta.” Lalu,
dengan teriakan keras dia berseru, “Aku pasrahkan hidupku
kepada Engkau, o Penguasa Yang Mahahidup,” dan tubuhnya
tumbang ke atas tanah tanpa nyawa.
2269
memerintahkan pengejaran kepada pemuka-pemuka agama yang
dituduh sesat dan murtad.
“Aku mati dengan kehendakku sendiri tanpa alat bantu apa pun.
Bagi mereka yang terhijab, menghendaki Kematian diri sendiri
adalah bunuh diri. Sedang bagi yang sudah tercelikkan mata
batinnya, menghendaki Kematian adalah bagian dari kehendak-
Nya. Sebab, di saat ‘aku’ sudah tenggelam ke dalam ‘Aku’ maka
‘kehendakku’ tenggelam ke dalam ‘kehendak-Ku’. Kehidupan ‘aku’
akan kembali kepada ‘Aku’ Yang Mahahidup, melalui pintu yang
disebut Kematian yakni citra bayangan Sang Maut (al-Mumit).
Siapa yang menganggap Yang Mahahidup (al-Hayy) dan yang
Maha Membinasakan (al-Mumit) adalah dua zat yang berbeda,
mereka adalah musyrik.”
2271
Kyayi Tapak Menjangan melakukan sembahyang dua rakaat.
Setelah itu, dia duduk bersila mengatur pernapasan dengan mata
terpejam. Syaikh Abdullah Sambar Khan dan pengikut-
pengikutnya mendekat dan mengamati apa yang dilakukan kepala
dukuh Lemah Abang itu. Mereka tidak melihat keajaiban apa pun
kecuali sosok seorang laki-laki yang duduk bersila mengatur
napas. Mereka terus mengamati naik dan turunnya dada Kyayi
Tapak Menjangan. Mereka seolah ingin menyaksikan bagaimana
nyawa Kyayi Tapak Menjangan lepas dari raganya. Namun, semua
harapan mereka tidak kesampaian. Mereka tidak menyaksikan
keajaiban apa-apa. Mereka hanya mendapati tubuh Kyayi Tapak
Menjangan sudah tidak bernyawa lagi dalam keadaan duduk
bersila.
2275
Sementara di Samarang, di tengah hiruk kembalinya para mualaf
Cina ke agama leluhur, Raden Kaji Adipati Samarang yang sangat
terpukul dengan kekalahan armada Japara di Malaka, atas saran
guru ruhaninya, Syaikh Malaya, mengundurkan diri dari jabatan
adipati Samarang. Ia digantikan oleh adiknya, Raden Ketib. Ia
sadar dan paham pada nasihat guru ruhaninya bahwa cepat atau
lambat, Tranggana akan semakin kuat dan dipastikan akan
menggilas semua kekuatan yang mendukung Adipati Hunus. Itu
sebabnya, demi menyelamatkan kadipaten yang dipimpinnya, ia
mundur untuk digantikan adiknya. Lalu, putera Raden Sahun itu,
cucu Ario Damar Palembang, diam-diam pergi meninggalkan
Samarang dan tinggal di pedalaman, di perbatasan Pajang dan
Mataram, yaitu di tempat yang disebut Tembayat. Ia menjadi guru
suci di situ dan karena itu ia disebut orang sebagai Susuhunan
Tembayat.
2278
Keterlepasan Ikatan-Ikatan Citra Diri
2279
Sadar untuk menjadi yang sendiri (fard) ia harus melepas semua
ikatan citra diri manusiawi, Abdul Jalil buru-buru melepas surban,
jubah, dan terompah yang dikenakannya. Lalu, seperti layaknya
orang kebanyakan, ia mengenakan celana hitam, baju hitam, ikat
pinggang lebar dari bahan kulit, destar batik kawung warna hitam,
dan bertelanjang kaki tanpa terompah. Dengan penampilan
barunya itu, ketika ia bersembahyang di Masjid Agung Demak atau
berjalan di jalanan dukuh Lemah Abang, ia tidak dikenal lagi oleh
orang-orang yang pernah mengenalnya. Kumis dan cambangnya
yang melebat hampir menutupi wajah semakin menjadikan dirinya
tak dikenal. Ia merasa lebih leluasa karena ia sudah bukan lagi
seorang guru ruhani. Ia hanya manusia biasa yang sedang
menunggu kesendirian menjadi yang sendiri. Dengan tidak
dikenalnya dirinya sebagai seseorang yang pernah termasyhur, ia
merasa lebih leluasa dalam mendengar dan melihat segala
sesuatu yang menjadi bagian dari citra dirinya yang harus
dilepaskannya.
2281
“Sejak memeluk Islam lima tahun lalu, saya ganti nama: Zainal
Abidin. Tapi orang-orang memanggil saya Khwaja Zainal.”
“Saya paham jalan pikiran Bapa. Tapi terus terang, belakangan ini
saya justru gelisah dengan tindakan sultan Jawa yang
membayangkan diri sebagai Salim.”
2284
“Tuan benar. Tapi tidak semua orang berpikiran cerdas seperti
Tuan.”
2293
“Zainab,” kata Syarif Hidayatullah menjelaskan, “Puteri Paman,
sekarang tinggal di Kalijaga mendampingi suaminya yang menjadi
guru suci di sana.”
“Apakah Paman sudah tahu jika Paman telah dikaruniai tiga orang
cucu, si kembar Watiswari dan Watiswara serta si bungsu
Wertiswari?”
2294
sumbu lampu. Sungguh perlambang jalan ruhani yang baik nama-
nama itu. Berapa usia mereka sekarang?”
Keterlepasan Nafs-Nafs
2295
Setelah singgah di Pekalifahan untuk berpamitan, Abdul Jalil
dengan istri dan anak berjalan menuju sebuah hutan bambu yang
terletak di selatan dukuh Lemah Abang. Di situ, seorang diri ia
mendirikan gubuk berdinding bambu beratap daun kawung. Ia
tinggal di gubuk itu bersama istri dan anak sebagai orang
kebanyakan, bukan guru suci, bukan sesepuh dukuh, bukan
pelopor pembaharuan, dan bukan pula seseorang yang pernah
dianggap berjasa kepada masyarakat. Sebagaimana layaknya
orang kebanyakan, dalam memenuhi kebutuhan diri sendiri
dengan istri dan anaknya, Abdul Jalil membuka sepetak lahan
untuk berladang. Pagi-pagi sekali, usai sembahyang subgih, ia
sudah terlihat di ladang mengayunkan cangkul atau membuat alat-
alat dapur dari bahan bambu dan tempurung kelapa, membuat
kopiah rajutan, atau menganyam tikar pandan yang akan dijual ke
pasar. Hari-hari hidupnya benar-benar dilaluinya sebagai orang
kebanyakan tanpa atribut dan tanpa gelar apa pun. Ia bukan orang
berkelebihan yang pantas disebut hormat dengan julukan
Kangjeng Syaikh, Susuhunan, Syaikh Datuk, Dang Guru Suci,
Pangeran, atau Sang Pandita Suci. Ia adalah Abdul Jalil. Ia adalah
Pak Bardud. Ia adalah orang kebanyakan tak dikenal yang sedang
menghabiskan hari-hari hidupnya untuk menunggu datangnya ajal.
