Anda di halaman 1dari 2496

SULUK ABDUL JALIL

PERJALANAN RUHANI SYAIKH


SITI JENAR

BUKU 1
AGUS SUNYOTO

Pengantar Redaksi
Daya tahan setiap pemikiran, ajaran, aliran, ideologi, peradaban,
dan semacamnya sangat ditentukan oleh seberapa besar
pemikiran tersebut dapat diterima di tengah masyarakat,
penguasa, dan komitmen para pengikutnya dalam menjaga
kelangsungan. Bila ketiga komponen tersebut tumbuh subur maka
akan menemukan masa kejayaan. Sebaliknya, bila satu dari ketiga
komponen tersebut tidak seiring maka akan mengalami
ketersendatan, keterpurukan, bahkan kepunahan.

Oleh karena itu, wajar bila sering kali terjadi sebuah pemikiran
pada satu zaman masyhur, namun pada zaman yang berbeda
mengalami keredupan, atau sebaliknya. Pada periode tertentu
dikutuk, pada saat yang lain dipuja habis-habisan. Dalam situasi
seperti ini kaum elit (masyarakat-agamawan-penguasa-intelektual)
memegang peran yang sangat menentukan.

1
Salah satu contoh peran signifikan kaum elit ini dapat disimak
dalam kasus yang menimpa Syaikh Siti Jenar. Dalam cerita-cerita
babad, ajaran-ajaran Syaikh Siti Jenar dianggap sebagai bid’ah,
menyimpang dari ajaran Islam. Oleh karena itu, melalui sidang
dewan Wali Syaikh Siti Jenar dihukum mati. Polemik terjadi tatkala
kitab rujukan yang berbeda kita jajarkan. Katakanlah novel yang
akan dibaca ini kita jadikan rujukan.

Novel ini sangat menarik karena memberikan perspektif baru


dalam cara baca-pandang terhadap sejarah. Dengan merujuk
pada kitab-kitab versi Cirebon, novel ini mampu menghadirkan sisi-
sisi kemanusiawian Syaikh Siti Jenar. Novel ini mampu hadir tanpa
absurditas dan paradoksal. Tidak ada tragedi pengadilan oleh Wali
Songo, apalagi hingga putusan hukuman mati.

Pada buku pertama ini memaparkan tentang konsep filosofis


tentang Yang Wujud dan maujud serta pengalaman ruhani Syaikh
Siti Jenar menuju Yang Mutlak. Bagian ini juga menyusur tentang
asal usul Syaikh Siti Jenar hingga berangkat menjalankan ibadah
haji ke Makah. Di Makah inilah Syaikh Siti Jenar “berjumpa”
dengan Abu Bakar Ash-Shidiq yang mengajarkan tarekat
kepadanya. Pada buku kedua nanti akan dimulai dari kembalinya
Syaikh Siti Jenar dari Makah, menyebarkan ajarannya, hingga
diangkat menjadi dewan Wali.

Kami menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Mas


Agus Sunyoto yang mempercayakan penerbitan karya ini kepada
2
kami. Terima kasih juga kami haturkan kepada KH. A. Mustofa Bisri
yang telah berkenan memberikan pengantar pada buku ini.
Semoga memberikan manfaat bagi khasanah sastra dan
historiografi, khususnya di tanah air dan dunia Islam pada
umumnya. Selamat membaca.***

3
Membaca Sejarah Tanpa Kepentingan

Oleh KH. A. Mustofa Bisri

Orang yang dengan cerdas membaca sejarah kehidupan manusia


– termasuk dan khususnya yang berkaitan dengan keimanan –
akan menjumpai banyak kekacauan bahkan tragedi ketika nafsu
dan urusan kekuasaan (kekuasaan apa saja) memimpin pihak-
pihak berkepentingan.

Kekacauan itu tidak hanya pada kehidupan lahir, tapi juga pada
kebeningan dan penalaran. Dalam sejarah umat Islam sendiri, kita
dapat melihat banyak perilaku tak Islam pada orang-orang Islam.
Perilaku ini akibat kekacauan berpikir tercampur dengan semangat
keberagaman yang tidak ditunjang oleh pendalaman pemahaman,
plus kebodohan menyadari garis batas yang memang tipis antara
ghirah (semangat) keagamaan dan nafsu tersembunyi. Tengoklah
kekacauan yang terjadi sejak zaman sahabat Usman bin Affan
hingga sekarang, baik yang jelas asal-usul persoalannya hingga
yang samar.

Seandainya kekuasaan tidak ikut campur bahkan memimpin


kehidupan sampai pada persoalan keimanan umat sedemikian
rupa, saya rasa – secara lahiriah – wujud kehidupan kaum
beragama tidak seperti sekarang ini. Tengoklah “sakti”-nya
kekuasaan dalam menggiring kehidupan umat selama ini. Setiap
4
penguasa selalu membawa dan mendakwah “akidah”-nya dengan
pemaksaan yang memang dimungkinkan oleh kekuasaannya.
Jangan coba-coba berbeda “akidah” dengan pihak yang berkuasa.
Ingat, soal wacana qadim-hadits Al-Qur’an saja telah membawa
korban, gara-gara kebenaran hanya milik penguasa. Sabda
Pandita Ratu!

Kekacauan yang terjadi di tanah air pun banyak diopinikan sebagai


berkaitan dengan soal agama, namun keyakinan saya bergeming:
itu hanya buntut persoalan. Persoalan sejatinya ialah ulah pihak
berkepentingan (politik/kekuasaan) yang bisanya cuma mengajak
Tuhan untuk mendukung kepentingannya, namun tidak ditunjang
oleh kemampuan sendiri. Dikiranya Tuhan adalah “pandai besi”
yang sewaktu-waktu bisa mereka minta buatkan pedang untuk
melawan hamba-hamba-Nya sendiri. Masya Allah.

Demikianlah, karena kekacauan itu, melihat manusia secara utuh


sebagaimana adanya menjadi barang luks. Apalagi bila manusia
itu merupakan pihak yang kalah oleh kekuasaan. Seberapa banyak
orang yang mengetahui sirah, riwayat lengkap kehidupan al-Hallaj,
misalnya? Bahkan kisah tokoh kita sendiri, Syaikh Abdul Jalil atau
Syaikh Siti Jenar, banyak di antara kita hanya tahu bahwa wali
songo tinari itu telah dihukum mati – sebagaimana al-Hallaj karena
ajarannya dianggap menyimpang. Bagaimana kira-kira wajah
sejarah seandainya yang dekat dengan pusat kekuasaan saat itu
justru Syaikh Siti Jenar? Apa yang bakal terjadi jika “akidah”
penguasa sama dengan Syaikh Siti Jenar?

5
Buku-buku yang ditulis belakangan tentang “tokoh kontroversial”
itu umumnya sekadar menjelaskan sebab musabab kenapa beliau
dihukum. Orang hampir tak pernah disuguhi riwayat pribadinya
sebagai manusia beriman. Untunglah ada Saudara Agus Sunyoto
yang menyusun buku tentang tokoh legendaris itu dengan maraji’
(referensi) yang lain sehingga kita bisa membaca riwayat hidupnya
yang hanya kita kenal sebagai ‘pesakitan’ saja.

Maka, selamat menikmati.

6
Exegese

Maharaja Rahwana – yang dalam epos Ramayana distigmakan


sebagai raja kawanan raksasa – pasti tak pernah membayangkan
dirinya bakal mengalami nasib buruk, seiring kekalahan yang
dialaminya dalam pertempuran melawan bala tentara Kiskenda.
Rahwana tampaknya tidak pernah membayangkan citra
keagungan dirinya luluh lantak seiring stigma yang dibangun oleh
para pemenang perang. Tentunya, ia tidak bakal menyangka
dirinya dicitrakan sebagai rajadiraja dari makhluk raksasa; yang
biadab dan haus darah yang menjadi musuh dewa-dewa dan
manusia.

Kita tidak tahu apa yang sebenarnya telah dilakukan oleh para
pemenang perang setelah kekalahan Maharaja Rahwana. Kita
hanya tahu bahwa, menurut epos Ramayana yang ditulis para
pemenang, leluhur Maharaja Rahwana adalah bangsa raksasa
yang kejam, jahat, licik, rakus, brutal, haus darah, dan biadab.
Padahal, di dalam berbagai versi tentang epos Ramayana selalu
kita temukan gambaran bahwa Maharaja Rahwana hidup di
Alengka, sebuah kota yang penuh bangunan berarsitektur tinggi,
makmur, mewah, dan memiliki sistem pemerintah yang bersifat
musyawarah dengan penasihat-penasihat maharaja yang cerdik
dan bijak. Sebaliknya, para pemenang perang selalu digambarkan
hidup di lingkungan hutan dengan penghuni “masyarakat kera”
yang berperadaban rendah dan sistem pemerintahan bersifat
kultus individu.
Lepas dari benar tidaknya epos Ramayana dalam konteks
objektivitas sejarah, kita bisa menangkap terjadi proses ethnic
7
cleansing dalam bentuk tumpas kelor terhadap Rahwana, saudara-
saudara, keturunan, bala tentara, dan bahkan bangsanya. Proses
itu mungkin terjadi karena di dalam pemikiran masyarakat yang
terhegemoni pengaruh peradaban Aryan, puak-puak masyarakat
yang digolongkan sebagai raksasa adalah musuh dewa-dewa dan
manusia yang wajib dibasmi kapan pun dan di mana pun mereka
berada. Lalu terjadilah ethnic cleansing itu. Komunitas “raksasa”
yang melarikan diri tentu saja segera tersingkir dari lingkungan
peradaban tinggi di Alengka. Bangsa raksasa, di kelak kemudian
hari selalu digambarkan sebagai penghuni rimba raya.

Nasib buruk yang menimpa Rahwana dan bangsanya, ternyata


dialami pula oleh para pahlawan Indian seperti Mangus Durango,
Geronimo, Montezuma, Mohawk, dan Sitting Bull. Para pahlawan
pejuang itu tak pernah membayangkan, seiring kekalahan yang
mereka terima, bakal distigmakan sebagai pemimpin kawanan
manusia biadab yang kejam dan jahat. Oleh karena stigma itu,
orang-orang kulit putih boleh membasmi mereka kapan dan di
mana saja tanpa perlu merasa berdosa.

Pada dekade 1960-an dan 1970-an, misalnya, hampir semua film


western baik layar lebar maupun serial televisi seperti Red Sun,
Alamo, Jango, Patt Garret, Billy the Kid, Wild Wild West, Rintintin,
dan Bonanza menyuguhkan cerita-cerita yang diselingi
penggambaran citra kebiadaban, kekejaman, kebrutalan, dan
keganasan bangsa Indian. Suku Sioux, Apache Pawnee, Cayenne,
Commanche, Toltecs, Mohican, dan Aztec nyaris digambarkan
sebagai kawanan orang biadab yang suka perang, kejam, haus
8
darah, dan brutal. Penonton film-film western dewasa itu selalu
bersorak-sorak dan bertepuk tangan ketika menyaksikan para
koboi dengan tanpa kenal ampun menembaki mereka.

Memasuki dekade 1980-an dan 1990-an baru muncul film-film


yang agak objektif tentang bagaimana sebenarnya kesengsaraan
dan penderitaan bangsa Indian ketika menghadapi para imigran
Eropa yang serakah, bengis, kejam, tak kenal ampun, dan mau
menang sendiri, yang merampas tanah dan berusaha membasmi
mereka dari muka bumi Amerika. Film Dances with Wolf,
Pocahontas, Columbus 1492, dan The Last of the Mohican,
mengungkapkan bagaimana orang-orang Indian harus lari dan
bersembunyi dari buruan para imigran Eropa.

Nasib tragis Rahwana dan bangsa Indian ternyata dialami pula


oleh Syaikh Siti Jenar, penyebar Islam di Jawa pada perempat
kedua abad ke-16. Beberapa waktu setelah penyerbuan Ibukota
Majapahit oleh kelompok-kelompok muslim bersenjata yang
dipimpin oleh Jakfar Shadiq, Susuhunan Kudus, Syaikh Siti Jenar
disidang dengan tujuan menyebarkan ajaran bid’ah yang
membahayakan kerajaan dan masyarakat Muslim.

Menurut sejumlah sumber historiografi sejenis babad, dalam


sidang itu Syaikh Siti Jenar dinyatakan bersalah dan dijatuhi
hukuman mati. Namun, sumber-sumber tersebut justru menyulut
kontroversi yang sangat membingungkan. Pasalnya, menurut
kronologi waktu, tokoh-tokoh yang disebut sebagai anggota sidang
9
Dewan Wali seperti Sunan Giri, Sunan Bonang, Raden Patah, dan
Sunan Ampel sudah meninggal dunia belasan bahkan puluhan
tahun sebelum peristiwa itu terjadi. Lebih membingungkan lagi,
Susuhunan Giri (yang mungkin adalah Sunan Dalem, Susuhunan
Giri II), dalam kasus itu dikisahkan membuat pernyataan: “Syaikh
Siti Jenar kafir ‘inda an-nas wa mu’min ‘inda Allahi” (Syaikh Siti
Jenar kafir menurut manusia, namun mukmin menurut Allah).
Sementara Susuhunan Kudus, dikabarkan sangat menghormati
dan memuliakan Syaikh Siti Jenar. Bahkan lebih aneh lagi
disebutkan mayat Syaikh Siti Jenar menyebarkan bau wangi
semerbak, namun kemudian menjelma menjadi anjing berbulu
hitam. Konon, bangkai anjing itu dikubur di Masjid Agung Demak.

Lepas dari benar dan tidaknya sumber-sumber historiografi sejenis


babad tersebut, yang jelas saat itu beribu-ribu bahkan berpuluh-
puluh ribu orang yang menjadi pengikut, keluarga para pengikut,
kawan para pengikut, mereka yang diduga menjadi pengikut, atau
sekadar simpatisan Syaikh Siti Jenar, pasti merasa takut, tegang,
dan bahkan panik. Soalnya, pemimpin mereka telah dijatuhi
hukuman mati di Masjid Demak. Dan seiring eksekusi itu, meluas
stigma bahwa Syaikh Siti Jenar bukan manusia, melainkan seekor
cacing yang menjelma manusia ketika mendengar wejangan
Sunan Bonang kepada Sunan Kalijaga. Itu sebabnya, ketika mati
tokoh sesat itu dikisahkan jasadnya kembali lagi dalam wujud
hewan.

Ketakutan dan ketegangan para pengikut semakin meningkat


ketika mendengar kabar kematian Ki Lonthang beberapa waktu
10
setelah kematian gurunya. Bahkan ketakutan dan ketegangan
mereka pasti meningkat menjadi kepanikan manakala terdengar
kabar susulan tentang dieksekusinya Ki Ageng Pengging, murid
terkasih Syaikh Siti Jenar.

Sekalipun ketakutan, ketegangan, dan kepanikan yang dialami


para pengikut Syaikh Siti Jenar tidak pernah dipaparkan. Namun,
buku-buku seperti Babad Tanah Jawi, Suluk Syaikh Lemahbang,
Boekoe Siti Djenar, dan Serat Wali Sanga mengungkapkan
bagaimana Ki Ageng Tingkir, Ki Ageng Banyubiru, Ki Ageng Butuh,
Ki Ageng Ngerang, dan pengikut Syaikh Siti Jenar yang lain
menyatakan tunduk kepada penguasa Demak. Dan sebagaimana
nasib Rahwana dan bangsa Indian, selama beratus-ratus tahun
Syaikh Siti Jenar dan para pengikutnya selalu distigmakan sebagai
penyebar ajaran bid’ah yang sesat.

Sampai sekarang pun getaran rasa takut dan tegang masih terasa
pada mereka yang menjadi pengikut Syaikh Siti Jenar. Entah takut
entah tidak, entah tegang entah tidak, buktinya para pengikut
Tarekat Akmaliyyah, tarekat yang dinisbatkah kepada Syaikh Siti
Jenar, selalu mengamalkan dan melestarikan ajarannya secara
sembunyi-sembunyi. Dogma dan doktrin dari amalan-amalan
Tarekat Akmaliyyah haram diajarkan kepada masyarakat umum.
Nama Syaikh Siti Jenar seolah-olah mewakili rasa takut dan tegang
bagi mereka yang sekadar simpati kepadanya.

11
Lepas dari soal takut dan tegang, citra Syaikh Siti Jenar sendiri
selama kurun lebih empat abad memang tidak bisa lepas dari
stigma kebid’ahan, kesesatan, kecacingan, dan keanjingan.
Sementara, kita tidak pernah tahu apakah ia benar-benar jelmaan
cacing. Kita juga tidak pernah tahu apakah ketika mati jasad Syaikh
Siti Jenar berubah menjadi anjing. Bahkan kita tidak pernah tahu
apakah bangkai anjing itu benar-benar dikubur di kompleks Masjid
Agung Demak.

Kontroversi membingungkan tentang Syaikh Siti Jenar yang


termuat dalam historiografi sejenis babad, ternyata tidak kita
jumpai pada sejumlah naskah kuno asal Cirebon seperti Negara
Kretabhumi, Pustaka Rajya-Rajya di Bhumi Nusantara, Purwaka
Caruban Nagari, dan Babad Cherbon. Dalam naskah-naskah
tersebut tidak dijumpai paparan absurd yang menggambarkan
tokoh Syaikh Siti Jenar sebagai penjelmaan cacing. Tidak ada
cerita yang menggambarkan mayatnya berubah menjadi anjing.
Syaikh Siti Jenar, yang kelahiran Cirebon, digambarkan sangat
manusiawi lengkap dengan silsilah keluarga yang berasal dari
spesies manusia.

Lepas dari pro dan kontra kisah Rahwana, Indian, dan Syaikh Siti
Jenar, ternyata faktor sumber-sumber naskah yang dijadikan
acuan data dalam menggambarkan para tokoh itu menempati
posisi kunci. Dikatakan posisi kunci kaerna sumber naskah acuan
itulah yang sebenarnya membentuk frame of reference pembaca.
Karena, naskah-naskah itulah yang sesungguhnya membangun

12
asumsi, simpulan, opini, dan wacana tentang pokok masalah yang
diperdebatkan.

Kita tidak tahu apakah Syaikh Siti Jenar yang dikenal penyebar
bid’ah dan sesat itu sejatinya memang demikian, sesuai tuduhan
yang dialamatkan kepadanya. Yang jelas, pencitraan dan stigma
itu tergantung sepenuhnya pada sumber-sumber historiografi yang
mencatat tentangnya. Kenyataan tentang perbedaan sumber-
sumber historiografi inilah yang diam-diam telah mendorong dan
memotivasi saya untuk menulis kisah Syaikh Siti Jenar dari sisi
lain. Siapa tahu dengan sumber-sumber asal Cirebon itu kita dapat
menempatkan tokoh Syaikh Siti Jenar dalam bentuk yang berbeda
dengan yang kita kenal selama ini. Maksudnya, siapa tahu bahwa
di balik stigma kebid’ahan, kesesatan, kecacingan, dan keanjingan
itu ternyata tersembunyi kemanusiaan atau bahkan
keadimanusiaan.

Namun demikian, untuk memahami secara emic tentang siapa


Syaikh Siti Jenar dan apa yang sebenarnya diajarkannya, sumber-
sumber historiografi saja tidaklah cukup mewakili. Itu sebabnya
perlu dilakukan pendekatan verstehen dengan metode kualitatif
kepada para guru Tarekat Akmaliyyah, yang diam-diam masih
dianut masyarakat Cirebon, Jawa Tengah, dan Jawa Timur meski
secara sembunyi-sembunyi.

Melalui sumber-sumber historiografi asal Cirebon, ditambah


sumber naskah dari Banten (Sajarah Banten), dan pendekatan
13
verstehen, saya pada gilirannya dapat menangkap gambaran utuh
tentang keberadaan Syaikh Siti Jenar beserta ajaran-ajarannya.
Dan yang mengejutkan, gambaran utuh Syaikh Siti Jenar yang
terbangun dalam konstruk pemahaman saya akibat proses
pendekatan yang saya lakukan ternyata bertolak belakang dengan
pencitraan dan stigma yang selama ini berlaku atas tokoh
kontroversial tersebut.

Saya tidak tahu apakah gambaran utuh Syaikh Siti Jenar dalam
bentuk konstruk pemahaman saya itu lebih proporsional dan lebih
objektif dibanding gambaran yang dibangun sumber-sumber
historiografi sejenis babad. Yang jelas, menyusun gambaran utuh
Syaikh Siti Jenar ke dalam bentuk penelitian kualitatif sesuai
tuntutan metodologi (an sich), saya rasakan mengalami banyak
kesulitan, bahkan kemustahilan. Karena, keberadaan Syaikh Siti
Jenar dan ajarannya terkait dengan pergulatan sosio-religi,
ideologi, dogma, doktrin, dan pengalaman ruhani yang sulit
dijabarkan oleh kaidah-kaidah ilmiah yang bertolak dari paradigma-
paradigma, postulat-postulat, dan aksioma-aksioma sekular-
materialistis. Oleh karena itu, saya memilih alternatif paling
memungkinkan, yakni menyajikan hasil tangkapan saya terhadap
sosok Syaikh Siti Jenar dan ajarannya dalam bentuk fiksi. Sajian
itu saya beri judul Suluk Abdul Jalil: Perjalanan Ruhani Syaikh Siti
Jenar.

Keputusan untuk menuangkan hasil pendalaman tentang Syaikh


Siti Jenar dalam bentuk fiksi, selain saya maksudkan untuk
mengatasi faktor-faktor kesulitan teknis-metodologis, juga saya
harapkan bisa lebih memudahkan masyarakat pembaca

14
memahami kisah tokoh kontroversi ini dari sisi pandang yang lain.
Sebab, melalui karya fiksi, pengungkapan dan pemaparan hal-hal
yang bersifat abstrak dan absurd dapat dijembatani oleh pilihan
kata-kata dan kalimat-kalimat konotatif dan metaforik.

Yang lebih mendasar, penulisan kisah Syaikh Siti Jenar dalam


bentuk fiksi ini saya maksudkan juga untuk menghindari terjadinya
pro dan kontra yang mengarah ke perdebatan klise yang berlarut-
larut. Artinya, melalui karya fiksi, kisah Syaikh Siti Jenar boleh
diterima sebagai keniscayaan bagi mereka yang sepaham, namun
boleh juga dicampakkan seperti sampah bagi mereka yang tidak
sepaham. Keberadaan karya fiksi memang tidak untuk
diperdebatkan secara ideologis, politis, dan agamis, karena di
dalamnya selain terdapat paparan deskriptif, ungkapan-ungkapan
metaforik, konotatif, personifikatif, dan asosiatif, juga terdapat
refleksi dari hasil pengendapan renungan kontemplatif,
pengalaman ruhani pribadi, dan tentunya tak ketinggalan
gambaran-gambaran imajinatif pengarang yang absurd.

Para pelaku dalam cerita ini digambarkan sebagai manusia-


manusia dengan berbagai perwatakan yang khas. Meski
ditampilkan dalam bentuk individu-individu, mereka pada dasarnya
bukan mewakili manusia dalam kapasitas pribadi. Mereka mewakili
fenomena-fenomena, naluri-naluri, sifat-sifat, perilaku-perilaku,
dan kecenderungan-kecenderungan nafsu terdalam manusia
sebagaimana dikenal dalam ajaran sufi. Itu sebabnya, sebagian
terbesar nama pelaku dalam cerita ini lebih mewakili citra naluri,
sifat, perilaku, dan kecenderungan nafsu manusia ketimbang
15
mewakili figur individu manusia historis. Peristiwa-peristiwa yang
terjadi pun tidak sekadar mewakili waktu dan tempat pada
bentangan sejarah, tetapi juga mengungkapkan simbol-simbol
perkembangan jiwa manusia menuju kesempurnaan sebagaimana
dikemukakan oleh ajaran sufi.

Sebelum dicetak menjadi buku oleh Penerbit LKiS Yogyakarta,


naskah Suluk Abdul Jalil ini pernah dimuat secara bersambung di
Harian Bangsa (2001-2002).
Pada bagian ini dipaparkan pandangan-pandangan filosofis tokoh
Syaikh Datuk Abdul Jalil atas apa yang disebut Yang Wujud dan
yang maujud, serta berbagai pengalaman ruhani dalam menuju
Yang Mutlak. Buku ini juga memuat asal usul dan masa kecil tokoh
Abdul Jalil, kisah perjalanan sejak dari Cirebon, Pakuan,
Palembang, sampai ke Malaka. Di sini jelas tergambar bahwa
tokoh Syaikh Siti Jenar yang bernama Syaikh Datuk Abdul Jalil itu
bukanlah orang Jawa, apalagi seekor cacing. Ia adalah seorang
habaib dan berasal dari keluarga ulama di Malaka yang asal usul
kakek buyutnya dari Gujarat.

Selaku pengarang, saya berharap dengan hadirnya buku ini


masyarakat pembaca akan memiliki cakrawala baru bukan hanya
mengenai apa dan siapa sebenarnya Syaikh Siti Jenar, melainkan
yang lebih fundamental adalah munculnya perspektif baru tentang
dinamika ajaran Tauhid yang bersifat universal, khususnya tentang
ajaran Sasyahidan atau Wahdatusy Syuhud yang diajarkan Syaikh
Siti Jenar, yang banyak disalahpahami selama ini. Lain dari itu,

16
terdapatnya ungkapan-ungkapan teknis sufisme yang bersifat
esoteris di dalam buku ini sengaja tidak diberi makna dan
penjelasan, agar tidak terjadi monopoli penafsiran oleh pengarang.
Semoga isi buku ini bisa menjadi masukan dan bahan renungan
bagi para pencari Kebenaran Sejati.

Agus Sanyoto

Malang, Ramadhan 1423 H.

17
Yang Dikutuk yang Dipuji

Langit hitam dipadati gumpalan awan kelabu.

Nusa Jawa yang terapung di permukaan laut


bergetar dalam selimut kabut ketakutan,
kegelisahan, keresahan, dan kecurigaan yang
menebar di segenap penjuru hingga sudut-
sudutnya. Terang matahari dan cahaya
rembulan purnama tidak mampu lagi mengusir kabut tebal yang
menerkam ujung terdalam jiwa manusia yang hidup di atasnya.
Bagaikan gembala memelihara ternak di tepi hutan yang banyak
harimau dan serigala, demikian para penghuni Nusa Jawa saling
melirik dan mencuri pandang dengan sorot mata penuh curiga,
seolah-olah menghadapi ancaman hewan buas.

Seiring melesatnya waktu, langit pun terang tanpa awan. Biru.

Berbeda dengan langit biru terang tanpa awan. Di permukaan


Nusa Jawa, kabut masih kuat dan pekat menutupi seluruh penjuru
kehidupan para penghuninya. Bayangan-bayangan hewan buas
dan hantu-hantu yang mengerikan berkeliaran di tengah gumpalan
kabut: menyeringai, meraung, melolong, melenguh, dan
menggeram bagai makhluk haus darah mengintai mangsa.
Gerangan apakah yang terjadi di negeri subur dan makmur
berkelimpah padi, buah-buahan, susu, dan madu itu?

18
Lebih sewindu lalu, menurut cerita burung yang menyebar dari
mulut ke mulut, terjadi prahara yang mengerikan dan menabur
kebinasaan di Nusa Jawa. Prahara itu akibat benturan dahsyat dua
angin berkekuatan besar yang membadai; yang satu adalah badai
merah yang datang dari arah barat, sedang yang lain adalah badai
putih yang datang dari timur. Padahal, kedua badai itu pada
awalnya sama, yakni angin sejuk dan segar yang berembus sepoi-
sepoi membasahi pepohonan, rerumputan, serta bebatuan.

Penyebutan nama badai merah yang berembus dari barat


dinisbatkan kepada sang penebar badai, Syaikh Lemah Abang
atau Syaikh Siti Jenar (Tanah Merah), yang digolongkan sebagai
pembangkang. Lantaran itu, para pengikutnya disebut golongan
Abangan yang memiliki makna pengikut Syaikh Siti Jenar. Dengan
adanya sebutan Abangan maka kesukaan orang Jawa untuk
menyama-nyamakan dan mengaitkan satu hal dengan hal lain
pada gilirannya memunculkan sebutan golongan Putihan, yang
selain dihubungkan dengan pakaian mereka yang serba putih juga
dikaitkan dengan kata patuh (bahasa Arab = Muthi’an).

Munculnya sebutan golongan Putihan membawa perkembangan


yang lain lagi. Jika sebelumnya golongan Abangan dinisbatkan
sebagai pengikut Syaikh Siti Jenar maka dengan pemaknaan
patuh bagi golongan Putihan menimbulkan asumsi tidak patuh
alias membangkang pada golongan Abangan. Demikianlah, para
pengikut Syaikh Siti Jenar dicap sebagai golongan pembangkang,
bahkan murtad.

19
Menurut cerita, benturan dua badai berlawanan arah itu puncaknya
terjadi di Kesultanan Demak, pusat kekuasaan Islam yang paling
awal di Nusa Jawa. Tragisnya, prahara yang merupakan bagian
dari drama di atas panggung kehidupan itu adalah benturan antara
angin Islam dan angin Islam sendiri. Tragedi anak manusia apakah
yang sedang berlangsung di zaman itu?

Pada perempat awal abad ke-16 Masehi, angin sejuk Islam yang
dibawa oleh para penyebarnya sedang berembus kencang dan
membadai di pantai utara Nusa Jawa. Bagaikan tiupan dari tengah
samudera melanda gugusan pantai, demikianlah angin hijau yang
semula sepoi-sepoi membasahi kegersangan jiwa para penghuni
negeri yang telah letih dipanggang hingar-bingar tungku
peperangan itu, berangsur-angsur menjadi badai yang
menggetarkan. Hal itu berlangsung ketika menara gading
Majapahit yang pernah menebarkan zaman keemasan di segenap
penjuru negeri telah tak berdaya lagi. Padam. Terpuruk menjadi
reruntuhan puing yang dihuni tikus, anjing geladak, burung gagak,
rayap, dan kuman penyakit.

Di tengah meredupnya cahaya kekuatan Majapahit itulah angin


sejuk Islam secara bergelombang mulai bertiup di pesisir utara
Nusa Jawa. Bermula dari Gresik, Tuban, Ampel Denta, dan
Bintara, angin sejuk itu menumbuhkan benih-benih kehidupan di
reruntuhan negeri yang gersang. Bagaikan angin penggiring awan
yang menurunkan rinai hujan, begitulah ia membasahi
kegersangan jiwa penghuni negeri dengan siraman air ruhaniah.
Setapak demi setapak, tunas-tunas kehidupan ruhani mulai
20
tumbuh menghijau di tanah kerontang. Dan gumpalan awan
pembawa hujan semakin berarak ke segenap penjuru negeri.

Pada saat yang hampir bersamaan, di bagian barat Nusa Jawa,


tepatnya di Lemah Abang, di tlatah nagari Caruban, bertiuplah
angin sejuk Islam yang membawa gumpalan kabut. Menerobos
dan menembus hutan, lembah, gunung, bukit, jurang, dan
persawahan yang kering dicekik kemarau panjang. Gumpalan
kabut yang memuat butir-butir air itu membasahi setapak demi
setapak hamparan lembah, bukit, gunung, ngarai, dan jurang
kemanusiaan yang sudah gersang tanpa makna. Menara gading
Galuh dan Pajajaran yang pernah memancarkan warna keemasan
telah tidak berdaya kini; terpuruk menjadi reruntuhan puing
kemanusiaan yang menyedihkan.

Embusan angin sejuk Islam yang bertiup makin kencang dari dua
arah yang berlawanan itu ternyata tunduk pada hukum alam. Saat
mereka bertemu pada satu pusaran tiba-tiba berubah menjadi
puting beliung berkekuatan raksasa yang berpusar dahsyat
melanda dan membinasakan segala yang diterjangnya. Keduanya
bertumbuk. Dorong-mendorong pun berlangsung seru. Namun,
kekuatan dahsyat angin dari timur terbukti memenangkan
pergulatan sehingga angin prahara Islam yang membawa
gumpalan kabut itu terdorong ke arah barat.

Bagaikan al-Maut menggiring wadyabala, begitulah prahara


kemanusiaan itu tanpa kenal ampun melanda pedesaan;
21
meluluhlantakkan rumah, sawah, pasar, kebun, kandang hewan,
hutan, lembah, bukit, dan gunung. Dan di tempat-tempat di mana
angin itu menderu, terhamparlah citra kebinasaan al-Maut; kepala
terpisah dari tubuh, luka menganga, darah mengalir, air mata
membanjir, derita menggenang, kegelisahan mencakar, keresahan
menerkam, ketakutan mencekik, kepanikan merajalela, dan
kematian mengintai di setiap sudut kehidupan.

Kebinasaan tampaknya belum cukup mengukir tragedi kehidupan


anak manusia. Iblis, anasir kegelapan yang terlaknat dan terusir,
beserta wadyabala bagaikan kawanan gagak pemakan bangkai
yang memencar ke segala penjuru negeri seusai badai berlalu.
Demikianlah, kawanan gagak hitam perwujudan iblis itu
beterbangan sambil berkaok-kaok mengerikan. Menebar fitnah.
Memangsa siapa saja yang ditemuinya. Memunguti serpihan
daging dari mayat-mayat yang bergelimpangan.

Langit biru terang tanpa awan. Badai telah berlalu.

Terangnya langit biru dan berlalunya angin prahara yang menebar


kebinasaan ternyata tidak serta merta mengusir gumpalan kabut
dari Nusa Jawa. Sejauh mata memandang dari ufuk timur ke barat,
hanya ada puing-puing reruntuhan jiwa manusia yang berserakan
tanpa daya. Kesunyian menghampar. Kesenyapan tergelar. Hanya
tangisan bocah-bocah yang menjadi yatim yang sayup-sayup
terdengar memecah hening.

22
Syaikh Siti Jenar, sang penebar badai, konon mati di tengah
amukan prahara itu. Tak seorang pun tahu di mana kuburnya.
Menurut cerita, ada orang yang menyaksikan mayat Syaikh Siti
Jenar berubah menjadi bangkai anjing. Sebagian menyatakan
bangkai itu dihanyutkan ke sungai. Sebagian lagi menyatakan
bangkai itu dikubur di Mantingan. Sedang menurut kesaksian yang
lain, bangkai anjing jelmaan Syaikh Siti Jenar dimakamkan di
belakang mihrab Masjid Agung Demak. Aneh, bangkai anjing
dikubur di belakang mihrab masjid. Lebih aneh lagi ada yang
menyaksikan bangkai Syaikh Siti Jenar menebarkan bau wangi
semerbak.

Para pengikut setia Syaikh Lemah Abang, seperti Ki Ageng


Pengging, Ki Ageng Tingkir Banyubiru, Ki Ageng Tingkir, Ki Ageng
Butuh, Ki Ageng Ngerang, Sunan Panggung, dan Ki Lonthang dari
waktu ke waktu mengalami nasib tak jauh dari gurunya, terhempas
oleh pusaran angin prahara. Tidak satu pun di antara mereka
pernah diketahui kuburnya. Dan bagi pengikut-pengikut dari
kalangan kawula alit, tidak ada yang tersisa dari prahara dahsyat
itu kecuali rasa takut, resah, gelisah, dan curiga yang menerkam
jiwa.

Ketakutan, kegelisahan, keresahan, dan kecurigaan yang melanda


kawula alit pengikut Syaikh Siti Jenar atau mereka yang dianggap
berhubungan karena ikatan darah maupun perkawanan, pada
dasarnya bersumber pada fitnah dahsyat yang disebarkan oleh
kawanan gagak jelmaan iblis. Bagaikan ulat menggeragoti daging,
demikianlah fitnah itu ditebar, memisahkan daging dari tulang.
23
Daging-daging yang dianggap busuk hendaknya dikelupas dari
tulang dan dibakar demi memelihara kesucian. Demikianlah, para
pengikut Syaikh Siti Jenar tidak saja digolongkan sebagai daging
busuk yang membahayakan kesucian tulang, tetapi dianggap
bukan bagian dari tulang. Para pengikut Syaikh Siti Jenar dianggap
telah murtad dari kebenaran Agama Rasulallah. Kawula alit yang
terkena cap sebagai wong Abangan dianggap sebagai bukan
bagian dari umat Islam dan darah mereka halal ditumpahkan.

Akibat yang ditimbulkan oleh fitnah itu sangat memilukan. Begitu


kelam. Pekat. Gelap. Dan semua itu akibat ketidakmampuan
manusia mengendalikan serigala nafsu duniawinya, sehingga
terjadilah tragedi: manusia memakan sesamanya.

Kisah-kisah dramatis tentang manusia memakan sesamanya ini


dengan cepat meluas di kalangan kawula alit. Bagaikan cerita
menakutkan tentang hantu-hantu yang bergentayangan, hati
mereka diliputi rasa takut, gelisah, resah, dan curiga
mendengarkan betapa mengerikan kisah orang-orang tak bersalah
yang binasa akibat dituduh menjadi pengikut Syaikh Siti Jenar. Ada
kisah tentang orang-orang kaya yang binasa dan hartanya
dijadikan jarahan. Ada pula kisah tentang orang-orang beristri
cantik yang dimakan fitnah sebagai wong Abangan kemudian istri-
istri mereka dijadikan rebutan. Atau tentang para nayakapraja yang
kehilangan jabatan akibat fitnah dari kawan-kawan yang
mengincar kedudukan mereka.

24
Hari dan pekan berlalu. Bulan dan tahun pun berganti. Namun rasa
takut, gelisah, resah, dan curiga yang mencekam relung-relung
jiwa para penghuni Nusa Jawa masih tetap bercokol kuat. Sebab
kawanan gagak jelmaan iblis masih terus beterbangan menebar
fitnah. Mereka selalu mengikuti ke arah mana serigala-serigala
haus darah mencari mangsa. Dan saat kawanan serigala
meninggalkan sisa-sisa daging mangsanya, datanglah kawanan
gagak yang dengan kerakusan tiada tara memunguti serpih-serpih
daging yang sudah basah oleh liur. Itulah upah mereka sebagai
penebar fitnah.

Giri Amparan Jati, sebuah pesantren yang terletak di lereng


gunung Sembung, di tlatah Kasunanan Cirebon Girang. Pada paro
pertama abad ke-16 Giri Amparan Jati merupakan pusat
pendidikan Islam yang menjadi tujuan bagi para musafir penuntut
ilmu dari berbagai penjuru negeri. Tidak berbeda dengan tempat-
tempat lain di Nusa Jawa, di pesantren yang telah berusia hampir
satu abad itu para penghuninya tak luput dari intaian rasa takut,
gelisah, resah, dan curiga akibat hempasan angin prahara yang
menebar malapetaka. Bahkan di sana berlaku peraturan aneh
yang dikenakan kepada para santri dan seluruh warga pesantren,
yakni larangan untuk menanyakan segala sesuatu yang berkaitan
dengan santri-santri generasi pertama yang diasuh oleh almarhum
Syaikh Datuk Kahfi, pendiri pesantren.

Karena yang menetapkan larangan itu adalah Syaikh Maulana Jati,


Syarif Hidayatullah, pengasuh pesantren Giri Amparan Jati yang
juga Susuhunan Cirebon Girang, maka peraturan yang aneh itu
25
dipatuhi begitu saja selama bertahun-tahun tanpa ada yang berani
menanyakan alasannya. Bahkan di kalangan nayaka dan abdi
Kasunanan Cirebon Girang pun tidak ada yang berani bertanya ini
dan itu tentang peraturan aneh tersebut. Mereka seolah sepaham
bahwa melanggar peraturan berarti mendatangkan laknat dan
malapetaka.

Manusia adalah manusia. Semakin ia dilarang akan semakin kuat


ia melanggar. Seperti kisah Nabi Adam dan istrinya, Hawa,
keturunan mereka pun cenderung melanggar sesuatu yang
dilarang. Itu sebabnya, meski dipatuhi di permukaan, di belakang
justru dilanggar. Para santri Giri Amparan Jati, misalnya, dengan
mencuri-curi berusaha mencari tahu latar di balik peraturan itu.
Diam-diam mereka menjadikan peraturan itu sebagai bahan
pembicaraan kasak-kusuk, terutama ketika sedang melakukan
pekerjaan di luar waktu belajar. Di sela-sela kegiatan mengambil
air untuk mengisi bak mandi, beristirahat usai berlatih silat, mencari
kayu bakar, bahkan menjelang tidur.

Bertolak dari pembicaraan di lingkungan pesantren yang diikuti


oleh nayaka dan abdi di Kasunanan Cirebon Girang, beredarlah
kisah-kisah menakutkan yang terkait dengan para santri dari
generasi pertama. Dan di antara semua cerita yang simpang-siur
itu hampir semuanya terpusat pada satu tokoh utama bernama
Syaikh Datuk Abdul Jalil yang juga disebut Syaikh Siti Jenar alias
Syaikh Lemah Abang. Ternyata dari peraturan aneh itu muncul
keanehan pula, di mana berbagai kisah buruk dan nista bergumul

26
dengan berbagai kisah terpuji dan mulia tentang tokoh utama yang
merupakan santri generasi pertama itu.

Pada satu sisi banyak beredar cerita kelam dan hitam tentang
Syaikh Datuk Abdul Jalil. Misalnya, ada kisah yang menuturkan
bahwa ia semula merupakan santri taat yang berubah menjadi
jahat dan murtad karena mengikuti ajaran sesat setelah tinggal di
Baghdad. Konon, di sana ia berguru kepada raja jin. Ada pula kisah
yang menyatakan bahwa ia sesat karena mempelajari ilmu dari
para tukang sihir Baghdad. Kisah sejenis yang lain lagi menuturkan
bahwa santri pertama itu adalah anak yang durhaka terhadap
orang tuanya sehingga diusir dan hidup dalam kesesatan. Ada lagi
yang menyebutnya sebagai anak seorang rsi yang masuk Islam,
namun kemudian memilih jalan sesat hingga murtad kembali.
Bahkan muncul pula kasak-kusuk yang mengatakan bahwa Syaikh
Datuk Abdul Jalil sebenarnya bukan dari golongan manusia. Ia
adalah jelmaan cacing menjijikkan. Karena itu, kemuliaan Islam tak
membawa manfaat apa-apa baginya kecuali kesesatan yang
menuju ke kenistaan dan kehinaan. Bukti bahwa ia bukan manusia
adalah saat mati mayatnya menjelma menjadi anjing.

Sementara pada sisi lain muncul pula kisah yang


menempatkannya sebagai orang yang terpuji dan mulia. Ada satu
kisah memaparkan bahwa ia adalah adik sepupu Syaikh Datuk
Kahfi. Syaikh Datuk Abdul Jalil dikenal sebagai seorang alim yang
berilmu luas bagai samudera. Ia lama tinggal di Baghdad dan
menjadi syaikh besar di sana. Ada pula yang menuturkan bahwa
ia merupakan seorang wali Allah yang keramat yang tanpa kenal
27
pamrih menyebarkan Islam di bumi Pasundan dan Jawa. Bahkan
beredar pula kisah yang berisi bahwa Syaikh Maulana Jati, Syarif
Hidayatullah, adalah putera menantunya. Karena, istri ketiga
beliau, Nyai Rara Baghdad, adalah puteri Syaikh Datuk Abdul Jalil.

Pembicaraan kasak-kusuk yang bertentangan itu membuat para


santri turut merasakan getar ketakutan, kegelisahan, keresahan,
dan kecurigaan ketika mereka sampa pada berita-berita yang
menyatakan bahwa orang-orang yang menjadi pengikut atau
diduga menjadi pengikut Syaikh Datuk Abdul Jalil dikucilkan dan
dibenci masyarakat. Bahkan beredar pula kisah bahwa mereka
dibunuh oleh orang-orang tak dikenal. Para santri tidak pernah
bertanya apakah peristiwa-peristiwa itu terjadi di tlatah Cirebon
Girang atau di tempat lain. Mereka hanya meyakini begitu saja
berita-berita itu sebagai kebenaran yang menakutkan.

Berbagai kisah simpang-siur tentang Syaikh Datuk Abdul Jalil,


yang semula hanya menjadi bahan pembicaraan kasak-kusuk,
berubah menjadi persoalan serius ketika di Pesantren Giri
Amparan Jati hadir seorang santri baru yang dihormati: Raden
Ketib.

Raden Ketib adalah putera Pangeran Surodirejo, Adipati


Palembang. Pangeran Surodirejo merupakan putera Raden
Kusen, Adipati Terung. Raden Kusen adalah putera Ario Damar,
Adipati Palembang terdahulu. Jadi, Raden Kusen adalah saudara
tiri Adipati Demak Bintara, Raden Fatah. Dengan demikian, santri
baru bernama Raden Ketib itu adalah putera saudara sepupu

28
Sultan Demak, karena ayahandanya merupakan sepupu Sultan
Tranggana.

Ihwal kehadiran Raden Ketib ke Giri Amparan Jati pada mulanya


bukan sepenuhnya untuk menuntut ilmu keislaman kepada Syaikh
Maulana Jati. Sebab, ayahanda Raden Ketib mengirimnya ke Giri
Amparan Jati atas permintaan kakeknya, Raden Kusen.

Ceritanya, setelah Majapahit runtuh oleh serangan pasukan


tombak yang dipimpin Susuhunan Kudus dan Pangeran
Pancawati, Raden Kusen yang menjadi panglima perang
Majapahit ditawan. Namun, karena Raden Kusen adalah paman
Sultan Tranggana maka dia kemudian dibawa ke Demak. Setelah
beberapa waktu tinggal di sana, Raden Kusen dipindahkan ke
Kudus. Kepindahan ini ada kaitannya dengan hubungan keluarga
antara Raden Kusen dan Susuhunan Kudus. Sebab, puteri Raden
Kusen adalah istri Susuhunan Kudus. Selanjutnya, panglima tua
itu dibawa ke Cirebon Girang dan tinggal di sana dengan
menggunakan nama Pangeran Pamelekaran. Dia diambil menantu
oleh Susuhunan Cirebon Girang, Syaikh Maulana Jati, dengan
menikahi puterinya yang bernama Nyai Mertasari.

Meski didampingi istri yang cantik dan muda, jiwa Pangeran


Pamelekaran tetap hampa. Sebab bagi orang setua dia, kehadiran
cucu yang bisa mendengarkan dengan bangga kisah-kisah
keperwiraan dan kebesarannya di masa lampau adalah daya hidup
yang dahsyat baginya. Itu sebabnya, dia meminta Pangeran
29
Surodirejo agar mengirimkan salah satu puteranya untuk menuntut
ilmu di Giri Amparan Jati sekaligus akan diasuh dan dididik sendiri
di ndalem Pamelekaran.

Menyadari bahwa ayahandanya adalah perwira unggul yang selalu


jaya di medan tempur dan dikenal sebagai ahli tata praja sehingga
menduduki jabatan Pecat Tandha (pejabat yang mengurus pajak
dan bea cukai) di Terung, maka Pangeran Surodirejo pun
mengirimkan putera sulungnya, Raden Ketib. Ia mengharapkan
Raden Ketib kelak menjadi penggantinya sebagai Adipati
Palembang. Pangeran Surodirejo yakin di bawah asuhan dan
didikan kakeknya, Raden Ketib akan menjadi pemimpin yang ulet,
tegas, teguh pendirian, dermawan, adil, dan dicintai rakyat.

Saat dikirim ke Giri Amparan Jati, Raden Ketib adalah pemuda


berusia enam belas tahun. Sedikitpun ia tidak pernah mengetahui
maksud lain ayahandanya mengirim dirinya ke Pesantren Giri
Amparan Jati. Ia mengira kehadirannya di pesantren itu semata-
mata untuk menuntut ilmu atas petunjuk kakeknya. Itu sebabnya,
meski keluarga pesantren sangat menghormatinya sebagai cucu
Pangeran Pamelekaran, ia berusaha menjadi santri yang tidak
menginginkan keistimewaan apa pun. Bersama-sama dengan
santri yang lain, ia mencari kayu bakar, mengisi bak mandi, berlatih
silat, dan tidur beramai-ramai di gubuk bambu beratap daun tal.

Usai mengerjakan tugas-tugasnya sebagai santri, biasanya di


malam hari, Raden Ketib, sesuai pesan ayahandanya, datang ke
30
ndalem Pemelekaran untuk menimba berbagai ilmu pengetahuan
dari kakeknya, terutama ilmu keprajuritan dan tata praja. Namun
berbeda dengan harapan ayahandanya, Raden Ketib ternyata
tidak tertarik dengan ilmu keprajuritan dan tata praja. Ia lebih suka
mendengarkan cerita tentang pengalaman kakeknya mengarungi
samudera kehidupan. Dan Pangeran Pamelekaran yang sudah tua
itu tampaknya lebih suka bercerita tentang berbagai
pengalamannya daripada mengajari cucunya dengan ilmu
keprajuritan dan tata praja.

Raden Ketib merupakan pemuda yang rendah hati. Itu tampak dari
kegemarannya mengajak kawan-kawannya sesama santri untuk
berkunjung ke ndalem Pamelekaran mendengarkan cerita-cerita
menakjubkan yang pernah dialami kakeknya. Ia juga dikenal
dermawan sehingga tak jarang uang saku yang diperoleh dari
kakeknya habis dibagi-bagikan untuk kawan-kawannya. Sering
juga ia ikut berkunjung ke rumah salah seorang kawannya yang
ayahnya hanya seorang gedeng atau malah kuwu.

Bermula dari keakraban dengan kawan-kawan sesama santri, ia


mengetahui tentang peraturan aneh serta kasak-kusuk itu. Raden
Ketib tidak pernah menduga bahwa cerita yang pernah ia dengar
tentang Syaikh Siti Jenar yang sesat dan murtad dari guru
mengajinya itu ternyata berasal dari pesantren di mana ia menimba
ilmu sekarang ini. Namun berbeda dengan kisah-kisah yang
pernah ia dengar selama di Palembang, ternyata di Giri Amparan
Jati ada beberapa kisah yang menggambarkan syaikh murtad itu
sebagai orang yang terpuji dan mulia. Bahkan yang membuat
31
keningnya berkerut adalah bisik-bisik yang menyatakan bahwa istri
Syaikh Maulana Jati adalah puteri Syaikh Siti Jenar.

Kesimpangsiuran itu menumbuhkan rasa ingin tahu Raden Ketib.


Cerita-cerita itu begitu menakjubkan. Ia sangat ingin menyingkap
kabut yang menyelimuti kehidupan santri Giri Amparan Jati
generasi pertama itu. Benarkah Syaikh Datuk Abdul Jalil sesat dan
murtad? Benarkah dia berguru kepada tukang sihir Baghdad?
Benarkah dia anak durhaka? Benarkah dia bukan manusia,
melainkan seekor cacing tanpa ayah dan ibu? Benarkah dia
ayahanda Nyai Rara Baghdad? Benarkah dia adik sepupu Syaikh
Datuk Kahfi, Sunan Jati Purba, pendiri pesantren Giri Amparan
Jati? Benarkah dia wali Allah yang menyebarkan Islam tanpa
pamrih di nagari Galuh, Kretabhumi, Sumedanglarang,
Sadawarna, Subang, Luragung, Bantarkawung, Demak,
Majenang, Pasir, Mataram, hingga Pengging?

Kecamuk tanda tanya yang berjejal-jejal di kepala Raden Ketib


menjadi bara api penasaran yang membakar hati dan benaknya,
terutama setelah ia menghadapi jalan buntu ketika berusaha
menguak lebih dalam tentang keberadaan Syaikh Datuk Abdul Jalil
yang membingungkan itu. Jalan buntu itu bermula dari kecurigaan
yang mencuat dari setiap orang yang ditanyainya. Santri Giri
Amparan Jati, nayaka, dan abdi Kasunanan Cirebon Girang
tampaknya sama-sama memahami bahwa Raden Ketib adalah
cucu Pangeran Pamelekaran. Ia juga kemenakan Sultan Demak.
Itu sebabnya, mereka diam-diam menaruh curiga bahwa sangat
mungkin Raden Ketib dikirim ke Giri Amparan Jati dan Kasunanan
32
Cirebon Girang dilatari tujuan untuk mencari sisik-melik yang
berkaitan dengan ajaran sesat Syaikh Datuk Abdul Jalil.

Menghadapi jalan buntu itu sempat terbersit di benak Raden Ketib


niat untuk menanyakan langsung hal tersebut kepada ramanda
gurunya, Syaikh Maulana Jati. Namun, sebagai seorang yang
sejak kecil dididik di lingkungan Kadipaten Palembang yang
menanamkan nilai-nilai penghormatan dan pemuliaan terhadap
guru, maka niat itu dibatalkannya. Apalagi dalam hal itu ada kasak-
kusuk yang menyatakan bahwa ramanda gurunya adalah menantu
Syaikh Datuk Abdul Jalil. Tentunya hal itu sangat kurang ajar dan
tidak mengenal tata krama bagi seorang santri yang wajib
memuliakan gurunya.

Ketika mendengarkan cerita-cerita kakeknya, sempat pula terbersit


keinginan di benak Raden Ketib untuk menanyakan tentang kisah
Syaikh Datuk Abdul Jalil. Namun, keinginan itu lagi-lagi terpaksa
ditahan. Raden Ketib sadar bahwa kakeknya menetap di Cirebon
Girang baru beberapa tahun saja. Sementara Syaikh Datuk Abdul
Jalil saat tinggal di Cirebon Girang sudah puluhan tahun silam. Di
samping itu, ia tidak ingin menyinggung perasaan kakeknya karena
bagaimanapun Sultan Demak yang mendiamkan saja
pembunuhan Syaikh Abdul Jalil oleh Sunan Kudus itu adalah
kemenakannya. Terlebih lagi, Sunan Kudus sendiri adalah
menantunya.

33
Keinginan kuat Raden Ketib untuk menguak rahasia Syaikh Datuk
Abdul Jalil ternyata makin meningkatkan kecurigaan para santri,
nayaka, dan abdi Kasunanan Cirebon Girang. Dengan cara terang-
terangan atau samar, mereka berusaha menghindar setiap kali
didekati Raden Ketib. Sebagai orang yang tanggap dengan
keadaan, ia cepat menyadari bahwa dirinya diam-diam telah
dikucilkan dari kehidupan pesantren maupun kasunanan.

Menyadari bahwa dirinya tidak melihat kemungkinan memperoleh


sesuatu dari pesantren maupun kasunanan maka dengan
semangat tetap membara ia berusaha mencari penjelasan dari
tempat lain. Diam-diam pada waktu senggang ia berkeliling ke
desa-desa di sekitar Giri Amparan Jati. Berangkat dari pengalaman
di pesantren dan kasunanan, Raden Ketib tidak menanyakan
langsung segala sesuatu yang berkait dengan Syaikh Datuk Abdul
Jalil. Ia biasanya memulai pembicaraan dengan menanyakan ihwal
keberadaan desa yang disinggahinya, baik berkait dengan nama
desa, pendiri, asal-usul surau, dan berbagai hal yang menyangkut
desa tersebut.

Hari dan pekan berlalu. Perjuangan gigih Raden Ketib untuk


menguak rahasia kebenaran di balik cerita-cerita tentang Syaikh
Datuk Abdul Jalil mendatangkan hasil juga, meski berserakan dan
tidak utuh. Misalnya saja, ia memperoleh penjelasan bahwa pada
awal didirikan oleh Syaikh Datuk Kahfi, Giri Amparan Jati
dinamakan padepokan. Sebutan pesantren baru dilakukan oleh
seorang santri dari generasi keempat bernama Raden Sahid asal
Tuban yang bergelar Syaikh Malaya, setelah Syaikh Datuk Kahfi
34
wafat. Dia menyarankan kepada Syaikh Maulana Jati agar nama
padepokan diganti menjadi pesantren.

Lain dari itu, Raden Ketib beroleh pula penjelasan tentang siapa
saja di antara santri-santri Giri Amparan Jati generasi pertama
yang kemudian menjadi pengikut Syaikh Datuk Abdul Jalil. Di
antara mereka itu, menurut cerita yang didengar Raden Ketib,
adalah Ki Gedeng Pasambangan, cucu Ki Gedeng Tapa, Ki
Gedeng Tegal Alang-Alang, Ki Gedeng Babadan, Ki Gedeng
Surantaka dan Ki Gedeng Singapura. Mereka itu adalah kawan-
kawan akrab Syaikh Datuk Abdul Jalil sejak usia lima tahunan di
bawah asuhan Syaikh Datuk Kahfi. Mereka tumbuh bersama di
lingkungan yang sama hingga dewasa. Itu sebabnya, mereka
mengetahui benar kelebihan-kelebihan sekaligus kekurangan
sahabat yang akhirnya menjadi guru ruhani mereka.

Manusia boleh berencana dan berusaha, namun Tuhanlah


penentu keputusan akhir. Rencana dan usaha Raden Ketib untuk
menguak jati diri Syaikh Datuk Abdul Jalil ternyata harus terhenti di
tengah jalan. Para santri Giri Amparan Jati generasi pertama yang
diharapkan dapat memberikan penjelasan tentang cerita-cerita
sahabat mereka ternyata telah banyak yang meninggal dunia.
Hanya Ki Gedeng Pasambangan yang masih hidup. Sayangnya,
dia telah pergi ke Banten Girang dan tidak diketahui kapan
kembalinya.

35
Bagi pemuda remaja yang haus pengetahuan dan ingin beroleh
kebenaran, menelusuri jejak-jejak kehidupan Syaikh Datuk Abdul
Jalil yang penuh liku-liku merupakan tantangan yang memesona.
Bagai orang kehausan meminum air laut, begitulah Raden Ketib
terus berusaha mencari titik terang tentang tokoh aneh yang
dikutuk sekaligus dipuji itu. Dan semakin ditelusuri semakin
ditemukan keanehan-keanehan dari jejak-jejak yang ditinggalkan
oleh Syaikh Datuk Abdul Jalil. Para sahabat karibnya yang sudah
meninggal dunia, misalnya, tidak ada satu pun yang diketahuhi di
mana kuburnya. Pihak keluarga yang ditanya tentang
ketidaklaziman itu umumnya hanya memberi penjelasan bahwa
para sahabat dan murid Syaikh Datuk Abdul Jalil jika akan
meninggal dunia selalu meninggalkan wasiat yang menyatakan
bahwa kubur mereka hendaknya tidak diberi batu nisan atau tanda
apa pun. Alasannya, mereka tidak mau diberhalakan oleh anak dan
cucunya.

Kenyataan ini benar-benar membingungkan Raden Ketib. Selama


hidup di Kadipaten Palembang, ia terbiasa membaca surat yasin,
tahlil, dan kenduri untuk memperingati orang yang meninggal
dunia. Ternyata upacara itu tidak satu pun dilakukan oleh sahabat-
sahabat dan murid-murid Syaikh Datuk Abdul Jalil. Padahal, sejak
ia tinggal di Giri Amparan Jati, kebiasaan semacam itu juga
dilakukan orang. Kenyataan ini, pikir Raden Ketib, sungguh
teramat aneh.

Tanpa terasa, telah tiga tahun Raden Ketib tinggal sebagai santri
di Giri Amparan Jati. Tanpa terasa pula usianya bertambah.
36
Keakraban antara Raden Ketib dan kakeknya makin erat manakala
Nyai Mertasari, istri kakeknya, melahirkan putera yang diberi nama
Raden Santri. Raden Ketib yang hampir dua puluh usianya itu
harus memanggil ‘paman’ kepada bayi yang baru lahir. Aneh sekali
rasanya seorang pemuda memanggil bayi dengan sebutan paman.

Sebenarnya, jika ditelusuri lebih jauh, hal yang dialami oleh Raden
Ketib itu tidak aneh dibanding silsilah kakeknya. Pangeran
Pamelekaran yang bernama Raden Kusen itu kedudukannya
adalah adik tiri sekaligus kemenakan Raden Fatah, Adipati Demak
Bintara. Bagaimana hal rumit itu bisa terjadi?

Ceritanya, Raden Kusen adalah putera Ario Damar. Ario Damar


sendiri adalah putera Prabu Kertawijaya Wijaya
Parakramawarddhana, Maharaja Majapahit. Ario Damar kemudian
dianugerahi seorang perempuan Cina bernama Retno Subanci
oleh ayahandanya. Saat itu Retno Subanci adalah salah seorang
selir ayahandanya yang sedang hamil muda. Ario Damar diwanti-
wanti agar tidak menyentuh Retno Subanci sebelum bayi yang
dikandungnya lahir. Tak lama kemudian lahirlah bayi laki-laki yang
diberi nama Raden Fatah. Kemudian, Retno Subanci dinikah oleh
Ario Damar. Lalu lahirlah Raden Kusen yang menurunkan
beberapa putera dan puteri, di antaranya Pangeran Surodirejo,
ayahanda Raden Ketib.

Berawal dari mempertanyakan keanehan-keanehan silsilah


keluarganya itulah Raden Ketib tanpa pernah direncanakan
37
sebelumnya, tiba-tiba menyinggung hal ihwal keanehan cerita-
cerita yang menyangkut Syaikh Datuk Abdul Jalil. Dan satu hal
yang tak pernah diduga oleh Raden Ketib, ternyata kakeknya
pernah bertemu dengan Syaikh Datuk Abdul Jalil meski sangat
singkat. “Dia memanggil aku dengan sebutan paman karena dia
putera angkat Ki Danusela, putera Eyang Prabu Kertawijaya. Dia
mengira aku adalah adik dari Rakanda Raden Fatah. Itu tidak
salah, tetapi dia sebenarnya juga bisa menyebutku rakanda karena
aku adalah kemenakan Ki Danusela,” katanya sambil tertawa.

Merasa bahwa kakeknya hanya kenal sepintas saja dengan Syaikh


Datuk Abdul Jalil, Raden Ketib kemudian menuturkan betapa
selama ini ia berusaha mencari tahu tentang tokoh aneh itu.
Pangeran Pamelekaran mengerutkan kening mendengar
penuturan cucunya. Tetapi, sesaat kemudian dia menyatakan akan
memanggil Ki Gedeng Pasambangan, putera Ki Gedeng Tapa,
yang merupakan kawan Syaikh Datuk Abdul Jalil. “Biarlah Ki
Gedeng Pasambangan menuturkan segala sesuatu yang
diketahuinya kepadamu,” kata Pangeran Pamelekaran datar.

“Tapi Eyang,” sahut Raden Ketib takzim, “bagaimana jika cerita Ki


Gedeng Pasambangan nanti menyinggung perasaan Eyang?”

“Menyinggung perasaanku?” Pangeran Pamelekaran


mengernyitkan kening.

38
“Iya, Eyang,” sahut Raden Ketib, “sebab menurut cerita-cerita yang
saya dengar, yang berperan penting dalam kematian Syaikh Datuk
Abdul Jalil adalah Susuhunan Kudus, yaitu menantu Eyang.
Kemudian, sultan yang mendiamkan saja pembunuhan itu adalah
kemenakan Eyang.”

“Ha…ha…ha,” Pangeran Pamelekaran terbahak. Setelah itu


dengan suara serius dia berkata, “Kebenaran harus diungkap apa
adanya. Itu prinsipku. Aku tak pernah tersinggung. Bahkan engkau
harus tahu bagaimana sikapku terhadap Susuhunan Kudus,
menantuku itu. Ketahuilah, saat penyerbuan awal pasukan Demak
ke Majapahit yang dipimpin Susuhunan Ngudung, ayahanda
Susuhunan Kudus, yang tak lain adalah besanku, akulah yang
menjadi manggalayuddha Majapahit. Dalam pertempuran itu, aku
harus berhadapan dengan dia selaku panglima Demak. Aku tikam
lehernya dengan keris. Meski dia sudah mengenakan pusaka
kutang antakusuma, toh mati juga ia di tanganku. Itulah kenyataan,
Ngger. Aku tidak akan tersinggung jika diungkap bahwa aku telah
tega membunuh besanku demi mempertahankan kerajaan kafir
Majapahit.”

“Dalam peristiwa itu banyak orang menyalahkan aku. Namun, aku


tidak peduli. Karena, aku sudah berkali-kali mengingatkan bahwa
aku adalah murid yang setia dan teguh memegang amanat guru.
Telah berkali-kali kukatakan bahwa aku tetap memegang amanat
guruku, Raden Ali Rahmatullah, Susuhunan Ampel Denta, yang
menitahkan aku agar mengabdi pada Majapahit apa pun yang
terjadi, demi melindungi pemeluk-pemeluk Islam di pedalaman.
39
Tetapi, mereka tidak peduli. Mereka tidak menghargai prinsip
hidupku. Dan mereka baru sadar setelah semuanya terjadi.”

Raden Ketib menarik napas dalam-dalam mendengar kisah


kakeknya. Namun terlepas dari keberpihakannya kepada
Pangeran Pamelekaran, Raden Ketib menangkap sasmita bahwa
kakeknya itu berpendirian teguh dan tidak mudah menyerah. Itu
sebabnya, kakeknya hanya bisa disejajarkan dengan tokoh Bisma
dalam cerita Mahabarata, yakni berani menanggung risiko apa pun
demi memegang teguh prinsip yang diyakini kebenarannya.

Janji Pangeran Pamelekaran untuk mengundang Ki Gedeng


Pasambangan ternyata dipenuhi kira-kira sehari setelah sahabat
Syaikh Datuk Abdul Jalil itu kembali dari Banten Girang. Raden
Ketib yang tidak menduga bakal secepat itu bertemu dengan Ki
Gedeng Pasambangan, tak bisa berkata-kata ketika tiba di ndalem
Pamelekaran, kecuali mencium takzim lutut kakeknya dengan hati
berbunga-bunga. Dan bagi Pangeran Pamelekaran sendiri
merupakan suatu kebahagiaan tak terhingga jika dia bisa
memenuhi hasrat dan keinginan cucunya.

Malam itu, setelah memperkenalkan Raden Ketib sebagai cucu


tercintanya, Pangeran Pamelekaran mengajak Ki Gedeng
Pasambangan untuk mengingat saat-saat menegangkan ketika
mereka menyerbu Pakuwuan Caruban dan kemudian
menghadang pasukan Pajajaran yang dipimpin Terong Peot di
pantai Muara Jati. Ki Gedeng Pasambangan yang saat itu
40
merupakan santri Giri Amparan Jati tentu masih mengingat
peristiwa itu dengan jelas. Dia kemudian menuturkan kepada
Raden Ketib betapa gagah dan beraninya Pangeran Pamelekaran
ketika itu. Namun, saat menyinggung nama San Ali, yakni nama
kecil Syaikh Datuk Abdul Jalil, Ki Gedeng Pasambangan tampak
sekali berusaha menghindar.

Sebagai orang yang sudah kenyang menelan pahit dan getir


kehidupan, Pangeran Pamelekaran memahami kecanggungan Ki
Gedeng Pasambangan ketika menyinggung hal sahabat dan guru
tercintanya. Itu sebabnya, dia langsung meminta Ki Gedeng
Pasambangan untuk menuturkan apa adanya segala sesuatu yang
diketahuinya tentang Syaikh Datuk Abdul Jalil. “Engkau tak perlu
ragu dan curiga, Ki. Engkau mestinya telah tahu betapa aku
memiliki prinsip yang sama dengan Abdul Jalil tentang
penyerangan ke Majapahit. Engkau juga tentu tahu bahwa di
tanganku ini pula besanku Susuhunan Ngudung melayang
jiwanya. Karena itu, Ki, ceritakan apa adanya tentang San Ali,
kemenakanku itu. Cucuku sangat besar hasratnya untuk
mengetahui kisah San Ali yang sampai kini simpang siur,” kata
Pangeran Pamelekaran dengan suara berat.

“Abdi akan laksanakan titah Yang Mulia,” kata Ki Gedeng


Pasambangan takzim.

Beberapa jenak setelah Pangeran Pamelekaran berpamitan


hendak beristirahat, Ki Gedeng Pasambangan yang duduk berdua
41
berhadap-hadapan dengan Raden Ketib memulai ceritanya. Dia
bercerita berdasarkan kesaksian pribadi, penuturan Syaikh Datuk
Abdul Jalil, fatwa dan kisah dari Syaikh Datuk Kahfi, cerita dari
kawan-kawannya sesama santri, penuturan kakeknya, yaitu Ki
Gedeng Tapa, dan cerita dari Haji Abdullah Iman, yakni Pangeran
Walangsungsang Cakrabuwana, Kepala Nagari Cirebon, yang tak
lain adalah saudara sepupunya.

Berdasar cerita-cerita itu, Ki Gedeng Pasambangan menuturkan


kisah kehidupan Syaikh Datuk Abdul Jalil secara luas dan
mendalam sejak awal kelahiran, pengembaraan, silsilah keluarga,
pandangan-pandangan, ajaran-ajaran, hingga ke masa memilukan
saat ia terhempas angin prahara fitnah yang mengerikan.

42
Anak Yatim Piatu

Dalam bayangan pohon Kalpa, di bawah


pancaran sinar matahari di pinggiran sungai
kecil berair deras, di lingkaran rimbunan hutan
dan belukar tak jauh dari Padepokan Giri
Amparan Jati, di lereng Gunung Sembung,
tlatah nagari Caruban, San Ali, putera Ki
Danusela sang Kuwu Caruban, menuntut ilmu agama bersama-
sama sahabat-sahabatnya di bawah asuhan Syaikh Datuk Kahfi.
Laksana permata manikam memancarkan gemerlap keindahan,
begitulah San Ali menjadi perhiasan padepokan karena
kecerdasan, kesetiaan, dan kecintaannya yang tulus.

Sebagai penghuni padepokan sejak usia lima tahun, ia tumbuh


menjadi pemuda yang sangat akrab dengan lingkaran
keprihatinan: membersihkan padepokan, mengisi bak mandi dan
tempat wudhu, memasak dan mencuci pakaian, mencari kayu di
hutan; menghafal pelajaran, manandai pelajaran dengan sah-
sahan, mengkaji kitab; berpuasa, menjalankan riyadhoh, iktikaf,
berdzikir, bersalawat; berlatih pencak silat, olah kanuragan,
menghafal hizb-hizb, dan mengamalkan aurad.

Berbeda dengan murid-murid padepokan yang lain, bila ada waktu


senggang ia gemar menjelajahi desa-desa di sekitar Gunung
Sembung, memasuki hutan, melintasi pegunungan, menyusur
sungai, menerobos hutan bakau, ke muara, dan menyusur pantai.
43
Sepanjang perjalanan ia menyaksikan berbagai pemandangan
yang menggugah ketenangan jiwanya. Hiruk pikuk pasar desa,
petani yang bekerja di sawah, nelayan yang melaut mencari ikan,
orang berkelahi, orang berjudi, lintah darat memeras penduduk
desa, petani-petani membawa hasil bumi ke padepokan, pendeta
menyiapkan sesaji di pura, brahmin bersamadi di sanggar
pamujan, orang menderita sakit, dan orang mati baik yang dikubur
maupun dibakar.

Semua pemandangan selama mengikuti langkah kakinya itu telah


menerbitkan gumpalan awan tanda tanya di cakrawala
pemikirannya yang belum dewasa. Ketika tanda tanya itu tak
terjawab, gumpalan awan itu semakin memadati cakrawala di
benaknya.

Ketika ia memberanikan diri untuk menanyakan pelbagai macam


kehidupan manusia kepada Guru Agung Syaikh datuk Kahfi, sering
kali tanda tanya justru semakin berjejal-jejal menggumpali isi
kepalanya. Memang, jika murid-murid yang lain selalu mengiyakan
penjelasan guru agung tentang kehidupan manusia yang bermuara
ke alam akhirat, yakni neraka dan surga, maka San Ali
kebalikannya. Ia tidak gampang puas dengan jawaban-jawaban
yang lazimnya diberikan kepada anak-anak seusianya.

Misalnya tentang perbedaan antara kehidupan orang-orang


durhaka dan celaka, seperti penjudi, pemabuk, pencuri, perampok,
pelacur, penipu, pembunuh, pezina, dan pemuja berhala yang
44
bakal menempati neraka; dan orang-orang saleh dan beruntung
yang bakal menghuni surga. San Ali melihat persoalan ini hanya
masalah penundaan waktu belaka. Intinya, keduanya sama ditinjau
dari aspek amaliah. Maksudnya, jika di surga nanti orang bisa
memenuhi semua keinginannya – termasuk hal-hal yang ketika di
dunia diharamkan – maka pada hakikatnya orang durhaka tidak
berbeda dengan orang saleh, kecuali dalam hal waktu
pelaksanaannya. Kalau orang durhaka bisa sesuka hati
menenggak minuman keras, mabuk, mencuri, merampok, dan
menikmati berbagai kelezatan dunia, maka orang-orang saleh pun
ketika di surga bisa menenggak khamr sampai mabuk, mandi di
kolam susu dan madu, bersenang-senang, dan berbagai kelezatan
surgawi lain. Bedanya, yang pertama dilampiaskan di dunia,
sedang yang kedua menunggu di akhirat.

Tanda tanya yang berjejalan yang tak sederhana jawabannya itu


membuat San Ali terjebak pada kebiasaan merenung untuk
mencari sendiri jawaban dari pertanyaan yang berkecamuk di
benaknya. Itu sebabnya, dalam setiap penjelajahan ia sering
terlihat merenung di bawah pohon, di puncak bukit, di hamparan
pasir pantai, dan bahkan di tengah hening malam ketika makhluk
hidup tertidur dibuai mimpi. Dengan merenung, ia seperti
menikmati kesendiriannya dan mengungkapkan gairah jiwanya
yang berkobar-kobar. Di tengah hening malam ia sering
merenungkan bintang-bintang yang memenuhi langit dengan kilau
cahayanya yang laksana permata.

45
Benarkah bintang-bintang yang berkilauan memenuhi langit itu jika
pagi menjelang bersembunyi di lautan dan menyinari dunia
bawah? Kenapa bintang tidak pernah berada satu langit dengan
matahari? Benarkah malaikat hanya turun ke bumi pada malam
hari untuk memberkati dan melimpahi rezeki bagi orang-orang
yang tekun menjalankan sembahyang malam? Di bintang-bintang
itukah para malaikat tinggal? Apakah Arsy, singgasana Allah,
terletak di salah satu bintang di langit?

Setelah semalaman merenung-renung tentang langit, bintang,


rembulan, malaikat, dan Tuhan, San Ali biasanya turun ke desa-
desa dan berbicara dengan orang-orang yang bekerja di sawah
atau dengan para brahmin yang melakukan upacara bhakti di
sanggar pamujan. Apakah dewa-dewa yang dipuja brahmin itu
sama dengan Gusti Allah yang disembahnya? Kenapa Gusti Allah
yang disembahnya tidak diwujudkan dalam bentuk-bentuk?
Kenapa pula Gusti Allah tidak membutuhkan sesaji apa pun? Dan
yang paling mengherankan, kenapa Syaikh Datuk Kahfi dengan
sangat keras melarangnya membayang-bayangkan, membanding-
bandingkan, dan memikirkan Gusti Allah? Bagaimana orang bisa
mengenal Gusti Allah jika tidak boleh membayangkan,
membandingkan, dan memikirkan-Nya?

Suatu kali sekeluarnya dari hutan, ia menjumpai seorang brahmin


tua mempersembahkan sesaji di altar dewa. Saat itu terlintas di
benaknya bahwa sangat mustahil arca dewa bisa memakan sesaji
persembahan sang brahmin. Namun, selintas juga terbentang di
benaknya tentang ibadah qurban di dalam agama Islam: bukankah
46
Gusti Allah Yang Tak Terpikirkan dan Tak Terjangkau Pancaindera
itu sesungguhnya tidak butuh darah dan daging domba? Namun,
kenapa tiap hari raya Idul Adha orang harus menyembelih domba?

Ia sering pula menemukan berbagai perilaku yang menurut


pandangan penghuni padepokan digolongkan sebagai ahli
maksiat. Kenapa orang bisa begitu tergila-gila berjudi sabung
ayam? Mengapa orang bisa sangat menggemari minuman keras
hingga mabuk? Kenapa orang suka membunuh sesamanya?
Kenapa orang suka mencuri dan merampok, sementara ia dan
kawan-kawannya di padepokan justru diwajibkan hidup menjauhi
segala kebiasaan buruk itu?

Saat persoalan yang mengganjal pikirannya itu disampaikan


kepada guru agung, ia sering memperoleh penjelasan yang kurang
memuaskan. Penjelasan-penjelasan yang didasarkan pada dalil
dari kitab-kitab itu seperti mengulang-ulang penjelasan lama
tentang kehidupan orang-orang yang bakal menjadi penghuni
neraka dan surga. Para ahli maksiat yang celaka itu, demikian
Syaikh Datuk Kahfi mengulang-ulang, akan menjadi ahli neraka.
Sedang penghuni padepokan yang saleh akan menjadi penghuni
surga. Penjelasan ini tentu saja sangat tidak memuaskan pemuda
secerdas San Ali, terutama ketika berbicara tentang keyakinan
bahwa takdir baik dan buruk sepenuhnya di tangan Allah. Atas
pertimbangan apa Gusti Allah menggolongkan orang sebagai
manusia celaka yang bakal menjadi penghuni neraka, dan atas
pertimbangan apa pula Gusti Allah menentukan orang menjadi
penghuni surga.
47
Makin sering merenung, menelaah, mempersoalkan jawaban-
jawaban atas pertanyaannya, dan menalar berbagai hal yang
disaksikannya, ia merasakan betapa kerisauan makin kuat
menerkam jiwanya. Ia merasa ada sesuatu di dalam dirinya yang
sulit diajak berdamai dengan sekedar penjelasan sederhana.
Kerisauan itu sering kali hanya bisa ditenangkan dengan
perjalanan keluar padepokan. Namun, manakala menyaksikan
berbagai kenyataan hidup manusia, ia merasa benaknya pepat
digumpali tanda tanya yang berjejal-jejal dan berkumpar-kumpar
bagai lingkaran setan.

Kebiasaannya menjelajahi daerah-daerah di sekitar padepokan


telah membuatnya dikenal dan dicintai banyak orang. Penduduk di
sekitar gunung Sembung, terutama para brahmin, cepat sekali
mengenali kehadirannya. Tubuhnya jangkung, tegap, dan berotot.
Kulitnya putih kemerahan. Hidungnya mancung. Alis matanya
tebal. Matanya setajam elang. Senyumnya selalu terkembang.
Jalannya mantap dan gesit. Bicaranya terbuka dan berapi-api. Bagi
para brahmin, semua yang ada pada diri San Ali adalah citra
kehidupan anak yang ‘bangun’ di antara anak-anak yang ‘tidur’
dininabobokkan zaman.

San Ali! Begitu aneh nama itu untuk zamannya. Namun, keanehan
itu menjadi keakraban bagi mereka yang telah mengenalnya. Dan
bagaikan orang yang mengenal rajanya, begitulah orang di sekitar
gunung Sembung dan Pakuwuan Caruban mengenal nama San
Ali, sosok aneh tetapi akrab di mata, telinga, dan hati. Sebuah citra

48
yang diharapkan bakal menjadi pemimpin besar di negeri
kelahirannya.

San Ali sebenarnya nama yang kurang lazim digunakan orang baik
di Jawa maupun di tanah Pasundan. Namun nama itu pemberian
ayahandanya, Ki Danusela, Kuwu Caruban. Ceritanya, tiga bulan
menjelang kelahiran putera sulungnya, penguasa Pakuwuan
Caruban itu memperoleh impian menakjubkan tentang sembilan
ekor kumbang hitam yang terbang mengitari tlatah Majapahit dan
Pajajaran yang sedang dilanda bencana serbuan jutaan tikus yang
merusak sawah dan ladang. Kesembilan ekor kumbang hitam itu
dengan ajaib menyemburkan cairan hijau dari tubuh mereka.
Cairan itu terbawa aliran sungai yang mengairi sawah dan ladang
sehingga tikus-tikus perusak itu binasa. Kemudian secara ajaib
pula kesembilan ekor kumbang itu menyemburkan air suci Amrtha
yang membuat padi dan tanaman lain tumbuh subur seperti
sediakala. Orang-orang yang semula bersedih dan putus asa kini
bersorak-sorai meluapkan kegembiraan. Kehidupan kembali
menjadi tenteram, aman, sentosa, dan kertaraharja.

Mimpi menakjubkan yang dialami Ki Danusela itu terulang sampai


tiga kali dalam tempo sebulan. Lantaran pengaruh impian itu
sangat kuat mencekam jiwanya maka ia berjanji jika anak
pertamanya lahir laki-laki akan dinamakan San Ali, yang dalam
bahasa Jawa kuno berarti sembilan ekor kumbang hitam. Ki
Danusela berharap puteranya kelak dapat menjadi salah satu dari
ke sembilan kumbang yang menyemburkan Amrtha, yang
membawa kesuburan dan kemakmuran bagi negerinya. Begitulah,
49
nama San Ali benar-benar diberikan ketika bayi laki-laki itu lahir ke
dunia.

Sebagai tanda sukacita dan gantungan harapannya terhadap bayi


San Ali, Ki Danusela menyelenggarakan pesta besar selama tiga
hari tiga malam. Kepada para tamu undangan dia menyatakan
bahwa putera sulungnya itu kelak akan menjadi penggantinya
sebagai Kuwu Caruban.
Kuwu Caruban adalah jabatan yang sangat penting di antara kuwu-
kuwu yang ada di bawah kekuasaan Kerajaan Galuh. Karena,
Pakuwuan Caruban berkembang lebih pesat dibanding pakuwuan
lain. Bahkan pada perkembangan selanjutnya, Pakuwuan Caruban
terdiri atas beberapa pakuwuan yang tergabung di bawah
kekuasaan Ki Danusela. Meski wilayah teritorial Kuwu Caruban
sudah hampir manyamai wilayah nagari, Ki Danusela yang rendah
hati itu tetap menyebut dirinya sebagai kuwu. Dan wilayah
kekuasaannya tetap dia namakan pakuwuan. Itu sebabnya, San
Ali yang kelak menggantikan ayahandanya akan memiliki
kekuasaan penting di wilayah Galuh.

Sebenarnya, di balik kemuliaan yang dilimpahkan kepada bayi San


Ali, tak banyak yang tahu bahwa Ki Danusela bukanlah ayahanda
kandung dari bayi yang diakui sebagai putera sulung itu. Menurut
cerita kalangan dalam pakuwuan, ayahanda kandung bayi San Ali
adalah seorang ulama asal Malaka yang masih tergolong
bangsawan kerajaan. Namanya Syaikh Datuk Sholeh, peranakan
Melayu-Gujarat. Ibundanya perempuan Melayu.

50
Menurut cerita, saat Sultan Muzaffar Syah naik ke tangga
kekuasaan Kesultanan Malaka menggantikan saudaranya yang
terbunuh, terjadi perselisihan antara pejabat-pejabat keturunan
Tamil yang dipimpin Tun Ali dan bangsawan-bangsawan Melayu
yang dipimpin Seri Wak Raja I. ibunda Sultan Muzaffar Syah
sendiri adalah keturunan Tamil dan sesaudara dengan Tun Ali.
Demikianlah, golongan Tamil yang dipimpin Tun Ali menang dan
bangsawan-bangsawan Melayu tersingkir dari lingkaran
kekuasaan. Di antara bangsawan yang tersingkir itu tersebutlah
nama Syaikh Datuk Sholeh.

Kepergian Syaikh Datuk Sholeh meninggalkan Malaka dilatarai


usaha penyelamatan diri. Karena, Tun Ali merancang
persekongkolan politik sehingga sejumlah pejabat Melayu tewas
terbunuh, termasuk Seri Wak Raja II putera Seri Wak Raja I.
Demikianlah, Syaikh Datuk Sholeh diikuti istrinya yang hamil muda
meninggalkan Malaka untuk berniaga sambil mendakwahkan
agama.

Tempat awal yang didatangi Syaikh Datuk Sholeh adalah


pelabuhan Palembang. Namun, ia tidak dapat tinggal lama di
daerah itu sebab banyak saudagar Tamil berniaga di sana.
Lantaran itu, ia bertolak dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain
hingga tiba di pelabuhan Dermayu (sekarang Indramayu),
Caruban, yang termasuk wilayah Kerajaan Galuh di tanah
Pasundan.

51
Di bandar Dermayu itulah Syaikh Datuk Sholeh tinggal dan
berdagang sambil menyiarkan agama Islam. Tempat itu,
menurutnya, dianggap tepat karena tidak seorang pun saudagar
Tamil dijumpai di sana. Syaikh Datuk Sholeh dengan cepat
menjalin keakraban dengan penduduk bandar Dermayu yang
umumnya terdiri atas orang-orang Cina Muslim, Melayu Muslim,
Melayu Bengali, Jawa, dan Sunda yang masih beragama Hindu-
Budha.
Sebagai saudagar sekaligus penyiar agama Islam, Syaikh Datuk
Sholeh dikenal pandai, lurus hati, dermawan, santun, dan pintar
bergaul. Ia disukai orang-orang. Dalam waktu singkat ia dikenal
sampai ke Caruban. Di antara sejumlah orang yang dikenalnya
dengan baik adalah Ki Danusela. Meski Ki Danusela beragama
Hindu-Budha, hubungan mereka sangat akrab. Sering mereka
berdua kelihatan berbicara soal kehidupan masyarakat, tata
pemerintahan, dan bahkan falsafah hidup.

Hubungan Syaikh Datuk Sholeh dan Ki Danusela berlanjut ke


jalinan kekeluargaan. Ceritanya, saat kemenakan Syaikh Datuk
Sholeh yang bernama Syaikh Datuk Kahfi menyusul ke Caruban,
Ki Danusela sangat tertarik dan simpati terhadap kecerdasan,
keluasan ilmu, kebijaksanaan, dan kesantunannya. Berangkat dari
ketertarikan dan rasa simpati itulah Ki Danusela kemudian
menikahkannya dengan adik ipar perempuannya yang bernama
Nyi Rara Anjung. Dengan demikian, Syaikh Datuk Kahfi dan Syaikh
Datuk Sholeh secara langsung telah masuk ke dalam lingkungan
Kuwu Caruban.

52
Ki Danusela adalah keturunan Prabu Kertawijaya, Maharaja
Majapahit. Dia menikahi Ratu Inten Dewi, puteri Prabu Surawisesa
Ratu Sanghiang, Ratu Aji di Pakuan, keturunan Sri Baduga
Maharaja, yakni Maharaja Pajajaran yang gugur dalam peristiwa
Bubat. Oleh Prabu Surawisesa mertuanya, Ki Danusela diangkat
sebagai kuwu di Caruban dengan tugas utama emmantau
Kerajaan Galuh yang merupakan bawahan Kerajaan Pajajaran.

Dalam menjalankan tugas sebagai kuwu, Ki Danusela dibantu oleh


seorang pangraksabhumi, pejabat yang mengurusi pertanian dan
perikanan, beragama Islam yang bernama Ki Samadullah. Ki
Samadullah yang memiliki nama asal Raden Walangsungsang
masih langsung keturunan Raja Galuh. Ayahandanya adalah
Raden Pamanah Rasa, putera Prabu Anggalarang, Raja Galuh.
Ibundanya bernama Nyi Subanglarang, puteri Ki Gedeng Tapa,
Mangkubumi Singapura, yang tidak lain dan tidak bukan adalah
adik Prabu Anggalarang. Pernikahan antara Raden Pamanah
Rasa dan Nyi Subanglarang ini melahirkan Raden
Walangsungsang, Nyi Rara Santang, dan Raden Sangara.

Nasib buruk menimpa Raden Walangsungsang dan adik-adiknya


saat mereka menginjak dewasa. Tiba-tiba ibunda mereka terkena
pageblug dan meninggal dunia. Raden Walangsungsang dan adik-
adiknya kemudian meninggalkan istana Galuh dan menetap di
rumah seorang pengikut Budha bernama Ki Gedeng Danuwarsih.
Dia kemudian diambil menantu oleh Ki Gedeng Danuwarsih,
dikawinkan dengan Nyi Indang Geulis, puterinya.

53
Melalui Ki Gedeng Danuwarsih, yang tak lain adalah sahabat Ki
Danusela, Raden Walangsungsang bekerja di Pakuwuan Caruban.
Bahkan ia diberi kepercayaan besar menduduki jabatan
pangraksabhumi menggantikan Ki Danusela. Melalui Raden
Walangsungsang inilah Ki Danusela mengetahui perkembangan
Kerajaan Galuh, dimana kesetiaan kerajaan itu terhadap Pajajaran
masih sangat kuat. Melalui Raden Walangsungsang juga Ki
Danusela mengetahui perkembangan agama Islam di pesisir utara
Nusa Jawa, terutama di Dermayu.
Selama menjabat sebagai pangraksabhumi, Raden
Walangsungsang berkenalan dengan Syaikh Datuk Kahfi dan
Syaikh Datuk Sholeh. Ia kemudian berguru agama Islam kepada
Syaikh Datuk Kahfi. Setelah mengetahui keluasan ilmu gurunya, ia
memohon agar Syaikh Datuk Kahfi membuka sebuah padepokan
untuk mendidik masyarakat.

Atas upaya Raden Walangsungsang, kakeknya, Ki Gedeng Tapa,


memberikan sebidang tanah di lereng gunung Sembung kepada
Syaikh Datuk Kahfi sebagai shima (perdikan), yang bebas pajak.
Di tanah itulah Syaikh Datuk Kahfi membangun padepokan yang
kemudian dikenal dengan nama Giri Amparan Jati (Gunung
Tempat Menggelar Kebenaran). Syaikh Datuk Kahfi kemudian
memberi nama baru untuk Raden Walangsungsang, yakni
Samadullah. Dan sejak itu, orang mengenal pangraksabhumi
Caruban dengan nama Ki Samadullah.

54
Meski berbeda agama, antara Ki Danusela dan Ki Samadullah
terjalin kecocokan terutama tentang hal-hal yang bersifat ruhani.
Mereka sering terlihat berdua di pendapa sepanjang malam
membahas pengalaman ruhani masing-masing. Bahkan sebuah
kitab rontal milik Ki Danusela warisan Maharaja Majapahit yang
dikenal dengan nama Catur Viphala, mereka jadikan bahasan
mendalam.

Hubungan Ki Samadullah, Syaikh Datuk Sholeh, Syaikh Datuk


Kahfi, dan Ki Danusela berlangsung sangat akrab. Itu sebabnya,
ketika Syaikh Datuk Sholeh wafat terkena pageblug, Ki Danusela
yang belum dikaruniai putera itu meminta agar diperkenankan
mengangkat bayi yatim yang ada di dalam kandungan istri Syaikh
Datuk Sholeh. Baik Syaikh Datuk Kahfi maupun Ki Samadullah
tidak keberatan, meski mereka tahu Ki Danusela beragama Hindu-
Budha. Begitulah, putera Syaikh Datuk Sholeh diangkat anak oleh
Ki Danusela. Bahkan atas dasar mimpinya yang menakjubkan, Ki
Danusela kemudian menamakan bayi itu San Ali.

Merasa prihatin dengan nasib bayi San Ali, Ki Samadullah diam-


diam ikut mengasuh dan mengamati perkembangannya dengan
penuh kasih sayang. Apalagi Ki Samadullah juga belum dikaruniai
putera. Namun, belum lama San Ali merasakan belaian kasih
ibunda kandungnya, tiba-tiba ia ditinggal pergi selama-lamanya.
Ketika itu usia San Ali menginjak tiga bulan, ibundanya secara
mendadak tertular pageblug yang sedang melanda tlatah Caruban.
Lantaran peristiwa menyedihkan itu, Ki Samadullah dan istri

55
menumpahkan seluruh kasih dan sayang mereka kepada bayi San
Ali yang kini yatim piatu.

Peristiwa menyedihkan yang menimpa San Ali berkembang


menjadi fitnah keji yang membahayakan keselamatan jiwa bayi
tanpa dosa itu. Ceritanya, beberapa saat setelah ibundanya
meninggal, tersebar berita bahwa bayi berusia tiga bulan itu adalah
pangkal dari malapetaka yang bakal menimpa Kuwu Caruban. Bayi
itu harus disingkirkan jauh-jauh dari pakuwuan sebelum
melapetaka yang ditimbulkannya meluas ke mana-mana. Tanda
bahwa bayi itu berbahaya adalah kematian kedua orang tuanya
dan meluasnya pageblug di tlatah Caruban.
Akibat fitnah yang kuat itu, Ki Danusela sempat terpengaruh. Itu
sebabnya, dia membicarakan masalah itu dengan Ki Samadullah
sebelum menyampaikannya kepada Syaikh Datuk Kahfi. Ki
Samadullah tentu saja terkejut dengan berita bersifat fitnah itu.
Lantaran itu, ia dengan terpaksa mengungkapkan ramalan rahasia
gurunya, Syaikh Datuk Kahfi tentang kemuliaan yang bakal diraih
putera Ki Danusela itu. “Menurut guru saya, putera Tuan bakal
menjadi seorang waliyullah yang mulia sepanjang zaman. Karena
itu, Tuan, saya menilai wajar jika sejak kecil ia sudah yatim piatu
sebab Kangjeng Nabi Muhammad pun sejak kecil mengalami nasib
demikian,” ujar Ki Samadullah.

Ki Danusela sangat percaya kepada Ki Samadullah dan terutama


kepada adik iparnya, Syaikh Datuk Kahfi, sehingga setiap fitnah
keji yang dialamatkan kepada San Ali terhalau. Bahkan atas saran

56
Ki Samadullah, Ki dan Nyi Danusela merelakan putera sulung
mereka yang ketika itu berusia lima tahun dikirim ke Padepokan
Giri Amparan Jati untuk dididik ilmu pengetahuan agama. Sebulan
sekali, Ki Danusela bergantian dengan Ki Samadullah menjenguk
San Ali, melimpahkan kasih dan sayang kepada bocah itu.

Apa yang dikemukakan Ki Samadullah berkenaan dengan ramalan


Syaikh Datuk Kahfi ternyata terbukti. Ini setidaknya terlihat betapa
dalam waktu singkat San Ali sudah dikenal di padepokan sebagai
santri yang paling cerdas dan sangat disayangi Syaikh Datuk Kahfi.
Berbagai pelajaran agama cepat diselesaikannya menandingi
santri-santri lain. Bahkan berbagai persoalan yang diajukan San Ali
kepada guru agungnya dalam setiap akhir pengembaraannya
selalu menambah wawasan baru bagi warga padepokan, terutama
bagi Syaikh Datuk Kahfi.

Warga padepokan tidak lagi menilai warga di luar kelompok


mereka – terutama yang beragama Hindu-Budha – sebagai
golongan kafir yang najis. Syaikh Datuk Kahfi yang semula
memandang bahwa umat yang menyembah Gusti Allah hanya
Islam, telah mengubah pandangan bahwa segala ciptaan di alam
semesta ini pada hakikatnya menyembah Gusti Allah dengan
nama dan tata cara berbeda. Seluruh umat manusia, malaikat,
hewan, tetumbuhan, jin, setan, bahkan iblis: semuanya adalah
penyembah Gusti Allah, meski harus diakui bahwa Islamlah satu-
satunya agama yang paling sempurna di dalam pengaturan tata
cara menyembah Gusti Allah dan tata kehidupan manusia. Dan

57
semua perubahan itu terjadi setelah San Ali dan Syaikh Datuk
Kahfi berbincang membahas berbagai persoalan hidup.

Selama menuntut ilmu di Padepokan Giri Amparan Jati, San Ali


juga dikenal piawai dalam pencak silat, olah kanuragan, dan
menyanyikan tembang-tembang pepujian. Malahan ia sering
terlihat perdebatan dengan guru agungnya tentang berbagai
masalah, terutama dalam pelajaran manthiq dan ilmu kalam.
Sementara dalam hal tauhid dan olah batiniah, keduanya seperti
memiliki kesamaan cita rasa. Boleh jadi lantara itu ia sering terlihat
mengikuti Syaikh Datuk Kahfi melakukan iktikaf untuk
mengamalkan aurad dengan mengerjakan dzikrullah, tafakkur,
ta’ammul, dan tahannuts.

Seiring dengan perubahan waktu yang mengantarkannya ke alam


kedewasaan, terjadi perubahan sikap dan perilaku San Ali. Selama
waktu luang seusai zhuhur, ia sering terlihat merenung seorang diri
di bawah pohon Kalpa hingga matahari condong ke barat dan
beduk asyar mulai ditabuh orang. Entah apa yang dirasakannya
saat itu. Ia merasakan kegelisahan menerkam jiwanya sehingga
membuatnya betah berlama-lama menenangkan diri. Ia seolah-
olah melupakan keriangan yang selama ini direguknya di
padepokan atau saat berkeliling keluar masuk hutan.

Syaikh Datuk Kahfi rupanya memahami benar perkembangan


murid terkasihnya itu. Dia menagkap sasmita bahwa muridnya itu
bakal menjadi guru agung yang jauh melebihi kebesaran dirinya.
58
Murid yang sekaligus saudara sepupunya itu, dalam
pandangannya, adalah samudera pengetahuan yang sedang
menuju pasang kemasyhuran jati dirinya. Lantaran itu, seluruh ilmu
pengetahuan yang dimilikinya sudah diniatkan akan dilimpahkan
kepada San Ali tanpa sisa. Dan San Ali sendiri bagaikan musafir
menenggak air laut, yang semakin kehausan setiap kali menghirup
pengetahuan dari gurunya.

Sebagai guru agung, Syaikh Datuk Kahfi mengetahui secara gaib


bahwa San Ali tidak akan menjadi manusia kebanyakan seperti
murid yang lain. Kalau pun San Ali akan menjadi kuwu
menggantikan kedudukan orang tuanya maka ia tidak akan
menjadi kuwu biasa. Ia akan membawa perubahan besar bagi
zamannya. Namun, diam-diam Syaikh datuk Kahfi mendapat
firasat bahwa San Ali yang dikasihinya itu tidak akan menjadi
penguasa duniawi. Ia akan menjadi guru agung termasyhur:
penuntun manusia ke jalan Ilahi!

Sebagai orang yang telah kenyang memakan pahit dan getir


kehidupan, Syaikh Datuk Kahfi merasakan suatu kemestian dari
derita pedih yang bakal dialami muridnya. San Ali akan menduduki
derajat ruhani sangat tinggi di zamannya. Syaikh Datuk Kahfi diam-
diam mendoakan agar muridnya itu senantiasa tabah dan tawakal
menghadapi ujian Ilahi, karena telah termaktub di dalam dalil
bahwa siapa yang berderajat ruhani tinggi maka hidupnya akan
senantiasa diterpa ujian berat berupa kebalakan sebagaimana hal
itu dialami para nabi dan wali.

59
Tentang kemestian kehidupan pedih yang bakal dilewati San Ali,
Syaikh Datuk Kahfi juga telah menguraikannya kepada Ki
Samadullah dalam suatu pertemuan rahasia di Masjid Giri
Amparan Jati. Dengan penuh harap, dia meminta agar Ki
Samadullah dengan suka cita menjadi pembela dalam persoalan
apa saja yang berkenaan dengan lingkaran nasib yang bakal
menjerat San Ali. Dengan hati diliputi keprihatinan, Syaikh Datuk
Kahfi menjelaskan nasib pedih yang bakal dialami San Ali.
“Jagalah rahasia Allah ini! Jangan sekali-kali ada yang
mengetahuinya, termasuk San Ali,” ujarnya mewanti-wanti.

Sebagai murid yang patuh dan setia, dengan sepenuh jiwa Ki


Samadullah menyanggupi permintaan gurunya. “Saya akan
senantiasa mematuhi amanat Yang Mulia. Saya akan melakukan
yang terbaik yang bisa saya lakukan bagi San Ali, buah hati saya.”
Sejak peristiwa larut malam di Masjid Giri Amparan Jati itu,
kecintaan Ki Samadullah kepada anak asuhnya makin kuat berurat
dan berakar. Bagaikan induk harimau melindungi anaknya,
begitulah Ki Samadullah memperlakukan San Ali. Ke mana pun
San Ali berada dia selalu berusaha mengetahui dan
mendampinginya. Itu sebabnya, dia tak jarang menemani San Ali
berkeliling ke desa-desa di sekitar Gunung Sembung, keluar dan
masuk hutan. Bahkan karena begitu seringnya mendampingi San
Ali, Ki Samadullah menjadi sangat dikenal masyarakat sebagai
petinggi Kerajaan Galuh yang dermawan dan mencintai rakyat,
karena selama bersama San Ali, dia acap kali mengulurkan
bantuan kepada mereka yang membutuhkan.

60
San Ali tampaknya merasakan perubahan sikap ayahanda asuh
tercintanya itu. Ia juga merasakan perubahan sikap dari guru
agungnya. Bahkan sikap ayahanda dan ibundanya. Dan ujung dari
perasaannya itu, ia merasa tidak bahagia dengan itu semua. Ia
menangkap sasmita bahwa kecintaan orang-orang di sekitarnya
terhadap dirinya, tentu ada batasnya. Cinta mereka bukanlah cinta
sejati yang abadi sepanjang masa.

Saat usianya masuk sembilan belas tahun, San Ali bertambah


sering terlihat termenung duduk di bawah pohon Kalpa yang
tumbuh rindang di tepi sungai. Lewat derasnya arus sungai, ia
menangkap kenyataan bahwa aliran air yang terus-menerus itu
akan mengalir menuju muara hingga ke samudera raya. Lewat
gemerlap cahaya matahari, ia menyaksikan betapa sinar dunia itu
bergerak dari timur ke barat sepanjang waktu seolah masuk ke
sarangnya di dunia bawah. Bahkan saat menyaksikan warga desa
di sekitar padepokan meninggal dunia, ia menyadari adanya aliran
kehidupan manusia, seperti gerakan air dan matahari menuju ke
arah tertentu: pusat dari segala sesuatu.

Selama termenung, ia menyadari bahwa pada hakikatnya segala


apa yang tergelar di alam semesta ini adalah perwujudan dari ‘aku’.
Air sungai, matahari, pepohonan, bebatuan, awan-gumawan,
langit, gunung-gemunung, hewan, manusia, dan seluruh isi jagad
raya ini memiliki ‘aku’ masing-masing. Andaikata matahari bisa
bicara maka dia akan berkata: aku matahari. Begitu juga dengan
seluruh isi jagad raya, pasti akan mengatakan ‘aku’ ini dan ‘aku’ itu.
Dan ‘aku’ masing-masing itu, pikir San Ali, pastilah memiliki pusat
61
‘aku’ semesta dari mana ‘aku’ masing-masing itu berasal dan ke
mana ‘aku’ masing-masing itu kembali.

Selama ini ia telah diajarkan bagaimana melakukan penyembahan


kepada Gusti Allah, Pencipta alam semesta, Pangkal kejadian
segala. Atau tentang surga yang diperuntukkan bagi orang-orang
saleh yang menyembah dan mengikuti peraturan agama yang
diturunkan Gusti Allah. Ia juga telah diajarkan tentang neraka yang
diperuntukkan bagi orang-orang kafir yang mengabaikan ajaran
agama. Ia belajar berbagai masalah kehidupan beragama yang
membawa seseorang sebagai muslim sejati, yakni mereka yang
berbaris beriringan bersama-sama dengan orang-orang takwa
yang dicintai Allah menuju surga tempat kenikmatan dan kelezatan
abadi.

Kesadaran San Ali tentang hakikat ‘aku’ pribadi dan ‘Aku’ semesta
itu telah membawanya ke suatu hamparan keagamaan luar biasa
dalam memaknai hidup. Jika sebelumnya, seperti murid-murid
padepokan yang lain, ia memiliki harapan besar untuk menjadi
penghuni surga yang penuh kenikmatan maka kini ia meragukan
harapannya itu sebagai kebenaran mutlak. Bukankah surga pada
hakikatnya adalah ‘aku’ pribadi – dan bukan ‘Aku’ semesta yang
menjadi sumber segala ‘aku’? Bukankah ‘aku’-ku akan menyatu
dengan ‘aku’ surga jika harapanku memang ke sana? Bukankah
agama mengajarkan intisari hakikat inna li Allahi wa inna ilaihi
rajiun, yang bermakna sesungguhnya semua ‘aku’ berasal dari
‘Aku’, dan semua ‘aku’ akan kembali ke ‘Aku’ sebagai asal segala
‘aku’.
62
Dengan kesadaran itu San Ali mulai merasakan kegelisahan
mencakari jiwanya. Ia mulai mempertanyakan segala perilaku
ibadah yang telah dijalankannya selama ini. Gusti Allah yang
bagaimana yang ia sembah selama ini? Apakah ketundukan ‘aku’-
nya di dalam sembahyang benar-benar perwujudan dari
ketundukan ‘aku’ terhadap ‘Aku’? bukankah sampai saat ini ia
belum menemukan hakikat dari ‘aku’ pribadinya? Di manakah ‘aku’
pribadiku berada? Di mana ‘aku’ pribadiku bisa ditemukan?
Apakah ‘aku’-ku bersembunyi di kedalaman hati, jantung, paru-
paru, aliran darah, sumsum, atau otak? Tidak satu pun pelajaran
yang diterimanya dari Syaikh Datuk Kahfi memberikan penjelasan
yang memuaskan tentang semua pertanyaan ini. Dan San Ali
mendapati kenyataan yang makin membuatnya gamang: “Jika
keberadaan ‘aku’ pribadiku saja belum kuketahui hakikatnya,
bagaimana mungkin aku mengetahui hakikat ‘Aku’ semesta? Dan
jika hakikat ‘Aku’ semesta belum kuketahui, bagaimana ‘aku’ bisa
sampai kepada-Nya?”

Setelah belajar selama limabelas tahun, datanglah saat ia harus


meninggalkan padepokan untuk menguji segala ilmu pengetahuan
yang telah ia miliki di tengah gelanggang kehidupan manusia. San
Ali pergi berbekal petuah Syaikh Datuk Kahfi agar selalu
mengikatkan diri pada tali Ilahi – intisari hakiki dari ‘Aku’ semesta
yang menjadi pusat semua ‘aku’ pribadi – di mana pun ia berada.
Dan intisari dari ikatan tali Ilahi itu adalah suatu keyakinan yang
menandaskan bahwa ‘Aku’ semesta itulah pangkal segala: engkau
akan mengenal Dia karena Dia! Engkau tahu Dia karena Dia!

63
Kepergian San Ali dari Padepokan adalah bagian dari pencarian
sejati dari hakikat ‘aku’ yang bermuara ke ‘aku’. Sebab, bagi
‘harimau’ seperti San Ali dibutuhkan rimba raya yang lebih luas
untuk menemukan sarangnya yang sejati. Bagi Syaikh Datuk Kahfi,
kepergian San Ali merupakan bagian dari ujian menunaikan tekad
untuk mencari hakikat sejati ‘Aku’ yang menurut para pencari-Nya
dilingkari tujuh samudera, tujuh lembah, tujuh gunung, tujuh jurang,
tujuh gurun, tujuh rimba, dan tujuh benteng yang dipenuhi pasukan
penghalang berkekuatan mahadahsyat. Hanya dia yang berjiwa
ksatria dan benar-benar berjuang keras menuju ‘Aku’ yang akan
sampai kepada-Nya.

Perjalanan San Ali mencari ‘Aku’ sebagai sangkan paran (asal


usul) segala ‘aku’ pada dasarnya merupakan hal aneh bagi
seumumnya manusia lumrah. Sebab, manusia umumnya mencari
kemuliaan dan kenikmatan hidup berupa harta kekayaan, pangkat
tinggi, derajat kehormatan, kekuasaan, atau kenikmatan
perempuan. Bahkan bagi sebagian orang yang mengaku beriman
dan beramal saleh, yang lazim diburu adalah kenikmatan ukhrawi,
seperti surga yang penuh bidadari jelita, makanan lezat, susu,
madu, hawa sejuk, dan kenikmatan lain. Jadi, perjalanan San Ali
adalah pencarian luar biasa dahsyat yang tak menjanjikan apa-apa
kecuali kembali kepada Asal Usul kejadian yang tak bisa dibayang-
bayangkan, dibanding-bandingkan, dan disetarakan dengan
sesuatu.

Perjalanan mencari ‘Aku’ pada dasarnya gampang diucapkan,


namun sulit diamalkan. Sebab, ‘Aku’ yang dikenal San Ali dengan
64
nama Allah bukanlah ‘Aku’ statis yang membiarkan diri-Nya
gampang ditemukan apalagi dijamah ‘aku’ ciptaan-Nya. Dia
menggelar bermacam-macam hijab dan berlapis-lapis tirai
penghalang untuk menguji tekad dan semangat ‘aku’ dalam
menuju ‘Aku’. Semakin dekat ‘aku’ kepada ‘Aku’ maka ujian pun
makin luar biasa dahsyat hingga pada satu titik di mana ‘aku’ tidak
melihat ‘aku’ yang lain kecuali ‘Aku’.

Rintangan awal dari perjalanan San Ali mencari ‘Aku’ dibentangkan


sejak ia melangkahkan kaki keluar dari Padepokan Giri Amparan
menuju Pakuwuan Caruban, tempat ayahanda dan ibundanya.
Tujuannya ke Pakuwuan Caruban adalah atas perintah Syaikh
Datuk Kahfi, untuk memohon doa dan restu dari ayahandanya,
ibundanya, serta Ki Samadullah dan istrinya sebelum
pengembaraan batiniahnya dimulai. Namun, justru di sanalah
rintangan berat dimulai dalam bentuk tragedi yang menimpa orang-
orang yang dicintainya.

Saat tiba di pakuwuan yang dijumpainya hanya Rsi Bungsu, adik


ibundanya, yang selama bertahun-tahun menjadi penasihat
ayahandanya. Rsi Bungsu ternyata telah menggantikan
kedudukan Ki Danusela sebagai Kuwu Caruban. Kenyataan itu,
tentu sangat mengejutkan San Ali. Ia merasakan dirinya seperti
disambar petir di siang hari.

Menurut penjelasan Rsi Bungsu, Ki Danusela telah wafat diterkam


harimau saat berburu kijang di hutan Kawali sekitar tiga pekan
65
silam. Sementara nasib Nyi Ratu Inten Dewi, ibunda San Ali,
hingga kini tak diketahui. Sejak kematian suaminya, Nyi Ratu Inten
menjadi hilang ingatan. Suatu malam dia pergi dan tidak diketahui
rimbanya.

Selama bertahun-tahun hidup di padepokan, San Ali selalu


diterkam kerinduan ingin hidup bersama kedua orang tuanya.
Namun, kini mereka telah tiada. Kenyataan pahit itu sulit diterima
San Ali. Jiwanya sangat terpukul. Itu sebabnya, dengan gencar dan
terkesan menuduh ia mempertanyakan perubahan keadaan itu
kepada Rsi Bungsu.

Kenapa kematian ayahandanya tidak diberitakan ke padepokan?


Benarkah ibundanya hilang akal dan lari meninggalkan pakuwuan
setelah kematian ayahandanya? “Saya khawatir, jangan-jangan
semua ini adalah akal bulus Pamanda belaka.”

“Apa maksudmu, o Kemenakanku tercinta?” ujar Rsi Bungsu


dengan muka merah padam menunjukkan kobaran api amarah.

“Apakah saya salah jika menaruh syak wasangka bahwa ayahanda


saya meninggal dunia karena upaya pembunuhan? Dan apakah
saya salah jikalau menaruh curiga bahwa ibunda saya telah secara
sengaja disingkirkan dari pakuwuan dengan tuduhan hilang akal?
Dan ujung dari semua itu, salahkah jika saya mencurigai orang

66
yang sekarang menduduki kursi Kuwu Caruban?” sergah San Ali
dengan suara ditekan keras.

“Lancang mulutmu, San Ali,” bentak Rsi Bungsu dengan suara


menggelegar. “Sungguh aku tidak pernah menduga, murid terkasih
Syaikh Datuk Kahfi memiliki mulut selancang dan sekejam dirimu.
Tuduhanmu sangat menyakitkan karena tanpa dasar apa pun. Dan
ketahuilah, o Kemenakanku, jika saat ini aku berkenan, akan
kusuruh punggawa pakuwuan untuk menangkap dan
membunuhmu yang telah berbuat tidak tahu tata krama di hadapan
Yang Dipertuan Caruban. Tidakkah engkau tahu bahwa aku
adalah putera bungsu Prabu Surawisesa, Ratu Sanghiang? Tidak
tahukah engkau bahwa saudara tuaku, Prabu Ratu Dewata, Ratu
Aji di Pakuan, adalah maharaja di Pajajaran?”
“Saya akan sukacita jika Pamanda membunuhku sekarang,”
tantang San Ali dengan mata berkilat-kilat.

“Ketahuilah, o San Ali,” tukas Rsi Bungsu menahan amarah,


“sebagai seorang paman, aku akan memaafkan perilaku burukmu
yang melanggar tata krama itu. Aku tidak akan memerintahkan
punggawa untuk menangkap dan membunuhmu. Namun, sebagai
Kuwu Caruban, adik Maharaja Pajajaran, perbuatanmu itu wajib
dihukum agar tidak ditiru oleh kerabat pakuwuan dan kawula alit
yang lain.”

67
“Pamanda akan memenjarakan saya?” tanya San Ali
mengernyitkan dahi.

“Hal itu tidak akan terjadi,” kata Rsi Bungsu datar, “sebab jika
engkau dijatuhi hukuman penjara maka orang-orang akan
membenarkan tuduhanmu yang keji itu. Untuk kesalahanmu itu, o
San Ali, aku selaku Kuwu Caruban yang mewakili Maharaja
Pajajaran, menyatakan bahwa sejak saat ini engkau telah
dianggap bukan lagi bagian dari keluarga pakuwuan, apalagi
keturunan Ramanda Prabu Surawisesa. San Ali tidak berhak lagi
menyandang gelar kebangsawanan. San Ali sudah menjadi kawula
alit dari kaum sudra papa yang tidak memiliki martabat dan derajat
apa pun di bumi Pajajaran ini.”

Mendengar keputusan Rsi Bungsu, San Ali berdiri dengan gagah


dan tertawa lepas seolah tidak terpengaruh sedikit pun dengan
keputusan pamannya. “Sekalipun kini saya telah menjadi kawula
alit, di dalam darah saya tetap mengalir darah yang sama dengan
darah Ki Danusela, Kuwu Caruban, yang mengalirkan darah raja-
raja Majapahit. Darah saya sama dengan darah ibundaku, Nyi Ratu
Inten Dewi, darah Pajajaran yang juga mengalir di darahmu,
Paman. Karena itu, o Pamanda Bungsu, sekalipun kini engkau
tidak mau mengakui aku sebagai kemenakanmu, aku tetap
menganggapmu sebagai pamanku karena di dalam tubuh kita
mengalir darah yang sama. Dan ketahuilah, o Pamanda, bahwa
dengan kekuasaanmu sekarang, engkau dapat mengangkat
seratus ekor kera dengan gelar-gelar kebangsawanan. Namun,

68
apa pun gelar yang engkau berikan, mereka tetaplah hewan
karena darah, daging, dan tulang mereka adalah hewan.”

“Ketahuilah, o Pamanda tercinta,” lanjutnya, “kehadiran saya di


pakuwuan ini sebenarnya hanya ingin memohon doa restu dari
ayahanda dan ibunda karena saya akan mengemban tugas dari
guru agung untuk menjalankan dharma kehidupan saya. Sedikit
pun saya tidak pernah berpikir tentang kekuasaan duniawi apalagi
jabatan kuwu di Caruban ini. Karena itu, o Pamanda, engkau tidak
perlu khawatir jikalau saya akan menggalang kekuatan untuk
merebut kekuasaan dari tanganmu.”

Ucapa San Ali benar-benar menusuk perasaan Rsi Bungsu. Itu


sebabnya, dengan suara penuh amarah dia menyerang dengan
kata-kata menyakitkan, “Ketahuilah, o San Ali, bahwa sejatinya
engkau tidak memiliki hak untuk berbicara tentang darah Majapahit
yang mengalir di tubuh Kakanda Danusela apalagi darah Pajajaran
dari Kakanda Nyi Ratu Inten Dewi. Ketahuilah, o Anak, bahwa
engkau bukanlah keturunan mereka. Karena, orang yang menjadi
ayahandamu adalah orang asing keturunan Melayu-Jambudwipa
yang bernama Syaikh Datuk Sholeh yang mati diganyang
pageblug. Begitu juga orang yang menjadi ibunda kandungmu.
Jadi, San Ali, tidak ada darah Majapahit apalagi darah Pajajaran di
tubuhmu. Cukup adil jika aku melarangmu menggunakan gelar
kebangsawanan karena sejatinya engkau memang bukan berasal
dari kalangan yang demikian.”

69
San Ali merasakan kepalanya bagai disambar petir. Ia tercengang
mendengar uraian Rsi Bungsu. Ia benar-benar kebingungan.
Tubuhnya tiba-tiba terasa panas dingin. Benarkah ia bukan anak
kandung Ki Danusela? Kenapa selama ini tidak ada yang
membicarakan persoalan itu? Benarkah ayahandanya orang asing
keturunan Melayu-Jambudwipa bernama Datuk Sholeh? Benarkah
ayahanda dan ibunda kandungnya telah meninggal terkena
pageblug? Kenapa guru agung tidak pernah menceritakan hal itu?

Dengan benak digumpali tanda tanya berjejal-jejal dan hati


penasaran, San Ali dengan langkah limbung meninggalkan
pendapa pakuwuan. Seluruh kebanggaannya sebagai putera
Kuwu Caruban hancur binasa. Ia merasakan bumi tempatnya
berpijak terhempas ke bawah. Ia tidak memiliki apa-apa lagi:
kehormatan hidup, kebanggaan darah biru, orang tua kandung,
dan bahkan orang tua angkat yang mencintainya. San Ali benar-
benar merasakan ‘aku’-nya terasing sendiri: hina dan papa!

70
Meninggalkan Orang-Orang Tercinta

Di bawah cahaya rembulan yang bersinar


separo ditutupi gumpalan awan di langit yang
menghampar di angkasa pantai Muara Jati, di
utara Caruban, San Ali berjalan di antara
rimbunan hutan. Tak jauh di belakangnya –
dalam jarak sekitar lima puluh tombak – sekitar
seratus orang dengan senjata tombak, pedang, kelewang, dan
kujang bergerak membayanginya. Mereka bagai kawanan serigala
mengintai mangsa.

Ketika ia berada di dekat rimbunan bakau, tiba-tiba salah seorang


dari gerombolan yang mengikuti itu melompat keluar sambil
menghardik, “Berhentilah kau, e Ki Sanak! Berani benar kau
melewati daerah kekuasaanku? Apa kau belum kenal siapa aku?”

San Ali yang sejak semula merasakan langkahnya diikuti


sekumpulan orang segera menyergah dengan tegas, “Aku tahu
siapa kalian! Bukankah kalian prajurit Pakuwuan Caruban yang
diperintahkan Pamanda Rsi Bungsu untuk membunuhku?”

“Lancang sekali mulutmu, Ki Sanak!”

71
“Sudahlah Ki Sanak, tidak usah bersandiwara di depanku,” ujar
San Ali tenang, “Sebagai putera ibunda Nyi Ratu Inten Dewi dan
cucu Prabu Surawisesa, Ratu Aji di Pakuan, aku tahu persis watak
dari Pamanda Rsi Bungsu yang licik.”

Mendengar bahwa San Ali adalah putera Nyi Ratu Inten Dewi, istri
Ki Danusela, mantan junjungannya, orang itu tercengang
kebingungan. Dia seperti baru sadar bahwa pemuda di depannya
itu adalah San Ali. Namun, sebelum sempat dia berpikir lebih lanjut,
tiba-tiba terdengar hiruk pikuk dari sekeliling hutan bakau yang
diikuti oleh menghamburnya orang-orang bersenjata yang dengan
beringas dan berteriak-teriak menyerbu San Ali.

“Bunuh!”

“Cincang!”
“Habisi!”

Bagaikan kawanan serigala menyerang seekor domba, begitulah


gerombolan bersenjata itu menyerbu dengan beringas. Namun,
sebagai santri yang bertahun-tahun dilatih pencak silat dan
berbagai ilmu kanuragan, San Ali tidak gentar menghadapi
serangan itu. Ia dengan tenang menyapukan pandangan ke arah
utara, ke rerimbunan hutan bakau. Dengan gerakan seolah
melarikan diri dari lawan, ia melompat dan lari dengan cepat
meninggalkan orang-orang yang memburunya.

72
Dengan berlari cepat, San Ali telah membagi kekuatan lawan
sedemikian rupa. Hanya mereka yang kuat tenaga dan cepat
larinya yang bisa mendekatinya. Siasat San Ali ini mengena. Para
pemburu beriringan mengejarnya. Ketika ada yang berhasil
mendekat, serta merta ia memperlambat laju larinya. Dan saat
jarak mereka tinggal satu tombak, tiba-tiba ia berbalik sambil
menyabetkan kakinya ke bawah dengan gerakan setengah
lingkaran.

Desh!

Blukk!

Sabetan kaki San Ali dengan telak menghantam kaki lawan. Dan
tanpa ampun lagi, lawan yang terserimpung kakinya itu tumbang
ke atas tanah. San Ali cepat bergerak lagi menjauh. Pada saat
berurutan, para pemburu yang berlari cepat di belakang tak sempat
menghentikan langkah saat mengetahui kawan di depannya
tersungkur mendadak. Dan peristiwa menakjubkan pun terjadi,
orang-orang yang berlomba memburu San Ali bergantian jatuh
karena tersandung tubuh kawannya yang tersungkur lebih dulu.
Disertai sumpah serapah, mereka yang bertumpang tindih itu
memaki-maki San Ali dengan penuh amarah. Namun, sebelum
mereka dapat berbuat sesuatu tiba-tiba San Ali melompat ke arah
mereka. Kemudian dengan pukulan dan tendangan yang mantap,
satu demi satu para pemburu yang bergelimpangan itu dihajarnya.

73
Gerak cepat San Ali dalam melumpuhkan lawan itu tidak
berlangsung lama, sebab para pemburu lain sudah dekat jaraknya.
Dengan gerakan secepat kijang ia melompat dan mengambil
langkah seribu meninggalkan lawan-lawan yang terus
mengejarnya. Tadinya ia sempat meragukan kemampuannya
untuk mengalahkan lawan yang jumlahnya sekitar seratus orang.
Namun, dengan keyakinan bahwa Allah akan senantiasa
menolong hamba-Nya, ia terus berusaha melumpuhkan lawan
dengan cara mengajaknya lari berputar-putar di sekitar pepohonan
bakau. Lawan yang jaraknya dekat langsung dihantam dan
ditinggal lagi, begitu seterusnya.

Taktik lari dan pukul itu membuat tenaganya terkuras. Sementara


lawan-lawannya meski kelihatan letih dan babak-belur, jumlah
mereka tak berkurang. Bahkan seperti tak ada habis-habisnya.
Saat San Ali benar-benar kewalahan menghadapi serangan lawan,
sambil mengamuk dengan gerakan-gerakan yang mulai kurang
terarah, ia mengeluh dan memasrahkan hidupnya kepada ‘Aku’
semesta yang diyakini sebagai asal ‘aku’ pribadinya. “Ya, Allah, jika
Engkau menghendaki ‘aku’ kembali kepada-Mu sekarang,
kupasrahkan ‘aku’-ku untuk kembali kepada ‘Aku’-Mu.”

Mendadak terdengar pekikan takbir yang diteriakkan puluhan


orang. Di antara pekikan itu terdengar dentam kaki kuda
menghentak-hentak bumi yang diselingi jerit kesakitan dan pekik
kematian di sana sini.

74
San Ali tercengang. Ia seperti bermimpi ketika menyaksikan
puluhan orang berpakaian serba putih dengan menunggang kuda
menyabetkan pedangnya ke kanan dan ke kiri. Dalam tempo
singkat, ia melihat puluhan mayat bertumpuk-tumpuk di sekitarnya.
Bahkan sekumpulan orang yang sedang mengepung dirinya tiba-
tiba berhenti bergerak dan mendongak ke atas dengan wajah
pucat. Kemudian bagaikan dikomando, para pengeroyok itu
berhamburan ke arah utara menyelamatkan diri. Setelah suasana
terkendali barulah San Ali mengetahui bahwa di antara para
penunggang kuda itu terdapat ayahanda asuhnya, Ki Samadullah.

Rupanya, sejak berita kematian Ki Danusela sampai ke pakuwuan,


Ki Samadullah menangkap gelagat kurang beres dari perilaku Rsi
Bungsu. Itu sebabnya, dengan dalih menyusul Ki Danusela ke
hutan Kawali, diam-diam dia membawa sekitar tiga puluh prajurit
berkuda Pakuwuan Caruban. Alih-alih ke hutan Kawali,
sebenarnya Ki Samadullah bersembunyi di kawasan gunung
Sembung tak jauh dari Padepokan Giri Amparan Jati. Dari sanalah,
dia memantau perkembangan pakuwuan yang sudah dikuasai oleh
Rsi Bungsu.

Dari tempat persembunyiannya, Ki Samadullah mengirim utusan


ke Kadipaten Demak untuk melaporkan kepada Adipati Demak,
Arya Sumangsang, tentang nasib saudara tirinya, Ki Danusela.
Arya Sumangsang, kelak menjadi penguasa Demak dengan gelar
Abdul Fatah Surya Alam Sayidin Panatagama, kemudian mengirim
adik tirinya seibu yang bernama Raden Kusen dengan membawa
sekitar dua ratus orang prajurit Demak ke Caruban. Raden Kusen
75
yang ibundanya seorang Cina muslim itu dengan mudah
menyusup ke pelabuhan Muara Jati melalui jasa saudagar-
saudagar Cina. Bahkan tanpa menemui kesulitan, ia dan
pasukannya berhasil masuk hingga ke gunung Sembung.

Malam itu, di bawah bayangan rembulan yang bersinar separo,


San Ali melihat Ki Samadullah menunggang kuda coklat. Di
sampingnya, seorang lelaki berwibawa duduk di atas punggung
kuda hitam perkasa. Kilatan matanya tajam, menyiratkan
kecerdasan, keberanian, dan keteguhan jiwa. Usianya sekitar tiga
puluh lima tahun, sedikit lebih tua dari San Ali, namun ia kelihatan
matang.

Begitu melihat anak asuh kesayangannya selamat tak kurang


suatu apa, Ki Samadullah segera melompat turun dari kuda.
Dengan mata berkaca-kaca diliputi keharuan, dia langsung
mendekati San Ali dan mendekapnya erat-erat.

“Alhamdulillah,” desah Ki Samadullah dengan air mata bercucuran,


“engkau tak kurang suatu apa pun, Anakku. Aku yakin sekali Gusti
Allah tidak akan membiarkan orang-orang yang dikasihi-Nya
celaka.”

“Pamanda Samadullah,” San Ali menarik napas berat, “ke mana


saja Paman selama ini? Aku mencari-carimu di pakuwuan, namun
tak ada yang tahu.”

76
“Aku sengaja bersembunyi di gunung Sembung, Anakku. Sebab,
aku mendapat firasat tidak baik berkenaan dengan pamanmu Rsi
Bungsu, segera setelah kuperoleh berita bahwa ayahandamu
meninggal akibat diserang harimau di hutan Kawali. Karena itu,
tanpa sepengetahuan Rsi Bungsu, aku membawa tiga puluh
prajurit keluar pakuwuan untuk bersembunyi, dengan harapan
rentangan waktu akan membongkar kebusukan Rsi Bungsu.

“Dan sekarang Paman yakin bahwa Pamanda Rsi Bungsulah yang


merancangnya semua bencana yang menimpa Pakuwuan
Caruban ini?”

“Kenyataan menunjukkan demikian,” sahut Ki Samadullah geram.


“Lantaran itu, aku segera mengirim kurir ke Kadipaten Demak
untuk melaporkan kejadian di pakuwuan kepada sang Adipati,
yang tak lain adalah saudara ayahandamu. Beliau kemudian
mengirim adiknya, Raden Kusen, untuk membalas kematian
ayahandamu dan menghukum Rsi Bungsu.”

“Jadi?”

“Beliau inilah Raden Kusen, saudara ayahandamu,” kata Ki


Samadullah menunjuk ke penunggang kuda hitam, ke arah lelaki
yang penuh wibawa itu.

77
“Salam takzim, Pamanda,” kata San Ali menyalami dan mencium
tangan lelaki itu.

“Engkaukah San Ali, putera Rakanda Danusela?” tanya Raden


Kusen.
“Benar, Paman.”

Raden Kusen menatap mata San Ali seolah hendak mengukur


kekuatan jiwa putera dari saudara tirinya itu. Seperti mengukur
benda, ia menyapukan pandangannya ke San Ali dari ujung kaki
hingga ke ujung rambut. Dan sejenak sesudah itu ia menepuk-
nepuk bahu San Ali sambil berkata, “sebagai bahan dasar, mutumu
sangat unggul, o Putera saudaraku. Tetapi untuk menjadi pusaka
dahsyat, engkau masih perlu ditempa lebih keras lagi.”

“Terima kasih, Paman,” kata San Ali penuh hormat.

Raden Kusen membisikkan sesuatu ke telinga Ki Samadullah.


Sesaat kemudian, Ki Samadullah mengajak San Ali meninggalkan
lokasi.

“Pamanda,” sergah San Ali, “tahukah Paman akan nasib


ibundaku?”

78
“O Anakku, tambatan kesayanganku,” kata Ki Samadullah sambil
mengelus-elus rambut San Ali. “Sungguh malang nasibmu.
Ibundamu hanya sempat tinggal sekitar sepekan bersama kami di
gunung Sembung. Dia pergi begitu saja tanpa pamit. Ibundamu,
Nyi Kuwu, hanya sempat mengatakan kepada istriku bahwa dia
akan mencari ke mana pun ayahandamu berada, meski nantinya
yang ditemukan hanya tulang berbalut tanah. Sekitar sepekan
setelah kepergiannya, salah seorang prajuritku menemukan
ibundamu sakit keras di pinggiran hutan Kawali.

Prajurit itu kemudian membawa ibundamu ke gunung Sembung.


Rupanya perjalanan siang dan malam tanpa kenal hujan dan angin
membuat ibundamu kehabisan tenaga. Setelah tinggal selama tiga
hari, ibundamu meninggal dan kami kebumikan di sana.”

“Jadi, ibunda saya meninggal di gunung Sembung? Kenapa


Paman tidak memberi tahu?” tanya San Ali penasaran.

“Sejak awal peristiwa, ibundamu melarang kami memberitahumu,”


kata Ki Samadullah menghela napas berat. “Kami semua tidak tahu
alasan apa yang membuat Nyi Kuwu melarang kami. Kami hanya
tahu bahwa beliau adalah puteri Prabu Surawisesa, Ratu Aji di
Pakuan, yang segala perintahnya harus dipatuhi.”

“Astaghfirullah!” desah San Ali lirih. Tanpa terasa dari kelopak


matanya mengalir air bening. Terbayang di lipatan kenangannya
79
tentang belaian kasih yang telah ia dapatkan dari ibundanya itu.
Betapa sabar dan penuh kasih ibundanya itu sehingga belum
pernah San Ali menyaksikannya marah atau bermasam muka.
Bahkan andaikata benar pernyataan Rsi Bungsu bahwa wanita itu
bukan ibunda kandungnya, tetaplah San Ali mencintai dan
menghormatinya sepenuh jiwa karena sejak kecil yang ia kenal
sebagai ibunda hanyala Nyi Kuwu, Ratu Inten Dewi.

Melihat anak asuh yang dikasihinya tenggelam dalam kesedihan,


Ki Samadullah merasakan hatinya pedih bagai mengalirkan darah.
Selama ini, setiap dia mengunjungi San Ali, senantiasa yang
dijumpainya adalah senyum dan tawa bahagia. Ketika
mendampingi berkeliling desa dan keluar masuk hutan pun, dia
senantiasa mendapati keceriaan mengitari kehidupan anak
asuhnya itu. Kini, baru beberapa hari meninggalkan padepokan,
anak itu telah terseret ke dalam lingkaran nasib memilukan
sebagaimana pernah diramalkan Syaikh Datuk Kahfi.

Suasana hening melingkupi tlatah Muara Jati. San Ali diam. Ki


Samadullah diam. Raden Kusen diam. Semua diam. Hanya angin
dingin bertiup menebarkan bau anyir darah yang mulai mengering
di tanah. Dan setelah lama suasana hening itu berlangsung, Raden
Kusen dengan suara penuh wibawa berkata, “Sekaranglah waktu
yang paling tepat untuk menjatuhkan hukuman bagi Rsi Bungsu.
Bagaimana, Ki Samadullah, apakah orang-orangmu sudah siaga?”

“Patik, Yang Mulia,” kata Ki Samadullah, “sejak sore tadi, sekitar


seratus orang santri dari Padepokan Giri Amparan Jati bersenjata

80
lengkap telah patik siagakan di sekitar pakuwuan. Sekitar seratus
orang pengikut Ki Gedeng Babadan juga sudah bersiaga. Dan
sekitar tiga ratus orang pengikut patik dari Tegal Alang-Alang pun
sudah mengitari pakuwuan sejak sore tadi.”

“Bagus,” kata Raden Kusen mantap. “Bagaimana dengan berita


kehadiran pasukan Pajajaran yang akan mendukung kekuasaan
Rsi Bungsu?”
“Patik, Yang Mulia,” kata Ki Samadullah. “Berita dari telik sandhi
yang patik kirim menyatakan bahwa Rsi Bungsu memang meminta
bantuan ke Pakuan. Patik dengar Maharaja Pakuan, Prabu Ratu
Dewata, mengirimkan seribu prajurit di bawah pimpinan perwira
bernama Terong Peot.”

“Berarti, kita harus secepatnya menyerang pakuwuan sebelum


bala bantuan itu datang. Kalau sampai pasukan dari Pakuan
datang, engkau bisa membayangkan bagaimana nasib Pakuwuan
Caruban ini. Berita yang kuperoleh dari pedagang-pedagang Cina
yang berniaga di pelabuhan Kalapa mengatakan Rsi Bungsu
sengaja membuat laporan palsu bahwa kematian Kuwu Caruban
akibat dibunuh oleh orang-orang Islam atas suruhan Guru Agung
Syaikh Datuk Kahfi. Rsi Bungsu memutar balik kenyataan. Dia
menyebarkan berita bahwa kematian Kuwu Caruban dilatari
maksud jahat orang-orang Islam yang ingin merebut kekuasaan
dari orang-orang Pajajaran yang beragama Hindu-Budha,” Raden
Kusen memberi penjelasan.

81
“Sejahat itukah laporan Pamanda Bungsu kepada Uwak Prabu
Ratu Dewata?” San Ali menyergah bagai tak percaya.

“Anakku, San Ali,” kata Ki Samadullah sambil menepuk-nepuk


bahu San Ali, “engkau belum mengetahui pahit dan getirnya
kehidupan dunia. Engkau juga belum mengenal asinnya garam
dan masamnya asam kekuasaan dunia. Tetapi jika engkau ingin
tahu, demikianlah perilaku orang-orang yang mabuk kekuasaan.”
“Ya Allah, tujuan utama hidupku,” desah San Ali seolah kepada
dirinya sendiri, “jauhkanlah hamba dari kejahatan nista seperti itu.
Jangan Engkau palingkan hasrat hatiku kepada selain Engkau!”

“Semoga doa dan harapanmu terkabul, o Anakku,” kata Ki


Samadullah menarik napas dalam-dalam. “Sungguh mulia tujuan
hidup yang hendak engkau raih. Semoga engkau menjadi salah
satu dari ‘san ali’ yang bisa menjadi pengobat bagi mereka yang
menderita, sebagaimana harapan ayahanda dan ibundamu.”

“Jika demikian, Paman,” sergah San Ali cepat, “marilah kita


berangkat sekarang juga ke pakuwuan.”

Malam berkabut menerkam bumi Caruban ketika barisan berkuda


yang dipimpin Raden Kusen menerobos keheningan menuju ke
pakuwuan yang sudah dikepung oleh sekitar seratus delapan
puluh prajurit Demak, seratus santri Giri Amparan Jati, seratus

82
pengikut Ki Gedeng Babadan, dan tiga ratus pengikut Ki
Samadullah dari Tegal Alang-Alang. Tak sedikit pun suara keluar
dari rombongan berkuda itu, kecuali detak-detak ladam yang
menghantam tanah berbatu. Gerakan pasukan yang dipimpin
Raden Kusen benar-benar seperti siluman: tanpa suara, tetapi
langsung menembus ke kediaman musuh.

Ketika barisan berkuda berjarak sekitar tiga pal dari pakuwuan,


tiba-tiba Raden Kusen mengangkat tangan. Seperti digerakkan
oleh satu komando, seluruh pasukan berkuda berhenti serentak.
Sejenak kemudian, kuda hitam yang ditunggangi Raden Kusen
melangkah beberapa depa ke depan. Ia menepuk-nepukkan
tangan tiga kali.

Tepukan Raden Kusen itu ternyata isyarat. Ini terlihat dari


munculnya pasukan berkuda Demak secara serentak dari kanan
dan kiri jalan. Rupanya pasukan itu sengaja ditempatkan di sekitar
pakuwuan untuk sewaktu-waktu melakukan serangan mendadak
jika dibutuhkan. Tanpa menimbulkan suara berarti, pasukan
berkuda itu mengatur formasi dalam barisan-barisan berjajar tiga-
tiga.

Beberapa jenak menunggu pasukannya merapikan barisan, Raden


Kusen kemudian menepuk tangan lagi dua kali. Kali ini rupanya ia
memerintahkan seorang prajurit untuk menyampaikan perintah
menyerang kepada kepala-kepala kelompok yang sedang

83
mengepung pakuwuan. Setelah menghormat, prajurit itu dengan
gerak lincah berlari menembus kegelapan malam.

Raden Kusen kemudian melambaikan tangan, meminta Ki


Samadullah yang berada di belakangnya mendekat. Dengan suara
tenang ia berkata perlahan, “Ini pelajaran penting yang wajib
dialami calon pemimpin, Ki.”

“Patik, Yang Mulia,” sahut Ki Samadullah takzim.

“Maksudku, segera setelah kita menguasai pakuwuan, kita akan


bergerak cepat ke Muara Jati lagi,” kata Raden Kusen datar.

“Ke Muara Jati lagi, Yang Mulia?” gumam Ki Samadullah heran.

“Inilah yang kumaksud pelajaran penting, Ki,” kata Raden Kusen.


“Sebab, sore tadi telah kuperoleh berita dari saudagar-saudagar
Cina bahwa perahu-perahu dari gelombang pertama yang memuat
lima ratus prajurit Pajajaran telah terlihat di timur muara sungai
Cimanuk ke arah Dermayu. Sedang perahu-perahu gelombang
kedua sore tadi baru memasuki perairan Karawang. Jadi, bisa
dipastikan kalau perahu-perahu dari gelombang pertama malam ini
sudah masuk ke perairan Caruban. Aku memperkirakan mereka
akan mendarat paling lambat subuh nanti. Berarti, saat pagi datang
mereka sudah siap bergerak menyerang ke pakuwuan.”
84
“Tapi. Yang Mulia,” Kata Ki Samadullah, “bukankah jumlah mereka
yang datang malam ini hanya lima ratus? Bukankah jumlah
pasukan Yang Mulia lebih banyak?

“Ketahuilah, Ki, bahwa jumlah lima ratus pasukan Pajajaran itu


sangat berarti besar bagi sebuah pertempuran. Sebab, jumlah lima
ratus itu adalah prajurit terlatih. Sedang jumlah tujuh ratus yang kita
miliki, hanya dua ratus orang dari Demak yang benar-benar terlatih.
Sisanya adalah orang-orang yang hanya memiliki keterampilan
pencak silat seadanya, termasuk para santri dari Giri Amparan Jati.
Jadi, Ki, dalam sebuah peperangan jangan sekali-kali menilai
lawan hanya dari segi jumlah. Ini pelajaran penting.”

“Patik paham, Yang Mulia.”

Hening malam tiba-tiba dipecahkan oleh pekikan dan jeritan serta


gemerincing senjata beradu di kejauhan. Pertempuran tampaknya
sedang berlangsung di pakuwuan. San Ali dan para prajurit
penunggang kuda tampak gelisah menunggu perintah dari Raden
Kusen untuk menyerang ke pakuwuan. Namun, Raden Kusen
kelihatan tenang dan bergeming mendengar hiruk-pikuk
pertempuran di kejauhan.

Dicekam kegelisahan dan bayang-bayang serunya pertempuran,


San Ali tak tahan lagi. Ia membayangkan bagaimana nasib kawan-
kawannya, para santri, ketika menghadapi prajurit-prajurit
85
pakuwuan yang terlatih. Ia membayangkan betapa korban akan
berjatuhan di pihak penyerbu. Setelah beberapa jenak dicekam
kegelisahan, ia mendekati Raden Kusen dan bertanya, “Kenapa
kita tidak membantu yang bertempur di sana, Paman?”

“Kita belum dapat laporan dari medan laga,” sahut Raden Kusen
singkat.

“Laporan dari medan laga?” San Ali heran.


“Lihat obor itu!” Raden Kusen menunjuk nyala obor yang diayun-
ayun di kejauhan. “Itu laporan dari prajurit tadi bahwa pertempuran
sedang berjalan imbang. Karena itu, sekaranglah waktu yang tepat
bagi kita untuk menyerang agar lawan terkejut.”

“Saya paham, Paman,” San Ali berdecak kagum.

“Agar lawan mengira jumlah kita banyak maka setiap prajurit akan
menyalakan dua obor. Kita akan menyerbu dari kegelapan dengan
suara hiruk-pikuk dan obor yang digoyang-goyang,” kata Raden
Kusen.

Raden Kusen mengangkat tangan kanan. Obor-obor secara


berurutan menyala. Dalam waktu singkat keadaan sekitar menjadi
terang benderang. Raden Kusen mendadak meneriakkan takbir

86
dengan suara menggelegar bagai guntur. Sedeti sesudah itu ia
memacu kudanya. Para prajurit di belakangnya buru-buru
mengikuti. Bagaikan naga bertubuh api yang merayap di
kegelapan malam, begitulah pasukan berkuda yang membawa
obor itu bergerak ke pakuwuan.

Ketika jarak pasukan berkuda yang dipimpin Raden Kusen dengan


pakuwuan tinggal satu pal, serta merta mereka berteriak-teriak
mengumandangkan takbir ganti-berganti dan sahut-menyahut.
Kemudian, bagaikan luapan air bah, pasukan berkuda itu
menerjang ke arah gerbang pakuwuan, tempat para penyerbu dan
prajurit pakuwuan sedang bertempur.
Kegentaran segera meluas di kalangan prajurit pakuwuan ketika
mereka menyaksikan beratus-ratus cahaya obor berayun di
kejauhan. Kegentaran makin memuncak manakala terdengar
pekikan takbir yang makin mendekati gerbang. Dan puncak dari
kegentaran itu berubah menjadi kepanikan manakala mereka
menyaksikan bahwa para pembawa obor itu adalah pasukan
berkuda yang dipastikan merupakan bagian dari kekuatan para
penyerbu. Demikianlah, tanpa dapat dikendalikan lagi, prajurit
pakuwuan berhamburan melarikan diri begitu mendengar detak-
detak ladam menggeba bumi. Dan kepanikan pun makin tak
terkendali ketika tubuh para prajurit pakuwuan bertumbangan ke
atas bumi bagaikan rumput dibabat parang.

Barisan berkuda yang datang bagaikan air bah itu terus maju tak
mempedulikan apa pun. Barang siapa menghalangi akan diinjak.

87
Para penyerbu gabungan dari Padepokan Giri Amparan Jati, Kuwu
Babadan, dan Tegal Alang-Alang yang melihat kedatangan bala
bantuan segera menyibak memberi jalan. Dan pasukan berkuda
pimpinan Raden Kusen itu dengan leluasa menerobos ke dalam
pakuwuan. Dengan cambuk ekor ikan pari, pedang, tombak, dan
panah, mereka membinasakan prajurit pakuwuan.

Dalam waktu singkat, pertahanan Pakuwuan Caruban bobol. Para


prajurit pakuwuan yang bertempur tanpa komando pemimpin itu
porak-poranda. Seraya berteriak-teriak kebingungan mereka
berhamburan ke segala arah menyelamatkan diri. Sementara,
sebagian yang lain berusaha menyelamatkan junjungannya, Kuwu
baru, Rsi Bungsu dan keluarganya, keluar dari pakuwuan. Meski
dengan susah payah, akhirnya Rsi Bungsu berhasil lolos dari
kepungan musuh. Dan malam itu, Rsi Bungsu beserta keluarga
dan sedikit prajurit menerobos kegelapan melewati lereng gunung
Ciremai menuju ke Kadipaten Galuh.

Setelah sisa terakhir kekuatan Rsi Bungsu terhalau, di bawah


temaram cahaya rembulan dan di tengah gumpalan kabut, Raden
Kusen duduk gagah di atas kuda hitam, didampingi Ki Samadullah
dan San Ali. Para penyerbu dari Demak, Padepokan Giri Amparan
Jati, Kuwu Babadan, dan Tegal Alang-Alang berkerumun mengitari
pemimpin mereka. Sementara di luar tembok pakuwuan, sebagian
barisan berkuda bersiaga menunggu perintah lanjutan. Butir-butir
jelaga dari obor terlihat menodai wajah prajurit berkuda, namun
mereka bagai tak peduli. Putaran roda waktu telah membuat
mereka berdiam diri dalam ketegangan.
88
Raden Kusen, lelaki gagah dengan kulit putih kemerahan dan mata
agak sipit tetapi setajam rajawali itu, begitu menakjubkan dan
memukau mereka yang berada di sekelilingnya. Putera Adipati
Palembang, Ario Damar, itu begitu tenang menghadapi berbagai
persoalan. Bahkan menghadapi kemenangan gemilang seperti
sekarang ini pun, ia mampu mengendalikan kegembiraan.
Dengan suara penuh wibawa Raden Kusen berkata dengan nada
mengingatkan, “Kita belum sepenuhnya meraih kemenangan
karena malam ini pasukan gelombang pertama dari Pajajaran akan
mendarat di Muara Jati. Jika mereka kita biarkan maka esok pagi
Pakuwuan Caruban akan jatuh ke tangan mereka. Dan kita semua
tahu apa tindakan pasukan Pajajaran terhadap mereka yang
dianggap memberontak?”

Suara-suara segera menggema. Raden Kusen dengan tenang


mengamati reaksi ucapannya terhadap orang-orang itu, terutama
terhadap Ki Samadullah dan San Ali. Dan tak lama kemudian,
hiruk-pikuk itu makin gaduh, tetapi secara pasti menunjuk pada
maksud yang sama: bahwa malam itu juga mereka semua harus
ke Muara Jati untuk menghadang pasukan Pajajaran. Daripada
dibunuh lebih baik membunuh. Dan pekikan takbir pun
mengumandang sahut-menyahut sebagai tanda kebulatan tekad
mereka untuk menyambut kedatangan lawan.

Malam itu, setelah menyisakan sekitar lima puluh orang untuk


menjaga pakuwuan, Raden Kusen didampingi Ki Samadullah dan
San Ali menuju Muara Jati, diikuti barisan berkuda, para santri
padepokan, pengikut Ki Gedeng Babadan, dan pengikut Ki
Samadullah dari Tegal Alang-Alang. Rombongan bergerak cepat,
89
menembus kabut malam yang mulai menutupi permukaan bumi
Caruban.

Perhitungan Raden Kusen bahwa perahu-perahu pasukan


Pajajaran gelombang pertama akan mendarat menjelang subuh
ternyata terbukti. Ketika barisan yang dipimpinnya sampai di Muara
Jati, di keremangan laut sudah terlihat beyangan hitam dari sekitar
tiga puluh perahu yang bergerak diam-diam mendekati pantai.

Tanpa menunggu waktu, Raden Kusen segera bertindak cepat


dengan memerintahkan pasukan panah yang berjumlah sekitar
lima puluh untuk berbaris memanjang sejajar pantai. Tugas utama
mereka adalah menembaki prajurit Pajajaran yang akan mendarat.
Sementara lima puluh pasukan tombak desiagakan di lapis kedua,
yakni di belakang pasukan panah. Sedang di lapis ketiga
disiagakan pasukan pedang, cambuk, dan kujang. Barisan
berkuda justru ditempatkan paling belakang.

Perahu-perahu besar yang berisi prajurit Pajajaran mendekati


pantai Muara Jati. Dan seirama dengan deburan ombak yang
membentur lambung perahu yang mulai menyentuh pasir,
berlompatanlah para prajurit iyu ke dalam air yang setinggi lutut.
Kemudian, bagai siluman mereka bergerak menepi. Mereka tidak
sadar bahwa di sepanjang pantai telah menunggu para penebar
maut. Rupanya Terong Peot, manggalayuddha pasukan Pajajaran
itu telah memberikan kepastian bahwa prajurit-prajurit dari
Pakuwuan Caruban akan menyambut mereka di Muara Jati.
90
Saat prajurit-prajurit Pajajaran berada dalam jarak sekitar sepuluh
tombak dari pantai, tiba-tiba terdengar pekik takbir yang
dikumandangkan oleh Raden Kusen. Dari atas kudanya, ia
mengacungkan pedang ke arah laut. Dan bagaikan semburan air
hujan, begitulah puluhan anak panah melesat dengan kecepatan
kilat dari busur prajurit Demak.

Prajurit Pajajaran yang tak menduga bakal diserang mendadak,


terkejut luar biasa begitu mendengar pekikan takbir. Sebagai
prajurit terlatih, mereka buru-buru berbalik arah. Tetapi, kecepatan
mereka di air tak segesit di darat. Itu sebabnya, sebagian di antara
mereka – sekitar tiga puluh orang – yang berada pada posisi paling
depan langsung bertumbangan ketika anak panah menghujam
perut, dada, bahu, leher, dan bahkan mata. Dan jerit kesakitan pun
mengumandang bersahut-sahutan. Sungguh sangat memilukan.
Rupanya, luka akibat panah itu menjadi sangat sakit terkena asin
air laut.

Ketika prajurit Pajajaran sedang panik dan berlarian di perairan


Muara Jati, Raden Kusen memberikan komando lanjutan dengan
pekikan takbir dan isyarat pedang. Kali ini pasukan lapis kedua
berlari cepat ke arah laut. Saat jarak mereka dari pantai sekitar lima
tombak, serta merta mereka melemparkan tombak ke arah prajurit
Pajajaran. dan sejenak sesudah itu mereka membalikkan badan
dan kembali ke posisinya semula di belakang pasukan panah.

91
Hujan tombak di kegelapan malam itu dalam tempo singkat
menambah jumlah korban di pihak lawan. Dengan cepat tubuh
sebagian mereka yang turun ke laut terlihat mengapung menjadi
mayat dengan tikaman panah dan tombak. Sementara itu, prajurit-
prajurit lain yang masih di atas perahu enggan turun. Dan
kepanikan makin meningkat manakala dari tepi pantai terlihat
beribu-ribu obor dinyalakan.

Manggalayuddha Pajajaran cepat mengambil kesimpulan bahwa


pasukannya telah masuk ke dalam perangkap musuh. Untuk
menghindari korban lebih besar, dia memerintahkan prajuritnya
naik kembali ke atas perahu. Dan menjelang subuh itu, perahu-
perahu Pajajaran kembali bertolak ke tengah laut. Meninggalkan
beberapa puluh mayat yang mengapung di permukaan laut
dipermainkan gelombang.

Menjelang subuh, Raden Kusen didampingi Ki Samadullah dan


San Ali beserta seluruh prajurit dengan penuh kegembiraan
kembali ke pakuwuan. Seyogyanya, saat tiba di pendapa
pakuwuan Ki Samadullah akan langsung mengumumkan bahwa
yang menjadi kuwu di Caruban adalah San Ali, putera Ki Danusela.
Namun, sepanjang perjalanan San Ali yang sudah menangkap
keinginan bapak asuh yang mencintainya itu dengan tegas
menyatakan penolakannya. Penolakan San Ali tentu saja
mengejutkan Ki Samadullah.

92
“Jika Pamanda menyayangi saya setulus hati, tentu Paman bisa
memahami bahwa tujuan utama saya bukanlah kekuasaan
duniawi. Karena itu, jika Paman memaksa saya untuk menduduki
kursi Kuwu Caruban, berarti Paman telah memberikan beban yang
sangat berat yang sangat mungkin tidak mampu saya pikul,” kata
San Ali.
“jika engkau menolak jabatan kuwu,” kata Ki Samadullah, “lantas
siapa yang akan menggantikan kedudukan ayahandamu?”

“Saya sudah menyaksikan betapa hebat Pamanda Raden Kusen


mengatasi masalah sebesar ini. Karena itu, tidak salah jika saya
menginginkan Pamanda Raden Kusenlah yang cocok
menggantikan kedudukan Ayahanda Danusela. Saya kira,
Pamanda Raden Kusen akan mendapat dukungan dari Kerajaan
Galuh melalui Pamanda Samadullah. Saya yakin, Pamanda
Samadullah dapat memberikan dukungan kepada beliau sebab
ditinjau dari segi nasab, hubungan Paman dan kerabat Kerajaan
Galuh sangat dekat.”

“Anakku,” sahut Ki Samadullah memegang bahu San Ali, “apakah


dengan ini engkau akan meninggalkan aku? Apakah engkau tetap
melaksanakan tekadmu berkelana mencari hakikat sejati ‘Aku’?”

“Maafkan saya, Paman,” kata San Ali menguatkan hati. “Saya


sudah membulatkan tekad untuk mencari hakikat sejati ‘Aku’
sebagaimana hal itu pernah saya ungkapkan kepada guru agung.

93
Dan sekeluar saya dari padepokan, makin kuatlah tekad saya
untuk melaksanakan impian saya itu.”

“Semoga Allah senantiasa merahmati dan melindungimu, Nak.”


Titik air bening mulai terlihat di sudut mata Ki Samadullah.

“Paman, saya mengucapkan terima kasih yang tak terhingga


kepadamu yang telah begitu tulus mencintai manusia
sebatangkara seperti saya,” San Ali berkata lirih.

“Kenapa engkau berkata begitu, Nak?”


“Saya lahir dalam keadaan yatim. Ketika bayi, saya sudah yatim
piatu. Hanya berkat budi baik ayahanda dan ibunda, paman dan
bibi, saya bisa menjadi seperti sekarang ini.”

“Siapa yang menceritakan hal dirimu itu, Nak?” Ki Samadullah


penasaran.

“Pamanda Rsi Bungsu,” kata San Ali. “Dan beliau benar, bukan?”

Ki Samadullah menunduk. Butiran air bening jatuh dari kelopak


matanya.

94
“Saya tahu, Pamanda, bibi, ayahanda, ibunda, dan guru agung
menyimpan rahasia ini agar saya tidak sedih dan merasa
sebatangkara di dunia. Tatapi, Paman, dengan terbukanya
kenyataan ini makin kuatlah keinginan saya mengejar impian.
Sebab, dengan menyadari kesebatangkaraan saya maka saya
makin mudah melepaskan segala sesuatu selain ‘Dia’ yang saya
tuju.”

Sepanjang perjalanan akhirnya Ki Samadullah tidak berkata-kata


lagi. Dia tenggelam dalam kepedihan. Sungguh, jauh di dalam
lubuk jiwanya ingin sekali dia mengantarkan ke mana pun San Ali
pergi. Namun, keinginan aneh anak asuhnya yang tak lazim
mencari hakikat sejati ‘Dia’ Yang Tak Terpikir dan Tak Terbayang
– adalah kemustahilan yang sulit dipahami. Ah, betapa aneh garis
kehidupan anak itu: lahir ke dunia sebagai yatim piatu dan
didewasakan di lingkungan padepokan yang penuh keprihatinan,
kini setelah dewasa akan mengembara dengan tujuan melepas
dunia untuk menuju ke ‘aku’ yang tak tergambarkan keberadaan-
Nya.

Segala pembicaraan Ki Samadullah dengan San Ali ternyata


didengarkan dengan cermat oleh Raden Kusen. Itu sebabnya,
ketika mereka tiba di pakuwuan, segera dibuat keputusan bahwa
kekuasaan Kuwu Caruban dipercayakan kepada Ki Samadullah.
Karena, selain masih keturunan Raja Galuh, dia dianggap paling
berpengalaman menjadi pejabat pangraksabhumi membantu
tugas-tugas Ki Danusela. Untuk mengamankan pakuwuan, dua
ratus prajurit Demak tetap disiagakan untuk membentengi
pakuwuan dari serangan Pajajaran atau gerakan subversif

95
pengikut Rsi Bungsu. Bahkan Raden Kusen dengan penuh
keberanian membuat keputusan bahwa Pakuwuan Caruban bukan
lagi menjadi bagian wilayah Pajajaran, melainkan bagian wilayah
Kadipaten Demak.

“Umumkan kepada seluruh warga pakuwuan bahwa hari ini, waktu


pecat sawet (pukul 10.00), hari Soma Manis, tanggal 19, bulan
Badra, tahun Saka 1392, penguasa negeri ini sudah berganti.
Katakan kepada seluruh penduduk Pakuwuan Caruban bahwa
Gusti mereka sekarang ini bukan lagi Prabu Ratu Dewata di
Pajajaran, melainkan Adipati Demak, Arya Sumangsang, putera
Prabu Kertawijaya Maharaja Majapahit, yakni saudara Ki
Danusela.”

San Ali menghadap Syaikh Datuk Kahfi untuk berpamitan. Ini


sangat penting baginya sebab selain sebagai guru agung yang
menempa pribadi dan cara pikirnya, Syaikh Datuk Kahfi adalah
satu-satunya manusia di dunia ini yang memiliki hubungan darah
dengannya. Dan lantaran hubungan darah itu, ia menjadi mafhum
kenapa guru agung itu begitu memanjakan dan mengistimewakan
dirinya dibanding murid-murid lain.
Di hadapan Syaikh Datuk Kahfi, yang diketahuinya sebagai adik
sepupu ayahanda kandungnya, San Ali tidak mampu
menyampaikan sesuatu kecuali menundukkan kepala
memandangi anyaman tikar yang tergelar di bawahnya. Ia
merasakan dadanya kosong. Hampa. Entah apa yang terjadi, ia
hanya merasakan bahwa niatnya yang kuat untuk mengembara
mencari ‘aku’ telah menimbulkan beban berat di hatinya untuk
berpisah dengan orang-orang yang dicintainya, terutama Syaikh
96
Datuk Kahfi dan istrinya. Mereka selama bertahun-tahun telah
mengasuh, membimbing, dan memberikan kasih sayang seperti
orang tua kepada anak. Kebersatuan adalah kebahagiaan.
Perpisahan adalah kepedihan.

Syaikh Datuk Kahfi kelihatan sulit untuk menyembunyikan


kepedihan yang mengharu biru hatinya. Namun, sebagai seorang
guru agung yang menjadi teladan bagi para muridnya, dia harus
berjuang keras mengalahkan kepedihan jiwa. Memang benar,
berpisah dengan orang tercinta sangat berat dan menyakitkan,
namun keharusan berpisah dengan segala sesuatu selain Dia
adalah tuntutan mutlak. Itu sebabnya, dengan hati berat dia
menasihati sepupunya. “Pergilah engkau mengikuti tuntutan
jiwamu, o Anakku terkasih, sebab hanya dia yang berjuang keras
menuju Dia yang akan sampai ke Dia. Segala apa yang engkau
alami selama ini adalah bagian dari perjalanan yang mesti engkau
lewati. Tinggalkan segala sesuatu yang ada pada dirimu hingga tak
bersisa kecuali keyakinanmu terhadap Dia.”

“Hamba akan jadikan nasihat Guru Agung sebagai azimat,” kata


San Ali takzim. “Tetapi, bolehkah hamba bertanya sesuatu tentang
hal hamba?”

“Bertanyalah, o Anakku.”

97
“Benarkah leluhur hamba berasal dari negeri Malaka?” tanya San
Ali tegas.

“Sepengetahuanku memang begitu, Anakku,” jawab Syaikh Datuk


Kahfi. “Tetapi barang satu abad lalu leluhur kita tidak bertempat di
tanah semenanjung. Mereka datang dari negeri Gujarat. Menurut
cerita ayahandaku, Syaikh Datuk Ahmad, leluhur kita adalah
bangsawan dan ulama di Gujarat. Kakekku, Syaikh Datuk Isa
adalah leluhur yang tinggal di Malaka. Beliau sekeluarga awalnya
datang ke negeri Perlak kemudian merantau ke Semenanjung,
yakni Malaka.”

“Berarti, sangat mungkin negeri Gujarat pun bukan tempat asal


leluhur kita. Sebab, bukan sesuatu yang mustahil jika leluhur
keluarga kita berasal dari negeri Arab, Rum, dan mungkin
Maghrib,” kata San Ali menyimpulkan.

“Memang benar, Anakku,” kata Syaikh Datuk Kahfi, “sebab kalau


diurut-urut, semuanya berasal dari negeri Arab di mana Bapa
Adam dan Ibu Hawa pertama kali tinggal di bumi.”
“Sebelum tinggal di negeri Arab, di manakah Bapa Adam dan Ibu
Hawa tinggal? Apakah di tempat bernama Jannah Darussalam?”
tanya San Ali.

98
“Sejauh yang kupahami dari kitab-kitab memang demikian, o
Anakku.”

“Jikalau begitu, o Guru Agung, hamba mohon pamit secepatnya


karena hamba memiliki pandangan bahwa mencari Dia haruslah
mencari rangkaian galur di mana Dia menempatkan manusia
pertama ciptaan-Nya di muka bumi,” kata San Ali.

“Mudah-mudahan engkau menemukan apa yang engkau cari,


Anakku,” kata Syaikh Datuk Kahfi dengan mata berkaca-kaca.

99
Menyeberangi Samudera

Dibanding Dermayu, Muara Jati hanyalah


pelabuhan kecil, namun dari sinilah orang
memasok beras, gula aren, garam, dan
terutama terasi. Pada paro tengah abad ke-15,
Muara Jati merupakan pelabuhan penunjang
bagi keramaian Dermayu.

Dipandang dari laut, Muara Jati tampak seperti kumpulan kampung


nelayan dengan puluhan perahu kecil ditambatkan di tonggak-
tonggak kayu. Sebuah geladak sepanjang lima puluh meter yang
menjorok ke laut hanya digunakan untuk memunggah muatan dari
dan ke atas perahu. Sejumlah rumah bambu beratap rumbia
berderet kecoklatan di bawah garis hijau pepohonan yang
melatarbelakanginya. Barang empat buah rumah besar bercat
merah yang tegak perkasa di pinggir jalan ke arah geladak adalah
rumah orang-orang Cina Muslim yang umumnya tengkulak beras.
Sementara sebuah bangunan besar dengan pendapa yang berdiri
menghadap laut adalah kediaman tandha, yakni pejabat bawahan
Raja Galuh yang bertugas memungut pajak lalu lintas hasil bumi
dan perikanan yang keluar dan masuk pelabuhan Muara Jati.

Nun Jauh di selatan Muara Jati, terpampang gunung Ciremai yang


membiru diselimuti halimun, yang menurut cerita adalah tempat
persemayaman dewa-dewa.

100
Di ujung geladak di atas riak gelombang pantai, San Ali berdiri
tegak memandangi hamparan lembah, gunung, dan rimbunan
pohon yang hijau kebiruan di balut kabut tipis: hamparan bumi
Caruban, tanah kelahiran yang mengukir jiwa dan raganya. Ia
memejamkan mata dan memanjatkan doa mohon agar jiwanya
dikuatkan untuk meninggalkan rangkaian kenangan indah yang
mengukir ingatannya.

San Ali menantikan perahu yang akan membawanya ke tengah


samudera, meninggalkan tanah kelahiran tempat ia mendapat
limpahan cinta kasih. Ia merasakan kepedihan mencekam jiwanya.
Dari dalam hatinya terungkap suara jiwa yang mengharu biru
kebulatan tekadnya. “O San Ali, akankah engkau tinggalkan
tempat yang telah memberikan kedamaian bagi kehidupanmu?
Akankah engkau tinggalkan orang-orang yang selama ini
memberikan kasih sayang yang memaknai pembentukan jiwamu?
Akankah engkau tinggalkan keceriaan penghuni padepokan yang
senantiasa mengumandangkan nyanyian pepujian kebesaran
Ilahi? Akankah engkau lupakan orang-orang desa yang dengan
senyum tulus menyapamu dalam setiap perjumpaan?”

San Ali menarik napas panjang dan berat. Ia sadar bahwa hatinya
berat meninggalkan rentangan kenangan yang sudah berurat dan
berakar di jiwanya. Itu sebabnya, dengan menguatkan hati ia
berbisik kepada ungkapan suara jiwanya.

101
“Adakah kehidupan yang mengalir tanpa perpisahan dan
kesedihan? Air memancar dari mata air kemudian meninggalkan
sumbernya untuk menuju ke sungai hingga ke muara dan
memasuki samudera raya. Manusia lahir dari kandungan
ibundanya kemudian tumbuh dewasa dan akhirnya mati
meninggalkan segala yang melekat pada dirinya. Dunia beserta
segala isinya dan alam semesta pun pada akhirnya mengalir ke
suatu masa yang disebut Yaumul Akhir. Jadi, perpisahan dan
kesedihan adalah bagian dari hidup. Sesungguhnya tidak ada yang
langgeng di permukaan bumi ini.”

“Dengarlah, wahai suara hatiku, bahwa aku seperti juga engkau


memiliki kenangan dengan kehidupan di Caruban yang indah yang
membentang di kaki gunung Ciremai yang dilingkari ombak
samudera, yang diwarnai gemericik air sungai dan kicau burung
menyambut mentari pagi. Tetapi, wahai suara hatiku, ketahuilah
bahwa segala keindahan itu telah berubah menjadi terali bagi ‘aku’-
ku, karena aku sekarang bagai rajawali terkungkung dalam
sangkar besi yang selalu merana setiap kali melihat burung lain
terbang di angkasa, mereguk kebebasan jiwa dengan
membentangkan sayap kehidupan.”

Ketika San Ali sedang bergulat dengan suara jiwanya, perahu yang
bakal membawanya pergi dari bumi Caruban datang. Pemilik
perahu itu bernama Tahrimah, laki-laki setengah umur dengan
tubuh tegap dan otot-otot tangan kukuh. Wajahnya yang keras
menunjukkan bahwa dia adalah orang yang tabah melintasi
kerasnya kehidupan. Dan sorot matanya yang berbinar-binar
102
menunjukkan betapa teguhnya laki-laki itu memegang prinsip.
Sementara kulitnya yang coklat kehitaman terbakar sinar matahari
mencerminkan semangat hidup yang tak luntur terkena hujan dan
tak lekang terkena panas.

Setelah cukup lama menunggu reaksi San Ali, Tahrimah


menanyakan tujuan perjalanannya meninggalkan Muara Jati.
“Apakah Yang Mulia San Ali, putera Kuwu Caruban, akan menuju
pelabuhan Kalapa atau hanya ke Dermayu?”

“Engkau lebih tahu akan tujuanku, o Paman, sebab pemegang


kemudi perahu ini adalah engkau. Apalah arti maksud dan tujuan
kuucapkan jika di tengah laut engkau nantinya akan
menenggelamkan perahumu. Dengan menumpang perahumu, o
Paman, sudah kubulatkan tekadku untuk mengorbankan diriku
dalam mencapai tujuanku yang sejati,” ujar San Ali.

“Tidak adakah lagi syak di hati Yang Mulia?” Tahrimah menguji.

“Sudah kubulatkan tekadku, seperti kuucapkan takbir saat kumulai


sembahyang menghadap Dia,” ujar San Ali mantap.

“Jika demikian, naiklah o Anak ke atas perahuku. Dan ingat-


ingatlah selalu, selama perjalanan di laut jangan sekali-kali Anak
melakukan perbuatan lain yang membahayakan perahu ini. Dan

103
berdoalah agar kita selamat melintasi lautan yang kadang-kadang
mengamuk.”

San Ali tersenyum dan menganggukkan kepala.

Tahrimah ternyata orang yang memiliki pengetahuan luas tentang


kehidupan. Ketika masih muda, dia pernah menjadi awak kapal
dagang yang mengarungi tujuh samudera dan menyinggahi
berbagai pelabuhan besar tempat kapal-kapal dari berbagai negeri
berlabuh. Kini, setelah usia makin menua, dia hanya menjadi
pengemudi perahu yang khusus mengantarkan orang-orang
tertentu ke tujuan yang dikehendaki.

San Ali sangat terkesan mendengar kisah hidup Tahrimah. Itu


sebabnya, ia bertanya banyak hal tentang berbagai peristiwa yang
sedang dialaminya saat ini. “Bagaimanakah perasaan Paman saat
pertama kali berlayar meninggalkan tanah kelahiran tercinta?”

“Semula berat dan menyedihkan, o Anak,” kata Tahrimah. “Tetapi,


bersama menggelindingnya waktu kusadari bahwa menjadi
kewajiban mendasar dari kita untuk meninggalkan segala sesuatu
yang sebenarnya bukan milik kita.”

“Maksud Paman?” tanya San Ali belum paham.

104
“Sebelumnya aku sempat berpikir bahwa bumi Caruban, anak, istri,
rumah, orang tua, sahabat, guru, dan segala apa yang kucintai
adalah milikku. Pada akhirnya kusadari bahwa semua itu bukan
apa-apaku, apalagi milikku. Tubuh dan jiwaku pun pada hakikatnya
bukanlah milikku.”

“Kalau begitu, Paman adalah seorang zahid,” ujar San Ali.

“Seorang zahid yang melakukan hidup zuhud adalah dia yang


meninggalkan segala sesuatu yang menjadi miliknya. Zahid adalah
dia yang meninggalkan segala apa yang bisa ditinggalkannya.
Sedangkan ‘aku’ pada kenyataannya tidak memiliki apa pun yang
bisa kutinggalkan. Semua merupakan milik-Nya: Kebesaran,
Keagungan, Keindahan, Kekuasaan, Kehendak, Kemuliaan, Puji-
pujian, dan Kemutlakan.”

“Engkau orang yang telah tercerahkan, o Paman,” kata San Ali


dengan mata membinarkan rasa takjub, “Ajarkanlah kepadaku
tentang jalanmu menuju-Nya!”

“Engkau memiliki jalanmu sendiri, o Anak,” kata Tahrimah datar.


“Jalan yang telah kulalui akan berbeda dengan jalan yang harus
engkau lalui.”

105
“Itu aku tahu, Paman,” San Ali memohon, “tetapi berikanlah
kepadaku barang satu atau dua patah nasihat yang akan kujadikan
bekal perjalananku.”

“Jika itu keinginanmu, aku akan memberimu dua nasihat yang


boleh engkau ikuti dan boleh pula engkau abaikan.”

“Saya akan berjuang menjalankan nasihatmu, o Paman.”

“Pertama, lakukan Taubat, yakni engkau harus berpaling dari


segala sesuatu kecuali Allah. Maksudnya, jika sebelum ini engkau
pernah berbalik dari-Nya maka sekarang engkau wajib
menghadapkan jiwa dan pikiranmu hanya kepada-Nya. Kedua,
lakukan Dzikir, yakni ingatlah selalu Allah jika engkau lupa.
Maksudnya, jika engkau selalu berusaha berada dalam keadaan
melupakan segala sesuatu yang bukan Allah maka saat itulah
engkau mengingat Allah.”

Di Pakuan, ibukota Kerajaan Pajajaran, kehidupan berlangsung


sangat lamban dan jauh berbeda dengan Muara Jati, apalagi
dibandingkan Dermayu yang hingar- bingar dipenuhi kesibukan.
Satu-satunya tempat orang terlihat lalu lalang hanya di dermaga
Kedunghalang, tempat perahu hilir-mudik dari dan ke pelabuhan
Kalapa. Di situ tak henti-hentinya orang mengangkuti barang-
barang dengan pikulan, gerobak, dan pedati yang ditarik kerbau.
Selebihnya, hampir di seluruh sudut kotaraja Pakuan dilintasi
106
orang-orang yang akan pergi ke pura dan sanggar pamujan.
Hampir di setiap tepian jalan terlihat anjing bertubuh kurus duduk
atau tiduran menikmati hangat matahari.

San Ali yang mengenakan jubah dan surban putih sebagai


pertanda bahwa ia pemeluk Islam sejak menginjakkan kaki di
pelabuhan Kalapa sudah menjadi perhatian orang. Ketika ia
menuju ke kotaraja Pakuan dengan perahu yang melayari sungai
Ciliwung, orang makin memandangnya dengan penuh curiga.
Hanya bekal surat pengantar dari Ki Samadullah yang
membuatnya lolos dari pos-pos pemeriksaan keamanan.

Sesuai pesan Ki Samadullah, San Ali harus menemui


Samsitawratah, seorang rsi yang memiliki asrama bagi para
brahmana muda pencari kebenaran. Menurut Ki Samadullah,
hanya Rsi Samsitawratah di tlatah Pajajaran ini yang mampu
mengupas hakikat kitab Catur Viphala warisan Prabu Kertawijaya,
Maharaja Majapahit. Ki Samadullah sendiri sejauh ini membahas
kitab itu bersama Ki Danusela hanya sebatas pada penafsiran
demi penafsiran yang belum tentu benar pada tataran
penerapannya.

Ketika San Ali mendekati pintu asrama, tampaklah seorang tua


dengan hanya mengenakan cawat melintas di hadapannya.
Sekalipun renta dan kurus kering, ada semacam kekuatan gaib
melingkupinya. Meski hanya bercawat, orang merasakan getaran
kuat setiap kali memandangnya. Setelah berdiam sejurus, dengan
107
suara penuh wibawa orang tua yang ternyata Rsi Samsitawratah
itu berkata, “Apakah yang engkau cari, o Anak Muda, hingga
engkau menyeret tubuhmu ke sini?”

“Kucari hakikat ‘aku’ agar kutemukan ‘Aku’ sebagai sumberku,”


jawab San Ali.

“Bagaimana engkau menemukan ‘Aku’ jika engkau masih meng-


‘aku’?”
“Kepadamulah, o Yang Tercerahkan, kuharap pelajaran menuju
‘Aku’,” kata San Ali sambil mengeluarkan kitab rontal Catuh
Viphala. “Karena, kudengar hanya Andhika Yang Tercerahkan
yang mampu menguak makna kitab ini.”

“Lepaskan jubah dan surbanmu! Lepaskan segala milikmu! Tanpa


perjuangan keras mengosongkan diri dari keakuan, jangan harap
engkau bisa menangkap intisari kitab Catur Viphala dan mencapai
tujuanmu.”

San Ali tercekat mendengar permintaan Rsi Samsitawratah.


Bagaimana mungkin ia melepaskan jubah dan surbannya untuk
kemudian bercawat seperti orang tua di hadapannya itu? Apakah
maksud melepaskan segala milik berarti melepas segala atribut
keislaman dengan meninggalkan sembahyang dan hukum syarak?

108
Apakah pengosongan diri menjadi syarat mutlak bagi perjuangan
menuju ‘Aku’?

Tanpa dapat dicegah benak San Ali dijejali oleh kilasan bayangan
api neraka yang berkobar-kobar menelan dirinya manakala ia
tanggalkan jubah dan surban dan hukum syarak. Namun, secepat
itu di benaknya terbayang tentang perjalanan mencari hakikat ‘Aku’
sebagai pangkal segala ‘aku’. Mengapa ‘aku’-ku harus takut
terhadap ‘aku’ neraka? Bukankah ‘aku’ neraka juga seperti ‘aku’-
ku, yaitu berasal dari ‘Aku’ semesta?

Rsi Samsitawratah tampaknya menangkap keraguan San Ali. Itu


sebabnya, dengan acuh tak acuh dia berkata seolah kepada
dirinya sendiri. “Akal dan pikiran, keakuan, keinginan-keinginan,
bentuk-bentuk, status, identitas diri, dan keanekaragaman citra diri
adalah tirai yang memisahkan ‘aku’ dari ‘Aku’. Sebab, semua itu
masih meng-‘aku’, belum ‘Aku’ yang sesungguhnya. Karena itu,
jubah, surban, mahkota, keragaman adalah tirai yang wajib dibuka
jika kita ingin menyatu dengan-Nya.”

Akhirnya, tanpa banyak bicara San Ali melepas jubah dan


surbannya. Kemudian dengan hanya bercawat ia bergabung
dengan para brahmin yang tinggal di asrama.

Kehadiran San Ali di lingkungan brahmin mendapat perhatian


serius dari Rsi Samsitawratah. Ini setidaknya terlihat dari kehendak
109
Rsi Samsitawratah memberikan pelajaran khusus bagi San Ali,
terutama dalam kaitan dengan kitab rontal Catur Viphala. Mula-
mula, Rsi Samsitawratah menjelaskan urut-urutan Viphala yang
berjumlah empat: nihsprha, nirbana, niskala, nirasraya.

“Ketahuilah bahwa yang dimaksud nihsprha adalah keadaan di


mana tidak ada lagi sesuatu yang ingin dicapai manusia,” Rsi
Samsitawratah menguraikan. “Nirbana berarti seseorang tidak lagi
memiliki badan dan karenanya tidak ada lagi tujuan. Niskala adalah
bersatu dengan Dia Yang Hampa, Yang Tak Terbayangkan, Tak
Terpikirkan, Tak Terbandingkan. Dalam keadaan itulah, ‘aku’
menyatu dengan ‘Aku’. Dan kesudahan dari niskala adalah
nirasraya, yakni keadaan di mana jiwa meninggalkan niskala dan
melebur ke Parama-Laukika, yakni dimensi tertinggi yang bebas
dari segala bentuk keadaan, tak mempunyai ciri-ciri, dan
mengatasi ‘Aku’.”

Apa yang tercantum di dalam kitab rontal Catur Viphala merupakan


hal yang gampang diuraikan, namun berat dijalankan. Hanya
mereka yang benar-benar bertekad bulat menuju ‘Aku’ yang akan
melaksanakannya. Demikianlah, seperti brahmin yang lain, San Ali
melakukan latihan ruhani dengan ketat menuju Catur Viphala. Ia
berpuasa selama berhari-hari. Seluruh waktunya dilewati dengan
latihan meniadakan diri dan samadi. Daging mulai menyusut dari
pipinya. Kelopak matanya cekung. Rambut awut-awutan.
Bayangan aneh mulai sering memasuki mimpinya. Bahkan di
tengah terik matahari, ia membiarkan tubuhnya terpanggang oleh

110
kesakitan dan kehausan. Semuanya untuk menghilangkan
keakuan di dalam dirinya.

San Ali dibimbing langsung oleh Rsi Samsitawratah dalam melatih


samadi dan pengingkaran diri. Ia juga diajarkan bagaimana harus
meniadakan diri dan berlatih menyatukan keakuan dirinya dengan
alam sekitar: dengan pohon, kayu, batu, air, hewan, ikan, burung,
bahkan awan. Dalam tempo singkat ia dapat mengingkari keakuan
dirinya untuk menyatu dengan keakuan alam sekitarnya.
Rsi Samsitawratah mengajarkan pula bagaimana seorang brahmin
tidur dengan mula-mula mengatur pernapasan dan menutup
kelopak matanya hingga berangsur-angsur seluruh jiwanya
padam. Jika jiwa telah padam, begitu uraian Catur Viphala, maka
orang akan tidur tanpa mimpi dan tanpa perasaan. Sebaliknya,
orang yang tidak memahami ajaran itu akan terperangkap ke
dalam cakrabhawa, yakni terseret oleh mimpi-mimpi dan igauan di
dalam tidur. Dan mereka yang terperangkap ke dalam cakrabhawa
dengan sendirinya jiwanya akan jatuh ke neraka.

Berbagai latihan jiwa telah dilakukan San Ali, baik puasa, samadi,
makanan dan minuman yang baik, tidur, hingga yoga. Dengan
bimbingan langsung dari Rsi Samsitawratah, ia mengalami
kemajuan pesat terutama dalam perjuangan meniadakan diri.
Namun, ujung dari semua itu ia merasa betapa setelah keakuan
dirinya mengembara ke berbagai perwujudan pada akhirnya akan
kembali lagi pada keakuan diri. San Ali merasa pengembaraan
jiwanya itu seperti pelarian diri yang tak diketahui ujungnya. Ia

111
merasa seperti melanglang jagad untuk meninggalkan tubuhnya
yang menyembunyikan ‘aku’, namun pelarian itu ternyata hanya
sementara waktu. Ia merasa tidak menjadi lebih bijaksana dari
sebelumnya. Ia tidak merasa telah beroleh pencerahan sejati.

San Ali tidak sadar bahwa dengan menjalani hidup sebagai


brahmin yang begitu ketat melakukan latihan samadi dan menolak
diri, ia telah memperoleh berbagai kekuatan. Ini baru diketahuinya
ketika ia bersama sejumlah brahmin muda mencari kayu di hutan.
Saat itu, tanpa diketahui muncul seekor harimau besar yang
kelaparan dan siap menerkam salah satu di antara mereka. Para
brahmin yang ketakutan jatuh bangun melarikan diri.

San Ali sadar ia tidak sempat lagi menyelamatkan diri. Itu


sebabnya, ia memutuskan untuk memusatkan pikiran dan
perasaannya. Menolak keakuan dirinya untuk bersembunyi di balik
keakuan harimau. Sebuah peristiwa adikodrati terjadi. Harimau itu
mendadak tercengang dan kemudian merunduk seolah-olah
mengikuti kehendak San Ali. Kemudian seperti hewan jinak,
dengan gerak lamban dia melangkah mendekat, lalu menggesek-
gesekkan kepalanya ke tubuh San Ali. Sesudah itu, dia
membalikkan badan dan pergi.

Peristiwa menakjubkan itu dengan segera menyebar di asrama


dan menimbulkan iri hati di antara para brahmin yang lebih lama
bermukim tetapi belum memiliki kelebihan seperti San Ali. Dalam
tempo singkat ada kasak-kusuk yang menyatakan bahwa San Ali
112
adalah telik sandhi orang-orang Islam yang disusupkan ke asrama,
dengan tujuan utama menghancurkan kekuatan Pajajaran dari
dalam. Peristiwa menakjubkan itu seolah-olah pamer kekuatan dan
merupakan tantangan kepada Rsi Samsitawratah. Kasak-kusuk
terus bergulir. Dan San Ali merasa betapa seluruh penghuni
asrama seolah-olah mengamati segala gerak-geriknya dengan
penuh curiga.

Bagi San Ali, peristiwa di hutan itu justru telah menyadarkan dirinya
bahwa apa yang selama ini dipelajarinya di asrama bukanlah
tujuan akhir yang hendak dicapainya. Ia merasa bahwa ‘jalan
keselamatan’ menuju ‘Aku’ akan sulit dijangkau dengan cara yang
selama ini dipelajarinya di asrama. Ia menangkap sasmita bahwa
apa yang dijalankannya dengan latihan-latihan ketat selama ini
justru tidak sesuai dengan intisari maknawi dari kitab rontal Catur
Viphala.

Tampaknya gejolak pikiran San Ali itu ditangkap oleh Rsi


Samsitawratah. Itu sebabnya, ketika ia menghadap, guru para
brahmin itu memberikan kitab rontal Catur Viphala sambil berkata,
“Ketahuilah, o Anak Muda, bahwa asrama ini hanya
persinggahanmu sementara dalam menuju ‘Aku’. Sebab, ada
sesuatu di dalam dirimu yang tak gampang ditundukkan oleh
sekadar latihan penolakan diri dan samadi. Jalan yang engkau
lintasi masih sangat panjang. Karena itu, o Anak Muda, pergilah
engkau mengikuti garis hidupmu seperti air mengikuti aliran
sungai. Hanya pesanku, janganlah engkau berbalik arah dan putus
asa dalam mencapai tujuan.”
113
“Ampun seribu ampun, o Guru Agung,” San Ali mengiba, “Hamba
berharap dengan mengikuti jalan Brahmin melalui arahan kitab
Catur Viphala maka kehausan jiwa hamba segera terobati. Tetapi,
ternyata tidak. Semakin hamba berlatih semakin kuat kehausan itu
mencekik hidup hamba.”

“Jalan pembebasan memang rumit dan berliku-liku. Karena itu, o


Anak Muda, lihatlah para brahmin di asrama ini. Mereka yang
sudah berusia lanjut pun tidak dijamin meraih kebebasan
sempurna. Lantaran itu, o Anak Muda, pergilah ke muaramu. Ikuti
liku-liku aliran yang membawamu ke samudera pembebasan.
Semoga engkau dapat meraih tujuan yang mulia itu.”
“Hamba mohon restu, o Guru Agung,” San Ali menghatur sembah.

“Pergilah menuju muaramu, o jiwa yang dicekam rindu.”

Dengan hati dibakar kehausan akan pengetahuan sejati, San Ali


meninggalkan asrama. Saat ia melangkahkan kaki meninggalkan
pintu, beberapa brahmin muda yang bersamanya sewaktu di
hutan, menghadang. Dengan berbagai rayuan mereka
menginginkan San Ali bersedia tinggal lebih lama. “Jika engkau
berkenan tinggal barang setahun di sini, kami yakin engkau akan
bisa belajar terbang ke angkasa, berjalan di atas air, kebal senjata
tajam, menembus tembok, dan bahkan menghilang.”

114
“Itu semua bukanlah keinginanku,” San Ali tersenyum. “Yang Mulia
Guru Agung Samsitawratah lebih mengetahui tentang apa yang
menjadi keinginan utamaku. Karena itu, o kawan-kawan tercinta,
beliau menghendaki aku pergi dari asrama ini untuk mencari muara
yang bakal mengantarku ke samudera kebebasanku.”

Melalui pelabuhan Kalapa, San Ali memulai pengembaraannya


melintasi samudera dengan menumpang jung milik seorang Cina
Muslim bernama Haji Nasuhah yang bernama asli Thio Bun Cai.
Usianya sekitar tujuh puluh tahun, namun dia terlihat sepuluh tahun
lebih muda. Otot-otot di tubuhnya – terutama di kedua lengannya
– masih kukuh dan perkasa.

Sekalipun Haji Nasuhah orang Cina asli dan bermata sipit,


kehidupan yang keras laut telah mengubah warna kulitnya menjadi
coklat kemerahan. Alisnya tebal dan berbentuk pedang,
mencerminkan betapa keras watak nakhoda berkepala gundul
yang selalu ditutupi kopiah putih itu. Untaian tasbih yang selalu
berputar menunjukkan betapa kukuh dia mengingat Tuhan di
tengah kesibukannya mengatur arah kapal. Sementara di balik
senyuman yang selalu menghiasi bibirnya itu terungkap keteguhan
jiwa dari seorang tua yang sudah teruji mengarungi samudera
kehidupan.

Penampilan Haji Nasuhah yang mencerminkan citra keramahan


seorang Muslim itu sebenarnya baru terlihat sekitar dua dasawarsa
silam. Sebelum masa itu, dia bukanlah Muslim bahkan bukan
115
manusia dari golongan baik. Thio Bun Cai merupakan bajak laut
yang sangat ditakuti di Selat Malaka dan Laut Cina Selatan. Para
saudagar Cina menjulukinya Lamhai Lomo (Iblis dari Selatan).
Sebagai bajak laut bekas pengikut Liang Tau Ming, Thio Bun Cai
memiliki pangkalan di Ku Kang (Palembang) dan sewaktu-waktu
dapat menggerakkan armadanya dengan cepat. Nama Lamhai
Lomo sebagai bajak laut yang telengas dan tak kenal ampun,
membuat siapa saja yang melintasi Selat Malaka atau Laut Cina
Selatan dicekam ketakutan.

Roda kehidupan berputar mengikuti takdirnya, kadang di atas


kadang di bawah, kadang mengubah kedudukan orang dari kaya
ke miskin, dari jahat ke baik, dari durhaka ke saleh, dari kejam ke
welas asih. Roda kehidupan Thio Bun Cai pun berubah ketika
bertemu dengan Syaikh Ibrahim as-Samarkandy (ayahanda Raden
Ali Rahmatullah) yang menjadi tamu Adipati Palembang, Ario
Damar.

Pertemuan itu terjadi secara tidak sengaja. Ketika itu, kapal yang
ditumpangi ulama asal negeri Samarkand itu dirampok oleh Thio
Bun Cai di sekitar kepulauan Anambas. Syaikh Ibrahim saat itu
sedang dalam perjalanan dari Pandurangga di negeri Campa ke
Palembang untuk mengunjungi kemenakan tiri istrinya yang
menjadi Adipati Palembang. Dalam peristiwa itu, Thio Bun Cai
menyaksikan keajaiban pada diri Syaikh Ibrahim. Ceritanya, saat
kapal dari Campa itu dikepung, terjadi kepanikan di antara para
penumpangnya. Bahkan dalam kepanikan itu seorang penumpang
anak-anak berusia lima tahun jatuh ke laut dan hilang ditelan
116
ombak. Saat itulah, seorang penumpang yang kemudian dikenal
bernama Syaikh Ibrahim as-Samarkandy melompat ke laut. Ajaib,
tubuhnya tidak tenggelam. Sebaliknya dengan tenang ia berdiri di
atas hamparan air laut. Kemudian ia membungkuk dan tangannya
menggapai ke bawah. Lalu dalam sekejap terlihatlah anak kecil
yang sebelumnya sudah tenggelam itu. Dan seperti gerakan
rajawali, Syaikh Ibrahim menggendong anak itu dan membawanya
melompat ke atas kapal.

Thio Bun Cai dan anak buahnya terkesima menyaksikan


pemandangan menakjubkan itu. Melalui ketakjuban itulah Thio Bun
Cai akhirnya melepas mangsanya. Bahkan seperti terpesona oleh
sesuatu yang ada di dalam diri Syaikh Ibrahim, Thio Bun Cai
mengikuti ke mana pun ia pergi. Sejak pertemuan itu terjadi
perubahan besar di dalam hidupnya. Dia yang sebelumnya
telengas dan kejam tiba-tiba berubah menjadi penyabar dan
penyayang. Dia yang sebelumnya sangat berkuasa tiba-tiba selalu
mengalah dalam setiap persoalan. Dia yang sebelumnya memiliki
bukit harta hasil rampokan tiba-tiba membagikan seluruh
kekayaannya kepada orang-orang miskin tanpa sisa. Bahkan
puncak dari perubahan itu terlihat ketika dia mengikrarkan diri
sebagai Muslim dan menunaikan ibadah haji ke tanah suci dengan
menggunakan jung, satu-satunya miliknya yang tersisa.

Sepulang haji, Thio Bun Cai mendapat nama baru: Haji Nasuhah.
Karena, dia telah berikrar untuk melakukan taubatan nashuhah,
yakni tidak akan mengulangi kesalahan dan kekeliruannya di masa
lampau. Dan sejak itu, perkumpulan bajak laut yang dipimpinnya
117
dibubarkan. Atas jasa baik Syaikh Ibrahim, para bekas anak
buahnya dijadikan pengawal samudera Adipati Palembang. Thio
Bun Cai yang sudah menjadi Haji Nasuhah menghabiskan sisa
hidupnya dengan memperbanyak ibadah. Kalau pun dia dituntut
untuk bekerja maka hal itu dilakukan hanya sebatas mengantarkan
orang-orang yang butuh tenaga dan keterampilannya mengarungi
samudera.

Putaran roda kehidupan Haji Nasuhah sangat menarik hati San Ali.
Itu sebabnya, sepanjang perjalanan mengarungi laut, ia terus
bertanya berbagai hal, terutama tentang Syaikh Ibrahim as-
Samarkandy yang memiliki kelebihan karomah. Haji Nasuhah,
entah kenapa, didesak oleh semacam keharusan untuk menjawab
semua pertanyaan San Ali. Lantaran itu, hampir seluruh waktu
senggang mereka gunakan untuk berbicara berbagai hal, terutama
yang bersangkut-paut dengan perjuangan menuju ‘Aku’ yang
dilingkari berlapis-lapis hijab.
Lewat perbincangan dan membanding-bandingkan pengalaman
masing-masing, San Ali menangkap kesamaan dalam tataran
amaliah ketika seseorang melakukan taubatan nashuhah –
menghadapkan pikiran dan perasaan hanya kepada Allah – untuk
menuju hakikat ‘Aku’. Kesamaan itu meliputi ‘kewajiban’
meninggalkan segala sesuatu, baik sukarela atau terpaksa, kecuali
Allah. Meski menangkap adanya kesamaan, San Ali tetap
menginginkan kepastian dari simpulannya itu dengan menanyakan
langsung kepada Haji Nasuhah. “Apakah orang-orang yang
menuju ke Dia memang ‘wajib’ meninggalkan segala sesuatu yang
bukan Dia?”

118
“Aku kira engkau sudah mengalami peristiwa itu. Aku kira engkau
pun sudah merasakan betapa pahitnya harus melepas segala yang
pernah engkau miliki. Dan kita masing-masing akan mengalami
tingkat kepahitan sesuai tingkat kepemilikan kita. Semakin kuat
perasaan dan pikiran kita mencintai segala yang kita anggap milik
kita maka semakin kuat pula tingkat kepahitan yang harus kita
telan,” kata Haji Nasuhah.

“Apakah pada awalnya Tuan Haji merasa pahit ketika harus


membagi-bagikan harta benda yang Tuan miliki kepada orang
lain?” tanya San Ali.
“Soal membagi-bagi harta malah kulakukan dengan sukarela
seolah-olah orang memikul yang berusaha melepas beban,” kata
Haji Nasuhah datar.
“Jikalau begitu, peristiwa pelepasan apa yang menurut Tuan Haji
sangat pahit dan menyakitkan?” San Ali memburu.

“Ketika aku harus kehilangan anak dan istri yang kutinggalkan di


pulau Lingga. Ketika istriku meninggal akibat terkena sampar, anak
lelakiku satu-satunya, Thio Ban Tong, yang berusia sembilan tahun
menghilang tak diketahui rimbanya. Orang-orang kepercayaanku
yang kutugaskan menjaganya ternyata tidak mengetahui ke mana
anak tunggal penyambung kehidupan leluhurku itu pergi.”

“Istri mati mungkin masih bisa aku mencari ganti. Tetapi, kalau
anak lelaki hilang tak tentu rimba ke mana pula harus kucari ganti?
119
Karena itu, o Anak Muda, waktu itu kulewati dengan segala
kepanikan. Kuancam bunuh semua orang kepercayaanku jika
mereka tidak menemukan anak yang kuamanatkan penjagaannya
kepada mereka. Kusekap anak-anak mereka untuk memaksa agar
mereka benar-benar mencari anakku.”

“Di saat kepanikanku memuncak, tiba-tiba Syaikh Ibrahim datang.


Dengan nasihat dan uraiannya tentang hukum kehidupan dan
orang-orang yang ‘dipanggil’ oleh Allah maka sadarlah aku bahwa
segala apa yang kualami itu adalah bagian dari cobaan Allah untuk
menguji tekadku bertaubat. Setelah itu, seluruh sisa harta milikku
kubagi-bagikan dan aku menunaikan haji ke tanah suci. Persoalan
hilangnya Thio Ban Tong kuserahkan kepada-Nya. Dia yang
memberi Dia pula yang berhak meminta kembali.”

“Kemarahanku pun akhirnya pudar. Kumaafkan mereka dan


kukembalikan anak-anak mereka. Kukatakan kepada mereka
bahwa betapa pun ketat anakku dijaga, bahkan ketika kujaga
sendiri, kalau Dia telah berkehendak meminta maka tidak ada satu
pun makhluk yang bisa menghalangi. Dan akhirnya aku sendiri
menyadari, betapa sebenarnya diriku tidak memiliki apa-apa di
dunia ini; nama besar, kekayaan, istri, anak, tubuh, nyawa, dan
ruhku sendiri; semua milik Allah,” papar Haji Nasuhah.

“Berarti Tuan Haji sekarang ini sebatangkara seperti saya?”

120
“Bagi mereka yang sudah ‘bangun’, seluruh manusia pada
dasarnya sebatangkara di dunia ini. Itu sebabnya, bagi mereka
yang sudah ‘bangun’ tidak dikenal kebanggaan atas ras, suku
bangsa, marga, keluarga, nama besar, atau apa saja yang bersifat
kelompok. Dan bagi mereka yang sudah ‘bangun’, menjadi suatu
‘kewajiban’ untuk menggantungkan kesebatangkaraannya kepada
Dia Yang Mahatunggal; Dia Yang Mahasebatangkara, yang tidak
memiliki istri, anak, keluarga, dan kerabat; kepada Dia jua kita,
orang-orang sebatangkara ini, wajib mengarahkan harapan dan
tujuan.”

“Kalau jalan menuju Dia harus dilalui dengan meninggalkan segala


sesuatu yang berkaitan dengan dunia, kenapa Dia menciptakan
dunia?” tanya San Ali.

“Tidakkah engkau ketahui bahwa dunia ini diciptakan sebagai


penjara bagi kita?”

“Penjara?” sergah San Ali heran.

“Ketahuilah, o Anak Muda, bahwa dunia ini adalah tempat leluhur


kita, Bapa Adam dan Ibu Hawa, menjalani hukuman setelah
melanggar perintah Allah. Jadi, hakikat dunia ini sebenarnya
adalah penjara bagi Bapa Adam dan Ibu Hawa beserta
keturunannya. Dan seperti makna ad-dunya sendiri yang berarti
dekat atau singkat, maka kehidupan di dunia ini sungguh hanya
121
persinggahan singkat belaka bagi anak cucu Adam dan Hawa yang
memikul hukuman di penjara bernama dunia ini. Karena itu, bagi
mereka yang sudah ‘bangun’ akan memandang bahwa tidak
pantas dan sangat keliru jika manusia sebagai keturunan Adam
dan Hawa menjadikan dunia ini sebagai hunian yang
menyenangkan, apalagi sampai membangun mahligai kekuasaan
dan kekayaan turun-temurun, seolah-olah dunia ini hunian abadi.”

“Jika demikian, kenapa kita harus bekerja mencari nafkah jika pada
akhirnya kita harus menganggap dunia ini penjara yang tidak
menyenangkan?”
“Karena tubuh kita adalah bagian dari jazad maddi (materi) maka
tubuh kita pun membutuhkan makanan dan minuman bersifat
maddi (materi). Karena itulah, agama mengajarkan agar kita,
manusia, keturunan Adam dan Hawa, tidak berlebihan dalam
memanfaatkan dunia apalagi sampai mencintainya.”

“Ada kisah menarik tentang pemanfaatan dunia yang kuperoleh


dari guru agungku, Syaikh Ibrahim, melalui cerita pemburu kera,”
lanjut Haji Nasuhah.

Pemburu itu tahu bahwa kera sangat suka buah ceri. Ia sangat
paham cara berpikir kera. Itu sebabnya, ia menempatkan buah-
buah ceri ke dalam botol gelas bening yang berleher sempit.
Kemudian ia letakkan botol gelas itu di tempat kera-kera biasanya
berkeliaran.

122
Tak lama, pemburu itu melihat seekor kera datang. Kera itu
memasukkan tangannya ke dalam botol dan mengambil buah ceri
dalam jumlah banyak. Tetapi, dia kemudian sadar bahwa
tangannya yang menggenggam buah ceri tidak bisa ditarik keluar.

Kera menjerit-jerit panik. Tangannya tidak bisa lepas dari botol


karena dia tetap menggenggam erat buah ceri. Sang pemburu
kemudian datang. Kera ketakutan dan berusaha melarikan diri,
namun karena tangannya membawa botol maka dia tidak dapat
berlari kencang. Setelah tertangkap, pemburu itu memukul siku
kera sehingga genggamannya atas buah-buah ceri itu mengendor.
Tangan kera itu memang bisa lepas dari botol, tetapi ia telah
tertangkap.

“Aku segera menyadari bahwa kera yang dimaksud di dalam kisah


itu adalah aku. Betapa kusadari bahwa selama itu aku terlalu
menggenggam erat-erat harta duniawi sehingga aku tidak bisa
melepaskan diri dari jeratan botol duniawi. Kematian istri dan
kehilangan anak kesayangan kuanggap sebagai pukulan ‘Sang
Pemburu’ ke sikuku. Nah, sekarang ini aku merasa sebagai kera
yang bebas dari jeratan botol, tetapi harus patuh dan setia kepada
‘Sang Pemburu’ yang memeliharaku dengan baik. Aku tidak perlu
lagi mencari buah ceri karena Dia telah menyediakan semua
kebutuhanku.”

123
Cahaya Iman

Bulan purnama bercahaya terang di hamparan


permadani langit yang membiru. Cahayanya
menyinari permukaan bumi Palembang yang
sudah tua dan terlalu kenyang mengenyam
pahit dan getir kehidupan penghuninya. Lebih
dari seribu tahun, bergantian kapal, jung,
perahu, dan sampan melintas dan berlabuh. Dari ratu, bangsawan,
saudagar, pendeta, perampok, hingga gelandangan pernah tinggal
di pangkuan bumi Palembang sejak kekuasaan Sriwijaya
ditegakkan di sana.

Kemakmuran Palembang sebagai bandar perniagaan menarik


hasrat siapa pun untuk bisa menguasai pusat kenikmatan duniawi
yang terletak di tengah hamparan samudera itu. Wangsa Ming
yang berkuasa di daratan Cina pun tergiur oleh kemolekan dan
kecantikan Palembang. Itu sebabnya, ketika utusan dari
Palembang – yang merupakan bagian dari Majapahit –
menghadap Kaisar Cina, ia disambut dengan penuh kemuliaan
seolah-olah duta sebuah negeri merdeka.

Hayam Wuruk, Maharaja Majapahit, sangat murka dengan


tindakan Kaisar Cina yang menerima dan memperlakukan utusan
Palembang seperti seorang duta. Ia kemudian menggerakkan
armada Majapahit meluluhlantakkan bandar Palembang. Setelah
peristiwa itu, ia menunjuk salah seorang saudara tirinya – putera
124
Prabu Kertawarddhana dari istri selir, adik dari Singhawarddhana
– yang bernama Parameswara menjadi Adipati Palembang.
Tetapi, pesona bandar Palembang telah menggoyahkan kesetiaan
Parameswara tak lama setelah Hayam Wuruk mangkat.
Parameswara menyatakan Palembang sebagai negara merdeka.
Wikramawarddhana, yang masih kemenakan Parameswara,
menolak pernyataan sepihak Adipati Palembang itu. Armada
Majapahit sekali lagi dikerahkan untuk menghancurkan
Palembang. Parameswara melarikan diri dan akhirnya mendirikan
Kerajaan Malaka.

Sementara itu, usai pemberontakan Parameswara, kekacauan dan


kerusuhan meluas di Palembang. Sejarah kemudian mencatat, di
dalam kekacauan itu telah muncul seorang bajak laut bernama
Liang Tau Ming. Dengan seluruh kekejaman dan kebrutalannya,
dia menancapkan cakar kekuasaannya di bandar Palembang.
Liang Tau Ming tidak membawa kemakmuran apa pun, kecuali
makin meningkatnya kekacauan dan ketidakseimbangan hidup
rakyat Palembang. Dan Palembang yang saat itu disebut Ku Kang
pun tenggelam dalam kegetiran yang menyakitkan.

Bukan hanya penghuni bandar Palembang yang merasakan


kegetiran di bawah kekuasaan Liang Tau Ming, saudagar-
saudagar Cina pun merasakan kepahitan serupa sehingga mereka
beramai-ramai melapor kepada Kaisar. Liang Tau Ming kemudian
dieksekusi. Sebagai gantinya, tampillah Cheng Po Ko yang selalu

125
mengirim upeti sebagai bukti bahwa bandar itu tunduk di bawah
kekuasaan Kaisar Cina.
Kerajaan Majapahit yang makin melemah kekuatannya tidak
mengambil tindakan apa pun terhadap kebijakan Kaisar Cina yang
telah menjadikan Palembang sebagai bagian dari kekuasaannya.
Majapahit terus disibukkan dengan pemberontakan-
pemberontakan di dalam negeri. Namun, saat Prabu Kertawijaya
naik takhta dengan gelar Sri Prabu Kertawijaya Wijaya
Parakramawarddhana yang lazim disebut Brawijaya V, masalah
Palembang mulai menjadi perhatian penting. Ia mengirimkan
seorang puteranya yang bernama Ario Damar sebagai Adipati
Palembang dengan tugas utama mengembalikan bandar tua itu ke
pangkuan Majapahit.

Ario Damar adalah ksatria tangguh yang telah teruji kecerdasan


dan kesaktiannya dalam menumpas pemberontak maupun
memperbaiki, menata, dan membangun kembali negeri-negeri
yang rusak akibat peperangan. Ia dikenal sebagai negarawan
ulung. Ario Damar sejak kecil diasuh oleh uwaknya – kakak
kandung ibundanya – seorang pendeta Bhirawatantra bernama Ki
Kumbharawa (Jawa Kuno: matahari di dalam tempayan) yang
tinggal di hutan Wanasalam di selatan ibu kota Majapahit. Ibunda
Ario Damar yang bernama Endang Sasmitapura adalah pengamal
ajaran Bhirawatantra. Itu sebabnya saat hamil tua ia diusir oleh
suaminya, Prabu Kertawijaya, dari istana Bhre Tumapel, karena
kedapatan melakukan pancamakara, yaitu upacara minum darah
dan memakan daging manusia.

126
Oleh didikan Ki Kumbharawa dan Ibundanya, Ario Damar tumbuh
sebagai pemuda yang memiliki berbagai kesaktian dan
kedigdayaan luar biasa. Itu sebabnya, saat mengabdi ke Majapahit
ia dapat menyelesaikan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya.
Bahkan di antara penganut ajaran Bhirawatantra kala itu, Ario
Damar dianggap sebagai salah seorang tokoh yang paling
sempurna ilmunya sehingga ia disegani baik oleh kawan maupun
lawan.

Dengan kemampuannya yang luar biasa itu, Ario Damar berhasil


mengembalikan Palembang ke pangkuan Majapahit. Ia mampu
menciptakan suasana aman dan tenteram, juga memakmurkan
rakyat Palembang. Palembang yang sudah terpuruk ke jurang
kebinasaan itu ternyata bisa bangkit lagi.

Untuk menunjukkan kekuasaan Majapahit atas kekuasaan


masyarakat Cina yang selama itu tunduk kepada Kaisar Cina,
Prabu Kertawijaya menganugerahkan salah seorang selirnya yang
bernama Retno Subanci kepada Ario Damar. Retno Subanci
adalah puteri saudagar Cina muslim bernama Encik Ban Chun,
asal nagari Gresik. Saat dianugerahkan kepada Ario Damar, ia
sedang hamil tua dan mengandung anak Prabu Kertawijaya.

Keberhasilan Ario Damar dalam merebut dan membangun bandar


Palembang ternyata berlanjut dengan keberhasilan dirinya
membangun nilai-nilai baru yang bersumber pada ajaran Islam.
Ario Damar yang sejak kecil akrab dengan ajaran Bhirawatantra,
127
tanpa pernah ada yang menduga sebelumnya, telah memperoleh
hidayah cahaya iman dari Allah melalui perantaraan Syaikh
Ibrahim as-Samarkandy, saudara ipar Ratu Darawati, istri Prabu
Kertawijaya yang berasal dari negeri Campa.

Berita itu menggemparkan para pejabat dan rakyat Palembang,


bahkan Dyah Suraprabhawa, maharaja Majapahit, saudara tiri Ario
Damar, mengirim utusan untuk mempertanyakan kesetiaannya
kepada Majapahit. Ario Damar dengan tegas menyatakan bahwa
persoalan ia memeluk Islam adalah persoalan pribadi yang tidak
bisa dikait-kaitkan dengan kesetiaannya kepada Majapahit.
Kepada utusan itu Ario Damar memberikan keris pusaka Kyai Kala
Canggah yang ujungnya bercabang dua serta upeti berupa emas
dan permata sebagai bukti bahwa ia tetap setia kepada Majapahit,
meski telah berpindah agama.

Keislaman Ario Damar ternyata tidak hanya berpengaruh pada


perubahan suasana kehidupan pribadi dan isi kadipaten, tetapi
juga meluas sampai keluar Palembang. Ia mengganti namanya
menjadi Ario Abdillah. Putera tirinya diberi nama Raden Kasan,
kelak menjadi Arya Sumangsang alias Raden Patah, adipati
Demak. Putera sulungnya dari Retno Subanci diberi nama Raden
Kusen – kelak menjadi Pecat Tandha dan adipati Terung.

Ketika usianya makin merambat senja, Ario Abdillah meninggalkan


kadipaten. Ia digantikan oleh adipati Karang Widara yang bernama
Pangeran Surodirejo, yang tidak lain adalah putera Raden Kusen.
Ario Abdillah kemudian memilih tinggal di rumah sederhana di

128
kampung yang dinamakan Pedamaran (artinya: kediaman Ario
Damar). Dari Pedamaran itulah ia memberitakan kebenaran ajaran
Islam. Mula-mula ia menyiarkan kepada penduduk di sekitar
Pedamaran. Dulu penduduk di sana terkenal sangat menentang
ajaran Islam yang disebarkan oleh Syarif Husin Hidayatullah,
bangsawan Arab yang menjadi pemimpin di daerah Usang
Sekampung. Namun, di bawah bimbingan Ario Abdillah, penduduk
dengan sukarela berkenan memeluk Islam. Begitulah, daerah-
daerah kafir seperti Talang Lindung Bunyian, Lebak Teluk Rasau,
Lebak Air Hitam, dan Lebak Segalauh telah menjadi
perkampungan muslim.

Menurut cerita, tak lama setelah memeluk Islam, Ario Abdillah


menikahi puteri Syarif Husin Hidayatullah. Dari pernikahan itu
lahirlah Raden Sahun yang diberi gelar Pangeran Pandanarang –
kelak menjadi adipati Samarang dan puteranya menjadi Sunan
Tembayat. Melalui ikatan perkawinan inilah ia dapat menyiarkan
Islam sampai ke daerah Siguntang, Prabumulih, dan Meranjat.
Syarif Husin Hidayatullah diangkat menjadi Menak (bangsawan)
Palembang.

Begitu turun dari perahu, San Ali langsung menuju ke Pedamaran.


Sesampainya di sana, didapatinya Ario Abdillah sedang mengais-
ngais tanah di halaman rumah panggungnya. Rupanya, tokoh
besar yang berusia hampir delapan puluh tahun itu sedang mencari
akar-akaran untuk obat. Meski usianya sudah sangat tua, sisa
kegagahan tetap terpahat pada otot-otot tubuhnya yang kukuh.
Ketenangan jiwa terpancar dari wajahnya yang teduh.
129
Sekalipun mata Ario Abdillah lebih bulat dan lebih lebar dibanding
Raden Kusen, San Ali mendapati betapa bentuk hidung, mulut,
kening, bahkan dagu keduanya sangat mirip. Rambut, alis, kumis
dan janggut Ario Abdillah yang memutih tidak menjadikannya
manusia renta tanpa daya. Wibawa tetap memancar dari tubuh tua
itu. Bahkan siapa saja yang kebetulan melihat sorot matanya, pasti
akan merasakan kegentaran menerkam jiwa.

Ketika San Ali mendekat, Ario Abdillah dengan tanpa menoleh dan
tangan tetap mencabuti akar-akaran mendendangkan lagu,
“Engkau adalah hijab bagi dirimu sendiri, o manusia, maka
keluarlah engkau dari padanya. Pengembaraan adalah
pematangan bagi jiwa yang mentah. Jika engkau sudah keluar dari
hijabmu maka akan engkau temukan alam semesta di dalam
dirimu, ibarat lautan engkau temukan di dalam perahu.”

San Ali tercekat. Ia menangkap sasmita tentang kedalaman ajaran


di dalam syair lagu itu. Dengan kobaran rasa ingin tahu yang
menggelora, ia mendekat dan berkata penuh harap, “O Tuan
Manusia Besar yang sudah tercerahkan, berkenankah Tuan
mengajari hamba jalan menuju Dia?”

“Aku?” gumam Ario Abdillah terperanjat. “Aku mengajarimu jalan


menuju Dia?”

“Besar harapan hamba, Tuan mengabulkan keinginan hamba.”


130
“Tidak ada yang bisa mengajari manusia menuju jalan-Nya kecuali
Dia sendiri, dengan jalan-jalan yang ditentukan-Nya.”

“Tapi, Tuan?”

“Siapakah engkau dan dari manakah asalmu, o Anak Muda?”

“Hamba San Ali, putera angkat Ki Danusela, Kuwu Caruban.”

“Kalau begitu, engkau masih kemenakanku sendiri karena Ki


Danusela adalah saudara tiriku,” Ario Abdillah mengangkat alis
kanannya ke atas.

“Benar Tuanku, hamba bahkan telah berjumpa dengan Pamanda


Raden Kusen, putera Tuanku di Caruban,” San Ali menjelaskan.

Ario Abdillah menunduk. Diam. Sejenak kemudian dia berkata,


“Apa yang bisa kuajarkan kepadamu, o Anak, jika engkau memiliki
jalan sendiri menuju Dia?”

“Itu benar, o Tuanku. Tetapi, Tuan bisa menceritakan perjalanan


Tuan sehingga hamba bisa mengambil hikmah di balik cerita Tuan.

131
Hal itu akan hamba jadikan pedoman dalam perjalanan hamba
menuju Dia.”

“Ada banyak orang berkata tentang aku, namun apa yang mereka
katakan itu pada hakikatnya tidak tepat sebagaimana aku
mengatakan tentang diriku. Akhirnya, akupun bingung tentang
siapa yang paling benar mengatakan tentang aku. Lantaran itu, o
Anak, kutinggalkan segala perkataan tentang aku, karena itu
semua semakin membingungkan ‘aku’-ku. Dan ketahuilah, o Anak,
ketika engkau berkata tentang jalanku maka saat itulah engkau
telah memunculkan keakuan, baik keakuanmu maupun
keakuanku; yang ujung dari semua itu adalah sia-sia.”

“Apakah engkau melihat guna dan manfaat ketika kuceritakan


bagaimana kegagahan dan keperkasaanku menghancurkan
musuh di medan laga, kalau pada dasarnya justru kepahitan yang
kudapati dari cerita itu? Adakah guna dan manfaat ketika
kuceritakan kepiawaian dan kebijaksanaanku mengatur negeri,
kalau pada dasarnya justru kegetiran yang kurasakan? Adakah
guna dan manfaat ketika kuceritakan bagaimana seharusnya aku
merasakan kepuasan karena keturunanku menjadi penguasa
negeri, kalau akhirnya yang kudapatkanjustru kekecewaan?”

“Ketahuilah, o Anak, bahwa keperkasaan, kegagahan, kepintaran,


kabajikan, kebijakan, kepuasan diri dan segala macam penilaian
yang mengarah pada pepujian diri adalah hampa semata dengan
tepi kepedihan yang menyiksa. Sebab, saat engkau terperangkap
132
pada penilaian baik atau buruk tentang sesuatu mengenai ‘aku’-mu
atau ‘aku’-ku atau ‘aku’-siapa saja, maka saat itulah telah terjadi
pengakuan terhadap sesuatu yang bukan haknya. Dan mengaku
yang bukan hak adalah kepedihan tanpa tepi.”

“Segala sesuatu yang tergelar di alam semesta adalah milik-Nya


tanpa kecuali; bumi, bulan, matahari, hewan, manusia, tumbuhan,
jin, setan, iblis, malaikat, surga, dan neraka. Puji-pujian, kemuliaan,
kebesaran, keagungan, dan segala sesuatu sekecil apa pun
adalah milik-Nya. Bahkan keimanan sekecil tungau pun adalah
milik-Nya. Engkau tak memiliki apa pun baik kekayaan duniawi,
keluarga, tubuh, nyawa, ruh, dan bahkan iman sekalipun; semua
milik-Nya.”

“Kenangkanlah liku-liku jalan yang pernah kulewati sejak aku


dilahirkan dari rahim ibundaku, di mana ajaran kebenaran yang
kukenal awal sekali ketika aku masih kecil adalah Bhirawatantra
yang penuh lumuran darah dan kematian. Saat itu, sangat kuyakini
kebenaran ajaran dari leluhurku itu sebagai jalan menuju-Nya.
Berbagai kesulitan yang kuhadapi dapat kuatasi dengan ilmu-ilmu
yang kupelajari dari ajaran itu. Tetapi, disaat aku berada di puncak
kemenangan tiba-tiba Dia memberikan cahaya iman ke dalam
jiwaku. Dan kutinggalkan segala apa yang pernah kuraih sebagai
kebanggaan masa mudaku itu.”

“Dengan pengalaman hidup yang kulewati ini, o Anak, aku makin


sadar bahwa segala sesuatu tanpa kecuali adalah milik-Nya.
133
Karena itu, hari-hariku sekarang ini kuhabiskan untuk menunggu
dia mengambil kembali milik-Nya yang kini telah lapuk dan renta
dimakan zaman. Dan lantaran itu, kutinggalkan segala sesuatu
yang pernah kuanggap sebagai milikku di dunia ini. Kuhadapkan
pikiran dan perasaanku hanya kepada-Nya, agar saat Dia
mengambilku, seutuhnya diriku kembali kepada-Nya tanpa beban
apa pun dari dunia yang pernah kutinggali ini.”

“Jika Tuan ingin kembali hanya kepada-Nya, hamba yakin itu akan
terjadi. Tetapi, mohon Tuan jelaskan kepada hamba bagaimana
dengan nasib uwak dan ibunda Tuan yang tetap tinggal di dalam
kegelapan ajaran najis itu?” kata San Ali.

“O Anak,” sahut Ario Abdillah dengan suara berat. “Engkau tidak


bisa menilai sesuatu ajaran sebagai sesuatu yang najis atau suci.
Sebab, semua itu berasal dari-Nya. Semua milik-Nya. Perbedaan
yang engkau lihat sebenarnya hanya pada tingkat penampakan
indrawi belaka; hakikatnya adalah sama, yakni menuju hanya
kepada-Nya. Yang gelap maupun yang terang, semua menuju
kepada-Nya.”

“Hamba kurang paham dengan penjelasan itu, o Tuan.” San Ali


penasaran.

“Ketahuilah, o Anak, bahwa Dia bukan hanya pemilik segala


sesuatu yang tergelar di alam semesta. Dia menata dan mengatur
semuanya. Jika engkau sekarang ini berada di dalam golongan

134
muslim yang dianugerahi iman maka sesungguhnya engkau
berada dalam golongan yang tercerahkan oleh cahaya salah satu
nama indah-Nya, yakni al-Hadi (Yang Memberi Petunjuk) yang
dari-Nya mengalir para malaikat, nabi, rasul, wali, dan orang-orang
saleh.”

“Sementara jika engkau berada di dalam golongan di luar penganut


ajaran Islam yang engkau nilai najis karena berlumur darah, maka
sesungguhnya engkau berada di dalam golongan yang terbimbing
oleh salah satu nama indah-Nya yakni al-Mudhill (Yang
Menyesatkan) yang dari-Nya mengalir iblis, setan, penyembah
berhala, pemuja kegelapan, dan pengorban darah. Tetapi, semua
itu bersumber dari-Nya dan bermuara kepada-Nya. Dialah Yang
Tunggal, yang memiliki kekuasaan mutlak menggolongkan orang
kepada masing-masing nama-Nya. Dia pula yang berkuasa mutlak
membimbing orang ke jalan terang atau menyesatkan orang ke
jalan gelap, tanpa ada yang bisa mengganggu gugat.”

“Sudah tertulis di dalam dalil: nurun ‘ala nurin yahdi Allahu linurihi
man yasya’u (Cahaya di atas cahaya, Dia membimbing dengan
cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki). Tertulis pula dalil: man
yahdi Allahu fala mudhilla lahu wa man yudhlilhu fala hadiya lahu
(Siapa yang ditunjuki Allah, engkau tak bisa menyesatkannya; dan
siapa yang disesatkan Allah, tak bisa engkau menunjukinya). Jadi,
jalan terang atau jalan gelap, pada hakikatnya tergantung mutlak
pada kehendak-Nya.”

135
“Engkau anggap suci ajaran agamamu karena engkau berada di
dalam pandangan agamamu yang menganggap ajaran lain sesat
dan najis. Namun, jika engkau berada di dalam ajaran lain maka
ajaran yang lain itu akan menilai sesat dan najis agamamu. Dia
memang menempatkan sudut pandang yang berbeda bagi tiap-
tiap umat untuk memandang kenyataan yang tergelar di
hadapannya. Dengan sudut pandang itulah masing-masing
manusia memiliki perbedaan dalam memandang kebenaran
agama yang dianutnya. Semuanya, terutama yang awam, memiliki
penilaian bahwa agama yang dianutnya itulah yang paling baik.”

“Ketahuilah, o Anak,” lanjut Ario Abdillah, “bahwa orang menjadi


Muslim atau menjadi penganut ajaran Bhairawatantra pada
hakikatnya bukanlah keinginan pribadinya. Semua yang
menentukan adalah Dia. Tidakkah engkau ingat kisah paman Nabi
Muhammad yang bernama Abu Thalib? Kenapa lelaki berhati
mulia yang sampai akhir hayat membela Nabi Muhammad itu tidak
mati dalam keadaan Muslim? Kenapa saat Nabi Muhammad
mendoakannya agar menjadi Muslim justru ditegur oleh Allah
bahwa beliau hanya sekadar menyampaikan seruan Islam, sedang
yang menentukan orang menjadi Muslim atau tidak adalah Allah?”

“Dengan memahami hakikat ketunggalan-Nya, o Anak, engkau


tidak akan terperangkap lagi ke dalam batasan-batasan yang telah
dibuat-Nya untuk menghijab ciptaan-Nya dari Dia. Untuk itu, o
Anak, jika engkau ingin menuju hanya kepada-Nya maka engkau
wajib menyingsingkan tiap-tiap hijab yang membungkus kesadaran
sejatimu sehingga engkau memahami bahwa seluruh makhluk di
alam semesta ini, mulai dari malaikat, bidadari, manusia, hewan,

136
tumbuhan, jin, setan, bahkan iblis adalah penyembah dan pemuja
Dia, meski dengan sebutan dan tata cara yang berbeda.
Sesungguhnya Dia itu Esa. Tidak ada sesuatu yang menyamai
apalagi menyaingi Dia. Sebab, telah tertulis dalam dalil: kana
Allahu wa lam yakun ma’ahu syai’un (Dia ada. Tidak ada sesuatu
bersama Dia).

Bumi manusia kediaman anak cucu Nabi Adam pada dasarnya


tidak hanya dihuni oleh makhluk-makhluk yang kasatmata.
Berbagai makhluk tidak kasatmata pun menjadi penghuni bumi.
Bahkan di antara mereka adalah generasi pelanjut makhluk
sebelum Nabi Adam menghuni bumi. Mereka berakal dan
berbangsa-bangsa. Berbudaya. Berkembang biak. Namun, bentuk
fisik mereka tidak padat seperti manusia yang terdiri atas darah,
daging, dan tulang. Karenanya, mereka tidak kasatmata.

Kenyataan tentang makhluk tidak kasatmata itu diketahui San Ali


saat ia diajak berkelana memasuki matra lain dari bumi manusia
untuk menyaksikan Keagungan dan Ketidakterbatasan Kuasa
Ilahi. San Ali tidak mengetahui ilmu apa yang digunakan Ario
Abdillah untuk menembus matra demi matra yang menyelubungi
bumi. Ia hanya merasakan saat Ario Abdillah memerintahkannya
duduk berhadapan sambil memejamkan mata berkonsentrasi, tiba-
tiba tubuhnya merosot ke bawah. Sesaat sesudah itu, ketika
membuka mata ia mendapati dirinya berada di sebuah rongga
besar dan luas di bawah tanah. Ario Abdillah dilihatnya berdiri di
depannya sambil bersidekap menyilangkan kedua tangan di dada.

137
Sebelum San Ali bertanya tiba-tiba Ario Abdillah menjelaskan
bahwa mereka berada sekitar tujuh puluh depa dari permukaan
tanah. “Ini merupakan lapisan pertama dari kediaman anak cucu
makhluk-makhluk penghuni bumi sebelum Nabi Adam diturunkan.
Mereka adalah keturunan Banu al-Jaan. Mereka mendiami dasar
bumi hingga lapis yang ke tujuh.

“Tuanku, apakah mereka itu disebut jin?” tanya San Ali takjub.

“Kita, umat Islam, menyebutnya seperti itu. Sebenarnya mereka


beraneka macam. Bentuk mereka mirip manusia dengan satu
kepala, dua tangan, dan dua kaki. Sebagian di antara mereka ada
yang memiliki sayap seperti kelelawar dan burung, namun
sebagian besar tidak bersayap.”

“Apakah mereka hidup dalam puak-puak masyarakat?” San Ali


mendecakkan mulut kagum.

“Seperti layaknya manusia, mereka hidup dalam kota-kota dan


benteng-benteng. Kendaraan yang mereka gunakan berjalan
sangat cepat tanpa perlu ditarik kuda. Bahkan mereka memiliki
kereta perang yang bisa terbang seperti milik dewa-dewa. Berbeda
dengan kendaraan manusia, kendaraan makhluk-makhluk itu
menimbulkan suara gemuruh yang menggetarkan dada dan
memekakkan telinga,” Ario Abdillah menguraikan.

138
“Apakah Tuanku akan mengajak hamba mengunjungi kota-kota
mereka?” tanya San Ali dengan rasa ingin tahu yang berkobar-
kobar. “Apakah mereka tidak menyerang kita?”

“Sebelum engkau mengenal mereka, o Anak, kata Ario Damar


datar, “engkau harus tahu tentang mereka sehingga engkau tidak
terperosok ke jurang kesesatan seperti sebagian manusia yang
mengenal mereka.”

“Hamba menunggu petunjuk dan akan patuh Tuan.”

Ario Damar diam sesaat. Sejenak sesudah itu dengan suara berat
dan penuh keseriusan dia mulai menguraikan tentang makhluk-
makhluk penghuni dasar bumi. Menurut Ario Damar, leluhur
makhluk-makhluk itu pada zaman dahulu kala menghuni
permukaan bumi selayaknya manusia. Namun, mereka sangat
sombong dan membanggakan ilmu pengetahuannya. Akhirnya,
terperangkaplah mereka ke dalam kebiasaan menumpahkan
darah sesamanya. Dengan kereta perang yang bisa terbang,
mereka menembus langit menuju ke bintang-bintang tempat
kediaman para malaikat, makhluk yang dicipta Allah dari cahaya.

Kesombongan makhluk-makhluk itu menimbulkan kerusakan di


permukaan bumi. Tidak hanya makhluk-makhluk itu saja yang
binasa dalam setiap peperangan, tetapi makhluk lain pun ikut
menjadi korban. Hewan-hewan raksasa, pepohonan, gunung-
139
gunung, dan hutan-hutan luluh lantak karena senjata mereka yang
dahsyat. Kematian tersebar dimana-mana. Jika tidak segera
dicegah maka dipastikan bumi akan binasa.

Gusti Allah memerintahkan para malaikat untuk membinasakan


makhluk-makhluk yang ingkar kepada nikmat-Nya dan
membanggakan kesombongan dirinya itu. Gusti Allah akan
menggantikan makhluk-makhluk sombong itu dengan makhluk
baru, yakni manusia. Demikianlah, para malaikat beramai-ramai
turun ke bumi. Kota-kota dan benteng-benteng mereka yang kokoh
dan perkasa diluluhlantakkan. Mereka dibinasakan oleh senjata-
senjata malaikat yang lebih dahsyat daripada milik mereka.
Sebagian besar di antara mereka binasa. Sisanya melarikan diri
dari daratan menuju pulau-pulau di tengah samudera. Sebagian
lagi bersembunyi di dasar bumi.

Berpuluh, beratus, bahkan beribu tahun makhluk-makhluk


sombong yang selamat itu hidup dalam kegelapan dasar bumi.
Allah pun menganugerahi mereka dan keturunannya untuk bisa
melihat di dalam gelap. Makanan utama mereka adalah saripati
tulang belulang. Tetapi, naluri leluhur mereka yang haus darah
tidak juga bisa hilang dari keturunan mereka. Makhluk-makhluk itu
tetap gemar minum darah manusia.

“Tuanku,” San Ali berkata setelah melihat Ario Abdillah berdiam diri
agak lama, “guru agung hamba, Syaikh Datuk Kahfi, pernah
membawakan riwayat hadits yang menjelaskan bahwa sebelum
140
Nabi Adam, bumi ini dihuni makhluk dari bangsa jin. Menjelang
Nabi Adam turun ke bumi, makhluk-makhluk dari bangsa Jin itu
dihalau ke pulau-pulau di samudera. Tetapi, itu semua hanya
penuturan beliau, Tuanku. Hamba belum menyaksikan sendiri.”

Ario tidak berkata sepatah pun. Namun, beberapa jenak kemudian


tangannya menyambar tangan San Ali. Dan seperti berlari di atas
padang rumput yang luas, begitulah Ario Abdillah mengajak San
Ali menembusi lorong-lorong bawah tanah yang berliku-liku. Ario
Abdillah baru menghentikan langkah ketika mereka sampai di
sebuah danau berair jernih yang dilingkari pepohinan rindang.
“Tahukah engkau, o Anak,” gumam Ario Abdillah dengan suara
ditekan, “dimanakah kita berada?”

“Hamba tidak tahu, Tuanku,” sahut San Ali.

“ketahuilah bahwa kita berada di Jawadwipa, tepatnya di bawah


Gunung Anjasmoro.”

“Di Jawadwipa?” seru San Ali heran. “Kenapa kita tidak melewati
laut?”

“Kita tidak melewati laut karena kita berada di dasar bumi,” Ario
Abdillah menjelaskan. “Dan ketahuilah bahwa bentangan pulau-

141
pulau di Nusantara pada hakikatnya satu kesatuan ikatan. Adanya
laut yang memisahkan pulau satu dengan pulau yang lain bersifat
permukaan belaka.”

“Luar biasa,” gumam San Ali sambil menyapukan pandangan ke


sekitarnya dengan penuh ketakjuban.

San Ali yang masih diliputi rasa takjub hanya termangu-mangu


keheranan ketika menyaksikan kerumunan orang dengan tubuh
cabol dengan kepala besar dan tangan menjuntai ke bawah lutut
di sekitar danau tak jauh dari tempatnya berdiri. Salah satunya
memiliki janggut memanjang hingga ke dada. Rupanya dialah
pemimpin mereka. Dengan celoteh yang tak jelas, dia mendekati
Ario Abdillah. Kemudian dengan gerakan menghormat, dia
merangkul kaki Ario Abdillah.

Ario Abdillah memperkenalkan orang cebol berjanggut panjang itu


kepada San Ali dengan nama Kala Hiwang (Jawa Kuno: waktu
menyimpang) yang sering dipanggil Buyut Kelewang, Kala Hiwang
adalah sahabat yang banyak membantu saat dia masih menggeluti
ajaran Bhirawatantra.

Ario Abdillah membaca semacam mantra. Sesaat sesudah itu


keanehan terjadi. Tiba-tiba terdengar suara embusan angin
bersuit-suit yang diikuti gemuruh bagai halilintar. Kemudian muncul
gumpalan asap yang diikuti sesosok makhluk bertubuh raksasa
142
dengan kulit hitam legam dan kepala gundul. Ia tidak berkumis,
tetapi janggutnya terjuntai sampai ke perut. Begitu muncul,
makhluk itu merunduk dan merangkul kaki Ario Abdillah, seperti
Kala Hiwang. Menurut Ario Abdillah, makhluk itu adalah sahabat
karibnya yang lain. Ia bernama Kala Hingsa (Jawa Kuno:
pembunuh waktu), namun sering disebut Buyut Kelungsu (artinya,
isi buah asam yang hitam dan keras).

Ario Abdillah berbicara dengan Kala Hiwang dan Kala Hingsa


dengan bahasa yang tidak dimengerti San Ali. Namun, dari nada
bicara dan gerak tubuh mereka, ia menangkap makna bahwa
mereka bertiga sudah sangat lama tidak berjumpa. Bahkan dalam
perbincangan itu, San Ali menangkap isyarat betapa Kala Hiwang
dan Kala Hingsa terperangkap ke dalam kesedihan. Ario Abdillah
terlihat beberapa kali menarik napas berat seolah-olah
melepaskan beban yang menggumpal di dada.

Setelah cukup lama berbincang-bincang akhirnya Ario Abdillah


mengajak San Ali meninggalkan tempat itu. Kali ini, San Ali
merasakan perjalanannya cepat laksana kilat. Keduanya berhenti
di suatu kota yang terang benderang dan berarsitektur aneh.
Rumah-rumah dibangun bersusun-susun. Orang-orang berlalu-
lalang dengan pakaian aneka warna. Kendaraan-kendaraan aneh
tanpa hewan penarik berseliweran dengan suara gemuruh. Yang
ajaib lagi, lampu-lampu yang menerangi kota tidak menggunakan
nyala api.

143
Ario Abdillah menjelaskan bahwa kota itu terletak di lapis bumi
ketujuh, lapisan yang paling dekat dengan tungku bumi. Para
penghuninya berperadaban lebih maju dibanding penghuni di
lapisan lain. Meski mereka maju, naluri suka menghirup darah
manusia tetap belum hilang. Pada saat-saat tertentu, ketika bumi
diliputi kegelapan, terutama saat terjadi gerhana, para penghuni
lapis ketujuh itu beramai-ramai keluar dari kediaman mereka
melalui kawah gunung berapi dan gua-gua. Mereka beriringan
mencari mangsa untuk dijadikan jamuan pesta besar di bumi utara
yang tenggelam dalam kegelapan selama lima bulan.

San Ali sangat terkesan dengan pengalaman menakjubkan


mengenal makhluk-makhluk penghuni bumi selain manusia. Dalam
berbagai kesempatan ia terus bertanya dan Ario Abdillah berusaha
menjawab semua pertanyaannya. Jika dia tidak bisa menjelaskan
tentang peradaban dan hasil budaya mereka maka tidak segan-
segan dia mengajak San Ali mengunjungi kediaman mereka.

Suatu malam, Ario Abdillah mengajak San Ali mengunjungi bangsa


Jin yang tinggal di bintang-bintang. Ia takjub ketika menginjakkan
kaki di buntang az-Zuhal. Rembulan yang mengambang di langit
berjumlah sepuluh. Makhluk-makhluk yang tinggal di sana
wujudnya mirip manusia, namun kulit mereka sangat putih. Begitu
putih sehingga urat-urat yang melingkar di wajah mereka terlihat
jelas. Yang laki-laki sangat tampan. Yang perempuan sangat
cantik. Semua berhidung mancung. Mata mereka biru bening bagai
kristal. Rambut mereka putih agak kelabu. Anehnya, segala
sesuatu yang ada di tempat itu berwarna putih. Batu-batuan.
144
Tanah. Gunung. Bangunan. Pepohonan. Bahkan kendaraan-
kendaraan aneh yang terbang dengan suara bergemuruh.

Ario Abdillah menjelaskan tentang adanya ruh-ruh manusia bumi


yang menikah dan tinggal di alam Jin, sedangkan tubuh wadag-
nya tetap di bumi. “Badan wadag tanpa ruh itu hidup tanpa
kesadaran utuh. Jika ruhnya berbicara denagn siapa saja di alam
Jin maka badan wadag-nya akan berbicara juga. Lantara itu, orang
tersebut dianggap gila oleh orang-orang di bumi.”

“Jika ruhnya diajak balik ke badan wadag-nya?” tanya San Ali,


“apakah orang tersebut akan sembuh dari gila?”

“Tentu saja, o Anak,” kata Ario Abdillah, “tetapi untuk membawa


kembali ruh bukan pekerjaan gampang. Alam makhluk-makhluk itu
sangat luas. Bisa saja ia tinggal di dasar bumi atau di bintang az-
Zuhal, az-Zuhra, al-Utarid, al-Musytari, al-Murikh, bintang Soma,
Bhrihaspati, Sukra, bahkan bintang Buda. Lagi pula, belum tentu
ruh itu mau balik ke badan wadag-nya di bumi.”

Ketakjuban San Ali terhadap kehidupan makhluk-makhluk gaib itu


nyaris membawanya ke lingkaran ciptaan Ilahi yang tidak diketahui
batas akhirnya. Ia seolah-olah melupakan tujuan utamanya
mencari Dia Yang Tak Terjangkau dan Tak Bisa Dibayangkan.
Andaikan Ario Abdillah tidak menegurnya dengan keras dan
mengusirnya, ia tentu akan terus berkutat dengan tumpukan tanda
145
tanya tentang makhluk-makhluk ciptaan Gusti Allah tersebut. San
Ali menyadari kekalahannya. Kemudian dengan penuh takzim ia
berpamitan.

“Tuanku,” katanya seraya bersimpuh di depan Ario Abdillah, “Jika


pada akhirnya tuanku menghendaki hamba melanjutkan
perjalanan menuju Dia, kenapa selama ini Tuanku
memperkenalkan hamba kepada makhluk-makhluk gaib itu?
Bukankah lebih baik jika Tuanku mangajarkan hamba cara
tersingkat menjalin hubungan dengan Dia?”

“Aku adalah aku. Engkau adalah engkau!” kata Ario Abdillah


dengan suara tinggi. “Aku memiliki jalan sendiri. Engkau pun
memiliki jalan sendiri. Karena itu engkau harus mencari jalanmu
sendiri, o Anak.”
“Jika demikian, mengapa Tuanku memperkenalkan hamba pada
kehidupan makhluk-makhluk gaib?” tanya San Ali penasaran.

“Jalan ini memang harus engkau lalui, o Anak, agar terpatri di


dalam jiwa dan pikiranmu bahwa Gusti Allah itu Mahaagung,
Mahakuasa, dan Mahapencipta. Keagungan-Nya tanpa batas.
Kekuasaan-Nya tanpa batas. Ciptaan-Nya juga tak diketahui
batasnya. Artinya dalam pencarian mengenal Dia, hendaknya
cakrawala pikiranmu menjadi luas seperti hamparan langit. Dia
bukan hanya Gusti Allah yang disembah umat Islam, melainkan
Dia adalah Tuhan yang disembah seluruh umat manusia, hewan,

146
tumbuhan, jin, malaikat, setan, iblis, bulan, bintang, matahari, dan
berbagai makhluk ciptaan-Nya yang tak diketahui. Makhluk-
makhluk itu hanyalah sebagian kecil saja dari ciptaan-Nya.”

San Ali tertunduk diam. Kata-kata yang diucapkan Ario Abdillah


pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan penjelasan guru
agungnya. Namun, kenyataan tentang makhluk-makhluk selain
manusia benar-benar mencengangkannya dan hampir
membuatnya tergelincir dari tujuan semula.

Ario Abdillah akhirnya berterus terang bahwa tujuannya bertemu


dengan Kala Hiwang dan Kala Hingsa di dasar bumi itu sebenarnya
hendak berpamitan. “Usiaku sudah lanjut. Sudah saatnya aku
kembali kepada-Nya.”

“Bukankah Tuanku masih kuat dan sehat?” tanya San Ali. “Hamba
tak yakin barang sepuluh atau lima belas tahun lagi Tuanku bakal
meninggal dunia.”

“Tidak,” sahut Ario Abdillah, “usiaku tinggal sepekan lagi. Pada


tanggal kesembilan, hari Soma Manis (Senin Legi), bulan
Waishaka, saat pecat sawet (pukul 10:00), yakni lima hari lagi,
itulah saatku meninggalkan dunia ini. Karena itu, cepat-capetlah
engkau pergi dari sini karena aku tidak ingin menyisakan sesuatu
di hati dan pikiranku selain Dia.”

147
“Tuanku,” sergah San Ali heran, “bagaimana Tuanku bisa tahu
dengan sangat jelas saat kematian Tuan?”

“Tidak perlu kujelaskan, tetapi jika engkau teguh pada tekadmu


dan setia pada jalanmu maka engkau akan dianugerahi-Nya
pengetahuan seperti itu,” sahut Ario Abdillah sambil menutup mata
dan mulai mengatur napas serta melafalkan dzikir.

“Hamba mohon doa restu, Tuanku,” kata San Ali mencium kaki Ario
Abdillah. Ia rasakan ada rongga kosong di dadanya, seperti
kehilangan sesuatu yang sangat berharga, meskitidak tahu
gerangan apa yang hilang itu. Dan sesaat ia merasa kehangatan
membasahi pipinya. Sadarlah ia bahwa diam-diam titik-titik air
bening telah menetes dari kelopak matanya.

148
Mereka Yang Terhijab

Mengikuti petunjuk Ario Abdillah, sesampainya


di bandar Malaka, San Ali langsung
mengunjungi Syaikh Abul Mahjuubin, seorang
ulama terhormat keturunan Tamil-Melayu,
penasihat ruhani kerajaan. Meski dikenal
sebagai ulama yang alim, kehidupan Syaikh
Abul Mahjuubin penuh kemewahan duniawi. Dia memiliki tidak
kurang dari dua puluh kedai perniagaan yang tersebar dari bandar
Malaka, Kandang, Umbar, Parit, Bunga, hingga Muar.

Sebagai ulama, Syaikh Abul Mahjuubin jarang terlihat keluar


rumah. Dia selalu berada di dalam kamar. Tak seorang pun
diperkenankan masuk. Jika ada yang bertanya apa yang
dikerjakan Syaikh Abul Mahjuubin, murid-murid dan keluarganya
akan mengatakan dia sedang menghitung tasbih. Meski kenyataan
menunjukkan setiap hari sejumlah kotak berisi uang dari kedai-
kedai perniagaan dibawa masuk ke kamar tersebut.

Karena kesibukannya ‘menghitung tasbih’ itu tak kenal waktu maka


untuk menemui ulama tersebut bukan hal yang gampang.
Beberapa muridnya menyeleksi benar siapa orang yang ingin
bertemu Tuan Syaikh yang alim itu. Satu-satunya waktu luang
Tuan Syaikh, kata murid-muridnya, hari Jum’at, meski San Ali
menyaksikan sendiri bagaimana Tuan Syaikh itu di hari-hari lain
menerima tamu-tamu penting, di antaranya pejabat-pejabat
149
kerajaan. Pada hari itu, lanjut murid-muridnya, Tuan Syaikh
berangkat ke masjid sambil menebarkan sedekah kepada gembel-
gembel yang menunggu di pintu gerbang. Dan usai shalat Jum’at
itulah San Ali dipersilakan duduk di ruang tamu, menunggu Tuan
Syaikh datang.

Setelah menunggu barang satu jam, Syaikh Abul Mahjuubin


kelihatan berjalan dengan kepala mendongak ke atas. Tanpa
mengucap salam, ia masuk ke ruang tamu. Setelah bersalaman,
Abul Mahjuubin duduk bersila di atas permadani tebal sambil
menarik napas berat dan mata memandang penuh curiga ke
sekujur tubuh San Ali mulai ujung rambut hingga ujung kaki.

Sebenarnya Syaikh Abul Mahjuubin adalah orang yang ramah dan


pandai berbicara untuk menghangatkan suasana. Dengan usia
barang enam puluh tahun, dia sepintas tampak bagaikan guru yang
bijak. Namun, jika diamati lebih mendalam akan segera terasa
bahwa dia bukanlah orang yang tulus dalam segala hal.

“Mamad, pelayanku, sudah menyampaikan hal awak datang


kemari,” kata Abul Mahjuubin membuka pembicaraan.

“Juga keinginan saya menjadi murid Tuan?” tanya San Ali.

150
“Iya,” sahut Abul Mahjuubin pendek. “Dan aku heran, kenapa awak
memilih berguru kepada aku?”
“Yang Mulia Ario Abdillah, Yang Dipertuan Palembang,
menyarankan saya jika ingin mencari ‘Aku’ hendaknya berguru
kepada Tuan,” ujar San Ali apa adanya.

“Masih hidupkah dia?” Abul Mahjuubin mengangkat alis kanannya


ke atas.

“Tiga pekan lalu saya menjumpai beliau di kediamannya di


Pedamaran. Namun, beliau sempat berkata kepada saya bahwa
sepekan lagi beliau akan wafat.”

“Aneh-aneh saha bicara si Tua Bangka itu. Tapi apa maksud dia
menyuruh awak berguru kepada aku?” tanya Abul Mahjuubin
mengertak gigi tanda tak senang.

San Ali mengangkat bahu sambil menggumam, “Saya tidak tahu,


Tuan.”

“Apa yang awak punya untuk bekal berguru kepada aku?” tanya
Abul Mahjuubin mengangkat wajahnya ke atas.

151
“Saya tidak punya apa-apa, o Tuan Guru,” kata San Ali datar,”
sebab kita sesungguhnya tidak memiliki apa-apa. Hanya Allah
yang memiliki segala.”
“Awak bicara seperti itu sebagai apa?” sahut Abul Mahjuubin sinis.
“Sebagai orang zuhud? Atau sebagai orang miskin yang menutupi
kemiskinannya dengan alasan yang dibuat-buat? Atau si Tua
Bangka itu yang mengajar awak bicara begitu?”

“Terserah Tuan menilai apa,” kata San Ali geli. “Sebab,


kenyataannya saya memang tidak memiliki apa-apa. Jangankan
uang, harta dan kekayaan lain, tubuh dan nyawa saya ini pun
bukanlah milik saya.”

“Bagus jika itu yang awak mau,” Abul Mahjuubin berkata dengan
suara ditekan. “Mulai sekarang, awak boleh ikut aku. Tapi ingat,
awak harus sabar dan tawakal. Awak harus bisa membuktikan jika
awak benar-benar orang zuhud yang tidak terpengaruh oleh
gemerlap duniawi.”

“Terima kasih, Tuan.”

Abul Mahjuubin menerima San Ali di rumahnya. Namun, tidak


seperti yang diharapkan, Abul Mahjuubin justru menempatkan San
Ali di sebuah kedai perniagaan yang terletak di sekitar pelabuhan

152
Malaka. Tidak main-main, San Ali dijadikan saudagar yang
berkuasa penuh atas kedai tersebut.

Karena didudukkan sebagai saudagar pengelola kedai maka


pakaian yang harus dikenakan San Ali haruslah pakaian yang
pantas bagi saudagar. Ia harus memakai pakaian-pakaian yang
terbuat dari sutera dengan hiasan benang emas. Terompahnya
dari kulit. Dan seikat cincin emas bertahtakan intan menghiasi jari
manisnya. “Awak harus bisa membawakan diri sebagai saudagar
yang jujur dan terhormat,” Abul Mahjuubin mewanti-wanti.

Sebenarnya, ia hendak menolak dijadikan saudagar karena


menurut pikirannya hal itu sangat tidak sesuai dengan jalan yang
seyogyanya ditempuh dalam mencari ‘Aku’. Namun mengingat
pesan Ario Abdillah, dengan berat hati ia menerima peran
sementara menjadi saudagar sebagaimana dikehendaki Abul
Mahjuubin. Siapa tahu ini adalah salah satu jalan menuju ‘Aku’,
pikirnya.

Sekalipun menyadari bahwa dirinya tidak memiliki bakat berniaga


dan sama sekali tidak menyukai pekerjaan berniaga, ia
berkemauan keras menjalankan tugas dari Abul Mahjuubin dengan
sebaik-baiknya. Ia ingin membuktikan bahwa sedalam apa pun ia
menekuni perniagaan, namun hasrat hatinya tidaklah cenderung
terhadap kekayaan duniawi yang diburu oleh para saudagar itu.

153
Entah ujian Tuhan atau keberuntungan sedang berpihak kepada
San Ali. Dalam beberapa pekan ia sudah mengeruk keuntungan
besar dan mendapatkan pelanggan baru. Dengan kejujuran,
kesederhanaan, kepolosan, dan bahkan kenaifannya dalam
berniaga, telah menjadikannya mengenal banyak orang, mulai dari
saudagar besar, nahkoda, pelaut, tukang perahu, pedagang pasar,
sampai kuli pelabuhan.

Perkenalan dengan berbagai kalangan itu membuka cakrawala


pemahamannya terhadap keberadaan manusia yang memiliki
keragaman sifat dan sikap. Di antara beragam manusia yang
dikenalnya, ada seorang yang bernama Abul Maisir, anak sulung
Syaikh Abul Mahjuubin.

Berbeda dengan ayahnya yang menjadi guru ruhani, Abul Maisir


justru hidup seperti benalu yang berkembang biak di dahan dan
ranting pohon keluarganya. Dikatakan benalu karena pekerjaan
sehari-hari Abul Maisir adalah datang secara bergilir dari kedai satu
ke kedai lain milik ayahnya untuk meminta setoran. Setoaran itu
kemudian dibawanya ke meja judi. Seperti menggarami air
samudera, begitulah uang yang dibawanya selalu ludes dalam
tempo sekejap. Dari meja judi ke meja judi yang lain, dia bergulat
dengan waktu untuk memenangkan pertaruhan, seibarat musafir
mengejar fatamorgana di tengah gurun pasir. Makin dikejar makin
jauh tak terjangkau.

Semula San Ali tidak mengetahui perilaku buruk Abul Maisir. Itu
sebabnya, selama beberapa waktu ia selalu menyisihkan uang

154
keuntungan kedai untuk diambil oleh Abul Maisir. Namun, bersama
dengan bergulirnya waktu, terutama setelah ia ditanya oleh Abul
Mahjuubin tentang hasil keuntungan dari kedai yang dikelolanya,
barulah ia sadar bahwa Abul Maisir adalah orang yang keranjingan
judi.

Tanpa ditutup-tutupi Abul Mahjuubin menuturkan tentang perilaku


anak sulungnya yang memalukan itu. Dia menceritakan betapa
Abul Maisir dengan kegemaran berjudinya itu telah menguras
kekayaan keluarga lebih dari sepuluh juta ringgit. Abul Mahjuubin
mengaku putus asa menghadapi Abul Maisir.

Setelah mendengar penjelasan Abul Mahjuubin, San Ali


mengamati lebih cermat kehidupan Abul Maisir. Setelah
mengamati selama beberapa waktu, tahulah ia bahwa hari-hari
dari hidup Abul Maisir semata-mata memang diabdikan pada
perjudian. Tidak ada waktu yang terlewatkan tanpa berjudi. Berapa
pun uang yang dimilikinya, selalu tandas di meja judi. Abul Maisir
benar-benar lupa daratan.

Jika Abul Maisir sedang kalah judi, begitu yang diketahui San Ali,
dia akan marah-marah dan kemudian meminta uang kepada
istrinya. Jika tidak ada uang dia akan meminta perhiasan atau
barang apa pun yang bisa dijual. Jika tidak dipenuhi dia tidak
segan-segan menghajar anak-anak dan istrinya. Abul maisir selalu
bermata gelap. San Ali menilai betapa Abul Maisir sebenarnya
sudah tidak waras. Jika sedang berjudi, bukan hanya anak dan istri
155
yang dia lupakan, bahkan untuk mandi dan berganti pakaian pun
dia seperti tidak ingat. Itu sebabnya, dia selalu tampil kuyu, kumal,
dan tengik.

“Aku sebenarnya malu punya anak macam itu,” kata Syaikh Abul
Mahjuubin suatu hari dengan wajah penuh duka. “Tetapi,
bagaimana lagi? Dia anak sulung yang aku cintai. Dia itu tumpuan
harapan aku. Karena itu, aku senantiasa berharap moga-moga dia
bisa sadar.”
“Apa Tuan Guru tidak pernah menegurnya?” tanya San Ali ingin
tahu.

“Sudah berulang-ulang aku menegurnya.” Syaikh Abul Mahjuubin


menarik napas berat, “Namun, anak itu tidak pernah patuh akan
nasihat aku.”

“Tuan tidak pernah bertindak kasar untuk mencegahnya berbuat


maksiat?”

“Itulah kesulitan aku,” Syaikh Abul Mahjuubin menunduk. “Sejak


kecil, dia anak yang aku sayang. Saat aku menderita dalam
kemelaratan, dia ikut menghirup penderitaan. Saat aku dan istri
hidup di gubuk beratap ijuk yang bocor, dia tidur kedinginan tanpa
selimut kecuali sarung yang aku bebatkan ke tubuhnya. Rangkaian
kisah sedih pada masa lalu yang aku alami bersama dia itulah yang

156
membuat aku selalu merasa iba dan kasihan terhadap dia. Saat
dia sakit demam aku berikrar bahwa andaikan dia sembuh maka
segala keinginannya akan aku penuhi.”

Syaikh Abul Mahjuubin melanjutkan kisahnya. “Ikrar aku itulah


yang sering dia jadikan senjata untuk memukul balik aku. Dia selalu
mengatakan, sesuai ikrar aku dulu, bahwa aku hendaknya
mengikuti keinginannya untuk berjudi. Dia mengatakan bahwa di
dunia ini dia tidak ingin sesuatu yang berlebihan, istana, istri cantik,
rumah mewah, perhiasan emas dan permata, kebun yang luas,
atau kuda tunggangan yang mahal. Dia mengaku keinginannya
sangat sederhana: berjudi.”

Berangkat dari peristiwa Abul Maisir, dengan cermat dan penuh


kehati-hatian San Ali mulai mengamati perilaku anak sulung Syaikh
Abul Mahjuubin dan teman-temannya sesama penjudi. Ia terutama
memperhatikan sifat-sifat mereka. Apa sebenarnya yang
mendorong orang-orang seperti Abul Maisir sampai lupa daratan
jika sudah berjudi?

Melalui perenungan mendalam, San Ali beroleh hikmah kenapa


syari’at melarang perbuatan judi. Karena, perbuatan itu ternyata
mengarahkan dan membiasakan manusia untuk berwatak egois
dan mau menang sendiri. Contoh sederhana, para penjudi pada
dasarnya tidak memiliki sahabat dan saudara. Bayangkan,
meskipun berkawan karib, jika sudah berada di dalam arena judi
wajib dikalahkan dan dirampas miliknya. Watak penjudi jelas watak
157
eksploitatif yang merugikan dan mengakibatkan
ketidakseimbangan kehidupan bermasyarakat. Dan yang paling
pokok adalah penjudi cenderung melupakan Tuhan karena dari
waktu ke waktu yang diingat hanyalah kemenangan dan
bagaimana cara mengalahkan lawan.

Ada sebuah peristiwa yang melukai jiwa San Ali, setidaknya yang
berkenaan dengan kisah pedih para penjudi. Suatu saat, ia
mendapati seorang saudagar Cina bernama Sian Coa, kawan judi
Abul Maisir, tega menggadaikan istrinya gara-gara kalah berjudi.
Betapa bodoh Sian Coa. Sudah seluruh miliknya ludes, istrinya pun
tergadai. Bagi San Ali, kasus Sian Coa benar-benar kebodohan
yang tak bisa diampuni. Sementara di kalangan kuli pelabuhan,
beberapa kali terjadi perkelahian yang berakhir dengan
pembunuhan. Bahkan yang sering terjadi, para kuli pelabuhan itu
tertangkap mencuri uang gara-gara tak kuat menahan hasrat untuk
berjudi.

Lain Abul Maisir lain pula Abul Khamrun, anak kedua Syaikh Abul
Mahjuubin. Beda dengan kakaknya, Abul Khamrun gemar sekali
mabuk-mabukan. Namun, perbedaan itu hanya pada tingkat
kegemaran. Intinya keduanya adalah benalu. Karena, Abul
Khamrun pun suka meminta uang kepada para pengelola kedai
ayahnya. Lebih parah lagi, dia sering mengganggu orang lain jika
sedang mabuk. Abul Khamrun dikenal sebagai pemabuk yang
suka berkelahi.

158
Anak kedua Syaikh Abul Mahjuubin itu juga terseret melakukan
perzinaan ke rumah-rumah pelacuran. Jika sudah mabuk dia
melupakan anak-anak dan istrinya. Pekerjaan sehari-hari dia
abaikan. Satu-satunya pekerjaan rutin Abul Khamrun adalah
menunggu datangnya sore hari, ketika orang usai bekerja. Saat
itulah, dia bersama-sama kawan-kawannya menikmati minuman
keras di lepau tuak; sambil bernyanyi, tertawa-tawa, menari-nari,
menantang-nantang, memaki-maki, dan sering berujung dengan
perkelahian antara sesama pemabuk.

Di antara anak-anak Syaikh Abul Mahjuubin, yang paling


menjengkelkan San Ali adalah Abul Kadzib, si bungsu. Hari-hari
dari kehidupan Abul Kadzib dilalui dengan pekerjaan utama
sebagai penipu ulung. Entah belajar dari mana Abul Kadzib ini
sehingga dia sangat pandai bermanis tutur dan kata, sopan santun,
ramah tamah, dan penuh janji indah sehingga setiap orang yang
diajaknya berbicara selalu mempercayainya. Dan ujung dari
perilaku Abul Kadzib adalah sumpah serapah dari orang-orang
yang menjadi korban tipuannya.

Beberapa kali San Ali menyaksikan Abul Kadzib terpojok karena


kepergok dengan orang-orang yang pernah ditipunya. Namun,
sungguh ajaib, dengan tutur kata yang begitu santun dan penuh
janji-janji, dia berhasil meloloskan diri. Bahkan San Ali sempat
mengingatkan orang-orang yang pernah ditipu Abul Kadzib agar
tidak mempercayai lagi omongannya. Anehnya, orang-orang yang
sudah pernah tertipu itu masih juga percaya pada janji-janji Abul
Kadzib dan mereka tertipu lagi.
159
Setelah mengamati dengan cermat, San Ali merasa sangat heran
ketika mengetahui kehidupan nyata Abul Kadzib. Bayangkan, Abul
Kadzib bukanlah penjudi dan pemabuk. Dia adalah penipu yang
tiap saat berhasil mengeruk keuntungan. Anehnya, uang yang
diperolehnya dari menipu itu ternyata selalu ludes tanpa sisa.

Setelah diamati lebih dalam, San Ali beroleh penjelasan bahwa


Abul Kadzib ternyata sering mengeluarkan uang untuk membiayai
anak-anak, istri, atau mertuanya yang sakit. Dia juga sering
menyuap petugas yang menangkapnya. Bahkan yang
mengherankan, karena susah diterima akal, Abul Kadzib yang
kampiun menipu itu sering kehilangan uang karena dicuri,
dirampok, dan bahkan ditipu orang.

Uang yang dikumpulkan anak ketiga Syaikh Abul Mahjuubin itu


banyak dikeluarkan untuk membeli barang-barang mewah. Hampir
tiap pekan Abul Kadzib selalu membeli pakaian bersulam benang
emas dan berhias manik-manik. Tidak itu saja, dia melengkapi
dirinya dengan keris-keris bergagang emas dengan bertahtakan
intan dan permata. Cincin-cincin yang dikenakannya selalu dihiasi
permata yang langka.

Bagi yang belum kenal dekat dengan Abul Kadzib, selalu muncul
kesan bahwa anak bungsu Syaikh Abul Mahjuubin itu adalah salah
seorang pangeran di antara putera-putera sultan. Kesan itu timbul
karena penampilannya memang selalu mewah dan mengesankan
gerak-gerik kebangsawanan. Namun, bagi yang sudah kenal dekat
160
apalagi sudah pernah ditipu, tentu akan segera mafhum. Dia
berpenampilan seperti itu untuk menipu calon korbannya.

Semakin dalam San Ali mempelajari perikehidupan manusia yang


dikenalnya, terutama keluarga Syaikh Abul Mahjuubin, ia semakin
dapat membaca dan memahami sifat dan kecenderungan-
kecenderungan manusia yang berpangkal dari dorongan nafsu
lawwammah, su’iyyah, dan ammarrah yang tak terkendali.
Maksudnya, dalam memandang contoh perilaku keluarga Syaikh
Mahjuubin, ia tidak lagi sebagai perilaku individu, tetapi sebagai
sebuah kemestian dari sifat dan perbuatan manusia akibat
dorongan ketiga nafsu buruk yang tak terkendali.
Dengan kecerdasan pikiran dan ketajaman mata hatinya, ia
menangkap bagaimana citra diri manusia-manusia yang hidupnya
dikendalikan oleh ketiga nafsu: lawwammah, su’iyyah, dan
ammarrah, melahirkan sifat-sifat buruk, seperti takabbur, kibr, ujub,
riya’, ghadhab, tafakhkhur, bukhl, hubbul mal, ghibah, dan
namimah; yang berujung pada munculnya perselisihan.

Dengan pemahaman seperti itu, ia menyimpulkan betapa


andaikata Allah tidak menurunkan syari’at agama ke permukaan
bumi niscaya kehancuranlah yang akan menimpa manusia. Sebab,
sifat-sifat yang muncul dari ketiga nafsu itu bermuara kebinasaan.
Masing-masing ingin menguasai yang lain. Dan dalam keadaan
tercekam oleh pengaruh nafsu tersebut maka kesadaran manusia
akan terhijab dari cahaya kebenaran. Maksudnya, semakin kuat

161
seseorang hidup dalam lingkaran nafsu maka akan semakin tebal
dinding hijab yang menutupinya dari cahaya kebenaran.

Bagi San Ali, persoalan sifat dan perbuatan manusia yang


terkungkung oleh kuatnya hawa nafsu itu hanya bagian dari
persoalan yang lebih besar, yakni tentang takdir Ilahi yang
berkaitan dengan orang-orang beruntung yang bakal menjadi
penghuni surga dan orang-orang sial yang akan menghuni neraka.
Kenapa Allah membagi manusia beruntung dan manusia sial?
Betapa kasihannya orang-orang yang ditakdirkan bernasib sial?

San Ali berkenalan dengan seorang saudagar muda bernama


Datuk Musa, yang tidak lain dan tidak bukan adalah putera Syaikh
Datuk Ahmad. Sedang Syaikh Datuk Ahmad kakak kandung
Syaikh Datuk Sholeh, ayah kandung San Ali. Allah Maha Mengatur.
Dan bermula dari pertemuan dengan Syaikh Datuk Ahmad inilah,
ia mengetahui dengan agak jelas garis keturunan leluhurnya.

Dari penjelasan Datuk Musa, tahulah ia bahwa baik Syaikh Datuk


Sholeh maupun Syaikh Datuk Ahmad tidak disukai penguasa.
Mereka hidup dalam keprihatinan karena segala gerak-geriknya
diawasi oleh kaki tangan penguasa.

Syaikh Datuk Ahmad mencari nafkah dengan membuka kedai kecil


yang cukup untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Sore hari,
lanjut Datuk Musa, ayahandanya hanya diperbolehkan mengajar
162
anak-anak mengaji Al-Qur’an. Tidak satu pun orang dewasa
diperbolehkan menimba ilmu kepada Syaikh Datuk Ahmad karena
dikhawatirkan akan menggalang kekuatan antipemerintah.

Cerita Datuk Musa itu tentu saja dapat dipahami San Ali.
Sepengetahuannya, ayahanda dan guru agungnya sampai tinggal
di negeri Caruban pun pada dasarnya karena sultan keturunan
Tamil yang berkuasa saat itu mengancam hidup mereka. Jadi,
cerita Datuk Musa tentang keprihatinan hidup keluarga
ayahandanya merupakan hal yang wajar bagi dirinya. Apa pun
keadaannya, ia sangat ingin menemui Syaikh Datuk Ahmad.

Akhirnya, pada suatu malam, dengan penuh kehati-hatian San Ali


diantar Datuk Musa menjumpai Syaikh Datuk Ahmad yang tinggal
di sebuah rumah sederhana di pinggiran bandar Muar. Di depan
rumah itu ada kedai kecil. Agak ke samping kiri ada surau untuk
anak-anak mengaji. Meski hidup dalam kesederhanaan, tampak
sekali kesan bahwa Syaikh Datuk Ahmad adalah orang yang
disegani. Ada pancaran wibawa dari rumah sederhana yang
dihuninya. Seekor harimau, begitu pikir San Ali, tetaplah harimau
meski dimasukkan ke kandang kambing.

Pertemuan antara San Ali dan Syaikh Datuk Ahmad berlangsung


dengan penuh rasa haru. Syaikh Datuk Ahmad dengan bercucuran
air mata memeluk tubuh San Ali erat-erat seolah-olah tak ingin
melepasnya. San Ali merasakan sesak memenuhi dadanya. Ia
dekap tubuh renta kakak kandung ayahanda yang tak pernah ia
163
ketahui wajahnya itu. Ia membayangkan Syaikh Datuk Ahmad
adalah ayahandanya yang ia rindukan selama bertahun-tahun.

“Sudah sebulan ini,” kata Syaikh Datuk Ahmad terisak, “aku selalu
bermimpi didatangi si Sholeh. Tidak tahunya awak sudah sampai
kemari. Meski Sholeh sudah meninggal, awak adalah bagian dari
jiwanya yang tetap hidup. Awak harus bisa meneruskan
perjuangan keluarga kita di dalam menegakkan kebenaran di muka
bumi. Awak adalah harapan keluarga besar kita. Aku berharap
moga-moga awak memiliki semangat juang seperti si Sholeh yang
tak mau tunduk kepada siapa pun dalam menegakkan kebenaran
Ilahi.”

“Guru agung saya, Syaikh Datuk Kahfi,” sahut San Ali, “Selalu
menanamkan itu kepada saya. Beliau selalu menekankan bahwa
di setiap kesempatan apa pun saya harus tetap berjuang
membawa kebenaran. Di setiap keadaan saya harus bisa menjadi
cahaya penerang bagi mereka yang kegelapan. Dan beliau selalu
berwasiat agar saya tak kenal menyerah menghadapi tantangan
seberat apa pun.”

“Ah . . . ah, aku tidak menyangka jika anak aku, si Kahfi, berhasil
menjadi orang besar di rantau,” kata Syaikh Datuk Ahmad
mengusap air mata. “Alhamdulillah, Ya Allah, Engkau angkat
derajat kami melalui anak kami. Alhamdulillah, Ya Allah!”

164
“Uwak,” tanya San Ali dengan kening berkerut, “benarkah Syaikh
Datuk Kahfi adalah putera Uwak?”

“Ya, dia, si Kahfi, anak sulungku,” sahut Syaikh Datuk Ahmad


masih bercucuran air mata. “Dia kakak si Bayan dan si Musa. Si
Bayan sekarang tinggal di Makah. Sudah dua puluh tahun lebih ia
di sana. Menurut berita, ia menjadi guru dan disebut orang dengan
nama Syaikh Datuk Bayanullah. Sedang si Kahfi, aku tak mengira
kalau dia juga jadi guru.”

“Jadi,” gumam San Ali bingung, “Syaikh Datuk Kahfi adalah


saudara sepupu saya? Kenapa selama ini beliau mengaku adik
sepupu ayahandaku?”

“Si Kahfi selalu punya alasan jika melakukan sesuatu hal,” Syaikh
Datuk Ahmad menarik napas berat. “Bisa saja dia mengatakan itu
karena tahu engkau dilahirkan dalam keadaan yatim dan kemudian
piatu. Sehingga, sebagai satu-satu keluarga, si Kahfi ingin
mendudukkan dirinya sebagai pengganti orang tuamu. Sebab, bagi
seorang anak yatim dan piatu, kawan sebaya mudah dicari, namun
yang bersikap seperti orang tua sangat sulit didapat.

Dari beberapa surat yang dia kirim tidak pernah berkisah kalau dia
sudah menjadi orang besar di negeri orang. Dia selalu bercerita
kehidupannya dilindungi Allah. Rupanya, anak itu tidak ingin

165
keluarganya di sini mendapat masalah besar jika tahu salah
seorang di antara kami ada yang jadi orang besar di rantau.”

San Ali termangu-mangu mendengar penuturan Syaikh Datuk


Ahmad. Gambaran-gambaran kasih sayang guru agungnya, yang
bagai seorang bapak, berkelebat memasuki benaknya. Saat itu
juga ia sadar, betapa bijaksana dan arif guru agungnya itu. Betapa
dalam pemahaman guru agungnya atas jiwa manusia. Dan hal
yang tak pernah diduganya adalah Syaikh Datuk Kahfi memiliki
saudara kandung yang mengajar ilmu agama di Makah. Ini berarti,
pikirnya, di dalam darahnya mengalir darah para ulama agung
penyebar ajaran Rasulallah Saw.

Menyadari dirinya memiliki darah ulama, San Ali langsung


bertanya tentang asal usul leluhurnya, “Apakah para leluhur kita
adalah ulama besar? Siapa sajakah para leluhur kita itu, o Uwak
Yang Mulia?”

Syaikh Datuk Ahmad terdiam beberapa jenak. Sesudah itu dia


menjelaskan, “Ayahanda aku bernama Syaikh Datuk Isa. Dialah
yang pertama tinggal di negeri Malaka ini. Kakekku bernama Amir
Ahmadsyah Jalaluddin. Dia adalah Kepala Negeri Surat, Gujarat.
Beliau menggantikan kedudukan ayahandanya, Amir Abdullah
Khanuddin. Sedang ayahanda Amir Abdullah Khanuddin adalah
Syaikh Sayyid Abdul Malik al-Qozam, beliau adalah ulama besar
di Surat. Ayahanda Syaikh Sayyid Abdul Malik adalah Sayyid
Alawi. Sayyid Alawi merupakan putera Sayyid Muhammad
166
Shohibul Marbath. Sayyid Muhammad Shohibul Marbath putera
Sayyid Ali Khaliq al-Qozam. Sayyid Ali Khaliq al-Qozam putera
Sayyid Alawi Amir al-Faqih. Sayyid Alawi al-Faqih putera Sayyid
Muhammad. Sayyid Muhammad adalah putera Sayyid Alawi. Dan
Sayyid Alawi merupakan putera Sayyid Ubaidillah bin Sayyid
Ahmad al-Muhajir.”

“Siapakah ayahanda dari neneknda Sayyid Ahmad al-Muhajir?”


tanya San Ali.

“Ayah aku tidak jelas menyebutkan nama ayahanda Sayyid Ahmad


al-Muhajir. Beliau hanya menyatakan bahwa leluhur kami adalah
para ulama Alawiyyin keturunan Sayyidina Husein. Menurut ayah
aku, sejak masa Sayyid Ahmad al-Muhajir itulah keturunan
Sayyidina Husein bertebaran di bumi Allah menyiarkan api
kebenaran Agama Rasulallah. Leluhur kita yang awal sekali
menyiarkan Agama Rasulallah Saw. di negeri Gujarat adalah
Sayyid Ubaidillah, putera Sayyid Ahmad al-Muhajir. Jadi, di dalam
darah kita sesungguhnya mengalir darah para sayyid keturunan
Sayyidina Husein bin Ali bin Abu Thalib.”
Ketika San Ali terperangkap ke dalam perenungan, tiba-tiba Syaikh
Datuk Ahmad memecah keheningan dengan bertanya, “Anak aku,
bolehkah Uwak bertanya sesuatu kepada engkau?”

“Gerangan apakah yang akan Uwak tanyakan?”

167
“Anak aku, kenapa awak sekarang ini justru menjadi saudagar
kaya? Kenapa awak bukannya menjadi seorang guru agama
seperti leluhur-leluhur awak?”

San Ali menjelaskan ihwal perjalanan ruhaninya mencari


kesejatian ‘Aku’ yang akhirnya membawanya kepada Syaikh Abul
Mahjuubin. “Semula saya berpikir hal itu sangat tidak sesuai
dengan tujuan saya. Namun, saya terima juga peran itu hingga
salah satu hikmahnya adalah pertemuan di antara kita ini, Uwak.
Menjadi saudagar bukanlah kehendak saya pribadi, melainkan
hanya sebagai salah satu bagian dari perjalanan panjang saya
mencari ‘Aku’. Jadi, Uwak, jika saya merasa telah tiba saat saya
harus mengakhiri kehidupan sebagai saudagar, tidak pelak lagi
akan segera saya tinggalkan semua. Ini bukanlah jalan saya yang
sebenarnya, Uwak.”

Syaikh Datuk Ahmad tersenyum dengan air mata terus


bercucuran. Dia benar-benar bangga bahwa di antara keluarganya
bakal muncul cahaya baru pembawa tugas mulia yang akan
menerangi kehidupan umat manusia. Dia bangga, meski
kebesaran nama keluarganya hanya dicapai di negeri yang jauh.
Syaikh Datuk Ahmad sadar anak-anak kandungnya sendiri
tidakklah mungkin mengembangkan diri di bidang dakwah agama
di negeri Malaka ini. Pemerintah sudah terlanjur mencurigai
keluarganya. Sejak Sultan Muzzafar Syah berkuasa hingga Sultan
Mansyur Syah, kebijakan mencurigai keluarganya tak pernah
berubah. Dan akibatnya, Datuk Musa, anaknya, yang sebenarnya
berilmu agama luas, harus hidup sebagai saudagar. Lantaran itu,
168
Datuk Musa tidak berhak menggunakan gelar kebesaran Syaikh
Datuk, ia hanya bisa menyandang gelar Datuk saja.

“Anak saudara aku,” kata Syaikh Datuk Ahmad, “sebenarnya


keluarga kita sangat banyak, tetapi kita tidak tahu di mana mereka
sekarang berada. Menurut ayah aku, beliau memiliki saudara tiga
orang, yaitu Syaikh Sayyid Jamaluddin Husein, Syaikh Sayyid
Malik Ibrahim, dan Syaikh Datuk Imam Wardah. Syaikh Sayyid
Jamaluddin Husein, menurut ayah aku, tinggal di Samarkand dan
menjadi guru agung di sana. Syaikh Sayyid Malik Ibrahim menjadi
guru agung di Jawa. Sedang Syaikh Datuk Imam Wardah menjadi
imam bagi jama’ah Muslim di negeri Kedah. Gelaran Syaikh Datuk
bagi ayah aku dan saudaranya, Imam Wardah, didapat dari Sultan
Pasai, yakni Sultan Zainal Abidin Bahiyan Syah, dan kemudian
dikukuhkan lagi oleh Sultan Malaka, yaitu Sultan Megat Iskandar
Syah.”

“Berarti kita masih punya keluarga di Samarkand, Kedah, dan


Jawa?”

“Yang di Kedah sudah tidak ada,” kata Syaikh Datuk Ahmad.


“Sebab, paman aku itu ketika wafat tidak memiliki keturunan.
Beliau dimakamkan di Pasai. Sedang yang di Samarkand dan
Jawa dikabarkan menjadi ulama besar. Salah satu putera Syaikh
Sayyid Jamaluddin Husein yang bernama Sayyid Ibrahim, kata
ayah aku, pernah tinggal di Gujarat dan bertemu dengan ayah aku
di sana. Sayyid Ibrahim ingin ke Kedah dan Jawa untuk menemui
169
paman-pamannya. Tetapi, sesudah itu ayah aku tidak pernah lagi
terdengar berita.”

Mendengar uraian uwaknya, San Ali merasakan daya hidup


memancar dari kedalaman jiwanya. Ia seperti menemukan harta
karun tak ternilai. Harta karun itu adalah keluarga. Ia ternyata tidak
sebatangkara, tanpa sanak dan keluarga. Dan yang paling
menggembirakan, keluarganya lahir dari lingkungan sayyid
keturunan Sayyidina Husein, cucu Rasulallah Saw.

“Anak saudara aku,” kata Syaikh Datuk Ahmad dengan tangan


gemetar memegangi kedua bahu San Ali, “sekarang harapan aku
dan harapan seluruh keluarga kita hanya ditujukan kepada awak,
maka sejak saat ini awak harus menggunakan gelar kebesaran
keluarga kita. Awak akan aku beri nama baru dengan gelar
kebesaran keluarga kita. Apakah awak bersedia?”

“Apa pun yang Uwak berikan akan saya terima,” kata San Ali
memegangi kedua tangan Syaikh Datuk Ahmad. “Hanya doa,
berkah, dan restu dari Uwak yang selalu saya harapkan. Semoga
saya kuasa menjalankan pesan-pesan dan amanat keluarga kita.”
“Ingat-ingatlah, o Anak Saudara aku,” kata Syaikh Datuk Ahmad
bersemangat, “sejak kini awak akan disebut orang dengan nama
Datuk Abdul Jalil. Jika awak nanti menjadi guru agama yang arif
dan bijak, awak berhak menggunakan gelaran nama Syaikh Datuk
Abdul Jalil. Semoga Allah senantiasa merahmati awak. Semoga

170
awak bisa mencapai cita-cita awak dan senantiasa menjadi hamba
dari Robbul Jalil yang sejati.”

“Amin!”

Nama baru itu tanpa diduga membawa perubahan besar pada


kehidupan San Ali. Gerak-geriknya mulai diamati oleh para
pembantunya yang mendapat tugas khusus dari Syaikh Abul
Mahjuubin. Beberapa pejabat kerajaan rupanya telah memberi
tahu Syaikh Abul Mahjuubin tentang kemunculan keluarga Syaikh
Datuk Sholeh dalam wujud Datuk Abdul Jalil, yakni saudagar
kepercayaannya yang mengenalkan diri dengan nama San Ali.

Syaikh Abul Mahjuubin menyadari benar bahaya yang bakal


dialaminya jika terus memiliki kaitan dengan Datuk Abdul Jalil. Dia
lantas mencari jalan agar saudagar kepercayaannya itu terlepas
sama sekali dari lingkaran kehidupannya. Meski perniagaannya
maju pesat dan untung berlimpah, dia tetap mengutamakan
keselamatan diri dan keluarganya. Apa pun yang terjadi, San Ali
alias Datuk Abdul Jalil harus terpisah dari kehidupannya, begitu
pikir Syaikh Abul Mahjuubin.

Setelah berpikir keras, akhirnya dia menemukan titik lemah Abdul


Jalil, yakni kebiasaannya membelanjakan uang keuntungan usaha.
Abdul Jalil selalu menyisihkan separo dari keuntungan yang

171
diperolehnya untuk dibagi-bagikan kepada para kuli atau
gelandangan yang berkeliaran di pelabuhan.

Kegemaran Abdul Jalil itu oleh Abul Mahjuubin dijadikan alasan


untuk marah besar. Satu pagi, dengan lagak bersungut-sungut, dia
mendamprat Abdul Jalil. Dia menilai Abdul Jalil telah melakukan
kemubaziran dengan membuang-buang uang tanpa guna dan
manfaat.

Abdul Jalil yang sejak awal tidak sedikit pun tertarik menjadi
saudagar, dengan tenang menjawab semua dampratan Abul
Mahjuubin sambil tertawa. “Tuan Guru tak perlu marah! Karena,
saya tidak merugikan Tuan dengan apa yang telah saya lakukan
ini. Apa yang sudah saya lakukan itu adalah tuntutan agama kita.”

“Bagaimana awak bisa bilang tak merugikan? Bagaimana awak


bilang perbuatan mubazir itu tuntutan agama kita?” kata Abul
Mahjuubin dengan wajah memerah. “Berapa besar wang yang
sudah awak hamburkan? Tidakkah awak pernah menghitungnya?”

“Bukankah itu hanya separo dari keuntungan?” Abdul Jalil


mengerutkan kening, “Bukankah Tuan Guru tidak rugi apa-apa?”

“Tapi andaikata tidak awak ambil separo, keuntungan itu kan masih
utuh? Apakah awak tidak merasa aneh dengan tindakan membagi-
172
bagi wang itu? Tanyakan kepada seluruh saudagar di Malaka dan
di seluruh dunia, adakah mereka yang berbuat seperti awak?” Abul
Mahjuubin marah sambil mengertak gigi.

“Tuan Guru,” kata Abdul Jalil tertawa dengan nada mengejek,


“apakah Tuan menghendaki saya sebagai orang upahan? Berapa
Tuan membayar upah saya? Maksud saya, jika Tuan Guru tidak
berkenan dengan apa yang telah saya lakukan maka anggaplah
bahwa uang yang saya bagi-bagikan itu sebagai upah saya. Hak
saya.”

“Awak adalah murid aku,” sergah Abul Mahjuubin. “Awak aku


jadikan saudagar bukanlah sebagai pegawai aku, melainkan
sebagai murid aku. Awak aku latih sekaligus aku uji; apakah hati
awak terpaut dengan kekayaan duniawi atau tidak. Jadi, awak
jangan berbicara tentang upah.”

“Apakah Tuan Guru menganggap saya sebagai budak?” tanya


Abdul Jalil tegas.

“Aku tidak pernah menilai begitu. Itu adalah anggapan awak sendiri
yang tidak memahami bagaimana maksud aku sebenarnya,” kata
Abul Mahjuubin datar.

173
“Tuan Guru,” sergah Abdul Jalil dengan wajah mengeras, “Tuan
telah melihat sendiri bahwa sampai sejauh ini hati saya tetap tidak
terpaut dengan harta benda duniawi. Bahkan Tuan Guru tahu
bahwa uang dari kedai ini lebih banyak dihamburkan oleh Abul
Maisir, Abul Khamrun, dan Abul Kadzib, anak-anak Tuan Guru
terkasih daripada oleh saya. Sebab itu, o Tuan Guru, izinkanlah
saya meninggalkan pekerjaan ini. Terbukti sudah bahwa hati dan
pikiran saya tetap tidak terpengaruh bisikan duniawi sampai kapan
pun saya bekerja sebagai saudagar.”

“Tetapi bukankah dengan tetap menjadi saudagar, awak dapat


terus mempertahankan kebersihan hati dan pikiran awak dari
bisikan duniawi?” Abul Mahjuubin mencoba memancing.

“Tuan Guru,” kata Abdul Jalil mendesah, “jika sebongkah batu


hitam ditetesi setitik air terus-menerus maka satu saat batu itu akan
berlubang. Begitu juga jika saya menggeluti pekerjaan sebagai
saudagar, satu saat kelak hati dan pikiran saya akan berhasil
dilubangi oleh setan yang bakal menjerumuskan saya ke jurang
kecintaan duniawi. Bagaimana mungkin saya bisa menemukan
‘Aku’ jika setiap hari yang saya kerjakan hanya menghitung ‘aku’
demi ‘aku’ kerdil, yaitu benda-benda duniawi yang ditutupi hijab
berlapis-lapis dari ‘Aku’ sejati?”

Akhirnya, Abul Mahjuubin dengan berpura-pura berat hati melepas


kepergian Abdul Jalil. Dia merasa ada kekosongan
bersimaharajalela di dadanya. Dia merasa pedih menyaksikan
174
tekad Abdul Jalil yang begitu kokoh menghadapi berbagai ujian
berat. Andaikata dia yang harus mengalami nasib serupa:
mengelola kedai perniagaan selama hampir tiga tahun dan saat
mendapat untung besar kedai itu harus ditinggalkan begitu saja
tanpa membawa apa-apa; tentu dia merasa berat hati.

Lepas dari kelegaan akibat hidupnya terbebas dari Abdul Jalil yang
dicurigai penguasa, Syaikh Abul Mahjuubin merasakan betapa
jauh di dalam relung-relung jiwanya dia memendam seberkas
penyesalan atas jalan hidupnya yang penuh liku-liku kesulitan;
melintasi samudera, gunung, lembah, jurang, dan ngarai bendawi
yang tak bertepi. Dia sadar bahwa keberadaann ‘aku’ dirinya sudah
terhijab oleh berlapis-lapis tirai bendari dari ‘Aku’. Dia sadar,
lantaran keterhijaban itu maka ketiga anaknya terperosok ke dalam
lingkaran kemaksiatan yang bakal membawanya ke tungku
neraka.

Sebagai guru ruhani, Syaikh Abul Mahjuubin sebenarnya


mengetahui bahwa kehidupannya yang dilingkari kemewahan
duniawi adalah kehidupan yang jauh dari kebenaran Ilahi. Dia
sadar telah terjebak dalam lingkaran kemunafikan, yakni berkata-
kata dengan nasihat dan fatwa-fatwa agama, tetapi pada
kenyataannya malah melanggar segala yang ditetapkan agama.
Ketika mulutnya berkata tentang cinta dan ketaatan kepada Allah
maka hati dan perbuatannya menunjukkan cinta dan ketaatan
kepada selain Allah. Bahkan anak-anak yang diharapkannya
saleh, ternyata menjadi ahli maksiat. “Tetapi, bukankah segala apa

175
yang aku jalani sekarang ini adalah kehendak-Nya juga?”
gumamnya menghibur diri.

176
Hijab-Hijab

Perjuangan mencari Allah adalah perjuangan


mahadahsyat yang hanya mungkin dilakukan
oleh pejuang-pejuang tangguh yang tak kenal
kata menyerah. Dikatakan perjuangan
mahadahsyat karena Allah bukanlah Tuhan
statis yang membiarkan diri-Nya gampang
ditemukan. Allah senantiasa membentangkan hijab berlapis-lapis
dan berbagai halang rintang untuk menyelubungi keberadaan diri-
Nya. Sekalipun para pencari-Nya mengetahui bahwa Dia adalah
Inti segala sesuatu dari ciptaan-Nya, baik yang bisa ditangkap
pancaindera maupun yang gaib, untuk menemukannya bukanlah
persoalan sederhana.

Abdul Jalil pun tetap menghadapi misteri tak terpecahkan tentang


Dia. Walaupun telah mengalami pahit dan getir perjalanan hingga
terdampar di Malaka, ia sejauh ini hanya mampu menangkap
tengara keberadaan hijab-hijab yang tak diketahui batas akhirnya.
Bahkan hijab-hijab itu pun baru disadarinya ada setelah ia
melampaui berbagai pengalaman ruhani. Setiap kali hijab gaib itu
tersingkap; ia merasa beroleh pencerahan baru. Bagai ular yang
keluar dari kelongsongnya.

Seingatnya, kesadaran tentang misteri hijab-hijab itu terjadi setelah


ia mengenal Ario Abdillah. Sekalipun tidak lebih dari tujuh bulan,
Ario Abdillah telah mengenalkan ungkapan-ungkapan sekaligus
177
bukti-bukti tentang hijab-hijab misterius yang menyelubungi
rahasia Ilahi. Melalui perenungan mendalam ia akhirnya mampu
menangkap keberadaan rahasia hijab ilahi itu dalam ungkapan
metaforik, yakni dengan iktibar; tujuh samudera, tujuh gunung,
tujuh lembah, tujuh jurang, tujuh gurun, tujuh rimba, dan tujuh
benteng.

Sekalipun terdengar begitu dahsyat dan secara akal sulit dilampaui


manusia, ungkapan itu lebih ditujukan pada gambaran suasana
ruhaniah diri manusia; sehingga ungkapan itu tidak perlu direnung-
renungkan, dipikir, serta dikaji dengan nalar. Maksudnya,
ungkapan metaforik tentang tujuh samudera, tujuh gunung, tujuh
lembah, tujuh jurang, tujuh gurun, tujuh rimba, dan tujuh benteng
itu adalah gambaran dari citra diri yang bersifat ruhani. Dengan
demikian, perjuangan menyingkap hijab-hijab itu bukanlah dalam
makna harfiah. Ungkapan menyeberangi tujuh samudera,
misalnya, bukanlah menyeberangi samudera dalam makna
kongkret, melainkan melintasi tujuh samudera ruhani yang ada di
dalam diri manusia.

Ia menyadari bahwa perjuangan terberat dalam upaya mencari-


Nya adalah melintasi samudera, gunung, lembah, jurang, gurun,
rimba, dan benteng yang ada di dalam diri sendiri. Karena,
sesungguhnya itulah lapisan hijab-hijab yang menyelubungi Dia.
Bertolak dari pengalaman ruhani dan perenungan yang telah
dilakukannya, ia memahami benar sabda Nabi Muhammad Saw
kepada para sahabat ketika kembali dari Perang Badar “Kita baru

178
kembali dari perang kecil untuk menuju perang besar, yakni perang
melawan nafsu.”
Berbagai pengalaman pahit dan getir yang ia lampaui telah
mengajarkannya bahwa melawan kehendak nafsu adalah
perjuangan paling dahsyat, baik yang ia lihat pada orang-orang
yang pernah dikenalnya maupun pada dirinya sendiri. Orang-orang
seperti Syaikh Abul Mahjuubin dan anak-anaknya, misalnya,
adalah gambaran dari hidup terkucil di pulau keakuan yang
gersang tanpa mata air dan pepohonan. Mereka adalah gambaran
dari orang-orang yang bukan saja tidak mempunyai keinginan
melintasi, melainkan juga sangat ketakutan ketika mendengar
keberadaan tujuh samudera, tujuh gurun, tujuh gunung, tujuh
lembah, tujuh jurang, tujuh rimba, dan tujuh benteng.

Ia sadar bahwa tidak semua orang berani menanggung akibat dari


usaha melintasi tujuh hijab itu. Namun, sebagai orang yang sudah
bertekad bulat mencari Dia maka tantangan dan rintangan seberat
apa pun akan dilintasinya dengan berbagai resiko, termasuk
kehilangan nyawa.

Menurut pengalamannya, tantangan awal yang paling berat dan


susah adalah melintasi Tujuh Lembah Kasal yang berhawa sejuk,
ditumbuhi rumput hijau, taman-taman bunga, pohon kemenyan
dan gaharu yang menebar wangi, sungai, danau, dan burung
aneka warna yang merdu bernyanyi. Di lembah itu para pencari
lebih suka menenggelamkan diri dalam kemalasan naluri
manusiawinya daripada bersusah-susah beribadah kepada-Nya.

179
Tantangan kedua yang tak kalah dahsyat adalah Tujuh Jurang
Futur yang menganga siap menelan siapa saja yang jatuh ke
dalamnya. Siapa pun yang melihat ke dasar jurang yang seperti
tanpa dasar itu lazimnya akan menjadi lemah pendirian dan runtuh
tekadnya untuk melanjutkan perjalanan. Bagi para pencari yang
masih kuat terpengaruh kehidupan duniawi, Tujuh Jurang Futur itu
sangatlah menakutkan sehingga mereka lebih suka tidak
melanjutkan perjalanan daripada melintasinya dengan resiko tak
pernah kembali. Kebimbangraguan selalu mencekam siapa saja
yang mencari-Nya ketika harus melewati tujuh jurang ini.

Tantangan ketiga yang juga dahsyat dan butuh perjuangan khusus


adalah Tujuh Gurun Malal, berupa hamparan pasir dan bebatuan
yang membosankan. Di tengah perjalanan, para pencari sering
dirayapi rasa bosan. Mereka enggan melanjutkan perjalanan,
padahal tujuannya masih jauh. Tidak sedikit yang kemudian
menggerutu, “Saya sudah berjalan sangat jauh dan mengulang-
ulang ibadah yang itu-itu juga, namun tujuan saya belum tercapai.”

Tantangan keempat yang luar biasa sulit dilampaui adalah Tujuh


Gunung Riya’ yang sering menggelincirkan para pencari yang
berusaha mendakinya. Para pencari yang mendaki Tujuh Gunung
Riya’ dengan puncaknya yang tinggi dan selalu diselimuti awan itu
cenderung memamerkan kemampuan mereka. Di atas puncak
Gunung Riya’, para pencari biasanya lupa pada apa yang mereka
cari. Mereka terjebak pada kebanggaan dan memamerkan
kemampuan, kehebatan, kegagahan, dan keberanian diri sendiri.
Bahkan tak kurang banyak yang terperangkap pada pamrih
180
sehingga tujuan mereka tidak lagi menuju Allah, tetapi ke surga
“yang lain dari Allah”.
Tantangan kelima yang sulit ditembus adalah Tujuh Rimba Sum’ah
yang berisi raungan serigala, auman harimau, kicau burung,
lenguh banteng, dan bunyi batang bambu yang berderak ditiup
angin. Di rimba ini, para pencari sering meniru perilaku hewan yang
gemar memperdengarkan suaranya. Para pencari suka
menceritakan berbagai amaliah ibadah yang mereka lakukan,
dengan tujuan agar orang menyanjung dan memuji mereka.
Bahkan sering terjadi, para pencari benar-benar terperangkap
pada suasana rimba raya sehingga mereka menjelma menjadi
hewan yang suka mengaum, melenguh, melolong, dan berkicau
untuk memamerkan kehebatan dirinya.

Tantangan keenam yang sulit diseberangi adalah Tujuh Samudera


‘Ujub yang bergelombang dahsyat dengan ombak menggemuruh
menerpa pantai dan batu karang. Di samudera ini, para pencari
gampang terpengaruh oleh keberadaan samudera yang bangga
dengan kedahsyatan ombaknya yang kuat dan tinggi mencakar
langit. Di dalam hati mereka muncul kebanggaan dan puja-puji
terhadap diri sendiri karena merasa amalnya telah banyak. Mereka
tak pernah menduga bahwa saat rasa bangga diri bagai samudera
itu mencuat maka yang terjadi adalah makna perjuangan ibadah
mereka hilang, ibarat buih ombak di hamparan pasir pantai.

Tantangan ketujuh yang sulit ditaklukkan adalah Tujuh Benteng


Hajbun yang berdinding tinggi dengan tembok kokoh dihiasi ukiran-

181
ukiran dan hiasan indah. Benteng-benteng itu dihuni oleh warga
yang hidup dalam kemakmuran dan kelimpahan rezeki. Para
pencari yang melintasi tujuh benteng ini biasanya terpesona oleh
keindahan arsitektur dan kemakmuran para penghuninya. Para
pencari yang terpesona ini tak jarang terjebak mengaku bahwa
benteng-benteng itu adalah miliknya dan merekalah yang
membangunnya. Para pencari yang demikian tak menyadari
bahwa saat mereka mengakui keindahan amaliah ibadahnya maka
saat itu pula benteng-benteng itu menjadi pasir yang luruh tertiup
angin.

Walaupun telah melalui berbagai pengalaman, Abdul Jalil belum


berani memberikan penilaian terhadap perjuangannya selama ini
dalam melintasi tujuh samudera, gunung, lembah, jurang, gurun,
rimba, dan benteng yang terhampar di dalam dirinya. Ia merasa
betapa hingga saat ini masih harus bergulat seru untuk
menaklkkan keakuan yang terus membayangi semua gerak
hidupnya, terutama saat bersinggungan dengan orang lain. Ia
masih sering jengkel dan marah kepada diri sendiri karena tanpa
sadar ia acap kali terperosok ke Rimba Sum’ah, yakni
menceritakan segala amaliah ibadah yang telah dilakukannya
dengan secuil maksud agar dirinya dipuji.

Dengan menumpang kapal dagang milik saudagar keturunan


Arab-Melayu bernama Ahmad Mubasyarah at-Tawallud, Abdul Jalil
pergi menuju kota pelabuhan Basrah untuk kemudian melanjutkan
perjalanan ke Baghdad. Menurut pembicaraan sejumlah orang
yang dikenalnya di Malaka, ia beroleh kabar bahwa di Basrah dan
182
Baghdad terdapat banyak ulama masyhur yang memiliki
kedalaman ilmu ruhani, bahkan di antaranya terdapat wali-wali
keramat. Berangkat dari kehausannya akan ilmu-ilmu yang
berkaitan dengan “Jalan Mencari Tuhan” maka ia akhirnya
memutuskan untuk meninggalkan Malaka.
Ahmad Mubasyarah at-Tawallud adalah laki-laki gagah berusia
empat puluh lima tahun. Kulitnya coklat kemerahan. Hidungnya
mancung. Kumisnya lebat. Sekepal janggut dibiarkan
menggantung didagunya. Matanya yang lebar dan bening
mengesankan bahwa dia orang yang polos dan lugas. Keningnya
yang lebar menunjukkan bahwa dia cerdas. Dia selalu tersenyum
kepada siapa saja yang diajaknya berbicara.

Sejak pertama kali berkenalan dengan Abdul Jalil, Ahmad at-


Tawallud sudah menaruh simpati. Dia yang sudah memiliki
pengalaman puluhan tahun sebagai saudagar, menangkap
semacam kepolosan dan kejujuran bahkan kenaifan Abdul Jalil
dalam berniaga. Itu sebabnya, di sela-sela waktu senggangnya
berniaga dia menyempatkan diri berbincang-bincang tentang
berbagai hal dari yang sepele hingga tentang nama yang diberikan
oleh kakeknya (Syaikh Abdul Mubdi al-Baghdady) dengan Abdul
Jalil. Lantaran itu, mereka berdua menjadi akrab.

Dari berbagai perbincangan dan tukar pendapat terutama yang


berkaitan dengan masalah agama, Ahmad at-Tawallud merasa
tertarik dengan pandangan-pandangan Abdul Jalil yang sering
dianggapnya aneh dan sulit dipahami oleh kalangan orang

183
kebanyakan. Namun, dia yakin bahwa Abdul Jalil adalah orang
yang tulus dan pantang menyerah. Itu sebabnya, dia berharap
Abdul Jalil akan beroleh cakrawala baru setibanya di Basrah dan
Baghdad.

Di sepanjang perjalanan, Abdul Jalil berbincang tentang


perniagaan, saudagar-saudagar nakal, pelabuhan-pelabuhan
besar, agama, ulama-ulama besar di Basrah dan Baghdad, bahkan
tentang hal-hal yang bersifat pribadi seperti nama diri. Abdul Jalil
mengaku sejak awal perkenalan ia sudah sangat tertarik dengan
nama Ahmad Mubasyarah at-Tawallud. Nama itu menurutnya
seperti tidak lazim digunakan orang. “Selama ini saya merasa tidak
pantas menanyakan soal nama Tuan. Namun, sekarang saya
beranikan diri karena tidak dapat lagi menahan rasa ingin tahu
saya,” kata Abdul Jalil.

Ahmad at-Tawallud sambil tersenyum menjelaskan bahwa nama


itu pemberian kakeknya, Syaikh Ahmad Tauhid al-Af’al bin Abdul
Mubdi al-Baghdady, yang lazim disebut Syaikh Abdul Mubdi al-
Baghdady. Kakeknya merupakan guru ruhani yang tinggal di
pinggiran kota Baghdad. Sekalipun bukan ulama termasyhur, ia
memiliki cukup banyak pengikut. “Sampai sekarang makam beliau
masih banyak yang menziarahi.”

“Nama beliau Ahmad Tauhid al-Af’al bin Abdul Mubdi al-


Baghdady?” kata Abdul Jalil penasaran. “Aneh juga

184
kedengarannya. Tapi, rasanya nama kakek Tuan berkaitan dengan
nama Tuan.”

“Benarlah apa yang Tuan katakan itu,” kata Ahmad at-Tawallud.


“Nama saya memang berkaitan dengan nama kakek saya.
Sepekan sebelum beliau wafat, saat usia saya empat puluh tahun,
beliau menjelaskan arti nama saya sekaligus kaitannya dengan
nama beliau.”

“Apakah nama Tuan dan nama kakek Tuan berkaitan dengan


pengesaan Allah? Tauhid?”

“Tepat begitu, Tuan Abdul Jalil. Menurut kakek, nama beliau


mengandung makna ‘Keesaan Af’al Allah’. Maksudnya, segala
sesuatu yang terjadi di alam semesta ini pada hakikatnya adalah
Af’al (Perbuatan) Allah. Berbagai hal yang dinilai baik maupun
buruk pada hakikatnya adalah dari Allah. Jadi, keliru dan sesat
pandangan yang mengatakan bahwa yang baik dari Allah dan yang
buruk dari selain Allah,” jelasnya.

“Makna ‘Keesaan Af’al Allah’ pada nama kakek dijabarkan di dalam


namaku, yakni Mubasyarah (terpadu) dan at-Tawallud (terlahir),”
lanjutnya. “Maknanya, Af’al Allah harus dipahami dari dalam dan
dari luar diri. Saat manusia menggoreskan pena, misalnya, di
situlah terjadi perpaduan dua kemampuan kodrati yang
dipancarkan oleh Allah kepada makhluk-Nya, yakni kemampuan
185
kodrati gerak tangan dan kemampuan kodrati gerak pena. Di
situlah berlaku dalil: Wa Allahu kholaqakum wa ma ta’malun, yang
bermakna: Allah yang menciptakan engkau dan segala apa yang
engkau perbuat (QS ash-Shaffat: 96). Inilah makna Mubasyarah.”

“Sedangkan at-Tawallud adalah perbuatan yang terlahir, semisal


saya melempar batu. Batu yang terlempar dari tangan saya itu
adalah berdasar kemampuan kodrati gerak tangan saya. Di situ
berlaku dalil: Wa ma ramaita idz ramaita walakinna Allaha rama,
yang bermakna: Bukanlah engkau yang melempar, melainkan
Allah jua yang melempar ketika engkau melempar (QS al-Anfal:
17). Itulah yang dinamakan at-Tawallud, pada hakikatnya adalah
satu, yakni Af’al Allah SWT,di mana berlaku dalil: La haula wa la
quwwata illa bi Allahi al-‘aliyyi al-‘azhimi. Maknanya, tiada daya dan
kekuatan melainkan daya dan kekuatan Allah Yang Mahatinggi
dan Mahaagung. Rasulallah Saw. dalam sebuah hadits
diriwayatkan bersabda: La tataharraku dzarratun illa bi idzni Allahi,
yang bermakna: Tidak bergerak satu zarah pun melainkan atas izin
Allah.”

“Mendalam sekali nama Tuan dan Kakek Tuan,” kata Abdul Jalil
menarik napas berat. “Kakek Tuan pastilah seorang sufi agung
yang sudah mencapai maqam wahdat al-af’al.”

“Tuan Abdul Jalil, karena saya sudah terlanjur dididik menjadi


saudagar oleh ayah saya maka saya tidak banyak mengetahui
seluk-beluk keilmuan yang didalami kakek saya. Namun, satu hal
186
dari fatwa beliau yang selalu saya jadikan pegangan hidup, yaitu
dalam keadaan apa saja, baik suka maupun duka, saya harus
senantiasa meneguhkan keyakinan bahwa semua itu adalah
perbuatan yang dikehendaki-Nya. Karena itu, saya selalu disuruh
menirukan dia Rasulallah Saw., yakni: Allahumma inni a’udzubika
minka (Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari segala kejahatan
yang datang dari-Mu). Allahumma inni a’udzubika min syarri ma
kholaqta (Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari segala
kejahatan yang Engkau ciptakan). Di sini berlaku dalil: Qul kullun
min ‘indi Allahi. Artinya, katakan hai Muhammad segala-galanya
adalah dari sisi Allah (QS an-Nisa’: 78).”

Perbincangan dengan Ahmad at-Tawallud telah menambah


cakrawala baru bagi pemahaman Abdul Jalil terhadap ‘Keesaan
Af’al Allah. Perasaan dan akal budinya menerima secara utuh
kebenaran yang terungkap dari perbincangan itu, yakni setiap
gerak dari segala peristiwa yang tergelar di alam semesta, baik
yang terlihat maupun yang tidak terlihat, pada hakikatnya adalah
Af’al Allah. Namun, jauh di kedalaman jiwanya masih terlintas
hasrat untuk mengetahui sekaligus merasakan secara nyata
bagaimanakah Af’al Allah berlangsung.

Langit hitam dipenuhi sejuta bintang bertaburan laksana permata


ketika ia duduk di anjungan mendengarkan debur ombak
menghantam lambung kapal dan desau angin menerpa layar. Ia
merenungkan berbagai hal sehubungan dengan perbincangannya
bersama Ahmad at-Tawallud. Bagaikan ular keluar dari kelonsong

187
kulitnya, demikianlah ia mengalami kesadaran baru: menguak
hijab gaib Ilahi dalam kaitan dengan nama-nama.

Entah bagaimana awalnya, tiba-tiba saja ia merasakan kesadaran


baru menyingsing dari cakrawala jiwanya saat merenungkan
keberadaan langit, bintang-gemintang, laut, kapal, layar,
perbincangan dengan Ahmad at-Tawallud, bandar Malaka,
Palembang, Caruban, Pakuan, orang-orang yang dikenalnya, dan
dirinya sendiri. Ia menangkap makna bahwa segala apa yang telah
dilihat dan dikenalnya selama ini pada hakikatnya adalah tidak ada.
Semua yang maujud menjadi ada karena memiliki nama. Dan
nama-nama itu sendiri jika dicari akarnya justru tidak ada. Nama-
nama ada karena disepakati ada.

Tentang negeri Galuh, misalnya. Jika dicari benar di manakah


tempat yang bernama Galuh, pastilah tidak ada. Yang ada
hanyalah kumpulan desa dan kota seperti Caruban,
Pasambangan, Babadan, Giri Amparan Jati, Kawali, Rajagaluh,
Palimanan, Sindang Laut, Tegal Alang-Alang, Gegesik, dan
Talaga. Desa-desa dan kota-kota itu pun jika dicari letak pastinya
juga tidak akan ada. Yang ada hanyalah kumpulan rumah,
bangunan, pasar, dan kedai perniagaan. Begitu juga dengan
rumah, bangunan, pasar, dan kedai sesungguhnya hanya nama
karena yang disebut rumah, bangunan, pasar, dan kedai adalah
kumpulan dari bagian yang disebut pintu, jendela, kusen, atap,
genteng, usuk, dan reng.

188
Ia merenungkan pula tentang keberadaan kapal yang
ditumpanginya. Ternyata, ia tidak menemukan satu pun tempat di
kapal yang bernama “kapal”. Kapal menjadi ada karena ia terdiri
atas bagian-bagian, yakni lambung, geladak, tiang, layar,
anjungan, kemudi, jangkar, dan tali. Layar pun jika direnungkan
ternyata tidak ada. Layar ada karena sebutan. Sejatinya, layar ada
karena terbentuk dari tiang, kain, dan tali-temali. Sedang kain layar
pun hakikatnya tidak ada, yang ada adalah jalinan benang. Benang
pun kalau diurai adalah kumpulan serat.

Ia kemudian merenungkan keberadaan dirinya: seorang manusia


yang disebut dengan nama Abdul Jalil. Di manakah Abdul Jalil
yang sejati bersemayam? Fakta menunjukkan bahwa yang ada
pada tubuh fisiknya tidak ada yang bernama Abdul Jalil. Yang ada
adalah kumpulan dari tangan, kaki, kepala, dada, perut, bahu, dan
pinggang. Kepala pun pada hakikatnya tidak ada karena yang ada
adalah bagian-bagian dari kepala yang disebut kening, telinga,
mata, mulut, hidung, dagu, rahang, gigi, rambut, alis, kumis,
janggut, dan sebagainya. Lalu di bagian tubuh manakah Abdul Jalil
berada? Demikianlah, menurut perenungannya, bahwa segala
sesuatu yang tergelar di alam semesta ini pada dasarnya hanya
nama-nama yang disepakati keberadaannya, meski hakikat
sejatinya nama-nama itu ada karena disepakati ada.

Tiba-tiba ia teringat ucapan Ario Abdillah yang selama ini masih


sulit dipahaminya. “Jika engkau melihat dengan matamu dan
kemudian engkau melihat dengan mata hatimu maka segala nama
apa pun jua pada hakikatnya akan kembali kepada sumbernya
189
yang satu, yakni Dia Yang Wujud dari segala yang maujud. Dia inti
dari segala nama.”

Mengingat ucapan Ario Abdillah, ada kilatan di kalbunya yang


langsung menyambar benaknya. Dan kilatan itu adalah kilasan
gambaran dari munculnya nama azh-Zhahir dari Wujud. Ia
tersentak kaget. Apakah segala sesuatu yang tergelar di alam
semesta yang dapat dilihat dengan mata indriawi adalah
pengejawantahan dari azh-Zhahir? Jika memang demikian
adanya, berarti di balik segala yang maujud yang zhahir ini mesti
ada yang bathin. Dan al-Bathin adalah nama Allah juga.
Saat ia tengah membolak-balik, mengaitkan, menghubungkan, dan
menjalin makna azh-Zhahir dan al-Bathin untuk memahami
keberadaan yang maujud dan yang Wujud, ia dikejutkan oleh
kehadiran Ahmad at-Tawallud yang sudah berada di belakangnya
sambil terbatuk-batuk. Tanpa hujan tanpa angin dia berkata, “Dulu
sewaktu saya menikmati keheningan malam dengan taburan
bintang laksana permata, kakek mengingatkan agar saya tidak
terjebak ke dalam pesona yang maujud. Beliau saat itu meminta
saya agar selalu mengingat-ingat dan memahami Firman-Nya: Fa
ainama tuwallu fatsamma wajhu Allahi (QS al-Baqarah: 115).
Namun, sampai sekarang saya tetap belum bisa memahami
maknanya.”

Mendengar ucapan Ahmat at-Tawallud, Abdul Jalil merasakan


hijab yang menyelubungi kesadarannya tersingkap lebar. Ia
menangkap kebenaran di dalam azh-Zhahir dan al-Bathin dalam

190
kaitan dengan keberadaan segala ciptaan: dia adalah kenyataan
dari segala sesuatu yang tersembunyi. Dan bersama itu pula, rasa
ingin tahunya tentang Syaikh Abdul Mubdi al-Baghdady semakin
kuat.

“Tuan, apakah kakek Tuan mencatat pelajaran-pelajaran ruhani


yang diberikannya? Ataukah beliau memiliki murid-murid
pengganti?”

“Beliau ada mencatat beberapa pelajaran yang tidak saya


mengerti,” kata Ahmat at-Tawallud. “Namun, sejumlah buku tulisan
para sufi termasyhur yang dimiliki kakaek sampai sekarang masih
saya simpan dengan baik. Soal murid-murid kakek, satu pun saya
tidak ada yang simpati. Mereka saling berebut jabatan mursyid.
Mereka saling mengaku bahwa merekalah pewaris ruhani kakek.
Tapi saya tahu persis, hati mereka jahat dan pikiran mereka penuh
pamrih duniawi.”

“Jika Tuan berkenan, saya ingin sekali mempelajari kitab-kitab


peninggalan kakek Tuan. Saya yakin kitab-kitab itu adalah
khazanah perbendaharaan yang tak ternilai,” Abdul Jalil memohon.

“Tapi Tuan Abdul Jalil, kitab-kitab itu adalah kitab-kitab besar yang
tidak sembarang orang bisa mempelajarinya. Apakah Tuan bisa
membaca dan memahami isinya? Saya sendiri setelah membuka
beberapa bagian sudah merasa tidak sanggup melanjutkan.”
191
“Tuan,” kata Abdul Jalil tersenyum, “sekalipun Tuan mengenal
saya sebagai saudagar, perlu Tuan ketahui bahwa sejak kecil saya
dididik di Padepokan Giri Amparan Jati di bawah asuhan kakak
sepupu saya, Syaikh Datuk Kahfi. Saya sudah menguasai Nahwu,
Sharf, dan Balaghah. Saya juga sudah paham tentang ilmu tafsir,
mustholah al-hadits, ushul al-fiqh, dan manthiq. Jadi, Insya Allah
saya akan mampu mempelajari kitab-kitab peninggalan kakek
Tuan.”

“Jika demikian, silakan Tuan mempelajarinya. Saya senang jika


ada yang bisa memanfaatkan kitab-kitab warisan kakek saya,
terutama orang-orang seperti Tuan yang pandai menyembunyikan
keahlian agama.”

“Tuan terlalu memuji.”

“Tidak Tuan,” sahut Ahmad at-Tawallud. “Saya memang tidak


menduga jika Tuan memiliki pengetahuan mendalam tentang
agama. Selama ini saya menganggap Tuan sebagai orang yang
tidak banyak paham tentang agama kita. Maafkan saya karena
selama ini menilai Tuan sama seperti para saudagar dari negeri
Tuan. Mereka masih mencampuradukkan kemuliaan Islam dengan
pemujaan terhadap berhala.”

“Ah, Tuan belum mengenal orang-orang di negeri saya. Sekalipun


banyak yang belum memeluk Islam, sebagian di antara ruhaniwan
192
mereka memiliki pandangan ketauhidan yang sama dengan Islam,”
jelas Abdul Jalil.

“Itu yang saya belum tahu,” kata Ahmad at-Tawallud heran.

“Karena itu, saya yakin dalam tempo tidak lama mereka akan
beramai-ramai memeluk agama Islam,” kata Abdul Jalil.

Hasrat Abdul Jalil untuk menenggak ilmu pengetahuan ruhani di


tengah gurun keterbatasan dirinya terlampiaskan saat ia tiba di
Basrah. Berbagai kitab peninggalan Syaikh Abdul Mubdi al-
Baghdady yang memuat ajaran para ulama sufi besar seperti Abu
Mansyur al-Halaj, Abu Yazid Bustami, Abu Said al-Kharaz, Abu
Bakar al-Kalabazi, Abul Qasim al-Qusyairy, Muhyiddin Ibnu Araby,
al-Ghazali, dan Abdul Karim al-Jili dipelajarinya dengan penuh
semangat. Dan bagaikan musafir terlunta-lunta di tengah padang
kemudian menemukan mata air, begitulah ia dengan rakus
menghirup kesegaran pengetahuan yang digali para ulama agung
tersebut.

Di antara sejumlah kitab yang sudah dibaca dan dipahami, yang


dianggapnya paling berkesan adalah kitab Haqiqat al-Haqa’iq, al-
Manazil al-Ilahiyyah, dan al-Insan al-Kamil tulisan Syaikh Abdul
Karim al-Jili, yakni ulama sufi yang wafat barang setengah abad
silam. Menurut Ahmad at-Tawallud, Abdul Karim al-Jili adalah

193
kawan akrab kakeknya. Mereka berdua sering terlibat
perbincangan rahasia yang tak seorang pun boleh mendengarkan.

Abdul Jalil menilai ungkapan-ungkapan yang digunakan al-Jili


sangat sederhana. Lugas. Gampang dipahami. Dan yang
terpenting, memiliki banyak kemiripan dengan pengalaman ruhani
yang telah dilewatinya. Lantaran itu, ia seperti tidak pernah bosan
membaca ulang, mengkaji, merenungkan, dan menghayati ketiga
kitab tersebut.

Ia semakin merasakan cakrawala pemikiran dan jiwanya


terbentang luas dalam memahami hakikat segala sesuatu yang
tergelar di alam semesta. Terutama yang berkaitan dengan
perjalanan menuju Dia yang dihalangi berbagai rintangan dan
tantangan luar biasa. Ia benar-benar sangat rindu mengenal
sekaligus merasakan sentuhan kebenaran Ilahi, Af’al, Asma’,
Shifat, dan Dzat.

Getaran kerinduan yang makin mencekam jiwa itu ternyata


membawanya ke sebuah pengalaman baru. Hal itu dialaminya
setelah ia tinggal lebih dari sebulan di rumah Ahmad at-Tawallud.

Ketika pertama kali datang ke Basrah, ia diperkenalkan dengan


ibunda Ahmad at-Tawallud yang bernama Siti Fa’ilatun, seorang
perempuan Melayu berusia sekitar enam puluh lima tahun.
Perempuan setengah baya yang ramah itu menyambut kehadiran
194
Abdul Jalil dengan penuh sukacita. Dia senang bertemu dengan
orang sebangsanya yang bisa diajak berbicara tentang berbagai
hal, terutama tentang negeri Malaka dan Jawa. Meski sudah
bertahun-tahun menjadi warga kota Basrah, dia belum paham
benar dengan bahasa Arab yang digunakan di sana. Itu sebabnya,
dalam pergaulan sehari-hari dia hanya berkomunikasi dengan
suami, anak-anak, dan cucu-cucunya yang mengerti bahasa
Melayu.

Ayahanda Ahmad at-Tawallud bernama Abu Amar al-Hissy, yang


berusia sekitar tujuh puluh tahun, menyambut pula kehadiran
Abdul Jalil di rumahnya dengan penuh keramahan. Ia merasa
senang jika Abdul Jalil bersedia mendengarkan cerita-cerita masa
mudanya. Semangat hidupnya seakan muncul kembali ketika
menuturkan kisah kegagahannya mengarungi samudera dan
singgah di berbagai negeri di masa silam.

Sebagai pemuda yang sejak kecil terpisah dari orang tua dan hidup
di padepokan dengan penuh keprihatinan, Abdul Jalil merasakan
keramahan yang diberikan ayahanda dan ibunda Ahmad at-
Tawallud sebagai kehangatan ayah dan ibu yang didambanya
dalam mimpi-mimpinya. Itu sebabnya, untuk mengisi waktu
senggang saat beristirahat setelah penat mempelajari kitab-kitab,
ia gunakan untuk berbincang-bincang dengan mereka.

Bermula dari keakraban dengan ayahanda dan ibunda Ahmad at-


Tawallud, Abdul Jalil akhirnya mengenal anak-anaknya juga. Anak
195
pertamanya bernama Fa’ilatun Nafsiyyah, akrab dipanggil Nafsa.
Usianya sekitar dua puluh tiga tahun. Belum menikah. Anak kedua
juga perempuan bernama Salmah Izzaturrahman. Usianya sekitar
dua puluh satu. Anak ketiga, laki-laki bernama Ibnu Afkar al-Afrad.
Berusia sekitar sembilan belas tahun. Sudah menikah dan memiliki
seorang anak. Anak yang keempat juga laki-laki bernama Ahmad
Kasyf al-Bashary. Berusia sekitar tujuh belas tahun. Belum
menikah. Belajar di Universitas Nizhamiyyah, Baghdad.

Suatu saat Siti Fa’ilatun menceritakan tentang Nafsa, cucu


kesayangannya yang dianggapnya bernasib malang karena
sampai memasuki usia dua puluh tiga belum juga menikah. Abdul
Jalil menduga anak sulung sahabatnya itu tentulah berwajah jelek
dan berperangai buruk. Namun, saat kali pertama ia melihat mata
Nafsa yang bulat dan lebar serta ditumbuhi bulu-bulu panjang yang
lebat, ia langsung membayangkan bahwa wajah di balik cadar itu
pastilah memancarkan kecantikan bidadari.

Ia tidak pernah menduga apalagi membayangkan dirinya bakal


terperangkap ke dalam pesona keindahan sesuatu selain Dia. Ia
sepanjang perjalanan ruhaninya selalu berusaha menghindari hal-
hal duniawi, kini menghadapi persoalan besar yang sebelumnya
tidak pernah ia bayangkan dan impikan. Sebelumnya ia selalu
berhasil mengusir berbagai bayangan bendawi yang memasuki
alam pikiran dan mahligai jiwanya. Kini, setelah melihat mata Nafsa
yang indah dan bercahaya seperti kilauan bintang, ia rasakan
perubahan besar terjadi pada dirinya. Citra keindahan mata Nafsa
tiba-tiba saja sering memasuki ingatannya saat ia shalat, dzikir,
196
tafakur, membaca buku, makan, minum, bahkan saat mengambil
wudhu, dan terutama menjelang tidur.

Abdul Jalil heran dengan perubahan dirinya. Bagaimana mungkin


ia yang selama ini selalu tenang menghadapi berbagai halangan
dan rintangan kehidupan, tiba-tiba saja sering dicekam resah dan
gelisah. Rasa itu baru mereda ketika ia melihat atau sekadar
membicarakan ini dan itu tentang Nafsa. Ia merasakan betapa
jiwanya mendadak terbang ke angkasa laksana elang yang
kesunyian, menjerit dalam kepahitan jiwa yang mendamba
kehadiran sang betina.

Nafsa adalah perempuan pertama yang keindahan matanya telah


membawa kesadaran Abdul Jalil ke taman asmara yang penuh
bunga mewangi dan rerumputan harum. Keindahannya telah
membius kesadaran Abdul Jalil ke dunia asing yang sebelumnya
tak pernah dirasakan dan dikenalnya. Ia melihat pelangi
membentang di dalam pancaran mata Nafsa. Cahayanya yang
berwarna-warni memasuki relung-relung jiwanya.

Sadar bahwa dirinya sedang terperangkap dalam pesona yang


selain Dia, Abdul Jalil berusaha untuk menghapus citra Nafsa dari
pikiran dan perasaannya dengan berbagai cara. Pesona itu telah
mengganggu perjalanan ruhaninya. Namun, laksana matahari
terbit di ufuk timur setiap pagi, begitulah citra keindahan Nafsa
terbit di fajar kehidupannya. Menyinari kegelapan jiwa dan
mengusir embun dingin dengan kehangatan cinta. Jiwanya tiba-
197
tiba menjelma taman indah dengan kicau burung, dengung lebah,
gemericik air sungai, desau angin, goyang bunga-bunga, dan
harum rerumputan.

Makin kuat ia berjuang menghalau keindahan Nafsa dari relung-


relung ingatan dan mahligai jiwanya, makin hanyut ia ke pusaran
sungai kerinduan yang bermuara ke samudera cinta. Pikirannya
terbang ke angkasa melintasi awan khayalan, menggapai
rembulan dan bintang-gemintang. Dan bagaikan burung patah
sayap, begitulah ia merasakan dirinya terkapar tanpa daya melihat
khayalnya terbang ke angkasa bermadu kasih dengan bayangan
Nafsa, bidadari jiwanya.

198
Kasyf al-Mahjub

Musim gugur tiba dan daun-daun berluluhan,


namun taman cinta yang terhampar di jiwa
Abdul Jalil justru dipenuhi bunga aneka warna
yang menebarkan wangi dan membius
penciuman mereka yang dimabuk asmara. Ia
merasa ada tangan gaib yang menuntun
khayalnya memasuki taman cinta. Ia
menyaksikan keindahan demi keindahan yang menyelubungi citra
Nafsa disingkapkan sehingga mabuk dan tersungkurlah jiwanya di
atas hamparan rumput keindahan.

Jika malam datang, kesunyian dan kesenyapan melingkupi


segenap penjuru cakrawala jiwanya. Keindahan taman cinta yang
terhampar di jiwanya sering berubah menjadi gurun gersang yang
dipenuhi pasir dan bebatuan. Di dalam gelap gulita, ia merasa
kebebasan jiwanya terbelenggu di balik terali penjara kepedihan.
Lingkaran derita yang dialaminya sejak kanak-kanak hingga
sekarang tiba-tiba terpampang memasuki sungai kenangan jiwa
yang airnya terasa sangat pahit.

Pancaran citra keindahan Nafsa yang memesona Abdul Jalil


ternyata tidak memberikan makna apa-apa bagi harapan-harapan
yang melintas di jiwanya, kecuali kepedihan yang getir dari hati
yang merana. Belum pernah ia merasakan kepedihan seperti yang
sekarang ini. Dan pangkal kepedihan itu terjadi ketika suatu sore,
199
entah disengaja atau tidak, Ahmad at-Tawallud mengatakan pekan
depan akan ada pesta sederhana mengundang para fakir, janda
tua, dan anak yatim untuk merayakan perkawinan puteri
sulungnya, Nafsa, dengan seorang saudagar bernama Hajibur
Rahman at-Takalluf.

Untuk kali pertama dalam hidupnya, ia merasa kepalanya


disambar petir yang ledakannya meluluhlantakkan ketegaran bukit
karang hatinya. Ia merasa samudera darah yang menggelora di
tubuhnya panas bagai dikobari api. Sesaat sesudahnya, samudera
kesadarannya terisap dalam kegelapan alam. Tubuhnya lemas
bagai tanpa tulang. Lidahnya kelu. Matanya memandang hampa
matahari angan-angan yang meledak di benaknya. Dan keringat
dingin pun mendadak mengucur deras menyimbah tubuhnya.

Ahmad at-Tawallud yang melihat perubahan pada diri Abdul Jalil


menangkap sasmita bahwa sahabatnya sedang mengalami fatrah,
yakni padamnya api semangat yang menyertai pencarian ruhani.
Dia tahu jika hal itu dibiarkan maka sahabatnya itu akan hancur
binasa di tengah perjalanan ruhaninya. Itu sebabnya, dengan
penuh kearifan dia mengungkapkan alasannya menikahkan puteri
sulungnya itu.

“Hajibur Rahman at-Takalluf, bakal menantuku, adalah kawanku


yang usianya hanya selisih tujuh tahun denganku. Ia sangat tua
disandingkan dengan Nafsa. Wajahnya tidak tampan. Saat kuberi
tahu, Nafsa langsung menangis sedih. Namun, kukatakan
200
kepadanya lebih baik mereguk kepedihan di dunia jika itu berakibat
lahirnya keselamatan dan kebahagiaan kita di hadirat-Nya. Aku
sadarkan Nafsa bahwa selama kita hidup di dunia ini hendaknya
jangan mencintai sesuatu selain Dia. Itu sebabnya, sejak awal kita
harus mengambil jarak secara kejiwaan dengan segala sesuatu di
sekitar kita entah itu istri, suami, anak-anak, saudara, orang tua,
rumah, benda-benda, kekayaan, bahkan kebanggaan diri,”
jelasnya.

“Tapi Tuan,” desah Abdul Jalil dengan bibir bergetar, “bukankah


dengan keputusan itu berarti Tuan telah menyiksa hati puteri Tuan
sepanjang masa? Bukankah Tuan telah menjerumuskan puteri
Tuan ke lembah derita yang tanpa akhir?”

“Terserah penilaian orang atas apa yang telah kulakukan,” kata


Ahmad at-Tawallud. “Aku memiliki alasan tersendiri.”

Abdul Jalil diam. Ia menelan air ludah, namun tenggorokannya


terasa kering.

“Tahukah Tuan kenapa aku menikahkan Nafsa dengan orang yang


lebih tua?” tanya Ahmad at-Tawallud memancing.

Abdul Jalil menggeleng lemah.

201
“Keputusan itu kutetapkan setelah aku yakin bahwa puteriku diam-
diam mencintai Tuan, begitu pula sebaliknya,” kata Ahmad at-
Tawallud tegar.
“Nafsa mencintai saya?” Abdul Jalil tersentak kaget. Ia rasakan
kobaran api menggelora di dalam dadanya.

“Ya.”

“Jikalau demikian, kenapa Tuan justru menikahkan puteri Tuan


dengan orang lain yang tidak dia cintai?” sergah Abdul Jalil bertubi-
tubi. “Apakah Tuan merasa hina memiliki menantu saya? Apakah
karena saya orang Melayu yang sebatangkara? Apakah karena
Tuan tahu bahwa saya orang miskin yang tidak memiliki apa-apa
di dunia?”

“Aku tidak peduli apa pun kata Tuan,” tukas Ahmad at-Tawallud
menarik napas panjang. “Maksud utamaku adalah demi
keselamatan puteriku sekaligus keberhasilan Tuan dalam meniti
jembatan menuju Dia.”

“Keselamatan? Keberhasilan?” tanya Abdul Jalil penasaran.


“Keselamatan apa yang Tuan ungkapkan jika kenyataannya Tuan
justru menyiksa kehidupan puteri Tuan lahir dan batin?
Keberhasilan apa pula yang Tuan maksudkan jika kenyataannya
Tuan justru menorehkan luka tak tersembuhkan di hati saya?”

202
“Aku tak peduli apa pun penilaian Tuan,” kata Ahmad at-Tawallud
datar, “yang jelas, aku tidak akan mengorbankan puteriku menjadi
sekutu-Nya bagi Tuan. Aku tidak akan menikahkan puteriku
dengan siapa pun yang telah dipilih-Nya menjadi kekasih, tetapi
belum mampu menjaga kesetiaan kepada-Nya.”

“Maksud Tuan?” Abdul Jalil terkejut.

“Tahukah Tuan bahwa Dia Maha Pencemburu? Tahukah Tuan


bahwa Dia tidak mau diduakan? Dan sadarkah Tuan bahwa hati
Tuan sendiri sebenarnya belum utuh mencintai-Nya? Bukankah
belakang ini Tuan sudah tidak setia kepada-Nya? Bukankah hati
dan pikiran Tuan belakangan ini selalu terarah kepada “yang selain
Dia,” yakni puteriku Nafsa?” tanya Ahmad at-Tawallud bertubi-tubi.

Abdul Jalil terperangah dicecar pertanyaan demi pertanyaan.


Secercah kesadaran memancar dari kedalaman hati dan
pikirannya. Namun, bagai burung patah sayap, tanpa daya
sedikitpun ia menyaksikan kesadarannya terbang ke langit luas,
meninggalkan dirinya terkapar kesakitan.

Melihat sahabatnya tak berdaya, Ahmad at-Tawallud berusaha


membangkitkan semangat dengan wejangan dan petunjuk.
“Tahukah Tuan kisah Ibrahim al-Khalil, sahabat Allah yang sampai
usia tua tidak dikaruniai putera? Tahukah Tuan bahwa saat Tuhan
memberikannya penyambung keturunan, kecintaan Ibrahim al-
203
Khalil menjadi berlimpah dan meluap-luap kepada sang putera,
yakni Ismail? Tahukah Tuan apa yang diperbuat-Nya setelah
menyaksikan keakraban dan kecintaan Ibrahim al-Khalil terhadap
putera tunggalnya tersebut?”

“Saya paham itu, Tuan,” sahut Abdul Jalil lemah.

“Ya, Allah menguji kadar cinta dan kesetiaan sahabat-Nya. Dan


Ibrahim maupun Ismail mampu membuktikan bahwa di atas
segalanya yang utama hanya Allah. Hubungan bapak dan anak
pada hakikatnya tidak ada. Itulah puncak dari Tauhid yang dikenal
Ibrahim al-Khalil dan puteranya yang termaktub di dalam intisari:
La ilaha illa Allahu! Tidak ada sesuatu, bahkan ilah-ilah yang lain,
selain Allah!”

“Sekarang, apakah Tuan mampu menahan kepedihan dan derita


jika setelah Tuan menikahi Nafsa, karena dialah perempuan
pertama yang Tuan cintai dengan sepenuh jiwa, Tuan
mendapatinya sakit dan mati? Sanggupkah Tuan dipisahkan dari
Nafsa setelah Tuan mereguk kenikmatan darinya? Sanggupkah
Tuan menerima kenyataan bahwa sewaktu-waktu dia direnggut
dari sisi Tuan?” tantang Ahmad at-Tawallud. “Bukankah sekarang
ini saja, sebelum Tuan kenal benar akan Nafsa, Tuan sudah tidak
mampu menahan kepedihan akibat terpisah darinya?”

“O Tuan,” seru Abdul Jalil sambil berlutut memegangi kedua kaki


Ahmad at-Tawallud, “saya sadar bahwa apa yang sedang saya

204
alami ini adalah kesalahan besar. Saya sadar bahwa kehadiran
Nafsa bisa menggagalkan perjalanan saya menuju Dia. Saya
sadar bahwa Nafsa adalah bagian dari hijab-Nya. Tapi Tuan, saya
sungguh-sungguh tidak mampu berbuat apa-apa untuk
menghapus citra Nafsa dari hati dan pikiran saya. Saya benar-
benar tak berdaya Tuan. Tolonglah saya, o Tuan.”
“Tuan Abdul Jalil,” kata Ahmad at-Tawallud lirih, “bukankah selama
ini Tuan ingin merasakan dan menghayati Af’al Allah secara nyata?
Nah, dalam kasus yang Tuan alami sekarang ini, apakah Tuan
beranggapan bahwa Tuan memiliki niat dan kemampuan pribadi
untuk berkehendak dan berbuat, terutama mencintai Nafsa?”

“Tidak, o Tuan,” kata Abdul Jalil pedih, “saya sadar bahwa saya tak
memiliki kemampuan apa pun. Sekarang ini saya benar-benar tak
berdaya. Bahkan meminta tolong kepada-Nya pun saya seperti
tidak mampu. Saya seperti sebutir debu diempas angin.”

“Jika Tuan sudah sadar akan apa yang sebenarnya sedang terjadi
pada diri Tuan,” kata Ahmad at-Tawallud tenang, “maka Tuan
sebaiknya pergi ke Baghdad. Di sana Tuan dapat tinggal di rumah
saya. Saya tahu Tuan tidak akan kuat menahan perasaan ketika
harus menyaksikan Nafsa bersanding di pelaminan dengan
suaminya. Pemandangan itu akan meremukkan hati Tuan.”

“Saya akan mengikuti apa pun perintah Tuan.”

205
“Itu sangat baik Tuan. Untuk menuju ke muara-Nya, Tuan harus
menjadi butiran air yang baik dan setia mengikuti arus.”
“Bolehkah saya bertanya satu hal?”

“Soal apa?”

“Dari manakah Tuan tahu jika Nafsa, puteri Tuan, diam-diam


mencintai saya?”

“Ibunda saya yang memberi tahu. Sebagai orang tua yang sudah
berpengalaman, beliau menangkap isyarat yang terpancar dari
kedalaman jiwa Tuan saat bertatap mata dengan Nafsa, yang
diikuti oleh perubahan sikap Tuan. Beliau tahu Tuan diam-diam
memendam rasa cinta kepada Nafsa. Dan satu malam, lewat kata-
kata yang halus penuh kebijakan, ibunda saya berhasil menggali
perasaan Nafsa. Apakah penjelasan ini penting bagi Tuan?
Apakah Tuan masih berkukuh untuk menyimpan harapan dari
selain Dia? Bukankah Tuan harus bertobat?”

“Saya paham, Tuan,” Abdul Jalil menunduk dengan wajah


memerah. “Saya akan patuh kepada Tuan sebagai pembimbing
ruhani saya, dengan kepatuhan seperti mayat yang tak memiliki
kehendak dan gerak sendiri.”

206
“Saya pun pada hakikatnya tidak memiliki kehendak dan gerak
sendiri. Semua adalah dari-Nya semata. La haula wa la quwwata
illa bi Allahi. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dari-Nya!” timpal
Ahmad at-Tawallud.

Bagaikan prajurit kalah perang, demikianlah Abdul Jalil dengan


langkah tertatih-tatih, tubuh lunglai, wajah kusut masai, dan
pakaian lusuh melintasi jalanan berdebu menuju ke arah Baghdad.
Perjalanan ke Baghdad dengan melintasi jalur gurun itu memang
ia sengaja, meski ia tahu menggunakan jalur pelayaran lewat
sungai Dajlah akan lebih mudah. Ia sengaja melakukan perjalanan
yang berat itu dengan tujuan utama melebur keakuan dirinya di
atas tungku berupa pasir, batu, debu, angin, dan sengatan
matahari membara. Hanya dengan cara inilah ia bisa melepas
bayangan Nafsa yang begitu kuat melekat di relung-relung
terdalamnya. Dan ia berharap perjuangannya itu sekaligus akan
memusnahkan segala ikatan kepada selain Dia.

Panas gurun yang memuai dari atas dan bawah dengan hembusan
angin kering membara telah menguapkan kekuatannya. Bagaikan
belukar di gugusan gurun, begitulah ia melangkah gontai di tengah
deru angin yang bersiut-siut. Dan di antara bibirnya yang kering
dan gemetar, ia dengan teguh menyebut-nyebut Asma Allah.

Perjuangan melupakan Nafsa dari hati dan pikirannya adalah


perjuangan terdahsyat dan terberat yang pernah dilakukannya
selama ini. Belum pernah ia merasakan kesulitan melepas sesuatu
“selain Dia”, selain citra Nafsa. Bahkan saat keakuan dirinya luluh

207
lantak dipanggang bara kesengsaraan gurun, bayangan Nafsa
masih juga memasuki hati dan pikirannya, meski mulutnya tak
henti-henti melafalkan Asma Allah.

Ketika matahari berada di puncak langit dan sinarnya membakar


gurun, tubuhnya sudah tidak memiliki kekuatan sedikit pun.
Fatamorgana berupa air berkilau-kilau begitu menarik
pandangannya yang mulai kabur dan berkunang-kunang. Ketika ia
goyah dan ambruk ke atas pasir, sekilas ia melihat bayang-bayang
mendekatinya.

Bayang-bayang itu ternyata pengembara bernama Abdus Sukr ar-


Rajul. Tanpa berkata, dia langsung mengeluarkan kantung air dan
meminumkannya ke mulut Abdul Jalil. Keanehan terjadi, Abdul Jalil
merasakan kesegaran luar biasa, tubuhnya bugar seolah-olah
tidak sedang melakukan perjalanan berat.

Ia masih tercengang dalam ketakjuban ketika Abdus Sukr ar-Rajul,


tanpa diminta, menuturkan kisah tentang Syaikh San’an yang
mengalami nasib lebih pedih dibanding dirinya.

Syaikh San’an adalah guru tarekat yang memiliki cukup banyak


pengikut. Ia dikenal sebagai orang yang saleh, zuhud, wara’,
tawadlu’, dan tak pernah memikirkan sesuatu selain Allah. Semua
pengikut dan kawan-kawannya sangat segan dan hormat
kepadanya. Lantaran kehidupannya yang saleh dan diabdikan
208
hanya untuk Allah itulah ia belum menikah sampai usianya masuh
setengah abad.

Satu saat Syaikh San’an melakukan perjalanan ke tanah suci untuk


menjalankan ibadah haji. Di tengah perjalanan ia sempat singgah
di rumah seorang kawannya yang beragama Nasrani. Di tempat
itulah ia melihat gadis cantik tetangga kawannya itu. Entah apa
yang terjadi, ia mendadak terperangkap oleh pesona sang gadis.
Ia bagai kehilangan kesadaran ketika mengungkapkan perasaan
cintanya yang tulus. Bahkan tanpa malu-malu ia memohon agar
sang gadis berkenan menjadi istrinya.

Gadis cantik itu semula menolak. Namun, karena Syaikh San’an


terus memohon akhirnya dia bersedia menerima lamaran itu
dengan tiga syarat. Pertama, Syaikh San’an harus bersedia
melepas jubah dan surbannya untuk diganti dengan jubah dan ikat
pinggang yang disediakan sang gadis. Kedua, Syaikh San’an
harus bersedia memelihara seratus ekor babi dari fajar hingga
maghrib. Ketiga, selama memelihara keseratus babi itu, Syaikh
San’an tidak boleh menelantarkan seekor pun.

Karena pesona kecantikan sang gadis sangat kuat menerkam


kesadaran hati dan pikirannya, Syaikh San’an menerima begitu
saja ketiga syarat tersebut. Sejak itu, orang melihat Syaikh San’an
mengenakan jubah hitam dengan ikat pinggang tali. Sehari-hari ia
sibuk mengurus babi. Ia tidak lagi menjalankan shalat. Berdzikir
pun ia seolah-olah sudah lupa. Sehari-hari yang diingatnya hanya
209
istrinya yang cantik memesona. Bahkan ia pun seolah lupa diri,
tidak menghiraukan lagi tubuhnya dilepoti kotoran babi.

Hal Syaikh San’an itu sampai kepada murid-muridnya. Maka,


gemparlah mereka. Berbondong-bondong para murid itu menemui
gurunya. Dengan berbagai permohonan, bujukan, rayuan, dan
bahkan tangis pedih, mereka mengharap agar gurunya sadar.
Namun, Syaikh San’an bergeming. Ia meminta mereka merelakan
dirinya hidup menderita karena ketulusan cinta. “Aku tak kuasa
menolak hasrat jiwaku untuk selalu dekat dengannya. Aku merasa
lebih baik mati di dalam pelukannya daripada hidup dipisahkan
darinya. Bersama dia, aku tak butuh lagi harga diri, kehormatan,
atau kemuliaan. Bagiku, seluas senyumnya telah menumpahkan
air kehidupan yang segar dengan kenikmatan tiada banding. Aku
benar-benar tak berdaya untuk menghindar apalagi
meninggalkannya.”

Dengan air mata bercucuran dan ratap tangis pedih, para murid itu
kembali dan memberitakan hal Syaikh San’an kepada keluarga
dan kawan-kawannya. Akhirnya, berkatalah seorang darwis tua
kepada seluruh murid Syaikh San’an agar mereka beramai-ramai
mendoakan gurunya. Hanya Allah jua yang sanggup menolong
Syaikh San’an dari pesona bendawi yang bersifat sementara.

Berkat doa yang tulus dari murid-murid dan kawan-kawannya,


Syaikh San’an akhirnya sadar. Kepada istrinya ia menyatakan
akan melanjutkan niatnya semula menunaikan ibadah haji ke tanah
210
suci. Ia bahkan bersedia melepaskan segala yang dimilikinya,
termasuk istri tercintanya. Istri Syaikh San’an akhirnya menyerah.
Dia bahkan berikrar memeluk agama Islam dan ikut menunaikan
ibadah haji bersama suaminya.

Setelah mengakhiri ceritanya, Abdus Sukr ar-Rajul berdiri dan


hendak pergi. Buru-buru Abdul Jalil mencegahnya dengan
bertanya, “Tuan, apakah kisah Syaikh San’an itu pernah ada
ataukah hanya sindiran buat saya?”

“Jika engkau menganggap cerita itu ada, tidak ada masalah. Jika
engkau menganggapnya sindiran bagi dirimu, itu juga tidak apa-
apa. Semua tergantung pada pemahamanmu dalam memaknai
kisah itu.”

“Tuan,” kata Abdul Jalil cepat, “bolehkah saya tahu di mana Tuan
tinggal? Berkenankah Tuan memberi saya arah menuju Dia?”

“Aku tinggal di mana pun Allah berada karena tujuan utamaku


adalah bersama Dia. Jika engkau ingin tahu jalan menuju Dia maka
arahkan hati dan pikiranmu hanya kepada-Nya. Hapuskan segala
sesuatu selain Dia dari hati dan pikiranmu,” kata Abdus Sukr ar-
Rajul sambil melangkah meninggalkan Abdul Jalil.

211
Dengan termangu takjub Abdul Jalil menatap kepergian Abdus
Sukr ar-Rajul sampai lelaki itu hilang di garis cakrawala. Seraya
melangkah penuh semangat, ia merenungkan pertemuannya yang
aneh dengan pengembara yang hidup bagai debu diembus angin
itu.

Di balik kemegahan dan hingar-bingar Baghdad, ternyata terselip


sekeping kehidupan yang dihuni oleh para pencari Tuhan, para
pengarung samudera kesunyian, dan para pecinta kebenaran yang
hidup dalam lingkungan yang berbeda dengan penghuni kota yang
lain. Kehidupan mereka penuh misteri dan tak diketahui warga lain.
Mereka ada yang bekerja sebagai saudagar, guru besar, ilmuwan,
seniman, penyanyi, ahli fiqh, tabib, pedagang pasar, bahkan ada
yang gelandangan. Mereka mengenal sesama mereka. Mereka
berkumpul. Berbincang-bincang. Berbagi pengalaman. Dan
sesudah itu bubar. Kembali ke kehidupan sebagaimana layaknya
warga lain.