Ia adalah orang tua yang sedang mempersiapkan pelepasan
segala sesuatu yang melekat pada dirinya untuk dipasrahkan utuh
kepada Sang Pemilik Sejati.
Seberkas cahaya merah tiba-tiba melesat dari mulut Abdul Jalil dan
dengan kecepatan kilat menyambar tubuh laki-laki yang berdiri
terperangah di depan gubuk. Terdengar jeritan panjang di tengah
suara dentuman. Secara ajaib tubuh laki-laki itu menggelepar-
gelepar dalam kobaran api yang menjilat-jilat ke angkasa. Dalam
beberapa saat, tubuh itu sudah terpanggang menjadi setumpuk
arang. Namun, secara ajaib tumpukan arang itu berubah menjadi
seekor ular belang warna kuning, hitam, putih dan merah.
Kemudian, dengan gerakan cepat laksana sambaran kilat, ular itu
sekonyong-konyong melesat dan membelit leher Abdul Jalil erat-
erat. Abdul Jalil terpekik kaget. Tanggannya menggapai-gapai
2299
berusaha menarik ular dari lehernya dan melemparkannya jauh-
jauh. Saat tangan kanannya berhasil memegang ekor sang ular,
tiba-tiba pendengaran batinnya disentuh oleh al-ima’ yang
menggema dari cakrawala kesadarannya, yang berasal dari Ruh
al-Haqq.
Abdul Jalil tertawa dan membiarkan ular belang itu melilit lehernya.
Ia tiba-tiba sadar sesungguhnya ia telah sering melihat ular itu
berkeliaran di sekitarnya. Ia bahkan baru menyadari jika ular itu
telah dikenalnya untuk kali pertama berpuluh tahun silam, saat ia
berguru kepada Ario Abdillah di Palembang. Saat itu, seingatnya,
ular belang kuning, hitam, putih, dan merah itu dilihatnya sekilas
merayap di sampingnya saat ia mengambil air wudhu untuk
bersembahyang malam. Sejak waktu itu, kelebatan ular itu sesekali
ia saksikan melintas di sekitarnya. Baru setelah ia mengalami
peristiwa ruhani di gunung Uhud bersama Misykat al-Marhum dan
Ahmad Mubasyarah at-Tawallud, kelebatan bayangan ular itu tidak
pernah lagi muncul.
2300
Kini, setelah ia melupakan citra ular belang itu, tiba-tiba sang ular
muncul dengan cara menakjubkan. Ia baru sadar jika ular itu tidak
lain dan tidak bukan adalah citra perwujudan nafs al-hayawaniyyah
yang tersembunyi di dalam dirinya sendiri. Kini ia tidak lagi merasa
khawatir terhadap keberadaan ular yang racunnya terkenal ganas
tersebut. Bahkan, ia membiarkan ular itu mengikuti ke mana pun ia
pergi. Ia menyebut ular belang itu dengan nama Manik Maya, yang
bermakna “permata khayalan” yang menyesatkan. Dengan nama
Manik Maya itu, ia berharap setiap kali melihatnya, ia akan selalu
teringat bahwa leluhurnya dahulu, Adam a.s., terperosok ke dalam
lingkaran dosa – melanggar titah Sang Pencipta – karena tersihir
pesona keindahan kata-kata “permata khayalan” yang dipancarkan
oleh Sang Iblis, sehingga Adam jatuh dari martabat “Adam Ma’rifat”
yang bisa berwawansabda dengan Allah dan disujudi malaikat
menjadi “Adam Mahjubin” yang terhijab dan direndahkan sebagai
asfala safilin (QS. At-Tin: 4-5), yaitu dihukum di planet dunia yang
ditumbuhi Pohon Kegelapan (syajarah azh-zhulmah) yang penuh
ditebari jalan berliku-liku yang menyesatkan untuk bisa kembali
kepada-Nya.
2305
Kesadaran demi kesadaran baru yang dialami Abdul Jalil
berangsur melenyap ketika ia terserap ke dalam hakikat Alif pada
citra Asma’ Allah. Lalu, terisap lagi ke dalam hakikat Lam pada citra
Af’al Allah. Lalu, terisap lagi ke dalam hakikat Lam pada citra Shifat
Allah. Dan terakhir, ia hilang kesadaran diri ketika terserap ke
dalam hakikat Hu. Di situ, ia tidak sadar lagi akan siapa dirinya. Ia
tidak tahu apakah berada di luar atau di dalam hakikat Hu. Ia telah
hilang kesadaran karena terserap oleh Sesuatu Yang Tak
Terlukiskan (laisa kamitslihi syai’un); Kunhi Dzat; Dzat al-Bahat
yang bersabda: “Kun-Tu (kanzan mahfiyyun),” yang dari Sabda-
Nya itu bersabda: “Ku Fayakun!.”
Sejak turun kembali (‘uruj at-tarkib) dari perjalanan naik (mi’raj at-
tahlil) ke Hadirat Allah Rabb al-Arbab, Abdul Jalil mengalami
peristiwa-peristiwa aneh yang sebelumnya tidak pernah ia alami,
yaitu keterlepasan nafs-nafs dari keakuannya. Ceritanya, tanpa
disangka-sangka, pada hari ketiga setelah turun kembali dari
perjalanan naik, di hadapannya tiba-tiba muncul seekor anjing
berbulu hitam kemerahan yang berjalan terseok-seok karena kaki
kanan depannya terluka. Dengan merintih kesakitan, anjing itu
menggeser-geserkan punggungnya ke kakinya. Mendengar anjing
yang merintih kesakitan itu, rasa kasihnya mengalir
berkelimpahan. Ia rengkuh anjing ke dalam pelukannya dan ia belai
kepalanya. Dengan penuh kasih ia mengobati lukan anjing itu
sambil berkata, “Aku menolong engkau, o anjing, bukan karena aku
kasihan atau iba melihatmu. Aku menolongmu semata-mata
karena rasa kasihku kepada sesama makhluk yang maujud di
dunia. Aku mengobati lukamu karena aku sadar bahwa antara
2306
engkau dan aku sejatinya sama-sama menyembunyikan hakikat
jejak rasul (qadam rasul).”
Suatu pagi, pada hari keempat puluh, ketika Abdul Jalil sedang
mengambil air wudhu di sungai kecil yang mengalir tak jauh dari
gubuknya ditemani ular belang dan dua ekor anjingnya, tiba-tiba
pangkuannya dijatuhi seekor kera coklat kemerahan dari atas
pohon yang tumbuh di pinggir sungai. Kera itu menjerit-jerit
kesakitan karena punggungnya terdapat luka mengaga seperti
kena tebasan pedang. Melihat keadaan kera itu, dengan penuh
kasih Abdul Jalil membersihkan darah dan membebat kera itu
dengan destarnya. Sebagaimana saat ia menolong dua ekor
anjingnya, tiba-tiba ia mendengar al-ima’ menggema di cakrawala
kesadarannya yang menegaskan bahwa kera itu sejatinya adalah
diri (nafs al-mulhammah) yang tersembunyi di kedalaman
keakuannya, yaitu jiwa yang terilhami kejahatan dan ketakwaan
(QS. Asy-Syams: 7-8). Lalu, ia menamai kera coklat kemerahan itu
Sang Jnanawesa, yang bermakna masuknya ilham ketakwaan dan
ilham kejahatan ke dalam jiwa.
2311
Makna Rahasia di Balik Nafs
2312
Shafa yang ditanya balik sangat terkejut dan menjawab
sekenanya, “Aku Shafa. Aku istri Tuan.”
2313
“Aku?” gumam Abdul Jalil dengan tangan menunjuk dada, “Akukah
satu makhluk dengan banyak nama itu? Bukankah Syaikh Siti
Jenar itu nama anjing belang yang berdiri menjulurkan lidah di
depan pintu itu? Bukankah Syaikh Lemah Abang itu anjing hitam
yang duduk menjulurkan lidah di sampingnya?” ia menudingkan
tangan ke arah pintu gubuk.
2320
ayahandamu sendiri di sini. Biarkan dia menjadi ‘yang sendiri’,
menyatu dengan Yang Mahasendiri Tak Terbandingkan.”
2321
“Renungkan! Resapi! Hayati kisah semua avatar, manusia Ilahi,
yang tidak pernah terwakili oleh siapa pun di antara manusia,
sekalipun ada yang mengaku-aku keturunan mereka. Dengan
memahami kisah-kisah mereka dari rana Tauhid, engkau akan
mendapati kenyataan bahwa mereka yang dipilih-Nya menjadi
sesuatu wadah sebagai cermin dari Yang Tunggal akan berdiri
sendiri tanpa sekutu. Mereka adalah satu. Itu adalah rahasia
Tauhid. Sebab, Allah telah menetapkan hukum bahwa dia yang
dipilih-Nya adalah satu dan unik. Allah tidak pernah membiarkan
ada sekutu bagi yang dipilih-Nya. Lantaran itu, mulai saat ini, siapa
pun di antara keluarga ayahandamu jangan sekali-kali ada yang
mengaku-aku memiliki suatu hubungan darah dengannya dan
menjadi penerus paling sah keberadaannya. Sungguh, ia telah
dipilih-Nya menjadi ‘yang sendiri’. Sehingga, siapa saja di antara
manusia yang mengaku-aku keluarga dan keturunannya untuk
melanjutkan kedudukannya akan binasa. Binasa.”
2322
Bardud terperangah mendengar kata-kata ayahandanya. Ia
merasakan seluruh sendinya lemah akibat gelegak perasaan yang
memenuhi dadanya. Ruang di dadanya ia rasakan semakin
kosong. Rasa kosong itu makin merajalela ketika di benaknya
berkelebatan bayangan ayahandanya yang duduk sendiri tanpa
kawan tanpa keluarga diselimuti sepi dan sunyi, tenggelam dalam
ketidaksadaran, tanpa makan tanpa minum. Terbayang pula di
benaknya bagaimana ayahandanya menjadi kurus tubuhnya
karena kekurangan makan dan perlahan-lahan kemudian
tubuhnya tumbang ke atas bumi tanpa ada yang mengetahui.
Akhirnya, tidak kuat lagi menahan gelegak perasaannya yang
digelayuti bayangan-bayangan buruk tentang ayahandanya,
Bardud menjatuhkan diri di pangkuan ayahandanya dan menangis
tersedu-sedu. Ia sadar, ia telah kehilangan ayah dan sekaligus
figur teladan yang sangat dipuja dan dirindukannya semenjak ia
kecil.
2326
Sang Lemah Abang, nama masyhur yang pernah membuatku
nyaris menjelma jadi berhala terkutuk.”
2328
“Singa putih yang engkau saksikan duduk di depan kera putih
adalah perwujudan nafs ar-radhiyyah yang secara naluriah
dikodratkan memuja dan menyembah Penciptanya dengan duduk
(jalsah awwal). Ia perlambang aether. Citra perwujudan singa putih
itulah yang di dalam tingkatan anak tangga ruhani disebut dengan
istilah’ain al-Yaqin, yaitu tangga Pengetahuan tingkat kelima. Jiwa
ini dalam melakukan perjalanan ruhani berada di dalam Allah. Jiwa
ini tenggelam di dalam Pengetahuan Allah. Ia adalah jiwa yang
sudah berada di dalam keyakinan sempurna atas kehambaan
dirinya dan Keilahian Rabb-nya. Ia aku namai Sang Jnanekatwa,
yang bermakna ketunggalan jiwa dan Jiwa.”
2329
“Sedang burung anqa putih laksana kabut tipis yang engkau
saksikan duduk di depan rajawali putih adalah perwujudan nafs al-
kamilah yang secara naluriah dikodratkan memuja dan
menyembah Penciptanya dengan duduk (jalsah tsani). Itulah
lambang al-haba (atom). Citra perwujudan burung anqa putih
selembut kabut tipis itulah yang di dalam tingkatan anak tangga
ruhani disebut dengan istilah al-Islam, yaitu tangga Pengetahuan
tingkat ketujuh. Inilah tahap puncak perkembangan aku menuju
Aku. Iniah jiwa yang disucikan (nafs al-qaddisah). Aku namai
burung anqa putih laksana kabut tipis itu dengan gelar kemuliaan
Sang Kawula Pinakatunggal, yang bermakna hamba yang
menyelam ke Sumber Samudera Kesendirian Tuhan (al-‘aini al-
bahri al-wahdati).”
2331
“Bagaimana dengan tindakan orang-orang yang mengaku sudah
makrifat dan kemudian meninggalkan shalat?” tanya Bardud minta
penjelasan.
2332
Bayangan – Bayangan Kusam
2337
Ketika sampai di Japara, ia menemui Ki Saridin, seorang murid
Syaikh Siti Jenar yang menjadi kepala dukuh Lemah Abang di
Japara. Sejak peristiwa terbunuhnya kawan-kawannya oleh
satuan-satuan bersenjata, Ki Saridin didaulat menjadi guru suci
wakil Syaikh Lemah Abang oleh para pengikut kepala dukuh yang
terbunuh. Karena kedudukan barunya itu, Ki Saridin disebut orang
dengan nama terhormat Syaikh Jangkung. Dia sangat dihormati
penduduk karena merupakan salah seorang murid Syaikh Lemah
Abang dari kalangan orang kebanyakan yang berhasil menjadi
adimanusia. Lantaran keberhasilannya itulah Raden Sahid
menempatkannya sebagai salah seorang murid Syaikh Lemah
Abang terkemuka.
2339
Raden Sahid termangu-mangu mendengar paparan Ki Saridin.
Dengan bekal penjelasan singkat itu, ia mendatangi dukuh-dukuh
Lemah Abang dan desa-desa sekitarnya baik dengan menyamar
sebagai penjual rumput, dalang wayang, maupun Syaikh Malaya.
Ketika ia berkeliling ke dukuh-dukuh dan desa-desa sekitar Lemah
Abang, dan mengenali para guru batiniah tersebut melalui
penglihatan mata batin dan pendengaran jiwa, ia mendapati
kenyataan yang memprihatinkan sekaligus mengharukan. Dengan
penglihatan mata batin, ia menyaksikan sebagian di antara guru
batiniah itu berdiri tegak menepuk dada penuh kepongahan,
memamerkan kehebatan dan kemegahan diri. “Lihatlah kami!