Abdul Jalil mengetahui kehidupan orang-orang aneh itu secara


kebetulan, ketika ia mengikuti pesta untuk para fakir, janda-janda
tua, anak yatim, dan para gelandangan yang diselenggarakan oleh
Ahmad at-Tawallud. Pesta yang digelar sebulan sekali saat bulan
purnama itu, menurut Ahmad at-Tawallud, bukan kelanjutan dari
pesta memeriahkan pernikahan puteri sulungnya. Pesta itu
merupakan tradisi yang dilakukan sejak ayah dan kakeknya.

212
Pesta semarak yang diikuti sekitar seratus orang itu menyuguhkan
makanan dan minuman. Diramaikan pula oleh al-Qawwali, grup
musik kenamaan di Baghdad, yang dipimpin pemusik terkenal
Ahmad al-Qawwal. Dan yang mengejutkan, penyanyi tersohor
Baghdad, Abdul Warid al-Wajd, hadir di pesta itu tanpa diundang.
Kehadiran Abdul Warid al-Wajd memang bukan untuk kali
pertama. Namun, malam saat pesta itu digelar dia sedang diminta
menyanyi di rumah Abu Syarr azh-Zhulmi, seorang pejabat
pemungut pajak. Padahal di pesta kaum fakir itu dia tidak dibayar.

“Saudara-Saudaraku, para fakir yang dicintai Allah. Malam ini aku


akan menyanyi untuk memeriahkan pesta yang mulia ini.
Menghibur Saudara-Saudari sekalian. Menggembirakan Tuan
rumah. Semoga niatku ini diridhoi Allah.”

“Sebenarnya, malam ini aku harus menyanyi di pesta mewah yang


dihadiri para saudagar dan pejabat kerajaan. Namun, saat aku
berada di tengah para tamu yang menunggu penampilanku, aku
melihat mereka sebagai orang-orang kaya yang matanya tertutup
kilatan dinar, telinganya tersumbat gemerincing emas, mulutnya
tersumpal bongkahan permata, telapak tangannya menggenggam
erat tali kekikiran, dan hatinya disimbah tetesan liur serigala
keuntungan duniawi yang tak pernah terpuaskan.”

“Saat mataku menatap kerakusan mereka menyantap makanan


dan menenggak minuman sambil menikmati gerak para penari

213
syahwat, hatiku meronta dan memaksaku agar pergi meninggalkan
mereka. Hatiku berkata orang-orang seperti itu tidak akan bisa
mendengarkan lagu-lagu yang kunyanyikan. Telinga mereka
sudah pekak. Tuli. Mereka tidak bisa membedakan antara syair
dan ringkik keledai. Mereka tidak bisa membedakan antara alunan
musik sejati dan derit roda gerobak. Telinga mereka hanya bisa
mendengar suara gemerincing dinar.”

“Saudara-saudariku, aku menyanyi untuk mengungkapkan suara


hatiku, mengumandangkan getaran ruhani yang bertahta di
kerajaan jiwaku, mengencangkan tali-tali gambus kerinduanku,
dan menabuh musik kecintaanku kepada-Nya. Karena itu, aku
tidak mungkin menyanyi di pesta Abu Syarr azh-Zhulmi yang
dihadiri oleh orang-orang tolol dan dungu, orang-orang kikir dan
tamak, orang-orang sombong dan angkuh, orang-orang yang
membabi buta mencintai dunia, orang-orang yang memuja nafsu,
dan orang-orang yang telinga jiwanya sudah ditulikan oleh hingar-
bingar musik dan nyanyian kecintaan diri.”

“Aku tinggalkan pesta kemewahan di kediaman Abu Syarr azh-


Zhulmi karena aku yakin telah menyanyi di tempat yang keliru.
Karena itu, o Saudara-Saudariku, aku memilih untuk datang ke
pesta yang agung dan mulia ini. Tempat para fakir yang dicintai
dan mencintai Allah. Tempat di mana kedermawanan, kasih
sayang, ketulusan, kesederhanaan, keheningan, dan keindahan
diungkapkan dalam bahasa jiwa. Di sinilah, di pesta kaum fakir
inilah aku akan menyanyi. Karena, mata para tamu yang hadir ini
adalah mata yang sudah terbangun di antara mata mereka yang
tidur. Karena, telinga mereka yang hadir di sini adalah telinga yang

214
rindu mendengar suara kebenaran. Dan hati mereka yang hadir di
sini adalah singgasana persemayaman at-Tawajjud.”

Usai mengemukakan alasannya, Abdul Warid al-Wajd


melantunkan nyanyian berjudul Ahl al-Kasyf wa al-Wujud, diiringi
alunan musik al-Qawwali. Kemerduan suara dan keindahan syair
yang dilantunkannya memesona seluruh tamu yang hadir.

Abdul Jalil yang sejak tinggal di Baghdad tiga bulan silam berusaha
keras mengikis citra keindahan Nafsa dari hati dan pikirannya,
sesaat sempat terjerat kembali pada kilasan khayal ketika alunan
suara Abdul Warid al-Wajd menerobos pendengarannya. Betapa
indah dan nikmatnya jika saat ini ia bermadu kasih bersama Nafsa
tercinta. Namun, secepat itu pula ia memusatkan konsentrasi ke
satu titik, yakni Dia. Ia harus bertobat. Mengarahkan hati dan
pikiran hanya kepada Dia.

Selama ini tanpa disadari ia telah berpaling dari-Nya karena


terpesona oleh keindahan Nafsa yang tidak kekal. Seindah apa
pun Nafsa, pada akhirnya dia akan menjadi tua, keropos, rapuh,
kemudian tumbang ke permukaan bumi, dan dikuburkan ke
dalamnya. Namun, mencintai Dia Yang Abadi bukan soal mudah
karena Dia tidak bisa dilihat dan dipegang. Itu sebabnya, Abdul Jalil
sering merasakan kerinduan akan keindahan wajah dan
keberadaan-Nya.

215
Setelah bergulat sengit menghalau semua bayangan yang
melintas di hati dan pikirannya, ia merasa kesadarannya terbuai
oleh lantunan nyanyian Abdul Warid al-Wajd dan alunan musik al-
Qawwali. Ia merasa ada daya tarik yang menenggelamkan
keakuannya. Ia merasa kesadarannya larut ke dalam lantunan
nyanyian dan alunan musik.

Saat ia dan para tamu tengah terpesona, tiba-tiba terjadilah


keajaiban. Langit-langit rumah Ahmad at-Tawallud, tempat pesta
itu diselenggarakan, terbelah sedemikian rupa hingga langit
dengan taburan bintang-gemintang terlihat. Sesaat kemudian
langit pun ikut merekah dan pancaran cahaya gemilang menerangi
cakrawala.

Pemandangan menakjubkan itu diikuti oleh peristiwa yang lebih


menakjubkan lagi. Tiba-tiba di punggung mereka bertumbuhan
sepasang sayap putih sekokoh rajawali. Kemudian sambil
menyanyi dalam bahasa ruhani yang mendendangkan keindahan,
para hadirin mengepakkan sayap dan terbang melalui rekahan
langit-langit rumah memasuki pancaran cahaya gemilang yang
berpendar di balik belahan langit.

Menyaksikan para hadirin beterbangan memasuki pancaran


cahaya, para pemusik al-Qawwali tercekam dalam ketakjuban.
Namun, tanpa mereka sadari secara ajaib pula punggung mereka
pun ditumbuhi sepasang sayap putih. Dan seolah mengikuti
lantunan suara merdu Abdul Warid al-Wajd, para pemusik itu

216
mengepakkan sayap, terbang ke arah pancaran cahaya gemilang,
menyusul para hadirin yang telah terbang lebih dulu.

Kini Abdul Warid al-Wajd menyanyikan lagu ‘Alam al-‘Ulwi tanpa


iringan musik. Namun, pesona yang mencekam jiwanya membuat
dia lupa dengan keberadaan dirinya sebagai penyanyi. Bahkan dia
lupa nyanyian yang dilantunkannya, baik syair maupun iramanya.
Dan yang membuatnya makin takjub adalah saat dia merasa
dirinya adalah Abdul Warid al-Wajd sekaligus Ahmad al-Qawwal.
Dan tiba-tiba dia merasa keakuannya larut dan lenyap, menjelma
menjadi lantunan lagu dan alunan musik yang mengiringi para
hadirin dan pemusik mengepakkan sayap memasuki ‘Alam al-
‘Ulwi, di mana berlapis-lapis hijab gaib Ilahi disingkapkan.

Pengalaman menakjubkan itu sangat mengesankan Abdul Jalil. Ia


yang saat itu ikut tercekam pesona nyanyian Abdul Warid al-Wajd
dan alunan musik al-Qawwali, memperoleh pengalaman baru
dalam melintasi hijab-hijab gaib Ilahi. Jika sebelumnya setiap kali
melintasi tirai hijab ia selalu merasa seperti ular keluar dari
kelongsong kulit maka yang ia rasakan dalam peristiwa semalam
adalah bagai ulat keluar dari kepompong dalam bentuk kupu-kupu.
Saat kesadarannya lepas, ia dapat dengan bebas terbang menuju
ke angkasa raya yang luas tanpa batas.

Pengalaman baru yang dialaminya tersebut benar-benar


menyingkapkan cakrawala pemahamannya terhadap segala
sesuatu yang tergelar di hadapannya. Sebelum peristiwa ‘Alam al-
217
‘Ulwi, ia melihat dan memahami kenyataan yang tergelar di
hadapannya seperti burung yang melihat terali besi, mangkok
tempat makanan, gelas tempat minuman, teras rumah, halaman,
pepohonan, dan langit biru dari dalam sangkar. Kini, ia seperti
burung yang lepas dari sangkar dan terbang ke angkasa bebas
menyaksikan segala sesuatu yang terhampar di depannya dengan
pemahaman yang serba baru. Ia menyaksikan betapa luasnya
hamparan sawah, jajaran gunung-gemunung, bentangan lembah,
curamnya ngarai, barisan bukit-bukit, dalamnya jurang, tenangnya
air danau, gemericik sungai, gelombang samudera raya, gumpalan
awan-gemawan, cahaya matahari, dan hamparan langit biru dari
angkasa tempat ia bebas mengepakkan sayap.

Selama ini ia memahami keberadaan benda-benda berdasar


pemahaman awam, yakni masing-masing benda terkait dengan
wujudnya yang panjang, lebar, tinggi, luas, warna, dan paduan
bentuk yang harmonis: kini ia memahaminya dengan cara pandang
yang sama sekali berbeda. Sebongkah batu, misalnya, tidak lagi
dilihatnya dari wujud fisik dengan bentuk, ukuran, warna,
kepadatan, dan tekstur, tetapi ia menangkap makna bahwa pada
sebongkah batu itu terdapat suatu “getaran” yang tersembunyi di
balik keberadaan fisiknya. “Getaran” yang ia tangkap pada
sebongkah batu ternyata sama dengan “getaran” pada bunga-
bunga, rerumputan, tanah, pasir, tetumbuhan, pepohonan,
manusia, hewan, rembulan, matahari, dan bintang-bintang.

Ia tidak tahu apa sebenarnya “getaran” yang tersembunyi di balik


benda-benda itu. Ia hanya menangkap makna betapa “getaran”
218
semua benda itu pada hakikatnya sama. Itu sebabnya, ia menilai
bahwa “getaran” itu pada hakikatnya adalah “bekas jejak Ilahi”
yang tertinggal pada semua karya ciptaan-Nya. Ini berarti antara
manusia, hewan, tetumbuhan, dan alam semesta pada dasarnya
memiliki hubungan kausalitas yang sama. Bukan hanya asal usul
mereka yang sama dari satu Pencipta, melainkan di antara mereka
pun sebenarnya saling mengait.

Pemahaman baru itu makin mengobarkan api semangatnya dalam


berjuang mencari Dia. Ia merasa dirinya bagai musafir yang
terperangkap dalam hutan lebat pada malam yang gelap dan dari
kejauhan melihat nyala api. Jika sebelumnya ia mencari jalan
keluar dengan meraba-raba dalam gelap dan tidak mempunyai
petunjuk arah yang pasti. Kini ia mendapat arah baru: ia mulai
dapat memahami bahwa keberadaan segala sesuatu di sekitarnya
bisa membantunya menjadi penunjuk ke arah nyala api.

Ia menyadari bahwa pemahaman baru ini pada dasarnya adalah


awal belaka dari tersingkapnya hijab-hijab yang menyelubungi-
Nya. Itu sebabnya, ia yakin bahwa yang mengalami peristiwa ini
bukan hanya dirinya. Di antara para pencari Dia mungkin ada yang
telah sampai pada nyala api.

Bagi Abdul Jalil, persoalan mencapai nyala api adalah persoalan


teguhnya perjuangan sekaligus kehendak-Nya. Sebab, ia belum
tahu apakah antara dirinya dan nyala api itu hanya dipisahkan oleh
hamparan rumput dengan beberapa batang pohon ataukah masih
terdapat lembah, jurang, ngarai, bukit, gunung, dan bahkan

219
samudera raya. Hal itu disadarinya karena nyala api yang
benderang di kejauhan itu sangat aneh sekali keberadaannya;
sekali waktu tampak sangat terang dan dekat, tetapi pada saat lain
tiba-tiba menjauh. Pernah suatu kali nyala api itu begitu dekat
dengan “penglihatan”-nya sehingga membutakan mata dan
membuatnya tidak tahu arah.

220
Futuhat al-Insaniyyah

Matahari menyingsing di ufuk barat, awal


musim hujan tiba. Berhamburlah
kesengsaraan dari langit dan dasar bumi:
menerkam kehidupan anak-anak manusia
yang merayap di permukaan subur yang
membentang di antara kedua sungai Eufrat
dan Tigris. Hujan deras tidak saja meluapkan
sungai yang menjelma dalam bentuk banjir dan genangan air kotor
di kanan dan kirinya, tetapi menebarkan benih-benih penyakit yang
merenggut nyawa banyak orang.

Rumah-rumah bobrok dan kumuh yang sebagian berupa puing


yang terserak tak terurus di sepanjang sungai itu, terutama di
pinggiran barat dan utara kota Bahgdad, dihuni oleh keluarga-
keluarga petani, gembala, tukang, dan nelayan miskin. Rumah-
rumah kumuh itu umumnya berisi keluarga yang terkapar tanpa
daya digeragoti penyakit. Saat seperti itulah para pedagang budak
berkeliaran mencari-cari mangsa di antara kesengsaraan dan
ketidakberdayaan.

Di antara air kotor bercampur lumpur yang menggenangi desa-


desa kumuh, di bawah rengkuhan senjakala, terlihat dua orang
berjalan beriringan. Berbekal dua kantung uang emas dan perak,
mereka mengetuk pintu-pintu rumah. Laksana malaikat pembawa
rezeki, mereka membagi-bagikan kepingan uang kepada
221
penghuninya. Kegembiraan dan sukacita pun menghambur dalam
bentuk syukur dan linangan air mata dari keluarga-keluarga miskin
yang tercekik kesengsaraan.
Malaikat penolong itu bagi warga miskin yang menghuni pinggiran
Baghdad memang sudah tidak asing lagi. Dia adalah Ahmad at-
Tawallud, saudagar kaya yang diberkahi Tuhan dengan sifat
dermawan,welas asih, penolong, dan kesukaan menjamu para
fakir, anak-anak yatim piatu, dan janda-janda tua. Namun, berbeda
dengan kebiasaan sebelumnya, kali ini dia mengajak salah
seorang sahabatnya, Abdul Jalil.

Setelah berkeliling hingga tengah malam, Abdul Jalil merasa ada


yang aneh dengan tugas itu. Sepanjang ingatannya, telah beratus-
ratus rumah ia hampiri. Dan telah ia bagikan kepingan uang
kepada warga. Jika sebuah rumah berisi keluarga besar maka ia
membagi sekitar lima puluh keping uang emas dan seratus uang
perak. Anehnya, meski beribu-ribu keping ia ambil, uang yang ada
di kantung itu sepertinya hanya berkurang , tidak pernah habis.

Sebenarnya, ia ingin sekali menanyakan hal keanehan kantung


uang itu. Namun, ia ingat sebelum berangkat tadi Ahmad at-
Tawallud sempat berkata-kata yang intinya menyinggung
perjalanan Kidhir dan Musa a.s. “Yang menjadi penyebab utama
berpisahnya Musa dari Kidhir a.s. adalah ketidakmampuan Musa
a.s. menahan diri untuk tidak bertanya.”

222
Khawatir kata-kata itu dimaksudkan untuk menyindir soal
keanehan yang bakal ditemuinya nanti, Abdul Jalil memilih diam
meski di kepalanya berkecamuk lingkaran tanda tanya. Ia
berusaha keras untuk tidak bertanya-tanya sesuatu pun. Ia
menunggu sampai Ahmad at-Tawallud menjelaskan sendiri hal
tersebut.

Ketika memasuki dinihari, telah hampir seribu rumah mereka


datangi dan uang di kantung itu benar-benar tak bersisa. Ahmad
at-Tawallud mengajak Abdul Jalil beristirahat di reruntuhan rumah
yang sebagian temboknya tinggal puing-puing. Dalam keadaan
tubuh diterkam keletihan, ia mengikuti ajakan sahabatnya itu. Di
antara reruntuhan itu, dalam keremangan yang berkabut, ia
melihat seorang perempuan tua duduk melamun dikitari domba-
domba dan seekor anjing yang kurus kedinginan.

Sambil duduk di atas batu yang mencuat di samping reruntuhan,


Ahmad at-Tawallud menuturkan tentang perempuan tua itu.
Perempuan tua itu adalah citra Puteri Baghdad yang sejak zaman
purba terkenal dengan kecantikan, keindahan, kesegaran,
kesuburan, kemuliaan, dan keagungannya. Puteri Baghdad yang
menawan. Puteri Baghdad yang dimahkotai dan ditabalkan di atas
singgasana kerajaan dongeng yang membentang di antara dua
sungai, yang dilingkari taman-taman dan kebun-kebun indah.

Berbilang abad kawanan domba, angsa, kijang, anjing, kuda, dan


burung menikmati kesubur-indahan taman sang Puteri yang
223
menebarkan wangi bunga dan rerumputan. Para raja dan ksatria
gagah berani berlomba memamerkan keperkasaan untuk
memperebutkan sang puteri. Berbilang raja serta ksatria silih
berganti menaklukkan kerajaan dongeng itu dan memahkotai sang
Puteri dengan keagungan dan kemuliaan. Mereka mempersubur
dan memperindah taman-taman dan kebun-kebun kerajaan.

“Namun berkah kecantikan, keindahan, kesuburan, kesegaran,


kemuliaan, dan keagungan sang Puteri di atas singgasana
dongeng itu telah menjadikan para raja, ksatria, dan warga
kerajaan lupa kepada Maharaja Yang Berkuasa yang telah
menciptakan sang Puteri dengan segala kecantikan, kemegahan,
dan keagungannya,” kata Ahmad at-Tawallud. “Mereka sehari-hari
disibukkan oleh perhelatan dan upacara yang memuliakan dan
memuji-muji kecantikan sang Puteri. Bahkan saat Sang Maharaja
yang berkuasa dengan adil dan penuh kasih sayang itu
mengirimkan para pengawal utusan, serta orang-orang
kepercayaan-Nya, malah mereka jadikan bahan tertawaan dan
lelucon.”

Berbilang abad Sang Maharaja secara ganti-berganti menjatuhkan


hukuman kepada raja-raja, ksatria-ksatria, dan warga-warga yang
lebih mencintai sang Puteri, tetapi melupakan hukum dan
peraturan kerajaan. Namun, mereka dari generasi ke generasi
selalu mewarisi kecenderungan sifat yang sama, yakni mencintai
dan membanggakan kecantikan dan keindahan sang Puteri serta
memuji-muji negeri dongeng yang berlimpah kesuburan itu.
Mereka lupa bahwa penguasa sejati di kerajaan dongeng adalah
224
Sang Maharaja Yang Mahaadil, Mahakuasa, Mahaagung,
Mahaperkasa, yang tidak berkenan diduakan dan ditandingi oleh
siapa pun, baik dalam kekuasaan maupun dalam kecintaan dan
pengabdian semua kawula-Nya.

Setelah berpuluh abad Puteri Baghdad dengan singgasana gading


berhias bulu merak dan setelah emas permata menjadi berhala
yang dicintai dan dipuja-puji oleh para raja, ksatria, dan warga
kerajaan; maka turunlah hukuman yang sangat keras dan pedih
dari Sang Maharaja – Penguasa yang memiliki berbagai nama
yang menggetarkan: Yang Maha Menjatuhkan (al-Khafidh), Yang
Maha Menyesatkan (al-Mudhill), Yang Maha Membinasakan (al-
Mumit), Yang Maha Menyiksa (al-Muntaqim), Yang Maha Pemberi
Bahaya (adh-Dharr); Sang Penguasa Tunggal yang berkuasa
mutlak atas negeri dongeng beserta seluruh isinya.

Tiba-tiba saja kerajaan dongeng yang subur dan indah dengan


taman dan kebun itu telah dikepung oleh kaki-kaki kuda-kuda
tunggangan yang perkasa yang mengepulkan debu dari para
pengembara biadab asal padang rumput liar Mongolia. Mereka
dipimpin oleh Hulagu Khan, anak panglima paling haus darah
dalam sejarah kemanusiaan, Jenghis Khan. Bagai kawanan
serigala, begitulah mereka mendobrak-dobrak gerbang kerajaan
dan menebar rasa takut ke segala penjuru negeri. (*13 Februari
1258, kota Baghdad yang berada di bawah pemerintahan Dinasti
Abbasiyah jatuh ke tangan Hulagu Khan dari Mongol. Dalam
peristiwa tersebut, setengah penduduk Baghdad dibunuh)

225
Raja, ksatria, dan warga kerajaan dongeng yang terlena menikmati
kesuburan negeri dan memuja-muji kecantikan puterinya, bergetar
ketika mendengar raungan para penyerbu yang haus darah. Bulu
roma mereka berdiri mendengar derak gerbang kota kebanggaan
mereka didobrak kawanan pengembara liar yang meraung dan
melolong bagai serigala. Dan ketika para penguasa kerajaan
masih gemetar dicekam rasa takut dan gentar, para pengembara
perkasa yang datang dari relung-relung terdalam kebiadaban itu
menebarkan malapetaka kebinasaan.

Gemerincing senjata berkumandang di segenap sudut negeri.


Darah tertumpah memerahkan tanah dan air sungai. Jerit kematian
mengumandang ke angkasa. Derak tiang-tiang kayu yang runtuh
dimangsa api bersahut-sahutan dari ujung satu ke ujung kota yang
lain. Bagai sarang semut dibinasakan, begitulah keindahan,
kesuburan, kesegaran, dan kemuliaan negeri dongeng itu
diluluhlantakkan dengan kekejaman tiada tara.

Hari-hari hukuman dari Sang Maharaja adalah hari-hari paling


mengerikan dalam sejarah kemanusiaan. Para pengembara
biadab yang tak kenal ampun itu mencabuti nyawa para ksatria dan
warga negeri. Seluruh bangunan istana dan kota mereka ratakan
dengan tanah. Saluran-saluran air yang menghidupi taman dan
kebun kerajaan tak luput dari kehancuran. Bahkan Puteri Baghdad
yang cantik jelita, subur, molek, dan memikat itu dijadikan alat
pemuas nafsu jalang mereka. Sang Puteri dijarah dan diperkosa
dengan penuh kekerasan dan kekejaman hingga air matanya yang
hitam menodai sungai Tigris. Siang dan malam hanya jerit
226
kematian dan gemerincing senjata yang mengumandang bersahut-
sahutan dari sudut kota hingga ke lembah, gunung, serta hutan-
hutan.

“Itulah cerita Puteri Baghdad yang sudah lapuk dimakan usia dan
telah mengenyam pahit dan getir kehidupan,” kata Ahmad at-
Tawallud. “Kini tinggal sekawanan domba dan seekor anjing kurus
yang setia menungguinya. Sekarang, dia hanya seorang wanita
tua, meski gurat-gurat kecantikan masih tersisa di wajahnya. Dia
tidak secantik dan semenarik dulu. Taman-taman dan kebun-
kebun yang menghiasi mahligai kerajaan pun sudah berlalu. Jika
musim kering datang, meranalah tanah itu menjadi dataran tandus
yang hanya digunakan sebagai lintasan bagi para gembala ke
padang rumput di ujung gunung. Saat musim hujan, meluaplah
banjir dengan genangan air kotor beserta penyakit. Keagungan,
kemuliaan, kelimpahruahan, keindahan, dan kemakmuran yang
pernah dicurahkan ke atas negeri dongeng dengan puterinya yang
menawan itu kini sirna.”

“Menurut pandanganku, tragedi yang menimpa Puteri Baghdad


dan singgasana dongeng beserta seluruh penghuni kerajaan
adalah akibat kealpaan mereka kepada Sang Maharaja. Hari-hari
mereka disibukkan dengan urusan duniawi, terutama memuja sang
Puteri. Mereka lalai terhadap perintah Maharaja agar seluruh
penghuni negeri bertasbih memuji-Nya, baik siang maupun malam
(QS Thaha: 130). Mereka terpesona oleh bunga kehidupan dunia
yang sebenarnya hanyalah ujian dari-Nya semata yang sedikit pun
tidak boleh dijadikan tujuan kedua mata (QS Thaha: 131). Bahkan
227
mereka lupa pada peringatan Sang Maharaja yang memberikan
ancaman kepada mereka yang mencintai segala sesuatu selain
Dia, utusan-Nya, dan jalan-Nya (QS at-Taubah:24). Demikianlah,
para penghuni negeri yang dilimpahi kemakmuran itu luluh lantak
ditimpa murka Sang Maharaja,” katanya mengakhiri cerita.

Dari cerita Ahmad at-Tawallud, Abdul Jalil menangkap makna


bahwa kiblat hati dan pikiran dalam perjuangan dalam perjuangan
menuju Allah memang tidak bisa dipecah. Sebab, Allah tidak
menciptakan bagi manusia dua hati (QS al-Ahzab: 5). Karena itu,
barang siapa yang mengharap berjumpa dengan Allah hendaknya
ia melakukan amal saleh dan tidak mempersekutukan sesuatu pun
dengan-Nya (QS al-Kahfi: 110). Dan penderitaan pedih yang
dialami warga negeri dongeng itu adalah akibat kecintaan yang
berlebihan kepada Sang Puteri pujaan sehingga mereka lupa
kepada Sang Maharaja.

Kini, Puteri Baghdad telah menjadi tua renta dan lelah melewati
lintasan waktu yang begitu panjang dan penuh derita. Raja demi
raja bergantian memahkotai kecantikan dan kesuburannya.
Namun, semua raja memiliki kebiasaan yang sama: menganggap
Baghdad sebagai puteri cantik yang menawan dan menjadikannya
rebutan. Dan setiap pemenang akan memperkosa dan
menjarahnya habis-habisan, tanpa sisa. Bahkan di usianya yang
tua, Baghdad yang sudah terseok-seok itu tetap menarik perhatian
para lelaki perkasa untuk memperebutkan dan menjadikannya
sebagai sundal yang bermanfaat untuk mengeruk keuntungan.

228
Keheningan dinihari telah turun menutupi Puteri Baghdad. Cahaya
rembulan yang menyinari bumi hanya membias di atap-atap
bangunan raksasa dan kubah-kubah masjid. Selimut kabut
memenuhi lorong-lorong dan permukaan bumi. Hening mencekam.
Sunyi menerkam.

Abdul Jalil dengan terkantuk-kantuk mengikuti langkah Ahmad at-


Tawallud menembusi keheningan jalan becek berlumpur. Pada
dinihari yang dingin itu, sayup-sayup terdengar suara orang-orang
berdzikir menyebut-nyebut Asma Allah.

Semula ia menganggap suara dzikir itu sebagai hal yang lazim


dilakukan oleh jama’ah-jama’ah tarekat yang jumlahnya cukup
banyak di Baghdad. Namun, semakin lama didengarkan semakin
menimbulkan tanda tanya besar. Entah benar entah tidak, seolah-
olah suara dzikir itu berbunyi, “Subhani, al-hamdu li, la ilaha illa ana
wa ana al-akbar, fa’budni (mahasuci aku, segala puji untukku, tidak
ada tuhan selain aku, mahabesar aku, sembahlah aku).”

Khawatir terjebak dalam khayal dan mimpi akibat kantuk, ia


menggeleng-gelengkan kepala sambil mengusap-usap kedua
matanya, berusaha berada pada kondisi sadar seutuhnya.
Keanehan mendadak kembali mencekam kesadarannya.
Telinganya dengan jelas mendengar dzikir yang mengumandang
itu berubah bunyi, “Subhana Allah, al-hamdu li Allahi, la ilaha illa
Allah, Allahu akbar, fa’buduhu (Mahasuci Allah, Segala puji milik
Allah, Tidak ada Tuhan selain Allah, Allah Mahabesar, sembahlah
229
Dia).” Namun, lagi-lagi kedalaman hatinya menangkap suara dzikir
itu berbunyi aneh, “Subhani, al-hamdu li, la ilaha illa ana wa ana al-
akbar, fa’budni.”

Ketidakselarasan antara pendengaran telinga inderawi dan


pendengaran batin membuatnya bingung. Berulang-ulang ia
mengusap-usap mata dan terbatuk-batuk untuk meningkatkan
kesadaran. Namun, ketidakselarasan suara dzikir itu makin
terdengar terang dan jelas. Dan sesaat kemudian yang
didengarnya hanyalah suara dzikir yang ditangkap telinga
inderawinya. Ia sangat bingung dengan peristiwa itu.

Ahmad at-Tawallud yang berjalan di depan tampaknya menangkap


sasmita yang dialami Abdul Jalil. Dengan penuh ketenangan dia
mengajak Abdul Jalil berhenti di teras sebuah surau. Setelah
beberapa jenak mengatur napas, dia menjelaskan tentang suara-
suara dzikir yang mengalun di tengah keheningan.

“Bagi telinga inderawi manusia,” kata Ahmad at-Tawallud dengan


suara datar, “suara dzikir itu terdengar sebagai puji-pujian
mengagungkan Allah. Namun, bagi mereka yang mulai tersingkap
kesadaran sejatinya dari hijab-hijab indriawi, telinga batinnya akan
mendengar dzikir itu sebagai puji-pujian terhadap diri sendiri.”

230
“Saya baru saja mendengar perbedaan suara itu, o Tuan Yang
Mulia,” kata Abdul Jalil meminta penjelasan. “Saya sempat berpikir
itu hanya mimpi atau khayalan saja.”

“Aku sengaja membawa Tuan melewati kawasan ini untuk menguji


pendengaran telinga batin Tuan. Karena menurut hemat saya,
Tuan sudah cukup jauh menembus selubung demi selubung hijab
yang memenjarakan keakuan sejati Tuan. Itu berarti, Dia sudah
menganugerahi kemuliaan sehingga Tuan bisa menangkap
perbedaan segala sesuatu yang sejati dan yang palsu.”

“Tapi Tuan,” sergah Abdul Jalil heran, “apakah mungkin ada


tarekat palsu yang membalut urusan duniawi dengan dalih
ukhrawi? Guru tarekat macam apa mereka itu?”

Ahmad at-Tawallud tersenyum lebar. Kemudian dengan tenang dia


menceritakan tentang seorang guru tasawuf bernama Syaikh Abu
Syarr azh-Zhulmi, mursyid Tarekat Ananiyyah. Syaikh Abu Syarr
azh-Zhulmi adalah salah seorang murid setia kakeknya. Setelah
kakeknya meninggal, tidak seorang pun putera maupun cucu yang
menggantikan kedudukannya, juga tidak ada murid yang ditunjuk
sebagai pengganti. Murid-murid itu berlomba membentuk jama’ah
sendiri-sendiri. “Untuk memperkuat keberadaan diri sebagai guru
tarekat, tanpa rasa malu sedikit pun, mereka saling mengaku
sebagai khalifah yang ditunjuk kakekku.”

231
Bagi Ahmad at-Tawallud, perilaku murid-murid kakeknya itu sangat
memuakkan. Berbeda dengan gelora semangat yang mengobari
perjuangan kakeknya dalam menyeberangi samudera kebenaran,
perjuangannya para murid itu dilandasi oleh semangat kecintaan
duniawi. Mereka menabalkan diri sebagai mursyid yang
menentukan arah kebenaran bagi pengikut-pengikutnya. Mereka
menebarkan pandangan bahwa mereka adalah kekasih Allah yang
bisa memberi limpahan berkah kepada siapa saja yang
dikehendakinya. Dan sebaliknya bisa mendatangkan laknat dan
kutukan dari Allah kepada siapa saja yang mencemoohkan dan
tidak menghargai mereka. Celakanya, antara murid satu dan yang
lain saling berlomba menjelek-jelekkan dan memfitnah, dengan
tujuan utama memenangkan persaingan untuk memperoleh
pengikut paling banyak.
Di antara murid-murid kakeknya, Ahmad at-Tawallud paling
banyak mengamati perilaku Syaikh Abu azh-Zhulmi. Karena, selain
lokasi pesulukannya dekat, dia juga paling licik kelakuannya.

Pertama. Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi dan pengikutnya


menyebarkan berita bahwa dialah satu-satunya murid yang
diangkat sebagai khalifah oleh gurunya. Padahal, Syaikh Abdul
Mubdi al-Baghdady, gurunya, tidak pernah mengangkatnya
menjadi khalifah. Tentang hal ini, baik keluarga kakeknya maupun
seluruh murid sepakat bahwa Abu Syarr azh-Zhulmi berbohong.

Kedua. Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi dengan dukungan para


pengikutnya memperkuat pandangan masyarakat melalui cerita-

232
cerita menakjubkan berkait dengan berbagai karomah yang ada
pada dirinya. Padahal, segala cerita tentang karomah yang
disebarkan itu isapan jempol belaka.

Ketiga. Setiap bulan, tepatnya saat purnama, Syaikh Abu Syarr


azh-Zhulmi mengajak murid-muridnya melakukan ziarah sekaligus
dzikir berjama’ah di makam Syaikh Abdul Mubdi al-Baghdady.
Seusai dzikir, dia biasanya mengarang bermacam cerita yang
mengaitkan keberadaan dirinya dengan perintah-perintah rahasia
dari arwah Syaikh Abdul Mubdi al-Baghdady.

Keempat. Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi terbukti sering melakukan


tipu daya kepada masyarakat awam yang menjadi pengikutnya.
Mereka secara bergantian diwajibkan memenuhi kebutuhan
pesulukannya, baik dalam bentuk gandum, daging, roti, rempah-
rempah, uang, dan bahan pakaian. Bahkan anak-anak perempuan
pengikutnya yang cantik-cantik diperistri oleh guru tengik itu.
Alasan utamanya adalah dia akan melimpahkan barokah dan
karomah bagi pengikutnya yang patuh dan menimpakan laknat
serta kutukan bagi yang menantang kehendaknya.

Kelima. Untuk mengukuhkan diri sebagai mursyid sekaligus


memperbanyak pengikut, Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi
menanamkan doktrin bahwa hanya tarekat inilah yang paling
benar. Lantaran itu, setiap anggota tarekat dijamin masuk surga
dan mereka bisa memberikan syafa’at kepada sembilan orang
keluarga terdekat.
233
“Bertolak dari penilaianku itulah, o Tuan,” kata Ahmad at-Tawallud,
“aku melihat keberadaan Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi dan
Tarekat Ananiyyah yang dipimpinnya sebagai sesuatu yang aneh
dalam pandangan sufi. Sehari-hari, misalnya, mereka lewati
dengan memuja dan memuji diri sendiri serta mencaci maki tarekat
lain. Dalam berbagai perbincangan, mereka terkenal sangat
mendalam pengetahuan ruhaninya, namun hasrat hati mereka
sangat cenderung berpamrih duniawi. Mereka benar-benar licin
bagai serigala berbulu domba.”

“Ketahuilah, o Tuan,” lanjutnya, “bahwa tabir yang menutupi hati


Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi adalah yang disebut rain, yakni tabir
kekufuran dan kesesatan yang tak bisa disingkap kecuali dengan
cahaya iman. Dia terperangkap ke dalam lingkaran penjara jiwa
yang gelap tanpa cahaya, sebagaimana firman Allah: ‘Sebenarnya
apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi mata hari mereka
(QS al-Muthaffifin: 14).’ Jadi, mengerikan sekali keberadaan
Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi itu.”

“Tapi Tuan, kenapa hati Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi bisa tertabiri
kekufuran dan kesesatan?” Abdul Jalil heran. “Bukankah dia
muslim?”

“Apakah Tuan mengira setiap orang yang mengaku muslim bahkan


ulama, hatinya tidak bisa tertabiri oleh tirai kekufuran dan
kesesatan?” Ahmad at-Tawallud balik bertanya.

234
“Tidak ada yang tidak mungkin, Tuan,” kata Abdul Jalil. “Tapi,
bagaimana hal itu bisa terjadi setelah dia beroleh cahaya iman?”

“Tidak semua orang yang mengaku muslim beroleh karunia


cahaya iman dari Allah. Sering kali keislaman seseorang diperoleh
karena latar keturunan. Itu sebabnya Allah menguji orang-orang
yang mengaku beriman dengan berbagai cobaan sesuai kadar
kemampuannya. Dan kenyataan sering membuktikan betapa
orang-orang yang mengaku muslim dan lahir dari keluarga muslim
yang taat, ketika diuji ternyata mudah runtuh keimanannya.”

“Berarti Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi tanpa sadar telah


mengingkari keberadaan Allah?” tanya Abdul Jalil penasaran.
“Bagaimana hal seperti itu bisa terjadi, o Tuan?”

“Proses itu berlangsung sangat lama dan perlahan-lahan,” Ahmad


at-Tawallud menjelaskan. “Mula-mula, seperti umumnya manusia,
hati Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi tertabiri oleh ghain yang sangat
tipis. Ghain adalah hijab yang menyelubungi semua manusia,
termasuk nabi-nabi. Namun, karena dia sering melupakan Allah
dan melakukan dosa maka makin lama ghain itu makin tebal.
Lantaran dia tak pernah melakukan tobat maka ghain pun terus
menebal dan menjalin sambungan dengan rain yang
menyelubungi hati orang-orang kafir dan sesat.”

235
“Awalnya proses itu berlangsung sederhana dan sangat lembut,
seperti berbohong yang dibiasakan. Padahal, dengan berbohong
seseorang secara hakiki telah menafikan sifat Allah Yang Maha
Melihat. Jika awalnya hanya menafikan maka lama-kelamaan
orang itu akan mengabaikan dan bahkan tidak meyakini hari
perhisaban di akhirat. Bohong demi bohong dilakukan. Berarti dosa
demi dosa telah dilakukan. Karena, dengan berbohong ia telah
terkondisi oleh keadaan jiwa seolah-olah Allah tidak mengetahui
perbuatan dosanya. Dan ujung dari proses itu adalah mengingkari
keberadaan Allah. Setelah melewati proses yang lama, yang ada
bagi seorang pembohong dan penipu adalah dirinya sendiri. Itu
sebabnya, alih-alih pembohong itu mulutnya berdzikir mengingat
Allah, sesungguhnya hati dan pikirannya berdzikir untuk mengingat
keberadaan dirinya sendiri. Artinya, secara hakiki dia telah menjadi
pemuja nafs-nya sendiri. Dia telah memuja kepada selain Allah.”
Al-Insan sirri wa ana sirruhu (Manusia adalah rahasia-Ku dan Aku
adalah rahasianya). Meski singkat, hadits Rasulallah Saw. ini
mengandung makna yang luar biasa dahsyat tentang misteri yang
menyelubungi keberadaan manusia. Berbagai pengalaman hidup
yang dialami Abdul Jalil, terutama yang terkait dengan keberadaan
orang-orang yang pernah dikenalnya, memberikan pemahaman
baru yang sama sekali berbeda dari pandangan masyarakat
awam.

Benar-benar rahasia Allah yang luar biasa menakjubkan. Orang-


orang yang dikasihi-Nya ditampakkan kepada dunia dalam wujud
tak terduga, yakni manusia bernama Ahmad Mubasyarah at-
Tawallud, saudagar kaya, pemilik puluhan kapal dagang dan kedai

236
di bandar-bandar pelabuhan yang tersebar di berbagai negeri,
yang selalu disibuki oleh urusan-urusan perniagaan. Sementara
penipu tengik yang terhijab dari-Nya justru ditampakkan dalam
wujud “beliau yang terhormat” guru tarekat yang penuh barokah
dan karomah, seperti Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi.

Selama setahun lebih menjalin keakraban dengan Ahmad at-


Tawallud, ia mendapati bahwa sahabat yang juga pembimbing
ruhaninya itu adalah salah seorang yang dikasihi-Nya. Kesimpulan
ini diambil setelah ia melihat perilaku Ahmad at-Tawallud terbebas
dari pamrih pribadi, dari kepemilikan baik harta benda maupun
keluarga, dari rasa takut, dari rasa sedih dan kecewa, dan dari
sejumlah peristiwa adiduniawi yang terjadi di luar kehendaknya.

Abdul Jalil menyadari penampakan mereka yang dikasihi-Nya


sebagai salah satu bagian dari tersingkapnya hijab yang
menyelubungi keakuannya. Getaran-getaran halus dan lembut
yang memancar dari kedalaman lubuk hatinya bagaikan matahari
terbit dari kegelapan, menerangi cakrawala perasaan dan
pikirannya. Seolah-olah ada sesuatu di dalam dirinya yang
memberi tahu, mengarahkan, menasihati, dan membimbing
perasaan dan pikirannya dalam memaknai sesuatu.

Perubahan-perubahan yang dialaminya itu diceritakan kepada


Ahmad at-Tawallud. Dan sahabatnya itu dengan bahasa metaforik
menjelaskan bahwa apa yang dialaminya itu ibarat orang berjalan
dari tempat gelap menuju ke tempat terang, ke arah sumber
237
cahaya. Setiap langkah mendekati sumber cahaya, ungkap Ahmad
at-Tawallud, akan membawa pencerahan. Dengan demikian,
setiap langkah maju ke arah-Nya identik dengan tersingkapnya
hijab-hijab.

“Sekarang ini engkau berada pada perbatasan antara zawa’id dan


lawami’ sebagai akibat dari tersingkapnya fawa’id. Zawa’id adalah
terlimpahnya cahaya Ilahi ke dalam kalbu yang membuat ruhanimu
tercerahkan. Lawami’ adalah mengejawantahnya cahaya ruhani
akibat tersingkapnya fawa’id. Sedang yang dimaksud fawa’id
adalah memancarnya potensi pemahaman ruh karena hijab-hijab
yang menyelubunginya telah tersingkap. Pada tahap inilah engkau
akan menjadi berbeda dengan seumumnya manusia, karena
engkau memahami sesuatu dengan fawa’id yang sudah tersingkap
selubung hijabnya. Di sini, engkau akan menjadi cerdas tanpa
belajar dan tanpa membaca buku.”

“Apakah fawa’id bisa terbungkus selubung hijab lagi?” tanya Abdul


Jalil.

“Jika engkau belum bisa melepas segala yang duniawi maka


pancaran terang fawa’id tidak akan maksimal,” kata Ahmad at-
Tawallud. “Bahkan jika segala yang duniawi itu makin
membelenggumu setelah terjadi lawami’ maka hijab yang
membungkus fawa’id akan semakin tebal menyelubungi dirimu. Itu
berarti engkau berjalan mundur.”

238
Berdasar uraian Ahmad at-Tawallud tentang zawa’id, lawami’, dan
fawa’id, tanpa disadari Abdul Jalil terbawa arus ke lingkaran
rahasia para penganut Tarekat Ananiyyah pimpinan Syaikh Abu
Syarr azh-Zhulmi.

Satu senja, Abdul Jalil mengikuti shalat isya berjama’ah di Masjid


al-Qubh yang menjadi markas Tarekat Ananiyyah. Ia berperilaku
bagai orang asing yang belum mengetahui sesuatu pun tentang
tarekat ini. Seusai shalat, ia berkenalan dengan beberapa jama’ah,
salah satunya bernama Ibnu Mushtawif yang mengaku sebagai
murid terkasih Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi.

Selama beberapa jenak berbicara, kejernihan hati Abdul Jalil yang


memancarkan cahaya lawami’ dan dapat memahami sesuatu
melalui fawa’id, menangkap isyarat bahwa lawan bicaranya adalah
pembual besar yang sangat kacau pemahamannya tentang jalan
ruhani. Ibnu Mushtawif hanyalah orang awam yang tidak memiliki
pemahaman mendalam tentang tasawuf, namun mengaku
memiliki pengetahuan kesufian. Bahkan yang menyedihkan, Ibnu
Mushtawif mengaku sanggup membimbing orang menuju Ilahi
karena sudah diberi wewenang oleh Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi
sebagai khalifahnya.

Sebenarnya, Abdul Jalil ingin sekali mengingatkan Ibnu Mushtawif


tentang bahaya akibat mengaku-aku diri sebagai guru ruhani yang
bisa membimbing orang lain menuju Allah. Namun, keinginan itu
ditahan kuat-kuat karena ia ingin lebih jauh mengetahui lingkaran
239
rahasia tarekat, terutama hasrat untuk berjumpa dengan Syaikh
Abu Syarr azh-Zhulmi. Itu sebabnya, selama berbicara dengan
Ibnu Mushtawif, ia selalu bersikap seperti orang awam yang tidak
memiliki pengetahuan agama. Dan sikap itu ternyata berhasil
memancing Ibnu Mushtawif untuk berbicara banyak tentang seluk-
beluk tarekat yang dianutnya.

Pelajaran awal bagi murid yang baru masuk tarekat, ungkap Ibnu
Mushtawif, adalah melatih diri melepaskan hal-hal duniawi dari hati
dan pikiran. Hal itu dilakukan dengan mewajibkan murid-murid
memberikan seperlima dari harta mereka kepada mursyid. Harta
ini akan digunakan untuk berjuang di jalan Allah. Selain itu, mereka
juga diwajibkan melunasi zakat dan aqiqah yang belum dibayarkan
sejak mereka lahir. Semua itu sebagai sarana pembersih jiwa.

Karena Abdul Jalil mengaku awam dan baru menjalankan syari’at


Islam sekitar tujuh tahun lalu maka ia diharuskan membayar zakat
selama dua puluh tahun, yakni sejak ia dilahirkan dikurangi tujuh
tahun. Abdul Jalil juga mengaku ia belum ditebus dengan aqiqah.
Dan setelah dihitung-hitung, ia harus menyediakan sekitar seribu
tiga ratus dirham uang emas.

Sekalipun berusaha untuk selalu mengiyakan segala apa yang


dikatakan Ibnu Mushtawif, ia pada akhirnya tidak mampu untuk
menahan diri agar tidak bertanya, terutama tentang uang yang
harus disetor kepada mursyid. “Digunakan untuk apakah uang itu?”
tanyanya mendadak.
240
“Tuan,” Ibnu Mushtawif tercekat kaget, “tidakkah Tuan tahu bahwa
mursyid adalah pengejawantahan Allah di muka bumi? Jadi, tidak
satu pun di antara pengikutnya boleh menanyakan apa yang
diperbuat mursyid. Tidakkah Tuan ingat kisah Musa dan Khidir?
Dalam menempuh jalan ruhani diharamkan seseorang bertanya ini
dan itu kepada mursyidnya. Ia harus menjadi mayat. Diam.
Terserah apa kehendak mursyid. Jika tidak berarti ia telah gagal.”

Ketika perbincangannya dengan Ibnu Mushtawif disampaikan


kepada Ahmad at-Tawallud, tanpa banyak bicara ia diberi seratus
dirham uang emas. “Tuan, berikan uang ini kepada Ibnu Mushtawif.
Katakan kepadanya bahwa ini angsuran pertama. Angsuran
selanjutnya akan Tuan bayar tiap bulan. Hal membayar mursyid
dengan cara mengangsur ini lazim mereka lakukan untuk menipu
pengikut-pengikut awam yang miskin.”

“Tapi Tuan?” sergah Abdul Jalil heran, “untuk apa menanggapi


penipu seperti Ibnu Mushtawif?”

“Bukankah Tuan ingin berjumpa dengan Syaikh Abu Syarr azh-


Zhulmi?” gumam Ahmad at-Tawallud. “Tanpa cara ini, Tuan tak
akan dapat menemuinya. Dengan jalan ini Tuan dapat lebih jernih
memandang dan menilai manusia. Bukankah Tuan juga ingin
menguji pemahaman fawa’id Tuan?”

241
Ibnu Mushtawif bukanlah orang yang cerdas, meski dia dianggap
paling senior di antara murid-murid Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi.
Sebab, dengan “pancingan” seratus dirham emas saja dia sudah
yakin bahwa Abdul Jalil masuk ke dalam perangkap. Hal itu
setidaknya terlihat dari sikap Ibnu Mushtawif yang begitu terbuka
menjelaskan berbagai hal bersifat propaganda tentang tarekat dan
mursyid panutannya.

Tanpa diminta dia menuturkan bahwa mursyid yang dijadikan


sandaran jalan ruhaninya itu memiliki pengikut orang-orang
berpangkat yang dihormati masyarakat. Bahkan sejumlah keluarga
Sultan Bayazid diam-diam mengikuti Tarekat Ananiyyah. “Karena
itu, para as-sanaziq (bupati), pasya (gubernur), dan bahkan shadr
al-a’zham (perdana menteri) sangat hormat kepada mursyid kita,
Yang Mulia Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi.”

Berdasarkan cerita-cerita yang diungkap Ibnu Mushtawif, Abdul


Jalil memiliki pandangan bahwa Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi
selain berkedudukan sebagai guru ruhani juga menjadi calo
jabatan bagi orang-orang yang berambisi kuat menjadi pejabat di
Kesultanan Utsmani. Sudah bukan rahasia lagi bahwa para
pembantu sultan, termasuk shadr al-a’zham, tidak dipilih dari
orang-orang yang ahli di bidangnya. Mereka diangkat berdasarkan
penilaian siapa yang paling besar sumbangan pribadinya kepada
sultan dan keluarganya, termasuk memenuhi segala permintaan
sultan. Itu sebabnya, ketika shadr al-a’zham berkuasa maka ia
melakukan cara yang sama untuk mengangkat para pasya. Dan

242
para pasya pun mempraktikkan hal serupa ketika mengangkat
para as-sanaziq.

Cara mengangkat pejabat kesultanan dengan menggunakan


ukuran besarnya sumbangan pribadi ini membentuk mentalitas
pejabat-pejabat yang “menjilat ke atas dan menginjak ke bawah”,
dengan tekanan terberat terletak pada pundak rakyat jelata.
Mereka dibebani pajak berlipat-lipat. Cara seperti itulah yang
membuat para guru besar sufi, seperti Syaikh Abdul Qadir al-
Jailany, menolak tegas-tegas sumbangan yang diberikan sultan,
karena sumbangan itu diperoleh dari memeras darah rakyat.
Anehnya, Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi justru menjadi calo setia
para ambisius untuk meraih jabatan tinggi di pemerintah.

Cerita yang paling mengejutkan Abdul Jalil adalah tentang peran


Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi dalam menggalang para ulama fiqh
untuk mensahkan program-program shadr al-a’zham, pasya, dan
as-sanaziq agar diterima utuh oleh rakyat. Alih-alih menuturkan
kebesaran Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi yang dihormati dan
disegani para ulama fiqh, penjelasan Ibnu Mushtawif itu bagi Abdul
Jalil justru dinilai sebagai hal yang menyedihkan. Bagaimana
mungkin, pikirnya, seseorang yang sudah menduduki jabatan
mursyid tarekat justru bekerja sebagai calo yang menjembatani
ulama dan umaroh dalam memutuskan kebijakan-kebijakan
duniawi dengan selubung legitimasi agama.

243
Ketika Abdul Jalil menuturkan kembali cerita-cerita Ibnu Mushtawif,
Ahmad at-Tawallud mengungkapkan suatu rahasia Ilahi di balik
kehidupan makhluk-Nya. “Sudah menjadi hukum-Nya bahwa
berbagai jenis makhluk akan digolongkan ke dalam lingkungan
yang sejenis. Harimau hidup di lingkungan harimau. Kuda hidup di
lingkungan kuda. Domba hidup di lingkungan domba. Anjing hidup
di lingkungan anjing. Tikus hidup di lingkungan tikus. Karena itu,
jangan gampang terkecoh oleh ucapan tikus yang dengan pongah
mengatakan bahwa dirinya adalah bagian dari kawanan harimau.
Untuk mengetahui berjenis-jenis makhluk dalam kehidupan
manusia memang sulit, karena manusia satu dengan manusia
yang lain diselubungi hijab. Hanya mereka yang sudah tersingkap
fawa’id dan terpancar cahaya lawami’ saja yang dapat melihat
hakikat masing-masing manusia.”

“Apakah menurut Tuan, para as-sanaziq, pasya, shadr al-a’zham,


bahkan sultan dan keluarganya pun bukan orang yang baik?” tanya
Abdul Jalil meminta penjelasan.

“Bagiku, setiap orang yang mencintai kekuasaan dan benda-benda


duniawi, termasuk mencintai keluarga secara berlebihan adalah
orang yang tidak baik. Tidakkah Tuan tahu bahwa Sultan Bayazid
adalah orang yang sangat ambisius dan pecinta duniawi sehingga
tega menista wasiat yang ditetapkan ayahandanya, Sultan
Muhammad al-Fatih.”

244
“Sebelum Sultan Muhammad al-Fatih wafat, beliau sudah
berwasian agar yang diangkat menjadi sultan pengganti dirinya
adalah putera terkecil, Jammun. Namun, Bayazid selaku putera
sulung mempersetankan wasiat itu. Dia naik takhta dan
menyingkirkan adiknya. Terjadi perang seru antara dua kekuatan.
Setelah berperang selama tujuh tahun, kekuatan Jammun hancur.
Tanpa belas kasihan, Bayazid membinasakan Jammun dan sisa-
sisa pengikutnya serta memburu semua simpatisannya.”

“Siapa yang menanam akan menuai. Itulah hukum Ilahi. Sekarang


ini, saat Sultan Bayazid beranjak tua dan menunjuk Ahmad, putera
sulungnya, sebagai penggantinya kelak, justru ditentang oleh
Salim, puteranya yang paling kecil. Hanya Allah yang tahu
bagaimana akhir pertarungan antara dubug (anjing hutan) dan
burung nazar itu dalam memperebutkan bangkai duniawi dari
hewan buas bernama Kesultanan Turki Utsmani.”

Mendengar uraian Ahmad at-Tawallud, Abdul Jalil hanya


mengangguk-angguk. Karena, ia sendiri pernah mengalami betapa
manusia bisa menjadi serigala buas yang berbahaya ketika
dimabuk ambisi kekuasaan. Ingatan tentang adik ibunda
angkatnya, Rsi Bungsu, berkelebat. Abdul Jalil tidak tahu lagi
bagaimana nasib pamandanya itu. Apakah masih hidup atau
sudah mati? Diam-diam ia kehilangan semangat untuk bertemu
dengan Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi. Ia merasa mursyid Tarekat
Ananiyyah itu adalah bagian dari kawanan dubug dan burung
nazar, atau bisa jadi dia hanya cacing yang ikut berpesta pora
menikmati kelezatan bangkai kekuasaan duniawi.
245
Meski sudah kehilangan hasrat untuk bertemu Syaikh Abu Syarr
azh-Zhulmi, kumparan nasib menentukan lain. Tanpa pernah
diduga, tiba-tiba ia berjumpa dengan Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi
saat berpamitan kepada Ibnu Mushtawif seuasi shalat isya.
Rupanya, Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi malam itu mengajar di
Masjid al-Qubh. Itu sebabnya, Ibnu Mushtawif berusaha keras agar
Abdul Jalil bersedia duduk barang sebentar untuk mendengarkan
ceramah mursyidnya. “Aku mohon, untuk yang pertama dan
mungkin yang terakhir, Tuan harus mendengarkan fatwa-fatwa
Tuanku Syaikh. Tuan akan menyaksikan sendiri betapa luas tak
terbatasnya samudera pengetahuan Tuanku Syaikh,” Ibnu
Mushtawif memohon.

Untuk menghargai Ibnu Mushtawif sekaligus membuktikan


kebenaran kisah Ahmad at-Tawallud, ia akhirnya setuju tinggal
lebih lama di Masjid al-Qubh. Namun, saat Syaikh Abu Syarr azh-
Zhulmi naik ke mimbar dan memulai ceramah dengan puja dan puji
kepada Allah dan salawat kepada Rasulallah Saw., tiba-tiba ia
menyaksikan kilasan citra yang sebenarnya dari keberadaan
pemimpin tarekat itu. Ketika hijab maujudnya sebagai manusia
tersingkap, yang tampak adalah wujud burung nazar. Sedetik
kemudian wujud burung nazar itu berubah lagi menjadi manusia,
tetapi dalam citra yang licik, tidak jujur, bengis, dan menyimpan
kejahatan di kedalaman hatinya.
Wajah Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi yang tirus dengan kening
tinggi dipahami Abdul Jalil sebagai manusia yang memiliki watak
keras dan berpikiran sempit. Matanya yang cekung seperti
menyimpan lautan kebencian, gunung ketakaburan, rimba

246
ketidakjujuran, gurun kerakusan, dan matahari kecemburuan.
Hidungnya yang bengkok seperti paruh rajawali bagai menyimpan
sejuta lakon sandiwara dunia yang penuh kecurangan dan
kelicikan. Dan kebiasaannya menggerak-gerakkan tangan ketika
berbicara, seperti penipu yang berusaha mengalihkan perhatian
orang dari ucapan-ucapannya.

Ia awalnya kurang yakin dengan penglihatan gaib yang dialaminya


saat memandang Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi. Ia ragu apakah itu
pandangan yang berasal dari pemahaman fawa’id dan pancaran
nur lawami’ atau sekadar ilusi yang membias dari relung-relung
jiwanya akibat mendengar cerita Ahmad at-Tawallud. Namun,
keraguannya pupus manakala ia dengan cermat dan teliti
mendengarkan ceramah Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi yang berisi
puja dan puji terhadap kemuliaan, keagungan, keluhuran,
ketaatan, ketawadukan, kekeramatan, dan berbagai citra terpuji
diri sendiri.

Dengan penuh yakin Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi menjelaskan


bahwa dirinya telah menjadi penyebab utama bagi keselamatan
dan kemuliaan warga Baghdad dan sekitarnya, terutama orang-
orang miskin. “Tiga hari lalu aku datangi cucu guruku yang menjadi
saudagar kaya raya. Kusampaikan kepada dia, yaitu Ahmad
Mubasyarah at-Tawallud, bahwa sesuai pesan kakeknya dari alam
barzakh maka dia harus membagi-bagikan sebagian kekayaannya
untuk menolong para fakir dan miskin. Alhamdulillah, perkataanku
dipatuhinya. Maka, bersukacitalah para fakir dan miskin yang

247
terkena musibah itu,” ujar Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi disambut
decak kagum para pengikutnya.

Penjelasan Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi tentu saja mengherankan


Abdul Jalil. Bagaimana mungkin guru tarekat itu bisa sedemikian
rupa berani berbohong tentang Ahmad at-Tawallud.
Sepengetahuannya, sahabatnya itu membagi-bagikan uang atas
kemauannya sendiri. Di samping itu, Ahmad at-Tawallud tidak
pernah memamerkan amaliah yang telah dilakukannya. Syaikh
Abu Syarr azh-Zhulmi tampaknya mengetahui kebiasaan Ahmad
at-Tawallud dari cerita-cerita yang disebarkan oleh kalangan fakir
dan miskin yang selama ini mendapatkan santunan.

Belum puas mengaku sebagai orang yang berperan penting


memberikan perintah kepada Ahmad at-Tawallud, Syaikh Abu
Syarr azh-Zhulmi menguraikan perihal kebaikan orang-orang yang
melakukan amaliah secara tersembunyi. Dengan penuh
kebanggaan dia menyampaikan bahwa apa yang dilakukan Ahmad
at-Tawallud pada dasarnya adalah amaliah kosong. “Tidak ada
yang dia peroleh dari apa yang dia kerjakan kecuali pujian dan
ucapan terima kasih dari orang-orang yang diberinya uang.”

Dengan mengutip beberapa hadits Rasulallah Saw., Syaikh Abu


Syarr azh-Zhulmi meyakinkan para jama’ah pengikutnya untuk
menganggap amaliah yang dilakukan Ahmad at-Tawallud adalah
sia-sia. Kemudian tanpa malu sedikit pun dia mengungkapkan
bahwa sebenarnya yang beroleh pahala besar dari Allah adalah
248
orang yang berperan penting tetapi tidak diketahui orang lain.
“Kalian bisa menilai sendiri bagaimana peranku dalam hal itu.
Tetapi, siapa yang tahu jika apa yang dilakukan oleh Ahmad at-
Tawallud adalah atas perintahku?” ujarnya penuh bangga,
disambut decak kagum pengikutnya.

Seperti tak pernah puas, dia kembali menuturkan kisah fantastis


tentang pertemuannya dengan Nabi Khidir tak lama setelah luapan
air sungai Dajlah menggenangi pinggiran Baghdad. “Nabi Khidir
menemui aku karena sangat simpati dengan kesabaran dan
ketawakalanku menghadapi fitnah dan hinaan masyarakat.”

Bagaikan guru ruhani yang sabar dan tawakal, Syaikh Abu Syarr
azh-Zhulmi menyampaikan bahwa keberadaannya selaku mursyid
Tarekat Ananiyyah banyak dikecam, difitnah, dicaci maki, dan
dianggap menyimpang oleh orang-orang, terutama kawan-
kawannya yang pernah berguru kepada Syaikh Abdul Mubdi al-
Baghdady. “Mereka iri hati kepadaku sejak dulu. Mereka tak
pernah sadar bahwa Syaikh Abdul Mubdi al-Baghdady adalah aulia
yang arif billah. Mereka tidak bisa memahami kenapa guruku itu
sangat cinta dan hormat kepadaku. Mereka dengki. Dan
kedengkian adalah sifat Iblis!” ujarnya berapi-api.

Setelah berkata dengan penuh semangat dan berapi-api, Syaikh


Abu Syarr azh-Zhulmi menurunkan tekanan suaranya. Dengan
bersikap seperti seorang arif yang benar-benar sabar dan tawakal,
dia mewanti-wanti agar pengikutnya bersabar menghadapi ujian
249
tersebut. “Biarkan mereka menebar fitnah dan kekejian. Sabar.
Tawakal. Biarlah Allah yang mengurus dan memberi hukuman.
Bagiku, kehadiran Nabi Khidir adalah pertanda yang baik dan awal
dari tersingkapnya kabut kejahatan yang akan memancarkan
cahaya kebenaran.”

Menurut cerita Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi, ketika itu Nabi Khidir
berjalan di atas air sungai Dajlah. Nabi Khidir, lanjutnya, memberi
tahu bahwa musibah tahunan yang menimpa penduduk di sekitar
sungai Eufrat dan Tigris pada hakikatnya adalah murka Allah
karena perilaku orang-orang yang telah berlaku sangat keji kepada
para pengamal Tarekat Ananiyyah, terutama kepada mursyidnya.

“Nabi Khidir bersabda bahwa musibah itu datang karena orang-


orang telah berani menista dan menghinakan kekasih Allah.
Padahal, Allah Ta’ala telah tegas menetapkan ketentuan-Nya di
dalam hadits Qudsy bahwa siapa saja yang memusuhi kekasih-
Nya berarti memaklumkan perang kepada-Nya. Jadi, musibah ini
akan terus berlangsung dari tahun ke tahun sampai orang-orang
menyadari kesalahannya. Bagiku, dihina atau dinista bukan
masalah penting. Aku pasrah kepada-Nya. Yang membuat aku iba
hati adalah orang-orang miskin yang tidak ikut bersalah harus
menanggung derita akibat murka Allah. Karena itu, aku berusaha
agar mereka mendapat santunan melalui cucu guruku. Dan
usahaku itu ternyata berhasil sehingga beban rasa bersalahku jadi
berkurang,” ujarnya disambut seruan “Allah” secara serentak dari
para pengikutnya.

250
Bagai orang kehausan minum air laut, selama hampir tiga jam
berceramah di atas mimbar, Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi terus-
menerus membuat cerita dan fatwa yang ujungnya adalah
kemuliaan, keluhuran, kemasyhuran, dan kehebatan dirinya
sebagai kekasih Allah. Dan di atas segala uraiannya, dengan
kelihaiannya berbicara dan bercerita serta memperkuat apa yang
disampaikannya itu dengan dalil-dalil Al-Qur’an dan hadits, dia
meyakinkan para pengikutnya bahwa tidak ada yang benar, baik,
mulia, luhur, dan diridhoi Allah kecuali Tarekat Ananiyyah,
terutama mursyidnya.

Puncak dari bualan Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi adalah saat dia
berkisah tentang pertemuan gaibnya dengan Rasulallah Saw lewat
mimpi yang tergolong ar-ru’yah ash-shadiqah. Dalam pertemuan
itu, bualnya, Rasulallah Saw. memintanya agar mengumpulkan
semua pengikutnya untuk melakukan dzikir dan doa bersama guna
mendukung Lahi bin Zhann azh-Zhulmah agar bisa meraih jabatan
pasya di Baghdad, menggantikan Kadar bin Katsif al-Mayl yang
sudah uzur.

“Rasulallah Saw. bersabda bahwa Lahi azh-Zhulmah adalah salah


seorang keturunannya dari Sayidina Hasan bin Ali bin Abi Thalib.
Namun, demi kerendahan hati dan terutama penguatan imannya
maka ia sengaja menyembunyikan identitas dirinya. Lahi azh-
Zhulmah tidak mau dipuja dan dipuji orang sebagai keturunan
Rasulallah Saw.. Karena itu, jika ia menjadi pasya maka karunia
Allah akan melimpah ke segala penjuru negeri ini. Sebagai

251
keturunan Rasulallah Saw., ia akan membawa berkah, karomah,
dan rahmat bagi alam semesta.”
Abdul Jalil yang tekun mendengarkan segala bualan itu terkejut
demi mendengar nama Lahi azh-Zhulmah disebut-sebut sebagai
keturunan Rasulallah Saw.. Lebih terkejut lagi ketika Abu Syarr
azh-Zhulmi menyebutnya sebagai calon pasya di Baghdad.
Padahal, berdasarkan keterangan dari Ahmad at-Tawallud,
manusia bernama Lahi azh-Zhulmah adalah pedagang budak yang
licik, jahat, keji, dan nista perbuatannya.

Abdul Jalil masih ingat benar betapa sepanjang perjalanan


membagi-bagi uang emas dan perak di pinggiran Baghdad, Ahmad
at-Tawallud menuturkan bahwa Lahi azh-Zhulmah pun melakukan
hal yang sama. Bedanya, dia mendatangi rumah-rumah keluarga
miskin dengan iktikad menabur piutang.

Keluarga-keluarga miskin yang didatanginya adalah mereka yang


memiliki anak-anak kecil dan menginjak remaja. Jika sebuah
keluarga sudah terlilit utang dan tidak mampu membayar maka
kaki tangan Lahi azh-Zhulmah akan mendatangi mereka.
Kemudian, dengan terpaksa keluarga-keluarga itu akan
menyerahkan anak-anaknya sebagai pembayar utang. Lazimnya,
dia akan memberi sedikit tambahan uang kepada keluarga itu
sebagai tanda bahwa anak-anak mereka telah sah menjadi
miliknya untuk dijadikan hamba sahaya.

252
Jika di antara hamba-hamba sahaya itu ada yang berwajah cantik
maka Lahi azh-Zhulmah akan menikmati mereka sepuas-puasnya
dulu. Jika ada yang hamil maka mereka akan dikirim ke
penampungan khusus hingga melahirkan. Kemudian perempuan-
perempuan itu langsung dijual sebagai budak belian. Sementara
bayi mereka akan diasuh dan dididik sebagai calon pedagang
budak.

Dalam memperoleh budak, Lahi azh-Zhulmah tidak hanya


menggunakan cara menebar piutang di kalangan keluarga miskin.
Dia juga memperoleh “barang dagangan” dari sejumlah perwira
militer yang menjadi pemasoknya. Bahkan budak-budak
perempuan para perwira itu umumnya cantik-cantik dan sangat
mahal. Budak-budak itu diperoleh dari pampasan perang di daerah
bergolak di kawasan Macedonia, Salonika, Semenanjung Maura,
Sophia, Serbia, Albania, Bisynak, Maghyar, dan Bundukia.

Berbekal budak-budak cantik, Lahi azh-Zhulmah dikenal pula


sebagai pemasok “gula-gula pemanis” di kalangan pejabat sultan.
Para pejabat yang merindukan jabatan tinggi akan menggunakan
jasa Lahi azh-Zhulmah dalam urusan memuaskan keluarga sultan
dan perdana menteri. Bahkan dengan budak-budak perempuan itu
juga, dia berhasil memerangkap sejumlah ulama ke dalam jaringan
terkutuknya. Dan ulama yang masuk ke dalam jaringan terkutuk itu
lazimnya mendapat tugas khusus, yakni mensahkan secara
fiqhiyah seluruh kebijakan penguasa sekaligus mendukung
pelaksanaan kebijakan tersebut, meski sering kali tampak sangat
dipaksakan.
253
Ahmad at-Tawallud sendiri tidak mau menilai baik buruknya
manusia bernama Lahi azh-Zhulmah itu. Sebaliknya, dia
menyatakan bahwa keberadaan Lahi azh-Zhulmah bagi mereka
yang sudah tercerahkan merupakan bukti keagungan Allah.

Mengikuti kerangka berpikir Ahmad at-Tawallud, diam-diam Abdul


Jalil berusaha memuji kebesaran Dia, Sang Pencipta, yang telah
mencipta makhluk yang tengik seperti Lahi azh-Zhulmah dan juga
makhluk yang tak kalah tengik, yakni Abu Syarr azh-Zhulmi.
Namun, berbeda dengan Ahmad at-Tawallud, dalam memuji
kebesaran-Nya, ia tetap belum sepenuhnya ikhlas. Li Allah. Bi
Allah. Bagaimanapun, pikiran dan perasaannya tetap menyatakan
bahwa kedua makhluk itu, terutama Abu Syarr azh-Zhulmi, adalah
tengik. Bagaimana tidak tengik, pikirnya, sudah suka mengaku-aku
amaliah orang lain, gila pujian, waham kebesaran diri, ternyata
masih berani mencatut kemuliaan Rasulallah Saw. untuk tujuan
politis murahan.

Sebenarnya, ingin sekali ia berdiri kemudian mengumpat dan


mencaci-maki guru tarekat palsu itu di depan para pengikutnya.
Namun, sekuat tenaga ditahannya keinginan itu. Ia berusaha
memuji kebesaran Allah yang telah mencipta makhluk seperti Abu
Syarr azh-Zhulmi.

Di mata Abdul Jalil, sekalipun Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi


memamerkan keindahan dan kemegahan dirinya bagaikan burung
merak, dia tetaplah seperti burung nazar yang menakutkan. Guru
254
tarekat palsu ini adalah orang yang berbahaya karena telah
menggiring domba gembalaannya ke puncak gunung ananuyyah
yang penuh serigala dan hewan buas lain yang haus darah. Orang
itu harus dihentikan, begitu pikirnya berulang-ulang.

Setelah mulai kelihatan letih, Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi


berhenti sejenak. Dan tidak sebagaimana biasanya, tiba-tiba dia
memberi kesempatan kepada jama’ah pengikutnya untuk bertanya
tentang hal-hal yang belum dipahami dari ceramahnya. Abdul Jalil
tidak menyia-nyiakan kesempatan bagus ini. Secepat kilat ia
membentangkan busur akal. Kemudian dengan cekatan
memasang anak panah dengan lidahnya yang tajam. Dan bagai
panglima perang maju ke medan laga menghadapi musuh, ia
membidikkan panah ke arah Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi. “Tuan
Syaikh, apakah Lahi azh-Zhulmah yang Tuan maksud itu adalah
pedagang budak yang tinggal di sebelah barat rumah Tuan Ahmad
Mubasyarah at-Tawallud?”

“Benar,” sahut Abu Syarr azh-Zhulmi mengerutkan kening, “dialah


yang kumaksudkan sebagai calon pasya di Baghdad.”

“Apakah Tuan Syaikh tidak keliru mendoakan manusia celaka


seperti Lahi azh-Zhulmah?” seru Abdul Jalil berapi-api.
“Sepengetahuan saya, Lahi azh-Zhulmah adalah manusia licik,
jahat, keji, dan nista perbuatannya. Dialah manusia keji yang telah
merenggut anak-anak dari dekapan orang tuanya. Dialah manusia
licik yang menebar jerat bagi si miskin dengan perangkap piutang.
255
Dialah yang memisahkan istri-istri dari suami, saudara dari
saudara, nenek dari cucu, bapak dari anak, ibu dari bayi susuan.
Dialah penabur kepedihan dan derita.”
“Hei, engkau ini siapa?” sergah Abu Syarr azh-Zhulmi dengan mata
berkilat dan dada naik turun menahan amarah. “Apakah engkau
penyelundup yang hendak merusak jama’ah ini dari dalam?”

“Saya adalah anggota jama’ah baru di sini, Tuan Syaikh,” kata


Abdul Jalil merendah. “Saya telah dibimbing oleh khalifah Tuan
Syaikh, yaitu ustadz Ibnu Mushtawif. Saya sudah mendapat
kewajiban melunasi seribu tiga ratus keping uang emas. Namun,
yang baru saya bayar tiga ratus keping.”

“Dia mengaku khalifahku?” Abu Syarr azh-Zhulmi marah-marah


sambil memandang tajam ke arah Ibnu Mushtawif yang menunduk
di depannya. “Dia telah berbohong. Dia juga tidak menyetor uang
itu. Tuan telah ditipu.”

Dengan mengangkat kasus Ibnu Mushtawif yang dianggap telah


mengkhianati mursyid, Abu Syarr azh-Zhulmi dengan licin berhasil
menghindar bidikan pertanyaan Abdul Jalil. Bahkan tanpa sedikit
pun menanggapi pertanyaan sekitar keberadaan Lahi bin Zhann
azh-Zhulmah, dia dengan bersungut-sungut meninggalkan mimbar
sambil memaki-maki Ibnu Mushtawif. Abdul Jalil yang melihat
sendiri betapa lihainya guru tarekat palsu itu meloloskan diri dari

256
bidikan panahnya, akhirnya hanya bisa menggeleng-gelengkan
kepala sambil memuji kebesaran Allah.

Keberadaan Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi beserta segala


perilakunya yang menakjubkan itu benar-benar mengesankan
Abdul Jalil. Ia semakin terdorong untuk menguak hakikat manusia
sebagai khalifah Allah di muka bumi. Itu sebabnya, sepulang dari
Masjid al-Qubh, ia langsung membaca Al-Qur’an dan menemukan
butiran-butiran mutiara kebenaran yang berkilau-kilau dari Kalam
Allah itu, terutama tentang hakikat manusia.

Malam itu ia beroleh pengalaman luar biasa dalam membaca dan


memahami ayat-ayat Al-Qur’an. Mungkin karena pemahaman
fawa’id dan nur lawami’ yang memancar dari dalam dirinya
sehingga ia beroleh nuansa dan makna baru dari ayat-ayat yang
sudah dibacanya berulang-ulang, namun belum diketahui
maknanya secara mendalam. Ia mendapati betapa ayat-ayat yang
dibacanya itu seolah-olah mengungkapkan sendiri makna
keberadaannya sebagai Kalam Allah. Ia menangkap sasmita
bahwa ayat-ayat Al-Qur’an itu bagaikan sesuatu yang hidup dan
bisa berhubungan secara ruhani dengannya, meski hanya dalam
beberapa kejap mata.

Dengan pemahaman barunya atas ayat-ayat Al-Qur’an yang


mengungkapkan jati dirinya lewat bahasa ruhani itu, ia
mendapatkan pengetahuan baru tentang keberadaan manusia
sebagai khalifah Allah. Kata al-Insan, misalnya, mengungkapkan
257
esensi dari wujud sempurna manusia yang menjadi rahasia Ilahi.
Al-Insan sirri wa ana sirruhu.

Wujud sempurna manusia yang menjadi rahasia Ilahi itu terdiri atas
tiga bagian utama, yakni al-basyar, an-nafs, dan ar-ruh. Al-basyar
adalah wujud manusia yang terdiri atas gumpalan daging. Allah
mencipta al-basyar dari tanah lempung kering (shalshalin/adamah)
yang adonannya “diolah dengan kedua Tangan-Nya” (QS al-Hijr:
28; QS Shad: 75). Al-basyar sendiri mengacu pada makna: “diolah
oleh-Nya dengan kelembutan” (al-mubasyarah). Al-basyar yang
terbentuk dari bahan tanah (ath-thin) inilah yang oleh iblis dianggap
lebih rendah derajatnya daripada dirinya yang terbentuk dari bahan
api (QS Shad: 76). Iblis tidak mengetahui rahasia di balik
keberadaan al-basyar sebagai ciptaan baru yang diberi-Nya
anugerah kemuliaan sebagai khalifah Allah.

An-nafs adalah daya kehidupan (al-hayy) yang bersifat netral. Ia


mudah terpengaruh pada lingkungan di mana ia berada. An-nafs
memaknai keberadaan al-basyar, sekaligus al-basyar
mempengaruhi an-nafs. Tanpa an-nafs maka al-basyar hanyalah
gumpalan lempung kering. Dengan an-nafs itulah al-basyar
bagaikan tanah lempung kering yang mendapat siraman air hujan,
memiliki daya melahirkan benih-benih kehidupan. An-nafs
membangkitkan dorongan-dorongan naluriah sehingga al-basyar
menyadari keberadaannya sebagai bagian dari dunia materi yang
membutuhkan materi-materi lain untuk memperkukuh
keberadaannya. An-nafs yang kedudukannya dekat dengan al-
basyar di alam indriawi disebut dengan an-nafs al-hayawaniyyah,
258
yang menempati tataran paling rendah dari kemanusiaan (asfal as-
safilin) (QS at-Tin: 5) karena cenderung mendorong naluri al-
basyar untuk menuju ke alam materi.

Ar-ruh adalah Tiupan Suci Ilahi yang dihembuskan Allah ke dalam


al-basyar. Nafakhtu fihi min ruhi (QS Shaad: 72; QS al-Hijr: 29),
kepada al-basyar itulah seluruh malaikat diperintahkan untuk
bersujud. Ar-ruh yang tidak dicipta adalah Hakikat Yang Terpuji (al-
Haqiqat al-Muhammadiyyah). Pada tataran ini ruh bersifat murni.
Suci. Bebas dari materialistis. Inilah yang disebut ar-Ruh al-Haqq.
Ar-ruh tidak berada di dalam atau di luar tubuh al-basyar. Ia tidak
terikat, tetapi juga tidak terlepas bebas. Ar-ruh ada di luar, namun
juga ada di dalam. Lantaran ar-ruh berasal dari Tiupan Suci Ilahi
dalam kata nafakhtu maka ar-ruh secara alami selalu cenderung
menarik kesadaran manusia untuk kembali kepada Allah.

Keberadaan manusia sebagai kesatuan entitas dari al-basyar, an-


nafs, dan ar-ruh secara alamiah akan terperangkap pada dualitas
sifat yang saling bertentangan. Al-basyar dengan dorongan an-
nafs yang berada dekat dengannya cenderung ke arah sifat-sifat
duniawi yang materialistik. Sedang ar-ruh cenderung melepaskan
segala pengaruh duniawi yang materialistik untuk hanya kembali
kepada Allah. Pergulatan manusia dalam kehidupan di dunia pada
dasarnya adalah pertarungan internal antara dorongan naluriah al-
basyar dengan an-nafs di satu pihak dan melawan tarikan ar-ruh di
pihak lain.

259
Dengan memahami keberadaan mausia sebagai kesatuan entitas,
Abdul Jalil menarik kesimpulan bahwa Abu Syarr azh-Zhulmi
adalah manusia yang sudah kalah dalam pertarungan internal. Abu
Syarr azh-Zhulmi sudah jauh terseret ke gugusan terendah dari
dunia materi. Dia adalah citra dari manusia yang hidup di bawah
kendali naluriah al-basyar dan an-nafs. Dan citra burung nazar
pada Abu Syarr azh-Zhulmi yang sempat ditangkap pandangan
mata batin Abdul Jalil adalah citra an-nafs al-hayawaniyyah yang
bersimaharajalela menguasai dirinya. Dan lantaran pemahaman
baru inilah ia dapat memahami penjelasan Ahmad at-Tawallud
yang menunjuk Abu Syarr azh-Zhulmi sebagai orang yang hatinya
tertutupi oleh rain. Tindakan apa pun yang diusahakan oleh orang-
orang yang tertutupi tabir rain hanya akan mendatangkan tabir bagi
hatinya (QS al-Muthaffifin: 14).

Setelah menelaah Abu Syarr azh-Zhulmi, ia kemudian menelaah


dirinya sendiri, terutama perjalanan panjangnya dalam mencari
Dia. Dia mendapati bahwa pada dasarnya ia belum sepenuhnya
secara utuh mengikuti tarikan ar-ruh untuk kembali kepada
sumbernya. Berbagai pertimbangan yang berasal dari akal budinya
yang dilatari an-nafs masih sangat kuat mengendalikan
kehidupannya. Ia mengungkap-ungkap, merenung-renung,
menghitung-hitung, dan menelaah berbagai kecenderungan jiwa
yang pernah dirasakan dan dilakukannya sebagai amaliah dalam
kehidupannya selama ini.

Setelah merenung cukup lama ia menemukan jawaban bahwa an-


nafs adalah suatu fenomena kehidupan jiwa yang mengantarai ar-
260
ruh dan al-basyar. Lantaran itu, an-nafs memiliki kecenderungan
berada pada titik yang terendah saat ia dekat dengan al-basyar dan
cenderung berada pada tingkat yang tertinggi saat dekat dengan
ar-ruh. Ini berarti, tingkatan-tingkatan an-nafs dari al-basyar ke ar-
ruh adalah: an-nafs al-hayawaniyyah, an-nafs al-ammarrah, an-
nafs al-lawwammah, an-nafs al-mulhamah, an-nafs al-
muthmainnah, an-nafs al-mardhiyyah, an-nafs al-qudsiyyah. An-
nafs al-qudsiyyah inilah yang dekat dengan ar-ruh al-idhafi
sehingga ia menjadi suci dan selalu dinapasi oleh ar-ruh al-idhafi
untuk senantiasa mengingat-Nya. Dan ar-ruh al-idhafi pun selalu
dinapasi oleh ar-Ruh al-Haqq.

Abdul Jalil sendiri belum mengetahui di mana posisi dirinya.


Namun, ia sangat sadar bahwa ia masih terperangkap ke dalam
lingkaran an-nafs. Itu sebabnya, sambil menarik napas panjang ia
menggumam sendiri dengan penuh sesal dan kepasrahan, “O
Ilahi, betapa panjang dan berliku jalan yang kutempuh untuk
menuju Engkau. Tetapi, setelah sekian jauh dan penuh derita,
kudapati diriku baru berputar-putar pada lingkaran nafs-ku sendiri.
Betapa jauh! Betapa bodoh aku selama ini!”

Malam itu bagaikan tak kenal lelah ia membaca Al-Qur’an sampai


tuntas hingga menjelang subuh. Selama membaca, ia
mengesampingkan berbagai dorongan akal budinya, baik yang
terkait dengan pahala maupun makna harfiah ayat demi ayat.
Bahkan beberapa kali ia mengalami peristiwa aneh berupa
munculnya makna hakiki Al-Qur’an dari kalam al-lafzhi menjadi
kalam an-nafs. Al-Qur’an adalah Kalam Hidup. Mengejawantah.
261
Riil. Maujud. Namun, pengalaman itu berlangsung sangat singkat
sehingga ia tak mampu membedakan apakah yang dialaminya itu
mimpi, khayal, atau kenyataan sejati.

Melepas keakuan pribadi, sabar, setia, dan pasrah adalah empat


pintu gerbang utama yang harus dilampaui dalam perjalanan
menuju Yang Wujud. Tanpa melampaui keempat pintu gerbang ini,
perjalanan menuju Dia hanya impian dan bohong belaka. Melepas
keakuan pribadi adalah melepaskan segala keakuan yang terkait
dengan al-basyar dan an-nafs, termasuk keinginan-keinginan,
harapan-harapan, gambaran-gambaran, pilihan-pilihan, dan
kehendak-kehendak pribadi yang bersifat dunia. Pamrih. Dan itu
semua adalah perjuangan dahsyat. Mudah diucapkan, namun sulit
dijalankan.

Banyak orang keliru menafsirkan keakuan pribadi dengan


kepemilikan dan kekayaan materi yang terkait dengan benda-
benda. Melepas keakuan pribadi sering diartikan sekadar
melepaskan diri dari benda-benda dan miskin secara lahiriah.
Padahal, yang dimaksud dengan melepaskan keakuan pribadi
adalah suatu keadaan riil dari kesadaran diri yang menyadari
secara pikiran dan perasaan bahwa segala sesuatu yang tergelar
di sekitar kita bukanlah milik kita; rumah, anak, istri, keluarga,
benda-benda, kehormatan, harga diri, bahkan tubuh dan nyawa
kita pun bukanlah milik kita. Itu sebabnya, proses pelepasan ini
tidak bisa disebut zuhud, karena sesungguhnya tidak ada yang
dilepas atau ditinggalkan dari orang yang tidak memiliki sesuatu.

262
Selama melampaui pintu gerbang pelepasan keakuan pribadi,
seseorang harus sabar. Karena, di situ dia akan mengalami
keadaan di mana dia harus menerima pilihan-pilihan dan kehendak
yang sering kali bertentangan dengan pilihan dan kehendaknya
sendiri. Sering dia harus menerima suatu pilihan yang tidak
disukainya. Namun, dia harus tetap sabar. Dalam menerima
pilihan-Nya dan kehendak-Nya, seorang salik yang berjuang
melepaskan keakuan pribadi tidak boleh mengeluh. Karena,
mengeluh adalah ungkapan rasa tidak sabar.
Yang dimaksud setia adalah keteguhan sikap di dalam melintasi
gerbang keakuan pribadi menuju ke terminal akhir, yakni Yang
Wujud. Berbagai hambatan dan rintangan yang menghalangi
perjalanan menuju-Nya tidak boleh disimpangkan ke arah selain
Dia. Kesetiaan kepada jalan yang ditempuh akan membawa ke
arah pintu gerbang kepasrahan, yakni gerbang paling ujung di
dalam perjuangan menuju Dia.

Melintasi keempat gerbang pelepasan untuk menuju Dia memang


bukan pekerjaan mudah. Karena, di setiap gerbang pelepasan itu
seorang salik sudah dihadang oleh an-nafs beserta derivat-
derivatnya yang menjadi penjaga gerbang. An-nafs penjaga dan
derivat-derivatnya itu laksana panglima perang beserta bala
tentaranya. Di tiap gerbang pelepasan itulah seorang salik harus
berjuang pantang menyerah untuk menaklukkan para
penghadangnya. Jika dalam pertempuran itu salik terluka maka dia
tidak boleh mengeluh kesakitan apalagi merengek-rengek minta
dikasihani. Seorang salik harus yakin bahwa Dia akan

263
mengirimkan tabib sekaligus penghibur untuk mengobati
kepedihan jiwanya.

Keyakinan, ketakutan, kecintaan, dan harapan yang ditujukan


hanya kepada-Nya adalah modal utama bagi seorang salik agar
bisa tetap setia pada jalan-Nya. Tidak peduli besarnya jumlah
musuh, luka-luka, darah, rasa sakit, pedih, dan derita yang dialami
dalam melintasi setiap gerbang, seorang salik wajib setia mengikuti
jalan-Nya. Dan di sepanjang jalan melampaui keempat gerbang itu,
seorang salik harus teguh dan tegar hati dalam menghadapi segala
rintangan. Meski tubuh jiwa penuh luka berdarah, seorang salik
sejati akan tetap melangkah tegap dengan hati berbunga-bunga
sebagai ksatria perkasa menuju Benteng-Nya, sambil
menyanyikan lagu-lagu perjuangan: “Menyingkirlah kalian semua,
hei pasukan al-basyar dan an-nafs dari Benteng-Nya.
Sesungguhnya, semua raja jika memasuki suatu negeri niscaya
akan membinasakannya dan menjadikan penduduknya yang mulia
menjadi hina (QS an-Naml: 34). Menyingkirlah kalian dari Benteng-
Nya. Jika melawan maka kalian akan menjadi tawanan-tawanan
yang hina. Dialah Maharaja. Tunggal. Penguasa. Mutlak. Aku
hanya akan mengabdi kepada-Nya. Dia adalah tujuan akhirku.
Demi Dia, kuperangi kalian semua!”

Ketika keheningan merayapi malam, saat para panglima al-basyar


dan an-nafs beserta bala tentaranya beristirahat dan
menyembuhkan luka-luka mereka maka sang salik berusaha
memasuki Benteng-Nya, dengan pedang dzikir, perisai istighfar,
dan baju zirah salawat. Namun tanpa diduga, ketika kakinya mulai
264
menginjak gerbang Benteng-Nya, tiba-tiba muncul bidadari
berpakaian serba putih yang melayang-layang dari langit.
Sayapnya yang berkilau-kilau berkepakan menimbulkan irama
musik merdu yang memuji-muji keagungan-Nya. Bidadari itu duduk
di atas singgasana yang tergantung di antara langit dan puri
Benteng.

Keanehan terjadi. Bidadari agung dengan sayap gemerlapan itu


mendadak berubah menjadi hantu menakutkan berpakaian serba
hitam dengan sayap kegelapan membentang dari ufuk timur
hingga barat. Getaran sayapnya menimbulkan suara gemuruh
menyeramkan. Hantu itu duduk di singgasana yang terbalik yang
menggantung antara tanah dan puncak menara Benteng.

Menyaksikan pemandangan menggetarkan di hadapannya, sang


salik menghunus pedang dzikir dan bersiaga hendak menyerbu ke
dalam Benteng untuk menerjang sang hantu hitam. Namun, baru
saja kaki kanannya terangkat, tiba-tiba ia kembali melihat bidadari
itu berdiri dan menari sambil melantunkan nyanyian merdu diiringi
suara kecapi dan harpa dari kepak sayapnya yang berkibaran
menaburkan cahaya kilau-kemilau.

“Kemarilah, o cintaku! Dekaplah kerinduan jiwaku yang meringkuk


tanpa daya di tengah padang pasir yang gersang. Teteskan air
jernih dari telaga cintamu agar terhapus dahaga yang mencekik
leherku. Berikan butir-butir kurma, roti, madu, dan susu untuk
mengobati rasa lapar jiwaku yang merana.”
265
“Lihatlah, o kekasih! Sayap-sayap kebebasanku telah diikat oleh
belenggu yang merantai kebebasanku. Akankah engkau tega, o
kekasih, membiarkan hidupku merana. Mati dalam keadaan lapar
dan dahaga oleh cinta dan keindahan.”

“Bangunlah, o pahlawanku! Hunuslah pedangmu! Bebaskan aku


dari penjara derita yang menyiksa ini. Biarlah kita nanti akan
menari dan menyanyi di padang cinta. Kita akan berlarian dengan
sayap-sayap terkepak bebas. Kita akan menjadi raja dan ratu yang
duduk di atas singgasana cinta kita yang abadi. Kemarilah, o
kekasih!”

Pengalaman menakjubkan dalam bentuk mubashshirah yang


sangat yang sangat mengagumkan itu buyar bagai halimun
tersapu cahaya matahari ketika adzan subuh berkumandang dari
menara masjid. Abdul Jalil bagai tersadar dari mimpi buruk,
bergegas mengambil air wudhu. Ia menemukan kesadaran baru
tentang dirinya yang masih terikat oleh lingkaran an-nafs. Ia sadar
belum bisa memasuki Benteng tempat Sang Raja bersemayam.
Namun, sebagai salik yang sudah kenyang dengan pahit dan getir
perjuangan menuju-Nya, ia tetap bertekad bulat untuk
membebaskan Benteng persemayaman Sang Raja dari
kekuasaan tiran insaniyyah yang didukung kekuatan bala tentara
al-basyar dan an-nafs.

266
Ishthilam

Setelah melakukan perjalanan yang


melelahkan melintasi tujuh samudera, tujuh
gurun, tujuh lembah, tujuh jurang, tujuh
gunung, tujuh rimba, dan tujuh benteng yang
rangkaiannya memiliki empat gerbang utama,
yakni pelepasan keakuan pribadi, sabar, setia,
dan pasrah, yang kesemuanya dijaga oleh bala
tentara al-basyar dan an-nafs, Abdul Jalil tersungkur jatuh di atas
rerumputan belati yang terhampar di depan pintu gerbang terakhir.
Dengan napas tersengal-sengal dan tenaga terkuras habis, ia
menatap jauh ke arah jalanan yang telah dilaluinya. Tak ada yang
tersisa di jalanan itu kecuali reruntuhan gerbang, tiang-tiang,
tembok, puing-puing, tubuh bala tentara al-basyar dan an-nafs
yang bergelimpangan tanpa daya.

Ia masih harus berjuang lebih dahsyat lagi untuk membersihkan


Benteng kemuliaan tempat persemayaman Sang Raja dari
kekuasaan kegelapan al-basyar dan an-nafs. Namun, ia sendiri
masih belum paham benar makna di balik gambaran bidadari dan
hantu hitam yang menguasai Benteng persemayaman-Nya itu.
Sementara Ahmad at-Tawallud yang menjadi pembimbing
sekaligus tumpuan berbagai pertanyaan justru tidak berada di
Baghdad saat ia tengah menghadapi persoalan yang sangat rumit
itu. Lantaran itu, dengan tekad tetap berkobar, ia melangkah
mengitari Benteng sambil membawa pedang dzikir, perisai
istighfar, dan baju zirah salawat untuk mencari celah-celah yang
267
bisa membawanya masuk dan menghalau seluruh penghuninya
dari sana. Kemudian ia bisa mempersilakan Sang Raja
bersemayam dengan kemegahan dan keagungan serta
kemuliaan-Nya.

Mengitari Benteng apalagi hendak memasukinya tetnyata


bukanlah hal yang mudah. Karena, Benteng yang kelihatan kecil
dan sederhana itu menyimpan rahasia yang sangat ajaib. Semakin
dikitari akan semakin jauhlah jalan yang harus dilewati. Seolah-
olah tanpa ujung dan pangkal. Abdul Jalil pun, setelah melintasi
padang rumput, gurun, lembah, hutan, dan gunung di dalam dirinya
tetap menyaksikan tembok Benteng berdiri tegak di sisinya.
Benteng yang dikitarinya seolah bangunan raksasa seluas bumi
dan tidak bisa tertembus, kecuali melalui gerbangnya yang ajaib.

Saat ia merenungkan rahasia yang tersembunyi di balik tembok-


tembok Benteng yang menakjubkan, tiba-tiba di kejauhan ia
melihat seseorang berjalan terseok-seok sambil membawa
tongkat. Ketika makin dekat terlihatlah bahwa orang itu adalah laki-
laki berpakaian kusut lusuh penuh tambalan. Meski demikian,
wajahnya memancarkan cahaya kewibawaan yang menggetarkan.

“Assalamu’alaikum,” sapa Abdul Jalil.

“Wa’alaikum salam,” sahut laki-laki yang ternyata bernama Qalby


Ishthifa.
268
“Dari mana dan hendak ke manakah, Tuan?” tanya Abdul Jalil.

Qalby Ishthifa tidak menjawab. Diam. Setelah beberapa jenak, dia


menuturkan perjalanan hidupnya. Mula-mula dia memaparkan
kehidupannya sebagai suami yang sangat mencintai istri yang
telah memberinya tiga orang anak; satu perempuan dan dua laki-
laki. Kecintaannya kepada istri membuatnya sangat setia dan
selalu berusaha membahagiakan hati istrinya. Bagi Qalby Ishthifa,
tidak ada perempuan yang cantik, sabar, setia, patuh, dan pandai
melayani suami selain istrinya.

“Tapi, tidak ada yang sempurna di dunia ini,” kata Qalby Ishthifa
menarik napas berat. “Istri yang kunilai setia, sabar, patuh, dan
pandai melayani suami itu ternyata berkhianat. Diam-diam, ketika
aku tidak di rumah, ia menjalin hubungan dengan penjual susu
keliling. Meski tidak terbukti melakukan perbuatan zina, dia
mengaku bahwa hatinya tertarik kepada penjual susu itu.”

“Saat itu dunia kurasakan runtuh. Harga diri, kehormatan, bahkan


kepercayaan diriku ambruk menjadi puing-puing menyedihkan. Istri
yang sangat kusayang dan menjadi tambatan hatiku ternyata
mencintai orang lain yang hidupnya jauh lebih miskin dariku.
Bahkan yang hampir tak masuk akal, orang itu pun tidak baik
agamanya. Sudah miskin, jarang shalat pula. Ia juga suka
menggoda perempuan-perempuan yang menjadi pelanggannya.”

269
“Derita yang kualami belumlah usai. Abdullah Waqi’a, anak
sulungku, minggat dari rumah karena malu diolok-olok temannya
sebagai anak penjual susu. Abdullah Khathir, adiknya, juga
mengikuti jejak kakaknya. Alasannya, ia juga malu diolok-olok
temannya. Tidak cukup dengan kepergian dua anak laki-lakiku,
anakku perempuan, Ummu Safah, sakit dan meninggal dunia.”

“Aku benar-benar tak berdaya. Putus asa. Namun, di dalam derita


yang kualami itu tiba-tiba tanpa kusadari terbit cahaya kesadaran
baru bahwa apa yang kualami selama ini ternyata berkaitan
dengan kecintaanku yang berlebihan terhadap keluarga, terutama
terhadap istri. Itu sebabnya, dengan hati kosong aku tinggalkan
rumah setelah anakku dikebumikan. Aku tinggalkan semua milikku.
Aku tidak peduli lagi dengan nasib istri dan kedua anakku.
Kupasrahkan semua kepada-Nya. Dan sejak itu, istana sirr di
dalam Benteng hatiku telah kosong dari segala sesuatu kecuali
pengetahuan tentang diri-Nya.”

Setelah menuturkan penderitaannya yang berujung pada


keberhasilannya mengosongkan istana sirr dari segala sesuatu
selain-Nya, Qalby Ishthifa mendadak lenyap dari hadapan Abdul
Jalil. Sesaat sesudah itu, di hadapannya muncul sosok laki-laki
berusia setengah baya yang berpakaian rapi, namun wajahnya
kuyu dan kusut masai. Seperti saat perjumpaan dengan Qalby
Ishthifa, Abdul Jalil menyapa dan menanyakan dari mana dan
hendak ke mana tujuannya. Sosok laki-laki yang ternyata bernama
Aly al-Isytibah itu mengaku tetangga Qalby Ishthifa dan mengalami
nasib yang sama, yakni istrinya jatuh cinta kepada kuli batu.
270
“Namun, beda dengan Qalby Ishthifa,” kata Aly al-Ishtibah
memaparkan pengalaman hidupnya, “saya belum mampu
mengosongkan hati saya. Sebaliknya, dendam, marah, cemburu,
dan sakit hati membakar hati saya. Itu sebabnya, setiap saat saya
ingat peristiwa pengkhianatan istri saya, langsung amarah saya
memuncak. Saya hajar istri saya bagai hewan. Saya tendangi
tubuhnya. Saya injak kepalanya. Saya tinju wajahnya. Pendek
kata, saya remukkan dia.”

“Berarti Tuan sangat mencintai istri Tuan?” tanya Abdul Jalil.

“Mencintai?” sergah Aly al-Isytibah menolak. “Tidak! Saya justru


membenci dia. Itu sebabnya, dia terus-menerus saya siksa dan
aniaya. Saya benci dia. Ingat kata-kata saya, Tuan: saya benci
dia!”

“Tuan,” kata Abdul Jalil, “jika Tuan tidak cinta, kenapa Tuan sangat
peduli kepada istri Tuan? Jika Tuan tidak cinta, biar saja dia
melakukan perbuatan durhaka. Peduli apa dengan orang yang
tidak Tuan cintai. Justru dengan amarah Tuan itu sebenarnya
terbukti sudah bahwa Tuan sangat mencintai istri Tuan. Tuan akan
menderita selamanya jika mengingkari kenyataan itu.”

Aly al-Isytibah tercengang mendengar komentar Abdul Jalil.


Namun, dia rupanya masih terperangkap oleh terkaman kuat an-
nafs. Dia masih terjerat dalam jaring-jaring ananiyyah. “Aku yang
271
paling benar. Paling mulia. Paling terhormat: Akulah yang paling
suci. Karena itu, semua harus tunduk pada kehendakku. Aku harus
menang dalam segala hal.” Itu sebabnya, dia sangat sulit
memahami penjelasan Abdul Jalil. Dan setelah tercenung
beberapa saat, dia membalikkan badan, melangkah meninggalkan
Abdul Jalil, menuju ke hamparan padang pasir yang luas tanpa
batas. Dia tampaknya harus berjalan di tengah panasnya gurun;
dipancari matahari dari atas dan dipanggang bara pasir dari
permukaan tanah serta diterpa angin kering yang membakar
kedamaian hati.

Sepeninggal Aly al-Isytibah, Abdul Jalil berdoa agar lelaki yang


diamuk api cemburu itu diberi pertolongan oleh Allah. Sesudah itu,
ia melanjutkan lagi perjalanannya mengitari Benteng. Namun,
belum jauh melangkah tiba-tiba ia melihat seorang laki-laki
setengah baya yang berjalan tertatih-tatih dengan disangga
sebatang tongkat yang terbuat dari kayu yang menebarkan wangi
cendana dan kesturi. Laki-laki itu bernama Qalby Mushthalam al-
Bala’. Dia tampak agung dan berwibawa, meski peluh yang
menyimbah wajahnya menunjukkan bahwa dia telah melakukan
perjalanan amat jauh.

Abdul Jalil mengucap salam dan bertanya dari dan hendak ke


manakah dia gerangan. Qalby Mushthalam al-Bala’ menyatakan
bahwa dia akan kembali ke negerinya, sesudah melakukan
perjalanan jauh ke berbagai tempat yang membuat hatinya tambah
merana dan menderita. Dia menuturkan bahwa dirinya adalah raja

272
negeri Ikhtiyar yang merupakan bagian dari kerajaan Iradah yang
dipimpin oleh Maharaja Malik al-Mulki.
“Sebagai seorang raja bawahan,” ungkap Qalby Mushthalam al-
Bala’, “aku sangat patuh dan setia kepada Sang Maharaja. Aku
patuhi berbagai peraturan yang ditetapkan-Nya. Sedikit pun aku
tidak berani melanggar ketentuan-ketentuan yang telah digariskan-
Nya. Aku sadar bahwa Sang Maharaja mengetahui segala sesuatu
yang kuperbuat.”

“Namun, sebagai manusia biasa aku memiliki kelemahan, yaitu


kecintaan yang berlebihan terhadap Kadar Qalby al-Katsif, putera
tunggal kesayanganku, yang kuharapkan akan menjadi
penggantiku. Kadar, puteraku, adalah anak yang tampan, cerdas,
kuat, patuh, setia, dan rendah hati. Sepanjang hidupku, belum
pernah kudapati seorang anak yang begitu sempurna seperti dia.
Itu sebabnya, seluruh perasaan cintaku kutumpahkan hanya
kepadanya. Kebiasaan setiap raja untuk memelihara selir tidak
kulakukan karena seluruh perhatian hati dan pikiranku sudah
tercurah kepada Kadar.”

“Hari-hariku sebagai raja kulalui dnegan mengajar, mendidik,


membimbing, dan mengarahkan Kadar agar bisa menjadi raja
yang agung, adil, dan bijaksana. Berbagai pelajaran dan latihan
yang kuberikan, begitu mudah diterimanya. Bahkan harus kuakui,
dalam hal hukum dan sastra, Kadar melebihi aku. Demikianlah,
hari-hari kulewati dengan mengajaknya berburu, berlatih
memanah, berkuda, memainkan pedang, membaca syair-syair,

273
menyantuni orang-orang miskin, dan melakukan amal ibadah
terpuji yang lain.”

“Keakraban yang kubangun bersama putera tunggalku ternyata


telah menyeretku ke tindakan yang tidak terpuji sebagai raja.
Berbagai urusan kerajaan terbengkalai. Para pejabat dan pegawai
kerajaan ternyata memanfaatkan keasyikanku berakrab-akrab
dengan puteraku itu. Mereka melakukan tindakan korup, menodai
keadilan, dan menista hukum. Derita dan sengsara pun dialami
oleh rakyat negeri Ikhtiyar yang selama ini hidup dalam damai dan
sejahtera.”

“Kelalaian yang kulakukan itu baru kusadari ketika badai derita dan
kepedihan meluluhlantakkan hatiku. Kadar, putera tunggal yang
kucintai, jatuh dari kuda ketika kuajak berburu kijang di padang ad-
Dunya. Setelah mengalami demam semalaman, tiba-tiba dia tidak
sadarkan diri. Tak pernah kubayangkan putera kesayanganku
begitu cepat dipanggil kembali ke haribaan-Nya.”

“Saat itu, duniaku runtuh. Kadar, putera tercinta gantungan


harapanku, telah direnggut begitu cepat dari sisiku. Berhari-hari,
berminggu-minggu, berbulan-bulan, dan bahkan bertahun-tahun
kurasakan duniaku gelap. Satu senja ketika kulihat kawanan
burung terbang di angkasa dan berbondong-bondong pulang ke
sarang, tersentaklah jiwaku oleh kesadaran bahwa aku harus
kembali ke negeri Ikhtiyar. Namun, aku ragu apakah selama
kutinggalkan tahtaku tidak diduduki raja lain?”
274
“Kepastian untuk kembali ke negeri Ikhtiyar kudapatkan ketika
seorang kurir bernama Abdullah al-Qarar yang diutus Maharaja
Malik al-Mulki datang kepadaku untuk menyampaikan perintah
agar aku secepatnya kembali ke negeriku dan menghadap-Nya di
istana Iradah. Demikianlah, dengan hati hancur, aku terpaksa
kembali ke negeri Ikhtiyar untuk menghadap ke hadirat-Nya di
istana Iradah. Semoga Maharaja mengampuni kelalaian yang telah
kulakukan selama ini.”

Abdul Jalil melihat kilauan cahaya memancar dari wajah Qalby


Mushthalam al-Bala’. Namun, sedetik sesudah itu tiba-tiba tubuh
Qalby Mushthalam al-Bala’ lenyap dari pandangannya. Yang
tersisa adalah tebaran wangi semerbak dari kayu cendana dan
minyak kesturi.

Ketika Abdul Jalil akan melangkahkan kaki untuk melanjutkan


perjalanan mengitari Benteng, tiba-tiba muncul sosok laki-laki
bertubuh besar yang mengenakan jubah sutra hitam bersulam
benang emas. Laki-laki itu berpenampilan sangat mewah, namun
jalannya terseok-seok ditopang sebatang tongkat emas berhias
intan permata yang kilau-kemilau ditimpa matahari. Dia bernama
Sa’ad bin Abu Qabdh at-Talbis, seorang qadhi di negeri Maskan.
Wajahnya yang berpeluh, lesu, kuyu, dan kusut terlihat menyimpan
keletihan. Tubuhnya yang goyah dan kakinya yang gemetar saat
berdiri menunjukkan bahwa dia sangat lelah setelah melakukan
perjalanan jauh, melintasi padang belantara kehidupan duniawi.

275
Seperti pertemuan dengan orang-orang sebelumnya, Abdul Jalil
pun menyapa dengan salam dan kemudian menanyakan asal dan
tujuannya. Sa’ad bin Abu Qabdh at-Talbis dengan jujur
menuturkan bahwa dia telah melintasi padang kehidupan ganas
dalam upaya memburu kemegahan dan kelezatan duniawi.
Kekayaan, pangkat, derajat, dan kemuliaan duniawi telah
diperolehnya sebagai kemestian dari usahanya yang diraih dengan
susah payah itu. Dia telah memperoleh segala apa yang diinginkan
dan diimpikannya.

“Namun, kehidupan dunia ternyata mengecewakan,” katanya


sambil menunduk. “Segala yang saya miliki dan saya cintai
mendatangkan bencana dan penderitaan batin bagi saya. Istri
yang saya cintai, misalnya, senantiasa mengeluh tentang
kebutuhan duniawi yang sebenarnya sudah saya berikan
berlimpah-limpah. Perhiasan emas dan permata serta uang
berpeti-peti tidak membuatnya puas. Dia terus mengeluh
kekuarangan ini dan itu. Bahkan lima buah rumah sangat mewah
yang saya buatkan ternyata dianggap belum cukup. Istri saya
selalu mengeluh kurang. Dia selalu menuntut saya agar lebih giat
mencari kekayaan. Jika tuntutannya tidak saya penuhi maka dia
akan mengomel sepanjang hari sehingga tak ada ketenangan bagi
saya di rumah.”

“Belum usai urusan dengan istri saya, muncul persoalan dengan


anak-anak saya, terutama Niza’, puteri kesayangan saya. Tanpa
saya kira dan saya duga, tiba-tiba puteri kesayangan saya minggat
dengan Abdul Jahl, budak saya. Akibat kejadian itu, seluruh kota
276
gempar. Kehormatan saya runtuh. Nama besar saya jatuh. Harga
diri saya terinjak-injak. Saya benar-benar dipermalukan oleh puteri
yang selama ini sangat saya sayangi. Saya tidak bisa marah
terhadap Niza’ karena hati saya sudah terlanjur menyayanginya.
Dan akhirnya, dengan memikul rasa malu, saya terima juga budak
terkutuk itu menjadi menantu saya.”
“Belum usai persoalan dengan puteri saya, tiba-tiba saya harus
kehilangan jabatan sebagai qadhi akibat fitnah. Kekayaan yang
saya kumpulkan dengan susah payah dikatakan sebagai hasil
tindakan korup saya. Sultan, entah dari mana asalnya, memiliki
daftar kekayaan saya mulai dari rumah, kebun, kedai perniagaan,
hewan peliharaan, simpanan emas dan permata, timbunan uang,
sampai jumlah budak-budak saya. Dan tanpa memberi
kesempatan bagi saya untuk menjelaskan dari mana semua itu
saya kumpulkan, Sultan menggantikan kedudukan saya dengan
orang yang selama ini sangat memusuhi saya.”

“Saya tidak mengerti, kenapa segala sesuatu yang saya miliki dan
saya cintai harus terempas dari genggaman saya. Padahal, saya
rajin beribadah. Shalat selalu tepat waktu. Puasa Senin dan Kamis
saya jalankan sepanjang waktu. Shalatul Lail juga tidak pernah
terluang. Shalat Dhuha apalagi. Saya juga sudah cukup banyak
menyumbang pembangunan masjid, menyantuni yatim dan piatu,
menafkahi janda-janda tua dan orang-orang terlantar. Infak dan
sadaqah yang saya lakukan sudah berlebih. Apalagi yang kurang?
Kenapa Allah masih merampas milik saya yang saya cintai?”

277
Mendengar keluh kesah Sa’ad bin Abu Qabdh at-Talbis, tiba-tiba
saja Abdul Jalil merasakan pancaran nur lawami’ dan pemahaman
fawa’id meledak di relung-relung kesadarannya. Bagaikan
didorong oleh kekuatan gaib, ia menanggapi keluhan Sa’ad bin
Abu Qabdh at-Talbis. “Jika Tuan beranggapan bahwa Allah tidak
adil dan sewenang-wenang karena telah merampas milik yang
dicintai hamba-Nya yang patuh menjalankan perintah-Nya maka
Tuan telah salah memandang Dia. Sebab, dengan ungkapan Tuan
tentang kepatuhan menjalankan perintah-Nya maka Tuan
sebenarnya telah berpamrih. Artinya, Tuan menjalankan perintah-
Nya tidak semata-mata karena Dia. Tuan menjalankan perintah-
Nya jelas untuk kepentingan Tuan sendiri. Tuan berharap dengan
patuh pada perintah-Nya maka Tuan akan bisa kekal dan abadi
mengangkangi semua milik Tuan di dunia ini. Adakah sesuatu di
dunia ini yang kekal dan abadi?”

“Ketahuilah, o Tuan, bahwa menjalankan perintah-Nya bukan


hanya terletak pada bentuk ibadah badaniah belaka, seperti shalat,
infak, sadaqah, zakat, puasa, dan haji. Namun, yang tak kalah
penting adalah kiblat hati saat beribadah kepada-Nya. Saya berani
mengatakan pembohong bagi orang yang shalat, namun kiblat
hatinya kepada selain Allah, begitu juga ibadah lainnya.”

“Dan bagi mereka yang sudah melangkah di jalan-Nya, tidak ada


pilihan lain kecuali harus setia mengarahkan kiblat hati hanya
kepada-Nya. Tidakkah Tuan ingat peringatan-Nya yang berbunyi:
“Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-
istrimu, karib kerabatmu, harta benda yang kau kumpulkan,
278
perniagaan yang kau takuti kerugiannya, dan tempat tinggal yang
kau sukai; jika ini semua lebih kau cintai daripada Allah, rasul-Nya,
dan berjihad di jalan Allah maka tunggulah sampai Allah
mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak akan memberi
petunjuk kepada orang-orang fasik (QS at-Taubah: 24).”
“Berdasar kisah tentang derita yang telah Tuan alami, jelas sekali
Tuan lebih mencintai segala sesuatu selain Allah, rasul-Nya, dan
jihad di jalan-Nya. Kiblat hati Tuan jelas sekali bukan kepada-Nya.
Tuan merasa segala apa yang Tuan miliki selama ini adalah milik
Tuan. Padahal Tuan hanya mengaku-aku. Tuan sebenarnya tidak
memiliki sesuatu pun. Bahkan nyawa dan ruh Tuan pun bukanlah
milik Tuan. Untuk itu, bertobatlah, o Tuan, dan bersegeralah
memalingkan kiblat hati hanya kepada-Nya. Tuan adalah orang
yang telah dipilih-Nya. Kenapa Tuan sampai berpaling dari-Nya?”

Wajah Sa’ad bin Abu Qabdh at-Talbis merah padam. Dadanya


seperti dijalari api amarah yang berkobar-kobar. Dia benar-benar
merasa ditelanjangi oleh orang muda yang tak pernah dikenalnya
itu. Namun, dia rupanya masih berusaha menahan diri dan tidak
terpancing emosi. Dia tidak mau berdebat apalagi menerima kritik
dan saran dari pemuda yang dianggapnya masih ingusan. Itu
sebabnya, dengan wajah bersungut-sungut sambil berlalu menuju
ke hamparan padang belantara yang penuh semak-semak berduri,
dia menggumam acuh tak acuh, “Siapakah engkau? Tahu apa
engkau tentang jalan-Nya?”

279
Aku adalah “Dia” yang terbatas yang mengejawantah dalam
makna tersembunyi Ruh al-Haqq. Engkau adalah Dia Yang Tak
Terbatas, Zat Yang Meliputi, Yang Maha Melihat, Mahakuasa,
Yang Tersembunyi pada batin segala yang lahiriah. Engkau
Mahasuci dari segala sesuatu. Karena itu, jika aku
pengejawantahan Ruh al-Haqq, mengarahkan kiblat hanya kepada
Engkau, pasrah di haribaan-Mu, mengikuti jalan-Mu, dan
terbimbing kembali kepada-Mu, maka terlepaslah segala sesuatu
selain Engkau dari lingkaran keakuanku.
Ketika Dia Yang Tak Terbatas berkehendak menarik “Dia” yang
terbatas yang mengejawantah dalam makna tersembunyi Ruh al-
Haqq, yang terpenjara oleh tubuh duniawi, keakuan, maka
disucikanlah Benteng persemayaman Ruh al-Haqq dari segala
terali penjara keakuan duniawiah. Dan jika saat yang dikehendaki-
Nya telah tiba, sesuai kehendak-Nya, maka luluh lantaklah penjara
keakuan duniawi oleh serbuan api bala’ yang tercurah dari langit
dan memancar dari dasar bumi. Benteng hari persemayaman Ruh
al-Haqq hancur, remuk redam menjadi reruntuhan dan puing-puing
yang disebut Qalb al-Mushthalam, “hati yang hancur.”

Abdul Jalil, anak Adam yang sejak lahir ke dunia fana telah ditimpa
api bala’ dari segala penjuru kehidupan, ternyata Benteng hatinya
belum tersucikan sama sekali dari terali-terali penjara keakuan
duniawi. Di dalam relung-relung Benteng hatinya masih
terpampang citra indah bidadari dan hantu hitam yang
menyelubungi kesucian Ruh al-Haqq. Itu sebabnya, bola-bola api
dari langit jiwanya bagai malapetaka Sodom dan Gomorah

280
tercurah ke Benteng hatinya, meluluhlantakkan segala sesuatu
yang bukan Dia yang bersarang di dalamnya.

Ia yang selalu tangguh dan ulet dalam menangkis serbuan api bala’
dari atas langit dan dasar bumi jiwanya. Ia yang melepas segala
miliknya, prajurit-prajurit, benteng-benteng, puri-puri, gudang
makanan, gudang perbendaharaan, mahkota, perisai, baju zirah,
busur, anak panah, pedang, tombak, dan bahkan sepatu miliknya
demi keselamatan jiwanya, ternyata harus tersungkur tanpa daya
ketika menghadapi serbuan akhir. Ia rupanya terpojok. Ia sudah
kehilangan segala sesuatu yang berharga yang dapat digunakan
untuk mempertahankan dirinya. Dan selembar jubah sutra
bersulam keindahan bidadari dan bunga-bunga, yang dikenakan
sebagai pakaian kebesaran terakhirnya yang berharga, ternyata
harus direnggut dan dicampakkan ke dalam kobaran api bala’ yang
tak kenal ampun.

Ia baru menyadari bahwa jubah sutra bersulam keindahan bidadari


dari bunga-bunga kebanggaan yang dikenakannya telah terbakar
tanpa sisa ketika Ahmad at-Tawallud, sekembali dari Basrah,
menuturkan perihal nasib puterinya yang sangat tidak beruntung.
Sejak menikah, tidak sedikit pun kebahagiaan pernah diraih oleh
puterinya. “Bayangkan, sampai tiga tahun perkawinan mereka
belum dikaruniai anak. Tuan bisa membayangkan, apa arti istri
yang tidak bisa melahirkan anak bagi laki-laki seperti Hajibur
Rahman at-Takalluf.”

281
Tetesan air mata yang membasahi dukacita Nafsa, ungkap Ahmad
at-Tawallud, adalah rentangan panjang kehidupan yang
membukan kesadarannya tentang makna bala’ dan Qalb al-
Mushthalam. Nafsa menyadari bahwa setiap tetesan air mata yang
tertumpah adalah air bening yang menyucikan jiwanya. Dia sadar
bahwa segala derita yang menimpanya adalah makna termulia dari
kecintaan-Nya terhadap dirinya. Itu sebabnya, dia tidak pernah
mau menukar kepedihan jiwanya dengan keriangan dan gelak
tawa duniawi.
“Nafsa ingin tetap menjadi hamba-Nya yang menderita,” kata
Ahmad at-Tawallud. “Karena, di dalam derita itu dia senantiasa
mengingat-Nya. Dia tahu di antara tetesan air matanya itulah
keagungan, kemuliaan, dan cinta kasih-Nya merambat dan
merayapi getar-getar jiwanya. Di dalam hati yang remuk, dia
menangkap pengejawantahan (tajalliyat) Ilahi.”

Dari balik tembok kemanusiaan yang membelenggu jiwanya,


Nafsa terbang ke angkasa dengan sayap-sayap kebebasannya.
Dia tidak peduli lagi dengan gemerlap perhiasan emas permata
serta benda-benda duniawi. Baginya, keindahan kata-kata duniawi
adalah tirai-tirai hitam yang menutupi jendela sehingga seluruh
ruang jiwanya menjadi gelap gulita. Penderitaan dan kepapaan
adalah pintu gerbang menuju ke istana Kebenaran. Itu sebabnya,
dia melewati hari-hari deritanya dengan tetesan air mata di dalam
kamar gelapnya; meninggalkan hingar-bingar kehidupan duniawi
yang gemerlapan dan penuh gelak tawa.

282
Namun, Nafsa tetaplah Nafsa, bidadari berhati lembut yang sejak
kecil hidup dalam kemanjaan dan sukacita. Tubuhnya yang lemah
gemulai laksana merpati itu tidak mampu menahan derita panjang
yang direguk dan dicecapnya sebagai madu dan susu kehidupan.
Tak sampai empat tahun dia menjadi istri Hajibur Rahman at-
Takalluf, tubuhnya telah kurus laksana burung merana di
sangkarnya. Kehausan telah mencekik lehernya, meski di luar
sangkar terdapat kolam berair jernih. Kelaparan telah menerkam
perutnya, meski biji jelai terhampar di hadapannya.

Terali-terali sangkar telah memenjarakan kebebasannya. Burung


kecil itu tak pernah lagi berkicau. Dia terpenjara dalam sangkar
derita. Dan kepedihan panjang yang bagai tanpa tepi akhirnya
menggiringnya ke arah kematian. Ya, burung itu telah pergi.
Namun, kemerduan kicaunya masih tersisa dan tak akan dapat
terlupakan oleh mereka yang pernah mendengarnya. “Bagiku,
kematian burung itu adalah pembebasan bagi jiwanya untuk
kembali kepada Sang Pemilik. Burung itu telah terbang bebas
menuju Sarangnya yang sejati,” kata Ahmad at-Tawallud.

Kabar kematian si burung kecil Nafsa yang tak pernah


dibayangkan dan diimpikan itu didengar oleh Abdul Jalil bagaikan
ledakan halilintar menyambar tebing-tebing jiwanya. Seluruh aliran
sungai pembuluh darahnya tiba-tiba membeku. Bagaikan batuan
tebing yang runtuh, ia rasakan tulang-tulang persendiannya luruh.
Bagai burung yang patah kedua sayapnya dan jatuh dari angkasa.

283
Ia tercenung sebisu patung batu. Seperti berada di alam mimpi.
Namun, sejenak kemudian ia bagai tersadar oleh hamparan
kenyataan yang menunjukkan bahwa dirinya sekarang ini bagaikan
raja tanpa mahkota, tanpa kekuasaan, tanpa istana, tanpa tahta,
tanpa rakyat, bahkan tanpa pakaian kebesaran. Abdul Jalil
menyadari betapa satu-satunya jubah kebesaran terindah yang
dikenakannya telah terbakar habis tak bersisa. Citra indah sulaman
bidadari dan bunga-bunga itu telah sirna. Harapan dan angan-
angannya tentang jubah indah itu telah pupus. Merana. Dan tebing
keteguhan hatinya pun runtuh bersama butir-butir air bening yang
bergulir dari kelopak matanya, membasahi pipinya.
Ketika malam dibungkus selimut hitam, saat orang-orang
meringkuk kedinginan dalam tidur lelap, Abdul Jalil duduk di teras
Masjid al-Ishthilam sambil membatin, “Kehilangan adalah
kepedihan. Berbahagialah engkau, o musafir papa, yang tak
memiliki apa-apa. Sebab, engkau yang tidak memiliki apa-apa
maka tidak akan pernah kehilangan apa-apa.”

Bintang-gemintang yang menghiasi gelap malam menerbangkan


khayalnya ke langit yang diselimuti kabut. Khayal yang melekat di
relung-relung ingatannya memunculkan citra Nafsa yang
menderita dan merana. Sambil menyaksikan bentangan sayap-
sayap khayalnya berkepakan, ia berkata, “Aku tidak pernah
kehilanganmu, o Nafsa, karena aku tidak pernah memilikimu.
Namun, citra keindahanmu yang memenuhi khayalku adalah
kesunyian yang paling menyiksa jiwaku. Terbang bebaslah, o
burung kecilku, menuju sarangmu. Berkicaulah dengan kemerduan
suaramu untuk memuji Pemilikmu.”

284
Ketika ia sedang terbang bebas dengan burung khayalnya, tiba-
tiba muncul seseorang yang kemudian dikenalnya bernama Ali
Anshar at-Tabrizi, musafir asal negeri Persia. Sebagai sesama
perantau, dalam tempo singkat mereka terlihat akrab; berkisah
tentang asal usul, perjalanan hidup, pandangan-pandangan
keagamaan, prinsip-prinsip tauhid, bahkan konsep-konsep dan
amaliah perjuangan (jihad) menuju Sang Sumber Sejati.

Ali Anshar pemuda yang cerdas dan memiliki pengetahuan yang


luas dalam berbagai hal sehingga persoalan yang sulit dipecahkan
akan menjadi mudah dibahas. Namun, ada saat-saat tertentu
Abdul Jalil menangkap sasmita bahwa pengetahuan Ali Anshar
pada dasarnya masih pada tingkat pemahaman dan belum sampai
pada tataran amaliah. Hanya saja ia belum berani memastikan
apakah sasmita yang ditangkapnya itu benar atau tidak. Lantaran
itu, ia berusaha tetap menjaga jarak dan tidak semua pandangan
Ali Anshar disepakatinya.

Ia sadar selama ini sangat kurang bergaul dengan orang-orang


yang bisa diajaknya berbagi pengalaman. Itu sebabnya, meski
banyak hal yang tidak disepakatinya, ia merasa sangat
membutuhkan kawan bicara secerdas perantau asal Tabriz itu.
Keakrabannya dengan Ali Anshar pun makin erat manakala ia
mengetahui bahwa pemuda itu meninggalkan negerinya karena
tak sanggup menanggung hati yang hancur akibat kematian
kekasih tercinta. Kesamaan nasib menumbuhkan empati dan
solidaritas.

285
Ali Anshar menuturkan kisah percintaannya dengan Kamilah,
tetangga sebelah rumahnya yang telah dikenalnya sejak masa
kanak-kanak. Berbeda dengan keluarga Kamilah yang kaya dan
terhormat, keluarga Ali Anshar hidup dalam keterbatasan meski
darah yang mengalir di tubuh keluarganya adalah darah Alawiyyin
keturunan Rasulallah Saw. “Keluarga kami adalah pendukung
setia keluarga Safawy yang sedang berjuang menegakkan
kekuasaan ahlul bait. Itu sebabnya, keluarga kami selalu dalam
buruan dan penindasan penguasa yang zalim. Namun, kami
bertahan terhadap semua tekanan yang diarahkan kepada kami,”
katanya dengan mata berapi-api.
Sebagai pendukung setia keluarga Safawy ternyata membawa
akibat pedih baginya. Keluarga Kamilah yang sangat membenci
perjuangan kaum Safawy tegas-tegas melarang Ali Anshar
berhubungan dengan puteri mereka. Mereka tidak ingin
tersangkut-paut dengan gerakan pemberontak. “Aku memprotes
keputusan itu. Aku katakan kepada ayahanda Kamilah bahwa
persoalan cinta tidak ada kaitan dengan perjuangan kaum Safawy.
Namun, mereka malah mengusirku. Dan puncaknya, ketika
keluarga itu dengan paksa menikahkan Kamilah dengan seorang
petugas penarik pajak yang licik dan kejam,” ujar Ali Anshar
menarik napas dalam-dalam.

Perkawinan Kamilah ternyata tidak membawa kebahagiaan.


Selama bertahun-tahun mereka tidak dikaruniai anak. Itu
sebabnya, Kamilah oleh suaminya dijadikan pemuas nafsu belaka.
Dia tidak pernah lagi dianggap sebagai istri yang bisa menjadi ibu
dari anak-anaknya. Bukan hanya caci-maki dan pukulan yang

286
didapat Kamilah dari suaminya, melainkan silih berganti
perempuan cantik dibawa ke rumah dan diperkenalkan sebagai
istri-istri baru. Namun, ternyata para perempuan itu tidak
melahirkan anak seorang pun bagi suami Kamilah.

Penderitaan lahir dan batin yang dialami Kamilah akhirnya


membawanya ke gerbang kematian. “Saat itu aku rasakan duniaku
runtuh. Harapan dan khayalku tentang Kamilah yang indah telah
sirna tanpa bekas. Mahligai hatiku yang menyimpan citra indah
Kamilah telah remuk. Luluh lantak,” tutur Ali Anshar pedih.

Seyogyanya, ungkap Ali Anshar, dia sudah putus harapan dengan


kehidupan di dunia ini. Namun, dorongan semangatnya sebagai
keturunan Rasulallah Saw. yang mulia telah menumbuhkan
kekuatan dahsyat untuk pantang menyerah dalam menghadapi
tantangan hidup. “Berbulan-bulan kulalui dengan memohon
barokah dan karomah dari Sayyid Hamzah bin Imam Mussa al-
Kazim yang dimakamkan di Rey, dekan Tehran. Berbulan-bulan
pula kulalui dengan memohon barokah dan karomah dari Sayyid
Jalaluddin Asraf bin Imam Mussa al-Kazim yang dimakamkan di
Astana Ashrafia di Gilan. Dan alhamdulillah, aku mendapatkan
kekuatan baru.”

Selanjutnya, dia mengungkapkan perjalanan ruhaninya menziarahi


makam Sayidina Husein di Karbala yang mendatangkan kekuatan
batiniah baginya. Ali Anshar yakin bahwa para imam suci beserta
seluruh keturunannya adalah pembimbing umat manusia dalam
287
menafsirkan dan mengamalkan ajaran yang telah disampaikan
oleh Rasulallah Saw. “Jikalau benar apa yang dikatakan uwak
Tuan bahwa Tuan masih keturunan Rasulallah Saw. maka
hendaknya Tuan sadari keberadaan yang mulia itu. Tuan
hendaknya menjadikan Muhammad Saw. leluhur kita sebagai
panutan. Beliau lelaki sejati yang pantang menyerah, meski harus
kehilangan orang-orang tercinta termasuk kematian putera-putera
kebanggaannya di usia dini. Beliau kuat. Perkasa. Tak goyah
menghadapi gempuran dari segenap penjuru,” kata Ali Anshar
menyemangati.

Entah akibat kepandaian Ali Anshar berbicara atau karena sedang


dalam keadaan sedih dan butuh penguat jiwa, Abdul Jalil
merasakan getar kebanggaan menguasai dadanya ketika ia
menyadari di dalam dirinya mengalir darah Rasulallah Saw. dan
para ulama dari golongan Alawiyyin. Hidup mereka selalu
digempur oleh serbuan api bala’, namun mereka tidak pernah
menyerah. Bahkan menjadikan mereka sebagai orang-orang mulia
yang dekat dengan al-Khaliq. Dan getar kebanggaan yang
memenuhi dadanya itu mendorong Abdul Jalil untuk melakukan
ziarah ke makam Rasulallah Saw. sekaligus menunaikan ibadah
haji.

Keputusan Abdul Jalil untuk berziarah ke makam Rasulallah Saw.


pada musim haji mendatang disambut gembira oleh Ali Anshar.
Sambil menepuk-nepuk bahu Abdul Jalil, dia berkata, “Dengan
berziarah ke makam Rasulallah Saw. berarti Tuan telah kembali
kepada sumber Tuan yang sejati. Mudah-mudahan kita dapat
288
berjumpa di sana pada musim haji mendatang,” ujarnya dengan
mata berbinar-binar.

Keakraban Abdul Jalil dan Ali Anshar semakin erat. Hal itu terjadi
bukan saja karena Ali Anshar memiliki pengetahuan yang luas
tentang berbagai hal, melainkan yang tak kalah penting adalah
karena sahabatnya, Ahmad at-Tawallud sedang pergi berlayar ke
berbagai negeri mengurus perniagaannya. Abdul Jalil ditinggalkan
sendirian di rumahnya yang megah di Baghdad. Ia hanya ditemani
beberapa pelayan. Kesendirian di tengah semarak kota Baghdad
itulah yang mendekatkan hubungan mereka.

Ali Anshar ternyata sangat pandai menjalin hubungan dengan


orang, baik dalam hal kesantunan, keramahan maupun
pembicaraan tentang agama, filsafat, sejarah, ketabiban, hingga
politik kekuasaan. Kepada Abdul Jalil yang beberapa kali
mengunjungi pemondokannya di tepi sungai Tigris, selalu
disuguhkan makanan khas Persia: Chelow-kabab (nasi dengan
daging panggang), Fessenjan (daging itik kuah dicampur kenari
dan sari buah delima), Dolmeh (daging isi dibungkus daun anggur),
Abgousht, Ash-e-Reshteh, dan Barbari. Selama menyantap
suguhan, Ali Anshar bercerita ini dan itu tentang kehidupan di
berbagai negeri terutama di Persia yang menurutnya sedang
dikuasai oleh orang-orang zalim yang durhaka karena selalu
menodai agama dan menipu rakyat.

289
Sebagai orang muda yang telah menyaksikan sekaligus
mengalami sendiri berbagai sisi kehidupan yang penuh pahit dan
getir, Abdul Jalil dengan apa adanya menceritakan perjalanannya
dari awal hingga terdampar di Baghdad. Tanpa kecurigaan ia
menuturkan bahwa kepergiannya hingga ke negeri dongeng itu
adalah bagian dari pencariannya terhadap al-Khaliq. Itu sebabnya,
ia sangat tidak tertarik dengan hal-hal yang berhubungan dengan
kehidupan duniawi. “Telah jelas bagiku bahwa segala sesuatu
yang berhubungan dengan selain Dia akan berakhir dengan
kekecewaan dan penderitaan.

Mendengar pengakuan Abdul Jalil, Ali Anshar hanya mengangguk-


angguk sambil mendecak kagum. Namun, kepandaian Ali Anshar
memberikan alasan-alasan yang masuk akal terutama dorongan
semangat, khususnya yang berkaitan dengan keberadaannya
sebagai keturunan Rasulallah Saw., telah membuat Abdul Jalil
mengerutkan kening untuk berpikir ulang.

“Tuan masih muda dan memiliki kecerdasan luar biasa,” Ali Anshar
memuji. “Tuan ibarat buah masak sebelum waktunya. Namun,
Tuan harus selalu ingat bahwa nenek moyang kita Muhammad
Saw. adalah pejuang kemanusiaan yang agung yang rela
berkorban apa saja demi tugas sucinya. Berbelas tahun beliau
menyepi sendiri di gua Hira untuk mencari Kebenaran Sejati.
Setelah beliau menemukan Kebenaran Sejati, terutama dalam
peristiwa agung isra’ wa mi’raj, di mana beliau telah berhadapan
langsung dengan Allah, ternyata tidak membuat beliau terputus
dengan kehidupan duniawi. Beliau tidak menjadi pertapa yang
290
mengasingkan diri. Beliau justru kembali ke kehidupan dunia
dengan mengemban tugas suci dari-Nya; berjuang menegakkan
kebenaran agama-Nya, memimpin umat ke jalan-Nya, menjadi
teladan umat manusia, menjadi kepala keluarga, dan bahkan
menjadi panglima tinggi perang bagi umatnya.”

Selain berkisah tentang Rasulallah Saw., dia juga menuturkan


keteladanan para Alawiyyin keturunan Rasulallah Saw., baik dari
galur Sayidina Hasan maupun dari Sayidina Husein. Tanpa kenal
lelah, ungkap Ali Anshar, para Alawiyyin menyampaikan ajaran
Rasulallah Saw. ke berbagai negeri. “Kekalahan para keturunan
dan pengikut Sayidina Ali dari si iblis besar Mu’awiyah dan
keturunannya, tidak menjadikan mereka patah semangat. Mereka
seberangi lautan luas dan gurun yang ganas untuk menyampaikan
kebenaran Islam kepada mereka yang sedang berada di dalam
kegelapan. Tak terhitung jumlah kaum Alawiyyin yang terbunuh di
jalan Allah, namun mereka tak pernah surut langkah menegakkan
agama Allah. Imam suci sebagai penerus kemuliaan Rasulallah
Saw. mereka jadikan sumber ilham yang tak pernah kering bagi
gelora semangat perjuangannya,” kata Ali Anshar.

Meski tidak semua pandangan Ali Anshar sesuai dengan jalan


pikiran dan perasaannya, Abdul Jalil menangkap semacam
kebenaran di balik kata-katanya, terutama jika dikaitkan dengan
cerita Syaikh Datuk Ahmad, uwaknya, tentang perjuangan
leluhurnya di dalam menyebarkan kebenaran Agama Allah di muka
bumi. Diam-diam ia meneguhkan tekad akan mendarmabaktikan
seluruh hidupnya di jalan yang telah dilampaui leluhurnya setelah
291
menemukan Kebenaran Sejati. Dan tiba-tiba saja, gambaran
tentang kegelapan yang masih menyelimuti orang-orang di negeri
kelahirannya, berkelebat ganti-berganti memasuki benaknya.

Kala senja turun, usai orang-orang menunaikan shalat maghrib,


Abdul Jalil berjalan melewati perkampungan kumuh di pinggiran
Baghdad. Di antara reruntuhan tembok-tembok tua dan puing-
puing, di atas tumpukan sampah dekat sebuah rumah yang
atapnya ambruk, ia tanpa sengaja melihat laki-laki tua berjongkok
mengais-ngais sampah seolah mencari sisa-sisa makanan.
Pakaiannya kotor berbalut debu. Wajahnya dilihat sepintas bagai
mengungkap derita. Pendek kata, laki-laki itu adalah gelandangan
yang hidup dalam kehinaan dan kenistaan. Namun, tatapan mata
laki-laki itu, yang menerawang jauh ke gugusan bintang-bintang di
langit, menyiratkan ketenangan, kedamaian, dan kewibawaan.

Bagaikan terbimbing oleh tangan gaib, Abdul Jalil


menghampirinya. Ia menangkap keanehan pada tubuh tua penuh
debu itu. Dan sesaat kemudian, nur lawami’ dan fawa’id di
kedalaman jiwanya tiba-tiba menangkap pancaran cahaya gilang-
gemilang pada sosok yang hina dalam pandangan mata indriawi
itu. Ia makin yakin bahwa laki-laki di atas tumpukan sampah itu
bukanlah orang sembarangan. Setelah jarak mereka cukup dekat,
ia mengucapkan salam dan laki-laki tua itu menjawabnya, namun
dengan sikap tak peduli.

292
Merasa diabaikan, Abdul Jalil justru mendekat dan ikut berjongkok
di depannya sambil mengulurkan tangan. Laki-laki tua itu masih
dalam sikap acuh tak acuh mengulurkan tangan menyalami sambil
menggumam, “Tidak hinakah seorang keturunan Rasulallah Saw
menyalami fakir papa ini?”

“Tuan,” sahut Abdul Jalil hormat, “bagi saya semua manusia


adalah sama, yaitu hamba Allah. Hanya pandangan mata indriawi
dan peraturan yang dibuat manusia sajalah yang membeda-
bedakan satu manusia dengan manusia yang lain. Bangsawan,
mulia, agung, terhormat, berpangkat, kaya raya, maupun yang
sudra, hina, nista, miskin, fakir, dan papa adalah sama di hadapan-
Nya. Yang membedakan mereka hanyalah takwa. Dan ketakwaan
tidak bisa dilihat hanya dari penampilan lahiriah semata. Dalam
pandangan saya, Tuan adalah hamba-Nya yang mulia lagi
terhormat, meski orang lain memandang Tuan sebagai orang
hina.”

Laki-laki tua yang ternyata bernama ‘Ainul Barazikh itu tiba-tiba


memegang bahu Abdul Jalil. Dia menatap mata Abdul Jalil dalam-
dalam seolah hendak mengukur kekuatan jiwanya. Sesaat
kemudian dia berkata, “Jika engkau teguh dan istiqamah
berpegang pada ucapanmu itu dan engkau duduk laksana
pengemis papa di hadirat-Nya maka Allah akan membukakan
pintu-pintu ilmu dan menganugerahimu pengetahuan khusus dari-
Nya, yaitu tentang rahasia dan pemahaman Ilahiah.”

293
“Saya akan berusaha istiqamah dan memohon kepada-Nya agar
hati saya senantiasa dikosongkan dari sesuatu selain Dia,” kata
Abdul Jalil takzim.

“Jika demikian,” sahut ‘Ainul Barazikh tenang, “tinggalkan orang-


orang yang akan mempengaruhi jalanmu. Karena, sesungguhnya
engkau akan diperankap oleh kebanggaan diri akan nasab yang
bermuara ke samudera keakuanmu. Allah tidak pernah
menetapkan sesuatu yang dikehendaki-Nya atas dasar nasab
semata. Ingat kisah Nuh a.s. yang anaknya durhaka terhadap
Allah. Ingat Ibrahim a.s. yang ayahandanya masuk ke dalam
golongan orang-orang sesat.”

“Jika engkau setia di jalan-Nya maka engkau akan mendapati


Ibrahim a.s. sebagai Bapak Tauhid yang berhasil memutus
hubungan antara anak dan ayah (Ibrahim a.s. dan ayahnya, Terah)
maupun hubungan antara ayah dan anak (Ibrahim a.s. dan Ismail
a.s.) sehingga ia beroleh pencerahan menjadi sahabat Sang
Kebenaran Sejati. Sesungguhnya, hubungan ayah dan anak
adalah hubungan kemakhlukan yang bersifat nisbi yang berujung
pada nafs yang satu (an-nafs al-wahidah), yakni hakikat Adam a.s.
– citra sebentuk tanah yang di dalamnya tersembunyi rahasia ruh-
Nya. Ibrahim a.s. telah menangkap rahasia paling rahasia Ilahiah
dari kalimat: la ilaha illa Allah dan Inna li Allahi wa inna ilaihi raji’un.”

“Ketahuilah bahwa hubungan anak dan ayah, anak dan ibu, suami
dan istri, serta laki-laki dan perempuan sesungguhnya adalah
294
hubungan yang bersifat duniawi. Ingatlah, ketika Adam a.s.
diciptakan di Jannah Darussalam tidak dibutuhkan ibu dan bapak.
Ingat pula ketika Adam a.s. membelah diri saat kemunculan Hawa.
Proses itu terjadi bukan di dunia. Karena itu, kebapakan Adam a.s.
dan keibuan Hawa saat melahirkan putera-putera terjadinya di
bumi. Dan jika engkau naik ke langit maka engkau akan mendapati
bahwa di sana tidak ada perbedaan laki-laki dan perempuan, anak
dan ayah, anak dan ibu, suami dan istri. Semua adalah universal;
bulan, bintang, bumi, matahari, bintang, planet, malaikat.”

“Karena itu, o Anak Muda, jika engkau bertekad bulat untuk


mendekati-Nya maka prasyarat mutlak yang wajib engkau penuhi
adalah meniggalkan segala sesuatu yang bersifat keduniaan,
termasuk kebanggaan terhadap nasab. Dan ketahuilah, o Anak
Muda, saat Muhammad Saw. dijalankan oleh-Nya dari Masjidil
Haram ke Masjidil Aqsha (isra’) lalu mi’raj ke Sidratul Muntaha, dia
bukan lagi sebagai seorang laki-laki bumi. Muhammad Saw. saat
itu adalah al-Haqq yang universal yang kembali ke Sumber Sejati.
Itu sebabnya, sangat jahil orang yang menggambarkan buraq
sebagai hewan tunggangan berkelamin perempuan. Buraq adalah
makhluk universal. Tidak jantan dan tidak betina. Dan hanya
pikiran keduniaan manusia sajalah yang mengkhayalkan segala
sesuatu yang universal identik dengan kebumian yang parsial.”

“Saya paham, Tuan,” sahut Abdul Jalil takzim.

295
“Karena itu, hatimu harus hancur dari segala hal duniawi jika
engkau menghendaki keakraban dengan-Nya,” kata ‘Ainul
Barazikh, yang tiba-tiba saja berdiri kemudian membalikkan badan.

Abdul Jalil termangu-mangu menatap kepergian ‘Ainul Barazikh


hingga tubuhnya lenyap ditutupi kegelapan malam. Diam-diam ia
bersyukur telah diberi anugerah oleh Allah berupa sepercik
pengetahuan untuk melihat makna hakiki manusia dengan
pandangan mata batin. Pancaran nur lawami’ dan pemahaman
fawa’id di kedalaman samudera kesadarannya telah dapat
menyaksikan citra agung seorang kekasih Allah yang
memancarkan cahaya gilang-gemilang dari seorang gelandangan
seperti ‘Ainul Barazikh. Padahal, orang-orang terhormat dan
dipuja-puja, seperti Syaikh Abu Syarr azh-Zhulmi, justru
membiaskan citra seekor hewan. Ah, pikir Abdul Jalil, betapa
menakjubkan Allah yang menebarkan tirai rahasia untuk
menghijab kekasih-Nya dari pengetahuan duniawi.

296
Baitul Haram

Haji – ibadah yang diwajibkan bagi setiap


muslim yang dewasa, berakal sehat, dan
mampu melaksanakannya – bukanlah sekadar
memakai pakaian ihram, tawaf mengitari
Ka’bah, sa’i antara Shafa dan Marwa, wukuf di
Arafah, singgah di Muzdalifah dan Masy’ar al-
Haram, dan melempar jumrah di Mina secara
badani. Haji yang hakiki adalah peribadatan yang membawa
seorang salik mendaki maqam jasadiyyah ke maqam ruhaniyyah;
menapaki kembali jejak-jejak Adam a.s. mulai saat menjadi hamba-
Nya yang terhukum hingga ke asal penciptaannya yang mulia dan
terhormat di antara semua hamba-Nya, yakni Adam a.s. yang
kepadanya seluruh malaikat bersujud dan yang dibanggakan
Rabb-nya karena mengetahui nama-nama serta bisa
berwawansabda dengan al-Khaliq.

Bagi salik yang berhasrat mendaki maqam ruhaniyyah, syarat


utama ibadah haji adalah melepas segala ingatan dan pamrih
tentang kehidupan duniawi dan ukhrawi sekaligus. Satu-satunya
ingatan hanya kepada-Nya. Karena bagi salik, Haji adalah ‘ibadah,
yakni wahana yang menghubungkan abid dan Ma’bud. Dan
lantaran itu, keberadaan salik sebagai abid yang menggunakan
wahana ibadah untuk menujukan kiblat hati dan pikiran hanya
kepada Ma’bud hendaknya lurus dan bersih serta suci dari segala
sesuatu yang bukan Ma’bud. Bid’ah adalah tambahan-tambahan

297
di dalam ibadah yang membawa abid memalingkan kiblat dari
Ma’bud.
Menjelang musim haji, Abdul Jalil yang sudah menyiapkan
kebersihan jiwanya untuk memasuki maqam ruhaniyyah,
berangkat ke tanah suci dengan melewati samudera. Hasrat dan
keinginan hatinya untuk melakukan ziarah ke makam para
leluhurnya, yakni Imam Husein di Karbala, Imam Ali di Najaf, Imam
Ja’far Shadiq, Imam Muhammad al-Baqir, Imam Ali Zainal Abidin
di Baqi’, dan terutama makam Rasulullah Saw. di samping Masjid
Nabawi, diurungkannya. Uraian Ainul Barazikh tentang hakikat
Tauhid telah meruntuhkan semua dorongan hatinya untuk
menapaki kemuliaan dan keluhuran para leluhurnya dengan tujuan
mengangkat keberadaan dirinya. Soal ibadah, menurut hematnya,
adalah soal pengkiblatan antara abid dengan Ma’bud. Karena itu,
tidak sekali-kali abid diperbolehkan menggunakan atribut-atribut di
dalam mengarahkan kiblatnya kepada Ma’bud.

Dengan melakukan perjalanan melintasi samudera, ia mendapati


kenyataan bahwa di tengah samudera yang biru tidak terdapat
sesuatu yang mengusik batin manusia. Hamparan samudera
sepanjang waktu tampaknya hanya menyuguhkan ombak yang
bergulung-gulung dan ikan yang beriringan melompat-lompat serta
kadang kala gelombang yang mengamuk; sebuah pemandangan
yang sangat menjemukan. Namun, di tengah samudera itu pulalah
hasrat dan dorongan ke arah duniawi dapat sangat kuat menerkam
pikiran dan perasaan manusia. Namun, bagi salik seperti Abdul
Jalil yang benar-benar telah berjuang keras melepas segala
sesuatu selain Dia, perjalanan melintasi samudera justru menjadi

298
sebuah kemestian ibadah yang sangat didambakan. Karena
jiwanya yang sudah menapaki maqam ruhaniyyah itu ibarat
hamparan samudera yang bersih dari hiruk pikuk duniawi.
Sekalipun ia sudah dinyalakan api tekad untuk tidak menghiraukan
segala sesuatu selain Dia, pada kenyataannya ia tidak mempu
menghindar dari kehidupan duniawi sehari-hari. Selama di atas
kapal, misalnya, meski sudah diusahakan untuk lebih banyak
melakukan amaliah ibadah, tak urung ia sempat pula mengenal
beberapa penumpang dan awak kapal. Salah seorang penumpang
yang dikenalnya saat kapal akan berangkat di pelabuhan Basrah,
yang kemudian menjadi kawan berbicara selama di perjalanan,
adalah laki-laki peranakan Arab-Persia bernama Husein bin Amir
Muhammad bin Abdul Qadir al-Abbasi. Pemuda tiga puluh tahunan
asal Pasai.

Perkenalannya dengan Husein dijembatani oleh Ahmad at-


Tawallud yang ikut mengantar sampai ke atas kapal beberapa saat
sebelum berangkat. Husein adalah putera Amir Muhammad bin
Abdul Qadir al-Abbasi – Mullah yang sangat dihormati di negeri
Pasai – kawan karib ayahanda Ahmad at-Tawallud.

Husein adalah salik yang sedang meniti bahtera menuju ke


Pelabuhan Sejati. Itu sebabnya, Ahmad at-Tawallud
mengungkapkan, dalam perjalanan menuju ke tanah suci
seyogyanya mereka berdua banyak melakukan tukar pengalaman
dan pendapat. “Jalan yang dia tempuh dengan jalan yang Tuan

299
tempuh sangat berlainan, meski arahnya sama, yakni menuju ke
Pelabuhan Sejati,” bisiknya perlahan ke dekat telinga Abdul Jalil.

Sesuai pesan Ahmad at-Tawallud, sepanjang perjalanan Abdul


Jalil berusaha menggunakan waktu luangnya untuk berbincang-
bincang dengan Husein. Dalam perbincangan itulah, Husein
menuturkan beberapa kerabatnya tinggal dan menjadi penyebar
Islam di sana. “Bahkan saudara kakek buyut saya, Sayyid
Abdurrahim bin Kourames al-Abbasi, menjadi pejabat tinggi di
Majapahit. Kakek saya, Abdul Qadir al-Abbasi, menceritakan
bahwa adik dari kakeknya itu menggunakan nama Jawa – setelah
diambil menantu oleh Raja Muda Surabaya, Pangeran Arya Lembu
Sura – Arya Teja. Beliau menjadi Syahbandar di pelabuhan
Tuban.”

Selanjutnya, dia menuturkan bahwa penyebaran Islam di Jawa


yang dilakukan oleh para saudagar dan guru-guru agama yang
berasal dari Pasai menggunakan jaringan keluarga al-Abbasi yang
menjadi Syahbandar pelabuhan Tuban. Jaringan keluarga al-
Abbasi makin kuat manakala salah seorang keturunan Abdurrahim
bin Kourames al-Abbasi yang bernama Abdullah Shidiq menikahi
puteri Adipati Tuban dan kemudian dia menggantikan kedudukan
mertuanya. Dengan demikian, keluarga al-Abbasi menduduki dua
jabatan penting, yaitu syahbandar dan adipati. “Berita terakhir yang
saya terima, Abdullah Shidiq menggunakan nama Jawa, yaitu
Tumenggung Wilwatikta.”

300
Berdasar uraian Husein itulah Abdul Jalil mengetahui bahwa
pengaruh Alawiyyin khususnya yang berasal dari Persia sangat
kuat. Di Pasai menurut Husein, paham yang kuat dianut
masyarakat adalah Syiah. Bahkan ibundanya adalah wanita
peranakan Persia, puteri Hujjatul Islam Hasan Khair bin al-Amir Ali
Astrabadi. “Jadi, kakek saya dari pihak ibu adalah ulama besar asal
Persia.”

Abdul Jalil merasa lega mendengar berbagai uraian tentang


gerakan dakwah Islam di Jawa yang dilakukan oleh para ulama
asal Pasai. Sebab, menurut pikirannya, gerakan dakwah yang
dilakukan oleh para saudagar dan guru agama asal Pasai melalui
jaringan keluarga al-Abbasi tentu akan membawa hasil yang baik,
yakni membangkitkan kesadaran orang-orang yang masih terjebak
dalam paganisme dan penindasan atas hak-hak hidup manusia.
Sejauh ini, menurut pengalamannya di Caruban, keberadaan
Padepokan Giri Amparan Jati yang diasuh Guru Agung Syaikh
Datuk Kahfi belum cukup berarti mempengaruhi kesadaran
manusia di daerah Galuh dan Pajajaran. Sementara kekuasaan
yang mulai dibangun di daerah Bintara lebih tertumpu pada upaya-
upaya penegakan kekuasaan duniawi ketimbang menyadarkan
masyarakat dari ketertindasan dan keterbelakangan.

Dalam perbincangan dengan Husein, Abdul Jalil mengungkapkan


betapa berat medan dakwah di Jawa karena masyarakat sudah
terperangkap ke dalam kerangka berpikir yang beku dan mandeg.
Masyarakat, menurut Abdul Jalil, selalu dijadikan permainan oleh
para elit untuk kepentingan mereka. Baik penguasa maupun
ruhaniwan selalu memanfaatkan dan bahkan cenderung

301
mengorbankan masyarakat untuk kepentingan pribadi mereka.
“Hanya aroma keharuman Islam sebagai rahmatan lil alamin
sajalah yang bisa membebaskan orang-orang dari penindasan
atas sesamanya. Karena, di dalam Islam tidak dikenal golongan-
golongan manusia berdasar nasab. Tidak ada sudra tidak ada
paria. Semua sama di hadapan Allah, yang membedakan hanyalah
ketakwaan.” Ujar Abdul Jalil.

Sekalipun mereka sama sepakat bahwa Islam adalah rahmatan lil


alamin, soal tidak adanya perbedaan golongan di antara manusia
ternyata keduanya tidak sepaham. Husein tegas-tegas menolak
pandangan Abdul Jalil. Menurutnya, tidak semua orang memiliki
kemampuan untuk memahami dan mengamalkan agama. Itu
sebabnya, masyarakat awam hendaknya taqlid kepada para ulama
yang memiliki otoritas di bidangnya. “Para ulama pun tidak boleh
semau-maunya menyampaikan ajarannya tanpa memiliki rujukan
dari imam yang maksum. Jadi, menurut saya, jikalau semua orang
diberi hak yang sama di dalam memahami agama maka yang
terjadi adalah kekacauan, yang berujung ke terciptanya kerusuhan
besar. Karena, masing-masing akan mengaku paling benar
sendiri.”

Sebenarnya, ingin sekali Abdul Jalil mendebat pandangan Husein


yang menurutnya tidak sesuai dengan kenyataan sejarah lahirnya
Islam yang awal. Menurut pandangan Abdul Jalil, Islam yang
diajarka Rasulullah Saw. adalah untuk siapa saja, termasuk budak-
budak. Rasulullah Saw. tidak akan mengajarkan Islam yang
berbeda antara yang disampaikan kepada Bilal bin Rabah, sang
302
budak, dan yang disampaikan kepada Utsman ibn Affan, sang
saudagar kaya raya. Namun, segala keinginan untuk berdebat itu
dihalaunya jauh-jauh, dengan keyakinan bahwa kebenaran tidak
perlu harus diperdebatkan. Kebenaran akan mewujudkan dirinya
sendiri sebagaimana bunga mawar yang harumnya menebar
sendiri tanpa perlu diberitakan bahwa mawar adalah bunga yang
berbau harum.

Manusia tidaklah memiliki kehendak kecuali apa-apa yang


dikehendaki Allah, Rabb alam semesta (QS atTakwir: 29). Dalil ini
diyakini benar oleh Abdul Jalil yang sudah mengalami pahit dan
getir mengarungi samudera pencarian Kebenaran Sejati. Dan
kebenaran dari dalil ini dialaminya untuk kali kesekian saat, tanpa
pernah dibayangkan dan diimpikan, tiba-tiba ia bertemu dengan
Syaikh Bayanullah, putera uwaknya, Syaikh Datuk Ahmad.

Kisah pertemuan dua saudara sepupu itu bermula dari


ketidaksengajaan ketika Abdul Jalil dan Husein mengadakan
perjalanan dari bandar pelabuhan Jedah ke Makah. Saat kabilah
mereka beristirahat di wadi Fatimah, tiba-tiba melintas kabilah lain
yang juga bertujuan ke kota yang sama. Salah satu unta yang
ditunggangi lelaki tua terjerembab karena kaki depannya yang
kanan terperosok ke lubang. Dalam waktu beruntun, unta
pembawa beban yang berada di belakang hewan malang itu ikut
terjerembab tersandung tubuh teman di depannya. Kedua kaki
unta pembawa beban itu pun terkilir. Menghadapi musibah tak
terduga itu, kabilah tersebut terpaksa berhenti di dekat kabilah
yang membawa Abdul Jalil dan Husein.
303
Saat itulah ia berkenalan dengan salah seorang dari mereka , yang
ternyata Syaikh Bayanullah. Ia tidak dapat menyembunyikan
kegembiraannya. Di negeri yang jauh pun ia masih dipertemukan
oleh Allah dengan sanak kerabatnya. Dengan demikian, ia telah
menyambung kembali tali silaturahmi di antara puak-puak
keluarganya yang berserakan di berbagai belahan dunia.

Keakraban pun cepat terbangun, terutama karena Syaikh


Bayanullah yang lama tinggal di Makah ternyata orang yang sangat
ramah dan terbuka. Dia menuturkan bagaimana liku-liku
perjalanan hidupnya sejak menuntut ilmu ke Pasai hingga
berziarah ke makam leluhurnya di Gujarat yang berlanjut ke
Hadramaut dan Makah. “Apa yang telah aku alami ini adalah akibat
kaluarga kita yang terus menerus diwaspadai penguasa. Aku dan
saudaraku, si Kahfi, tidak akan meninggalkan Malaka jika
keadaannya baik bagi keluarga kita. Tapi, aku pikir, ini semua
adalah kehendak-Nya sehingga dengan itu kita semua bisa
bertebaran ke muka bumi untuk mendakwahkan agama-Nya.”

Berdasar penuturan Syaikh Bayanullah, Abdul Jalil mengetahui


bahwa para Alawiyyin yang menjadi sanak kerabatnya adalah
pejuang-pajuang agama yang tersebar ke berbagai belahan dunia.
Umumnya mereka sangat berhasil dengan gerakan dakwahnya.
Hanya karena sulitnya hubunganlah yang mengakibatkan masing-
masing sanak kerabat tidak bisa berkomunikasi dan mengikat tali
silaturahmi lebih erat.

304
“Bahkan salah seorang tetangga aku di Malaka, Maulana Ishak,
tiada lain adalah putera Syaikh Ibrahim al-Ghozi as-Samarkandy.
Padahal, Syaikh Ibrahim adalah putera Syaikh Jamaluddin Husein,
saudara tua Syaikh Datuk Isa, kakek kita. Hal itu baru aku ketahui
ketika ia menunaikan ibadah haji beberapa tahun silam. Padahal,
selama ini aku hanya mengenalnya sebagai tetangga asal Pasai
yang pernah bermukim di Jawa. Ya, siapa yang mengira kehendak
Allah menentukan seperti itu. Kita tidak mengetahui sesuatu jika
tidak dikehendaki-Nya,” ujar Syaikh Bayanullah.
Selain menuturkan hal Maulana Ishak, Syaikh Bayanullah juga
menuturkan saudara lain ibu dari Maulana Ishak, yakni Ali Rahmat
dan Ali Murtadho. Kedua orang tersebut telah menjadi orang-orang
terkemuka di Jawa. Ali Rahmat menjadi guru agung di negeri
Ampel Denta. Ali Murtadho menjadi guru agung di negeri Tandhes
(Gresik). Putera Maulana Ishak yang bernama ‘Ainul Yaqin telah
menjadi penguasa di Giri. Bahkan ‘Ainul Yaqin bersama Mahdum
Ibrahim, putera Ali Rahmat, pernah tinggal di Malaka setahun. “Aku
kira, Maulana Ishak khawatir berdekatan dengan keluarga aku
yang diawasi penguasa terus-menerus sehingga ia juga tidak tahu
jika sebenarnya kami masih sesaudara.”

Silsilah leluhur Abdul Jalil hingga kakek

Silsilah hingga diri Abdul Jalil

305
Silsilah Raden Ali Rahmatullah (susuhunan Ampel 1), sepupu
Abdul Jalil

Berdasar kisah Syaikh Bayanullah, Abdul Jalil mengetahui bahwa


salah seorang leluhurnya yang bernama Syaikh Sayyid Abdul
Malik adalah seorang Alawiyyin asal Hadramaut yang hijrah ke
negeri Gujarat, tepatnya di Ahmadabad, dan bukan di Surat seperti
pernah dikisahkan uwaknya, Syaikh Datuk Ahmad. Syaikh Sayyid
Abdul Malik lahir di Qozam, dekat Tarim, di Hadramaut. Itu
sebabnya, kakek buyut dari Syaikh Sayyid Abdul Malik bernama
Sayyid Ali Khaliq al-Qozam.
Putera Syaikh Sayyid Abdul Malik yang bernama Syaikh Sayyid
Amir Abdullah Khanuddin adalah mursyid Tarekat Syathariyyah
yang sangat dihormati di Gujarat. Sampai kini pengikut Tarekat
Syathariyyah masih sangat besar. Syaikh Sayyid Amir Abdullah
Khanuddin mempunyai putera bernama Syaikh Sayyid Amir
Ahmadsyah Jalaluddin. Beliau merupakan mursyid Tarekat
Syathariyyah yang masyhur dan sering dimintai pendapat dan
fatwa oleh raja-raja dari dinasti Bigarah dan dinasti Chand. Syaikh
Sayyid sebelum menjadi mursyid tarekat menggantikan
ayahandanya, diangkat oleh raja menjadi amir di Surat. “Beliau
itulah kakek buyut kita. Dan lantaran itu, saat di Gujarat aku
berbaiat Tarekat Syathariyyah,” ujar Syaikh Bayanullah.

Mendengar penuturan Syaikh Bayanullah tentang perjuangan


sanak kerabatnya di dalam menyebarkan agama Allah, Abdul Jalil
merasakan pancaran kebanggaan menyesaki dadanya. Namun,

306
buru-buru ia mengalihkan kilasan-kilasan pikirannya dengan
memperteguh keyakinan bahwa ia tidak boleh membanggakan
sesuatu bahkan berpikir sesuatu selain Allah. Itu sebabnya, ia lebih
banyak menjadi pendengar setia dari kisah-kisah kebesaran sanak
kerabat yang dikemukakan kakak sepupunya itu. Abdul Jalil
berteguh hati, bahwa di Haramain ini ia adalah ‘abid yang sedang
menjalankan amaliah ‘ibadah untuk mengarahkan kiblat kepada
Ma’bud.

Ketika malam telah menghiasi permukaan bumi dengan cahaya


bintang-gemintang, usai menunaikan shalat sunnah, Abdul Jalil
berdiri penuh takjub menatap Ka’bah yang tegak kokoh
memancarkan daya gaib, yang mampu mengisap kesadaran
manusia ke arah leburnya kebesaran diri. Ia merasakan
ketidakberdayaan merayapi perasaannya. Ini adalah kali pertama
ia melihat Ka’bah. Baitullah. Rumah Allah. Selama menatap
Ka’bah penuh ketakjuban, berangsur-angsur hatinya merasakan
daya pukau yang kuat yang menuntun kesadaran untuk mengakui
keberadaan dirinya sebagai makhluk yang dha’if.

Hingar-bingar beribu-ribu orang yang melakukan tawaf, mengitari


Ka’bah sambil mengagungkan asma Allah, membangkitkan rasa
aneh yang sulit digambarkan. Itu sebabnya, ia sengaja
membiarkan daya pukau itu mempengaruhi dirinya. Ia membiarkan
hatinya terbuka. Ia yakinkan diri bahwa sebenarnya ia tidak
memiliki kehendak. Yang berkehendak adalah Allah. Dan setelah
beberapa jenak terpukau dalam ketakjuban, secara berangsur-
angsur ia merasakan betapa hatinya terisap oleh semacam
307
kekuatan gaib sehingga tanpa dipikir lagi kakinya tiba-tiba
melangkah ke depan. Tanpa bisa dikendalikan ia berjalan cepat
masuk ke dalam lingkaran jama’ah tawaf.

Selama tawaf ia tidak mampu memanjatkan satu kalimat doa pun.


Sambil mengagungkan kebesaran Allah dengan suara tersendat-
sendat, ia merasakan pandangannya kabur tertutup genangan air
mata. Ia merasakan keakuannya larut ke dalam keakuan jama’ah
tawaf. Ia bagai setitik air yang hanyut ke arus sungai. Namun,
selintas bagaikan kilat, nur lawami dan pemahaman fawa’id-nya
mengungkapkan kaitan rahasia di balik tangisan orang-orang yang
tawaf dengan keberadaan “Ibu Segala Kota”, Makkah, yang di
masa lampau bernama Bakka, dalam bahasa Arab berarti
menangis.
Dengan membiarkan keakuannya hanyut di tengah gerakan
jama’ah tawaf, ia tidak mendapati apa-apa dari kiblat-Nya kecuali
keagungan-Nya. Berbeda dengan jama’ah lain yang berdoa agar
beroleh keselamatan di dunia dan akhirat, ditumpahi rezeki
berlimpah ruah, dikuatkan iman, diangkat derajatnya; ia hanya
mengagungkan Asma Allah. Ia tidak peduli dengan rezeki duniawi,
surga, neraka, derajat, iman, dan berbagai hal yang dibutuhkan
manusia. Kiblat hatinya hanya Allah. Itu berarti pamrih pribadinya
tidak ada. Semua adalah milik Allah. Lantaran itu, semua harus
dikembalikan kepada-Nya.

Selama tawaf, ia merasakan tubuhnya bagai digerakkan oleh


kekuatan gaib yang benar-benar di luar kendalinya. Itu sebabnya,

308
dengan rasa takjub tak terhingga, ia rasakan tubuhnya terdorong
dan terhimpit ke satu arah, yakni ke sudut Hajar Aswad. Kemudian
, bagaikan bermimpi tiba-tiba di hadapannya sudah terpampang
batu hitam yang dijadikan rebutan bagi mereka yang ingin
menciumnya. Abdul Jalil tercenung takjub. Sesaat kemudian, ia
merasakan bagian belakang kepalanya disentuh oleh tangan yang
mendorongnya ke arah depan sehingga wajahnya mencium Hajar
Aswad.

Beberapa detik menyentuhkan wajah ke Hajar Aswad dengan


mata terpejam, ia menyaksikan pemandangan menakjubkan dari
nuur yang memancar di antara kedua matanya. Ia bagai melihat
alam semesta tergelar di hadapannya. Kemudian nur lawami dan
pemahaman fawa’id-nya mengungkapkan bahwa Hajar Aswad
itulah batu yakud yang berasal dari surga, yang ajaib yang mampu
mencatat dan merekam siapa saja yang pernah melintasi di
hadapannya. Karena itu, Rasulullah Saw. mencontohkan untuk
menciumnya atau melambaikan tangan jika tidak mampu.

Tiba-tiba saja Abdul Jalil merasa pakaian ihramnya ditarik oleh


tangan-tangan yang kuat. Dengan sentakan keras, tubuhnya
terpental ke belakang. Ia termangu heran ketika menyadari dirinya
sudah berada jauh dari kerumunan orang di Hajar Aswad. Namun,
ia tak memberi kesempatan bagi pikirannya untuk
mempertanyakan ini dan itu. Ia langsung bertakbir dan melakukan
shalat sunnah di dekat maqam Ibrahim.

309
Usai shalat sunnah, ia melakukan sa’i. Bagai setetes air, ia
mengikuti arus jama’ah laksana aliran sungai. Ia biarkan
keakuannya terseret arus keakuan jama’ah. Ketika sedang
tenggelam di dalam pusaran arus jama’ah sa’i yang hingar-bingar,
tiba-tiba pandangan matanya tertumbuk ke arah salah seorang
jama’ah yang sedang melakukan doa di atas bukit Marwa. Karena
hitungan sa’inya sudah selesai dan berjarak hanya beberapa
langkah maka ia dapat mengamati orang itu dengan lebih cermat.

Bagai mengetahui dirinya diamati, seketika orang yang menarik


perhatian Abdul Jalil itu menghindar di antara kerumunan jama’ah
yang berdoa di atas bukit Marwa. Keanehan terjadi. Saat ia
melangkah, jama’ah yang berkerumun itu mendadak menyibak
bagaikan memberi jalan. Abdul Jalil makin tertarik. Diam-diam ia
mengikuti kemana orang itu pergi. Dan keanehan di bukit Marwa
lagi-lagi terulang. Setiap orang itu melangkah selalu ditandai
dengan menyibaknya jama’ah.
Ketika berada di dekat maqam Ibrahim, orang itu shalat. Abdul Jalil
yang penasaran segera mendekat. Dalam jarak sekitar sepuluh
langkah, ia mendapati orang yang sedang shalat itu ternyata
pemuda yang sangat aneh di dalam pandangannya. Pemuda itu,
menurut pandangan mata indriawinya, memang sedang
melakukan gerakan-gerakan shalat. Namun, dengan pandangan
nur lawami, pemuda itu adalah yang menyembah sekaligus Yang
Disembah. Aneh sekali. Usai shalat pemuda itu melakukan doa.
Namun, seiring doanya dia seolah-olah juga mengabulkan doa. Dia
tidak hidup juga tidak mati. Dia bergerak namun juga diam. Dia
diliputi, namun juga meliputi. Dia bagai bayi, namun juga bagai

310
lelaki dewasa. Dia memancarkan kemuliaan, namun juga
mengisap kemuliaan. Dia dinaungi, namun juga menaungi.
Keagungan berada di dalam dan di luar dirinya. Pemuda itu benar-
benar rumit, tetapi sederhana.

Peristiwa menakjubkan itu mendadak melanda kesadarannya


seiring dengan keterisapan dirinya oleh keberadaan pemuda aneh
yang misterius itu. Bagaikan persawahan digenangi air bah,
demikianlah kesadaran Abdul Jalil tenggelam dilanda kesadaran
luas tanpa batas. Dan bagaikan tirai hijab disingkapkan, ia tiba-tiba
melihat dan mengetahui bahwa pemuda itu derajat ruhaniahnya
berada di luar batasan maqam (tempat) dan zaman (waktu).
Pemuda itu yang diliputi sekaligus yang meliputi.

Seluruh perhatiannya terisap ke dalam pusaran pesona yang


memancar dari pemuda itu. Begitu dahsyatnya sehingga ia tidak
lagi melihat sesuatu di sekitarnya kecuali pemuda aneh itu. Ka’bah
dan seluruh jama’ah tawaf seperti terhapus dari perhatiannya. Ia
hanya menyaksikan pemuda itu dengan ketakjuban tak bertepi.

Bagai digerakkan oleh kekuatan dahsyat, ia beringsut mendekat.


Kemudian diciumnya tangan pemuda itu sambil berkata dengan
suara gemetar, “O Tuan, tunjukkanlah kepada saya, jalan mana
yang harus saya tempuh dan dengan cara bagaimana saya bisa
sampai kepada-Nya.”

311
Pemuda aneh itu tidak berkata sesuatu. Sebaliknya, dengan
isyarat (berbicara melalui bahasa perlambang) dan al-ima’
(berbicara tanpa bahasa lisan dan tanpa bahasa perlambang) dia
mengungkapkan bahwa jalan pengetahuan menuju-Nya tidak
dapat diungkapkan melalui bahasa manusia yang paling fasih
sekalipun. Itu sebabnya, ada “jalan” (sabil) dan “cara” (thariq) yang
bisa membawa kepada-Nya.

Mula-mula, dia menggambarkan dengan jelas rahasia keberadaan


manusia (basyar) sebagai ciptaan (khalq) dengan keberadaan
Allah sebagai Sang Pencipta (Khaliq) dalam hubungan misterius
antara ‘abid dan Ma’bud; antara makhluq dan Khaliq, antara ‘alam,
‘alim, ‘ilmu yang melekat pada makhluq dan al-‘Alim dan al-‘Ilmu
yang melekat pada al-Khaliq; antara shurah ar-Rahman dan ar-
Rahman; antara sama’, bashar, ‘adl, rahman, rahim yang menyifati
khalifatullah fil ardhi dan Nama-Nama-Nya Yang Agung, seperti as-
Sami’, al-Bashir, ar-Rahman, ar-Rahim, al’Adl. Kemudian, dia
menjelaskan pula kaitan rahasia makna hubungan di atas sebagai
“jalan lurus” (sabil huda) menuju-Nya.

Masih dengan isyarat, dia kemudian menjelaskan keberadaan


manusia sebagai perwujudan ‘alam ash-shaghir (mikrokosmos)
sebagai bagian dari ‘alam al-mulk (makrokosmos); dan keduanya
merupakan bagian dari ‘alam al-khalq (alam ciptaan yang
kasatmata). Pemuda itu mengungkapkan pula hubungan manusia
dengan ‘alam al-ghaib (alam gaib) dan ghaib ‘alam al-ghaib
(gaibnya alam gaib). Bahkan hubungan manusia dengan ‘alam al-
‘izzah (alam kekuasaan agung).

312
Kemudian dia mengungkapkan tentang keberadaan Ka’bah di
Makah dalam kaitannya dengan keberadaan Ka’bah di dalam diri
manusia. Hati (qalb) manusia adalah Baitullah atau Ka’bah. Hati
manusia bisa memuat Allah jika disiapkan untuk menyambut
kedatangan-Nya, dengan cara dibersihkan dan disucikan dari
sesuatu selain Dia. Karena, di dalam hati manusia terdapat citra
samawi Ka’bah. Citra samawi Ka’bah di dalam hati manusia penuh
dengan sifat-sifat Ilahi. Berbagai hakikat ruhaniah manusia
mengelilingi hati tersebut, bagaikan orang-orang beriman
mengelilingi Ka’bah.

Citra samawi Ka’bah di dalam hati manusia – tempat hakikat


ruhaniah mengitari hati – itu disebut bait al-ma’mur. Jika bait al-
ma’mur telah bersih dari segala sesuatu selain Allah, yakni hati
manusia-manusia yang telah mencapai-Nya, maka hati itu akan
menjadi Baitul Haram, yakni Rumah Suci yang hanya memuat
Allah saja. Itulah hati al-Insan al-Kamil.

Masih melalui isyarat, dia memerintahkan agar Abdul Jalil


mengamati keberadaan dirinya sendiri, baik dalam bentuk dan
susunan tubuh jasmani maupun dalam susunan dan
kecenderungan sifat dan naluri ruhani. Itulah rahasia manusia yang
dicipta dengan sempurna menurut citra Ilahi (shurah ar-Rahman),
yang setelah sempurna wujudnya ditiupkan (nafakhtu) ruh-Nya.
Dan Allah menempatkan “Sinar Cahaya” (nuur) di antara kedua
mata (baina ‘aina) manusia ciptaan-Nya yang sempurna itu.

313
Di dalam diri manusia itulah, tersembunyi Ruh al-Haqq (ruh-Nya
yang ditiupkan saat penciptaan manusia). Ruh al-Haqq itu
bersemayam di dalam Baitul Haram yang memuat hakikat tahta
‘arsy di dalam hati manusia. Ketersembunyian Ruh al-Haqq ditabiri
oleh ghain yang menghijab kesadaran manusia. Setiap manusia,
termasuk nabi dan rasul, hatinya tertabiri oleh ghain. Sedang
orang-orang kafir, hatinya ditabiri ghain dan rain.

Pada orang-orang beriman, Ruh al-Haqq hanya bisa terbebas dari


“belenggu” keakuan jika ghain disingkap oleh maghfirah-Nya. Itu
sebabnya, para nabi dan rasul senantiasa beristighfar. Rasulallah
Saw. dalam sehari beristighfar sedikitnya tujuh puluh kali. Dari
istighfar muncul maghfirah. Maghfirah muncul dari al-Ghaffar
(Maha Pengampun). Al-Ghaffar berasal dari Ghaffara (Yang
Menutupi, Yang Mengerudungi, Yang Menyelubungi, Yang
Menghijab). Demikianlah, istighfar bagi para nabi, rasul, serta
orang-orang beriman yang mengikuti “jalan” dan “cara” bukanlah
permohonan ampunan (karena nabi dan rasul adalah maksum,
yakni suci dari dosa), melainkan memohon maghfirah dalam arti
tersingkapnya tabir ghain yang menyelubungi (ghafara) Ruh al-
Haqq di dalam hatinya.

Sementara itu, tabir rain yang menyelubungi hati orang-orang kafir


hanya bisa disingkap oleh hidayah-Nya (petunjuk-Nya). Manusia
akan tetap terhijab dari penciptanya jika tabir ghain dan rain tidak
tersingkap. Karena, Ruh al-Haqq yang bersemayam di dalam
Baitul Haram yang memuat hakikat ‘arsy di dalam hatinya tetap
tertutupi tabir. Dan kebebasan sempurna Ruh al-Haqq dari
314
“belenggu” keakuan baru bisa dicapai jika al-barzakh al-a’la
(barzakh tertinggi) dari nafs ar-Rahman (Napas Yang Maha
Pengasih), yang merupakan pengejawantahan al-haqq al-makhluq
bihi, telah tersingkap secara paripurna.

Setelah mengungkap rahasia “jalan lurus”, pemuda itu dengan


melalui al-ima’ mengungkapkan “cara” bagaimana Ruh al-Haqq
yang bersemayam di tahta ‘arsy di dalam Baitul Haram yang
tersembunyi di hati manusia menjalin hubungan dengan Dia
(Huwa), Yang Meniupkan ruh-Nya (nafakthu), melalui nafs ar-
Rahman. Melalui “cara” itulah akan tersingkap rahasia keberadaan
al-Haqq (Yang Riil) yang menjadi esensi sekaligus substansi Ruh
al-Haqq. Jalinan antara al-Haqq dan Huwa (Dia Yang Mutlak Tak
Terbatas) itulah hakikat sejati dari fana’ fi tauhid: Yang Riil Yang
Beragam (farq) manunggal dengan Yang Satu (Jam’).

Setelah dengan jelas menunjukkan “jalan” dan “cara” untuk


menuju-Nya, pemuda asing aneh itu berkata-kata kepada Abdul
Jalil dengan suara yang begitu agung, namun penuh rahasia dan
makna. “Itulah hakikat Tauhid yang diajarkan Rasulallah Saw
kepada sahabat terkasihnya, Abu Bakar ash-Shiddiq, ketika
berada di dalam gua di gunung Thur yang ada di Makah.”

“O Tuan,” seru Abdul Jalil tercekat ketika melihat pemuda asing


yang aneh itu berdiri, “Tidakkah Tuan berkenan menyebutkan
nama Tuan?”

315
“Jika engkau menjalankan “jalan” dan “cara” yang telah kujelaskan
tadi maka engkau telah mengenal sahabat terkasih Muhammad
Saw. karena, apa yang telah kujelaskan dengan isyarat dan al-ima’
itu adalah apa yang telah diperoleh Abu Bakar ash-Shiddiq dari
Rasulallah Saw.,” ujarnya sambil berlalu, menghilang di antara
pusaran jama’ah tawaf.

Abdul Jalil termangu bingung dan takjub dengan pengalaman yang


aneh yang baru pertama kali dialaminya itu. Sesaat kemudian, nur
lawami’ dan pemahaman fawa’id-nya mengungkapkan bahwa
pemuda asing yang menakjubkan itu adalah Abu Bakar ash-
Shiddiq, sahabat terkasih Rasulallah Saw.. Namun, lintasan
nalarnya menolak kemungkinan yang tidak masuk akal itu.
Bagaimana mungkin Abu Bakar ash-Shiddiq yang wafat delapan
ratus tahun silam bisa muncul dalam wujud pemuda misterius?
Mungkinkah pemuda itu pewaris ajaran Abu Bakar ash-Shiddiq
yang disampaikan melalui al-ima’ dan al-isyarat dari waktu ke
waktu? Dan apa makna ungkapan tentang gunung Thur di Makah
itu memiliki kaitan makna dengan gunung Thur di Sinai, yakni
tempat Musa a.s. menghadap ke hadirat Ilahi dalam wujud api yang
tak terbakar?

316
SULUK ABDUL JALIL

PERJALANAN RUHANI SYAIKH


SITI JENAR

BUKU 2
AGUS SUNYOTO

Pengantar Redaksi

Daya tahan setiap pemikiran, ajaran, aliran, ideologi, peradaban,


dan semacamnya sangat ditentukan oleh seberapa besar
pemikiran tersebut dapat diterima di tengah masyarakat,
penguasa, dan komitmen para pengikutnya dalam menjaga
kelangsungan. Bila ketiga komponen tersebut tumbuh subur maka
akan menemukan masa kejayaan. Sebaliknya, bila salah satu dari
ketiga komponen tersebut tidak seiring maka akan mengalami
ketersendatan, keterpurukan, bahkan kepunahan.

Oleh karena itu, wajar bila sering kali terjadi sebuah pemikiran
pada satu zaman masyhur, namun pada zaman yang berbeda
mengalami keredupan, atau sebaliknya. Pada periode tertentu
dikutuk, pada saat yang lain dipuja habis-habisan. Dalam situasi
seperti ini kaum elit (masyarakat agamawan-penguasa-intelektual)
memegang peran yang sangat menentukan.

317
Salah satu contoh peran signifikan kaum elit ini dapat disimak
dalam kasus yang menimpa Syaikh Siti Jenar. Dalam cerita-cerita
babad, ajaran-ajaran Syaikh Siti Jenar dianggap sebagai bid’ah,
menyimpang dari ajaran Islam. Oleh karena itu, melalui sidang
dewan Wali, Syaikh Siti Jenar dihukum mati. Polemik terjadi tatkala
kitab rujukan yang berbeda kita jajarkan. Katakanlah novel yang
ada di tangan pembaca ini kita jadikan rujukan.

Novel ini sangat menarik karena memberikan perspektif baru


dalam cara baca-pandang terhadap sejarah. Dengan merujuk
pada kitab-kitab versi Cirebon, novel ini mampu menghadirkan sisi-
sisi kemanusiaan Syaikh Siti Jenar. Novel ini mampu hadir tanpa
absurditas dan paradoksal. Tidak ada tragedi pengadilan oleh Wali
Songo, apalagi hingga putusan hukuman mati.

Pada buku kedua, memuat kembalinya Syaikh Siti Jenar dari


Makah, menyebarkan ajarannya, hingga diangkat menjadi dewan
Wali. Sebagai bagian dari dewan wali, Syaikh Siti Jenar mendapat
tugas di tanah Jawa. Kesempatan ini digunakan Syaikh Siti Jenar
untuk melakukan pembaharuan-pembaharuan, seperti
penggunaan istilah pondok pesantren (sebelumnya: padepokan)
dan membangun konsep masyarakat (sebelumnya: konsep
kawula). Secara substantif, konsep masyarakat (Arab:
Musyarakah) menempatkan setiap individu pada derajat yang
sama dan memiliki hak-hak dasar yang tidak dapat diganggu oleh
siapa pun, termasuk dalam hal keyakinan beragama. Konsep yang

318
dikembangkan secara masif oleh Syaikh Siti Jenar ini
mendapatkan perlawanan dari penguasa absolut, monarki, raja.
Karena dengan musyarakah, hak-hak prerogatif (mutlak) raja
mendapatkan kendali. Konsep kawula yang secara kebahasaan
(apalagi secara istilahi) berkonotasi ketakberdayaan manusia satu
atas manusia yang lain, semakin redup

Kami menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Mas


Agus Sunyoto yang mempercayakan penerbitan karya ini kepada
kami. Demikian pula pada sidang pembaca sekalian, yang antusias
menyambut baik karya Agus Sunyoto ini. Berbagai sambutan
pembaca yang masuk ke meja redaksi, baik melalui surat pos, e-
mail, maupun telepon yang mempertanyakan “apakah seri Syaikh
Siti Jenar yang lain telah terbit” cukup menggembirakan kami.
Meskipun buku pertama dan kedua saat ini masing-masing telah
cetak ulang yang ketiga, semoga buku ketiga ini dapat semakin
memperlancar seri-seri berikutnya. Sebagai penutup, semoga
buku-buku yang kami terbitkan dapat memberikan manfaat bagi
khasanah sastra dan historiografi, khususnya di tanah air dan
dunia Islam pada umumnya. Selamat membaca.***

319
Nafs al Haqq

Ketika malam menghiasi kubah langit dengan


gemerlap bintang-gemintang, muncul sosok
gemilang berpakaian serba putih di garis
cakrawala dan melayang-layang di antara alam
al-khalq (alam kasatmata) dengan alam alam
al-khayal (alam imajinasi). Keagungan dan
kemuliaan sosok itu bagai rembulan muncul di tengah kegelapan,
menghisap semua perhatian dengan pesona keindahannya yang
tak terlukiskan.

Abdul Jalil yang sedang tenggelam di dalam samudera tahlil


setelah melintasi muara salawat dan mengikuti aliran sungai
istighfar, tiba-tiba mendengar semacam suara dentang (salsalah
al-jaras) memasuki pendengaran indriawi sekaligus pendengaran
jiwanya (sam’). Sedetik sesudah itu, ia mendengar gema suara,
“Engkau adalah hijab bagi dirimu sendiri, o Abdul Jalil, keluarlah
engkau darinya!”

Ia tersentak heran dan bingung. Dalam keheranan dan


kebingungan itu tiba-tiba cakrawala di hadapannya tersingkap
bagaikan tirai disibakkan. Hatinya seolah dengan paksa
digerakkan untuk melihat ke balik cakrawala yang terpampang di
hadapannya. Tanpa daya, pandangannya terpaku pada sosok
gemilang yang duduk dengan keagungan dan kemuliaannya.

320
Sosok itu sangat nyata dalam pandangan mata batinnya (ain al-
bashirah).

Sosok gemilang serba putih itu tak kalah menakjubkan dibanding


penampakan pemuda asing yang dijumpainya di Baitullah. Sosok
itu tidak hidup, tidak pula mati. Tidak berkata-kata, juga tidak diam.
Sederhana, tetapi rumit. Diliputi, tetapi juga meliputi.
Memancarkan, tetapi juga mengisap pesona. Dia ibarat setetes air
yang di dalamnya memuat tujuh samudera. Sebutir debu yang di
dalamnya memuat tujuh gurun. Selembar daun yang memuat tujuh
rimba raya. Sebongkah batu yang memuat tujuh benua dengan
gunung-gunungnya yang tinggi mencakar langit. Dia, sosok
gemilang, keberadaannya begitu menakjubkan hingga tidak bisa
diungkapkan secara utuh dengan bahasa manusia.

Seiring dengan pemandangan menakjubkan tergelar di


hadapannya, tiba-tiba ia merasakan kesadaran baru dari dalam
jiwanya tersingkap tidak sebagaomana mestinya. Dikatakan tidak
semestinya karena sebelumnay ia merasa nur lawami’ dan
pemahaman fawa’id selalu mengungkapkan pengetahuan gaib ke
kedalaman hatinya. Namun, saat ini yang ia rasakan adalah baik
lawami’ maupun fawa’id pun memiliki tirai-tirai yang bisa
tersingkap. Di balik tirai demi tirai itu tergelar kesadaran demi
kesadaran baru.

Kesadaran baru itu secara menakjubkan memaparkan


pengetahuan gaib bahwa sosok gemilang di hadapannya adalah
321
hadhrat Abu Bakar ash-Shiddiq, sahabat terkasih Muhammad
Saw..

Namun, pikirannya sempat agak meragukan kebenaran itu. Ia


menduga bahwa pengetahuan gaib itu adalah pangaruh setani.
Anehnya, pengetahuan gaib itu bagai tidak peduli dengan keragu-
raguannya. Pengetahuan gaib itu tanpa dikehendaki terus-
menerus menyingkapkan tirai demi tirai nur lawami’ dan
pemahaman fawa’id. Dan kesadaran demi kesadaran terus
tergelar sehingga membuatnya bertambah takjub sekaligus
kebingungan.

Kesadaran baru itu ternyata tidak hanya mengungkapkan sosok


cemerlang itu sebagai hadhrat Abu Bakar ash-Shiddiq, tetapi juga
menjelaskan bahwa keberadaan pemuda asing yang dijumpainya
di Baitullah adalah salah seorang kekasih Allah yang mengalami
buruj dari hadhrat Abu Bakar ash-Shiddiq.
Setelah beberapa saat berkutat dengan keraguan, akhirnya ia
menanggalkan campur tangan pikirannya. Ia ikuti kilasan demi
kilasan nur lawami’ dan pemahaman fawa’id. Dengan kesadaran
baru itu, tanpa mengalami kesulitan berarti ia bisa menjalin
hubungan bathiniyyah dengan hadhrat Abu Bakar ash-Shiddiq –
sebagai guru dan murid – melalui al-ima’.

“O, engkau yang berpakaian kefakiran,” kata sosok gemilang


dengan suara diliputi barokah. “Engkau telah menjadi bagian dari

322
kaum fakir yang tetap berjuang di jalan Allah (QS al-Baqarah: 273),
yakni kaum yang lambungnya jauh dari tempat tidur, sedangkan
mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan penuh
harap (QS as-Sajdah: 16). Apakah ketundukanmu kepada-Nya
karena mengikuti (taqlid) seseorang atau mengikuti akalmu (dalil)
sendiri?”

Abdul Jalil menjawab, “Saya tidak mengikuti seseorang dan tidak


pula mengikuti akal karena tidak ada daya dan kekuatan pada diri
saya untuk mengikuti sesuatu kecuali pasrah dan mengikuti daya
serta kekuatan-Nya.”

“Engkau adalah fakir yang tidak memiliki apa-apa. Engkau telah


membersihkan segala kepemilikan dari jiwamu. Namun, engkau
masih terbelenggu oleh akalmu, yakni sisa terakhir milik
kemanusiaanmu. Karena itu, o fakir, tanggalkanlah akalmu.
Karena, dengan akal (‘aql) yang membelenggu (‘iqal) maka engkau
tidak akan mengenal wajah-Nya.”
“Kenalilah Dia dengan bashirah (QS Yusuf: 108). Kenalilah tanda-
tanda-Nya yang ada di luar dan di dalam dirimu (nafs) (QS adz-
Dzariyat: 20-21). Kenalilah Dia Yang Wujud. Yang Riil. Kenalilah
tanda-tanda-Nya di luar dirimu. Sesungguhnya, milik-Nya jua timur
dan barat sehingga ke mana pun engkau palingkan pandanganmu
maka di situlah wajah Allah (QS al-Baqarah: 115). Ketahuilah,
bahwa wajah Allah itu kekal (QS ar-Rahman: 27). Karena itu, tiap-
tiap sesuatu pasti hancur binasa kecuali wajah-Nya (QS al-
Qashash: 88).”

323
“Pahamilah tanda-tanda-Nya di dalam dirimu. Sesungguhnya, Dia
Maha Meliputi segala sesuatu (QS Fushshilat: 54). Dia bersamamu
di mana pun engkau berada dan Dia Maha Melihat apa yang
engkau kerjakan (QS al-Hadid: 4). Dia lebih dekat daripada urat
lehermu (QS Qaf: 16). Sesungguhnya, Allah bersama kita (QS at-
Taubah: 40).”

Kesadaran demi kesadaran baru tersingkap dari cakrawala jiwa


Abdul Jalil seiring dengan terkuaknya ungkapan demi ungkapan
rahasia yang disampaikan hadhrat Abu Bakar ash-Shiddiq melalui
al-ima’. Abdul Jalil terkesima dalam pesona dan ketakjuban yang
membingungkan. Pengalaman ini begitu menggetarkan: betapa
pengetahuan yang disampaikan tanpa perantara akal dan indera-
indera adalah seibarat percampuran anggur dengan air dalam
wadah gelas. Tanpa diaduk keduanya melarut dengan cepat dan
menyeluruh. Utuh.

Setelah mengungkapkan keberadaan Yang Ilahi, hadhrat Abu


Bakar ash-Shiddiq mengungkapkan ada empat anak tangga
rahasia untuk menuju hadirat-Nya. Keempat anak tangga rahasia
inilah “jalan” (sabil) dan “cara” (thariq) rahasia yang diajarkan
Muhammad Saw. kepada sahabat terkasihnya, Abu Bakar ash-
Shiddiq, saat berada di dalam gua di gunung Thur.

Pertama, adalah anak tangga istighfar yang akan membawa salik


ke penyingkapan hijab dirinya. Karena dari istighfar akan tercapai
maghfirah yang memancar dari al-Ghaffar (Yang Maha
324
Pengampun), di mana dengan maghfirah itu al-Ghaffar akan
menyingkap selubung hijab ghafara.

Kedua, ketika hijab ghafara sudah tersingkap maka salik akan


mendaki anak tangga salawat. Pada tahap itu salik menyadari
bahwa keberadaan dirinya adalah bagian dari pancaran Nur
Muhammad (Cahaya Yang Terpuji, Cahaya Muhammad)
sebagaimana sabda Rasulallah Saw., “Anamin nur Allah wa khalq
kulluhum min nuri’” (al-hadits) dan “Khalaqtuka min nuri wa
khalaqtu khalqa min nurika”(hadits Qudsi). Hanya melalui Nur
Muhammad inilah seorang salik dapat melanjutkan perjalanan
menuju al-Haqiqah al-Muhammadiyyah (Hakikat Yang Terpuji,
Hakikat Muhammad).

Ketiga, ketika salik sudah mencapai pengenalan al-Haqiqah al-


Muhammadiyyah maka dia akan mendaki anak tangga tahlil, yakni
anak tangga penauhidan. Pada tahap ini, salik akan memahami
makna rahasia yang tersembunyi pada al-Haqiqah al-
Muhammadiyyah sebagaimana sabda Rasulallah Saw, “Ana
Ahmadun bila mim” dan “Ana ‘Arabun bila ‘ain.” Inilah tahap
wahdah asy-Syuhud (kesatuan penyaksian).

Keempat, ketika salik sudah mencapai tahap syuhud maka dia


akan mendaki anak tangga nafs al-haqq (Jiwa Yang Riil). Inilah
tahap di mana salik memasuki tahap fana’ (peniadaan diri) karena
jiwa kehidupannya telah terhubung dengan keberadaan al-Haqq,
yang tersembunyi di dalam Ruh al-Haqq yang berada di takhta
325
‘arsy di Baitul Haram hatinya, dengan Huwa yang mutlak dan tak
terbatas. Inilah Jiwa Ilahi. Allah meniupkan nafs al-haqq ke dalam
ruh al-haqq yang disemayamkan di takhta ‘arsy di Baitul Haram hati
manusia. Inilah Jiwa Yang Pengasih (nafs ar-Rahman) yang
ditiupkan kepada shurah ar-Rahman. Dan melalui nafs ar-Rahman
itulah Dia berbicara.

Pada tahap fana’ ini tidak ada lagi pihak yang menyaksikan dan
Pihak Yang Disaksikan. Kemenduaan, kegandaan, dan kejamakan
telah lebur. Pada tahap ini, al-Haqq yang tersembunyi secara
rahasia di dalam Ruh al-Haqq telah manunggal dengan Huwa (Dia
Yang Mahamutlak), sebagaimana kemanunggalan butiran garam
dengan air laut. Inilah tahap wahdah al-wujud (kesatuan Wujud),
yakni bersatunya al-Haqq dengan Huwa.

Keempat anak tangga rahasia menuju Dia pada dasarnya


mengungkapkan penyaksian tentang keberadaan paling rahasia
dari Allah sebagai Sebab Pertama, di mana pada Asma Allah
tersembunyi hakikat dari hakikat Huwa (Dia Yang Mahamutlak).
Asma Allah, terdiri atas empat huruf, yakni ALIF – LAM – LAM –
HA. Jika huruf ALIF pada Asma Allah ditiadakan maka yang Ada
adalah Lillah. Jika huruf LAM pertama ditiadakan maka yang Ada
adalah Lahu. Dan jika huruf LAM kedua ditiadakan, maka yang Ada
adalah Hu.

Keempat tahap itu adalah satu kesatuan dari Asma’, Af’al, Shifat,
dan Dzat yang tidak bisa dipisah-pisahkan satu dengan yang lain-
326
Nya. Itu berarti, mengenal Dia harus melalui empat tahap
pengenalan. Pertama, mengenal Asma’ (Nama). Kedua, mengenal
Af’al. Ketiga, mengenal Shifat. Keempat, mengenal Dzat. Dan
pengenalan ini tidak bisa dituturkan dengan bahasa manusia,
tetapi harus dialami sendiri sebagai sebuah pengalaman yang
sangat pribadi. Bisakah seseorang merasakan manisnya buah
anggur dengan hanya mendengarkan cerita dan gambaran
tentangnya? Bisakah seekor anai-anai dikatakan telah mengenal
nyala api jika tubuhnya belum terbakar?

Setelah mengungkapkan rahasia menuju Dia, hadhrat Abu Bakar


ash Shiddiq kemudian mengungkapkan rahasia nur yang
ditempatkan Allah di antara dua mata Adam (hadits Qudsi). Nur
adalah piranti untuk menyaksikan dan mengenal Sang Cahaya
langit dan bumi, Sang Cahaya di atas cahaya, yang dengan
cahaya-Nya membimbing siapa yang dikehendaki-Nya kepada
cahaya-Nya (QS an-Nur:35). Melalui nur itu pula akan dicapai
Kehadiran Cahaya Murni (hadhrat an-Nur al-Mahdh), yang akan
membawa kepada penyaksian Tuhan, dengan pandangan Tuhan,
dari Tuhan, di dalam Tuhan, dan melalui mata Tuhan.

Sejak berjumpa dengan hadhrat Abu Bakar ash-Shiddiq di alam al-


khayal serta mengamalkan “jalan” dan “cara”, kesadaran demi
kesadaran baru pada diri Abdul Jalil bagai tak dapat dikendalikan.
Tersingkapnya tirai-tirai nur lawami’ dan pemahaman fawa’id
menyebabkan ia berada pada keadaan seperti wadah yang terus-
menerus diisi. Pengalaman ruhaniah yang terkait dengan
penyingkapan kesadaran baru ini sebenarnya sudah pernah
327
dialaminya. Namun, kali ini perubahannya begitu cepat sehingga
ia merasa bingung dan takjub.

Pengalaman menakjubkan yang sekaligus membingungkan ini,


setidaknya dialaminya ketika melakukan tawaf. Seiring dengan
langkah kakinya mengitari Ka’bah, tiba-tiba hatinya diliputi hiruk
pikuk hakikat ruhani yang memuji keagungan Ilahi. Ia tercenung
bingung. Tanpa dikehendakinya, kilasan demi kilasan kesadaran
baru tercurah ke dalam mahligai jiwanya.

“Pengagungan atas-Nya yang dikumandangkan mereka yang


mengitari Ka’bah adalah pengagungan al-abid kepada al-Ma’bud,
pengagungan al-khalq kepada al-Khaliq, pangagungan yang
beragam (farq) kepada Satu Kesatuan (Jam’). Sedangkan engkau,
o fakir papa yang telah melampaui mereka dalam takwa,
hendaknya mengagungkan-Nya dengan cara yang berbeda.
Sebab engkau adalah al-khalil (sahabat), al-habib (kekasih), al-
waly (yang dikuasai-Nya), dan al-mushthafa (yang dipilih-Nya).
Agungkan Dia dengan segenap kedekatan (qurb), kecintaan
(hubb), kerinduan (‘isyq), dan keterkaitan (ta’alluq) jiwa dan
ragamu.”

Abdul Jalil tercekat bingung bercampur takjub dengan


pengalamannya itu. Selintas, pikirannya mengatakan bahwa
kesadaran barunya itu adalah bisikan Iblis yang akan
memerangkapnya ke jurang pengakuan diri. Namun,
kesadarannya mengatakan bahwa apa yang terungkap itu adalah
328
manifestasi dari al-Haqq yang tidak seorang pun – termasuk
malaikat – mengetahuinya sehingga tidak ada alasan untuk
dipamer-pamerkan sebagaimana sifat Iblis.

Menyadari kebenaran dari ungkapan al-Haqq itu, ia segera


menghadapkan hati dan pikiran hanya kepada-Nya melalui nur
yang terletak di antara kedua matanya. Kemudian, dengan “jalan”
dan “cara” yang diperoleh dari hadhrat Abu Bakar ash-Shiddiq, ia
mendaki anak tangga keempat melalui nafs al-Haqq untuk menjalin
hubungan dengan keberadaan al-Haqq yang tersembunyi di dalam
Ruh al-Haqq, di dalam takhta arsy di Baitul Haram hatinya dengan
Huwa (Dia, Yang Mutlak Tak Terbatas).

Setelah beberapa jenak bergulat mengarahkan hati dan pikiran,


tiba-tiba qalbu-nya merasakan Muhammad Saw. hadir di
hadapannya dan merampas semua perasaan kepada selain dia.
Bersamaan dengan itu, ia mendapati nur di antara kedua matanya
memancar sangat terang. Kemudian, bagai memiliki tirai, qalbu
dan nur tersingkap dengan cara menakjubkan.

Abdul Jalil tertegun takjub. Berurutan dengan tersingkapnya qalbu,


ia merasakan kehadiran Muhammad Saw. secara utuh di segenap
cakrawala jiwanya. Sementara saat nur tersingkap secara
berurutan, tiba-tiba ia menyaksikan cahaya yang bersinar sangat
menyilaukan, jauh lebih terang daripada pancaran nur di antara
kedua matanya, itukah Nur di atas nur?

329
Ia merasa qalbu-nya tiba-tiba menyatu dengan Nur yang
menyilaukan itu. Ia merasa Nur itu adalah Nur Muhammad.

Beberapa detik kemudian kesadarannya tersingkap secara aneh.


Nur itu tiba-tiba memenuhi segenap pandangannya. Ia merasa tak
tahu arah. Tidak ada depan, samping, dan belakang. Ia bisa
memandang ke segala arah. Dan pandangan mata batinnya kali ini
jauh lebih nyata daripada pandangan indera penglihatannya.

Mendadak Ka’bah yang dikitarinya lenyap. Para jama’ah tawaf juga


lenyap. Semua lenyap. Abdul Jalil termangu takjub diliputi
kebingungan karena qalbu dan seluruh pandangannya
menyaksikan Nur semata. Bahkan akhirnya, ia merasakan Nur itu
melenyap dari pandangannya. Tubuhnya seperti memancarkan
cahaya dari Nur itu. Ia merasakan dirinya menyatu dengan Nur.
Dan lantaran pengalaman itu begitu membingungkan, ia tidak tahu
lagi apakah ia berada di dalam atau di luar cahaya Nur yang
memancar dengan sangat menyilaukan.

Masih dalam ketakjuban dan kebingungan, tiba-tiba ia merasakan


di segenap penjuru pandangannya mewujud manifestasi Nur
Muhammad yang mengisap kesadarannya. Antara sadar dan
tidak, ia merasakan al-Haqq yang tersembunyi di dalam Ruh al-
Haqq yang bersemayam di takhta arsy di Baitul Haram hatinya
berkata-kata sendiri. “Anasirr al-haqqi wa ma al-haqq ana, wa ana
al-haqq fa innanima ziltu aba wa bi al-haqqi haqqun.”

330
Ketika matahari memancarkan panas api ke permukaan bumi
hingga hamparan pasir dan bebatuan memuai, di tengah hingar-
bingar suara ribuan jama’ah melakukan wukuf, mengagungkan
dan memuliakan Ilahi pada Yaum al-Arafah (Hari Arafah), Abdul
Jalil duduk tegar di bawah bayangan tiang batu yang tegak
menjulang di puncak Jabal Rahmah. Tanpa mempedulikan
sengatan matahari, ia menghadapkan kiblat hati dan pikirannya
hanya kepada Allah.

Seiring dengan melesatnya waktu, tanpa dikehendakinya, tiba-tiba


ia membuka mata dan tanpa sengaja pandangannya menatap
sesosok tubuh laki-laki tua dengan rambut gundul dengan pakaian
ihram kumal yang dililitkan tidak semestinya sedang berjalan
tertatih-tatih mengitari Jabal Rahmah. Abdul Jalil memejamkan
mata dan membangun lagi kiblat hati dan pikirannya. Namun,
entah kekuatan apa yang mengusik, tiba-tiba saja ia membuka
mata dan melihat lagi laki-laki tua itu terhuyung-huyung di kaki
Jabal Rahmah.

Sepintas, ia menganggap laki-laki tua itu tentu salah seorang


jama’ah haji yang ingin melihat dari dekat bukit bersejarah itu.
Namun, setelah beberapa jenak ia awasi betapa sosok laki-laki tua
itu sudah mengitari Jabal Rahmah beberapa kali maka ia menduga
sosok tua itu tentunya tidak mengetahui tata cara menjalankan
ibadah haji.

331
Ia merasakan ada keanehan dengan keberadaan laki-laki tua yang
terhuyung-huyung hampir tumbang itu. Sebab, sedikitpun ia tidak
merasakan kilasan nur lawami’ dan pemahaman fawa’id muncul
dari kedalaman jiwanya. Lantaran itu, ia hanya menduga-duga dan
mengira bahwa laki-laki tua itu tentu memiliki anggapan bahwa
tawaf selain dilakukan di Ka’bah juga dilakukan di Jabal Rahmah.

Ketika sedang merenungkan perilaku yang tidak lazim itu, tiba-tiba


ia terkejut menyaksikan tubuh lelaki itu tumbang ke atas hamparan
pasir panas berbatu. Tampaknya tidak ada satu pun di antara
jama’ah yang sedang sibuk mengagungkan Allah di atas bukit
maupun di dalam tenda mengetahui nasib malang yang menimpa
laki-laki tua itu. Dan bagaikan digerakkan oleh kekuatan tak
tampak, Abdul Jalil bangkit dan berlari menuruni Jabal Rahmah.

Dugaannya bahwa laki-laki tua itu tidak memahami tata cara


menjalankan ibadah haji ternyata tidak salah. Namun, yang
membuatnya terheran-heran adalah orang tua yang malang itu
bukan Muslim. Dengan suara terputus-putus dengan pandang
mata tak bersalah, dia mengaku sebagai pendeta Syiwa, asal
Wahanten Girang (Banten), di tanah Pasundan. Dia mengaku
bermaksud melakukan ziarah ke sthana Syiwa di gunung Kailasa.

Mendengar pengakuan laki-laki malang yang nyaris mati karena


kelelahan dan kehausan itu, Abdul Jalil berulang-ulang
mengucapkan tasbih memuji kebesaran Allah. Namun, ia pun
buru-buru mengingatkan agar lelaki itu tidak menceritakan jati
332
dirinya kepada jama’ah lain. Hal ini demi keselamatan jiwanya
sendiri.

Setelah itu, Abdul Jalil menjelaskan kepada lelaki tua yang ternyata
bernama Rsi Punarjanma bahwa bukit yang dikira gunung Kailasa
itu adalah Jabal Rahmah, gunung kasih sayang, tempat leluhur
pertama manusia, Nabi Adam dan Ibu Hawa dipertemukan oleh
yang Mahatunggal. Sedang hamparan di sekitar Jabal Rahma itu
disebut Arafah, tempat umat Islam menunaikan ibadah haji. Jadi,
tiang batu di atas bukit itu bukan Syiwalingga.

Rsi Punarjanma tercekat sesaat setelah mendengar penjelasan


Abdul Jalil perihal Jabal Rahmah dan tanah Arafah yang
merupakan tempat peribadatan umat Islam. Dia sadar dirinya telah
melakukan kekeliruan. Dia juga tampak heran ketika diberi tahu
bahwa tugu batu di atas Jabal Rahmah itu bukanlah Syiwalingga.

Setelah beberapa jenak terdiam, dia tersenyum sambil menatap


tajam ke arah tiang batu yang tegak di atas Jabal Rahmah.
Kemudian dengan suara serak nyaris berbisik dia berkata,
“Anakku, sekarang ini bagiku tidak penting apakah ini tempat suci
orang Islam atau sthana Syiwa. Sebab, yang kusaksikan di dalam
mimpiku adalah lingga batu di atas bukit itu. Telah jelas di dalam
mimpiku bahwa di bawah lingga itulah kematian datang
menjemputku.”

333
“Bapa Rsi kemari hanya karena mimpi?” seru Abdul Jalil heran.

Rsi Punarjanma mengangguk lemah. Kemudian dengan napas


tersengal-sengal dan suara terpurus-putus dia menuturkan ihwal
sampai terdampar di tanah asing tempat orang-orang Islam
menjalankan ibadah haji.

Mula-mula, ungkap Rsi Punarjanma, dia mengalami mimpi sangat


aneh yang berulang sampai tiga kali. Di dalam mimpi itu dia
dipaksa mengenakan selembar kain putihdan melakukan
pradaksina (mengelilingi) lingga raksasa yang tegak di atas sebuah
bukit batu yang terletak di tengah padang pasir berbatu. Ketika
sedang melakukan pradaksina, lanjutnya, tiba-tiba memancarlah
berjuta-juta cahaya menyilaukan dari langit menyinari lingga itu.
“Cahaya dari langit itu ternyata adalah dewa-dewa yang
beterbangan dengan ribuan sayap indah dan mencurahkan
kemuliaan di permukaan bumi di mana lingga itu tegak berdiri. Dan
kusaksikan betapa saat para dewa itu kembali terbang ke langit
maka diriku pun ikut terbang bersama mereka,” ujar Rsi
Punarjanma dengan mata menerawang ke angkasa.

Berangkat dari mimpi sama yang berulang tiga kali itulah dia
kemudian mencari tahu dimana lingga agung dan mulia itu berada.
Meski dari kawan-kawannya tak diperoleh penjelasan tentang
adanya sthana Syiwa seperti terlikis di dalam mimpinya, berkat
kegigihannya akhirnya dia beroleh penjelasan dari seorang muni
yang pernah berziarah ke Kailasa. Menurut muni itu, bukit tempat
334
sthana Syiwa berada adalah di Kailasa. Beberapa orang kawannya
malah memberi tahu bahwa beberapa Rsi dari Jawadwipa setiap
tahun sekali berziarah ke sana untuk melakukan pradaksina,
mengitari gunung yang garis kelilingnya empat puluh pal.

Berbekal tekad dan sedikit pengetahuan tentang gunung Kailasa


yang konon diliputi salju, Rsi Punarjanma berangkat ke negeri
Bharat (India). Namun, untung tak dapat diraih dan malang tak
dapat ditolak, kapal yang ditumpanginya menghantam karang dan
tenggelam. Berhari-hari dia terapung-apung hingga para pelaut
dari sebuah kapal dagang milik orang-orang Arab datang
memberikan pertolongan.

Ketika para pelaut Arab itu bertanya dengan bahasa Arab yang
sama sekali tiak dipahaminya maka terpaksa Rsi Punarjanma
menjelaskan dengan isyarat tangan bahwa dia bermaksud ke
gunung Kailasa untuk melakukan pradaksina dalam rangka
memuja lingga. Dia menjelaskan pula bahwa sesuai mimpinya dia
hanya berbekal selembar kain putih untuk menjemput
kematiannya.

Para pelaut Arab bagaikan mengerti apa yang dia kemukakan.


Mereka mengangguk-angguk dan kemudian memberinya makan
dan pakaian. Namun, sesuai mimpinya, Rsi Punarjanma menolak
pakaian dan tetap mengenakan kain putih untuk menutupi
tubuhnya. Setelah sampai di sebuah pelabuhan yang tak dia
ketahui namanya, para pelaut Arab itu menurunkannya dan
335
memberinya bekal perjalanan. Bahkan mereka memberinya
petunjuk agar berjalan ke arah timur untuk mencapai tempat yang
ditujunya itu. “Ternyata lingga suci yang kulihat dalam mimpiku
tidak berada di tanah Bharat, tetapi di tanah orang-orang Arab,”
kata Rsi Punarjanma dengan napas makin berat.

“Bapa Rsi,” gumam Abdul Jalil sambil memegangi tangan Rsi


Punarjanma, “Apakah Bapa yakin bahwa Tuhan itu Tunggal?”

“Anakku,” kata Rsi Punarjanma dengan mata berkilat dan suara


bersemangat, “Aku adalah seorang sannyasin yang sudah tyaga
(orang yang sudah lepas dari ikatan duniawi). Karena itu, tidak ada
sesuatu di dalam hati dan pikiranku kecuali Dia Yang Mahatunggal
yang disebut dengan berbagai Nama.”

“Berarti Bapa Rsi tidak pernah melakukan bhakti lagi di hadapan


arca dewa-dewa?” tanya Abdul Jalil minta penegasan. “Sebab,
seorang tyaga sudah harus lepas dari sesuatu yang bersifat
kebendaan.”

“Engkau benar, Anakku,” kata Rsi Punarjanma menguatkan diri.


“Bagi seorang tyaga, Tuhan adalah Dia Yang Tunggal, Tak
Terjangkau Akal dan Tak Tersentuh Indera, Dia yang memiliki sifat
Bhawo (Wujud), Na Jayate (Tidak Dilahirkan), Nitya (Kekal),
Saswato (Abadi), Purano (Yang Awal), Satah (Riil), Awinasi (Tak
Termusnahkan), Widhi (Mahatahu), Aprameyasya (Tidak
336
Terbatas), Sarwagatah (Mahaada), Sthanur (Tidak Berubah),
Acintyo (Tak Terpikirkan), Awyakta (Tak Terbandingkan).”

“Saya percaya itu, Bapa,” kata Abdul Jalil dengan suara berbisik
ketika melihat Rsi Punarjanma makin melemah. “Namun, sekarang
Bapa Rsi harus menyatukan hati dan pikiran untuk menghadap Dia
Yang Tunggal, Sang Sumber Sejati, tempat seluruh ciptaan-Nya
kembali.”

Rsi Punarjanma tersenyum, meski napasnya sudah sangat berat.


Sambil berbisik dia menggumam, “Anakku, maukah engkau
memenuhi permintaanku yang terakhir jika kematian telah
menjemputku?”

“Permintaan apakah itu, o Bapa Rsi?” bisik Abdul Jalil lirih.

“Jika engkau kembali ke Jawadwipa,” ujar Rsi Punarjanma lirih,


“temuilah anak tunggalku yang tinggal di negeri Daha. Dia sejak
kecil diasuh oleh adikku, Wiku Suta Lokeswara, seorang pendeta
Bhirawa Syiwa-Budha. Sampaikan kepada puteraku itu bahwa
ayahandanya telah kembali ke Syiwapada (Kediaman Syiwa)
karena setia pada Siwamarga (Jalan Syiwa).”

“Siapakah nama putera Bapa Rsi?” tanya Abdul Jalil.

337
“Nirartha,” ujar Rsi Punarjanma dengan suara tercekat di
tenggorokan.

“Saya akan menyampaikan pesan Bapa Rsi jika Hyang Tunggal


berkenan,” bisik Abdul Jalil lirih di telinga Rsi Punarjanma.
“Sekarang, Bapa Rsi hendaknya menyatukan hati dan pikiran
untuk menuju Dia.”

Rsi Punarjanma tersenyum, meski terasa dipaksakan. Kemudian


dia berjuang mengatur napasnya yang makin berat. Beberapa
jenak setelah itu dia terlihat meregang seperti berusaha
menyatukan segenap konsentrasinya agar seirama dengan alur
pernapasannya. Abdul Jalil yang pernah belajar dari Rsi
Samsitawratah tahu bahwa bagi seorang Rsi yang sudah
mencapai tingkatan tyaga, tampaknya soal menuju kematian
bukan hal yang sulit. Dan itu setidaknya terbukti betapa setelah
beberapa jenak mengatur pernapasan dan konsentrasi,
menghadapkan kiblat hati dan pikiran hanya kepada Yang Ilahi, ruh
Rsi Punarjanma meninggalkan tubuh wadag-nya yang terkulai
lemas di dekapan Abdul Jalil.

Abdul Jalil menarik napas berat sambil memangku kepala Rsi


Punarjanma. Segala peristiwa menakjubkan dan pengalaman
aneh yang terjadi padanya adalah kehendak-Nya semata.
Perjalanan Rsi Punarjanma merupakan bukti tak terbantah bahwa
kehendak-Nya adalah di atas segala-galanya. Manusia hanyalah
obyek tanpa daya. Manusia pada hakikatnya tidak memiliki
338
kehendak apa pun. Yang berkehendak adalah Allah semata. Dan
sambil membopong tubuh Rsi Punarjanma ke arah perkemahan,
ia mengumandangkan Firman Allah: “Wama tasya una illa an
yasya’a Allahu rabbul alamin.”

Ketika malam membentangkan selimut hitam di atas tubuh bumi,


Abdul Jalil duduk bersimpuh di hamparan padang Arafah, di dekat
Jabal Rahmah, di lingkungan bebatuan dan pasir, di tengah desau
angin yang dingin menggigit. Bintang-gemintang yang
memancarkan cahaya di langit berkedip-kedip bagai hiasan
permata. Keheningan dan kesunyian menerkam bagai gigi-geligi
serigala gurun yang tajam dan menakutkan. Sementara tiang batu
yang tegak di atas Jabal Rahmah termangu sendirian bagai
menelan kesepian yang tak bertepi.

Di tengah keheningan dalam terkaman kesunyian itulah ia mendaki


keempat anak tangga rahasia ruhaniah. Namun, saat berada pada
anak tangga salawat tiba-tiba ia merasakan kesadarannya seperti
memasuki ambang antara ‘alam al-khalq dan ‘alam al-khayal.

Saat melangkah di anak tangga salawat, melalui pandangan


mubashirah, ia melihat bayangan manusia raksasa yang
bercahaya terang berjalan di kejauhan. Di belakangnya diikuti
barisan manusia yang lebih kecil. Di samping kanan dan kiri agak
kebelakang dari manusia raksasa itu berbaris pula manusia-
manusia lebih kecil yang lain.

339
Dengan rasa takjub dan heran ia menyaksikan betapa manusia
raksasa bercahaya terang dengan tiga barisan manusia pengiring
bergerak ke arahnya. Makin lama bayangan itu makin jelas;
seorang manusia setinggi enam puluh hasta dengan tubuh
dipenuhi bulu dan rambut terurai ke punggung. Wajahnya
bercahaya kilau-kemilau.

Abdul Jalil bangkit menyongsong. Ketika jarak mereka semakin


dekat, ia mendadak tahu bahwa sosok itu adalah Adam a.s..
Bahkan berikutnya ia pun mengetahui bahwa manusia raksasa itu
adalah Adam yang pertama dicipta di antara sepuluh ribu Adam
yang lahir dari generasi ke generasi berikutnya sehingga terlahir
keturunannya yang disebut Anwas (manusia) atau Enos
(manusia).

Adam dalam wujud manusia raksasa bercahaya terang dan


berbulu lebat itu adalah citra Adam saat dicipta kali pertama di
surga. Itulah citra Adam sebagai shurah ar-Rahman yang
membangkitkan kecemburuan Iblis. Itulah Adam yang menjadi
leluhur umat manusia. Adam yang telah “membelah” diri saat
melahirkan Hawa.

Berbeda dengan penampilan Adam yang bercahaya terang kilau-


kemilau, barisan manusia di belakangnya lebih redup kilau
cahayanya. Sedang barisan manusia di sebelah kanan dan kirinya
berwarna hitam. Meski kedua belah barisan manusia itu sama-
sama berwarna hitam, keduanya berbeda secara esensial.
340
Barisan kanan adalah golongan aswidah al-qidam (orang-orang
hitam dari zaman purba beserta keturunannya) yang bakal menjadi
penghuni surga. Barisan kiri adalah golongan aswidah al-‘adam
(orang-orang hitam citra bayangan maya) yang bakal menghuni
neraka. Sedang Adam a.s. yang berada di depan beserta barisan
di belakangnya adalah golongan muqarrabin (orang-orang yang
didekatkan) dengan kenikmatan surgawi (QS al-Waqi’ah: 8-12).

Ketika jarak mereka tinggal tujuh langkah, Abdul Jalil


menyampaikan salam. Adam membalas salamnya. Sesudah itu,
dengan ucapan yang sangat jernih dia berkata-kata kepada
barisan di belakang, kanan, dan kirinya sambil menunjuk ke arah
Abdul Jalil. Inti kata-kata Adam adalah mengungkapkan bahwa
Abdul Jalil merupakan salah satu di antara keturunannya yang
bakal menjadi bagian dari barisan di belakangnya.

Kemudian dia memandang Abdul Jalil dengan penuh kasih.


Senyum menghiasi wajahnya yang teduh dan diliputi keagungan.
Sesaat sesudah itu dia berkata-kata seolah ditujukan kepada
Abdul Jalil.

“Al-Hajj ‘Arafah (Haji adalah Arafah). Pada makan (tempat) ini


engkau akan menjadi dekat (qurb) dan pada zaman (waktu)
engkau akan ma’rifah kepada-Nya. Di Arafah ini, Dia telah
menyempurnakan bagimu agamamu, telah Dia cukupkan nikmat-
Nya bagimu, dan telah diridhoi-Nya Islam sebagai agamamu (QS
al-Ma’idah: 4).”
341
Dengan penuh kekaguman dan ketakjuban, Abdul Jalil
mendengarkan kata-kata Adam. Namun, ketika memandang lebih
tegas pada wajah leluhurnya itu, betapa terkejutnya ia saat
menyaksikan pemandangan yang tak pernah dibayangkan dan
diimpikan sebelumnya; di dalam penglihatannya wajah Adam
adalah wajahnya sendiri. Abdul Jalil tertegun diliputi ketakjuban
dan ketidakmengertian. Seolah-olah ia sedang berdiri di muka
cermin dan melihat pantulan wajahnya.

Setelah melakukan perjalanan yang sangat melelahkan, Abdul Jalil


tiba di Mina. Saat itu rembang senja mulai menyelimuti bumi
dengan permadani hitam bersulam hiasan merah cakrawala
sutera. Tanpa mempedulikan keletihan yang meremukkan tulang-
belulangnya, ia pergi ke jamarah, yakni tempat tiga tugu batu yang
menjadi simbol setani.

Di depan tiang jumrah al-ula, di antara kerumunan jama’ah haji, ia


termangu sambil menggenggam erat batu-batu yang dipungutnya
di Muzdalifah. Ia menangkap makna sejati di balik simbol
pelemparan yang dinisbatkan kepada kisah Ibrahim saat akan
menyembelih Ismail. Jelas sekali bahwa makna pelemparan batu
itu adalah simbol penegasan atas akal, aturan kebumian, pamrih
duniawi, dan pelepasan atas materi yang seluruhnya adalah citra
setani yang harus dilepaskan dari keberadaan manusia yang
bertauhid.

342
Pergulatan Ibrahim dalam peristiwa itu adalah pergulatan ruhaniah
manusia dalam mencapai hadirat-Nya sebagai manusia yang
menauhidkan Satu Ilah. Abdul Jalil seolah-olah bisa merasakan
bagaimana Ibrahim harus menolak konsep bapak-anak yang
menjadi konsep dasar aturan kebumian. Ibrahim juga harus
menolak konsep akal manusia di dalam melaksanakan keyakinan
imannya. Ibrahim juga harus menolak pamrih duniawi karena harus
kehilangan anak yang dijanjikan-Nya akan mengembangkan
keturunannya beriap-riap di muka bumi. Ibrahim harus menolak
segala sesuatu kecuali Dia. Ibrahim harus menegaskan yang
selain Dia, termasuk keberadaan anak gantungan harapannya.
Dan, akhirnya Ibrahim berhasil menegaskan segala sesuatu selain
Dia dari hati dan pikirannya.

Menyadari makna rahasia di balik ketentuan syari’at melempar


batu ke jumrah al-ula, wustha, dan aqabah itu, ia tidak
melemparkan batu satu demi satu sebagaimana lazimnya jama’ah
lain, melainkan ketujuhnya dilempar serentak ke masing-masing
tiang batu sambil mengucapkan kata-kata, “Sesungguhnya telah
Engkau halau setan kegelapan keakuan dengan Cahaya
Kebenaran-Mu. Dengan menyebut nama-Mu, wahai Allah,
kulempar nafsuku yang cenderung kepada selain Engkau, Allahu
Akbar!”

Setelah melempar ketiga tiang batu, ia menjauh, dan mendaki


empat anak tangga rahasia ruhaniah. Ketika menginjak anak
tangga tahlil, tiba-tiba pandangan bashirah-nya melihat seorang
tua bongkok berjalan tertath-tatih dengan tangan kanan
343
memegang tongkat emas berhias permata. Orang tua itu
kepalanya sangat besar. Kedua kelopak matanya tegak ke atas,
yang satu bersinar aneka warna, yang satu hitam bagai lubang tak
tembus cahaya hingga seperti buta. Kedua bibirnya yang tebal
bagai bibir kerbau dihiasi dua gigi taring yang panjang, tajam, dan
berkilat-kilat. Di dagunya menjuntai tujuh helai rambut yang
panjangnya seperti surai kuda.

Saat menyaksikan orang tua bongkok yang mengerikan itu, Abdul


Jalil mengetahui bahwa dia adalah perwujudan setan. Itu
sebabnya, saat orang tua itu mendekat, ia meneguhkan kiblat hati
dan pikirannya kepada-Nya belaka.

Ketika jarak di antara mereka sudah dekat, setan itu


menyampaikan salam, “Assalamu ‘alaika ya Abdul Jalil.”

“Assalamulillah ya la’in,” sahut Abdul Jalil. “Kenapa engkau kemari,


o makhluk yang dikutuk?”

“Aku mendatangimu karena aku melihat engkau sangat berbeda


dibanding manusia lain.” Kata setan sambil mengangguk-angguk.
“Aku telah melihat saat engkau melempar batu tidak menyebut aku,
melainkan engkau sebut nafs-mu. Apa yang menjadi penyebab
kelakuanmu itu?”

344
“Aku tahu, o yang dikutuk, bahwa engkau adalah bagian dari Iblis,
sang bayangan maya, yang tidak wujud. Aku tahu, Iblis dan engkau
beserta balamu adalah khayyal (ilusi) ciptaan-Nya yang memancar
dari nama-Nya, al-Mudhill (Yang Maha Menyesatkan). Karena itu,
o setan, akan sia-sia saja aku melempar keberadaanmu karena
engkau bersembunyi di mahligai nafsuku,” kata Abdul Jalil tegas.

“Orang-orang yang bertindak keras terhadap nafsunya sendiri


sepertimu, o Abdul Jalil, adalah orang-orang yang paling aku
benci,” seru setan dengan suara bergetar.

“Sesungguhnya, al-Haqq telah memberi tahu bahwa engkau hanya


mampu menjalankan tugasmu dengan baik kepada orang-orang
yang memanjakan nafsunya dengan kelezatan dan kenikmatan
duniawi serta pikiran-pikiran yang serba menguntungkan diri
pribadi belaka. Sedang kepada mereka yang meninggalkan segala
sesuatu selain-Nya maka engkau tak akan mampu
mempengaruhinya,” kata Abdul Jalil.

“Ketahuilah, o Abdul Jalil,” seru setan dengan napas tersengal-


sengal, “ketika engkau melempar ketiga jumrah dengan ikrar
melempar nafsumu sendiri, sesungguhnya kudapati diriku bagai
disambar halilintar. Tubuhku terasa terbakar. Sebab, di dalam
relung nafsu manusialah aku bertakhta. Itu sebabnya, o Abdul Jalil,
janganlah kiranya engkau memberitahukan rahasia ini kepada
siapa pun agar tugasku memuliakan dan mengagungkan Allah
dapat kupenuhi sebaik-baiknya.”
345
Abdul Jalil tertawa mendengar permohonan itu. Ia sadar bahwa
setan sangat ulet dan licin dalam mempengaruhi orang. Setan tidak
pernah menyerah dalam upaya menjerumuskan manusia ke jalan
sesat yang menyimpang dari-Nya. Itu sebabnya, dengan tegas ia
menolak. “Aku tak akan terpedaya oleh kelicikanmu, o Abu Murrah,
karena tanpa engkau minta pun aku tidak akan memberitahukan
kepada siapa pun tentang apa yang telah kulakukan. Sebab aku
tahu, meski seseorang mengucapkan kata-kata seperti yang
kuikrarkan, jika hati dan pikiran mereka masih terikat pada pamrih
kehidupan duniawi maka tidak akan ada artinya sama sekali.
Karena itu, o Abu Murrah, biarlah mereka yang melaksanakan
ibadah haji tetap mengikuti ketentuan yang sudah diatur oleh
hukum syari’at.”

Mendengar ucapan Abdul Jalil, orang tua bongkok jelmaan setan


itu meraung sambil mengetuk-ngetukkan tongkatnya ke atas
tanah. Dia tampak diliputi amarah.

Abdul Jalil yang menyaksikan kemarahan setan itu, bangkit dan


berjalan mendekati tiang batu sambil berkata, “Akan kutunjukkan
kepadamu, o makhluk terkutuk, di mana pun engkau bersembunyi
maka engkau tetaplah bayangan maya yang tanpa wujud. Engkau
hanya khayyal yang terkutuk.”

“Apa yang akan engkau lakukan?” seru setan dengan suara


gemetar.

346
Abdul Jalil diam. Ia terus melangkah mendekati tiang batu. Tidak
dihiraukannya seruan-seruan setan yang mengharu biru di
belakangnya.

Abdul Jalil menunduk memungut sejumlah batu yang berserakan


di sekitar tiang batu. Setelah terkumpul dua puluh butir, ia tegak
berdiri di hadapan tiang jumrah al-aqabah. Kemudian dengan
sekuat tenaga ia lemparkan batu-batu yang digenggamnya sambil
berseru. “Rajman li asy-syaithan wa ridhaka robbi, Allahu Akbar!”

Bersamaan dengan terbenturnya batu ke jumrah al-aqabah,


terdengar raungan panjang dari orang tua bongkok yang berdiri di
belakang Abdul Jalil yang diikuti oleh lenyapnya tubuh tua jelmaan
setan itu. Suasana mendadak hening. Sunyi. Senyap.

Di tengah hamparan kesunyian, di bawah selimut hitam malam,


sambil bersila membelakangi ketiga tiang batu jamarah, Abdul Jalil
meneguhkan lagi perjalanannya mendaki anak tangga tahlil hingga
memasuki hamparan nafs al-haqq. Dan malam itu, bagaikan
mengulang peristiwa penyembelihan Ismail oleh Ibrahim, ia
mendapati dirinya tenggelam ke dalam samudera Tauhid setelah
keakuan pribadinya terkapar pasrah di mizbah persembahan
sebagai domba sembelihan.

347
Asrar Muhammad

Muhammad al-Mushthafa Saw, laki-laki buta


huruf (ummi), yang lahir di tengah kesunyian
padang pasir berbatu jazirah Arabia yang
beribu-ribu tahun terkucil dalam keterasingan,
adalah nur asy-syams wa al-baha’ (matahari
dan sinar keagungan). Dia memancarkan
cahaya rahmat-Nya ke segenap penjuru dunia dari waktu ke waktu
hingga yaum al-akhir (hari akhir). Bagaikan cahaya matahari
menyibak kegelapan malam yang pekat, begitulah cahaya
kelembutan dan rahmat yang terpancar dari keagungan dan
kemuliaan-Nya menerangi sudut-sudut hati manusia yang berada
di bawah terang-Nya melalui laki-laki buta huruf ini.

Laki-laki agung penuh kasih yang tubuhnya bersimbah darah dan


kotoran unta ketika menyerukan suara kebenaran itu bukanlan
manusia yang dikenal karena mukjizat yang luar biasa, seperti Nabi
Nuh, Musa, Sulaiman, dan Isa. Laki-laki yang selama lima belas
tahun suka tafakkur dan tanaffus di gua Hira itu bukan pula pendeta
keramat yang hidup terasing di pertapaan, menanggalkan seluruh
atribut kehidupan duniawi. Sebaliknya, dia juga bukan raja kara
raya yang mencontohkan kemegahan duniawi sebagai
kebanggaan dan kemuliaan.

Muhammad al-Mushthafa Saw dengan segala kesederhanaan dan


kerendahatiannya dikenal sebagai manusia yang jujur dan
348
terpercaya (al-amin). Pembebas sekaligus sahabat para budak.
Penyantun janda-janda tua dan anak-anak yatim piatu. Dia
melarang pembunuhan bayi-bayi perempuan. Dialah manusia bijak
yang menempatkan segala sesuatu pada tempatnya.
Penyempurna akhlak manusia. Utusan Allah yang memerangi
paganisme-materialisme demi tegaknya ajaran Tauhid. Sejarah
mencatat dengan tinta emas, bagaimana laki-laki itu dalam
menunaikan tugas kerasulannya telah menuruni lembah
penghinaan dan jurang penistaan, mendaki tebing dan ngarai
ancaman, tergiring di padang belantara teror dan provokasi, dan
bahkan mengangkat senjata untuk mempertahankan keberadaan
diri dari serangan orang-orang yang memusuhinya.

Bagi para pencari Tuhan seperti Abdul Jalil, menilai keberadaan


Muhammad al-Mushthafa Saw. tidaklah sama dengan sejarawan.
Sebab, bagi salik seperti dirinya, menilai keberadaan Muhammad
al-Mushthafa Saw. tidak sekadar sebagai bagian dari sejarah
kemanusiaan dengan segala atribut yang melekat padanya.
Menurutnya, yang paling prinsip adalah keberadaan Muhammad
al-Mushthafa Saw. yang fundamental sebagai utusan Tuhan
(Rasulallah), kekasih Tuhan (Habibullah), sahabat Tuhan
(Khalilullah), wali Tuhan (Waliyyullah), wakil Allah (Khalifatullah),
dan pengejawantahan Yang Terpuji (Ahmad) yang telah
mewariskan perbendaharaan kehidupan ruhaniah yang begitu
agung dan menakjubkan bagi manusia. Dan yang lebih esensial
lagi adalah keberadaannya sebagai jalan (wasilah) untuk
mendekat kepada-Nya (QS al-Ma’idah: 35).

349
Meski belum pernah bertemu muka, Abdul Jalil melalui berbagai
hadits meyakini bahwa Muhammad al-Mushthafa Saw dalam
penampilan fisik akan melampaui pemuda asing dan aneh yang
ditemuinya di Ka’bah maupun hadhrat Abu Bakar ash Shiddiq.
Sebab, penampilan fisik pemuda asing yang aneh itu hanya dapat
dilihat oleh segelintir orang yang dianugerahi nur lawami’ dan
pemahaman fawaid. Sementara penampilan fisik Muhammad al-
Mushthafa Saw dapat disaksikan oleh semua orang yang hidup
sezaman, kecuali mereka yang jiwanya tertutup hijab rain
kekufuran.

Muhammad al-Mushthafa Saw., dalam kesaksian istri-istri dan


sahabat-sahabatnya yang hidup sezaman, adalah laki-laki yang
tidak tinggi, tetapi tidak pendek. Tidak gemuk, tetapi tidak kurus.
Kulitnya tidak putih, tetapi tidak coklat. Kedua matanya bercelak,
tetapi tidak layaknya bercelak. Wajahnya elok bagai rembulan
purnama, tetapi juga bagai matarahi terbit. Jika berjalan seakan-
akan melangkah di jalanan yang menurun. Langkahnya cepat,
namun tenang. Jika berbicara ada cahaya memancar dari gigi-
giginya. Butir-butir keringatnya laksana mutiara dan berbau wangi.

Ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz menyaksikan, “Saat memandangnya


seakan-akan aku melihat matahari yang sedang terbit.” Ka’b bin
Malik berkata, “Jika sedang gembira, wajahnya berkilau seakan-
akan sepotong rembulan.” Jabir bin Samurah berkisah, “Aku
pernah melihatnya pada satu malam yang cerah tanpa mendung.
Kupandangi Rasulallah Saw lalu ganti kupandang rembulan.
Ternyata, menurut penglihatanku, dia lebih indah dari rembulan.”
350
Ali bin Abu Thalib berkata, “Aku tidak pernah melihat orang yang
seperti dia, sebelum maupun sesudahnya.”

Dari berbagai kesaksian yang diungkapkan oleh orang-orang yang


hidup sezaman, mengenal, dan dekat dengan Muhammad al-
Mushthafa Saw., jelas sekali bagi Abdul Jalil bahwa utusan Tuhan
yang tidak lain dan tidak bukan adalah leluhurnya itu merupakan
anak cucu Adam yang telah tercerahkan dan terlimpahi keagungan
dan kemuliaan-Nya. Bahkan berdasar uraian rahasia hadhrat Abu
Bakar ash-Shiddiq di ‘alam al-khayal, ia meyakini bahwa
Muhammad al-Mushthafa Saw. bukan saja manusia pilihan yang
dilimpahi keagungan dan kemuliaan-Nya, melainkan
pengejawantanan dari keagungan dan kemuliaan-Nya sendiri.

Mengetahui dan memahami keberadaan Muhammad al-Mushthafa


Saw. berdasarkan pandangan seorang pencari Tuhan, ternyata
menggiring Abdul Jalil ke hamparan kenyataan tak terbantah
tentang Muhammad Saw. sebagai pengejawantahan Ahmad.
Muhammad Saw yang lahir sebagai bangsa Arab dan berbahasa
Arab bukanlah sekadar manusia berdarah dan berdaging yang
memiliki atribut-atribut manusiawi. Muhammad Saw adalah Ahmad
yang bersabda, “Ana Ahmadun bila mim,” dan “Ana ‘Arab bila ‘ain,”
yang kepadanya Allah bersabda, “Laulaka, laulaka, ma khalaqtu
al-aflak” (hadits Qudsi) dan “Khalaqtuka min nuri wa kholaqtu
khalqa min nurika” (hadits Qudsi).

351
Tidak dapat diingkari bahwa setelah perjumpaan menakjubkan
dengan hadhrat Abu Bakar ash-Shiddiq di ‘alam al-khayal,
kesadaran demi kesadaran baru yang tersingkap dari tirai-tirai
kemanusiaannya berlangsung begitu mencengangkan sekaligus
membingungkan. Namun, di antara kesadaran-kesadaran baru itu,
yang paling penting dan dinilai sangat revolusioner oleh Abdul Jalil
adalah terkuaknya rahasia keberadaan Muhammad al-Mushthafa
Saw. sebagai pengejawantahan paling sempurna dari Yang
Terpuji. Selama ini ia telah memahami pemetaan secara
konseptual dan pemahaman ruhani tentang keberadaan-Nya di
dalam Benteng Tak Tertembus, termasuk petunjuk tentang “jalan”
dan “cara” menuju Benteng-Nya. Namun, yang belum
ditemukannya justru keberadaan “pintu” (bab) dan “kunci” (miftah)
untuk masuk ke dalam Benteng-Nya. Selama ini ia hanya berputar-
putar dan berkeliling.

Kini, kesadaran barunya telah menemukan “pintu” dan “kunci” itu,


yakni Muhammad Saw., yang kedatangannya telah diberitakan
(mubasysyiran) oleh Isa a.s. dengan nama Ahmad (QS ash-Shaff:
6). Dialah Muhammad al-Mushthafa Saw yang melalui lisannya
mengucapkan sabda Allah, “Inilah jalanku (sabili), aku dan
pengikut-pengikutku mengajak engkau kepada Allah dengan
bashirah (QS Yusuf: 108).”

Kesadaran baru itu tersingkap beberapa saat setelah ia


melaksanakan Haji Wada’ dan berdoa di Multazam. Saat itu, tiba-
tiba nur lawami’ di kedalaman jiwanya memancar hingga
menggelarkan kesadaran baru betapa Ka’bah sebagai Baitullah
352
pun memiliki pintu, meski semua orang tahu bahwa hanya ada
ruang kosong belaka di dalamnya. Dengan demikian, pastilah
Benteng Tak Tertembus itu pun wajib memiliki pintu, meski yang
ada di dalamnya Cuma Kehampaan yang tak terjangkau pikiran
dan tak terbandingkan dengan sesuatu.

Pengalaman menakjubkan tentang Nur Muhammad setidaknya


menjadi faktor penentu bagi Abdul Jalil untuk memutuskan pilihan
bahwa Muhammad al-Mushthafa Saw itulah “pintu” sekaligus
“kunci” dari Benteng-Nya Yang Tak Tertembus. Selama ini ia
beranggapan bahwa keberadaan Muhammad Saw sebagai
wasilah untuk menuju Dia adalah disebabkan oleh faktor
kedekatan (qurb), kecintaan (hubb), kerinduan (‘isyq), dan
keterpilihan (mushthafa) belaka. Lantaran itu, segala doa tidak
akan diterima tanpa disertai salawat kepada Muhammad Saw.

Kini, ketika kiblat hati dan pikirannya diarahkan kepada


Muhammad al-Mushthafa Saw., tersingkaplah berbagai rahasia
keagungan dan kemuliaan Ilahi yang tersembunyi di balik laki-laki
buta huruf dan terpercaya itu. Terbukti sudah bahwa di balik makna
Ana Ahmadan bila mim tersembunyi hakikat Ahad. Di balik makna
Ana ‘Arab bila ain tersembunyi makna Rabb. Untuk Allah maka
orang-orang beriman diwajibkan shalat dan untuk Muhammad
Saw. maka orang-orang beriman diwajibkan salawat. Bahkan nilai
shalat dianggap batal dan tidak sah jika tidak disertai salawat.

353
Sadarlah Abdul Jalil bahwa sabda Allah, “Kholaqtuka min nuri wa
kholaqtu khalqa min nurika” (hadits Qudsi) itu berkaitan langsung
dengan sabda Allah, “Sungguh telah datang seorang rasul dari
nafs-mu sendiri (QS At-Taubah: 128).”

Ketika malam tiba dan menggelar permadani hitam dengan hiasan


bintang-gemintang, Abdul Jalil melangkah ke persimpangan jalan
yang membelah kota Badar dan Yanbu. Di situ, ia berdiri tegak
menatap gugusan langit sambil merenungkan kebesaran Ilahi.
Malam itu kabilah yang membawa rombongannya dan beberapa
kabilah dari Mesir beristirahat di daerah itu. Karena, ada sebagian
beberapa orang anggota kabilah yang akan memisahkan diri
kembali ke Mesir.

Berbeda dengan jama’ah lain yang memanfaatkan waktu dengan


berbincang-bincang, Abdul Jalil memilih berjalan-jalan menuju
persimpangan. Malam itu jarak mereka dengan kota Badar tinggal
beberapa pal lagi. Itu berarti, kabilah dalam beberapa saat lagi
akan sampai di tanah yang bersejarah yang menjadi tonggak awal
kemenangan Islam.

Bagi Abdul Jalil, pertempuran di Badar adalah pertempuran yang


benar-benar didasari semangat suci menegakkan Kalimat Tauhid.
Dalam pertempuran bersejarah itu kaum beriman yang berjumlah
317 orang dibantu oleh seribu malaikat (QS al-Anfal: 9) dan
dilimpahi anugerah kemenangan oleh Allah dengan memukul
mundur musuh mereka (QS al-Qamar:45). Karena, Allah bersama
354
mereka dan Allah menempatkan rasa takut di dalam hati orang-
orang kafir (QS al-Anfal: 12).

Usai perang Badar, Rasulallah Saw. mengungkapkan kepada para


sahabat bahwa pertempuran itu adalah pertempuran kecil belaka.
Pertempuran yang lebih besar dan dahsyat adalah pertempuran
melawan nafsu. Melawan diri sendiri. Ucapan Rasulallah Saw.
seusai perang Badar itu terbukti saat perang di Uhud. Dalam
perang itu, para pemanah yang ditugaskan menjaga bukit untuk
menghadang musuh ternyata berlarian ke bawah untuk berebut
pampasan perang. Kemudian terjadilah tragedi paling memilukan
dalam sejarah awal kebangkitan Islam. Terbukti, pamrih pribadi
dan kecintaan terhadap harta benda adalah pangkal kebinasaan.

Ketika sayap khayalnya mengepak perkasa, terbang di antara


gugusan sejarah perang Badar dan Uhud dengan masing-masing
latarnya, tiba-tiba ia dihampiri oleh laki-laki muda yang sudah
dikenalnya dengan nama Abu Talbis az-Zur. Orang ini berasal dari
negeri Mesir. Tubuhnya tinggi kurus dengan wajah tirus, hidung
melengkung bagai paruh rajawali, mata cekung, tulang pipi
menonjol, dan gigi agak mengedepan. Jika berbicara dia selalu
menggerak-gerakkan kedua tangannya seolah-olah tukang sulap
memperagakan keahliannya.

Saat di Makah, Abu Talbis az-Zur tinggal dekat dengan


pemondokan Abdul Jalil, namun keduanya tak pernah berbincang-
bincang kecuali hanya saling melempar senyum saat berpapasan.
355
Malam itu dia berpamitan kepada Abdul Jalil karena esok akan
langsung menuju Yanbu untuk kemudian melanjutkan perjalanan
ke Mesir. Abdul Jalil menangkap ada yang tidak beres pada diri
Abu Talbis az-Zur. Ia kemudian menanyakan apakah laki-laki itu
tidak melakukan shalat arba’in di Masjid Nabawi dan ziarah ke
makam Rasulallah Saw..

Mendengar pertanyaan itu, Abu Talbis az-Zur tertawa mengejek


sambil mendengus. Kemudian, tanpa ada yang meminta dia
berkhotbah dengan menyitir dalil-dalil Al-Qur’an dan hadits yang
intinya mengecam kebiasaan sesat yang dilakukan jama’ah haji
yang menyekutukan Allah dengan Muhammad Saw. “Muhammad
itu manusia biasa. Meski dia nabi dan rasul, tidak boleh dimuliakan
melebihi manusia yang lain, apalagi sampai dituhankan. Untuk apa
aku shalat arba’in di Masjid Nabawi? Bukankah pahala yang besar
sudah kita peroleh saat shalat di Masjidil Haram? Untuk apa aku
ziarah ke makam Muhammad? Bukankah sudah cukup kita tawaf
mengitari Ka’bah? Semua itu perbuatan sia-sia. Menyekutukan
Allah. Musyrik!” cibirnya.

“Tuan,” Abdul Jalil tersenyum, “Tuan boleh saja mengikuti


keyakinan Tuan. Namun, janganlah Tuan menista dan menghujat
amaliah ibadah yang dilakukan orang lain yang tidak sepaham
dengan Tuan.”

“Sebagai sesama Muslim, aku wajib mengingatkan mereka,” Abu


Talbis az-Zur melirik ke arah Abdul Jalil. “Sebab, telah tertulis di
356
dalam Al-Qur’an (QS al-‘Ashr: 3) bahwa sesama orang beriman
harus saling mengingatkan. Dan bagiku, jelas sudah kebenaran
hanya ada pada Al-Qur’an sebagai firman Allah. Allah tidak boleh
disekutukan dengan siapa pun, termasuk Muhammad.”

“Tuan,” sergah Abdul Jalil mendadak merasakan dadanya bagai


hendak menumpahkan sesuatu, “sebagaimana Tuan, saya pun
yakin bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah. Namun, tahukah Tuan
dari mana kebenaran Al-Qur’an ayat demi ayat itu bisa sampai
kepada kita?”

“Melalui Muhammad, Rasul Allah,” Abu Talbis az-Zur mengerutkan


kening.

“Apakah Al-Qur’an itu berupa kitab atau tabut saat diterima


Rasulallah, sebagaimana hal itu pernah diterima Musa?”

“Tidak,” sergah Abu Talbis az-Zur menatap tajam Abdul Jalil.

“Jikalau begitu, dengan cara bagaimana Al-Qur’an diturunkan


Allah?”

“Diturunkan ayat demi ayat selama dua puluh tiga tahun.”

357
“Maksud saya,” Abdul Jalil memburu, “apakah ayat demi ayat itu
turun dalam bentuk lembaran tertulis atau bagaimana?”

“Tidak,” Abu Talbis az-Zur tercekat, “ayat demi ayat Al-Qur’an


disampaikan melalui mulut Muhammad, Rasul Allah.”

“Tuan,” Abdul Jalil menggempur, “jika Muhammad Saw. itu


manusia biasa yang makan, minum, kawin, berketurunan,
berperang, dan melakukan amaliah seperti manusia lain, kenapa
Al-Qur’an tidak diturunkan Allah melalui manusia yang lain yang
juga makan, minum, kawin, berketurunan, berperang, dan
melakukan amaliah? Kenapa Al-Qur’an tidak diturunkan lewat
kakek Tuan, misalnya?”

“Andaikata benar kata Tuan bahwa Muhammad Saw. itu manusia


biasa,” lanjut Abdul Jalil, “bagaimana Tuan bisa yakin bahwa yang
diujarkan oleh lisannya yang kemudian dirangkum menjadi Kitab
Suci Al-Qur’an itu adalah firman Allah? Jikalau Muhammad Saw.
manusia biasa, apakah Tuan tidak syak atau berprasangka buruk
bahwa dia telah melakukan pemalsuan atas ayat-ayat Allah?
Bukankah sudah menjadi kodrat manusia untuk tidak lepas dari
kesalahan dan pamrih pribadi?”

“Tuan tidak memahami jalan pikiran saya,” kata Talbis az-Zur


berkilah. “Saya tetap yakin bahwa Muhammad adalah Rasul Allah.
Karena itu, dia diberi sifat amanah, fathanah, dan maksum. Jadi,
358
dia memang diberi kelebihan dari manusia lain. Namun, dia
tetaplah manusia biasa. Karena itu, tidak layak bagi mereka yang
beriman dan bertauhid kemudian menjadikan Muhammad sebagai
wasilah untuk menuju Allah. Karena, tidak ada dalil dan
tuntunannya.”

“Tuan,” kata Abdul Jalil tenang, “dalam menjalankan shalat,


apakah Tuan membaca salawat kepada Muhammad Saw?”

“Itu sudah pasti karena syari’at mengatur demikian.”

“Berarti Tuan yakin bahwa shalat yang tidak disertai salawat adalah
batal dan tidak sah?” tanya Abdul Jalil memancing.

“Ya, karena itu sudah aturan syari’at. Kita ikuti saja tanpa perlu
menakwilkan macam-macam,” sahut Abu Talbis az-Zur gerah.

“Tuan percaya pada syafa’at?” tanya Abdul Jalil.

“Ya.”

“Siapa manusia yang berhak memberi syafa’at?”

359
“Muhammad Rasul Allah.”

“Jika Allah berhak memberi maghfirah maka Muhammad Saw.


berhak memberi syafa’at,” kata Abdul Jalil sambil menatap bintang-
bintang di langit. “Jika Muhammad Saw dan orang-orang beriman
wajib shalat kepada Allah maka Allah beserta para malaikat
bersalawat kepada Muhammad Saw.. Dan karena itu, Allah
mewajibkan orang-orang beriman bersalawat kepada Muhammad
Saw.. Jika Allah murka kepada siapa pun yang mencintai sesuatu
selain Dia, baik itu anak, istri, keluarga, harta benda, atau
kekuasaan, kenapa Allah tidak murkan kepada orang-orang yang
mencintai Muhammad Saw?”

“Tapi Tuan…” Abu Talbis az-Zur gelagapan.

“Tuan Abu Talbis az-Zur,” sahut Abdul Jalil tersenyum, “sebaiknya


kita tidak perlu berdebat soal pandangan dan keyakinan kita.
Sebab, yang paling utama menurut saya adalah bagaimana kita
berjuang menuju Dia. Apakah kita benar-benar menuju Dia dan
semata-mata untuk Dia dan karena Dia? Ataukah kita
menggunakan agama-Nya untuk sesuatu selain Dia? Bagi saya,
telah jelas dalil Al-Qur’an: Wa al-ladzina jahadu fina
lanahdiyannahum subulana (Bagi mereka yang benar-benar
berjuang menuju Kami maka akan Kami tunjukkan jalan-jalan
Kami). Itu berarti, jalan menuju Allah tidak satu. Jadi, jika Tuan
yakin bahwa jalan Tuan itu benar maka ikutlah jalan itu.
Sebaliknya, saya akan meyakini jalan yang saya anggap benar
360
tanpa perlu mencela jalan orang lain apalagi sampai memaksa
orang lain agar mengikuti ‘jalan’ dan ‘cara’ saya.”

Rupanya, saat sedang berdebat tentang keberadaan Muhammad


Saw., tanpa mereka ketahui telah muncul Husein bin Amir
Muhammad bin Abdul Qadir al-Abbasi. Dia cukup lama ikut
mendengarkan percakapan mereka. Hal itu baru disadari Abdul
Jalil ketika Husein sambil terbatuk-batuk kecil mendekatinya.

Husein tampaknya tidak senang dengan Abu Talbis az-Zur. Itu


terlihat dari sikapnya yang mendukung pandangan-pandangan
Abdul Jalil secara berlebihan, yang diperkuat oleh dalil-dalil aqli
dan naqli tentang keagungan dan kemuliaan Muhammad Saw.
yang tidak boleh dilihat dengan pandangan duniawi semata.
Dengan paparan dan uraian yang luas yang didasari pemikiran
filosofis, tampak sekali Husein bin Amir Muhammad menempatkan
Abu Talbis az-Zur sebagai “keledai dungu” yang tidak tahu apa-
apa soal agama, kecuali hanya taklid buta.

Sekalipun pengetahuan Abu Talbis az-Zur bukanlah tandingan


Husein, laki-laki asal Mesir itu tidak mau kalah. Dengan suara
meledak-ledak dia membela kerangka pandan yang dianggapnya
benar, meski dengan dalil-dalil yang diulang-ulang. Dan ujung dari
perdebatan yang tak diinginkan itu adalah pertengkaran mulut
yang hampir saja pecah menjadi adu jotos.

361
Abdul Jalil buru-buru melerai, apalagi saat itu ia melihat beberapa
orang pengikut Husein berlarian ke arah mereka. Ia berulang-ulang
memohon kepada Husein agar bersabar dalam menunaikan
perjalanan suci ke makam Muhammad Saw.. Sebaliknya, kepada
Abu Talbis az-Zur, ia juga memohon agar bersabar dalam
melanjutkan perjalanan kembali ke negerinya.

Salawat dan salam semoga disampaikan kepada Yang Terpuji


(Muhammad), Imam al-Haqq, al-Khatim, Nur asy-Syams wa al-
Baha’, Babullah wa Miftah al-Bab, yang dari nur-Nya alam semesta
dicipta, yang dengan nur-Nya orang-orang beriman dibimbing ke
hadirat-Nya, yang dengan nur-Nya al-Khalq dapat menyaksikan
keagungan dan kemuliaan al-Khaliq, dan yang dengan nur-Nya
‘abid dibimbing dengan ‘ibadah menuju kepada Ma’bud. Hanya
melalui “pintu” dan “kunci” inilah segala rahasia manusia dan alam
semesta yang digelar-Nya dengan berlapis-lapis hijab dapat
disingkapkan.

Di antara kubur Muhammad Saw dan Raudhah, di antara galau


jama’ah yang berebut shalat sunnah dan meratap-ratap
memanggil nama Muhammad Saw., Abdul Jalil duduk bersila ke
arah kubur di mana jasad Muhammad Saw disemayamkan.
Setelah menyampaikan salawat dan salam, ia menapaki tangga
istighfar, salawat, tahlil, dan nafs al-haqq dengan menghadapkan
kiblat hati dan pikirannya kepada nur yang memancar di antara
kedua matanya, sebagaimana diajarkan hadhrat Abu Bakar ash-
Shiddiq. Ia tidak mempedulikan lagi hiruk pikuk jama’ah di
sekelilingnya.
362
Setelah beberapa jenak menapaki keempat tangga rahasia itu tiba-
tiba nur di antara kedua matanya memancar terang. Kemudian
melalui nur itu terlihat citra agung dan mulia di hadapannya.
Sekalipun tidak jelas benar wujudnya – karena diliputi pancaran
cahaya menyilaukan – ia memahami bahwa citra agung dan mulia
itu adalah perwujudan dari Muhammad Saw..

Sementara itu, perasaannya menangkap pancaran daya gaib dari


arah kubur Muhammad Saw. secara bergelombang menerpa ke
arahnya. Dalam keadaan itu, hampir saja akalnya
mempertanyakan ke mana yang paling benar: apakah yang
ditangkap nur di antara kedua matanya atau pancaran daya gaib
yang ditangkap oleh perasaannya. Namun, kali ini ia tidak memberi
kesempatan sedikit pun bagi gelegak akalnya. Ia bergulat
menyatukan perasaannya ke dalam nur yang memancar di antara
kedua matanya.

Beberapa detik bergulat untuk menyatukan kesadaran tiba-tiba ia


merasakan citra agung dan mulia yang terpampang di hadapannya
itu memancarkan cahaya kilau-kemilau yang menyilaukan. Cahaya
luar biasa dahsyat mengisap seluruh kesadaran dirinya.

Ia dengan gemetar dapat merasakan betapa air mata tumpah dari


kelopak matanya, darah mengalir dari seluruh pori-pori tubuhnya,
gumpalan-gumpalan hitam dosa keluar dari hatinya, kuda-kuda liar
dari nafsu hayawaniyyah berlarian dari kedalaman jiwanya, dan
keakuannya sebagai pribadi melesat ke arah citra agung dan mulia
363
itu; terisap oleh daya gaib yang memancar darinya. Dan saat
seluruh keberadaannya memasuki kumparan cahaya yang
melingkupi citra agung dan mulia itu, leburlah segalanya dalam
kilauannya.

Melalui pandangan bashirahi, ia menyaksikan pemandangan


menakjubkan. Citra agung dan mulia yang semula tidak jelas akibat
cahaya terang yang meliputinya kini hadir dalam wujud yang nyata.
Muhammad al-Mushthafa Saw. duduk di atas takhta tertinggi dari
maqam Muhammad dilingkari rasul-rasul dan malaikat yang
berjajar. Hadhrat Abu Bakar ash-Shiddiq tampak di sebelah
kanannya. Umar bin Khaththab di sebelah kirinya. Ali bin Abu
Thalib berdiri di depan agak ke kanan. Dan Utsman bin Affan
berada di depannya.

Bersabdalah citra agung dan mulian melalui al-ima’ yang jika


diungkapkan dalam bahasa manusia berbunyi:

“Ketahuilah, o Ahmad, bahwa di dalam dirimu ada bagian dari


diriku yang tak dapat dipisah. Bagian diriku yang ada di dalam
dirimu itulah yang menjadi mursyid (guru sejati), Imam al-Haqq,
yang membimbing dirimu sejati kepada hakikat Dia yang
mengutusku.”

“Ketahuilah, o Ahmad, bahwa yang engkau saksikan ini adalah


maqam Muhammad yang tinggi dan paling murni. Barang siapa
364
yang naik ke maqam ini maka dia akan mewarisi keagungan dan
kemuliaannya. Ketahuilah, o Ahmad, bahwa keberadaan maqam
ini tidak di mana-mana, kecuali ada di dalam dirimu sendiri.
Namun, engkau harus tahu bahwa antara engkau dengan maqam
ini diantarai oleh tujuh langit, tujuh dunia, tujuh neraka, dan tujuh
sorga. Dan hanya melalui aku sebagai “pintu” dan “kunci” dari
Benteng-Nya Yang Tak Tertembus maka engkau dapat
menyaksikan keagungan dan kemuliaan maqam ini.

“Karena engkau telah menyaksikan maqam ini, meski belum bisa


mencapainya, maka hendaknya engkau bersabar hingga pada
waktunya nanti datang keputusan-Nya. Karena itu, pujilah Dia yang
mengutusku. Pujilah Dia yang menetapkan setiap keputusan. Dan
sebagai pewarisku, pewaris Muhammad, sampaikanlah kepada
manusia tentang apa yang telah kusampaikan. Terangilah
kegelapan dunia dengan nur-mu yang memancar dari nur-ku yang
merupakan pancaran Nur-Nya. Terangilah kegelapan meski penuh
derita dan sengsara, bahkan andaikata darah harus mengalir dari
tubuhmu sebagaimana pernah kualami saat Dia mengutusku.”

“Ketahuilah, o Ahmad, bahwa pada saat engkau memerangi


mereka yang berada di dalam kegelapan maka saat itulah engkau
sebenarnya memerangi dirimu sendiri. Sebab, setiap nafs
sebenarnya sama dengan nafs yang ada pada dirimu, yang
sumbernya adalah dari nafs-Ku. Ana min nur Allah wa khalq
kulluhum min nuri. Aku ada di setiap diri. Karena itu, o Ahmad,
jalankanlah tugas sucimu itu dengan penuh kesabaran. Karena,

365
Dia selalu menyertai mereka yang sabar. Dan Dia adalah ash-
Shabir (Yang Sabar) itu sendiri.”

Sedetik sesudah itu, pemandangan bashirah yang disaksikan


Abdul Jalil terhapus dan mewujud dalam bentuk cahaya
menyilaukan yang merampas semua penglihatan dan seluruh ufuk
kesadaran. Ia merasakan seluruh cakrawala mewujud dalam
Haqiqah Muhammad (Hakikat Yang Terpuji). Keakuannya pun
turut terisap. Dan antara sadar, ia saksikan melalui pandangan
bashirah dan pendengaran sam’ tentang kebenaran yang sangat
rahasia di balik keberadaan Muhammad Saw.: “Tidak ada Tuhan
selain Allah, Yang Terpuji adalah pancaran (rasul) Allah sendiri.”

Seketika kesadarannya hilang. Lenyap. Sirna. Terisap dan lebur ke


dalam keagungan dan kemuliaan citra agung dan mulia dari
Muhammad Saw..

Pengalaman ruhaniah selama beberapa detik di depan kubur


Muhammad Saw itu benar-benar telah membukan cakrawala baru
tentang makna “pintu”, “kunci”, mursyid, Imam al-Haqq, Nur asy-
Syams wa al-Baha’, al-Khatim, Nur Muhammad, dan Ahmad yang
dinisbatkan kepada Muhammad Saw..

Pengalaman menakjubkan dari fana’ yang dialaminya kali ini,


meski esensinya sama, manifestasinya sangat berbeda dengan
pengalamannya saat di Baitul Haram. Saat itu, ia mendapati
366
seluruh cakrawala menghilang dan melenyap kecuali dirinya yang
bagaikan menyatu dengan cahaya yang memancarkan cahaya itu.
Kini, di hadapan kubur Muhammad Saw., ia mendapati seluruh
cakrawala dan keakuannya menghilang dan terisap lenyap tanpa
sisa, kecuali citra agung dan mulia dari Muhammad Saw..

Bertolak dari dua sisi pengalaman yang berbeda, namun sama


dalam esensi itu, ia tidak bisa membeda-bedakan mana yang
disebut fana’ fi Allah dan mana yang disebut fana fi rassul. Baginya,
mengetahui perbedaan keduanya tidaklah penting. Karena,
anugerah dari fana’ itu sendiri sudah merupakan puncak dari
anugerah yang tak ternilai.

367
Jama’ah Karamah al-Auliya’

Bagaikan tatanan pemerintahan manusia yang


memiliki susunan hierarki lengkap dengan
tugas masing-masing, seperti maharaja,
perdana menteri, panglima angkatan perang,
menteri-menteri, jaksa, hakim, adipati, perwira,
prajurit, dan nayakapraja; demikianlah
kehidupan ruhani mempunyai hierarki pemerintahannya sendiri
lengkap dengan tugas-tugas dan kewenangannya masing-masing.
Hanya saja, para pemegang jabatan di dalam hierarki
pemerintahan ruhaniah itu terdiri atas sejumlah manusia paripurna
pilihan (insan al-Kamil) yang tergabung dalam Jama’ah Karamah
al-Aulia’. Mereka saling mengetahui siapa-siapa saja yang menjadi
anggota Jama’ah dan apa kedudukannya, namun orang di luar
kelompok mereka tidak ada yang mengetahui keberadaan para
aulia itu.

Jabatan yang tertinggi di antara anggota Jama’ah Karamah al-


Aulia’ adalah Quthb al-Aqthab. Jabatan ini dapat disetarakan
dengan jabatan sultan dalam hierarki kepemimpinan manusia.
Lantaran itu, Quthb al-Aqthab juga sering disebut Sulthan al-Aulia’.
Pada setiap zaman ada seorang Quthb al-Aqthab. Dia menjadi
kutub yang dilingkari oleh Haqiqah ar-Ruhaniyyah. Dia adalah
cermin Allah. Dia pusat pengawasan Allah atas dunia pada setiap
zaman. Dia mengetahui rahasia takdir. Dia pusat tersembunyi
dalam hierarki para wali.

368
Quthb al-Aqthab disebut juga al-Ghauts. Artinya, orang yang
menolong dan melindungi dengan kasih sayang. Disebut al-Ghauts
karena dia bisa melimpahi orang dengan inayah, yaitu rahmat dan
kasih sayang Allah. Quthb al-Aqthab atau al-Ghauts hidup
sendirian pada zamannya (wahid az-zaman bi-‘ainihi). Jika
seorang Quthb al-Aqthab wafat maka dia akan diganti oleh Quthb
al-Aqthab lain.

Di bawah Quthb al-Aqthab ada dua jabatan yang disebut al-


Imamani (dua imam), yakni imam kanan dan imam kiri. Imam yang
berasal dari sisi kanan Quthb al-Aqthab bertugas mengawasi alam
gaib. Imam yang berasal dari sisi kiri Quthb al-Aqthab bertugas
mengawasi alam kasatmata (dunia nyata). Di bawah al-Imamani
ada jabatan Quthb yang jumlahnya banyak. Di bawah jabatan
Quthb ada empat jabatan Autad (pasak). Di bawahnya lagi ada
tujuh Abdal (pengganti), demikian seterusnya.

Keberadaan Jama’ah Karamah al-Aulia’ beserta susunan hierarki


lengkap dengan tugas-tugasnya itu diketahui Abdul Jalil secara tak
terduga, setelah tanpa disangka-sangka ia bertemu Ahmad
Mubasyarah at-Tawallud, usai melaksanakan shalat isya di masjid
Nabawi. Malam itu, saudagar kaya raya yang selama ini menjadi
pembimbing ruhaninya, tanpa penjelasan ini dan itu tiba-tiba
mengajaknya ke daerah Uhud. Dan di sepanjang perjalanan itulah
Ahmad at-Tawallud menceritakan tentang Jama’ah al-Aulia’,
setelah terlebih dulu menjelaskan bahwa selama ini dia senantiasa
melakukan haji setiap tahun.

369
Selama berjalan ke daerah Uhud yang terletak di utara Yatsrib,
Abdul Jalil diam-diam merasa aneh. Ia, misalnya, merasa betapa
langkah kakinya sangat ringan. Seolah-olah terbang di atas
permukaan tanah. Bahkan yang mengherankan, baru beberapa
puluh kali melangkahkan kaki, hamparan gunung batu Uhud telah
terpampang di hadapannya.

Masih dengan rasa takjub, ia terus mengikuti langkah Ahmad at-


Tawallud yang berjalan di depannya. Begitu berada di kaki Jabal
Uhud, Ahmad at-Tawallud berhenti dan langsung duduk di atas
sebongkah bati datar. Dia memberi isyarat agar Abdul Jalil duduk
di sampingnya. Kemudian dengan suara bening dan bergema, dia
menjelaskan bahwa malam itu mereka akan mengikuti pertemuan
Jama’ah al-Aulia’ yang dilaksanakan setiap tahun sekali.

Abdul Jalil terkejut setengah mati mendengar penjelasan Ahmad


at-Tawallud. Bagaimana mungkin ia bisa diajak mengikuti
pertemuan para wali yang seharusnya hanya boleh diketahui oleh
sesama wali saja. Namun, sekilas ia memahami betapa
keberadaannya di situ adalah karena Ahmad at-Tawallud. Itu
sebabnya, ia langsung menangkap sasmita bahwa sahabatnya
yang saudagar kaya raya itu sebenarnya merupakan salah
seorang wali keramat yang mencintai dan dicintai-Nya.

Menyadari hal itu, ia merasakan kegembiraan merayapi hatinya.


Sungguh, ia merasa telah dikaruniai anugerah berlimpah-limpah

370
oleh-Nya untuk mengetahui kekasih-kekasih-Nya yang diselubungi
hijab-hijab tak tertembus dari pengetahuan manusia.

Seiring dengan ketakjuban dan kegembiraan yang dialaminya, ia


tiba-tiba merasakan satu keanehan lagi tengah berlangsung atas
dirinya. Ia, misalnya, tiba-tiba saja mampu menangkap dan
membedakan makna ucapan-ucapan yang keluar dari mulut
Ahmad at-Tawallud. Maksudnya, ia bisa membedakan mana suara
Ahmad at-Tawallud yang keluar dari keakuan pribadi, mana yang
keluar dari Ruh al-Haqq, dan mana yang berasal dari al-Haqq. Dan
Ahmad at-Tawallud sambil tertawa dan menepuk-nepuk bahu
Abdul Jalil mengungkapkan isyarat bahwa dia pun telah
mengetahui perubahan yang dialami sahabatnya itu.

Ketika tengah mencermati perubahan yang terjadi pada dirinya, di


bawah pancaran sinar rembulan ia melihat setitik bayangan hitam
melesat cepat di atas garis cakrawala. Semula ia menduga titik itu
tentulah seekor burung malam atau sejenis kelelawar. Namun,
kecepatan gerak titik itu begitu menakjubkan. Dan sedetik sesudah
itu, ia menyaksikan pemandangan yang mencengangkan; ternyata
titik hitam itu adalah manusia yang sedang duduk bersila di atas
hamparan sajadah terbang.

Ia sangat ingin menanyakan pemandangan yang mencengangkan


yang baru pertama kali dilihatnya itu. Namun, Ahmad at-Tawallud
dengan isyarat tangan menyuruhnya diam dan menunggu dengan
sabar peristiwa apa yang terjadi selanjutnya. Demikianlah, dengan
371
mendaratnya sajadah terbang itu, ia menyaksikan lagi seorang tua
kulit hitam berpakaian serba putih muncul dari permukaan tanah,
tepat di depannya.

Manusia di atas sajadah terbang itu melambaikan tangan kepada


Ahmad at-Tawallud. Orang itu bernama Abdus Salam ath-Thayy
al-Maghribi. Dia adalah kekasih-Nya yang berasal dari pinggiran
kota Fez di negeri Maghribi (Maroko). Sehari-harinya, Abdus
Salam ath-Thayy dikenal sebagai gelandangan tua aneh dan
miskin yang dengan pakaian lusuh kadang-kadang terlihat
berkeliling memasuki lorong-lorong kumuh dengan seonggok kayu
bakar di bahunya. Kayu-kayu itu lazimnya dibagikan kepada janda-
janda tua yang hidup dalam lingkaran kemiskinan. “Keberadaan
Adus Salam ath-Thayy sebagai anggota Jama’ah Karamah tidak
pernah diketahui orang, padahal dia adalah kekasih-Nya yang
dianugerahi kemampuan “melipat ruang”. Dia dapat pergi kemana
saja dengan cepat sesuai kehendaknya,” bisik Ahmad at-Tawallud.

Orang tua berkulit hitam berpakaian serba putih yang muncul


mendadak dari permukaan tanah adalah Abdul Fattah Mutha’ al-
Habsy, yang berasal dari desa ditepi danau Tana, di negeri
Habbasya (Ethiopia). Dia adalah seorang kepala suku yang sangat
dihormati oleh suku-suku di sekitarnya. Orang-orang di negerinya
mengenal Abdul Fattah Mutha’ al-Habsy dengan nama
kebesarannya sebagai kepala suku, yaitu Dangla. Tidak ada satu
pun anggota sukunya yang tahu bahwa Dangla yang mereka
hormati itu adalah kekasih-Nya. Mereka hanya tahu bahwa Dangla
yang mereka patuhi itu memiliki bermacam kelebihan ruhani yang
372
bisa menghalau hantu-hantu dan ruh-ruh jahat yang suka
mengganggu manusia.

Berurutan dengan kehadiran mereka, Abdul Jalil menyaksikan


berbagai manusia aneh yang datang dengan berbagai cara yang
aneh pula. Ada yang menunggang serigala, berjalan dengan kedua
tangan, menaiki pusaran angin gurun, mengendarai gumpalan
awan, kursi terbang, dan bahkan tilam terbang.

Di antara sejumlah kekasih Allah yang diketahui Abdul Jalil


berdasar penjelasan Ahmad at-Tawallud adalah:

Abdur Rahman Mahfuzh as-Sini asal Kanton (Kwang Tung), di


negeri Cina.

Abdul Qadir Maqdur al-Balkhi asal Balkh, di negeri Khurasan (Iran).

Abdur Rahim Habbah an-Nisyaburi asal Nisyapur, di negeri


Khurasan (Iran).

Abdullah Khafi al-Mishri asal Ismailliyah, negeri Mesir.


Abdul Malik Muqtashid al-Isfahani, asal Isfahan (Iran).

373
Abdul Jabbar Shahibul Hal at-Tirmidzi, asal Termez (Uzbekistan).

Abdul Ghafur Mufarridun al-Gujarati, asal Gujarat (India).

Abdul Karim Gurgani (Iran).

Abdul Halim Tabaristani (Iran).

Abdul Hamid Kirmani (Iran).

Abdul Majid Turfani (Tibet).

Abdul Jalal Daghestani (Rusia), dan

Abdul Qohar Punjabi (India).

Ketika sedang mendengar uraian Ahmad at-Tawallud, tiba-tiba


pandangan Abdul Jalil terisap oleh kekuatan luar biasa untuk
menyaksikan seorang laki-laki tua yang berjalan tertatih-tatih
dibantu tongkat penyangga di tangan kanannya. Tidak ada yang
aneh pada laki-laki tua itu. Dia berjalan biasa saja. Bahkan dengan
usianya yang tua itu betapa sulit dia melangkah di tengah
374
hamparan pasir, terutama saat mendaki lereng Jabal Uhud.
Namun, entah apa yang terjadi tiba-tiba saja ia menangkap
ketidakterbatasan pada diri orang tua itu. Orang tua yang kemudian
dikenalnya bernama Misykat al-Marhum itu bergerak, namun
seolah-olah diam. Rumit, namun sederhana. Meliputi, namun
diliputi. Tidak hidup, tetapi tidak mati. Sebuah tampilan
menakjubkan yang mirip dengan keberadaan pemuda aneh yang
ditemuinya di Masjidil Haram.

Menghadapi keanehan Misykat al-Marhum, Abdul Jalil menangkap


isyarat dari nur lawami’ yang menyatakan bahwa laki-laki tua yang
sedikitpun tidak menunjukkan keanehan yang mencengangkan itu
justru merupakan kekasih-Nya yang paling mulia dan yang paling
tinggi maqamnya. Namun, saat ia melirik ke arah Ahmad at-
Tawallud untuk meminta penjelasan, sahabatnya itu memberinya
isyarat agar diam dan tidak membicarakan Misykat al-Marhum.

Isyarat dari nur lawami’ tentang Misykat al-Marhum ternyata tidak


salah. Hal itu diketahuinya ketika Misykat al-Marhum dengan
isyarat tangan dan al-ima’ melarangnya untuk mengungkapkan
sesuatu mengenai dirinya. Bahkan saat Abdul Jalil menerka-nerka
apakah Misykat al-Marhum seorang Quthb atau bahkan Quthb al-
Aqthab, dia dengan lebih tegas lagi melarangnya dengan acungan
tongkat. Dan saat itu, Abdul Jalil merasa lidahnya kelu dan
mulutnya terkunci.

Ketinggian martabat laki-laki lemah yang sedikit pun tidak


menunjukkan tanda-tanda karomah itu terbukti saat dia setelah

375
dengan susah payah mendaki lereng bukit Uhud langsung
disambut dengan penuh hormat oleh para kekasih-Nya. Abdus
Salam ath-Thayy menggelar surbannya sebagai alas duduk
Misykat al-Marhum. Dan bagaikan orang tua pikun, dia menurut
saja ketika dibimbing dan disuruh duduk di atas hamparan
tersebut.

Ketika para kekasih Allah itu duduk berhadap-hadapan dalam


sebuah lingkaran di atas Jabal Uhud di bawah benderang
rembulan, Misykat al-Marhum tanpa terduga mengetuk-ketukkan
tongkatnya beberapa kali ke tanah dan kemudian menunjuk ke
arah Abdul Jalil sambil berkata, “Malam ini telah hadir anggota baru
dalam Jama’ah, yakni Abdul Jalil al-Jawy. Dia telah dipilih-Nya
untuk menggantikan kedudukan saudara kita Abdur Rahman
Muttaqi al-Jawy (asal negeri Jawa) yang telah dipanggil-Nya.

Abdul Jalil terkesima kaget. Namun, sebelum ia sempat menyadari


apa yang sedang terjadi, tiba-tiba ia menyaksikan pancaran
cahaya menyilaukan bagai kilatan petir melesat dari dada Misykat
al-Marhum. Dan ia masih dicekam keheranan ketika tubuhnya
serasa disentak oleh kekuatan dahsyat akibat disambar oleh
cahaya menyilaukan tadi. Beberapa jenak ia hanya bisa termangu-
mangu kebingungan bagai orang yang mendadak terbangun dari
tidur.

Peristiwa menakjubkan yang berlangsung sekejab itu ternyata


membawa perubahan besar pada dirinya. Beberapa jenak setelah
376
terheran-heran, ia merasakan betapa ia seperti telah mengenal
akrab para kekasih Allah yang hadir di situ. Seolah-olah ia telah
bergaul dengan mereka selama puluhan tahun. Bahkan yang
mengherankan, ia merasa mereka adalah bagian dari dirinya.

Saat ia termangu menyaksikan keajaiban yang dialaminya, para


kekasih Allah itu berbarengan mengucapkan salam. Dan ia pun
menjawabnya. Namun, sesudah itu mereka langsung
memperbincangkan kehendak Allah yang akan mengarahkan
perjalanan sejarah umat manusia ke sebuah zaman yang sangat
menggetarkan, yakni zaman kesesatan umat sebagaimana telah
digariskan-Nya di lembaran yang terjaga (al-Lauh al-Mahfuzh).
Jika manusia seumumnya memperbincangkan persoalan besar
dengan berdebat dan menggunakan hujah-hujah serta dalil-dalil
pembenar, maka para wali karomah itu tidak sedikitpun
bertentangan pendapat.

Misykat al-Marhum yang dihormati dan dimuliakan oleh para


anggota Jama’ah memulai perbincangan dengan membacakan
ayat-ayat Al-Qur’an Surat Ali Imran ayat 26: “Allah Pemilik
kekuasaan. Dia berikan kekuasaan kepada siapa yang
dikehendaki-Nya dan Dia mencabut kekuasaan dari siapa yang
dikehendaki-Nya. Ditangan-Nya terletak kebajikan. Dia Maha
Berkuasa atas segala sesuatu.”

Beberapa jenak berhenti, Misykat al-Marhum melanjutkan


bacaannya ke ayat 27: “Allah Berkuasa memasukkan malam ke
377
dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam. Dia
berkuasa mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan
mengeluarkan yang mati dari yang hidup. Dia melimpahi rezeki
kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa menghitung-hitung.”
Sesudah itu ia membaca Surat al-Qashash ayat 68: “Allah
menciptakan apa yang Dia kehendaki. Sekali-kali tidak ada pilihan
bagi yang lain.”

Kini Misykat al-Marhum membaca Surat Yunus ayat 107: “Jika


Allah menimpakan marabahaya (mudharat) kepada makhluk-Nya
maka tidak ada yang dapat menghindarinya kecuali Dia sendiri.
Jika Allah menghendaki kebaikan bagi makhluk-Nya maka tidak
ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan kebaikan
kepada siapa yang dikehendaki-Nya.”

Abdul Jalil merasakan jantungnya berdentam-dentam dan sekujur


tubuhnya panas dingin. Ia menangkap sasmita bahwa apa yang
akan disampaikan Misykat al-Marhum adalah peristiwa
menggetarkan yang berkaitan dengan malapetaka luar biasa yang
bakal menimpa umat manusia.

Misykat al-Marhum terdiam sejenak. Para wali yang lain membaca


tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir mengagungkan kebesaran Allah.

Setelah itu, ia membacakan hadits-hadits yang berkaitan dengan


Dajjal, sang Penyesat umat manusia. Kemudian dengan isyarat, ia
378
memberi petunjuk agar para wali yang hadir dalam pertemuan
Jama’ah itu menjalankan tugas masing-masing untuk menjaga
keseimbangan kehidupan manusia. Dia juga mengisyaratkan
bahwa dunia akan segera dilanda kekuasaan jahat Dajjal dengan
pengaruh-pengaruhnya yang menyesatkan, bahkan di kalangan
kaum muslimin.

Sebuah pengalaman aneh yang menakjubkan tiba-tiba saja


dialami Abdul Jalil seiring dengan usahanya memahami apa yang
dikemukakan oleh Misykat al-Marhum. Ia merasakan betapa
jantungnya yang berdentam-dentam dan sekujur tubuhnya yang
panas dingin itu mendadak tenang. Sedetik kemudian, ia
mendapati betapa dirinya telah memahami sedemikian rupa
rincinya tentang apa yang dikemukakan Misykat al-Marhum.
Bahkan ia menangkap jelas perintah Misykat al-Marhum tentang
bagaimana ia harus menjalankan tugas dan fungsinya sebagai
penjaga keseimbangan kehidupan umat ditengah usaha-usaha
Dajjal beserta pengikut-pengikutnya mempengaruhi umat. Di
antara tugas dan fungsinya itu, ia harus membuat garis batas yang
tegas untuk memisahkan umat yang terpengaruh Dajjal dengan
umat yang tidak terpengaruh Dajjal.

Dalam memahami ungkapan tentang Dajjal, Abdul Jalil merasakan


betapa setiap kali Misykat al-Marhum menyitir hadits maka saat itu
pula ia bagaikan menyaksikan pemandangan nyata yang tergelar
melalui bashirah. Misalnya, saat Misykat al-Marhum menyitir hadits
yang mengungkapkan bahwa Dajjal digambarkan berkulit putih.
Mata kanannya buta. Mata kirinya bersinar laksana bintang (HR
379
Bukhari) maka terpampanglah di dalam pemandangan batinnya
sosok-sosok dari manusia-manusia berkulit putih, bermata biru,
berambut pirang, berhidung mancung, dan bertubuh tinggi besar.
Mata duniawinya (sebelah kiri) terbuka lebar dan sangat
cemerlang. Sedang mata ukhrawi-nya (sebelah kanan) buta.

Misykat al-Marhum menyitir hadits yang menyatakan bahwa Dajjal


memiliki gunung roti dan sungai madu. Dia juga membawa api dan
air di tangannya, namun air itu sebenarnya api, dan api itu
sebenarnya air (HR Bukhari). Melalui pandangan bashirah, Abdul
Jalil melihat tentang sosok-sosok yang memiliki kekayaan luar
biasa. Mereka suka sekali menipu orang lain dengan janji-janji
palsu tentang kehidupan duniawi dan ukhrawi. Siapa pun yang
menumpukan harapan kepada mereka akan mendapatkan
kesesatan dan kebinasaan. Sebaliknya, siapa yang berani
menantang akan beroleh kebaikan dan kemenangan.

Ketika Misykat al-Marhum menyitir hadits yang mengungkapkan


bahwa Dajjal jika berjalan di atas bumi sangat cepat bagai awan
dibawa angin (HR Abu Dawud), tiba-tiba pandangan bashirah
Abdul Jalil terpampang kapal-kapal layar berukuran raksasa yang
bergerak sangat cepat membelah samudera raya. Kemudian
diiringi dentuman meriam, kepulan asap, bau mesiu, mayat
bergelimpangan, dan darah berceceran dimana-mana,
berhamburanlah kawanan manusia berkulit putih dari dalam kapal-
kapal mereka. Demikianlah, kawanan manusia berkulit putih itu
melanda ujung-ujung dunia. Dengan kerakusan tiada tara mereka
memangsa apa saja yang ditemuinya di sepanjang perjalanan.
380
Berdasar hadits-hadits tersebut dan pandangan bashirah, Abdul
Jalil menangkap makna bahwa Dajjal sebagai kaum kulit putih
yang hidup mengikuti tatanan nilai yang terhijab dari al-Khaliq dan
dari kehidupan ukhrawi. Itu sangat sesuai dengan makna di balik
nama Dajjal yang berasal dari kata dajala: dia (yang) tertutup.
Dengan demikian, yang disebut Dajjal adalah bangsa-bangsa
berkulit putih yang seluruh sisi kehidupannya terhijab dar al-Khaliq.
Ini berarti, siapa yang mengikuti tatanan nilai bangsa-bangsa
berkulit putih maka ia akan terhijab dar al-Khaliq.

Abdul Jalil memahami bahwa tugas utama Dajjal dalam


menjalankan fungsinya sebagai sang Penyesat Agung adalah
membentuk “hijab-hijab” pada diri manusia, yakni melalui paham-
paham yang berkaitan dengan cinta keduniawian-materialisme
(hubb ad-dunya); mengagungkan akal (‘aql), yaitu simpul ikatan
(‘iql) yang menjerat pikiran manusia ke arah lingkaran setan aturan-
aturan indriawi yang jumud; mengumbar hawa nafsu; memuja
ananiyyah (egoisme, individualisme, hedonisme); takut mati;
mengingkari (kufr) keberadaan yang gaib, termasuk mengingkari
keberadaan Allah (ateisme).

Pandangan hidup bangsa-bangsa kulit putih yang mengikuti tata


nilai Dajjal itu semata-mata bersifat keduniaan. Lantaran itu,
mereka hidup dengan mengikuti naluri keserakahan hawa nafsu.
Namun, keserakahan itu akan mereka balut seolah-olah
merupakan tuntunan agama. Selain itu, bangsa-bangsa kulit putih
pengikut Dajjal memiliki sifat takabur seperti Iblis. Mereka juga
suka menghina, menista, serta merendahkan orang lain yang
381
berkulit lebih gelap. Bahkan karena ketakaburan itu mereka
menganggap dunia ini milik mereka. Lantaran itu, mereka merasa
berhak untuk mengusir dan membunuh bangsa-bangsa berkulit
gelap yang mereka anggap hewan-hewan rendah pengotor dunia.

Pandangan hidup yang semata-mata bersifat keduniaan dan


dilandasi sifat takabur itu telah membawa mereka pada tindak
kejahatan yang paling mengerikan dalam sejarah kemanusiaan,
yakni menjadikan agama sebagai alat untuk mensahkan keliaran
nafsu, keserakahan, kezaliman, kecurangan, kebiadaban,
kekejaman, kebuasan, dan kejahatan. Ini terjadi karena agama
yang benar bagi mereka adalah agama yang menguntungkan
kehidupan duniawi dan memberi kebebasan untuk mengumbar
nafsu. Itu sebabnya, agama mereka tidak mengenal syari’at yang
berisi aturan-aturan untuk menata kehidupan manusia sebagai
penghuni bumi. Tuhan yang mereka sembah pun adalah Tuhan
yang dapat menguntungkan kehidupan duniawi mereka, yakni
Tuhan yang menghapuskan hukum dan aturan-aturan yang
mengikat kebebasan manusia dalam melampiaskan hawa nafsu.

Manusia-manusia Dajjal itu ditandai oleh perilaku yang khas, yakni


sangat mempesona jika berbicara tentang kehidupan duniawi dan
mengedepankan kesaksian Allah tentang ketulusan hati mereka.
Sebenarnya, mereka justru menyembunyikan pamrih dari apa
yang mereka bicarakan. Saat orang-orang terpesona, mereka
akan melampiaskan pamrih duniawinya hingga terjadi peperangan,
penipuan, penindasan, penyiksaan, penjarahan, penistaan, dan
berbagai kerusakan di muka bumi (QS al-Baqarah: 204-205).
382
Dengan terungkapnya makna Dajjal dalam perbincangan para wali
karomah itu maka telah jelaslah bahwa kehadiran bangsa-bangsa
berkulit putih ke berbagai belahan bumi senantiasa akan ditandai
dengan kerusakan dan kebinasaan. Sebab, sifat dan
kecenderungan manusia-manusia yang “tertutup” dari kebenaran
(al-Haqq) maka seluruh gerak hidupnya semata-mata dibimbing
oleh nafsu-nafsunya yang rendah yang dikendalikan oleh bisikan
Iblis. Dan sebagaimana perilaku Iblis, mereka selalu berkata-kata
dengan ungkapan-ungkapan yang indah dan mempesona
(sebagaimana Iblis membujuk Adam dan Hawa). Mereka akan
berkata tentang tugas mereka sebagai utusan Tuhan yang
menyebarluaskan -Rahman (Kasih) dan Rahim (Sayang) kepada
umat manusia. Namun, berbeda dengan apa yang mereka
ucapkan, yang mereka perbuat justru kekejaman, kebuasan,
keserakahan, ketakaburan, kecurangan, dan kejahatan yang tak
pernah terbayangkan dalam pikiran waras manusia.

Sekalipun telah jelas bahwa Dajjal akan muncul dari bangsa-


bangsa berkulit putih, bermata biru, berambut pirang, berhidung
mancung, dan bertubuh tinggi besar, tidak seluruh bangsa itu bisa
disebut bangsa Dajjal. Sebab, hidayah Allah tidak mengenal warna
kulit. Di antara mereka ada juga yang tidak sepaham dan bahkan
menentang nilai-nilai Dajjal. Namun, karena jumlahnya tidak besar
maka mereka akan segera tersapu oleh pengaruh Dajjal, bagai
selembar daun kering tertiup angin.

Usai membahas tentang kehadiran Dajjal, para wali karomah


kemudian bubar begitu saja, kembali ke tempat tinggalnya masing-
383
masing dengan penuh ketenangan dan kegembiraan. Tidak ada
petunjuk ini dan itu. Mereka bahkan tidak sedikit pun menunjukkan
keprihatinan apalagi cemas menyandang tugas berat yang bakal
mereka jalankan.

Cahaya rembulan yang keperakan jatuh ke permukaan lembah,


gunung, dan kebun-kebun kurma di sekitarnya. Udara malam
sangat dingin. Di atas Jabal Uhud, Abdul Jalil bergeming duduk
bersila di tempatnya sambil memandang Ahmad at-Tawallud dan
Misykat al-Marhum berbincang-bincang. Suasana sangat sepi.
Senyap. Sunyi. Hening. Angin gurun yang biasanya menderu-deru
tak terdengar sedikit pun suaranya. Kehidupan bagai terhenti.

Dalam keheningan itu, ia mendengar detak jantung dan desah


napasnya serta sayup-sayup suara Ahmad at-Tawallud dan
Misykat al-Marhum. Ia tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Ia
hanya merasa betapa keresahan diam-diam merayap ke dalam
hatinya dan menjalar terus ke segenap jaringan tubuhnya. Makin
lama makin merajalela.

Berbeda dengan para wali karomah lain, Abdul Jalil yang baru
malam itu ditabalkan sebagai anggota Jama’ah Karamah al-
Auliya’, merasa resah karena belum mengetahui apa yang harus
dilakukannya untuk menghadapi Dajjal beserta bala tentaranya.
Keresahan itu rupanya diketahui oleh Misykat al-Marhum yang
masih berbincang-bincang dengan Ahmad at-Tawallud. Hal itu

384
terlihat ketika dengan lambaian tongkatnya, dia menyuruh Abdul
Jalil mendekat dan duduk dihadapannya.

Abdul Jalil menghambur dan buru-buru duduk bersila. Misykat al-


Marhum memerintahkannya untuk memejamkan mata dan
melakukan nafs al-haqq sebagaimana yang diajarkan hadhrat Abu
Bakar ash-Shiddiq. Tanpa bertanya ia melaksanakan perintah itu.

Ketika sedang berjalan setapak demi setapak mendaki nafs al-


haqq dengan memusatkan konsentrasi pada nur, ia merasakan
bagian bawah keningnya – tepat di antara kedua matanya –
disentuh oleh tangan Misykat al-Marhum. Berurutan dengan
sentuhan itu tiba-tiba ia menyaksikan cahaya yang luar biasa
terang memancar di hadapannya. Sedetik sesudahnya, kesadaran
dirinya terisap ke dalam cahaya itu. Kemudian bagai anak panah
yang dibidikkan ke matahari, demikianlah ia menyaksikan cahaya
di hadapannya itu mekin terang hingga seakan membutakan
matanya.

Abdul Jalil yang pernah mengalami berbagai peristiwa ruhani yang


menakjubkan selama perjalanan mencari-Nya, sadar benar
dengan apa yang dialaminya saat itu. Itu sebabnya, sedikit pun ia
tidak berani bertanya-tanya. Ia membiarkan peristiwa yang
membawanya ke dimensi lain itu berlangsung dan
menganggapnya sebagai bagian dari pengalaman ruhani yang
kebenarannya tidak perlu dijabarkan dengan akal dan pikiran. Dan
lantaran itu, ia tidak mengetahui secara pasti apakah ia seperti
385
kupu-kupu keluar dari kepompong atau sebaliknya justru seperti
ular masuk ke dalam liang.

Peristiwa ruhani itu akhirnya melemparkannya ke dimensi yang tak


pernah dikenalnya, yakni hamparan luas tanpa batas dengan
kilasan-kilasan aneka bentuk dan warna yang senantiasa berubah-
ubah yang tak terlukiskan keindahannya. Hamparan itu begitu luas
hingga tidak memiliki garis cakrawala. Seluruh yang tergelar
memenuhi segala penglihatan. Sementara cahaya yang luar biasa
terangnya itu secara menakjubkan terbit sebagai bulatan cahaya
dengan sinar gemilang memancar di kejauhan. Bulatan cahaya itu
seolah-olah menjadi tumpuan batas pandangan.

Di tengah hamparan luas tanpa batas itu ia tetap meneguhkan


ingatan kepada Allah. Ia mengesampingkan gelegak tanda tanya
yang sempat menyembul di benaknya. Beberapa jenak kemudian
ia mendengar suara-suara memanggil namanya. Suara-suara itu
bukan perempuan dan bukan laki-laki. Mereka semacam al-ima’.
Suara-suara itu menggetari kesadarannya.

“Ketahuilah, o Abdul Jalil, bahwa apa yang engkau saksikan ini


bukanlah sesuatu yang berada di luar dirimu. Sebab, saat ini
engkau tidak berada di mana-mana, melainkan di dalam dirimu
sendiri. Hamparan luas tanpa batas yang tergelar di hadapanmu
adalah batas khatrat antara dua alam yang terletak di dalam dirimu.
Di belakangmu adalah alam akal (‘aql) yang sempit, dangkal,

386
rendah, terbatas, dan terikat oleh dalil-dalil indriawi yang mengikat
(‘iql) kebebasanmu dalam menjalin hubungan dengan Dia.”

“Hamparan luas tanpa batas yang tergelar di hadapanmu adalah


bahr al-wujud yang menghamparkan kegelapan dan terang dalam
bentangan bathil dan haqq, zhulumat dan nur, padat dan halus,
buruk dan baik, duniawi dan ukhrawi. Di dalam hamparan bahr al-
wujud itu tersembunyi haqiqah, qandil, nur as-samawati wa al-
ardh, dan Nurun ‘ala Nurin (QS an-Nur: 35). Karena itu, o Abdul
Jalil, ceburkanlah dirimu ke dalam hamparan bahr al-wujud jika
engkau ingin mengetahui hakikat asal kejadianmu.”

Tanpa bertanya ini dan itu, ia terus membenamkan ingatannya


hanya kepada Allah sambil memusatkan pandangan ke arah
bulatan cahaya yang bersinar benderang. Beberapa detik
kemudian, ia merasakan kesadarannya bagai terisap oleh
kekuatan dahsyat yang memancar dari bulatan cahaya itu. Sesaat
kemudian, ia merasakan kesadarannya meluncur masuk ke lubang
cahaya tanpa dasar.

Ia membiarkan kesadarannya terseret masuk. Ia menyaksikan


kilasan terang dan gelap silih berganti memasuki penglihatannya.
Dan bagaikan orang terjatuh ke dalam jurang, ia merasakan
kengerian luar biasa menerkam kesadarannya. Ia ingin menjerit,
namun lidahnya kelu dan mulutnya seperti terkunci. Akhirnya, ia
pasrah dan membiarkan kesadarannya terempas; timbul dan

387
tenggelam di tengah kilasan-kilasan cahaya dalam keadaan antara
sadar dan tidak, antara hidup dan mati.

Ketika tengah terombang-ambing di dalam lubang cahaya tiba-tiba


ia mengalami peristiwa menakjubkan yang berlangsung sangat
mencengangkan. Ia merasakan kesadarannya digetari oleh medan
berkekuatan gaib yang sangat dahsyat, yang menyambarnya
begitu cepat bagai halilintar.

Ia terkesima. Ngeri dan gentar. Kilasan-kilasan terang dan gelap


silih berganti melenyap. Sesaat kemudian, ia mendapati dirinya
berada di hamparan serba hitam pekat. Seperti sebuah sumur.
Lubang cahaya terang benderang yang mengisapnya tadi telah
terlewati. Lubang itu juga lenyap. Namun, secara ajaib lubang
terang benderang itu mendadak terbit lagi di kejauhan dalam wujud
bulatan yang sangat hitam pekat. Makin dekat pandangan
diarahkan makin hitam pekat keadaannya. Sementara makin jauh
jarak pandangan dari bulatan hitam itu makin terang keadaannya.

Abdul Jalil merasakan betapa sesuatu yang padat menyesaki


kesadarannya. Jika digambarkan dalam panggung kehidupan
manusia sehari-hari akan terasa seperti sesak dada dijejali sesuatu
yang padat. Pandangan matanya kabur seperti ditutupi selaput.
Darahnya mengalir perlahan. Bahkan peluhnya pun menetes
kental.

388
Meski dengan pandangan kabur, ia paksakan juga mengamati
hamparan hitam yang tergelar di hadapannya. Saat itulah, secara
samar-samar ia menyaksikan kilasan-kilasan pemandangan yang
menggetarkan. Di tengah hamparan itu, dari lubang yang hitam
pekat, muncullah bayangan seekor ular raksasa berkepala empat
sedang menggeliat dan mendesis-desis kelaparan. Dari keempat
mulutnya menghamburlah berbagai hewan: buaya, biawak, katak,
kalajengking, kelabang, cacing, dan makhluk menjijikkan lainnya.
Mereka menebar dan meriap-riap mengerumuni sang ular raksasa
berkepala empat.

Meski dalam keremangan, ia melihat kilasan-kilasan berjuta-juta


manusia tanpa selembar pakaian berdiri berhadap-hadapan di
depan bayangan ular raksasa, seolah-olah bala tentara yang
hendak bertempur. Sebagian di antara mereka ada yang
menunggang kuda, gajah, dan mengendarai kereta perang. Ada
pula yang menumpang kapal, perahu, dan kereta manjanik (alat
pelontar batu). Masing-masing memegang senjata berbagai jenis,
seperti pedang, panah, tombak, senapan, dan meriam.

Dua barisan manusia yang tak terhitung jumlahnya itu diantarai


oleh tumpukan harta dan bukit makanan. Aneka permata
berserakan di antara piala, piring, sendok, mahkota, takhta gading,
dan berbagai perhiasan yang tak ternilai harganya. Sementara
bukit makanan aneka jenis dengan berbagai minuman bertimbun-
timbun seolah-olah tidak akan pernah ada habisnya. Mata manusia
yang mengapit pada kedua sisinya berkilau-kilau memancarkan
nafsu. Air liur mereka menetes membasahi dagu dan dada.
389
Menyaksikan pemandangan itu, Abdul Jalil merasa tegang.
Sedetik sesudah itu, dengan diiringi sorak-sorai menggemuruh
bagai bukit batu runtuh, berjuta-juta orang itu berhamburan ke
depan; berebut harta dan makanan. Dalam sekejap, bukit harta
dan makanan telah berubah menjadi bukit manusia. Sambil
tertawa terbahak-bahak orang-orang meraup dan menggenggam
apa-apa yang dapat mereka raih. Namun, karena jumlah mereka
sangat banyak maka berdesak-desaklah mereka hingga satu
dengan yang lainnya saling sikut dan tendang.

Andaikata orang-orang yang berada di atas bukit itu masing-


masing bersedia mengambil harta dan makanan secukupnya,
tentu tidak akan terjadi kericuhan. Namun, yang terjadi adalah
mereka yang sudah berada di atas bukit menghalau kawan-
kawannya yang coba mendaki. Mereka membentuk garis lingkaran
untuk menandai daerah harta dan makanan yang sudah mereka
kuasai, dan menjadikan area di dalam batas itu sebagai milik
pribadi.

Keributan pun pecah. Orang-orang yang merasa dihalau terus


menyerbu, sedang orang-orang yang berada di belakangnya
mendesak ke depan karena takut tidak kebagian. Akhirnya, terjadi
saling dorong yang bermuara ke keadaan saling mengumpat,
saling memukul, saling menendang, saling menyerang, saling
melukai, dan saling membunuh. Jerit kesakitan dan pekik kematian
mulai mengumandang bersahut-sahutan. Darah mulai tumpah.
Mayat mulai bergelimpangan.

390
Seiring dengan semakin sengitnya perkelahian terdengarlah
ringkik kuda dan jeritan gajah yang diikuti oleh gerakan
bergelombang para penunggangnya ke arah bukit harta dan
makanan. Roda kereta perang melaju ke arah bukit. Bahkan kereta
manjanik mulai menghamburkan batu sebesar kepala kerbau.

Gemuruh peperangan meledak dengan dahsyat bagai air bah


membobol tanggul. Kapal-kapal dan perahu-perahu yang semula
diam ikut melibatkan diri dalam pertempuran. Gegap-gempita
pertempuran pun tak dapat lagi dilukiskan. Abdul Jalil hanya bisa
menyaksikan betapa orang-orang yang haus harta dan makanan
itu dengan kebuasan, kebrutalan, kecurangan, kekejaman,
kebengisan, keserakahan, dan kebiadaban tiada tara, menyerang
siapa saja yang menghalangi hasratnya. Darah tumpah, mengalir
bagai air bah. Mayat bergelimpangan dan bertumpuk-tumpuk
membentuk bukit. Jerit kesakitan dan pekik kematian bersahut-
sahutan. Kekacauan merebak. Tidak jelas lagi siapa lawan dan
siapa kawan.
Bagaikan hewan buas kelaparan, orang-orang berubah beringas
saling memangsa. Makin besar meraksasa tubuh seseorang maka
dapat dipastikan dialah yang paling banyak memangsa lawan.
Bahkan bagai belum cukup dengan memangsa lawan, mereka
mulai menelan kuda, gajah, kereta perang, manjanik, kapal, dan
perahu.
Ketika orang yang tersisa di atas bukit tinggal sekitar seratus
pemenang bertubuh sangat besar bagai raksasa, terjadilah puncak
keserakahan dan kerakusan. Bagaikan menyaksikan makanan
lezat, para pemenang yang telah berubah menjadi raksasa itu
391
bergerak ke satu arah, yakni mengincar bulatan hitam pekat di
tengah hamparan dimensi gelap. Namun, harapan mereka
berbeda dengan kenyataan. Bukan kenikmatan dan kelezatan
yang mereka peroleh, melainkan kebinasaan yang mengerikan.
Sebab, saat mereka mendekati bulatan hitam tiba-tiba ular raksasa
bergerak menjulurkan keempat kepalanya ke depan secara
bergantian.

Hap!

Sesosok tubuh raksasa sang pemenang yang paling rakus


seketika masuk sebagian ke dalam mulut sang ular. Kemudian
dengan kebuasan tiada tara, ketiga kepala ular secara bergantian
mencabik-cabik tubuhnya. Darah muncrat ke segala arah.
Serpihan daging memburat ke mana-mana. Dan perut sang
pemenang yang sebesar gunung itu pun bedah. Isinya terburai
menebarkan bau busuk.

Bersamaan dengan memburatnya tubuh sang pemenang ke


berbagai arah, menghamburlah hewan-hewan melata yang
mengerumuni ular raksasa, menyantap tanpa sisa serpihan-
serpihan daging dan isi perut sang pemenang dengan kerakusan
tak terbayangkan.

Pemandangan mengerikan itu rupanya tidak dipedulikan oleh


pemenang lain. Mereka tetap beramai-ramai dan berdesak-
392
desakan menuju bulatan hitam pekat yang terpampang di
depannya. Seolah-olah dengan sengaja menyetorkan nyawanya
ke mulut ular raksasa beserta hewan-hewan melata yang bagai tak
kenal kenyang itu.

Kilasan-kilasan pemandangan menggetarkan yang disaksikan


Abdul Jalil itu adalah samudera hitam ruhaniah yang merupakan
hakikat jasad manusiawinya yang terbentuk dari bahan dasar
lempung (thin). Dimensi inilah yang disebut al-misykat (lubang
dinding yang tak tertembus cahaya). Gelap. Pekat. Hitam. Dan
lantaran itu disebut juga dengan nama durrah al-aswad (mutiara
hitam). Ini adalah gambaran ruhaniah dari wujud niscaya al-basyar,
yakni jasad manusia yang terbentuk dari bahan lempung (thin),
lempung pekat (ath-thin al-lazib), saripati lempung (sulalah), dan
tanah gemuk (turab). Dari dimensi ini memancarlah sifat-sifat
rendah an-nafs al-hayawaniyyah yang merupakan naluri dasar
jasad manusia yang cenderung pada kebendaan. Itu sebabnya,
dimensi hitam dari an-nafs al-hayawaniyyah ini disifati dengan sifat
zhulmun (gelap dan sangat materialistik). Dari dimensi hitam ini
terpancarlah sifat-sifat zhulmun, seperti bahimiyyah (naluri
hewani), kesyahwatan, kufur, bakhil, tamak, zalim, dan huub ad-
dunya.

An-nafs al-hayawaniyyah, dengan sifat zhulmun yang berdimensi


hitam pekat, ini merupakan kesadaran ‘aku’ manusia yang paling
rendah, yakni ‘aku’ manusia yang cenderung tertarik pada benda-
benda dan bernafsu menguasai benda-benda tersebut. Kesadaran
‘aku’ ini setara kerendahannya dengan nafsu hewan melata yang
393
paling rakus, tamak, dan serakah, hingga bangkai membusuk pun
akan dimangsa. Kesyahwatan pun adalah kesyahwatan hewani
yang mengarah pada naluri pengembangbiakan. Namun, akal
(‘aql) manusia yang sudah dikuasai oleh an-nafs al-hayawaniyyah
dengan sifat zhulmun ini akibatnya akan jauh lebih merusak dan
lebih membinasakan dibanding nafsu rendah hewan melata yang
tidak berakal budi.

Manusia-manusia yang tidak mampu melepaskan diri dari an-nafs


al-hayawaniyyah ditandai oleh kecenderungan untuk ingkar
terhadap nikmat Allah (QS Ibrahim: 34), mendewakan materi
(taghut) (QS al-Baqarah: 6-7), jika terkena musibah mudah putus
asa (QS Hud: 9), dan mendustakan ayat-ayat Allah (QS al-Ma’idah:
86). Dengan tanda-tanda dari perilaku seperti itu maka manusia
yang terperangkap ke dalam an-nafs al-hayawaniyyah akan jatuh
ke tingkat makhluk yang paling rendah, yakni asfala safilin (QS at-
Tin: 5) yang terus-menerus kufur dan zalim sehingga mereka jatuh
ke jurang jahanam (QS an-Nisa’: 168-169).

Saat termangu takjub di tengah-tengah hamparan durrah al-aswad


tiba-tiba ia disadarkan oleh al-ima’ yang berasal dari relung-relung
kesadarannya yang mengungkapkan hakikat terahasia dari apa
yang disaksikannya itu.

“Ketahuilah, o Abdul Jalil, bahwa saat ini engkau tidak berada di


mana-mana kecuali di dalam dirimu sendiri. Engkau berada di
dalam an-nafs al-hayawaniyyah yang berjasad al-basyar dengan
394
selubung durrah al-aswad yang dilapisi selimut al-misyikat yang
ada di dalam dirimu sendiri. Karena itu, o Abdul Jalil, sadarlah
bahwa sesungguhnya engkau pun tak berbeda dengan manusia
lain, yakni memiliki bakat menjadi manusia paling serakah, rakus,
tamak, loba, kufur, bakhil, jahil, zalim, dan cinta duniawi. Karena,
sesungguhnya kilasan-kilasan yang engkau saksikan itu tidak di
mana-mana tetapi di dalam dirimu sendiri.”

Setelah ungkapan rahasia al-ima’ selesai, ia melihat bulatan hitam


pekat itu bergetar. Kemudian, dengan kecepatan menakjubkan
bulatan hitam itu melesat ke arahnya, diikuti oleh ular raksasa
berkepala empat. Ia terkesiap kaget. Ketegangan menerkam
kesadarannya.

Sedetik kemudian, kesadarannya terisap oleh arus gaib yang


menyeretnya ke arah salah satu mulut ular raksasa. Ia terkesima.
Kengerian menerkam. Namun, ia memasrahkan hidup dan matinya
hanya kepada Allah. Kilasan-kilasan tirai demi tirai yang
disingkapkan ganti-berganti memasuki penglihatannya. Beberapa
detik kemudian, ia terseret masuk ke dalam mulut ular raksasa.
Anehnya, di dalam mulut ular itu terdapat bulatan hitam pekat.
Beberapa jenak kemudian kembali ia rasakan tubuhnya melesat
cepat ke arah bulatan hitam pekat. Beberapa kilasan tirai kembali
tersibak dan ia telah masuk ke dalamnya.

Ia tercengang takjub sebab di dalam bulatan hitam pekat yang ia


saksikan bukanlah kegelapan, melainkan hamparan samudera
395
luas tanpa batas cakrawala yang seluruhnya berwarna kuning.
Bulatan hitam pekat itu lenyap dan secara ajaib terbit kembali
dalam wujud bulatan cahaya terang menyinari seluruh penjuru.

Di sana ia menyaksikan pemandangan menggetarkan


perasaannya, yakni seekor anjing raksasa berbulu kuning
keemasan berkepala empat muncul dari bulatan cahaya berwarna
kuning. Masing-masing kepala anjing raksasa itu meraung-raung,
melolong-lolong, dan mendengus-dengus sambil menjulurkan
lidah. Anjing raksasa itu kelihatan sangat lapar. Lidahnya terjulur.
Air liurnya menetes. Matanya nyalang.

Beberapa jenak setelah anjing raksasa muncul, menghamburlah


kawanan hewan buas, seperti serigala, singa, harimau, dubug,
kucing hitam, dan burung nazar dari keempat mulutnya. Dengan
suara meraung-raung dan menggeram-geram, mereka
mengerumuni anjing raksasa seolah-olah dia adalah induk meraka.

Bagaikan mimpi buruk yang menjijikkan, tiba-tiba di depan anjing


raksasa terpampanglah kilasan-kilasan pemandangan yang
menggambarkan berjuta-juta manusia tanpa pakaian. Tubuh
mereka hanya ditutupi oleh perhiasan emas dan perak dengan
permata manikam sehingga auratnya terbuka. Sebagian memakai
topeng, sebagian tidak. Sebagian menunggang kuda, sebagian
menggiring kawanan ternak, dan sebagian lagi duduk di atas
tumpukan bukit gandum. Mereka terlihat bersukacita meminum
anggur dan khamr.
396
Dalam keadaan mabuk sambil tertawa riang, mereka saling
mencari pasangan. Kemudian dengan berbagai bentuk dan posisi,
mereka melakukan persetubuhan baik antara laki-laki dan
perempuan, laki-laki dan laki-laki, perempuan dan perempuan,
bahkan manusia dan hewan. Abdul Jalil kebingungan. Ia ingin
memalingkan muka, namun tak mampu melakukannya. Ia tidak
mampu berpaling dari pemandangan menjijikkan karena ia tidak
lagi memiliki tubuh. Ia hanya merasakan betapa menyakitkannya
suatu siksaan dialami tanpa tubuh fisik, karena setiap lintasan rasa
yang menerkam kesadarannya menjadi begitu leluasa menembus
ke ujung-ujung jiwanya, yang tak diketahui batasnya.

Berurutan dengan kilasan-kilasan gambaran yang


membingungkan itu, pemandangan menggetarkan kembali
tergelar nyata di hadapan Abdul Jalil. Anjing raksasa berbulu
keemasan berkepala empat dengan buas dan ganas tiada tara
memangsa sebagian orang telanjang bertopeng yang sedang
berpesta pora melakukan hubungan badan. Darah muncrat di
mana-mana. Tubuh-tubuh robek berserpihan. Daging
berhamburan. Jerit kematian mengumandang bersahut-sahutan.

Kawanan hewan buas yang mengerumuni anjing raksasa pun ikut


menghambur ke arah orang-orang bertopeng dan memangsa
mereka. Anehnya, bagaikan tidak melihat peristiwa mengerikan itu,
orang-orang bertopeng yang lain tetap melakukan pesta pora dan
persetubuhan, meski kematian sudah mengepung mereka.
Sementara orang-orang telanjang yang tanpa topeng tampaknya
mengetahui peristiwa mengerikan itu. Itu sebabnya, mereka
397
menangis meraung dan melolong-lolong sambil bersujud memuji
kebesaran Ilahi dengan mengumandangkan istighfar.

Kilasan-kilasan pemandangan menggetarkan yang disaksikan


Abdul Jalil adalah samudera kuning yang merupakan hakikat az-
zujajah. Itulah gambaran ruhaniah dari wujud niscaya al-
mudhghah, yakni jasad manusia yang terbentuk dari bahan dasar
lumpur (shalshal), cairan (nuthfah), cairan pekat (maniy), dan air
(ma’). Karena warnanya kuning maka dimensi ini disebut durrah al-
ashfar (mutiara kuning) yang merupakan manifestasi dari an-nafs
al-musawwilah dengan sifat jahiliah, yakni nafsu manusia yang
membangkitkan khayalan menyesatkan dan menipu. An-nafs al-
musawwilah ini memancarkan gambaran-gambaran khayali yang
menipu dan membawa manusia pada hasrat kesyahwatan,
kecintaan terhadap harta benda, mabuk kekayaan duniawi (QS Ali
‘Imran: 14), kesyahwatan yang menyimpang (QS an-Naml: 54-55),
sifat kejam (QS Yusuf: 89), tidak peka terhadap derita orang miskin
(QS al-Baqarah: 273), serta cenderung berpikir dan berhasrat pada
kebendaan sehingga mengingkari yang gaib (QS Hud: 29).

Pada an-nafs al-musawwilah dengan sifat jahiliah ini, kesadaran


‘aku’ manusia sudah lebih tinggi dari kesadaran ‘aku’ pada an-nafs
al-hayawaniyyah. Namun, pada tingkat kesadaran ini, sang ‘aku’
masih belum bisa lepas dari berbagai kecenderungan tercela
hewan buas (syuba’iyyah). Pada dimensi ini terpancar hasrat-
hasrat khayali yang mengumbar keliaran nafsu perut, nafsu
syahwat, dan nafsu liar manusia yang apabila tidak dikendalikan
akan mengakibatkan kehancuran dan kebinasaan.
398
An-nafs al-musawwilah bersifat seperti anjing yang manja, patuh,
dan setia, namun masih menyukai najis dan cenderung
mengumbar kebuasan dan keliaran. Dari dimensi nafs ini
memancar sifat syuba’iyyah, suka mengkhayal, syahwat liar, jahil,
kejam, fusuq, nifaq, tha’at, dan setia. Manusia yang perilakunya
dikuasai an-nafs al-musawwilah dicirikan dengan sifat-sifat khayali
yang membawa orang pada perbuatan suka berdusta, suka
bersumpah palsu, menghalangi orang lain menempuh kebenaran,
berpaling dari kebenaran, meremehkan kekuasaan Tuhan (QS al-
Munafiqun: 1-5), berbuat mungkar dan mencegah perbuatan
makruf (QS at-Taubah: 67), menyombongkan diri dan hidup
berfoya-foya (QS al-Ahqaf: 20), suka memakan makanan haram
dan percaya ramalan dukun (QS al-Ma’idah: 3).

Tak berbeda dengan pengalaman di dimensi hitam durrah al-


aswad, pada dimensi kuning ini Abdul Jalil disadarkan oleh al-ima’
bahwa apa yang disaksikannya tiada lain berada di dalam dirinya
sendiri. Ia sebenarnya sama dengan manusia yang lain, yakni
memendam bakat untuk menjadi orang jahil dan fasik. Di sinilah
sumber fitnah, perzinahan, fahisyah, kekejian, kekejaman,
kebuasan, janji palsu, saksi palsu, suka pamer, persaingan, dan
perbuatan-perbuatan rendah yang melebihi hewan buas. Bahkan
akal (‘aql) manusia, yang dikuasai oleh an-nafs al-musawwilah ini
jika diumbar jauh lebih merusak dan membinasakan dibanding
nafsu rendah hewan buas. Karena, dengan ‘aql manusia dapat
melakukan apa pun sesuai kekuatan daya pikirnya.

399
Bulatan cahaya kuning terang yang memancar di atas hamparan
samudera kuning mendadak bergerak cepat ke arah Abdul Jalil.
Seiring dengannya, bergerak pula anjing raksasa dengan mulut
menganga. Abdul Jalil merasakan tubuhnya terisap oleh arus gaib
yang makin lama makin cepat. Dan ia pun tercekat ketika
mendapati dirinya masuk ke dalam mulut anjing raksasa, lalu terus
tembus ke bulatan cahaya kuning.

Bagaikan mengalami mimpi menakjubkan ia menyaksikan kilasan-


kilasan bentuk dan warna di dalam mulut anjing raksasa. Namun,
dalam tempo beberapa detik kilasan-kilasan bentuk dan warna itu
lenyap. Dan ia mendapati dirinya berada di hamparan samudera
berwarna merah yang luas tanpa batas. Bulatan cahaya kuning itu
pun melenyap, namun terbit lagi dalam wujud bulatan cahaya
terang berwarna merah.

Sebagaimana yang telah ia saksikan di dimensi hitam dan kuning,


pada dimensi merah ini ia melihat kilasan bayangan seekor kera
raksasa berbulu merah menyala, dengan empat kepala dan
delapan tangan, muncul dari bulatan cahaya berwarna merah.
Dengan suara keras yang menggetarkan segenap penjuru, seolah-
olah diterkam kelaparan hebat, kera raksasa itu menepuk-nepuk
dadanya dan melompat-lompat sambil menyeringai. Gigi-geligi dan
taringnya sangat besar, tajam, serta berkilat-kilat.

Seiring dengan gerakan dan raungan kera raksasa,


menghamburlah kawanan kera berbulu merah menyala dengan
400
suara menjerit-jerit kelaparan dari keempat mulutnya. Kawanan
kera yang tak terhitung jumlahnya itu kemudian beramai-ramai
mengerumuni kera raksasa berkepala empat seolah-olah dia
adalah induk mereka.

Tak lama kemudian, Abdul Jalil menyaksikan kilasan bayangan


berjuta-juta orang yang berdesak-desakan di sepanjang hamparan
samudera. Sebagian dari mereka berwajah mirip kera, sedangkan
sebagian lagi berwajah mirip anjing. Mereka tergambar dalam
wujud menyeringai, berteriak, menjerit, marah, dendam, bahkan
kalap. Kemudian bagaikan bala tentara sedang bertempur,
demikianlah jutaan orang yang sedang diterkam amarah dan
dendam kesumat itu saling bunuh, saling siksa, saling aniaya, dan
saling menyakiti.

Darah tumpah dan berceceran di mana-mana. Mayat-mayat


bergelimpangan. Jerit kematian mengumandang sahut-menyahut.
Pekik kesakitan sambung-menyambung. Sementara derai tawa
kemenangan menggema di angkasa bagai ledakan halilintar. Dan
orang-orang yang merasa menjadi pemenang, setelah berhasil
membunuh lawan-lawannya, menepuk-nepuk dada sambil tertawa
terbahak-bahak. Namun, baru beberapa jenak para pemenang
melampiaskan kegembiraan, tiba-tiba salah satu mayat yang
mereka bunuh bangkit sambil menggenggam pisau. Dengan
gerakan menakjubkan mayat itu menikamkan pisaunya ke
punggung mereka. Raungan panjang terdengar membelah
angkasa. Darah muncrat. Sesaat kemudian, mereka pun ambruk
ke bawah. Meregang nyawa.
401
Kilasan-kilasan bayangan dari orang-orang yang dirasuk dendam,
amarah, kesombongan, kecemburuan, dan kepenasaran itu
berlangsung sangat mengerikan. Perilaku saling bunuh, siksa,
aniaya, menyakiti yang mereka lakukan itu tidak pernah berhenti.
Terus berputar bagai roda. Mayat-mayat yang bergelimpangan pun
bisa bangkit untuk membunuh orang yang membunuhnya. Bahkan
sesama mayat itu pun terlibat saling bunuh, saling siksa, saling
aniaya, dan saling menyakiti.

Ketika para pemenang dari pertarungan mengerikan itu mulai


berbaris bergerak ke arah cahaya merah yang menyala di tengah
hamparan luas tanpa batas, kedelapan tangan kera raksasa
berbulu merah dengan sigap menangkapi mereka. Kemudian
dengan kekuatan dahsyat kera raksasa yang kelaparan itu
membanting tubuh mereka hingga remuk tak berbentuk.

Darah kembali muncrat ke mana-mana. Serpihan daging


memburat ke berbagai penjuru. Dan sesaat sesudah itu, dengan
kelahapan dan kerakusan hewan lapar, kera raksasa berbulu
merah menyala menyantap daging para pemenang yang sudah
luluh lantak. Keempat mulutnya yang mengang bagai gua
bergantian menggigit, mengunyah, memamah, dan menelan
daging para pemenang, seolah tak pernah kenyang. Demi
menyaksikan kera raksasa menyantap mangsanya, kawanan kera
berbulu merah menyala yang mengerumuninya pun menghambur
ke depan. Dengan jeritan-jeritan garang, mereka menyerbu para
pemenang. Mengeroyok. Mencakar. Menggigit. Dan memangsa.

402
Anehnya, bagai antri menunggu giliran dijadikan mangsa, para
pemenang terus berbaris dan berdesak-desakan menuju ke arah
bulatan cahaya. Dan kera raksasa yang berada di depan cahaya
berwarna merah itu tinggal menerkam, membanting, dan
memasukkan tubuh mereka ke mulutnya.

Kilasan-kilasan pemandangan menggetarkan di dimensi yang


serba merah itu adalah manifestasi dari durrah al-ahmar (mutiara
merah). Ini merupakan gambaran ruhaniah dari wujud niscaya
fawa’id yang merupakan anasir api dari keberadaan jiwa manusia,
yakni pengejawantahan dari an-nafs al-ammarrah (QS Yusuf: 53)
yang cenderung mengarah pada kejahatan, namun juga mengarah
pada rahmat Ilahi. Ini adalah sifat-sifat setani (syaithaniyyah)
sekaligus sifat-sifat manusiawi (nafsaniyyah) yang mencitrai
keberadaan manusia. Dari an-nafs al-ammarrah ini memancar
sifat-sifat yang saling bertentangan, yaitu sifat takabur, ‘ujub, riya,
kibr, kidzib, ghibah, namimah, mukhtal, hasad, haqad, ghadab, iri,
dengki, dendam kesumat; dan sifat wara’, khauf, raja’, istiqamah,
dan ghirah.

Dengan adanya pertentangan sifat-sifat an-nafs al-ammarrah ini


maka pengendalian sekaligus pengarahan diri sangat menentukan
bagi mereka yang ingin beroleh jalan lurus ke arah-Nya. Sebab,
jika an-nafs al-ammarrah yang bersifat setani lepas kendali maka
akan menimbulkan kesesatan dan kebinasaan sebagaimana setan
menyeret manusia. Namun, jika dikendalikan dan diarahkan ke
sifat takwa maka an-nafs al-ammarrah akan menuju kepada
Tauhid yang berujung pada limpahan rahmat Ilahi. Sifat dari an-
403
nafs al-ammarrah inilah yang membawa manusia gampang
terpengaruh bisikan Iblis, namun sekaligus bisa membawa ke jalan
yang teguh di dalam Tauhid.

Kesadaran ‘aku’ pada an-nafs al-ammarrah ini lebih tinggi


derajatnya dibanding kesadaran ‘aku’ pada an-nafs al-
hayawaniyyah atau pada an-nafs al-musawwilah. Namun, justru di
dimensi inilah keberadaan manusia ditentukan: apakah ia akan
jatuh ke dimensi yang rendah, yakni ke keburukan Iblis yang
terlaknat; atau ke pintu Tauhid yang membawa limpahan rahmat
Ilahi. Dimensi durrah al-ahmar atau an-nafs al-ammarrah ini adalah
tahap awal dari anak tangga pertama pengetahuan ruhaniah yang
wajib dilampaui oleh mereka yang berjuang menuju jalan Allah.

Pada dimensi ini pun Abdul Jalil disadarkan melalui al-ima’ bahwa
apa yang disaksikannya itu bukanlah di luar dirinya, melainkan ada
di dalam diri sendiri. Karena itu, secara manusiawi ia pun memiliki
bakat untuk melakukan apa yang dilakukan oleh orang-orang yang
disaksikannya di dimensi ini, yakni orang-orang yang terpengaruh
an-nafs al-ammarrah dan bisikan jahat iblis.

Pancaran bulatan cahaya merah menyala itu tiba-tiba bergetar dan


cahayanya berpendar-pendar menyilaukan. Sedetik sesudahnya,
bulatan itu melesat dengan kecepatan luar biasa ke arah Abdul
Jalil, diikuti kera raksasa. Ia tercekat galagapan. Kesadarannya
terisap ke arus gaib yang sangat kuat yang menyeretnya ke arah
mulut kera raksasa. Ia memekik ngeri, namun tak sedikitpun suara
404
keluar dari mulutnya. Menyadari itu, buru-buru ia menacapkan
konsentrasi hanya kepada Allah.

Selama beberapa detik ia merasakan tubuhnya terseret arus gaib


yang kuat. Gelap dan terang silih berganti memasuki
kesadarannya. Anehnya, ia mendapati dirinya tidak berada di
dalam perut kera raksasa, tetapi terus menembus ke arah bulatan
cahaya merah. Ia terkesima takjub. Dan mendadak ia sudah
berada di hamparan samudera tanpa batas yang berwarna hijau
terang. Bulatan cahaya merah menyala berganti menjadi hijau
terang.

Berbeda dengan keadaan di dimensi hitam, kuning, dan merah


yang telah dilampauinya, di dimensi serba hijau terang ini Abdul
Jalil merasakan kesedihan dan kegembiraan silih berganti
menguasai kesadarannya.

Beberapa detik merasakan kilasan kesedihan dan kegembiraan


datang dan pergi, ia ganti menyaksikan kilasan bayangan raksasa
berkulit hijau dengan wajah menunduk sedih muncul dari bulatan
cahaya yang menerangi dimensi itu. Begitu muncul, raksasa
berkulit hijau itu langsung rukuk. Meski kejadian itu berlangsung
sangat cepat, Abdul Jalil sempat melihat betapa wajah raksasa
hijau itu mirip dengan wajahnya. Bedanya, sang raksasa
mempunyai taring sebesar buah randu.

405
Tiba-tiba sang raksasa memperdengarkan suara seperti orang
menguap. Dan sedetik sesudah itu dari mulutnya menghambur
berpuluh, beratus, bahkan beribu makhluk sekecil ibu jari kaki
berkulit hijau. Bagai rayap mengerumuni ratunya, demikianlah
makhluk-makhluk itu mengerumuni raksasa hijau yang masih
rukuk.

Dengan terheran-heran, Abdul Jalil menyaksikan betapa sang


raksasa sambil tetap rukuk terus meratap-ratap dengan air mata
bercucuran. Ratapannya diikuti oleh makhluk-makhluk kecil di
sekitarnya. Suara gaduh dan hingar-bingar terdengar memenuhi
segenap penjuru. Rupanya, selama berpuluh-puluh tahun sang
raksasa melakukan rukuk dalam keadaan puasa. Hasratnya hanya
satu, yakni ingin menjadi seorang manusia paripurna (insanal-
kamil). Dia sangat sadar dengan ketidaksempurnaan dirinya yang
jauh dari sifat-sifat manusia paripurna.

Sang raksasa acap kali terlihat bingung karena pada saat berbuka
puasa dan tidak rukuk ia mendapati dirinya terseret masuk ke
dimensi an-nafs al-ammarrah dan an-nafs al-musawwilah. Namun,
secepat itu pula ia segera sadar dan memaki-maki dirinya sendiri.
Sang raksasa tidak segan-segan mencela perbuatannya yang
tidak terpuji. Ia selalu menyesali kesalahannya. Namun, bagaikan
seorang pelupa, ia cenderung mengulang-ulang perbuatan serupa.
Dan bagai berputar-putar di labirin yang membingungkan, dia
terus-menerus terombang-ambing antara rasa sedih yang mengalir
dari penyesalan diri dan rasa gembira yang mengalir dari

406
kesadaran terhadap luasnya rahmat Allah, Sang Penguasa
samudera tobat.

Kilasan-kilasan pemandangan di dimensi serba hijau itu adalah


manifestasi dari durrah al-khadhr (mutiara hijau). Dimensi ini
merupakan gambaran ruhaniah dari wujud niscaya ar-ruh yang
merupakan anasir asap dari keberadaan jiwa manusia, yakni
pengejawantahan an-nafs al-lawwammah (QS al-Qiyamah: 2),
yaitu nafsu yang mencela dan menyesali diri. Dari dimensi an-nafs
al-lawwammah inilah lahir kesadaran manusia tentang keberadaan
dirinya yang belum sempurna yang masih memiliki sifat-sifat
hewan (bahimiyyah), kebuasan (syuba’iyyah), setani
(syaithaniyyah), dan keilahian (rububiyyah) yang melahirkan sifat-
sifat yang bertentangan, yakni rakus, kufur, fasik, syahwat, pikiran
jahat, dusta, marah, zalim, iri hati, benci, dendam, takabur; dan
juga rasa sesal, taubah, tawadhu’, Dzauq, dan khauf.

Kesadaran ‘aku’ pada an-nafs al-lawwammah ini jauh lebih tinggi


derajatnya dibanding kesadaran ‘aku’ pada an-nafs al-
hayawaniyyah, an-nafs al-musawwilah, dan an-nafs al-ammarrah.
Sebab, ‘aku’ pada an-nafs al-lawwammah sangat sadar diri
dengan berbagai kekurangannya sebagai hamba (‘abid) yang tidak
sempurna. Itu sebabnya, an-nafs al-lawwammah ini cenderung
membawa manusia kepada jalan Allah melalui muhasabah,
taubah, kaba’ir, mujahadah, dan takhal li. An-nafs al-lawwammah
adalah anak tangga kedua dari tangga pengetahuan ruhaniah
untuk menuju Allah.

407
Pada dimensi durrah al-khadhr yang serba hijau itu Abdul Jalil
disadarkan oleh al-ima’ bahwa ia pun sebagaimana manusia lain
memiliki bakat untuk menjadi raksasa hijau yang rindu dengan
kesempurnaan diri, namun selalu terperangkap ke dalam tindakan
tercela yang tak layak dilakukan manusia paripurna.

Kembali bulatan cahaya berwarna hijau terang yang menyinari


dimensi an-nafs al-lawwammah mendadak bergetar. Sedetik
kemudian, bulatan itu melesat cepat ke arah Abdul Jalil. Sesudah
itu, raksasa yang sedang rukuk mendadak bangkit dan melompat
ke arahnya dengan mulut terngaga siap menerkam. Ia
terperangah. Rasa ngeri menerkamnya.

Pada saat kengerian mencapai puncaknya, ia merasakan


kesadarannya terseret arus gaib yang berkumpar-kumpar.
Kemudian ia terlempar ke mulut raksasa. Gelap dan terang silih
berganti memasuki kesadarannya. Suara-suara meraung
terdengar memenuhi segenap pendengarannya.

Sesaat setelah itu, ia mendapati dirinya berada di hamparan


samudera luas tanpa batas cakrawala yang seluruhnya berwarna
biru terang. Bulatan cahaya hijau pun berganti memancarkan biru
kemilau. Di dimensi serba biru ini, ia merasakan kegembiraan
menguasai samudera perasaannya.

408
Beberapa jenak kemudia muncul raksasa berkulit biru terang dari
arah bulatan cahaya. Tak berbeda dengan raksasa berkulit hijau,
raksasa berkulit biru ini berwajah mirip dengan dirinya. Hanya saja,
taringnya tidak sebesar taring raksasa hijau.

Raksasa berkulit biru terang memiliki hasrat yang sama dengan


raksasa hijau, yakni ingin menjadi manusia paripurna. Itu
sebabnya, dia terlihat sibuk melakukan berbagai amaliah ibadah
fardhu maupun sunnah. Bibirnya tak henti-henti berdzikir menyebut
Asma Allah. Tangannya bergerak memutar biji tasbih. Namun,
pada saat-saat tertentu dia kelihatan termangu-mangu
merenungkan lintasan khayalan tentang kehidupan duniawi yang
menyenangkan.

Raksasa biru itu meski terlihat beribadah, pikirannya tidak


seutuhnya mengarah kepada Allah. Lintasan-lintasan bayangan
bersifat keduniaan sering memasuki hatinya yang kemudian
mengalir ke alam pikirannya. Dia cenderung terperangkap pada
jaring-jaring khayal yang ditebarnya sendiri. Dia sering mengukur-
ukur berapa besar pahala yang telah diperolehnya. Bahkan acap
kali muncul kefasikan di dalam hatinya yang mempertanyakan
keadilan Ilahi yang membiarkan dirinya tetap sebagai raksasa kulit
biru, meski telah berpuluh tahun melakukan amaliah ibadah agar
bisa menjadi manusia paripurna.

Dalam panggung kehidupan manusia, raksasa berkulit biru dapat


digambarkan sebagai manusia yang mampu mencegah dirinya
409
dari perbuatan-perbuatan tercela dan mengarahkan perbuatannya
ke jalan Allah. Namun demikian, manusia pada tingkatan ini belum
mampu membebaskan hati (qalb) dari “lintasan pikiran” yang
bersifat nafsiyah dan syaithaniyyah. “Lintasan pikiran” di hatinya ini
jika dibiarkan akan mempengaruhi akal (‘aql) dan pikiran (fikr). Dan
jika dibiarkan terus akan bermuara pada perbuatan fasik.

Kilasan-kilasan pemandangan di dimensi serba biru adalah


manifestasi dari durra al-azraq (mutiara biru) atau gambaran
ruhaniah dari wujud niscaya al-khafi yang merupakan anasir angin
dari jiwa manusia, yakni pengejawantahan an-nafs al-mulhamah
(QS asy-Syams: 7-8). Dari dimensi durrah al-arzaq ini memancar
sifat-sifat Tauhid yang membawa manusia pada keyakinan tentang
lahir dari “lintasan pikiran” (khawathir) di hati cenderung
mengganggunya. Karena, “lintasan pikiran” itu selain ada yang
bersifat Ilahiah dan ruhaniah, juga ada yang bersifat nafsaniyyah
dan syaithaniyyah . An-nafs al-mulhamah adalah anak tangga
ketiga Pengetahuan ruhaniah pada jalan menuju Allah.

Pada dimensi durrah al-azraq itu Abdul Jalil disadarkan bahwa,


seperti manusia lainnya, ia pun memiliki kecenderungan menjadi
makhluk yang belum sempurna menjadi manusia paripurna;
manusia yang masih beroleh “lintasan pikiran” pada qalb-nya dari
nafsu ananiyyah dan syaithaniyyah.

Keluar dari dimensi biru, ia masuk ke dalam dimensi putih. Di sini


ia merasakan ketenangan, kebahagiaan, dan kedamaian.
410
Saat mengarahkan pandangan ke bulatan cahaya yang sekarang
berwarna putih, ia menyaksikan sesosok bayangan muncul. Sosok
itu berupa laki-laki tampan, berkulit putih, berhidung mancung,
bermata bulat, berambut hitam, dan tubuhnya menebar bau harum
kesturi. Laki-laki itu berdiri tegak penuh keagungan. Anehnya,
wajahnya sangat mirip dirinya.
Beberapa saat kemudian tubuh laki-laki itu secara ajaib terbelah
menjadi dua. Belahan yang pertama tetap menjadi laki-laki berkulit
putih tampan berwajah mirip Abdul Jalil. Belahan yang kedua
berubah menjadi sosok perempuan yang sangat cantik jelita;
kulitnya putih, hidungnya mancung, matanya bulat hitam
memancarkan pesona, rambutnya hitam, dan dari tubuhnya
menebar bau harum yang memabukkan penciuman. Tubuh
perempuan itu benar-benar indah dan sangat sempurna. Belum
pernah ia menyaksikan perempuan sesempurna itu, baik
kecantikan, keayuan, kemolekan, maupun kesintalan tubuhnya.
Anehnya, wajah perempuan itu sepintas juga sangat mirip dengan
wajahnya sehingga mereka seolah-olah saudara kembar.

Seiring dengan kemunculan laki-laki dan perempuan sempurna


dan bulatan cahaya berwarna putih, Abdul Jalil menyaksikan
kilasan-kilasan gambaran dari berjuta-juta orang berkulit putih
yang berkumpul di hamparan taman yang sangat luar biasa
menakjubkan; bangunan-bangunan untuk melepas lelah yang
sangat indah. Bunga-bunga aneka warna terhampar di antara
rerumputan hijau. Buah-buahan segar bergantungan di pohon-
pohon yang rendah dahannya. Air sungai dari susu mengalir deras.
Telaga madu terhampar memukau. Dan berjuta-juta bidadari cantik

411
dengan mata bersinar laksana bintang beterbangan dengan
sayap-sayap putih. Orang-orang berkulit putih itu bercengrama
dengan bidadari-bidadari di atas tilam sutera sambil menikmati
makanan dan minuman. Mereka tertawa riang mendengar alunan
musik surgawi yang mengiringi nyanyian bidadari-bidadari yang
melantunkan kasidah-kasidah yang syair-syairnya memuji
kebesaran Ilahi.

Kilasan-kilasan pemandangan yang disaksikan Abdul Jalil di


dimensi yang serba putih itu adalah manifestasi dari durrah al-
baidha’ (mutiara putih) atau gambaran ruhaniah dari wujud niscaya
al-akfa yang merupakan anasir cahaya dari keberadaan jiwa
manusia, yakni pengejawantahan an-nafs al-muthma’innah (QS al-
Fajr: 27) yang memancarkan sifat syukur, qana’ah dzauq,
mahabbah, zuhud, sabar, ridho, ikhlas, dan ingat mati. An-nafs al-
muthma’innah adalah anak tangga keempat Pengetahuan pada
jalan menuju Allah. Pada dimensi durrah al-baidha’ yang serba
putih ini terletak perbendaharaan al-Ilmu (‘ilmu al-yaqin) yang
menjadi wahana menuju Dia.

Pada dimensi durrah al-baidha’, ia disadarkan oleh al-ima’ bahwa


itulah citra surgawi yang berada di dirinya yang merupakan citra
kodrati tiap manusia. Itu sebabnya, jika ingin menikmati kelezatan
surgawi maka hendaknya ia memasuki dimensi itu dan tinggal
abadi di situ. Pada dimensi itulah seluruh kenikmatan dan
kelezatan dirasakan manusia, baik dalam hal hawa, jenis
makanan, jenis minuman, jenis pakaian, maupun jenis
kesyahwatan.

412
Bulatan cahaya putih terang yang menerangi hamparan luas tanpa
batas itu mendadak memancarkan cahaya yang berpendar-pendar
menyilaukan mata. Sedetik kemudian, bulatan cahaya itu melesat
dengan kecepatan luar biasa ke arahnya. Ia terkesima takjub ketika
menyaksikan hamparan luas di depannya terlipat dengan garis
cakrawala bergerak tak beraturan. Kilasan-kilasan gambar taman-
taman yang indah dengan seluruh penghuninya melenyap. Yang
tersisa dari bentuk-bentuk yang mewujud di hamparan luas itu
hanya sosok laki-laki berkulit putih dan perempuan cantik yang
berwajah mirip dirinya.

Ketika kilauan cahaya yang berpendar-pendar itu makin dekat dan


bertumpang tindih tak beraturan, ia menyaksikan sosok laki-laki
tampan itu tiba-tiba merentangkan kedua tangannya. Pada saat
yang sama, sosok yan perempuan juga melakukan hal serupa.

Dengan kedua tangan terbuka, dua sosok manusia yang bagai


kembar itu bergerak maju saling mendekat. Makin lama jarak
keduanya makin dekat. Ketika tinggal sejengkal, sosok laki-laki dan
perempuan itu bagai memiliki daya isap saling menarik. Keduanya
kemudian beradu. Berangkulan. Melekat.

Peristiwa aneh yang menakjubkan itu membuat Abdul Jalil


terkesima takjub. Dua sosok manusia yang berangkulan dan
melekat itu mendadak melakukan gerakan memutar. Makin lama
makin cepat seperti gasing. Dalam hitungan detik, keduanya sudah
tidak lagi terlihat bentuknya. Putaran yang cepat itu membuat
413
keduanya mewujud dalam bentuk cahaya bulat dan panjang
seperti tongkat.

Ketika putaran bertambah cepat, terjadilah peristiwa yang


menggetarkan; cahaya bulat dan panjang bagai gasing itu meledak
dengan suara gemuruh disertai percikan cahaya kilau-kemilau
yang memburat ke berbagai arah. Di antara pancaran cahaya
kemilau itu menyembul sosok laki-laki tampan berkulit putih yang
wajahnya mirip Abdul Jalil. Sosok itu berdiri penuh keagungan.
Sendirian. Sosok yang perempuan lenyap tanpa bekas.

Belum usai peristiwa menakjubkan itu berlangsung, tiba-tiba


peristiwa menakjubkan yang lain terjadi. Dari tubuh laki-laki
tampan itu memancar cahaya berpendar-pendar.