Lihatlah anak-anak yang lahir dari pikiran dan mimpi-mimpi Syaikh
Lemah Abang! Kami adalah anak-anak bangsa yang lahir dari
kehinaan dan nistaan bangsa lain. Kami adalah anak-anak yang
disusui dan disuapi Syaikh Lemah Abang dengan kesadaran dan
keyakinan diri! Kami adalah anak-anak yang sudah memiliki
keyakinan bahwa Tuhan adalah sesembahan segala bangsa dan
bukan milik bangsa tertentu! Kami adalah penerus ajaran Bapak
kami mulia, Syaikh Lemah Abang!”
2340
zalim karena memberikan kalung mutiara kepada kawanan kera
yang butuh pisang.”
2341
Terdengar suara hiruk dari orang-orang berceloteh. Sejenak
kemudian, terdengar suara berisik sahut-menyahut seperti ratusan
orang mengomel di dalam gua, “Tidakkah engkau mengetahui, 0
Syaikh Malaya, bahwa kecenderungan kalangan orang
kebanyakan yang berpengetahuan dangkal dan berwawasan
sempit dan bernalar picik adalah mencari guru yang sederajat
dengan mereka? Ketahuilah olehmu, o Syaikh Malaya, kamilah
guru yang sesuai dengan keinginan mereka. Sesungguhnya,
Syaikh Lemah Abang telah mengajarkan kepada kami bahwa Allah
selalu memahami prasangka hamba-Nya sesuai batas-batas
kemampuan sang hamba mengenal-Nya. Lantaran itu, biarlah
kami dengan kesempitan wawasan, kepicikan nalar, kedangkalan
pengetahuan, dan kepercayaan diri kami yang berlebihan, menjadi
apa yang kami kehendaki. Jangan kami dinilai dengan penilaian
yang tinggi. Sebab, Allah lebih tahu keterbatasan kami daripada
manusia-manusia takabur yang merasa paling benar sendiri.”
2343
Raden Sahid sendiri melihat pendangkalan atas ajaran mertuanya
berawal dari kekurangpahaman para guru batiniah itu di dalam
memaknai pokok-pokok bahasan pengetahuan ruhani yang
disampaikan Syaikh Lemah Abang. Pokok-pokok bahasan yang
seharusnya dipahami sebagai sistem pengetahuan ruhani yang
akan digunakan membimbing salik ke jalan Kebenaran, ternyata
diajarkan sebagai rangkaian doa-doa panjang untuk mencapai
Kebenaran. Entah bagaimana awalnya, ungkapan-ungkapan
metaforik dan kupasan-kupasan filosofis tentang jalan Kebenaran
yang diajarkan Syaikh Lemah Abang, tiba-tiba menjelma menjadi
rangkaian doa yang dihafal sedemikian rupa tanpa diketahui
maknanya. Ajaran Syaikh Lemah Abang yang didasarkan pada
keseimbangan pengetahuan bashrah yang memancar dari qalb
dengan pengetahuan akal (‘aql) yang diterangi burhan itu telah
berubah menjadi ajaran batiniah dangkal yang penuh mantera dan
diselimuti takhayul.
2347
antara guru suci baru itu telah melumuri ajarannya dengan pamrih
pribadi berlebihan. Pamrih. Pamrih. Beribu-ribu kali pamrih.
2348
Suluk Malang Sungsang
2349
“Apakah Hasan Ali itu orangnya bertubuh pendek dan kulitnya
hitam?” tanya Raden Sahid.
“Aku mengenal nama Hasan Ali dari penuturan Syaikh Datuk Abdul
Jalil. Aku pernah sekali bertemu sendiri dengan dia di Giri
Kedhaton,” sahut Raden Sahid.
2352
Eh ... eh ... eh. Akulah Sindung Liwang-liwung / Aku sudah ada di
sini / Aku Ratu Agung / Ratu Kayaraya / Ratu Yang Berkuasa / Ratu
Yang Didewakan / Ratu Sempurna Yang Tinggal di Pulau Kencana
/ Yang Merajai seluruh rasa / / Ruh-ku adalah ruh manusia / ruh api
/ ruh air / ruh angin / ruh bumi / ruh batu / ruh kayu / ruh besi / ruh
nabi / ruh wali / ruh orang beriman / ruh malaikat / ruh jin / ruh setan
/ ruh banaspati / ruh ilu-ilu / ruh demit / ruh perayangan / ruh
gandarwa / ruh makhluk sejagat / / datang hanyut datang terseret
kepada seluruh ciptaan / jangan ada yang tertinggal / perkumpulan
nabi wali orang beriman / terkumpul pada aku / Akulah Ratu
Maulana yang bersemayam di dada manusia / Akulah Ratu Agung
yang Merajai di dalam pagar batu kuasa / pintu-ku Ratu Kekayaan
/ tutup-ku Batu Agung / pintu rumah yang bisa menutup dan
membuka sendiri / leh ... leh ... leh/
2353
Liwang-liwung / Aku sudah Ada di sini / lautan ramai / hutan kosong
/ ehek ... ehek ... yang ada aku sendiri //.
2355
“Ilmu Gendam?” gumam Raden Sahid seolah mengingat-ingat,
“Aku tiba-tiba teringat nama Gendam Smaradahana, penjahat
yang telah mempermalukan Yang Dipertuan Terung.”
2357
“Yang sangat membingungkan aku, dia mengajarkan dzikir
berjamaah kepada pengikut-pengikutnya. Aku katakan bingung,
sebab, pertama-tama, Syaikh Datuk Abdul Jalil tidak pernah
mengajarkan awrad seperti itu. Kedua, dzikir berjama’ah itu
dilakukan bersama-sama antara jama’ah laki-laki dan perempuan.
Semua berteriak-teriak seperti orang kesurupan dan banyak yang
pingsan. Bahkan yang nyaris tidak aku mengerti, dzikir berjamaah
itu dilakukan di makam Syaikh Syamsuddin ar-Rumi,” ujar Raden
Qasim.
2358
“Bukankah kita semua diperintahkan untuk diam oleh Syaikh Datuk
Abdul Jalil?”
“Maksudku, kita tidak perlu mengurusi San Ali Anshar dan Hasan
Ali dalam hal ini. Kita hanya akan mengurusi pengikut-pengikut
Syaikh Datuk Abdul Jalil yang tersisa dan sebagian besar malah
menyembunyikan jati dirinya. Saat aku berkeliling ke sejumlah
dukuh Lemah Abang, banyak orang yang tidak berhak mengajar
telah lancang mengajar karena mengikuti nafsunya sehingga
ajaran Syaikh Datuk Abdul Jalil menjadi kabur karena
tercampurnya pengetahuan ruhani (tarekat) dengan ilmu
perdukunan,” kata Raden Sahid.
2359
“Berarti nanti akan ada penjenjangan untuk memilahkan siapa
yang mengajar apa?”
2360
Titah Sang Naga Hitam
2362
dengan kenyataan yang menunjuk bahwa sultan Demak adalah
kerabat Wali Songo.