Bagaikan mimpi, ia menyaksikan cahaya yang memancar dari


tubuh laki-laki itu terbelah dua secara vertikal. Keduanya sama-
sama menyilaukan. Cahaya yang memancar dari tubuh bagian
kanan mulai dari kepala kanan hingga ke kaki bersinar kemilau
laksana pancaran cahaya intan dipantulkan. Cahaya yang
memancar dari tubuh bagian kiri mulai dari kepala kiri hingga ke
kaki bersinar kemilau laksana pancaran cahaya perak. Dan secara
ajaib, dua cahaya yang berbeda itu berkali-kali berganti tampat dari
kanan ke kiri dan sebaliknya.

414
Peristiwa yang disaksikan Abdul Jalil, terutama tampilnya laki-laki
yang dipancari dua cahaya itu adalah manifestasi dari nur al-
baidha’ (cahaya putih) atau gambaran ruhaniah dari wujud niscaya
ana yang merupakan citra dari jiwa pertama Adam, yakni
pengejawantahan dari an-nafs al-wahidah (QS al-A’raf: 189),
sumber asal kejadian manusia. An-nafs al-wahidah ini dicipta
dengan “kedua belah tangan” Allah (QS Shad: 75), yaitu pancaran
hakiki al-Jalal (Mahaagung) dan al-Jamal (Mahaindah).
Al-Jalal adalah manifestasi ketakterbandingan Allah (tanzih). Sifat-
sifat Keagungan-Nya mencakup al-‘Azhim (Mahaagung), al-
Qahhar (Mahagagah), al-Qawiy (Mahakuat), al-Jabbar
(Mahaperkasa), al-Muntaqim (Maha Penyiksa).

Al-Jamal adalah manifestasi keserupaan Allah (tasybih) yang


terdiri atas sifat rahmah dan althaf (Pemurah) dari Kehadiran Ilahi.
Sifat-sifat Keindahan-Nya mencakup al-Lathif (Mahalembut), ar-
Rahman (Maha Pengasih), ar-Rahim (Maha Penyayang), al-Halim
(Maha Penyantun), al-Waliy (Maha Melindungi), al-Karim (Maha
Pemurah), al-Hayyu (Mahahidup), ash-Shabur (Maha Penyabar).

Sifat-sifat al-Jalal berlawanan dengan sifat al-Jamal. Namun, dari


pertentangan dua sifat itulah mengejawantah hakikat al-Kamal
(Kesempurnaan). Dengan demikian, Adam yang dicipta dengan
“kedua tangan” Allah, yakni al-Jalal dan al-Jamal, secara asasi
memiliki sifat-sifat sempurna (kamal). Sifat-sifat sempurna Adam
itu termanifestasikan pada keberadaan Adam yang dicipta sesuai
gambar-Nya (kholaq al-insan ‘alashurah ar-Rahman). Dan lantaran

415
itu, seluruh malaikat diperintahkan sujud kepada Adam (QS Shad:
72).

Pada manifestasi nur al-baidha’ atau gambaran ruhaniah dari


wujud niscaya ana yang merupakan citra dari jiwa pertama Adam,
yakni pengejawantahan an-nafs al-wahidah, Abdul Jalil disadarkan
oleh al-ima’ bahwa saat itu ia tidak berada di mana-mana kecuali
di dalam dirinya sendiri. Dan sosok bercahaya yang dijumpainya
bukanlah orang lain, melainkan dirinya sendiri. Dua pancaran
cahaya yang berganti-ganti memancar dari tubuh manusia
bercahaya itu adalah citra dari dua nafs yang menyatu dalam satu
kesatuan an-nafs al-wahidah. Cahaya yang memancar di sebelah
kanan adalah manifestasi an-nafs al-mardhiyyah yang memancar
dari dinding al-Jalal. Sedang cahaya yang memancar di sebelah
kiri adalah manifestasi an-nafs ar-radhiyyah yang memancar dari
taman al-Jamal.

Pada pengejawantahan an-nafs al-wahidah inilah terletak jiwa


pertama Adam, citra al-insan yang di dalamnya disemayami Ruh
Ilahi, yakni Adam Ma’rifat yang tanpa hijab dapat berhubungan dan
berwawansabda dengan al-Khaliq, malaikat, dan Iblis. Pada an-
nafs al-wahidah itu bersemayam bashirah (mata bathin), yakni
piranti yang bersumber dari al-Bashir. Melalui bashirah itu Adam
dapat menyaksikan alam gaib. Inilah derajat Adam Ma’rifat. Inilah
perbendaharaan al-Bashir (‘ain al-yaqin) yang menjadi piranti
utama untuk menyaksikan Keagungan-Nya.

416
Ketika Abdul Jalil sedang terkesima takjub menyaksikan keajaiban
manifestasi an-nafs al-wahidah dalam wujud citra Adam Ma’rifat
yang berwajah mirip dirinya, dengan tubuh memancarkan cahaya,
tiba-tiba ia menyaksikan citra Adam Ma’rifat itu memancarkan
cahayan yang sangat menyilaukan. Ia terperangah takjub. Sedetik
kemudian, ia merasakan kesadarannya terisap oleh cahaya yang
memancar dari citra Adam Ma’rifat.

Isapan cahaya itu sangat dahsyat. Bagaikan anak panah lepas dari
busurnya, kesadaran Abdul Jalil melesat dan menancap ke citra
Adam Ma’rifat. Namun, ia tidak tahu apakah kesadarannya sudah
berada di dalam atau masih di luar citra Adam Ma’rifat. Ia hanya
menyaksikan kilasan-kilasan cahaya berkumpar-kumpar dalam
aneka bentuk ketika melintasi tirai-tirai gaib.

Kemudian ia mendapati kesadarannya berada di suatu hamparan


luas tanpa batas. Namun, kali ini ia tidak melihat bulatan cahaya.
Sejauh mata memandang yang terpampang hanya keluasan yang
kosong tanpa bentuk dan tanpa pusat cahaya. Anehnya, tempat ini
terang benderang di segenap penjuru. Lebih aneh lagi, ia seperti
dapat melihat ke segala arah. Tidak ada arah depan. Tidak ada
arah belakang. Tidak ada kanan. Tidak ada kiri. Semuanya terlihat
dengan terang dan jelas. Tidak ada bentuk apa pun. Seluruhnya
hening. Sunyi. Sepi. Hampa.

Ia tidak merasakan perasaan apa pun baik sedih, kecewa, susah,


senang, gembira, damai, maupun bahagia. Ia juga tidak
417
merasakan sejuk, hangat, panas, maupun dingin. Pun tidak ada
rasa sakit, letih, lesu, lemah, kuat, sehat, nikmat, ataupun lezat.
Seluruh rasa telah terhapus. Seluruh citra manusiawinya seolah-
olah sirna.

Ketika sedang termangu takjub menghayati pengalaman aneh itu


tiba-tiba ia merasakan kesadarannya terbelah seperti kelopak
bunga yang mekar. Kemudian secara ajaib ia saksikan sosok
dirinya dalam wujud sebesar ibu jari tangan melayang-layang di
atas kelopak kesadarannya. Sosok sebesar ibu jari tangan itu
memancarkan cahaya putih kehijau-hijauan yang berkilau bagai
permata zamrud disinari cahaya matahari. Sosok itulah satu-
satunya wujud di tengah hamparan luas tanpa batas yang
disaksikan oleh kesadarannya.

Sosok sebesar ibu jari tangan itu adalah manifestasi dari ar-ruh al-
idhafi, yakni ruh-Nya yang ditiupkan ke dalam diri al-basyar (QS
Shad: 72). Ruh ini memiliki sifat manusiawi sekaligus ilahiah.
Lantaran itu disebut ar-ruh al-idhafi, yakni ruh yang “dinisbatkan”
kepada Allah.

Berbeda dengan pengalaman melintasi dimensi-dimensi nafs


sebelumnya, di hadapan sosok sebesar ibu jari tangan yang mirip
dirinya itu ia tidak mendapati al-ima’ menyeruak dari kedalaman
jiwanya. Al-ima’ yang ia dapatkan justru berasal dari sosok itu. Inti
percakapan itu berbunyi:

418
“Jangan syak dan ragu lagi, o Abdul Jalil, bahwa akulah kesadaran
‘aku’ yang terpendam dan tersuci dari kesadaran kemanusiaanmu.
Akulah hakikat keberadaanmu yang sejati. Sebab, engkau tiada
lain adalah bayangan dari keberadaan sejatiku. Engkau adalah
Buah Tauhid segar dari Pohon Kehidupan (syajarah al-hayy) yang
tumbuh di Taman Alam Raya (al-jannah al-kauniyyah). Engkaulah
salah satu buah terbaik di antara buah yang baik yang dilahirkan
untuk manusia (QS Ali ‘Imran: 110), yakni buah yang tumbuh dari
Ranting Kesempurnaan (kamaliyyah) yang merupakan cabang dari
Dahan Pengetahuan (ma’rifat).”

“Bersyukurlah engkau, o Buah Tauhid, bahwa Dia telah


menjadikan sinar untukmu dalam makna: Wa ja’alna lahu nuran
(QS al-An’am: 122) yang memancarkan nikmat-Nya yang tak
terhitung (QS Ibrahim: 34) sehingga engkau menjadi Buah Tauhid
mulia yang tumbuh dari benih Adam dalam makna: Wa laqad
karamna bani Adam (QS al-Isra: 70). Engkaulah Buah Tauhid yang
ditetapkan oleh-Nya untuk mengetahui hakikat benih yang menjadi
asal kejadianmu yang terangkum dalam makna: Innani ana Allah
la ilaha illa ana fa’budni (QS Thaha: 14). Bahkan engkau ditetapkan
olehnya untuk mengetahui Gudang Simpanan benih (al-kanziyyah)
dalam makna: Kuntu kanzan makhfiyyan (hadits Qudsi).”

“Jika aku adalah Buah Tauhid yang mulia yang tumbuh dari benih
Adam,” ujar Abdul Jalil, “berarti ada buah yang lain yang tidak
termasuk ke dalam kumpulan Buah Tauhid. Dan apakah yang
Tuan maksud dengan perumpamaan buah, benih, dahan, cabang,
dan ranting itu bermakna dunia ini adalah gambaran simbolik dari
419
sebatang Pohon Dunia (syajarah ad-dunya) yang tumbuh di
Taman Alam Raya (al-jannah al-kauniyyah)?”

“Ketahuilah, o Buah Tauhid, bahwa Pohon Dunia yang tumbuh di


Taman Alam Raya ini tegak di atas Akar Kehendak (al-Iradah) yang
dinaungi Dahan-Dahan Kuasa (al-Qudrah). Dari Dahan-Dahan
Kuasa ini muncul dua anak cabang yang berbeda. Pertama, Anak
Cabang Pengetahuan (ma’rifat) yang membelah menjadi Ranting
Kesempurnaan (kamaliyyah). Kedua, Anak Cabang Ketidaktahuan
(nakirah) yang membelah menjadi Ranting Kekufuran (al-
kufriyyah).”

“Dari Ranting Kesempurnaan akan muncul Buah Tauhid. Buah-


Buah Tauhid itulah yang disebut ashhab al-yamin (kelompok
kanan). Di dalam kumpulan ashhab al-yamin terdapat buah-buah
segar dan ranum yang disukai Sang Penanam, yakni buah al-
muqarrabin, al-muttaqin, as-shiddiqin, al-‘arifin, al-muhibbin.”

“Sedang dari Ranting Kekufuran akan muncul Buah Kekufuran


(kufriyyah). Buah-Buah itulah yang disebut ashhab asy-syimal
(kelompok kiri). Kumpulan ashhab asy-syimal berisi buah-buah
busuk berulat yang tidak disukai Sang Penanam, yakni buah al-
munafiqin, al-kafirin, al-fasiqin, al-musyrikin, al-kadzibin, azh-
zhalimin.”

420
“Ketahuilah, o Buah Tauhid, bahwa keberadaan ashhab al-yamin
dan ashhab asy-syimal adalah keniscayaan dari keberadaan
Pohon Dunia. Karena itu, Sang Pemilik (Malik al-Mulki) Pohon
Dunia dan Taman Alam Raya akan memerintahkan para pemetik
yang dipimpin oleh Izrail untuk mengambil Buah Tauhid yang
terikat dalam kumpulan ashhab al-yamin dengan cara yang baik
(husn al-khatimah). Buah-Buah Tauhid itu akan ditempatkan di
Keranjang Penantian (al-barzakh) yang baik untuk
dipersembahkan kepada Sang Pemilik saat Hari Pemilihan tiba
(yaum al-hisab). Saat dihidangkan, buah-buah terpilih itu akan
ditempatkan dalam Talam ‘Iliyyn yang tak terbayangkan
keindahannya untuk dijadikan “santapan” Sang Pemilik. Bahkan,
bagi Buah-Buah Tauhid yang benar-benar terpilih dan disukai
Sang Pemilik, begitu dipetik akan langsung dipersembahkan
sebagai “santapan” kesukaan Sang Pemilik.”

“Sementara itu, Buah Kekufuran setengah busuk dan yang busuk


berulat, yang terikat dalam kumpulan ashhab asy-syimal akan
dipetik dengan cara yang sangat buruk (su’ul al-khatimah). Buah-
Buah itu akan dikuliti di Keranjang Penantian yang buruk (‘adzab
al-qubr). Saat datang Hari Pemilihan (yaum al-hisab), mereka akan
dipilah dan dipilih di urutan paling akhir. Demikianlah, mereka
akhirnya dilemparkan ke lubang-lubang pembuangan sesuai
tingkat kebusukannya. Buah-Buah terbuang itu akan dijauhkan dari
Sang Pemilik dan ditempatkan di lubang Sijjin yang tak
terbayangkan keburukan dan kenistaannya.”

421
“Bagaimana dengan peristiwa pemetikan massal buah-buah busuk
seperti pada zaman Nuh, Syuaib, Shalih, dan Luth?” tanya Abdul
Jalil. “Apakah itu berarti Buah Kekufuran lebih banyak jumlahnya
dibanding Buah Tauhid? Jika sudah demikian, kenapa Pohon
Dunia tidak ditebang saja?”

“Ketahuilah o Buah Tauhid, bahwa pada musim-musim tertentu


yang ditentukan oleh Kehendak-Nya (al-Iradah) dan Kuasa-Nya
(al-Qudrah) maka Sang Maha Penyesat (al-Mudhill), Yang Maha
Mencabut (al-Qabidh), Maha Membinasakan (al-Mumit), Maha
Menyiksa (al-Muntaqim), dan Maha Memberi Bahaya (adh-Dharr)
akan meniupkan angin ablasa yang berembus melintasi negeri
kesengsaraan membawa benih-benih pohon zaqqum. Ketika angin
ablasa meniup maka benih-benih dari pohon zaqqum akan
menimbulkan kerusakan dahsyat pada Pohon Dunia.

“Benih-benih itu ketika jatuh di daun, dahan, dan ranting Pohon


Dunia akan berubah secara ajaib menjadi ulat-ulat yang sangat
ganas. Ulat-ulat jelmaan itu kemudian bergerak menggeragoti
buah, bunga, daun, ranting, dan bahkan dahan Pohon Dunia. Saat
itulah kebusukan dan kebinasaan menimpa Pohon Dunia. Bahkan
secara cepat Buah-Buah Tauhid dari kumpulan ashhab al-yamin
yang tumbuh di ranting kamaliyyah ikut membusuk. Demikianlah,
dalam tempo singkat hampir seluruh buah di Pohon Dunia itu
membusuk, kecuali beberapa butir saja.”

422
“Melalui Kehendak-Nya dan Kekuasaan-Nya pula Sang Maha
Penjaga (al-Muhaimin), Yang Maha Memelihara (al-Hafizh), Maha
Penyelamat (as-Salam), Maha Pengasih (ar-Rahman), Maha
Penyayang (ar-Rahim), dan Maha Pengampun (al-Ghaffar) saat itu
meninggalkan Pohon Dunia. Dan jika sudah demikian, tak perlu
dijelaskan lagi apa yang harus dilakukan oleh Sang Pemilik
terhadap Buah-Buah Kekufuran yang sudah membusuk dan
membahayakan Pohon Dunia.”

Selama ini Pohon Dunia tumbuh sebagai bukti Kebesaran dan


Keagungan Sang Pemilik. Itu sebabnya, berbagai kerusakan yang
terjadi di antara buah, dedaunan, serta dahan Pohon Dunia hanya
dibersihkan pada bagian yang rusak itu saja. Namun, suatu hari
ketika Pohon Dunia sudah sangat tua maka Sang Pemilik Yang
Maha Menyiksa (al-Muntaqim), Maha Mengakhiri (al-Mu’ahkhir),
Maha Membinasakan (al-Mumit), Maha Menista (al-Khafidh), dan
Maha Mencabut (al-Qabidh) akan menebang Pohon Dunia untuk
dijadikan kayu bakar Tungku Jahanam.”

“Ketahuilah, o Buah Tauhid, bahwa saat Pohon Dunia dijadika kayu


bakar Tungku Jahanam maka para pecinta Pohon Dunia akan ikut
terbakar. Makin kuat kecintaan buah-buah terhadap Pohon Dunia
maka akan semakin dekat ia ke Tungku Jahanam. Sementara
orang-orang yang tidak mencintai Pohon Dunia atau orang-orang
yang menjadikan Pohon Dunia sebagai tempat tumbuh sementara
akan terhindar dari Tungku Jahanam. Karena, mereka termasuk ke
dalam kelompok Buah Tauhid dari kumpulan ashhab al-yamin
yang dipersembahkan kepada Sang Pemilik.”
423
“Apakah benih-benih dari pohon zaqqum yang berubah menjadi
ulat perusak itu yang kemudian disebut ulat dajjala?” tanya Abdul
Jalil.

“Engkau telah tahu akan itu.”

Ketika ia hendak melanjutkan pertanyaan demi pertanyaan, tiba-


tiba ia merasakan kesadarannya ditarik oleh kumparan gaib yang
memiliki daya isap luar biasa. Ia tersentak. Citra ar-ruh al-idhafi
yang menampak dalam wujud orang yang mirip dirinya, namun
besarnya hanya seibu jari tangan itu, mendadak lenyap. Sesaat
setelah itu, ia menyaksikan kilasan warna-warni memasuki
penglihatannya. Kemudian terang dan gelap berganti-ganti.

Sepersekian detik setelah mengalami peristiwa mencengangkan,


ia tersentak kaget bagai terbangun dari mimpi menggetarkan. Saat
membuka mata, bentuk yang pertama kali dilihatnya adalah
tongkat Misykat al-Marhum yang berdiri tegak di hadapannya
dalam jarak sekitar satu depa. Wujud tongkat Misykat al-Marhum
yang dilukis warna warni itu sangat mengagetkannya. Tongkat itu
mengingatkannya pada dimensi-dimensi dari nafs-nafs yang baru
saja dilampauinya. Bagian ujung terbawah tongkat, misalnya, dicat
warna hitam, sesudah itu kuning, merah, hijau, biru, putih, dan
emas. Di atas warna emas ada batu bulat sejenis kaca yang
bening. Kaca bulat itukah citra simbolik dari ar-ruh al-idhafi?

424
Ketika sedang merangkai-rangkai dan mengait-ngaitkan
pengalaman menakjubkan yang baru saja dialaminya dengan
warna-warna tongkat, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara Misykat al-
Marhum yang menyitir sebuah hadits, “Istafti qalbaka wa in aftauka
wa aftauka wa aftauka. Mintalah fatwa kepada qalb-mu walau
orang lain telah berfatwa kepadamu, telah berfatwa kepadamu,
telah berfatwa kepadamu.”

Abdul Jalil menarik napas berat. Meski sangat ingin bertanya,


akhirnya ia mengurungkan niatnya. Ia sepertinya menangkap
sasmita betapa dengan disitirnya hadits itu maka sangatlah tidak
sopan jika ia masih bertanya lagi soal ini dan itu. Itu sebabnya,
sebagai tanda memahami isyarat yang dilontarkan Misykat al-
Marhum, ia bangkit dari duduk dan kemudian dengan segenap
rasa hormat dan takzim mencium kedua kakinya.

Saat mencium kaki Misykat al-Marhum, sekilas di kalbunya


terlintas penyesalan karena ia harus kembali lagi ke dunia yang
penuh kesengsaraan dan derita. Abdul Jalil jujur mengakui bahwa
apa yang telah dialaminya dengan memasuki dimensi di mana ar-
ruh al-idhafi bersemayam itu adalah tempat yang paling luar biasa
nikmatnya yang sebelumnya tak pernah dirasakannya.
Sebenarnya ia sangat tidak ingin meninggalkan dimensi itu. Ia ingin
terus tinggal di situ.

Bagaikan mengetahui lintasan perasaan dan kilasan pikiran Abdul


Jalil, Misykat al-Marhum mengingatkan, “Jangan engkau anggap
ar-ruh al-idhafi yang telah engkau jumpai itu adalah akhir dari

425
perjalananmu. Sebab ar-ruh al-idhafi hanyalah guru sejati tempat
engkau bertanya tentang berbagai hal, baik yang ukhrawi maupun
duniawi. Dia seibarat bola kaca di atas tongkat ini. Di atas
pelambang bola kaca ini masih ada yang tak tampak dan tak dapat
dilambangkan, yaitu ar-Ruh al-Haqq. Di atas ar-Ruh al-Haqq masih
ada lagi yang lebih tak dapat dilambangkan dan disetarakan
sesuatu, yaitu al-Haqq.”

“Saya paham Tuan,” kata Abdul Jalil sambil meneteskan air mata,
“namun setelah melewati pengalaman tadi saya seperti tidak
sanggup lagi menjalani kesengsaraan dan penderitaan hidup di
dunia ini. Saya ingin tinggal di sana.”

Misykat al-Marhum menghentakkan tongkatnya ke tanah. Bumi


bergetar. Abdul Jalil merasakan hatinya kecut. “Seorang laki-laki
(ar-rajul) yang telah dipilih-Nya adalah manusia sejati (ar-rijal) yang
tidak boleh memilih-milih Tempat (makan) dan Waktu (zaman).
Sebab, bagi laki-laki terpilih, kemuliaan yang dianugerahkan
kepadanya bukan lagi kemuliaan dalam hal makan (tempat),
melainkan kemuliaan dalam makanah (tingkatan). Laki-laki yang
terpilih sudah merangkum tingkatan-tingkatan dalam kelapangan
tempat itu (manzil fi al-bisath). Maknanya, jika engkau
beranggapan bahwa di maqam ar-ruh al-idhafi itu engkau harus
berhenti maka engkau telah terjebak ke dalam lingkaran nafsumu
yang halus. Karena, laki-laki yang terpilih sudah tidak menduduki
maqam (la maqam). Sebab, laki-laki terpilih selalu bersama-Nya,
Yang Tak Terikat maqam.”

426
“Laki-laki sejati yang telah dipilih-Nya tidak juga boleh terikat oleh
zaman dari Taman Alam Raya, apalagi zaman dari Pohon Dunia.
Sebab, laki-laki yang sudah terpilih selalu bersama Sang Waktu
Abadi (ad-Dahr). Dia berada di dalam lingkaran zaman hanya
untuk menunggu panggilan Sang Waktu Abadi. Lantaran itu,
berada di mana pun dan pada saat kapan pun dia tidak boleh
memilih-milih yang disukai nafsunya. Bahkan jika harus
ditempatkan di neraka jahanam pun dia tidak boleh menolak,
karena laki-laki yang terpilih selalu bersama-Nya, Sang Pencipta
(al-Khaliq) yang tidak terikat dan tidak terpengaruh oleh ciptaan-
Nya (makhluk).”

Manusia pada hakikatnya tidak memiliki kehendak, meski sebesar


zarah, sebab yang maha berkehendak hanyalah Allah, Rabb alam
semesta (QS at-Takwir: 29). Itu sebabnya, dalam hal kelahiran,
perkawinan, peruntungan nasib baik dan buruk, dan kematian
adalah mutlak ditentukan oleh-Nya. Tidak satu makhluk pun bisa
menentukan apakah dirinya harus menjadi manusia, jin, malaikat,
hewan, atau tetumbuhan. Pun tidak seorang juga dapat memilih
lahir di dunia sebagai laki-laki atau perempuan. Tidak juga orang
dapat memilih harus lahir dari keluarga kaya atau keluarga
terhormat. Bahkan seseorang tidak dapat mengatur apakah dirinya
harus mati dalam keadaan husn al-khatimah atau su’u al-khatimah.
Semua yang mengatur Allah. Mutlak.

Sekalipun apa yang diyakini oleh Abdul Jalil ini secara konseptual
tidak ditolak oleh umat Islam pada umumnya, pada tingkat praktik
hal itu jarang diterima apalagi dijalankan secara konsekuen.
427
Maksudnya, kaum Muslimin umumnya lebih memilih dan berusaha
menjadikan diri mereka sebagai sesuatu yang serba
menyenangkan dan menguntungkan. Jika disuruh memilih jenis
kelamin, misalnya, seorang Muslim cenderung akan memilih laki-
laki. Kalau disuruh memilih status maka mereka cenderung
memilih lahir dari keluarga yang kaya dan terhormat. Bahkan kalau
disuruh memilih istri maka mereka akan memilih istri cantik, kaya,
bangsawan, dan salehah. Begitu juga jika disuruh memilih
martabat, pangkat, dan derajat hidup maka akan dipilihnya hidup
yang serba dilimpahi rezeki, dilingkari kemewahan, ditaburi puja
dan puji, dijejali kesenangan dan kelezatan. Jika mati akan memilih
husn al-khatimah dan masuk surga tanpa hisab.

Bertolak dari keyakinan yang kuat tentang kemutlakkan kehendak


Allah yang sangat berbeda dalam tataran praktik dibanding
pemahaman kaum Muslimin seumumnya, Abdul Jalil tidak
mempersoalkan tetek bengek ukuran yang digunakan orang untuk
memuaskan hawa nafsunya. Ini setidaknya dibuktikan saat ia
menerima keputusan-Nya untuk menikah dengan perempuan yang
belum pernah ia lihat wajahnya.

Cerita tentang pernikahan itu bermula dari perintah Misykat al-


Marhum agar ia segera menemui Syaikh Abdul Malik al-Baghdady
untuk menyampaikan pesan khusus. Abdul Jalil secara lisan
diperintahkan untuk memohon kepada Syaikh Abdul Malik al-
Baghdady agar diperkenankan memasuki mahligai Adam Ma’rifat
yang merupakan manifestasi an-nafs al-wahidah. Misykat al-
Marhum tidak menjelaskan makna di balik pesannya itu, kecuali
428
mengisyaratkan bahwa perjalanan menuju-Nya tidak akan sampai
jika belum memasuki mahligai Adam Ma’rifat.

Sebagai salik yang mampu berkomunikasi dengan ar-ruh al-idhafi,


akhirnya ia menangkap makna di balik pesan Misykat al-Marhum.
Ia diberi tahu oleh ar-ruh al-idhafi, melalui al-ima’, bahwa ujung di
balik pesan Misykat al-Marhum itu pada hakikatnya adalah
ketentuan-Nya yang menghendaki agar dirinya menikah dengan
perempuan yang dipilihkan olah Syaikh Abdul Malik.

Sejak mengalami peristiwa menakjubkan memasuki nafs-nafs, ia


merasa ada yang aneh pada dirinya, terutama saat menunaikan
titah Misykat al-Marhum untuk menjumpai Syaikh Abdul Malik.
Semestinya, dengan mengetahui makna di balik titah itu, ia akan
memikirkan atau sedikitnya memperoleh lintasan pikiran tentang
perempuan yang bakal dijodohkan dengannya. Sebagai manusia
yang waras tentu ia akan membayangkan, meski sepintas,
perempuan yang bakal dinikahinya: Apakah tubuhnya gemuk,
cebol, matanya buta sebelah, giginya merongos, hidungnya
melengkung seperti paruh rajawali, atau tangannya lumpuh
sebelah?

Namun, nalurinya sebagai laki-laki dari bangsa manusia ternyata


tidak terjadi sebagai kemestian. Ia justru merasa benaknya seperti
hamparan putih yang tidak ternoda oleh sepercik pun bias angan-
angan atau lintasan khayalan, dan berbagai limpahan ilham justru
memancar dari mahligai ar-ruh al-idhafi bagaikan mata air yang tak
429
pernah kering. Ini benar-benar peristiwa aneh yang sempat
membuatnya terheran-heran dan meragukan kewarasan dirinya.
Bahkan ia sedikit pun tidak sempat membayangkan sifat
perempuan yang bakal dipilih menjadi istrinya itu: Apakah dia
berperangai buruk, berani kepada suami, pemarah, pemalas,
jorok, suka mengomel, pecinta duniawi, atau suka berselingkuh?

Ketika lintasan-lintasan pikiran dan perasaan yang selalu


mengganggu ketenangan jiwanya benar-benar sirna, ia baru
menangkap kebenaran kata-kata Misykat al-Marhum yang
menyatakan bahwa seorang ar-rajul tidak boleh memilih "makan"
dan "zaman." Di mana pun berada, ar-rajul selalu bersama Sang
Pencipta yang tidak terikat apalagi terpengaruh oleh makhluk.
Keadaan ini secara ruhaniah baru dirasakan dan dipahaminya kini.
Keadaan ini memang tidak bisa dijabarkan dengan kata-kata dari
bahasa manusia.

Sebenarnya, dulu ia pernah mengalami keadaan seperti ini, yakni


saat kesadaran fawa’id-nya tersingkap membuka selubung lawami’
dan zawa’id. Namun, ketersingkapan itu terasa sangat jauh
berbeda dengan yang dialami saat ini. Tersingkapnya hijab ana
yang menyelubungi ar-ruh al-idhafi benar-benar telah mengubah
sifat dan perilakunya secara dahsyat. Sebelum ini ia selalu
menelaah dan mengkaji terlebih dahulu apa yang ia pikirkan dan
apa yang bakal ia lakukan, kini semuanya berubah. Benaknya
bagaikan langit biru yang luas dan kosong dari gumpalan awan.
Nalarnya bagaikan langit cerah dipancari matahari al-ima’ yang
bersinar di cakrawala ar-ruh al-haqq.
430
Dengan perubahan itu ia memasuki mahligai perkawinan sebagai
sebuah keniscayaan dari garis kehidupan yang sudah ditentukan
oleh-Nya. Maksudnya, ia sudah mengesampingkan pertimbangan-
pertimbangan pribadi maupun ukuran-ukuran syari’at. Ia
sepenuhnya pasrah kepada ketentuan-Nya dengan mematuhi
perintah Misykat al-Marhum agar menjalankan dan mematuhi apa
pun yang diperintahkan Syaikh Abdul Malik. Lantaran itu, ia pun
tidak mempertanyakan siapakah Syaikh Abdul Malik yang
dimaksud Misykat al-Marhum.

Syaikh Abdul Malik al-Baghdady, orang yang ditunjuk Misykat al-


Marhum untuk menerima pesan bersifat ruhaniah, ternyata ulama
besar penganut paham Syi’ah Muntadhar. Dia sangat dihormati
masyarakat dan dihormati penguasa. Tidak gampang menemuinya
sebab dia selalu dilingkari oleh pengikut-pengikutnya yang setia
yang siap berkorban nyawa untuknya.

Sekalipun sudah tinggal barang satu dasawarsa di Baghdad, Abdul


Jalil hanya mendengar berita-berita tentang kebesaran ulama
Syi’ah Muntadhar itu terutama dari Ali Anshar at-Tabrizi. Ia sejauh
ini tidak mengetahui di bagian kota Baghdad mana syaikh
termasyhur itu tinggal. Melalui Ali Anshar pula ia menyampaikan
keinginan untuk menjumpai ulama masyhur itu dengan
menuturkan bahwa ia membawa pesan dari Misykat al-Marhum.

Entah ada hubungan apa antara Misykat al-Marhum dan Syaikh


Abdul Malik, yang jelas beberapa saat kemudian ia sudah didaulat
431
untuk menemui pemimpin Syi’ah itu. Dan ternyata, Syaikh Abdul
Malik tinggal di rumah sederhana yang tak jauh dari pemondokan
Ali Anshar. Kediaman Syaikh Abdul Malik dilingkari oleh rumah dan
pondokan para penganut Syi’ah sehingga membentuk pemukiman
orang-orang Syi’ah.
Syaikh Abdul Malik, ternyata salah seorang dari anggota Jama’ah
Karamah al-Aulia’ yang ikut dalam pertemuan para wali di Jabal
Uhud. Itu sebabnya, saat Abdul Jalil masih tercekat kaget, Syaikh
Abdul Malik memberi isyarat agar Abdul Jalil menyembunyikan
identitas dirinya yang sebenarnya. Abdul Jalil yang memahami
maksud Syaikh Abdul Malik hanya mengangguk dan harus
bersikap takzim seolah-olah mereka tidak saling mengenal. Ia
harus menempatkan diri sebagai orang awam yang sangat hormat
dalam memuliakan ulama masyhur.

Sekalipun sudah berusaha bersikap takzim dan memuliakan,


adanya hubungan bersifat khusus antara Syaikh Abdul Malik dan
dirinya tidak bisa ditutup-tutupi. Hal itu setidaknya terungkap saat
tanpa hujan dan tanpa angin, segera setelah Abdul Jalil
menyampaikan pesan Misykat al-Marhum, tiba-tiba saja Syaikh
Abdul Malik memanggil Ali Anshar dan pengikutnya yang bernama
Ali Akbar al-Hamadani. Kemudian tanpa diduga-duga, dia
menyatakan akan menikahkan Abdul Jalil dengan puteri
bungsunya yang bernama Fatimah, yang usianya belum genap
lima belas tahun.

432
Pada malam pertama perkawinan, ketika angin musim semi
menebarkan wangi asap dupa dan harum bunga-bunga, Abdul Jalil
tegak memandangi mempelai wanita yang tidur di atas tilam hijau
terbuai mimpi indah. Ada suasana aneh dan asing merayap diam-
diam di relung-relung jiwanya. Ia merasa betapa liku-liku
kehidupannya membentangkan keindahan yang menakjubkan,
meski di hampir setiap sudut jalan ia dapati telaga air mata
kepedihan.

Rasa aneh dan asing yang dialami Abdul Jalil itu makin lama makin
menguak tirai kesadaran hakiki tentang adanya tangan gaib
dengan jari-jemari lembut yang diam-diam dan tanpa diketahui
telah mengatur setiap gerak dan langkahnya. Ia sadar bahwa pada
hakikatnya ia tidak memiliki kehendak pribadi. Semua adalah
kehendak-Nya. Perkawinannya dengan Fatimah binti Abdul Malik
al-Baghdady ini pun bukanlah kehendak pribadinya. Itu sebabnya,
ia merasa aneh dan asing ketika harus memasuki mahligai
perkawinan yang menakjubkan ini.

Keanehan yang dianggap menakjubkan ini ada kaitannya dengan


mempelai perempuan, yaitu kemiripan yang nyaris sempurna
antara mata Fatimah dan mata almarhumah Nafsa. Tanpa sadar
diam-diam ia menggumam, “Ya Allah, mengapa mempelaiku
secantik Nafsa yang telah merenggut perhatianku? Mengapa dia
yang telah engkau jadikan mempelaiku harus mirip dengan Nafsa?
Apakah Engkau sengaja menguji keteguhan hatiku kepada-Mu?”

433
Dalam ketermanguan di tengah ketakjuban dan keanehan, ia
mendengarkan suara ar-ruh al-haqq mengumandang di cakrawala
jiwanya melalui al-ima’. “Jika Dia sudah berkehendak maka ikutilah
kehendak-Nya, meski samudera api dan padang ilalang pedang
menghadang di hadapanmu. Jika payung kemuliaan-Nya
ditudungkan di atas kepalamu maka bernaunglah di bawah-Nya
walau hari terang tanpa hujan setetes pun. Sebab, sebagaimana
Dia memuliakan siang yang terang benderang oleh pancaran
cahaya mentari, demikianlah Dia memuliakan malam dengan kilau-
kemilau cahaya bintang-bintang yang gemerlap laksana permata.”

“Perkawinan adalah penyatuan ajaib dua jiwa yang terpisah oleh


rentangan waktu dan hamparan taman semesta. Sebab, dengan
penyatuan gaib itulah engkau akan menemukan dirimu
berkembang biak dan beriap-riap memenuhi penjuru bumi. Tanpa
penyatuan gaib antara dua jiwa yang dipisahkan maka engkau
akan tinggal dalam ketunggalan jiwamu yang merana di atas bumi
manusia. Namun, hendaklah engkau senantiasa ingat bahwa jiwa
yang menjadi pasanganmu hanyalah nuansa angin sejuk yang
berembus dan menari-nari di hadapanmu. Engkau boleh
menikmatinya sesuka hatimu, namun tetaplah ingat jangan sekali-
kali engkau sampai terbelenggu dengan kesejukan dan
kenikmatan pasanganmu.”

“Mempelaimu adalah kapal dan engkau nahkoda. Jangan biarkan


kapalmu gampang hanyut dipermainkan ombak samudera.
Engkaulah nahkoda yang mengemudikan dan membimbing arah
kapal hingga sampai ke pelabuhan harapan. Engkaulah nahkoda
434
yang menentukan arah kapal. Engkaulah nahkoda yang
mengetahui berapa penumpang yang patut naik ke dalam
kapalmu. Jangan biarkan penumpang gelap memasuki kapalmu.
Jangan biarkan bajak laut menghadang laju kapalmu. Dan
sebagaimana nahkoda yang setia pada hukum-hukum kelautan
agar kapal selamat sampai tujuan maka demikianlah hendaknya
engkau mengarahkan bahteramu di bawah bimbingan hukum-
hukum-Nya. Tetaplah engkau berpedoman pada gerakan matahari
di siang hari dan pada cahaya bintang di malam hari yang diliputi
kegelapan.”

Pengalaman baru memasuki mahligai perkawinan adalah


penyingkapan kesadaran baru tentang makna ketunggalan hakiki
yang menyelubungi keragaman dan keberbedaan hidup manusia.
Hal itu baru disadarinya ketika ia menapaki liku-liku jalan terjal
menuju puncak tertinggi mahligai perkawinan. Keindahan
pemandangan, kemerduan nyanyian, kelembutan belaian,
kekaguman pesona, kesucian mahligai, dan keharuman desah
napas ketika sampai ke puncak; luluh. Lebur. Menyatu. Tunggal.

Saat berada di puncak penyatuan itulah ia mendapati kenyataan


bahwa dirinya bukanlah seorang suami dan bukan pula seorang
laki-laki. Abdul Jalil merasakan kesadaran dirinya lenyap. Menyatu
dalam nikmat. Dan rasa nikmat itu setidaknya pernah dirasakannya
saat ia memasuki gambaran ruhaniah dari wujud niscaya ana yang
merupakan pengejawantahan an-nafs al-wahidah. Dengan
kenyataan ini, menurut hematnya, berarti setiap manusia secara

435
fitrah dikaruniai anugerah oleh-Nya untuk mengenal jati dirinya
yang sejati.

Dengan membandingkan antara pengalaman ruhani ketika


memasuki nafs-nafs dan pengalaman saat menapaki puncak
mahligai perkawinan, Abdul Jalil sampai pada kesimpulan bahwa
pada tiap-tiap tirai kesadaran di mana an-nafs disingkapkan maka
akan terbit kesadaran baru dengan tingkat rasa yang makin lama
makin tidak tergambarkan oleh kata-kata. Dan sejauh itu, puncak
kenikmatan yang pernah dilewatinya justru saat ia memasuki
dimensi putih kehijau-hijauan yang menjadi persemayaman ar-ruh
al-idhafi yang sebesar ibu jari. Kenikmatan di dimensi yang tak
tergambarkan itulah yang menyebabkan ia ditegur keras oleh
Misykat al-Marhum karena ingin terus berdiam di situ menikmati
kenikmatan tak tergambarkan.

Kini, dengan memahami makna hakiki perkawinan sebagai wujud


niscaya dari penyatuan an-nafs al-wahidah, Abdul Jalil memiliki
wahana paling dahsyat dalam mengendalikan hasrat dan desakan
naluriah dari nafsu-nafsu yang melingkari keberadaan jati dirinya.
Sambil berbisik lembut penuh kegembiraan ia melantunkan
nyanyian jiwanya.

“O jiwa-jiwa liar, jiwa-jiwa buas, jiwa-jiwa merana, jiwa-jiwa rindu,


jiwa-jiwa gembira, jiwa-jiwa bahagia. Langit kegirangan telah
tersingkap gaunnya. Tujuh samudera cinta yang berisi air jernih
keindahan telah menanti kehadiran kalian di pintu pelabuhan al-
436
wahidah. Pasanglah kemudimu. Bentangkan layarmu. Ikuti
hembusan angin buritan. Selaraskan lambung bahteramu dengan
alunan ombak.”

“Alangkah nikmatnya berbicara dan bercanda dengan angin yang


memainkan gelombang samudera. Di sini, di tengah samudera
kebebasan, yang ada hanya bahtera dan sang nahkoda, yang
berayun-ayun mengikuti tarian ombak samudera. O meliuklah layar
perahu yang sudah condong diempas angin. Usir rasa takutmu
ketika gelombang besar membawa bahtera ke puncak ombak dan
kemudian terempas. Hilanglah, o bahteraku. Tenggelamlah, o
nahkoda dan semua penumpangku. Dan tiada yang menampak di
cakrawala pemandanganku kecuali samudera. Air.”

“O jiwa-jiwa liar, jiwa-jiwa buas, jiwa-jiwa merana, jiwa-jiwa rindu,


jiwa-jiwa gembira, jiwa-jiwa bahagia yang tenggelam di lautan
ketunggalan semesta. O jiwa-jiwa yang menjelma ikan,
berenanglah di samuderamu yang sejati. Namun, ingatlah selalu
bahwa titah-Nya menempatkanmu sebagai penghuni tanah
daratan. Engkaulah citra keagungan dan kesempurnaan Adam.
Kembalilah ke mahligai sejatimu dengan ridho dan diridhoi-Nya.
Kembali dan nikmati ketunggalan mesramu dalam ingatan sunyi-
Nya!”

Berangkat dari pengalaman ruhani yang telah dilaluinya, Abdul Jalil


menyadari tentang makna perkawinan yang menjadi keniscayaan
dari rahmat-Nya. Lantaran itu, Dia menyeru agar hamba-Nya tidak
437
meninggalkan perkawinan. Sebab, perkawinan bukan hanya
bermakna mengembangbiakkan ketunggalan diri (mufrad) menjadi
banyak (jamak), melainkan juga mengarahkan jiwa-jiwa yang
beragam sifatnya ke mutiara samudera ketunggalan.

Sekalipun Abdul Jalil sudah memaknai hakikat perkawinan sebagai


keniscayaan dari kemanunggalan citra keadaman dirinya, ia tetap
merasa rindu dengan kenikmatan tak tergambarkan saat
memasuki dimensi putih kehijau-hijauan tempat persemayaman
ar-ruh al-idhafi. Ia menyadari dirinya tidak akan pernah jenuh
dengan gairah jiwa yang membawanya ke puncak mahligai
perkawinan, sebagaimana ikan tidak pernah jenuh dengan air.
Jauh di relung lubuk jiwanya senantiasa tersembunyi kehausan
seekor ikan untuk merasakan kesegaran air dari lautan rahasia
yang terletak di balik samudera tempatnya tinggal sekarang ini.

Kehausan itu telah menjadikannya tekun dan giat kembali


menapaki tangga istighfar, salawat, tahlil, dan nafs al-haqq. Ia
yakin bahwa puncak dari kemabukan dan ketunggalan semesta
yang memuaskan hasrat ruhaninya bukanlah bersemayam di
puncak mahligai perkawinan dengan mengenakan mahkota raja al-
wahid, melainkan membiarkan utuh seluruh kesadarannya untuk
direngkuh dalam sayap-sayap ketunggalan Ahadiyyah. Dan itu
hanya mungkin dicapai melalui pemaknaan hakiki nafs al-haqq
sebagaimana yang telah diajarkan hadrat Abu Bakar ash-Shiddiq
dan diperjelas dengan citra kemuliaan Misykat al-Marhum.

438
Ia sendiri merasakan perbedaan besar saat menapaki tangga
istighfar, salawat, tahlil, dan nafs al-haqq sebelum dan sesudah
melintasi mahligai perkawinan. Kini, ia merasakan kebebasan dan
keleluasaan, betapa perjalanan ruhaninya tidak lagi seperti
menaiki anak tangga, tetapi bagai melintasi hamparan permadani
luas.
Hikmah di balik perkawinan Abdul Jalil dengan Fatimah binti Abdul
Malik al-Baghdady ternyata sulit diuraikan dengan penjelasan
manusiawi. Sebab, mahligai perkawinan itu bukan sekadar telah
menyingkap hakikat ketunggalan manusia secara jasmani dan
ruhani, melainkan telah pula membuka cakrawala baru dalam
memandang kehidupan di alam semesta ini. Hal itu terutama
dirasakannya setelah ia terlibat perbincangan lebih akrab dengan
mertuanya.

Bertolak dari pemahaman baru tentang kehidupan yang harus


dilaluinya, Abdul Jalil menjadi paham kenapa Misykat al-Marhum
begitu keras menegurnya saat ia menyatakan ingin tenggelam
dalam ketenangdamaian persemayaman ar-ruh al-idhafi. Ia juga
menyadari kenapa setelah itu Misykat al-Marhum justru
menitahkannya untuk menikah dengan cara yang begitu
menakjubkan. Ternyata, di balik kelebihan dari kemuliaan yang
telah diperolehnya dari Sang Pencipta, ia harus memainkan satu
peran dalam kehidupan di dunia. “Suka atau tidak suka kita harus
menjalankan peran itu dengan utuh. Dan di situlah ketulusan
perjuangan para kekasih diuji oleh Sang Pengasih,” ungkap Syaikh
Abdul Malik.

439
“Berarti pertautan ‘abid dengan Ma’bud bukan akhir perjalanan?”
tanya Abdul Jalil minta penegasan.

“Jika engkau berpikir bahwa pencarian seorang salik hanya


berakhir pada pertautan antara kekasih (auliya’) dan Sang
Pengasih (al-Waly) maka engkau tidak akan masuk ke dalam
Jama’ah. Kemuliaan (karamah) dari anggota-anggota Jama’ah
adalah ketulusan dan kesungguhan mereka dalam menjalankan
peran di tengah perkembangan umat. Itu sebabnya, cinta (hubb)
tulus kami kepada-Nya diungkapkan lewat kepasrahan dalam
menerima panggilan cinta-Nya, meski untuk itu kami harus
menapaki jalan terjal dan berliku-liku penuh marabahaya.”

“Keterpanggilanku ke dalam Jama’ah justru kualami setelah


kukorbankan kepentingan pribadiku di tengah gemuruh kehidupan
duniawi yang diwarnai perjuangan mempertahankan keutuhan
warisan Ahlul Bait. Saat itulah gerbang Benteng-Nya terbuka. Aku
terisap masuk. Lebur. Luluh. Larut ke dalam isi Benteng-Nya yang
ternyata tak berisi apa-apa, kecuali kekosongan dan kehampaan
yang tidak tergambarkan dan tidak terbandingkan.”

“Kenikmatan dan kelezatan tak tergambarkan yang kudapati di


dalam Benteng-Nya ternyata bukanlah akhir dari perjuanganku
dalam mengungkapkan kecintaan terhadap-Nya. Sebab, aku harus
keluar dari Benteng-Nya sebagai pejuang yang memihak kepada
salah satu golongan yang teraniaya. Ini adalah tugas berat yang
teramat berat. Sebab, telah kuketahui dengan pasti bahwa
440
keteraniayaan dari golongan yang kepada mereka itu aku berpihak
pada dasarnya adalah keteraniayaan yang dibuat oleh-Nya sendiri.
Dengan demikian, aku sadar sesadar-sadarnya bahwa yang
kujalani ini adalah sandiwara kehidupan belaka yang ujung dari
akhir kisahnya adalah kemuliaan dan keagungan-Nya jua.”
Penjelasan demi penjelasan yang dipaparkan Syaikh Abdul Malik
menyadarkan Abdul Jalil tentang betapa berat sebenarnya
tanggungan yang harus dipikul seorang anggota Jama’ah. Ia
bukan saja harus memainkan peran-peran yang bersifat kelompok
dengan sekat-sekat golongan dan nasab, melainkan yang tak
kalah berat adalah mengarungi samudera fitnah yang menjadi
selubung jari diri anggota Jama’ah. Menyadari hal itu, rasa hormat
Abdul Jalil kepada mertuanya semakin bertambah tinggi. Dia tidak
saja telah menyerahkan permata hatinya kepada pemuda yang
belum dikenalnya, tetapi mertuanya itu dengan segala ketulusan
telah menjalankan perannya selama bertahun-tahun tanpa
mengeluh.

441
Al-Malamatiyyah

Ketika Abdul Jalil menginjak usia tiga puluh tiga


tahun, sepekan setelah kelahiran puteri
pertamanya yang diberi nama Aisyah (kelak
diganti nama Zainab oleh kakeknya, dan
dijuluki Ratu Arafah yang diijazahkan kepada
Raden Sahid/Susuhunan Kalijaga untuk
dinikahi sebagai tanda bahwa Raden Sahid telah memperoleh
tataran ruhani dari Syaikh Datuk Abdul Jalil/Syaikh Siti Jenar), ia
diperintahkan oleh mertuanya untuk meninggalkan Baghdad dan
mengembara ke arah timur dengan tujuan akhir negeri Jawa.
Perintah itu berkaitan dengan penunjukan Abdul Jalil sebagai
pengganti kedudukan Syaikh Abdurrahman Muttaqi al-Jawy.

Ia sendiri tidak terkejut dengan petunjuk mertuanya itu. Sebab, jauh


sebelumnya ia telah menangkap sasmita bahwa cepat atau lambat
mertuanya bakal memerintahkan dirinya pergi. Namun, yang tak
pernah diduganya adalah perintah itu mengharuskannya pergi
seorang diri dengan meninggalkan istri dan anaknya di Baghdad.

Sesaat pikirannya sempat teringat jalan pada hidupnya yang selalu


ditandai oleh perpisahan dengan orang-orang yang dicintai dan
mencintainya. Jauh dikedalaman relung-relung hatinya terbersit
rasa kecewa sebagai ayah sekaligus suami muda yang masih
terikat oleh jalinan benang-benang kasih dengan puteri sulung dan
istri tercinta. Sentakan-sentakan kasih naluri kebapakan
442
menggerus hatinya ketika membayangkan berpisah dengan buah
hatinya.

Untunglah perasaan itu tidak berlangsung lama. Mertuanya


dengan penuh kearifan menguraikan makna rahasia di balik tugas-
tugas yang harus diembannya, termasuk keharusan menikah dan
beranak-pinak. “Dia selalu menguji kekasih-Nya dengan ujian-ujian
berat dan berliku-liku sampai benar-benar terbukti bahwa kekasih-
Nya sungguh-sungguh mencintai-Nya dan memutuskan hubungan
kasih dengan yang lain.”

“Apakah kepergian saya ini demi keselamatan Fatimah dan


Aisyah?” tanya Abdul Jalil tiba-tiba.

“Engkau sudah paham maksudku,” sahut Syaikh Abdul Malik al-


Baghdady. “Itu semua aku jalankan sekadar mengikuti ketentuan
yang telah ditetapkan-Nya.”

Abdul Jalil menarik napas panjang. Ia sadar bahwa kepergiannya


dari Baghdad merupakan sebuah kemestian yang berkenaan
dengan tugas yang diembannya dan untuk menghindari keburukan
yang diam-diam disulut oleh Ali Anshar at-Tabrizi. Atas dasar itulah
kepergian Abdul Jalil tidak disertai istri dan puterinya. Ia menyadari
bahwa mertuanya yang arif itu tentu menangkap gelagat tidak baik
dari gerakan fitnah yang dilakukan Ali Anshar. Kebencian Ali

443
Anshar kepadanya muncul dari sesuatu yang sebenarnya tidak
pernah ia harapkan, yakni pernikahannya dengan Fatimah.

Sejak menikahi puteri bungsu Syaikh Abdul Malik al-Baghdady, ia


sudah menangkap benih-benih ketidaksenangan dan kebencian
Ali Anshar dari mimik wajah, sikap, dan lontaran ucapan-ucapan
yang keluar dari relung-relung terdalam jiwanya yang dipenuhi oleh
iri hati dan dendam kesumat.

Semula, Abdul Jalil hanya bisa meraba-raba mengapa Ali Anshar


mendadak berubah sikap kepadanya. Meski sejak awal ar-ruh al-
idhafi telah membisikkan tentang ketidaksukaan Ali Anshar
kepadanya, ia belum mengetahui latar lahirnya kebencian itu. Ia
baru paham setelah Syaikh Abdul Malik al-Baghdady dengan
bahasa isyarat mewanti-wanti agar ia berhati-hati terhadap Ali
Anshar. Karena, laki-laki asal Tabriz itu sejak lama memendam
perasaan cinta kepada Fatimah. “Ali Anshar berpikir engkau telah
merampas Fatimah dari pelukan harapannya. Karena itu, dia akan
melakukan apa saja untuk merebut kembali harapannya.”

“Tapi Ayahanda, bukankah semua ini di luar kehendak saya?”


sahut Abdul Jalil. “Bukankah saya tidak pernah bermimpi apalagi
merencanakan pernikahan dengan Fatimah? Bukankah Ali Anshar
tahu hal itu? Bukankah ini semua bukan keinginan saya pribadi?”

444
“Bagi mereka yang terhijab seperti Ali Anshar, penjelasan apa pun
tidak akan bisa meyingkapkan tirai kesadarannya,” jelas Syaikh
Abdul Malik al-Baghdady.

“Kenapa Allah menempatkan Ali Anshar sebagai musuh saya?”

“Itu sudah menjadi hukum-Nya dan berlaku bagi siapa saja.”

“Hukum-Nya?” sergah Abdul Jalil heran.

“Ketahuilah, o Anakku, bahwa telah menjadi hukum-Nya di mana


setiap kemuliaan dilimpahkan kepada seseorang maka akan
muncul orang lain yang iri hati dan berujung pada dendam
kesumat. Ini berlaku sejak manusia pertama dicipta. Ketika seluruh
malaikat diperintahkan-Nya untuk sujud kepada Adam maka
dimunculkan-Nya iblis yang iri hati dan menolak kemuliaan Adam.
Namun, Adam diam saja tidak memberikan perlawanan. Dan Allah
jua yang akhirnya berurusan dengan iblis.”

“Saya paham, Ayahanda,” ujar Abdul Jalil. “Apakah itu berarti saya
tidak perlu menanggapi Ali Anshar? Biarlah Allah sendiri yang
mengurusnya?”

Syaikh Abdul Malik al-Baghdady tersenyum.


445
Setelah mendengar uraian mertuanya, diam-diam Abdul Jalil
merasa iba kepada Ali Anshar. Namun, tidak ada yang bisa ia
lakukan kecuali berdiam diri saja, membiarkan gelombang fitnah
yang dialamatkan kepadanya semakin dahsyat gelegaknya. Abdul
Jalil membiarkan harga diri, kehormatan, dan keberadaan dirinya
diluluhlantakkan oleh fitnah-fitnah keji. Ia sadar segala sesuatu
yang berkaitan dengan dirinya pada hakikatnya bukanlah miliknya.
Semua milik Allah. Karena itu, biarlah Ali Anshar berurusan
langsung dengan Sang Pemilik Sejati.

Puncak kepasrahan Abdul Jalil atas segala kepemilikan ditandai


dengan kerelaannya melepaskan keterikatan dengan anak dan
istri. Ini sungguh ujian terberat. “Ya Allah,” keluhnya dalam hati,
“menghadapi ujian seperti ini saja sudah begini susahnya.
Sungguh tak terbayangkan betapa berat hati sahabat-Mu Ibrahim
al-Khalil a.s. saat Engkau perintahkan menyembelih putera tunggal
yang disayanginya.”

Akhirnya setelah bergulat mengatasi keterbatasan diri, ia tanpa


berkata apa pun kemudian mencium tangan mertuanya dan
dengan gejolak perasaan mengharu biru lantas meninggalkan
anak dan istri tercinta. Ia sadar bahwa galau yang dirasakan
menyesaki dadanya itu adalah akibat wajar dari hakikat
kemanusiaan yang masih menjadi bagian dari kehidupannya. Itu
sebabnya, sepanjang perjalanan ia lebih banyak membenamkan
diri mengingat Allah dan berusaha sekuat tenaga melupakan
rentangan kenangan bersama istri dan puteri sulungnya. “Engkau
yang telah mempertemukan kami, Engkau pula yang kini
446
memisahkan kami. Karena itu, hanya kepada Engkau jua semua
urusan aku pasrahkan,” batinnya.

Kepedihan hatinya sedikit terobati ketika ia menemui Ahmad


Mubasyarah at-Tawallud untuk menumpang kapal menuju Surat,
Gujarat. Ia seperti menemukan muara yang membebaskannya dari
pusaran aliran kenangan.

Sambil tersenyum lebar, Ahmad at-Tawallud menganjurkan agar


Abdul Jalil secepatnya menikah lagi sesampainya di Gujarat.
Anjuran sahabatnya itu tentu terasa mengejutkan. Bayangkan,
bagaimana mungkin dalam keadaan sedih karena meninggalkan
anak yang masih bayi dan istri yang masih sangat muda di bawah
tanggungan mertua, ia bisa melakukan perkawinan baru lagi.
Sungguh ia tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan
mertua yang sangat dihormatinya itu jika ia mengikuti anjuran
Ahmad at-Tawallud.

Ahmad at-Tawallud menangkap jalan pikiran Abdul Jalil. Dia


seraya tertawa, “Ketahuilah, o saudaraku, memiliki istri-istri dan
perempuan-perempuan sebagaimana disahkan oleh syari’at
bukanlah bertujuan untuk melampiaskan hasrat nafsu syahwat,
apalagi untuk memamerkan kejantanan. Sekali-kali tidak demikian.
Istri-istri dan perempuan-perempuan yang kita miliki itu adalah
sarana yang harus kita gunakan untuk melepas keterikatan kita
pada satu objek yang kita cintai. Sebab, cinta seorang laki-laki

447
kepada satu perempuan sangat kuat daya rekatnya dibanding cinta
seorang laki-laki kepada banyak perempuan.”

“Benarkah demikian, o Tuan Yang Mulia?” tanya Abdul Jalil minta


penegasan.

“Soal perempuan, engkau memang belum banyak pengalaman,”


sahut Ahmad at-Tawallud serius, “namun aku yakin ingatanmu
tentang seorang perempuan bernama Nafsa tentu sulit
dihilangkan. Bukankah istrimu memiliki kemiripan dengan Nafsa?
Bukankah lantaran itu engkau mencintainya?”

“Benarlah apa yang Tuan katakan,” Abdul Jalil menunduk jengah.

“Ketahuilah, o Saudaraku,” ujar Ahmad at-Tawallud, latar di balik


syari’at yang membolehkan laki-laki menikahi lebih dari satu
perempuan adalah berkaitan dengan kecintaan kepada Allah.
Karena itu, syarat keadilan yang dimaksud dalam ketentuan hukum
Ilahi bukanlah keadilan dalam membagi cinta terhadap istri-istri,
melainkan dalam mengarahkan kiblat cinta kepada-Nya. Sebab,
dengan mencintai-Nya maka keadilan akan terwujud dengan
sendirinya. Jadi, keadilan di situ jangan diartikan keadilan
membagi perhatian kepada masing-masing istri menurut
pertimbangan nalar suami atau nilai-nilai yang dianut masyarakat.
Dengan demikian, istri-istri dan perempuan-perempuan yang kita

448
miliki itu adalah sarana untuk mengarahkan kiblat cinta hanya
kepada-Nya.”

“Karena itu, o Saudaraku, nikahilah perempuan yang tidak mirip


Nafsa dan tidak mirip istrimu. Sebab, jika bayangan Nafsa masih
melekat dalam ingatanmu, meski sangat lembut dan halus, maka
engkau tetap membentangkan hijab dengan-Nya. Engkau masih
menduakan Dia dengan yang lain. Engkau harus tahu bahwa Dia
sangat pencemburu dan Dia tidak sudi diduakan,” jelas Ahmad at-
Tawallud.

“Astaghfirullah!” seru Abdul Jalil menyadari kekeliruannya selama


ini. Di benaknya kemudian merentang gambaran tentang
mertuanya yang memiliki empat orang istri dan sekitar tujuh istri
yang dinikah dengan mut’ah. Rupanya, selama ini ia telah salah
memahami mertuanya yang mulia itu. Ia tidak memahami makna
di balik kehidupan rumah tangga mertuanya. Padahal, sejatinya
mertuanya itu telah mengarahkan kiblat cinta hanya kepada-Nya
dengan melepaskan hal-hal duniawi, termasuk dalam bentuk istri,
perempuan, serta anak-anak. Ya, Allah memang hanya
menghendaki satu kiblat hati dari kekasih yang dicintai-Nya. Itu
berarti, yang selain Allah hanyalah bunga-bunga kehidupan
duniawi yang nisbi dan maya.

Menyadari kekeliruannya, Abdul Jalil akhirnya berjuang sekuat


daya untuk mengarahkan kiblat hati dan pikirannya kepada Allah
yang tak berbentuk rupa dan tak tersentuh pancaidera. Ia ingin
449
menghapus kenangan indah tentang Nafsa, Fatimah, dan Aisyah.
Betapa sulit. Betapa rumit. Betapa berat.

Setelah sepanjang perjalanan dari Basrah ke Surat berjuang keras


mengarahkan kiblat hati dan pikiran melalui anak tangga istighfar,
salawat, tahlil, dan nafs al-haqq, ia mulai merasakan betapa
kejernihan pikiran dan hatinya telah membukakan cakrawala baru
tentang kebenaran yang memancar dari ar-ruh al-idhafi. Ini
dialaminya saat kapal berlabuh di pelabuhan Diu. Tiba-tiba saja ia
memutuskan untuk turun di situ. Lewat sebuah surat yang dititipkan
kepada nahkoda, ia memberi tahu Ahmad at-Tawallud,
pembimbing ruhaninya, bahwa ia tidak jadi turun di Surat. Karena,
petunjuk ar-ruh al-idhafi menuntunnya demikian.

Kehadiran Abdul Jalil di Diu ternyata sudah ada yang mengetahui.


Ini terbukti saat baru saja keluar dari pelabuhan, ia sudah disambut
oleh seorang Hindi bernama Adamji Muhammad yang mengaku
utusan Syaikh Abdul Ghafur Mufarridun al-Gujarati, salah seorang
anggota Jama’ah, yang tinggal di Ahmadabad. Abdul Jalil hanya
tersenyum menyalami Adamji Muhammad. Ia mafhum dengan
kewaskitaan Syaikh Abdul Ghafur.

Adamji Muhammad adalah lelaki jangkung dan tampan yang


berusia sekitar lima puluhan tahun. Kumisnya yang melengkung
panjang dipelintir melingkar ke atas. Pakaiannya terbuat dari katun
kasar warna putih. Pada bagian pinggangnya dililit kain katun hitam
yang berfungsi sebagai ikat pinggang. Pada kin hitam itulah dia
450
menyelipkan sebilah belati berbentuk bulan sabit. Sementara
rambutnya yang tergerai sebahu pada bagian atasnya ditutupi
surban putih.

Adamji sangat terbuka. Itu sebabnya segera setelah menemukan


Abdul Jalil, serta merta dia menyampaikan pesan guru yang
menjadi panutan hidupnya. “Sesuai pesan Pir (guru ruhani) kami,
Syaikh Abdul Ghafur al-Gujarati, maka kami sambut kehadiran
Tuan sebagai calon menantu kami. Kami mohon agar Tua
berkenan menikahi puteri kami yang bernama Shafa.”

“Benarkah demikian pesan Yang Mulia Syaikh Abdul Ghafur?”


Abdul Jalil mengerutkan kening. Bersamaan dengan itu, bayangan
Ahmad at-Tawallud melintas di benaknya. Betapa aneh liku-liku
kehidupan yang dilewatinya. Beberapa hari lalu sahabatnya
memberi saran agar ia secepatnya menikah setiba di Gujarat.
Ternyata baru saja ia menginjakkan kaki di pelabuhan Diu,
seseorang bernama Adamji Muhammad sudah mendaulatnya
untuk menikahi puterinya, atas petunjuk Syaikh Abdul Ghafur.

“Memang demikianlah pesan Pir kami,” sahut Adamji serius. “Kami


tidak berani menentang titah beliau. Kami juga tidak berani
membawa-bawa nama besar beliau tanpa hak.”

“Tuan belum mengenal saya,” Abdul Jalil menguji. “Bagaimana


Tuan bisa begitu yakin bahwa saya orang baik?”
451
“Tuan,” kata Adamji tegas, “Pir kami adalah Aulia keramat. Bagi
kami, apa pun yang diucapkannya adalah seperti ucapan Allah.
Beliau tidak punya kepentingan apa pun dengan dunia ini. Karena
itu, apa saja yang beliau kemukakan pasti bukan untuk
kepentingan pribadi.”

“Berbahagialah Tuan yang memiliki Pir seperti beliau, manusia


Allah yang hidup sendirian menjauhi keduniaan,” ujar Abdul Jalil.

Negeri Gujarat merupakan tempat leluhur Abdul Jalil menyebarkan


dakwah Islamiyah di bawah kibaran bendera kebesaran para
Alawiyyin. Namun, karena para Alawiyyin itu memiliki latar paham,
doktrin, pandangan, dan pendekatan yang berbeda-beda maka
pada gilirannya membuahkan dakwah Islamiyah yang beragam
pula.

Madzhab terbesar dari golongan Alawiyyin di negeri Gujarat adalah


dari golongan Ismailiyyah yang dipimpin oleh Pir Sadruddin.
Madzhab Ismailiyyah beroleh pengikut besar karena memadukan
ajaran Islam dan Hindu sedemikian rupa sehingga batas masing-
masing ajaran kabur satu dengan yang lainnya.

Sepanjang perjalanan menuju kediaman Syaikh Abdul Ghafur di


pinggiran kota Ahmadabad, Adamji menuturkan berbagai ajaran
Islam yang dianut orang-orang di sini. Dari cerita Adamji itulah
Abdul Jalil mengetahui Islam yang dianut masyarakat Gujarat
452
sangat jauh berbeda dengan Islam yang dijalankan orang di
Baghdad.

Para pengikut Pir Sadruddin, menurut Adamji, memiliki keyakinan


bahwa Dewa Wisnu menitis tidak dalam sembilan perwujudan,
tetapi sepuluh. Karena, kesembilan titisan Wisynu itu – dari Manu
hingga Kalki – adalah jelmaan yang kurang sempurna. Untuk itu,
diturunkan avatar kesepuluh sebagai penyempurna, yakni
Sayidina Ali bin Abu Thalib. “Keyakinan Trimurti disesuaikan
dengan Islam, di mana Dewa Brahma turun ke dunia dalam wujud
Nabi Muhammad Saw., Dewa Wisynu menitis dalam wujud Ali bin
Abu Thalib, dan Dewa Syiwa menjelma dalam wujud Nabi Adam.”

Apakah Tuan penganut paham madzhab Khojah yang diajarkan Pir


Sadruddin?” tanya Abdul Jalil

“Tidak Tuan,” Adamji menyergah. “Semula saya adalah seorang


brahmin. Nama asli saya Harirar Saratchandra. Itu sebabnya, saya
tahu pasti bahwa ajaran madzhab Khojah tidak benar. Saya
memeluk Islam dan kemudian menikah atas petunjuk Pir kami
Syaikh Abdu Ghafur al-Gujarati.”

Selama berbincang-bincang, Abdul Jalil mengetahui bahwa Adamji


Muhammad berasal dari kalangan darah biru. Kakek buyutnya
yang beragama Hindu, yakni Siddha Raj, adalah Raja Gujarat. Itu
sebabnya, Abdul Jalil menduga Adamji tidak mau mengikuti
453
madzhab Khojah yang umumnya dianut oleh suku-suku berkasta
rendah.

Setelah melakukan perjalanan tiga hari dua malam, sampailah


mereka di kediaman Syaikh Abdul Ghafur, yakni sebuah ruang
kecil di sisi masjid di selatan kota Ahmadabad. Kehadiran Abdul
Jalil bersamaan dengan terbitnya matahari pagi. Ia disambut oleh
beberapa kerabat Adamji. Pagi itu rupanya Syaikh Abdul Ghafur
telah menyiapkan acara khusus, yakni pernikahan Abdul Jalil
dengan Shafa binti Adamji Muhammad.

Abdul Jalil yang kebingungan karena tak menduga bakal secepat


itu menikah, tidak bisa berbuat sesuatu kecuali menurut saja ketika
beberapa orang kerabat Adamji menuntunnya memasuki masjid.
Di dalam, ternyata Syaikh Abdul Ghafur sudah duduk bersila di
depan mihrab.

Abdul Jalil terhenyak menyaksikan pancaran kewibawaan Syaikh


Abdul Gahfur. Lelaki tua dengan janggut yang dicat warna merah
itu benar-benar tidak mengesankan seorang tua bangka, tetapi
seekor harimau yang menggetarkan hati siapa pun yang menatap
matanya. Itu sebabnya, ia memahami kenapa Adamji Muhammad
begitu memuliakan kekasih-Nya yang sepanjang hidupnya
menyendiri tak pernah menikah. Dan dengan penuh ketakziman,
ia mendekati Syaikh Abdul Ghafur dan mencium haribaannya.

454
Syaikh Abdul Ghafur yang sejak awal duduk tenang bagai patung
batu tiba-tiba merangkul dan menepuk-nepuk punggung Abdul Jalil
dengan mesra. Saat orang-orang keheranan menyaksikan
peristiwa langka itu, dia malah berbisik ke telinga Abdul Jalil.

“Engkau rajawali yang berlidah fasih dan berpikiran jernih, tugasmu


menjalankan amanah-Nya makinlama akan makin berat sampai
seluruh keluh kesahmu terhapus dan engkau menyaksikan Dia
mengejawantah di mana-mana. Itu sebabnya, engkau harus
singgah di sini dan bersarang di tebing yang tinggi sampai anak-
anakmu lahir. Jika nanti saat engkau terbang bebas mengepakkan
sayapmu dan engkau jatuh dibidik panah sang pemburu maka
anak-anakmulah yang terus melanjutkan tugasmu.”

“Saya akan mengikuti kemana arus nasib menggiring saya,” ujar


Abdul Jalil.

“Karena, engkau memang tidak dapat melawan arus itu,” sahut


Syaikh Abdul Ghafur sambil menepuk keras bahu Abdul Jalil.

“Tuan sudah tahu semuanya,” bisik Abdul Jalil, “tapi saya belum
apa-apa.”

“Itu hanya soal waktu saja,” bisiknya, “Akhirnya engkau pun akan
tahu bahwa kita ini bukanlah orang lain.”
455
“Saya camkan benar ucapan Tuan.”

“Ketahuilah, o Rajawali Perkasa, bahwa makna perkawinan bagi


orang-orang yang berjuang mengiblatkan perasaan cinta kepada
Allah adalah ibarat titian emas yang mengantarai dua sisi sungai.
Itu berarti, mereka yang sedang menyeberang tidak akan berhenti
dan tinggal selamanya di atas titian emas itu. Mereka harus ke
seberang untuk menuju ke istana cinta sejati tempat Sang
Mempelai duduk di atas mahligai cinta-Nya.”

“Saya camkan fatwa Tuan,” bisik Abdul Jalil lirih.

Al-Malamatiyyah adalah orang-orang paripurna (al-insan al-kamil)


yang citra kehidupan lahiriahnya ditandai keanehan, kehinaan diri,
dan kemisteriusan. Mereka dianggap aneh oleh manusia awam
karena sering kedapatan melakukan hal-hal yang tidak lazim.
Mereka bagaikan manusia asing yang hidup di bawah bimbingan
nilai, pandangan-pandangan, paham-paham, dan gagasan-
gagasan yang berbeda dengan yang seumumnya dianut
masyarakat. Sehingga apa yang tampak pada sisi lahiriah para
malamit bukanlah ungkapan hakiki sisi batiniah mereka yang
sebenarnya. Mereka, misalnya, mengenal Allah dengan sangat
sempurna, namun mereka sering kali tidak menampakkan jejak
manifestasi Ketuhanan.

456
Salah seorang di antara al-Malamatiyyah yang dikenal Abdul Jalil
di negeri Gujarat adalah Syaikh Abdul Ghafur al-Gujarati. Laki-laki
yang tinggal sendirian di masjid itu dapat dikatakan sebagai orang
aneh dan misterius. Dikatakan aneh karena dia yang lahir dari
kalangan darah biru itu sejak kecil dikenal sebagai orang cerdik
dan memiliki sifat-sifat terpuji. Oleh Sultan Mahmud Bigarah, Raja
Gujarat yang tidak lain adalah saudara sepupunya, dia ditawari
untuk memilih jabatan tinggi sesuai dengan kemampuannya.
Namun, seluruh tawaran itu ditolaknya.

Syaikh Abdul Ghafur memilih hidup bebas meninggalkan atribut-


atribut kebangsawanannya. Dia tinggalkan istana dan hidup
membujang tanpa anak, istri, harta, dan kemuliaan duniawi.
Kehidupannya sehari-hari diisi dengan tugas mengumandangkan
adzan, mengisi kolam untuk wudhu, dan membersihkan masjid.

Pilihan hidup dan sikap teguh Syaikh Abdul Ghafur tentu saja aneh
menurut ukuran wajar manusia. Sebab, pada saat semua orang
berlomba-lomba meraih jabatan tinggi, kehidupan mulia di istana,
dan berbagai atribut kebangsawanan, dia yang berasal dari
lingkungan bangsawan dan diberi kesempatan menduduki jabatan
tinggi justru menolak dan memilih hidup di masjid. Kemisteriusan
Syaikh Abdul Ghafur terlihat dari pandainya dia menyembunyikan
identitas dirinya sehingga nyaris tidak ada yang tahu siapa dia
sesungguhnya. Orang-orang yang selama ini mengenalnya
sebagai orang sebatangkara yang tinggal di masjid memanggilnya
dengan sebutan yang bernada sangat menghina, yakni hadhrat

457
asy-syaikh (Tuan Guru), padahal mereka tahu dia tidak mengajar
siapa pun.

Kepandaian Syaikh Abdul Ghafur menyembunyikan identitas


dirinya, baik sebagai keluarga raja maupun kekasih yang dicintai-
Nya, benar-benar luar biasa sampai-sampai imam masjid yang
bernama Muhammad Asad Khan menganggap dia tidak memiliki
kemungkinan hidup lain kecuali mengabdi untuk kepentingan
masjid. Hanya orang-orang tertentu seperti Adamji Muhammad
yang mengetahui bahwa sesungguhnya Syaikh Abdul Ghafur
merupakan syaikh dan pir.

Keinginannya menyembunyikan diri dari pengetahuan banyak


manusia pada dasarnya berpangkal pada kehendak-Nya juga,
yang menempatkan kekasih-Nya itu sebagai manusia
sebatangkara yang hidup mengabdi di masjid. Hampir tidak ada
orang yang tahu bahwa Imam Shah Pirana, wali keramat yang
dijadikan panutan umat muslim Pirana, adalah murid terkasihnya.
Betapa Imam Shah Pirana yang dianggap dapat mendatangkan
hujan pada musim kemarau dan berbagai perbuatan keramat lain,
jika bertemu Syaikh Abdul Ghafur selalu mencium tangan dan
kemudian melakukan argya (penghormatan dengan membasuh
kaki).

Abdul Jalil sendiri sebagai anggota Jama’ah tentu memahami


keanehan dan kemisteriusan Syaikh Abdul Ghafur. Lantaran itu, ia
tidak terkejut dengan sikap dan pandangan-pandangannya yang
458
tidak lazim. Dan kemafhumannya itu terbukti ketika beberapa saat
setelah akad nikah, Syaikh Abdul Ghafur langsung mengajaknya
berziarah ke makam para anggota Jama’ah terdahulu. Abdul Jalil
tidak menolak sama sekali, meski ia merasa iba hati kepada
Adamji.

Ia paham bahwa di balik maksud Syaikh Abdul Ghafur


mengajaknya berziarah, tersembunyi proses pengujian sekaligus
penyucian jiwanya dalam memaknai hakikat perkawinan. Bahkan
lebih dari itu, sebenarnya ziarah mendadak itu adalah proses
pembelajaran khas al-Malamatiyyah sebagaimana dicontohkan
oleh Jibril saat mengajak sang Malamit Agung, Muhammad al-
Musthafa Saw., mengunjungi nabi-nabi dan rasul-rasul dalam
perjalanan Mi’raj. Dalam ziarah ini, Syaikh Abdul Ghafur mengajak
Abdul Jalil melakukan silaturahmi kepada para anggota Jama’ah
pendahulunya.

Mula-mula, ia diajak berziarah ke makam Syaikh Sayyid Abdul


Malik al-Qozam yang terletak di pinggiran kota Ahmadabad.
Anehnya, meski ia tidak menjelaskan siapa sebenarnya dirinya,
Syaikh Abdul Ghafur mengetahui bahwa ia adalah keturunan
Syaikh Sayyid Abdul Malik al-Qozam.

Makam Syaikh Abdul Malik ternyata sangat sederhana dan tidak


berbeda dengan makam yang lain. Hal itu sangat jauh dengan
bayangan Abdul Jalil selama ini. Berdasarkan cerita uwaknya dan
saudara sepupunya, Syaikh Datuk Bayanullah, ia menempatkan
459
harkat leluhurnya itu agak berlebihan. Dalam angan-angannya
sempat terlintas bahwa makam leluhurnya itu sedikitnya mendekati
bentuk makam Syaikh Abdul Qadir al-Jailany atau Syaikh Abu
Nuwas di Baghdad.

Di atas makam Syaikh Abdul Malik tidak ada tanda-tanda bahwa di


dalamnya dikuburkan seorang pemuka Alawiyyin. Andaikata yang
mengajaknya ziarah bukan Syaikh Abdul Ghafur maka ia tidak
akan percaya jika makam sederhana itu merupakan makam
leluhurnya yang telah begitu berjasa menyiarkan kebenaran Islam
di negeri-negeri timur. Namun, sesaat kemudian ia sadar bahwa
Allah seringkali menyelubungi kekasih-Nya dengan hijab-hijab
yang tak tertembus sehingga tidak banyak manusia yang tahu
siapa sebenarnya kekasih-Nya itu. Dan lantaran Syaikh Abdul
Ghafur menjelaskan bahwa leluhurnya adalah anggota Jama’ah
Karamah al-Auliya’ maka ia akhirnya menganggap wajar
ketersembunyian citra mulia leluhurnya itu.

Syaikh Abdul Ghafur menjelaskan secara singkat tentang hakikat


keberadaan alam kubur. Menurutnya, alam kubur adalah alam
penyekat yang mengantarai alam dunia dan akhirat. Alam kubur
lebih luas dibanding alam dunia, dengan perbandingan alam rahim
dan alam dunia.

“Inilah alam kesadaran manusia yang lebih tinggi dibanding alam


kesadaran manusia di dunia. Karena, ruh manusia sudah lepas
dari penjara tubuh jasad dan perintah-perintah nafsunya. Di alam
460
kubur inilah ruh setiap manusia menyadari keberadaan dirinya.
Karena itu, semua manusia akan terkejut dan baru sadar betapa
selama ini mereka telah disibukkan oleh urusan benda-benda
duniawi dan mengikuti perintah-perintah nafsunya untuk
bermegah-megah diri (QS at-Takasur: 1-4).”

“Apakah ruh, jasad, dan nafsu manusia di alam kubur akan


terpisah-pisah?” tanya Abdul Jalil meminta penjelasan.

“Karena telah bebas dari jasad dan dari perintah nafsu maka ruh
tiap manusia yang mati akan ditempatkan di alam arwah yang
membentang dari al-‘Illiyan hingga ke pintu alam barzakh. Namun,
tidak berarti ruh masing-masing manusia lepas dan bebas. Sebab,
masing-masing ruh tetap memiliki hubungan dengan jasad dan
nafsunya. Itu sebabnya, ketika malaikat Rumman datang dan
menyiksa ahli kubur yang durhaka, ruhnya dapat menyaksikan dan
merasakan betapa pedih dan sengsaranya siksaan itu. Hal itu
terjadi karena kesadaran jasad, kesadaran nafsu, dan kesadaran
ruh yang terpisah di alam masing-masing itu merasakan kepedihan
dan kesengsaraan sesuai kadar kesadaran masing-masing.”

Saat malaikat Munkar dan Nakir datang dan menanyai amaliah ahli
kubur, jasad manusia yang selama hidup di dunia terhijab dari
kebenaran-Nya tidak akan dapat menjawab pertanyaan-
pertanyaan tersebut. Sebab, nafsu dan ruhnya sudah berada di
alam barzakh dan alam arwah. Ruh sebenarnya bisa menjawab
pertanyaan-pertanyaan malaikat, namun ia tidak dapat
461
menyampaikan jawaban kepada jasad karena tersekat oleh alam
barzakh. Karena itu, ruh ahli kubur yang durhaka dari detik ke detik
mengetahui dengan pasti apa yang bakal menimpanya ketika
ditanyai malaikat Rumman dan disusul pertanyaan dari malaikat
Munkar dan Nakir. Bahkan saat siksaan bertubi-tubi ditimpakan
atas jasadnya di alam kubur, ruhnya di alam arwah dan nafsunya
di alam barzakh ikut merasakan pedih dan sakitnya siksaan itu.”

“Berarti, manusia di alam dunia ini kesadaran hidupnya belum


sempurna. Justru di alam kuburlah kesadaran masing-masing
nafsu dan ruh tersingkapkan secara utuh?” tanya Abdul Jalil minta
penegasan.

“Hidup manusia di dunia ibarat mimpi singkat,” kata Syaikh Abdul


Ghafur menjelaskan. “Kesadaran macam apa yang bisa ditangkap
oleh manusia di dalam mimpi, kecuali bayangan-bayangan tidak
wujud? Begitulah ibarat kesadaran duniawi itu.”

Sebenarnya Abdul Jalil hendak bertanya sesuatu hal lagi tentang


rahasia alam kubur, namun Syaikh Abdul Ghafur memberinya
isyarat agar memejamkan mata dan berkonsentrasi, “Lakukan apa
yang pernah diajarkan Ario Abdillah ketika mengajakmu masuk ke
alam para Jin!”

Abdul Jalil tercekat kaget. Bagaimana mungkin Syaikh Abdul


Ghafur mengetahui hubungannya dengan Ario Abdillah?
462
Bagaimana pula dia bisa tahu bahwa ia pernah memasuki alam
para Jin? Namun, kilasan keheranan itu cepat ditepisnya. Ia duduk
bersila dan memejamkan mata sambil mengarahkan konsentrasi
ke nur yang bersinar di antara kedua matanya. Sebaris kalimat doa
rahasia yang diajarkan Ario Abdillah dibacanya dengan khusyuk.

Setelah beberapa detik berkonsentrasi, nur di antara kedua


matanya makin terang dan memuncak pada terserapnya
kesadaran Abdul Jalil ke dalam pancaran cahaya. Dan sekedipan
mata kemudian ia telah berada di sebuah tempat yang benderang
disinari cahaya putih kehijauan. Ia mendapati Syaikh Abdul Ghafur
telah berdiri di sampingnya.

Tempat itu ditebari aroma wangi yang sangat memikat penciuman


yang tidak ada padanannya di dunia. Dengan keheranan ia
menyapukan pandangan ke segala penjuru dan menyaksikan
betapa cahaya putih kehijauan itu memancar dari berbagai sudut
cakrawala. Setelah sadar bahwa cahaya-cahaya itu memancar
tanpa lampu, ia mengarahkan pandangan ke depan, yakni pada
sehelai tilam yang juga memantulkan cahaya hijau keputih-putihan.
Ternyata tebaran aroma wangi itu berasal dari sana.

Syaikh Abdul Ghafur memberi isyarat agar Abdul Jalil


mengikutinya. Dengan patuh ia melangkah ke depan tepat di sisi
Syaikh Abdul Ghafur, sambil tetap memandang ke arah tilam hijau.
Betapa terkejutnya ia menyaksikan sesosok manusia yang mirip
dirinya sedang terbujur bagaikan orang tidur. Dengan penuh rasa
463
penasaran ia menegaskan lagi sosok manusia itu. Akhirnya ia
mendapati kenyataan bahwa wajah orang itu mirip dengannya,
namun lebih tua.

“Itulah jasad leluhurmu, Syaikh Abdul Malik al-Qozam,” ujar Syaikh


Abdul Ghafur.

“Beliau kakek buyut saya?” Abdul Jalil tercengang. “Kenapa


wajahnya sangat mirip dengan saya?”

“Karena, engkau adalah kegandaan dari dirinya. Dan lantaran


kegandaan dari ketunggalan yang berujung pada an-nafs al-
wahidah itulah maka di antara seluruh keturunannya hanya
engkaulah yang menggantikannya sebagai anggota Jama’ah,”
jelas Syaikh Abdul Ghafur.

“Apakah itu bermakna saya adalah titisan beliau?” tanya Abdul


Jalil.

“Titisan?” Syaikh Abdul Ghafur balik bertanya dengan tersenyum


lebar. “Kalau yang engkau maksud dirimu adalah penjelmaan
kakek buyutmu baik jasad maupun ruh maka itu pandangan yang
keliru. Namun, jika yang engkau maksud ‘titisan’ adalah dirimu
merupakan bagian dari kegandaan kakek buyutmu, yang juga
berasal dari ketunggalan an-nafs al-wahidah, maka itu benar
464
adanya. Kenapa kukatakan kegandaan dari ketunggalan? Karena,
jasad kakek buyutmu tetap ada dan ruh kakek buyutmu juga tetap
ada, meski kegandaannya ada pada dirimu.”

“Saya paham, Tuan,” sahut Abdul Jalil.

Syaikh Abdul Ghafur kemudian menjelaskan bahwa jasad Syaikh


Abdul Malik yang terbujur damai di atas tilam hijau adalah
gambaran dari manusia yang ketika hidup di dunia telah berhasil
mangalahkan dan menundukkan an-nafs al-hayawaniyyah, an-
nafs al-musawwilah, an-nafs al-ammarrah, an-nafs al-
lawwammah, dan an-nafs al-mulhamah. Itu sebabnya, tubuh
fisiknya (al-basyar) yang merupakan manifestasi nafs-nafs-nya itu
tidur dengan damai di alam kubur hingga yaum al-qiyamah.

Usai menjelaskan tentang jasad Syaikh Abdul Malik, Syaikh Abdul


Ghafur menarik tangan Abdul Jalil ke arah depan. Ia tersentak
kaget. Namun, bersamaan dengan kedipan matanya, ia mendapati
tilam hijau beserta jasad kakek buyutnya lenyap. Tempat yang
disinari cahaya putih kehijauan itu juga lenyap. Sebagai ganti, ia
melihat hamparan luas tanpa batas yang disinari cahaya hijau
cemerlang.

Di hadapannya tampak tilam hijau yang sangat indah, persis


dengan pemandangan di alam kubur, dikitari pohon berbuah
ranum dan bunga aneka warna semerbak mewangi. Pada dahan
465
pohon-pohon itu bertengger burung-burung berbulu hijau yang
berkicau dengan sangat merdu. Dan jika didengarkan dengan
seksama, kicauan itu adalah tasbih yang mengagungkan
kebesaran Ilahi. Yang menakjubkan, di atas tilam itu terbujur sosok
yang mirip dengan dirinya, namun sekujur tubuhnya memancarkan
cahaya. Sosok itu tidur sambil tersenyum seolah diluputi
kebahagiaan yang tak tergambarkan.

“Apakah itu nafs al-muthma’innah kakek buyut saya?” tanya Abdul


Jalil.

“Engkau sudah paham sekarang,” sahut Syaikh Abdul Ghafur al-


Gujarati.

“Apakah ini yang disebut alam barzakh?” ia meminta penegasan.

“Ada dua belas tingkatan dari alam kubur ke alam jabarut, yang
disebut dengan barzakh, yakni sekat-sekat,” ujar Syaikh Abdul
Ghafur. “Namun, kedua belas tingkat itu tidaklah bisa disebut alam
lagi karena hakikat keberadaan kedua belasnya tidak bisa
dijelaskan.”

“Saya paham Tuan,” ujar Abdul Jalil. “Kedua belas tingkatan itulah
yang dilambangkan dengan kelahiran dan kematian Muhammad
al-Mushthafa Saw yang tepat pada tanggal 12, lahir tanggal 12,
466
dan wafat tanggal 12. artinya, beliau turun sebagai manusia
tingkatan yang paling bawah, yakni yang kedua belas. Dan beliau
naik ke tingkatan yang paling atas, yaitu yang kedua belas.”

“Engkau telah paham.”

“Kenapa yang ada di alam barzakh ini hanya an-nafs al-


muthma’innah kakek buyutmu. Sebab, di situ bersemayam pula
an-nafs al-wahidah, an-nafs al-mardhiyyah, dan an-nafs ar-
radhiyyah kakek buyutmu.”

Syaikh Abdul Ghafur kembali menarik tangan Abdul Jalil ke depan.


Ia menurut saja dan sekejap kemudian ia mendapati dirinya berada
di suatu hamparan luas tanpa batas cakrawala. Ke mana
memandang ia menyaksikan cahaya putih kilau-kemilau
memancar penuh keagungan. Di tempat itu ia menyaksikan orang-
orang yang tubuhnya memancarkan cahaya gemilang. Dari cahaya
yang memancar itu berkumandang indah puji-pujian yang
mengagungkan kebesaran Ilahi.

“Di manakah kita, Tuan?” tanya Abdul Jalil heran.

“Tidakkah engkau saksikan sosok yang mirip dirimu di sana?”


Syaikh Abdul Ghafur bertanya balik.

467
Mengikuti arah yang ditunjuk Syaikh Abdul Ghafur, ia menyaksikan
sosok bercahaya itu tersenyum memandangnya. Kemudian secara
menakjubkan sosok itu mendekat hingga berjarak sekitar dua
busur panah.

Syaikh Abdul Ghafur mengucapkan salam dan dibalas oleh sosok


tersebut. Dia kemudian meminta Abdul Jalil maju.

Dengan pandang takjub dan heran Abdul Jalil terkesima


menyaksikan citra dirinya memancar begitu agung dalam wujud
sosok bercahaya kilau-kemilau itu. Ia tercengang ketika tangan
kanan sosok bercahaya itu mengusap-usap kepalanya dengan
penuh kasih. Saat itu sadarlah ia bahwa sosok itu tiada lain adalah
ruh kakek buyutnya.

Melalui al-ima’, ruh Syaikh Abdul Malik menguraikan tentang


tugas-tugas yang harus dijalankan Abdul Jalil sebagai
penggantinya. Dia menceritakan betapa berat menjalankan tugas
sebagai anggota Jama’ah di banding kekasih-kekasih-Nya yang
tidak menjadi anggota Jama’ah. Itu sebabnya, Abdul Jalil wajib
mutlak memasrahkan segala urusan kepada Sang Pemberi Tugas.

Dia menguraikan liku-liku perjalanannya hingga ditabalkan menjadi


anggota Jama’ah. Dia menuturkan betapa berat perjuangannya
meninggalkan negeri Qozam membawa anak istri dengan bekal
terbatas, di bawah ancaman perampok-perampok padang pasir
468
yang merajalela. Bahkan beberapa saat setelah melintasi Tarim,
tiga ekor unta beserta seluruh bebannya telah dirampas.

Dalam keadaan tanpa makanan tanpa air di tengah padang pasir


dengan tiga anak yang masih kecil dan istri hamil, ungkapnya, tidak
ada yang dapat diperbuat kecuali memasrahkan segala urusan
kepada-Nya. Saat itu, sudah tidak dipedulikannya lagi tangisan
anak-anaknya yang lapar dan haus atau isak tangis istrinya yang
tak berhasil membujuk anak-anaknya agar diam. “Itulah
perjuangan terberat yang pernah kualami, yakni
mengesampingkan naluri kebapakan untuk semata-mata
mengarahkan kiblat iman hanya kepada-Nya.”

Pada saat-saat paling menggetarkan ketika matahari bersinar


sangat panas dan tangis anak-anak sudah tersekat di leher yang
kering, lewatlah kabilah yang hendak menuju pelabuhan Aden.
“Pemimpin kabilah itu mengaku bahwa ia hanya kebetulan saja
melintasi tempat itu karena jalur itu memang bukan jalan yang
lazim dilaluinya. Ternyata, kabilah itu milik kaum Ismailiyyah yang
berpangkalan di Alamut. Dan akhirnya, melalui jaringan Ismailiyyah
itulah aku dan keluarga sampai di negeri Hindi dan menyebarkan
kebenaran Islam di sana.”

Menurutnya, di antara ujian Allah yang senantiasa mencitrai


kehidupan anggota Jama’ah dan orang-orang yang dicintai-Nya
adalah lingkaran fitnah yang bagai membelit dari segala penjuru.
Semakin besar limpahan karunia Ilahi maka akan semakin besar
469
dan dahsyat pula jaring-jaring fitnah. “Karena itu, pasrahkan semua
urusan kepada-Nya sebab hanya Dia yang memiliki segala-
galanya. Rencana, alur, pelaksana, hingga akhir dari fitnah itu
adalah mutlak kehendak-Nya. Semata-mata untuk membuktikan
bahwa Dia adalah Sang Pemilik Mutlak dari kehidupan di alam
semesta ini, baik yang kasatmata maupun yang gaib.”

Setelah menuturkan perjalanan hidup, memberi petunjuk ini dan


itu, termasuk memberi keleluasaan dalam meminta fatwa dan
petunjuk dari para anggota Jama’ah terdahulu, dia kemudian
memperkenalkan Abdul Jalil kepada salah seorang anggota
Jama’ah yang menggantikan kedudukannya sesaat setelah dia di
panggil ke hadirat-Nya. Anggota Jama’ah itu adalah Syaikh
Abdurrahman Sajistani yang memiliki nama asli Mainuddin Khisti
Sajistani.

Syaikh Abdurrahman Sajistani mengaku dilahirkan di Sajistani,


yang terletak di bagian timur Persia. Kepergiannya ke negeri Hindi
untuk mendakwahkan Islam adalah atas perintah langsung dari
Muhammad al-Mushthafa Saw.. Saat itu, ungkapnya, dia sedang
melakukan ziarah ke makam Rasulallah Saw. menjelang bulan
Zulhijjah. Ketika sedang berdoa tanpa terasa dia tertidur sekejap di
sisi makam. Saat itulah, lanjutnya, tiba-tiba dia beroleh mubasyirah
(visi mimpi) didatangi Rasulallah Saw.. “Rasulallah Saw bersabda
kepadaku: ‘Allah ‘Azza wa jalla mempercayakan negeri Hindi
kepadamu. Pergilah ke tempat bernama Ajmir. Menetaplah di
sana. Dengan kehendak Allah, Islam akan berkembang melalui

470
perjuanganmu dan kawan-kawanmu’,” ujar Syaikh Abdurrahman
Sajistani.

Dia menguraikan betapa berat perasaannya ketika akan berangkat


ke negeri Hindi yang tak pernah dikenalnya. Selain itu,
keberangkatannya sangat ditentang oleh keluarganya yang
merupakan bangsawan terhormat di Sajistan. Mereka khawatir dia
akan terlantar dan sengsara. Namun, tekad menyampaikan
kebenaran Islam sesuai petunjuk Rasulallah Saw dilaksanakannya
juga.

Perjalanan terberat mencapai Ajmir, ungkapnya, adalah saat


melintasi pegunungan Hindukus menuju kota Kandahar. Sebab,
selain harus menghadapi tantangan alam yang ganas, daerah
tersebut menjadi rebutan antara penguasa Persia dan Syaibanid di
satu pihak dan antara penguasa Moghul dan Syafawi di pihak lain.
Pencegatan, perampasan, penangkapan, pembunuhan, dan
penganiayaan adalah cerita sehari-hari yang membuat orang
harus berpikir seribu kali untuk melewati kawasan itu. “Namun,
dengan bekal keyakinan bahwa perjalananku ke Ajmir adalah atas
kehendak-Nya maka segala berita dan kisah menakutkan itu
berhasil kusingkirkan dari benak dan perasaanku. Kiblatku hanya
Allah. Dan akhirnya kucapai Kandahar dengan selamat. Dari
Kandahar aku langsung ke Lahore, terus ke Panipat, dan akhirnya
ke Delhi.”

471
Selama perjalanan dia merasakan dirinya seperti dibimbing oleh
kekuatan gaib yang membuatnya sangat disukai dan dipercaya
oleh orang-orang yang baru dikenalnya. Itu terbukti saat dia
menyampaikan kebenaran Islam kepada orang-orang yang
dijumpainya sepanjang perjalanan dari Delhi ke Ajmir, seruannya
diterima dengan sukacita. “Saat memasuki kawasan Rajputana,
aku tinggal di rumah keluarga Karamchand Gauda, brahmana
yang dihormati di Delhi dan Bengali. Keluarga itu selain tergolong
ke dalam Panca Gauda, juga merupakan penasihat ruhaniah raja.
Dan justru keluarga itulah yang menerima kebenaran Islam yang
aku sampaikan,” papar Syaikh Abdurrahman Sajistani.

Sekalipun ada kekuatan gaib yang membimbingnya dalam


menyampaikan kebenaran Islam, dia mengaku hidupnya nyaris tak
pernah lepas dilingkari belitan ular-ular fitnah yang berbisa. Tak
jarang dia dianggap aneh, hidup tak kenal aturan, pemalas, fasik,
munafik, bahkan dituduh tidak waras. “Namun, segala urusan akan
selesai jika kita kembalikan kepada Sang Pemilik Mutlak,” ujar
Syaikh Abdurrahman Sajistani.

Syaikh Abdurrahman Sajistani kemudian menjelaskan saat dia


dipanggil ke haribaan-Nya dan jasadnya disemayamkan di
pekuburan kota Ajmir, penggantinya adalah Syaikh Abdul Malik
Karim at-Tabrizi yang tinggal di Benggala, yakni bagian timur
negeri Hindi. Dia kemudian memperkenalkan Abdul Jalil kepada
penggantinya yang memiliki nama asli Jalaluddin at-Tabrizi.

472
Syaikh Abdul Malik Karim menuturkan perjalanan hidupnya hingga
tiba di Benggala. Pilihan hidupnya ini sangat ditentang oleh
keluarganya yang hidup dilimpahi kemakmuran di Tabriz. Sikap
keluarganya, menurutnya, sangat wajar karena menurut
pandangan masyarakat umum tidak ada sesuatu yang bisa
diperoleh di Benggala, kecuali kesengsaraan dan kemiskinan.

“Namun, Guruku Syaikh Syihabuddin Suhrawardi telah memberi


tahu bahwa aku harus ke Benggala untuk menerima perintah-Nya.
Akhirnya, tidak ada yang dapat menghalangi jalanku dalam
menunaikan tugas dari-Nya.”

Tugas berat yang harus dipikulnya adalah menghadapi


masyarakat berkasta rendah yang hidup dibelit kemiskinan. Dalam
banyak hal, dia harus memegang peran sebagai pahlawan
pembela kalangan miskin dan rendah itu. Tak jarang, misalnya, dia
harus membeli anak-anak petani yang dijual pada saat paceklik.
“Anak-anak itulah yang kudidik menjadi mubalig-mubalig tangguh
dalam menyebarkan Tauhid dan menyadarkan kaumnya dari
keterbelakangan dan kehinaan.”

Tak berbeda dengan kesaksian pendahulunya, dia pun


mengungkapkan kisah hidupnya yang dibelit bermacam-macam
fitnah membingungkan dan membahayakan. Namun, dengan
mengembalikan segala urusan kepada Sang Pemilik Mutlak maka
fitnah-fitnah itu akan terhalau dengan sendirinya.

473
Pengganti Syaikh Abdul Malik Karim adalah Syaikh Abdul Qohar
al-Bukhari yang memiliki nama asli Sayyid Jalaluddin al-Bukhari.
Dia merupakan keturunan keempat Syaikh Sayyid Ismail al-
Bukhari, penyiar agama Islam di Lahore yang termasyhur. Syaikh
Abdul Qohar tidak tinggal di Benggala, seperti Syaikh Abdul Malik
Karim at-Tabrizi yang digantikannya, tetapi berasal dari wilayah
Rajputana, tepatnya di daerah Bahawalpur, di kota kecil Ukh.

Setelah hampir setengah abad mendakwahkan Islam, ia dipanggil


ke hadirat-Nya. Penggantinya adalah Syaikh Abdul Hamid al-
Qalandar, yang bernama asli Abu Ali al-Qalandar, berasal dari
Persia. Selama menjalankan tugas-Nya, dia tinggal di kota Panipat
hingga Allah memanggilnya dalam usia seratus tahun lebih.

Setelah mengenal para anggota Jama’ah pendahulunya dan


mendapat izin untuk menemui mereka sewaktu-waktu dibutuhkan,
Abdul Jalil dengan didampingi Syaikh Abdul Ghafur meninggalkan
A’la ‘Illiyin yang menjadi persemayaman ruh para malaikat, rasul,
nabi, aulia, dan shiddiqin. Ruh-ruh dari A’la ‘Illiyyin inilah yang pada
malam Qadr bersama-sama dengan malaikat turun ke dunia untuk
mengatur keseimbangan tiap-tiap urusan dengan melimpahkan
kesejahteraan hingga terbit fajar. (QS al-Qadr: 1-5).

Perjalanan kembali dari A’la ‘Illiyyin ternyata tidak sesingkat


perjalanan berangkatnya. Ini disadari Abdul Jalil ketika ia melintasi
dimensi yang tidak disaksikan saat berangkat menuju ke A’la
‘Illiyyin. Pertama-tama, ia menyaksikan hamparan serba hijau yang
474
dipenuhi burung berbulu hijau yang berkicau merdu dan berkejaran
dengan sukacita. Abdul Jalil menduga tempat itu tentunya alam
barzakh yang menjadi persemayaman an-nafs al-muthma’innah,
an-nafs al-wahidah, an-nafs ar-radhiyyah, dan an-nafs al-
mardhiyyah kakek buyutnya. Namun, suasana gembira dan
sukacita yang mewarnai tempat itu tidak sama dengan tempat
persemayaman an-nafs al-muthma’innah kakek buyutnya yang
damai, tenang, tenteram, dan hening.

Syaikh Abdul Ghafur menangkap keheranan Abdul Jalil. Dia


kemudian menjelaskan bahwa yang mereka lintasi itu adalah alam
barzakh tempat kediaman ruh-ruh orang yang mati syahid
menegakkan kalimat Allah. Mereka itulah burung-burung
kecintaan-Nya yang setiap saat berkicau mengumandangkan
kalimat-kalimat yang memuji keagungan-Nya.

Sesaat sesudah itu, Abdul Jalil berada di taman sangat indah


dengan sungai yang mengalir penuh pesona menakjubkan. Taman
indah itu ditutupi oleh kubah hijau yang keindahannya tak
tergambarkan. Di sepanjang tepinya, ia menyaksikan orang-orang
beristirahat sambil mendendangkan nyanyian memuji kebesaran
Ilahi. Menurut Syaikh Abdul Ghafur, mereka yang beristirahat di
tepi sungai itu adalah ruh-ruh para syuhada yang mati di jalan
Allah. Tiap pagi dan sore mereka mendapat rezeki dari dalam
taman, diantar oleh para pelayan yang ramah dan cantik luar biasa.

475
Setelah itu, ia menyaksikan kumpulan orang yang berkerumun di
luar pintu gerbang. Mereka dengan sangat bernafsu menyaksikan
kenikmatan hidup di dalam taman. Mereka ingin masuk, namun
tidak bisa. Menurut Syaikh Abdul Ghafur, mereka adalah orang-
orang yang berjuang di jalan Allah, namun hati mereka dinodai oleh
pamrih-pamrih pribadi untuk kesombongan diri. Mereka sangat
bangga dengan amaliahnya dan suka sekali memamer-mamerkan
perjuangannya. Lantaran perbuatannya itu, seluruh amaliah
mereka terhapus bagaikan impian.

Abdul Jalil kemudian memasuki dimensi yang menggetarkan dari


bagian alam kubur, yakni hamparan taman yang ditumbuhi pohon-
pohon berbatang, berdahan, berdaun, dan berbuah kobaran api.
Rumput-rumput yang menghampar adalah kobaran api. Sungai-
sungai pun dialiri kobaran api. Lalu terpampanglah pemandangan
mengerikan. Ia menyaksikan seseorang tubuhnya terbakar. Orang
itu berteriak-teriak sambil berlarian ke sana dan ke mari. Menurut
Syaikh Abdul Ghafur, tempat itu merupakan alam kubur yang
ditempati oleh orang yang mati syahid, namun mempunyai sifat
curang dan tidak jujur. “Pemandangan yang engkau saksikan itu
adalah orang yang mati syahid, namun punya kebiasaan
menyembunyikan rampasan perang. Dia suka melucuti barang-
barang dari mayat musuh maupun kawannya sendiri.”

Ia ngeri mendengar penjelasan Syaikh Abdul Ghafur. Sungguh ia


tidak bisa membayangkan betapa mengerikannya keadaan orang
yang tidak mati syahid, tetapi melakukan kecurangan dan

476
kejahatan menyembunyikan harta benda yang bukan haknya.
Tentunya mereka akan mengalami nasib yang lebih buruk.

Keluar dari taman api, ia memasuki dimensi yang seluruhnya


dikobari nyala api. Tepat di tengah-tengahnya terdapat tungku
raksasa berkobar-kobar. Di atas tungku itu ia menyaksikan
seorang perempuan dalam keadaan telanjang dipanggang dengan
kemaluan dan dubur ditusuk lonjoran besi mirip tombak.

Perempuan itu dengan mata terbelalak, tangannya menjambak-


jambak rambut, berteriak-teriak, dan berkelojotan menahan sakit
tak tertahankan. Tubuhnya melepuh. Leleh. Lalu hangus
menghitam. Namun, sesudah itu secara ajaib tubuhnya utuh
kembali seperti sediakala. Menurut Syaikh Abdul Ghafru,
perempuan itu adalah seorang Muslimah yang taat beribadah,
namun memiliki kegemaran berzina.

Sungguh ia tidak bisa membayangkan bagaimana siksaan yang


bakal diterima oleh ahli zina yang mengaku muslim dan muslimah,
namun tidak pernah menjalankan ibadah kepada Allah. Ia juga
tidak bisa membayangkan bentuk siksaan yang bakal dialami ahli
zina yang terhijab dari kebenaran hidayah-Nya.

Keluar dari alam kubur ahli zina, ia masuk ke dimensi dengan


cahaya merah temaram. Sejauh mata memandang ia hanya
menyaksikan genangan darah memenuhi cakrawala. Kemudian,
477
dalam keremangan ia mendapati seorang laki-laki sedang
berenang. Sambil berteriak-teriak dengan suara serak, dia mencari
batu-batu di dalam genangan darah. Ketika sudah ditemukan
dengan lahap dia menelan batu-batu yang kasar dan tajam
tersebut. Laki-laki itu berteriak-teriak kesakitan karena mulutnya
berdarah dan tenggorokannya luka parah.

Menurut Syaikh Abdul Ghafur, laki-laki sengsara yang berenang


dalam genangan darah dan menelan batu-batu itu adalah seorang
muslim yang saat hidup di dunia memakan harta hasil riba dan
mencurangi ukuran timbangan. Laki-laki itu adalah saudagar mata
duitan yang menghalalkan segala cara asalkan bisa meraih
keuntungan besar. Dia akan mengalami disiksa sampai yaum al-
qiyamah. Sungguh mengerikan nasib orang celaka itu.

Setelah keluar dari persemayaman ahli riba dan ahli mencurangi


timbangan, Abdul Jalil memasuki dimensi yang gelap. Di sana ia
menyaksikan seorang perempuan tubuhnya luluh lantak dijepit
bongkahan batu dan tanah. Tulang-belulangnya patah dan
mencuat ke permukaan menembus daging. Tengkorak kepalanya
remuk mengeluarkan cairan otak. Ratap tangisnya tak bisa
digambarkan dengan bahasa manusia.

Perempuan celaka itu sewaktu hidup di dunia sangat kikir dan


aniaya terhadap fakir miskin dan anak yatim. Dia suka sekali
mengurangi jatah infak dan sadaqah yang disisihkan suaminya.
Bahan makanan yang akan diberikan sebagai zakat dan sadaqah
478
pun digantinya dengan bahan bermutu jelek. Pendek kata,
perempuan itu selalu menelikung suaminya di dalam hal nafkah,
infak, sadaqah, dan zakat.

Pemandangan yang paling mengejutkan Abdul Jalil saat memasuki


alam kubur adalah saat menyaksikan siksaan yang dialami oleh
seorang laki-laki yang tubuhnya dibelit dan digigiti oleh puluhan
ekor ular berbisa. Laki-laki itu meraung-raung dan melolong-lolong
kesakitan. Tubuhnya berkelojotan. Namun, ular-ular itu dengan
ganas menyemburkan bisa dan menggigitnya tanpa henti.
Seketika ia teringat perjalanannya memasuki dimensi an-nafs al-
hayawaniyyah di dalam dirinya.

Kali ini, Syaikh Abdul Ghafur tidak menjelaskan siapa laki-laki


celaka yang dibelit dan digigiti ular-ular itu. Namun, Abdul Jalil
paham bahwa laki-laki itu pastilah orang yang semasa hidup di
dunia terbelenggu oleh an-nafs al-hayawaniyyah. Itu berarti, dia
adalah orang yang sangat mendewakan kebendaan, keras kepala,
menolak kebenaran yang bersifat ruhani, gampang putus asa, dan
mendustakan ayat-ayat Allah.

Kehidupan al-Malamatiyyah adalah kehidupan yang diliputi


keanehan-keanehan. Karena perjalanan hidup seorang malamit
ditandai oleh pengalaman-pengalaman menakjubkan yang nyaris
tidak dialami oleh manusia seumumnya. Lantaran itu, seorang
malamit tidak dapat hidup sebagaimana lazimnya manusia karena
latar pengalaman telah membentuk pandangan-pandangan,
479
paham-paham, gagasan-gagasan, dan kerangka berpikir yang
khas al-Malamatiyyah. Dan lantaran itu pula, seorang malamit
sering dinilai tidak waras dan keberadaannya dianggap berbeda
dari manusia lain.

Rentang waktu yang panjang dan liku-liku pengalaman yang telah


dilampaui Abdul Jalil pun pada gilirannya telah menjadikannya
sebagai sosok manusia yang dianggap aneh oleh lingkungannya.
Hal itu disadari Abdul Jalil ketika istrinya, Shafa, mengingatkan
perlakuannya yang sangat berlebihan terhadap seorang sufi
pengembara bernama Syamsuddin al-Habba. Shafa yang belum
mengenal aturan dan kebiasaan yang berlaku di kalangan sufi
menganggap aneh perlakuan suaminya yang membasuh kaki
Syamsuddin al-Habba saat menjelang tidur. Shafa juga
menganggap aneh tindakan suaminya yang mengantar
Syamsuddin al-Habba mandi dan kemudian menggosok
punggung, kaki, dan tangannya. Padahal, dia adalah laki-laki asing
tak dikenal, berpenampilan lusuh, dan pakaiannya kumal penuh
tambalan.

Abdul Jalil menyadari bahwa istrinya berbeda pandangan


dengannya. Ia berusaha menjelaskan bahwa ada aturan-aturan
yang harus diikuti oleh pengamal ajaran tasawuf, terutama dalam
ikatan persahabatan. Ia menjelaskan bahwa hal itu dipatuhi oleh
siapa saja, termasuk Pir Agung Syaikh Abdul Ghafur al-Gujarati.
Dan hal itu sudah menjadi peraturan sejak zaman nabi dan rasul
yang dilestarikan hingga kini.

480
“Di dalam persahabatan sejati,” ungkapnya, “kita tidak boleh
mengedepankan kepentingan pribadi. Sebab, segala keburukan
persahabatan sumbernya dari keakuan diri. Orang yang telah
berhasil mengesampingkan kepentingan pribadi demi kepentingan
sahabatnya maka orang itu telah berhasil dalam persahabatan.”

Setelah mengarungi kehidupan bersama Shafa selama beberapa


waktu, Abdul Jalil menyadari kebenaran ungkapan Ahmad at-
Tawallud tentang makna di balik perkawinannya yang baru.
Dengan perkawinannya ini, ia benar-benar dapat
mengesampingkan citra Nafsa dan “keterkaitan” jiwa dengan istri
pertamanya. Ia merasakan betapa kiblat hatinya kepada Allah
makin kuat dan jernih. Ia merasakan dirinya bagai burung terbang
bebas di angkasa, yang hanya pulang ke sarang untuk
memberikan naungan dan perlindungan kepada burung betina dan
anak-anaknya.

Shafa binti Adamji Muhammad akhirnya dapat memahami sikap


dan pandangan hidup suaminya yang semula dianggap aneh.
Namun, saudara, kerabat, serta tetangganya kebanyakan tetap
menganggap suaminya itu sebagai orang aneh. Dalam kehidupan
sehari-hari, misalnya, mereka melihat suami Shafa berkeliling dari
satu tempat ke tempat lain untuk berbicara dengan orang-orang
mengenai bencana besar yang bakal datang jika mereka lalai
terhadap ajaran Ilahi. Tindakan Abdul Jalil itu tentu saja dianggap
aneh karena menyia-nyiakan waktu bekerja untuk membicarakan
soal-soal yang berkaitan dengan dongeng-dongeng lama.

481
Karena sering berkeliling, Abdul Jalil memiliki banyak kawan dan
kenalan. Namun, yang tetap mengherankan orang-orang adalah
kawan-kawannya umumnya terdiri atas para yogi, brahmin, rsi, dan
sufi yang hidupnya miskin. Mereka silih berganti datang bertamu
untuk membicarakan hal-hal yang tak dipahami masyarakat.
Untung saja Adamji Muhammad sejak awal sudah diberi tahu oleh
pir panutannya, Syaikh Abdul Ghafur, tentang keanehan putera
menantunya itu sehingga kasak-kusuk para tetangga tidak sedikit
pun dia hiraukan.

Atas petunjuk Syaikh Abdul Ghafur, Abdul Jalil tinggal di rumah


yang terletak di samping tempat tinggal mertuanya. Sebab, ia
sering bepergian dan meninggalkan istrinya barang sepekan atau
sepuluh hari. Saat-saat itulah Adamji Muhammad akan menjaga
Shafa. “Engkau yang menolong kekasih-Nya pasti akan ditolong
oleh-Nya. Engkau yang membantunya menyelesaikan tugas-
tugasnya, pasti tugas-tugasmu akan diselesaikan-Nya. Sungguh
Dia Mahatahu dan Mahaadil,” ujar Syaikh Abdul Ghafur.

Adamji yang patuh pada perintah Syaikh Abdul Ghafur dengan


penuh sukacita ikut mengurus dan membantu segala kebutuhan
menantunya. Tanpa pernah mengeluh dia menerima kasak-kusuk
tetangganya. Dan badai kasak-kusuk pun makin dahsyat ketika
Shafa sedang hamil tua, namun suaminya pergi ke kota Surat dan
belum diketahui kapan kembali.

482
Adamji sendiri sekalipun sudah memahami bahwa Abdul Jalil
menjalankan tugas-tugas Allah, sesekali masih juga dirayapi rasa
heran dengan peri kehidupan putera menantunya itu. Perasaan
heran itu dirasakannya setelah secara diam-diam dia mengamati
perilaku Abdul Jalil ketika berbicara, berjalan, tidur, makan,
menerima tamu, dan bahkan saat berbincang-bincang. Namun,
keheranan Adamji Muhammad tak berlangsung lama ketika pir
Agungnya menguraikan sifat-sifat Abdul Jalil. “Ia sendiri
sebenarnya tidak ingin memiliki perilaku seperti itu. Namun, apa
yang bisa ia perbuat jikalau Allah menghendakinya berperilaku
demikian,” ujar Syaikh Abdul Ghafur.

“Hamba memahami petunjuk Guru Yang Mulia.”

“Ketahuilah, o Adamji, bahwa engkau sebagai orang lain hanya


bisa menilai keberadaan putera menantumu dengan keheranan
belaka. Tetapi jika engkau menjadi dia, pasti engkau tidak akan
kuat menahan beban derita yang dipikulnya.”

“Hamba paham, Guru Mulia.”

Ketika usianya menginjak tiga puluh lima, lahirlah putera


pertamanya dari Shafa yang diberi nama Darbuth – dari gabungan
kata ad-Dar (rumah, tempat, kediaman) dan al-Buthun (relung
kehampaan) – yang bermakna “rumah persembunyian Khazanah
Tersembunyi.” Puteranya dinamakan demikian sebab pada malam
483
menjelang kelahirannya, ia mengalami peristiwa ruhaniah terserap
masuk ke dalam relung terdalam dari kehampaan yang ada di
dalam dirinya, yang merupakan tempat persemayaman al-Haqq.

Sekalipun pengalaman ruhani itu mirip dengan yang pernah


dialaminya di Jabal Uhud saat dibimbing Misykat al-Marhum,
namun kali ini terdapat perbedaan-perbedaan, baik dalam
gambaran-gambaran manifestasi tiap-tiap dimensi maupun
tentang hakikat masing-masing dimensi. Hal itu baru disadari saat
ia memasuki dimensi serba hitam, yang merupakan manifestasi
an-nafs al-hayawaniyyan. Ia merasa ada sesuatu yang berbeda
baik bentuk-bentuk kilasan maupun suasana yang meliputinya.

Kali ini ia tidak lagi melihat bayangan ular raksasa berkepala empat
dengan hewan-hewan melata yang mengerumuninya. Suasana di
situ juga tidak sepekat pada pengalaman sebelumnya. Ia hanya
menyaksikan hamparan hitam memenuhi segenap penjuru
penglihatan batinnya. Kemudian bagai matahari terbit di pagi hari,
ia mendapati penglihatan batinnya secara jernih dan terang
menyingkapkan keberadaan dimensi hitam itu sebagai manifestasi
dari an-nafs al-hayawaniyyah dengan segala sifat dan
kecenderungannya.

Namun, kenapa gambaran ular raksasa berkepala empat dengan


hewan-hewan melata yang mengerumuninya tidak ada?

484
Karena, Abdul Jalil telah menyumbat sumber hasrat kebendaan
dari hati dan pikirannya. Maka, kilasan gambaran-gambaran
bentuk itu terhapus. Gambaran dari bentuk-bentuk itu adalah ilusi
maya tidak berwujud yang berasal dari lembah angan-angan dari
pikiran yang rendah dan berliku-liku. Gambaran ilusi itu baru bisa
mewujud dalam bentuk-bentuk manakala hasrat kebendaan yang
memancar dari kedalaman relung an-nafs al-hayawaniyyah
dibiarkan mengalir menuju ke sungai pikiran yang juga rendah dan
berliku-liku.

Hasrat kebendaan ibarat air. Ilusi maya ibarat lembah angan-


angan yang rendah dan berliku-liku. Jika lembah angan-angan itu
dialiri air dari sumber hasrat kebendaan maka akan terbentuk aliran
sungai nafsu kebendaan yang menjadi lahan subur bagi
tumbuhnya hutan khayalan tentang benda-benda yang
menyesatkan. Namun, Abdul Jalil telah berhasil menyumbat
sumber yang memancarkan hasrat kebendaan itu. Hal ini
mengakibatkan aliran ilusi maya yang ada di dalam relung an-nafs
al-hayawaniyyah-nya tidak mengalir lagi. Lembah angan-angan
pun kering. Hutan pun hilang. Demikianlah, kilasan gambaran
tentang benda-benda terhapus dari pikiran dan hatinya.

Seperti pengalaman yang sudah-sudah, kali itu pun ia merasakan


kesadarannya terisap oleh kekuatan dahsyat dan ia terlempar dari
dimensi hitam untuk kemudian memasuki dimensi serba kuning.

485
Di sini pun ia tidak menyaksikan bayangan anjing raksasa berbulu
kuning keemasan berkepala empat. Pemandangan yang
terhampar di hadapannya hanyalah wujud serba kuning.
Kemudian, dengan mata batinnya yang terang benderang ia
mengetahui bahwa dimensi serba kuning itu adalah manifestasi
dari an-nafs al-musawwilah dengan semua sifat dan
kecenderungannya. Dan ketiadaan kilasan bentuk-bentuk apa pun
dikarenakan ia sudah menyumbat sumber hasrat kesyahwatan dari
pikiran dan hatinya.

Hal serupa dialaminya ketika memasuki dimensi merah. Ia tidak


menyaksikan bayangan kera raksasa berbulu merah menyala,
karena an-nafs al-ammarrah di dalam dirinya telah tertaklukkan.
Pengalaman yang sama terulang kembali saat memasuki dimensi
hijau, yang merupakan manifestasi dari an-nafs al-lawwammah,
dan dimensi biru yang merupakan manifestasi dari an-nafs al-
mulhamah.

Namun, saat memasuki dimensi serba putih yang merupakan


manifestasi an-nafs al-muthma’innah, ia mendapati kesaksian
baru, terutama tentang makna hakiki dari durrah al-baidha’ dan al-
mudhghah. Pada dimensi itu ia memperoleh pencerahan baru
tentang ketidakbenaran pengungkapan citra hakiki dari nafs-nafs
yang telah dilampauinya.

Pengakuan nafs-nafs sebagai durrah (mutiara), misalnya, baik


durrah al-aswad (mutiara hitam), durrah al-ashfar (mutiara kuning),
486
durrah al-ahmar (mutiara merah), durrah al-khadhr (mutiara hijau),
dan durrah al-azraq (mutiara biru) pada dasarnya adalah
pengakuan yang dilebih-lebihkan. Hakikatnya adalah maya.
Sebab, pada kenyataannya, satu-satunya durrah yang nyata dan
wujud adalah durrah al-baidha’ yang merupakan manifestasi dari
an-nafs al-muthma’innah.

Terjadinya pengakuan atas durrah berbagai ragam warna maya itu


adalah akibat ‘aku’ dari masing-masing nafs telah mengaku-aku
keutamaan diri melebihi kenyataan yang sesungguhnya. Ini
berbahaya karena nafs-nafs gampang terpengaruh oleh kilasan-
kilasan ilusi yang mengalir dari lembah angan-angan, yang mudah
terpesona oleh fatamorgana manifestasi Iblis. Dengan ilusi maya
itu, nafs-nafs memanifestasikan sifat-sifat Iblis yang berlebihan
memuliakan diri sendiri dalam bentuk pemujaan materi, tamak,
takabur, ‘ujub, riya, iri hati, cemburu, pemarah, dan pendendam.
Penilaian diri berlebihan itulah yang menciptakan ilusi maya
tentang musuh menjadi kenyataan. Karena, siapa saja yang
dianggap menandingi kemuliaan dirinya akan dianggapnya
sebagai musuh. Dan ujung dari kecenderungan ini adalah
menganggap malaikat dan bahkan Tuhan sebagai musuh. Sebab,
baik malaikat maupun Tuhan dianggap menandingi kemuliaan
dirinya. Gejala-gejala pemuliaan diri secara berlebihan seperti itu
adalah manifestasi diri dari sifat-sifat dan kecenderungan nafs-nafs
yang jauh dari cahaya terang al-Haqq.

Pengalaman itu menyingkapkan kesadaran baru yang lebih jernih


dan terang tentang hakikat nafs-nafs. Ia sadar bahwa sisi paling
487
terang yang terentang di antara nafs-nafs yang mendapat
pancaran cahaya al-Haqq adalah an-nafs al-muthma’innah, dan
sisi yang tergelap adalah an-nafs al-hayawaniyyah. Itu sebabnya,
keberadaan an-nafs al-muthma’innah mewujud pada dimensi putih
yang disebut durrah al-baidha’, yang wujud jasadnya disebut al-
mudhghah.

Berarti, menurut hematnya, pada wujud fisik al-mudhghah


(eksistensi ruhaninya disebut qalb) bersemayam hati nur’aini
(cahaya mata batin) yang memancari kegelapan hijab-hijab nafs.
Pada dimensi inilah medan perang dari perjuangan besar (al-jihad
al-akbar) untuk memerangi kecenderungan-kecenderungan nafs
digelar, di mana lima pasukan besar nafs (al-bathil) yang
menyesatkan, yang muncul dari kegelapan nafs-nafs rendah,
berhadapan dengan pasukan ruh (al-haqq) yang muncul dari
terang cahaya al-Haqq. Kedua kekuatan dahsyat pasukan besar
itu – nafs (gelap) dan ruh (terang) – bertempur untuk saling
menguasai Benteng al-mudhghah.

Dari pertempuran dahsyat ini pada gilirannya hanya akan


menghasilkan dua kelompok manusia. Kelompok pertama adalah
manusia yang telah kalah oleh nafs. Benteng al-mudhghah beserta
isinya (qalb) dikuasai oleh pasukan nafs yang berwujud ular,
hewan melata, anjing, hewan buas, kera, hewan pemangsa,
raksasa-raksasa liar dan ganas, dan berbagai monster mengerikan
yang merusak tatanan kehidupan manusia. Kelompok pertama ini
akan terperosok ke lembah kebatilan dan jurang kesesatan yang

488
penuh kesengsaraan dan penderitaan. Wujud mereka memang
manusia, namun nalurinya binatang dan jiwanya setan terkutuk.

Tanda-tanda utama dari manusia kelompok pertama adalah jika


berbicara tentang kehidupan duniawi sangat memesona. Tidak
segan mereka menyitir ayat-ayat Allah untuk meneguhkan daya
pesonanya. Namun, hidup mereka selalu diwarnai kemudharatan.
Mereka tidak bermanfaat bagi manusia lain. Mereka selalu
merugikan manusia lain. Mereka menjadi sumber keonaran.
Mengutamakan kepentingan pribadi di atas segalanya. Kejahatan
akhlak yang mereka lakukan pun tidak pernah terlintas di benak
manusia waras. Mereka benar-benar terhijab dari al-Khaliq.
Kelompok inilah yang disebut asfala safilin, yang paling rendah di
antara yang terendah.

Kelompok kedua adalah manusia yang memenangkan pengaruh


ruh dan menaklukkan nafs. Pasukan ruh yang terdiri atas prajurit
fawa’id, pengawal ruh, hulubalang sirr, ksatria kafi, menteri akfa,
dan Sang Raja Ana al-Haqq, menguasai Benteng al-mudhghah.
Merekalah yang disebut mu’minin, shalihin, mujahidun, muttaqin,
shiddiqin, muqarrabin, dan muhaimin. Tanda-tanda utama
manusia kelompok kedua adalah jika berbicara tentang kehidupan
duniawi sangat tidak menarik dan naif karena mereka
mengabaikan kebendaan dan kesyahwatan. Hidup mereka
dibimbing oleh panglima akhlak. Mereka selalu mengesampingkan
kepentingan pribadi untuk kemaslahatan umum. Selalu
mendatangkan manfaat bagi manusia lain. Kelompok inilah yang
disebut ahsani taqwim, yang terbaik ruhani dan jasmani; yang
489
berkedudukan sebagai insan kamil, manusia paripurna; dan
berhak menjadi fi al-ardh, wakil Allah di muka bumi.

Dengan pemahaman baru ini, Abdul Jalil menilai kehidupan


manusia justru dimulai dari pengungkapan hakiki dari perjuangan
memanifestasikan sifat-sifat dan kecenderungan ruh (al-haqq)
untuk memerangi sifat-sifat kecenderungan nafs (al-bathil).
Manusia yang hidupnya semata-mata dibimbing oleh sifat-sifat dan
kecenderungan nafs maka mereka adalah makhluk yang terhijab,
yang pancaran cahaya hati nur ‘aini-nya akan padam. Manusia
pada tingkat ini keberadaannya tidak berbeda dengan hewan,
bahkan lebih jahat dan lebih berbahaya, karena mereka memiliki
senjata akal.

Setelah melintasi dimensi nafs-nafs beserta tirai-tirai hijabnya dan


melampaui durrah al-baidha’, Abdul Jalil memasuki dimensi an-
nafs al-wahidah. Ia mendapati dimensi ini diterangi cahaya dari
qandil yang memancar sangat terang. Inilah lampu yang menyala
tanpa api. Inilah dimensi nur al-baidha’. Inilah persemayaman
fawa’id. Cahaya dari qandil inilah yang memancar dan menerangi
durrah al-baidha’ di mana an-nafs al-muthma’innah bersemayam.
Inilah hakikat kemuliaan Adam yang ridho dan diridhoi oleh-Nya.

Dalam mengenali dan memaknai dimensi-dimensi yang ada di


dalam dirinya, terutama dimensi nur al-baidha’, Abdul Jalil
mendapati keberadaan an-nafs al-wahidah – sebagai satu
kesatuan dari bagian an-nafs ar-radhiyah – dan an-nafs al-
490
mardhiyyah seibarat kesatuan antara nyala lampu, sumbu, dan
minyak. An-nafs al-wahidah itulah nyala cahaya lampu. An-nafs ar-
radhiyah itulah sumbu. An-nafs al-mardhiyah itulah minyak.
Demikianlah, an-nafs al-wahidah adalah manifestasi dari fawa’id.
An-nafs ar-radhiyah adalah manifestasi dari ruh. An-nafs al-
mardhiyah adalah manifestasi dari sirr.

Lebih tegas lagi, an-nafs al-wahidah yang di dalamnya


“tersembunyi” fawa’id merupakan manifestasi al-Kamal yang
muncul dalam wujud Adam. Sedang an-nafs ar-radhiyah yang di
dalamnya ”tersembunyi” ruh adalah manifestasi al-Jalal yang
muncul dalam wujud Dinding al-Jalal. Sementara an-nafs al-
mardhiyah yang di dalamnya “tersembunyi” sirr adalah manifestasi
al-Jamal yang muncul dalam wujud Taman al-Jamal.

Dengan mengenali, memahami, dan memaknai keberadaan


dimensi nur al-baidha’, ia menyadari sesadar-sadarnya tentang
kemuliaan Adam yang disemayamkan di tengah Taman surgawi
yang dilingkari Dinding tak tertembus. Adam sendiri menyaksikan
keindahan Taman al-Jamal dan Dinding al-Jalal dengan
pandangan bashirah yang merupakan manifestasi dari al-Bashir.
Dan lantaran hakikat keberadaan Adam yang begitu mulia, yakni
sebagai pengejawantahan Khazanah Tersembunyi, maka seluruh
malaikat diperintahkan sujud kepadanya.

Ketika memasuki dimensi paling dalam dari nur al-baidha’, untuk


kali keduanya Abdul Jalil menjumpai ar-ruh al-idhafi yang berwujud
491
seperti dirinya dengan pancaran cahaya putih kehijau-hijauan,
namun hanya seukuran ibu jari. Inilah manifestasi dari al-khafi yang
tiada lain adalah selubung hijab yang disebut hajib ar-Rahman
(hijab ar-Rahman). Inilah wilayah gaib yang menjadi pembatas
(barzakh) antara makhluk dan al-Khaliq.

Abdul Jalil menyadari sesadar-sadarnya bahwa ar-ruh al-idhafi


adalah manifestasi belaka dari al-Haqq yang terselubung dalam
kerahasiaan paling rahasia. Itu sebabnya, saat ar-ruh al-idhafi
memaparkan berbagai uraian tentang hakikat kebenaran yang
menawarkan kemuliaan, keagungan, kehebatan, kekeramatan,
serta berbagai kelebihan yang tak dipunyai manusia lain, dengan
tegas ia menolaknya. “Saya berharap agar semua keinginan
pribadi saya terhapus. Karena, sesungguhnya hanya Allah saja
yang memiliki kehendak.”

“Apakah engkau tidak memiliki keinginan bertemu dengan Rabb-


mu?” tanya ar-ruh al-idhafi.

“Sesungguhnya, sejak awal perjalanan hidup saya, keinginan saya


yang paling tak terkendali adalah bertemu dengan Rabb-ku.
Namun, sekarang saya sadar bahwa keinginan kuat yang begitu
dahsyat menguasai jiwa saya itu pada dasarnya adalah atas
kehendak-Nya jua. Itu sebabnya, saya pasrahkan segala sesuatu
yang berkaitan dengan hajat hidup saya kepada-Nya. Dia
Mahatahu dan Maha Berkehendak,” ujar Abdul Jalil.

492
“Tidakkah engkau ingin tahu hakikat terahasia dari
keberadaanku?”

“Tuan yang berwujud mirip saya, tentu Tuan lebih tahu tentang
hakikat kerahasiaan di balik keberadaan Tuan daripada saya.
Namun bagi saya, Tuan adalah manifestasi belaka dari
keberadaan al-Haqq. Sebab, menurut keyakinan saya, al-Haqq
tidak akan sama dan serupa dengan al-insan. Al-Khaliq tidak bisa
dibandingkan dengan makhluk. Dia tidak bisa disetarakan dengan
sesuatu (laisa kamitslihi syaiun). Jadi, menurut keyakinan saya,
hanya karena Dia, dengan Dia, melalui Dia, dan kehendak Dia
semata saya akan menyaksikan kebenaran wujud-Nya entah itu
pada tingkat Asma’-Nya, Shifat-Nya, Af’al-Nya, maupun Dzat-Nya.
Dan andaikata Dia menetapkan bahwa saya hanya boleh
mengenal-Nya dalam wujud manifestasi Tuan maka saya
menerima itu sebagai anugerah paling berharga dari-Nya,” ujar
Abdul Jalil.

Menyaksikan keteguhan, ketulusan, dan keterbebasan jiwa Abdul


Jalil dari pamrih pribadi, ar-ruh al-idhafi memancarkan cahaya
sangat terang dari seluruh tubuhnya. Kemudian dengan isyarat, dia
memerintahkan Abdul Jalil masuk ke dalam dirinya melalui telinga
kirinya.

Perintah itu membuat Abdul Jalil tercengang sejenak, namun ia


tidak membiarkan ketakjuban dan keheranan mempengaruhi
kesadarannya. Itu sebabnya, dengan gerakan cepat ia bergegas
493
melangkah mendekat. Dengan konsentrasi diarahkan ke telinga ar-
ruh al-idhafi, ia menyaksikan peristiwa menakjubkan. Telinga ar-
ruh al-idhafi tiba-tiba menjadi sangat besar seibarat gua. Meski
demikian, ia tidak tahu pasti apakah dalam hal itu tubuh ar-ruh al-
idhafi yang meraksasa hingga telinganya pun sebesar gua atau
sebaliknya tubuhnya yang mengecil hingga bisa masuk ke dalam
telinga kiri ar-ruh al-idhafi.

Ketika berada di ambang telinga ar-ruh al-idhafi, tiba-tiba ia


merasakan kesadarannya terisap oleh kekuatan dahsyat yang
menariknya ke arah dalam. Ia tercekat. Kemudian kesadarannya
terasa jungkir-balik memasuki kumparan cahaya warna-warni.
Sedetik sesudah itu, ia telah berada di hamparan cahaya yang
sangat terang.

Hamparan terang itu tanpa wujud bentuk-bentuk, tanpa bayangan,


tanpa benda gelap dan terang. Abdul Jalil tercengang menyadari
keberadaannya di dimensi asing itu. Sejauh mata batinnya (al-‘ain
al-bashirah) memandang, ia hanya menyaksikan gumpalan kabut
putih. Dimensi ini sangat asing dan aneh karena tanpa arah timur,
barat, selatan, dan utara. Ia bahkan dapat menyaksikan seluruh
cakrawala. Inikah dimensi di dalam ar-ruh al-idhafi? Demikian
pertanyaannya penuh ketakjuban. Tidak ada apa-apa di dimensi
itu: tidak suara, warna, bau, atau rasa. Yang ada hanya
kesenyapan. Kelengangan. Kesunyian. Keheningan. Bahkan
kehampaan. Anehnya, Abdul Jalil justru merasakan bahwa di
dimensi inilah ia berada dalam keadaan sebebas-bebasnya,
terbebas dari segala beban; ia merasakan kesadarannya laksana
494
sebutir debu yang terbang melayang-layang dibawa embusan
angin. Betapa bebas! Betapa bahagia! Betapa nikmat!

Ketika tengah menikmati kelepasbebasan dengan kebahagiaan


tiada tara, tiba-tiba telinga batinnya menangkap al-ima’ yang
bergetar dari segenap penjuru cakrawala.

“Inilah Haikal Muqaddas yang merupakan Dar al-Haram


persemayaman al-Haqq. Inilah al-Buthun, “persemayaman”
Khazanah Tersembunyi yang ditampakkan oleh-Nya dalam
penciptaan dirimu. Haikal Muqaddas ini tidak berada di mana-
mana, kecuali di dalam dirimu sendiri.”

“Apakah saya diizinkan memasuki altar Haikal Muqaddas agar


saya dapat menyaksikan dan menyembah-Nya dengan sebenar-
benarnya?”

“Aku Hajibur Rahman, penjaga Haikal Muqaddas, tidak akan


mengizinkan siapa pun masuk tanpa izin-Nya.”

“Apakah Tuan mengira kehadiran saya hingga di Haikal Muqaddas


ini adalah kehendak saya pribadi dan tanpa izin-Nya? Saya yakin
bahwa apa yang saya alami ini adalah atas kehendak-Nya semata.
Karena itu, o Hajibur Rahman, mohonkan kepada-Nya agar saya
diperkenankan masuk.”
495
Suasana hening. Senyap. Sepi. Hampa. Namun, sesaat sesudah
itu tiba-tiba ia menangkap al-ima’ yang lain lagi.

“Karena Haikal Muqaddas sangat suci dan tidak bisa dimasuki oleh
makhluk, maka engkau, makhluk yang berkeinginan memasuki
Haikal Muqaddas, hendaknya suci dari semua anasir
kemanusiaanmu. Karena itu, o makhluk yang dikasihi-Nya,
masuklah engkau ke dalam Haikal Muqaddas melalui pintu al-
mir’ah al-hayya’i (cermin memalukan) yang wajib dilalui siapa pun
yang ingin masuk ke dalam sini.”

Ia heran dengan perintah itu. Sebab, di segenap penjuru cakrawala


dimensi itu tidak terlihat bentuk maupun kilasan gambaran apa pun
jua. Namun, seiring dengan keheranannya tiba-tiba gumpalan
kabut yang meliputi pandangan mata batinnya menyibak.
Kemudian terpampanglah bentangan cermin yang tak diketahui
batas tepinya.

Ia terkejut setengah mati menyaksikan bentangan cermin yang


terhampar di hadapannya. Sebab, cermin itu tidak saja
memantulkan bayangan dirinya, tetapi seluruh perbuatan yang
pernah dilakukannya selama hidup terpampang rinci dengan
sangat jelas. Sebagai manusia biasa yang tak lepas dari dosa dan
kesalahan, terutama memasuki masa-masa remaja, Abdul Jalil
tidak mampu menyaksikan rentangan perbuatan yang telah
dilakukannya. Ia sangat malu. Bahkan akibat tidak dapat menahan
rasa malu, ia menjerit-jerit histeris dan berusaha menutup
496
pandangan mata batinnya. Namun, tidak sedikit pun ia memiliki
kekuatan untuk mengatupkan mata batinnya. Puncaknya, ia tidak
sadarkan diri.

Entah berapa lama ia pingsan. Namun, saat sadar ia saksikan


bentangan cermin lain yang lebih jernih dari cermin sebelumnya.
Bahkan begitu jernihnya sehingga bagaikan bukan cermin.

Ia baru mengetahui bahwa yang terbentang di hadapannya adalah


cermin yang sangat jernih setelah menyaksikan bayangan dirinya.
Begitu sempurnanya bayangan itu, seolah ia menyaksikan dirinya
kembar dua. Anehnya, di situ tidak ada bayangan lain. Tidak ada
yang lain. Hanya ada dirinya dan bayangan dirinya. Ia tidak dapat
berkata-kata, kecuali tercengang dalam pesona ketakjuban.

Ia merasa bingung karena tidak dapat membedakan mana


bayangannya dan mana dirinya yang sebenarnya. Ini benar-benar
pengalaman menakjubkan sekaligus membingungkan. Ia juga
tidak dapat membedakan keakuan dirinya dan keakuan bayangan
dirinya. Ia seolah-olah memiliki keakuan ganda, namun kegandaan
yang menyatu dalam satu keakuan.

“Siapakah engkau?”

“Engkau adalah aku!”


497
“Bukahkah engkau hanya bayanganku?”

“Engkaulah yang sebenarnya bayanganku!”

“Jika demikian, siapakah aku dan siapakah engkau?”

“Aku adalah matahari dan engkau adalah bayangan matahari di


dalam mangkok berisi air jernih.”

“Apakah engkau Rabb-ku?”

“Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu!”

“Jika demikian, siapakah sejatinya engkau ini?”

“Ana al-Haqq!”

Abdul Jalil terperangah takjub. Ia pandangi dirinya sendiri


kemudian ganti memandangi bayangan dirinya di cermin. Ia benar-
benar tercekam ke dalam pesona ketakjuban. Kenapa tidak ada
wujud lain kecuali aku dan dia, tanyanya keheranan.

498
Tiba-tiba bayangan dirinya di cermin memancarkan cahaya yang
sangat menyilaukan hingga nyaris membutakan mata batinnya.
Seiring dengan pancaran cahaya itu, dirinya hilang dan bayangan
dirinya pun ikut lenyap. Yang tertinggal hanyalah pancaran cahaya
yang sangat terang.

Antara sadar dan tidak, ia merasakan kesadarannya terisap. Bagai


memasuki pusat matahari, demikianlah kesadarannya masuk ke
dalam cahaya yang terangnya tidak dapat diuraikan dengan kata-
kata. Entah apa yang terjadi, namun kesadarannya tiba-tiba hilang.
Keakuannya lebur ke dalam keakuan cahaya yang membutakan
itu. Dan saat itulah, antara sadar dan tidak, ia menangkap al-ima’.

“Keakuanmu telah tenggelam ke dalam keakuan al-Haqq, Rabb-


mu, seibarat bersatunya air dengan anggur di dalam gelas. Engkau
telah meraih kemenangan, sebag dengan Rabb-mu engkau akan
kembali kepada sumber asalmu, Rabb al-Arbab! Inna li Allahi wa
inna ilaihi raji’un!”

499
Ar Risalah al Islamiyyah

Pengalaman ruhani yang menggetarkan,


menakjubkan, dan membingungkan itu
berlangsung beberapa saat sebelum kelahiran
putera pertamanya dari Shafa. Itu sebabnya,
usai subuh saat masih tercekam oleh pesona
pengalaman menakjubkan itu, ia langsung
memberikan nama Darbuth kepada puteranya. Nama itu
dimaksudkan sebagai tonggak peringatan dari perjalanan
ruhaninya memasuki Dar al-Buthun, yakni Rumah
“persembunyian” Khazanah Tersembunyi, di mana ia mengenal
fana, tenggelam dalam kesatuan Tauhid (fana’ fi Tauhid).

Kelahiran seorang putera adalah kebanggaan bagi seumumnya


laki-laki. Karena, putera tidak saja akan menjadi penyambung mata
rantai nasab, tetapi menjadi kehormatan dan kemuliaan dalam
hidup seorang laki-laki. Namun, Abdul Jalil menyambut kelahiran
putera pertamanya dengan perasaan biasa saja. Ia tidak
mengharap-harap bayi lelaki montok darah dagingnya itu bakal
menjadi penyambung nasabnya yang bisa membawa keharuman
namanya. Ia juga tidak membayang-bayangkan kehormatan dan
kemuliaan dirinya bakal meningkat dengan kehadiran bayi
tersebut.

Ia menganggap kelahiran puteranya adalah atas kehendak-Nya


semata. Itu sebabnya, ia tidak dapat memastikan apakah bayi laki-
500
laki itu akan berumur panjang hingga kakek-kakek atau justru akan
mati dalam usia dini. Ia juga tidak bisa berharap puteranya bakal
menjadi manusia sempurna. Semuanya adalah rahasia Ilahi.
Semuanya tergantung pada kehendak-Nya.

Pagi itu, tanpa diundang, Syaikh Abdul Ghafur berkunjung ke


rumah Abdul Jalil dengan tujuan utama memberikan berkah dan
panjatan doa bagi sang bayi. Namun, saat menjumpai Abdul Jalil
bersimpuh di atas sajadah yang tergelar di sudut kamar, dia
langsung duduk dan merangkulnya penuh kemesraan.
“Sekaranglah waktunya, Abdul Jalil. Sekaranglah waktunya
engkau harus ke Jawa menggantikan saudara kita, Abdur Rahman
Muttaqi al-Jawy.”

“Saya telah menemui-Nya, Tuan. Saya telah menemui-Nya,” kata


Abdul Jalil dengan perasaan yang sukar dilukiskan.

“Karena itulah engkau harus secepatnya ke negeri Jawa. Karena


maqam yang engkau capai telah memenuhi syarat untuk
menggantikan kedudukan saudara kita Abdur Rahman Muttaqi al-
Jawy,” kata Syaikh Abdul Ghafur.

“Putera saya baru saja lahir,” kata Abdul Jalil, “apakah pantas jika
dia saya tinggalkan?”

501
“Ini bukan soal pantas atau tidak. Ini juga bukan soal masuk akal
atau tidak. Ini adalah tugas suci yang wajib engkau tunaikan.
Bukankah keadaanmu ini lebih ringan dibanding Ibrahim al-Khalil
yang harus meninggalkan istri dan putera sulungnya di lembah tak
berair tak bertetumbuhan? Bukankah mertuamu dengan tulus akan
mengambil alih tanggung jawab atas istri dan puteramu? Dan aku,
tentu akan bersedia menjadi guru bagi puteramu,” kata Syaikh
Abdul Ghafur menguatkan.

“Terima kasih, Tuan guru,” kata Abdul Jalil. “Saya serahkan putera
saya, Darbuth, sepenuhnya di bawah asuhan Tuan guru.”

“Engkau namakan siapa puteramu?”

“Darbuth.”

“Apakah engkau ingin memamerkan kepada orang lain bahwa


engkau telah mencapai Dar al-Buthun, begitu?”

“Maksud saya, itu hanya sebagai tonggak peringatan.”

“Abdul Jalil, apa yang telah engkau alami adalah rahasia-Nya. Jadi,
jangan sekali-kali engkau gegabah mengungkapkan kepada
orang-orang yang tidak berhak.”
502
“Tapi, bukankah itu kehendak-Nya juga?”

“Kehendak-Nya untuk membuka rahasia kepadamu dan tidak


untuk yang tidak berhak. Aku sangat khawatir engkau terjebak
pada kecerobohan tanpa kendali dengan mengikuti perasaan
tanpa pertimbangan akal.”

“Jadi sebaiknya bagaimana, Tuan guru?”

“Berilah puteramu nama Bardud, yang berarti ulat dalam


kepompong. Karena, saat lahir ayahandanya telah terbang
menjadi kupu-kupu. Dan dia, yang di dalam kepompong, akan
mengikuti jejakmu menjadi kupu-kupu yang indah.”

“Tepat sekali perumpamaan Tuan guru,” sahut Abdul Jalil gembira.


“Tadi saya benar-benar menyaksikan bagaimana ganas dan
jahatnya saya ketika masih menjadi ulat. Di cermin itu (saat
peristiwa ruhani), saya melihat semuanya.”

Syaikh Abdul Ghafur tertawa. Abdul Jalil ikut tertawa. Mereka


sepakat memberi nama putera pertama Abdul Jalil dengan nama
Bardud. Sebab, nama itu bukan saja menjadi tonggak peringatan
peristiwa ruhaniah, melainkan pula menjadi pelajaran baginya
untuk berhati-hati menggunakan perumpamaan-perumpamaan
dalam mengungkapkan rahasia Ilahi.
503
Sepanjang hari itu mereka berbincang-bincang tentang berbagai
hal yang berhubungan dengan pelaksanaan tugas Abdul Jalil di
negeri Jawa. Sebagai orang yang lebih lama mengarungi
samudera kehidupan, Syaikh Abdul Ghafur banyak menceritakan
berbagai pengalaman hidup selama menjadi anggota Jama’ah
Karamah al-Aulia. Dan Abdul Jalil dengan penuh takzim
mendengarkan kisah tersebut.

Ketika malam menyelimuti bumi dengan sutera hitam, Syaikh


Abdul Ghafur berpamitan pulang. Abdul Jalil, sesuai pesan Syaikh
Abdul Ghafur, menyiapkan diri untuk pergi ke selatan menunaikan
tugas menggantikan kedudukan Syaikh Abdur Rahman Muttaqi al-
Jawy. Seiring terbitnya matahari di ufuk timur, ia meninggalkan
rumah, meninggalkan anak dan istrinya. Ia tidak tahu apakah akan
bisa kembali dan bertemu lagi dengan mereka. Semua yang bakal
dialaminya dipasrahkan kepada Allah.

Sepanjang perjalanan ke daerah selatan di pantai barat tanah


Bharatnagari (India), Abdul Jalil singgah di desa-desa miskin
tempat kediaman suku Kanbi, Kharwa, dan Kori yang merupakan
suku-suku berkasta rendah dalam tatanan hidup masyarakat di
negeri Gujarat.

Kemiskinan yang beribu-ribu tahun berkuasa dan merajalela di


tengah suku-suku malang itu telah membawa Abdul Jalil pada
keputusan untuk menyingkapkan cakrawala baru yang
menyinarkan cahaya terang matahari kebenaran Islam. Sebab,
504
kemiskinan yang tidak disinari fajar Tauhid akan membawa
manusia ke lembah kekufuran. Demikianlah, pada suatu pagi yang
terang ia berkata kepada pemimpin suku Kanbi bernama
Warnasamkara Saswata yang sedang duduk menggembalakan
hewan ternaknya di tengah hamparan rerumputan yang
menguning.

“Tahukah engkau, o Manusia, tentang apa dan siapa manusia itu?”

Warnasamkara Sawata tegak berdiri dan berjalan mendekat.


Dengan wajah menunduk dan suara gemetaran dia menjawab,
“Manusia adalah bayangan maya dari Brahman, sebagaimana
percik api yang meletik dari Bunga Api Abadi. Ketika Tuan
menanyakan tentang siapakah manusia maka Tuan
sesungguhnya sedang menanyakan keberadaan masing-masing
percikan api.”

“Jika demikian, apa yang membedakan manusia satu dengan


manusia lain? Mengapa manusia yang satu boleh menista dan
menghina manusia lain? Mengapa manusia yang satu harus
sukarela menerima hinaan dari manusia lain? Mengapa kehinaan
yang diterima satu golongan manusia harus diwariskan turun-
temurun?” tanya Abdul Jalil bertubi-tubi.

“Tuan,” sahut Warnasamkara Saswata sambil menunjuk sapi kurus


gembalaannya, “tidakkah Tuan lihat sapi yang merumput itu?
505
Begitulah keberadaan manusia, utuh laksana perwujudan
sempurna seekor sapi. Ada manusia yang menjadi kepala. Ada
manusia yang menjadi tubuh. Ada manusia yang menjadi kaki. Dan
ada manusia yang menjadi tapak kaki.”

“Apakah Tuan menganggap bahwa suku Kanbi adalah tapak kaki


sapi?”

“Demikianlah keyakinan yang kami ikuti, yang kami warisi dari


leluhur-leluhur kami sejak ribuan tahun silam.” “

Jika sapi adalah lambang perwujudan manusia yang berasal dari


percikan Bunga Api Abadi, lantas siapakah Bunga Api Abadi itu?
Apakah Dia adalah Sang Gembala? Jika Dia adalah Sang
Gembala, apakah Dia berkedudukan sebagai tapak kaki atau
kepala?” tanya Abdul Jalil memburu.

Warnasamkara Saswata diam tak menjawab. Dia bingung diburu


rentetan pertanyaan yang dilontarkan Abdul Jalil. Namun, sejenak
kemudian pemimpin suku Kanbi itu berkata, “Tuan, pengetahuan
tentang Dia bukanlah kewenangan kami. Itu adalah kewenangan
para Brahma agung. Kami hanya menjalani apa yang sudah
ditentukan olehnya.”

506
“Bukankah tadi Tuan katakan bahwa manusia adalah percikan api
dari Bunga Api Abadi?” tanya Abdul Jalil. “Bukankah percik-percik
api itu adalah sama dalam zat dan sifat-sifat, meski bentuk dan
kecemerlangannya berbeda-beda? Bukankah masing-masing
percik api itu sesungguhnya dapat kembali ke Bunga Api Abadi?”

Warnasamkara Saswata termangu-mangu. Gurat-gurat keras yang


menghiasi wajahnya adalah citra keperkasaan yang pantang
menyerah menghadapi gelombang samudera kehidupan. Dia
meyakini bahwa kerasnya kehidupan sebagai manusia berkasta
rendah yang harus dilampauinya itu adalah kodrat manusiawinya,
meski jauh di kedalaman relung jiwanya sebenarnya tersembunyi
api pemberontakan yang diam-diam menggugat keberadaan
dirinya sebagai manusia yang hidup dinista dan dihina. Itu
sebabnya, di dalam mimpinya dia merindukan hidup bebas,
terhormat, dihargai, dan dimanusiakan.

Akhirnya, dengan suara bergetar dirayapi rasa takut,


Warnasamkara Saswata berkata, “Apakah menurut Tuan, zat dan
sifat-sifat dari percik api itu sama? Dan apakah percik api dapat
mencapai Bunga Api Abadi?” “

Dengarkanlah berita gembira ini, o Manusia,” kata Abdul Jalil


dengan suara lembut, namun berwibawa, “bahwa di negeri yang
dilingkupi pasir dan batu-batu telah lahir seorang Avatar Agung
bernama Muhammad Saw. yang mengajarkan bahwa manusia
adalah percik api dari Bunga Api Abadi. Muhammad Saw.
507
mengajarkan bahwa semua percik api adalah sama dalam zat dan
sifat-sifat. Karena itu, semua percik api sama di hadapan Bunga
Api Abadi. Yang membedakan percik api satu dan percik yang lain
adalah kedekatannya dengan-Nya. Percik api yang paling dekat
itulah yang disebut muttaqin. Dan percik api bisa berasal dari mana
saja tidak dibatasi warna kulit, keturunan, pangkat, jabatan, dan
kekayaan.”

“Sang Avatar Agung, Muhammad Saw., yang lahir dari keluarga


bangsawan Bani Hasyim dengan tegas menunjukkan bahwa
seorang budak berkulit hitam bernama Bilal bin Rabah adalah
percik api yang lebih mulia dan lebih terpuji di hadapan Bunga Api
Abadi dibanding Omar al-Hakam, sang Abu Jahal, pamannya yang
bangsawan dan kaya raya. Bahkan kepada budak hitam Bilal bin
Rabah itu diberikan anugerah kemuliaan berupa warisan abadi
dalam wujud adzan, yakni seruan memanggil manusia beriman
untuk beribadah mengingat Bunga Api Abadi, tempat percik-percik
api kelak akan kembali.”

“Tuanku,” kata Warnasamkara Saswata memberanikan diri,


“bagaimana pandangan Sang Avatar Agung tentang keberadaan
kami, orang-orang dari suku Kanbi, dan saudara-saudara kami
suku Kharwa, Kori, Govala, Bagdi, dan Bauri yang berkulit legam
serta hidup dalam lingkaran kenistaan dan kehinaan? Apakah kami
dapat beroleh anugerah kemuliaan dari Bunga Api Abadi sebagai
percik api-Nya sebagaimana yang diperoleh budak hitam bernama
Bilal?” “

508
Sang Avatar Agung, Muhammad Saw., mengajarkan bahwa Bunga
Api Abadi yang merupakan pangkal segala kejadian (al-Khaliq)
tidak membeda-bedakan percik api yang memancar dari-Nya
(makhluk). Yang membedakan adalah kedekatan. Yang paling
dekat dengan Sumber Api Abadi itulah yang paling cemerlang
sinarnya dan paling mulia. Dan kedekatan dengan Sumber Api
Abadi, menurut Sang Avatar Agung, tidaklah berkaitan dengan
warna kulit dan anasir-anasir keturunan.”

“Karena itu, o Manusia, jika engkau bersedia menadahkan


tanganmu untuk menerima tetesan madu kebenaran dari pinggan
sang Avatar Agung maka derajat Tuan adalah sama dengan
derajat kami. Jika Tuan disakiti orang maka kami akan membela
Tuan seolah-olah yang disakiti oleh orang itu adalah diri kami
sendiri. Sebab, sang Avatar Agung mengajarkan bahwa sesama
pengikut ajaran sang Avatar Agung adalah sesaudara – sama-
sama percik api dari Bunga Api Abadi – yang darah dan
kehormatannya wajib dibela dan dihormati.”

Mendengar uraian Abdul Jalil, Warnasamkara Saswata merasakan


api pemberontakan di kedalaman relung-relung jiwanya berkobar-
kobar dengan hebat hingga membakar bongkahan gunung es yang
tegak menjulang di dadanya. Dia merasakan dinding-dinding
gunung es di dadanya runtuh dengan suara gemuruh. Dan seiring
dengan itu, dia jatuh terduduk di atas lututnya dengan tubuh
bergetar dan air mata haru bercucuran membasahi pipi. “

509
Tuan Guru, apakah kami boleh menjadi pengikut Sang Avatar
Agung? Apakah Tuan dan saudara-saudara Tuan berkenan
menerima kami yang hina ini sebagai saudara? Apakah syarat-
syarat yang harus kami penuhi untuk menjadi pengikut Avatar
Agung?” “

Ucapkan dua kalimat kesaksian yang Tuan yakini dengan sepenuh


jiwa. Kalimat pertama, Tuan menyaksikan keesaan Sang Bunga
Api Abadi, yakni Allah. Kalimat kedua, Tuan menyaksikan bahwa
Sang Avatar Abung adalah rasul pancaran Sang Bunga Api Abadi.”

Masih dengan air mata bercucuran, Warnasamkara Saswata


bersujud mencium kaki Abdul Jalil sambil berkata, “Bimbinglah
kami, o Tuan Guru.”

Abdul Jalil memegang bahu Warnasamkara Saswata dan


kemudian menepuk-nepuknya, “Berdirilah Tuan! Sebab, semua
pengikut sang Avatar Agung, Muhammad Saw., berdiri sama tinggi
duduk sama rendah. Tidak satu pun di antara pengikut Muhammad
Saw. boleh bersujud kepada sesamanya. Satu-satunya yang wajib
disujudi adalah Sang Bunga Api Abadi.”

Dengan tubuh gemetar dan hati diamuk perasaan tak karuan,


Warnasamkara Saswata berdiri. Disaksikan Abdul Jalil yang
wajahnya bersih cemerlang dengan hidung mancung, mata coklat,
alis tebal, kumis, dan cambang lebat yang semuanya
510
memancarkan kewibawaan menggetarkan, dia berkata dengan
suara bergetar, “Tuan Guru, belum pernah kami mendapat
perlakuan seperti ini sebelumnya. Belum pernah ada orang yang
bersedia menganggap kami sebagai saudara.”

“Kabut kegelapan malam yang menyelimuti hari-harimu dengan


kemiskinan, kesengsaraan, kehinaan, dan kenistaan telah
terhapus dengan terbitnya matahari kebenaran, Matahari Islam,
yang membawa persamaan derajat, persaudaraan, keselamatan,
kedamaian, dan kebahagiaan. Marilah Saudaraku, kukuhkan
jiwamu dengan menyaksikan keesaan Sang Bunga Api Abadi dan
keberadaan sang Avatar Agung sebagai rasul pancaran-Nya.”

Di bawah hangatnya cahaya matahari pagi, dengan suara terbata-


bata, namun hati diliputi semangat berkobar menyongsong
kehadiran cakrawala hidup baru, Warnasamkara Saswata
mengikrarkan diri sebagai Muslim dengan mengucap dua kalimat
syahadat di bawah bimbingan Abdul Jalil. Sebagaimana
dicontohkan Muhammad al-Mushthafa Saw. saat menyiarkan
kebenaran Islam pertama kali, Abdul Jalil pertama-tama
menanamkan ruh at-Tauhid ke dalam jiwa Warnasamkara
Saswata.

Abdul Jalil pertama-tama mengajarkan tentang keesaan Allah


dalam Dzat, Shifat, Af’al, dan Asma’. Allah adalah Tunggal.
Meliputi. Tak terbandingkan dengan sesuatu. Dan karenanya,
manusia tidak boleh membayang-bayangkan Allah dengan
511
sesuatu. “Karena kekerdilan akal budi manusia saja mereka
mengatakan bahwa Tuhan ada di langit, bintang-bintang, matahari,
rembulan, gunung-gunung, lautan, batu-batu, dan pohon-pohon.
Padahal, ruh-Nya ada di dalam diri manusia. Karena itu, sungguh
nista, hina, dan tolol manusia yang sudah tahu bahwa ruh-Nya ada
di dalam diri sendiri, namun masih juga ia bertekuk lutut
menyembah batu dan pepohonan.”

Ia selanjutnya menjelaskan bahwa sekalipun Tuhan tidak bisa


dibanding-bandingkan dan disetarakan dengan sesuatu (laisa
kamitslihi syai’un), bukan berarti Tuhan tidak bisa didekati.
“Karena, berkali-kali Tuhan mengisyaratkan manifestasi diri-Nya
sebagai Cahaya (Nur) langit dan bumi (Allahu Nur as-samawati wa
al-ardh) atau Cahaya di atas segala cahaya (Nurun ‘ala nur). Maka,
lewat isyarat itulah manusia bisa mendekat. Namun, janganlah
membayangkan bahwa Cahaya (Nur) dalam hal ini adalah cahaya
(nur) yang bisa dilihat dengan mata indriawi manusia. Sekali-kali
cahaya bukanlah Cahaya.”

Warnasamkara Saswata terlihat bingung dengan penjelasan Abdul


Jalil tentang Tuhan yang memanifestasikan diri-Nya dalam wujud
niscaya Cahaya yang tak bisa dilihat oleh indera manusia. Abdul
Jalil yang menangkap ketidakpahaman Warnasamkara Saswata
kemudian mengajarkan secara rahasia tentang apa yang
dimaksud dengan uraiannya itu. Dengan cara membisikkan ke
telinga kiri Warnasamkara Saswata, ia menguraikan sekaligus
membuktikan ucapannya bahwa ada cahaya-cahaya yang tidak
bisa ditangkap indera penglihatan manusia, namun
512
keberadaannya di dalam diri manusia dapat disaksikan dengan
pandangan bashirah.

Ia menguraikan hakikat keberadaan manusia sebagai berbahan


dasar lempung yang di dalamnya tersembunyi Ruh Ilahi. “Itulah
yang dimaksud dengan percik api dari Bunga Api Abadi. Ini berarti,
setiap percik api berhak untuk mendekat dan menyatu kembali
dengan Bunga Api Abadi. Bahkan sang Avatar Agung, Muhammad
Saw., tegas-tegas mengajarkan bahwa semua percik api pada
akhirnya akan kembali kepada Bunga Api Abadi sebagaimana
terungkap dalam kalimat: Innali Allahi wa innailaihi raji’un, yang
menjadi intisari ajaran Islam.”

“Saya akan jalankan semua petunjuk Tuan Guru,” kata


Warnasamkara Saswata.

“Ingat-ingatlah selalu bahwa tugas utamamu sebagai manusia


adalah mengingat asal-usulmu yang berasal dari Bunga Api Abadi.
Berjuanglah mengisi hari-hari hidupmu dengan mengingat-Nya di
saat engkau tidur, duduk, berdiri, berjalan, dan bahkan saat naik
kendaraan. Karena dengan mengingat-Nya maka engkau akan
mendapatkan ketenangan dan kedamaian. Dan manakala engkau
mengingat selain Dia, apalagi sampai pikiran dan perasaanmu
terikat kepada sesuatu selain Dia, niscaya kesengsaraan dan
penderitaan yang akan engkau dapatkan. Ingat-ingatlah selalu:
Ingat kepada-Nya. Ingat! Ingat!” Abdul Jalil mewanti-wanti.

513
Suatu pagi Abdul Jalil sampai di pasar dekat perkampungan suku
Kanbi yang ramai. Saat itu bertepatan dengan datangnya
pedagang-pedagang suku Kharwa yang membawa gerabah dan
pecah-belah. Di tengah pasar, didampingi Warnasamkara
Saswata, ia berkata kepada orang-orang yang mengerumuninya.
“Aku akan mengajarkan kepada kalian cara menjadi manusia
paripurna (al-insan al-kamil) yang memegang jabatan wakil Tuhan
di mukan bumi (khalifah Allah fi al-ardh). Tahukah kalian siapakah
yang disebut manusia paripurna? Manusia paripurna adalah
manifestasi Tuhan di dunia yang memiliki kewajiban utama
mengagungkan dan memuliakan Sang Pencipta. Karena
kewajiban utama itulah maka manusia paripurna dianugerahi hak-
hak istimewa oleh Tuhan untuk mengatur kehidupan di bumi
sebagai wakil-Nya. Dan karena itu, kepada manusia paripurnalah
seluruh makhluk di permukaan bumi harus tunduk dan mengikuti
perintahnya.” “

Lihatlah kubah biru mahabesar yang diangkat di atas kalian.


Tidaklah kubah biru itu dibentangkan dan diangkat ke atas kecuali
karena diperuntukkan bagi manusia paripurna. Lihatlah permadani
rerumputan yang terbentang hijau di hadapanmu. Tidaklah
permadani hijau itu dibentangkan kecuali diperuntukan bagi
manusia paripurna. Lihatlah juga bintang-gemintang, matahari,
awan, hujan, angin, gunung-gunung, samudera, dan segala isi
jagad raya tiadalah dicipta kecuali diperuntukkan bagi manusia
paripurna. Kepada manusia paripurnalah diajarkan nama-nama
oleh Tuhan, yakni pengetahuan yang tidak diberikan kepada
makhluk mulia lain, termasuk malaikat.” “

514
Namun, sungguh malang nasib manusia. Dari zaman ke zaman
hingga zaman ini, manusia cenderung terperosok ke jurang
kehinaan yang mengerikan. Manusia tidak hanya kehilangan
keparipurnaannya, tetapi yang lebih mengenaskan adalah mereka
telah jatuh ke jurang kenistaan dan kehinaan sebagai makhluk
serendah hewan. Mereka seolah tidak mengetahui lagi tentang
kemuliaan dan keagungan yang telah diperolehnya dari Sang
Pencipta. Mereka telah menjadi hewan buas yang memangsa
sesamanya. Mereka memperbudak sesamanya. Mereka menindas
sesamanya. Bahkan mereka telah memuja dan menyembah
sesamanya.”

Seorang suku Kharwa bernama Shyam, pedagang gerabah


berkulit hitam, maju dan bertanya, “Bagaimanakah caranya kami
bisa menjadi manusia paripurna, o Tuan Guru?” “

Untuk menjadi manusia paripurna, kalian harus melampaui


kedudukan kalian sebagai manusia (an-nas) terlebih dahulu.
Sebab, tanpa melalui kedudukan sebagai manusia maka kalian
tidak lebih dari makhluk berkesadaran hewan yang hanya hidup
untuk memangsa dan dimangsa. Jika kedudukan kalian sebagai
manusia telah terlampaui maka kalian harus melampaui
kedudukan manusia beriman (al-mu’min) terlebih dahulu. Jika
kedudukan kalian sebagai manusia beriman (al-mu’min) telah
terlampaui maka kalian harus melampaui kedudukan manusia
bertakwa (al-muttaqin). Demikian seterusnya, hingga tercapai
kedudukan manusia paripurna.” “

515
Namun, yang paling penting kalian lampaui adalah menjadi
manusia terlebih dahulu. Sebab, banyak di antara manusia yang
tidak menyadari bahwa dirinya adalah manusia. Banyak di antara
manusia yang merayap di permukaan bumi bagaikan hewan
melata yang tidak mampu membayangkan sesuatu selain
melampiaskan hasrat hewani untuk memangsa dan berkembang
biak. Sungguh banyak di antara manusia yang hidup dengan
kesadaran hewan bagaikan cacing, kalajengking, kadal, ular,
buaya, tikus, kucing, anjing, kera, dan harimau.”

Seorang pemuda Kanbi bernama Sukhalobhena, dengan suara


bersemangat menyela, “Bagaimana cara untuk melampaui
kedudukan manusia, o Tuan Guru?”

Abdul Jalil menatap tajam-tajam mata Sukhalobhena seolah


hendak mengukur kedalaman jiwa pemuda itu. Sesaat kemudian,
dengan suara menggelegar ia berkata, “Untuk melampaui manusia
(an-nas), engkau harus menjadi manusia terlebih dahulu. Dan
seseorang baru menjadi manusia jika ia punya kehendak untuk
tampil dan menyadari keberadaan dirinya sebagai manusia.
Engkau baru bisa disebut manusia jika engkau menyadari dirimu
memiliki kehendak. Hidup manusia adalah kehendak untuk
membuktikan bahwa dirinya ada.” “

Untuk mengetahui keberadaan dirimu sebagai manusia maka


ujilah dirimu dengan kesadaran bahwa engkau berkehendak untuk
tampil sebagai manusia. Pertama, sadarilah bahwa dirimu
516
merupakan manusia yang terbuat dari bahan dasar lempung yang
disemayami Ruh Yang Ilahi. Kedua, sadarilah bahwa keberadaan
manusia-manusia yang lain adalah sama dengan dirimu sehingga
engkau tidak boleh merasa lebih tinggi atau lebih rendah. Ketiga,
sadarilah bahwa yang paling tinggi derajatnya di antara manusia
adalah mereka yang sudah mencapai pencerahan dengan
menyaksikan hakikat Yang Ilahi yang tersembunyi di dalam dirinya,
yang dengan penyaksian itu membuat mereka mengenal Sang
Pencipta.”

Seorang pedagang buah bernama Upahata bertanya, “Tapi, o


Tuan Guru, bukankah kelahiran kami sebagai manusia berkasta
rendah adalah atas kehendak Yang Ilahi? Bukankah dalam
kehidupan sebelum ini kami tidak memiliki kehendak untuk tidak
mau dilahirkan di kalangan ini? Bukankah ini semua sudah suratan
Yang Ilahi?”

Abdul Jalil mendongakkan kepala menatap gugusan awan yang


menggumpal di langit. Sesaat sesudah itu, dengan kekuatan yang
memancar dari kedalaman relung-relung jiwanya, ia membuka
mulutnya dan berkata, “Camkan, o Manusia, bahwa engkau lahir
di dunia ini dengan citra kebebasan merdeka jiwa manusia. Engkau
yang berjiwa kerdil bisa membiarkan hidupmu terbelenggu oleh
rantai yang memborgol kaki dan tanganmu. Lalu engkau biarkan
orang lain memasang kuk di tengkukmu dan membuatmu sebagai
hewan yang bisa dikendalikan sesuai kehendak orang yang
menguasaimu. Namun, engkau yang berjiwa agung dan perkasa

517
dapat membebaskan diri dari rantai-rantai yang membelenggu
kebebasan hidupmu.” “

Memang, pada kelahiranmu yang pertama engkau tidak diberi


kewenangan untuk memilih sesuai kehendakmu. Sebab,
kelahiranmu yang pertama berada di balik rahasia hijab-Nya; ruang
hidupmu diliputi oleh kegelapan rahim. Saat lahir, engkau saksikan
cahaya terang matahari. Engkau sambut kebebasanmu di dunia ini
dengan tangisan. Dan engkau dapati dirimu lahir sebagai anak
yang memunculkan naluri keibuan.” “

Namun, sadarilah bahwa kelahiranmu yang kedua adalah


kelahiran jiwa yang kepadanya diberikan kewenangan untuk
memilih sesuai kehendakmu. Kelahiranmu yang kedua diterangi
oleh pancaran cahaya akal dan budi: ruang hidupmu diterangi oleh
pancaran cahaya matahari. Saat lahir, engkau saksikan sinar yang
lebih terang dari matahari. Engkau sambut kelahiran keduamu
dengan kegembiraan dan kebahagiaan. Pada kelahiran keduamu,
engkau akan mendapati dirimu sebagai manusia yang mewarisi
dunia sebagai amanat Yang Ilahi; kelahiran kedua manusia yang
melahirkan dunia dan alam semesta.” “

Tapi Tuan Guru,” seru Upahata minta penjelasan, “apa yang Tuan
Guru ungkapkan itu bagi kami hanya mimpi indah. Sebab, kami
lahir papa, hina, dan nista. Tatanan kehidupan telah menentukan
keberadaan kami sebagai telapak kaki yang peran utamanya
adalah diinjak-injak.” “
518
Dengarlah, o Manusia,” seru Abdul Jalil berapi-api, “aku ajarkan
kepadamu tentang cara menjadi manusia paripurna. Karena itu,
aku serukan kepadamu, jangan mempercayai mereka yang
mengajarkan kepadamu adanya perbedaan hakikat manusia
karena warna kulit, bahasa, kekayaan dan kemiskinan, nama
marga, dan keturunan. Itu semua adalah kebohongan yang dilatari
maksud jahat merendahkan harkat dan martabat manusia yang
sesungguhnya sangat mulia dan agung. Mereka adalah peracun
jahat. Mereka tidak sadar telah meracuni jiwa, pikiran, dan tubuh
sendiri sehingga mereka pun akan membusuk bersama-sama
orang yang mempercayai kedustaan mereka.” “

Renungkanlah kisah sebutir benih di dalam tanah yang ragu-ragu,


gentar, gamang, dan takut berada di dalam kegelapan yang pekat.
Namun, ia juga takut pada keluasan langit dan panas matahari
yang dikiranya akan menerbangkan dan membakarnya hingga
binasa. Meski demikian, hasrat untuk tumbuh di dalam dirinya
sangat kuat. Maka, saat lahir sebagai kecambah, sadarlah ia
bahwa keluasan langit dan terang cahaya matahari adalah
keleluasaan dan berkah yang membuatnya tumbuh dan
berkembang menjadi pohon raksasa. Karena itu, o Saudaraku,
janganlah engkau takut untuk tumbuh menyongsong cakrawala
dan matahari untuk membangun hidup baru sebagai manusia
paripurna.” “

Sadarlah, o Saudaraku, bahwa manusia ibarat seutas tambang


yang merentangkan harkat hewani dan harkat manusia sempurna
yang membentang di atas jurang tanpa sadar. Jika engkau tidak
519
memilik nyali untuk meniti hingga ke seberang – tempat harkat
manusia sempurna – engkau akan tetap merayap di sisi jurang
harkat hewani. Tidak ada yang berubah pada kehidupan semacam
itu, kecuali keberadaanmu yang makin terbenam ke dalam
genangan lumpur kehinaan sebagai cacing tanah.” “

Bagiku, sungguh memuakkan harus berkawan apalagi bersaudara


dengan mankhluk tak bernyali yang melata. Sebab, pada hati yang
lemah bersemayam cacing-cacing menjijikkan yang menggeragoti
ketegaran jiwa manusia. Sungguh, aku ingin berkawan dan
bersaudara dengan manusia-manusia berhati tegar dan
pemberani, yang tak merasa gentar meniti jembatan
kehidupannya. Sungguh, hanya mereka yang berhati singa dan
bersemangat rajawali saja yang berani bangkit dari lumpur
kehinaan menuju mahligai kemuliaan dan keagungan manusia
paripurna.” “

Tapi Tuan Guru,” seru Upahata dengan dada naik turun,


“bagaimana mungkin kami yang rendah ini berani meniti jembatan
tambang kehidupan jika pemimpin kami yang berhati singa belum
memberikan keteladanan bagi kami?” “

Apakah yang engkau maksud adalah Warnasamkara Saswata,


putera Babu Bepin?” “

520
Benar, Tuan Guru,” sahut Upahata. “Babuji Warnasamkara itulah
pemimpin kami. Jika beliau melarang kami melakukan segala
sesuatu maka kami akan patuh.” “

Ketahuilah, o Saudaraku, Putera-Putera Kanbi,” kata Abdul Jalil,


“bahwa Singa Allah, pemimpinmu yang teguh dan pemberani itu,
telah jauh melompat ke tengah tambang jembatan kehidupannya.
Warnasamkara Saswata (peraturan tentang perbedaan warna
yang berlaku selama-lamanya), telah meninggalkan ujung
tambang kehinaan dirinya. Dia telah menanggalkan kesadaran
cacingnya. Dia telah menjadi seekor singa. Dia telah melampaui
kemanusiaannya. Dia telah menjadi manusia beriman (mu’min).”

Upahata tercengang mendengar penuturan Abdul Jalil. Sambil


berjalan merunduk dia mendekati Warnasamkara Saswata.
Kemudian dengan suara terbata-bata dia bertanya, “Benarkah
engkau telah meninggalkan negeri asalmu, o Babuji?” “

Upahata,” kata Warnasamkara Saswata tegas, “Aku tidak pernah


meninggalkan negeri asalku. Aku hanya mengikuti naluriku untuk
tumbuh dan berkembang sebagai pohon. Tanpa berani
berkehendak untuk tumbuh, aku tetaplah menjadi butiran benih
yang terbenam di dalam kegelapan tanah tanpa manfaat. Aku tidak
akan menjadi sesuatu yang berarti bagi bumi.” “

Tapi Babuji?” “
521
Terang matahari dan luas kubah biru akan menguji kehendakku,”
Sahut Warnasamkara Saswata. “Terang matahari dan luasnya
kubah biru akan memberiku keleluasaan untuk mewujudkan diri
menjadi diriku yang sebenarnya.” “

Babuji?” “

Aku ingin menjadi pohon berdaun rindang dan berbuah lebat,”


sahut Warnasamkara Saswata, “yang daun-daunku bisa menaungi
mereka yang kepanasan, yang buah-buahku memberikan
kesegaran bagi yang memetiknya. Tidakkah engkau sekalian
selama ini telah diharuskan menjadi cacing-cacing yang bertugas
utama menggemburkan tanah? Cacing-cacing yang harus
berkubang lumpur kehinaan, yang tempat tinggalnya di dalam
kegelapan tanah?” “

Aku katakan kepada kalian semua, o Saudaraku, bahwa sekarang


aku adalah penganut sang Avatar Agung, Muhammad al-
Mushthafa Saw.. Sang Avatar yang mengajarkan bahwa setiap
manusia memiliki kedudukan yang sama, tidak dibedakan oleh
warna kulit, keturunan, kekayaan, dan pangkat jabatan.
Sesungguhnya, yang paling mulia di antara manusia adalah yang
paling dekat kedudukannya dengan Sang Pencipta. Karena aku
telah menjadi pengikut sang Avatar Agung maka nama yang
kupakai yang melambangkan perbedaan derajat manusia berdasar
warna kulit telah kuhapus dan kuganti dengan nama baru Abdur
Rahman, yang bermakna hamba Yang Mahakasih.” “
522
Karena itu, o Saudaraku, jika dengan keberanianku untuk
mewujudkan kehendakku sebagai manusia paripurna ini kalian
meninggalkanku maka tinggalkanlah aku. Sebab, telah jelas
bagiku bahwa manusia yang berani menguji dirinya jauh lebih
berharga daripada manusia yang berdiam diri menunggu
keputusan nasib. Aku sudah bosan dengan larangan beribadah ke
candi-candi bagi suku kita. Aku sudah bosan suku kita dihinakan
dan dianggap cacing. Karena itu, aku akan berjuang menjadi
sesuatu yang lebih berharga daripada cacing. Dan sungguh akan
menjadi kegembiraan dan kebahagiaan bagiku jika kalian bersedia
ikut meniti jembatan tambang kemanusiaan. Meninggalkan dunia
cacing yang hitam pekat untuk menjadi manusia paripurna, yakni
wakil Tuhan di muka bumi.” “

Kami setia mengikutimu, o Babuji,” seru orang-orang suku Kanbi


sambil berlutut mengikrarkan kesetiaan diri di hadapan
Warnasamkara Saswata.

Al-auliya’ – baik yang tergabung dalam Jama’ah Karamah al-


Auliya’ atau tidak – adalah manusia-manusia yang diberi tugas
(tawalla) oleh Allah untuk melindungi dan memberikan pertolongan
pada agama Allah yang telah diturunkan melalui nabi dan rasul di
masa silam. Sebab, nabi dan rasul telah diakhiri tugas-tugasnya
oleh Muhammad al-Mushthafa Saw. (khatam al-anbiya’ wa ar-
rasul). Al-auliya’ pada hakikatnya adalah pengejawantahan dari al-
Waly, yakni Asma Ilahi yang tidak disifatkan kepada nabi dan rasul
sehingga karenanya nabi dan rasul memiliki akhir dalam
menjalankan tugas. Sementara al-auliya’ sebagai
523
pengejawantahan al-Waly tetap menjalankan tugas sebagai
pelindung dan penolong agama Allah sepanjang zaman.

Tugas utama al-auliya’ sebagai pelindung dan penolong agama


Allah itu baru disadari oleh Abdul Jalil ketika ia melakukan
perjalanan dari Surat ke Goa, di mana ia berjumpa dengan tiga
aulia yang berasal dari Andalusia. Yang pertama, Abdul Malik al-
Isbiliy (Abdul Malik dari Sevilla) yang meninggalkan negeri
kelahirannya untuk menetap di daerah Kandesh dan mengajarkan
keahlian membuat alat-alat dari besi seperti cangkul, mata bajak,
ladam kuda, pisau, parang, mata tombak, pedang, dan bahkan
meriam.

Pertemuan Abdul Jalil dengan Abdul Malik al-Isbiliy terjadi di utara


pasar Kandesh. Saat itu Abdul Malik al-Isbiliyah sedang membawa
barang dagangannya di atas gerobak untuk dijual ke pasar. Melalui
perjumpaan tak sengaja itulah Abdul Jalil mengetahui bahwa
kepindahan Abdul Malik al-Isbiliy adalah atas petunjuk Misykat al-
Marhum. Dan kepindahannya itu berkaitan dengan isyarat bakal
tersingkirnya Islam dari bumi Andalusia (Spanyol).

Islam adalah agama Allah, demikian ungkap Abdul Malik al-Isbiliy.


Karena itu, Islam tidak akan musnah dari muka bumi. “Jika Islam
akan disingkirkan dari Andalusia maka Allah akan menumbuhkan
Islam di tempat lain. Tugasku sama denganmu, yakni menaburkan
benih-benih kebenaran Islam di tanah garapan baru yang masih
liar dan penuh semak belukar.”
524
Aulia kedua yang dijumpai Abdul Jalil adalah Abdur Rahim al-
Kadisy (Abdur Rahim dari Cadiz) yang meninggalkan negeri
kelahirannya untuk menetap di Sibutu (Pulau Zulu, Filipina).
Kepindahan Abdur Rahim al-Kadisy tidak berbeda dengan Abdul
Malik al-Isbiliy, yakni atas petunjuk Misykat al-Marhum agar pergi
meninggalkan Andalusia untuk menebarkan benih-benih baru
Islam di tanah timur. “Aku ditunjuk oleh Misykat al-Marhum untuk
menggantikan kedudukan Syarif Abdul Karim al-Makduny (Syarif
Abdul Karim dari Macedonia) yang telah dipanggil-Nya.”

Aulia ketiga adalah Abdul Malik Israil al-Gharnatah (Abdul Malik


Israil dari Granada), yang lahir di Granada, Andalusia. Berasal dari
keluarga Yahudi dan memeluk Islam di bawah bimbingan Abdul
Malik al-Isbiliy. Atas petunjuk gurunya, dia tinggalkan kota
kelahirannya untuk menjadi darwis pengembara dan sempat
tinggal setahun di Ismailiyah, Mesir.

Di sanalah, dia menikahi puteri Syaikh Abdul Hamid al-Mishri,


seorang ulama di Ismailiyah. Beberapa pekan setelah kelahiran
puteri pertamanya, dia mengembara ke timur hingga ke negeri
Jawa. Ketika bertahun-tahun kemudian dia kembali ke Ismailiyah,
puteri tunggalnya telah dinikahkan oleh sang kakek dengan Syarif
Mahmud, putera Syaikh Abdullah Kahfi al-Mishri. Dengan
demikian, Abdul Malik Israil al-Gharnatah adalah besan dari wali
besar asal Ismailiyah, yaitu Syaikh Abdullah Kahfi al-Mishri. Dari
perkawinan tersebut lahirlah dua putera; yang sulung bernama
Syarif Hidayatullah dan yang kedua bernama Syarif Nurullah.

525
Abdul Malik Israil al-Gharnatah adalah kekasih Allah dari Bani
Israil. Dia bukan anggota Jama’ah Karamah al-Auliya’, namun
Allah sangat mencintainya. Dia hidup menggelandang dari satu
tempat ke tempat lain untuk menyampaikan kebenaran Islam.
Menjelang usia tuanya dia mengajak cucu sulungnya, Syarif
Hidayatullah, berkelana ke berbagai negeri. Hal itu dilakukan atas
petunjuk besannya yang memintanya agar membawa Syarif
Hidayatullah mengembara ke negeri timur.

Syarif Hidayatullah atau Syarif Hidayat saat itu baru berusia lima
belas tahun. Namun, tempaan hidup yang diajarkan kakeknya,
Wali besar Abdullah Kahfi al-Mishri, telah menjadikannya sebagai
pemuda tangguh yang tak pernah mengeluh. Ketika diajak oleh
kakeknya dari pihak ibu, Abdul Malik Israil al-Gharnatah, untuk
mengembara ke timur dengan melintasi berbagai tantangan dan
rintangan, dia sangat tabah dan sabar mengahadapi berbagai ujian
berupa kekurangan makanan, cuaca ganas, orang-orang yang
tidak ramah, bahkan penyakit.

Ketika bertemu dengan Abdul Jalil di pinggiran kota Satara,


tepatnya di tepi sungai Krishna di sekitar pegunungan Ghats Barat,
tiba-tiba saja ia menyerahkan cucunya. “Telah tiga bulan ini aku
menunggu kehadiranmu di sini, o Tuan Abdul Jalil. Bimbing dan
asuhlah cucuku sebagai puteramu sendiri. Ini sesuai pesan
besanku.”

526
“Diakah cucu Yang Mulia Syaikh Abdullah Kahfi al-Mishri?” tanya
Abdul Jalil sambil menepuk-nepuk bahu Syarif Hidayat.

“Dia juga cucuku,” Abdul Malik Israil tertawa, “karena ibunya adalah
puteriku.”

“Ah, siapa namamu, Nak?” tanya Abdul Jalil.

“Nama saya Hidayatullah, Paman,” sahut Syarif Hidayat.

“Namanya memang Hidayatullah,” kata Abdul Malik Israil, “namun


karena dia keturunan Imam Hasan bin Ali maka dia disebut orang
Syarif Hidayatullah.”

Abdul Jalil tertawa mendengar penjelasan Abdul Malik Israil. Ia


kemudian menjelaskan kepada Syarif Hidayat bahwa nama dan
gelar adalah atribut-atribut belaka dari makna hakiki. Itu sebabnya,
manusia hendaknya tidak terperangkap ke dalam sifat-sifat yang
atributif. “Apalah artinya menggunakan nama Syarif jika perbuatan
yang dilakukannya tidak berbeda dengan Fir’aun, Namrudz,
Samiri, Qarun, Abu Jahal, Musailamah, atau Mu’awiyah,”
kelakarnya.

“Saya mohon bimbingan dan petunjuk Paman.”


527
Abdul Jalil tertawa dan memberi isyarat kepad aAbdul Malik Israil
bahwa ia menangkap pancaran nur al-auliya’ yang tersembunyi di
relung-relung kedalaman jiwa Syarif Hidayat. Abdul Malik Israil
mengangguk tanda setuju. “Sekarang aku serahkan dia kepada
Tuan. Sebab, aku harus membantu tugas-tugas guruku, Yang
Mulia Abdul Malik al-Isbiliy.”

“Namun, perjalananku masih jauh dan berat karena aku belum tahu
dengan pasti di mana aku harus tinggal,” kata Abdul Jalil.

“Cucuku sudah kuajak mengembara selama tiga tahun. Dia


terbiasa tidur di bawah langit dengan selimut kabut. Dia terbiasa
digigit rasa dingin dan dibakar panas matahari gurun. Dia tidak
pernah mengeluh ketika sakit. Dia sangat tabah dan sabar. Dan
menyerahkan dia kepada engkau, o Kekasih Allah, tidak ada syak
dan kekhawatiran lagi di dalam hatiku. Karena, kemana pun
engkau mengajaknya pergi pastilah rahmat dan lindungan Allah
senantiasa bersamamu,” Abdul Malik Israil tersenyum hangat.

“Apakah Syaikh Abdullah Kahfi al-Mishri menyampaikan pesan


khusus untukku berkenaan dengan penyerahan cucunya ini
kepadaku?” tanya Abdul Jalil.

“Dia hanya mengatakan bahwa Islam adalah agama Allah dan


karenanya Islam akan dilindungi sendiri oleh Allah melalui wali-
wali-Nya yang merupakan pengejawantahan dari al-Waly, nama-
528
Nya,” Abdul Malik Israil menjelaskan. “Artinya, Islam tidak akan
terhapus dari muka bumi. Jika Islam nanti terhapus dari bumi
Andalusia, bukan berarti Islam akan punah. Sebaliknya, Islam
tetap lestari dan hanya akan berpindah tempat belaka, yakni ke
arah timur. Itu sebabnya, para aulia ditugaskan menyampaikan
risalah kebenaran Islam kepada dunia timur yang masih dipenuhi
tanah berbatu dan semak-semak berduri kejahilan.”

“Bawalah Hidayatullah, cucu kita, ke arah timur. Carilah dia yang


terkasih, Abdul Jalil al-Jawy, yang akan mengolah lahan gersang
menjadi persemaian subur bagi benih-benih Islam. Pasrahkan
Hidayatullah kepadanya. Sebab, hanya melalui Abdul Jalil kita bisa
ikut menebar benih-benih Islam melalui cucu kita, Hidayatullah.
Dan semoga Hidayatullah bisa menjadi lantara bagi tercurahnya
hidayah Allah di negeri timur. Itu saja pesan Abdullah Kahfi al-
Mishri kepadaku.” lanjut Abdul Malik Israil.

“Tuan Malik Israil,” tanya Abdul Jalil mengerutkan kening, “dari


mana Syaikh Abdullah Kahfi al-Mishri mengetahui jika Islam akan
dihapus dari tanah Andalusia? Bukankah Andalusia bukan
wilayahnya?”

“Aku yang memberi tahu,” kata Abdul Malik Israil. “Aku sendiri
diberi tahu oleh guruku, Syaikh Abdul Malik al-Isbiliy. Dan Tuan
pasti tahu, guruku diberi tahu oleh Yang Mulia Misykat al-Marhum.”

529
Abdul Jalil diam. Beberapa jenak kemudian ia menoleh dan
menatap dalam-dalam Syarif Hidayat yang berdiri di sisinya.
Setelah itu, ia dengan bahasa isyarat mengatakan kepada Abdul
Malik Israil untuk menjelaskan kepada Syarif Hidayat tentang
hakikat tersembunyi di balik akan dihapusnya Islam dari bumi
Andalusia. Abdul Malik Israil mengangguk tanda setuju.

Dengan bersikap pura-pura tidak tahu tentang hakikat tersembunyi


di balik terhapusnya Islam di Andalusia, Abdul Jalil bertanya
kepada Abdul Malik Israil, “Pernahkah Tuan Syaikh Abdul Malik al-
Isbiliy menuturkan kenapa Islam akan dihapuskan dari bumi
Andalusia? Pernahkah pula beliau menuturkan kenapa Islam harus
disebarkan ke dunia timur, padahal di sana tak lama lagi bakal
dipusakakan kepada Dajjal sang Penyesat?” “

Tidak,” sahut Abdul Malik Israil tegas. “Beliau tidak pernah


menjelaskan ini dan itu tentang hal tersebut. Namun, beliau pernah
bertanya kepadaku tentang nabi-nabi Bani Israil dan tentang nasib
Bani Israil sendiri yang sering ditimpa malapetaka hingga terusir
dari negerinya. Aku paham bahwa di balik pertanyaan itu
sebenarnya beliau menyadari bahwa nasib umat Islam di
Andalusia sudah mirip dengan Bani Israil.” “

Bisakah Tuan menceritakan tentang kisah-kisah Bani Israil sejak


mereka memperoleh kemuliaan dari Allah hingga mereka dihukum
dan dihalau dari negeri kelahiran?” pinta Abdul Jalil.

530
Persoalan Bani Israil dengan Allah pada dasarnya adalah cermin
hubungan antara manusia dan Sang Pencipta. Itu sebabnya, inti
dan hakikat persoalannya hanya mencakup tiga hal utama.
Pertama, sejak manusia pertama dicipta (Adam) sudah diadakan
perjanjian antara manusia dan Sang Pencipta (Hosyea 6:7) di
mana manusia harus patuh dan taat kepada perintah Sang
Pencipta (Beresyit 2:16-17). Namun, manusia pertama, leluhur kita
Adam, justru telah melanggar perintah-Nya sehingga dijatuhi
hukuman menanggung derita di muka bumi (Beresyit 3:6-19).
Kecenderungan manusia keturunan Adam mengingkari perjanjian
yang dibuat dengan Sang Pencipta selalu terjadi setiap kurun
zaman dan selalu mendatangkan hukuman.

Pada zaman Nuh, hukuman Allah ditimpakan kepada manusia


keturunan Adam yang cenderung melakukan kejahatan (Beresyit
6:5) dengan azab berupa air bah yang membinasakan manusia,
kecuali Nuh (Beresyit 7:10-23). Perjanjian antara Allah dengan Nuh
pun dibuat (Beresyit 9:8-17). Namun, manusia durhaka lagi kepada
Allah. Kemudian dihukum lagi di zaman Nabi Shalih, Ibrahim, Luth,
dan Syuaib. Allah pun membuat perjanjian dengan Ibrahim dengan
tanda khitan (Beresyit 17:9-14). Allah juga membuat perjanjian
dengan Musa (Eleh Syemot 19:4-6). Dari berbagai perjanjian yang
dibuat antara Allah dan manusia, intinya adalah satu: “Mereka akan
menjadi umat-Ku dan Aku akan menjadi Allah mereka!” (Beresyit
17:7; Eleh Haddebarim 4:20; Yirmeyahu 24:7).

Kedua, Allah memberikan karunia kemuliaan, kebebasan,


keadilan, kemakmuran, keselamatan, dan bahkan kekuasaan
531
kepada manusia-manusia yang setia memegang perjanjian
dengan-Nya. Kemuliaan dan kekuasaan diberikan Allah kepada
Daud a.s., di mana karunia itu dalam perjanjian diperuntukkan bagi
Daud beserta keturunannya (2 Syemuel 7:8-14; Tehillim 89:4-5).
Kemuliaan dan kekuasaan Daud berpuncak pada masa puteranya,
yakni Sulaiman. Itulah masa puncak dari manusia beriman yang
bisa selaras membangun peradaban dunia dengan tetap
memegang teguh perjanjian dengan Allah.

Ketiga, kehidupan dunia adalah kehidupan nisbi yang tidak kekal


abadi. Maksudnya, segala sesuatu yang berlangsung di dunia tidak
pernah langgeng. Itu sebabnya, perjanjian Allah dan Daud pun bisa
gugur. Tidak abadi. Ini terlihat saat Sulaiman usai memerintah
maka kekuasaan Bani Israil pun pecah menjadi dua. Seluruh
keturunan Daud tidak ada lagi yang dianugerahi kemuliaan dan
kekuasaan. Itu sebabnya, perjanjian dibatalkan Allah. Keturunan
Daud dicopot dari kekuasaan (pecah menjadi dua. Seluruh
keturunan Daud tidak ada lagi yang dianugerahi kemuliaan dan
kekuasaan. Itu sebabnya, perjanjian dibatalkan Allah. Keturunan
Daud dicopot dari kekuasaan (Yirmeyahu 22-23). “

Apa saja yang sebenarnya yang sudah dilakukan keturunan Daud


sehingga mereka dilepas dari perjanjian Allah? Bisakah Tuan
menguraikan kisah mereka?” pinta Abdul Jalil. “

Sebenarnya segala kemuliaan, kebebasan, kemakmuran,


keadilan, keselamatan, dan kekuasaan yang dikaruniakan Allah
532
kepada manusia-manusia yang patuh dan setia pada perjanjian
suci dengan Allah adalah ujian belaka. Apakah dengan karunia itu
manusia tetap setia kepada Dia ataukah manusia melupakan Dia
karena sibuk menikmati karunia yang telah diberikan-Nya. Hanya
Tuhan yang memiliki kewenangan meneruskan atau membatalkan
perjanjian.” “

Persoalan yang dihadapi Bani Israil dalam kaitan dengan murka


Allah beserta hukuman-Nya dapat dikata hampir sama dari waktu
ke waktu, yakni sekitar penyakit jiwa mencintai karunia-karunia
pemberian-Nya secara berlebihan. Mereka bukan saja telah
mendewakan diri karena leluhurnya telah beroleh janji dari Allah,
melainkan mengagungkan kekuasaan, menikmati kemakmuran
secara zalim, menjadikan lembaga agama sebagai alat pembenar
diri, mempermainkan hukum dan keadilan, mengabaikan hak-hak
anak yatim dan janda serta orang-orang miskin, memuja
kesyahwatan, dan yang paling keji adalah memberhalakan Allah
dalam wujud lembaga agama yang disesuaikan dengan nafsu
serta akal pikiran mereka,” papar Abdul Malik Israil. “

Bukankah perilaku itu merupakan kecenderungan seluruh umat


manusia, bukan semata-mata Bani Israil?” tanya Abdul Jalil. “

Memang demikianlah adanya,” kata Abdul Malik Israil, “namun


Bani Israillah yang mencatat peristiwa-peristiwa celaka itu di dalam
kitab sucinya secara rinci lewat kisah nabi-nabinya. Merekalah
yang dengan cermat mencatat bagaimana murka Allah ditimpakan
533
atas mereka karena kesalahan-kesalahan yang telah mereka
lakukan, yakni melanggar perjanjian yang sudah ditetapkan
dengan Allah. Dan kesalahan-kesalahan itu diabadikan di dalam
kitab suci dan sahifah yang berisi catatan nubuat, yang
disampaikan para nabi mereka dari zaman ke zaman.” “

Pada masa Nabi Yesaya a.s., misalnya, Allah sudah mengingatkan


para pendusta agama yang berbuat jahat, kejam, kikir, tidak
membela hak anak yatim, tidak memperjuangkan hak janda-janda,
dan lalai dalam beribadah: ‘Untuk apa korbanmu yang banyak itu?
Aku sudah jemu dengan korban-korban bakaran berupa domba
jantan dan lemak dari anak lembu gemukan; darah lembu, domba,
dan kambing jantan pun tidak Aku sukai. Apabila engkau datang
untuk menghadap ke hadirat-Ku, jangan lagi membawa
persembahanmu yang tidak sungguh-sungguh, sebab baunya
adalah kejijikan bagi-Ku.” “

Jika engaku merayakan bulan baru, sabat, atau mengadakan


pertemuan-pertemuan, Aku tidak tahan melihatnya karena
perayaanmu itu penuh kejahatan. Aku benci melihat perayaan-
perayaan bulan barumu dan pertemuan-pertemuanmu yang tetap.
Karena itu, jika engkau menadahkan tanganmu untuk berdoa maka
Aku akan memalingkan wajah-Ku. Bahkan sekalipun engkau
berkali-kali berdoa, Aku tidak akan mendengarkannya, sebab
tanganmu penuh dengan darah. Basuhlah! Bersihkanlah dirimu!
Jauhkanlah perbuatan-perbuatan jahatmu dari depan mata-Ku.
Berhentilah berbuat jahat! Belajarlah berbuat baik! Usahakanlah
keadilan! Kendalikanlah orang kejam! Belalah hak anak-anak
534
yatim, perjuangkanlah perkara janda-janda! (Yesyayahu 1: 11-17).”

Bukankah nubuat Nabi Yesaya itu yang dimaktubkan secara


singkat dalam Surat al-Ma’un? Dan bukankah Bani Israil menolak
seruan itu?” kata Abdul Jalil. “

Pada masa Nabi Yermia pun seruan yang sama disampaikan


kepada Bani Israil di Baitullah. Seruan itu berbunyi: ‘Perbaikilah
tingkah laku dan perbuatanmu agar Aku berkenan diam
bersamamu di tempat ini. Jangan percaya pada perkataan dusta
yang berbunyi: Ini Baitullah! Ini Baitullah! Baitullah! Jika engkau
sungguh-sungguh memperbaiki tingkah laku dan perbuatanmu,
jika engkau sungguh-sungguh melaksanakan keadilan di antara
kalian, tidak menindas orang asing, anak yatim dan janda, tidak
menumpahkan darah orang yang tak bersalah, dan tidak mengikuti
Ilah lain yang menjadi kemalanganmu sendiri, maka Aku berkenan
diam bersama-sama engkau di tempat ini, di tanah yang telah Aku
berikan kepada nenek moyangmu, dari dahulu kala sampai
selama-lamanya. Namun, sesungguhnya engkau lebih percaya
pada perkataan dusta yang tidak memberi manfaat. Bagaimana
mungkin engkau mencuri, membunuh, berzina, bersumpah palsu,
membakar korban kepada Baal, dan mengikuti ilah lain yang tidak
engkau kenal, kemudian engkau datang berdiri di hadapan-Ku,
pada bait yang di atasnya nama-Ku diserukan, sambil engkau
berkata, “Kita selamat supaya dapat melakukan segala perbuatan
yang keji ini!” Sudahkah bait yang di atasnya nama-Ku diserukan
ini menjadi sarang penyamun di matamu? (Yirmeyahu 7: 3-11).”
535
Tidak berbeda dengan yang telah dialami Nabi Yesaya, firman
Allah yang disampaikan Nabi Yermia pun diabaikan. Bahkan
orang-orang fasik di antara penduduk kota Anatot merencanakan
akan membunuh Yermia bin Hilkia. Dengan suara kasar mereka
mengancam Yermia, “Janganlah engkau bernubuat demi nama
Allah supaya engkau tidak mati oleh tangan kami!” Namun, Allah
menghukum mereka dengan firman yang berbunyi:
“Sesungguhnya, Aku akan menghukum mereka: pemuda-pemuda
mereka akan mati oleh pedang, anak-anak mereka yang laki-laki
dan perempuan akan habis mati kelaparan, tidak ada yang tinggal
hidup di antara mereka. Sebab, Aku akan mendatangkan
malapetaka kepada orang-orang Anatot pada tahun hukuman
mereka (Allah menghukum mereka dengan firman yang berbunyi:
“Sesungguhnya, Aku akan menghukum mereka: pemuda-pemuda
mereka akan mati oleh pedang, anak-anak mereka yang laki-laki
dan perempuan akan habis mati kelaparan, tidak ada yang tinggal
hidup di antara mereka. Sebab, Aku akan mendatangkan
malapetaka kepada orang-orang Anatot pada tahun hukuman
mereka (Yirmeyahu 11: 21-23).

Tantangan yang paling berat dihadapi Yermia justru datang dari


kalangan imam Bani Israil yang tidak mempercayai firman Allah
yang disampaikan kepadanya. Tersebutlah imam bernama
Pasyhur bin Imer yang memukuli Yermia dan memasungnya di
gerbang Benyamin di Baitullah. Kemudian turunlah firman Allah
yang mengutuk Pasyhur beserta kawan-kawannya dengan
ancaman akan diserahkan kepada raja Babylonia untuk ditawan
dan dibuang ke sana. Tidak hanya mereka yang beroleh kutukan,
bahkan raja-raja Yehuda pun akan turut diserahkan kepada raja
536
Babylonia yang akan menawan, menjarah kekayaan, dan
membuang mereka (Yirmeyahu 20: 2-6).

Firman Allah yang disampaikan Yermia tentang raja Babylonia


yang bakal menghancurkan raja-raja Yehuda sangat
menggemparkan dan membuat marah mereka yang tidak percaya.
Mereka tidak bisa menerima kenyataan bahwa keberadaan
mereka sebagai Bani Israil yang dicintai Allah bakal dikalahkan raja
kafir Babylonia. Mereka tidak bisa menerima kenyataan bahwa
kemuliaan mereka sebagai Bani Israil akan dihinakan oleh bangsa
tak bersunat.

Karunia Allah yang diberikan kepada Bani Israil ternyata telah


membuat mereka buta terhadap makna kebenaran sejati Ilahi.
Lantaran mereka mencintai karunia itu maka mereka menolak
tegas kehadiran Yermia sebagai utusan Allah. Tidak cukup
menantang Yermia, para pembesar kerajaan dan imam Bani Israil
memunculkan seorang nabi palsu bernama Hananya bin Azur. Dia
membuat nubuat-nubuat palsu yang bertentangan dengan nubuat
yang disampaikan Yermia. Demikianlah, nubuat yang disampaikan
Hananya bin Azur semata-mata untuk memenuhi hasrat dan nafsu
Bani Israil belaka. Namun, ketika Yermia menantang mubahalah
maka matilah Hananya bin Azur sebagai bukti bahwa dia hanyalah
nabi palsu.

Firman Allah yang disampaikan kepada manusia sering kali


dianggap aneh dan tidak dipahami karena firman-firman itu
537
cenderung berisi kenyataan pahit dan tidak menyenangkan. Hal itu
terlihat saat Yermia harus menyampaikan firman Allah yang
memperingatkan penduduk Yerusalem agar keluar dari kota yang
akan direbut oleh Nebukadnezar, raja Babylonia. Para pejabat
kerajaan, imam, dan pemuka Bani Israil marah dan menganggap
Yermia sebagai pengkhianat. Mereka beramai-ramai memohon
kepada raja Yehuda, Zedekia bin Yosia, agar Yermia dibunuh saja.
Raja Zedekia yang penakut dan tak berdaya menghadapi mereka
kemudian menyerahkan Yermia. Lalu dimasukkanlah Yermia ke
dalam perigi tak berair agar mati kelaparan. Namun, Allah
menolongnya melalui tangan seorang Ethiopia bernama Ebed-
Melekh. Yermia berhasil diselamatkan.

Setelah keluar dari perigi tak berair, Yermia memperingatkan raja


Zedekia agar menyerahkan diri kepada para perwira Babylonia
demi keselamatan dirinya dan kota Yerusalem beserta isinya.
Yermia menyatakan bahwa apa yang disampaikannya adalah
firman Allah. Zedekia harus menerima firman itu, meski pahit.
Namun, kekecutan hati raja Zedekia terhadap para imam dan
perwira Yehuda telah menjadikannya mengabaikan peringatan
Yermia.

Apa yang disampaikan Yermia ternyata terbukti. Hukuman Allah


dijatuhkan atas raja keturunan Daud yang mengabaikan firman-
Nya itu. Dan hukuman Allah benar-benar dilaksanakan oleh raja
Babylonia, Nebukadnezar. Pasukan Babylonia di bawah pimpinan
Nergal-Sarezer dan Nebusyazban serta perwira lain berhasil
menjebol gerbang Yerusalem. Zedekia bin Yosia beserta semua
538
tentara yang tidak percaya dengan nubuat Yermia ketakutan dan
lari tunggang-langgang menuju Araba-Yordan. Namun, mereka
berhasil ditangkap oleh pasukan Babylonia di Yerikho. Mereka
dibawa ke Ribla yang terletak di tanah Hamat, tempat
Nebukadnezar beserta pasukannya berkemah.

Hukuman pedih pun dijatuhkan kepada Zedekia bin Yosia.


Hukuman itu tak terbayangkan sebelumnya, yakni perintah
menyembelih anak-anak Zedekia juga semua pembesar Yehuda
di depan matanya. Tidak cukup sampai di situ, mata Zedekia
dibutakan, tangan serta kakinya dibelenggu dengan rantai
tembaga, dan dia digiring ke Babylonia sebagai tawanan. Istana
raja dan rumah-rumah rakyat dibakar. Tembok-tembok Yerusalem
dirobohkan. Sisa-sisa penduduk Yerusalem serta pejabat Zedekia
digiring sebagai tawanan (Yirmeyahu 39: 1-9).”

Abdul Jalil menarik napas berat mendengarkan kisah dramatis


yang dialami Bani Israil pada masa Nabi Yermia. Kemudian
dengan suara lembut ia berkata kepada Syarif Hidayat, “Itulah
kisah keturunan Daud yang telah melanggar perjanjian leluhurnya
dengan Allah. Mereka meninggalkan keteladanan leluhurnya dan
akhirnya menerima hukuman pedih dari Allah.” “

Karena itu, o cucuku,” seru Abdul Malik Israil, “jangan sekali-kali


engkau meninggalkan keteladanan yang telah diwariskan oleh
leluhurmu, Muhammad Saw.. Karena, sesungguhnya kecintaan
Allah kepada hamba-Nya bukanlah disebabkan oleh garis
539
keturunan atau kebangsaan. Namun, mereka yang setia
meneladani kehidupan yang dicontohkan nabi-nabi yang tercitra
pada diri Muhammad Saw. itulah yang paling dicintai-Nya.” “

Saya akan selalu ingat pesan Kakek,” sahut Syarif Hidayat takzim.

Itu artinya,” sela Abdul Jalil, “sebagai seorang syarif keturunan


Imam Hasan bin Ali r.a., beban yang engkau pikul sangat berat.
Engkau harus mampu mewujudkan keteladanan yang diwariskan
leluhurmu. Janganlah kisah keturunan Daud terulang kepadamu
dan kepada keturunanmu. Ingat-ingatlah itu.” “

Saya akan selalu ingat pesan Paman,” sahut Syarif Hidayat takzim.

Abdul Jalil tersenyum. Namun, sejenak kemudian ia bertanya


kepada Abdul Malik Israil, “Apakah yang dialami umat Islam di
Andalusia juga seperti yang dialami Bani Israil pada masa Nabi
Yermia?” “

Islam adalah ikatan perjanjian antara manusia dan Sang Pencipta,


sebagai kelanjutan perjanjian-perjanjian sebelumnya. Manusia
yang mengikatkan diri di dalamnya harus mematuhi peraturan-
peraturan yang telah ditetapkan, baik yang bersifat hablun min an-
nas maupun hablun min Allah, yakni tatanan kehidupan yang
540
sudah disampaikan oleh barisan nabi-nabi sejak Adam hingga
Muhammad.” “

Itu sebabnya, bagi para pengikut Muhammad Saw. diwajibkan


meneladani perikehidupan Muhammad Saw. yang merupakan citra
seluruh nabi dan rasul. Artinya, citra keteladanan yang diwariskan
Muhammad Saw. adalah kecintaan kepada Sang Pencipta yang
melebihi segala-galanya, hidup zuhud, tidak makan jika tidak lapar,
jika makan pun tidak sampai kenyang, tawakal, sabar, tawadhu’,
qana’ah, kuat beribadah, selalu rindu untuk mati, sehingga saat
wafat tidak ada yang ditinggalkan kecuali selembar tikar, sebatang
busur, dan jubah. Muhammad Saw. dan keempat khalifah
penggantinya tidak membangun istana dan gedung megah,
padahal mereka menguasai baitul mal.”

“Sementara itu, apa yang sudah berlaku atas umat Islam di


Andalusia? Mereka sudah sampai pada puncak perkembangan
budaya dan ilmu pengetahuan yang membawa sebagian besar
dari mereka terjebak ke dalam perangkap kesibukan yang
berlebihan dalam mencintai karunia Allah. Mereka telah benar-
benar sibuk mengurusi karunia sehingga melupakan Sang
Pemberi Karunia. Dalam kehidupan sehari-hari, banyak di antara
mereka yang kelihatan tekun menjalankan ibadah, namun hati
mereka kering dan tertutup dari cahaya kebenaran Ilahi.”

“Istana agung, bangunan indah, masjid menakjubkan, lembaga


pendidikan yang maju telah mereka dirikan dengan kebanggaan
541
sebagai umat berperadaban tinggi. Namun, kecintaan mereka
terhadap kebendaan dan pamrih duniawi pun meningkat. Mereka
mengedepankan akal dan pikiran sebagai panglima. Mereka
mendewakan lembaga agama dan menjadikannya sebagai alat
untuk mensahkan kepentingan-kepentingan pribadi. Mereka
bahkan membangun surga beserta keindahannya di dunia. Mereka
lupa bahwa kehidupan di dunia bersifat sementara.”

“Pendek kata, menurut hematku, kehidupan umat Islam di


Andalusia laksana tinggal di surga dunia yang gemerlapan. Mereka
tidak lagi menunjukkan citra kehidupan yang diteladankan
Muhammad Saw. dan keempat khalifah penggantinya yang
mencintai Allah di atas segala-galanya,” ujar Abdul Malik Israil
menegaskan.

Abdul Jalil menarik napas panjang. Ia kemudian menepuk-nepuk


bahu Syarif Hidayat sambil berkata, “Camkanlah, o Hidayat,
Anakku, intisari dari kisah yang dituturkan oleh kakekmu. Betapa
segala sesuatu selain Allah itu pada hakikatnya terbatas dan
bersifat sementara. Kebebasan, kemakmuran, keadilan,
kemuliaan, kekuasaan, dan bahkan keselamatan yang
dikaruniakan Allah kepada manusia semata-mata ujian. Jangan
sampai ujian itu memalingkan kita dari Sang Pemberi Karunia.
Teladanilah Muhammad al-Mushthafa Saw. yang seluruh hidupnya
diabdikan untuk melayani Allah dan mengajak manusia untuk
melayani Allah. Ingatlah selalu keteladanan Muhammad Saw. yang
ketika lahir ke dunia telanjang dibungkus selembar selimut dan
ketika wafat pun telanjang dibungkus selembar kain kafan. Tidak
542
ada mahkota. Tidak ada istana. Tidak ada bangunan megah. Tidak
ada sesuatu pun yang ditinggalkannya kecuali Kitab Allah dan
keteladanan agung seorang adimanusia yang sempurna.”

“Saya akan selalu ingat fatwa Paman,” kata Syarif Hidayat. “

Namun, engkau harus ingat, o Cucuku,” Abdul Malik Israil menyela,


“bahwa perjanjian Islam yang dilakukan Muhammad Saw. dengan
Allah adalah perjanjian baru. Meskipun hakikatnya sama dengan
perjanjian yang dibuat oleh Adam, Nuh, Ibrahim, dan Daud,
cakupan perjanjian antara Muhammad Saw. dan Allah bersifat
anugerah, bukan kesepakatan.” “

Saya belum paham, Kakek,” Syarif Hidayat minta penjelasan.


“Apakah yang Kakek maksudkan dengan bersifat anugerah dan
bukan kesepakatan?” “

Karena perjanjian antara Allah dan Bani Israil telah dilanggar maka
Allah mengadakan Perjanjian Baru (Ibrani: Berith Hadasya)
dengan keluarga Israel dan keluarga Yehuda (Ibrani: Bait Yisrael
we Bait Yehuda), bukan seperti perjanjian terdahulu yang telah
diingkari oleh Israel dan Yehuda. Dalam perjanjian baru itu Allah
akan menaruh Taurat di dalam batin dan menuliskannya di dalam
hati pemegang perjanjian baru, di mana Allah akan menjadi Tuhan
mereka dan mereka menjadi umat Allah (we hayu li le am wa ani
eheye lahem lelohim, Yirmeyahu 31: 31-33). Perjanjian Baru itulah
543
yang disebut Perjanjian Salam (Ibrani:Berith Syalom; Berith Olam)
sebagaimana disampaikan Nabi Yehezkiel a.s. (Yekhezqel 34: 25;
37: 26-27).” “

Jika perjanjian-perjanjian (berith) sebelumnya bersifat


kesepakatan (Ibrani: karat-et) antara Allah sebagai Sang Pencipta
Yang Mahakuat dan manusia yang lemah, maka Perjanjian Salam
bersifat anugerah (Ibrani: karat-le). Artinya, Perjanjian Salam
bersifat sukarela. Tidak ada paksaan. Lantaran itu, prinsip dasar di
dalam Islam adalah: Tidak ada paksaan dalam agama (QS al-
Baqarah: 256). Karena itu, kita umat Islam, sebagaimana
Rasulallah, hanya diperintahkan untuk berseru menyampaikan
kepada manusia untuk menuju ke jalan Allah dengan hikmah dan
pelajaran yang baik, dan jika berbantahan pun dengan cara yang
baik pula. Karena, hanya Allah yang tahu siapa manusia-manusia
sesat dan siapa manusia-manusia yang beroleh petunjuk (QS an-
Nahl: 125),” kata Abdul Malik Israil. “

Dengan Perjanjian Baru yang disebut Perjanjian Salam itu,” sahut


Abdul Jalil sambil memandang Syarif Hidayat, “berarti seluruh umat
manusia yang memegang Perjanjian Salam adalah sederajat.
Maksudnya, kecintaan Allah terhadap manusia-manusia
pemegang Perjanjian Salam tidak dibatasi lagi oleh keisrailan,
keyahudian, kearaban, atau berdasar keturunan dan warna kulit;
tetapi semata karena ketakwaan. Tegasnya lagi, kekasih Allah
yang sangat dicintai oleh-Nya bisa berkulit merah, putih, kuning,
coklat, dan bahkan hitam sekalipun. Tidak ada monopoli-

544
monopolian keunggulan manusia berdasar warna kulit dan azas
keturunan, apalagi berdasar kekayaan bendawi.” “

Muhammad al-Mushthafa Saw. telah mengajarkan bahwa manusia


bisa menjadi Islam bukan karena warna kulit, keturunan, dan
kekayaan, melainkan karena semata-mata memang sudah
dikehendaki Allah. Tidakkah engkau ingat kisah paman
Muhammad Saw. yang juga leluhur kita, Abu Thalib, yang sangat
beliau cintai? Allah menentukan bahwa Abu Thalib tidak diberi
hidayah-Nya menjadi pemegang Perjanjian Salam. Sementara
budak hitam bernama Bilal bin Rabah justru dianugerahi kemuliaan
dengan dilimpahi cahaya hidayah oleh Allah sehingga menjadi
muadzin Muhammad al-Mushthafa Saw.. Dan jika kita diminta
untuk menjawab dengan jujur, manakah yang lebih mulia di
hadapan Allah antara Bilal bin Rabah yang berkulit hitam dan
leluhur kita Abu Thalib. Tentu kita harus mengatakan bahwa Bilal
bin Rabah adalah yang lebih mulia.” “

Namun, yang paling penting, Cucuku,” sahut Abdul Malik Israil,


“rahasiakanlah segala apa yang telah aku uraikan ini kepada
mereka yang tidak berhak mengetahuinya karena ini adalah
rahasia-Nya.” “

Kakek,” kata Syarif Hidayat meminta penegasan, “kenapa Bani


Israil menolak kerasulan Rasulallah Saw.? Bukankah telah jelas
bagi mereka mana yang haqq dan mana yang batil?” “

545
Itu semua adalah kehendak-Nya juga, Cucuku.” Kata Abdul Malik
Israil. “Dengan dilahirkannya Perjanjian Salam bukan berarti
seluruh umat manusia di dunia harus menjadi pemegang perjanjian
itu. Karena, keagungan dan kemuliaan Allah justru akan engkau
dapati di atas semua keanekaragaman. Dengan demikian, adanya
agama Islam, Yahudi, Nasrani, Majusi, Budha, Hindu, dan
berbagai kepercayaan, pada hakikatnya adalah kehendak-nya
semata. Dan karena itu, engkau harus memiliki pandangan yang
luas bahwa semua agama adalah baik bagi pengikut-pengikutnya
masing-masing. Sebab, orang menjadi Muslim, Nasrani, Majusi,
Yahudi, Hindu, atau Budha pada hakikatnya bukanlah atas
kemauannya sendiri, melainkan karena memang telah ditentukan
oleh-Nya.”

546
Tarekat al-Akmaliyyah

Menjelang perempat akhir abad ke-15,


kawasan pantai barat Hindustan berada di
bawah pemerintahan kaum Muslim dari dinasti
Bahmani. Namun, kerajaan yang sudah tegak
hampir satu setengah abad itu mulai terancam
perpecahan. Raja-raja kecil yang semula
tunduk di bawah kekuasaan dinasti Bahmani mulai menunjukkan
gejala melepaskan diri dari kekuasaan pusat. Di antara raja-raja
kecil yang makin lama makin kuat kedudukannya adalah raja
Bijapur. Dan cepat atau lambat, kekuasaan raja Bijapur akan dapat
menggantikan kekuasaan dinasti Bahmani.

Di bawah kekuasaan dinasti Bahmani, dakwah Islam dilakukan


orang dengan sangat bebas. Para penduduk pantai barat
Hindustan banyak yang memeluk Islam atas kesadaran sendiri
karena mereka melihat keteladanan-keteladanan hidup orang-
orang Muslim. Para penduduk Muslim menunjukkan toleransi yang
sangat tinggi. Itu sebabnya, di Bijapur dan sekitarnya pemeluk
Hindu masih cukup besar.

Ketika Abdul Jalil dan Syarif Hidayatullah meninggalkan kota


Satara menuju Goa dengan melewati Belgaum, mereka
menyaksikan pemukim-pemukim keturunan Arab-Hindustan yang
memeluk agama Islam hidup di pinggiran kota-kota. Bahkan
hampir separo penduduk kota Belgaum adalah para pemukim
547
keturunan Arab-Hindustan. Sedangkan pemukim-pemukim di
kawasan pedesaan umumnya beragama Hindu, utamanya dari
kalangan berkasta rendah yang hidup sengsara dan menderita.

Abdul Malik Israil yang memberi petunjuk agar Abdul Jalil


berangkat ke negeri Jawa melalui pelabuhan Goa, telah berangkat
lebih dulu ke kota pelabuhan tersebut. Dia berjanji akan menemui
mereka di pinggiran kota Goa dari arah Belgaum setelah menemui
beberapa orang kenalannya di kota tersebut.

Sementara itu, begitu tiba di Belgaum, tanpa istirahat untuk makan


atau melepas lelah, Abdul Jalil langsung mengajak Syarif Hidayat
shalat di sebuah masjid yang dibangun oleh para mualaf di bawah
bimbingan Sayyid Makhdum Gisudaraz, seorang kekasih Allah
yang berasal dari Gulbarga. Syarif Hidayat yang patuh dan tabah
tanpa mengeluh sedikit pun mengikuti Abdul Jalil, meski tubuhnya
terasa sangat letih.

Usai shalat, secara sepintas Abdul Jalil menuturkan betapa berat


dan susah payahnya para mualaf membangun masjid tersebut.
“Bayangkan, untuk makan saja mereka sudah kekurangan.
Namun, semangat mereka membangun rumah Allah telah
mengalahkan segala keterbatasan mereka. Itulah jihat besar yang
telah mereka lakukan, yaitu menaklukkan kepentingan pribadi
demi kemenangan mengabdi kepada-Nya,” ujar Abdul Jalil.

548
“Bagaimana Paman bisa tahu masjid ini dibangun oleh para
pengikut Sayyid Makhdum Gisudaraz dengan susah payah?” tanya
Syarif Hidayat heran. “Bukankah tadi Paman mengatakan baru
sekali ini ke Belgaum.”

“Di pintu masuk kota tadi,” kata Abdul Jalil tenang, “Sayyid
Makhdum Gisudaraz menjemputku dan memintaku shalat di
masjid yang dibangun oleh para pengikutnya. Dia memintaku
berdoa bagi keberkahan warga Belgaum dan keturunan mereka
agar tetap diberikan cahaya kebenaran hidayah oleh-Nya.”

“Tapi Paman,” sahut Syarif Hidayat heran, “bukankah sejak tadi


Paman bersama saya? Bukankah kita tidak bertemu siapa-siapa?”

“Sayyid Makhdum Gisudaraz memang sudah wafat lima puluh


tahun silam,” Abdul Jalil menjelaskan, “karena itu engkau tidak bisa
menyaksikan kehadirannya. Namun, suatu saat nanti jika engkau
setia mengikuti jalan-Nya dan tetap istiqamah mengarahkan kiblat
hati dan pikiranmu hanya kepada-Nya, maka engkau akan
dikaruniai pengetahuan yang tak dimiliki manusia seumumnya.”

Syarif Hidayat diam. Ada semacam kebanggaan merayap di


hatinya. Rupanya, cerita kakeknya tentang seorang kekasih Allah
yang bakal diikutinya telah terbukti. Itu sebabnya, dia bangga dan
bahagia karena telah mengenal kekasih Allah yang menurutnya
memiliki berbagai karomah menakjubkan.
549
Abdul Jalil yang melihat Syarif Hidayat terdiam kemudian berkata,
“Namun, hendaknya engkau ingat bahwa pengetahuan yang
dikaruniakan oleh Allah itu bukanlah tujuan utama. Sebab, jika
engkau setia mengikuti jalan-Nya dan istiqamah mengarahkan
kiblat hati dan pikiranmu hanya kepada-Nya, semata-mata ingin
memperoleh karomah atau ingin menjadi seorang aulia, maka tidak
akan pernah kesampaian apa yang engkau harapkan itu. Sebab,
kesetiaan pada jalan-Nya dan keistiqamahan mengarahkan kiblat
hati dan pikiran hanya kepada-Nya pada hakikatnya adalah
semata-mata untuk-Nya. Tidak ada pamrih. Tidak ada harapan di
baliknya.”

“Saya akan selalu ingat petunjuk Paman,” kata Syarif Hidayat


takjub karena Abdul Jalil seolah-olah dapat membaca apa yang
terlintas di hati dan pikirannya.

“Jika engkau kagum kepada seseorang yang engkau anggap Wali


Allah, kekasih Allah,” kata Abdul Jalil menegaskan, “maka
janganlah engkau terpancang pada kekaguman akan sosok dan
perilaku yang diperbuatnya. Sebab, saat seseorang berada pada
tahap kewalian maka keberadaan dirinya sebagai manusia telah
lenyap, tenggelam ke dalam al-Waly.”

“Paman,” kata Syarif Hidayat menukas, “kakek pernah


mengungkapkan sebuah hadits Qudsi yang isinya menegaskan
bahwa jika Allah sudah mencintai hamba-Nya maka Dia akan
menjadi ucapannya ketika hamba itu berkata-kata. Allah akan
550
menjadi penglihatannya ketika hamba itu melihat. Allah menjadi
pendengarannya ketika hamba itu mendengar. Allah menjadi
tangannya ketika hamba itu memukul. Dan Allah menjadi kakinya
ketika hamba itu berjalan. Sekarang saya menjadi paham, Paman.”

“Tapi, jangan keliru menafsirkan bahwa Allah meraga jiwa ke


dalam tubuh sang wali. Sama sekali bukan seperti itu. Justru saat
seperti itu sang wali telah kehilangan kesadaran diri dan tenggelam
ke dalam al-Waly,” ujar Abdul Jalil.

“Berarti kewalian tidak bersifat terus-menerus, Paman?”

“Kewalian bersifat terus-menerus, o Anakku,” kata Abdul Jalil


menepuk-nepuk bahu Syarif Hidayat. “Hanya saja saat sang wali
tenggelam ke dalam al-Waly, berlangsungnya Cuma beberapa
saat. Dan saat tenggelam ke dalam al-Waly itulah sang wali benar-
benar menjadi pengejawantahan al-Waly. Lantaran itu, sang wali
memiliki kekeramatan yang tak bisa diukur dengan akal pikiran
manusia, di mana karomah itu sendiri pada hakikatnya adalah
pengejawantahan dari kekuasaan al-Waly. Dan lantaran itu pula
yang dinamakan karomah adalah sesuatu di luar kehendak sang
wali pribadi. Semua itu semata-mata kehendak-Nya. Mutlak.”

Syarif Hidayat termangu-mangu mendengar uraian Abdul Jalil. Dia


benar-benar merasa sangat beruntung telah mengenal dan bahkan
dibimbing oleh seorang kekasih Allah. Namun, saat kebanggaan
551
dan kebahagiaan menguasai dirinya, tiba-tiba Abdul Jalil berkata,
“Kekasih Allah itu ibarat cahaya. Jika ia berada di kejauhan,
kelihatan sekali terangnya. Namun, jika cahaya itu diletakkan ke
mata kita akan silau dan tidak bisa melihatnya dengan jelas.
Semakin dekat cahaya itu ke mata maka kita akan semakin buta
tidak bisa melihatnya.”

“Apakah maksudnya, Paman?” tanya Syarif Hidayat heran.

“Engkau bisa melihat cahaya kewalian pada diri seseorang yang


jauh darimu. Namun, engkau tidak bisa melihat cahaya kewalian
yang memancar dari diri kakekmu, Abdul Malik Israil dan Abdullah
Kahfi al-Mishri.”

“Kakek-kakek saya itu aulia?” seru Syarif Hidayat terkejut luar


biasa.

Abdul Jalil tertawa dan tidak menjawab. Namun, sejenak sesudah


itu ia berkata dengan nada dingin, “Dengan mengetahui kewalian
kakek, ayah, saudara, atau leluhur hendaknya tidak menjadikan
seseorang menjadi bangga apalagi takabur. Sebab, anugerah
kewalian bukanlah jabatan yang bisa diwariskan turun-temurun.
Allah memilih wali-Nya sesuai kehendak-Nya. Dan hal itu tidak
ditentukan oleh nasab, warna kulit, dan bahasa.”

552
“Saya paham, Paman,” kata Syarif Hidayat, “Karena itu saya
mohon agar paman tidak bosan membimbing saya.”

Setelah tinggal selama tiga hari di Belgaum, Abdul Jalil dan Syarif
Hidayat melanjutkan perjalanan ke barat, menuju bandar Goa.
Sepanjang perjalanan itulah mereka menyaksikan kehidupan
orang-orang dari kasta rendah yang dililit kesengsaraan dan
kehinaan. Panasnya matahari dan semburan debu yang meliputi
permukaan bumi yang kering menghamparkan pemandangan
menyedihkan tentang anak-anak manusia yang hidup sengsara
tanpa harapan.

Setelah berjalan di tengah sengatan terik matahari dan tiupan


angin kering, mereka berteduh di bawah pohon Tintira (asam) yang
tumbuh di tepi jalan. Saat itulah Abdul Jalil berkenalan dengan
mubalig asal Gujarat bernama Fadillah Ahmad. Fadillah Ahmad
menuturkan bahwa dia telah menjalankan dakwah Islam di daerah
itu, terutama di kalangan masyarakat berkasta rendah. Sebagian
di antara dakwahnya disambut baik, namun bagian terbesar
masyarakat berkasta rendah itu masih melihatnya dengan sebelah
mata. “Mereka seolah-olah sudah putus asa dengan
keberadaannya sebagai bagian paling nista dari kehidupan
masyarakat. Mereka seolah-olah yakin bahwa kehinaan yang
mereka alami itu memang sudah kehendak Dewata,” ujar Fadillah
Ahmad. “

553
Tuan jangan mundur menghadapi mereka,” sahut Abdul Jalil,
“sebab Tuan bukanlah orang yang bertugas mengislamkan
manusia. Tuan sekedar menyampaikan. Ingatlah: Tuan hanya
menyampaikan kebenaran Islam! Tidak lebih! Karena itu, jika Tuan
belum berhasil dengan tugas Tuan maka hendaknya Tuan
mengubah cara penyampaian yang sesuai dengan pemahaman
mereka.”

“Tapi, cara bagaimana lagi saya harus manyampaikan kepada


manusia-manusia yang sesatnya melebihi hewan. Saya katakan
hewan karena mereka adalah manusia-manusia yang
membolehkan perempuan bersuami sampai sepuluh orang.
Mereka adalah manusia-manusia yang pada saat paceklik selalu
menjual anak-anaknya untuk dijadikan budak. Mereka adalah
manusia-manusia yang menyukai kenajisan dan pemuja berhala!”
sergah Fadillah Ahmad berapi-api.

“Tuan hendaknya tetap sabar dan jangan sekali-kali menilai


keberadaan mereka dari pandangan Tuan sendiri. Sebab, segala
sesuatu yang terhampar di alam semesta ini pada hakikatnya
adalah kehendak-Nya semata. Jadi, kehinaan dan kenistaan yang
ditimpakan kepada mereka bukanlah kehendak mereka, melainkan
kehendak-Nya jua. Karena itu, sebagai mubalig yang
menyampaikan kebenaran Islam, Tuan hendaknya memohon agar
Dia mengubah kehendak-Nya atas masyarakat yang Tuan anggap
hina dan nista itu,” kata Abdul Jalil.

554
“Saya sudah bertahun-tahun berdoa terutama dalam shalat
malam. Namun, sampai saat ini belum ada tanda-tanda bahwa doa
saya dikabulkan-Nya,” ujar Fadillah Ahmad kecewa.

“Itu bukan berarti doa Tuan tidak dijawab oleh-Nya,” sahut Abdul
Jalil tenang. “Mungkin saja Tuan terlalu mendikte Dia dengan
kemauan Tuan sendiri. Tuan berdoa kepada-Nya dengan harapan
Dia mengabulkan permohonan Tuan sesuai dengan yang Tuan
bayangkan dalam benak Tuan. Padahal, Dia sering kali
mengabulkan permohonan hamba-Nya dengan bentuk yang tidak
sesuai dengan kehendak yang dibayangkan hamba-Nya. Selain
itu, manusia pada umumnya cenderung menginginkan segala
sesuatu yang berkaitan dengan permohonan dan pekerjaan yang
dijalankannya dapat terwujud dalam waktu cepat.”

“Tuan Syaikh,” sahut Fadillah Ahmad dengan hati bergetar, “Tuan


sepertinya dapat membaca apa yang tersembunyi di dalam hati
dan apa yang telah saya alami selama ini. Apakah Tuan seorang
aulia?”

Abdul Jalil tertawa mendengar pertanyaan polos Fadillah Ahmad.


Kemudian dengan suara tenang dan mantap ia berkata, “Jika Tuan
mempelajari kecenderungan-kecenderungan manusia,
sebenarnya Tuan dapat membaca jalan pikiran orang dan
menerka-nerka isi hatinya. Jadi, apa yang saya ungkapkan tadi
bukanlah karena saya seorang aulia yang dapat membaca jalan
pikiran dan hati seseorang. Saya hanya membaca apa yang ada di
555
dalam benak Tuan dan apa yang tersembunyi di hati Tuan. Hal itu
mampu saya lakukan karena saya telah lama mempelajari
kecenderungan-kecenderungan manusia.”

“Tuan Syaikh,” sergah Fadillah Ahmad, “pastilah Tuan bukan


manusia sembarangan. Saat pertama kali melihat Tuan, saya
merasakan semacam kewibawaan mahadahsyat memancar dari
diri Tuan. Dan setiap kali hendak berbicara kepada Tuan, saya
selalu merasakan kegentaran dan rasa aneh yang tidak bisa saya
ungkapkan.”

“Tuan jangan melebih-lebihkan sesuatu,” ujar Abdul Jalil datar.


“Saya manusia biasa yang tidak jauh berbeda dengan Tuan.
Karena itu, ketika terik matahari membakar kepala maka saya
bernaung di bawah pohon ini. Dan Tuan bisa melihat sendiri
bagaimana pakaianku ini kotor dilekati debu.”

“Tuan Syaikh,” Fadillah Ahmad berkata dengan suara merendah,


“sebenarnya kedatangan saya ke daerah ini adalah atas petunjuk
yang saya peroleh dalam mimpi di makam Syaikh Sayyid Abdul
Malik al-Qozam kira-kira lima tahun silam. Saat itu saya seperti
mendengar suara tanpa rupa yang memerintahkan agar saya
menyampaikan dakwah kebenaran Islam di wilayah ini. Suara itu
juga menitahkan agar saya menunggu kehadiran seorang Syaikh
dari negeri Jawy di mana saya dititahkan untuk berguru
kepadanya. Namun, sampai saat ini tidak saya jumpai satu pun
syaikh dari negeri Jawy.”
556
Abdul Jalil tersenyum mendengar cerita Fadillah Ahmad. Namun,
sebelum ia berkata sesuatu tiba-tiba saja Syarif Hidayat berkata
dengan suara keras kepada Fadillah Ahmad, “Tuan, tidakkah Tuan
tahu bahwa Paman saya ini asalnya dari negeri Jawy? Tidakkah
Tuan tahu bahwa nama Paman saya adalah Syaikh Datuk Abdul
Jalil al-Jawy? Tidakkah Tuan tahu bahwa kami berdua sedang
dalam perjalanan menuju negeri Jawy?”

Bagaikan disambar kilatan halilintar, Fadillah Ahmad terperangah


seolah-olah tidak percaya dengan apa yang baru saja
didengarnya. Setelah tertegun bagai tugu batu beberapa jenak, dia
berlutut dan bersujud merangkul kaki Abdul Jalil sambil bercucuran
air mata, “Tuan Syaikh, Tuanlah pir yang kami tunggu dengan
segenap kerinduan dan pengharapan. Bimbinglah kami yang telah
didera penderitaan selama menanti kedatangan Tuan. Bimbinglah
kami agar kami dapat beroleh limpahan rahmat dan kasih sayang-
Nya.”

“Berdirilah Tuan!” kata Abdul Jalil menarik bahu Fadillah Ahmad ke


atas, “Tidak boleh bersujud kepada sesama manusia.”

“Tapi Tuan Syaikh,” kata Fadillah Ahmad gemetar, “kami memohon


agar Tuan Syaikh berkenan menjadi pembimbing kami. Kami
memohon agar Tuan Syaikh berkenan menjadi pir kami.”

557
Akhirnya Abdul Jalil tidak dapat menolak keinginan Fadillah Ahmad
untuk menjadi muridnya. Namun, sebelum itu ia menjelaskan
tentang makna ajaran yang bakal disampaikannya, “Jika Tuan
berhasrat kuat untuk mengikuti jalan kami maka yang wajib Tuan
sadari pertama-tama adalah kenyataan yang berkait dengan ‘cara’
(thariq) kami yang berbeda dengan ‘cara’ yang umum dianut
manusia. Maksudku, tarekat yang kami anut tidak mengenal
adanya pir atau mursyid. Karena, yang disebut pir atau mursyid,
menurut ‘cara’ kami, berada di dalam diri manusia sendiri.
Sementara keberadaan guru hanya terbatas sebagai petunjuk
untuk menuntun langkah awal seorang salik dalam mencari guru
sejati.” “

Dengan penjelasan ini hendaknya Tuan pahami bahwa pada ‘cara’


kami tidak mengenal adanya wasilah maupun rabithah yang
berwujud manusia. Satu-satunya wasilah dan rabithah adalah Nur
Muhammad, yang ada di dalam diri setiap manusia. Lewat Nur
Muhammad itulah manusia akan mencapai Sumber Segala
Sumber.” “

Kami paham, Tuan Syaikh,” sahut Fadillah Ahmad takzim. “Namun,


apakah nama ‘cara’ yang Tuan Syaikh ajarkan?” “

Tuan boleh menamai ‘cara’ ini sesuka hati Tuan,” sahut Abdul Jalil.
“Namun, hendaknya Tuan ketahui bahwa Nabi Muhammad al-
Mushthafa Saw telah mewariskan dua ‘cara’ kepada manusia.
‘Cara’ yang pertama adalah Tarekat al-Akmaliyyah yang
558
diwariskan lewat hadhrat Abu Bakar ash-Shiddiq. ‘Cara’ yang
kedua adalah Tarekat al-Anfusiyyah yang diwariskan melalui
hadhrat Ali bin Abu Thalib. Tarekat yang akan Tuan pelajari dariku
adalah Tarekat al-Akmaliyyah.” “

Apakah perbedaan antara Tarekat al-Akmaliyyah dengan Tarekat


al-Anfusiyyah?” tanya Fadillah Ahmad minta penjelasan. “

Sebagaimana yang telah kujelaskan sebelumnya bahwa pertama-


tama Tarekat al-Akmaliyyah tidak mengenal pir atau mursyid dalam
wujud manusia karena pada hakikatnya sudah ada pada diri tiap
manusia. Kedua, pir atau mursyid di dalam diri manusia itulah yang
disebut Nur Muhammad, yang akan menjadi penuntun sang salik
di dalam menuju Dia. Karena itu, Tarekat al-Akmaliyyah tidak
mengenal wasilah dan rabithah dalam bentuk manusia. Wasilah
dan rabithah dalam Tarekat al-Akmaliyyah adalah Nur Muhammad.
Dengan demikian, di dalam Tarekat al-Akmaliyyah tidak dikenal
adanya silsilah pir atau mursyid berdasar asas keturunan.” “

Ketiga, para salik yang berjalan melewati Tarekat al-Akmaliyyah


wajib berkeyakinan bahwa segala sesuatu termasuk tarekat ini
adalah milik Allah. Itu berarti, keberadaan tarekat beserta seluruh
pengikutnya adalah semata-mata karena kehendak Allah. Dengan
demikian, para pengikut tarekat ini hendaknya tidak
membanggakan diri sebagai pendiri atau penguasa tarekat. Tuan
tentu pernah mendengar kisah Syaikh Hussein bin Mansyur al-
Hallaj yang dihukum cincang dan mayatnya dibakar oleh al-
559
Muqtadir? Dia adalah pengamal ajaran Tarekat al-Akmaliyyah.
Namun, murid-muridnya kemudian mendirikan Tarekat dengan
nama Hallajiyyah. Itu boleh dan sah-sah saja, walaupun pada
akhirnya Hallajiyyah tenggelam karena pengikut-pengikutnya
membentuk lembaga baru dengan susunan hierarki kepemimpinan
ruhani atas dasar seorang manusia. Sementara Tarekat al-
Akmaliyyah tetap lestari hingga sekarang.” “

Apa persamaan antara Tarekat al-Akmaliyyah dan Tarekat al-


Anfusiyyah?” tanya Fadillah Ahmad. “

Hakikatnya sama, hanya nama saja yang berbeda,” ujar Abdul Jalil.
“Karena, Akmaliyyah berasal dari al-kamal, yakni
pengejawantahan dari al-Kamal yang dibentuk oleh al-Jalal dan al-
Jamal. Al-kamal itulah Adam Ma’rifat yang kepadanya ditiupkan
ruh-Nya, yakni Ruh al-Haqq di mana tersembunyi al-Haqq. Al-
kamal atau Adam Ma’rifat itulah yang disebut al-Insan al-Kamil.” “

Sementara itu, Anfusiyyah berasal dari al-anfus, an-nafs al-


wahidah, yakni pengejawantahan an-Nafs al-Ilahiyyah. An-nafs al-
wahidah itulah Adam Ma’rifat yang kepadanya ditiupkan ruh-Nya,
yakni Ruh al-Haqq di mana tersembunyi al-Haqq. An-nafs al-
wahidah atau Adam Ma’rifat itulah yang disebut al-Insan al-Kamil.”

Mana yang lebih benar, Tuan Syaikh?” tanya Fadillah Ahmad. “


560
Semuanya benar,” sahut Abdul Jalil, “Hanya nama dan ‘cara’-nya
saja yang berbeda. Justru ‘cara’ itu menjadi salah dan sesat ketika
sang salik menilai terlalu tinggi ‘cara’ yang diikutinya hingga
menafikan ‘cara’ yang lain. Sebab, dengan itu sebenarnya sang
salik telah memuliakan, mengagungkan, dan membenarkan
keakuannya yang kerdil. Berarti, sang salik pada saat itu telah
merampas hak Allah. Karena, kemuliaan, keagungan, dan
kebenaran hanyalah milik-Nya. Itulah sebabnya, dalil awal yang
wajib dipatuhi oleh seorang salik Akmaliyyah adalah meyakini
bahwa ‘jalan lurus’ (sabil huda) yang digelar oleh Allah kepada
hamba-hamba yang mencari-Nya tidaklah tunggal (wa al-ladzina
jahadu finalanahdiyanahum subulana).” “

Hal yang paling penting Tuan pahami lagi adalah Tarekat al-
Akmaliyyah ini hanyalah suatu ‘cara’ untuk melewati ‘jalan lurus’.
Jadi, jangan beranggapan bahwa ‘cara’ ini adalah segala-galanya.
Artinya, jangan menganggap bahwa siapa saja yang
mengamalkan ‘cara’ ini dan mengikuti ‘jalan lurus’ yang ada di
dalamnya pasti akan selamat sampai kepada-Nya. Sebab,
keputusan akhir ada di tangan-Nya juga. Artinya, sangat terbuka
kemungkinan pengamal ‘cara’ ini justru akan sesat jalan, jika Dia
menghendaki demikian.” “

Saya akan selalu mengingat petunjuk Tuan Syaikh,” kata Fadillah


Ahmad takzim. “Namun, saya mohon agar Tuan Syaikh memberi
saya pedoman untuk melintasi ‘jalan lurus’ dengan ‘cara’
Akmaliyyah.” “

561
Pertama-tama yang harus Tuan pahami,” kata Abdul Jalil
menguraikan, “bahwa Allah, tujuan akhir kita, adalah bukan
makhluk dan tidak dapat dibayang-bayangkan apalagi dibanding-
bandingkan dengan sesuatu bentuk apa pun (laisa kamitslihi
syaiun). Karena itu, merupakan suatu keharusan fundamental
bahwa untuk menuju Dia, seorang salik harus mengarahkan kiblat
hati dan pikirannya hanya kepada-Nya. Artinya, seorang salik
harus berjuang keras meninggalkan rasa kepemilikan,
ketergantungan, kecintaan, keterikatan, dan keterkaitan dengan
segala sesuatu selain Dia.” “

Semakin seorang salik berhasil meninggalkan rasa kepemilikan,


ketergantungan, kecintaan, keterikatan, dan keterkaitan dengan
segala sesuatu selain Dia maka akan semakin dekatlah ia dengan-
Nya. Sebaliknya, jika sang salik tidak mampu maka ia pun akan
semakin jauh dari-Nya dan semakin sesat jalannya.” “

Apakah itu bermakna bahwa sang salik harus menanggalkan


kehidupan duniawi dan tinggal sebagai pertapa?” tanya Fadillah
Ahmad. “

Sama sekali keliru pemahaman itu,” ujar Abdul Jalil, “justru sang
salik harus menjadikan kehidupan di dunia ini sebagai medan
perjuangan dalam menuju Dia. Bahkan setelah berhasil mencapai-
Nya, ia memiliki kewajiban fundamental untuk kembali ke tengah
kehidupan manusia biasa sebagaimana hal itu diteladankan oleh
Muhammad al-Mushthafa Saw..” “
562
Dengan demikian, hendaknya sejak awal Tuan sadari bahwa yang
dimaksud meninggalkan segala sesuatu selain Dia bukanlah
bermakna meninggalkan hidup keduniawian secara mutlak.
Karena, yang dimaksud meninggalkan itu berkaitan dengan
suasana batin. Jadi, boleh saja seorang salik menjadi raja besar
seperti Daud dan Sulaiman, namun kiblat hati dan pikiran tetap
hanya mengarah kepada-Nya.” “

Hendaknya Tuan sadari bahwa perjalanan menuju Dia,


Subhanahu wa Ta’ala, bukanlah perjalanan ajaib yang
berlangsung secara gampang dalam tempo satu hari atau satu
pekan. Perjalanan menuju Dia sangatlah sulit dan penuh jebakan.
Karena harus melampaui tujuh rintangan besar, yaitu tujuh
Lembah Kasal, tujuh jurang Futur, tujuh Gurun Malal, tujuh Gunung
Riya’, tujuh Rimba Sum’ah, tujuh Samudera ‘Ujub, dan tujuh
Benteng Hajbun.” “

Kenapa semua rintangan itu berjumlah tujuh, o Tuan Syaikh?”


tanya Fadillah Ahmad minta penegasan. “

Karena, kita adalah makhluk yang hidup di atas permukaan bumi,”


Abdul Jalil menjelaskan. “Allah membentangkan tujuh lapis langit
yang kokoh di atas kita (QS an-Naba’: 12) sebagaimana bumi pun
berlapis tujuh (QS ath-Thalaq: 12) dan samudera pun berlapis tujuh
(QS Luqman: 27). Bahkan neraka bertingkat tujuh (QS al-Hijr: 44).
Tidakkah Tuan ketahui bahwa surga pun berjumlah tujuh, yakni
Firdaus, Aden, Ma’wah, Na’im, Darussalam, Khuldy, dan Qaar.
563
Tidakkah Tuan ketahui bahwa dalam beribadah kepada-Nya
manusia telah diberi piranti tujuh ayat yang diulang-ulang dari Al-
Qur’an (QS al-Hijr: 87) untuk berhubungan dengan-Nya? Tidakkah
Tuan sadari bahwa saat Tuan sujud maka tujuh anggota badan
Tuan yang menjadi tumpuan?” “

Namun, di antara tujuh hal yang terkait dengan alam semesta ini,
yang paling penting Tuan sadari adalah tujuh lapis hal yang
berhubungan dengan keberadaan manusia yang diberi tujuh tahap
usia, yakni radhi’, fathim, shabiy, ghulam, syabb, kuhl, dan syaikh;
yang berkait dengan tujuh nafsu manusia, yakni musawwilah,
hayawaniyyah, ammarrah, lawwammah, mulhamah,
muthma’innah,dan wahidah. Sebab, dengan menyadari adanya
tujuh nafsu maka Tuan akan memahami adanya tujuh martabat
yang wajib Tuan lampaui untuk menuju kepada-Nya. Dan sekali
lagi ingat-ingatlah bahwa perjalanan ruhani bukan perjalanan ajaib
yang bisa tercapai dalam waktu singkat. Rasulallah sendiri
membutuhkan waktu lima belas tahun berkhalwat untuk mencapai
tahap bertemu Jibril a.s. di gua Hira. Dan perjalanan itu masih terus
beliau laksanakan dengan tekun dan istiqamah hingga beliau
mengalami peristiwa Isra’ Mi’raj: menghadap ke hadirat al-Khaliq.”

Saya akan patuhi petunjuk Tuan Syaikh,” kata Fadillah Ahmad.

Setelah menguraikan tentang peta “jalan lurus” yang akan dilewati


seorang salik, Abdul Jalil memaparkan “cara” yang merupakan
564
wahana untuk melewati “jalan lurus” tersebut,yang meliputi empat
hal, yakni asrar al-istighfar, salawat, tahlil, dan nafs al-haqq. abdul
Jalil mengakhiri wejangannya dengan uraian rahasia tentang jati
diri Muhammad al-Mushthafa Saw. sebagai nabi, rasul, Nur
Muhammad, “pintu” (bab), “kunci” (miftah), Haqiqah al-
Muhammadiyyah, dan bahkan sebagai pengejawantahan Allah
dalam Af’al, Asma’, Shifat, dan Dzat.

Ketika matahari bergeser ke barat, terbentang sisa cahaya kuning


kemerahan pada tirai langit yang menghiasi lekuk-liku pegunungan
Ghats Barat. Abdul Jalil berdiri di hadapan sekitar seratus penghuni
pinggiran kota Goa yang menjadi pengikut Fadillah Ahmad.
Bersama mereka hadir pula sekitar tujuh puluh mualaf dari desa-
desa yang tersebar antara Belgaum dan Goa. Sore itu, ia
didampingi pula oleh Abdul Malik Israil.

Fadillah Ahmad membuka pertemuan itu dengan puja dan puji


kepada Allah dan salawat kepada Rasulallah Saw, kemudian
memperkenalkan Abdul Jalil kepada para pengikutnya sebagai
guru ruhani yang telah ditunggunya selama limat tahun lebih. Itu
sebabnya, Fadillah Ahmad berharap Abdul Jalil berkenan
memberikan fatwa.

Abdul Jalil yang tak menduga bakal didaulat untuk memberikan


fatwa di hadapan pengikut Fadillah Ahmad, tidak dapat mengelak.
Ia menunduk diam sambil memejamkan mata. Sejenak kemudian
dengan mata menatap jauh ke gugusan langit, ia mulai berkata
565
dengan suara lantang. “Aku beritakan kepadamu, o manusia
beriman yang dikasihi Allah, bahwa tidak lama lagi akan datang
Dajjal, sang Penyesat, beserta bala tentaranya yang disebut Ya’juj
wa Ma’juj ke segenap penjuru dunia. Tugas utama Dajjal beserta
bala tentaranya itu adalah menjadi penyesat bagi kaum beriman.”

Jika Dajjal dan bala tentaranya sudah muncul di hadapanmu maka


hendaklah engkau sekalian bergegas-gegas menyucikan hati dan
pikiran dari semua noda kebendaan dan pamrih pribadi. Kemudian
arahkan kiblat hati dan pikiran kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Namun, hal itu bukanlah pekerjaan ringan karena Dajjal beserta
bala tentaranya akan menggoda dan menguji iman kalian dengan
keindahan harta duniawi. Dan telah jelaslah bagi kalian semua
bahwa mereka yang tidak teguh iman akan menjadi pengikut
Dajjal. Mereka juga bakal menjadi penghuni neraka Jahanam.” “

Ingat-ingatlah, wahai kaum beriman yang dikasihani Allah, bahwa


panutan kita Nabi Muhammad Saw telah memberi peringatan
tentang kehadiran Dajjal penyesat beserta ciri dan tengara
kerusakan yang bakal ditimbulkannya. Pertama, jika Dajjal
menampakkan diri maka rupanya putih. Mata kanannya buta. Mata
kirinya bersinar seperti bintang gemerlapan (hadits Bukhari).
Kedua, pada kening Dajjal akan tertera tulisan ‘kafir’, yakni yang
ingkar dan terhijab dari kebenaran, di mana setiap Muslim akan
dapat membacanya (hadits Ahmad). Ketiga, jika Dajjal berjalan di
atas permukaan bumi maka langkahnya sangat cepat bagai awan
terbawa angin (hadits Abu Dawud).” “
566
Keempat, Dajjal membawa air dan api. Namun, api itulah yang
sebenarnya air dan air itulah yang sebenarnya api (hadits Bukhari).
Kelima, Dajjal membawa bukit roti dan sungai yang ada airnya
(hadits Bukhari). Keenam, sebelum kiamat akan lahir beberapa
Dajjal yang pandai berdusta, hampir sebanyak 30 orang, dan
semuanya mengaku-aku sebagai utusan Allah (hadits Bukhari).
Yang ketujuh, bala tentara Dajjal akan memenuhi permukaan bumi
bagaikan kawanan hewan buas yang membuat kerusakan di
mana-mana.”

Para hadirin termasuk Fadillah Ahmad dan Syarif Hidayat


tercengang keheranan mendengar uraian Abdul Jalil. Ada rasa
takut merayapi hati mereka.

Abdul Jalil dengan ketenangan luar biasa menatap mata orang di


sekitarnya satu demi satu. Ia dapati betapa pada kedalaman mata
mereka tersembunyi kegalauan, meski mulut mereka terkatup
rapat. Sesaat kemudian, ia melanjutkan penjelasannya. “

Ketahuilah, o manusia beriman yang dikasihi Allah, bahwa yang


disebut Dajjal adalah manusia-manusia yang terhijab dari
kebenaran Allah karena Dajjal berasal dari kata Dajala yang
bermakna ‘dia yang tertutup’. Itu berarti, baik Dajjal maupun
pengikutnya akan menolak hal-hal gaib atau yang bersifat ruhani
karena hati dan pikiran mereka telah terhijab dari kebenaran Ilahi.
Mereka sangat menakjubkan dan menarik hati jika berbicara
tentang kehidupan duniawi. Namun, merekalah perusak dan
567
pembinasa kehidupan duniawi yang sebenarnya. Bahkan jika
mereka berbicara dengan mengatasnamakan agama sekalipun
maka apa yang mereka bicarakan tidak akan jauh dari kepentingan
duniawi.” “

Adapun tentang Ya’juj wa Ma’juj yang berasal dari kata ajij dalam
bentuk yaf’ul dan maf’ul, yang bermakna ‘semburan api’, adalah
pengikut-pengikut setia Dajjal yang di setiap tempat di permukaan
bumi akan menyemburkan api untuk membinasakan manusia-
manusia yang melawan mereka, guna membinasakan kehidupan
di permukaan bumi. Ya’juj wa Ma’juj, sebagaimana Dajjal, jika
berjalan sangat cepat. Karena, Ya’juj wa Ma’juj bisa dimaknai dari
kata ajja yang berarti asra’a, yakni ‘berjalan cepat’.” “

Jika engkau sekalian, o manusia beriman yang dikasihi Allah,


menyaksikan kehadiran Dajjal beserta bala tentaranya maka larilah
engkau sekalian kepada Allah. Fafirru ila Allah! Sebab, kalau hati
dan pikiranmu masih terikat pada sesuatu tentang duniawi dan
pamrih pribadi maka saat itulah engkau sekalian akan gampang
disesatkan oleh Dajjal dan bala tentaranya.”

Seorang pemuda bernama Ghulam Chinibas yang bekerja sebagai


pedagang keliling kelihatannya tidak dapat menahan hasrat untuk
bertanya lebih jelas tentang Dajjal dan Ya’juj wa Ma’juj. Saat Abdul
Jalil berhenti bicara dan menunggu tanggapan para
pendengarnya, dia berseru keras, “Terangkan kepada kami
tentang Dajjal dan bala tentaranya secara lebih tegas, o Tuan
568
Syaikh! Biarlah kami mengetahui kehadiran mereka agar kami
tidak menjadi pengikut mereka.”

Abdul Jalil diam. Ia menunduk sambil memejamkan mata. Sesaat


kemudian, ia berkata, “Dajjal dan bala tentaranya adalah manusia-
manusia berkulit putih. Mereka datang dari arah lautan dengan
menggunakan kapal-kapal yang sangat cepat. Kemudian dengan
membawa meriam-meriam penyembur api, mereka akan naik ke
daratan dan menebarkan kerusakan. Mereka akan menggiring
orang-orang yang lemah iman untuk dijadikan budaknya. Mereka
juga akan merampas harta kekayaan di antara manusia-manusia
yang lemah iman.” “

Apakah kami boleh melawan mereka, o Tuan Syaikh?” tanya


Ghulam Chinibas. “

Jika engkau cinta kepada Allah maka wajib bagimu untuk


menantang Dajjal dan bala tentaranya sekuat daya dan
kemampuanmu. Namun, jika engkau masih mencintai dirimu,
keluargamu, harta bendamu, perdaganganmu, dan keuntunganmu
maka janganlah sekali-kali engkau melawan mereka. Niscaya
engkau akan dikalahkan dengan mudah,” kata Abdul Jalil
menegaskan.

Suara gaduh bagai dengungan ribuan lebah pun terdengar.


Mereka berkata ini dan itu seolah-olah mereka akan menghadapi
569
melapetaka yang sangat dahsyat. Mereka seolah-olah tidak
berdaya menghadapi serbuan Dajjal beserta tentaranya.
Menyaksikan reaksi pembicaraannya yang sangat
menggemparkan pendengarnya itu, Abdul Jalil menangkap
tengara kegentaran merayapi hati orang-orang yang umumnya
masih sangat mencintai kehidupan duniawi. Itu sebabnya, dengan
langkah mantap ia mendekati Ghulam Chinibas. Kemudian dengan
suara lantang ia berkata. “Wahai engkau, Penjaja Keliling, jadilah
engkau penyebar berita tentang kedatangan Dajjal beserta bala
tentaranya ke berbagai penjuru negeri. Beritakanlah kepada
manusia-manusia pecinta dunia bahwa bakal datang azab Allah
untuk mereka dalam bentuk kehadiran Dajjal penyesat beserta
bala tentaranya. Kabarkanlah kepada para pecinta dunia bahwa
mereka harus melepas baju agar punggung-punggung mereka
terbuka untuk dihajar oleh cambuk Dajjal dan bala tentaranya.
Kabarkanlah kepada pecinta dunia bahwa mereka harus
mengumpulkan harta benda dan kekayaan yang mereka miliki
untuk dijadikan barang pampasan oleh Dajjal beserta bala
tentaranya. Kabarkanlah kepada para pecinta dunia bahwa
mereka harus bersiap siaga menjadi pemeluk agama najis, yaitu
penyembah Dajjal. Dan kabarkanlah kepada para pecinta dunia
bahwa pintu neraka telah menunggu mereka!”

Seorang mualaf tua bernama Shadgap Dewadatta dengan tertatih-


tatih melangkah ke depan. Kemudian dengan suara bergetar dia
bertanya, “Tuan Syaikh, kenapa Allah menimpakan malapetaka tak
tertahankan ini kepada kami? Apakah kesalahan yang telah kami
lakukan? Bukankah kami setia memuja dan menyembah-Nya?
Bukankah kami patuhi semua perintah-Nya?” “
570
Wahai Bapa, hamba Allah yang dikasihi-Nya,” kata Abdul Jalil
dengan suara menggeletar, “jangan engkau tanyakan hal itu
kepadaku. Karena aku hanyalah orang asing belaka di negeri ini.
Sebaliknya, tanyalah kepada penguasa-penguasa yang menjadi
pemimpinmu! Tanyakan kepada mereka, apakah mereka telah
menjalankan kekuasaan yang diamanatkan kepadanya sesuai
ketentuan yang diteladankan oleh Rasulallah Saw dan keempat
khalifah penggantinya?” “

Tanyakan kepada para raja (al-malik) penguasa negerimu!


Sudahkah mereka mewakili pengejawantahan al-Malik? Tanyakan
kepada para wazir yang membantu tugas-tugas rajamu! Sudahkah
mereka menjalankan tugas sebagai pembantu raja (tawazzara li al-
malik) dengan sebenar-benarnya? Sudahkah menteri kehakiman
(wizarah al-haqqaniyyah) dan hakim-hakim bawahannya
mencerminkan pengejawantahan al-Haqq – al-Hakim – al’Adl?
Apakah menteri keuangan (wizarrah al-maliyyah) orang yang
zuhud dan jujur? Apakah menteri wakaf (wizarrah al-auqaf) orang
yang amanah dan qana’ah?” “

Apakah engkau pernah menyaksikan pada wajah rajamu bekas


tikar yang dipakainya tidur? Apakah engkau pernah menyaksikan
kesederhanaan rajamu sebagaimana yang diteladankan
Rasulallah Saw dan keempat khalifah penggantinya? Apakah
menurut pengetahuanmu, raja-raja yang memimpinmu hidup
dalam kesederhanaan, kedermawanan, kezuhudan, dan kecintaan
kepada para janda tua, yatim piatu, dan orang hina papa?” “

571
Namun, Tuan Syaikh,” seru Shadgap Dewadatta berapi-api, “jika
kesalahan dan dosa besar telah dilakukan oleh pemimpin-
pemimpin kami, kenapa pula kai yang tidak tahu-menahu ikut
memikul akibatnya? Di manakah letak keadilan Allah?” “

Dengarlah cerita tentang seorang raja tua bangka yang sudah


pikun di tengah pengawal dan budak-budaknya,” kata Abdul Jalil.
“Pekerjaan raja tua bangka itu sehari-harinya mengantuk di atas
singgasana. Tidak ada yang dilakukannya kecuali duduk, makan,
dipijat, dikipasi, dan tidur mendengkur. Sementara para wazir,
qadhi, kepala daerah, dan aparat kerajaan bekerja dengan sesuka
hati mereka. Pekerjaan mereka adalah memeras dan menipu
rakyat untuk memperkaya diri sendiri.” “

Satu siang seusai duduk, makan, dipijit, dan dikipasi, seperti biasa
sang raja tidur mendengkur di atas singgasana. Begitu lelapnya
sehingga mahkota sang raja terjatuh ke lantai. Para budak yang
berada di sekitarnya berebut mengambil dan memahkotakan
kembali. Padahal, salah seorang pengawal raja tua bangka itu
sempat membayangkan seandainya sang raja tetap tidur dan
mahkotanya tetap dibiarkan tergeletak di lantai. Bahkan ia sempat
berpikir betapa mudah sebenarnya membanting tubuh renta itu ke
lantai hingga remuk tulang-belulangnya. Bukankah dengan sekali
banting saja raja tua itu akan mati? Namun, kilasan pikiran
pengawal itu hanya sampai pada bentangan angan-angan dan
gambaran-gambaran khayal belaka. Para pengawal – apalagi para
budak – tidak ada yang berani mengganggu sang raja rua bangka
yang makin lama makin lapuk digeragoti zaman.” “
572
Nah, Bapa Tua, menurutmu apakah kejahatan yang dilakukan para
wazir, qadhi, kepala daerah, dan aparat kerajaan itu semata-mata
kesalahan mereka yang memanfaatkan rajanya yang pikun?
Apakah para pengawal dan budak-budak yang setia kepada raja
tua bangka yang pikun itu tidak ikut bersalah?”

Shadgap Dewadatta manggut-manggut mendengar uraian


perlambang yang dikemukakan Abdul Jalil. Dia menyadari bahwa
suatu peristiwa pada hakikatnya saling mengait dengan peristiwa
lain.

Abdul Jalil kemudian berkata lantang. “Dan kepada engkau, o Bapa


Tua, apakah engkau sudah berbuat adil dan mencintai orang-
orang berkasta rendah di sekitarmu, golongan dari mana engkau
berasal, yakni mereka yang hidup dalam kesengsaraan dan
kepapan? Sudahkah engkau bagikan sebagian harta dan
makananmu kepada mereka yang sering merasakan kelaparan di
sekitarmu? Sudahkah engkau ulurkan tanganmu untuk membantu
tetangga-tetanggamu yang oleh kaumnya dibenamkan sebagai
manusia berkasta rendah? Sudahkah engkau mencintai mereka?
Sudahkah engkau mampu mewujudkan dirimu sebagai pengikut
Muhammad Saw, rahmatan li al-‘alamin?” “

Sepanjang perjalananku dari Ahmadabad hingga Goa, telah aku


saksikan betapa kaum Muslimin hidup dalam kemakmuran dan
kelimpahan rezeki. Mereka hidup tidak kurang satu apa pun.
Namun sungguh menyedihkan, pandangan hidup kaum Muslimin
573
yang kutemui hampir menyerupai kaum berkasta tinggi yang
memandang hina kepada orang-orang berkasta rendah. Itu
sebabnya, aku saksikan orang-orang Muslim membeli anak-anak
kaum berkasta rendah pada masa paceklik. Aku saksikan pula
betapa kaum berkasta rendah itu hidup penuh kekurangan,
sementara tetangganya yang Muslim hidup berkelimpahan.
Sungguh keliru jika kalian beranggapan bahwa bantuan hanya
layak diberikan kepada kaum Muslim. Padahal kalian semua tahu
bahwa orang menjadi Muslim atau tidak adalah mutlak
kewenangan Allah.” “

Karena itu, o saudara-saudaraku kaum beriman, hendaknya kalian


datangi saudara-saudaramu dari kaum berkasta rendah yang
dibenamkan oleh kaumnya untuk menjadi cacing tanah. Angkat
mereka dari dalam kubangan lumpur kehinaan. Bersihkan hati dan
pikiran mereka dari lumpur kerendahan diri dengan cinta kasih,
kedermawanan, persaudaraan, dan kesetaraan. Rangkullah
mereka dengan harkat dan martabat kemanusiaan yang asasi,
yakni sebagai anak cucu Adam. Teladanilah Rasulallah beserta
sahabat-sahabatnya yang gemar membebaskan budak,
menyantuni janda tua, yatim piatu, orang papa, dan mengikat
persaudaraan. Teladanilah kesederhanaan Rasulallah beserta
para sahabat yang senantiasa saling membantu. Teladanilah
Rasulallah beserta sahabat-sahabatnya yang zuhud, yang tidak
pernah membangun istana dan rumah mewah. Teladanilah beliau
yang hidupnya benar-benar menjadi rahmat bagi yang lain!”

574
Pada awal abad ke 10 Hijriah, kota pelabuhan Goa telah menjadi
pusat perniagaan bagi wilayah Deccan yang diperintah oleh dinasti
Bahmani. Jika sebelumnya Goa tak pernah diperhitungkan maka
sejak Zafar Khan Bahmani memisahkan wilayahnya dari
Kesultanan Delhi dan dinasti Tughlak pada pertengahan abad ke 9
Hijriah, Goa perlahan-lahan menemui makna pentingnya sebagai
pelabuhan di wilayah Deccan. Sekalipun pada tahun 905 Hijriah
wilayah Berar memisahkan diri, disusul pemberontakan Adil Shahi
yang menginginkan wilayah Bijapur yang dikuasainya lepas dari
Deccan; dinasti Bahmani tetap mempertahankan Goa sebagai
pelabuhan utama Deccan.

Warga Goa yang kebanyakan merupakan keturunan Arab-Hindi


telah memberikan citra kota pelabuhan itu sebagai wilayah
perdagangan antarbangsa yang sangat ramai. Berbagai saudagar
berkebangsaan Arab, Persia, Keling, Malayu, dan bahkan Cina
terlihat berdagang dengan bebas di kota tersebut. Rumah, kedai,
gudang, dan barak besar milik para pedagang yang dibangun tak
jauh dari pelabuhan telah membuat Goa menjadi kota yang
makmur.

Terik matahari, embusan angin laut, dan taburan debu yang


meliputi permukaan bumi Goa seolah tidak dipedulikan oleh para
saudagar, nahkoda, kuli pelabuhan, penarik kereta, dan budak
yang terlihat hilir-mudik di tengah kesibukan yang bagai tak kenal
istirahat. Mereka seolah-olah larut dalam lingkaran kesibukan
duniawi yang bagai tak ada ujung. Mereka seolah telah menjadi

575
bagian dari hiruk-pikuk kehidupan manusia yang bagai tak memiliki
tepi.

Suatu siang ketika matahari bersinar terik dan debu beterbangan


ditiup angin, Abdul Jalil, Abdul Malik Israil, Syarif Hidayat, dan
Fadillah Ahmad berjalan beriringan memasuki daerah pelabuhan.
Mereka menanyakan tujuan dan jadwal keberangkatan kapal-kapal
yang berlabuh di Goa. Abdul Malik Israil, lewat seorang
kenalannya, telah memesan tumpangan bagi Abdul Jalil dan Syarif
Hidayat untuk jurusan Malaka. Walaupun sebenarnya Abdul Jalil
ingin menumpang kapal milik Ahmad at-Tawallud yang memiliki
tujuan ke Pasai (Aceh).

Ketika mereka sampai di sebuah pertigaan jalan yang menuju ke


arah pasar ikan dan pelabuhan, tiba-tiba Abdul Jalil menghentikan
langkah di teras sebuah rumah saudagar Keling. Setelah termangu
sejenak, ia berkata kepada Fadillah Ahmad, “Jika engkau nanti
benar-benar telah menjadi pengamal Tarekat al-Akmaliyyah,
seperti yang aku ajarkan, maka engkau akan menganggap
brahmin kotor yang duduk di ujung jalan itu sebagai saudaramu.”

“Brahmin itu, Tuan Syaikh?” seru Fadillah Ahmad sambil menatap


brahmin yang dimaksudkan oleh Abdul Jalil.

Brahmin yang duduk bersila di ujung pertigaan jalan itu secara


jasmaniah benar-benar kotor. Rambutnya yang disanggul secara
576
serampangan tampak kusam dipenuhi debu. Sementara badannya
hanya dibungkus kain putih mirip cawat yang kusam, kumal, dan
kelihatan coklat kehitaman.

Fadillah Ahmad dan Syarif Hidayat tak kurang herannya dengan


ucapan Abdul Jalil. Bagaimana mungkin seorang muslim ber-
maqam wali seperti Abdul Jalil bisa mengatakan bahwa brahmin
kotor itu sebagai saudara? Namun, sebelum keheranan mereka
terjawab, Abdul Jalil telah menunjuk seorang saudagar yang duduk
di atas kereta, “Dan jika engkau nanti benar-benar meresapi
Tarekat al-Akmaliyyah maka engkau akan menganggap saudagar
itu sebagai bukan golonganmu.”

“Bagaimana bisa begitu, Tuan Syaikh?” tanya Fadillah heran


bukan kepalang, “bukankah brahmin itu jelas-jelas kafir? Dan
bukankah saudagar itu jelas-jelas Muslim?”

Abdul Jalil tersenyum. Sesaat kemudian ia berkata, “Maukah


engkau mendengar ceritaku tentang kisah manusia-manusia aneh
yang tidak bisa dinilai berdasarkan pandangan mata indriawi kita
yang terbatas ini?”

“Saya sangat ingin tahu, Tuan Syaikh.”

577
Kira-kira dua puluh lima tahun silam di sebuah hutan di lereng
pegunungan Nilgiri, hiduplah seorang brahmin muda di tengah
kesunyian. Sebenarnya, dia adalah putera Raja Vijayanagar. Dia,
atas kemauannya sendiri, meninggalkan takhta dan kemuliaan
yang bakal menjadi miliknya untuk digantikan dengan kesunyian
hutan. Bertahun-tahun pemuda itu mengakrabi kesunyian dengan
tujuan utama memasrahkan seluruh hidupnya kepada Sang
Pencipta. Berbagai upaya yang dilakukan oleh keluarganya agar
dia membatalkan tekadnya tidak mendapatkan hasil apa-apa,
kecuali kepedihan.

Ibu pemuda itu diam-diam menitahkan beberapa pengawal untuk


mengawasi dan menjaga keselamatan putera kandungnya. Setiap
bulan, para pengawal kembali ke istana dan memberi laporan yang
isinya selalu berisi berita menyedihkan: badan sang pemuda makin
kurus, rambutnya terurai panjang tak terurus, makanan sehari-hari
umbu-umbian, samadi di tengah malam dingin, dan pelbagai tindak
penyiksaan tubuh yang tak pantas dilakukan oleh putera raja.

Berita-berita menyedihkan itu akhirnya mencapai puncak


manakala suatu pagi para pengawal menyaksikan pondok tempat
kediaman sang pemuda telah kosong. Mereka mencari berkeliling
namun tidak menemukan bayangannya. Maka, para pengawal pun
melaporkan kepada sang ibu bahwa sang putera telah mencapai
apa yang diinginkan dan dicita-citakannya, yakni moksha. Sang
ibu, meski merasa pedih, tak urung sedikit lega mendengar betapa
puteranya telah moksha, menyatu dengan Sang Pencipta.

578
Namun, hati ibu tetaplah hati ibu yang tak bisa ditipu. Diam-diam,
sang ibu tetap yakin bahwa sang putera belumlah mati apalagi
moksha. Itu sebabnya, diam-diam ia mulai berkeliling dari satu kota
ke kota lain untuk menelusuri di mana sang putera berada. Bahkan
ia menyebar pengawal lain ke berbagai pertapaan untuk mencari
tahu berita sang putera.

Usaha keras sang ibu tidak sia-sia. Ceritanya, ketika sang ibu
melakukan perjalanan ke kota Dwarasamudra, tanpa sengaja ia
menyaksikan seorang brahmin yang kotor dan lusuh sedang duduk
di pinggir jalan. Sebagai ibu yang telah mengandung dan
melahirkan, ia tidak syak lagi bahwa brahmin itu adalah puteranya
tercinta. Dengan penuh cinta kasih, sang ibu memeluk dan
menciumi sang putera yang telah mencapai pencerahan itu.

Berbagai usaha dilakukan sang ibu agar puteranya berkenan


kembali ke istana dan menjadi raja menggantikan ayahandanya.
Namun, tidak membawa hasil apa-apa. Sang putera telah menjadi
manusia yang berbeda. Sang putera telah menjadi manusia yang
tidak memiliki apa-apa dan tidak dimiliki oleh siapa-siapa, kecuali
Sang Pencipta. Dari waktu ke waktu, putera raja itu hidup sebagai
brahmin gelandangan yang dihina dan dinista orang yang tidak
mengetahui siapa dia sebenarnya. “Dan brahmin kotor yang
engkau saksikan duduk di ujung jalan itulah sang Brahmin, putera
Raja Vijayanagar, Pangeran Bharatchandra Jagaddhatri” ujar
Abdul Jalil.

579
“Dia putera Raja Vijayanagar?” tanya Syarif Hidayat terheran-
heran.

“Tanyakan kebenarannya kepada kakekmu yang sudah


mengenalnya,” kata Abdul Jalil yang disambut anggukan kepala
Abdul Malik Israil.

“Dia yang menukar kerajaan dan kemuliaan dengan kesengsaraan


dan penderitaan, tentu memiliki pamrih yang lebih besar dari
kerajaan dan kemuliaan duniawi,” ujar Fadillah Ahmad.

“Dia benar,” sahut Abdul Jalil. “Karena, lebih memilih Sang Raja
dan Sang Pemilik Kemuliaan Abadi.”

“Tetapi, Tuan Syaikh,” tanya Fadillah Ahmad, “bagaimana dengan


saudagar di atas kereta itu? Mengapa Tuan Syaikh menganggap
dia bukan golongan Tuan?”

“Dalam pandangan mata indriawi, dia memang Muslim yang sudah


membaca dua kalimat syahadat. Namun, dalam pandangan
bashirah yang hakiki, dia adalah musrik yang memuja kebendaan
di luar batas kemestian. Tahukah engkau apakah pekerjaan
manusia pemuja dunia itu?” tanya Abdul Jalil.

580
“Saya tidak tahu, Tuan Syaikh,” jawab Fadillah Ahmad.

“Dia adalah pedagang budak yang memperlakukan budak-


budaknya lebih buruk daripada hewan. Dia tidak peduli apakah
budak-budaknya itu adalah saudaranya sesama Muslim atau
bukan, yang utama baginya adalah soal harga. Dia itulah yang
menyebar kaki tangan ke berbagai desa untuk membeli anak-anak
mereka yang berkasta rendah. Dia membeli anak-anak itu dengan
harga murah. Bahkan anak-anak yang sudah dididik sebagai
Muslim pun tetap diperbudaknya.”

“Hari-hari yang dilewati laki-laki celaka itu tidak pernah beranjak


dari lingkaran kehidupan duniawi beserta benda-bendanya yang
menyesatkan. Jika engkau mengamati perilakunya sehari-hari,
engkau tentu akan sering melihatnya menghitung uang, marah-
marah, menganiaya budak, menyuap pejabat kerajaan,
memuaskan nafsu syahwat dengan budak-budaknya yang cantik,
menyedot hashis, dan tidur mendengkur dengan liur menetes.
Bahkan jika engkau mendapati ia shalat berjama’ah dengan
saudagar-saudagar pelanggannya maka akan engkau dapati
pikiran dan hatinya tidak berkiblat kepada Allah, melainkan
berputar-putar memikirkan ini dan itu yang berkait dengan barang
dagangannya. Bahkan akan engkau dapati betapa dia tidak peduli
kepada janda-janda tua, anak yatim, dan orang-orang fakir yang
hidup tertindas. Dia tidak segan mempermainkan nilai hitung zakat
dengan bersekongkol dengan petugas dari kementerian waqaf.”

581
“Bagi manusia tengik seperti saudagar budak itu, persoalan agama
dan iman hanyalah dianggap sebagai suatu kemestian untuk
meraih keberhasilan hidup dalam masyarakat. Bagi manusia
seperti dia, Allah hanyalah semacam dongeng yang
keberadaannya tidak bisa dibuktikan sehingga dengan leluasa dia
melakukan kejahatan dan kekejian tanpa pernah digetari rasa
takut. Dia adalah orang yang sudah tebal hijabnya. Hatinya sudah
berkarat. Dan lantaran itu, aku katakan bahwa dia bukanlah dari
golonganku,” ujar Abdul Jalil.

Fadillah Ahmad dan Syarif Hidayat termangu-mangu takjub


dengan uraian Abdul Jalil mengenai dua sosok manusia yang
berbeda dalam penampilan dan hakikat itu. Beberapa saat
kemudian Fadillah Ahmad bertanya, “Tuan Syaikh, apakah hikmah
di balik peristiwa aneh ini?”

“Aku dan Tuan Syaikh Abdul Malik Israil hendak memberi tahu
sekaligus mengajarkan kepada kalian berdua tentang pandangan
dan prinsip hidup yang kami anut. Tegasnya, bagi kami, yang kami
anggap saudara adalah manusia-manusia pecinta Allah yang kiblat
hati dan pikirannya diarahkan hanya kepada Allah. Kami tidak
peduli apakah agama yang mereka anut Islam, Hindu, Budha,
Yahudi, Nasrani, atau Majusi; asal mereka sama dengan kami
maka mereka adalah saudara kami. Sebaliknya, manusia-manusia
yang kiblat hati da pikirannya hanya ke arah duniawi bukanlah
golongan kami, apalagi saudara kami. Mereka adalah pengikut
Dajjal. Mereka akan menjadi bagian dari Ya’juj wa Ma’juj.
Sekalipun agama mereka Islam, tetaplah tidak bisa kami
582
golongkan sebagai golongan kami, apalagi saudara kami,” ujar
Abdul Jalil.

“Tetapi Tuan Syaikh,” sergah Fadillah Ahmad meminta penegasan,


“jika kami mengikuti pandangan seperti Tuan Syaikh, apakah kami
tidak dianggap aneh dan sesat oleh kaum Muslim seumumnya?”

“Itu jika engkau kemukakan pandanganmu secara terang-terangan


kepada masyarakat umum. Itu sebabnya, ajaran Tarekat al-
Akmaliyyah adalah ajaran rahasia yang tidak boleh diungkapkan
kepada semua orang secara terbuka.”

“Saya paham, Tuan Syaikh.”

“Karena itu,” lanjut Abdul Jalil, “Setelah aku berangkat ke negeri


Jawy nanti, kembalilah engkau ke Ahmadabad di Gujarat.
Temuilah Syaikh Abdul Ghafur Mufarridun al-Gujarati, ambillah
baiat Tarekat asy-Syatariyyah dari saudara kakekku, Syaikh
Sayyid Jamaluddin Husein.

“Jika Syaikh Sayyid Jamaluddin Husein adalah saudara kakek


Tuan Syaikh,” kata Fadillah Ahmad terperangah heran, “berarti
Tuan Syaikh adalah keturunan Syaikh Sayyid Abdul Malik al-
Qozam yang makamnya di Ahmadabad.”

583
“Benar begitu,” kata Abdul Jalil, “sebab ayahandaku, Syaikh Datuk
Sholeh, adalah putera Syaikh Datuk Isa Malaka. Dan kakekku itu
adalah putera Syaikh Sayyid Ahmadsyah Jalaluddin bin Abdullah
Amir Khan bin Abdul Malik al-Qozam.”

“Saya paham sekarang, Tuan Syaikh,” kata Fadillah Ahmad


dengan suara bergetar, “kenapa di dalam mimpi saya lima tahun
silam, Syaikh Sayyid Abdul Malik al-Qozam memerintahkan saya
untuk menunggu Tuan Syaikh di Belgaum. Rupanya, Tuan Syaikh
adalah keturunan beliau.”

Abdul Jalil diam. “

Tapi Tuan Syaikh,” Fadillah Ahmad melanjutkan, “bagaimana


mungkin saya bisa menjalankan dua tarekat yang berbeda?” “

Tarekat al-Akmaliyyah untuk dirimu pribadi, sedang Tarekat asy-


Syatariyyah untuk engkau ajarkan kepada khalayak ramai. Wajib
engkau ingat-ingat bahwa apa yang disebut tarekat itu pada
hakikatnya memiliki tujuan yang sama, meski nama dan caranya
seolah-olah berbeda. Itu sebabnya, jika engkau teliti benar
keberadaan semua tarekat maka akan engkau dapati ‘jalan lurus’
dan ‘cara’ yang mirip satu dengan yang lain.” “

584
Di dalam berbagai tarekat, misalnya, akan engkau dapati
pemaknaan inti dari hakikat istigfar, salawat, tahlil, dan nafs al-
haqq yang sering dipilah-pilah sebagai dzikir jahr dan dzikir sirri.
Semua tarekat pasti mengajarkan istighfar, salawat, tahlil, dan nafs
al-haqq. Semua tarekat pasti mengajarkan rahasia Muhammad
sebagai ‘pintu’ dan ‘kunci’ untuk membuka hijab-Nya,” ujar Abdul
Jalil. “

Tuan Syaikh,” kata Fadillah Ahmad minta penjelasan, “kenapa


tidak Tarekat al-Akmaliyyah saja yang disebarluaskan kepada
khalayak ramai? Bukankah hal itu lebih afdol dibanding
mengajarkan Tarekat asy-Syatariyyah?” “

Ketahuilah, o Salik, bahwa Tarekat al-Akmaliyyah sejak semula


memang tidak untuk diajarkan kepada khalayak ramai. Tidakkah
engkau ketahui kisah Syaikh Abu al-Mughits al-Husain bin
Mansyur bin Muhammad al-Baidawi al-Hallaj yang menimbulkan
kekacauan ketika mengungkapkan pandangan dan pahamnya
kepada khalayak ramai? Tidakkah semua orang saat itu tidak
mampu memahami ucapan-ucapannya? Tidakkah hanya
kesalahpahaman yang justru ditimbulkannya?” “

Pahamilah, o Salik, bahwa apa yang menjadi dasar dari Tarekat al-
Akmaliyyah adalah kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala,
Tuhan, Pencipta yang tak bisa dibayangkan dan tidak pula bisa
dibandingkan dengan sesuatu. Singkatnya, dasar utama dari
Tarekat al-Akmaliyyah adalah perjalanan kembali ke asal: Inna li
585
Allahi wa inna ilaihi raji’un! Kembali kepada Yang Mahagaib.
Mahakosong. Mahahampa. Maha Tak Terbandingkan.” “

Bagaimana engkau menjelaskan kepada khalayak ramai tentang


Dia (Huwa) yang tak bisa digambarkan dan dibayangkan serta tak
terbandingkan? Bagaimana cara engkau meminta khalayak ramai
untuk mengikuti jalanmu jika engkau tidak bisa menjelaskan
kepada mereka tentang kenikmatan, kelezatan, keindahan,
kemuliaan, dan keagungan yang bakal engkau capai? Bagaimana
engkau bisa menyadarkan khalayak ramai bahwa mereka tidaklah
kembali ke surga yang penuh nikmat dan lezat, melainkan kembali
kepada Dia yang tak bisa digambarkan?” “

Dengan uraian ini bukan berarti aku menempatkan Tarekat al-


Akmaliyyah sebagai Tarekat yang khusus, apalagi lebih tinggi
nilainya daripada Tarekat asy-Syatariyyah. Sekali-kali tidak
demikian. Sepengetahuanku, Tarekat al-Akmaliyyah memang
tidak pernah diajarkan secara terbuka, kecuali pada masa Husain
bin Mansyur bin Muhammad al-Baidhawi al-Hallaj. Entah jika satu
saat nanti Allah menghendaki-Nya,” ujar Abdul Jalil menjelaskan. “

Tapi Tuan Syaikh, bagaimana kami memberikan kemanfaatan


Tarekat al-Akmaliyyah kepada khalayak ramai? Bukankah Tuan
Syaikh telah mengajarkan kepada kami bahwa seorang salik yang
telah mencapai tujuannya tetaplah harus meneladani Muhammad
Saw, yakni tetap hidup di tengah masyarakat?” tanya Fadillah
Ahmad. “
586
Ketahuilah, o Salik,” kata Abdul Jalil menguraikan, “bahwa menurut
pemahaman Tarekat al-Akmaliyyah, dalam perjalanan ruhani
menuju Dia pada hakikatnya terdapat empat tahapan. Pertama,
perjalanan al-insan menuju al-Haqq (as-safar min al-insan ila al-
Haqq). kedua, perjalanan di dalam al-Haqq (as-safar fi al-Haqq).
ketiga, perjalanan kembali dari al-Haqq menuju al-insan bersama
al-Haqq (as-safar min al-Haqq ila al-insan bi al-Haqq). keempat,
perjalanan al-insan di tengah ciptaan bersama al-Haqq (safar al-
insan fi al-khalq bi al-Haqq).” “

Dengan uraian ini, o Salik, jangan sekali-kali engkau bertanya soal


manfaat dan kegunaan. Sebab, telah jelas pada paham ini bahwa
barang siapa yang di dalam perjalanannya telah sampai kepada al-
Haqq maka dia akan kehilangan keakuannya yang kerdil dan
sempit. Itu berarti, dia tidak akan lagi berbicara tentang manfaat,
keuntungan, kenikmatan, kelezatan, dan kemuliaan menurut akal
pikiran dan hasrat hatinya. Artinya, dia yang telah sampai akan
berada pada tingkatan tertinggi dari kepasrahan kepada-Nya.
Wama tasya’una illa an yasya’a Allahu rabbu al-‘alamin!”

587
Warisan Bani Adam

Sejak awal manusia diciptakan dan dikaruniai


kemuliaan yang kepadanya malaikat
diperintahkan bersujud, Allah telah
menempatkan musuh utama baginya, yakni
iblis. Dengan musuh itulah manusia setiap saat
dapat terancam jatuh ke jurang kenistaan
sebagai makhluk yang sederajat dengan iblis. Dan Adam, manusia
pertama yang mulia yang disujudi malaikat, ternyata jatuh ke dalam
lingkaran tipu daya iblis yang menyebabkannya terdepak dari
kemuliaan surgawi ke kenistaan duniawi.

Fitrah Adam yang dicipta sesuai gambar Allah (khalaq al-insan ‘ala
shurah ar-Rahman) sebagai makhluk sempurna (al-kamal), yang
kepadanya ditiupkan ruh ilahiah (ruh al-haqq) dan dikaruniai
kemuliaan untuk disujudi malaikat, ternyata hanya pencitraan yang
bersifat nisbi. Artinya, saat iblis muncul dan berhasil
memperdayanya maka citra ar-Rahman, al-Kamal, al-Haqq, al-
Jalal, al-Jamal, dan berbagai kemuliaan-Nya yang melekat pada
Adam terserap kembali kepada-Nya.

Keberadaan Adam beserta keturunannya tidaklah dimaksudkan


lain, kecuali sebagai bukti kemuliaan dan kebesaran Allah, Azza
wa Jalla, yang memiliki kehendak untuk diketahui keberadaan-
Nya. Itu sebabnya, penciptaan Adam di antara berbagai makhluk
tidaklah dimaksudkan untuk menandingi Allah, tetapi lebih sebagai
588
citra Esa dari keberadaan diri-Nya. Karena itu, Adam beserta
keturunannya hanya berhak menyandang gelar wakil Allah
(khalifah Allah) yang kepadanya seluruh makhluk mengenal Kasih
(ar-Rahman), Kemuliaan (al-Aziz), Keagungan (al-Jalal),
Keindahan (al-Jamal), Kesempurnaan (al-Kamal), dan Kebenaran
(al-Haqq) Sang Pencipta.

Jika Allah dilukiskan bersabda kepada malaikat tentang ciptaan-


Nya yang paling mulia dan sempurna, Adam, maka kira-kira Dia
akan bersabda:

“Ketahuilah, o malaikat-malaikat ciptaan-Ku, telah Aku ciptakan


wakil-Ku (khalif) yang jasadnya terbuat dari bahan tanah. Jasad itu
diolah oleh kedua belah tangan-Ku (al-Jalal dan al-Jamal). Setelah
jasadnya terwujud sempurna (al-Kamal) seperti gambar-Ku
(Shurah ar-Rahman) maka Aku tiupkan ruh-Ku ke dalam jasad
wakil-Ku itu (QS al-Baqarah:30 Shad:71-72).”

“Ketahuilah, o malaikat-malaikat ciptaan-Ku, bahwa wakil yang


kepadanya telah Aku tiupkan ruh-Ku itu akan mewarisi secara nisbi
sebagian dari Nama (Asma’) dan Sifat (Shifat) serta perbuatan-Ku
(Af’al). Wakil-Ku itu akan mewarisi Nama-Ku (Asma’), yaitu Yang
Melihat (al-Bashir), Yang Mendengar (as-Sami’), Yang Mengetahui
(al-Alim), Yang Merajai (al-Malik), Yang Agung (al-Jalal), Yang
Indah (al-Jamal), Yang Sempurna (al-Kamal), dan Yang Benar (al-
Haqq). Wakil-Ku itu juga mewarisi sifat kasih (ar-Rahman), sayang
(ar-Rahim), mulia (al-Aziz), mengampuni (al-Ghaffar), dermawan
589
(al-Bari’), bijaksana (al-Hakim), melindungi (al-Waly), dan sabar
(ash-Shabur). Oleh karena itu, o malaikat-malaikat ciptaan-Ku,
sujudlah engkau sekalian kepada wakil-Ku itu! Karena,
sesungguhnya engkau sekalian tidak sujud kepada segumpal
tanah yang aku bentuk dengan kedua belah tangan-Ku, melainkan
engkau sekalian bersujud memuliakan Aku yang telah meniupkan
ruh-Ku kepada segupal tanah itu. Adam itulah citra-Ku yang bisa
engkau kenal. Dan engkau sekalian tidak akan mampu mengenal
apalagi melihat hakikat Aku yang sesungguhnya.”

“Iblis pun tidaklah Aku cipta kecuali untuk meneguhkan keesaan


Aku dalam Af’al, Asma’, Shifat, dan Dzat. Sungguh, iblis Aku cipta
sebagai bukti bahwa wakil-Ku, Adam, hanyalah pewaris sebagian
kecil Asma’, Shifat, dan Af’al-Ku. Dan lewat iblis jua sekalian
makhluk ciptaan-Ku akan mengetahui bahwa wakil-Ku itu, Adam,
adalah makhluk yang tidak sempurna, namun diliputi
kesempurnaan. Lewat iblis, sekalian makhluk ciptaan-Ku
mengetahui bahwa segala sesuatu yang Aku limpahkan kepada
Adam adalah nisbi. Sungguh hanya Aku Yang Esa dan Mutlak.”

Dengan memahami keberadaan Adam dan iblis maka menjadi


jelaslah bahwa iblis tidak boleh hanya dipandang sebagai musuh
bebuyutan bagi Adam beserta keturunannya. Sebab, yang lebih
mendasar untuk lebih dipahami dari keberadaan iblis adalah
sebagai pengingat bahwa sebenar-benar ar-Rahman, ar-Rahim,
al-Aziz, al-Ghaffar, al-Bari’, al-Waly, al-Hakim, ash-Shabur, al-
Jalal, al-Jamal, al-Kamal, dan al-Haqq hanyalah Allah Subhanahu
wa Ta’ala. Kemuliaan hanyalah milik Allah. Yang wajib mutlak
590
disujudi hanyalah Allah. Dan lantaran hanya sebagai wakil maka
keturunan Adam hanya berhak menggunakan nama Abdur
Rahman, Abdur Rahim, Abdul Aziz, Abdul Ghaffar, Abdul Bari’,
atau Abdul Hakim.

Manusia sebagai keturunan Adam pada hakikatnya hanyalah


sebatas citra kemuliaan yang semata-mata merupakan piranti
untuk memuliakan dan mengagungkan-Nya; yang tinggi tidak akan
ada jika yang rendah tidak ada. Dengan demikian, manusia
bukanlah yang tertinggi, meski malaikat-malaikat diperintahkan
sujud kepadanya.

Untuk memelihara kelestarian penauhidan terhadap Allah dan


pembatasan terhadap Adam beserta keturunannya agar tidak
memuliakan, mengagungkan, meninggikan, dan meyucikan dirinya
sebagai pengejawantahan Allah, maka keberadaan iblis pun
menjadi keharusan fundamental bagi kehidupan Adam beserta
keturunannya. Maksudnya, kemuliaan dan keagungan yang
tercurah kepada Adam beserta keturunannya senantiasa diikuti
oleh kemunculan iblis dalam berbagai manifestasi. Iblis dalam
berbagai bentuknya seolah menjadi bagian tak terpisahkan dari
kemuliaan dan keagungan Adam beserta keturunannya.

Kisah tergelincirnya Adam dari kemuliaan dan keagungan akibat


tipu daya iblis adalah bagian yang terus-menerus menjadi citra
kehidupan keturunannya. Habil yang terkasih dan terpuji harus
tersingkir oleh Qabil yang mengejawantahkan sifat iri hati dan
591
dendam kesumat iblis. Kematian Habil bukanlah pertanda bagi
kemenangan daya dan kekuatan iblis, melainkan semata-mata
untuk meneguhkan keesaan Allah. Citra Habil sebagai anak Adam
yang terkasih dan terpuji harus terhapus dari hati ayah, ibunda, dan
saudara-saudarinya; hanya Allah saja Yang Mahakasih (Ar-
Rahman) dan Maha Terpuji (al-Hamid).

Tak jauh berbeda dengan apa yang telah diwarisi Habil dan Qabil
dari ayahanda mereka, Adam, yang kemuliaannya senantiasa
terancam intaian kenistaan iblis, Abdul Jalil pun dalam meniti jalan
kesempurnaan ruhani ternyata diintai oleh iblis yang mewujud
dalam bentuk Ali Anshar at-Tabrizi. Laki-laki yang dikenalnya di
Baghdad dan kemudian diketahui sebagai pengikut Syaikh Abdul
Malik al-Baghdady itu ternyata memiliki aliran nasib yang tak jauh
berbeda dengan Qabil. Bagaikan mengulang sejarah, Ali Anshar
pun tanpa sadar telah terperosok ke dalam lingkaran kuasa iblis.

Sebagaiman peristiwa Qabil dan Habil, perseteruan antara Ali


Anshar dan Abdul Jalil diawali dengan keberuntungan dan
kemuliaan yang diperoleh Abdul Jalil menyunting Fatimah, puteri
Syaikh Abdul Malik al-Baghdady. Pernikahan yang sebelumnya tak
pernah dibayangkan itu ternyata telah menumbuhkan benih-benih
kekecewaan di dalam hati Ali Anshar.

Benih kekecewaan yang tumbuh di hati Ali Anshar semestinya


akakn kering dan mati jika ia memiliki kebesaran jiwa dan iman
yang kuat untuk memasrahkan segala urusan yang menimpanya
592
kepada Allah. Namun, Ali Anshar ternyata tidak mampu menerima
kekecewaan. Dia seolah-olah lupa bahwa segala yang terjadi di
alam semesta baik yang menyenangkan maupun yang
mengecewakan adalah semata-mata kehendak Allah.

Berawal dari kekecewaan ini, Ali Anshar pun pada gilirannya


terjerat oleh jaring-jaring ilusi yang ditebar iblis. Tanpa disadari dan
tanpa dipikir lagi secara jernih, jaring-jaring ilusi iblis di dalam
dirinya telah memerangkap kesadarannya untuk memasuki lorong
gelap yang membawanya ke hamparan jiwa berwujud tanah
berlumpur yang dilingkari sumur api.

Di tengah hamparan itu Ali Anshar mengalami peristiwa yang aneh


dan menakjubkan, terutama yang terkait dengan Abdul Jalil. Entah
bagaimana awalnya, setiap kali dia menangkap citra diri Abdul Jalil
di cakrawala ingatannya maka seluruh sumur di hamparan jiwanya
mengobarkan api yang luar biasa dahsyat. Seiring kobaran api
dahsyat itu, ikut terbakarlah seluruh hamparan dan lorong-lorong
jiwanya.

Keberadaan Abdul Jalil yang semula hanya berupa lintasan ilusi


yang tidak menyenangkan, karena ia merupakan pangkal dari
segala kekecewaan Ali Anshar, secara berangsur-angsur berubah
menjadi benih tumbuhan aneh yang mengerikan. Pada awalnya Ali
Anshar hanya menganggap bahwa tanpa kehadiran Abdul Jalil,
tentulah ia tidak akan menuai kekecewaan yang sedemikian rupa
pahitnya. Namun, lama-kelamaan benih tanaman aneh itu tumbuh
593
berwujud pohon iri hati dengan cabang-cabang kebencian, ranting-
ranting kedengkian, daun-daun ‘ujub, bunga-bunga takabur, dan
buah dendam kesumat.

Sebagai pengikut Syi’ah yang mendukung gerakan Safawy dan


selama bertahun-tahun setia kepada Syaikh Abdul Malik al-
Baghdady, Ali Anshar yang dikenal ramah, santun,
berpengetahuan luas, dan memiliki wawasan yang mendalam
tentang kehidupan tiba-tiba berubah menjadi sosok menakutkan.
Kekecewaan, iri hati, benci, dengki, ‘ujub, takabur, dan dendam
kesumat telah mengubahnya menjadi makhluk jahat yang mungkin
tidak dikenali bahkan oleh dirinya sendiri.

Jika pada awalnya dia hanya merasa betapa semua harapannya


untuk memiliki Fatimah dan menjadi bagian keluarga mulia Syaikh
Abdul Malik al-Baghdady telah pupus, maka berikutnya dia merasa
harga diri dan kehormatannya telah diinjak-injak dan dihinakan.
Namun, dia tidak berani menuduh bahwa Syaikh Abdul Malik al-
Baghdadylah sumber petaka itu. Sebaliknya, dia menduga Abdul
Jalil telah menipu dan bahkan mungkin menggunakan sihir untuk
mempengaruhi Syaikh Abdul Malik al-Baghdady.

Bagaimana mungkin Abdul Jalil yang tidak jelas galur nasabnya itu
tiba-tiba bisa masuk ke dalam keluarga Syaikh Abdul Malik?
Bagaimana mungkin Abdul Jalil yang sebelumnya tak pernah
dikenal itu mendadak bisa menjadi menantu Syaikh Abdul Malik

594
yang terhormat? Jika tanpa tipuan atau pengaruh ilmu sihir mana
mungkin ia bisa menipu Syaikh Abdul Malik?

Berangkat dari rasa penasaran, iri hati, benci, dan dendam


kesumat, Ali Anshar tidak lagi menyadari apa yang sedang
dialaminya. Dia hanya merasakan betapa seluruh aliran darahnya
terbakar hebat setiap kali melihat Abdul Jalil. Dadanya terasa
sesak. Matanya pedih. Giginya bergemerutuk. Seolah-olah melihat
dirinya terkapar bagai bangkai anjing najis yang tidak berharga.
Saat seperti itu dia hanya melihat satu kemungkinan untuk
mengubah keadaan dirinya yang terhinakan itu, yakni membuat
Abdul Jalil celaka dan sengsara melebihi dirinya. Bahkan tidak
cukup sampai di situ, dia menginginkan Abdul Jalil lenyap dari
muka bumi dan tenggelam ke dasar neraka jahanam.

Ali Anshar benar-benar menjelma sebagai iblis berwujud manusia.


Tidak ada hari yang terlewatkan tanpa membayangkan Abdul Jalil.
Benaknya seolah penuh berisi sosok Abdul Jalil dalam berbagai
keadaan yang hina dan nista. Malah dalam doa-doanya tak pernah
luput nama Abdul Jalil disebut dengan getar kebencian tanpa tepi.
Dalam amalan-amalan hizb yang dibacanya senantiasa tersangkut
nama Abdul Jalil sebagai sasaran bidik yang harus binasa.
Singkatnya, seolah-olah mewarisi permusuhan Qabil dan Habil, dia
telah membulatkan tekad untuk menjadikan Abdul Jalil sebagai
satu-satunya musuh terbesar yang wajib dibinasakan.

595
Sebenarnya, ayahanda mertua Abdul Jalil telah mengetahui bara
api yang berkobar di hati Ali Anshar karena hasrat cintanya kepada
Fatimah tidak kesampaian. Sebagai seorang wali Allah, Syaikh
Abdul Malik al-Baghdady paham benar betapa berbahayanya jiwa
Ali Anshar yang sudah dikuasai nafsu setani. Itu sebabnya, dengan
penuh kebijakan dia perintahkan Abdul Jalil secepatnya pergi dari
Baghdad ke negeri Jawy.

Abdul Jalil sendiri baru menangkap upaya bijak mertuanya yang


ingin menghindarkannya dari api dendam Ali Anshar setelah
berbincang-bincang dengan Ahmad at-Tawallud. Sahabatnya itu
bahkan dengan tegas mengingatkannya pada bahaya Ali Anshar.

Sekalipun demikian, Abdul Jalil tidak pernah menghiraukan apalagi


memberi kesempatan bagi pikirannya untuk menilai sepak terjang
Ali Anshar. Ia tidak ingin membiarkan pikirannya terbawa oleh
kumparan kecurigaan dan prasangka-prasangka. Ia tidak mau hati
dan pikirannya disemayami bayangan manusia bernama Ali
Anshar. Ia pasrahkan semua yang berkenaan dengan keberadaan
dirinya kepada Allah ‘Azza wa Jalla.

Ali Anshar sendiri tampaknya sudah tidak mampu mengendalikan


iri hati, benci, dan dendamnya. Itu sebabnya, saat Abdul Jalil
meninggalkan Baghdad, diam-diam dia mengikuti ke mana pun
musuh besarnya itu pergi. Bagaikan memiliki penglihatan batin
yang tajam, dia seolah-olah mengetahui di mana pun Abdul Jalil
berada. Dan lantaran itu, saat Abdul Jalil menikahi Shafa binti
596
Adamji Muhammad, dia menyambutnya dengan penuh sukacita.
Kemudian lewat seorang pendukung Safawy yang akan ke
Baghdad, dia menitipkan pesan agar berita pernikahan Abdul Jalil
disebarluaskan di lingkungan keluarga Syaikh Abdul Malik al-
Baghdady.

Tidak cukup mengawasi semua gerak-gerik Abdul Jalil selama di


Gujarat, dia juga telah menebarkan fitnah di kalangan kaum
Ismailiyyah Gujarat. Dikatakannya bahwa Abdul Jalil adalah
nawasib (pemberontak) yang berasal dari golongan Khawarij yang
ditugaskan menyusup ke kalangan penganut Syi’ah untuk
memecah-belah golongan Alawiyyin dari dalam. Lantaran fitnah itu
maka ke mana pun Abdul Jalil pergi menyampaikan risalah
kebenaran Islam di Gujarat, ia senantiasa di kuntit oleh pengikut
Ismailiyyah. Dan melihat isi dari khotbah yang disampaikan Abdul
Jalil, yang intisarinya mengungkapkan kesadaran bahwa setiap
manusia pada dasarnya adalah sama dan sederajat sebagai Bani
Adam; tidak boleh ada manusia atau kelompok yang meninggikan
diri dan merendahkan manusia atau kelompok lain; seluruh
manusia berhak menjadi Adam Ma’rifat, al-Insan al-Kamil; dan
pengakuan terhadap keabsahan kekhalifahan Abu Bakar, Umar,
Utsman, dan Ali; maka kaum Ismailiyyah pun makin yakin dengan
kebenaran fitnah Ali Anshar.

Sebenarnya, beberapa pengikut Ismailiyyah di Gujarat telah


merencanakan pembunuhan terhadap Abdul Jalil. Namun tanpa
diduga, beberapa hari setelah putera Abdul Jalil lahir ke dunia, ia
pergi meninggalkan Gujarat. Rencana pembunuhan itu pun
597
tertunda karena Abdul Jalil diketahui memasuki wilayah Deccan
yang sedang bergolak akibat Adil Shahi, Raja Bijapur yang
menganut paham Syi’ah Isna Asyariyah, berusaha memisahkan
wilayahnya dari Deccan. Namun, Ali Anshar tidak surut langkah.
Dia terus mengintai dan mengikuti ke mana pun Abdul Jalil pergi.

Ketika Abdul Jalil tiba di wilayah Deccan, Ali Anshar menghubungi


sejumlah pengikut Syi’ah Isna Asyariyah yang dikenalnya. Kepada
mereka, dia mengatakan bahwa Abdul Jalil adalah seorang
Alamutiah sisa-sisa pengikut Hasan bin Muhammad Sabbah al-
Himyari. Abdul Jalil, menurut fitnah itu, merupakan malahidah
(ateis) yang bersembunyi di belakang paham Ghalliah (Syi’ah
Ghullat) yang mengajarkan kepercayaan tentang penitisan,
Muhammad adalah penjelmaan Allah, dan menyesuaikan doktrin
tritunggal Nasrani menjadi pancatunggal (Muhammad – Ali –
Fatimah – Hasan – Husain). Kehadiran Abdul Jalil di wilayah
Deccan semata-mata untuk merusak tata kehidupan masyarakat
pecinta Ahlul Bait.

Selain fitnah, dia juga menyebarkan berita buruk tentang Abdul Jalil
kepada sejumlah pejabat Deccan yang setia kepada Brahmani.
Dikatakannya bahwa Abdul Jalil adalah pengikut Sultan Umar
Syaikh Mirza, penguasa kerajaan Farghana. Abdul Jalil membawa
misi sultan keturunan Timur I Lenk itu untuk memecah-belah
kekuasaan raja-raja Muslim di selatan, termasuk Deccan.

598
Ali Anshar yang memiliki pengetahuan luas dengan mudah
meyakinkan pejabat-pejabat Deccan dengan mengajukan bukti-
bukti tentang adanya tengara bahwa Adil Shahi ingin memisahkan
diri dari Deccan untuk menjadi raja Bijapur. Jika hal itu dibiarkan
maka kekuasaan dinasti Bahmani akan hancur dalam tempo lima
belas tahun mendatang. “Setelah Berar dan Bijapur lepas,
bagaimana jika Golkunda, Ahmadnagar, Bidar, Gulbarga, dan
Raicur ikut-ikutan memisahkan diri? Bukankah itu akan membuat
dinasti Bahmani hancur berkeping-keping karena semuanya ingin
menjadi raja sendiri-sendiri di wilayahnya?”

Untuk membuktikan kebenaran informasi yang disampaikan Ali


Anshar, pejabat-pejabat Deccan mengirimkan beberapa kurir
untuk mengawasi gerak-gerik Abdul Jalil dan pandangan-
pandangannya yang dianggap membahayakan kerajaan. Dan
keterangan yang disampaikan oleh Ali Anshar benar-benar
ditangkap sebagai kebenaran oleh para pejabat Deccan setelah
mereka mendapat laporan dari para kurir. “

Kepada kaum Muslimin, mualaf, dan dari kalangan berkasta


rendah, Abdul Jalil jelas-jelas telah membakar semangat
perlawanan mereka terhadap raja. Ia bercerita tentang raja tua
bangka yang tetap dipertahankan menduduki takhtanya karena
para pelayan dan pengawal raja tua bangka itu bermental budak.
Itu yang saya ketahui tentang pengacau bernama Abdul Jalil,
Tuanku,” kata kurir itu menjelaskan.

599
Bagi sebuah dinasti yang berusia hampir satu setengah abad,
kekuasaan Bahmani atas wilayah Deccan memang semakin
merosot. Korupsi di kalangan pejabat berlangsung semena-mena.
Keamanaan rakyat tidak terjamin. Kemakmuran makin jauh. Pada
saat seperti itu, fitnah dan adu domba berlangsung sangat
mengerikan karena bermuara pada terciptanya kerusuhan yang
berujung pada kematian dan kerusakan. Pihak kerajaan sendiri
tidak mampu lagi bersikap arif dalam mengatasi perubahan-
perubahan. Yang terjadi justru sebaliknya, pihak kerajaan menjadi
sangat sensitif dan penuh curiga terhadap berita dan laporan yang
acap kali hanya didasarkan pada prasangka-prasangka dan
bahkan fitnah.

Abdul Jalil harus menghadapi ancaman bencana yang sewaktu-


waktu dapat merenggut nyawanya. Ali Anshar yang mewarisi naluri
leluhurnya, Qabil, telah memasang perangkap yang mematikan.
Jika Qabil membunuh saudaranya, Habil, dengan kedua
tangannya sendiri, maka Ali Anshar akan membunuh Abdul Jalil
melalui kecerdikan akalnya dengan menggunakan tangan orang
lain, yakni tangan kekuasaan penguasa Deccan.

Angin laut berhembus di antara rumah-rumah yang berdiri di


pelabuhan Goa ketika seseorang memacu kudanya menembusi
keremangan malam. Di tengah kelengangan suasana, kemunculan
penunggang kuda itu menarik perhatian orang-orang yang
melihatnya. Saat sampai di depan sebuah rumah besar yang
berdiri di pertigaan jalan ke arah pelabuhan dan pasar,
penunggang kuda itu berhenti dan melompat turun dengan sigap.
600
Tanpa menambatkan kudanya, dia langsung bergegas masuk
lewat pintu belakang.

Ramchandra Gauranga, saudagar asal Khozikode (Calicut),


pemilik rumah, saat itu sedang berbincang-bincang dengan
tamunya ketika pelayannya memberi tahu kedatangan sang
penunggang kuda yang tidak lain adalah kurirnya. “Suruh dia
menunggu sebentar,” perintahnya.

Setelah berpamitan pada tamunya, ia bergegas ke belakang.


Namun, tak lama kemudian ia tergopoh-gopoh menemui tamunya
sambil berkata, “Celaka Tuan Abdul Malik, pasukan kerajaan baru
saja masuk ke gerbang utara kota Goa. Kata kurir saya, mereka
mancari Tuan Abdul Jalil yang dituduh bersekongkol dengan
gerakan pemberontakan Yang Mulia Adil Shahi. Celakanya lagi,
mereka tahu bahwa Tuan Abdul Jalil besok pagi akan menumpang
kapal saya ke Malaka.”

Abdul Malik Israil, tamu Ramchandra Gauranga, menegrutkan


kening sambil menggumam, “Dari mana mereka tahu Abdul Jalil
akan naik kapal Tuan?”

“Itulah persoalannya, Tuan,” kata Ramchandra Gauranga dengan


kening dipenuhi keringat dingin. “Pasukan itu pasti akan
mengobrak-abrik seluruh tempat di Goa, termasuk kapal-kapal
yang akan berangkat besok pagi, utamanya kapal saya.”
601
“Jikalau demikian, keberangkatan sahabat saya, Abdul Jalil, dan
cucu saya harus dibatalkan. Saya tidak mau Tuan menerima akibat
dari sesuatu yang tidak Tuan lakukan. Saya tidak ingin Tuan
kecewa karena iktikad baik Tuan ternyata berbuah kesusahan,”
ujar Abdul Malik Israil.

“Tuan dan sahabat serta cucu Tuan dapat berlindung di rumah


saya di Bijapur. Di sana pasukan kerajaan tidak akan berani masuk
karena seluruh warga Bijapur sydah memihak kepada Yang Mulia
Adil Shahi. Biar nanti kurir saya yang mengantarkan Tuan ke sana,”
tawar Ramchandra Gauranga.

“Terima kasih atas kebaikan hati Tuan,” kata Abdul Mailk Israil,
“namun saya akan menemui sahabat dan cucu saya lebih dulu.
Sekali lagi, terima kasih atas kebeikan Tuan yang sangat peduli
kepada kami.”

“Itu sudah kewajiban saya sebagai kawan,” kata Ramchandra


Gauranga sambil memeluk dan menepuk-nepuk bahu Abdul Malik
Israil.

Setelah berpamitan, Abdul Malik Israil bergegas keluar rumah.


Seorang pelayan mengantarkannya sampai ke pintu belakang.
Kemudian dengan langkah cepat dia bergerak ke arah selatan,
menembus keremangan malam.

602
Setelah beberapa jenak berjalan, tepat di tikungan dekat pasar dia
bertemu dengan Abdul Jalil, Syarif Hidayat, dan Fadillah Ahmad.
Rupanya, saat Abdul Malik Israil bertamu ke rumah Ramchandra
Gauranga untuk menegaskan keberangkatan mereka ke Malaka
esok pagi, ketiganya menunggu di pinggir jalan. Abdul Jalil
tampaknya sudah menangkap gelagat tidak baik jika ia juga ikut
bertamu. Itu sebabnya, ia memilih menunggu di luar.

Berita yang dibawa Abdul Malik Israil bahwa pasukan dari Deccan
telah masuk ke gerbang utara kota Goa untuk mencari Abdul Jalil
diterima dengan tarikan napas berat. Setelah berdiam beberapa
jenak, ia kemudian berkata dengan suara datar, “Andaikata aku
ikut ke rumah Ramchandra, kenalan saudaraku Malik Israil,
tentulah dia akan menerima musibah dari kehadiranku. Dia akan
celakan oleh sesuatu yang dianggapnya baik, yaitu menolong
orang yang membutuhkan bantuannya. Namun, Allah Maha
Mengatur semuanya.”

“Ramchandra tadi menawari aku untuk berlindung di rumahnya di


Bijapur,” kata Abdul Malik Israil. “Menurutnya, pasukan kerajaan
tidak berani melakukan tidakan apa-apa di wilayah kekuasaan Adil
Shahi.”

“Ramchandra memang orang baik,” kata Abdul Jalil. “Namun, demi


kebaikan bersama maka kita harus menolak tawarannya. Sebab,
jika kita menerima kebaikannya itu, tidak ada yang menjamin

603
bahwa Ramchandra tidak bakal menemui kesulitan dengan kaki
tangan Adil Shahi.”

“Aku juga berpikir demikian,” sahut Abdul Malik Israil, “karena


bagaimana pun, Ramchandra adalah saudagar asal Calicut. Dia
warga Wijayanagar dan beragama Hindu. Selama ini ia tinggal di
Goa karena mendapat perintah dari permaisuri untuk mengawasi
Pangeran Bharatchandra Jagaddhatri, putera Maharaja
Wijayanagar, yang meninggalkan istana dan menjalani hidup
sebagai brahmin gelandangan.”

Ketika Abdul Malik Israil hendak melanjutkan kata-kata, tiba-tiba


dari arah utara terdengar hingar-bingar memecah kegelapan.
Makin lama suara itu makin mendekat.

“Itu pasti suara pasukan kuda kerajaan,” kata Abdul Jalil.

“Ya, itu suara derap ladam kuda,” kata Abdul Malik Israil.

“Tuan Syaikh,” Fadillah Ahmad menyela dengan suara bergetar,


“kita harus pergi dari sini sebelum pasukan kerajaan menemukan
Tuan.”

604
Abdul Jalil diam seolah tidak menghiraukan ucapan Fadillah
Ahmad. Sebaliknya, ia bersujud ke hamparan jalan berdebu sambil
menggumam lirih, “Ya Allah, jika Engkau hendak menguji hamba
dengan rasa takut maka hamba memohon kepada-Mu agar hamba
senantiasa dikuatkan dan diteguhkan dalam keberanian. Sungguh,
hanya Engkau yang hamba takuti. Hamba yakin pasukan-pasukan
berkuda itu hanya ‘alat’ yang Engkau jadikan sarana untuk menguji
iman hamba.”

Beberapa jenak bersujud, Abdul Jalil lantas berdiri. Ia menyaksikan


Fadillah Ahmad tegak di depannya dengan wajah pucat dan tangan
gemetar. Abdul Jalil tersenyum. Kemudian dengan suara mantap
ia menyitir ayat-ayat Al-Qur’an, “Sungguh Allah akan memberikan
ujian kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan
harta, dan jiwa ....... Sampaikan kabar gembira bagi mereka yang
sabar, yaitu mereka yang jika ditimpa musibah mengucapkan inna
li Allahi wa inna ilaihi raji’un (QS al-Baqarah:155-156). Bagaimana
manusia bisa digolongkan sebagai orang sabar sehingga dapat
bersama-sama dengan ash-Shabur, jika kiblat hati dan pikirannya
berubah arah hanya dikarenakan munculnya manusia-manusia
penunggang kuda yang mencari orang di dekatnya?”

“Tuan Syaikh, maafkan saya,” kata Fadillah Ahmad dengan bibir


bergetar dan suara terbata-bata, “Saya paham bahwa Tuan Syaikh
telah mengenal Allah lebih dari saya. Tuan Syaikh telah
membuktikan keberadaan Allah. Karenaitu, kiblat hati dan pikiran
Tuan tidak berubah arah ketika Tuan menghadapi ujian yang berat
dari-Nya. Tetapi saya, Tuan Syaikh, saya hanya kenal Allah dari
605
cerita ayah, ibu, guru mengaji, kawan-kawan, dan dari Tuan Syaikh
sendiri. Jujur saja saya katakan bahwa saya masih sering ragu dan
melupakan keberadaan Allah. Saya masih terpengaruh oleh
segala sesuatu di sekitar saya yang bisa ditangkap indera.
Sementara Allah, hanya saya kenal dari dalil-dalil kitab yang saya
baca. Itu sebabnya, o Tuan Syaikh, sekarang ini saya benar-benar
takut mendengar kabar bahwa pasukan kerajaan sedang mencari
Tuan. Maafkan saya, Tuan Syaikh.”

Badul Jalil tersenyum mendengar kepolosan Fadillah Ahmad.


Tanpa berkomentar apa pun, kembali ia menyitir ayat-ayat Al-
Qur’an, “Sungguh engkau akan diuji dengan harta dan jiwamu (QS
Ali Imran:186). Jika Allah menghendaki, niscaya Allah akan
menghancurkan mereka, namun Allah hendak menguji sebagian
engkau dengan sebagian yang lain (QS Muhammad:4). Janganlah
engkau takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku agar Aku
sempurnakan nikmat-Ku atasmu dan agar engkau mendapat
petunjuk (QS al-Baqarah:150).”

“Janganlah rasa takut terhadap sesuatu selain Allah membuatmu


kehilangan keyakinanmu kepada-Nya. Janganlah engkau
mengikuti jejak murid Nabi Isa yang karena rasa takutnya tak
terkendali ketika pasukan kerajaan mencari gurunya maka
sebelum ayam berkokok dia telah mengingkari gurunya tiga kali.
Sebaliknya, ikutilah jejak sahabat Abu Thalhah yang menyediakan
dadanya untuk melindungi Rasulullah Saw. dari panah musuh saat
perang Uhud. Ikuti juga jejak Abu Dujanah yang melindungi

606
Rasulullah Saw. dengan menyediakan punggungnya sebagai
perisai untuk panah-panah yang dibidikkan musuh!”

“Tapi, dengan cara bagaimana saya mengatasi rasa takut ini, o


Tuan Syaikh?” Fadillah Ahmad terbata-bata.

“Duduklah!” kata Abdul Jalil menekan bahu Fadillah Ahmad ke


bawah.

Fadillah Ahmad yang tertekan bahunya langsung duduk bersila


dengan dada turun naik menahan gejolak perasaan.

“Pejamkan matamu!” kata Abdul Jalildengan suara ditekan. “Atur


napasmu! Tutup telinga inderamu dari mendengar sesuatu di
sekitarmu! Arahkan kiblat kesadaran hati dan pikiranmu ke cahaya
di antara kedua matamu sebagaimana yang telah aku ajarkan!”

Fadillah Ahmad mengikuti perintah Abdul Jalil.

Setelah melihat Fadillah Ahmad tenggelam dalam konsentrasi,


Abdul Jalil mendekati Syarif Hidayat dan berkata, “Apakah engkau
tidak takut, Anakku?”

607
“Saya tadi sempat takut, Paman,” kata Syarif Hidayat polos,
“namun sekarang tidak lagi. Rasa takut saya sudah hilang.”

“Kenapa?” tanya Abdul Jalil.

“Karena saya segera sadar bahwa saya sekarang ini bersama


Paman dan Kakek saya, yaitu orang-orang yang dicintai Allah.
Jadi, saya sangat yakin Allah pasti akan menolong Paman dan
Kakek saya,” kata Syarif Hidayat.

Abdul Jalil tertawa. Abdul Malik Israil juga tertawa.

Sementara itu, pasukan berkuda kerajaan yang telah sampai di


pertigaan jalan berpencar menjadi dua kelompok. Kelompok
pertama bergerak ke arah pelabuhan. Kelompok kedua bergerak
menuju pasar.

Syarif Hidayat, yang melihat betapa pasukan berkuda itu bergerak


ke arah mereka, segera berseru, “Paman! Kakek! Orang-orang
berkuda itu ke sini!”

Abdul Malik Israil menoleh ke arah pertigaan jalan. Dengan cepat


dia menggandeng tangan Syarif Hidayat dan mengajaknya ke
lorong yang memisahkan deretan rumah dengan pasar.
608
Sementara Abdul Jalil dengan tenang menunduk sambil menepuk
bahu Fadillah Ahmad dan menggumam, “Bangunlah!”

Fadillah Ahmad membuka mata sambil berkata, “Rasa takut saya


sudah agak berkurang, Tuan Syaikh.”

“Kalau begitu, ikuti aku!” kata Abdul Jalil menarik tangan Fadillah
Ahmad dan mengajaknya berjalan ke arah lorong mengikuti jejak
Abdul Malik Israil dan Syarif Hidayat.

Dari dalam lorong yang gelap, dengan jelas mereka menyaksikan


pasukan berkuda itu bergerak di jalan yang jaraknya hanya tujuh
tombak dari persembunyian mereka. Saat itulah Fadillah Ahmad
menyaksikan pedagang budak, yang kemarin dilihatnya duduk di
kereta, ada bersama para penunggang kuda.

“Bukankah itu pedagang budak yang Tuan Syaikh tunjukkan


kepada saya?” gumamnya dengan kening berkerut bercampur
terkejut.

Abdul Jalil mengangguk sambil memberi isyarat agar diam.


Fadillah Ahmad terdiam. Namun, dalam hati dia membenarkan
ucapan guru ruhaninya itu, betapa pedagang budak itu pada
hakikatnya memang bukan saudara sesama pemuja Allah. Entah

609
untuk alasan duniawi apa sehingga pedagang budak itu ikut
bersama pasukan kerajaan mencari gurunya.

Ketika sedang memikirkan kebenaran demi kebenaran yang telah


diungkapkan oleh Abdul Jalil, tiba-tiba saja ia merasakan denyut
jantungnya lenyap tatkala pasukan berkuda itu berhenti tepat di
depan pasar dekat dengan tempat persembunyian mereka.
Darahnya serasa berhenti mengalir. Dadanya bagai lautan diaduk
gelombang yang mengguncangkan jiwa. Namun, cepat-cepat ia
menarik napas untuk meneguhkan keberanian. Ia berusaha
membulatkan tekad untuk menghadapi bahaya apa pun bersama
dengan gurunya.

Beberapa jenak setelah pasukan berkuda itu berhenti, tiba-tiba


pemimpin pasukan yang berada di barisan paling depan
mengangkat pedangnya ke atas. Kemudian dengan teriakan keras
dan tudingan ke arah depan, menghamburlah pasukan berkuda ke
arah pasar dan rumah-rumah di sekitarnya. Bagaikan kawanan
pemburu mengejar mangsa yang tersembunyi di semak-semak
belukar, mereka mengobrak-abrik seluruh isi pasar dan dengan
beringas menggedor setiap pintu rumah.

Di tengah hujaman rasa takut dan gentar, tanpa sadar Fadillah


Ahmad memejamkan mata dengan perasaan panik ketika dia
melihat beberapa penunggang kuda bergerak ke arah lorong. Dia
genggam lengan Abdul Jalil erat-erat dan menahan napas ketika
telinganya mendengar detak ladam kuda makin mendekat.
610
Kelebatan bayangan prajurit-prajurit ganas yang mengerikan
memasuki benaknya ganti-berganti, makin membuatnya tegang
dan panik.

Ketika jarak mereka tinggal satu tombak, terdengar salah seorang


prajurit berseru keras, “Itu dia yang kita cari. Tangkap! Tangkap!”

Dalam sekejap para penunggang kuda berhamburan. Bukan ke


arah lorong, melainkan ke arah pasar. Mereka berteriak-teriak
keras. Abdul Jalil dengan sigap menutup mulut Fadillah Ahmad
yang hendak memekik dengan tangan kanannya. Suara caci maki
dan detak ladam kuda sahut-menyahut dan sela-menyela,
membelah keheningan malam.

“Seret dia kemari!”

“Cari kawannya!”

“Pancung saja kepalanya!”

“Gantung di gerbang kota biar jadi contoh yang lain.”

“Ayo menyebar! Cari kawan-kawannya!”


611
Fadillah Ahmad yang masih memejamkan mata sudah
membayangkan bagaimana guru yang dimuliakannya itu ditangkap
dan diseret beramai-ramai oleh orang-orang berkuda. Dia
bayangkan betapa dengan keganasan tiada tara gurunya dihajar
dan dicambuk hingga tersungkur ke tanah. Diterkam oleh lintasan-
lintasan bayangan yang berkelebatan memasuki benaknya dia pun
nekat membela gurunya. Namun, saat dia meronta dan membuka
matanya, sadarlah dia bahwa guru mulia yang dihormatinya itu
masih berada di sisinya. Dia baru sadar jika tangannya
menggenggam erat-erat lengan gurunya.

“Siapakah yang ditangkap, Tuan Syaikh?” kata Fadillah gemetar.

“Dia berteriak-teriak, mengaku pencuri,” sahut Abdul Jalil.

Fadillah Ahmad menarik napas lega. Namun, sedetik sesudah itu


ketegangan kembali merayapi aliran darahnya ketika seorang
penunggang kuda menuju ke arah lorong persembunyiannya
sambil berteriak-teriak. Tidak bisa tidak, serunya dalam hati, dia
pasti akan menemukan kami karena lorong ini satu arah.

Saat penunggang kuda sudah berada di ujung lorong, muncul


bayangan manusia berkelebat. Sekejap kemudian, di antara
keremangan, tampaklah sosok Brahmin yang dengan tegar berdiri
menghadang penunggang kuda. Samar-samar terlihat brahmin itu
menggerak-gerakkan tangannya seolah-olah menyuruh
612
penunggang kuda berbalik arah. Anehnya, bagai tersihir,
penunggang kuda itu menarik kendali kudanya, tidak jadi masuk ke
lorong.

Beberapa jenak setelah berdiri di ujung lorong, Brahmin itu


membalikkan badan dan melangkah ke dalam. Dengan sikap tidak
peduli dia berjalan dengan langkah lebar. Ketika malewati Abdul
Jalil, brahmin itu berkata dengan suara dingin, “Ikutilah saya jika
Tuan-Tuan ingin selamat dari terkaman hewan-hewan pemangsa
yang buas itu.”

Dengan beriringan mereka mengikuti langkah Brahmin yang


berjalan cepat menembusi kegelapan lorong. Ketika sampai di
ujung lorong yang mengarah ke pantai, dia menghentikan langkah.
Kemudian dengan isyarat tangan, dia memerintahkan agar
semuanya merunduk. Rupanya, empat orang penunggang kuda
sedang melintas di depan jalan.

Ketika penunggang kuda paling belakang sudah berlalu, Brahmin


dengan cepat berlari ke seberang jalan sambil tangannya memberi
isyarat agar mereka mengikutinya. Abdul Jalil dan yang lainnya
bergegas mengikuti Brahmin yang begitu sampai di seberang
jalan, bayangannya langsung menghilang. Ternyata di sana
terdapat parit kering yang menuju ke arah laut. Melalui parit itulah
mereka sampai di pantai selatan pelabuhan Goa.

613
Setelah sekitar seperempat jam berjalan, sampailah mereka di
suatu tempat yang ditumbuhi pohon-pohon Chatka dan
Saptaparna. Di tempat itu telah menunggu tiga laki-laki berkulit
legam yang membawa lima ekor kuda. Ketiga orang itu rupanya
adalah pengikut Brahmin. Itu terlihat dari sikap mereka yang sangat
hormat kepadanya.

Brahmin yang kemudian dikenali oleh Abdul Jalil dan Abdul Malik
Israil sebagai Pangeran Bharatchandra Jagaddhatri, tanpa berkata
sesuatu mempersilakan mereka menaiki kuda. Namun, Abdul Jalil
tidak segera naik, sebaliknya ia melangkah mendekat sambil
berkata lirih, “Saya mengucapkan terima kasih atas kebaikan
Pangeran Bharatchandra Jagaddhatri yang telah menolong kami.”

“Tuan mengenal saya?” tanya Brahmin mengerutkan kening.


“Apakah Tuan diberi tahu oleh Ramchandra Gauranga?”

“Sejak pertama kali melihat Tuan duduk di pertigaan jalan, saya


telah mengenali siapa Tuan sebenarnya,” kata Abdul Jalil menjabat
tangan Brahmin, “yaitu, seorang manusia yang jauh lebih agung
dan lebih mulia daripada takhta yang ditinggalkannya. Bahkan saat
Tuan barusan tadi menyebut penunggang kuda itu dengan sebutan
hewan pemangsa yang buas, saya makin yakin bahwa Tuan
benar-benar telah melihat kenyataan bahwa para penunggang
kuda itu adalah manusia-manusia yang mengerikan karena
mereka membawa hewan buas pemangsa di dalam diri mereka.

614
Tuan telah “terbangun” dari tidur sesaat di dunia ini dan
menyaksikan kenyataan yang sebenarnya dari kehidupan ini.”

Brahmin tercengang makna-makna di balik pembicaraan Abdul


Jalil. Itu sebabnya, dengan pandangan tajam dia menatap mata
Abdul Jalil seolah ingin mengukur kedalaman jiwanya. Namun,
setelah beberapa jenak dia tertawa terkekeh-kekeh dan merangkul
erat-erat Abdul Jalil sambil menggumam, “Pantas saja hati saya
tergerak untuk menolong Tuan, ternyata Tuan bukanlah orang lain,
melainkan diri saya sendiri yang terpisah karena kehendak-Nya.”

Fadillah Ahmad, Syarif Hidayat, dan ketiga orang berkulit hitam itu
tercengang keheranan melihat adegan aneh itu. Mereka benar-
benar tidak bisa memahami apa yang sebenarnya telah terjadi,
terutama ketika mendengar isi pembicaraan keduanya. Bahkan
yang paling takjub adalah ketiga orang berkulit hitam yang
sepanjang hidupnya belum pernah melihat junjungannya itu
tersenyum apalagi tertawa. Lantaran itu, mereka bertiga
merasakan seolah-olah sedang bermimpi.

Pembicaraan yang akrab dan aneh antara Abdul Jalil dan


Bharatchandra Jagaddhatri ternyata tak berlangsung lama. Sebab,
dari arah utara terdengar suara hingar-bingar suara derap kaki
kuda dan jeritan sahut menyahut dari para penunggangnya.

615
“Perahunya di mana, Tamrej?” seru Brahmin kepada salah
seorang lelaki berkulit hitam yang bertubuh paling tinggi.

“Di pantai Karwar, Yang Mulia,” sahut Tamrej takzim.

“jauh sekali.”

“Tero, teman hamba, tidak berani berlabuh dekat Goa,” kata


Tamrej.

“Jika begitu, larilah engkau dan kawan-kawanmu ke arah pantai.


Biar aku akan mengalihkan perhatian mereka,” kata Bharatchandra
Jagaddhatri tegas.

Dengan penuh takzim Tamrej dan kedua kawannya melakukan


anjali (menghormat dengan dua tangan seperti menyembah)
kepada Bharatchandra Jagaddhatri. Kemudian bagaikan terbang,
mereka melesat ke arah pantai yang menuju Karwar. Dalam tempo
singkat, mereka telah hilang ditelan kegelapan malam.

“Saudaraku,” seru Bharatchandra Jagaddhatri kepada Abdul Jalil,


“cepatlah berpacu ke arah selatan dengan menyisir pantai. Perahu
yang akan membawamu ke Calicut sudah menunggu di sana.
Cepatlah! Tero sudah menunggumu!”
616
Abdul Jalil menarik napas berat sambil menatap dalam-dalam
mata Bharatchandra Jagaddhatri. Ada semacam rasa berat
menggelayuti hatinya. Namun, dengan terpaksa ia menaiki
kudanya.

Saat ia baru saja duduk di atas pelana, tiba-tiba Bharatchandra


Jagaddhatri menepuk keras pantat kuda yang ditungganginya.
Merasa kaget, kuda Abdul Jalil melonjak dan meringkik, kemudian
melesat ke arah selatan dengan membawa penunggangnya. Abdul
Malik Israil, Syarif Hidayat, dan Fadillah Ahmad yang sudah
menunggu, secara serentak memacu kudanya mengikuti Abdul
Jalil.

Bharatchandra Jagaddhatri ternyata tidak kehilangan


kemampuannya menunggang kuda, meski dia telah bertahun-
tahun hidup sebagai brahmin. Dengan gesit dia melompat ke atas
punggung kuda dan kemudian memacunya dengan gerakan
melingkar dan berputar-putar. Bharatchandra Jagaddhatri seolah-
olah menunggu kehadiran pasukan pemburu Abdul Jalil.

Beberapa jenak menunggu, dia melihat bayangan tujuh ekor kuda


beserta penunggangnya bergerak cepat ke arahnya. Makin lama
makin dekat. Debu mengepul. Dengan tenang, Bharatchandra
menghadapkan kudanya ke arah datangnya ketujuh penunggang.
Kemudian dia membungkukkan badan seolah-olah hendak
merangkul leher kudanya.

617
Ketika bayangan tujuh ekor kuda itu makin dekat, tampaklah para
penunggangnya mengacungkan pedang sambil berteriak-teriak.
Bharatchandra bergeming dan tetap membungkukkan badan.
Penunggang kuda paling depan mengangkat pedangnya tinggi-
tinggi, hendak diayun menebas ke arah depan. Bharatchandra
tetap menunggu.

Saat jarak mereka tinggal sekitar dua tombak, tiba-tiba


penunggang kuda terdepan menebaskan pedangnya tepat ke arah
kepala Bharatchandra. Angin maut berdesir. Bharatchandra
menjatuhkan tubuhnya ke samping kiri lambung kuda
tunggangannya dengan kaki masih melekat di pijakan pelana.

Tebasan pedang mengenai angin kosong. Kemudian bagai


didorong kekuatan raksasa, penunggang kuda itu melesat ke
selatan diikuti oleh kawan-kawannya. Bharatchandra tegak
kembali di atas kudanya. Sedetik kemudian dia sudah melesat ke
arah utara menuju pasar.

Ketujuh penunggang kuda itu berteriak-teriak marah. Mereka


berbalik arah. Kemudian sambil mencaci-maki, mereka memburu
Bharatchandra. Namun, arah utara yang dituju Bharatchandra
ternyata hanya siasat. Setelah berlari cepat sejauh tujuh puluh
tombak, tiba-tiba dia membelokkan kudanya ke timur. Bagaikan
hendak mengejek para pemburunya, Bharatchandra sengaja
memperlambat lari kudanya.

618
Ketujuh penunggang kuda yang sudah dirasuk amarah itu dengan
sumpah serapah yang kasar terus memburu ke mana pun
Bharatchandra memacu kudanya. Dada mereka bahkan hendak
meledak ketika melihat Bharatchandra mempermainkan irama lari
kudanya. Kadang lambat dan kadang cepat. Mereka terus
memburu Bharatchandra hingga tidak sadar telah masuk ke
kawasan selatan Belgaum yang dikuasai oleh para pengikut Adil
Shahi.

Sementara itu, tanpa menemui kesulitan berarti rombingan Abdul


Jalil telah mencapai pantai Karwar. Tero, pemilik perahu, sudah
gelisah menunggu kehadiran junjungannya yang sampai larut
malam belum juga datang. Dia merasa lega ketika melihat
bayangan empat orang dari arah utara. Namun, betapa kecewanya
Tero saat mengetahui bahwa junjungannya tidak ikut bersama
mereka.

Tero hampir tidak mempercayai bahwa Abdul Jalil adalah kawan


Bharatchandra, junjungannya. Dia baru yakin setelah Tamrej
beserta kedua kawannya menyusul ke tempat itu dan menjelaskan
bahwa Abdul Jalil dan kawan-kawan adalah sahabat junjungannya.
Meski demikian, tak urung hatinya diamuk gelisah tak bertepi.

Sebenarnya, bukan hanya Tero yang gelisah menunggu kehadiran


Bharatchandra. Mereka semua malihat ke arah utara dengan hati
berdebar-debar. Waktu berjalan begitu lambat dan menyiksa.

619
Ketika kabut mulai turun menyelimuti bumi, pertanda dinihari, tiba-
tiba Abdul Jalil menangkap sasmita bahwa sesuatu yang tidak
diharapkan telah terjadi pada diri Bharatchandra. Itu sebabnya, ia
bangkit dari duduk dan melangkah ke arah kuda tunggangannya.
Ia memutuskan menyusul Bharatchandra apa pun resiko yang
bakal dihadapinya.

“Tuan Syaikh mau kemana?” tanya Fadillah Ahmad.

“Aku hendak menyusul saudaraku, Bharatchandra Jagaddhatri.


Aku merasa ada sesuatu yang tidak kita harapkan telah terjadi
padanya. Aku akan menjemputnya apa pun resiko yang akan aku
hadapi.”

“Tuan,” seru Tamrej menyela, “Tuan jangan pergi. Yang Mulia


Bharatchandra Jagaddhatri telah mewanti-wanti kami agar
membawa Tuan ke Calicut, apa pun yang terjadi dengan kami.
Karena itu, Tuan, biarlah kami saja yang menyusul junjungan kami.
Biarlah Tuan menunggu di sini.”

Namun, belum lagi Tamrej melanjutkan kata-katanya, Abdul Jalil


melihat bayangan kuda hitam berjalan dari arah utara. Tanpa
menunggu waktu, ia langsung berlari ke arah kuda yang berjalan
sambil mengangguk-anggukkan kepala. Dan ternyata, di atas
punggung kuda itu telah terkulai tubuh Bharatchandra Jagaddhatri

620
dengan posisi tertelungkup. Di punggungnya tertancap sebatang
anak panah.

“Saudaraku, apa yang terjadi?” seru Abdul Jalil sambil menurunkan


Bharatchandra.

Bharatchandra adalah manusia yang memiliki daya tahan luar


biasa dan kuat menahan rasa sakit. Dia hanya tersenyum sambil
menggumam, “Aku terkena panah nyasar. Namun, tujuh orang
penunggang kuda yang memburuku mati semua dihabisi orang-
orang Adil Shahi.”

Angin pagi berembus kering menerpa daun-daun kelapa yang


berjajar di sepanjang pantai barat Wijayanagar. Di bawah
bayangan pohon kelapa di utara pelabuhan Calicut, Abdul Jalil
berdiri tegak memandang ke arah laut yang menggelora. Di
samping kirinya berdiri Syarif Hidayat dan Fadillah Ahmad. Di
samping kanannya berdiri Bharatchandra Jagaddhatri.

Bagaikan melihat bentangan gambar kehidupannya tergelar di


hamparan lautan, ia merasakan dirinya bagai seorang anak yang
akan pergi bermain ke tengah lautan. Ia bayangkan dirinya berlari-
lari di atas gelombang. Dan saat itu, ia merasakan sentuhan lembut
menyentuh kedalaman jiwanya seiring kelebatan bayangan orang-
orang yang dicintainya, yang tertinggal nun jauh di dalam selimut
halimun kenangan indahnya.
621
Ia teringat saat kali pertama meninggalkan tanah kelahiran tercinta,
Caruban Girang. Saat itu, ia merasa sedih dan pilu menyayat
jiwanya. Ia rasakan kehampaan memenuhi dadanya. Ia benar-
benar merasakan sentakan pedih ketika harus melepaskan diri dari
orang-orang yang dicintainya. Namun, kini, setelah peristiwa itu
berlalu puluhan tahun silam, ia tidak merasakan kepedihan dan
kepiluan apa-apa dari kepergiannya meninggalkan mereka yang
dekat dengannya. Ia justru merasakan dirinya seperti anak-anak
yang sedang bermain penuh kegembiraan.

Ketika pandang matanya diarahkan ke utara, ia saksikan kapal


yang bakal dinaikinya diliputi kesibukan luar biasa. Sebagian awak
ada yang mengatur tali-temali, menata layar, mengikat peti-peti,
dan ada beberapa yang naik ke anjungan.

Menyaksikan kesibukan di atas kapal, ia tahu bahwa beberapa


saat lagi ia akan berangkat merenangi lautan menuju Malaka. Itu
berarti ia akan mengalami babak baru kehidupan sebagai bagian
dari alur cerita yang ditentukan-Nya. Itu sebabnya, sebelum
menaiki kapal, ia memberi amanat kepada Fadillah Ahmad untuk
secepatnya kembali ke Ahmadabad dan mengambil baiat kepada
Syaikh Abdul Ghafur Muffaridun al-Gujarati.

“Engkau lebih dibutuhkan di Ahmadabad,” ujar Abdul Jalil.

622
“Tapi Tuan Syaikh,” ujar Fadillah Ahmad, “Bolehkah saya bertanya
sesuatu tentang Tarekat asy-Syatariyyah yang Tuan suruh saya
berbaiat kepadanya?”

“Apa yang engkau tanyakan?”

“Saat di Belgaum, Tuan Syaikh meminta saya untuk berbaiat


Tarekat asy-Suatariyyah. Saya merasa heran karena saya yang
tinggal di Ahmadabad bertahun-tahun belum sedikit pun pernah
mendengar nama tarekat seperti itu. Bahkan saat saya renung-
renungkan, sepanjang pengetahuan saya tidak ada tarekat seperti
itu di Ahmadabad. Apakah Tarekat asy-Syatariyyah itu sama
rahasianya dengan Tarekat al-Akmaliyyah?” tanya Fadillah
Ahmad.

Abdul Jalil tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala


mendengar pertanyaan Fadillah Ahmad. Ia sadar bahwa apa yang
disampaikannya itu memang tidak lazim. Itu sebabnya, ia segera
memberi penjelasan, “Aku telah keliru menyebutkan istilah asy-
Syatariyyah kepadamu. Karena, engkau cari sampai ke ujung
dunia pun, engkau tidak akan mendapati Tarekat asy-Syatariyyah.”

“Ketahuilah, o salik, bahwa Tarekat asy-Syatariyyah adalah


sebutan rahasia bagi tarekat yang diajarkan oleh kalangan
Alawiyyin, khususnya dari keturunan Syaikh Abdul Malik al-
Qozam. Sebutan tarekat itu sendiri adalah ajaran rahasia yang
623
diajarkan turun-temurun dari kalangan Ahlul Bait Rasulullah Saw.,
yaitu dari Imam Ali, Imam Hasan, Imam Husein, Imam Ali Zainal
Abidin, Imam al-Baqir, Imam Ja’far Shadiq, dan seterusnya hingga
akhir zaman nanti. Tarekat itu ada yang menyebut dengan nama
Ja’fariyyah yang dibangsakan (dinisbatkan)kepada Imam Ja’far
Shadiq. Namun, ada juga yang menggunakan sebutan lain.”

“Tarekat asy-Syatariyyah adalah sebutan yang diberikan oleh


kakek buyutku Syaikh Sayyid Amir Abdullah Khanuddin. Aku
sendiri semula tidak tahu kenapa beliau menamakan tarekat yang
diajarkannya demikian. Namun, belakangan baru aku tahu bahwa
hal itu terkait dengan rahasia-Nya. Jadi, kupesankan kepadamu, o
Salik, bahwa mulai saat ini jangan sekali-kali engkau secara
terbuka menyebut Tarekat asy-Syatariyyah di mana pun dan
kepada siapa pun. Karena, sekali engkau menyebut-nyebutnya
berarti engkau telah membuka rahasia-Nya.”

“Kenapa demikian, o Tuan Syaikh?” Fadillah Ahmad heran.


“Karena, Tarekat asy-Syatariyyah baru diajarkan secara terbuka
barang seratus tahun lagi dari sekarang. Saat ini, tarekat ini
diajarkan sangat tertutup kepada kalangan terbatas, terutama di
kalangan Alawiyyin. Karena itu, meskipun diam-diam banyak orang
mengamalkan tarekat ini, diharamkan bagi mereka untuk
menyebutkan secara terbuka nama Syatariyyah. Itu sebabnya,
sekarang ini tidak akan engkau dapati sebutan Syatariyyah di
mana pun di negeri Gujarat. Sebab, dia yang akan mengajarkan
Tarekat asy-Syatariyyah secara terbuka, hidupnya sezaman

624
dengan cucuku. Jadi, aku pun tidak akan bertemu dia,” ujar Abdul
Jalil.

Fadillah Ahmad termangu sambil mengangguk-angguk takjub.


Sungguh dia nyaris tidak bisa memahami bagaimana mungkin
ajaran yang bakal lahir seratus tahun lagi sudah bisa diketahui saat
ini. Namun, selama mendampingi Abdul Jalil sejak di Belgaum,
Fadillah Ahmad yakin sekali bahwa Tuan Syaikhnya itu adalah
kekasih Allah yang diliputi barokah dan karomah pengetahuan
ilahiah yang penuh keajaiban. Karena itu, tak perlu lagi ada yang
ditanyakan terhadap uraiannya tentang Tarekat asy-Syatariyyah.
Bahkan diam-diam ia bangga karena akan berbaiat suatu tarekat
yang baru dikenal orang seratus tahun lagi.

Ketika layar-layar kapal mulai dibentangkan, Abdul Jalil memegang


erat tangan Bharatchandra Jagaddhatri, Brahmin yang telah begitu
berkesan dalam jiwanya, meski dipertemukan dalam tempo
singkat. Ia pandangi matanya yang teduh bagai telaga. Ia saksikan
getar-getar ilahiah yang memancar dari keteduhan jiwanya. Dan
bagaikan hendak berpisah dengan dirinya sendiri, ia merasakan
jiwanya menyentak-nyentak kesadarannya.

Tak berbeda dengan Abdul Jalil, Bharatchandra Jagaddhatri pun


merasakan semacam kehilangan merajalela di jiwanya. Namun,
secepat itu dia sadar bahwa keterikatan antara dia dan Abdul Jalil
adalah keterikatan jiwa yang satu, yang sudah tersingkap
selubungnya. Itu sebabnya, sambil menarik napas berat dia
625
kemudian menggumam, “Bagaikan anak-anak berlari di pantai, kita
akan bermain penuh kegembiraan. Namun, jika sore menjelang
kita akan pulang ke rumah kita yang sejati. Kapankah kita akan
bertemu lagi di pantai yang lain?”

“Saudaraku, di mana pun pantai adalah sama, meski namanya


berbeda. Tapi, satu hal yang hendak kutanyakan kepadamu, o
Saudaraku,” kata Abdul Jalil.

“Tentang apa?”

“Apakah engkau tetap dengan tekadmu untuk pergi dari kerajaan


dan menyerahkan takhta kepada adikmu?” tanya Abdul Jalil.

Bharatchandra Jagaddhatri mengangguk sambil tersenyum.

Abdul Jalil tersenyum lebar dan kemudian merangkul


Bharatchandra Jagaddhatri sambil berbisik lirih, “Dia yang
meninggalkan kerajaan dan kemuliaan duniawi tentu lebih mulia
dari kerajaan dan kemuliaan duniawi.”

Sayap malam yang terbentang menutupi permukaan bumi telah


terangkat ketika cahaya merah sang surya mulai membias tipis di
ufuk timur. Angin berdesau di pepohonan menghamburkan hawa
626
dingin di antara tetes-tetes embun pagi. Di kejauhan terdengar
pukulan bedug ditabuh bertalu-talu pertanda waktu subuh datang
menjelang.

Di pendapa ndalem Pemelekaran, di bawah pancaran cahaya


pelita yang bergoyang-goyang, Ki Gedeng Pasambangan duduk
bersila dengan punggung disandarkan pada tiang saka, dengan
mata menatap ke depan seolah-olah melihat keremangan pagi
yang diliputi kabut. Setelah bercerita semalaman, dia kelihatan
lelah. Itu sebabnya, setelah berhenti sesaat dan menarik napas
dalam-dalam, dengan senyum mengembang dalam mata tuanya,
dia melanjutkan ceritanya. “Setelah Syaikh Datuk Abdul Jalil
berangkat dari Calicut dan kapal yang ditumpanginya berlabuh di
Pasai, ia tinggal selama sebulan di situ, di kediaman sahabat yang
dikenalnya sewaktu haji, Husein bin Amir Muhammad. Di Pasai,
dalam waktu singkat ia telah memiliki tiga pengikut dari antara
pembesar Pasai, yakni Orang Kaya Kenayan, Abdullah Kandang,
dan Abdurrahman Singkel. Namun, suasana perang yang terjadi
antara Sultan Zainal Abidin dan adiknya yang berlarut-larut, telah
menyebabkan ia harus cepat-cepat meninggalkan Pasai menuju
Malaka. Di Malaka, dia mendapati uwaknya, Syaikh Datuk Ahmad,
telah wafat. Maka, ia pun segera bertolak ke Palembang untuk
berziarah ke makam Ario Abdillah di Pedamaran. Sesudah itu, ia
pergi ke Caruban.” “

Begitulah Raden, kisah sahabat dan guru Aki, Syaikh Datuk Abdul
Jalil. Cerita Aki disudahi dulu sampai di sini. Soalnya, tidak terasa

627
sudah semalam suntuk Aki bercerita. Sekarang waktu subuh
sudah datang.” “

Ah, maafkan saya karena telah menyusahkan Aki,” ujar Raden


Ketib merendah. “Namun, sungguh saya tidak sadar telah
semalam suntuk mendengar cerita Aki yang begitu menarik dan
memukau. Saya merasakan seperti sedang bermimpi ketika
mendengar cerita Aki tentang liku-liku perjalanan Syaikh Datuk
Abdul Jalil dalam mencari Kebenaran Sejati.” “

Sebelumnya Aki mohon maaf, Raden, jika dalam bercerita ada hal-
hal yang tidak sengaja atau sengaja Aki tambah-tambahi tentang
sahabat dan guru Aki itu. Namun, itulah garis besar perjalanannya
di dalam mencari Kebenaran Sejati. Apakah Raden menganggap
dia orang sesat atau tidak, itu terserah sepenuhnya kepada
Raden,” Ki Gedeng Pasambangan tertawa hangat. “

Setelah mendengar cerita Aki, mana mungkin saya berani


gegabah menuduh ajaran Syaikh Datuk Abdul Jalil sebagai ajaran
sesat. Namun, yang saya herankan kenapa beliau sampai
mengalami nasib begitu memilukan? Karena itu, saya mohon agar
Aki berkenan menceritakan kepada saya kelanjutan kisah Syaikh
Datuk Abdul Jalil sampai tuntas,” kata Raden Ketib berharap.

628
Ki Gedeng Pasambangan mengangguk sambil tertawa hangat.
Setelah itu, dia berdiri dan melangkah menuju ke masjid diikuti oleh
Raden Ketib.

Usai shalat subuh dan keduanya hendak berpisah, Raden Ketib


dengan agak ragu-ragu bertanya, “Sebelum kita berpisah, apakah
Aki membpunyai warisan berharga dari Syaikh Datuk Abdul Jalil
yang bisa Aki ajarkan kepada saya?”

Ki Gedeng Pasambangan tersenyum hangat memandangi Raden


Ketib dengan tenang dan damai. Raden Ketib, memandang Ki
Gedeng Pasambangan dengan pandangan penuh harapan.

Beberapa jenak terdiam, Ki Gedeng Pasambangan tersenyum


hangat mengulurkan tangan kanannya sambil berbisik lirih,
“Jabatlah tanganku! Mendekatlah kemari! Dan pejamkan matamu!”

Dengan keheranan dan benak diliputi tanda tanya, Raden Ketib


menjabat tangan kanan Ki Gedeng Pasambangan dan
mendekatkan tubuhnya. Ia memajamkan matanya. Tangan kiri Ki
Gedeng Pasambangan kemudian memegang bahunya. Beberapa
jenak Raden Ketib merasakan keheningan meliputi dirinya. Dan
saat itulah dengan suara lirih Ki Gedeng Pasambangan
membisikkan sesuatu ke telinga kirinya.

629
Raden Ketib tersentak kaget mendengar bisikan Ki Gedeng
Pasambangan. Di tengah kekagetannya itu ia merasakan bisikan
Ki Gedeng Pasambangan mengalir deras ke kedalaman jiwanya
bagaikan cahaya. Ia biarkan bisikan itu meluncur terus menembus
relung-relung jiwanya hingga cakrawala kesadaran di hamparan
jiwanya yang ditutupi lapisan-lapisan hijab tersingkap bagai tirai
disibakkan. Raden Ketib merasakan matahari kesadarannya
bersinar kilau-kemilau menerangi jiwa.

Ketika sedang meresapi perubahan yang dialaminya itu, sesuatu


yang menakjubkan terjadi padanya. Selagi membuka matanya
tiba-tiba ia mendapati dirinya seperti sebongkah batu di dalam
sungai dangkal yang sangat jernih. Ia bisa melihat dan merasakan
aliran sungai kehidupan yang sambung-menyambung dan susul-
menyusul dalam satu rangkaian tak berkesudahan. Dia bisa
melihat matahari menyinari bumi, namun sekaligus merasakan
hangatnya yang menimpa permukaan air dan mengalir ke
pedalaman. Langit biru lazuardi yang membentang di atasnya,
terbias bayangannya bagai cermin di permukaan air dan terserap
ke dalamnya. Awan-gemawan yang putih berarak dalam bentuk-
bentuk yang terus berubah membias di permukaan air dan terserap
ke dalamnya. Burung-burung beterbangan dengan aneka bulu dan
kicaunya pun membayang di permukaan air dan tembus ke
dalamnya.

Tercengang oleh peristiwa itu, Raden Ketib memandang wajah Ki


Gedeng Pasambangan yang hanya tiga empat jengkal di
depannya. Namun, betapa terperanjatnya ia ketika menyaksikan
630
wajah Ki Gedeng Pasambangan berubah-ubah secara ajaib.
Wajah tua itu tiba-tiba menjadi muda dan berubah lagi seperti bayi.
Dan wajah itu berangsur-angsur berganda dan berderet-deret
panjang bagaikan aliran sungai sambung-menyambung dan susul-
menyusul.

Dalam ketakjuban luar biasa, ia terus melihat wajah itu berjajar-


jajar dalam rangkaian panjang, berpuluh-puluh, beratus-ratus,
beribu-ribu, berjuta-juta wajah. Secara ajaib kemudian mewujud
dalam bentuk pohon-pohon, rerumputan, bebatuan, gunung,
lembah, tebing, bukit, awan, langit, matahari, hewan-hewan, ikan,
burung, serangga, dan manusia. Makna apakah di balik yang
tergelar di hadapanku ini, tanya Raden Ketib dalam hati. Antara
sadar dan tidak, antara lantang dan samar-samar, antara hingar-
bingar dan hening, jauh di kedalaman jiwanya, ia menangkap
getaran suara dalam bahasa perlambang, yang maknanya kira-kira
berbunyi: “Ke mana pun engkau menghadap, di situ wajah Allah”
(QS al-Baqarah: 115).

631
SANG PEMBAHARU

PERJUANGAN DAN AJARAN


SYAIKH SITI JENAR

BUKU 3
AGUS SUNYOTO

Pengantar Redaksi

Daya tahan setiap pemikiran, ajaran, aliran, ideologi, peradaban,


dan semacamnya sangat ditentukan oleh seberapa besar
pemikiran tersebut dapat diterima di tengah masyarakat,
penguasa, dan komitmen para pengikutnya dalam menjaga
kelangsungan. Bila ketiga komponen tersebut tumbuh subur maka
akan menemukan masa kejayaan. Sebaliknya, bila salah satu dari
ketiga komponen tersebut tidak seiring maka akan mengalami
ketersendatan, keterpurukan, bahkan kepunahan.

Oleh karena itu, wajar bila sering kali terjadi sebuah pemikiran
pada satu zaman masyhur, namun pada zaman yang berbeda
mengalami keredupan, atau sebaliknya. Pada periode tertentu
dikutuk, pada saat yang lain dipuja habis-habisan. Dalam situasi
seperti ini kaum elit (masyarakat agamawan-penguasa-intelektual)
memegang peran yang sangat menentukan.

632
Salah satu contoh peran signifikan kaum elit ini dapat disimak
dalam kasus yang menimpa Syaikh Siti Jenar. Dalam cerita-cerita
babad, ajaran-ajaran Syaikh Siti Jenar dianggap sebagai bid’ah,
menyimpang dari ajaran Islam. Oleh karena itu, melalui sidang
dewan Wali, Syaikh Siti Jenar dihukum mati. Polemik terjadi tatkala
kitab rujukan yang berbeda kita jajarkan. Katakanlah novel yang
ada di tangan pembaca ini kita jadikan rujukan.

Novel ini sangat menarik karena memberikan perspektif baru


dalam cara baca-pandang terhadap sejarah. Dengan merujuk
pada kitab-kitab versi Cirebon, novel ini mampu menghadirkan sisi-
sisi kemanusiaan Syaikh Siti Jenar. Novel ini mampu hadir tanpa
absurditas dan paradoksal. Tidak ada tragedi pengadilan oleh Wali
Songo, apalagi hingga putusan hukuman mati.

Buku yang ada di tangan pembaca ini merupakan buku ketiga,


yang mengupas tentang perjalanan Syaikh Siti Jenar setelah
menjadi dewan wali. Sebagai seorang tokoh yang ditugaskan di
tanah Jawa, Syaikh Siti Jenar melakukan beberapa pembaruan
seperti penggunaan istilah Pondok Pesantren (sebelumnya:
Padepokan) dan membangun konsep masyarakat (sebelumnya:
konsep kawula). Secara substantif, konsep masyarakat (Arab:
Musyarakah) menempatkan setiap individu pada derajat yang
sama dan memiliki hak-hak dasar yang tidak dapat diganggu oleh
siapa pun, termasuk dalam hal keyakinan beragama. Konsep yang
dikembangkan secara masif oleh Syaikh Siti Jenar ini

633
mendapatkan perlawanan dari penguasa absolut, monarki, raja.
Karena dengan Musyarakah hak-hak prerogatif (mutlak) raja
mendapatkan kendali. Konsep kawula yang secara kebahasaan
(apalagi secara istilahi) berkonotasi ketakberdayaan manusia satu
atas manusia yang lain, semakin redup.

Pada buku ketiga ini (sampai kelima nanti) kami memberi


“identitas” baru pada seri “Syaikh Siti Jenar” karya Agus Sunyoto
ini dengan judul Sang Pembaharu: Perjuangan dan Ajaran Syaikh
Siti Jenar.

Kami menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Mas


Agus Sunyoto yang mempercayakan penerbitan karya ini kepada
kami. Demikian pula pada sidang pembaca sekalian, yang antusias
menyambut baik karya Agus Sunyoto ini. Berbagai sambutan
pembaca yang masuk ke meja redaksi, baik melalui surat pos, e-
mail, maupun telepon yang mempertanyakan “apakah seri Syaikh
Siti Jenar yang lain telah terbit” cukup menggembirakan kami.
Meskipun buku pertama dan kedua saat ini masing-masing telah
cetak ulang yang ketiga, semoga buku ketiga ini dapat semakin
memperlancar seri-seri berikutnya. Sebagai penutup, semoga
buku-buku yang kami terbitkan dapat memberikan manfaat bagi
khasanah sastra dan historiografi, khususnya di tanah air dan
dunia Islam pada umumnya. Selamat membaca.***

634
Ain al-Bashirah

Saat-saat awal ketersingkapan (kasyf)


kesadaran jiwa adalah saat-saat yang paling
berkesan bagi seorang penempuh jalan
ruhani (salik). Dikatakan paling berkesan
karena selama melintasi detik-detik
terhalaunya gumpalan awan hitam penutup
hati (ghain) yang menyesaki jiwanya, seorang salik akan
mengalami pengalaman yang tak pernah ia pikirkan dan ia bayang-
bayangkan sebelumnya.

Dengan ketakjuban luar biasa, saat itu sang salik akan merasakan
pancaran kecermelangan purnama ruhani (zawa’id) melimpahi
relung-relung kalbunya yang diliputi pemahaman ruhani (fawa’id).
Ia juga akan merasakan betapa menggetarkan dan memesonanya
saat mata batin (‘ain al-bashirah) dengan kejernihan dan
kebeningan kesadaran jiwanya menyaksikan pancaran keindahan
bintang-gemintang pengetahuan hati (thawali’) yang tak
tergambarkan oleh bahasa manusia.

Ketersingkapan awal seorang salik adalah pengalaman paling


menggetarkan yang tidak akan terlupakan. Karena dalam detik-
detik dari rentangan waktu itu, kesadaran jiwanya akan
menyaksikan gambaran-gambaran matra baru yang serba asing
yang dicitrai nuansa pelangi aneka rasa dan aneka warna
kebahagiaan. Ibarat hari-hari malam dari cakrawala al-basyar yang
635
gelap diliputi kesunyian, kepedihan, nestapa, dan duka cita,
ketersingkapan itu menyembulkan purnama kesadaran cahaya
berkah dalam alunan irama musik dan nyanyian ruhani.

Sebagaimana para salik yang lain, saat mengalami peristiwa awal


penyingkapan kesadaran jiwa itu, Raden Ketib tercengang-
cengang dalam pesona ketakjuban. Bagaikan mengalami peristiwa
yang mengguncang jiwa, dalam waktu cukup lama ia masih
merasakan betapa kuat kesan itu melekat di relung-relung
ingatannya. Ia seperti masih bisa merasakan betapa saat itu
seolah-olah bertiup angin yang membadai dan mengamuk dari
relung-relung kedalaman jiwanya, menghalau gumpalan awan
hitam penutup hati ghain yang menyesaki cakrawala jiwanya.
setelah itu, dengan sangat jelas, ia saksikan terbitnya matahari
zawa’id yang bersinar gemilang menerangi relung-relung
pemahaman fawa’id yang membentang di cakrawala jiwanya.

Meski kesan dari peristiwa itu sangat kuat melekat di relung-relung


kedalaman jiwanya, Raden Ketib sendiri sulit menggambarkan
dengan bahasa manusia tentang bagaimana sejatinya rangkaian
penyaksian dan perasaan yang dialaminya saat detik-detik
kesadaran jiwanya itu tersingkap. Ia hanya bisa membandingkan
pengalamannya itu ibarat kupu-kupu keluar dari kepompongnya.
Demikianlah ia merasakan kesadaran jiwanya tersingkap.
Kemudian, dengan kepak sayap yang indah sang kupu-kupu
terbang bebas menyaksikan keluasan dunia baru yang jauh lebih
akbar dan menakjubkan dibandingkan dengan kepompong.

636
Di tengah semerbak wangi bunga-bunga, sejuk udara, dingin
embun, dan hangatnya mentari pagi, sang kupu-kupu yang keluar
dari kepompong mengepakkan sayap untuk mencari sari madu di
antara kelopak bunga sambil memuji keagungan dan kemuliaan
Ilahi. Sang kupu-kupu merasa dunianya adalah dunia keindahan
dan kesucian yang diliputi keagungan dan kemuliaan. Namun, saat
terbang di antara bunga-bunga itulah dengan pandang heran ia
melihat – dengan pandangan mata seekor kupu-kupu – kawanan
ulat yang ganas dan rakus menggeragoti daun-daun, buah, dan
bunga dari Pohon Kehidupan. Ah, betapa rakus. Betapa ganas.
Betapa menjijikkan. Tidak ada manfaat apa pun dari ulat-ulat ganas
dan rakus itu selain merusak dan membinasakan Pohon
Kehidupan. Dan, sang kupu-kupu pun berkata dalam hati,
“Sesungguhnya, dari ulat-ulat yang ganas, rakus, dan menjijikkan
itulah aku dulu berasal.”

Selama mengalami ketersingkapan itu Raden Ketib merasakan


tengara misterius yang mengisyaratkan betapa sesungguhnya
awan hitam ghain yang bergumpal-gumpal menyesaki jiwanya itu
tidak pernah terhalau tanpa kehendak Yang Ilahi, yakni Dia Sang
Pencipta, Yang Berkuasa mutlak memberi petunjuk (al-Hadi)
sekaligus Yang Berkuasa mutlak menyesatkan (al-Mudhill)
makhluk ciptaan-Nya. Entah apa yang sebenarnya telah terjadi
pada dirinya, yang jelas sejak mengalami peristiwa itu ia benar-
benar merasa gumpalan awan hitam penutup hatinya disibakkan
oleh kuasa gaib al-Hadi, seibarat terkuaknya lapisan kepompong
saat sang ulat hendak keluar menjadi kupu-kupu.

637
Pengalaman ruhani adalah pengalaman rasa. Itu sebabnya, Raden
Ketib tidak bisa menjelaskan dalam bahasa manusia bahwa
sesungguhnya keakuannya tidak ikut campur dalam proses
menguak lapisan kepompong saat ia merasakan keberadaan
dirinya sebagai kupu-kupu. Ia tidak bisa menjelaskan
pengalamannya secara tepat, kecuali mengungkapkan dengan
jujur betapa dirinya dalam bentuk kupu-kupu itu telah diserap oleh
semacam “daya gaib” yang mendorongnya keluar dari kepompong.
Bahkan, saat dirinya telah keluar dari kepompong pun ia hanya
bisa mengungkapkan perasaan betapa semua gerak dari
kehidupannya sebagai kupu-kupu seolah-olah diarahkan dan
dituntun oleh “daya gaib” tersebut.

Ya, “daya gaib” misterius itulah yang sejatinya telah


membimbingnya untuk mengenal dan memahani makna
kehidupan yang tergelar di hadapannya. Laksana wangi bunga
yang menarik penciuman kupu-kupu, begitulah keberadaan “daya
gaib” itu telah memesonanya untuk mengepakkan sayap dan
terbang. “Daya gaib” itu telah menuntunnya untuk mengenali dan
memahami alam semesta tempat hakikat pengetahuan (‘ilm)
tersembunyi, yang membawanya pada penyaksian (ma’rifat) atas
Kebenaran Sejati (al-haqq) sebagai pengejawantahan dari Yang
Mahaada (al-Wujud).

Peristiwa penyingkapan kesadaran jiwa yang dirasakan Raden


Ketib ternyata menjadi peristiwa yang sangat menentukan
perubahan jalan hidupnya. Peristiwa itu tidak saja membuat awan
hitam ghain yang menyesaki jiwanya terhalau sehingga purnama
638
pemahaman fawa’id bersinar benderang di cakrawala jiwanya,
tetapi ia juga merasakan betapa cakrawala pemahaman baru atas
keberadaan segala sesuatu di sekitarnya tiba-tiba terasa
membentang luas dan ganti-berganti di hadapannya. Benda-benda
yang terhampar di sekitarnya, misalnya, sebelumnya selalu ia
pahami sebagai benda mati tak berjiwa. Seiring terkuaknya tirai
penutup hati hingga terpancar purnama pemahaman fawa’id, ia
tiba-tiba menangkap suatu pemahaman aneh yang
mengungkapkan betapa di dalam benda-benda yang terhampar di
sekitarnya itu sesungguhnya tersembunyi “bekas jejak” ciptaan
yang sama dengan keberadaan dirinya.

Keberadaan makhluk hidup yang selama ini dianggapnya sosok


asing yang sama sekali tidak berhubungan dengan dirinya, tiba-
tiba disadarinya memiliki “bekas jejak” ciptaan yang sama dengan
dirinya. Ia merasa segala sesuatu yang tergelar di alam semesta;
manusia, burung, hewan melata, ikan, tumbuh-tumbuhan, dan
semua makhluk hidup tiba-tiba berubah seolah-olah menjadi
sesuatu yang memiliki hubungan dengan dirinya. Demikianlah,
meski sulit diterima nalar, ia merasakan betapa sesungguhnya
keberadaan dirinya menjadi bagian dari semesta benda, makhluk
hidup, rembulan, matahari, bintang, tanah, langit, air, dan angin.

Penyingkapan yang dirasakan Raden Ketib ternyata tidak hanya


mengubah cara pandangnya terhadap segala sesuatu yang
tergelar di alam semesta, tetapi berkaitan pula dengan perubahan
liku-liku perjalanan hidup yang dilaluinya. Entah apa yang
sesungguhnya telah terjadi dengannya. Kini ia tiba-tiba merasa
639
gerak kehidupannya seolah-olah diarahkan dan dituntun oleh
“daya gaib” ke arah yang tidak ia ketahuhi ujungnya. Bahkan, saat
menghadapi persoalan rumit pun ia merasakan seolah-olah
diarahkan oleh “daya gaib” untuk mengikuti jalan yang sering kali
tak pernah dipikir dan dibayangkannya.

Keberadaan “daya gaib” dalam gerak kehidupan itu setidaknya ia


rasakan saat ia dililit persoalan rumit yang terkait dengan liku-liku
usahanya mengungkap tabir misteri di balik kehidupan dan ajaran
Syaikh Datuk Abdul Jalil. Sebelum mengalami peristiwa
penyingkapan itu, ia merasakan betapa rumit dan berliku-liku jalan
untuk menguak misteri Syaikh Datuk Abdul Jalil. Namun, setelah
peristiwa menakjubkan itu ia seolah-olah selalu mendapat jalan
mudah yang sebelumnya tak pernah terlintas dalam pikiran dan
angan-angannya. Tabir gelap misteri kehidupan dan ajaran Syaikh
Datuk Abdul Jalil yang selama ini tertutup gumpalan awan hitam
tebal tiba-tiba bersinar terang di hadapannya, laksana matahari
kebenaran yang menginginkan keberadaannya diketahui.

Setelah tabir awal misteri Syaikh Abdul Jalil disingkap oleh Ki


Gedeng Pasambangan, tiba-tiba ia merasa dibimbing oleh “daya
gaib” misterius ke arah penyingkapan tirai kedua. Yang
mengherankannya, tabir kedua itu justru disingkap oleh Pangeran
Pamelekaran, kakeknya sendiri. Sungguh, sebelumnya tidak
pernah ia bayangkan di benaknya bahwa sang kakek pernah
bertemu apalagi sampai memiliki hubungan dekat dengan Syaikh
Datuk Abdul Jalil. Pangeran Pamelekaran ternyata telah berkali-
kali bertemu dengan Syaikh Datuk Abdul Jalil; bukan hanya dalam
640
peristiwa penyerangan Pakuwuan Caruban, melainkan juga dalam
serangkaian peristiwa penting baik di Terung, Surabaya, Demak,
Caruban, bahkan di Wirasabha.

Tersingkapnya tirai pertama dan kedua yang menyelubungi


kehidupan dan ajaran Syaikh Datuk Abdul Jalil ternyata diikuti
dengan tersingkapnya tirai-tirai berikutnya. Tanpa pernah
menduga sebelumnya ia berjumpa dengan pembuka tirai ketiga,
yakni Adipati Cirebon. Sang Adipati merupakan putera almarhum
Raja Muda (prabu anom) Caruban Larang, Sri Mangana. Dia
ternyata mengenal Syaikh Datuk Abdul Jalil dengan sangat dekat,
yang sudah dianggapnya kakak sulung. Adipati Cirebon banyak
mengungkap liku-liku perjuangan dan ajaran rahasia yang
disampaikan Syaikh Datuk Abdul Jalil, termasuk yang berasal dari
penuturan ayahandanya, Sri Mangana.

Tirai keempat tanpa disangka-sangka disingkap oleh Syaikh


Maulana Jati, guru agungnya, saat ia diajak Ki Gedeng
Pasambangan ke Banten. Sebagaimana kisah yang telah
diketahuinya dari penuturan Ki Gedeng Pasambangan, ternyata
guru agungnya itu benar-benar mengetahui secara mendalam
kehidupan dan ajaran Syaikh Datuk Abdul Jalil setelah kembali dari
Hindustan. Dari Guru Agung Syaikh Maulana Jati itu pula ia
mengetahui bahwa sesungguhnya Syaikh Datuk Abdul Jalil bukan
hanya seorang guru manusia, melainkan juga seorang pembaharu
yang menata kehidupan masyarakat dengan kaidah-kaidah dan
asas-asas yang sama sekali baru pada zamannya. “

641
Tetapi seibarat matahari yang tak pernah menyisakan pamrih akan
kecemerlangan cahayanya saat menerangi dunia, demikianlah
Syaikh Datuk Abdul Jalil meninggalkan semua hasil
perjuangannya, demi menyongsong datangnya malam indah yang
diterangi bulan sabit dan berjuta-juta bintang yang gemerlapan
memenuhi penjuru langit,” ujar Syaikh Maulana Jati tentang Syaikh
Datuk Abdul Jalil yang sangat dihormati dan dimuliakannya.

Kebenaran, jika sudah muncul maka ia akan terbit laksana


matahari di pagi hari. Pencarian kebenaran tentang kehidupan dan
ajaran Syaikh Datuk Abdul Jalil yang dilakukan Raden Ketib telah
membawanya ke cakrawala pagi saat terbit fajar kebenaran.
Bagaikan berada di alam mimpi, tiba-tiba ia merasakan bimbingan
“daya gaib” telah mempertemukannya dengan Syaikh Datuk
Bardud, salah seorang putera Syaikh Datuk Abdul Jalil. Sungguh
tak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa ia akan bertemu
dengan putera guru manusia dan tokoh pembaharu itu. Bahkan,
yang lebih membuatnya terheran-heran adalah kenyataan bahwa
Syaikh Datuk Bardud selama ini ternyata tinggal di ndalem
Pamelekaran bersama kakeknya.

Keberadaan Syaikh Datuk Bardud di kediaman kakeknya sempat


memunculkan tanda tanya di benak Raden Ketib tentang sikap
kakeknya yang seperti sengaja menyembunyikan putera Syaikh
Datuk Abdul Jalil itu. Kenapa tidak sejak awal ia diperkenalkan
dengan Syaikh Datuk Bardud? Kenapa ia terlebih dahulu harus
diperkenalkan dengan Ki Gedeng Pasambangan? Kenapa

642
keberadaan Syaikh Datuk Bardud di kediaman kakeknya sangat
dirahasiakan hingga ia pun tidak diperbolehkan mengetahuinya?

Di tengah kecamuk tanda tanya yang memenuhi benaknya itulah


Raden Ketib menjalin keakraban dengan Syaikh Datuk Bardud
yang usianya lebih tua sekitar sepuluh tahun. Meski usia Syaikh
Datuk Bardud baru sekitar empat puluhan tahun, dia tampak lebih
tua. Kumis dan cambangnya yang dibiarkan memenuhi hampir
separo wajah mengesankan dia seolah-olah berusia hampir enam
puluhan tahun. Selama berbincang-bincang dengan Syaikh Datuk
Bardud itulah Raden Ketib menangkap pancaran mutiara
kebijaksanaan di tengah samudera pengetahuan yang
tersembunyi di kedalaman jiwanya. “

Sebagian orang menilai ayahandaku, Syaikh Datuk Abdul Jalil,


adalah manusia besar yang salah tempat dan salah waktu lahir ke
dunia sehingga kehadirannya sulit diterima,” Syaikh Datuk Bardud
menuturkan kisah kehidupan ayahandanya kepada Raden Ketib.
“Namun bagiku, o Adinda, segala sesuatu yang terkait dengan
kehidupan beliau semata-mata adalah rahasia-Nya. Sebab sesuai
ajaran beliau, Allah ‘Azza wa Jalla tidak pernah keliru
menempatkan seseorang pada suatu zaman. Dan, lantaran itu
saya yakin bahwa kelahiran, liku-liku hidup, bahkan kematiannya
adalah semata-mata karena kehendak-Nya.” “

Sungguh telah termaktub di dalam firman-Nya bahwa tidak ada


buah-buahan keluar dari kelopaknya serta tidak seorang pun
643
perempuan mengandung dan tidak pula melahirkan, kecuali
dengan pengetahuan-Nya (QS Fushshilat: 47). Ini bukan berarti
bahwa Sang Pencipta hanya menyaksikan segala sesuatu secara
pasif, melainkan secara mutlak dan aktif. Dia ikut terlibat di dalam
merancang, membentuk, memelihara, dan bahkan
menghancurkan seluruh ciptaan melalui ilmu-Nya. Bukankah Dia,
Yang Maha Mengetahui, tiada lain adalah Sang Pengetahuan (al-
‘Alim) itu sendiri?” “

Jika Adinda bertanya-tanya tentang keberadaan saya yang


disembunyikan oleh Eyang Pangeran Pamelekaran di
kediamannya tanpa sepengetahuan Adinda, pun jika Adinda
bertanya kenapa tidak diperkenalkan dengan rakanda sejak awal,
maka sesungguhnya hal itu adalah atas kehendak-Nya semata.
Sesungguhnya, liku-liku perjalanan Adinda dalam menelusuri jejak
kehidupan dan ajaran ayahandaku merupakan bagian dari “jalan”
(sabil) yang digelar-Nya. Sebab, jika Dia menghendaki, bisa saja
Eyang Pangeran Pamelekaran langsung memperkenalkan Adinda
dengan saya sehingga Adinda tidak perlu susah payah menelusuri
jejak kehidupan ayahandaku. Namun, Dia menghendaki agar
Adinda berjalan melingkar-lingkar dulu dengan berbagai hambatan
dan rintangan. Itu berarti, dengan sukarela atau terpaksa, Adinda
harus menerima kehendak-Nya tanpa perlu bertanya ini dan itu.” “

Sesungguhnya, menurut ajaran ayahandaku, segala sesuatu yang


tergelar di alam semesta ini sudah ditata sangat rapi tanpa setitik
pun mengandung kekeliruan. Hanya mereka yang terhijab dari
kebenaran-Nya saja yang menganggap kehidupan di alam
644
semesta ini kacau balau tidak teratur. Saya masih ingat bagaimana
ayahandaku mengambil ibarat dengan mengisahkan sekumpulan
orang buta yang diundang dalam perjamuan agung oleh sang raja.”

Dalam kisah itu disebutkan pada saat pesta dimulai sekumpulan


orang buta yang diundang sang raja datang dan berjalan beriring-
iringan. Saat memasuki bangsal agung yang sudah dipenuhi
hidangan lezat yang tertata rapi di atas meja, tiba-tiba salah
seorang di antara mereka menabrak meja. Tumpah-ruahlah
sebagian hidangan tersebut. Sang raja tersenyum. Para undangan
juga tersenyum. Namun, orang buta itu marah-marah. Dia memaki-
maki para pelayan yang dianggapnya tidak mengatur meja secara
benar. Seperti halnya orang buta itu, kawan-kawannya yang juga
buta menganggap ruangan itu tidak diatur dengan baik dan benar.”

Begitulah, Adinda, bagi mereka yang telah tercelikkan mata


batinnya (ain al-bashirah) akan memahami bahwa segala sesuatu
yang tergelar di alam semesta sesungguhnya sudah diatur dan
ditata secara sempurna oleh Sang Pencipta. (al-Khaliq). Bahkan
bagi yang sudah tercelikkan mata batinnya, kehidupan di dunia ini
hanya sebuah mimpi yang harus dilampaui seperti saat kita tertidur
singkat. Hanya mereka yang sudah tercelikkan mata batinnya saja
yang bisa memahami makna kebenaran (al-haqq) di balik
kehidupan yang dekat (ad-Dunya) ini.” “

645
Apakah Rakanda melihat saya tergolong d antara mereka yang
sudah tercelikkan mata batinnya?” tanya Raden Ketib meminta
penjelasan.

Syaikh Datuk Bardud tersenyum mendengar pertanyaan Raden


Ketib. Sesaat setelah itu, dengan bahasa perlambang (isyarat), dia
mengatakan bahwa Raden Ketib sesungguhnya telah dapat
merasakan dan menerima pesan darinya tanpa melalui bahasa
indriawi manusia. Lantaran itu, pertanyaan lisan itu tidak perlu
dijawab melalui bahasa indriawi manusia.

Raden Ketib tertegun saat menyadari betapa dirinya dapat


menangkap bahasan perlambang yang diungkapkan Syaikh Datuk
Bardud. Namun, saat itu pula ia sadar bahwa yang dimaksud
Syaikh Datuk Bardud sebagai manusia yang sudah tercelikkan
mata batinnya itu tidak lain dan tidak bukan adalah mereka yang
telah tersingsingkan awan hitam ghain dari dalam hatinya hingga
pemahaman fawa’id-nya dapat menangkap kenyataan yang
tergelar di sekitarnya sebagai kebenaran hakiki (al-haqq). Dengan
kesadaran itu, Raden Ketib bersyukur bahwa dirinya telah beroleh
anugerah tak ternilai berupa ketercelikan mata batin dari kebutaan
(zhulman) manusiawi (al-basyar).

Dalam berbagai perbincangan dengan Raden Ketib, Syaikh Datuk


Bardud mengungkapkan kesaksian tentang ayahandanya dengan
luas dan mendalam. Dia tidak hanya mengungkapkan kesaksian
tentang liku-liku kehidupan dan ajaran ayahandanya, tetapi
646
mengisahkan pula tentang siapa saja putera-puteri, sanak
keluarga, kerabat, dan pengikut-pengikut utama ayahandanya baik
yang tinggal di Caruban Larang, Banten Girang, Jawa, Malaka,
maupun Gujarat.

Keakraban Raden Ketib dan Syaikh Datuk Bardud ternyata tidak


sekadar dibangun melalui perbincangan mendalam tentang
perikehidupan dan ajaran Abdul Jalil. Hubungan itu dilanjutkan
pula melalui penguatan tali silaturahmi. Melalui Syaikh Datuk
Bardud pula, Raden Ketib pada gilirannya dapat bertemu dengan
Raden Sahid, adik seperguruan sekaligus murid ruhani Syaikh
Datuk Abdul Jalil yang menjadi Susuhunan Kalijaga (Jawa Kuno:
Raja Muda Kalijaga), yang tinggal di Demak. Ia juga diperkenalkan
dengan menantu Syaikh Maulana Jati, yaitu Pangeran Pasai
Fadhillah Khan, kemenakan Syaikh Datuk Abdul Jalil.

Ibarat pembuktian kebenaran melalui tingkat keyakinan ilmu (‘ilm


al-yaqin), Raden Ketib secara bertahap merasa setapak demi
setapak langkah pencariannya mendekati matahari kebenaran.
Entah benar entah tidak penuturan para saksi kepadanya, yang
jelas ia telah memiliki cakrawala pandang sendiri tentang
bagaimana sesungguhnya kebenaran kisah kehidupan dan ajaran
Syaikh Datuk Abdul Jalil, Sang Pembaharu itu. Saat ia bersama
Syaikh Datuk Bardud menapaktilasi liku-liku perjuangan Syaikh
Datuk Abdul Jalil berdasarkan kesaksian para saksi hidup yang
mengenal dengan sangat dekat tokoh tersebut, ia seolah-olah
terlempar kembali ke masa silam, ke sebuah kurun waktu yang
mencengangkan, yakni kurun ketika Syaikh Datuk Abdul Jalil
647
meniti tali sejarah yang membentang di antara dua bukit karang
yang tegak di tengah samudera kehidupan yang penuh karang
tajam dan empasan ombak mengerikan.

648
Kembali ke Sarang

Abdul Jalil, anak negeri yang lahir dalam


kepedihan seorang yatim dan tumbuh di
tengah hiruk pikuk sejarah dan ketidakpastian
zaman, adalah manusia yang hanyut diseret
arus nasib hingga terlempar jauh dari bumi
tumpah darahnya yang diliputi kegelapan.
Kerinduannya akan kebenaran telah mengubah arus
kehidupannya menjadi sesuatu yang mencengangkan zamannya.
Dengan kenaifan seorang anak dari negeri yang sedang dilanda
kegelapan, ia saksikan gilang-gemilangnya kota antarabangsa,
Baghdad. Di kota sumber pengetahuan dan pusat peradaban itulah
ia sadari keberadaan dirinya yang laksana setitik air sedang
terbawa arus menuju ke samudera kehidupan tak bertepi.

Dengan kesadaran diri bagai setitik air, Abdul Jalil membiarkan


dirinya hanyut mengikuti liku-liku sungai nasib hingga ke muara. Di
muara nasib itu ia dapati dirinya hanyut terbawa pusaran air ke
tengah samudera kemanusiaan. Dengan ketakjuban setitik air, ia
terbawa terbang ke angkasa oleh kumparan nasib menjadi setitik
air jernih di tengah gumpalan awan. Lalu jatuhlah ia ke tanah suci
sebagai setitik air di tengah rinai hujan yang mengguyur padang
belantara. Dan, tercenganglah ia saat menyadari betapa dirinya
telah berada di Mata Air Suci Abadiyang merupakan Sumber
segala sumber air kehidupan. Kesadarannya tersingkap (kasyf),
kekeruhan (ghain) jiwanya tersibak, jiwanya terjernihkan (zawa’id),
mata hatinya (‘ain al-bashirah) tercelikkan. Ia pun menjadi sadar
649
betapa di dalam setitik air itu sesungguhnya tersimpan hakikat
mata air, sungai, telaga, air terjun, muara, samudera, awan, hujan,
angin, dan getar kehidupan sejati.

Kini, setelah diseret kembali oleh arus nasib pengembaraan


panjang pencarian jati diri tentang asal usul kejadian dari mana
segala sesuatu berawal, ia telah menjadi anak negeri yang terjaga
di antara bangsanya yang masih terlelap tidur. Seiring terbitnya
matahari pagi kehidupan, ia dengan didampingi Syarif Hidayatullah
kembali ke tanah kelahirannya di Caruban Larang dengan tugas
utama untuk membangunkan saudara-saudara sebangsanya yang
sedang mengalami mimpi buruk; terjerat jaring-jaring kejahilan
yang mereka pintal sendiri menjadi tali-temali yang
membahayakan kehidupan seluruh negeri.

Ibarat pepatah setinggi-tinggi burung terbang akhirnya kembali ke


sarang juga, begitulah Abdul Jalil kembali dari pengembaraan
melanglang buana langsung menuju ke sarang asalnya,
Padepokan Giri Amparan Jati, tempat ia sebagai telur telah
ditetaskan dan dibesarkan oleh induknya. Ia pun bersyukur saat
mendapati guru agung yang telah mengukir jiwanya, Syaikh Datuk
Kahfi, berada dalam keadaan sehat tak kurang suatu apa pun,
meski usianya sudah lebih tujuh puluh tahun.

Dengan air mata bercucuran menyaksikan anak asuh, saudara


sepupu, dan murid terkasih yang senantiasa dirindukannya, Syaikh
Datuk Kahfi bergumam dengan suara bergetar, “Ya Allah, terima
650
kasih. Engkau telah mengabulkan permohonan hamba untuk tidak
memanggil hamba ke hadirat-Mu sebelum bertemu kembali
dengan anak yang hamba rindukan ini. Kini, hamba telah siap
menghadap-Mu, Ya Ilahi Rabbi, Gantungan jiwa hamba.”

Abdul Jalil tidak berkata sesuatu. Ia hanya bersujud ke haribaan


Syaikh Datuk Kahfi. Ia seperti terlempar kembali ke rentangan
masa kecil saat ia bermanja dengan sang guru yang berperan
sebagai pengganti ayahandanya itu. Ia seolah ingin merasakan
kembali kehangatan kasih guru agung yang sangat dihormati dan
dimuliakannya. Sementara itu, menghadapi sikap Abdul Jalil yang
bagai mengurai masa silam, Syaikh Datuk Kahfi tersenyum
bahagia dengan air mata berlinang-linang membasahi kelopak
matanya. Kemudian dengan suara tersendat-sendat ia berkata,
“Anakku, di ujung usiaku yang sudah senja ini, tidak ada lagi yang
aku inginkan dari sisa hidupku kecuali ingin melihatmu kembali
dengan selamat dan berharap engkau berhasil menemukan apa
yang engkau cari. Jika engkau tidak keberatan, aku mohon agar
engkau berkenan menuturkan tentang apa saja yang telah engkau
alami dan engkau peroleh dari pencarianmu selama ini. Sebab,
hari-hari dari hidupku sejak kepergianmu selalu kuisi dengan doa
agar kelak aku bisa bertemu kembali denganmu dan bisa
mendengar kisahmu menemukan Kebenaran Sejati. Di atas itu
semua, o Anakku, hanya satu harapan yang aku harapkan darimu,
yaitu engkau bisa menjadi penuntunku saat aku menghadapi ajal.”

Abdul Jalil tercekat mendengar ucapan Syaikh Datuk Kahfi. Ia


menangkap betapa arif guru agungnya itu dalam menentukan
651
pilihan hidup yang beragam. Harapan utamanya agar dituntun saat
menghadapi ajal telah menunjukkan kewaskitaan yang
menakjubkan. Sebab, pada detik-detik menjelang ajal itulah
sesungguhnya citra keselamatan dan ketidakselamatan seorang
manusia tercermin. Lantaran itu, sambil mencium tangan Syaikh
Datuk Kahfi, Abdul Jalil berkata, “Sungguh, Allah SWT. telah
membentangkan jalan keselamatan atas Ramanda Guru. Semua
perjuangan Ramanda Guru yang tak kenal lelah dan tak kenal
menyerah dalam menerangi jalan hidup manusia telah menuai
hasil. Ramanda Guru telah dianugerahi pengetahuan rahasia oleh-
Nya untuk bisa memilih jalan terang keselamatan.” “

Jalan keselamatan Allah SWT. untukku? Aku dianugerahi-Nya


pengetahuan untuk bisa memilih jalan terang keselamatan? Apa
maksud semua ini, o Anakku?” tanya Syaikh Datuk Kahfi heran. “

Harapan Ramanda Guru untuk bisa dituntun secara benar saat


menjelang ajal adalah bukti bahwa Ramanda Guru telah
dianugerahi pengetahuan rahasia oleh Yang Ilahi. Sebab, tidak
banyak orang tahu bahwa citra keselamatan dan citra
ketidakselamatan manusia akan terlihat saat ia menjelang ajal.
Betapa banyak manusia yang bibirnya bergerak-gerak dan
tangannya tak henti-henti memutar biji tasbih berdzikir menyebut
Asma Allah, namun saat menjelang ajal justru hilang akal dan tidak
bisa mengingat Allah.” “

652
Rasulullah Saw. sudah menyatakan jaminan bahwa barang siapa
di antara manusia saat menjelang ajal bisa berujar tidak ada
sesembahan yang lain selain Allah (La ilaha illa Allah), ia bakal
masuk surga tanpa hisab. Namun, prasyarat sederhana itu
ternyata menjadi masalah maharumit manakala dihadapkan pada
kenyataan hidup. Bahkan, jumlah umat Islam yang bisa mengucap
La ilaha illa Allah dalam makna yang sebenarnya saat menjelang
ajal bisa dihitung dengan jari. Karena itu, o Ramanda Guru,
sungguh arif keinginan paduka yang menempatkan tuntunan yang
benar saat menjelang ajal itu sebagai pilihan utama. Sebab, di
situlah terletak kunci rahasia keselamatan yang hampir selalu
dilalaikan manusia,” kata Abdul Jalil.

Syaikh Datuk Kahfi mengangguk haru mendengar uraian Abdul


Jalil. Dia menangkap sasmita bahwa saudara sepupu sekaligus
siswa kesayangannya itu kiranya telah menemukan hakikat
Kebenaran yang selama ini dicarinya. Dengan suara bergetar dia
berkata, “Aku tahu, o Anakku, bahwa engkau telah menemukan
apa yang engkau cari selama ini. Karena itu, ajarilah aku tentang
jalan Kebenaran Sejati menuju-Nya.” “

Ananda tidak berani berlaku tidak pantas kepada paduka,


Ramanda Guru,” ujar Abdul Jalil sambil menghaturkan sembah.
“Ananda hanyalah seorang siswa. Justru dari Ramanda Guru jua
ananda selama ini berhasil mengatasi berbagai rintangan. Bahkan,
ananda yakin Allah SWT. telah mengajarkan jalan Kebenaran
Sejati kepada Ramanda Guru.” “

653
Engkau benar sekali, Anakku. Memang Allah SWT. selama ini telah
mengajarkan jalan Kebenaran kepadaku. Namun, jalan Kebenaran
yang aku lewati itu belum selesai aku lintasi. Kini Allah SWT.
menyuruhku agar meminta engkau menuntun aku melewati
lintasan jalan akhir kebenaran-Nya. Maklum, mungkin aku sudah
tua bangka, rabun, dan tidak kuat lagi berjalan di atas jalan
Kebenaran-Nya sehingga aku harus dituntun oleh yang lebih muda
dan yang lebih tahu arah.”

Abdul Jalil tersenyum kagum mendengar ucapan Syaikh Datuk


Kahfi. Ia tahu bahwa saudara sepupu sekaligus guru agungnya itu
memang dikenalnya sebagai orang cerdik dan sangat piawai
dalam memainkan kaidah-kaidah ilmu manthiq (ilmu logika).
Rupanya, usia tua tidak menjadikannya lemah dalam berpikir.
Diam-diam Abdul Jalil bersyukur karena selama hampir lima belas
tahun ia telah dibimbing untuk menggunakan kecerdasan akalnya
oleh seorang guru cerdik seperti Syaikh Datuk Kahfi. Ia pun harus
mengakui bahwa dalam menggunakan nalar berpikir, jejak-jejak
yang ditinggalkan Syaikh Datuk Kahfi di benaknya masih sangat
jelas mencitrai kerangka dan alur berpikirnya.

Setelah berbincang-bincang cukup lama, tiba-tiba Abdul Jalil


menangkap sasmita bahwa ada sesuatu yang terjadi pada ibunda
asuhnya, Nyi Rara Anjung, yang tidak ia lihat sejak ia
menginjakkan kaki ke padepokan. Dengan tergesa ia bertanya,
“Ampun seribu ampun, o Ramanda Guru, di manakah gerangan
ibunda saya? Kenapa sejak tadi ananda tidak melihat beliau?”

654
Syaikh Datuk Kahfi tidak menjawab. Diam seribu bahasa. Hanya
air matanya tiba-tiba jatuh bercucuran membasahi pipinya yang
keriput. Setelah beberapa jenak terisak dia berkata tersendat-
sendat, “Ibundamu kurang beruntung, o Anakku. Barang tiga bulan
yang lalu dia telah dipanggil menghadap hadirat-Nya. Sungguh
menyedihkan, dia tidak sempat melihat putera kesayangannya
kembali dari rantau.” “

Inna li Allahi wa inna ilaihi raji’un,” desah Abdul Jalil menarik napas
panjang dan berat. “

Sesungguhnya, ibundamu tidak sakit apa-apa. Dia masih sangat


sehat. Tapi aku kira dia sangat terkejut dan terpukul jiwanya.” “

Ada kejadian apakah sebenarnya, o Ramanda Guru, sehingga


ibunda saya terpukul jiwanya?” “

Salah satunya peristiwa Raden Anggaraksa masuk Islam.” “

Raden Anggaraksa, putera Pamanda Rsi Bungsu?” “


Ya.” “

655
Apa yang membuat ibunda terpukul dengan masuk Islamnya
Raden Anggaraksa?” “

Ceritanya panjang, o Anakku. Tapi, pangkalnya justru bermula dari


keinginan keras Raden Anggaraksa memeluk Islam. Hal itu telah
membuat marah ayahandanya yang sangat melarang keras
keinginannya itu. Tetapi ia nekat dan melarikan diri dari rumah. Ia
meminta perlindungan ibundamu. Ia membaca syahadat di masjid
Amparan Jati dan kemudian tinggal di sini sampai dua bulan lebih.
Namanya kuganti menjadi Hasan Ali, nama yang mirip denganmu.”

Namun, tanpa terduga tiba-tiba padepokan ini diserang para begal


yang dipimpin Bergola Hideung. Tiga pondok tempat siswa tinggal
dibakar. Anehnya, para begal itu tidak merampok apa-apa kecuali
menculik Hasan Ali. Nah, peristiwa aneh itulah yang rupanya
memukul jiwa ibundamu. Bermalam-malam dia tidak bisa tidur dan
terus-menerus menangis. Dia tidak saja khawatir dengan nasib
kemenakannya, tetapi sifat buruk adiknya yang tak pernah bisa
berubah itu pun benar-benar membuatnya sangat sedih.” “

Jadi, ibunda saya sudah tahu jika yang menyuruh para begal itu
adalah Pamanda Rsi Bungsu?” “

Aku kira ibundamu lebih paham sifat adiknya itu.” “

656
Di manakah ibunda saya dimakamkan?” “

Di sebelah kiri tajug.” “

Ananda mohon izin berziarah ke makam beliau.” “

Sebentar,” Syaikh Datuk Kahfi menyela, “siapakah pemuda


tampan di belakangmu itu?” “

Dia Syarif Hidayatullah, putera dari Syarif Mahmud al-Yamani,


cucu Syaikh Syarif Abdullah al-Yamani. Ibundanya adalah puteri
Abdul Malik Israil al-Gharnatah, sahabat saya. Jika ditinjau dari
nasabnya, Syarif Hidayatullah masih sedarah dengan kita.” “

Berarti dia dari golongan Alawiyyin.” “

Benar, tapi dia dari golongan Syarif, keturunan Imam Hasan.


Bahkan, kakeknya, Syaikh Syarif Abdullah al-Yamani adalah wali
Allah yang di antara segolongannya disebut dengan nama rahasia
Syaikh Abdullah Kahfi al-Mishri.”

Syaikh Datuk Kahfi mengangguk-angguk sambil memandangi


Syarif Hidayatullah yang beringsut ke arahnya, menyalami, dan
657
mencium tangannya. Lama dia memandangi Syarif Hidayatullah
seolah-olah hendak mengukur pedalamannya. Bagaikan
menyaksikan bias cahaya rembulan di malam hari, begitulah dia
menangkap pancaran kemuliaan yang tersembunyi di dalam diri
Syarif Hidayatullah.

Tanpa terasa telah hampir seharian Abdul Jalil menuturkan liku-


liku perjalanan pencariannya. Namun ia terkejut ketika usai ziarah
ke makam ibundanya, tiba-tiba Syaikh Datuk Kahfi
memperkenalkan keluarganya yang baru; istri keduanya, Nyi
Halimah, dan tiga orang kemenakan Nyi Halimah, yaitu
Abdurrahman Rumi, Abdurrahim Rumi, dan Siti Syarifah.

Tentang keluarga barunya itu, menurut Syaikh Datuk Kahfi,


sesungguhnya terkait dengan kepergian Abdul Jalil dari
padepokan. Saat Abdul Jalil meninggalkan padepokan barang tiga
bulan, Syaikh Datuk Kahfi dengan terpaksa pergi meninggalkan
Giri Amparan Jati mencari Abdul Jalil hingga ke Baghdad.
Kepergian Syaikh Datuk Kahfi sendiri sesungguhnya akibat
desakan, rasa iba, sekaligus rasa bersalahnya terhadap seorang
saudara sepupunya yang bernama Muthmainah, yang terus
memohon agar Abdul Jalil dapat kembali ke padepokan.

Selama di Baghdad Syaikh Datuk Kahfi tinggal di rumah salah


seorang kenalannya yang bernama Sulaiman Rumi. Dia kemudian
dinikahkan dengan saudari Sulaiman Rumi yang bernama
Halimah. Setelah tinggal kira-kira tiga tahun di Baghdad dan usai
658
menunaikan ibadah Haji, Syaikh Datuk Kahfi kembali ke Giri
Amparan Jati dengan membawa serta istri dan anak-anak
Sulaiman Rumi yang masih kecil. Rupanya, saat itu Sulaiman Rumi
sedang dikejar-kejar oleh penguasa Baghdad karena dituduh
sebagai pendukung keluarga Shafawy.

Mendengar penuturan Syaikh Datuk Kahfi, Abdul Jalil


mengerutkan kening dan bertanya, “Siapakah sepupu Ramanda
Guru yang bernama Nyi Muthmainah itu? Mengapa dia mendesak
Ramanda Guru untuk mencari ananda?”

Syaikh Datuk Kahfi menunduk dengan air mata berlinang-linang.


Kemudian dengan terisak-isak dia berkata, “Muthmainah
sesungguhnya kakakmu lain ibu. Dia adalah puteri ayahandamu
dengan Nyi Fatimah binti Abdul Malik Khan, asal Gujarat yang
tinggal di Negeri Pasai.”

Abdul Jalil merasakan kilat menyambar kepalanya. Ia sangat


terkejut dengan kenyataan yang tak pernah dibayangkannya itu.
Kemudian dengan terburu-buru ia bertanya, “Jadi, saya masih
memiliki seorang saudari? Kenapa Ramanda Guru tidak pernah
menceritakan hal itu kepada saya?” “

Aku dan ayahanda asuhnya, Ki Samadullah, telah terikat janji


dengan ayahanda angkatmu, Ki Danusela. Kami berdua terikat
janji untuk tidak menceritakan kepada siapa pun tentang jati dirimu.
659
Karena, beliau akan mengangkatmu sebagai Kuwu Caruban,
penggantinya kelak. Jika orang-orang tahu bahwa engkau bukan
putera kandung Ki Danusela, pastilah kelak mereka akan
menolakmu untuk menggantikan kedudukannya sebagai Kuwu
Caruban. Tapi, ternyata Allah berkehendak lain. Rsi Bungsu sudah
membuka semua rahasia tentang jati dirimu,” jelas Syaikh Datuk
Kahfi. “

Tetapi, kenapa setelah ayahanda meninggal Ramanda Guru tidak


menceritakannya kepada saya?” “

Saat itu semua sedang kalut. Keributan terjadi di mana-mana.


Engkau sendiri tahu bagaimana keadaan waktu itu. Aku baru sadar
saat Muthmainah datan ke sini dan menangis, memintaku untuk
mencarimu yang telah pergi entah ke mana.” “

Jika demikian,” sahut Abdul Jalil, “di manakah selama ini kakak
saya tinggal?” “

Muthmainah diangkat anak oleh ayahanda asuhmu, Ki


Samadullah. Tetapi dia tinggal di Selapandan, dititipkan di bawah
asuhan Ki Gedeng Selapandan. Dia sengaja dijauhkan darimu
demi memenuhi janji kami kepada Ki Danusela.” “

660
Manusia pada hakikatnya hanya berusaha, tetapi Allah jua yang
menentukan dan mengatur segala sesuatu,” gumam Abdul Jalil
seolah kepada diri sendiri sambil menarik napas dalam-dalam. “

Bahkan sesungguhnya engkau masih memiliki seorang kakak lagi


yang sekarang ini tinggal di Pasai. Namanya Tughra Hasan Khan.
Ia kakak kandung Muthmainah. Tetapi, sejak kecil ia diasuh oleh
kakak ibundamu yang bernama Tughril Ahmad Khan,” kata Syaikh
Datuk Kahfi. “

Mahasuci Allah, Zat Yang Berkuasa mengatur kehidupan makhluk


sesuai kehendak-Nya.” “

Justru karena aku merasa telah berusaha mengubah sesuatu yang


bertentangan dengan syari’at maka akibatnya menjadi kacau,”
gumam Syaikh Datuk Kahfi pedih. “Sampai kini aku masih merasa
bersalah terhadap Muthmainah, meski dia sudah memaafkan aku.
Aku selalu merasa bahwa tekadnya untuk tidak menikah sebelum
bertemu denganmu adalah hukuman yang berat bagiku. Aku selalu
merasakan lecutan cambuk mendera hatiku setiap kali aku
berbicara tentang dia.” “

Jadi, kaka saya sampai sekarang belum menikah?” “

661
Ya, karena dia sudah bersumpah untuk tidak menikah sebelum
bertemu denganmu.” “

Berapa usaianya sekarang?” “

Dia setahun di atasmu.” “

Ananda ingin sekali menemuinya. Ananda ingin mensyukuri


nikmat-Nya yang telah menggelarkan kenyataan bahwa ananda
bukanlah putera tunggal dan bukan pula sebatangkara.” “

Sesungguhnya, tidak ada manusia yang sebatangkara di dunia ini,”


ujar Syaikh Datuk Kahfi. “

Saat ananda tadi diberi tahu bahwa ibunda telah kembali ke


hadirat-Nya, sempat ananda bayangkan Ramanda Guru tentu
sangat kesepian hidup sendiri. Ternyata, Ramanda Guru sudah
memiliki keluarga baru.”

Disinggung tentang keluarga barunya, Syaikh Datuk Kahfi


menuturkan bahwa beberapa bulan sebelum keberangkatan Abdul
Jalil meninggalkan Nagari Caruban, datanglah dua gadis kecil
bernama Umi Kalsum dan Siti Zainab ke Padepokan Kuro di
Karawang. Usia mereka sekitar delapan dan sembilan tahunan.
662
Mereka meminta perlindungan kepada Syaikh Hasanuddin karena
ayahanda Umi Kalsum, Sayyid Maulana Waly al-Islam, dan
ayahanda Nyai Siti Zainab, Syaikh Suta Maharaja, gugur dalam
pertempuran mempertahankan Kadipaten Samarang dari serbuan
pasukan Demak yang dipimpin Adipati Lembusora.

Sesungguhnya, Umi Kalsum masih tergolong kerabat Syaikh


Datuk Kahfi karena ayahandanya adalah putera Sayyid
Jamaluddin Husein, saudara kanduk Syaikh Datuk Isa Malaka.
Sayyid Maulana Waly al-Islam adalah sepupu Syaikh Datuk
Ahmad dan Syaikh Datuk Sholeh. Umi Kalsum memiliki tidak kakak
lelaki, yaitu Sayyid Kalkum, Sayyid Adurrahman, dan Sayyid
Abdullah. Namun akibat porak-porandanya kekuatan Kadipaten
Samarang, Sayyid Kalkum lari ke Negeri Benggala, Sayyid
Abdurrahman lari ke Gujarat, dan Sayyid Abdullah menyingkir ke
lereng Gunuhng Merbabu. Di sana dia disebut orang dengan nama
Syaikh Jatiswara.

Sementara Siti Zainab pun tergolong kerabat Syaikh Datuk Kahfi


karena ayahandanya adalah putera Sri Prabu Kertawijaya dengan
Ratu Darawati, puteri asal Campa yang merupakan adik ipar
Sayyid Ibrahim al-Ghozi as-Samarkandi, putera Sayyid Jamaluddin
Husein. Jadi, baik Umi Kalsum dan Siti Zainab sesungguhnya
masih terhitung kerabat karena mereka berdua adalah cucu Sayyid
Jamaluddin Husein.

663
Selama beberapa waktu kedua gadis kecil itu tinggal di Padepokan
Kuro. Tergugah oleh rasa iba melihat nasib mereka maka Syaikh
Datuk Kahfi meminta keduanya tinggal di Padepokan Giri Amparan
Jati sekaligus menemani Nyi Rara Anjung, yang akan ditinggalkan
selama dia pergi mencari San Ali. “Saat aku kembali dari Baghdad
dengan istri dan ketiga orang kemenakan istriku yang masih belum
dewasa, mereka kuasuh bersama-sama dengan Umi Kalsum dan
Siti Zainab. Setelah cukup umur mereka aku nikahkan.
Abdurrahman Rumi aku nikahkan dengan Umi Kalsum.
Abdurrahim Rumi aku nikahkan dengan Siti Zainab.” “

Jika ananda boleh bertanya, dengan nama Rumi, benarkah


keluarga baru Ramanda Guru sesungguhnya bukan orang
Baghdad?” “

Memang, Baha’uddin Rumi, ayah mertuaku, adalah orang asal


Persia yang tinggal di Konya, Turki. Tetapi, karena beliau diburu
penguasa yang menuduhnya sebagai pendukun keluarga Shafawy
maka beliau kemudian berpindah-pindah dan akhirnya tinggal di
Baghdad.”

Kenangan adalah bayangan yang selalu mengikuti ke mana pun


manusia berada. Semua kenangan, manis maupun pahit, tidak
pernah bisa ditinggalkan. Laksana bayangan, ia akan terus
mengendap di relung-relung jiwa manusia. Kenangan memang
tidak terpisah dengan kesan. Itu sebabnya, kesan seseorang
terhadap sesuatu, sebagaimana kenangan baik manis maupun
664
pahit, cenderung tidak berubah sekalipun kenyataan telah
berubah.

Ketidaksesuaian antara kenangan dan kesan di satu sisi dan


kenyataan di sisi lain, setidaknya dialami Abdul Jalil saat ia dengan
didampingi Syarif Hidayatullah menghadap ayahanda dan ibunda
asuhnya di Kraton Caruban Larang. Sejak berangkat dari
Padepokan Giri Amparan Jati hingga menapakkan kaki di halaman
Bale Rangkang, yang terbayang di benaknya adalah wajah dan
sosok Ki Samadullah dan Nyi Indang Geulis sebagaimana yang
pernah ia kenal dulu. Ia juga membayangkan suasana kraton yang
tak jauh berbeda seperti saat masih menjadi Pakuwuan Caruban.

Namun, beda yang dibayangkan ternyata beda pula yang


terpampang sebagai kenyataan. Ketika Abdul Jalil menginjakkan
kaki di halaman Bangsal Kaprabon (kantor raja) di lingkungan
Kraton Caruban Larang, ia justru termangu keheranan
menyaksikan perubahan yang begitu dahsyat dari bumi tumpah
darahnya itu. Ternyata ia salah. Kraton Caruban Larang yang
sekarang tidak sama dengan Pakuwuan Caruban sebagaimana ia
kenal dulu.

Pakuwuan Caruban yang dulu dikenalnya berubah dengan sangat


menakjubkan. Bangsal Kaprabon yang terdiri atas tiga bangunan
besar – Bangsal Manguntur, Bangsal Sri Manganti, dan Bangsal
Prabhayaksa – yang menggantikan pendapa pakuwuan, terlihat
tegak menjulang bagaikan bangsal seorang maharaja agung. Di
665
belakang Bangsal Kaprabon yang dibatasi dinding baluwarti
(benteng) membentang kawasan puri kediaman pribadi raja. Di
dalamnya terdapat Bale Rangkang, Parapuri, Purasabha,
Kaputrian, dan Kebon Raja. Sementara agak jauh ke arah tenggara
terlihat menara pengawas jagasatru.

Kesalahan kesan itu terulang saat ia mengurai kembali kenangan


manis masa kecil di tanah kelahiran yang telah berbelas tahun
ditinggalkannya. Ia tercekam oleh kenangan belaian kasih yang
tulus dari ibunda asuhnya, Nyi Indang Geulis, yang tiba-tiba
berkelebatan memasuki ingatannya. Kesabaran ibunda asuhnya
yang penuh perhatian mengurus segala kebutuhannya itu tiba-tiba
membayang lagi di pelupuk matanya. Ia juga membayangkan
kesabaran ayahanda asuhnya yang sering mengantarnya
berkeliling ke desa-desa sekitar pakuwuan.

Ternyata kesan yang terbayang di benak Abdul Jalil salah lagi.


Ketika menginjakkan kaki ke Bale Rangkang yang masuk ke dalam
wilayah puri, ia benar-benar terkejut saat berhadap-hadapan
dengan Ki Samadullah. Ayahanda asuhnya itu kini telah menjadi
Raja Muda (prabu anom) Caruban Larang dengan gelar Sri
Mangana. Sri Mangana bukan lagi sosok laki-laki muda bernama
Ki Samadullah yang pernah dikenalnya dulu. Kesan Abdul Jalil
tentang ayahanda asuhnya benar-benar salah.

Meski demikian, ia tetap dapat menangkap wajah dan sosok Sri


Mangana yang masih mencerminkan citra Ki Samadullah. Hanya
666
saja, kehidupan telah mengubahnya menjadi laki-laki gagah dan
penuh wibawa di usianya yang setengah abad lebih itu. Tubuhnya
jangkung. Kulitnya kuning. Wajahnya bulat dihiasi kumis tebal dan
dagunya digantungi janggut. Sorot matanya tajam laksana rajawali.
Siapa saja yang berhadapan dengannya akan menunduk tak
kuasa menatap pancaran wibawanya. Di atas semua perubahan
itu, berdasarkan kesan Abdul Jalil, Sri Mangana dalam
pandangannya sekarang adalah perwujudan citra diri Ki
Samadullah yang sudah matang.

Penampilan keseharian Sri Mangana memang tidak berbeda


dengan penampilan Ki Samadullah yang pernah dikenalnya, yakni
selalu diliputi kesahajaan. Malam itu Sri Mangana yang sedang
tidak dinas terlihat duduk bersila di atas permadani tebal bikinan
Persia yang digelar di Bale Rangkang. Ia hanya mengenakan kain
putih yang menutupi bagian bawah tubuhnya dari perut hingga ke
lutut. Kepalanya gundul ditumbuhi rambut halus dengan beberapa
uban dibiarkan terbuka tanpa destar.

Kata orang, saat berdinas sebagai raja pun Sri Mangana selalu
terlihat bersahaja, malah sangat bersahaja dibandingkan dengan
para raja di Bumi Pasundan yang lain. Ia tidak pernah terlihat
mengenakan mahkota emas bertatah intan permata. Ia juga tidak
pernah terlihat mengenakan perhiasan tubuh sebagaimana
lazimnya pakaian kebesaran para raja di Bumi Pasundan. Saat
berdinas sebagai raja tubuhnya yang gagah hanya ditutupi jubah
putih. Kepalanya ditutupi destar polos putih. Semuanya dibuat dari
kain katun kasar dan tanpa hiasan. Satu-satunya benda mewah
667
yang melekat di tubuhnya adalah sebilah keris bergagang gading
berukir kepala naga dengan serasa emas dan hiasan intan
permata gemerlapan. Keris itu masyhur disebut orang: Kanta
Naga.

Menurut cerita, keris Kanta Naga adalah anugerah dari ayahanda


Raja Caruban Larang, Prabu Guru Dewata Prana Sri Baduga
Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran. Keris tersebut
dianugerahkan bersamaan dengan pelantikan Pangeran
Walangsungsang menjadi raja muda Caruban Larang dengan
gelar Abhiseka Sri Mangana. Penganugerahan keris pusaka dan
nama abhiseka itu sesungguhnya menyiratkan makna yang
selaras, yakni pengakuan terhadap keberadaan raja muda
Caruban Larang sebagai penjaga wilayah lautan bagi Kerajaan
Sunda. Kanta Naga (Sansekerta: dinding naga) adalah
perlambang kubu (benteng) yang melingkari Kerajaan Sunda
laksana seekor naga, sedangkan nama Abhiseka Sri Mangana
(Sansekerta: cahaya kekuasaan sang ular laut) adalah perlambang
sang panglima penjaga kubu.

Meski telah menduduki jabatan yang sangat penting di Kerajaan


Sunda, sebagaimana sifat ular laut (mang), Sri Mangana tetap
terlihat bersahaja dan tenang. Dengan kesahajaan dan
ketenangannya itu ia sangat dihormati dan dimuliakan laksana
maharaja agung. Kata-katanya menjadi sabda dan perintahnya
menjadi titah tak tersanggah. Seluruh penghuni Caruban Larang
baik yang tinggal di sekitar Kutha Caruban, lingkungan kraton di

668
desa-desa di lereng gunung tunduk patuh di bawah kuasa dan
wibawanya yang luar biasa.

Sri Mangana sendiri selain dikenal sebagai orang yang bersahaja,


juga dikenal sebagai raja yang ramah dan suka bergaul dengan
berbagai jenis manusia mulai raja-raja, pangeran, saudagar,
ruhaniwan, kepala desa, pedagang kecil, bahkan perajin dan
nelayan. Ia juga dikenal sebagai pelindung kaum fakir miskin,
penegak keadilan, dan pemberi pengayoman bagi yang lemah.
Harta kekayaannya senantiasa terbuka bagi mereka yang
membutuhkan. Ia dikenal sebagai raja yang sangat saleh dan taat
menjalankan perintah agamanya. Setiap sore usai menjalankan
tugas sebagai raja muda ia selalu menyempatkan diri mengajar
agama di Tajug Jalagrahan.

Kegagahan dan kewibawaan yang memancar dari pribadi Sri


Mangana sesungguhnya merupakan warisan dari para leluhurnya,
yaitu para raja Sunda yang agung dan mulia. Semua orang
percaya, darah yang mengalir di tubuhnya adalah darah biru para
Raja Agung Bumi Pasundan. Semua sesepuh Caruban
mengatakan bahwa Sri Mangana adalah putera Prabu Siliwangi,
Maharaja Sunda yang termasyhur dengan gelar kebesaran Prabu
Guru Dewata Prana Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan
Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata.

Jika dirunut ke atas, galur leluhur Sri Mangana setelah Prabu


Siliwangi adalah Prabu Dewa Niskala, Prabu Niskala Wastu
669
Kancana, Prabu Linggabhuwana Wisesa Sri Maharaja Sunda
Sang Mokteng Bubat (Maharaja yang gugur di Bubat), Prabu
Banyak Wangi (Sang Adubasu), Prabu Banyak Larang (Sang
Pulanggana), Prabu Susuk Tunggal (Sang Haliwungan), Prabu
Lingga Wastu (Sang Surugana), Prabu Lingga Wesi (Sang Halu
Wesi), Prabu Lingga Hyang (Bhattara Hyang Purnawijaya), Ratu
Stri Purbasari Bhattari Prthiwi, Prabu Dharmastyadewa (Prabu
Siung Wanara), Prabu Lingga Sakti, Prabu Arya Galuh (Sang
Rawisrengga), dan Raka I Sirikan Pu Samarawikranta.

Adapun Raka I Sirikan Pu Samarawikranta adalah Raja Galuh


Lalean pertama yang dikenal dengan nama Abhiseka Prabu Hari
Murti Ratu Haji di Adi Mulya. Dia adalah putera Maharaja Mataram
Raka I Watukara Dyah Balitung Sri Dharmodaya Mahasambhu dan
adik lain ibu Sri Maharaja Daksottama Bahubajra
Pratipaksayaksaya. Dyah Balitung adalah putera Raka I
Kayuwangi Dyah Lokapala Sri Sajjanotsawatungga. Raka I
Kayuwangi putera Raka I Pikatan Pu Manuku Sang Jatiningrat.

Raka i Pikatan Pu Manuku Sang Jatiningrat adalah putera Sri Mani


Raja Wwotan Mas. Sri Mani putera Sang Manarah Brahmanaraja,
yakni Sang Surottama pendiri Wwotan Mas. Sang Surottama
putera Rahyang Tamperan (Sang Wariga Agung). Rahyang
Tamperan putera Sri Maharaja Raka I Mataram Ratu Sanjaya,
yang tak lain adalah putera Sang Sannaha dengan Maharaja
Sanna. Dan, Sang Sannaha adalah puteri Prabu Stri Parwati
Tunggal Prthiwi. Prabu Stri Parwati Tunggal Prthiwi adalah puteri
hasil perkawinan Prabu Kartikeyasingha Sang Nrpati Dewasimha
670
dengan Sri Maharani Simha, pendiri Kerajaan Kalingga. Dengan
demikian, jika ditarik ke atas para leluhur Sri Mangana adalah para
raja Sunda keturunan Sri Purnawarman Bhimaparakramadipa,
Maharaja Tarumanagara, karena baik Kartikeyasingha Sang Nrpati
Dewasimha maupun Sri Maharani Simha adalah keturunan
Maharaja Tarumanagara.

Meski darah yang mengalir di tubuhnya adalah darah para Raja


Bumi Pasundan, berbeda dengan selazimnya para ningrat yang
bangga dengan darah birunya, Sri Mangana, pangeran yang
pernah lari dari lingkungan istana dan hidup sebagai orang
kebanyakan itu, tidak membeda-bedakan keberadaan manusia
berdasarkan warna kulit dan aliran darah. Ia selalu terlihat
bersahaja, meski telah menduduki takhta Caruban Larang.
Kesahajaannya itu setidaknya tercermin saat ia menerima putera
asuhnya, Abdul Jalil, di Bale Rangkang, balai tamu pribadi raja di
dalam Kraton Caruban Larang. Bagi Abdul Jalil, penerimaan
dirinya di Bale Rangkang itu mengandung makna betapa
sesungguhnya ayahanda asuhnya tidak pernah berubah sedikit
pun dalam sikap dan kesahajaan. Bahkan, setelah menjadi raja
pun ia tetap mengakui Abdul Jalil sebagai putera, bagian dari
keluarga dalamnya.

Kesan keakraban antara putera dan ibunda serta ayahanda asuh


yang pernah dibangun sejak masa kecil ternyata tidak berubah. Hal
itu terlihat, saat mereka usai melepas rindu dan berbincang-
bincang tentang keadaan masing-masing, ketika Sri Mangana
mempertemukan Abdul Jalil dengan para selir dan putera-
671
puterinya. Yang mengejutkan, ia memperkenalkan Abdul Jalil
sebagai putera sulung yang selalu dirindukan kedatangannya.

Tidak berbeda jauh dengan Sri Mangana, Nyi Indang Geulis, sang
permaisuri yang adalah ibunda asuh Abdul Jalil, dalam pertemuan
itu juga tampil seperti biasanya, yakni sangat bersahaja sehingga
tidak mengesankan bahwa dia adalah permaisuri raja. Dia tidak
mengenakan perhiasan berlebih di tubuhnya, kecuali dua pasang
giwang emas dengan hiasan permata sebesar butiran kacang.
Meski demikian, keanggunan dan kewibawaan seorang permaisuri
memancar agung dari citra dirinya. Sejumlah uban yang tampak
menyelip di rambutnya yang hitam tidak menghapus gari-garis
kecantikan yang masih membias di wajahnya.

Bagi Abdul Jalil, ibunda asuh yang dihadapinya malam itu, meski
sudah berubah dalam tampilan, yakni lebih tua dan lebih
berwibawa, tidaklah berubah dalam sikap. Ibunda asuhnya itu
seperti tidak peduli bahwa ia telah tumbuh menjadi laki-laki dewasa
yang telah merasakan pahit dan getir kehidupan. Ibunda asuhnya
seolah-olah tetap menganggap San Ali kecil yang bisa digendong,
ditimang, dimanja, dan diawasi gerak-geriknya. Di atas itu semua,
Abdul Jalil menangkap kesan bahwa ibunda asuhnya kini telah
berubah menjadi perempuan yang tegas, penuh semangat, tegar,
berwibawa, bahkan cenderung menguasai.

Kesan yang ditangkap Abdul Jalil tampaknya tidak keliru. Malam


itu setiap orang yang berada di Bale Rangkang, baik Sri Mangana,
672
Abdul Jalil, Syarif Hidayatullah, para selir maupun putera-puteri
raja, lebih banyak menjadi pemirsa dan pendengar pembicaraan
sang permaisuri. Mereka tidak berbicara jika tidak diperintah.
Mereka tidak menjawab jika tidak ditanya. Saat diresapi lebih
mendalam, terhampar kenyataan yang menunjukkan betapa di
antara sang raja dan keluarganya yang memiliki pancaran
kharisma sejatinya bukanlah sang raja, melainkan sang
permaisuri, Nyi Indang Geulis.

Saat Abdul Jalil tertegun-tegun menyaksikan betapa ibunda


asuhnya menjadi pusat perhatian semua orang yang hadir di Bale
Rangkang, tiba-tiba ia dikejutkan oleh seruan Ruh al-Haqq yang
menggema dari kedalaman jiwanya, yang jika dipaparkan dalam
bahasa manusia intinya kira-kira berbunyi: “Ketahuilah, o Abdul
Jalil, sesungguhnya perempuan perkasa itu adalah penghulu para
perempuan pada zamannya. Dia adalah perempuan yang paling
sabar pada zamannya sehingga di mana pun dia berada selalu
bersama-sama dengan Yang Mahasabar (ash-Shabur).
Sesungguhnya, tanpa keberadaan perempuan mulia itu, sudah
lama Raja Caruban Larang tumbang ke bumi memunguti remah-
remah kehidupan dan menelan kekalahan yang pahit.” “

Ayahanda asuhmu memang lahir dari kalangan darah biru sebagai


ksatria yang memiliki sifat pemberani, penuh semangat, tahan
menderita, dan pantang menyerah. Namun, ia adalah manusia
yang sembrono, kurang perhitungan, meledak-ledak, tidak
pedulian, dan cenderung nekat. Sehingga, dengan sifatnya itu ia
cenderung gampang terperosok ke jurang kekalahan.
673
Sesungguhnya, tanpa pengendalian dan arahan dari
permaisurinya, dia tidak akan pernah berhasil melampaui berbagai
tantangan kehidupan. Tanpa istrinya, ia tidak akan pernah menjadi
raja. Dan, jika engkau saksikan ke kedalaman hatinya,
sesungguhnya jauh di relung-relung terdalam dirinya tersembunyi
kekuatan kelam dari ilmu sakti seratus ribu hulubalang yang
diperolehnya dari Gunung Kumbha(ng).”

Abdul Jalil tersentak kaget. Kemudian dengan tersenyum dan


menggeleng-gelengkan kepala ia memandang ibunda asuhnya
penuh ketakjuban. Sungguh, mereka yang melihat ibunda asuhnya
dari penglihatan indriawi tidak akan mampu menangkap kenyataan
betapa di dalam penampilan ibunda asuhnya yang tegas, penuh
semangat, berwibawa, dan cenderung menguasai itu
sesungguhnya tersembunyi kesabaran yang tak tertandingi.
Bahkan, lantaran kesabarannya itulah dia diangkat menjadi
penghulu para perempuan yang dicintai Allah pada zamannya.

Kemuliaan Nyi Indang Geulis sendiri baru tersingkap sebagian


ketika hari sudah larut dan semua yang hadir sudah beristirahat,
kecuali Abdul Jalil yang masih duduk di Bale Rangkang bersama
Sri Mangana dan Sang Permaisuri. Dengan tidak menutup-nutupi
apa yang telah diterimanya dari Ruh al-Haqq, Abdul Jalil berkata,
“Barusan tadi ananda mendapat isyarat gaib yang menyatakan
bahwa sesungguhnya Ibunda adalah penghulu para perempuan
yang paling agung dan mulia pada zaman ini. Ibunda adalah
perempuan yang paling sabar sehingga di mana pun Ibunda
berada, selalu bersama-sama dengan Yang Mahasabar (ash-
674
Shabur). Apakah sesungguhnya amaliah ibadah yang telah Ibunda
lakukan sehingga Ibunda berkedudukan begitu mulia di hadapan-
Nya?”

Mendengar kata-kata Abdul Jalil, ganti Nyi Indang Geulis


tercengang keheranan. Dengan suara bergetar dia bertanya, “O
Puteraku terkasih, dari mana engkau mengetahui jika ibundamu ini
selama bertahun-tahun berjuang menahan kesabaran sampai
tidak lagi bisa membedakan apa yang disebut sabar dan tidak
sabar? Bagaimana engkau bisa mengetahui bahwa sekaran aku
sudah menyerahkan segala urusan hanya kepada Yang
Mahasabar? Bagaimana engkau bisa tahu jika sekarang ini tidak
ada yang bisa membuatku marah karena sesungguhnya aku
sudah tidak memiliki sesuatu yang bisa membuatku marah?”

Abdul Jalil tidak bisa menjawab. Ia terdiam selama beberapa jenak.


Saat suasana hening tiba-tiba Sri Mangana berkata, “Engkau tidak
perlu bertanya kepada puteramu bagaimana ia bisa mengetahui
pedalamanmu yang aku pun tidak pernah mengetahuinya. Tetapi
perlu engkau ketahui, o Adinda, bahwa dulu sewaktu puteramu
masih kecil, guru agung kita, Syaikh Datuk Kahfi, pernah
mengungkapkan suatu rahasia tentang puteramu itu kepadaku.
Beliau saat itu berkata bahwa puteramu kelak akan menjadi
kekasih Allah. Dan, aku diminta untuk melindunginya meski
dengan taruhan nyawaku. Nah, Adinda, aku kira puteramu
mengetahui pedalamanmu karena ia telah diberi tahu oleh Dia
Yang Mengasihinya.”

675
Dengan mata berkaca-kaca Nyi Indang Geulis bertanya,
“Benarkah ucapan ayahandamu itu, o Puteraku?” “

Ibunda,” kata Abdul Jalil tenang, “sesungguhnya untuk mengetahui


apakah kita tergolong kekasih Allah atau bukan tergantung pada
penilaian jujur kita terhadap diri sendiri. Maksud ananda, apakah
kita sudah meyakini dengan jujur bahwa kiblat hati dan pikiran
tertuju utuh hanya kepada Allah? Jika kita yakin sepenuh jiwa dan
raga bahwa hati dan pikiran kita benar-benar hanya terarah kepada
Allah maka sesungguhnya Allah telah mengasihi kita. Itu berarti
sudah menjadi kekasih-Nya.”

Nyi Indang Geulis tersedu sedan mendengar penjelasan putera


asuhnya. Kemudian dengan air mata berlinang-linang dia
mengungkapkan dengan jujur keadaan jiwanya saat itu. Dia
jelaskan kepada suami dan putera asuhnya bahwa saat itu
sesungguhnya dia sudah tidak lagi merasakan keterikatan yang
kuat dengan suami dan putera-puterinya. “Bukan aku tidak
mencintai mereka, o Puteraku. Tapi, aku merasa ada semacam
jarak gaib yang telah memisahkan aku dengan mereka. Aku sendiri
tidak tahu apa sesungguhnya yang sedang aku alami.” “

Ibunda, sesungguhnya keindahan perjalanan hidup manusia


bukanlah saat ia berada di puncak kehidupan yang sejati. Ibarat
seseorang mendaki gunung, keindahan perjalanan hidup bukanlah
kebanggaan dan bukan pula kegembiraan saat ia berada di
puncak. Melainkan, liku-liku perjuangan saat ia meninggalkan
676
rumah, keluarga, kampung halaman, dan merangkak di antara
tebing-tebing yang curam itulah keindahan dari sebuah perjalanan
hidup.” “

Karena itu, o Ibunda, sangatlah wajar jika Ibunda saat ini yang
sudah berada di puncak justru merasakan ada jarak gaib yang
memisahkan ibunda dengan suami, putera-puteri, dan segala
sesuatu yang Ibunda miliki. Karena, Ibunda sudah berada di
puncak kehidupan yang sejati. Saat ini sejauh Ibunda menyapukan
pandangan, hanya langit luas, gumpalan awan, gugusan sawah,
hutan, desa-desa, aliran sungai, dan lautan saja yang tampak di
kejauhan. Ibunda tidak merasa memiliki semuanya. Ada jarak yang
memisahkan Ibunda dengan mereka. Bahkan, jika dirasa-rasakan
saat ini Ibunda sesungguhnya tegak sendirian di puncak gunung
kehidupan. Ibunda hanya dikawani rasa sunyi, senyap, hening, dan
hampa. Dan, sesungguhnya rasa hampa yang meliputi Ibunda,
yakni rasa hampa yang tak terjangkau akal, tak tersentuh pikiran,
tak terbayangkan, tak terbandingkan, itulah hakikat sejati dari
kedekatan Ibunda dengan Sang Hampa (laisa kamitslihi syaiun)
yaitu Sang Mahaada (al-Wujud), Yang Zhahir dan Batin.” “

Benarlah apa yang engkau ucapkan, o Puteraku,” ujar Nyi Indang


Geulis. “Saat ini aku merasakan sesuatu yang aneh pada jiwaku.
Aku merasakan jiwaku kosong, tetapi sekaligus penuh. Ketika
kuintai kekosongan yang kudapati justru kepenuhan. Ketika
kuanggap penuh, ia justru kosong. Karena itu, tidak ada kesedihan,
kegembiraan, kekecewaan, sukacita, dan berbagai jenis perasaan
yang bisa masuk dan bersemayam di dalam hatiku. Sungguh!
677
Selama ini tidak ada satu pun orang yang bisa menjelaskan
kepadaku apa sesungguhnya yang telah aku alami ini. Sebab, aku
tidak pernah mengungkapkannya, bahkan kepada ayahandamu
pun aku tidak pernah bercerita.” “

Berbahagialah Ibunda yang telah sampai di puncak kehidupan


sejati. Tetapi jika ananda boleh tahu, laku kesabaran apa yang
telah Ibunda laksanakan sehingga Ibunda bisa mencapai
kedudukan yang begitu mulia di hadapan-Nya?”

Nyi Indang Geulis diam sejenak seolah mengingat-ingat. Beberapa


saat kemudian dia bercerita bahwa pada awalnya dia sangat
terkesan oleh wejangan Syaikh Datuk Kahfi saat mengupas
hakikat agama. Menurut Syaikh Datuk Kahfi, pada hakikatnya apa
yang disebut agama adalah ajaran yang melatih, menekan, bahkan
memaksa manusia untuk menahan dan mengekang diri dari
dorongan keakuan. Pengekangan diri, menurut Syaikh Datuk
Kahfi, bisa menjadi siksaan bagi mereka yang mencintai kehidupan
duniawi. Tetapi sebaliknya, pengekangan akan menjadi
kegembiraan bagi para pencari Kebenaran Sejati.

Ajaran agama yang dimaknai pengekangan diri itu ternyata


memiliki arti yang luas dan mendalam. Sebab, telah terbukti bahwa
segala sesuatu yang terkait dengan amaliah ibadah yang diajarkan
oleh agama-agama yang benar, pada hakikatnya dinilai sebagai
penyiksaan oleh para pecinta kehidupan duniawi. Orang-orang
Hindu yang melakukan upawasa (puasa), menjalankan dharma,
678
melakukan yoga-samadi, menjalani wairagya, oleh para pecinta
kehidupan duniawi dianggap telah melakukan kebodohan dalam
bentuk penyiksaan diri. Padahal, bagi para pencari Kebenaran
Sejati, tanpa perjuangan keras mengekang dan menyiksa diri,
seorang manusia tidak akan pernah menjadi orang-orang suci
yang tercerahkan seperti para Rishi, Brahmana, Sannyasin, dan
Sadhu.

Orang-orang muslim pun jika dilihat dari pandangan para pecinta


kehidupan duniawi tidak lepas dari kecenderungan mengekang
dan menyiksa diri. Itu tercermin dari ketentuan ajaran Islam untuk
berkhitan, berpuasa menahan lapar dan dahaga sebulan penuh,
bersembahyang wajib sehari lima kali ditambah sembahyang
sunnah, berzakat dan bersedekah mengeluarkan harta,
menunaikan ibadah haji, dan berbagai ibadah nawafil yang lain
yang oleh para pecinta tubuh dianggap sebagai kebodohan dan
penyiksaan diri. “

Saat aku bertanya kepada guru agung apakah amaliah ibadah


yang paling menyiksa, tetapi paling utama bagi seorang
perempuan?” ujar Nyi Indang Geulis, “beliau menjawab: sabar dan
ikhlas dimadu.” “

Ah, ananda tadi sudah mengira ketika Ibunda memperkenalkan


dua selir Ramanda Ratu beserta putera dan puterinya,” Abdul Jalil
tersenyum lebar. “Ananda sudah menduga Ibunda pasti melewati
jalur pintas yang luar biasa berat itu.” “
679
Tapi tungguh dulu,” tukas Nyi Indang Geulis. “Sesungguhnya
bukan aku yang dimadu oleh ayahandamu, sebaliknya aku yang
sengaja memadukan diriku.” “

Maksud Ibunda?” “

Yang merencanakan semua perkawinan ramandamu adalah aku.


Padahal, saat itu ramandamu sedikit pun tidak memiliki niat untuk
menikah lagi.” “

Mahasuci Allah,” gumam Abdul Jalil. “Dia telah membentangkan


jalan-jalan menuju-Nya dengan cara yang tak terduga dan tak
terpikirkan. Tetapi sebagaimana yang ananda tadi jelaskan,
keindahan bagi sang pemenang bukanlah saat ia meraih
kemenangan. Keindahan bagi pendaki gunung bukanlah saat ia
berada di puncak, melainkan justru perjuangan menuju puncak
itulah perjalanan yang terindah.” “

Benarlah apa yang engkau ucapkan itu, o Puteraku,” kata Nyi


Indang Geulis. “Saat aku sendirian di puncak dan kemudian
teringat akan masa-masa jahil ketika aku masih menjadi pecinta
kehidupan duniawi, sering aku menertawakan sendiri kebodohan
diriku. Saat itu betapa tidak tahu malunya aku karena menganggap
segala apa yang mengitariku adala mutlak milikku. Suami, anak-
anak, keluarga, perhiasan, harta benda, rumah, kehormatan,
kemuliaan, dan sanjungan kuanggap sebagai milikku yang tak bisa
680
diganggu gugat. Ketika itu aku sungguh-sungguh merasa diriku
seperti iblis jahat yang tidak pernah rela melihat manusia lain
beroleh keberuntungan, kegembiraan, kebahagiaan, dan
kemuliaan yang melebihi diriku. Semuanya seolah-olah harus
kuakui sebagai milikku.” “

Berkali-kali aku tanya diriku apakah sesungguhnya beban


tanggungan yang paling berat bagi manusia? Kuperoleh jawaban:
beban tanggungan terberat bagi manusia adalah keangkuhan dan
kepongahan seekor merak yang dengan sombong
membentangkan ekornya di bawah intaian harimau pemangsa.
Atau, kebanggaan seekor gajah yang membanggakan kebesaran
tubuhnya yang terperosok ke perigi. Atau, nyanyian seekor burung
yang berkicau di sangkar emas. Atau, kelincahan seekor kijang
yang diincar panah pemburu. Itu berarti, sesungguhnya beban
tanggungan terberat bagi manusia adalah beban keakuan yang
menjadikan manusia sebagai hewan pengangkut beban. Ya,
beban keakuan yang menyebabkan jiwa manusia berlutut seperti
kuda yang memohon punggungnya ditunggangi beban. Adakah
kejahilan yang melebihi kebodohan dan ketololan manusia yang
sudah diperbudak beban keakuan diri yang mengendalikan jalan
hidupnya?” “

Syukurlah, kejahilan jiwaku yang gelap, pengap, dan panas


laksana api itu berangsur-angsur pupus digantikan pancaran
keindahan ketika aku lewati liku-liku pendakian hidup yang curam
dan terjal. Perlahan-lahan tetapi pasti, aku tanggalkan beban
keakuan yang memberati punggungku. Aku lepaskan
681
keterikatanku pada suami. Aku lepas rasa kepemilikanku terhadap
suami. Saat itu aku yakinkan sepenuh jiwaku bahwa
sesungguhnya suamiku bukanlah milikku. Suamiku adalah milik
Allah. Demikian pun, aku tekan rasa kepemilikanku untuk bisa
bersabar dan ikhlas menyaksikan perempuan lain – para maduku
– menikmati kebahagiaan bersama suamiku. Ah, betapa indah
saat aku bergulat mati-matian memerangi diriku sendiri. Betapa
indahnya saat aku menitikkan air mata di lereng terjal pendakianku.
Dan, betapa indah saat awal aku gapai puncak kemenanganku.” “

Jika Ibunda tidak keberatan, bolehkah ananda mendengarkan


kisah indah Ibunda saat berjuang menaklukkan diri sendiri, agar
nanti bisa ananda ceritakan kepada istri-istri ananda. Biarlah
mereka berdua meneladani keteguhan dan ketegaran Ibunda
mertuanya yang telah berhasil meraih kemenangan dan
mengibarkan bendera kejayaan,” ujar Abdul Jalil.

Seperti tanpa beban apa pun Nyi Indang Geulis menuturkan liku-
liku cerita yang melatari perkawinan suaminya. Mula-mula, ia
memaparkan kenyataan betapa selama bertahun-tahun
perkawinannya ternyata tidak dikaruniai keturunan. Namun, saat
itu dia tidak pernah merasakan keadaan itu sebagai sesuatu yang
berat karena dia selalu menumpahkan kasih sayang seorang ibu
kepada putera asuhnya, San Ali. “Tetapi, semenjak kepergianmu,
o Puteraku, aku rasakan hidupku tiba-tiba menjadi sepi dan
lengang. Apa yang aku rasakan itu ternyata dirasakan juga oleh
ramandamu. Akhirnya, aku meminta saran guru agung. Dan, beliau
menuturkan tentang ketentuan hukum kauniyah adanya
682
pertemuan dan perpisahan, di mana keberadaan agama pada
hakikatnya adalah melatih manusia untuk tulus mengikuti hukum
kauniyah itu dengan pengekangan-pengekangan dan bahkan
penyiksaan diri,” ujar Nyi Indang Geulis.

Langkah awal yang dilakkukannya untuk mengekang diri, ungkap


Nyi Indang Geulis, adalah memohon kepada Syaikh Datuk Kahfi
untuk menikahkan suaminya dengan Nyai Retna Riris, puteri
almarhum Ki Danusela. Mula-mula Syaikh Datuk Kahfi terkejut
dengan permohonan itu, namun akhirnya ia bisa memahami.
Pernikahan itu terjadi dan hasilnya adala seorang putera yang
dinamai Pangeran Cirebon.

Mendengar uraian Nyi Indang Geulis bahwa istri kedua Sri


Mangana adalah puteri Ki Danusela, Abdul Jalil tercekat kaget.
Sebab, sepengetahuannya, Ki Danusela, ayahanda angkatnya itu,
tidak memiliki keturunan seorang pun. Itu sebabnya dengan
penasaran ia bertanya, “Apakah Ibunda maksud Ki Danusela,
ayahanda Nyi Retna Riris itu adalah ayahanda saya?” “

Ya, benar begitu, Puteraku.” “

Bukankah beliau tidak memiliki keturunan seorang pun?” “

683
Dari ibundamu Nyi Ratu Inten Dewi, beliau memang tidak memiliki
keturunan. Namun, dari istrinya yang bernama Ratu Arumsari,
puteri Yang Dipertuan Singhapura, beliau memiliki puteri bernama
Nyi Retna Riris.” “

Kenapa ananda tidak pernah tahu akan hal itu?” “

Tentang itu tanyalah ayahandamu sebab ayahandamu lebih tahu


tentang persoalan itu.”

Abdul Jalil menarik napas berat dan kemudian memandang Sri


Mangana dengan tatapan memohon. Sri Mangana yang tidak
sampai hati menyaksikan putera asuhnya terombang-ambing
ketidakpastian, akhirnya bercerita. “

Ketahuilah, o Puteraku, bahwa sesungguhnya ayahandamu


memang memiliki istri selain ibundamu, yaitu Ratu Arumsari. Dan,
sesungguhnya Ratu Arumsari adalah bibiku karena dia adala puteri
Ratu Surantaka. Sedangkan Ratu Surantaka adalah saudara lain
ibu dari kakekku, Ki Gedeng Tapa. Ratu Surantaka adalah putera
kakek buyutku, Prabu Kasmaya dengan Ratu Suragharini Bhre
Singhapura, puteri Prabu Kertawijaya Maharaja Majapahit.” “

Karena di dalam diri Ratu Arumsari mengalir darah Majapahit maka


atas perintah ayahandaku, Prabu Guru Dewata Prana, Ki Danusela
684
menikahinya. Tujuannya tidak lain untuk memasukkan semua
kekuatan Majapahit di Bumi Pasundan ke dalam lingkungan
kekuasaan Maharaja Sunda. Bahkan, beberapa waktu setelah
ayahandamu meninggal dan aku menikahi Nyi Retna Riris,
datanglah utusan dari Pakuan Pajajaran yang membawa pesan Sri
Maharaja agar aku menikahi puteri Ki Danusela itu. Saat itu aku
katakan kepada utusan itu bahwa sesungguhnya aku telah
menikahinya beberapa waktu lalu sebelum perintah itu aku terima.”

Jika demikian, Nyi Retna Riris adalah saudara angkat saya?” “

Demikianlah sebenarnya. Dia sekarang bernama Nyi Kencana


Larang?” “

Jika demikian, tentunya Nyi Kencana Larang masih sepupu Ibunda


Nyi Indang Geulis.” “

Benarlah demikian, o Puteraku, karena ayahanda Nyi Kencana


Larang adalah adik Ki Danuwarsih, ayahanda ibundamu Nyi
Indang Geulis.” “

Tapi, kenapa perkawinan itu dilakukan secara diam-diam dan


seolah-olah rahasia?” “

685
Sebab, di balik niat perkawinan ayahandamu dengan Ratu
Arumsari tersembunyi iktikad untuk menghilangkan pengaruh
Majapahit. Itu sebabnya, setelah penguasa Singhapura, Dyah
Surawijaya Bhre Singhapura, meninggal, yang menggantikannya
adalah kakekku, Ki Gedeng Tapa, yakni kemenakan tirinya. Di
bawah kakekku itulah nama Singhapura diam-diam
ditenggelamkan oleh nama Pasambangan.”

Abdul Jalil mengangguk-angguk. Ia memahami penjelasan


ayahanda asuhnya itu. Ia sadar bahwa di balik perkawinan-
perkawinan itu sesungguhnya terselip hasrat perebutan kekuasaan
yang dahsyat. Lantaran tak ingin terperangkap ke dalam lingkaran
setan tak berujung pangkal, ia pun meminta ibundanya, Nyi Indang
Geulis, untuk melanjutkan kisah perjuangan menaklukkan
keakuannya.

Nyi Indang Geulis melanjutkan cerita dengan menuturkan


kehadiran seorang ulama asal Negeri Campa bernama Syaikh
Ibrahim Akbar bersama puterinya, Nyai Rasa Jati. Syaikh Ibrahim
Akbar adalah sepupu Raden Ali Rahmatullah, Bupati Surabaya.
Semula Syaikh Ibrahim Akbar tinggal di rumah kerabatnya, Syaikh
Hasanuddin bin Yusuf Siddhiq, di Padepokan Kuro, Karawang. Tak
lama sesudah itu ia dan puterinya tinggal di Junti dan kemudian di
Giri Amparan Jati.

Bersimpati terhadap nasib tak beruntung yang dialami Syaikh


Ibrahim Akbar dan puterinya, akhirnya Nyi Indang Geulis meminta
686
agar Syaikh Datuk Kahfi menikahkan Nyai Rasa Jati dengan
suaminya. Keinginan Nyi Indang Geulis itu pun dikabulkan oleh
Syaikh Datuk Kahfi. Dari pernikahan itu Sri Mangana dikaruniai
tujuh puteri, yaitu Nyai Rara Konda, Nyai Rara Sejati, Nyai
Jatimerta, Nyai Jamaras, Nyai Mertasinga, Nyai Campa, dan Nyai
Rasa Melasih.

Pergulatan Nyi Indang Geulis untuk menaklukkan diri sendiri


ternyata berbuah kegembiraan yang tidak pernah diduganya. Saat
dia sudah tidak lagi mengharapkan kelahiran seorang bayi dari
rahimnya, tiba-tiba saja dia hamil. Padahal, saat itu usia
perkawinannya sudah lebih dari dua puluh tahun. Lalu lahirlah
seorang puteri yang dinamai Pakungwati. “Lahirnya puteriku itu
sempat membuatku berpaling. Puteriku sempat menjadi buah
hatiku dan kuanggap sebagai milikku yang paling berharga. Tetapi,
kemudian aku sadari bahwa dia sesungguhnya milik-Nya, yang
digunakan untuk menguji keteguhan hati dan kesetiaanku kepada-
Nya.”

Nyi Muthmainah yang masyhur disebut Nyi Mas Gandasari, puteri


angkat Raja Caruban Larang, Sri Mangana, adalah perempuan
yang sangat cantik. Tubuhnya tinggi dan terkesan sangat jangkung
dibandingkan dengan perempuan Sunda seumumnya. Mukanya
bulat telur. Bentuk matanya bulat indah dengan bulu mata lebat.
Namun, di balik mata yang indah itu memancar sorot ketegaran
sebongkah bukit karang tak tergoyahkan. Hidungnya tinggi dan
mancung. Bibirnya berbentuk sangat indah, tetapi selalu
mengatup.
687
Penampakan fisik Nyi Mas Gandasari adalah penampilan
perempuan yang lahir dari macam-macam anasir bangsa. Dari
ibundanya mengalir darah Hindustan dan Mongolia karena
leluhurnya adalah keturunan Janghiz Khan yang menaklukkan
Hindustan dan mendirikan Dinasti Moghul. Sedangkan dari
ayahandanya mengalir darah Arab-Hindustan-Campa karena
neneknya dari pihak ayah adalah seorang muslimah asal Campa
yang tinggal di Malaka. Dan, boleh jadi karena mewarisi berbagai-
bagai aliran darah maka naluri yang mengendap di kedalaman jiwa
Nyi Mas Gandasari agak berbeda dengan seumumnya perempuan
Sunda. Baju warna hitam penutup tubuh bagian bawah, memang
terlihat aneh bagi seumumnya perempuan di Bumi Pasundan yang
hanya menutup bagian bawah tubuhnya – sebatas perut ke bawah
lutut – dengan kain. Sementara itu, sebilah keris yang terselip di
dadanya menunjukkan Nyi Mas Gandasari adalah seekor singa
betina pada zamannya; singa betina yang ditakuti binatang jantan
yang bukan singa.

Menurut cerita orang-orang Caruban Larang, Nyi Mas Gandasari


merupakan puteri Syaikh Datuk Sholeh yang diangkat anak oleh
Raja Caruban Larang untuk dijadikan panglima perempuan
Caruban Larang yang bakal mengalahkan penguasa Galuh
Pakuan. Sebab, menurut ramalan, Yang Dipertuan Galuh, Ratu Aji
Surawisesa, Sang Putera Mahkota Pakuan Pajajaran, yang tidak
lain adalah saudara lain ibu Sri Mangana, konon tidak bisa
dikalahkan oleh siapa pun kecuali oleh seorang perempuan hing
wanojaha kang pangawijing. Entah benar entah tidak cerita orang-
orang Caruban Larang yang berkembang dari mulut ke mulut itu,
yang jelas orang akhirnya melihat dengan mata kepala sendiri
688
keberadaan Nyi Mas Gandasari sebagai pendekar wanita yang
sakti mandraguna; wanojaha linggihing pangelmu wuleding raga
kang sakti mandraguna; wanojaha pangestu mungguhing
sesanggah.

Sementara menurut cerita orang-orang Galuh Pakuan, Nyi Mas


Gandasari sengaja disiapkan sebagai alat oleh Sri Mangana untuk
merebut takhta Pakuan Pajajaran yang sudah jelas-jelas menjadi
hak Ratu Aji Surawisesa, sang putera mahkota, yakni putera Prabu
Guru Dewata Prana dari permaisuri. Niat Sri Mangana itu
setidaknya terlihat saat terjadi kekisruhan di Pakuwuan Caruban.
Saat itu, Ki Danusela, Kuwu Caruban, adalah menantu Ratu Aji
Surawisesa. Namun, saat Ki Danusela meninggal secara misterius
dan kedudukannya digantikan oleh Rsi Bungsu, putera Ratu Aji
Surawisesa, justru Sri Mangana merebutnya dengan kekerasan
bersama-sama dengan orang Demak. Bahkan setelah menduduki
jabatan Kuwu, Sri Mangana masih belum puas dan meminta
kepada ayahandanya agar dianugerahi jabatan Raja Caruban
Larang.

Entah yang benar orang-orang Caruban Larang atau orang-orang


Galuh Pakuan, orang umumnya hampir tidak peduli dengan
pertikaian dua bersaudara tersebut dalam memperebutkan
kekuasaan. Hari demi hari orang-orang justru seperti tidak ada
bosan-bosannya membicarakan kecantikan, kegagahan, sekaligus
kesaktian Nyi Mas Gandasari. Ibarat wangi bunga yang
memabukkan kumbang-kumbang jantan, begitulah keharuman
nama Nyi Mas Gandasari telah memabukkan banyak lelaki.
689
Namun setiap kali datang kumbang hendak membaui
keharumannya, Nyi Mas Gandasari selalu menghalau mereka
dengan duri-durinya yang tajam.

Orang bilang jumlah kumbang jantan yang luka tertusuk duri bunga
Gandasari sudah tidak terhitung. Di antara beberapa kumbang
jantan yang terbanting dari kelopak bunga harum Gandasari yang
diingat orang adalah Ki Gedeng Plered, Ki Gedeng Dermayu, Ki
Gedeng Pekandangan, Ki Gedeng Paluamba, Ki Gedeng
Sindanggaru, Ki Gede Sembung, Ki Gede Bungko, dan Syaikh
Magelung.

Sekalipun kesaktian dan keteguhan Nyi Mas Gandasari sudah


termasyhur melebihi laki-laki, hati yang tersembunyi di dalam
dadanya sesungguhnya tetaplah hati perempuan yang penuh
kasih dan kelembutan. Hal itu terlihat tatkala Sri Mangana
mengunjunginya dengan mengajak Abdul Jalil. Semula, seperti
sikap sehari-harinya dalam menghadapi laki-laki, dia sedikit pun
tidak menghiraukan Abdul Jalil. Dia hanya menyongsong
ayahanda angkatnya dan mempersilakannya masuk.

Saat Abdul Jalil duduk bersila penuh hormat di hadapannya, Nyi


Mas Gandasari tetap tidak menghiraukannya meski dia merasakan
suatu sentuhan melintas di hatinya saat sepintas melihat Abdul
Jalil. Namun, sentuhan itu ia abaikan karena yang terbayang di
dalam benaknya adalah kesan bahwa kehadiran ayahanda
angkatnya tentu tidak jauh berbeda dengan kehadiran-kehadiran
690
sebelumnya, yakni memintanya untuk menikah dengan lelaki yang
dianggapnya baik.

Namun, anggapan Nyi Mas Gandasari ternyata salah. Saat


ayahanda angkatnya menjelaskan bahwa laki-laki muda yang
duduk di hadapannya adalah adik yang selalu dirindukannya
selama bertahun-tahun, yaitu San Ali, runtuhlah keteguhan bukit
karang hatinya yang termasyhur itu. Bagaikan selembar kain jatuh,
dia duduk berlutut dan merangkul adik yang dirindukannya sambil
menangis tersedu-sedu. Dia menjadi perempuan biasa yang
berhati sangat lembut.

Abdul Jalil membiarkan Nyi Mas Gandasari menumpahkan semua


gelegak perasaannya. Ia membiarkan jubah di bagian bahunya
basah oleh air mata bahagia kakaknya. Ia hanya duduk bersila
sambil merenungi liku-liku kehidupan yang dilaluinya yang penuh
pergulatan tak berkesudahan dan hampir selalu menampilkan
keanehan-keanehan yang tak ia pahami.

Betapa aneh hidup ini jika direnungkan, ujarnya dalam hati. Betapa
berbelit hidup ini jika dipikir-pikir. Betapa mengherankan hidup ini
jika dibayang-bayangkan. Dan, betapa berat hidup ini jika diingat-
ingat lekuk dan likunya. Namun sebagai manusia yang sudah
merasakan pahit dan getir hidup hingga mencapai kedewasaan
ruhani, aku sadar bahwa hidup adalah untuk dinikmati dan dijalani
apa adanya tanpa perlu dipikir-pikir, direnung-renung, dibayang-
bayangkan, dan diingat-ingat. Hidup adalah ibarat setitik air yang
691
harus setia pada aliran hukum kauniyah yang menyeretnya ke
lingkaran siklus, yaitu menuju ke Muara dan sekaligus Sumber
Sejati.

Sri Mangana yang berdiri di belakang Abdul Jalil dan menyaksikan


pemandangan mengharukan itu berkali-kali menarik napas berat.
Beberapa jenak kemudian dengan terbatuk-batuk kecil ia berkata,
“Sekarang sirna sudah kabut kepedihan karena terbitnya matahari
kebahagiaan. Engkau, putera dan puteriku terkasih, adalah
rembulan dan matahari yang didambakan oleh mereka yang
sedang berada di dalam kegelapan. Sebagaimana dambaanku
yang ingin melihat kalian berdua sebagai rembulan dan matahari
yang ditunggu terbitnya oleh umat manusia pada siang dan malam
hari, demikianlah hendaknya kalian berdua memaknai hidup
kalian.”

Nyi Mas Gandasari tersadar dia telah cukup lama mengabaikan


ayahanda angkatnya. Buru-buru dia bersimpuh menyembah
sambil berucap, “Ampun seribu ampun, Ramanda Ratu. Ananda
telah berlaku kurang pantas membiarkan Ramanda Ratu. Ananda
memohon ampunan dari Ramanda Ratu.” “

Sudahlah, tidak perlu berbasa-basi,” sahut Sri Mangana duduk


bersila di samping Abdul Jalil. “Aku ini ayahanda kalian berdua.
Aku tahu, pusaran nasib telah memisahkan kalian berdua. Tetapi,
aku berharap kalian berdua, terutama engkau, o Puteriku, untuk

692
bisa berbesar hati menerima kehendak-Nya meski itu sering tidak
engkau pahami.” “

Ananda mempusakakan wasiat Ramanda Ratu.” “

Satu hal yang harus engkau ketahui, yaitu adik yang terus-menerus
engkau rindukan sekarang telah kembali dengan membawa
kemenangan. Maksudku, ia telah berhasil meraih keinginannya
yaitu menemukan Kebenaran Sejati. Itu sebabnya, sebagaimana
aku, hendaknya engkau pun belajar darinya tentang jalan
Kebenaran Sejati.” “

Benarkah demikian, o Adikku,” tanya Nyi Mas Gandasari dengan


mata berkilat-kilat penuh harap. “

Maafkan saya, o Ayunda,” Abdul Jalil merendah, “sesungguhnya


jalan Kebenaran yang telah saya temukan hanyalah jalan
Kebenaran menuju Dia, al-Haqq, Yang Tak Terjangkau Akal dan
Tak Tersentuh Pancaindra. Maksudnya, saya tidak memiliki ilmu
kesaktian dan kedigdayaan seperti aji-aji kememayam,
pangasihan, pangabaran, kapaliyasan, karosan, kateguhan,
pangerutan, dan kadewan. Jadi, meski saya mengetahui jalan
Kebenaran, saya bukanlah orang yang memiliki kelebihan apa pun
apalagi sakti mandraguna.”

693
Nyi Mas Gandasari tersentak kaget mendengar ujar Abdul Jalil.
Sebab, beberapa macam ilmu yang disebut oleh adiknya itu justru
merupakan ilmu andalan yang dia warisi dari Sri Mangana dan Ki
Gede Selapandan, gurunya. Sambil tersenyum kecut dia berkata
kepada Sri Mangana, “Ramanda Ratu ternyata benar. Rupanya,
dia bisa mengetahui segala apa yang ada di dalam diri kita. Itukah
yang disebut waskita? Weruh sadurunge winara?” “

Karena itulah aku sendiri ingin belajar tentang ilmu Kebenaran


Sejati kepadanya.” “

Mohon maaf kepada Ramanda Ratu dan Ayunda,” Abdul Jalil


menyela, “sesungguhnya, saya sedikit pun tidak memiliki
kewaskitaan untuk bisa mengetahui hal-hal gaib dan kejadian yang
akan datang. Sungguh, demi Allah, saya tidak memiliki
kemampuan itu. Saya hanya berbicara sesuai ‘sentuhan rasa’ yang
saya rasakan di kedalaman relung-relung jiwa saya. Dengan
demikian, sesungguhnya saya tidak mengetahui apakah ucapan
saya itu mengenai seseorang atau tidak.” “

Justru ‘sentuhan rasa’ yang engkau hamburkan lewat mulutmu


itulah, o Puteraku, yang sering menelanjangi orang seorang. Dan
sebagaimana telah dialamai orang lain, aku kira kakakmu pun
barusan tadi telah engkau telanjangi hingga terlihat jelas semua
ilmu yang disembunyikannya. Aku rasa, aku pun tinggal menunggu
giliran,” ujar Sri Mangana tertawa.

694
Abdul Jali tertegun. Sesaat kemudian ia pun tertawa.

Malam terus bergulir bersama putaran roda waktu. Sri Mangana,


Nyi Mas Gandasari, dan Abdul Jalil seperti jari-jari roda, ikut
berputar dalam pusaran perbincangan; menyeret masa lalu dan
menarik masa depan. Sebagai anak negeri yang sudah
melanglang buana hingga menjadi salah satu warga Bumi
Pasundan yang terbuka cakrawala pandangnya, ia terlihat lebih
banyak menguraikan tentang perubahan-perubahan yang bakal
terjadi di berbagai negeri di muka bumi. “Tidak terkecuali Bumi
Pasundan, akan terlanda prahara perubahan. Itu sebabnya, bagi
mereka yang belum sadar dengan datangnya perubahan dahsyat
itu pastilah bakal tersapu dari permukaan bumi.”

695
Tanah Samiddha “

Aku benar-benar heran dengan tingkah laku


manusia bernama Rsi Bungsu itu,” ujar Sri
Mangana suatu malam kepada Abdul Jali
dalam perbincangan di Bale Rangkang.
“Seluruh hidupnya seolah-olah diabdikan
untuk memuja setan dendam dan iblis
kebencian yang berkuasa di hatinya. Kalau kuingat-ingat, selama
aku mengenal dia sebagai kemenakanku, belum terlihat satu pun
kebaikan yang pernah dilakukannya. Entah dia itu jelmaan iblis
atau apa, sepengetahuanku, dia selalu menjadi bencana bagi
orang lain.” “

Tapi Ramanda Ratu, sepengetahuan ananda, Pamanda Rsi


Bungsu tidak punya alasan untuk memusuhi Guru Agung Syaikh
Datuk Kahfi. Bukankah selama ini beliau berdua tidak pernah
berselisih?” “

Memang, antara Guru Agung Syaikh Datuk Kahfi dan Rsi Bungsu
tak pernah terjadi perselisihan,” ujar Sri Mangana. “Namun, sejak
Raden Anggaraksa, puteranya, memeluk Islam dan meminta
perlindungan kepada uwaknya di Giri Amparan Jati, api kebencian
telah membakar hatinya yang sudah hangus menghitam itu. Itu
sebabnya, tanpa hujan tanpa angin, tiba-tiba ia memerintahkan
sekawanan begal yang dipimpin Bergola Hideung untuk menjarah

696
dan membakar seluruh bangunan yang ada di Giri Amparan Jati.
Untung yang terbakar hanya tiga pondok hunian siswa.” “

Dia menduga perbuatan busuknya itu tidak akan diketahui. Namun,


sejak awal kejadian aku sudah menangkap keanehan peristiwa itu.
Pertama, belum pernah terdengar cerita di Bumi Pasundan ini ada
kawanan begal merampok padepokan. Kedua, kejahatan itu
dilakukan di Caruban Larang, tanah samiddha yang disucikan.
Ketiga, kawanan Bergola Hideung tidak menjarah apa-apa, tetapi
hanya menculik Raden Anggaraksa. Ini tidak mungkin terjadi tanpa
keterlibatan Rsi Bungsu. Dan, dugaanku ternyata tidak meleset.
Saat beberapa orang anak buah Bergola Hideung tertangkap,
mereka mengaku bahwa sesungguhnya yang memerintahkan
pembakaran Padepokan Giri Amparan Jati adalah Rsi Bungsu.”

Abdul Jalil tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala


mendengar uraian Sri Mangana. Melihat putera asuhnya hanya
tersenyum, Sri Mangana bertanya keheranan, “Kenapa engkau
tersenyum mendengar ceritaku, o Puteraku? Apakah engkau tidak
marah melihat kekurangajaran Rsi Bungsu yang sudah menista
padepokan tempatmu menimba ilmu?” “

Ramanda Ratu, ananda memang sedih dan marah melihat hasil


perbuatan Pamanda Rsi Bungsu, apalagi jika melihat perbuatan-
perbuatannya pada masa lalu. Namun, dalam memahami hal ini
ananda tidak mau terperangkap oleh pandangan perseorangan
yang bersifat pribadi. Maksudnya, ananda tidak mau melihat hasil
697
perbuatan Pamanda Rsi Bungsu sebagai perbuatan pribadi
seorang manusia jahat bernama Rsi Bungsu yang bejar akhlaknya.
Sebaliknya, ananda ingin melihat apa yang sesungguhnya telah
terjadi di balik perbuatan Pamanda Rsi Bungsu itu. Maksud
ananda, kenapa Pamanda Rsi Bungsu bisa berbuat begitu jahat?
Apa yang menyebabkan dia selalu melakukan perbuatan tetcela?
Dan, anasir-anasir apa sesungguhnya yang menjadikan Pamanda
Rsi Bungsu menjadi jahat?” “

Apakah engkau akan mengatakan bahwa sesungguhnya yang


menjadikan Rsi Bungsu itu manusia terkutuk yang selalu
melakukan perbuatan jahat adalah Allah ‘Azza wa Jalla?” tanya Sri
Mangana. “

Kita tidak perlu berbicara terlalu jauh tentang persoalan itu, o


Ramanda Ratu,” ujar Abdul Jalil dengan suara direndahkan. “Kita
bicarakan saja tentang apa sesungguhnya yang telah diperbuat
Allah SWT. terhadap Pamanda Rsi Bungsu yang jahat itu.
Tidakkah Ramanda Ratu menangkap jeritan pilu dan rintihan pedih
Pamanda Rsi Bungsu di tengah-tengah perbuatan jahatnya?
Tidakkah Ramanda Ratu menangkap keputusasaan Pamanda Rsi
Bungsu dengan peristiwa keislaman putera laki-laki tunggalnya?
Cobalah Ramanda Ratu renungkan sekejap saja, bagaimana
seandainya Ramanda Ratu berada pada kedudukan Pamanda Rsi
Bungsu.”

698
Sebagai raja yang sudah puluhan tahun merasakan pahit dan getir
kehidupan, Sri Mangana paham apa yang dimaksud oleh putera
asuhnya. Dengan menggumam seolah-olah berkata kepada
dirinya sendiri dia berkata, “Rsi Bungsu dalam pandanganku tak
lebih dari seekor anjing hutan yang kelaparan, tetapi lehernya diikat
tali yang kuat. Saat melihat segumpal daging segar ia menggeram
dan meneteskan air liur. Namun setiap kali ia meronta berusaha
menerkam dan menyantap daging itu, selalu saja tali yang
mengikat lehernya itu mencekiknya. Tali itu terlalu kuat untuk
diputuskan oleh rontaan tubuh, gigitan taring, atau cakaran
kukunya. Kini saat anjing tua itu sudah sangat kelaparan dan
kehilangan daya, tiba-tiba ia dikebiri pula oleh pemeliharanya. Ya
Allah, siksa dan azab apa yang Engkau timpakan kepada manusia
celaka itu?” “

Ramanda Ratu,” Abdul Jalil menyela, “kenapa Ramanda Ratu


membayangkan Pamanda Rsi Bungsu seperti seekor anjing tua
yang dikebiri?” “

Sebab, dia tidak akan memiliki keturunan yang meneruskan


kehidupannya,” ujar Sri Mangana. “

Bukankah Raden Anggaraksa keturunan Pamanda Rsi Bungsu?” “

699
Sampai usianya masuk tiga puluh tahun dia tidak mau menikah.
Malah sekaran ini dia memeluk Islam. Bukankah itu sama artinya
dengan dikebiri bagi Rsi Bungsu?” “

Ramanda Ratu,” Abdul Jalil tersenyum, “mohon sudilah Ramanda


Ratu memaafkan Pamanda Rsi Bungsu atas apa yang telah
diperbuatnya terhadap Padepokan Giri Amparan Jati. Sebab, saat
ini beliau sedang dijepit dan dipanggang oleh neraka kehidupan
dunianya. Tidakkah Ramanda Ratu bisa membayangkan
bagaimana azab dan derita yang dirasakan Pamanda Rsi Bungsu
saat ini? Putera lelaki satu-satunya yang menjadi gantungan
harapan telah lepas dari pangkuan. Siapakah yang akan
meneruskan kebanggaan Pamanda Rsi Bungsu jika putera
terkasih penerus keturunannya tidak berkenan menikah dan malah
mengikuti agama yang lain pula? Adakah siksa dan derita yang
melebihi pedihnya laki-laki tua yang bangga dengan darah birunya,
tetapi tidak memiliki anak dan cucu pewaris kemurnian dan
kemuliaan darahnya?”

Sri Mangana menarik napas panjang. Dia bisa memahami jalan


pikiran putera asuhnya. Kemudian dengan suara ditekan dia
bertanya, “Jika demikian, apa yang harus aku perbuat untuk dia?”

Ramanda Ratu tidak perlu lagi memerintahkan orang untuk


mencari dan membunuh Pamanda Rsi Bungsu. Biarkanlah Allah
sendiri yang menghukum Pamanda Rsi Bungsu dengan cara-Nya.
700
Sesungguhnya, hukuman Allah jauh lebih pedih dibanding
hukuman yang pernah dibayangkan manusia.”

Sri Mangana mengangguk-angguk dan berkata, “Aku pikir itu


keputusan yang terbaik. Berita terakhir yang aku dengar
menyebutkan Raden Anggaraksa berhasil meloloskan diri dari
sergapan ayahandanya dan saat ini dia berada di Giri Kedaton
meminta perlindungan kepada Prabu Satmata. Aku yakin Rsi
Bungsu sekarang ini pasti sedang kebingungan.” “

Mudah-mudahan Allah memberi perlindungan kepada Raden


Anggaraksa dan segera menyadarkan Pamanda Rsi Bungsu.” “

Tapi ada satu hal yang perlu engkau ketahui tentang Rsi Bungsu,
o Puteraku,” ujar Sri Mangana. “

Apakah itu, o Ramanda Ratu?” “

Sesungguhnya, saat ini Rsi Bungsu belum lepas dari buruan


orang-orang Pakuan Pajajaran. Sebab, dia telah dua kali
mengulang kesalahan yang sama. Pertama, ketika dia merancang
pembunuhan Ki Danusela dan membohongi Sri Prabu Guru
Dewataprana Ratu Haji di Pakuan Pajajaran untuk menyerang
Pakuwuan Caruban. Kedua, dia menyuruh Bergola Hideung,

701
pemimpin kawanan begal, membakar Padepokan Giri Amparan
Jati.” “

Ramanda Ratu,” tanya Abdul Jalil heran, “jika orang-orang Pakuan


Pajajaran marah kepada Pamanda Rsi Bungsu akibat
membohongi Sri Prabu Guru Dewataprana Ratu Haji di Pakuan
Pajajaran, itu masih bisa saya pahami. Tetapi, bagaimana mungkin
mereka bisa marah terhadap tindakan Pamanda Rsi Bungsu yang
menyuruh kawanan begal membakar Giri Amparan Jati? Bukankah
orang-orang Pakuan Pajajaran tidak terkait dengan Padepokan
Giri Amparan Jati?” “

Ketahuilah, o Puteraku, bahwa kesalahan terbesar Rsi Bungsu


adalah dua kali membuat kekisruhan di wilayah Caruban Larang.
Itulah kesalahan besar tak terampunkan. Sebab, tidak ada satu
pun manusia yang berbuat kekacauan di tanah ini, bahkan
kekuasaan maharaja sekalipun,” jelas Sri Mangana. “

Kenapa bisa demikian, o Ramanda Ratu?” “

Sepanjang ingatanmu, sejak engkau lahir hingga pergi berkelana,


pernahkah engkau menyaksikan kekisruhan terjadi di bumi tumpah
darahmu ini?” “

702
Belum pernah, kecuali saat Pamanda Rsi Bungsu merebut
Pakuwuan Caruban.” “

Ketentraman terpelihara di sini karena tanah ini bernama Caruban


Larang.” “

Saya belum paham, o Ramanda Ratu.” “

Ketahuilah, o Puteraku, sesungguhnya nama sebenar tanah


tumpah darahmu ini adalah Carubana. Caru berarti persembahan.
Bana berarti hutan. Jadi, Carubana bermakna hutan untuk
persembahan. Maksudnya, hutan Carubana ini sesungguhnya
adalah sebuah samiddha, yaitu hutan yang kayu-kayunya tidak
boleh digunakan untuk kepentingan lain kecuali untuk upacara-
upacara persembahan kepada dewata dan arwah leluhur. Hutan
samiddha disucikan dan terlarang bagi siapa pun yang tidak berhak
memasukinya,” papar Sri Mangana. “

Apakah ketentuan itu sudah berlaku sejak lama?” “

Aku tidak tahu pasti sejak kapan tempat ini menjadi samiddha.
Tetapi sejak zaman kuno, menurut cerita, tanah ini sudah menjadi
batas antara Bumi Pasundan dan Bumi Jawa. Engkau tentu masih
ingat batas sebelah timur dari Caruban Larang adalah Cipamali
(Sungai Pamali), yakni sungai larangan. Dikatakan sungai
703
larangan karena sejak zaman kuno sungai itu tidak boleh diakui
sebagai milik raja-raja Sunda maupun raja-raja Jawa.” “

Cipamali adalah sungai pembatas, tanah larangan milik Sang


Bhumi, Bhattari Prhtiwi, leluhur raja-raja Sunda dan raja-raja Jawa.
Itu sebabnya, sejak zaman baheula, telah ada semacam
kesepakatan antara raja-raja Sunda dan raja-raja Jawa bahwa
mereka yang ditunjuk sebagai pemelihara samiddha Carubana –
tanah khusus milik Sang Bhumi – adalah para keturunan raja yang
berdarah campuran. Engkau tentunya masih ingat kenapa
ayahandamu, Ki Danusela, bisa menjadi Kuwu? Sebab,
ayahandamu itu berdarah campuran Jawa-Sunda.” “

Ayahanda saya berdarah campuran Sunda-Jawa?” “

Ya, karena ayahanda beliau, Ki Danusetra, adalah putera Kaki


Palupa dan Nyai Kundisari. Kaki Palupa orang Sunda, sedangkan
Nyai Kundisari berasal dari Negeri Mataram. Ki Danusetra memiliki
dua saudara lain ibu, yaitu Ki Kumbharawa dan Endang
Sasmitapura. Namun, sejak kecil Ki Danusetra diasuh oleh
saudara tua Nyai Kundisari yang bernama Rishi Suryya Wisesa,
seorang pendeta Bhairawa (Pu Palyat) di Gunung Dieng di tanah
Mataram. Ki Danusetra kemudian menikahi seorang perempuan
asal Galuh Pakuan dan tinggal di Galuh Pakuan. Beliau mengabdi
kepada Prabu Niskala Wastu Kencana, kakek buyutku. Ki
Danusetra memiliki dua orang putera yaitu, Ki Danuwarsih dan Ki
Danusela, yang tak lain adalah ayahandamu, Kuwu Caruban. Jadi,
704
baik kakek maupun ibunda Ki Danuwarsih dan Ki Danusela adalah
orang-orang Sunda.” “

Jika penguasa Caruban Larang harus berdarah campuran,


bagaimana dengan Ramanda Ratu sendiri? Bukankah Ramanda
Ratu tidak berdarah campuran?” tanya Abdul Jalil. “

Semula aku menganggap diriku adalah putera Sunda asli. Tetapi


ayahandaku, Sri Prabu Guru Dewataprana Ratu Haji di Pakuan
Pajajaran, menyatakan bahwa ibunda kandungku, Nyi
Subanglarang, sesungguhnya puteri berdarah campuran Sunda-
Campa. Sebab istri Ki Gedeng Tapa, Nyi Ratna Karanjang, adalah
seorang perempuan Campa asal Malaka. Lantaran aku dianggap
sebagai putera raja yang berdarah campuran maka aku sah
ditabalkan sebagai ratu yang berkuasa atas samiddha Caruban
ini.” “

Nenek Ramanda Ratu orang Campa asal Malaka?” tanya Abdul


Jalil. “Jangan-jangan beliau kenal dengan keluarga kakek saya.” “

Memang benarlah demikian,” kata Sri Mangana. “Syaikh Datuk


Kahfi pernah bercerita tentang nenekku, Nyi Ratna Karanjang.
Nenekku kenal baik dengan kakekmu karena mereka bertetangga.
Bahkan, menurut Syaikh Datuk Kahfi, justru atas jasa nenekku
itulah ayahanda kandungmu, Syaikh Datuk Sholeh, yang saat itu
menjadi buruan penguasa Malaka bisa tinggal di Caruban Larang.
705
Tidak hanya itu, para pengungsi Campa yang berserakan akibat
perang saudara pada masa Raja Indrawarman III dapat tinggal
menjadi penduduk di berbagai tempat di Bumi Pasundan adalah
atas jasa baik nenekku.” “

Pernikahan kakek dengan nenekku sesungguhnya terjadi melalui


jasa saudara tua kakekku, yaitu Nyi Rara Rudra. Beliau
bersuamikan orang Campa, Haji Ma Huang, yang saat di Campa
bertetangga dengan keluarga nenekku. Puteri Nyi Rara Rudra
yang bernama Jata Mernam, tapi lazim dikenal dengan sebutan Aci
Putih, dipersunting oleh ayahandaku, Prabu Siliwangi.” “

Ananda pernah mendengar cerita bahwa ibunda Ramanda Ratu


pergi ke Malaka bersama Nyi Rara Rudra dan Haji Ma Huang.
Berarti, ibunda Ramanda Ratu memang memiliki keluarga di
Malaka.” “

Ya, memang demikian adanya,” ujar Sri Mangana. “Bahkan Syaikh


Hasanuddin, pengasuh Padepokan Kuro di Karawang,
sesungguhnya adalah saudara sepupu Nyi Ratna Karanjang,
nenekku.” “

Jadi, cerita Ramanda Ratu dahulu yang menuturkan bahwa Nyi


Subanglarang belajar agama Islam kepada Syaikh Hasanuddin bin
Yusuf Shiddiq berarti sesungguhnya dia tidak belajar kepada orang
lain, tetapi kepada kerabatnya sendiri. Benarkah demikian?” “
706
Memang, jika ditelusuri seperti itu ceritanya. Tetapi, aku
mengetahui hal itu justru setelah diberi tahu oleh ayahandaku dan
aku sahihkan cerita itu kepada Syaikh Datuk Kahfi.”

Abdul Jalil termangu-mangu mendengar semua uraian Sri


Mangana. Ia merasa betapa sesungguhnya dunia ini sangat sempit
hingga ke mana ia berada seolah-olah dipertemukan dengan
orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan dengannya.
Kesebatangkaraan yang pernah ia rasakan selama tahun-tahun
pengembaraannya ternyata menjadi bukti bahwa sesungguhnya
tidak ada manusia yang sebatangkara di dunia ini.
Kesebatangkaraan, nyatanya, hanya ada akibat ketidaktahuan
seseorang akan keberadaan jati dirinya sebagai bagian dari
keturunan Adam a.s.. Hal itu juga terjadi akibat enggan
bersilaturahmi, sempit wawasan, membanggakan warna tetesan
darah, dan kekerdilan jiwa.

Caruban Larang, tanah samiddha, tanah khusus milik Sang Bhumi,


ternyata adalah tanah yang memiliki sifat terbuka seperti sifat bumi
yang membiarkan dirinya dihuni berbagai makhluk yang kasatmata
maupun yang tidak kasatmata. Dengan kekhusussannya sebagai
wilayah Sang Bhumi, Caruban Larang tidaklah menjadi tanah
terbuka yang membiarkan berbagai ragam bangsa tinggal di situ;
Sunda, Jawa, Cina, Campa, Melayu, Arab, India, Persia, dan Pegu
berbaur menjadi satu. Sehingga, samiddha Caruban yang semula
dimaksudkan sebagai tanah khusus milik Sang Bhumi berupa
hutan larangan yang hasil kayunya hanya untuk sarana
persembahan kepada dewa-dewa dan arwah leluhur, justru
707
menjadi tanah yang terbuka untuk hunian segala bangsa. Dan
lantaran itu, Caruban oleh penduduk setempat sering dimaknai
sebagai Carub, yakni campuran berbagai macam bangsa.

Kenyataan terkait dengan keberadaan tanah samiddha Caruban


yang tertutup tetapi sekaligus terbuka itu setidaknya telah menjadi
salah satu sumber bagi lahirnya sejumlah pandangan, gagasan,
wacana, dan wawasan Abdul Jalil dalam memaknai citra baru
kehidupan manusia yang ingin diwujudkannya di tengah kebekuan
dan kemandekan zaman. Bertolak dari samiddha Caruban, Abdul
Jalil mengangankan lahirnya komunitas baru yang terbuka, tetapi
sekaligus berpribagi kuat. Hanya masyarakat yang terbuka dan
berkepribadian kuatlah yang akan dapat bertahan menghadapi
perubahan sejarah yang sering kali sangat kejam dan keras.

Keberadaan tanah samiddha Caruban akhirnya menggugah


kesadaran Abdul Jalil untuk menanyakan status tanah itu kepada
Sri Mangana. “Seingat ananda, setelah peristiwa kekisruhan di
Pakuwuan Caruban sepeninggal Ayahanda Ki Danusela,
Pamanda Raden Kusen telah menyatakan bahwa Pakuwuan
Caruban tidak lagi berada di bawah kekuasaan Maharaja Sunda,
tetapi di bawah Demak. Apakah hal itu tidak menyalahi ketentuan
Caruban sebagai samiddha? Apakah hal itu tidak menimbulkan
masalah dengan orang-orang Sunda?” “

Tentu saja keputusan sepihak Raden Kusen itu menimbulkan


kemarahan semua orang Sunda dan hampir saja terjadi perang
708
besar. Bahkan lantaran itu, aku pun akhirnya membuka
penyamaranku yang sudah kulakukan bertahun-tahun. Selam ini
pihak Kerajaan Sunda hanya mengenalku sebagai Ki Samadullah,
Kuwu yang menggantikan Ki Danusela atas perkenan Raden
Kusen, adik Adipati Demak. Saat suasana meruncing aku pun
akhirnya mengaku jika sesungguhnya pengganti Ki Danusela
bukanlah orang lain, melainkan Pangeran Walangsungsang,
putera Raden Pamanah Rasa, cucu Prabu Dewa Niskala. Itu
berarti, Kuwu Caruban yang baru adalah putera Maharaja Sunda
karena Raden Pamanah Rasa setelah dilantik menjadi Maharaja
Sunda berganti nama menjadi Abhiseka Prabu Guru Dewata Prana
Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu
Dewata.” “

Setelah utusan dari Pakuan Pajajaran yakin bahwa aku memang


cucu Prabu Dewa Niskala, yang berarti pula putera Prabu Guru
Dewataprana Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran,
maka bergembiralah ayahandaku karena puteranya yang hilang
telah ditemukan kembali. Lalu diputuskanlah oleh ayahandaku
untuk menyelesaikan perkara samiddha melalui jalan damai
perundingan. Demikianlah, setelah melalui beberapa kali
pertemuan akhirnya kedua belah pihak yang berselisih mencapai
kesepakatan, yaitu menunjuk Ario Abdullah Yang Dipertuan
Palembang sebagai penengah. Namun, saat utusan dari Pakuan
Pajajaran sampai ke Palembang, Yang Mulia Ario Abdillah ternyata
sudah meninggal dan kedudukannya digantikan oleh Pangeran
Surodirejo, putera Raden Kusen yang masih belum dewasa yang
bergelar Adipati Widarakandang. Pangeran Surodirejo yang masih
didampingi beberapa orang walinya itu akhirnya menunjuk Tuan
709
Milinadi untuk mewakili Palembang dalam menengahi masalah
perebutan samiddha Caruban.” “

Tuan Milinadi adalah saudagar Palembang yang memiliki


hubungan dekat baik dengan Maharaja Sunda maupun dengan
Adipati Demak. Di samping itu, Tuan Milinadi yang sudah sangat
tua itu dikenal dekat dengan Yang Mulia Ario Abdillah dan
mengetahui seluk-beluk keluarga serta kerabat Yang Dipertuan
Palembang itu. Akhirnya, dengan penengah Tuan Milinadi, diambil
kata sepakat oleh kedua pihak untuk mengembalikan Caruban
Larang sebagai samiddha milik Sang Bhumi.” “

Maksudnya, baik pihak Demak maupun pihak Sunda tidak berhak


mengakui Caruban Larang sebagai wilayahnya. Caruban Larang
dianggap sebagai tanah khusus milik leluhur. Di dalam
kesepakatan itu kedua belah pihak juga setuju untuk mengangkat
aku sebagai penguasa samiddha Caruban, menggantikan Ki
Danusela. Bahkan, sebagai pemangku Khabumian aku diberi
jabatan yang lebih tinggi, yaitu dari jabatan pangraksabhumi
(Penjaga Kabhumian) menjadi chakrabhumi (Penguasa
Kabhumian).” “

Sesungguhnya, di balik pengangkatanku sebagai chakrabhumi


terdapat kesepakatan antara pihak Demak dan Kerajaan Sunda
unguk menampik kekuasaan Maharaja Majapahit Bhre Kretabhumi
atas samiddha Caruban. Itu berarti, pengakuan Bhre Kretabhumi
atas seluruh wilayah samiddha Caruban tidak lagi diakui. Dan, itu
710
juga berarti dengan pengangkatanku sebagai chakrabhumi, baik
pihak Kadipaten Demak maupun Kerajaan Sunda merasa
diuntungkan. Sebab, aku adalah putera Maharaja Sunda sekaligus
mewakili orang-orang di Bumi Pasundan.” “

Bagaimana mungkin kedua belah pihak bisa sepakat menunjuk


Yang Mulia Ario Abdillah sebagai penengah? Bukankah itu
sesungguhnya akan merugikan pihak Sunda karena Yang Mulia
Ario Damar sangat mungkin memihak puteranya, yaitu Yang
Dipertuan Demak?” Abdul Jalil minta penegasan. “

Aku sendiri semula tidak paham tentang hal itu,” sahut Sri
Mangana, “tetapi akhirnya ayahandaku menjelaskan bahwa Yang
Mulia Ario Abdillah sesungguhnya seorang putera raja berdarah
Majapahit-Sunda.” “

Yang Mulia Ario Abdillah berdarah campuran Majapahit-Sunda?”


Abdul Jalil heran. “

Ya. Sebab, kakek beliau yang bernama Kaki Palupa adalah kepala
prajurit pembawa gada (rakryan atandha ing palu-palu) Kerajaan
Sunda. Kaki Palupa termasuk salah satu pengikut setia kakek
buyutku, Prabu Linggabhuwana Wisesa Sri Maharaja Sunda Sang
Mokteng Bubat, yang berhasil lolos dari malapetaka di Bubat.
Beliau bisa lolos dari maut karena memiliki ilmu sakti seratus ribu
hulubalang. Kaki Palupa kemudian menjadi pendeta Bhairawa (Pu
711
Palyat) di hutan Wanasalam yang terletak di sebelah selatan ibu
kota Majapahit.” “

Menurut cerita, Kaki Palupa menikah dengan Nini Palupuy, puteri


perwira Sunda (rakryan bhatamantri) Soang Sasaka, yang gugur
dalam peristiwa Bubat. Dari pernikahan itu lahirlah dua orang anak,
yaitu seorang putera dan puteri. Yang pertama bernama Ki
Wanasalam, patih di Kadipaten Demak. Yang kedua, Nyi Endang
Sasmitapura, yang dinikahi Prabu Kertawijaya dan kemudian
melahirkan Yang Mulia Ario Abdillah.” “

Kaki Palupa kemudian menikah lagi dengan Nyai Kundisari, adik


seorang pendeta Bhairawa bernama Rishi Suryya Wisesa, yang
bertapa di Gunung Dieng. Hasil pernikahan Kaki Palupa dan Nyai
Kundisari melahirkan Ki Danusetra yang diasuh oleh uwaknya di
Gunung Dieng. Nah, dengan mengetahui adanya ikatan darah
Majapahit-Sunda di dalam tubuh keturunan Kaki Palupa maka
tidak salah jika pihak Sunda kemudian memilih Yang Mulia Ario
Abdillah sebagai penengah dalam masalah perebutan samiddha
Caruban Larang. Dan, Tuan Milinadi, sahabat Yang Mulia Ario
Abdillah, mengetahui juga hal ikatan darah tersebut, termasuk
keberadaan samiddha Caruban Larang sebagai wilayah khusus
milik Sang Bhumi.” “

Saya paham sekarang, Ramanda Ratu,” Abdul Jalil manggut-


manggut. “Sekarang saya bisa memahami kenapa orang-orang
Pakuan Pajajaran sangat marah kepada Pamanda Rsi Bungsu
712
yang merusak Padepokan Giri Amparan Jati. Kemarahan mereka
pastilah bukan karena Pamanda Rsi Bungsu mendalangi
pembakaran padepokan, melainkan karena padepokan yang
dirusak itu berada di samiddha Caruban yang mereka sucikan.” “

Benarlah apa yang engkau katakan itu, o Puteraku. Karena itu, aku
berharap engkau mengikuti jejak Guru Agung Syaik Datuk Kahfi.
Maksudku, meski niat utama beliau membangun padepokan di
tanah larangan ini adalah semata-mata untuk mengembangkan
dakwa Islam, beliau tetap menghormati kepercayaan orang-orang
setempat. Beliau memahami bahwa sesungguhnya Padepokan
Giri Amparan Jati yang terletak di samiddha Caruban tidak hanya
dianggap sebagai milik orang-orang muslim, tetapi juga dianggap
sebagai milik semua orang Sunda dan Jawa, tidak peduli apakah
dia Muslim, Hindu atau Budha,” ujar Sri Mangana.

Ibarat panglima perang yang wajib mengetahui keadaan medan


tempur sebelum peperangan dimulai, dengan didampingi Sri
Mangana, Abdul Jalil berkeliling ke seluruh sudut Kutha Caruban
untuk mengetahui keadaan yang sesungguhnya. Sebelum
mengetahui dan memahami kehidupan manusia yang tinggal di
permukaan bumi Caruban Larang, ia ingin mengetahui secara
lebih mendalam tentang nama-nama tempat di daerah itu.

Abdul Jalil sadar betapa di balik nama-nama tempat yang ada di


permukaan bumi, sesungguhnya tersembunyi makna sejarah yang
dalam dari kehidupan manusia masa silam yang terkait dengan
713
kehidupan masa kini dan mendatang. Ia sadar bahwa kehidupan
manusia pada hakikatnya adalah rangkaian sejarah yang
sambung-menyambung ibarat untaian perhiasan kalung mutiara.
Lantaran itu, ia tidak ingin menuangkan gagasan dan impiannya
membangun sejarah kehidupan baru dengan membinasakan
seluruh sisa kehidupan lama yang bisa dimanfaatkan sebagai akar
penguat.

Kutha Caruban yang disaksikan Abdul Jalil dalam perjalanan


kelilingnya memang sudah jauh berbeda dengan saat ia tinggalkan
belasan tahun silam. Dermaga pelabuhan yang terletak di Muara
Jati telah dibangun lebih besar dan lebih kukuh. Dermaga baru itu
tiap hari ramai disandari kapal-kapal besar. Setiap hari terlihat
iring-iringan gerobak, kuda, pedati, dan kuli angkut bergerak hilir-
mudik dari pelabuhan ke arah Kutha Caruban.

Bangsal Pakuwuan yang kecil sudah berubah menjadi Bangsal


Kaprabon yang dibangun dari kayu jati berukir dengan atap
bertingkat tiga. Jika dilihat dari jalan atau pantai, Bangsal Kaprabon
tampak sangat kokoh dan megah seolah-olah tidak kalah dengan
Bangsal Manguntur milik Maharaja Sunda di Kutharaja Pakuan
Pajajaran. Di depan Bangsal Kaprabon terhampar alun-alun yang
luas. Di antara alun-alun dan Bangsal Kaprabon terdapat Siti
Hinggil (Lemah Wungkuk). Di sebelah utara alun-alun berdiri Tajug
Agung (masjid agung) Caruban. Di sebelah barat alun-alun
terdapat pasar. Di sebelah timur alun-alun berdiri bangunan
Kadhyaksan, tempat para pejabat kehakiman (adhiyaksa) bekerja.

714
Di bagian belakang Bangsal Kaprabon, yang dibatasi dinding
tinggi, adalah wilayah puri kediaman pribadi raja. Di dalamnya
terdapat Bale Rangkang, Parapuri, Purasabha, Kaputrian, dan
Kebon Raja. Agak jauh ke arah selatan tetapi masih di dalam
dinding baluwarti (benteng) terdapat kawasan hunian pejabat
khusus pembantu raja, yakni para pakring (mangilala drwya haji).
Kawasan hunian pejabat pangkring itu disebut Pakringan.

Di sebelah barat Pakringan, masih di dalam dinding baluwarti,


terdapat sebuah wilayah suci yang disebut Pakalangan, yakni
tempat batu suci (sang hyang susuk) kerajaan ditempatkan di
sebuah lingkaran keramat. Lingkaran itu dianggap keramat dan
suci karena untuk upacara pancamakara atau yang lazim disebut
Ma-lima, yakni upacara Bhairawa-Tantra. Para pejabat pakring
memiliki tugas utama menjaga dan memelihara kawasan
Pakalangan yang keramat tersebut.

Kebon Raja adalah tamansari yang luas dan indah, di dalamnya


terdapat taman air yang sangat indah ditumbuhi bunga teratai. Di
Kebon Raja itulah para puteri dan keluarga raja yang lain
bercengkrama dan bersukacita. Tak jauh di sebelah timur Bangsal
Kaprabon, di luar dinding baluwarti terdapat Pagajahan, yakni
tempat orang menambatkan gajah milik raja. Di selatan Pagajahan
terdapat sebuah bangunan besar dengan menara pengawas yang
disebut Jagasatru, yakni satuan penjaga yang bertugas menangkis
kekuatan pihak musuh (apinggel kana langsaran kalih kalawan
jagasatru). Tugas utama satuan Jagasatru ini selain menjaga

715
Lawang Gede (gapura agung) juga memeriksa orang-orang yang
akan menghadap raja.

Di luar dinding baluwarti, di selatan Pagajahan terdapat deretan


bangunan bale-bale tempat menginap para utusan dari wilayah
taklukan (sekawat bhumi) yang disebut Pakawatan. Setiap tahun
sekali para utusan dari daerah taklukan (kawat) itu menghadap raja
dengan membawa upeti (bulu bekti). Baik para kawat maupun
mereka yang ingin menghadap raja hendaknya memiliki hati yang
bersih. Itu sebabnya, mereka biasanya menginap dulu di beberapa
bale-bale yang disebut suci manah (suci hati dan pikiran).

Bagian kutha yang paling ramai adalah kawasan jalan yang


membentang antara Katandhan hingga Pasukatan. Sebab, di
Katandhan terletak kantor panca tandha (pejabat-pejabat
pengawas pabean) dan di Pasukatan terletak kantor juru sukat
(pengawas ukuran timbangan dan penarik retribusi). Setiap hari,
dari pagi hingga sore, berbagai jenis angkutan mulai gerobak
sampai pedati melintasi kawasan ini. Di Katandhan inilah para
saudagar membayar pungutan pajak dan cukai atas barang-
barang yang diangkut dari Kutha Caruban maupun yang
diturunkan ke Kutha Caruban.

Semua barang yang diturunkan maupun diangkut dari Kutha


Caruban akan diawasi ukuran penimbangannya dan kemudian
dipungut biaya retribusi sesuai berat dan banyaknya. Berbagai
jenis barang dagangan dari Caruban yang sangat laris dibeli orang
716
adalah alat-alat dari tembaga yang dibuat di Pasayangan (Jawa
Kuno: tempat pande tembaga). Selain itu, barang dagangan yang
juga laris dibeli orang dari Caruban adalah peralatan gerabah,
seperti periuk, belanga, tempayan, gentong, dan guci yang dibuat
di Pandyunan (Jawa Kuno: tempat pembuat dyun, gerabah).

Di antara sejumlah tempat yang dikunjungi Abdul Jalil dan Sri


Mangana di Kutha Caruban, yang paling mengesankan adalah
tempat yang disebut Kabumen (Kabhumian), kediaman Sang
Bhumi, yang ditandai oleh tanah lapang dengan sebuah gundukan
tanah di tengah dan tumpukan batu-batu persegi ukuran besar dan
sebuah yoni kuno terletak di atasnya. Sri Mangana menjelaskan
bahwa di situlah sesungguhnya pusat samiddha Caruban karena
yang disebut Kabhumian adalah Kerajaan Leluhur (Medang
Kamulan) raja-raja Sunda.

Menurut Sri Mangana, sejak zaman lampau para penguasa


samiddha Caruban selalu menduduki jabatan rangkap. Pertama,
jabatan penguasa wilayah samiddha Caruban yang menyandang
gelar ratu, bhre, prabu anom, sri, adipati, kuwu. Kedua, jabatan
pemangku Kabhumian yang mempunyai tugas khusus memelihara
kediaman dhatu leluhur (Sang hyang Dharma Kamulan), yaitu
Sang Bhumi beserta upacara-upacara pemujaannya. Jabatan
pemangku itu disebut mangkubhumi, pangraksabhumi,
chakrabhumi.

717
Pada saat Prabu Niskala Wastu Kancana berkuasa, ungkap Sri
Mangana, yang ditunjuk sebagai penguasa samiddha Caruban
adalah cucunya, Dyah Surawijaya Bhre Singhapura, yaitu
keturunan yang diperoleh dari hasil pernikahan puterinya, Tohaan
di Galuh, dengan Prabu Kertawijaya Maharaja Majapahit.
Sedangkan yang ditunjuk sebagai mangkubhumi, pemangku
Kabhumian, adalah Ratu Kasmaya, putera Prabu Garbha Menak,
cucu Prabu Niskala Wastu Kancana. Ratu Kasmaya menikah
dengan sepupunya, kakak Dyah Surawijaya yang bernama Dyah
Suragharini Bhre Singhapura.

Pengangkatan Dyah Surawijaya sebagai penguasa samiddha


Caruban sesungguhnya bertentangan dengan adat kebiasaan
yang berlaku di Caruban Larang, yaitu kepewarisan berdasarkan
garis ibu. Seharusnya yang menjadi penguasa samiddha adalah
Dyah Suragharini. Itu sebabnya, Dyah Surawijaya tidak lama
memerintah. Dia meninggal tanpa keturunan. Kemudian
mangkubhumi Singhapura, Ratu Kasmaya, naik jabatan menjadi
penguasa samiddha Caruban. Putera Ratu Kasmaya yang
bernama Ki Gedeng Tapa menggantikan kedudukannya, yaitu
menjadi mangkubhumi Singhapura.

Ketika Ratu Kasmaya uzur, jabatan penguasa samiddha


diserahkan kepada Ki Gedeng Tapa menjadi penguasa samiddha,
jabatan mangkubhumi diberikan kepada Ki Danusela, adik Ki
Danuwarsih, putera Ki Danusetra. Jabatan itu jatuh ke tangan Ki
Danusela karena pernikahannya dengan Ratu Arumsari, puteri
Dyah Suragharini, yakni adik lain ibu Ki Gedeng Tapa.
718
Ki Gedeng Tapa sendiri menjabat kedudukan Raja Singhapura
hanya beberapa tahun, menunggu Ratu Arumsari dewasa. Setelah
Ratu Arumsari dewasa dan menikah dengan Ki Danusela maka
jabatan itu diserahkan kepada suaminya. Demikianlah, Ki
Danusela kemudian menduduki jabatan rangkap, yakni sebagai
penguasa samiddha, jabatan kuwu (jabatan di bawah akuwu),
sekaligus jabatan pemangku Kabhumian.

Turunnya jabatan Ki Danusela dari bhre (raja) menjadi kuwu


disebabkan oleh kenyaaan bahwa ia sesungguhnya hanya putera
menantu dari keturunan Majapahit dan tidak termasuk keluarga
raja. Itu sebabnya, Ki Danusela akhirnya hanya bergelar Kuwu
sekaligus pangraksabhumi. Tetapi, belakangan jabatan
pangraksabhumi diserahkan kepada Raden Walangsungsang,
cucu Ki Gedeng Tapa. Setelah Ki Danusela meninggal, Raden
Walangsungsang merangkap kedua jabatan itu lagi, yakni sebagai
Kuwu samiddha Caruban sekaligus pemangku Kabhumian, tempat
suci kediaman Sang Bhumi. Bahkan, saat jabatannya dinaikkan
dari kuwu menjadi raja muda (prabu anom), jabatan
pangraksabhumi pun dinaikkan menjadi chakrabhumi.

Sesungguhnya, yang disebut Sang Bhumi, pemilik wilayah suci


Kabhumian, adalah leluhur raja-raja Sunda dan raja-raja Jawa. Itu
sebabnya, sejak zaman purba wilayah samiddha ini disebut
dengan berbagai nama seperti Kretabhumi (ditegakkan di bawah
lindungan Sang Bhumi), Carubana (hutan untuk persembahan),
Ceribon (Sunda Kuno: cereibu-an: wilayah warisan ibu), atau
Puser Bhumi (pusat wilayah Sang Bhumi). Semua sebutan itu
719
menunjuk makna bahwa wilayah ini bukanlah milik manusia.
Adapun leluhur yang didharmakan di Kabhumian adalah seorang
ratu puteri bernama Ratu Purbasari yang masyhur dengan nama
Ratu Stri Bhattari Prthiwi.

Ratu Stri Bhattari Prthiwi adalah leluhur raja-raja Sunda. Ia puteri


bungsu Prabu Dharmasatyadewa (Prabu Siung Wanara) Maharaja
Pasir Batang (Kerajaan Galuh Negara Tengah) yang beribu kota di
Bojong. Ibunda Ratu Stri Bhattari Prthiwi adalah permaisuri sang
maharaja, yaitu Ratu Niti-Iswari. Meskipun ia merupakan puteri
bungsu dari tujuh bersaudara, karena kecerdasan, kebijaksanaan,
kesetiaan, dan kepeduliannya terhadap para kawula sangat tinggi
maka ia ditunjuk ayahandanya untuk menggantikan kedudukan
sebagai raja.

Ketika Prabu Dharmasatyadewa mangkat, takhta Kerajaan Pasir


Batang justru diduduki oleh kakaknya tertua, Ratu Purba Larang.
Dengan naik takhtanya Ratu Purba Larang maka terjadilah
perselisihan dengan Ratu Purbasari yang berusaha merebut
kembali takhta Pasir Batang yang menjadi haknya. Dalam
perjuangan melawan saudari tuanya itu, Ratu Purbasari didukung
oleh suaminya Sri Maharaja Jayabhupati Wisynumurti
Samarawijaya Harogawarddhana Wikramotunggadewa Maharaja
Sunda. Sebagai permaisuri Maharaja Sunda, Ratu Purbasari
dianugerahi gelar Ratu Stri Bhattari Prthiwi.

720
Sri Maharaja Jayabhupati sendiri sesungguhnya masih kerabat
Ratu Stri Bhattari Prthiwi, yaitu keturunan Wangsa Sanjaya dari
galur Rahyang Tamperan. Menurut silsilah, baik Ratu Stri Bhattari
Prthiwi maupun Sri Maharaja Jayabhupati adalah keturunan kedua
belas Rahyang Tamperan dari galur Maharaja Mataram Raka i
Watukara Dyah Balitung Sri Dharmodaya Mahasambhu.

Leluhur keduanya terpisah pada leluhur yang bernama Raka i


Layang Dyah Tulodong Sri Sajjanasatmata Nuragatunggadewa
yang memiliki dua orang adik lain ibu, yaitu Raka i Hino Pu
Kethudara dan Raka i Sirikan Pu Samarawikranta. Baik Dyah
Tulodong maupun Pu Kethudara dan Pu Samarawikranta adalah
cucu Maharaja Mataram Dyah Balitung Sri Dharmodaya
Mahasambhu karena mereka bertiga adalah putera Sri
Daksottama Bahubajra Pratipaksayaksaya.

Ketika Sri Daksottama Bahubajra Pratipaksayaksaya mangkat,


yang menggantikan takhtanya adalah Raka i Layang Dyah
Tulodong dengan gelar Sri Sajjanasatmata Nuragatunggadewa.
Adiknya, Pu Kethudara, diangkat menjadi mahapatih. Sedangkan
adiknya yang lain, Pu Samarawikranta, diangkat menjadi raja
muda di Galuh Lalean yang beribu kota di Adi Mulya dengan gelar
Prabu Hari Murti. Demikianlah, Dyah Tulodong merupakan leluhur
Sri Maharaja Jayabhupati. Sementara itu, Prabu Hari Murti adalah
leluhur Ratu Purbasari.

721
Ketika terjadi kemelut dalam pemerintahan Dyah Wawa Sri
Wijayaloka, pengganti Tulodong, kekuasaan terpecah menjadi
dua. Pertama, menantu Dyah Wawa yang bernama Raka i Hino Pu
Sindok Sri Isanatunggawijaya membangun kekuasaan di wilayah
timur dengan kedaton di Watu Galuh. Kedua, Prabu Arya Galuh
putera Prabu Hari Murti tetap berkuasa di Adi Mulya.

Ketika cucu Prabu Arya Galuh yang bernama Prabu


Dharmasatyadewa naik takhta, Kerajaan Galuh Lalean bergeser
ke arah barat. Nama Galuh Lalean diganti menjadi Pasir Batang
(Galuh Nagara Tengah) dan ibu kotanya dipindahkan dari Adi
Mulya ke Bojong.

Sementara itu, di antara keturunan Pu Sindok lahirlah Sri


Jayabhupati, putera Sri Makutawangsawarddhana. Sri
Jayabhupati membangun kekuasaan di Bumi Pasundan segera
setelah kekuasaan saudaranya, Sri Dharmawangsa Tguh, di
Wwotan Mas dihancurkan oleh Aji Wurawari dari Lwwaram. Ibu Sri
Jayabhupati adalah puteri Sunda yang dikenal dengan nama Sri
Kahulunan, cucu Raka i Sirikan Pu Samarawikranta, penguasa
Palutungan.

Menurut cerita, Palutungan adalah milik Ratu Pastika, puteri Pu


Catura dan saudari Pu Munggu, yang dijadikan permaisuri oleh
Maharaja Mataram Raka i Kayuwangi Sri Sajjanotsawatungga.
Dengan demikian, ibunda Sri Jayabhupati merupakan keturunan
kelima Ratu Pastika. Karena merasa sebagai keturunan Ratu
722
Pastika Kahulunan dan putera Sri Kahulunan maka ia merasa
berhak atas Palutungan sehingga ia kemudian membangun
kekuasaan di situ.

Sri Jayabhupati dikenal sebagai raja yang adil dan bijaksana serta
sangat memperhatikan kehidupan kawulanya. Anehnya, diam-
diam orang menjulukinya dengan sebutan bernada merendahkan,
yaitu Prabu Lutung Kasarung (Sunda: penguasa Sungai Cilutung
yang sesat jalan). Sri Jayabhupati disebut raja sesat jalan karena
dia telah murtad dari agama yang dianut ayahanda dan ibunda
serta leluhurnya. Seluruh kawula Kerajaan Palutungan dan semua
leluhur Sri Maharaja Jayabhupati adalah pemuja Wisynu,
sementara Sri Jayabhupati justru menjadi pemuja Syiwa
Mahaguru. Dan lantaran itu, selain disebut dengan nama Prabu
Lutung Kasarung, ia juga disebut Guru Minda yang bermakna
“yang berpindah (memuja) Sang Syiwa Mahaguru.”

Sri Jayabhupati sangat berhasrat memperluas wilayah


kekuasaannya. Itu sebabnya, ia kemudian memindahkan
kedatonnya dari kaki Gunung Chakrabhuwana di hulu Sungai
Cilutung ke arah wilayah dekat muara. Ia kemudian membangun
angkatan perang yang kuat dan menggunakan nama Abhiseka
Wisynumurti Samarawijaya (Dewa Wisynu penguasa muara yang
penuh kemenangan) dan menamai kerajaannya yang baru dengan
Singhapura (kerajaan Sang Narasingha, jelmaan Wisynu).
Anehnya, meski ia menggunakan lambang-lambang Waisnawa,
prasasti-prasasti yang dikeluarkannya selalu memuji-muji Agastya,
Sang Kumbhayoni, yaitu Syiwa Mahaguru.
723
Sri Maharaja Jayabhupati berhasil memperluas wilayah
kekuasaannya hingga ke barat, ke bekas Kerajaan Tarumanagara
dan Kerajaan Aruteun. Bahkan, Kerajaan Pasir Batang pun
berhasil dijadikan sebagai wilayah taklukan (sakawat bhumi).
Dengan keberhasilan menaklukkan Pasir Batang atau Galuh
Nagara Tengah maka kerajaannya kemudian dinamakan Galuh
Singhapura dan Sri Jayabhupati kemudian menggunakan gelar
Maharaja.

Pasangan Sri Maharaja Jayabhupati dan permaisuri Ratu Stri


Bhattari Prthiwi berkuasa sangat lama. Mereka dikenal sebagai
pasangan maharaja dan maharani yang adil, bijaksana, dan
dicintai seluruh kawulanya. Dari perkawinan mereka lahirlah empat
putera, yaitu Sang Lingga Hyang, Dewi Purnawati, Dewi Surabhi,
dan Sang Surendra. Sementara itu, Sri Maharaja Jayabhupati
memiliki dua orang selir, yaitu Ratu Wulansari dan Ratu Sudhiwati.
Ratu Wulansari adalah puteri Sri Prabu Dharmawangsa Tguh,
Maharaja Kahuripan. Dari Ratu Wulansari lahirlah empat orang
putera, yaitu Sang Dharmaraja, Sang Suryyanagara, Dewi
Nirmala, dan Dewi Sughara. Sedangkan dari Ratu Sudhiwati lahir
dua putera, yaitu Sang Wirakusuma dan Sang Wikramajaya.

Karena Ratu Stri Bhattari Prthiwi adalah permaisuri dan sekaligus


puteri mahkota Maharaja Pasir Batang maka yang ditetapkan
sebagai putera mahkota Galuh Singhapura adalah Sang Lingga
Hyang, putera sulungnya. Namun saat Ratu Stri Bhattari Prthiwi
dan Sri Maharaja Jayabhupati mangkat, terjadi perebutan
kekuasaan. Sang Dharmaraja, putera Sri Maharaja Jayabhupati
724
dari Dewi Wulansari menuntut bagian haknya atas takhta Galuh
Singhapura.

Khawatir bakal pecah perselisihan yang menumpahkan darah


maka atas kesepakatan para sesepuh kerajaan dibagilah kerajaan
menjadi dua yaitu, Kerajaan Galuh dan Kerajaan Singhapura.
Disepakati pula bahwa pembatas kedua wilayah kerajaan adalah
gunung tempat Sri Jayabhupati didharmakan. Kerajaan yang
wilayahnya terletak di sebelah utara gunung disebut Singhapura
yang beribu kota di Purwawinangun dengan raja Sri Prabu Bhattara
Hyang Purnawijaya. Sedangkan kerajaan yang wilayahnya berada
di sebelah selatan gunung disebut Galuh dan beribu kota di
Dharmaraja dengan raja Sri Prabu Dharmaraja. Agar batas-batas
wilayah kedua kerajaan mudah diingat oleh masing-masing pihak
maka wilayah Kerajaan Singhapura disebut dengan nama Bumi
Ceribon (bahasa Sunda Kuno: cere-ibu-an: wilayah warisan ibu)
yang bermakna wilayah kerajaan warisan sang ibu yang
membentang dari wilayah Singhapura hingga Pasir Batang (Galuh
Negara Tengah). Sementara itu, gunung pembatas wilayah Bumi
Ceribon disebut Gunung Ceremai (bahasa Sunda Kuno: cere-ama-
i: wilayah warisan bapak) yang bermakna gunung pembatas
wilayah kerajaan warisan sang bapak yang membentang di seluruh
daerah pedalaman.

Sang Lingga Hyang yang naik takhta Singhapura dengan nama


Abhiseka Sri Prabu Bhattara Hyang Purnawijaya itu beroleh
warisan dari ibundanya. Sejak itu dibuatlah peraturan bahwa
pewaris yang berhak atas Kerajaan Singhapura adalah keturunan
725
Ratu Stri Bhattari Prthiwi dengan Sri Maharaja Jayabhupati
Wisynumurti Samarawijaya.

Untuk menandai keabsahan kekuasaannya sebagai Raja


Singhapura maka Sri Prabu Bhattara Hyang Purnawijaya
menjadikan pendharmaan Bhattari Prthiwi sebagai Kerajaan
Leluhur (Medang Kamulan), yakni tempat kerajaan suci arwah
Sang (ibu) Prthiwi. Bertolak dari nama Sang (ibu) Prthiwi itulah
kemudian lahir sebutan Sang Bhumi (Sansekerta: Prthiwi: bumi,
dunia, tanah). Tempat pendharmaan itu kemudian disebut dengan
nama Kabhumian (wilayah khusus milik Sang Bhumi).

Di sebelah selatan Kerajaan Leluhur Kabhumian Sri Prabu


Bhattara Hyang Purnawijaya membangun tempat khusus untuk
kediaman para kubja (Sansekerta: orang bungkuk), yang menurut
peraturan di kerajaan-kerajaan lama bertugas menjadi pengiring
puteri. Tak jauh dari kediaman para kubja terdapat gundukan bukit
kecil yang dijadikan Ksiti Inggil (tanah atau bumi mulia) yang
disebut Lemah Wungkuk, yakni tempat Watu Gilang untuk
menobatkan raja-raja keturunan Ratu Stri Bhattari Prthiwi. Orang-
orang percaya bahwa pada saat penobatan raja, Sang Bhumi akan
datang memberkati sang raja dengan diiringi para kubja. Bahkan,
saat Sri Prabu Bhattara Hyang Purnawijaya melakukan ziarah
(siddhayatra) ke Kabhumian selalu disambut dan diiringi oleh para
kubja yang diyakini mengiring arwah ibundanya, Bhattari Prthiwi
Sang (ibu) Bhumi.

726
Sementara itu, tempat pendharmaan Sri Maharaja Jayabhupati di
lereng Gunung Ceremai dijadikan Kerajaan Leluhur oleh Raja
Galuh Sri Prabu Dharmaraja. Ia dipuja sebagai Syiwa Mahaguru
Sang Girinatha. Pendharmaan Sri Maharaja Jayabhupati yang
disucikan dan dijadikan Kerajaan Leluhur itu disebut
Linggasasana.

Menurut catatan sejarah, sesungguhnya pembagian kerajaan


berdasarkan pewarisan garis keturunan ibu dan bapak yang terjadi
di antara kerutunan Ratu Stri Bhattari Prthiwi dengan Sri Maharaja
Jayabhupati itu bukanlah yang pertama kali terjadi. Pada masa
akhir pemerintahan Prabu Stri Bhattari Parwati, terjadi juga
perselisihan perebutan takhta berdasarkan hak kepewarisan garis
bapak dan ibu. Prabu Stri Bhattari Parwati Tunggal Prthiwi, yang
saat muda bernama Ratu Juwa, adalah puteri Kartikeyasingha
Sang Nrpati Dewasimha dengan Sri Maharani Simha, Maharaja
Kalingga.

Prabu Stri Bhattari Parwati Tunggal Prthiwi adalah Raja Madang


Mataram yang beribu kota di Pragawatipura, yakni di sekitar
tempuran Sungai Praga dan Sungai Helo. Menurut cerita, Prabu
Stri Bhattari Parwati Tunggal Prtiwi menikah dengan Prabu
Purbasora, sepupunya, dan memiliki dua keturunan, yaitu Sang
Sannaha dan Rakryan Narayana.

Prabu Stri Bhattari Parwati Tunggal Prthiwi yang diam-diam tertarik


dengan ajaran Shakta Bhairawa sering berhubungan dengan Raja
727
Galuh, Prabu Kalakutha Sang Racun Agung (Sang Mandi Minyak),
yang menjadi penganut Bhairawa-Tantra. Dari pelbagai upacara
pancamakara, Ma-lima, akhirnya mengakibatkan lahirnya anak
Sang Mandi Minyak, yaitu Sang Sanna.

Semula Sang Mandi Minyak enggan mengakui Sanna sebagai


anak. Itu sebabnya, Sang Sanna dibuang dan dibesarkan di “tegal
ksetra”. Akhirnya, Sang Mandi Minyak mengakui Sang Sanna
sebagai anak setelah melihat tanda-tanda menakjubkan dari anak
tersebut. Setelah Sang Sanna dewasa, ia dinikahkan dengan
saudarinya, Sang Sannaha. Lantaran riwayat Sang Sanna sejak
lahir hingga menikah dianggap keliru maka ia kerap disebut orang
dengan nama lain “Salah”.

Ketika Prabu Stri Bhattari Parwati Tunggal Prthiwi mangkat, dia


didharmakan di daerah barat ibu kota Pragawatipura, tepatnya di
tepi timur Sungai Wluku-loh (Jawa Kuno: sungai bajak, subur).
Pendharmaan itu disucikan sebagai Kerajaan Leluhur oleh para
keturunannya. Bertolak dari nama Parwati Tunggal Prthiwi itulah
pendharmaan itu kemudian disebut Kabhumian (Sansekerta:
Prthiwi: bumi, dunia, tanah) yang bermakna wilayah khusus Sang
Bhumi.

Kabhumian tempat Stri Bhattari Parwati Tunggal Prthiwi


didharmakan itulah yang menjadi pusat wilayah suci Kerajaan
Mataram (Sansekerta:Mataram: ibu negeri, tanah air) yang
mendatangkan kemakmuran. Daerah di sekitar Kabhumian disebut
728
Patanahan (kediaman sang tanah, bumi). Kawasan berlimpah
kesuburan yang membentang antara Sungai Wluku-loh dan
Sungai Praga yang sering dijadikan medan perang perebutan
takhta di antara keturunan Sang Bhumi kemudian disebut dengan
nama Bagelen (Sansekerta: Bhaga-halina: warisan ibu yang
subur).

Seiring mangkatnya Bhattari Parwati Tunggal Prthiwi, terjadilah


perebutan takhta. Rakryan Narayana yang telah diberi bagian
wilayah utara ingin menguasai seluruh wilayah kekuasaan
ibundanya. Dengan dukungan bala tentara dari Sriwijaya, Rakryan
Narayana berhasil merebut takhta Mataram. Ibu kota
Pragawatipura diduduki dan ia dinobatkan sebagai Maharaja
Mataram dengan gelar Syailendra.

Sang Sannaha dan Sanna berhasil lolos dari ibu kota


Pragawatipura. Mereka menyingkir ke arah utara ke kawasan
antara Gunung Chandramukha (Merbabu) dan Gunung
Chandrageni (Merapi). Atas jasa Maharishi Bhannu Mas, Sang
Sannaha yang sedang hamil tua diungsikan ke timur, ke kediaman
Maharishi Bhannu Wangi, saudara kembar Maharishi Bhannu Mas.
Di sana, di tanah timur itu, lahirlah putera Sang Sannaha yang
diberi nama Rake Jambri.

Akhirnya, Sang Sanna dengan sisa-sisa prajuritnya memimpin


serangan menghadapi kekuatan Syailendra yang didukung oleh
Sriwijaya. Sang Sanna berhasil menghalau pasukan Sriwijaya dari
729
Pragawatipura dan memburunya hingga ke pangkalan induknya di
Pamiridan. Di Pamiridan pasukan Sriwijaya yang bergabung
dengan induknya bertempur sengit melawan pasukan Mataram
yang dipimpin Sang Sanna. Dalam sebuah pertempuran yang
sengit, pasukan Mataram berhasil mematahkan kekuatan pasukan
Sriwijaya yang mundur ke arah barat. Orang-orang bilang, konon,
tempat pasukan Mataram berhasil memukul mundur pasukan
Sriwijaya itu diabadikan dengan nama Balapulang (Jawa Kuno:
bala tentara kembali).

Setelah berhasil mematahkan kekuatan Syailendra, saudara dan


sekaligus iparnya, Sang Sanna menegakkan lagi kekuasaan
Mataram warisan ibundanya. Namun, ia meninggalkan kedaton
lama dan membangun kedaton baru di sebelah timur ibu kota lama.
Sang Sanna memberi banyak anugerah kepada mereka yang
berjasa membantunya. Putera Maharishi Bhannu Mas ia angkat
sebagai raja muda. Kepada mereka yang setia ia bagi-bagikan
tanah simha (perdikan). Sanna termasyhur sebagai maharaja
agung dan bijaksana yang disegani kawan maupun lawan. Bahkan
saudaranya, Syailendra, yang kalah itu diampuni dan dibiarkan
hidup sebagai raja yang berkuasa di pantai utara.

Kekuasaan Sanna diwariskan kepada puteranya, Rake Jambri,


yang masyhur disebut Sang Ratu Sanjaya. Sang Ratu Sanjaya
menyatakan diri sebagai penguasa Mataram (ibu). Ratu Sanjaya
inilah dhatu leluhur raja-raja Sunda dan raja-raja Jawa dari
Sanjayawangsa. Sedangkan Syailendra menjadi dhatu leluhur
raja-raja Jawa dan raja-raja Sriwijaya dari Sailendrawangsa.
730
Demikianlah, Prabu Stri Purbasari Bhattari Prthiwi yang
didharmakan di Kabhumian di Bumi Caruban adalah keturunan
kedua belas dari Raka i Mataram Ratu Sanjaya dan keturunan
keempat belas dari Prabu Stri Bhattari Parwati Tunggal Prthiwi
yang didharmakan di kabhumian Pragawatipura di Bumi Mataram.

Penjelasan panjang lebar Sri Mangana tentang siapa


sesungguhnya yang didharmakan di tempat yang disebut
Kabhumian itu dibenarkan oleh Abdul Jalil yang melalui cara gaib
membuktikan kebenaran cerita tersebut. Untuk membuktikan
bahwa ia telah menghubungi secara gaib arwah Bhattari Prthiwi,
Abdul Jalil menyinggung leluhur almarhumah yang jarang dikenal
nama pribadinya, yakni Rahyang Tamperan. “Apakah leluhur
Bhattari Prthiwi yang disebut Rahyang Tamperan itu bernama
pribadi Sang Wariga Agung? Benarkah nama Rahyang Tamperan
diberikan orang karena beliau menjadi pertapa?” “

Benar sekali dan aku mempercayaimu. Sebab, nama itu hanya


diketahui oleh keluarga Maharaja Sunda yang pernah membaca
naskah-naskah kuno di Kapustakaan Pakuan Pajajaran,” ujar Sri
Mangana. “

Bukankah Sang Manarah, putera Rahyang Tamperan, kemudian


mendirikan kerajaan baru di Jawa dengan ibu kota di Wwotan yang
terletak di kaki Gunung Pananggusama?” “

731
Benar demikian adanya.” “

Dan, tempat Rahyang Tamperan pertama kali menginjakkan kaki


di Jawa disebut orang dengan nama Desa Turun Hyang?” “

Aku percaya kepadamu karena apa yang engkau ungkapkan itu


sesungguhnya menjadi pengetahuan rahasia keluarga Maharaja
Sunda.”

Meski Abdul Jalil dan Sri Mangana sama-sama meyakini susur


galur trah raja-raja Sunda dan Jawa, Abdul Jalil memiliki
pandangan yang berbeda dengan Sri Mangana khususnya tentang
leluhur yang didharmakan di Kabhumian. Jika Sri Mangana menilai
pemujaan terhadap Sang Bhumi sebagai keniscayaan adat bagi
raja-raja Sunda dan raja-raja Jawa, Abdul Jalil justru menilai hal-
hal terkait dengan pemujaan tersebut sesungguhnya harus
diakhiri. “Ada satu hal yang perlu Ramanda Ratu ketahui tentang
keinginan beliau, leluhur Ramanda Ratu yang dipuja di Kabhumian
ini,” kata Abdul Jalil. “

Apa sesungguhnya keinginan beliau yang dipuja di Kabhumian


ini?” “

Beliau ingin beristirahat dengan tenang di alam kelanggengan,”


Abdul Jalil menjelaskan, “sebab telah berbilang abad beliau selalu
732
diganggu dan disibukkan oleh berbagai macam urusan duniawi
para keturunannya. Beliau kelihatan sangat menderita.” “

Jadi, bagaimanakah ini? Apa yang harus aku perbuat untuk


memenuhi keinginan beliau?” “

Semua itu tergantung pada kebijaksanaan Ramanda Ratu.” “

Maksudnya?” “

Ramanda Ratu adalah Sang Chakrabhumi, penguasa Kabhumian.


Jika Ramanda Ratu mencintai jabatan maka Ramanda Ratu tidak
perlu memenuhi keinginan beliau. Ramanda Ratu setiap saat bisa
meminta bantuan dari arwah beliau untuk menyelesaikan urusan-
urusan duniawi semua raja keturunan beliau. Tetapi, jika Ramanda
Ratu mencintai beliau sebagai leluhur yang telah berjasa
mewariskan segala kemuliaan di antara manusia maka Ramanda
Ratu harus merelakan jabatan chakrabhumi untuk diakhiri selama-
lamanya agar beliau bisa beristirahat dengan tenang di alam
kelanggengan.”

Sri Mangana terperangah mendengar penjelasan Abdul Jalil. Lama


dia terdiam dan merenung. Setelah itu dengan nada ragu-ragu ia
berkata, “Ketahuilah, o Puteraku, sesungguhnya aku tidak
memberati jabatan apa pun di dunia ini. Tetapi dengan cara
733
bagaimana aku bisa mengakhiri jabatan chakrabhumi? Bukankah
hal itu akan membangkitkan amarah seluruh penghuni Bumi
Pasundan?” “

Hal itu tidak akan terjadi, Ramanda Ratu.” “

Kenapa bisa demikian?” “

Menurut petunjuk arwah Ratu Stri Bhattari Prthiwi, segalah Tu-ah


dan Tu-lah yang memancar dari Kabhumian akan sirna jika yoni
tempat memuja beliau ditutup dengan lingga suci yang terletak di
puncak Gunung Pulasari di tanah Banten. Jika petunjuk beliau itu
terlaksana maka tidak saja Tu-ah dan Tu-lah dari Kabhumian ini
akan sirna, tetapi orang pun akan tersilap melupakan Kabhumian,”
jelas Abdul Jalil. “

Kenapa harus lingga yang berada di puncak Gunung Pulasari?” “

Karena yang menempatkan lingga itu adalah Sri Maharaja


Jayabhupati, suami Ratu Stri Bhattari Prthiwi.”

Sri Mangana termangu-mangu mendengar penjelasan Abdul Jalil.


Dia tidak memikirkan tentang disirnakannya Tu-ah dan Tu-lah dari
Kabhumian, tetapi justru merenungkan syarat lingga suci dari
734
puncak Gunung Pulasari di tanah Banten. Bukankah Gunung
Pulasari dianggap gunung keramat tempat Dewa Syiwa
bersemayam? Apakah ada rahasia di balik keberadaan yoni
Caruban dan lingga di Banten sehingga keduanya memiliki ikatan
yang kuat? Caruban Larang sebagai samiddha jelas menyediakan
kayu-kayu untuk persembahan kepada leluhur dan dewa-dewa.
Sementara itu, upacara sesaji persembahan justru dilakukan di
Banten dengan pusat di Gunung Pulasari, Gunung Karang, dan
Gunung Lancar.

Abdul Jalil yang melihat Sri Mangana termenung lama kemudian


berkata, “Sesungguhnya, menguasai wilayah samiddha Caruban
dan wilayah Banten sama artinya dengan mewarisi takhta
Kerajaan Sunda yang diwariskan oleh Sri Maharaja Jayabhupati
dan Ratu Stri Bhattari Prthiwi. Sebab tanpa wilayah Caruban
Larang dan wilayah Banten, sesungguhnya Kerajaan Sunda
hanyalah hamparan bumi biasa, yakni tanah tak bertuan yang
dihuni hewan dan manusia liar yang tak bisa diatur.” “

Maksudnya?” “

Sekalipun Ramanda Ratu bukan putera mahkota, Ramanda Ratu


akan menjadi pewaris takhta Kerajaan Sunda jika Ramanda Ratu
dapat menguasai Caruban Larang dan Banten. Sebab dengan
dikuasainya Caruban Larang dan Banten, sesungguhnya takhta
kekuasaan raja-raja Sunda sudah kehilangan Tu-ah dan Tu-lah.

735
Tanpa Caruban dan Banten, takhta Kerajaan Sunda tidak memiliki
wibawa apa-apa.”

Selain Kabhumian, tempat bersejarah di Caruban Larang yang


dikunjungi Abdul Jalil dan Sri Mangana adalah Palimanan yang
terletak di sebelah barat Kutha Caruban. Daerah itu, menurut Sri
Mangana, disebut Palimanan karena digunakan orang sebagai
tempat memuja Bhattara Ganesha. Menurut cerita, pada masa
silam hewan gajah dipuja sebagai penjelmaan Ganesha, putera
Parwati. Tempat pemujaan Ganesha yang dikeramatkan itu
dibangun oleh Sri Jayabhupati, pemuja Syiwa, dan disebut dengan
nama Palimanan (Jawa Kuno: tempat gajah). Di Palimanan gajah-
gajah liar dilepas bebas dan terlarang untuk diganggu. Seiring
bergulirnya waktu, pemujaan terhadap Sang Ganesha pernah
memudar selama berpuluh tahun. Hal itu, konon, membuat marah
Sang Ganesha. Lalu terjadilah bencana terbunuhnya Prabu
Linggabhuwana Wisesa Sri Maharaja Sunda di Bubat beserta para
pengikut, termasuk permaisuri dan puterinya oleh Sang Gajah
Mada, Mahapatih Majapahit.

Para sesepuh Sunda yang tak menduga bakal terjadi peristiwa


memilukan itu meyakini bahwa peristiwa tragis di Bubat bukanlah
peristiwa biasa, melainkan memiliki kaitan dengan amarah Sang
Ganesha yang murka akibat tidak lagi dipuja di Palimanan.
Menurut keyakinan para sesepuh, Sang Ganesha, dewa gajah
yang marah itu, menitis kepada Mahapatih Gajah Mada dan
mengirim pesan kepada raja-raja Sunda agar mereka memuja
kembali putera Syiwa itu.
736
Dengan keyakinan seperti itu, demi menolak bala bencana yang
lebih dahsyat akibat amarah Sang Ganesha Sanghyang Ganapati,
atas saran para sesepuh, putera Prabu Linggabhuwana Wisesa Sri
Maharaja Sunda Sang Mokteng Bubat, yaitu Prabu Niskala Wastu
Kancana, memperbaiki kembali tempat pemujaan bagi Sang
Ganesha di Palimanan. Para sesepuh berharap dengan diperbaiki
dan dipujanya kembali Sang Ganesha di Palimanan, diharapkan
amarah dewa gajah itu dapat diredam. Sementara itu, untuk
menangkal pengaruh buruk akibat kemarahan Sang Ganesha,
gajah-gajah yang dipuja kembali di Palimanan sebagian ditangkap
dan ditambat di Pagajahan untuk dijinakkan dengan mantra-
mantra. “

Lepas benar atau tidak pandangan para sesepuh itu,” ujar Sri
Mangana, “yang jelas, sejak Sang Ganesha dipuja kembali di
Palimanan dan kemudian ditambat dan dijinakkan dengan mantra-
mantra di Pagajahan, terbukti pengaruh jahat dari Sang Gajah tidak
terjadi lagi atas Bumi Pasundan. Sejarah mencatar, Sang Gajah
Mada, Mahapatih Majapahit, tidak pernah menginjakkan kaki ke
Bumi Pasundan.” “

Saya memahami keyakinan itu, Ramanda Ratu,” kata Abdul Jalil.


“Tapi jika saya boleh tahu, pada masa pemerintahan kakek buyut
Ramanda Ratu, yaitu Prabu Niskala Wastu Kancana, Negeri
Caruban Larang dijadikan samiddha dan Kerajaan Singhapura
menjadi wilayah kecil. Apakah Kerajaan Singhapura yang pernah
dipimpin Prabu Bhattara Hyang Purnawijaya itu sudah runtuh?” “

737
Ya, seperti kebiasaan raja-raja Sunda dan Jawa, runtuhnya
kerajaan selalu disebabkan oleh perebutan takhta di antara
keturunan sang raja. Kerajaan Galuh Singhapura yang besar
pecah menjadi dua pada masa Prabu Bhattara Hyang Purnawijaya
dan Sri Prabu Dharmaraja. Sepeninggal Prabu Bhattara Hyang
Purnawijaya terjadi perebutan di antara keturunannya.” “

Menurut cerita, pada masa akhir pemerintahan Prabu Lingga


Wastu Sang Surugana, cucu dari Prabu Bhattara Hyang
Purnawijaya, terjadi perebutan sengit hingga putera mahkota
beserta pengikutnya melarikan diri ke barat dan membangun
kerajaan baru. Putera mahkota itulah yang kemudian menjadi raja
dengan gelar Prabu Susuk Tunggal Sang Haliwungan (penguasa
Sungai Liwung). Sepeninggal Prabu Susuk Tunggal ternyata
terjadi lagi perebutan takhta hingga putera mahkota Sang
Pulanggana mendirikan kerajaan baru di sebelah timur, yaitu
Galuh Pakuan. Sang Pulanggana bergelar Prabu Banyak Larang.
Beliau itulah kakek dari Prabu Linggabhuwana Wisesa Sri
Maharaja yang mangkat di Bubat.” “

Jika demikian, menurut hemat ananda, Kerajaan Singhapura yang


besar akhirnya terlantar karena diperintah oleh raja-raja yang
lemah. Benarkah demikian?” tanya Abdul Jalil. “

738
Begitulah adanya sehingga pada masa kakek buyutku berkuasa
bukan saja kraton Singhapura menjadi tidak terurus dan merana,
melainkan pendharmaan Prabu Stri Bhattari Prthiwi di Kabhumian
pun tak terawat. Kawasan itu benar-benar terlantar hingga
ditumbuhi rumput alang-alang sehingga disebut Tegal Alang-
Alang.” “

Tapi seingat ananda, belum pernah ananda mendengar nama


Cerebon untuk daerah Caruban Larang ini. Apakah nama itu
merupakan sebutan lama untuk Caruban?” tanya Abdul Jalil. “

Nama Cerebon memang digunakan pada masa Prabu Bhattara


Hyang Purnawijaya untuk membedakan wilayahnya dengan
wilayah Sang Dharmaraja. Namun, istilah itu tenggelam seiring
tenggelamnya Singhapura. Itu sebabnya, aku ingin
mengungkapkan kembali nama itu tetapi dengan makna ganda,”
ujar Sri Mangana. “

Makna ganda yang bagaimanakah yang Ramanda Ratu maksud?”


Selain bermakna wilayah warisan ibu (Sunda: cere-ibu-an),


Cerebon juga akan bermakna warisan Sang Udang (Sunda: cere-
rebon),” ujar Sri Mangana. “

739
Warisan Sang Udang?” Abdul Jalil heran. “Siapakah yang
dimaksud Sang Udang?” “

Akulah yang dimaksud Sang Udang,” kata Sri Mangana. “Akulah


yang akan menegakkan dinasti Udang bagi keturunanku di Bumi
Pasundan ini.” “

Ramanda Ratu adalah Sang Udang?” Abdul Jalil kembali terheran-


heran. “Ananda belum memahami maksudnya. Kenapa Ramanda
Ratu menganggap diri sebagai udang?” “

Sesungguhnya, saat lahir aku dinamai Hurang Sasaka (Sunda:


udang pusaka). Nama itu untuk mengingat penderitaan
ayahandaku saat tersingkir dari Galuh Pakuan dan mengabdi
kepada Ki Gedeng Sindangkasih, syahbandar (juru labuhan) di
pelabuhan Muara Jati. Selama bertahun-tahun ayahandaku
ditugaskan menjadi pengawas pelabuhan ikan (juru iwak) sampai
beliau diambil menantu oleh Ki Gedeng Sindangkasih.” “

Juru labuhan Muara Jati sendiri ada di bawah kewenangan Raja


Singhapura yang saat itu dipegang oleh kakek buyutku, Ratu
Kasmaya. Selama menjadi juru iwak itulah ayahandaku mengenal
ibundaku, puteri mangkubhumi Singhapura. Akhirnya, ayahandaku
menikah dengan ibundaku. Ketika Ki Gedeng Sindangkasih
meninggal, ayahandaku menggantikan kedudukannya sebagai
juru labuhan.”
740
Bermula dari Muara Jati, ayahandaku menyusun kekuatan. Beliau
dibantu para pengungsi dari Campa yang dibawa Tuan Milinadi,
orang Campa yang menjadi saudagar di Palembang. Beliau
kemudian menjadi raja Singhapura dan menggunakan nama
Siliwangi, yang dipungut dari kata Sili (sejenis ikan laut) dan wangi.
Rupanya, pengalaman menjadi juru iwak itu sangat berkesan di
dalam hatinya. Itu sebabnya, saat lahir aku dinamai Hurang
Sasaka. Bahkan, kraton yang beliau bangun di Singhapura
dinamai Kraton Pangurangan (kediaman Sang Udang), yaitu
kraton yang terletak di utara kraton lama Purwwawinangun.” “

Jika nama Ramanda Ratu saat lahir adalah Hurang Sasaka,


kenapa diubah menjadi Walangsungsang? Bukankah sangat jauh
beda makna antara udang dengan belalang?” “

Nama Walangsungsang diberikan ketika aku dewasa dan mulai


sering berselisih pendapat dengan ayahandaku, terutama soal
agama. Beliau rupanya sangat sedih dan marah melihat
kecenderunganku kepada agama Islam yang begitu kuat.
Akhirnya, beliau mengganti namaku dengan nama
Walangsungsang yang bermakna ‘yang jungkir balik dalam
ketidakpastian’ (walang-walang sungsang) dan mengangkatku
sebagai pejabat parang sungsang (watek i jro). Kemudian aku pun
pergi meninggalkan Pakuan Pajajaran.” “

Jikalau nama Ramanda Ratu yang sesungguhnya adalah Hurang


Sasaka,” lanjut Abdul Jalil, “maka ananda dapat memahami
741
kenapa putera sulung Ramanda Ratu disebut dengan nama
Pangeran Cerebon yang bermakna pewaris Sang Udang. Ananda
juga bisa paham kenapa puteri Ramanda Ratu dinamai
Pakungwati yang bermakna Puteri Udang.”

Sri Mangana mengangguk-angguk sambil menyapukan


pandangan ke gugusan awan yang menggantung di langit dan
kemudian berkata, “Bahkan aku berencana untuk menamai Kutha
Caruban ini dengan nama baru Kutha Cerebon, yang bermakna
kutha udang yang harum, diambil dari kata cere (Jawa Kuno: wangi
uttama ning dhupa ngaranya minyak cere) dan rebon (Jawa Kuno:
udang sungai).” “

Ananda berdoa semoga keinginan Ramanda Ratu yang mulia itu


akan tercapai. Setiap waktu orang menyebut Cerebon akan selalu
teringat kepada Ramanda Ratu sebab Ramanda Ratulah yang
telah membangun pakuwuan kecil Caruban menjadi kutha yang
makmur dan sejahtera. Ananda berharap orang tidak akan pernah
lupa bahwa Ramanda Ratu adalah raja yang membangun tempat
ibadah (tajug) pertama di Jalagrahan (Jawa Kuno: menjala
gerhana) yang merupakan bekas pakalangan suci (ksetra) upacara
Bhairawa-Tantra. Ananda juga berharap orang tidak akan pernah
lupa bahwa Ramanda Ratulah raja yang pertama kali membangun
Tajug Agung di Kutha Caruban ini.” “

Siapakah yang bisa mengingkari kenyataan bahwa pelindung dan


pengembang agama Islam di Caruban Larang adalah Ramanda
742
Ratu? Siapakah yang bisa mengingkari bahwa Ramanda Ratu
adalah raja yang adil dan bijaksana, yaitu raja yang bisa melindungi
dan mengayomi seluruh penduduk Caruban Larang yang berasal
dari pelbagai negeri dengan berbagai agama yang berbeda?
Mudah-mudahan doa ananda dikabulkan oleh Allah, Sang Penentu
(al-Muqtadir).”

Sri Mangana menadahkan tangan mengamini doa Abdul Jalil.

Usai berdoa Abdul Jalil bertanya, “Sesungguhnya, di mana sajakah


batas-batas samiddha Caruban ini, o Ramanda Ratu?” “

Menurut kakekku Ki Gedeng Tapa dan dibenarkan oleh Ki


Danusela, batas sebelah timur samiddha Caruban sama dengan
batas wilayah Kerajaan Singhapura Lama, yaitu membentang di
Bumi Ceribon, dengan batas di sebelah timur mulai dari Sungai
Pamali sampai ke tempuran Sungai Cigunung. Batas sebelah
selatan mulai tempuran Sungai Cigunung sampai ke Cigugur di
kaki Gunung Ceremai. Batas sebelah barat dari Pegunungan
Kromong hingga tepi timur Sungai Cimanuk. Sementara itu, di
sebelah utara berbataskan Junti,” papar Sri Mangana
menegaskan.

Mendengar penjelasan Sri Mangana, Abdul Jalil termangu-mangu


takjub dan diam-diam memuji kehebatan ayahanda asuhnya yang
merintis kembali pembangunan Kerajaan Caruban Larang dari
743
reruntuhan kerajaan lama Singhapura. Ia masih ingat benar betapa
saat ia pergi meninggalkan Bhumi Caruban belasan tahun silam,
Kutha Caruban hanya sebuah ibu kota dari pakuwuan yang sangat
sepi. Bale Pakuwuan saat itu berdiri dengan dikitari beberapa belas
rumah. Dermaga Muara Jati pun hanya merupakan pelabuhan
kecil yang disandari perahu-perahu kecil. Sementara griya
pakuwuan tempat tinggal pribadi kuwu terletak di Caruban Girang,
yang jaraknya cukup jauh dari Bale Pakuwuan.

Kini, dalam tempo sekitar tujuh belas tahun, Kutha Caruban telah
berubah menjadi kutharaja yang jauh lebih besar dan lebih ramai
dibandingkan dengan Dermayu. Bale Pakuwuan yang dibangun
menjadi Bangsal Kaprabon telah menjelma menjadi istana raja
yang megah dan indah dilingkari tembok baluwarti. Bangunan-
bangunan besar tempat nayakapraja bekerja ditata selayaknya
kutharaja kerajaan besar. Bekas Kerajaan Leluhur Kabhumian
dibangun lebih megah. Lemah Wungkuk yang terlantar pun telah
dibangun kembali sebagai Siti Hinggil kerajaan. Bahkan, alur
perdagangan tidak saja dibuka bagi pedagang-pedagang
pedalaman, tetapi dibuka pula bagi saudagar-saudagar
mancanegara. Sungguh, hanya manusia besar yang mampu
melahirkan karya besar, kata Abdul Jalil dalam hati memuji
ayahanda asuhnya.

744
Dang Hyang Semar

(Nabi Zaman Purwakala, Sang Guru Loka


Nusa Jawa)

Selama berkeliling ke berbagai tempat di


Kutha Caruban dan sekitarnya dengan
didampingi Sri Mangana, sadarlah Abdul Jalil bahwa pengaruh
agama Hindu dan Budha sesungguhnya tidaklah begitu kuat di
Bumi Pasundan, terutama di wilayah samiddha Caruban. Sebab,
apa yang disebut sebagai pemujaan terhadap dewa-dewa Hindu
pada hakikatnya bukanlah pemujaan dewa-dewa dalam makna
yang sesungguhnya sebagaimana yang pernah ia saksikan di
negeri Hindustan. Kenyataan yang ditangkapnya justru menunjuk
tentang kuatnya pemujaan terhadap arwah leluhur yang dibalut
dengan nama-nama dewa Hindu dan Budha.

Jika di kalangan ningrat berdarah biru terdapat kecenderungan


mendewakan arwah leluhur dengan menyebut sang raja almarhum
sebagai titisan Brahma, Wisynu, Syiwa, Syiwa-Budha, Bhattara
Guru, Indra, Surya, dan Dewa yang lain maka di kalangan orang
kebanyakan yang tinggal di desa-desa justru tidak akrab dengan
nama-nama dewata yang masyhur tersebut. Kalangan orang
kebanyakan cenderung lebih akrab dengan nama leluhur mereka
yang abadi dalam bentuk punden-punden dan kebuyutan-
kebuyutan, yakni kuburan-kuburan leluhur yang mereka jadikan
tempat pemujaan dan sesembahan.
745
Kuatnya pemujaan terhadap arwah leluhur setidaknya bisa dilihat
dari susunan kekuasaan yang lazim dianut di Bumi Pasundan.
Seorang ratu bukanlah penguasa tertinggi. Sebab, di atas ratu
masih ada dewata yang lebih berkuasa. Dan, di atas dewata masih
ada hyang (leluhur yang sudah meninggal) yang lebih berkuasa.
Itu sebabnya, seorang raja yang hanya bergelar ratu masih berada
di bawah raja yang menggunakan gelar dewata. Gelar dewata pun
masih berada di bawah gelar hyang. Dengan demikian, hanya
seorang maharaja saja yang boleh menggunakan gelar kebesaran
dewata dan hyang.

Kuatnya pengaruh pemujaan terhadap arwah leluhur di Bumi


Pasundan sempat ditanyakan Abdul Jalil kepada Sri Mangana.
Namun, Sri Mangana justru menjelaskan bahwa hal itu adalah
kelaziman yang tidak hanya terjadi di Bumi Pasundan, bahkan juga
di seluruh Nusa Jawa. Orang-orang Jawa, ungkap Sri Mangana,
tidak ada yang benar-benar memuja dewata dalam makna yang
sebenarnya sebagaimana dilakukan oleh penganut Hindu di
Hindustan. Sesungguhnya, yang dipuja sebagai dewa oleh orang-
orang Sunda dan Jawa di candi-candi pemujaan itu adalah abu
jenasah dari raja-raja yang di atasnya diberi arca dewata.

“Sebagaimana yang sudah engkau ketahui, Kabhumian, tempat


yang disucikan di samiddha Caruban ini, sesungguhnya adalah
sebuah pendharmaan berisi abu jenasah Bhattari Prthiwi. Di atas
abu jenasah itu ditempatkan yoni keramat lambang sakti Dewa
Syiwa. Di situ Bhattari Prthiwi dipuja sebagai Dewi Prthiwi, lambang
shakti Wisynu.”
746
“Sesungguhnya, memuja yoni sebagai shakti Wisynu itu keliru
karena yoni adalah lambang Parwati, shakti Syiwa. Tapi, aku
sendiri tidak tahu sejak kapan yoni ditempatkan di situ. Yang aku
tahu, menurut kakekku, yoni itu sudah ada di situ sejak zaman
purwakala. Keberadaan yoni di Pendharmaan Bhattari Prthiwi jelas
merupakan ketidaktahuan para keturunannya tentang pemujaan
terhadap dewa-dewa secara benar. Namun begitu, aku menduga,
sangat mungkin Bhattari Prthiwi yang semula adalah pemuja
Wisynu itu kemudian berbalik menjadi pemuja Syiwa Mahaguru,
karena suaminya, Sri Maharaja Jayabhupati, adalah pemuja Syiwa
Mahaguru. Itu sebabnya, sampai sekarang, tidak ada satu pun di
antara raja-raja Sunda yang berani memindahkan yoni itu.”

“Menurut hematku, sesungguhnya para raja Sunda yang datang


untuk memuja Sang Bhumi sejatinya adalah pemuja arwah
leluhurnya, yakni Bhattari Prthiwi. Di Nusa Jawa demikian juga, abu
jenasah Sri Prabu Kertanegara, leluhur raja-raja Majapahit,
ditempatkan di Jajawi dan di atasnya ditumpangi arca Syiwa-
Budha. Beliau kemudian dipuja sebagai Sang Syiwa-Budha,” jelas
Sri Mangana.

“Pendapat Ramanda Ratu bahwa Bhattari Prthiwi kemungkinan


menjadi pemuja Syiwa Mahaguru memang benar. Itu sebabnya di
atas pendharmaan beliau ditempatkan yoni keramat. Jadi, seperti
suaminya, Sri Maharaja Jayabhupati Wisynumurti Samarawijaya,
yang ternyata menjadi pemuja Syiwa Mahaguru, Bhattari Prthiwi
pun pemuja Syiwa Mahaguru.”

747
Perbincangan antara Abdul Jalil dan Sri Mangana ternyata makin
menusuk ke masalah yang terkait pemujaan arwah leluhur.
Sekalipun Sri Mangana sudah menjelaskan tentang kenyataan
yang menunjuk bahwa sesungguhnya di balik pemujaan terhadap
dewa-dewa itu sejatinya adalah pemujaan terhadap arwah leluhur,
dia belum bisa menjelaskan bagaimana hal itu bisa terjadi.
“Sepengetahuanku, para brahmana, wiku, sadhu, acarya, guru-
gama, tuha-gama, dan surak-loka selalu mengajarkan tuntunan
agama sesuai hukum suci Weda. Tetapi kenyataannya, pada
tingkat amaliah semua itu berubah menjadi seperti yang kita lihat.
Baik raja-raja Sunda maupun raja-raja Jawa hampir tidak ada yang
benar-benar memuja dewa dalam makna yang sebenarnya,” ujar
Sri Mangana.

“Saya khawatir, jangan-jangan ajaran Islam pun pada akhirnya


akan mengalami nasib yang sama seperti Hindu dan Budha, yaitu
menjadi agama yang memuja kubur raja-raja Muslim,” ujar Abdul
Jalil.

“Tapi, jika memang itu yang terjadi maka kita tentu tidak bisa
berbuat apa-apa.”

Mendengar kata-kata Sri Mangana, Abdul Jalil menarik napas


berat. Ia sadar bahwa persoalan naluri penghuni Nusa Jawa dan
Bumi Pasundan yang cenderung memuja arwah leluhur adalah

748
persoalan yang rumit. Itu sebabnya, ia memasrahkan urusan itu
kepada Allah. Biarlah Allah yang memutuskan bagaimana yang
terbaik bagi-Nya untuk dipuja dan disembah suatu bangsa,
katanya dalam hati.

Ketika Abdul Jalil dan Sri Mangana (Raja Caruban/sekarang


Cirebon) berjalan di sebuah tempat di pinggir hutan kecil yang
membentang di tepi sungai, terjadi sesuatu yang mencengangkan.
Entah bagaimana mulanya, tiba-tiba di depan mereka dalam jarak
sekitar tujuh depa muncul seorang laki-laki tambun berkulit hitam
legam. Kepala laki-laki itu ditumbuhi rambut keriting pendek
berwarna putih dengan jambul di depan. Matanya bulat dan lebar.
Hidungnya besar. Bibirnya tebal. Kumisnya tebal melingkar ka
bawah bersambung dengan janggutnya. Selembar kain warna
hitam menutupi bagian bawah tubuhnya dari batas perut hingga di
atas mata kaki. Anehnya, meski laki-laki tambun itu berkulit hitam
legam, pancaran daya pesona, wibawa, dan kharisma dari dirinya
sangat memukau. Abdul Jalil menangkap sosok itu sebagai
bayangan hitam, tetapi sekaligus sebagai benderang cahaya.
Wajahnya bersinar seperti rembulan, tetapi sekaligus seperti langit
gelap, tidak hidup dan tidak mati, sederhana tetapi rumit.

Sekalipun tidak sekaget Sri Mangana yang terheran-heran


menyaksikan kehadiran mendadak sosok tambun berkulit hitam
itu, Abdul Jalil terkesima juga, terutama saat laki-laki itu menyapa
melalui al-ima’. Laki-laki tambun kulit hitam itu memperkenalkan
diri sebagai Dang Hyang Semar, guru loka Nusa Jawa yang hidup
pada jaman purwakala.
749
Perkenalan mendadak itu membuat Abdul Jalil termangu
keheranan. Seingatnya, sejak ia tinggal di Padepokan Giri
Amparan Jati hingga berkelana ke berbagai negeri dan kembali lagi
ke Caruban Larang, belum pernah ia mendengar sesuatu tentang
manusia bernama Dang Hyang Semar. Saat ia sedang termangu
heran tiba-tiba Ruh al-Haqq dari kedalaman relung-relung jiwanya
memberi tahu bahwa laki-laki tambun berkulit hitam itu
sesungguhnya adalah penampakan ruh seorang nabi dari zaman
purba. Menyadari dengan siapa ia berhadap-hadapan, Abdul Jalil
menjawab salam Dang Hyang Semar melalui al-ima’ dan
menyatakan kebahagiaannya bisa bertemu dengan pesuruh Allah
yang mulia itu.

Ketika Abdul Jalil memberi tahu Sri Mangana tentang siapa


sesungguhnya laki-laki tambun yang muncul tiba-tiba itu, Sri
Mangana terkejut bukan kepalang. Sebab bagi Sri Mangana,
keberadaan tokoh yang termasyhur di Nusa Jawa dan Bumi
Pasundan itu memang bukan sosok yang asing. Bertemu muka
dengan Dang Hyang Semar tentu merupakan pengalaman yang
sulit dipercaya. Seperti digerakkan oleh kekuatan gaib yang tak
terlihat mata, Sri Mangana segera bersujud menyembah ke
hadapan Dang Hyang Semar. Namun betapa kecewa Sri
Mangana, saat terbangun dari sujud menyembah dia tidak
mendapati lagi sosok Dang Hyang Semar di depannya.

“Ke mana beliau tadi? Kenapa tiba-tiba beliau menghilang?”


tanyanya pada Abdul Jalil.

750
“Beliau tidak berkenan disembahsujudi sesama manusia dan
beliau menyatakan tidak berkenan bertemu dengan Ramanda
Ratu,” jelas Abdul Jalil.

“Kenapa Dang Hyang Semar tidak berkenan bertemu aku? Apakah


beliau menilai aku manusia kotor sehingga tidak layak ditemui?”

“Beliau menyatakan kepada saya bahwa di dalam diri Ramanda


Ratu masih bersemayam kekuatan kelam ilmu seratus ribu
hulubalang dari Gunung Kumbhang. Ilmu itu pengaruh Bhairawa
haus darah yang tidak beliau sukai.”

“Astaghfirullah!” sahut Sri Mangana dengan wajah pucat.


“Bagaimana beliau bisa tahu?”

“Yang terlihat tadi adalah arwah dari Dang Hyang Semar,


Ramanda Ratu. Beliau tentu lebih tahu tentang segala sesuatu
yang bersifat gaib di negeri ini sejak zaman lampau sampai kini.”

Sri Mangana duduk termangu sambil menarik napas panjang


berulang-ulang. Abdul Jalil yang semula berdiri kemudian duduk
bersila di samping Sri Mangana sambil memejamkan mata.
Sesungguhnya, saat itu Abdul Jalil sedang berhadap-hadapan
dengan ruh Dang Hyang Semar. Namun keberadaan Dang Hyang
Semar tidak terlihat oleh Sri Mangana. Melalui al-ima’,
751
berlangsunglah perbincangan akrab antara Dang Hyang Semar
dan Abdul Jalil, yang jika diuraikan ke dalam bahasa lisan manusia
kira-kira berbunyi:

“Sejak engkau menginjakkan kaki ke Caruban, seluruh alam gaib


di Bumi Pasundan dan Nusa Jawa terguncang. Para bangsa
berbadan halus, penghuni lama negeri ini meraung dan melolong
kegerahan. Sesungguhnya, mereka sangat tidak menyukai
kehadiranmu di sini. Namun ketahuilah, o Abdul Jalil, kehadiranmu
di sini justru sedang aku nati-nantikan.”

“Apakah Yang Mahagaib memberi tahu paduka tentang


kedatangan saya?”

“Ya, Dia Yang Mahagaib memberitahuku tentang kehadiranmu


yang akan membawa angin perubahan. Tetapi, Dia tidak memberi
tahu secara jelas tentang engkau. Itu sebabnya, o Abdul Jalil, aku
ingin mengetahui keberadaan dirimu, terutama tugas-tugas yang
akan kau kerjakan di sini. Ini demi kebaikanmu sendiri dalam
mengemban tugas dari-Nya untuk mengembuskan angin
perubahan di Nusa Jawa.”

“Apakah yang ingin paduka ketahui tentang keberadaan saya?”

752
“Perubahan apakah yang sesungguhnya akan engkau embuskan
di sini?”

“Sesungguhnya, saya tidak mengubah apalagi memperbarui apa


pun. Saya hanya ingin menghidupkan tatanan kehidupan lama
yang sudah pernah ditegakkan oleh barisan nabi, guru suci, para
tapa, dan para bijak sejak zaman Adam a.s. hingga Muhammad
Saw.. Tidak ada yang baru sama sekali dari tugas saya.”

“Jika engkau berbicara tentang barisan nabi, guru suci, para tapa,
dan para bijak, tentunya apa yang akan engkau sampaikan tidak
akan jauh berbeda dengan apa yang telah aku sampaikan selama
ini.”

“Tepatlah demikian, o Guru Loka Nusa Jawa, saya hanya akan


menghidupkan warisan lama yang sudah ada, yaitu warisan lama
yang tidak bertentangan dengan ajaran Tauhid, mengesakan
Tuhan.”

“Aku percaya akan apa yang engkau sampaikan. Tetapi,


hendaknya engkau tidak mengikuti jejak pendahulumu, Syaikh
Syamsudin al-Baqir al-Farisi, yang tidak menunggu dan
membimbing para pengikutnya untuk setia mengikuti ajarannya.
Sehingga, hampir seluruh pengikutnya tumpas dijadikan korban
pesta darah oleh para makhluk berbadan halus, penghuni
purwakala negeri ini.”
753
“Pesta darah penghuni purwakala negeri ini?” Abdul Jalil tiba-tiba
teringat penjelasan almarhum Ario Abdillah (Ario Damar), Adipati
Palembang. “Apakah yang dimaksud pesta darah itu sama dengan
yang dijelaskan oleh almarhum Yang Mulia Ario Damar tentang
kegemaran bangsa jin meminum darah?”

“Ketahuilah, o Abdul Jalil, bahwa sebelum bumi dihuni manusia,”


Dang Hyang Semar memulai cerita, “bumi sudah dihuni oleh
bangsa-bangsa berbadan halus. Mereka suka berperang dan
menumpahkan darah. Saat manusia akan diturunkan ke bumi,
para bangsa halus diusir dari permukaan bumi. Sebagian mereka
menghuni samudera raya dan pulau-pulau. Sebagian lagi
menghuni dasar bumi. Lalu turunlah manusia yang berkembang
biak dengan sangat cepat. Tetapi seperti para penghuni bumi yang
lama, manusia suka berperang dan berbuat zalim hingga
menimbulkan kerusakan,”

“Untuk menyucikan bumi, Sanghyang Taya, Tuhan, Yang


Mahagaib, membinasakan manusia dengan air bah. Saat air bah
besar melanda permukaan bumi dan negeriku tenggelam, aku
beserta keluarga dan pengikutku naik perahu dan rakit. Jumlah
seluruh rombonganku sekitar tiga ratus orang. Sesuai petunjuk
Sanghyang Taya, aku mengarahkan perahu ke tengah lautan dan
mendarat di sebuah pulau yang disebut Pulau Kendhang (Jawa
Kuno: Pulau Hanyut), yang menjadi bagian dari untaian perhiasan
mutiara di tengah samudera (rinengga ing jaladhi ajajawan
mutyara). Saat aku dan para pengikutku mendarat di Pulau
Kendhang, ternyata pulau itu sudah dihuni oleh penduduk
754
purwakala, yaitu bangsa berbadan halus, puak-puak dari kawanan
kera raksasa dan bangsa siluman.”

“Pada awalnya, kehadiran kami ditolak baik oleh para raja dari
bangsa berbadan halus itu maupun para kera raksasa dan ratu
siluman. Satu demi satu mereka berhasil aku halau dan singkirkan,
meski beratus-ratus pengikutku meninggal akibat berbagai macam
penyakit. Namun, mereka, khususnya para raja bangsa berbadan
halus, terus mengganggu pengikutku. Akhirnya, setelah berselisih
selama tiga ratusan tahun, aku dan para raja bangsa halus
mencapai kesepakatan untuk bisa hidup berdampingan. Dalam
kesepakatan itu ditetapkan lima syarat yang harus dipatuhi oleh
masing-masing pihak.”

“Pertama, bangsa manusia yang tinggal di Pulau Kendhang tidak


diperbolehkan mengganggu adat kebiasaan bangsa berbadan
halus, terutama adat kebiasaan menyelenggarakan perayaan
pesta darah manusia. Kedua, Dang Hyang Semar menjadi guru
loka bagi bangsa manusia dan bangsa berbadan halus di Pulau
Kendhang. Ketiga, seluruh bangsa berbadan halus harus tunduk di
bawah perintah Dang Hyang Semar. Keempat, bangsa berbadan
halus tidak akan mengganggu manusia yang benar-benar memuja
Sanghyang Taya sebagaimana diajarkan Dang Hyang Semar.
Kelima, untuk melangsungkan tradisi pesta darah manusia,
bangsa berbadan halus diperbolehkan memilih korban manusia
yang tidak mengikuti atau menyimpang dari ajaran Dang Hyang
Semar.”

755
“Dengan kelima syarat itu, akhirnya bangsa manusia berhasil
tinggal di Pulau Kendhang dan hidup berdampingan dengan
bangsa berbadan halus yang telah lebih dulu menghuninya.
Sebagaimana tugas utama yang kuemban dari Sanghyang Taya
maka aku pun menjadi guru loka di Pulau Kendhang untuk
mengajar manusia menyembah Sanghyang Taya secara benar.”

“Siapakah yang paduka maksud dengan Sanghyang Taya?” tanya


Abdul Jalil.

“Sanghyang Taya adalah Sumber segala kejadian yang tidak bisa


dilihat dengan mata, tidak bisa didengar telinga, tidak bisa diraba
dengan tangan, tidak bisa dibayang-bayangkan, tidak bisa dipikir,
tidak bisa dibanding-bandingkan dengan sesuatu. Dia adalah Taya
(Jawa Kuno: hampa, suwung, awang-uwung). Dia tidak dilahirkan.
Tidak berawal. Tidak berakhir. Tidak satu pun makhluk hidup yang
bisa mengenal keberadaan-Nya yang sejati.”

“Jika Dia, Taya, adalah Sang Hampa, yang tidak diketahui dan tak
dikenali,” tanya Abdul Jalil, “bagaimana manusia bisa mengenal
dan menyembah-Nya?”

“Manusia mengenal-Nya melalui pengejawantahan kekuatan dan


kekuasaan-Nya di alam ini sebagai Pribadi Ilahi yang menjadi
Sumber segala sumber kehidupan yang tergelar di alam semesta,

756
yakni Pribadi Ilahi yang memiliki Nama dan Sifat sebagai pengenal
keberadaan diri-Nya.”

“Mengejawantah dalam Pribadi Ilahi apakah kekuatan dan


kekuasaan Sanghyang Taya tersebut?”

“Mengejawantah dalam Pribadi Ilahi yang disebut Tu atau To.”

“Maksud paduka?”

“Tu atau To adalah pengejawantahan Sanghyang Taya sebagai


Pribadi Ilahi yang secara samar-samar sudah bisa diketahui dan
dikenal baik Sifat maupun nama-Nya. Tu, Pribadi Ilahi, meski
Tunggal, Dia memiliki dua sifat yang berbeda seibarat telapak
tangan yang putih dan punggung tangan yang hitam. Yang
pertama adalah sifat Tu yang baik, yaitu yang mendatangkan
kebaikan, kemuliaan, kemakmuran, dan keselamatan kepada
manusia. Tu itulah yang dikenal dengan nama Tu-han. Sifat Tu
yang baik, yaitu Tu-han, itulah yang dikenal dengan nama
Sanghyang Tunggal (Maha Esa); Satu Pribadi Ilahi yang selain
memiliki nama dan sifat Tunggal juga memiliki nama dan sifat
Wenang (Mahakuasa).”

“Yang kedua adalah sifat Tu atau To yang tidak baik, yaitu yang
mendatangkan kejahatan, kehinaan, kenistaan, dan kebinasaan.
757
Tu itulah yang dikenal dengan nama han-Tu. Sifat Tu yang tidak
baik, yaitu han-Tu, itulah yang disebut dengan nama Sanghyang
Manikmaya (Jawa Kuno: Permata Khayalan). Sanghyang
Manikmaya, Pribadi Ilahi yang hanya diketahui nama dan sifat-Nya
itu, tak berbeda dengan Sanghyang Tunggal, yakni memiliki nama
dan sifat Wenang (Mahakuasa).”

“Berarti, Sanghyang Tunggal yang memiliki nama dan sifat


Wenang adalah pengejawantahan Tu-han Yang Mahakuasa
memberi petunjuk kepada makhluk-Nya, begitukah?”

“Benar demikian adanya.”

“Kemudian, Sanghyang Manikmaya yang juga memiliki nama dan


sifat Wenang adalah pengejawantahan han-Tu, Yang Mahakuasa
juga untuk menyesatkan makhluk-Nya, begitukah?”

“Benar demikian adanya.”

“Jika demikian, apakah memuja Sanghyang Taya melalui


Sanghyang Tunggal maupun Sanghyang Manikmaya pada
hakikatnya sama saja?”

758
“Benarlah demikian adanya,” ujar Dang Hyang Semar. “Yang
berbeda hanya jalannya saja. Jika kita memuja Sanghyang
Tunggal maka kita hanya melewati jalan lempang di dalam menuju
Sanghyang Taya (monoteis). Sebaliknya, jika kita memuja
Sanghyang Manikmaya maka kita akan melewati banyak jalan
untuk menuju Sanghyang Taya (politeis).”

“Jika demikian, Sanghyang Taya yang paduka sembah adalah


sama dengan sesembahan saya, yaitu Huwa, Dia, Yang
Mahagaib, Yang Tak Terbandingkan dengan segala sesuatu (laisa
kamitslihi syaiun). Sedangkan yang disebu Tu adalah sama
dengan Allah SWT., yaitu Dia, Pribadi Ilahi Yang menjadi Pusat
segala Nama, Sifat, dan Perbuatan Ilahiah (Rab al-Arbab). Yang
dari-Nya terdapat Nama dan Sifat dari Rab-Rab, seperti
Mahatunggal (al-Wahid), Mahakuasa (al-Qadir), Mahasuci (al-
Quddus), Maha Memberi Petunjuk (al-Hadi), sekaligus Maha
Menyesatkan (al-Mudhill), Maha Pembinasa (al-Mumit), Maha
Penyiksa (al-Muntaqim), Maha Pemberi Bahaya (adh-Dharr),
Mahapenista (al-Khafidh).”

“Sesungguhnya, tidak ada yang berbeda antara apa yang engkau


sembah dan apa yang aku sembah. Hanya nama Ilahiah
sesembahan kita yang berbeda.”

“Tetapi bagaimana cara memuja Tu, Pribadi Ilahi yang memiliki


Nama dan Sifat Ilahiah itu, jika kenyataannya Pribadi Ilahi tersebut
tidak kasat mata?” tanya Abdul Jalil.
759
“Memuja dan menyembah Sanghyang Taya melalui Tu dilakukan
dengan dua cara yang berbeda. Yang pertama, memuja dan
menyembah Pribadi Ilahi yang disebut Sanghyang Tunggal (Tu-
han) melalui sarana bantu sesuatu yang kasatmata seperti Tu-buh
dan wa-Tu. Memuja dan menyembah Sanghyang Taya melalui Tu-
han adalah tugas yang dibebankan Sanghyang Taya ke pundakku
untuk aku ajarkan kepada manusia.”

“Yang kedua, untuk memuja dan menyembah Pribadi Ilahi yang


disebut Sanghyang Manikmaya (han-Tu) dengan melalui sarana
bantu berbagai benda kasatmata, seperti wa-Tu, Tu-gu, un-Tu
(gigi), pin-Tu, Tu-lang, Tu-nggul (bendera), Tu-mbak, Tu-lup
(sumpit), Tu-nggak (tonggak), Tu-rumbuhan (beringin), Tu-ban (air
terjun), Tu-k (mata air), To-peng, To-san (pusaka), To-pong
(mahkota), To-parem (baju rompi), To-wok (lembing), To-ya (air),
dengan sesaji-sesaji berupa Tu-mpeng, Tu-d (bunga pisang), dan
Tu-mbu (tempat sesaji dari anyaman bambu). Memuja dan
menyembah Sanghyang Manikmaya adalah tugas yang
dibebankan Sanghyang Taya ke pundak Sang To-gog, saudaraku,
untuk diajarkan kepada manusia.”

“Menurut ajaran yang aku sampaikan dan juga yang disampaikan


oleh saudaraku To-gog, jika seorang manusia telah patuh dan setia
menjalankan pemujaan dan penyembahan kepada Sanghyang
Taya, baik melalui pemujaan dan penyembahan kepada
Sanghyang Tunggal (Tu-han) maupun Sanghyang Manikmaya
(han-Tu), maka manusia itu akan dilimpahi kekuatan dan
kekuasaan yang bersifat Ilahiah oleh Sanghyang Taya. Sebab,
760
satu jalan yang kuajarkan untuk menyembah Sanghyang Tunggal
pada hakikatnya sama dengan bermacam-macam jalan yang
diajarkan To-gog untuk menyembah Sanghyang Manikmaya, yakni
bermuara kepada Sanghyang Taya.”

Itu sebabnya, manusia yang sudah dilimpahi kekuatan dan


kekuasaan oleh Sanghyang Taya melalui Sanghyang Tunggal
maupun Sanghyang Manikmaya akan memiliki kekuatan gaib yang
memancarkan kekuatan dan kekuasaan Ilahiah dari dalam dirinya.
Jika kekuatan dan kekuasaan gaib pada mereka itu bersifat
memberkati, melindungi, mengayomi, dan menyelamatkan disebut
dengan Tu-ah. Sebaliknya, jika kekuatan dan kekuasaan gaibpada
mereka itu bersifat menghukum, mengutuk, mendatangkan
bencana, dan membinasakan disebut dengan Tu-lah.

Tu-ah dan Tu-lah yang diperoleh para pemuja Sanghyang Taya


itulah yang ditandai dengan kata kunci Pi (Jawa Kuno: rahasia,
tersembunyi). Dengan Tu-ah dan Tu-lah itu maka segala sesuatu
yang terkait dengan mereka yang sudah dilimpahi kekuatan gaib
bersifat Ilahiah oleh Sanghyang Taya, gerak-gerik kehidupannya
akan ditandai dengan Pi, yaitu kekuatan rahasia Ilahi yang
tersembunyi; jika mereka menyebut kata ganti diri sendiri,
dikatakan dengan Pi-nakahulun; jika mereka berbicara dikatakan
Pi-dato; jika mereka mendengar dikatakan Pi-harsa; jika mereka
mengajarkan sesuatu pengetahuan dikatakan Pi-wulang; jika
mereka memberi petuah dikatakan Pi-tutur; jika mereka memberi
petunjuk dan arahan dikatakan Pi-tuduh; jika mereka menghukum
dikatakan Pi-dana; jika mereka memancarkan kekuatan dikatakan
761
Pi-deksa; jika mereka memberikan keteguhan kepada orang lain
dikatakan Pi-andel; jika mereka mengobati orang lain dikatakan
jam-Pi; bahkan jika mereka sudah tua dan sering lupa dikatakan
Pi-kun.

Orang-orang yang sudah memiliki Tu-ah dan Tu-lah berhak


menjadi pemimpin bagi manusia yang lain. Orang-orang yang
sudah dipancari kekuatan dan kekuasaan gaib Ilahiah oleh
Sanghyang Taya itulah yang dijuluk dengan penuh hormat dengan
sebutan Pi-nituha, Pi-nituhu, dha-Tu, dan ra-Tu. Mereka berhak
memimpin manusia untuk memuja dan menyembah Sanghyang
Taya. Jika meninggal, mereka tetap dianggap masih hidup dan
disebut Pi-tara (arwah leluhur).

Kalangan manusia awam (Tu-gul) meyakini bahwa mereka yang


disebut Tu-ha, dha-Tu, dan ra-Tu bisa dimintai bantuan untuk
menyelesaikan berbagai urusan baik didalam memuja Sanghyang
Taya maupun urusan duniawi. Tu-gul lazimnya memberikan
persembahan sesaji kepada arwah leluhur mereka (Pi-tara) dalam
sebuah upacara yang disebut Pi-tapuja, sesajinya berupa Pi-nda
(kue dari bahan tepung), Pi-nang, Pi-tik (ayam), Pi-ndodakakriya
(nasi dan air), dan Pi-sang.”

“Apakah semua umat paduka yang beroleh Tu-ah dan Tu-lah


mendudukiderajat yang sama? Dan, siapakah yang dimaksud
kalangan awam, yaitu Tu-gul?” tanya Abdul Jalil.

762
“Tidak semua yang beroleh Tu-ah dan Tu-lah berderajat sama.
Sebab para pemuja dan penyembah Sanghyang Taya
sesungguhnya terpilah menjadi empat golongan manusia.”

“Siapa sajakah masing-masing golongan manusia itu?”

“Golongan pertama adalah golongan Tu-tug (Jawa Kuno: sampai,


sempurna), yaitu golongan orang-orang yang menyembah
Sanghyang Taya secara sempurna melalui sarana Tu-buh; duduk
bersila dengan tangan swadikep (Jawa Kuno: Swa: diri, keakuan;
dikep: menangkap dengan telapak tangan), mengamati
keberadaan tubuh, meresapi gerak-gerik tubuh, mencermati
kecenderungan jiwa, menata pikiran, mengatur pernapasan,
menyatukan kiblat hati dan pikiran guna mencari keakuan di dalam
diri dengan meresapi dan menghayati ‘rasa suwung’ di dalam Tu-
tud (hati) yang ada pada diri manusia. Mereka yang sudah
mengetahui dan mengenal ‘rasa suwung’ di dalam Tu-tud adalah
sama dengan mengenal Sanghyang Tunggal, yaitu Sang Suwung:
Sanghyang Taya.”

Mereka yang termasuk ke dalam golongan Tu-tug ini tidak


menggunakan wa-Tu sebagai sarana bantu memuja dan
menyembah Sanghyang Taya. Mereka itulah pemuja dan
penyembah sejati Sanghyang Taya, Sang Hampa Yang Tak
Terbayangkan dan Tak Terbandingkan dengan sesuatu. Mereka
itulah manusia-manusia yang sudah tidak mengenal pamrih
kehidupan duniawi. Hati dan pikiran mereka hanya terarah kepada
763
Sanghyang Taya, yang citra Ilahiah-Nya tersembunyi secara
rahasia sebagai “rasa suwung” di dalam Tu-tud pada diri manusia.
Itu sebabnya, jika mereka mati maka jiwa mereka akan menyatu
ke dalam Kehampaan Taya yang tak terbandingkan dengan
sesuatu. Mereka itulah yang dengan hormat disebut Tu-ha atau Pi-
nituha, yakni pribadi-pribadi manusia suci yang memancarkan Tu-
ah dan Tu-lah tanpa kehendak pribadinya. Mereka selalu menjadi
sumber kecemburuan dewa-dewa. Mereka disegani sekaligus
ditakuti dewa-dewa. Tetapi jumlah mereka sangat sedikit, hanya
dalam hitungan jari.

Golongan kedua adalah golongan Tu-hu (Jawa Kuno: benar, tulus,


bersungguh-sungguh), yaitu golongan orang-orang yang memuja
dan menyembah Sanghyang Taya melalui Pribadi Ilahi yang
disebut Sanghyang Tunggal. Mereka sama seperti para Tu-tug,
yaitu menggunakan sarana bantu Tu-buh; mengatur makanan,
mengatur ucapan, menyatukan kiblat hati dan pikiran untuk
diarahkan ke “rasa suwung” yang tersembunyi di dalam Tu-tud
(hati), mengharapkan pancaran Tu-ah dan Tu-lah yang
tersembunyi di dalam “rasa suwung” itu. Jika mereka sudah
mengenal “rasa suwung” di dalam diri mereka sendiri maka mereka
akan mengambil manfaat dari pengenalan tersebut.

Meskipun golongan Tu-hu termasuk manusia yang tercerahkan,


jiwa dan pikirannya masih terpengaruh oleh pamrih-pamrih.
Mereka yakin bahwa meskipun mereka harus hidup di dunia
dengan sengsara dan menderita, jika mati kelak mereka berharap
ditempatkan di Tayan (Jawa Kuno: surga, kayangan) untuk
764
menikmati kelezatan hidup abadi bersama leluhur dengandilayani
para Tayawara (Jawa Kuno: bidadari). Mereka menempatkan diri
sebagai perantara hubungan manusia dengan Sanghyang
Tunggal. Mereka itulah yang dengan hormat disebut golongan pi-
nituhu yang memancarkan Tu-ah dan Tu-lah untuk menjaga
keselarasan kehidupan manusia. Dengan Tu-ah dan Tu-lah yang
mereka miliki, mereka sering menentang, melawan, berperang,
dan bahkan mengalahkan dewa-dewa yang menindas manusia.
Mereka menjadi pemangku yang bertugas melakukan upacara suci
memuja Sanghyang Tunggal. Jumlah golongan pi-nituhu lebih
banyak dibandingkan dengan jumlah golongan Tu-ha.

Golongan ketiga adalah golongan Tu-ngga (Jawa Kuno: tinggi,


mulia), yaitu golongan orang-orang yang memuja dan menyembah
Sanghyang Tunggal dengan menggunakan perantara bantu wa-
Tu; mengatur makanan, mengatur pikiran, mengatur ucapan,
mengatur tindakan, bersujud (tondhem) di hadapan wa-Tu sebagai
lambang pengejawantahan Sanghyang Tunggal, mengharap
pancaran Tu-ah dan Tu-lah yang tersembunyi di dalam lambang
wa-Tu. Jika mereka sudah beroleh Tu-ah dan Tu-lah dari
Sanghyang Tunggal lantaran memuja-Nya dengan perantaraan
wa-Tu maka Tu-ah dan Tu-lah itu akan mereka manfaatkan untuk
kepentingan pribadi sekaligus kepentingan orang banyak.

Mereka adalah orang-orang yang masih kuat terpengaruh oleh


pamrih ukhrawi dan duniawi sekaligus. Mereka menggunakan dan
memanfaatkan Tu-ah dan Tu-lah yang mereka peroleh dari
Sanghyang Tunggal untuk memegahkan diri di dalam kehidupan
765
duniawi, sekaligus berharap saat mati nanti dengan Tu-ah dan Tu-
lah itu mereka dapat menikmati kelezatan hidup di Tayan dilayani
para Tayawara. Mereka itulah yang disebut dha-Tu atau ra-Tu.

Tu-ah dan Tu-lah yang dimiliki para ra-Tu sesungguhnya tidak


sedahsyat Tu-ah dan Tu-lah para pi-nituhu, apalagi para pi-nituha.
Itu sebabnya, mereka selalu memperkuat Tu-ah dan Tu-lah
dengan bantuan benda-benda bertuah yang lain seperti wa-Tu, Tu-
gu, un-Tu, Tu-lang, Tu-lup, Tu-mbak, Tu-nggul, To-san, To-pong,
To-peng, dan To-wok. Jumlah golongan dha-Tu atau ra-Tu lebih
banyak daripada jumlah pi-nituhu.

Golongan keempat adalah golongan Tu-gul (Jawa Kuno: bodoh,


awam), yaitu kalangan orang kebanyakan yang memuja dan
menyembah Sanghyang Taya dengan menggunakan sarana bantu
berbagai benda terutama wa-Tu serta arwah para pi-nituha, pi-
nituhu, dha-Tu dan ra-Tu. Mereka merupakan golongan orang-
orang yang tidak mengenal Sanghyang Taya secara benar.
Mereka hanya mendengar tentang Sanghyang Taya secara
samar-samar. Mereka menganggap Sanghyang Taya tinggal di
Tayan yang terletak di puncak gunung. Mereka hanya mendengar
cerita dari mulut ke mulut bahwa di dalam wa-Tu, Tu-gu, Tu-nggul,
Tu-k, Tu-rumbuhan, Tu-lang, un-Tu, Tu-lup, pin-Tu, To-peng, To-
pong, To-san, dan To-wok terdapat daya sakti berupa Tu-ah dan
Tu-lah dari Sanghyang Taya. Mereka bahkan meyakini bahwa di
dalam benda-benda tersebut tidak sekedar terdapat daya sakti Tu-
ah dan Tu-lah, tetapi bersemayam pula makhluk-makhluk halus
yang sewaktu-waktu bisa dimintai bantuan.
766
Golongan Tu-gul ini merasa rendah diri dan tidak yakin jika mereka
dapat memuja dan menyembah Sanghyang Tunggal secara benar.
Itu sebabnya, mereka memuja dan menyembah Sanghyang
Tunggal melalui arwah seorang pi-nituha, pi-nituhu, ra-Tu, atau
dha-Tu. Hanya saja, akibat sulitnya mengenal keberadaan seorang
pi-nituhu apalagi pi-nituha maka yang lazim dipuja dan disembah
oleh golongan Tu-gul adalah arwah para ra-Tu yang dirupakan
dalam bentuk wa-Tu yang menjadi tanda kubur sang ra-Tu.

Sepanjang memuja dan menyembah arwah ra-Tu melalui wa-Tu,


golongan Tu-gul sesungguhnya hanya berharap agar semua
kebutuhan dan keinginan mereka terhadap berbagai tuntutan
kehidupan duniawi terpenuhi. Demi memenuhi keinginan
duniawinya yang kuat, yang sering berlebihan dalam kerakusan
dan keserakahan, mereka tidak hanya memuja dan menyembah
arwah ra-Tu, tetapi mereka sering kedapatan bersedia mengikuti
cara-cara pemujaan dan penyembahan yang dilakukan Sang To-
gog, yakni memuja dan menyembah Sanghyang Manikmaya (han-
Tu). Mereka hampir tidak perduli dengan urusan Tayan yang
ukhrawi, apalagi dengan Sanghyang Taya. “Mereka itulah yang
disebut dengan nama golongan Tu-tut (pengikut). Jumlah
golongan Tu-tut ini adalah yang terbanyak di antara semua
golongan umatku,” jelas Dang Hyang Semar.

“Sekalipun golongan Tu-tug, Tu-hu, Tu-ngga, dan Tu-gul berbeda


tingkatan dalam mengenal keberadaan Sanghyang Taya, hampir
semua golongan ini tetap tidak menyimpang dari dasar-dasar
ajaranku, yaitu meyakinkan diri bahwa Sanghyang Taya adalah
767
kekuatan dan kekuasaan gaib yang tidak bisa dibayang-
bayangkan, dipikir-pikirkan, dibanding-bandingkan, dan didekati
dengan indra. Tidak ada di antara pengikutku, kecuali mereka yang
sudah sangat bodoh dan sesat, beranggapan bahwa Sanghyang
Taya memiliki tubuh, tangan, kaki, kepala, dan bisa berjalan-jalan
seperti manusia.”

“Sesungguhnya, hal itu tidak berbeda jauh dengan ajaran Islam


yang saya anut,” ujar Abdul Jalil. “Dari sisi batiniah, di kalangan
umat Islam pun terdapat tiga golongan besar, yaitu golongan
‘awam, golongan khawash, dan golongan khawash al-khawash.
Golongan khawash al-khawash dikaruniai kekuatan dan
kekuasaan gaib yang disebut karamah oleh Allah SWT. Dengan
karamah itu seorang khawash al-khawash dapat mendatangkan
berkah (Tu-ah) dan laknat (Tu-lah).”

“Golongan khawash dikaruniai kekuatan dan kekuasaan gaib yang


disebut ma’unah oleh Allah SWT., yakni kekuatan dan kekuasaan
gaib yang lebih rendah kadarnya dari karamah. Sedangkan
golongan ‘awam tidak dikaruniai apa-apa kecuali rahmat (kasih),
maghfirah (pengampunan) Ilahi, dan syafa’at dari Nabi Muhammad
Saw. Golongan ‘awam ini masih terpilah lagi ke dalam dua
golongan besar. Pertama, golongan ‘awam yaitu mereka yang
sangat mencintai dunia tetapi masih mempercayai Allah SWT. Dan
kehidupan akhirat. Kedua, golongan ‘awam al-‘awam yaitu mereka
yang benar-benar mencintai kehidupan dunia dan tidak peduli
dengan urusan kehidupan akhirat apalagi dengan Yang Ilahi. Yang
terakhir ini mungkin sama dengan kebanyakan golongan Tu-gul.”
768
“Menurut saya, sama dengan para pengikut paduka, umat Islam
pengikut Nabi Muhammad Saw. pun mulai dari kalangan ‘awam al-
‘awam hingga khawash al-khawash, kecuali yang sudah sangat
bodoh dan sesat, semua meyakini bahwa Allah SWT. Tidak dapat
dibayang-bayangkan, dipikir-pikir, dibanding-bandingkan, dan
didekati dengan indra. Tidak ada umat Islam yang beranggapan
bahwa Allah SWT. Punya tubuh, tangan, kaki, kepala, dan bisa
berjalan-jalan seperti manusia.”

“Sesungguhnya, semua ajaran Kebenaran itu Satu jua


Sumbernya.”

“Tapi paduka, bagaimana membedakan ajaran paduka dengan


ajaran Sang To-gog?” Abdul Jalil ingin tahu. “Bukankah To-gog
juga memuja dan menyembah Sanghyang Taya melalui
Sanghyang Manikmaya?”

“Sesungguhnya, ajaranku dan ajaran Sang To-gog berasal dari


Satu Sumber, yaitu Sanghyang Taya. Namun, ajaran kami
dibedakan dalam kiblat pemujaan dan sesembahan. Aku berkiblat
kepada Sanghyang Tunggal. To-gog berkiblat kepada Sanghyang
Manikmaya. Ajaranku sangat sederhana karena hanya berupa
pengarahan kiblat hati dan pikiran kepada Yang Mahagaib yang
Tak Terbayangkan melalui satu jalan, yakni Sanghyang Tunggal,
yang dicapai melalui sarana bantu Tu-buh, dan wa-Tu.”

769
“Sedangkan ajaran To-gog jauh lebih rumit karena mengikuti
banyak jalan sebagai pengejawantahan Sanghyang Manikmaya.
Di samping itu, ajaran Sang To-gog sangat dipenuhi dengan
pamrih-pamrih duniawi dan ukhrawi. Ajaranku tidak mengenal
sesaji. Ajaran Sang To-gog justru mensyaratkan penggunaan
sesaji. Karena ajaran yang disampaikan Sang To-gog melewati
banyak jalan di mana masing-masing jalan memiliki aturan dan
pranata sendiri maka para pengikut Sang To-gog sering menemui
kesulitan dalam memuja-Nya.”

“Sejak semula sudah menjadi kehendak-Nya bahwa tugas yang


aku emban bertentangan dengantugas yang diemban saudaraku,
Sang To-gog. Itu sebabnya, anak-anak yang membantuku
menunaikan tugas selalu bertentangan dengan anak-anak yang
membantu tugas Sang To-gog. Sang Dhawala (Jawa Kuno: yang
putih menyilaukan) adalah anakku yang menjadi pengingat bagi
golongan Tu-hu tentang bagaimana sesungguhnya cara yang
benar dalam menjalankan aturan pemujaan dan penyembahan
terhadap Sanghyang Tunggal (Tu-han) sebagai Pribadi Ilahi
melalui sarana bantu Tu-buh.”

“Sang Udal (Jawa Kuno: yang pasrah) adalah anakku yang


menjadi pengingat bagi golongan Tu-ngga tentang bagaimana
sesungguhnya cara yang benar dalam mengikuti aturan memuja
dan menyembah Sanghyang Tunggal melalui sarana bantu wa-Tu.
Sang Astrajingga (Jawa Kuno: senjata merah menyala) adalah
anakku yang menjadi pengingat bagi golongan Tu-gul agar mereka
setia menaati ajaranku dengan cara mengikuti dan mematuhi
770
ajaran (pi-wulang), petunjuk (pi-tuduh), teladan (tu-ladha), dan
wejangan (pi-tutur) dari para pi-nituha, pi-nituhu, dha-Tu, dan ra-
Tu.”

Sementara itu, Sang To-gog yang menjalankan tugas memimpin


manusia untuk menyembah Sanghyang Manikmaya juga dibantu
oleh tiga anaknya. Sang Bilung (Jawa Kuno: hidangan) adalah
anak Sang To-gog yang mengajari manusia untuk memuja dan
menyembah Sanghyang Manikmaya melalui berbagai jenis sarana
bantu. Tujuan utama Sang Bilung dan pengikutnya menyembah
Sanghyang Manikmaya adalah mengharap agar semua hasrat dan
keinginan manusia, terutama kemasyhuran diri di dunia,
dikabulkan oleh Sanghyang Manikmaya. Sang Bilung dan
pengikutnya yakin bahwa mereka yang memuja dan menyembah
Sanghyang Manikmaya akan dilimpahi Tu-ah dan Tu-lah, yang
berguna untuk meraih kemasyhuran di dunia dan jika mati nanti
mereka akan tinggal di Tayan bersama leluhur.

Para pengikut Sang Bilung disebut golongan To-r (Jawa Kuno:


yang menyajikan hidangan). Mereka adalah para pemilik kekuatan
gaib yang keramat dan memiliki tugas utama mempersembahkan
sesaji dan korban kepada Sanghyang Manikmaya. Mereka berupa
para dukun dan walyan yang sangat ditakuti karena bisa
mengarahkan Tu-ah dan Tu-lah yang mereka miliki untuk
mencelakai orang melalui tu-ju (teluh) dan ku-tu-k (sumpah).
Mereka umumnya perempuan.

771
Sang Sarawita (Jawa Kuno: inti, energi, benda) adalah anak Sang
To-gog yang mengajarkan manusia untuk memuja dan
menyembah Sanghyang Manikmaya melalui berbagai sarana
bantu. Tujuan utama mereka memuja dan menyambah Sanghyang
Manikmaya adalah mengharap agar semua hasrat kecintaan
manusia terhadap benda-benda dan kekuasaan duniawi terpenuhi.
Sang Sarawita dan pengikutnya yakin bahwa pemuja dan
penyembah Sanghyang Manikmaya akan dilimpahi Tu-ah dan Tu-
lah yang berguna untuk menguasai benda-benda sekaligus
menjadi pemegang kekuasaan dunia.

Para pengikut Sang Sarawita disebut golongan Tu-huk (Jawa


Kuno: terpuaskan). Mereka adalah para Pa-tu-nggul (Jawa Kuno:
pemegang tunggul, pemimpin) yang sakti serta memiliki kekuatan
dan kekuasaan besar. Mereka sangat ditakuti karena memiliki
harta benda berlimpah, pengikut banyak, kekuasaan besar, dan
sakti mandraguna. Mereka acap kali menduduki jabatan dha-Tu
dan ra-Tu.

Sedangkan Sang Kere (Jawa Kuno: kurus, hina, miskin, lapar)


adalah anak Sang To-gog yang mengajari manusia untuk memuja
dan menyembah Sanghyang Manikmaya melalui berbagai sarana
bantu. Sang Kere dan para pengikutnya tidak mengenal
Sanghyang Manikmaya, apalagi Sanghyang Taya, secara benar.
Sang Kere dan para pengikutnya adalah orang-orang yang rakus,
tamak, serakah, kejam, buas, dan mementingkan diri sendiri. Sang
Kere dan para pengikutnya adalah pemuja dan penyembah nafsu
dan benda-benda duniawi.
772
“Apakah Sang To-gog dan ketiga puteranya mengajarkan korban
berupa Tu-mbal manusia?”

“Sesungguhnya, di dalam ajaran Sang To-gog yang murni tidak


dikenal adanya persembahan korban yang disebut Tu-mbal. Itu
adalah ajaran yang dibawa oleh Sang Idajil (Si Urat Napas Juling),
guru Sang Kere yang lambat laun berhasil mempengaruhi ajaran
Sang To-gog.”

“Siapakah Sang Idajil? Kenapa dia bisa mempengaruhi ajaran


Sang To-gog?”

To-gog adalah orang yang suka bercanda dan tidak bisa bertindak
tegas terhadap perilaku anak-anaknya yang menyimpang. Itu
sebabnya, ketika anaknya yang bernama Sang Kere dipengaruhi
Sang Idajil, ia tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menangis dan
meratap meminta bantuanku untuk melawan Sang Idajil. Namun,
aku tidak bisa membantunya karena Sang Idajil diam-diam mulai
berusaha mempengaruhi umatku juga. Sehingga, aku dan ketiga
orang anakku harus berjuang keras melawan pengaruh jahat Sang
Idajil yang menyesatkan itu.”

“Apa ciri-ciri ajaran Sang Idajil?”

773
“Ibadah sehari-hari para pemuja Sang Idajil, Si Urat Napas Juling,
ditandai oleh dua ciri yang sama dengan hakikat nama Idajil.
Pertama, melalui pengaturan pernapasan lewat urat napas
sebagaimana diajarkan Sang Idajil, mereka akan mencapai tahap
tidak sadarkan diri dan kemudian mengomel tidak karuan. Mereka
tidak tahu apa yang sesungguhnya telah mereka ucapkan dalam
omelan itu. Mereka seperti keranjingan arwah, padahal
sesungguhnya hal itu terjadi karena getar urat napas yang diatur
secara keliru sehingga mempengaruhi kesadaran. Kedua, seperti
Sang Idajil yang juling, mereka selalu keliru dalam memandang
Kebenaran. Mereka tidak pernah tahu hakikat Tu, Pribadi Ilahi,
apalagi hakikat Sanghyang Taya. Mereka hanya mengenal Tu-han
sebagai kuasa terang dan kebaikan, sedangkan han-Tu
merupakan kuasa kegelapan dan kejahatan. Terang dan gelap
adalah dua kekuatan yang saling bertarung memperebutkan
keunggulan masing-masing. Itu sebabnya, pengikut Sang Idajil
menganggap kebenaran itu dua, bukan sa-Tu atau Tu-nggal.”

Akibat pengaruh Sang Idajil, ajaran Sang To-gog tentang cara-cara


manusia memuja Sanghyang Manikmaya, Pribadi Ilahi, sesuai Tu-
ntunan Sanghyang Taya, makin lama makin tenggelam ke dalam
ajaran Sang Idajil. Para pengikut Sang To-gog mulai melakukan
cara-cara yang lebih rumit, yaitu dengan melakukan upacara yang
menggunakan persembahan sesaji-sesaji tambahan dan korban-
korban berupa hewan maupun manusia.

Untuk sesaji-sesaji, misalnya, para pengikut Sang Idajil tidak saja


menggunakan Tu-mpeng, Tu-d, dan Tu-mbu, tetapi ditambah
774
dengan Tu-ak. Untuk korban digunakan Tu-mbal (manusia) dan
Tu-kang (hewan sejenis kera). Baik sesaji maupun korban secara
bersama-sama atau terpisah, digunakan sebagai piranti upacara di
tempat-tempat keramat seperti Tu-ngkub (bangunan suci), Tu-
rumbuhan (pohon beringin), Tu-ban (air terjun), Tu-k (mata air), Tu-
nda (tempat bertingkat-tingkat), Tu-san (tempuran anak sungai),
Tu-mpis (lereng gunung). Di tempat-tempat tersebut diletakkan
benda-benda bertuah, seperti Tu-gu, wa-Tu, Tu-nggul, Tu-nggak,
Tu-ngas, Tu-lang, Tu-lup, To-pong, To-peng, To-san, To-ya, dan
To-wok. Waktu upacara lazimnya dilakukan pada saat Tu-nggang
gunung (senja). Jumlah sesaji dan korban pun ditentukan
berdasarkan hitungan tertentu, yaitu Tu-nggal dan pi-Tu.

“Berarti ajaran Sang To-gog sudah menyimpang dari ajaran yang


semula,” kata Abdul Jalil. “Apakah hal itu tidak menimbulkan
pertentangan dengan ajaran paduka?”

“Perlu engkau ketahui, o Abdul Jalil, meski aku dan anak-anakku


berseberangan dengan Sang To-gog dan anak-anaknya, kami
tidak pernah berselisih. Kami sadar bahwa segala perbedaan yang
ada pada kami sesungguhnya adalah kehendak Sanghyang Taya
belaka. Namun sejak ajarannya terpengaruh Sang Idajil,
perselisihan sengit hingga menumpahkan darah memang sering
terjadi antara pengikutku dan pengikut Sang To-gog.”

“Apakah ajaran Sang To-gog kemudian menjadi satu dengan


ajaran Sang Idajil?”
775
“Sesungguhnya, ajaran Sang To-gog menyimpang jauh setelah dia
meninggal dan ajarannya benar-benar telah dirusak oleh Sang
Kere. Namun seratus tahun setelah kematian Sang To-gog,
lahirlah keturunannya yang bernama Teja Mantri dari sekian
banyak keturunan Sang Bilung. Dialah yang meluruskan kembali
ajaran Sang To-gog. Demikianlah, di antara keturunan Sang Teja
Mantri kemudian lahir penerus yang meluruskan ajaran leluhurnya
sampai pada masa Sang Hantaga, yakni kerurunan Sang To-gog
yang tidak memiliki keturunan.”

“Paduka, apakah nama ajaran yang dibawa Sang To-gog?”

“Semula nama ajarannya sama dengan ajaranku. Tetapi lama-


lama ajarannya disebut Tata-titi. Padahal, Tata-titi hanyalah bagian
dari ajaran yang kami sampaikan.”

“Jika demikian, apakah nama ajaran yang paduka sampaikan


kepada manusia?”

“Karena ajaran yang kusampaikan menyangkut tata cara


pemujaan dan penyembahan kepada Sanghyang Taya maka
manusia harus diyakinkan dulu tentang keberadaan Sanghyang
Taya. Keyakinan terhadap keberadaan Sanghyang Taya itulah
yang disebut Pi-Taya (rahasia tentang Yang Suwung). Orang-
orang yang yakin dengan keberadaan Sanghyang Taya disebut
wwang Pi-Taya (orang yang mempercayai Yang Suwung). Adapun
776
seluk-beluk ajaranku tentang dasar-dasar keyakinan dan tata cara
memuja serta menyembah Sanghyang Taya disebut dengan nama
Kapitayan.”

“Paduka yang mulia, bagaimanakah cara paduka menjaga


kelestarian ajaran Kapitayan dari waktu ke waktu? Apakah dengan
cara seperti yang dilakukan Sang To-gog?” Abdul Jalil meminta
penjelasan.

“Benar adanya demikian. Setelah aku meninggal dunia pada usia


tujuh ratus tahun, terjadilah penyimpangan ajaran Kapitayan.
Kemudian lahirlah keturunanku yang meluruskan ajaran itu. Dalam
waktu seratus tahun sepeninggalku, rusaklah ajaran Kapitayan.
Selama kurun hampir lima puluh tahun Kapitayan sudah
bercampur aduk dengan ajaran Sang To-gog yang juga sudah
berbaur dengan ajaran Sang Idajil. Tu-han dipuja dan disembah
bersama han-Tu. Kebenaran dianggap dua. Sesaji dan korban
saling tumpang tindih meminta nyawa orang-orang tak bersalah.”

“Ditengah kerancuan ajaranku muncullah keturunanku yang


bernama Dang Hyang Badranaya dan ketiga orang anaknya, yaitu
Rahyang Pathuk, Rahyang Gareng, dan Rahyang Somaita yang
berjuang keras meluruskan kembali ajaran Kapitayan. Begitu
seterusnya, ajaran Kapitayan dari zaman ke zaman diluruskan oleh
para keturunanku seperti Dang Hyang Hasmara, Dang Hyang
Smarasanta, Pu Walaing, Ki Buyut Wangkeng, dan terakhir Ki
Buyut Sondong.”
777
“Rupanya, Sanghyang Taya telah mengakhiri pelurusan ajaran
Kapitayan dengan meninggalnya Ki Buyut Sondong. Sebab,
keturunanku itu tidak memiliki keturunan. Dengan demikian,
keberadaan ajaran Kapitayan memang sudah dikehendaki-Nya
untuk digantikan dengan ajaran baru yang lebih sempurna. Tetapi
perlu engkau ketahui, o Abdul Jalil, bahwa apapun nama ajaran
baru yang akan disampaikan di Nusa Jawa, yang akan lestari
adalah ajaran yang tidak bertentangan dengan dasar-dasar ajaran
Kapitayan. Sebab telah menjadi keniscayaan sejarah, berbagai
ajaran baru yang disebarkan ke Nusa Jawa yang tidak sesuai
dengan dasar-dasar ajaran Kapitayan tidak akan diterima oleh
penghuninya. Bahkan, pengikut ajaran itu akan diancam oleh
penghuni purwakala negeri ini.”

“Paduka telah paham bahwa ajaran yang paduka sampaikan


kepada manusia secara hakiki sama dengan ajaran Islam yang
disampaikan Nabi Muhammad Saw., yakni memuja dan
menyembah Tu-han Yang Tunggal, Mahakuasa, Tak
Terbandingkan dengan sesuatu, Sumber segala sesuatu. Namun
satu hal yang ingin saya tanyakan kepada paduka, yaitu tentang
pendahulu saya, Syaikh Syamsuddin al-Baqir al-Farisi. Apakah
yang menyebabkan beliau gagal menyiarkan ajaran Islam di Nusa
Jawa?” tanya Abdul Jalil.

“Sesungguhnya, segala sesuatu yang terjadi adalah kehendak-


Nya semata. Namun jika hendak dicari sebab musababnya, salah
satu kekeliruan yang dilakukan pendahulumu adalah
kepulangannya yang terlalu cepat ke Negeri Persia beberapa
778
waktu setelah ia mendapat perkenanku menyebarkan ajaran Islam
di Nusa Jawa. Sebab, dengan kepergiannya kembali ke Persia,
orang-orang Islam di Nusa Jawa menjadi kacau balau dalam
mengamalkan ajarannya. Secara berangsur-angsur mereka mulai
menganggap bahwa Allah yang mereka sembah bukan lagi Tu-han
Yang Tak Terpikirkan dan Tak Terbandingkan dengan sesuatu,
melainkan seorang dewa perang dengan malaikat-malaikat
sebagai panglimanya. Dewa perang yang selalu membela dan
melindungi umat Islam, sebaliknya selalu memusuhi dan
membinasakan orang-orang yang bukan Islam.”

“Akibat meyakini bahwa Allah yang disembah adalah dewa perang


maka orang Islam pengikut Syaikh Syamsuddin al-Baqir al-Farisi
sering menumpahkan darah manusia. Mereka suka membunuh
manusia lain yang dianggap kafir. Mereka telah mengambil hak
Sanghyang Wenang, yaitu mencabut nyawa manusia sekehendak
hati. Selain itu, mereka juga menjadi pemuja setia dari kuburan-
kuburan pemukanya. Bahkan, banyak di antara mereka yang
meyakini bahwa Allah yang mereka sembah itu bisa menjelma
dalam wujud manusia tidak waras yang bisa mengabulkan
permohonan dan memberi berkah keselamatan.”

“Apa yang terjadi dengan orang-orang Islam di Nusa Jawa setelah


kepulangan Syaikh Syamsuddin al-Baqir al-Farisi akhirnya menuai
bencana. Perkenan yang sudah kuberikan tentu tidak bisa
menggugurkan lima syarat perjanjianku dengan para raja bangsa
halus penghuni purwakala Nusa Jawa. Orang-orang Islam banyak
yang mati terbunuh akibat pertumpahan darah dengan sesama
779
manusia penghuni Nusa Jawa. Akhirnya, jumlah mereka yang
tersisa tinggal hitungan jari saja. Jika dilihat dari sisi alam gaib,
sebagian besar di antara mereka yang mati itu dijadikan korban
dalam pesta darah para makhluk berbadan halus penghuni
purwakala negeri ini.”

“Saya mohon petunjuk paduka,” ujar Abdul Jalil. “Bagaimana cara


saya menjadikan tawar pengaruh bangsa berbadan halus
penghuni purwakala Nusa Jawa ini, selain perkenan paduka
tentunya?”

“Dengan Tu-ah dan Tu-lah yang dilimpahkan-Nya kepadamu,


sesungguhnya engkau bisa mengusir seluruh makhluk halus
penghuni purwakala Nusa Jawa ke pulau lain atau ke tengah
lautan. Namun, jika engkau hendak mengikuti apa yang telah aku
lakukan maka engkau harus memasang Tu-mbal di beberapa
tempat yang bisa membuat tawar pengaruh jahat mereka. Hanya
saja, Tu-mbal yang engkau tetapkan tempatnya itu tidak banyak
pengaruhnya untuk melindungi para pemuja duniawi dari pengaruh
bangsa halus.”

“Saya akan mengikuti jejak paduka. Sebab, telah jelas bagi saya
bahwa ajaran Islam adalah ajaran Tauhid yang dijadikan rahmat
oleh-Nya bagi seluruh makhluk di alam semesta. Sesungguhnya,
tugas utama saya hanyalah sebagai penyampai berita Kebenaran
Islam saja. Saya sekali-kali bukan pengusir bangsa lain apalagi
penimbul kebinasaan.”
780
“Itu baik dan sesuai dengan semangat ajaran Kapitayan.”

“Tapi paduka, apakah pendahulu saya, Syaikh Syamsuddin al-


Baqir al-Farisi, juga memasang Tu-mbal di Nusa Jawa? Apakah
bentuk Tu-mbal yang digunakannya?” tanya Abdul Jalil.

“Tentu saja,” jawab Dang Hyang Semar. “Dia dulu memasang Tu-
mbal di beberapa tempat di pantai utara Nusa Jawa dengan
menebarkan tanah dari Negeri Persia. Saat memasang Tu-mbal itu
ia mengibarkan bendera hitam yang disebut Tunggul Wulung.”

“Apakah pemasangan Tu-mbal itu dilakukan dari arah barat ke


timur?”

“Ya.”

“Dari manakah hal itu dimulai?”

“Dari tiga gunung tempat Sanghyang Tunggal, Sanghyang


Manikmaya, dan Idajil dipuja.”

“Lalu di manakah letak ketiga gunung itu?”

781
“Ditanah kulon tempat aku dan Sang To-gog pertama kali
terdampar seusai banjir besar, yaitu di Gunung Karang Tumaritis,
Gunung Pulasari, dan Gunung Lancar.”

Usai menjawab pertanyaan Abdul Jalil, tiba-tiba ruh Dang Hyang


Semar lenyap. Abdul Jalil gelagapan dan membuka mata dengan
celingukan. Ia melihat Sri Mangana masih duduk bersila di
sampingnya. Rupanya, ayahanda asuhnya itu menangkap sasmita
bahwa beberapa jenak yang lalu ia sesungguhnya sedang
berhubungan dengan Dang Hyang Semar meski tidak terlihat. Itu
sebabnya, saat ia mengajak pulang, ayahanda asuhnya bertanya
sambil menarik napas berat, “Apa saja yang beliau wejangkan
kepadamu, o Puteraku?”

“Beliau telah berkenan mengizinkan agama Islam berkembang di


Nusa Jawa karena sesungguhnya ajaran Islam secara hakiki tidak
berbeda dengan ajaran Kapitayan yang beliau sampaikan kepada
manusia. Bedanya dengan ajaran Islam adalah ajaran Kapitayan
masih sangat sederhana syari’atnya, tetapi inti Tauhidnya sama.
Ini bisa dipahami karena Kapitayan memang untuk manusia yang
hidup pada zaman purwakala.”

“Jadi, benar beliau seorang nabi yang membawa ajaran Tauhid?”


tanya Sri Mangana.

782
“Menurut kesaksian ananda, beliau dan keturunannya adalah nabi-
nabi yang membawa ajaran lurus keesaan Ilahi kepada manusia,
khususnya di Nusa Jawa. Tetapi, sejak Ki Buyut Sodong,
keturunan terakhirnya, wafat tanpa keturunan maka tidak ada lagi
yang meluruskan ajaran Kapitayan.”

“Jadi, ajaran Kapitayan itu diwariskan turun temurun di antara


keturunan Dang Hyang Semar?” gumam Sri Mangana dengan
pandang terheran-heran. “Aku pikir ajaran itu hanya disampaikan
oleh satu orang saja, yaitu Dang Hyang Semar.”

“Menurut penjelasan beliau tadi, memang demikian adanya.”

“Tetapi, o Puteraku, jika Dang Hyang Semar telah berkenan


mengizinkan Islam berkembang di Nusa Jawa, berarti ajaran
Kapitayan memang tidak berbeda secara hakiki dengan ajaran
Rasulullah Saw..”

“Benar demikian adanya, o Ramanda Ratu. Bahkan menurut


hemat ananda, Islam bisa dikatakan ibarat penyempurna bagi
ajaran Kapitayan. Hanya bahasa, waktu, dan ruang lingkup saja
yang membedakan ajaran Tauhid Kapitayan dan Tauhid Islam.”

783
“Berarti, ajaran Islam dengan mudah akan berkembang di Nusa
Jawa karena kehadiran Islam seperti membangkitkan ajaran lama
yang sudah dikenal semua orang.”

“Sesungguhnya tidak bisa disebut mudah, Ramanda Ratu, sebab


kita masih harus membuat tawar pengaruh buruk para penghuni
purwakala Nusa Jawa.”

“Penghuni purwakala? Siapakah mereka?”

“Menurut Dang Hyang Semar, mereka adalah makhluk berbadan


halus. Menurut pikiran ananda, mereka adalah golongan bangsa
jin.”

“Caranya bagaimana?”

“Ananda akan memasang Tu-mbal sebagaimana yang telah


dilakukan oleh pendahulu ananda, Syaikh Syamsuddin al-Baqir al-
Farisi.”

“Memasang Tu-mbal ? Dengan korban sembelihan manusia?”

784
“Tidak Ramanda Ratu,” sahut Abdul Jalil, “tetapi dengan menebar
tanah dari Negeri Persia.”

“Berarti engkau akan ke Persia?”

“Tidak perlu, Ramanda Ratu, karena mertua ananda, Syaikh Abdul


Malik al-Baghdady, sudah membekali ananda dengan sekantung
tanah yang beliau ambil dari tempat bernama Karbala. Tanah itulah
yang akan ananda tebarkan sebagai Tu-mbal.”

“Mudah-mudahan engkau berhasil menjalankan tugasmu, o


Puteraku.”

“Ananda mohon doa restu dari Ramanda Ratu.”

“Baiklah, Puteraku,” ujar Sri Mangana. “Untuk mengingat


pertemuan mulia ini dan sebagai pertanda bahwa Yang Mulia Dang
Hyang Semar, pembawa ajaran Kapitayan, telah berkenan
mengizinkan ajaran Islam disampaikan di Nusa Jawa maka tempat
di pinggir hutan kecil di tepi sungai ini selanjutnya akan kutetapkan
dengan nama Dukuh Semar.”

785
“Mudah-mudahan dengan mengingat nama Dukuh Semar, orang
senantiasa akan mengingat pembawa ajaran Tauhid yang paling
awal di Nusa Jawa,” kata Abdul Jalil.

Sejak bertemu dengan ruh Dang Hyang Semar, Abdul Jalil sadar
bahwa berbagai kecenderungan para penghuni Bumi Pasundan
dan Nusa Jawa untuk mengikuti naluri memuja arwah leluhur,
terutama memuja arwah ra-Tu, bukan sesuatu yang berdiri sendiri,
melainkan suatu rangkaian sambung menyambung yang
bersumber dari pendangkalan ajaran suci Kapitayan. Pemujaan
terhadap arwah ra-Tu terutama amaliah kalangan Tu-gul di dalam
menerapkan ajaran Kapitayan pada kehidupan sehari-hari.

Dengan memahami kecenderungan terjadinya pendangkalan


ajaran oleh kalangan awam maka sejak awal Abdul Jalil sudah
menangkap sasmita bahwa ajaran Kebenaran Islam yang bakal
disampaikannya – khususnya Tarekat Akmaliyyah – akan
mengalami nasib sama seperti ajaran Kapitayan, yaitu hanya bisa
diikuti oleh beberapa gelintir manusia. Bahkan, ia menangkap
kemungkinan ajaran tarekat yang disampaikannya juga bakal
didangkalkan dan disimpangkan maknanya. Namun, di atas
berbagai kemungkinan itu, ia segera sadar betapa sesungguhnya
Allah SWT. memang telah menghendaki semuanya berlangsung
demikian demi tetap terjaganya rahasia keagungan dan kesucian-
Nya. Sungguh! Tidak semua manusia boleh mengetahui rahasia-
Nya.

786
Berbeda dengan Abdul Jalil, Sri Mangana justru dicekam
kegelisahan mendalam usai bertemu Dang Hyang Semar. Dia
merasa ada gumpalan kabut hitam menyelimuti kejernihan hatinya
yang diliputi rasa bersalah. Penolakan Dang Hyang Semar benar-
benar merupakan pukulan dahsyat yang membuatnya makan tak
enak dan tidur tak nyenyak.

Penolakan Dang Hyang Semar sangat memukul jiwanya. Sejak dia


kecil kisah tentang tokoh sakti yang rendah hati itu telah akrab
didengarnya dari orang-orang di sekitarnya, terutama dari memen
(tukang dongeng) di Kraton Pakuan Pajajaran. Dang Hyang
Semar, tokoh suci itu, dikenal sebagai manusia jelmaan dewa yang
dapat mengalahkan dewa-dewa. Masih melekat di relung-relung
ingatannya tentang kisah kehebatan Dang Hyang Semar saat
mengalahkan Nini Permoni, titisan Bhatari Durga, penguasa
Pasetran Gandalayu. Dan ternyata tokoh suci yang sakti
mandraguna itu tidak berkenan menemuinya.

Setelah tak mampu lagi menanggung beban jiwanya, datanglah dia


ke hadapan Guru Agung Syaikh Datuk Kahfi yang sedang
berbincang-bincang dengan Abdul Jalil. Dengan segenap
kejujuran dan kepasrahan dia menuturkan kepada guru agung
yang sangat dihormatinya itu betapa sesungguhnya selama ini
dirinya menyembunyikan sesuatu yang tak selayaknya dilakukan
seorang muslim yang patuh. “Saya merasa bersalah karena
selama ini membiarkan jiwa saya didiami anasir kegelapan ilmu
seratus ribu hulu balang. Saya mohon petunjuk apa yang
seharusnya saya lakukan?” Ujar Sri Mangana.
787
Menghadapi pengakuan Sri Mangana, Syaikh Datuk Kahfi menarik
napas berat sambil berkata, “Aku tidak begitu memahami ilmu-ilmu
gaib semacam itu. Sebagaimana diketahui, aku hanya paham
pengetahuan ajaran Islam dari kitab-kitab yang masyhur.”

“Jadi, saya harus bagaimana, Guru Agung?” tanya Sri Mangana.

“Abdul Jalil,” ujar Syaikh Datuk Kahfi, “aku kira engkau lebih tahu
apa yang seharusnya engkau lakukan untuk menolong
ayahandamu.”

“Ampun seribu ampun, Ramanda Guru, sesungguhnya masalah


Ayahanda saya hanya terkait dengan ilmu Bhairawa yang disebut
seratus ribu hulubalang. Ananda kira, jika Ramanda Ratu berkenan
melepas ilmu tersebut sebagaimana yang telah dilakukan Yang
Mulia Ario Damar, Yang Dipertuan Palembang, maka masalahnya
akan selesai dengan sendirinya. Dan setelah itu, ananda kira,
Ramanda Ratu akan lebih mudah menapaki jalan Kebenaran-
Nya.”

“Ananda telah menangkap sasmita bahwa Ramanda Ratu pernah


mengamalkan sebuah wirid yang diperoleh dari Ramanda Guru.
Dalam mengamalkan wirid itu, Ramanda Ratu telah bertemu
dengan Khidir a.s. Namun, pengalaman batiniah itu hanya berhenti
sampai di situ karena Ramanda Ratu masih menyembunyikan

788
‘sesuatu’ di dalam relung-relung jiwa, yaitu ilmu seratus ribu
hulubalang,” kata Abdul Jalil.

Sri Mangana terkejut mendengar penjelasan Abdul Jalil. Dengan


alis kanan diangkat dia bertanya heran kepada putra asuhnya,
“Bagaimana engkau bisa mengetahui jika aku pernah bertemu
betemu dengan Khidir a.s.?”

“Ramanda Ratu, ananda tidak bisa menjelaskan hal itu. Tetapi,


seperti yang pernah ananda sampaikan saat kita bertemu Ayunda
Nyi Muthmainah, bahwa apa yang ananda ucapkan sering berasal
dari ‘sentuhan rasa’ yang meluncur begitu saja dari mulut ananda.
Jadi, apa yang ananda ucapkan tadi sesungguhnya sekadar
berujar saja. Ananda sesungguhnya tidak tahu jika Ramanda Ratu
telah bertemu dengan Khidir a.s.”

Mendengar penjelasan Abdul Jalil yang polos, akhirnya Sri


Mangana mengakui bahwa sesungguhnya dia telah bertemu
dengan Khidir a.s. ketika mengamalkan wirid yang diperolehnya
dari Syaikh Datuk Kahfi. Setelah beberapa waktu mengamalkan
wirid itu, tiba-tiba dia mengalami pengalaman luar biasa yang tak
pernah diduganya sama sekali.

Saat itu, antara sadar dan tidak, antara tidur dan terjaga, dia
seolah-olah berjalan dengan seorang anak muda di sebuah tanah
menjorok lurus yang pada sisi kanan dan kirinya merupakan
789
bentangan lautan luas tanpa tepi. Di tempat aneh itu dia merasa
berjumpa dengan Khidir a.s. “Dari tengah tanah menjorok itu aku
melihat sekawanan udang berenang hilir-mudik di lautan sebelah
kananku. Sedangkan di lautan sebelah kiriku, aku juga melihat
sekawanan udang berenang di antara batu-batuan dan sebagian
bersembunyi di batu-batuan tersebut.”

“Setelah dengan takjub aku pandangi kedua lautan itu, tiba-tiba


Khidir a.s. kulihat muncul mendadak di depanku. Tetapi, saat itu ia
tidak berkata sesuatu kepadaku. Hanya tangan kanannya
menunjuk ke arah kawanan udang yang berenang di lautan
sebelah kiri. Aku tidak tahu apa makna pengalamanku bertemu
Khidir a.s. Sebab, aku tak pernah mengalami pengalaman seperti
itu. Aku berharap engkau dapat menguraikan makna penglihatan
batinku (bashirah) dengan jelas.”

Abdul Jalil menarik napas panjang mendengar uraian ayahanda


suhnya. Sesaat ia berpaling memandang Guru Agung Syaikh
Datuk Kahfi seolah minta penegasan. Syaikh Datuk Kahfi
mengangguk, mengisyaratkan persetujuan.

Setelah merasa beroleh perkenan Syaikh Datuk Kahfi, Abdul Jalil


berkata, “Sesungguhnya, Khidir a.s. yang Ramanda Ratu jumpai
itu bukanlah sosok lain yang terpisah sama sekali dari keberadaan
Ramanda Ratu. Apa yang telah Ramanda Ratu saksikan sebagai
tanah menjorok dengan lautan di sebelah kanan dan kiri itu
bukanlah suatu tempat yang berada di luar diri Ramanda Ratu.
790
Tanah itulah yang disebut perbatasan (barzakh). Dua lautan itu
adalah Lautan Makna (ba-hr al-ma’na), perlambang alam tidak
kasatmata (‘alam al-ghaib), dan Lautan Jisim (bahr al-ajsam),
perlambang alam kasatmata (‘alam asy-syahadat).”

“Sedangkan kawanan udang yang Ramanda Ratu saksikan adalah


perlambang para pencari Kebenaran yang sudah berenang di
perbatasan alam kasatmata dan alam tidak kasatmata. Kawanan
udang yang berenang dilautan sebelah kanan adalah perlambang
para penempuh jalan ruhani (salik) yang benar-benar bertujuan
mencari Kebenaran. Sementara itu, kawanan udang yang
berenang di lautan sebelah kiri, di antara batu-batuan, merupakan
perlambang para salik yang penuh diliputi hasrat-hasrat dan
pamrih-pamrih duniawi.”

Mendengar penjelasan Abdul Jalil, Sri Mangana tercekat heran.


Beberapa jenak kemudian dia berkata, “Benarkah Khidir a.s. yang
aku temui itu muncul dari dalam diriku dan bukan Khidir a.s. seperti
yang ditemui Nabi Musa a.s., yaitu Nabi Allah penguasa perairan
yang hidup abadi?”

“Sesungguhnya, peristiwa yang dialami Nabi Musa a.s. dengan


Khidir a.s., sebagaimana termaktub di dalam Al-Qur’an Al-Karim,
bukanlah peristiwa sejarah seorang manusia bertemu manusia
lain. Ia adalah peristiwa perjalanan ruhani yang berlangsung di
dalam diri Nabi Musa a.s. sendiri. Sebagaimana yang telah ananda
jelaskan, yang disebut dua lautan di dalam Al-Qur’an tidak lain dan
791
tidak bukan adalah Lautan Makna (bahr al-ma’na) dan Lautan Jisim
(bahr al-ajsam). Kedua Lautan itu dipisahkan oleh wilayah
perbatasan atau sekat (barzakh).”

“Bagaimana dengan ikan yang dibawa pemuda yang melompat ke


salah satu lautan?”

“Ikan dan lautan dalam kisah Qur’ani itu merupakan perlambang


dunia kasatmata (‘alam asy-syahadat) yang berbeda dengan
wilayah perbatasan yang berdampingan dengan dunia gaib (alam
al-ghaib). Maksudnya, jika saat itu Nabi Musa a.s. melihat ikan dan
kehidupan yang melingkupi ikan tersebut dari tempatnya berdiri,
yaitu wilayah perbatasan antara dua lautan, maka Nabi Musa a.s.
akan melihat sang ikan berenang di dalam alamnya. Jika saat itu
Nabi Musa a.s. mencermati maka ia akan dapat meyaksikan
bahwa sang ikan yang berenang itu sesungguhnya dapat melihat
segala sesuatu di dalam lautan, kecuali air. Maknanya, sang ikan
hidup di dalam air dan sekaligus di dalam tubuh ikan ada air. Itu
sebabnya, ikan tidak dapat hidup tanpa air yang meliputi bagian
luar dan bagian dalam tubuhnya. Di mana pun ikan berada, ia akan
selalu diliputi air yang tak dilihatnya.”

“Sementara itu, seandainya sang ikan di dalam lautan melihat Nabi


Musa a.s. dari tempat hidupnya di dalam air lautan maka sang ikan
akan berkata bahwa Musa a.s. di dalam dunianya – yang diliputi
udara kosong – dapat menyaksikan segala sesuatu, kecuali udara
kosong yang meliputinya itu. Maknanya, Nabi Musa a.s. hidup di
792
dalam liputan udara kosong yang ada di luar maupun di dalam
tubuhnya, tetapi ia tidak bisa melihat udara kosong dan tidak sadar
jika dirinya hidup di dalam udara kosong. Itu sebabnya, Nabi Musa
a.s. tidak dapat hidup tanpa udara kosong yang meliputi bagian
luar dan dalam tubuhnya. Di mana pun Nabi Musa a.s. berada, ia
akan selalu diliputi udara kosong yang tak bisa dilihatnya.”

“Sesungguhnya, tempat di mana Nabi Musa a.s. berdiri di hadapan


Khidir a.s. adalah wilayah perbatasan antara alam kasatmata dan
alam tidak kasatmata. Apa yang telah Ramanda Ratu saksikan
dengan penglihatan batin itu adalah sama dengan peristiwa yang
dialami Nabi Musa a.s., yakni berada di perbatasan antara alam
kasatmata dan alam tidak kasatmata. Dan sesungguhnya,
kawanan udang yang Ramanda Ratu saksikan itu adalah
perlambang dari salik yang sudah berada di permukaan dunianya,
yaitu salik yang sudah berada di perbatasan (barzakh). Ramanda
Ratu sesungguhnya telah memasuki perbatasan alam gaib.”

“Bagaimana dengan anak muda yang berjalan bersamaku?” tanya


Sri Mangana. “Apakah pemuda itu sama dengan pemuda yang
mendampingi Nabi Musa a.s. saat mencari Khidir a.s?”

“Sesungguhnya, pemuda (al-fata) yang mendampingi Nabi Musa


a.s. dan membawakan belal makanan adalah perlambang dari
tebukanya pintu alam tidak kasatmata. Dulu, sebelum bertemu
dangan hadrat Abu Bakar ash-Shiddiq di alam khayal, ananda
mula-mula bertemu dengan pemuda aneh di Baitullah.
793
Sesungguhnya, di balik keberadaan pemuda (al-fata) itu
tersembunyi hakikat Sang Pembuka (al-Fattah). Sebab, hijab gaib
yang menyelubungi manusia dari Kebenaran Sejati tidak akan bisa
dibuka tanpa kehendak Dia, Sang Pembuka (al-Fattah). Itu
sebabnya, saat Nabi Musa a.s. bertemu dengan Khidir a.s.,
pemuda (al-fata) itu tidak disebut-sebut lagi karena ia sejatinya
perlambang keterbukaan hijab gaib.”

“Jika demikian, apakah makna bekal makanan yang dibawa


pemuda itu?” tanya Sri Mangana, “dan kenapa pula pemuda itu
mengaku telah dibuat lupa oleh setan sehingga ikan yang
dibawanya masuk ke laut?”

“Bekal makanan adalah perlambang pahala perbuatan baik (al-


‘amal ash-shalih) yang hanya berguna untuk menuju ke Taman
Surgawi (al-jannah). Namun, bagi pencari Kebenaran Sejati,
pahala perbuatan baik itu justru mempertebal gumpalan kabut
penutup hati (ghain). Itu sebabnya, sang pemuda mengaku dibuat
lupa oleh setan sehingga ikan bekalnya masuk ke dalam lautan.”

“Andaikata saat itu Nabi Musa a.s. memerintahkan sipemuda untuk


mencari bekal yang lain, apalagi sampai memburu bekal ikan yang
telah masuk ke dalam laut, niscaya Nabi Musa a.s. tidak akan
bertemu Khidir a.s.. Nabi Musa a.s. dan si pemuda tentu akan
masuk ke Lautan Jisim (bahr al-ajsam) kembali. Dan, jika itu terjadi
maka setan berhasil memperdaya Nabi Musa a.s..”

794
“Ternyata, Nabi Musa a.s. tidak peduli dengan bekal itu. Ia justru
menyatakan bahwa tempat di mana ikan itu melompat ke laut
adalah tempat yang dicarinya sehingga tersingkaplah gumpalan
kabut ghain dari kesadaran Nabi Musa a.s.. Saat itulah purnama
ruhani zawa’id berkilau dan Nabi Musa a.s. dapat melihat Khidir
a.s., hamba yang dilimpahi rahmat dan kasih sayang (rahmah al-
khashshah) yang memancar dari citra ar-Rahman dan ar-Rahim
dan Ilmu Ilahi (‘ilm ladunni) yang memancar dari Sang
Pengetahuan (al-Alim).”

“Anugerah Ilahi dilimpahkan kepada Khidir a.s. karena dia


merupakan hamba-Nya yang telah mereguk Air Kehidupan (abb al-
hayat) yang memancar dari Sang Hidup (al-Hayy). Itu sebabnya,
barang siapa di antara manusia yang berhasil bertemu Khidir a.s.
di tengah wilayah perbatasan antara dua lautan, sesungguhnya
manusia itu telah menyaksikan pengejawantahan Sang Hidup (al-
Hayy), Sang Pengetahuan (al-Alim), Sang Pengasih (ar-Rahman),
dan Sang Penyayang (ar-Rahim). Dan, sesungguhnya Khidir a.s.
itu tidak lain dan tidak bukan adalah ar-ruh al-idhafi, cahaya hijau
terang yang tersembunyi di dalam diri manusia, “sang penuntun”
anak keturunan Adam a.s. ke jalan Kebenaran Sejati. Dialah
penuntun dan penunjuk (mursyid) sejati ke jalan Kebenaran (al-
Haqq). Dia – sang mursyid – adalah pengejawantahan Yang Maha
Menunjuki (ar-Rasyid).”

“Demikianlah, saat Ramanda Ratu melihat Khidir a.s.


sesungguhnya Ramanda Ratu telah menyaksikan ar-ruh al-idhafi,
mursyid sejati di dalam diri Ramanda Ratu sendiri. Saat Ramanda
795
Ratu menyaksikan kawanan udang di lautan sebelah kanan,
sesungguhnya Ramanda Ratu telah menyaksikan Lautan Makna
(bahr al-ma’na) yang merupakan hamparan permukaan Lautan
Wujud (bahr al-wujud). Namun, dengan terputusnya penglihatan
batin (bashirah) Ramanda Ratu sampai di titik itu, berarti
‘perjalanan’ Ramanda Ratu menuju Kebenaran Sejati masih akan
berlanjut.”

Sri Mangana mengangguk-angguk sebagai pertanda paham


dengan uraian Abdul Jalil. Namun sejenak setelah itu dia bertanya,
“Apakah aku nantinya dapat mengalami perjalanan ruhani seperti
Nabi Musa a.s. yang mengikuti Khidir a.s.? Apakah Khidir a.s. yang
kutemui nanti akan melubangi perahu seperti ketika ia diikuti Nabi
Musa a.s.?”

“Sesungguhnya, perjalanan ruhani menuju Kebenaran Sejati


penuh diliputi tanda kebesaran Ilahi yang hanya bisa diungkapkan
dengan bahasa perlambang. Sesungguhnya, masing-masing
manusia akan mengalami pengalaman ruhani yang berbeda
sesuai pemahamannya dalam menangkap kebenaran demi
kebenaran. Pengalaman yang akan Ramanda Ratu alami tidak
selalu mirip dengan pengalaman yang dialami Nabi Musa a.s..”

“Jika demikian, beri tahukan aku makna perjalanan Nabi Musa a.s.
dan Khidir a.s. agar kelak dapat aku jadikan pedoman di dalam
meniti jalan Kebenaran Sejati.”

796
“Setelah berada di wilayah perbatasan, Khidir a.s. dan Nabi Musa
a.s. digambarkan melanjutkan perjalanan memasuki Lautan
Makna (bahr al-ma’na), yaitu alam tidak kasatmata. Mereka
kemudian digambarkan menumpang perahu. Sesungguhnya,
perahu yang mereka gunakan untuk menyeberang itu adalah
perlambang dari wahana (syari’ah) yang lazimnya digunakan oleh
kalangan awam untuk mencari ikan, yakni perlambang pahala
perbuatan baik (al-amal ash-shalih). Padahal, perjalanan
mengarungi Lautan Makna (bahr al-ma’na) menuju Kebenaran
Sejati adalah perjalanan yang sangat pribadi menuju Lautan Wujud
(bahr al-wujud). Itu sebabnya, perahu (syari’ah) itu harus dilubangi
agar air dari Lautan Makna (bahr al-ma’na) masuk ke dalam perahu
dan penumpang perahu mengenal dari hakikat air yang mengalir
dari lubang tersebut.”

“Setelah penumpang perahu mengenal air yang mengalir dari


lubang perahu maka ia akan menjadi sadar bahwa lewat lubang
itulah sesungguhnya ia akan bisa masuk ke dalam Lautan Makna
(bahr al-ma’na) yang merupakan permukaan Lautan Wujud (bahr
al-wujud). Andaikata perahu itu tidak dilubangi, dan kemudian
perahu diteruskan berlayar, maka perahu itu tentu akan dirampas
oleh Sang Maharaja (Malik al-Mulki) sehingga penumpangnya
akan menjadi tawanan. Jika sudah demikian maka untuk
selamanya sang penumpang perahu tidak bisa melanjutkan
perjalanan menuju Dia, Yang Mahaada (al-Wujud), yang
bersemayam di segenap penjuru hamparan Lautan Wujud (bahr al-
wujud). Penumpang perahu itu akan mengalami nasib seperti
penumpang perahu yang lain, yakni akan dijadikan hamba sahaya
oleh Sang Maharaja. Bahkan, jika Sang Maharaja menyukai
797
hamba sahaya-Nya itu maka ia akan diangkat sebagai penghuni
Taman (jannah) indah yang merupakan pengejawantahan Yang
Mahaindah (al-Jamal).”

“Kenapa wahana (syari’ah) harus dilubangi dan tidak lagi


digunakan dalam perjalanan menembus alam gaib menuju Dia?”
Sri Mangana meminta penjelasan.

“Sebab, wahana (syari’ah) adalah kendaraan bagi manusia yang


hidup di alam kasatmata untuk pedoman menuju ke Taman
Surgawi (al-jannah) pancaran Yang Mahaindah (al-Jamal).
Sedangkan alam tidak kasatmata yang tidak jelas batas-batasnya.
Alam yang tidak bisa dinalar karena segala kekuatan akal (‘aql)
manusia yang mengikat (‘iql) itu tidak bisa ber-ijtihad untuk
menetapkan hukum yang berlaku di alam gaib. Itu sebabnya, Khidir
a.s. melarang Nabi Musa a.s. bertanya sesuatu dengan akalnya
dalam perjalanan tersebut. Dan, apa yang disaksikan Nabi Musa
a.s. terhadap perbuatan yang dilakukan Khidir a.s. benar-benar
bertentangan dengan hukum suci (syari’at) dan akal sehat yang
berlaku di dunia, yakni melubangi perahu tanpa alasan, membunuh
seorang anak kecil tak bersalah, dan menegakkan tembok runtuh
tanpa upah.”

“Jika wahana (syari’ah) tidak lagi bisa dijadikan petunjuk, pedoman


yang harus digunakan oleh manusia yang memasuki alam tidak
kasatmata di dalam menuju Kebenaran Sejati?”

798
“Pedomannya tetap Kitab Allah dan Sunnah Rasul, tetapi
pemahamannya bukan denga akal (‘aql) melainkan dengan dzauq,
yaitu cita rasa ruhani. Inilah yang disebut cara (thariqah). Di sini,
sang salik selain harus berjuang keras juga harus pasrah kepada
kehendak-Nya. Sebab, telah termaktub dalam dalil araftu rabbi bi
rabbi bahwa kita hanya mengenal Dia dengan Dia. Maksudnya, jika
Tuhan tidak menghendaki kita mengenal-Nya maka kita pun tidak
akan bisa mengenal-Nya. Dan, kita mengenal-Nya pun maka
hanya melalui Dia. Itu sebabnya, di alam tidak kasatmata yang tak
jelas batas dan tanda-tandanya itu kita tidak dapat berbuat sesuatu
kecuali pasrah seutuhnya dan mengharap limpahan rahmah dan
hidayah-Nya.”

“Bagaimana dengan makna di balik kisah Khidir a.s. membunuh


seorang anak (ghulam)?”

“Anak (ghulam) adalah perlambang keakuan kerdil kekanak-


kanakan. Kedewasaan ruhani seseorang yang teguh imannya bisa
runtuh akibat terseret rasa cinta kepada keakuan kerdil yang
kekanak-kanakan tersebut. Itu sebabnya, keakuan kerdil yang
kekanak-kanakan itu harus dibunuh agar kedewasaan ruhani tidak
terganggu.”

“Sesungguhnya, di dalam perjalanan ruhani menuju Kebenaran


Sejati selalu terjadi keadaan di mana keakuan kerdil yang kekanak-
kanakan (ghulam) dari sang salik cenderung mangingkari
kehambaan dirinya terhadap Cahaya Yang Terpuji (Nur
799
Muhammad) sebagai akibat ia belum fana ke dalam Sang Rasul
(fana fi rasul). Ghulam cenderung durhaka dan ingkar terhadap
kehambaannya kepada Sang Rasul. Jika keakuan kerdil yang
kekanak-kanakan itu dibunuh maka akan lahir ghulam yang lebih
baik dan lebih berbakti yang melihat dengan mata batin (bashirah)
bahwa dia sesungguhnya adalah ‘hamba’ dari Sang Rasul,
pengejawantahan Cahaya Yang Terpuji (Nur Muhammad).”

“Sesungguhnya, keakuan kerdil yang kekanak-kanakan adalah


perlambang dari keberadaan nafsu manusia yang cenderung
durhaka dan ingkar terhadap Sumbernya. Sedangkan ghulam
yang baik dan berbakti merupakan perlambang dari keberadaan
ruh manusia yang cenderung setia dan berbakti kepada
Sumbernya. Dan sesungguhnya, perbuatan Khidir a.s. membunuh
ghulam itu adalah perlambang yang sama saat nabi Ibrahim a.s.
akan menyembelih Nabi Ismail a.s.. ‘Pembunuhan’ itu adalah
perlambang puncak dari keimanan mereka yang beriman
(mu’min).”

“Bagaimana dengan dinding yang ditinggikan Khidir a.s. bersama


Nabi Musa a.s.?”

“Adapun dinding yang ditinggikan Khidir a.s., adalah perlambang


Sekat Tertinggi (al-barzakh al-‘a’la) yang disebut juga dengan
nama Hijab Yang Mahapemurah (Hajib ar-Rahman). Dinding itu
adalah pengejawantahan Yang Mahaluhur (al-Jalil). Lantaran itu,
dinding tersebut dinamakan dinding al-Jalal (al-jidar al-jalal), yang
800
di bawahnya tersimpan Khasanah Perbendaharaan (Tahta al-
Kanz) yang ingin diketahui.”

“Sedangkan dua anak yatim (ghulamaini yatimaini) pewaris dinding


itu adalah perlambang jati diri Nabi Musa a.s., yang keberadaannya
terbentuk atas jasad ragawi (al-basyar) dan ruhani (ruh).
Kegandaan jati diri manusia itu baru tersingkap jika seseorang
sudah berada dalam keadaan tidak memiliki apa-apa (muflis),
terkucil sendiri (mufrad), dan berada di dalam waktu tak berwaktu
(ibn al-waqt). Dua anak yatim itu adalah perlambang gambaran
Nabi Musa a.s. dan bayangannya di depan Cermin Memalukan (al-
mir’ah al-hayya’i).”

“Adapun gambaran tentang ‘ayah yang salih’ dari kedua anak


yatim, yakni ayah yang mewarskan Khazanah Perbendaharaan
(Tahta al-Kanz), adalah perlambang dari Abu Shalih, Sang
Pembuka Hikmah (al-hikmah al-futuhiyyah), yakni
pengejawantahan Sang Pembuka (al-Fattah). Dengan demikian, o
Ramanda Ratu, apa yang telah dialami Nabi Musa a.s. dalam
perjalanan bersama Khidir a.s. (QS. Al-Kahfi: 60-82), menurut
penafsiran ananda, adalah perjalanan ruhani Nabi Musa a.s. ke
dalam dirinya sendiri yang penuh dengan perlambang (isyarat),”
ujar Abdul Jalil.

“Tapi kenapa di dalam perjalanan itu tidak ada uraian lanjutan yang
menjelaskan penemuan Khazanah Perbendaharaan yang
tersembunyi?”
801
“Kisah perjalanan ruhani Nabi Musa a.s. menembus alam gaib
memang tidak diungkapkan sampai adegan penemuan Khazanah
Perbendaharaan. Sebab, Khazanah Perbendaharaan itu sendiri
tidak bisa dijelaskan dengan bahasa manusia.”

“Kenapa dua anak yatim dalam kisah Qur’ani ini engkau tafsirkan
sama dengan Nabi Musa a.s., yaitu Nabi Musa a.s. dengan
bayangannya di depan Cermin Memalukan? Apakah itu berarti
jasad ragawi dan ruhani Nabi Musa a.s. lahir dari Sumber yang
berlainan?”

“Sekali-kali tidak demikian maksudnya, Ramanda Ratu,” ujar Abdul


Jalil. “Memang Nabi Musa a.s. lahir hanya satu. Namun,
keberadaan jati dirinya sesungguhnya adalah dua, yaitu pertama,
keberadaanya sebagai al-basyar ‘anak’ Adam a.s. yang berasal
dari anasir tanah yang dicipta; dan keberadaannya sebagai ruh
‘anak Cahaya Yang Terpuji (Nur Muhammad) yang berasal dari
tiupan (nafakhtu) Cahaya di Atas Cahaya (Nurun ‘ala Nurin).
Maksudnya, sebagai al-basyar, keberadaan jasad ragawi Nabi
Musa a.s. berasal dari ciptaan (al-khalq). Sedangkan sebagai ruh,
keberadaan ruhani Nabi Musa a.s. berasal dari Yang Mencipta (al-
Khaliq).”

“Apakah kedua anak yatim itu tidak akan berseteru


memperebutkan Khazanah Perbendaharaan warisan ayahnya
yang salih?” tanya Sri Mangana.

802
“Hal itu tidak akan pernah terjadi, Ramanda Ratu,” papar Abdul
Jalil. “Sebab, saat keduanya berdiri berhadap-hadapan di depan
Dinding al-Jalal (al-jidar al-Jalal) dan mendapati dinding itu runtuh
maka saat itu yang ada hanya satu anak yatim. Maksudnya, saat
itu keberadaan al-basyar ‘anak’ Adam a.s. akan terserap ke dalam
ruh ‘anak’ Nur Muhammad. Saat itulah sang anak sadar bahwa ia
sejatinya berasal dari Cahaya di Atas Cahaya (Nurun ‘ala Nurin)
yang merupakan pancaran dari Khazanah Perbendaharaan.
Sesungguhnya, hal semacam itu tidak bisa diuraikan dengan
kaidah-kaidah nalar manusia karena akan membawa kesesatan.
Jadi, harus dijalani dan dialami sendiri sebagai sebuah
pengalaman pribadi.”

“Jika demikian, apakah dengan pengalaman ruhani yang aku alami


saat bertemu Khidir a.s. di tanah perbatasan antara dua lautan itu
sejatinya bermakna perjalanan ruhani ke dalam diriku?” tanya Sri
Mangana minta penjelasan lebih tegas lagi.

“Bukankah tadi Ramanda Ratu sudah mengatakan bahwa saat


kejadian itu Ramanda Ratu berada dalam keadaan antara sadar
dan tidak sadar, antara tidak tidur dan tidak jaga. Itu berarti, apa
yang Ramanda Ratu alami merupakan pengalaman ruhani berada
di ambang alam gaib dan apa yang Ramanda Ratu saksikan itu
adalah suatu pemandangan batin (bashirah).”

“Berarti, aku masih akan mengalami perjalanan ruhani lanjutan?”

803
“Benar demikian, Ramanda Ratu.”

“Bagaimana caraku memulai?”

“Tergantung keikhlasan Ramanda Ratu sebagaimana saya


kemukakan di muka.”

“Aku kira juga demikian,” Syaikh Datuk Kahfi menyela. “Sebab,


hanya keikhlasanmu sendiri sajalah yang sesungguhnya dapat
menjadi penyebab tergelarnya jalan keselamatan menuju hadirat-
Nya.”

“Saya menyerahkan semua keputusan kepada Guru Agung dan


putera saya, Abdul Jalil. Apa yang terbaik saya lakukan maski berat
akibatnya,” Sri Mangana pasrah. “Sebab, telah terbukti betapa
dengan ilmu seratus ribu hulubalang tersebut diri saya menjadi
kotor sehingga Dang Hyang Semar pun enggan bertemu dengan
saya.”

“Dang Hyang Semar?” Syaikh Datuk Kahfi mengerutkan kening.


“Siapakah dia?”

“Beliau adalah nabi dari zaman purba yang mengajarkan Tauhid di


Nusa Jawa,” sahut Abdul Jalil.
804
“Kalian telah bertemu dengan utusan Allah itu?” Syaikh Datuk Kahfi
ingin tahu.

“Saya hanya bertemu sekilas, Guru Agung,” sahut Sri Mangana.


“Yang lama berbincang-bincang dengan beliau adalah putera
saya, Abdul Jalil.”

“Apa sajakah yang beliau bicarakan denganmu, o Anakku?”

“Beliau telah berkenan mengizinkan ajaran Islam berkembang di


Nusa Jawa menggantikan ajaran Kapitayan yang beliau ajarkan.
Menurut penilaian Dang Hyang Semar, ajaran Islam dan ajaran
Kapitayan secara hakiki tidak berbeda yakni memuja Tuhan Yang
Tunggal dan tidak terbandingkan dengan segala sesuatu.”

“Menurutmu sendiri bagaimana?”

“Ajaran Kapitayan yang disampaikan Dang Hyang Semar secara


hakiki memang tidak berbeda dengan ajaran Islam yang
disampaikan Nabi Muhammad Saw. Hanya saja, ajaran Kapitayan
masih sangat sederhana karena memang diperuntukkan bagi
manusia penghuni Nusa Jawa pada zaman purwakala.”

805
“Ya, ya, sesungguhnya tiap-tiap bangsa memang telah didampingi
oleh masing-masing nabi pada zamannya,” ujar Syaikh Datuk Kahfi
menarik napas berat. “Apakah engkau masih ingat pelajaran di
waktu kecil dulu tentang jumlah nabi-nabi yang wajib diyakini umat
Islam?”

“Yang utama, di antara nabi dan rasul ada dua puluh lima orang.
Namun, nabi yang lain jumlahnya seratus dua puluh empat ribu
orang. Saya merasa beruntung karena ditakdirkan oleh-Nya untuk
bertemu dengan salah seorang di antara nabi-nabi mulia tersebut.”

Akhirnya, setelah berbincang-bincang cukup lama, Sri Mangana


sepakat mengikuti arahan dan petunjuk Abdul Jalil untuk melepas
ilmu seratus ribu hulubalang dari dirinya. Namun sebelum hal itu
dilakukan, Abdul Jalil sudah memberi tahu bahwa usaha itu bukan
sesuatu yang mudah. “Tetapi, lebih baik dilakukan sekarang
daripada menunggu saat ajal menjemput,” ujar Abdul Jalil.

“Kenapa demikian, o Puteraku?”

“Sebab, keluarnya ilmu semacam itu dari diri manusia sangat


susah dan menimbulkan rasa sakit yang luar biasa. Mereka yang
memiliki ilmu semacam itu bisa mengalami saat-saat sakaratul al-
maut selama berhari-hari bahkan berminggu-minggu.”

806
Sri Mangana menarik napas berat, dari dahinya terlihat titik-titik
keringat bercucuran.

Ternyata, apa yang dikatakan Abdul Jalil tidak salah. Setelah


dengan susah payah melewati pergulatan yang sengit, Sri
Mangana baru berhasil mengeluarkan ilmu sakti seratus ribu
hulubalang dari relung-relung jiwanya. Namun akibat beratnya
upaya melepas ilmu sakti tersebut, Sri Mangana jatuh sakit selama
dua pekan. Setelah sembuh dia terlihat sangat lemah dan seolah-
olah kehilangan semangat hidup. Abdul Jalil yang mengetahui apa
yang dialami oleh mereka yang melepaskan ilmu dahsyat seratus
ribu hulubalang, dengan sabar berusaha mendampingi dan
memberi kekuatan jiwa kepada ayahanda asuhnya.

Angin Perubahan

Seorang ‘arif yang sudah tercelikkan mata hatinya (‘ain al-


bashirah), tidak akan bisa mencapai kedudukan (maqam) tertinggi
jika tidak memiliki kepedulian terhadap kehidupan mesyarakat
yang sedang terjebak ke dalam perangkap kejahilan. Atau, tidak
memiliki semangat (ghirah) untuk membebaskan kaum tertindas
dari para penindasnya. Atau, tidak terketuk hatinya untuk
membebaskan para budak dari rantai perbudakan. Atau, tidak
menggunakan gerak tubuh dan daya nalarnya untuk
membersihkan sungai kehidupan dari kotoran sampah kejahatan.
Atau, tidak memiliki peran apa pun bagi terciptanya suatu
perubahan dinamika kehidupan.

807
Ibarat orang yang tiba-tiba tersentak bangun pada malam hari dan
menyadari bakal terjadi bencana yang membahayakan kehidupan
di sekitarnya, seorang ‘arif memiliki kewajiban utama
membangunkan orang-orang di sekitarnya agar segera bangkit
dan beramai-ramai melakukan usaha untuk menghindari bencana
tersebut. Dan, sebagai seorang anak negeri yang sudah
“terbangun” di antara saudara-saudara sebangsanya, Abdul Jalil
sadar bahwa kewajiban utama yang harus dijalankannya adalah
“membangunkan” saudara-saudaranya dari tidur panjang dengan
mimpi kosong. Ia harus memperingatkan saudara-saudaranya
tentang akan datangnya marabahaya yang mengintai kehidupan
bangsa.

Sebagai orang yang sudah “terbangun” dan tercelikkan mata


hatinya, Abdul Jalil sadar bahwa “membangunkan” saudara-
saudaranya dari mimpi kosong dan menyadarkan mereka tentang
suatu bencana yang bakal hadir adalah pekerjaan berat dengan
kemungkinan bertaruh nyawa. Namun dengan kesadaran
seseorang yang sudah mengenal jati dirinya sebagai wakil Allah di
muka bumi (khalifah Allah fi al-ardh), ia tidak memedulikan lagi
kemungkinan-kemungkinan terburuk yang bakal dihadapinya saat
menjalankan kewajibannya tersebut.

Bagi Abdul Jalil, seorang ‘arif, manusia yang sudah terbangun dan
tercelikkan mata hatinya, adalah manusia yang sadar bahwa ia
harus menghancurleburkan keakuan pribadi beserta pamrih-
pamrih duniawi demi lahirnya suatu kehidupan baru yang selaras
dan seimbang dengan hukum-hukum kauniyah. Seorang ‘arif
808
harus menjadi gumpalan awan yang rela menghamburkan
khazanah air yang dikandungnya sebagai hujan demi tumbuhnya
benih-benih kehidupan baru. Atau, seperti matahari yang
menebarkan kehangatan bagi kehidupan makhluk penghuni bumi
tanpa meminta imbalan apa pun. Atau, seperti bumi yang
merelakan dirinya diinjak-injak, dilukai dengan cangkul dan bajak,
diludahi, dikencingi, bahkan diberaki demi kelangsungan hidup
para penghuninya. Dan di atas itu semua, seorang ‘arif haruslah
meneladani gerak kehidupan Nabi Muhammad Saw., sang
limpahan rahmah bagi alam semesta.

Boleh jadi akibat pandangannya dalam memaknai keberadaan


dirinya seperti itu maka di mana pun Abdul Jalil berada – entah
disadari entah tidak – selalu ditandai oleh citra gerak yang selalu
diikuti oleh terjadinya perubahan dinamis yang membawa pula
suatu pembaruan. Andaikata ia ditanya kenapa harus melakukan
pembaruan maka ia kira-kira akan menjawab seperti ini:

“Tugas utama nabi dan rasul adalah melakukan perubahan yang


bersifat memperbarui. Tidak ada seorang pun di antara nabi dan
rasul yang diturunkan ke dunia yang tidak melakukan perubahan
untuk memperbarui apa yang ada demi menjadi lebih baik dan
lebih sempurna. Tidak ada seorang pun di antara nabi dan rasul
diturunkan kepada suatu kaum yang sudah mapan dan hidup
secara sempurna.”

809
“Sebagai orang yang sudah ‘terjaga’, aku sadar bahwa
keberadaanku sebagai seorang ‘alim adalah pewaris nabi-nabi (al-
‘ulama’ waratsat al-anbiya’). Karena itu, sudah menjadi kewajiban
asasiku untuk melanjutkan tugas utama para nabi dan rasul, yaitu
melakukan perubahan dan pembaruan – terutama menyadarkan
manusia tentang keberadaannya sebagai makhluk paripurna (al-
insan al-kamil) yang menjadi wakil Allah di muka bumi (khalifah
Allah fi al-ardh) – di mana pun aku berada. Merubah dan
memperbarui sesuatu ke arah yang lebih baik, itulah tugas
utamaku.”

Dengan pandangan semacam itu, ketika ia kembali dari


pengembaraan ruhaninya dan tinggal di Padepokan Giri Amparan
Jati, maka tak pelak lagi padepokan itulah yang menjadi sasaran
utama dari kewajibannya untuk mengubah dan memperbarui
segala sesuatu. Namun demikian, karena perubahan dan
pembaruan yang dilakukannya di Padepokan Giri Amparan Jati
sangat cepat dan susul-menyusul, sempat membuat khawatir
Syaikh Datuk Kahfi, pendiri sekaligus pengasuh padepokan tertua
di Caruban Larang. Kekahwatiran Syaikh Datuk Kahfi,
sesungguhnya bisa dipahami karena perubahan dan pembaruan
yang dilakukan Abdul Jalil memang kurang lazim dilakukan orang.
Sehingga, wajar jika Syaikh Datuk Kahfi mengkhawatirkan jika hal
itu sangat mungkin bakal menemui kegagalan karena terlalu sulit
diwujudkan.

“Sesungguhnya, aku sangat bergembira jika engkau bisa


mewujudkan gagasanmu untuk mengubah padepokan ini menjadi
810
lembaga pendidikan yang lebih maju seperti di Baghdad atau lebih
dari itu,” ungkap Syaikh Datuk Kahfi suatu malam. “Tetapi, aku
khawatir gagasanmu itu sulit diwujudkan. Sebab, di Caruban
Larang ini, sepengetahuanku, belum ada guru yang mamiliki
kemampuan memadai untuk mengajarkan kuliah-kuliah seperti
gagasanmu itu.”

“Ampun seribu ampun, Ramanda Guru, jika ananda telah membuat


Ramanda Guru khawatir dengan gagasan ananda yang terlalu
muluk ini,” sahut Abdul Jalil dengan takzim. “Gagasan ini tidak
ananda harapkan bisa diwujudkan secara sempurna. Ananda
berharap gagasan untuk memperbaiki pendidikan di Padepokan
Giri Amparan Jati ini paling tidak dicapai selama kurun dua
dasawarsa. Ananda yakin dalam kurun waktu tersebut ilmu
pengetahuan yang telah Ramanda Guru wariskan kepada para
siswa akan tumbuh dan berkembang dengan subur serta
menghasilkan buah-buah yang ranum. Saat itulah ananda
harapkan Padepokan Giri Amparan Jati dapat menjadi kiblat
pendidikan di Bumi Pasundan dan bahkan di Nusa Jawa.”

Mendengar penjelasan Abdul Jalil, Syaikh Datuk Kahfi bisa


memahami. Akhirnya, dia hanya bisa berdiam diri sambil
mengawasi sekaligus berdoa agar apa yang dilakukan Abdul Jalil
dapat diwujudkan sesuai harapan. Demikianlah, bagaikan sedang
menyaksikan seorang seniman mengubah benda-benda biasa
menjadi karya bernilai seni tinggi, Syaikh Datuk Kahfi dengan
takjub menyaksikan Abdul Jalil melakukan pengembangan seni

811
mendidik di padepokan yang didirikannya tersebut dengan cara-
cara yang sangat mencengangkan.

Syaikh Datuk Kahfi yang semakin uzur memang sudah


menyerahkan pengasuhan padepokan kepada Abdul Jalil. Namun,
dia tidak pernah menduga jika saudara sepupu sekaligus siswa
yang dikasihinya itu bakal melakukan langkah-langkah perubahan
yang begitu mencengangkan, yakni menata kembali dan
mengembangkan tatanan belajar dan mengajar di padepokan
dengan gagasan yang belum pernah terpikirkan sebelumnya.

Keheranan Syaikh Datuk Kahfi sesungguhnya dapat dipahami,


karena dalam mengubah padepokan itu Abdul Jalil bertindak
bagaikan orang yang sedang bertriwikrama menjejakkan kaki
ketiga dunia untuk melakukan tiga perubahan pokok. Perubahan
pertama, ia menata kerangka acuan perkuliahan yang harus
dipelajari para siswa sekaligus menentukan buku-buku teks yang
digunakan sebagai pedoman belajar dan mengajar. Kedua,
menambah dan memperbaiki tata cara belajar dan mengajar.
Ketiga, memperbarui ketentuan penerimaan siswa.

Tiga langkah perubahan itu, meski gagasannya sudah diketahui


oleh Syaikh Datuk Kahfi, saat diterapkan justru membuat pendiri
Padepokan Giri Amparan Jati itu tertegun-tegun. Dengan pandang
heran Syaikh Datuk Kahfi menyaksikan gerak perubahan di
padepokannya berlangsung sangat cepat dan belum lazim

812
dilakukan orang di padepokan mana pun di Bumi Pasundan dan
Nusa Jawa.

Misalnya saja, selama ini mata kuliah yang diberikan di Padepokan


Giri Amparan Jati lazimnya lebih ditekankan pada penguasaan
ilmu alat (nahwu-sharf), fiqh madzhab Syafi’i, tafsir Al-Qur’an,
hafalan hadits, dan dasar-dasar ilmu logika (manthiq). Namun, oleh
Abdul Jalil mata kuliah itu diperbarui dengan menambahkan ‘ilmu
balaghah pada penguasaan ilmu alat (nahwu-sharf); fiqh madzhab
Syafi’i dijadikan bagian dari mata kuliah lima madzhab (al-
madzahib al-khamsah), yaitu Syafi’iyyah – Hanafiyyah –
Hambaliyyah – Malikiyyah – Jakfariyyah; ushul fiqh yang semula
tidak diajarkan mulai diberikan; mata kuliah tafsir Al-Qur’an
diperluas menjadi mata kuliah ilmu-ilmu Al-Qur’an (‘ulum Al-
Qur’an); hafalan hadits dikembangkan menjadi ‘ulum al-hadits;
mata kuliah manthiq diperdalam dan ditambah dengan mata kuliah
filsafat, ilmu hikmah, dan ‘irfan.

Langkah kedua, yang terkait dengan perubahan tata cara belajar


dan mengajar, juga mencengangkan. Sebab, langkah tersebut
juga tidak lazim dilakukan di padepokan mana pun di Bumi
Pasundan maupun di Nusa Jawa. Selama ini cara belajar siswa
selalu mengikuti cara lama, yaitu mengitari guru yang mengungkap
(wetu) kandungan kitab tertentu sambil mencatat apa mekna yang
terurai dalam ungkapan tersebut. Ternyata, oleh Abdul Jalil cara
lama itu ditambah cara baru yang disebut bedah masalah
(mudzakarah). Para siswa saling mengajukan argumentasi dalam
memecahkan masalah dengan dukungan dalil-dalil dari kitab.
813
Sementara itu, siswa-siswa yang dinilai cerdas atau sudah lanjut
pengetahuannya dalam penguasaan kitab diberi kewenangan
untuk menyodorkan (sorog) kitab yang telah dibaca dan
dipahaminya untuk diuji oleh guru.

Dengan mengubah mata kuliah untuk para siswa di Padepokan Giri


Amparan Jati, jelaslah bahwa arah yang hendak dicapai oleh Abdul
Jalil adalah menciptakan pencerahan di dalam cara berpikir
dengan tetap berpedoman pada kaidah-kaidah Tauhid.
Singkatnya, dengan pembaruannya itu Abdul Jalil menginginkan
lahirnya tradisi berpikir yang didasari bukti-bukti (burhani) yang
diterangi pancaran mata hati (bashirah). Itu sebabnya, ia
menghapus pelajaran hafalan hadits dan memasukkan mata kuliah
filsafat, ilmu hikmah, dan ‘irfan.

Sementara itu, perubahan yang paling mencolok yang dilakukan


Abdul Jalil dalam menata Padepokan Giri Amparan Jati adalah
yang terkait dengan ketentuan penerimaan siswa. Jika
sebelumnya para siswa yang belajar di padepokan hampir
seluruhnya berasal dari kalangan menak berdarah biru dan
keluarga kaya, terutama putera-putera pejabat setempat dan
saudagar muslim, tiba-tiba Abdul Jalil menyiarkan maklumat akan
menerima siswa dari semua golongan penduduk baik anak-anak
pejabat, menak berdarah biru, saudagar, petani, perajin, nelayan,
tukang, bahkan anak-anak kuli miskin sekalipun.

814
Perubahan ketentuan dalam penerimaan siswa itu, meski sangat
mengejutkan banyak pihak pada awalnya, akhirnya dapat
dipahami dan diterima, terutama setelah mendapat dukungan dari
Ratu Caruban Larang, Sri Mangana. Bahkan, ketentuan
penerimaan siswa baru itu mempercepat terjadinya perubahan di
Padepokan Giri Amparan Jati. Padepokan yang sebelumnya
hanya berisi sekitar empat puluh siswa tiba-tiba dibanjiri tujuh ratus
orang lebih. Siswa baru yang belajar di Padepokan Giri Amparan
Jati bukan hanya anak-anak penduduk Caruban Larang dan
sekitarnya, bahkan tak kurang ada di antara mereka berasal dari
tempat yang jauh seperti Dermayu, Tegal, Samarang, dan Demak.

Abdul Jalil sadar bahwa perubahan yang dilakukannya di


Padepokan Giri Amparan Jati tidak akan membawa hasil sesuai
harapan jika tidak didukung oleh guru yang benar-benar
menguasai keilmuan secara memadai. Itu sebabnya, ia
menghubungi para kerabat, sahabat, serta kenalannya untuk
berkenan membantu gagasannya mengembangkan Padepokan
Giri Amparan Jati. Untuk mewujudkan gagasannya itu ia secara
khusus membimbing Syarif Hidayatullah, Abdurrahman Rumi, dan
Abdurrahim Rumi agar bisa menjadi guru dan pemimpin yang tidak
saja memiliki pengetahuan luas dan mendalam, tetapi mampu
mewarisi nilai-nilai kejuangan Syaikh Datuk Kahfi, ulama mulia
yang mewarisi keteladanan Nabi Muhammad Saw..

Abdul Jalil menyadari bahwa keberadaan Abdurraman Rumi dan


Abdurrahim Rumi di padepokan berbeda dengan keberadaan
Syarif Hidayatullah yang belum memiliki akar kuat. Sebab, selain
815
masih dianggap pendatang baru yang belum banyak dikenal,
Syarif Hidayatullah juga masih belum fasih berbicara dalam
bahasa setempat, yaitu bahasa Jawa Caruban. Karena itu, untuk
memperkuat kedudukan Syarif Hidayatullah sebagai calon guru
dan pemimpin masa depan, Abdul Jalil meminang puteri Ki Gedeng
Babadan untuk disandingkan sebagai istri Syarif Hidayatullah.
Dengan menikahi Nyai Babadan puteri Ki Gedeng Babadan, pikir
Abdul Jalil, maka Syarif Hidayatullah akan menjadi menantu
seorang gedeng yang berpengaruh dan disegani di Caruban
Larang.

Sebagai teman mengaji sejak kecil di bawah asuhan Syaikh Datuk


Kahfi, pinangan Abdul Jalil itu diterima dengan sukacita oleh Ki
Gedeng Babadan. Pernikahan Syarif Hidayatullah dilaksanakan di
tajug padepokan dengan sangat sederhana. Meski sederhana,
kabar tentang pernikahan itu menyebar ke seluruh penjuru
Caruban Larang. Setelah pernikahan itu Ki Gedeng Babadan
sering terlihat ke padepokan untuk mengunjungi Syaikh Datuk
Kahfi atau berbincang-bincang dengan Abdul Jalil. Bahkan,
akhirnya Ki Gedeng Babadan sering terlihat ikut mengajar di
padepokan.

Selama membimbing Syarif Hidayatullah, Abdurrahman Rumi, dan


Abdurrahim Rumi diam-diam Abdul Jalil menemukan dua permata
di antara siswa padepokan. Dua permata itu adalah Raden Sahid
(kelak menjadi Susuhunan Kalijaga), putera Arya Sidik, Adipati
Tuban, dan Raden Qasim (kelak menjadi Susuhunan Bonang),
putera Raden Ali Rahmatullah (Susuhunan Ampel pertama),
816
Bupati Surabaya. Sesungguhnya, mereka berdua masih saudara
sepupu karena bibi Raden Sahid yang bernama Nyi Ageng Manila
diperistri oleh Bupati Surabaya, Raden Ali Rahmatullah.
Sementara itu, lantaran usia Raden Sahid, Raden Qasim, dan
Syarif Hidayatullah sebaya, maka Abdul Jalil pun secara khusus
membimbing ketiganya agar kelak dapat bersama-sama menjadi
guru dan pemimpin yang dibutuhkan zamannya.

Berbagai perubahan yang terjadi di Padepokan Giri Amparan Jati


tidak lepas dari pengamatan Syaikh Datuk Kahfi yang sering
mencucurkan airmata haru. Dia tak pernah menduga bahwa
perubahan besar telah terjadi di padepokan yang telah dirintisnya
dengan susah payah dalam waktu secepat itu. Rupanya, sasmita
yang ditangkapnya puluhan tahun silam terkait kebesaran yang
bakal dicapai saudara sepupunya itu telah terbukti menjadi
kenyataan. Baginya, perubahan di Padepokan Giri Amparan Jati
dianggap sebagai sebuah penyempurnaan dari amaliah
mewariskan ilmu pengetahuan bermanfaat yang akan
menyertainya kelak di alam kubur.

Bagi Syaikh Datuk Kahfi, perubahan itu dianggapnya sebagai


kegembiraan surgawi yang sudah bisa dirasakan nikmatnya di
dunia. Dia yang selama ini selalu gelisah akibat tidak melihat calon
pengganti dirinya, kini merasa gembira karena anak-anak muda
seperti Abdurrahman Rumi, Abdurrahim Rumi, Syarif Hidayatullah,
Raden Sahid, dan Raden Qasim telah dapat berperan sebagai
guru bagi siswa yang lain. Demikianlah, untuk mengungkapkan
rasa bahagianya, setiap usai shalat subuh, Syaikh Datuk Kahfi
817
dengan bertumpu pada tongkat selalu terlihat berkeliling untuk
melihat para siswa mengaji di berbagai tempat di dalam lingkungan
padepokan.

Kebahagiaan dan sukacita yang dirasakan Syaikh Datuk Kahfi atas


perubahan di Padepokan Giri Amparan Jati ternyata tidak
berlangsung lama. Belum genap setahun setelah perubahan itu
terjadi, Syaikh Datuk Kahfi jatuh sakit. Dia mendapat isyarat bahwa
ajal tak lama lagi akan menjemputnya. Itu sebabnya, dia
mengumpulkan seluruh keluarga, siswa, dan sahabat untuk
berpamitan meninggalkan dunia yang fana. Dalam waktu singkat
hadirlah di Padepokan Giri Amparan Jati para siswa seperti Sri
Mangana, Nyi Indang Geulis, Ki Gedeng Pasambangan, Ki
Gedeng Babadan, Ki Gedeng Surantaka, sanak kerabat seperti Nyi
Mas Gandasari, dua orang putera Syaikh Hasanuddin, Haji Musa,
dan Jurugem (Syaikh Bentong), sahabat terkasih Syaikh Ibrahim
Akbar (mertua Sri Mangana). Sementara Nyi Halimah, sang istri,
dan ketiga orang kemenakannya terlihat tak pernah jauh dari
peraduan Syaikh Datuk Kahfi.

Seiring turunnya matahari ke ufuk barat, dengan pandangan yang


mulai meredup Syaikh Datuk Kahfi berbisik lirih ke telinga Abdul
Jalil yang duduk merangkulnya, “Anakku, apakah engkau kelak
mau bersaksi bahwa ilmu yang aku tinggalkan di dunia ini memiliki
arti bagi tegaknya Agama Allah dan bermanfaat bagi kehidupan
manusia?”

818
Abdul Jalil menarik napas berat dan kemudian berbisik lirih,
“Ramanda Guru adalah seorang ‘alim yang benar-benar menjadi
cerminan pewaris Nabi Muhammad Saw. Ananda bersaksi saat ini
Ramanda Guru adalah benar-benar al-‘alim pengejawantahan al-
‘Alim. Itu sebabnya, Ramanda Guru sesungguhnya tidak
membutuhkan lagi kesaksian siapa pun di antara manusia tentang
apa yang telah Ramanda Guru jalankan selama ini sebagai
penebar ilmu.”

“Kenapa demikian, o Anakku?” bisik Syaikh Datuk Kahfi lemah.

“Sebab seluruh yang hadir di sini, baik manusia, tanah, batu,


pohon, rumput, binatang, angin, maupun langit telah bersaksi
bahwa Ramanda Guru adalah sang pembuka pengetahuan (fatih
al-‘ilm), yakni cerminan citra al-Fattah dan al-‘Alim. Bahkan saat ini,
di tengah kesaksian segenap makhluk terhadap kemuliaan
Ramanda Guru, sesungguhnya telah bersaksi pula Dia, Yang
Maha Menyaksikan (asy-Syahid),” bisik Abdul Jalil.

Syaikh Datuk Kahfi menggenggam erat tangan Abdul Jalil. Dia


seperti beroleh kekuatan baru untuk menghadapi ajal yang sedang
menjemputnya. Merasakan bahwa ajal sudah semakin dekat,
Abdul Jalil pun membisikkan petunjuk ke telinga Syaikh Datuk
Kahfi tentang jalan lurus meniti rentangan tali serambut dibelah
tujuh yang memuat hakikat La ilaha illa Allah (tidak ada sesuatu
yang disisakan dalam kiblat hati dan pikiran kecuali Allah).

819
Ketika senjakala turun melingkupi Giri Amparan Jati dengan
gumpalan awan kelabu di langit menaburkan rinai gerimis, diiringi
isak tangis istri, kerabat, sahabat, dan siswa-siswa, di bawah
bimbingan Abdul Jalil, Syaikh Datuk Kahfi menghadap ke hadirat
Ilahi dalam usia tujuh puluh tiga tahun. Saat itu pohon-pohon jati
yang terhampar di sekitar padepokan berdiri tegak bergeming
seolah-olah ikut mengantar kepergian Syaikh Datuk Kahfi
menghadap Khaliknya. Daun-daun jati yang jatuh berserakan
diterpa angin menimbulkan suara gemerisik seolah-olah ratapan
pedih anak-anak yang ditinggal orang tuanya. Tetes-tetes air hujan
yang jatuh dari daun-daun jati menitik bagaikan tangisan pedih
alam atas keprgian sang ‘alim. Ikan-ikan di sungai dan lautan
berhenti berenang beberapa jenak. Burung-burung tidak ada yang
terbang. Semuanya terdiam, seolah-olah ikut mengiringkan
kepergian sang penebar ilmu, citra indah pengejawantahan Sang
Ilmu (al-‘Alim), yang kembali ke hadirat-Nya.

Dengan diiringi ratapan seluruh penghuni bumi, jenasah Syaikh


Datuk Kahfi dimakamkan di samping makam Nyi Rara Anjung, di
samping kiri tajug padepokan. Seperti ulama pewaris para nabi
seumumnya, saat wafat Syaikh Datuk Kahfi tidak meninggalkan
warisan apa-apa, kecuali khazanah ilmu yang tak bakal habis
ditelan zaman. Sejarah bahkan mencatat: mereka yang menghadiri
pemakamannya, tidak ada satu pun yang tidak pernah mencicipi
nikmatnya ilmu pengetahuan dari Syaikh Datuk Kahfi. Dan
sesungguhnya, dengan dipanggilnya kembali Syaikh Datuk Kahfi
ke hadirat-Nya, salah satu di antara cahaya pengetahuan yang
menerangi dunia telah dipadamkan oleh-Nya. Sehingga, bagi
mereka yang sadar, kematian seorang ‘alim yang benar-benar
820
mewarisi citra nabi-nabi (al-‘ulama’ waratsat al-anbiya’) adalah
sebuah kehilangan yang tak ternilai dibandingkan dengan seluruh
isi dunia.

Matahari membentangkan selembar kain merah di atas Giri


Amparan Jati ketika usai pemakaman Syaikh Datuk Kahfi seluruh
siswa dan sanak kerabat sang guru agung berkumpul dan
mengadakan pertemuan untuk menunjuk sang pengganti. Tanpa
perlu berdebat panjang mereka sepakat menunjuk Abdul Jalil
sebagai pengganti Syaikh Datuk Kahfi. Sebab, selain masih
saudara sepupu Syaikh Datuk Kahfi, Abdul Jalil juga merupakan
siswa generasi pertama yang dianggap memiliki ilmu agama paling
mumpuni. Bahkan saat Syaikh Datuk Kahfi masih hidup, ia telah
ditunjuk sebagai pengasuh padepokan yang diberi kewenangan
melakukan perubahan demi perubahan.

Kesepakatan para siswa dan kerabat itu ternyata ditolak oleh Abdul
Jalil. Ia mengemukakan alasan bahwa pola lama kepemimpinan
padepokan yang dipegang oleh satu tangan sudah saatnya
diakhiri. Untuk menjalankan sebuah lembaga pendidikan yang
memiliki siswa ratusan orang tidak akan bisa diatasi oleh satu
tangan. Itu sebabnya, ia mengusulkan agar dibentuk dewan guru
(syura al-masyayikh). Masing-masing anggota dewan itu memiliki
kewajiban bersama untuk bertanggung jawab atas keberhasilan
proses belajar dan mengajar di padepokan.

821
Mendengar usulnya itu para kerabat dan siswa sadar bahwa hal itu
merupakan keharusan bagi sebuah padepokan yang memiliki
siswa berjumlah ratusan orang. Mereka sepakat untuk membentuk
dewan guru. Dan sesuai kesepakatan, mereka yang akhirnya
tergabung dalam dewan guru adalah Abdul Jalil, Sri Mangana,
Syaikh Ibrahim Akbar (mertua Sri Mangana), Ki Gedeng
Pasambangan, Ki Gedeng Babadan, Ki Gedeng Surantaka, Haji
Musa bin Hasanuddin, Syaikh Jurugem bin Hasanuddin,
Abdurrahman Rumi, Abdurrahim Rumi, Syarif Hidayatullah, Raden
Sahid, dan Raden Qasim.

Entah sengaja entah tidak, ketika dewan guru sudah terbentuk dan
tinggal menentukan siapa di antara mereka yang ditunjuk sebagai
ketua, terjadi suatu ketidaklaziman. Dikatakan tidak lazim karena
Abdul Jalil yang diharapkan menjadi ketua justru menunjuk Syarif
Hidayatullah. Padahal, semua mengetahui bahwa Syarif
Hidayatullah selain usianya masih sangat muda juga bukan
kerabat atau siswa Syaikh Datuk Kahfi. Bukankah masih ada
anggota dewan guru yang lebih tua dan merupakan siswa Syaikh
Datuk Kahfi seperti Syaikh Ibrahim Akbar, Sri Mangana, Ki Gedeng
Pasambangan, Ki Gedeng Babadan, dan Ki Gedeng Surantaka?
Bukankah masih ada keluarga Syaikh Datuk Kahfi seperti Abdul
Jalil, Abdurrahman Rumi, Abdurrahim Rumi? Kenapa bukan salah
satu di antara mereka yang ditunjuk memimpin dewan guru?

Menghadapi sikap kurang puas terhadap usulannya, Abdul Jalil


mengajukan alasan sederhana yang menjelaskan bahwa tugas
utama pimpinan dewan guru hanyalah mengatur kelancaran
822
belajar para siswa di padepokan. Itu sebabnya, dibutuhkan guru
yang setiap saat bisa mengatur dan mengawasi proses belajar
para siswa. Hal itu hanya bisa dilakukan oleh guru yang tinggal di
padepokan. Sementara, para anggota dewan guru yang sudah
berusia adalah pejabat-pejabat yang selain dibutuhkan oleh
masyarakat juga bertempat tinggal jauh dari padepokan. Akhirnya,
demi alasan kemaslahatan bersama, semua anggota dewan guru
sepakat mendukung Syarif Hidayatullah sebagai pemimpin.

Perubahan yang dilakukan Abdul Jalil di Padepokan Giri Amparan


Jati terus bergulir ibarat roda kereta yang berputar tak bisa
dihentikan. Setelah merubah kerangka acuan mata kuliah, tata
cara belajar, ketentuan penerimaan siswa, dan pengelolaan
padepokan oleh sebuah dewan guru, terjadi lagi perubahan dalam
membuka wawasan dan cakrawala berpikir. Tradisi
mengembangkan nalar sebagaimana menjadi kelaziman di
lembaga-lembaga pendidikan di Baghdad, tiba-tiba diperkenalkan
Abdul Jalil di kalangan anak negeri yang selama beratus-ratus
tahun hidup dalam kemandekan dan kejumudan berpikir.

Melalui dewan guru yang dipimpin Syarif Hidayatullah, misalnya,


diadakan perubahan atas segala sesuatu yang berkaitan dengan
usaha pengembangan padepokan dan dakwah Islamiyyah.
Dengan berpedoman pada kaidah pemikiran ushuliyya “menerima
yang baru tetapi tidak menghilangkan yang lama yang
bermanfaat,” dimulailah perubahan-perubahan yang diharapkan
akan dapat mengubah perikehidupan warga Padepokan Giri
Amparan Jati, bahkan perikehidupan warga di Bumi Pasundan.
823
Sebagai langkah awal perubahan membuka wawasan dan
cakrawala berpikir, misalnya, atas usulan Syarif Hidayatullah istilah
padepokan yang digunakan sebagai identitas lembaga pendidikan
Islam Giri Amparan Jati harus diubah menjadi pondok. Istilah
pondok sendiri dipungut dari kata Arab funduq, yang bermakna
tempat kediaman atau penginapan. Menurut Syarif Hidayatullah,
istilah padepokan kurang cocok karena bermakna pertapaan.
Padahal, para siswa yang menuntut ilmu-ilmu Keislaman di Giri
Amparan Jati bukan calon pertapa. Di dalam jaran Islam pun tidak
dikenal amaliah ibadah yang disebut bertapa.

Usul Syarif Hidayatullah itu ada yang menerima dan ada pula yang
menolak. Yang menerima beranggapan bahwa istilah itu lebih
tepat dibandingkan padepokan. Sedangkan yang menolak
beranggapan bahwa istilah pondok (funduq) yang bermakna
tempat kediaman sering diartikan rumah penginapan, yaitu tempat
siapa saja di antara manusia bisa menginap asal membayar.
Padahal, para siswa adalah orang-orang yang bertujuan menuntut
ilmu pengetahuan dan tinggal di padepokan tanpa membayar
sepeser pun.

Akhirnya, setelah berdebat seru adu argumentasi, atas saran


Raden Sahid perbedaan pandangan itu bisa dijembatani. Mula-
mula, Raden Sahid meminta agar istilah pondok tetap digunakan
menggantikan istilah padepokan tetapi dengan catatan harus
disempurnakan agar bisa diterima oleh telinga dan perasaan
masyarakat setempat. Untuk itu, Raden Sahid mengusulkan
adanya perubahan susulan, yaitu istilah siswa yang dipungut dari
824
kata Sansekerta sisya, yang bermakna murid ruhaniah, diubah
menjadi santri. Menurut Raden Sahid, istilah santri lebih cocok
untuk menyebut para siswa Padepokan Giri Amparan Jati. Sebab
mereka bukan siswa yang menuntut ilmu-ilmu bersifat ruhaniah,
melainkan menuntut ilmu-ilmu yang terkait dengan pemahaman
atas kitab suci. Itu sebabnya, istilah santri yang diambil dari kata
Sansekerta shastri, yang bermakna murid yang mempelajari kitab
suci (shastra), lebih masuk akal. Dengan demikian, menurut Raden
Sahid, jika disatukan dalam satu kesatuan makna, maka nama
yang tepat untuk menggantikan istilah padepokan adalah Pondok
Pesantren, yang bermakna “tempat tinggal para murid yang
mempelajari kitab suci”.

Usulan Raden Sahid yang melengkapi usulan Syarif Hidayatullah


itu akhirnya disepakati oleh semua anggota dewan guru.
Berdasarkan kesepakatan yang juga disetujui oleh Yang Dipertuan
Caruban Larang, maka sebutan Padepokan Giri Amparan Jati
resmi diubah menjadi Pondok Pesantren Giri Amparan Jati. Itu
berarti, Giri Amparan Jati adalah lembaga pendidikan Islam
pertama di Bumi Pasundan yang menggunakan istilah pondok
pesantren.

Seiring dengan perubahan sebutan dari padepokan menjadi


Pondok Pesantren Giri Amparan Jati, dilakukan pula berbagai
perubahan dalam kehidupan sehari-hari yang terkait dengan
amaliah ibadah umat Islam. Perubahan terkait amaliah ibadah
umat Islam itu tetap menganut kaidah berpikir ushuliyyah
“menerima yang baru tetapi tidak menghilangkan yang lama yang
825
bermanfaat”. Istilah beribadah menyembah Allah SWT., misalnya,
disepakati untuk tidak menggunakan istilah shalat, tetapi
sembahyang.

Istilah sembahyang dipungut dari kata “sembah” dan “hyang”.


Istilah sembahyang dipilih karena lebih akrab dengan telinga dan
perasaan penduduk setempat yang lazimnya sulit mengucapkan
istilah-istilah asing yang kurang mereka pahami. Istilah
sembahyang sendiri sesungguhnya sudah digunakan oleh para
penganut ajaran Kapitayan sejak zaman purba. Namun, istilah ini
kemudian tenggelam seiring berkembangnya ajaran Hindu yang
menyebut ibadah menyembah Dewa dengan istilah bhakti. Dengan
digunakannya kembali istilah sembahyang, diharapkan ajaran
Islam tidak lagi dianggap asing dan sekaligus istilah itu dapat
menggugah kembali “ingatan purba” penduduk tentang
keberadaan ajaran agama lama leluhur mereka, yaitu Kapitayan.

Sebagai akibat perubahan istilah shlat menjadi sembahyang maka


tempat untuk beribadah menyembah Allah SWT. pun tidak
menyebut mushala (tempat shalat), tetapi disebut tajug, yakni
istilah yang digunakan oleh orang Sunda untuk menyebut tempat
mereka beribadah menghaturkan sesaji kepada arwah leluhur.
Istilah tajug sendiri sudah digunakan oleh Syaikh Hasanuddin bin
Yusuf Shiddiq saat pertama kali mendirikan Padepokan Kuro di
Karawang dan kemudian diikuti oleh kaum muslimin di Bumi
Pasundan. Sementara itu, istilah tajug di Jawa memiliki makna
yang agak berbeda, yaitu hiasan mahkota berbentuk bunga emas.
Nah, dengan penggunaan istilah tajug untuk mengganti istilah
826
mushala, diharapkan timbul kesan di kalangan penduduk bahwa
mereka yang menyembah hyang di tajug akan menjadi seperti para
pangeran, putera, dan puteri raja yang mengenakan mahkota
berhias bunga emas.