2364
Selama menahan dengan kesabaran berlalunya sang waktu,
Tranggana bukan berdiam diri tidak melakukan sesuatu. Ia justru
melakukan hal-hal yang dinilainya dapat mempercepat kedatangan
Sang Maut ke Japara untuk mencabut nyawa saingannya. Saat ia
mendengar Adipati Hunus jatuh sakit, ia diam-diam
memerintahkan alim ulamanya untuk menggempur Kadipaten Pati
di bawah pimpinan Raden Darmakusuma. Terbunuhnya Adipati
Kayu Bralit II, sahabat dekat Adipati Hunus, terbukti semakin
memperparah sakit Yang Dipertuan Japara. Tak lama setelah itu,
ia mengirim utusan ke Japara meminta perkenan Adipati Hunus
menggunakan tenaga Khwaja Zainal Abidin untuk memperkuat
kapal-kapal Demak yang akan dilengkapi dengan lapis besi dan
meriam. Lalu, seiring kembalinya Khwaja Zainal ke Demak, tersiar
kabar bahwa Yang Dipertuan Japara makin parah sakitnya dan
beberapa kali tidak sadarkan diri.
2365
Tranggana tidak mengetahui jika selama itu guru suci yang dikenal
dengan nama Syaikh Malaya yang tinggal di Kalijaga itu telah
berkeliling di wilayah kekuasaannya dengan menyamar sebagai
penjual rumput atau dalang wayang. Lantaran itu, ia sangat heran
dan takjub dengan pengetahuan sang guru suci tentang keadaan
di wilayah kekuasaannya, termasuk kebijakan-kebijakannya yang
tidak disukai penduduk. Tranggana bahkan menganggap sang
guru suci sebagai wwang linuwih kang weruh sadurunge winarah
(manusia berkelebihan yang mengetahui sesuatu sebelum
dibicarakan). Untuk mengikat tali kekeluargaan dengan guru suci
yang menjadi buah bibir penduduk itu, Tranggana menikahi puteri
sulungnya yang bernama Nyi Mas Ratu Mandapa.
2370
Tranggana tampaknya mengetahui kekhawatiran para adipati
pesisir yang menduga ia akan memanfaatkan keberadaan
Susuhunan Udung sebagai ujung tombak dalam memperkuat
kuasa dan wibawanya selaku sultan. Lantaran itu, ia tetap
berusaha sabar menunggu dan tidak menampakkan hasratnya
untuk menggerakkan kekuatan bersenjata yang dipercayakannya
kepada Susuhunan Udung. Ia sudah merasa cukup memberi
perlambang kepada para adipati pesisir bahwa jabatan adipati dan
senapati sesungguhnya telah ia pegang dan ia serahkan kepada
orang kepercayaannya. Untuk menunjukkan kekuasaannya
sebagai penguasa keagamaan yang juga memiliki kekuasaan
duniawi, Tranggana dengan terbuka melakukan peningkatan mutu
pasukan Suranata melalui penambahan jumlah prajurit berkuda,
dan yang tak kalah penting adalah penanaman kefanatikan para
prajurit bahwa mereka adalah tentara Allah (jundullah) yang
memiliki tugas utama melindungi agama dan membersihkannya
dari bid’ah.
2372
bawah telapak kakiku, jika takhta Majapahit berada di dalam
genggamanku, kata Tranggana dalam hati.
Ketika hari, pekan, bulan, dan tahun berlalu tanpa melihat adanya
gelagat bahwa para adipati pesisir akan berkumpul untuk memilih
sultan baru sebagai pemimpin persekutuan, kesabaran Tranggana
pun akhirnya pupus. Setelah menunggu dalam kurun dua tahun
lebih, Tranggana tidak dapat lagi menahan kesabaran. Naga hitam
2377
yang menguasai jiwanya menggeliat dan menyemburkan api dari
mulutnya hingga membuat darah di seluruh jaringan tubuhnya
mendidih. Sang naga hitam benar-benar sudah murka. Dengan
raungan dahsyat yang mengguncang cakrawala jiwa, ia
menitahkan Tranggana agar mematahkan leher makhluk-makhluk
dekil yang tegar tengkuk supaya mereka semua menunduk di
hadapan duli kuasanya. Ia menitahkan Tranggana untuk
mematahkan punggung makhluk-makhluk pongah lurus punggung
itu supaya mereka membongkok di depan takhtanya. Ia
menitahkan Tranggana untuk mematahkan kedua lutut mereka
supaya mereka berlutut di bawah kaki serojanya. Dan ia
menitahkan Tranggana untuk menginjak kepala mereka supaya
mereka bersujud di bawah telapak kakinya.
2382
Perangkap Patih Mahodara
2385
Dengan semangat yang terus dipacu, pasukan Demak yang
berpakaian serba putih itu memang menakjubkan gerakannya.
Ketika matahari baru naik sepenggalah, mereka sudah sampai di
sungai Tambak Beras, sungai bersejarah yang diingat penduduk
sebagai tempat hancurnya balatentara Tuban yang dipimpin
Ranggalawe barang dua abad silam. Setelah berhenti beberapa
jenak untuk minum usai menyeberangi sungai Tambak Beras,
mereka bergerak lagi dengan langkah lebih cepat. Seperti berpacu,
mereka melesat dengan cepat ke arah kuta Wirasabha.
Ketika dari kejauhan dinding kuta Wirasabha yang terbuat dari batu
bata terlihat kukuh di bawah langit, mereka berhenti dan membagi
pasukan dalam tiga sayap. Sayap kiri dipimpin oleh Ki Ageng
Sesela. Sayap kanan dipimpin Raden Iman Sumantri. Induk
pasukan tengah dipimpin Susuhunan Udung. Lalu diiringi teriakan
takbir gegap-gempita laksana bukit runtuh, ketiga pasukan yang
memiliki panji-panji berbeda itu bergerak cepat ke arah gerbang
kuta. Mereka berlomba saling mendahului untuk bisa secepat
mungkin sebagai yang pertama sampai.
2391
Terdengar suara gemeretak dan jeritan terpekik ketika dua keris
pusaka itu secara bersamaan mengenai sasaran. Tubuh
Andayaningrat tampak limbung dan sejenak kemudian tumbang ke
atas bumi. Rupanya tikaman keris Susuhunan Udung dengan telak
mengenai dada kirinya hingga mematahkan tulang-tulang iganya.
Sementara, dada Susuhunan Udung yang ditutupi jubah
antakusuma tidak sedikit pun menunjukkan luka.
2394
anggota Wali Songo dapat kalah menghadapi seorang panglima
perang.
2398
Geliat Sang Naga Hitam
Di tengah gegap peningkatan kekuatan
bersenjata Demak, hadirlah di Demak dua
orang pejuang asal negeri Pasai yang tidak
saja memiliki kemampuan tempur
menakjubkan, tetapi juga memiliki
pengetahuan agama yang luas dan
mendalam. Dia adalah Tughril Muhammad
Khan dan adiknya yang bernama Fadhillah
Khan. Mereka meninggalkan negeri kelahirannya barang empat
tahun silam ketika Portugis menduduki Pasai. Setelah menunaikan
ibadah haji dan tinggal beberapa waktu di tanah suci, dua
bersaudara itu pergi ke Caruban untuk mencari paman mereka,
Syaikh Datuk Abdul Jalil. Ternyata mereka tidak bertemu karena
sang paman dinyatakan telah lama pergi meninggalkan Caruban
dan belum pernah kembali. Mereka hanya bertemu Syaikh Datuk
Bardud, putera Syaikh Datuk Abdul Jalil, sepupu mereka. Lalu,
mereka dipertemukan dengan Syaikh Datuk Bayanullah, sepupu
ayahanda mereka yang sudah sangat uzur. Oleh Syaikh Datuk
Bayanullah, mereka disarankan pergi ke Demak, menemui Raden
Sahid, menantu Syaikh Datuk Abdul Jalil, yang dikenal dengan
nama Susuhunan Kalijaga.