Perubahan paling penting yang dilakukan oleh dewan guru di


Pondok Pesantren Giri Amparan Jati dalam upaya mempermudah
para santri mempelajari kandungan kitab-kitab yang dijadikan buku
teks, terutama tafsir Al-Qur’an, adalah usaha menerjemahkan ke
dalam bahasa Jawa Caruban. Di antara hasil terjemahan anggota
dewan guru itu yang termasyhur, selain kitab Samarqandy (ilmu
balaghah) dan Tijan (Tauhid), adalah tafsir Al-Qur’an yang
dianggap paling sederhana dan paling mudah dipelajari, yaitu
Tafsir Al-Qur’an Jalalain yang disusun oleh Syaikh Muhammad bin
Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim bin Ahmad Jalaluddin al-Muhali
dan Syaikh Abdurrahman bin Abi Bakar bin Muhammad bin Abu
Bakar Umar bin Khalil bin Nashr bin Khadhir bin Hamam Jalaluddin
as-Suyuthi.

Kepulangan Abdul Jalil ke Giri Amparan Jati setelah mengembara


belasan tahun ternyata telah mengubah dengan cepat gerak
kehidupan di pesantren tersebut. Selain pesantren itu menjadi
ramai akibat hadirnya santri baru yang memunculkan pondok-
pondok hunian baru, juga kawan-kawan Abdul Jalil sewaktu belajar
di padepokan di bawah asuhan Syaikh Datuk Kahfi dahulu pun,
yang sebagian sudah menjadi orang-orang terpandang, secara
bergiliran datang mengunjunginya.

827
Mula-mula para teman lama itu, khususnya Ki Gedeng
Pasambangan dan Ki Gedeng Babadan, hanya ingin melepas
rindu sebagai sahabat lama sekaligus berziarah ke makam Guru
Agung Syaikh Datuk Kahfi. Namun, setelah berbincang-bincang
secara mendalam tentang berbagai hal yang menyangkut
kehidupan, terutama tentang hakikat Kebenaran Ilahi, mereka pun
menjadi tertarik dengan apa yang dikemukakan Abdul Jalil.
Pandangan, gagasan, dan jalan pikiran Abdul Jalil yang dicitrai
kerangka pandang kota antarabangsa Baghdad benar-benar telah
memesona kawan-kawan lamanya.

Seiring bergulirnya waktu, tanpa disadari sebelumnya, para


mantan siswa padepokan itu telah meminta dengan hormat agar
Abdul Jalil berkenan mengangkat mereka menjadi siswa,
khususnya dalam meniti jalan Kebenaran Ilahi. Abdul Jalil tidak
bisa menolak permintaan kawan-kawan lamanya. Namun, ia sadar
bahwa mengajarkan ilmu yang bersifat rahasia tidak bisa
digabungkan dengan pengajaran ilmu-ilmu yang bersifat umum
dan terbuka. Itu sebabnya, ia memutuskan untuk mendirikan
tempat belajar baru yang letaknya di luar lingkungan Pesantren Giri
Amparan Jati.

Sesungguhnya, gagasan Abdul Jalil mendirikan padepokan baru di


luar Pesantren Giri Amparan Jati adalah bagian dari gagasan
besarnya melahirkan tatanan baru kehidupan manusia yang
disebut masyarakat dengan asas-asas ummah sebagaimana

828
dicontohkan Nabi Muhammad Saw. saat menata kehidupan warga
kota Yatsrib. Dimulai dari Pondok Pesantren Giri Amparan Jati dan
padepokan baru yang akan didirikannya itu, ia berharap akan
terbentuk tatanan kehidupan baru masyarakat di Caruban Larang.
Akibat dicekam oleh gagasan tentang masyarakat itulah selama
beberapa malam Abdul Jalil tidak tidur. Ia terlihat mencorat-coret
pena ke atas lembaran-lembaran kertas yang sudah penuh
gambar bagan dan catatan.

Ia paham bahwa keberhasilan Nabi Muhammad Saw. dalam


melahirkan tatanan kehidupan baru yang disebut ummah di Yatsrib
pada masa kebangkitan Islam, tidaklah lepas sama sekali dari
adanya dukungan kuat para pemuka suku ‘Aus dan suku Khazraj
(Anshor) beserta kaum Muhajirin. Ia sangat sadar bahwa gagasan
besarnya untuk mencontoh Nabi Muhammad Saw. membentuk
tatanan baru masyarakat itu tidak akan bisa diwujudkan tanpa
bantuan orang-orang yang memiliki kekuatan dan kekuasaan di
Caruban Larang. Lantaran itu, ia sangat mengharapkan dukungan
ayahanda asuhnya, Sri Mangana.

Suatu malam kira-kira sepekan setelah Syaikh Datuk Kahfi wafat,


Abdul Jalil menghadap Sri Mangana di Bale Rangkang. Kepada
Yang Dipertuan Caruban Larang itu ia mengungkapkan gagasan
besarnya untuk melahirkan tatanan baru masyarakat demi
menggantikan tatanan lama yang disebut kawula (budak).

829
Dengan pengetahuannya yang luas tentang perubahan dunia
Islam, Abdul Jalil menjelaskan kepada Sri Mangana bahwa
perubahan besar akibat kedatangan Dajjal penyesat yang
membawa pasukan perusak dunia Ya’juj wa Ma’juj tidak bisa lagi
dihindari. Itu berarti, segala sesuatu yang terkait dengan
keberadaan suatu bangsa yang kurang kuat memegang nilai-nilai
yang sesuai dengan ajaran kebenaran akan tersapu dari
permukaan bumi. “Karena bagian terbesar bangsa Sunda adalah
kawula dan sedikit sekali yang berasal dari golongan menak
berdarah biru maka ananda yakin bangsa ini tidak akan mampu
menghadapi serbuan Dajjal dan Ya’juj wa Ma’juj yang membawa
nilai-nilai baru yang menyesatkan. Sebab, para kawula sedikit pun
tidak memiliki kepedulian tentang nasib bangsa dan negerinya.
Artinya, jika sang raja sebagai penguasa tunggal di seluruh negeri
Sunda sudah takluk kepada musuh maka seluruh kawula raja akan
ikut tunduk pula kepada tuan barunya,” ujar Abdul Jalil.

Bertolak dari kekhawatirannya itu, Abdul Jalil menganggap penting


terwujudnya kehidupan manusia dengan tatanan baru yang
disebut masyarakat untuk menghadapi perubahan yang dibawa
Dajjal dan Ya’juj wa Ma’juj. Sebagai langkah awal untuk
menghadapi kedatangan Dajjal, ungkap Abdul Jalil, yang harus
dilakukan adalah membuka pemukiman baru yang menjadi pusat
lahirnya tatanan baru untuk menghadapi Dajjal. “Sebagaimana
Rasulullah Saw. memi8liki Yatsrib sebagai kelahiran dunia baru
maka ananda pun ingin memiliki Yatsrib juga di Caruban Larang
ini,” ujar Abdul Jalil.

830
“Apakah mungkin engkau membangun tatanan dunia baru di
negeri ini, o Puteraku?” tanya Sri Mangana seolah menguji
keseriusan Abdul Jalil. “Bukankah tatanan yang ada di negeri ini
sangat berbeda dengan tatanan di negeri Arabia pada masa Nabi
Muhammad Saw.?”

“Ampun seribu ampun, Ramanda Ratu,” ujar Abdul Jalil. “Meskipun


dasar-dasar gagasan ananda adalah meneladani gagasan ummah
yang ditegakkan Rasulullah Saw. di Yatsrib, masyarakat yang
hendak ananda bangun memiliki perbedaan-perbedaan. Maksud
ananda, tatana masyarakat di Caruban Larang nanti merupakan
perpaduan antara gagasan ummah di Yatsrib dan kenyataan
kehidupan yang berlaku di negeri ini.”

“Tatanan baru yang bagaimana yang engkau maksud sebagai


tatanan masyarakat di Caruban Larang nanti?”

Abdul Jalil mengeluarkan selembar lipatan kertas dari balik


jubahnya. Seraya membuka lipatan kertas yang bergambar
segitiga itu, ia berkata, “Ananda memiliki gambar segitiga dengan
empat titik utama. Tiga titik yang terletak pada masing-masing
sudut adalah tempat kemunculan tatanan baru. Ketiganya
kemudian akan menuju ke titik pusat yang terletak di tengah-
tengah segitiga.”

831
“Titik utama di sudut pertama adalah gambaran Giri Amparan Jati
yang akan ananda jadikan pusat lahirnya tatana komunitas yang
disebut kaum (qaum). Titik utama di sudut kedua adalah gambaran
Puri Caruban Girang yang akan ananda jadikan pusat lahirnya
tatana komunitas yang disebut kelompok (tha’ifah). Titik utama di
sudut ketiga belum ananda tentukan tempatnya dan nanti akan
ananda jadikan pusat lahirnya tatanan komunitas yang disebut
kabilah (qabilah). Sedangkan titik pusat dari segitiga tersebut
adalah Kutha Caruban yang akan ananda jadikan pusat lahirnya
tatana komunitas yang disebut lapisan (thabaqah).”

“Jika masing-masing titik utama dipertemukan di titik pusat maka


bertemulah tatanan qaum, tha’ifah, qabilah, dan thabaqah di Kutha
Caruban. Nah, di Kutha Caruban itulah keempat komunitas itu
akan membentuk suatu tatanan baru yang lahir dari kesadaran
masing-masing komunitas. Tatanan baru yang berdasarkan
kesadaran itu ananda sebut dengan istilah masyarakat, yakni
kumpulan manusia di suatu tempat yang berasal dari berbagai-
bagai latar kehidupan yang melakukan kerja sama (musyarakat)
untuk mencapai tujuan yang mereka harapkan dan mereka
sepakati bersama.”

“Apakah yang bisa engkau jelaskan kepadaku tentang maksud dari


qaum, tha’ifah, qabilah, dan thabaqah?”

“Ampun seribu ampun, Ramanda Ratu,” kata Abdul Jalil


menguraikan gagasannya. “Yang ananda maksud qaum adalah
832
suatu kehidupan berkelompok yang dibangun atas dasar tegaknya
pribadi-pribadi yang mendiami wilayah tertentu dan pribadi-pribadi
itu secara bersama-sama bangkit melakukan pekerjaan yang
sama. Kenapa ananda memilih Giri Amparan Jati sebagai tempat
lahirnya komunitas qaum? Sebab, masing-masing warga Giri
Amparan Jati adalah pribadi-pribadi yang secara bersama-sama
telah terbiasa melakukan pekerjaan yang sama mulai dari
mengerjakan sembahyang, puasa, mengaji, membaca kasidah,
berlatih silat, menangkap ikan, mencari kayu, berladang, membuat
perahu, sampai membangun pondok-pondok. Kebiasaan adalah
modal utama yang sangat berguna untuk dikembangkan menuju
pencapaian sasaran.”

“Thaifah adalah perkumpulan manusia yang mengelilingi wilayah


tertentu dengan menggantungkan kebutuhan pada wilayah yang
dikelilingi tersebut. Di padang Arabia, Thaifah digambarkan
sebagai penghuni desa yang hidup mengitari sumur yang ada
padang gembalaannya. Kenapa ananda memilih Puri Caruban
Girang sebagai tempat lahirnya komunitasThaifah? Sebab, seluruh
penduduk Caruban Girang pada dasarnya melingkari Puri Caruban
Girang seperti gembala Arab mengitari sumur dan padang
gembalaan. Mereka adalah nayakapraja dan abdi yang terbiasa
berkhidmat kepada junjungannya dan menggantungkan semua
harapan dan hidupnya kepada puri tersebut.”

“Sedangkan yang disebut qabilah adalah sekumpulan pribadi


manusia yang memiliki tujuan dan arah yang satu dalam hidupb
mereka, di mana ikatan pribadi yang terkuat adalah kesamaan
833
harapan dan kiblat yang dituju. Untuk melahirkan komunitas
qabilah ini, ananda menggunakan ajaran Tauhid Ilahi sebagai
ikatan pribadi-pribadi yang memiliki kiblat tujuan yang sama.
Namun, sampai saat ini ananda belum menentukan di mana
tempat yang sesuai untuk melahirkan komunitas qabilah. Ananda
hanya mempunyai ancar-ancar daerah itu harusnya terletak di
sebelah tenggara Puri Caruban Girang.”

“Sementara yang dimaksud thabaqah adalah sekumpulan manusia


yang memiliki kehidupan, pekerjaan, jabatan, dan penghasilan
yang sama di mana mereka itu kemudian menduduki lap[isan yang
sama di dalam tatanan penduduk. Ikatan mereka makin
menemukan bentuk sempurna ketika mereka melakukan
persekutuan-persekutuan dalam pekerjaan, jabatan, penghasilan,
dan kepentingan mereka hingga terbentuk lapisan khas dalam
komunitas. Kenapa ananda memilih Kutha Caruban untuk
melahirkan komunitas thabaqah? Sebab, tatanan kehidupan
penduduk di Kutha Caruban pada dasarnya sudah terbentuk atas
dasar lapisan-lapisan berdasarkan jabatan, pekerjaan, dan
penghasilan.”

“Demikianlah, o Ramanda Ratu, gagasan ananda tentang


pembentukan tatanan komunitas yang disebut qaum, tha’ifah,
qabilah, dan thabaqah. Jika semuanya dipertemukan maka
keempatnya akan mengalami perpaduan dan penyelarasan-
penyelarasan sehingga pada gilirannya akan lahir komunitas baru
yang lebih besar dan lebih kuat ikatannya, yaitu komunitas yang
disebut masyarakat.”
834
“Komunitas itu disebut masyarakat, menurut hemat ananda,
karena para anggota komunitas qaum, tha’ifah, qabilah, dan
thabaqah secara sadar menyadari bahwa mereka tidak bisa hidup
sendiri tanpa kerja sama dengan komunitas yang lain. Itu
sebabnya, mereka merasa wajib untuk melakukan kerja sama
(musyarakat) atas dasar pemenuhan kepentingan bersama
sebagaimana mereka sepakati. Nah, kerja sama (musyarakat)
yang terjadi di antara masing-masing komunitas itulah yang
disebut masyarakat. Ananda harapkan, masyarakat itulah yang
akan menggantikan tatanan lama di negeri ini yang disebut
komunitas kawula, yakni tatanan komunitas budak hina dina yang
tidak memiliki hak apa pun, bahkan hak untuk hidup sekalipun.”

Sebagai seorang pemimpin yang cerdas, tanggap, dan sudah


sering menelan pahit dan getir kekuasaan, Sri Mangana langsung
memahami dan sekaligus menangkap kemungkinan-kemungkinan
yang bakal terjadi jika gagasan putera asuhnya tersebut
diwujudkan dalam kenyataan. Itu sebabnya, sambil menepuk-
nepuk bahu Abdul Jalil, penguasa Caruban Larang itu tertawa
terkekeh-kekeh sampai bahunya terguncang-guncang.

Melihat ayahanda asuhnya tertawa terkekeh-kekeh, Abdul Jalil


dengan heran bertanya, “Kenapa Ramanda Ratu tertawa
mendengar paparan ananda tentang tatanan baru masyarakat?
Adakah yang tidak masuk akal dari apa yang ananda paparkan?

835
“Bukan. Sekali-kali bukan karena tidak masuk akal. Tetapi,
gagasan yang engkau ungkapkan barusan sesungguhnya sama
artinya dengan engkau memerintahkan aku secara langsung atau
tidak langsung untuk menyiapkan angkatan perang yang kuat,”
jawab Sri Mangana sambil terus tertawa terkekeh-kekeh.

“Kenapa harus menyiapkan angkatan perang segala, o Ramanda


Ratu?” Abdul Jalil tidak paham.

“Apakah engkau pikir tidak akan ada pihak yang dirugikan oleh
gagasanmu itu?”

“Tentunya ada, o Ramanda Ratu,” sahut Abdul Jalil.

“Apakah engkau pikir para adipati di Bumi Pasundan dan bahkan


ayahandaku sendiri sebagai Maharaja Sunda akan berdiam diri
dengan lahirnya tatanan baru masyarakat yang mengancam
kedudukan mereka? Apakah engkau pikir mereka akan diam
begitu saja kehilangan hak-hak mereka atas setiap kepala manusia
yang disebut kawula (budak) di wilayah kekuasaannya? Apa
engkau pikir mereka rela melihat para kawula memiliki tanah dan
kekayaan pribadi?”

“Ananda belum berpikir sejauh itu, o Ramanda Ratu,” kata Abdul


Jalil dengan tubuh lemah seolah kehilangan semangat. “Ananda
836
tidak tahu harus berbuat apa jika menghadapi yang demikian itu.
Ananda mohon petunjuk Ramanda Ratu yang lebih memahami
dan lebih menguasai masalah siyasah (politik).”

“Camkan olehmu, o Puteraku, bahwa secara utuh aku mendukung


gagasanmu dalam membentuk tatanan dunia baru yang disebut
masyarakat itu. Aku sendiri sesungguhnya sudah tidak tahan
dengan mandeknya gerak kehidupan di negeri ini. Aku sudah muak
dengan kehidupan para menak berdarah biru yang lemah akibat
kemewahan dan sanjungan. Aku sudah tak tahan menyaksikan
ratap tangis kawula yang selalu diisap oleh pemuka-pemukanya.
Karena itu, o Puteraku terkasih, pilihlah di bagian mana dari tanah
di Caruban Larang ini yang akan engkau jadikan tempat bagi
lahirnya komunitas qabilah. Aku akan anugerahkan tanah itu
kepadamu sebagai tanah shima (bebas pajak),” ujar Sri Mangana.

“Tapi Ramanda Ratu, bagaimana dengan kemungkinan


bangkitnya amarah para adipati dan bahkan Sri Maharaja Sunda?
Sungguh, ananda tidak sedikit pun berharap terjadinya
pertumpahan darah untuk mewujudkan gagasan yang ananda
impi-impikan tersebut,” kata Abdul Jalil takzim.

“Engkau jalankan saja gagasanmu itu, o Puteraku terkasih.” Sri


Mangana membesarkan hati Abdul Jalil. “Aku lebih tahu apa yang
harus aku lakukan untuk mendukungmu mewujudkan gagasan
mulia itu. Bahkan, andaikata aku harus mengangkat senjata dan

837
memulai pertempuran dengan siapa pun yang mengahalangi cita-
cita yang mulia itu, pastilah akan aku lakukan juga.”

“Terima kasih, Ramanda Ratu.” Abdul Jalil merangkul lutut


ayahanda asuhnya dengan takzim. “Ananda hanya bisa berdoa,
semoga Dia, Yang Maha Menyaksikan (asy-Syahid),
mempersaksikan niat suci Ramanda Ratu.

Mendapat kesanggupan dari ayahanda asuhnya (Sri Mangana)


tentang diberikannya tanah perdikan untuk memulai mewujudkan
tatanan baru masyarakat ummah di Caruban Larang, saat sedang
berkeliling mencari tempat yang sesuai, menjelang senja tiba-tiba
ia dikejutkan oleh munculnya sesosok makhluk yang
mencengangkan. Makhluk itu berwujud seorang laki-laki tambun
berperut buncit. Tingginya sekitar enam depa. Kulitnya coklat
kehitaman. Rambutnya panjang terurai hingga ke paha. Matanya
mirip mata rajawali dengan bulatan manik-manik sangat kecil.
Hidungnya mancung, bahkan cenderung bengkok mirip kakaktua.
Kumisnya lebat menggantung. Janggutnya panjang menjuntai
hingga ke perut. Yang lebih mengerikan adalah saat dia
tersenyum, terlihat dua buah taringnya yang tajam berkilau.
Bagaikan sengaja menghadang jalan, lelaki tambun berperut
buncit itu bertolak pinggang di depan Abdul Jalil.

Sesaat memandang sosok mencengangka di depannya, Abdul


Jalil langsung teringat kepada Dang Hyang Semar. Mungkin inilah
makhluk berbadan halus penghuni purwakala Nusa Jawa yang
838
pernah dikatakan Dang Hyang Semar, ia menduga-duga dalam
hati. Dugaannya tidak meleset ketika sosok itu mengucapkan
salam melalui bahasa perlambang (isyarat) dan memperkenalkan
diri sebagai Yang Dipertuan Caruban Larang, Sang Setan Kabir.

Beberapa jenak setelah saling mengenalkan diri, terjadilah


perbincangan antara Abdul Jalil an Sang Setan Kabir melalui
bahasa perlambang, yang jika diungkap ke dalam bahasa manusia
kira-kira berbunyi:

“Apakah yang engkau inginkan, o manusia, berkeliling dari satu


tempat ke tempat yang lain di wilayah kekuasaanku ini? Apakah
engkau hendak membangun hunian-hunian baru bagi pengikutmu
dengan menyingkirkan penghuni purwakala negeri ini?”

“Sesungguhnya, Allah SWT., Tuhan Yng Mahakuasa, tidaklah


mencipta bangsa Jin dan Manusia kecuali untuk memuja dan
menyembah keagungan-Nya. Sesungguhnya, jin dan manusia
hidup ditempatkan di alam yang berdampingan, tidak dekat tetapi
juga tidak terpisah jauh. Masing-masing makhluk (al-khalq)
memuja dan menyembah Sang Pencipta (al-Khaliq) sesuai cara
yang ditentukan-Nya. Tidak boleh ada yang mengganggu antara
makhluk satu dan makhluk yang lain. Demikianlah peraturan yang
berlaku di antara bangsa jin dan manusia,” sahut Abdul Jalil.

839
“Tetapi kenyataannya, sejak zaman dahulu kala, kehadiran bangsa
manusia selalu berakibat bencana bagi bangsa kami. Menurut
kakek buyutku, beliau dulu adalah raja besar penghuni dunia.
Namun sejak manusia ditirunkan ke dunia, bangsa kami diusir ke
tengah lautan dan menghuni pulau-pulau yang terpencil. Sampai
kini ternyata bangsa manusia terus bertebaran ke segenap penjuru
dunia dan bahkan merambah lautan. Mereka seolah-olah tidak rela
melihat bangsa kami menghuni bumi. Mereka ingin mengusir kami
ke tengah lautan dan bahkan keluar dari dunia ke gugusan bintang-
bintang. Sungguh jahat watak manusia.”

“Tidak semua manusia seperti itu, o Setan Kabir. Sesungguhnya,


penilaianmu itu terjadi karena engkau memandang keberadaan
bangsa manusia berdasarkan pandangan bangsamu. Tidakkah
engkau tahu betapa bangsa manusia selalu merasa ketakutan
melihat perilaku bangsamu yang suka merayakan pesta darah
dengan membunuh manusia? Bukankah di antara bangsa manusia
tidak ada yang melakukan pesta dengan membunuh bangsamu?”

Setan Kabir tertawa terbahak-bahak sampai perutnya yang buncit


terguncang-guncang. Beberapa jenak sesudah itu dia berkata,
“Pesta darah yang engkau maksud itu adalah pesta biasa
sebagaimana manusia menyelenggarakan pesta-pesta perhelatan
dengan menyembelih hewan. Apa yang aneh dari adat kebiasaan
itu?”

840
“Engkau mungkin tidak merasa aneh dengan adat kebiasaan
bangsamu sebab engkau memandangnya berdasarkan
pandangan bangsamu. Tetapi bagi manusia, kebiasaan bangsamu
itu sangat menakutkan karena merekalah yang menjadi korban
sembelihan bangsamu.”

“Bagaimana dengan bangsa manusia yang membunuh bangsa


hewan untuk pesta perhelatan?”

“Hewan adalah makhluk yang tidak mempunyai ruh dan mereka


memang diciptakan untuk menjadi makanan manusia,” sahut
Abdul Jalil.

“Bukankah ketentuan itu sama dengan yang diyakini bangsa


kami?” ujar Sang Setan Kabir. “Bukankah manusia juga tidak
mempunyai ruh? Sehingga bangsa kami berhak memangsa
mereka sebagaimana manusia memangsa hewan?”

“Engkau keliru jika memandang bangsa manusia tidak memiliki


ruh,” tukas Abdul Jalil. “Justru karena ruh yang ada pada manusia
itulah yang menyebabkan seluruh malaikat bersujud kepada Adam
a.s., leluhur manusia. Hanya satu makhluk yang tidak mengetahui
bahwa pada diri manusia sesungguhnya tersembunyi ruh Ilahiah.
Makhluk itu tidak lain adalah Iblis yang dilaknat Allah SWT., yakni
salah satu leluhur bangsamu.”

841
“Apakah engkau memiliki ruh Ilahiah?” tanya Setan Kabir Sinis.
“Tunjukkan kepadaku dimana ruh Ilahiah yang tersembunyi di
dalam dirimu yang menyebabkan para malaikat harus tunduk dan
bersujud kepada leluhurmu yang bernama Adam!”

Abdul Jalil terperangah kebingungan mendapat tantangan Setan


Kabir. Ia tidak tahu harus berbuat apa untuk membuktikan kepada
Setan Kabir bahwa di dalam dirinya sesungguhnya terdapat ruh
Ilahiah. Namun beberapa jenak setelah tercekam kebingungan,
tiba-tiba Ruh al-Haqq dari kedalaman relung-relung jiwanya
memberikan isyarat agar ia meminta Setan Kabir melihat ke dalam
mulutnya, hendaknya ia melakukan nafs al-haqq, demikian isyarat
dari Ruh al-Haqq.

Sesuai isyarat dari Ruh al-Haqq, Abdul Jalil meminta Setan Kabir
untuk mendekat dan melihat ke dalam rongga mulutnya yang
ternganga. Mendapat permintaan Abdul Jalil, ganti Setan Kabir
yang kebingungan. Namun dengan menundukkan tubuh ke depan,
akhirnya Setan Kabir melihat ke dalam rongga mulut Abdul Jalil.

Saat Setan Kabir melihat rongga mulut Abdul Jalil, dia tiba-tiba
tersentak kaget bagaikan disambar petir. Sekujur tubuhnya
bergetar keras. Seiring kekagetannya itu, dia tampak tercengang
takjub dengan mata tetap terarah ke dalam rongga mulut Abdul
Jalil.

842
Saat itu Setan Kabir menyaksikan pemandangan yang sangat
menakjubkan. Di dalam rongga mulut Abdul Jalil terdapat
hamparan samudera mahaluas dengan gelombang bergulung-
gulung susul-menyusul. Di tengah samudera itu terlihat pula
gugusan pulau dan benua, hutan rimba yang lebat, jajaran gunung,
gurun, lembah, ngarai, dan jurang. Setelah itu, di atas suatu
daratan luas terlihat berjuta-juta bangsa jin sedang berperang
saling membunuh sesamanya. Mayat para jin bergelimpangan dan
bertumpuk-tumpuk membentuk bukit mayat. Pekik peperangan
terus terdengar sahut menyahut di tengah suara gemerincing
senjata.

Tiba-tiba suara sangkakala terdengar membelah angkasa. Para jin


yang berperang berhenti. Namun, sesaat sesudah itu mereka
berperang lagi dengan lebih sengit. Di tengah gemuruh
peperangan seketika muncul cahaya yang bersinar terang
benderang melebihi ahaya matahari. Akibat cahaya yang
menyilaukan mata itu, para jin yang sedang berperang menjadi
buta. Sambil berteriak-teriak mereka berjalan ke berbagai arah
dengan menggapai-gapai layaknya si buta mencari jalan.

Terpukau oleh pemandangan menakjubkan dan silau menyaksikan


benderang cahaya cemerlang yang bersinar di dalam rongga mulut
Abdul Jalil, Setan Kabir melompat mundur ke belakang dengan
tubuh menggigil. Setelah itu ia duduk berlutut di depan Abdul Jalil
sambil bertanya dengan sikap yang sangat menghormat, “Apakah
cahaya yang menyilaukan laksana benderang matahari itu adalah
ruh Ilahiah yang tersembunyi di dalam diri manusia?”
843
“Ruh manusia bukan cahaya matahari, tetapi ruh manusia bisa
lebih terang dari cahaya matahari dan bahkan ruh manusia bisa
memuat beribu-ribu matahari,” jawab Abdul Jalil.

“Pemandangan menyilaukan dari ruh manusia itu pernah aku


saksikan pada diri Dang Hyang Hasmara, keturunan Dang Hyang
Semar.”

“Engkau kenal dengan Dang Hyang Hasmara?”

“Ya, beliau adalah pelanjut ajaran Dang Hyang Semar.”

“Berapa sekarang ini usiamu, o Sang Setan Kabir?”

“Usiaku?” Setan Kabir mengira-ngira, “Kalau dihitung dengan


waktu manusia, kira-kira seribu sembilan ratus tahun.”

“Aku belum pernah ketemu Dang Hyang Hasmara. Tetapi,


beberapa waktu lalu aku bertemu dengan arwah Dang Hyang
Semar.”

“Paduka bertemu dengan Dang Hyang Semar Sendiri?”

844
“Ya, saat itu beliau memberitahuku tentang keberadaan bangsamu
yang sudah menghuni Nusa Jawa jauh sebelum kehadiran bangsa
manusia. Beliau bahkan telah mengizinkan aku untuk
menyebarkan ajaran kebenaran Islam yang merupakan ajaran
sempurna dari ajaran Kapitayan di Nusa Jawa.”

“Benarkah demikian?”

Setan Kabir tertawa terkekeh-kekeh dan berkata, “Berarti, paduka


tidak akan mengusir bangsa kami?”

“Ketahuilah, o Setan Kabir, bahwa Nabi Muhammad Saw.,


pembawa ajaran Islam adalah penerang bagi alam semesta.
Muhammad Saw. adalah rahmah - pengejawantahan ar-Rahman
dan ar-Rahim - bagi alam semesta. Itu sebabnya, kehadiran ajaran
yang beliau sampaikan tidak akan menjadi bencana bagi makhluk
yang lain. Bahkan di antara pengikut-pengikut beliau terdapat
segolongan yang berasal dari bangsamu.”

“Ketahuilah, o Setan Kabir, bahwa kewajiban Nabi Muhammad


Saw. adalah sama dengan kewajiban para utusan Tuhan (rasul)
yang lain, yakni hanya sebagai penyampai (balaqh) Kebenaran
Ilahi (QS. Al-Maidah:99). Dan bagiku, pewaris ajaran para utusan
seperti Nabi Muhammad Saw., tidak ada kewenangan untuk
mengusir makhluk lain dari suatu tempat di muka bumi. Sebab,

845
kewajibanku pun hanya menyampaikan ajaran Kebenaran Ilahi,
tidak lebih.”

“Berarti, paduka tidak akan mengubah perjanjian leluhur kami


dengan Dang Hyang Semar?”

“Benar demikian adanya,” ujar Abdul Jalil. “Sebab, kesepakatan


yang telah dilakukan Dang Hyang Semar tidak bertentangan
dengan hukum alam (sunnah Allah). Sesungguhnya, pada tiap-tiap
umat terdapat seorang utusan Tuhan (rasul) yang mengajarkan
kepada umat tersebut untuk memuja dan menyembah Tuhan dan
menjauhi pemujaan kebendaan (thaghut). Namun, di antara umat
itu ada yang mendapat petunjuk (hidayah) dari Tuhan dan ada pula
yang tetap sesat (adh-dhalalah) (QS. An-Nahl:36). Dan
sesungguhnya, mereka yang tetap sesat, yakni tetap memuja
kebendaan (thaghut) dan bergelimang kejahatan akan dibinasakan
untuk diganti umat baru (QS. al-An’am:6). Hukum alam (sunnah
Allah) ini berlaku dari zaman ke zaman hingga hari akhir.”

“Karena itu, o Setan Kabir, apa yang telah dilakukan oleh Dang
Hyang Semar dengan leluhurmu dalam ikatan perjanjian itu
sesungguhnya sudah sesuai dengan hukum alam (sunnah Allah),
di mana penghuni Nusa Jawa yang dijadikan mangsa dalam pesta
darah bangsamu itu adalah manusia-manusia sesat pemuja
kebendaan (thaghut) yang hidup bergelimang kejahatan. Dengan
demikian, satu pun diantara lima butir perjanjian itu tidak akan aku
perbarui. Artinya, mangsalah dan jadikanlah santapan dalam pesta
846
darahmu para penghuni Nusa Jawa yang sesat, yakni mereka,
para pemuja kebendaan, yang bergelimang kejahatan meskipun
mereka mengaku-aku umat Islam.”

“Aku akan sampaikan berita gembira ini kepada para raja di antara
bangsaku,” ujar Setan Kabir. “Aku akan sampaikan pula bahwa
manusia yang harus kami patuhi mulai saat ini adalah paduka,
Syaikh Datuk Abdul Jalil, penerus dan penyempurna ajaran Dang
Hyang Semar.”

“Tapi ada satu tugas khusus yang harus engkau jalankan dariku.”

“Tugas apa itu paduka?”

“Kumpulkan raja-raja di antara bangsamu se Nusa Jawa untuk


menemuiku pada paro terang bulan Badra.”

“Dimana kami harus berkumpul?”

“Di puncak Gunung Pulasari di tanah Banten.”

“Kami akan laksanakan perintah paduka.”

847
Setelah berkeliling ke berbagai tempat di sekitar Caruban Larang,
Abdul Jalil akhirnya menemukan suatu tanah terlantar berupa
hamparan rumput alang-alang yang terletak di sebelah tenggara
Kutha Caruban dan Puri Caruban Girang. Tanah itu sesungguhnya
masuk ke dalam wilayah Negari Japura yang dirajai Prabu Amuk
Marugul. Namun, Negari Japura telah dimasukkan ke dalam
wilayah samiddha Caruban Larang setelah Prabu Amuk Marugul
diangkat menjadi penasihat maharaja di Pakuan Pajajaran.

Jika diukur, jarak tanah yang dipilih Abdul Jalil itu hampir sama
dengan jarak Pesantren Giri Amparan Jati ke Puri Caruban Girang.
Hanya saja, Giri Amparan Jati terletak di sebelah utara Puri
Caruban Girang, sedangkan tanah itu terletak di sebelah tenggara.
Dan, jika ditarik garis lurus maka antara Puri Caruban Girang, Giri
Amparan Jati, dan tanah baru itu akan membentuk segitiga dengan
Kutha Caruban terletak di tengahnya.

Sementara itu, saat mengetahui tanah yang ditunjuk Abdul Jalil, Sri
Mangana terheran-heran dan bertanya, “Kenapa engkau memilih
tanah yang ganas dan tidak ramah itu, o Puteraku terkasih?
Kenapa engkau tidak memilih tanah yang lebih baik di sekitar
Kutha Caruban seperti tanah kosong di sebelah selatan Kesambi
atau Kalijaga?”

Mendengar pertanyaan ayahanda asuhnya yang terheran-heran


dengan permintaannya itu, Abdul Jalil menjelaskan bahwa tanah
ganas dan tidak ramah itu sengaja dipilih karena memiliki
848
kemiripan dengan sekantung tanah yang diterimanya dari
ayahanda mertuanya, Syaikh Abdul Malik al-Baghdady, juga
jaraknya sesuai dengan gambar segitiga yang dibuatnya. Setelah
memahami alasan putera asuhnya, Sri Mangana segera
mengeluarkan maklumat yang isinya menetapkan anugerah tanah
shima seluas dua ratus jung (sekitar 560 hektar) di wilayah Japura
kepada Abdul Jalil lengkap dengan batas-batasnya.

Dengan anugerah tanah shima seluas dua ratus jung itu, Abdul Jalil
sadar bahwa ia sesungguhnya telah mulai menapakkan kaki ke
dunia nyata untuk mewujudkan gagasan besar yang selama ini
tersembunyi di relung-relung impiannya. Namun sebelum memulai
pekerjaan awal membangun tanah itu menjadi pemukiman bagi
komunitas qabilah, Abdul Jalil terlebih dulu harus memasang Tu-
mbal sebagaimana pernah dilakukan Syaikh Syamsuddin al-Baqir
al-Farisi atas petunjuk Dang Hyang Semar. Meski semula tanah
yang akan disebar di tempat yang bakal dijadikan bangunan hunian
itu adalah tanah dari Karbala bekal dari mertuanya, Abdul Jalil tiba-
tiba beroleh ilham untuk mencampur tanah Karbala dengan tanah
dari pendharmaan Bhattari Prthiwi di Kabhumian.

Ia sendiri tidak mengetahui ada rahasia apa sebenarnya di balik


pemasangan Tu-mbal berupa taburan tanah yang sudah dilakukan
Syaikh Syamsuddin al-Baqir al-Farisi. Ia juga tidak mengetahui
rahasia apa di balik sekantung tanah yang dibekalkan mertuanya
itu. Namun, ia lakukan juga hal itu semata-mata untuk
menghormati petunjuk orang-orang yang hidup lebih dulu yang
tentunya lebih mengetahui seluk-beluk kehidupan masa silam.
849
Ketika ia sedang berdiri tegak di atas tanah shima dan
menyaksikan tebaran tanah campuran yang baru ditaburnya di
atas rumput alang-alang, tiba-tiba Ruh al-Haqq di kedalaman
jiwanya berseru, “Ketahuilah, o Abdul Jalil, sesungguhnya sarana
(Tu-mbal) tanah itu tidak dimaksudkan lain, kecuali hanya sebagai
pemakluman manusia keturunan Adam a.s. (Bani Adam) yang
badan jasmaninya terbuat dari tanah. Pemakluman itu akan
disaksikan oleh para Jin, penghuni purwakala Nusa Jawa.
Tindakanmu mencampur kedua tanah itu sudah benar sebab para
penghuni purwakala Nusa Jawa akan menangkap perlambang
yang engkau isyaratkan, yakni bersatunya anak eturunan Adam
a.s. secara selaras baik yang mengikuti ajaran Kapitayan, Hindu,
Budha maupun Islam, dan sekaligus menyatunya dua jenis tanah
yang berbeda jiwa dan semangatnya; tanah Kabhumian
melambangkan jiwa kasih dan semangat kesetiaan, sedangkan
tanah Karbala melambangkan jiwa suci sekaligus semangat
pengkhianat.”

Setelah memahami sekeping rahasia di balik penyebaran tanah


yang disebut Tu-mbal (sarana), Abdul Jalil sadar bahwa di atas
semua ketentuan yang terkait dengan upaya membuat tawar
pengaruh jahat para bangsa halus penghuni purwakala Nusa Jawa
itu, sesungguhnya yang paling menentukan adalah manusia.
Tanah hanya sarana pemakluman. Tanah hanya perlambang
penampakan keberadaan jati diri manusia. Yang berperan utama
tetaplah manusia, makhluk agung yang terbuat dari tanah tetapi
mewarisi Ruh al-Haqq yang menjadi penyebab seluruh malaikat
bersujud.

850
Peran utama manusia itu setidaknya terlihat pada peristiwa
pemasangan Tu-mbal yang telah dilakukan oleh Syaikh
Syamsuddin al-Baqir al-Farisi. Meski telah memasang Tu-mbal
tanah dari Karbala, ternyata pengaruh jahat bangsa halus tidak
bisa dihindari. Ketika Syaikh Syamsuddin al-Baqir al-Farisi kembali
ke Persia, para pengikutnya dijadikan “santapan” para penghuni
purwakala Nusa Jawa.

Menyadari betapa penting peran manusia dalam upaya membuat


tawar pengaruh jahat para makhluk berbadan halus, Abdul Jalil
kemudian menempatkan tujuh orang santri dari Giri Amparan Jati
untuk menunggui tebaran tanah yang telah ditaburnya. Kepada
ketujuh orang santri itu ia memberikan petunjuk agar mereka
membaca urut-urutan doa yang telah disusunnya. Urutan doa itu
adalah rangkaian doa pengusir pengaruh jahat jin dan setan
sebagaimana diajarkan Nabi Muhammad Saw. rangkaian doa itu
meliputi: surat al-Fatihah: 1-7; surat al-Ikhlas: 1-4; surat al-Falaq:
1-5; surat an-Naas: 1-6; surat al-Baqarah: 1-5, 255 (ayat kursi),
284-286; istighfar; shalawat; tahlil; ditutup doa penolak godaan
setan dan permohonan keselamatan manusia beriman.

Tujuh hari berturut-turut setiap usai Maghrib rangkaian doa


pengaruh jahat jin dan setan itu dibaca. Kemudian dimulailah
pembangunan pertama di tanah baru itu, yakni tajug kayu dengan
atap daun kawung. Menurut rencana, di teras kiri tajug akan
didirikan pondok yang dijadikan tempat tinggal Abdul Jalil.
Sedangkan di teras kanan tajug akan didirikan pondok yang
dijadikan penginapan sementara para siswa.
851
Demikianlah, dengan dibantu sekitar dua puluh santri Giri Amparan
Jati dan kawan-kawan lamanya, Abdul Jalil memulai pekerjaan
besarnya; mengubah tanah anugerah berupa hamparan rumput
alang-alang menjadi tempat baru yang bisa dihuni manusia.
Kemudian, sesuai dengan warna tanah Karbala dan tanah
Kabhumian yang dicampurnya, daerah pemukiman baru yang
terletak di bekas wilayah Japura itu oleh Abdul Jalil dinamai Dukuh
Lemah Abang. Istilah dukuh dipungut dari bahasa Jawa Kuno yang
berarti “tempat sunyi” kediaman Dang Hyang Semar. Ia berharap
dengan menggunakan istilah dukuh, ingatan purba masyarakat
tentang Dang Hyang Semar beserta ajarannya akan terbit kembali.

Dari sebuah pondok kayu beratap daun kawung yang terletak di


teras kiri tajug Dukuh Lemah Abang, Abdul Jalil mulai mengajarkan
ilmu-ilmu yang bersifat rahasia kepada para muridnya yang
umumnya seusia bahkan lebih tua darinya. Sebagaimana saat ia
menata perkuliahan di Giri Amparan Jati, di Lemah Abang pun ia
mengajarkan ilmu-ilmu bersifat rahasia dengan terlebih dahulu
memperkenalkan ilmu hikmah dan ‘irfan.

Ilmu hikmah adalah ilmu yang terkait dengan usaha-usaha untuk


mencapai keseimbangan yang sempurna antara ilmu dan amal
sehingga tercapai suatu keadilan (‘adl), yakni meletakkan sesuatu
secara tepat pada tempat yang semestinya. Dengan demikian,
sekalipun dalam ilmu hikmah ini diyakini bahwa Kebenaran Sejati
hanya bisa diperoleh secara ruhaniah melalui pengembaraan
ruhani, ilmu itu tetap dapat diungkap secara akal. Mereka yang
memahami ilmu hikmah, ketika beroleh anugerah limpahan
852
pengetahuan ruhani (warid), akan mengalami kegaiban (ghaibah).
Sedangkan mereka yang sama sekali buta terhadap ilmu hikmah
cenderung mengalami kegilaan (majnun) ketika beroleh limpahan
pengetahuan ruhani.

‘Irfan secara harfiah dapat diartikan ilmu pengetahuan tentang


Ketuhanan yang memiliki kaidah-kaidah tersendiri yang sering kali
berbeda dengan kaidah-kaidah syari’at (fiqhiyyah). ‘Irfan lebih
ditekankan pada masalah-masalah yang terkait dengan
pengetahuan Ilahiah seperti Nama-Nama yang Tarpelihara (al-ism
al-musta’tsar), Nama-Nama Agung (al-ism al-a’zham), Akhlak yang
Mulia (al-akhlaq al-Karimah), makna rahasia di balik Al-Qur’an,
isyarat-isyarat ruhaniah dengan takwil-takwilnya, dan segala
sesuatu yang terkait dengan pengungkapan rahasia atas
Khazanah Tersembunyi Ilahi. Dengan demikian, dalam pandangan
‘irfani, seseorang yang berkata benar di depan penguasa zalim
dianggap seseorang yang sudah melakukan jihad terbesar
dibandingkan dengan orang yang bertempur dengan pedang di
medan laga. Kejayaan jihad terbesar dalam pandangan ‘irfan
adalah keberhasilan menaklukkan nafsu pribadi, sedangkan
kejayaan jihad di medan tempur dianggap keberhasilan kecil.

Sementara itu, sebagaimana Giri Amparan Jati yang disebut


pondok pesantren, tempat Abdul Jalil mengajarkan ilmu-ilmu
rahasia tidak disebut padepokan yang bermakna pertapaan dan
tidak juga disebut biara, pasulukan, atau asrama. Abdul Jalil
dengan sederhana menamai tempatnya mengajar dengan sebutan
Paguron Lemah Abang. Istilah paguron sendiri dipungut dari
853
bahasa Jawa Kuno aguron-guron (menjadi murid) yang sama
maknanya dengan “menjadi sang penempuh” (salik). Jadi, paguron
bermakna “tempat orang-orang yang menjadi murid” atau “tempat
salik” menuntut pelajaran rahasia untuk mencari Kebenaran Sejati.

Sekalipun nama tempat mengajar itu disebut paguron, mereka


yang belajar di situ tidak disebut aguron-guron, tetapi murid.
Sebab, menurut Abdul Jalil, di dalam bahasa Arab al-murid
bermakna “yang menginginkan Allah”. Sebutan murid diambil dari
salah satu nama Allah yang indah, yaitu Yang Memiliki Kehendak
(al-Murid). Dengan adanya hubungan timbal balik antara al-murid
dan al-Murid maka akan terjadi hubungan saling mendekat dengan
cepat dan tepat sesuai firman-Nya: “Jika engkau mendekat
sejengkal maka Aku akan mendekat selangkah. Jika engkau
mendekat dengan berjalan maka Aku akan mendekat dengan cara
berlari.” Demikianlah, tidak berbeda dengan penggantian istilah
padepokan menjadi pondok pesantren, penggunaan istilah
paguron dan murid merupakan “perkawinan” yang selaras antara
istilah Arab dan istilah setempat.

Sesuai ajaran Tarekat al-Akmaliyyah yang disampaikannya, yang


tidak mengenal mursyid dalam wujud manusia, Abdul Jalil
melarang murid-murid untuk menganggapnya sebagai mursyid,
yaitu pancaran dari Yang Maha Menunjuki (ar-Rasyid). Mursyid,
menurut Abdul Jalil, adalah ar-ruh al-idhafi yang ada di dalam diri
pribadi tiap-tiap manusia. Kepada para muridnya Abdul Jalil
memperkenalkan keberadaan dirinya sebagai guru ruhani yang
berkewajiban membimbing murid untuk mengenal mursyid di
854
dalam dirinya. Itu sebabnya, ia hanya berkenan dipanggil dengan
sebutan syaikh (Arab: guru ruhani).

Tidak berbeda dengan kebijakannya dalam menentukan


penerimaan santri di Pondok Pesantren Giri Amparan Jati, di
Paguron Lemah Abang pun Abdul Jalil menerima murid dari
berbagai kalangan tanpa melihat latar kedudukan sosial, asal-usul
keturunan, dan agamanya. Para murid yang belajar ilmu-ilmu
rahasia kepada Abdul Jalil ada yang berasal dari kalangan darah
biru yang berkuasa di Caruban Larang seperti Ki Gedeng
Pasambangan, Ki Gedeng Babadan, Ki Gedeng Tegal Alang-
Alang, Ki Gedeng Surantaka, dan ada pula yang berasal dari
kalangan orang kebanyakan seperti pedagang, petani, nelayan,
perajin, atau tukang.

Berbeda dengan para santri pondok Pesantren Giri Amparan Jati


yang harus tinggal dalam jangka waktu tertentu untuk
menyelesaikan pelajarannya, di Paguron Lemah Abang para murid
hanya tinggal dalam tempo sehari atau paling lama sepekan. Para
murid secara bergiliran menghadap Abdul Jalil untuk memperoleh
wejangan berupa petunjuk perjalanan menuju Kebenaran Sejati
dengan memahami ilmu hikmah dan ‘irfan. Setelah paham maka
sang murid dipersilakan kembali hidup di tengah masyarakat untuk
mengamalkan wejangan itu.

Kebenaran Sejati, menurut pandangan Abdul Jalil, tidak berada di


kuburan-kuburan, di gua-gua, di pohon-pohon besar, di gunung, di
855
laut, maupun di langit. Sesungguhnya, Kebenaran Sejati lebih
dekat dari urat leher manusia. Jadi? Carilah Kebenaran Sejati di
tengah kehidupan manusia, di tengah-tengah tarikan napas
kehidupan, di tengah keramaian dan keheningan alam kehidupan.
Dan sesungguhnya, tanpa pedoman ilmu hikmah dan ‘irfan,
sangatlah sulit memperoleh anugerah ruhani yang menyebabkan
kegaiban (ghaibah) yang merupakan prasyarat utama bagi
ditemukannya Kebenaran Sejati.

856
Bumi Pasundan

Abdul Jalil telah menyaksikan berbagai negeri


dan bangsa. Ia telah memahami pasang dan
surut berbagai bangsa meniti jembatan
sejarahnya. Ternyata, sejarah mengajarkan
bahwa tidak ada satu pun bangsa yang bisa
hidup lestari jika tidak menganut nilai-nilai yang
cocok dengan bangsa tersebut. Dan, nilai-nilai itu pun ternyata
selalu mengalami pasang dan surut seiring menggelindingnya roda
waktu.

Sebagaimana bangsa lain, bangsa yang hidup di atas permukaan


Bumi Pasundan adalah bangsa yang pernah meraih kebesaran
pada masa silam karena menganut tatanan nilai-nilai yang cocok
dengan naluri mereka. Namun seiring menggelindingnya roda
waktu, nilai-nilai yang dianut bangsa Sunda ternyata berkarat,
keropos, dan bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan serta
keniscayaan perubahan.

Bangsa Sunda dalam penilaiannya tampak sedang terpuruk ke


dalam lingkaran kemandekan dan keterbendungan sungai zaman.
Menurut hematnya, jika tidak adas perubahan nilai-nilai yang
sesuai dengan zaman maka dalam waktu yang tidak lama bangsa
ini akan porak-poranda terseret arus perubahan, terutama saat
nilai-nilai baru yang tersumbat menjelma menjadi air bah

857
perubahan yang membobol kemandekan sungai zaman dengan
kekuatan dahsyat yang merusak dan membinasakan.

Jika dikaji secara cermat dan mendalam, sesungguhnya


keterpurukan bangsa Sunda bermula dari peristiwa tragis yang
dialami Maharaja Sunda, Prabu Linggabhuwana Wisesa Sri
Maharaja Sang Mokteng Bubat, yang terbunuh di Bubat oleh Gajah
Mada, Mahapatih Majapahit. Mimpi buruk itu begitu tak terduga dan
sangat mengejutkan sehingga membuat suluruh bangsa Sunda
baik kalangan menak berdarah biru maupun kalangan jelata
tercengang dalam suasana traumatis selama berpuluh bahkan
seratus tahun lebih. Bagaikan tidak sadar jika kehidupan terus
berputar, seluruh penghuni Bumi Pasundan seolah-olah tenggelam
dalam mimpi kosong tanpa makna dengan bayangan masa lalu
yang menakutkan.

Entah sadar entah tidak, tinta sejarah mencatat bahwa bangsa


Sunda dalam mimpi kosongnya yang panjang itu telah merasa
bersyukur menjunjung kekuasaan pengganti Prabu
Linggabhuwana Wisesa Sri Maharaja Sang Mokteng Bubat, yaitu
Prabu Niskala Wastu Kencana, sang putera mahkota, yang duduk
di atas singgasana Galuh Pakuan selama seratus lima tahun.
Kurun seratus lima tahun adalah kurun yang sangat lama dan
membosankan bagi satu kekuasaan tunggal di tangan orang yang
sama. Namun semua orang Sunda, tidak terkecuali putera
mahkota, sepertinya tidak menyadari bahwa kehidupan dunia
adalah gerak dinamis yang terus-menerus mangalami perubahan
dan dituntut oleh zaman untuk berkembang. Itu sebabnya, selama
858
seratus lima tahun dipimpin Prabu Niskala Wastu Kencana tanpa
sedikit pun diganggu Majapahit, tampaknya telah membawa orang-
orang Sunda ke suatu matra kehidupan dengan dunianya sendiri
yang penuh mimpi.

Kesuburan dan kemakmuran yang berlimpah yang tak habis


dimakan tujuh turunan ternyata tidak menjadi berkah bagi bangsa
yang lari dari kenyataan dan sedang terjebak dalam mimpi buruk
itu. Sebab, kesuburan dan kemakmuran bagi bangsa yang sedang
bermimpi adalah bagian dari mata air kemalasan yang
melumpuhkan setiap gerak dinamis kehidupan. Demikianlah,
bagaikan putaran roda waktu yang sedang dilepas tanpa kendali,
tergilaslah para menak berdarah biru Sunda dengan kemewahan
dan sanjungan hingga menyebabkan mereka lumpuh tak berdaya.
Di dalam dunianya yang sempit mereka bersembunyi dari
kenyataan seolah-olah mereka sedang menikmati mimpi surgawi
yang penuh pesta pora dan kemalasan.

Ketika Prabu Niskala Wastu Kencana mangkat dalam usia seratus


dua belas tahun dengan meninggalkan anak-anak, cucu-cucu
(incu), cucu-buyut (piut), dan entah keturunan ke berapa, takhta
Kerajaan Sunda terancam perpecahan. Para putera, cucu, dan
cucu buyut maharaja yang menjadiraja muda – prabu anom,
adipati, bupati, nrpati – saling membangun kekuatan sendiri-sendiri
di daerah kekuasaannya masing-masing. Sehingga, saat putera
mahkota Prabu Dewa Niskala, yang sudah tua renta,
menggantikan kedudukan ayahandanya, tak lebih dari tujuh tahun
sudah harus mundur dan digantikan oleh puteranya, yaitu Prabu
859
Guru Dewata Prana Sri Baduga Maharaja Ratu haji di Pakuan
Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata.

Meski ada yang menyatakan bahwa mundurnya Prabu Dewa


Niskala akibat melanggar larangan – menikahi puteri larangan
sehingga ia disebut Prabu Anggalarang, orang-orang tidak bisa
memungkiri bahwa pada saat menduduki takhta Galuh Pakuan,
sesungguhnya Prabu Dewa Niskala sudah sangat tua bahkan
usianya hampir sembilan puluh tahun. Sementara itu, puteranya
yang bernama Pamanah rasa dan bergelar Siliwangi telah
membangun kekuatan di Pakuan Pajajaran. Itu sebabnya, usai
menggantikan takhta Prabu Dewa Niskala, dia segera
mengumumkan bahwa Maharaja Sunda baru yang dinobatkan
dengan nama Abhiseka Prabu Guru Dewata Prana memindahkan
ibu kota kerajaan dari Galuh Pakuan ke Pakuan Pajajaran. Di
Pakuan Pajajaran itu sang maharaja dinobatkan kembali dengan
nama Abhiseka Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan
Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata.

Di bawah Prabu Guru Dewata Prana Sri Baduga Mharaja, yang


juga sudah tua, kehidupan di Bumi Pasundan sesungguhnya tetap
tidak banyak berubah. Hanya saja, diam-diam mulai terasa terjadi
persaingan sengit di antara para putera dan cucu maharaja di
dalam upaya merebut takhta. Dan orang-orang bilang: di antara
para keturunan Prabu Guru Dewata Prana Sri Baduga Maharaja
yang dianggap paling berbahaya dan menjadi ancaman bagi
sudara-saudaranya yang lain adalah Sri Mangana, Raja Muda
Caruban Larang. Sebab, dia tidak saja sudah menganut agama
860
yang berbeda dengan agama leluhurnya, tetapi yang tak kalah
mengkhawatirkannya adalah kenyataan yang menunjukkan bahwa
penguasa Caruban Larang itu tidak pernah beristirahat dari
kegiatan membangun kekuatan militer Caruban Larang. Bahkan,
beberapa waktu lalu dia memaklumkan diri sebagai panglima
perang (manggalayuddha) Caruban Larang.

Kecurigaan dan kekhawatiran keluarga Maharaja Sunda terhadap


gerak dinamis kehidupan Sri Mangana sesungguhnya dapat
dipahami. Sebab, selama seratus tahun lebih mereka telah lari dari
kenyataan dan menenggelamkan diri ke dalam tidur panjang
dengan mimpi-mimpi kosong tanpa makna. Mereka seolah-olah
tidak sadar jika dunia di luar mereka berkembang dan bahkan
sebagian sedang mengalami guncangan akibat diempas angin
perubahan yang menebarkan nilai-nilai baru. Bagaikan barisan
lembu menunggu dipotong di rumah jagal, begitulah keberadaan
bangsa Sunda yang dengan tenang masih menikmatikesegaran
rumput hijau kemakmuran tanpa sedikit pun sadar bahwa prahara
perubahan sedang menampar-nampar di belahan bumi lain, yang
cepat atau lambat pasti akan mengempaskan mereka ke
kenyataan hidup yang menyakitkan.

Kenyataan tentang gerak kehidupan Bangsa Sunda yang lari dari


kenyataan dan tenggelam di dalam dunia yang penuh mimpi itu
setidaknya disaksikan dengan mata kepala sendiri oleh abdul Jalil
saat memasuki daerah pedalaman Bumi Pasundan untuk
memasang Tu-mbal sesuai petunjuk Dang Hyang Semar. Saat itu,
bagaikan sedang berada di alam mimpi, ia menyaksikan kehidupan
861
sehari-hari penduduk yang tidak saja berbeda jauh dengan warga
Baghdad, tetapi juga sangat bertentangan dengan hati nuraninya
sebagai menusia.

Dengan terheran-heran ia saksikan para lelaki Sunda di desa-desa


yang dilaluinya hidup bersantai-santai menikmati kemakmuran
negeri dengan kegiatan sehari-hari mengadu ayam, berjudi,
mendatangi rumah pelacuran, meminum minuman keras, mabuk,
berkelahi, dan memukuli istri-istri mereka. Sawah dan ladang yang
subur dan luas membentang nyaris tidak pernah disentuh oleh
tangan kekar para lelaki karena hamparan lahan subur itu lazimnya
digarap oleh perempuan, anak-anak, dan para lelaki tua bangka.

Abdul Jalil tidak tahu apa sesungguhnya yang ada di dalam benak
para lelaki Sunda itu dengan cara hidup yang nyaris tanpa
tantangan sedikit pun. Ia melihat betapa para lelaki itu jika
kehabisan uang untuk berjudi akan memeras istri-istrinya demi
memenuhi keinginannya memperoleh uang. Jika para istri tidak
bisa menyediakan uang maka mereka akan dianiaya dan disiksa.
Bahkan tak jarang seorang suami menggadaikan istri dan anak-
anaknya untuk taruhan judi.

Ingatan pedih Abdul Jalil tentang seorang penjudi Cina di Malaka


bernama Sian Coa yang menggadaikan istri untuk taruhan judi tiba-
tiba berkelebat kembali memasuki benaknya. Namun, jika Sian
Coa merupakan kasus orang seorang sebagai pribadi maka kasus

862
menggadaikan istri yang ia saksikan di pedalaman Bumi Pasundan
justru dianggap sebagai kelaziman di kalangan penduduk.

Bagi Abdul Jalil sendiri, rentang waktu selama melakukan


perjalanan melintasi jalan besar antara Caruban Girang – Raja
Galuh – Sindangkasih – Sumedang Larang – Sagala Herang
adalah rentang waktu yang paling memilukan sejak ia
menginjakkan kaki kembali ke Bumi Pasundan. Dalam perjalanan
itu ia seperti disuguhi pemandangan yang mencengangkan
sekaligus membuat luka hatinya. Ia yang selama berbelas tahun
tinggal di Baghdad, kota beradab tempat ilmu pengetahuan dan
peradaban berkembang, benar-benar tercengang dengan
kenyataan hidup penduduk pedalaman Bumi Pasundan.

Menurut hematnya, penduduk pedalaman Bumi Pasundan yang


tinggal di desa-desa itu lebih sesuai disebut sebagai kawanan
manusia daripada kumpulan manusia beradab dan berbudaya
yang memiliki nilai-nilai kemanusiaan. Bagaimana mungkin
mereka bisa disebut manusia beradab jika seorang laki-laki yang
sewajibnya menjadi batang penopang tegaknya pohon keluarga
justru memperkukuh keakuannya yang kerdil sebagai benalu. Laki-
laki yang seharusnya menjadi pelindung dan pengayom bagi istri
dan anak-anaknya justru menjadi benalu perusak yang
menakutkan. Istri dan anak-anak hampir dianggap sebagai bagian
pohon yang bisa digerogoti untuk memenuhi naluri kebutuhannya
sebagai benalu.

863
Dengan mata kepala sendiri ia menyaksikan betapa seorang
bapak yang butuh uang dengan bebas sewaktu-waktu menjual
anak-anaknya kepada pedagang budak. Ia juga saksikan seorang
suami dengan bebas menggadaikan istrinya sebagai taruhan judi.
Bahkan, tak jarang juga anak-anak kecil yang sejatinya haus kasih
sayang orang tua tiba-tiba dijadikan budak oleh bapaknya hanya
untuk membayar hutang.

Penasaran akibat menyaksikan kehidupan mereka, Abdul Jalil


berusaha mengajak bicara beberapa lelaki yang begitu tega
menggadaikan istri dan menjual anaknya. Hasilnya, ia
mendapatkan penjelasan betapa sesungguhnya para lelaki itu pun
sejatinya telah dibentuk oleh nilai-nilai yang mencetak mereka
menjadi manusia berjiwa mati dan berpikiran tumpul. Nilai-nilai
yang mereka anut telah mengatur keberadaan mereka sebagai
kawula sebuah kerajaan. Maksudnya, sesuai nilai-nilai yang
mereka anut, para kawula yang tinggal di sebuah kerajaan adalah
warga yang tidak memiliki hak apa pun atas suatu kehidupan.
Segala sesuatu yang terletak di permukaan dan di dalam bumi
mutlak milik raja; tanah, harta benda, anak, istri, keluarga, bahkan
tubuh dan nyawa kawula sekalipun adalah milik raja.

Dengan nilai-nilai semacam itu maka seorang raja sewaktu-waktu


dap[at mengambil hak miliknya dan sewaktu-waktu dapat pila
membagi-bagi hak miliknya kepada mereka yang dikehendakinya.
Demikianlah, dalam kehidupan nyata sang raja sewaktu-waktu
dapat mengambil anak-anak para kawula untuk dijadikan gundik
atau budak. Jika sang raja berencana membangun bangunan baru
864
atau menyelenggarakan upacara Bhairawa-Tantra maka anak-
anak para kawula akan diambil untuk dijadikan Tu-mbal dan korban
persembahan. Celakanya, perilaku mengambil anak-anak para
kawula tidak hanya dilakukan oleh sang raja, tetapi dilakukan pula
oleh keluarga dan kerabat serta pejabat tinggi yang mengitari raja.

Sebagian dari anak-anak kawula itu dibawa ke kraton, ada yang


dijadikan gundik dan jika beruntung naik status menjadi selir.
Namun, bagi yang tidak beruntung, tak jarang setelah “dipakai”
mereka dikembalikan kepada orang tuanya atau dijadikan hadiah
kepada pejabat bawahan raja. Bahkan, sering pula mereka yang
sudah “dipakai” akan diserahkan kepada pengawas pelacuran
(juru jalir) untuk dikaryakan. Jika sedang bernasib sial mereka
dijadikan Tu-mbal. Mereka selamanya tidak akan pernah bertemu
lagi dengan orang tuanya.

Tidak jarang saat sang raja pergi berburu bersama para


pengiringnya dan menginap di daerah pedesaan, berceceran
“benih” yang tak jelas asal usulnya apakah dari sang raja atau dari
para pengawal. Yang jelas, saat “benih” tercecer itu lahir sebagai
bayi tidak ada yang pernah mengakui keberadaannya, apalagi
mengurusi kelangsungan hidupnya. Itu sebabnya, di berbagai desa
yang sering dijadikan lintasan jalan oleh sang raja dan para ningrat
dari Pakuan Pajajaran ke Galuh Pakuan, tersebar beratus-ratus
bahkan beribu-ribu anak desa yang sesungguhnya berdarah biru
tetapi statusnya kawula. Dengan kenyataan seperti itu,
sesungguhnya dapat dipahami kenapa para lelaki di desa-desa
hidup begitu tak peduli bagaikan manusia tak berjiwa. Hati mereka
865
sejatinya sudah mati dan otak mereka sudah dibuat tumpul oleh
nilai-nilai yang mereka anut.

Tidak jauh berbeda dengan para kawula, para bangsawan yang


dijumpai Abdul Jalil di Raja Galuh dan Sumedang Larang pun
ternyata jiwanya sudah mati dan pikirannya tumpul. Namun, jika
para kawula bernasib malang akibat menganut nilai-nilai laknat
yang tidak memihak mereka, para bangsawan berdarah biru
menjadi manusia tak berjiwa yang berpikiran tumpul akibat hidup
dalam kemewahan, penghormatan, dan sanjungan berlebih-
lebihan.

Setelah cukup menyaksikan kehidupan penghuni pedalaman Bumi


Pasundan dengan nilai-nilai kawula yang dianutnya, Abdul Jalil
menyimpulkan betapa yang paling celaka dalam kehidupan
penduduk Bumi Pasundan adalah manusia berjenis kelamin
perempuan. Baik perempuan dari kalangan kawula maupun
perempuan dari kalangan bangsawan darah biru lazimnya
mengalami nasib buruk yang menyedihkan. Mereka benar-benar
ibarat benda tak berjiwa yang difungsikan hanya sebagai pemuas
nafsu dan sarana meneruskan keturunan. Saat mereka tidak dapat
memenuhi tugas, biasanya mereka akan dilempar seperti bangkai
menjijikkan.

Puncak kepedihan Abdul Jalil menyaksikan ketidakberuntungan


para perempuan Sunda justru terjadi saat ia melihat dengan mata
kepala sendiri nasib buruk yang dialami seorang perempuan dari
866
kalangan bangsawan darah biru. Seolah-olah dipaksa oleh satu
kekuatan gaib untuk menyaksikan berbagai pertunjukan awal yang
memaparkan ketidakberuntungan para perempuan dari kalangan
kawula, tiba-tiba ia seperti didorong oleh suatu kekuatan dahsyat
untuk menyaksikan pemandangan tragis yang menimpa
perempuan kalangan darah biru. Hal menyedihkan itu
disaksikannya beberapa waktu seusai memasang Tu-mbal di tepi
timur Sungai Perahu (Sungai Cijarong) yang terletak di barat laut
Cilamaya.

Usai menebar campuran tanah Karbala dan tanah Kabhumian


serta menamai tempat itu Dukuh Lemah Abang, Abdul Jalil berjalan
kaki diiringi tujuh orang santri menuju ke arah barat. Sesampainya
di sebuah tempat bernama Tanjungpura, ia menyaksikan arak-
arakan warga yang sedang menggelandang seorang perempuan
ke sebuah kobaran api unggun. Di atas tumpukan kayu yang
berkobar itu terlihat semacam menara bambu penuh hiasan yang
sudah terbakar. Kemudian dengan diiringi pembacaan mantra-
mantra oleh para pendeta, perempuan itu dilemparkan ke dalam
kobaran api.

Menyaksikan tubuh perempuan itu berkelojotan meregang nyawa,


Abdul Jalil merasakan darahnya menggelegak panas. Tubuhnya
menggigil. Napasnya tersengal-sengal. Pemandangan tragis itu
benar-benar menimbulkan luka di jiwanya. Ia tidak tahu kesalahan
apa sesungguhnya yang telah dilakukan oleh perempuan itu
hingga harus menjalani nasib demikian buruk, dibakar hidup-hidup
di tengah kobaran api. Saat ia bertanya kepada seorang warga,
867
betapa terkejutnya ia ketika diberi tahu bahwa perempuan yang
dibakar itu adalah janda yang baru ditinggal mati suaminya.
Menurut adat yang berlaku di kalangan darah biru sejak zaman
kuno, untuk menunjukkan bakti dan kesetiaan istri maka seorang
janda harus ikut bela pati dengan membakar diri di atas api unggun
bersama jenasah suaminya.

Tidak puas dengan jawaban yang diterimanya, Abdul Jalil kembali


bertanya ini dan itu tentang janda yang baru saja dibakar itu.
Ternyata, janda itu usianya masih sangat muda sekitar lima belas
tahun, sedangkan suaminya adalah lelaki tua berusia sekitar tujuh
puluh tahun. Lelaki itu, sebagaimana bangsawan seumumnya,
dikenal sebagai tukang kawin dan tukang judi. Sama seperti lelaki
Sunda yang lain, sehari-hari dia hanya tidur-tiduran di rumah
sambil sesekali memandikan ayam aduan.

Tidak tahan menyaksikan pemandangan yang sangat menyakiti


jiwanya, Abdul Jalil berdiri tegak menghadap ke arah kobaran api.
Dengan kepala tertunduk dan kedua tangan dikepal erat-erat ia
mengertak gigi menahan perasaan. Ia tidak peduli dengan para
pendeta yang membaca mantra di dekatnya. Ia tidak peduli dengan
orang-orang di sekitarnya yang keheranan melihatnya. Ia berusaha
menenggelamkan diri ke dalam relung-relung jiwanya,
mengungkapkan keluh kesah hati nuraninya kepada Sang
Pencipta.

868
“Wahai Rabb yang di genggaman-Mu nyawa hamba-Mu ini berada!
Wahai Rabb yang disebut dengan Nama al-Mudhill, al-Jabbar, al-
Mutakabbir, al-Qahhar, al-Qabidh, al-Khafidh, al-Qawiy, al-Mumit,
al-Muqtadir, al-Muntaqim, adh-Dharr, sesungguhnya mata indriawi
hamba-Mu ini tidak kuat menyaksikan pemandangan yang tergelar
di hadapan hamba-Mu itu. Sungguh hamba-Mu ini penuh diliputi
kelemahan dan ketidakberdayaan. Sungguh, hanya Engkau Yang
Mahaagung dan Mahaperkasa tiada tandingan.”

“Wahai Rabb tempat jiwa hamba-Mu bergantung! Sesungguhnya,


hamba-Mu ini tidak pernah memohon kepada-Mu untuk
kepentingan pribadinya sebab Engkau Maha Mencukupi
kebutuhan pribadi hamba-Mu. Tetapi wahai rabb, kabulkanlah
permohonan hamba-Mu yang lemah ini: janganlah kiranya Engkau
tunjukkan kepada hamba, saudara hamba, keluarga hamba, para
pengikut hamba, dan anak-anak keturunan hamba tentang
pemandangan yang tak kuat hamba saksikan ini. Hapuskanlah
segala kepahitan aturan bagi manusia yang memilukan hati nurani
hamba. Sesungguhnya, tanpa upacara-upacara mengorbankan
nyawa manusia, Keagungan dan Kemuliaan-Mu tidak akan
berkurang. Karena itu, demi rasa cinta hamba kepada Engkau, o
Rabb segala Rabb (Rabb al-Arbab), dan demi cinta-Mu kepada
hamba, kabulkanlah permohonan hamba-Mu yang rendah ini!”

Saat ia akan melanjutkan keluh kesah jiwanya dalam permohonan


doa, tiba-tiba ia disadarkan oleh Ruh al-Haqq yang menyeruak dari
kedalaman relung-relung kedalaman jiwanya yang
menghendakinya membuka mata dan melihat kobaran api di
869
depannya dengan pandanganbashirah. Mengikuti sentuhan Ruh
al-Haqq, ia membuka mata. Ternyata kobaran api itu lenyap. Tidak
tampak sesuatu lagi. Yang tergelar di depannya hanya
kehampaan.

Abdul Jalil tersentak kaget. Ia tersadar bahwa segala sesuatu yang


terkait dengan penglihatan indriawi pada hakikatnya adalah
bayangan maya belaka. Seiring kekagetannya, di tengah
kehampaan itu ia saksikan kilasan cahaya berbentuk bulan sabit
dan bintang yang terang benderang. Kemudian melalui al-ima’,
cahaya berbentuk ulan sabit dan bintang cemerlang itu berbicara
dengannya, jika diuraikan ke dalam bahasa manusia berbunyi:

“Ketahuilah, o Abdul Jalil, bahwa Dia, yang engkau sebut dengan


Nama al-Mudhill, al-Qahhar, al-Mumit, al-Jabbar, al-Qabidh, adh-
Dharr, al-Khafidh adalah sama dengan hakikat dengan Dia, yang
disebut dengan Nama Syiwa, Bhairawa, Chandrasekara,
Bhutaswara, Mahakala, Mahadewa, Girinatha, Mahaguru, yakni
suatu pribadi Ilahi dengan sifat berbeda-beda, Pribadi Tunggal Ilahi
yang disembah oleh segala bangsa dengan berbagai Nama.
Sesungguhnya, segala keragaman nama-Nya adalah Tunggal
hakikatnya. Dan sesungguhnya, apa yang engkau keluhkan dan
engkau mohonkan kepada-Nya itu pasti akan dikabulkan. Sebab,
tanpa permohonanmu pun sesungguhnya telah ditetapkan
perubahan-perubahan dalam tata cara memuja keagungan dan
kemuliaan-Nya.”

870
“Ketahuilah, o Abdul Jalil, bahwa terbitnya bulan sabit dan bintang
yang bercahaya cemerlang sebagaimana engkau saksikan tidak
hanya memiliki makna terbitnya Islam sebagai tatanan baru
memuja Dia yang disebut dengan nama Allah. Sebab, di balik
terbitnya bulan sabit dan bintang sesungguhnya juga memiliki
makna sebagai tatanan baru memuja Dia yang disebut dengan
nama Chandrasekara (Sansekerta: Yang Bermahkota Bulan Sabit)
dan Mahaguru Sang Bintang Bha (canopus). Ketehuilah, o Abdul
Jalil, bahwa sesungguhnya akan terjadi perubahan sehingga para
pemuja Syiwa tidak perlu lagi memuja Syiwalingga dalam bentuk
batu. Sebab, Syiwa akan menempatkan lingga-Nya ke dalam hati
para pemuja-Nya. Sesungguhnya, Syiwa akan dapat ditemukan
oleh siapa saja di antara hamba-Nya yang memahami kulatattwa.”

Abdul Jalil melihat kilasan cahaya bulan sabit dan bintang itu
berpendar-pendar menyilaukan. Sesaat setelah itu, semuanya
lenyap. Ia kembali melihat kobaran api menjilat-jilat angkasa. Saat
itulah Ruh al-Haqq di kedalaman jiwanya menyuruhnya segera
meninggalkan tempat itu. Abdul Jalil dengan diikuti tujuh orang
santri Giri Amparan Jati melanjutkan perjalanan, meninggalkan
Tanjungpura dengan diiringi pandangan heran para penduduk
yang mengikuti upacara bela pati.

Sungai Tarum (Citarum) memiliki makna paling mendalam bagi


penduduk Bumi Pasundan. Dari sungai inilah orang-orang dari
Negeri Pasir di Barunadwipa (sekarang Kalimantan) yang berkulit
kuning yang dipimpin Sang Purnawarman mendarat dan
mendirikan kerajaan Tarumanagara. Purnawarman, sang
871
pemimpin, kemudian menjadi Maharaja Tarumanagara dengan
gelar Sri Purnawarman Bhimaparakramadhipa.

Menurut cerita, Sri Purnawarman adalah putera Bhagawan Manu


Manasya Sri Jayasinghawarman dan cucu Kudungga, Bhagawan
Kumbhayoni. Ibu Sri Purnawarman Bhimaparakramadhipa
bernama Sri Indrari, puteri Sri Maharaja Dewawarman, Maharaja
Salakanagara.

Kedatangan Sri Purnawarman ke Bumi Pasundan sesungguhnya


tidak terlepas dari ambisi saudara sepupunya, Sri Maharaja
Mulawarman, Maharaja Kutai, yang sangat berhasrat memperluas
wilayah kekuasaannya hingga ke Nusa Jawa. Mulawarman sendiri
sangat dicekam oleh hasrat tersembunyi di dalam dirinya untuk
bisa mengikuti jejak leluhurnya, Sanghyang Baruna, sang
pemersatu samudera raya. Akhirnya, setelah menggabungkan
kekuatan militer Pasir dan Kutai, berangkatlah bala tentara
gabungan itu menyerbu Nusa Jawa. Beribu-ribu kapal dan perahu
berangkat dari Barunadwipa bagaikan barisan pasukan ulat
memenuhi samudera.

Menurut catatan orang-orang jawa, mula-mula pasukan gabungan


tersebut menggempur kerajaan Medang Gana yang dirajai Sri
Maharaja Indra yang kedatonnya terletak di kaki Gunung Semeru
di Jawa bagian timur. Namun akibat perlawanan sengit dari
Medang Gana, bala tentara dari Barunadwipa dapat dihalau
kembali ke samudera.
872
Gagal mendarat di Medang Gana, bala tentara gabungan dari
Barunadwipa menggempur Medang Pura. Namun, Medang Pura
melakukan perlawanan sengit hingga bala tentara dari
Barunadwipa kembali berhasil dihalau ke arah samudera. Saat
menyerbu Medang Prawa, bala tentara Barunadwipa mengalami
kegagalan lagi. Dan akhirnya, bala tentara terpecah menjadi dua.
Pasukan dari Kutai kembali ke Barunadwipa karena mereka tidak
melihat kemungkinan berhasil merebut Nusa Jawa yang
dipertahankan mati-matian oleh penduduknya. Sementara itu, Sri
Purnawarman beserta pasukan Pasir yang tersisa ternyata tidak
menyerah. Ia bergerak terus ke arah barat dan menjumpai tanah
gambut berawa-rawa yang keadaannya mirip dengan sebagian
besar daerah di Negeri Pasir. Sri Purnawarman kemudian
mendaratkan pasukannya di muara sungai yang berawa-rawa itu.
Bermula dari daerah di muara sungai itulah ia membangun
pemukiman baru dengan menegakkan kedaton di situ. Lantaran di
sepanjang sungai itu terdapat banyak sekali pohon tarum maka
kedaton itu dinamai Tarumanagara.

Setelah Tarumanagara semakin kuat, Sri Purnawarman


menggempur Kerajaan Aruteun yang kedatonnya terletak di
tempuran Sungai Ciaruteun dan Sungai Cisadana. Sri Maharaja
Balya, Maharaja Aruteun, berhasil dikalahkan. Puterinya yang
cantik, Bungatak Mangale-ngale, diperistri oleh Sri Purnawarman
dan diberi nama mPu Sanghyang Sri. Sri Purnawarman kemudian
memasukkan seluruh bekas wilayah Aruteun ke dalam wilayah
Tarumenagara.

873
Setelah berkuasa selama tiga puluh tujuh tahun, Sri Purnawarman
mangkat. Penggantinya adalah puteranya, Sri Maharaja
Suryyawarman Mahapurusa Bhimaparakrama Hariwangsa
Digwijayabhuanatala. Setelah berkuasa selama tiga puluh enam
tahun, Sri Maharaja Suryyawarman mangkat. Digantikan oleh
puteranya yang bergelar Sri Cakrawarman Kroncaryadhipahanda
Bhimaparakramanindita Digjayotunggadewa. Cakrawarman
mangkat digantikan oleh puteranya, Sri Indrawarman. Ketika Sri
Indrawarman mangkat ia digantikan oleh Sri Kesariwarman. Saat
Sri Kesariwarman berkuasa, ia mengangkat adiknya,
Singhawarman menjadi raja muda di Negeri Panjalu di Jawa.

Sri Kesariwarman memiliki puteri bernama Simha. Sedangkan


Singhawarman memiliki putera bernama Karttikeyasingha. Simha
dan Karttikeyasingha kemudian menikah dan merintis Tegaknya
Kerajaan Kalingga yang termasyhur. Karttikeyasingha menjadi
Maharaja Kalingga dengan gelar Sri Maharaja Karttikeyasingha
Sang Nrpati Dewasimha. Simha menjadi permaisuri. Ketika
suaminya mengundurkan diri sebagai pendeta pertapa, Simha
menjadi penggantinya dengan gelar Sri Maharani Simha. Ibu kota
Kalingga terletak di Kepung dan puri kedatonnya di Bogor Pradah.
Mereka berdua inilah leluhur raja-raja Sunda dan raja-raja Jawa.
Mereka memiliki empat orang putera-puteri, yaitu Anak Mas, Ken
Limwa, Pu Kanwa, dan Juwa.

Menurut catatan, Anak Mas, putera mahkota yang digelari Pradah


Putra, kehilangan haknya atas takhta Kalingga karena melakukan
kesalahan menginjak-injak pundi-pundi emas yang dipasang orang
874
Arab hingga kakinya dipotong. Selanjutnya, Pradah Putra dibuang
ke Lwa Daya (Lodaya) di hutan Balitar dan menjadi seorang
pendeta Bhairawa. Ken Limwa menjadi raja di Kanjuruhan dengan
gelar Sri Maharaja Gajayana. Pu Kanwa menjadi raja di
Purwwacarita dengan gelar Sri Mahapunggung, Juwa menjadi raja
di Madang Mataram dengan gelar Prabu Stri Parwati Tunggal
Prthiwi.

Sungai Citarum, tempat Sri Purnawarman Bhimaparakramadhipa


pertama kali mendarat bersama pasukannya, adalah saksi sejarah
kehadiran orang-orang dari Barunadwipa yang sebagian besar
berkulit kuning menjadi penghuni baru Nusa Jawa. Orang-orang
Barunadwipa itulah yang menyebut diri sebagai wangsa dari
Negeri Galuh (Sansekerta: negeri permata, intan). Penghuni lama
Nusa Jawa yang berkulit hitam terdesak ke selatan dan sebagian
menyingkir ke timur atau menyeberang ke Suwarnadwipa. Namun,
tidak kurang di antara penghuni lama Nusa Jawa itu kemudian
menikah dengan para pendatang berkulit kuning dan beranak
pinak tak terhitung jumlahnya.

Ketika memasuki pedalaman Bumi Pasundan dan sampai di


daerah barat Tanjungpura, tepatnya di barat Sungai Citarum,
Abdul Jalil tiba-tiba menghentikan langkah. Entah ia paham entah
tidak tentang susur galur sejarah para leluhur raja-raja Sunda dan
Jawa saat kali pertama mendarat di Nusa Jawa adalah di kawasan
muara Sungai Citarum, namun bagaikan mendapat petunjuk dari
alam gaib, ia menebarkan tanah di tempat itu. Kemudian ia
menugaskan tujuh orang santri yang mengikutinya untuk tinggal di
875
situ sambil membaca susunan doa yang dibuatnya. Tak berbeda
dengan tempat ia telah menebar Tu-mbal sebelumnya, tempat itu
pun dinamainya Dukuh Lemah Abang. Setelah itu, Abdul Jalil
berjalan lagi ke arah barat. Kali ini ia berjalan seorang diri.

Sepanjang perjalanan ke arah barat itu ia semakin merasa seolah-


olah tidak berada di alam dunia manusia. Ia yang selama berbelas
tahun berada di Bahgdad, kini seolah-olah sedang berada di negeri
asing yang tidak pernah ia saksikan sebelumnya. Di sepanjang
perjalanan itu ia semakin merasa betapa sesungguhnya kehidupan
manusia yang dilihatnya sudah sangat menyedihkan. Para
penduduk di desa-desa bukan hanya diisap dan ditindas oleh para
bangsawan, melainkan dijadikan pula hinaan dan nistaan oleh
orang-orang Majapahit yang datang dan melintas ke daerah itu.

Dalam perjalanan dari Tanjungpura ke arah selatan dengan tujuan


asrama Rishi Samsitawratah yang terletak di kaki Gunung Kamula
(Pangrango), Abdul Jalil singgah di Kahuripan (Cileungsi). Tanpa
sengaja ia menyaksikan pemandangan yang mengagetkan hati.
Saat itu ia melihat seorang laki-laki sedang menghunus keris
sambil memaki-maki dalam bahasa Jawa. Di depan laki-laki itu
terlihat seorang laki-laki tua sedang bersujud dengan tubuh
menggigil memohon ampun sambil mengangkat-angkat kedua
tangannya ke atas. Abdul Jalil tidak tahu ada persoalan apa di
antara kedua orang itu. Hanya saja, sebagai sesama manusia ia
tergerak untuk melerai laki-laki Majapahit yang mulai terlihat gelap
mata itu.

876
Niat baiknya ternyata membuat marah laki-laki Majapahit itu.
Tanpa berkata ba atau bu laki-laki itu sekonyong-konyong
menikam Abdul Jalil dengan kerisnya. Mendapat serangan
mendadak, Abdul Jalil menghindar dengan memiringkan tubuh.
Kemudian dengan gerak refleks, tangan kanannya menerkam
bahu laki-laki Majapahit itu. Dan, dengan gerak refleks pula Abdul
Jalil mengempaskan tubuh laki-laki itu ke samping.

Sebuah peristiwa aneh terjadi. Tubuh laki-laki Majapahit yang


diempaskannya terlempar keras ke rimbunan semak-semak
dengan jarak sekitar sepuluh tombak. Abdul Jalil terpekik kaget
karena ia tidak pernah menduga bakal mampu melempar tubuh
manusia sejauh itu. Sebaliknya, laki-laki itu tanpa bisa memekik
langsung pingsan di antara semak-semak. Dalam waktu sekejap
Abdul Jalil sudah dikerumuni puluhan penduduk yang bersujud dan
menyampaikan terima kasih karena telah menolong petani tua itu.
Rupanya, sejak semula sudah banyak penduduk yang
menyaksikan tetapi tidak berani melibatkan diri atau sekadar untuk
menolong.

Abdul Jalil terheran-heran dengan sikap para penduduk yang


begitu takut dengan orang Majapahit. Ia menduga laki-laki itu tentu
seorang jawara atau begal yang ditakuti. Namun setelah bertanya
ini dan itu, barulah ia paham bahwa laki-laki Majapahit itu
sesungguhnya hanya pedagang keliling biasa. Berdasarkan cerita
penduduk, ia baru tahu bahwa orang-orang Majapahit sejak lama
sangat ditakuti di Bumi Pasundan karena mereka suka sekali
membunuh orang gara-gara urusan sepele. Petani tua tadi,
877
misalnya, dianggap sebagai binatang rendah yang patut dibunuh
karena telah menghina orang Majapahit. Alasannya, petani tua itu
telah berani berjalan di atas pematang sawah yang terletak lebih
tinggi dari tempat orang Majapahit itu berjalan. “

Hanya karena petani itu berjalan di pematang yang lebih tinggi


maka dia sudah dianggap menghina dan patut dibunuh?” tanya
Abdul Jalil terheran-heran. “

Hal itu dianggap melanggar sopan santun Majapahit, Gusti.” “

Bagaimana jika saat dia berjalan lalu kalian sedang memetik


kelapa di atasnya?” “

Kami tentu akan dibunuh juga, Gusti.” “

Apakah kalian melihat peraturan yang dibuat orang-orang


Majapahit itu adil?” “

Tentu saja tidak, Gusti.” “

Kenapa kalian tidak menentang dan melawan mereka?” “

878
Kami tidak berani, Gusti.” “

Kenapa tidak berani? Bukankah kalian juga punya raja yang


melindungi kalian?” “

Raja kami juga tidak berani melawan mereka, Gusti.” “

Kenapa demikian?” “

Menurut dongengan orang tua kami, zaman dahulu kakek buyut


raja yang sekarang, yang dianggap melanggar tata krama orang
Majapahit, telah dijatuhi hukuman bunuh. Raja beserta seluruh
keluarga dan prajurit dibunuh oleh patih Raja Majapahit, Gusti.”

Abdul Jalil menarik napas panjang. Ia menyuruh mereka berdiri.


“Jangan kalian bersujud kepada sesama manusia. Dan jika nanti
orang Majapahit itu siuman, katakan kepadanya jika aku, Abdul
Jalil, adalah orang asal Kutha Caruban. Katakan juga kepadanya,
jika aku, orang yang melempar dia, adalah putera Yang Dipertuan
Caruban Larang, Sri Mangana. Jika dia tidak terima, suruh dia
mencari aku.” “

Terima kasih, Gusti.” Orang-orang itu berkata serentak sambil


bersujud lagi.
879
Abdul Jalil kembali menarik napas dan kemudian bergegas
meninggalkan penduduk yang masih bersujud.

Di antara hamparan hutan dan perbukitan yang membentang


antara Kutharaja Pakuan Pajajaran dan Gunung Kamula
(Pangrango), tempat asrama Rishi Samsitaawratah berada,
terdapat bekas reruntuhan batu-batu di sebuah lereng yang dijalari
akar-akar pepohonan raksasa yang tegak menjulang di tengah
rimbunan semak dan belukar. Sekalipun reruntuhan itu tidak jauh
dari jalan ke asrama, tidak ada orang yang memedulikannya.
Bahkan saat Abdul Jalil menjadi penghuni asrama, tak sedikit pun
pikirannya tergerak untuk mengetahui reruntuhan itu.

Kini, setelah melanglang buana dengan berbagai pengalaman


hidup yang menakjubkan, ia baru menyadari bahwa reruntuhan
batu itu sesungguhnya bekas tempat pemujaan Tu-han yang
dilakukan oleh para ra-Tu dan kalangan Tu-gul. Tumpukan batu itu
bertingkat tiga dan melingkar di lereng bukit. Di atas tumpukan batu
terdapat tanah datar dengan sebongkah batu besar yang tidak
dipahat terletak di tengahnya. Dulu kala di tempat itu mestinya
orang-orang duduk berderet-deret menghadap ke bongkahan batu
sambil bersujud (tondhem) memuja Sanghyang Tunggal.

Setelah beberapa lama berdiri memandang reruntuhan bekas


pemujaan itu, Abdul Jalil duduk di atas sebongkah batu yang
terletak di bawah pohon besar sejenis randu alas. Sambil
menyandarkan punggungnya ke batang pohon, ia melayangkan
880
pikirannya ke rentangan perjalanannya selama memasuki
pedalaman Bumi Pasundan. Betapa sepanjang perjalanan itu
sesungguhnya ia telah berpikir sangat keras tentang kemungkinan-
kemungkinan apa yang bisa dilakukannya untuk membangkitkan
kembali kepercayaan diri orang-orang Sunda.

Mereka, orang-orang Sunda, ujar Abdul Jalil dalam hati, adalah


kumpulan manusia yang selama seabad lebih melarikan diri dari
kenyataan dan kemudian terperangkap ke dalam dunia maya yang
penuh diliputi bayangan dan mimpi menakutkan. Mereka adalah
kawanan manusia yang jiwanya sudah mati dan pikirannya tumpul
akibat ditindas dan dijajah oleh nilai-nilai yang menista harkat dan
martabat manusia. Mereka adalah orang-orang kalah yang
berusaha menghibur diri dengan cara melarikan diri dari kenyataan
hidup dan membangun dunianya sendiri dengan mimpi-mimpi
kosong tanpa makna.

Saat merenung dan tanpa sadar memandang bongkahan batu di


atas reruntuhan itu, Abdul Jalil teringat pada Dang Hyang Semar.
Seketika ia terilhami oleh sosok nabi zaman purba yang terkenal
sebagai manusia gagah berani yang tidak pernah tunduk pada
kekuasaan siapa pun kecuali Sanghyang Taya. Dang Hyang
Semarlah manusia purba yang berhasil menyingsingkan rasa takut
dari jiwanya dan termasyhur sebagai pelawan dan penakluk dewa-
dewa. Dang Hyang Semarlah manusia yang terkenal tetap teguh
memegang keyakinannya, meski keyakinannya itu berbeda
dengan raja-raja. Dia manusia yang mau merendahkan diri, tetapi
juga tidak suka meninggikan diri. Dan meski berkali-kali berhasil
881
menaklukkan dewa-dewa, dia membenci orang-orang yang
bersujud kepadanya.

Sambil membayangkan Dang Hyang Semar, pikiran Abdul Jalil


melayang pada sosok Nabi Muhammad Saw., leluhurnya. Ia
merasa di antara keduanya sesungguhnya memiliki banyak
kemiripan karena mereka berdua adalah nabi-nabi suci. Jika Dang
Hyang Semar dikenal sebagai manusia yang mengalahkan dewa-
dewa dan bahkan menundukkan Nini Permoni, penguasa Pasetran
Gandalayu, jelmaan Bhattari Durga, maka Nabi Muhammad Saw.
pun sesungguhnya bisa disebut sebagai manusia penakluk dewa-
dewa, baik dewa bernama Hubal, Latta, Uzza, Manat maupun
dewa yang lain. Baik Dang Hyang Semar maupun Nabi
Muhammad Saw., utusan Tuhan Yang Tunggal, Yang Tak
Terbayangkan, Tak Tergambarkan, Tak Terjangkau, dikenal
sebagai adimanusia-adimanusia yang menolak disembahsujudi
sesama manusia.

Abdul Jalil sadar bahwa hanya dengan meneladani dua sosok


adimanusia itulah ia akan dapat mewujudkan harapannya untuk
membangun tatanan baru masyarakat, sekumpulan manusia yang
memiliki latar asal usul berbeda tetapi disatukan oleh rasa senasib
dan sepenanggungan serta saling bekerja sama untuk mencapai
tujuan tertentu yang mereka sepakati. Ya, sebuah kehidupan baru
di mana pribadi-pribadi memiliki hak-hak untuk memiliki sesuatu
sebatas tidak melanggar hak-hak orang lain. Dan tentunya, pikir
Abdul Jalil, ia pun pada akhirnya akan mengalami nasib seperti
Dang Hyang Semar dan Nabi Muhammad Saw., yakni berbenturan
882
dengan pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh lahirnya
masyarakat tersebut.

Abdul Jalil sadar kemungkinan bagi dirinya untuk bisa berhasil


mewujudkan masyarakat sangat kecil dibandingkan dengan
keberhasilan Dang Hyang Semar dan Nabi Muhammad Saw..
Sebab selain sadar bahwa dirinya bukan nabi, ia juga sadar tidak
cukup kuat mendapatkan dukungan dari orang-orang yang
memiliki jiwa merdeka, yaitu jiwa bangsa pemenang. Ia sadar-
sesadar-sadarnya bahwa keberadaan para Alawiyyin yang
menjadi penyebar agama Islam di Bumi Pasundan adalah
keberadaan manusia-manusia kalah; yang sering kali harus
menyembunyikan jati diri dan gampang berkompromi dengan
alasan-alasan melakukan taqiyah. Sementara para penyebar Islam
dari Campa pun bukanlah manusia yang berjiwa merdeka yang
muncul dari bangsa pemenang; mereka adalah para pelarian dari
negeri yang dikalahkan dan ditaklukkan bangsa Vietnam.

Menyadari keberadaan dirinya yang dikelilingi kumpulan manusia


kalah, entah orang-orang Sunda, entah golongan Alawiyyin, dan
entah para ‘alim asal Campa, Abdul Jalil sempat goyah. Namun
setelah merenung-renung, terutama setelah terilhami oleh
perjuangan Dang Hyang Semar dan Nabi Muhammad Saw., ia
akhirnya memutuskan untuk tetap berjuang mewujudkan
gagasannya mengubah dan memperbarui tatanan lama kawula
menjadi tatanan baru masyarakat. Ia sadar bahwa satu-satunya
kemungkinan yang bisa dijadikan gantungan harapan untuk
mewujudkan cita-citanya hanyalah ayahanda asuhnya, Sri
883
Mangana, Yang Dipertuan Caruban Larang. Sebab, Sri Mangana
bukan saja satu sosok bercitra manusia merdeka, melainkan juga
manusia berjiwa pemenang dalam setiap pergulatan hidup.
Mudah-mudahan dengan bantuan dan dukungan yang tulus dari
Sri Mangana, ujar Abdul Jalil dalam hati, akan lahir sebuah bangsa
baru dengan nilai-nilai tatanan baru yang tumbuh dan berkembang
dari sekumpulan pribadi-pribadi merdeka yang disebut
masyarakat.

884
SANG PEMBAHARU

PERJUANGAN DAN AJARAN


SYAIKH SITI JENAR

BUKU 4
AGUS SUNYOTO

Pengantar Redaksi

Daya tahan setiap pemikiran, ajaran, aliran, ideologi, peradaban,


dan semacamnya sangat ditentukan oleh seberapa besar
pemikiran tersebut dapat diterima di tengah masyarakat,
penguasa, dan komitmen para pengikutnya dalam menjaga
kelangsungan. Bila ketiga komponen tersebut tumbuh subur maka
akan menemukan masa kejayaan. Sebaliknya, bila salah satu dari
ketiga komponen tersebut tidak seiring maka akan mengalami
ketersendatan, keterpurukan, bahkan kepunahan.

Oleh karena itu, wajar bila sering kali terjadi sebuah pemikiran
pada satu zaman masyhur, namun pada zaman yang berbeda
mengalami keredupan, atau sebaliknya. Pada periode tertentu
dikutuk, pada saat yang lain dipuja habis-habisan. Dalam situasi
seperti ini kaum elit (masyarakat agamawan-penguasa-intelektual)
memegang peran yang sangat menentukan.

885
Salah satu contoh peran signifikan kaum elit ini dapat disimak
dalam kasus yang menimpa Syaikh Siti Jenar. Dalam cerita-cerita
babad, ajaran-ajaran Syaikh Siti Jenar dianggap sebagai bid’ah,
menyimpang dari ajaran Islam. Oleh karena itu, melalui sidang
dewan Wali, Syaikh Siti Jenar dihukum mati. Polemik terjadi tatkala
kitab rujukan yang berbeda kita jajarkan. Katakanlah novel yang
ada di tangan pembaca ini kita jadikan rujukan.

Novel ini sangat menarik karena memberikan perspektif baru


dalam cara baca-pandang terhadap sejarah. Dengan merujuk
pada kitab-kitab versi Cirebon, novel ini mampu menghadirkan sisi-
sisi kemanusiaan Syaikh Siti Jenar. Novel ini mampu hadir tanpa
absurditas dan paradoksal. Tidak ada tragedi pengadilan oleh Wali
Songo, apalagi hingga putusan hukuman mati.

Buku keempat memberikan perspektif lebih tajam, yakni


pendidikan penyadaran kepada rakyat dan juga kaum elit
penguasa. Bagi Syaikh Siti Jenar, manusia secara fitrah adalah
merdeka. Manusia dengan sesamanya adalah setara, sederajat.
Maka, tidak benar bila ada manusia “kawula” yang sah diperbudak
dan ada manusia “gusti” yang sah pula memperbudak.

Karena manusia adalah diri yang merdeka, lahirnya konsep


kawula-gusti (misalnya) merupakan fakta sejarah dan konstruksi
sosial yang mendehumanisasi. Dehumanisasi bukanlah takdir
Tuhan, melainkan hasil dari ketidakadilan yang menghasilkan
kekejaman-kekejaman, kolonislisasi, dominasi, dan hegemoni.
886
Pembaca dapat menikmati efek spiritualitas, kemasyarakatan, dan
kebangsaan “teori perlawanan” Syaikh Siti Jenar pada buku
keempat. Pada zamannya, Syaikh Siti Jenar adalah seorang tokoh
yang memberikan pencerahan karena konsisten melawan setiap
ajaran, konsep, gerakan, dan pendidikan yang melumpuhkan
(disabling) nalar kritis.

887
Kerajaan Sunda

Dayeuh Pakuan Pajajaran, ibu kota Kerajaan


Sunda, adalah kutaraja yang sangat makmur,
terutama bagi kalangan bangsawan berdarah
biru dan lebih khusus lagi bagi keturunan
maharaja. Sebagai ibu kota, Pakuan Pajajaran
jauh lebih besar dan lebih megah dibandingkan
Kuta Caruban. Terletak di antara Sungai
Cisadana dan Sungai Cihaliwung, kutaraja Kerajaan Sunda itu
cemerlang dan indah laksana surga bagi penghuninya.

Hari-hari yang sejuk di ibu kota Pakuan Pajajaran selalu diwarnai


taburan rinai gerimis di musim kemarau dan guyuran hujan lebat di
musim penghujan. Beberapa kereta yang indah penuh ukiran
terlihat meluncur di atas jalanan kota dengan penumpang
bangsawan yang memiliki barang seratus budak sahaya. Bagi
bangsawan yang lebih tinggi, mereka ditandu oleh empat penandu.
Gerobak-gerobak pedati yang ditarik kerbau akan menepi dari
jalanan jika berpapasan dengan kereta atau tandu para
bangsawan.

Sebagai pusat pemerintahan, Dayeuh Pakuan Pajajaran terbagi


atas tiga wilayah utama yang masing-masing dibatasi oleh pagar
batu bata setinggi tujuh depa. Wilayah pertama adalah kawasan
kutaraja yang terletak di timur. Untuk masuk ke kutaraja orang
harus melewati gerbang besar yang disebut Lawang Gintung.
888
Sebutan Gintung konon terkait dengan dua batang pohon Gintung
yang tumbuh bagai raksasa di depan gerbang tersebut. Di kutaraja
ini terdapat pasar yang ramai tempat orang berdagang beras,
emas, lada, daging, sayur-mayur, kain, pinang, air bunga, rempah-
rempah, alat-alat dapur, guci, gerabah, dan bahkan budak belian.

Karena pasar merupakan urat nadi kehidupan ekonomi di kutaraja


maka di sekitar pasar Pakuan Pajajaran berdiri sejumlah bangunan
besar tempat kediaman pejabat-pejabat kerajaan yang mengurusi
perniagaan. Di selatan pasar terdapat sejumlah penginapan yang
diperuntukkan bagi para pedagang. Di penginapan-penginapan itu
biasanya para pedagang besar melakukan transaksi perniagaan.
Sementara untuk para kuli disediakan barak-barak tanpa penyekat
di sekitar pasar; mereka terbiasa tidur beralaskan tikar.

Wilayah kedua adalah kawasan jero kutha (kota dalam) yang


terletak di sebelah barat kutaraja. Di kawasan ini terdapat Kraton
Pakuan Pajajaran yang disebut dengan nama indah: Sri Bhima
Untarayana Madura Suradipati atau disingkat Kraton Sang Bhima.
Menurut cerita, nama Sang Bhima menunjukkan bahwa sang
maharaja adalah keturunan maharaja Tarumanagara, Sri
Purnawarman Bhimaparakramadhipa, yang kratonnya juga disebut
Sang Bhima. Kraton Sang Bhima sendiri merupakan kantor tempat
maharaja Sunda menjalankan tampuk pemerintahan. Di sekitar
Kraton Sang Bhima berdiri kediaman para pejabat kerajaan yang
mengurusi masalah keamanan, pertahanan, hukum, perniagaan,
kesehatan, agama, adat, perpajakan, pendidikan, bahkan
pengawas pelacuran. Sementara wilayah ketiga adalah kawasan
889
Puri Kedaton (kediaman pribadi maharaja) yang terletak di barat
kawasan jero kutha. Di kawasan Puri Kedaton ini tinggal sang
maharaja Sunda dan keluarganya yang besar.

Berbeda dengan rumah para kawula di pedesaan yang terbuat dari


bambu beratap ilalang atau daun kawung, rumah-rumah warga
Pakuan Pajajaran berdiri megah nan indah terbuat dari kayu-kayu
berukir dengan pilar-pilar besar. Atapnya menjulang tinggi bagai
hendak menjangkau angkasa. Di dalam setiap rumah megah itu
selalu terlihat puluhan kuda yang menunjukkan status
kebangsawanan seseorang. Makin tinggi kedudukan seorang
bansawan, makin banyak pula kuda yang ia pelihara. Jumlah
budak yang dimiliki bangsawan-bangsawan di kutaraja pun
tergantung dari tinggi dan rendahnya tingkat kebangsawanan
mereka. Sering kedapatan di rumah seorang bangsawan terdapat
tak kurang dari tiga ratus budak.

Bangunan terbesar dan termegah di Pakuan Pajajaran tentu saja


Kraton Sang Bhima yang terdiri atas tiga bangunan utama, yaitu
Bangsal Manguntur, Bangsal Prabhayaksa, dan Bangsal Pancaniti
yang merupakan istana tempat maharaja Sunda menerima tamu,
mengatur pemerintahan, dan menjalankan hukum kerajaan. Pilar-
pilar penyangga Kraton Sang Bhima terbuat dari balok-balok kayu
jati ukuran raksasa berjumlah tak kurang dari tiga ratus tiga puluh
buah. Tinggi pilar-pilar raksasa itu sekitar lima depa. Setiap tahun
sekali para raja muda dari wilayah-wilayah taklukan (sakawat
bhumi) datang menghadap maharaja di Bangsal Manguntur sambil

890
membawa upeti dan hadiah. Dari Kraton Sang Bhima inilah seluruh
tatanan kehidupan di Bumi Pasundan dikendalikan.

Kediaman pribadi maharaja, Puri Kadaton, yang terletak di


belakang Kraton Sang Bhima tak kalah menakjubkan keindahan
dan kemegahannya dibandingkan dengan kraton tersebut. Di
dalam puri yang megah dengan taman-taman dipenuhi wangi
bunga dan kijang-kijang berlarian di rerumputan, sang maharaja
tinggal bersama dua permaisuri dan seribu selir dari berbagai
negeri. Hari-hari kehidupan sang maharaja lebih banyak
dihabiskan untuk berburu rusa dan babi hutan. Atau,
bercengkrama dengan selir-selirnya. Atau, berpeahu di Talaga
Warna Mahawijaya. Atau, berziarah ke makam leluhur di
Pancakaki, Gunatiga, maupun Nusalarang. Atau, menerima utusan
dari wilayah-wilayah taklukan yang membawa upeti-upeti. Atau,
memimpin rapat para menteri – tetapi ini jarang sekali – untuk
mengatasi persoalan pemerintahan.

Kehidupan sang maharaja yang penuh dilingkari kemewahan,


kelimpahan, pujian, dan sanjungan itu terbagi-bagi pula kepada
putera dan puterinya. Menurut cerita, putera dan puteri sang
maharaja – yang entah berjumlah berapa ribu orang – sebagian
besar menjadi penguasa di seluruh Bumi Pasundan. Boleh dikata
setiap jengkal tanah di Bumi Pasundan sudah menjadi milik turun-
temurun para putera maharaja. Para putera maharaja itu lazimnya
menunjuk adipati untuk mengelola tanah-tanah miliknya. Para
adipati kemudian menyerahkan pengelolaan tanah-tanah itu
kepada mantri wadana. Selanjutnya, mantri wadana menyerahkan
891
pengelolaannya kepada wadana. Para wadana kemudian
menyewakan tanah garapan kepada kawula. Dengan demikian,
secara berjenjang setoran sewa tanah akan sampai kepada para
putera sang maharaja.

Yang termasyhur di antara putera-puteri sang maharaja Sunda


adalah Prabu Surawisesa, penguasa Galuh Pakuan, ; Sri
Mangana, penguasa Caruban Larang; Prabu Cakraningrat,
penguasa Rajagaluh; Prabu Pucuk Umun, penguasa Talaga;
Susuhunan Pajengan, penguasa Kuningan; Susuhunan Mayak,
penguasa Taraju; Susuhunan Ranjam, penguasa Cihaur; Prabu
Sedanglumu, penguasa Sagalaherang; Prabu Liman Sanjaya,
penguasa Sundalarang; Sanghyang Pandahan, penguasa Ukur;
Sanghyang Kartamana, penguasa Limbangan; Sanghyang Sogol,
penguasa Maleber; Sanghyang Mayak, penguasa Cilutung;
Sanghyang Jamsana, penguasa batulayang; Sanghyang Tabur,
penguasa Panembong.

Sebagai keturunan maharaja Sunda, para bangsawan yang


mendiami Pakuan Pajajaran adalah orang-orang yang terpilih dan
terjaga kemurnian garis keturunannya. Mereka umumnya
berperawakan tegap, berkulit kuning kecoklatan, berwajah tampan,
dan selalu berpenampilan rapi dengan hiasan-hiasan tubuh.
Penampilan ini sangat berbeda dengan penampilan kawula yang
bertubuh kecil, berkulit kusam, berpenampilan lusuh, hanya
bercawat, dan rambut terurai awut-awutan tak bersisir.

892
Penduduk kutaraja Pakuan Pajajaran umumnya terdiri atas
pedagang besar, pejabat penarik cukai, punggawa kraton, dan
para seniman kerajaan. Para pedagang besar menguasai lalu
lintas perdagangan dari daerah pedalaman ke bandar-bandar
perniagaan seperti Kalapa, Tangeran, banten, Muara Jati, dan
Pontang. Sedangkan para pejabat penarik cukai bertugas
memungut cukai bagi semua barang niaga yang melintasi gerbang
luar di Pakeun Tubui dan gerbang kedua di Pakeun Tayeum
sebelum masuk ke kutaraja Pakuan Pajajaran.

Para pedagang besar Pakuan Pajajaran memiliki kekayaan jauh


melebihi penguasa-penguasa daerah. Mereka mempunyai
puluhan kapal dan perahu baik jenis jung, lancaran, plawa, atau
balandongan. Dengan kapal-kapal besar jenis jung dan lancaran
mereka hingga ke Malaka dan Maladewa. Sementara itu, perahu-
perahu jenis plawa dan balandongan nyaris menguasai daerah-
daerah pedalaman dan pelabuhan-pelabuhan di pesisir Pasundan.

Berbeda dengan kawula Sunda yang umumnya takut kepada


orang-orang Majapahit, para pedagang besar Sunda yang
berdarah biru umumnya curiga dan menjaga jarak dengan mereka.
Meski tidak berhubungan dekat, mereka diam-diam bersaing
dengan orang-orang Majapahit yang mereka nilai pongah, gila
hormat, curang, suka berkhianat, dan membangga-banggakan
kemuliaan diri. Persaingan itu terlihat manakala pihak Sunda atau
Majapahit saling merampok kapal di tengah samudera, saat salah
satu di antara mereka sedang lengah dalam mengawal kapal
dagangnya. Lantaran itu, para pedagang Sunda yang berdagang
893
ke pelabuhan-pelabuhan yang jauh selalu mengangkut barang
dagangannya dengan kapal perang.

Sekalipun kehidupan di Dayeuh Pakuan Pajajaran bagi


seumumnya orang seperti di surga, bagi Abdul Jalil citra itu justru
sangat menyakitkan. Sebab, kemakmuran dan kemuliaan yang
tersuguh di ibu kota kerajaan Sunda itu hanya dinikmati oleh
segelintir manusia yang dekat dengan pusat kekuasaan.
Sementara bagian terbesar dari penghuni Bumi Pasundan adalah
para kawula yang tidak beruntung nasibnya. Beratus-ratus ribu
kawula tinggal di ibu kota kerajaan dengan status budak belian
yang setiap saat bisa diperjualbelikan. Bagi Abdul Jalil, yang
mengidealkan tatanan masyarakat Madinah sebagaimana
dibangun Nabi Muhammad Saw., yaitu tatanan masyarakat yang
sederhana dan sederajat, kehidupan di Dayeuh Pakuan Pajajaran
benar-benar merupakan siksaan jiwa yang sangat menyakitkan.
Karena itu, ia semakin memperkuat tekadnya untuk membangun
tatanan kehidupan baru yang lebih manusiawi di Caruban Larang.

Ternyata bukan hanya Abdul Jalil yang tidak menyukai tatana


kehidupan di Dayeuh Pakuan Pajajaran. Tak kurang ada di antara
putera maharaja Sunda yang menyatakan tidak betah tinggal
berlama-lama di “surga dunia” itu. Dia, pangeran yang gelisah
dengan semarak kehidupan di sekitarnya itu, adalah Bujangga
Manik yang memiliki nama kecil Ameng Layaran. Putera maharaja
Sunda Prabu Guru Dewata Prana Sri Baduga Maharaja dari istri
selir itu tanpa sengaja bertemu Abdul Jalil di gerbang selatan
Lawang Gintung. Dari pangeran Bujangga Manik yang suka
894
berkeliling ke berbagai negeri, Abdul Jalil mengetahui berbagai
tatanan kehidupan di Sunda maupun Majapahit.

Pangeran Bujangga Manik sesungguhnya adik lain ibu dari Sri


Mangana, Yang Dipertuan Caruban Larang. Dia mengaku sangat
gembira berjumpa Abdul Jalil. Sebagai pendeta Syiwa yang berhati
lembut dan penuh cinta kasih, Pangeran Bujangga Manik
mengungkapkan rasa khawatirnya akan sepak terjang kakaknya
yang membangun kekuatan militer di Caruban Larang. “Sampaikan
kepada ayahandamu, jika dia berkeinginan menggantikan takhta
Kerajaan Sunda hendaknya mengikuti peraturan yang berlaku di
kerajaan. Maksudnya, meski ayahandaku, Prabu Guru Dewata
Prana Maharaja Sunda, tidak menetapkan seorang putera
mahkota, janganlah sampai sepeninggal beliau terjadi perebutan
takhta dengan menggunakan kekuatan senjata.”

“Saya akan menyampaikan pesan Pamanda kepada ramanda


ratu,” kata Abdul Jalil. “Namun, saya berani menjamin ramanda
ratu tidak akan merebut takhta Kerajaan Sunda dengan kekuatan
senjata. Beliau muslim yang saleh. Sesuai ajaran Islam, beliau
tidak akan melakukan kekerasan senjata demi kekuasaan. Islam
mengajarkan bahwa kekerasan senjata hanya diperkenankan
untuk membela diri.”

“Aku berharap apa yang engkau ucapkan sesuai dengan


kenyataan,” ujar Pangeran Bujangga Manik bernada dingin.
“Sebab telah termasyhur di negeri Sunda ini, orang-orang Islam
895
yang mengaku paling mulia dan paling benar itu adalah orang-
orang yang tidak bisa dipercaya. Mereka licik dan suka berbuat
curang.”

“Mengapa Pamanda berkata demikian?” tanya Abdul Jalil heran.

“Tidakkah engkau pernah mendengar kabar kebesaran Kerajaan


Majapahit?”

“Saya sering mendengarnya, Paman.”

“Engkau pernah ke sana?”

“Belum.”

“Kebesaran Majapahit sekarang ini tinggal cerita angin. Itu karena


kesalahan raja-raja Majapahit terdahulu yang sangat mempercayai
orang-orang Islam menjadi pejabat-pejabat tinggi kerajaan. Orang-
orang Islam selalu menganggap diri mereka lebih suci, lebih
terhormat, lebih agung, dan lebih mulia daripada sang maharaja
yang mereka sebut kafir. Akhirnya, Majapahit rontok digerogoti dari
dalam. Sekarang ini sisa-sisa kebesaran Majapahit tinggal sebagai
kekuasaan kecil, tak lebih seluas wilayah Caruban Larang. Apa
yang sudah terjadi di Majapahit tentu tidak akan dibiarkan terjadi di
896
Kerajaan Sunda. Itu sebabnya, maharaja Sunda menetapkan
larangan bagi pedagang beragama Islam untuk tinggal di Dayeuh
Pakuan,” jelas Bujangga Manik.

“Tapi Paman, kemerin saya baru singgah ke rumah Ki Purwa Galih


di Gadok,” kata Abdul Jalil. “bukankah beliau seorang muslim?”

“Ki Purwa Galih di Gadok adalah kekecualian. Dia orang


kepercayaan maharaja, seperti juga Ki Natadani di Kuta Maneuh.
Jadi, sekalipun muslim, mereka diperkenankan tinggal di kutaraja.
Engkau bertanya kenapa kebijakan itu harus diterapkan di Bumi
Pasundan? Bagi kami orang-orang Sunda, kelicikan orang-orang
Islam sudah lama kami ketahui. Lihatlah orang-orang Arab
pemalas yang mengaku keturunan Nabi, mereka menikahi anak-
anak para bupati di pesisir. Mereka mengaku bangsawan
terhormat dan karenanya wajib dihormati. Mereka menganggap
penduduk sebagai kafir yang rendah dan hina. Mereka selalu
menganggap penduduk setempat sebagai para pemalas. Padahal,
mereka sendiri tidak bekerja. Mereka menggantungkan hidup pada
jasa baik mertuanya. Jika sang mertua mati maka mereka akan
meminta warisan paling banyak. Apakah menurutmu baik dan
mulia sifat pemalas dari orang-orang rakus yang mengaku muslim
itu?”

Abdul Jalil tidak menyanggah pernyataan Pangeran Bujangga


Manik yang memiliki kesan tidak baik terhadap orang-orang Islam.
Ia tidak tahu pasti apakah ucapan itu benar atau sekedar mengada-
897
ada karena selama belasan tahun ia tidak mengetahui
perkembangan di Bumi Pasundan. Setelah berbincang-bincang
agak lama, Abdul Jalil mengungkapkan cerita-cerita tentang
keniscayaan sebuah perubahan yang merupakan bagian tak
terpisahkan dari kehidupan manusia. “Saya kira masalah curang,
licik, rakus, dan pemalas tidak harus dialamatkan kepada orang-
orang yang memeluk agama Islam. Hal yang demikian juga tidak
bisa dialamatkan kepada orang Arab belaka. Orang-orang yang
seagama dengan Pamanda pun bisa licik dan mengkhianati
sesamanya. Bukankah menurut cerita, leluhur kita Prabu
Linggabhuwana Wisesa Sang Mokteng Bubat telah dikhianati
secara licik oleh orang-orang Majapahit? Bukankah Pamanda tadi
juga menuturkan bahwa para saudagar Sunda dan Majapahit
sering saling merampok barang dagangan di lautan?” Jadi,
menurut hemat saya, masalah licik dan khianat itu tidak
berhubungan dengan ajaran suatu agama atau citra suatu
bangsa.”

898
Gunung Pulasari

Hidup ibarat mata air di tengah padang


belantara. Tidak hanya hewan liar yang
menggunakan airnya, tetapi para gembala
dan hewan ternaknya yang kehausan pula.
Juga, kawanan burung yang kelelahan akibat
terbang seharian. Serangga air. Katak. Ular.
Demikianlah, mata air kehidupan di dunia yang disebut Nusa Jawa
dijadikan persinggahan berbagai makhluk hidup mulai dari
manusia, hewan liar, ternak, tetumbuhan, unggas, serangga, dan
bahkan makhluk gaib berbadan halus yang disebut gandharwa,
peri, mambang, siluman, dan bangsa jin dengan berbagai sukunya.

Golongan yang disebut terakhir ini, makhluk gaib berbadan halus,


adalah penghuni Nusa Jawa jauh sebelum pulau ini dihuni bangsa
manusia. Sebagaimana lazimnya bangsa yang ada lebih dahulu
dibandingkan manusia, para makhluk gaib tersebut selalu merasa
sebagai makhluk yang lebih sempurna keberadaannya baik dari
kesempurnaan jati diri, ketinggian akal, kemuliaan peradaban, dan
keluhuran budaya. Manusia, dalam pandangan mereka, adalah
makhluk yang lebih rendah derajatnya tidak ubahnya seperti
manusia memandang binatang. Lantaran merasa lebih tinggi
derajatnya itulah maka makhluk berbadan halus tersebut
menganggap wajar memangsa bangsa manusia sebagaimana
manusia menganggap wajar memangsa bangsa binatang.

899
Menurut keyakinan sebagian orang-orang Islam, para makhluk
gaib yang disebut umum dengan nama bangsa jin adalah makhluk
berbadan halus keturunan al-Jann. Lantaran itu mereka disebut
Banu al-Jann (keturunan al-Jann), yaitu makhluk yang dicipta dari
api beracun (nar al-samum) yang menyala-nyala (marij al-nar) (QS
al-Hijr:27 ; ar-Rahman:15). Mereka adalah makhluk seketurunan
yang merupakan kegandaan dari Sang Iblis (QS al-Kahfi:50). Dan
lantaran itu, seperti juga Iblis melihat Adam a.s. sebagai makhluk
baru terbuat dari tanah, para jin memandang manusia sebagai
keturunan Adam a.s. yang rendah dan tidak memiliki ruh bersifat
Ilahiyyah. Namun, saat mereka mengetahui ternyata ada menusia
yang bisa menunjukkan kekuatan dan kekuasaan ruh bersifat
Ilahiyyah di dalam dirinya, maka mereka pun akan tunduk penuh
hormat dan bersedia patuh di bawah perintah manusia tersebut.

Abdul Jalil yang telah menunjukkan kekuatan dan kuasa ruh


Ilahiyyah di dalam dirinya, kepada Setan Kabir, mekhluk gaib
penguasa Caruban, dalam waktu singkat menjadi bahan
pembicaraan di antara para raja makhluk gaib se-Nusa Jawa.
Sebagian di antara mereka adayang menganggap Abdul Jalil
sebagai pengganti Dang Hyang Semar, yakni manusia yang
mamiliki kelenihan ruhani (linuwih) yang harus ditunduki dan
dipatuhi di segenap penjuru Nusa Jawa. Namun, tak kurang ada di
antara mereka yang ingin menguji lebih dulu kebenaran cerita
Setan Kabir tersebut. Sesuai permintaan Abdul Jalil untuk
menemui mereka pada saat paro terang bulan Badra, sekitar dua
ratus raja makhluk gaib se-Nusa Jawa yang diundang Setan Kabir
berkumpul beramai-ramai di puncak Gunung Pulasari, di tanah

900
Banten. Sebagian yakin dengan cerita Setan Kabir, sebagian lagi
penuh prasangka.

Abdul Jalil sendiri tidak tahu kenapa ia memilih Gunung Pulasari


sebagai tempat yang tepat untuk menemui para raja makhluk gaib
Nusa Jawa. Ia hanya berpikir jika menemui mereka di Gunung
Pulasari maka ia akan dengan mudah mengetahui di mana letak
lingga batu yang dimaksud oleh arwah Ratu Sthri Bhattari Prthiwi.
Seperti sebuah kebetulan, saat berjalan menuju Gunung Pulasari
ia mengetahui cerita dari penduduk sekitar bahwa sejak zaman
dahulu kala Pulasari telah menjadi gunung yang dikeramatkan.
Bahkan menurut cerita para pertapa, para sesepuh di Nusa Jawa
meyakini Gunung Pulasari sebagai Kailasa – sthana Syiwa – yang
berada di Nusa Jawa. Itu sebabnya, wilayah di antara kaki Gunung
Pulasari dan Gunung Karang disebut dengan nama Sura, yang
bermakna wilayah Sang Sura (Sansekerta: gagah berani,
Pahlawan, Dewa), yakni wilayah Syiwa, Sang Pemberani, Sang
Mahapahlawan yang telah menunjukkan menelan racun kalakutha
untuk menyelamatkan dunia dari kebinasaan. Lantaran meminum
racun kalakutha, kerongkongannya menjadi biru sehingga Syiwa
pun disebut dengan nama Sang Nilakantha (Sansekerta: Si
Kerongkongan Biru).

Di wilayah yang disebut Sura itu terdapat dua tempat untuk


upacara Ma-lima (pancamakara) bagi penganut Bhairawa-Tantra.
Tempat pertama disebut Mandalasari, yang bermakna lingkaran
suci tempat upacara Ma-lima digelar. Upacara Ma-lima meliputi
Mamsa (memakan daging), Matsya (memakan ikan), Madya
901
(meminum arak), Maithuna (bersetubuh), Mudra (bersamadi).
Tempat kedua disebut Mandalawangi, yang bermakna ksetralaya
yaitu lingkaran suci tempat puluhan bahkan ratusan mayat
ditumpuk untuk upacara suci penobatan para Pu Palyat (pendeta
Bhairawa) yang sudah dianggap sempurna di mana bau busuk
mayat-mayat itu dirasakan sebagai tebaran bau wangi semerbak.

Sejak menginjakkan kaki di wilayah Sura, terutama saat melewati


Mandalawangi, Abdul Jalil menyaksikan dengan mata batinnya
(‘ain al-bashirah) beribu-ribu gandharwa (surasaciwa), mambang
(dewayoni), dan peri pengawal Syiwa, Sang Bhairawa Bhutaswara.
Meski di sepanjang menuju puncak Pulasari tercium bau wangi
bunga mandara dan sesekali diselingi bau busuk mayat, ia tidak
mempedulikannya. Ia terus melangkah tertatih-tatih menuju
puncak. Setiap kali melangkah ia saksikan para peri dan mambang
berhamburan di sekitarnya bagai air laut diaduk gelombang yang
berpusar-pusar.

Sementara itu, ketika para raja makhluk gaib penghuni Nusa Jawa
yang sudah berada di puncak Gunung Pulasari melihat Abdul Jalil
mendaki susah payah dengan kaki bengkak dan terompah robek,
mereka menyuruh Setan Kabir untuk menyambutnya dengan
didampingi seorang raja jin dari Kalapabernama Sapuregel.
Dengan kecepatan angin Setan Kabir dan Sapuregel melesat
turun. Saat keduanya sampai di depan Abdul Jalil, mereka
mengucap salam dan berkata, “Jika paduka menghendaki, kami
bisa membawa paduka dengan cepat ke punacak Gunung
Pulasari. Paduka tidak perlu susah payah berjalan kaki.”
902
Abdul Jalil menjawab salam dan berujar, “Terima kasih, aku akan
berjalan sendiri untuk menunjukkan rasa syukurku kepada Dia
yang telah memberiku dua kaki dan daya kekuatan manusiawi
untuk bisa sampai ke atas.”

“Tetapi dengan kekuatan dan kuasa ruh yang paduka miliki,


paduka bisa memerintahkan kami untuk mempermudah perjalanan
paduka mencapai puncak.”

“Aku tidak akan menggunakan kekuatan dan kuasa ruh yang


disemayamkan-Nya di dalam diriku untuk memerintah siapa pun
tanpa kehendak-Nya,” sahut Abdul Jalil kemudian mengalihkan
pembicaraan. “O ya, siapakah yang bersamamu itu, Setan Kabir.”

“Dia raja di Kalapa, paduka,” jawab Setan Kabir. “Dia bernama


Sapuregel.”

“Apakah Sapuregel yang kedatonnya di dekat muara?”

“Bagaimana paduka bisa tahu?” tukas Sapuregel terheran-heran.

Abdul Jalil tersenyum. “Kehidupan ibarat sebuah sumur yang


penuh diliputi kegembiraan, namun jika banyak orang berhati kotor
dan bermulut najis beramai-ramai meminum air sumur maka
903
malapetaka jua yang akan ditimbulkan sumur itu. Air sumur jernih
yang bisa dipakai bercermin itu tiba-tiba akan berubah menjadi
keruh dan beracun karena dibaui oleh napas mereka yang berhati
busuk dan bermulut najis.”

“Yang mulia,” seru Sapuregel semakin heran, “bagaimana paduka


bisa tahu kedaton saya berada di sebuah sumur tua? Siapakah
gerangan sesungguhnya paduka?”

“Aku hanyalah manusia biasa keturunan Adam a.s. Aku Cuma


dianugerahi-Nya dengan pengetahuan tentang gaib secara sangat
sedikit. Masih banyak yang tidak aku ketahui.”

Sapuregel mengangguk-angguk dan memandang Abdul Jalil


dengan takjub. Rupanya Setan kabir telah bercerita banyak
tentang Abdul Jalil kepadanya. Itu sebabnya, diam-diam dia
bertekad mendukung Abdul Jalil untuk menggantikan kedudukan
Dang Hyang Semar sebagaimana perjanjian yang telah dibuat
kakeknya. Ia yakin seorang Abdul Jalil tentunya akan menjadi
manusia bijak sebagaimana Dang Hyang Semar, guru loka yang
tidak akan menjadi malapetaka bagi bangsanya.

Ketika Abdul Jalil sampai di tepi puncak Gunung Pulasari, ia


langsung disambut oleh tujuh sosok yang merupakan para raja dari
makhluk gaib hijau, kuning, merah, hitam, putih, jingga, dan biru.
Mereka dengan penuh hormat berdiri menyambut kedatangannya.
904
Ketujuh makhluk gaib itu memperkenalkan diri. Sosok pertama
mengaku raja para makhluk gaib hijau (ratuning jim ijo) bernama
Sri Prabu Danapati. Kedatonnya disebut Jongtara. Para pengawal
dan raja bawahannya semua tampil serba hijau mulai dari pakaian,
ketopong, umbul-umbul, panji-panji, lambang kebesaran, permata
hiasan, bahkan perisai dan senjatanya.

Yang kedua, penguasa makhluk gaib kuning (ratuning jim kuning)


bernama Ratu Wijanarka. Kedatonnya terletak di Imantara. Para
pengawal dan raja bawahannya berpenampilan serba kuning.
Yang ketiga, penguasa makhluk gaib merah (ratune jim abang)
bernama Sri Naranatha. Kedatonnya berada di Balbera.
Sebagaimana makhluk gaib hijau dan kuning, makhluk gaib merah
termasuk bangsa yang paling besar jumlahnya. Sementara
makhluk gaib putih, hitam, jingga, dan biru memimpin bangsa yang
lebih sedikit jumlahnya. Penguasa makhluk gaib putih bernama
Prabu Anggaskara. Kedatonnya di Madyantara. Penguasa
makhluk gaib hitam bernama Ratu Manonbhawa. Kedatonnya di
Megantara. Penguasa makhluk gaib jingga bernama Prabu
Manitara. Kedatonnya berada di Sarpengtara. Penguasa makhluk
gaib biru bernama Prabu Tamantara. Kedatonnya di Abhyantara.

Bagaikan menyambut maharaja agung yang dimuliakan, ketujuh


makhluk gaib itu mengantar Abdul Jalil berjalan ke arah sebuah
batu datar yang terletak di depan tugu batu berbentuk lingga. Batu
datar dan tugu batu itu ditata seolah-olah singgasana seorang ratu.

905
Tanpa curiga sedikit pun Abdul Jalil berjalan sambil menyapukan
pandangan ke arah kerumunan para raja makhluk gaib yang duduk
berkitar membentuk setengah lingkaran. Saat jarak Abdul Jalil
dengan batu datar dan tugu tinggal dua tombak, ketujuh makhluk
gaib itu mendaulatnya untuk duduk di atas batu datar tersebut.
Didaulat seperti itu Abdul Jalil terhenyak seolah dihentakkan oleh
suatu kekuatan gaib dari dalam relung-relung jiwanya. Untuk
beberapa saat ia berdiri termangu-mangu sambil menatap batu
datar dan tugu yang terletak berhadap-hadapan. Sedetik sesudah
itu Ruh al-Haqq di kedalaman jiwanya memberitahu bahwa tugu
batu itu sesungguhnya lingga lambang pemujaaan Syiwa,
sedangkan ketujuh raja makhluk gaib itu sesungguhnya hendak
mengujinya.

Mengetahui tugu batu itu lambang pemujaan Syiwa, Abdul Jalil


maju mendekat. Kemudian dengan mengucap salam melalui al-
ima’ , ia mengelus puncak tugu batu sambil menyapa dengan
hormat. Kekuatan gaib yang tersembunyi di dalam tugu batu
membalas sapaannya dengan al-ima’ . saat itulah Abdul Jalil
mengetahui jika tugu batu tersebut adalah Syiwalingga yang dipuja
orang sebagai pratima Syiwa, Sang Girinatha, Bhutaswara, Rudra,
Bhairawa, Mahakala, Mahadewa, Mahaguru, Chandrasekara,
Nilakanta, Maheswara. Gunung Pulasari sendiri, tempat
Syiwalingga terletak, dianggap sebagai Gunung Kailasa tempat
Syiwa ber-sthana. Dan nama Pulasari (yang dibalur darah)
menggambarkan puncak Kailasa yang berwarna merah jingga;
yang selalu dilimpahi cahaya matahari, sejuk, diliputi nyanyian
burung, disemarakkan bunga-bunga abadi, diwarnai nyanyian
gandharwa, dan diramaikan kelincahan para peri serta mambang.
906
Beberapa jenak berhadap-hadapan dengan Syiwalingga, Abdul
Jalil mengetahui bahwa sesungguhnya lingga itulah yang
sesungguhnya disebut-sebut oleh arwah Ratu Stri Bhattari Prthiwi
sebagai salah satu sarana untuk menyempurnakan perjalanan
jiwanya menuju Brahman. Itu sebabnya, setelah menghormat atas
nama Syiwa dan Parwati, Abdul Jalil mengangkat Syiwalingga dan
meletakkannya di atas batu datar yang berada di depannya.

Para raja makhluk gaib yang bersila melingkar – terutama ketujuh


penguasa makhluk gaib yang berdiri di belakang Abdul Jalil –
ternganga mulutnya dan terbelalak matanya menyaksikan tindakan
yang dilakukan Abdul Jalil. Mereka segera sadar bahwa usaha
mereka untuk membuat Abdul Jalil memunggungi Syiwalingga
telah gagal. Bahkan, tanpa terduga Abdul Jalil justru meletakkan
lingga itu di atas batu datar sebagaimana letak sesungguhnya.
Menyadari kegagalannya itulah para raja makhluk gaib beramai-
ramai berlutut dan menundukkan kepala. Mereka merasa kalah
karena siasatnya untuk memerangkap Abdul Jalil telah diketahui.
Dan, itu berarti mereka harus mengakui keberadaan Abdul Jalil
sebagai Guru Loka Nusa Jawa, pengganti Dang Hyang Semar
yang harus mereka patuhi semua perintahnya.

Abdul Jalil yang mengetahui siasat licik para raja makhluk gaib itu
tidak marah. Ia sadar naluri jin pada dasarnya tidak berbeda jauh
dengan leluhurnya, Sang Iblis, yang cenderung menyesatkan
manusia (QS al-An’am:128). Itu sebabnya, setelah meletakkan
Syiwalingga di atas batu datar, Abdul Jalil berdiri di sampingnya
dan berkata, “Aku beritahukan kepada kalian bahwa
907
sesungguhnya bangsa manusia dan bangsa jin tidaklah diciptakan
kecuali semata-mata untuk memuja dan menyembah-Nya (QS
adz-Dzariyat:56). Sesungguhnya bangsa kalian dicipta dari api
beracun (QS al-Hijr:27), sedangkan bangsa manusia dicipta dari
tanah liat (QS al-Hijr:28). Meskipun bangsa kalian merasa lebih
unggul dan lebih mulia daripada manusia, hendaknya kalian tahu
bahwa pada manusia tersembunyi ruh bersifat Ilahiyyah yang
menjadikan seluruh makhluk bersujud kepadanya (QS al-Hijr:29-
30) kecuali leluhurmu, Sang Iblis, yang membanggakan asal
kejadiannya (QS al-Hijr:33).” “

Sekalipun di antara bangsa manusia memiliki rasa permusuhan


dengan leluhur kalian, Sang Iblis, aku tidak menilai Sang Iblis
sebagai musuhku. Aku justru menganggap kehadiran Sang Iblis
sebagai pengejawantahan Dia, Yang Maha Menyesatkan (al-
Mudhill), yang bertugas utama menjadi peneguh Keesaan Allah
SWT, agar manusia yang kepadanya ditiupkan ruh Ilahiyyah tidak
terperangkap kepada kebanggaan diri berlebih yang menganggap
mereka sama dengan Allah SWT. Dia Yang Maha Mengetahui (al-
‘Alim) telah memberitahuku bahwa sesungguhnya Sang Iblis
senantiasa mengintai semua gerak-gerik manusia yang menduduki
jabatan wakil Allah di muka bumi (khalifah Allah fi al-ardh).”

“Barang siapa di antara manusia ada yang tergoda oleh keakuan


pribadinya untuk melakukan pengambilalihan kuasa Allah, meski
hanya di dalam lintasan pikiran, yaitu ingin menyamai Allah SWT
dengan mengatakan bahwa ia sama dengan Dia, Zat Yang
Meniupkan ruh Ilahiyyah ke tubuhnya, maka merekalah sasaran
908
utama Sang Iblis. Ketika leluhur bangsa manusia, Adam a.s.,
digoda oleh keakuan untuk hidup abadi – ingin sama dengan Yang
Maha Kekal (al-Baqi) – ia menjadi korban tipuan Sang Iblis. Ia
memakan buah dari Pohon Keabadian (syajarah al-khuld) yang
terlarang dan kemudian justru memperoleh murka Allah SWT (QS
al-A’raf:20-24).”

“Tidak berbeda dengan anggapanku terhadap Sang Iblis,


demikianlah anggapanku terhadap kalian sebagai hamba Allah
SWT yang mengawal ke-Esaan-Nya. Kalian adalah ujian bagiku.
Saat kalian menghendaki agar aku memunggungi tugu lingga, aku
sadari hal itu sebagai suatu ujian berat yang kalian sajikan untukku.
Itu sebabnya, aku berterima kasih kalian yang selalu mengingatkan
akan kedudukanku sebagai wakil-Nya, tidak lebih. Kehadiranku di
sini hanyalah untuk memperkenalkan diri kepada kalian semua
bahwa akulah pewaris ajaran Kapitayan yang telah disempurnakan
menjadi ajaran Islam. Sesungguhnya tidak ada yang berubah dari
ajaran Kapitayan dengan kehadiran ajara Islam. Sesungguhnya
Islam bukan ajaran baru, melainkan hanya penyempurna bagi
ajaran-ajaran Tauhid yang sudah ada sebelumnya.”

“Karena aku adalah pewaris ajaran Muhammad Saw., maka aku


nyatakan kepada kalian bahwa ajaran yang akan aku sampaikan
kepada manusia tidak hanya terbatas di Nusa Jawa, tetapi di
semua tempat di permukaan bumi yang mau menerimanya. Dan
lantaran itu, aku nyatakan kepada kalian bahwa aku tidak akan
menduduki jabatan Guru Loka Nusa Jawa sebagaimana Dang
Hyang Semar. Ini semua adalah kehendak-Nya semata bahwa
909
gerak kehidupan akan terus berubah dari waktu ke waktu menuju
kesempurnaan.”

“Sebagaimana bangsa manusia yang mengalami perubahan dari


waktu ke waktu, sesungguhnya bangsa kalian pun mengalami
perubahan pula. Jika leluhur kalian, Sang Iblis, adalah makhluk
yang dianugerahi-Nya naluri selalu memusuhi manusia, demi
keesaan-Nya, maka di antara keturunannya ternyata ada yang
menerima Kebenaran Ilahi yang disampaikan manusia. Aku tahu
bahwa Hama bin Him bin Laqiz bin Iblis adalah pemuka di antara
bangsa kalian yang telah menerima Kebenaran Islam yang
disampaikan Nabi Muhammad Saw. perlu kalian ketahui, beberapa
waktu sebelum ke sini aku telah ditemui oleh Yang Terhormat
Syaikh Abi Yusuf, guru agung dan pemuka bangsa kalian yang
beragama Islam. Dia menyatakan kepadaku bahwa sebagian di
antara kalian telah menjadi pengikutnya.”

“Karena segala sesuatu telah berubah maka aku pun akan


melakukan sedikit perubahan atas butir-butir perjanjian yang telah
disepakati oleh Dang Hyang Semar dna leluhur kalian. Pertama, di
antara bangsa kalian yang telah beriman dan memeluk Islam telah
ditetapkan larangan meminum darah saudara-saudaramu dari
bangsa manusia yang beriman dalam agama Islam. Akan tetapi,
tetap diperbolehkan meminum darah manusia yang memeluk
Islam tetapi yang tidak beriman. Kedua, di antara bangsa kalian
yang bukan pemeluk Islam telah ditetapkan larangan meminum
darah manusia beriman yang bukan pemeluk Islam. Yang
diperbolehkan adalah meminum darah manusia pemeluk Islam
910
dan yang bukan pemeluk Islam yang juga tidak beriman. Namun,
kalian semua tetap bebas menjalankan naluri kalian untuk
menyimpangkan manusia dari jalan Kebenaran. Sebab, aku sendiri
tak kuasa menentang kehendak-Nya yang telah menetapkan
ketentuan tentang banyaknya jumlah bangsa manusia dan bangsa
jin yang bakal menjadi penghuni jahanam (QS al-A’raf:179 ;
Hud:119).” “

Sebagai makhluk penghuni alam gaib, kalian tentu telah tahu siapa
sesungguhnya manusia-manusia beriman, baik pemeluk Islam
mau pun yang bukan pemeluk Islam yang memuja Allah SWT dan
siapa di antara mereka yang memuja hawa nafsunya. Kalian lebih
tahu siapa manusia yang serakah hingga buta mata hatinya dan
tuli pendengaran jiwanya. Kalian pun lebih tahu siapa yang suara
nuraninya sudah bisu akibat jiwanya sesak dihuni taghut.
Mangsalah mereka itu. Sebab, semua itu adalah kehendak-Nya
semata demi menjaga kelestarian bumi dan kelangsungan hidup
penghuninya.”

“Kepada kalian, o bangsa jin yang bukan pemeluk Islam, di lereng


gunung tadi aku telah ditemui oleh Yang Dipertuan Gunung
Pulasari, Ki Dilah, yang tidak lain adalah pemuka dan guru agung
kalian. Dia mengatakan kepadaku telah mengetehui adanya
perubahan dahsyat yang bakal terjadi di dunia manusia yang
sebelumnya juga sudah terjadi di dunia kalian. Itu sebabnya, dia
mempersilakan aku untuk menuntun kalian di jalanku. Tetapi,
kukatakan kepadanya bahwa memimpin kalian adalah bukan
tugasku. Karenanya, tetaplah kalian mengikutinya. Sesungguhnya
911
masing-masing bangsa memiliki pemimpin sendiri sesuai
kebangsaannya. Tidak dibenarkan bangsa manusia memimpin
bangsa jin atau sebaliknya.”

Dengan tatap tak percaya para raja jin memandang Abdul Jalil
seusai mendengar yang baru saja dikemukakannya. Pemuka
makhluk gaib merah yang berasal dari Wirabhumi bernama
Balabatu berdiri dan berkata, “Jika paduka menolak kedudukan
guru loka Nusa Jawa, apakah paduka akan mengubah butir yang
lain dari perjanjian leluhur kami dengan Dang Hyang Semar?” “

Sekali-kali tidak, o Balabatu.” “

Jika demikian, kenapa paduka melarang kami yang bukan pemeluk


Islam untuk meminum darah manusia bukan pemeluk Islam?
Bukankah itu peraturan yang tidak adil?” “

Apa yang menurutmu tidak adil?” “

Jumlah penduduk Islam di Nusa Jawa sangat sedikit sehingga


larangan meminum darah manusia beragama Islam sesungguhnya
tidak memiliki pengaruh apa-apa pada pelaksanaan pesta darah
kami. Sebaliknya, paduka telah memberi keleluasaan di antara
saudara-saudara kami yang beragama Islam untuk meminum
darah manusia yang bukan Islam. Bukankah peraturan itu tidak adil
912
karena menguntungkan salah satu pihak di antara kami?” protes
Balabatu. “

Ketahuilah, o Balabatu, seiring perubahan yang terjadi di kalangan


manusia, sesungguhnya tidak lama lagi di Nusa Jawa akan terjadi
perubahan besar bahwa manusia akan beramai-ramai memeluk
Islam. Engkau pun tidak akan bisa menghitung jumlah umat Islam
di kelak kemudian hari. Jika engkau dan saudara-saudaramu
bersabar barang sebentar waktu maka engkau dan saudara-
saudaramu akan jauh lebih beruntung daripada saudara-
saudaramu yang memeluk Islam dalam pelaksanaan pesta darah
itu.” “

Selain itu, engkau camkan dan ingat-ingat benar bahwa yang aku
tetapkan sebagai larangan bagi kalian yang bukan pemeluk Islam
adalah meminum darah manusia beriman yang bukan beragama
Islam. Larangan pun berlaku bagi saudara-saudaramu yang
beragama Islam untuk tidak meminum darah manusia beriman di
antara umat Islam. Ingat-ingat benar perbedaan antara manusia
beriman dan manusia sebagai pemeluk suatu agama.” “

Berarti, paduka sesungguhnya tidak melarang tradisi pesta darah


bangsa kami?” “

Benar demikian adanya,” sahut Abdul Jalil. “Sebab, telah


termaktub di dalam Kitab Allah bahwa binatang (al-dabbah) yang
913
terjahat adalah manusia yang tuli, bisu, dan tidak mau mengerti
(QS al-Anfal: 22). Mereka mempertuhankan hawa nafsu tak
ubahnya seperti hewan (al-an’am), bahkan lebih sesat (QS al-
Furqan: 43-44). Mereka itulah yang digolongkan sebagai manusia
tidak beriman, entah mereka itu mengaku Islam atau beragama
lain. Itu berarti, kalian bebas memilih siapa di antara manusia tidak
beriman yang hidupnya lebih sesat daripada hewan untuk kalian
jadikan mangsa dalam pesta darah. Sebab, manusia-manusia
sesat pemuja hawa nafsu yang ruhnya telah tertutup sama sekali
oleh kegelapan sesungguhnya tidak ubahnya kawanan hewan
yang halal bagi kalian, sebagaimana hewan yang merayap di
permukaan bumi dihalalkan bagi manusia.” “

Bahkan jika mereka mengaku-aku sebagai umat Islam, namun


ternyata mereka terbukti sebagai golongan manusia tidak beriman
maka kalian pun boleh memangsanya. Sebab, tidak kurang di
antara manusia yang mengaku Islam dan berikrar hanya menjadi
pemuja dan penyembah Allah SWT. ternyata adalah pemuja hawa
nafsunya sendiri. Mereka adalah orang-orang yang terhijab dari
kebenaran Ilahi. Mereka tidak sedikit pun mencerminkan wakil
Allah di muka bumi (khalifah Allah fi al-ardh) yang memancarkan
citra insani (al-basyar) sekaligus citra Ilahi (ruh), yang membuat
para malaikat bersujud. Mereka benar-benar telah menjadi
makhluk seperti persangkaan Sang Iblis, yaitu manusia (al-basyar)
yang semata-mata tercipta dari bahan tanah.” “

Mulut mereka memang telah mengikrarkan persaksian (syahadat)


Tauhid, tetapi hati dan pikiran mereka telah tertutup bagi
914
Kebenaran Yang Tunggal. Tubuh mereka memang bergerak-gerak
melakukan penyembahan kepada Allah (shalat), namun kiblat hati
dan pikiran mereka tertuju pada taghut (materi). Perut mereka lapar
dan tenggorokan mereka kehausan akibat puasa (shaum), namun
mulut mereka menebar najis. Hati dan pikiran mereka
mengembara ke mana-mana, tidak sedikit pun tertuju kepada Allah
SWT.. Harta benda yang mereka miliki diperoleh secara tidak halal.
Saat mereka membagi-baginya sebagai zakat, infak, dan sadaqah
tidaklah diniatkan untuk mendapatkan ridho Allah SWT., tetapi
dengan tujuan utama mencari pujian dan kemasyhuran duniawi.
Mereka ibarat hewan, tidak bisa lagi diperingatkan, karena mata
hatinya sudah buta, telinga jiwanya tuli, suara nuraninya bisu, akal
pikirannya tumpul.” “

Sungguh telah jelas bagiku bahwa manusia apa pun agamanya –


entah Islam, entah Hindu, entah Budha – telah terpilah menjadi tiga
golongan. Pertama, golongan manusia beragama yang beriman
semurni permata. Mereka itulah pemuja Tuhan sejati yang tidak
mengharapkan sesuatu kecuali ridho Tuhan. Kedua, adalah
golongan manusia beragama yang beriman seperti emas
campuran. Mereka itulah pemuja Tuhan yang hati dan pikirannya
diliputi pamrih pribadi mengharapkan kenikmatan duniawi dan
akhirat. Ketiga, golongan manusia beragama yang tidak beriman.
Nafsu mereka seperti batu yang menutupi pintu kecemerlangan
ruhani. Golongan yang terakhir ini adalah para pemuja hawa nafsu
dan materi yang selalu berteriak-teriak menyatakan diri sebagai
pemuja Tuhan sejati.” “

915
Kelompok dari golongan ketiga itulah yang sesungguhnya disebut
golongan ingkar (kufr) dan munafik. Mereka sesungguhnya tidak
mengenal Tuhan yang gaib. Mereka rakus, tamak, serakah, dan
tak pernah puas dengan apa yang telah diperoleh. Dengan
keserakahan dan ketamakannya mereka selalu menyandang citra
makhluk perusak bumi. Mereka itulah yang halal kalian mangsa.
Sebab, bumi tidak akan cukup memuat keserakahan mereka. Hari-
hari dari kehidupan mereka senantiasa dicitrai oleh bencana dan
malapetaka yang mereka timbulkan bagi kehidupan di sekitarnya.
Mereka selalu menjadi binatang bagi sesamanya.” “

Sebagai makhluk penghuni alam gaib, kalian tentu telah tahu


tentang siapa sesungguhnya manusia-manusia beriman yang
memuja Allah SWT. dan siapa di antara mereka yang memuja
hawa nafsunya. Kalian lebih tahu siapa manusia yang serakah
hingga buta mata hatinya dan tuli pendengaran jiwanya. Kalian pun
lebih tahu siapa yang suara nuraninya sudah bisu akibat jiwanya
sesak dihuni taghut. Mangsalah mereka itu. Sebab, semua itu
adalah kehendak-Nya semata demi menjaga kelestarian bumi dan
kelangsungan hidup penghuninya.”

Para raja makhluk gaib termangu-mangu mendengar uraian Abdul


Jalil. Mereka semua terdiam. Namun, beberapa jenak kemudian
raja makhluk gaib dari Pakuan yang bernama Kareteg meminta
penjelasan tentang “pagar halilintar” yang dibentangkan Abdul Jalil
di sepanjang pantai utara Bumi Pasundan. “Para kawula kami
sangat cemas dan ketakutan dengan adanya ‘pagar halilintar’ itu.

916
Apakah paduka ingin memasang perangkap yang berbahaya bagi
kawula kami?”

Abdul Jalil mengerutkan kening. Ia tidak paham dengan istilah


“pagar halilintar” yang dikemukakan Kareteg. Namun, sesaat
kemudian ia teringat pada sarana (Tu-mbal) yang telah ia tebar di
beberapa tempat yang disebutnya Lemah Abang. Rupanya
rangkaian doa yang dilafazkan para santri yang ditinggal di Lemah
Abang telah mendatangkan kekuatan adiduniawi di mana para
makhluk gaib melihatnya seperti kilatan halilintar. Menyadari hal itu
Abdul Jalil pun menjelaskan, “Sesungguhnya aku tidak bermaksud
membuat ‘pagar halilintar’ yang bakal mencelakakan bangsa
kalian. Aku hanya memberi tengara kepada bangsa kalian bahwa
di tempat-tempat yang kalian saksikan ada pancaran cahaya
halilintar, itulah tempat aku membuka hunian-hunian baru bagi
manusia. Selama kalian masih melihat kilatan cahaya itu
hendaknya kalian tidak mendekat apalagi mengganggu. Namun,
jika kalian sudah tidak melihat kilatan cahaya itu lagi maka kalian
boleh mendekati tempat itu dan mengganggu penghuninya.” “

Berarti ‘pagar halilintar’ itu tidak berlangsung terus-menerus?”


tanya Kareteg. “

Jika penghuni tempat-tempat bernama Lemah Abang sudah


menjadi pemuja taghut maka kilatan cahaya itu tidak akan kalian
saksikan. Jadi, apa pun yang kalian saksikan dengan perubahan-

917
perubahan yang terjadi di dunia manusia, pada dasarnya tidak
mengubah hukum kauniyah yang berlaku.”

Ketika fajar mulai menjelang dan puncak Gunung Pulasari telah


disaput warna merah, para raja makhluk gaib Nusa Jawa kembali
ke kediaman masing-masing. Setelah mengangkat batu lingga ke
atas pangkuannya, Abdul Jalil menebarkan tanah yang dibawanya
ke seputar batu datar sambil membaca do’a penolak kejahatan jin.
Saat baru usai membaca doa tiba-tiba ia sadar betapa di samping
kanannya telah berdiri seseorang yang sebelumnya tidak pernah
dikenalnya.

Abdul Jalil menoleh. Ia melihat orang yang berdiri di samping


kanannya adalah laki-laki berusia lebih setengah abad dan
berpakaian brahmana. Wajah laki-laki itu teduh. Matanya bulat
lebar. Hidungnya mancung. Rambutnya diikat tiga gulungan ke
atas, sementara kumis dan janggutnya menjuntai ke dada. Laki-
laki itu memancarkan wibawa seorang pertapa.

Sepintas melihat sorot mata brahmana itu, Abdul Jalil sudah


menangkap pancaran kecurigaan akibat batu lingga yang
dipangkunya. Tanpa menunggu ditanya ia langsung
memperkenalkan diri sekaligus mengungkapkan niatnya untuk
membawa lingga tersebut atas permintaan arwah Ratu Sthri
Bhattari Prthiwi yang didaharmakan di Kabhumian, Caruban
Larang.

918
Mendengar pengakuan Abdul Jalil, brahmana itu ganti
memperkenalkan diri sebagai Brahmana Kandali, pemimpin para
Rsigana Domas, yakni delapan ratus orang resi yang tinggal di
Gunung Pulasari. Setelah itu, masih dengan tatap mata penuh
curiga dia berkata, “Mata hati saya menyaksikan betapa Tuan
adalah orang jujur yang berjiwa bersih. Namun, mata indriawi saya
melihat Tuan dengan penuh curiga. Wajah Tuan bukan wajah
orang Sunda. Pakaian Tuan adalah pakaian orang Islam. Tuan
datang ke puncak Pulasari dengan mengangkat Syiwalingga yang
kami puja. Jika Tuan mengatakan bahwa apa yang Tuan lakukan
adalah atas permohonan arwah Bhattari Parwati Tunggal Prthiwi,
tolong jelaskan kepada kami ketidaksesuaian antara penglihatan
mata hati dan mata indriawi saya ini.”

Abdul Jalil menarik napas panjang sambil memejamkan mata


menembus keheningan persemayaman Ruh al-Haqq di kedalaman
jiwanya. Beberapa jenak setelah melintasi relung-relung
keheningan jiwanya tiba-tiba ia menyaksikan kelebatan bayangan
sosok Rishi Punarjanma, diikuti sentuhan Ruh al-Haqq yang
mengisyaratkannya untuk berbicara seputar pendeta yang
meninggal di Arafah itu. Mengikuti petunjuk Ruh al-Haqq, ia
membuka mata dan berkata, “Saya tidak bisa menjelaskan
ketidaksesuaian antara tangkapan mata hati dan mata indriawi
Tuan. Namun, jika hal itu terjadi pada diri saya maka saya lebih
mempercayai penglihatan mata hati saya.” “

919
Bisakah Tuan memberi contoh kepada saya jika ketidaksesuaian
itu pernah terjadi pada Tuan, agar bisa saya jadikan pedoman
dalam perjalanan ruhani saya.”

“Ada sebuah pengalaman yang pernah saya alami, namun sangat


tidak masuk akal untuk diterima oleh orang yang mengagungkan
pandangan indriawi. Namun, bagi mereka yang percaya bahwa
tidak ada sesuatu yang mustahil bagi kehendak Yang Mahakuasa,
apa yang akan saya ceritakan itu tentu akan dipercaya sebagai
kebenaran tak tersanggah,” kata Abdul Jalil.

“Cerita tentang apakah itu, Tuan?”

“Cerita tentang seorang pendeta Hindu tua asal Banten Girang


yang melakukan ibadah haji ke tanah suci umat Islam, yaitu
Makkah di tanah Arab. Pendeta tersebut meninggal di tanah Arafah
tepat saat hari Arafah. Dia bahkan meninggal di atas pangkuan
saya,” Abdul Jalil memaparkan.

“Pendeta tua asal Banten Girang?” Brahmana Kandali tercekat


keheranan. Sambil mengernyitkan kening dia bertanya, “Siapakah
namanya?”

“Kepada saya beliau mengaku bernama Rishi Punarjanma,” ujar


Abdul Jalil. “Beliau mengaku memiliki seorang putera bernama
920
Nirartha yang tinggal di negeri Daha. Katanya, puteranya itu diasuh
oleh adiknya yang bernama Wiku Suta Lokeswara, seorang
pendeta Bhairawa penganut Syiwa-Budha.”

Brahmana Kandali tampak tergetar mendengar penjelasan Abdul


Jalil. Keringat sebesar butiran kacang menyimbah keningnya.
Napasnya mulai naik turun. Matanya berkaca-kaca. Kemudian
dengan bibir bergetar ia bertanya, “Bagaimana mungkin guru
agung kami Rishi Punarjanma menjalankan ibadah ke tanah suci
orang-orang Islam yang letaknya di negeri Arab?”

“Segala sesuatu sesungguhnya tergantung mutlak pada kehendak


Sanghyang Tunggal.” Abdul Jalil menyebut nama Tuhan seperti
Dang Hyang Semar pernah menyebutnya demikian. “Tapi jika
dijelaskan secara manusiawi sesuai pengakuan beliau,
sesungguhnya kehadiran beliau ke tanah suci umat Islam adalah
semata-mata ‘kekeliruan’ tempat belaka. Maksudnya, niat utama
beliau sesungguhnya hendak melakukan pradaksina di Gunung
Kailasa, yaitu tempat Syiwa ber-sthana. Namun, arus nasib telah
membawanya ke Makkah dan Arafah setelah kapal yang
ditumpangi terempas gelombang dan beliau ditolong oleh para
pelaut Arab. Beliau bahkan mengira tugu batu raksasa yang
terletak di Jabal Rahmah adalah Syiwalingga yang telah beliau lihat
di dalam mimpinya. Itu sebabnya, beliau melakukan pradaksina,
mengitari Jabal Rahma. Beliau meninggal akibat kelelahan dan
kepanasan.”

921
Brahmana Kandali tak dapat lagi menahan gejolak perasaannya.
Ia mengucurkan air mata dan berkata tersendat-sendat, “Tuan,
apakah Tuan merawat jenasah beliau dengan baik?”

“Saya dan saudara-saudara saya yang menunaikan ibadah haji


telah menguburkan beliau dengan baik.”

“Apakah beliau tidak meninggalkan pesan apa-apa sebelum


meninggal?”

“Beliau meminta agar saya menemui puteranya, Nirartha, di negeri


Daha,” kata Abdul Jalil, untuk menyampaikan pesan bahwa beliau
telah kembali ke Syiwapada karena setia kepada Syiwamarga.
Setelah saya kembali dari sini, saya akan berusaha pergi ke negeri
Daha untuk menyampaikan pesan Rishi Punarjanma kepada
puteranya. Saya tidak tahu kenapa saya harus memenuhi amanat
Rishi Punarjanma yang syari’at agamanya tidak sama dengan
syari’at agama saya. Saya hanya merasa bahwa mata hati, telinga,
jiwa, dan suara nurani saya memerintahkan saya untuk melakukan
hal itu.”

Brahmana Kandali duduk berlutut di depan Abdul Jalil. Dengan


tangan menyembah ia berkata, “Tuan, terimalah permohonan maaf
kami akibat kecurigaan kami yang berlebihan terhadap Tuan.
Terimalah juga sembah hormat kami, o Tuan yang mulia, atas
segala budi baik yang Tuan telah berikan kepada guru agung kami
922
Rishi Punarjanma. Sungguh, tidak ada yang bisa kami lakukan
untuk membalas kebaikan hati Tuan yang begitu luas laksana
samudera yang berkenan menerima berbagai aliran sungai
dengan begitu tulus.”

“Kami percaya apa yang telah Tuan ceritakan tentang Rishi


Punarjanma adalah benar belaka. Sebab, tidak ada orang di negeri
Banten ini yang mengetahui beliau memiliki putera bernama
Nirartha yang tinggal di negeri Daha dan ikut dengan Wiku Suta
Lokeswara, kecuali kami dan beberapa orang saudara kami
pemuka Rsigana Domas yang tak pernah turun gunung ini. Itu
berarti Tuan benar-benar telah bertemu dengan guru agung kami.”

“Sudah merupakan kewajiban manusia untuk saling menolong di


antara sesamanya tanpa melihat latar bangsa, bahasa, dan
agama. Sesungguhnya sebaik-baik manusia adalah yang bisa
memberi manfaat bagi sesamanya dan seburuk-buruk manusia
adalah yang selalu menjadi bencana bagi sesamanya.”

“Sungguh, sekarang kami percaya kepada Tuan. Kami percaya


Tuan benar-benar memenuhi permintaan Ratu Sthri Bhattari
Prthiwi untuk membawa Syiwalingga ke Caruban Larang.
Sesungguhnya tidak ada satu pun di antara manusia yang berhak
mengatakan bahwa Syiwalingga itu miliknya. Sebab, Syiwalingga
senantiasa dijaga dan dipelihara oleh Bhattara Syiwa sendiri. Jika
Syiwalingga harus dipindahkan dari puncak Gunung Pulasari ke

923
Caruban Larang maka hal itu tentunya adalah atas kehendak
Bhattara Syiwa sendiri.”

“Memang demikian kenyataannya saat saya memohon perkenan


kepada Syiwalingga ini.”

“Tuan sudah meminta izin Bhattara Syiwa? Tuan bisa


berhubungan dengan Bhattara Syiwa melalui Syiwalingga?”

“Sesungguhnya saya hanya mengenal nama-nama, sifat-sifat, dan


perbuatan Syiwa,” ujar Abdul Jalil. “Semalam Dia, Syiwa yang
dipuja lewat perlambang Syiwalingga ini, menyapa saya sebagai
pengejawantahan Sang Girinatha, Bhutaswara, Rudra, Bhairawa,
dan Mahakala. Dia telah berkenan mengizinkan saya membawa
Lingga ini ke Caruban Larang sesuai permohonan Bhattari Prthiwi.”

“Tuan,” tanya Brahmana Kandali, “kenapa Bhattara Syiwa


membiarkan Syiwalingga itu Tuan bawa ke Caruban Larang?
Bukankah hal itu akan mengubah kedudukan Gunung Pulasari
sebagai sthana Syiwa?”

“Tidak ada sesuatu yang berubah tanpa kehendak-Nya.


Sesungguhnya perubahan yang akan terjadi atas sthana Syiwa di
Gunung Pulasari ini semata-mata atas kehendak-Nya juga. Pada
masa datang para pemuja Syiwa hendaknya mengikuti pesan
924
Sang Girinatha kepada saya, yaitu tidak harus pergi ke sthana
Syiwa di puncak Gunung Pulasari untuk melakukan upacara di
Syiwamandala. Sebab, sebenarnya dengan Kebenaran yang
sesungguhnya Syiwa berada di mana saja bersama-sama dengan
pemuja-Nya yang mengetahui Kulatattwa.”

“Tuan,” seru Brahmana Kandali heran, “bagaimana Tuan yang


beragama Islam bisa tahu tentang Kulatattwa?”

“Syiwa yang disebut dengan berbagai nama telah memberitahuku


demikian.”

“Jika demikian, tahukah Tuan kenapa Syiwa menghendaki terjadi


perubahan seperti itu?”

“Sebab tidak lama lagi akan datang Dajjal Sang Penyesat yang
akan membawa manusia ke zaman malapetaka. Pengikut Sang
Penyesat akan membawa manusia ke jalan kebinasaan dengan
mengingkari keberadaan Tuhan secara benar. Sang Penyesat
dengan pesonanya akan membalik kiblat berpikir manusia. Jika
saya dan seluruh umat Islam meyakini bahwa Tuhan adalah Sang
Pencipta sebagaimana keyakinan Tuan dan saudara-saudara
Tuan yang beragama Hindu, maka Sang Penyesat akan
mengatakan bahwa manusialah yang mencipta Tuhan. Jika
manusia tidak mencipta Tuhan maka Tuhan tentunya tidak ada.”

925
“Sesungguhnya mereka adalah para pembohong dan penyesat
umat manusia yang bakal membawa kerusakan di permukaan
bumi. Tidak umat Islam, tidak umat Hindu, tidak umat Budha, jika
menjadi pengikut Dajjal maka akan sesat juga jadinya. Mereka
sesungguhnya orang-orang yang sudah buta mata hatinya, tuli
telinga jiwanya, dan bisu suara nuraninya. Mereka tidak bisa
melihat sesuatu kecuali benda-benda yang kasatmata. Mereka
tidak percaya ruh. Mereka tidak percaya adanya hidup setelah
mati. Bahkan, andaikata mereka berbicara tentang agama maka
sesungguhnya mereka telah menipu karena bagi mereka agama
adalah ‘alat’ yang bisa mereka gunakan untuk membenarkan
perilaku mereka yang jahat.”

“Apakah kehadiran mereka menandai bakal datangnya zaman


Kaliyuga?”

“Kira-kira begitu di dalam keyakinan agama Tuan.”

“Siapakah yang Tuan maksud sebagai Dajjal Sang Penyesat itu?”

“Jika Tuan pernah mendengar cerita tentang Sang Hantaga,


saudara Dang Hyang Semar, tentunya Tuan pernah mendengar
tokoh bernama Si Kere, putera Sang Hantaga,” ujar Abdul Jalil.

926
“Ya, ketika kanak-kanak kami pernah mendengar cerita semacam
itu.”

“Dajjal Penyesat adalah anak cucu Si Kere,” ujar Abdul Jalil.


“Mereka hidup di negeri miskin dan selalu kekurangan makan. Itu
sebabnya, mereka akan datang ke negeri-negeri subur tempat padi
ditanam dan berbagai jenis emas serta permata didapatkan.
Mereka datang untuk menjarah dan merampok harta kekayaan
negeri-negeri subur. Mereka akan merampas harta benda
penduduk. Mereka akan memperbudak penduduk. Mereka akan
mengganti kepercayaan agama penduduk. Mereka akan memaksa
penduduk mengikuti kepercayaan dan adat istiadat mereka. Dan
yang paling berbahaya, mereka akan menjungkirbalikkan
kepercayaan penduduk yang memuja Tuhan agar sejalan dengan
kepercayaan mereka yang sesat dan menyesatkan, yaitu tidak
mempercayai segala sesuatu yang bersifat gaib.”

“Tuan,” Brahmana Kandali memohon. “Ajarkan kami pengetahuan


ruhani yang Tuan miliki. Bimbinglah kami meniti jalan Kebenaran
menuju-Nya. Angkatlah kami menjadi siswa Tuan. Kami yakin,
guru agung kami, Rishi Punarjanma, mengirim Tuan ke sini tentu
dengan maksud agar Tuan menjadi panutan kami. Kami pun
bersedia melepas agama kami jika itu memang diisyaratkan
menjadi siswa Tuan. Kami tidak ingin hidup di zaman Kaliyuga
tanpa bimbingan guru yang sudah mengejawantahkan
keberadaan-Nya.”

927
“Tuan Brahmana, saya tidak keberatan Tuan hendak belajar
menempuh jalan ruhani kepada saya. Tetapi, saya tidak pernah
mensyaratkan seseorang harus berpindah agama untuk menjadi
siswa saya. Sebab, masalah agama – dalam makna syari’at –
bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan. Sungguh, tidak ada
paksaan dalam agama. Dan sudah menjadi keyakinan saya,
sesungguhnya telah menjadi kehendak-Nya semata bahwa umat
manusia harus hidup beraneka ragam baik dalam hal kebangsaan,
bahasa, budaya, maupun agama.”

928
Al-Wahm

Pengharapan (al-raja’) beriringan dengan


amal. Pengharapan tanpa amal adalah tebaran
jaring-jaring lamunan kosong (al-umniyyah).
Sedang tebaran jaring-jaring lamunan kosong
adalah kekuatan yang cenderung menuntun
manusia ke perangkap angan-angan kosong
(al-wahm) yang menjerat. Bagi seorang penempuh jalan ruhani
(salik), perangkap al-wahm haruslah dihindari dan dilampaui.
Sebab, perangkap al-wahm adalah hijab tebal yang menyelubungi
manusia untuk dapat menyaksikan Kebenaran Ilahi.

Terjerat ke perangkap al-wahm itulah yang sesungguhnya dialami


oleh Raden Sahid dan Raden Qasim saat keduanya meniti jalan
ruhani (suluk) sebagai salik. Terpesona oleh kisah Abdul Jalil
tentang Pangeran Bharatchandra Jagaddhatri, putera mahkota
Wijayanagar yang menjadi brahmin pengembara, mereka berdua
mengangankan dapat meraih kehidupan ruhani yang agung
sebagaimana sang putera mahkota. Namun, pengalaman ruhani
yang belum matang mengakibatkan mereka jatuh ke perangkap al-
wahm.

Hari-hari yang mereka lewati lebih banyak dihabiskan di sebuah


gua yang terletak di belakang pesantren dan di hadapan makam
Syaikh Datuk Kahfi. Mereka beranggapan bahwa dengan
menghindari berbagai urusan duniawi dan menenggelamkan diri
929
ke dalam kekhusyukan maka mereka akan beroleh karunia ruhani
(al-warid) sebagaimana yang telah diperoleh Pangeran
Bharatchandra Jagaddhatri. Saat berada di hadapan makam
Syaikh Datuk Kahfi mereka berharap arwah gurunya itu berkenan
memohonkan kepada Allah SWT. agar melimpahi mereka dengan
berbagai kemurahan karunia ruhani.

Kerasnya semangat (sawabiq al-himam) yang dilakukan Raden


Sahid dan Raden Qasim dalam perjuangan memperoleh karunia
ruhani ternyata tidak menghasilkan apa-apa, bahkan menjadi
penyebab kacaunya jadwal pembelajaran di pesantren. Bagaikan
tak kenal siang dan malam, Raden Shid dan Raden Qasim lebih
banyak terlihat bertafakur di dalam gua dan di depan makam
Syaikh Datuk Kahfi.

Abdul Jalil sendiri semula tidak mengetahui perihal


keterperangkapan Raden Sahid dan Raden Qasim ke dalam
jeratan al-wahm. Ia mengetahui hal itu secara kebetulan ketika
berziarah ke makam Nyi Babadan, istri Syarif Hidayatullah yang
meninggal beberapa hari setelah kepergian Abdul Jalil ke Gunung
Pulasari. Saat ia bersama Syarif Hidayatullah berziarah, mereka
mendapati Raden Sahid dan Raden Qasim sedang bertafakur di
depan makam Syaikh Datuk Kahfi.

Sebagai orang yang sudah kenyang mengunyah dan memamah


serta menelan pahitnya perjalanana ruhani, Abdul Jalil menangkap
sasmita ada ketidakberesan yang terjadi pada kedua orang adik
930
seperguruannya itu. Itu sebabnya, ia menanyakan kepada Syarif
Hidayatullah tentang mereka berdua. Betapa terkejut ia saat Syarif
Hidayatullah memberi tahu bahwa baik Raden Sahid maupun
Raden Qasim sesungguhnya sudah melakukan pengasingan diri
beberapa waktu setelah Syaikh Datuk Kahfi wafat.

“Kenapa engkau tidak memberi tahu aku?”

“Bukankah hal itu biasa, Paman?” ujar Syarif Hidayatullah.


“Bukankah tidak salah mereka bertafakur di hadapan makam Guru
Agung Syaikh Datuk Kahfi? Sebab, seingat saya, sesungguhnya
orang-orang yang meninggal ndi jalan Allah itu tidaklah mati,
bahkan mereka hidup, hanya kita yang tidak menyadari
keberadaannya (QS al-Baqarah:154). Bukankah demikian,
Paman?”

“Bagi manusia yang mengharapkan karunia ruhani dari Allah


SWT., apa yang mereka lakukan memang tidak keliru,” ujar Abdul
Jalil menjelaskan. “Tetapi bagi manusia yang mengharap
Kebenaran Ilahi, jelas apa yang mereka lakukan merupakan
kekeliruan besar. Yang penting engkau pahami, o Anakku, bahwa
tanpa pengetahuan rahasia yang bisa menyingkap alam gaib, tidak
seorang pun manusia bisa berhubungan dengan ruh seorang ahli
kubur. Jika berhubungan denganruh ahli kubur saja tidak bisa, apa
lagi berhubungan dengan Sang Kebenaran (al-Haqq).”

931
“Apakah beda karunia ruhani Ilahi dan Kebenaran Ilahi?”

“Jika seseorang mengharap aku memberikan uang, pakaian,


makanan, dan berbagai hal yang aku miliki maka itulah ibarat dari
karunia Ilahi. Tetapi jika seseorang berharap bisa menjadi
kawanku, sahabat karibku, kekasihku maka itulah ibarat dari
Kebenaran Ilahi. Ketahuilah, sesungguhnya mereka berdua
bukanlah golongan orang yang biasa yang cukup puas dengan
karunia Ilahi. Mereka bisa menjadi sahabat dan bahkan kekasih
Allah SWT..”

“Saya paham, Paman.”

Sambil terbatuk-batuk Abdul Jalil melangkah ke arah kedua orang


adik seperguruannya dan bertanya, “Apakah sesungguhnya yang
telah kalian lakukan di hadapan makam guru agung?”

“Mohon ampun, Pamanda,” kata Raden Sahid. “Kami berdua


sedang melakukan iktikaf agar kami beroleh karunia dari-Nya.”

“Kenapa beriktikaf di depan makam guru agung? Apakah kalian


berdua hanya menginginkan karunia ruhani dari-Nya?” tanya Abdul
Jalil dengan suara ditekan.

932
“Kami berdua merasa tidak punya kemampuan apa-apa untuk bisa
menghadap hadirat-Nya. Itu sebabnya, kami memohon bantuan
wasilah kepada guru agung kami yang suci agar menyampaikan
hajat kami kepada-Nya. Kami berdua pun tidak berani berharap
lebih dari sekedar beroleh karunia ruhani dari-Nya.”

“Ketahuilah, o Saudara-saudaraku, bahwa keinginanmu untuk


menghindari urusan duniawi dengan melakukan iktikaf di makam
guru agung dapat dikata sebagai getar nafsu kalian yang
tersembunyi (asy-syahwat al-khafiyyah). Hal itu menyebabkan
keterperangkapan kalian berdua ke dalam jerat al-wahm yang
penuh ditebari jaring-jaring lamunan kosong (al-umniyyah). Aku
katakan demikian karena kalian berdua belum mengetahui dengan
pasti apakah Allah SWT sudah menempatkan diri kalian ke dalam
golongan orang-orang yang memang ditentukan-Nya hidup
menjauhi urusan duniawi. Perlu Adinda berdua pahami bahwa
kerasnya semangat (sawabiq al-himam) yang telah Adinda
tunjukkan sesungguhnya tidak mampu menembus takdir-Nya
(aswar al-aqdar).”

“Ingat-ingatlah, o Saudara saudaraku, bahwa amal perbuatan


hanyalah sebuah bentuk kerangka yang tegak dan tidak hidup
(shuwar qa’imah). Hanya nilai keikhlasan (sirr al-ikhlash) jua yang
memberikan ruh hidup kepadanya. Itu sebabnya, amal yang telah
kalian berdua jalankan selama ini pada hakikatnya hanya menjadi
kerangka tegak dan tidak hidup. Seperti arca batu. Dikatakan
begitu karena kalian berdua tidak benar-benar ikhlas

933
melakukannya. Kalian berdua masih mengharap turunnya karunia
ruhani dari-Nya.”

Mendengar uraian Abdul Jalil yang tajam tentang jalan ruhani,


Raden Sahid dan Raden Qasim terdiam. Di dalam diam itu mereka
akhirnya memahami kenapa Guru Agung Syaikh Datuk Kahfi
begitu bangga dan sering menjadikan Abdul Jalil sebagai sosok
siswa yang harus diteladani. Mereka sadar bahwa kakak
seperguruan mereka itu memang memiliki kelebihan dibanding
para siswa Syaikh Datuk Kahfi yang lain. Akhirnya, setelah
beberapa jenak terdiam, Raden Sahid berkata, Pamanda Abdul
Jalil, kami berdua mohon dengan segala hormat sudilah kiranya
Pamanda membimbing kami meniti jalan Kebenaran. Sebab
menurut guru agung, Pamandalah siswa yang diharapkan
menggantikan kedudukan beliau. Bahkan, sejak kami berdua
datang beliau selalu meminta agar kami sabar menunggu
kepulangan Pamanda dari rantau. Beliau selalu menyebut
Pamanda dengan gelar Sang Pajuningrat, yaitu baji pembelah
dunia.”

“Guru agung pernah berkata demikian?” Abdul Jalil tersentak


heran.

“Kami berdua tidak menambah dan tidak mengurangi apa yang


telah beliau ucapkan.”

934
Abdul Jalil termangu-mangu. Ia menatap tajam Raden Sahid dan
Raden Qasim ganti-berganti seolah-olah hendak mengukur
pedalaman kedua adik seperguruannya. Beberpa jenak setelah itu
ia bertanya, “Apakah kalian berdua apakah memang sering tafakur
di depan makam Guru Agung Syaikh Datuk Kahfi?”

“Hampir setiap hari kami berdua ke sini,” sahut Raden Sahid.

“Jika kalian berdua akan belajar dariku tentang rahasia Kebenaran-


Nya di balik kehidupan yang fana ini,” kata Abdul Jalil tegas, “maka
pertama-tama yang harus dipahami adalah kenyataan yang
menyatakan bahwa apa yang telah kalian berdua lakukan dengan
bertafakur di depan makam guru agung kita adalah suatu
perbuatan yang sia-sia. Sebab, yang kalian hadapi itu
sesunguhnya hanya gundukan tanah berisi jasad ramanda dan
ibunda guru agung. Arwah beliau berdua tidak berada di kuburan.
Arwah beliau berdua sudah tidur damai di alam arwah. Itu
sebabnya, jangan sekali-kali kalian mengganggu kedamaian
mereka berdua.”

“Selain itu, ada satu hal yang wajib kalian ingat-ingat! Jika kalian
belum dikaruniai pengetahuan rahasia untuk bisa menembus alam
gaib, jangan sekali-kali kalian tafakur di depan kuburan.
Sesungguhnya tindakan bertafakur berlama-lama di suatu
kuburan, meski itu kuburan guru agung, adalah tindakan yang
berbahaya. Sebab, setiap saat bisa saja manusia terperangkap
oleh bisikan setan yang bersembunyi di dalam nafsunya. Dan,
935
biasanya setan akan membuat seolah-olah bisikan itu berasal dari
ruh ahli kubur bersangkutan.”

“Kami berdua mohon petunjuk, o Pamanda.”

“Ketahuilah, o Saudara-saudaraku, sesungguhnya Kebenaran


tidak berada di kuburan, tidak di pepohonan, tidak di bebatuan,
tidak di gunung, dan tidak pula di lautan. Sesungguhnya
Kebenaran bersemayam di dalam dan sekaligus di luar diri
manusia sendiri. Kebenaran tidak terikat, tetapi juga tidak terlepas
sama sekali dari keberadaan manusia. Hanya saja, manusia belum
menyadarinya.”

“Kami pusakakan petunjuk Pamanda,” sembah Raden Sahid dan


Raden Qasim takzim.

“Hal kedua yang harus selalu kalian ingat,” kata Abdul Jalil,
“sekalipun Kebenaran bersemayam di dalam diri manusia sendiri,
pada hakikatnya ia tidak terperangkap di dalam tubuh manusia. Ia
tidak bisa dibayang-bayangkan seperti sebilah pedang yang
berada di dalam sarungnya. Sebab, secara hakiki Kebenaran tidak
berada di dalam dan tidak berada di luar diri manusia. Kebenaran
tidak terpisah dari diri manusia.” “

Kami pusakakan petunjuk Pamanda.”


936
“Hal ketiga yang juga harus dicamkan,” ujar Abdul Jalil, “jangan
pernah kalian mengandalkan kekuatan akal (‘aql) semata-mata
untuk menemukan Kebenaran Sejati. Sebab, ‘aql yang tidak
diterangi petunjuk (hidayah) dari-Nya, justru akan mengikat (‘iql)
dan memerangkap manusia ke dalam jaring-jaring kejahilan yang
menyesatkan.” “

Hal keempat yang tidak boleh dilupakan,” kata Abdul Jalil dengan
suara ditekan, “kalian berdua jangan pernah berpikir bahwa
Kebenaran secara kebetulan bisa menghampiri seorang pemalas
yang tidak mencari-Nya. Kebenaran bukan hak tukang mimpi.
Kebenaran juga bukan hak para pembual. Ingat-ingatlah selalu, o
Saudara-saudaraku, bahwa peristiwa Nabi Muhammad Saw.
menerima Wahyu Ilahi9 di Gua Hira bukanlah peristiwa kebetulan.
Lima belas tahun sebelum beroleh Kebenaran Sejati beliau telah
berjuang keras meakukan pencarian dengan tanpa kenal lelah dan
putus asa. Siapa yang bisa mengingkari Kebenaran sejarah bahwa
beliau telah beriktikaf di Gua Hira selama lima belas tahun? Jika
kalian berdua membaca liku-liku kehidupan yang beliau jalani
maka kalian akan mendapati kenyataan betapa sesungguhnya
beliau bukanlah pemalas, bukan pengkhayal, dan bukan pula
pembual. Itu sebabnya, jika Adinda berdua hendak berjuang keras
mencari Kebenaran, teladanilah jalan hidup beliau!”

“Kami akan pusakakan dan selalu mengingat petunjuk Pamanda.”

937
Setelah memberi petunjuk jalan ruhani secukupnya kepada Raden
Sahid dan Raden Qasim, Abdul Jalil berangkat ke Kuta Caruban
untuk menghadap Sri Mangana. Namun, tanpa diduga seorang
santri menghadap dan melapor ada tamu asing menunggu di
bawah pondok. Ternyata tamu asing itu adalah Abdul Malik Israil
al-Gharnatah, kakek Syarif Hidayatullah.

Abdul Malik Israil menyatakan bahwa kehadirannya ke Giri


Amparan Jati untuk menyampaikan kabar jatuhnya Granada ke
tangan pasangan Ratu Isabella, penguasa Castilla, dan Raja
Ferdinand, penguasa Aragon. “Kekuasaan Islam telah jatuh di
Andalusia, namun bakal tumbuh di tempat lain, yakni di tanah
timur. Karena itu, kehadiranku ke tempat ini juga untuk melihat
apakah benih-benih keislaman sudah tumbuh di sini di mana aku
harapkan cucuku ikut memupuk dan memeliharanya.”

Bagi Abdul Jalil sendiri, kabar jatuhnya Granada adalah sebagai


“cambuk” yang melecut jiwanya agar lebih giat berjuang
menjalankan tugas sebagai anggota Jama’ah Karamah al- Auliya’
yang ditempatkan di Nusa Jawa. Kepada Abdul Malik Israil yang
lebih tua dan lebih luas pengetahuannya ia memaparkan semua
gagasan dan langkah yang bakal ditempuhnya untuk mewujudkan
tatanan baru kehidupan masyarakat di Caruban Larang, yang
merupakan lahan subur bagi tumbuhnya benih keislaman.
Kemudian ia berterus terang tentang kelemahannya di dalam
memahami ilmu siyasah (politik) dan kenegaraan. Ia memohon
Abdul Malik Israil untuk mengkritik dan sekaligus memberi
masukan bagi gagasan dan langkah-langkahnya.
938
Ternyata, gagasan dan langkah perjuangan Abdul Jalil yang dikritik
Abdul Malik Israil adalah pengembangan Pondok Pesantren Giri
Amparan Jati. Menurut Abdul Malik Israil, pengembangan lembaga
pendidikan Islam itu terlalu mengacu pada pengetahuan
berdasarkan nalar. “Memang sangat ideal membawa manusia ke
jalan terang akal melalui tradisi bernalar para failasuf. Tetapi,
kenyataan membuktikan bahwa tradisi yang dikembangkan di bumi
Andalusia itu telah hancur dilanda kefanatikan buta. Itu sebabnya,
aku akan sangat bergembira jika tempat ini dijadikan pusat
pengembangan pendidikan ruhani masyarakat sebagaimana
Lemah Abang,” kata Abdul Malik Israil.

“Apakah itu berarti kita membangun basis keimanan berdasarkan


akar tradisi dan budaya?”

“Tepat, itu yang aku maksudkan,” kata Abdul malik Israil. “Kalau
kita bercermin pada sejarah, sesungguhnya keberadaan Bani Israil
sangat tergantung pada kelestarian tradisi dan budaya mereka.
Puak-puak Bani Israil yang sudah terusir dari negerinya selama
beribu-ribu tahun tetap menunjukkan jati dirinya dengan
memegang erat tradisi dan budaya warisan leluhurnya. Karena itu,
sebagaimana Bani Israil dapat bertahan dari musuh-musuhnya ,
demikianlah hendaknya bangunan masyarakat di negeri ini engkau
tegakkan di atas sendi-sendi tradisi dan budayanya.”

939
“Itu berarti, membangun tradisi bernalar harus dibelakangkan dan
jika mungkin hanya dilakukan sedikit orang,” Abdul Jalil menarik
napas berat.

“Aku kira itulah pilihan yang bijaksana,” kata Abdul Malik Israil.
“Engkau harus membangkitkan kebanggaan (ta’ashahub)
terhadap jati diri budaya pengikut-pengikutmu. Dengan cara itu
engkau dapat membangun benteng-benteng yang sulit ditembus
pasukan Dajjal yang bakal menyerbu dunia.”

Abdul Jalil mengangguk-anggukkan kepala. Ia sadar akan


kebenaran di balik kata-kata Abdul Malik Israil. Ia akan mengubah
kembali sistem pembelajaran di Pondok Pesantren Giri Amparan
Jati. “Tetapi jika aku mengikuti saranmu, o Sahabat, akankah aku
membiarkan tumbuh dan berkembangnya tradisi dan budaya
orang-orang muslim asal Campa yang penuh dilingkari takhayul
dan kurafat? Tidakkah engkau tahu mereka telah mencemaskanku
karena menulari masyarakat setempat dengan tradisi dan budaya
mereka yang bertentangan dengan akal sehat?”

“Engkau tidak bisa mengubah tradisi dan budaya suatu bangsa,


kecuali dengan tradisi dan budaya yang sesuai dengan naluri
mereka. Maksudku, jika orang-orang Campa memang bukan
tergolong bangsa yang memiliki tradisi bernalar maka hendaknya
kita menyampaikan Kebenaran kepada mereka sesuai dengan
naluri mereka,” kata Abdul malik Israil.

940
“Berarti kita harus berkompromi dengan kepercayaan mereka
tentang ratusan jenis hantu, ramalan nasib, hitungan hari baik dan
buruk, mengeramatkan batu dan kuburan, masalah tabu, sampai
menghitung keberuntungan dan kesialan orang berdasar suara
tokek?” sergah Abdul Jalil.

“Justru di tengah beratnya medan juang itulah kemuliaan


membentangkan permadani kehormatannya di hadapanmu.
Sesungguhnya nasib malang yang dialami bangsa Campa, Sunda,
dan Jawa tidak jauh berbeda dengan nasib yang pernah dialami
Bani Israil, yakni pada saat kemunduran peradabannya mereka
cenderung terperangkap pada kerangka pikir mengaitkan satu hal
dengan hal lain berdasar bunyi suara dan makna kata (othak-athik
mathuk). Lantaran kecenderungan itu sangat kuat, Bani Israil
sering menghujat nabi-nabi mereka dengan cerita-cerita dusta
yang merendahkan derajat para utusan Allah itu.”

Ketika mereka memaknai nama leluhur mereka Ya’kub (Ya’acob)


dengan arti ‘penipu’ maka lahirlah kisah yang menuturkan bahwa
Nabi Ya’kub a.s. telah menipu saudaranya dalam memperoleh
berkat dari ayahandanya, Ishak. Untuk menutupi makna ‘penipu’
pada identitas keturunan Ya’kub a.s., lahirlah kisah ia bergelut
dengan manusia jelmaan Tuhan sehingga Ya’kub a.s. disebut
Yisrail. Begitulah, keturunan Nabi Ya’kub a.s. menyebut dirinya
Bani Israil untuk menghindari kesan kepenipuan dalam nama
Ya’acob.”

941
“Akan halnya orang-orang Moab, mereka pun memaknai nama
suku itu berdasarkan bunyi suara dan makna kata. Karena Moab
ditafsirkan me-ab (dari ayah) maka dilahirkanlah kisah bahwa Nabi
Luth a.s. telah berzinah dengan puteri-puteri kandungnya sehingga
lahir orang Moab. Begitulah kisah-kisah miring tentang utusan-
utusan Allah yang suci berlaku di kalangan Bani Israil akibat
perangkap pikiran itu. Sehingga, seluruh nabi Bani Israil adalah
orang-orang yang tidak sempurna dan tercela; Nuh a.s mabuk dan
tidur telanjang lalu mengutuk Kana’an, puteranya; Daud a.s
berzina dengan istri Uria, Batsyeba; Ibrahim menikahi saudaranya
lain ibu, Sarah.”

“Jika kita telusuri nasib malang yang selalu dialami Bani Israil dari
waktu ke waktu, bagian terbesar di antaranya adalah akibat
kebiasaan mereka membuat cerita-cerita tercela yang menista dan
menghina nabi-nabi utusan Allah. Untuk menghindari terulangnya
kecenderungan itu, ajaran Islam dengan tegas menetapkan sifat
maksum, amanah, fathanah atas nabi-nabi utusan Tuhan.
Ketetapanyang menjadi rukun itu tak bisa ditawar sehingga dengan
itu semua penganut Islam menampik mutlak citra buruk yang
dialamatkan kepada nabi-nabi suci Bani Israil itu.”

“Aku kira, dengan uraianku ini telah jelas bahwa tugas yang engkau
jalankan adalah tugas mahaberat, seibarat tugas nabi-nabi Bani
Israil dalam menghadapi kaumnya. Itu berarti, engkau harus siap-
siap diperosokkan ke dalam lumpur fitnah dan kenistaan karena
ingin membawa kaummu kepada Kebenaran Sejati.”

942
Setelah berbincang-bincang tentang berbagai hal terkait dengan
usaha pembangunan tatanan baru masyarakat di Nusa Jawa,
Abdul Jalil dan Abdul Malik Israil memperbincangkan Syarif
Hidayatullah yang baru ditinggal wafat istri tercintanya. Abdul Maik
Israil mengusulkan cucunya itu segera dicarikan istri lagi agar tidak
terus-menerus teringat pada istrinya. Lantaran di Giri Amparan Jati
ada Syarifah, adik Abdurrahman dan Abdurrahim Rumi, yang
sudah berusia sebelas tahun, maka disepakatilah untuk
menikahkannya dengan Syarif Hidayatullah. Hari itu juga secara
sederhana Syarifah dan Syarif Hidayatullah dinikahkan.

Saat upacara pernikahan baru saja usai datanglah serombongan


tamu asing berjumlah sekitar empat puluh orang. Tamu-tamu itu
mengaku berasal dari negeri Wijayanagar, dipimpin oleh seorang
pendeta kulit hitam bernama Ballal Bisvas. “Kami utusan Yang
Mulia Brahmin Agung Malaya. Kami dititahkan untuk menemui
Tuan Syaikh Abdul Jalil di Negeri Caruban. Kami dititahkan untuk
membantu perjuangan Tuan Syaikh semampu yang kami bisa,”
ujarnya takzim.

“Brahmin Agung Malaya?” Abdul Jalil mengerutkan kening. Berpikir


sejenak dan kemudian berkata, “Apakah yang Tuan Pendeta
maksudkan Pangeran Bharatchandra Jagaddhatri?”

“Benarlah demikian, Tuan Syaikh.”

943
Abdul Jalil termangu-mangu memandang Ballal Bisvas. Ia
merenungkan makna ruhani di balik kehadiran para utusan
sahabatnya itu. Saat kali pertama bertemu dengan Ballal Bisvas,
Abdul Jalil mendapat isyarat dari Ruh al-Haqq bahwa ia sedang
berhadapan dengan seorasng pendeta bhairawa yang memiliki
kesaktian luar biasa. Apakah maksud Sang Brahmin Agung
mengirimkan pendeta bhairawa untuk mendukung perjuangannya?
Apakah perjuangannya akan diwarnai oleh pertumpahan darah
seperti pernah dikatakan Sri Mangana saat ia menyampaikan
gagasan membangun tatanan baru?

Ketika malam menghiasi langit Caruban Larang dengan taburan


bintang-gemintang yang berkilau-kilau cemerlang, Abdul Jalil
berdiri tegak di samping Sri Mangana yang menatap nanar para
santri Giri Amparan Jati yang tengah menimbuni pendharmaan
Bhattari Prthiwi di Kabhumian dengan tanah. Malam itu, sesuai
petunjuk arwah Bhattari Prthiwi, Syiwalingga yang dibawa Abdul
Jalil dari puncak Gunung Pulasari telah disatukan dengan yoni
perlambang pemujaan Shang Bhumi. Sesuai keinginan
almarhumah yang tidak ingin diganggu lagi oleh para keturunannya
maka Abdul Jalil pun menimbun pendharmaan tersebut.

Menurut rencana, di sebelah utara bekas pendharmaan itu akan


dibangun tajug. Ketika sepintas melihat pandangan mata Sri
Mangana, Abdul Jalil memahami ada semacam beban yang
menggelayuti perasaan ayahanda asuhnya. Penimbunan
pendharmaan itu bukan hanya memisahkan ikatan Sri Mangana
dengan leluhurnya, melainkan juga terkait dengan kedudukannya
944
sebagai chakrabhumi. Untuk menghibur sekaligus menyadarkan
ayahanda asuhnya, Abdul Jalil berkata seolah-olah ditujukan
kepada diri sendiri, “Orang-orang Sunda, seperti orang-orang
Jawa, tidak memperbolehkan arwah leluhurnya beristirahat di alam
keabadian dengan tenang. Mereka selalu memaksa arwah
leluhurnya untuk memenuhi semua keinginan dengan cara
membuat senang arwah leluhur lewat sesaji, puji-pujian, dan doa.
Sementara itu, mereka tidak mengetahui apa sesungguhnya yang
sedang dialami oleh leluhurnya di alam kubur.”

Mendengar ucapan Abdul Jalil, Sri Mangana menarik napas berat


dan mengembuskannya keras-keras lewat hidung. Kemudian
dengan suara berat ia berkata, “Sesungguhnya aku sadar bahwa
sudah selayaknya arwah leluhurku Bhattari Prthiwi beristirahat di
alam keabadian. Namun, entah kenapa di dalam benakku masih
terbayang sesuatu yang kuat tentang pendharmaannya.”

“Kenangan memang sulit dihapuskan, apalagi jika terekam sejak


masa kecil,” ujar Abdul Jalil menjelaskan. “Sebab, kenagan ibarat
bayangan yang terus mengikuti kemanapun kita pergi.”

“Itulah yang jadi masalahku sekarang ini.”

“Ramanda Ratu ingat cerita saat Rasulullah Saw. mendakwahkan


Islam pertama kali?”

945
“Ya, kenapa?”

“Jika Ramanda Ratu mencermati para pengikut Nabi Muhammad


Saw. yang disebut as-sabiqun awwalun maka Ramanda Ratu akan
mendapati betapa bagian terbesar dari pengikut beliau tersebut
adalah kalangan muda, sedangkan pihak-pihak yang menentang
dan memusuhi beliau saat itu dipelopori orang-orang lanjut usia.”

Apakah maknanya itu, o Puteraku?”

“Kalangan muda yang menerima ajakan Islam sesungguhnya


bukan saja disebabkan oleh hidayah yang mereka terima dari Allah
SWT, melainkan rekaman kenangan mereka terhadap ajaran yang
menganggap Tuhan berbentuk batu dan kayu yang dipahat itu
belum terlalu kuat berurat dan berakar. Sementara kalangan tua
yang memusuhi Nabi Muhammad Saw. selain tidak beroleh
hidayah dari Allah SWT, juga rekaman kenangan terhadap ajaran
lama mereka sudah berurat akar selama puluhan tahun. Bahkan
pamanda Nabi Muhammad Saw., Abu Thalib, yang berjiwa mulia
dan selalu membela dan melindunginya, tergolong kalangan tua
yang sudah tercekam oleh ajaran lama tersebut sehingga dia sulit
melepaskannya.”

“Jika demikian, berarti rekaman kenangan itu sangat menentukan


bagi kita dalam menuju-Nya.”

946
“Memang demikian adanya, Ramanda Ratu,” kata Abdul Jalil.
“Bukankah saat menjelang ajal seseorang ditentukan oleh
rekaman kenangannya? Bukankah karena alasan itu jua jarang
sekali kita jumpai orang menghadapi sakaratul maut dengan hanya
mengingat Allah SWT? bukankah karena alasan itu Rasulullah
Saw menjamin bahwa barang siapa di antara manusia pada akhir
hayatnya bisa mengucap ‘tidak ada Tuhan selain Allah’ – la ilaha
illa Allah – bakal masuk surga Allah tanpa hisab?”

“Jika demikian, adakah cara yang bisa dilakukan untuk menghapus


rekaman kenangan dari ingatan kita?” Sri Mangana minta
penjelasan. “Jujur saja aku katakan, saat ini aku masih sulit
melepas pengaruh berbagai ajaran yang kuserap dari lingkungan
sekitarku.”

“Hanya dengan bimbingan (huda) dari Allah SWT yang mengalir


dari rahmah-Nya maka semua kenangan manusia yang kuat dapat
menyingsing sehingga terbentang jalan lurus menuju hadirat-Nya,”
ujar Abdul Jalil. “

Bagaimana caranya agar kita bisa mendapat bimbingan dan


rahmah-Nya?” “

Bukankah Ramanda Ratu sesungguhnya sudah berada di bawah


bimbingan-Nya? Bukankah Ramanda Ratu sudah sampai pada

947
tanah sekat (barzakh) di antara dua lautan dan bahkan telah
bertemu Nabi Khidir a.s.?”

“Aku sendiri heran, kenapa perjalananku bisa terhenti dasn aku


merasa seolah-olah tidak beranjak ke mana-mana. Maju tidak
mundur pun tidak. Apa yang sesungguhnya sedang aku alami?”

“Menurut hemat ananda, wirid yang Ramanda Ratu amalkan


mungkin hanya bisa mengantarkan Ramanda Ratu sampai
menembus tirai Kebenaran Ilahi.”

“Maksudnya bagaimana?” tanya Sri Mangana heran.

“Sesungguhnya, wirid diamalkan agar orang beroleh karunia


ruhani. Suatu karunia ruhani dapat menyebabkan kegaiban
(ghaibah), namun dapat juga menyebabkan kegilaan (majnun).
Jadi, wirid yang Ramanda Ratu amalkan sesungguhnya telah
berhasil mendatangkan kegaiban bagi Ramanda Ratu. Sehingga,
ya sudah, sampai di kegaiban itu saja anugerah dari-Nya
melimpahi Ramanda Ratu.”

“Kenapa aku tidak bisa melanjutkan perjalanan ruhaniku?”

948
“Sebab, yang Ramanda Ratu pahami selama ini memang terbatas
pada keinginan beroleh karunia ruhani dari Allah SWT.. Artinya,
Ramanda Ratu sesungguhnya tidak berjuang menuju Dia,” ujar
Abdul Jalil.

“Astaghfirullah!” seru Sri Mangana dengan nada menyesal.


“Sungguh bodoh aku. Selama ini aku tidak membedakan antara
berjalan menuju karunia-Nya atau menuju Dia.”

“Sesungguhnya bukan masalah bodoh atau tidak bodoh, Ramanda


Ratu. Tetapi, Allah SWT. memang belum menetapkan waktu yang
tepat bagi Ramanda Ratu untuk berjalan lurus ke arah-Nya.
Sesungguhnya Guru Agung Syaikh Datuk Kahfi pernah menyuruh
ananda untuk mengingatkan Ramanda Ratu tentang hal ini.
Namun, saat itu ananda merasa waktunya belum sesuai dengan
yang dikehendaki-Nya, di samping ananda juga merasa segan
sebagai anak menggurui ayahnya.”

“Sesungguhnya tidak perlu ada perasaan segan atau tidak segan


dalam masalah ini. Bukankah jalan ruhani tidak dibatasi usia dan
tidak pula dibatasi oleh kedudukan ayah dan anak? Karena itu, aku
memohon kepada engkau, o Puteraku, untuk mengajarkan
kepadaku Jalan Lurus menuju-Nya.”

“Ananda tidak akan menjadikan Ramanda Ratu sebagai murid,”


kata Abdul Jalil. “Sebab, Ramanda Ratu sudah berjalan jauh
949
hingga di perbatasan antara dua lautan. Jadi, ananda hanya akan
memberi sebuah petunjuk yang bisa digunakan untuk meniti
jembatan (shirath) ajaib ke arah-Nya. Ananda katakan ajaib karena
jembatan itu bisa menjauhkan sekaligus mendekatkan jarak
mereka yang meniti dengan tujuan yang hendak dicapai.” “

Sebagaimana kisah Nabi Musa a.s. dalam perjalanan mencari


Khidir a.s., jembatan itu memiliki empat bagian matra yang masing-
masing memiliki pintu. Pertama, matra istighfar yang berisi
perlambang Nabi Musa a.s. bersama pemuda (al-fata) menjumpai
Khidir a.s. di perbatasan antara dua lautan. Kedua, matra salawat
yang berisi perlambang Khidir a.s. melubangi perahu. Ketiga,
matra tahlil yang berisi perlambang Khidir a.s. membunuh anak.
Keempat, matra nafs al-haqq yang berisi perlambang Khidir a.s.
menegakkan dinding yang di bawahnya tersembunyi
Perbendaharaan.” “

Apakah penjelasan dari makna perlambang matra istighfar?” “

Bagi kalangan awam, istighfar lazimnya dipahami sebagai upaya


memohon ampun kepada al-Ghaffar sehingga mereka beroleh
ampunan (maghfirah). Tetapi bagi para salik, istighfar adalah
upaya memohon pembebasan dari ‘belenggu’ keakuan kepada al-
Ghaffar sehingga beroleh maghfirah yang menyingkap tabir ghain
yang menyelubungi manusia. Sesungguhnya, di dalam Asma’ al-
Ghaffar terangkum makna Maha Pengampun dan juga makna

950
Maha Menutupi, Maha Menyembunyikan dan Maha
Menyelubungi.” “

Sesungguhnya perjalanan Ramanda Ratu telah sampai ke bagian


jembatan yang disebut matra istighfar. Tabir ghain yang
menyelubungi keakuan Ramanda Ratu telah menyingsing.
Ramanda Ratu telah menyaksikan Khidir a.s.. Namun, karena
Ramanda Ratu terperangkap pada keinginan untuk beroleh
karunia-Nya, maka Ramanda Ratu hanya berputar-putar di matra
istighfar yang penuh diliputi gambaran-gambaran indah karunia-
Nya.” “

Itulah kekeliruan yang baru aku sadari sekarang ini,” kata Sri
Mangana. “Tapi, bagaimana caraku meninggalkan matra istighfar
menuju matra salawat? Apakah makna perlambang matra
salawat?” “

Melubangi perahu seperti yang dilakukan Khidir a.s.,” kata Abdul


Jalil menjelaskan. “

Kenapa perahu harus dilubangi?” “

Tanpa melubangi perahu, sang salik tidak akan mengetahui


hakikat sejati Lautan Wujud (bahr al-wujud). Tanpa melubangi
perahu maka kedudukan salik tidak jauh berbeda dengan
951
kedudukan para nelayan; memanfaatkan perahu untuk mencari
ikan (pahala) dan berbagai karunia-Nya yang terhampar di
permukaan Lautan Wujud, yang selain bergelombang dahsyat juga
berisiko dihadang Sang Rajadiraja (al-Malik al-Mulki) yang setiap
saat akan merampas perahu-perahu yang baik.” “

Di antara salawat ini sang salik harus menyadari kehambaannya


kepada Yang Maha Terpuji (Ahmad) sebagai Sumber segala
kejadian. Di matra itu sang salik harus menjadi ghulam yang baik
dan berbakti kepada Sumbernya, yakni pancaran Air Kehidupan
yang mengalir dari lubang perahu yang dibuat Khidir a.s.. Ghulam
yang durhaka dan mengingkari kehambaannya kepada Yang
Terpuji harus dibunuh. Sang salik yang tenggelam ke dalam matra
salawat ini disebut fana ke dalam Rasulallah (fana fi rasul),” papar
Abdul Jalil. “

Aku paham, Air Kehidupan yang memancar dari lubang itu


sesungguhnya sama hakikatnya dengan Air Kehidupan yang
tergelar di hamparan Lautan Wujud. Walau demikian, tanpa
melalui Air Kehidupan yang mengalir dari lubang maka salik tidak
akan mencapai Air Kehidupan yang tergelar di Lautan Wujud.
Benar demikian, o Puteraku?” “

Benarlah demikian, o Ramanda Ratu.” “

Sekarang terangkanlah kepadaku tentang matra tahlil.” “


952
Matra tahlil adalah matra Keesaan. Matra Tauhid. Inilah matra
Kesatuan Wujud; Lautan Wujud sama hakikatnya dengan Air
Kehidupan. Ibarat ungkapan kesaksian tidak ada ilah selain Allah
(la ilaha illa Allah), demikianlah di matra ini terungkap kesaksian
tidak ada air lain yang tergelar di hamparan Lautan Wujud kecuali
Air Kehidupan (Ab al-Hayy) yang mengalir dari Sang Hidup (al-
Hayy). Inilah matra yang diibaratkan dalam perlambang dinding
yang ditegakkan Khidir a.s. yang di bawahnya tersembunyi
Perbendaharaan.” “

Jika demikian, apakah makna matra nafs al-haqq?” “

Matra nafs al-haqq adalah matra rahasia yang tidak bisa diuraikan.
Sebab, matra ini menyangkut Perbendaharaan Tersembunyi yang
terdapat di bawah dinding. Tak ada satu pun di antara makhluk
yang mengetahui keberadaan-Nya, kecuali memang dikehendaki-
Nya. Jika Al-Qur’an saja tidak memberikan penjelasan tentang apa
sesungguhnya Perbendaharaan, tentunya manusia tidak boleh
mengkhayal-khayal tentang Perbendaharaan itu. Gambaran Nabi
Musa a.s. yang berpisah dengan Khidir a.s. di matra itu adalah
kearifan dari Sang Pencerita untuk tidak mengungkapkan apa yang
tidak dapat dipahami pendengar-Nya.” “

Aku kira, aku sudah paham dengan uraianmu, o Puteraku,” kata


Sri Mangana. “Sekarang bimbinglah aku ke dalam perjalanan
meniti jembatan (shirath) itu menuju-Nya.”

953
Khotbah Pembaharuan

Ketika Abdul Jalil kembali ke Lemah Abang


dengan diikuti Abdul Malik Israil, Ballal
Bisvas, Syarif Hidayatullah, Raden Sahid,
Raden Qasim, Abdurrahman Rumi, dan
Abdurrahim Rumi, ia sangat terkejut
menyaksikan tempat yang ditinggalkannya
tak lebih dari dua bulan itu sudah berubah menjadi desa hunian
yang ramai. Tajug Agung dengan tujuh rumah di kanan dan kirinya,
yang merupakan hunian pertama di Lemah Abang, tiba-tiba sudah
dikepung oleh ratusan rumah dengan beberapa warung dan pasar
desa. Ia masih terheran-heran ketika wajah-wajah baru penghuni
Lemah Abang dengan penuh hormat menyambut kedatangannya
dan menyatakan diri sebagai muridnya. Dengan sangat takzim
mereka memanggil Abdul Jalil dengan sebutan baru: Syaikh
Lemah Abang (Tuan Guru dari Lemah Abang).

Usai memimpin sembahyang berjama’ah di Tajug Agung, Abdul


Jalil menanyakan kepada murid-muridnya tentang perubahan di
Lemah Abang yang begitu mengejutkan. Para murid pun kemudian
menuturkan bagaimana perubahan menakjubkan itu terjadi. Meski
awalnya heran, dengan penjelasan para muridnya, Abdul Jalil
akhirnya memahami kenapa desa yang dibukanya bisa
berkembang begitu pesat dan menakjubkan.

954
Ternyata kunci pertumbuhan pesat Lemah Abang itu terletak pada
kebijakan Abdul Jalil sendiri yang menghibahkan tanah kepada
siapa saja yang berhasarat tinggal di tempat baru itu. Dalam waktu
kurang dari sebulan sejak ia berkeliling ke pedalalman Bumi
Pasundan, tutur para murid, tak kurang dari delapan puluh kepala
keluarga datang ke Lemah Abang. Mereka mendirikan rumah di
sekitar Tajug Agung dan mengubah padang alang-alang untuk
dijadikan lahan partanian. Dan jumlah itu terus bertambah dari
waktu ke waktu.

Abdul Jalil sendiri sesungguhnya sudah memperkirakan


kebijakannya membagi-bagikan tanah anugerah dari Sri Mangana
akan disambut gembira oleh para kawula Caruban Larang yang
belum mengenal hak kepemilikan. Namun, ia tidak pernah
membayangkan akan mendapatkan sambutan begitu gegap
gempita sehingga dalam waktu kurang dari tiga bulan sejak desa
litu dibuka dan pernyataan hibah itu disebarluaskan, Lemah Abang
talah menjadi desa ramai yang dihuni oleh sekitar seribu warga
dengan jumlah rumah sekitar dua ratus empat puluh. Seluruh tanah
yang dihibahkan dengan jumlah dua ratus jung (560 hektar) itu
sufah habis tanpa sisa. Menurut para murid, beberapa warga baru
yang tinggal di selatan pasar desa tidak kebagian tanah garapan.

Setelah mengetahui seluk beluk perkembangan Lemah Abang,


malam itu juga usai memimpin sembahyang isya, Abdul Jalil
berkhotbah di depan warga yang meluber hingga ke teras dan
halaman Tajug Agung. Dengan penampilan yang memesona
Abdul Jalil berkata, “Sekarang ini aku katakan kepada engkau
955
sekalian, o warga baru Lemah Abang, yang mengikrarkan diri
sebagai murid-muridku. Hal pertama yang wajib kalian ingat
sebagai murid adalah mengikuti ajaran-ajaran yang aku sampaikan
dengan baik dan penuh kepatuhan. Pelajaran pertama dariku yang
harus benar-benar kalian pahami serta kalian jadikan amaliah
dalam kehidupan sehari-hari adalah memegang teguh ajaran
tentang hakikat manusia dan tatanan hidup yang layak baginya.
Apakah kalian semua bersedia untuk menerima ajaranku itu?”

Bagikan gemuruh suara ribuan lebah, warga serantak menyatakan


kesediaan untuk menerima, mematuhi, dan mengamalkan ajaran
yang akan disampaikan oleh Syaikh Lemah Abang. Setelah suara
gaduh berlangsung beberapa bentar, keadaan tenang kembali.
Abdul Jalil kemudian melanjutkan khotbah.

“Pertama-tama, yang wajib kalian ketahui adalah ajaranku tantang


manusia. Sebagai murid-muridku, kalian wajib memiliki keyakinan
utama bahwa sejak manusia lahir di dunia yang fana ini tiap-tiap
pribadi memiliki fitrah keagungan dan kemuliaan sebagai makhluk
paling sempurna keturunan Adam a.s.. Sebagai makhluk paling
sempurna yang disebut adimanusia (al-insan al-kamil), kalian
semua dicipta oleh Allah dengan maksud dijadikan wakil-Nya di
muka bumi (khalifah Allah fi al-ardh).”

Sesungguhnya rahasia agung di balik kesemmpurnaan


adimanusia terletak pada kenyataan bahwa di dalam tubuh
manusia yang terbuat dari tanah liat tersembunyi ruh bersifat
956
Ilahiyyah yang ditiupkan oleh Allah saat penciptaan manusia
pertama. Oleh karena adanya tiupan ruh itu maka makhluk yang
sudah dicipta lebih dahulu, yaitu para malaikat, serentak sujud
kepada manusia pertama tersebut, yakni Adam a.s.. Iblis, makhluk
yang dicipta lebih dahulu dari Adam a.s., tetapi tidak mengetahui
tentang tiupan ruh tersebut, menolak sujud. Iblis menganggap
Adam a.s. hanyalah makhluk rendah yang terbuat dari anasir tanah
belaka. Lantaran sikapnya yang keras mengingkari keagungan dan
kemuliaan Adam a.s., Iblis dimurkai dan dilaknati Allah (QS Shad:
71 – 8 ).”

“Jika di dunia ini kalian menemukan ajaran, aturan, pandangan,


dan tindakan dari orang seorang yang mengingkari keagungan dan
kemuliaan manusia maka itulah cerminan dari sifat Iblis yang
terkutuk. Jika kalian mendapati ada ajaran yang menista manusia
sebagai makhluk rendah yang tubuhnya terbuat dari daging yang
bakal membusuk dan karenanya harus direndahkan maka itulah
ajaran Iblis. Jika kalian menemukan ada manusia yang suka
merendahkan dan menista sesamanya maka itulah manusia Iblis.
Pendek kata, apa pun yang terkait dengan penghinaan dan
penistaan atas hakikat manusia adalah bertentangan dengan
ajaranku.”

“Dengan memahami keyakinan bahwa manusia adalah wakil Allah


di muka bumi, maka hal pertama yang harus disadari oleh setiap
manusia yang mengaku muridku adalah membiasakan diri untuk
selalu menyatakan ikrar bismillah (dengan atas nama Allah) dalam
setiap gerak kehidupan yang dijalankannya. Dengan selalu
957
menyatakan ikrar bismillah dalam memulai segala pekerjaan
seperti makan, minum, mandi, bersolek, berpakaian, memasak,
berjalan, menaiki kendaraan, bergaul dengan istri, membaca kitab,
bahkan saat hendak tidur maka kalian akan selalu ingat dan sadar
bahwa kalian adalah wakil Allah di dunia ini. Sementara itu, dengan
melengkapi ucapan bismillah menjadi bismillahirrahmanirrahim
(dengan atas nama Allah Yang Maha Pemurah dan Maha
Penyayang), maka kalian akan selalu ingat dan sadar diri bahwa
kalian adalah wakil Yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang di
muka bumi (khalifah ar-Rahman wa ar-Rahim fi al-ardh). Itu berarti,
kalian akan selalu ingat bahwa dalam kehidupan di dunia ini kalian
wajib menjadi manusia yang memiliki sifat pemurah dan
penyayang sebagaimana sifat Dia yang kalian wakili. Sehingga,
dengan selalu ingat akan itu, kalian tidak akan berbuat aniaya di
muka bumi ini.”

“Tetapi, keyakinan bahwa manusia adalah makhluk paling


sempurna belum cukup untuk membuktikan keagungan dan
kemuliaan manusia sebagai wakil Allah di muka bumi. Karena, ruh
bersifat Ilahiyyah yang ada pada diri manusia banyak yang tidak
kuat menanggung beban yang dipikulkan oleh nafsu rendah badani
manusia. Ruh suci yang bersemayam di dalam diri manusia
banyak yang tak berdaya menghadapi kuasa nafsu badani
manusia yang rendah. Ruh suci yang tersembunyi di dalam hakikat
manusia banyak yang terperangkap di dalam jaring-jaring kejahilan
yang dicipta oleh nafsu rendah badani manusia.”

958
“Tahukah kalian apakah nafsu rendah badani manusia itu? Nafsu
rendah badani manusia adalah jiwa manusia yang cenderung
berhasrat kuat mencintai kebendaan. Akibat kecenderungannya itu
maka dia bertekuk lutut di hadapan manusia lain sambil berkata,
‘Bebanilah punggungku dengan kebohongan-kebohongan dan
janji-janji palsu, o Tuanku, agar aku dengan penuh sukacita dapat
memamerkan kesetiaanku kepada Tuan yang bisa memberiku
sekadar makanan dan benda-benda. Sesungguhnya aku adalah
jiwa keledai, jiwa unta, jiwa kuda beban yang akan menderita sakit
jika punggungku tidak Tuan bebani. Tubuhku akan merasa remuk
dan aku malas bekerja jika Tuan belum menderaku dengan
cambuk. Telingaku akan tuli dan jiwaku akan merana jika Tuan
belum mencacimakiku dengan hinaan.”

“Sesungguhnya nafsu rendah badani manusia selalu berubah-


ubah sesuai ruang dan waktu di mana ia berada. Jika di berbagai
negeri mereka selalu mengaku sebagai jiwa keledai, jiwa unta, jiwa
kuda, jiwa kuda beban yang selalu ingin memikul beban, maka di
Bumi Pasundan dan Majapahit mereka cenderung berkata begini,
‘Pasanglah kuk penarik bajak atau pedati yang terbuat dari
kebohongan dan janji palsu di punggungku, o Tuanku, agar aku
dapat membuktikan pengabdianku kepada Tuan yang memberiku
kandang dan pangan sekadarnya. Sesungguhnya aku adalah jiwa
kerbau, jiwa kuda penarik kereta, jiwa sapi perah, dan jiwa anjing
peliharaan yang akan menderita jika tidak menjalankan tugasku
sesuai perintah Tuan. Dera tubuhku dengan cambukmu agar aku
menjadi giat bekerja. Perah susuku agar aku menjadi sehat
sentosa.” “

959
Wahai saudara-saudaraku, warga Lemah Abang yang mengaku
murid-muridku, apakah engkau sekalian ingin selamanya menjadi
makhluk rendah pembawa beban seperti keledai, unta, kuda
beban, kerbau? Inginkah kalian selamanya berlutut di depan
manusia lain dengan beban di punggung? Inginkah kalian
selamanya menerima deraan, caci-maki dan hinaan dari
sesamamu?” “

Sebagai guru di antara manusia aku ajarkan kepada kalian bahwa


Adam a.s. tidak diciptakan oleh Allah untuk tujuan menjadi keledai,
unta, kuda beban, kerbau, sapi perah, dan anjing peliharaan bagi
makhluk lain. Adam a.s., leluhurmu, diciptakan oleh Allah menjadi
wakil Allah di muka bumi. Adam a.s. diciptakan untuk diagungkan
dan dimuliakan oleh makhluk lain.” “

Dengarlah, o Saudara-saudaraku, aku katakan kepada kalian


bahwa sejak saat ini kalian harus berani memulai perlawanan
terhadap kekuasaan nafsu rendah badani manusia yang
bersemayam di dalam dirimu sendiri. Lawanlah hantu buruk rupa
dari nafsu rendah badani kalian itu. Siram wajahnya yang dipulas
bedak kebohongan dan gincu kepalsuan itu dengan air keberanian
yang mengalir dari sungai kebenaran. Biarkan dia malu dengan
wajahnya yang buruk penuh pulasan itu. Sesungguhnya nafsu
badani yang mencengkeramkan kuku tajamnya yang beracun itu
adalah hantu yang selalu menakut-nakuti dirinya sendiri. Karena
itu, bentangkan cermin kebenaran di dalam jiwamu dan hadapkan
ke wajahnya agar ia malu melihat gambar dirinya sebagai keledai,
unta, kuda beban, kerbau, sapi perah, dan anjing peliharaan.”
960
“Ketahuilah, o Saudara-saudaraku, sesungguhnya hal yang paling
ditakuti oleh nafsu rendah badani adalah cermin kebenaran dan
udara kebebasan. Sebab, jiwa sejati dari nafsu rendah badani
adalah yang takut berkata benar dan ngeri hidup di alam
kebebasan. Sebagai seorang guru, aku katakan bahwa mulai
sekarang kalian harus melawan kekuasaan nafsu rendah badani
yang menjajah dirimu sendiri. Jangan biarkan ia mendiktemu untuk
tetap setia pada hasrat dan keinginan rendahnya yang akan
menjadikan kalian keledai, unta, kuda beban, kerbau, sapi perah,
dan anjing peliharaan. Kalian harus berjuang keras untuk
membangunkan ruh keagungan dan kemuliaan diri sebagai wakil
Allah di muka bumi. Kalian harus berjuang untuk mewujudkan diri
sebagai makhluk paling sempurna di antara makhluk-makhluk
yang lain. Perbaharuilah jiwamu yang lama dengan jiwa yang
baru!”

“Aku katakan kepada kalian, o Saudara-saudaraku, bahwa aku


mengajarkan manusia agar memiliki keberanian meninggalkan
dunia pengap dengan tatanan lama yang selama ini diikutinya
secara membuta berdasarkan petunjuk dari nafsu rendah badani.
Sebab, telah terbukti bahwa tatanan lama itu menyesatkan
manusia dari jalan yang benar, yakni jalan yang harus dilewati
wakil Allah di muka bumi. Tatanan lama itu telah memerangkap
manusia ke dalam kandang-kandang kotor yang diperuntukkan
bagi keledai, unta, kuda beban, kerbau, sapi perah, dan anjing
peliharaan. Karena itu, tinggalkanlah dunia pengap dengan
tatanan lama itu, meski nafsu rendah badani akan menghadang
dan menakut-nakutimu dengan ancaman kesulitan dan
kesengsaraan hidup di dunia.”
961
“Untuk meninggalkan tatanan lama yang menyesatkan itu, kepada
kalian aku beri tahu tentang empat jiwa yang menyemangati ruh
yang wajib kalian jadikan pusaka: dialah jiwa kebenaran, jiwa
keberanian, jiwa ketabahan, dan jiwa kebebasan. Dengan empat
jiwa yang menyemangati ruh itu, kalian akan dapat meninggalkan
nafsu rendah badani dan melintasi jiwa keledai, jiwa unta, jiwa kuda
beban, jiwa kerbau, jiwa sapi perah, dan jiwa anjing peliharaan.
Jika kalian berjuang keras bersama-sama dengan keempat jiwa
dari ruh itu maka kalian tidak hanya akan mengalahkan nafsu
rendah badani, tetapi juga dapat melampaui keberadaam kalian
sebagai manusia untuk menjadi adimanusia, yakni wakil Allah di
muka bumi yang membuat para malaikat bersujud.”

Bagaikan cahaya matahari terbit di pagi hari, khotbah yang


disampaikan Abdul Jalil menerangi cakrawala jiwa para
pendengarnya. Namun, Abdul Jalil sadar bahwa terang matahari
pengetahuan yang menyinari jiwa murid-muridnya adalah terang
mentari pagi yang masih diselimuti kabut dan embun. Abdul Jalil
paham tidak semua pendengar memahami khotbahnya. Itu
sebabnya, ia merasa berkewajiban untuk membuat lebih terang
cakrawala jiwa para pengikutnya. Sebagaimana khotbah pertama,
khotbah berikutnya disampaikan Abdul Jalil di Tajug Agung Lemah
Abang seusai memimpin sembahyang isya. Dengan pandangan
penuh kasih kepada para muridnya, ia memulai khotbah dengan
suara digetari perasaan lain.

“Seperti telah aku ajarkan kepada kalian, o Saudara-saudaraku,


bahwa fitrah dari Sang Pencipta (al-Khaliq) yang diberikan kepada
962
manusia adalah keagungan dan kemuliaan sebagai wakil Allah di
muka bumi. Itu sebabnya, setiap orang yang mengaku sebagai
muridku hendaknya memulai hidup baru dengan pandangan dan
sikap hidup yang baru pula. Mereka yang mengaku muridku wajib
menyadari keberadaan dirinya sebagai manusia yang memiliki
‘kuasa-kuasa kodrati’ untuk menjadi adimanusia wakil Allah di
muka bumi.”

“Jika kalian telah sadar bahwa kalian adalah makhluk paling


sempurna yang bisa meraih kedudukan sebagai wakil Allah di
muka bumi, maka hendaknya masing-masing dari kalian
berpegang pada tatanan hukum Ilahi (syari’at) yang bersumber
dari sabda Allah dan teladan Nabi Muhammad Saw. (sunnah ar-
rasul). Tanpa menggunakan pedoman hukum Ilahi, kalian akan
kehilangan arah dalam usaha mewujudkan diri sebagai wakil Allah
di muka bumi. Bukankah di manapun manusia berada selalu diatur
oleh aturan-aturan hukum yang sesuai dengan lingkungannya?
Demikianlah, aku katakan bahwa hukum Ilahi merupakan
pedoman yang wajib diikuti oleh mereka yang meyakini bahwa
manusia adalah citra wakil Allah di muka bumi.”

“Dengan menyadari keberadaan diri sebagai calon adimanusia dan


wakil Allah di muka bumi, maka di dalam tatanan hukum Ilahi
termaktub larangan bagi siapa saja yang mengaku orang beriman
untuk berlutut dan bersujud kepada sesama makhluk di jagad raya
ini. Lantaran ketetapan hukum Ilahi seperti itu maka kalian – yang
yakin bahwa manusia dirancang sebagai wakil Allah di muka bumi
– dilarang berlutut dan bersujud menyembah pohon, batu,
963
kuburan, gunung, bulan, bintang, matahari, binatang, makhluk
gaib, dan sesama manusia. Sebab, tidaklah pantas seorang wakil
menyembah sesama wakil atau yang lebih rendah lagi.”

“Jika selama ini aku masih melihat sebagian dari kalian berlutut dan
menyembah raja-rajamu dan pemimpin-pemimpinmu maka mulai
sekarang semua itu hendaknya harus diubah. Sebab, tidak ada
tatanan hukum Ilahi yang ‘mengharuskan’ kalian berlutut dan
menyembah kepada selain Allah. Lantaran itu, semua kebiasaan
itu harus diperbaharui dengan tatanan baru yang sesuai dengan
kodratmu sebagi wakil Allah di muka bumi: jangan berlutut dan
menyembah sesuatu selain Dia yang telah mengangkatmu
sebagai waki-Nya.”

“Namun, dalam mengamalkan ajaran ini, kalian juga harus ingat


bahwa menurut tatanan hukum Ilahi terlarang bagi kalian untuk
mencela dan menista manusia lain yang masih melakukan
penyembahan kepada sesama makhluk ciptaan Allah. Tidak ada
hak bagi kalian untuk mencela orang lain yang tidak sepaham
dengan kalian. Sesungguhnya, bagi masing-masing kelompok
manusia telah terdapat ketentuan jalan masing-masing. Dan
sesungguhnya, segala sesuatu yang terkait dengan penyembahan
Allah adalah mutlak atas kehendak-Nya sendiri untuk disembah
dengan berbagai nama dan cara. Karena itu, kalian jangan
mencela cara-cara yang digunakan orang lain dalam menyembah
Allah yang tidak sesuai dengan caramu.”

964
“Jika ada di antara kalian yang bertanya bagaimanakah tatana baru
yang sesuai bagi para wakil Allah di muka bumi? Kukatakan
kepada kalian bahwa tatanan yang berlaku di kediaman kalian,
Lemah Abang ini, adalah bukti dari tatanan baru tersebut. Aku
katakan tatanan di Lemah Abang adalah tatanan baru sebab ia
adalah tatanan yang ditegakkan berdasarkan hukum Ilahi yang
diperuntukkan bagi para wakil Allah.”

“Jika selama ini kalian mengikuti tatanan lama secara membuta


maka sekarang kalian akan mengikuti tatanan baru yang
bersumber dari hukum Ilahi. Jika kalian belum paham dengan
tatanan baru yang aku maksudkan itu maka sekarang aku akan
menerangkan kepada kalian. Adapun tatanan baru yang
ditegakkan di Lemah Abang ini adalah tatanan yang berdiri di atas
asas-asas hukum Ilahi yang sesuai dengan fitrah wakil Allah di
muka bumi.”

“Sungguh telah terdapat tatanan lama, di berbagai belahan bumi,


yang menetapkan bahwa setiap penghuni sebuah negeri yang
bukan ‘raja’ adalah kumpulan manusia malang yang telah ditekuk
oleh kebohongan yang mengatakan bahwa mereka adalah keledai,
unta, kuda beban, kerbau, sapi perah, dan anjing peliharaan yang
setia. Di Bumi Pasundan dan Majapahit, misalnya, mereka itu
disebut kawula (budak) yang tidak diakui keberadaannya sebagai
pribadi manusia. Lantaran itu, mereka tidak mempunyai hak apa
pun atas hidupnya sendiri. Sementara raja dan keluarganya serta
orang-orang di sekitarnya, setiap saat dan setiap tempat dapat

965
mengambil apa saja yang dimiliki kawula, termasuk mengambil
nyawa tanpa hak.”

“Tatanan yang tidak memanusiakan manusia itulah yang harus


ditingglkan karena tatanan itu menista dan merendahkan harkat
dan martabat manusia. Ya, tatanan lama bikinan manusia itulah
yang harus diperbaharui oleh tatanan yang bersumber dari sabda
Allah dan teladan hidup Nabi Saw.. Karena terbukti sudah bahwa
tatanan lama itu menjerumuskan manusia dari kedudukan wakil
Allah di muka bumi menjadi kawanan keledai, unta, kuda beban,
kerbau, sapi perah, dan anjing peliharaan yang hina dina yang
menggantungkan hidup kepada tuannya.”

“Sebagai bukti adanya tatanan baru yang bersumber dari hukum


Ilahi di Lemah Abang, desa yang baru kita bangun dengan cucuran
keringat kita sendiri ini, berlaku ketentuan mutlak yang mewajibkan
setiap orang yang mengaku muridku untuk meninggalkan mimpi
buruk itu. Semua muridku wajib meninggalkan tatanan lama yang
dibangun di atas kebohongan dan dusta itu. Aku katakan sekali
lagi, setiap warga Lemah Abang atau setiap orang yang mengaku
muridku tidak boleh lagi tunduk dan patuh pada tatanan yang
dibangun oleh para pendusta. Murid-muridku tidak boleh
membiarkan dirinya dijadikan keledai, unta, kuda beban, kerbau,
sapi perah, dan anjing peliharaan yang tunduk di bawah kekuasaan
manusia lain.”

966
“Keberadaan masing-masing pribadi manusia sebagai calon wakil-
wakil Allah di muka bumi, di Lemah Abang ini, wajib diakui,
dihargai, dan dihormati. Itulah asas tatanan baru berdasar hukum
Ilahi yang aku maksud. Ingat-ingat! Siapa saja yang berada di
Lemah Abang ini sama kedudukan dan derajatnya sebagai
manusia. Semua sesaudara, keturunan Adam a.s.. Sebagaimana
para raja yang menyatakan diri mereka sebagai pengejawantahan
Tuhan di dunia, begitulah semua manusia di Lemah Abang ini
harus dipandang sebagai pengejawantahan Tuhan di dunia. Di
Lemah Abang ini setiap manusia adalah wakil Tuhan di muka bumi.
Di Lemah Abang ini tidak ada raja dan tidak ada kawula. Tidak ada
gusti dan tidak ada hamba sahaya. Semua manunggal sebagai
anak cucu Adam a.s.. Semua adalah sesaudara karena semua
berkedudukan sebagai wakil Allah.”

“Jika di antara kalian ada yang bertanya apakah tatanan baru ini
adalah hasil olah pikiran Syaikh Lemah Abang sendiri? Aku
katakan kepada kalian bahwa seribu tahun silam peraturan ini
sudah pernah oleh seorang laki-laki buta huruf yang agung dan
mulia di kota bernama Yatsrib yang terletak di negeri Arabia. Beliau
adalah Nabi Muhammad Saw.. Saat itu tidak ada perbedaan
derajat antara Bilal bin Rabah yang bekas budak dan bangsawan
serta saudagar kaya seperti Utsman bin Affan. Setiap manusia
dihargai sebagai pribadi yang utuh. Beliau mengajarkan tiap-tiap
manusia baik raja maupun budak akan diminti
pertanggungjawaban secara pribadi atas segala apa yang telah
diperbuatnya selama hidup di dunia.”

967
“Dengan memahami bahwa tatanan yang berlaku di Lemah Abang
ini hanya meniru tatana hukum Ilahi yang sudah pernah diterapkan
seribu tahun silam maka sesungguhnya tatanan ini tidaklah baru.
Jikalau aku sebut tatanan ini baru karena memang baru di Bumi
Pasundan dan Majapahit. Sebagaimana saat tatanan itu
diterapkan pada zaman Nabi Muhammad Saw., saat sekarang pun
tatanan itu banyak menghadapi tantangan dan rintangan. Sebab,
dengan tatanan baru itu sesungguhnya sangat banyak para
pendusta dan pencinta nafsu duniawi akan dirugikan. Lantaran itu,
kalian harus menyiapkan dan menyiagakan diri untuk berhadapan
dengan mereka yang mengutuki tatanan baru yang kita berlakukan
di Lemah Abang ini.”

Abdul Jalil berhenti sejenak sambil matanya menyapu ke halaman


Tajug Agung yang penuh disesaki warga. Ia meninggalkan mimbar
dan berjalan ke arah teras Tajug Agung. Setelah berdiri dan
menarik napas panjang, ia melanjutkan khotbahnya dengan suara
yang lain.

“Wahai saudara-saudaraku, warga Lemah Abang yang mengaku


muridku, kepadamu aku akan menerangkan dan menjabarkan
tentang makna adimanusia sebagai wakil Allah di muka bumi dan
tatanan hukum Ilahi yang menyertainya sebagai keniscayaan yang
harus diwujudkan dalam sehari-hari. Kenapa ini harus
kujelasjabarkan kepada kalian? Karena hanya dengan memahami
apa yang akan aku jelaskan dan jabarkan ini, kalian semua akan
beroleh keselamatan hidup yang sejati.”

968
“Pertama-tama, hendaknya kalian semua menyadari bahwa
dengan menduduki derajat adimanusia dan menyandang jabatan
wakil Allah di muka bumi, sesungguhnya secara fitrah keberadaan
kalian merupakan manusia menyandang nama (asma’), sifat
(shifat), perbuatan (af’al) Allah. Maksudnya, dengan didudukkan
pada derajat adimanusia, sesungguhnya kalian memancarkan citra
makhluk mulia yang mewakili Yang Mahasempurna di muka bumi
(khalifah al-Kamal fi al-ardh), yaitu pancaran citra wakil Allah di
muka bumi (khalifah Allah fi al-ardh).”

“Dengan menyadari bahwa antara adimanusia dan wakil Allah di


muka bumi adalah sama pada makna hakiki dalam asma’, shifat,
dan af’al maka sesungguhnya tiap-tiap manusia secara fitrah juga
menduduki jabatan wakil Yang Zahir di muka bumi (khalifah azh-
Zhahir fi al-ardh), wakil Yang Batin di muka bumi (khalifah al-Bhatin
fi al-ardh), wakil Yang Maha Menguasai di muka bumi (khalifah al-
Malik fi al-ardh), wakil Yang Maha Pemberi Rezeki di muka bumi
(khalifah al-Razaq fi al-ardh), wakil Yang Maha Pemurah di muka
bumi (khalifah ar-Rahman fi al-ardh), wakil Yang Maha Menghakimi
di muka bumi (khalifah al-Hakam fi al-ardh), wakil Yang Maha
Memelihara di muka bumi (khalifah al-Hafizh fi al-ardh), dan
seterusnya. Dan semua makna hakiki asma’, shifat, dan af’al itu
menyatu secara seimbang dan sempurna pada citra al-Haqq yang
ditiupkan oleh-Nya saat menyempurnakan kejadian wakil-Nya.
Sehingga, hakikat sejati keberadaan manusia sebagai wakil Allah
di muka bumi sesungguhnya tercitrakan secara utuh pada
kedudukan wakil al-Haqq di muka bumi (khalifah al-Haqq fi al-
ardh).”

969
“Dengan memahami dan menyadari bahwa tiap-tiap manusia
adalah wakil al-Haqq di muka bumi maka keberadaan tiap-tiap
manusia wajib diakui, dihargai, dan dihormati sebagai pribadi yang
memiliki hak-hak fitrah sebagai makhluk paling sempurna.
Tahukah kalian apa yang dinamakan hak-hak filtrah manusia
sebagai wakil al-Haqq? Yaitu, hak diakui keberadaannya melalui
kebebasan menyampaikan Kebenaran. Itulah hak paling fitrah dari
wakil al-Haqq di muka bumi yang wajib dihargai dan dihormati.”

“Tidak peduli seseorang berkedudukan sebagai raja, pangeran,


nayakapraja, pedagang, petani, kuli, bahkan budak sekalipun,
secara fitrah memiliki hak untuk bebas menyatakan kebenaran.
Sebab, dengan menyatakan Kebenaranlah sesungguhnya orang-
seorang diakui keberadaannya sebagai manusia. Bahkan, yang
dianggap paling mulia di antara wakil al-Haqq dalam mewujudkan
hak fitrahnya adalah mereka yang berani menyampaikan
Kebenaran kepada penguasa zalim yang tidak mengakui hak
manusia lain. Sesungguhnya, mengingkari keberadaan manusia
sebagai pribadi yang mewakili al-Haqq di muka bumi adalah sama
artinya dengan mengingkari keberadaan al-Haqq. Itu sebuah
kekufuran yang wajib ditentang dan dijauhkan dalam kehidupan.”

“Tahukah kalian apa yang disebut mengakui, menghargai, dan


menghormati keberadaan tiap-tiap pribadi manusia yang
mempunyai hak fitrah untuk bebas menyuarakan Kebenaran? Jika
engkau mengakui keberadaan seekor burung dan membiarkannya
berkicau maka itulah yang kuibaratkan dengan mengakui,
menghargai, dan menghormati keberadaan tiap-tiap pribadi
970
manusia. Sebab, kicau burung adalah suara Kebenaran yang
dinyanyikan lewat bahasa burung. Demikianlah, mengakui,
menghargai, dan menghormati manusia sebagai wakil al-Haqq di
muka bumi adalah seibarat engkau mengakui keberadaan burung
yang bebas membuat sarang untuk berkembang biak dan bebas
berkicau di tempat mana pun di muka bumi. Sungguh merupakan
kezaliman jika dengan kekuatan tanganmu engkau rusakkan
sarang burung dan engkau larang burung-burung berkicau memuji
keagungan Penciptanya.”

“Pada masa lalu, barang seribu tahun silam, pengakuan terhadap


keberadaan manusia sebagai wakil al-Haqq di muka bumi pernah
diterapkan oleh Nabi Muhammad Saw. yang dilanjutkan oleh
keempat sahabat yang menjadi penerusnya. Saat itu tiap-tiap
manusia dihargai dan dihormati haknya untuk menyuarakan
Kebenaran. Itu sebabnya, seorang bekas budak berkulit hitam
yang menyampaikan gagasan adzan, cara memanggil orang untuk
bersembahyang, oleh Nabi Muhammad Saw. diterima dan
dijadikan bagian dari peribadatan yang berlaku sampai sekarang
ini. Karena itu, setiap kali kalian mendengar suara adzan
dikumandangkan, hendaknya kalian mengingat bahwa penggagas
panggilan untuk bersembahyang itu bukanlah raja dan bukan pula
bangsawan, melainkan bekas budak kulit hitam bernama Bilal bin
Rabah.”

“Sebagai bukti lain bahwa keberadaan tiap-tiap pribadi manusia


diakui sebagai wakil al-Haqq di muka bumi adalah kisah yang
menuturkan tentang seorang sahabat Nabi yang buta bernama
971
Ibnu Maktum. Karena Nabi Muhammad Saw. sempat
mengabaikan manusia buta itu dan lebih mengutamakan
bangsawan Quraisy maka beliau ditegur Allah. Lantaran itu, setiap
kali Nabi bertemu Ibnu Maktum, beliau selalu berkata, “Wahai
sahabat, yang membuatku ditegur Tuhanku.”

“Dengan apa yang telah aku paparkan ini, jelaslah sudah bahwa
pengakuan, penghargaan, dan penghormatan terhadap manusia
sebagai wakil al-Haqq di muka bumi adalah semata-mata atas
kehendak-Nya. Itu sebabnya, Nabi Muhammad Saw. sebagai
penyampai Kebenaran Ilahi menjalankan amanah-Nya itu dengan
sempurna. Dan karena aku adalah ulama pewaris Nabi (al-ulama’
waratsat al-anbiya’) maka aku pun berkewajiban untuk meneladani
beliau. Kalian sebagai murid-muridku hendaknya mengikuti
jejakku, yaitu mengakui, menghargai, dan menghormati manusia
lain terutama suara Kebenaran yang disampaikannya.” “

Jika selama ini baik di Bumi Pasundan maupun Majapahit terdapat


tatanan yang mengatur bahwa siapa pun di antara kawula tidak
mempunyai hak apa-apa, karena yang memiliki hak atas segala
hak adalah raja, maka kukatakan kepada kalian bahwa tatanan itu
sekarang sudah diubah di Lemah Abang ini. Tatanan usang itu
harus diperbaharui. Jika selama ini terdapat tatanan yang
menetapkan bahwa siapa pun di antara kawula tidak memiliki hak
untuk menyuarakan Kebenaran, karena yang berhak mengatakan
ini dan itu tentang Kebenaran hanya sang raja, maka kukatakan
bahwa tatanan itu pun harus diperbaharui. Maksudku, sejak ini,
diawali di Lemah Abang, tidak boleh lagi ada anggapan bahwa
972
yang diakui keberadaannya hanya sang raja, yang wajib didengar
kata-katanya sebagai titah hanya sabda sang raja.”

“Untuk membuktikan bahwa apa yang telah aku sampaikan


bukanlah angan-angan kosong dan bukan pula impian pembual, di
Lemah Abang ini akan menerapkan peraturan yang mengakui,
menghargai, dan menghormati tiap-tiap pribadi manusia sebagai
wakil al-Haqq di muka bumi. Di Lemah Abang ini kalian semua
diakui sebagai pribadi-pribadi yang mempunyai hak untuk
menyampaikan Kebenaran.”

“Hal kedua yang wajib kalian ketahui sebagai wakil al-Haqq di


muka bumi adalah keberadaan kalian diakui dalam hal ‘hak milik’
atas sesuatu. Di Lemah Abang ini, ibarat burung yang memiliki
sarang dan bebas berkicau, kalian pun telah diakui memiliki
sebidang tanah, sepetak rumah, dan harta secukupnya yang bisa
kalian jadikan sarana untuk kehidupan kalian di dunia yang fana.
Kalian pun dengan bebas dapat menyuarakan Kebenaran. Di
Lemah Abang ini hak masing-masing manusia dihargai dan
dihormati karena masing-masing warga sadar bahwa semua
adalah wakil al-Haqq.”

“Jika kepada kalian ada yang bertanya kenapa di Lemah Abang


masing-masing warga memiliki sebidang tanah, sepetak rumah,
dan harta benda? Katakan kepada penanya itu bahwa kalian
adalah wakil al-Haqq dan sekaligus wakil al-Malik. Sesungguhnya
sedikit ‘hak milik’ dalam bentuk tanah, rumah, dan harta yang
973
kalian punyai adalah bagian dari lambang keberadaan kalian
sebagai wakil Yang Maha Memiliki (khalifah al-Malik fi al-ardh). Jika
Yang Maha Memiliki (al-Malik) adalah Pemilik alam semesta maka
sebagai wakil-Nya di muka bumi, fitrah kalian adalah memiliki
sebagian kecil milik-Nya sebagai amanat untuk menguji kesetiaan
kalian dalam menjalankan tugas sebagai wakil-Nya.”

“Kenapa kepemilikan tanah, rumah, dan harta para muridku aku


sebut dengan istilah ‘hak milik’ dari wakil al-HaqqI dan wakil al-
Malik? Sebab untuk menjaga keseimbangan tatanan kehidupan
wakil-wakil Allah di muka bumi, citra al-Haqq dan al-Malik tidak bisa
dipisahkan. Maksudnya, jika kalian hanya menganggap dirimu
sebagai wakil al-Malik maka engkau akan cenderung memiliki
segala sesuatu dengan tanpa hak. Engkau cenderung menyamai-
Nya sebagai pemilik segala. Dan, engkau akan cenderung
melanggar hak sesamamu. Jika itu yang terjadi maka timbullah
kekacauan di dalam tatanan kehidupan bersama karena wakil al-
Malik telah menjadi pesaing dari al-Malik. Ujung dari semua itu
adalah keterjerumusan manusia dari kedudukan wakil al-Malik di
muka bumi menjadi budak nafsu rendah badani. Lantaran
keberadaan manusia adalah sebagai wakil al-Haqq dan sekaligus
wakil al-Malik maka manusia wajib mengikuti tatanan hukum Ilahi
yang menetapkan ketentuan halal, haram, dan syubat dalam hal
perolehan ‘hak milik’ para wakil Allah di muka bumi.”

“Dengan memahami bahwa di Lemah Abang ini kalian telah


mempunyai tanah, rumah, dan harta sebagai ‘hak milik’ maka
hendaknya kalian pertahankan hak milik itu sebagai pusaka.
974
Karena tanah, rumah, dan harta yang kalian miliki itu diamanatkan
al-Haqq dan al-Malik untuk wakil-Nya di muka bumi. Siapa pun di
antara manusia yang akan merampas hak milik kalian, hendaknya
kalian lawan mereka dengan sekuat daya dan segenap kekuatan.
Sebab, dengan melawan para perampas itu maka kalian
sesungguhnya telah menunjukkan keberadaan diri sebagai wakil
al-Haqq dan wakil al-Malik.”

“Tetapi, perlu kalian pahami bahwa melawan para perampas hak


kalian tidak selalu dengan cara mengangkat senjata dan bertempur
melawan mereka. Jika engkau berdiam diri, namun tidak
menjalankan titah dan keinginan para perampas itu, sesungguhnya
engkau telah melakukan perlawanan. Jika kalian mengajak mereka
mengadu hujjah dengan kata-kata maka sesungguhnya kalian
telah melakukan perlawanan juga. Dan jika kalian merasa kuat
untuk melawan kekuatan para perampas hak itu, bolehlah kalian
menggunakan kekerasan sebagaimana yang telah mereka
lakukan, namun jangan sampai melampaui batas. Jika kalian
terbunuh dalam mempertahankan hak milik kalian, maka kalian
termasuk syahid karena kalian terbunuh saat mempertahankan
amanat Allah secara benar.”

“Selain hak milik kalian atas tanah, rumah, dan harta benda
dihargai serta dihormati, hak milik kalian atas keluarga juga
dihargai dan dihormati di Lemah Abang ini. Sebab, kalian juga
adalah wakil Yang Maha Menjaga dan Maha Memberi
Kebahagiaan di muka bumi (khalifah al-Muhaimin fi al-ardh).
Sesungguhnya anak-anak dan istri kalian adalah titipan dari al-
975
Muhaimin yang diamanatkan kepada kalian, wakil-Nya, untuk
kalian jaga dan kalian bahagiakan. Sebagaimana hak milik kalian
atas tanah, rumah, dan harta benda, sebagai wakil al-Muhaimin
pun kalian tidak lepas dari kedudukan wakil al-Haqq. Kalian adalah
wakil al-Haqq dan wakil al-Muhaimin sekaligus. Sehingga, hukum
Ilahi menetapkan bahwa setiap manusia hendaknya membangun
keluarga dengan cara-cara yang hak.”

“Karena citra al-Haqq tidak terpisah dari citra al-Muhaimin dalam


pembentukan keluarga maka keluarga-keluarga yang diakui,
dihargai, dan dihormati di Lemah Abang ini adalah keluarga yang
dibangun atas asas-asas yang benar (haqq) menurut hukum Ilahi.
Istri yang kalian miliki, kalian jaga, dan kalian bahagiakan itu
wajiblah istri yang diperoleh dari hasil pernikahan yang sah
menurut syari’at agama. Peraturan lama yang mengatakan bahwa
istri harus diperoleh dengan cara membawa lari anak orang
sebagai lambang kejantanan, tidak berlaku di Lemah Abang ini.
Sebab, melarikan anak orang dan kemudian menyetubuhinya
tanpa akad nikah merupakan perbuatan zina. Anak yang lahir dari
hubungan seperti itu adalah anak haram (haram zadah).”

“Sungguh aku berpesan kepada kalian agar menjaga Lemah


Abang ini dengan baik. Jangan jadikan tempat ini sebagai tempat
perzinahan. Jangan jadikan tempat ini sebagai hunian anak-anak
haram hasil zina. Jangan jadikan tempat ini sarang penyamun,
kediaman manusia-manusia tamak yang suka merampas hak
orang lain. Dan yang penting kalian ingat, janganlah kalian tinggal
lebih lama lagi di tempat ini jika keinginan kalian sebagai wakil al-
976
Muhaimin telah menyimpang dari ketentuan yang ditetapkan al-
Haqq. Maksudnya jangan engkau jaga dan bahagiakan istri-istri
dan anak-anakmu dengan melanggar hak orang lain. Hiduplah
dengan hak sesuai hukum Ilahi.”

“Dengan menyadari keberadaan diri sebagai wakil al-Haqq, wakil


al-Malik, dan wakil al-Muhaimin, hendaknya kalian tidak sekali-kali
membiarkan orang lain merampas anak-anak dan istri kalian.
Mereka adalah ‘hak milik’ yang wajib kalian jaga dan kalian
bahagiakan. Karena itu, tolaklah siapa pun di antara manusia yang
meminta anak-anak dan istri kalian, apakah itu untuk alasan
mereka akan dijadikan gundik dan hamba raja atau dijadikan wadal
bagi pembangunan atau tumbal bagi upacara-upacara darah.
Tolak dan lawan para perampas hak itu. Pertahankan keluarga
kalian sebagaimana kalian mempertahankan hidup dan mati kalian
sebagai wakil al-Haqq, wakil al-Malik, dan wakil al-Muhaimin.
Dengan mempertahankan hak milik kalian atas keluarga,
sesungguhnya kalian telah mempertahankan amanat-Nya secara
hak. Jika kalian mati maka kalian akan tercatat sebagai syuhada.
Kalian akan mati syahid.”

Beberapa jenak Abdul Jalil berhenti. Dengan penuh kasih ia


menyapukan pandang ke murid-muridnya yang terperangah
seolah-olah menyaksikan dan mendengarkan dongeng yang
memesona. Kemudian dengan berapi-api ia meneruskan
khotbahnya.

977
“Satu hal lagi yang penting kalian ingat-ingat, bahwa sebagaimana
margasatwa yang bebas dalam menapaki kehidupannya, begitulah
hendaknya bagi tiap-tiap warga di Lemah Abang mempunyai hak
fitrah untuk memilih sesuatu yang sesuai dengan kehendaknya.
Warga Lemah Abang bebas memilih agama, cara mencari nafkah,
pemimpin, tatanan hidup, dan kumpulan yang sesuai keinginannya
selama tidak melanggar hak-hak manusia lain. Sesungguhnya,
dalam penciptaan wakil-Nya di muka bumi, Dia telah
menganugerahi manusia tangan, kaki, tubuh, nafsu, akal, dan ruh
sehingga manusia menjadi makhluk paling sempurna di jagad
raya. Kesempurnaannya itulah yang membedakan manusia
dengan makhluk lain dalam kewenangan memilih. Sebab,
keberadaan adimanusia juga menyandang atribut wakil Yang
Maha Menentukan di muka bumi (khalifah al-Muqtadir fi al-ardh).
Sehingga, dengan kedudukan itu tiap-tiap manusia secara fitrah
memiliki hak untuk memilih yang terbaik bagi dirinya sendiri
sepanjang pilihan itu tidak melanggar hak manusia lain.”

“Dengan memahami keberadaan manusia sebagai wakil al-


Muqtadir maka kelirulah anggapan orang yang mengatakan bahwa
sesungguhnya manusia mutlak tidak memiliki hak untuk memilih
apa pun bagi hidupnya. Semua tergantung pada ketentuan Allah.
Itu pandangan Jabariyyah yang mengingkari keberadaan manusia
sebagai wakil Allah di muka bumi. Sebaliknya, keliru pula
anggapan orang yang mengatakan bahwa sesungguhnya pilihan
mutlak ada pada tangan manusia. Itu pandangan Qadariyyah yang
mengingkari kekuasaan al-Muqtadir dalam menentukan kehidupan
wakil-Nya.”

978
“Jika ada yang bertanya kenapa manusia sebagai wakil al-
Muqtadir memiliki hak fitrah untuk memilih agama, maka aku
katakan bahwa masing-masing atribut Ilahi yang disandang
manusia saling terkait satu dengan yang lain. Di atas itu semua,
pertentangan masing-masing atribut itu adalah citra kesempurnaan
dari hakikat asma’, shifat, dan af’al-Nya. Lantaran kewakilan
manusia begitu sempurna dalam mencitrakan asma’, shifat, dan
af’al Allah maka diwajibkan bagi manusia untuk menjalani hidup
dengan berpedoman pada hukum suci Ilahi demi terwujudnya
tatanan yang seimbang dalam kehidupan di bumi.”

“Sesungguhnya, keberadaan manusia sebaagai wakil al-Muqtadir


terkait dengan atribut yang lain, yaitu wakil Yang Memberi Petunjuk
di muka bumi (khalifah al-Hadi fi al-ardh). Sementara al-Hadi
membentangkan ‘jalan-jalan’ untuk mencapai-Nya (wa alladzina
jahadu fina lanahdiyannahum subulana). Itu sebabnya, tidak satu
pun manusia boleh memaksa orang lain agar menganut agama
atau satu jalan tertentu. Tidak boleh ada paksaan dalam agama (la
ikraha fi ad-din). Sebab, hak fitrah dari wakil al-Hadi sekadar
‘menyampaikan’ petunjuk (huda) kebenaran (haqq). Seorang
manusia yang mengangkat dirinya menjadi penunjuk jalan
Kebenaran dan mengatakan apa yang diyakini itu sebagai satu-
satunya jalan Kebenaran, maka sesungguhnya dia telah
merampas wewenang Dia, Yang diwakilinya. Orang seperti itu
telah menjadi pesaing bagi Allah. Sesungguhnya, orang semacam
itu telah durhaka terhadap kehendak Allah.”

979
“Ketahuilah, o Saudara-saudaraku, bahwa rahasia atas agama-
agama adalah mutlak milik-Nya. Tidak satu pun di antara wakil-Nya
yang berhak ikut campur menentukan ke arah mana “wajah al-
Hadi” dihadapkan atau dengan cara bagaimana Dia disembah
hamba-Nya. Tidak satu pun di antara wakil-Nya boleh berkata:
‘Allah harus disembah dengan cara begini dan begitu. Yang ini
benar dan yang itu salah. Surga itu kecil dan karenanya hanya
muat untuk saya dan jama’ah saya. Neraka itu besar untuk seluruh
makhluk di luar jama’ah saya.”

“Sesungguhnya, jika manusia telah meyakini diri sebagai pemilik


Kebenaran maka dia telah merampas hak Allah dan bahkan
menista Allah dengan fitnah yang keji. Sebab, orang-orang yang
menganggap dirinya sebagai pemilik Kebenaran akan berkata
begini di dalam hatinya: ‘Sesungguhnya, Allah adalah Tuhan Yang
Mahakejam dan Mahatidak adil. Sebab, Dia mencipta surga hanya
untuk aku dan jama’ahku yang segelintir jumlahnya, sedangkan
makhluk lain disiksanya dengan azab pedih di neraka.”

“Jika dalam kehidupan di dunia ini kalian menemukan manusia-


manusia seperti itu, jauhilah mereka. Sesungguhnya merekalah
orang-orang yang sakit qalbu-nya. Sesungguhnya, aku katakan
kepada kalian semua, bahwa Dia, Allah, adalah Tuhan Yang Maha
Esa. Tuhan yang disembah manusia dari segala agama. Tuhan
yang disembah margasatwa, gunung, hutan, lautan, bumi, bulan,
bintang, matahari, setan, iblis, jin , serta seluruh makhluk yang
kasatmata maupun yang gaib. Dan sebagaimana yang telah
dicontohkan Nabi Muhammad Saw., bahwa beliau hanyalah
980
penyampai Kebenaran, maka hendaknya kalian pun jangan
melampaui beliau, kiblat panutan kita.”

“Dengan memahami bahwa dalam masalah agama tidak boleh ada


paksaan maka, tidak Islam, tidak Hindu tidak Budha, semuanya
dihargai hak hidupnya di Lemah Abang ini. Warga Hindu dan
Budha yang ingin membangun tempat ibadah di Lemah Abang
tidak perlu segan atau takut. Dirikan tempat-tempat ibadah untuk
memuja kebesaran Ilahi, Tuhan sarwa sekalian alam, Sang
Pencipta, Yang Berkehendak disembah dengan segala macam
cara oleh berbagai makhluk ciptaan-Nya baik yang gaib maupun
yang kasatmata.”

Untuk itu, ingat-ingatlah selalu, dengan anugerag yang serba


sempurna itu, sebagai wakil al-Kamal di muka bumi (khalifah al-
Kamal fi al-ardh), selain bebas menentukan pilihan dalam
beragama, kalian pun mempunyai hak fitrah untuk memilih cara
terbaik mencari nafkah. Dengan tangan, kaki, akal, nafsu, dan hati
nurani yang kalian miliki, kalian bebas mencari nafkah selama itu
tidak melanggar hak manusia lain.”

“Dengan selalu bersyukur karena menyadari keberadaan diri


sebagai wakil Yang Mahasempurna di muka bumi (khalifah al-
Kamal fi al-ardh), terlarang bagi penghuni Lemah Abang untuk
menjadi peminta-minta. Sebab, dengan menjadi peminta-minta
sesungguhnya orang seorang telah mengingkari keberadaan
dirinya sebagai wakil Yang Maha Pembalas di muka bumi (khalifah
981
asy-Syaku fi al-ardh). Sungguh celaka manusia yang tidak tahu
balas budi atas anugerah kesempurnaan yang diberikan al-Kamal
kepadanya.”

“Dengan kesadaran diri sebagai wakil al-Kamal dan wakil asy-


Syakur, kalian pun wajib menolak usaha manusia lain yang akan
menjerumuskan kalian ke dalam perbudakan, kecuali jika kalian
memang menghendakinya. Sebagaimana atribut-atribut Ilahi yang
terkait dalam citra wakil al-Haqq, sebagai wakil al-Kamal, wakil al-
Muqtadir, dan wakil asy-Syakur pun sesungguhnya kalian tetaplah
wakil al-Haqq; sehingga di dalam kebebasan mencari nafkah harus
diikuti dengan cara-cara yang hak. Janganlah sekali-kali kalian
melanggar hak orang lain.”

“Yang tak kalah penting di antara hak fitrah memilih itu adalah yang
terkait dengan kehendak bebas memilih pemimpin. Sebagai wakil
al-Muqtadir di muka bumi (khalifah al-Muqtadir fi al-ardh), kalian
memiliki hak untuk menentukan siapa di antara manusia di dalam
golonganmu yang pantas menjadi pemimpinmu. Jika selama ini, di
dalam tatanan lama, kalian tidak dilibatkan dalam menentukan
siapa pemimpin yang sesuai dengan yang kalian kehendaki maka
mulai sekarang hal itu wajib ditinggalkan. Di Lemah Abang akan
segera diadakan pemilihan pemimpin berdasarkan pilihan warga.
Sebab, tidak ada kehidupan makhluk tanpa pemimpin.”

“Dengan kesadaran sebagai wakil al-Kamal, wakil al-Muqtadir,


wakil asy-Syakur, dan wakil al-Haqq, maka hendaknya kalian
982
jangan sekali-kali membiarkan orang lain melanggar, menentukan
atau merampas hak fitrah kalian, baik dalam hal memilih agama,
menentukan cara mencari nafkah, dan memilih pemimpin. Jangan
biarkan orang-orang jahat memaksa kalian untuk berlutut dan
bersujud di hadapan batu, pohon, kuburan, gunung, bulan, bintang,
dan manusia lain. Jangan pula kalian membiarkan orang-orang keji
menjadikan kalian dan anak-anak kalian sebagai budak belian
yang terampas kemerdekaannya. Jangan biarkan mereka
menjadikanmu dan anak-anakmu mencari nafkah sebagai keledai,
unta, kuda beban, kerbau, sapi perah, dan anjing peliharaan.
Jangan biarkan orang memperbudak dirimu dan anak
keturunanmu. Lawanlah mereka yang merasa berhak memilihkan
jalan hidup kalian dan anak-anak kalian sebagai budak hina,
karena sejatinya engkau sekalian adalah wakil al-Kamal, wakil al-
Muqtadir, dan wakil al-Haqq yang memiliki hak fitrah memilih yang
terbaik bagi diri sendiri.”

Abdul Jalil berhenti beberapa bentar. Ia saksikan pancaran


harapan berkilau-kilau dari mata murid-murid yang mendengarkan
khotbahnya. Setelah menarik napas panjang, ia melanjutkan lagi
khotbahnya.

“Sebagai penghuni tempat bernama Lemah Abang yang sadar


akan keberadaan dirinya sebagai wakil Allah di muka bumi,
sesungguhnya kalian memiliki tujuan dan kiblat yang sama, yaitu
menjalankan tugas sebagai wakil Allah. Lantaran tujuan dan kiblat
kalian sebagai kumpulan pribadi adalah sama maka keberadaan
kalian sebagai kumpulan pribadi itu disebut kabilah (qabilah). Aku
983
katakan kiblat kalian sama, sebab baik kalian yang beragama Islam
maupun Hindu dan Budha tidak lagi tunduk bersujud kepada
sesama makhluk. Yang muslim hanya menyembah Allah. Yang
Hindu hanya menyembah Syiwa. Yang Budha hanya menyembah
Budha. Sesungguhnya berbagai nama-Nya itu adalah satu jua
hakikat-Nya: Tuhan Yang Tak Terbayangkan. Yang Tak
Tergambarkan oleh kata-kata. Yang Tak Terbandingkan. Yang Tak
Terjangkau pancaindera. Esa. Memenuhi segala.”

“Namun, ingatlah bahwa sebagai sebuah kabilah kalian hanya bisa


mencapai tujuan yang kalian arah dalam lingkup kecil yang
terbatas, yaitu sebagai sesama warga Lemah Abang dan beberapa
desa di sekitarnya. Sedangkan kehidupan ini tidak hanya terbatas
di Lemah Abang dan desa-desa di sekitarnya. Itu sebabnya, untuk
mencapai tujuan yang lebih besar dan lebih tinggi sebagai wakil al-
Kamal maka kalian harus menjadi bagian dari kumpulan manusia
dari kabilah lain. Kumpulan-kumpulan manusia dari kabilah lain
dengan prinsip kesetaraan dan kesederajatan sebagai sesama
wakil al-Kamal itulah yang disebut ra’yat (ra’iyat), yang bermakna
kumpulan dari cabang-cabang anak manusia.”

“Sebagaimana kabilah, ra’yat memiliki makna kumpulan manusia


yang memiliki kiblat dan tujuan yang sama, namun skalanya lebih
besar. Di dalam kumpulan manusia yang disebut ra’yat, tempat,
agama, suku, warna kulit, dan bidang pekerjaan tidak menjadi alat
pengikat utama. Alat pengikat utama adalah tujuan yang sama dari
pribadi-pribadi di dalam ra’yat tersebut. Namun satu hal yang wajib
kalian ingat adalah ra’yat hanya memiliki makna bersatunya tujuan
984
dan kiblat yang sama. Ra’yat belum memiliki makna bergerak
bersama. Ra’yat belum melangkah seiya-sekata sebagai gerakan.
Karena itu, agar ada gerak hidup dan langkah yang nyata menuju
tujuan yang dikehendaki ra’yat maka hendaknya pribadi-pribadi
dari ra’yat itu harus saling bekerja untuk bergerak. Dan, ra’yat yang
sudah saling bekerja sama untuk bergerak itulah yang disebut
masyarakat, yakni pribadi-pribadi dari ra’yat yang melakukan kerja
sama (musyarakat).”

“Karena baik ra’yat maupun masyarakat berpangkal pada kabilah


maka tujuan maupun gerakan kerja sama itu, di dalam ra’yat atau
masyarakat harus memiliki kiblat yang sama. Agar masyarakat
memiliki tujuan dan kiblat yang sama dan sekaligus bergerak
bersama maka hendaknya masyarakat itu bercirikan ummah, yakni
‘gerak ke depan’ (amam). Dengan demikian, kumpulan-kumpulan
manusia sebagai tatanan baru kehidupan yang dimulai di Lemah
Abang ini hendaknya disebut ‘masyarakat ummah’ yang tujuan dan
gerakannya didasarkan pada musyawarah bersama para wakil
Allah di muka bumi.”

Abdul Jalil diam sejenak. Ia memandang wajah-wajah pendengar


khotbahnya yang tercengang-cengang bagai mendengarkan
dongeng menakjubkan. Sekilas Abdul Jalil menangkap sasmita
bahwa tidak semua pendengar memahami maksudnya. Bahkan,
beberapa di antara mereka yang paham terlihat ragu-ragu seolah
mereka hendak diajak mewujudkan sebuah mimpi yang
mengerikan.

985
“Aku paham jika banyak di antara kalian masih dicekam oleh rasa
takut dan ragu untuk mengamalkan ajaranku dan mengikuti
tatanan baru di Lemah Abang ini. Selama berpuluh bahkan beratus
tahun kalian hidup di lingkungan yang tidak mengenal hak-hak
fitrah seorang manusia, wakil Allah di muka bumi. Selama beratus
tahun kalian tidak mengetahui jika kalian adalah wakil Allah di
muka bumi, yang memiliki ‘kuasa-kuasa kodrati’ dari asma’, shifat,
dan af’al Allah. Selama ini yang diakui keberadaannya sebagai
wakil Tuhan hanya raja. Sementara kalian selama ini ditempatkan
sebagai kawula, yang tidak memiliki hak apa pun termasuk hak
atas hidup kalian sendiri.”

“Kini aku katakan kepada kalian semua bahwa di Lemah Abang ini
sudah tidak ada lagi peraturan yang membedakan kedudukan
orang seorang sebagai kawula dan sebagai gusti. Kumpulan
manusia di Lemah Abang inilah yang disebut kabilah, sebagai
bagian dari masyarakat ummah, yaitu kumpulan pribadi manusia
yang mempunyai hak milik atas tanah dan kekayaan pribadi, hak
milik atas keluarga, hak milik atas agama, hak untuk mencari
nafkah, hak untuk memilih pemimpin. Kumpulan manusia yang
memiliki tujuan dan kiblat yang sama yakni mewujudkan jati diri
sebagai wakil Allah di muka bumi. Jika nanti ada pihak-pihak yang
mengancam keselamatan kalian maka bekerjasamalah kalian
dengan kabilah lain sehingga terbentuk ra’yat dan masyarakat
ummah. Insya Allah, dengan bekerjasama dengan manusia lain
sebagai masyarakat ummah, kalian akan kuat sentosa
menghadapi segala tantangan dan rintangan.”

986
“Jika di antara kalian ada yang bertanya kenapa ra’yat Lemah
Abang harus bekerja sama dengan sesama anggota ra’yat? Maka,
aku akan balik bertanya, apakah engkau yang sudah memahami
intisari khotbah-khotbahku tentang keberadaan manusia sebagai
wakil Allah di muka bumi benar-benar berani dan mampu
mewujudkannya seorang diri? Aku memahami bahwa tiap-tiap
kalian masih dihantui oleh rasa takut untuk mempertahankan hak-
hak yang kalian miliki sebagai wakil Allah.”

“Tidakkah kalian pernah melihat seekor semut yang susah payah


membawa sebutir nasi? Kesulitan seekor semut itu teratasi jika ia
bekerja sama dengan kawan-kawannya. Ibarat semut-semut
membawa sebutir nasi ke sarang, begitulah kumpulan kalian di
sebut masyarakat ummah. Nah, dengan akal dan budimu
hendaknya engkau sekalian dapat memahami kenapa kalian harus
bekerja sama dengan sesama kalian dalam kesetaraan dan
kesederajatan. Dengan bekerja sama sesungguhnya kalian akan
menjadi lebih kuat sentosa dalam mencapai tujuan yang kalian
kehendaki.”

“Dengan alasan bahwa masing-masing kalian harus memperkuat


diri dan meneguhkan keberanian maka menjadi keharusan
mendasar bagi kalian untuk bekerja sama dengan pribadi-pribadi
lain. Sepuluh pribadi yang ketakutan, jika bekerja sama sebagai
pribadi-pribadi yang merasa senasib dan sepenanggungan, maka
akan menjadi sepuluh pribadi yang kuat dan pemberani. Karena
itu, bersatu padulah kalian dalam wadah kabilah, ra’yat, dan

987
masyarakat ummah untuk menghadapi segala kesulitan yang
bakal menghadang di tengah jalan.”

“Sesungguhnya sangat banyak manusia rakus dan serakah yang


akan tidak suka dan membenci ajaranku di Lemah Abang ini.
Mereka tidak akan segan-segan untuk menumpas ajaranku dan
tatanan baru di Lemah Abang yang mereka anggap mengancam
kepentingan pribadi mereka. Tetapi, aku katakan kepada kalian,
lawanlah dengan segenap kuasa dan kemampuanmu mereka-
mereka yang akan menghancurkan harapan kalian. Kalian wajib
mempertahankan hak-hak kalian yang telah terampas.”

Para warga baru Lemah Abang tercengang-cengang. Belum


pernah mereka mendengar ajaran tentang kehidupan dan tatanan
baru sebagaimana diuraikan Abdul Jalil. Usai mendengar khotbah
sang pembuka desa, warga berkerumun dalam kelompok-
kelompok kecil untuk membicarakan berbagai hal terkait
pelaksanaan ajaran dan tatanan baru tersebut. Mereka
berbincang-bincang dari malam hingga dini hari.

Bagaikan matahari yang terus merambat ke puncak langit dengan


sinar yang makin terang dan panas, Abdul Jalil menerangi
cakrawala kesadaran warga Lemah Abang dengan khotbah-
khotbahnya yang cemerlang. Bagaikan margasatwa yang berlarian
di padang kehidupan setelah dicekam kegelapan malam, dengan
kegembiraan meluap-luap warga Lemah Abang menyambut
khotbah-khotbah Abdul Jalil. Laksana margasatwa menyambut
988
kehangatan cahaya matahari sehingga dengan cahaya itu mereka
dapat membedakan hal-hal yang baik dan yang buruk.

Seperti sebelumnya, khotbah berikutnya disampaikan Abdul Jalil


usai memimpin sembahyang isya di Tajug Agung Lemah Abang.
Namun, malam itu mereka yang hadir di Tajug Agung bukan hanya
warga Lemah Abang. Beratus-ratus warga dari desa sekitar Lemah
Abang ikut hadir untuk mendengarkan khotbah yang memesona.
Malam itu Abdul Jalil berkhotbah di teras Tajug Agung agar
suaranya bisa didengar oleh hadirin yang berjejal-jejal hingga ke
halaman. Dengan suara berapi-api mengobarkan semangat ia
menyadarkan manusia lewat khotbahnya.

“Seperti telah kukatakan kepada kalian bahwa tiap-tiap manusia


adalah wakil Allah di muka bumi maka hendaknya kalian mampu
memahami makna itu dalam arti yang sebenarnya. Jangan kalian
terperangkap oleh akal dan nafsumu yang kerdil dengan
memaknai ‘kalifah’ Allah dalam menguasai bumi beserta isinya.
Sekali-kali tidak demikian maknanya. Sebab, jika kalian
terperangkap pada makna itu maka kalian akan beranggapan
bahwa Allah telah mempusakakan bumi dan segala isinya kepada
wakil-Nya.”

“Sesungguhnya kata ‘kalifah’ dalam kaitan dengan hakikat khalifah


Allah fi al-ardh merujuk pada al-Wakil, yaitu salah satu nama-Nya.
Itu sebabnya, selain menyandang kedudukan sebagai wakil al-
Haqq, wakil al-Hakim, wakil al-Muhaimin, wakil al-Kamal, wakil al-
989
Muqtadir, wakil asy-Syakur, wakil al-Hakam, wakil ar-Rahman, dan
wakil ar-Rahim, sesungguhnya manusia juga wakil al-Wakil di
muka bumi (khalifah al-Wakil fi al-ardh). Artinya, manusia menjadi
wakil Yang Maha Memelihara penyerahan tiap-tiap urusan. Itu
bermakna, tiap-tiap manusia yang menyadari keberadaan dirinya
sebagai wakil al-Wakil di muka bumi akan memahami bahwa hak
fitrah yang dimilikinya hanyalah sebagai pemelihara dan pengelola
bumi. Seorang wakil al-Wakil dilarang menguras kekayaan dan
merusak segala sumber daya yang terkandung di permukaan
maupun di perut bumi milik Allah.”

“Jika kalian bertanya kenapa manusia tidak menguasai dan


mewarisi bumi? Kenapa manusia hanya berwenang memelihara
dan mengelola bumi? Aku katakan kepada kalian agar mengingat
ajaran yang pernah aku sampaikan sebelumnya. Sesungguhnya
manusia terbentuk atas dua anasir utama, yaitu tanah dan ruh suci
yang ditiupkan Sang Pencipta saat leluhur manusia diciptakan di
surga. Itu sebabnya dalam menjalankan tugas sebagai wakil Allah
di muka bumi, seorang manusia tidak diperkenankan mengikatkan
kiblat hati dan pikirannya kepada bumi. Bumi bukanlah hunian asal
manusia. Sebab, bumi bukan tempat manusia kembali setelah
mati. Bumi hanya hunian sementara. Bumi akan menjadi tempat
kembali tubuh kalian yang terbuat dari tanah. Karena itu, kalian
semua yang sadar bahwa ruh suci manusia berasal dari Allah dan
akan kembali kepada Allah (inna li Allahi wa inna ilaihi raji’un),
hendaknya tidak mencintai segala sesuatu melebihi kecintaanmu
kepada Dia dari mana ruh suci berasal. Janganlah kalian terjerat
oleh bujuk rayu nafsu rendah badani untuk mencintai bumi beserta

990
segala isinya, karena hal itu akan menyesatkanmu dari jalan
Kebenaran-Nya.”

“Ada di antara kalian yang bertanya kepadaku tentang tatanan baru


di Lemah Abang yang didasarkan pada kesetaraan dan
kesederajatan manusia sebagai wakil Allah di muka bumi. Menurut
pamahamannya, tatanan itu sudah tersedia sebagai keniscayaan,
seolah-olah kitab ajaib yang jatuh dari langit. Kemudian, karena
keajaibannya, maka tatanan dari langit itu wajib dihargai dan
dihormati oleh semua orang. Tiap-tiap warga, menurut
pamahaman ini, wajib dihargai keberadaan dan seluruh
perilakunya. Jika pemahaman seperti itu yang kalian tangkap dari
apa yang pernah aku ajarkan maka sesungguhnya kalian telah
keliru memahami tatanan baru yang kumaksudkan.”

“Aku memang telah berkata bahwa di Lemah Abang tidak ada


perbedaan antara gusti dan kawula. Tidak ada raja, tidak ada
hamba sahaya. Semua warga setara dan sederajat. Semua
manunggal dalam persaudaraan. Namun, satu hal yang wajib
kalian ingat bahwa fitrah manusia sebagai keturunan Adam a.s.
sesungguhnya bertingkat-tingkat sesuai kadar ketakwaannya.
Karena itu, sungguh keliru mereka yang menelan mentah-mentah
ucapanku dengan berkata, ‘Menurut ajaran Syaikh Lemah Abang,
semua manusia adalah sama dan sebangun. Sama tinggi. Sama
rendah. Sama warna. Sama rupa. Sama derajat.”

991
“Sungguh picik mereka yang menafsirkan ucapanku tentang
kesetaraan dan kesederajatan manusia sebagai wakil Allah di
muka bumi dengan pemahaman seperti itu. Sebab, sebagaimana
namanya, Lemah Abang bermakna tanah merah subur yang
memberikan kesempatan sama bagi semua benih untuk tumbuh.
Di tanah ini tidak ada perbedaan benih ini boleh tumbuh dan benih
itu terlarang tumbuh. Benih apa pun boleh tumbuh di Lemah
Abang. Tetapi, waktu dan perilaku alam akan menguji daya tumbuh
masing-masing benih. Benih yang kuat dan mampu menghadapi
tantangan alam akan tumbuh besar dan sentosa dengan akar-akar
yang kuat serta buah yang lebat. Namun, benih yang lemah dan
tidak mampu mengatasi tantangan alam akan meranggas, merana,
layu, dan mati. Demikianlah perumpamaan tentang tatanan baru di
Lemah Abang.”

“Lihatlah, o Saudara-saudaraku, hamparan rumput alang-alang di


sekitarmu! Jika engkau cermat mengamatinya maka akan engkau
dapati kenyataan bahwa tidak ada rumput yang sama tinggi.
Tanaman padi pun tidak ada yang sama tinggi. Demikian pun,
pohon-pohon hutan yang sama jenisnya tidak ada yang sama
tinggi. Sebab, tinggi dan rendah adalah tatanan alam (sunnah
Allah) yang tidak bisa diganggu gugat. Dapatkah sungai
mengalirkan air jika dasarnya tidak terdapat perbedaan tinggi dan
rendah?”

“Sebagaimana tatanan alam yang sudah tergelar, di Lemah Abang


pun pada gilirannya akan terdapat perbedaan tinggi dan rendah
derajat manusia. Tetapi berbeda dengan di tempat lain yang
992
menata kedudukan tinggi dan rendah berdasarkan suku, warna
kulit, agama, dan keturunan; tatanan tinggi dan rendah kedudukan
orang seorang di Lemah Abang ini ditentukan oleh kemampuannya
dalam mewujudkan citra diri sebagai wakil Allah di muka bumi.
Karena itu, yang tertinggi derajatnya di antara penduduk Lemah
Abang nanti adalah pahlawan-pahlawan yang berhasil
menaklukkan monster ganas di dalam dirinya, yang disebut nafsu
rendah badani. Dia yang tertinggi adalah pahlawan-pahlawan yang
kembali ke tengah kaumnya dengan membawa bendera
kemenangan dan disambut dengan suka cita oleh kaumnya. Dia
yang dianugerahi gelar ‘sang pembunuh monster ganas’ di dalam
diri sendiri. Pahlawan-pahlawan itulah yang dielu-elukan kaumnya
sebagai pelindung dan penjaga kehidupan dan gangguan monster-
monster ganas. Dan pahlawan-pahlawan itu, menurut hukum suci
Ilahi, disebut dengan gelar agung: qaum al-muttaqin!”

“Aku katakan kepada kalian, o Saudara-saudaraku, bahwa


kekalifahan manusia sesungguhnya adalah sebuah rentangan
kedudukan antara binatang (al-an’am), manusia (al-insan), dan
adimanusia (al-insan al-kamil). Karena itu, untuk mencapai
kekalifahan, tiap-tiap manusia wajib melewati dan melampaui
kebinatangan dan kemanusiaannya. Kekalifahan adalah palagan
pertempuran tempat masing-masing manusia menguji diri. Hanya
mereka yang bersungguh-sungguh, berani, tawakal, dan memiliki
harapanlah yang bisa mencapai kedudukan kalifah. Mereka yang
tidak bersungguh-sungguh, penakut, malas, gampang putus asa,
dan tidak memiliki harapan tidak akan pernah bisa melampaui
kedudukan kalifah dan tinggal selamanya dalan kedudukan
binatang.”
993
“Ketahuilah, pada saat manusia berjuang melampaui kebinatangan
dan kemanusiaan untuk mencapai kekalifahan, sesungguhnya
akan terdapat orang-orang berjiwa keledai, unta, kuda beban,
kerbau, sapi perah, dan anjing peliharaan. Mereka itulah orang-
orang yang terikat kecintaan pada diri pribadi secara berlebihan,
kiblat hidupnya terarah pada bumi dan kebendaan. Mereka orang-
orang yang berada pada kedudukan binatang. Merekalah manusia
berderajat rendah yang berjalan terseok-seok di permukaan bumi
karena punggungnya memanggul beban keinginan nafsu dan
pamrih duniawi yang berat. Makin lama mereka berjalan makin
terseok langkahnya karena tubuh makin lemah tak kuat
menanggung beban. Sementara itu, beban yang dipanggulnya
berangsur-angsur menjelma menjadi monster mengerikan yang
mengisap darah dan otak mereka.”

“Ketika beban berat yang dipanggul sudah tak mampu lagi


disangga maka mereka yang berjiwa binatang itu akan menjelma
jadi binatang bagi sesamanya. Ia akan memangsa sesamanya
untuk memenuhi hasrat dan keinginan monster nafsunya yang
haus darah. Bahkan mereka akhirnya lebih ganas dari monster
yang dipanggulnya. Mereka akan menjadi penebar petaka dan
ketakutan bagi penghuni bumi.”

“Sementara itu, yang lebih tinggi derajatnya dari golongan binatang


ini adalah golongan manusia. Mereka adalah orang-orang yang
sadar akan keberadaan dirinya sebagai manusia yang memiliki
‘kuasa-kuasa kodrati’ adimanusia untuk menduduki jabatan wakil
Allah di muka bumi. Tetapi, mereka hanya mampu memahaminya
994
dalam tingkat pemikiran dan pemahaman belaka. Mereka banyak
menemui kegagalan dalam mewujudkan kekalifahan dalam
amaliah kehidupan sehari-hari. Mereka itulah orang-orang yang
masih cenderung menafsirkan kekalifahannya terkait dengan
kepentingan-kepentingan pribadinya. Mereka sering terjebak pada
sikap dan tidakan yang tidak adil dan melampaui batas, meski
mereka sadar bahwa hal itu tidak benar.”

“Manusia tertinggi di antara manusia adalah mereka yang sudah


dapat mewujudkan keberadaan dirinya sebagai adimanusia, yakni
manusia sempurna (al-insan al-kamil) yang menjadi wakil Allah di
muka bumi. Mereka itulah adimanusia yang telah berhasil
menaklukkan monster-monster ganas yang bersembunyi di dalam
dirinya. Mereka itulah pahlawan-pahlawan pemberani yang sudah
mengepakkan sayap-sayapnya dan terbang ke angkasa
meninggalkan tanah berlumpur penuh biji emas yang memanggil-
manggil dengan rayuan menggiurkan. Mereka penjaga
keseimbangan hidup di bumi. Mereka pemelihara sejati bumi,
namun mereka tidak berhasrat terikat dengan bumi. Merekalah
penegak keadilan yang berjuang untuk kelestarian bumi beserta
isinya. Merekalah pahlawan-pahlawan yang selalu didambakan
kehadirannya oleh penghuni bumi karena selalu menjadi rahmat
bagi lingkungannya.”

“Jika kalian bertanya bagaimana mewujudkan kehidupan seorang


wakil Allah di muka bumi? Kukatakan kepada kalian bahwa
seorang wakil Allah bukanlah penumpuk kekayaan berlebih
dengan alasan untuk warisan anak cucu. Sebab, mereka yang
995
menjadi penumpuk kekayaan berlebih sesungguhnya telah
berbuat tidak adil baik terhadap diri sendiri maupun terhadap anak
dan cucu: mereka itulah makhluk rendah yang tergolong sebagai
penzalim diri sendiri dan keturunan. Kukatakan tidak adil dan
bahkan zalim terhadap diri sendiri dan keturunan karena dengan
tindakan menumpuk kekayaan berlebihan itu sesungguhnya
mereka telah menzalimi kesucian ruh yang bersemayam di dalam
dirinya. Mereka adalah manusia yang terperosok ke jurang
kehinaan sebagai makhluk rendah yang mengumbar hasrat nafsu.
Jiwa mereka senantiasa diliputi rasa khawatir dan ragu dalam
meniti hidup.”

“Jika kalian bertanya apakah mewariskan harta benda berlebih


untuk anak cucu merupakan tidakan tidak adil dan zalim? Aku
katakan, sungguh telah berbuat tidak adil dan zalim siapa pun di
antara manusia yang mewariskan harta benda berlebih kepada
anak dan cucunya. Mewariskan harta benda berlimpah berarti
seseorang tidak saja telah menjerumuskan anak dan cucunya ke
dalam jurang ketamakan, tetapi juga melumpuhkan semangat
mereka untuk berjuang menghadapi tantangan hidup.
Sesungguhnya kecintaan manusia terhadap anak cucu yang
diwujudkan dalam bentuk warisan harta benda berlebih adalah
jaring-jaring malapetaka yang justru membahayakan kehidupan
para pewaris itu sendiri.”

“Jika di antara kalian ada yang ingin mengetahui siapakah di antara


manusia yang tidak berkeinginan mewariskan harta benda kepada
keturunannya? Aku tunjukkan kepada kalian bahwa manusia
996
terhormat itu adalah Guru Agung manusia panutanku, Sang
Adimanusia, Nabi Muhammad Saw.. Pada zamanya beliau adalah
pemimpin umat dan pemegang kunci perbendaharaan Baitul Mal
dari sebuah kekuasaan yang membentang di seluruh jazirah
Arabia. Tetapi, beliau hidup di samping masjid. Tiap hari sering
mengganjal perutnya dengan batu karena lapar. Ketika beliau
wafat tidak meninggalkan secuil pun warisan kepada putera puteri
dan cucu-cucunya. Satu-satunya warisan yang ditinggalkan untuk
seluruh manusia adalah Kitab Allah dan keteladanan hidupnya.”

“Sesungguhnya, sebagaimana perilaku Nabi Muhammad Saw.,


keempat orang sahabat penggantinya adalah adimanusia yang
telah terbukti membentangkan cermin kewakilan mereka atas
asma’, shifat, dan af’al Allah sebagaimana diteladankan Nabi
Muhammad Saw. Sementara itu, karena aku sangat ingin
meneladani perikehidupan Nabi Muhammad Saw. dan keempat
sahabat penggantinya maka aku pun sudah bertekad untuk tidak
mewariskan secuil pun harta benda kepada anak keturunanku.
Sebagaimana telah kalian ketahui semua, tanah shima (bebas
pajak) anugerah dari Sri Mangana telah kubagi-bagikan tanpa sisa
kepada kalian. Lantaran itu, sekarang aku tidak memiliki apa-apa
lagi. Sejak ini aku akan tinggal di gubug kecil di sampig Tajug
Agung.”

“Dengan mengungkap apa yang terkait dengan perilaku Nabi


Muhammad Saw. dan keempat sahabat penggantinya, yang telah
kuikuti jejaknya itu, janganlah kalian sangka aku mengungkit-ungkit
pemberianku kepada kalian, apalagi untuk sekedar pamer
997
kebajikan. Sesungguhnya aku menghendaki agar kalian, yang
telah mengakui aku sebagai guru, tidak hidup berlebihan. Ingat-
ingatlah bahwa kalian hidup di dunia ini hanya berhak memelihara
dan mengelola bumi. Kalian hanya sementara tinggal di sini. Itu
sebabnya, jika ada di antara kalian yang mengambil tanah
berlebihan dengan alasan yang ini dan yang itu untuk bagian
anakku dan yang di sana untuk bagian cucuku, maka hentikanlah
itu. Cukuplah kalian mengambil bagian untuk dirimu dan
keluargamu sesuai kebutuhan. Kelebihan tanahmu hendaknya
engkau berikan kepada saudaramu yang belum kebagian tanah.”

“Aku katakan kepada kalian bahwa warisan yang paling berharga


bagi anak dan cucu kalian sesungguhnya adalah bekal iman dan
ilmu. Dengan dua bekal itu engkau telah membentangkan jalan
keselamatan bagi anak dan cucumu. Sebab, dengan bekal iman
dan ilmu sesungguhnya engkau sekalian telah menyerahkan
segala urusan keturunanmu kepada al-‘Alim. Dan, ingat-ingatlah
selalu bahwa ciri utama dari keberadaan seorang wakil Allah di
muka bumi adalah menjadi rahmat bagi makhluk yang lain.”

Ketika Abdul Jalil usai berkhotbah dan berjalan ke arah gubugnya,


bubarlah para pendengar. Sebagian kembali ke rumah masing-
masing. Sebagian berkerumun dalam kelompok-kelompok untuk
membicarakan intisari khotbah. Namun, saat Abdul Jalil akan
masuk ke pintu gubugnya, salah seorang pendengar yang datang
dari desa lain bertanya, “Bagaimana Tuan Syaikh bisa berkata
bahwa manusia yang terikat kecintaan pada bumi dan kebendaan
berkedudukan sebagai binatang? Bagaimana Tuan Syaikh bisa
998
menilai rendah kecintaan manusia pada benda hingga
menyetarakan mereka sebagai binatang?”

Abdul Jalil yang tak menduga bakal ditanya, terdiam beberapa saat
tak menjawab. Sejurus kemudian terdengar keributan di utara
desa. Sebagian warga yang sedang berjalan ke rumah masing-
masing berhamburan bagai air lautan diaduk. Keributan pun makin
hingar-bingar ketika orang-orang berteriak sahut-menyahut dan
sambung-menyambung.

Ketika salah seorang murid dengan bercucuran keringat


mendekat, Abdul Jalil bertanya, “Apakah sesungguhnya yang
sedang terjadi?”

“Orang-orang mengejar babi ngepet, Tuan Syaikh,” sahut sang


murid.

“Babi ngepet?” gumam Abdul Jalil sambil memandang orang yang


baru saja bertanya kepadanya. “Bukankah itu binatang jadi-jadian
yang menurut cerita berasal dari manusia pecinta kebendaan?
Bukankah kecintaan terhadap benda bisa menjadikan manusia
dalam wujud hina, yaitu binatang yang najis?”

999
“Maafkan kami, Tuan Syaikh,” kata sang penanya blingsatan
dengan muka kecut. “Kami sekarang memahami apa yang telah
Tuan Syaikh jelaskan.”

1000
Wilayah al Ummah

Khotbah-khotbah yang disampaikan Abdul Jalil


di Tajug Agung Lemah Abang sangat digemari
oleh pendengarnya. Itu terlihat saat Abdul Jalil
menyampaikan khotbah lanjutan pada hari
berikutnya, jumlah pendengar makin berjejal-
jejal memadati Tajug Agung dan tanah lapang
yang terhampar di depannya. Warga dari pinggiran Kuta Caruban
yang letaknya cukup jauh dari Lemah Abang pun berdatangan.
Usai memimpin sembahyang isya, Abdul Jalil memulai
khotbahnya. “

Selama berbilang abad telah ditanamkan ke dalam alam pikiran


orang-orang beragama Islam bahwa yang disebut berhala adalah
batu-batu, kayu-kayu pahatan, pohon keramat, gunung dan benda-
benda alam yang disembah manusia. Selama beratus tahun telah
diyakinkan kepada umat Islam bahwa para penyembah berhala
adalah orang-orang sesat yang akan hidup celaka karena
menyekutukan Allah, Tuhan sarwa sekalian alam.”

“Tetapi malam ini aku katakan kepada kalian semua, o Saudara-


saudaraku, bahwa sesungguhnya berhala yang paling
menyesatkan dan berbahaya bagi kehidupan manusia adalah
sebentuk makhluk jahat yang dipuja-puja dan disembah-sembah
oleh sekalian manusia, termasuk di dalamnya umat beragama
Islam. Dengan suaranya bergemuruh menggetarkan, makhluk
1001
jahat itu telah menjadi kiblat sesembahan baru umat manusia.
Dengan bayangan dirinya yang kelam dan mengerikan, makhluk
jahat itu dipertuhankan oleh manusia. Apakah nama makhluk jahat
yang mengerikan itu? Dari mana makhluk itu berasal? Kejahatan
apa yang telah dilakukannya?”

“Aku katakan kepadamu sekalian, o Saudara-saudaraku, bahwa


yang disebut makhluk jahat yang disembah manusia itu tidak lain
dan tidak bukan adalah sebuah tatanan hidup manusia yang
dinamakan kerajaan atau negara. Itulah tuhan baru. Itulah berhala
baru. Itulah makhluk penyesat yang mengerikan. Ingat-ingatlah
selalu ucapanku! Di antara berhala-berhala yang paling
menyesatkan dan paling berbahaya bagi manusia-manusia
beriman adalah makhluk bernama: Kerajaan! Kerajaan! Kerajaan!
Negara!”

“Aku beritahukan kepada kalian bahwa yang disebut kerajaan atau


negara sesungguhnya adalah makhluk berdarah dingin yang
sangat haus darah. Dia makhluk pemangsa berjiwa ganas melebihi
serigala yang paling buas. Dari manakah makhluk pemangsa
ganas itu berasal? Kalian semua harus tahu bahwa jahat yang
mengerikan itu merupakan monster ciptaan para pendusta.
Rancangan para pembohong. Rekayasa para penipu. Ya, monster
ciptaan para pendusta. Tahukah kalian siapa para pendusta itu?
Mereka adalah manusia-manusia setengah binatang yang tubuh
dan jiwanya tercipta dari bayangan makhluk paling mengerikan:
Iblis.”

1002
“Sesungguhnya para pendusta yang telah mencipta monster
bernama kerajaan itu adalah makhluk-makhluk yang lemah dan tak
berdaya. Mereka jauh lebih lemah daripada cacing-cacing
penghuni tanah. Meski lemah, mereka memiliki akal yang jauh
lebih licik dan lebih curang dibandingkan akal busuk serigala.
Mereka juga memiliki suara geraman dan gonggongan yang lebih
kuat dibanding anjing. Mereka memiliki pamrih yang jauh melebihi
pamrih udang di balik batu. Mereka memiliki tubuh yang lebih licin
dari belut. Mereka dapat terbang tinggi di angkasa laksana burung
nazar pemakan bangkai. Mereka bahkan dapat mengubah-ubah
warna kulit melebihi bunglon. Dan, yang membuat mereka menjadi
kuat melebihi kekuatan harimau adalah kemampuan mereka untuk
bersekongkol dalam kejahatan dengan sesamanya.”

“Tahukah kalian apa hasil persekongkolan makhluk-makhluk


lemah berjiwa cacing, serigala, anjing, udang, burung nazar, belut,
dan bunglon itu? Kerajaan! Negara! Itulah makhluk pemangsa
ganas yang telah mereka cipta dalam persekongkolan yang
menjijikkan. Para pendusta bersekongkol membuat dongeng-
dongeng palsu yang berisi gantungan harapan bagi manusia.
Mereka, para pendusta itu, mendongeng tentang pemangsa ganas
bernama kerajaan sebagai tatanan ciptaan Tuhan yang bakal
mendatangkan keadilan, kemakmuran, keamanan, kedamaian,
keselamatan, dan kemuliaan bagi manusia yang patuh dan setia
kepada pemangsa tersebut.”

“Sungguh aku katakan kepada kalian, o Saudara-saudaraku,


bahwa apa yang mereka dongengkan adalah dusta semua. Di balik
1003
dongeng-dongeng itu mereka memasang jerat yang bakal
memerangkap setiap orang yang mempercayai dusta mereka.
Kemudian, bagaikan kawanan laba-laba yang melihat mangsa
terjerat ke dalam jaringan-jaring kepentingan pribadi yang
ditebarnya, para pendusta itu akan memangsa siapa saja di antara
manusia yang mempercayai kebohongan mereka. Sesungguhnya
para pendusta itu makhluk yang lebih rakus, lebih serakah, lebih
ganas, dan lebih mengerikan daripada laba-laba. Dengan
dongeng-dongeng ciptaannya para pendusta mengendalikan
makhluk bernama kerajaan yang mengerikan itu untuk mencabik-
cabik kehidupan manusia yang percaya pada dongeng-dongeng
mereka.”

“Dengan kerakusan, ketamakan, kelicikan, dan kecurangan tak


terbayangkan, para pendusta itu bersekongkol atas nama
kerajaan, atas nama negara. Dengan mulut-mulut yang najis
mereka berkata kepada komplotannya: ‘Marilah kita satukan
bahasa kita untuk menetapkan benar dan salah, baik dan buruk,
pahlawan dan pengkhianat, anugerah dan hukuman, sah dan tidak
sah, keadilan dan kezaliman. Bahasa lain yang tidak sesuai
dengan kita hendaknya kita singkirkan sebagai bahasa yang rancu.
Sesungguhnya, dengan bahasa kita itu, kitalah pemilik kebenaran
atas nama negara.’”

“Ketahuilah, o Saudara-saudaraku, dengan bahasa


persekongkolan itu para pendusta tengik akan menekuk lutut
manusia untuk bersujud di hadapan makhluk ganas yang mereka
cipta. Dengan bahasa hasil persekongkolan itu mereka menimbun
1004
harta benda dari manusia taklukkan. Kemudian, bagaikan monster
kelaparan, mereka mengunyah dan memamah harta benda yang
mereka timbun. Sungguh menjijikkan para pendusta itu bagiku.
Sungguh najis mulut mereka itu. Apa pun yang keluar dari mulut
itu, menurutku, akan ikut menjadi najis.”

“Lihatlah apa yang dilakukan para pendusta saat mereka


menyusun tatanan salah dan benar, adil dan zalim, serta sah dan
tidak sah dalam bahasa hukum mereka. Kalian akan menemukan
bahwa kesalahan adalah hak para kawula, sementara raja dan
keluarganya berdiri tegak di atas permadani ketidakbersalahan.
Hukum hanya untuk kawula. Hukum tidak untuk raja dan pejabat
negara. Itulah bahasa keadilan menurut mereka.”

“Lihatlah apa yang diperbuat para pendusta itu saat mereka sudah
memiliki timbunan harta benda yeng mereka peroleh dari sisik,
bulu, rambut, dan kotoran makhluk pemangsa ciptaan mereka.
Lihatlah apa yang mereka lakukan ketika perut mereka sudah
kembung berisi kotoran kerajaan yang najis. Lihatlah apa yang
mereka lakukan ketika mereka sudah berkerumun di sekitar
tonggak kekuasaan. Dengarkan apa yang mereka ucapkan
dengan bahasa dustanya. Lihat! Dengar! Renungkan! Apa yang
diperbuat para pendusta terkutuk itu di sana!”

“Di sekeliling tonggak kekuasaan itu mereka menyeringai dengan


wajah monyet yang menjijikkan. Mereka memandang ke atas
tonggak dengan mata serigala yang menyala penuh hasrat. Mulut
1005
mereka berbusa dan meneteskan liur menggelikan ketika
menyaksikan gemerlap singgasana yang tergantung di atas
tonggak bersalut emas. Mereka tidak kuasa menahan keinginan
untuk tidak naik ke atas singgasana.”

“Lihat! Lihatlah para pendusta bermulut najis itu! Mereka bagaikan


orang tidak waras berebut memanjat ke atas tonggak kekuasaan
tempat singgasana gemerlapan tergantung. Lihat, mereka saling
menginjak. Mereka saling menyikut. Saling menggigit. Mereka
bahkan saling membunuh. Dan lihat, satu di antara para pendusta
itu, yaitu dia yang paling kuat dan paling licik, akan sampai di atas
singgasana. Dialah sang pemenang. Dialah sang raja yang berhak
duduk di atas singgasana yang dikitari bangkai dan kotoran.”

“Raja yang duduk di atas singgasana itulah hasil persekongkolan


para pendusta. Sang raja, menurut bahasa mereka, adalah
penunggang dan pengendali makhluk pemangsa ganas bernama
kerajaan. Kemudian, dengan bahasa dusta yang digunakannya,
para pendusta itu berkata: ‘Lihatlah, Tuhan Yang Mahakuasa telah
turun ke dunia sebagai raja. Dia turun dari langit dan duduk di atas
singgasana emas dengan dikelilingi bidadari dan ruh suci para
leluhur yang berkata-kata memuji sang raja: Jayalah Sang Raja!
Kuduslah Sang Raja! Agunglah Sang Raja! Inilah Sang Raja yang
duduk di atas takhta Kebenaran. Sang Raja yang berjalan di atas
permadani ketidakbersalahan. Sang Raja yang adil dan bijaksana.
Sang Raja yang agung dan mulia. Sang Raja yang menjadi pemilik
segala sesuatu yang terhampar di atas bumi yang dikuasainya.

1006
Sang Raja yang wajib disembah dengan segala kepatuhan dan
ketundukan. Ya, Sang Raja, jelmaan Tuhan di dunia.’”

“Setelah yakin dusta yang dibangun kaumnya dipercaya banyak


manusia maka dengan raungan mengerikan sang raja yang
menunggangi makhluk pemangsa mengerikan bernama kerajaan
itu bertitah: ‘Akulah yang teragung dan termulia di antara segala
raja. Akulah titisan Tuhan di jagad raya. Karena itu, berlutut dan
bersujudlah kalian menyembah aku! Barang siapa di antara para
kawula yang menghadap raja tidak berlutut, tidak bersujud, dan
tidak menyembah akan dipenggal kepalanya.’”

“Aku katakan kepada kalian, semua itu adalah kepalsuan yang


dirancang para pendusta dengan mengatasnamakan keberadaan
kerajaan sebagai ketentuan Tuhan. Aku katakan bohong dan dusta
kata-kata mereka itu. Sebab, apa yang mereka katakan sangatlah
bertentangan dengan kenyataan akan asma’ dan shifat Tuhan.”

“Sejak zaman awal hingga akhir nanti Dia, Yang Maha Merajai (al-
Malik), tidak pernah ingkar janji dan tidak pernah menyimpang dari
asma’ dan shifat-Nya. Jika Dia mewajibkan hamba-Nya untuk
patuh, tunduk, dan setia kepada-Nya maka Dia akan melimpahkan
semua anugerah yang tak terbayangkan kepada hamba tersebut,
baik di dunia maupun di akhirat. Hamba-hamba yang tunduk,
patuh, dan setia akan dianugerahi-Nya pangkat takwa. Mereka
akan dimuliakan dan diagungkan sepanjang masa.”

1007
“Sementara itu, jika kalian mempercayai dongengan para
pendusta, dengan menganggap raja-rajamu sebagai jelmaan al-
Malik di dunia, justru kesengsaraan dan kehinaan yang terbukti
engkau terima. Ketundukan, kepatuhan, dan kesetiaanmu sebagai
hamba dari raja-rajamu tidak mendatangkan manfaat apa-apa
bagimu kecuali penderitaan. Sebab, engkau yang tunduk, patuh,
dan setia kepada rajamu akan ditempatkan sebagai hamba sahaya
yang selalu hidup dalam keadaan kekurangan, tertindas, teraniaya,
dan dizalimi. Raja-rajamu dengan semena-mena bisa bebas
merampas harta benda milikmu, bahkan merampas nyawamu.
Engkau sekalian tidak diperkenankan memiliki sesuatu melebihi
rajamu. Engkau ditempatkan dalam keadaan serba kekurangan,
sedangkan rajamu dalam kelimpahruahan.”

“Penderitaan dan kesengsaraan kalian sebagai kawula akan


semakin berat dan tidak tertanggungkan ketika kalian dikuasai
raja-raja yang gemar berperang. Saat makhluk pemangsa
bernama kerajaan itu ditunggangi untuk menyerang makhluk
pemangsa lain, yang paling menderita adalah kalian: kawula.
Rumah kalian dibakar. Harta benda kalian dijarah. Anak-anak
kalian dirampas untuk dijadikan budak. Nyawa kalian pun akan
dirampas oleh makhluk pemangsa yang bertarung. Sehingga,
sejak zaman purwakala hingga sekarang, sesungguhnya, kalian
selalu jatuh di bawah kekuasaan makhluk pemangsa satu ke
makhluk pemangsa yang lain. Karena itu, o Saudara-saudaraku,
salahkah aku jika mengatakan dengan jujur bahwa raja-raja yang
menyatakan jelmaan Tuhan di dunia ini adalah pendusta besar?
Salahkah aku jika menggambarkan keberadaan kerajaan sebagai
makhluk pemangsa yang paling ganas?”
1008
“Sekarang jelas sudah bagi kalian semua bahwa kepercayaan
terhadap dongeng-dongeng tentang raja dan kerajaan yang
dirancang para pendusta itu harus diakhiri. Jangan didengar lagi
mulut-mulut najis mereka yang menebarkan janji palsu tentang
kemakmuran dan keadilan dari makhluk mengerikan yang mereka
sebut kerajaan, tunggangan raja-raja yang dikelilingi oleh para
pendusta untuk memuaskan nafsu rendah mereka. Sebab, raja
dan para pendusta itu adalah manusia berjiwa laba-laba ganas
yang selalu merancang siasat untuk menjerat manusia-manusia
berjiwa keledai, unta, kuda beban, sapi perah, kerbau, dan anjing
peliharaan untuk dijadikan mangsanya.”

“Jika kalian masih percaya dengan ucapan para pendusta itu,


sesungguhnya selama ini kalian semua telah memakan dusta para
pendusta. Kalian telah terpesona karena para pendusta itu telah
memperlihatkan kalian sebuah tontonan menakjubkan tentang
sang raja yang duduk di atas singgasana emas bertabur permata.
Kalian takjub melihat takhta itu memancarkan kilau indah
gemerlapan karena diterangi lampu-lampu yang bercahaya. Kalian
terbius karena singgasana itu tegak di tengah kepulan dupa dan
kayu gaharu yang wangi. Kalian terheran-heran menyaksikan
berderet-deret pejabat dan pendeta peliharaan raja. Kalian
terperangah menyaksikan para penari jelita yang melenggak-
lenggok di depan sang raja. Sungguh agung dan mulia tontonan
itu. Betapa megah dan mewah tontonan itu.”

“Aku tidak menyalahkan kalian yang terpesona oleh tontonan para


pendusta itu. Aku hanya meminta, jika kalian adalah orang-orang
1009
bijak maka hendaknya kalian bertanya kepada diri: di dalam
tontonan yang menakjubkan itu, sesungguhnya di manakah letak
kedudukanku? Jika pertanyaan tentang kedudukan diri sudah
kalian ajukan maka kalian pun akan segera tahu jawabannya, yaitu
kalian akan berkata begini: aku adalah kawula kerajaan. Aku
adalah hamba sahaya sang raja. Sebagia kawula, kedudukanku di
dalam tontonan agung itu tidak lebih dari sekedar batu-batu
pajangan yang hidup tidak mati pun enggan. Batu-batu pajangan
yang bisa menyaksikan sang raja berjalan, berlatih memanah,
menunggang kuda, berburu, dan menerima sanjungan serta pujian
dari kawulanya. Batu-batu pajangan yang setiap saat merelakan
dirinya dijadikan alas pijakan para pendusta. Ya, batu-batu
pajangan yang dianggap tak bernyawa.”

“Sekarang ini, o Saudara-saudaraku, aku beritakan kepada kalian


bahwa telah datang zaman baru sehingga tontonan megah dan
mewah ciptaan para pendusta itu harus ditinggalkan. Pada zaman
baru ini orang-orang harus berkata: ‘Jangan percaya lagi kepada
para pendusta yang mengatakan dirinya abdi raja, abdi negara,
hamba hukum, nayakapraja, punggawa, dan pahlawan kerajaan.
Jangan percaya ucapan mereka karena mulut mereka najis.
Jangan percaya pada janji-janji mereka karena semuanya mengalir
dari mulut yang najis.”

“Kenapa aku katakan mulut-mulut najis? Sebab, lidah mereka


palsu. Gigi mereka palsu. Bibir mereka palsu. Bahkan
tenggorokan, jantung, limpa, dan usus mereka pun palsu. Itu
sebabnya, kata-kata yang keluar dari mulut mereka palsu semua.
1010
Demikianlah, Kebenaran sesungguhnya tentang para pendusta
itu.”

“Dengan memahami kepalsuan tubuh dan jiwa para pendusta yang


bersekongkol mencipta makhluk pemangsa jahat bernama
kerajaan, bukan berarti kalian memiliki hak untuk mencela dan
menista mereka. Aku katakan bahwa kalian tidak punya hak
mencela dan menista, karena makhluk jahat ciptaan mereka itu
memang merupakan bagian dari kodrat kehidupan di dunia. Ibarat
kawanan laba-laba bebas menebar jaring untuk mencari mangsa,
begitulah para pendusta itu bebas menebar kebohongan dan janji
palsu untuk memerangkap orang-orang lemah dan bodoh yang
mempercayai dusta mereka. Sesungguhnya, hanya mereka yang
sudah ditundukkan oleh nafsu rendah badani jua yang akan
menjadi kawula taklukan pemangsa jahat bikinan para pendusta
itu.”

“Kepada kalian, o adimanusia-adimanusia yang menduduki


jabatan wakil Allah di muka bumi, diwajibkan bagi kalian untuk
sadar diri dan tidak mempercayai dusta yang dibangun para
pendusta. Ketika kalian meyakini kebenaran yang dibangun para
pendusta sehingga menjadikan kalian tunduk dan patuh, berlutut
dan bersujud kepada makhluk jahat bernama kerajaan itu maka
‘telunjuk Sang Kebenaran akan ditudingkan ke arah kalian dengan
tuduhan: musyrik!’”

1011
“Jika sebelum ini, para ‘alim yang menjadi pemimpin kalian
mengatakan: jangan berlutut dan bersujud kepada batu-batu dan
kayu-kayu yang dipahat! Maka sekarang aku katakan: Jangan
kalian berlutut dan bersujud kepada raja-rajamu! Jangan
menyembah raja-rajamu seperti engkau menyembah Tuhanmu.
Sesungguhnya, makhluk pemangsa jahat bernama kerajaan yang
ditunggangi sang raja itu adalah berhala baru yang bakal
menyesatkan kalian dari jalan Kebenaran Sejati.” “

Wahai Saudara-saudaraku, ingat-ingatlah selalu akan apa yang


aku ajarkan. Kendati begitu, tidak lagi mempercayai dongeng-
dongeng tentang kerajaan yang dirancang para pendusta bukan
berarti kalian harus hidup tanpa pemimpin. Sesuai fitrah makhluk
hidup di jagad raya, tiap-tiap puak di antara makhluk ciptaan Ilahi
selalu memiliki pemimpin. Tetapi, bagi adimanusia-adimanusia,
wakil Allah di muka bumi, kepemimpinan bukanlah seperti
kepemimpinan margasatwa. Kepemimpinan adimanusia adalah
kepemimpinan yang benar-benar mencerminkan
pengejawantahan kewakilan Sang Pencipta.”

“Akan kukatakan kepada kalian tentang kepemimpinan yang benar


dan yang sesuai untuk adimanusia yang berkedudukan sebagai
wakil Allah di muka bumi. Sesungguhnya masing-masing manusia
secara fitrah memiliki ‘kuasa-kuasa kodrati’ yang memancar dari
asma’, shifat, dan af’al-Nya, Yang diwakilinya. Tiap-tiap manusia
sesungguhnya memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin
karena kedudukannya sebagai wakil Yang Maha Merajai di muka
bumi (khalifah al-Malik fi al-ardh).”
1012
“Sebagaimana raja-raja dunia yang kalian kenal, sesungguhnya
tiap-tiap kalian memiliki ‘kuasa-kuasa kodrati’ untuk dimuliakan,
karena dia adalah pancaran keterwakilan Yang Mahamulia di muka
bumi (khalifah al-Azaiz fi al-ardh). Demikian pun, tiap-tiap manusia
secara fitrah memiliki kuasa-kuasa kodrati’ untuk hidup di atas
landasan hukum, karena dia adalah wakil Yang Maha Menetapkan
Hukum (khalifah al-Hakam fi al-ardh).”

“Tetapi, ibarat benih yang ditabur di atas tanah, masing-masing


manusia harus berjuang melampaui keterbatasannya untuk
mewujudkan keberadaan citra dirinya sebagai wakil Allah di muka
bumi. Dan, seperti yang pernah aku ajarkan kepada kalian, jalan
menuju citra adimanusia yang sempurna adalah laksana
rentangan antara binatang – manusia – adimanusia yang wajib
dilampaui. Maka, begitulah hendaknya masing-masing manusia
wajib melampaui matra kebinatangan dan matra kemanusiaannya
agar mencapai kedudukan adimanusia yang sempurna.”

“Hanya mereka yang sudah melampaui matra kebinatangan dan


matra kemanusiaan hingga menjadi adimanusialah yang pantas
memimpin manusia lain. Itu berarti, hanya adimanusia yang dapat
melepaskan semua pamrih pribadi untuk berkhidmat kepada
tugasnya sebagai wakil Allah di muka bumi yang layak menjadi
pemimpin manusia. Dan cermin terbaik dari adimanusia yang
kumaksudkan adalah citra diri Nabi Muhammad Saw. dengan
keempat sahabat penggantinya, yaitu Abu Bakar ash-Shiddiq,
Umar bin Khathab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abu Thalib.

1013
Merekalah adimanusia yang hendaknya dijadikan kiblat dan
rujukan keteladanan dalam memimpin manusia.”

“Lihatlah citra kehidupan Nabi Muhammad Saw., sang penyampai


Kebenaran, guru, dan pemimpin manusia. Beliaulah sang
adimanusia yang dengan tegas menolak jabatan raja, istri cantik,
dan harta kekayaan dengan berkata begini: ‘Andaikata rembulan
ditaruh di bahu kananku dan matahari ditaruh di bahu kiriku,
niscaya aku tidak akan meninggalkan tugasku.’ Ya, itulah citra
adimanusia, yang tidur beralaskan anyaman daun kurma dan
menambal pakaian dengan tangannya sendiri. Itulah citra
adimanusia yang menguasai Jazirah Arabia dan Baitul Mal, namun
saat wafat tidak meninggalkan warisan apa-apa kecuali Kitab Allah
dan keteladanan hidup.”

“Sekali lagi aku katakan kepada kalian bahwa hanya adimanusia


yang tercitrakan pada diri Nabi Muhammad Saw. dan keempat
sahabat itulah manusia yang boleh menjadi pemimpin para
manusia sempurna. Mereka yang masih berada pada kedudukan
manusia, apalagi binatang, diharamkan menjadi pemimpin
manusia. Sebab, tidak akan ada yang bisa diperbuat oleh seekor
binatang di atas singgasananya, kecuali memenuhi perutnya
dengan daging mentah dari mayat-mayat yang dimangsanya dan
membasahi tenggorokannya dengan darah.”

“Sesungguhnya, seorang adimanusia yang sudah melampaui


kemanusiaannya dan menduduki derajat wakil Allah di muka bumi
1014
adalah manusia sempurna yang mewakili citra asma’, shifat, dan
af’al Allah. Itu sebabnya, ketika ia menjadi pemimpin manusia,
sesungguhnya ia merupakan pengejawantahan Yang Maha
Merajai (al-Malik), Yang Mahaagung (al-Azhim), Yang Mahaadil
(al-‘Adl), Yang Mahabijaksana (al-Hakim), Yang Mahabenar (al-
Haqq), Yang Mahakuat (al-Qawiy), Yang Maha Terpuji (al-Hamid),
Yang Mahakaya (al-Ghaniyy), Yang Mahakuasa (al-Qadir), Yang
Maha Menentukan (al-Muqtadir), Yang Maha Pemurah (ar-
Rahman), Yang Maha Pengasih (ar-Rahim), Yang Maha
Pengampun (al-Ghafur), serta semua asma’ dan shifat Ilahi yang
lain.”

“Semua atribut Ilahiyyah yang telah aku sebutkan sesungguhnya


tidak akan pernah akan bisa memancarkan citra diri-Nya pada
manusia pecinta bumi dan kebendaan. Sebab, pecinta bumi dan
kebendaan adalah orang-orang yang masih berada pada
bentangan kebinatangan dan kemanusiaan. Aku katakan kepada
kalian bahwa sungguh telah berdusta orang-orang yang
mengatakan bahwa raja-raja pecinta kebendaan dan pengumbar
nafsu syahwat itu adalah jelmaan Tuhan di muka bumi. Aku
katakan dusta terhadap mereka yang mengatakan para penimbun
harta benda sebagai wakil Allah di muka bumi. Dan, karena kalian
adalah murid-muridku maka hendaknya kalian meninggalkan para
pendusta itu. Jauhi mereka.”

“Jika kalian bertanya kepadaku bagaimana orang-seorang bisa


menjadi pemimpin di antara sesamanya? Maka, aku katakan:
kepemimpinan manusia atas manusia lain hanya mungkin terjadi
1015
dengan benar jika didasarkan pada kerelaan manusia lain untuk
memberikan haknya demi memilih orang seorang yang dipercaya
dapat membawa mereka kepada jalan kesejahteraan, keadilan,
kedamaian, kebahagiaan, dan keselamatan. Maksudku, sebagai
wakil Yang Maha Merajai di muka bumi, sesungguhnya masing-
masing manusia memiliki ‘kuasa-kuasa kodrati’ untuk memimpin.
Tetapi ‘kuasa-kuasa kodrati’ itu sangatlah lemah dan kecil pada
masing-masing orang. Karena itu, masing-masing pribadi wakil al-
Malik di muka bumi harus dengan rela hati mendelegasikan
kewakilan dirinya sebagai wakil al-Malik kepada orang seorang
yang dipercayanya untuk memimpinnya ke jalan yang benar.”

“Maksudku, dengan asas kerelaan masing-masing wakil al-Malik


untuk mendelegasikan haknya kepada orang seorang maka
seorang pemimpin manusia wajib muncul berdasarkan pilihan
masing-masing wakil al-Malik. Pemimpin manusia wajib
didasarkan atas pilihan. Itu sebabnya, aku katakan telah berdusta
orang-orang yang menyatakan bahwa kepemimpinan itu harus
berdasarkan asas keturunan darah, suku, warna kulit, bahasa, dan
agama.” “

Kalian bukan lagi kawula dari raja. Kalian adalah suatu kabilah.
Maka hendaklah kalian memilih salah seorang di antara kalian
sendiri sebagai pemimpin kabilah. Sesungguhnya, pemimpin
kabilah adalah salah seorang di antara kalian yang mendapat
kepercayaan dari warga kabilahnya. Dia dipilih dan dikukuhkan
oleh warga kabilah dengan tujuan untuk membawa anggota-

1016
anggota kabilah yang dipimpinnya ke arah kesejahteraan,
keadilan, kedamaian, kebahagiaan, dan keselamatan.”

“Jika kalian bertanya disebut apakah kedudukan seorang


pemimpin kabilah? Maka, karena kabilah adalah kumpulan
manusia di suatu nagari yang terdiri atas beberapa desa,
hendaklah pemimpin kabilah itu disebut wali nagari. Jika kalian
bertanya kenapa disebut wali nagari dan bukan kepala nagari? Aku
katakan kepada kalian, karena sebutan ‘kepala nagari’ bisa
bermakna suatu kedudukan yang didasarkan atas asas keturunan.
Sedangkan sebutan wali, yang diambil dari kata Arab al-Waly,
memiliki makna penguasa, pelindung, dan sahabat yang
didasarkan pada asas keterpilihan.”

“Sebagaimana kedudukan Wali Allah dalam makna ruhani yang


berarti suatu kedudukan orang seorang yang ‘dipilih’ Allah untuk
menjadi sahabat atau kekasih-Nya, demikianlah wali nagari adalah
penguasa dan pelindung nagari yang dipilih oleh sahabat-sahabat
yang mengasihinya. Itu berarti, seorang wali nagari selain menjadi
penguasa dan pelindung nagari, juga menjadi sahabat kabilah
yang memilihnya. Dan sebagaimana ketentuan yang digunakan
Allah dalam memilih hamba-Nya untuk didudukkan pada derajat
Wali Allah, seorang wali nagari hendaknya memiliki derajat ruhani
yang lebih tinggi dibandingkan manusia di sekitarnya. Ukuran yang
paling sederhana untuk menilainya adalah dengan melihat
keterikatan orang-seorang terhadap kebendaan dan pengumbaran
nafsu. Itu berarti, semakin kuat keterikatan orang seorang terhadap

1017
kebendaan dan pengumbaran nafsu rendah badani maka semakin
tidak layak orang tersebut dipilih menjadi wali nagari.”

“Jika pemimpin-pemimpin dari kabilah-kabilah yang disebut wali


nagari sudah terbentuk maka menjadi tugas mereka untuk memilih
pemimpin bagi seluruh kabilah yang disebut ra’yat atau
masyarakat ummah. Pemimpin ra’yat atau masyarakat ummah
itulah yang disebut wali al-Ummah, yang bermakna penguasa,
pelindung, dan sahabat masyarakat ummah.” “

Karena citra wali al-Ummah adalah kepemimpinan Nabi


Muhammad Saw. dan dilanjutkan oleh keempat sahabatnya maka
kedudukan wali al-Ummah bercermin dan melanjutkan tradisi
khulafa’ ar-rasyidin, sehingga seorang wali al-Ummah hendaknya
kalifah ar-rasul sayyidin panatagama. Kenapa pemimpin
masyarakat ummah harus disebut kalifah ar-rasul sayyidin
panatagama dan bukan sultan atau amir? Sebab, pemimpin
masyarakat ummah adalah cerminan kepemimpinan Nabi
Muhammad Saw. dan keempat kalifah sahabatnya.”

“Sesungguhnya, di balik sebutan kalifah ar-rasul sayyidin


panatagama terkandung makna ruhani yang lebih dalam
dibandingkan dengan sebutan sultan atau amir. Sebab, sebutan
kalifah merujuk pada khilafah (kekuasaan), imamah
(kepemimpinan ummah), dan wilayah (kewalian). Itu sebabnya,
seorang kalifah adalah penguasa sekaligus imam ruhani.
Sebagaimana telah ditunjukkan dalam kepemimpinan Nabi
1018
Muhammad Saw. dan keempat penggantinya, demikianlah
hendaknya pemimpin masyarakat ummah menjalankan tugasnya
sebagai penguasa duniawi sekaligus imam bagi masyarakat
ummah yang dipimpinnya.”

“Oleh karena kiblat yang dijadikan cerminan seorang kalifah ar-


rasul sayyidin panatagama adalah Nabi Muhammad Saw. dan
keempat sahabat maka sesungguhnya sangatlah sulit
mendapatkan adimanusia seperti itu. Sebab, sang adimanusia
calon kalifah ar-rasul sayyidin panatagama bukan sekadar
manusia yang telah mampu melampaui matra kebinatangan dan
matra kemanusiaannya. Dia, sang adimanusia itu, hendaknya juga
memahami hukum suci Ilahi (syari’at), ilmu siyasah, ilmu
pemerintahan, ilmu hikmah, dan yang lainnya.” “

Lantaran ketentuan ini sangat berat maka sampai saat ini aku
belum tahu siapa di antara orang-orang yang aku kenal di bumi
Caruban Larang ini yang layak untuk ditunjuk dan dipilih bersama
sebagai kalifah ar-rasul sayyidin panatagama. Tetapi, aku yakin dia
akan muncul tak lama lagi di antara kita. Ya, dia yang dengan
sukarela melepaskan seluruh ikatan dunia untuk berkhidmad
kepada tugasnya sebagai wakil Allah di muka bumi itu tidak lama
lagi akan kita ketahui keberadaannya.”

“Jika di antara kalian ada yang bertanya apakah kata-kata yang


aku ucapkan tentang kedatangan pemimpin masyarakat ummah
itu dianggap nubuah atau ramalan gaib? Aku katakan kepada
1019
kalian yang bertanya bahwa akal dan hati nuraniku berbicara
begini: ‘Perubahan kehidupan manusia dari gelap ke arah terang
selalu ditandai oleh munculnya cahaya agung kemanusiaan
laksana matahari terbit pada pagi hari.’ Itu sebabnya, di tengah-
tengah kegelapan kemanusiaan yang meliputi Bumi Caruban
Larang ini, aku yakin akan muncul cahaya agung itu. Hanya saja,
karena cahaya itu bersinar terlalu terang, sering kali mata kita tidak
mampu melihatnya dari dekat.”

“Dengan segala pertanda dan isyarat yang telah kusampaikan


tentang bagaimana seharusnya seseorang layak dipilih menjadi
kalifah ar-rasul sayyidin panatagama, maka aku meminta kepada
kalian untuk mengamati secara cermat dan jernih tentang siapa di
antara manusia di Caruban Larang ini yang memenuhi syarat-
syarat itu. Jika di antara kalian ada yang mengetahui siapa yang
citra hidupnya paling mirip dengan Nabi Muhammad Saw. dan
keempat sahabat, maka dialah yang layak menduduki jabatan
kalifah ar-rasul sayyidin panatagama.”

1020
Api Perubahan di Lemah Abang

Setelah menyampaikan khotbah beberapa kali,


Abdul Jalil mengetahui dari laporan murid-
muridnya bahwa tidak semua pendengar
mampu memahami apa yang telah
dikemukakannya secara benar. Banyak warga
masih heran dan bingung memahami makna
kabilah, ra’yat, masyarakat ummah, al-insan al-kamil, khalifah
Allah fi al-ardh, hak milik, hak fitrah manusia, wali al-ummah,
kalifah ar-rasul, dan istilah-istilah Arab yang masih asing. Namun,
satu hal dari laporan para murid itu yang membuat Abdul Jalil
bergembira, yaitu hampir semua pendengar memahami intisari
khotbah justru dari dongeng-dongeng yang dituturkannya sebagai
selingan. Di antara dongeng yang paling disukai adalah dongeng
anak harimau disusui kambing, unta dan harimau, Karna anak
kusir, Kalilah dan Dimnah, dan kisah para nabi.

Bagi Abdul Jalil, masalah ketidakpahaman terhadap istilah Arab


yang digunakannya dalam khotbah bukanlah sesuatu yang patut
dirisaukan. Seperti pepatah “alah bisa karena biasa”, istilah-istilah
itu secara berangsur-angsur tentu akan terpahami sendiri jika
digunakan dalam perbincangan sehari-hari. Bukankah pada
awalnya istilah-istilah dari bahasa Sansekerta pun asing dan sulit
dipahami? Bukankah dengan pembiasaan maka istilah-istilah
Sansekerta akhirnya dipahami juga?

1021
Sementara itu, khotbahnya lebih mudah dipahami jika disampaikan
dalam bentuk dongeng. Ia menilai para pendengarnya adalah
manusia yang tidak dibiasakan hidup dalam tradisi bernalar. Itu
berarti, penilaian Abdul Malik Israil tentang kemiripan kerangka
pikir orang-orang Campa, Sunda, dan Jawa, dengan Bani Israil
pada masa kemundurannya tidaklah keliru. Ternyata mereka
memang lebih memahami maksudku lewat bahasa dongeng
daripada dalam bahasa nalar, katanya dalam hati.

Abdul Jalil tersenyum. Ia teringat pada Shafa, istrinya di Gujarat


yang telah menuturkan dongeng-dongeng itu kepadanya. Di antara
dongeng yang digemari itu adalah yang mengisahkan keberadaan
seekor bayi harimau yang dilahirkan induknya di tepi sebuah hutan
tak jauh dari kawanan kambing hutan. Saat melahirkan sang induk
mati kelelahan dan kehabisan darah. Bayi harimau kemudian
diasuh dan disusui oleh kawanan kambing hutan.

Si harimau kecil tumbuh di lingkungan kambing dan mendapat


kasih sayang dari para kambing. Karena hidup di tengah kambing
maka si harimau berbicara dalam bahasa kambing, mengembik,
bermain-main, dan makan rumput seperti kambing. Si harimau
sangat penurut kepada kawanan kambing.

Suatu ketika kawanan kambing hutan diserang seekor harimau


jantan tua yang ganas. Ssemua kambing lari berhamburan
ketakutan. Anehnya, si harimau kecil tetap berdiri di tempatnya
tanpa rasa takut. Dengan terheran-heran ia melihat harimau tua
1022
yang ganas itu, namun ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
Ia mengais dan memamah rumput hijau di depannya sambil
mengembik. Kini giliran sang harimau jantan yang terheran-heran.
Dengan mata terbelalak harimau jantan bertanya, “Apa yang
sedang engkau lakukan di sini bersama kawanan kambing itu, o
Harimau kecil? Kenapa engkau memamah rumput? Mengapa
engkau mengembik dengan suara tolol itu?”

Harimau kecil tak menjawab. Ia hanya mengembik. Menyaksikan


itu, sang harimau jantan yang ganas menyambar tengkuknya dan
membawanya ke sungai di dekatnya. Kemudian dengan
membungkukkan badan sang harimau tua berkata, “Lihatlah
wajahmu, lalu lihat pula wajahku! Bukankah kita sama? Tidakkah
engkau sadar betapa baik aku maupun engkau adalah harimau?
Mengapa engkau membayangkan dirimu seperti seekor kambing?
Kenapa kau mengembik-ngembik? Mengapa kau makan rumput?”

Si Harimau kecil tidak bisa menjawab. Ia hanya bisa memandang


heran wajahnya di permukaan air sungai. Beberapa jenak setelah
berkaca dipermukaan air tiba-tiba ia merasakan perubahan terjadi
pada dirinya. Cakar-cakarnya mulai mengembang. Dari dalam
tenggorokannya tiba-tiba terdengar suara geraman. Namun, ia
tetap heran dengan perubahan itu. Melihat perubahan pada diri si
harimau kecil, sang harimau jantan ganas kembali menyambar
tengkuknya dan membawanya ke sarang. Di sana sang harimau
jantan memberinya sekerat daging mentah sisa makannya yang
masih dilepoti darah. Si harimau kecil mengembik dan bergidik

1023
merasa jijik. Namun, harimau jantan memaksanya memakan
daging itu.

Sesaat setelah memakan daging mentah ia merasakan sesuatu


berubah di dalam dirinya. Tiba-tiba saja ia merasakan kekuatan
aneh yang dahsyat menggetari jiwanya. Ia merasakan
kegembiraan raya yang belum pernah dialaminya selama ini. Ia
bangkit dan menguap lebar-lebar seolah-olah baru terbangun dari
tidur. Ia menggeliat dan meregangkan cakar-cakarnya. Ekornya
dikibas-kibaskan. Dari tenggorokannya terdengar auman yang
keras menggetarkan. Sementara itu, harimau jantan yang menjadi
gurunya menyaksikan dengan bangga sambil berkata, “Sudah
tahukah engakau siapa dirimu sesungguhnya? Karena itu, marilah
kita pergi ke padang perburuan untuk membuktikan siapa
sesungguhnya kita ini!”

Usaha Abdul Jalil untuk membangkitkan kesadaran diri manusia


sebagai makhluk paling agung dan mulia, yaitu manusia sempurna
yang menduduki jabatan wakil Allah di muka bumi, justru lebih
mudah dijelaskan lewat dongeng. Ya, justru dengan cara itulah
manusia-manusia baru bisa disentuh kesadarannya bahwa takdir
mereka adalah sebagai harimau bukannya kambing.

Setelah merenungkan dan mengkaji kembali langkah-langkahnya,


Abdul Jalil menangkap kesadaran baru dan berkata dalam hatinya,
“Sebuah cakrawala baru telah terbentang di hadapanku.
Sesungguhnya, aku membutuhkan lebih banyak murid dan
1024
sahabat yang bisa mendukung gagasan dan impianku untuk
mewujudkan dunia baru. Namun, aku tidak ingin menjadi pemimpin
mereka seperti gembala memimpin kawanan domba. Aku ingin
murid-murid dan sahabat-sahabatku menyadari bahwa mereka
adalah gembala bagi diri mereka sendiri. Mereka akan
memusyawarahkan kepentingan mereka. Dan, mereka akan
berjalan menuju padang kehidupan yang sesuai dengan kodrat
hidup mereka sebagai ciptaan paling sempurna di muka bumi.”

“Jika murid-murid dan sahabat-sahabatku sudah menjadi gembala


bagi dirinya sendiri maka mereka akan menjadi pemimpin bagi
kumpulan harimau yang sadar diri. Masing-masing dari gembala
akan memimpin kawan-kawannya untuk hidup sesuai kodrat
harimau di padang perburuan dunia. Dan lantaran kumpulan itu
adalah kumpulan harimau-harimau maka masing-masing anggota
kumpulan itu akan bersama-sama menjaga kumpulannya dari
ancaman makhluk lain. Sesungguhnya masing-masing kumpulan
harimau itu akan menjalin persaudaraan dengan kumpulan
harimau lain, ibarat ikatan tali yang saling mengait.”

Dengan cakrawala kesadaran barunya, Abdul Jalil kemudian


memperbanyak jumlah murid pilihan yang secara khusus
dididiknya menjadi gembala yang akan memimpin kumpulan
harimau. Jika sebelumnya ia hanya membina dan mendidik Syarif
Hidayatullah, Raden Sahid, Abdurrahman Rumi, Raden Qasim,
dan Abdurrahim Rumi maka pada gilirannya ia membina dan
mendidik pula murid lain agar setara dengan “permata-permata
harapan” tersebut. Dan, kehadiran Abdul Malik Israil di Lemah
1025
Abang terbukti sangat membantu usahanya dalam melahirkan
tatanan baru masyarakat.

Usaha keras Abdul Jalil memperbanyak jumlah murid untuk dididik


menjadi gembala bagi kumpulan harimau terbukti tidak sia-sia. Hal
itu terlihat ketika para murid dilibatkan dalam usaha menata
kehidupan warga. Bagaikan matahari terbit dengan gemilang
menerangi langit, terbentanglah cakrawala kehidupan baru yang
gemilang di Lemah Abang. Bagaikan kumpulan harimau di padang
perburuan, warga Lemah Abang tiba-tiba mewujudkan diri menjadi
kabilah berisi sekumpulan “harimau” sebagaimana diangankan
Abdul Jalil. Dalam waktu kurang dari tiga bulan sejak Abdul Jalil
menyampaikan khotbah di Tajug Agung Lemah Abang, seluruh
penduduk Lemah Abang telah menjadi manusia yang berbeda
dalam banyak hal dengan warga Caruban Larang seumumnya.

Perubahan kehidupan warga Lemah Abang sendiri sesungguhnya


diketahui oleh warga asal desa sekitar setiap hari pasar tiba. Dari
hari pasar satu ke hari pasar yang lain mereka selalu terkejut
menyaksikan perubahan yang terjadi pada diri warga Lemah
Abang. Dengan terheran-heran mereka mengamati penampilan,
perilaku, kata-kata, bahasa pergaulan, pandangan hidup, jalan
pikiran, dan gaya hidup yang berbeda dengan yang mereka kenal
sebelumnya. Seiring bergulirnya waktu, para pedagang pun
akhirnya menjadikan warga Lemah Abang sebagai bahan sorotan
dan perbincangan dengan pedagang asal desa lain.

1026
Tidak bisa dielakkan, bermula dari perubahan warga Lemah Abang
yang dianggap aneh, sebuah perubahan besar tampaknya sedang
terjadi di Caruban Larang. Bagaikan memiliki daya pesona yang
kuat, kabar perubahan warga Lemah Abang telah memunculkan
rasa ingin tahu warga dari desa lain di wilayah Caruban Larang.
Entah siapa yang memulai, dengan berkelompok-kelompok atau
sendiri-sendiri, warga dari berbagai desa berdatangan ke Lemah
Abang. Sambil berbelanja atau menjual sesuatu mereka ingin
menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana
sesungguhnya keanehan tatanan baru dari kehidupan warga
Lemah Abang sebagaimana yang mereka dengar.

Saat warga dari desa lain mengamati gerak kehidupan warga


Lemah Abang, yang semula mereka nilai aneh, tanpa mereka
sadari telah terjadi pula suatu keanehan lain. Entah bagaimana
awalnya, tiba-tiba dari kedalaman jiwa mereka terlintas keinginan
kuat untuk meniru keanehan warga Lemah Abang tersebut.
Keinginan itu makin kuat manakala mereka diberi tahu oleh warga
Lemah Abang tentang ajaran dan tatanan baru sebagaimana
disampaikan oleh Syaikh Lemah Abang dan murid-muridnya.
Diam-diam mereka menangkap nuansa kebenaran di balik ajaran
Syaikh Lemah Abang. Lantaran hasrat meniru itu makin lama
makin menguat di jiwa mereka maka setiap kali pulang dari Lemah
Abang mereka diam-diam mencontoh satu demi satu apa yang
mereka saksikan, baik dalam hal cara warga berpakaian,
berbicara, berjual beli, dan gaya hidup.

1027
Tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi dengan
peniruan-peniruan yang dilakukan oleh warga desa yang pernah
datang ke Lemah Abang tersebut. Orang hanya mengetahui
bahwa dalam berbagai perbincangan di antara para petani,
nelayan, perajin, tukang, dan pedagang di desa-desa, warga
Lemah Abang selalu dikesankan sebagai warga yang berani dalam
memperjuangkan harkat dan martabatnya sebagai manusia.
Dengan terheran-heran mereka memperbincangkan bagaimana
para petani, pedagang kecil, tukang, perajin, kuli, bahkan janda tua
di Lemah Abang berani menyatakan diri sebagai manusia yang
sederajat dengan manusia lain. Ya, dengan sangat percaya diri
orang-orang Lemah Abang menyatakan punya “hak milik” pribadi
atas tanah, rumah, harta benda, keluarga, agama, dan bahkan hak
memilih pemimpin; suatu hal aneh yang tidak dipunyai warga desa
lain.

Perbincangan tentang warga Lemah Abang ternyata tidak hanya


terjadi di kalangan warga desa sekitar yang pernah datang ke
sana. Para pedagang Cina, Melayu, Campa, dan Arab yang
berniaga di pasar Kuta Caruban, Junti, dan bahkan Dermayu pun
sudah mendengar dan memperbincangkan perubahan di sana.
Mereka yang umumnya warga keturunan asing itu sangat berharap
perubahan yang terjadi di Lemah Abang bisa meluas ke berbagai
penjuru negeri Sunda. Dengan tatanan baru yang dirintis Syaikh
Lemah Abang mereka berharap dapat setara dan sederajat
dengan warga setempat. Tatanan yang berlaku di Bumi Pasundan
dan Majapahit sejauh ini menempatkan warga asing yang tidak
beragama Hindu sebagai kalangan Mleccha, yakni manusia di luar
kasta yang lebih rendah daripada kalangan sudra papa. Dalam
1028
berbagai hal, harta benda dan nyawa mereka tidak dijamin secara
hukum. Jika terjadi perubahan politik kekuasaan, mereka menjadi
sasaran jarahan warga setempat, terutama dari kalangan sudra.

Berawal dari perbincangan para pedagang asing di bandar


Dermayu dan Caruban Larang, kabar perubahan warga Lemah
Abang pun pada gilirannya tersiar di bandar Kalapa bahkan
kutaraja Dayeuh Pakuan. Prabu Guru Dewata Prana Sang
Maharaja Sunda sangat terkejut mendengar lahirnya tatanan
kehidupan yang aneh di wilayah kekuasaan puteranya itu. Diam-
diam maharaja tua itu mengirim Tumenggung Nara Wingkang,
penguasa Astana Larang, ke Lemah Abang untuk menyelidiki apa
sesungguhnya sedang terjadi di sana.

Dengan didampingi lima perwira, Tumenggung Nara Wingkang


menyamar sebagai pedagang kain dan tinggal selama lima hari di
Lemah Abang. Selama lima hari itulah sang tumenggung beserta
kelima pengawalnya terheran-heran menyaksikan gerak
kehidupan warga desa yang baru dibuka belum setahun itu.

Setelah mersasa cukup menyaksikan keanehan tatanan


kehidupan warga, Tumenggung Naya Wingkang kembali ke
Dayeuh Pakuan menghadap Prabu Guru Dewata Prana, secara
kebetulan sang maharaja sedang berbincang-bincang dengan
Prabu Sursawisesa, Yang Dipertuan Galuh Pakuan, puteranya.
Tumenggung Nara Wingkang menuturkan semua yang telah
disaksikannya di Lemah Abang.
1029
“Sejak patik lahir hingga rambut patik ditumbuhi uban, belum
pernah patik menyaksikan tatanan kehidupan yang begitu aneh
seperti di Lemah Abang. Paduka bisa membayangkan, menurut
pengakuan warga, belum genap tiga bulan sejak desa itu dibuka,
sudah dihuni oleh sekitar seribu warga yang tinggal di rumah-
rumah yang mengitari Tajug Agung dan pasar desa. Yang aneh
lagi, Paduka, masing-masing warga Lemah Abang memiliki hak
pribadi atas tanah yang mereka buka sebagai hunian, sawah, dan
tegalan. Menurut warga, tanah itu mereka dapat dari pemberian
Syaikh Lemah Abang, guru ruhani mereka,” ujar Tumenggung
Nara Wingkang.

“Bukankah Lemah Abang masuk wilayah Japura?” tanya Prabu


Guru Dewata Prana. “Bukankah wilayah itu sudah kuberikan
kepada puteraku, Sri Mangana? Bagaimana mungkin tanah Japura
bisa dibagi-bagikan kepada kawula tanpa sepengetahuan
puteraku? Siapakah Syaikh Lemah Abang itu?

“Itulah pangkalnya, Paduka,” kata Tumenggung Naya Wingkang.


“Karena pemimpin di Lemah Abang itu sesungguhnya adalah
Datuk Abdul Jalil, putera Sri Mangana.” Prabu Guru Dewata Prana
tercekat kaget. Namun, sesaat kemudian ia tersenyum.

Berbeda dengan ayahandanya, reaksi Prabu Surawisesa saat


mendengar penjelasan Tumenggung Nara Wingkang sangat
meledak-ledak. Awalnya ia terhenyak kaget. Wajahnya merah
padam dijalari api amarah. Kemudian, dengan suara berapi-api ia
1030
berkata lantang, “Jelaslah sudah sekarang bahwa keanehan
tatanan di Lemah Abang bukan sesuatu yang tidak masuk akal.
Jelas pula bahwa kepemilikan kawula atas tanah di Lemah Abang
itu bukan karena kebaikan hati Syaikh Lemah Abang yang
membagi-bagikan tanah miliknya kepada para kawula. Jelas juga
ucapan Syaikh Lemah Abang yang menyatakan bahwa warga
Lemah Abang bukan lagi kawula karena sesungguhnya semua itu
bukan tatanan baru yang akan mengubah tatanan yang sudah ada.

“Ya, sekarang sudah jelas bagiku bahwa semua keanehan di


Lemah Abang adalah siasat Sri Mangana, Yang Dipertuan
Caruban Larang, untuk mengincar takhta kerajaan Sunda. Dia tahu
peluangnya menjadi maharaja Sunda menggantikan ayahanda
kami sangat kecil karena seluruh kerabat kerajaan diam-diam telah
memilihku sebagai pewaris takhta, meski ayahanda kami tidak
menunjuk putera mahkota. Jadi, jelaslah bagiku sekarang ini
bahwa gejolak kehidupan di Lemah Abang sesungguhnya adalah
siasat licik dari Yang Dipertuan Caruban Larang untuk tujuan yang
lebih besar, yaitu takhta kerajaan Sunda. Dia menggunakan
tangan anaknya untuk merebut takhta.”