2399
membutuhkan orang-orang gagah seperti mereka. Untuk mengikat
mereka, Tranggana menikahkan saudarinya yang bernama Nyi
Mas Galuh dengan Tughril. Sedang Fadhillah dinikahkan dengan
janda Adipati Hunus, Nyi Mas Ratu Ayu, puteri Syarif Hidayatullah
Susuhunan Gunung Jati.
Keberadaan Tughril, Fadhillah, dan Khwaja Zainal Abidin yang
dipercaya Tranggana membangun angkatan perang Demak telah
membentuk pola kemiliteran baru yang merupakan perpaduan
antara dasar-dasar kemiliteran setempat dengan Portugis dan
Pasai. Angkatan bersenjata Demak yang sebelumnya hanya terdiri
atas pasukan tombak dan sedikit pasukan berkuda telah
dikembangkan sedemikian rupa dengan pembentukan satuan-
satuan pemanah, meriam, dan senapan. Formasi gelar perang pun
tidak mengikuti cara lama yang mengandalkan jumlah besar
pasukan. Keyakinan diri, keberanian, ketangguhan, keuletan,
ketabahan, dan kepantang-menyerahan dijadika dasar utama
dalam pembinaan mental setiap prajurit.
2400
perjanjian antara Kerajaan Sunda dan penguasa Portugis di
Malaka yang dilakukan di pelabuhan Kalapa.
2405
Sepeninggal Sri Mangana, para wali nagari dan gedeng se-
Caruban Larang sepakat memilih Pangeran Muhammad Arifin
putera Syarif Hidayatullah untuk menggantikan kedudukan sebagai
khalifah Caruban. Semua sepakat memilih pangeran yang masih
muda itu karena dianggap sebagai orang yang memenuhi syarat-
syarat khilafah sebagaimana diajarkan Syaikh Datuk Abdul Jalil.
Pangeran Muhammad Arifin sendiri dikenal sebagai sahabat akrab
Syaikh Datuk Bardud, putera Syaikh Datuk Abdul Jalil. Bahkan,
nama Pasarean (pekuburan) yang diberikan oleh Syaikh Datuk
Bardud kepadanya ditafsirkan oleh para wali nagari dan gedeng –
yang sebagian besar adalah pengikut Syaikh Datuk Abdul Jalil –
sebagai tanda keberhasilan putera Syarif Hidayatullah dalam
mengamalkan ajaran ‘mati sebelum Kematian’ (mutu qabla an-
tamutu) sebagaimana yang disampaikan Syaikh Datuk Abdul Jalil.
Demikianlah, Pangeran Muhammad Arifin yang dikenal orang
dengan nama Pangeran Pasarean itu dinobatkan sebagai
pengganti Sri Mangana menjadi pemimpin pemerintahan (amir al-
mu’minin) dan penguasa keagamaan (sayidin panatagama).
Sementara Pangeran Cirebon, putera Sri Mangana yang telah
ditunjuk oleh ayahandanya menjadi manggala dalam penyerbuan
ke Banten dan Kalapa, ditetapkan sebagai pengganti kedudukan
ayahandanya sebagai manggalayuddha (senapati ing alaga) yang
memiliki kewenangan dalam menata dan memerintah kekuatan
militer Caruban.
Sesuai rencana, Kalapa akan diserang dari dua arah, dari arah
barat oleh pasukan yang dipimpin Fadhillah dan dari arah timur
2407
yang dipimpin Tughril. Sekalipun dengan kekuatan 1.500 orang
Tughril yakin dapat merebut Kalapa, sebagai seorang pejuang
yang pernah terlibat pertempuran dengan Portugis di Pasai, ia
merasa heran dengan keberadaan prajurit-prajurit Caruban yang
tidak mau menggunakan meriam dan senapan. Ketika hal itu
ditanyakan Tughril kepada Syaikh Datuk Bardud, sepupunya, ia
diberi tahu bahwa ayahandanya telah melarang penggunaan
senjata-senjata penyembur api seperti meriam, gurnita, dan
senapan dengan alasan senjata berpengaruh setani. “Karena
kakek kami, Sri Mangana almarhum, menyetujui pandangan
ayahanda kami maka ia melarang pasukan Caruban
menggunakan meriam, gurnita, dan senapan,” Syaikh Datuk
Bardud menjelaskan.
Ketika hari benar-benar gelap dan hujan tersisa dalam gerimis tipis,
terjadi peristiwa yang sudah ditunggu-tunggu oleh semua prajurit.
Sebuah pondok di ujung dermaga terbakar hebat. Pertanda
penyerangan atas Kalapa dimulai. Teriakan-teriakan perang
terdengar bersahutan dan sambung-menyambung diikuti oleh
bergeraknya bayangan-bayangan hitam dari kegelapan,
menerjang ke depan dengan panji-panji digoyang-goyang dan
tombak diacungkan. Semua bergerak sangat cepat seolah berpacu
saling mendahului. Karena jalanan berlumpur dan menjadi licin
akibat hujan, beberapa sosok bayangan terbanting dengan keras
ke tanah, tetapi secepat itu kawan-kawannya menarik dan
menggeretnya untuk bangkit dan berlari. Beberapa orang yang
berlari di bagian depan berteriak lantang memberi arahan kepada
kawan-kawannya.
2410
Di tengah gelap yang hanya sesekali ditandai kilatan petir, jarak
bayangan-bayangan hitam para prajurit yang berlari itu semakin
dekat dengan kediaman syahbandar Kalapa. Teriakan-teriakan liar
bersahutan di antara suara benturan senjata. Para prajurit Sunda
yang menjaga kediaman syahbandar Kalapa hanya sedikit
jumlahnya. Mereka terkejut menghadapi serangan mendadak yang
tak mereka sangka-sangka. Mereka melawan sekuat-kuatnya,
tetapi dengan mudah ditewaskan atau dihalau dari kubu
pertahanan. Kepanikan merebak di mana-mana. Syahbandar
Kalapa yang melakukan perlawanan bersama pengawal-
pengawalnya tanpa kesulitan dibinasakan oleh para penyerang
yang bertempur bagaikan kawanan hewan buas mencabik-cabik
mangsa. Dalam semalam, pelabuhan Kalapa yang dipertahankan
oleh sekitar 1.000 orang prajurit Sunda itu jatuh ke dalam
kekuasaan pasukan gabungan Demak-Caruban.