Mendengar kata-kata puteranya, Prabu Guru Dewata Prana hanya


tersenyum. Sebagai maharaja yang sudah berpengalaman
merasakan pahit dan getirnya kekuasaan, ia tidak gampang
terpengaruh oleh pandangan puteranya yang terbawa perasaan
itu. Untuk memperjelas masalah, ia mengirim kembali
Tumenggung Nara Wingkang ke Lemah Abang dengan didampingi
Tumenggung Lembu Jaya dari Kidang Lamotan. Sementara kedua
1031
utusan itu berangkat, maharaja bijak itu mengirim Tumenggung
Jagabhaya dan Ki Purwagalih ke Kuta Caruban untuk meminta
penjelasan dari Sri Mangana tentang keanehan tatanan di Lemah
Abang.

Menyadari bahwa ayahandanya tidak terpengaruh oleh kata-


katanya, Prabu Surawisesa kembali ke Kraton Surawisesa di
Galuh Pakuan. Setelah itu, ia mengirim Tumenggung Limbar
Kanchana, penguasa Ajong Kidul, ke Lemah Abang. Tumenggung
Limbar Kanchana ditugaskan untuk mengetahui seluk beluk
kehidupan di Lemah Abang, terutama kemungkinan menguak
jaringan rahasia yang menghubungkan Lemah Abang dengan
Caruban Larang. “Usahakan engkau dapatkan bukti bahwa
kejadian di Lemah Abang adalah kepanjangan tangan Sri
Mangana,” ujar Prabu Surawisesa.

Sementara itu, saat Tumenggung Lembu Jaya menginjakkan kaki


di Lemah Abang, ia merasa terheran-heran dengan apa yang
disaksikannya. Ia yang pernah berkunjung ke Japura barang tujuh
tahun silam sangat takjub dengan keberadaan Desa Lemah Abang
yang kata orang baru dibuka barang enam tujuh bulan silam. Dulu
di kawasan itu tidak dijumpainya satu rumah pun. Saat itu seingat
Tumenggung Lembu Jaya, yang ia saksikan hanyalah hutan lebat
di selatan Japura dan hamparan rumput alang-alang yang dihuni
hewan melata dan serangga ganas yang berbahaya. Jika musim
kemarau datang, sejauh mata memandang hanya hamparan
rumput alang-alang berwarna coklat yang tergelar. Beberapa
bagian dari hamparan alang-alang itu acapkali terbakar
1032
menyisakan abu yang menghitam. Sebaliknya, jika musim
penghujan tiba hamparan rumput alang-alang berubah menjadi
rawa-rawa yang ganas tempat katak, ular, biawak, serangga, dan
nyamuk membangun sarang.

Tumenggung Lembu Jaya makin terheran-heran ketika nama


Lemah Abang senantiasa dikaitkan oleh warga dengan sosok guru
manusia, Syaikh Lemah Abang, yang bernama pribadi Datuk Abdul
Jalil. Tokoh yang ternyata putera Sri Mangana itu tidak saja dikenal
warga sebagai orang yang merintis pembukaan Desa Lemah
Abang, tetapi juga termasyhur sebagai pemimpin dan sekaligus
guru manusia yang dijadikan contoh keteladanan dan panutan oleh
warga. Orang sepertinya tidak menyebut Lemah Abang jika tidak
menyebut nama sang guru manusia itu. Lantaran begitu kuat
wibawa dan pengaruhnya, meski masih tergolong muda, Syaikh
Lemah Abang sangat disegani dan dihormati pengikutnya. Kata-
katanya menjadi sabda yang diikuti dan perintahnya menjadi titah
yang wajib dilaksanakan oleh seluruh pengikutnya.

Sekalipun Syaikh Lemah Abang merupakan pemimpin dan guru


manusia yang disegani dan dihormati oleh seluruh pengikutnya,
yang mengherankan Tumenggung Lembu Jaya adalah hidupnya
terkesan sangat sederhana, bahkan miskin. Ia tinggal seorang diri
di sebuah gubuk kayu beratap daun kawung yang terletak di
samping kiri Tajug Agung. Tidak ada perabot apa pun di dalam
gubuk kecil itu kecuali selembar tikar pandan yang dijadikan alas
tidur dan sebuah peti kayu berisi empat lembar pakaian. Sebuah
lampu minyak kelapa terlihat meringkuk di sudut ruang dan hanya
1033
dinyalakan pada malam hari ketika ia makan dan menerima tamu.
Ia senantiasa terlihat mengerjakan sendiri semua kebutuhannya
mulai dari menyiapkan makanan, mencuci pakaian, membuat
minyak kelapa, menjahit pakaian yang robek, memperbaiki
terompah, bahkan mencari kayu bakar.

Di sekitar gubuk Syaikh Lemah Abang, sebagaimana disaksikan


Tumenggung Lembu Jaya, dalam jarak sekitar tiga puluh langkah,
terdapat sembilan gubuk kayu beratap daun kawung. Gubuk-
gubuk itu adalah kediaman para janda tua dan anak-anak yatim.
Meski tua, mereka bukan orang lemah apalagi tidak berdaya dan
minta dikasihani. Mereka hidup sebagaimana warga yang lain.
Mereka sehari-hari terlihat bekerja menganyam tikar, bahkan
acapkali terlihat mencari kayu bakar hingga jauh ke pinggiran hutan
yang terletak di selatan Lemah Abang. Jika hari pasar tiba, mereka
berangkat ke pasar menjual tikar dan kayu bakarnya.

Sementara anak-anak yatim yang tinggal di gubuk-gubuk itu pun


bukanlah anak-anak tak berdaya yang meminta dikasihani. Mereka
juga hidup sebagaimana anak-anak Lemah Abang yang lain. Jika
subuh menjelang mereka selalu terlihat menyapu lantai Tajug
Agung, mengisi kolam untuk wudhu, menabuh bedug,
sembahyang berjama’ah, dan sesudah itu mengaji hingga
matahari terbit. Sebagian di antara mereka seusai mengaji akan
bekerja menggembala hewan milik warga atau mencari kayu
bakar, sebagian yang lain membantu para janda tua menganyam
tikar.

1034
Sekalipun janda tua dan anak yatim di Lemah Abang tidak tampak
sebagai orang-orang yang tak berdaya, Syaikh Lemah Abang telah
menetapkan bahwa nafkah mereka dijamin oleh siapa saja di
antara manusia yang melangkah di jalan Kebenaran. Syaikh
Lemah Abang telah memerintahkan kepada semua warga desa
dan semua yang mengaku mengikuti jalannya untuk menyantuni
dan memuliakan para penghuni gubuk itu. Sebagaimana ajarannya
tentang keberadaan manusia sebagai wakil Allah di muka bumi,
menyisihkan sebagian nafkah untuk menyantuni janda miskin dan
anak-anak yatim adalah bagian dari kewajiban manusia yang
menempati kedudukan wakil Yang Maha Pemberi rezeki (khalifah
al-Razzaq fi al-ardh).

Sebagai tokoh panutan, terbukti Syaikh Lemah Abang tidak hanya


memerintahkan para pengikutnya untuk menyantuni dan
memuliakan janda tua dan anak yatim. Ia memberikan keteladanan
langsung tentang bagaimana memperhatikan, membimbing,
menasihati, menyantuni, mengurusi, dan menghibur warga yang
tidak beruntung itu. Sering orang-orang menyaksikan Syaikh
Lemah Abang sepulang dari perjalanan jauh mendatangi para
penghuni gubuk dengan membawa garam, terasi, kain, beras,
gula, bahkan kayu bakar. Sering juga orang melihat ia
mendongeng, mengajak makan dan bahkan bergurau dengan
mereka.

Kehidupan sehari-hari para janda tua dan anak-anak yatim yang


tidak menunjukkan kelemahan apalagi ketidakberdayaan itu
sesungguhnya berpangkal dari ajaran yang disampaikan Syaikh
1035
Lemah Abang. Tokoh panutan itu sangat menekankan kepada
para pengikutnya untuk bangkit dan memerangi kemalasan diri
sebagai kewajiban utama manusia. Menurutnya, salah satu
kewajiban yang pertama-tama harus dilakukan seorang manusia
adalah menggunakan semua anugerah Sang Pencipta dalam
kehidupan sehari-hari, baik anugerah akal, penglihatan,
pendengaran, hati nurani, gerak tangan dan kaki, bahkan tarikan
napas.

Seorang manusia, menurut Syaikh Lemah Abang, tidak bisa


disebut manusia jika ia malas berpikir, enggan menggerakkan
tangan dan kaki, suka menikmati yang enak-enak, tidak mau
bersusah payah, gemar berangan-angan dan berkhayal, berputus
asa jika menghadapi kesulitan. Manusia pemalas, menurut Syaikh
Lemah Abang, adalah makhluk terkutuk yang lebih rendah
derajatnya dari binatang. Sebab, manusia pemalas tidak saja
menista anugerah Sang Pencipta, tetapi juga akan menjadi
bencana bagi kehidupan sesamanya.

Berjuang keras (jihad), ungkap Syaikh Lemah Abang dalam


beberapa khotbahnya, merupakan syarat mutlak bagi keberhasilan
manusia untuk meniti kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Sebab, dengan berjuang keras sesunggunya seorang manusia
tidak saja mensyukuri anugerah, tetapi juga memuliakan dan
mengagungkan Penciptanya. “Dengan menggerakkan tanganmu
untuk menyuapkan nasi ke mulutmu, sesungguhnya engkau telah
mensyukuri anugerah sekaligus memuji keagungan-Nya. Lihatlah
burung-burung yang terbang di angkasa! Lihatlah hewan-hewan
1036
yang berlarian di padang! Lihatlah ikan-ikan yang berenang di
lautan! Mereka semua memuji Penciptanya dengan cara
menggunakan anugerah-Nya dalam setiap gerak kehidupan,” ujar
Syaikh Lemah Abang.

Dengan tanpa kenal lelah, sebagaimana disaksikan sendiri oleh


Tumenggung Lembu Jaya, Syaikh Lemah Abang mengajarkan
kepada semua pengikutnya tentang kewajiban utama seorang
manusia agar menggunakan akal, qalbu, tenaga, pancaindera, dan
anggota tubuhnya untuk memerangi kemalasan diri sendiri. Ia
tanamkan kuat-kuat kepada para pengikutnya keyakinan bahwa
musuh utama manusia adalah setan kemalasan yang bersembunyi
di dalam hati manusia sendiri.

Melalui cerita-cerita, dalil-dalil, dan perumpamaan-perumpamaan


Syaikh Lemah Abang mengarahkan pengikutnya untuk benar-
benar memahami apa yang disampaikannya. Tanpa kenal jemu,
misalnya, ia ulang-ulang dongeng anak harimau disusui kambing,
unta dan harimau, juga kisah Nabi saat menerima wahyu Ilahi
pertama di Gua Hira. “Apakah kalian pikir Muhammad Rasulullah
Saw. itu seorang pemalas yang secara kebetulan datang ke Gua
Hira dan secara kebetulan pula menerima anugerah wahyu dari
Allah ‘Azza wa Jalla? Apa kalian pikir beliau datang ke Gua Hira
hanya satu kali, yaitu pada malam nuzul Al-Qur’an ketika beliau
didatangi Jibril a.s.? Sekali-kali tidak demikian! Sesungguhnya
Muhammad Rasulullah Saw. telah melakukan khalwat di Gua Hira
selama lima belas tahun! Ingat itu! Lima belas tahun beliau

1037
berkhalwat tanpa kenal lelah dan patah semangat,” ujar Syaikh
Lemah Abang.

Nilai-nilai perjuangan untuk memerangi kemalasan diri yang


ditanamkan Syaikh Lemah Abang itulah yang telah menyalakan api
semangat para pengikutnya untuk menapaki kehidupan. Dengan
bekal semangat memerangi kemalasan diri itu para pengikut
Syaikh Lemah Abang memasuki medan perang yang lebih
dahsyat, yakni menghadapi keputusan nasib yang diselimuti kabut
rahasia. Ibarat memasuki negeri asing yang tak dikenal
sebelumnya, begitulah setiap manusia di muka bumi harus
berjuang terus menghadapi tantangan dan rintangan untuk
mencapai tanah harapan yang diidamkan.

Dengan suara menggema di Tajug Agung, di rumah-rumah, di


ujung desa, sawah, tegalan, sungai, lembah, dan gunung, Syaikh
Lemah Abang membangkitkan perlawanan manusia-manusia yang
selama berbilang abad pasrah dijajah dan ditindas oleh nasibnya
karena alasan keturunan. Dengan semangat berapi-api ia berkata
dalam setiap pengajian, “Bangkitlah engkau sekalian, o kaum
sudra papa yang hidup hina! Sesungguhnya bukan darah yang
mengalir di tubuhmu yang membuatmu hina dan nista, melainkan
kemalasan diri dan ketakutanmu menghadapi kehidupan jua yang
menjadikan dirimu dan seluruh keturunanmu hina dina sepanjang
masa. Karena itu, tantanglah kesewenang-wenangan nasib yang
selama ini telah memperbudak jiwamu. Bangkitlah dari kemalasan!
Bangkitlah dari kerendahan diri! Sulut api keberanian di dalam
jiwamu! Lawanlah semua keterbatasan dirimu sekuat kuasamu!”
1038
“Bangkitlah juga, engkau sekalian, o para ksatria berdarah biru!
Janganlah engkau menjadi hewan yang hidup diliputi kemalasan
menikmati keberuntungan nasib yang meninabobokkanmu dalam
buaian angin kepalsuan duniawi. Jangan engkau bermalas-malas
menikmati sanjungan dan pujian. Sesungguhnya di balik
keberuntungan nasibmu itu terdapat tugas besar bagimu untuk
melindungi manusia lain yang lemah dan papa. Bangkitlah dari
kemalasan! Bangunlah dari mimpi-mimpi kosong! Hunuslah
pedang untuk menantang keterbatasan dirimu sekuat kuasamu!
Ujilah dirimu apakah engkau sekalian layak disebut ksatria
berdarah biru yang memiliki dharma utama menjadi pelindung dan
pengayom jagad.”

Pandangan, paham, gagasan, dan nilai-nilai yang diajarkan Syaikh


Lemah Abang untuk menyadarkan manusia akan keberadaan
dirinya sebagai adimanusia yang menduduki jabatan wakil Tuhan
di muka bumi akhirnya dengan sangat rinci dituturkan oleh
Tumenggung Lembu Jaya kepada Prabu Guru Dewata Prana.
Sebagai maharaja yang bijaksana, Prabu Guru Dewata Prana
menangkap Kebenaran yang sedang berembus di Lemah Abang.
Ia menangkap sasmita bahwa suatu angin perubahan sedang
bertiup di daerah kekuasaannya. Jika angin itu tidak dihadapi
secara bijak akan menjadi prahara yang memporak-porandakan
tatanan kehidupan yang sudah ada dengan korban yang tidak
sedikit.

Berbeda dengan laporan Tumenggung Lembu Jaya dan


Tumenggung Nara Wingkang yang mencermati tatanan,
1039
pandangan, gagasan, dan nilai-nilai baru Syaikh Lemah Abang,
laporan Tumenggung Limbar Kanchana yang diutus Prabu
Surawisesa cenderung mengamati keberadaan Lemah Abang
sesuai yang ia saksikan. Ketika masuk ke desa Lemah Abang,
misalnya, Tumenggung Limbar Kanchana hanya mengetahui
bahwa pusat desa itu adalah Tajug Agung yang terbuat dari kayu
dan beratap daun kawung yang berdiri di tengah-tengah desa. Di
samping kiri Tajug Agung terletak kediaman Syaikh Lemah Abang
serta rumah para janda tua dan anak-anak yatim. Di depan Tajug
Agung terhampar lapangan. Di kanan kiri dan belakang Tajug
Agung terdapat beratus-ratus rumah yang berderet-deret hampir
melingkari lapangan.

Dalam jarak sekitar setengah pal di selatan Tajug Agung berdiri


tegak sanggar pamujan yang berdampingan dengan vihara.
Seperti bangunan Tajug Agung, kedua bangunan suci warga
beragama Hindu dan Budha itu dikitari puluhan rumah yang padat.
Warga beragama Hindu dan Budha rajin datang ke situ untuk
beribadah. Namun sungguh aneh, para pendeta Hindu dan Budha
dari sanggar pamujan dan vihara sering terlihat datang ke rumah
kecil di sisi kiri Tajug Agung yang merupakan jediaman Syaikh
Lemah Abang. Jika malam menjelang mereka berbincang-bincang
tentang berbagai hal dengan Syaikh Lemah Abang dan beberapa
warga muslim Lemah Abang. Bahkan, dengan terang-terangan
para pendeta itu mengaku sebagai siswa Syaikh Lemah Abang.
Mereka mengakui bahwa Syaikh Lemah Abang adalah penuntun
dan pembimbing mereka dalam meniti jalan ruhani.

1040
Sementara itu, di bagian utara desa – dalam jarak sekitar satu pal
dari Tajug Agung – terletak pasar desa. Hari pasar berlangsung
sepekan sekali pada hari selasa. Pada hari itu pedagang tidak
hanya menjual sayur-mayur, lauk-pauk, garam, gula, sirih, kacang,
gambir, beras, terasi, dan lada, tetapi menjual juga bahan kain,
sisir, kemenyan, kayu gaharu, cermin, peralatan dapur, gerabah,
obat-obatan, hewan ternak, dan hasil kerajinan. Di sekitar pasar
selain terdapat kedai-kedai yang menjual makanan juga terdapat
kedai-kedai yang menjual roda pedati, tapal kuda, pelana, sabuk,
cambuk, sabit, cangkul, dan terompah. Sementara di sebelah timur
pasar terletak sederetan bangunan yang digunakan untuk kegiatan
pande besi, pembuatan gerobak, keranjang, alat-alat dapur, dan
bahkan penyamakan kulit.

Kesan padatnya pemukiman di Desa Lemah Abang yang


disaksikan Tumenggung Limbar Kanchana menampak kuat
manakala ia melihat lalu-lalang manusia yang sibuk dengan
pekerjaan masing-masing. Setiap hari seiring tersingkapnya
cakrawala pagi, Desa Lemah Abang selalu diliputi suasana
semarak dari para penghuninya yang memulai napas kehidupan
sebagai penghuni bumi. Para petani yang berangkat ke sawah
terlihat berjalan beriringan; memikul bajak, menuntun kerbau,
memanggul cangkul, membawa sabit dan keranjang. Para tukang
kayu, tukang batu, pembantu tukang, kuli angkut, terlihat sibuk
mendirikan rumah dan bangunan lain. Para perajin, pande besi,
peternak, dan pemilik warung tampak sibuk memulai kegiatannya.
Desa Lemah Abang pada hari pasar terlihat jauh lebih semarak
karena selain para pedagang dan buruhnya yang membawa
barang dagangan dengan pedati, gerobak, atau pikulan terlihat
1041
pula iring-iringan warga dari desa-desa sekitar yang hendak
berbelanja.

Dari lalu-lalangnya manusia di Desa Lemah Abang, terutama pada


hari pasar, terlihat asal mereka dari aneka bangsa. Ada orang
Sunda, Jawa, Melayu, Cina, Campa, dan Arab. Mereka tampil
dengan gaya pakaian masing-masing. Meski demikian, yang
terbesar di antara mereka adalah pribumi Sunda dan Jawa dari
desa-desa sekitar Lemah Abang. Orang-orang Melayu, Cina,
Campa, dan Arab lazimnya adalah warga Kuta Caruban yang
datang ke Lemah Abang untuk berdagang.

Tumenggung Limbar Kanchana makin terheran-heran ketika


mengamati penampilan warga Lemah Abang. Penampilan warga
pribumi Lemah Abang sangat berbeda dengan seumumnya warga
pribumi di desa-desa yang ada di Bumi Pasundan. Semua warga
perempuan pribumi Lemah Abang baik orang Sunda maupun
orang Jawa mengenakan kemben jika berada di luar rumah.
Tumenggung Limbar Kanchana makin heran ketika diberi tahu
warga bahwa di Lemah Abang berlaku peraturan yang melarang
para perempuan keluar rumah tanpa mengenakan penutup dada
sebagaimana lazimnya penampilan sehari-hari para perempuan
pribumi. Peraturan itu tentu saja sangat aneh bagi masyarakat
pribumi yang selama beribu-ribu tahun tidak pernah punya
ketentuan untuk mengenakan pakaian penutup dada baik di
kalangan keluarga kerajaan maupun kawula jelata.

1042
Tumenggung Limbar Kanchana juga melihat keanehan cara
berpakaian warga lelakinya. Laki-laki pribumi mengenakan kain
yang menutupi tubuh mereka mulai sebatas pinggang hingga ke
bagian bawah lutut jika berada di luar rumah. Selain itu, para laki-
laki pribumi mengenakan destar. Mereka yang berambut panjang
menggelung rambutnya ke dalam destar. Mereka yang
menggunakan destar batik atau kain wulung adalah warga yang
masih mengikuti agama leluhur. Sedangkan laki-laki berambut
pendek, gundul, atau berambut panjang tetapi digulung ke dalam
destar warna putih adalah warga Lemah Abang yang beragama
Islam.

Selain mengenakan kain dan destar, laki-laki pribumi di Lemah


Abang memiliki kebiasaan baru untuk menyelipkan golok di
pinggang kiri mereka. Menurut keyakinan warga Lemah Abang,
golok itu adalah lambang kehormatan seorang laki-laki yang sudah
menyandang status suami. Golok tidak dimaksudkan untuk
kepentingan lain kecuali untuk melindungi kehormatan seorang
suami. Maksudnya, golok hanya akan digunakan jika ada orang
jahat mengganggu kehormatan istrinya.

Kebiasaan baru lelaki pribumi Lemah Abang menyelipkan golok di


pinggang kiri bermula dari pandangan baru yang menyatakan
bahwa makhluk perempuan dicipta dari tulang iga kiri laki-laki.
Karena itu, iga kiri laki-laki yang hilang dan menjelma menjadi
perempuan itu harus dilindungi dengan golok. Barang siapa
mengganggu atau merampas iga kiri laki-laki maka laki-laki itu
wajib melindungi iga kirinya dengan golok. Dengan munculnya
1043
kebiasaan warga pribumi menyelipkan golok di pinggang kiri itu
maka kebiasaan lama pribumi untuk menyelipkan keris pusaka di
dada tidak lagi terlihat. Penampilan warga Lemah Abang benar-
benar menjadi berbeda dengan penampilan seumumnya warga
desa di Bumi Pasundan yang masih mengenakan cawat, rambut
terurai tak bersisir, dan menyelipkan keris di dada.

Selain penampilan warganya yang aneh, Tumenggung Limbar


Kanchana juga mendapati peraturan-peraturan yang berlaku di
Lemah Abang pun sangat aneh dan tidak lazim. Dalam hal tabu,
misalnya, ada larangan keras bagi seluruh warga untuk memakan
daging anjing, tikus, katak, cacing, dan ulat. Larangan ini sangat
aneh dan tidak lazim karena selama beratus-ratus tahun tabu itu
hanya berlaku di lingkungan keluarga raja. Kini peraturan itu
diberlakukan bagi warga desa. Bagi warga Lemah Abang yang
beragama Islam diberlakukan larangan tambahan, yakni memakan
daging babi. Sementara itu, meski tidak ada larangan memakan
daging sapi, warga Lemah Abang membiasakan diri menyembelih
kerbau untuk pesta dan perhelatan.

Larangan lain yang juga aneh dan tidak lazim yang wajib dipatuhi
oleh seluruh warga adalah menjalankan upacara Ma-lima.
Larangan itu, menurut Tumenggung Limbar Kanchana, pasti akan
menimbulkan huru-hara jika diterapkan di tempat lain sebab
upacara Ma-lima sudah menjadi bagian kehidupan warga di
seluruh jengkal Bumi Pasundan.

1044
Larangan lain di Lemah Abang yang tak kalah mengherankan bagi
Tumenggung Limbar Kanchana adalah larangan menikah lebih
dari satu istri jika alasannya semata-mata untuk memenuhi hasrat
nafsu belaka. Pernikahan lebih dari satu istri sah dan bahkan
dianjurkan jika memiliki alasan bersifat ruhani. “Jika engkau takut
tidak bisa berbuat adil maka hendaknya engkau nikahi satu
perempuan saja. Yang dimaksud adil adalah al-‘Adl. Maksudnya,
jika kiblat hati dan pikiranmu tidak bisa engkau arahkan kepada al-
‘Adl, yaitu Tuhan, maka janganlah engkau memiliki istri lebih dari
satu. Sebab, jika engkau paksakan hasratmu sesungguhnya
engkau telah terpedaya oleh bujuk rayu setan yang bersembunyi
di dalam nafsumu,” ujar penduduk menirukan kata-kata Syaikh
Lemah Abang.

Selain larangan-larangan aneh, Tumenggung Limbar Kanchana


juga mendapati adanya peraturan yang bersifat keharusan bagi
warga di Lemah Abang. Semua warga laki-laki diharuskan berlatih
menunggang kuda dan memanah. Setiap sore secara bergantian
semua warga lelaki berlatih menunggang kuda di lapangan yang
terletak di timur Tajug Agung desa. Warga yang memiliki kuda
meminjamkan kudanya untuk digunakan berlatih oleh warga yang
belum memiliki kuda. Dengan adanya keharusan itu maka seluruh
warga Lemah Abang sangat terampil berkuda dan memanah. Pada
waktu-waktu tertentu mereka pergi ke hutan untuk berburu kijang.
Kebiasaan menunggang kuda, memanah dan berburu yang
berkembang di Lemah Abang benar-benar dianggap aneh dan
bahkan kurang ajar oleh Tumenggung Limbar Kanchana, karena
selama ini kebiasaan itu hanya berlaku di kalangan keluarga raja.

1045
Dengan keterampilan berkuda dan memanah, warga Lemah
Abang ternyata tidak hanya berburu, tetapi sering pula
mengadakan acara lomba ketangkasan. Lomba diadakan tiga
pekan sekali pada hari rabu. Pada hari itu warga dari desa-desa
sekitar pun berduyun-duyun ke sana. Seiring semaraknya lomba
ketangkasan berkuda dan memanah, kebiasaan warga pribumi
menyabung ayam berangsur-angsur jarang dijumpai di desa-desa
sekitar Lemah Abang.

Keanehan dan ketidaklaziman lain yang dijumpai di Lemah Abang,


yang sempat membut marah Tumenggung Limbar Kanchana,
adalah saat ia berbicara dengan warga. Tidak seperti lazimnya
warga desa yang cenderung merendahkan diri dengan
menggungkan bahasa yang halus untuk lawan bicaranya, orang-
orang Lemah Abang berbicara apa adanya tanpa basa-basi.
Bagaikan seorang raja berbicara dengan sesama raja, mereka
dengan percaya diri tidak menyebut abdi atau kawula yang
bermakna budak sebagai kata ganti diri, tetapi ingsun, yang
bermakna aku. Tanpa peduli apakah yang diajak bicara itu
bangsawan atau rakyat jelata, mereka selalu menggunakan kata
ingsun.

Bahkan, Tumenggung Limbar Kanchana nyaris tidak dapat


menahan amarah ketika mengetahui sikap warga Lemah Abang
yang dengan lancang berani mengikrarkan kesepakatan untuk
menolak kehendai siapa saja – termasuk raja dan maharaja –
untuk mengambil anak-anak dan istri mereka. Mereka terang-

1046
terangan akan melawan punggawa kerajaan yang datang
merampas anak-anak dan istri mereka.

Ketika Tumenggung Limbar Kanchana menelusuri lebih lanjut


“kekurangajaran” warga Lemah Abang, terhenyaklah ia oleh cerita
yang mengungkapkan khotbah Syaikh Lemah Abang tentang
kerajaan. Rupanya, seluruh warga Lemah Abang sudah terhasut
oleh khotbah itu. Mereka menganggap raja dan seluruh abdinya
adalah para pendusta, pembohong, penipu. Puncak
ketidakpahaman Tumenggung Limbar Kanchana tentang
keanehan di Lemah Abang terjadi ketika ia diberitahu warga bahwa
Ki Gedeng Karangsembung menduduki jabatan gedeng karena
dipilih langsung oleh warga nagari, termasuk di dalamnya warga
Lemah Abang. Akhirnya, dengan dada dan kepala dikobari api
amarah ia kembali ke Galuh Pakuan dan menyampaikan semua
yang disaksikannya kepada Prabu Surawisesa.

Mendapat laporan dari Tumenggung Limbar Kanchana yang


memperkuat laporan Tumenggung Nara Wingkang, sadarlah
Prabu Surawisesa bahwa di Lemah Abang telah terjadi percikan
api yang membara di bawah permukaan, seibarat bara api menyala
di dalam sekam. Prabu Surawisesa pun menangkap sasmita
betapa bara api yang memercik di Lemah Abang itu pada gilirannya
akan berkobar di Caruban Larang dan dipastikan makin lama akan
semakin membesar, membakar seluruh Bumi Pasundan.

1047
Api Perubahan Berkobar di Caruban
Larang

Tahun 1415 Saka adalah tahun perubahan


yang mulai terasa getarannya di Bumi
Pasundan. Percik api yang membara di
Lemah Abang pada awal tahun tersebut
mengamuk menjadi gelombang dahsyat yang
menyambar-nyambar ke berbagai tempat di sekitarnya. Lahirnya
tatanan baru kehidupan warga Lemah Abang yang disebut kabilah
atau ra’yat ternyata dalam waktu singkat telah berkobar-kobar ke
berbagai tempat di wilayah Caruban Larang. Sejumlah nagari yang
sudah berubah seperti Lemah Abang adalah wilayah yang dipimpin
oleh Ki Gedeng Pasambangan, Ki Gedeng Ujungsemi, Ki Gedeng
Sindangkasih, Ki Gedeng Tersana, Ki Gedeng Babadan, Ki
Gedeng Paluamba, Ki Gedeng Surantaka, Ki Gedeng Trusmi, dan
Ki Gedeng Caruban Girang.

Seluruh penguasa di Bumi Pasundan melihat perubahan itu


dengan perasaan cemas dan gelisah. Mereka seolah-olah
menunggu apa yang berikutnya akan terjadi setelah tatanan baru
yang diawali di Lemah Abang itu diikuti oleh sembilan nagari di
wilayah Caruban Larang. Meski mereka telah mengetahui bahwa
tatanan baru itu didasari oleh gagasan Syaikh Lemah Abang,
mereka tidak pernah menghitung keberadaan putera asuh Sri
Mangana itu. Mereka justru menunggu perkembangan dengan
mengarahkan pandangan ke arah Sri Mangana, sang ratu Caruban
Larang. Tindakan apa yang akan diambil oleh sang ratu yang
1048
selama tahun-tahun belakangan membangun kekuatan militernya
itu.

Kacurigaan para penguasa di Bumi Pasundan terhadap Sri


Mangana tidaklah salah sama sekali. Kenyataan menunjukkan
betapa di balik penerapan tatanan baru di sembilan daerah
kagedengan di Caruban Larang sesungguhnya tidak terlepas dari
peranan sang ratu Caruban Larang. Sebab, atas petunjuk dan
perintah dari sang ratu Caruban Laranglah sesungguhnya para
gedeng berani membagi-bagikan tanah kepada warga di wilayah
kekuasaannya masing-masing. Atas titah sang ratu Caruban
Larang, pemilihan para gedeng di sembilan nagari itu dilakukan
hampir berurutan. Demikianlah, melalui wewenag Sri Mangana,
perubahan yang terjadi di Lemah Abang dikembangkan dalam
lingkup yang lebih luas. Bahkan atas petunjuk Sri Mangana, warga
yang tinggal di daerah-daerah para gedeng itu menyebut diri
sebagai ra’yat atau masyarakat.

Sebagai satu-satunya orang yang paling memahami gagasan


Abdul Jalil, sesungguhnya secara diam-diam raja Caruban Larang
itu mengamati semua perkembangan yang terjadi di Lemah Abang
sejak kali pertama desa itu dibuka. Ketika ia mendengat laporan
tentang khotbah putera asuhnya itu ia sudah mafhum bahwa
sebuah prahara perubahan sedang berembus di Bumi Pasundan.
Sebagai ratu yang sudah menyataka kesediaan untuk mendukung
dengan segenap jiwa dan raga gagasan mulia putera asuhnya itu,
Sri Mangana pun pada gilirannya memerintahkan para gedeng

1049
bawahannya untuk melakukan hal yang sama seperti yang berlaku
di Lemah Abang.

Saat yang ditunggu-tunggu para penguasa Bumi Pasundan


ternyata datang dengan cara yang sangat mengejutkan. Tanpa
ada yang menduga tiba-tiba Sri Mangana mengumumkan
pemberlakuan peraturan baru yang berisi ketetapan-ketetapan
tentang kepemilikan tanah yang berlaku di seluruh wilayah
Caruban Larang. Peraturan baru itu senapas dengan tatanan di
Lemah Abang dan sembilan kagedengan yang lain.

Peraturan beru itu diumumkan sendiri oleh Sri Mangana seusai


memimpin sembahyang Jum’at di Tajug Agung Caruban. Di bawah
tatapan takjub para jama’ah, ratu Caruban Larang mengumumkan
bahwa setiap warga yang tinggal di Caruban Larang akan diakui
keberadaannya sebagai pribadi yang bebas, sama, dan sederajat
antara satu dan yang lain. Tatanan lama yang menempatkan
lapisan masyarakat secara berjenjang berdasarkan keturunan,
warna kulit, tempat asal, dan agama tidak lagi berlaku. Setiap
pribadi akan diakui kepemilikannya atas tanah, rumah, harta
benda, keluarga, dan di dalam memilih agama serta pemimpin.
Siapa pun warga Caruban Larang tanpa pandang agama,
kebangsaan, keturunan, pangkat, dan jabatan adalah warga yang
akan dihormati hak-haknya. Sri Mangana dengan tegas
menyatakan, tugasnya sebagai ratu adalah menjadi pelindung bagi
hukum, tradisi, dan tatanan kehidupan warga di wilayah
kekuasaannya itu.

1050
Pengumuman resmi Yang Dipertuan Caruban Larang itu bagaikan
halilintar menyambar di siang hari, mengagetkan seluruh
penguasa Bumi Pasundan dan kawula Caruban Larang. Penguasa
Pasundan langsung menghamburkan sumpah serapah yang
mengutuki kebijakan itu sebagai ambisi tidak waras seorang ratu
yang berhasrat menduduki takhta Kerajaan Sunda. Sementara di
kalangan kawula Caruban Larang terjadi perbincangan hangat dari
mulut ke mulut menyambut peraturan yang mereka nilai aneh itu.
Lepas dari aneh atau tidak aneh, seluruh kawula Caruban Larang
dengan kegembiraan meluap-luap akhirnya menyambut peraturan
tersebut.

Kawula Caruban Larang yang sebelumnya tidak mengenal hak


kepemilikan atas sesuatu beramai-ramai melakukan perubahan
sesuai peraturan baru sang ratu. Mula-mula mereka menetapkan
batas-batas tanah miliknya yang selama ini merupakan tanah
garapan yang disewa dari para gedeng dan wadana bawahan Sri
Mangana. Namun, kegembiraan yang meluap-luap itu telah
membawa banyak warga ke lembah kerakusan yang berisi
serigala-serigala buas. Akhirnya, karena banyak warga ingin
mendapatkan bagian lebih luas dari yang semestinya maka pecah
perselisihan yang membawa korban jiwa.

Ketika perselisihan antarwarga merebak di berbagai tempat, para


penguasa Bumi Pasundan bersorak gembira menertawakan
kebodohan saudara mereka, Sri Mangana. Namun, mereka segera
terdiam manakala Sri Mangana membuat ketetapan tambahan
yang mengatur luas tanah yang pantas dimiliki oleh masing-masing
1051
keluarga sesuai kebutuhan. Untuk mengatasi kemungkinan
perselisihan di kemudian hari, ratu Caruban Larang mengeluarkan
ancaman hukuman berat bagi warga yang kedapatan melanggar
batas tanah milik warga lain.

Tidak bisa dielakkan, betapa sesungguhnya di balik terbentuknya


tatanan baru itu Sri Mangana telah melakukan tidakan yang tak
pernah dipikirkan oleh saudara-saudara maupun ayahandanya,
yaitu melepaskan hak kepemilikan seorang raja atas setiap jengkal
tanah di wilayah kekuasaannya untuk dibagi-bagikan kepada
penduduk. Bahkan, hak raja untuk menguasai seluruh hajat hidup
para kawula pun dicabutnya. Dengan terheran-heran para
penguasa Bumi Pasundan menilai saudara mereka yang menjadi
ratu Caruban Larang itu memang sudah tidak lagi waras.
Bagaimana mungkin disebut waras, jika seorang ratu merelakan
kehilangan semua haknya hanya demi lahirnya tatanan baru
kehidupan yang disebut masyarakat ummah!

Sementara para penguasa mengecam peraturan baru yang


ditetapkan Sri Mangana, sambutan justru berdatangan dari
berbagai kalangan hingga warga di luar wilayah Caruban Larang.
Haji Shang Shu, kepala penduduk asal negeri Cina di Kuta
Caruban, memberitakan kepada kerabat dan kawan-kawannya di
Dermayu dan Junti tentang peraturan baru di Caruban Larang. Itu
sebabnya, keluarga-keluarga asal negeri Cina di Dermayu yang
dipimpin Lie Han Siang berbondong-bondong datang ke Kuta
Caruban. Keluarga-keluarga Cina di Junti yang dipimpin Liu Sung
tak ketinggalan ikut hijrah ke Kuta Caruban.
1052
Perpindahan keluarga-keluarga asal negeri Cina ke Kuta Caruban
ternyata memunculkan masalah yang berujung pada perselisihan
di antara mereka sendiri. Berbeda dengan penduduk setempat
yang berselisih karena alasan penentuan batas-batas tanah, para
Cina pendatang terlibat perselisihan dengan kawan-kawannya
disebabkan oleh masalah kepemimpinan. Haji Shang Shu,
pemukim lama Kuta Caruban, menghendaki agar semua warga
Kuta Caruban asal negeri Cina berada di bawah
kepemimpinannya. Sementara Li Han Siang menolak dan
menginginkan kepemimpinan tetap seperti semula, sesuai suku
dan marga masing-masing kelompok. Perselisihan makin parah
ketika Liu Sung dengan didukung Ling Tan juga menolak
kepemimpinan Haji Shang Shu.

Sesungguhnya, perselisihan tentang kepemimpinan itu terjadi


karena masing-masing pihak tidak mau direndahkan oleh suku
lain. Meski semua pemukim Cina di Caruban muslim, mereka
berasal dari suku yang berbeda. Haji Shang Shu, misalnya, berasal
dari suku Hui yang lahir di daerah Kunyang di provinsi Yunnan di
Cina selatan, sedangkan Lie Han Siang merupakan suku Han asal
Shanghai. Li Han Siang adalah keturunan imam Masjid Song Jiang
di Shanghai. Itu sebanya, ia tidak mau dipimpin oleh Haji Shang
Shu yang dianggapnya lebih rendah kedudukan sukunya maupun
status sosial keluarganya. Alasan serupa disampaikan pula oleh
Liu Sung yang berasal dari suku Tungsiang dan Ling Tan yang
berasal dari suku Han.

1053
Perselisihan di antara warga Cina pendatang sempat pecah
menjadi perkelahian massal di Kuta Caruban. Puluhan korban
jatuh. Suasana kota menjadi tegang. Sri Mangana yang mendapat
laporan tersebut buru-buru memanggil para pemimpin kelompok
itu ke Bangsal Keprabon untuk didamaikan. Setelah melalui
perundingan yang lama akhirnya semua pihak sepakat bahwa
warga Cina di seluruh wilayah Caruban Larang akan mengikuti
tatanan sesuai dengan yang diberlakukan di lingkungan warga
setempat. Maksudnya, sebagaimana warga setempat yang
dipimpin oleh para gedeng, demikianlah para pemuka suku Cina
itu akan memimpin kelompoknya sendiri-sendiri. Dengan demikian,
Haji Shang Shu tetap memimpin suku Hui, Lie Han Siang
memimpin suku Han asal Shanghai, Liu Sung memimpin suju
Tunsiang, dan Ling Tan memimpin suku Han asal Kanton. Dan
tentu saja, semua pemimpin menyatakan setia berada di bawah
lindungan ratu Caruban Larang.

Pendatang yang juga berduyun-duyun masuk ke wilayah Caruban


Larang adalah warga asal Campa dan Semenanjung Malaya.
Segera setelah peraturan baru tentang kepemilikan diumumkan di
Caruban Larang, mereka datang dari daerah Junti, Dermayu, dan
Karawang. Mereka umumnya nelayan dan petani. Sebagian
memilih tinggal di sepanjang pantai Kebon Kelap, sebagian lagi
memilih tana hunian di pedalaman yang masih berupa hutan.
Kedatangan mereka ke Caruban Larang tidak menimbulkan
masalah karena sudah menikah dengan warga setempat dan
beranak-pinak. Sebagaimana lazimnya saat mereka tinggal di
Junti, Dermayu, dan Karawang, di tempat tinggalnya yang baru
mereka tetap patuh dan setia kepada keturunan pemimpin
1054
terdahulu, yaitu Syaikh Bentong dan Haji Musa, putera almarhum
Syaikh Hasanuddin.

Sementara itu, bagaikan suatu kebetulan yang mengherankan,


beberapa hari setelah peraturan baru tentang kepemilikan tanah
diumumkan oleh Sri Mangana, sekitar seribu dua ratus orang asal
Baghdad datang ke Giri Amparan Jati. Mereka adalah pengikut
Sulaiman Rumi, ayahanda Abdurrahman Rumi dan Abdurrahim
Rumi. Mereka datang ke Caruban Larang karena lari dari kejaran
penguasa Baghdad. Seperti pepatah pucuk dicinta ulam tiba,
kehadiran orang-orang asal Baghdad itu langsung disuguhi
pembagian tanah siap huni. Atas usul Abdurrahman Rumi, mereka
memilih tinggal di timur Kuta Caruban, tepatnya di wilayah Kalijaga.

Kehadiran para pengikut Sulaiman Rumi ke Caruban Larang


sesungguhnya dilatari oleh kecurigaan para penguasa Baghdad
terhadap gerakan Sulaiman Rumi yang dituduh menjadi kaki
tangan Syah Ismail, pemuka keluarga Shafawy, yang berusaha
menegakkan kekuasaan kaum Syi’ah. Sejak masa Syaikh
Baha’uddin Rumi, ayahanda Sulaiman Rumi, kecurigaan para
penguasa Utsmani sudah terasa menghinggapi keluarga tersebut.
Itu sebabnya, Sulaiman Rumi beserta istri dan anak-anaknya pergi
meninggalkan Konya dan menetap di Baghdad. Tetapi, para
penguasa Baghdad keturunan Timur I Lenk juga mencurigainya
sebagai pendukung Shafawy.

1055
Sesungguhnya kecurigaan-kecurigaan yang diarahkan kepada
Sulaiman Rumi dan keluarganya itu tanpa dasar. Sebab, Syaikh
Baha’uddin Rumi nasabnya bersambung kepada Abu Bakar ash-
Shiddiq. Bahkan, sepupu Syaikh Baha’uddin Rumi yang bernama
Syaikh Muhammad bin Hamzah al-Dimassyqi al-Rumi adalah
ulama masyhur yang menjadi guru Sultan Muhammad al-Fatih,
penakluk Konstantinopel, sehingga tuduhan bahwa keluarga
Sulaiman Rumi pendukung Shafawy adalah salah alamat. Namun,
kecintaan keluarga Sulaiman terhadap golongan Alawiyyin yang
mereka muliakan sebagai ahlul bait, telah mengundang kecurigaan
berlebihan dari pihak penguasa. Sulaiman Rumi dituduh penganut
Syi’ah dan kaki tangan Shafawy yang menjalankan taqiyyah untuk
menutupi gerakan makarnya. Walhasil, seperti nasib awal ketika
terusir dari Konya, Sulaiman Rumi dan pengikutnya terusir dari
Baghdad hanya karena kecintaan mereka terhadap golongan
Alawiyyin.

Kehadiran orang-orang Baghdad yang seperti “mendapat durian


jatuh” itu ternyata berujung pada perselisihan sebagaimana terjadi
pada warga pendatang asal negeri Cina. Ceritanya, Sayyid
Habibullah al-Mu’aththal, pemuka warga Arab yang merupakan
pemukim lama Kuta Caruban, menghendaki agar semua
pendatang dari Baghdad berada di bawag kepemimpinannya.
Sementara, orang-orang Baghdad pengikut setia Sulaiman Rumi
menghendaki kepemimpinan Abdurrahman Rumi. Ujungnya,
Sayyid Habibullah Al-Mu’aththal dengan para pengikutnya, yang
didukung warga Trusmi, mengancam orang-orang Baghdad yang
mulai membuka pemukiman di Kalijaga. Sayyid Habibullah Al-

1056
Muaththal mengancam akan mengusir mereka dari Caruban
Larang jika tidak mau mengakui kepemimpinannya.

Perkelahian massal nyaris pecah jika Sri Mangana tidak segera


turun tangan melerai. Akhirnya, sebagaimana yang dilakukan pada
warga asal negeri Cina, warga Arab pemukim lama maupun yang
baru datang dari Baghdad diminta mengikuti tatanan yang berlaku
di kalangan penduduk setempat. Sayyid Habibullah Al-Muaththal
tetap memimpin keluarga-keluarga Arab, sedangkan pemukim
lama Kuta Caruban dan warga Arab pendatang asal Baghdad
dipimpin oleh Abdurrahman Rumi. Dan, semua pihak menyatakan
setia di bawah lindungan ratu Caruban Larang.

Hampir bersamaan dengan hadirnya para pendatang Cina,


Campa, Melayu, dan Arab asal Baghdad, para pemukim lama Kuta
Caruban asal Kadipaten Kendal ternyata mendatangkan sanak
kerabatnya dari wilayah Kendal untuk mendapat bagian tanah di
Caruban Larang. Mereka yang semula datang ke Giri Amparan Jati
untuk mengantarkan Siti Zainab dan Umi Kalsum, dan kemudian
tinggal di Kuta Caruban selama belasan tahun, tiba-tiba memanggil
sanak kerabatnya di Kadipaten Kendal segera setelah peraturan
kepemilikan tanah diumumkan Sri Mangana.

Sebagian pendatang baru asal Kendal itu tinggal di sekitar


kerabatnya di Kuta Caruban. Sebagian lagi membuka pemukiman
baru di dekat Muara Jati. Untuk menandai keberadaan mereka
sebagai orang-orang asal Kendal, kediaman mereka dinamakan
1057
Karang Kendal. Mereka dipimpin oleh saudara tiri Siti Zainab,
Pangeran Soka, yang dikenal dengan nama Pangeran Karang
Kendal.

Para pendatang dari Kadipaten Kendal dikenal sebagai pemeluk


Islam yang taat sebab sejak Kadipaten Kendal dipimpin Syaikh
Suta Maharaja, sejumlah ulama masyhur didatangkan untuk
mengajarkan penduduk agama Islam. Yang termasyhur di antara
ulama tersebut, selain Sayyid Maulana Waly al-Islam, ayahanda
Umi Kalsum, adalah Syaikh Syarif Syamsuddin. Karena yang
terakhir ini tinggal di Magelung. Menurut cerita, saat Syaikh Suta
Maharaja gugur dalam pertempuran melawan pasukan Lembusora
dari Demak, Syaikh Magelung beserta semua pengikutnya
mengantar Umi Kalsum dan Siti Zainab ke Giri Amparan Jati untuk
meminta perlindungan kepada Syaikh Datuk Kahfi, dan setelah itu
mereka bermukim di sana.

Hingar-bingar kehadiran penduduk baru di wilayah Caruban


Larang adalah tengara bagi lahirnya perubahan besar di Nusa
Jawa. Sebab, dibandingkan tempat-tempat pemukiman yang ada
di Nusa Jawa, hanya di wilayah Caruban Larang terdapat
pemukim-pemukim dari berbagai jenis bangsa. Bahkan yang
merupakan hal baru, para pemukim itu bukanlah kumpulan
manusia yang berkedudukan kawula, melainkan manusia-manusia
merdeka yang mempunyai hak milik pribadi. Mereka menyebut diri
sebagai masyarakat, yaitu pribadi manusia-manusia merdeka yang
melakukan kerja sama untuk mencapai tujuan bersama.

1058
Khilafah

Ketika api perubahan sedang berkobar di


segenap penjuru Caruban Larang membakar
tatanan lama dan memberi daya hidup pada
tatanan baru, terjadi peristiwa yang tidak
disangka-sangka oleh semua orang. Pada saat
tatanan baru yang bertolak dari peraturan Sri
Mangana itu dijalankan dengan gegap gempita
oleh masyarakat dengan kericuhan di sana-sini, tersiar kabar
bahwa Sri Mangana gering. Bagaikan kawanan orang yang sedang
berpacu dan tiba-tiba terhalang oleh jalan buntu, seluruh penduduk
Caruban Larang secara serentak menghentikan kegiatan untuk
menggerakkan perubahan. Bagaikan orang kebingungan, mereka
saling pandang seolah tidak tahu apa yang harus mereka lakukan.
Kemudian seperti digerakkan oleh kekuatan gaib, mereka
mengarahkan mata dan telinga ke Puri Kaprabon; menuggu
dengan harap-harap cemas tentang apa yang akan terjadi dengan
sang ratu Caruban Larang yang mereka jadikan tumpuan harapan.

Sebagai orang-orang yang tidak pernah diperkenalkan pada


kebebasan pribadi dan hanya mengenal keberadaan diri sebagai
kawula (budak), penduduk Caruban Larang memang sangat
tergantung pada keberadaan Sri Mangana. Andaikata yang
memimpin gerakan pembangunan tatanan baru itu bukan sang raja
muda Caruban Larang, pastilah mereka tidak akan berani
mengikutinya. Saat mereka berselisih karena berebut batas tanah,
misalnya, junjungan mereka itu dengan mudah melerainya dan
1059
menempatkan peraturan tambahan tentang batas-batas
kepemilikan tanah yang layak bagi satu keluarga. Bahkan saat
tersebar berita yang simpang-siur tentang kemarahan para raja
muda dari Galuh Pakuan, Talaga, Raja Galuh, dan Dermayu, tidak
sedikit pun mereka risaukan karena bagi mereka raja muda
Caruban Larang adalah pimpinan tertinggi yang harus mereka
patuhi. Tapi kini, saat kabar geringnya Sri Mangana itu merebak ke
berbagai penjuru negeri, mereka benar-benar cemas dan tidak
tahu apa yang harus mereka lakukan, kecuali menunggu kabar
lanjutan tentang ratu mereka.

Di tengah kecemasan seluruh penduduk Caruban Larang, tanpa


terduga tersiar kabar yang tak kalah mengejutkan: sesungguhnya
Sri Mangana sakit ingatan. Gila. Sehari-harinya ratu Caruba
Larang itu mengurung diri di dalam kamar bagaikan orang linglung.
Tugas sebagai imam sembahyang Jum’at di Tajug Agung Caruban
sudah tidak lagi di lakukannya selama beberapa pekan.
Kebiasaannya membaca Al-Qur’an setiap usai sembahyang subuh
dan isya tidak lagi berjalan. Kehadirannya di Tajug Jalagrahan dan
Pesantren Giri Amparan Jati pun tidak lagi diketahui. Bahkan,
putera dan puterinya yang mendekat dihardiknya agar menyingkir.

Kabar sakitnya Sri Mangana, meski agak terlambat, sangat


mengejutkan Abdul Jalil yang baru tiba dari Luragung. Dengan
diikuti Syaikh Abdul Malik Israil dan Ballal Bisvas, ia datang ke Puri
Kaprabon untuk mengetahui apa yang sebenarnya sedang dialami
ayahanda asuhnya. Saat sampai di Puri Kaprabon, tepatnya di
Purasabha, Abdul Jalil melihat para gedeng berkumpul dengan
1060
wajah diliputi kecemasan. Dari mereka Abdul Jalil mendapat
penjelasan jika sang ratu benar-benar sedang mengalami tekanan
batin. Sikapnya seperti orang hilang akal. Perilakunya bagai orang
mengalami gangguan jiwa. “Beliau seperti ketakutan setiap melihat
atau mendengar sesuatu,” lapor Ki Gedeng Pasambangan getir.

Saat melangkah masuk ke Parapuri, ia bertemu dengan ibunda


asuhnya, Nyi Indang Geulis, yang sedang berbincang-bincang
dengan kakaknya, Nyi Muthma’inah, di Bale Rangkang. Kemudian
dengan beriringan mereka masuk ke dalam ruang utama Parapuri.

Betapa Abdul Jalil terkejut melihat keadaan Sri Mangana.


Bagaikan berada di alam mimpi, ia terperangah dengan hati pedih.
Ratu Caruban Larang yang selama ini ia kenal sebagai laki-laki
tegar dan tak kenal takut itu dilihatnya sedang meringkuk di sudut
ruangan dengan wajah kuyu dan tubuh gemetar. Saat Abdul Jalil
tengah menduga-duga apa yang sesungguhnya sedang dialami
ayahanda asuhnya itu, tiba-tiba Sri Mangana mendekatinya. Ketika
jarak mereka tinggal sejangkauan, tiba-tiba Sri Mangana
menjulurkan kedua tangannya dan mencengkeram erat-erat kedua
bahu Abdul Jalil sambil berkata, “Tolonglah aku, o Puteraku. Aku
sekarang sedang mengalami kegilaan. Tidak tahu apa yang
sedang aku alami ini. Aku merasa sedang dicekam kegilaan yang
tidak aku ketahui ujung dan pangkalnya.”

“Apakah yang sesungguhnya sedang Ramanda Ratu rasakan dan


alami?” ujar Abdul Jalil menyeringai kesakitan karena bahunya
1061
diterkam Sri Mangana. “Ananda benar-benar tidak melihat ada
sesuatu yang disebut kegilaan pada diri Ramanda Ratu.”

“Entah apa yang sesungguhnya sedang terjadi pada diriku. Aku


merasakan segala sesuatu yang ada di dunia ini tiba-tiba berubah
dengan aneh. Segala sesuatu yang aku saksikan seperti
menyingkapkan tirai dan menunjukkan jati dirinya.” Sri Mangana
berkata dengan tangan gemetar dan peluh bercucuran. “Seolah-
olah semua yang terhampar di hadapanku menyatakan diri
sebagai pengejawantahan Tuhan. Semua selubung tersingkap.
Lalu ‘wajah’ Yang Ilahi menampak di mana-mana. Bukankah itu
gila? Bukankah itu sesuatu yang menyesatkan? Aku tidak tahu
kenapa bisa mengalami kejadian gila seperti itu.”

“Bagaimana awal mula kejadian itu berlaku pada Ramanda Ratu?”

“Awalnya, ketika aku membaca Al-Qur’an tiba-tiba kusaksikan


ayat-ayat di situ menyingsingkan selubungnya dan
mengungkapkan jati dirinya,” kata Sri Mangana.

“Apakah ketika itu Ramanda Ratu membaca surah al-Fatihah?”

“Benar sekali,” ujar Sri Mangana.

1062
“Apakah Ramanda Ratu melihat ayat demi ayat dari surah itu
membuka selubung jati diri?”

Sri Mangana membenarkan. Saat membaca ayat demi ayat surah


al-Fatihah, ia mendapati semua ayat tersebut seperti membuka
selubung jati diri masing-masing. Pertama-tama, ayat berbunyi
alhamdu li Allahi rabbi al-alamin, maknanya bukan lagi sebagai
yang ia pahami selama ini yaitu “segala puji bagi Allah Rabb alam
semesta.” Masing-masing kata di dalam ayat itu tiba-tiba seperti
bisa berbicara dan mengungkapkan jati diri bahwa di balik kata
alhamdu sesungguhnya terselubung hakikat al-Hamid. Di balik
kata li Allahi sesungguhnya selubung hakikat Allah. Rabbi al-
alamin, selubung hakikat al-‘Alim. Begitupun ar-rahman dan ar-
rahim, mengungkap jati diri sebagai selubung hakikat ar-Rahman
dan ar-Rahim. Maliki yaum ad-din, selubung dari hakikat al-Malik
al-Mulki. Iyyaka na’budu, selubung dari hakikat Allah sebagai
Ma’bud, yaitu Ism al-Zat dari yang wajib disembahsujudi. Wa iyya
nasta’in, selubung dari hakikat ash-Shamad. Ihdina ash-sirath al-
mustaqim, selubung dari hakikat al-Hadi. Demikianlah, kata demi
kata di dalam al-Fatihah mengungkapkan jati dirinya sebagai
selubung dari asma’, shifat, dan af’al Allah, di mana kata dhallin
pun merupakan selubung dari hakikat al-Mudhill.

“Usai membaca al-Fatihah, aku langsung menutup al-Qur’an. Aku


benar-benar ketakutan karena akalku tidak bisa menerima
kenyataan huruf-huruf itu bisa hidup dan memberi kesaksian jati
diri kepadaku. Aku merasa sesuatu yang tidak beres pada jiwaku
tentu sedang terjadi. Setelah kejadian itu, ke mana pun aku
1063
berpaling dan melihat benda-benda aku menyaksikan semuanya
mengungkapkan jati diri sebagai pengejawantahan dari ‘wajah’
Ilahiyyah yang menyelubungi hakikat Allah.”

Keanehan yang makin menakutkanku adalah ketika aku kembali


dari Tajug Jalagrahan, tepatnya saat melewati pekuburan
Pamelathi. Saat itu aku mendengar suara hiruk pikuk yang
mengerikan. Sewaktu aku perhatikan, ternyata suara-suara itu
berasal dari pekuburan. Suara itu adalah jerit tangis orang-orang
mati dari dalam kuburnya. Sungguh menakutkan sekali
pengalaman itu. Lantaran aku tidak kuasa menghadapi semua
kenyataan itu maka aku mengurung diri di dalam kamar. Aku
benar-benar takut jika aku sesungguhnya sedang menderita
gangguan jiwa,” kata Sri Mangana.

Abdul Jalil tertawa mendengar penjelasan Sri Mangana. Kemudian


dengan bahasa perlambang ia bercerita tentang seekor ikan yang
kebingungan katika menyadari keberadaan dirinya di dalam air.
Ikan itu makin kebingungan ketika ia bisa menyaksikan betapa
sesungguhnya batu karang, pasir laut, ubur-ubur, dan ikan-ikan
lain sesungguhnya berada di dalam liputan air. Ketika sedang
bingung itulah datanglah seekor ikan tua yang berkata begini:
“Sesunguhnya engkau harus menjadi pemimpin dari ikan-ikan
sebangsamu. Sebab, engkau telah mengetahui hakikat air dan
seluruh kehidupan di dalamnya. Engkau sudah bisa membedakan
mana air yang keruh dan mana air yang jernih. Engkau telah tahu
ke mana arus air bergerak. Karena itu, o ikan yang sudah sadar
diri, jika engkau menjadi pemimpin dari ikan-ikan sebangsamu,
1064
pastilah engkau membawa mereka ke jalan keselamatan dan
kebahagiaan. Engkau tidak akan mungkin membawa mereka yang
engkau pimpin itu masuk ke perairan yang keruh dan dangkal.
Engkau juga tidak akan membawa ikan-ikan yang engkau pimpin
ke kawasan yang penuh umpan para pemancing.”

“Aku belum paham maksudmu, o Puteraku,” kata Sri Mangana.

“Ramanda Ratu sesungguhnya tidak mengalami kegilaan.


Sebaliknya, Ramanda Ratu telah menapaki tangga ma’rifat tanpa
Ramanda Ratu sadari. Ramanda Ratu sekarang ini berada dalam
keadaan awal menyaksikan ‘wajah’ Yang Ilahi (QS al-Baqarah:
115). Apa yang Ramanda Ratu alami seibarat Rasulullah Saw.
Saat menyaksikan Jibril a.s. kali pertama. Beliau saat itu
menyaksikan Jibril a.s. laksana cahaya subuh. Ke mana pun
berpaling, yang beliau saksikan adalah penampakan Jibril a.s..”

“Sesungguhnya Ramanda Ratu sedang mengalami penyingkapan


(kasyf) kesadaran jiwa. Gumpalan awan hitam ghain yang
menyelubungi kalbu Ramanda Ratu telah tersingsingkan akibat
terbitnya purnama ruhani zawa’id sehingga jiwa Ramanda Ratu
diliputi pemahaman ruhani fawa’id. Itu berarti, mata batin Ramanda
Ratu telah tercelikkan. Telinga batin (sama’) Ramanda Ratu telah
tersingkap. Dan sesungguhnya, itulah yang disebut al-wajd, yang
menimbulkan keguncangan pada diri Ramanda Ratu,” Abdul Jalil
menjelaskan.

1065
“Apa yang harus aku lakukan sekarang ini?” tanya Sri Mangana
dengan wajah tiba-tiba diliputi harapan dan gairah hidup. “Karena
aku sudah menduga jika diriku gila.”

“Ramanda Ratu harus mendaki terus tangga demi tangga


maqamah sehingga akhirnya Ramanda Ratu dapat mencapai
hadirat-Nya dan fana ke dalam keesaan-Nya.”

“Dengan cara bagaimana?”

“Dengan menyingsingkan keakuan yang lebih dari sebelumnya


sampai Ramanda Ratu kehilangan segala-galanya kecuali Allah.”

“Apalagi yang harus aku singsingkan dari keakuanku?” tanya Sri


Mangana. “Bukankah aku sudah tidak memiliki sesuatu lagi? Ilmu
kedigdayaan, tanah, kawula, sumber nafkah, kekuasaan,
kehormatan, bahkan semua pamrih yang melekat ke padaku
sudah habis. Aku sekarang ini sudah merasa seperti orang
sebatang kara yang hidup sendirian tanpa kawan.”

“Justru saat inilah Ramanda Ratu harus berkhidmat kepada tugas


mulia sebagai wakil Allah di muka bumi. Maksud ananda, maqam
Ramanda Ratu akan meningkat ke maqamah yang lebih tinggi jika
Ramanda Ratu merelakan sisa terakhir yang ada pada Ramanda
Ratu untuk dibagi-bagikan lagi kepada yang lain. Apakah sisa
1066
terakhir yang paling berharga yang masih Ramanda Ratu miliki?
Menurut ananda, keluasan ilmu siyasah dan tata negara yang
Ramanda Ratu miliki sebagai harta benda tak ternilai hendaknya
didermakan untuk berkhidmat kepada tugas mulia sebagai wakil
Rasul Allah. Bukankah saat Rasulullah Saw. Mengalami peristiwa
bertemu Jibril a.s. di Gua Hira tidak menjadikan beliau makin
bersembunyi? Bukankah setelah itu malah turun ayat yang
memerintahkan beliau untuk bangkit memberi peringatan kepada
manusia (QS al-Mudatsir: 1-7)? Bukankah Rasulullah Saw. dan
keempat sahabatnya tidak pernah mengurung diri di gua?
Bukankah berkhidmat kepada umat adalah bagian dari jalan hidup
beliau dan keempat sahabatnya?”

Ketika Sri Mangana akan berkata-kata, Abdul Jalil memegang


kedua tangan ayahandanya yang masih mencengkeram bahunya.
Kemudian dengan mata berbinar-binar Abdul Jalil berkata,
“Sekarang ini matahari harapan yang ananda tunggu-tunggu telah
terbit. Ternyata matahari itu terbit tidak jauh dari diri ananda, yakni
Ramanda Ratu sendiri. Ramanda Ratulah matahari harapan itu.”

“Aku tidak memahami maksudmu, o Puteraku,” kata Sri Mangana


dengan tanda tanya.

“Bukankah di tengah perubahan tatanan lama kawula menjadi


tatanan baru masyarakat ummah sesungguhnya tetap dibutuhkan
seorang pemimpin? Bukankah dalam khotbah-khotbah yang
ananda sampaikan selalu ananda katakan bahwa pemimpin
1067
masyarakat ummah adalah wali al-Ummah yang bergelar kalifah
ar-rasul sayyidin panatagama? Ananda yakin, pasti Ramanda
Ratulah wakil Allah di muka bumi yang paling layak menduduki
jabatan itu saat ini.”

Ketika para ningrat darah biru Sunda bersukacita mendengar


kabaar geringnya Sri Mangana, terjadi suatu peristiwa yang tak
pernah mereka bayangkan. Kabar dari para pengintai mengatakan,
keberadaan sepuluh gedeng yang menduduki jabatan gedenga
atas dasar pilihan warga itu ternyata telah diikuti oleh gedeng yang
lain, seperti Ki Gedeng Jatimerta, Ki Gedeng Mundu, Ki Gedeng
Ujung Gebang, Ki Gedeng Buntet, Ki Gedeng Selopandan, Ki
Gedeng Japura, Ki Gedeng Plumbon, Ki Gedeng Sembung, Ki
Gedeng Plered, Ki Gedeng Tedeng, Ki Gedeng Losari, Ki Gedeng
Pangarengan, Ki Gedeng Kadanggaru, Ki Gedeng Panderesan, Ki
Gedeng Tameng, dan Ki Gedeng Sura (Tegal Gubuk). Yang lebih
mengejutkan, seluruh gedeng serempak menyatakan kesepakatan
untuk memilih dan mengangkat Sri Mangana sebagai penguasa
baru Caruban Larang dengan nama Abhiseka Sri Mangana,
Kalifah ar-Rasul Sayyidin Panatagama, Ratu Aji di Caruban.

Kabar dari para pengintai tentu saja membuat para penguasa dan
ningrat darah biru Sunda tertegun-tegun. Mereka tidak bisa
memahami lahirnya sebuah tatanan baru yang menempatkan
keberadaan seorang pemimpin didasarkan atas pilihan para
gedeng. Tatanan itu benar-benar aneh dan mengherankan
mereka. Peraturan yang berlaku selama ini menunjukkan bahwa
para gedeng adalah pejabat daerah yang ditunjuk dan diangkat
1068
oleh adipati. Sementara adipati-adipati diangkat atas tunjukan ratu.
Dengan demikian, jelaslah bahwa tatanan baru di Caruban Larang
merupakan hal aneh karena terbalik dengan tatanan yang ada.

Belum usai para penguasa dan ningrat darah biru Sunda terheran-
heran dengan pengangkatan Sri Mangana sebagai kalifah, mereka
memperoleh kabar yang lebih mengejutkan. Menurut laporan
lanjutan para pengintai, segera setelah dinyatakan terpilih sebagai
kalifah, Sri Mangana meninggalkan Puri Kaprabon dan tinggal di
gubuk kayu beratap daun kawung yang terletak di luar tembok
baluwarti, tepatnya di utara Lawang Gede. Gubuk kayu kecil itu
dinamai Pekalipan (pekalifahan), yaitu tempat kediaman sang
kalifah. Sementara seluruh keluarganya juga meninggalkan puri
dan tinggal di dalam tembok di dekat Lawang Gede. Kediaman
baru keluarga sang kalifah itu juga berupa gubuk-gubuk kayu yang
sangat sederhana dan disebut ndalem Pekalipan. Dan yang lebih
aneh lagi, sekarang ini seluruh kawula dan bahkan budak sekali
pun setiap saat dapat menghadap sang kalifah. Bahkan, sejumlah
pejabat penting kalifah adalah kawula yang berasal dari kasta
rendahan.

Kabar tentang perubahan yang terjadi atas kehidupan Sri Mangana


benar-benar menimbulkan kegemparan di kalangan penguasa dan
ningrat darah biru Sunda. Mereka tidak paham dengan apa yang
sedang terjadi pada pemimpin tertinggi Caruban Larang itu. Prabu
Guru Dewata Prana Sang MahaRaja Sunda, ayahanda Sri
Mangana, bahkan merasa hatinya pedih dan jiwanya terluka ketika
mendengar kabar bahwa puteranya itu memilih hidup dalam
1069
kehinaan di gubuk-gubuk kecil dengan didampingi pejabat-pejabat
dari kasta rendahan.

Sebagai maharaja yang berkuasa atas seluruh Bumi Pasundan,


Prabu Guru Dewata Prana, yang belum mengetahui konsep
khilafah di dalam ajaran Islam sebagaimana dicontohkan Nabi
Muhammad Saw. dan keempat sahabatnya, sangat berduka
mendengar puteranya dipilih dan diangkat sebagai pemimpin
tertinggi, namun hidup miskin di gubuk-gubuk hina dengan dibantu
pejabat-pejabat berkasta rendah. Sebab, sebagaimana umumnya
pandangan yang lazim, Prabu Guru Dewata Prana menganggap
tiap-tiap kekuasaan harus selalu terkait kuat dengan kemegahan,
kemewahan, kekayaan, dan kemuliaan tetesan darah agung para
raja.

Dengan ketidakpahamannya tentang konsep khilafah itulah Prabu


Dewata Prana kemudian mengutus Pangeran Raja Sanghara, adik
kandung Sri Mangana, dengan didampingi Adipati Liman Sanjaya,
Yang Dipertuan Sunda Larang, puteranya yang lain, pergi ke Kuta
Caruban untuk meminta penjelasan dari Sri Mangana tentang apa
yang sesungguhnya sudah terjadi pada dirinya. “Apa pun yang
terjadi, janganlah kalian membiarkan saudaramu itu hidup dalam
kehinaan dengan menghuni gubuk-gubuk kecil yang hanya cocok
untuk hunian kalangan potet (gelandangan). Sebab, kehinaan
yang dialaminya sesungguhnya akan menyangkut-paut pula takhta
kerajaan Sunda. Jangan menista dan merendahkan keagungan
darah leluhur yang mengalir di tubuhnya dengan memilih hidup
seperti itu,” ujar Prabu Guru Dewata Prana sedih.
1070
Pangeran Raja Sanghara dan Adipati Liman Sanjaya pun pergi
menemui Sri Mangana untuk menjalankan titah maharaja Sunda.
Namun, saat mereka bertemu dan berbincang-bincang dengan Sri
Mangana soal khilafah, keduanya justru tertarik. Mereka berdua
dapat memahami apa yang dikemukakan Sri Mangana sebagai
suatu keniscayaan dari perubahan yang bakal melanda tatanan
lama kehidupan di Bumi Pasundan. Sehingga, di sepanjang
perjalanan kembali dari Caruban Larang mereka terus
memperbincangkan masalah khilafah tersebut.

Ketika hasil pertemuan dengan Sri Mangana disampaikan


Pangeran Raja Sanghara kepada ayahandanya, ternyata sang
maharaja bertambah bingung. Prabu Guru Dewata Prana sulit
sekali menerima alasan-alasan yang mendasari konsep khilafah
yang tidak lazim itu. Sebagai keturunan raja besar Sunda, di dalam
jiwa dan pikiran Prabu Guru Dewata Prana memang hanya dikenal
satu gambaran utuh bahwa sebuah kekuasaan adalah identik
dengan kemegahan, kemewahan, keagungan, kemuliaan,
kekayaan berlimpah, dan ketidakbersalahan. Itu sebabnya, ia tetap
menganggap aneh perilaku puteranya yang menerapkan khilafah
di Caruban Larang. Untuk kali kedua ia mengutus Ki Purwagalih
menemui Sri Mangana di gubuknya.

Tidak berbeda dengan Pangeran Raja Sanghara dan Adipati


Liman Sanjaya, Ki Purwagalih, penasihatnya yang beragama Islam
itu, menuturkan alasan-alasan kuat Sri Mangana untuk
menerapkan khilafah di Caruban Larang sesuai yang dicontohkan
Nabi Muhammad Saw. dan keempat sahabat. Dan untuk kali ke
1071
sekian, maharaja Sunda itu kecewa karena tetap sulit menerima
kenyataan adanya kekuasaan yang terkait dengan kemiskinan dan
kekurangan. Setelah itu ia mengutus Adipati Liman Sanjaya
kembali ke Kuta Caruban untuk melihat istri-istri dan putera-putera
Sri Mangana. Sang maharaja pun makin terkejut ketika mendapat
laporan para menantu dan cucunya juga harus hidup di gubuk-
gubuk kecil beratap daun kawung. “Aturan hidup apa yang
sesungguhnya diikuti oleh puteraku itu? Ini sungguh hal yang sulit
dimengerti,” gumam Prabu Guru Dewata Prana pedih.

Keheranan dan ketidakpahaman Prabu Guru Dewata Prana atas


apa yang dilakukan Sri Mangana makin meningkat menjadi
kekecewaan ketika ia beroleh laporan bahwa puteranya yang
menjadi kalifah itu menempatkan orang-orang dari kalangan
prthagjana (kasta rendah) sebagai nayakapraja. Bahkan, seorang
pujut (budak kulit hitam) bernama Ballal Bisvas dari Bharatnagari
tidak ditempatkan sebagai pameng-amengan (permainan
kesukaan) sebagaimana lazimnya, tetapi malah diangkat menjadi
raja muda dengan gelar Adipati Suranenggala.

Di tengah pusaran arus berita yang teraduk-aduk tentang


perubahan di Caruban Larang, Prabu Surawisesa, penguasa
Galuh Pakuan, adalah satu-satunya penguasa Bumi Pasundan
yang berada pada kedudukan paling sulit. Dikatakan paling sulit
karena segala sesuatu yang terkait dengan Sri Mangana, saudara
tiri yang menjadi penguasa Caruban Larang itu, sebenarnya telah
mengombang-ambingkan harapan dan langkah-langkah yang
dilakukannya untuk mewarisi takhta kerajaan Sunda. Sejak awal
1072
ketika ia berusaha menancapkan kekuasaan atas Caruban Larang,
tanpa terduga saudara tirinya itu muncul dan menjadi penghalang
utama yang menjegal langkahnya. Ya, sejak semula saudara
tirinya itu telah menjadi penghalang berat baginya untuk meraih
takhta kerajaan Sunda.

Sebagai putera maharaja yang sangat yakin bakal mewarisi takhta,


di tengah gemuruh ambisi yang mengobari jiwanya, Prabu
Surawisesa pun sesungguhnya mewarisi kebijaksanaan
ayahandanya. Sekali – di tengah langkah-langkahnya – ia menoleh
ke belakang untuk menilai kembali liku-liku dan tanjakan jalan yang
telah dilewatinya. Tahun ini ia memasuki usia enam puluh lima
tahun. Usia yang sesungguhnya sangat lanjut bagi seseorang
untuk memikirkan bagaimana merebut takhta kerajaan.

Prabu Surawisesa sering menyadari bahwa di usianya yang sudah


tidak muda itu seharusnya ia lebih memikirkan masalah ruhani.
Namun, nafsu kekuasaan yang mengalir di tubuhnya sering
menindas kesadaran itu. Yang sering kali muncul di tengah
kesadaran itu adalah peristiwa penuh korban besar bagi
langkahnya menuju takhta. Itu sebabnya, ia tidak akan menyia-
nyiakan pengorbanan itu.

Sesungguhnya pengorbanan Prabu Surawisesa untuk merebut


Caruban Larang sudah sangat besar. Puluhan tahun silam ia telah
merelakan putri kesayangannya, Nyi Ratu Inten Dewi, yang kala itu
berusia sebelas tahun untuk diperistri kuwu Caruban Ki Danusela
1073
yang berusia empat puluh tahun. Selanjutnya, ia juga merelakan
puterinya yang lain, Nyi Rara Anjung, yang kala itu berusia sepuluh
tahun untuk diperistri oleh Syaikh Datuk Kahfi yang sudah berusia
tiga puluh tahun lebih. Saat itu ia benar-benar yakin tanah
samiddha Caruban Larang sudah berada di dalam pengaruhnya.
Bahkan saat puteranya, Rsi Bungsu, menduduki jabatan kuwu
menggantikan Ki Danusela, ia merasa Caruban Larang benar-
benar berada di dalam genggamannya.

Namun, pengorbanan yang dilakukannya untuk merebut Caruban


Larang mendadak pupus manakala terjadi kericuhan yang
melibatkan orang-orang Demak, yang kemudian disusul
munculnya saudara tirinya, Pangeran Walangsungsang, sebagai
kuwu sekaligus cakrabhumi Caruban Larang. Pengorbanannya
makin terasa sia-sia ketika Pangeran Walangsungsang dinobatkan
oleh ayanhandanya sebagai raja muda Caruban Larang dengan
gelar Sri Mangana dan diberi kewenangan menerima upeti dari
negeri-negeri taklukan (sakawat bhumi) di Sunda wilayah pesisir
timur. Kesia-siaan pengorbanannya itu menjadi ancaman ketika ia
menerima bahwa Yang Dipertuan Caruban Larang diam-diam giat
membangun kekuatan militer dan menjalin hubungan erat dengan
para adipati di pesisir Nusa Jawa.

Kini, di tengah kekecewaan dan rasa terancamnya, Prabu


Surawisesa semakin cemas dan curiga dengan hingar bingar api
perubahan yang disulut Sri Mangana. Sebab, ia sadar benar arah
gerakan saudara tirinya itu bermuara ke perebutan takhta Kerajaan
Sunda. Lantaran itu, ia menyambut kabar pemilihan ratu Caruban
1074
Larang sebagai kalifah itu dengan perasaan yang sulit diungkap:
cemas, curiga, penasaran, benci, dan takut yang teraduk-aduk
menjadi satu.

Ketika sang penguasa Galuh Pakuan tengah terombang-ambing


oleh perasaan yang sulit diungkapkan, tanpa terduga muncul
puteranya, bekas kuwu Caruban pengganti Ki Danusela: Rsi
Bungsu. Anak bungsunya yang pernah dicari-cari orang Pakuan
Pajajaran karena melakukan kekacauan di Caruban Larang dan
membohongi maharaja Sunda itu muncul pada saat kesulitan
menghadang penguasa Galuh Pakuan. Sebagai seorang ayah,
Prabu Surawisesa tahu benar jika kemunculan puteranya itu tentu
sudah diperhitungkan.

Rsi Bungsu sendiri tampaknya mengetahui kapan ia harus muncul


dan menghadap ayahandanya yang telah diberinya banyak
kesulitan akibat sepak terjangnya. Demikianlah, dengan
keahliannya bersilat lidah, saat menghadap ayahandanya ia
menuturkan perjuangan kerasnya untuk menghalang-halangi niat
jahat Sri Mangana yang mengancam keutuhan Kerajaan Sunda. Ia
mengemukakan usahanya itu dengan cara memberi nasihat
kepada Yang Dipertuan Rajagaluh, Prabu Cakraningrat. “Kepada
Pamanda Prabu Cakraningrat ananda mengusulkan untuk
menjadikan daerah Palimanan sebagai ‘pagar pertahanan’ dari
ancaman Sri Mangana. Maksud ananda, Palimanan yang menjadi
bagian dari Caruban Larang harus dimasukkan ke dalam wilayah
Rajagaluh melalui siasat. Dan, ternyata siasat ananda berhasil
dengan gemilang,” kata Rsi Bungsu.
1075
“Siasat apa? Ceritakanlah kepadaku, o Puteraku terkasih!” kata
Prabu Surawisesa.

“Ananda mengikuti tata cara yang sama dengan yang dianut


penguasa Caruban Larang.”

“Maksudnya?”

“Penguasa Palimanan harus dipilih oleh para gedeng. Dan


penguasa terpilih, sang adipati, akan menyatakan kesetiaan
kepada Yang Dipertuan Rajagaluh,” kata Rsi Bungsu.

“Bagaimana hal itu bisa dilakukan?” tanya Prabu Surawisesa


penasaran.

“Atas perkenan dan dukungan Pamanda Prabu Cakraningrat,


ananda mendatangi Ki Gedeng Kiban, Ki Gedeng Leuimunding, Ki
Demang Dipasara, Ki Demang Surabangsa, Ki Gedeng Kenanga,
dan Ki Ardisora, penguasa Bobos. Kepada mereka ananda
bagikan masing-masing sekarung uang emas dan dua karung
uang perak. Kepada mereka ananda menjanjikan jabatan-jabatan
tinggi di Rajagaluh jika mereka bersedia secara terbuka memilih
adipati Palimanan untuk memimpin mereka. Usaha ananda itu
terbukti berhasil gemilang sehingga Palimanan sekarang ini masuk
ke dalam wilayah Rajagaluh karena sesuai keinginan para
1076
gedengnya masing-masing sebagaimana yang diberlakukan di
Caruban Larang,” kata Rsi Bungsu bangga.

“Siapakah adipati Palimanan sekarang ini?” tanya Prabu


Surawisesa.

“Ki Kiban, Gedeng Palimanan.”

Prabu Surawisesa sangat bersukacita mendengar penjelasan Rsi


Bungsu. Diam-diam ia memuji kecerdikan putera bungsunya. Ia
mengakui betapa kemunculan putera bungsunya di Galuh Pakuan
telah mengubah kecemasannya menjadi ledakan rasa sukacita.
Pasalnya, selain melaporkan keberhasilannya menghalangi usaha
ratu Caruban Larang, puteranya itu menyerahkan pula susunan
tata pemerintahan kalifah Caruban Larang lengkap dengan nama
pejabatnya. Bahkan, puteranya itu masih menyampaikan gagasan-
gagasan cemerlang yang dapat digunakan untuk menekuk
pesaingnya dalam merebut takhta.

Prabu Surawisesa benar-benar sangat bergembira. Di dalam


susunan tata pemerintahan kalifah itu tertera dengan jelas bahwa
jabatan-jabatan penting yang ada di Caruban Larang telah
dipegang oleh orang-orang bukan Sunda.

1077
“Ananda berharap Ramanda Prabu Guru Dewata, Ratu Aji di
Surawisesa, dapat menggunakan apa yang telah ananda peroleh
itu untuk menyingkirkan penguasa Caruban Larang yang sudah
tidak waras lagi. Tanpa bermaksud menggurui, ananda berharap
Ramanda Prabu dapat memanfaatkan kesempatan itu dengan
baik. Maksud ananda, hendaknya Ramanda Prabu dapat
menggunakan masalah banyaknya orang asing dalam
pemerintahan di Caruban Larang itu untuk menyulut kebencian
orang-orang Sunda. Ananda yakin setiap orang Sunda akan sakit
hati jika melihat susunan pemerintahan ratu Caruban Larang.”

“Adakah saranmu yang lebih baik lagi?” tanya Prabu Surawisesa.

“Sebaiknya Ramanda Prabu menyebarkan para pengintai ke


berbagai tempat di Caruban Larang dan sepanjang pesisir utara
Sunda. Ramanda Prabu hendaknya menitahkan kepada mereka
untuk menyebarkan berita burung yang mengatakan bahwa Sri
Mangana adalah utusan maharaja Cina yang sedang menjalankan
tugas merongrong kerajaan Sunda. Ananda kira, siapa pun di
antara orang Sunda dan terutama para putera maharaja akan
menentang sang kalifah dengan terang-terangan atau sembunyi-
sembunyi,” kata Rsi Bungsu.

Prabu Suraswisesa sangat bergembira menerima saran


puteranya. Ia merasa seolah-olah telah memiliki senjata ampuh,
yang jika dilepaskan akan membinasakan pesaingnya dalam
perebutan takhta itu. Ya, sekarang ia telah memegang senjata
1078
ampuh. Sebab, di dalam daftar nama pejabatat Pekalipan yang
disampaikan puteranya itu, memang menunjukkan lebih dari
separo jabatan penting dipegang oleh orang-orang bukan Sunda.
Wilayah Caruban Larang, misalnya, dibagi menjadi sembilan
nagari yang pemimpinnya disebut wali nagari, dan jabatan itu
bahkan lebih banyak diserahkan kepada anak-anak yang terlalu
muda usianya.

Pertama, Nagari Kalijaga membawahi Kagedengan Kalijaga,


Mundu, Astanamukti, Beber, Karangwuni, Munjul, Japura,
Pangarengan, dan Buntet. Para gedeng sepakat menunjuk Raden
Sahid putera Adipati Tuban, Arya Sidik, sebagai wali nagari
Kalijaga.

Kedua, Nagari Cangkuang membawahi Kagedengan Cangkuang,


Ender, Babakan, Gebang, Karangsembung, Kertawana, Cihaur,
dan Taraju. Para gedeng sepakat menunjuk Raden Anggaraksa
sebagai wali nagari Cangkuang dengan gelar Ki Dipati Cangkuang.
Raden Anggaraksa adalah putera Dalem Naya, Yang Dipertuan
Ender.

Ketiga, Nagari Losari membawahi Kagedengan Losari, Tersana,


Bojong Nagara, Luragung, dan Waled. Para gedeng sepakat
menunjuk Arya Wangsa Goparana, mantan penguasa Sagara
Herang, sebagai wali nagari. Arya Wangsa Goparana tersingkir
dari Sagara Herang dan bermukim di Caruban Larang karena
memeluk Islam.
1079
Keempat, Nagari Kuningan membawahi Kagedengan Kuningan,
Nanggerang, Panderesan, Cigugur, dan Sambawa. Para gedeng
sepakat menunjuk Angga, putera Ki Gedeng Kemuning, sebagai
wali nagari Kuningan. Ki Gedeng Kemuning adalah seorang Cina
muslim. Ia bernama Ong Wi, keturunan pemuka Cina asal
Palembang yang bernama Ong Te.

Kelima, Nagari Gunung Jati membawahi Kagedengan


Pasambangan, Trusmi, Kalisapu, Sembung, Babadan, Jamaras,
dan Plumbon. Kedudukan wali nagari dipercayakan para gedeng
kepada Syarif Hidayatullah, anak muda asal negeri Arab, menantu
Ki Gedeng Babadan.

Keenam, Kuta Caruban dan Puri Caruban Girang dipimpin oleh


Raden Qasim – di kalangan warga asal Campa dikenal dengan
nama Masaih Munat – putera bupati Surabaya, Pangeran Ali
Rahmatullah. Agak berbeda dengan wali nagari yang lain, Raden
Qasim menduduki jabatan penguasa Kuta Caruban dan Puri
Caruban Girang tidak dengan cara dipilih, tapi ditunjuk Sri
Mangana. Ia juga dianugerahi gelar Pangeran Darajat oleh sang
ratu Caruban Larang karena ayahandanya adalah kemenakan ratu
Majapahit.

Ketujuh, Nagari Gegesik yang membawahi Kagedengan Gegesik,


Kapetakan, Pangurangan, Karangkendal, Kartasemaya,
Srengseng, dan Junti. Kedudukan wali nagari dipercayakan para

1080
gedeng kepada Ballal Bisvas yang namanya diganti menjadi
Suranenggala, seorang pendeta Bhairawa asal Bharatnagari.

Kedelapan, Nagari Susukan yang membawahi Kagedengan


Susukan, Glagahamba, Tegal Karang, Tegal Gubuk, Ujungsemi,
dan Luwung Kancana. Kedudukan wali nagari dipercayakan para
gedeng kepada Syaikh Jamalullah, gedeng Ujungsemi.

Kesembilan, Nagari Sindangkasih yang membawahi Kagedengan


Sindangkasih, Sedong, Kaliaren, Nanggela, dan Pancalang.
Kedudukan wali nagari dipercayakan para gedeng kepada Abdul
Qadir , seorang kepala pemberontak asal Pulau Upih (Pinang).
Dengan sembilan wali nagari di Caruban Larang itu jelaslah bahwa
hanya wali nagari Cangkuang dan Losari saja yang putera Sunda,
selainnya orang asing.

Selain memuat nama-nama wali nagari, daftar nama yang dibawa


Rsi Bungsu juga memuat sejumlah nama pejabat dalam
pemerintahan kalifah Caruban Larang yang sangat sedikit
menempatkan orang-orang Sunda pada kedudukan penting.
Jabatan adhyaksa, misalnya, oleh Sri Mangana dipercayakan
kepada Abdurrahim Rumi, anak muda asal Baghdad, kemenakan
istri Syaikh Datuk Abdul Kahfi. Jabatan manghuri (sekretaris
negara) dipercayakan kepada Haji Musa, putera Syaikh
Hasanuddin bin Yusuf Shiddiq, Karawang.

1081
Jabatan syahbandar diberikan kepada Li Han Siang, pemuka
warga Cina asal Dermayu. Pejabat pabean dipercayakan kepada
Haji Shang Shu, pemuka warga Cina Kuta Caruban. Jabatan juru
sukat dipercayakan kepada Ling Tan, pemuka warga Cina asal
Junti. Jabatan baru wazir dipercayakan kepada Syaikh Bentong,
saudara tua Haji Musa. Jabatan manggalayuddha Caruban
dipegang sendiri oleh Sri Mangana. Sedangkan jabatan kepala
perdagangan diserahkan kepada Abdurrahman Rumi, kakak
Abdurrahim Rumi, dengan dibantu Wu Lien dan Wang Tao,
keduanya orang Cina asal Karawang. Sementara orang-orang
Sunda hanya diberi kepercayaan menduduki jabatan demang,
wadana, juru demung (kepala pegawai di istana), rangga (pejabat
istana), juru gusali (kepala pande besi), juru dyah (kepala pelayan
istana), juru taman (kepala tukang kebun istana), juru pangalasan
(kepala prajurit pangalasan), tumenggung (pejabat tinggi kraton),
dan nayarma domas (komandan batalyon).

1082
Amarah Para Bangsawan

Sesungguhnya, saat Prabu Surawisesa


menerima susunan tata pemerintahan
Caruban Larang yang baru beserta nama
pejabatnya, ia sedang diliputi oleh
kegembiraan sehingga tidak memikirkan lebih
jauh tentang hal lain di balik itu. Namun, saat
ia mencermati lagi tatanan pemerintahan Caruban Larang, ia
merasakan kepalanya bagai disambar petir. Pasalnya, di antara
nagari-nagari yang dibentuk penguasa kalifah Caruban Larang itu
terdapat nama Kuningan dan Luragung. Dua wilayah yang
merupakan bagian Galuh Pakuan.

Saat Prabu Surawisesa dengan dada dikobari api amarah


memanggil Rsi Bungsu untuk menjelaskan nama-nama tempat
terkait dengan nagari-nagari baru di Caruban Larang,
menghadaplah adipati Kuningan, Susuhunan Pajengan, yang tidak
lain dan tidak bukan adalah saudaranya lain ibu. Kepada Prabu
Surawisesa, Susuhunan Pajengan melaporkan bahwa ia baru saja
kehilangan kekuasaan atas Kadipaten Kuningan. “Para gedeng
telah sepakat untuk memilih Angga, anak Ki Gedeng Kemuning,
sebagai penggantiku. Usahaku menyadarkan mereka bahwa
Kuningan adalah bagian dari Galuh Pakuan tidak mereka hiraukan.
Mereka tetap berkukuh bahwa junjungan mereka yang baru adalah
Sri Mangana,” ujar Susuhunan Pajengan dengan wajah muram.

1083
“Apakah engkau diusir dari kadipaten?” tanya Prabu Surawisesa
berang.

“Tidak, mereka tidak melakukan tindakan apa-apa kepadaku,” kata


Susuhunan Pajengan. “Tetapi, semua nayaka di kadipaten tidak
lagi mematuhi perintahku. Mereka semua bersikap seolah-olah aku
bukan lagi adipati yang menjadi junjungan mereka.”

Mendengar laporan Susuhunan Pajengan, Prabu Surawisesa tak


kuasa menahan diri. Dengan amarah meledak-ledak ia
memerintahkan patihnya untuk mendampingi Susuhunan
Pajengan ke Rajagaluh, Talaga, dan Pakuan Pajajaran. Prabu
Surawisesa menitahkan agar mereka berdua menuturkan
“kekurangajaran” orang-orang Caruban Larang yang telah
merampas wilayah Galuh Pakuan dengan siasat licik.

Beberapa hari setelah sang patih dan Susuhunan Pajengan pergi,


Prabu Surawisesa mengutus Rsi Bungsu untuk mengundang Yang
Dipertuan Talaga, Yang Dipertuan Dermayu, Yang Dipertuan
Sumedang Larang, dan penguasa Bumi Pasundan untuk hadir ke
Galuh Pakuan. Ketika semua raja muda Bumi Sunda yang sudah
mendapat laporan keluh kesah Susuhunan Pajengan itu
berkumpul di Kraton Surawisesa, dengan keahlian bersilat lidah
yang menakjubkan Rsi Bungsu berusaha mempengaruhi saudara-
saudara ayahandanya agar bersama-sama membenci dan
memusuhi Sri Mangana.

1084
“Jelaslah kini bahwa dengan tindakannya itu Yang Dipertuan
Caruban Larang memang berkeinginan menghancurkan Kerajaan
Sunda yang kita agungkan dan kita muliakan. Bayangkan, dengan
mula-mula membuat aturan yang berbunyi ‘tanah untuk ra’yat’ dan
‘pemimpin dipilih dari ra’yat’, Pamanda Sri Mangana berusaha
mempengaruhi para kawula agar memandang kita sebagai
pendusta dan penipu yang rakus dan menguntungkan diri sendiri.”

“Kini setelah Pamanda Sri Mangana mempunyai kekuatan karena


dipilih oleh ra’yat, pejabat-pejabat yang diangkatnya adalah orang-
orang dari negeri asing yang bahasa dan agamanya berbeda
dengan kita. Jelaslah sudah alasan Pamanda Sri Mangana
mengangkat orang asing karena beliau memandang kita sebagai
penipu dan pembohong. Tetapi, mungkin juga alasan beliau bukan
sekadar itu. Mungkin ada latar lain kenapa beliau lebih percaya
kepada orang-orang asing.”

“Sesungguhnya tidak syak lagi, Pamanda Sri Mangana yang telah


tersihir oleh kesaktian Syaik Lemah Abang telah menjadikan
dirinya perampok sejati yang lebih ganas daripada harimau lapar.
Dia tidak saja akan merampas agama warisan leluhur kita untuk
diganti dengan agama barunya, bahkan dia akan merampas pula
tanah dan kekuasaan yang diwariskan leluhur kita. Sungguh, tidak
ada yang tahu, pamanda kami yang tercinta itu sedang menderita
sakit gila apa.”

1085
“Sesungguh-sungguhnya, satu hal yang paling tidak kami sukai
dari sepak terjang Yang Dipertuan Caruban Larang. Apakah itu?
Dia kelihatannya telah bersekongkol dengan maharaja Cina untuk
menghancurkan Kerajaan Sunda. Jika dugaan ini benar,
kekuasaan yang dia tegakkan di Caruban Larang sebenarnya
adalah kepanjangan tangan dari maharaja Cina. Hal itu jelas telah
menginjak-injak harga diri dan kehormatan kita sebagai orang
Sunda. Sebagai bukti bahwa penguasa Caruban Larang adalah
begundal maharaja Cina, paman-paman sekalian bisa melihat
nama pejabat baru yang diangkat sang kalifah. Menurut daftar ini,
lebih dari separo pejabat Caruban Larang adalah orang-orang Cina
perantauan yang tak diketahui asal-usulnya,” ujar Rsi Bungsu
sembari menyerahkan susunan pejabat baru Caruban Larang
kepada raja muda Talaga, Prabu Pucuk Umun.

Prabu Pucuk Umun yang sebelumnya sudah mendengar keluhan


dari saudaranya, Susuhunan Pajengan, dengan mudah
terpengaruh oleh kata-kata Rsi Bungsu. Ia makin terpengaruh
ketika menerima dan membaca daftar nama para pejabat baru
Caruban Larang. Dalam daftar nama itu terbukti jelas jabatan-
jabatan penting di Caruban Larang memang dipegang oleh orang
asing. Dan di atas semua itu, Prabu Pucuk Umun sangat khawatir
saat mendapat bukti bahwa Kuningan dan Luragung sebagai
wilayah Galuh Pakuan telah dimasukkan ke dalam wilayah
Caruban Larang. Itu berarti, tidak tertutup kemungkinan wilayah
Talaga pun sedang menunggu giliran dicaplok Caruban Larang.

1086
Akhirnya, dengan dada dikobari api amarah, Prabu Pucuk Umun
kembali ke kratonnya di Talaga. Ia kemudian mengirim para
pengintai ke Kuta Caruban untuk membuktikan kebenaran data
dari Rsi Bungsu. Prabu Pucuk Umun sendiri sesungguhnya sudah
lama mendengar kabar mengkhawatirkan tentang saudaranya
yang menjadi penguasa Caruban Larang. Namun, akibat sibuk
menikmati kemewahan dan sanjungan di kratonnya, ia tidak
menganggap serius kabar tersebut. Dengan sangat yakin diri ia
selalu berkata, “Sebuas-buas harimau tidak akan memangsa
saudaranya sendiri.”

Kini setelah Kuningan direbut Caruban Larang dan nasib


saudaranya, Susuhunan Pajengan, menjadi tidak menentu,
sadarlah ia bahwa Sri Mangana tidaklah boleh dianggap sebagai
saudara lagi. Sadarlah ia bahwa sang harimau telah menjadi haus
darah sehingga akan mungkin akan memangsa dirinya. Harimau
itu, kata Prabu Pucuk Umun dalam hati, tidak boleh mendekati
Talaga, kalau perlu mesti dibunuh beramai-ramai.

Sementara itu, Prabu Cakraningrat, Yang Dipertuan Rajagaluh,


pada awalnya juga berpikiran sama dengan Prabu Pucuk Umun.
Segala kabar miring tentang Sri Mangana yang diperolehnya dari
Prabu Surawisesa selalu dianggapnya sebagai bagian dari
persaingan dua saudara dalam merebut takhta Kerajaan Sunda.
Namun, kini ketika Sri Mangana terbukti menerapkan tatanan baru
di Caruban Larang, yang jelas-jelas mengancam keberadaan para
penguasa di Bumi Pasundan, ia tiba-tiba menjadi sangat cemas.
Itu sebabnya, sekembali dari Galuh Pakuan ia buru-buru mengutus
1087
Adipati Kiban, Yang Dipertuan Palimanan, ke Kuta Caruban untuk
meminta penjelasan dari Sri Mangana tentang nama-nama orang
asing dalam tata pemerintahannya yang baru.

Di antara para raja muda yang hadir dalam pertemuan di Galuh


Pakuan itu ternyata yang paling tidak diuntungkan kedudukannya
akibat gelombang perubahan di Caruban Larang adalah Prabu
Indrawijaya, Yang Dipertuan Dermayu. Lebih dari setengah
penduduk Dermayu adalah para pendatang Campa, pemukim
Melayu, pedagang Siam, dan perantau Cina yang umumnya
beragama Islam. Sedangkan sisa penduduk yang terpilah atas
orang-orang Sunda dan Jawa lebih setengahnya juga sudah
beragama Islam. Walhasil, kekuasaan raja muda Dermayu terkucil
ibarat sebuah kapal berada di tengah lautan sehingga saat
gelombang pasang perubahan terjadi di Caruban Larang,
getarannya terasa hingga di Dermayu dan kapal itu pun ikut oleng
diempas ombak perubahan.

“Aku tidak tahu harus bersikap bagaimana menghadapi perubahan


ini,” kata Prabu Indrawijaya dengan nada putus asa. “Gelombang
perubahan itu begitu cepat melanda wilayah kekuasaanku. Para
kawula Dermayu yang umumnya muslim mengikuti tindakan
saudara-saudaranya di Caruban Larang. Mula-mula Demang
Mundu dipilih menjadi gedeng dan ia membagi-bagikan tanah
kepada penduduknya. Setelah itu Demang Kertasemaya mengikuti
jejaknya. Hingga kini para demang di wilayah Dermayu yang dipilih
penduduk menjadi gedeng sudah ada tujuh orang yaitu gedeng

1088
Majasih, Rambatan, Tegalwurung, Malang Sumirang, dan
Sindang.”

“Menurutku, orang-orang Islam itu sungguh licin dan banyak akal.


Mereka memiliki banyak siasat. Saat penduduk Junti membuka
desa baru yang dinamai Lemah Abang di sebelah timur Kraton
Dermayu, aku mengutus Demang Singajaya untuk menanyakan
maksud dan tujuan mereka menamakan desa tersebut Lemah
Abang. Ternyata, Demang Singajaya kembali melapor bahwa
warga baru itu menamai desanya Lemah Abang, bukan Lemah
Abang. Sebaliknya, kampung di selatan Lemah Abang dinamai
Lemah Mekar. Saat Demang Pasekan kuutus mengawasi
perikehidupan warga dari kedua desa baru itu, dia melaporkan
bahwa nama yang benar dari desa-desa itu adalah Lemah Abang
dan Lemah Mekar. Ini sungguh memusingkan. Bahkan, saat
Demang Singajaya kuutus kembali kedua desa baru itu, penduduk
berlagak tolol seolah-olah tidak mengetahui pasti nama yang benar
dari desanya.”

Para putera maharaja Sunda yang mendengar keluhan Yang


Dipertuan Dermayu tidak bisa memberikan saran apa pun atas
nasib malang yang dialami saudaranya. Mereka hanya meminta
agar Prabu Indrawijaya tabah dan tidak menyerah pada perubahan
yang dilakukan oleh para demang yang membagi-bagikan tanah
kepada penduduk. Mereka juga memintanya tidak perlu
memikirkan penduduk baru yang membuka desa bernama Lemah
Abang. Mereka umumnya menyarankan agar semuanya
menunggu kelanjutan dari perubahan di Caruban Larang yang
1089
secara cepat atau lambat akan melanda wilayah kekuasaan
mereka. Dan, mereka umumnya sangat cemas jika kelak
mengalami nasib seperti saudara mereka, Prabu Indrawijaya dan
Susuhunan Pajengan.

Sesungguhnya mereka yang cemas dengan perubahan yang


terjadi di Caruban Larang bukan hanya putera raja yang menjadi
penguasa di berbagai kerajaan kecil di Bumi Pasundan. Para
bangsawan rendahan yang menduduki jabatan demang, wadana,
dan mantri wadana pun tak kurang cemasnya. Dengan
diberlakukannya peraturan baru tentang kepemilikan tanah di
Caruban Larang, sesungguhnya pihak yang dirugikan adalah para
pemilik tanah, yakni para pangeran dan adipati, yang
mempercayakan tanah-tanah mereka kepada para mantri wadana,
wadana, dan demang untuk disewakan kepada kawula. Bukankah
dengan diakuinya hak kepemilikan pribadi tiap-tiap kawula atas
tanah sebenarnya bermakna merampok tanah milik raja yang
diwariskan kepada keturunannya? Bukankah dengan peraturan
baru itu para demang, wadana, mantri wadana, adipati, dan
pangeran tidak lagi menerima uang sewa tanah dari kawula
penggarap?

Kecemasan para bangsawan rendahan itu dimanfaatkan benar


oleh Prabu Surawisesa untuk memperoleh dukungan besar bagi
hasratnya untuk meraih takhta Kerajaan Sunda. Dengan membuat
peraturan baru tentang ketentuan mengelola tanah garapan yang
memberikan bagian lebih besar kepada para demang dan wadana,
dibangunlah kekuatan militer Galuh Pakuan untuk mengimbangi
1090
Caruban Larang. Dalam peraturan baru itu masing-masing
demang mendapat separo bagian dari uang sewa tanah garapan
di daerahnya. Para wadana mendapat bagian seperempat,
sedangkan sisanya untuk mantri wadana, adipati dan pangeran
pemilik tanah.

Dengan peraturan baru itu bukan berarti para demang dan wadana
bisa menikmati bagian besar dari hasil sewa tanah dengan
percuma. Sebab masing-masing demang dibebani kewajiban
memelihara seratus prajurit, sementara wadana berkewajiban
menggalang sepuluh kesatuan prajurit yang dipelihara demang. Itu
berarti, bagian yang didapata dari sewa tanah itu digunakan para
demang untuk membiayai kehidupan seratus prajurit. Menurut
kabar, dalam waktu kurang dari tiga bulan sejak peraturan baru itu
diterapkan, Galuh Pakuan sudah memiliki prajurit sekitar 100.000
orang.

Merasa masih kurang cukup dengan kekuatan militer yang


dimilikinya, Prabu Surawisesa meminta dukungan dari saudaranya
yang lain, para raja muda Bumi Pasundan, untuk menghadapi
kekuatan militer Caruban Larang. Para penguasa Bumi Pasundan
yang cemas dengan tindakan-tindakan Sri Mangana memang tidak
bisa berbuat lain, kecuali harus medukung Prabu Surawisesa.
Akhirnya satuan-satuan pasukan dari berbagai kadipaten seperti
Sukapura, Sindangbarang, Kidang Lamotan, Ukur, Sumedang
Larang, Kamuning Gading, Ajong Kidul, Pasir Panjang,
Limbangan, Maleber, Panembong, dan Batu Layang berdatangan
ke Galuh Pakuan untuk memperkuat bala tentara yang disiagakan
1091
Prabu Surawisesa dalam menghadapi kekuatan militer Caruban
Larang.

Langkah Prabu Surawisesa membangun kekuatan militer Galuh


Pakuan diikuti oleh Yang Dipertuan Talaga dan Yang Dipertuan
Rajagaluh. Dengan menerapkan peraturan baru yang sama
dengan Galuh Pakuan dalam waktu kurang dari dua bulan militer
Talaga sudah berjumlah 75.000 orang. Sementara di Rajagaluh,
jumlah militer membengkak dari 20.000 menjadi 100.000 orang.
Demikianlah, bagaikan sedang berlomba memamerkan kekuatan
masing-masing, para putera maharaja Sunda itu saling berpacu
menyaingi kekuatan militer Caruban Larang.

Pengangkatan Sri Mangana sebagai kalifah Caruban Larang,


ternyata tidak hanya menimbulkan kekhawatiran dan kemarahan
para bangsawan Sunda yang merasa terancam kepentingannya.
Para bangsawan Arab Kuta Caruban yang dipimpin oleh Sayyid
Habibullah al-Mu’aththal sangat tidak suka dengan pengangkatan
kalifah tersebut. Pasalnya, menurut Sayyid Habibullah al-
Mu’aththal, manusia yang menduduki jabatan kalifah ar-rasul wajib
berasal dari suku Quraisy, terutama dari antara ahlul bait,
keturunan Nabi Muhammad Saw.

Sayyid Habibullah al-Mu’aththal adalah menantu Ki Gedeng


Trusmi. Ia disegani orang lebih disebabkan karena keberadaannya
sebagai menantu seorang gedeng. Tanpa status menantu gedeng,
ia hanyalah gumpalan daging bernyawa rakus dan tidak pantas
1092
dihargai. Hari-hari dilewatinya dengan membual. Makan enak.
Tidur mendengkur. Mengumbar nafsu membuat keturunan.

Matanya yang selalu tampak setengah terkatup seperti


mengantuk, sering terbelalak dan bersinar kilau-kemilau manakala
melihat kelebatan perempuan di depannya. Hidungnya yang
sebengkok paruh burung betet termasyhur ketajamannya ketika
membaui anak gadis orang dan janda-janda muda. Telinganya
yang kecil tetapi panjang keledai akan tegak jika mendengar orang
bicara tentang uang dan perempuan. Mulutnya yang tebal ditutupi
kumis sering kedapatan berdecak-decak manakala melihat
perempuan lewat di depannya.

Sesungguhnya tidak satu pun orang tahu apakah Sayyid


Habibullah al-Mu’aththal benar-benar bangsawan Arab keturunan
Nabi Muhammad Saw. seperti pengakuannya. Orang hanya
mengiyakan karena memang tidak ada yang tahu bagaimana cara
membedakan wajah orang Arab satu dengan wajah orang Arab
yang lain. Dalam pandangan orang Sunda dan orang Jawa, wajah
orang Arab itu sama. Orang umumnya tidak peduli apakah
pengakuan seseorang sebagai keturunan Nabi Muhammad Saw.
itu butuh bukti atau tidak. Pendek kata, mereka menganggap setiap
orang Arab sah saja mengaku keturunan Nabi Muhammad Saw.

Keluguan orang-orang Caruban dalam menyikapi kehabaiban itu


oleh Sayyid Habibullah al-Mu’aththal sering diartikan sebagai
ketololan dan kepandiran. Itu sebabnya, dengan kepandaiannya
1093
membual ia bentangkan permadani ketidakbersalahan pada alam
pikiran orang-orang di sekitarnya. Kemudian di atas permadani itu
ia melompat-lompat dan berguling-guling semau-maunya untuk
melampiaskan hasrat nafsunya. Ia sangat yakin bahwa
penghormatan dan kepatuhan orang-orang kepadanya disebabkan
oleh keberhasilannya membual dengan mengaku-aku sebagai
keturunan Nabi Muhammad Saw. Padahal, dengan kemalasan,
kerakusan, dan bualan kosongnya itu orang tidak pernah
menilainya lebih dari segumpal daging bernyawa. Ia dihormati
karena keseganan orang terhadap mertuanya, Ki Gedeng Trusmi.

Sekalipun keberadaannya nyaris seperti segumpal daging


bernyawa, Sayyid Habibullah al-Mu’aththal sangat cermat
mengamati keadaan. Itu sebabnya, meskipun ia sangat tidak
senang dengan pengangkatan Sri Mangana sebagai kalifah, ia
tidak berani secara terbuka menentangnya. Ia mengetahui benar
pengaruh dan kekuatan sang ratu yang semakin kuat setelah
diangkat menjadi kalifah. Ia sadar bahwa menggugat keberadaan
Sri Mangana pada saat seperti itu sama dengan membenturkan
kepala ke tembok. Lantaran itu, diam-diam ia pergi ke Lemah
Abang untuk menjumpai Abdul Jalil dan menyampaikan
kekecewaan dan luapan amarahnya.

“Antum sudah kelewatan melakukan perubahan, hai Abdul Jalil,”


ujar Sayyid Habibullah al-Mu’aththal dengan suara ditekan tinggi.
“Saking kelewatan sampai antum tidak tahu di mana harus
berhenti. Antum sudah kebablasan. Antum sudah melanggar
kaidah-kaidah kekalifahan yang pernah ada.”
1094
“Aku tidak paham dengan apa yang Anda katakan,” kata Abdul
Jalil. “Apa yang Anda anggap telah kelewatan dari perubahan yang
kami lakukan? Apakah Anda tidak suka dengan tatanan baru
masyarakat ummah? Di mana letak ketidaksetujuan Anda dan di
mana letak pelanggaran kami atas kaidah-kaidah kekalifahan?”

“Antum menunjuk Sri Mangana sebagai kalifah,” sergah Sayyid


Habibullah al-Mu’aththal keras, “Itu satu kesalahan besar. Itu
pelanggaran kaidah-kaidah kekalifahan. Menurutku, kedudukan Sri
Mangana sebagai kalifah tidak sah.”

“Bagaimana Anda mengatakan yang menunjuk Sri Mangana


sebagai kalifah adalah aku, Syaikh Lemah Abang? Bukankah
semua orang tahu bahwa penunjukka beliau sebagai kalifah
berdasarkan atas pilihan seluruh gedeng di Caruban Larang? Dan,
aku kira itu tidak melanggar kaidah-kaidah kekalifahan,” kata Abdul
Jalil.

“Tapi dia itu siapa? Ada hubungan darah apa dia dengan
kemuliaan dan kesucian darah Quraisy? Dia anak negeri Sunda,
yang kebetulan anak maharaja. Jadi, dia itu hanya layak jadi ratu
di negerinya. Ingat itu: Sri Mangana hanya layak jadi ratu. Ratu.
Sekali lagi, hanya ratu. Sedang untuk jabatan kalifah, kalifah ar-
rasul, dia sama sekali tidak memiliki hak,” kata Sayyid Habibullah
al-Mu’aththal dengan sudut bibir mulai membusa.

1095
Sesuatu di dalam diri Abdul Jalil bergolak saat mendengar ucapan
Sayyid Habibullah al-Mu’aththal yang merendahkan Sri Mangana.
Untuk beberapa jenak ia terdiam. Setelah itu, sesuatu yang
bergolak di dalam jiwanya itu menghambur lewat mulut bagaikan
semburan kawah gunung berapi.

“Jika Anda menilai Sri Mangana tidak pantas menjadi kalifah ar-
rasul dengan alasan keempat sahabat Nabi Muhammad Saw. yang
menjadi kalifah adalah orang Quraisy, maka aku katakan bahwa
Anda telah keliru memahami maksudku. Dalam berbagai
kesempatan telah aku jelaskan bahwa tatanan baru yang disebut
masyarakat ummah tidak didasarkan atas ikatan keturunan,
kesukuan, kebangsaan, bahasa, dan agama tertentu. Dengan
demikian, jelaslah bahwa seorang pemimpin masyarakat ummah
yang menduduki jabatan wali al-Ummah pun wajib mengikuti
ketentuan yang sama. Sungguh aneh dan lucu jika tatanan
masyarakat ummah itu diikuti ketentuan yang mengatakan bahwa
pemimpin masyarakat ummah hendaknya berasal dari suku atau
keluarga tertentu. Kalau ketentuan itu yang diterapkan, pastilah
yang akan menduduki jabatan kalifah ar-rasul sayyidin
panatagama di Caruban Larang anda sendiri. Karena, menurut
cerita orang Anda adalah ahlul bait keturunan Rasul Allah Saw.
yang berasal dari antara orang Quraisy.”

“Sungguh, aku tidak ingin berdebat dengan anda tentang Quraisy


dan bukan Quraisy dalam hal kekalifahan. Tetapi, andaikata aku
membenarkan dan kemudian mengikuti pandangan Anda, maka
sesungguhnya aku akan menempatkan gagasan khilafah hanya
1096
dalam mimpi dan angan-angan karena tidak akan mungkin
diwujudkan dalam kenyataan. Kenapa aku katakan tidak akan
mungkin diwujudkan dalam kenyataan? Sebab, syarat-syarat
untuk menjadi kalifah sebagaimana yang aku gagas bukanlah
syarat yang ringan. Syarat itu sangat berat. Mahaberat.”

“Pertama, seorang calon kalifah wajib berasal dari kalangan


manusia beriman yang dikenal jujur dan terpercaya serta
pemberani. Kedua, wajib cerdas dan berwawasan luas. Ketiga,
berpengetahuan mendalam tentang agama, tata negara, dan
kehidupan masyarakat. Keempat, hidup sebagai zahid sejati agar
bisa berbuat adil. Kelima, rela berkorban jiwa, raga, dan harta
untuk melindungi dan memakmurkan masyarakat yang
dipimpinnya. Keenam, pekerja keras yang menjalankan tugas
sebagai wakil Allah di muka bumi. Ketujuh, dicintai dan dijadikan
panutan dan keteladanan masyarakat karena akhlak yang mulia.”

“Nah, dengan tujuh syarat itu, mohon Anda tunjukkan kepada aku
siapa di antara keturunan Quraisy di Caruban Larang ini yang bisa
memenuhinya? Anda tunjukkan kepada aku calon kalifah yang
memenuhi syarat-syarat itu! Jika Anda bisa menunjukkan
kepadaku calon kalifah yang memenuhi syarat itu, sekarang juga
aku akan pergi ke Kuta Caruban. Aku akan meminta Sri Mangana
meletakkan jabatan dan mendaulat sang calon tersebut untuk
menggantikannya, dengan catatan calon itu disetujui oleh para
gedeng.”

1097
“Sungguh, demi Allah aku bersumpah, sepanjang aku lahir hingga
sekarang belum pernah aku jumpai orang di Bumi Caruban Larang
yang bisa memenuhi tujuh syarat itu. Bahkan, orang-orang yang
mengaku keturunan Quraisy pun tidak. Yang aku saksikan di
antara mereka yang mengaku berdarah Quraisy justru para
pemalas yang mengaku keturunan Nabi Muhammad Saw., namun
hidup menganggur (mu’aththal). Tidak bekerja. Menikahi anak
pejabat negeri setempat. Menambah jumlah istri dan menafkahi
istri barunya dengan harta mertua. Anaknya tercecer di mana-
mana. Bahkan yang menyedihkan, mereka tidak memahami ajaran
Islam dengan baik. Sembahyang lima waktu tidak dijalankan.
Puasa Ramadhan tidak dilakukan, apalagi zakat, infak, dan
sadaqah. Mereka berdiri di atas permadani ketidakbersalahan dan
merasa sudah beroleh jaminan sebagai penghuni surga karena
merasa anak cucu Rasulullah Saw.. Sungguh memuakkan tingkah
mereka itu bagiku.”

“Sekarang Anda bandingkan mereka dengan Sri Mangana, anak


negeri yang Anda nilai tidak pantas dan tidak berhak menjadi
kalifah. Pertama-tama, dia adalah mukmin yang tidak diragukan
lagi keimanannya. Dia dikenal sebagai orang alim yang memiliki
pengetahuan mendalam tentang Islam. Itu terbukti bahwa dia
adalah pengajar tafsir al-Qur’an, fiqh madzhab Syafi’i, ushul fiqh,
mustholah hadits, balaghah, dan manthiq di Pesantren Giri
Amparan Jati. Beliau satu-satunya orang di Caruban Larang yang
memiliki sekaligus mampu mengajarkan kitab asybah wa an-
nadhar, bidayah al-mujtahid, bughiyah al-murtasyidin, fath al-
wahhab, ijma’adz-dzirayyah, al-luma’, al-jami’ ash-shaghir, al-
muhadzdzab. Bahkan, andaikata dibandingkan dengan orang yang
1098
mengaku berdarah Quraisy seperti Anda, misalnya, sesungguhnya
dia pasti jauh lebih Quraisy dalam lughat ketika membaca Al-
Qur’an.”

“Tentang kejujuran? Dia tentu saja sudah termasyhur sebagai raja


yang jujur dan dipercaya oleh seluruh ra’yat Caruban Larang.
Tentang keberanian? Anda tentu sudah mafhum. Jika ditanya
tentang pengetahuan dalam tata negara dan tata kehidupan
masyarakat, tentu saja dia jauh lebih layak karena dia seorang raja.
Tentang kerelaan berkorban untuk masyarakat yang dipimpinnya?
Tentu semua warga Caruban Larang telah paham betapa
sesungguhnya dia telah rela memberikan semua tanah miliknya di
seluruh negeri untuk dihibahkan demi kemaslahatan masyarakat
ummah.”

“Tentang kehidupan sebagai zahid sejati? Dia teladan sempurna di


Caruban Larang dan bahkan di seluruh Bumi Pasundan. Siapa pun
di antara orang beriman mengetahui dia merupakan zahid sejati,
yang pergi meninggalkan kemewahan hidup dan tinggal di gubuk
kecil beratap daun kawung. Dia memang memegang kunci
perbendaharaan negara (Baitul Mal), namun secuil pun dia tidak
pernah mengambil untuk kepentingan pribadi. Dia dan keluarga
merajut kopiah dan menenun pakaian untuk dijual sebagai nafkah
sehari-hari. Dengan kezahidannya, tidak syak lagi bahwa
kebijakan-kebijakan yang diambilnya akan selalu tegak di atas
keadilan. Karena, keadilan hanya mungkin dipunyai oleh seorang
zahid yang hatinya selalu terikat kepada al-‘Adl.”

1099
“Siapa yang bisa mengingkari kenyataan bahwa Sri Mangana
adalah pribadi agung seorang pejuang yang tak pernah kenal
istirahat dalam menjalankan dharma sebagai wakil Allah di muka
bumi? Seluruh ra’yat Caruban Larang tentu sudah tahu bahwa Sri
Mangana adalah satu-satunya raja di Bumi Pasundan yang sangat
membenci pesta pora mengumbar kesenangan. Dia pekerja keras
yang tidak suka kemalasan. Hartanya lebih banyak didermakan
kepada para fakir dan orang-orang yang membutuhkan. Dan yang
terpenting di atas itu semua, dia adalah raja yang dicintai oleh
seluruh ra’yatnya, kecuali orang-orang yang pamrih pribadinya
terhambat oleh keberadaannya. Sehingga, bagiku, apa yang
terkait dengan keberadaan Sri Mangana sebagai kalifah adalah
sah dan tidak melanggar kaidah-kaidah kekalifahan yang
kumaksud. Entah jika kekalifahan itu menurut Anda.”

Mendengar kata-kata Abdul Jalil yang disemburkan tanpa basa-


basi dan sebagian besar menyinggung perasaannya, Sayyid
Habibullah al-Mu’aththal bangun dari tempat duduk, berdiri tegak
dengan mata berkilat-kilat dan bibir bergetar serta dada naik turun
menahan amarah. Tanpa mengucap salam ia bersungut-sungut
keluar dari gubuk Abdul Jalil. Mendapati sikap Sayyid Habibullah
al-Mu’aththal itu, Abdul Jalil tersenyum kecut sambil menggeleng-
gelengkan kepala. Ia sadar telah menyinggung dan menyakiti hati
Sayyid Habibullah al-Mu’aththal tanpa ia kehendaki sebelumnya.

Ketika Abdul Jalil melangkah keluar dari gubuknya mengejar


Sayyid Habibullah al-Mu’aththal yang keluar rumah dengan marah,
ia berpapasan dengan Ki Gedeng Pasambangan di pintu.
1100
Rupanya, sejak tadi Ki Gedeng Pasambangan mendengar
perbincangan Abdul Jalil dengan Sayyid Habibullah al-Mu’aththal.
Setelah sama-sama terhenti di depan pintu, Ki Gedeng
Pasambangan bertanya, “Hendak ke manakah engkau, o sahabat
terkasih?”

“Aku hendak meminta maaf kepada Sayyid Habibullah al-


Mu’aththal. Aku merasa telah menyinggung perasaannya sehingga
ia pulang dengan hati diliputi kemarahan.”

“Sesungguhnya engkau tidak perlu meminta maaf kepadanya,”


kata Ki Gedeng Pasambangan. “Karena apa yang telah engkau
katakan benar adanya. Mudah-mudahan dengan ucapanmu itu dia
akan sadar diri.”

“Aku tidak paham maksudmu, o Sahabat.”

“Sesungguhnya, al-Mu’aththal itu pemalas termasyhur dan tukang


mimpi kawakan,” kata Ki Gedeng Pasambangan. “Aku pertama kali
mengenal dia sebagai menantu Ki Gedeng Trusmi. Sejak awal
menjadi menantu Ki Gedeng Trusmi sampai sekarang ini dia tidak
bekerja apa-apa. Maksudku, dia tidak memiliki pekerjaan tertentu
sebagai sumber nafkah. Hidupnya sehari-hari hanya diwarnai
kegiatan makan, duduk di teras rumah, mengudap di warung,
membual, mengisap candu, beranak pinak, dan tidur. Orang tidak
pernah melihatnya ke tajug untuk sembahyang. Orang juga kerap
1101
kali melihatnya menyantap makanan di warung pada bulan
Ramadhan. Jika orang bertanya kenapa dia tidak pernah kelihatan
sembahyang dan berpuasa maka dia akan berkata bahwa anak
cucu Rasul Saw. adalah orang-orang suci yang sudah memegang
kunci surgawi.”

“Aku tidak tahu makhluk satu itu tubuhnya dibuat dari bahan apa.
Aku sering melihat dia suka tidur di atas kursi di rumahnya sambil
mendengkur keras-keras. Tubuhnya aku bayangkan seperti kain
disangkutkan ke sandaran kursi. Sungguh tidak ada kesan lain
yang kutangkap dari al-Mu’aththal kecuali kemalasan. Dengan
bualannya yang membosankan, ia berikan alasan-alasan kepada
mertuanya untuk menanggung nafkah keluarganya. Bahkan tanpa
tahu malu, saat menikah lagi, ia juga menafkahi istri-istri barunya
dengan harta mertuanya. Dan yang paling memuakkan, dengan
istri-istrinya itu ternyata dia belum puas juga. Kata orang, al-
Mu’aththal suka bercanda dan menggoda pelayan-pelayan warung
tempat ia mengudap. Sehingga, di Trusmi banyak kedapatan anak-
anak pelayan warung yang berwajah Arab. Mereka, entah benar
entah tidak, adalah anak gelap al-Mu’aththal dengan para pelayan
warung.”

“Menurut pandanganku, al-Mu’aththal itu adalah makhluk tengik


yang tidak saja pemalas, tetapi juga rakus. Bayangkan, saat Ki
Gedeng Trusmi membagi-bagikan tanah kepada penduduk, dia
justru meminta bagian lebih. Tidak ada penduduk yang berani
menentangnya. Ki Gedeng Trusmi yang lemah itu membiarkan
saja tidakan menantunya yang melanggar hak penduduk lain.
1102
Sehingga, dibandingkan dengan penduduk Trusmi yang lain, al-
Mu’aththal memiliki tanah sepuluh kali lebih luas. Tanah itu
disewakannya kepada penggarap baru. Sepanjang tahun dia
menikmati uang hasil sewa sambil bermalas-malasan.”

“Aku sendiri tidak tahu apakah dia benar-benar habaib keturunan


Nabi Muhammad Saw. atau petualang Arab yang mengaku-ngaku.
Tapi, saat aku bertemu Sayyid Abdurrahman al-Yamani di
Dermayu dan menyoal perilaku al-Mu’aththal, beliau hanya berkata
begini: ‘Jika benar seseorang mengaku keturunan Rasulullah Saw.
hendaknya engkau lihat cerminan akhlaknya. Jika ternyata dia
berakhlak bejat maka dia penipu.’ Dengan berpegang pada ucapan
Sayyid Abdurrahman al-Yamani itulah aku tidak yakin al-Mu’aththal
itu seorang habaib. Lantaran itu, ketika orang-orang ramai memilih
calon wali nagari, nama al-Mu’aththal tidak sedikit pun disentuh
karena hampir semua gedeng di Caruban Larang ini sudah tahu
siapa makhluk itu: pemalas rakus yang berusaha mengeruk
keuntungan pribadi dengan berlindung di balik agama dan
keturunan Nabi Saw..”

“Apakah dia tidak akan menimbulkan kesulitan di kelak kemudian


hari?”

“Aku kira, kesulitan yang akan ditimbulkan al-Mu’aththal tidak


banyak berarti. Sebab, semua orang sudah tahu siapa al-
Mu’aththal, si pembual yang ke mana-mana tempat hanya
menyemburkan busa dari mulutnya.”
1103
Ketika ketegangan antara Sri Mangana dan saudara-saudaranya
makin memuncak, terjadilah peristiwa yang tidak tersangka-
sangka. Di tengah kobaran api perubahan yang sedang
menggelombang menyapu Bumi Caruban Larang, percik apinya
ternyata terbawa angin dan menebar ke daerah perbatasan dan
menerobos ke sudut-sudut kehidupan penduduk di Bumi
Pasundan. Akibatnya, arus perubahan mulai dijadikan bahan
pembicaraan para penduduk di pedalaman Bumi Pasundan. Ketika
sejumlah demang dan wadana di wilayah Galuh Pakuan mulai
sering bertemu dan membicarakan perubahan di Caruban Larang,
beratus dan mungkin beribu kawula diam-diam meninggalkan
rumah dan kampung halaman untuk menjadi penduduk Caruban
Larang.

Prabu Surawisesa, Yang Dipertuan Galuh Pakuan, sangat


kebingungan dengan peristiwa tak terduga-duga di wilayah
kekuasaannya itu. Padahal, selama ini ia dan saudaranya yang lain
sedang bertindak bagaikan sekawanan harimau yang mengendap-
ngendap mengintai mangsa: mengamati semua gerak kehidupan
Sri Mangana yang sibuk mengendalikan bahtera di tengah arus
perubahan. Ternyata, saat hendak menerkam, tiba-tiba mereka
disadarkan oleh kenyataan yang menunjukkan bahwa di tempat
mereka berdiri sesungguhnya sudah berkobar api perubahan yang
siap membakar mereka.

Sekalipun yakin dirinya bakal ditunjuk menjadi pengganti


ayahandanya sebagai maharaja Sunda, Prabu Surawisesa tetap
sadar bahwa takhta itu belum didudukinya. Itu sebabnya, ia merasa
1104
kebingungan untuk membendung gelombang perubahan yang
sudah menerobos ke wilayah kekuasannya. Sebagai raja muda, ia
tidak memiliki kewenangan untuk melakukan pelarangan atas
nama hukum terhadap gerakan pembaharuan itu. Hak atas hukum
masih dipegang oleh maharaja Sunda, yang justru tidak
menganggap berbahaya arus perubahan tersebut, bahkan sang
maharaja merasa iba hati terhadap nasib pemimpin gerakan
perubahan itu.

Di tengah ketidakberdayaan menghadapi arus perubahan yang


sudah melanda wilayah kekuasaannya, Prabu Surawisesa didesak
oleh Rsi Bungsu, putera bungsunya, agar melakukan tindakan
rahasia membendung kekuatan inti dari arus tersebut. “Tanpa
memangkas akar utama pohon perubahan itu, ananda kira pohon
itu akan terus tumbuh membesar dan membahayakan pohon lain
yang sudah ada,” kata Rsi Bungsu.

“Aku tidak paham maksudmu, o Puteraku,” kata Prabu Surawisesa.

“Ramanda Prabu harus mengenyahkan si keparat Abdul Jalil dari


muka bumi,” sahut Rsi Bungsu dingin.

“Tapi, dia alat dari ratu Caruban belaka. Jadi menurutku, tidak ada
gunanya membunuh dia. Karena hal itu hanya akan menyulut
amarah ratu Caruban Larang,” kata Prabu Surawisesa.

1105
“Mohon ampun, sesungguhnya Ramanda Prabu sangat keliru
menilai Abdul Jalil,” kata Rsi Bungsu. “Dia bukanlah alat Pamanda
Sri Mangana. Justru dialah sesungguhnya binatang penghasut
yang telah mempengaruhi saudara Ramanda Prabu itu dengan
ilmu sihirnya.”

“Kenapa engkau bisa berkata begitu, o Puteraku?” tanya Prabu


Surawisesa mengerutkan kening.

“Abdul Jalil, Syaikh Lemah Abang itu, sesungguhnya adalah anak


orang asing yang dipungut Ki Danusela dan diasuh Sri Mangana di
padepokan Syaikh Datuk Kahfi. Dia pergi ke negeri asing bertahun-
tahun silam. Kemudian, saat kembali dia mendapati ayahanda
asuhnya telah menjadi ratu di Caruban Larang. Maka, seperti
pengemis hina, dia bersimpuh dan menjilat kepada ayahanda
asuhnya agar beroleh kemuliaan di istana.”

“Sesungguhnya Abdul Jalil sangat mengharap kedudukan yang


tinggi, yaitu menjadi ratu Caruban Larang menggantikan ayahanda
asuhnya. Sebab, dia dulu adalah calon kuwu Caruban. Tapi, dia
sadar hal itu mustahil terjadi karena orang-orang Sunda dan Jawa
yang menjadi penduduk Caruban Larang tidak akan sudi dipimpin
oleh orang asing. Selain itu, dia juga sadar bahwa putera Sri
Mangana, Pangeran Cirebon, lebih berhak mengganti kedudukan
ayahandanya daripada dia. Nah, tatanan baru yang
dikumandangkan Abdul Jalil di Lemah Abang dan diikuti oleh
kagedengan di seluruh Caruban Larang sejatinya adalah jalan
1106
lurus yang bakal membawanya ke puncak takhta saat Sri Mangana
mangkat. Sebab, para gedeng yang kebanyakan adalah murid-
muridnya itu tentu akan lebih memilih dia sebagai pengganti Sri
Mangana daripada Pangeran Cirebon,” kata Rsi Bungsu berapi-
api.

“Tapi, laporan-laporan yang aku terima justru mengatakan bahwa


Syaikh Lemah Abang adalah seorang guru ruhani yang hidup
menjauhi keduniawian. Bagaimana mungkin orang seperti itu
berambisi merebut takhta Caruban Larang?” ujar Prabu
Surawisesa.

“Ananda menduga sikapnya itu hanya merupakan kepura-puraan,”


kata Rsi Bungsu berusaha meyakinkan ayahandanya. “Tetapi, jika
Ramanda Prabu berkenan mengikuti nasihat ananda maka arus itu
akan terbendung dengan sendirinya. Sebab, kematian Abdul Jalil
memiliki makna kematian juga bagi Sri Mangana.”

“Kenapa engkau berkata begitu?”

“Sebab Abdul Jalil adalah anak kesayangan yang sangat dipercaya


oleh saudara Ramanda Prabu itu. Apa pun yang diminta Abdul Jalil
pasti dipenuhi Pamanda Sri Mangana. Bahkan, ketika beliau sakit
hilang ingatan, mendadak sembuh ketika didatangi Abdul Jalil.
Tidakkah Ramanda Prabu mendengar cerita orang yang

1107
mengaitkan sembuhnya sakit Sri Mangana dan kedatangan Abdul
Jalil?”

“Aku sudah mendengar soal itu.”

“Jadi, menurut hemat ananda, akar dari semua masalah ini adalah
Abdul Jalil.”

“Tapi membunuh orang secara licik bukanlah tindakan yang bisa


dibenarkan bagi seorang raja. Aku tidak keberatan engkau
membunuh Syaikh Lemah Abang atau Sri Mangana sekalipun
dengan caramu, o Puteraku. Namun, aku akan mengatakan
kepadamu bahwa aku tidak akan pernah ikut melumuri tanganku
dengan darah mereka,” kata Prabu Surawisesa tegas.

Mendapat jawaban tegas Prabu Surawisesa, Rsi Bungsu kecewa.


Ia segera berpamitan dan pergi meninggalkan Galuh Pakuan. Ia
tahu ayahandanya adalah raja yang memiliki sikap tegas. Ia yakin
jika sarannya sudah ditolak, tidak akan dipertimbangkan lagi upaya
mengubahnya. Lantaran itu, ia berniat pergi ke Talaga, Rajagaluh,
dan Dermayu untuk mempengaruhi paman-pamannya agar
menyingkirkan Abdul Jalil dari daftar hidup manusia. Rupanya, Rsi
Bungsu diam-diam menyimpan dendam kesumat terhadap Abdul
Jalil yang tidak saja dianggap telah merusak rencananya
menduduki jabatan kuwu Caruban belasan tahun silam, tetapi juga

1108
menjadi sosok yang diam-diam dikagumi putera tunggalnya,
Raden Anggaraksa, hingga puteranya itu memeluk Islam.

Sepak terjang Rsi Bungsu di tengah membadainya arus perubahan


di Caruban Larang ternyata menimbulkan pengaruh yang tidak
kecil bagi perubahan itu sendiri. Ia seperti memunculkan pusaran
angin lain yang berputar-putar di sekeliling arus utama angin
perubahan. Berbagai kabara angin yang menyangkut keberadaan
tatanan baru tiba-tiba terasa menampar-nampar di sekitar gerak
perubahan. Satu saat, misalnya, berembus kabar angin bahwa
perubahan yang terjadi di Caruban Larang adalah bikinan kaki
tangan maharaja Cina. Hal itu terbukti dengan banyaknya jabatan
penting yang diduduki oleh orang-orang Cina. Pada saat yang lain,
berembus kabar angin yang menyatakan bahwa sang kalifah akan
memaksa penduduk Bumi Pasundan untuk memeluk agama Islam
dengan cara memotong kemaluan para lelaki secara serentak.
Bahkan, tersebar pula kabar angin yang menyatakan bahwa
penggagas tatanan baru, Syaikh Lemah Abang, adalah tukang
sihir dari negeri Arab yang ditugasi oleh raja Arab untuk
menundukkan Kerajaan Sunda melalui penaklukan Caruban
Larang.

Di tengah pusaran berita yang teraduk-aduk tak tentu arah itu,


terjadi peristiwa lain yang menegangkan para penduduk Caruban
Larang. Menurut berita yang beredar dari tajug ke tajug dan dari
rumah ke rumah, Prabu Surawisesa Yang Dipertuan Galuh Pakuan
telah menggerakkan sekitar 200.000 pasukan ke perbatasan
Caruban Larang. Berdasarkan pengakuan penduduk Galuh
1109
Pakuan yang berhasil meloloskan diri ke wilayah Caruban Larang,
pasukan Galuh Pakuan itu terlihat beriap-riap bagaikan kawanan
semut di sepanjang tepi selatan Sungai Sanggarung, antara
Sagala Herang hingga Panembong. Mereka seperti hendak
mengepung Kuningan dan Luragung. Sementara, Prabu Pucuk
Umun Yang Dipertuan Talaga juga menggerakkan sedikitnya
100.000 pasukan yang berpangkalan di Nusa Herang dan Gunung
Sirah. Tidak ketinggalan Prabu Cakraningrat Yang Dipertuan
Rajagaluh menggerakkan sekitar 120.000 pasukan dengan
pangkalan utama di Bobos.

1110
Hantu-Hantu Hitam Berkeliaran

Tahun 1416 Saka merupakan rentangan


waktu paling berat bagi penduduk Caruban
Larang sejak tengara pembaharuan ditabuh
Sri Mangana barang dua tahun silam. Sejak
hadirnya pasukan Galuh Pakuan, Talaga, dan
Rajagaluh di sepanjang perbatasan Caruban
Larang pada awal tahun tersebut, hantu-hantu hitam yang
mengerikan mulai terlihat bergentayangan di wilayah itu. Hantu-
hantu hitam dengan ganas menebar kekacauan dan kematian.
Sukacita dan kegembiraan yang semula dirasakan penduduk
dengan diterapkannya tatanan baru yang mereka sebut
masyarakat adil dan makmur, berangsur-angsur pupus menjadi
mimpi buruk yang mencekam dan mengerikan.

Memang, sejak pengerahan besar-besaran pasukan dari tiga


kerajaan Sunda itu di perbatasan, semua pandangan diarahkan
kepada kalifah Caruban Larang, Sri Mangana. Semua seakan-
akan menunggu tindakan apakah gerangan yang akan diambil oleh
penguasa Caruban Larang dengan peristiwa-peristiwa yang
seolah-olah menantangnya itu. Bagi penduduk Caruban Larang,
satu-satunya kekuatan yang mereka miliki untuk bisa tetap
bertahan di tengah kecemasan adalah keberadaan Sri Mangana,
ratu dan sekaligus kalifah yang mereka jadikan tumpuan harapan.

1111
Beda yang dirasakan penduduk, beda pula yang dirasakan Sri
Mangana dan para pemuka masyarakat ummah di Caruban
Larang. Pengerahan pasukan besar-besaran dari tiga kerajaan itu
bagi mereka adalah bagian dari sebuah “perang siasat” yang
sudah berlangsung sejak tengara perubahan dikumandangkan.
Maksudnya, meski pasukan ketiga kerajaan dan Caruban Larang
tidak berhadap-hadapan sebagai lawan di medan tempur, di
bawah permukaan kedua pihak sejatinya sudah saling berusaha
mengalahkan satu sama lain dengan siasat yang sering kali tidak
disangka-sangka. Ketika gemuruh perubahan berlangsung di
segenap penjuru Caruban Larang, misalnya, tanpa terduga tiba-
tiba para gedeng di Palimanan memilih adipatinya. Dan, sang
adipati terpilih menyatakan diri bernaung di bawah kekuasaan
Rajagaluh.

Penguasa Caruban Larang yang tidak menduga langkah licik


Rajagaluh itu tidak bisa berbuat sesuatu, kecuali membiarkan
Palimanan lepas. Namun, tak lama kemudian para gedeng di
perbatasan selatan memilih wali nagari Kuningan sebagai
pemimpin. Padahal, Nagari Kuningan adalah wilayah Galuh
Pakuan. Tak cukup dengan Kuningan, para gedeng di perbatasan
timur memasukkan Luragung ke dalam Nagari Losari. Padahal,
Luragung juga termasuk wilayah Galuh Pakuan.

Dalam “perang siasat” itu jelas sekali bahwa pihak Caruban Larang
telah kalah karena keliru mengambil langkah. Sebab, dengan
tindakan menjadikan Kuningan dan Luragung sebagai bagian dari
wilayah Caruban Larang, meski dengan cara pemilihan adipati oleh
1112
para gedeng, tersulutlah amarah Yang Dipertuan Galuh Pakuan.
Ujung dari peristiwa saling berebut wilayah itu adalah terjadinya
pengerahan besar-besaran pasukan Galuh Pakuan di sepanjang
tepian Sungai Sanggarung, yang diikuti Talaga dan Rajagaluh.

Saling serang dalam “perang siasat” itu ternyata berlangsung


semakin sengit di bawah permukaan seiiring memuncaknya suhu
ketegangan kedua belah pihak. Tanpa tersangka-sangka, desa-
desa di wilayah Caruban Larang yang berada di dekat perbatasan
mendadak diguncang oleh kekacauan. Pencurian, perampokan,
penjarahan, perusakan, penganiayaan, bahkan pembunuhan
tercurah bagai hujan dari langit. Pihak Caruban Larang buru-buru
mengirim pasukan untuk melindungi penduduk di desa-desa
perbatasan dan menangkapi para pembuat kekacauan.
Berdasarkan pengakuan para pengacau yang tertangkap, mereka
hanya sekedar menjalankan tugas dari orang-orang Galuh
Pakuan.

Ketika desa-desa di perbatasan Caruban Larang dapat


diamankan, ganti wilayah Galuh Pakuan yang terbakar kekacauan,
wilayah Galuh Pakuan yang termasyhur subur dan makmur serta
aman sentosa tiba-tiba diguncang oleh kawanan pengacau yang
dipimpin kepala begal bernama Sang Lokajaya. Kata orang, Sang
Lokajaya adalah kepala begal asal Japura, Caruban Larang.
Anehnya, yang dirampok dan dijarah kawanan begal pimpinan
Sang Lokajaya bukanlah penduduk desa seperti yang terjadi di
wilayah Caruban Larang, melainkan para saudagar dan ningrat
darah biru. Barang-barang perniagaan para saudagar dirampas
1113
ditengah jalan. Rumah dan lumbung para ningrat darah biru
dijarah. Dan yang lebih aneh lagi, kawanan begal itu sering
kedapatan membagi-bagi hasil rampokannya kepada penduduk
desa yang hidup kekurangan.

Para saudagar dan ningrat darah biru Galuh Pakuan yang sangat
cemas dengan keadaan buruk itu memohon kepada Prabu
Surawisesa agar melakukan larangan bagi pedagang-pedagang
Caruban Larang untuk berdagang di wilayah Galuh Pakuan.
Sebab, mereka khawatir para pedagang itu adalah mata-mata para
begal. Ketika Prabu Surawisesa memenuhi permintaan para
saudagar dan ningrat darah biru itu, pihak Caruban Larang
membalas dengan tindakan yang sama: melarang semua jenis
perahu asal Galuh Pakuan melayari Sungai Sanggarung. Kepala
perdagangan Caruban Larang, Abdurrahman Rumi, menetapkan
larangan bagi pedagang-pedagang Caruban Larang untuk menjual
garam, terasi, petis, dan hasil ikan laut kepada pedagang asal
Galuh Pakuan, Talaga, dan Rajagaluh. Langkah itu diikuti oleh
para pedagang Dermayu.

Tindakan saling cegat dan saling jegal itu terbukti mengacaukan


dan sekaligus memperlemah perekonomian Galuh Pakuan. Galuh
Pakuan tidak saja kehilangan penghasilan dari pajak dan cukai lalu
lintas perniagaan sungai, tetapi kehilangan pula kesempatan
berniaga di kota-kota pelabuhan di pantai utara. Galuh Pakuan
praktis bergantung dari hasil pertanian di pedalaman saja. Bahkan,
yang membuat para pedagang Galuh Pakuan pontang-panting
adalah kesepakatan para pedagang Cina untuk tidak berjual beli
1114
dengan mereka karena alasan takut dengan ancaman orang-orang
Caruban Larang.

Di tengah sengitnya “perang siasat” itu sesungguhnya bukan


hanya penduduk kedua belah pihak yang hidup tercekam, para
perencana dan pelaksana perang pun tak luput dari ketegangan
dan kecemasan. Mereka sesungguhnya saling bertahan dalam
kesabaran untuk tidak lebih dahulu menyerang. Karena, pihak
yang memulai peperangan akan dianggap melanggar titah
maharaja Sunda yang tidak menghendaki terjadinya perpecahan
di wilayah kekuasaannya. Lantaran itu, pertempuran di bawah
permukaan itu makin lama terasa makin mencekam, terutama bagi
penduduk yang tidak mengetahui duduk perkara yang
sesungguhnya dari berbagai peristiwa yang terjadi sangat
membingungkan itu.

Prabu Surawisesa sendiri sudah kehilangan akal menghadapi


langkah-langkah Sri Mangana yang terbukti sangat ulet dan sulit
dipatahkan. Berbagai usaha yang dilakukannya mulai dari
mengadu domba antara Caruban Larang dan Pakuan Pajajaran
hingga pelarangan berdagang bagi para pedagang Caruban
Larang, tidak satu pun membawa hasil. Hasutan kepada maharaja
Sunda bahwa Sri Mangana tidak lagi mengakui kekuasaan
maharaja karena kalifah dipilih dan tidak diangkat maharaja,
dimentahkan oleh pengiriman bulubekti (upeti) dari Caruban
Larang ke Pakuan Pajajaran. Usaha menghasut para rishi dan guru
suci di berbagai padepokan yang ada di wilayah Galuh Pakuan,

1115
Talaga, Rajagaluh, dan bahkan Caruban Larang digagalkan oleh
para rishi yang menjadi siswa Syaikh Lemah Abang.

Di tengah kebingungannya itu Prabu Surawisesa akhirnya lebih


banyak menyerahkan masalah “perang siasat” kepada para
pembantunya, terutama para perwira muda yang hanya mengenal
bahasa tempur. Akibatnya, percik-percik api peperangan mulai
tertabur. Pertempuran-pertempuran antar satuan kecil mulai terjadi
di wilayah Caruban Larang. Bahkan yang tak pernah disangka-
sangka, Syaikh Jamalullah, wali nagari Susukan, tiba-tiba
dikabarkan raib ketika melakukan perjalanan dari Susukan ke
Ujungsemi. Tak lama setelah itu istri Syaikh Jamalullah dan
sejumlah pengawalnya menemukan jenasah sang wali nagari di
sungai dalam keadaan mengenaskan.

Ketika jenasah Syaikh Jamalullah dibawa ke Kuta Caruban dan


dishalatkan di Tajug Agung, tersiar kabar susulan bahwa Ki
Gedeng Kemuning telah raib sekembalinya dari Kadipaten
Kuningan. Sepekan kemudian orang menemukan jenasahnya
membusuk tergantung di pohon. Ki Gedeng Plumbon yang diutus
Sri Mangana ke Kuningan untuk mencari Ki Gedeng Kemuning,
kembali dengan menuturkan penemuan jenasah tersebut. Namun,
saat ia memaparkan keadaan jenasah di depan hadirin, ia ditegur
keras oleh Syarif Hidayatullah karena dalam Islam terlarang
membicarakan keburukan mayat. Selanjutnya, atas perkenan Sri
Mangana, Ki Gedeng Plumbon diangkat menjadi Gedeng Cigugur.

1116
Perang siasat yang terjadi antara Caruban Larang di satu pihak
dan Galuh Pakuan, Rajagaluh, dan Talaga di pihak lain,
sesungguhnya dapat digambarkan seperti pertarungan harimau-
harimau dalam memperebutkan daerah kekuasaan. Masing-
masing harimau merunduk dan menggeram untuk menakuti lawan.
Tidak satu pun yang berani menyerang lebih dulu. Harimau-
harimau itu hanya meraung dan menggeram-geram sambil
mengais-ngaiskan cakarnya ke arah lawan. Harimau-harimau itu
hanya menyeringai menunjukkan gigi dan taringnya yang tajam.
Namun, bagi binatang lain yang lebih kecil, geraman harimau-
harimau yang sedang berlaga itu sungguh sangat menakutkan.

Harapan agar matahari perubahan yang memancarkan daya hidup


dan menumbuhkanbenih-benih baru yang tumbuh di atas
hamparan bumi Caruban Larang terus bersinar terang ternyata
tidak selamanya terpenuhi. Ketika gumpalan awan dari selatan dan
barat berarak di atas langit dan mengepung Caruban Larang
dengan suara guntur menggemuruh, tercekamlah penduduk dalam
kecemasan dan ketegangan.

Kehidupan manusia tidak terlepas dari perilaku alam. Siapa di


antara makhluk yang ingin hidup di atas roda kehidupan, wajib
berpacu dengan waktu dan sesamanya. Ibarat benih-benih
tetumbuhan, yang terlemah dan tidak mempu menghadapi gilasan
waktu serta tantangan alam akan merana dan mati, demikian pun
gegap gempita tumbuhnya tatanan baru masyarakat di Caruban
Larang tidak luput dari perilaku alam. Seiring merebaknya kabar
pengepungan Caruban Larang oleh pasukan Galuh Pakuan,
1117
Talaga, dan Rajagaluh yang menyebar dari tajug ke tajug, dari
rumah ke rumah, juga dari mulut ke mulut, disusul kabar
terbunuhnya Syaikh Jamalullah, mantan gedeng Ujungsemi, dan
Ki Gedeng Kemuning, terjadilah kegemparan yang mengancam
kelangsungan hidup tatanan baru yang sedang bersemi tersebut.

Sesungguhnya, tidak banyak yang memahami bahwa bagian


terbesar dari penduduk baru yang datang ke Caruban Larang dan
membuka lembaran baru kehidupan itu adalah orang-orang yang
memiliki harapan untuk sekedar mendapat bagian tanah sehingga
dengan tanah itu mereka dapat hidup lebih baik. Tidak banyak
yang paham jika mereka adalah sekumpulan tukang mimpi yang
menganggap kehidupan di dunia serba mudah dan tanpa resiko.
Ya, kumpulan tukang mimpi yang tidak pernah memiliki pandangan
masuk akal bahwa kehidupan di alam nyata sangat berbeda
dengan kehidupan di alam harapan yang mereka bangun dari
angan-angan kosong dan mimpi indah. Itu sebabnya, para tukang
mimpi itu sangat terkejut dan ketakutan ketika harus berhadapan
dengan kenyataan yang berbeda dengan yang mereka impikan.
Mimpi indah yang mereka bayangkan bakal abadi ternyata menjadi
hantu menakutkan saat mereka terbangun dalam kenyataan.
Mereka seolah-olah menyaksikan isi dunia hanyalah bayangan-
bayangan hitam dari hantu-hantu mengerikan yang berkeliaran
memenuhi benak dan jiwa.

Belum genap sepekan kabar terbunuhnya Ki Gedeng Kemuning


tersebar, ketika matahari bersinar di ufuk timur, terlihatlah di
sejumlah desa baru di perbatasan selatan iring-iringan manusia
1118
menyuruk-nyuruk di pamatang-pematang sawah dan jalan-jalan
desa. Mereka adalah penduduk desa-desa baru, para tukang
mimpi, yang meninggalkan rumah dan kampung halaman karena
dicekam ketakutan dan kepanikan. Mereka bergerak bagaikan
kawanan semut ke arah utara. Sepanjang pergerakan itu, jumlah
iring-iringan manusia makin lama makin membesar.

Kabar terjadinya pengungsian besar-besaran penduduk


perbatasan selatan dengan cepat melanda Kuta Caruban dan
mengejutkan penduduk. Sri Mangana buru-buru mengadakan
pertemuan dengan para wali nagari dan semua tokoh pendukung
gerakan perubahan di Bangsal Kaprabon. Mereka mencemaskan
pengungsian besar-besaran tersebut. Sebab, kehadiran para
pengungsi yang ditengara bakal menuju Kuta Caruban itu tidak
saja akan menambah berat beban penduduk, tetapi akan
meruntuhkan semangat penduduk di tempat lain.

Li Han Siang, syahbandar Caruban, yang mula-mula


mengemukakan kemungkinan timbulnya akibat-akibat samping
yang buruk dari peristiwa pengungsian tersebut. Syahbandar yang
juga pemuka warga Cina asal suku Han itu mengatakan bahwa ia
baru saja memerintahkan orang-orangnya untuk membunuh tiga
kepala keluarga Cina yang berada di bawah lindungannya.
Pasalnya, sesaat setelah mendengar kabar pengungsian
penduduk perbatasan mereka buru-buru mengajak keluarganya
pergi meninggalkan Kuta Caruban. “Orang-orang yang ingin hidup
enak tanpa mau menanggung resiko tidak pantas hidup di muka
bumi. Karena itu, saya selaku pemimpin mereka memutuskan
1119
untuk membunuh orang-orang tak berguna itu. Itu saya lakukan
untuk menjadi contoh bagi keluarga yang lain agar tidak bersikap
bodoh seperti mereka,” papar Li Han Siang kepada Sri Mangana.

Pernyataan Li Han Siang menjadi bahasan utama dalam


musyawarah karena menimbulkan kelompok yang setuju dan yang
tidak setuju. Kelompok yang setuju menilai tindakan keras itu
sangat diperlukan untuk mengendalikan penduduk yang ketakutan
dan panik. Kelompok ini diwakili Syaikh Duyuskhani pemuka warga
Kalijaga asal Baghdad, sedangkan kelompok yang tidak setuju
menganggap tindakan itu tidak perlu dilakukan. Kelompok ini
diwakili oleh Sayyid Habibullah al-Mu’aththal, menantu Ki Gedeng
Trusmi.

Sayyid Habibullah al-Mu’aththal mengecam tindakan Li Han Siang


sebagai sesuatu yang bertentangan dengan fitrah manusia.
Menurutnya, rasa takut adalah fitrah. Karena itu, mengganjar orang
ketakutan dengan membunuh mereka merupakan tindak
kezaliman. “Justru kita sebagai pemimpin berkewajiban melindungi
mereka dan memberikan rasa aman kepada mereka. Sunnguh
tidak bisa diterima akal jika ada orang yang ketakutan justru kita
bunuh,” ujar Sayyid Habibullah al-Mu’aththal.

“Adat dan tradisi yang berlaku di kalangan kami memang seperti


itu, Tuan Sayyid.” Li Han Siang membela diri. “Siapa di antara
anggota kelompok yang sudah tidak patuh kepada pemimpin,
apakah dengan alasan takut atau ingin menyelamatkan diri sendiri,
1120
mereka wajib dibunuh. Bagi orang-orang perantauan seperti kami,
adalah suatu kebohongan jika orang mau hidup enak namun
menolak kerja keras dan risiko mati. Sesungguhnya, kepada tiga
orang kepala keluarga itu telah kami peringatkan agar tidak
meninggalkan Kuta Caruban tanpa perintah kami. Tetapi, mereka
malah mempengaruhi kawan-kawannya.”

“Tetapi, membunuh jelas tindakan yang tanpa hak. Tidak ada dalil
dan contoh dari Rasulullah Saw. yang membenarkan tindakan itu.
Bahkan, kepada orang-orang yang teraniaya Rasulullah Saw.
memerintahkan mereka untuk melakukan hijrah,” ujar Sayyid
Habibullah al-Mu’aththal.

Li Han Siang kelihatan terpojok dengan hujjah-hujjah yang


disampaikan Sayyid Habibullah al-Mu’aththal. Ia tidak menanggapi
kecaman-kecaman yang dilontarkan menantu Ki Gedeng Trusmi
itu. Syaikh Duyuskhani yang melihat Li Han Siang terpojok,
beringsut ke depan dan berkata, “Sesungguhnya, tindakan yang
dilakukan saudara kami, Li Han Siang, sudah kami ketahui. Sesaat
setelah itu, kami datang ke Lemah Abang dan bertemu dengan
saudara kami Syaikh Abdul Malik Israil. Ketika kami sampaikan
kepada beliau, ternyata beliau bisa memahami tindakan yang
dilakukan Li Han Siang, meski tidak ada dalil dan contoh dari
Rasulullah Saw.. Untuk itu, kami memohon agar saudara kami
Syaikh Abdul Malik Israil menjelaskan alasan-alasan kenapa
tindakan Li Han Siang dapat dipahami sebagai keniscayaan.”

1121
Para hadirin serentak melemparkan pandangan ke arah Syaikh
Abdul Malik Israil yang duduk diapit Abdul Jalil dan Syarif
Hidayatullah. Syaikh Abdul Malik Israil yang tidak menduga bakal
didaulat untuk berbicara mengernyitkan dahi dan menyapukan
pandangan ke arah hadirin yang duduk melingkar. Kemudian
dengan suara yang lain, ia berkata, “Sesungguhnya tiap-tiap
kelompok bangsa menganut nilai-nilai yang berbeda. Itu sebabnya,
anasir-anasir yang mengikuti perubahan suatu bangsa tidaklah
wajib sama dengan bangsa yang lain. Gerakan pembaharuan yang
saat ini sedang berlaku di negeri Caruban Larang adalah gerakan
dari suatu kelompok bangsa yang memiliki nilai-nilai sendiri yang
berbeda dengan apa yang pernah terjadi di belahan bumi lain.
Maksud kami, apa yang saat ini sedang terjadi pada tatanan
kehidupan masyarakat ummah yang berasal dari gagasan saudara
kami Syaikh Datuk Abdul Jalil, tentu berbeda keadaannya dengan
saat tatanan ummah yang ditegakkan kali pertama oleh Baginda
Rasulullah Saw. di Yatsrib.”

“Kenapa kami katakan berbeda? Sebab, komunitas di Bumi Arabia


saat itu terbentuk atas kabilah-kabilah yang dipimpin oleh seorang
pemimpin kabilah dan masing-masing anggota kabilah diakui
keberadaannya. Seorang kepala keluarga di sebuah kabilah
memiliki hak penuh atas tenda dan seluruh isinya, meski untuk hal-
hal tertentu ia wajib patuh kepada pemimpin kabilah. Masing-
masing anggota kabilah memiliki tujuan dan kiblat yang sama.
Mereka adalah orang-orang yang memiliki kebebasan dan tali
persaudaraan yang erat di dalam kabilahnya.”

1122
Sebaliknya, penduduk negeri ini adalah kawula yang bermakna
sama dengan budak. Penduduk negeri tidak diakui keberadaannya
sebagai anggota komunitas. Yang ada dan diakui keberadannya
hanya raja dan para pemimpin komunitas. Nilai-nilai yang dibentuk
pun adalah nilai-nilai budak. Itu sebabnya, jika seorang raja
sebagai pemimpin kawula kalah maka kawula akan memindahkan
kiblat panutan kepada tuannya yang baru. Nilai-nilai budak itu
rupanya sudah merasuk ke dalam jaringan darah dan segenap
penjuru jiwa dan raga para kawula negeri ini.”

“Usaha saudara kami Syaikh Datuk Abdul Jalil dalam mengubah


tatanan kawula menjadi tatanan masyarakat ummah
sesungguhnya mahaberat dan butuh pengorbanan yang tidak
sedikit. Ia harus didukung banyak pihak demi lahirnya tatanan nilai-
nilai baru tersebut. Dan sesungguhnya, pertempuran dalam
menegakkan nilai-nilai adalah jauh lebih berat daripada
pertempuran di medan laga. Sebagaimana disebutkan dalam sirah
nabawi, sekembali dari pertempuran di Badar, Rasulullah Saw.
bersabda: ‘Kita baru kembali dari perang kecil dan sedang menuju
perang besar, yaitu perang terhadap hawa nafsu.”

“Memang banyak orang menafsirkan perang melawan hawa nafsu


hanya sekedar menghindari kemaksiatan sebagaimana
diperintahkan hukum suci (syari’at). Tetapi bagi kami pribadi,
sabda Rasulullah Saw. jauh lebih luas dan mendalam dibanding
sekadar makna kemaksiatan. Kami pribadi malah memahami
sabda beliau terkait dengan nilai-nilai karena sejatinya nilai-nilai
terbentuk dari hasil pergumulan antara nafsu-nafsu rendah
1123
manusia dengan kodrat-kodrat Ilahiyyah yang tersembunyi di
dalam diri manusia. Itu sebabnya, tinggi dan rendahnya peradaban
suatu bangsa akan tercermin dari nilai-nilai yang dianutnya.”

“Kami tidak perlu menjadikan kasus saudara Li Han Siang sebagai


sumber perpecahan di antara kita. Tetapi, dalam hal ini kami akan
menuturkan suatu cerita yang mungkin mirip dengan kejadian yang
sedang kita alami ini. Cerita itu menyangkut kisah Musa a.s. saat
membawa Bani Israil keluar dari gerbang perbudakan Bangsa
Mesir. Musa a.s. yang sejak kecil dididik sebagai pangeran di
istana Fir’aun menganut nilai-nilai yang sangat berbeda dengan
nilai-nilai yang dianut Bani Israil seumumnya. Musa a.s. terbiasa
dengan keagungan, kemuliaan, keberanian, kegagahan,
kepahlawanan, kesulitan di medan perang, dan kemenangan.
Sementara Bani Israil terbiasa dengan kemiskinan, ketertindasan,
ketakutan, kepengecutan, ketidakberdayaan, mimpi-mimpi
kosong, dan kekalahan.”

“Jika saudara-saudara sekalian pernah membaca kitab suci Bani


Israil yang hal itu dikuatkan dalam Al-Qur’an maka saudara-
saudara akam menyaksikan bagaimana Musa a.s. mengalami
kekecewaan demi kekecewaan dalam menghadapi sikap dan
perilaku bangsanya yang selama beratus tahun tumbuh dan
berkembang di bawah kendali nilai-nilai budak. Ketika Musa a.s.
atas titah Allah SWT mengajak Bani Israil untuk berperang
membebaskan tanah Kanaan yang dihuni bangsa Amalik, Heti,
Yebus, dan Amorit, yang diperolehnya bukan sambutan
kepahlawanan yang gagah perkasa dari bangsanya. Bani Israil
1124
yang masih tercekam oleh nilai-nilai budak malah bersungut-
sungut kepada Musa a.s. dan Harun a.s. sambil meratap-ratap:
‘Aduh, sekiranya kami mati di tanah Mesir atau di padang gurun ini,
mengapa Tuhan membawa kami ke negeri ini? Apakah agar kami
terbunuh oleh pedang dan istri serta anak-anak kami menjadi
tawanan? Bukankah kami lebih baik pulang kembali ke Mesir?
(Bemidbar, 14: 1-4).”

“Kami kira, apa yang sudah dialami Bani Israil saat dipimpin Musa
a.s. keluar dari Mesir tidak berbeda dengan yang sedang terjadi di
Caruban Larang sekarang ini. Maksud kami, bangsa ini masih kuat
tercekam oleh nilai-nilai kawula yang membentuk alam pikiran dan
jiwa mereka. Menurut hemat kami, sangat perlu rangkaian tindak
kekerasan sebagaimana yang pernah diberikan Allah SWT.
terhadap Bani Israil selama empat puluh tahun pengembaraan di
gurun untuk menghilangkan noda-noda hitam dari sisa-sisa jiwa
budak yang melekat di tengah matahari keagungan manusia.
Sejarah Bani Israil mencatat, betapa generasi tua yang terbentuk
oleh nilai-nilai di Mesir itu telah bertumbangan di atas bumi tanpa
nyawa ketika generasi baru Bani Israil berhasil menduduki tanah
yang dijanjikan Tuhan kepada mereka.”

“Dengan apa yang sudah kami uraikan ini, sesungguhnya musuh


yang paling utama bagi kita bukanlah Yang Dipertuan Galuh
Pakuan, Yang Dipertuan Talaga, atau Yang Dipertuan Rajagaluh,
justru nilai-nilai kawula yang masih kuat mencengkeram alam
pikiran dan jiwa penduduk Caruban Larang itulah yang harus kita
tundukkan bersama. Sesungguhnya, apa yang dialami Bani Israil
1125
ketika melepaskan diri dari perbudakan adalah cerminan yang
paling sesuai bagi usaha-usaha pembaharuan di Caruban Larang
ini. Itu sebabnya, kami menilai tindakan saudara kami Li Han
Siang, dapat dipahami karena peristiwa itu sesungguhnya pernah
tercermin pada cerita Qarun (Korah) dan para pemuka Bani Israil
yang menentang Musa a.s., meski alur cerita, tempat kejadian, dan
para pelakunya berbeda.”

Mendengar uraian Syaikh Abdul Malik Israil, hadirin mengangguk-


angguk kepala tanda setuju. Ketika Sayyid Habibullah al-
Mu’aththal menggeser tempat duduknya dan terlihat akan
menanggapi Syaikh Abdul Malik Israil, tiba-tiba Syaikh Duyuskhani
mengacungkan tangan dan berkata lantang, “Kami kira, masalah
yang dihadapi saudata kami, Li Han Siang, tidak perlu dijadikan
perdebatan berlarut-larut. Itu bisa kita selesaikan di kelak
kemudian hari. Yang penting, sekarang kita perlu ketegasan untuk
menghadapi gertakan penguasa Galuh Pakuan, Talaga, dan
Rajagaluh. Apakah kita akan lari meninggalkan Caruban Larang
dengan berdalih hijrah seperti saat Rasulullah Saw. menganjurkan
berhijrah bagi kaum beriman dari Makah? Ataukah kita melawan
seperti saat Rasulullah Saw. berada di Yatsrib yang menghadang
musuh-musuhnya di Badar dan Uhud?”

“Bagi kami, para pendatang dari Baghdad yang terusir dari tanah
kelahiran kami, sebagai seorang laki-laki sejati tidak ada pilihan
lain kecuali mengangkat senjata mempertahankan apa yang sudah
kami miliki di Caruban Larang ini. Kami semua siap syahid di
medan tempur karena kami yakin apa yang kami dukung dalam
1126
perjuangan ini adalah Kebenaran yang sesuai dengan ajaran Allah
dan Rasul-Nya.”

Kata-kata Syaikh Duyuskhani yang berkobar-kobar penuh


semangat menimbulkan pengaruh yang sangat besar. Para
pemuka warga saling menyatakan tekad untuk maju ke medan
tempur dan siap gugur sebagai syuhada.

Sri Mangana yang menyaksikan semangat para pemuka warga


dengan gembira menyatakan rasa terima kasihnya. Namun,
dengan penuh kearifan ia meminta mereka menyiapkan satuan-
satuan yang terlatih sehingga saat maju ke medan tempur tidak
hanya berbekal semangat. “Aku akan mengirim perwira-perwira
Caruban Larang untuk melatih warga kalian masing-masing.
Selama menunggu waktu berlatih itu hendaknya kita tetap
waspada akan bahaya penyusupan yang bakal menggeragoti
kekuatan kita dari dalam.”

Kisah Nabi Musa a.s. memimpin Bani Israil dari keluar dari gerbang
perbudakan di Mesir menuju tanah yang dijanjikan bagi sebagian
orang dianggap sebagai kisah biasa yang berisi keteladanan
seorang utusan Allah dalam menegakkan ajaran Tauhid. Namun
bagi Sri Mangana, kisah yang dipaparkan Syaikh Abdul Malik Israil,
meski sudah ia ketahui sebelumnya, menjadi cahaya benderang
bagi tersingkapnya kesadaran baru. Sri Mangana mendadak
merasakan betapa sesungguhnya ia telah melakukan kesalahan
besar dalam menilai gerakan pembaharuan bagi lahirnya tatanan
1127
baru yang disebut masyarakat ummah. Ia sadar bahwa langkahnya
sesungguhnya terlalu terburu-buru.

Uraian Syaikh Abdul Malik Israil tentang latar nilai-nilai yang


membentuk Nabi Musa a.s. dan Bani Israil benar-benar
menyadarkannya akan kekeliruan itu. Ya, ia menyadari bahwa
sejauh ini ia selalu menganggap kawula Caruban Larang adalah
manusia-manusia yang sama dengan dirinya. Padahal, sejak lahir
hingga dewasa ia dibentuk oleh nilai-nilai ksatria di istana Pakuan
Pajajaran yang menanamkan keagungan, kemuliaan, keberanian,
kegagahan, ketabahan, kemenangan, dan prinsip dharma ksatria.
Sementara itu, para kawula sejak lahir hingga dewasa dibentuk
oleh nilai-nilai budak yang akrab dengan kerendahan diri,
ketidakberdayaan, kepengecutan, ketertindasan, kekalahan, dan
tak kenal prinsip dharma.

Dengan kesadaran itu Sri Mangana pada gilirannya menyadari


betapa sesungguhnya Abdul Jalil, putera asuhnya, sang
penggagas masyarakat ummah, pada dasarnya tidak jauh berbeda
jauh dengan dirinya. Ya, Abdul Jalil sejak kecil dididik di lingkungan
Padepokan Giri Amparan Jati sebagai putera kuwu Caruban. Alam
pikiran dan jiwanya dibentuk oleh nilai-nilai keberanian, kejujuran,
keagungan, kemuliaan, kesucian, ketabahan, kemenangan, dan
prinsip dharma seorang mujahid. Dalam pergulatan mencari jati
diri, Abdul Jalil telah membuktikan diri sebagai pribadi yang tabah
dan tidak kenal menyerah. Ah, kata Sri Mangana dalam hati,
ternyata anak itu juga keliru seperti aku; menilai alam pikiran dan
jiwa kawula seakan-akan sama dengan dirinya.
1128
Ketika Sri Mangana menengok ke belakang, menapaki jejak-jejak
dari langkah pembaharuan yang sudah dijalankannya, ditemuilah
kenyataan yang mengejutkannya; betapa sesungguhnya yang
berubah dalam gerakan pembaharuan itu hanyalah tatanan
belaka. Pelaku-pelaku dari perubahan itu terbukti tetap sama. Hal
itu baru ia sadari ketika merenungkan para pembantunya di dalam
pemerintahan kalifah. Betapa yang ia dapati para pembantunya
hampir seluruhnya adalah para ningrat darah biru. Ya, para gedeng
yang pada masa silam ditunjuk atas kekuasaan ratu, kini, setelah
dilakukan pemilihan masyarakat ummah pun yang terpilih tetap
juga dari kalangan tersebut. Para wali nagari yang dipilih pun tidak
ada yang berasal dari kalangan orang kebanyakan. Semua
merupakan pemuka di dalam kelompoknya. Bahkan, para pejabat
keturunan Cina yang membantunya pun di kalangan bangsanya
adalah kaum ningrat darah biru.

Akhirnya, dengan kesadaran itu, Sri Mangana makin meneguhkan


sikap untuk meneruskan perjuangan, dengan mengesampingkan
kemungkinan-kemungkinan kecewa dan putus harapan akibat
masyarakat ummah yang dipimpinnya sesungguhnya masih
merupakan bahan mentah dari kawanan budak. Sebenarnya,
kepanikan penduduk yang beramai-ramai mengungsi adalah awal
yang paling awal dari rentangan perjuangan yang harus dilaluinya.
Ya, aku akan berhadapan dengan “musuh-musuh” yang harus aku
lindungi, yaitu masyarakat ummah yang bermental budak. Aku
akan bersikap sebagaimana Nabi Musa a.s. menghadapi Bani
Israil. Sangat besar kemungkinan aku akan menghadapi
kenyataan pahit sebagaimana Nabi Musa a.s. saat mengajak
kaumnya bertempur untuk merebut tanah yang dijanjikan, yakni
1129
jawaban yang menyakitkan: “Wahai Musa, kami tidak akan
memasuki negeri itu selamanya, selagi mereka ada di dalamnya.
Karena itu, pergilah engkau bersama Tuhanmu dan berperanglah
engkau berdua. Sesungguhnya kami akan duduk menunggu di sini
saja (QS al-Ma’idah: 23-24).”

Dengan kesadaran itu, segunung masalah yang menunggu sang


kalifah di tengah gemuruh arus perubahan yang menegangkan itu,
tidaklah dianggapnya sebagai beban mahaberat. Dengan
ketenangan yang mengagumkan Sri Mangana menerima berbagai
laporan tentang ganasnya perampok-perampok yang membakar
dan menjarah desa-desa di lereng timur Gunung Ciremai. Atau,
terbunuhnya para santri Giri Amparan Jati yang ditempatkan Abdul
Jalil di Lemah Abang di dekat Sukapura. Atau, kepergian
mendadak Sayyid Habibullah al-Mu’aththal ke Malaka dengan
alasan berniaga sehingga kedudukannya sebagai pemuka warga
Arab di Kuta Caruban digantikan oleh Abu Ismail al-Basgrowi.
Atau, menyingkirnya sebagian warga Kuta Caruban secara diam-
diam ke Dermayu. Semua laporan itu ia terima dengan senyuman
sambil berkata dalam hati: ini adalah penyaringan yang dahsyat
untuk membedakan siapa di antara warga Caruban Larang yang
sudah menjelma menjadi masyarakat ummah dan siapa yang
masih terjerat dalam kungkungan kawula.

Saat para pemuka warga di Caruban Larang menghadap Sri


Mangana untuk melaporkan gelombang pengungsian yang tidak
menyenangkan dari desa-desa di bagian barat dan selatan
Caruban Larang, bahkan Kuta Caruban, Sri Mangana dengan
1130
tenang berkata, “Sesungguhnya yang tersisa di antara penduduk
Caruban Larang adalah para singa dan harimau yang gagah
perkasa. Jumlah mereka memang tidak perlu banyak, tetapi
mereka adalah penguasa di daerahnya. Sesungguhnya tidak
semua warga desa di Caruban Larang ini pergi mengungsi.
Lihatlah penduduk Lemah Abang! Lihatlah penduduk Kalijaga!
Lihatlah penduduk Gunung Jati! Lihatlah penduduk Kuningan!
Lihatlah penduduk Caruban Larang! Merekalah sesungguhnya
pahlawan pembaharu yang gagah perkasa. Merekalah kumpulan
singa dan harimau Allah yang akan mempertahankan keyakinan
dan wilayah kekuasaannya sampai titik darah yang penghabisan.”

“Ampun seribu ampun, Ramanda Ratu,” kata Abdul Jalil kepada Sri
Mangana yang sedang berbincang-bincang dengan Nyi Indang
Geulis dan Nyi Muthma’inah di ndalem Pekalipan, “Ananda mohon
petunjuk tentang apa yang sebaiknya kita lakukan untuk mengatasi
perkembangan keadaan yang semakin tak menentu ini. Sebagian
besar penduduk di Caruban Larang beramai-ramai meninggalkan
kampung halamannya. Sementara yang tersisa ananda kira tidak
akan cukup mampu menghadapi kekuatan gabungan Galuh
Pakuan, Talaga, dan Rajagaluh.”

“Engkau tidak perlu cemas menghadapi keadaan ini, o Puteraku,”


kata Sri Mangana tenang, “Sekecil apa pun kekuatan yang kita
miliki, kedudukan kita jauh lebih tangguh dan lebih ulet dibanding
yang mereka miliki. Karena itu, dalam hal kekuatan pasukan aku
tidak ragu menghadapi mereka bertiga.”

1131
“Berapakah sesungguhnya kekuatan pasukan Caruban Larang?”

“30.000 orang.”

“Hanya 30.000 orang?” gumam Abdul Jalil terkejut. “Padahal,


kekuatan Galuh Pakuan saja menurut kabar lebih dari 200.000
orang.”

“Engkau tidak paham tentang kemiliteran, o Puteraku,” kata Sri


Mangana tersenyum. “Karena itu, engkau seperti umumnya yang
lain, menganggap kekuatan tempur pada jumlah orang dan
kelengkapan senjata. Padahal, meski hanya 30.000 orang
kekuatan yang telah kubangun selama tujuh tahun ini, mereka
adalah orang-orang yang terlatih. Sedangkan prajurit Galuh,
Talaga, dan Rajagaluh hanyalah anak bawang dalam pertempuran
karena mereka dibentuk secara paksa dan buru-buru. Yang tidak
kalah penting untuk dihitung adalah kekuatan warga yang dilatih
oleh perwira-perwiraku. Mereka akan menambah jumlah kekuatan
Caruban Larang. Aku perkirakan jumlah mereka lebih dari 40.000
orang. Itu pun belum kita hitung bala bantuan dari orang-orang
Dermayu.”

“Jika hanya menghadapi Galuh Pakuan, ananda kira pihak kita


pasti menang, apalagi kalau yang memimpin Ramanda Ratu
sendiri. Tapi, bagaimana dengan Talaga dan Rajagaluh? Ananda
juga mendapat kabar jika Prabu Surawisesa sudah mengirim
1132
utusan ke Pasir Luhur untuk meminta dukungan dari Prabu Banyak
Belanak.”

“Jadi, dia sudah minta bantuan Pasir Luhur?” gumam Sri Mangana
dengan wajah merah menahan amarah. “Jika kabar itu benar,
berarti dia benar-benar menginginkan perang terbuka. Ini tidak bisa
kubiarkan. Besok akan kugerakkan pasukanku. Akan aku
hancurkan seluruh kekuatan Galuh Pakuan.”

Menyaksikan Sri Mangana dibakar amarah, Nyi Indang Geulis,


sang permaisuri, berusaha meredakannya. “Aku memohon
Rakanda Ratu tidak terpancing amarah. Sebab, jika Rakanda Ratu
sampai menggerakkan pasukan dan menyerbu Galuh Pakuan
maka ayahanda Prabu Guru Dewara Prana akan murka dan
menuduh Rakanda Ratu sebagai penyerbu. Karena itu, hendaknya
Rakandan Ratu bersabar dan menahan diri.”

“Menunggu sampai si Tua Bangka itu memiliki kekuatan besar?”

“Kita memang harus menunggu, o Rakanda Ratu,” kata Nyi Indang


Geulis. “Tetapi, di dalam menunggu itu kita harus melakukan usaha
untuk menambah kekuatan sekaligus merongrong kekuatan
lawan.”

“Dengan cara apa?”


1133
“Rakanda Ratu selama ini telah melupakan jalinan persaudaraan
antarksetra.”

“Astaghfirullah!” seru Sri Mangana dengan wajah mendadak


berubah ceria. “Aku sungguh-sungguh lupa pada kekuatan itu. Aku
telah lupa bahwa jalinan ksetra-ksetra itulah sesungguhnya
kekuatan yang paling kokoh di Nusa Jawa dan Bumi Pasundan ini.
Ya, aku sungguh telah khilaf melupakan petarung-petarung
unggulan itu.”

Abdul Jalil yang tidak memahami apa yang dibicarakan Sri


Mangana dan permaisuri dengan heran bertanya, “Persaudaraan
antarksetra itu apa, o Ibunda Ratu? Kenapa ia disebut kekuatan
paling kokoh?” Nyi Indang Geulis tersenyum dan memandang
suaminya, seolah menginginkan agar sang suami yang menjawab
pertanyaan putera mereka.

“Sesungguhnya, yang dimaksud ksetra adalah lapangan


pekuburan tempat para bhairawa-bhairawi melakukan upacara
pancamakara. Tiap-tiap ksetra sesungguhnya merupakan jalinan
dari ksetra yang lain, seibarat kalung yang terbuat dari untaian
mutiara. Tiap-tiap pemimpin dan anggota ksetra satu selalu
menganggap pemimpin dan anggota ksetra yang lain sebagai
saudara. Karena itu, mereka sangat bersatu padu sehingga saat
kekuatan sebuah kerajaan terpecah belah, persaudaraan mereka
tetap utuh,” ujar Sri Mangana.

1134
“Sesungguhnya kekuatan yang sebenarnya di Nusa Jawa dan
Bumi Pasundan ini berada di tangan mereka. Sebab, mereka
adalah petarung-petarung yang memiliki kesaktian luar biasa dan
tanpa tanding. Seratus prajurit pun tidak akan mampu
mengalahkan seorang bhairawa karena mereka memiliki ilmu
seratus ribu hulubalang. Namun, mereka adalah orang-orang
merdeka yang enggan mengabdi kepada kerajaan karena aturan-
aturan kerajaan yang bertentangan dengan ajaran mereka. Nah,
jika kita dapat merangkul mereka, pastilah kita tidak perlu khawatir
dengan kekuatan Galuh Pakuan, Talaga, Rajagaluh, dan bahkan
Pakuan Pajajaran sekalipun.”

“Tapi Ramanda Ratu, mereka adalah para peminum darah dan


pemakan mayat. Mungkinkah mereka bersedia membantu gerakan
kita, orang-orang yang selama ini mengecam mereka sebagai
pemeluk ajaran najis?”

“Engkau jangan lupa, o Puteraku, bahwa aku dan ibundamu masih


mereka anggap sebagai saudara, meski kami sudah memeluk
Islam. Engkau pun harus tahu bahwa di dalam ajaran Bhairawa
Tantra tidak dikenal kasta-kasta yang membedakan kedudukan
orang seorang. Karena itu, aku yakin mereka akan lebih bersimpati
mendukung gerakan masyarakat ummah di Caruban Larang ini
daripada mendukung Galuh Pakuan,” kata Sri Mangana.

1135
“Apakah Ramanda Ratu akan berkeliling ke ksetra-ksetra untuk
meminta bantuan?”

“Tidak,” Nyi Indang Geulis tiba-tiba menukas, “Ramandamu tidak


boleh meninggalkan Caruban Larang pada saat genting seperti ini.
Sebaliknya, aku akan meminta izin dari ramandamu untuk
berkeliling ke ksetra-ksetra dengan ditemani kakakmu, Nyi
Muthma’inah.”

“Jika demikian, ananda juga mohon izin agar diperkenankan pergi


ke Kendal, Samarang, Demak, Giri, dan Surabaya untuk meminta
bantuan dari sana. Ananda berusaha menemui Pamanda Raden
Kusen di Majapahit untuk meminta bantuan. Sungguh, ananda
malu jika dalam keadaan seperti ini hanya berpangku tangan tidak
berbuat sesuatu. Sebab, semua yang terjadi ini, sesungguhnya
adalah akibat dari gagasan ananda. Sungguh, ananda akan
merasa jadi manusia durhaka jika harus berdiam diri,” ujar Abdul
Jalil.

“Niatmu untuk memperoleh bantuan itu sangat baik, o Puteraku,”


kata Sri Mangana penuh kearifan. “Tetapi menurut hematku, ada
hal lain yang lebih penting dan lebih mendesak untuk engkau
jalankan sebagai bagian dari perjuanganmu menegakkan tatanan
baru ini.”

1136
“Ananda mohon petunjuk,” kata Abdul Jalil. “Ananda tidak
memahami siyasah, tata negara, dan kemiliteran. Jadi, ananda
tidak tahu harus berbuat apa dalam keadaan seperti ini.”

“Ada pepatah lama yang mengatakan sekali merengkuh dayung


dua tiga pulau terlampaui,” kata Sri Mangana. “Itulah yang
sekarang hendaknya engkau lakukan.”

“Ananda belum memahami maksud Ramanda Ratu. Ananda


mohon petunjuk.”

“Tidakkah engkau sadari bahwa di atas segunung masalah yang


timbul sekarang ini sesungguhnya berpangkal pada perubahan
tatanan yang terjadi di Lemah Abang?” tanya Sri Mangana.

“Ananda paham itu, o Ramanda Ratu.”

“Itu berarti, Lemah Abang adalah benih yang harus ditabur ke


berbagai lahan agar tumbuh benih Lemah Abang yang lain.
Bukankah menebar butir gabah di atas sawah lebih baik hasilnya
daripada di atas pot?”

“Ananda masih belum paham dengan penjelasan Ramanda Ratu.”

1137
“Bukankah engkau sudah membuka Lemah Abang di Karawang
dan Sukapura?”

“Benar demikian, o Ramanda Ratu,” kata Abdul Jalil. “Tetapi, itu


hanya ananda lakukan untuk menempatkan Tu-mbal yang
menangkal pengaruh buruk para makhluk gaib penghuni Nusa
Jawa. Para santri yang ananda tempatkan di sana pun dibunuh
oleh orang-orang tidak dikenal.”

“Menurut hematku, seharusnya Lemah Abang yang engkau buka


bukanlah sekadar tempat menanam Tu-mbal, melainkan
hendaknya Lemah Abang sebagai dukuh bertatanan baru
sebagaimana yang engkau dirikan di Japura. Ya, Dukuh Lemah
Abang di Japura itulah yang hendaknya engkau tebarkan di
berbagai tempat. Dengan demikian, jika benih Lemah Abang di
Japura harus mati karena suatu hal, setidaknya engkau masih
memiliki benih lain.”

“Ah, ananda benar-benar tidak berpikir ke arah sana. Tetapi,


apakah dengan menumbuhkan benih Lemah Abang di tempat lain
tidak malah memperparah keadaan?” tanya Abdul Jalil.

“Peristiwa kekisruhan yang terjadi di Caruban Larang ini


hendaknya kita jadikan pelajaran terbaik,” kata Sri Mangana
mengemukakan gagasannya. “Setelah aku nilai kembali,
sesungguhnya kita terlalu terburu-buru untuk mewujudkan tatanan
1138
baru dengan serentak mengubah tatanan lama dalam lingkup luas.
Seharusnya, aku tidak tergesa-gesa menetapkan peraturan
tentang tatanan baru itu. Seharusnya, aku harus bersabar
menunggu pengaruh Lemah Abang berkembang secara alamiah
mempengaruhi wilayah di sekitarnya. Sehingga, saat seluruh
tatanan baru sudah siap, barulah dibuat ketetapan resmi tentang
diberlakukannya tatanan baru. Ya, kita semua tercekam oleh
keinginan untuk buru-buru mewujudkan tatanan baru. Semua tidak
bisa menahan kesabaran.”

“Sementara itu, kesalahan yang juga tak kalah penting yang telah
kita perbuat adalah kekeliruan kita dalam membaca keberadaan
penduduk negeri. Selama ini baik aku maupun engkau sendiri
selalu menganggap semua orang sama dengan kita yang dibentuk
oleh nilai-nilai yang berbeda dengan seumumnya penduduk.
Syaikh Abdul Malik Israil yang menyadarkan aku tentang itu.
Karena itu, o Puteraku, hendaknya di dalam menebar benih-benih
Lemah Abang di tempat lain masalah itu harus engkau perhatikan
benar. Engkau harus sadar bahwa yang akan kita ubah adalah
nilai-nilai, bukan sekadar tatanan. Sehingga, sejak awal engkau
harus sadar bahwa menata nilai-nilai baru itu membutuhkan waktu
lama, setidaknya satu sampai dua generasi.”

“Ananda akan pusakakan petunjuk dan nasihat Ramanda Ratu.”

“Karena itu, jika engkau berangkat ke timur, hendaklah membawa


serta murid-muridmu. Tempatkanlah mereka sebagian demi
1139
sebagian di Dukuh Lemah Abang baru. Perintahkan kepada
mereka agar sedapat mungkin menegakkan tatanan baru di
dukuhnya dan kemudian berusaha mempengaruhi dukuh-dukuh di
sekitarnya. Insya Allah, dengan cara demikian, gagasanmu untuk
mewujudkan tatanan masyarakat ummah tidak akan mati dibentur
keadaan dan digilas zaman. Gagasanmu yang mulia itu akan tetap
menjadi harapan yang diimpi-impikan oleh setiap orang yang
mendambakan kebebasan, kesederajatan, dan keadilan,” kata Sri
Mangana.

Abdul Jalil termangu-mangu selama mendengarkan penjelasan


dan petunjuk Sri Mangana. Ia merasa setiap kata-kata yang
meluncur dari mulut Sri Mangana adalah Sabda Ilahi yang
menyingkapkan nur lawami’ dan menerbitkan pemahaman fawa’id
di dalam dirinya. Ia merasakan getar-getar Ilahiah meliputi kata-
kata yang diucapkan Sri Mangana. Ia pandangi mata ayahanda
asuhnya yang bening bagai danau. Ia dapati jiwa yang lain di dalam
diri ayahanda asuhnya, yaitu jiwa yang sama dengan jiwanya.
Kemudian bagaikan digerakkan oleh kekuatan gaib yang tidak
kelihatan, tiba-tiba saja ia menjatuhkan diri diharibaan ayahanda
asuhnya seolah-olah seorang anak yang diburu ketakutan dan
mencari perlindungan kepada ayahnya.

1140
Sandyakala Majapahit

Abdul Jalil meninggalkan Caruban Larang


dengan disertai Abdul Malik Israil, Syarif
Hidayatullah, Raden Qasim, tiga puluh tiga
murid Paguron Lemah Abang, dan sembilan
belas santri Giri Amparan Jati. Ketika ia
memasuki kadipaten-kadipaten yang pada
masa lalu merupakan bagian Majapahit, sadarlah dia bahwa di
balik segunung masalah yang sangat sulit dipecahkan di Caruban
Larang itu sesungguhnya terhampar kemudahan di tempat yang
selama ini dibayangkannya jauh lebih berat dibandingkan Caruban
Larang. Kenyataan tak tersangka-sangka itu dialaminya ketika ia
menghadap para adipati muslim yang menjadi penguasa di
sepanjang pantai utara Nusa Jawa. Bagaikan menerima sesuatu
yang tidak asing, para raja muda itu menyambut dengan suka cita
gagasan masyarakat ummah yang ditawarkan Abdul Jalil.

Memang, bagi setiap muslim yang memahami makna Kebenaran


Islam secara benar, gagasan Abdul Jalil untuk menegakkan
tatanan baru masyarakat ummah bukanlah sesuatu yang sama
sekali baru dan asing. Sebab, kisah hidup Nabi Muhammad Saw.
dan keempat sahabat penggantinya bukanlah sesuatu yang
terpisah sama sekali dari ajaran Islam. Perikehidupan mereka
sebagai pemimpin umat telah menjadi bagian dari harapan ideal
yang diabadikan dalam kitab-kitab dan dilegendakan dari mulut ke
mulut. Gagasan kekalifahan, diakui atau tidak, telah menjadi
bayangan indah yang ingin diwujudkan oleh setiap muslim yang
1141
benar-benar memahami makna keislaman. Dan lantaran itu, tanpa
kesulitan berarti para adipati muslim di sepanjang pesisir utara
Nusa Jawa tidak sekadar menerima gagasan masyarakat ummah,
tetapi bahkan menyatakan dukungan untuk mewujudkannya dalam
kehidupan penduduk di wilayahnya masing-masing.

Mula-mula Abdul Jalil mendapat dukungan dari Pangeran


Gandakusuma, Adipati Kendal, yang tidak lain dan tidak bukan
adalah putera adipati pertama, Syaikh Suta Maharaja. Adipati yang
juga kakak lain ibu Siti Zainab, istri Abdurrahman Rumi, ternyata
sudah mendengar gegap gempita perubahan tatanan baru di
Caruban Larang berdasarkan penuturan orang-orang Kendal yang
tinggal di sana. Sebagai bukti penerimaan dan dukungannya, sang
adipati menghadiahi Abdul Jalil tanah shima seluas 70 jung (196
hektar) yang terletak di antara Sungai Wela dan Sungai Salak.
Tanah shima itu adalah tanah perbatasan yang diperebutkan
antara adipati Bojong (Tegal), Pangeran Danaraja. Itu berarti,
keberadaan tanah itu sebagai shima masih membutuhkan
persetujuan dari adipati Bojong.

Abdul Jalil menempatkan sembilan santri Lemah Abang dan Giri


Amparan Jati serta membuka pemukiman baru dan mengatur
pembagian tanah garapan kepada penduduk yang ingin tinggal di
situ. Sesuai petunjuk Sri Mangana, tugas utama mereka adalah
menegakkan tatana sebagaimana yang berlaku di Lemah Abang,
Japura. Mereka diharapkan dapat mempengaruhi penduduk desa
sekitar dengan tatanan baru tersebut.

1142
Dukungan adipati Kendal ternyata tidak hanya pemberian hadiah
tanah shima. Sekitar 500 orang prajurit pilihan dikirimnya ke
Caruban Larang untuk membantu perjuangan kalifah dan
memberikan semangat kepada warga Kendal di Caruban Larang.
Sang adipati tampaknya sadar bahwa warga Kadipaten Kendal
yang tinggal di Caruban Larang berjumlah ribuan orang, terutama
warga asal Kendal, Magelung, Getas, Pandes, dan Gebang.
Sehingga, menurut sang adipati, kehancuran kalifah Caruban
Larang akan bermakna kehancuran pula bagi warga Caruban
Larang asal Kendal. Sebelum pergi meninggalkan kadipaten,
Abdul Jalil mendapat kepastian bahwa sang adipati akan segera
mewujudkan gagasan masyarakat ummah di Kadipaten Kendal.

Usai dari Kendal, Abdul Jalil dan rombongan menghadap adipati


Samarang, Raden Sahun ibnu Abdillah, yang tidak lain dan tidak
bukan adalah putera Ario Abdillah, adipati Palembang. Tanpa
kesulitan berarti, adipati yang dikenal dengan sebutan Pangeran
Pandanarang (nama tempat di dekat Langkat, Sumatera Selatan)
menerima gagasannya dan menyatakan dukungan penuh,
terutama setelah Abdul Jalil mengaku putera Ki Danusela, kuwu
Caruban, dan murid ruhani almarhum Yang Mulia Ario Abdillah.

Raden Sahun adalah saudara lain ibu Raden Kusen. Ibunya yang
bernama Nyimas Sahilan merupakan puteri Syarif Husein
Hidayatullah, keturunan Arab yang menjadi pemuka penduduk
Usang Sekampung. Lantaran perkawinan ibundanya dengan Ario
Abdillah maka kakeknya diangkat menjadi bangsawan Palembang
dengan gelar Menak Usang Sekampung. Boleh jadi karena
1143
ibundanya berdarah Arab maka Raden Sahun memiliki tubuh lebih
tinggi, hidung lebih mancung, kumis dan cambang lebih lebat, serta
suara yang lebih lantang dibandingkan orang-orang di sekitarnya.

Sekalipun ketampanan dan kegagahan Raden Sahun pada


usianya yang hampir setengah abad itu tak tertandingi oleh orang-
orang di sekitarnya, sungguh aneh ketika orang mengetahui bahwa
sang adipati ternyata memiliki satu istri, yaitu sang permaisuri. Ya,
hanya satu permaisuri tanpa selir seorang pun. Hal itu tidak lazim
bagi seorang adipati. Kata orang, sesungguhnya sang adipati tidak
berani memiliki selir karena takut dengan sang permaisuri.
Pasalnya, sang permaisuri yang bernama Sekar Kedhaton itu
adalah puteri Bhattara Katwang, adipati Samarang pertama.
Sehingga, Raden Sahun merasa lebih “randah” kedudukannya
dibandingkan istrinya. Namun, dengan hanya memiliki satu istri,
tidak menjadikan sang adipati itu sedih dan malu. Sebaliknya, ia
sangat memuji-muji istrinya yang setia dan telah memberinya lima
putera, yaitu Pangeran Mangkubhumi, Pangeran Ketib, Pangeran
Bojong, Nyimas Ilir, dan Pangeran Wotgalih.

Sebagaimana yang dilakukan adipati Kendal, sang adipati


Samarang pun menghadiahi Abdul Jalil sebidang tanah shima
seluas 90 jung (252 hektar), tepatnya di jalur selatan Kadipaten
Samarang ke arah Pengging. Tanah shima itu dinamai Dukuh
Lemah Abang. Di situ Abdul Jalil meninggalkan lagi sembilan orang
santri untuk mengatur pembagian tanah bagi penduduk yang ingin
menetap. Demikianlah, tanpa mengalami hambatan berarti,
gagasan Abdul Jalil tentang masyarakat ummah diterima dan
1144
didukung oleh seluruh penguasa pesisir utara Nusa Jawa seperti
adipati Demak, Raden Patah; adipati Pati, Raden Kayu Bralit;
adipati Lasem, Pangeran Mahdum Ibrahim; adipati Tuban, Arya
Sidik; adipati Siddayu, Pangeran Yusuf Shiddiq; adipati Gresik,
Pangeran Zainal Abidin; ratu Giri, Prabu Satmata; dan bupati
Surabaya, Pangeran Ali Rahmatullah.

Sesungguhnya, di balik penerimaan dan dukungan terhadap


gagasan masyarakat ummah oleh para penguasa muslim di
sepanjang pesisir utara Nusa Jawa itu bukan sekadar dilatari oleh
kuatnya ghirah keislaman untuk mewujudkan khilafah Islamiyyah
sebagaimana diteladankan Nabi Muhammad Saw. dan keempat
sahabat penggantinya. Sebab, jauh di relung-relung jiwa para
penguasa tersebut tersembunyi rasa muak dan jijik terhadap
kehidupan masyarakat di sekitarnya yang carut-marut dengan
nilai-nilai yang jungkir balik membingungkan.

Para adipati dan bupati muslim yang tinggal di bekas wilayah


Majapahit merasakan jepitan keadaan yang semrawut seiring
mundurnya kerajaan tua itu. Bagaikan hidup di negeri asing
dengan nilai-nilai yang rancu, mereka menyaksikan kebejatan dan
kebobrokan perilaku manusia terpampang di depan mata. Hari-hari
mereka lewati dengan menyaksikan manusia menjadi binatang
bagi sesamanya. Di tengah ketercekikan mereka oleh keadaan
yang tidak menentu itu, hadirnya sebuah tawaran tentang tatanan
baru yang disebut masyarakat ummah yang bertolak dari usaha
meneladani kepemimpinan dan kekuasaan yang dicontohkan Nabi

1145
Muhammad Saw. dan keempat sahabat penggantinya, tentunya
menjadi keniscayaan yang tak bisa mereka ingkari.

Gambaran kacau dan rancu tentang manusia bermoral bejat dan


berjiwa bobrok setidaknya disaksikan sendiri oleh Abdul Jalil ketika
masuk ke pedalaman Majapahit. Sejak menginjakkan kaki di
Kadipaten Terung hingga masuk ke Daha melewati Citra Wulan,
Wirasabha, ia benar-benar terperangah oleh kenyataan yang tak
pernah ia bayangkan sebelumnya. Dengan berkali-kali
menggeleng-gelengkan kepala dan menarik napas panjang, Abdul
Jalil mendengar dan menyaksikan sendiri berbagai peristiwa yang
menyesakkan dada itu berjungkir balik. Ujung dari semua
simpulannya tentang berbagai peristiwa adalah muncul
penilaiannya yang menyatakan betapa sesungguhnya tatanan
hidup manusia di pedalaman Majapahit jauh lebih bejat dan lebih
bobrok dibandingkan keadaan di pedalaman Bumi Pasundan.

Perempat awal abad kelima belas Saka

Rembang senja menghias di langit Majapahit. Gemilang matahari


kebesaran tenggelam di balik samudera kehidupan. Malam yang
gelap telah mengintai, dengan gumpalan awan hitam
menggantung di cakrawala. Saat itu suasana menjadi remang-
remang sehingga segala sesuatu yang berada di bawah langit
menjadi samar-samar dan sulit dikenali tanpa bantuan cahaya
penerangan.

1146
Rembang senja yang remang-remang itu pula yang sejatinya
sedang terjadi di cakrawala jiwa manusia-manusia yang
mempermaklumkan dirinya sebagai bagian dari kebesaran dan
keagungan Majapahit. Cahaya kebenaran yang menyinari hati
mereka telah redup. Di tengah suasana hati yang remang-remang
itu mereka tidak dapat lagi membedakan secara semestinya apa
yang disebut baik dan buruk, benar dan salah, mulia dan hina, adil
dan tidak adil, beradab dan biadab. Bahkan, di ambang kegelapan
cakrawala jiwanya itu mereka telah menjelma menjadi hantu-hantu
jahil yang liar, buas, kejam, rakus, licik , dan tengik.

Memang, di usia senjanya Majapahit bukan lagi sang surya yang


memancarkan kebesaran dan keagungan bagi manusia. Surya
Majapahit telah tenggelam ke dasar samudera kejahilan. Yang
tersisa hanya hamparan kegelapan, tempat hantu-hantu dan setan
gentayangan yang mengancam keselamatan manusia. Segala
sesuatu yang tergelar di bawah langit Majapahit telah berubah.
Segala sesuatu yang sebelumnya sangat dihargai dan dimuliakan
tiba-tiba menjelma menjadi rongsokan tak berharga. Kebesaran,
keagungan, kemuliaan, dan kehormatan yang pernah menjadi
kebanggaan tiba-tiba berubah asing dan tak dikenal lagi. Kesucian
dan keluhuran yang pernah menjadi dambaan tiba-tiba lenyap
bagai tertelan bumi.

Kutaramanawa Dharmashastra – kitab perundang-undangan


hukum Majapahit – yang selama beratus tahun dijunjung sebagai
hukum suci, telah menjadi lembaran-lembaran keropos tak
berharga. Sebab, para aparat penegak hukum seperti hakim
1147
(pamegat), jaksa (adhyaksa), penasihat hukum (panji), pengawal
hukum (bhayangkara) telah menganggap nilai-nilai luhur keadilan
yang menjiwai Kutaramanawa tidak lebih dari barang dagangan
murah. Bagaikan pedagang kecil menjajakan barang dagangan di
pasar, mereka berkeliling menawar-nawarkan pasal-pasal hukum
dengan harga murah.

Akibat nilai-nilai luhur keadilan Kutaramanawa sudah diinjak-injak,


dikencingi, dan diberaki oleh para aparat penegak hukum,
kehidupan manusia pun berlangsung tanpa ditandai rambu-rambu
dan aturan. Akibatnya, ketertiban, keamanan, ketenteraman, dan
kedamaian menghilang dari permukaan bumi. Sebuah tindak
kejahatan tidak lagi dianggap sebagai kejahatan jika pelaku
kejahatan dapat membayar para aparat penegak hukum. Hukum
hanya berlaku bagi kawula alit yang bodoh dan miskin. Para ningrat
darah biru dan saudagar kaya berjalan melenggang di atas
permadani ketidakbersalahan.

Karena nilai-nilai luhur Kutaramanawa telah menjadi barang


dagangan yang memperkaya para aparat penegaknya, dan
sebaliknya hukum menjadi malapetaka bagi kawula miskin yang
hina dan papa, akhirnya lahir hukum jalanan yang diprakarsai
kawula alit, yang jauh lebih kejam dari pasal-pasal Kutaramanawa.
Jika di dalam Kutaramanawa terdapat pasal-pasal tindak pidana
(astacorah) yang mengancam hukuman mati bagi pencuri dengan
tambahan perampasan terhadap seluruh harta benda beserta
anak-anak dan istrinya untuk dipersembahkan kepada raja, maka
menurut hukum jalanan seorang pencuri harus dijatuhi hukuman
1148
picis; tubuhnya diikat dan ditempatkan di perempatan jalan. Setiap
orang yang lewat di situ wajib menyayat tubuhnya dengan bambu
tipis (welat) dan mengolesi bekas sayatan itu dengan larutan asam
dan garam. Hukuman picis diberlakukan sampai si terhukum mati.

Hukum jalanan yang tak kalah kejam dari hukuman picis adalah
hukum pendem. Seorang terhukum, konon, tubuhnya akan
dipendam sebatas leher. Kepala terhukum digunduli. Setelah itu
didatangkan puluhan ekor ayam kelaparan yang tidak diberi makan
selama tiga hari. Kemudian, sambil bersorak-sorak orang-orang
menaburkan butiran jagung ke atas kepala si terhukum yang
menyembul di permukaan tanah. Hukuman ini diberlakukan
sampai si terhukum mati. Namun apa pun namanya, semua hukum
jalanan tetap diperuntukkan bagi kalangan kawula alit sendiri. Para
ningrat berdarah biru dan orang-orang kaya pemilik uang tidak
pernah menjadi korban hukum jalanan.

Coreng-moreng kehidupan Majapahit di usia senjanya tidak hanya


mengubah citra agung dan luhur manusia menjadi keropos dan
busuk, bahkan telah pula menjelmakan citra suci dan mulia ajaran
agama menjadi wajah-wajah hantu yang menakutkan. Citra ajaran
Syiwa-Budha yang luhur mulia yang selama beratus tahun
memancar gemilang menerangi kebesaran dan keagungan
Majapahit telah meredup dan tenggelam. Kejernihan Tauhid
Syiwa-Budha telah keruh bercampur lumpur klenik kalangan jelata
sehingga sulit dikenali lagi. Kemudian muncul wajah baru, agama
ruh dan hantu yang rendah dan penuh dilingkari kepercayaan

1149
kalangan jelata yang sarat gegwantuhuwan (Jawa Kuno: takhayul)
menyesatkan.

Pengetahuan Brahman (Brahmajnana) yang tinggi dan mulia, yang


selama ratusan tahun menjadi ajaran Tauhid rahasia di perguruan-
perguruan luhur Majapahit, telah pudar kehilangan makna.
Sebagai ganti, muncul ajaran rendah kalangan jelata yang
menyeret manusia pada pengingkaran terhadap kemuliaan
manusia sebagai pengejawantahan Brahman. Tantra-sadhana
yang selama ratusan tahun diyakini memiliki tujuan utama
mencapai kesempurnaan (siddhi) telah kabur dan menyeleweng
jauh. Yang kemudian dikenal sebagai penggantinya adalah ajaran-
ajaran olah kanuragan yang hanya mengajarkan kesaktian dan
kedigdayaan, yakni ajaran kalangan jelata yang memerangkap
manusia pada sifat adigang-adigung, sapa sira sapa ingsun.
Upacara pancamakara yang sakral dan rahasia tiba-tiba menjelma
dalam bentuk upacara pemujaan bhairawa-bhairawi haus darah
yang gemar menyantap wadal, tumbal, dan mayat.

Di ujung usia senjanya Majapahit benar-benar telah menjadi


negara yang tidak berdaya, keropos, berkarat, busuk, dan bejat.
Manusia-manusia yang membusuk di kerajaan tua itu bukan hanya
mereka yang menjadi nayakapraja, melainkan mereka yang
disebut pemuka agama pun ikut membusuk akibat mengikuti nilai-
nilai rendah kalangan jelata yang bertentangan dengan kebenaran,
akal sehat, kemuliaan, dan keadilan. Ibarat sebatang pohin yang
diganyang kawanan ulat ganas, Majapahit perlahan-lahan tetapi

1150
pasti telah meranggas, keropos, membusuk, dan akan tumbang
digeragoti zaman.

Menurut guru adiraja di Terung, kekuasaan Majapahit mulai terasa


melemah ketika memasuki usia hampir dua abad. Hal itu diawali
oleh rangkaian panjang yang sambung-menyambung dan susul-
menyusul dari peristiwa perebutan takhta penuh warna kekerasan
dan pertumpahan darah, laksana guncangan gempa telah
merobohkan satu demi satu tiang-tiang penyangga kerajaan yang
sudah tua.

Guncangan dahsyat yang awal sekali melanda Majapahit adalah


saat terjadi pertempuran antara Bhre Wirabhumi, putera Prabu
Hayam Wuruk dari selir yang menjadi penguasa Blambangan, dan
Prabu Wikramawarddhana, menantu Prabu Hayam Wuruk. Perang
perebutan takhta itu berlarut-larut dengan tempo lamban, bergerak
maju dan berhenti, kemudian maju lagi (Jawa Kuno: paregreg).
Perang paregreg inilah yang telah menguras kekuatan Majapahit
dan perlahan-lahan meruntuhkan tiang-tiang penyangganya ke
jurang kebinasaan.

Guncangan susulan terjadi saat Bhre Daha, putera Bhre


Wirabhumi, mengangkat senjata hendak merebut takhta dari
tangan Prabu Stri Suhita. Kekuatan Bhre Daha ditumpas oleh Ario
Damar, putera Dyah Kertawijaya, adik tiri Prabu Stri Suhita.
Namun, baru saja gerakan makar Bhre Daha ditumpas, Pasunggiri
mengangkat senjata. Pasunggiri pun ditumpas oleh Ario Damar.
1151
Belum dingin api pergolakan di Pasunggiri, tiba-tiba kerajaan
Gegel di Bali bergolak mengangkat senjata. Lagi-lagi Ario Damar
berhasil meredamnya.

Kemunculan Ario Damar ke pentas sejarah Majapahit ternyata


membangkitkan rasa takut sejumlah kerabat kerajaan yang
berambisi menduduki takhta. Mereka bersekongkol mempengaruhi
Prabu Stri Suhita agar menjauhkan Ario Damar dari ibu kota
Majapahit dengan dalih diangkat menjadi adipati Palembang. Ario
Damar bahkan dibebani tugas utama membawa kembali
Palembang – yang sudah dikuasai para petualang Cina – ke
pangkuan Majapahit. Keberadaan Ario Damar yang jauh dari ibu
kota itu, diakui atau tidak, telah menjadikan Majapahit kehilangan
salah satu tiang penyangganya.

Sesungguhnya tengara bakal terjadinya guncangan yang lebih


dahsyat di Majapahit sudah sejak awal ditangkap oleh para bijak
bestari. Menurut mereka, selama berkuasa, Prabu Stri Suhita lebih
banyak berperan sebagai boneka bagi Bhre Parameswara,
suaminya. Prabu Stri Suhita hampir tidak pernah menunjukkan
keberadaan dirinya kepada dunia sebagai Maharaja agung
Majapahit yang sebenarnya. Ia hanya menjadi bayang-bayang
suaminya. Padahal, Bhre Parameswara bukan orang cerdas
apalagi bijaksana. Hari-hari dari rentang kehidupan Bhre
Parameswara lebih banyak diwarnai kemewahan, sanjungan, dan
penumpukan kekayaan.

1152
Akibat kegemaran Bhre Parameswara menikmati kemewahan,
sanjungan, dan menumpuk kekayaan, berkerumunlah di
sekitarnya para penjilat berakhlak bejat dan berjiwa bobrok. Bhre
Parameswara yang bertubuh tambun dan berperut buncit telah
menjadi tak lebih berharga dari sebongkah bangkai busuk yang
dikerumuni lalat-lalat menjijikkan. Bagi Bhre Parameswara dan
begundal-begundalnya, nilai kesetiaan, kejujuran, keteguhan,
kesederhanaan, dan keberanian tidak lagi dijadikan ukuran utama
untuk menilai keberadaan seorang abdi negara. Mereka yang
paling pintar menyanjung, menjilat, dan menyenangkan hati
atasan, itulah abdi negara yang dinilai terbaik dan terkasih.

Di tengah hiruk keadaan yang menyedihkan itu, tersingkirlah satu


demi satu para kerabat kerajaan dan pejabat-pejabat unggul yang
berjiwa luhur dan setia. Sebagai ganti, tampil pejabat-pejabat dari
kalangan orang kebanyakan yang pintar menjilat dan piawai
menyediakan kemewahan bagi atasan. Manusia-manusia unggul
seperti Ratu Angabhaya Bhre Narapati dihukum mati. Mahapatih
Kanaka yang berwawasan luas dan berpandangan jauh kedepan
dipensiun mendadak. Ario Damar, sang pahlawan perang yang
tangguh dan tak terkalahkan disingkirkan jauh-jauh dari ibu kota.

Kebijakan menyingkirkan manusia-manusia unggul untuk diganti


orang kebanyakan yang mencitrai kekuasaan Prabu Stri Suhita itu,
disadari atau tidak disadari telah mengakibatkan merosotnya
wibawa pemerintah. Sebab, pejabat-pejabat yang berasal dari
kalangan orang kebanyakan yang pintar menjilat dan menyanjung
itu umumnya manusia berjiwa kerdil yang tidak cerdas, sempit
1153
wawasan, dan picik pandangan. Mereka memang orang-orang
yang patuh, setia, dan selalu menyenangkan atasan, namun
mereka bukanlah orang-orang berjiwa besar yang memahami
makna kebesaran, keagungan, dan kemuliaan.

Jauh hari sebenarnya sudah banyak yang meramalkan akhir


kekuasaan Prabu Stri Suhita akan diwarnai guncangan dahsyat
yang mungkin akan mengantarkan Majapahit ke jurang
keruntuhan. Sebab, kenyataan menunjukkan betapa sejak Prabu
Stri Suhita menikah dengan Bhre Parameswara, hingga usia tua
mengintai, tidak dikaruniai seorang pun keturunan. Itu berarti, jika
Prabu Stri Suhita mangkat akan terjadi ketegangan di antara
kerabat kerajaan untuk menentukan hak pewarisan atas takhta
kerajaan Majapahit.

Sesungguhnya, meski Prabu Stri Suhita tidak berketurunan, ia


masih memiliki dua adik lelaki dari selir-selir ayahandanya, Prabu
Wikramawarddhana. Yang pertama, Dyah Kertawijaya. Yang
kedua, Bhre Tumapel. Itu berarti, menurut ketentuan yang berlaku
umum, sepeninggal Prabu Stri Suhita, yang berhak mewarisi
takhta kekuasaan Majapahit adalah Dyah Kertawijaya karena
usianya jauh lebih tua dibandingkan Bhre Tumapel.

Sekalipun ketentuan umum menetapkan pewaris takhta


sepeninggal Prabu Stri Suhita adalah Dyah Kertawijaya, dalam
kenyataannya tidaklah sesederhana itu. Masalah utama yang
dianggap mengganjal oleh kaluarga kerajaan adalah kenyataan
1154
yang menunjukkan bahwa selir Prabu Wikramawarddhana yang
melahirkan Dyah Kertawijaya merupakan perempuan berdarah
Sunda, puteri Rakryan Pitar, salah seorang mantri pakira-kiran Sri
Prabu Linggabhuwana Wisesa Sri Maharaja Sang Mokteng Bubat,
maharaja Sunda yang terbunuh di Bubat. Rakryan Pitar
merupakan perwira pengikut maharaja Sunda yang selamat dari
malapetaka Bubat dan kemudian mengabdi kepada Prabu
Singhawarddhana, Bhre Paguhan, yakni ayahanda Prabu
Wikramawarddhana.

Dyah Kertawijaya rupanya sadar bahwa pergantian kekuasaan di


Majapahit setelah Prabu Stri Suhita meletakkan takhta akan
mengalami keruwetan yang menimbulkan perpecahan, terutama
yang naik takhta Majapahit adalah dirinya. Hal itu setidaknya sudah
disadarinya sejak kakak tirinya, Prabu Stri Suhita, memegang
tampuk kekuasaan menggantikan ayahandanya. Sebagai calon
pewaris takhta Majapahit, ternyata ia tidak memperoleh gelar tituler
apa pun dari Prabu Stri Suhita. Sementara itu, adiknya dianugerahi
gelar tituler Bhre Tumapel. Ia tahu semua itu akibat keberadaan
dirinya yang berdarah campuran Majapahit-Sunda.

Tengara terjadinya guncangan dahsyat yang ditangkap Dyah


Kertawijaya mulai terasa setelah Prabu Stri Suhita mangkat dan ia
naik takhta dengan gelar Sri Prabu Kertawijaya Wijaya
Parakramawarddhana. Saat itu, seperti perulangan peristiwa lama
pengangkatan Jayanegara, maharaja berdarah campuran
Majapahit-Dharmasraya, merebaklah kasak-kusuk di lingkaran
kerabat maharaja dan pejabat-oejabat kerajaan yang tidak puas
1155
menerima Sri Prabu Kertawijaya sebagai maharaja Majapahit.
Mereka seolah-olah tidak utuh menerima kehadiran pangeran
berdarah campuran Majapahit-Sunda itu menduduki takhta yang
dibangun oleh keringat dan darah orang-orang Singasari.

Dihadapkan pada kenyataan bahwa banyak kalangan keluarga


kerajaan yang tidak menghendakinya duduk di atas takhta
Majapahit, Sri Prabu Kertawijaya berusaha memperoleh dukungan
dari berbagai pihak yang dianggapnya dapat memperkuat
kedudukannya. Dalam upaya memperoleh dukungan itulah Sri
Prabu Kertawijaya melakukan kesalahan yang pernah dilakukan
Prabu Stri Suhita.

Sebagai seorang manusia, Sri Prabu Kertawijaya memang tidak


luput dari sifat lalai. Itu terlihat dari kebijakan-kebijakan yang
dilakukannya saat menjadi maharaja Majapahit. Entah sadar entah
tidak, kesalahan Prabu Stri Suhita yang sudah ia ketahui akibat
buruknya itu justru dilanjutkannya. Tanpa pertimbangan yang
matang ia mengangkat pejabat-pejabat dari kalangan orang
kebanyakan. Ia beranggapan pejabat-pejabat dari kalangan orang
kebanyakan terkenal akan kesetiaan dan kepatuhannya. Di atas
semua pertimbangan, meski menduduki jabatan yang tinggi
sekalipun, mereka tidak akan mungkin merebut takhta Majapahit.

Pertimbangan Sri prabu Kertawijaya ternyata keliru. Hal itu


menimbulkan sakit hati para ningrat darah biru Majapahit. Dan
yang lebih parah, para pejabat yang berasal dari kalangan orang
1156
kebanyakan itu ternyata tidak memiliki pandangan jauh ke depan,
juga tidak pula memiliki naluri kebesaran dan keagungan.
Cakrawala pemikiran mereka umumnya sangat sempit. Setinggi
apa pun jabatan yang mereka pegang ternyata tidak banyak
mengubah cara pikir, cara pandang, dan cara hidup mereka.
Sejauh-jauh mereka memandang ke depan hanya kepentingan
pribadi dan kepentingan keluarga mereka saja yang terlihat. Ketika
ada pihak lain yang bersedia memberikan tawaran yang lebih
menguntungkan baik itu berupa jabatan, tanah, perempuan cantik,
atau sekadar uang maka mereka pun dengan mudah terbeli
dengan imbalan yang murah.

Sri Prabu Kertawijaya memang lalai dalam hal mengangkat


pejabat. Namun, harus diakui bahwa dialah satu-satunya generasi
akhir pewaris takhta Majapahit yang memiliki wawasan luas dan
pandangan jauh ke depan seperti para leluhurnya. Dialah satu-
satunya maharaja Majapahit yang tanggap dengan perubahan-
perubahan yang sedang terjadi di negerinya. Bahkan, dialah
maharaja pertama yang berani menentang arus demi
menyongsong perubahan. Dialah maharaja Majapahit pertama
yang memberi kepercayaan besar kepada orang-orang Islam.

Menurut catatan para adipati di pesisir, sejak usia muda, dengan


kecerdasan yang dimiliki ditambah wawasan yang luas, Sri Prabu
Kertawijaya telah menangkap tengara bakal terjadi angin
perubahan dahsyat yang menentukan hidup dan matinya
Majapahit. Pertama-tama, ia menyaksikan kehadiran orang-orang
muslim dengan ajaran Islam yang sederhana dan mengajarkan
1157
kesederajatan itu makin lama makin menguat pengaruhnya. Di
kutaraja Majapahit, terutama di pesisir utara Nusa Jawa. Semakin
lama ia mengamati pertumbuhan dan perkembangan orang-orang
muslim, semakin sadarlah ia bahwa gelombang kehadiran Islam
tidak akan bisa dibendung lagi.

Menurut perhitungan Sri Prabu Kertawijaya yang menerobos jauh


ke depan, kehadiran ajaran Islam cepat atau lambat akan menjadi
badai yang menyebabkan gelombang perubahan dahsyat.
Gelombang perubahan dahsyat yang akan mengempaskan dan
mengubur Majapahit ke dasar lautan sejarah selama-lamanya. Jika
tidak dihadapi secara bijaksana, gelombang perubahan itu akan
menimbulkan banyak korban sia-sia.

Kesadaran Prabu Kertawijaya itu setidaknya telah menjadikannya


sebagai satu-satunya pewaris takhta Majapahit yang memiliki
hubungan baik dengan orang-orang muslim. Melalui hubungan
baik dengan orang-orang muslim itulah ia menguasai arus berita.
Melalui orang-orang muslim itu pula ia bisa mengetahui berbagai
perubahan yang sedang terjadi baik di wilayah Majapahit maupun
di mancanegara. Semakin banyak berita yang diketahuinya,
semakin luaslah cakrawala pandangnya dalam memahami
kencangnya tiupan angin perubahan.

Hubungan Sri Prabu Kertawijaya dengan orang-orang muslim


ternyata makin meluas dan tidak sekadar terkait dengan arus
berita. Boleh jadi karena sering bertukar pikiran, ia diketahui sangat
1158
tertarik dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam ajaran Islam.
Nilai-nilai Islam yang oleh orang-orang Majapahit dianggap rendah
hasil bangsa biadab dari golongan Mleccha, justru dijadikan
sandaran olehnya untuk menentukan baik dan buruk, benar dan
salah, lurus dan bengkok, adil dan tidak adil.

Salah seorang tokoh muslim yang sering diajaknya bertukar pikiran


tentang nilai-nilai yang terkandung di dalam ajaran Islam adalah
Kakek bantal (banyaga wantal), sesepuh Nagari Gresik, yang
bernama asli Sayyid Malik Ibrahim. Ia merasa cocok dengan Kakek
Bantal. Segala saran dan nasihat Kakek Bantal selalu diikutinya,
termasuk saat ia diminta menikahi seorang muslimah asal negeri
Campa bernama Darawati.

Setelah menikahi Darawati, untuk memperkuat kedudukan sebagai


bakal pewaris takhta Majapahit, Sri Prabu Kertawijaya mengawini
beberapa orang puteri dari kerabatnya ditambah puteri-puteri dari
para pejabat dan agamawan Majapahit. Melalui pernikahan politis
itu ia berusaha membangun kesetiaan di antara kerabatnya,
nayakapraja, dan agamawan Majapahit. Namun, di balik semua itu
sesungguhnya ia berusaha keras membuka cakrawala pemikiran
dan pandangan para pengikutnya agar lebih luas dan menembus
jauh ke depan sebagaimana pandangan para leluhur seperti Prabu
Kertanegara, Prabu Kertarajasa Jayawarddhana, Prabu Stri
Tribhuwanatunggadewi, Prabu Rajasanegara, mahapatih Gajah
Mada, dan Prabu Wikramawarddhana.

1159
Usaha Dyah Kertawijaya membuka cakrawala pemikiran dan
pandangan para pengikutnya tidak sekadar dilakukan melalui
musyawarah pertukaran pikiran, melainkan pula melalui
pembagian gelar tituler baru kepada keturunan dan sanak keluarga
kerajaan seperti Bhre Kretabhumi, Bhre Singapura, Bhre Kabalan,
Tuhan Galuh, dan Tuhan Majaya. Namun, segala usaha itu tidak
semua berhasil baik karena komplotan manusia berjiwa kerdil
dengan wawasan sempit yang menjamur di Majapahit terbukti lebih
kuat menancapkan kuku-kuku tajam kekuasaannya. Keberadaan
Sri Prabu Kertawijaya yang berdarah campuran Majapahit-Sunda
dan berpandangan jauh ke depan tetap menumbuhkan benih-
benih kekhawatiran dan ketakutan yang berujung pada suburnya
rasa ketidakpuasan di lingkungan kerabat maharaja dan pejabat
kerajaan.

Kasak-kusuk yang mengatakan bahwa Sri Prabu Kertawijaya bakal


menjadi penghancur Majapahit tiba-tiba meluas dan membara
bagai api dalam sekam. Seiring putaran waktu diketahuilah bahwa
salah satu di antara kerabat kerajaan yang gencar menyebarkan
kasak-kusuk itu adalah Dyah Wijayakumara Bhre Pamotan.
Dengan dukungan putera-puteri dan menantunya, yaitu Bhre
Kretabhumi, Sang Nrpati Pamotan, Bhre Kahuripan, Bhre
Mataram, dan Sri Parameswari ing Lasem, Dyah Wijayakumara
menempatkan Sri Prabu Kertawijaya sebagai sasaran bidik utama
dari fitnah yang dirancangnya.

Sri Prabu Kertawijaya terbukti tidak bisa menghindari bidikan fitnah


yang disebar Dyah Wijayakumara. Sebab, kenyataan
1160
membuktikan bahwa ia tidak saja telah mengawini Darawati,
seorang muslimah asal negeri Campa, tetapi telah mengawini pula
Retno Subanci, Cina muslimah puteri Encik Ban Chun, saudagar
asal Nagari Gresik. Bahkan, ia juga terbukti mengangkat
kemenakan Darawati yang bernama Ali Rahmatullah menjadi
pangeran Majapahit dan menabalkannya sebagai bupati
Surabaya. Pada saat bersamaan ia juga mengangkat kakak Ali
Rahmatullah yang bernama Ali Murtadho menjadi imam Masjid di
Nagari Gresik dengan gelar Ratu Pandhita. Sementara sepupu
mereka, Raden Burereh (Abu Hurairah), diangkat menjadi leba
(mangilala drwya haji) di Wirasabha (Mojoagung) dan yang
mengurusi kepentingan orang-orang muslim di sana.

Kasak-kusuk gencar yang menuduh Sri Prabu Kertawijaya bakal


menjadi penghancur Majapahit sempat memanas saat Pangeran
Ali Rahmatullah dilantik menjadi bupati Surabaya oleh Arya Sena,
pecat tandha di Terung, yang mewakili maharaja. Pelantikan bupati
Surabaya itu dianggap sebagai bukti nyata dari usaha
penghancuran Majapahit karena pusat pangkalan angkatan laut
Majapahit yang terletak di Surabaya dimasukkan ke dalam
kekuasaan Pangeran Ali Rahmatullah. Itu berarti, kekuatan laut
Majapahit telah diserahkan kepada orang asing yang beragama
Islam. Sehingga, cepat atau lambat orang-orang Islam bakal
meluluhlantakkan kerajaan warisan Prabu Kertarajasa
Jayawarddhana itu.

Seiring memanasnya keadaan akibat semakin meluasnya fitnah


yang disebar Dyah Wijayakumara, kecurigaan terhadap langkah-
1161
langkah kebijakan Sri Prabu Kertawijaya pun makin menajam.
Sejak peristiwa pelantikan bupati Surabaya, hampir setiap mata
dan telinga di kutaraja seolah-olah diarahkan untuk mengawasi
setiap kebijakan, ucapan, tindakan, dan bahkan gerak-gerik Sri
Prabu Kertawijaya. Setiap mata dan telinga kerabat maharaja, juga
mata dan telinga nayakapraja, juga mata dan telinga dayang-
dayang, juga mata dan telinga para pemikul tandu, semuanya, tiba-
tiba mengawasi maharajanya dengan penuh kecurigaan dan
kebencian.

Puncak ketidakpuasan, kebencian, dan kecurigaan terhadap Sri


Prabu Kertawijaya akhirnya meledak juga menjadi malapetaka
bagi Majapahit. Menurut cerita, kira-kira dua tahun setelah
kematian Darawati, tanpa hujan tanpa angin tiba-tiba maharaja tua
itu mengikrarkan diri memeluk Islam di bawah bimbingan saudagar
muslim asal negeri Cina, Abdurrahman Tan King Ham. Kabar
keislaman maharaja Majapahit itu segera menyulut kegemparan di
kutaraja Majapahit dan juga daerah-daerah yang jauh dari ibu kota.

Dyah Wijayakumara beserta putera-puteri dan menantunya sambil


tersenyum-senyum mencermati perkembangan berita yang
menggemparkan itu. Bagaikan kawanan singa yang tengah
mengintai, mereka menunggu kesempatan lengahnya calon
mangsa. Saat mereka melihat waktu yang tepat untuk menerkam
mangsa sudah datang, dengan didukung sejumlah pejabat
Majapahit yang terbakar api amarah, mengamuklah mereka di
Bangsal Manguntur. Mereka tahu, pada saat mereka mengamuk

1162
para pengawal yang sudah terhasut dan tidak puas itu telah
meninggalkan maharajanya seorang diri.

Menurut cerita para adipati pesisir, dalam keadaan tanpa pengawal


seorang pun Sri Prabu Kertawijaya yang sudah tua dikepung
beramai-ramai oleh Dyah Wijayakumara serta pengikut-
pengikutnya. Mereka kemudian mendaulat Sri Prabu Kertawijaya
agar turun takhta saat itu juga. Dyah Wijayakumara beralasan apa
yang ia lakukan itu adalah demi keselamatan Majapahit.

Ternyata Sri Prabu Kertawijaya tidak memenuhi tuntutan Dyah


Wijayakumara. Ia bangkit dari singgasana dengan menghunus
keris pusaka Kyai Nagasasra. Namun, apalah daya seorang
maharaja tua di tengah kepungan orang-orang yang sudah dirasuk
amarah itu. Dengan tanpa kenal belas kasihan para pengepung
beramai-ramai menghujani tubuh maharaja dengan panah.
Gugurlah maharaja tua itu di Bangsal Manguntur dengan puluhan
anak panah menghiasi tubuhnya. Tragedi kematian Sri Prabu
Kertawijaya yang memilukan itu diabadikan dengan nama
Anumerta Prabu Angkawijaya, yang bermakna “Maharaja yang
gugur laksana Raden Angkawijaya, putera Arjuna.” Sri Prabu
Kertawijaya dikebumikan secara Islam di Kertawijayapura, tidak
jauh dari makam istrinya, Ratu Darawati.

Seperti sudah bisa diduga, sepeninggal Sri Prabu Kertawijaya


naiklah Dyah Wijayakumara Bhre Pamotan sebagai maharaja
Majapahit. Ia ditabalkan dengan nama Abhiseka Sri Prabu
1163
Rajasawarddhana. Namun, sejarah kemudian mencatat bahwa Sri
Prabu Rajasawarddhana bukanlah pewaris takhta Majapahit yang
bisa dibandingkan dengan Sri Prabu Kertawijaya dalam segala hal.
Ia maharaja yang lemah. Gemilang kemewahan, sanjungan, dan
penghormatan berlebihan telah menambah parah kelemahannya.
Kenyataan kemudian menunjukkan betapa ia tidak cukup kuat
menahan badai perlawanan yang timbul akibat kematian Prabu
Kertawijaya.

Kerabat kerajaan yang menjadi anggota rajasabha (majelis raja)


belum utuh mengakuinya sebagai maharaja Majapahit. Hal itu
masih disusul oleh munculnya gelombang perlawanan dari putera-
puteri, saudara, menantu, besan, dan para pengikut setia Prabu
Kertawijaya sehingga terseretlah Sri Prabu Rajasawarddhana
yang lemah itu ke dalam pusaran masalah yang membingungkan.
Sebagai raja yang lemah dan berwawasan sempit, ia tidak tahu
bagaimana cara mengatasi masalah yang sedang membelitnya.
Tinta hitam sejarah kemudian mencatat, belum genap dua tahun
berkuasa di atas takhta Majapahit, di tengah amukan badai yang
bertiup dari segala arah, Sri Prabu Rajasawarddhana tiba-tiba
hilang ingatan. Gila!

Para anggota rajasabha dan pejabat-pejabat kerajaan yang


mendukung Sri Prabu Rajasawarddhana mulai cemas ketika
menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana maharaja
Majapahit yang mereka dukung itu mulai sering mengomel dan
tertawa sendiri. Mereka sadar, usaha apa pun yang akan mereka
lakukan untuk menutupi kenyataan tidak akan bisa membendung
1164
berita-berita tentang sang maharaja yang hilang ingatan. Aib
memalukan itu akhirnya menyebar sebagai berita menggemparkan
ketika pecah peristiwa berdarah di Bangsal Manguntur saat
diadakan pasewakan agung. Menurut para saksi mata, tanpa hujan
tanpa angin, tanpa sebab dan tanpa alasan yang jelas, tiba-tiba Sri
Prabu Rajasawarddhana mengamuk dan mengakibatkan
beberapa orang pengawal dan dayang terbunuh.

Para putera dan menantu Sri Prabu Rajasawarddhana berusaha


meredam berita dengan mengancam akan menghukum mati
mereka yang hadir di pasewakan agung jika menyebar-nyebarkan
peristiwa memalukan itu. Kemudian untuk menyembuhkan ingatan
ayahandanya, mereka menghibur dan mengajak ayahandanya
bercengkrama di atas perahu yang berlayar di segara (danau
buatan) yang terletak di selatan kraton. Mereka berharap usaha itu
akan berhasil menyembuhkan ayahandanya. Namun, tanpa
terduga sang maharaja yang sudah hilang ingatan itu
melemparkan dirinya ke tengah segara hingga tewas.

Menurut catatan, Sri Prabu Rajasawarddhana diperabukan dengan


upacara besar. Abunya kemudian didharmakan di Sepang. Saat
dilakukan upacara sraddha untuk menyucikan arwahnya, putera-
puteri dan menantunya mengadakan pesta besar dengan
persembahan perahu bunga (banawa sekar) yang indah dan
peristiwa itu diabadikan sebagai kidung oleh Pu Tanakung.
Sementara itu, untuk mengenang peristiwa kematiannya yang
tragis, para kerabat kerajaan, terutama para keturunan Sri Prabu
Kertawijaya memberinya gelar kebesaran yang bersifat mengejek,
1165
yaitu Bhre Pamotan Sang Sinagara (Jawa Kuno: Bhre Pamotan
yang melemparkan diri ke segara).

Setelah kematian Sri Prabu Rajasawarddhana, Majapahit terseret


ke dalam arus kekacauan yang membingungkan. Kutaraja
Majapahit yang selama berbilang abad selalu tenang, aman, dan
tenteram berubah menjadi tempat penuh penjarahan,
perampokan, pencurian, penganiayaan, dan bahkan pembunuhan
yang tak terkendali. Tragisnya, para pelaku kejahatan itu bukan
hanya para bromocorah, melainkan yang tak kalah ganas dan
brutal adalah para prajurit kerajaan yang terhimpit kemiskinan
akibat tidak menerima upah. Majapahit benar-benar terpuruk
dalam kekacauan dan ketidakpastian. Sementara itu, para pewaris
takhta terus berselisih memperebutkan mahkota seolah tidak sadar
bahwa tengara kebinasaan sedang mengintai mereka.

Setelah tiga tahun diombang-ambingkan kekacauan dan


ketidakpastian tanpa maharaja, akhirnya para kerabat kerajaan,
terutama yang menjadi anggota rajasabha, sadar bahwa apa pun
yang terjadi Majapahit wajib memiliki maharaja. Para anggota
rajasabha kemudian sepakat menunjuk putera Sri Prabu
Kertawijaya yang lahir dari Rani Daha sebagai pewaris takhta,
yakni Dyah Suryyawikrama Bhre Wengker. Dyah Suryyawikrama
diangkat menjadi maharaja Majapahit dengan nama Abhiseka
Hyang Purwawisesa.

1166
Naiknya Hyang Purwawisesa ke puncak takhta Majapahit berhasil
meredam gejolak. Namun, keadaan Majapahit benar-benar
terpuruk dan membutuhkan perjuangan keras untuk menatanya
kembali. Itu sebabnya, hampir seluruh waktu Hyang Purwawisesa
digunakan untuk menata pemerintahan baru yang porak-poranda.
Mula-mula ia tangani hal-hal yang terkait dengan pemeliharaan
keamanan dan ketertiban di ibu kota. Setelah itu ia adakan
perbaikan militer. Namun, usaha itu terbentur berbagai rintangan
karena perekonomian buruk dan terutama mental pejabat yang
keropos. Lantaran sibuk menata ibu kota yang sarat berisi pejabat
berakhlak bejat dan berjiwa bobrok maka kerajaan-kerajaan
bawahan yang jauh dari ibu kota tak terhiraukan. Kerajaan-
kerajaan itu banyak yang diam-diam melepaskan diri dari
Majapahit.

Menata kembali Majapahit yang dipenuhi pejabat berjiwa kerdil,


berakhlak bejat, berjiwa bobrok, berwawasan sempit, dan
berpandangan dangkal bukanlah pekerjaan yang ringan. Hari demi
hari dilalui Hyang Purwawisesa dengan kerja keras yang sangat
menguras tenaga. Usai berjuang keras selama hampir sepuluh
tahun, Hyang Purwawisesa jatuh sakit dan akhirnya mangkat
dalam usia yang belum setengah abad. Hyang Purwawisesa
diperabukan dan dicandikan di dalam Puri.

Sepeninggal Hyang Purwawisesa tiba-tiba muncul Bhre Pandan


Salas, seorang anak muda yang berambisi tinggi dan mamiliki
banyak pengikut di ibu kota. Bhre Pandan Salas merasa berhak
atas takhta Majapahit karena ayahandanya, Bhre Parameswara,
1167
merupakan suami Prabu Stri Suhita. Dalam sebuah musyawarah
singkat yang dihadiri sebagian kecil anggota rajasabha, terutama
para kerabat yang mendukungnya, disepakatilah bahwa Bhre
Pandan Salas menjadi maharaja Majapahit menggantikan Hyang
Purwawisesa.

Kemunculan Bhre Pandan Salas yang mendadak langsung


menimbulkan badai perlawanan dari berbagai penjuru. Para
kerabat kerajaan, terutama kekuatan yang mendukung keturunan
Sri Prabu Kertawijaya, menolak pengangkatan Bhre Pandan Salas
sebagai maharaja Majapahit. Akhirnya, tidak sampai dua tahun
memerintah, terjadi kerusuhan besar yang menyebabkan Bhre
Pandan Salas melarikan diri dari ibu kota.

Setelah Bhre Pandan Salas lari, rajasabha memutuskan yang


berhak menjadi maharaja Majapahit adalah Dyah Suraprabhawa,
putera Sri Prabu Kertawijaya dengan Rani Pandan Salas. Dyah
Suraprabhawa saat itu sudah berusia setengah abad. Dyah
Suraprabhawa naik takhta dengan gelar Sri Adi-Suraprabhawa
Singhawikramawarddhana Giripati Prasutabhupatiketubhuta. Di
bawah kepemimpinan Sri Adi-Suraprabhawa, keamanan dan
ketenteraman ibu kota dapat dicapai. Namun seperti Hyang
Purwawisesa, ia tidak dapat mencegah lepasnya kerajaan-
kerajaan kecil yang jauh dari ibu kota.

Selama menduduki takhta Majapahit, Sri Adi-Suraprabhawa


melanjutkan sejumlah kebijakan yang sudah dilakukan oleh
1168
ayahandanya, Sri Prabu Kertawijaya. Ia sadar bahwa jaringan
kekuatan Islam yang sudah terbentuk harus lebih diperkuat. Itu
sebabnya, tak lama setelah dilantik ia memanggil Pangeran Ali
Rahmatullah, bupati Surabaya, dan kakaknya, Pangeran Ali
Murtadho, Ratu Pandhita Gresik, ke Majapahit untuk
membicarakan perbaikan hubungan antara pihak kerajaan dan
kekuatan-kekuatan Islam di pesisir.

Tidak ada yang tahu apa isi pembicaraan Sri Adi-Suraprabhawa


dengan Pangeran Ali Rahmatullah dan Pangeran Ali Murtadho.
Orang hanya mengetahui dan mencatat bahwa pada awal
kekuasaan Sri Adi-Suraprabhawa itu Pangeran Ali Murtadho
dinaikkan kedudukannya dari imam masjid menjadi syahbandar di
Gresik. Puteranya yang bernama Zainal Abidin diangkat menjadi
adipati di Gresik. Puteranya yang lain yang bernama Yusuf Shiddiq
diangkat menjadi adipati Siddhayu. Putera Pangeran Ali
Rahmatullah yang bernama Pangeran Mahdum Ibrahim diangkat
menjadi adipati Lasem. Selain itu, Raden Paku, cucu buyut
mendiang Bhre Wirabhumi, diangkat menjadi nrpati di Giri dengan
gelar Prabu Satmata (Jawa Kuno: nama Syiwa, Sang Girinatha,
Raja Gunung).

Kebijakan lain yang dijalankan oleh Sri Adi-Suraprabhawa untuk


meningkatkan hubungan baik dengan kekuatan Islam adalah
mengangkat Raden Patah, saudaranya lain ibu, menjadi pecat
tandha di Bintara, yakni pejabat bawahan adipati Demak,
Lembusora. Raden Kusen, putera Ario Damar, kemenakannya
yang belajar ilmu pemerintahan dan agama kepada bupati
1169
Surabaya, diangkat menjadi pecat tandha di Terung. Sri Adi-
Suraprabhawa juga mengangkat Syaikh Suta Maharaja,
saudaranya lain ibu, menjadi adipati Kendal. Bhattara Katwang,
juga saudaranya lain ibu, adik kandung Hyang Purwawisesa,
diangkat menjadi adipati Samarang.

Usaha Sri Adi-Suraprabhawa melanjutkan kebijakan ayahandanya


ternyata dimanfaatkan oleh putera-puteri dan menantu Bhre
Pamotan Sang Sinagara untuk menikamnya. Dengan mengulang
kembali siasat lama – menyebarkan kasak-kusuk bahaya Islam
dan kehancuran Majapahit – mereka berusaha menyusun
kekuatan untuk menyingkirkan Sri Adi-Suraprabhawa dari takhta
Majapahit. Demikianlah, saat merasa kekuatannya telah besar,
putera-puteri dan menantu Bhre Pamotan Sang Sinagara
melakukan pemberontakan. Ibu kota dibikin kacau. Sri Adi-
Suraprabhawa melakukan perlawanan. Dengan tubuh penuh luka
ia dan sebagian prajuritnya yang setia keluar dari ibu kota menuju
Daha, namun ia mangkat di perjalanan.

Seperti sudah bisa diduga, yang menggantikan Sri Adi-


Suraprabhawa sebagai maharaja Majapahit adalah Bhre
Kretabhumi, putera Bhre Pamotan Sang Sinagara. Dengan dibantu
saudara-saudaranya, Bhre Kretabhumi berusaha keras
memantapkan kekuasaan sebagai maharaja Majapahit. Namun,
tantangan dari kerabat kerajaan terutama dari keturunan Sri Prabu
Kertawijaya dan Sri Adi-Suraprabhawa sangatlah keras. Ario
Damar, adipati Palembang, tegas-tegas menyatakan tidak
mengakui kekuasaan Bhre Kretabhumi. Tak lama sesudah itu
1170
Andayaningrat, adipati Pengging, menantu Sri Prabu Kertawijaya,
ikut menyatakan tidak mengakui kekuasaan Bhre Kretabhumi.

Tindakan penguasa Palembang dan Pengging yang mewakili


keturunan Sri Prabu Kertawijaya diikuti oleh Syaikh Suta Maharaja,
adipati Kendal. Setelah itu Bhattara Katwang juga ikut menyatakan
tidak mengakui kekuasaan Bhre Kretabhumi. Gerakan tidak
mengakui kekuasaan Bhre Kretabhumi tampaknya terus bergulir
diikuti oleh para penguasa daerah lain yang mendukung keturunan
Sri Prabu Kertawijaya.

Menyadari perubahan situasi yang tidak menguntungkan, Bhre


Kretabhumi berusaha mencegah agar sikap menolak
kepemimpinannya itu tidak berlanjut. Untuk itu, ia melakukan
upaya memecah kekuatan para penentang dengan siasat “belah
bambu”. Ia menitahkan adipati Pengging dan adipati Demak yang
bernama Lembusora untuk menyerang Samarang dengan tuduhan
makar. Andayaningrat tidak berani menentang titah maharaja
Majapahit kemudian mengirim pasukan Pengging untuk
mendukung kekuatan Demak. Dalam sebuah serangan mendadak
yang dilakukan pasukan Demak dan Pengging, Bhattara Katwang
melarikan diri dari kadipaten dan terus diburu oleh prajurit-prajurit
Demak. Sayyid Waly al-Islam yang ikut mempertahankan
Samarang, terbunuh dalam pertempuran. Sementara Syaikh Suta
Maharaja, adipati Kendal, terluka dalam pertempuran lari ke muara
dan meninggal di perjalanan. Lembusora kembali ke kadipaten
Demak dengan membawa kemenangan besar.

1171
Peristiwa penyerbuan pasukan Demak yang dipimpin Lembusora
ke Samarang dengan cepat menyulut amarah putera-puteri Sri
Prabu Kertawijaya. Mereka paham Bhre Kretabhumi bukanlah
maharaja yang kuat dan tangguh. Itu sebabnya, mereka serentak
menyatakan bela pati atas kematian dua orang saudara mereka,
Syaikh Suta Maharaja dan Bhattara Katwang. Ario Damar
membawa armada besar dari Palembang dan mendaratkan
pasukan di Samarang (tempat mendarat itu kemudian disebut
Pedamaran). Raden Patah dengan dibantu sepupunya, Ki
Wanasalam, memimpin orang-orang Bintara dan Glagah Arum
untuk memberontak terhadap atasannya, adipati Demak,
Lembusora. Raden Kusen membawa pasukan dari Terung dan
Surabaya ke Demak. Bahkan Adipati Andayaningrat yang merasa
bersalah tiba-tiba mengirimkan pasukan Pengging untuk ikut
menghukum Lembusora.

Diserbu beramai-ramai dari segala penjuru, Lembusora tak mampu


melawan. Seluruh prajurit pengawal sang adipati yang gagah
berani tewas terbunuh tanpa sisa. Lembusora sendiri terbunuh di
dalam Balai Kadipaten Demak. Lembu Peteng, putera Lembusora
yang masih kecil, kemudian dipungut sebagai anak angkat oleh
Raden Patah.

Setelah berhasil menguasai Kadipaten Demak, Ario Damar


sebagai sesepuh keturunan Sri Prabu Kertawijaya menetapkan
Raden Patah menggantikan kedudukan Lembusora menjadi
adipati Demak. Sementara itu, karena Bhattara Katwang hanya
memiliki seorang puteri yang belum menikah, yaitu Sekar Kedaton,
1172
maka dinikahkanlah puteri itu dengan puteranya, Raden Sahun,
yang masyhur disebut Pangeran Pandanarang. Lantaran
pernikahan itu, Raden Sahun menggantikan kedudukan
mertuanya, Bhattara Katwang, sebagai adipati Samarang.
Sementara itu, kedudukan adipati Kendal diberikan kepada putera
Syaikh Suta Maharaja, Pangeran Gandakusuma.

Menghadapi kekuatan putera-puteri Sri Prabu Kertawijaya, yang


terbukti bersatu dan dengan mudah meluluhlantakkan Demak dan
menewaskan Lembusora, Bhre Kretabhumi sadar bahwa ia tidak
cukup kuat melawan mereka. Itu sebabnya, ia melakukan siasat
merangkul lawan dengan mengakui Raden Patah sebagai adipati
Demak menggantikan Lembusora. Sebagai bukti pengakuannya,
Raden Patah dinyatakan sebagai putera angkatnya dan
dianugerahi gelar Arya Sumangsang.

Sesungguhnya, di balik tindakan menunjuk Arya Sumangsang


sebagai putera angkatnya, Bhre Kretabhumi justru ingin
menghancurkan adipati Demak yang baru itu. Caranya, dengan
menerapkan siasat lama, yaitu menempatkan sang adipati Demak
sebagai sasaran bidik fitnah. Pertama-tama dengan anugerah
nama Arya Sumangsang itu (Jawa Kuno: bangsawan tersangkut,
ningrat tempelan), kedudukan adipati Demak yang baru itu sudah
jelas tampak berbeda dalam pandangan para bangsawan
Majapahit.

1173
Setelah itu, sesuai keahliannya, Bhre Kretabhumi menyebar
kasak-kusuk menuduh adipati Demak yang berdarah campuran
Majapahit-Sunda-Cina-Palembang sebagai calon maharaja yang
bakal menghancurkan Majapahit dari dalam. Bahkan lafal Demak
(Jawa Kuno: hadiah) yang semula bermakna “ganjaran untuk
tunjangan keluarga raja”, telah disimpangkan menjadi lafal
nDemak (Jawa Kuno: menyerang) yang bermakna “menyerang
dengan mendadak”.

Nah, dengan siasat lamanya itu Bhre Kretabhumi merasa tenang


karena kedudukan Arya Sumangsang sudah “terpaku,” tidak bisa
bergerak dengan leluasa untuk mengembangkan kekuasaan.
Sebab para penguasa di sekitar Demak – yang masih segar
ingatannya pada peristiwa penyerbuan Lembusora – akan
bersiaga melindungi diri dari kemungkinan serangan mendadak
adipati Demak yang baru itu. Itu berarti, Arya Sumangsang tidak
akan gegabah melakukan kekerasan bersenjata untuk merebut
takhta Majapahit karena harus berhadapan dengan kadipaten-
kadipaten di sekitarnya.

1174
Sirna Hilang Kertaning Bhumi
Sebagai maharaja yang berwawasan sempit
dan tidak memiliki pandangan jauh ke depan,
Bhre Kretabhumi ternyata sangat ketakutan
dengan kenyataan yang menunjukkan kuatnya
“jaringan hijau” yang dibangun Sri Prabu
Kertawijaya dan dilanjutkan oleh Sri Prabu Adi-
Suraprabhawa. Itu sebabnya, ia kemudian
terlihat lebih mengarahkan kewaspadaan
terhadap perkembangan yang terjadi di kawasan pantai utara, di
mana kekuatan Islam mulai berkembang kuat. Beribu-ribu telik
sandhi disebarkannya untuk memantau segala gerak-gerik para
bangsawan, saudagar, guru, nelayan, pedagang kecil, bahkan
tukang dan kuli yang rumahnya dekat surau dan pusat-pusat
perdagangan orang-orang muslim.

Kewaspadaan berlebihan Bhre Kretabhumi terhadap orang-orang


muslim di pantai utara ternyata membuatnya lengah. Ia menjadi
sangat mengabaikan perkembangan di pedalaman. Sedikit pun ia
tidak mengetahui jika di daerah pedalaman diam-diam sedang
terjadi penyusunan kekuatan besar-besaran yang dilakukan oleh
Dyah Ranawijaya, putera Sri Adi-Suraprabhawa, yang merasa
lebih berhak atas takhta Majapahit. Dyah Ranawijaya tidak sekadar
berambisi menuntut hak sebagai pewaris takhta, tetapi yang tak
kalah mengerikan, ia juga dirasuk dendam kesumat terhadap Bhre
Kretabhumi yang dianggapnya telah menjadi penyebab utama
kematian ayahandanya.

1175
Api dendam yang membakar jiwa dan pikiran Dyah Ranawijaya
meledak menjadi malapetaka besar bagi Majapahit. Itu terlihat saat
ia dengan seratus ribu prajurit datang ke ibu kota untuk mengambil
kembali haknya atas takhta Majapahit yang sudah dirampas Bhre
Kretabhumi. Dyah Ranawijaya dengan dendam kesumat tak
bertepi menyerbu dan melakukan kebiadaban tak terbayangkan.
Dikatakan kebiadaban tak terbayangkan sebab dalam penyerbuan
itu bala tentara Daha yang dipimpin oleh Dyah Ranawijaya sendiri
telah melibatkan para kawula alit untuk menjarah ibu kota.

Keterlibatan kawula alit dalam penyerbuan biadab itu tidak bisa


dinilai lain, kecuali sebagai peristiwa munculnya kawanan setan
berwujud manusia dari relung-relung bumi yang gelap gulita.
Kemunculan kawanan manusia setan yang bangga ketika merusak
kebudayaan, menista tradisi, menginjak-injak hukum,
menghancurkan tatanan nilai-nilai, dan melampiaskan nafsu yang
tak kenal batas.

Menurut ingatan warga ibu kota yang selamat, peristiwa biadab


yang menenggelamkan ibu kota Majapahit ke dalam kobaran api
dan penjarahan dahsyat itu berlangsung sangat mencekam. Mula-
mula berlangsung pertempuran sengit antara pasukan Majapahit
dan pasukan Daha di luar dinding baluwarti. Suara gemerincing
senjata yang beradu terdengar menggiriskan karena diiringi jerit
kesakitan dan lolongan kematian. Ketika pasukan Majapahit
terdesak dan bertahan di dalam baluwarti, terdengar suara
benturan benda-benda keras seperti suara orang menumbuk padi
di lesung. Tak lama kemudian robohlah dinding baluwarti dengan
1176
suara gemuruh, diikuti oleh serbuan pasukan Daha yang mengalir
seperti kawanan semut memasuki ibu kota.

Pertempuran berlangsung sengit. Pasukan Majapahit berusaha


bertahan dengan menghadang gerak maju pasukan Daha setapak
demi setapak. Jengkal demi jengkal tanah dipertahankan dengan
darah. Ketika pertempuran meluas ke dalam Bangsal Manguntur,
tempat para pengawal Bhre Kretabhumi mengadu nyawa untuk
menyelamatkan junjungannya, terjadilah peristiwa yang tak pernah
terbayangkan: kerumunan-kerumunan kawula alit di antara
kalangan hina papa memasuki ibu kota bagai kawanan hewan
buas haus darah. Dengan dipimpin satu dan dua prajurit Daha,
sambil berteriak-teriak dengan caci-maki yang kasar, mereka
menyulutkan api kerumah-rumah dan semua jenis bangunan yang
ada. Hanya dalam hitungan detik ibu kota Majapahit tenggelam ke
dalam kobaran lautan api yang membara dan menjilat-jilat ke
langit.

Penghuni ibu kota yang tak pernah menduga bakal terjadi


malapetaka laknat itu hanya kebingungan dan tak tahu harus
berbuat apa. Rumah mereka luluh lantak dimangsa api. Harta
benda mereka dijarah dengan beringas. Di tengah kebingungan itu
berpuluh ribu warga, beribu-ribu prajurit, beribu-ribu nayakapraja,
beratus-ratus punggawa, beratus-ratus pejabat tinggi, beratus-
ratus keluarga maharaja dan bahkan maharaja sendiri
terpanggang binasa di tengah lautan api.

1177
Selama tiga hari tiga malam ibu kota Majapahit dimangsa
keganasan api. Menjelang hari keempat api mulai padam.
Kesenyapan dan kesunyian pun menggelar permadani hitam yang
melingkupi reruntuhan bekas ibu kota maha-kerajaan itu. Sejauh
mata memandang hanya tumpukan abu hitam dan asap tipis yang
mengepul di antara mayat manusia dan bangkai binatang yang
hangus meranggas. Sebuah citra kematian yang mencekam dan
menakutkan. Di tengah kesenyapan dan kesucian mahakuta yang
pernah menjadi kebanggaan itu, para kawi menggubah syair dan
kidung ratapan dengan mengguratkan tanah (pena batu) di atas
karas (papan batu) yang melukiskan malapetaka itu dengan
ungkapan: “Sirna Hilang Kertaning Bhumi” (sirna dan hilang
maharaja Kretabhumi) dan “Sunya Nora Yuganing Wwang”
(kosong tiada anak manusia), yakni menandai tahun 1400 Saka
ketika bencana menggiriskan itu terjadi.

Dengan binasanya Bhre Kretabhumi dan luluh lantaknya ibu kota


Majapahit, Dyah Ranawijaya memang berhasil melampiaskan
dendam kesumatnya dan merebut takhta Majapahit. Dengan
bangga ia mengangkat diri menjadi maharaja Majapahit. Namun
seiring dengan naik takhtanya Dyah Ranawijaya, fajar kejayaan
Majapahit yang pernah bersinar gemilang telah surut memasuki
sandyakala. Panji-panji surya Majapahit yang pernah berkibar di
tujuh samudera telah berserpihan menjadi robekan-robekan kain
tak bermakna. Pendek kata, ibarat rajawali tua yang telah patah
kedua sayapnya, Majapahit di bawah Dyah Ranawijaya tidak
mampu lagi terbang ke angkasa memperlihatkan keperkasaan dan
kewibawaannya.

1178
Sesungguhnya, pudarnya keperkasaan dan kewibawaan
Majapahit tidak terlepas dari para pewaris takhta kekuasaan yang
makin lama makin lemah seperti Bhre Pamotan Sang Sinagara,
Bhre Kretabhumi, dan Dyah Ranawijaya. Para pewaris takhta yang
hidup di tengah kemewahan dan sanjungan itu tidak saja menjadi
lemah, tetapi wawasan mereka pun sempit. Mereka tidak lagi
memiliki wawasan luas dan pandangan jauh ke depan seperti
pendahulunya. Mereka seolah-olah tidak sadar jika negara yang
mereka warisi adalah sebuah kekaisaran maharaksasa yang
memiliki wilayah membentang dari Lamuri di barat hingga Wuanin
di timur dan solor di utara.

Sejarah kebesaran Majapahit akhirnya mencatat, hanya Sri Prabu


Kertawijaya seoranglah maharaja terakhir yang memiliki wawasan
luas dan pandangan jauh ke depan. Setelah ia mangkat, para
penggantinya sekadar raja-raja yang lemah. Mereka naif dan
kekanak-kanakan akibat hidupnya dilingkari kemewahan,
kemuliaan, sanjungan, dan puja-puji berlebihan. Mereka
tenggelam dininabobokkan lingkungan laknat yang sarat dengan
penjilat. Kecelakaan sejarah pun akhirnya menjadi keniscayaan
ketika maharaja yang mewarisi takhta Majapahit itu dilingkari
pejabat-pejabat berjiwa kerdil, bebal, sempit wawasan, dan
dangkal pandangan. Pejabat-pejabat yang hanya pintar menjilat,
pandai menyanjung, dan piawai dalam menyuguhkan kemewahan
kepada maharajanya.

Dyah Ranawijaya adalah salah satu di antara pewaris takhta


Majapahit yang hidup dilingkari pejabat-pejabat berjiwa kerdil,
1179
berwawasan sempit, dan berpandangan dangkal. Ia hidup
dilingkungi pejabat-pejabat bebal. Akhirnya, tak jauh berbeda
dengan pejabat-pejabat yang mengitarinya, Dyah Ranawijaya pun
kemudian menjadi maharaja berjiwa kerdil yang sempit wawasan
dan dangkal pandangan. Ia sesungguhnya tidak memiliki bekal
kemampuan apa pun untuk menerima warisan takhta Majapahit. Ia
hanya memiliki bekal ambisi yang kuat untuk menduduki takhta
kerajaan. Sejarah akhirnya mencatat Dyah Ranawijaya tidak tahu
apa yang seharusnya diperbuat seorang maharaja ketika ia
berhasil duduk di atas singgasana Majapahit.

Tinta hitam sejarah kesuraman Majapahit mencatat pula, beberapa


waktu setelah berhasil meluluhlantakkan ibu kota, Dyah
Ranawijaya mengangkat diri sebagai maharaja Majapahit
menggantikan Bhre Kretabhumi. Namun, sebagai seorang putra
yang sejak kecil tinggal di pedalaman dan dilingkari oleh pejabat-
pejabat berjiwa kerdil, ia pun tidak pernah memiliki wawasan
berpikir dan pandangan yang lebih jauh dari pemandangan yang
disaksikannya sehari-hari. Ia tidak pernah melihat pemandangan
lebih jauh dari puri kediamannya yang dilingkari lembah, sawah,
sungai, hutan, dan gunung. Ia tidak pernah memiliki kesadaran
bahwa Majapahit adalah negara maharaksasa yang wilayahnya
jauh lebih luas dari sekedar Daha dan Janggala.

Dyah Ranawijaya pada akhirnya menyadari dirinya sesungguhnya


tidak mampu menunjukkan keperkasaan dan kewibawaan sebagai
maharaja Majapahit yang agung seperti leluhurnya. Hari-hari dari

1180
hidupnya justru selalu dihantui rasa curiga dan ketakutan jika
takhta yang sudah didudukinya dirampas oleh sanak kerabatnya.

Diburu rasa takut kehilangan takhta, tanpa pemikiran yang matang,


Dyah Ranawijaya akhirnya membuat keputusan konyol
memindahkan ibu kota Majapahit ke pedalaman, yakni ke Kadhiri,
ibu kota Daha. Keputusan konyol Dyah Ranawijaya itu terungkap
saat ia dinobatkan menjadi maharaja Majapahit di Kadhiri dengan
bangga ia menggunakan gelar kebesaran Sri Prabu Natha
Girindrawarddhana, Jiwanendradhipa ring Daha, Janggala,
Kadhiri.

Jelas sudah, betapa dengan gelar kebesaran sebagai


Jiwanendradhipa raing Daha, Janggala, Kadhiri itu, di dalam
pandangan Sri Prabu Natha Girindrawarddhana, Majapahit yang
dikuasainya adalah kerajaan kecil yang wilayahnya tidak lebih luas
dari Kahuripan, Daha, Janggala, dan ibu kota Kadhiri. Semua itu
menunjukkan betapa sesungguhnya ia dengan kekerdilan jiwa dan
kepicikan wawasan telah berusaha memperkuat takhta
kekuasaannya di pedalaman, ibarat ulat masuk ke dalam
kepompong.

Perpindahan ibu kota kerajaan ke pedalaman menjadi titik balik


sejarah yang mengakibatkan Majapahit terempas tanpa daya di
palagan sejarah akibat tidak mampu menhadapi tiupan dahsyat
angin perubahan. Sebab, perpindahan ibu kota ke pedalaman
dengan tata pemerintahan dipegang oleh raja dan pejabat-pejabat
1181
asal pedalaman yang berwawasan sempit dan berpandangan
dangkal mengakibatkan perubahan mendasar dalam tata
pemerintahan, terutama kerangka berpikir para pemegang
kekuasaan yang didasarkan pada sifat-sifat petani pedesaan.

Menurut catatan-catatan termasyhur para kawi, selama berpuluh


windu Majapahit tumbuh dan berkembang sebagai kekuatan laut
yang perkasa dan mampu mempersatukan negeri-negeri yang
terhampar di samudera raya. Panji-panji Majapahit berkibar gagah
di atas kapal-kapal yang mengarungi tujuh samudera. Para kaisar
Cina di utara dan para maharaja di Bharatnagari mengakui wilayah
kedaulatan Majapahit. Armada-armada dagang yang hilir mudik
dari selatan ke utara wajib membayar pajak saat singgah di
pelabuhan-pelabuhan Majapahit. Tidak satu pun kapal perang
kerajaan lain yang berani memasuki perairan Majapahit tanpa izin!

Kini, setelah ibu kotanya dipindahkan ke pedalaman, Majapahit


tiba-tiba berubah menjadi negeri yang bertumpu pada kekuatan
pertanian. Majapahit tiba-tiba terkunci di daratan. Armada
Majapahit yang pernah jaya di samudera raya tiba-tiba
terbengkalai, keropos, berkarat, dan menjadi ronsokan tak
berharga. Penanda batas wilayah Majapahit yang berupa
gelombang ganas samudera raya, tiba-tiba berubah menjadi
lembah subur yang membentang di sepanjang aliran Sungai
Brantas yang dibatasi Gunung Kamput (Kelud), Gunung
Anjasmara, Gunung Arjuna, Gunung Mahameru, Gunung Lawu,
Gunung Wilis, dan sebagian kecil pantai utara Jawadwipa.

1182
Akibat kepindahan ibu kota Majapahit yang diikuti perubahan
tatanan pemerintahan yang semula bersifat kelautan menjadi
pertanian, ternyata mendatangkan peristiwa-peristiwa yang sangat
menyedihkan. Dikatakan menyedihkan karena seiring pernyataan
maharaja Majapahit yang memaklumatkan wilayah kekuasaannya
hanya mencakup Kahuripan, Daha, Janggala, dan Kadhiri;
kerajaan-kerajaan bawahan yang berada di luar wilayah empat
tersebut merasa tidak lagi sebagai bagian dari wilayah Majapahit.
Akibatnya, kerajaan-kerajaan bawahan yang selama berbilang
abad tunduk, patuh, dan setia kepada Majapahit beramai-ramai
melepaskan diri dari pemerintahan pusat yang sudah tak bergigi
itu.

Bagaikan rajawali tua dengan kedua sayap patah, Sri Prabu Natha
Girindrawarddhana yang picik dan kurang cerdas itu hanya bisa
kebingungan ketika dipaksa menyaksikan satu demi satu wilayah
yang semula dianggapnya bagian Majapahit, memisahkan diri
secara diam-diam dari induknya. Ia tidak paham kenapa hal itu bisa
terjadi. Ia hanya tertegun-tegun ketika menerima laporan bahwa
para raja muda Wirabhumi, Lumajang, Wengker, Kahuripan,
Matahun, Pawanuhan, Mataram, Pajang, Pengging, Demak, Giri,
Gresik, Siddhayu, Kendal, Samarang, dan Lasem menyatakan
kerajaannya berdiri sendiri-sendiri sebagai kekuasaan yang
berdaulat dan tidak lagi tunduk kepada maharaja Majapahit.

Di tengah hiruk kerajaan-kerajaan bawahan yang memisahkan diri,


bermunculanlah kadipaten-kadipaten gurem yang dengan lantang
menyatakan tidak terikat lagi baik dengan Majapahit maupun
1183
dengan kerajaan-kerajaan bawahannya. Ibarat bangkitnya kembali
bentuk kekuasaan purba yang dipimpin para raka, tumbuhlah
kadipaten-kadipaten itu menjadi daerah-daerah guram yang
merdeka dan berdaulat seperti Kadipaten Puger, Babadan,
Tepasana, Kedhawung, Garudha, Dengkol, Banger, Gending,
Panjer, Jamunda, Sengguruh, Hantang, Srengat, Balitar, Rawa,
Kampak, Pesagi, Mahespati, Pasir, Uter, Wirasari, Wedi, Taji,
Bojong, Jagaraga, Tedunan, Jaratan, Surabaya, Kajongan, Pati,
dan Rajegwesi, mengibarkan panji-panji kebesaran masing-
masing. Keindahan Majapahit pada masa silam yang berhasil
merangkai untaian zamrud hijau laksana mahkota yang
mengagumkan, kini berantakan dan tinggal menjadi serpihan-
serpihan zamrud retak yang lepas dari tali pengikatnya.

Seiring berserpihannya Majapahit menjadi kerajaan kecil dan


kadipaten gurem yang merdeka dan berdaulat, terperosoklah nilai-
nilai keagungan dan keluhuran manusia ke tingkat yang paling
menjijikkan. Para penguasa kerajaan, terutama penguasa
kadipaten gurem, tidak berbuat sesuatu yang pantas untuk
meningkatkan harkat, martabat, dan wibawa manusia melalui
kekuasaan yang telah mereka genggam. Hari-hari dari kehidupan
para penguasa itu nyaris diwarnai perjamuan dan pesta pora besar
menikmati lezatnya makanan, merdunya gamelan, kerasnya tuak,
gemerincingnya uang, mahalnya hadiah-hadiah, dan hangatnya
tubuh para perempuan penghibur.

Entah bodoh, entah berwawasan sempit, entah tidak memiliki


pengetahuan pemerintahan, atau entah tidak mampu mengukur
1184
kemampuan diri, para pemimpin kadipaten gurem itu secara
seragam memiliki anggapan bahwa kebesaran dan keagungan
dirinya tergantung pada kemampuan di dalam menjamu dan
membayar serta memberi hadiah para kepala desa, kepala begal,
bromocorah, dan dukun-dukun yang mendukung kekuasaan
mereka. Untuk memperkuat daerah kekuasaan, mereka mengirim
hadiah-hadiah mahal ke padepokan-padepokan, asrama-asrama,
dan perguruan-perguruan yang kebanyakan dipimpin oleh
ruhaniwan-ruhaniwan mata duitan.

Akibat kepicikan dalam memaknai kebesaran dan keagungan


seorang penguasa, yang terjadi sebagai keniscayaan adalah
kesengsaraan dan penderitaan dari warga yang berkedudukan
sebagai kawula alit yang rendah dan hina. Sebab, seiring hingar
bingarnya perjamuan, pesta pora, gemerincing uang suap, dan
hamburan hadiah-hadiah, tergencetlah para kawula alit dengan
berbagai jenis pajak baru yang mencekik.

Entah bodoh, entah kejam, entah bengis, entah tidak memiliki hati
nurani, entah setan berwujud manusia, para penguasa kadipaten
gurem itu memperkenalkan berbagai jenis pajak yang sebelumnya
tidak pernah dikenal oleh penduduk untuk memenuhi segala hajat
mereka. Menurut catatan juru manghuri Terung, para penguasa
memungut berbagai jenis pajak kepada warganya secara semena-
mena berupa pajak tanah (pajeg), pajak pekarangan (karang
kopek), pajak rumah tangga (pacumpleng), pajak penghasilan
(upajiwa), pajak keamanan (rajabhaja), pajak jalan (kerigaji), pajak
untuk upacara-upacara kerajaan (rajawali), pajak pembangunan
1185
rumah pejabat (taker turun), pajak cacah jiwa (peniti), pajak hajatan
pejabat (pasumbang), pajak kunjungan pejabat (pajidralan), pajak
perkenalan pejabat (uwang bekti), dan seterusnya.

Sementara itu, bagi warga miskin yang tidak memiliki tanah dan
rumah dikenakan pajak dalam bentuk kerja-wajib tanpa bayar,
seperti menjaga rumah pejabat (kemit), melayani pejabat (pancen),
membantu urusan rumah tangga pejabat (ayeran), membuat dan
memperbaiki jalan umum (krigaji), mengangkut barang milik
pejabat (gladhag). Bahkan tak jarang di antara kalangan bernasib
sial ini yang harus menyetor anak-anaknya kepada penguasa
untuk dijadikan budak, wadal, dan tumbal.

Kesengsaraan dan penderitaan kawula alit yang sudah mengering


diisap berbagai jenis pajak, ternyata masih diikuti oleh
kesengsaraan dan penderitaan yang tak kalah pedihnya. Hal itu
tergambar ketika para penguasa yang mabuk kekuasaan dengan
kepercayaan diri yang berlebihan memperluas wilayah
kekuasaannya dengan merebut wilayah kadipaten guram lain.

Genderang perang mereka tabuh. Pedang dan tombak mereka


acungkan ke atas. Saat sangkakala perang ditiup, pekik
peperangan pun mengumandang membelah angkasa. Dan apa
yang terjadi setelahnya sudah bisa diduga, yaitu tumpahnya darah
para prajurit kecil yang membasahi bumi. Tidak ada tangis dan
penyesalan dari para penguasa atas terbunuhnya beribu-ribu
prajurit, sebab telah tertulis pada keniscayaan sejarah bahwa di
1186
tengah gegap gempita peperangan yang menitikkan air mata duka
cita adalah para kawula alit. Bukankah para prajurit yang terbunuh
dalam perang – dari pihak mana pun – sesungguhnya merupakan
putera-putera terbaik dari para kawula alit, yang mencari sesuap
nasi dengan menjadi tentara?

Hari, pekan, bulan, tahun, dan windu yang membentang dalam


kehidupan manusia yang hidup di bekas wilayah Majapahit
terlewati tanpa kedamaian, tanpa pengayoman, tanpa keamanan,
bahkan tanpa tujuan yang pasti. Yang tersuguh sebagai hidangan
utama sehari-hari bagi mereka yang hidup di rentangan waktu itu
tidak ada yang lain, kecuali kekacauan demi kekacauan yang
sambung menyambung dan susul-menyusul seperti tanpa akhir.
Api peperangan berkobar dimana-mana. Penjarahan,
perampokan, pencurian, pemerkosaan, penganiayaan, dan
pembunuhan membadai tanpa kendali dan melanda setiap hunian
manusia.

Tidak ada setetes pun tinta sejarah yang mencatat bagaimana


kesengsaraan dan penderitaan yang dialami manusia di rentangan
kelabu “Sandyakala Majapahit” itu. Tidak ada catatan
kesengsaraan dan penderitaan kalangan ningrat berdarah biru,
apalagi kalangan kawula alit berdarah hitam yang menempati
kedudukan golongan sudra yang hina, nista, dan papa. Lembar-
lembar sejarah hanya mencatat bagaimana keagungan,
kemuliaan, keperkasaan, serta kehebatan para raja dari kerajaan
kecil dan para penguasa kadipaten gurem yang saling pamer
kekuatan dalam bertarung, bertempur, saling bunuh untuk
1187
memperebutkan takhta kekuasaan dengan membinasakan
saudara-saudaranya.

Di tengah hiruk pikuk peperangan yang berkobar, di tengah intaian


hantu kematian, di tengah kesibukan para prajurit membinasakan
musuh-musuhnya, terjadilah hiruk kebinasaan yang tak kalah
dahsyat dibandingkan medan perang. Kawanan bromocorah,
perampok, lanun, maling, penjarah, dan bajingan tengik dengan
liur menetes laksana binatang buas terlihat berkeliaran mencari
mangsa. Manusia-manusia berjiwa binatang itu dengan kelicikan
dan kebuasan melebihi hewan liar, menyerbu desa-desa untuk
menganiaya, memperkosa, merampas, membakar, dan
membunuh kawula alit yang lemah dan tidak memiliki pelindung.

Di rembang senja usianya yang uzur Majapahit benar-benar


menjadi tumpukan sampah raksasa yang berisi manusia-manusia
berakhlak bejat dan berjiwa bobrok. Manusia-manusia tengik yang
tidak mengenal nilai-nilai luhur kemanusiaan. Manusia-manusia
jelata yang muncul dari lumpur nista dengan impian tinggi di langit
menggapai bintang-bintang. Ibarat pepatah katak hendak menjadi
lembu, demikianlah citra diri manusia-manusia berjiwa kerdil itu
memenuhi cakrawala Majapahit. Dan saat manusia-manusia
rendah itu membusuk dikerumuni lalat-lalat kejahilan,
berkumandanglah kidung pralaya Majapahit yang dinyanyikan
iring-iringan prajurit Bhattara Yama.

1188
Orang bijak berkata: runtuhnya sebuah bangsa selalu ditandai oleh
jungkir baliknya nilai-nilai tatanan kehidupan yang dianut bangsa
itu. Tengara kehancuran Majapahit diawali oleh tanda jungkir
baliknya nilai-nilai dan tatanan kehidupan yang pernah dijunjung
dan dimuliakan di situ.

Kejungkirbalikan nilai-nilai dan tatana kehidupan itu sendiri mulai


terlihat pada peristiwa kematian para brahmin, yogi, bagawan,
acarya, wiku, muni, rishi, dan guru suci yang agung tanpa penerus
yang sesuai. Setelah kepergian mereka, yang muncul sebagai
pengganti adalah para pewaris dari kalangan orang kebanyakan,
yang dengan pengetahuan rendah, wawasan sempit, dan
pandangan dangkalnya menapasi kehidupan asrama-asrama,
padepokan-padepokan, vihara-vihara, dan perguruan-perguruan
yang unggul.

Jika dicermati lebih rinci, kemunculan gelombang kebangkitan


kalangan jelata ke pentas sejarah Majapahit bermula dari lingkaran
anggota chakra, yakni penganut Bhairawa-Tantra. Berbeda
dengan Weda yang melarang kaum sudra melakukan upacara
pemujaan, membaca Weda atau mengungkap rahasia mantra
Waidika, di dalam pemujaan Tantrika yang dilakukan penganut
Bhairawa Tantra tidak dikenal perbedaan golongan. Itu sebabnya,
pada masa kekuasaan Prabu Jayanegara pernah tampil seorang
dari golongan jelata menjadi pemimpin chakra: Sang Chakreswara.

1189
Berawal dari Sang Chakreswara ini, selama puluhan dan bahkan
ratusan tahun, jumlah golongan jelata yang menempati kedudukan
penting di lingkaran anggota chakra makin tak terhitung jumlahnya.
Bahkan pada gilirannya tidak sekadar di lingkaran anggota chakra,
golongan jelata ini pun akhirnya muncul di berbagai sisi kekuasaan
Majapahit, yang hal itu mulai kentara pada masa kekuasaan Prabu
Stri Suhita dan dilanjutkan oleh Prabu Kertawijaya Wijaya
Parakramawarddhana.

Pada masa Sri Prabu Natha Girindrawarddhana berkuasa,


keberadaan golongan jelata ini sudah memenuhi hampir seluruh
sisi kehidupan Majapahit laksana kawanan semut mengerumuni
bangkai. Dan seiring bergulirnya waktu sandyakala bagi Majapahit,
bermunculan di panggung sejarah para nayakapraja, brahmin,
rishi, yogi, wiku, acarya, guru suci, bahkan para cerdik cendikia dari
kalangan jelata yang menganut nilai-nilai jelata.

Kehidupan telah mengajarkan bahwa keberadaan kalangan jelata


senantiasa ditandai oleh ciri-ciri khas jelata. Pertama-tama, jika
mereka menduduki jabatan yang tinggi, mereka akan segera
melupakan asal-usul kelahirannya. Kemudian mereka akan
mencari-cari cara bagaimana menempatkan keberadaan dirinya
sebagai keturunan bangsawan tinggi. Untuk itu mereka tidak
segan-segan bersikap lebih bangsawan dibanding bangsawan
berdarah biru yang sebenarnya. Dan kenyataan menunjukkan
betapa seluruh adipati gurem yang suka memeras kawula alit dan
gemar perang itu senantiasa mengakui diri sebagai trah Majapahit
dan bersikap lebih feodal dibandingkan pangeran Majapahit.
1190
Kenyataan pun membuktikan bahwa setinggi apa pun jabatan yang
bisa diraih oleh kalangan jelata, tidak akan membuat wawasan
mereka lebih luas dan tidak pula membuat pandangan mereka bisa
menembus jauh ke depan. Sejauh-jauh pandangan mereka
menembus ke depan, hanya dirinya pribadi, keluarganya, dan
desanya saja yang terbayang. Sebesar dan seagung apa pun
kemuliaan yang bisa mereka peroleh, tidak akan membuat
kerangka pikir mereka berubah lebih luas dan lebih jauh.

Para bijak Majapahit berkata, mereka itu sudah dibentuk alam


untuk menjadi kalangan jelata yang teguh memegang prinsip
“bagaimana aku bisa memanfaatkan segala sesuatu untuk
kepentingan diriku”. Mereka orang-orang yang selalu
menginginkan orang lain berbuat sesuatu yang berguna untuk
kepentingannya. Sementara, mereka tidak pernah peduli dengan
nasib orang lain. Itu sebabnya, demi jabatan, mereka tidak segan-
segan menyuguhkan istri dan anak-anaknya demi memuaskan
junjungannya.

Entah benar entah tidak, entah berdasarkan kenyataan entah


hanya isapan jempol, yang jelas kata-kata para bijak Majapahit
seperti mengharuskan orang untuk mengiyakan hal tersebut.
Kenyataan sejarah mencatat, seiring menjamurnya kalangan jelata
yang memenuhi seluruh sisi kehidupan Majapahit, tiba-tiba saja
seluruh kegemilangan kerajaan maharaksasa itu memudar. Para
muni, brahmin, yogi, acarya, wiku, guru suci, dan kaum cerdik
cendikia yang muncul dari kelangan jelata ternyata menunjukkan
kecenderungan yang sama yakni kurang menganggap penting
1191
keberadaan bahasa Sansekerta sebagai bahasa ilmu.
Sesungguhnya mereka adalah pemalas yang enggan bersusah
payah mempelajari bahasa Sansekerta.

Tidak bisa diingkari bahwa pengabaian terhadap bahasa ilmu telah


menjadi tengara awal bagi runtuhnya peradaban sebuah bangsa.
Memudarnya pemahaman atas bahasa Sansekerta telah
menjadikan kemustahilan bagi lahirnya manusia-manusia agung
yang unggul untuk menghadapi zamannya. Sebaliknya yang terjadi
adalah keniscayaan bagi lahirnya manusia-manusia berjiwa kerdil
yang berwawasan sempit, yang memiliki kerangka berpikir otak-
atik mathuk, yang berbicara dengan bahasa jelata, yang
memandang dunia hanya sebatas diri pribadi dan lingkungan
sekitarnya, yang mudah berputus asa dalam menghadapi
kesulitan, dan yang tidak memiliki keyakinan diri kuat. Ujung dari
kemunculan manusia-manusia jelata itu di panggung kekuasaan
adalah tergelarnya sebuah lakon yang sangat mengerikan dalam
sejarah kehidupan manusia. Laksana binatang buas yang
kelaparan; mereka menjelmakan diri menjadi kawanan ganas yang
gemar memangsa sesamanya.

1192
Pertarungan Rajawali

Ketika kegelapan bagaikan permadani hitam


menyelimuti langit jiwa penduduk Majapahit,
kematian bergentayangan di sudut-sudut
kehidupan dengan kepak-kepak sayap yang
menggemuruh. Di tengah ratap tangis anak-
anak dan perempuan yang meminta tolong,
berkeliaranlah para prajurit yang melambai-lambaikan panji
kemenangan dan menyanyikan lagu perang dengan penuh
kegembiraan. Itulah gambaran sehari-hari dari kehidupan anak-
anak manusia yang tinggal di tengah reruntuhan Kerajaan
Majapahit; kecemasan, ketakutan, kepanikan, dan kematian saling
berpacu dengan kegembiraan, kemenangan, kekuasaan, dan
keangkuhan.

Di tengah reruntuhan Majapahit, ketika adipati-adipati gurem saling


berebut kekuasaan bagaikan lalat-lalat memperebutkan bangkai,
di atas angkasa sesungguhnya sedang bertarung sengit dua ekor
rajawali yang saling menyambar dengan pekikan-pekikan ganas
memenuhi langit. Dua rajawali yang bertarung di atas gumpalan
awan kelabu Majapahit itu adalah Raden Kusen, adipati Terung,
dan Pu Mahodara, patih Majapahit.

Hingar bingar suasana perang pertarungan dua rajawali perkasa.


Itulah yang dirasakan Abdul Jalil dan rombongan ketika datang ke
Kadipaten Terung. Kibaran umbul-umbul dan panji-panji, kilatan
1193
pedang, ringkik kuda, nyanyian kemenangan, dan iring-iringan
prajurit terlihat memenuhi penjuru kadipaten. Para prajurit gagah
perkasa itu adalah pasukan-pasukan pilihan yang datang dari lima
belas kadipaten untuk memberikan dukungan kepada pihak
Terung. Menurut rencana, pasukan akan menyerbu Japan,
pangkalan utama yang dijadikan pertahanan Pu Mahodara dalam
menangkis serangan pasukan Terung.

Menurut Menak Lampor, adipati Tepasana yang memihak Terung,


patih Majapahit yang bernama Mahodara itu sesungguhnya
berasal dari kalangan sudra papa yang berubah menjadi jahat
ketika beroleh kedudukan sebagai patih. Asal usul patih itu dari
daerah Propo, Pamadegan, di Pulau Madura. Dia merupakan abdi
dari Pangeran Menak Sunaya, putera Ario Damar dengan Dewi
Wahita. Lewat jasa Pangeran Menak Sunaya, abdi yang bernama
Udara (perut) itu menjadi hamba pembawa kasut Sri Prabu Adi-
Suraprabhawa.

Karena selalu dekat maharaja, diam-diam Udara belajar banyak


tentang pemerintahan. Lantaran ia pandai menjilat dan
menyenangkan hati maharaja maka jabatannya dinaikkan setapak
demi setapak hingga menjadi nayakapraja. Udara dikenal sebagai
abdi setia yang merelakan apa pun demi kesenangan maharaja.
Bahkan, saat terjadi kekacauan di ibu kota akibat pemberontakan
Bhre Kretabhumi, Udara dan prajurit-prajurit asal Madura dengan
setia mengawal Sri Prabu Adi-Suraprabhawa hingga pengungsian
ke Daha.

1194
Karena Sri Prabu Adi-Suraprabhawa mangkat dalam perjalanan
maka Udara dan kawan-kawannya kemudian mengabdikan diri
kepada Dyah Ranawijaya, putera junjungannya. Rupanya bintang
Udara sedang bersinar terang sehingga dia menduduki jabatan
patih Daha. Jabatan itu meningkat menjadi patih Majapahit dan
namanya diganti menjadi Mahodara segera setelah Dyah
Ranawijaya dinobatkan sebagai maharaja Majapahit dengan gelar
Sri Prabu Natha Girindrawarddhana. Untuk memperkuat
kedudukan, Mahodara menikahkan puteranya, Menak Supethak,
dengan puteri Sri Prabu Natha Giridrawarddhana yang bernama
Ratu Kadhiri.

Setelah menikahi puteri Sri Prabu Girindrawarddhana, Menak


Supethak diangkat menjadi adipati Garudha (Pasuruan). Menak
Supethak kemudian menikah lagi dengan puteri Menak Pentor,
Yang Dipertuan Wirabhumi. Untuk lebih memperkuat kedudukan,
Menak Supethak menikahi cucu Yang Dipertuan Pamadegan,
Menak Sunaya. Setelah itu saudara Menak Supethak diangkat
menjadi adipati Panjer, Japan, dan Keniten. Bahkan, anak Menak
Supethak yang masih belum cukup umur diangkat menjadi adipati
Dengkol.

Kedudukan Patih Mahodara makin lama makin kuat dan bahkan


lebih kuat dibandingkan Sri Prabu Natha Girindrawarddhana yang
terbuai kemewahan, sanjungan, dan puja-puji. Sebagai pejabat
yang berkuasa menata dan menjalankan pemerintahan, Patih
Mahodara menempatkan orang-orang yang setia kepadanya di
berbagai kedudukan penting sehingga kedudukan maharaja
1195
Majapahit pada dasarnya hanya sebagai boneka yang tak memiliki
kekuatan apa pun, kecuali menjadi lambang kekuasaan. Namun,
keleluasaan sang patih di dalam menata dan menjalankan roda
pemerintahan Majapahit itu menghadapi “batu sandungan” yang
sangat menyusahkan.

Raden Kusen, adipati Terung, cucu Sri Prabu Kertawijaya dan juga
sepupu Sri Prabu Natha Girindrawarddhana, adalah satu-satunya
pejabat kerajaan yang berani menantangnya. Malah secara
“kurang ajar” Raden Kusen sering menghina dengan menyebutkan
namanya yang asli, Udara, yang dianggapnya bekas abdi dari
uwaknya, Pangeran Menak Sunaya. Dan yang paling tak pernah
diduga, pangeran asal Palembang itu berani menghancurkan
pasukan yang dikirim Mahodara untuk mengusir pemukim-
pemukim muslim dari Surabaya.

“Peperangan Terung dengan Daha yang pertama terjadi barang


tujuh tahun silam,” kata Menak Lampor, yang adalah putera Menak
Gadru, adipati Babadan, yang tidak lain merupakan kemenakan
Raden Kusen. Meski Menak Lampor beragama Hindu, dalam
perselisihan Terung dan Daha itu ia memihak Terung dengan
alasan ikatan darah yang mengalir di tubuhnya sama dengan darah
adipati Terung. Bagi para adipati yang mendukung Terung, Patih
Mahodara tidak pernah dianggap sebagai sosok yang perlu
dihargai dan dihormati karena asal usulnya yang rendah dari
kalangan sudra.

1196
Sementara itu, menurut Raden Kusen, pertarungannya menentang
Patih Majapahit lebih disebabkan oleh prinsip-prinsip hidup yang
sudah diwariskan oleh leluhurnya secara turun-temurun. Hampir
tidak ada yang memahami bahwa di tengah hingar-bingar
kebangkitan Majapahit itu sesungguhnya terjadi persaingan dan
sekaligus persekongkolan antara keturunan Akuwu Tumapel, Sang
Jayakerta Tunggul Ametung, dan keturunan raja Tumapel,
Ranggah Rajasa Sang Amurwabhumi. Keturunan Sang Jayakerta
Tunggul Ametung menggunakan wangsakara Warddhana, yang
bermakna pelindung agama dan pemakmur bumi. Sedangkan
keturunan Rangga Rajasa Sang Amurwabhumi menggunakan
wangsakara Rajasa, yang bermakna diberkati sifat rajas (nafsu
berahi).

“Sepanjang ratusan tahun sejarah Majapahit, yang berselisih dan


sekaligus bersekutu dalam membangun kekuasaan adalah dua
trah itu. Pasang dan surut Majapahit tergantung pada dua trah itu.
Tapi, sekarang ini ada hamba sahaya yang karena pintar menjilat
dan menduduki jabatan patih hendak ikut campur berebut
kekuasaan di Majapahit,” kata Raden Kusen dengan mata berkilat-
kilat diliputi amarah.

“Mohon maaf, Pamanda Adipati,” kata Abdul Jalil takzim, “Menurut


saudara kami, Pangeran Menak Lampor, pertempuran kali ini
sesungguhnya merupakan pertempuran yang ketiga dalam tujuh
tahun ini. Apakah latar perang kali ini juga akibat masalah yang
sama dengan perang pertama dan kedua?”

1197
“Kali ini sudah agak beda masalahnya,” kata Raden Kusen. “Dulu
saat pertama kali bertempur, aku hancurkan seluruh pasukannya
di Sungai Terung. Tidak satu pun prajuritnya yang aku biarkan
hidup. Bahkan, tidak satu pun perahu yang digunakan mengangkut
prajurit itu yang tidak dibakar.”

“Apakah itu gara-gara mereka menyerbu Surabaya?”

“Ya,” kata Raden Kusen datar. “Dia tidak menyangka jika aku akan
membela Surabaya.”

“Apakah Sri Prabu Natha tidak marah dengan tindakan Pamanda


Adipati?”

“Mula-mula begitu. Tetapi, setelah aku jelaskan bahwa tindakan


patih dungu itu menyerang Surabaya adalah tindakan bodoh
karena sama dengan menista kebijakan Sri Prabu Kertawijaya,
barulah Prabu Natha memaklumi tindakanku. Ya, aku jelaskan
kepada maharaja Majapahit bahwa kedudukan bupati Surabaya
didasarkan atas kebijakan Sri Prabu Kertawijaya. Kedudukan itu
diperkuat lagi oleh Sri Prabu Adi-Suraprabhawa. Jadi, menyerang
Surabaya, walaupun dengan alasan untuk mengusir orang-orang
Islam yang berbahaya bagi Majapahit, tetaplah aku nilai sebagai
penghinaan terhadap dua maharaja yang telah mangkat. Dan
lantaran itu, mereka tidak pantas diampuni,” kata Raden Kusen
dingin.
1198
Abdul Jalil mengangguk-angguk paham dan berkata, “Lalu alasan
perang yang kedua, apakah sama?”

“Ya, sama,” kata Raden Kusen. “Perang terjadi ketika patih jahat
itu memerintahkan para prajurit untuk mengusir orang-orang Islam
di Wirasabha dan kemudian menyuruh anaknya, Menak Supethak,
mengusir dan membunuhi orang-orang Islam di Garudha. Aku
gempur Garudha. Aku gempur Japan. Bahkan aku sudah
menggerakkan pasukan melintasi Wirasabha untuk mengepung
ibu kota Daha. Tetapi, Sri Prabu Natha memohon agar aku tidak
melanjutkan tindakan menyerang Daha karena orang bisa
menyangka aku melakukan pemberontakan.”

“Untuk yang kedua, alasan apakah yang Pamanda Adipati


gunakan kepada Sri Prabu Natha? Bukankah Pamanda Adipati
bisa dituduh membela orang-orang Islam karena Pamanda
beragama Islam? tanya Abdul Jalil.

“Aku katakan kepada Prabu Natha bahwa darah yang mengalir di


tubuhnya adalah darah wangsakara Warddhana yang bermakna
pelindung agama dan pemakmur bumi. Itu sebabnya, sebagai
seorang maharaja beliau wajib menjalankan prinsip-prinsip
wangsakara untuk menjadi pelindung bagi agama apa pun di
wilayah kekuasaannya. Kepada Prabu Natha aku tunjukkan bukti-
bukti betapa sejak masa pemerintahan Sri Prabu Rajasanagara
pun sudah tinggal orang-orang muslim di ibu kota. Jadi, lagi-lagi,
patih tolol itu aku sudutkan sebagai kerbau dungu yang suka
1199
menista dan menghina leluhur maharaja Majapahit,” kata Raden
Kusen, kali ini sambil tertawa terbahak-bahak.

“Dan untuk kali ketiga ini rupanya sudah menyangkut kekuasaan.”

“Hmm, begitulah. Patih dungu itu diam-diam sudah menyusun


kekuatan di berbagai kadipaten. Dengan iming-iming jabatan tinggi
dan kekayaan dia menawari sejumlah adipati untuk mendukung
kekuasaannya yang makin kukuh di tengah melemahnya
kekuasaan Prabu Natha. Tapi dasar bodoh, dia tidak tahu bahwa
lebih dari separo jumlah adipati di Kahuripan, Janggala, Daha, dan
Kadhiri adalah keturunan kakekku, Prabu Kertawijaya. Sehingga,
hampir semuanya melaporkan kepadaku tentang gerakan busuk
patih tolol itu. Dan, aku tentu saja akan mengambil tindakan demi
menyelamatkan takhta Majapahit dari orang dungu itu,” kata
Raden Kusen.

Abdul Jalil memahami bahwa jika saja mau sesungguhnya Raden


Kusen dapat merebut takhta Majapahit dari tangan Sri Prabu
Girindrawarddhana. Sebab, ia bukan saja cucu maharaja
Majapahit Sri Prabu Kertawijaya, keahliannya dalam pertempuran
dan kekuatan pasukan juga kekayaan yang dimilikinya
sesungguhnya dapat digunakan dengan mudah untuk meraih
takhta Majapahit yang sedang lemah. Sebagai pemimpin perang
unggulan di medan tempur, ia termasyhur dengan sebutan Juru
Pangalasan ing Terung. Sebagai adipati yang juga merangkap
jabatan pecat tandha di Terung, kekayaannya yang tak terhitung
1200
tercermin dari sebutan para saudagar Cina yang menamainya Kin
San, Sang Gunung Emas.

Semula Abdul Jalil menduga tentulah Raden Kusen yang


termasyhur sebagai panglima unggulan dan kaya raya itu akan
menolak gagasannya tentang masyarakat ummah. Namun,
setelah berbincang-bincang tentang keniscayaan tatanan baru di
tengah reruntuhan nilai-nilai luhur yang sudah jungkir balik, tanpa
terduga putera Adipati Palembang itu menyatakan sangat senang
menerimanya. Ia bahkan menunjuk tanah miliknya yang
membentang dari Sumengka di selatan, Wanjang di utara,
Kamalagi di barat, dan Sasawo di timur untuk dibagikan kepada
siapa pun di antara masyarakat ummah yang berhak. Tanah seluas
200 jung (560 hektar) yang terletak di antara Kedung Peluk dan
Wayuwo, jalan masuk ke Tumapel, juga dihibahkan kepada Abdul
Jalil untuk dijadikan Dukuh Lemah Abang yang diharapkan dapat
menjadi pusat perkembangan tatanan baru di Majapahit.

Tidak cukup menyatakan dukungan dengan bukti pemberian tanah


hibah, Raden Kusen yang sedang terlibat perang dengan patih
Mahodara itu memutuskan untuk mengirim seribu prajurit pilihan
dari Terung ke Caruban Larang. Atas perkenan Raden Kusen,
puteri Menak Lampor yang bernama Tepasari dinikahkan dengan
Syarif Hidayatullah. “Mudah-mudahan dengan pernikahan ini
semua orang tahu bahwa baik Islam, baik Hindu, maupun Budha
di negeri ini sesungguhnya disatukan oleh satu ikatan darah, yaitu
darah Majapahit. Inilah ajaran yang aku pegang teguh dari guruku
yang mulia, Pangeran Ali Rahmatullah,” kata Raden Kusen.
1201
Ketika Abdul Jalil dengan dikawal tiga puluh prajurit pilihan
meninggalkan Kadipaten Terung dengan tujuan Daha untuk
menemui Nirartha, putera Rsi Punarjanma, ia saksikan
pemandangan yang sangat memilukan dari kehidupan penduduk
di sekitar Japan. Ketenteraman, keamanan, dan kemakmuran
yang dikisahkan menjadi bagian keagungan dan kemuliaan
Majapahit tidak lagi terlihat. Di sepanjang perjalanan ia hanya
menyaksikan ketakutan, kecurigaan, kecemasan, dan kekurangan
membayang di setiap mata penduduk yang menatap langit dengan
pandangan kosong tanpa harapan.

Saat melintasi reruntuhan bekas ibu kota Majapahit, Abdul Jalil


menyaksikan wajah kematian begitu mencekam di sela-sela
dinding baluwarti yang terguling. Dulu, barang dua windu silam,
kematian telah membentangkan sayap-sayapnya yang dikobari
api. Ya, dua windu silam, kematian berpesta-pora menyantap
daging dan menenggak darah penghuni ibu kota Majapahit. Tak
kenal orang tua, tak kenal anak, tak kenal bayi, semuanya saat itu
dimangsa dengan lahap oleh kematian. Sementara di tengah
genangan darah dan air mata itu, para pemenang mengibarkan
panji-panji dan umbul-umbul sambil menyanyikan lagu
kemenangan. Mereka menyoraki dan mengelu-elukan kematian
yang telah memberikan kemenangan bagi mereka.

Perang! Peperangan telah membawa manusia ke hamparan


lembah derita yang tak bertepi. Sepanjang hamparan derita itu
yang terlihat hanyalah tubuh-tubuh kurus dari manusia-manusia
tak berdaya yang harta dan makanannya terampas tangan-tangan
1202
perkasa tanpa belas kasih. Atau, mayat-mayat prajurit yang
bergelimpangan menebarkan anyir darah. Atau, pedang dan
tombak patah yang berserak di antara perisai dan anak panah.
Atau, kibaran sisa panji-panji yang berserpihan dilepoti darah
kering. Atau, bangkai kuda dan gajah yang bertumpuk di samping
bangkai manusia. Atau, burung-burung gagak dan serigala yang
berebut daging prajurit-prajurit yang terkapar tak bernyawa. Atau,
embusan angin berdebu yang menebarkan bau busuk mayat-
mayat membusuk. Atau, sisa-sisa reruntuhan bangunan yang
merana terbalut debu.

Pemandangan mengerikan yang disaksikan Abdul Jalil


menggetarkan jiwanya yang sedang dicekam oleh suasana
ketegangan di Caruban Larang. Apakah yang sedang terjadi di
sana sepeninggalnya? Apakah pasukan Galuh Pakuan sudah
menerobos masuk ke wilayah Caruban Larang? Apakah sudah
pecah pertempuran antara Caruban Larang dan Galuh Pakuan?
Apakah Talaga dan Rajagaluh tidak ikut-ikutan mengeroyok
Caruban Larang? Mampukah Sri Mangana menghadapi serangan
pasukan gabungan yang jumlahnya lima kali lipat pasukannya itu?

Dengan gemuruh tanda tanya yang bergumpal-gumpal memenuhi


kepalanya, Abdul Jalil membayangkan pemandangan
menyedihkan yang disaksikannya itu seolah-olah peristiwa yang
menimpa penduduk Caruban Larang. Ia saksikan tubuh prajurit-
prajurit yang berserpihan dagingnya akibat dimangsa anjing dan
burung gagak itu sebagai prajurit-prajurit Caruban Larang. Ia
bayangkan pedang-pedang yang patah dan berserakan itu adalah
1203
pedang prajurit-prajurit Caruban Larang yang kalah perang. Saat
ia saksikan anak-anak kecil dengan tubuh kurus dan perut buncit
menangis di depan halaman rumah, ia bayangkan seolah-olah
anak-anak di Caruban Larang yang menderita akibat peperangan.
Ah, akankah setiap perubahan mesti ditandai peperangan?

1204
SANG PEMBAHARU

PERJUANGAN DAN AJARAN


SYAIKH SITI JENAR

BUKU 5
AGUS SUNYOTO

Pengantar Redaksi

Daya tahan setiap pemikiran, ajaran, aliran, ideologi, peradaban,


dan semacamnya sangat ditentukan oleh seberapa besar
pemikiran tersebut dapat diterima di tengah masyarakat,
penguasa, dan komitmen para pengikutnya dalam menjaga
kelangsungan. Bila ketiga komponen tersebut tumbuh subur maka
akan menemukan masa kejayaan. Sebaliknya, bila salah satu dari
ketiga komponen tersebut tidak seiring maka akan mengalami
ketersendatan, keterpurukan, bahkan kepunahan.

Oleh karena itu, wajar bila sering kali terjadi sebuah pemikiran
pada satu zaman masyhur, namun pada zaman yang berbeda
mengalami keredupan, atau sebaliknya. Pada periode tertentu
dikutuk, pada saat yang lain dipuja habis-habisan. Dalam situasi
seperti ini kaum elit (masyarakat agamawan-penguasa-intelektual)
memegang peran yang sangat menentukan.

1205
Salah satu contoh peran signifikan kaum elit ini dapat disimak
dalam kasus yang menimpa Syaikh Siti Jenar. Dalam cerita-cerita
babad, ajaran-ajaran Syaikh Siti Jenar dianggap sebagai bid’ah,
menyimpang dari ajaran Islam. Oleh karena itu, melalui sidang
dewan Wali, Syaikh Siti Jenar dihukum mati. Polemik terjadi tatkala
kitab rujukan yang berbeda kita jajarkan. Katakanlah novel yang
ada di tangan pembaca ini kita jadikan rujukan.

Novel ini sangat menarik karena memberikan perspektif baru


dalam cara baca-pandang terhadap sejarah. Dengan merujuk
pada kitab-kitab versi Cirebon, novel ini mampu menghadirkan sisi-
sisi kemanusiaan Syaikh Siti Jenar. Novel ini mampu hadir tanpa
absurditas dan paradoksal. Tidak ada tragedi pengadilan oleh Wali
Songo, apalagi hingga putusan hukuman mati.

Pada buku kelima ini aroma konflik dan peperangan terasa kental.
Peperangan antara pihak yang menerima tatanan baru masyarakat
ummah dan pihak yang mempertahankan tatanan lama kawula-
gusti. Syaikh Siti Jenar pun mulai menuai kebencian dari orang-
orang yang merasa dirugikan akibat gagasan pembaharuan yang
dibawanya. Jerat fitnah itu berasal dari para darah biru dan pejabat
yang merasa kehilangan sumber pendapatan dengan
dihapuskannya sistem sewa tanah; amarah pemuka masyarakat
Campa akibat sikap keras Syaikh Siti Jenar dalam hal takhayul
yang tidak sesuai dengan syari’at, kebencian penduduk berjiwa
pengecut yang kehilangan ketentraman akibat perang; dendam

1206
kesumat dari Rsi Bungsu; kemarahan para dukun, jawara, jajadug,
serta pedagang jimat, haekal, dan jampi.

Namun demikian, Syaikh Siti Jenar telah dengan sadar


menetapkan dirinya sebagai tanah tempat berpijak. Tanah yang
boleh diperlakukan apa pun oleh penghuni yang berdiri tegak di
atasnya, termasuk sasaran caci maki yang paling keji sekalipun.

Di dalam buku ini juga pembaca dikenalkan dengan konsep


ketatanegaraan Majapahit Astabrata (Delapan Ajaran) dan
Nawasanga (Sembilan Perwujudan Syiwa) yang dipelajari Syaikh
Siti Jenar dari seorang pendeta Bhairawa. Lebih jauh, ia
mengajarkan “belajar mencintai mati”. Sebab, Kematian pada
dasarnya adalah Wajah lain dari Kehidupan.

1207
Wahdah al-Adyan

Ketika malam membentangkan selimut hitam di


atas permukaan bumi, kegelapan pun
mengembangkan sayap-sayapnya yang
sehitam bulu gagak. Di tengah kegelapan yang
menghitam, di antara ladang-ladang dan
hutan-hutan yang terhampar di negeri Daha,
terlihat bayangan sebuah padepokan kecil yang dibangun dari
bahan kayu dengan atap ijuk, yang letaknya tak jauh di barat
sebuah candi. Baik candi baik padepokan, di malam yang hitam itu
terlihat seperti bayangan hewan raksasa yang mendekam di
tengah kegelapan.

Padepokan itu terletak kira-kira empat atau lima pal dari candi,
berdiri di atas tanah shima (perdikan) milik candi, yang menurut
cerita adalah tanah milik Dang Acarya Tunglur, pemangku Candi
Surabhawana. Padepokan itu sendiri, menurut cerita, dibangun
oleh cucu buyut Dang Acarya Tunglur yang bernama Wiku Suta
Lokeswara, seorang guru agung para pendeta bhairawa di negeri
Daha. Di padepokan itulah para pendeta penganut ajaran
Bhairawapaksa – salah satu sekte dari madzhab Kalacakra yang
paling berpengaruh di Majapahit menuntut ilmu kepada Wiku Suta
Lokeswara.

Malam itu, di tengah kegelapan langit dan bumi, sang wiku terlihat
duduk di atas batu gilang yang terletak di halaman asrama. Di
1208
hadapannya para siswa duduk bersila menirukan sikap duduk sang
guru agung. Malam itu Wiku Suta Lokeswara akan memberikan
wejangan. Namun, baru berujar beberapa kata tiba-tiba salah
seorang siswa datang dan menyembah sambil berkata, “O Guru
Agung, hamba melaporkan bahwa serombongan tamu yang
mengaku dari Kadipaten Terung menunggu di luar padepokan.
Mereka ingin bertemu dengan Guru Agung. Bicara mereka sangat
aneh dan tidak hamba mengerti. Tetapi, satu orang yang bernama
Syaikh Lemah Abang berbicara tentang Rishi Purnajanma dan
Wahanten Girang. Hamba menduga mereka adalah orang
Wahanten Girang dan orang-orang Terung.”

Wiku Suta Lokeswara terdiam dan mengerutkan kening. Sejenak


setelah itu ia bangkit dan berjalan ke pintu pagar padepokan.
Sepanjang berjalan ia menduga-duga, salah seorang tamu tak
diundang itu mestilah orang asal Wahanten Girang yang
membawa berita tentang kakaknya, Rishi Punarjanma. Dan saat
bertemu dengan tamunya, yang tidak lain dan tidak bukan adalah
Abdul Jalil, dugaan sang wiku terbukti benar, sang tamu memang
membawa berita tentang kakak kandungnya.

“Ah rakanda Rishi, engkau telah mendahului kami,” kata Wiku Suta
Lokeswara menarik napas berat dengan mata berkaca-kaca, saat
mengetahui kakaknya telah pergi ke Syiwapada dengan kisah
yang begitu aneh.

1209
Kabar meninggalnya Rishi Purnajanma yang dibawa Abdul Jalil
memang menyulut tanda tanya besar dalam benak Wiku Suta
Lokeswara. Sebab, apa yang dikemukakan Abdul Jalil tentang
kematian kakaknya itu seperti dongeng yang tidak masuk akal.
Bagaimana mungkin seorang rishi meninggal di tanah suci milik
orang Islam? Bagaimana mungkin di tanah suci orang-orang Islam
yang suka mencela orang-orang Hindu sebagai pemuja berhala
ternyata terdapat lingga raksasa di atas bukit yang disucikan?
Bagaimana mungkin ada seseorang beragama Islam bersedia
dengan susah payah datang ke negeri Daha yang sedang dilanda
peperangan hanya untuk menyampaikan amanat seorang rishi?

Sekalipun gumpalan tanda tanya menumpuk di benak Wiku Suta


Lokeswara, ia sadar sangatlah tidak pantas mengemukakannya
kepada tamu yang telah bersusah payah menyampaikan kabar
duka tersebut. Itu sebabnya, selama menjamu Abdul Jalil dan
rombongan ia memulai pembicaraan dengan menuturkan tentang
keberadaan Rishi Purnajanma.

Kepada Abdul Jalil, Wiku Suta Lokeswara mengisahkan bahwa


kakaknya itu adalah pejabat keagamaan di Majapahit yang dikenal
dengan nama Mantri Herhaji Dang Acaryya Candralekha. Dia
dikenal sangat dekat dengan para maharaja Majapahit sejak
Hyang Purwawisesa hingga Prabu Adi-Suraprabhawa. Di dalam
tata praja Majapahit, mantri herhaji merupakan pejabat keagamaan
kerajaan yang mengawasi bangunan-bangunan suci para rishi
(dharma ipas karsyan). Jabatan mantri herhaji sendiri
kedudukannya setara dengan jabatan dharmadhyaksa ring
1210
Kasyaiwan dan dharmadhyaksa ring Kasogatan, sehingga sang
mantri herhaji pun dibantu oleh tujuh pejabat bawahannya yang
disebut saptopapatri, yaitu Tirwan, Kandamuhi, Panjang Jiwa,
Kandangan Atuha, Kandangan Raray, Lekan, dan Tanggar.

“Ketika terjadi kekacauan di ibukota yang mengakibatkan Sri Prabu


Adi-Suraprabhawa menyingkir dari Kedaton Wilwatikta, kakak kami
itulah yang mengiringkan sang maharaja hingga ke Daha. Ketika
Prabu Adi-Suraprabhawa mangkat, kakak kami itu menolak
kepemimpinan Prabu Kretabhumi yang dianggapnya
pemberontak. Dia kemudian mengabdi kepada Dyah Ranawijaya,
putera mahkota Sri Prabu Adi-Suraprabhawa. Sebagai risiko dari
penolakannya itu, dia kehilangan jabatan mantri herhaji Majapahit.
Tetapi saat Dyah Ranawijaya dengan pasukan Daha
menghancurleburkan kutaraja Majapahit tanpa sisa, kakak kami
sangat kecewa. Dia kemudian meninggalkan Bumi Majapahit
setelah menitipkan puteranya, Nirartha, kepada kami. Dan kabar
terakhir, kami dengar dia tinggal di Wahanten Girang. Di sana dia
menjadi guru sekaligus pemimpin Rsigana Domas di Gunung
Pulasari, yaitu sthana Syiwa di Jawadwipa,” ujar Wiku Suta
Lokeswara.

Abdul Jalil tercenung lama. Ia sungguh tak mengira, rishi tua yang
memiliki kisah hidup menakjubkan itu adalah pejabat tinggi
keagamaan di Majapahit. Namun, dengan kenyataan itu Abdul Jalil
pun akhirnya memahami kenapa Rishi Purnajanma begitu
dihormati oleh para Rsigana Domas. Rupanya, pengetahuan dan
wawasan sang rishi yang jauh melebihi para anggota Rsigana
1211
Domas lain itu karena latar belakangnya sebagai pejabat tinggi
Majapahit.

Ketika perbincangan makin akrab, Abdul Jalil menuturkan


keberadaan dirinya sebagai putra Sri Mangana, ratu Caruban
Larang. Wiku Suta Lokeswara pun merasa keheranan. Sebab
menurut sang wiku, Sri Mangana yang memiliki nama
Walangsungsang itu adalah anggota persaudaraan antarksetra.
“Sungguh kami terkejut dan heran jika saudara kami itu telah
memeluk Islam dan sudah naik haji pula. Sungguh aneh kejadian
ini. Semua orang ramai masuk Islam dan menjadi haji,” ujar Wiku
Suta Lokeswara.

Melihat sang wiku terheran-heran, Abdul Jalil malah


menambahkan jika ayahanda asuhnya sedang membangun
tatanan baru kehidupan yang berbeda dengan tatanan lama.
Sebuah tatanan kehidupan manusia yang sederajat sebagaimana
tatanan yang didambakan oleh para penganut ajaran bhairawa.
Namun akibat usahanya itu, ungkap Abdul Jalil, keberadaan Sri
Mangana saat ini menjadi terancam. Seluruh penguasa Bumi
Pasundan marah bahkan memusuhi dan menginginkan kematian
Sri Mangana.

Mendengar kabar Sri Mangana terancam, Wiku Suta Lokeswara


tiba-tiba merah wajahnya. Tanpa diminta ia menyatakan kesediaan
untuk berangkat ke Caruban Larang demi membela saudaranya
tersebut. “Hidup atau mati, kami adalah bersaudara. Baik atau
1212
buruk, kami juga bersaudara. Jika darahnya tumpah maka darahku
pun harus tumpah pula,” kata Wiku Suta Lokeswara seolah-olah
kepada dirinya sendiri.

Mendengar tekad Wiku Suta Lokeswara untuk membela Sri


Mangana, Abdul Jalil tercekat kaget. Ia tidak menduga jika ikatan
persaudaraan antarksetra yang pernah diungkapkan ibunda
asuhnya, Nyi Indang Geulis, terbukti melebihi dugaannya. Dan
tanpa sadar ingatan Abdul Jalil melayang kepada ibunda asuhnya
yang sedang berkeliling ke berbagai ksetra di Bumi Pasundan
maupun Nusa Jawa. Ia dapat mengira-ngira ibundanya itu pastilah
tidak akan menemui banyak kesulitan untuk memperoleh
dukungan dari para penguasa ksetra yang begitu kuat rasa
persaudaraannya.

Setelah membayangkan besarnya dukungan yang bakal diperoleh


dari ksetra-ksetra, Abdul Jalil menarik napas panjang dan
menggeleng-gelengkan kepala sambil menggumam dalam hati,
“Ya Allah, bantuan yang hamba harapkan datang dari saudara-
saudara hamba seagama seperti Sayyid Habibullah al-Mu’aththal
untuk mendukung perjuangan mulia ini ternyata Engkau gagalkan.
Sebaliknya, dukungan kuat justru hamba terima dari orang-orang
yang paling tidak hamba sukai, yaitu para peminum darah dan
pemangsa manusia. Tetapi, apa yang terjadi ini sesungguhnya
bergantung mutlak pada kehendak-Mu. Engkau Zat Yang Maha
Berkuasa, Maha Mengatur, dan Maha Menentukan segala-
galanya. Sesungguhnya, apa yang hamba anggap buruk, belum

1213
tentu buruk. Sedang apa yang Engkau anggap baik, pastilah itu
yang terbaik.”

Setelah berkisah cukup lama tentang berbagai hal, termasuk


kepergian ibunda asuhnya ke berbagai ksetra untuk mencari
dukungan membangun tatanan masyarakat ummah, Abdul Jalil
bertanya, “Dimanakah putera Rishi Purnajanma yang bernama
Nirartha? Sebab, kami harus menyampaikan pesan khusus
ayahandanya kepadanya.”

“Dia baru sepekan ini kembali dari Gelgel di Balidwipa. Dia


berencana akan membawa istri dan putera-puteranya ke
Balidwipa,” kata Wiku Suta Lokeswara.

“Apakah Paduka Wiku memiliki keluarga di Balidwipa?”

“O tidak. Dia pergi ke Balidwipa barang empat tahun silam ketika


terjadi perang kedua antara Yang Mulia Adipati Terung dan Patih
Mahodara. Hal itu dilakukannya demi menghindari usaha sang
patih untuk melibatkan padepokan ini dalam peperangan dengan
Terung. Dia bercerita kalau kehadirannya di Balidwipa sudah bisa
diterima oleh Dalem Waturenggong, Yang Dipertuan Gelgel.
Tetapi, bagaimana enaknya hidup di rantau, dia tetap tidak bisa
melupakan istri-istri dan anak-anaknya di Daha.”

1214
“Ah, kami ingin sekali bertemu dengannya,” kata Abdul Jalil.

“Biar nanti dia dipanggil kemari,” kata Wiku Suta Lokeswara


memerintahkan seorang siswa untuk memanggil Nirartha.

Selama menunggu kehadiran Nirartha, Wiku Suta Lokeswara


akhirnya tidak dapat menahan gejolak jiwanya untuk tidak
menanyakan hal kematian kakaknya yang aneh itu. Ia
menanyakan ini dan itu kepada Abdul Jalil. “Penjelasan Tuan
Syaikh sungguh mengherankan saya. Bagaimana mungkin orang-
orang Islam mencela dan mengutuk orang-orang Hindu dan Budha
sebagai pemuja berhala jika ternyata di negeri asal mereka itu ada
pemujaan terhadap lingga? Padahal, selama ini yang kami pahami,
orang-orang Islam menyembah kuburan pendeta agungnya yang
bernama Muhammad di negeri Arab. Ini sungguh aneh dan
membingungkan,” ujar Wiku Suta Lokeswara.

Abdul Jalil tersenyum. Kemudian dengan berpegang pada prinsip


dakwah yang menetapkan bahwa ia harus berbicara kepada suatu
kaum sesuai bahasa dan pemahamannya, maka ia pun berkata,
“Sesungguhnya, antara ajaran Islam dan Syiwa-Budha tidak ada
beda dalam hakikat. Hanya nama-nama, bahasa, serta tatanan
yang ada pada keduanya yang berbeda. Sebab, sesungguhnya
semua ajaran agama adalah satu dalam hakikat (wahdah al-
adyan). Jika kita kaji dan renungkan secara benar apa yang disebut
dengan ‘Yang Mahabaik dan Pangkal Keselamatan’ di dalam
keyakinan Syiwa-Budha, sejatinya tidaklah berbeda dengan apa
1215
yang disebut Allah ‘Yang Mahabaik (al-Jamal al-Kamal) dan
‘Pangkal Keselamatan (as-Salam)’ di dalam Islam.”

“Jika Syiwa sebagai pangkal penciptaan makhluk yang dicipta-Nya


disebut dengan nama Brahma, maka Allah sebagai pangkal
penciptaan makhluk yang dicipta-Nya disebut dengan nama al-
Khaliq. Syiwa sebagai penguasa makhluk disebut Prajapati, Allah
sebagai penguasa makhluk disebut al-Malik al-Mulki. Jika Syiwa
sebagai penguasa Iblis disebut Bhutaswara maka Allah pun
sebagai penguasa Iblis disebut al-Mudhill. Syiwa sebagai Yang
Maha Pemurah dan Maha Pengasih disebut Sankara, Allah
sebagai Yang Maha Pemurah dan Maha Pengasih disebut ar-
Rahman ar-Rahim.”

“Sesungguhnya, lambang-lambang lingga yang dijadikan pratima


(sarana bantu) bagi pemujaan terhadap Syiwa tidaklah berbeda
dengan Ka’bah batu yang dijadikan kiblat oleh orang-orang Islam
di dalam menyembah Allah. Baik Syiwalingga maupun Ka’bah
adalah lambang yang menyelubungi rahasia keberadaan-Nya.
Sebab, baik Syiwa maupun Allah, pada hakikat-Nya adalah Dia;
Yang Ilahi, Yang Mahatunggal, Yang Tak Terjangkau Akal, dan
Yang Tak Tersentuh Indera, yaitu Dia; yang memiliki sifat Bhawo
(Wujud), Na Jayate (Tak Dilahirkan), Nitya (Kekal), Saswato
(Abadi), Purano (Yang Awal), Satah (Riil), Awinasi (Tak
Termusnahkan), Widhi (Mahatahu), Aprameyasya (Tidak
Terbatas), Sarwagatah (Mahaada), Sthanur (Tidak Berubah),
Acintya (Tidak Terpikirkan), Awyakta (Tidak Terbandingkan).”

1216
“Jadi, dengan memahami bahwa keberadaan Ka’bah bagi orang-
orang Islam adalah tidak berbeda dengan keberadaan Lingga bagi
orang-orang Hindu, yakni sebagai lambang pemujaan kepada
Yang Mutlak, maka kami katakan, sangatlah tidak benar jika ada
yang menganggap orang-orang Islam adalah penyembah kuburan
pendeta agungnya yang bernama Muhammad Saw.. Sebab,
orang-orang Islam jika bersembahyang menghadap ke arah
Ka’bah, bukan ke arah makam Nabi Muhammad Saw.. Bahkan jika
dihitung dengan ukuran, jarak antara makam Nabi Muhammad
Saw. di kota Yatsrib dan Ka’bah di kota Makah jauhnya hampir
empat ratus yojana.”

“Kami berani mengatakan kepada Paduka Wiku bahwa


sebenarnya tiap-tiap pertentangan dalam masalah agama
sejatinya berpangkal pada ketidaktahuan masing-masing pengikut
agama terhadap hakikat Yang Ilahi dan alam ciptaan-Nya beserta
peraturan-peraturan yang ditetapkan-Nya. Orang Islam mencela
Syiwa-Budha, itu disebabkan mereka tidak mengetahui bahwa di
dalam Syiwa-Budha pun terdapat ajaran rahasia adwayasastra
(ilmu tauhid) yang mengesakan Tuhan. Orang-orang Islam awam
banyak yang tidak mengetahui bahwa di antara umat Hindu
terdapat orang-orang ahli tauhid, seperti Rishi Purnajanma dan
Paduka Wiku, yaitu mereka yang tidak lagi menggunakan pratima
dalam memuja-Nya, yakni orang-orang yang mengenal Syiwa
melalui Kulatattwa. Orang-orang Islam awam juga banyak yang
tidak menyadari jika dengan bersembahyang menghadap ke
Ka’bah, sesungguhnya mereka menggunakan pratima
sebagaimana penganut Syiwa-Budha menggunakan lingga.”

1217
“Sementara itu, umat Hindu awam yang mencela Islam sebagai
agama pemuja kuburan pun sebenarnya berpangkal dari
ketidaktahuan mereka tentang hakikat ajaran Islam yang
sempurna. Mereka tidak mengetahui bahwa kiblat umat Islam
bukan kuburan Nabi Muhammad Saw., melainkan Ka’bah, yakni
pratima yang disebut Rumah Tuhan (Baitullah) yang terletak di kota
Makah. Yang membedakan Ka’bah dan Syiwalinnga adalah
pratima Ka’bah itu merupakan satu kiblat pemujaan umat Islam di
seluruh dunia, sedangkan Syiwalingga berada di berbagai tempat
di mana orang bisa memuja-Nya. Dan sejatinya, baik Ka’bah
maupun Syiwalingga adalah pratima, yakni lambang Yang Ilahi
dalam bentuk batu.”

“Ah, jika saja orang-orang Islam seperti Tuan Syaikh, pastilah


agama itu akan mudah diikuti oleh orang-orang Majapahit,” ujar
Wiku Suta Lokeswara sembari menuturkan suatu rangkaian
kekacauan yang pernah terjadi di pedalaman Daha akibat tindak
kekerasan yang dilakukan orang-orang Islam. Barang tiga windu
silam, ungkap sang wiku, putera bupati Surabaya yang bernama
Raden Mahdum Ibrahim pernah mengacau kehidupan di Daha. Dia
menyiarkan Islam dari barat sungai, tepatnya di Thani Singkal yang
masuk ke dalam Wisaya Urawan. Dia dan pengikutnya tidak
sekadar mencela dan mencaci maki penduduk yang dianggapnya
memuja berhala, tetapi merusakkan pula arca-arca dengan kapak
dan memporakporandakan ksetra-ksetra.

Saat itu, ungkap Wiku Suta Lokeswara, penduduk dan pejabat


keagamaan di Daha serba susah. Mau dilawan, namun dia adalah
1218
putera Pangeran Ampel Denta, yang tidak lain adalah kerabat
maharaja Majapahit. Jika tidak dilawan, keyakinan penduduk
dirusakbinasakan. Namun, keadaan itu mulai mereda ketika terjadi
pertempuran antara Raden Mahdum Ibrahim dan Nyi Pluncing,
seorang Bhairawi (bhairawa perempuan) asal Wisaya Siman.
Dalam pertempuran itu Raden Mahdum Ibrahim terluka parah,
namun Nyi Pluncing tewas terbunuh. “Untuk meredam keadaan di
pedalaman, Sri Prabu Adi-Suraprabhawa kemudian mengangkat
Raden Mahdum Ibrahim sebagai adipati Lasem. Meski keadaan di
Daha sudah tenteram kembali, sejak saat itu hampir semua
penduduk di negeri Daha menganggap Islam sebagai ajaran yang
suka mencela, mencaci maki, menghina, dan merusak agama
lain.”

“Ah, sesungguhnya hal itu dilakukan Raden Mahdum Ibrahim


karena dorongan masa muda yang berkobar-kobar. Kira-kira tiga
pekan silam kami bertemu dia di Surabaya. Dia sudah banyak
berubah. Dia menjadi orang tua yang sangat bijak dan memiliki
wawasan yang luas, sehingga dia dengan mudah dapat menerima
gagasan kami tentang masyarakat ummah yang menghargai
keragaman. Mungkin peristiwa masa mudanya di Daha telah
menjadi pelajaran berharga bagi langkah-langkah hidupnya
kemudian,” kata Abdul Jalil.

“Tapi benarkah dia tidak menikah sampai sekarang?” tanya Wiku


Suta Lokeswara.

1219
“Tentang itu kami tidak tahu. Kami bertemu sangat singkat di
Surabaya. Tetapi yang kami dengar, dia memang tidak memiliki
istri. Tapi dia memiliki puteri angkat,” kata Abdul Jalil.

“Kami menduga Raden Mahdum Ibrahim terluka sangat parah saat


bertempur dengan Nyi Pluncing,” kata Wiku Suta Lokeswara,
“sebab Nyi Pluncing itu bhairawi yang sangat ahli dalam
menggunakan berjenis-jenis racun.” “

Kami pernah diberi tahu oleh Tuan Abdurrahman Tan King Ham,
saudagar Cina di kutaraja Majapahit, bahwa di dalam ajaran Islam
sebenarnya dikenal juga tentang loka-loka dari tiga dunia yang
mirip dengan ajaran Syiwa-Budha tentang Bhur Bhuwa Swa. Yang
membedakan adalah orang-orang Islam meyakini bahwa
kehidupan si swarga dan neraka itu kekal abadi. Sedang, menurut
Syiwa-Budha, yang abadi hanya Brahman. Swarga dan neraka
akan hancur karena keduanya adalah ciptaan. Keduanya bersifat
maya,” kata Wiku Suta Lokeswara.

“Sesungguhnya, menurut ajaran Islam pun, swarga dan neraka itu


tidaklah kekal. Yang menganggap kekal swarga dan neraka itu
adalah kalangan awam. Sesungguhnya mereka berdua itu hanya
makhluk ciptaan. Jadi, keduanya wajib rusak dan binasa. Hanya
Allah, Zat Yang Wajib Abadi, Kekal, Langgeng, dan Azali,” kata
Abdul Jalil.

1220
“Apakah di dalam ajaran Islam yang disebut swarga itu juga
bertingkat-tingkat seperti yang diyakini oleh kalangan kami, yaitu
ada Bhurloka, Bhuwarloka, Swarloka, Maharloka, Janarloka,
Tapoloka, dan Satyaloka?”

“Sesungguhnya tempat kebahagiaan dan kemuliaan yang disebut


swarga oleh orang-orang Hindu-Budha, di dalam Islam disebut
dengan nama Jannah (Taman), yang bermakna tempat sangat
menyenangkan yang di dalamnya hanya terdapat kebahagiaan
dan kegembiraan. Hampir mirip dengan swarga yang dikenal di
dalam Syiwa-Budha, di dalam Islam dikenal ada tujuh surga besar
yang disebut ‘Ala ‘Iliyyin, al-Firdaus, al-‘Adn, an-Na’im, al-Khuld, al-
Ma’wah, Darussalam. Di surga-surga itulah arwah orang-orang
yang baik ditempatkan sesuai amal ibadahnya selama hidup di
dunia.”

“Sementara itu, tidak berbeda dengan ajaran Syiwa-Budha yang


meyakini adanya Alam Bawah, yaitu neraka yang bertingkat-
tingkat dan jumlahnya sebanyak jenis siksaan, Islam pun
mengajarkan demikian. Jika di dalam ajaran Syiwa-Budha dikenal
ada tujuh neraka besar, yaitu Sutala, Witala, Talatala, Mahatala,
Rasatala, Atala, dan Patala, maka di dalam ajaran Islam pun
dikenal tujuh neraka besar yang disebut Jahannam, Huthamah,
Hawiyyah, Saqar, Jahim, dan Wail. Bahkan sebagaimana
kenyataan yang ada di dalam agama Hindu, di dalam agama Islam
pun masalah swarga dan neraka adalah masalah yang selalu
menjadi bahasan utama kalangan awam. Sehingga, mereka salig
berebut pengakuan sebagai yang paling benar dan paling berhak
1221
menghuni swarga. Orang-orang bertentangan dengan mereka
dianggap sebagai calon penghuni neraka,” kata Abdul Jalil.

“Kata Tuan Abdurrahman Tan King Ham, orang-orang Islam pun


sama seperti pengikut Syiwa-Budha dalam mempercayai hari
kebinasaan alam semesta yang disebut kiamat. Benarkah itu?”
tanya Wiku Suta Lokeswara.

“Itu benar adanya. Yang membedakan hanya nama. Jika orang


Islam menyebut hari kehancuran semesta itu dengan nama hari
akhir (yaum al-akhir) atau di kalangan awam disebut Hari Kiamat
(yaum al-qiyamah), maka di kalangan penganut Syiwa-Budha
disebut Pralaya (kehancuran semesta) yang terjadi pada zaman
akhir (kaliyuga).”

“Jika memang banyak persamaan antara Islam dan ajaran Syiwa-


Budha,” kata Wiku Suta Lokeswara, “kenapa orang harus
berselisih?”

“Sesungguhnya semua agama adalah sama dalam hakikat, yaitu


berisi tatanan yang mengatur kehidupan makhluk terhadap
sesamanya dan terhadap Penciptanya. Semua agama yang benar
pasti berisi ajaran penyembahan kepada Tuhan, Sang Pencipta.
Semua agama yang benar pasti berdiri di atas landasan Hukum
Suci yang berdasarkan moral demi terjaganya keseimbangan di
dunia. Tetapi, hal itu tidak berarti bahwa semua agama adalah
1222
sama, sebangun, sewarna, dan secitra. Keragaman agama-agama
justru merupakan keniscayaan dari kesempurnaan-Nya sebagai
Sang Pencipta yang wajib disembah oleh segala bangsa dan
segala agama, bahkan oleh segala makhluk di alam semesta yang
tak terhitung ragamnya,” kata Abdul Jalil.

“Jika demikian, apakah yang merupakan perbedaan mendasar


antara Islam dan Syiwa-Budha?” tanya Wiku Suta Lokeswara.

“Kalau tidak salah, perbedaan keduanya terletak pada pemujaan


terhadap pengejawantahan Tuhan. Jika di dalam Syiwa-Budha
tidak ada pembedaan dalam pemujaan terhadap Tuhan dalam
manifestasi Mahadewa, Mahaguru, Mahakala, Sankara, Sambho,
Chandrasekhara, Bhirawa, Putikecwara, Bhutaswara, Rudra, dan
Mrtyunjaya, maka di dalam Islam pemujaan terhadap Tuhan
dipilahkan secara tegas melalui Hukum Suci yang disebut syari’at.
Di dalam Islam, misalnya, Tuhan dipuja dan dusembahsujudi
sebagai manifestasi Yang Mahabaik, Maha Pemurah, Mahakasih,
Maha Penyelamat, Mahaagung, Mahasuci, dan Maha segala yang
baik dan sempurna. Tidak ada ajaran Islam yang memberi petunjuk
untuk memuja Dia Yang Maha Menyesatkan (al-Mudhill).”

“Lantaran keniscayaan Islam seperti itu maka tidak dikenal adanya


ajaran korban-korban berwujud manusia seperti dikenal dalam
ajaran Bhairawa-Tantra. Sebab, bagi hukum Islam, sungguh
merupakan hal yang bertentangan dengan kodrat dan akal sehat
manusia jika sebuah ‘jalan kebebasan’ menuju Yang Ilahi untuk
1223
melepas keakuan dilakukan dengan cara mengorbankan keakuan
orang lain. Meski demikian, di dalam Islam tetap ada korban darah,
yakni korban sembelihan berupa hewan peliharaan domba, yang
dagingnya didermakan kepada orang-orang fakir dan miskin yang
membutuhkan.”

“Apakah itu berarti Islam lebih benar dibanding Syiwa-Budha?”

“Sesungguhnya tidak ada hal yang keliru dalam ajaran suatu


agama. Tidak ada agama yang keliru dalam pandangan Tuhan.
Yang membedakan agama satu dengan agama yang lain adalah
zaman di mana bagian-bagian dari ajaran sebuah agama bisa
dijalankan dan kapan bagian-bagian tersebut tidak dapat
dijalankan. Maksudnya, ajaran Bhairawa-Tantra yang merupakan
bagian dari ajaran Syiwa-Budha yang paduka Wiku jalankan saat
ini tidak akan lagi bisa dipertahankan untuk masa yang akan
datang. Kenapa demikian? Sebab, ajaran Bhairawa-Tantra pada
masa datang akan dijadikan bahan ejekan dan cercaan oleh orang-
orang. Bahkan, ajaran Pancamakara bisa dianggap melanggar
hukum. Sebab, pada masa datang orang-orang dari berbagai
belahan dunia dengan agama-agama mereka pasti datang ke
Bumi Majapahit. Mereka pasti akan menilai ajaran Bhairawa-
Tantra sebagai ajaran aneh dan mengerikan yang bertentangan
dengan rasa keadilan,” kata Abdul Jalil.

“Apakah orang-orang dari belahan dunia lain itu orang-orang Islam


seperti Raden Makhdum Ibrahim?”
1224
“Tentu saja tidak, o Paduka Wiku,” kata Abdul Jalil. “Mereka ada
yang datang dari negeri-negeri Barat dengan membawa agamanya
yang sangat berbeda dengan Syiwa-Budha. Mereka ada yang
beragama Nasrani, Yahudi, dan Islam. Mereka semua pasti
menolak upacara korban manusia. Mereka akan datang ke Bumi
Majapahit ini dengan jumlah yang tidak bisa dihitung dengan jari.
Mereka akan berdatangan bagaikan daun-daun kering ditiup angin.
Mereka datang beriap-riap memenuhi permukaan Bumi
Majapahit.”

“Apakah itu berarti Syiwa tidak akan dipuja lagi di dunia?”

“Syiwa tetap akan dipuja sepanjang zaman sampai akhir dunia.


Tetapi, pada masa mendatang Dia akan dipuja dengan ‘Wajah’
yang lain. Pada saat kami berada di pedalaman Bumi Pasundan,
kami telah menyaksikan ‘penampakan gaib’ yang menunjukkan
bahwa Islam di Nusa Jawa dan Bumi Pasundan akan
menggantikan ajaran Syiwa-Budha. Maksudnya, dalam
‘penampakan gaib’ itu Syiwa sendiri telah berkenan memalingkan
wajah-Nya yang menyeramkan sebagai Rudra, Bhirawa,
Bhutaswara, Putikecwara, dan Mahakala, kemudian
menampakkan wajah-Nya yang indah sempurna dan penuh welas
asih, yaitu sebagai Mahadewa Yang Bermahkota Rembulan
(Chandrasekhara), Yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang
(Sankhara), dan Sang Mahaguru (Bintang Agastya).”

1225
“Dengan demikian, terlebih dahulu kami beri tahukan hendaknya
Paduka Wiku nanti tidak terkejut jika kelak melihat orang-orang
Islam mengibarkan panji-panji berlambang bulan sabit dengan
bintang di atasnya. Sebab, sesungguhnya itulah lambang-lambang
keagungan Sang Chandrasekhara, Sankara, dan Agastya. Itulah
lambang ardachandra, nada, dan windu yang membentuk kata suci
OM. Jika nanti Paduka Wiku menyaksikan juga panji-panji
bergambar Trisula bercadik (tulisan Allah dalam huruf Arab)
dikibarkan orang-orang Islam, maka itulah penampakan lambang
Syiwa, Mahadewa Yang Bersenjata Trisula. Jika Paduka Wiku
kelak menyaksikan orang-orang Islam mengibarkan lambang
harimau Ali (kaligrafi mirip harimau), maka itulah lambang
penampakan pakaian Syiwa yang terbuat dari kulit harimau.
Bahkan, jika Paduka Wiku menyaksikan orang-orang Islam ke
mana-mana membawa aksamala (biji tasbih), maka mereka itu
sejatinya menampakkan lambang atribut Syiwa,” ujar Abdul Jalil.

“Ah, aku sekarang mulai paham,” kata Wiku Suta Lokeswara.


“Rupanya, kakakku itu meninggal saat melakukan ibadah haji
karena dia sebelumnya sudah mendapat perlambang dengan
menduduki jabatan mantri herhaji. Bukankah demikian makna
rahasia di balik kematian kakak kami?”

Mendengar komentar Wiku Suta Lokeswara, Abdul Jalil tercekat.


Ia mulai menangkap gejala buruk dari kerangka berpikir otak-atik
mathuk dari sang wiku, yang mengaitkan jabatan mantri herhaji
dengan ibadah haji. Abdul Jalil makin tertegun-tegun ketika sang
wiku menganggap agama Islam sesungguhnya ajaran yang
1226
diperuntukkan bagi para raja (Jawa Kuno, Haji: raja), terbukti
dengan masuk Islamnya Prabu Kertawijaya dan para raja muda
(adipati) di pesisir. “Rupanya, Yang Mulia Prabu Kertawijaya dan
para adipati di pesisir sudah mengetahui perubahan itu daripada
kami, yang tinggal di pedalaman,” kata Wiku Suta Lokeswara.

“Sesungguhnya, yang disebut Islam tidaklah seperti itu, o Paduka


Wiku,” kata Abdul Jalil menjelaskan. Ia kemudian memaparkan
bahwa di dalam ajaran Islam tidak dikenal perbedaan derajat dan
kedudukan manusia sebagaimana yang dikenal di dalam tatanan
Hindu. Ajaran Islam justru lebih mirip tatanan Syiwa-Budha yang
tak mengenal kasta. “Di dalam Islam, perbedaan derajat dan
kedudukan manusia di depan Tuhan bukan didasarkan atas
keturunan, pangkat, kedudukan, dan kekayaan, tetapi oleh
ketakwaan, yakni kedekatan orang-seorang terhadap Tuhan. Jadi,
seperti ajaran Syiwa-Budha, jalan pembebasan dalam Islam dapat
dicapai oleh siapa saja di antara manusia tanpa memandang tinggi
dan rendahnya kasta seseorang,” ujar Abdul Jalil.

Nirartha, putera Rishi Purnajanma, adalah laki-laki muda berusia


sekitar dua puluh lima tahun. Perawakannya yang tinggi semampai
dengan kulit kuning bersih menunjukkan asal-usul leluhurnya
bukanlah orang kebanyakan. Kepalanya yang besar dengan
kening lebar mencerminkan kecerdasan para cerdik cendikia.
Matanya bulat lebar dan bening memancarkan kebijaksanaan para
brahmana. Alisnya yang tinggi adalah alis para raja agung dan
berwibawa. Bentuk rahangnya yang kukuh menyimpan keteguhan

1227
jiwa dan cermin keberpantangan untuk menyerah dalam
menghadapi tantangan seberat apa pun.

Kesan itu tidakklah berlebihan. Saat Nirartha melakukan


pertukaran pikiran dan menyauk Kebenaran Sejati dari Abdul Jalil,
terbentanglah kenyataan tentang betapa cerdas dan mudah putera
Rishi Purnajanma itu dalam memahami sesuatu. Meski sejak kecil
dia tinggal di pedalaman, saat diajak oleh Abdul Jalil untuk
memperbincangkan gagasan dan pemikiran yang lazim dijadikan
pokok bahasan oleh cendikiawan Baghdad, terbukti dia dapat
menerima dan memahaminya tanpa kesulitan. Dalam waktu
singkat ia sudah dapat memahami gagasan dan pemikiran besar
yang disampaikan Abdul Jalil.

Nirartha yang sejak pergi ke Balidwipa hingga menginjakkan kaki


kembali ke Daha masih seorang Nirartha yang berwawasan
pedalaman sempit, dalam hitungan hari ternyata sudah
tercerahkan oleh matahari kesadaran yang dipancarkan Abdul
Jalil. Dia mendadak sadar betapa bangsa Majapahit yang
dibanggakannya itu sesungguhnya sedang sekarat akibat
mengikuti nilai-nilai yang sudah tidak sesuai dengan zaman. Ia
sadar betapa sejak perbatasan Kadipaten Pasir di barat hingga
kerajaan Blambangan di timur, raksasa Majapahit sesungguhnya
sedang mengerang kesakitan menunggu ajal. Ibarat orang sedang
terserang kusta, keperkasaan Majapahit digerogoti borok-borok
busuk yang mengerikan. Ya, raksasa Majapahit sedang sekarat
menunggu ajal. Tubuhnya yang perkasa sedang terlepas satu
persatu diganyang borok-borok kusta yang mengerikan.
1228
Nilai-nilai! Ya, nilai-nilai yang menjadi pegangan dan kebanggaan
wangsa-wangsa Majapahit selama ratusan tahun kini berubah
menjadi senjata dahsyat yang bakal memangsa tuannya.
Keagungan, kemuliaan, keberanian, keperkasaan, kemenangan,
kebanggaan, penaklukan, dan ketidakbersalahan yang menjadi
sendi-sendi utama nilai-nilai di Majapahit telah menjadi Yamastra
(senjata Yama, Sang Pencabut Nyawa) yang berhamburan
laksana hujan dari langit dan menghujam dengan ganas ke tubuh
para pemujanya. Anehnya, orang-orang yang sedang mabuk
dengan nilai-nilai itu tidak ada yang sadar bahwa mereka
sebenarnya sedang berbaris-baris di depan Sang Maut, menunggu
disembelih para Yamakingkara, pasukan penjagal, yang
membantu Yama mencabut nyawa.

Memang, selama ratusan tahun nilai-nilai keagungan dan


penaklukan yang dianut di Majapahit telah membawa wangsa-
wangsa pada kebesaran dan keagungan. Ya, kebanggaan
terhadap sifat adhigana (paling unggul), adhigung (paling agung),
adhiguna (paling hebat), rajas (nafsu syahwat yang berkobar-
kobar), jaya (penaklukan), niratisaya (tak tertanding), dan nirbhaya
(tak kenal takut) memang telah membawa Majapahit ke puncak
kebesaran. Dengan sifat-sifat yang dibanggakannya itu, manusia-
manusia Majapahit telah berhasil menaklukkan manusia-manusia
di sekitarnya dan menjadikan manusia taklukan itu sebagai budak.
Ya, dengan nilai-nilai itu Majapahit telah menjadi kekaisaran besar
yang membentang di tujuh samudra dan tujuh benua; dari Lamuri
di barat hingga Wwanin di timur dan Solor di utara. Tiap-tiap
bangsa harus tunduk di bawah kuasanya.

1229
Kenapa nilai-nilai yang bersumber dari kebanggaan akan sifat-sifat
keagungan dan penaklukan itu bisa membawa Majapahit pada
kebesaran dan keagungan? Sesungguhnya, nilai-nilai itu menjadi
daya hidup yang kuat ketika berada di tangan para pemimpin yang
lahir dari antara manusia-manusia unggul. Para pemimpin yang
memiliki wawasan luas, pandangan jauh ke depan, dan dapat
mempersatukan seluruh kekuatan wangsa-wangsa yang terbentuk
atas nilai-nilai keagungan dan penaklukan. Para manusia unggul
itulah yang di dalam sejarah dikenal dengan nama Sri Prabu
Kertanegara, Sri Prabu Kertarajasa Jayawarddhana, Sri Prabu
Tribhuwanatunggadewi, Sri Prabu Rajasanagara, Sri Prabu
Wikramawarddhana, dan terakhir Sri Prabu Kertawijaya.

Ketika tidak lagi lahir pemimpin-pemimpin unggul di antara


wangsa-wangsa Majapahit, jatuhlah seluruh bangunan keagungan
dan kemegahannya. Sebab, para pemuka wangsa tidak lagi
bersatu, saling merasa diri sebagai penguasa yang paling berhak
memimpin wangsa lain dengan mengatasnamakan Majapahit. Dan
muara dari kecenderungan itu adalah pecahlah pertempuran antar
wangsa. Wangsa satu dengan wangsa yang lain sama-sama
bernafsu untuk berkuasa dengan cara penundukan dan
penaklukan.

Nilai-nilai yang dibangga-banggakan Majapahit terbukti telah


berubah menjadi senjata pembunuh mengerikan. Para pemuka
wangsa yang entah bodoh, entah lemah, entah picik, entah tidak
bercermin diri, dengan kepercayaan diri berlebih berdiri di atas
bukit ambisi sambil berteriak lantang: “Akulah putera terbaik
1230
wangsa-wangsa Majapahit yang paling unggul, paling agung,
paling hebat, paling tak tertandingi, paling tak kenal rasa takut,
sang pemilik sifat rajas, dan sang penakluk yang berkemenangan.
Aku lahir sebagai penakluk besar. Karena itu, takluklah kalian
semua, o wangsa-wangsa rendah, di bawah kaki serojaku.”

Nirartha sadar apa yang dikemukakan Syaikh Lemah Abang


adalah benar adanya. Betapa sudah waktunya nilai-nilai
keagungan dan penaklukan yang dibanggakan wangsa-wangsa
Majapahit harus diakhiri dengan cara melahirkan tatanan nilai-nilai
baru. Bukti sejarah menunjuk, betapa para pemuka wangsa yang
mengikuti nilai-nilai lama itu telah membawa malapetaka bagi
segenap penghuni Bumi Majapahit. Mereka saling perang dan
saling bunuh hanya karena ingin mewujudkan diri sebagai sang
penakluk yang berkemenangan.

Perang! Ya, perang berkepanjangan bagaikan tanpa akhir telah


menjelma menjadi padang penjagalan terbesar sepanjang sejarah
Majapahit. Beratus-ratus ribu bahkan berjuta penduduk Majapahit
terbunuh. Sungguh tak terbilang jumlah nyawa yang binasa hanya
karena rasa bangga mengikuti para pemuka wangsa yang mabuk
kekuasaan. Bahkan, pertempuran antara Adipati Terung dan Patih
Mahodara pun sesungguhnya merupakan pertarungan
antarwangsa yang berpangkal pada kesetiaan terhadap nilai-nilai
keagungan dan penaklukan Majapahit.

1231
Dengan terbitnya cakrawala kesadaran itulah Nirartha kemudian
mempelajari nilai-nilai baru kepada Abdul Jalil, yaitu nilai-nilai asing
yang sebelumnya tak pernah dikenalnya. Nilai-nilai tentang
penghormatan dan keselarasan hidup yang bertolak dari ajaran
Islam tentang kesabaran, kerelaan (ridho), keadilan (‘adl),
keikhlasan, pengorbanan (qurb), kerukunan (ukhuwah), tawakal,
sederhana (qama’ah), randah hati (tawadhu’), sebagai
penyeimbang dari nilai-nilai keagungan dan penaklukan yang
bersumber pada kebanggaan terhadap sifat adhigana, adhigung,
adhiguna, rajas, niratisaya, jaya, nirbhaya. Ya, dengan nilai-nilai
baru yang masih asing inilah, pikir Nirartha, sejatinya sisa-sisa
penduduk Majapahit dapat diselamatkan dari kebinasaan.

Nilai penghormatan dan keselarasan yang diajarkan Abdul Jalil


telah membentangkan cakrawala kesadaran Nirartha. Ia benar-
benar sadar bahwa hanya dengan nilai-nilai baru itulah cakrawala
baru akan bersinar benderang menggantikan malam-malam
Majapahit yang tak lagi disinari rembulan dan gemintang. Ya,
dengan nilai-nilai baru itu – penghormatan dan keselarasan –
Nirartha dapat memahami kelak ajaran Islam akan lebih bisa
diterima di Majapahit yang sedang sekarat. Ah, betapa indah jika
tatanan kehidupan di Majapahit sekarang ini tegak di atas nilai
penghormatan dan keselarasan, ungkapnya dalam hati. Para
adipati yang suka berperang dan mabuk kuasa itu akan bisa
menghargai dan menghormati adipati lain demi terciptanya
keselarasan dalam tatanan kehidupan negerinya. Betapa
indahnya!

1232
Penerimaan Nirartha terhadap nilai-nilai baru itu tidak sekadar
penerimaan dalam pemikiran dan pemahaman. Ia menerima dan
sekaligus menerapkannya sebagai jalan hidup. Itu terbukti saat ia
dengan tegas memohon Abdul Jalil berkenan menjadi guru ruhani
yang mengajarkan rahasia Kebenaran dari agama yang selama ini
dianggapnya asing. Rupanya, bertolak dari nilai penghormatan dan
keselarasan itu, Nirartha akhirnya menyadari bahwa “jalan”
Kalachakra yang diikutinya harus diakhiri. Upacara meminum
darah dan memakan daging manusia yang dikorbankan, apa pun
alasannya, adalah tindakan yang tidak bisa diterima apalagi jika
dikaitkan dengan nilai penghormatan dan keselarasan. Sehingga,
di hadapan Abdul Jalil, ia mengikrarkan diri untuk tidak lagi
melakukan upacara-upacara itu.

Sebenarnya, sejak lama Nirartha gelisah dengan perkembangan


ajaran Bhairawa-Tantra yang sangat merosot. Para pendeta
bhairawa dari kalangan muda terbukti tidak ada yang bisa
dibandingkan dengan pendeta dari generasi sebelumnya, baik
dalam pemahaman maupun pengalaman ajaran. Kalangan
kebanyakan yang beramai-ramai mempelajari dan mendalami
ajaran Bhairawa-Tantra tidak lebih dari manusia rendah pencari
harta dan kekuasaan. Mereka mempelajari yoga-tantra hanya demi
menjadi orang-orang sakti andalan para adipati yang
membayarnya untuk keperluan perang. Mereka hanyalah para
bhairawa peminum darah yang mendalami ilmu untuk mencari
nafkah. Mereka sekadar orang-orang bayaran yang rendah dan
nista.

1233
Di tengah kegelisahannya itulah Nirartha menyaksikan cakrawala
baru yang dibentangkan Abdul Jalil, yang dirasanya jauh lebih
manusiawi dan lebih masuk akal. Itu sebabnya, ia sangat menaruh
minat besar terhadap ajaran Islam yang disampaikan Abdul Jalil.
Nirartha menilai ajaran baru itu sangat sederhana dan gampang
dipahami. Akhirnya, pada hari kesembilan dari perjumpaannya
dengan Abdul Jalil, Nirartha mengambil baiat Tarekat Akmaliyyah.

1234
Belajar kepada Pendeta Bhairawa

Menuntut ilmu wajib bagi tiap muslim.


Tuntutlah ilmu sejak dari buaian hingga
masuk ke liang kubur! Tuntutlah ilmu
sekalipun ke negeri Cina! Sabda Nabi
Muhammad Saw. itu mendorong Abdul Jalil
untuk belajar tentang sesuatu yang belum
diketahuinya: tata praja dan tatanan kehidupan kawula Majapahit.
Untuk maksud itu, ia belajar kepada Wiku Suta Lokeswara, yang
belakangan diketahuinya adalah mantan pejabat negara Majapahit
berpangkat demung (pengatur rumah tangga kerajaan) yang
masyhur dikenal dengan sebutan Rakryan Demung Pu
Hastadhara. Sekalipun telah belasan tahun mengundurkan diri dari
kehidupan duniawi dan menjadi dewa guru, pengetahuannya
tentang tata praja dan tata kehidupan kawula serta pasang surut
sejarah para penguasa Majapahit masih belum hilang dari
ingatannya.

Berdasar penjelasan Wiku Suta Lokeswara, Abdul Jalil mengetahui


jika tata pemerintahan Majapahit terbagi atas lima bagian menurut
asas peranan masing-masing dalam pemerintahan. Pertama, raja.
Kedua, dewan pertimbangan kerajaan. Ketiga, pejabat pemerintah.
Keempat, pejabat keagamaan dan peradilan. Dan kelima, pejabat
lain yang membantu pelaksanaan pemerintahan.

1235
Seorang raja dalam tata praja Majapahit adalah pusat seluruh
kekuasaan dalam negara. Itu sebabnya, raja haruslah titisan
dewata yang suci (avatar) dan mampu menjalankan tugas-
tugasnya baik sebagai pelindung dunia, pemelihara agama,
penjaga moral, pemakmur bumi, maupun penyejahtera kawula.
Ukuran kelayakan seorang raja adalah tuntunan tentang Astabrata
(Delapan Ajaran) yang memberikan gambaran ideal tentang raja
yang dapat menjalankan tugasnya sebagaimana dewa-dewa
memelihara seluruh dunia. Tetapi di atas itu semua, untuk
menduduki jabatan raja, seseorang harus memiliki hubungan
darah dengan raja terdahulu yang sudah membuktikan “kedewaan”
dirinya. Dan para raja Majapahit adalah pewaris keagungan dan
kemuliaan darah Raja Tumapel pertama, Ranggah Rajasa Sang
Amurwabhumi, titisan Brahma, Bhattara Guru, dan Wisynu yang
mengalirkan benihnya ke dunia lewat cahaya (teja) yang
memancar dari “rahasia” Ken Dedes, naraiswari (raja puteri)
Kerajaan Purwa.

Ketika Wiku Suta Lokeswara memaparkan konsep Nawasanga


(sembilan perwujudan Syiwa) dalam lingkup kekuasaan seorang
raja, Abdul Jalil terkejut. Ingatannya tiba-tiba melayang ke Caruban
Larang. Sosok Sri Mangana pun melesat ke relung-relung
ingatannya. Ya, ia ingat benar ketika ayahanda asuhnya itu
mengemukakan pandangan untuk menyempurnakan gagasan
khilafah yang diajukannya dengan membagi wilayah Caruban
Larang menjadi sembilan nagari. Rupanya, pikir Abdul Jalil,
ayahanda asuhnya mengikuti konsep Nawasanga, lambang Syiwa
yang dikelilingi delapan manifestasi-Nya: Brahma (selatan),
Maheswara (barat laut), Mahadewa (barat), Sangkhara (barat laut),
1236
Wisynu (utara), Sambhu (timur laut), Iswara (timur), Rudra
(tenggara), dan Paramasyiwa sebagai pusat.

Dengan menduga kemungkinan diterapkannya konsep


Nawasanga dalam tatanan baru khilafah, Abdul Jalil pun mengira-
ngira tentang sikap para penguasa Galuh Pakuan, Rajagaluh,
Talaga, dan Dermayu yang belum berani mengambil tindakan
terhadap Caruban Larang. Boleh jadi mereka mengetahui sang
kalifah Caruban Larang menerapkan gagasan Nawasanga dalam
menata kekuasaannya sehingga mereka tidak berani gegabah
menyerangnya.

Dengan dugaan itu, Abdul Jalil pun memahami betapa di balik


“perang siasat” antara Sri Mangana dan saudara-saudaranya
sesungguhnya berlangsung pergulatan sengit untuk mengukuhkan
diri sebagai “titisan dewa”. Dan Sri Mangana tampaknya menang
beberapa langkah dibanding saudara-saudaranya karena
pengetahuannya yang luas dan mendalam tentang ajaran Syiwa-
Budha. Sebab, dengan konsep Nawasanga itu Sri Mangana tidak
sekadar menunjukkan keberadaan dirinya sebagai penguasa
unsur-unsur alam, tetapi juga sebagai penjaga tanah-tanah
larangan (samiddha) di keempat gerbang Mahameru. Sehingga, di
dalam “perang siasat” itu Sri Mangana seolah-olah berkata,
“Akulah Paramasyiwa, pusat dari delapan penjuru dunia. Siapakah
di antara manusia yang berani berdiri tegak melawan
kekuasaanku?”

1237
Dengan pandangan bahwa raja adalah titisan dewa, menurut
hemat Abdul Jalil, sesungguhnya sebuah tatanan kekuasaan
memang bisa menjadi sangat ideal terutama jika sang raja benar-
benar dapat berkuasa sesuai sifat-sifat dewa dalam Astabrata.
Namun, bahaya dari tatanan semacam itu adalah saat tampilnya
raja yang jahat dan mengabaikan Astabrata. Bahkan bahaya yang
lebih dahsyat lagi, jika anak-anak raja yang sama-sama mengaku
titisan dewa itu kemudian berebut takhta sepeninggal orang
tuanya. Tak pelak lagi, akan terjadi keguncangan jagad semesta
karena anak-anak dewa tersebut saling bertempur mengadu
kekuatan. Kemunduran Majapahit jelas berpangkal dari
pertarungan “anak-anak dewa” itu dalam berebut mahkota. Mereka
melibatkan para pemuja dan penyembahnya masing-masing.
Bahkan, di tengah kecamuk perang bermunculan adipati-adipati
gurem yang mengaku “cucu dewa”, “cucu buyut dewa”, dan bahkan
“keturunan kelima dewa”, merki kenyataan menunjuk bahwa
bagian terbesar di antara mereka adalah begundal Patih
Mahodara.

Setelah memahami seluk-beluk tata praja Majapahit dari Wiku Suta


Lokeswara, Abdul Jalil akhirnya memahami kenapa para penguasa
Bumi Pasundan sangat sulit menerima gagasannya tentang
khilafah. Rupanya orang-orang Sunda tidak berbeda dengan
orang-orang Majapahit. Mereka menetapkan tata prajanya
didasarkan pada ajaran Astabrata, yakni menempatkan maharaja
sebagai penguasa puncak yang memiliki citra diri dewa-dewa.
Salah satu gambaran ideal raja, sebagaimana tuntunan Astabrata,
selain wajib memiliki keunggulan di bidang kewiraan seperti
Bhattara Indra, dewa perang, juga wajib memiliki keunggulan
1238
dalam kepemilikan harta seperti Bhattara Kuwera (dewa kekayaan;
kakak Rahuwana, Raja Lankapura).

Dengan citra diri sebagai jelmaan Bhattara Kuwera maka seorang


maharaja di Majapahit maupun Sunda harus menempati
kedudukan sebagai “manusia dewa” yang paling kaya di seluruh
penjuru negeri. Tidak boleh ada satu pun orang yang memiliki
kekayaan melebihi maharaja. Salah satu pintu gerbang untuk
memperoleh kekayaan itu adalah ketentuan hukum yang mengatur
hak-hak istimewa bagi sang raja untuk memungut pajak (drwya
haji), menerima upeti (paripuja), menerima persembahan
(bulubekti), dan hadiah lain-lain. Bahkan, di dalam pasal-pasal
hukum perundang-undangan Majapahit, Kutaramanawa, maharaja
beroleh hak untuk memperoleh harta benda dan anak-anak
beserta istri para pelanggar hukum pidana.

Dengan memahami betapa mengakarnya ajaran Astabrata di


kalangan penguasa dan nayakapraja, Abdul Jalil pun sadar jika
gagasan khilafah yang ditawarkannya sesungguhnya akan sulit
diterima baik di Bumi Sunda maupun di Majapahit. Sebab, konsep
khilafah yang mendasarkan kekuasaan pada masyarakat ummah
dan wilayah al-Ummah itu justru menempatkan kezahidan
(asketisme) sebagai syarat mutlak bagi seorang wali nagari
terutama wali al-Ummah. Ya, konsep dasar khilafah yang
diajukannya jelas-jelas bertentangan dengan konsep kerajaan
berdasar Astabrata.

1239
Demikianlah, semakin memahami tata praja Majapahit, semakin
sadarlah Abdul Jalil bahwa gagasannya merupakan sesuatu yang
asing di Majapahit dan Sunda. Bahkan, kelihatannya para adipati
muslim di pesisir utara pun tidak semuanya bisa menerima utuh
gagasannya tentang khilafah, terutama yang terkait dengan
wilayah al-Ummah.

Wilayah al-Ummah. Kepemimpinan yang dipilih! Gagasan itu


tampaknya berlawanan dengan kelaziman yang berlaku. Baik
penduduk beragama Syiwa-Budha maupun Islam yang tinggal di
Bumi Pasundan dan Majapahit sebagian besar tetap meyakini
bahwa kekuasaan dan kepemimpinan wajiblah ditentukan oleh
faktor keturunan. Lantaran itu, perselisihan untuk berebut takhta
pun sejatinya hanya boleh terjadi di antara para keturunan
penguasa sendiri. Padahal, kenyataan menunjukkan bahwa Patih
Mahodara yang berasal dari kalangan kebanyakan dapat
menduduki jabatan tinggi di Majapahit. Bukankah Patih Gajah
Mada pun berasal dari kalangan kebanyakan? Bukankah imam
besar Syiwa-Budha yang bernama Anawung Sangkha juga berasal
dari kasta rendah? Bukankah Ranggah Rajasa Sang
Amurwabhumi, leluhur raja-raja Majapahit, asalnya dari kalangan
kebanyakan juga?

Berdasarkan uraian Wiku Suta Lokeswara, semakin sadarlah


Abdul Jalil bahwa nilai-nilai lama masih sangat kuat dianut oleh
orang-orang Majapahit. Itu sebabnya, pertikaian di seputar
perebutan takhta adalah perselisihan antarwangsa di dalam
keluarga. Bahkan, yang berkembang terakhir adalah perselisihan
1240
sengit antara keturunan dua bersaudara putera Prabu
Wikramawarddhana: Prabu Kertawijaya dan Bhre Tumapel.
Perebutan kedua keturunan itulah yang sebenarnya telah
menguras habis keperkasaan Majapahit.

Pangkal pertikaian disulut kali pertama oleh Dyah Wijayakumara


Bhre Pamotan Sang Sinagara, yakni orang yang membunuh Prabu
Kertawijaya di atas dampar kanchana. Dyah Wijayakumara sendiri
sejatinya bukan orang lain, melainkan kemenakan dan sekaligus
menantu Prabu Kertawijaya. Ia putera sulung Bhre Tumapel,
saudara lain ibu Prabu Kertawijaya. Dyah Wijayakumara memiliki
tubuh pendek sehingga ia dijuluki gelas ejekan Ratu Bajang oleh
kerabatnya sesama pangeran Majapahit.

Boleh jadi karena sering diejek, Dyah Wijayakumara dikenal


sebagai orang yang selalu mau menang sendiri. Dia selalu
berusaha memperoleh posisi tinggi dalam pergaulan. Untuk itu, dia
tidak segan-sagan menghamburkan kekayaan dan membual
tentang kehebatan dirinya. Dalam setiap kesempatan dia seolah-
olah ingin menunjukkan kepada semua orang bahwa sekalipun
tubuhnya pendek, ia tidak akan pernah kalah dalam segala hal
dengan orang-orang yang bertubuh lebih tinggi. Lantaran sifatnya
itu dianggap berlebihan maka dia sangat tidak disukai di
lingkungan kraton Majapahit.

Ketika Bhre Tumapel, ayahandanya, meninggal, Dyah


Wijayakumara beroleh banyak anugerah dari pamannya, Prabu
1241
Kertawijaya. Ia mula-mula dijadikan raja muda di Keling dengan
gelar Bhre Keling. Namun, ia tidak merasa senang karena para
kerabatnya masih mengejeknya dengan sebutan “Si Bajang, Ratu
Keling” yang bermakna “Si Cebol, raja orang-orang berkulit hitam”.
Itu sebabnya, Prabu Kertawijaya kemudian menganugerahinya
gelar tituler Bhre Pamotan, meski ia tetap menduduki takhta di
Keling. Bahkan sang Ratu Bajang itu diambil menantu oleh Prabu
Kertawijaya.

Anak-anak Dyah Wijayakumara yang masih kecil tak luput dari


kasih sayang Prabu Kertawijaya. Mereka dianugerahi gelar tituler
Bhre Mataram, Bhre Kretabhumi, Bhre Pamotan, dan Bhre
Kahuripan. Masing-masing mereka diberi puri di kutaraja. Adik
Dyah Wijayakumara yang bungsu dan masih kecil, Dyah
Suryyawikrama dipungut sebagai anak oleh Prabu Kertawijaya dan
dianugerahi gelar tituler Bhre Wengker. Dyah Suryyawikrama
diasuh oleh Bhre Daha, istri Prabu Kertawijaya, bersama-sama
putera-puteri kandungnya sendiri: Bhattara Katwang, Bhre
Kabalan, dan Bhre Jagaraga.

Namun, segala kebaikan dari Prabu Kertawijaya ternyata malah


mengobarkan rencana jahat Dyah Wijayakumara. Para kawi
mencatat, maharaja Majapahit ketujuh itu dimangsa oleh “hewan
peliharaan” yang selama ini dirawat dengan penuh kebaikan dan
kasih sayang. “Sungguh amat jahatlah manusia yang sudah mabuk
kekuasaan sehingga dia tidak kenal lagi akan paman dan tidak pula
kenal akan mertua yang berjasa. Sesungguhnya telah buta orang-
orang yang dicekam kuat oleh hasrat berkuasa yang tak terkendali.
1242
Sejak Dyah Wijayakumara, terbakarlah takhta Majapahit dalam
pertikaian tak berujung. Kasih sayang yang seharusnya menjadi
ikatan persaudaraan telah berubah bara api yang membakar
lautan dendam kesumat,” kata Wiku Suta Lokeswara.

“Jika tidak salah, paman Adipati Terung menyatakan bahwa


pertikaian untuk memperebutkan takhta itu telah meluas menjadi
tiga poros kekuatan. Benarkah demikian keadaannya?” tanya
Abdul Jalil.

“Sekarang ini memang demikian itu keadaannya,” ujar Wiku Suta


Lokeswara. Sebagaimana telah dijelaskan Adipati Terung,
kekuatan yang ada di Majapahit dewasa ini terbagi atas tiga
kelompok besar. Pertama, kekuatan dari para adipati yang
memihak kepada keturunan Sri Prabu Kertawijaya. Kedua,
kekuatan para adipati yang memihak kepada keturunan Bhre
Tumapel. Dan yang ketiga, kekuatan para adipati dan pejabat
kerajaan yang berpihak kepada Patih Mahodara; pejabat asal
Madura yang tak tahu diri, yang belakangan ini mewajibkan para
pengikutnya yang hendak menghadap dengan menyebut kata
ganti diri sebagai lebu ni paduka Sri Prabu Udara (debu di bawah
telapak kaki Sri Prabu Udara).”

Tindakan Patih Mahodara yang bertindak seolah-olah maharaja


Majapahit itulah yang menjadi salah satu pemicu bagi kemunculan
kadipaten-kadipaten gurem. Sebab, pertama-tama, adipati-adipati
yang merasa memiliki ikatan darah dengan Prabu Kertawijaya dan
1243
Bhre Tumapel tidak ada yang sudi mengakui kekuasaan patih tak
tahu diri itu. Lantaran itu, para buyut yang mengepalai wisaya
banyak yang diangkat oleh sang patih menjadi adipati, dengan
catatan akan bersetia kepadanya.

Pengangkatan adipati-adipati gurem yang berasal dari para buyut


itu bisa terjadi karena berpangkal pada kelemahan sistem tatanan
kehidupan desa-desa di Majapahit. Menurut Wiku Suta Lokeswara,
desa-desa di Majapahit disebut dengan nama thani. Pemimpin
thani disebut wisaya. Nah, pemimpin wisaya dipilih oleh raja di
antara para rama yang ada. Pemimpin wisaya terpilih itulah yang
disebut buyut.

Sepanjang sejarah Majapahit, ungkap sang wiku, yang disebut


buyut adalah kepala wisaya yang memiliki makna “sesepuh” yang
disegani dan dihormati oleh para rama yang mewakili thani-thani.
Mereka lazimnya dipilih di antara para rama yang sudah tua
usianya. Namun, di bawah patih Mahodara, jabatan buyut diisi oleh
orang-orang pilihan sang patih yang umumnya berusia sangat
muda. Mereka adalah pribadi-pribadi yang mengatasnamakan
wisaya, namun sejatinya abdi setia sang patih. Mereka dikenal
sebagai makhluk-makhluk rakus dan serakah, yang kerjanya
sehari-hari menumpuk kekayaan dan bersenang-senang. Mereka
tidak pernah peduli dengan nasib penduduk wisaya yang mereka
kuasai dan wakili. Umumnya mereka berasal dari kalangan
kebanyakan yang mengharapkan kamukten (kemuliaan) tanpa
peduli jalan yang dilewatinya akan mengorbankan orang lain atau
tidak.
1244
Ketika para buyut busuk itu dinilai sudah memiliki kekayaan cukup
melimpah dan prajurit-prajurit pengawal yang banyak jumlahnya,
diam-diam mereka diperintahkan oleh sang patih untuk
memaklumkan diri sebagai adipati. Biasanya, seiring dengan
pemakluman seorang buyut menjadi adipati, sang patih selalu
mendatanginya atas nama maharaja untuk mengakui keberadaan
kadipaten baru itu sebagai bagian dari Majapahit. Walhasil, pada
masa akhir kekuasaan Sri Prabu Girindrawarddhana, telah
bermunculan kadipaten-kadipaten gurem yang dipimpin para
petualang tengik yang terkenal rakus dan berakhlak bejat; para
adipati jahat yang mengumbar nafsu berkuasa dan
meyengsarakan penduduk.

Di dalam tata praja Majapahit, baik rama maupun buyut adalah


bawahan dari raja. Itu sebabnya, seorang rama atau buyut memiliki
kewenangan mengatur desa dengan atas nama sang raja. Bahkan,
untuk desa-desa khusus seperti shima dan watek i jro,
pemimpinnya memiliki hak-hak untuk bertindak atas nama raja;
baik dalam hal memungut pajak (mangilala drwya haji), menarik
denda kepada para pelanggar peraturan, mengerahkan tenaga
penduduk (kerigaji), memakan makanan jenis khusus yang
dimakan para raja (rajamangsa), menggunakan payung putih
kutlima, dan berpakaian sebagaimana yang dikenakan keluarga
raja. Di antara mereka bahkan ada yang beroleh perkenan dari raja
untuk menggunakan ceker (genteng) untuk atap rumahnya dan
ada pula yang beroleh tandu.

1245
Dengan membandingkan tatanan tata praja Majapahit yang begitu
rumit, feodal, menguntungkan para petualang tengik, dan sangat
menyengsarakan kawula, Abdul Jalil melihat kemungkinan-
kemungkinan buruk dari gagasan khilafah yang ditawarkannya.
Maksudnya, meski gagasan khilafah jauh lebih baik dan lebih ideal
dibandingkan dengan tatanan kerajaan, gagasan itu sejatinya juga
mengandung bahaya yang tidak kalah dahsyat. Sebab, jika
gagasan khilafah yang didasarkan pada konsep masyarakat
ummah dan wilayah al-Ummah itu diselewengkan oleh manusia-
manusia berakhlak bejat dan berjiwa bobrok, sebagaimana para
petualang busuk memanfaatkan tatanan kerajaan di Majapahit,
boleh jadi gagasan khilafah itu justru akan menjadi monster yang
jauh lebih kejam, lebih buas, dan lebih biadab daripada monster
kerajaan. “

Ayahanda kami, Sri Mangana, pernah mengatakan bahwa


kepercayaan orang-orang Majapahit pada dasarnya tidak jauh
berbeda dengan kepercayaan penduduk Sunda. Maksudnya, di
balik keyakinan terhadap dewa-dewa sesungguhnya orang-orang
Majapahit melakukan pemujaan terhadap arwah leluhur. Bahkan,
kepercayaan di kalangan kawula sangat berbeda dengan
keyakinan para penghuni kraton,” kata Abdul Jalil.

“Kami kira memang demikian kenyataannya,” kata Wiku Suta


Lokeswara. “Kami tidak tahu bagaimana perbedaan kepercayaan
di Sunda. Tetapi, di Majapahit kepercayaan para kawula memang
berbeda dengan kepercayaan kalangan kraton.”

1246
“Berarti penduduk Majapahit di pedesaan jarang yang mengenal
dewa-dewa Hindu-Budha?”

“Hampir bisa dikatakan begitu,” kata Wiku Suta Lokeswara.


“Sebab, penduduk desa umumnya tidak peduli dengan dewa-
dewa. Mereka hanya butuh hidup aman dan makmur. Karena itu,
seorang janggan (dukun) yang bisa membantu penduduk dalam
memilihkan hari baik untuk menanam padi, memperbaiki rumah,
mempunyai hajat, mengobati orang sakit, dan meramal
peruntungan nasib lebih dibutuhkan daripada seorang pendeta.
Selain itu, penduduk desa yang umumnya kalangan sudra
memang tidak diperkenankan mengurusi sesuatu yang berkaitan
dengan agama. Jadi, penduduk desa di Majapahit memang hidup
dengan dunianya sendiri.”

“Apakah para kawula di desa-desa tidak ada yang pergi ke pura


untuk beribadah?”

“Para perajin di desa-desa biasanya membawa sesaji


persembahan kepada sthapaka (pendeta penjaga candi) yang
mengadakan upacara-upacara di candi. Tapi, itu dilakukan lebih
banyak untuk memenuhi tuntutan agar ‘sang penguasa candi’
memberi berkah dan tidak menimbulkan bencana bagi penduduk
sekitar. Sedang para petani lazimnya memuja Sri-Sadhana dan
arwah leluhurnya. Bahkan, pada waktu-waktu tertentu penduduk
mendatangi para marhyang (juru kunci) yang menjadi ‘pengantar’

1247
mereka dalam memuja batu-batu keramat dari leluhur pembuka
desanya,” kata Wiku Suta Lokeswara.

Saat kami berada di Surabaya dan Kadipaten Terung, kami


saksikan banyak penduduk yang mempercayai berbagai jenis
makhluk berbadan halus yang menghuni pohon, sungai, danau,
hutan, gunung, dan batu. Apakah penduduk Majapahit juga seperti
mereka?” tanya Abdul Jalil.

“Sesungguhnya kepercayaan terhadap makhluk berbadan halus


bukan hanya menjadi keyakinan penduduk di Surabaya dan
Terung. Penduduk kutaraja pun mempercayai yang demikian.
Mereka yakin di sekitar mereka hidup makhluk-makhluk setengah
dewa, seperti Yaksa, Pisaca, Wwil, Raksasa, Gandharwa, Bhuta,
Khinnara, Widyadhara, Ilu-Ilu, Dewayoni, Banaspati, dan arwah
leluhur.”

Dari penjelasan Wiku Suta Lokeswara, Abdul Jalil menyimpulkan


bahwa kepercayaan orang-orang Surabaya dan Terung yang mirip
dengan kepercayaan orang-orang Caruban Larang kelihatannya
bukan berasal dari Majapahit, melainkan kepercayaan dari orang-
orang Campa. Sebab, baik di Caruban, Surabaya, dan Terung,
orang-orang mempercayai berbagai jenis makhluk halus yang tidak
dikenal penduduk pedalaman Sunda dan Majapahit. Mereka,
misalnya, percaya ada hantu penghuni danau dan sungai yang
bernama Ka-lap. Mereka percaya ada hantu yang disebut Setan
Gundul, Jim, Gendruwo, Way-Way, Demit, Kuntilanak, Wedhon,
1248
Thuyul, Kemamang, dan banyak lagi jenis hantu yang
sesungguhnya tak dikenal penduduk pedalaman Sunda dan
Majapahit.

Belum puas dengan jawaban Wiku Suta Lokeswara, Abdul Jalil


bertanya tentang kebiasaan orang pedalaman Majapahit untuk
memperingati hari kematian orang-seorang. Ternyata, menurut
sang wiku, di Majapahit orang hanya kenal upacara enthas-enthas
dan sraddha yang dilaksanakan dua belas tahun setelah kematian
seseorang. Padahal, di Caruban, Surabaya, dan Terung, orang
mati diperingati pada hari ketiga, ketujuh, keempat puluh,
keseratus, keseribu, dan setiap tahun sekali. Berarti, semua
kepercayaan itu merupakan hal baru yang berasal dari pengaruh
Campa.

Ketika Abdul Jalil meminta penjelasan kepada Wiku Suta


Lokeswara tentang kebiasaan orang-orang Terung memperingati
orang mati, sang wiku menyatakan tidak paham. “Kami tidak
mengetahui banyak tentang hal itu. Tetapi seingat kami, yang
melakukan kebiasaan itu adalah orang-orang Campa muslim di
kutaraja.”

“Itu benar sekali,” sahut Abdul Jalil. “Di Caruban pun kepercayaan
itu sangat kuat diyakini orang-orang keturunan Campa. Tapi,
bagaimana pengaruh itu bisa sampai ke Terung?”

1249
“Sepengetahuan kami, kepercayaan Campa mulai dikenal di
sekitar kutaraja kira-kira tujuh windu silam. Saat itu Prabu
Kertawijaya menikahi puteri Darawati dari Campa. Para pengiring
sang puteri tinggal dan menetap di kutaraja. Mereka itu orang-
orang Islam yang sangat ramah dan karenanya disukai oleh warga
kutaraja. Mereka menikah dengan orang-orang Majapahit dan
tinggal di kutaraja. Mereka itulah yang kami ketahui memiliki adat
yang jauh lebih rumit daripada adat orang-orang Majapahit.
Tentang berkembangnya kepercayaan itu hingga ke Terung, kami
tidak tahu pasti. Tetapi, kami mengira itu berkaitan dengan
pengungsian besar-besaran warga kutaraja saat terjadi
penyerbuan Dyah Ranawijaya Girindrawarddhana. Sehari sebelum
kutaraja dihancurkan, orang-orang Islam telah keluar
meninggalkan kutaraja dibawah lindungan adipati Terung,” kata
Wiku Suta Lokeswara.

Dengan penjelasan Wiku Suta Lokeswara, semakin jelaslah bagi


Abdul Jalil bahwa tugas yang harus dipikulnya benar-benar berat.
Ia tidak hanya dituntut untuk berjuang mempengaruhi perubahan
komunitas masyarakat di Sunda yang bermental budak menjadi
komunitas bermental tuan, atau menjadikan orang-orang
Majapahit yang “gila” keagungan dan penaklukan menjadi orang-
orang rendah hati dan mau menghargai orang lain, tetapi juga
harus menghadapi “mental kalah” orang-orang Campa yang sudah
mempengaruhi orang-orang Majapahit dan Sunda. Abdul Jalil
sendiri memahami betapa di tengah kekalahannya yang pahit itu,
bangsa Campa telah lari dari kenyataan dan jatuh ke jurang
takhayul. Ya, mereka telah lari dari dunia nyata dan terjerembab ke
dalam dunia khayalan. Kepercayaan bangsa Campa yang sedang
1250
mengalami kemerosotan itu tampaknya bakal menjadi santapan
yang menyenangkan bagi orang-orang Majapahit yang juga
sedang mengalami kemerosotan di berbagai bidang kehidupan.

Sepanjang kesaksiannya tentang kehidupan penduduk di


pedalaman Sunda dan Majapahit, Abdul Jalil memang
menyaksikan betapa kuat sisa-sisa ajatan Sang To-gog dalam
bentuk pengeramatan benda-benda bertuah, seperti To-san
(pusaka), To-peng, To-pong (mahkota), To-wok (lembing), Tu-
mbak, Tu-nggul (bendera), Tu-k (mata air), Tu-gu. Sisa-sisa ajaran
Sang To-gog makin tumbuh dan berkembang sangat rumit ketika
mendapat pengaruh kepercayaan orang-orang keturunan Campa
yang penuh diliputi takhayul. Bagi guru manusia yang ingin
menyampaikan ajaran Tauhid sejati seperti Abdul Jalil, keadaan itu
benar-benar sangat mencemaskan. Sebab, sewaktu-waktu
keadaan itu akan bisa berkembang tanpa kendali seibarat benang
kusut.

Menurut hematnya, kepercayaan penduduk negeri ini


sesungguhnya sudah sangat berlebihan. Dunia tempat mereka
hidup seolah-olah penuh sesak dihuni hantu-hantu dan makhluk
gaib yang menakutkan. Di dalam rumah, di dapur, di kamar tengah
(sentong), di pintu, di teras, di pohon, di sawah, di perempatan
jalan. Pendek kata. Di segala tempat di penjuru dunia penuh sesak
dihuni hantu. Dan hantu-hantu itu jumlahnya makin bertambah
dengan terjadinya kematian manusia karena mereka yakin
sebagian hantu-hantu itu berasal dari ruh orang mati.

1251
Ya, orang-orang keturunan Campa sangat meyakini bahwa orang-
orang yang mati dalam keadaan buruk, seperti kecelakaan atau
bunuh diri, arwahnya akan gentayangan menjadi hantu yang suka
menggoda orang lewat. Para ibu yang mati saat melahirkan juga
akan menjadi hantu. Orang mati yang tidak dilepas ikatan tali
mayitnya akan menjadi hantu juga. Anak-anak yang dikorbankan
untuk mencari kekayaan akan menjadi hantu. Bayi-bayi yang mati
karena keguguran juga akan menjadi hantu. Pendek kata, mereka
meyakini orang mati masih terikat dengan kehidupan di dunia ini
dalam wujud arwah gentayangan. Padahal, keyakinan itu menurut
akidah Islam sangat ganjil dan menyesatkan dan tanpa dasar sama
sekali.

Abdul Jalil sendiri sangat heran dengan cara pandang dan cara
bernalar orang-orang keturunan Campa yang sarat dikuasai
takhayul. Mereka sangat yakin suara tokek dapat mendatangkan
keberuntungan sekaligus kesialan. Lantaran itu, saat mendengar
tokek bersuara, mereka akan menghitung jumlah bunyi untuk
menentukan keberuntungan dan kesialan yang ditimbulkannya.
Takhayul lain yang tak kalah ganjil adalah, meski orang-orang
Campa dan keturunannya adalah muslim, mereka yakin bahwa
leluhur mereka merupakan binatang seperti harimau, banteng, ikan
lele, belalang, buaya, kura-kura, burung, atau kucing sehingga
mereka tabu memakan daging binatang-binatang tersebut. Mereka
pantang menyebut harimau sebagai harimau, melainkan
menyebutnya dengan penuh hormat dengan sebutan “Yang”
(kakek). Mereka juga pantang menyebut tikus sebagai tikus,
namun menyebutnya dengan penuh hormat dengan sebutan “tuan
yang tampan”. Bahkan di kalangan keturunan Campa di Junti,
1252
Abdul Jalil pernah mendengar cerita takhayul yang sangat
merusak akidah, yang intinya begini:

Mula-mula alam diliputi kegelapan dan kekacauan. Lalu muncul


Dewa yang pertama, Po Nagar, kemudian diikuti Po Allah, Po Ya
Ama dan Po Dobataswar. Po Nagar meletakkan tangan di atas
kekacauan. Lalu terbentuklah angkasa. Kemudian Po Nagar
memerintahkan Po Allah untuk membangun masjid dan
menciptakan para imam dan khatib. Po Nagar menugaskan Po
Dobataswar membuat perahu serta menciptakan pendeta dan ajar.
Po Ya Ama ditugaskan meniup sangkakala untuk menghidupkan
manusia dan hewan. Kemudian Po Nagar mencipta neraca. Dari
neraca itu ketiga dewa tersebut kemudian mencipta bumi, air, padi,
tepung, batu, dan pohon.

Sesungguhnya tidak berbeda dengan orang-orang Majapahit dan


Sunda, orang-orang Campa dan keturunannya memiliki
kepercayaan pada Tu-ah yang bersembunyi di dalam benda-
benda. Namun, jumlah Tu-ah dalam kepercayaan Campa lebih
banyak dan lebih rumit. Orang-orang keturunan Campa sangat
yakin kalau kuku, kumis, kulit, gigi, dan tulang harimau memiliki
daya sakti yang bisa melindungi orang dari marabahaya. Mereka
percaya cermin atau air kencing dapat mengusir setan. Mereka
yakin jika kuburan seseorang dijadikan sarang anai-anai maka
keluarga ahli kubur akan dapat keberuntungan besar. Mereka
sangat percaya pada perhitungan hari baik dan buruk, juga
berbagai jenis ramalan sebagaimana termaktub dalam Tapuk
Musarar (Kitab Rahasia) yang mereka bawa dari Campa. Bahkan,
1253
berbagai jenis hantu yang mereka yakini pun jumlahnya jauh
melebihi keyakinan orang-orang Majapahit dan Sunda.

Masalah kepercayaan orang-orang Campa yang sarat takhayul ini


tidak boleh dibiarkan berkembang tanpa arah. Sebab,
kepercayaan mereka terhadap takhayul benar-benar sudah
berlebihan. Padahal, segala sesuatu yang berlebihan pasti akan
menimbulkan ketidakseimbangan. Lantaran itu, Abdul Jalil
berusaha mengatasinya dengan cara membuka cakrawala
kesadaran umat Islam di Caruban Larang lewat pesantren.

Ia menganggap dunia takhayul yang merebak begitu kuat di


kalangan umat Islam Caruban Larang hanya bisa diatasi dengan
pengembangan tradisi keilmuan. Itu sebabnya, ia menata
Pesantren Giri Amparan Jati sebagai pusat pengembangan ilmu
pengetahuan agama. Dengan harapan, penduduk Caruban
khususnya warga keturunan Campa yang belajar di situ akan
terdidik menjadi orang-orang yang dapat menggunakan penalaran
secara baik dan perlahan-lahan akan meninggalkan hal-hal yang
terkait dengan takhayul. Namun, usaha itu terpaksa dihentikannya
karena menurut Syaikh Abdul Malik Israil, kekuasaan nalar di
Granada telah kalah oleh kefanatikan. Sehingga, pendidikan di Giri
Amparan Jati pun pada gilirannya lebih diarahkannya pada hal-hal
yang terkait dengan pengembangan Tauhid, Fiqh, pendalaman Al-
Qur’an, hadits, dan kesenian.

1254
Menyadari “medan tempur” yang dihadapinya begitu berat, Abdul
Jalil sadar dirinya tidak akan cukup mampu mempengaruhi
perubahan tersebut seorang diri. Sebab, yang dihadapinya adalah
pekerjaan maharaksasa yang hanya mungkin dilakukan secara
serentak oleh banyak pihak dengan risiko akan jatuh banyak
korban. Bagaikan orang mendirikan bangunan baru dari
reruntuhan bangunan lama, hendaknya ada martir yang bersedia
menjadi umpak, dinding, tiang, sakaguru, blandar, dan atapnya.
Bagi Abdul Jalil, cukuplah dirinya menjelma sebagai tanah yang
menghampar bangunan baru yang disebut khilafah itu akan
ditegakkan agar bisa dijadikan tempat berlindung yang aman bagi
penghuninya.

1255
Karttikeyasingha Sang Nrpati
Dewasimha

Memasuki pekan ketiga kehadiran Abdul Jalil


di padepokan, terjadi peristiwa yang tidak
tersangka-sangka. Ketika matahari terbenam
dan menyisakan cahaya merah darah di langit
barat, tiba-tiba ia diingatkan oleh Ruh al-Haqq
di kedalaman kalbunya agar secepatnya pergi meninggalkan
padepokan. Meski tidak tahu apa yang bakal terjadi, ia menangkap
sasmita bahwa suatu marabahaya tampaknya sedang mendekat.
Dan kali pertama yang diingatnya adalah Nirartha beserta istri-istri
dan putera-puterinya.

Maka, ia buru-buru memerintahkan sepuluh orang prajurit Terung


untuk mengiringi Nirartha dan keluarganya meninggalkan
padepokan menuju Terung. Nirartha yang belum memahami
maksud Abdul Jalil menjadi kebingungan ketika didaulat oleh
prajurit Terung untuk meninggalkan padepokan secepatnya.
Dengan keheranan dia menghadap Abdul Jalil, “Apakah
sebenarnya yang akan terjadi, o Tuan Syaikh, sehingga paduka
menghendaki kami dan keluarga harus cepat-cepat pergi
meninggalkan padepokan?”

“Demi Allah, aku tidak tahu kenapa harus menyuruhmu pergi


meninggalkan padepokan,” kata Abdul Jalil. “Tetapi, aku
menangkap sasmita bahwa padepokan ini sedang dikepung oleh
1256
marabahaya. Karena itu, engkau dan keluargamu harus
secepatnya pergi sebelum hal itu terjadi.”

Nirartha yang sangat mempercayai Abdul Jalil sebagai guru


ruhaninya buru-buru memerintahkan para istrinya untuk berkemas.
Sedang ia sendiri bergegas menemui Wiku Suta Lokeswara untuk
berpamitan. Ternyata Wiku Suta Lokeswara pun menangkap
sasmita yang sama dengan Abdul Jalil. Ia menangkap tengara
marabahaya yang sedang mengintai padepokannya. Itu sebabnya,
saat Nirartha menghadap ia sudah memerintahkan tiga orang
siswanya untuk mengiringi Nirartha meninggalkan padepokan.
“Apa pun yang terjadi, malam ini engkau harus membawa
keluargamu jauh-jauh dari sini. Pilihlah jalan timur yang melintasi
hutan Wanasalam. Meski agak jauh dan berat, daerah itu sangat
aman,” kata Wiku Suta Lokeswara.

Terburu-buru Nirartha meninggalkan padepokan. Namun, ketika


Nirartha dan rombongan belum jauh dari padepokan, masuklah
seorang penduduk yang diantar oleh salah seorang siswa.
Penduduk itu dengan tergopoh-gopoh menghadap Wiku Suta
Lokeswara yang sedang berbincang-bincang dengan Abdul Jalil.
Kepada Wiku Suta Lokeswara dia melaporkan kehadiran
serombongan prajurit berkuda yang diiringi beratus-ratus prajurit
bertombak dari selatan menuju ke arah padepokan. “Kami melihat
puluhan kawula di desa-desa selatan bergelimpangan mati. Setiap
langkah dari pasukan itu menjadi langkah Bhattara Yama. Mereka
menebar kematian di mana-mana, o Paduka Wiku.”

1257
“Pasukan Patih Mahodara,” gumam Wiku Suta Lokeswara dingin.

Mendengar Wiku Suta Lokeswara menggumamkan “Patih


Mahodara”, Abdul Jalil menyela, “Kami sungguh merasa bersalah,
Paduka Wiku. Mereka kemari tentu telah mengetahui kehadiran
kami.”

“Tuan Syaikh tidak perlu merasa bersalah,” kata Wiku Suta


Lokeswara. “Tanpa kehadiran Tuan Syaikh pun sang patih akan
menyerang padepokan ini. Dia sudah cukup lama tidak menyukai
padepokan ini, terutama sejak Nirartha menghindari keinginan
sang patih untuk bergabung menjadi pendukungnya.”

Ketika Abdul Jalil akan berkata-kata tiba-tiba terdengar suara


gaduh di luar gerbang selatan padepokan. Ia menoleh dan
melemparkan pandangan ke arah gerbang selatan untuk
mengetahui apa yang tengah terjadi. Ternyata gerbang selatan
telah merah dikobari nyala api. Ia melihat bayangan puluhan
penunggang kuda berkelebatan di tengah amukan api sambil
berteriak-teriak mengacungkan busur ke atas. Rupanya, para
penunggang kuda baru saja melepaskan panah-panah berapi
untuk membakar gerbang padepokan. Bahkan setelah itu, Abdul
Jalil melihat betapa beringas para penunggang kuda itu
menerobos kobaran api dengan cara beriringan. Dalam hitungan
detik ia saksikan halaman dalam padepokan sudah dimasuki oleh
iring-iringan kuda yang meringkik dan menghentak-hentakkan
kakinya ke bumi.
1258
Tak lama kemudian terdengar teriakan-teriakan perang
membahana dari berbagai sudut. Mereka serentak menarik tali
kekang sehingga membuat kuda-kuda itu meringkik dan
mengangkat kedua kaki depannya ke atas. Rupanya teriakan-
teriakan perang itu berasal dari mulut para prajurit Terung yang
menyerang mereka dengan tombak dan pedang. Akhirnya, tak
terhindarkan lagi pecah pertarungan sengit di tengah kobaran api
yang mulai menyambar-nyambar dan membakar bangunan-
bangunan di padepokan.

Di tengah sengitnya pertempuran terdengar teriakan dan sorak-


sorai gemuruh dari arah selatan, diikuti tombak-tombak teracung
yang bermunculan di tengah kobaran api. Rupanya para prajurit
Daha berhasil menerobos masuk ke bagian dalam padepokan.
Mereka dengan beringas naik ke asrama-asrama dan membuat
kerusakan di sana. Mereka memanjat dinding dan membakari
atap-atap. Namun, tindakan perusakan itu tidak berlangsung lama.
Mereka dihadang siswa-siswa padepokan dengan dipimpin sendiri
oleh Wiku Suta Lokeswara.

Sebagai seorang pendeta bhairawa, Wiku Suta Lokeswara tidaklah


berbeda dengan pendeta bhairawa yang lain dalam hal kesaktian.
Itu terlihat saat ia dan siswa-siswanya menghadapi prajurit-prajurit
Daha yang sedang mengamuk di padepokannya. Bagaikan orang
sedang membersihkan halaman dengan sapu, setiap kali ia
menggerakkan tangannya ke depan atau ke samping selalu diikuti
oleh terpentalnya tubuh prajurit Daha ke berbagai arah, bagaikan
daun-daun kering dikebas sapu. Para siswa pun mengikuti
1259
tindakan gurunya sehingga dalam waktu singkat terlihat berpuluh-
puluh prajurit Daha bergelimpangan di halaman padepokan sambil
mengerang kesakitan.

Ketika malam makin merambat menuju puncak, pertempuran di


padepokan berlangsung lebih seru dan lebih sengit. Pasukan Daha
bagaikan kesetanan merangsak maju sambil berteriak-teriak.
Mereka maju dari arah selatan, barat, dan timur. Mereka menyerbu
bagaikan kawanan semut mengerumuni bangkai. Sementara itu,
para prajurit Terung dan Wiku Suta Lokeswara beserta siswa-
siswanya bertahan mati-matian di bagian utara padepokan, di
tengah kobaran api yang sudah melahap seluruh bangunan.
Mereka bertahan sekuat daya dari serbuan prajurit-prajurit Daha
yang menggelombang bagaikan tak ada habisnya.

Menjelang tengah malam, ketika Wiku Suta Lokeswara dan


prajurit-prajurit Terung terdesak hebat, terjadi suatu peristiwa
aneh. Di tengah kobaran api yang mulai meredup tiba-tiba muncul
kabut berasap yang bergumpal-gumpal dan mengambang
menutupi sisa-sisa bangunan yang terbakar. Kabut berasap itu
terus mengambang seolah-olah menyelimuti padepokan yang
sudah menjadi tumpukan arang. Beberapa jenak kemudian,
keadaan di sekitar padepokan menjadi sangat gelap. Sejauh mata
memandang, hanya kegelapan yang terlihat melingkupi. Di tengah
kegelapan itu secara samar-samar terlihat bayangan-bayangan
hitam berkelebat bagaikan mengitari para prajurit Daha.

1260
Seiring berkelebatnya bayangan hitam, terjadi suatu keanehan
lagi: prajurit Daha tiba-tiba saling bertabrakan dengan sesama
kawannya. Terdengar suara caci maki, lalu umpatan-umpatan
balasan. Setelah itu terdengar jerit kesakitan yang diikuti
gemerincing senjata yang beradu. Rupanya terjadi pertempuran di
antara prajurit Daha sendiri. Mereka saling menikam.

Menyaksikan para prajurit Daha saling bertempur sendiri di tengah


kegelapan, Wiku Suta Lokeswara dan prajurit Terung keheranan.
Mereka hanya bisa berdiri tercengang menyaksikan pemandangan
yang menakjubkan itu. Namun, tak lama kemudian mereka
tersadar dan harus segera mundur, terutama setelah mendapat
laporan bahwa Nirartha dan keluarganya telah berhasil melewati
kediaman Sang Pamget Kandangan Tuha menuju arah hutan
Wanasalam. Demikianlah, dengan diam-diam mereka bergerak
mundur ke arah timur, meninggalkan kegelapan yang menyelimuti
padepokan dengan kabut berasap itu.

Sementara itu, di tengah hiruk-pikuk prajurit Daha yang saling


bertempur sendiri, di tengah selimut kabut berasap yang
bergumpal-gumpal meliputi padepokan, Abdul Jalil yang hanya
didampingi seorang prajurit Terung, terlihat menyelinap di bawah
sebatang pohon yang terbakar sebagian daunnya. Di tengah
kelebatan bayangan-bayangan hitam ia melihat satu sosok dengan
kecepatan menakjubkan melintas di atas hamparan kabut berasap;
mula-mula sebesar domba, kemudian makin membesar seukuran
gajah. Tepat di depan Abdul Jalil, sosok seukuran gajah itu
berhenti dan memberikan isyarat gerakan tangan agar ia menjauh.
1261
Sadar bahwa sosok sebesar gajah itu bermaksud baik, Abdul Jalil
menarik tangan prajurit Terung di sampingnya. Dengan isyarat
gerakan tangan, ia meminta sang prajurit untuk mengikutinya
meninggalkan padepokan yang sudah menjadi puing-puing hitam
itu. Abdul Jalil tersuruk-suruk di tengah kegelapan. Malam yang
berkabut telah membuatnya bergerak tanpa tahu arah, namun ia
terus berjalan.

Ia baru sadar dirinya terpisah dari rombongan yang lain pada dini
hari ketika berada di tepi sungai Nilakantha di utara Jnanabharan.
Ceritanya, saat itu tanpa diduga di depan Abdul Jalil telah berdiri
sosok sebesar gajah yang tadi dilihatnya di padepokan. Abdul Jalil
terkejut dengan kemunculan tiba-tiba sosok itu. Dari kegelapan ia
mengamati sosok tersebut berwujud manusia raksasa setinggi
sekitar tujuh depa. Rambutnya yang panjang dan lebat terurai
hingga ke bawah lutut. Matanya menyala hijau dengan manik-
manik kecil. Abdul Jalil cepat tersadar bahwa sosok di depannya
itu bukanlah manusia, melainkan sebangsa makhluk berbadan
halus dari antara bangsa jin.

Ketika ia mengecilkan mata untuk menegasi wajah sosok raksasa


di depannya itu, tiba-tiba sang makhluk mengucap salam,
menyapa dengan bahasa perlambang (isyarat), dan
memperkenalkan diri sebagai Yang Dipertuan Bumi Pangjalu,
Sang Bhuta Locaya. Ketika melihat Abdul Jalil bergeming, sosok
bernama Bhuta Locaya itu mengaku telah pernah bertemu
dengannya di Gunung Pulasari. Mendengar pengakuannya, Abdul
Jalil segera memahami bahwa keanehan yang baru saja terjadi di
1262
padepokan itu tidak lain dan tidak bukan tentu ulah Bhuta Locaya.
Itu sebabnya, ia mengucapkan terima kasih kepada penguasa
Bumi Pangjalu tersebut.

Mendapat ucapan terima kasih dari Abdul Jalil, Bhuta Locaya


heran dan bertanya, “Kenapa Paduka Syaikh mengucapkan terima
kasih kepada kami?” Kami merasa tidak melakukan sesuatu untuk
Paduka Syaikh. Kami datang ke padepokan Wiku Suta Lokeswara
karena kami melihat tengara kabut berasap di situ. Kami menduga
Paduka Syaikh sengaja memanggil kami dengan membuat kabut
berasap itu.”

Pengakuan Bhuta Locaya bahwa kedatangannya karena kabut


berasap itu mengherankan Abdul Jalil. Sebab, ia merasa tidak
tahu-menahu. Seingatnya, kabut berasap itu muncul begitu saja
menyelimuti padepokan. Lantaran itu, ia akhirnya menganggap
peristiwa kabut aneh itu adalah bagian dari pertolongan Ilahi.
Hanya Allah jua yang kuasa melakukan hal-hal aneh yang tak
masuk akal guna melindungi hamba-Nya.

Ketika Bhuta Locaya menyinggung kembali tentang pertemuan di


Gunung Pulasari, ingatan Abdul Jalil pun melayang pada detik-
detik saat ia berkhotbah di depan makhluk-makhluk gaib tersebut.
Ia tiba-tiba ingat bahwa makhluk-makhluk gaib itu memiliki tradisi
pesta darah manusia. Terdengar oleh ingatan tentang kebiasaan
berpesta darah manusia, Abdul Jalil pun menanyai Bhuta Locaya,

1263
“Apakah di kalangan bangsamu dalam waktu dekat ini tidak ada
perhelatan besar pesta darah?”

“O ada, Paduka Syaikh,” sahut Bhuta Locaya gembira. “Kami


diundang untuk menghadiri pesta besar perburuan manusia.”

“Siapa yang mengundangmu?”

“Setan Kabir Yang Dipertuan Caruban, Ki Kareteg Yang Dipertuan


Pakuan Pajajaran, dan Bangsan Yang Dipertuan Gunung Kumba
(ng). Mereka mengundang kami untuk pesta besar itu.”

Abdul Jalil tersentak kaget mendengar pengakuan Bhuta Locaya.


Tak pelak lagi, pesta darah para makhluk halus itu akan terjadi di
Caruban. Ini bermakna, perang di Caruban tidak akan terhindarkan
lagi. Berarti, ia harus secepatnya kembali ke Caruban. Ia tidak bisa
meninggalkan ayahanda asuhnya menghadapi masalah itu tanpa
keterlibatan dirinya, meski ia sadar tidak memiliki pengetahuan dan
pengalaman berperang. Namun, saat hendak menanya Bhuta
Locaya tentang seberapa besar pesta darah itu akan
diselenggarakan, tiba-tiba ia dikejutkan oleh pancaran cahaya gaib
yang terlihat oleh mata batinnya (‘ain al-bashirah) dalam wujud
sinar (teja) yang memancar dari arah tenggara. Dengan penuh
rasa ingin tahu Abdul Jalil bertanya kepada Bhuta Locaya tentang
sinar yang tertangkap oleh mata batinnya, “Apakah makam itu milik
seorang manusia suci?”
1264
“Sinar apakah yang Paduka saksikan itu, o Paduka Syaikh.” Bhuta
Locaya heran karena tidak melihat sesuatu pun. “Kami tidak
melihat apa pun di sini.”

“Sinar yang memancar di sana itu,” kata Abdul Jalil menunjuk ke


arah sinar.

“Kami tidak melihat apa pun, o Paduka Syaikh. Tetapi, yang


paduka tunjuk itu kalau tidak salah adalah pendharmaan Sang
Nrpati Dewasimha dan penasihat setianya, Yang Mulia
Jnanabhadra.”

“Maksudmu, Yang Mulia Karttikeyasingha Sang Nrpati


Dewasimha, pendiri Kerajaan Kalingga?” sergah Abdul Jalil ingin
tahu.

“Benarlah demikian, Paduka Syaikh,” jawab Bhuta Locaya takzim.

“Jika demikian, aku akan berziarah ke sana.”

Pulau-pulau di tengah samudera raya yang dikenal sebagai


wilayah Majapahit pada masa silam merupakan negeri yang
sangat menakutkan bagi bangsa manusia yang tinggal di
Bharatnagari. Tidak banyak yang mengetahui makhluk apa yang
1265
tinggal di tengah samudera raya itu. Namun, para dewa
mengatakan bahwa di tengah samudera raya itu tinggal para
Kalakeya, Naga, Wanara, Lembu, Barwang, Anjing, Rakshasa,
Danawa, Daitya, Pisaca, Yaksa, Aditya, dan Asura; makhluk-
makhluk demonis pemakan manusia yang sangat buas dan
menakutkan. Makhluk-makhluk itu dipimpin oleh seorang Asura
Raja bernama Varuna, pemuka wangsa Aditya.

Menurut cerita dewa-dewa, para makhluk buas penghuni


samudera raya itu berkali-kali naik ke daratan dan mendaki
puncak-puncak gunung tempat persemayaman Bhattara Indra.
Dipimpin oleh raja-rajanya yang sakti mandraguna seperti Asura
Vrithra, para makhluk buas menjarah Indraloka dan mengejar-
ngejar para apsara-apsari. Suatu saat Asura Vrithra berhasil
dibinasakan oleh Indra. Namun, lahir lagi pemimpin baru bernama
Kasin, yang kembali memimpin makhluk-makhluk mengerikan itu
menyerbu Indraloka. Tatkala Kasin dibinasakan Balarama, muncul
saudaranya yang bernama Niwatakawaca, yang dengan penuh
amarah menggempur Indraloka. Namun, seperti nasib pemimpin
makhluk buas terdahulu, Niwatakawaca pun dapat dibinasakan
putera Bhattara Indra, Arjuna.

Setelah pemuka-pemukanya terbunuh dalam pertempuran,


makhluk-makhluk ganas penghuni lautan itu tidak pernah lagi
menyerbu Indraloka. Mereka tinggal tenang di dalam lautan.
Namun, sifat mereka yang mirip dengan sifat lautan sering kali
berubah dengan cepat dan menggiriskan. Meski tak pernah lagi
menyerbu Indraloka, mereka masih sering naik ke daratan
1266
Bharatnagari dan melakukan penjarahan serta perampokan besar-
besaran. Setelah puas menjarah, merampok, merusak, dan
membunuh manusia, makhluk-makhluk ganas itu kembali ke
dalam lautan dan tidur selama bertahun-tahun.

Ketika pelaut-pelaut Gurjaradwipa mulai berani berlayar ke tengah


samudera, mereka mengunjungi sarang-sarang kediaman para
makhluk buas yang menakutkan itu. Dari para pelaut Gurjaradwipa
itulah sarang-sarang makhluk ganas di tengah samudera itu
disebut dengan nama Nagnaloka (dunia manusia telanjang).
Rupanya para makhluk buas itu telah berubah menjadi setengah
manusia. Namun, mereka masih belum mengenal pakaian.
Sebagian mereka masih menggunakan nama-nama wangsa yang
menunjuk pada asal-usul leluhurnya yang buas, yaitu Danawa,
Daitya, Rakshasa, Kalakeya, Naga, Wanara, Anjing, Lembu, dan
Barwang.

Selama beratus-ratus tahun makhluk setengah manusia itu hidup


dalam keadaan liar dan tanpa aturan. Mereka dikenal sebagai
bangsa lautan yang memiliki sifat tidak jauh dari leluhurnya yang
suka membanggakan kehebatan diri dan kelompoknya, makhluk
yang gemar berperang, suka menjarah dan merampok, senang
membunuh, dan haus darah. Hari-hari dari kehidupan mereka tidak
pernah diwarnai ketenangan, kedamaian, kerukunan, dan
ketenteraman. Mereka benar-benar makhluk berjiwa lautan.
Sekalipun tampak tenang, tanpa terduga mereka sering
mengamuk. Jika mengamuk mereka akan menghancurkan segala

1267
sesuatu yang ada di depannya sebagaimana gelombang
menghancurkan kapal-kapal dan desa-desa di pesisir.

Di tengah kengerian hidup semacam itu, datanglah ke tengah


lautan itu seorang Brahmana Panca Dravida dari negeri Andra di
selatan Bharatnagari yang bernama Kundungga. Ia adalah
keturunan Asura Varuna dari galur Rishi Agastya. Dari Kundungga
lahirlah raja-raja besar yang berusaha menata kehidupan di tengah
samudera raya itu sebagaimana layaknya tatanan kehidupan
manusia. Di antara keturunan Kundungga yang termasyhur adalah
Aswawarman, Bhagawan Manumanasya Sri Jayasinghawarman,
Mulawarman, Purnawarman, Suryyawarman, Chakrawarman,
Indrawarman, Kesariwarman, dan Singhawarman. Itulah barisan
manusia luhur keturunan Varuna yang melahirkan Karttikesingha
Sang Nrpati Dewasimha, pendiri kerajaan besar pertama di
samudera raya yang masyhur dikenal sebagai Kerajaan Kalingga.

Paparan itulah yang didengar Abdul Jalil dengan isyarah saat


menemui arwah Sang Nrpati Dewasimha di pendharmaannya
untuk meminta petunjuk bagi penyempurnaan gagasannya tentang
khilafah. Yang paling mengejutkan Abdul Jalil, arwah Nrpati
Dewasimha menertawakan gagasannya itu dengan ibarat mangga
matang sebelum waktu. Merasa bahwa tidak ada yang salah dalam
gagasannya tentang khilafah itu, Abdul Jalil memohon agar Nrpati
Dewasimha menunjukkan keburukan dan kelemahan gagasannya
tersebut.

1268
Sebagai manusia besar yang pernah malang melintang di atas
takhta kencana yang menyatukan dua puluh tujuh kerajaan di
samudera raya, sang Nrpati Dewasimha sudah tentu sangat
memahami tata negara dan tata kehidupan penduduk negerinya.
Saat Abdul Jalil memintanya untuk menunjukkan keburukan dan
kelemahan khilafah, dengan sangat tenang sang Nrpati
Dewasimha berkata, “Tidak ada yang buruk dan tidak ada yang
lemah dari gagasanmu itu, o Anak. Yang aku tertawakan adalah
rencanamu untuk menerapkan tatanan agung dan mulia itu di
negeri ini tanpa memperhitungkan watak dasar dari manusia-
manusia yang engkau harapkan mendukung gagasan itu. Sebab,
dengan mengabaikan watak dasar manusia pendukung, engkau
dapat diibaratkan seperti orang yang berusaha menjadikan sebuah
kota sebagai hunian kawanan binatang buas. Sehingga bukan
keamanan, ketenteraman, kedamaian, kemakmuran, keadilan, dan
kesentosaan yang akan engkau hadapi jika gagasanmu itu
dijalankan, sebaliknya kekacauan dan kerusakanlah yang akan
terjadi jika gagasan itu engkau laksanakan.”

“Apakah yang harus kami lakukan agar gagasan itu dapat


dijalankan dan menghasilkan kemaslahatan bagi seluruh
penduduk, o Paduka Mulia?” tanya Abdul Jalil.

“Tidak ada cara lain, kecuali melakukan tindak kekerasan atas


nama hukum sebagaimana yang telah aku lakukan,” kata Nrpati
Dewasimha tegas. “Sebab, telah berbilang abad leluhurku
menegakkan kekuasaan di tengah samudera yang dihuni makhluk-
makhluk setengah manusia ini, namun mereka semua merasa
1269
gagal menjadikan penghuni negeri ini sebagai manusia sempurna.
Kekuasaan yang ditegakkan para leluhurku selalu ternoda oleh
kebiadaban para kawula yang memiliki sifat seperti leluhurnya;
para makhluk buas dari antara wangsa Kalakeya, Danawa, Daitya,
Rakshasa, Yaksa, Naga, Anjing, Wanara, Lembu, dan Barwang.”

“Lantaran itu, ketika aku menegakkan kekuasaan di Kalingga, aku


pilih jalan yang paling tegas untuk membedakan manusia dari
binatang dan makhluk-makhluk buas yang biadab, yakni dengan
cara penegakan hukum. Maksudku, untuk mendidik makhluk
setengah manusia agar menjadi manusia utuh, hendaklah
dilakukan dengan mengenalkan mereka pada hukum. Seluruh
penduduk Kalingga harus disadarkan bahwa mereka adalah
manusia-manusia yang hidup di atas peraturan hukum, bukan
hidup liar seperti binatang di hutan.”

“Aku tidak tahu pasti berapa puluh ribu manusia setengah binatang
yang terbunuh atas nama hukum Kalingga yang keras. Sebab,
tidak kenal kawula, tidak kenal nayakapraja, tidak kenal keluarga
raja, yang melanggar peraturan akan dijatuhi hukuman berat.
Waktu itu aku dicaci maki oleh semua orang sebagai raja setan
yang jahat dan haus darah. Tetapi, aku menutup mata dan
telingaku. Tidak ada yang aku dengarkan di antara semua suara
itu, kecuali suara hukum yang jernih laksana pantulan denting
pedang yang lurus dan tajam.”

1270
“Akhirnya, selama puluhan tahun sejak hukum ditegakkan dengan
keras, penduduk Kalingga benar-benar menjadi manusia yang baik
budi pekertinya. Sifat-sifat buruk warisan para Kalakeya, Danawa,
Daitya, Rakshasa, Pisaca, Yaksa, Naga, Anjing, Wanara, Lembu,
dan Barwang telah lari bersembunyi di kedalaman jiwa seluruh
penduduk. Seluruh warga Kalingga hidup dalam keadaan aman,
damai, tenteram, makmur, dan sentosa. Kejahatan sekecil apa pun
tidak terjadi di Bumi Kalingga karena semua penduduk tunduk
pada hukum. Semua penduduk sudah menjadi manusia utuh.”

“Tetapi, saat aku mengundurkan diri menjadi pertapa, terjadi


peristiwa yang menguji ketegasanku. Pangeran Pradah Putra,
putera mahkotaku, melakukan pelanggaran terhadap hukum. Dia
menginjak-injak pundi-pundi berisi emas yang diletakkan seorang
pedagang Arab di pasar kutaraja. Orang Arab sombong itu tidak
yakin bahwa ada bangsa selain bangsanya, apalagi bangsa
keturunan makhluk buas, yang bisa patuh hukum. Lantaran itu, dia
ingin menguji hukum Kalingga.”

“Selama dua tahun tidak satu pun orang berani menyentuh pundi-
pundi itu. Tetapi, putera mahkotaku justru mengijak-injaknya,
sebagai ungkapan sikap bahwa tumpukan emas baginya bukanlah
barang berharga. Rupanya dia tidak sadar bahwa hukum Kalingga
melarang orang-seorang mengganggu barang milik orang lain.
Lantaran itu, dia diancam hukuman mati. Sebagaimana aku, istriku
yang menggantikan kekuasaanku pun dengan tegas menjatuhkan
hukuman mati atas putera mahkota. Hak atas takhta dicabut
darinya. Hanya atas saran para pejabat tinggi kerajaan akhirnya
1271
hukuman mati dicabut dan diganti hukuman potong kedua kaki.
Demikianlah, Pradah Putra, sang putera mahkota dipotong kedua
kakinya tanpa ampun. Itulah hukum adil yang harus dipatuhi oleh
setiap penghuni negeri tidak pandang kawula, tidak pandang
keluarga raja.”

Mendengar uraian Nrpati Dewasimha, Abdul Jalil sadar betapa


gagasannya tentang khilafah sangat lemah dalam hal perangkat
hukum yang sesuai untuk menata dengan tertib kehidupan
masyarakat ummah dan aparat walu al-Ummah. Ia sadar bahwa
Nabi Muhammad Saw. pun saat membangun komunitas ummah di
Yatsrib menetapkan hukum yang keras sehingga beliau berkata
akan memotong sendiri tangan puterinya, Fatimah r.a., jika
kedapatan sang puteri terbukti melakukan pencurian. Ah,
bukankah kekacauan di Caruban Larang akibat orang-orang
berebut tanah hanya bisa diredakan oleh tindakan keras Sri
Mangana yang mengancam dengan hukuman berat bagi siapa
saja yang terbukti melanggar batas tanah orang lain? Bukankah
compang-camping kehidupan di Bumi Majapahit juga disebabkan
lumpuhnya penegakan hukum Kutaramanawa?

Petunjuk Nrpati Dewasimha sesungguhnya telah menempatkan


Abdul Jalil pada kedudukan yang sulit. Di satu pihak, ia bisa
menerima alasan Nrpati Dewasimha itu bahwa penghuni negeri ini
hanya bisa dimanusiakan lewat penegakan hukum yang tegas dan
keras karena mereka dianggap sebagai manusia setengah hewan.
Namun di pihak lain, ia merasa jika petunjuk Nrpati Dewasimha
diikuti tentu akan bertentangan dengan dasar-dasar ajaran yang
1272
disampaikannya yang meyakini bahwa di dalam diri manusia
sejatinya terdapat ruh Yang Ilahi. Dengan ajarannya itu ia secara
tegas menghendaki para penghuni negeri dapat mematuhi hukum
karena kesadaran, bukan didasari oleh rasa takut. Sebab, jika
penegakan hukum hanya didasarkan pada rasa takut maka saat
yang ditakuti sudah tidak ada, kembalilah orang-orang ke sifat
semula. Porak-porandanya Kalingga terbukti karena raja-raja
penerus tidak lagi memiliki sikap tegas seperti Nrpati Dewasimha
dan permaisurinya, sehingga para kawula Kalingga kembali
menjadi liar sepeninggal mereka.

1273
Di Padepokan Wanasalam

Ketika Abdul Jalil kembali dari pendharmaan


Nrpati Dewasimha menuju Terung, tanpa
sengaja ia melewati Padepokan Wanasalam,
tempat kelahiran Ario Damar, adipati
Palembang. Tercekam oleh kemasyhuran
Padepokan Wanasalam, ia kemudian
memutuskan untuk singgah barang beberapa bentar di padepokan
yang didirikan oleh Kaki Palupa, kakek adipati Palembang.
Padepokan Wanasalam sendiri saat itu dipimpin oleh Ki Wedung,
adik Patih Demak, Ki Wanasalam.

Entah kebetulan entah tidak, saat berada di padepokan itu, tanpa


pernah diinginkan, untuk kali pertama sepanjang hidupnya Abdul
Jalil menyaksikan keberadaan sebuah ksetra, lebih tepat disebut
bekas ksetra; hamparan tanah lapang berumput ilalang di utara
padepokan dengan sebuah bukit tulang manusia setinggi tujuh
depa terletak di tengah-tengah. Menurut Ki Wedung, ksetra itu
sekarang tidak lagi digunakan karena Ario Damar dan Ki
Wanasalam selaku sesepuh padepokan telah melarang ksetra itu
dipakai untuk upacara. “Kami selaku orang muda patuh saja pada
perintah kakak-kakak kami,” ujar Ki Wedung.

Sekalipun ksetra di Padepokan Wanasalam sudah bertahun-tahun


tidak digunakan lagi, kengerian masih membayangi
keberadaannya. Siapa pun yang belum mengetahui dan mengenal
1274
ajaran Bhairawa-Tantra akan meremang bulu kuduknya saat
melihatnya. Sejauh mata memandang yang terlihat hanya tulang-
tulang manusia yang menggunung dibalut debu tebal. Andaikata
ada yang menghitung, jumlah gunungan tulang itu sedikitnya tak
kurang dari sembilan ratus orang. Itu belum termasuk tulang-tulang
yang berserak di pinggir tanah lapang dan tumpukan-tumpukan
kecil di sekitarnya. Entah berapa ribu anak manusia sebenarnya
yang telah menjadi korban persembahan bhairawa-bhairawi itu.

Abdul Jalil yang baru sekali itu melihat ksetra merasakan bulu
kuduknya meremang saat menekuri tulang-tulang itu. Berulang-
ulang ia menarik napas panjang. Tulang-tulang itu, katanya dalam
hati, pastilah tulang belulang anak-anak muda dan bayi-bayi tak
berdosa. Mereka dirampas dari dekapan kasih orang tuanya untuk
dijadikan “jalan pintas” menuju pembebasan jiwa oleh sekelompok
orang yang mencari Kebenaran Sejati. Andaikata tidak ada cahaya
iman yang dipancarkan Allah SWT. lewat Ario Damar dan Ki
Wanasalam, tentulah ksetra itu masih digunakan.

Entah kebetulan entah tidak, ketika Abdul Jalil tinggal beberapa


bentar di padepokan yang dianggapnya sebagai tempat kenajisan
itu, tanpa diduga-duga ia bertemu dengan Raden Sulaiman, leba
Wirasabha, pemimpin penduduk beragama Islam di Wirasabha.
Saat itu Raden Sulaiman bersama puluhan orang warga muslim
Wirasabha sedang meminta perlindungan di padepokan tersebut.
Rupanya penduduk Wirasabha yang beragama Islam sedang
mengalami tekanan akibat pecahnya peperangan antara adipati
Terung dan Patih Mahodara.
1275
Raden Sulaiman adalah putera Raden Abu Hurairah, leba
Wirasabha pertama. Raden Abu Hurairah sendiri merupakan
saudara sepupu Raden Ali Rahmatullah, bupati Surabaya, sebab
ayahanda Raden Abu Hurairah yang bernama Narpath Arun
adalah adik bungsu puteri Candrawati, ibunda Raden Ali
Rahmatullah. Raden Abu Hurairah datang ke Majapahit barang
setengah abad silam bersama saudara sepupunya, Raden Ali
Rahmatullah dan Raden Ali Murtadho. Keduanya putera
Candrawati yang menikah dengan Syaikh Ibrahim al-Ghozi as-
Samarkandy. Mereka datang ke Majapahit untuk bersilaturahmi
pada bibinya, Ratu Darawati, yang diperistri oleh calon maharaja
Majapahit, Sri Prabu Kertawijaya.

Raden Ali Rahmatullah diangkat menjadi imam Masjid Ampel


Denta di Surabaya dan Raden Ali Murtadho diangkat menjadi imam
masjid di Gresik. Saat itu Raden Abu Hurairah diangkat menjadi
leba di Wirasabha, yaitu pejabat khusus yang mengelola sebagian
tanah pribadi milik raja (watej i jro) dan berwenang memungut
pajak dari tanah tersebut (mangilala drwya haji). Dengan jabatan
leba tersebut, Raden Abu Huraira kemudian menjadi pemuka
penduduk muslim di Wirasabha, khususnya imam bagi warga
peranakan Campa. Ia menikah dengan puteri Arya Teja,
syahbandar Tuban. Dari pernikahan itu lahirlah Raden Sulaiman.
Sepeninggal Raden Abu Hurairah, yang menggantikan
kedudukannya sebagai leba dan imam penduduk beragama Islam
di Wirasabha adalah puteranya, Raden Sulaiman.

1276
Belum lama Raden Sulaiman menggantikan ayahandanya,
kehidupan di Majapahit mengalami perubahan yang sangat
menyedihkan. Perang antarwangsa untuk berebut pengaruh dan
kekuasaan telah melahirkan kehidupan yang kacau-balau.
Penjarahan terjadi di mana-mana. Penduduk desa yang
kehilangan rumah dan harta bendanya datang ke kota-kota
terdekat dengan pakaian compang-camping untuk meminta-minta.
Di tengah suasana kacau-balau itulah penduduk yang sudah
menjadi gelandangan menggantungkan harapan mereka kepada
orang-orang Islam di pedalaman. Banyak di antara penduduk itu
kemudian memeluk Islam. Kehidupan mereka menjadi lebih baik
karena mendapat bantuan dari saudagar-saudagar muslim di
pesisir.

Memang, sejak zaman Sri Prabu Rajasanagara berkuasa, di


kutaraja Majapahit sudah terdapat warga muslim. Mereka hidup
bebas menjalankan keyakinan agamanya, meski di dalam tatanan
penduduk mereka dikelompokkan sebagai golongan mleccha,
yakni kalangan rendah di luar kasta. Jumlah penduduk muslim di
kutaraja makin bertambah ketika Sri Prabu Wikramawarddhana
naik takhta. Ini lantaran adik tiri yang diangkatnya menjadi raja
muda di Surabaya, Pangeran Arya Lembu Sura, memeluk agama
Islam dan menempatkan saudagar-saudagar muslim di kutaraja.
Pada saat Sri Prabu Kertawijaya naik takhta, jumlah penduduk
muslim di kutaraja makin meningkat karena sang maharaja
menikahi perempuan-perempuan muslimah, bahkan terakhir ia
memeluk agama Islam.

1277
Ketenangan dan kedamaian penduduk beragama Islam di
pedalaman Majapahit ternyata tidak langgeng. Pada saat
perselisihan antarwangsa berlangsung sengit, pemegang
kekuasaan di Majapahit adalah penguasa-penguasa yang
berpikiran picik dan berjiwa kerdil. Penghargaan dan
penghormatan atas keberbedaan sebagaimana maharaja
terdahulu menjadi terabaikan. Penduduk beragama Islam di
pedalaman mulai merasakan tekanan-tekanan dan ancaman-
ancaman, bahkan tindak-tindak kekerasan.

Menurut ingatan warga muslim Wirasabha, bencana awal yang


dialami penduduk muslim di pedalaman terjadi untuk kali pertama
saat pecah pertempuran antara adipati Terung dan Patih
Mahodara. Penduduk muslim di Wirasabha yang seabad lebih
tidak pernah diganggu tiba-tiba harus ikut menanggung akibat
buruk dari pertempuran tersebut. Mereka dijadikan bagian dari
sasaran-sasaran tempur oleh kaki tangan Patih Mahodara dalam
upaya menekan kekuatan Terung. Rumah mereka dibakar. Harta
mereka dijarah. Mereka yang tak sempat lari akan dibunuh.
Anehnya, dalam keadaan kacau-balau itu, satu-satunya tempat
berlindung yang paling aman bagi umat Islam Wirasabha adalah
Padepokan Wanasalam; kediaman para bhairawa pemangsa
manusia.

Tentang kecenderungan umat Islam untuk berlindung di


Padepokan Wanasalam, menurut Raden Sulaiman, sesungguhnya
terkait dengan hubungan lama di antara leba Wirasabha dan
pemimpin Padepokan Wanasalam. Sejak kali pertama Raden Abu
1278
Hurairah diangkat sebagai leba di Wirasabha sudah terjalin
hubungan antara dirinya dan pemimpin Padepokan Wanasalam, Ki
Kumbharawa. Hal itu terjadi karena Ki Kumbharawa adalah uwak
dari Ario Damar. Ario Damarlah yang mengikatkan jalinan itu.
Hubungan itu makin kuat manakala atas bimbingan leba
Wirasabha, putera Ki Kumbharawa, yaitu Ki Wanasalam, memeluk
Islam. Lantaran Ki Wanasalam sudah memeluk Islam dan menjadi
patih di Kadipaten Demak maka sepeninggal Ki Kumbharawa yang
menggantikan kedudukannya adalah putera bungsunya, Ki
Wedung, yang kala itu masih remaja.

Hubungan erat antara Leba Wirasabha dan pemimpin Padepokan


Wanasalam menjadikan keberadaan umat Islam di Wirasabha tak
terusik. Semua orang seolah tahu, Sang Leba Wirasabha adalah
kerabat pemimpin Padepokan Wanasalam. Itu sebabnya, ketika
terjadi penyerbuan pasukan Patih Mahodara yang pertama kali ke
Surabaya, umat Islam di Wirasabha tidak sedikit pun diganggu.
Baru setelah pecah perang dengan Terung, kaki tangan Patih
Mahodara mulai berani menjarah dan merampok umat Islam. Ya,
pada masa Patih Mahodaralah untuk kali pertama umat Islam di
Wirasabha mulai diganggu.

“Saat kerusuhan pertama pecah,” kata Raden Sulaiman, “seluruh


warga muslim di Wirasabha sangat kebingungan. Mereka tidak
pernah menduga akan dijadikan sasaran serangan. Tatkala
mereka sedang berlarian mencari anak-anak mereka, tiba-tiba
rumah mereka sudah rata dengan tanah. Harta benda mereka
habis dijarah. Mereka yang tak sempat menghindar, tubuhnya
1279
bergelimpangan menjadi mayat di jalan-jalan. Suasana saat itu
benar-benar mencekam.”

“Itu terjadi pada perang Terung – Daha yang pertama?” tanya


Abdul Jalil.

Raden Sulaiman mengiyakan. Kemudian dia menuturkan betapa


di tengah kebingungannya, penduduk muslim Wirasabha
berbondong-bondong menyelamatkan diri ke makam leba
Wirasabha pertama, Raden Abu Hurairah. Mereka berkerumun
dan berdesak-desakan di makam yang terletak di belakang
Ndalem Leba. Mereka berdoa sambil menangis memohon
pertolongan dari arwah Raden Abu Hurairah. Saat itu semua orang
tidak tahu harus berbuat apa untuk menghindar dari kematian.
Mereka hanya bisa berdoa dan berharap terjadi sebuah keajaiban.

“Masih terbayang benar dalam ingatan saya,” Raden Sulaiman


mengenang, “betapa mencekam suasana saat itu. Seluruh
Wirasabha sudah dikuasai pasukan Patih Mahodara. Puluhan ribu
prajurit dengan senjata terhunus berkeliaran di jalan-jalan. Mereka
akan menghancurkan apa saja yang mereka ketahui milik warga
muslim. Bagaikan kawanan hewan buas kelaparan, prajurit Patih
Mahodara dengan wajah beringas dan mata menyala beriring-
iringan menuju ke Ndalem Leba.”

1280
“Ndalem Leba mereka kepung. Kemudian, sambil berteriak
serentak bagaikan suara guruh bersahut-sahutan, mereka
melepaskan beratus-ratus panah berapi. Terjadi hujan api. Dalam
sekejap Balai Rangkang dan bangunan-bangunan utama Ndalem
Leba tenggelam dalam lautan api. Saat itu semua orang yang
berada di makam saling berdesak-desak dan menjerit-jerit
ketakutan. Suasana makin tegang, ketakutan makin memuncak,
manakala mereka menyaksikan pasukan Patih Mahodara
berbondong-bondong masuk ke halaman Ndalem Leba menuju
arah makam. Tanpa ada yang menyuruh, semua beramai-ramai
melafalkan kalimah tahlil La ilaha illa Allah berulang-ulang karena
mereka mengira saat itu adalah saat terakhir mereka hidup di
dunia.”

“Ketika semua harapan untuk hidup sudah pupus, tiba-tiba terjadi


keajaiban. Allah memberikan pertolongan dalam bentuk yang tak
pernah kami bayangkan. Saat itu saudara kami terkasih, Ki
Wedung, dengan diikuti oleh sepuluh siswanya menerobos masuk
ke Ndalem Leba secara menakjubkan. Laksana kawanan raksasa
menakutkan keluar dari hutan, mereka menyibak pasukan Patih
Mahodara bagaikan orang menyibak rumput di tengah padang
alang-alang. Dengan membentak-bentak Ki Wedung dan siswanya
melemparkan para prajurit yang menghalangi jalan. Kemudian,
tanpa halangan sedikit pun mereka sudah berada di depan
makam.” “

Orang-orang Islam yang tengah ketakutan menjadi panik melihat


Ki Wedung dan siswanya mendekati makam. Mereka mengira Ki
1281
Wedung adalah raja raksasa yang akan memangsa mereka.
Namun, kepanikan mereka sirna seketika saat mereka mendengar
teriakan Ki Wedung yang mengerikan. Ia mengancam akan
membunuh siapa saja di antara manusia yang berani mengganggu
setiap jiwa di Ndalem Leba. Saat itu kami saksikan prajurit Patih
Mahodara mundur serentak. Rupanya mereka gentar dengan
ancaman Ki Wedung. Kemudian di bawah tatapan para prajurit dan
kaki tangan Patih Mahodara, kami semua meninggalkan Ndalem
Leba menuju Padepokan Wanasalam. Itulah kisah pengungsian
pertama kami yang ajaib. Dan kali ini adalah pengungsian kami
yang ketiga kalinya di Padepokan Wanasalam.”

“Kenapa orang-orang mengira Ki Wedung dan siswa-siswanya


sebagai raksasa?” tanya Abdul Jalil.

“Karena Ki Wedung saat itu memang seperti raksasa,” papar


Raden Sulaiman. “Tingginya sekitar lima depa. Matanya besar dan
menyala. Gigi dan taringnya memanjang hingga ke dagu. Bahkan,
saya yang sudah mengenalnya dengan baik pun saat itu tidak lagi
mengenalinya. Dia benar-benar berubah menjadi raksasa
menakutkan.”

“Kenapa tidak ada prajurit Patih Mahodara yang menghalangi Ki


Wedung?” tanya Abdul Jalil.

1282
“Saya kira mereka takut,” kata Raden Sulaiman. “Siapa pun di
antara warga Wirasabha entah dia prajurit atau bukan, pastilah
mereka sudah mendengar jika hutan Wanasalam adalah hutan
angker, tempat kediaman para bhairawa yang suka memakan
manusia. Munculnya Ki Wedung dalam bentuk raksasa telah
menciutkan nyali mereka. Saya kira, sebagian besar mereka pun
sudah pernah mendengar cerita keangkeran hutan Wanasalam. Di
antara mereka tentu banyak yang pernah mendengar cerita jika
leba Wirasabha pertama adalah kerabat pemangku Padepokan
Wanasalam.”

“Ah, aku paham sekarang,” kata Abdul Jalil tiba-tiba teringat pada
Ki Wanasalam yang ditemuinya di Kadipaten Demak, “kenapa
prajurit-prajurit Demak sangat ditakuti di berbagai tempat, bahkan
di Bumi Pasundan. Kalau tidak salah karena prajurit-prajurit Demak
dipimpin oleh Ki Wanasalam, mantan pendeta bhairawa yang
termasyhur sakti mandraguna asal Wanasalam.”

“Saya kira bukan hanya karena patih Wanasalam, Paman,” ujar


Raden Sulaiman. “Prajurit Demak ditakuti karena hampir semua
lurah prajurit (perwira) dan mantri Demak adalah hasil didikan
Padepokan Wanasalam.”

“Benarkah?” sergah Abdul Jalil terkejut. “Bukankah mereka


semuanya beragama Islam?”

1283
“Ya, mereka semua memang beragama Islam. Tetapi, sebelum
berangkat ke Demak mereka adalah siswa Padepokan
Wanasalam. Mereka baru memeluk Islam beberapa waktu
sebelum berangkat ke Demak. Menurut adat kebiasaan, mereka
selalu mengucapkan ikrar keislaman diNdalem Leba Wirasabha.
Ya, para calon punggawa Demak selalu mengikrarkan dua kalimah
syahadat di depan leba Wirasabha sebelum berangkat ke Demak.
Ketentuan itu ditetapkan oleh Patih Wanasalam sejak ayah kami
masih hidup,” kata Raden Sulaiman.

Penjelasan Raden Sulaiman menyibak gumpalan awan tanda


tanya di benak Abdul Jalil. Ia selama ini tidak memahami
keanehan-keanehan adat kebiasaan para lurah prajurit Demak
yang dinilainya menyimpang jauh dari tuntunan Islam. Para lurah
prajurit Demak, sepengetahuannya, dikenal sebagai perwira-
perwira sakti mandraguna, namun sangat kejam dan telengas di
dalam setiap pertempuran. Mereka tidak pernah mengampuni
musuh-musuhnya. Bahkan mereka menanamkan kebiasaan
menjijikkan di kalangan prajurit Demak; menjilati darah musuh
yang melumuri senjatanya. Rupanya, pikir Abdul Jalil, para lurah
prajurit itu adalah siswa didikan Padepokan Wanasalam sehingga
saat sudah menjadi muslim pun mereka belum bisa meninggalkan
kebiasaan minum darah yang sangat terlarang dalam ajaran Islam.

Pertempuran yang terjadi berulang-ulang antara adipati Terung


dan Patih Mahodara, yang oleh orang-orang di pesisir dianggap
sebagai usaha melindungi umat Islam di pedalaman, ternyata tidak
sepenuhnya disetujuai oleh umat Islam di pedalaman. Buktinya,
1284
Raden Sulaiman sangat menentang peperangan yang sudah
terulang tiga kali itu. “Saya mengira perang itu bukan untuk
melindungi umat Islam di pedalaman. Perang itu merupakan
pertempuran berebut pengaruh dan kekuasaan antara Yang
Dipertuan Terung dan Patih Mahodara.”

Ungkapan Raden Sulaiman tentang pertarungan dua rajawali


Majapahit itu dilatari oleh perebutan pengaruh dan kekuasaan
bukan tanpa alasan. Dalam peperangan itu masing-masing pihak
selalu menyatakan diri sebagai pembela Majapahit sejati. Adipati
Terung mengaku sebagai abdi setia Ratu Stri Maskumambang,
maharaja Majapahit yang berkedaton di Japan. Sementara itu,
Patih Mahodara mengaku sebagai abdi setia Sri
Surawiryawangsaja, maharaja Majapahit yang berkedaton di
Daha. Padahal, hampir semua orang tahu bahwa baik Ratu Stri
Maskumambang maupun Sri Surawiryawangsaja adalah “boneka”
dari dua petinggi Majapahit yang berebut pengaruh dan kekuasaan
itu.

Abdul Jalil terkejut dengan pengakuan jujur Raden Sulaiman. Dari


cerita-cerita yang ia dengar selama ini hampir semua menyatakan
jika Patih Mahodara telah mengangkat diri menjadi maharaja
Majapahit di Daha, menggantikan kedudukan Sri Prabu Natha
Girindrawarddhana. Lantaran itu, adipati Terung menolaknya dan
menyatakan tetap setia kepada Ratu Stri Maskumambang.
Ternyata, menurut Raden Sulaiman, di Daha sendiri sebenarnya
masih ada maharaja Majapahit yang bernama Sri
Surawiryawangsaja.
1285
Tentang terbaginya kekuasaan Majapahit, menurut Raden
Sulaiman, sesungguhnya sudah terlihat beberapa waktu sebelum
Sri Prabu Natha Girindrawarddhana mangkat. Saat itu kekuatan
besar di Majapahit yang dapat dikata melampaui kekuatan
maharaja dipegang oleh dua orang pejabat tinggi Majapahit:
adipati Terung dan Patih Mahodara. Itu sebabnya, sepeninggal
Prabu Natha Girindrawarddhana kerajaan terbagi menjadi dua.
Masing-masing raja sangat bergantung kepada dua pejabat tinggi
tersebut. Bahkan menurut kasak-kusuk yang tersebar di
pedalaman, pembagian Majapahit menjadi dua itu sesungguhnya
hasil akal-akalan Patih Mahodara dan adipati Terung untuk
memperkokoh wibawa dan kekuasaan masing-masing.
Maksudnya, mereka berdualah yang sesungguhnya berada di balik
pembagian kekuasaan Majapahit ke tangan dua orang raja itu.

“Patih Mahodara dan komplotannya mendaulat adik bungsu Sri


Prabu Natha Girindrawarddhana, yaitu Sri Surawiryawangsaja
untuk menjadi maharaja Majapahit, menggantikan takhta
kakaknya,” kata Raden Sulaiman. “Tetapi, adipati Terung
tersinggung dan marah karena sebagai anggota rajasabha (majelis
raja) dia tidak dilibatkan dalam menentukan pengganti maharaja.
Karena itu, saat orang-orang di Daha masih merayakan upacara
rajasuya (Jawa kuno: upacara korban dalam penobatan raja), dia
dan para adipati pesisir memaklumkan diri tunduk di bawah
kekuasaan Ratu Stri Maskumambang, maharani Majapahit,
pewaris takhta Sri Prabu Natha Girindrawarddhana yang
berkedaton di Japan. Dan sejak itu terjadi ketegangan antara sang
patih dan Yang Dipertuan Terung, sehingga pecah pertempuran
ketiga.”
1286
“Siapakah Ratu Stri Maskumambang?” tanya Abdul Jalil.

“Beliau adalah puteri Sri Prabu Natha Girindrawarddhana.


Namanya Dyah Rantnapangkajapatni. Tetapi seperti yang telah
kami jelaskan tadi, baik Sri Surawiryawangsaja maupun Ratu Stri
Maskumambang sebenarnya hanya boneka dari dua kekuatan
yang bertarung itu. Kedua raja itu, menurut penilaian kami, nyaris
tidak memiliki kekuatan apa pun. Mereka tidak memiliki angkatan
perang, tanah, kekayaan harta benda, dan bahkan tidak memiliki
dukungan dari para adipati. Karena itu, sepeninggal Sri Prabu
Natha Girindrawarddhana dapat dikata hampir seluruh
nayakapraja di kraton Daha dan sejumlah adipati di pedalaman
adalah kaki tangan Patih Mahodara. Sementara itu, adipati-adipati
muslim di pesisir dan sebagian adipati di wilayah Blambangan
berpihak kepada adipati Terung.”

“Sekalipun Patih Mahodara tidak berani secara terbuka


mengangkat diri sebagai maharaja, sejatinya dialah yang
mengendalikan roda pemerintahan Majapahit di Daha. Sebab, Sri
Surawiryawangsaja telah dijadikannya sebagai ‘ratu sangkar
emas’ tak bernyawa. Hari-hari dari kehidupan Sri
Surawiryawangsaja telah dicipta oleh sang patih menjadi semarak
pesta kesenangan yang penuh puja-puji dan sanjungan. Putera Sri
Prabu Adi-Suraprabhwa yang sejak kecil sudah dilumpuhkan oleh
lingkungan mewah dan penuh sanjungan itu tidak pernah
menyadari jika dirinya didudukkan di atas singgasana yang terletak
di dalam ‘sangkar emas’ oleh sang patih. Ia tidak pernah tahu jika

1287
para punggawa dan kawula Majapahit jauh lebih mengenal nama
besar sang patih daripada namanya.”

“Sementara itu, tak berbeda dengan Patih Mahodara, adipati


Terung pun menempatkan Dyah Ratnapangkajapatni sebagai ‘ratu
sangkar emas’. Tetapi, agak berbeda dengan nasib pamannya
yang menjadi ‘tahanan’ Patih Mahodara, Dyah Ratnapangkajapatni
lebih bebas dalam menjalankan kekuasaannya. Ratu Japan itu
dapat memerintahkan ini dan itu kepada para bawahannya.
Malahan, setiap tahun sekitar tiga puluh orang adipati datang ke
Japan untuk mempersembahkan upeti kepada sang ratu Japan,”
ujar Raden Sulaiman.

“Kalau begitu, ratu Japan tidak boleh disebut sebagai ‘ratu sangkar
emas’ peliharaan adipati Terung. Sebab, dia jauh lebih berkuasa
dibanding Sri Surawiryawangsaja. Dia tidak berada di bawah
kendali adipati Terung. Bahkan, dia sehari-harinya tinggal di
Japan, sedangkan adipati Terung tinggal di Terung.”

“Sekilas memang Ratu Stri Maskumambang adalah maharani yang


berkuasa penuh. Tetapi jika diselidiki siapa saja para pejabat yang
membantunya menjalankan roda pemerintahan, akan tampak
bahwa hampir seluruhnya adalah sanak-saudara adipati Terung.
Jabatan patih, misalnya, dipegang oleh Ario Kedut, kemenakan
sang adipati. Patih Ario Kedut adalah cucu Ario Damar karena
ayahandanya yang bernama Ario Menak Sunaya, Yang Dipertuan
Pamadegan, adalah putera adipati Palembang itu. Jabatan
1288
manghuri (sekretaris negara) dipegang oleh kemenakan sang
adipati, yaitu Pangeran Kanduruwan, putera Raden Patah adipati
Demak. Selain kemenakan, Pangeran Kanduruwan juga menantu
adipati Terung. Jabatan demung (kepala rumah tangga istana)
dipegang oleh Bhima Nabrang Wijaya, putera Ario Menak Simbar
Blambangan, juga kemenakan sang adipati. Jabatan rangga
(perwira pengawal ratu) dipegang oleh Arya Terung, putera adipati
Terung. Begitulah, seluruh jabatan penting di kraton Japan
dipegang oleh sanak saudara adipati Terung. Ke mana pun Sang
Ratu Stri Maskumambang berada selalu dilingkari oleh orang-
orang yang patuh kepada sang adipati. Bukankah itu sama artinya
dengan sang ratu berada di dalam sangkar emas?” ujar Raden
Sulaiman.

Bertolak dari penjelasan Raden Sulaiman, Abdul Jalil


menyimpulkan bahwa keadaan di Majapahit sejatinya jauh lebih
parah dibandingkan dengan keadaan di Bumi Pasundan.
Pasalnya, di Majapahit tidak ada lagi maharaja yang dipatuhi oleh
semua pihak yang berselisih memperebutkan pengaruh dan
kekuasaan. Sedangkan di Sunda masih ada Prabu Guru Dewata
Prana, maharaja Sunda, yang dipatuhi oleh seluruh raja muda
Bumi Pasundan, yang tidak lain dan tidak bukan adalah putera-
putera dan cucu-cucu maharaja sendiri. Sementara di Majapahit,
mereka yang berselisih adalah para pemuka keluarga yang ikatan
darahnya sangat jauh, bahkan diperparah oleh munculnya
pemuka-pemuka di luar wangsa seperti Patih Mahodara. Dengan
begitu, menurut hemat Abdul Jalil, mempersatukan para penguasa
di Majapahit jauh lebih sulit dibanding mempersatukan raja-raja di
Bumi Pasundan.
1289
Selama beberapa hari tinggal di Padepokan Wanasalam, diam-
diam Abdul Jalil mengamati perilaku pengungsi Wirasabha yang
menurutnya memiliki kemiripan dengan perilaku orang-orang
Caruban, Surabaya, dan Terung, yakni ada pengaruh Campa
dalam tata kehidupan mereka sehari-hari. Misalnya, anak-anak
memanggil ibunya dengan sebutan “mak” sebagaimana lazimnya
orang-orang Campa menyebut ibunya. Sedangkan di Majapahit
orang menggunakan sebutan “ibu”. Seorang kakak menyebut adik
atau orang yang lebih muda dengan sebutan “adiy”. Padahal di
Majapahit orang lazimnya menggunakan sebutan “rayi”. Seorang
adik menyebut kakak atau orang yang lebih tua dengan sebutan
“kang”, sementara di Majapahit orang lazimnya menyebut “raka”.
Orang-orang tua menyebut anak-anak lelaki kecil dengan
panggilan “kachong”, namun di Majapahit orang menggunakan
sebutan “rare”.

Karena ingin lebih dalam mengetahui perilaku para pengungsi


Wirasabha, Abdul Jalil mengajak berbicara seorang pemuda
Wirasabha bernama Kasan yang didapatinya sedang mencuci
bilah tombak dengan rendaman buah asam. Kasan menjelaskan
kepada Abdul Jalil bahwa bilah tombak itu dicuci agar “sang
penghuni” merasa diperhatikan dan dimuliakan. “Kalau pusaka
seperti ini tidak dirawat, bisa mendatangkan malapetaka. Sebab,
penghuninya akan marah. Sudah banyak bukti, jika pusaka-pusaka
seperti ini tidak dicuci dan tidak diberi makan akan mengamuk dan
menimbulkan kesulitan bagi pemiliknya,” jelasnya.

1290
“Apakah tombak itu juga butuh makan dan minum seperti
manusia?” tanya Abdul Jalil heran.

“Sebulan sekali setiap malam Sukra Manis, kami memberinya


makan, Tuan Syaikh.”

“Apa makanan tombakmu itu?”

“Asap kemenyan dan dupa, Tuan Syaikh,” ujar Kasan, “sedangkan


minumnya air bunga.”

Abdul Jalil menarik napas berat. Ia paham, apa yang diyakini


Kasan dan warga muslim Wirasabha yang lain sesungguhnya tidak
berbeda dengan apa yang diyakini orang-orang Caruban,
Surabaya, dan Terung. Penggunaan kemenyan untuk upacara-
upacara mistis jelas berasal dari pengaruh orang-orang Campa
yang membeli kemenyan dari pedagang-pedagang Arab. Orang-
orang Sunda dan Majapahit tidak mengenal kemenyan untuk
upacara keagamaan. Sepengetahuan Abdul Jalil, pohon
kemenyan memang tumbuh di jazirah Arab, terutama di Yaman.
Dari sanalah kemenyan dibawa oleh pedagang-pedagang Arab
hingga ke Majapahit.

1291
Setelah diam beberapa jenak, Abdul Jalil bertanya lagi kepada
Kasan, “Apakah engkau pernah bertemu dengan penghuni tombak
itu?”

“Tidak pernah, Tuan Syaikh,” jawab Kasan polos. “Tetapi penghuni


pusaka ini, katanya, seorang laki-laki tua yang mengenakan jubah
dan destar putih.”

“Dari mana engkau mengetahui penghuni tombak itu laki-laki


berjubah putih?”

“Kakek dan bapak kami yang mengatakannya, Tuan Syaikh.”

“Dan engkau mempercayainya?”

“Kami mengikuti apa yang diajarkan orang tua kami, Tuan Syaikh.”

“Coba kemarikan,” kata Abdul Jalil meminta bilah tombak yang


dipegang Kasan. Setelah memegang tombak itu, ia meletakkannya
di atas tanah dan kemudian menginjak dengan kaki kirinya sambil
berkata, “Menurutmu, apakah penghuni tombak ini akan marah
kepada aku?”

1292
“Ampun Tuan Syaikh, mohon Tuan Syaikh tidak melakukan itu.
Sebab, kami tidak ingin menerima akibat buruk jika penghuni
tombak itu marah,” kata Kasan mengiba dan bersujud di kaki Abdul
Jalil.

“Penghuni tombak?” Abdul Jalil menarik napas berat dan


menggeleng-gelengkan kepala. “Tidakkah engkau tahu jika
penghuni tombakmu sekarang ini menjerit-jerit di bawah telapak
kakiku? Dan sejatinya, dia bukan laki-laki tua berjubah dan
berdestar putih, melainkan seekor kadal setan.”

“Aduh Tuan Syaikh, apakah kadal setan itu tidak berbahaya?”

“Tentu saja tidak. Mana ada kadal berbahaya.”

“Kalau begitu, apa kegunaan pusaka itu?”

“Tidak ada gunanya,” sahut Abdul Jalil jengkel melihat kebodohan


Kasan. “Sebab kadal setan itu telah aku usir. Jadi tombakmu ini
sudah kosong.”

“Apakah nanti dia tidak akan kembali lagi ke rumahnya dan marah-
marah kepada kami?”

1293
“Ketahuilah, he Kasan, di dalam tubuhmu sesungguhnya terdapat
kekuatan yang jauh lebih dahsyat dibanding penghuni tombak ini.
Engkau adalah anak cucu Adam a.s. yang lebih agung dan lebih
mulia daripada setan penghuni pusakamu. Sebab, engkau lebih
sempurna dalam penciptaan dibanding setan,” ujar Abdul Jalil
menyadarkan.

Di luar dugaan tiba-tiba Kasan membenarkan ucapan Abdul Jalil.


Dia menyatakan bahwa apa yang dikemukakan Abdul Jalil adalah
ajaran yang sesuai dengan apa yang diajarkan oleh kakek dan
ayahandanya. Kemudian tanpa diminta Kasan mengungkapkan
keyakinan yang diperolehnya dari ayah dan kakeknya.

“Allahuk, TuhanYang Tak Terbandingkan dan Tak Tersentuh


Indera, bersemayam di kening manusia. Allah, Sang Pencipta,
bersemayam di alis kiri manusia. Muhammad di alis kanan. Jabrail
(Jibril) di mata kiri. Ibrahim di mata kanan. Hasan di lubang hidung
kiri. Husen di lubang hidung kanan. Hawa di telinga kanan. Itulah
ajaran Kebenaran yang kami dengar dari ayahanda dan kakek
kami. Jadi, seperti Tuan Syaikh, kami juga percaya bahwa pada
diri manusia sejatinya ada terdapat Yang Ilahi.”

Penjelasan pengungsi Wirasabha bernama Kasan itu sangat


mengejutkan Abdul Jalil. Ajaran itu sangat ganjil dan tak jelas asal
usulnya. Ia menduga ajaran yang dikemukakan Kasan itu pastilah
terkait dengan ajaran Syiwa-Budha tentang Nawasanga. Apakah
kakek dan ayahanda Kasan terpengaruh dengan ajaran orang-
1294
orang Wanasalam? Apakah Islam di Wirasabha terpengaruh
Syiwa-Budha dari Wanasalam?

Ketika mengaitkan antara ajaran ganjil itu dan Padepokan


Wanasalam, tiba-tiba ingatan Abdul Jalil terlempar kepada sosok
Syaikh Ibrahim Akbar, Syaikh Bentong, dan Haji Musa, para tokoh
Campa di Caruban. Masih segar dalam ingatannya betapa di
dalam musyawarah untuk menetapkan jumlah wali nagari yang
sembilan di Caruban Larang itu, baik Syaikh Ibrahim Akbar, Syaikh
Bentong, dan Haji Musa sangat mendukung gagasan Sri Mangana.
Dengan berbagai alasan, yang secara samar menyinggung
gagasan yang mirip ajaran Nawasanga itu, mereka sepakat
menetapkan jumlah wali nagari di Caruban Larang sebanyak
sembilan. Rupanya, pikir Abdul Jalil, Sri Mangana mengambil
jumlah sembilan dari konsep Nawasanga yang berasal dari ajaran
Syiwa-Budha, sedangkan ketiga orang tokoh asal Campa itu
mengambilnya dari kepercayaan ganjil asal Campa sebagaimana
diungkap Kasan.

Ketika Abdul Jalil menanyakan keganjilan ajaran yang


dikemukakan Kasan kepada Raden Sulaiman, ia justru tersentak
kaget. Sebab, Raden Sulaiman putera Raden Abu Hurairah itu,
menurut Abdul Jalil, sedang berada dalam masalah besar. Ya,
tidak berbeda dengan Kasan, Raden Sulaiman masih
terperangkap ke dalam jerat-jerat takhayul Campa yang menafikan
akal sehat. Namun, saat Abdul Jalil mengingatkan bahwa ajaran
ganjil itu tidak memiliki dasar, barulah Raden Sulaiman
mengungkapkan sesungguhnya sebelum meninggal dunia
1295
ayahandanya berwasiat agar dia tidak mengikuti kepercayaan
orang-orang Campa dari Annam. Sebab, orang-orang Cam dari
Annam itu bodoh dan picik.

“Menurut cerita ayahanda kami, orang-orang Cam asal Annam itu


berasal dari keluarga-keluarga suku Cam, Jarai, Rade, Mada, dan
Pnong-piak yang tinggal di utara. Mereka semula merupakan
orang-orang yang gagah perkasa. Tetapi, selama ratusan tahun
mereka berpindah-pindah tempat dari utara ke selatan untuk
menghindari kekuasaan bangsa Koci (Vietnam) yang makin
meluas. Dan selama ratusan tahun berpindah-pindah itu telah
menjadikan mereka dan keturunannya bodoh. Mereka datang ke
Majapahit bergelombang-gelombang setelah Pandurangga (Phan-
rang) jatuh ke tangan orang-orang Koci. Kalau tidak salah, saat
mereka datang ke Wirasabha, usia kami baru sembilan tahun,”
kata Raden Sulaiman.

“Apakah ajaran ganjil itu berasal dari mereka?” tanya Abdul Jalil.

“Kami kira demikian, Paman,” kata Raden Sulaiman. “Sebab,


ayahanda kami tidak pernah mengajarkan yang demikian itu
kepada kami.”

“Jika demikian, engkau sudah melanggar wasiat ayahandamu.


Karena sekarang ini, engkau sudah mengikuti keyakinan orang-
orang Cam asal Annam itu,” kata Abdul Jalil. “
1296
Kami merasa bersalah, Paman,” kata Raden Sulaiman dengan
kening berpeluh dan dada naik turun, “namun kami tidak tahu harus
berbuat apa. Sebab, yang kami pelajari sehari-hari adalah kitab-
kitab agama yang diwariskan para pengungsi Cam asal Annam itu.
Keberadaan kami selaku imam mereka dituntut harus mengikuti
ketentuan-ketentuan yang mereka dapatkan dari adat warisan
leluhur mereka.”

“Mereka memiliki kitab-kitab agama?” tanya Abdul Jalil terkejut.

Sesungguhnya, ungkap Raden Sulaiman, para pengungsi Cam


asal Annam membawa kitab-kitab agama seperti Tapuk Asalam
(Kitab Islam), Tapuk Muhamad (Kitab Muhammad), Tapuk
Alamadu (Kitab al-Hamdu), Tapuk Cakaray (Kitab Puji-pujian),
Tapuk Musarar (Kitab Rahasia; Primbon), Tapuk Atassadur, dan
Tapuk Sidik Swatik Sikariya (Kitab Kebahagiaan, Kesempurnaan,
dan Kebaikan).

Di dalam kitab terakhir yang disebut Tapuk Sidik Swatik Sikariya


itulah ajaran ganjil yang mirip Nawasanga itu berasal. Bahkan, di
dalam kitab terakhir itu terdapat ajaran Martabat Tujuh yang
menerangkan bahwa surga dan neraka bertingkat tujuh, di mana
semuanya terletak pada tubuh manusia: surga tingkat pertama ada
di mulut, kedua di telinga, ketiga di tangan, keempat di mata,
kelima di hidung, keenam di kening, dan ketujuh di ubun-ubun.
Sedangkan neraka tingkat pertama terletak di perut, kedua di buah

1297
dada, ketiga di pusar, keempat di paha, kelima di betis, keenam di
mata, ketujuh di kaki.

“Aku katakan kepadamu bahwa engkau tidak bersalah dalam hal


ini. Sebab, engkau sebagai imam bagi umat yang tinggal di
pedalaman memang tidak memperoleh pendidikan yang memadai
tentang Islam. Karena itu, engkau harus ikut aku ke Caruban
Larang. Engkau harus belajar tentang Islam secara benar agar
engkau bisa menjalankan amanat orang tuamu dengan baik,” kata
Abdul Jalil.

“Kami mengikuti saja apa yang Paman kehendaki,” kata Raden


Sulaiman.

1298
Para Penguasa Surabaya

Ketika Abdul Jalil dan Raden Sulaiman


beserta prajurit pengawal Terung memasuki
Kadipaten Terung dari gerbang selatan,
rembang senja sudah menggantung di langit
barat; kegelapan mulai menyelimuti lembah
dan bengawan Terung. Tidak seperti
biasanya, Balai Witana (pendapa) Kadipaten Terung terlihat
sangat sepi. Hanya tiga empat orang prajurit yang terlihat
menyalakan lampu. Sementara, sekitar lima prajurit pengawal
terlihat berjalan hilir mudik di halaman Balai Witana.

Saat Abdul Jalil meninggalkan Balai Witana dan melintas di depan


Balai Rangkang, tanpa sengaja ia berpapasan dengan Pangeran
Kanduruwan, kemenakan dan menantu Raden Kusen, yang
menjadi pejabat manghuri di Japan. Putera Raden Patah dari selir
itu baru menginjak tujuh belas tahun. Dia ditugaskan menjaga
Kadipaten Terung, khususnya mengawal Ratu Stri
Maskumambang yang tengah berada di Terung.

Dalam perbincangan singkat dengan Pangeran Kanduruwan,


Abdul Jalil mengetahui jika adipati Terung dan sejumlah sesepuh
dari trah Prabu Kertawijaya sedang berada di Surabaya, tepatnya
di Masjid Ampel Denta. Mereka akan bermusyawarah tentang
peperangan yang terjadi antara adipati Terung dan Patih

1299
Mahodara. “Semua rombongan dari Caruban juga ikut ke
Surabaya,” kata Pangeran Kanduruwan.

“Apakah rombongan dari Daha juga ikut ke Surabaya?” tanya


Abdul Jalil.

“Maksud Paman, rombongan pendeta muda bernama Nirartha?”

“Ya.”

“Empat hari lalu rombongan pendeta muda Nirartha dari Daha tiba
di sini dengan dikawal prajurit-prajurit Terung. Dia datang bersama
istri-istri dan anak-anaknya. Tapi, dua hari lalu dia pergi bersama-
sama dengan adipati Tepasana, Menak Lampor. Katanya, dia akan
ke Bali karena padepokannya di Daha dihancurkan Patih
Mahodara,” kata Pangeran Kanduruwan.

“Apakah Wiku Suta Lokeswara juga sudah sampai ke sini?” tanya


Abdul Jalil.

“Maksud Paman, wiku tua ayahanda Nirartha?”

“Ya.”
1300
“Dia sampai ke sini esok hari setelah kedatangan Nirartha.”

“Apakah dia ikut ke Bali?”

“Tidak, Paman,” kata Pangeran Kanduruwan. “Resi muda Nirartha


berangkat ke Bali dengan anak-anak dan istri-istrinya, sedangkan
wiku tua itu ikut rombongan Paman Adipati Terung ke Surabaya.”

“Jika boleh tahu, musyawarah apakah yang akan digelar di


Surabaya? Kelihatannya penting sekali.”

“Mungkin untuk menghentikan peperangan, Paman,” jelas


Pangeran Kanduruwan. “Sebab, Patih Mahodara telah mengutus
menantunya, Syaikh Maulana Gharib, untuk menghadap Pangeran
Ahmad, Imam Masjid, putera Susuhunan Ampel Denta, untuk
mendamaikan peperangan yang menyengsarakan kawula itu.
Sebagaimana perdamaian pada perang pertama dan kedua,
Pangeran Ali Rahmatullah diharapkan berkenan menjadi juru
damai.”

“Jadi Patih Mahodara punya menantu seorang syaikh?” Abdul Jalil


heran. “Bukankah dia dikenal sebagai pejabat Majapahit yang
sangat membenci orang-orang Islam?”

1301
“Patih Mahodara itu cerdik, sekalipun oleh banyak orang dia
dianggap keturunan seekor anjing. Dalam dua pertempuran yang
tidak dimenangkannya itu, rupanya dia sadar tidak boleh lagi
membentur kekuatan Islam yang terbukti sudah sangat kuat di
pesisir. Itu sebabnya, dia kemudian berusaha memperkuat
pertahanan dirinya dengan memanfaatkan dukungan pemuka-
pemuka Islam,” kata Pangeran Kanduruwan.

“Kemudian dia menikahkan puterinya dengan Syaikh Maulana


Gharib, begitu?”

“Kira-kira begitulah, Paman,” kata Raden Sulaiman. “Puteri Patih


Mahodara yang bernama Niken Sundara yang masih kecil
dinikahkan dengan Syaikh Maulana Gharib yang sudah sangat
tua.”

“Tapi siapakah Syaikh Maulana Gharib itu? Aku belum pernah


mendengar namanya.”

“Dia adalah adik Syaikh Maulana Ishak,” ujar Raden Sulaiman. “Dia
juga paman Prabu Satmata, Yang Dipertuan Giri Kedhaton.”

“Jika demikian, Syaikh Maulana Gharib masih berkerabat dengan


aku. Sebab ayahandanya, Syaikh Ibrahim al-Ghozi as-
Samarkandy, adalah saudara sepupu ayahandaku,” kata Abdul
1302
Jalil. Dengan memahami lingkaran kekerabatan antara Syaikh
Maulana Gharib dan para penguasa di pesisir, Abdul Jalil diam-
diam memuji sang patih yang mengambil Maulana Gharib sebagai
menantu. Dengan keberadaan Syaikh Maulana Gharib sebagai
menantu berarti Patih Mahodara telah mendapatkan pengaruh
imam Masjid Ampel Denta yang sekarang. “Ah, cerdik sekali Patih
Mahodara.”

“Dia memang cerdik, licin, ulet, namun licik seperti ular yang
menakutkan,” kata Pangeran Kanduruwan.

Dibanding pelabuhan Tuban, Surabaya hanyalah pelabuhan kecil


yang tak berarti. Dermaga di pelabuhan Surabaya terlihat seperti
lonjoran-lonjoran kayu yang menjorok ke laut dengan sejumlah
balok yang dipancang untuk menambat kapal-kapal kecil. Meski
kecil dan tak berarti, suasana di pelabuhan sangat ramai.
Sederetan bangunan besar dengan atap menjulang seolah
menggapai langit terletak di selatan dermaga. Di sekitarnya terlihat
puluhan rumah yang lebih kecil. Itulah kediaman para perwira
angkatan laut Majapahit yang dilingkari rumah para bintara.

Sekalipun sebagai pelabuhan niaga Surabaya tergolong kecil dan


tidak berarti, sebagai pangkalan armada laut, Surabaya adalah
yang terbesar dan tak tertandingi. Di belakang kediaman para
perwira dan bintara angkatan laut yang terletak di selatan dermaga,
terdapat dermaga rahasia yang luar biasa besar. Dermaga itu
berada di laut buatan yang terbentang di antara Sungai Mas dan
1303
Sungai Patukangan. Jika orang melihat dari arah laut, agak jauh di
belakang deretan atap kediaman para perwira yang terletak di tepi
timur Sungai Mas itu, terlihat tiang-tiang kapal perang yang tegak
menjulang bagaikan barisan tombak raksasa. Agak keselatan dari
muara terlihat sebuah kanal laut buatan untuk pintu keluar bagi
kapal-kapal perang Majapahit menuju muara Sungai Mas.
Sedangkan pintu masuknya terletak di kanal di muara Sungai
Patukangan.

Lantaran Surabaya merupakan pangkalan angkatan laut Majapahit


maka kapal-kapal perang Majapahit, baik yang dibikin di galangan
Surabaya, Tuban, Samarang, maupun yang dibeli dari Pegu
(Burma) ditempatkan di Surabaya. Dari pangkalan di Surabayalah
kapal-kapal Majapahit menyebar ke berbagai penjuru Nusantara.
Jumlah pasukan laut Majapahit yang disiagakan di Surabaya
diperkirakan sekitar lima puluh ribu orang. Mereka tinggal dirumah-
rumah para perwira dan bintara serta di barak-barak prajurit.

Karena Surabaya adalah pangkalan utama angkatan laut yang


menyimpan banyak rahasia militer, maka ia tertutup bagi
perdagangan. Kapal-kapal dan perahu niaga yang diizinkan
bersandar di dermaga pelabuhan Surabaya hanyalah kapal dan
perahu niaga milik saudagar setempat. Mereka memuat barang-
barang dagangan yang dibutuhkan oleh para anggota angkatan
laut Majapahit seperti beras, garam, minyak kelapa, gula, kain,
arang, dan alat-alat perbaikan kapal.

1304
Keberadaan para pelaut di Surabaya itu mendorong penduduk
untuk berusaha memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari.
Agak jauh di selatan dermaga rahasia berdiri puluhan warung-
warung makan. Di kanan kiri warung-warung itu terdapat sejumlah
rumah petak milik para mucikari yang dihuni pelacur-pelacur.
Kawasan itu diawasi oleh seorang juru jalir (Jawa Kuno: pengawas
pelacuran) yang selain mengutip pajak pelacuran juga berhak
menangkap bangsawan dan perwira yang kedapatan masuk
daerah tersebut. Sesuai penghuninya, tempat itu dinamai
Srenggakarana (Jawa Kuno: pembangkit nafsu syahwat). Di
seberang barat Srenggakarana, dipisahkan Sungai Patukangan,
terdapat tempat orang-orang menggelar pertunjukan wayang,
sandiwara, tayuban, dan berjenis-jenis tontonan. Kawasan ini
diawasi oleh seorang tuha padahi (Jawa Kuno: pengawas seni
pertunjukan). Dan sesuai kegunaannya, tempat itu disebut
Panggung (Jawa Kuno: pentas pertunjukan). Kedua tempat itu
ramai dikunjungi oleh para prajurit laut rendahan Majapahit.

Karena kedudukannya yang tertutup, penjagaan sejak di muara


Sungai Mas sampai ke kawasan Supit Urang di tempuran Sungai
Brantas di selatan sangatlah ketat. Kapal-kapal atau perahu niaga
yang akan masuk ke muara Sungai Mas diperiksa terlebih dulu di
dermaga utama. Selepas dari dermaga utama, kapal-kapal dan
perahu niaga itu akan diperiksa lagi di Pabean. Jika ingin
meneruskan pelayaran ke selatan, akan diperiksa lagi secara
berturut-turut di Kabangsri, Bukul, dan Supit Urang.

1305
Karena ketatnya pemeriksaan maka kapal-kapal niaga yang akan
menuju kutaraja Majapahit untuk berdagang di pelabuhan Canggu
nyaris tidak ada yang masuk melalui Sungai Mas. Mereka biasanya
masuk lewat muara Sungai Brantas yang terletak sekitar dua puluh
pal di timur Sungai Mas. Kapal-kapal itu akan masuk lewat Supit
Urang, terus ke Gsang, Tda, dan Canggu tanpa diperiksa. Jalur
lain yang juga ramai dan sejak zaman kuno digunakan oleh kapal-
kapal ukuran besar adalah muara Sungai Porong dengan dermaga
di Kambang Sri, Jedong, Terung, dan Canggu. Kapal-kapal dan
perahu niaga itu baru dikenai pungutan cukai dan biaya sandar di
Canggu.

Boleh jadi karena pangkalan angkatan laut lebih membutuhkan


keterampilan dibidang pembuatan kapal, perbaikan, peralatan
perang, pertukangan, dan pemenuhan kebutuhan prajurit maka
bagian terbesar penduduk Surabaya adalah para pekerja yang
sangat ahli dalam bidangnya. Mereka adalah para pembuat dan
ahli memperbaiki kapal (undahagi; amaranggi; juru palwa; juru
pelang), penggergaji kayu, pembuat berjenis-jenis senjata (gusali),
pembuat kain layar (agawai layar, pembuat alat-alat pelontar api
(juru gurnita), pembuat bangunan-bangunan untuk prajurit. Mereka
didatangkan dari berbagai tempat di segenap penjuru negeri
bahkan mancanegara. Kediaman para tukang itu terletak di selatan
dermaga rahasia Surabaya. Orang-orang menyebut tempat itu
dengan nama Patukangan.

Entah kebetulan entah tidak, keberadaan Surabaya sebagai


pangkalan angkatan laut Majapahit seolah-olah memiliki pengaruh
1306
kuat dalam membentuk watak penduduknya. Adat kebiasaan
penduduk Surabaya seolah-olah tumbuh dan berkembang di
bawah bayang-bayang nilai keprajuritan, jauh dari adat kebiasaan
penduduk Majapahit di tempat lain. Tidak seorang pun mengetahui
kapan adat kebiasaan itu mulai dijalankan oleh penduduk
Surabaya. Orang hanya ingat bahwa adat kebiasaan penduduk
Surabaya seolah mendidik dan melatih semua orang agar menjadi
prajurit yang tangguh. Sejak masih usia kanak-kanak penduduk
Surabaya yang berasal dari berbagai suku dan bangsa itu sudah
diarahkan untuk menjadi petarung-petarung unggul melalui
perkelahian-perkelahian. Berkelahi baik sendiri-sendiri atau
keroyokan, adalah bagian utama dari kebanggaan dan kehormatan
penduduk Surabaya. Bahkan, kata tawur yang bermakna sesaji
persembahan, di Surabaya dimaknai sebagai perkelahian
keroyokan untuk membalas tindakan lawan.

Adat kebiasaan di Surabaya, benar-benar menempatkan


keterampilan berkelahi sebagai bagian utama dari cara
pengasuhan anak-anak sejak mereka berani bermain di luar
rumah. Tidak peduli anak pejabat tinggi, tidak peduli anak prajurit
atau anak tukang, yang paling disanjung dan dibangga-banggakan
oleh kawan-kawannya adalah yang paling kuat dan paling
pemberani. Di Surabaya, kemuliaan dan kehormatan diperoleh
orang seorang bukan berdasarkan keturunan, kekayaan,
kedudukan, dan pangkat tertentu, melainkan karena keberanian,
perlawanan dan kesetiakawanan. Dengan adat kebiasaan yang tak
lazim itu, penduduk Surabaya adalah orang-orang yang sangat
berlebihan membanggakan diri, tidak mau kalah, suka melawan,
gemar berkelahi, nekat, sombong, suka membual, tetapi sangat
1307
setia kawan. Watak ini dimaknai singkat oleh warga Surabaya
dalam istilah sederhana: bagedyut (suka membualkan kehebatan
diri sendiri).

Untuk melestarikan adat kebiasaan berkelahi itu, sejak kecil anak-


anak Surabaya sudah dicekoki dengan cerita-cerita peperangan
dan perkelahian. Yang termasyhur di antaranya adalah dongeng
terjadinya nama Surabaya. Dongeng ini diawali oleh kehadiran
seekor ikan sura (hiu) yang masuk ke aliran Sungai Mas. Ikan itu
dihalau oleh buaya penghuni sungai. Kemudian terjadilah
pertarungan sengit antara kedua hewan itu yang berakhir dengan
terusirnya ikan sura kelautan.Untuk memperingati peristiwa itu,
maka tempat terjadinya pertarungan itu disebut dengan nama
Surabaya. Selain itu hampir setiap anak di Surabaya menghafal
sebait pantun yang berbunyi:

"Pring ditumpuk-tumpuk, bumbung wadahe merang"

"Cilik diipuk-ipuk, nek wis gede budhal perang"

artinya: "Bambu ditumpuk-tumpuk, tabung bambu tempat jerami


kering"

"Waktu kecil disayang sayang, jika sudah besar berangkat/maju


perang".
1308
Untuk waktu yang lama, Surabaya hidup dengan dongeng dan adat
kebiasaan berkelahinya sendiri. Laksamana laut Majapahit yang
ditunjuk sebagai penguasa Surabaya hanya mengawasi dari
kediamannya di kutaraja. Ia sepenuhnya menyandarkan dari
laporan bawahannya. Manakala adat kebiasaan berkelahi di
Surabaya merangkak sampai ke puncak dan meledak dalam
bentuk kerusuhan, semua pihak menjadi bingung. Rupanya,
kegemaran berkelahi di Surabaya itu meluas hingga kalangan
prajurit rendahan. Prajurit-prajurit laut yang umumnya berusia
muda dan berdarah panas itu berkelahi dengan pemuda kampung.
Mereka sering menyerang rumah penduduk. Penduduk kampung
Surabaya tentu saja tidak mau kalah. Mereka ganti menyerbu
barak-barak tempat prajurit laut itu tinggal. Kekacauan pun pecah.
Korban berjatuhan di kedua belah pihak karena penduduk
melengkapi diri dengan senjata buatan mereka sendiri.

Peritiwa kekacauan besar di Surabaya yang melibatkan prajurit


laut dan penduduk terjadi tak lama setelah Prabu
Wikramawarddhana naik takhta menggantikan Prabu
Rajasanegara. Dalam kekacauan itu rumah penduduk di kampung-
kampung dirusak dan dibakar. Mayat kedua pihak bergelimpangan
di jalan-jalan. Kekacauan merebak di seluruh penjuru kota.
Petugas padam apuy (Jawa Kuno: pemadam kebakaran) dari
angkatan laut nyaris tak berdaya menanggulangi kebakaran yang
marak. Surabaya yang dihuni berbagai suku dan bangsa yang
memiliki watak berbeda-beda itu benar-benar mencekam karena
baik para prajurit maupun penduduk tidak ada yang mau
mengalah. Jalanan sepi, sungai-sungai tak dilayari. Sementara di

1309
sudut-sudut kampung terlihat kerumunan orang membawa
berbagai jenis senjata.

Menghadapi peristiwa yang tidak diharapkan itu, Prabu


Wikramawarddhana sadar bahwa sebuah tempat yang
berkembang dengan jumlah penduduk hampir seratus ribu orang
tidaklah mungkin dilepaskan tanpa pemimpin. Laksamana laut
memang dapat mengendalikan pasukannya, namun penduduk
yang tidak memiliki pemimpin dapat bertindak semaunya tanpa
arahan dari seorang pemimpin yang dipatuhi.

Akhirnya, Prabu Wikramawarddhana memutuskan untuk


mengangkat seorang raja muda di Surabaya dengan tugas utama
menertibkan pangkalan angkatan laut dan kota dari kekacauan.
Orang yang dinilai cocok untuk memangku jabatan raja muda
Surabaya adalah Pangeran Arya Lembu Sura, putera
Singhawarddhana Bhre Paguhan, saudara lain ibu Prabu
Wikramawarddhana. Pangeran Arya Lembu Sura dianggap
mampu memimpin Surabaya yang sedang kacau karena sejak
kecil ia tinggal di Surabaya dan sudah sangat mengenal watak
penduduk. Di samping itu, hampir semua penduduk Surabaya dari
prajurit hingga tukang dan buruh sudah mengenal sang pangeran
yang tinggal di Puri Surabayan tersebut.

Pangeran Arya Lembu Sura, raja pertama Surabaya, adalah


pangeran gagah berani yang terkenal dermawan dan suka bergaul
dengan siapa saja tanpa melihat asal usul dan derajat orang
1310
sebagaimana umumnya penduduk Surabaya, ia sudah terbiasa
dengan kehidupan keras di lingkungannya. Meski ibu sang
pangeran adalah puteri Janggala dan ayahandanya raja di
Paguhan, kedudukan itu tidak menghalangi sang pangeran untuk
gemar berkelahi seperti lazimnya anak-anak Surabaya. Bahkan
karena kegemaran berkelahi itu sang pangeran memiliki banyak
kawan dan sangat dibangga-banggakan oleh mereka.

Pengangkatan Pangeran Arya Lembu Sura sebagai raja muda


Surabaya disambut dengan suka cita oleh penduduk. Hampir
semua penduduk mengenal sang pangeran yang pemberani,
dermawan, setia kawan, dan tidak membeda-bedakan manusia
berdasar keturunan dan jabatan. Sikap sang pangeran yang tidak
membeda-bedakan orang berdasar keturunan lebih disebabkan
oleh kenyataan bahwa ia seorang muslim. Menurut kisah orang-
orang, Pangeran Arya Lembu Sura adalah pangeran Majapahit
pertama yang memeluk agama Islam.

Sukacita atas pengangkatan Pangeran Arya Lembu Sura


diwujudkan dalam bentuk pesta besar yang diselenggarakan
selama tujuh hari tujuh malam di kediaman sang pangeran. Dalam
pesta itu, selain mengundang penduduk, sang pangeran juga
mengundang kawan-kawannya, baik yang menjadi pemuka warga
di kampung-kampung, maupun yang menduduki jabatan perwira
dan bintara di angkatan laut. Ternyata setelah lewat tujuh hari
seusai pelantikan, keadaan di Surabaya berangsur-angsur
mereda. Jalan-jalan ramai kembali. Orang-orang bekerja lagi.

1311
Penduduk secara gotong royong membangun rumah-rumah yang
rusak.

Di bawah kepemimpinan Pangeran Arya Lembu Sura kehidupan


penduduk Surabaya sarat dengan limpahan kemakmuran. Sebab
para nayakapraja yang membantu sang raja tidak saja dikenal
sebagai pejabat-pejabat yang jujur, bahkan sang raja menetapkan
peraturan yang tidak lazim, yaitu menghapus semua jenis pajak
bagi penduduk Surabaya yang bekerja sebagai tukang, perajin,
pedagang kecil, buruh, dan petani berlahan sempit. Pajak hanya
dikenakan kepada pen-duduk yang memiliki kapal, balai rangkang,
tandu, gajah, payung kutlima, tanah seluas sepuluh tampah (7,6
hektar), saudagar emas, saudagar permata, dan pedagang logam.

Pada masa Pangeran Arya Lembu Sura berkuasa, untuk kali


pertama dibangun sebuah kraton di Surabaya. Letaknya di tepi
barat Sungai Mas, kira-kira tiga pal di utara Puri Surabayan.
Berpusat dari kraton inilah sang raja memacu pertumbuhan
Surabaya menjadi kota besar tempat sebuah pemerintahan
ditegakkan. Bangunan-bangunan baru di sekitar kraton tumbuh
sesuai tuntutan tata pemerintahan, seperti Ndalem Kepatihan,
Katumenggungan, Kacarikan (manghuri), Karanggan, dan
Katandhan. Tembok baluwarti setinggi lima depa dibangun
mengitari kraton sejak tepi barat Sungai Mas hingga ke barat
sepanjang tiga pal. Sebuah taman sari (kebon raja) yang indah
dibangun di utara kraton dengan kolam ikan (paulaman) yang luas.

1312
Entah benar entah tidak, menurut dongeng orang-orang tua, sejak
Pangeran Arya Lembu Sura berkuasa sebagai raja terbentuklah
untuk kali pertama perkampungan muslim di Surabaya.
Perkampungan itu terletak di seberang timur kraton dan dinamai
Pinilih (Jawa Kuno: bebas memilih). Penduduk muslim di Kampung
Pinilih umumnya perajin, pedagang kecil, dan pengecor logam.
Mereka adalah para pembuat tikar rotan (agawai lampit), pemintal
benang (angapus), tu-kang jagal (juru bapuh), tukang celup
(mangkala), buruh yang mengurusi ayam aduan (juru kurung), dan
penempa logam (apande salwir ning apande). Untuk kepentingan
ibadah warga muslim di Pinilih, Pangeran Arya Lembu Sura
membangun masjid di sana. Itulah masjid pertama di Surabaya.

Perkampungan muslim kedua terbentuk di tepi timur Sungai Mas


kira-kira tiga pal di utara Pinilih. Perkampungan baru itu disebut
Ampel Denta (Jawa Kuno: Bambu Gading) karena di situ banyak
tumbuh pohon bambu gading. Letak Ampel Denta di sebelah
selatan Kampung Patukangan. Meski berdekatan dengan
Kampung Patukangan, penduduk Ampel Denta bukanlah tukang.
Mereka umumnya bekerja di bidang kerajinan dan perdagangan
kecil, seperti perajin emas (limus galuh), tukang jahit (juru basana),
perajin permata (pamanikan), pembuat payung (payungan),
pedagang bantal (banyaga wantal), pedagang kapur (wli hapu),
pedagang terompah (wli tarumpah), dan pedagang kemenyan dan
dupa (wli pulageni).

Agak berbeda dengan penduduk muslim Pinilih, penduduk Ampel


Denta kebanyakan orang-orang Kmir (Jawa Kuno: Campa; Khmer)
1313
dan peranakan Arab. Yang paling berpengaruh di antara penduduk
muslim peranakan di Surabaya, terutama di Ampel Denta, adalah
tiga bersaudara Bong (Sam Bong), yaitu Haji Bong Swi Hoo, Haji
Bong An Sui, dan Haji Bong Sam Hong. Mereka merupakan cucu
Bong Tak Keng, orang asal Sin Fun An (Pnom-penh) yang datang
untuk berdagang ke Majapahit sejak Prabu Rajasanegara
memerintah. Sama seperti kakeknya, Bong Swi Hoo dan dua orang
saudaranya adalah pedagang sutra yang tinggal di dermaga
Jedong di hilir Sungai Porong. Ketika mendengar raja Surabaya
yang baru dilantik adalah seorang muslim, dengan diikuti sejumlah
penduduk yang beragama Islam, ia dan saudara-saudaranya
pindah ke Surabaya. Bong Swi Hoo bersaudara meminta perkenan
Pangeran Arya Lembu Sura agar ia dan saudara-saudaranya
dapat tinggal di Surabaya. Dan Pangeran Arya Lembu Sura
meluluskan permintaannya.

Bong Swi Hoo bersaudara kemudian tinggal di selatan Ampel


Denta. Penduduk Surabaya menyebut kediaman tiga bersaudara
Bong itu dengan nama Kampung Sam Bong-an (tempat tinggal
Sam Bong). Tiga bersaudara Bong itu dikenal sebagai
penyumbang dana terbesar bagi pembangunan Masjid Ampel
Denta, yang merupakan masjid kedua di Surabaya. Mereka tidak
hanya dikenal sebagai saudagar yang dermawan, tetapi juga
diketahui penduduk sebagai mertua raja Surabaya, Pangeran Arya
Lembu Sura.

Sebagai seorang raja muslim, Pangeran Arya Lembu Sura memiliki


hubungan baik dengan saudagar-saudagar muslim dan guru-guru
1314
agama Islam di Majapahit. Salah seorang guru dan sekaligus
sahabat yang paling dipercayainya adalah Sayyid Malik Ibrahim,
banyaga wantal yang tinggal di Thani Sembalo Wisaya Tandhes
(Gresik). Berbeda dengan banyaga wantal yang tinggal di Ampel
Denta, bantal-bantal yang diperdagangkan Sayyid Malik Ibrahim
merupakan bantal bermutu tinggi buatan Persia dan Gujarat.
Bantal-bantal itu hanya diperdagangkan di kalangan pejabat tinggi
Majapahit, terutama di lingkungan keluarga Maharaja.

Sayyid Malik Ibrahim sendiri dikenal sebagai orang yang cerdik,


sabar, dermawan, bijaksana dan pandai bercerita. Para pangeran
kecil Majapahit selalu menunggu-nunggu kehadirannya untuk
mendengarkan kisah-kisahnya yang menakjubkan. Di lingkungan
keluarga maharaja di kutaraja, Sayyid Malik Ibrahim dikenal
dengan sebutan Kake' Bantal Sang Amancangah (Kakek Bantal Si
Juru Dongeng). Lewat cerita-ceritanya yang menakjubkan itulah
dia berkenalan dan menjalin persahabatan dengan Pangeran Arya
Lembu Sura, saat sang pangeran berkunjung ke kutaraja. Dan
lewat bimbingan Sayyid Malik Ibrahim, Pangeran Arya Lembu Sura
kemudian memeluk agama Islam.

Hubungan sebagai guru dan murid antara Sayyid Malik Ibrahim


dan Pangeran Arya Lembu Sura berlangsung dengan akrab
selama bertahun-tahun. Hubungan itu makin dekat ketika sang
pangeran berkenalan dengan Sayyid Ibrahim Zainal Akbar,
kemenakan Sayyid Malik Ibrahim. Sayyid Ibrahim Zainal Akbar
adalah banyaga wesi yang memperdagangkan berjenis-jenis besi
bermutu tinggi dari berbagai negeri. Melalui jasa Pangeran Arya
1315
Lembu Sura, ia menjadi pemasok utama kebutuhan Majapahit
akan besi-besi bermutu yang digunakan membuat senjata-senjata
pusaka. Yang paling masyhur di antaranya adalah yang disebut
Wesi Purasani. Besi itu menjadi bahan utama bagi pembuatan
pusaka di lingkungan kraton. Sebutan Purasani sendiri berasal dari
kekeliruan lidah orang-orang Majapahit melafalkan "Khurasani",
yaitu besi asal besi itu. Hampir semua pusaka kerajaan yang dibuat
dari bahan besi asal Khurasan berasal dari pasokan Sayyid
Ibrahim Zainal Akbar.

Sayyid Malik Ibrahim dan Sayyid Ibrahim Zainal Akbar merupakan


orang-orang yang sangat dipercaya oleh Arya Lembu Sura. Sebab,
mereka dikenal jujur dan selalu menjalankan apa yang mereka
ucapkan. Atas saran Sayyid Malik Ibrahim, pangeran Arya Lembu
Sura menikahi anak-anak tiga bersaudara Bong. Dari anak Haji
Bong Swi Hoo, sang pangeran memperoleh putera sulung, yaitu
Arya Sena, yang setelah dewasa diangkat oleh maharaja menjadi
pecat tandha di Terung. Dari anak Haji Bong An Sui, sang
pangeran memperoleh keturunan puteri yang dinamai Ratna
Wulan. Puteri itu diperistri orang Arab asal Pasai bernama
Abdurrahim bin Kourames al-Abbasi. Sedang dari anak Haji Bong
Sam Hong, sang pangeran memperoleh keturunan puteri yang
dinamai Ratna Panjawi. Puteri itu diperistri Dyah Kertawijaya,
kemenakannya sendiri. Sementara atas saran Sayyid Ibrahim
Zainal Akbar, Pangeran Arya Lembu Sura menikahi perempuan
Wandan muslim anak kepala suku Wandan. Dari perempuan
Wandan itu ia memiliki putera bernama Arya Bribin, yang setelah
dewasa diangkat oleh maharaja menjadi adipati di Arosbaya,
Madura.
1316
Ketika Majapahit mulai melemah akibat perang berkepanjangan
dengan Blambangan yang diikuti meredupnya kekuatan laut, Arya
Lembu Sura mengambil langkah mengejutkan: mengubah
Surabaya dari pangkalan utama angkatan laut menjadi bandar
perniagaan. Menurut hemat Arya Lembu Sura, jika Surabaya tetap
dipertahankan sebagai pangkalan tertutup dengan puluhan ribu
prajurit laut yang tidak terurus, dipastikan akan pecah kekacauan
yang tak terbayangkan. Ia berharap dengan dibukanya pelabuhan
Surabaya sebagai bandar niaga maka kekuatan laut Majapahit
secara berangsur-angsur akan dialihkan menjadi kekuatan niaga.
Kapal-kapal perang Majapahit bisa diubah menjadi kapal niaga.
Para prajurit laut bisa dialihkan menjadi awak kapal niaga.

Keputusan Arya Lembu Sura membuka pelabuhan Surabaya


terbukti sangat tepat. Sebab, kapal-kapal perang Majapahit yang
diubah menjadi kapal dagang sangat disukai oleh para saudagar
untuk mengangkut barang dagangan. Kapal-kapal itu selain lebih
kuat dan muatannya lebih banyak, lajunya juga lebih cepat
dibanding kapal niaga biasa. Sementara itu, jarak bandar
Surabaya ke kutaraja Majapahit yang lebih dekat dibanding jarak
dari Tuban menyebabkan para saudagar lebih memilih
menurunkan dan mamunggah barang dagangannya di Surabaya.
Demikianlah, dalam waktu singkat pelabuhan dagang Surabaya
berkembang pesat. Saudagar-saudagar dari berbagai negeri
berniaga di Surabaya dan banyak di antara mereka yang kemudian
menjadi penduduk Surabaya.

1317
Sebagai satu-satunya pangeran Majapahit yang beragama Islam
di zamannya, Arya Lembu Sura dikenal sebagai pelindung dan
sekaligus tumpuan bagi orang-orang Islam di Majapahit. Lewat
tangan Arya Lembu Sura, sejumlah jabatan penting di Majapahit
diduduki oleh orang-orang Islam. Abdurrahim bin Kourames al-
Abbasi, menantu Arya Lembu Sura, misalnya, diangkat oleh Prabu
Wikramawarddhana menjadi syahbandar di Tuban. Ia dianugerahi
gelar Arya Teja. Arya Bribin, puteranya, diangkat menjadi adipati di
Arosbaya. Sayyid Malik Ibrahim diangkat menjadi imam masjid di
Tandhes dan memimpin warga muslim di sana. Ia bahkan
dianugerahi gelar Raja Pandita.

Peran Arya Lembu Sura dalam menempatkan orang-orang Islam


di dalam pemerintahan terlihat makin kuat manakala menantu yang
juga kemenakannya, Dyah Kertawijaya, naik takhta Majapahit
dengan gelar Prabu Kertawijaya Wijaya Parakramawarddhana.
Atas saran Arya Lembu Sura, putera Sayyid Ibrahim Zainal Akbar
yang bernama Sayyid Salim Najah (dikenal dengan nama Sayyid
Es) diangkat anak oleh Prabu Kertawijaya dan dijadikan adipati
Kendal. Namanya diganti menjadi Syaikh Suta Maharaja. Saudara
tua Sayyid Salim Najah, Sayyid Waly al-Islam oleh Arya Lembu
Sura dinikahkan dengan Ratna Sambodhi, puteri Lembu Miruda
Panembahan Bromo, saudara lain ibu Arya Lembu Sura. Sayyid
Waly al-Islam diangkat menjadi imam masjid di Samarang. Bahkan
saudara termuda mereka, Sayyid Husayn, oleh Arya Lembu Sura
dinikahkan dengan cucunya, puteri Arya Bribin Adipati Arosbaya.

1318
Ketika usia Arya Lembu Sura mencapai hampir tujuh puluh, Dyah
Kertawijaya, kedatangan tiga orang kemenakan istrinya. Karena
Dyah Kertawijaya masih seorang pangeran yang sedang bersaing
memperebutkan takhta yang sedang diduduki kakaknya, Prabu Stri
Suhita, maka ketiga orang kemenakannya itu dititipkan kepada
Arya Lembu Sura. Ketiga kemenakan itu adalah Sayyid Ali
Murtadho, Sayyid Ali Rahmatullah, dan Abu Hurairah. Ketiganya
kemenakan Ratu Darawati, istri Prabu Kertawijaya yang berasal
dari negeri Campa.

Arya Lembu Sura sangat gembira menerima kehadiran ketiga


pemuda Campa itu, terutama setelah ia mengetahui bahwa Raden
Ali Murtadho dan Raden Ali Rahmatullah adalah kemenakan
Sayyid Ibrahim Zainal Akbar, sahabatnya. Mereka berdua adalah
putera Ibrahim al-Ghozi as Samarkandy, saudara kandung Sayyid
Ibrahim Zainal Akbar. Dengan begitu mereka berdua merupakan
cucu kemenakan Sayyid Malik Ibrahim, guru ruhani yang telah
membimbingnya ke jalan Kebenaran Islam. Kegembiraan Arya
Lembu Sura berubah menjadi kasih sayang ketika mengetahui Ali
Murtadho dan Ali Rahmatullah memiliki pengetahuan luas dan
semangat kuat dalam bidang agama. Mereka kemudian diminta
untuk menjadi guru bagi penduduk muslim di sekitar masjid.

Barang tiga empat tahun setelah ketiganya mengabdi di Surabaya,


Dyah Kertawijaya naik takhta Majapahit dengan gelar Sri Prabu
Kertawijaya Wijaya Parakramawarddhana. Atas permohonan
istrinya, Prabu Kertawijaya kemudian menganugerahi ketiga orang
kemenakan istrinya itu gelar kebangsawanan Rahadyan (Jawa
1319
Kuno: Tuan Yang Mulia, yang kelak dilafalkan "raden"). Arya
Lembu Sura sangat bergembira dengan hal itu. Itu sebabnya, ia
menikahkan ketiga orang pangeran itu dengan cucu-cucunya,
putera Arya Teja, syahbandar Tuban.

Setelah menikah, Raden Ali Murtadho tinggal di rumah pemberian


Arya Lembu Sura di timur Masjid Pinilih. Ia ditetapkan sebagai
imam Masjid Pinilih karena posisinya sebagai saudara tua,
sedangkan Raden Ali Rahmatullah bersama istrinya tinggal di
rumah pemberian Arya Lembu Sura yang terletak di timur Masjid
Ampel Denta. Ia ditetapkan sebagai imam masjid, yang selain
bertugas memimpin sembahyang juga memberikan pelajaran
agama kepada warga sekitar. Sementara Raden Abu Hurairah
diangkat menjadi leba di Wirasabha, yakni pejabat kraton yang
ditugaskan mengurus tanah milik maharaja dan berhak memungut
pajak atas tanah tersebut. Raden Abu Hurairah sangat disayangi
oleh Ratu Darawati karena sejak kecil ia sudah menjadi yatim piatu
dan diasuh oleh uwaknya, Candrawati. Itu sebabnya, ia
ditempatkan di Wirasabha agar dapat sering berkunjung ke
kediaman Ratu Darawati di kraton Majapahit.

Sekalipun sibuk mengurusi Masjid Ampel Denta, Raden Ali


Rahmatullah berusaha meluangkan waktu untuk belajar ilmu tata
negara, ilmu pemerintahan, dan perniagaan kepada Arya Lembu
Sura yang kini menjadi kakeknya itu. Lantaran rajin dan tekun
belajar, hubungannya dengan Arya Lembu Sura menjadi sangat
dekat. Kemanapun Arya Lembu Sura pergi, cucu menantunya itu
selalu mendampinginya. Bahkan saat sakit pun, dengan penuh
1320
kesabaran ia merawat raja Surabaya yang sudah uzur itu. Dan
boleh jadi karena hubungan keduanya sudah terlalu dekat maka
saat menjelang ajal, Arya Lembu Sura meninggalkan wasiat
kepada keluarganya agar kedudukannya sebagai raja Surabaya
digantikan oleh cucu menantunya, yaitu Raden Ali Rahmatullah.

Akhirnya, pada usia tujuh puluh dua tahun Arya Lembu Sura Wafat.
Ia dimakamkan di Batu Putih yang terletak di seberang timur
Kampung Ampel Denta. Namun seiring kabar kematiannya itu,
tersiar pula kabar tentang wasiatnya yang menunjuk Raden Ali
Rahmatullah sebagai penggantinya. Kabar terakhir itu sangat
mengejutkan para pejabat Majapahit. Sebab bagi Majapahit,
Surabaya selain masih menjadi pangkalan angkatan laut juga
menjadi gerbang perniagaan yang mengalirkan dana sangat besar
bagi kas kerajaan. Penyerahan tampuk kekuasaan di Surabaya ke
tangan orang asing yang beragama Islam secara sederhana dapat
dianggap sebagai ancaman yang berbahaya bagi Majapahit.

Di tengah desas desus yang memanas di kutaraja tentang wasiat


Arya Lembu Sura itu, Prabu Kertawijaya yang menjadi salah satu
sasaran kabar burung itu kemudian mengambil langkah bijaksana.
Pertama-tama ia secara resmi mengangkat Raden Ali Rahmatullah
sebagai imam Masjid Ampel Denta. Kemudian ia mengangkat pula
Raden Ali Murtadho sebagai imam Masjid Tandhes (Gresik)
dengan gelar Raja Pandhita. Untuk melantik Raden Ali
Rahmatullah dan Raden Ali Murtadho sebagai imam masjid, Prabu
Kertawijaya menunjuk sepupu dan sekaligus iparnya, Pangeran

1321
Arya Sena, pecat tandha di Terung, putera almarhum Arya Lembu
Sura.

Dengan kebijakan mengangkat Raden Ali Rahmatullah sebagai


imam Masjid Ampel Denta dan Raden Ali Murtadho sebagai imam
Masjid Tandhes, Prabu Kertawijaya berharap dapat menunjukkan
bukti kepada kalangan pejabat kerajaan bahwa kemenakan
istrinya itu telah dijauhkan dari pusat kraton Surabaya. Namun,
kebijakan itu menimbulkan ketidakpuasan penduduk Surabaya.
Rupanya, penduduk Surabaya yang mengetahui pesan terakhir
rajanya itu dengan tegas tidak mau menerima keputusan Prabu
Kertawijaya. Beramai-ramai mereka keluar dari kampungnya
masing-masing dan berbondong-bondong menuju Ampel Denta.
Demikianlah, dengan arak-arakan panjang yang memenuhi jalan-
jalan dan sungai, Raden Ali Rahmatullah didaulat untuk tinggal di
kraton Surabaya menggantikan kakeknya Arya Lembu Sura.

Prabu Kertawijaya yang menerima laporan peristiwa itu tidak


terkejut, ia malah tertawa. Ia sangat paham dengan watak
penduduk Surabaya yang setia, namun cenderung melawan
terhadap sesuatu yang bertentangan dengan keinginan mereka.
Akhirnya, setelah memperoleh masukan dari para penasihat
kerajaan, Prabu Kertawijaya memutuskan untuk mengangkat
Raden Ali Rahmatullah sebagai raja muda Surabaya dengan
jabatan bupati, yaitu jabatan raja muda yang berkuasa atas wilayah
tertentu, namun tidak memiliki kewenangan memerintah angkatan
perang. Namun kebijakan itu ternyata tidak mampu meredam
suasana panas di kutaraja. Desas desus yang meluas akibat
1322
pengangkatan bupati Surabaya itu makin memanas dikipas-kipas
oleh menantu dan sekaligus kemenakan maharaja, sehingga ujung
dari masalah pelik itu adalah jatuhnya Prabu Kertawijaya dari
takhta.

Memasuki perempat awal abad ke-14 Saka, usia Raden Ali


Rahmatullah hampir delapan puluh. Ia sudah berkuasa selama
hampir setengah abad serta dikaruniai anak-anak, cucu, dan cicit
yang sangat banyak. Dari putera dan puterinya yang berjumlah
tujuh belas orang itu, Raden Ali Rahmatullah dikaruniai tujuh puluh
tujuh cucu dan seratus cicit. Pada usianya yang sudah senja itu ia
mengundurkan diri dari jabatan bupati Surabaya dan menjadi imam
di Masjid Ampel Denta.

Sebelumnya, banyak orang menduga bahwa pewaris yang akan


menggantikan kedudukan Raden Ali Rahmatullah adalah Raden
Akhmad yang terkenal dengan sebutan Pangeran Mamad,
puteranya dengan Nyi Ageng Bela. Namun orang-orang menjadi
heran ketika Raden Ali Rahmatullah menunjuk Raden Kusen
Adipati Terung, putera Ario Damar yang tidak lain dan tidak bukan
adalah siswanya terkasih, sebagai penggantinya. Raden Kusen
dikenal sangat patuh dan setia kepada gurunya. Itu sebabnya, ia
tidak berani menolak keinginan sang guru. Ia menerima saja
kedudukan itu sesuai keinginan gurunya, namun ia tidak berani
tinggal di kraton Surabaya. Seusai dilantik oleh wakil ratu Japan,
patih Arya Kedut, Raden Kusen tetap menempati kediamannya
sendiri yang terletak di lingkungan puri Surabayan, yaitu di Tegal
Bubatsari.
1323
Kabar pergantian kekuasaan di Surabaya dari Raden Ali
Rahmatullah ke Adipati Terung itu ternyata sangat mengejutkan
para pejabat tinggi Majapahit di Daha, terutama Patih Mahodara.
Sebab dengan merangkap dua jabatan sebagai Adipati Terung
sekaligus bupati Surabaya, putera Ario Damar itu dipastikan akan
membawa malapetaka besar bagi kelangsungan hidup Majapahit
di pedalaman. Kenyataan setidaknya telah menunjukkan bahwa
sejak pecah pertempuran pertama antara Adipati Terung dan Patih
Mahodara, jalur perniagaan sepanjang Sungai Porong yang
menghubungkan wilayah pedalaman Majapahit dengan daerah
pesisir telah ditutup, mulai dari Kambang Sri, Jedong, Terung, dan
Canggu. Kini, setelah menjadi penguasa Surabaya, dipastikan
Raden Kusen akan melakukan tindakan serupa, yakni melarang
kapal-kapal dan perahu asal Daha melewati Sungai Brantas yang
mengalir ke Sungai Mas dan Supit Urang.

Sadar bahwa malapetaka sedang mengintai kekuatannya seiring


naiknya Raden Kusen menjadi adipati Surabaya, Patih Mahodara
mengirim menantunya, Syaikh Maulana Gharib, ke Ampel Denta
untuk menemui Raden Ali Rahmatullah. Syaikh Maulana Gharib
sendiri adalah saudara lain ibu Raden Ali Rahmatullah. Ia adik
kandung Maulana Ishak yang bungsu. Melalui Syaikh Maulana
Gharib, sang patih memohon agar Raden Ali Rahmatullah
berkenan mendamaikan perselisihannya dengan Adipati Terung.
Dalam perselisihan pertama dan kedua, sifat keras kepala Adipati
Terung terbukti hanya bisa dilunakkan oleh Raden Ali
Rahmatullah. Dan ternyata Raden Ali Rahmatullah menyambut
baik permohonan Patih Mahodara.

1324
Perselisihan antara Adipati Terung dan Patih Mahodara sendiri
sejatinya telah menguras segenap daya dan kekuatan kedua belah
pihak. Bukan hanya pasukan Terung dan Daha yang bertempur,
melainkan para Adipati yang memihak masing-masing kekuatan
pun jumlahnya mencapai puluhan. Lantaran itu, untuk
menghentikan perselisihan dibutuhkan kesepakatan dari para
adipati yang terlibat untuk mengakhiri peperangan yang
menyengsarakan kawula. Raden Ali Rahmatullah mengumpulkan
seluruh sanak kerabat dan siswanya yang menjadi penguasa-
penguasa di pesisir, terutama para keturunan Prabu Kertawijaya,
Bhre Tumapel dan Bhre Wirabhumi. Sedangkan Syaikh Maulana
Gharib mengumpulkan para adipati yang mendukung Patih
Mahodara. Kabar berkumpulnya para adipati itu dengan cepat
meluas ke berbagai tempat. Tak lama kemudian penduduk
Surabaya menyaksikan para adipati dari berbagai daerah
berdatangan ke kotanya. Mereka ditempatkan di kraton Surabaya,
meski rencana pertemuan akan digelar di Masjid Ampel Denta.

Abdul Jalil yang agak terlambat mendengar kabar itu dari Pangeran
Kanduruwan bergegas ke Surabaya bersama-sama dengan
Raden Sulaiman. Namun, saat tiba di Surabaya ternyata
pertemuan itu belum dilakukan. Para adipati dan raja muda yang
hadir masih tinggal di kraton Surabaya untuk menunggu saudara-
saudaranya yang belum datang. Abdul Jalil dan Raden Sulaiman
kemudian menghadap Raden Ali Rahmatullah yang tinggal di
sebuah pondok kecil di samping Masjid Ampel Denta.

1325
Kepada sepupu jauhnya itu, Abdul Jalil menuturkan semua
pengalamannya selama berada di pedalaman Majapahit yang
begitu kacau balau. Ia meminta saran dan petunjuk apa yang
sebaiknya ia lakukan untuk menghadapi perubahan yang berat itu.
Ternyata, saran dan petunjuk Raden Ali Rahmatullah tidak jauh
berbeda dengan apa yang telah dipikirkannya; bahwa perjuangan
mengubah tatanan kehidupan di tengah reruntuhan Majapahit
harus dilakukan secara serentak oleh banyak orang yang memiliki
pandangan dan semangat yang sama, yaitu para pejuang yang
memiliki semangat perbaikan (islah) untuk menciptakan kehidupan
anak manusia yang lebih baik.

1326
Bhayangkari Islah

Raden Ali Rahmatullah di pengujung usianya


yang senja hidup dalam kesahajaan. Dalam
keseharian dia selalu tampil sangat
bersahaja. Mengenakan sarung dan baju
kurung serta kopiah putih sebagaimana
layaknya pakaian orang Campa muslim.
Hanya saat memimpin sembahyang di masjid atau menyampaikan
pelajaran agama ia mengenakan jubah dan destar putih. Sebatang
tongkat kayu berukir kepala burung digunakan untuk menopang
tubuhnya yang sudah condong ke depan jika berjalan.

Sosok Raden Ali Rahmatullah yang sederhana tidak berbeda


dengan sosok Syaikh Datuk Kahfi, Syaikh Datuk Ahmad, dan
Syaikh Datuk Bayan; orang-orang mulia yang hidup dalam
kezuhudan. Sekalipun pernah menjadi penguasa kraton Surabaya
selama hampir setengah abad, Raden Ali Rahmatullah memilih
hidup dalam kesederhanaan seorang imam masjid. Kraton yang
megah dan indah dengan segala kenikmatan yang ada di
dalamnya telah ditinggalkannya. Hari-hari dari sisa hidupnya
dihabiskan di pondok kecil yang dibangun di samping masjid.

Meski dituakan dan dihormati oleh para penguasa Majapahit,


adipati, dan raja muda di pesisir, tidak menjadikan Raden Ali
Rahmatullah sebagai sosok yang hidup di menara gading. Dia
tetap menjalin keakraban dengan penduduk sekitar masjid yang
1327
sebagian besar merupakan tetangga sekaligus pengikutnya.
Semua diperlakukan sama sebagai kawan-kawan dekat tanpa
membedakan apakah seorang bekerja sebagai tukang, perajin,
pedagang kecil, buruh, maupun pejabat. Usai memimpin
sembahyang isya, Raden Ali Rahmatullah biasanya terlihat duduk
di teras masjid untuk menerima tamu atau berbincang-bincang dan
berkelakar dengan tetangga-tetangganya. Bahkan pada saat ia
mendongeng sambil rebahan, orang-orang biasanya
mendengarkan dengan khidmat sambil memijiti kakinya.
Kebiasaan untuk berakrab-akrab dengan penduduk di teras masjid
itu adalah kebiasaan raja Surabaya terdahulu, Pangeran Arya
Lembu Sura, yang dilanjutkan oleh penggantinya, Raden Ali
Rahmatullah.

Bertolak belakang dengan kehidupan sehari-harinya yang


bersahaja dan akrab dengan penduduk, di kalangan para adipati
dan raja muda Majapahit Raden Ali Rahmatullah sangat
dimuliakan dan dihormati layaknya rishi atau bhagawan suci. Para
penguasa kadipaten yang kebanyakan adalah sanak kerabatnya,
tidak peduli muslim tidak peduli Hindu, setiap menghadapnya
selalu berlutut menyembah dan mencium kakinya. Bahkan, dia
disebut hormat dengan gelar Kangjeng Susuhunan, yang
bermakna Padukan Yang Mulia.

Rupanya, selama menduduki jabatan bupati di Surabaya baik


penduduk setempat maupun sanak kerabatnya telah
menganggapnya sebagai penerus Arya Lembu Sura, raja
Surabaya pertama. Lantaran itulah, oleh penduduk Surabaya dan
1328
sanak kerabatnya dia dipanggil dengan sebutan susuhunan, yaitu
gelar yang hanya boleh digunakan untuk menyebut seorang raja.
Namun, agak berbeda dengan sanak kerabatnya yang
menyebutnya Kangjeng Susuhunan, penduduk sekitar
menyapanya dengan sebutan akrab: Mbah Sunan.

Usia tua dan kesahajaan ternyata tidak sedikit pun mengurangi


pengaruh dan wibawa Raden Ali Rahmatullah. Meski sudah tidak
menjadi penguasa Surabaya dan hidup dalam kesahajaan seorang
imam masjid, orang tetap menghormati dan mematuhinya. Hal itu
paling tidak terlihat saat Raden Ali Rahmatullah mengundang para
adipati dan raja muda dari berbagai daerah untuk membicarakan
perdamaian antara Terung dan Daha, yang disambut dengan
takzim dan penuh hormat. Dalam pertemuan yang digelar di Masjid
Ampel Denta itu, para adipati dan raja muda berbondong-bondong
datang memenuhi undangannya.

Sebagian besar di antara para penguasa yang hadir itu adalah


keturunan Prabu Kertawijaya yang diikuti keturunan Bhre Tumapel
dan Bhre Wirabhumi. Yang terkenal di antara mereka adalah
Raden Patah Adipati Demak, Raden Kusen Adipati Terung, Arya
Danareja Orob Adipati Bojong (Tegal), Pangeran Gandakusuma
Adipati Kendal, Pangeran Pandanarang Adipati Semarang, Arya
Timur Orob Adipati Japara, Kayubralit Adipati Pati, Arya Pikrama
Orob Adipati Rembang, Adi-Andayaningrat Adipati Pengging, Arya
Sidik Adipati Tuban, Yusuf Siddhiq Adipati Siddhayu, Zainal Abidin
Adipati Gresik, Arya Bijaya Orob Adipati Tedunan, Lembu Wiraga
Adipati Keniten, Kuda Panolih Adipati Sumenep, Arya Timbul
1329
Adipati Pamadegan, Bhre Jagaraga, Bhre Kabalan, Bhre Wengker,
Nrpati Lasem, Prabu Satmata Ratu Giri Kedhaton, Lembu Peteng
Ratu Gili Mandingan, Menak Pentor Ratu Anggabhaya
Blambangan, Menak Gadru Ratu Prasadha Babadan, Arya Kedut
Patih Majapahit di Japan, Bhima Nabrang Wijaya Juru Demung
Majapahit di Japan.

Selain adipati dan raja muda yang sebagian besar adalah


keturunan Prabu Kertawijaya, Bhre Tumapel dan Bhre Wirabhumi,
hadir pula undangan dari kalangan ulama dan pemuka masyarakat
dari berbagai tempat. Di antara mereka itu yang terkenal adalah
Raden Mahdum Ibrahim Imam Masjid Demak, Sayyid Husayn dari
Arosbaya, Sayyid Maulana Gharib, Syaikh Kamarullah Imam
Masjid Pinilih, Haji Ban Swi Juru Cina (kepala warga Cina)
Surabaya, Tuan Pake Baolong, Juru Kmir (kepala warga Campa)
Surabaya, Raden Makhmud Buyut di Wisaya Sepanjang, Raden
Hamzah Buyut di Wisaya Tumapel, Raden Ahmad (Pangeran
Mamad) Khatib Ampel Denta, Syaikh Manganti guru dan imam di
Gribik, Abdul Malik Israil, Syarif Hidayatullah Wali Nagari Gunung
Jati, dan Raden Qasim Wali Nagari Caruban.

Sementara itu, undangan yang mewakili pihak Patih Mahodara


hanya beberapa orang saja ditambah beberapa ruhaniwan.
Mereka adalah Menak Supethak Adipati Garudha, Raden Pramana
Adipati Sengguruh, Nila Suwarna Adipati Panjer, adipati Dengkol,
adipati Srengat, adipati Rawa, adipati Mamenang, adipati Pesagi,
adipati Mahespati, Ajar Arga Dewa dan Arga Dalem dari Merbabu,
Ajar Citragati dari Tirang Amper, dan Empat Serangkai
1330
(caturgosthi) penguasa ruhani Pengging, yaitu Ajar Jayapurusa,
Ajar Sabuk Janur, Ajar Malang Gati, dan Ajar Gadhung Melati.
Mereka yang mewakili kepentingan Patih Mahodara ini dipimpin
oleh Syaikh Maulana Gharib.

Entah apa yang sebenarnya terjadi, gegap gempita pertemuan


puluhan adipati dan raja muda untuk membahas masalah
perdamaian Terung – Daha di Masjid Ampel Denta, dalam
kenyataan tidak sesuai dengan semarak suasana yang terlihat.
Pertemuan yang digelar pada pagi hari di Masjid Ampel Denta itu
berlangsung sangat singkat. Mula-mula pertemuan diawali oleh
sambutan Raden Ali Rahmatullah yang menyampaikan
pandangannya tentang mudharat perang dan maslahat
perdamaian bagi kehidupan di tengah perubahan. Anehnya, usai
Raden Ali Rahmatullah berbicara, para adipati, raja muda, ulama,
dan pemuka masyarakat yang hadir secara beramai-ramai
menyatakan sepakat untuk patuh dan tunduk pada kehendak sang
susuhunan yang menginginkan agar peperangan diakhiri. Meski
syarat-syarat perdamaian yang disepakati jelas-jelas merugikan
pihak Terung, kedua pihak yakin apa yang disampaikan Raden Ali
Rahmatullah itu akan berakhir baik bagi semua pihak.

Para adipati, raja muda, ulama, dan pemuka masyarakat di Masjid


Ampel Denta rupanya tidak sekadar diajak berbicara tentang
perdamaian antara Terung – Daha. Usai pembahasan singkat
tentang perdamaian Terung – Daha yang disetujui semua pihak,
tiba-tiba Raden Ali Rahmatullah mengajak par hadirin untuk
membicarakan masalah baru yang sama sekali tak terduga, yaitu
1331
tatanan baru yang digagas Abdul Jalil: masyarakat ummah dan
wilayah al-Ummah, yang ditawarkan untuk menggantikan tatanan
lama: Kawula dan Kerajaan.

Sebagai penguasa Surabaya yang selama puluhan tahun


mengenal dengan baik cara pandang dan cara pikir orang-orang
Majapahit, Raden Ali Rahmatullah mula-mula mengajak hadirin
untuk membuka cakrawala pikiran baru sehingga memungkinkan
bagi lahirnya wacana baru. Setelah itu ia menyampaikan
pengantar bagi gagasan masyarakat ummah dan wilayah al-
Ummah. Sampai akhir uraiannya Raden Ali Rahmatullah hanya
menyampaikan gagasan tersebut sebagai tawaran-tawaran yang
bersifat pemikiran. Maksudnya, gagasan itu ditawarkannya
sebagai sebuah wacana masa depan yang tidak harus diterapkan
pada kehidupan nyata dalam waktu dekat.

Sekalipun uraian Raden Ali Rahmatullah tentang gagasan


masyarakat ummah dan wilayah al-Ummah hanya berupa wacana,
bagian terbesar hadirin tertegun-tegun heran mendengarnya.
Mereka seolah-olah mendengarkan dongeng yang sangat asing.
Keheranan mereka itu terjadi karena nilai-nilai yang mendasari
pemikiran tatanan baru yang disebut masyarakat ummah dan
wilayah al-Ummah itu bertolak belakang dengan apa yang selama
ini mereka ikuti. Lantaran gagasan baru itu mereka anggap
mengada-ada maka mereka pun memberikan tanggapan yang
keras. Lebih dari separo jumlah yang hadir tegas-tegas menolak
gagasan yang tidak lazim itu. Tidak peduli adipati, raja muda,
pemuka masyarakat, dan bahkan ulama menanggapi gagasan
1332
masyarakat ummah dan wilayah al-Ummah sebagai pemikiran
yang tidak masuk akal dan bertentangan dengan kodrat hidup
manusia. Sebagian lagi ada yang menyatakan bisa menerima
gagasan masyarakat ummah, namun menolak gagasan wilayah al-
Ummah. Hanya sedikit yang bisa menerima kedua gagasan itu.
Pendek kata, sebagian besar hadirin belum bisa menerima
gagasan baru tentang kepemimpinan berdasarkan pilihan.

Di tengah penolakan keras itu, tidak pelak Abdul Jalil sebagai


penggagas masyarakat ummah dan wilayah al-Ummah dijadikan
sasaran utama dari kecaman dan hujatan hadirin yang
menganggap gagasan tersebut sebagai hal yang aneh dan tidak
masuk akal. Para hadirin yang selama ini hidup dengan segala
kemapanan di atas tatanan kawula dan Kerajaan, telah
menangkap gelagat yang membayakan dari gagasan “gila” yang
tidak mereka pahami itu. Itu sebabnya, beberapa jenak seusai
Raden Ali Rahmatullah memaparkan gagasan tersebut, Abdul Jalil
sudah dihujani caci maki dan hujatan. Bahkan, sebagian di antara
mereka menertawakan Abdul Jalil sebagai tukang mimpi yang
mengigau di tengah hari.

Menghadapi reaksi keras sebagian besar hadirin, Abdul Jalil tidak


melakukan pembelaan apa-apa untuk memperthankan hasil buah
pikirnya itu. Ia sadar, bagian terbesar dari mereka yang hadir
adalah orang-orang yang sejak kecil sudah terbiasa memandang
segala sesuatu dengan nilai-nilai yang bersumber dari Hastabrata.
Sejak awal menelusuri kehidupan orang-orang di pedalaman
Majapahit, ia sudah menduga jika gagasannya bakal menghadapi
1333
tantangan sangat keras. Sebab, gagasannya itu jelas-jelas akan
mengubah kerangka pandang dan kerangka pikir yang sudah
menjajah alam pikiran dan alam kejiwaan bangsa yang sedang
sekarat itu.

Dengan diamnya Abdul Jalil, ternyata tidak menjadikan masalah


masyarakat ummah dan wilayah al-Ummah mentah dan ditolak
utuh oleh para hadirin. Raden Kusen yang sejak awal hanya
berdiam diri tiba-tiba meminta izin kepada Raden Ali Rahmatullah
untuk berbicara. Rupanya, kecaman dan hujatan para hadirin
terhadap Abdul Jalil telah disalahpahaminya sebagai penghinaan
kepada Raden Ali Rahmatullah yang menyampaikan gagasan
tersebut. Itu sebabnya, dengan wajah merah padam dan suara
menggelegar laksana halilinyar ia menyatakan mendukung dengan
sepenuh jiwa gagasan baru yang disampaikan gurunya itu.

“Sebagai bukti bahwa aku mendukung gagasan itu,” ujar Raden


Kusen berkobar-kobar. “Barang sebulan lalu, aku telah
menghibahkan sebagian tanah milikku untuk dibagi-bagikan
kepada masyarakat ummah. Ketahuilah oleh kalian semua bahwa
aku sudah membuat keputusan yang menyatakan bahwa mulai
Wisaya Sumengka di selatan, Wisaya Kamalagi di barat, Wisaya
Wanjang di utara, hingga Wisaya Sasawo di timur akan aku bagi-
bagikan kepada penduduk yang disebut masyarakat. Aku juga
telah menghadiahi Syaikh Lemah Abang sebidang tanah seluas
200 jung (560 hektar) yang terletak di antara Kedung Peluk dan
Wayuwo untuk digunakan sebagai hunian bagi masyarakat ummah
yang dibentuknya.”
1334
Pernyataan adipati Terung tentu mengagetkan sebagian besar
hadirin. Mereka tidak bisa memahami kenyataan bahwa Raden
Kusen yang mereka hormati dan muliakan menerima gagasan
“gila” yang sangat merugikan itu. Mereka tidak bisa memahami
bagaimana Raden Kusen bisa memberikan secara Cuma-Cuma
tanah di empat wisaya kepada penduduk. Namun, kekagetan
mereka makin memuncak ketika Raden Patah tiba-tiba tampil ke
depan dan membuat pernyataan serupa. Putera Prabu Kertawijaya
dengan muslimah Cina bernama Ratna Subanci itu tanpa terduga-
duga memaklumkan bahwa dia selaku penguasa Demak telah
menyiapkan rencana untuk membagi-bagikan tanah di Kadipaten
Demak seluas 1.200 jung (3360 hektar) kepada penduduk. “Tetapi,
berbeda dengan adikku yang menghibahkan begitu saja tanahnya
kepada masyarakat, aku akan tetapkan bahwa siapa saja di antara
penduduk yang ingin mendapat bagian tanah di Demak wajib
membelinya dengan bayaran dua kalimah syahadat,” kata Raden
Patah berapi-api.

Kegaduhan tersulut seiring maklumat Raden Patah. Para hadirin


dengan terheran-heran bertukar pandang satu sama lain. Setelah
itu, mereka saling berbicara tentang hal-hal yang tak mereka
pahami. Bahkan sebagian di antara mereka terlihat berceloteh dan
menggerutu sambil menggeleng-gelengkan kepala kebingungan.
Suasana di dalam Masjid Ampel Denta mendadak riuh dan gaduh
bagaikan di tengah pasar.

Peristiwa tak terduga yang muncul susul-menyusul itu memang


telah menyeret sebagian besar hadirin ke dalam lingkaran
1335
kebingungan yang tak terpahami. Bagaimana mungkin Raden
Kusen dan Raden Patah bisa mendukung gagasan “gila” itu?
Bukankah mereka berdua akan menderita kerugian besar dengan
menerima dan menjalankan gagasan tersebut?

Lingkaran kebingungan yang tak terpahami itu pada gilirannya


menyeret mereka ke suasana yang menegangkan manakala
mereka mendapati kenyataan yang lebih “gila” berupa: pernyataan
susul-menyusul dari Prabu Satmata Ratu Giri Kedaton, Raden
Ahmad Khatib Ampel Denta, Raden Mahdum Ibrahim Imam Masjid
Demak, Raden Makhmud Buyut Wisaya Sapanjang, Raden
Hamzah Buyut Wisaya Tumapel, Sayyid Husayn dari Arosbaya,
Arya Timbul Adipati Pamadegan, Lembu Peteng Ratu Gili
Mandingan, Arya Timur Orob Adipati Japara, Pangeran
Gandakusuma Adipati Kendal, Pangeran Pandanarang Adipati
Samarang, Yusuf Siddhiq Adipati Siddhayu, Zainal Abidin Adipati
Tandhes, Syarif Hidayatullah Wali Nagari Gunung Jati, dan Raden
Qasim Wali Nagari Caruban, yang menyatakan dukungan mutlak
terhadap gagasan masyarakat ummah dan wilayah al-Ummah.

Puncak kebingungan hadirin terjadi ketika Raden Ali Rahmatullah


yang mereka hormati dan muliakan menyatakan dukungan pada
gagasan baru yang dikemukakan oleh Abdul Jalil tersebut.
“Hendaknya kalian semua mengetahui, sejak tiga pekan lalu
penduduk Surabaya di Wisaya Ampel Denta, Wisaya Sumber Urip,
Wisaya Bukul, bahkan di tanah shima Kertawijaya telah menempati
tanahnya sendiri sebagai hak milik pribadi. Mereka tidak perlu lagi
membayar sewa tanah kepada para kepala wisaya dan wadana.
1336
Namun demikian, untuk memelihara keamanan atas tanah hak
milik itu mereka semua dikenai pungutan pajak oleh pihak
kadipaten.”

Lengkap sudah ketidakpahaman sebagian besar hadirin setelah


Raden Ali Rahhmatullah menyatakan dukungannya atas gagasan
“gila” itu. Mereka yang selama ini terlena oleh kemapanan
tampaknya sangat sulit menerima segala sesuatu yang terkait
dengan perubahan yang bakal menggugat kemapanan mereka.
Namun, mereka menjadi penasaran dan memendam amarah di
kedalaman jiwanya manakala mereka menyadari bahwa sesuatu
yang bakal menggugat kemapanan mereka itu justru didukung oleh
tokoh-tokoh yang mereka segani dan hormati.

Akhirnya, meski dalam pertemuan di Masjid Ampel Denta itu


mereka tidak dapat berbuat sesuatu, jauh di kedalaman jiwa
mereka telah tersulut nyala api ketidaksukaan dan bahkan
kebencian terhadap sang penggagas: Syaikh Lemah Abang.
Kenyataan itu setidaknya sempat mencuat saat beredar kasak-
kusuk di antara hadirin yang menuduh Abdul Jalil sebagai tukang
sihir yang telah mempengaruhi Raden Ali Rahmatullah dan murid-
muridnya.

Abdul Jalil yang diberi tahu oleh Raden Sulaiman tentang kasak-
kusuk yang menghangat di antara hadirin hanya tersenyum tanpa
memberikan tanggapan apa pun. Ia menerima kenyataan itu
dengan lapang dada. Ia sangat sadar bahwa bagian terbesar dari
1337
peserta pertemuan itu adalah penguasa-penguasa yang picik dan
mandek pemikiran maupun jiwanya karena lingkaran kemapanan.
Mereka hanya bisa berpikir dangkal betapa mereka bakal
kehilangan wibawa dan kekayaan jika menerima dan menerapkan
tatanan baru masyarakat ummah dan wilayah al-Ummah yang
berbeda dengan tatanan Kawula dan Kerajaan. Memang, kata
Abdul Jalil dalam hati, hampir tidak ada manusia yang mau
menerima sesuatu yang baru yang jelas-jelas mengancam
kepentingan pribadinya.

Sementara itu, di tengah ketidakpuasan dan rasa penasaran


sebagian besar hadirin, Raden Ali Rahmatullah memberikan
kebebasan kepada mereka yang sepakat mendukung gagasan
masyarakat ummah dan wilayah al-Ummah untuk segera
melaksanakan gagasan tersebut. Demikianlah, diawali dari
Madura, para adipati dan raja muda Madura sepakat memilih
Sayyid Husayn sebagai wali al-Ummah Madura dengan gelar
Kalifah ar-Rasul Sayyidin Panatagama. Setelah itu adipati
Surabaya, adipati Tedunan, adipati Tandhes, adipati Siddhayu,
adipati Tuban, adipati Rembang, adipati Demak, adipati Japara,
adipati Samarang, dan adipati Kendal sepakat memilih Prabu
Satmata Ratu Giri Kedhaton, murid tertua Raden Ali Rahmatullah
sebagai wali al-Ummah dengan gelar Sri Naranatha Giri Kedhaton
Susuhunan Ratu Tunngul Khalifatullah.

Sesungguhnya, kesepakatan para adipati pesisir menunjuk Prabu


Satmata sebagai kalifah bukan hanya atas pertimbangan usia dan
senioritas. Lebih dari itu, pengetahuan agamanya sangat luas dan
1338
mendalam di samping tentu saja garis nasabnya yang agung dan
mulia: ayahandanya seorang sayyid keturunan Nabi Muhammad
Saw. dan ibundanya keturunan Bhre Wirabhumi. Sejak kecil ia
diasuh oleh Nyi Ageng Pinatih, janda Pangeran Arya Pinatih,
bangsawan Bali dari trah Ksatria Manggis, yang memeluk Islam
dan tinggal di Tandhes. Ia dididik oleh Raden Ali Rahmatullah
dalam ilmu keagamaan dan tata negara, kemudian mendalami ilmu
tasawuf kepada ayahandanya, Syaikh Maulana Ishak, di Pasai.

Ketika adzan dzuhur dikumandangkan, Masjid Ampel Denta telah


sepi. Para adipati dan raja muda dan pemuka masyarakat telah
kembali ke kediaman masing-masing. Hanya Raden Ali
Rahmatullah dan beberapa kerabat serta murid-muridnya yang
masih terlihat di situ. Rupanya, siang itu, tanpa istirahat sedikit pun
Raden Ali Rahmatullah akan membahas berbagai masalah
perubahan yang terjadi seiring makin memburuknya kehidupan di
Majapahit. “Aku sudah berbicara banyak dengan saudaraku,
Syaikh Lemah Abang, tentang pentingnya sebuah gerakan yang
tertata dan terarah untuk melakukan islah guna menata kehidupan
penduduk yang sudah memuakkan ini. Kami berdua sepakat untuk
membentuk suatu syura (Dewan Musyawarah) tempat berkumpul
para muslih (pelopor perbaikan) yang bisa bekerja sama seiya
sekata untuk melakukan gerakan pebaikan.”

Para kerabat dan murid yang selama ini sangat patuh dan sangat
memahami kehebatan Raden Ali Rahmatullah di dalam merancang
suatu gerakan untuk perubahan, tidak sedikit pun menolak rencana
pembentukan syura tersebut. Bahkan saat Raden Ali Rahmatullah
1339
mengusulkan nama Bhayangkari Islah untuk syura tersebut,
semuanya menerima dengan takzim. Dan sesuai kesepakatan,
mereka yang ditetapkan sebagai anggota Bhayangkari Islah
adalah Syaikh Maulana Gharib, Raden Ahmad Khatib Ampel
Denta, Raden Mahdum Ibrahim Imam Masjid Demak, Raden Patah
Adipati Demak, Prabu Satmata Ratu Giri Kedhaton, Kalifah Husayn
Arosbaya, Raden Yusuf Siddhiq Adipati Siddhayu, Raden Zainal
Abidin Adipati Tandhes, Pangeran Pandanarang Adipati
Samarang, Pangeran Gandakusuma Adipati Kendal, Raden Qasim
Wali Nagari Caruban, Syarif Hidayatullah Wali Nagari Gunung Jati,
Raden Sulaiman Leba Wirasabha, Abdul Malik Israil, dan Syaikh
Lemah Abang. Atas usul Abdul Jalil, Raden Sahid yang sedang
“berjuang” di Galuh Pakuan dimasukkan ke dalam anggota
Bhayangkari Islah.

Kelancaran pembentukan Bhayangkari Islah itu ternyata hanya


berlangsung sampai saat penetapan keanggotaan syura. Sebab,
pada saat para anggota Bhayangkari Islah membahas bidang
garapan dan tugas masing-masing anggota, muncul persoalan
rumit yang justru disulut oleh Abdul Jalil. Saat itu tiba-tiba Abdul
Jalil mengemukakan masalah pelik yang harus ditangani sebagai
bagian dari tugas utama Bhayangkari Islah. Dan yang dimaksud
oleh Abdul Jalil sebagai masalah pelik itu adalah pengaruh
kepercayaan Campa yang membahayakan akidah umat Islam.
“Kami di Caruban tetap memegang prinsip ‘menerima yang baru
tetapi tidak menghilangkan yang lama yang bermanfaat’.
Maksudnya, segala sesuatu yang sudah ada dan bermanfaat tetap
kita lestarikan, namun yang lama yang mudharat dan
membahayakan akidah hendaknya kita tinggalkan. Oleh karena
1340
kami menilai takhayul asal Campa sebagai sesuatu yang mudharat
dan membahayakan akidah maka kami menilai hal itu haruslah
dijadikan bagian utama oleh Bhayangkari Islah. Terus terang, kami
khawatir takhayul itu akan merusak tauhid dan kelak akan
merancukan syarak.”

Masalah pelik sekitar takhayul Campa ternyata menimbulkan


masalah tersendiri di tubuh Bhayangkari Islah. Sebab, sebagian
anggota Bhayangkari Islah ternyata belum terbebas sama sekali
dari pengaruh takhayul tersebut. Dengan berbagai alasan – tanpa
dukungan dalil – mereka berusaha menolak usulan Abdul Jalil.
Bahkan, mereka beralasan dengan takhayul asal Campa itu
sesungguhnya perubahan di Majapahit dapat dilakukan secara
berangsur-angsur tanpa menimbulkan konflik dengan kepercayaan
setempat yang sudah ada.

Abdul Jalil yang sudah mengetahui dan memahami betapa


berbahayanya pengaruh takhayul Campa tidak bisa menerima
alasan anggota-anggota Bhayangkari Islah. Ia menolak tegas
alasan-alasan mereka yang sedikit pun tidak didukung dalil. Ia
tetap beranggapan bahwa sebuah perbaikan tidak sekadar
berbentuk perubahan dalam tampilan, tapi yang lebih mendasar
adalah perubahan cara berpikir, cara memandang, cara menilai,
dan cara menyikapi sesuatu dalam kehidupan.

“Bagi kami, Islam adalah ajaran yang membebaskan manusia dari


segala belenggu yang menjajah dan membenamkan manusia ke
1341
dalam relung-relung tergelap jiwanya. Islam membebaskan
manusia dari rasa takut terhadap segala sesuatu selain Allah.
Islam membebaskan manusia dari ketundukan atas segala
sesuatu selain Allah. Karena itu, keyakinan takhayul asal Campa
yang membawa manusia pada rasa takut terhadap hantu-hantu,
hari naas, gegwantuhuan, ajaran klenik, hendaknya dibersihkan
dari jiwa umat Islam. Demi Allah, kami tidak ingin menyaksikan di
negeri ini kelak menjadi umat pemuja kuburan, penyembah arwah
leluhur, yang meminta-minta berkah pada pohon-pohon, dan
tunduk bertekuk lutut kepada hantu-hantu yang mereka cipta,” kata
Abdul Jalil.

Perselisihan paham tentang penting dan tidaknya takhayul Campa


diberantas akan meruncing dan menjadi perpecahan di antara
anggota Bhayangkari Islah andaikata Raden Ali Rahmatullah
selaku sesepuh tidak menengahi. Dengan sangat bijaksana Raden
Ali Rahmatullah yang sudah kenyang merasakan pahitnya
perselisihan dan mengunyah getirnya kehidupan menetapkan jalan
tengah bagi kedua pihak yang berselisih. Pertama-tama, ia
meminta kepada seluruh anggota Bhayangkari Islah untuk
menempatkan usaha-usaha mengislamkan penduduk pada urutan
pertama dari bidang garapan syura. Untuk itu, ia meminta agar
Syaikh Lemah Abang menjadi pelopor bagi pelaksanaan tugas
utama itu dengan didukung oleh seluruh anggota tanpa kecuali.
“Aku berharap, dari sasyahidan (ajaran kesaksian; syahadat) yang
benar akan tumbuh keislaman yang benar. Dengan demikian, jika
iman tauhid seorang muslim sudah benar maka segala bentuk
takhayul akan sirna dengan sendirinya. Dan aku kira, saudaraku

1342
Syaikh Lemah Abang pasti sudah mafhum jika hal itu butuh waktu
lama,” ujar Raden Ali Rahmatullah.

Kebijakan Raden Ali Rahmatullah untuk menempatkan Abdul Jalil


sebagai pelopor bagi usaha-usaha pengislaman dengan tugas
utama mengajarkan sasyahidan, segera disambut gembira oleh
anggota Bhayangkari Islah yang menolak gagasan pemberantasan
takhayul Campa. Mereka berpikir, dengan tugas utama hanya
mengajarkan syahadat, Abdul Jalil pastilah tidak bisa berbuat
banyak untuk mencampuri bidang garapan yang lain seperti tauhid,
mu’amalah, dan fiqh. Namun, pemikiran mereka itu tentu saja tidak
tepat sebab menurut pemahaman Raden Ali Rahmatullah dan
Abdul Jalil, justru pada syahadat itulah sejatinya terletak intisari
Islam.

Akhirnya, dengan suara bulat Abdul Jalil disepakati menangani


tugas utama untuk mensyahadatkan penduduk melalui pengajaran
Sasyahidan. Namun, ketika para anggota Bhayangkari Islah akan
membahas bidang garapan lain dan membagi-bagi tugas, tiba-tiba
tersiar kabar yang dibawa oleh para saudagar Cina Surabaya
tentang terjadinya serbuan Rajagaluh ke Caruban Larang. Menurut
para pembawa kabar, prajurit-prajurit Caruban Larang masih
bertahan di Kagedengan Plumbon dan Jamaras. Meski gerak maju
pasukan Rajagaluh dapat ditahan, Kuta Caruban sudah
ditinggalkan oleh sebagian besar penduduknya yang mengungsi
ke pantai.

1343
Para Penghindar Kematian

Pantai Kalisapu yang terletak di selatan


pelabuhan Muara Jati adalah salah satu tempat
yang dijadikan hunian sementara para
pengungsi asal Kuta Caruban. Dilihat dari laut
tampak gubuk-gubuk beratap ilalang dan
tenda-tenda kain sejak tepian pantai hingga ke
kaki Gunung Jati yang melatarbelakanginya.
Bagaikan bercak-bercak hitam dan putih, berkerumun-kerumun di
antara batang-batang pohon kelapa. Gubuk dan tenda itu sulit
digambarkan karena sudah tak karuan warnanya, kumuh, penuh
dilepoti tanah dan pasir berlumpur. Semakin didekati,
kekumuhannya makin sulit digambarkan, karena bukan hanya
warnanya yang tak karuan, melainkan bau menyengat yang
mengitarinya membuat bulu kuduk meremang. Sapi, kerbau, dan
kambing yang ditambat di batang-batang pohon kelapa dekat
gubuk-gubuk telah membuat perut serasa diremas-remas dan
kepala pening. Sementara puluhan bebek dan ayam yang
ditempatkan di kandang-kandang bambu kotor, memberikan andil
tidak sedikit dalam menebarkan kemuakan.

Di pengujung musim hujan ini deretan gubuk dan tenda kumuh itu
terus-menerus diguyur hujan lebat disertai angin dan halilintar. Jika
hujan melebat, debu merah yang menempel di daunan dan atap-
atap terlihat berdesak-desakan turun menuju permukaan tanah,
menggenang, dan kemudian menjadi kubangan keruh berwarna
coklat kemerahan. Tidak hanya debu, tetapi tahi sapi, tahi kerbau,
1344
tahi kambing, tahi bebek, dan tahi ayam pun berbaris bersama air
hujan menuju kubangan demi kubangan. Hujan yang tak kenal
waktu telah mengubah tanah menjadi kubangan lumpur berupa
gumpalan lempung bercampur kotoran mirip sawah yang baru
dibajak dan ditaburi rabuk. Bagaikan kerumunan makhluk aneh,
gubuk dan tenda kumuh itu meringkuk kedinginan di tengah
kubangan lumpur raksasa. Tidak ada suara di situ selain rintik
hujan, desau angin, gemuruh guruh, ledakan halilintar, tangis anak
kecil, dan gerutu orang-orang yang mengutuk hujan tak kenal
istirahat.

Selama empat pekan lebih tinggal di dalam gubuk-gubuk dan


tenda-tenda kumuh itu, para pengungsi selalu menggerutu.
Mereka menggerutu karena hujan telah membuat tanah becek dan
berlumpur dan kemudian mengalir ke dalam gubuk. Mereka
menggerutu pada nyamuk-nyamuk ganas yang mengisap darah.
Mereka menggerutu karena persediaan makanan sudah habis dan
air untuk minum pun sangat keruh. Mereka menggerutu dan
bahkan berkeluh-kesah ketika salah satu anggota keluarga jatuh
sakit.

Bagi para pengungsi, bukan hanya debu, pasir, tanah, dan hujan
yang teraduk menjadi kubangan lumpur bergumpal lempung. Jiwa
mereka pun dari waktu ke waktu diaduk-aduk oleh kecemasan,
ketakutan, kegamangan, dan kebingungan akibat peperangan
yang berkecamuk dengan simpang-siur berita yang tidak menentu.
Jiwa mereka sekeruh lumpur dan teraduk-aduk. Ketidakpastian
telah membanting-banting jiwa dan raga. Di tengah
1345
keremukluluhan itulah mereka dengan harap-harap cemas akan
menanya siapa saja di antara orang yang datang ke situ tentang ini
dan itu sekitar kecamuk perang. Bahkan di tengah hujan lebat pun,
dengan bertudung daun pisang, para lelaki akan keluar dari gubuk
untuk menanya siapa saja di antara orang-orang yang datang;
apakah perang masih berlanjut atau sudah selesai.

Sebelum senja turun, ketika peperangan memasuki pekan kelima,


serombongan orang sekitar lima belas jumlahnya terlihat
beriringan melewati hunian para pengungsi di Kalisapu. Mereka
berjalan dari arah pelabuhan Muara Jati ke Gunung Jati. Mereka
adalah Abdul Jalil, Syarif Hidayatullah, Raden Qasim, Raden
Sulaiman, Abdul Halim Tan Eng Hoat putera Abdurrahman Tan
King Ham, Wiku Suta Lokeswara dan siswa-siswanya. Saat
berangkat dari pelabuhan Kendal rombongan itu berjumlah empat
puluh orang, namun di Kebon Pesisir rombongan itu dibagi dua.
Yang pertama, Abdul Malik Israil dan istri cucunya, Nyi Tepasari,
bersama para pengawal menuju Kuta Caruban melalui Sungai
Suba. Rombongan kedua, Abdul Jalil dan kawan-kawan yang
mendarat di Muara Jati dengan tujuan ingin menyaksikan
kebenaran kabar yang menuturkan banyak pengungsi di Kalisapu
menderita karena kekurangan makan dan diganyang penyakit.

Saat Abdul Jalil dan rombongan mendekati hunian para pengungsi,


hujan sudah mulai reda, namun rintik-rintiknya masih tersisa
membasahi apa saja yang ada di sana. Ketika kaki-kaki mereka
yang kotor dilepoti lumpur melintas di atas jalan becek, beberapa
kepala terjulur dari balik tenda untuk melihat kedatangan mereka.
1346
Tiga orang lelaki Cina setengah baya terlihat melesat dari dalam
tenda yang sebagian robek-robek. Kemudian, dengan sikap penuh
selidik, mereka bertanya kepada Abdul Jalil dan rombongan
tentang maksud dan tujuan datang ke tempat ini. Mereka juga
bertanya ini dan itu, termasuk apakah perang sudah selesai atau
belum. Namun, mereka menjadi terheran-heran dan curiga ketika
mendapat jawaban bahwa rombongan itu akan ke Kuta Caruban.

“Kami ini orang Kuta Caruban, Tuan-Tuan,” kata lelaki yang


mengenakan baju dan celana panjang hitam potongan Cina
dengan wajah diliputi kecurigaan. “Di kuta sedang tidak aman.
Kami mengungsi ke sini karena di kuta orang sedang perang.
Kenapa Tuan-Tuan ini malah mau ke sana?”

“Kami ada urusan penting yang harus diselesaikan di Kuta


Caruban,” sahut Syarif Hidayatullah.

“Kalau boleh tahu, urusan apa?” tanyanya dengan sorot mata


makin diliputi kecurigaan.

“Kami mau menemui kalifah Caruban Larang, Sri Mangana,” Abdul


Halim Tan Eng Hoat menyela dengan nada tinggi. Ia menangkap
isyarat bahwa para lelaki Cina itu mencurigai mereka sebagai
penjarah. “Kami ingin membantu perjuangan beliau melawan Yang
Dipertuan Rajagaluh. Sebaliknya, Tuan-Tuan ini yang mengaku
sebagai penduduk Kuta Caruban, kenapa berada di sini? Tidakkah
1347
Tuan-Tuan seharusnya wajib membantu pertahanan Kuta Caruban
tempat rumah, tanah, dan harta benda Tuan-Tuan berada?”

“Pemimpin kami, Kongcu Ling Tan, telah mati terbunuh dalam


perang. Kami yang tua-tua ini tidak pandai perang. Kami harus
menjaga istri dan anak-anak juga keluarga kami. Kami tinggal di
tempat ini karena ada kabar orang-orang Rajagaluh akan
menyerbu Kuta Caruban,” katanya beralasan.

“Bagaimana dengan tanah, rumah, dan harta benda Tuan di Kuta


Caruban?” tanya Raden Qasim menyela.

“Kami sudah tinggalkan budak di sana untuk jaga rumah dan


barang-barang,” jawab lelaki Cina itu.

“Tuan mempercayakan rumah dan harta Tuan kepada budak-


budak?” Raden Qasim minta penegasan.

“Ya, Tuan.”

“Tidakkah Tuan sudah mengetahui jika peraturan baru yang dibuat


kalifah Caruban melarang semua penduduk untuk memelihara dan
berjual beli budak-budak?” tanya Raden Qasim menatap tajam
lelaki Cina itu.
1348
“Ee, maksud kami bukan budak. Maksud kami, kacung. Ya, ya,
maksud kami orang upahan.”

Raden Qasim mendengus dan berkata perlahan meminta


pertimbangan kepada Abdul Halim Tan Eng Hoat, “Bagaimana ini?
Orang-orang ini jelas sudah menyalahi peraturan kalifah.”

“Karena sudah ada bukti bahwa mereka adalah orang tak berguna,
orang yang mau enak sendiri dan tidak mau susah, maka rumah
dan hartanya hendaknya diberikan kepada orang-orang yang telah
bertaruh nyawa menjaganya. Itu hukum perang yang berlaku di
mana saja.” Abdul Halim Tan Eng Hoat sambil berpaling meminta
pertimbangan Syarif Hidayatullah, “Bukankah demikian,
Saudaraku?”

“Ya, sebagai wali nagari Kuta Caruban, engkau harus tegas


memutuskan hal itu agar menjadi pelajaran bagi yang lain,” kata
Syarif Hidayatullah kepada Raden Qasim. “Karena kalau sikap
orang tak berguna itu ditiru yang lain, akan berat bagi perjuangan
kita di kelak kemudian hari.”

“Aku akan lakukan itu setelah menghadap kalifah.”

Sementara itu, Abdul Jalil merasakan kepedihan menyayat hatinya


saat mendengar Ling Tan gugur dalam perang. Sambil
1349
mengucapkan inna li Allahi wa inna ilaihi raji’un, ia menarik napas
panjang. Bayangan Ling Tan, Abdurrahman Ling Tan, pemimpin
warga Cina asal Junti itu berkelebatan memasuki relung-relung
ingatannya. Abdurrahman Ling Tan adalah peranakan Cina yang
memiliki pengaruh kuat di kalangan penduduk setempat karena
ayahandanya, Tumenggung Wangsanegara, adalah orang Sunda
yang menjadi pejabat pangasalan (pengawal raja) di Caruban
Larang. Ia dikenal sebagai orang yang jujur, tegas, pemberani, dan
dermawan. Lantaran itu, warga Cina perantauan dan keturunannya
di Junti lebih suka dipimpin Abdurrahman Ling Tan bahkan sampai
saat mereka pindah ke Kuta Caruban. Sekalipun Abdurrahman
Ling Tan seorang muslim yang taat, penduduk Cina yang
dipimpinnya sebagian besar bukan muslim.

Membandingkan keempat lelaki Cina pengungsi itu dengan


Abdurrahman Ling Tan memang seperti membandingkan bumi dan
langit. Abdurrahman Ling Tan sejak kecil dididik di lingkungan
bangsawan Sunda dan keluarga saudagar Cina jelas-jelas
menunjukkan jiwa ksatria yang memiliki rasa tanggung jawab
besar dan kerelaan untuk berkorban. Ia gugur dalam
memperjuangkan sesuatu yang diyakini kebenarannya. Sementara
ketiga lelaki Cina pengungsi itu, yang mungkin berasal dari
kalangan orang kebanyakan, tidak sedikit pun menunjukkan jiwa
ksatria yang bertanggung jawab dan rela berkorban, meski untuk
sekadar melindungi rumah, tanah, dan harta benda milik sendiri.
Mereka memang memelihara budak-budak, namun sesungguhnya
mereka sendirilah orang-orang yang bermental budak. Mereka
orang-orang yang mendamba kemapanan hidup di dunia, namun
enggan bersusah payah. Mereka datang jika keadaan
1350
menguntungkan dan akan buru-buru menyingkir jika keadaan
merugi.

Akhirnya, tanpa memperkenalkan diri dan tanpa menanyai ketiga


orang Cina itu, Abdul Jalil dan rombongan meninggalkan tempat
itu. Mereka berjalan menyusuri tanah berlumpur dan berbau busuk
di antara gubuk dan tenda yang tak karuan bentuk dan warnanya.
Sepanjang perjalanan itu Abdul Jalil merenungkan keanehan
pemikiran dan perilaku para pengungsi yang tercermin dari gerutu
dan keluh-kesah mereka. Mereka mengatakan terpaksa
mengungsi untuk menyelamatkan diri dari Kematian yang
berkeliaran akibat perang. Anehnya, mereka tidak mempersiapkan
kemungkinan lain bahwa Kematian bisa datang kapan saja dan
dimana saja tanpa perlu ditandai perang. Tampaknya, para
pengungsi secara merata hampir tidak ada yang mempersiapkan
bekal untuk menghadapi Kematian yang sewaktu-waktu dapat
merenggut hidup mereka. Hari-hari dari rentang kehidupan mereka
disibukkan untuk mengurus sapi, kerbau, kambing, bebek, ayam,
perhiasan, tikar butut, bantal, dan pakaian-pakaian kumal.
Bukankah mereka sejatinya lebih tepat disebut sebagai orang-
orang yang berusaha menyelamatkan harta benda dan ternak
daripada orang yang menyelamatkan nyawa dari Kematian?
Bukankah ucapan mereka tentang “menyelamatkan diri dari
Kematian” itu pada hakikatnya hanya sebuah kebohongan?
Sebab, mereka sejatinya tidak pernah ingat mati dan tidak siap
menghadapi Kematian.

1351
Liku-liku kehidupan yang dijalaninya dengan berbagai gambaran
manusia dari aneka bangsa telah memahamkan Abdul Jalil tentang
betapa kuat kalangan orang-orang kebanyakan terjajah oleh
kekuasaan kebendaan (thaghut). Rupanya, pikir Abdul Jalil, kiblat
hati dan pikiran dari kalangan itu lebih terarah pada kebendaan.
Kehidupan sehari-hari mereka lebih banyak diwarnai oleh ingatan
tentang harta benda dan bayangan-bayangan kelezatan. Mereka
adalah orang-orang lemah yang gampang terseret bayangan nafsu
rendah duniawi. Mereka tidak pernah siap menghadapi kesulitan
dan tantangan dalam dunia nyata yang tergelar di hadapannya.
Mereka selalu menggerutu dan berkeluh kesah saat menghadapi
ujian, namun lupa daratan jika beroleh kesenangan. Ya, merekalah
manusia berderajat rendah pendamba dunia. Mereka adalah para
pemimpi kenikmatan dunia tetapi dihajar oleh cambuk ganas
kenyataan hidup. Mereka mendamba hidup abadi, namun yang
diperoleh justru kebinasaan. Mereka para pengkhayal yang
terperosok ke jurang kehidupan maya di bawah bayang-bayang
Sang Penyesat. Mereka para penghindar Kematian, namun jalan
yang mereka pilih justru menuju altar Kematian. Dan Kematian
yang tak kenal kenyang dan lapar itu sepanjang waktu dengan
lahap menyantap mereka sebagai hidangan kesukaan.

Sepanjang perjalanan melewati gubuk dan tenda pengungsi, baik


Abdul Jalil maupun anggota rombongan yang lain terus-menerus
mendengar gerutu dan keluh-kesah mereka yang menganggap
tempat itu sebagai neraka. Malah tak kurang di antara pengungsi
itu berdoa dengan suara keras, namun intinya seolah-olah
menyalahkan Tuhan yang telah menimbulkan kesengsaraan bagi

1352
mereka. Namun, di antara gerutu dan keluh-kesah itu ada yang
sangat mengejutkan dan tak pernah disangka-sangka.

“Kalau saja Syaikh Lemah Abang tidak bikin ulah, pasti tidak akan
ada perang laknat ini.”

“Memang, pangkal dari semua bencana ini adalah Tuan Syaikh


celaka itu. Aku dengar-dengar orang satu itu memang bikin
masalah terus. Kata orang, sejak kecil dia sudah menimbulkan
kekisruhan di Caruban ini.”

“Aku memang pernah dengar cerita itu. Katanya, dia itu orang yang
tidak tanggung jawab. Suka bikin kisruh. Setelah keadaan kisruh,
dia minggat. Yang susah adalah orang-orang yang ditinggalkan.”

“Sekarang ini, kata orang-orang dia minggat entah ke mana.”

“Ee, hati-hati kau. Kalau bicara jangan keras-keras! Kata orang, dia
itu tukang sihir yang jahat.”

“Alah, tukang sihir apa. Kalau dia sakti, pasti sudah disihirnya
orang-orang Rajagaluh yang memusuhinya.”

1353
“Ya, kita doakan saja mudah-mudahan tukang sihir laknat itu cepat-
cepat mati disambar petir!”

Wiku Suta Lokeswara yang berjalan di samping Abdul Jalil dengan


jelas mendengar kasak-kusuk dan gerutuan yang diucapkan keras-
keras itu. Ia menghentikan langkah dan menajamkan telinga untuk
mengetahui dari gubuk mana suara itu diucapkan. Sebagai
seorang mantan juru demung (kepala rumah tangga kraton), ia
menangkap gelagat tidak beres pada ucapan-ucapan itu. Tanpa
terduga, dengan gerakan kilat ia melangkah ke pintu salah satu
gubuk dan menjulurkan tangan kirinya ke dalam. Sedetik setelah
itu ia menarik tangannya keluar dan terlihatlah pemandangan
menakjubkan. Wiku Suta Lokeswara mencengkeram tengkuk
seorang laki-laki muda yang pucat pasi. Kemudian dengan sekali
sentakan, tubuh laki-laki tak berdaya itu terangkat ke atas. Namun,
saat ia kelihatan akan membanting orang di cengkeramannya itu,
Abdul Jalil buru-buru menyergah, “Apa yang akan Paduka Wiku
lakukan?”

“Makhluk laknat ini seorang telik sandhi (mata-mata) yang


menyusup ke kalangan pengungsi.”

“Kami mohon, sudilah kiranya Paduka Wiku melepaskannya,”


Abdul Jalil memohon.

1354
“Heh, bagaimana Tuan Syaikh ini? Bukankah tiap-tiap telik sandhi
harus dibunuh? Bukankah seorang telik sandhi lebih berbahaya
daripada seribu prajurit?”

“Paduka Wiku, jika dia memang terbukti telik sandhi maka biarlah
prajurit Caruban yang menangkapnya. Tapi, kita belum punya
cukup bukti jika dia seorang telik sandhi. Kita menduga dia telik
sandhi karena kebetulan kita mendengar dia menggerutu dan
mengumpat salah satu di antara kita. Kami menganggap yang dia
lakukan itu bukan suatu kesalahan,” kata Abdul Jalil.

“Tapi Paman,” Syarif Hidayatullah menyela, “ucapan orang ini


sangat berbahaya. Apa yang dia ucapkan bisa mempengaruhi
orang lain.”

“Aku tidak melihat ada ucapannya yang berbahaya,” kata Abdul


Jalil tenang, “sebab yang dia umpat adalah aku, Syaikh Lemah
Abang. Andaikata yang dia umpat adalah Sri Mangana, kalifah
Caruban Larang, atau engkau, wali nagari Gunung Jati, maka dia
dapat dituduh melakukan tindakan yang membahayakan. Dia bisa
dituduh telik sandhi. Tapi, yang dia umpat adalah aku. Ya, aku yang
dia umpat. Dan aku ini orang biasa. Aku bukan pejabat negara. Aku
bukan apa-apa. Aku hanya seorang guru di kampung kecil. Jadi
menurutku, bukan suatu kesalahan jika dia mengumpat dan
mencaci maki aku.”

1355
Mendengar ucapan Abdul Jalil, Wiku Sura Lokeswara menghela
napas panjang dan kemudian melemparkan tubuh laki-laki yang
dicengkeramnya itu ke atas tanah. Tubuh laki-laki itu terguling-
guling berlepot lumpur. Secepat itu dia berusaha bangkit, namun
tubuhnya terguling. Akhirnya, dengan gemetaran dan tubuh kotor
penuh lumpur laki-laki muda itu merangkak dan menyembah di
hadapan Abdul Jalil sambil mengiba memohon ampun. Abdul Jali
menarik bahu laki-laki itu ke atas dan berkata, “Berdirilah! Tidak
boleh ada manusia berlutut dan menyembah kepada sesama
manusia. Tetapi, mulai sekarang berhati-hatilah engkau jika
berbicara. Sebab, celaka dan tidaknya seseorang sering kali
disebabkan oleh ketidakmampuannya dalam menjaga mulut.”

Dengan membungkuk-bungkuk dan mengucapkan terima kasih,


laki-laki itu melangkah terseok-seok masuk ke dalam gubuknya.
Setelah melihat laki-laki itu menghilang, Abdul Jalil berkata kepada
Syarif Hidayatullah dan Raden Qasim, “Mulai sekarang kalian
berdua harus bisa membiasakan diri untuk tahan mendengarkan
aku dicaci maki dan diumpat-umpat oleh siapa pun di antara
manusia. Sebab, dalam perubahan besar ini aku telah memilih
kedudukan sebagai tanah pijakan bagi bangunan yang sedang kita
tegakkan bersama, yaitu bangunan baru masyarakat ummah dan
wilayah al-Ummah.”

“Mulai sekarang, aku berharap kalian berdua memandang tatanan


yang sedang kita tegakkan bersama ini dalam ibarat bangunan
baru. Kita adalah anasir yang membentuk dan memberi daya hidup
bangunan tersebut. Sri Mangana, misalnya, harus kita ibaratkan
1356
sebagai dinding bangunanyang berperan utama melindungi
penghuni dan mencitrai keindahan bangunan. Raden Sahid dapat
kita ibaratkan sebagai tiang saka yang menopang atap dan
memperkuat bangunan. Raden Qasim dapat diibaratkan menjadi
kusen pintu. Dan engkau, anakku, dapat diibaratkan menjadi atap
yang memayungi dan memperindahnya. Sahabatku Abdul Malik
Israil dapat diibaratkan sebagai salah satu tukangnya. Sementara
yang lain adalah ibarat bagian-bagian yang melengkapi keutuhan
bangunan tersebut. Dan di dalam usaha menegakkan bangunan
baru itu, aku telah memilih peran sebagai tanah tempat bangunan
baru itu ditegakkan.”

“Di Surabaya, aku sudah menyatakan kepada saudaraku, Raden


Ali Rahmatullah, bahwa di dalam membangun tatanan baru di
Majapahit, aku telah menetapkan kedudukan diriku sebagai tanah
yang menjadi pijakan bagi bangunan baru tersebut. Dan
sebagaimana lazimnya tanah maka menjadi kewajiban asasi bagi
kedudukannya untuk diinjak-injak, dilukai dengan cangkul,
dikencingi, diberaki, dijadikan tempat buangan sampah, namun
sekaligus sebagai tempat orang bercocok tanam dan mendirikan
bangunan. Sekalipun tidak pernah diperhitungkan dalam
menegakkan bangunan, di atas tanah itulah sejatinya tiap-tiap
bangunan bisa berdiri. Tanpa tanah yang diinjak-injak, tidak
mungkin bagunan-bangunan bisa ditegakkan. Bahkan agar orang
bisa berdiri tegak pun, dibutuhkan tanah untuk tempat berpijak.”

“Dengan memahami hakikat tatanan baru yang sedang kita


tegakkan seibarat bangunan, hendaknya kalian sadar bahwa
1357
kedudukanku harus rendah di hadapan manusia sebagaimana
kedudukan tanah. Bahkan andaikata nanti bangunan baru itu
sudah tegak dengan megah dan orang-orang mengagumi
keindahannya, pastilah orang tidak akan ada yang mengagumi dan
memuji tanah tempat bangunan tersebut berdiri. Hanya bagian-
bagian dari bangunan itulah yang menyadari dan dapat
menghargai kedudukan tanah tempatnya berdiri. Karena itu, jika
sewaktu-waktu kalian berdua mendapati aku dicaci maki, diumpat,
dikutuk, dan direndahkan orang, hendaknya kalian tidak merasa
tersinggung atau marah. Bahkan sebaliknya, jika kalian berdua
mendapati aku dipuji orang seolah-olah aku adalah dewa dari langit
maka kewajiban kalianlah untuk merendahkanku sesuai
kedudukanku sebagai tanah. Ingat-ingatlah selalu kalian akan
pesanku ini. Ingat-ingatlah bahwa aku adalah tanah. Tanah.
Tanah. Seribu kali tanah. Sebagaimana kedudukan tanah,
keberadaanku pun wajiblah diinjak-injak dan direndahkan oleh
siapa pun yang ingin berdiri tegak di atasku. Hendaknya kalian
ketahui bahwa sebutan Syaikh Lemah Abang yang diberikan orang
kepadaku bukanlah suatu kebetulan, melainkan justru merupakan
cerminan kedudukanku sebagaimana dikehendaki-Nya.”

Syarif Hidayatullah dan Raden Qasim tercengang mendengar


uraian Abdul Jalil. Mereka menangkap sebuah kebenaran di dalam
kata-kata Abdul Jalil. Namun, dengan kenyataan itu mereka tiba-
tiba merasakan betapa berat tanggungan jiwa yang harus dipikul
guru manusia yang sangat mereka hormati itu. Sejurus mereka
tenggelam ke dalam lamunan diri; mengingat bagaimana para
peserta pertemuan di Masjid Ampel Denta mengecam dan
menjadikan sosok Abdul Jalil sebagai bahan ejekan. Masih segar
1358
dalam ingatan mereka bagaimana sebagian anggota Bhayangkari
Islah menjadikan Abdul Jalil sebagai sasaran kemarahan dan
gerutuan. Dan kini pun mereka baru saksikan para pengungsi yang
tidak mengerti persoalan ikut mengumpat dan mencaci maki
manusia malang itu. Akhirnya, baik Syarif Hidayatullah maupun
Raden Qasim tidak berani membayangkan apa yang bakal dialami
Abdul Jalil pada masa datang. Mereka tidak berani melewati batas
angan-angan untuk membayangkan lebih jauh tentang rentang
hidup penggagas tatanan baru itu. Namun, rekaman ingatan
tentang liku-liku hidup yang telah mereka alami bersama Abdul
Jalil, sebagaimana mereka saksikan dan mereka rasakan sendiri,
telah membuat mereka terheran-heran dengan kumparan nasib
yang membelit orang yang mereka hormati itu.

Ujian berat (bala’) selalu ditimpakan kepada para nabi, wali, dan
orang-orang semisal mereka, demikian sabda Nabi Muhammad
Saw.. Sebagai salah seorang anggota Jama’ah Karamah al-
Auliya’, Abdul Jalil tampaknya tak luput dari keniscayaan sabda
Nabi Saw. tersebut.

Ketika Caruban Larang diamuk peperangan, diterkam ketakutan,


diguncang ketegangan, diintai ancaman kematian, dan diwarnai
semrawut kehidupan para pengungsi yang berduyun-duyun
menghindari keganasa perang, terjadi peristiwa yang tak
tersangka-sangka. Barang dua pekan setelah perang berkecamuk,
datanglah serombongan orang yang mengaku asal negeri
Baghdad ke Giri Amparan Jati. Rombongan yang berjumlah sekitar
empat puluh orang itu dipimpin oleh Abdul Qadir dan Abdul Qahhar
1359
bin Abdul Malik al-Baghdady, dua orang adik ipar Abdul Jalil, yakni
adik lain ibu dari Fatimah, istri pertama Abdul Jalil. Yang tak
terduga, Abdul Qadir dan Abdul Qahhar datang dengan membawa
serta puteri Abdul Jalil yang sudah berusia delapan tahun dan
membawa pula kabar duka tentang kematian istri Abdul Jalil
barang tiga bulan silam akibat sakit keras di Wadi al-Ubayyid, di
tengah perjalanan dari Karbala ke Nukhayb sewaktu Syaikh Abdul
Malik al-Baghdady dan pengikut-pengikutnya diburu-buru oleh
penguasa Baghdad.

Karena Abdul Jalil tidak berada di tempat, rombongan asal


Baghdad itu ditampung di Giri Amparan Jati. Abdul Qadir dan Abdul
Qahhar al-Baghdady yang belum lepas dari rasa gentar akibat
diburu-buru penguasa Baghdad, sangat cemas ketika mengetahui
mereka berada di sebuah daerah yang sedang dicekam
peperangan. Mereka selalu menanyakan kapan saudara ipar
mereka kembali dengan harapan mereka akan diungsikan ke
tempat yang lebih aman. Namun, harapan mereka tidak
kesampaian karena Abdul Jalil yang mereka temui ternyata
dengan tegas menolak mencarikan mereka tempat aman yang
jauh dari perang. Dengan suara yang lain ia berkata,
“Sesungguhnya, di mana pun tempat di dunia ini adalah aman
selama kalian bernaung di bawah lindungan Sang Penyelamat (as-
Salam). Betapa salahnya kalian memandang jika Kematian hanya
berkeliaran di tengah peperangan. Sebab, tidak ada dalil yang
mengatakan bahwa Sang Maut (al-Mumit) bersemayam di atas
langit medan tempur, merentangkan sayap dan cakar-Nya untuk
memangsa setiap orang yang berada di sana. Apakah kalian pikir
di tempat yang jauh dari medan tempur tidak ada Sang Maut?
1360
Tidakkah kalian sadar bahwa Sang Maut berada di mana pun Sang
Hidup berada, karena Sang Maut adalah Wajah yang lain dari Sang
Hidup (al-Hayy).”

Merasa keinginannya tidak dipenuhi, Abdul Qadir dan Abdul


Qahhar al-Baghdady tidak menyerah. Mereka berusaha
mempengaruhi Abdul Jalil melalui kemenakan mereka, Zainab,
puteri Abdul Jalil. Mereka beralasan bahwa keinginan untuk jauh
dari daerah perang itu sesungguhnya demi keselamatan
kemenakan mereka, yakni darah dan daging Abdul Jalil sendiri.
Kemenakan mereka itu telah piatu dan karenanya harus
diselamatkan sesuai amanat kakak mereka, Fatimah. “Kami jauh-
jauh ke negeri ini hanya memenuhi amanat kakak kami,” Abdul
Qahhar berharap.

Abdul Jalil bergeming dari pandangannya. Dengan suara dingin ia


berkata, “Jika kalian berdua takut maka kalian berdua akan aku
tempatkan di Kalisapu atau di Pantai Mundu bersama-sama
dengan para pengungsi yang berjiwa pengecut. Tetapi perlu kalian
ketahui, puteriku akan aku tempatkan di sini, di tengah kancah
peperangan ini agar dia bisa merasakan panasnya hawa perang
yang akan menempa keberanian di dalam jiwanya. Aku akan
ajarkan kepada dia bahwa di mana pun dia berada senantiasa
berada dalam liputan Kematian dan Kehidupan. Tidak ada yang
menjamin jika dia aku tunggui dan aku tempatkan di daerah aman
maka dia akan selamat dan terus hidup. Sebaliknya, tidak ada yang
menjamin bahwa dengan tinggal di daerah perang, dia akan celaka
dan terbunuh.”
1361
Akhirnya, setelah mendengar uraian Abdul Jalil secara panjang
dan lebar, baik Abdul Qadir maupun Abdul Qahhar al-Baghdady
menyatakan kesediaannya untuk tinggal di Caruban. Mereka
merasa kepalang basah jauh dari tanah kelahiran dan mereka
tentu saja tidak mau dinilai pengecut. Bahkan, mereka kemudian
meminta untuk bergabung dengan laskar Caruban asal Baghdad
yang dipimpin Syaikh Duyuskhani. Demikianlah, setelah
menyerahkan Zainab kepada Abdul Jalil, kedua orang putera
Syaikh Abdul Malik al-Baghdady beserta empat puluh orang
pengikutnya itu diantar oleh tiga santri Giri Amparan Jati ke
Pancalang, yaitu pangkalan pertahanan laskar muslim Caruban.

Sementara itu, Abdul Jalil diam-diam merasakan keanehan ketika


ia diberi tahu oleh kedua orang adik iparnya tentang kematian
istrinya. Aneh, katanya dalam hati, kabar kematian istriku ternyata
tidak mengejutkan aku. Ya, aku tidak terkejut. Tidak menangis.
Tidak pula meratap. Entah kenapa aku seolah-olah sudah
menangkap tengara kematian istriku, Fatimah, barang setahun
silam dari alam bawah sadarku. Lantaran itu, kabar duka dari Abdul
Qadir dan Abdul Qahhar kurasakan seolah-olah hanya sebagai
penyingkap selubung rahasia yang selama ini menutupi kenyataan
kematian Fatimah.

Manusia hidup memang memiliki riwayat yang panjang dan berliku-


liku, gumam Abdul Jalil dalam hati, namun adakalanya riwayat
manusia sangat pendek dan tidak bersambung sebagaimana
riwayat Nafsa dan Fatimah, dua orang perempuan yang pernah
bersemayam penuh keindahan di dalam relung-relung jiwaku.
1362
Mereka berdua kini sudah kembali menghadap hadirat-Nya.
Namun Fatimah, istriku, merki riwayatnya sangat pendek ternyata
masih bersambung. Ia masih meninggalkan citra keindahannya
dalam wujud puteri kecil kami, Aisyah, yang oleh kakeknya
namanya diubah menjadi Zainab. Ya, inilah kebersambungan
riwayat Fatimah, yang kini diserahkan kepadaku untuk kujaga dan
kuantarkan ke gerbang kehidupan yang sesuai dengan jati dirinya.

Sekalipun Abdul Jalil tidak merasa terkejut mendengar kabar


kematian istrinya, sebagai manusia ia tidak lepas dari rasa pedih
yang mencakari jiwanya. Selama beberapa jenak ia termangu-
mangu sambil membelai rambut puteri semata wayang yang duduk
di pangkuannya. Ia bayangkan betapa berat perjalanan yang
dilakukan istrinya saat melintasi padang gurun ganas dari Karbala
hingga Wadi al-Ubayyid. Fatimah yang sejak kecil hidup penuh
kemanjaan dan dilimpahi kasih orang-orang yang mencintainya
tentu sangat menderita saat diterkam keganasan gurun yang buas.

Seperti rekaman bayangan yang terpampang di bentangan


ingatannya, Abdul Jalil menyaksikan bayangan Fatimah
mengelebat di dalam benaknya. Fatimah yang menggigil
kedinginan di malam hari dan terengah-engah kepanasan di siang
hari. Fatimah yang tubuhnya lemah tak berdaya, menggeliat
sekarat terpanggang ganasnya gurun. Fatimah yang bibirnya
pecah-pecah karena kehausan. Mata Fatimah yang mirip mata
Nafsa itu meredup dengan linangan air mata pada saat-saat
terakhir menyaksikan puterinya, Zainab, yang akan ditinggal untuk
selamanya. Ah, betapa menderitanya engkau, Fatimah, setelah
1363
bertahun-tahun ditinggal suami dengan segala kerinduanmu,
ternyata yang datang menjemputmu adalah Sang Maut.

Bayangan yang berkelebatan di dalam benaknya itu menyingsing


dalam keremangan jiwa manakala dari kedalaman kalbunya terbit
matahari kenangan yang menyinari sosok Fatimah. Fatimah binti
Abdul Malik al-Baghdady adalah citra abadi seorang istri, seorang
perempuan, yang kuat perkasa, penuh daya hidup, dan teguh
dalam menghadapi tantangan. Meski merasa pahit saat
ditinggalkan sebagai ibu muda, ia tetap tabah menjalani hidup
dalam kesendirian mengasuh puterinya. Betapa kuat. Betapa
tabah. Fatimah tidak pernah menyerah menghadapi kesulitan yang
bagaimanapun rumitnya. Bahkan pada saat-saat terakhir
menjelang ajal, menurut Abdul Qadir, ia masih sempat berpesan
agar puterinya diserahkan kepada sang ayah supaya dibimbing ke
jalan Kebenaran (al-Haqq).

Abdul Jalil sendiri hanya bisa menarik napas panjang saat Abdul
Qadir menyampaikan amanat terakhir Fatimah. Di tengah kecamuk
perang dan beban berat seorang penggagas pembaharuan yang
dimusuhi banyak orang, menjadi seorang ayah dan sekaligus ibu
bagi seorang puteri bukanlah hal ringan. Sementara ayahanda
mertuanya, Syaikh Abdul Malik al-Baghdady, tidak ketinggalan
menitipkan pula sebuah amanah berupa “perintah” agar ia
memberikan hukuman kepada Ali Anshar at-Tabrizi. Rupanya Ali
Anshar telah berkhianat hingga menyebabkan Syaikh Abdul Malik
al-Baghdady dan pengikutnya diburu-buru penguasa Baghdad. Ali
Anshar, menurut Abdul Qadir, ditengarai pergi ke Nusa Jawa untuk
1364
melampiaskan dendam kesumatnya kepada Abdul Jalil. Dan tentu
saja, amanah istri dan ayahanda mertuanya itu menambah berat
beban yang harus dipikulnya di tengah ketidakpastian keadaan
yang membayanginya.

Andaikata Abdul Jalil orang biasa, pastilah dengan beban berat


yang makin menumpuk di pundaknya itu ia akan tumbang dan jatuh
ke dalam lumpur pekat kehidupan yang membuatnya sulit
bernapas. Atau setidaknya, benak di kepalanya akan memuai dan
meleleh. Atau hatinya terbakar dan meledak berkeping-keping.
Namun, di tengah tumpukan beban itu ia terlihat sangat tabah.
Sebagai anggota Jama’ah Karamah al-Aulia’, cermin
pengejawantahan al-Waly, jiwanya ditempatkan pada kedudukan
yang lebih tinggi dibanding jiwa manusia seumumnya. Jiwanya
disemayamkan di sebuah gunung menjulang yang dilindungi
tebing batu sangat kuat. Di tengah berat beban yang harus
dipikulnya, jiwanya justru terluput dari percikan rasa takut,
khawatir, dan sedih yang berkepanjangan.

Dengan kedudukan jiwa yang tinggi, ia dapat melihat dengan jelas


segala pusaran kehidupan yang tergelar di bawahnya. Sehingga
saat segunung masalah beriringan menaiki tangga menara dan
menghampirinya, ia selalu menyambutnya dengan
menengadahkan wajah ke atas. Ia memasrahkan segala sesuatu
yang menghampirinya kepada al-Wakil, Zat yang memelihara
penyerahan segala urusan. Dengan jiwanya yang sudah
tercerahkan, ia senantiasa menyerahkan seluruh hidupnya hanya
kepada al-Waly, Zat yang melindungi. Sebesar dan seberat apa
1365
pun beban masalah yang dipikulnya tak pernah dianggapnya
sebagai sesuatu yang terpisah dari kehendak-Nya; Wama
tasya’una illa an yasya’a Allahu rabb al-alamin. Ia senantiasa
mengembalikan segala sesuatu yang berasal dari-Nya kepada-
Nya; inna li Allahi wa inna ilaihi raji’un.

Sekalipun jiwanya terpelihara di tempat tinggi, sebagai manusia


yang dha’if, ia tidak luput dari terkaman rasa sedih dan duka.
Namun berbeda dengan manusia seumumnya, rasa sedih dan
duka itu tak pernah lama merajalela menguasai jiwanya. Beberapa
jenak tenggelam dalam lamunan yang memedihkan akibat
mendengar kabar kematian istrinya, ia sudah disentakkan oleh
tarikan kesadaran akibat bisikan Ruh al-Haqq.

“Sadarlah engkau, o Rajawali, pengarung kesunyian sejati. Engkau


bukan burung-burung kecil yang terbang dalam kawanan-kawanan
untuk mencuri padi di sawah. Engkau juga bukan gurung gagak
pemakan bangkai. Pun engkau bukan binatang melata yang
merayap di muka bumi dengan perutnya. Engkau Rajawali, raja
segala burung yang terbang tinggi di angkasa dan bersarang di
tebing-tebing karang yang tegak menggapai langit. Engkau tidak
makan jika tidak lapar. Engkau tidak minum jika tidak kehausan.
Engka selalu memandang ke bawah dengan mata menyala,
menyaksikan kehidupan makhluk yang melata di permukaan bumi.
Engkau terbang sendiri tanpa kawan. Tetapi, engkau tidak
bersedih karena kawanmu adalah Kehampaan. Ketika engkau
menjerit: Haqq! Haqq! Kehampaan menjawab dengan pantulan
gema yang menggetarkan penjuru langit dan bumi. Sadarilah, o
1366
Rajawali, bahwa kodratmu adalah sendiri dan berteman dengan
Kehampaan.”

Dengan bisikan Ruh al-Haqq, ia tetap tersadarkan meski


kesedihan dan derita mengepung segenap penjuru jiwa. Ia sadar
tentang kehendak-Nya di balik rahasia kehidupan yang digelar di
depannya. Betapa kematian istri dan kehadiran Zainab, puterinya,
di tengah kecamuk perang itu tidak lain dan tidak bukan hanyalah
bagian dari liku-liku ujian-Nya yang harus dilampaui. Puterinya
yang telah piatu itu dihadirkan-Nya di tengah keadaan sulit ini untuk
menguji keteguhannya dalam menjaga kiblat hati dan pikiran
kepada Yang Maha Berkehendak. Dan sebagaimana rajawali, ia
terus mengepakkan sayap-sayap jiwanya mengarungi kesunyian
menuju Kehampaan Sejati.

Bagi para pengarung kesunyian seperti Abdul Jalil, makna suka


dan duka, sedih dan gembira, bahagia dan menderita, hidup dan
mati, sangat berbeda dan bahkan bertolak belakang dengan apa
yang dipahami oleh orang kebanyakan. Sebab, duka cita dan
kesedihan yang dikaitkan dengan penghiburan oleh orang
kebanyakan sering dimaknai dengan arti kegembiraan yang
menyenangkan hati; habis duka cita terbitlah sukacita, di mana ada
suka di situ ada duka, sedih dan gembira ibarat siang dan malam
yang saling berganti. Sementara bagi pengarung kesunyian seperti
Abdul Jalil, duka cita dan kesedihan dipandang sebagai sesuatu
yang terkait dengan keberadaan dan ketiadaan. Suka dan duka,
sedih dan gembira, bahagia dan derita, hanya muncul ketika
seseorang menganggap keakuan dirinya ada. Namun, kegandaan
1367
itu akan menyingsing manakala keakuan seseorang ditiadakan
dan ditenggelamkan ke dalam Aku Semesta: Kehampaan Sejati.

Tidak berbeda dalam hal memaknai suka dan duka, dalam


memaknai kehidupan pribadi pun orang seperti Abdul Jalil berbeda
dengan manusia seumumnya. Baik ruang, baik waktu, baik
kehidupan yang tergelar di dalamnya, dengan segala kekuatan
alamiahnya seolah-olah menempatkan Abdul Jalil sebagai orang
yang tidak diberi kesempatan cukup banyak untuk mengurus
kehidupan pribadi. Bahkan, untuk meresapi kesedihan dan
memanjakan puteri semata wayangnya pun ia seolah-olah tidak
diberi peluang barang sejenak. Ketika ia baru tersentak oleh
kesadaran setelah terlena beberapa saat mengenang istri dan
melepas rindu kepada puterinya, ia sudah dikejutkan oleh kabar
laskar muslim Caruban yang berduyun-duyun melarikan diri dari
medan tempur di Jamaras. Abdul Malik Israil yang baru saja
kembali dari Kuta Caruban muncul menemuinya. “Apa yang dulu
engkau takutkan, o Sahabatku, kini telah terbukti menjadi
kenyataan pahit.”

“Apakah yang telah terjadi, o Sahabat?” tanya Abdul Jalil minta


penjelasan.

“Ratusan laskar muslim Caruban yang dipimpin Abdul Karim Wang


Tao dan Abdul Razaq Wu Lien terbirit-birit melarikan diri dari
medan tempur karena tidak kuasa mengendalikan setan takhayul
yang menguasai jiwa dan pikiran mereka,” kata Abdul Malik Israil
1368
menggeleng-geleng kepala. “Mereka lari ketakutan demi
mendengar kabar panglima Rajagaluh, Adipati Kiban,
mengendarai gajah yang muncul dari Gunung Liman. Gajah itu
konon bernama Sang Bango.”

“Kenapa pula dengan gajah tunggangan Adipati Kiban itu?”

“Para laskar berpikir gajah bernama Sang Bango itu adalah gajah
siluman bersayap dan bisa terbang seperti burung bangau. Karena
itu, saat mereka berhadap-hadapan dengan pasukan Rajagaluh
yang dipimpin oleh Adipati Kiban, mereka lari tunggang langgang
karena takut dengan gajah siluman itu,” kata Abdul Malik Israil.

“Astaghfirullah al-azhim,” Abdul Jalil mendecakkan mulut sambil


menggeleng-gelengkan kepala. “Apa yang harus kita lakukan
menghadapi manusia-manusia yang sudah dibodohkan dan
dilemahkan oleh takhayul itu?”

“Menurut hematku, mereka harus diberi kekuatan baru yang sesuai


dengan naluri mereka.”

“Apakah kita harus mengenalkan kepada mereka takhayul-


takhayul baru?”

1369
“Tentu saja tidak,” kata Abdul Malik Israil, “Mereka harus kita bawa
secara perlahan-lahan untuk mengenal Tauhid melalui tahapan-
tahapan, yaitu melalui pengenalan kekuatan gaib doa, hizb, wafak,
dan khasiat ayat-ayat al-Qur’an untuk keperluan hidup sehari-hari.
Aku kira, dengan cara itu mereka akan dapat kita arahkan ke pusat
Kebenaran, meski harus melewati jalan berliku dan berbelit-belit.”

“Sesungguhnya, aku khawatir mereka akan terperangkap ke


lingkaran takhayul lain. Tetapi, jika itu yang harus dilakukan maka
sebaiknya engkau beserta Syaikh Ibrahim Akbar dan Syaikh
Bentong bekerja sama membina mereka ke arah itu. Engkau bisa
mengajari orang-orang dengan amalan-amalan yang pernah
dijalankan Bani Israil di masa lampau, yang menggunakan bahasa
Suryan (bahasa Arab kuno). Biarlah Syaikh Ibrahim Akbar dan
Syaikh Bentong mengajari mereka tentang wafak dan hizb. Aku
sendiri akan mengajar sasyahidan, karena aku tidak pandai dalam
hal hizb, wafak, doa, dan pengenalan khasiat ayat-ayat al-Qur’an.
Aku hanya mengajarkan sasyahidan sebagaimana tugas itu
dibebankan Bhayangkari Islah kepadaku.” Abdul Jalil tiba-tiba
teringat pada sosok Dang Hyang Semar, yang bagian terbesar di
antara pengikutnya adalah kalangan Tu-gul yang awam dan
hidupnya penuh dilingkari gegwantuhuan. Akankah Islam
mengalami nasib seperti Kapitayan yang diajarkan Dang Hyang
Semar, tanyanya dalam hati, yakni hanya dijadikan keyakinan
“topeng” oleh kalangan awam yang tidak memiliki pemahaman
yang benar tentang Yang Mahatunggal.

1370
Di tengah kegelapan malam Kematian membentangkan sayap dan
mencengkeramkan kuku-kuku tajamnya di atas langit Caruban
Larang, memperdengarkan suara-Nya yang melengking,
meruntuhkan nyali seluruh makhluk hidup. Meski tidak semua
orang mengetahui apa yang disebut Kematian, bagi mereka yang
waskita, Kematian adalah sisi lain dari Kehidupan. Kematian dan
Kehidupan ibarat sosok dan bayangan yang berhadap-hadapan di
depan cermin yang sama. Sebagaimana Kehidupan yang tak
pernah kekurangan dan berkurang dalam menumbuhkan segala
sesuatu yang hidup, Kematian pun tidak pernah kekenyangan dan
tidak pernah pula terpuaskan, meski setiap waktu Dia melahap
jiwa-jiwa segala sesuatu yang hidup.

Di tengah intaian Kematian, di antara kesenyapan dan kegelapan


yang melingkari Kuta Caruban, Abdul Jalil menggandeng puterinya
menyusuri jalanan yang lengang. Di depannya berjalan Wiku Suta
Lokeswara, Abdul Halim Tan Eng Hoat, Abdul Malik Israil, Syarif
Hidayatullah, Raden Sulaiman, dan Raden Qasim. Sepanjang
menyusuri jalan-jalan tampaklah bahwa Kuta Caruban benar-
benar ditinggalkan oleh sebagian besar penghuninya. Rumah dan
bangunan yang teronggok di tengah kegelapan terlihat bagaikan
bayangan hantu. Satu dua memang terlihat nyala pelita, namun
selebihnya hanya kegelapan yang mengambang di permukaan
bumi bersama selimut kabut.

Sekalipun pada malam hari Kuta Caruban sunyi dan lengang,


jangan dikira orang tak dikenal dapat bebas masuk ke rumah-
rumah yang kosong ditinggal penghuninya. Berpuluh-puluh dan
1371
bahkan beratus-ratus pasang mata setidaknya mengintai setiap
gerakan di tengah kegelapan. Sesekali terlihat bayangan-
bayangan hitam bergerak sangat cepat dari satu bangunan ke
bangunan yang lain. Andaikata saat itu ada orang tak dikenal yang
berniat jahat hendak mencuri atau menjarah kuta, dapat dipastikan
mereka akan berhadapan dengan Kematian. Bahkan, karena
keadaan itu para pemilik rumah yang sedang mengungsi pun tidak
ada yang berani ke kuta dan masuk ke rumahnya pada malam hari.

Ketika Abdul Jalil menanyakan keadaan yang begitu mencekam di


Kuta Caruban kepada Sri Mangana, ia diberi tahu jika mereka yang
berkeliaran di malam hari itu adalah prajurit-prajurit Caruban.
Jumlah mereka sekitar seribu orang. Mereka memang disiagakan
untuk menjaga keamanan di kuta. Siang hari mereka ditugaskan
berjalan seorang-seorang dari satu tempat ke tempat yang lain
secara bergilir. Setiap kali mereka sampai di tempat yang
ditentukan, mereka akan berganti pakaian dan berjalan lagi ke
tempat yang lain. Dengan cara itu, pada pagi dan siang hari Kuta
Caruban menjadi semarak seolah-olah masih dihuni oleh banyak
penduduk. Menjelang sore, sebagian di antara prajurit-prajurit itu
akan berbaris dengan pakaian prajurit menuju Pekalipan.

Siasat menempatkan seribu prajurit di Kuta Caruban, menurut Sri


Mangana, terpaksa dilakukan karena sejak hari kedua
pertempuran, Kuta Caruban sudah mulai ditinggalkan penduduk
yang mendengar berita-berita menyeramkan tentang keganasan
perang. Memasuki hari kelima terjadi lagi pengungsian lebih besar
ketika tersebar bahwa Abdurrahman Ling Tan gugur. Saat itu tidak
1372
peduli penduduk Cina pengikut Abdul Karim Wang Tao dan Abdul
Razaq Wu Lien, semua beramai-ramai meninggalkan Kuta
Caruban. Memasuki hari ketujuh pertempuran, penduduk asal
Baghdad di Kalijaga pengikut Syaikh Duyuskhani bersama
penduduk Sunda dan Jawa ikut kabur meninggalkan kuta.
Sebagian bergerak ke arah selatan, ke pantai Mundu dan
Pangarengan, sebagian lagi ke arah utara, ke pantai Kalisapu dan
Muara Jati.

Sri Mangana sendiri mengaku tidak menduga jika pertempuran


akan terjadi secepat itu. Lantaran itu, akunya, ia sempat kelabakan
menempatkan pasukan Caruban Larang yang berjumlah sekitar
30.000 orang untuk menjaga perbatasan yang begitu panjang.
Pada saat pecah pertempuran di Bobos antara pasukan Rajagaluh
dan Kuningan, ia mengutus Abdurrahman Ling Tan dan Abdul
Karim Wang Tao untuk membantu pasukan Kuningan dengan
kekuatan sekitar tiga ratus laskar. “Kekuatan Rajagaluh terlalu
besar untuk dilawan Kuningan meski ditambah tiga ratus laskar.
Sebab, Rajagaluh mendapat bantuan pasukan dari Talaga dan
Galuh Pakuan. Akhirnya, pasukan Kuningan dan laskar Caruban
berhasil dipukul mundur dan pecah menjadi dua. Pasukan
Kuningan terpukul mundur ke selatan hingga ke Singkup.
Sedangkan laskar yang dipimpin Abdurrahman Ling Tan dan Abdul
Karim Wang Tao terpukul mundur hingga ke Plumbon. Bahkan,
Abdurrahman Ling Tan gugur saat menghadang gerak maju
musuh di Warugede,” kata Sri Mangana memaparkan lika-liku
jalannya pertempuran.

1373
“Apakah Rajagaluh menyerang dengan mendadak tanpa alasan
sehingga Ramanda Ratu tidak siap menghadapinya?” tanya Abdul
Jalil meminta penjelasan. “Kenapa pula yang bertempur adalah
pasukan Kuningan? Dan bagaimana mungkin pertempuran
pertama pecah di Bobos, yang termasuk ke dalam wilayah
Palimanan?”

“Ya, itu semua gara-gara si Angga, wali nagari Kuningan yang tidak
dapat menahan diri,” Sri Mangana memaparkan. “Saat dia hendak
ke Giri Amparan Jati untuk memberi tahu Syarif Hidayatullah
bahwa adik perempuannya, Ong Tien, istri Syarif Hidayatullah,
telah melahirkan seorang putera, ia bertemu dengan wahuta
(pemungut pajak) Rajagaluh, Ki Dipasara. Ki Dipasara ingin
menemui Syarif Hidayatullah untuk membicarakan kewajiban
membayar pajak kepada Yang Dipertuan Rajagaluh. Namun,
Syarif Hidayatullah tidak ada di tempat. Penasaran mengetahui
pejabat Rajagaluh berada di Giri Amparan Jati, Angga pun
meminta penjelasan Ki Dipasara tentang kehadirannya di situ.
Jawaban Ki Dipasara yang menyatakan bahwa kehadirannya di
situ untuk kepentingan memungut pajak dari Giri Amparan Jati
menyulut amarahnya. Menurutnya, Giri Amparan Jati adalah
bagian dari Caruban Larang sehingga Rajagaluh tidak berhak
memungut pajak. Lalu terjadi selisih paham yang berujung
pecahnya peperangan.”

“Berarti pihak Rajagaluh sengaja mencari gara-gara.”

1374
“Itu memang bagian dari perang siasat Rajagaluh. Tetapi, si Angga
rupanya tidak bisa menahan sabar. Dia terpancing. Bahkan yang
sangat aku sesalkan, dia memimpin pasukan Kuningan untuk
menyerang pasukan Rajagaluh yang berpangkalan di Bobos tanpa
memberi tahu aku,” kata Sri Mangana.

“Jadi, pihak Kuningan yang memulai serangan?” tanya Abdul Jalil


kaget.

“Itulah kecerobohan anak muda yang terlalu bangga diri dan


cenderung meremehkan orang lain. Angga sangat yakin bahwa
sekuat apa pun pasukan kafir akan dapat dihancurkannya dengan
pedang. Dan ternyata dia terkejut ketika pasukannya dihancurkan
pasukan Rajagaluh di Bobos. Bahkan, dia mengaku seperti
bermimpi saat menyaksikan pasukan yang dibanggakannya lari
tunggang langgang dari medan tempur,” kata Sri Mangana.

“Tetapi, ananda dengar si Angga sampai sekarang ini masih


memimpin pasukan di Singkup, sedangkan laskar muslim dipimpin
Abdulkarim Wang Tao dan Abdul Razaq Wu Lien bertahan di
Plumbon dan Jamaras. Sementara itu, laskar pimpinan Syaikh
Duyuskhani bertahan di Pancalang.”

“Aku memang menghukum Angga dengan menempatkannya


sebagai pemimpin perang pasukan Kuningan. Aku tidak ingin
Caruban Larang terlibat pertempuran langsung dengan Rajagaluh.
1375
Karena itu, yang membantu pasukan Kuningan adalah laskar-
laskar dan prajurit-prajurit yang menyamar sebagai laskar,” ujar Sri
Mangana.

“Berarti perang ini hanya perang antara Kuningan dan Rajagaluh?”


tanya Abdul Jalil heran.

“Ya. Tetapi, akhirnya nanti akan melibatkan Caruban. Karena itu,


kita semua saat ini dituntut sabar dan kuat menahan tekanan-
tekanan pihak luar yang berusaha memancing kita ke perang
terbuka. Sekarang ini kita masih memiliki waktu untuk memperkuat
pertahanan,” kata Sri Mangana.

Mendengar penjelasan Sri Mangana, bukan hanya Abdul Jalil yang


kagum dengan kecerdikan sang kalifah dalam menyiasati keadaan
yang genting itu, Wiku Suta Lokeswara yang mantan pejabat tinggi
Majapahit pun tidak bisa menahan diri untuk tidak memuji langkah-
langkah cemerlang tersebut. Bahkan, semua hadirin mendecakkan
mulut penuh kekaguman ketika Sri Mangana memaparkan
bagaimana ia menata 30.000 orang prajuritnya untuk menghadapi
ancaman dari Galuh Pakuan, Talaga, Rajagaluh, dan Dermayu
yang sewaktu-waktu dapat menyerang wilayah Caruban Larang.
Dengan luasnya wilayah Caruban Larang dan ancaman musuh
yang jumlahnya sepuluh kali lipat, sebenarnya keberadaan 30.000
orang prajurit tidaklah berarti apa-apa, namun dengan siasat yang
sulit dibayangkan, Sri Mangana telah menatanya sebagai kekuatan
yang tak bisa dipandang sebelah mata.
1376
Abdul Jalil sendiri sangat menyayangkan kecerobohan wali nagari
Kuningan yang telah memulai perang. Namun, ia paham mengapa
Angga sangat berani mengambil tindakan tanpa sepengetahuan
Sri Mangana. Mereka mempunyai hubungan kekerabatan yang
dekat. Ibu Angga, Ratu Siliwangi, adalah kakak lain ibu Sri
Mangana yang sejak kecil diasuh bersama di Caruban. Ong Wi,
ayah Angga, adalah putera saudagar Palembang bernama Ong Te
yang kenal dengan Prabu Guru Dewata Prana melalui Tuan
Milinadi, saudagar Palembang yang berniaga di negeri Sunda. Ong
Wi dapat menjadi gedeng di Kuningan karena menikahi Ratu
Siliwangi. Pernikahan Ratu Siliwangi dengan Ong Wi, meski
disetujui Prabu Dewata Prana, tidak disukai oleh saudara-
saudaranya. Itu sebabnya, saudara-saudara Ratu Siliwangi
memanggil Ong Wi dengan sebutan Ngewalarang yang bermakna
“orang yang paling dibenci”. Dari perkawinan dengan Ratu
Siliwangi, Ong Wi mendapat dua orang anak yaitu Angga dan
Selalarang. Sedang dari istrinya yang lain, yaitu seorang
perempuan Cina, Ong Wi memiliki tiga orang anak, Ong Tien,
Anggasura, dan Anggarunting. Rupanya, kedekatan darah dengan
Sri Mangana itulah yang membuat Angga sering melakukan
tindakan-tindakan yang berlebihan dan kadangkala tidak terpuji.

1377
Menyiapkan Perang Peradaban “

Benarkah keadaan di Majapahit jauh lebih


buruk dibanding Sunda?” tanya Sri Mangana
kepada Abdul Jalil. “

Ananda kira demikianlah keadaannya,” kata


Abdul Jalil menjelaskan. “Di sana orang hidup tanpa naungan
hukum yang pasti. Para pejabat mengisi hari-hari hidupnya dengan
pesta pora dan memeras kawula. Padepokan dan asrama
terlantar. Kawula hidup dalam kemiskinan karena diburu
bermacam-macam pajak. Bahkan, kesombongan para adipati
yang suka berperang makin menjerumuskan kehidupan di
Majapahit ke jurang kebinasaan. Semua orang ingin menang
sendiri. Semua orang ingin menjadi penguasa tanpa mengukur
kemampuan diri.” “

Menurutmu, kenapa keadaan itu bisa terjadi?” tanya Sri Mangana.

“Pertama-tama, nilai-nilai yang dianut di Majapahit sudah tidak


sesuai lagi dengan perkembangan zaman, terutama setelah
generasi-generasi penguasa makin merosot karena dilumpuhkan
oleh kemewahan dan sanjungan. Kedua, lingkaran pejabat yang
berasal dari kalangan kebanyakan yang berjiwa kerdil dan
berwawasan sempit sangat mempengaruhi kebijakan maharaja
dan roda pemerintahan. Hukum diperjualbelikan. Agama
1378
diperdagangkan. Jabatan dijadikan sarana utama untuk
memperkaya diri. Kejahatan dilakukan secara kait-mengait dan
sambung-menyambung, bahkan acap kali dilakukan dengan cara
bergotong-royong,” kata Abdul Jalil.

“Apakah menurutmu peranan pejabat-pejabat yang berasal dari


kalangan kebanyakan itu sangat besar dalam menjerumuskan
Majapahit ke jurang kebinasaan?” Sri Mangana meminta
penjelasan.

“Ananda menyimpulkan begitu. Sejak para penegak hukum,


pejabat tinggi kerajaan, nayakapraja, dan punggawa berdarah biru
disembelih beramai-ramai oleh para kawula yang mengamuk di
kutaraja saat terjadi penyerbuan Prabu Girindrawarddhana,
keagunagan dan kemuliaan Majapahit benar-benar sudah
berakhir. Orang-orang dari kalangan kebanyakan yang
menggantikan kedudukan mereka terbukti hanyalah golongan
berderajat sampah yang berjiwa kerdil dan berakhlak bejat.
Sehingga setinggi apa pun jabatan yang bisa mereka raih di
pemerintahan, tetap tidak bisa mengubah jiwa dan akhlak mereka.
Semakin tinggi jabatan mereka, semakin jahat dan nista perbuatan
yang mereka lakukan.”

“Jika memang Majapahit mengalami kehancuran karena tampilnya


orang-orang kebanyakan,” kata Sri Mangana dengan suara yang
lain, “bagaimana pula dengan gagasanmu tentang wilayah al-
Ummah?”
1379
Abdul Jalil tersentak kaget ketika ditanya balik oleh Sri Mangana.
Setelah diam beberapa jenak, ia berkata, “Setelah ananda
berkeliling ke berbagai tempat di Majapahit dan membicarakan
gagasan wilayah al-Ummah dengan berbagai pihak yang
mumpuni, ananda telah menyadari sejumlah kelemahan dari
gagasan tersebut. Itu sebabnya, pelaksanaan wilayah al-Ummah
di Majapahit pun disesuaikan dengan keadaan.”

“Apakah di sana gagasanmu itu diterima dan dijalankan?”

“Berkat dukungan sepupu jauh ananda, Raden Ali Rahmatullah, di


Majapahit telah terbentuk dua khilafah. Pertama-tama, para
penguasa Madura sepakat memilih Sayyid Husayn sebagai kalifah
Madura. Setelah itu, para penguasa pesisir Nusa Jawa sepakat
memilih Prabu Satmata sebagai kalifah di Majapahit,” papar Abdul
Jalil.

“Berarti, semua unsur khilafah di Madura dan Majapahit itu


diduduki oleh para bangsawan darah biru. Benarkah itu, o
Puteraku?”

“Benarlah demikian, o Ramanda Ratu.”

“Jika demikian, apa beda antara wilayah al-Ummah dan kerajaan?”

1380
“Gambaran wadag khilafah dan kerajaan bisa saja sama. Tetapi,
tata aturan dan daya hidup di antara keduanya jelas sangat
berbeda. Ibarat sebuah lomba pacuan kuda, tata aturan kerajaan
menetapkan bahwa kuda yang boleh mengikuti hanyalah kuda asal
gurun yang warna bulunya hitam, coklat, dan putih. Kuda-kuda asal
gurun yang memiliki warna jragem dan abu-abu dilarang ikut
pacuan. Sementara, tata aturan khilafah tidak membatasi asal-usul
kuda, apakah kuda Arab, kuda Persia, ataukah kuda Cina, bahkan
kuda warna apa pun boleh ikut pacuan. Yang terkuat dan
terperkasa di antara kuda-kuda itulah yang bakal menjadi
pemenang.”

“Selama gagasan khilafah ini diterapkan di Caruban dan Majapahit,


memang terbukti hampir seluruh jabatan dipegang oleh ningrat
darah biru. Tetapi, pada masa datang tidak tertutup kemungkinan
adanya tokoh dari kalangan kebanyakan yang bisa naik menjadi
bagian terpenting dari khilafah. Selama perjalanan ananda ke
sepanjang pesisir utara Nusa Jawa dan pedalaman Majapahit,
ananda telah melihat gerak langkah orang-orang kebanyakan
dalam berpacu menaiki tangga kekuasaan. Patih Mahodara yang
berkuasa di Daha, misalnya, asal-usulnya adalah seorang abdi dari
Adipati Pamadegan. Bahkan ananda sempat berbincang-bincang
dengan Adi-Andayaningrat, adipati Pengging, yang tiada lain
adalah putera Ki Bajul Sengara, buyut di Wisaya Kedung
Srengenge. Dia diangkat menjadi adipati dan dijadikan menantu
oleh Prabu Kertawijaya karena pengabdian dan kemampuannya
yang tinggi dalam membela panji-panji Majapahit.”

1381
“Sesungguhnya, dengan gagasan khilafah yang ananda tawarkan,
berbagai ketidakmungkinan yang tak teratasi dalam tatanan
kerajaan akan dapat dilampaui. Cerita Karna anak kusir Adiratha,
misalnya, tidak perlu menumbuhkan dendam berkelanjutan akibat
putera-putera Pandu menghinanya sebagai orang yang tak layak
mengikuti lomba karena bukan dari kalangan ningrat darah biru.
Dengan demikian, jelaslah bahwa gagasan khilafah yang ananda
tawarkan adalah gagasan yang memberikan kemungkinan bagi
siapa saja yang mau berjuang keras untuk meraih kemenangan.
Tidak peduli apakah orang seorang dari kalangan brahmana,
ksatria, waisya, sudra, paria, mleccha, mambang, kewel, domba,
bahkan potet sekalipun dapat menjadi pimpinan, asal memenuhi
prasyarat-prasyarat dan berhasil melampaui ujian-ujian yang
menghadang di tengah jalan.”

“Pengalaman ananda selama berada di pedalaman Majapahit


mengajarkan bahwa tetesan darah biru yang seharusnya
menduduki tempat tertinggi, sering kedapatan terpuruk ke jurang
hina karena dilemahkan dan dilumpuhkan oleh kemewahan dan
sanjungan. Sebaliknya, mereka yang tak jelas asal-usulnya dapat
menjadi gagah perkasa karena dikuatkan oleh ujian dan tantangan
hidup yang keras. Karena itu, ananda berharap agar gagasan
khilafah ini tidak dianggap sebagai usaha memberi kesempatan
luas bagi kalangan kebanyakan untuk berkuasa dan menutup
kesempatan bagi kalangan darah biru untuk melanggengkan
kekuasaan. Sekali-kali tidak boleh dianggap begitu. Gagasan
khilafah memberi kesempatan kepada semua kalangan tanpa
membeda-bedakan asal usul. Jika ternyata yang memegang
tampuk kekuasaan di dalam khilafah adalah para ningrat darah biru
1382
maka itulah keniscayaan yang harus diakui bahwa mereka adalah
orang-orang yang mewarisi keunggulan. Dan, hal itu hanya
mungkin terjadi dengan perjuangan keras sesuai tata aturan yang
disepakati,” kata Abdul Jalil.

“Menurutmu, butuh waktu berapa lama kalangan kebanyakan bisa


mengisi jabatan-jabatan penting di dalam wilayah al-Ummah di
Caruban Larang ini?” tanya Sri Mangana.

“Ananda tidak bisa mengira-ngira,” kata Abdul Jalil dengan suara


yang lain. “Sebab, sampai saat sekarang ini ananda masih belum
melihat satu pun di antara masyarakat ummah yang berasal dari
kalangan kebanyakan yang mampu membebaskan diri dari jiwa
budak yang menjajahnya. Mereka masih suka meminta daripada
memberi. Mereka masih suka tinggal di alam mimpi daripada
menghadapi dunia nyata. Mereka masih suka dilindungi daripada
melindungi. Mereka masih suka menghamba daripada
mempertuan diri sendiri.”

“Dan tahukah engkau, kenapa Kuta Caruban sekarang ini kosong


ditinggalkan penduduk?”

“Abdul Jalil tertawa kecut dan berkata, “Karena bagian terbesar


penduduknya adalah kalangan kebanyakan yang berjiwa budak,
yaitu orang-orang yang mengkhayal hidup mapan di dunia, namun
menolak kerja keras dan enggan menerima akibat samping yang
1383
tidak menyenangkan dari yang didambakannya. Bahkan, saat
melewati gubuk-gubuk dan tenda-tenda pengungsi di Kalisapu,
ananda mendengarkan sendiri bagaimana mereka menyalahkan
dan mencaci maki ananda sebagai penyebab kesengsaraan
mereka.”

“Tapi, engkau tak perlu khawatir,” kata Sri Mangana, “sebab apa
yang engkau rintis di Lemah Abang telah menunjukkan hasil.
Warga di sana telah berubah menjadi penduduk yang gagah
berani. Menurut laporan-laporan yang aku terima, di bawah
pimpinan Sang Lokajaya, mereka berani menghadang dan
merampok para bangsawan Galuh Pakuan. Tanpa kenal takut
mereka melintasi perbatasan Caruban-Galuh Pakuan seperti anak-
anak singa melompati sungai kecil di padang perburuan.”

“Mohon ampun, Ramanda Ratu. Jika boleh tahu, siapakah Sang


Lokajaya yang membuat kekacauan antara Japura hingga
Luragung itu? Kenapa pula dia bisa memimpin penduduk Lemah
Abang tanpa sepengetahuan ananda?” tanya Abdul Jalil ingin tahu.

“Raden Sahid.”

“Raden Sahid putera Adipati Tuban?” gumam Abdul Jalil terkejut.

Sri Mangana mengangguk sambil tersenyum.


1384
“Tapi Ramanda Ratu, menurut ananda, usia Raden Sahid masih
terlalu muda untuk tugas seperti itu.”

“Apakah engkau juga berpikir bahwa dia terlalu muda untuk


menjadi wali nagari Kalijaga? Bukankah selama ini tidak ada satu
bukti yang menunjuk bahwa Raden Sahid telah diuji oleh satu
tantangan berat sehingga membuatnya pantas menduduki jabatan
wali nagari Kalijaga? Nah, tugas yang aku bebankan kepadanya
itu adalah bagian dari langkahku untuk menguji kepantasannya
menjadi wali nagari Kalijaga. Bukankah itu tidak bertentangan
dengan gagasanmu?” kata Sri Mangana.

“Sungguh benar apa yang Ramanda Ratu lakukan.”

“Di sana pun aku tidak melepaskannya sendiri,” kata Sri Mangana.
“Tun Abdul Qadir, wali nagari Sindangkasih, aku beri kepercayaan
untuk mendampingi dan membimbingnya. Sebab, pemberontak
asal pulau Upih di Malaka itu aku ketahui kemampuannya sangat
mengagumkan dalam bertempur maupun mempengaruhi orang-
orang. Aku berharap Raden Sahid dapat belajar dengan baik
kepadanya.”

Sekalipun rasa kasih sebagai ayah dan hasrat menunaikan


amanah istri tercinta sangat kuat menghendaki Abdul Jalil
mengasuh sendiri puterinya, ia dengan berat hati akhirnya
menyerahkan puterinya kepada ibunda asuhnya, Nyi Indang
1385
Geulis, dan kakaknya, Nyi Muthmainah. Ia sadar, sebagai orang
yang disibukkan oleh berbagai urusan terkait dengan perubahan
yang menggelombang, kehadiran seorang puteri kecil yang
membutuhkan perhatian akan sangat mengganggu tugas-
tugasnya. Di samping itu, ia tidak memiliki cukup pengalaman
dalam mendidik seorang anak perempuan. Karena itu, permintaan
ibunda asuh dan kakaknya untuk mengasuh Zainab tidak bisa
ditolaknya.

Keputusan Abdul Jalil untuk menyerahkan pengasuhan puterinya


kepada ibunda asuh dan kakaknya terbukti merupakan langkah
yang tepat. Sebab, saat ia dan Raden Sulaiman menginjakkan kaki
di Lemah Abang, di sana terlihat perubahan yang sangat
mengejutkan. Desa yang dibuka dan dikembangkannya itu tiba-
tiba berubah menjadi hunian orang-orang kasar dan ganas, yaitu
para begal dan bromocorah. Setiap orang yang ditemuinya di jalan-
jalan dan bahkan di luar Lemah Abang terlihat membawa kelewang
dan tombak terhunus. Wajah mereka kotor dan tidak ramah. Abdul
Jalil teringat pada kata-kata Sri Mangana bahwa sejak Japura
hingga Luragung kehidupan manusia menjadi tidak aman karena
dikacaukan oleh kaki tangan Sang Lokajaya, begal sakti
mandraguna. Dan yang terbanyak di antara kaki tangan Sang
Lokajaya adalah orang-orang asal Lemah Abang yang kejam dan
ganas.

Ia bersyukur puterinya ditinggalkan di Kuta Caruban. Sungguh, ia


tidak bisa membayangkan jika sang puteri yang terbiasa hidup
dalam kelemahlembutan para perempuan itu harus tinggal di
1386
lingkungan Lemah Abang yang berubah kasar dan menakutkan.
Ya, Lemah Abang yang penduduknya dikenal ramah dan rendah
hati itu kini telah berubah menjadi tempat menyeramkan. Bahkan
yang sulit dibayangkan, bagaimana Raden Sahid yang
berpenampilan santun dan lemah lembut itu bisa berperan menjadi
pemimpin para begal dan bromocorah yang ganas.

Abdul Jalil sendiri sempat terkejut saat menginjakkan kaki di


Japura. Sebab, belum lagi ia melintasi batas gerbang Japura tiba-
tiba ia didatangi beramai-ramai oleh sekitar tiga puluh begal dan
bromocorah yang kasar dan menakutkan. Ia sempat menarik jubah
Raden Sulaiman yang berancang-ancang lari akibat mengira akan
diserang oleh orang-orang kasar itu. Ternyata para begal dan
bromocorah kasar itu tidak menyerang rombongannya.
Sebaliknya, mereka mendekat ke arahnya dengan berbaris ke
belakang. Kemudian, sambil merunduk hormat mereka menyalami
dan mencium tangannya secara bergantian. Mereka
memperkenalkan diri sebagai penduduk Lemah Abang, murid-
murid Abdul Jalil. Mereka mengaku mendapat tugas khusus dari
wali nagari Kalijaga untuk membuat kekacauan antara Japura
hingga Luragung.

“Tahukah kalian, siapakah yang memimpin gerakan ini?” Abdul


Jalil menguji.

“Kami di bawah perintah Sang Lokajaya, Tuan Syaikh,” jawab


mereka nyaris serentak.
1387
“Tahukah kalian siapa Sang Lokajaya itu?” tanya Abdul Jalil.

Mereka menggelengkan kepala dan saling memandang satu sama


lain. Abdul Jalil tersenyum menyaksikan keluguan dan kepolosan
mereka. Diam-diam ia sangat memuji kehebatan Sri Mangana
dalam mengatur siasat perang yang sebelumnya tak pernah
dibayangkannya. Rupanya, pikir Abdul Jalil, dengan cara membuat
kekacauan hanya dibutuhkan kekuatan sekitar dua ribu orang
untuk menjaga perbatasan Caruban-Galuh Pakuan yang sangat
panjang. Bahkan, para pengacau yang sebagian adalah warga
Lemah Abang itu tidak mengetahui jika pemimpin mereka , Sang
Lokajaya, sejatinya adalah Raden Sahid, wali nagari Kalijaga
sendiri.

“Berapa jumlah seluruh warga Lemah Abang yang ikut berjuang?”


tanya Abdul Jalil.

“Tujuh ratus tiga puluh orang, Tuan Syaikh.”

“Bukankah jumlah penduduk Lemah Abang lebih dari seribu


orang?” tanya Abdul Jalil minta penjelasan. “Ke mana pula yang
lain?”

“Mengungsi ke Pengarengan dan Mundu, Tuan Syaikh.”

1388
“Bagaimana dengan rumah, tanah, dan harta benda mereka?”

“Kami dititipi untuk menjaganya, Tuan Syaikh.”

Abdul Jalil menggertak gigi menahan marah. Kemudian dengan


suara ditekan tinggi ia berkata, “Mulai sekarang semua tanah,
rumah, dan harta benda yang ada di Lemah Abang adalah milik
kalian yang telah berjuang mempertahankan hak milik dengan
gagah berani. Mereka yang berjiwa pengecut dan mau menikmati
kemapanan tanpa mau berkorban tidak lagi memiliki hak apa pun
di Lemah Abang. Jika kelak keadaan sudah aman dan mereka
datang untuk meminta kembali hak miliknya, katakan kepada
mereka bahwa segala sesuatu yang ada di atas bumi Lemah
Abang tidak diwariskan kepada para pemalas berjiwa pengecut.
Itulah ketentuan yang berlaku di Lemah Abang. Aku berharap
kalian bisa membagi secara adil apa yang kalian terima ini sesuai
peran dan jasa kalian dalam mempertahankan desa kalian.”

Setelah berbincang-bincang dengan para pengikutnya yang


berperan menjadi orang-orang kasar dan ganas, Abdul Jalil dan
Raden Sulaiman pergi ke Lemah Abang. Dengan diiring dalam
arak-arakan panjang, ia menuju pondoknya yang terletak di
samping Tajug Lemah Abang. Namun saat tiba di sana, ia melihat
sesuatu yang mengejutkan. Di pondoknya ternyata sudah
menunggu saudara sepupunya, Syaikh Bayanullah dan istri, serta
imam Masjid Demak, Raden Mahdum Ibrahim. Mereka sedang

1389
berbincang-bincang dengan Tun Abdul Qadir dan Raden Sahid
tentang berbagai hal mengenai perubahan di Caruban.

Setelah saling melepas rindu, Syaikh Bayanullah menuturkan jika


ia sempat terkejut saat kali pertama menginjakkan kaki di Lemah
Abang. “Menurut kabar, engkau telah menjadi seorang guru agama
di Lemah Abang. Namamu dikenal sebagai Syaikh Lemah Abang.
Tapi, sewaktu ke sini aku justru dihadang oleh orang-orang kasar
yang membawa senjata. Untung saja aku menyebut namamu dan
mengaku saudaramu sehingga aku diantar ke sini. Sepanjang
perjalanan aku sempat berpikir jangan-jangan engkau bukan guru
agama, melainkan pemimpin lanun. Aku baru paham setelah
saudara kita, Tun Abdul Qadir, menjelaskan,” Syaikh Bayanullah
tertawa terkekeh-kekeh.

Ternyata, bukan hanya Syaikh Bayanullah yang dihadang anak


buah Sang Lokajaya, bahkan Raden Mahdum Ibrahim yang baru
kembali dari Pasir Luhur pun dihadang di hutan Jatisari dekat
Luragung.

“Atas nama Sri Mangana, kalifah Caruban Larang, aku


memohonkan maaf. Mereka melakukan itu demi tugas negara,”
kata Abdul Jalil.

“Kami sudah tahu itu. Aku pribadi benar-benar bangga kepada para
pemberani ini. Bahkan, nama Sang Lokajaya pertama kali aku
1390
dengar saat aku berada di Pasir Luhur,” kata Raden Mahdum
Ibrahim.

“O ya, bagaimanakah dengan berita Yang Dipertuan Pasir Luhur?”


tanya Abdul Jalil. “Apakah beliau berkenan menolak tawaran Galuh
Pakuan untuk bersekutu?”

“Alhamdulillah, adipati Pasir Luhur menyatakan tidak akan


membantu Galuh Pakuan. Bahkan dia menyatakan akan
mengirimkan bala bantuan untuk mendukung Caruban Larang,”
lapor Raden Mahdum Ibrahim.

“Pangeran Banyak Belanak bersedia mendukung Sri Mangana?”


gumam Abdul Jalil heran.

“Ya, terutama setelah aku menyampaikan pesan dari Adipati


Demak bahwa Yang Dipertuan Pasir Luhur akan memperoleh
wilayah Galuh Pakuan jika mendukung Caruban Larang,” ujar
Raden Mahdum Ibrahim.

“Bagaimana kita bisa mempercayainya jika kita tahu bahwa dia


bersaudara dengan penguasa Galuh?”

1391
“Dia sudah mengikrarkan keislaman di hadapanku,” kata Raden
Mahdum Ibrahim.

“Alhamdulillah,” kata Abdul Jalil. “Mudah-mudahan dia membantu


perjuangan Caruban bukan semata-mata karena ada janji untuk
memberikan Galuh Pakuan kepadanya.”

“Kalaupun dia akhirnya bisa menguasai Galuh Pakuan, aku kira


tidak keliru. Dia banyak bercerita kepadaku tentang nasibnya yang
disia-siakan oleh ayahandanya, Prabu Guru Dewata Prana. Dia
merasa dengan dijadikan menantu raja Pasir Luhur sesungguhnya
ayahandanya telah membuangnya. Lantaran itu, dibanding
saudara-saudaranya, dia merasa tidak beroleh apa-apa dari
ayahandanya. Hanya karena kebetulan semua keturunan adipati
Pasir Luhur perempuan maka dia berkesempatan
menggantikannya saat sang mertua meninggal dunia,” kata Raden
Mahdum Ibrahim menjelaskan.

Sudah hampir tujuh puluh usia Syaikh Bayanullah. Sebuah


hitungan yang tidak sedikit bagi usia manusia. Namun, di usianya
yang senja itu tubuh Syaikh Bayanullah masih terlihat kukuh. Baik
saat berjalan, duduk, maupun berbicara tidak ada kesan bahwa
dalam lima atau sepuluh tahun mendatang tubuhnya bakal
tumbang. Dia kukuh, meski kerut-kerut kekeriputan sudah
membayangi wajahnya. Gigi geliginya masih tampak utuh dan
mengkilat hitam karena dipoles air sirih yang dikunyahnya setiap
hari. Bahkan yang paling menakjubkan, meski sudah hidup lebih
1392
dari tiga dasawarsa di Makah, dia tetap tidak kehilangan jati diri
sebagai orang Melayu yang teguh memegang adat istiadatnya.

Keberadaan Syaikh Bayanullah yang bagaikan “tak lapuk karena


hujan dan tak lekang terkena panas” itu pada gilirannya
mengilhami Abdul Jalil yang sedang mencari bentuk sempurna dari
citra masyarakat ummah. Orang-orang yang teguh memegang
citra diri seperti Syaikh Bayanullah itulah, kata Abdul Jalil dalam
hati, yang seharusnya menjadi penanda utama anggota-anggota
masyarakat ummah. Sebab, hanya orang-orang yang teguh dan
ulet dalam menjaga citra diri seperti Syaikh Bayanullah itulah yang
akan tahan di dalam menghadapi gempuran kawanan Dajjal yang
bakal merusak dan memporakporandakan tatanan kehidupan,
terutama tatanan keimanan umat manusia.

Abdul Jalil sadar bahwa kemungkinan terburuk dari perjuangan


menegakkan tatanan baru itu adalah kekalahan pahit yang dialami
para pembaharu di medan tempur. Apakah dengan kekalahan di
medan tempur akan bermakna kegagalan bagi usaha-usaha
pembaharuan? Tentu saja tidak demikian. Sebab, kalah di medan
tempur bukan berarti takluk di palagan pemikiran dan tatanan
hidup. Itu berarti, piranti-piranti “perang peradaban” hendaknya
dipersiapkan sebaik-baiknya untuk memperkuat benteng jiwa para
pembaharu. Dan piranti terdahsyat untuk itu adalah adab dan adat
istiadat yang justru tidak begitu dalam dipahami Abdul Jalil.

1393
Sadar akan kelemahan diri yang tidak begitu mendalam
memahami adab dan adat istiadat, Abdul Jalil pun memohon
kepada Syaikh Bayanullah dan Raden Mahdum Ibrahim untuk
mengatasi masalah tersebut. Syaikh Bayanullah sudah terbukti
tidak hanya mengetahui dengan mendalam adat istiadat Melayu,
tetapi pandai pula bercerita tentang riwayat hidup nabi-nabi dan
menghafal di luar kepala dongeng-dongeng Melayu dan Persia.
Dengan kemampuannya itu, Syaikh Bayanullah diharapkan dapat
menanamkan nilai-nilai baru untuk diselaraskan dengan nilai-nilai
lama. Nilai-nilai gabungan itulah yang akan disebarluaskan dan
dijadikan acuan utama dalam menegakkan nilai baik dan buruk,
benar dan salah, haram dan halal, serta pantas dan tidak pantas
dalam kehidupan masyarakat ummah. Dengan kuatnya benteng
pertahanan adab dan adat istiadat, masyarakat ummah dapat
bertahan dalam menghadapi terpaan badai kehidupan dari
berbagai penjuru dunia, termasuk prahara yang ditimbulkan oleh
Dajjal kelak.

Syaikh Bayanullah tampaknya paham dengan kesulitan yang


dihadapi saudara sepupunya itu. Itu sebabnya, dengan dibantu
Raden Mahdum Ibrahim, Raden Sahid, dan Tun Abdul Qadir, ia
menyiasati perubahan tatanan baru itu dengan menyiapkan piranti-
piranti adab dan adat istiadat dalam menghadapi perubahan.
Sebagai orang-orang yang pernah tinggal di Malaka, baik Syaikh
Bayanullah, Raden Mahdum Ibrahim, Abdul Jalil, maupun Tun
Abdul Qadir tidak menemui banyak kesulitan dalam menyatukan
pandangan untuk menyiasati perubahan. Mereka sadar bahwa
pertempuran dengan para penguasa Bumi Pasundan hanyalah
suatu pertempuran kecil yang kemungkinan akan dimenangkan
1394
para pembaharu. Namun, pertempuran yang lebih dahsyat dalam
menghadapi Dajjal di kelak kemudian hari, kecil kemungkinan para
pembaharu bisa memenangkannya. Para pembaharu akan terjajah
dan tertindas di bawah kekuasaan Dajjal dan Ya’juj wa Ma’juj,
pengikutnya. Lantaran itu, untuk menghadapi kemungkinan
terburuk tersebut dibutuhkan landasan iman yang kuat bagi umat
islam untuk bertahan di bawah penindasan Dajjal. Untuk itu,
mereka sepakat menetapkan pepatah Melayu “syarak bersendi
adat dan adat bersendi syarak” sebagai dasar utama di dalam
menata nilai-nilai dasar adab dan adat istiadat.

“Umat Islam hendaknya bisa meniru buah salak,” kata Syaikh


Bayanullah mengambil ibarat. “Kulitnya hitam, buahnya putih, dan
bijinya hitam. Jika dikupas, terlihat buah yang segar. Jika buah
dimakan, tinggallah biji. Dan dari biji itu akan lahir salak-salak baru
yang rasanya manis sepanjang masa. Karena itu, hendaknya iman
orang Islam seperti biji salak yang keras, liat, dan tak bisa dimakan
orang. Adab orang Islam hendaknya seperti buah salak yang manis
dan segar. Dan penampilan orang Islam hendaknya seperti kulit
salak yang tersusun rapi dan saling mengait menutupi jati dirinya.”

“Dengan meniru keberadaan buah salak maka siapa pun di antara


makhluk yang ingin menguasai orang-orang Islam hendaknya
bersedia untuk bersusah payah mengambilnya dari pohonnya
yang penuh duri. Jika orang sudah berhasil mengambil buah salak
maka ia harus mengupas terlebih dulu kulitnya. Setelah itu, ia baru
memakan buah yang melindungi biji. Dengan demikian, para
pemangsa salak hanya bisa mengunyah dan memamah buah
1395
salak untuk mengenyangkan perut dan memuaskan hasratnya.
Orang tetap tidak bisa menyentuh biji salak. Demikianlah,
keimanan orang-orang Islam hendaknya dipertahankan di balik
lapisan adab dan adat istiadat.”

“Kami berharap buah-buah salak itu tetap menunjukkan asal


tumbuhnya,” kata Raden Mahdum Ibrahim, “sehingga orang bisa
mengetahui perbedaan salak Jawa, salak Sunda, dan salak
Malaka. Dan masing-masing salak harus mengatakan, kamilah
salak yang paling manis.”

Apa yang dikemukakan Syaikh Bayanullah dan Raden Mahdum


Ibrahim pada hakikatnya tidak berbeda dengan apa yang
dikemukakan Abdul Malik Israil al-Gharnatah. Ta’ashub
(kebanggaan) terhadap keberadaan jati diri hendaknya
dibangkitkan sebagai penanda keberagaman citra hidup manusia.
Orang Jawa harus bangga dengan kejawaannya. Orang Sunda
harus bangga dengan kesundaannya. Orang-orang Caruban yang
berasal dari berbagai macam bangsa, harus bangga dengan
keragamannya. Untuk itu, dibutuhkan piranti-piranti adab dan adat
istiadat penanda keberadaan masing-masing puak bangsa.
Namun, di atas semua usaha penyiapan piranti adab dan adat
istiadat itu, Abdul Jalil tetap menganggap berbahaya keberadaan
takhayul Campa yang ternyata sudah membaur dengan takhayul
Cina, Sunda, dan Majapahit, yang terbukti melemahkan dan
membodohkan manusia. Lantaran itu, ia diam-diam menyiapkan
piranti khusus untuk menghadapi perkembangan takhayul-
takhayul celaka itu dengan cara mengajarkan sasyahidan kepada
1396
masyarakat ummah melalui Lemah Abang-Lemah Abang yang
tersebar di berbagai tempat, meski untuk itu ia harus menghadapi
akibat besar; dimusuhi oleh kelompok-kelompok pemimpin yang
ingin melestarikan kekuasaan dengan membodohkan masyarakat
dengan takhayul.

Setelah merasa cukup menyiapkan piranti adab dan adat istiadat,


sebagai salah satu ujian untuk mengukur keampuhannya, Syaikh
Bayanullah, Raden Mahdum Ibrahim, dan Tun Abdul Qadir
mendaulat Raden Sahid untuk menanamkan perangkat nilai-nilai
itu kepada masyarakat yang tinggal di wilayah antara Japura dan
Luragung. Sebagaimana Sri Mangana mendapuk Raden Sahid
sebagai Sang Lokajaya, mereka mendapuk Raden Sahid sebagai
amancangah menmen (tukang dongeng keliling) yang
memperkenalkan dongeng-dongeng Melayu dan Persia di antara
dongeng-dongeng Sunda. Hal itu dilakukan karena Raden Sahid
ternyata tak kalah piawai dalam mendongeng dibanging Syaikh
Bayanullah. Dengan tugas itu Raden Sahid akan menjalankan
peran ganda yang berbeda, yaitu sebagai kepala begal dan
bromocorah sekaligus sebagai tukang dongeng keliling.
Sementara itu, Syaikh Bayanullah dengan Raden Sulaiman akan
tinggal di Pajarakan di lereng Gunung Gundul untuk menyebarkan
nilai-nilai baru itu kepada penduduk di perbatasan Caruban –
Galuh – Talaga.

1397
Ajaran Tentang Hidup dan Mati

Sekalipun cukup jauh dari garis depan medan


tempur, selentingan berita sekecil apa pun di
sana selalu sampai ke Lemah Abang.
Rupanya, Tun Abdul Qadir diam-diam telah
membentuk semacam lingkaran warta di
berbagai tempat yang saling menyambung.
Melalui lingkaran warta yang dikuasai kaki tangan pemberontak
asal kampung pulau Upih di Malaka itulah semua perkembangan
di garis depan pertempuran dapat diketahui bahkan hingga ke
Lemah Abang.

Simpang-siur berita dari medan tempur yang sampai ke Lemah


Abang ternyata sering menyedihkan dan bahkan menjengkelkan,
terutama bagi Abdul Jalil. Sebab, berita-berita yang sampai ke
Lemah Abang nyaris berisi kekonyolan-kekonyolan laskar muslim
Caruban yang sulit dinalar. Suatu saat datang kabar yang
memberitakan tunggang langgangnya laskar muslim Caruban dari
medan tempur karena pasukan Rajagaluh dipimpin oleh Ki Gedeng
Leuimunding. Pasalnya, nama Munding (Sunda: kerbau)
dibayangkan sebagai kerbau. Ki Gedeng Leuimunding dikesankan
sebagai manusia siluman berkepala kerbau. Sehingga, saat
berhadapan dengan pasukan Leuimunding, mereka lari tunggang
langgang sebelum bertempur dengan alasan takut menghadapi
siluman kerbau.

1398
Belum dingin berita kekonyolan laskar muslim Caruban itu, muncul
berita menggembirakan tetapi juga menjengkelkan. Laskar muslim
Caruban yang berhasil memukul mundur pasukan Rajagaluh di
Jamaras tidak berani mengejar musuh yang menyeberangi sungai
karena mereka meyakini bahwa siapa saja yang berperang lalu
menyeberangi sungai itu akan kejatuhan sial. Keberhasilan mereka
memukul mundur pasukan Rajagaluh diyakini akibat kesalahan
pasukan Rajagaluh yang telah menyeberangi sungai. Sementara
laskar Caruban di Plumbon diberitakan meninggalkan
pangkalannya di Sindangmekar dan mundur hingga Cempaka
gara-gara pasukan Rajagaluh yang dipimpin oleh Ki Demang
Surabangsa menyerang dari Girinatha. Laskar Caruban tidak saja
ketakutan dengan kabar yang mengatakan bahwa gajah
tunggangan Ki Demang Surabangsa adalah jelmaan Bhattara
Gana, tetapi juga ketakutan karena mereka menyangka Ki
Demang Surabangsa adalah titisan Sanghyang Girinatha.

Kekonyolan laskar muslim Caruban ternyata tidak hanya


berlangsung di antara laskar-laskar muslim Sunda, Jawa, Cina,
Campa, dan Melayu. Laskar muslim Caruban asal Baghdad yang
dipimpin oleh Syaikh Duyuskhani ternyata terkena pengaruh
takhayul pula. Mereka yang sejak lahir tinggal di Baghdad yang
ramai dan gemerlapan ternyata mengalami tekanan yang sangat
berat di pangkalan mereka yang terletak di hutan Pancalang. Entah
siapa yang mengawali, tiba-tiba di antara mereka tersebar cerita-
cerita tentang jin dan ruh jahat penunggu hutan yang suka
mengganggu orang asing. Mereka menganggap perwira-perwira
Rajagaluh yang tidak mempan ditusuk tombak dan ditebas pedang
sebagai bukan manusia, melainkan setan. Akibatnya, sering kali
1399
mereka lari tunggang langgang saat mendapati kenyataan salah
satu musuh mereka tidak terluka saat dipanah atau ditombak.

Tidak tahan mendengar berita-berita konyol tentang laskar muslim


Caruban yang lari dari medan tempur karena takhayul, Abdul Jalil
pergi ke Pancalang untuk menemui Syaikh Duyuskhani dan para
pengikutnya. Di sana ternyata Abdul Jalil menemui Syaikh
Duyuskhani dalam keadaan yang menyedihkan. Tubuhnya kurus,
matanya cekung, pakaiannya kotor dan lusuh, suaranya serak, dan
kalau berjalan dipapah oleh murid-muridnya. Kepada Abdul Jalil,
guru agama yang pantang menyerah itu menyatakan
kebingungannya menghadapi laskar yang dipimpinnya. “Segala
usaha saya untuk membangkitkan semangat mereka sudah
menemui jalan buntu. Mereka takut kepada sesuatu yang tidak
berdasar. Satu kelompok demi satu kelompok lari dari medan
tempur. Untung saudara ipar Tuan Syaikh dan pengikutnya datang
sehingga laskar kita tidak lari,” kata Syaikh Duyuskhani.

“Mereka memang bukan prajurit. Karena itu, sulit berharap mereka


bisa berani tempur seperti yang kita harapkan, meski berulang-
ulang meyakinkan mereka dengan dalil-dalil,” kata Abdul Jalil.

“Sekarang ini terserah bagaimana cara Tuan Syaikh memacu


mereka. Saya sudah tidak mampu meyakinkan mereka. Saya
hanyalah guru agama yang tidak paham tentang perang,” kata
Syaikh Duyuskhani pasrah. “Bahkan sebelum Tuan Syaikh datang

1400
kemari, saya baru saja menyerahkan kepemimpinan laskar kepada
adik ipar Tuan Syaikh, Abdul Qadir al-Baghdady.”

Akhirnya, atas permohonan Syaikh Duyuskhani, Abdul Jalil


berkhotbah di hadapan para laskar asal Baghdad, termasuk dua
orang adik iparnya. Abdul Jalil menyampaikan khotbah tentang
Kehidupan dan Kematian, dengan maksud agar para pejuang
pembaharuan itu tidak takut menghadapi pertempuran. Dengan
suara yang lain ia berkata, “Ketahuilah, o putera-putera
Muhammad Saw., bahwa kabar-kabar menyedihkan tentang
tunngang langgangnya laskar Caruban dari medan tempur
sejatinya cerminan dari rasa takut terhadap Mati. Berbagai alasan
yang mereka kemukakan seperti berperang melawan setan,
diganggu jin penunggu sungai, dikejar-kejar ruh jahat pemakan
manusia, dan bahkan munculnya bintang al-Murikh (Mars) sebagai
pertanda kekalahan, sejatinya adalah ungkapan rasa takut akan
Mati yang tidak terkendali.”

“Ketahuilah oleh kalian semua bahwa Sang Maut tidak pernah


datang terlambat dan tidak pula pernah datang terlalu cepat. Dia
selalu datang pada saat yang tepat. Karena itu, wahai engkau
sekalian yang pernah lahir ke dunia dan menjadi bagian dari
kehidupan dunia, bersiagalah kalian semua untuk menyongsong
Sang Maut dengan cara yang gagah dan penuh kemenangan di
mana pun kalian berada.”

1401
“Sungguh telah keliru mereka mengatakan Kematian adalah akhir
dari Kehidupan. Sebab, apa yang disebut Sang Maut (al-Mumit)
sejatinya adalah Satu Diri dengan Sang Hidup (al-Hayy). Hanya
mereka yang bodoh dan lancang mulut yang mengatakan
Kematian adalah akhir dari Kehidupan. Apakah mereka sangka
Allah bisa mati tidak bernyawa? Aku katakan sekali lagi, sungguh
bodoh dan lancang mulut mereka yang mengatakan Mati sebagai
Sesuatu yang tidak bernyawa.”

“Aku ajarkan kepada kalian suatu pandangan yang benar tentang


Kematian: bahwa Sang Maut adalah Sisi lain dari Sang Hidup,
namun sekaligus adalah Satu Diri yang sama, seibarat keping mata
uang dengan sisi yang berbeda. Karena itu, bagi mereka yang
sadar, Kematian adalah nama lain dari kelahiran. Sebab, mereka
yang mati di dunia ini pada hakikatnya lahir di dunia lain yang lebih
luas dan lebih abadi, seibarat bayi lahir dari alamnya yang sempit
dan gelap di kandungan ibu ke alam dunia. Dan sebagaimana bayi-
bayi yang lahir selalu terkejut dan menangis karena memperoleh
kesadaran baru, begitulah tiap-tiap manusia yang meninggalkan
dunia dan lahir di alam kematian akan terkejut karena
mendapatkan kesadaran baru (QS. at-Takatsur: 1-2).”

“Lihatlah perilaku kupu-kupu yang lahir dari kepompong,


kepompong lahir dari ulat, dan ulat lahir dari telur. Demikianlah
perilaku manusia dalam melintasi Kehidupan dan Kematian.
Kematian dan Kehidupan adalah suatu keadaan di mana
kesadaran makhluk meningkat seiring matra yang mereka lampaui.
Itu sebabnya, aku katakan kepada kalian bahwa telah keliru
1402
mereka yang mengatakan bahwa manusia hanya sekali hidup dan
sekali mati. Sebab, sebagaimana telur melahirkan ulat dan ulat
melahirkan kepompong dan dari kepompong lahir kupu-kupu,
demikianlah manusia melintasi Kehidupan dan Kematian berkali-
kali sampai kembali ke Asal Sejati (QS. al-Baqarah:28).”

“Jika Sang Maut pada hakikatnya adalah sama dengan Sang


Hidup, jika mati adalah sama hakikatnya dengan lahir, maka tidak
ada alasan bagi manusia untuk takut mati. Sesungguhnya, rasa
takut pada Sang Maut selalu berpangkal pada kecintaan terhadap
dunia yang fana. Manusia mencintai dunia karena beranggapan
dunia adalah abadi dan mereka mengikatkan diri pada dunia
seerat-eratnya. Tetapi, celaka dan celakalah orang-orang yang
terikat kuat pada dunia, karena ibarat ulat mereka menolak menjadi
kepompong. Padahal, untuk hidup yang lebih baik ulat hendaknya
menjadi kepompong. Ulat yang menolak menjadi kepompong pasti
akan menjadi mangsa hewan pemakan ulat dan ia akan lahir
kembali sebagai tahi sang hewan pemangsa.”

“Jika kalian memahami apa yang aku ajarkan ini maka tidak ada
pilihan lain bagi kalian dalam menyongsong Sang Maut yang pasti
datang itu. Pertama, kalian sadar dan dengan gagah perkasa
menyongsong Sang Maut dengan keinginan menjadi makhluk baru
yang seindah kupu-kupu. Makhluk baru yang terbang di alam
bebas mengisap saripati madu yang mengalir dari wangi bunga-
bunga. Atau pada pilihan kedua, kalian ketakutan menghadapi
Sang Maut dengan keinginan menjadi ulat perusak yang merayap-
rayap di dedaunan, yang akan berakhir menjadi tahi hewan.”
1403
“Memang, dalam menghadapi Sang Maut, masing-masing
manusia memiliki gambaran yang berbeda. Tetapi, aku katakan
kepada kalian bahwa sangat keliru mereka yang menduakan
gambaran hakiki Hidup dan Mati. Sebab, mereka yang mengaku
mencintai Sang Hidup hendaknya mencintai pula Sang Maut.
Mereka yang mencintai Kehidupan tetapi membenci Kematian
adalah orang yang belum mengenal Tuhan dalam makna sejati
asma’, shifat, dan af’al Ilahi. Mereka masih mendua dalam Tauhid.”

“Aku ajarkan kepada kalian bahwa Sang Maut dan Sang Hidup
tidaklah terpisah jauh dan tidak pula dekat dengan makhluk. Mati
dan Hidup tidak berada di luar dan tidak berada di dalam diri
makhluk. Tetapi, setiap makhluk terikat dan berada di dalam liputan
Maut dan Hidup. Sebab, kita, makhluk tak berdaya ini, adalah
wujud yang tergantung (mumkin al-wujud), sedangkan Mati dan
Hidup adalah Citra Hakiki dari Wujud Mutlak (al-Wujud al-Muthlaq).
Sebagaimana hidup dan mati ikan berada di dalam air, demikianlah
hidup dan mati kita berada di dalam liputan-Nya. Aku tahu bahwa
apa yang aku ajarkan ini sulit dicerna oleh pikiran awam yang
sudah terjajah oleh berbagai bentuk takhayul yang membayangkan
Kematian adalah bagian dari kegelapan yang dipenuhi banyak
hantu dan setan menakutkan. Karena itu, aku akan mengajarkan
kepada kalian sesuatu yang baru: belajar mati! Meski kedengaran
aneh, dengan belajar mati kalian akan mengenal Sang Maut dalam
asma’, shifat, dan af’al. Sehingga, kelak saat Sang Maut
membentangkan sayap kematian dan mencengkeram kuku-kuku
sakarat al-maut yang tajam, tidak menjadikan kalian gentar dan
ketakutan.”

1404
“Aku katakan kepada kalian, dengan belajar mati maka kalian akan
mengenal Sang Maut sehingga akan menghilangkan keraguan dan
kegentaran kalian menghadapi-Nya. Di saat ajal kalian tidak akan
menyeringai, meringis, tersengal-sengal, tercekik-cekik, meraung-
raung, dan mengorok seperti hewan sekarat. Hadapilah Sang Maut
dengan ramah dan penuh sukacita sebab engkau yang sudah
mengenal-Nya akan disambut dengan kemegahan dan kemuliaan
seorang sahabat dan kekasih. Engkau akan dimahkotai bunga-
bunga surgawi karena telah kembali sebagai pahlawan dengan
kemenangan besar.”

Para laskar asal Baghdad, baik yang Arab baik yang Persia,
tercengang-cengang mendengar khotbah Abdul Jalil. Sebagian
besar di antara mereka tidak memahami intisari khotbah. Hanya
Syaikh Duyuskhani, Abdul Qadir dan Abdul Qahhar al-Baghdady,
dan beberapa pemuka laskar yang paham.

Untuk memahamkan makna khotbah yang disampaikannya, Abdul


Jalil secara bergilir mengajarkan “belajar mati” kepada pemuka-
pemuka laskar. Mula-mula ia memandikan dan mengafani Syaikh
Duyuskhani sebagaimana layaknya orang mati. Setelah itu, ia
membujurkan tubuh Syaikh Duyuskhani dan membisikkan “jalan”
(sabil) dan “cara” (thariq) mendaki tangga menuju hadirat-Nya.

Para laskar berkerumun dan berdesak-desak menyaksikan apakah


yang akan terjadi dengan Syaikh Duyuskhani. Selama
menyaksikan Syaikh Duyuskhani “belajar mati” di bawah
1405
bimbingan Abdul Jalil, mereka menahan napas dalam ketegangan.
Dengan pandangan nanar mereka saksikan betapa Syaikh
Duyuskhani terbujur kaku seolah-olah orang mati. Mereka saling
pandang ketika dalam waktu yang lama Syaikh Duyuskhani tidak
terbangun. Mereka khawatir dia benar-benar mati.

Setelah cukup lama membiarkan Syaikh Duyuskhani terbujur bagai


orang mati, Abdul Jalil membisikkan sesuatu ke telinganya. Syaikh
Duyuskhani membuka mata. Sejenak setelah itu dia terbangun dan
celingukan seperti orang baru terjaga dari mimpi. Saat melihat para
laskar berdesak-desak mengitarinya, dia baru sadar jika barang
beberapa jenak lalu ia telah “belajar mati” di bawah bimbingan
Syaikh Lemah Abang. Dan saat ia melihat Syaikh Lemah Abang
berada di hadapannya, tak dapat ditahan lagi ia menjatuhkan diri
menyembah dan mencium kakinya sambil berkata, “Saya mohon,
hendaknya Tuan Syaikh mengembalikan saya ke Kematian.
Sungguh, saya tidak tahan lagi hidup di dunia fana ini setelah
mengetahui dan merasakan pelukan mesra Kematian. Saya
mohon. Sekali lagi, saya mohon sudilah Tuan Syaikh
mengembalikan saya ke alam Kematian.”

Abdul Jalil menarik bahu Syaikh Duyuskhani dan memintanya


duduk di depannya. Kemudian dengan suara lain ia berkata,
“Sesungguhnya, apa yang Tuan Syaikh rasakan adalah bagian
terkecil dari Kematian. Tuan Syaikh tidak boleh larut oleh perasaan
sebab Tuan Syaikh belum benar-benar mengenal-Nya. Tuan
Syaikh harus kembali ke alam dunia dan menjalankan tugas Tuan
Syaikh yang belum selesai. Sebab, memaksakan datangnya Sang
1406
Maut adalah sama maknanya dengan bunuh diri, bukan kemuliaan
yang diperoleh melainkan kehinaan.”

“Kepada kalian semua, o putera-putera Muhammad Saw., aku


katakan bahwa rasa bahagia dan nikmat yang dirasakan oleh
Syaikh Duyuskhani saat “belajar mati” sebenarnya terikat dengan
keberadaan jiwanya yang sudah bisa menyingsingkan keterikatan
dengan hal-hal duniawi dan pamrih pribadi. Sebab, bagi mereka
yang masih sangat kuat terikat kecintaan pada dunia dan pamrih
pribadi, bukan saja akan kesulitan mengenal Sang Maut,
melainkan akan merasakan penderitaan dan kesengsaraan. Bagi
mereka, ‘belajar mati’ akan sama maknanya dengan menambah
rasa takut terhadap Kematian. Karena itu, o wahai putera-putera
Muhammad Saw., jika kalian ingin merasakan kebahagiaan dan
kenikmatan sebagaimana yang dialami Syaikh Duyuskhani,
hendaknya kalian mulai belajar mengarahkan kiblat hati dan pikiran
kalian kepada Dia Yang Tunggal. Jangan ingat apa pun saat kalian
berada di medan tempur kecuali Yang Maha Esa. La ilaha illa Allah
! Jika pada saat itu kalian dijemput oleh Sang Maut maka kalian
akan meninggalkan dunia ini dan lahir sebagai makhluk baru di
alam Kematian yang tak tergambarkan indah dan nikmatnya. Itu
berarti, kalian tidak perlu ‘belajar mati’ karena kalian telah mati
secara benar.”

Api pertempuran mengamuk tidak hanya di garis depan, tetapi juga


membara di berbagai desa yang tersebar di perbatasan Rajagaluh
dengan Caruban Larang, dari Padamatang di selatan Bobos
hingga Tegal Karang di barat Jamaras, bahkan berkobar pula di
1407
Glagahamba di selatan Susukan. Gerakan serentak laskar-laskar
yang tak pernah diperhitungkan itu membuat pasukan Rajagaluh
porak-poranda di berbagai pos pertahanannya. Pangeran Arya
Mangkubhumi, manggalayuddha Rajagaluh, memerintahkan
pasukannya untuk mundur teratur dan bertahan di garis
pertahanan yang sudah ditentukan, yaitu di Girinatha, Kepuh,
Balerante, Lungbenda, Kedung Bunder, dan Palimanan.

Para tetunggul perang Rajagaluh seperti Adipati Kiban, Ki Demang


Dipasara, Ki Gedeng Leuwimunding, Ki Demang Surabangsa,
Ngabehi Ardisora, Sanghyang Gempol, Sanghyang Mayak,
Sanghyang Tubur, Sanghyang Sogol, dan Celeng Igel telah
bersumpah untuk menghadang gerak maju laskar-laskar muslim
Caruban ke Palimanan. Sebab, membiarkan Palimanan jatuh ke
tangan laskar sama maknanya dengan kehancuran nama besar
mereka sebagai pahlawan berdarah biru gagah perkasa yang
takluk di bawah telapak kaki para laskar yang beranggotakan
kalangan rendah tak berkasta.

Pasukan Rajagaluh sendiri sebenarnya bukanlah tandingan laskar


muslim Caruban baik dalam hal jumlah prajurit, persenjataan,
keterampilan perang, dan mental keprajuritan. Itu sebabnya,
selama berlangsung pertempuran yang terkesan tarik-ulur itu,
pasukan Rajagaluh cenderung menjadikan laskar muslim Caruban
sebagai “kawan berlatih” di medan tempur. Sejak pertempuran
awal pecah di Bobos, pihak Rajagaluh kehilangan tak lebih dari
lima puluh prajurit, sementara laskar muslim Caruban lebih enam
ratus yang terbunuh. Keadaan itu memang sengaja dibiarkan oleh
1408
para tetunggul Rajagaluh untuk membiasakan prajurit-prajuritnya
menghadapi suasana perang sehingga saat menghadapi pasukan
Caruban kelak mereka tidak akan canggung.

Amukan api pertempuran yang berkobar serentak di berbagai desa


laksana padang alang-alang terbakar itu tak pelak mengejutkan
para tetunggul Rajagaluh. Mereka tidak pernah menduga bahwa
para laskar muslim Caruban bisa melakukan perlawanan dengan
begitu fanatik, dengan semangat tinggi untuk mati, menerjang
musuh tanpa peduli keselamatan diri. Sementara itu, pasukan
Rajagaluh yang tak pernah menduga bakal mendapat perlawanan
yang begitu gigih, dengan terheran-heran mundur dan sebagian
malah lari kocar-kacir meninggalkan senjata di medan tempur.

Keheranan para tetunggul Rajagaluh terhadap peristiwa


pertempuran yang memalukan itu baru diketahui sebab-sebabnya
ketika mereka berkumpul di Palimanan untuk membahas masalah
tersebut. Saat itu, berdasar laporan Rsi Bungsu, diketahuilah
bahwa di balik kobaran api perlawanan laskar muslim Caruban
yang dahsyat terdapat sosok Syaikh Lemah Abang yang
termasyhur kepiawaiannya dalam menghasut.

“Tukang sihir celaka itu telah menyihir para laskar dan penduduk
desa untuk melawan kita. Jadi, saat bertempur sesungguhnya para
laskar itu sedang berada dalam pengaruh sihir Syaikh Lemah
Abang. Mereka dalam keadaan tidak sadar,” kata Rsi Bungsu.

1409
“Tapi, bagaimana mungkin dia bisa menyihir beribu-ribu orang
dalam waktu yang sama,” kata Pangeran Arya Mangkubhumi,
manggalayuddha Rajagaluh. “Sebab, sepengetahuanku, pengaruh
sihir hanya bisa dilakukan pada beberapa orang saja dalam waktu
yang tidak lama. Padahal, selama hampir sepekan pertempuran di
berbagai medan, beribu-ribu laskar menyerang tak kenal siang dan
malam.”

“Sesungguhnya, Syaikh Lemah Abang telah mengajarkan kepada


para laskar suatu ilmu sihir dahsyat yang disebut mati mawat,
pengaruh gaib kematian. Dia bilang, hidup ini adalah mati dan mati
adalah hidup. Lewat ilmu itu, tukang sihir laknat tersebut
memerintah para laskar untuk menerobos batas Kematian dan
Kehidupan seperti orang melewati pintu,” Rsi Bungsu membelok-
belokkan tangannya, menggambarkan ajaran yang disampaikan
Abdul Jalil.

Para tetunggul Rajagaluh yang menyaksikan dengan mata kepala


sendiri bagaimana nekat dan ngawurnya laskar muslim Caruban
saat bertempur, seolah-olah mereka keranjingan ruh setan, mau
tidak mau mempercayai ucapan Rsi Bungsu. Itu sebabnya, mereka
sepakat untuk membahas pemecahan masalah yang tak pernah
mereka bayangkan itu. Namun setelah berputar-putar dengan
berbagai alasan masing-masing, mereka sampai pada simpulan
bahwa ujung dari masalah yang rumit itu adalah kalifah Caruban
Larang, Sri Mangana. Mereka sepakat bahwa untuk
menghindarkan rasa malu akibat kemungkinan kalah dalam
pertempuran mendatang, hendaknya penguasa Caruban Larang
1410
dilibatkan. Maksudnya, pasukan Rajagaluh harus bertempur
melawan pasukan Caruban Larang, bukan menghadapi laskar
muslim.

“Kalaupun kita kalah maka kita tidak perlu malu karena kita
dikalahkan oleh saudara kita sendiri. Kita tidak malu karena
sebagai ksatria kita kalah oleh ksatria lain. Tetapi, kalau kita
sampai kalah dengan laskar gelandangan yang tidak terhormat itu
maka itu sama artinya dengan kita membiarkan wajah kita dilumuri
kotoran. Itu sangat memalukan. Memalukan.” Pangeran Arya
Mangkubhumi berang.

“Apakah kita akan menyerang langsung Kuta Caruban?” tanya Rsi


Bungsu.

“Itu tindakan tolol,” sergah Pangeran Arya Mangkubhumi yang


diam-diam tidak suka dengan Rsi Bungsu yang dinilainya culas dan
licik. “Sebab, kita tidak tahu seberapa besar kekuatan pasukan
Caruban Larang.”

“Menurut kabar, kekuatan pasukan Caruban Larang tidak lebih dari


sepuluh ribu. Padahal, kekuatan pasukan kita lebih dari seratus
ribu prajurit.” Rsi Bungsu meyakinkan.

1411
“Sepuluh ribu itu hanya dugaanmu saja. Sebab setahuku, sudah
lebih tujuh tahun silam pamanda ratu menggalang kekuatan militer.
Karena itu, jumlah sepuluh ribu adalah dugaan yang mengada-
ada. Bahkan kalaupun benar jumlah pasukan Caruban sepuluh
ribu, belum tentu kita dapat mengalahkannya dengan mudah.
Bukankah kekalahan pasukan kita membuktikan bahwa
menghadapi laskar muslim tak terlatih yang jumlahnya tidak
sampai sepuluh ribu saja sudah membuat kita kocar-kacir, apalagi
menghadapi pasukan Caruban Larang yang terlatih,” kata
Pangeran Arya Mangkubhumi.

Melihat keadaan makin memanas antardua sepupu itu, para


tetunggul Rajagaluh berusaha melerai dengan cara bersepakat
untuk menyerahkan masalah itu kepada junjungan mereka, Prabu
Chakraningrat, Yang Dipertuan Rajagaluh. Mereka sadar, untuk
melibatkan kalifah Caruban Larang dalam perang tidak mungkin
terjadi tanpa melibatkan Prabu Chakraningrat.

Sementara itu, di tengah kegembiraan laskar muslim Caruban


yang meraih kemenangan di berbagai medan tempur, terdapat
kelompok-kelompok penduduk Caruban yang diam-diam
menerima kabar itu dengan geram dan sakit hati. Mereka adalah
para jawara, dukun, jajadug, dan pedagang jimat. Mereka geram
dan sakit hati karena kemenangan yang diperoleh laskar muslim
Caruban itu dikabarkan akibat hasutan Syaikh Lemah Abang yang
mengajarkan ilmu mati mawat. Dengan ilmu tersebut, para laskar
maju ke medan tempur tanpa membawa perangkat jimat, haekal,
dan jampi-jampi. Dengan kemenangan-kemenangan itu, mereka
1412
merasa cepat atau lambat sumber nafkah mereka akan terancam
hilang.

“Kita tidak bisa membiarkan Tuan Syaikh keparat itu meluaskan


pengaruhnya kepada laskar karena dia akan meracuni pikiran
mereka untuk tidak mempercayai lagi keampuhan jimat, haekal,
dan jampi-jampi,” kata Ki Badong, tukang gembleng yang
termasyhur kesaktiannya.

“Aku dengar-dengar, dia melarang para laskar yang maju ke


medan tempur membawa jimat dan haekal. Dia mengatakan
bahwa jimat dan haekal adalah cerminan jiwa pengecut sehingga
tidak pantas dibawa oleh para pejuang beriman,” sahut Hargo
Belah, jajadug berewokan yang suaranya mirip perempuan.

“Itu ‘kan sama artinya dengan menghina kita,” kata Ki Badong.

“Syaikh jahanam itu malah mengingatkan dalam khotbahnya


bahwa siapa saja di antara laskar yang mempercayai jimat, haekal,
dan jampi-jampi maka selama empat puluh hari ibadahnya tidak
diterima. Dan andaikata mereka membawa jimat itu mati maka
matinya dalam keadaan musyrik,” kata Hargo Belah.

“Ini benar-benar penghinaan yang tidak bisa dibiarkan,” kata Ki


Badong dengan dada dikobari api. “Bahkan yang paling
1413
menyakitkan, dalam khotbahnya dia mengecam tradisi gemblak di
kalangan jawara dan jajadug. Dia menyamakan tradisi gemblak
dengan tindakan sesat umat Nabi Luth yang dilaknat Gusti Allah.
Dia bahkan mengatakan bahwa keyakinan daya sakti yang
diperoleh dari gemblakan sebagai kepercayaan setan. Bukankah
itu menyindir engkau, o Kawan.”

Hargo Belah, yang sampai usia enam puluh tahun tidak menikah
karena suka gemblakan, tersulut amarah mendengar penjelasan
Ki Badong. Ia benar-benar merasa ditelanjangi dan dipermalukan
oleh Syaikh Lemah Abang. Ia tidak bisa menerima hujatan Syaikh
Lemah Abang terhadap perilaku perkelaminan antara lelaki dan
lelaki sebagai kepercayaan setan yang sesat. Itu sebabnya,
dengan kepala memuai dan dada terbakar, ia berkata meledak-
ledak, “Apa yang sekarang harus kita perbuat untuk
menghancurkan si keparat itu, Ki?”

“Kita hubungi para jawara, dukun, jajadug, dan pedagang jimat


yang ada di Caruban dan Sunda. Kita harus bersatu untuk
menyingkirkan syaikh keparat itu dari muka bumi,” Ki Badong
mengertak gigi menahan amarah.

“Kita akan mengeroyok dan membunuhnya beramai-ramai.”

“Tidak, tidak boleh kita berlaku demikian. Sebab, itu akan menyulut
amarah para pengikutnya.”
1414
“Lalu apa yang akan kita lakukan?”

“Kita angkat kabar tentang banyaknya korban dalam pertempuran


tanpa jimat-jimat dan haekal-haekal itu. Kita sebarkan rasa gentar
di hati para laskar bahwa mereka akan celaka dan terbunuh secara
sia-sia jika maju ke medan tempur tanpa dukungan jimat, haekal,
dan jampi-jampi. Bukti banyaknya korban tewas di berbagai tempat
dalam pertempuran itu akan kita jadikan bukti,” kata Ki Badong.

“Itu cara yang sangat baik, Ki,” kata Hargo Belah genit. “Aku akan
membuat pertunjukan terbuka untuk memamerkan ilmu
kawedukan, aji kememayam, pangabaran, karosan, kateguhan,
dan pangerutan.”

“Jangan! Jangan pamer ilmu dulu,” kata Ki Badong memohon.

“Kenapa Ki?” tanya Hargo Belah heran.

“Sebab, dalam khotbah-khotbahnya syaikh bedebah itu


mengatakan bahwa sangat banyak ilmu kekebalan dan kesaktian
yang palsu. Dia menyebut ilmu sulap sebagai ilmu yang menipu
dengan kelihaian memperdaya orang. Bahkan dia memberi tahu
para laskar bahwa cara untuk menguji keampuhan jimat, haekal,
dan jampi-jampi adalah di medan perang. Dia berkata begini: ‘Jika
datang kepadamu orang yang mengaku jawara, jajadug, dan
1415
dukun, kemudian mereka memamerkan keampuhan jimat dan
haekalnya dengan mengiriskan dan menyabetkan pedang ke
tubuhnya, maka waspadalah. Sebab, sekarang ini banyak penipu
yang menggunakan ilmu sulap untuk memperoleh keuntungan.
Mereka menjual jimat, haekal, dan jampi-jampi yang katanya dapat
menolak Kematian. Tetapi aku katakan kepada kalian, berapa
banyak orang yang telah diselamatkan jimat-jimat dan haekal itu?
Kenapa dalam pertempuran para pembawa jimat dan haekal itu
bergelimpangan menjadi mayat? Sungguh, para penipu itu tidak
pernah memikirkan akibat dari perbuatannya yang mencelakakan
orang lain.’ Demikianlah, Kawan, mulutnya yang lancang itu
menghasut para laskar agar meragukan keampuhan ilmu
kesaktian kita.”

Hargo Belah menggeram marah. Napasnya terengah-engah


dibakar api amarah. Ia bayangkan tubuh Syaikh Lemah Abang
sebagai adonan tepung yang bisa dilumat-lumat sampai hancur
lebur tanpa bentuk. Lalu adonan itu ia banting-banting dan tekuk-
tekuk seperti jajan. Setelah itu, ia bayangkan tubuh Syaikh Lemah
Abang dilemparkannya ke penggorengan dan kemudian
disantapnya hangat-hangat. “Tunggulah pembalasanku, Syaikh
tengik,” gumamnya dengan gigi gemeletuk. “Tunggulah saat
kematianmu, wahai syaikh keparat. Aku akan mengunyah-
ngunyah dan memamah tubuhmu seperti jajan sampai tubuhmu
luluh menjadi isi ususku dan keluar menjadi tahiku.”

1416
Perang Caruban-Rajagaluh

Kabar terpukul mundurnya pasukan Rajagaluh


di berbagai garis depan medan tempur oleh
laskar muslim Caruban diterima Prabu
Chakraningrat dengan darah mendidih dan
kepala nyaris meledak. Ia tidak bisa menerima
kenyataan bahwa para ksatria yang dibangga-
banggakan dan diunggulkannya itu bisa kalah oleh para laskar,
kawanan gelandangan rendah yang tidak ketahuan asal usulnya
dan tidak memiliki ketrampilan perang. Bagaimana mungkin para
ksatria mulia yang gagah perkasa bisa dikalahkan kaum sudra hina
dan mleccha rendahan, gumamnya berulang-ulang sambil hilir
mudik di balairung.

Ketika Pangeran Arya Mangkubhumi dan para tetunggul


menghadap, Prabu Chakraningrat tidak dapat menahan amarah.
Dengan suara dikobari api ia menghardik putera mahkota dan para
perwiranya, “Aku berpikir kalian telah menjadi lemah karena sibuk
berpesta pora dan mengumbar kesenangan. Sungguh
memalukan, para ksatria kebanggaan Rajagaluh bisa dengan
mudah dikalahkan oleh orang-orang rendah dari kalangan sudra,
paria, mleccha, domba, kewel, dan potet.”

Pangeran Arya Mangkubhumi dan para tetunggul diam. Mereka


membiarkan sang raja melampiaskan amarah. Baru setelah
amarah sang raja mereda, mereka menjelaskan duduk perkara
1417
yang sebenarnya dari kekalahan pasukan yang dipimpinnya.
Prabu Chakraningrat sendiri akhirnya tidak bisa berkata apa-apa
kecuali menerima kenyataan itu meski merasa pahit dan getir.
Bahkan saat para tetunggul yang dibanggakannya itu memohon
agar ia menantang perang Sri Mangana demi menyelamatkan
harga diri para ksatria, ia penuhi juga tanpa bertanya ini dan itu.
Demikianlah, demi mempertahankan harga diri dan kehormatan
para ksatria, ia memerintahkan sang manghuri (sekretaris negara)
untuk menuliskan ucapannya ke atas sepucuk surat yang ditujukan
kepada saudaranya, Sri Mangana.

Betapa menyedihkan manusia yang hidup bermegah-megah


dilimpahi kekayaan dalam mimpi, namun melarat dan sengsara
ketika terbangun. Betapa kasihan manusia yang menyambut
bangsa lain dengan kehormatan dan kemuliaan, namun
memperlakukan bangsa sendiri sehina dan senista binatang.
Betapa memalukan manusia yang merusakbinasakan budaya
leluhurnya, namun membangun budaya bangsa lain yang tak
dikenalnya. Betapa dungu manusia yang mengusir para ksatria
mulia dari takhta persahabatan, namun menjadikan para
gelandangan sebagai sahabat. Betapa pandirnya manusia yang
digambarkan pepatah “anak di pangkuan dilepaskan, beruk di
hutan disusukan”.

Menerima dan membaca surat dari Prabu Chakraningrat, Sri


Mangana tersenyum. Ia kemudian memerintahkan Haji Musa, adik
Syaikh Bentong, untuk menuliskan surat balasan kepada Yang
Dipertuan Rajagaluh.
1418
Apa yang engkau inginkan, wahai pecinta dunia? Apakah engkau
belum puas dengan istana-istana indah dan gemerlap yang
engkau bangun dari tetesan darah dan keringat kawulamu?
Apakah engkau belum puas menipu kawulamu dengan cerita-
cerita palsu tentang Dewaraja? Apakah engkau berpikir bahwa
kehidupan di dunia ini adalah kekal dan abadi seperti abadinya
kekuasaan yang engkau kangkangi?

Aku katakan kepadamu, o pecinta dunia, bahwa kehidupan selalu


mengalir seperti sungai. Sebagaimana rembulan memiliki saat
purnama dan saat sabit, demikianlah kehidupan selalu berubah
dan berganti-ganti. Hanya mereka yang dungu dan pandir yang
menganggap kehidupan tidak berubah. Hanya mereka yang
berhati batu yang menganggap kehidupan di dunia ini mandeg.
Hanya mereka yang buta oleh kenikmatan nafsulah yang
mengingkari perubahan sebagai keniscayaan hidup di dunia.

Buka telingamu lebar-lebar dan dengarkan kata-kataku, o pecinta


dunia! Bahwa telah aku saksikan dan aku dengar sendiri,
bagaimana jiwa para pecinta dunia membeku dan kaku seperti
mayat dibungkus selimut. Aku saksikan dan aku dengar jiwa
mereka menjelma menjadi hantu menakutkan yang dikitari oleh
pengikut-pengikutnya, para dukun dan tukang sihir dan peramal.
Kemudian, dengan menyeringai bengis hantu itu memamerkan
taringnya, yang membuat seluruh kawula tersungkur ketakutan.
Dan bagaikan serigala lapar, begitulah hantu jelmaan para pecinta
dunia itu menginjak-injak tubuh manusia, mengalirkan darah
orang-orang tak bersalah, mengisap darah orang miskin dan papa,
1419
menjilati nanah busuk para gelandangan, dan menakut-nakuti
musuh-musuhnya dengan pedang berkarat.

Apakah sesungguhnya yang engkau inginkan, wahai pecinta


dunia? Apakah engkau ingin tetap menjadi penguasa duniamu
yang berkarat dan membusuk? Ataukah engkau ingin menjadi
hantu yang berkeliaran memamerkan taring untuk menakut-nakuti
kawulamu?

Prabu Chakraningrat terbakar amarah saat membaca surat


balasan dari Sri Mangana. Ia menitahkan sang manghuri untuk
membalasnya dengan isi yang lebih tegas.

Aku merasa sebaiknya Tuan menghadapkan pasukan Caruban


dengan Rajagaluh sebagai pertarungan ksatria melawan ksatria,
sebagaimana pertarungan antara Kurawa dan Pandawa di
Kurusetra. Sebagai saudara yang dididik dengan nilai-nilai ksatria
dan hidup sesuai dharma ksatria, aku memohon kepada Tuan,
agar Tuan tidak mempermalukan saudara Tuan di depan arwah
leluhur, dengan membiarkan saudara Tuan menghadapi kawanan
gelandangan yang Tuan pelihara. Marilah kita bertempur sebagai
ksatria!

Sri Mangana tersenyum bangga membaca surat balasan dari


Prabu Chakraningrat. Ia sadar, cepat atau lambat Caruban
memang harus terlibat perang dengan Rajagaluh, bahkan mungkin
1420
dengan Talaga, Galuh Pakuan, dan Dermayu. Namun, surat
balasan yang dikirim oleh penguasa Rajagaluh telah
mendorongnya untuk mempercepat keterlibatan Caruban di
medan tempur. Sebab, apa pun yang terjadi ia tidak sampai hati
melukai hati seorang ksatria dengan menorehkan luka akibat
sayatan rasa malu.

Sri Mangana sendiri adalah ratu yang dipercaya oleh maharaja


Pakuan Pajajaran, Prabu Guru Dewata Prana, untuk menjaga
kekuasaan laut kerajaan Sunda. Ia dikenal sebagai ahli strategi
perang (yuddhawira sadah) dan cakap dalam peperangan
(yuddha-nipuna). Itu sebabnya, ia tidak akan mungkin menolak
tantangan Prabu Chakraningrat. Ia pasti akan meladeni tantangan
perang penguasa Rajagaluh itu secara ksatria. Namun sesuai
gelarnya, Sri Mangana, yang berarti cahaya kekuasaan ular laut,
ia bukanlah orang yang gegabah dalam mengambil keputusan. Ia
sangat berhati-hati. Dan dalam hal tantangan Prabu
Chakraningrat, ia tahu pasti bahwa Yang Dipertuan Rajagaluh itu
tidak bertindak sendiri. Ia mengetahui di belakang saudara tirinya
itu tersembunyi kekuatan penguasa Galuh Pakuan, Talaga,
Dermayu, Palutungan, Maleber, Panembong, Taraju, Sumedang
Larang, dan Batu Layang.

Untuk menghadapi kekuatan Rajagaluh yang diam-diam didukung


banyak pihak itu dibutuhkan siasat yang tepat sekaligus penataan
kekuatan yang baik dan tak terbaca lawan. Ia sadar bahwa dalam
menghadapi Rajagaluh, ia tidak sekadar dituntut menyiagakan
kekuatan pasukannya untuk bertempur, tetapi juga menyiapkan
1421
kemungkinan terjadinya serangan tak terduga dari Talaga, Galuh
Pakuan, dan Dermayu. Ia benar-benar sadar betapa kekuatan
pasukannya yang kurang dari 30.000 orang ditambah sekitar 4.600
laskar muslim itu tidak mungkin dibenturkan dengan pasukan
Rajagaluh yang jumlah pasukannya 100.000 orang lebih.

“Menurut perkiraanmu, kapan kira-kira bala bantuan dari timur


sampai ke Caruban?” tanya Sri Mangana kepada Abdul Jalil, yang
dipanggilnya ke Ndalem Pekalipan beberapa saat setelah ia
menerima surat tantangan dari Prabu Chakraningrat.

“Ananda perkirakan dalam sepekan ini mereka mestinya sudah


sampai ke sini,” kata Abdul Jalil menjelaskan. “Apakah keadaan di
medan tempur mengalami perubahan sehingga Ramanda Ratu
menanyakan mereka?”

“Di medan tempur laskar muslim Caruban tetap menang, namun


Prabu Chakraningrat mengirimkan surat tantangan langsung
kepadaku. Dia mengajak perang terbuka antara Rajagaluh dan
Caruban,” kata Sri Mangana.

“Ramanda Ratu akan melayani tantangan itu?”

“Hmm,” Sri Mangana mengangguk dan berkata, “Jika tidak


dilayani, nanti orang akan menganggap islam sebagai agama yang
1422
tidak mengajarkan nilai-nilai ksatria. Islam akan dianggap sebagai
agama yang dipeluk para pembual dan penipu yang berjiwa
pengecut. Tidakkah engkau dengar apa yang dikatakan orang-
0rang Rajagaluh ketika mereka mendengar Sayyid Habibullah al-
Mu’aththal kabur dari Caruban?”

“Tapi, Rajagaluh dibantu banyak pihak. Jumlah pasukannya jauh


lebih besar dibanding jumlah pasukan Caruban. Kalau harus
dibenturkan berhadap-hadapan, tentunya pasukan Caruban akan
kalah,” gumam Abdul Jalil.

“Justru itu yang diinginkan Prabu Chakraningrat. Karena itu, dia


menantang perang antar ksatria, sebagaimana saat Kurawa
bertempur dengan Pandawa dalam Bharatayudha,” kata Sri
Mangana.

“Aku memang sudah mengambil keputusan untuk menyiasati


keadaan ini.”

“Aku akan menunda mengirimkan surat balasan kepada Prabu


Chkraningrat selama sepekan. Biarkan dia berpikir aku ketakutan
menerima tantangannya. Tetapi, selama sepekan itu aku akan
membuat kejutan-kejutan untuknya.”

1423
“Sesungguhnya Allah SWT. bersama hamba-Nya yang berjuang di
jalan-Nya.”

Selama rentang waktu sepekan sambil menunggu kedatangan


bala bantuan dari luar Caruban, Sri Mangana melakukan tindakan-
tindakan mengejutkan yang bertujuan meruntuhkan semangat
pihak Rajagaluh. Tanpa terduga-duga ia mengumumkan
terbentuknya kesatuan Naga Laut yang dipimpin oleh Bhatamantri
(perwira tinggi) Abdul Halim Tan Eng Hoat, Cina muslim asal
Majapahit, putera Abdurrahman Tan King Ham. Kesatuan baru itu
terdiri atas seribu pasukan laut Caruban ditambah dua ribu laskar
muslim Cina. Abdul Halim Tan Eng Hoat dibantu oleh tiga orang
bhrtyamantri (perwira menengah), yaitu Tumenggung Jaya Orean,
Abdul Karim Wang Tao, dan Abdul Razaq Wu Lien.

Kabar itu oleh Sri Mangana sengaja disebarkan ke Palimanan dan


Rajagaluh sehingga para tetunggul Rajagaluh bertanya-tanya
tentang tujuan utama di balik pembentukan kesatuan Naga Laut.
Namun, saat para tetunggul Rajagaluh membicarakan kesatuan
baru itu tiba-tiba Sri Mangana mengumumkan terbentuknya
kesatuan Liman Bhuwana yang dipimpin oleh Bhatamantri Syarif
Hidayatullah, wali nagari Gunung Jati. Kesatuan baru itu terdiri atas
seribu pasukan berkuda dan seribu pasukan tombak Caruban
ditambah dua ribu laskar muslim Arab dan Persia. Syarif
Hidayatullah dibantu lima orang bhrtyamantri, yaitu Syaikh
Duyuskhani, Abdul Rahim Rumi, Abdul Rahman Rumi, Abdul Qadir
al-Baghdady, dan Abdul Qahhar al-Baghdady.

1424
Ketika orang-orang Rajagaluh masih sibuk membicarakan
kesatuan Naga Laut dan Liman Bhuwana, Sri Mangana
mengumumkan lagi pembentukan kesatuan baru, yaitu Paksi Raja
yang dipimpin Bhatamantri Tun Abdul Qadir, wali nagari
Sindangkasih, pemimpin para pemberontak asal Malaka. Kesatua
Paksi Raja terdiri atas seribu pasukan laut Caruban ditambah tiga
ribu laskar muslim asal Malaka, Campa, Keling, Pegu, Yawana,
Kendal, dan Palembang. Tun Abdul Qadir dibantu empat
bhrtyamantri, yaitu wali nagari Gegesik, Li Han Siang, Syaikh
Bentong, dan Haji Shang Shu.

Ketika para tetunggul Rajagaluh dengan sangat hati-hati


membicarakan pembentukan tiga kesatuan baru itu, terjadi
peristiwa yang mengguncangkan jiwa mereka. Tanpa terduga-
duga, tiba-tiba saja Sri Mangana menunjuk seorang pendekar
puteri termasyhur, Nyi Mas Gandasari, sebagai agra-senopati
(panglima tinggi) Caruban Larang.

Kabar pengangkatan Nyi Mas Gandasari dengan cepat berkobar


membakar amarah para tetunggul Rajagaluh bagaikan api
membakar ilalang. Para tetunggul Rajagaluh merasakan panas api
membakar tubuh mereka dari telapak kaki hingg ujung rambut.
Keputusan itu dianggap sebagai tamparan bagi para tetunggul
Rajagaluh. Sebab, menurut mereka, pengangkatan Nyi Mas
Gandasari pada dasarnya adalah siasat licik Sri Mangana untuk
menghalang-halangi Prabu Surawisesa, Yang Dipertuan Galuh
Pakuan, dalam peperangan Caruban-Rajagaluh. Menurut mereka,
Sri Mangana memanfaatkan kepercayaan yang diyakini banyak
1425
orang yang menyatakan bahwa Prabu Surawisesa tidak bisa
dikalahkan oleh siapa pun kecuali oleh seorang perempuan hing
wanojaha kang pangawijing. Semenjak lama sudah tersebar
kasak-kusuk yang menyatakan bahwa Nyi Mas Gandasari sengaja
diasuh sejak kecil oleh Sri Mangana karena disiapkan untuk tujuan
menghadapi Prabu Surawisesa.

Sebenarnya, mereka yang merasa gerah dan tidak suka dengan


pengangkatan Nyi Mas Gandasari sebagai agra-senapati Caruban
bukan hanya pihak Rajagaluh. Sejumlah pemuka masyarakat dan
tetunggul Caruban Larang pun diam-diam banyak yang
menyayangkan keputusan Sri Mangana yang mereka anggap tidak
bijaksana. Mereka menganggap seorang perempuan terlarang
menjadi pemimpin laki-laki, apalagi dalam perang. Mereka
memang tidak berani terang-terangan menentang keputusan Sri
Mangana, tetapi bara api ketidakpuasan telah mereka sulut di
dalam jiwa para pengikutnya. Dan bara api itu terlihat kobarannya
manakala Angga, wali nagari Kuningan, dan Ki Demang Singagati,
mantri kepercayaannya, dengan terang-terangan mengemukakan
keberatan mereka kepada Sri Mangana atas penunjukan Nyi Mas
Gandasari sebagai agra-senapati Caruban.

Menghadapi keberatan wali nagari Kuningan dan Ki Demang


Singagati itu, Sri Manganan mengumpulkan para pemuka
masyarakat dan tetunggul Caruban untuk memusyawarahkan
keputusannya tersebut. Ternyata, terjadi beda pendapat yang
sengit tentang masalah itu. Para pemuka warga keturunan Campa
menyatakan dukungan penuh karena adat istiadat mereka
1426
menganut asas keibuan sehingga tampilnya pemimpin perempuan
dapat diterima asalkan memiliki kemampuan. Syaikh Duyuskhani
dan para pengikutnya mendukung Nyi Mas Gandasari dengan
alasan agra-senapati perempuan adalah seorang sayyidah
keturunan Fatimah az-Zahrah, puteri Nabi Muhammad Saw..
Namun, para pemuka warga Arab, Cina, dan Pegu menyatakan
keberatan atas dasar ketentuan syari’at Islam. Menurut mereka,
tidak ada satu pun dalil yang membolehkan seorang perempuan
menjadi pemimpin bagi laki-laki.

Sadar bahwa perbedaan pendapat di tengah suasana genting


akan sangat merugikan, akhirnya Sri Mangana memutuskan untuk
memegang sendiri jabatan agra-senapati Caruban Larang dan
memilih dua orang panglima wakil senapati di medan tempur, yaitu
wali nagari Kuningan dan Nyi Mas Gandasari. Ia menyatakan
bahwa keputusannya itu untuk menguji kemampuan mereka
berdua di bidang olah tempur dan keprajuritan. Keputusan Sri
Mangana disepakati oleh semua pihak, meski di dalam hati masih
ada pihak yang tidak puas dengan keterlibatan perempuan dalam
masalah pertempuran. Pihak itu beranggapan tempat perempuan
berkiprah bukan di medan tempur, melainkan di dapur dan kamar
tidur.

Ketika surat jawaban kepada Prabu Chakraningrat baru saja


dikirim dan ketika orang masih sibuk membicarakan langkah-
langkah Sri Mangana yang menggemparkan, terjadi kegemparan
lain di Muara Jati. Orang-orang yang tinggal di sekitar pelabuhan
dikejutkan oleh mendaratnya bala bantuan dari luar Caruban
1427
Larang. Mula-mula orang menyaksikan sekitar seribu pasukan
turun dari kapal-kapal di pelabuhan Muara Jati. Pasukan itu
mengibarkan umbul-umbul dan bendera warna merah dan hitam.
Panji-panjinya berwarna hitam bergambar bulan sabit yang ditulisi
kaligrafi La ilaha illa Allah. Penduduk dengan terheran-heran
melihat pasukan itu berbaris menuju Kuta Caruban dengan
membawa kotak-kotak besar berjumlah sekitar dua puluh lima
buah. Pasukan itu merupakan bala bantuan dari Majapahit asal
Kadipaten Terung yang dipimpin oleh Ki Wedung, adik kandung
Patih Demak Ki Wanasalam. Kotak-kotak besar yang dibawa
pasukan Majapahit itu disebut gurnita (Jawa Kuni: halilintar,
gemuruh, gaduh). Konon berasal dari Palembang. Jika tutup-tutup
kotak itu dibuka akan terdengar suara gemuruh dan kilatan
halilintar yang akan membakar apa saja yang ada di depannya.

Tidak lama setelah pasukan Majapahit asal Kadipaten Terung


meninggalkan Muara Jati, mendaratlah secara berturut-turut
pasukan dari berbagai kadipaten lain, yaitu seribu orang pasukan
dari Kadipaten Demak dipimpin oleh Pangeran Sabrang Lor,
putera Adipati Demak Raden Patah. Pasukan ini mengibarkan
panji-panji hijau bergambar kura-kura dan petir. Setelah itu
mendarat sekitar lima ratus orang pasukan dari Kadipaten
Samarang dipimpin Pangeran Welang, mengibarkan panji-panji
kuning bergambar kepala yaksa. Disusul tujuh ratus orang
pasukan dari Kadipaten Kendal, dipimpin Pangeran Soka,
mengibarkan panji-panji putih bergambar kepala harimau; lima
ratus orang pasukan dari Kadipaten Japara dipimpin Pangeran
Luhung, mengibarkan panji-panji hitam bergambar bintang dan api
menyala; lima ratus orang dari Giri Kedhaton dipimpin Ki Buyut
1428
Gresik, mengibarkan panji-panji putih bergambar trisula; tujuh
ratus orang pasukan dari Surabaya dipimpin Pangeran Kejawan,
mengibarkan panji-panji merah bergambar ayam jago. Tak
ketinggalan rombongan kecil para pendeta bhairawa dari berbagai
ksetra yang dihubungi oleh Nyi Indang Geulis dan Nyi Muthmainah,
ikut berdatangan ke Caruban Larang untuk membantu Sri
Mangana bertempur menghadapi Rajagaluh.

Kehadiran bala bantuan dari luar Caruban menimbulkan semarak


yang membangkitkan semangat penduduk Caruban. Sepanjang
jalan menuju Kuta Caruban orang-orang terlihat berdiri di pinggir
jalan mengelu-elukan mereka. Alun-alun Kuta Caruban yang
biasanya lengang tiba-tiba hiruk pikuk diwarnai prajurit yang
mempersiapkan barisan dan peralatan tempur.

Di tengah hiruk persiapan perang pasukan Caruban itu terjadi


peristiwa tidak tersangka-sangka dan tak terbayangkan
sebelumnya. Para pendeta bhairawa pemimpin ksetra-ksetra yang
datang ke Caruban menyatakan diri sebagai pemeluk Islam.
Keinginan itu lahir terutama setelah mereka berbincang-bincang
dengan Sri Mangana dan Abdul Jalil serta setelah mereka
menyaksikan sendiri lambang-lambang pada panji-panji yang
dikibarkan pasukan dari berbagai kadipaten muslim yang mereka
kesankan sebagai lambang Syiwa. Mereka makin yakin bahwa
Islam adalah penjelmaan baru Syiwa-Budha, apalagi setelah
mereka mengetahui sendiri bentuk pemerintahan kalifah Caruban
yang menganut asas kesederajatan dan tidak membeda-bedakan

1429
manusia berdasar keturunan, yaitu tatanan ideal yang diidamkan
oleh para penganut ajaran bhairawa.

Dengan disaksikan para sesepuh dan tetunggul Caruban, Balal


Bisvas, wali nagari Gegesik, pertama-tama menyatakan memeluk
Islam beserta seluruh keluarga dan pengikutnya. Ia mendapat
nama baru Suranenggala. Setelah itu Ki Wedung, pemimpin
pasukan Terung, menyatakan bahwa dia sudah mengucapkan dua
kalimah syahadat di Wirasabha, beberapa saat sebelum berangkat
ke Caruban. Wiku Suta Lokeswara tak ketinggalan mengikrarkan
keislaman dan memperoleh nama baru Ki Waruanggang.
Sanghyang Bango Samparan, pemimpin ksetra di Gunung
Cangak, mengikrarkan keislaman dan memperoleh nama baru Ki
Tameng. Wiku Danumaya, putera Ajar Semana, pemimpin ksetra
di Gunung Merapi, sepupu Nyi Indang Geulis, menyatakan
memeluk Islam dan memperoleh nama baru Ki Tedeng.
Sementara Ki Golok Cabang, putera Sanghyang Nago, pemimpin
ksetra Gunung Ciangkup, menyatakan memeluk Islam dan
memperoleh nama baru Ki Sukawiyana.

Kabar masuk Islamnya para pendeta bhairawa pemimpin ksetra itu


sangat mengejutkan orang-orang Rajagaluh sekaligus menyulut
api amarah mereka. Mereka merasa telah dikhianati oleh para
pemangsa manusia itu. Beberapa waktu lalu mereka telah
mengirimkan utusan yang membawa berbagai hadiah dan
persembahan ke Gunung Ciangkup, Gunung Kumbha (ng),
Gunung Cangak, dan Arga Liwung untuk mendapat dukungan dari
ksetra-ksetra tersebut. Meski belum memperoleh kepastian
1430
dukungan, mereka sangat yakin bahwa para pemimpin ksetra itu
akan mendukung mereka. Ternyata, tanpa mereka duga-duga,
para pemimpin ksetra di gunung-gunung keramat itu malah datang
kepada Sri Mangana dan menyatakan memeluk Islam. Berarti,
pihak yang mereka bayangkan akan menjadi kawan justru menjadi
lawan.

Kemarahan yang sudah membakar para tetunggul Rajagaluh itu


seketika berubah menjadi kecemasan ketika mereka mendengar
kabar dari para telik sandhi bahwa Pangeran Raja Sanghara
(Sansekerta: Raja Penghancur Jagad), adik kandung Sri Mangana,
telah meninggalkan Kraton Pakuan Pajajaran. Sang pangeran
pergi dengan membawa lima ratus orang pasukan berkuda. Tidak
ada yang tahu ke mana ia dan pasukannya pergi. Belakangan
muncul kabar yang menyatakan Pangeran Raja Sanghara
bersama pasukan berkudanya muncul di Kuta Caruban dan
menyatakan ikrar memeluk Islam.

Lembah Girinatha yang terhampar di kaki Gunung Ceremai


diselimuti kabut pagi yang membekukan mayat-mayat yang
bergelimpangan di atas rerumputan. Cahaya matahari pagi yang
menyapu permukaan bumi telah menjelmakan lembah itu seolah-
olah terbakar api. Merah. Semerah darah yang mengering di tubuh
tak bernyawa itu.

Itulah pemandangan hasil pertempuran di hari pertama antara


pasukan Caruban Larang yang dipimpin oleh wali nagari Kuningan
1431
dan pasukan Rajagaluh yang dipimpin oleh Adipati Palimanan Arya
Kiban. Mayat-mayat yang bergelimpangan itu sebagian besar
adalah mayat-mayat prajurit Rajagaluh.

Kata orang, kemenangan yang diraih wali nagari Kuningan pada


pertempuran hari pertama itu banyak ditentukan oleh siasat
cemerlang pihak Kuningan yang mengutamakan penghancuran
cerita kemasyhuran gajah tunggangan Adipati Palimanan. Untuk
menandingi gajah terkenal itu, wali nagari Kuningan mengendarai
kuda hitam bernama Sang Winduhaji, konon berupa kuda perkasa
keturunan kuda sembrani yang bisa terbang.

Saat dua panglima itu berhadap-hadapan di medan tempur,


sasaran utama yang diincar-incar oleh wali nagari Kuningan
bukanlah Adipati Kiban, melainkan gajah tunggangannya yang
ditakuti oleh prajurit Kuningan. Demikianlah, saat wali nagari
Kuningan yang dibantu Ki Demang Singagati, Ki Anggarunting, dan
Ki Anggasura berhasil menjungkalkan Sang Bango dengan tujuh
batang tombak di lehernya, semangat pasukan Kuningan pun
menjadi berkobar-kobar. Sebaliknya, semangat pasukan
Rajagaluh padam. Akhirnya, pada pertempuran hari pertama itu
pasukan Rajagaluh berantakan. Barisan depan bertumbangan
bagaikan alang-alang dibabat parang. Barisan belakang mundur
ke Palimanan, sedangkan barisan tengah lari tunggang langgang
meninggalkan senjatanya. Bahkan, Adipati Kiban sendiri lari
terbirit-birit dari medan tempur tak tentu arah sehingga saat orang-
orang menemukannya ia dalam keadaan bingung di pantai
Dermayu.
1432
Keberhasilan gemilang memukul berantakan pasukan Rajagaluh
membuat dada wali nagari Kuningan membusung dan kepalanya
membesar. Ia mabuk kemenangan. Tanpa berpikir lebih jauh,
dengan kegembiraan meluap-luap ia memerintahkan pasukannya
untuk memburu dan memusnahkan sisa-sisa pasukan Rajagaluh.
Para prajurit Kuningan yang juga sedang mabuk kemenangan
dengan gembira berangkat menunaikan perintah. Tanpa kenal
lelah, sejak sore hingga malam mereka membagi diri dalam
kelompok-kelompok kecil dan berkeliaran di sekitar lembah
Girinatha untuk memburu dan memusnahkan sisa-sisa pasukan
Rajagaluh yang mereka temukan.