2413
Di tengah kepasrahan atas nasib yang bakal mereka alami, terjadi
suatu keanehan. Badai tiba-tiba menyingkir. Gumpalan awan hitam
dan kabut mendadak bergerak ke timur dan menghilang. Saat
itulah Coelho menyaksikan pemandangan yang membuat dadanya
sesak dan tenggorokannya kering: sekumpulan orang bersenjata
tombak dan kelewang menangkapi para awak kapal fusta yang
sebagian melakukan perlawanan. Perlawanan tak berarti dari
awak-awak kapal malang itu berakibat terjadinya penyembelihan
terhadap kawan-kawan mereka. Tidak peduli tentara atau
pendayung, satu demi satu seolah sengaja memamerkan
kebuasan – awak kapal fusta dijagal tanpa kenal belas kasihan.
2416
Bangkit! Maju! Berkuasa!
Kabar kemenangan gemilang di Kalapa
diterima Tranggana dengan kegirangan
orang mabuk. Kepalanya terasa membesar
dan berat. Matanya sayu tapi penuh hasrat.
Dadanya naik turun dipenuhi rasa hangat.
Kakinya gontai. Sesuatu ingin ia tumpahkan
dari pedalamannya. Dan, satu-satunya hal
yang mengisi benaknya adalah kilasan-
kilasan khayalan yang mengalir dari mulut sang naga hitam yang
menyemburkan api. Kilasan-kilasan khayalan itu melesat dari
benaknya, terbang ke angkasa menjadi tangan-tangan hitam
berkuku panjang yang menjulur ke bentangan masa depan yang
diselimuti kabut misterius. Tranggana tersentak kaget ketika naga
hitam yang bersarang di pedalamannya meraung keras,
menggetarkan cakrawala jiwanya, “Bangkit dan majulah!”
2417
Banten dan Kalapa tampaknya memperkuat hasrat Tranggana
untuk berkuasa atas seluruh Nusa Jawa.
2425
Penumpasan terhadap pemberontakan Wirasari dijadikan salah
satu alasan oleh Tranggana untuk menggempur Pengging.
Pertama-tama, sisa-sisa pemberontak, yaitu Ki Ageng Sesela dan
saudara-saudaranya Ki Ageng Pakis, Ki Ageng Adibaya, Ki Ageng
Wanglu, Ki Ageng Bokong, Ki Ageng Kare, dan Ki Ageng Purna
melarikan diri ke wilayah Pengging. Mereka menyembunyikan diri
di Ngerang, yaitu kediaman ayahanda mereka Ki Ageng Ngerang.
Selain itu, Tranggana mendapati kenyataan keterlibatan sejumlah
pengikut Syaikh Lemah Abang dalam pemberontakan di Wirasari
yang lari ke Pengging. Namun, banyak yang paham bahwa alasan
Tranggana menyerang Pengging lebih disebabkan oleh rasa
khawatirnya terhadap Pangeran Kebo Kenanga yang menggantika
kedudukan ayahandanya sebagai penguasa Pengging. Kebo
Kenanga dianggap ancaman bagi kekuasaannya. Tranggana yang
terilhami kekuasaan Sultan Turki Salim tidak ingin melihat trah
Majapahit menandingi kekuasaannya.
2429
Raden Sahid diam. Setelah menarik napas, dia berkata, “Engkau
benar, yang dibunuh adalah Hasan Ali. Tapi dia tidak dibunuh di
Demak, melainkan di kediamannya sendiri di Kanggaraksan, kuta
Caruban. Dia ditikam dengan keris Kanta Naga milik saudaraku,
Syarif Hidayatullah. Sedang Syaikh Siti Jenar yang bernama San
Ali Anshar dibunuh di Pamantingan.”
“Tapi cerita yang kami dengar, Syaikh Siti Jenar atau Syaikh
Lemah Abang dibunuh di Masjid Agung Demak dan di Tajug Agung
Caruban. Kami benar-benar bingung dengan cerita simpang siur
itu.”
2432
“Akan hal Hasan Ali, tak jauh kesalahannya dengan gurunya. Dia
pertama-tama telah menggunakan nama Syaikh Lemah Abang
dengan membuat fitnah dan kerusakan. Kenapa dia dibunuh di
Caruban? Sebab, dia terang-terangan membangun dukuh Lemah
Abang di selatan dukuh Lemah Abang yang didirikan Syaikh Datuk
Abdul Jalil. Dia mengajarkan ajaran sesat seperti gurunya. Dia
tidak sadar bahwa para sesepuh Caruban sangat kenal siapa
Syaikh Datuk Abdul Jalil dan siapa Hasan Ali putera Rsi Bungsu.
Kesalahannya yang terbesar, dia memerintahkan pengikut-
pengikutnya untuk membunuh Pangeran Bratakelana, putera
saudaraku Syarif Hidayatullah. Dia sangat membenci Syarif
Hidayatullah yang dianggapnya merampas haknya sebagai
pelanjut Pesantren Giri Amparan Jati, yang didirikan oleh Syaikh
Datuk Kahfi, suami dari uwaknya. Dia menganggap dirinya lebih
berhak menjadi guru suci di Giri Amparan Jati dibanding Syarif
Hidayatullah. Dia tidak pernah tahu jika yang mengangkat Syarif
Hidayatullah sebagai pelanjut Syaikh Datuk Kahfi adalah Syaikh
Datuk Abdul Jalil, yaitu santri terkasih dan saudara sepupu yang
diamanati Syaikh Datuk Kahfi mengembangkan pesantren
tersebut. Bahkan Syaikh Datuk Bayanullah, adik kandung Syaikh
Datuk Kahfi tidak sedikit pun pernah menyoal masalah tersebut. Ia
bahkan tinggal bersama kemenakannya, Tughril Muhammad Khan
di negeri Banjar di Barunadwipa.”
“Menurut hemat kami, itu gambar alim ulama asing,” sahut Raden
Ketib.
2434
“Dewa Kematian? Sang pencabut nyawa?” gumam Raden Ketib
terkejut.
“Yang satu lagi, yang lebih kecil, aku sebut Pandita Durna.”
2437
Sang Suwung
2438
siapa pun di antara manusia yang akan melewati jalan ini,” kata
prajurit itu menunjuk celah itu.
2439
“Masuklah! Engkau sudah diperkenankan meluhatnya,” kata
Fadhillah memberi isyarat tangan kepada para prajurit penjaga,
“Tetapi ingat, engkau hanya menyaksikan. Menyaksikan. Bersaksi.
Tidak lebih. Jangan melakukan sesuatu yang tidak disukainya.”
“Ada tiga. Yang satu di tanah Bali. Yang satu di Banten. Yang satu
di sini.”
2442
begitu tinggi hingga tinggal di Suwung bersama Syaikh Datuk
Abdul Jalil.
2444
Raden Ketib tercengang takjub. Ia merasakan tubuhnya meriang,
bibirnya bergetar, tenggorokkannya kering, dan dadanya penuh. Ia
takjub karena kemampuannya menangkap bahasa perlambang
mendadak sangat tajam dan cemerlang. Bahkan, seperti didorong
suatu kekuatan tak kasatmata, ia tiba-tiba dapat lancar berkata-
kata dengan bahasa perlambang. “Kami adalah penempuh jalan
ruhani (salik) yang tak kenal lelah mencari Kebenaran Sejati. Kami
memohon paduka berkenan membagi Pengetahuan kepada kami
yang masih terus mencari.”
2446
Raden Ketib terperanjat dengan peringatan lelaki itu tentang diam.
Ia mendadak sadar bahwa selama ini ia sangat disibukkan oleh
keakuan hingga belum paham dengan apa yang disebut diam. Ia
menduga diam adalah suatu keadaan yang sudah jadi. Ternyata,
diam adalah keadaan. “akan menjadi”. Keadaan yang harus
diperjuangkan keras. Untuk diam, ternyata butuh perjuangan keras
karena nalar dan keakuannya tidak pernah bisa diam. Akal dan
keakuan. Dua anasir inilah yang selalu mengganggu usahanya
untuk diam.
2450
Kepustakaan
Abdul Karim bin Ibrahim al-Jili. t.t. Al-Insan al-Kamil fi Ma’rifah al-
Awakhir wa al-Awa’il. Juz II. Beirut: Dar al-Fikr.
2451
Abdul Qadir Mahmud. 1387H. Al-Falsafah al-Shufiyyah fi al-Islam.
Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi.
2452
1406H. Misykah al-Anwar wa Mishfah al-Asrar. Beirut: al-‘Alam al-
Kutub.
Abu Thalib Makki. 1381H. Qut al-Qulub. 2 Jilid, Kairo: Dar al-Fikr
al-‘Arabi.
Albright, W.F. 1968. Yahweh and the Gods of Canaan. New York:
Doubleday.
2453
Al-Biruni. 1999. India (editor Qeyamuddin Ahmad). 4th reprint. New
Delhi: National Book Trust.
Ali ibn ‘Utsman al-Hujwiri. 1982. The Kasyf al-Mahjub: The Oldest
Persian Treatise on Sufism (Penerjemah R. Nicholson). New Delhi:
Taj Company.
2454
A. H. Nasir. 1990. Kota-kota Melayu. Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka.
2455
Amstrong, A. 1998. Khazanah Istilah Sufi: Kunci Memasuki Dunia
Tasawuf (Penerjemah M. S. Nasrullah dan Ahmad Baiquni).
Cetakan ke 2. Bandung: Mizan.
2456
Avalon, A. 1931. The Serpent Power (sat-cakra-nirupana and
paduka-pancaka). 3rd ed. Rev. Madras & London: t.p.
2457
Babad Ciungwanara. Naskah di Museum Sonobudoyo Yogyakarta
No. S-39.
2458
Babad Pengging. Naskah di Museum Sonobudoyo Yogyakarta No.
S-47.
Besant, A. 1912. The Bagavad Gita. 4th ed. & rev. London: t.p.
Boekoe Siti Djenar ingkang toelen. 1931. Kediri: Tan Khoen Swie.
2460
Carr, E.H. 1973. What is History? London: Penguin Books.
2461
Cortesao, A. (ed). 1944. The Suma Oriental of Tome Pires: An
Account of the East. Jilid XXVIXL. London: The Hakluyt Society.
Dalal, R. 2002. The Puffin History of India for Children 3000 BC-AD
1947. New Delhi: Puffin Books.
DeCasparis, J.G. 1956. “Selected Inscription from the 7th to the 9th
Century A. D.” Dalam Prasasti Indonesia. Jilid II. Bandung: Masa
Baru.
2463
Ensink, J. t.t. On the Old Javanese Cantakaparwa and its Tale of
Sutasoma. t.kp.:VKI 54.
2465
G. Pudja. 1985. Weda-Pengantar Agama Hindu. Jakarta:
Mayasari.
Hart, H. H. 1950. The Sea Road to the Indies. New York: Macmillan
Company.
2466
Herklots, G. A. 1921. Islam in India or The Qanun-i-Islam. The
Customs of the Musalamans of India Comprising a Full and Exact
Account of the Various Rites and Ceremonies from the Moment of
Birth to the Hour of Death. London: Oxford University Press.
2467
H. Djafar. 1978. Girindrawarddhana: Beberapa Masalah Majapahit
Akhir. Jakarta: Yayasan Dana Pendidikan Buddhis Nalanda.
2468
I. B. O. Puniyatmadja. 1976. Silakrama. Denpasar: Parisada Hindu
Dharma Pusat.
2470
Kellinger dan W. Rudolph (ed). 1967-1977. Biblia Hebraica
Stuttgartensia. Stuttgart: t.p.
2472
Moens, J. L. 1974. Buddhisme di Jawa dan Sumatra Dalam Masa
Kejayaannya Terakhir. Jakarta: Bhratara.
2474
Nicholson, R. A. 1975. The Mystic of Islam. London: Routledge and
Kegan Paul.
2475
Olthoff, W. L. (ed). 1941. Poenika Serat Babad Tanah Djawi Wiwit
Saking Nabi Adam Doemoegi in Tahoen 1647. ‘s-Gravenhage: M.
Nijhoff.
2476
1938. Javaansche Volksvertoningen. Batavia: Bijdrage to de
beschrijving van Land en Volk.
2477
Priyohutomo. 1934. Nawaruci, Groningen: JB. Wolters Uitgevers
Maatchapij.
2478
1985. Sejarah Cirebon. Jakarta: Balai Pustaka.
2479
Rouffaer, G. P. 1899. “Wanner is Majapahit gevallen? Het Tijdpark
van Godsdienstovergang (1400-1600) in den Malaischen Archipel”.
BKI, Zesde Volgreeks, 6e deel. hlm. 111.
2480
R. Sasrawidjaja. 1958. Serat Seh Siti Jenar. Yogyakarta:
Bratakesawa.
2483
Shellabear, W. G. 1967. Sejarah Melayu. Kuala Lumpur: Oxford
University Press.
2484
Societal Change in Shi’ite Iran from the Beginning to 1890.
Chicago: University of Chicago Press.
2485
Syihabuddin Ahmad bin Muhammad al-Asady al-Makky. 1936 H.
Ikhbar al-Kiram bi Akhbar al-Masjid al-Haram. Benares: al-
Mathba’ah as-Syalafiyyah.
2487
Tantu Panggelaran. Naskah di Museum Sonobudoyo Yogyakarta
No. S-6.
Thapar, R. 2003. The Penguin History of Early India from the Origin
to AD 1300. New Delhi: Penguin Books.
2489
Weraspati Kalpa: Tenung Pedukunan. (Penyalin I Made Gambar).
1992. Denpasar: Cempaka.
Yochai, Rabbi Shimonbar. t.t. The Zohar. New York: Yeshivat Kol
Yehudah.
2490
Yusuf bin Ismail al-Nabhani. 1381 H. Jami’ Karamat al-Awliya’. 2
Jilid. Beirut: al-Maktabah al-Tsaqafah.
1408 H. Al-Fikr al-Shufi ‘inda ‘Abd al-Karim al-Jili. Beirut: Dar al-
Nahdah al-‘Arabiyyah.
Daftar Singkatan
2491
AHPA : Analisis Hasil Penelitian Arkeologi.
Instituut.
JA : Journal Asiatic.
2492
JSBRAS : Journal of the Straits Branch of the Royal Asiatic Society
(Singapore)
Surabaya.
2493
TBG : Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-, en Vokendunde.
VG : Verspreide Gescheriften.
Wetenschappen.
Volkenkunde.
2494
Biodata Penulis
2496