Ketika matahari terbit di hari kedua peperangan, kelompok-


kelompok kecil pasukan Kuningan telah kembali dari perburuan.
Sebagian mereka terlihat memanggul lima atau enam kepala
musuh. Sebagian lagi terlihat mengikat rambut sepuluh sampai
lima belas kepala musuh di pelana kudanya. Hanya sebagian kecil
saja di antara mereka yang membawa satu kepala. Dengan
langkah terseok mereka kembali ke induk pasukan. Sekalipun
kebanggaan akan kemenangan terlihat membias di wajah mereka,
di pagi hari pada perang hari kedua itu mereka terlihat sangat lelah
dan mengantuk. Mereka tampak kurang bersemangat saat menata
barisan, padahal hari itu mereka harus bersiap-siaga menghadapi
pertempuran.

Dalam pertempuran di hari kedua, pasukan Rajagaluh yang


berpangkalan di Kepuh berjumlah sekitar 10.000 orang dan
dipimpin oleh Ki Gedeng Leuwimunding. Pasukan itu terdiri atas
1433
tiga ribu pasukan tombak, dua ribu pasukan pedang, seribu
pasukan gada, seribu pasukan berkuda, dan tiga ribu pasukan
panah. Sejak dini hari Ki Gedeng Leuwimunding sudah menerima
laporan kekalahan Adipati Kiban. Itu sebabnya, ia sangat berhati-
hati pada pertempuran hari kedua itu. Ia memutuskan untuk
menggunakan formasi tempur yang disebut kananabyuha
(Sansekerta: gelar perang “hutan”), karena formasi tempur
Bajrapanjarabyuha (Sansekerta: gelar perang “sangkar intan”)
yang digunakan Adipati Kiban terbukti dapat dihancurkan musuh.

Pagi hari ketika pasukan Kuningan sedang mengatur barisan di


lembah Girinatha, Ki Gedeng Leuwimunding menempatkan tiga
ribu pasukan panahnya di hutan Kepuh yang terletak di utara
Girinatha dalam bentuk setengah lingkaran. Tiga ribu pasukan
tombak ditempatkannya di selatan hutan dalam jarak sekitar satu
pal. Mereka ditugaskan menunggu kedatangan pasukan Kuningan.
Dengan kibaran umbul-umbul dan bendera warna kuning serta
merah, prajurit-prajurit penombak itu menghentakkan tombaknya
ke tanah secara serentak hingga terdengar suara gemuruh
bagaikan gempa. Kemudian, secara bergantian mereka
menantang-nantang dan mengejek-ejek pasukan Kuningan.

Ki Gedeng Leuwimunding yang duduk gagah di atas gajah


tunggangannya di dalam hutan terlihat gelisah, meski dikitari
pasukan berkuda dan pasukan pembawa gada. Ketika di kejauhan
ia menyaksikan debu mengepul dan titik-titik hitam bergerak ke
arahnya, ia memanggil para perwiranya dan mewanti-wanti,
“Pasukan Kuningan sudah bergerak kemari. Jangan ada yang
1434
menyerang sebelum ada perintahku.” Setelah menyampaikan
beberapa petunjuk, ia menyemangati pasukannya dengan janji.
“Siapa saja yang dapat membawa satu kepala musuh akan
mendapat sepuluh pikul padi (6,2 kuintal).”

Gelar perang Kananabyuha yang digelar di hutan Kepuh oleh Ki


Gedeng Leuwimunding ternyata berhasil mengecoh pasukan
lawan. Pasukan Kuningan yang pada hari sebelumnya
meluluhlantakkan pasukan Adipati Kiban sangat marah ditantang
dan diejek oleh pasukan tombak Rajagaluh. Dengan dada dikobari
api amarah, mereka menyerang pasukan tombak Rajagaluh.
Sambil memaki-maki mereka berpacu menerjang musuh laksana
awan hitam tertiup angin. Kaki-kaki kuda yang berkeringat saling
mendahului dengan kaki prajurit pembawa pedang dan pasukan
tombak. Namun, saat jarak mereka dengan pasukan terdepan
Rajagaluh hanya sekitar tiga puluh tombak tiba-tiba mereka
mendengar pasukan Rajagaluh berteriak keras secara serentak.
Mereka terkejut mendengar suara gemuruh laksana halilintar itu.

Seketika terlihat pemandangan mengerikan. Di tengah suara


gemuruh itu beribu-ribu tombak tampak melesat bagaikan awan
hitam. Pasukan Kuningan yang sudah berlari ke arah musuh
tersentak kaget. Pasukan berkuda yang berada di barisan
terdepan serentak menarik tali kekang keras-keras. Sementara
pasukan pedang dan tombak yang melaju berusaha menghentikan
laju kakinya dengan mata memandang ngeri ke atas. Namun,
usaha mereka terlambat. Dalam sekejap terdengar jerit kematian
yang diikuti bertumbangannya tubuh kuda dan penunggangnya
1435
serta tubuh prajurit Kuningan ke tanah bagai batang padi tertiup
angin.

Menyaksikan pemandangan tak terduga itu, para kepala pasukan


Kuningan berteriak-teriak memerintahkan mundur pasukannya.
Namun, pekik kesakitan dan jerit kematian para prajurit
menenggelamkan suara mereka. Prajurit-prajurit Kuningan di
barisan tengah tetap merangsak ke depan, terutama ketika mereka
melihat pasukan tombak musuh melarikan diri setelah melempar
tombaknya.

”Mereka lari!”

“Kejar!”

Melihat barisan tengah pasukan Kuningan menerjang ke depan


untuk memburu pasukan tombak Rajagaluh, Ki Gedeng
Leuwimunding menyadari bahwa saat pembalasan telah tiba. Dari
atas gajah tunggangannya, ia menunggu dengan hati cemas
masuknya pasukan Kuningan ke dalam jarak tembak pasukan
panahnya. Waktu tiba-tiba ia rasakan berjalan sangat lambat.

Sementara itu, wali nagari Kuningan yang menyadari bahwa


pasukannya sedang memasuki perangkap musuh berusaha
meneriaki mereka agar mundur. Namun sampai suaranya serak,
1436
para prajurit yang sudah mabuk kemenangan itu terus memburu
pasukan musuh yang lari ke arah hutan. Saat prajurit-prajuritnya
berada di tepi hutan, ia terperangah menyaksikan gemuruh
bayangan hitam bagai kawanan serangga melesat dari antara
pepohonan hutan. Rupanya, bayangan hitam mirip serangga itu
adalah hujan anak panah. Bagaikan sedang bermimpi, sang
adipati menyaksikan prajurit-prajuritnya berjumpalitan dan
bertumbangan ke tanah dengan tubuh memerah dihiasi anak
panah. Pasukan berkuda yang dibanggakannya bergelimpangan
di tanah meregang nyawa.

Wali nagari Kuningan yang masih terbelalak menyaksikan


kehancuran pasukannya, tiba-tiba merasakan bulu kuduknya
berdiri ketika melihat beratus-ratus pasukan berkuda musuh yang
diikuti beribu-ribu pasukan pedang dan gada keluar berbondong-
bondong dari balik pohon-pohon hutan bagaikan kawanan semut
menyerbu ke arahnya. Umbul-umbul dan bendera yang dikibarkan
musuh berkebaran di tengah acungan tombak dan kelebatan
pedang. Pekik peperangan terdengar menggemuruh, sahut-
menyahut, dan sambung-menyambung laksana guruh. Pasukan
Kuningan yang kelelahan dan mengantuk serta kehilangan
semangat tempur itu melakukan perlawanan dengan sisa kekuatan
yang ada. Tetapi, perlawanan setengah hati itu akhirnya membuat
mereka semburat tak tentu arah; sebagian meloloskan diri ke
lereng Gunung Ceremai, namun sebagian terbesar di antara
mereka menghadap Sang Maut.

1437
Dengan susah payah wali nagari Kuningan, Ki Demang Singagati,
Ki Anggasura, dan Ki Anggarunting berhasil meloloskan diri dari
kejaran pasukan Rajagaluh. Meski mereka berhasil selamat
mencapai Pancalang dan meneruskan perjalanan ke Kuningan,
pasukan mereka sudah hancur binasa. Tidak kurang dari tiga ribu
prajurit Kuningan terbunuh pada hari kedua pertempuran. Sedang
pihak Rajagaluh hanya kehilangan sekitar empat ratus prajurit.
Menurut sisa-sisa prajurit Kuningan yang berhasil meloloskan diri,
mayat kawan-kawan mereka bergelimpangan antara hutan Kepuh
hingga Pancalang. Sebagian besar di antara mayat-mayat itu saat
ditemukan sudah tidak berkepala lagi.

Kabar kehancuran pasukan Kuningan disambut pilu di seluruh


Caruban. Tidak kenal siang tidak kenal malam, orang
membicarakan kekalahan pahit itu dengan kecemasan dan
ketakutan berlebihan. Sejumlah besar pengungsi di Kalisapu diam-
diam mulai meninggalkan gubuk dan tendanya menuju Mundu,
Pengarengan, bahkan ke Bojong, Kendal, Samarang, dan Demak.
Pada saat seperti itu tiba-tiba berkeliaran “kambing hitam” yang
dijadikan sasaran hujatan dan kecaman karena dianggap sebagai
binatang celaka paling bersalah yang menjadi penyebab
kekalahan itu. Kambing hitam itulah Syaikh Lemah Abang.

Entah siapa yang memulai, di tengah kecemasan dan ketakutan


yang mencekam jiwa penduduk dan pengungsi Caruban, tersebar
kasak-kusuk yang mengaitkan kekalahan pasukan Kuningan
dengan khotbah-khotbah Abdul Jalil kepada para laskar muslim di
Pancalang, Jamaras, Plumbon, dan Gunung Jati. Akibat Syaikh
1438
Lemah Abang melarang para pejuang muslim membawa jimat dan
pusaka sakti saat berperang, begitu kasak-kusuk itu menyebar,
maka kebinasaan pun dialami pasukan Kuningan yang maju ke
medan perang tanpa membawa “bekal” apa pun. Bahkan, di dalam
khotbah-khotbahnya itu Syaikh Lemah Abang mengajarkan orang-
orang untuk mencintai kematian dan mencari mati sehingga
mengakibatkan kehancuran bagi pasukan Kuningan.

“Pokoknya, mulai sekarang jangan didengar khotbah syaikh sesat


itu.”

“Kita sebut saja dia dengan gelar Sang Pengkhotbah Kematian.”

“Aku dengar-dengar, arwah prajurit-prajurit Kuningan yang


terbunuh sekarang ini menjadi budak Syaikh Lemah Abang.
Mereka sengaja dikorbankan untuk menambah hebat ilmunya.”

Ketika Sri Mangana mendengar kasak-kusuk yang menghujat


Syaikh Lemah Abang sebagai orang yang paling bersalah dalam
kekalahan pasukan Kuningan, ia mengumpulkan seluruh pemuka
masyarakat dan tetunggul Caruban di Bangsal Manguntur. Wali
nagari Kuningan yang hadir didampingi Ki Demang Singagati, Ki
Anggasura, dan Ki Anggarunting dengan berurai air mata
menyatakan penyesalannya kepada Sri Mangana atas
ketidakmampuan mereka dalam memimpin pasukan.

1439
Sri Mangana yang sudah memperoleh laporan lengkap tentang
jalannya pertempuran, dengan penuh wibawa mengingatkan wali
nagari Kuningan tentang kekeliruan-kekeliruan yang telah
dilakukannya selama pertempuran. “Ada tiga sebab utama yang
menurut hematku menjadi penyebab dari kekalahanmu. Pertama-
tama, saat engkau tidak menyetujui kebijakanku menunjuk Nyi Mas
Gandasari sebagai agra-senapati. Tanpa mengetahui kemampuan
orang lain, engkau hanya mengemukakan alasan bahwa seorang
perempuan tidak boleh memimpin para lelaki. Sekarang ini,
kenyataan menunjukkan bahwa engkau dan pasukanmu yang
bertempur di Kepuh hancur berantakan digilas pasukan
Leuwimunding. Sementara Nyi Mas Gandasari yang membawa
pasukan Liman Bhuwana berhasil menghancurkan pasukan
Rajagaluh di Tegal Karang. Bahkan dua orang manggala
Rajagaluh, yaitu Tumenggung Bhaya Pethak dan Arya Pekik,
menyerah dan ditawan. Bagaimana ini? Apakah aku yang salah
memilih orang atau engkau yang terlalu takkabur dan menilai diri
terlalu tinggi?”

“Kami mengaku salah, Paduka,” kata wali nagari Kuningan pasrah.

“Kekeliruanmu yang kedua,” kata Sri Mangana dingin, “setelah


mengalahkan pasukan adipati Palimanan, engkau mabuk
kemenangan dan lupa daratan. Engkau memerintahkan
pasukanmu untuk memburu musuh dan memberikan hadiah bagi
tiap kepala musuh yang didapatkan masing-masing prajurit. Itu
perintah apa? Tidakkah engkau sadar jika kebiasaan memenggal
kepala dan merusak jenasah dalam perang adalah kebiasaan
1440
buruk orang-orang kafir yang jelas-jelas diharamkan dalam Islam?
Bagaimana mungkin engkau sebagai pemimpin orang-orang
beriman bisa memerintahkan orang memenggal kepala mayat dan
merusak jenasah?”

“Kami khilaf, Paduka,” wali nagari Kuningan berkata lemah. “Kami


mohon dihukum.”

“Aku tahu, engkau ingin membalas tindakan yang sama yang


dilakukan musuh terhadap pasukanmu. Tetapi, engkau lupa bahwa
memenggal kepala mayat dan merusak jenasah diharamkan
dalam Islam. Sepanjang sejarah yang diteladankan Nabi
Muhammad Saw., tidak pernah terjadi tindakan merusak dan
memenggal kepala mayat. Bahkan saat jenasah Sayyidina
Hamzah, pamanda Nabi Muhammad Saw., dirusak orang-orang
kafir Quraisy dan jantungnya dimakan oleh Hindun, tidak
menjadikan beliau dan orang-orang Islam gelap mata dan meniru
tindakan Hindun. Sebab, kalau tindakan merusak jenasah
Sayyidina Hamzah itu dibalas dengan cara yang sama, apa yang
membedakan seseorang itu masuk ke dalam golongan beriman
dan bukan golongan beriman? Apa yang membedakan keharusan
seorang muslim untuk meneladani Nabi Muhammad Saw. jika
mereka meniru tindakan Hindun?”

“Kami salah. Kami benar-benar salah dan tak berguna. Kami


mohon diberi hukuman.”

1441
“Dan kesalahanmu yang ketiga, engkau dan seluruh pasukan yang
engkau pimpin menggantungkan hidup dan mati pada jimat dan
pusakan bikinan dukun dan jawara lepus. Aku tidak tahu sudah
berapa banyak dana yang engkau hamburkan untuk membeli
keris, cincin bermata akik, badong, akar bahar, kutang
antakusuma, kuku dan kumis macan, rajah-rajah, juga kalung
rantai babi yang engkau anggap bertuah. Aku juga tidak tahu
berapa banyak dana yang dibelanjakan prajuritmu untuk membeli
benda-benda tak berguna itu. Yang aku tahu, semua jimat dan
pusaka yang dijadikan bekal andalan oleh prajuritmu itu tidak
berguna. Buktinya, mereka terbunuh beramai-ramai di medan
perang. Mana kekuatan sakti dari benda-benda itu?”

“Aku tidak melarang siapa pun di antara penduduk Caruban untuk


memiliki benda-benda apa pun yang disukainya. Tetapi sebagai
seorang pemimpin, aku mencontohkan bahwa hidupku tidak
tergantung pada benda apa pun. Perlu kalian ketahui, semua
benda-benda kraton yang pernah dianggap bertuah, yang berasal
dari Gunung Ciangkup, Gunung Kumbha (ng), Gunung Cangak,
Gunung Liwung, dan Gunung Merapi seperti caping, badong,
bedog, baju waring, topong, umbul-umbul, dan batok bolu telah aku
buang ke lautan. Segala benda bertuah tidak lagi dimiliki oleh
kalifah Caruban. Sebab, tuah dan keramat, bagi kalifah, tidak
terletak di benda-benda tetapi di dalam diri manusia. Beritakan apa
yang aku katakan ini kepada semua orang. Kabarkan kepada
mereka bahwa di kraton Caruban sudah tidak ada benda-benda
pusaka karena semua tuah dan keramat telah disatukan di dalam
diri orang yang paling takwa di antara manusia,” kata Sri Mangana.

1442
Para hadirin diam mendengar uraian Sri Mangana. Sebagian di
antara mereka memahami simpang-siur yang berkembang selama
ini adalah sesuatu yang salah. Namun di antara para hadirin, yang
paling merasa gerah adalah para jawara, dukun, dan jajadug.
Mereka seolah-olah ditampar oleh kalifah Caruban di hadapan
orang banyak tanpa bisa membela diri. Saat api amarah di
pedalaman jiwa mereka bagaikan hutan terbakar, berkelebatanlah
bayangan Abdul Jalil di benak mereka sebagai sasaran yang harus
mereka lumat dan musnahkan.

Sri Mangana yang menangkap pertanda ketidakpuasan atas


ucapannya, kemudian melanjutkan kata-katanya, “Sekarang ini
telah terbukti bahwa Angga, wali nagari Kuningan, gagal
menjalankan tugas sebagai panglima yang mewakili senapati di
medan tempur. Pasukannya yang berjumlah empat ribu telah
terbunuh lebih dari tiga ribu orang. Sisanya yang kembali ke
Kuningan menurut laporan hanya tiga ratus orang. Yang lain hilang
entah ke mana. Sebaliknya, Nyi Mas Gandasari, panglima puteri
Caruban dengan dukungan wali nagari Gunung Jati, menunjukkan
keberhasilan dalam menjalankan tugasnya.”

“Dengan kenyataan ini, jelas-jelas sekarang hanya Nyi Mas


Gandasari satu-satunya panglima yang mewakili senapati di
medan tempur. Sebab, pasukannya masih utuh. Karena itu, aku
tawarkan kepada siapa saja di antara pendekar laki-laki di Caruban
ini yang merasa mampu menggantikan kedudukan Nyi Mas
Gandasari. Silakan maju ke depan untuk menggantikannya.
Ambillah kedudukan panglima Caruban dan rebutlah kemenangan
1443
yang gemilang daripada yang sudah ditunjukkan Nyi Mas
Gandasari. Tetapi ingat, jabatan panglima bukan untuk main-main
dan coba-coba karena yang dipertaruhkan dalam pertempuran ini
adalah nyawa prajurit Caruban yang memiliki anak-anak dan istri.
Sehingga, kegagalan dalam menjalankan tugas akan mendapat
imbalan hukuman pancung. Tawaranku ini berlaku kapan saja dan
tidak dibatasi waktu. Siapa saja pendekar yang berani dan mampu
silakan menggantikan Nyi Mas Gandasari, sebab, yang kita
butuhkan dalam pertempuran ini adalah kenyataan dan bukannya
dalil-dalil yang masih diperdebatkan kebenarannya.”

Para tetunggul dan pemuka masyarakat Caruban menunduk diam.


Mereka tidak ada yang berani mengangkat wajah menatap Sri
Mangana. Mereka merasa tidak bisa menyampaikan hujah-hujah
lagi untuk menentang penunjukan Nyi Mas Gandasari sebagai
panglima yang sudah membuktikan kehebatannya di medan
perang. Namun, di kalangan para jawara, dukun, dan jajadug,
keadaan yang diwarnai nuansa ketidakpuasan itu tetap saja
dikaitkan dengan keberadaan sang kambing hitam Abdul Jalil.
Sambil mengedipkan mata satu sama lain, mereka bersepakat
untuk menyamakan sudut pandang bahwa pengangkatan Nyi Mas
Gandasari sebagai panglima puteri Caruban pada dasarnya lebih
disebabkan karena dia adalah saudara tua Syaikh Lemah Abang,
tukang sihir yang sudah menguasai Sri Mangana dengan kekuatan
sihirnya.

Ibarat pepatah “nasi sudah menjadi bubur”, tidak ada gunanya


kekalahan pasukan Kuningan disesali. Sebab sesuai hukum
1444
perang, ada pihak yang kalah dan ada pula pihak yang menang.
Sesungguhnya, kekalahan pasukan Kuningan di hutan Kepuh
telah diimbangi dengan kekalahan pasukan Rajagaluh pimpinan
Tumenggung Bhaya Petak dan Arya Pekik di Tegal Karang.
Bahkan kemenangan Nyi Mas Gandasari itu semakin meruntuhkan
semangat para tetunggul Rajagaluh yang sudah dicekam oleh
keyakinan bahwa kekalahan Prabu Surawisesa terletak di tangan
prajurit perempuan. Semangat mereka bertambah padam
terutama setelah Yang Dipertuan Galuh Pakuan menarik
pasukannya yang diperbantukan ke Rajagaluh.

Kabar ditariknya sekitar 30.000 orang pasukan Galuh Pakuan dari


Rajagaluh diterima pihak Caruban dengan gembira. Setelah
memperhitungkan secara matang kekuatan dan kelemahan
Rajagaluh, Sri Mangana memutuskan untuk melakukan serangan
besar-besaran ke Kutaraja Rajagaluh dengan menggunakan
kekuatan pasukan gabungan Caruban Larang dan pasukan dari
kadipaten-kadipaten pesisir Nusa Jawa. Dengan serangan
serentak itu dipastikan Rajagaluh akan kalang kabut, terutama saat
mereka mendengar keterlibatan pasukan Majapahit dan Demak.
Dengan melibatkan pasukan Majapahit asal Terung, kata Sri
Mangana dalam hati, pihak Rajagaluh pasti runtuh nyalinya.

Memang, sejak kedatangan pasukan Majapahit asal Terung


dengan kotak-kotak sakti yang disebut gurnita, orang tak henti-
hentinya berbicara tentang senjata dahsyat asal Palembang itu.
Baik prajurit Rajagaluh, baik prajurit Caruban Larang, seperti tak
kenal bosan membicarakan kotak-kotak keramat itu. Ada yang
1445
menduga kotak-kotak itu berisi arwah dan ada pula yang menduga
berisi mayat orang sakti. Bahkan tak kurang ada yang menduga
kotak-kotak itu berasal dari kahyangan dan merupakan anugerah
dewa-dewa.

Dalam masalah menata kekuatan dan siasat perang, Sri Mangana


sangat tertutup. Berbeda dengan masalah-masalah pemerintahan
yang selalu dimusyawarahkannya dengan banyak pihak, dalam
mengatur siasat perang ia hanya mengajak bicara beberapa
gelintir orang yang dianggapnya memiliki kemampuan di bidang
tersebut. Untuk menjalankan rencana penyerbuan ke Kutaraja
Rajagaluh, Sri Mangana mengajak musyawarah Pangeran Raja
Sanghara, Pangeran Sabrang Lor, Nyi Mas Gandasari, dan Tun
Abdul Qadir.

Dalam rencana penyerbuan ke Kutaraja Rajagaluh itu, ia


mengemukakan gagasan untuk membagi kekuatan Caruban
menjadi dua. Kekuatan pertama akan diserahkan kepada Nyi Mas
Gandasari dengan tugas utama menyerang Kuta Rajagaluh dari
timur. Kekuatan kedua akan dipimpinnya sendiri dengan tugas
utama menyerang Kuta Rajagaluh dari selatan. “Pasukan yang aku
bawa hanya sepertiga dari seluruh kekuatan pasukan gabungan.
Aku memiliki banyak informasi bahwa ibukota Rajagaluh hanya
dijaga oleh pasukan pengawal raja. Seluruh kekuatan Rajagaluh
disiagakan di Palimanan.”

1446
“Apakah tidak mungkin saat kita mengepung Kuta Rajagaluh, pihak
musuh yang berpangkalan di Palimanan tiba-tiba menerobos dan
menyerang Kuta Caruban?” tanya Pangeran Sabrang Lor.

“Paman sudah memperhitungkan itu, Ananda,” kata Sri Mangana


tenang. “Pertama-tama, kita harus memancing pasukan Rajagaluh
di Palimanan agar keluar dari pangkalan dengan cara seolah-olah
kita akan menyerang Leuwimunding. Saat mereka keluar, pasukan
kita akan masuk ke Palimanan. Dari Palimanan kita langsung
menggempur Rajagaluh. Sementara itu, Kuta Caruban sudah
kosong dari penduduk dan dijaga oleh dua ribu pasukan yang
terlatih. Andaikata pihak Rajagaluh menerobos dan menyerang
Kuta Caruban, para prajurit pengawal kuta akan melawan dengan
melakukan perang kuta. Mereka akan menimbulkan kesulitan bagi
pasukan Rajagaluh karena mereka lebih menguasai keadaan kuta
dibanding pasukan Rajagaluh,” Sri Mangana menjelaskan.

“Jika demikian, apa tugas kami sebagai pasukan dari luar


Caruban?” tanya Pangeran Sabrang Lor.

“Ananda kami tunjuk sebagai panglima bagi pasukan dari pesisir.


Ananda akan membawa pasukan yang Ananda pimpin bersama
pasukanku ke Rajagaluh. Kita akan bahu membahu merebut
ibukota musuh dengan terlebih dulu merebut Palimanan.”

1447
Akhirnya, semua hadirin sepakat mendukung rencana yang
diajukan Sri Mangana. Nyi Mas Gandasari, panglima puteri
Caruban, ditugaskan memimpin penyerbuan ke Kuta Rajagaluh
dari arah timur, dengan membawahi 20.000 orang prajurit. Ia
dibantu oleh perwira-perwira dan penasihat-penasihat unggul,
seperti Pangeran Soka, Pangeran Pandyunan, Pangeran
Kadhyaksan, Wali Nagari Gegesik, Abdul Karim Wang Tao, Wali
Nagari Gunung Jati, Abdul Halim Tan Eng Hoat, Wali Nagari
Susukan, Abdul Razaq Wu Lien, Wali Nagari Cangkuang, Abdul
Qadir al-Baghdady, Syaikh Bentong, Li Han Siang, Abdul Qahhar
al-Baghdady, Syaikh Ibrahim Akbar, dan Haji Shang Shu.
Sedangkan Sri Mangana akan memimpin 6.000 prajurit gabungan
Caruban dan Demak, dibantu oleh perwira-perwira dan penasihat-
penasihat unggulan seperti Pangeran Raja Sanghara, Pangeran
Sabrang Lor, Pangeran Luhung, Pangeran Kejawan, Wali Nagari
Losari, Syaikh Duyuskhani, Wali Nagari Sindangkasih, Abdul Malik
Israil, Ki Wedung, Ki Waruanggang, Ki Tameng, Ki Tedeng, Ki
Sukawiyana, dan Syaikh Lemah Abang.

Dalam rencana penyerbuan itu, Raden Qasim dan Raden Mahdum


Ibrahim tidak dilibatkan. Mereka diminta oleh Sri Mangana dan
Abdul Jalil untuk kembali ke Surabaya menemui ayahandanya,
dengan alasan untuk memohonkan doa bagi kemenangan
pasukan Caruban. Namun saat Raden Mahdum Ibrahim
bergeming dengan tatap mata curiga menerima tugas itu, Abdul
Jalil mendekatinya dan berbisik lirih, “Semalam ayahanda Raden
mendatangiku lewat ‘alam al-khayal. Beliau berpamitan akan
kembali ke hadirat-Nya.”

1448
Raden Mahdum Ibrahim tersentak kaget. Dengan suara bergetar
ia berkata lirih, “Semalam saya juga bermimpi didatangi beliau.
Tapi, beliau tidak berkata apa-apa. Beliau hanya tersenyum.”

“Beliau juga mendatangi Sri Mangana dan memberi isyarat akan


kembali ke hadirat-Nya.”

“Apakah beliau tidak berpesan apa-apa?” tanya Raden Mahdum


Ibrahim.

“Beliau tidak berpesan apa-apa. Tetapi aku bisa menduga-duga,


beliau tidak ingin kabar wafatnya diketahui banyak orang. Beliau
ingin dimakamkan sendiri oleh tangan putera-putera dan cucu-
cucunya,” kata Abdul Jalil menarik napas berat.

Raden Mahdum Ibrahim tertunduk diam. Setelah itu, ia menyalami


dan merangkul Abdul Jalil sambil membisikkan sesuatu.

Sementara itu, saat Sri Mangana dan para tetunggul Caruban


menyusun siasat penyerbuan besar-besaran, Ki Gedeng
Leuwimunding dan pasukannya justru sedang merayakan pesta
kemenangan. Di tengah hujan yang terus menerus mengguyur
bumi, prajurit Leuwimunding terlihat menari-nari dan melantunkan
tembang sambil menenggak arak dan merangkul ronggeng.
Mereka tenggelam dalam sukacita dimabuk kemenangan. Mereka
1449
seolah-olah tidak peduli kawan-kawan mereka dihancurkan
pasukan Caruban di Tegal Karang. Mereka terus menari-nari,
menembang, menenggak arak, berteriak-teriak, menikmati
kehangatan tubuh ronggeng dan perempuan penghibur.

Ketika pesta merayakan kemenangan itu sudah berlangsung


empat hari, Ki Gedeng Leuwimunding berencana
menghentikannya dan menata kembali pasukannya untuk
pertempuran berikutnya. Kemenangan mutlak yang diraihnya di
hutan Kepuh telah membuat dadanya membusung dan kepalanya
membesar. Pujian dan sanjungan yang diterimanya dari Prabu
Chakraningrat dan tetunggul Rajagaluh telah membuatnya mabuk
kebesaran dan lupa diri. Itu sebabnya, dengan keyakinan diri
berlebih ia menyatakan kepada para tetunggul Rajagaluh bahwa
pada hari kelima kemenangannya, ia akan menggempur Kuta
Caruban. “Aku sudah beroleh kepastian bahwa Kuta Caruban
sesungguhnya kosong ditinggalkan penduduknya. Dengan
pasukan yang aku pimpin, ditambah pasukan yang dipimpin Ki
Demang Surabangsa dan Ngabehi Ardisora, aku yakin bisa
menghadiahkan kemenangan kepada Sang Prabu Chakraningrat,”
Ki Gedeng Leuwimunding berkata jumawa.

Kesombongan Ki Gedeng Leuwimunding ternyata tidak


berlangsung lama. Pada saat ia menghadiri jamuan yang diadakan
Adipati Kiban di Balai Witana Kadipaten Palimanan bersama para
tetunggul Rajagaluh, wajahnya menjadi pucat pasi ketika ia diberi
tahu oleh Pangeran Arya Mangkubhumi bahwa sekitar 15.000
orang prajurit Caruban sedang bergerak dari Tegal Karang menuju
1450
Glagahamba terus ke Babakan. “Menurut laporan para telik sandhi,
pasukan itu bergerak terus ke barat. Dan menurut dugaan,
pasukan itu akan menyerbu Leuwimunding,” kata Pangeran Arya
Mangkubhumi.

Ki Gedeng Leuwimunding yang saat datang ke Kadipaten


Palimanan terlihat membusungkan dada dan mendongakkan
kepala saat berjalan, tiba-tiba meringkuk tanpa daya mendengar
ucapan Pangeran Arya Mangkubhumi. Wajahnya pucat. Bibirnya
pun mendadak bergetar dan lututnya gemetaran. Kemudian
dengan suara tergagap-gagap ia menggumam, “Kalau demikian,
saya harus ke sana. Ya, ya, saya harus segera ke Leuwimunding.”

Itu memang harus engkau lakukan,” sergah Pangeran Arya


Mangkubhumi tak senang, “sebab jatuhnya Leuwimunding adalah
sama maknanya dengan jatuhnya Kutaraja Rajagaluh.”

“Bagaimana dengan rencana penyerbuan hamba ke Kuta


Caruban, o Pangeran?” tanya Ki Gedeng Leuwimunding untuk
menutupi kegentaran yang merayapi hatinya. “Apakah harus
dibatalkan?”

“Jika engkau menginginkan pasukanmu dijagal di sana,


berangkatlah ke Kuta Caruban.”

1451
“Dijagal?” Ki Gedeng Leuwimunding tercengang. “Bukankah Kuta
Caruban sudah kosong?”

“Bodoh kau!” teriak Pangeran Arya Mangkubhumi jengkel. “Yang


Dipertuan Caruban menyiagakan pasukan pilihan di kutarajanya.
Entah berapa ribu jumlahnya, yang jelas, pamanku yang cerdik dan
perkasa itu sengaja memasang jebakan untuk memerangkap
orang-orang sombong seperti engkau.”

“Kalau demikian, hamba mohon restu, Pangeran.” Ki Gedeng


Leuwimunding menyembah. “Hamba dan pasukan akan berangkat
ke Leuwimunding sekarang juga.”

“Berangkatlah,” kata Pangeran Arya Mangkubhumi dingin. “Kita


nanti bertemu di Leuwimunding karena pasukanku sudah
berangkat lebih dulu ke sana.”

1452
Panglima Puteri Caruban

Sementara Ki Gedeng Leuwimunding dan


pasukan beserta tetunggul Rajagaluh berpacu
menuju ke Leuwimunding, pasukan Caruban
Larang yang dipimpin Nyi Mas Gandasari
tanpa terduga berbalik arah ketika sampai di
hutan Gintung di utara Waringin. Pasukan
Caruban tidak melanjutkan perjalanan ke arah Leuwimunding,
sebaliknya mereka kembali ke Kadipaten Palimanan. Tanpa
menimbulkan suara, di bawah lindungan hutan yang lebat dan
kabut tebal serta bentangan malam yang hitam, pasukan itu
bergerak melintasi hamparan alang-alang, menyeberangi sungai,
dan menjelang tengah malam muncul kembali di Balerante yang
sudah ditinggalkan pasukan Rajagaluh sore hari sebelumnya.

Malam itu pangkalan pertahanan Balerante hanya dijaga oleh


sekitar tiga puluh orang prajurit sehingga tanpa kesulitan berarti
Balerante berhasil dikuasai pasukan Caruban. Satu regu
penyergap telah melumpuhkan para penjaga. Setelah
mengamankan keadaan, pasukan itu diperintahkan untuk
beristirahat. Sebab, dengan menguasai Balerante yang jaraknya
hanya dua tiga pal dari Kadipaten Palimanan, kemenangan
pasukan Caruban sudah terbayang di depan mata sehingga
mereka harus beristirahat mengumpulkan tenaga untuk
penyerangan esok hari.

1453
Malam itu ketika para prajurit dan tetunggul Caruban Larang
sedang beristirahat sambil membayangkan kemenangan esok
hari, di tengah liputan kabut bergumpal dan bentangan selimut
kegelapan, penduduk Palimanan, tidak kenal tua, muda, laki-laki,
perempuan, dan bahkan anak-anak, tiba-tiba keluar beramai-ramai
dari rumah masing-masing dengan membawa obor, parang, arit,
cangkul, bedog, pentung, dan pisau. Mereka berjalan dalam iring-
iringan kecil menuju ujung desa dan bergabung dengan tetangga
lain yang sudah berkumpul di sana.

Mereka berbicara satu sama lain dan kemudian membentuk


kerumunan-kerumunan kecil seperti kawanan lebah yang
mendengung-dengung di sarangnya.

Kerumunan penduduk itu terjadi karena tersebar kabar yang


mengatakan saat matahari terbit di cakrawala timur esok pagi, Sri
Mangana akan pergi ke Kadipaten Palimanan dengan diiringi
pasukannya yang gagah perkasa. Bagaikan memiliki terkaman
daya sihir yang dahsyat, kabar kedatangan Sang Ratu Caruban
Larang itu menggerakkan seluruh penduduk Palimanan keluar
rumah. Mereka seolah-olah dicekam oleh daya pukau yang
dahsyat sehingga mereka ingin menekuk lutut di hadapan Duli
Paduka Yang Mulia Sri Mangana, ratu yang mereka cintai dan
hormati. Hasrat sangat kuat untuk menyembah sang ratu membuat
mereka tak kenal tengah malam, tak kenal gelap, tak kenal dingin,
di bawah selimut kabut yang pekat, mereka keluar dari rumah
masing-masing untuk menuju ke Kadipaten Palimanan.

1454
Malam yang membentangkan selimut hitam di langit Caruban telah
menjelmakan keindahan sangat menakjubkan ketika bentangan
cakrawalanya ditebari beribu-ribu obor yang menyala di desa-desa
yang terletak di sekitar Kadipaten Palimanan hingga desa-desa di
lereng Gunung Ceremai. Bagaikan kawanan kunang-kunang yang
terbang dalam kerumunan di tengah kegelapan malam, beribu-ribu
obor itu terlihat bergerak menuju satu arah. Mereka itulah
penduduk dari berbagai desa yang beriring-iringan menuju
Kadipaten Palimanan untuk menyambut kehadiran Sri Mangana
beserta pasukannya esok hari.

Kehadiran penduduk itu mengejutkan pasukan Caruban Larang


yang beristirahat di Balerante. Beberapa prajurit jaga dengan
tergopoh-gopoh melaporkan kejadian itu kepada Nyi Mas
Gandasari yang terheran-heran menyaksikan orang-orang desa
melewati Balerante. “Apakah yang sesungguhnya terjadi? Kenapa
mereka beramai-ramai menuju Kadipaten Palimanan? Apakah
mereka akan membela sang adipati untuk melawan kita?” tanya
Nyi Mas Gandasari ingin tahu.

“Kami sudah menanyai mereka, Nyi Mas, “ kata prajurit penjaga.

“Apa jawaban mereka?”

“Mereka hendak pergi ke Kadipaten Palimanan untuk menyambut


kehadiran Yang Mulia Sri Mangana. Kata orang, besok pagi Yang
1455
Mulia Sri Mangana akan ke Kadipaten Palimanan bersama
pasukannya.”

“O begitu.” Nyi Mas Gandasari terburu-buru menemui Syarif


Hidayatullah untuk membicarakan hal itu. Ternyata, baik Syarif
Hidayatullah maupun tetunggul Caruban Larang yang lain sudah
mengetahui peristiwa tak terbayangkan itu. Mereka akhirnya
bersepakat untuk membatalkan serangan kilat ke Kadipaten
Palimanan esok hari. Mereka tahu bahwa Kadipaten Palimanan
bakal kembali ke pangkuan Sri Mangana tanpa perlu
menumpahkan darah setetes pun.

Sementara itu, Arya Kiban Adipati Palimanan yang hanya dijaga


oleh sekitar seratus orang pengawal tidak dapat berkata-kata
ketika memperoleh laporan tentang gerakan beribu-ribu orang
yang berbondong-bondong menuju Kadipaten Palimanan. Ia
menduga ribuan orang yang bergerak ke Ndalem Kadipatennya itu
adalah pasukan Caruban yang dipimpin Sri Mangana. Arya Kiban
tiba-tiba merasa seolah-olah sedang mengalami mimpi buruk yang
menakutkan. Entah apa yang sedang terjadi, tiba-tiba saja ketika
ia berdeham menenangkan diri, ia seperti mendengarkan suara
dehamnya bergema di dalam relung-relung jiwanya. Ada semacam
kengerian dan kelengangan yang menerkam jiwanya yang tengah
diguncang ketakutan. Dan tanpa sadar, dengan suara bergetar ia
berkata kepada para pengawalnya, “Kita harus meninggalkan
kadipaten sekarang juga.”

1456
Tanpa menunggu waktu, para prajurit pengawal yang juga dicekam
ketakkutan itu berhamburan sibuk mengumpulkan istri-istri, anak-
anak, dan harta benda sang adipati. Arya Kiban yang gelisah
terlihat berdiri kebingungan di Balai Witana. Wajahnya pucat.
Dahinya penuh dengan butiran peluh. Tubuhnya basah. Dan
napasnya tersengal ketika di benaknya berkelebatan beribu-ribu
wajah prajurit Caruban yang menyeringai ganas. Wajah-wajah itu
beringas dan buas. Kemudian beribu-ribu mulut menjijikkan
dengan gigi bertaring tajam berkerumun dan mengepung
menggeram-geram seolah-olah hendak merobek-robek tubuhnya.
Bagai orang terbangun dari mimpi buruk, sang adipati berdiri
menggigil sambil menyandarkan tubuh pada tiang saka. Ia benar-
benar ketakutan. Dengan tatap mata nanar ia menyaksikan para
prajurit pengawalnya menyelamatkan harta bendanya dariNdalem
Kadipaten. Ia sudah memutuskan, apa pun yang terjadi ia harus
secepatnya menjauh dari sini.

Ketika beratus-ratus nyala obor sudah terlihat di sekitar alun-alun


Kadipaten Palimanan, Arya Kiban merasakan bulu kuduknya
meremang. Ia mendengar teriakan-teriakan marah dan caci maki
yang menghujatnya dengan kata-kata kotor yang pernah
didengarnya. Ia sadar bahwa tengara kebinasaan sedang
mengintai seiring hadirnya orang-orang yang sudah seperti
keranjingan setan itu. Bagai disentakkan dari tidur, ia dengan
kebingungan melompat ke atas tandu dan dilarikan oleh para
pengawalnya untuk menyusul rombongan pengawal lain yang
sudah berangkat terlebih dahulu membawa anak-anak dan istri-
istrinya.

1457
Anggapan Arya Kiban bahwa ia akan dapat lolos dari sergapan
musuh dengan secepatnya keluar lewat pintu belakang ternyata
keliru. Saat ia dan para pengawal berada pada jarak sekitar tiga
pal di barat Ndalem Kadipaten, ia menyaksikan beratus-ratus
bahkan beribu-ribu obor yang menyala laksana lautan api
bertebaran di segenap penjuru. Nyala obor itu makin lama makin
dekat ke arahnya dengan suara gemuruh derap kaki dan celoteh
yang menggema di kegelapan malam.

“Apa yang harus kita lakukan?” gumam Arya Kiban kebingungan.

“Yang Mulia harus menyamar,” kata kepala pengawal.

“Menyamar bagaimana? Menyamar sebagai apa?” Arya Kiban


memburu.

“Yang Mulia harus turun dari tandu,” kata kepala pengawal tegas.
“Kemudian melepas pakaian dan seluruh atribut adipati. Yang
Mulia harus menyamar sebagai penduduk desa.”

“Bagaimana dengan istri-istri dan anak-anakku?”

“Mereka juga harus menyamar.”

1458
Akhirnya, di tengah kengerian yang mencekam, Arya Kiban
beserta keluarga dan para pengawal memutuskan untuk
menyamar sebagai penduduk desa. Mereka melepas seluruh
pakaian dan perhiasan yang gemerlapan yang melumuri wajah dan
tangan dengan tanah basah. Mereka teraduk-aduk bersama-sama
dengan beribu-ribu orang yang bergerak dalam kerumunan-
kerumunan menuju Kadipaten Palimanan. Dan akhirnya, dengan
sangat susah payah sang adipati bersama rombongannya berhasil
meloloskan diri menuju arah Rajagaluh.

Pagi itu ketika matahari merangkak di ufuk timur terlihat


pemandangan yang menakjubkan di Kadipaten Palimanan. Sejauh
mata memandang, lautan manusia terhampar memenuhi seluruh
penjuru sejak Balai Witana hingga alun-alun, bahkan di luar
gerbang kadipaten. Mereka adalah penduduk Palimanan yang
datang ke tempat itu sejak malam untuk menghaturkan sembah
kepada junjungan mereka Sri Mangana. Hingga matahari naik
sepenggalah mereka baru diberi tahu jika Sri Mangana bersama
pasukannya akan muncul dari gerbang timur. Ketika akhirnya derit
roda kereta perang terdengar di gerbang timur kadipaten, semua
orang serentak mengarahkan pandangan ke sana.

Di bawah bayangan gerbang yang memanjang, terlihat


pemandangan yang menakjubkan semua orang: sebuah kereta
perang dari kayu berukir dengan hiasan emas yang ditarik empat
ekor kuda putih keluar dari gerbang diiringi beratus-ratus pasukan
berkuda yang diikuti beribu-ribu pasukan tombak. Di samping
kanan kereta perang itu terlihat panji-panji hitam bertuliskan
1459
kalimah La ilaha illa Allah Muhammad rasul Allah dalam bentuk
gambar harimau. Panji-panji itulah yang disebut “Macan Ali”,
pataka kebesaran Caruban Larang. Di bawah naungan payung
kutlima yang dipegang seorang pengawal ratu, Sri Mangana berdiri
tegak dengan surban dan jubah putih berkibaran. Tangan kirinya
memegang busur. Tangan kanannya memegang keris Kanta Naga
yang terselip di dadanya. Benderang cahaya matahari pagi yang
bersinar dari arah belakang, menjelmakan Sri Mangana seolah-
olah dewa perang yang turun ke bumi. Dan sebuah pemandangan
menakjubkan lain terpampang tatkala kereta perang Paksi Naga
Liman yang dikendarai Sri Mangana melaju melintasi alun-alun.
Bagaikan digerakkan oleh kekuatan raksasa tak terlihat, tiba-tiba
lautan manusia yang melimpah di alun-alun hingga Balai Witana
Kadipaten Palimanan itu serentak bersujud dan menyampaikan
puja dan puji kepada Ratu Sri Mangana; suaranya menggemuruh
sambung-menyambung memenuhi angkasa.

Raja adil disembah, raja lalim disanggah. Begitu kata pepatah.


Kehadiran Sri Mangana di Kadipaten Palimanan merupakan bukti
nyata dari kebenaran pepatah itu. Penduduk Palimanan yang sejak
lahir telah mengenal Sri Mangana sebagai ratunya terbukti tidak
dapat dibelokkan kiblat kesetiaannya oleh para petualang, seperti
Ki Gedeng Kiban, Ki Gedeng Tegal Karang, Ki Gedeng Kenanga,
Ki Demang Dipasara, dan Ki Demang Ardisora. Meski bertahun-
tahun para petualang itu menanamkan keyakinan bahwa ratu yang
harus disembah oleh penduduk Palimanan adalah Prabu
Chakraningrat Yang Dipertuan Rajagaluh, rasa tunduk dan
pengabdian mereka terbukti tetap terarah pada junjungan mereka
yang sebenarnya, Sri Mangana; sang ratu yang termasyhur adil
1460
dan bijaksana. Itu sebabnya, ketika mereka mendengar kabar
bahwa ratu mereka akan datang ke Kadipaten Palimanan dengan
pasukannya maka mereka pun menyambutnya dengan sukacita.
Bahkan, untuk menghadapi hal-hal yang tidak diinginkan, sejak
berangkat dari rumah mereka membawa berbagai jenis senjata.
Mereka bertekad akan berkorban jiwa dan raga untuk membela
sang ratu yang mereka junjung tinggi dan muliakan itu.

Abdul Jalil yang menunggang kuda di samping kereta perang Sri


Mangana hanya tersenyum sambil menggeleng-geleng kepala
saat menyaksikan beribu-ribu orang bersujud menyambut
kehadiran ayahandanya. Ia tiba-tiba disentakkan oleh kesadaran
bahwa gagasannya tentang masyarakat ummah dan wilayah al-
Ummah pada dasarnya adalah gagasan yang sangat bertentangan
dengan adat kebiasaan yang dianut penduduk bumi putera negeri
ini. Ia sadar, gagasan yang diilhami pembentukan masyarakat di
Yatsrib pada zaman Nabi Muhammad Saw. dan keempat sahabat
itu memiliki perbedaan mendasar dalam hal adat kebiasaan
masyarakat pendukungnya. Orang-orang Arab dan Yahudi, sejak
zaman Nabi Muhammad Saw. hingga sekarang tidak memiliki adat
kebiasaan bersujud kepada manusia, meski kepada seorang
maharaja. Sementara itu, di Bumi Pasundan dan Majapahit,
keyakinan tentang Dewaraja yang mewajibkan manusia untuk
menekuk lutut menyembah sesamanya justru merupakan
keniscayaan. Dengan demikian, menurut hematnya, dibutuhkan
kebiasaan yang lebih keras untuk mengubah adat kebiasaan
penduduk itu dengan resiko gagal sama sekali atau berhasil lewat
penyesuaian-penyesuaian.

1461
Meski tidak mengetahui apa yang berkecamuk di dalam benak
Abdul Jalil, Sri Mangana saat menerima para pemuka warga di
Balai Witana Kadipaten Palimanan menyatakan bahwa sejak saat
ini tatanan yang diberlakukan di Palimanan adalah sama dengan
tatanan yang diberlakukan di Caruban. Salah satu tatanan di
Caruban yang harus dijalankan saat itu juga adalah meninggalkan
adat kebiasaan penduduk untuk bersembah sujud di hadapan raja.
Masyarakat Caruban yang ingin menunjukkan hormat kepada
rajanya cukup dengan menghadap dan bersalaman sambil
mencium tangan raja. Para pemuka warga, tentu sangat terkejut
mendengar peraturan baru itu. Namun mereka tidak berani
menolaknya. Meski dengan terheran-heran, mereka menyatakan
ketundukan dan kesetiaan untuk mengikuti apa saja yang
ditetapkan oleh Sri Mangana. Bahkan, mereka menyatakan bahwa
ketundukan dan kesetiaan mereka tidak pernah luntur meski
selama bertahun-tahun berada di bawah tekanan Ki Gedeng Kiban
dan kawan-kawannya yang berkuasa dengan mengatasnamakan
warga Palimanan.

Sri Mangana memahami bahwa selama ini baik penduduk maupun


para pemukanya telah menjadi korban dari para penguasa
gadungan yang mengatasnamakan penduduk untuk meraih
kekuasaan. Lantaran itu, di hadapan para pemuka penduduk dan
seluruh yang hadir di Balai Witana Kadipaten Palimanan, ia
menetapkan keputusan bahwa wilayah Palimanan telah kembali ke
pangkuan Caruban Larang dan akan diatur seperti wilayah
Caruban Larang yang lain. Maksudnya, setiap penduduk
Palimanan yang kini disebut dengan nama masyarakat akan
mendapat jatah tanah secukupnya sebagai hak milik. Seperti
1462
penduduk Caruban Larang yang lain, masyarakat Palimanan
diperkenankan untuk memilih pemimpin di antara mereka sendiri.

Keputusan Sri Mangana itu disambut dengan sukacita oleh seluruh


penduduk. Dengan air mata bercucuran mereka menyampaikan
puja dan puji kepada ratu yang mereka junjung tinggi. Di tengah
semarak kebahagiaan yang meluap-luap itu, para penduduk
Palimanan seolah-olah lupa pada peraturan baru yang barusan
ditetapkan Sri Mangana: tanpa ada yang memerintah, mereka
secara serentak beramai-ramai bersujud dan memuji-muji Sri
Mangana sebagai raja yang adil dan bijaksana.

Sementara itu, kabar jatuhnya Kadipaten Palimanan tanpa


meneteskan darah setitik pun benar-benar membuat mulut para
tetunggul Rajagaluh bungkam. Mereka tidak bisa berkata sesuatu
sebab mereka benar-benar merasa terkecoh oleh siasat
cemerlang Sri Mangana yang memancing mereka dengan taktik
seolah-olah akan menyerang Leuwimunding. Dan mulut mereka
pun makin bungkam manakala mendapat laporan susulan bahwa
beberapa jenak setelah menguasai Kadipaten Palimanan, Sri
Mangana beserta semua pasukannya telah bergerak ke Rajagaluh
dan bahkan mengepung Kutaraja dari timur, selatan, dan barat.

“Kita memang tidak bisa berbuat apa-apa.” Pangeran Arya


Mangkubhumi akhirnya membuka mulut meski terlihat tak
bersemangat. “Tetapi, sudah menjadi tugas kita untuk
menyelamatkan Sri Baginda dari kepungan musuh.”
1463
“Tapi Yang Mulia, hamba mendapat laporan bahwa pasukan-
pasukan yang membantu Caruban berasal dari Demak dan
Majapahit. Malahan, pasukan dari Majapahit katanya
menggunakan senjata setan jelmaan naga api. Sepanjang malam
senjata-senjata setan itu memuntahkan api dari mulutnya sehingga
membakar hutan di selatan kutaraja,” kata Ki Gedeng
Leuwimunding.

“Bagaimana engkau percaya senjata itu jelmaan naga api?” tanya


Pangeran Arya Mangkubhumi.

“Kata orang, senjata itu memiliki mulut seperti naga yang bisa
menyemburkan api. Senjata itu hanya digunakan pada malam hari.
Jikalau pagi datang senjata-senjata itu dimasukkan ke dalam
kotak-kotak dan diselimuti kain hitam. Bukankah hanya setan yang
keluar pada malam hari?” kata Ki Gedeng Leuwimunding.

Pangeran Arya Mangkubhumi terdiam. Ia sendiri sebenarnya


bingung mendengar cerita-cerita menakutkan tentang senjata
setan bernama gurnita yang digunakan pasukan Majapahit asal
Terung. Ia tidak tahu senjata pusaka apa sebenarnya gurnita itu.
Menurut kabar yang didengarnya, senjata-senjata setan itu
sebesar pohon dan memiliki mulut seperti naga yang
mengeluarkan api. Sebagaimana kabar yang menebar, ia diam-
diam meyakini bahwa senjata bernama gurnita itu memang pusaka
yang digerakkan oleh daya sakti sebangsa ruh naga api.
Kayakinannya itu makin kuat manakala ia mendapat laporan
1464
bahwa pemimpin pasukan Majapahit itu adalah Ki Wedung,
pendeta bhairawa pemimpin ksetra yang baru saja memeluk
agama Islam.

Dengan meyakini bahwa pasukan Majapahit menggunakan


senjata berkekuatan setan, Pangeran Arya Mangkubhumi sadar
bahwa cepat atau lambat kekuatan yang dimiliki Rajagaluh akan
runtuh. Sebab, diakui atau tidak diakui, semangat pasukan yang
dipimpinnya mengalami keruntuhan akibat menyebarnya cerita
tentang kehebatan senjata setan itu. Namun, ia juga sadar bahwa
menyelamatkan ayahandanya dari kebinasaan adalah kewajiban
utama yang tak bisa diabaikannya. Itu sebabnya, dengan
mengancam akan menghukum mati siapa saja di antara tetunggul
dan prajurit Rajagaluh yang meninggalkan tugas, ia
memerintahkan penyerangan besar-besaran terhadap pasukan
Caruban yang mengepung Rajagaluh. “Ki Gedeng Leuwimunding
menggempur pasukan musuh yang di sebelah timur. Celeng Igel
menggempur pasukan musuh di sebelah barat. Aku sendiri akan
menerobos ke kutaraja dari arah utara. Apa pun yang terjadi, raja
harus diselamatkan dari musuh,” kata Pangeran Arya
Mangkubhumi.

“Besok pagi, seiring terbitnya sang surya, hamba akan


menggempur musuh,” kata Ki Gedeng Leuwimunding
bersemangat. “Hamba berharap pasukan dari Sumedang,
Maleber, Taraju, Panembong, dan Palimanan berkenan hamba
pimpin sehingga hamba dapat menjalankan tugas dengan sebaik-
baiknya.”
1465
“Engkau tidak perlu ragu tentang itu. Aku sudah memberi perintah
kepada para kepala pasukan agar mematuhimu. Tetapi, yang
terpenting engkau harus meyakinkan pasukanmu bahwa jumlah
kita lebih banyak dibanding jumlah musuh. Kita masih memiliki
sedikitnya 50.000 orang prajurit, sedangkan kekuatan pihak
Caruban kurang dari 20.000 orang. Jadi, dengan sedikit memacu
semangat pastilah kita akan meraih kemenangan. Yakinkan
mereka bahwa kemenangan akan berpihak kepada kita,” kata
Pangeran Arya Mangkubhumi.

“Hamba akan menjalankan tugas sebaik-baiknya,” Ki Gedeng


Leuwimunding menyembah. “Hamba mohon restu, mudah-
mudahan pasukan yang hamba pimpin berhasil meraih
kemenangan.”

Kabut pagi masih menyelimuti lembah yang memisahkan Sungai


Waringin dan Kutaraja Rajagaluh ketika satu detasemen pasukan
yang dipimpin Ki Demang Surabangsa mengendap-ngendap
menuruni tebing sungai dan menyusuri alirannya ke arah hulu. Di
dalam sungai itu mereka berjalan tertatih-tatih di atas bebatuan
yang licin. Semangat di dalam jiwa mereka meningkat karena yakin
akan mudah mengalahkan musuh yang tidak dibantu oleh
kekuatan setan jika bertempur pada siang hari. Tugas mereka pagi
itu adalah menghancurkan kotak-kotak setan yang dijadikan
senjata andalan pasukan Majapahit.

1466
Usaha pasukan Rajagaluh untuk menyergap pasukan Majapahit
yang bersenjata naga setan dilakukan setelah para tetunggul
Rajagaluh mendapat laporan tempat senjata-senjata setan itu
“tidur”. Tanpa menguji ulang kesahihan laporan itu, Pangeran Arya
Mangkubhumi yang sudah dicekam kebingungan memerintahkan
Ki Demang Surabangsa untuk menghancurkan senjata-senjata
setan itu pada pagi hari, yakni saat setan-setan tidur.

Ketika kabut mulai menipis, mereka mendaki tebing sungai. Sambil


merangkak mereka merayap ke arah hutan di timur sungai. Mereka
membayangkan tidak lama lagi bakal menemukan kotak-kotak
setan pasukan Majapahit yang sedang tidur. Namun, saat mereka
sampai di tepi hutan dan mendongakkan kepala ke atas, bukan
kotak-kotak setan yang mereka temukan melainkan beratus-ratus
wajah beringas dengan mata menyala dan mulut menyeringai yang
memandang ganas ke arah mereka. Dan yang paling
mencengangkan, tangan-tangan dari pemilik wajah beringas itu
menggenggam sebilah tombak yang diarahkan kepada mereka.

“He, kenapa berhenti?” teriak seorang prajurit Rajagaluh dari


tebing sungai. “Ayo jalan terus!”

Tidak ada jawaban dari arah depan. Beberapa jenak suasana


terasa lengang dan mencekam. Namun, sejurus kemudian
terdengar teriakan yang diikuti menghamburnya para prajurit yang
merayap di dekat hutan ke arah sungai.

1467
“Lari!”

“Kita dijebak!”

Berpuluh-puluh prajurit yang sudah menirap di atas rumput terkejut


dan tidak dapat lagi menahan diri. Sambil berteriak-teriak mereka
berdiri dan mengambil langkah seribu mengikuti kawan-kawannya.
Mereka berlari tanpa aturan, saling tabrak, saling dorong, saling
desak, saling sikut, dan saling mengumpat. Suasana di atas tebing
sungai benar-benar kacau. Semua prajurit Rajagaluh berlomba
untuk lari sekencang-kencangnya menuruni tebing. Namun malang
tak dapat dielakkan, pasukan Majapahit asal Terung yang sudah
menunggu sejak pagi itu tidak menyia-nyiakan kesempatan.
Dengan jeritan perang menggetarkan, mereka melemparkan
tombak-tombak ke arah pasukan Rajagaluh yang semrawut di sisi
timur sungai.

Terdengar pekik tertahan ketika tombak-tombak yang dilempar


pasukan Terung menghujam punggung para prajurit Rajagaluh
hingga tembus ke dada. Setelah itu terlihat pemandangan
mengerikan; berpuluh-puluh tubuh bertumbangan tanpa nyawa di
atas tanah berumput. Darah menggenang dan lengking kematian
terdengar sambung-menyambung diikuti ratap kesakitan.

Para prajurit Terung sendiri adalah orang-orang yang sudah


terlatih dalam pertempuran. Mereka sangat terampil menggunakan
1468
senjata. Begitu selesai melemparkan tombak-tombaknya, mereka
menerjang musuh sambil mencabut keris yang terselip di perut.
Dan bagaikan orang keranjingan setan, mereka mengamuk dan
membinasakan setiap musuh yang berada di dekatnya. Para
prajurit Rajagaluh yang lari berdesak-desak di dalam aliran sungai
mereka jadikan sasaran utama amukan. Tebing sungai yang
semula hijau dirambati rumput dan sulur-suluran tiba-tiba berubah
warna. Aliran sungai yang semula jernih mendadak menjadi
merah. Dalam peristiwa mengerikan itu Ki Demang Surabangsa
tewas terbunuh. Mayatnya terlihat meringkuk di antara tumpukan
mayat prajurit yang melindunginya.

Ketika bala bantuan Rajagaluh yang dipimpin Ki Demang Dipasara


datang, prajurit-prajurit Majapahit serentak berbalik arah dan
menghilang di antara rimbunan hutan dengan meninggalkan
ratusan mayat bergelimpangan di aliran sungai. Rupanya mereka
sadar bahwa tugas utama mereka adalah menjaga kotak-kotak
berisi senjata gurnita, bukan bertempur muka lawan muka dengan
pasukan musuh.

Kehancuran pasukan Rajagaluh yang dipimpin Ki Demang


Surabangsa dialami juga oleh pasukan Rajagaluh yang lain.
Celeng Igel, perwira asal Sumedang yang memimpin pasukan
Sumedang dan Panembong, lari terbirit-birit ketika pasukannya
dihancurkan oleh pasukan Naga Laut yang dipimpin Abdul Halim
Tan Eng Hoat di garis pertahanan barat. Ngabehi Ardisora yang
memimpin pasukan asal Taraju dan Maleber dihancurkan oleh
pasukan Liman Bhuwana yang dipimpin Syarif Hidayatullah di garis
1469
pertahanan timur. Bahkan, pasukan induk Rajagaluh yang dipimpin
Ki Gedeng Leuwimunding yang berhasil menerobos pertahanan
pasukan Caruban di garis pertahanan timur dapat dipukul mundur
oleh pasukan Nyi Mas Gandasari yang dibantu pasukan Pangeran
Soka.

Dengan semua kekalahan itu tampaknya tidak ada yang bisa


dilakukan pasukan Rajagaluh, kecuali bertahan di dalam kubu
pertahanan kutaraja. Para tetunggul Rajagaluh sudah bertekad
untuk mempertahankan kutaraja sampai titik darah yang
penghabisan. Batang-batang pohon dan berbagai jenis benda
telah mereka jadikan halang rintang di jalan-jalan yang dijaga oleh
prajurit-prajurit pemanah. Kediaman para pangeran yang telah
dikosongkan mereka jadikan kubu pertahanan. Bahkan, tumpukan-
tumpukan batu di sepanjang dinding yang mengitari Bangsal
Kaprabon mereka siapkan sebagai senjata cadangan.

Menghadapi siasat Rajagaluh yang menggelar rencana perang


kuta, Sri Mangana hanya tersenyum menerima laporan-laporan
dari para pengintainya. Selaku agra-senapati Caruban Larang, ia
tidak berpikir sedikit pun untuk memerintahkan penyerbuan besar-
besaran pasukannya ke kutaraja Rajagaluh yang sudah terkepung
itu. Ia bahkan menjalankan siasat yang tak pernah terpikirkan
lawan, yakni membiarkan seluruh penghuni kutaraja Rajagaluh
dicekam kecemasan dan ketakutan akibat sepanjang malam
mendengar suara gemuruh senjata gurnita yang memekakkan
telinga dan mengguncang dada. Secara diam-diam ia meminta
kepada sahabat-sahabatnya para mantan pendeta bhairawa untuk
1470
masuk ke kuta pada malam hari dan menculik satu demi satu
prajurit Rajagaluh yang berjaga malam.

Siasat Sri Mangana meruntuhkan semangat lawan ternyata


menunjukkan hasil gemilang. Setelah empat hari dibingungkan
oleh gemuruh senjata setan gurnita, penduduk Kutaraja Rajagaluh
dicekam oleh rasa takut akibat munculnya makhluk-makhluk
sejenis raksasa yang berkeliaran di dalam kuta dan menculik satu
atau dua prajurit Rajagaluh untuk dijadikan santapan. Meski belum
satu pun korban penculikan itu ditemukan, cerita-cerita mengerikan
tentang makhluk-makhluk raksasa itu telah berkembang
sedemikian rupa hingga membuat mereka yang mendengar
terbelalak ketakutan.

Dicekam kecemasan, ketakutan, kebingungan, dan kekurangan


tidur, para prajurit Rajagaluh yang bertahan di kutaraja terombang-
ambing dalam ketidakpastian. Ketika ketidakpastian itu makin
menggumpal laksana awan hitam, diam-diam para prajurit
Rajagaluh melarikan diri dalam kelompok-kelompok kecil
meninggalkan kutaraja. Sejumlah perwira yang kebingungan diam-
diam membawa pergi keluarganya dari kutaraja dengan menyamar
sebagai penduduk biasa. Untuk meyakinkan pasukan Caruban
yang mengepung kuta bahwa mereka penduduk biasa, mereka
keluar dari kuta dengan membawa tikar, sirih, padi, ubi, ayam, dan
kambing.

1471
Ketika para tetunggul Rajagaluh memperoleh laporan tentang
pelarian prajurit-prajurit tersebut, keadaan sudah parah.
Persediaan gabah di lumbung kraton lebih dari separo raib.
Sejumlah pos penjagaan dijaga oleh orang-orangan dari jerami.
Tombak, pedang, panah, busur, dan gada bertumpuk-tumpuk di
sejumlah barak. Prajurit yang tersisa pun semangatnya sangat
merosot. Dan saat dihitung, jumlah mereka sudah berkurang lebih
dari separo, termasuk perwira-perwira yang lari bersama
keluarganya.

Kabar larinya para prajurit dari kutaraja itu berusaha ditutup keras
oleh para tetunggul Rajagaluh. Perintah Pangeran Arya
Mangkubhumi “bersikaplah seolah-olah tidak terjadi sesuatu agar
musuh tidak mengetahui peristiwa memalukan ini” dijalankan
dengan patuh oleh prajurit yang tersisa. Namun, tetap juga kabar
memalukan tersebut menyebar bagaikan sekam diterbangkan
angin, terutama saat perwira-perwira yang menyingkir tertangkap
oleh prajurit Caruban yang curiga dengan barang bawaan mereka
yang mewah. Dari mulut merekalah kabar itu menyebar.

Kendati sudah mengetahui kabar larinya para prajurit dari Kutaraja


Rajagaluh, Sri Mangana tidak mengambil tindakan apa pun. Arus
berita yang menumpuk di kemahnya dibiarkan menggunung.
Tampaknya sang kalifah ingin mengalahkan musuh tanpa
menumpahkan banyak darah. Semakin sedikit darah yang tumpah
akan semakin baik, begitu ia berkata kepada para penasihatnya.

1472
Para penasihat kalifah seperti Pangeran Raja Sanghara, Syaikh
Ibrahim Akbar, Syaikh Lemah Abang, dan Syaikh Bentong dapat
memahami perasaan sang kalifah yang tidak cukup tega untuk
menumpahkan darah Prabu Chakraningrat dan keluarganya, yang
bagaimanapun adalah saudara sedarah dan sedagingnya. Namun
beda dengan para penasihat, para tetunggul Caruban yang
bertempur di medan perang tidak memahami pemikiran dan
perasaan Sri Mangana. Mereka bersikukuh memohon agar sang
kalifah secepatnya memerintahkan penyerangan ke kubu
pertahanan musuh yang sedang lemah. Dengan semangat
berkobar-kobar mereka menyampaikan alasan-alasan tentang
pentingnya serangan akhir ke kutaraja musuh untuk meraih
kemenangan gemilang. “Jika kita berhasil menduduki Rajagaluh,
berarti kita mencatat sejarah bahwa inilah kemenangan pertama
umat Islam di negeri ini,” kata Pangeran Sabrang Lor didukung
tetunggul yang lain.

Akhirnya, setelah didesak dari berbagai sisi Sri Mangana


menyetujui serangan besar-besaran terhadap Kutaraja Rajagaluh
yang sudah terkepung itu. Dengan dada dikobari kebanggaan,
mereka kemudian bermusyawarah merencanakan siasat
penyerbuan. Berdasar laporan para pengintai, mereka mengetahui
bahwa titik terlemah dari pertahanan Rajagaluh adalah di gapura
alit yang terletak di utara kutaraja. Meski parit yang melingkari
gapura alit lebih luas dan jaraknya lebih jauh dibanding parit lain,
penjagaan di tempat itu amat lemah karena pos-pos jaganya
ditunggui orang-orangan dari jerami.

1473
Rencana yang dirancang manusia sering kali meleset jauh dari
harapan. Beda yang dibayangkan dalam angan-angan, beda pula
yang dihadapi dalam kenyataan. Ketika beribu-ribu pasukan
Caruban mulai menyerbu Kutaraja Rajagaluh, terlihatlah manusia
mengepung dari selatan, timur, barat, dan utara laksana
gelombang samudera mengepung pulau karang di tengah lautan.
Umbul-umbul, bendera, panji-panji, dan tombak teracung naik dan
turun bagaikan hutan diterpa angin. Pekik peperangan
menggemuruh laksana bukit runtuh. Kaki kuda berlomba dengan
kaki para prajurit menuju gerbang di empat penjuru kuta dan yang
terbesar di gapura alit di utara kuta.

Ketika cipratan air terdengar dari parit yang terinjak ribuan pasang
kaki, disusul prajurit-prajurit yang berebut masuk membelah air
menuju ujung parit hingga air merendam dada mereka, terjadi
peristiwa yang mencengangkan dan membuat terbelalak mata
para penyerbu. Saat itu para penyerbu mendadak terpaku serentak
bagai orang kebingungan dan kehilangan akal. Mereka tertegun-
tegun bagaikan sedang berada di alam mimpi. Darah mereka
tersirap manakala menyaksikan air yang menggenangi parit di
sekeliling baluwarti itu menggelegak panas. Beberapa prajurit yang
berada di garis depan terlihat berlari-lari menjauhi parit seperti
orang tersiram air panas. Yang lebih aneh lagi, mereka
menyaksikan dinding-dinding baluwarti yang terbuat dari kayu
kusam dan berlumut di depan mereka tiba-tiba hilang dari
penglihatan. Mereka merasa seolah-olah telempar ke suatu dunia
lain yang tak mereka kenal.

1474
Menghadapi kenyataan mencengangkan itu, para prajurit Caruban
yang sebagian besar belum terbebas sama sekali dari kekuasaan
takhayul tidak dapat menahan diri. Sambil berteriak-teriak
ketakutan mereka berhamburan melarikan diri ke garis belakang.
Para kepala pasukan yang berteriak-teriak memerintahkan mereka
untuk mundur secara teratur tidak digubris sama sekali. Prajurit
Caruban terus berlarian sambil melolong-lolong dengan wajah
pucat dan peluh bercucuran menyimbah tubuh.

Kegagalan serangan besar-besaran pasukan Caruban itu


membingungkan para tetunggul dan bahkan Nyi Mas Gandasari
sendiri selaku panglima. Mereka segera berkumpul di kemah Sri
Mangana untuk memohon petunjuk bagaimana mengatasi
masalah membingungkan tersebut. Mereka tidak tahu kekuatan
sihir apa sebenarnya yang digunakan oleh para tetunggul
Rajagaluh hingga membuat para penyerbu lari terbirit-birit
ketakutan.

Sri Mangana yang sejak awal tidak berminat menyerbu Kutaraja


Rajagaluh terlihat diam menghadapi para tetunggulnya yang
kebingungan. Beberapa jenak kemudian, sambil menarik napas
panjang ia berkata, “Sesungguhnya, tanpa diserbu pun Rajagaluh
akan jatuh. Tetapi kita tidak cukup memiliki kesabaran untuk
menunggu barang tiga atau empat hari lagi. Kita cenderung
terbawa perasaan bangga diri dan menganggap remeh lawan. Kini,
setelah gagal, apa yang harus kita lakukan untuk memulihkan
semangat prajurit kita yang runtuh?”

1475
“Kami merasa bersalah, Pamanda Ratu,” ucap Pangeran Sabrang
Lor lirih. “Ini akan menjadi pelajaran bagi kami selanjutnya.
Sekarang kami memang kebingungan karena tidak mampu
memulihkan semangat prajurit yang runtuh. Kami mohon petunjuk
dan perintah dari Pamanda Ratu untuk mengatasi hal ini.”

Sri Mangana diam. Ia merenungkan rangkaian cerita kegagalan


yang sulit diterima nalar itu. Sebagai orang yang pernah
menggeluti ajaran bhairawa, ia menangkap sasmita bahwa
peristiwa semacam itu hanya mungkin terjadi akibat daya sakti
sebuah Sangga Kamulan, terutama daya sakti yang terpancar dari
Palinggih. Di Palinggih itulah sakti dari Purusa dan Atma yang
disebut Dewi Mayasih memancarkan daya kekuatan gaibnya.
Rupanya, di Palinggih Sangga Kamulan itulah daya sakti Dewi
Mayasih memancar ke empat penjuru sebagai Ratu Tangkep
Langit, Ratu Teba, Ratu Jalawung, dan Ratu Pangandangan
sehingga membuat para penyerbu kebingungan. Ya, daya sakti
Dewi Mayasih itulah yang telah menggagalkan serbuan besar-
besaran pasukan Caruban ke Kutaraja Rajagaluh.

Beberapa jurus tenggelam dalam renungan dan memahami akar


masalah, Sri Mangana tanpa terduga tiba-tiba memerintahkan
Pangeran Soka untuk menemui pihak Rajagaluh. Pangeran Soka
ditugaskan menyampaikan pesan Sri Mangana kepada Prabu
Chakraningrat. Setelah Pangeran Soka pergi ke Rajagaluh, Sri
Mangana mendaulat Nyi Mas Gandasari untuk mewakilinya
merundingkan perdamaian dengan pihak Rajagaluh. “Pergilah
engkau menemui Prabu Chakraningrat di kratonnya. Bertindaklah
1476
atas namaku untuk mengajak dia berunding tentang kemungkinan
damai antara Caruban Larang dan Rajagaluh.”

Nyi Mas Gandasari dengan takzim menerima tugas itu. Namun,


para tetunggul Caruban sangat terkejut dengan keputusan yang
mereka anggap tidak lazim. Mereka terheran-heran dan saling
pandang seolah berkata, “Bagaimana mungkin Caruban yang
sudah berada di atas angin tiba-tiba mengirim utusan untuk
merundingkan perdamaian? Bukankah dengan satu pukulan saja
Rajagaluh akan tersungkur?

Meski terheran-heran dengan keputusan Sri Mangana, tampaknya


para tetunggul Caruban tidak ada yang berani mengungkapkan
rasa penasarannya itu. Tampaknya mereka masih ingat
bagaimana saat mereka mendesakkan keinginan untuk menyerbu
ke Rajagaluh yang berakhir dengan kegagalan itu. Lantaran itu,
mereka hanya menunggu hasil dari keputusan kalifah Caruban
tersebut. Demikianlah, dengan didampingi Ki Waruanggang, Ki
Tameng, Ki Tedeng, dan Ki Sukawiyana, Nyi Mas Gandasari pergi
ke Kuta Rajagaluh untuk bertemu dengan Prabu Chakraningrat.

Kabar yang disampaikan Pangeran soka tentang kedatangan Nyi


Mas Gandasari ke kraton Rajagaluh seketika menggemparkan
pihak Rajagaluh. Para prajurit menari-nari kegirangan dan berebut
ke gerbang selatan untuk melihat dari dekat panglima puteri
Caruban yang sudah melegenda kecantikannya. Malahan, para
tetunggul yang penasaran dengan kabar kecantikan Nyi Mas
1477
Gandasari berebut ingin mendampingi Prabu Chakraningrat dalam
perundingan damai itu.

Kegemparan yang terjadi di Kutaraja Rajagaluh mencapai puncak


ketika suatu pagi Nyi Mas Gandasari dengan didampingi Pangeran
Soka dan dikawal empat prajurit bertombak muncul di gerbang
selatan. Dengan dandanan mengagumkan bak seorang bidadari,
Nyi Mas Gandasari melangkah dengan anggun melewati gerbang.
Para prajurit yang berdesak-desak di sepanjang kanan dan kiri
jalan terlihat berwajah tolol dengan mulut terngaga ketika
memandang Nyi Mas Gandasari berjalan perlahan menuju ke
Bangsal Kaprabon. Bahkan saat tubuh Nyi Mas Gandasari dan
rombongan lenyap di balik pagar, mereka masih terperangah
saling pandang kemudian menggeleng-gelengkan kepala sambil
mendecakkan mulut.

Ternyata bukan hanya para prajurit dan perwira Rajagaluh yang


terpukau oleh daya pesona kecantikan Nyi Mas Gandasari. Prabu
Chakraningrat yang sudah uzur pun tidak mampu
menyembunyikan hasrat hatinya yang terpesona dan terkagum-
kagum pada kecantikan Nyi Mas Gandasari sehingga lupa jika
nyawanya sedang diintai maut. Saat bertemu dengan Nyi Mas
Gandasari di Bangsal Kaprabon, Prabu Chakraningrat sedikit pun
tidak menyinggung masalah perundingan damai. Bagaikan
seseorang yang berhasrat membeli perhiasan yang indah, sang
Prabu menanyai Nyi Mas Gandasari tentang ini dan itu, terutama
asal usul negeri dan keluarganya. Bahkan, tanpa rasa malu sedikit
pun sang raja yang jika berbicara sering terbatuk-batuk itu
1478
menyampaikan lamaran agar Nyi Mas Gandasari bekenan menjadi
istri kesayangannya. “Jika engkau bersedia menjadi istriku, o
Cantik,” kata Prabu Chakraningrat terbatuk-batuk. “Apa pun yang
engkau inginkan akan aku penuhi. Seluruh kraton ini beserta isinya
akan menjadi milikmu,” katanya merayu.

Nyi Mas Gandasari sebenarnya marah dengan tindakan Prabu


Chakraningrat yang dianggapnya tidak tahu diri itu. Namun demi
menjalankan tugas dari ayahanda angkatnya, ia harus berpura-
pura sangat bersukacita menerima lamaran laki-laki tua bangka itu.
Dengan senyum yang dipaksakan ia berkata, “Hamba menerima
lamaran Paduka dengan sangat gembira. Tetapi sebelum
pernikahan dilakukan, sebagaimana kelaziman adat kebiasaan,
hamba ingin melakukan pemujaan ke Sangga Kamulan leluhur
paduka. Hamba ingin memohon perkenan dan restu arwah para
leluhur Rakanda Prabu agar kehadiran hamba diterima.”

Prabu Chakraningrat merasakan hatinya diguyur air dingin dan


nyawanya seolah terbang ke angkasa mendengar jawaban Nyi
Mas Gandasari, terutama saat ia dipanggil dengan sebutan
“Rakanda Prabu”. Tanpa menunggu waktu dan tanpa berpikir lebih
jauh, ia memperkenankan dan bahkan mengantar sendiri Nyi Mas
Gandasari ke Sangga Kamulan. Ketika beberapa pengawal raja
mendekat, dihardiknya dengan kasar. Akhirnya, hanya Prabu
Chakraningrat, Nyi Mas Gandasari, Pangeran Soka, beserta
keempat pengawalnya yang pergi ke Sangga Kamulan yang
terletak di dalam puri kedaton.

1479
Sangga Kamulan, tempat arwah leluhur Prabu Chakraningrat
dipuja, adalah sebuah bangunan suci yang terletak di bagian utara
puri. Panjangnya sekitar empat belas depa, lebar tiga belas depa,
dan dilingkari tembok bata setinggi tiga depa. Di dalam Sangga
Kamulan terdapat empat bangunan utama, yaitu Kamulan,
Palinggih, Angrurah, dan Pahyasan. Satu-satunya pintu masuk ke
Sangga terletak di selatan dan disebut pamedalan. Di Sangga
Kamulan itulah ibunda, kakek, dan nenek Prabu Chakraningrat dari
pihak ibu dipuja sebagai Dewa Pitara.

Karena Sangga Kamulan adalah bangunan suci yang hanya boleh


dimasuki raja dan keluarga maka Pangeran Soka dan keempat
pengawal Nyi Mas Gandasari tidak diperkenankan masuk. Mereka
diminta menunggu di depan Pamedalan. Nyi Mas Gandasari yang
bakal menjadi keluarga raja tampak kebingungan karena baru
pertama kali ia berada di suatu Sangga Kamulan. Ia tidak tahu di
mana letak bangunan Palinggih yang dimaksud oleh Sri Mangana.
Ia menoleh ke arah pamedalan untuk meminta petunjuk kepada
para pengawalnya yang berdiri di depan gapura. Dengan isyarat
tangan, salah satu pengawal yang tidak lain dan tidak bukan
adalah Ki Tameng menunjuk letak Palinggi itu tepat di utara sangga
yang berseberangan dengan gapura pamedalan.

Prabu Chakraningrat yang sudah dimabuk pesona tampaknya


sudah tidak memperhatikan gerak-gerik Nyi Mas Gandasari yang
mencurigakan. Bahkan saat Nyi Mas Gandasari mengangkat
kandaga emas (peti kecil) di atas Palinggih, Prabu Chakraningrat

1480
tidak mengetahuinya karena pandangannya terarah pada pinggul
Nyi Mas Gandasari.

Prabu Chakraningrat baru tersadar dirinya telah tertipu ketika ia


melihat Nyi Mas Gandasari membalikkan badan. Ia terkejut bukan
alang kepalang melihat kandaga emas di Palinggih sudah berada
di pelukan Nyi Mas Gandasari. Namun sebelum ia sempat berbuat
sesuatu, Nyi Mas Gandasari sudah melayangkan pukulan
menyilang ke arah dagu kanannya. Tanpa sempat berteriak,
penguasa Rajagaluh yang sudah tua itu terbanting tubuhnya ke
tanah dan pingsan. Sementara itu, dengan gerakan trengginas
bagaikan burung sikatan yang lincah, Nyi Mas Gandasari melesat
keluar gapura pamedalan.

Rupanya, semua peristiwa yang terjadi di dalam Sangga Kamulan


tidak luput dari intaian para pengawal raja yang diam-diam
mengikuti ke Sangga Kamulan, meski telah dihardik agar
menyingkir oleh sang raja. Saat Nyi Mas Gandasari baru
menginjakkan kaki di luar gapura pamedalan, teriakan-teriakan
para pengawal raja itu sudah terdengar sahut-menyahut dan
sambung-menyambung ke segenap penjuru. Tak kurang dari
sepuluh pengawal bersenjata lengkap terlihat berdiri menghadang
di depan gapura pamedalan.

Andaikata para pengawal Nyi Mas Gandasari adalah prajurit biasa,


mungkin akan terjadi pertempuran sengit. Namun, para pengawal
yang sesungguhnya adalah para bekas penguasa ksetra itu
1481
memiliki ilmu kadigdayan jauh melebihi prajurit biasa. Mereka tidak
memberi kesempatan banyak bagi para pengawal raja untuk
menyerang. Dengan menggeram, Ki Tameng tiba-tiba melompat
ke depan dan menyergap leher salah seorang pengawal raja.
Kemudian dengan kekuatan yang menakjubkan ia mengangkat
pengawal itu dengan satu tangan ke atas dan membantingnya ke
bawah dengan cara terbalik. Terdengar suara tulang pecah ketika
kepala pengawal itu remuk menghantam lantai. Setelah itu,
dengan gesit Ki Tameng melompat dan mencengkeram leher salah
seorang pengawal yang lain. Mata para pengawal raja terbelalak
saat mereka mendengar suara tulang leher patah yang diikuti
ambruknya tubuh kawan mereka dengan kepala terkulai.

Menyaksikan peristiwa mengerikan yang berlangsung secepat kilat


itu, para pengawal raja berhamburan melarikan diri sambil
berteriak-teriak memanggil kawan-kawannya. Sementara itu,
dengan isyarat tangan, Nyi Mas Gandasari beserta keempat
pengawalnya membagi diri ke dalam tiga kelompok. Satu ke utara,
satu ke timur, dan satu lagi ke barat. Bagaikan angin berembus di
musim penghujan, para pendekar itu melesat meninggalkan
Sangga Kamulan ke arah yang dituju masing-masing. Para
pengawal raja dan prajurit lain yang memburu dari belakang tidak
mampu mengimbangi kecepatan lari mereka apalagi, hujan yang
mulai melebat menghalangi pandangan.

Tawaran perundingan damai Caruban Larang dan Rajagaluh yang


disodorkan Nyi Mas Gandasari pada dasarnya adalah siasat yang
disusun sangat cermat oleh Sri Mangana. Ibarat pepatah “sekali
1482
merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui”, Sri Mangana
dengan sangat teliti sudah memperhitungkan keuntungan ganda
dari siasatnya itu. Pertama-tama, ia telah memperhitungkan bahwa
Prabu Chakraningrat yang dikenalnya sebagai lelaki mata
keranjang tentu akan mengabaikan tawaran perdamaian karena
terpesona oleh kemolekan Nyi Mas Gandasari. Setelah itu, ia yakin
bahwa Nyi Mas Gandasari dengan kecerdasannya akan dapat
memasuki Sangga Kamulan dan membawa lari kandaga emas
berisi abu jenasah dari guru Prabu Chakraningrat, seorang pertapa
perempuan bernama Nagagini, yang dimasukkan ke dalam cupu
emas berbentuk ular yang disebut oray mas. Ia sangat yakin Nyi
Mas Gandasari dan Pangeran Soka beserta keempat
pengawalnya akan mampu membuka gerbang Kuta Rajagaluh dari
dalam.

Dengan perhitungan cermat itulah ketika Nyi Mas Gandasari dan


rombongan berjalan menuju gerbang selatan Kutaraja Rajagaluh,
Sri Mangana menyebar puluhan orang pengintai untuk mengawasi
keadaan di dalam kuta. Ternyata penjagaan di gerbang timur,
barat, dan utara kosong ditinggal pergi prajurit. Prajurit
berbondong-bondong menuju gerbang selatan untuk menyaksikan
dari dekat kecantikan Nyi Mas Gandasari yang menurut cerita
bagaikan Suprabha, bidadari dari Indraloka yang bermata bintang
dan berpinggul indah. Setelah itu Sri Mangna mengirim perintah
kepada Pangeran Raja Sanghara, Tun Abdul Qadir, Abdul Halim
Tan Eng Hoat, Pangeran Sabrang Lor, dan pemimpin pasukan
Caruban lain yang bersiap-siap di barat, timur, dan utara Kuta
Rajagaluh untuk menyiagakan penyerbuan. Untuk menyemangati

1483
para prajurit disebarkan kabar bahwa penyerbuan ke Kutaraja
Rajagaluh itu akan dipimpin sendiri oleh Sri Mangana.

Awan hitam menggantung di langit dan mulai menebarkan titik-titik


hujan ketika Sri Mangana keluar dari kemahnya. Sejurus ia
menyapukan pandangan ke langit. Setelah berdiri beberapa jenak
dengan penuh wibawa di depan kemahnya, ia mengangkat tangan
kanannya ke atas dan berseru, “Berdiri dan angkat tinggi-tinggi
panji-panji dan senjatamu. Berteriaklah sekeras-kerasnya agar
musuh-musuhmu runtuh nyalinya!”

Seiring seruan Sri Mangana, bangkitlah beribu-ribu prajurit


Caruban yang sejak pagi meniarap di sekitar perkemahan kalifah
hingga tepi parait yang menghampar di selatan gerbang. Ribuan
prajurit itu berlindung di balik alang-alang dan tumpukan jerami
kering hingga tak terlihat dari arah gerbang. Begitu bangkit, mereka
serentak mengacungkan tombak, panji-panji, umbul-umbul, dan
bendera diikuti pekik peperangan yang sambung-menyambung.
Dan saat Sri Mangana menaiki kereta perangnya, para prajurit
pembawa tombak membenturkan pangkal tombaknya ke tanah
secara serentak berulang-ulang sehingga bumi bergetar bagai
dilanda gempa.

Gegap-gempita pasukan Caruban di seberang gerbang selatan


menarik perhatian para prajurit Rajagaluh yang berkerumun di
bagian dalam gerbang selatan kuta untuk menunggu Nyi Mas
Gandasari kembali dari Bangsal Kaprabon. Mereka sangat terkejut
1484
dan kebingungan ketika melihat beribu-ribu pasukan Caruban telah
memenuhi tepi parit sambil mengacungkan tombak dan panji-panji,
menyanyikan lagu-lagu dan menantang perang.

“Apakah yang telah terjadi?”

“Bukankah Nyi Mas Gandasari masih di kraton?”

“Apakah perundingan damai gagal?”

“Bagaimana nasib Nyi Mas Gandasari?”

Ketika prajurit Rajagaluh sedang kebingungan melihat ancaman


serbuan lawan dari luar gerbang selatan, tiba-tiba gerbang timur,
barat, dan utara kutaraja secara berurutan dibuka dari dalam oleh
Nyi Mas Gandasari, Pangeran Soka, Ki Tameng, Ki Waruanggang,
Ki Tedeng, dan Ki Sukawiyana. Begitu melihat gerbang terbuka,
beribu-ribu prajurit Caruban yang sudah bersiaga mengepung kuta
berhamburan dan saling berpacu menerobos gerbang. Namun, di
mulut gerbang mereka tertahan oleh tubuh kawan-kawannya.
Yang belakang mendorong. Yang depan menggeliat berusaha
lepas dari himpitan. Yang tengah terjepit dan terdorong-dorong.

1485
Sambil bersorak-sorai mengacung-acungkan tombak dan panji-
panji, di tengah hujan lebat dan guntur bersahut-sahutan, prajurit
Caruban mengalir masuk bagaikan air bah. Gerbang timur, barat,
dan utara berubah laksana pintu air yang jebol mengalirkan air bah
yang berpusar dan teraduk-aduk memenuhi penjuru kuta. Prajurit
mengalir ke jalan-jalan dan lorong-lorong kuta untuk mencari
musuh-musuhnya. Cipratan air yang terinjak ribuan kaki terdengar
menggiriskan. Setiap kali para prajurit itu menjumpai prajurit
musuh, tanpa ampun mereka akan menggulung dan
menghempaskannya menjadi serpihan daging dan genangan
darah.

Perwira dan prajurit Rajagaluh yang berada di gerbang selatan


bergegas menyambut serbuan musuh yang menggelombang dari
ketiga penjuru. Mereka membawa senjata apa saja yang mereka
temukan untuk menghadang serbuan musuh yang mengamuk
bersama hujan dan angin. Namun, usaha mereka tampaknya sia-
sia. Sebab, tanpa peduli dengan pagar pedang dan hutan tombak
yang menghadang, pasukan Caruban terus menerjang ke depan
dengan meninggalkan mayat-mayat yang bergelimpangan
bersimbah darah. Mereka bergerak menerjang dan menggulung
apa saja yang menghadang. Mereka mengalir bagaikan air hujan
yang memenuhi seluruh lorong, jalanan, dan selokan kutaraja.

Di tengah hiruk pikuk pertempuran yang terjadi di jalan-jalan,


terutama di gerbang selatan, Pangeran Arya Mangkubhumi yang
berada di dalam purinya tampak terkejut ketika mendengar suara
berisik di halaman. Ia sadar suara berisik itu bukanlah guntur atau
1486
curahan air hujan, melainkan semacam gemerincing senjata yang
beradu dan jeritan-jeritan orang kesakitan.

Perang! Itulah kesan awal yang ditangkapnya. Dengan benak


dipenuhi tanda tanya ia bergegas keluar kamar dan menjulurkan
kepala ke jendela. Dan kepalanya bagai disambar petir ketika dari
jendela itu dilihatnya para prajurit pengawalnya sedang bertempur
di gerbang puri. Para pengawal dengan gigih berusaha keras
menahan serbuan musuh yang menerobos gerbang. Menyaksikan
pemandangan tak terduga itu, ia merasakan dadanya sesak dan
tenggorokannya kering sehingga untuk meludah pun ia tidak
mampu. Apa yang sesungguhnya yang terjadi, gumamnya
berulang-ulang dalam hati.

Sewaktu melihat dua tiga orang pengawalnya roboh bersimbah


darah di babat senjata musuh, tanpa sadar ia lari ke dalam kamar
dan menyambar tombak yang terletak di raknya. Saat itu tidak ada
yang terlintas di dalam pikirannya kecuali ikut mengadu jiwa
bersama para pengawal dan menikam siapa saja di antara musuh
yang mendekat. Namun, sebelum ia melibatkan diri dalam
pertempuran tiba-tiba ia melihat Ki Demang Suradipa dan sepuluh
orang pengawalnya berlari ke arah puri dengan napas terengah-
engah sambil berseru, “Yang Mulia! Yang Mulia!”

Pangeran Arya Mangkubhumi yang sudah berada di pintu puri


berdeham dan bertanya, “Ki Demang! Apa yang terjadi? Ada apa
ini? Kenapa ada yang menyerang puriku?”
1487
“Orang-orang Caruban telah masuk kuta dan membuat kerusakan,
Yang Mulia.”

“Apa? Orang-orang Caruban? Bagaimana mungkin itu terjadi?


Bukankah mereka membuat tawaran damai?” gumam Pangeran
Arya Mangkubhumi terheran-heran.

“Mereka telah menipu kita, Pangeran. Nyi Mas Gandasari dan


Pangeran Soka beserta keempat pengawalnya telah membuka
gerbang timur, barat, dan utara dari dalam,” kata Ki Demang
Suradipa.

“Jagad Dewa Bhattara!”

“Orang-orang Caruban masuk kuta, mengalir seperti air bah. Mayat


prajurit kita bergelimpangan di mana-mana. Darah mengalir seperti
sungai. Bangunan-bangunan dirobohkan. Mereka seperti orang-
orang kerasukan setan,” lapor Ki Demang Suradipa dengan air
mata bercucuran membasahi pipinya yang sudah basah.

“Mana tetunggul Rajagaluh yang lain?” Pangeran Arya


Mangkubhumi mengangkat alis kirinya.

1488
“Ki Gedeng Leuwimunding, Ki Dipati Kiban, Celeng Igel,
Sanghyang Sutem, Sanghyang Tubur, dan Sanghyang Gempol
berhasil meloloskan diri ke utara melewati gapura alit. Mereka lari
dengan menyamar sebagai pengungsi,” kata Ki Demang Suradipa.

“Bajingan! Pengecut mereka,” kata Pangeran Arya Mangjubhumi


dengan wajah merah padam. “Bagaimana nasib Ramanda Prabu?”

“Kami belum mendapat kabar tentang beliau.”

“Bagaimana ini? Bukankah tugas kalian mengawal keamanan


raja?” bentak Pangeran Arya Mangkubhumi. “Bagaimana mungkin
kalian bisa mengaku tidak tahu nasib rajamu?”

“Ampun Yang Mulia,” Ki Demang Suradipa mengiba. “Semua


pengawal raja diperintahkan menyingkir oleh Sang Prabu sewaktu
beliau menemui Nyi Mas Gandasari.”

Pangeran Arya Mangkubhumi tiba-tiba memucat wajahnya.


Kemudian dengan suara bergetar ia bertanya. “Di mana kalian
terakhir melihat raja?”

“Di Sangga Kamulan, Yang Mulia.”

1489
“Ayo, kalian ikut aku mencari beliau.” Pangeran Arya
Mangkubhumi melesat keluar puri dengan langkah lebar. Namun,
baru sampai di teras puri ia sudah menyaksikan beratus-ratus
prajurit Caruban memenuhi halaman purinya. Sisa-sisa prajurit
pengawalnya dengan sekuat tenaga berusaha menahan serangan
musuh, meski tubuh mereka sudah penuh luka. Sebagai putera
mahkota yang sejak kecil dididik dengan adat kebiasaan ksatria, ia
tidak gentar menghadapi musuh yang menghadang berapa pun
jumlahnya. Dengan wajah ia menoleh sambil berkata kepada
pengawal Ki Demang Suradipa, “Kemarikan busurmu! Aku akan
hadapi mereka sebagai ksatria! Ayo, ambil anak panahku di kamar.
Layani aku!”

Ketika Pangeran Arya Mangkubhumi menghajar musuh-musuhnya


dengan tembakan-tembakan anak panah dibantu Ki Demang
Suradipa, terdengar gedoran-gedoran kayu yang ditendang di
segenap penjuru puri. Rupanya musuh sudah berhasil masuk.
Tetapi, ia tidak menghiraukan dan terus menghujani musuh
dengan panah. Ia terus menembakkan panah-panahnya kendati
mendengar jerit tangis para perempuan dari dalam puri. Ia terus
membidik musuh-musuhnya ketika berpuluh-puluh anak panah
yang ditembakkan musuh menghambur ke arahnya.

1490
Al-Mir’ah al-Ghaib

Sore setelah pertempuran berakhir, hujan telah


reda dan matahari bersinar kemerahan di ufuk
barat dengan awan merah menggantung di
langit. Abdul Jalil terlihat berjalan menyusuri
lorong-lorong Kuta Rajagaluh yang semrawut
dipenuhi reruntuhan bangunan, serpihan
benda-benda, senjata patah, genagan darah, dan mayat
bergelimpangan. Ketika langkah kakinya sampai di puri kediaman
raja, tepatnya si Sangga Kamulan, ia menyaksikan pemandangan
yang sangat menakjubkan: sebuah bentangan Cermin Gaib (al-
mir’ah al-ghaib) yang luas antara langit dan bumi tak kelihatan
batas-batasnya. Cermin Gaib itu memantulkan beribu-ribu
bayangan wajah yang mencitrakan keberadaan adimanusia,
manusia, manusia-hewan, binatang buas, binatang melata, dan
bahkan makhluk-makhluk pemangsa mengerikan dari Kegelapan.

Cermin Gaib adalah bentangan hijab rahasia yang menyelubungi


dan sekaligus merupakan pembatas antara alam kasatmata (‘alam
asy-Syahadah) dan tidak kasatmata (‘alam al-ghaib). Cermin itu
memantulkan bayangan keberadaan manusia secara lahiriah
(mulk) ke dalam hakikat sejati manusia secara ruhaniah (malakut).
Wujud lahiriah tiap-tiap manusia yang menghadap ke bentangan
Cermin Gaib itu akan memantulkan kesejatian citra ruhaninya
sesuai jati diri masing-masing. Dengan demikian, jati diri masing-
masing manusia di depan Cermin Gaib akan memantul sebagai
wujud bayangan sejati jiwanya.
1491
Di depan bentangan cermin itu Abdul Jalil termangu-mangu
menyaksikan wujud dirinya di tengah kilasan-kilasan wajah yang
ganti berganti dan sambung menyambung. Ia menjadi sadar
betapa keberadaan dirinya di tengah kecamuk perang itu memang
tidak terlibat pertempuran dan membasahi tangannya dengan
darah siapa pun. Gambaran kuat yang terekam di relung-relung
ingatannya menunjukkan betapa saat ia terbangun dan membuka
mata, ia melihat dari celah-celah tendanya sesuatu yang terbang
di langit, yang wujudnya tak mampu ia gambarkan: Sang Maut,
Rajadiraja Kematian yang terbang dengan garang melingkupi
penjuru langit dan bumi, yang melihat semua makhluk dengan
mata menyala dan cakar-cakar tajam mengembang dan jutaan
sayap yang mengepak. Saat terdengar jeritan dahsyat
mengguncang langit, ia melihat Sang Maut mengepakkan sayap-
sayap kematian yang menggemuruh bagai badai. Kemudian,
dengan lahap Sang Maut menyantap setiap makhluk hidup dengan
paruh-Nya yang lebih tajam dari pedang. Sementara di bawah
kepak sayap Sang Maut terlihat beratus-ratus ribu makhluk gaib
penghuni purwa Nusa Jawa berpesta pora memunguti remah-
remah sisa santapan-Nya laksana kawanan semut mengerumuni
sisa makanan rajawali di padang rumput.

Ketika ia memalingkan pandangan dari bayangan Sang Maut, ia


menyaksikan pemandangan lain yang membuat jantungnya
berdentam-dentam, mulutnya terkatup, dan tenggorokannya
tercekik. Di hadapannya terlihat beribu-ribu bayangan makhluk
setengah manusia setengah binatang yang teraduk-aduk kacau
seperti laut diempas badai. Makhluk-makhluk mengerikan itu
sambil meraung-raung dan melolong-lolong dengan buas dan
1492
ganas saling mencabik satu sama lain. Tak kuasa melihat
keganasan itu, ia memejamkan mata. Namun, disaat matanya
terpejam, telinganya menangkap suara kepak sayap burung-
burung, raungan serigala, geraman singa, auman harimau,
lolongan anjing, kuak kerbau, dan tangisan anak burung yang
mencicit-cicit. Hiruk pikuk suara terdengar berkerumun di sekitar
telinganya. Ia menutup telinga dan berusaha menghalau suara-
suara yang terus mengerumuninya itu. Anehnya, semakin
telinganya ditutup, semakin ia dengar hiruk suara yang
menggiriskan itu.

Akhirnya ia membuka mata dan telinganya. Lalu sadarlah ia betapa


yang terlihat ke dalam Cermin Gaib itu bukanlah mata inderanya
melainkan mata batinnya (‘ain al-bashirah). Yang mendengar
suara hiruk pikuk itu bukan telinga inderanya pula melainkan
pendengaran batinnya (sam’). Dan di tengah kesadaran itu ia
mendapat bisikan dari Ruh al-Haqq bahwa hiruk suara-suara itu
sesungguhnya menggemakan getar kebencian yang tersembunyi
di kedalaman jiwa makhluk-makhluk yang saling mencabik itu. Ya,
suara-suara hiruk itu adalah suara kebencian yang sangat
dibencinya.

Mengetahui hiruk suara-suara itu adalah suara kebencian, Abdul


Jalil merasa malu dan muak. Ia membalikkan badan dan bergegas
meninggalkan tempat laknat itu. Namun, saat ia akan beranjak tiba-
tiba telinga batinnya mendengar suara-suara ratapan yang
menggema-gema yang memanggil-manggil namanya. “Syaikh
Lemah Abang! Syaikh Lemah Abang! Janganlah lari meninggalkan
1493
kami! Lihatlah kami! Kami adalah anak-anakmu yang lahir dari
dunia baru yang engkau bangun dengan pikiran dan mimpi-
mimpimu. Kami adalah anak-anak zaman yang lahir dari
kegelapan. Engkaulah ibu dan bapak kami. Janganlah engkau
tinggalkan kami!”

Abdul Jalil tercekat mendengar suara-suara itu. Ia merasakan


jiwanya tiba-tiba dikuasai oleh rasa belas kasih. Kemudian dengan
kata-kata selembut awan ia berkata, “Aku tahu siapa
sesungguhnya engkau. Engkau adalah cacing-cacing melata di
dalam tanah yang tumbuh menjadi anak-anak harimau dan akan
menjelma menjadi adimanusia. Sekarang ini tubuhmu telah
menjadi tubuh harimau dan jiwamu pun adalah jiwa harimau.
Tetapi, aku katakan kepadamu bahwa ruhmu belumlah ruh
manusia. Ruhmu adalah jiwa manusia-hewan yang menyalak
penuh kerakusan, kekejian, dendam, dan kebencian. Karena itu,
engkau masih membutuhkan waktu untuk menjadi adimanusia
seperti yang aku harapkan. Jiwa manusia-hewan yang menguasai
kesadaranmu masih membutuhkan waktu dan perjuangan keras
untuk bisa menjelma sebagai ruh adimanusia.”

“O Syaikh Lemah Abang! Kami harap engkau tidak memandang


kami dari tempatmu yang tinggi. Sebaliknya, engkau harus
mematahkan kesombonganmu yang menginginkan seluruh
manusia bisa menjelma menjadi sesuatu sesuai mimpi-mimpimu.
Engkau tidak bisa mengukur keberadaan manusia dengan
menggunakan ukuran dirimu,” suara-suara itu menggeram.

1494
“Apa yang engkau harapkan dariku?”

“Engkau adalah ibu dan bapak yang telah melahirkan kami,” suara-
suara itu terdengar bagaikan ciap-ciap anak burung di sarang.
“Tunggulah kami! Suapi kami dengan nilai-nilai luhur yang engkau
masak dari berbagai jenis makanan jiwa yang menyehatkan dan
menguatkan. Susui kami dengan cerita-cerita dan dongeng-
dongeng menakjubkan yang menyadarkan keberadaan kami.
Tuntun dan bimbing kami meniti jembatan kehidupan agar kami
dapat melampaui kemanusiaan dan sampai ke puncak mahligai
adimanusia. Pupuklah agar kami bisa tumbuh! Tumbuh menjadi
adimanusia sesuai kehendak-Nya dan bukan sesuai
kehendakmu.”

Abdul Jalil tertawa. Ia sadar bahwa tiap-tiap jiwa akan tumbuh dan
berkembang sesuai kehendak-Nya. Suara-suara itu, katanya
dalam hati, benar adanya. Suara-suara itu mengingatkan betapa
sombongnya aku yang memimpikan lahirnya adimanusia menurut
pikiran dan mimpi-mimpiku. Dan betapa benarnya suara-suara itu
yang menginginkan agar aku mematahkan kesombonganku.

Akhirnya, meski rasa muak masih menerkam jiwanya di tengah


pertempuran antarbinatang itu, Abdul Jalil merasakan
kegembiraan ketika mendapati sekumpulan manusia-hewan bakal
adimanusia di dalam Cermin Gaib. Ia bergembira karena seburuk
apa pun kumpulan manusia-hewan itu tumbuh, mereka adalah
anak-anak harimau yang lahir dari pikiran dan mimpi-mimpinya.
1495
Mereka harus dibimbing dan diasuh agar terus tumbuh menjadi
manusia dan bahkan adimanusia. Mereka adalah matahari pagi
yang sedang merangkak ke tengah hari yang terang-benderang.

Ketika ia membalikkan badan dan menatap Cermin Gaib dengan


seksama, ia melihat beratus-ratus bayangan dirinya sebagai
kawanan harimau berbulu putih yang seluruh tubuhnya
memancarkan cahaya cemerlang. O Yang Mahakuasa, serunya
dalam hati, mereka itulah anak-anak zaman yang lahir dari pikiran
dan mimpi-mimpiku. Merekalah harimau-harimau perkasa yang
bakal melampaui manusia dan menjadi adimanusia. Mereka itulah
pahlawan-pahlawan gagah yang maju ke medan perang untuk
membela keyakinannya, meski kesucian jiwa mereka masih
ternodai amarah dan kebencian. Merekalah harimau-harimau
zaman yang akan tumbuh menjadi adimanusia. Merekalah
harapan masa depan bagi zaman yang gilang-gemilang.

Saat tengah memandang dengan bangga kawanan harimau


berbulu putih cemerlang yang menggeram-geram di tengah cermin
itu, ia dikejutkan oleh kelebatan-kelebatan bayangan hitam yang
berkerumun di sekelilingnya. Makin lama bayangan-bayangan
hitam itu makin beriap-riap dan berdesak-desak laksana gumpalan
awan hitam menyesaki penjuru bumi. Bayangan-bayangan hitam
itu berkelebatan membentuk aneka rupa perwujudan bayangan;
serigala, burung nazar, musang, tikus, dan makhluk-makhluk
mengerikan dari Kegelapan. Kemudian, secara menakjubkan, di
tengah kelebatan bayangan-bayangan hitam itu terdengar suara

1496
gemerisik seperti derik ribuan ular. Suara gemerisik itu makin lama
makin menggema, menjadi kata-kata.

“O Syaikh Lemah Abang. Hari ini kami, anak-anak yang lahir dari
pikiran dan mimpi-mimpimu, telah memenangkan pertempuran.
Musuh-musuh kami telah bergelimpangan tanpa nyawa dan
sisanya melarikan diri dengan tubuh penuh luka. Kami telah
mengibarkan bendera kemenangan. Kami telah menyanyikan lagu
kemenangan. Kami telah beroleh dan membagi-bagi pampasan.
Tetapi, kami tidak bisa berhenti sampai di situ. Kami tidak bisa
kembali ke rumah dengan setumpuk cerita bualan kepada anak-
anak dan istri-istri kami. Kami akan terus bergerak ke depan dan
mendaki ke atas untuk melampaui kelemahan kami, sebagaimana
yang engkau ajarkan. Kami yang berasal dari kalangan rendah dan
lemah, yaitu kawanan binatang melata yang engkau sebut cacing-
cacing tanah, telah menunjukkan bukti kekuatan kami sebagai
adimanusia. Kami akan berebut menaiki singgasana yang telah
kami gulingkan. Kami akan menjadi pengganti singa tua yang
sudah tenggelam ditelan air bah perubahan. Kamilah yang kini
menjadi penguasa. Kamilah kini yang menentukan arah kehidupan
manusia.”

Abdul Jalil tertegun mendengar kata-kata yang mengumandang


dari kerumunan bayangan hitam. Kegembiraan dan kebanggaan
yang dirasakannya mendadak berubah menjadi kemuakan. Ia
menjadi muak melihat bayangan hitam yang berkerumun bagaikan
kawanan setan itu. Ia tahu, bayangan-bayangan hitam itu adalah
jiwa manusia-hewan yang belum matang dan bakal gagal menjadi
1497
adimanusia. Bayangan-bayangan hitam itu adalah citra kepalsuan
dari jiwa manusia yang terbelenggu nafsu rendah duniawi. Itu
sebabnya, dengan suara getir ia berkata, “Aku tahu siapa
sesunggunya engkau, o makhluk-makhluk palsu. Engkau adalah
jiwa cacing tanah yang sudah melampaui jiwa binatang melata dan
menjelma menjadi binatang buas setingkat musang dan serigala.
Tetapi, engkau tidak mampu melampaui jiwa harimau dan jiwa
singa, apalagi melampaui jiwa manusia untuk menjadi adimanusia.
Dengan menutup-nutupi kelemahan diri, engkau justru akan
berbelok arah dan menjadi bayang-bayang dari makhluk yang tidak
jelas bentuk dan wujudnya. Engkau telah menjadi hitam sehitam
bayang-bayang. Engkau telah menyelewengkan apa yang pernah
aku ajarkan dan menggunakan kata-katakku sebagai siasat
menipu yang menguntungkan dirimu. Sungguh muak aku. Muak.
Muak.”

“Bukankah engkau menghendaki kami berjuang mewujudkan diri


dari hewan yang rendah menjadi adimanusia? Bukankah semua
yang engkau inginkan telah kami penuhi? Tidakkah engkau
menyaksikan bagaimana kami menaklukkan musuh-musuh kami?
Tidakkah engkau menyaksikan bagaimana kami membuat para
penentang kami bergelimpangan menjadi mayat tak berguna?
Tidakkah engkau saksikan bagaimana kami melampaui sesuatu
yang lebih tinggi dari kami?” gerutu suara-suara gemerisik itu bagai
daun-daun kering diterbangkan angin.

“Jika engkau berkata bahwa dengan menaklukkan musuh-


musuhmu maka dirimu akan menjadi adimanusia maka aku
1498
katakan bahwa sesungguhnya telah keliru pendengaranmu
menerima kata-kata yang telah aku ucapkan. Sebab, melampaui
kebinatangan dan kemanusiaan untuk menjadi adimanusia
bukanlah seperti engkau melompati selokan dan sungai kecil agar
sampai ke seberang. Bukan pula seperti engkau menaklukkan
musuh-musuhmu sebagaimana binatang satu menaklukkan
binatang yang lain. Seribu kali aku katakan tidak seperti itu.”

“Sekarang buka telingamu lebar-lebar! Yang aku katakan


melampaui kebinatangan adalah melampaui naluri-naluri
kebinatangan yang tersembunyi di dalam relung-relung jiwamu. Itu
sebabnya, yang aku maksud dengan cacing tanah bukanlah
hewan melata menjijikkan yang menggeliat-geliat di dalam tanah,
melainkan keberadaan jiwamu yang terselubungi oleh hijab
Kegelapan (mahjub bi mahdh azh-zhulmah) yang tidak memiliki
kesadaran lain, kecuali kesadaran untuk makan dan berketurunan.
Yang aku maksud dengan manusia-hewan bukanlah tikus,
musang, serigala, harimau, dan singa yang merangkak di
permukaan bumi, melainkan keberadaan jiwamu yang terselubungi
oleh Cahaya bersama Kegelapan (mahjub bi nur maqrun bi
zhulmah). Yang aku maksud dengan manusia bukanlah makhluk
berkaki dua yang bisa berpikir, melainkan keberadaan jiwamu yang
terhijab oleh pancaran Cahaya (mahjub bi mahdh al-anwar).
Sedangkan yang aku maksud dengan adimanusia bukanlah
makhluk berkekuatan raksasa yang dapat menaklukkan musuh-
musuhnya, melainkan manusia yang sudah berhasil
membebaskan diri dari selubung-selubung hijab dan menyaksikan
Kebenaran (ma’rifat al-Haqq) melalui pembersihan keilahian dari
kemusyrikan (tanzih ar-rububiyyah).”
1499
“Sadarlah, wahai penipu kecil! Janganlah kesukaanmu akan tidur
dan bermalas-malas menjadikanmu sebagai pengkhayal dungu.
Bangun dan menggeliatlah engkau dari mimpi dan khayalmu.
Berpalinglah dari jalan di depanmu karena kiblat hati dan pikiranmu
telah menyimpang jauh dari jalan Kebenaran menuju negeri agung
kediaman adimanusia. Bangun dan berjuanglah! Merayaplah ke
atas! Karena engkau telah terperosok ke dalam sumur tanpa dasar
hingga dirimu menjadi gelap laksana bayangan.”

“Jika kami berpaling dan berbalik kiblat, bagaimana dengan takhta


kekuasaan yang sudah berada di depan kami?”

“Dengarlah, wahai pencoleng kecil! Engkau tidak cukup pantas


menduduki takhta kekuasaan duniawi sebab engkau belum
mampu menaklukkan dan menguasai dirimu sendiri. Pantaskah
menurutmu memahkotai seekor babi buruk rupa dan
merajakannya bagi manusia? Sungguh muak aku dengan ketulian
telingamu dan kebutaan matamu. Sungguh muak aku dengan
kebebalan otakmu. Aku muak. Muak. Muak. Berkali-kali muak.”

Abdul Jalil berpaling dan meninggalkan bayangan-bayangan hitam


yang terus berkerumun mengitarinya bagai gumpalan awan.
Namun, baru beberapa langkah berjalan, ia merasa jubahnya
ditarik dari belakang. Ia tersentak dan mendengar suara-suara
gemerisik itu berkata, “Tinggallah di sini, O Syaik Lemah Abang!
Tinggallah di sini! Jangan tinggalkan kami! Kami adalah anak-
anakmu. Restuilah kami agar mejadi penguasa bumi. Dukunglah
1500
kami agar kami dapat menjadi rajadiraja dunia yang menentukan
nasib umat manusia.”

Abdul Jalil merasakan bulu kuduknya merinding ketika melihat


bayangan-bayangan hitam yang mengerumuninya itu bergerak
mengitarinya dengan tangan mencakar-cakar dan suara gemerisik
seperti derik ribuan jangkrik. Ia sadar betapa bayangan itu telingan
dan matanya telah tertutup karat sehingga tidak bisa digunakan
untuk mendengar dan melihat kenyataan dengan baik. Ketika
kerumunan itu makin tak terhitung jumlahnya, ia memungut
sepotong kayu dan memukul-mukul sembari berkata, “Tutup
mulutmu, he makhluk palsu! Aku muak mendengar ocehan dan
igauanmu. Bangunlah engkau dari mimpi kosongmu! Tataplah
cermin kenyataan agar engkau dapat melihat siapa sejatinya
dirimu. Engkaulah binatang melata yang licik, yang memiliki mata
menyala memancarkan api keganasan, kekejaman, kebencian,
dan dendam kesumat. Engkaulah binatang rendah yang memiliki
mulut berbusa meneteskan liur kelicikan, kepura-puraan,
ketidakbersalahan, dan kemabukan pada kekuasaan. O betapa
memuakkan engkau. Memuakkan. Memuakkan.”

Tidak lama setelah ia memukul bayangan-bayangan hitam itu dan


meninggalkannya pergi, ia melihat ruh seekor singa tua sedang
duduk kebingungan di atas sebongkah batu yang mencuat di
tengah hamparan air bah. Itulah citra diri Prabu Chakraningrat
Yang Dipertuan Rajagaluh di dalam Cermin Gaib. “Inikah raja yang
akan digantikan oleh anak-anakku yang sehitam bayangan?”
serunya mendekati sang singa dan mengelus-elus rambutnya yang
1501
sudah rontok. “Bukankah seekor singa jauh lebih agung dibanding
bayangan seribu ekor serigala dan musang?”

Ya, baginya, seekor singa memang lebih agung daripada


bayangan hitam kawanan musang. Sebab, setua apa pun usianya,
seompong apa pun mulutnya, serontok apa pun rambutnya, ia
tetap seekor singa; sang raja rimba. Hanya kelemahan akibat
pujian dan sanjungan yang membuat singa tua itu kerasan tinggal
di guanya yang sempit dan gelap. Ia tidak sadar bahwa hidup
adalah sebuah padang perburuan yang luas dan terus berubah
dengan gerakan ke arah depan, tak pernah berhenti, dan tidak pula
pernah mundur ke belakang. Singa tua itu tak pernah berusaha
untuk melompat keluar gua kesingaannya dan menjelma menjadi
manusia. Ketika gerak perubahan hidup melandanya laksana air
bah, sang singa kebingungan di dalam guanya. Ia tidak tahu apa
yang harus diperbuat oleh seekor singa di tengah terjangan air bah
perubahan itu. Ia akhirnya tenggelam diseret arus dan bangkainya
tidak pernah diketemukan orang.

Kini, setelah gua yang sempit dan pengap itu kosong, tiba-tiba
bayangan-bayangan hitam yang muncul dari gelora bah
berkeliaran dan berkerumun mengitari gua. Bayangan-bayangan
hitam itu saling desak, saling dorong, saling sikut, saling gigit, dan
saling cakar untuk berebut duduk di atas batu singgasana sang
singa tua. “Akankah sebuah bayangan hitam lebih agung jika
menjadi penguasa gua dibanding seekor singa?” seru Abdul Jalil
seolah berkata kepada diri sendiri. “Dihuni singa atau bayangan
hitam, sesungguhnya gua tetaplah gua; sebuah keangkeran yang
1502
menakutkan bagi manusia. Tetapi, keangkeran yang lahir dari
wibawa seekor singa jauh lebih agung dibanding keangkeran yang
lahir dari kawanan hantu. Itulah perumpamaan singgasana
Rajagaluh jika diduduki Prabu Chakraningrat dan jika diduduki
anak-anakku yang belum sempurna menjadi manusia-hewan,”
katanya lantang.

Ketika ia memeluk ruh singa tua itu dan membelai rambutnya, ia


melihat sekawanan bayangan hitam terbang dalam kerumunan
besar di langit laksana gumpalan awan hitam. Kerumunan itu
kemudian menukik ke bawah dan mengerumuni tubuhnya.
Menyambar-nyambar. Membuat ia harus memutar-mutar potongan
kayu di atas kepalanya untuk mengusir kerumunan itu. Ketika
potongan kayunya mengenai sesuatu, terdengar jerit kesakitan
diikuti suara gemerisik bagai hujan deras tercurah di atap. Sekilas
ia menyaksikan puluhan bayangan hitam terempas ke batu-batu
dan batang-batang pohon tak berdaun. Ia terbelalak saat melihat
puluhan bayangan hitam itu bangkit dan menatap tajam ke arahnya
dalam wujud Ki Gedeng Kiban, mantan Adipati Palimanan, dan Rsi
Bungsu secara berganti-ganti.

Abdul Jalil berdiri kaku dengan hati ngeri. Ia memandang dengan


tatapan nanar ke sosok Ki Gedeng Kiban dan Rsi Bungsu yang
tiba-tiba menjadi puluhan jumlahnya. Ia berpaling ke Cermin Gaib.
Terpampanglah gambaran menggetarkan yang menampakkan jati
diri makhluk-makhluk licik yang mabuk kekuasaan itu. Ki Gedeng
Kiban dan Rsi Bungsu yang telah berlipat-lipat jumlahnya itu
menjelma menjadi makhluk mengerikan dari alam kegelapan yang
1503
sulit digambarkan wujudnya. Kepalanya mirip ular dan terbuat dari
bahan sejenis batu sungai yang keras. Lidahnya bercabang
dengan gigi dan taring tajam berbisa. Kulitnya kasar bersisik dan
selalu berubah-ubah sesuai keadaan sekitar. Matanya mirip mata
buaya, yang jika menangis tidak meneteskan air mata kesedihan,
tetapi mengalirkan genangan air kedustaan yang pahit beracun.
Hidungnya mirip hidung anjing yang selalu mengendus-endus
membaui segala sesuatu di sekitarnya dengan kecurigaan.
Mulutnya mirip babi yang najis dan meneteskan kekejian fitnah dan
kebohongan. Hatinya logam sepuhan yang berkilau cemerlang
bagai emas, namun berubah legam berkarat ketika disinari cahaya
Kebenaran. Limpanya, paru-parunya, empedunya, jantungnya,
bahkan usus dan duburnya pun terbuat dari bahan palsu dan
beracun.

“Aku tahu siapa sesungguhnya engkau,” kata Abdul Jalil


mengacungkan kayu pemukul ke arah bayangan Ki Gedeng Kiban
dan Rsi Bungsu. “Engkau adalah bayangan palsu yang membawa-
bawa ajaranku untuk membangun mahligai kekuasaan di atas
bumi. Tetapi, karena engkau makhluk palsu maka mahligai yang
engkau bangun pun palsu adanya. Kata-katamu palsu. Janjimu
palsu. Keringatmu palsu. Air matamu palsu. Air liurmu palsu. Air
kencingmu palsu. Tahimu juga palsu. Pendek kata, apa yang
keluar dari tubuh makhluk palsu adalah palsu. Palsu. Palsu. Seribu
kali palsu.”

Wajah-wajah gelap dan palsu Ki Gedeng Kiban dan Rsi Bungsu


menyeringai. Abdul Jalil sangat terkejut ketika melihat salah satu
1504
sosok Ki Gedeng Kiban dan Rsi Bungsu memudar digantikan oleh
sosok wali nagari Kuningan, Angga. Ya, sosok Angga menyeruak
keluar dari kerumunan. Ketika ia menegaskan penglihatannya,
dilihatnya Angga sebagai seekor gagak yang bulunya rontok dan
mengangankan diri sebagai rajawali perkasa. Ibarat dongeng
gagak kehilangan daging di paruhnya akibat dipuji serigala,
begitulah Angga kehilangan jabatan panglima akibat terlena oleh
puja dan puji orang-orang di sekitarnya. Saat gemuruh peperangan
terdengar membelah permukaan bumi, Angga hinggap di pohon
merenungi nasibnya yang malang.

Citra Angga yang dilihat Abdul Jalil di cermin sebagai burung gagak
ternyata memunculkan masalah baru tak lama setelah Caruban
memperoleh kemenangan dalam perang. Sebagai gagak yang tak
mampu terbang tinggi dan tidak mengetahui jika di atas langit
masih ada langit, dia sangat marah dan merasa terhina ketika
menerima kabar kemenangan Caruban, terutama saat dia
mendengar kegagahan dan keperkasaan Nyi Mas Gandasari,
rajawali betina yang dielu-elukan seluruh pasukan karena
keberaniannya tak tertandingi.

“Sungguh telah terjadi perubahan tatanan alam ketika seekor


burung betina dirajakan mengganti kedudukan sang jantan,” kata
Angga kepada berpuluh-puluh gagak tua yang mengerumuninya
dengan suara serak dan melengking. Setelah berkaok-kaok
melompat-lompat di atas tanah mengais-ngais serpihan daging
busuk, gagak-gagak itu berkata serempak. “Jika panji-panji
kemenangan dikibarkan di bawah cengkeraman kuku-kuku tajam
1505
burung betina bersayap pendek, niscaya matilah seluruh burung
jantan akibat tak kuasa menanggung beratnya beban yang
bertentangan dengan tatanan alam. Pantaskah burung-burung
jantan mengeram dan menunggui sarang. Sementara yang betina
terbang ke angkasa memamerkan kegagahan? Pantaskah seekor
betina dirajakan atas burung-burung?”

Kecemburuan Angga terhadap kemasyhuran rajawali betina itu


nyaris membawa Caruban ke perang lanjutan dalam bentuk
penyerangan terhadap Dermayu. Di tengah ketidakpuasan dan
rasa penasaran, Angga dengan disertai sejumlah pemuka
masyarakat Caruban menghadap Sri Mangana, memohon agar
diberi kesempatan untuk menebus kekalahannya yang
memalukan. Dengan berkaok-kaok didukung gagak-gagak tua, ia
berkata, “O Ratu Ular Laut yang perkasa, kami tidak mampu hidup
dengan menanggung segunung aib ini. Para sesepuh pun tidak
mampu terbang dengan gagah karena sayap-sayap mereka telah
patah oleh timbunan aib. Sungguh berat bagi para burung jantan,
o Ratu Ular Laut, jika dipaksa memikul beban tak tertanggungkan
ini. Karena itu, kami, para rajawali jantan mohon diberi
kepercayaan untuk memimpin pasukan guna menyerbu Dermayu
dan mengislamkan Prabu Indrawijaya bersama para nayaka dan
penduduknya. Biarlah kemenangan yang kami peroleh nanti akan
menjadi obat bagi luka kami yang tak tersembuhkan.”

Sri Mangana menggeram dan menatap tajam Angga dan burung-


burung gagak tua. Menurutnya, tidak cukup kuat alasan bagi
Caruban untuk menyerang Dermayu. Itu sebabnya, meski didesak
1506
oleh para gagak jantan dan bahkan Angga pun telah bersujud di
kakinya, ia menolak untuk menyerang Dermayu yang hampir
seluruh penduduknya sudah beragama Islam. Namun, Angga yang
sudah dirasuk rasa malu dan disakiti rasa terhina tidak putus
harapan. Dengan berdalih mau mengislamkan raja Dermayu dan
nayakaprajanya, sekembali menghadap kalifah, ia membawa tiga
ribu orang laskar gabungan dari Kuningan, Trusmi, Kalisapu, dan
Kuta Caruban. Ia dan laskarnya bergerak bagaikan awan terbawa
angin ke Kutaraja Dermayu. Di sepanjang perjalanan, dengan
pongah laskar-laskarnya berteriak menepuk dada. “Islamkan para
pemuja berhala! Sunat Raja Dermayu! Potong kulup kemaluan
orang-orang kafir.”

Prabu Indrawijaya, Yang Dipertuan Dermayu, sangat marah


mendengar laporan tentang hasrat kemenakannya yang akan
menyerang dan mengislamkannya. Kepalanya nyaris meledak
ketika ia mendengar tentang caci maki para laskar yang
menistanya sebagai kafir yang najis yang akan dipotong
kemaluannya. Prabu Indrawijaya benar-benar merasa dihina dan
direndahkan. Dengan kesombongan seekor singa tua yang
geramannya masih menggetarkan musuh, ia mengaum, “Kehinaan
apa yang aku peroleh jika harus menghadapi si mata sipit kulit
pucat itu sebagai lawan? Dasar binatang tak tahu diri. Biarlah babi-
babi sombong itu berbaris menuju padang penjagalan yang kita
siapkan.”

Tanpa keluar dari kratonnya, Prabu Indrawijaya mengirim dua ribu


pasukan yang dipimpin Pangeran Lembu Tirta, dua ribu pasukan
1507
yang dipimpin Pangeran Kidang Taraju, dan seribu pasukan
dipimpin Ki Oyod. Pasukan Dermayu yang gagah perkasa itu
dititahkan menghadang Angga dan laskarnya di seberang Sungai
Kamal. Demikianlah, saat kedua pasukan bertemu, pecahlah
pertarungan sengit yang membuat air Sungai Kamal berwarna
merah. Dan ternyata, Angga mengalami nasib tidak lebih baik dari
saat ia dan pasukannya dihancurkan pasukan Leuwimunding di
hutan Kepuh. Dalam pertempuran itu, laskar yang dipimpin Angga
hancur binasa. Hampir tiga ribu orang laskar yang dipimpinnya
terbunuh. Sisanya melarikan diri. Angga sendiri dengan susah
payah meloloskan diri dengan berpura-pura mati dan
menghanyutkan diri hingga muara.

Kabar kehancuran laskar Angga diterima dengan ratap tangis para


janda baru dan anak-anak yatim yang makin menggunung
jumlahnya. Angga sendiri tidak diketahui keberadaannya. Baru
pada hari kesepuluh dia muncul dalam keadaan kuyu untuk
menghadap kalifah Caruban. Kemudian dengan kepandaiannya
bersilat lidah, ia mengatakan akan siap memimpin kembali
pasukan Caruban untuk menggempur Dermayu. Dia mengaku
hanyut ke muara hingga terdampar ke pulau Menyawak setelah
kalah bertempur di Sungai Kamal. Di pulau itu diberi jimat cupu
oleh seorang pertapa tua. “Jimat cupu ini katanya bisa
mengeluarkan beribu-ribu prajurit, Yang Mulia,” katanya berusaha
meyakinkan.

Sri Mangana yang waskita hanya menggeleng-gelengkan kepala


menghadapi kenaifan si burung gagak yang tak tahu diri itu.
1508
Namun, kali itu sang kalifah sudah habis kesabaran. Dengan suara
menggelegar bagai halilintar ia berkata keras, “Cukup sudah
tindakanmu mengobarkan nyawa orang-orang tak bersalah.
Hentikan tidakan bodohmu yang sudah menciptakan ribuan janda
dan anak-anak yatim! Terbukti sudah bahwa engkau tidak memiliki
kecakapan apa-apa di medan tempur. Jikalau sekarang engkau
masih berani meminta dukungan untuk menyerang Dermayu maka
aku katakan bahwa perang dengan Dermayu tidak perlu dilakukan.
Kenapa? Sebab, saudaraku Prabu Indrawijaya beserta seluruh
keluarga, nayaka, dan punggawanya telah menghadapku.
Saudaraku itu telah menyerahkan kekuasaan atas Dermayu
kepada Caruban Larang. Bahkan mereka semua telah berikrar
memeluk Islam. Karena itu, pergilah engkau ke Dermayu untuk
meminta maaf kepada sang ratu yang sudah menjadi pengikut
Muhammad Saw. itu.”

Angga tercengang-cengang mendengar penjelasan Sri Mangana.


Ia merasa sangat kecewa karena tidak bisa membuktikan
kegagahannya sebagai rajawali jantan. Ia sadar tidak bakal
dipercaya lagi oleh Sri Mangana. Itu sebabnya, diam-diam ia
menyembunyikan api kebencian terhadap sang rajawali betina.
Demikianlah, makhluk bercitra gagak seperti Angga tidak memiliki
kemampuan untuk bercermin diri sehingga tidak menyadari
keberadaan diri sendiri. Ia tidak mengetahui bahwa takdir telah
menempatkannya sebagai seekor gagak, sementara ia
membayangkan diri seolah-olah rajawali jantan yang gagah
perkasa: raja dari segala burung. Dan sebagaimana Angga,
kerumunan bayangan hitam di Cermin Gaib itu akan bergulat untuk
memperebutkan kekuasaan tanpa sadar bahwa mereka
1509
sesungguhnya adalah bayangan palsu dari manusia-hewan yang
rendah. Mereka bukan manusia dan bukan pula adimanusia.
Mereka adalah mereka: makhluk-makhluk tak tergambarkan yang
lahir dari angan-angan kosong, cacing-cacing tanah, dan makhluk
mengerikan dari alam Kegelapan.

1510
Teka-Teki Sang Rajawali

Ketika Abdul Jalil berpaling dan melihat


Cermin Gaib di dalam dirinya, ia melihat
kilasan-kilasan perwujudan berupa semacam
kabut berasap yang tebal dan bergumpal-
gumpal. Kabut berasap yang memancarkan
cahaya merah menyala, kuning keemasan,
dan hitam pekat. Itulah perlambang kekuasaan dari Yang
Mengangkat (ar-Rafi’) dan Yang Menjatuhkan (al-Khafidh), yang
menyulut api peperangan sebagai bagian dari kuasa-Nya dalam
memelihara keseimbangan alam beserta isinya. Peperangan, apa
pun alasan yang melatarinya, adalah keniscayaan dari sunnah
Allah (hukum alam), di mana ar-Rafi’ dan al-Khafidh selaku Rabb,
menjalankan kehendak dari Rabb al-Arbab (Allah) untuk
mempergilirkan kejayaan dan keruntuhan di antara manusia (QS.
Ali Imran: 140).

Lantaran perang adalah bagian dari sunnah Allah demi


keseimbangan alam seisinya, maka bagi mata yang waskita, di
tengah gemuruh peperangan itu akan dapat menangkap kuasa-
kuasa Ilahi berpusar-pusar dan berkeliaran menentukan arah dan
alur peperangan. Sebagai salah satu di antara manusia yang
memiliki kewaskitaan, di tengah kecamuk perang Caruban-
Rajagaluh itu melihat kehadiran sejumlah kekasih Allah (aulia’
Allah), malaikat-malaikat pencabut nyawa, dan makhluk-makhluk
halus penghuni purwa Nusa Jawa.

1511
Para kekasih Allah itu tanpa ada yang mengetahui tiba-tiba muncul
di tengah galau pertempuran dalam wujud seorang prajurit
rendahan, perwira, penabuh genderang, tukang masak,
pengungsi, orang gila, dan bahkan manusia-manusia misterius dari
alam gaib (ar-rijal al-ghaib). Di tengah gemuruh hujan, beberapa
saat menjelang gerbang Kutaraja Rajagaluh akan dibuka, Abdul
Jalil, Abdul Malik Israil, dan Sri Mangana sempat berbincang-
bincang dengan Wahisy al-Majdzub, Ibrahim al-Uryan, Syaikh
Ahmad al-Bakhathi, tiga orang kekasih Allah yang dikenal dengan
perilaku anehnya. Dengan menyamar sebagai juru jalir (pengawas
pelacuran), Wahisy telah membawa para pelacur keluar dari kuta
tanpa ditanyai ini dan itu oleh para prajurit Caruban yang
mengepung kutaraja. Ibrahim al-Uryan dengan tubuh tanpa kain
selembar pun menggiring para ibu dan anak-anak keluar dari kuta.
Prajurit Caruban yang melihatnya tertawa-tawa dan
menganggapnya gila. Sementara Syaikh Ahmad al-Bakhathi
membawa para pendeta dan prajurit Rajagaluh yang terluka keluar
dari kuta tanpa diketahui para pengepung.

Syarif Hidayatullah yang sekilas melihat perbincangan aneh itu


terheran-heran. Bagaimana mungkin orang-orang terhormat
seperti Sri Mangana, Syaikh Abdul Jalil, dan bahkan kakeknya
sendiri berbincang-bincang dengan tiga gelandangan tidak waras;
yang dua orang berpakaian kumal penuh tambalan dan yang
seorang lagi telanjang tanpa pakaian. Malahan, dalam berbincang-
bincang itu mereka berenam terlihat tertawa-tawa seolah tak peduli
dengan keadaan sekitar. Dengan kepala dilingkari tanda tanya,
sesaat setelah pertempuran usai, Syarif Hidayatullah bergegas
menemui Abdul Jalil yang sedang mengetuk-ngetukkan sebatang
1512
kayu pemukul dan bertanya kenapa mereka berbicara akrab
dengan tiga orang asing yang kelihatannya tidak waras.

Ketika Abdul Jalil memberi tahu bahwa ketiga orang aneh yang
diajaknya berbincang-bincang itu adalah Wahisy, Ibrahim al-Uryan,
dan Syaikh Ahmad al-Bakhathi, Syarif Hidayatullah amat terkejut.
Sebab, sejak lama ia sering mendengar nama buruk ketiga orang
tersebut. Itu sebabnya, dengan suara ditekan tinggi ia memprotes
tindakan Abdul Jalil, “Kenapa Paman berbicara akrab dengan
mereka? Bukankah ketiga orang itu terkenal di mana-mana
sebagai orang tidak waras? Bukankah Wahisy itu orang gila yang
suka berkeliaran di rumah-rumah pelacuran? Bukankah Syaikh
Ibrahim al-Uryan itu dikenal sebagai orang gila yang suka telanjang
jika berkhotbah di mimbar? Bukankah Syaikh Ahmad al-Bakhathi
itu dikenal sebagai orang yang suka meludahi orang lain?”

“Mereka adalah kekasih-kekasih Allah, Anakku,” kata Abdul Jalil


memutar kayu pemukul yang dibawanya.

“Saya ragu mereka wali Allah, Paman. Bagaimana mungkin


kekasih Allah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan
syari’at Allah? Bagaimana mungkin kekasih Allah melakukan
tindakan-tindakan rendah yang memalukan?” tanya Syarif
Hidayatullah tak terima.

1513
“Engkau kelak akan mengetahuinya, o Anakku,” kata Abdul Jalil
membolak-balik kayu pemukulnya. “Sebab, apa yang engkau lihat
dengan mata inderamu tidaklah menunjukkan Kebenaran Sejati
tentang sesuatu. Orang-orang seperti Wahisy, misalnya, sekalipun
tidur sekamar dengan seratus pelacur tidak akan terkena dosa
sebagaimana ditetapkan hukum syari’at. Bahkan aku berani
bersaksi, Wahisy tetap suci dan tak ternoda meski ia sudah bergaul
dengan ribuan pelacur selama bertahun-tahun.”

“Bagaimana Paman bisa berkata seperti demikian?”

“Sebab aku tahu, jiwa Wahisy sudah menyatu dengan Jiwa


Semesta. Dia sudah menjadi makhluk Semesta.”

“Maksud Paman?”

“Dia sudah bukan lagi laki-laki dan bukan pula perempuan. Dia
sudah lepas dari jenis kelamin. Hanya tubuh manusiawinya saja
yang berkelamin laki-laki, namun jiwanya merupakan semesta.
Dan seperti makhluk-makhluk semesta yang lain; bulan, bintang,
matahari, malaikat, iblis, Wahisy tidak kenal lagi perbedaan
kelamin seperti layaknya manusia dan binatang sehingga
kepadanya tidak bisa dikenakan hukum-hukum syari’at yang
didasarkan pada penafsiran fiqhiyyah atas ayat-ayat Allah dan
sunnah Rasul.”

1514
“Karena itu, o Anakku, jika kelak engkau menjadi seorang guru
manusia dan menemui orang-orang seperti Wahisy dan Ibrahim al-
Uryan, kenakanlah kepada mereka itu hukum syari’at yang
diberlakukan bagi orang gila. Maksudnya, tidak ada hukum syari’at
yang melarang orang gila bergaul dengan pelacur. Tidak ada juga
hukum syari’at yang melarang orang gila telanjang. Namun, hukum
syari’at juga tidak melarang seseorang untuk berbicara dengan
orang gila,” Abdul Jalil mendekap kayu pemukulnya.

Syarif Hidayatullah tertawa dan mengangguk-angguk


mengisyaratkan bahwa ia sudah memahami masalah itu. Namun
saat ia akan kembali ke kemahnya, tiba-tiba bahunya ditarik
seseorang dari belakang. Ketika menoleh, ia melihat Syaikh
Ibrahim al-Uryan dalam keadaan telanjang duduk di atas punggung
seekor sapi. Syarif Hidayatullah yang tak mengetahui bagaimana
sang syaikh dan sapi itu dalam sekejap tiba-tiba muncul di
belakangnya, dengan tergagap menyampaikan salam. Namun,
seperti orang tidak waras yang mengomel sendiri, tanpa menjawab
salam Syarif Hidayatullah, Syaikh Ibrahim al-Uryan berkata dengan
suara yang lain.

“Lihat burung-burung gagak yang terbang mengepakkan sayap di


langit! Mereka berteriak-teriak di angkasa memuji keagungan Sang
Maut dan memohon agar Penguasa kerajaan kematian itu turun ke
medan perang. Lihat! Lihatlah bagaimana gagak-gagak itu
mengiringi Sang Maut turun ke medan perang. Lihat! Apa yang
dilakukan para gagak ketika Sang Maut menghantamkan sayap-
Nya sehingga mengakibatkan beribu-ribu manusia
1515
bergelimpangan tanpa nyawa. Ya, gagak-gagak licik itu
berkerumun-kerumun dan sambil memekik-mekik gembira
mencabik-cabik mayat-mayat dengan paruhnya yang setajam
pedang dan seruncing tombak.”

“Waspada! Waspadalah pada gagak-gagak hitam yang


menyembunyikan pamrih serigala dan musang di balik bulu-
bulunya yang legam. Tetapi, hendaknya engkau lebih waspada
pada kawanan serigala dan musang yang akan keluar dari balik
bulu gagak –gagak hitam itu. Sebab, telah termaktub di kitab langit
(al-Lauh al-Mahfuzh) bahwa Sang Penentu (al-Muqtadir) telah
menggoreskan Pena Mulia (al-qalam al-a’la), bahwa negeri-negeri
timur di bawah langit akan dikerumuni dan dijadikan jarahan oleh
kawanan serigala dan musang yang membawa malapetaka
kegelapan bagi para penghuni bumi. Saat itulah cakrawala di
daratan dan di lautan akan tertutupi oleh awan kegelapan sehingga
penghuni bumi tidak bisa lagi mengenali satu sama lain karena
sejauh mata memandang yang menampak di cakrawala hanyalah
benda-benda (thaghut) dan wujud palsu dari angan-angan kosong
(al-wahm). Saat itu manusia sudah tinggal menjadi kerangka
kosong yang tak memiliki jiwa (ash-shuwar al-qa’imah). Ke mana
pun penglihatan diarahkan, yang tampak hanyalah benda-benda
yang lain (al-aghyar) yang menyimpang dari Kebenaran (al-Haqq).”

“Aku bukan peramal. Aku bukan tukang sihir. Aku juga bukan
‘orang berkelebihan’ yang dapat melihat gambaran masa depan.
Aku hanya seorang tidak waras yang kebetulan melihat dunia
masa depan lewat alam khayalku. Ya, aku saksikan bagaimana
1516
kapal-kapal berlayar di lautan dan kapal-kapal tertambat di
dermaga. Kapal-kapal itu tidak pula memuat manusia dan tidak
memuat barang-barang kebutuhan manusia. Sebaliknya, kapal-
kapal itu berisi serigala, musang, dan makhluk-makhluk pemangsa
dari Kegelapan yang rakus dan tak pernah kenyang. Sungguh,
telah aku saksikan kawanan makhluk mengerikan yang buas dan
licik itu menjelma menjadi manusia-manusia berparas
mengagumkan dan sangat santun, namun sangat berbahaya.
Mereka akan mendatangi manusia dengan senyuman, namun
tangan mereka yang tersembunyi di belakang punggungnya
menggenggam pisau beracun. Setiap manusia yang lengah dan
terpesona oleh ucapan-ucapan manis itu akan ditikamnya.”

“Waspada dan berhati-hatilah engkau, o manusia. Sebab, tikaman


pisau beracun manusia-manusia palsu jelmaan serigala, musang,
dan makhluk-makhluk pemangsa itu tidaklah membuat manusia
mati. Tikaman pisau beracun itu hanya akan membuat hatimu
berubah menjadi biru dan membeku. Tak lama setelah itu, hatimu
akan menghitam dan membatu. Kemudian engkau akan menjadi
mayat-mayat hidup yang berbaris di bawah perintah mereka. Ya,
dunia baru yang dihuni manusia-manusia masa depan akan berisi
mayat-mayat hidup yang ditinggal pergi oleh jiwa dan ruhnya.
Sementara ruh mayat-mayat hidup itu terbang ke alam ruh (‘alam
al-arwah), jiwanya bergentayangan menjadi hantu-hantu hitam
yang berkeliaran di muka bumi sebagai bayangan-bayangan hitam
yang palsu dan menyesatkan. Dan tubuhnya menjadi timbunan
daging busuk yang ke mana-mana menebarkan penyakit dan
kematian.”

1517
“Demikianlah, penglihatan yang aku tangkap dari dunia masa
depan. Sesungguhnya, segala sesuatu yang mengerikan dari
masa depan itu tidaklah terjadi kecuali semata-mata karena
kehendak-Nya. Sesungguhnya, jika Allah menimpakan
marabahaya (mudharat) kepada makhluk-Nya maka tidak ada
yang dapat menghindarinya, kecuali Dia sendiri. Jika Allah
menghendaki kebaikan bagi makhluk-Nya maka tidak ada yang
dapat menolak kebaikan-Nya. Dia memberikan kebaikan kepada
siapa saja yang dikehendaki-Nya (QS. Yusuf: 107).”

Ketika Syaikh Ibrahim al-Uryan pergi dengan sapinya ke gugusan


pohon yang tak lagi berdaun dan menghilang di balik senjakala,
Syarif Hidayatullah mendekati Abdul Jalil dan berkata dengan
suara tercekat di tenggorokan, “Apa yang pernah Paman
ungkapkan tentang Dajjal, Ya’juj wa Ma’juj, yang bakal merusak
dan menjarah kehidupan umat manusia barusan telah diungkap
pula oleh Syaikh Ibrahim al-Uryan. Apakah yang harus kita lakukan
untuk menghadapi mereka?”

“Menyiapkan adimanusia yang siap bertempur di segala medan,”


kata Abdul Jalil memainkan kayu pemukul sambil menerawang ke
gugusan langit yang mulai gelap. “Sebab, hanya adimanusia yang
mampu memimpin manusia-manusia untuk bisa mengalahkan
kawanan serigala, musang, dan makhluk-makhluk pemangsa
jejadian itu.”

1518
“Apakah kita akan membangun pertahanan di balik benteng-
benteng peradaban sebagaimana pernah Paman katakan?” tanya
Syarif Hidayatullah minta penjelasan.

“Ya,” kata Abdul Jalil mengetu-ketukkan kayu pemukulnya ke


tanah. “Benteng-benteng peradaban yang dilingkari dinding adat
kebiasaan dan syari’at. Benteng-benteng peradaban yang
dibangun di atas landasan Tauhid.”

“Tetapi, Paman, apakah dengan itu kita tidak perlu membangun


kekuatan bersenjata?”

“Kekuatan bersenjata tetap diperlukan untuk menjaga


keseimbangan kekuatan dan memelihara jiwa ksatria para
manusia dan adimanusia. Tetapi satu hal yang perlu diingat, aku
sangat tidak menghendaki senjata-senjata pemuntah api seperti
gurnita yang digunakan pasukan Terung. Sebab, gurnita
mengingatkan aku pada senjata yang digunakan pasukan Dajjal,
Ya’juj wa Ma’juj, yaitu ajij dalam bentuk yaf’ul dan maf’ul, yang
bermakna ‘semburan api’. Bukankah gurnita itu menyemburkan
api? Bukankah senjata gurnita itu yang membakar hutan-hutan di
sekitar Kuta Rajagaluh?”

“Memang, dengan senjata-senjata penyembur api semacam


gurnita, manusia bisa beroleh kemenangan di medan tempur.
Tetapi, pemenang yang agung bukanlah mereka yang berhasil
1519
mengalahkan musuh-musuhnya di medan tempur, melainkan
mereka yang bisa menaklukkan musuh tanpa pertempuran. Itulah
sang pemenang agung sejati. Lantaran itu, menurutku, kita harus
menghindari penggunaan senjata-senjata ‘penyembur api’
sebagaimana Ya’juj wa Ma’juj. Sebab, senjata-senjata semacam
itu tidak hanya merusak alam dan menghancurkan kehidupan
makhluk di muka bumi, tetapi menjungkir-balikkan pula adat
kebiasaan ksatria, dan yang paling berbahaya adalah menebarkan
daya-daya setani di muka bumi,” kata Abdul Jalil.

“Saya paham, Paman,” kata Syarif Hidayatullah.

“Jika sudah paham, engkau harus berkemas-kemas untuk pergi


meninggalkan Caruban.”

“Saya harus meninggalkan Caruban?” gumam Syarif Hidayatullah


terkejut.

“Paduka kalifah mengatakan kepadaku bahwa dia akan


mengajakmu ke Banten. Dia akan menguji engkau sebagaimana
dia telah menguji Raden Sahid. Ya, dia akan menguji apakah
engkau mampu melampaui kemanusiaanmu untuk menjadi
adimanusia,” kata Abdul Jalil mengetukkan kayu pemukulnya ke
tanah.

1520
“Dengan sukacita saya akan menerima ujian itu Paman,” kata
Syarif Hidayatullah mantap.

“Berarti engkau harus siap membangun benteng pertahanan


peradaban dan Tauhid di sana dan sekaligus menjadi panglima
penguasa benteng,” Abdul Jalil menepuk-nepuk bahu Syarif
Hidayatullah dan kemudian membalikkan badan meninggalkan
tempat seraya bertelekan pada tongkat pemukulnya.

“Paman hendak ke mana?”

“Menjalankan tugasku, mengajarkan sasyahidan kepada para


calon adimanusia,” sahut Abdul Jalil sambil melangkahkan kaki
melewati rumput-rumput dan bebatuan. Ketika sampai di sebuah
belokan jalan yang dibatasi sebatang pohon besar tak berdaun,
Abdul Jalil berpapasan dengan Pangeran Soka dan para
pengawalnya yang membawa harta pampasan di atas kereta-
kereta. Setelah saling bertegur sapa, Pangeran Soka berkata,
“Kami mendapat amanat dari paduka kalifah, untuk memberikan
bagian pampasan kepada Tuan Syaikh.”

“Pampasan perang untukku?” tukas Abdul Jalil heran. “Bukankah


aku tidak ikut berperang? Bagaimana mungkin aku bisa mendapat
bagian pampasan?”

1521
“Tuan Syaikh telah menjadi pendamping dan penasihat kalifah
sehingga berhak mendapat pampasan. Selain itu, kami tidak
berani membantah titah paduka kalifah,” kata Pangeran Soka.

“Jika demikian, aku minta agar bagianku diberikan kepada Li Han


Siang.”

“Diberikan kepada Li Han Siang?” sergah Pangeran Soka


terheran-heran. “Bukankah dia sudah kaya raya?”

“Itu bukan hibah atau sedekah,” kata Abdul Jalil sambil berlalu,
“tapi untuk membayar utangku.”

“Tuan Syaikh,” seru Pangeran Soka, “benarkah Tuan Syaikh


berutang kepada Li Han Siang?”

“Ya.”

“Kalau boleh tahu, untuk apa Tuan Syaikh berutang? Bukankah


orang seperti Tuan Syaikh sudah tidak butuh uang?” tanya
Pangeran Soka terheran-heran.

1522
“Apakah anehnya Syaikh Lemah Abang punya utang? Apakah
engkau juga menganggap aneh jika mengetahui bahwa Nabi
Muhammad Saw. pun pernah berutang?” kata Abdul Jalil
melanjutkan perjalanan.

Setelah berjalan ke berbagai tempat dan menyampaikan ajaran


sasyahidan, Abdul Jalil sampai ke suatu persimpangan jalan yang
terletak di sebuah lembah yang aneh: suatu hamparan tanah
berwarna hitam tanpa rumput dan tanpa semak-semak. Bukit-bukit
karang yang bertonjolan di permukaan tanah tegak menjulang
laksana barisan tombak ditancapkan di tanah berbatu. Di sekitar
bukit-bukit karang itu terhampar beratus-ratus lubang tanpa dasar
yang akan memerangkap siapa pun makhluk yang kurang
waspada. Semua yang tergelar di lembah itu terlihat hitam; tanah,
batu, pohon, bukit, awan, langit, bahkan cakrawala. Tidak satu
makhluk pun dijumpai Abdul Jalil di lembah itu. Sebab, siapa pun
tentu tidak suka datang ke tempat celaka yang disebut “lembah
kejahilan” itu.

Tidak berapa jauh setelah Abdul Jalil melangkahkan kaki ke


lembah hitam, ia melihat sesosok bayangan hitam manusia sedang
duduk merenung di bawah sebongkah batu hitam di kaki bukit.
Abdul Jalil mengerutkan kening menajamkan mata dan bertanya,
“Siapakah engkau, o sosok hitam yang berkerudung selimut
kebingungan?”

1523
“Kami adalah anak-anakmu, o Syaikh Lemah Abang,” kata sosok
itu dengan suara gemerisik bagai gesekan batang bambu ditiup
angin.

“Kami?” gumam Abdul Jalil mengacungkan kayu pemukulnya.


“Berapakah jumlahmu?”

“Jumlah kami sebanyak semut di sarangnya,” kata bayangan hitam


manusia itu seraya berdiri. Lalu terlihatlah pemandangan
mencengangkan: batu-batu yang terhampar di kaki bayangan
hitam manusia itu tiba-tiba ikut berdiri dalam wujud bayangan hitam
manusia dan makhluk-makhluk mengerikan dari Kegelapan.
Kemudian, dengan suara gemerisik bagai suara ribuan tampah
menampi gabah, bayangan-bayangan hitam itu berkata serentak,
“Kami adalah cacing-cacing tanah yang telah engkau cipta menjadi
hewan melata. Kami telah mengikuti jalan yang engkau
bentangkan di hadapan kami agar kami dapat mencapai negeri
agung di seberang lembah kejahilan ini dan tinggal di sana sebagai
adimanusia. Tetapi, kami tersesat dan tersungkur di lembah ini dan
menjadi batu-batu yang sedih dan merana. Sementara beribu-ribu
saudara kami malah jatuh terperosok ke dalam lubang-lubang
tanpa dasar dan tidak kami ketahui lagi nasibnya. Kami menuntut
tanggung jawabmu sebagai ibu dan sekaligus bapak yang telah
melahirkan kami ke dunia baru yang mengerikan ini.”

Dengan pandangan penuh kasih Abdul Jalil memandang


bayangan-bayangan hitam itu seolah-olah ingin membaca apa
1524
yang tertulis di jiwa mereka. Setelah menarik napas beberapa kali,
ia berkata dengan suara sebening tetesan air yang jatuh di panci
pada malam hari, “Lihat! Lihatlah cahaya gemerlap yang berkilau-
kilau di atas tebing-tebing tinggi di tanah seberang itu! Arahkan
kiblat hati dan pikiran kalian semua ke sana! Sebab, ke sanalah
engkau sekalian harus sampai, yakni negeri agung kediaman para
adimanusia.”

“Bukankah selama ini kami telah mengikuti petunjukmu itu?


Bukankah kami telah berikrar bahwa tidak ada jalan lain yang harus
kami lewati kecuali yang telah dibentangkan oleh Sang Penuntun
Agung? Tapi apa yang kami dapatkan? Tidak ada yang lain,
kecuali kesengsaraan, penderitaan, dan kesesatan!”

Abdul Jalil menggeram bagai singa dengan wajah merah padam.


Seraya mengacungkan tongkat pemukulnya ia berkata lantang,
“Tutup mulutmu, he pendusta-pendusta kecil! Aku tahu siapa
engkau sesungguhnya. Engkau adalah para pendusta bermulut
palsu, berhati palsu, dan berjiwa palsu. Engkau katakan bahwa
dirimu telah berikrar untuk tidak mengalihkan kiblat hati dan
pikiranmu dari cahaya di seberang lembah itu, namun ikrarmu itu
hanya sebatas ucapan di mulutmu yang palsu. Pandangan
matamu telah berpaling dari-Nya karena perhatianmu cenderung
pada benda-benda yang memesona penglihatanmu. Pendengaran
telingamu pun telah pekak dan tidak lagi mendengar suara-Nya.
Hatimu yang palsu dan tertutup karat kebendaan tidak dapat lagi
menerima benderang cahaya-Nya. Pikiranmu yang palsu dan
bercabang-cabang tidak mampu lagi berkiblat kepada-Nya.
1525
Lantaran itu, engkau tidak lagi dapat melihat jalan yang benar
sesuai petunjuk-Nya sehingga sebagian di antara kalian ada yang
tersungkur di lembah kejahilan, bahkan ada yang terperosok ke
dalam lubang tanpa dasar.”

“Aku tahu siapa sesungguhnya engkau, he penipu-penipu kecil!


Engkau katakan kepada semua orang bahwa engkau adalah
orang-orang beriman yang tunduk patuh pada Hukum Suci yang
ditetapkan-Nya. Engkau katakan kepadaku bahwa engkau telah
menjalankan apa yang telah aku ajarkan dan mengikuti petunjuk
jalan yang telah aku berikan. Tetapi, aku katakan kepadamu bahwa
engkau telah berdusta. Dusta. Dusta. Seribu kali dusta. Aku tahu,
sesungguhnya yang berjalan terseok-seok menyusuri lembah
kehidupan bukanlah tubuh, hati, dan pikiranmu, melainkan angan-
angan kosong (al-wahm) yang lahir dari lamunan (al-umniyah)
jiwamu yang kerdil dan rendah. Ya, yang menjalankan ajaranku
adalah angan-angan dan lamunanmu. Sungguh malu aku
mendengar engkau mengaku-ngaku sebagai anak-anak yang lahir
dari pikiran dan mimpi-mimpiku. Sebab, aku tidak pernah berpikir
tentang kekerdilan seekor cacing yang menggeliat di dalam tanah
sepanjang zaman. Aku juga tidak pernah bermimpi tentang
makhluk-makhluk pemalas yang suka pada pengumbaran nafsu.
Malu aku. Malu. Malu. Seribu kali malu.”

“Dengar! Dengarlah, he maling-maling kecil yang mengaku anak-


anakku! Akhirilah dustamu! Hentikanlah kebohonganmu! Sadarlah
engkau bahwa kehidupan dunia bukanlah kehidupan di surga
sebagaimana yang engkau bayangkan dan engkau angankan.
1526
Kehidupan dunia tidak bisa engkau nikmati dengan kemalasan dan
lamunan-lamunan tentang bidadari dengan sungai susu dan
kolalm madu. Kehidupan dunia harus engkau lampaui dengan
perjuangan keras yang tak kenal menyerah dan tak kenal pula
putus asa, sampai engkau menjadi adimanusia yang mewarisi
kehidupan di negeri agung yang penuh keselamatan dan
kesentosaan. Tanpa perjuangan keras, mustahil engkau dapat
meninggalkan lembah kejahilan ini. Kemalasan dan angan-angan
kosongmu akan menjadikan engkau tinggal abadi di lembah
kejahilan ini bersama anak, cucu, dan buyutmu.”

“Ayo anak-anakku, sekarang ikutilah jekakku! Sebab, aku akan


mengajarkan kepadamu tentang sasyahidan, yaitu kesaksian yang
benar tentang Sang Cahaya di atas segala cahaya dan Sang
Penuntun Agung, agar kalian semua dapat beroleh Kebenaran (al-
Haqq) hidup sejati serta tidak menjadi mayat-mayat berjalan tanpa
jiwa dan ruh. Aku akan tunjukkan kepadamu kehidupan
adimanusia yang tidak bisa ditundukkan dan diperbudak oleh
kawanan serigala dan musang yang akan menguasai bumi.”

“Ayo, kemarilah! Aku akan ajarkan kepadamu jalan Kebenaran


yang hakiki. Ketahuilah bahwa sejatinya Kebenaran (al-Haqq)
adalah Zat Yang Mahatampak (azh-Zhuhur al-Haqq). Dia tampak
pada segala sesuatu (azh-zhahir bi kulli syai’). Dia menampakkan
segala sesuatu (azh-hara kulla syai’). Dia yang nyata atas tiap-tiap
sesuatu (azh-zhahir li kulli syai’). Sebab, Dia adalah Yang Nyata
sebelum segala sesuatu ada (huwa zhahir qabla qujudi kulli syai’).
Tetapi, akibat benderang cahaya-Nya, engkau sekalian tidak dapat
1527
menyaksikan penampakan diri-Nya. Sementara selubung keakuan
yang menyelimuti dirimu makin menghijab mata batin (‘ain al-
bashirah) yang tersembunyi di dalam dirimu hingga engkau
sekalian menjadi buta terhadap-Nya. Lalu di dalam kebutaanmu
terhadap-Nya, engkau menjadi budak dari benda-benda.”

“Ayo, sekarang bertobatlah kalian semua untuk kembali setia


kepada-Nya. Ucapkanlah persaksian sekali lagi di hadapanku.
Persaksianmu kali ini tidak hanya sebatas mulut yang palsu, tetapi
kesaksian yang tembus ke hati dan menjadi gerak hidup seluruh
tubuh dan jiwamu. Aku katakan kepadamu bahwa kesaksian
bukanlah untuk dihafal dan diucapkan berulang-ulang, melainkan
untuk dijalani sebagai bagian utama dari kehidupan. Karena itu,
ikutilah jejakku meski engkau akan merasakan sakit tak
tertahankan!”

“Tahukah engkau apa yang aku maksud dengan mengikuti jejakku


dan engkau akan kesakitan? Pertama-tama, engkau harus
menyembelih jiwa kekanak-kanakanmu! Lalu, kupas kulit berbulu
kemunafikanmu! Lalu, sayat-sayat daging kemalasanmu! Lalu,
patahkan tulang-tulang kesombonganmu! Lalu, bersihkan jeroan
jiwa busukmu! Lalu, kumpulkan semua keakuanmu dalam
tumpukan daging, tulang, dan jeroan! Lalu, bagi-bagikan kepada
para fakir agar pengorbanan jiwa dan ragamu sampai kepada-
Nya.”

1528
“Sesungguhnya aku tidak pernah mengajarkan kepada engkau
sekalian untuk menjadi seorang mutajarrid yang melakukan uzlah
meninggalkan kehidupan duniawi. Aku justru mengajarkan kepada
engkau sekalian untuk menjadi seorang mutasabbib yang
berkhidmat kepada masyarakat untuk mendekatkan diri kepada-
Nya. Untuk menjadi seorang mutasabbib, kewajiban utama yang
harus dijalani adalah berkorban. Berkorban. Berkorban. Seribu kali
berkorban. Berkorban sampai lenyap semua keakuanmu menjadi
korban persembahan untuk-Nya.”

Abdul Jalil mengatupkan mulut rapat-rapat dan memandang


bayangan-bayangan hitam yang mengerumuninya. Bayangan-
bayangan hitam itu makin lama makin banyak karena mereka yang
terjerumus ke dalam lubang tanpa dasar pun tiba-tiba berhasil naik
ke permukaan dan ikut berkerumun mendengarkan ajaran
sasyahidan yang disampaikan Abdul Jalil. Kemudian terjadi
sesuatu yang mengherankan, sekumpulan bayangan hitam tiba-
tiba berdiri dan berkata dengan suara gemerisik sambil
mengepalkan tangannya ke atas, “Sekarang marilah kita bersama-
sama menjalankan segala sesuatu yang diajarkan oleh Syaikh
Lemah Abang, ibu dan bapak yang melahirkan kita. Marilah kita
mulai berjalan melampaui ‘lembah kejahilan’ ini menuju dunia
agung tempat kita akan menjadi adimanusia. Sungguh, telah kami
rasakan betapa sengsara dan menderitanya menjadi bayangan-
bayangan hitam yang tak jelas bentuk dan wujudnya ini. Ayolah,
kita mulai perjalanan panjang yang penuh tantangan ini. Ayolah
kita capai Cahaya benderang di puncak tebing menjulang itu
karena Cahaya itulah kiblat kita.”

1529
Tanpa menunggu waktu, kumpulan bayangan hitam itu
membalikkan badan dan melesat di atas tanah melintasi ‘lembah
kejahilan’ di tengah tatap dungu dan pandir kawan-kawannya yang
masih duduk melamun, asyik mendengarkan cerita yang
disampaikan Abdul Jalil. Melihat pemandangan itu Abdul Jalil
menarik napas panjang. Ia sadar tidak banyak manusia yang cukup
cerdas untuk menerima ajaran yang disampaikannya. Mereka,
keluhnya dalam hati, lebih suka terbuai cerita dan lalmunan
daripada menjalani apa yang diajarkannya. Ajaran sasyahidan
yang disampaikannya hanya cocok bagi manusia-manusia yang
kuat, cerdas, tabah, berani, dan pantang menyerah dalam
mewujudkan jati diri menjadi adimanusia.

Rasa bangga memenuhi dadanya saat ia menyaksikan bagaimana


sekumpulan bayangan hitam itu bergulat mempertunjukkan
keuletan untuk melampaui rintangan di tengah “lembah kejahilan”.
Dengan mata berbinar-binar ia melihat anak-anaknya itu saling
berlomba untuk mendahului, meski mereka jatuh bangun dan
bergulingan di atas bebatuan dan tanah berdebu. Tapi lihat!
Lihatlah! Di tengah lembah itu terjadi sesuatu yang menakjubkan;
bayangan-bayangan hitam itu, anak-anak Abdul Jalil itu, tiba-tiba
melompat tinggi ke atas melampaui tebing-tebing hitam yang tegak
menjulang. Ajaib, tubuh mereka menjelma menjadi singa-singa
perkasa berbulu kuning kecoklatan. Mereka mengaum dan berlari
terus saling mendahului menuju seberang lembah. Singa-singa itu
terus berlari dan melompat meninggalkan tebing-tebing, bukit-
bukit, jurang-jurang, batu-batu, pohon-pohon, semak-semak,
padang pasir, dan lubang-lubang tanpa dasar. Melihat kejadian
menakjubkan itu, tanpa sadar Abdul Jalil mengangkat tongkat
1530
pemukulnya ke atas dan berseru gembira, “Ayo maju terus!
Songsonglah matahari pagimu yang cemerlang dan gilang-
gemilang! Melompatlah terus, o anak-anakku! Lampaui
kesingaanmu agar engkau menjelma menjadi manusia.
Melompatlah terus, o anak-anakku! Lampaui kemanusiaanmu agar
engkau menjadi adimanusia!”

Melihat Abdul Jalil mengacung-acungkan tongkat pemukulnya


untuk menyemangati kawanan singa yang berlomba melintasi
“lembah kejahilan”, bayangan-bayangan hitam yang
mengerumuninya tiba-tiba bangkit dan berdiri di samping kanan
dan kirinya. Dengan terheran-heran mereka ikut-ikutan melihat ke
arah singa-singa yang sedang berpacu melintasi lembah. Namun,
dalam penglihatan mereka bukan kawanan singa yang berlomba
saling mendahului, melainkan sekumpulan katak hitam yang
melompat-lompat di atas tanah berlumpur. Setelah saling
memandang dengan tatapan dungu, mereka kemudian bertepuk
tangan, bersorak-sorai, tertawa-tawa, dan berteriak-teriak
menyemangati katak-katak itu dengan suara gemerisik bagai derik
beribu-ribu tonggeret, “Ayo lompat! Jangan mau ketinggalan! Ayo
katak, lompati kawanmu! Lompat terus! Lompat!”

Ketika cakrawala terbentang dan bedug subuh ditabuh bertalu-talu,


Raden Ketib tersentak dari renungan karena menyaksikan
matahari Kebenaran bersinar gemilang dari balik gunung-gunung
berkabut di kedalaman jiwanya. Sesaat ia terheran-heran
menyaksikan kenyataan itu. Dan ia makin keheranan ketika
mendapati dirinya berada di sebuah dunia dengan cakrawala
1531
kesadaran baru yang mengubahnya dari seekor kupu-kupu
menjadi seekor burung. Ia merasa bumi tiba-tiba menjadi ringan
sehingga ia dapat terbang secepat burung ke angkasa. Ia tidak
tahu apa yang sebenarnya telah terjadi pada dirinya. Dunui yang
dikenalnya dulu kini berubah menjadi sesuatu yang lain;
cakrawala, langit, awan, air, pohon, batu, rumput, embun, dan
bahkan tanah yang dipijaknya terasa lain.

Dengan benak dikerumuni tanda tanya, ia menanyakan perubahan


yang dialaminya itu kepada Syaikh Datuk Bardud. Namun, putera
Syaikh Datuk Abdul Jalil itu tidak menjawab dan hanya memberi
isyarat agar ia bertanya pada hati nuraninya sendiri. Pada saat ia
akan menanyai hati nuraninya, ia tiba-tiba teringat betapa selama
menelusuri jejak berliku dari Syaikh Datuk Abdul Jalil, ia telah
mengalami perubahan demi perubahan kesadaran yang berlapis-
lapis dan bertingkat-tingkat seibarat kesadaran telur, ulat,
kepompong, kupu-kupu, dan kemudian burung. Ya, ia mendadak
teringat bahwa di balik tersingkapnya kesadaran demi kesadaran
yang dialaminya itu, yakni saat ia melewati tirai demi tirai dan
memasuki matra demi matra yang lebih luas, lebih terang, lebih
hakiki, sesungguhnya ia diseret oleh suatu “daya gaib” yang tak
diketahui dari mana asalnya. Bahkan, kini, saat ia memasuki
kesadaran burung, ia tetap merasa segala sesuatu yang ada pada
dirinya dilingkupi oleh “daya gaib” tersebut.

Anehnya, dengan kesadaran barunya itu ia tidak sekadar dapat


memahami dengan jelas liku-liku perjuangan Syaikh Datuk Abdul
Jalil yang begitu menakjubkan, tetapi ia dapat pula merasakan apa
1532
yang dirasakan oleh Syaikh Datuk Abdul Jalil dan mereka yang
terlibat di kancah pergulatan sejarah masa lampau. Ia seolah-olah
ikut terlibat di dalamnya. Ia merasakan jiwanya ikut terombang-
ambing dan terempas bagai air diaduk badai.

Raden Ketib sadar bahwa ia tidak cukup mampu untuk menangkap


secara utuh keberadaan Syaikh Datuk Abdul Jalil beserta sepak
terjangnya yang menakjubkan. Ia tidak memiliki kata-kata yang
tepat untuk menggambarkan keberadaan utuh Syaikh Datuk Abdul
Jalil, kecuali menyebutnya sebagai sosok raksasa pada
zamannya: raksasa di dalam pemikiran, raksasa di dalam ajaran,
dan raksasa di dalam karya. Dengan demikian, segala usaha
manusia untuk mengerdilkan sang raksasa pastilah akan berujung
pada kegagalan sebab kodrat hidup seorang raksasa adalah
menjadi raksasa. Orang boleh membenamkan sang raksasa di
bawah kubangan lumpur, atau menyusupkannya di bawah
timbunan sampah, atau menyelipkannya di kandang babi, atau
menyurukkannya di lubang semut, namun seorang raksasa yang
dikodratkan menjadi raksasa akan selalu menjadi raksasa, tidak
akan pernah menjadi anjing apalagi cacing tanah.

Tentang keraksasaan Syaikh Datuk Abdul Jalil, setidaknya


diketahui Raden Ketib lewat kesaksian-kesaksian orang-orang
dekatnya yang menuturkan keberadaan sang raksasa dengan
penuh kekaguman. Bukan hanya Ki Gedeng Pasambangan,
Raden Kusen Adipati Terung, Syaikh Maulana Jati, Pangeran
Cirebon, Pangeran Pasai Fadhillah Khan, bahkan Raden Sahid
yang sangat dihormati di Demak pun tidak dapat menyembunyikan
1533
kebanggaan ketika mengungkapkan kesaksiannya tentang Syaikh
Datuk Abdul Jalil. Malah, yang tak pernah diduga-duga oleh Raden
Ketib adalah pengakuan Susuhunan Kalijaga itu yang menyatakan
bahwa sang raksasa yang dikutuk banyak orang itu sejatinya
merupakan mertuanya. “Zainab, puteri beliau, adalah istri
pertamaku,” ujar Raden Sahid tegas.

Pengakuan Raden Sahid tak pelak menyingkap tirai rahasia yang


selama ini menyelubungi Syaikh Datuk Abdul Jalil dari
pengetahuan Raden Ketib. Dengan pengakuan itu, Raden Ketib
menangkap kenyataan betapa kehidupan manusia pada dasarnya
tidak berdiri sendiri dan tidak pula terlepas dari ikatan antara yang
satu dengan yang lain. Kehidupan manusia ibarat rangkaian tali-
temali yang saling menjalin. Meski simpul satu dengan simpul yang
lain berbeda dalam ukuran dan bentuk, mereka saling
menguatkan. Bahkan, keberadaan salah satu simpul tali yang
kelihatan paling kusut pun jika diurai dan diamati secara lebih
cermat akan memperlihatkan jati diri sebagai ikatan simpul yang
paling kuat dan paling menentukan rangkaian tali-temali itu.
Demikianlah, keberadaan Syaikh Datuk Abdul Jalil sebagai simpul
tali yang dianggap paling kusut yang dinista dan dihina sebagai
sumber kekusutan seluruh jalinan tali-temali kehidupan manusia,
ternyata merupakan simpul tali yang selama puluhan tahun tak
pernah putus dan bahkan terus memanjang membuat simpul-
simpul baru hingga mirip jaring laba-laba raksasa.

Jaringan tali-temali kehidupan anak manusia yang terikat pada


simpul Syaikh Datuk Abdul Jalil setidaknya diketahui Raden Ketib
1534
beberapa waktu menjelang Raden Kusen, kakeknya, meninggal
dunia. Saat itu, tanpa hujan tanpa angin, Raden Kusen mengirim
utusan ke Palembang untuk meminang Nyi Mas Ilir, adik Raden
Ketib, untuk dinikahkan dengan Pangeran Wirakusuma, putera
Pangeran Cirebon, cucu Sri Mangana. Ketika pesta pernikahan
dilangsungkan dan semua kerabat datang, Raden Ketib mendapati
sejumlah tamu yang namanya pernah didengarnya berkaitan
dengan Syaikh Datuk Abdul Jalil. Bahkan, saat Raden Kusen wafat
setelah hari ketiga pernikahan, sejumlah orang yang bertakziah
diketahui Raden Ketib sebagai pengikut-pengikut Syaikh Datuk
Abdul Jalil. Mereka berkumpul dari berbagai tempat bagaikan
gumpalan kabut yang kemudian menghilang dari penglihatan.

Rupanya, secara diam-diam para pengikut Syaikh Datuk Abdul


Jalil dengan setia menjalankan gagasan-gagasan yang
diwariskannya, baik tentang masyarakat ummah, wilayah al-
Ummah, maupun ajaran tarekatnya. Itu sebabnya, sepeninggal Sri
Mangana, bukan Pangeran Cirebon yang menggantikannya
sebagai kalifah dan ratu Caruban, melainkan Pangeran
Muhammad Arifin, putera Syarif Hidayatullah dengan Nyai
Tepasari. Hal itu terjadi karena para wali nagari dan gedeng se-
Caruban Larang bermusyawarah dan bersepakat menunjuk
Pangeran Muhammad Arifin yang menggunakan gelar Pangeran
Pasarean. Alasan penunjukan Pangeran Pasarean sebagai kalifah
Caruban tidak lain dan tidak bukan karena dia dianggap sebagai
orang yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan Syaikh Datuk
Abdul Jalil. Sementara untuk melanjutkan kedudukan ratu sebagai
bagian dari tradisi, Pangeran Cirebon diangkat sebagai

1535
manggalayuddha karena dianggap mewarisi bakat ayahandanya
dalam memimpin militer.

Kekuatan jaringan tali-temali yang diikat oleh Syaikh Datuk Abdul


Jalil tanpa terduga tiba-tiba menjerat Raden Ketib dan
mengikatnya sebagai bagian dari jaringan tali-temali raksasa yang
tak terlihat mata. Alkisah ketika Raden Ketib bersama-sama
dengan Syaikh Datuk Bardud berkeliling ke berbagai tempat untuk
bersilaturahmi dan sekaligus menguak teka-teki yang
menyelubungi Syaikh Datuk Abdul Jalil, ternyata para gedeng, wali
nagari, dan pengikut Syaikh Datuk Abdul Jalil diam-diam
mengawasi dan menilainya. Sepekan setelah Raden Kusen wafat
tiba-tiba Raden Ketib diundang untuk hadir dalam musyawarah
para gedeng di Pekalipan. Ternyata, perwakilan warga Tegal
Gubuk dan para gedeng serta kalifah sepakat menunjuk Raden
Ketib sebagai gedeng di Tegal Gubuk untuk menggantikan gedeng
lama yang meninggal setahun silam. Sebagaimana gedeng
terdahulu, Raden Ketib diberi gelar sebutan Ki Gedeng Sura.

Dengan memangku jabatan sebagai gedeng, Raden Ketib sadar


tentang kedudukan ruhaninya di tengah gagasan wilayah al-
Ummah. Ia sadar belum cukup mampu mencapai kedudukan
manusia apalagi adimanusia sebagaimana diharapkan Syaikh
Datuk Abdul Jalil. Namun, ia tetap berusaha untuk menjalankan
apa yang diajarkan oleh Syaikh Datuk Abdul Jalil, yaitu berjuang
keras melampaui manusia agar menjadi adimansia. Ia pun sadar
tidak cukup banyak orang mampu mewadahi gagasan-gagasan,
ajaran, dan kekaryaan Syaikh Datuk Abdul Jalil, apalagi untuk
1536
menjalankannya sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari.
Gagasan, ajaran, dan kekaryaan Syaikh Datuk Abdul Jalil terlalu
raksasa untuk dipahami dan dijalankan oleh makhluk-makhluk
kerdil, sebagaimana ketidakmampuan kawanan burung pipit
pencuri padi untuk meneladani rajawali raksasa. Raden Ketib tidak
memiliki pilihan kata yang tepat untuk menggambarkan hal itu
kecuali melalui sindiran pepatah yang berbunyi: “Bagaikan
memberi sebutir permata kepada kawanan kera”. Ya, permata
gagasan yang disumbangkan Syaikh Datuk Abdul Jalil hanya
dijadikan “permainan” oleh orang-orang yang tidak cukup mampu
untuk mewadahi, apalagi menjalaninya.

Melalui Syaikh Datuk Bardud, Raden Ketib memang telah berhasil


menyingkap sebagian kehidupan Syaikh Datuk Abdul Jalil
berdasar kesaksian-kesaksian. Namun, ia merasa betapa
kehidupan Syaikh Datuk Abdul Jalil masih cukup kuat diselubungi
teka-teki. Ada banyak rahasia yang masih tersembunyi. Ia
demikian berharap dapat beroleh kesaksian yang lebih utuh dari
Raden Sahid dan Pangeran Pasai Fadhillah Khan yang telah
menyanggupi untuk menuturkan perikehidupan Syaikh Datuk
Abdul Jalil. Ya, kata Raden Ketib dalam hati, aku berharap dengan
kesaksian-kesaksian mereka akan dapat mengetahui lebih utuh
tentang kehidupan manusia raksasa yang terselubungi kabut
rahasia kehidupan itu.

Ketika Raden Ketib berencana pergi ke Demak bersama Syaikh


Datuk Bardud untuk menemui Susuhunan Kalijaga, tanpa terduga-
duga Syaikh Datuk Bardud malah berpamitan akan kembali ke
1537
Gujarat. “Sesuai pesan beliau, aku harus kembali ke Gujarat,” kata
Syaikh Datuk Bardud sambil memegangi bahu Raden Ketib.

Raden Ketib merasakan bibirnya bergetar, tenggorokannya panas,


dan dadanya berdegub keras. Ia terguncang dengan kejadian tak
terduga itu. Kemudian dengan suara terbata-bata ia berkata, “Jika
saya boleh bertanya, kenapa Rakanda tidak tinggal di Caruban
saja untuk melanjutkan ajarannya?” “

Ajaran tarekat, maksud Adinda?” Syaikh Datuk Bardud


mengerutkan kening. “

Ya.” “

Bukankah Adinda sudah paham bahwa Tarekat Akmaliyyah itu


dinisbatkan kepada Allah dan tidak bisa diwariskan berdasar
keturunan?” “

Tetapi, Rakanda memiliki kemampuan untuk menjadi guru


manusia.” “

Ketahuilah, o Adinda, bahwa dia tidak menginginkan siapa pun di


antara putera-puteri dan keluarganya untuk mengaitkan diri
dengan namanya. Sebab, dia memiliki prinsip bahwa yang disebut
1538
anak bukanlah pewaris titisan darah, melainkan mereka yang
mengikuti jalannya dalam melampaui tingkatan manusia menjadi
adimanusia. Itulah yang disebut anak. Dia mengatakan sangat
malu jika memiliki keturunan binatang. Itu sebabnya, dia memaksa
putera dan puterinya untuk mewujudkan diri sebagai adimanusia,”
kata Syaikh Datuk Bardud. “

Saya paham itu, Rakanda,” kata Raden Ketib. “Tapi, satu hal yang
saya mohon dari Rakanda agar dikabulkan.” “

Apa itu?” “

Di manakah letak makam Syaikh Datuk Abdul Jalil?”

Syaikh Datuk Bardud tertawa. Kemudian sambil menepuk-nepuk


bahu Raden Ketib, ia berkata, “Apakah engkau pikir ayahandaku
sudah wafat? Sesungguhnya dia hidup, hanya engkau yang tidak
mengetahuinya, o Adinda terkasih.” “

Beliau masih hidup?” seru Raden Ketib bagai tersambar petir. “

Ya.” “

1539
Di manakah beliau sekarang tinggal?” “

Aku tidak berhak memberi tahu. Tetapi jika engkau ingin menjadi
putera ruhani Syaikh Datuk Abdul Jalil, engkau harus mencari dan
menemukan sendiri jawaban dari pertanyaanmu itu. Sebab
sebagaimana kita tahu, dia membenci kemalasan. Lantaran itu, dia
selalu membawa tongkat pemukul untuk menghardik para
pemalas. Dan dia selalu membentengi diri dengan banyak teka-teki
untuk mendidik manusia agar tidak malas berpikir dan malas
berusaha. Dengan kemampuanmu, o Adinda terkasih, aku yakin
engkau akan dapat memecahkan teka-teki ini.” “

Adakah perlambang yang bisa saya jadikan penunjuk arah untu


memecahkan teka-teki ini?” “

Syaikh Datuk Abdul Jalil adalah seekor rajawali pengarung


Kesunyian dan pecinta Kehampaan. Di sanalah, di tengah
Kehampaan dan Kesunyian itu, engkau akan mendengar
jeritannya yang membelah keheningan. Di sanalah, di puncak-
puncak tebing yang menjulang mencakar langit, engkau akan
menemukan sarangnya,” kata Syaikh Datuk Bardud menegaskan.

Aku sekarang telah memiliki kesadaran burung, o Rakanda


terkasih,” kata Raden Ketib dengan mata berbinar-binar dan dada
menggemuruh dikobari semangat. “Aku yakin akan dapat
1540
menemukan sarang sang rajawali, meski badai dan ketinggian
akan menghadang usahaku terbang ke puncak-puncak tebing
menjulang. Aku akan terus terbang! Terbang! Terbang! Meski
sayap-sayapku akan patah.” “

Terbanglah ke angkasa kebebasanmu, o Saudaraku. Terbanglah


melampaui keburunganmu yang kecil sampai engkau menjelma
menjadi rajawali, pengarung Kesunyian dan pecinta Kehampaan.
Terbanglah terus sampai sayap-sayapmu menjadi sayap-sayap
malaikat yang menembus ‘tirai gaib’ Kehampaan,” ujar Syaikh
Datuk Bardud sambil berlalu dan menghilang dalam selimut kabut
malam.

1541
SULUK MALANG SUNGSANG

KONFLIK DAN PENYIMPANGAN


AJARAN SYAIKH SITI JENAR

BUKU 6
AGUS SUNYOTO

Pengantar Redaksi

Akhirnya, saat-saat sejarah Syaikh Siti Jenar semakin mendekati


ujung. Buku ini merupakan satu dari dua buku penutup (Suluk
Malang Sungsang: Konflik dan Penyimpangan Ajaran Syaikh Siti
Jenar Buku Keenam dan Ketujuh). Sebagaimana sebuah teka-teki,
kisah akhir hidupnya menimbulkan pertanyaan beragam: Benarkah
dia mati? Benarkah dia tidak mati? Benarkah dia dimatikan?
Namun demikian, yang lebih penting adalah apa yang ada di balik
teka-teki itu. Bagaimana orang-orang memahami ajarannya?

Sejarah hampir tidak pernah berbicara tentang kelompok marjinal


karena dianggap telah subversif melalui wacana dan praksis
keagamaan yang mereka kembangkan. Mereka dianggap
menantang status quo kaum mayoritas. Sejarah kaum
terpinggirkan telah tertindas oleh sejarah yang berpusat pada
kaum borjuasi lain: ulama dan elit penguasa.

1542
Hegemoni menurut Gramsci bukan semata-mata dominasi,
melainkan juga “kepemimpinan” dan “kekuasaan” kelompok sosial
tertentu yang diwujudkan dalam masyarakat luas melalui
keberhasilan untuk mendapatkan pengaruh.

Persoalan dasar hegemoni bukanlah tentang bagaimana suatu


kelompok baru mendapatkan dominasi dan kekuasaan, melainkan
lebih penting lagi bagaimana kelompok itu sampai bisa diterima
tidak hanya sebagai penguasa, juga sebagai “pemandu”
masyarakat sehingga mampu memainkan peran sebagai
pemimpin moral.

Kepemimpinan moral yang hegemoni dapat menjadi dominan


secara formal melalui aliansi dengan kekuatan politik. Begitu
aliansi seperti itu terjadi maka kekuatan dominan dan hegemonik
dapat menggunakan kekuatan dan bahkan kekerasan untuk
mempertahankan posisinya yang dominan. Pada tahap inilah
muncul kelompok-kelompok terpinggirkan yang menjadi sasaran
dominasi dan penindasan.

Kerja keras Syaikh Siti Jenar Abdul Jalil untuk mewujudkan


pembaharuan-pembaharuan dalam tatanan hidup manusia masih
berlanjut pada buku ini. Ia membuka Dukuh Lemah Abang, Lemah
Ireng, Lemah Putih, Lemah Jenar, membentuk Caturbhasa
Mandala, dan Majelis Wali Songo. Di sini ia pun banyak
menyingkap perjanjian-perjanjian rahasia dalam mewujudkan cita-
citanya.
1543
Demikian pula, kabar kedatangan pasukan Dajjal, Ya’juj wa Ma’juj,
yang dibawa Syaikh Siti Jenar semakin mendekati kebenaran.
Bangsa kulit putih bermata biru tengah beriap-riap mengibarkan
pengaruhnya.

Tidak mudah memang merekonstruksi sejarah masa silam yang


jauh. Namun demikian, ini merupakan kerja penting untuk
medudukkan peristiwa-peristiwa historis dalam posisinya secara
proporsional dan adil.

Kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada Mas Agus


Sunyoto yang mempercayakan penerbitan karya ini kepada kami.
Kepada pembaca yang budiman, kami mengucapkan selamat
membaca.

1544
Kesadaran Burung

Kesadaran burung adalah kesadaran yang


diperoleh seorang penempuh (salik) selama
tahap-tahap perjalanan ruhani melampaui
kedudukan (maqamat) menuju Kesatuan
(Tauhid). Bagaikan seekor burung, seorang
salik yang sudah mencapai tahap ini akan
menyaksikan dunia sebagai tempat hinggap sementara dan dapat
ditinggalkan kapan pun dikehendaki. Segala sesuatu yang terkait
dengan kecintaan terhadap dunia (hubb ad-dunya) sudah
menyingsing bagaikan matahari menyeruak di tengah gumpalan
awan hitam. Dunia telah menjadi sesuatu yang rendah di
bawahnya. Pada tahap ini sang salik akan merasakan getar-getar
cinta (hubb) seorang pecinta (muhibb) untuk mengarahkan
pandangan kepada Kekasih (Mahbub) sehingga yang lain (ghair)
akan terabaikan.

Kesadaran burung adalah kesadaran sang salik melihat dunia


sebagai sekadar tempat berpijak untuk hinggap, makan, istirahat,
bermadu kasih, tidur, dan bersarang. Atau, kesadaran makhluk
berkedudukan tinggi yang selalu mengarahkan pandangan ke
hamparan kehidupan di bawahnya. Atau, kesadaran untuk selalu
melimpahkan segala sesuatu dari atas tanpa pernah menengadah
dari bawah. Atau, kesadaran untuk selalu memberi tanpa pernah
meminta. Atau, kesadaran seorang salik yang sudah di ambang
batas antara alam kasatmata dan alam tak kasatmata. Atau,
kesadaran untuk memaknai angkasa kosong sebagai Tujuan akhir
1545
dari Kebebasan yang didambakannya, meski sayap-sayapnya
telah patah dan tubuhnya terbanting menjadi bangkai di muka
bumi. Di atas semua gambaran itu, mereka yang sudah memiliki
kesadaran burung adalah cermin dari jiwa merdeka yang tak sudi
bertekuk lutut kepada sesama, meski kepadanya disediakan
sangkar emas dan limpahan makanan.

Meski kesadaran burung nilainya lebih tinggi dibanding kesadaran


hewan melata dalam rentang perjalanan ruhani seorang salik,
kesadaran burung masih terjenjang berdasarkan tingkat-tingkat
kedudukan (maqamat) yang mencitrai makna keburungan. Ada
kesadaran burung gagak yang tak mampu terbang tinggi dan jauh:
itulah kesadaran yang masih tercekam lingkaran angan-angan (al-
wahm) yang memunguti serpihan-serpihan bangkai kamalasan
dan cepat lupa diri jika dipuji-puji. Ada kesadaran burung merak
yang tak mampu terbang tinggi dan jauh: itulah kesadaran yang
cenderung membusungkan dada dan membentangkan bulu-bulu
untuk memamerkan keindahan citra dirinya sebagai yang terbaik
dan terindah di antara segala burung. Ada pula kesadaran bangau
yang pintar bertutur kata, namun cenderung memuji diri dan selalu
memamfaatkan “udang-udang” yang percaya pada ucapannya.

Pada tingkat-tingkat kedudukan selanjutnya ada yang disebut


kesadaran burung beo, yang cenderung bangga dan berpuas diri
bisa berkata-kata menirukan kata-kata orang bijak tanpa tahu
maknanya. Ada kesadaran burung pipit yang cenderung
berbangga diri hidup dalam kawanan-kawanan dan kemudian
membanggakan kawanannya sebagai yang paling baik dan benar.
1546
Ada kesadaran burung merpati yang meski mampu terbang tinggi
dan jauh, cenderung gampang terbujuk oleh kemapanan sehingga
menjadi hewan peliharaan yang jinak. Yang tergagah dan
terperkasa adalah kesadaran burung rajawali; sebuah kesadaran
yang terbang tinggi dan jauh di tengah kesenyapan angkasa,
berkawan kesunyian dan keheningan, bersarang tinggi di puncak
tebing karang, tidak makan jika tidak lapar, tidak minum jika tidak
haus, dan selalu bertasbih memuji Penciptanya dengan suara
garang digetari makna rahasia: haqq…haqq…haqq!

Raden Ketib yang sadar dirinya telah memiliki kesadaran burung


sering merasakan kegamangan ketika belajar terbang
mengepakkan sayap jiwanya menembus angkasa luas tanpa
batas. Ia gamang karena belum tahu apakah kesadaran yang
dimilikinya itu kesadaran gagak, bangau, merak, pipit, beo,
merpati, atau rajawali. Ia hanya merasa telah menjadi seekor
burung yang setiap saat dengan ringan dapat terbang
meninggalkan bumi. Di tengah kegamangan itulah ia menyaksikan
angkasa sekitarnya penuh dilintasi kelebatan burung yang
mengepakkan sayap-sayapnya dengan suara gemuruh; burung
gagak hitam, burung bangau yang putih, burung merak yang aneka
warna, burung beo yang hitam dengan jambul kuning, burung pipit
yang coklat, burung merpati yang kelabu, dan burung rajawali yang
coklat bersalut putih.

Di tengah kelepak sayap burung-burung yang terbang memenuhi


angkasa itu, tanpa terduga dan terbayangkan sebelumnya tiba-tiba
Raden Ketib menyaksikan bayangan Sang Maut membentangkan
1547
sayap di atas angkasa Nusa Jawa bagaikan bayangan burung
raksasa yang mengerikan. Peristiwa menakjubkan itu
disaksikannya ketika ia melakukan perjalanan dari kediaman
Pangeran Fadhilah Khan di Caruban ke kediaman Raden Sahid,
Susuhunan Kalijaga, di Demak. Sepanjang perjalanan yang
dilakukannya itu, baik dengan perahu maupun dengan berjalan
kaki, ia terus-menerus mendengar berbagai cerita tentang Sang
Maut yang rakus dan tak kenal puas menghirup napas kehidupan
yang berpusar-pusar di tengah kelebatan pedang, tombak, panah,
dan keris pusaka yang tersebar di gunung, lembah, bukit, hutan,
sawah, desa, dan kuta di Nusa Jawa. Bahkan, saat berada di
Demak ia mendengar jeritan Sang Maut begitu mengerikan seolah-
olah ledakan halilintar yang membelah cakrawala jiwanya.

Para pelaut menuturkan kepadanya, meski Sang Maut tidak


seganas dan serakus tahun-tahun sebelumnya, napas kehidupan
yang dihirup-Nya pada tahun-tahun belakangan masih
menggemakan tembang Kematian di berbagai sudut Nusa Jawa.
Di tanah Blambangan yang membentang di timur Nusa Jawa,
tembang Kematian masih terdengar mengharu biru di tengah
kelepak sayap Sang Maut yang menggemuruh di Pajarakan,
Besuki, dan Demung. Sementara para pedagang di pedalaman
menuturkan, di tanah Pasir yang menghampar di selatan Nusa
Jawa, Sang Maut tengah mengumandangkan kidung Kematian di
Bocor, Wirasabha, dan Maron. Melalui pandangan mata batin (‘ain
al-bashirah), Raden Ketib memang menyaksikan Sang Maut
mengejawantahkan keberadaan-Nya laksana hamparan mendung
kelabu tersalut cahaya subuh dengan berjuta sayap Kematian
mengambang di cakrawala.
1548
Ketika Raden Ketib menjumpai para kawi yang bijak dan waskita
sepanjang perjalanan ke Demak, ia beroleh petunjuk bahwa sejak
zaman purwakala Sang Maut telah menampakkan kesetiaan dan
kecintaan pada Nusa Jawa. Kesetiaan Sang Maut laksanan
kesetiaan burung raksasa Kematian di alam dongeng yang setia
menunggu Pohon Kehidupan tempatnya bersarang. Selama
puluhan abad Sang Maut dengan keganasan tiada tara nyaris tak
pernah beranjak dari pohon Kehidupan yang disebut Nusa Jawa.
Dari waktu ke waktu, Sang Maut dengan kerakusan menakjubkan
menggelar pesta darah, menyantap penghuni Nusa Jawa bagaikan
burung raksasa Kematian menyantap kawanan ulat yang
memenuhi penjuru pohon.

Aneh, tutur para kawi nan bijak, manusia-manusia penghuni Nusa


Jawa yang bagaikan kawanan ulat itu secara ajaib tidak pernah
habis, meski dijadikan santapan dalam pesta darah Sang Maut.
Ulat-ulat itu terus berdatangan ke Pohon Kehidupan Nusa Jawa.
Dengan beriap-riap mereka bermunculan dari pohon-pohon
sekitar, seolah-olah sengaja menyuguhkan diri untuk disantap.
Demikianlah, sang burung raksasa Kematian akhirnya tak pernah
beranjak pergi dari Pohon Kehidupan yang menyuguhkan
santapan lezat. Sambil berkicau dan menjerit-jerit garang sang
burung raksasa Kematian menyantap dengan lahap manusia-
manusia ulat penghuni Pohon Kehidupan Nusa Jawa sebagai
makanan kesukaan-Nya.

Kepada Raden Ketib para kawi menuturkan, sejak zaman


purwakala Sang Maut telah beribu-ribu kali menjadikan penghuni
1549
Nusa Jawa sebagai hidangan lezat dalam pesta darah. Tidak satu
pun penghuni Nusa Jawa yang ingat berapa kali perhelatan pesta
darah dilakukan. Mereka hanya bisa menandai bahwa citra
Kematian bagi penghuni Nusa Jawa adalah berwarna merah
laksana darah yang tumpah pada pesta tersebut. Para kawi sejak
zaman purwakala menggambarkan kegemaran Sang Maut
menyantap penghuni Nusa Jawa itu sebagai kegemaran penghuni
Nusa Jawa mengunyah buah pinang dan sirih yang mengeluarkan
cairan berwarna merah. Kematian mereka gambarkan sama
merahnya dengan air kunyahan sirih dan pinang. Kematian adalah
darah. Kematian adalah air kunyahan sirih. Kematian adalah air
kunyahan pinang. Kematian adalah merah. Lantaran itu, kata pejah
(Jawa Kuno: mati), mengandung perlambang yang sama dengan
kata pejah (Jawa Kuno: pinang) yang jika dikunyah menghasilkan
air berwarna merah. Kata seda (Jawa Kuno: mati) pun
mengandung makna perlambang yang sama dengan kata alirkan
air berwarna merah. Bagi penghuni Nusa Jawa, Kematian adalah
darah merah. Darah adalah Kematian. Kematian adalah merah.
Merah adalah Kematian.

Di tengah kegemaran Sang Maut mengunyah penghuni Nusa Jawa


bagaikan kegemaran mereka mengunyah pinang dan sirih, di
tengah kuatnya kesan bahwa Kematian adalah darah dan merah,
tiba-tiba muncul seorang guru manusia yang dengan aneh
mengajarkan manusia untuk “belajar mati”, “belajar mengakrabi
Kematian”, dan “mencintai Sang Maut”. Aneh memang. Di tengah
orang-orang yang takut dengan Kematian justru ada yang
menyampaikan ajaran sebaliknya. Guru manusia itulah yang
dikenal dengan nama Syaikh Datuk Abdul Jalil atau masyhur
1550
dengan sebutan Syaikh Lemah Abang (tanah merah), Syaikh
Sitibrit (tanah merah), Syaikh Jabarantas (yang berpakaian
compang-camping), dan Susuhunan Binang (raja merah), yang
semuanya merujuk dengan kata merah: lambang Kematian.

Keanehan ajaran Syaikh Lemah Abang tentang Sang Maut dan


Kematian di tengah orang-orang yang akrab dengan Kematian
ternyata telah menimbulkan berbagai kesan dan pandangan
beragam dari mereka yang belum mengenal secara dekat baik
pribadi maupun ajaran sang guru manusia tersebut. Ada yang
menganggap Syaikh Lemah Abang telah mengajarkan ajaran
sesat: mati adalah hidup dan hidup adalah mati. Ada pula yang
menganggap Syaikh Lemah Abang sesat karena telah menyuruh
pengikutnya untuk bunuh diri mencari mati. Bahkan, tak kurang ada
yang beranggapan Syaikh Lemah Abang adalah Kematian itu
sendiri, titisan Hyang Yamadipati Sang Pencabut Nyawa, sehingga
siapa pun yang berdekatan dengannya akan mati. Kematian
adalah merah. Merah adalah Kematian. Lemah Abang yang
bermakna tanah merah adalah tanah Kematian. Lemah Abang
adalah tanah larangan, mala ning lemah, yang harus dijauhi.

Ketumpangtindihan dan kegandaan makna kata dalam bahasa


Jawa, yang cenderung dikait-kaitkan dengan kerangka pikir otak-
atik mathuk, itulah yang ditangkap Raden Ketib ketika ia beroleh
penjelasan tentang liku-liku hidup Syaikh Datuk Abdul Jalil dari
Raden Sahid yang dijumpainya di Selamirah (batu merah) di kaki
Gunung Chandramukha (Merbabu). Rupanya, menurut kesan
Raden Ketib, liku-liku hidup Raden Sahid tak jauh berbeda dengan
1551
mertuanya, Syaikh Datuk Abdul Jalil. Maksudnya, meski orang
mengatakan Syaikh Datuk Abdul Jalil tinggal di Lemah Abang,
kenyataan menunjuk bahwa guru manusia itu selalu berkeliaran ke
mana-mana untuk menyampaikan ajarannya. Hal serupa
menunjuk pula pada Raden Sahid. Kadilangu yang dianggap
sebagai kediaman Raden Sahid ternyata hanya merupakan
kediaman istri dan putera-puterinya. Raden Sahid sendiri nyaris tak
pernah berada di rumah, karena mengikuti jejak mertuanya untuk
menyampaikan ajaran Tauhid kepada manusia-manusia yang
berada di dalam kegelapan akal dan budi yang diliputi karat
kejahilan. Lantaran itu, Raden Sahid dikenal dengan sebutan
masyhur Syaikh Malaya (guru ruhani pengelana).

Di bawah cahaya rembulan yang menerangi punggung Gunung


Chandramukha, di dalam bayangan atap balai-balai yang berdiri di
antara batang-batang pohon randu alas di ujung desa Selamirah,
di tengah terkaman rasa dingin malam, Raden Ketib duduk bersila
di atas hamparan lampit (tikar rotan). Di hadapannya tersuguh
aneka kue lezat yang disediakan murid Raden Sahid, Ki Luwung
Salawe (Jawa Kuno: kehampaan sebesar benang), yang
menemaninya selama menunggu Raden Sahid. Meski dua belas
jenis penganan lezat seperti juwadah, ketan srikaya, arang
kambang, serabi, sagon, cucur merah, cucur putih, ketan, wajik,
buah jeruk, durian, dan kepundung yang terhidang di depannya
sangat menarik selera dan mengandung makna perlambang,
Raden Ketib justru sangat terkesan dengan penampilan sederhana
lelaki setengah baya itu. Ia menangkap sasmita bahwa Raden
Sahid sengaja menguji dirinya dengan perlambang Ki Luwung
Salawe dan kedua belas jenis penganan yang disuguhkan itu.
1552
Lantaran itu, setelah saling diam beberapa jenak, Raden Ketib
bertanya kepada Ki Luwung Salawe, “Maaf Paman, jika boleh tahu,
apakah makna perlambang di balik dua belas jajanan yang Paman
suguhkan ini?”

Ki Luwung Salawe tersenyum sambil mengangguk-angguk dan


berkata dengan nada menguji, “Bagaimana Raden bisa mengira
bahwa jajanan yang kami suguhkan memiliki makna perlambang?”

Saya tidak tahu, Paman,” jawab Raden Ketib polos. “Saya hanya
menangkap sasmita bahwa jajanan itu mengandung makna
perlambang. Bahkan nama Paman, Luwung Salawe, pun menurut
penangkapan saya memiliki makna perlambang yang sangat
dalam. Jadi, saya merasa Kangjeng Susuhunan memberi
pelajaran kepada saya melalui perlambang-perlambang. Karena
itu, saya mohon agar Paman berkenan menerangkan makna
perlambang di balik dua belas jenis jajanan ini.” “

Saya tidak akan memaparkan secara rinci tentang makna masing-


masing perlambang, tetapi dua belas jajanan itu adalah
perlambang pancaran Ahmad bila mim dalam tujuh selubung nafsu
manusia, yaitu hayawaniyyah, musawwilah, ammarrah,
lawwammah, mulhamah, muthma’innah, wahidah, dan lima tahap
pemunculannya menjadi manusia sempurna (insan kamil), yaitu
alfah, khasafah, antifah, amarullah, Ahmad.” “

1553
Terima kasih, Paman. Saya sudah paham. Saya paham jika tahap
kemunculan Ahmad bila mim sebagai Ahmad sang manusia
sempurna tidak bakal terwujud tanpa melalui Luwung Salawe,”
kata Raden Ketib. “

Begitu juga ketika Ahmad terserap kembali ke dalam liputan


Ahmad bila mim mesti melalui Luwung Salawe,” ujar Ki Luwung
Salawe.

Ketika Raden Ketib akan berkata-kata lebih lanjut, terdengar suara


orang berdeham dari arah rumah. Raden Ketib menoleh. Di ujung
pintu ia melihat Raden Sahid berjalan dengan langkah mantap ke
arahnya. Ki Luwung Salawe berdiri dan bergegas ke dalam lalu
keluar lagi dengan membawa cerana tempat sirih. Saat Raden
Sahid duduk berhadap-hadapan dengan Raden Ketib, Ki Luwung
Salawe menempatkan cerana sirih di depannya dan kemudian
menghilang ke dalam rumah. Setelah duduk beberapa jenak,
Raden Sahid menatap mata Raden Ketib seolah-olah hendak
mengukur pedalamannya.

Raden Sahid yang masyhur dikenal orang dengan sebutan Syaikh


Malaya adalah laki-laki sederhana, namun diliputi kewibawaan
besar. Usianya kira-kira lima puluh tahun lebih sedikit. Tubuhnya
lebih tinggi dan lebih tegap dibanding orang Jawa pada umumnya.
Kulitnya coklat kemerahan seperti tembaga. Wajahnya bulat
seperti memancarkan cahaya keagungan. Hidungnya mancung
dengan hiasan kumis tebal di bawahnya. Alisnya yang tebal
1554
melengkung laksana pedang. Matanya yang lebar berkilat-kilat
memancarkan kewaskitaan rajawali. Sekepal janggut yang
menggantung di dagunya menambah kesempurnaan citra seorang
guru suci. Pakaian yang dikenakannya sangat sederhana sebagai
layaknya orang kebanyakan: baju, celana, jubah, dan destar warna
hitam terbuat dari bahan kain kasar. Kain batik kawung yang
menutupi bagian bawah tubuhnya terbuat dari bahan kain kasar.
Ikat pinggang lebar yang dikenakannya pun terbuat dari bahan kulit
yang kasar. Hanya sebilah keris bergagang gading dengan serasa
emas yang diselipkan di perutnya yang menjadi penanda bahwa
dia bukanlah orang dari kalangan kebanyakan.

Duduk berhadapan beberapa jenak di hadapan Raden Sahid yang


berpenampilan bersahaja itu, Raden Ketib merasakan semacam
getar kewibawaan seekor harimau menerkam jiwanya. Ia
merasakan semacam rasa gentar, galau, kikuk, dan ketundukan
yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Lantaran itu, saat Raden
Sahid mempersilakannya menikmati kue-kue yang disuguhkan, ia
hanya mengangguk sambil tersenyum blingsatan. Ia tidak tahu apa
yang harus dilakukannya saat itu. Ia hanya menunggu dengan
menatap lantai di depannya dengan dada terasa berdebar-debar.
Ketika Raden Sahid mengambil sedah (sirih), hapu (kapur), peja
(pinang) dan mempersilakannya, barulah ia mengambil sirih dan
mengunyahnya. Setelah meludah beberapa kali ke dalam cerana,
Raden Sahid pun berkata dengan suara penuh wibawa. “

Jika engkau ingin menangkap citra Syaikh Datuk Abdul Jalil, o


kulup, hendaknya engkau mengambil gambaran alam yang
1555
tergelar di hadapanmu sebagai perlambang. Jika engkau melihat
deretan pohon randu alas yang tegak di depanmu, hendaknya
engkau menangkap makna yang sama dari kehidupan manusia
yang saling berusaha meninggikan keberadaan diri seperti pohon-
pohon yang tegak menjulang itu. Sebab, di tengah pohon-pohon
yang tegak meninggi itu Syaikh Datuk Abdul Jalil telah membiarkan
dirinya menjadi tanah yang dijadikan tumpuan bagi tegaknya
pohon-pohon tersebut. Ya, tanah yang membiarkan pohon-pohon
yang tinggi maupun yang rendah tumbuh di atasnya. Tanah yang
membiarkan dirinya diinjak-injak dan dilukai oleh para penanam.
Tanah yang selalu bersedia merangkul kayu-kayu tumbang yang
membusuk. Tanah yang menjadi tumpahnya darah para makhluk
di atasnya sejak lahir hingga mati. Tanah yang tak pernah dihargai,
tetapi sangat dicintai dan diperebutkan oleh para penghuninya.” “

Jika engkau sudah paham bahwa gambaran Syaikh Datuk Abdul


Jalil adalah tanah maka engkau akan paham bahwa mereka yang
menganggapnya sebagai pohon lebat yang berbuah telah keliru
dalam memaknai keberadaannya. Sebab, makna di balik
perlambang sebatang pohon yang tinggi adalah semakin ia
bergerak naik ke atas hingga pucuknya menjulang ke angkasa
maka semakin dalam pula akarnya menyusup ke bumi menuju ke
dalam kegelapan. Begitulah manusia yang berusaha bermegah-
megah ke puncak kemasyhuran, sesungguhnya pada saat yang
sama ditarik oleh naluri kegelapan jiwanya ke dalam lubang
kejahatan di dalam jiwanya. Itu sebabnya, Syaikh Datuk Abdul Jalil
menolak usaha bermegah-megah diri. Sebaliknya, ia berjuang
keras membiarkan keberadaan dirinya sebagai tanah sehingga
jejak-jejak kemanfaatan hidupnya tak pernah diketahui orang lain,
1556
kecuali mereka yang memahami hakikat pohon-pohon dan tanah.”

Hidup manusia memang seibarat pohon. Semakin ia berusaha


meraih Kehidupan sempurna dan abadi bagaikan pohon tumbuh
tegak menjulang ke atas, maka kegelapan dan Kematian akan
menariknya ke bawah bagaikan akar-akar pohon menembus
kegelapan bumi. Itu sebabnya, Syaikh Datuk Abdul Jalil
mengajarkan tentang Kematian agar tumbuh bersemi Kehidupan
yang sempurna dan abadi. Kematian dan Kehidupan saling
menarik ibarat akar dan pucuk. Di tengah tarik-menarik itulah
cakrawala kehidupan manusia akan diwarnai perubahan-
perubahan tatanan, sebagaimana pohon-pohon memiliki citra
musim yang terus berubah.” “

Apakah itu berarti para pengikut Syaikh Datuk Abdul Jalil tidak
boleh terikat dengan keberadaannya, sebagaimana para salik tidak
boleh terikat pada duniawi?” tanya Raden Ketib. “

Engkau sudah memahaminya, o kulup,” kata Raden Sahid bijak.


“Sebagai seorang pengajar Tauhid, ia telah berjuang keras untuk
mendobrak semua sekat yang menghijab Sang Ahad. Lantaran itu,
ia telah menegakkan rambu-rambu bagi para pengikutnya agar
tidak menempatkan dirinya sebagai hijab bagi Kebenaran. Tentang
usahanya mendobrak sekat-sekat hijab itu, pernah aku alami
dengan penuh kebingungan setelah aku mengikuti perjalanan

1557
bersamanya selama lima tahun mengembara ke berbagai tempat.”

Sungguh kami merasa beruntung jika Paduka berkenan


menuturkan hal tersebut kepada kami,” pinta Raden Ketib
berharap. “

Terus terang, sepanjang mengikuti perjalanan membuka dukuh-


dukuh bercitra mandala dan mengajarkan Sasyahidan di berbagai
tempat di Nusa Jawa, aku sudah seperti anaknya sendiri. Aku
malah sudah menganggapnya sebagai pembimbing ruhaniku yang
sejati. Aku menganggapnya sebagai mursyid pengejawantahan ar-
Rasyid, yang menjadi jalan bagiku menuju Kebenaran (al-Haqq).
tetapi, saat aku sudah begitu meyakini anggapanku itu, tiba-tiba ia
mengusirku dan tidak mau lagi aku ikuti. Semula aku terkejut dan
bingung sebab aku tidak tahu kesalahan apa yang telah kuperbuat
hingga aku diusir dan tidak diperbolehkan lagi mengikuti
perjalanannya. Saat itu aku rasakan dunia ini seperti runtuh. Aku
hampir putus asa. Dan pada detik-detik krisis kepercayaan
terhadap diri sendiri itulah tiba-tiba aku ingat akan ajarannya
tentang Ngalah (tawakal), yakni memasrahkan segala urusan
kepada Gusti Allah.” “

Akhirnya, dengan bekal Ngalah itulah aku hadapkan kiblat hati dan
pikiranku hanya kepada Allah. Seluruh keraguanku kusingsingkan.
Seluruh keinginanku kusingsingkan. Bahkan, seluruh gantungan
harapanku kusingsingkan. Saat semua menyingsing, terbukalah
1558
hijab demi hijab yang menyelubungi Kebenaran. Saat itulah aku
beroleh pencerahan ruhani sebagaimana yang pernah engkau
alami saat mencapai kesadaran burung. Dan ternyata, saat itu pula
Syaikh Datuk Abdul Jalil datang menemuiku sambil berkata,
‘Sesungguhnya, aku mengusirmu dengan tujuan utama agar aku
tidak menjadi hijab antara engkau dan Dia.’ Saat itulah aku baru
sadar tentang ketinggian martabatnya sebagai pengajar Tauhid.
Bahkan, setelah itu ia menikahkan aku dengan puterinya Zainab.
Sebagai lambang keberhasilanku dalam beroleh pencerahan, ia
mengganti nama Zainab menjadi Ratu Arafah.” “

Kami pernah mendengar bahwa Syaikh Datuk Abdul Jalil


mengajarkan martabat tujuh dan membagi kedudukan pengikut-
pengikutnya ke dalam jenjang-jenjang kedudukan. Apakah
pernikahan Paduka dengan puterinya yang dinamai Ratu Arafah
itu memiliki keterkaitan makna dengan kedudukan Paduka sebagai
pengikut Syaikh Datuk Abdul Jalil?” tanya Raden Ketib dengan
rasa ingin tahu berkobar-kobar.

Raden Sahid terdiam. Beberapa kali dia menarik napas panjang.


Sejenak setelah itu dia berkata, “Sesungguhnya, beliau tidak
pernah membagi-bagi kedudukan pengikut-pengikutnya. Tetapi,
pengikut-pengikutnya sendirilah yang telah membagi-bagi
kedudukan masing-masing berdasar tingkatan maqam, yang hal
itu dilakukan sangat rahasia. Yang tertinggi di antara pengikut-
pengikut adalah yang digolongkan ke dalam kelompok Ahadiyyah,
kemudian kelompok Wahdat, kelompok Wahidiyyah, dan
seterusnya.” “
1559
Bolehkah kami mengetahui salah satu di antara mereka itu, o
Paduka Guru?” pinta Raden Ketib. “

Salah satu di antara pengikutnya yang menggolongkan diri ke


dalam kelompok Ahadiyyah adalah Pangeran Karucil (Jawa Kuno:
belanga kecil), bangsawan asal Blambangan yang mengajarkan
Tauhid di Gunung Argapura. Ia dikenal dengan nama Syaikh
Akadiyat. Yang tergolong ke dalam kelompok Wahdat salah
satunya adalah Susuhunan Wahdat Cakrawati, ahli wahdat, yang
mengajarkan Tauhid di Bonang, Tuban, Komalasa, dan Karang
Kemuning. Yang tergolong kelompok Wahidiyyah salah satunya
adalah Pangeran Pringgabhaya yang mengajarkan Tauhid di
Pamotan. Yang cukup banyak di antara kelompok-kelompok
tersebut adalah dari kelompok Wahidiyyah. Mereka menjadi
pengajar Tauhid hingga ke luar Nusa Jawa. Bahkan, belakangan
aku mendengar kabar ada lagi kelompok ruwahan (arwah), yang
dipimpin Kyayi Jasim Latif di Kabumian dan Kyayi Mujasim di
Mataram,” kata Raden Sahid. “

Murid-murid Syaikh Datuk Abdul Jalil mengajar hingga ke luar


Nusa Jawa?” gumam Raden Ketib heran. “

Ya, terutama setelah ajarannya dilarang pada masa awal


pemerintahan Tranggana, sultan Demak yang sekarang. Saat
itulah pengikut-pengikutnya meninggalkan kampung halaman dan
menebar ke berbagai tempat di bumi Allah. Sebagai tanda bahwa
mereka adalah pengikut Syaikh Datuk Abdul Jalil, mereka
1560
menamai kediaman barunya dengan Lemah Abang, Tanah Merah,
Batu Merah, Sela Mirah, Lemah Putih, Batu Putih, Lemah Ireng,
Kemuning, Karang Kemuning, dan Kajenar,” ujar Raden Sahid.
“Kenapa ada merah, putih, hitam, dan kuning? Bukankah beliau
hanya membuka Dukuh Lemah Abang?” “

Sesungguhnya, yang ia buka bukan hanya Dukuh Lemah Abang,


melainkan empat jenis dukuh yang di masa silam dikenal dengan
sebutan caturbhasa mandala. Ia mendirikan mandala-mandala
yang dijadikan sebagai tempat berpijak bagi ajaran Islam di Nusa
Jawa. Tetapi, karena dukuh pertama yang ia buka adalah Lemah
Abang maka ia dikenal orang dengan sebutan Syaikh Lemah
Abang,” papar Raden Sahid. “

Mohon ampun Paduka Guru, apakah sesungguhnya makna sejati


dari nama Lemah Abang?” Raden Ketib ingin tahu. “Sebab, banyak
tempat yang bernama Lemah Abang, namun ternyata tanahnya
tidak merah. Selain itu, kenapa pula Syaikh Datuk Abdul Jalil
disebut pula dengan nama Syaikh Siti Jenar yang bermakna sang
guru ruhani dari tanah kuning? Apakah makna merah dan kuning
di dalam nama yang disandangnya?”

Raden Sahid tercenung beberapa saat mendapat pertanyaan dari


Raden Ketib. Setelah menarik napas berat beberapa kali dia
berkata dengan suara lain, “Nama Lemah Abang, Sitibrit, Siti
Jenar, dan Lemah Kuning adalah nama-nama yang menyiratkan
makna pengorbanan rahasia anak manusia demi lahirnya zaman
1561
baru. Nama-nama itu adalah tonggak-tonggak sejarah perubahan
di suatu kurun zaman. Nama-nama yang tetap dikenang meski
dibalut bermacam-macam gambaran membingungkan tentang
maknanya. Hanya mereka yang memiliki kesadaran burung jua
yang dapat mengetahui makna sejati di balik nama-nama itu.”

1562
Keanehan-Keanehan

Ketika gemuruh perubahan melanda Bumi


Pasundan bagaikan bah membanjiri aliran
sungai kehidupan, membobol kemandekan di
Rajagaluh dan Dermayu, Abdul Jalil yang
sedang berkeliling ke berbagai tempat di
Rajagaluh untuk menyampaikan ajaran
Sasyahidan tiba-tiba memutuskan kembali ke gubuknya di Lemah
Abang. Ia menarik diri dari hiruk pikuk semangat perubahan
manusia yang meluap-luap dan menyambar-nyambar dengan
ganas itu. Ia menghindar dari gelegak semangat perubahan yang
membuat orang-orang berkeliaran, berdesak-desakan,
berhimpitan, jungkir balik, tumbang, bangkit kembali, dan
kemudian berpacu menyongsong cakrawala baru yang penuh
harapan. Ia ingin menjauh dari semua itu. Di dalam gubuknya yang
selalu penuh sesak oleh murid-murid, ia sering terlihat duduk
merenung menapaki jejak-jejak yang telah dilewatinya.

Di tengah perenungannya menapaki jejak-jejak perubahan yang


berliku itu, Abdul Jalil menyaksikan sebuah pemandangan yang
membuat hatinya lega, namun sekaligus khawatir. Lega karena
sebuah bentangan cakrawala baru yang gemilang dengan
manusia-hewan dan manusia saling berpacu untuk mewujudkan
diri menjadi adimanusia. Tetapi, ia juga khawatir karena di tengah
gelombang perubahan itu ia melihat terbuka celah-celah bagi
sebuah kemungkinan buruk, di mana manusia-manusia yang
menjelma menjadi makhluk bayangan nirwujud dan adimanusia-
1563
adimanusia yang bakal menduduki puncak-puncak kekuasaan
duniawi akan rawan terperosok ke jurang nista pemberhalaan diri
sebagai fir’aun-fir’aun.

Di tengah perenungan menilai kembali liku-liku perubahan itu, tiba-


tiba muncul Angga, wali nagari Kuningan, di gubuk Abdul Jalil.
Kemenakan Sri Mangana itu dengan bingung mengungkapkan
kerumitan hidupnya yang nyaris tak bisa diatasinya. Dia mengaku
seperti orang yang dibelit ular raksasa gaib. Dia merasa seolah-
olah terkungkung oleh kekuatan dahsyat tak kasatmata sehingga
untuk bernapas pun sulit. “Semua seperti buntu. Ke mana pun aku
hendak melangkah, yang aku temukan adalah bentangan tembok
besar. Bahkan yang aku rasakan sekarang, aku seperti berada di
dalam kuburan. Tubuhku seperti dihimpit bumi. Aku benar-benar
tersiksa, o Saudaraku. Tolonglah aku. Aku tidak mau mati dalam
keadaan tidak tahu arah seperti ini,” keluh Angga sambil
memegangi kepalanya.

“Apa yang bisa aku lakukan untuk membantumu, o Saudaraku


terkasih?” tanya Abdul Jalil.

“Aku ingin engkau membaiat aku. Bimbinglah aku ke jalanmu. Aku


sangat yakin engkaulah yang bisa menolongku dari kesempitan
yang kualami ini,” kata Angga sambil memegangi tangan Abdul
Jalil.

1564
“Apa yang engkau alami ini, menurut hematku, karena engkau
telah banyak melupakan-Nya. Karena itu, kembalilah kepada-Nya.
Ingatlah Dia sebanyak mungkin, niscaya engkau akan lepas dari
penderitaanmu.”

“Aku sudah mengingat-Nya terus dengan bersembahyang.


Malahan aku terus memanjatkan doa kepada-Nya. Tetapi, semua
bagaikan buntu. Allah yang kusembah tidak menjawab doa-doaku.
Padahal, menurut kakek, nenek, ibunda, ayahanda, dan guru
agamaku, Allah itu Maha Pemurah. Maha Pengasih. Maha
Mengabulkan doa. Kenyataannya, apa yang aku inginkan tidak ada
yang terpenuhi sehingga aku jadi ragu dengan semua pelajaran
agama yang telah kuperoleh sejak kecil,” kata Angga.

“Jika demikian, kenapa engkau mau minta bimbinganku?


Bukankah yang akan aku sampaikan kepadamu tidak akan jauh
berbeda dengan apa yang telah disampaikan keluarga dan
gurumu?” Abdul Jalil balik bertanya.

“Tidak. Aku yakin yang akan engkau ajarkan tidak sama dengan
mereka. Di tengah kesempitan yang menyesakkan ini aku justru
melihat bayanganmu berkelebat memasuki ingatanku seperti
cahaya matahari menerangi malam yang gelap gulita. Aku yakin
isyarat yang aku terima itu benar, meski selama ini yang kuingat
tentangmu adalah kecemburuan dan kebencian. Aku yakin hanya
engkaulah yang bisa menunjukkan jalan Kebenaran sehingga aku

1565
terlepas dari himpitan kehidupan yang menyiksa ini,” kata Angga
tiba-tiba merangkul lutut Abdul Jalil.

“Tegaklah dengan gagah menghadapi tantangan hidup, O


Saudaraku,” kata Abdul Jalil menegakkan badan Angga. “Aku tidak
keberatan membimbingmu ke jalan Kebenaran, asalkan engkau
mau menerima syarat utamanya.”

“Apakah syarat itu, o Saudaraku?” tanya Angga ingin tahu.

“Pertama-tama, engkau harus keluar dari dirimu. Maksudku,


engkau harus bersedia meninggalkan segala sesuatu yang engkau
miliki di dunia ini, terutama keakuanmu yang kerdil. Sebab,
keakuanmu yang kerdil itulah yang selama ini telah membuatmu
keliru dalam memahami keberadaan-Nya.”

“Apa pun yang engkau tunjukkan akan aku jalankan, apa pun
tantangannya.”

Sebagaimana prinsip Abdul Jalil bahwa masalah baiat adalah


masalah kesadaran pribadi akibat tergugahnya hati nurani, ia pun
membaiat Angga dan mengajarkan jalan lurus (sabil huda) sesuai
ajaran Tarekat Akmaliyyah. Abdul Jalil berharap, dengan setia
menekuni jalan yang diajarkannya, sang burung gagak akan
menjelma sebagai rajawali, rajadiraja burung, pecinta angkasa
1566
kesunyian yang perkasa. Tetapi, keterbukaan Abdul Jalil dalam
menerima Angga sebagai pengikut ruhani ternyata dianggap
sebagai sesuatu yang kurang tepat sehingga menimbulkan
ketidaksukaan pengikutnya yang lain. Beberapa murid terang-
terangan menyatakan ketidakpahaman mereka terhadap
kehadiran Angga di Lemah Abang, terutama dengan baiatnya
sebagai pengamal Tarekat Akmaliyyah. Bahkan Liu Sung, pemuka
suku Tungsiang Caruban yang selama perang dengan Rajagaluh
ditugaskan menjaga Kuta Caruban, tiba-tiba datang ke Lemah
Abang dan menyatakan keheranannya atas kesudian Abdul Jalil
menerima Angga sebagai pengikut. “Kami khawatir dia akan
melakukan tindakan-tindakan tidak terpuji dengan membawa-bawa
nama Tuan Syaikh. Itu akan merugikan semua orang, terutama
Tuan Syaikh sendiri. Bukankah selama ini dia sudah sering
mempermalukan Sri Mangana dengan tingkahnya yang tidak
terpuji?” kata Liu Sung.

“Sesungguhnya, Angga hanyalah manusia sengsara yang menjadi


korban dari lingkungan yang membentuknya. Sejak kecil dia hanya
menjadi alat orang-orang sekitarnya untuk melampiaskan dendam
sehingga dia kebingungan saat menerima akibat dari tindakan-
tindakan yang tidak disadarinya,” Abdul Jalil menjelaskan.

“Apakah itu bukan akibat dia selalu dimanja oleh keluarganya?”


tanya Liu Sung.

1567
“Paduka Khalifah telah bercerita banyak kepadaku tentang Angga,”
kata Abdul Jalil dengan suara perlahan. “Betapa sejak kecil Angga
dan saudara-saudaranya sudah dicekoki oleh dendam dan
kebencian terhadap kakeknya, Prabu Guru Dewata Prana, dan
terutama kepada para pendeta kerajaan. Itu sebabnya, dalam
setiap perbedaan sekecil apa pun dengan pihak kerajaan Sunda
selalu ditanggapinya secara berlebihan, seolah-olah maharaja
Sunda dan semua kekuatan pendukungnya adalah musuh utama
yang harus dibinasakan.”

“Kenapa bisa begitu, Tuan Syaikh? Bukankah Prabu Guru Dewata


Prana itu kakeknya? Kenapa pula dia sangat membenci pendeta-
pendeta kerajaan?”

“Ini sebenarnya rahasia keluarga. Tetapi, kalau kita


mengetahuinya maka kita akan paham kenapa Angga dan
saudara-saudaranya begitu membenci kakek dan kerabatnya,
terutama pendeta-pendeta kerajaan.”

“Bolehkah saya sedikit mengetahuinya?” tanya Liu Sung


penasaran.

“Cerita kebencian keluarga Angga itu bermula dari kisah lama


tentang nenek Angga yang bernama Jata Mernam, yaitu selir
Prabu Guru Dewata Prana, yang oleh orang-orang Caruban
dipanggil dengan nama Aci Putih. Sebutan Aci Putih itu
1568
sesungguhnya bukan tanpa alasan. Beberapa waktu sebelum
kelahiran puterinya yang kelak diberi nama Dewi Siliwangi, Prabu
Guru Dewata Prana bermimpi buruk bahwa dari dalam kratonnya
tiba-tiba muncul mata air yang berbual-bual, yang makin lama
airnya makin menggenangi seluruh kraton. Bahkan akhirnya air itu
berubah menjadi bah yang melanda seluruh wilayah kerajaan.
Maharaja dan keluarga beserta seluruh kawula hanyut tersapu
bah. Mimpi buruk itu oleh para pendeta yang menjadi penasihat
ruhaninya ditafsirkan sebagai suatu tengara buruk bagi kerajaan
Sunda akibat tersiarnya agama baru. Mereka menganggap bah itu
adalah agama baru, yaitu Islam. Dan, mata air itu adalah keluarga
maharaja sendiri, yaitu selir bernama Jata Mernam, satu-satunya
keluarga maharaja yang beragama Islam.”

Para pendeta menyatakan jika hal itu dibiarkan maka keturunan


Jata Mernam akan menimbulkan kerusakan dan kebinasaan bagi
kerajaan Sunda. Sebab, yang akan menentang agama baru itu
bukan hanya para nayakapraja kerajaan, tetapi juga para bhuta
yang tidak suka dengan agama baru tersebut. Lantaran itu, agar
mimpi buruk itu tidak menjadi kenyataan, harus diadakan upacara
kurban persembahan kepada para bhuta (bhutayajna). Dan
sebagai korban persembahan (aci) untuk para bhuta, yang paling
tepat adalah selir Prabu Guru Dewata Prana: Puteri Jata Mernam.
Dengan demikian, tidak saja para bhuta akan bisa diredam
kemarahannya, tetapi mata air itu dengan sendirinya tidak akan
lagi mengalirkan sumbernya.

1569
Dengan alasan demi keselamatan kerajaan dan seluruh kawula,
Prabu Guru Dewata Prana akhirnya merelakan selirnya, Puteri
Jata Mernam, dijadikan aci. Tetapi, dengan alasan Puteri Jata
Mernam masih hamil maka pelaksanaan korban itu menunggu
hingga ia dilahirkan. Demikianlah, setelah melahirkan seorang bayi
perempuan yang dinamai Dewi Siliwangi, Puteri Jata Mernam
dijadikan korban untuk para bhuta. Bayi Dewi Siliwangi dijauhkan
dari kraton dengan cara dikembalikan kepada kakek dan
neneknya, Haji Ma Huang dan Nyi Rara Rudra yang tinggal di
Caruban.

Peristiwa mengorbankan Puteri Jata Mernam ini sangat memukul


jiwa keluarga Haji Ma Huang dan Nyi Rara Rudra, bahkan
penduduk Caruban yang beragama Islam. Lantaran itu, untuk
menandai peristiwa tersebut penduduk Caruban sepakat
menyebut Puteri Jata Mernam dengan nama Nyi Aci Putih, yang
bermakna puteri suci yang menjadi korban persembahan
bhutakala. Prabu Guru Dewata Prana sendiri oleh penduduk
Caruban disebut dengan gelar Prabu Siliwangi, yaitu sebutan
menurut nama puterinya yang lahir dari Puteri Jata Mernam. Hal
itu dimaksudkan agar sang prabu selalu teringat kepada
keberadaan puterinya, Siliwangi, sekaligus selalu mengingat
peristiwa keji itu.

Dewi Siliwangi, ibunda Angga, dibesarkan oleh lingkungan orang-


orang yang kecewa dan sakit hari dengan peristiwa itu. Lantaran
itu, saat dewasa ia diam-diam menaruh dendam kepada
ayahandanya yang sampai hati menjadikan ibundanya sebagai
1570
korban persembahan. Ketika ia menikah dan berketurunan, semua
puteranya sejak kecil sudah diwarisi bibit kebencian kepada
kakeknya, Prabu Guru Dewata Prana, yang dianggapnya sebagai
pembunuh ibundanya. “Nah, dari cerita rahasia keluarga ini kita
akan memahami kenapa Angga dan saudara-saudaranya begitu
membenci kakeknya dan para pendeta kerajaan,” kata Abdul Jalil.

Liu Sung menarik napas berat. Sejenak setelah itu ia menggumam


lirih, “Pantas saja Sri Mangana selama ini membiarkan Angga dan
saudara-saudaranya bersikap memusuhi sanak kerabatnya sendiri
sehingga terkesan ia memanjakan mereka. Rupanya, Sri Mangana
bisa memahami hal itu dan memanfaatkannya untuk kepentingan
mempertahankan kekuasaannya.”

“Sri Mangana memanfaatkannya untuk kepentingan kekuasaan?”


Apa maksudmu?” tanya Abdul Jalil.

“Kami kira, penempatan ayahanda Angga sebagai gedeng di


Kemuning dan pengangkatan Angga sebagai penguasa di
Kuningan bukan tanpa maksud apa-apa. Tetapi, bukanlah hal itu
bisa ditafsirkan bahwa dengan kebijakan itu Sri Mangana dengan
cerdik dapat menjaga perbatasan Caruban dengan Galuh Pakuan,
Talaga, dan Rajagaluh?”

“Kalau itu, benar sekali. Bahkan karena alasan itu, perbatasan


Caruban di selatan ditetapkan di Cigugur, yang mengandung
1571
makna suara gemuruh guruh (Sunda: gugur: guruh, gugur),
lambang Rudra (Yang Berteriak), perwujudan Syiwa yang dahsyat
dan akan menggugurkan semua kekuatan semua makhluk yang
akan melintasinya. Sri Mangana seolah memberi peringatan
kepada ayahanda dan para saudaranya agar mereka tidak
melewati Cigugur. Sebab, Cigugur tidak saja mengandung
perlambang nama Rudra, tetapi juga menyembunyikan lambang
penderitaan dan rasa sakit hati ibunda Puteri Jata Mernam, Nyi
Rara Rudra,” kata Abdul Jalil.

“Seperti itukah makna rahasia di balik nama Cigugur?” gumam Liu


Sung terkagum-kagum. “Makanya, selama ini pasukan Galuh dan
Talaga seperti tabu melintasi Cigugur. Bahkan kami dengar cerita,
Angga dan pengawalnya yang lari ke Kuningan tidak diburu lagi
oleh musuhnya ketika memasuki Cigugur. Sungguh
mengagumkan kecerdikan Sri Mangana dalam menggunakan
perlambang untuk menggetarkan nyali musuh-musuhnya.”

“Tahukah engkau tentang hikmah di balik peristiwa itu?”

“Tentu saja Tuan Syaikh yang lebih tahu.”

“Pertama-tama, tafsiran para pendeta atas mimpi Prabu Guru


Dewata Prana itu benar, namun sedikit meleset. Sebab, mata air
yang berbual-bual di dalam kraton yang bakal menjadi bah itu
bukanlah Puteri Jata Mernam, melainkan putera Prabu Guru
1572
Dewata Prana yang lain, yaitu Pangeran Walangsungsang. Para
pendeta keliru dalam menafsirkan mata air dengan perempuan dan
pancuran dengan laki-laki sehingga Pangeran Walangsungsang
luput dari bidikan tafsir mimpi mereka. Sekarang mimpi itu
mewujud menjadi kenyataan. Mata air yang berbual-bual dari
dalam kraton itu kini telah menjadi bah. Rajagaluh sudah
diempaskan. Dermayu tergulung. Bahkan aku mengira, pada
gilirannya nanti seluruh Bumi Pasundan, termasuk kraton Pakuan
Pajajaran, akan tenggelam dilanda bah Islam yang disebarkan
Pangeran Walangsungsang,” kata Abdul Jalil.

“Apakah itu berarti bahwa usaha apa pun yang dilakukan oleh
manusia pada dasarnya tidak dapat menolak takdir Ilahi, begitukah
Tuan Syaikh?” tanya Liu Sung.

“Itulah makna hakiki dari peristiwa itu,” tegas Abdul Jalil. “Pada
dasarnya manusia tidak memiliki kehendak apa pun kecuali apa
yang dikehendaki Allah (QS. at-Takwir: 29). Lantaran itu, sekeras
apa pun perjuangan orang seorang dalam berusaha, menurut para
arif billah, tidak akan menembus tirai takdir (sawabiq al-himami la
takhriqu aswar al-aqdar).”

“Jika demikian, sungguh kasihan Angga dan keluarganya yang


masih belum dibebaskan-Nya dari terkaman dendam yang
merusak jiwa,” kata Liu Sung.

1573
“Lantaran itu, aku menerima kehadirannya dengan rasa syukur dan
kemudian memenuhi keinginannya untuk dibaiat. Aku yakin,
kehadirannya ke sini bukanlah atas kehendaknya sendiri,
melainkan atas kehendak-Nya jua. Aku yakin Allah akan
mengakhiri semua dendam yang menguasai jiwanya dengan
lantaran amaliah yang kuajarkan. Mudah-mudahan semua kotoran
jiwa Angga akan bisa disucikan sehingga dia secepatnya sadar jika
dendam kesumat itu hanya membuat rusaknya jiwa,” kata Abdul
Jalil.

“Kami juga berharap demikian, Tuan Syaikh.”

Hari-hari selama di Lemah Abang, meski diliputi suasana tenang


dan tenteram dengan gelak tawa dan canda ria orang-orang yang
patuh dan selalu setia melayaninya, ternyata tidak mampu
meredam gejolak jiwa Abdul Jalil yang laksana samudera diaduk
badai. Di tengah panah waktu yang melesat, ia merasakan jiwanya
seperti kapal yang terombang-ambing dipermainkan gelombang
lautan ganas. Bahkan, jauh di kedalaman palung jiwanya ia
merasakan tarikan dan sentakan yang menggerus pantai
kesadarannya, seolah-olah terkaman kekuatan gaib yang akan
melemparkannya dari gubuknya. Ia seolah-olah diseret oleh suatu
kekuatan adiduniawi untuk pergi meninggalkan gubuknya tanpa
alasan yang jelas. Apa yang dirasakannya sebagai sesuatu yang
aneh ditangkapnya sebagai tengara bakal terjadi sesuatu yang
akan membuatnya meninggalkan gubuknya, meski ia tidak tahu
kapan hal itu akan terjadi.

1574
Ketika ia mengaitkan antara gelegak jiwanya dan liku-liku
perjalanan hidupnya di tengah arus perubahan yang telah
dilaluinya, ia mendadak terkejut sendiri. Sebab, di hadapannya
terpampang dengan jelas sebuah kenyataan yang mengejutkan
dan membuatnya makin sadar diri akan kekurangannya. Ia
menyaksikan kenyataan betapa tugas yang dijalankannya sebagai
penyulut api perubahan belumlah tuntas. Pekerjaan besar untuk
menata nilai-nilai kehidupan sebuah bangsa yang ambruk masih
belum selesai. Kenyataan itu membuatnya sadar, sekalipun setiap
usai memimpin sembahyang isya ia selalu mengajarkan kepada
murid-muridnya tentang jalan lurus (sabil huda) bagi manusia di
dalam menuju Kebenaran, yaitu jalan lurus yang membebaskan
manusia dari rasa takut atas segala sesuatu selain Yang
Mahabenar, yang membebaskan manusia dari keputusasaan,
yang membebaskan manusia dari perangkap penderitaan dan
kesengsaraan, yang membebaskan manusia dari kejahilan, yang
membebaskan manusia dari khayalan sesat tentang Kematian
maupun Kehidupan, yang menuntun manusia pada Kebenaran
hakiki; pada kenyataannya ia tetap merasakan betapa semua itu
masih belum cukup. Ya, ia merasa masih belum cukup memberi
kepada manusia. Ia merasa selama ini masih belum cukup
menyampaikan Kebenaran hakiki kepada manusia. Ia merasa
betapa masih cukup banyak tugas yang diembannya dalam
membentangkan cakrawala baru itu yang belum terselesaikan dan
bahkan terbengkalai.

Sadar bahwa tugas belum selesai dan sesuatu yang tak


menyenangkan bakal terjadi, Abdul Jalil buru-buru mengumpulkan
mereka yang selama ini telah menunaikan tugas untuk mencatat
1575
dan menyusun cerita-cerita, dongeng-dongeng, adab, dan ajaran
hidup yang berdasar Tauhid. Karya mereka itulah yang bakal
digunakan untuk memperkuat nilai-nilai baru yang telah ditebarnya,
yaitu nilai-nilai baru berdasar penghormatan dan keseimbangan
yang bakal menggantikan nilai-nilai lama yang sudah tidak sesuai
tuntutan perubahan. Di antara mereka itu adalah Raden Sahid,
Raden Sulaiman, Ki Gedeng Pasambangan, Syaikh Abdul Malik
Israil, Syaikh Bentong, Ki Sarajaya, dan Ki Luwung Seta. Ia merasa
senang saat mengetahui mereka ternyata telah menyelesaikan
pekerjaannya dengan baik, meski belum sempurna.

Raden Sulaiman yang mendampingi Syaikh Bayanullah di Gunung


Gundul telah mencatat cerita-cerita dan dongeng keislaman,
Persia, dan Melayu. Raden Sulaiman menjelaskan, selama tinggal
bersama Syaikh Bayanullah ia telah menyusun sejumlah naskah
yang berkaitan dengan tarikh dan keteladanan Nabi Muhammad
Saw. yang diberinya judul Babad Makah, Kitab Bayanullah, Hikayat
Sayyid Abdullah, Nurbuat, Babar Nabi, Hikayat Nabi Muhammad,
Carita Paras Nabi, dan Carita Nabi Nikah. Semua naskah masih
ditulis dalam bentuk prosa dengan catatan-catatan. Raden Sahid
yang selama beberapa waktu mendampingi Raden Qasim untuk
mencatat cerita dan dongeng yang dituturkan Syaikh Bayanullah,
mengaku pula bahwa ia telah menyusun sejumlah naskah yang
berkaitan dengan kisah kepahlawanan dan pelajaran tasawuf. Ia
telah menyelesaikan sejumlah naskah yang diberi judul Kitab
Martabat Alam Tujuh, Tapel Adam, Kitab Nur Muhammad, Serat
Menak, Suluk Rumeksa Ing Wengi, dan saduran Nawa Ruci.

1576
Ki Gedeng Pasambangan mengaku telah mencatat cerita dan
dongeng yang terkait dengan adab keluarga muslim. Ia telah
menyelesaikan sejumlah naskah yang diberi judul Kitab Fatimah,
Ilmu Adab, Kitab Piwulang Istri, Smaragama, Carita Panganten
Tujuh, Doa dan Mantra Kaluwarga, Doa Istifal, Doa Gua Hira.
Syaikh Abdul Malik Israil mengaku telah menyusun cerita dan
dongeng serta tuntunan amaliah yang terkait dengan Bani Israil. Ia
telah menyelesaikan sejumlah naskah yang diberi judul Carita Nabi
Yusuf, Sajarah Para Anbiya, Tujuh Asma’ Suryaniyyah, Asma’
Qamar, Asma’ Asha Musa, Doa Nabi Sulaiman, Doa Nabi
Daniyyal, dan saduran Kitab Jaljalut. Sementara Syaikh Bentong
menyusun naskah yang terkait dengan pranata mangsa dan
dongeng Campa. Ia mengaku telah menyelesaikan sejumlah
naskah yang diberi judul Primbon Palintangan, Primbon Mujarobat,
Doa Dzulfaqor, Mantra Tulak Bala, Kitab Ayat Lima Belas, Kitab
Ayat Pitu, dan Pantun Sang Kodok.

Abdul Jalil gembira mengetahui naskah-naskah yang


dibutuhkannya sebagai salah satu sandaran perubahan nilai-nilai
itu telah tersusun, meski masih dalam bentuk prosa dan sebagian
masih belum selesai. Dengan suara berkobar-kobar penuh
semangat ia berkata, “Ibarat orang maju ke medan perang, semua
naskah itu adalah senjata ampuh yang akan menjadi salah satu
penentu kemenangan. Lantaran itu, yang kita butuhkan sekarang
adalah para prajurit yang unggul dan pandai dalam menggunakan
senjata tersebut.”

1577
“Tapi, bagaimana caranya? Apakah naskah itu ditulis dalam jumlah
banyak dan kemudian disebarkan ke berbagai tempat?” tanya
Abdul Malik Israil.

“Tentu saja tidak mungkin melakukan cara itu,” kata Abdul Jalil.
“Sebab, penduduk di Pasundan dan Majapahit yang bisa baca dan
tulis hanya kalangan kraton. Padahal, kita ingin menyebarkan ini
ke seluruh penduduk. Menurutku, semua naskah harus disebarkan
dari mulut ke mulut hingga dipahami semua orang.”

“Aku belum paham maksudmu, o Saudaraku,” kata Abdul Malik


Israil.

“Pertama-tama, kita harus mengubah sebagian naskah itu ke


dalam bentuk sastra yang mudah dipahami kalangan bawah.
Untuk itu, aku akan minta kepada dua orang kepercayaanku, Ki
Sarajaya dan Ki Luwung Seta, untuk menuangkan naskah-naskah
itu ke dalam bentuk tembang sederhana seperti smaradhana,
sinom, lambang, durma, pangkur, pucung, gambuh, kinanthi,
dandang gendis, dan megatruh. Setelah itu, kita akan
memperbanyak pamancangah menmen, yaitu tukang dongeng
keliling yang bertugas menjajakan cerita dan dongeng dari naskah-
naskah tersebut kepada penduduk,” kata Abdul Jalil.

“Aku sangat setuju dengan cara itu. Aku sendiri sudah menyiapkan
sejumlah muridku untuk tugas itu,” tukas Syaikh Bentong. “Tapi,
1578
bagaimana dengan bekal kehidupan mereka selama menjalankan
tugas?”

“Tentu saja dari kita,” kata Abdul Jalil. “Selama ini aku sudah
mengeluarkan dana yang cukup besar untuk membiayai Raden
Sahid dan kawan-kawannya yang berkeliling di pedalaman
sebagai pamancangah menmen. Jika ada yang bertanya dari
mana aku beroleh uang dan perhiasan? Aku katakan, sebagian
aku dapat utang dari Li Han Siang dan sampai sekarang belum
lunas.”

Syaikh Abdul Malik Israil yang mendengar ucapan Abdul Jalil tiba-
tiba tertawa terkekeh-kekeh. Kemudian dengan menahan geli dia
berkata, “Kehendak Allah memang aneh dan sering tak bisa
dipahami. Orang-orang yang memiliki iktikad baik untuk
berkhidmat kepada masyarakat justru diberi kesempitan dalam
kebutuhan duniawi sehingga berutang kesana-kemari. Sementara
orang yang berkhidmat kepada diri pribadi justru dilimpahi
perbendaharaan duniawi hingga jiwanya terkubur di bawah benda-
benda. Aneh sekali. Aneh.”

1579
Tulah Sang Naga Shesha

Ketika Abdul Jalil dan Syaikh Bentong baru


saja melepas pengikut-pengikutnya yang
ditugaskan menjadi pamancangah menmen,
tanpa terduga-duga datanglah tiga orang
pengikutnya secara hampir bersamaan. Yang
pertama, Kyayi Tapak Menjangan, kepala
dukuh Lemah Abang di Kadipaten Kendal.
Kedua, Ki Wujil Kunting, kepala dukuh Lemah Abang di Kadipaten
Samarang. Ketiga, Ki Saridin, kepala dukuh Lemah Abang di
Kadipaten Japara. Mereka datang berurutan dengan membawa
kabar yang sama: di sejumlah desa baru di Kadipaten Kendal,
Wirasari, Pengging, dan Lasem telah terjadi peristiwa aneh dan
menggemparkan penduduk. “

Jika waktu candikala (senja) datang, bayi-bayi menangis


sepanjang malam hingga pagi. Banyak di antara bayi-bayi itu
kemudian jatuh sakit dan mati. Gadis-gadis yang belum baligh
(dewasa) secara berbarengan tidak sadarkan diri. Mereka
menjerit-jerit dan kejang-kejang. Setelah sadar, mereka
menuturkan bahwa tubuhnya telah dimasuki ruh kakek atau
neneknya. Sedangkan yang tidak pernah sadar, menjadi hilang
ingatan. Gila. Ibu-ibu muda banyak membunuhi bayinya tanpa
sebab yang jelas. Anak-anak lelaki pun menunjukkan perilaku
aneh. Tanpa sebab jelas mereka mengomel, marah-marah,
mengamuk, merusak barang-barang, dan bahkan menyerang
orang-orang yang berada di dekatnya. Tidak peduli bapak, ibu,
1580
adik, dan kakek, semua diserang. Bahkan, sejumlah laki-laki
dewasa tanpa sebab yang jelas pula tiba-tiba menganiaya istri dan
anak-anaknya sampai mati. Pendek kata, semua orang ketakutan
karena penganiayaan dan pembunuhan yang terjadi di dalam
keluarga itu bisa mengenai siapa saja,” kata Kyayi Tapak
Menjangan.

Ki Saridin membenarkan penuturan Kyayi Tapak Menjangan dan


menambahkan, “Malahan yang sedang marak di Wirasari adalah
tawur antar desa. Rumah-rumah dibakar. Lumbung-lumbung
dibakar. Pedati, gerobak, wluku, lesung, dan barang apa saja yang
ditemui dibakar. Bahkan, sawah-sawah pun dibakar. Penduduk tak
bersalah, tak peduli orang tua, perempuan, dan anak-anak diburu-
buru, dianiaya, dan dibunuh. Pendek kata, semua orang di sana
tidakannya seperti orang kesurupan setan,” kata Ki Saridin.

Abdul Jalil menarik napas berat. Ia merasa perasaan aneh yang


dialaminya belakangan ini, yang membuatnya seolah-olah harus
pergi meninggalkan gubuknya, ternyata memang isyarat gaib yang
diterimanya dalam kaitan dengan peristiwa bersifat adiduniawi
sebagaimana dikabarkan ketiga pengikutnya tersebut. Dan ia
makin yakin ketika tak lama berbincang-bincang dengan pengikut-
pengikut setianya itu, datang pula ke gubuknya dua pengikutnya
yang lain, Ki Babat Penjalin, kepala dukuh Lemah Abang di
Pamotan, dan Kyayi Menjangan Tumlaka, kepala dukuh Lemah
Abang di Giri Kedhaton. Mereka berdua menyampaikan kabar
yang sama, yaitu tentang peristiwa aneh yang terjadi pula di Japan,
Terung, dan Wirasabha.
1581
Di antara kabar tentang peristiwa aneh dari para pengikutnya itu,
yang paling mengejutkannya adalah berita yang disampaikan
Kyayi Menjangan Tumlaka tentang amuk yang dilakukan Yang
Dipertuan Terung Raden Kusen. Menurut kabar yang didengarnya,
penguasa Terung yang dikenal gagah berani dan jago perang itu
suatu malam mengamuk seperti orang keranjingan setan. Ia
menghunus keris pusakanya dan menikam puterinya sendiri
hingga tewas. Para dayang dan prajurit yang menjaga kaputren
dibunuh semua. Belum puas dengan apa yang dilakukannya,
putera Ario Damar itu membakar Kraton Katerungan dan semua
bangunan di sekitarnya sampai rata dengan tanah. Bahkan,
dengan amarah yang masih berkobar-kobar Raden Kusen
memerintahkan prajuritnya untuk membuat tambak (bendungan)
yang menutup aliran Bengawan Terung. Setelah itu, ia dan
keluarga pindah ke Bubat. “Menurut kabar yang kami dengar, amuk
yang dilakukan oleh Yang Dipertuan Terung itu terjadi akibat
kekecewaan mendalam yang dialaminya setelah mengetahui
puterinya yang bernama Mas Ayu Tunjung, yang belum menikah
dan dijaga ketat di kaputren telah hamil,” kata Kyayi Menjangan
Tumlaka.

Abdul Jalil merasakan dadanya sesak. Ia cepat menangkap


kebenaran cerita bahwa peristiwa yang dialami Raden Kusen itu
sejatinya tidak memiliki kaitan dengan peristiwa-peristiwa aneh
yang baru saja dikabarkan oleh para pengikutnya. Ia sangat yakin
tindakan amuk Raden Kusesn adalah tindakan wajar bagi seorang
penguasa Majapahit yang masih memegang kuat nilai-nilai lama

1582
saat mengalami kekecewaan dan dibakar api amarah. Celakanya,
peristiwa itu terjadi bertepatan waktu dengan maraknya kabar
tentang peristiwa-peristiwa aneh di berbagai tempat. Lantaran itu,
orang cenderung mengaitkannya satu sama lain. Untuk
mengingatkan para pengikutnya agar tidak terjebak pada cara
berpikir otak-atik mathuk, Abdul Jalil bertanya kepada Kyayi Tapak
Menjangan, “Andaikata engkau, o Saudaraku, belum mengikuti
ajaranku dan mengalami peristiwa seperti yang dialami oleh
Adipati Terung, apakah yang akan engkau lakukan?”

Kyayi Tapak Menjangan, bangsawan asal Pajang yang menjadi


kepala dukuh Lemah Abang di Kadipaten Kendal, dengan ucapan
tegas berkata, “Tentu kami akan melakukan hal serupa dengan
apa yang dilakukan Yang Mulia Adipati Terung. Anak gadis kami
yang memalukan itu tentu akan kami bunuh. Bahkan, lelaki yang
telah menistanya akan kami bunuh bersama seluruh keluarganya.”

“Itu berarti, peristiwa yang dialami Pamanda Adipati Terung itu


tidak ada kaitan dengan peristiwa aneh yang marak belakangan
ini. Jadi, jangan dikait-kaitkan,” kata Abdul Jalil.

“Kami rasa, apa yang Kangjeng Syaikh ucapkan memang benar


adanya,” kata Kyayi Menjangan Tumlaka. “Kami pun berpikiran
seperti itu. Tetapi, peristiwa aneh dan kejadian menyedihkan di
Terung itu telah menjadi bahan pembicaraan seru di kalangan
penduduk. Orang-orang begitu ramai menggunjing keadaan
mengerikan itu. Mereka bilang, semua kekisruhan itu akibat
1583
kutukan. Para janggan dan dukun menyatakan bahwa penduduk
yang mendapat tanah bagian dari para adipati itu telah mendirikan
bangunan-bangunan tanpa mengikuti ketentuan yang berlaku di
kalangan perundagian sehingga mereka terkena tu-lah Sang Naga
Shesha.”

“Tu-lah Sang Naga Shesha?” gumam Abdul Jalil.

“Ya,” kata Kyayi Menjangan Tumlaka. “Naga Shesha yang disebut


juga dengan nama Naga Basuki atau Naga Karkotaka. Kami kira
Kangjeng Syaikh sudah paham soal itu.”

Abdul Jalil menekur sambil memegangi dagunya. Ia menangkap


suatu tengara kerumitan yang bakal memerangkap penduduk ke
lingkaran jalan buntu, karena terjebak dengan keyakinan-
keyakinan purwa yang sudah menebarkan jaring-jaringnya yang
mengikat akal budi. Sang Naga Shesha, menurut keyakinan
penduduk, adalah raja ular yang sesekali menampakkan wujud
sebagai ular berkepala seribu dan kadang-kadang berupa badai
merah yang merusak. Dia bersemayam di dalam bumi dan selalu
menyemburkan api yang membakar pada senja hari.

Naga Shesha di dalam khazanah cerita Jawa adalah nama naga


jelmaan Wisynu, Sang Basuki, yang bermakna penyelamat.
Seiring berkembangnya ilmu perundagian (arsitektur), yang
menempatkan kepercayaan terhadap Sang Naga Shesha sebagai
1584
bagian dari ilmu tata letak tanah, maka penduduk Nusa Jawa
meyakini keberadaan ular tersebut dalam kaitan dengan
perundagian. Ketika peradaban Majapahit merosot, sistem
pengetahuan itu berkembang menjadi sistem yang lebih luas dan
mencakup pula pengetahuan tentang hari baik dan hari buruk,
yang intisarinya kira-kira seperti ini: “Jika seseorang ingin selamat
(basuki), hendaknya jangan berhadapan muka dengan Naga
Basuki yang menyemburkan api membakar tiap senjakala.”
Bertolak dari keyakinan itu, agar manusia bisa mencapai
keselamatan hidup, maka mereka harus mengetahui keberadaan
Sang Naga Shesha, terutama arahnya menghadap.

Kepercayaan terhadap Naga Shesha pada masa kejayaan


Majapahit memang berbeda dengan yang berkembang kemudian.
Jika kaum cerdik cendikia pada masa kejayaan Majapahit,
terutama para undagi, mengetahui tentang sistem pengetahuan
tersebut dengan mengikuti petunjuk-petunjuk yang disampaikan
oleh para guru suci berdasar rontal Hasta Bhumi dan Wiswakarma,
maka di tengah kemerosotan Majapahit, ilmu perundagian ikut
merosot, membaur dengan kepercayaan takhayul Campa
sehingga menjadi sistem pengetahuan yang dikenal dengan
sebutan petungan nagadina, yaitu sistem pengetahuan yang jauh
lebih luas dan lebih njlimet dibanding ilmu perundagian. Bahkan,
yang menyedihkan, bagian terbesar dari sistem petungan
nagadina itu hanya didasari pada kerangka berpikir otak-atik
mathuk.

1585
Kabar peristiwa-peristiwa aneh yang disampaikan para kepala
dukuh Lemah Abang itu ternyata tidak berhenti pada pengaitan tu-
lah Sang Naga Shesha, tetapi lebih berbahaya adalah tersebarnya
kasak-kusuk yang menyatakan bahwa peristiwa tersebut
merupakan hukuman para dewa, karena orang-orang telah
meninggalkan ajaran leluhur untuk mengikuti ajaran baru dari
negeri asing. Yang tak kalah berbahaya, kasak-kusuk itu
mengaitkan peristiwa aneh tersebut dengan pembukaan dukuh-
dukuh Lemah Abang yang tidak sesuai dengan tatanan umum
yang berlaku. Dukuh-dukuh Lemah Abang yang dibuka, yang
katanya diperuntukkan bagi para wiku, ternyata dijadikan hunian
penduduk dari berbagai kalangan. “Hal itulah yang menurut desas-
desus telah menimbulkan tu-lah Sang Naga Shesha dan sekaligus
amarah para dewa. Lantaran itu, kata mereka, selama menunggu
giliran Dukuh Lemah Abang tertimpa bencana, desa-desa di
sekitarnya dulu yang menanggung akibat buruk itu,” kata Kyayi
Menjangan Tumlaka.

Abdul Jalil menunduk memegangi keningnya. Di benaknya tiba-


tiba berkelebat gambaran menyedihkan tentang dukuh-dukuh
Lemah Abang yang dikucilkan orang. Tidak cukup di situ,
berkelebatan pula gambaran tentang dukuh-dukuh Lemah Abang
ramai-ramai diserang penduduk dan dibakar. Di tengah gambaran
kobaran api itu berkelebat pula wajah para janggan dan dukun
yang menghasut penduduk untuk membenci dan memusuhi warga
Dukuh Lemah Abang. Tetapi, kelebatan-kelebatan bayangan itu
tidak lama memasuki benaknya. Ia menarik napas dalam-dalam
dengan mata terpejam. Ia memasrahkan semua urusan kepada
Allah. “Ya Allah, semua kejadian baik dan kejadian buruk mutlak
1586
berasal dari kehendak-Mu. Karena itu, kami pasrahkan semua
kepada-Mu,” katanya dalam hati.

Setelah berdiam beberapa jenak, ia berkata dengan suara tegar,


“Sekarang kembalilah kalian semua ke dukuh masing-masing.
Pasrahkan semua kepada Allah. Tetap teguhlah kalian pada
prinsip Ngalah. Yakinlah bahwa para janggan, dukun, dan
pedagang jimat yang menunggu musibah besar atas Lemah Abang
itu akan kecewa karena fitnah yang mereka sebarkan tidak pernah
terbukti.”

Sadar peristiwa aneh yang tak terduga itu bakal menjadi petaka
besar bagi perubahan yang sedang dirintisnya, Abdul Jalil buru-
buru pergi ke Caruban untuk menemui Sri Mangana dan ibunda
asuhnya. Ia ingin meminta petunjuk mereka tentang apa yang
harus dilakukannya tentang peristiwa-peristiwa aneh yang dialami
penduduk Wirasari, Lasem, Pengging, Japan, Terung, dan
Wirasabha. Secara kebetulan, saat Abdul Jalil datang, Sri
Mangana dan permaisuri sedang memperbincangkan masalah
tersebut dengan Raden Sepat, Ki Waruanggang, Ki Tameng, Ki
Tedeng, dan Ki Sukawiyana. Raden Sepat adalah undagi (arsitek)
termasyhur dari Majapahit yang dikirim Adipati Terung untuk
membantu perluasan Tajug Agung Caruban. Dari Raden Sepatlah
kabar tentang peristiwa aneh di Japan, Terung, dan Wirasabha itu
sampai ke Caruban.

1587
“Jadi peristiwa serupa juga terjadi di Wirasari, Pengging, dan
Lasem?” kata Sri Mangana menoleh ke arah permaisurinya dan
kemudian berkata kepada Abdul Jalil, “Kami semua sebenarnya
sedang membicarakan masalah itu dan berkeinginan
memanggilmu. Ternyata engkau sudah datang sendiri. Jadi,
biarlah ibundamu yang akan menjelaskannya karena dia tahu
banyak tentang masalah itu.”

“Sesungguhnya, apa yang terjadi dengan peristiwa aneh itu, o


Ibunda Ratu?”

“Kalau melihat gelagatnya dan penjelasan dari Yang Mulia Raden


Sepat, penduduk yang tinggal di pemukiman baru itu terkena tu-
lah Sang Naga Shesha, Sang Kalaraja, dan Sang Kala Greha.
Sebab, mereka telah melanggar tempat-tempat terlarang,” kata Nyi
Indang Geulis.

“Melanggar tempat-tempat terlarang?” gumam Abdul Jalil. “Apakah


yang ibunda maksud peristiwa itu berkaitan dengan tempat-tempat
khusus seperti Bale Panca Rsi, Bale Panangkilan, Bale Cakrawarti,
dan Bale Kapeningan di suatu tempat?”

“Tepat seperti itu. Orang-orang Islam baru (mu’alaf) yang tidak


paham tentang Wiswakarmatmaja Tattwa dengan semau-maunya
membuka pemukiman baru, bahkan membangun rumah di atas
lambang (bangunan lain) secara sembarangan tanpa melakukan
1588
upacara prascita (penyucian). Akhirnya, mereka menjadi watang
akreb dan berada dalam keadaan yang berbahaya. Kalau sudah
begitu, yang disalah-salahkan adalah agama Islam dan terutama
ajaranmu yang membuat orang-orang menjadi liar dan tidak tahu
aturan,” kata Nyi Indang Geulis.

“Ananda siap menerima curahan segala kesalahan, o Ibunda,” kata


Abdul Jalil tenang. “Tetapi, apa yang ananda lakukan, menurut
hemat ananda, tidak mungkin menimbulkan keanehan-keanehan
seperti itu. Sebab, sebelum ananda membuka dukuh-dukuh
Lemah Abang, ananda sudah bertemu dengan para penghuni
purwa Nusa Jawa, yaitu para bhuta dan kala dari antara Banu al-
Jann. Kami sudah mengadakan kesepakatan dengan mereka. Dan
sepengetahuan ananda, mereka tidak mungkin cedera janji seperti
manusia. Sementara soal tata cara penyucian tanah, ananda
sudah mengikuti semua petunjuk Ibunda Ratu. Jadi, ananda
berpikir, pasti ada sebab-sebab lain yang menimbulkan keadaan
aneh tersebut.”

“Apakah engkau benar-benar melakukan penyucian tanah dengan


upacara pracista seperti yang aku ajarkan?” tanya Nyi Indang
Geulis.

“Ananda sudah melakukan semua petunjuk Ibunda Ratu. Karena


itu, dukuh-dukuh Lemah Abang yang diniatkan sebagai Jajar
Lemah (tanah yang boleh ditempati semua kalangan) tetap
terhindar selamat dari peristiwa aneh tersebut. Bahkan, sesuai
1589
keinginan Ibunda untuk membuat tawar daya shakti ksetra-ksetra
dan tempat-tempat pemujaan Prthiwi, ananda telah pula
melakukan penyucian tanah yang disebut bhumisoddhana dan
bhuta-suddhi, dan tentu saja ditambah usaha batin ananda agar
apa yang Ibunda Ratu inginkan itu dapat ananda penuhi.”

“Mohon maaf, Tuan Syaikh,” Raden Sepat menyela. “Apakah


dalam penyucian tanah itu, Tuan menggunakan sarana jimat yang
dirajah aksara AH dan ANG yang dipadukan menjadi satu? Sebab,
sesuai petunjuk Wismatattwa, semua bangunan yang berdasarkan
widhi widana harus memakai sarana jimat lambang perempuan
dan laki-laki yang disatukan dan ditanam di bawah hulu bangunan.”

Abdul Jalil tersentak kaget mendengar pertanyaan Raden Sepat.


Cakrawala jiwanya yang semula tertutup kabut tiba-tiba bersinar
cemerlang bagai ditimpa matahari. Kemudian dengan suara lain ia
berkata, “Kami sudah melakukan itu semua, Yang Mulia. Tapi,
kami jadi sadar bahwa justru di situlah letak masalah yang
sesungguhnya hingga timbul berbagai masalah aneh sekarang ini.”

“Apakah Tuan Syaikh menggunakan sarana jimat atau batu merah,


emas, perak, atau tembaga?”

“Ketika kami menutup Kabhumian di Caruban, yang kami tanam


sebagai lambang aksaran AH dan ANG adalah lingga dari puncak
Gunung Pulasari dan yoni yang dipuja di Kabhumian. Bahkan,
1590
karena perlambang aksara AH dan ANG itulah kami kemudian
menamai dukuh-dukuh baru yang kami buka itu dengan Lemah
Abang, yang bermakna persatuan lambang laki-laki dan
perempuan. Lemah Abang adalah perlambang AH dan ANG,
manusia perempuan dan laki-laki, keturunan Adam a.s. dan Hawa
a.s.. Lemah Abang adalah perlambang Prthiwi (tanah) yang
membentuk tubuh dan jiwa (nafs) manusia, sekaligus perlambang
Wisynu (Sang Pemelihara, Rabb) yang memancarkan Ruh
Kebenaran (Ruh al-Haqq) dari Paramasyiwa (Rabb ar-Arbab),”
papar Abdul Jalil.

“Kami paham itu, Tuan Syaikh. Tetapi, maksud kami, sarana jimat
apakah yang Tuan gunakan untuk ditanam di bawah hulu
bangunan? Sebab, hal itu sangat menentukan dalam suatu
upacara penyucian tanah,” tanya Raden Sepat.

“Kami tidak mengikuti aturan yang lazim, Yang Mulia,” kata Abdul
Jalil menjelaskan. “Sebab, yang kami sucikan bukan sepetak atau
dua petak tanah, melainkan tanah se-Nusa Jawa. Tanah Majapahit
dan Pasundan. Bahkan di balik itu, kami ingin menutup ksetra-
ksetra dan tempat-tempat pemujaan Sang Bhumi yang meminta
korban manusia dengan cara membuat tawar daya shakti dari
tempat-tempat tersebut. Kami sudah mengikat suatu perjanjian
dengan Ibunda Prthiwi, Sang Bhumi. Itu sebabnya, kami tidak
menggunakan sarana jimat yang lazim.”

1591
“Jika boleh tahu, sarana apakah itu?” tanya Raden Sepat makin
penasaran.

“Darah dan keakuan kami.”

“Maksudnya?”

“Pertama-tama, di setiap Dukuh Lemah Abang yang kami buka,


kami harus menumpahkan darah sebagai ganti bagi korban-korban
yang selama ini dijadikan persembahan di situ. Karena itu, sesuai
jumlah dukuh Lemah Abang yang kami buka, seperti itulah jumlah
luka bekas sayatan yang ada pada tubuh kami,” kata Abdul Jalil
sambil menyingsingkan lengan jubahnya dan menunjukkan bekas
luka sayatan yang menghiasi lengannya bagai ukiran.

Semua mata memandang lengan Abdul Jalil sambil


menggelengkan kepala. Nyi Indang Geulis sendiri merasakan
jantungnya berhenti dan keteguhan hatinya runtuh. Meski ia
berusaha menahan rasa iba yang menguasai jiwanya, tak urung ia
menitikkan air mata. Dengan suara tersendat bercampur isak pedih
ia bertanya lirih, “Kenapa engkau tidak pernah bercerita kepada
kami tentang perjanjianmu dengan Ibunda Prthiwi?”

“Ananda kira itu tidak perlu, Ibunda Ratu,” kata Abdul Jalil menutup
kembali lengan jubahnya. “Ananda paham, apa yang dilakukan
1592
Ibunda Bhumi itu hanyalah suatu ujian. Ujian untuk menguji putera-
puteranya, manusia-manusia yang rela berkorban sebagaimana
pengorbanan Ibunda Bhumi yang merelakan tubuhnya diinjak-injak
dan dilukai oleh putera-puteranya. Dan ananda, selaku putera
Ibunda Bhumi, ingin membuktikan bahwa di antara putera-putera
Sang Bhumi itu ada yang rela berkorban tanpa meminta imbalan
apa-apa. Itu berarti, ananda ingin menunjukkan pada Ibunda
Bhumi bahwa ada puteranya yang melebihinya dalam berkorban.
Sebab, dengan cara melebihi keikhlasan Ibunda Bhumi saja
kekuatan ‘haus darah’ dari Sang Prthiwi itu dapat ditawarkan.”

“Apakah cukup dengan menumpahkan darahmu di dukuh-dukuh


Lemah Abang?”

“Tentu saja tidak, o Ibunda Ratu. Sebab, yang lebih mendasar dari
perjanjian kami dengan Ibunda Bhumi adalah jati diri kami yang
dijadikan jimat di bawah hulu bangunan. Maksud ananda,
sebagaimana jimat yang ditanam di bawah hulu bangunan,
demikianlah jati diri kami wajib diinjak-injak dan direndahkan oleh
setiap manusia yang menghuni permukaan bumi. Itu berarti, setiap
manusia harus merendahkan dan menista ananda sebagaimana
mereka memperlakukan bumi,” kata Abdul Jalil tegas.

“Kenapa engkau mau mengikat perjanjian seperti itu?” tanya Nyi


Indang Geulis dengan air mata bercucuran. “Sungguh aku tak
pernah mengira jika permintaanku itu akan berakibat
menyengsarakanmu, o Puteraku.”
1593
“Sesungguhnya, ananda sudah menawarkan nyawa ananda
kepada Ibunda Bhumi sebagai tebusan bagi upacara korban
persembahan manusia. Tetapi, Ibunda Bhumi tidak berkenan.
Penebusan seperti itu, menurut Ibunda Bhumi, bisa dilakukan oleh
banyak orang. Ibunda Bhumi ingin yang lebih dari itu, yaitu ingin
melihat pengorbanan orang-orang yang ikhlas keakuannya diinjak-
injak dan dinista sepanjang zaman. Bahkan, dalam perjanjian itu
telah ditetapkan pula bahwa jika suatu saat keberadaan ananda
diangkat melebihi letak kedudukan tanah, maka saat itulah Ibunda
Bhumi akan meminum kembali darah dari manusia-manusia
melalui caranya sendiri.”

“Apakah peristiwa-peristiwa aneh itu engkau anggap terkait


dengan perjanjianmu?”
“Ananda kira demikian, o Ibunda Ratu,” kata Abdul Jalil. “Sebab, di
berbagai tempat ananda mendengar bahwa nama ananda dipuja-
puja sebagai dewa penolong dan dipuji setinggi langit oleh
kalangan kawula. Dengan demikian, melalui peristiwa aneh itu
Sang Bhumi telah mengingatkan kembali kepada ananda akan
perjanjian itu dengan caranya. Itu berarti, sekaranglah saatnya
orang-orang harus memulai penistaan terhadap ananda. Dan bagi
ananda, apa yang dikehendaki Ibunda Bhumi itu sebagai suatu
yang wajar dan tidak berlebihan. Sebab, dari Ibunda Bhumilah
jasad ananda ini terbentuk. Dari Ibunda Bhumi juga makanan yang
memelihara keutuhan jasad ananda ini berasal. Karena itu, jika
Ibunda Bhumi menghendaki darah ananda maka ananda akan
selalu siap menyediakannya demi kepuasannya. Ananda akan
menunjukkan kepada Ibunda Bhumi bahwa tidak semua putera

1594
Bhumi adalah makhluk perusak dan penghancur ibunya. Ananda
ingin menunjukkan bahwa tidak semua putera-putera Bhumi
adalah manusia tak tahu budi. Ananda akan menunjukkan bahwa
ananda adalah putera Ibunda Bhumi yang tahu berterima kasih
karena ananda telah memakan sesuatu dari Ibunda Bhumi secara
haqq dan tidak berlebihan. Ananda ingin menunjukkan bahwa
ananda adalah putera Bhumi yang lebih ikhlas dan lebih tanpa
pamrih dalam berkorban dibanding Sang Bhumi sendiri.”

Tanpa kembali ke gubuknya di Lemah Abang, Abdul Jalil


meninggalkan Caruban dengan disertai Abdul Malik Israil, Ki
Waruanggang, Ki Tameng, Raden Sulaiman, Raden Sahid, dan Liu
Sung. Ketika bertemu dengan Adipati Bojong Pangeran Danareja,
Abdul Jalil diberi tahu di Kadipaten Bojong secara berangsur-
angsur sudah diberlakukan tatanan yang sama dengan yang
berlaku di Caruban. Jabatan Buyut sebagai kepala wisaya telah
diganti dengan jabatan Ki Gede. Jabatan Rama sebagai kepala
desa telah diganti, namun bukan Ki Kuwu, melainkan Ki Lurah.
“Perubahan itu terutama kami berlakukan di wilayah pesisir. Nanti
jika tepat waktunya, daerah pedalaman pun akan menyusul,” kata
Pangeran Danareja.

“Wisaya mana sajakah yang sudah diubah?” tanya Abdul Jalil.

“Wilayah pesisir, terutama yang dipimpin oleh pengikut-pengikut


Kangjeng Syaikh, yaitu Wanasari, Talang, Pangkah, Suradadi, dan
Patarukan.”
1595
Setelah berbincang-bincang lama tentang makna Tauhid di balik
perubahan jabatan-jabatan pemerintahan, Abdul Jalil dan
rombongan meninggalkan Kadipaten Bojong. Mereka mengunjungi
Dukuh Lemah Abang di Kadipaten Kendal, Abdul Jalil memberi
tahu tentang perikatan janjinya dengan Sang Bhumi. Kyayi Tapak
Menjangan terkejut mendengarnya dan tak dapat mengucapkan
kata-kata, kecuali mengungkapkan tanda tanya seseorang yang
kebingungan, “Bagaimana mungkin kami bisa ikut-ikutan menista
dan merendahkan Kangjeng Syaikh? Bagaimana cara kami
melakukannya?”

“Sekarang ini diam adalah yang utama,” kata Abdul Jalil tegas.
“Katakan kepada seluruh warga Lemah Abang untuk tidak sekali-
kali memuji aku. Maksudku, jika kalian tidak bisa menista dan
merendahkan aku maka sebaiknya kalian diam dan tidak memuji
aku sekecil apa pun. Diam. Diam. Seribu kali diam.”

Setelah dari Lemah Abang, Abdul Jalil dan rombongan menghadap


Pangeran Gandakusuma, adipati Kendal. Sebagaimana di Bojong,
usai berbincang tentang peristiwa aneh di pedalaman, sang adipati
memberi tahu Abdul Jalil bahwa di wilayah kekuasaannya pun
sedang berlangsung pergantian istilah jabatan kepala wisaya dan
Buyut menjadi Ki Gede dan jabatan kepala desa dari Rama
menjadi Ki Lurah. Tak berbeda dengan Bojong, di Kendal pun
perubahan itu dimulai di wilayah pesisir, yaitu di Wisaya
Pakalongan, Kedungwuni, Jalasakti, Banyuputih, dan Kaliwungu.
Dalam upaya memacu semangat perubahan sang adipati, Abdul

1596
Jalil memaparkan makna di balik perubahan-perubahan jabatan
itu.

“Sesungguhnya, perubahan istilah itu bukan sekadar mengganti


nama, Yang Mulia. Tetapi, ada penegakan Tauhid di dalamnya.
Karena itu, pahala Allah yang tak terhingga tercurah kepada
mereka yang berjuang menegakkan Tauhid di bumi Allah,” kata
Abdul Jalil. Sebagaimana Pangeran Danareja Adipati Bojong,
Pangeran Gandakusuma pun berjanji kepada Abdul Jalil akan
secepatnya melakukan perubahan serentak di seluruh wilayah
kekuasaannya.

Ketika singgah di pelabuhan Samarang, Abdul Jalil mendapati


kenyataan yang sama dengan di Bojong dan Kendal, yaitu
terjadinya penggantian istilah jabatan pemerintahan. Sementara
itu, selain mendapati orang-orang ramai membicarakan peristiwa
aneh di Wirasari, Pengging, Kendal, dan Lasem, ia juga beroleh
kabar dari para pelaut bahwa di Japara saat itu sedang dibangun
pabrik mesiu dan pengecoran bedil besar (Jawa Kuno: meriam)
yang dikerjakan oleh orang-orang Cina ahli senjata asal
Palembang, Terung, dan Lawe, ditambah orang-orang asal Kerala
di pantai Malabar. Yang disebut bedil besar adalah sejenis gurnita,
namun bahan yang digunakan dari besi atau perunggu. Sebutan
bedil sendiri berasal dari kata “wedhil”, yaitu istilah yang digunakan
oleh orang-orang Kerala.

1597
Senjata bedil dan bedil besar sudah digunakan barang seratus
tahun silam oleh orang-orang Majapahit yang membelinya dari
pedagang-pedagang India. Sebelumnya, pedagang-pedagang
India membeli senjata-senjata api tersebut dari saudagar-saudagar
Turki. Kira-kira lima puluh tahun silam, usaha membuat sendiri
bedil besar dilakukan untuk kali pertama oleh Ario Damar Adipati
Palembang, dengan dibantu ahli-ahli mesiu Cina Palembang dan
orang-orang Kerala. Usaha membuat bedil besar, memang
dimungkinkan karena tekniknya jauh lebih sederhana dibanding
bedil yang rumit. Meski begitu, sejumlah bedil besar hasil
pengecoran di Palembang itu meledak saat dicoba dan menelan
korban jiwa. Meski bedil besar buatan Palembang belum
sempurna, Ario Damar berhasil membangun pabrik mesiu besar di
sana.

Ketika Raden Sahun, putera Ario Damar, menjadi adipati


Samarang, dibangunlah pabrik pengecoran logam di situ dengan
bantuan orang-orang Persia dan Turki yang bermukim di Kerala.
Di Samarang itulah bedil besar berhasil disempurnakan dengan
pasokan mesiu dari Palembang. Sejak itu bedil besar buatan
Samarang diperdagangkan ke berbagai negeri seperti Pasai,
Kedah, Malaka, Aceh, Tamiang, bahkan Siam dan Pegu. Tetapi,
demi alasan kekuasaan keturunannya, Ario Damar melarang
penjualan bedil besar dan mesiu kepada orang-orang Majapahit
dan Sunda. Itu sebabnya, orang-orang Majapahit tetap membeli
bedil besar dari saudagar-saudagar India dengan harga yang
sangat mahal. Bahkan di tengah kemelut perebutan takhta, raja-
raja Majapahit tidak mampu lagi membeli bedil besar.

1598
Lantaran kebijakan Ario Damar seperti itu, keberadaan bedil besar
banyak didapati orang di Kadipaten Samarang, Demak, Madura,
dan Terung, tempat putera-puteranya menjadi penguasa di situ.
Malahan, di tengah kekacauan yang berlangsung tak kunjung
berhenti di ibu kota Majapahit, hampir seluruh bedil besar milik
kerajaan dikuasai oleh Raden Kusen Adipati Terung. Itu sebabnya,
di antara penguasa-penguasa Majapahit, kekuatan tempur yang
dimiliki Kadipaten Terunglah yang paling kuat karena selain
memiliki pasukan gurnita, juga memiliki pasukan bedil besar dan
bedil. Di berbagai medan tempur, termasuk dalam peperangan
dengan Patih Mahodara, selalu saja pihak Terung beroleh
kemenangan.

Seiring perputaran waktu, seiring mangkatnya Ario Damar, pabrik


mesiu di Palembang dan pengecoran logam di Samarang
mengalami kemunduran dan kemudian ditutup. Pasukan Demak,
Samarang, dan Madura tidak lagi menggunakan bedil besar. Satu-
satunya putera Ario Damar yang masih menggunakan bedil besar
adalah Raden Kusen, Yang Dipertuan Terung. Dan kini, ketika
keberadaan bedil besar sudah dilupakan orang, tiba-tiba saja
terdengar kabar bahwa di Japara sedang dibangun pabrik mesiu
baru, sekaligus dengan pengecoran logam untuk membuat bedil
besar. Penggunaan senjata gurnita dalam pertempuran Caruban-
Rajagaluh oleh pasukan Terung, rupanya sangat memukau
Pangeran Sabrang Lor, anak menantu Raden Patah Adipati
Demak, yang ikut terlibat pertempuran membela Caruban.
Lantaran itu, tak lama setelah kembali dari Caruban, ia
memerintahkan untuk membangun pabrik mesiu dan pengecoran

1599
bedil besar di Japara dengan bantuan para ahli dari Palembang,
Terung, Lawe, dan Kerala.

Kabar pembangunan pabrik mesiu dan pengecoran bedil besar di


Japara, bagi Abdul Jalil merupakan tengara yang mengisyaratkan
pertumpahan darah antarmanusia di masa depan bakal lebih
dahsyat dibanding masa-masa sebelumnya. Penggunaan senjata
gurnita untuk menembaki kutaraja Rajagaluh sehingga bangunan-
bangunan, pagar kuta, pohon-pohon, manusia, dan margasatwa
habis terbakar, paling tidak adalah sebuah gambaran kebinasaan
yang sempat mencengangkan Abdul Jalil. Padahal, kerusakan
yang diakibatkan bedil besar tentu jauh lebih dahsyat dibanding
gurnita, apalagi dibanding senjata-senjata jenis manjanik (pelontar
api). Kini, senjata yang dahsyat itu, bedil besar, malah dibuat
secara besar-besaran di Japara. Itu berarti, zaman kerusakan
akibat datangnya pasukan Dajjal, yang disebut Ya’juj wa Ma’juj,
sang perusak yang membawa senjata-senjata penyembur api,
telah dekat. Zaman Ya’juj wa Ma’juj dengan bala tentaranya yang
berkeliaran merusak bumi telah dekat, dekat, katanya dalam hati.

Ketika membayangkan kedatangan bala tentara Ya’juj wa Ma’juj


yang ganas, yang melengkapi diri dengan senjata-senjata
penyembur api, tiba-tiba Abdul Jalil tercekat kaget. Di benaknya
tiba-tiba membayang bangunan-bangunan peracikan mesiu dan
pengecoran bedil besar di bumi Japara. Jika orang-orang Japara
membuat bedil besar, katanya dalam hati, apakah itu tidak
mengandung makna bahwa mereka pun pada hakikatnya ikut andil
dalam upaya merusak bumi. Sebab, penanda utama dari
1600
keberadaan Ya’juj wa Ma’juj adalah kawanan manusia yang
menggunakan senjata penyembur api untuk menghancurkan bumi
dan merampas kehidupan umat manusia.

Dengan pemikiran bahwa senjata-senjata yang disebut bedil besar


adalah senjata penghancur yang digunakan Ya’juj wa Ma’juj, Abdul
Jalil merasa dadanya sesak dan tenggorokannya kering. Ada
semacam rasa sedih menggelayuti jiwanya saat mengingat
prajurit-prajurit Japara yang gagah perkasa di medan tempur. Ia
sangat menyayangkan bakal hilangnya jiwa ksatria dari pejuang-
pejuang itu jika sudah menggunakan senjata bedil besar. Tanpa
sadar ia menengadah dan mengangkat tangan ke atas sambil
berdoa, “Ya Allah, jangan Engkau golongkan putera-putera kami
ke dalam kawanan Ya’juj wa Ma’juj perusak bumi. Jangan pula
Engkau jadikan putera-putera kami sebagai kawanan pembawa
senjata penyembur api. Jangan Engkau berikan putera-putera
kami kemenangan jika mereka menggunakan senjata-senjata
penyembur api. Jadikanlah mereka sebagai umat yang membawa
rahmat bagi alam semesta.”

Lantaran tidak ingin terkena pengaruh daya setani senjata


penyembur api, yaitu senjata yang digunakan Ya’juj wa Ma’juj
untuk merusak Kehidupan di muka bumi, usai berdoa Abdul Jalil
meminta tukang perahu cepat-cepat meninggalkan Kadipaten
Samarang tanpa singgah ke Demak maupun Japara. Ia meminta
tukang perahu langsung ke pelabuhan Gresik. Kepada salah
seorang warga Lemah Abang, ia mengirim pesan kepada Ki
Saridin, kepala dukuh Lemah Abang di Kadipaten Japara, agar
1601
mengingatkan semua warganya untuk tidak dekat-dekat dengan
orang-orang yang terlibat dalam pembuatan pabrik mesiu dan
pengecoran bedil besar tersebut.

1602
Perubahan Demi Perubahan

Ketika sampai di pelabuhan Gresik, Abdul


Jalil dan rombongan bersembahyang di tajug
agung Gresik yang terletak di depan
kediaman syahbandar. Tetapi, saat
beristirahat ia terkejut ketika mengetahui
penduduk di sekitar tajug agung berbicara
dalam bahasa sehari-hari dengan menggunakan kata ganti diri
ingsun. Hal itu mengagetkan karena barang setahun lalu ketika ia
menghadap Prabu Satmata di Puri Giri Kedhaton, penduduk yang
tinggal di sekitar pelabuhan Gresik masih menggunakan kata ganti
diri nghulun atau kawula. Ketika ia menanyakan hal itu kepada
Syaikh Garigis, yang bernama asli Mathori, imam tajug agung
Gresik, ia beroleh jawaban bahwa perubahan yang terjadi di
Kadipaten Gresik dan Giri Kedhaton memang baru berlangsung
barang lima bulan silam. “

Atas titah Sri Naranatha Giri Kedhaton Susuhunan Ratu Tunggul


Khalifatullah Prabu Satmata, seluruh penduduk di tlatah Giri
Kedhaton diwajibkan menggunakan kata ganti diri ingsun. Titah itu
kemudian diikuti adipati Gresik dan Siddhayu. Malahan, jabatan
kepala wisaya dan kepala desa di Giri Kedhaton pun telah dirubah.
Jabatan Buyut diganti Ki Ageng. Jabatan Rama diganti Ki Lurah.
Para pemimpin wisaya di Giri Kedhaton sekarang ini semuanya
menggunakan gelar Ki Ageng seperti di Wanjang, Siwalan,
Sumengka, Cangkir, dan Damyan. Kalau tidak salah, pekan depan

1603
ini Kadipaten Gresik dan Siddhayu akan ikut juga,” ujar Syaikh
Garigis.

Abdul Jalil senang mendengar perubahan itu. Karena itu, ia dan


rombongan pergi ke puri Giri Kedhaton untuk menemui Prabu
Satmata. Tetapi, di Puri Giri Kedhaton ia ditemui oleh Pangeran
Arya Pinatih, paman angkat Prabu Satmata, yang usianya sudah
tujuh puluh tiga tahun. Pangeran Arya Pinatih memberi tahu Abdul
Jalil jika Prabu Satmata dan putera ketiganya, Pangeran Zainal
Abidin Dalem Timur, barang sehari lalu telah pergi ke Surabaya.
“Katanya hendak bertemu dengan Raden Kusen Adipati Terung
sekalian berziarah ke Ampel Denta,” kata Pangeran Arya Pinatih.

Pangeran Arya Pinatih adalah paman angkat Prabu Satmata. Dia


adik kandung Nyai Pinatih, ibu angkat Prabu Satmata. Meski lahir
dari keluarga bangsawan Pinatih dari ksatria Manggis, sejak kecil
dia diasuh di Gresik secara Islam oleh kakak kandungnya. Dia
sangat dihormati sebagai mursyid Tarekat Kubrawiyyah, yaitu
tarekat yang dinisbatkan kepada Syaikh Najamuddin Kubra al-
Khwarazm. Dia mengambil baiat kepada Raden Ali Murtadho, Raja
Pandita Susuhunan Gresik, kakak Raden Ali Rahmatullah. Oleh
Raden Ali Murtadho, ia ditunjuk sebagai wakilnya (khalifah).
Lantaran selama bertahun-tahun mengajarkan Tarekat
Kubrawiyyah di Tajug Agung Giri Kedhaton yang terletak di depan
Bangsal Sri Manganti, yaitu kraton Prabu Satmata yang terletak di
selatan Puri Giri Kedhaton, maka dia dikenal orang dengan
sebutan Syaikh Manganti.

1604
Kemapanan sebagai seorang pangeran kaya raya dan sekaligus
khalifah tarekat yang dimuliakan manusia ternyata tidak
menjadikan Pangeran Arya Pinatih berpuas diri menikmatinya. Di
usianya yang makin senja itu dia sering meninggalkan
kediamannya untuk mendakwahkan Kebenaran Islam di
pedalaman. Melalui salah seorang kepala wisaya di Tumapel yang
menjadi muridnya, yaitu Kyayi Gribik, dia menyebarkan pengaruh
Islam di pedalaman hingga ke daerah Sengguruh dan Lumajang di
selatan. Hanya pada saat-saat tertentu saja dia kembali ke
padepokannya di selatan atau ke purinya yang terletak di
Kedhanyang di selatan Puri Giri Kedhaton. Dia dikaruniai dua
putera, Pangeran Pringgabhaya dan Pangeran Kedhanyang.

Kedatangan Abdul Jalil dan rombongan yang tak terduga ternyata


dengan cepat didengar oleh keluarga Prabu Satmata. Rupanya,
selama ini orang-orang sudah banyak membicarakan pandangan-
pandangannya yang aneh dan tidak lazim. Itu sebabnya, belum
lama Abdul Jalil berbincang-bincang dengan Pangeran Arya
Pinatih, putera-putera Prabu Satmata disertai Pangeran
Pringgabhaya dan Pangeran Kedhanyang bermunculan dan saling
memperkenalkan diri. Para putera Prabu Satmata itu adalah
Pangeran Tegal Wangi Dalem Lor, Pangeran Ardi Pandan Dalem
Kidul, Pangeran Kembangan Dalem Kulon, dan Pangeran Waruju.
Setelah saling memperkenalkan diri, mereka memohon kepada
Pangeran Arya Pinatih agar diperkenankan ikut berbincang-
bincang dengan Abdul Jalil.

1605
Selama berbincang-bincang dengan Pangeran Arya Pinatih dan
para putera Prabu Satmata, Abdul Jalil menangkap keluasan
wawasan dan kedalaman pengetahuan para pangeran tersebut.
Tetapi, ia sangat terkejut ketika Pangeran Arya Pinatih
menyinggung-nyinggung nama Hasan Ali, orang asal Caruban
yang mengaku murid Syaikh Lemah Abang yang bernama asli San
Ali Anshar. “Aku curiga dengan pengakuannya. Karena yang
kuketahui, nama asli Syaikh Lemah Abang adalah Syaikh Datuk
Abdul Jalil,” kata Pangeran Arya Pinatih.

Abdul Jalil tercenung. Ia tiba-tiba teringat pada Syaikh Datuk Kahfi,


guru terkasih sekaligus ayahanda asuhnya, yang pernah
menuturkan perihal Raden Anggaraksa, putera Rsi Bungsu yang
setelah memeluk Islam diberi nama Hasan Ali. Sesaat ia
menangkap sasmita tidak baik tentang Hasan Ali yang mengaku
muridnya itu, apalagi dengan menyebutnya dengan nama San Ali
Anshar. Ingatan Abdul Jalil pun melesat pada dua orang adik
iparnya, Abdul Qadir dan Abdul Qahhar al-Baghdady, yang pernah
menuturkan pengkhianatan Ali Anshar. Jangan-jangan, pikir Abdul
Jalil, Ali Anshar yang sudah berada di Jawa itu melakukan
tindakan-tindakan yang membahayakan dengan
mengatasnamakan dirinya.

Menangkap gelagat tidak baik itu, Abdul Jalil buru-buru menolak


pengakuan sepihak Hasan Ali itu dengan pernyataan tegas,
“Sesungguhnya, Hasan Ali itu putera Rsi Bungsu, adik dari ibunda
asuhku. Dia cucu Prabu Surawisesa, penguasa Galuh Pakuan.
Namanya yang asli Raden Anggaraksa. Dia dinamai Hasan Ali oleh
1606
ibunda asuhku setelah memeluk agama Islam. Tetapi, kami tidak
pernah saling bertemu muka. Karena itu, kalau dia mengaku murid
Syaikh Lemah Abang, San Ali Anshar, mungkin itu benar. Tetapi,
pasti bukan kami yang dimaksud. Kami sendiri memiliki nama kecil
San Ali, namun kami bukan San Ali Anshar. Kami curiga nama itu
digunakan seorang pengkhianat bernama Ali Anshar asal negeri
Persia yang pernah kukenal di Baghdad. Kepadaku, dia mengaku
berasal dari Tabriz dan menggunakan Ali Anshar at-Tabrizi.
Belakangan aku diberi tahu jika dia berasal dari Isfahan.”

“Sejak awal aku memang sudah curiga,” kata Pangera Arya


Pinatih, “Sebab, di hadapanku ia mengaku bernama Hasan Ali,
murid dari Syaikh Lemah Abang, San Ali Anshar. Sedangkan di
hadapan Prabu Satmata ia mengaku bernama Bango Samparan,
putera Rsi Bungsu dari Pajajaran. Kepada aku, ia mengaku ingin
belajar tentang ilmu Kebenaran dari Tareka Kubrawiyyah, namun
kepada Prabu Satmata ia mengaku ingin belajar ilmu terawangan
dari Tarekat Ni’matullah. Aku makin curiga ketika murid-muridku
melaporkan Hasan Ali itu panda mempertunjukkan ilmu sihir.”

Abdul Jalil menarik napas panjang. Ia benar-benar melihat gelagat


tidak baik dari keberadaan Hasan Ali yang mengaku muridnya itu,
terutama dalam kaitan dengan San Ali Anshar. Sejenak setelah itu
tiba-tiba Ruh al-Haqq di kedalaman kalbunya memberi tahu bahwa
justru lewat Hasan Ali dan San Ali Anshar itulah jalan penistaan
dan penghinaan yang harus dilaluinya akan terwujud menjadi
kenyataan. Ya, lewat Hasan Ali dan Ali Anshar itulah ikatan

1607
perjanjianmu dengan Sang Bhumi akan tergenapi, kata Ruh al-
Haqq.

Beberapa jenak Abdul Jalil terdiam. Ia segera sadar bahwa jalan


kenistaan yang dilaluinya rupanya harus melewati sosok Hasan Ali
dan Ali Anshar al-Isfahani. Lantaran itu, ia kemudian menjelaskan
dengan jujur masalah perikatan janjinya dengan Sang Bhumi
kepada Pangeran Arya Pinatih. Meski awalnya terkejut, pangeran
asal Bali yang sudah merasakan pahit getirnya kehidupan itu
menyatakan dukungan penuh kepada Abdul Jalil untuk
menunaikan tugas mulia itu. Kedua orang putera sang pangeran
dan para putera Prabu Satmata pun menyatakan dukungan.
Bahkan, Pangeran Arya Pinatih dengan tegas meminta Abdul Jalil
untuk membuat tawar daya shakti ksetra-ksetra di Giri Kedhaton.
“Terus terang, aku sudah tidak tahan setiap waktu mendengar ibu-
ibu meratap dan hilang ingatan karena anaknya dijadikan korban
persembahan di ksetra. Upacara-upacara itu harus diakhiri. Aku
dan kemenakanku, Prabu Satmata, sudah berkali-kali mencari
jalan terbaik untuk menutup ksetra-ksetra itu. Tapi, belum juga
bertemu caranya. Lantaran itu, aku yakin dia akan sepaham
denganku, mendukung sepenuhnya usahamu menutup tempat-
tempat kebusukan (putikeswara) itu dengan cara membuat tawar
daya shaktinya,” kata Pangeran Arya Pinatih.

“Ada berapakah jumlah ksetra di Giri Kedhaton?” tanya Abdul Jalil.

1608
“Ada empat, yaitu Ksetra Adhidewa, Mangare, Dara, dan
Indrabhawana.”

Peristiwa amuk yang dilakukan Raden Kusen Adipati Terung


ternyata sangat menggemparkan dan menjadi pembicaraan ramai
penduduk dari pedalaman hingga pesisir. Hal itu diketahui Abdul
Jalil tak lama setelah ia menginjakkan kaki si Surabaya. Sejak
turun di panambangan ia sudah mendapati orang-orang sudah
membicarakan peristiwa aneh di Japan, Wirasabha, dan Terung.
Ketika di Kraton Surabaya ia mendapati hampir semua putera,
kerabat dekat, dan siswa Raden Ali Rahmatullah berkumpul di situ.
Mereka tampaknya ingin memecahkan masalah rumit, terutama
yang sedang membelit penguasa Terung. Di antara mereka itu
terlihat Raden Ahmad, Raden Mahdum Ibrahim, Raden Mahmud,
Raden Hamzah, Ibrahim al-Gujarati, Raden Kusen, Prabu
Satmata, Raden Zainal Abidin Adipati Gresik, Pangeran Zainal
Abidin Dalem Timur, Khalifah Husein, Raden Yusuf Siddhiq Adipati
Siddhayu, dan Arya Bijaya Orob Adipati Tedunan.

Saat beramah-tamah dan saling mengabarkan keselamatan


masing-masing, banyak yang bertanya kepada Abdul Jalil tentang
perkembangan Caruban setelah memenangkan peperangan
melawan Rajagaluh. Abdul Jalil yang sangat prihatin atas “perang”
lanjutan setelah kemenangan itu dengan kurang bersemangat
menjelaskan, “Apa yang disabdakan Rasulullah Saw. tentang
perang yang lebih besar dari Perang Badar telah terjadi di
Rajagaluh sekarang ini. Masing-masing orang berperang melawan
nafs mereka masing-masing. Karena itu, aku cepat-cepat
1609
meninggalkan mereka yang sedang berlomba mengumbar nafsu
berkuasa itu. Sekarang ini Sri Mangana beserta para gede sedang
sibuk menata pemerintahan baru di Rajagaluh.”

“Kenapa Paman justru meninggalkan Caruban pada saat-saat


seperti itu?” tanya Raden Ahmad heran. “Bukankah sekarang ini
Paman lebih dibutuhkan di sana?”

“Kalau aku tidak meninggalkan Caruban, fitnah akan bertebaran


lebih dahsyat. Orang-orang yang sudah mabuk kekuasaan itu akan
memfitnahku dengan tuduhan macam-macam, pada ujungnya
yang terkena akibat buruk adalah Sri Mangana. Dengan
kepergianku dari Caruban, Sri Mangana dan para gede akan bisa
bertindak lebih leluasa menata pemerintahan baru di Rajagaluh,”
jawab Abdul Jalil.

“Siapa kira-kira yang jadi penguasa Rajagaluh?”

“Kalau tidak keliru, para gedeng sepakat mengajukan Ki


Sukawiyana dari Gunung Ciangkup sebagai calon penguasa
Rajagaluh. Aku kira itu pilihan yang tepat. Sebab, Ki Sukawiyana
adalah putera Sanghyang Nago yang sangat ditakuti dan disegani.
Dia bekas penguasa ksetra. Dengan begitu, orang-orang
Rajagaluh pasti tidak ada yang berani menentangnya,” kata Abdul
Jalil.

1610
“Yang memilih adipati para gedeng?” sergah Raden Ahmad bagai
tak percaya. “Berarti, gagasan wilayah al-Ummah benar-benar
dijalankan di Caruban?”

“Tentu saja. Lantaran itu, penduduk Caruban menyebut negerinya


Garage, Nagara Gede. Maksudnya, negara yang dipimpin dan
diatur oleh para gede. Sedangkan negeri lain masih dikuasai oleh
raja,” kata Abdul Jalil.

Setelah membicarakan keadaan di Rajagaluh dan Caruban,


terutama pelaksanaan gagasan wilayah al-Ummah, para putera
Raden Ali Rahmatullah memberi tahu Abdul Jalil bahwa gagasan
wilayah al-Ummah yang pernah ditawarkannya itu sebagian sudah
dijalankan di Surabaya, Terung, dan Bubat atas permintaan
ayahanda mereka. “Ayahanda kami sebelum wafat telah meminta
kepada saudara kami, Raden Kusen, untuk membuat ketetapan
mengganti gelar Buyut bagi kepala wisaya dengan gelar Ki Ageng,
dan mengganti pula gelar Rama bagi para kepala desa dengan
gelar Ki Lurah,” kata Raden Hamzah memaparkan.

“Aku juga sudah melihat perubahan itu di pesisir sejak berangkat


dari Caruban. Tapi, benarkah daerah pedalaman yang masuk
wilayah Terung dan Bubat juga diubah?” tanya Abdul Jalil ingin
tahu.

1611
“Ya, Paman. Semua wisaya dan desa di Kadipaten Surabaya,
Terung, dan Bubat telah diubah serentak,” Raden Hamzah
menjelaskan. “Wisaya Bukul dipimpin oleh Ki Ageng Bukul, Syaikh
Mahmudin, putera Ki Buyut Bukul. Wisaya Sumber Urip dipimpin
Ki Ageng Banyu Urip, Ki Wiryo Saroyo, putera Ki Bang Kuning.
Wisaya Sapanjang dipimpin oleh Ki Ageng Sapanjang, yaitu adik
kami sendiri, Raden Mahmud. Pendek kata, semua wisaya di tlatah
Terung dan Bubat seperti Wringin Sapta, Lemah Tulis,
Pagedangan, Pagerwaja, Sukadana, Talsewu, Hanyiru, Awang-
Awang, Penggiring, Terung, Kapulungan, Kejapanan, Gerongan,
Gunung Gangsir, Pandakan, dan Tunggul Wulung semuanya
sudah dipimpin oleh para Ki Ageng.”

“Berarti perubahan yang dilakukan para adipati di pesisir itu


sesungguhnya mengikuti Surabaya,” kata Abdul Jalil. “Sebab di
Bojong, Kendal, Samarang, dan Giri Kedhaton aku mendapati
perubahan yang sama di sana.”

“Itu memang benar, Paman. Ayahanda kami juga mengirim utusan


ke Giri Kedhaton, Tuban, Demak, Lasem, Japara, Kendal, dan
Bojong untuk melakukan perubahan tersebut. Kira-kira tiga bulan
lalu, saudara kami Adipati Tedunan Arya Bijaya Orob dan Adipati
Siddhayu Yusuf Siddhiq juga mulai melaksanakan perubahan
tersebut di wilayahnya,” kata Raden Ahmad.

1612
“Mudah-mudahan dengan memandang kebesaran ayahandamu,
perubahan besar bagi tatanan kehidupan di Majapahit akan segera
terwujud,” kata Abdul Jalil berharap.

“Tapi, Paman, terus terang saja sampai saat ini kami belum paham
dengan makna yang sebenarnya di balik perubahan gelar-gelar
jabatan tersebut. Sungguh, ketetapan itu dibuat saudara kami
semata-mata karena kepatuhan dan penghormatannya kepada
ayahanda kami. Karena kami semua mengetahui jika gagasan itu
asalnya dari Paman maka kami mohon penjelasan langsung dari
Paman, kenapa gelar-gelar jabatan Buyut dan Rama harus diubah.
Kenapa gelar Buyut harus diubah menjadi Ki Ageng dan gelar
Rama diubah menjadi Ki Lurah? Kenapa pula para kawula
diharuskan menggunakan kata ganti diri ingsun?” tanya Raden
Qasim.

“Semua itu tentu terkait dengan tatanan kehidupan lama ke baru.


Maksudku, perubahan nilai-nilai lama ke nilai-nilai baru, perubahan
dari Tauhid lama ke Tauhid baru yang murni.”

“Tapi kami tidak melihat makna apa-apa di balik perubahan itu,


Paman,” Raden Ahmad menyela. “Sebab yang diganti itu, menurut
hemat kami, hanya istilah-istilah gelar belaka, yaitu dari Buyut
menjadi Ki Ageng, dari Rama menjadi Ki Lurah. Bukankah
keberadaan Buyut dan Ki Ageng sesungguhnya tetap sama, yaitu
kepala wisaya? Bukankah keberadaan Rama dan Lurah juga
sama, yaitu kepala desa?”
1613
“Dilihat dari sisi tata pemerintahan memang tidak ada yang
berubah. Sebab, baik gelar Buyut dan Ki Ageng pada dasarnya
tetap merupakan gelar bagi mereka yang berkedudukan sebagai
kepala wisaya. Demikian juga gelar Rama dan Lurah tetap
merupakan gelar bagi kepala desa. Tetapi, jika kita memandang
perubahan itu dari sudut pandangan Tauhid maka kita akan segera
melihat perbedaan yang mencolok di antara perubahan gelar-gelar
tersebut, bagaikan perbedaan malam dengan siang,” tegas Abdul
Jalil.

“Kami belum paham, Paman.”

“Sepengetahuanmu, jika seorang Buyut meninggal, apa yang


dilakukan oleh kawula di wisaya yang dipimpinnya? Begitu pun jika
seorang Rama meninggal, apa yang dilakukan oleh kawula di desa
yang dipimpinnya?” tanya Abdul Jalil memancing. “

Penduduk akan memuja batu tanda kematian sang Buyut dan sang
Rama sebagai Kabuyutan dan punden Karaman, Paman,” tukas
Raden Qasim mulai menangkap makna ucapan Abdul Jalil.

“Dapatkah engkau menghitung jumlah kabuyutan dan punden


karaman di wilayah Majapahit atau bahkan yang ada di Kadipaten
Surabaya dan Terung saja?”

1614
“Tentu tidak bisa, Paman. Jumlahnya beratus-ratus dan bahkan
beribu-ribu.”

“Nah, dengan diubahnya istilah Buyut menjadi Ki Ageng dan istilah


Rama menjadi Ki Lurah, apakah menurutmu arwah mereka akan
dipuja oleh penduduk setelah mereka meninggal dunia?” tanya
Abdul Jalil.

“Tentu saja tidak, Paman,” Raden Qasim mengangguk-angguk


paham.

“Karena itu, dalam upaya menegakkan Tauhid, ketika ayahandamu


akan wafat, beliau ‘menemuiku’ dan menyatakan tidak ingin
kematiannya diketahui penduduk. Beliau ingin dikuburkan oleh
putera-putera dan kerabat secara diam-diam. Beliau tidak ingin
makamnya dipuja seperti pendharmaan raja-raja,” kata Abdul Jalil.

“Kami paham, Paman,” kata Raden Ahmad. “Tapi kenapa gelar Sri,
Prabu, Adipati, dan Ratu tidak ikut diubah? Bukankah raja-raja itu
jika mangkat arwahnya dipuja di candi-candi?”

“Belum waktunya. Kalau kita terburu-buru melakukan perubahan


sebelum waktunya, yang akan terjadi adalah kekacauan yang
mungkin berujung pada kegagalan. Itu sebabnya, kita harus
sabar.”
1615
“Kami paham, Paman. Tapi, mohon Paman jelaskan kepada kami
kenapa kita harus merubah tata cara berbahasa dan terutama
mengubah kata ganti diri dari nghulun dan kawula menjadi
ingsun?” tanya Raden Ahmad.

“Perubahan itu tentu terkait dengan Tauhid, Raden. Ajaran luhur


Islam tentang Tauhid, terutama gagasan wakil Allah di muka bumi
(khalifah Allah fi al-ardh), tidak akan bisa terwujud di dalam
kenyataan jika masing-masing manusia masih menekuk lutut dan
merendahkan diri sendiri sebagai budak bagi sesama. Aku kira
engkau telah paham bahwa saat Islam pertama kali didakwahkan,
masalah pembebasan budak-budak menjadi garapan utama dari
perjuangan Nabi Muhammad Saw. dan para sahabat. Hal itu terjadi
bukan karena Islam agama pembebas budak, melainkan lebih
karena Islam adalah ajaran Tauhid sejati yang membawa manusia
kepada pemujaan satu Ilah: al-Ahad.”

“Jika engkau bertanya kenapa aku memiliki gagasan untuk


mengubah kata ganti nghulun dan kawula menjadi ingsun atau aku,
maka dasar utama alasanku adalah semata-mata karena Tauhid
itu sendiri. Maksudku, keberadaan penduduk Arab dan Majapahit
harus dipahami sebagai dua hal yang berbeda. Jika pada zaman
Nabi Muhammad Saw. para sahabat berusaha menebus budak-
budak Muslim dengan membayar uang tebusan, hal itu tidak akan
mungkin bisa dilakukan di Majapahit. Kenapa? Sebab, di Majapahit
setiap manusia adalah budak bagi raja dan keluarganya. Itu berarti,
bukan uang tebusan budak yang dibutuhkan di negeri seperti
Majapahit, melainkan perubahan tatanan nilai-nilai dan
1616
kepercayaan baru yang menolak hegemoni pemikiran yang
merendahkan manusia. Ya, yang dibutuhkan di Majapahit adalah
perubahan cara pikir dan cara pandang yang bertolak dari nilai-nilai
luhur penegakan Tauhid. Dengan penjelasanku ini, mudah-
mudahan engkau dapat memahami semua gagasan yang aku
sampaikan mulai perubahan gelar jabatan, kata ganti diri, sampai
gagasan wilayah al-Ummah. Semua itu tujuan utamanya adalah
sama, yaitu penegakan Tauhid,” tegas Abdul Jalil.

1617
Rahasia Dukuh Lemah Abang

Pada hari kedua selama tinggal di Kraton


Surabaya, Abdul Jalil berkenalan dengan
seorang syaikh asal Ferghana, suatu wilayah
di Khanat Bukhara, Syaikh Jumad al-Kubra.
Ia putera Syaikh Kasah al-Ferghani bin
Syaikh Jamaluddin Husein. Jadi, masih
kerabat Abdul Jalil karena kakek buyut mereka sama, yaitu Sayyid
Amir Ahmad Syah Jalaluddin. Syaikh Kasah al-Ferghani adalah
adik lain ibu Syaikh Ibrahim as-Samarkandy, ayahanda Raden Ali
Rahmatullah. Menurut Syaikh Jumad al-Kubra, ibundanya lahir dari
keluarga saudagar keturunan Bulgari-Kozhak asal Samara, kota di
hulu Sungai Wolga yang bermuara ke Laut Kaspia.

Di negerinya, Syaikh Kasah al-Ferghani dikenal sebagai guru


Tarekat Kubrawiyyah. Syaikh Kasah al-Ferghani mengambil baiat
kepada Syaikh Sayyid Abdullah Barzisyabadi dan kemudian
ditunjuk sebagai khalifahnya. Karena menginginkan puteranya
menjadi guru tarekat yang lebih sempurna dan lebih masyhur dari
dirinya, maka putera sulungnya sejak berusia sembilan tahun
sudah diserahkan pengasuhannya kepada Syaikh Sayyid Abdullah
Barzisyabadi. “Ayahanda asuh dan mursyidku, Syaikh Sayyid
Abdullah Barzisyabadi-lah, yang menganugerahiku nama Jumad
al-Kubra. Namaku sendiri yang asli adalah Taras,” papar Jumad al-
Kubra.

1618
Boleh jadi karena berdarah campuran dari bermacam-macam
bangsa, bentuk fisik Syaikh Jumad al-Kubra sangat berbeda
dengan orang-orang di Kraton Surabaya. Lantaran itu, dia menjadi
pusat orang-orang di sekitarnya. Bentuk tubuhnya tentu lebih tinggi
dan lebih besar dibanding orang-orang di sekitar. Kulitnya sangat
putih hingga terkesan bule (albino). Hidungnya yang mancung
dikesankan seperti hidung Petruk. Matanya yang bening
kecoklatan dikesankan seperti mata kucing. Rambut dan
cambangnya yang coklat kemerahan dikesankan seperti rambut
singa. Sungguh, penampilan Syaikh Jumad al-Kubra menimbulkan
keheranan orang-orang Surabaya. Itu sebabnya, para pelayan di
Kraton Surabaya sering terlihat berkerumun memandanginya
bagaikan melihat makhluk aneh. Bahkan, saat mendengar dia
berbicara dalam bahasa Melayu dengan logat aneh, orang-orang
menduganya sebagai makhluk berasal dari negeri Atas Angin,
negeri asing di angkasa.

Di lingkungan keluarga Raden Ali Rahmatullah sendiri, Syaikh


Jumad al-Kubra sangat dihormati. Menurut cerita, bentuk fisiknya
mirip dengan kakek mereka, Syaikh Ibrahim as-Samarkandy.
Bahkan, yang membuatnya makin disegani adalah kenyataan yang
menunjuk bahwa dia adalah wakil (khalifah) Syaikh Sayyid
Abdullah Barzisyabadi, seorang mursyid besar Tareka
Kubrawiyyah. Lantaran itu, ketika dia memberikan khirqah (jubah
sufi) kepada Raden Ahmad yang berkedudukan sebagai pengganti
(khatib) ayahandanya, orang langsung menganggap hal itu
sebagai pengukuhannya sebagai mursyid Tarekat Kubrawiyyah di
Nusa Jawa.

1619
Sementara itu, kepada Abdul Jalil, Syaikh Jumad al-Kubra
mengungkapkan bahwa kehadirannya ke Nusa Jawa pada
dasarnya untuk memenuhi amanat almarhum guru ruhaninya
tercinta, Syaikh Sayyid Abdullah Barzisyabadi. “Kira-kira tiga puluh
tahun silam, syaikh kami telah menyuruhku berkelana untuk
mencari seorang mujaddid (pembaharu) yang melakukan tajdid
(pembaharuan) di suatu negeri. Jika sudah bertemu, aku
diperintahkan untuk menyerahkan taj (mahkota sufi) kepadanya.
Aku juga diperintahkan untuk ikut serta mengambil bagian dalam
gerakan pembaharuan tersebut. Demi kepatuhanku kepada
guruku, aku berkelana berkeliling ke berbagai belahan dunia untuk
mencari sang mujaddid tersebut. Tetapi mulai negeri Khanat
Bukhara, Khanat Jaghatai, Kipchak, Mameluk, Khurasan,
Baghdad, Hijaz, Yaman, hingga Gujarat tidak kutemukan adanya
gema pembaharuan dalam tatanan kehidupan manusia. Aku tidak
menemukan sang mujaddid tersebut sehingga aku mulai
meragukan kebenaran wasiat syaikh kami.”

“Baru sekitar enam bulan silam, ketika aku datang ke Malaka


menemui saudaraku lain ibu, Dara Putih, yang tinggal di kampung
Pulau Upih, aku diberi tahu tentang terjadinya suatu pembaharuan
dalam tatanan kehidupan di negeri Jawa yang dipelopori oleh
seorang syaikh asal Malaka, yaitu Syaikh Lemah Abang. Karena
itu, aku buru-buru datang ke Jawa untuk mencari tahu tentang sang
pembaharu itu. Aku merasa sangat beruntung dapat bertemu
dengan sang mujaddid, yang ternyata tiada lain adalah kerabatku
sendiri, Tuan Syaikh Datuk Abdul Jalil, keturunan Sayyid Amir
Ahmad Syah Jalaluddin,” kata Syaikh Jumad al-Kubra dengan
mata berbinar-binar.
1620
“Orang sering kali terlalu melebih-lebihkan sesuatu secara kurang
tepat,” kata Abdul Jalil datar dan merendah. “Apa yang sudah aku
lakukan dalam perubahan di negeri ini sesunggunya bukanlah
pembaharuan. Aku katakan bukan pembaharuan karena ibarat
pohon-pohon di kebun, tatanan baru yang aku tegakkan itu
sesungguhnya sudah ada lembaganya, namun merana dan
terbengkalai akibat tidak diurus dan tidak dipelihara dengan baik.
Jadi, upayaku selama ini hanya berusaha menyuburkan lembaga-
lembaga itu agar tumbuh dan berkembang menjadi pohon-pohon
yang berbuah lebat. Dalam upaya menyuburkan lembaga itu, aku
hanya memangkas bagian-bagian tanaman yang sudah layu dan
kemudian mencangkokkan bagian yang terpangkas itu dengan
bagian-bagian dari pohon lain yang baik. Sekali lagi aku tegaskan,
aku bukanlah mujaddid.”

Syaikh Jumad al-Kubra tertawa. Ia menangkap isyarat bahwa


Abdul Jalil tidak suka dipuji. Ia bahkan menangkap kesan Abdul
Jalil adalah seorang malamit, orang yang menyembunyikan
kesempurnaan batiniahnya dengan penampilan yang hina dan
tercela.

Didorong rasa ingin tahu yang kuat untuk mengetahui keberadaan


Abdul Jalil sebagai mujaddid sejati sesuai amanat guru ruhaninya,
Syaikh Jumad al-Kubra terus bertanya kepada Abdul Jalil,
“Menurut kabar yang kami dengar, Tuan Syaikh dikenal orang
dengan sebutan Syaikh Lemah Abang karena Tuan Syaikh
mengawali perubahan tatanan kehidupan penduduk dari tempat-
tempat bernama Lemah Abang. Apakah dukuh-dukuh Lemah
1621
Abang yang Tuan dirikan itu memang tanahnya berwarna merah?
Ataukah Tuan Syaikh sesungguhnya telah menemukan kibrit
ahmar (belerang merah) sehingga Tuan Syaikh menamai tempat-
tempat itu dengan perlambang tanah merah?”

“Tanah Abang? Kibrit ahmar? Belerang merah? Kibrit ahmar yang


bisa mengubah logam menjadi emas?” gumam Abdul Jalil dengan
kening berkerut dan muka tidak senang, “Jika nama Lemah Abang
Tuan tafsirkan terkait dengan kibrit ahmar , itu boleh saja. Tetapi,
jika penafsiran Tuan itu aku benarkan maka Tuan dan orang-orang
yang paham terhadap makna kibrit ahmar akan menganggap aku
manusia sombong yang suka memamerkan diri sebagai pemilik
kesadaran tertinggi dan pengetahuan yang langka. Jadi
menurutku, sekali-kali tidak seperti itu makna di balik nama Lemah
Abang. Sedikit pun nama Lemah Abang tidak terkait dengan kibrit
ahmar, meski orang bisa menafsirkan bahwa lewat dukuh-dukuh
Lemah Abang, ‘manusia-manusia logam’ bisa ditempa menjadi
‘manusia-manusia emas’.”

“Aku kira nama Lemah Abang sedikit pun tidak terkait dengan kibrit
ahmar. Pertama-tama, aku sengaja memilih nama Lemah Abang
karena terkait dengan pengetahuan rahasia yang disebut
perundagian, yang salah satu tata caranya menggunakan sarana
sejenis wafak yang menggunakan aksara AH dan ANG, yang
melambangkan makna laki-laki dan perempuan. Itu terkait dengan
pemujaan Dewi Bhumi, Prthiwi. Yang kedua, nama Lemah Abang
aku maksudkan untuk menandai perubahan suatu rentangan
zaman, di mana kesadaran manusia yang kacau telah diarahkan
1622
ke kesadaran Tauhid, ibarat penyucian diri manusia dari jiwa-jiwa
rendah. Lemah Abang merupakan perlambang penyucian jiwa
tanah dari kuasa nafsu-nafsu rendah bendawi. Lantaran itu,
dengan jiwa tanah yang suci itu, aku berharap akan lahir
adimanusia (insan kamil) yang lepas dari ikatan kuat jiwa bumi.”

“Apakah itu berarti nama Lemah Abang terkait dengan penyucian


nafs al-Ammarrah yang berwarna merah?” tanya Syaikh Jumad al-
Kubra ganti mengerutkan kening heran.

Abdul Jalil mengangguk, “Ya. Sederhana sekali, ‘kan,?”

“Kenapa Tuan Syaikh memilih perlambang nafs al-Ammarrah?”


Syaikh Jumad al-Kubra minta penjelasan. “Bukankah masih ada
nafs lain yang juga harus disucikan?”

“Sesungguhnya, tempat-tempat yang akan aku buka untuk


menyampaikan Kebenaran bukan hanya akan dinamai Lemah
Abang. Aku sudah merencanakan untuk membuka tempat-tempat
baru yang disebut Lemah Ireng (tanah hitam), Lemah Putih (tanah
putih), dan Lemah Jenar (tanah kuning). Ketiga nama terakhir itu
mengandung perlambang nafs al-Lawwammah (hitam), nafs al-
Muthma’inah (putih), dan nafs as-Sufliyah (kuning),” ujar Abdul
Jalil.

1623
“Kenapa Tuan Syaikh harus menyucikan tanah? Adakah rahasia di
balik itu? Bukankah menyucikan tanah itu tidak dikenal dalam
ajaran Islam?”

“Sesungguhnya, aku hanya mengikuti tata cara yang sudah pernah


dilakukan orang-orang di masa silam yang pernah hidup di Nusa
Jawa. Mereka menyebut penyucian tanah dengan istilah
bhumisoddhana.”

“Bhumisoddhana? Upacara apa itu?”

“Sejak masa purwakala, para orang tapa waskita yang datang dari
berbagai negeri sudah melakukan penyucian tanah Nusa Jawa
dalam upaya menentukan tempat yang hak untuk berpijak bagi
manusia. Karena itu, tempat yang hak itu dibatasi oleh dharma
(anusuk). Tetapi, apa yang aku lakukan bukan sekadar
menyucikan tanah yang disebut bhumisoddhana, melainkan juga
menyucikan anasir tanah yang membentuk tubuh manusia yang
disebut bhuta-suddhi,” kata Abdul Jalil menjelaskan.

“Berarti sebelum ini sudah ada orang yang melakukannya?” tanya


Syaikh Jumad al-Kubra.

“Yang aku ketahui, manusia yang untuk kali pertama melakukan


penyucian terhadap tanah Nusa Jawa adalah Dang Hyang Semar,
1624
seorang nabi dari zaman purwakala. Setelah itu secara berturut-
turut bhumisoddhana dilakukan oleh Rishi Agastya putera Varuna,
Prabu Isaka putera Prabu Anggajali, Prabu Writhikandayun putera
Rishi Kandiawan, Rishi Trenawindu putera Rishi Agasti, Aryya
Bharad dari Lemah Citra, Syaikh Syamsuddin al-Baqir al-Farisi,
Sang Pranajaya dari Tumapel, dan Pu Gajah Mada Mahapatih
Majapahit,” kata Abdul Jalil.

“Apakah para tapa itu juga menggunakan sarana-sarana


sebagaimana yang Tuan lakukan?”

“Ya,” sahut Abdul Jalil. “Menurut ibunda asuhku, Nyi Indang Geulis,
sarana yang digunakan oleh beliau-beliau itu untuk menyucikan
tanah Nusa Jawa meliputi lambang-lambang yang terkait dengan
empat macam warna (catur warna) yaitu hitam, kuning, merah, dan
putih.”

“Apakah warna-warna itu harus dikaitkan dengan tanah?” tanya


Syaikh Jumad al-Kubra.

“Tidak selalu tanah,” jawab Abdul Jalil. “Ada yang melambangkan


warna merah dengan api sehingga mereka melakukan upacara
agni hotra di sejumlah tempat. Ada yang melambangkan warna
merah dengan darah sehingga mereka melakukan upacara darah.
Tetapi, sesuai petunjuk ibunda asuhku, cara yang aku lakukan
untuk menyucikan jiwa Sang Bhumi yang kesuburannya dipuja
1625
manusia adalah dengan lambang-lambang yang terkait dengan
wahana dari Sang Kesuburan, Bhattari Sri, yang dilambangkan
dalam wujud empat jenis burung, yaitu kitiran (perkutut), puter,
wuru-wuru spang (deruk merah), dan dara wulung (merpati hitam).”

“Menurut perlambang purwakala, dari burung kitiran memancar


wija ‘Ong’ dari Hakini Shakti yang mengejawantah dalam
perwujudan benih putih (beras). Dari burung puter memancar wija
‘Wang’ dari Waruna yang mengejawantah dalam perwujudan benih
kuning (kunyit), Penguasa perairan yang bersemayam di atas
makara putih. Dari burung wuru-wuru spang memancar wija ‘Rang’
dari Agni yang mengejawantah dalam perwujudan benih merah
(jawawut). Dari burung dara wulung memancar wija ‘Lang’ dari
Prthiwi yang mengejawantah dalam perwujudan benih hitam (ketan
ireng). Keempat wahana Bhattari Sri itu, menurut ibundaku, adalah
lambang Prthiwi (tanah), Apah (air), Agni (api), dan Bayu (angin).
Jika keempat jiwa bumi yang menjadi wahana Bhattari Sri tersebut
sudah tersingkap maka akan terbit Akasha, yaitu anasir kelima
yang melambangkan hakikat sejati dari jiwa Sang Bhumi yang
merupakan pengejawantahan Paramakhasa-rupi (Akasha
Agung).”

“Jika Tuan bertanya kenapa aku melakukan penyucian bumi yang


tidak lazim dilakukan orang Islam? Pertama-tama akan aku
beritahukan kepada Tuan bahwa alasan utamaku melakukan
penyucian tanah adalah demi keselamatan manusia-manusia
penghuni negeri berpulau-pulau di tengah samudera ini. Sebab,
menurut hadits Rasulullah Saw., sebelum Adam a.s., leluhur
1626
manusia dicipta dari tanah, dunia ini dihuni oleh Banu al-Jann yang
dicipta dari api beracun. Mereka itu, menurut dalil-dalil Kitab Suci,
suka berperang dan menumpahkan darah sesamanya. Saat Adam
a.s. akan diturunkan ke dunia, Banu al-Jann diusir ke tempat-
tempat di tengah samudera raya. Karena itu, Nusa Jawa dan
pulau-pulau lain di tengah samudera pada akhirnya dihuni oleh
Banu al-Jann. Sebagaimana Sang Iblis yang tidak senang dengan
kehadiran makhluk baru yang disebut Adam a.s., demikianlah
puak-puak Banu al-Jann sangat tidak senang dengan anak
keturunan Adam a.s. ke tempat-tempat yang mereka huni. Tidak
berbeda dengan Sang Iblis, Banu al-Jann menganggap Adam a.s.
dan keturunannya sebagai makhluk yang lebih rendah derajatnya,
sebagaimana manusia memandang binatang. Pada saat-saat
tertentu mereka melakukan perburuan untuk memangsa manusia.
Jadi, usahaku melakukan penyucian jiwa tanah, salah satu
alasannya adalah bertujuan membentengi manusia dari pengaruh
keganasan Banu al-Jann.”

“Alasan yang lain, Sang Bhumi adalah pengejawantahan aspek


keibuan dari Brahman yang mencipta dan memberi makan dunia
(Shri-mata). Sebagaimana hukum kehidupan, Sang Bhumi wajib
memberi apa yang harus diberi dan sekaligus berhak meminta apa
yang harus diminta. Karena itu, siapa di antara makhluk penghuni
bumi yang paling banyak mengambil keuntungan dari bumi maka
dia wajib mempersembahkan lebih banyak kepada Sang Bhumi.
Dengan begitu, bagi manusia yang menjadi pemuja dan pendamba
bumi, mereka akan menjadi hamba dari bumi. Mereka itulah yang
harus memberi persembahan darah kepada Ibunda Prthiwi yang
selalu haus darah dan madhu,” kata Abdul Jalil.
1627
“Adakah keterkaitan makna rahasia di balik empat macam warna
penyucian bumi?”

“Semua tergantung keyakinan. Jika orang menganggap tidak ada


kaitan antara sarana-sarana yang aku tebarkan dengan tawarnya
pengaruh jahat Banu al-Jann dan meredanya kehausan darah
Sang Prthiwi, maka hal itu sah saja. Tetapi, bagi padanganku
pribadi, apa yang aku lakukan dalam penyucian tanah itu dapat
disandarkan pada peristiwa yang pernah dilakukan Rasulullah
Saw. saat menempatkan bunga kurma di atas kuburan seseorang.
Saat itu beliau bersabda, sebelum bunga itu kering maka ahli kubur
yang ada di kuburan itu terhindar dari siksa malaikat. Bagi mereka
yang belum terbuka, tidak mempercayai bahwa bunga kurma
dapat menghentikan tindakan malaikat penyiksa di alam kubur.
Mereka akan menganggap hadist itu palsu. Karena itu, bagiku,
masalah itu hanya bisa dipandang dari sudut keyakinan dan mata
batin. Orang boleh percaya dan boleh juga tidak. Demikian juga
dengan apa yang aku lakukan dalam upaya membuat tawar daya
shakti ksetra-ksetra dan tempat-tempat Sang Bhumi dipuja dengan
menggunakan tu-mbal manusia, boleh dipercaya dan boleh pula
tidak,” ujar Abdul Jalil menegaskan.

“Aku percaya dengan apa yang Tuan Syaikh lakukan,” kata Syaikh
Jumad al-Kubra.

1628
Caturbhasa Mandala

Semakin sering berbincang-bincang, semakin


besar rasa ingin tahu Syaikh Jumad al-Kubra
untuk mengetahui pandangan-pandangan
dan gagasan Abdul Jalil dalam melakukan
perubahan. Pada pertemuan berikut, tanpa
basa-basi dia langsung bertanya tentang hal-
hal yang terkait penyucian bumi. “Jika boleh
tahu, kenapa Tuan Syaikh mendahulukan penyucian nafs al-
Ammarrah dari tanah?” “

Sebab, Banu al-Jann tinggal di dalam perut bumi. Asal Tuan tahu,
perut bumi ini sebagian berupa air dan sebagia lagi berupa api
yang berwarna merah menyala. Almarhum Ario Damar Adipati
Palembang pernah mengajakku masuk ke perut bumi mengunjungi
puak-puak dari Banu al-Jann. Mereka tinggal di bagian api yang
merah menyala. Karena itu, jika mereka keluar ke permukaan bumi
maka lazimnya melalui kawah gunung berapi, gua-gua, atau setiap
lubang yang terhubung dengan perut bumi. Sebagaimana lahar
gunung berapi yang berbahaya, nafs al-Ammarrah perlambang api
dari Sang Bumi harus disucikan terlebih dulu. Di Nusa Jawa, para
tapa yang waskita sudah mengetahui sejak lama bahwa anasir api
dari Sang Bhumi telah menjadi penyebab utama dari tumpahnya
darah manusia-manusia. Lantaran itu, jika anasir api sebagai
perlambang nafs al-Ammarah dari Sang Bhumi tidak didahulukan
penyuciannya, aku khawatir manusia-manusia penghuni Nusa

1629
Jawa akan segera habis dimangsa Banu al-Jann yang merupakan
salah satu aspek pengejawantahan Sang Maut,” jelas Abdul Jalil.

“Tapi Tuan Syaikh, bukankah perlambang-perlambang nafs itu


sejatinya hanya menyangkut pencerahan jiwa manusia?” tanya
Syaikh Jumad al-Kubra belum paham dengan penjelasan Abdul
Jalil. “Kenapa Tuan Syaikh menggunakannya untuk bumi, yaitu
tempat tinggal manusia? Apakah menurut Tuan Syaikh, bumi itu
makhluk hidup yang memiliki jiwa sehingga perlu disucikan
jiwanya?”

“Bagiku, semua makhluk memiliki jiwa, apakah mereka bisa


bergerak atau tidak. Gumpalan batu, besi, dan makhluk-makhluk
tak terbayangkan yang merupakan benda-benda tak bergerak
sesungguhnya bukanlah benda mati yang tidak memiliki jiwa.
Mereka sesungguhnya hidup dan memiliki jiwa. Sebagian besar di
antara mereka malah berasal dari makhluk seperti kita (QS. al-Isra:
49-51), meski benda-benda itu dalam penglihatan mata indriawi
kita tidak dapat bergerak dan tidak dapat menyelamatkan diri
sendiri (QS. al-Furqan: 3). Tidakkah Tuan Syaikh mengetahui jika
gunung-gunung yang tidak bergerak itu sejatinya bertasbih kepada
Allah, sebagaimana burung-burung bertasbih kepada Allah (QS.
al-Anbiya’: 79; Shad: 18)?”

“Di dalam pandanganku, meski benda-benda tak bergerak itu tidak


dapat mengusahakan keselamatan diri sendiri, mereka dapat
mempengaruhi jiwa manusia. Kekuatan jiwa yang memancar dari
1630
benda-benda itu dapat mempengaruhi kesadaran manusia
sehingga manusia terikat untuk mencintai dan memuliakan mereka
secara berlebihan. Tidak kurang di antara manusia harus saling
bunuh akibat kecintaan berlebih terhadap benda-benda tak
bergerak tersebut. Bahkan, tidak kurang manusia yang keblinger
kiblat imannya karena mempertuhankan mereka,” kata Abdul Jalil.

“Tentang dalil-dalil yang Tuan Syaikh kemukakan, aku sudah tahu.


Tentang pengaruh benda-benda mati terhadap jiwa manusia pun
aku sudah tahu. Tapi dalam kenyataan, aku belum beroleh
pencerahan ruhani untuk bisa mempersaksikan Kebenaran Sejati
di balik dalil-dalil tersebut dengan mata batin. Aku mohon petunjuk
dan bimbingan dati Tuan Syaikh agar aku dapat mencapai maqam
itu. Aku yakin Tuan Syaikh pasti sudah mencapai maqam tersebut.
Sebab, guru kami, almarhum Syaikh Sayyid Abdullah
Barzisyabadi, tidak akan memerintahkan aku untuk menyampaikan
taj kepada Tuan Syaikh jika maqam ruhani Tuan Syaikh lebih
rendah dari beliau,” kata Syaikh Jumad al-Kubra merendah.

Mendengat kata-kata Syaikh Jumad al-Kubra yang bernada


memuji dan meninggikan dirinya, Abdul Jalil mengalihkan
pembicaraan seolah-olah tak mendengarnya, “Jika Tuan pernah
membaca kisah perjalanan Isra’ wa Mi’raj yang dilakukan Nabi
Muhammad Saw, Tuan Syaikh akan mendapati satu kisah
perjumpaan beliau dengan Sang Bhumi (ad-dunya’) yang
digambarkan sebagai seorang perempuan tua bangka tak
berdaya. Kenapa dalam kisah itu Nabi Muhammad Saw.
menyaksikan Sang Bhumi sebagai perempuan tua bangka tak
1631
berdaya? Menurut hematku, penglihatan beliau adalah penglihatan
seorang Rasulullah, yang tidak pernah tertarik dengan gemerlap
duniawi. Itu adalah penglihatan ruhaniah seorang manusia agung
yang tercerahkan kesadarannya dan menyaksikan segala sesuatu
di sekitarnya dengan mata batin yang cemerlang. Sehingga,
keberadaan dunia dipandangnya seperti sosok perempuan tua
bangka tak berdaya.” “

Sebaliknya, bagi para petani, para pemuja kesuburan, dan para


pecinta kehidupan duniawi yang hidupnya bergantung pada
kekayaan dan kesuburan bumi, Sang Bhumi dilihatnya sebagai
Ibunda Agung, gudang keindahan yang tiada tara, pinggangnya
ramping, payudaranya ranum, pinggul dan pahanya mekar,
merangsang harapan keibuan yang tak terbatas
(Lalitasahasranama sargha 79), bumi yang subur tempat bagi
manusia bersandar hidup, baik di kala lahir maupun mati. Asal dari
ibu bumi akan kembali ke ibu bumi. Itulah keyakinan mereka yang
diwariskan dari keturunan satu ke keturunan yang lain.
Keberadaan Sang Bhumi, pemilik kesuburan itu, digambarkan oleh
pemujanya seperti ini: Dia, Ibunda Prthiwi, melulurteguhkan yang
membangkitkan semangat, sekali lagi dan sekali lagi, dia tertawa
dengan mata merah padam berkilat dan mengucapkan bahasa ruh
yang tak terpahami dengan bibir berlepotan darah dan madhu yang
diminumnya (Markandeyapurana sargha 83). Itulah gambaran
Sang Bhumi, Ibunda Prthiwi, sang peminum darah dan madhu
yang sejak zaman purwakala sudah disembah oleh penduduk
Nusa Jawa.”

1632
“Sungguh luar biasa kedahsyatan Dewi Bhumi yang disembah
penduduk negeri ini. Sungguh aku takjub dengan kehebatan Tuan
Syaikh yang ingin menutup tempat-tempat pemujaan Sang Bhumi
melalui dukuh-dukuh Lemah Abang, Lemah Ireng, Lemah Putih,
dan Lemah Jenar,” kata Syaikh Jumad al-Kubra.

“Perlu Tuan ketahui, aku tidak punya hak untuk menutup tempat
pemujaan apa pun. Aku hanya berupaya untuk membuat tawar
pengaruh darah dan mayat pada tempat-tempat Sang Bhumi
dipuja baik melalui bhumisoddhana maupun bhutasuddhi. Tempat-
tempat yang disebut Kabhumian (Kebumen), Patanahan,
Palemahan, Dara, dan ksetra-ksetra adalah tempat-tempat para
perawan (dara) dipersembahkan sebagai korban sembelihan.
Hatiku tidak cukup kuat untuk menyaksikan upacara semacam itu
dilakukan orang di sekitarku. Jiwaku tidak bisa berdiam diri
membiarkan pembunuhan-pembunuhan atas nama kepercayaan
terhadap Sang Bhumi. Selain itu, ibunda asuhku, Nyi Indang
Geulis, memang memintaku untuk berjuang keras mengakhiri
upacara korban manusia itu. Dan, yang paling penting, Syiwa
sendiri telah berkehendak untuk menyingsingkan wajah-Nya yang
menakutkan (Bhairawa) untuk digantikan dengan wajah-Nya yang
memancar penuh kasih sayang (Shankara). Syiwa telah
menetapkan bahwa untuk bertemu dengan-Nya, para pemuja-Nya
dapat menjumpai-Nya di mana saja karena Dia berada di dalam
diri manusia yang memahami Kulatattwa.”

“Karena itu, tugas utamaku sebagai ulama pewaris Nabi Saw. di


tengah perubahan ini, selain menyampaikan kepada penduduk
1633
Nusa Jawa kabar Kebenaran Tauhid Islam, mengubah nilai-nilai
lama yang sudah tidak sesuai dengan nilai-nilai baru seiring
tuntutan zaman, aku juga berkewajiban mengakhiri secara
bijaksana pembunuhan-pembunuhan manusia untuk upacara
keagamaan. Salah satu upaya yang mampu kulakukan adalah
mengusahakan suatu ikhtiar dengan membuat tawar daya shakti
yang memancar dari ksetra-ksetra dan tempat-tempat pemujaan
Sang Bhumi yang mengerikan itu. Jadi, yang aku lakukan hanya
membuat tawar daya shakti. Sekali-kali tidak menutup. Munculnya
dukuh-dukuh Lemah Abang sesungguhnya baru pada perintisan
belaka dari usahaku tersebut. Aku masih butuh waktu lama dan
dukungan dari semua pihak untuk menjalankan tugas berat itu,
sampai terbentuknya Dukuh Lemah Ireng, Lemah Putih, dan
Lemah Jenar,” kata Abdul Jalil menjelaskan.

“Subhanallah,” gumam Syaikh Jumad al-Kubra takjub. “Rupanya


guru kami Syaikh Sayyid Abdullah Barzisyabadi sudah mengetahui
tugas rahasia Tuan Syaikh yang begitu berat. Rupanya beliau tahu
tajdid yang Tuan jalankan itu lebih dari sekadar mengubah tatanan
kehidupan manusia. Itu sebabnya, beliau memerintahkan kami
untuk menyampaikan taj dan ikut serta terlibat dalam perubahan
yang Tuan lakukan. Terimalah taj ini sebagai penghormatan dari
guru suci kami Syaikh Sayyid Abdullah Barzisyabadi.”

“Guru ruhani Tuan, Syaikh Sayyid Abdullah Barzisyabadi, memang


seorang arif yang waskita,” sahut Abdul Jalil menerima taj dari
tangan Syaikh Jumad al-Kubra. “Tetapi, tentang pembicaraan kita
tadi hendaknya tetap Tuan rahasiakan kepada yang tidak berhak
1634
mengetahui. Tentang taj pemberian guru suci Tuan, hendaknya
Tuan rahasiakan juga.”

“Itu sudah pasti, Tuan Syaikh,” kata Syaikh Jumad al-Kubra


dengan mata berbinar menyiratkan kegembiraan. “Sejak di
Malaka, ya, sejak di Malaka, aku sudah mendengar tentang Nusa
Jawa yang masih dihuni oleh pemuja berhala yang suka minum
darah dan mengorbankan manusia untuk santapan bhairawa-
bhairawi sesembahannya. Aku sendiri sangat tertarik mendengar
cerita itu. Karena itu, salah satu kehadiranku di Nusa Jawa ini
selain mencari sang mujaddid untuk menyampaikan taj, juga untuk
menyebarkan ajaran Kebenaran Islam kepada penduduk.
Ternyata, atas kehendak Allah kita dipertemukan. Karena itu,
sesuai amanat almarhum guru kami dan dorongan jiwaku, aku
berharap Tuan memperkenankan aku untuk berjuang bahu-
membahu bersama dalam menata kehidupan baru umat manusia
di Nusa Jawa ini.”

“Sungguh aku sangat bergembira jika Tuan Syaikh hendak


bergabung dengan kami. Tetapi, perlu aku beri tahukan kepada
Tuan Syaikh bahwa dalam hal Tauhid orang-orang di Nusa Jawa
sudah sangat paham secara mendalam. Sebab, sejak zaman
purwakala mereka sudah menganut ajaran Tauhid, baik yang
mereka sebut Kapitayan maupun ilmu Tauhid yang mereka
istilahkan Adwayashastra. Mereka juga bukan kawanan orang
bodoh yang puas dan percaya begitu saja dengan penjelasan dalil-
dalil naqli yang beku. Bahkan, sejumlah pendeta Syiwa-Budha
yang menjadi pengikutku dengan mudah dapat mengikuti sistem
1635
bepikir yang kuajarkan. Padahal, sistem berpikir yang kuajarkan itu
hanya lazim digunakan di kalangan cendikiawan Baghdad,” ujar
Abdul Jalil menegaskan.

“Aku akan selalu ingat-ingat petunjuk Tuan,” kata Syaikh Jumad al-
Kubra. “Tapi, ada satu hal yang ingin aku peroleh dan perkenan
Tuan Syaikh.”

“Apa itu?”

“Karena pembukaan dukuh-dukuh seperti Lemah Ireng, Lemah


Putih, dan Lemah Jenar masih butuh waktu lama sampai
selesainya pembukaan dukuh-dukuh Lemah Abang, bagaimana
jika Tuan mengijinkan aku untuk mengambil bagian dalam
pembukaan dukuh-dukuh tersebut. Aku siap mengorbankan jiwa
dan raga untuk menyelesaikan tugas mulia tersebut,” kata Syaikh
Jumad al-Kubra.

“Jika demikian, aku sarankan sebaiknya Tuan membuka tempat-


tempat bernama Lemah Putih. Aku akan menemui Prabu Satmata
untuk membicarakan hal itu.”

“Prabu Satmata? Siapakah dia?”

1636
“Prabu Satmata adalah khallifah Giri Kedhaton. Dia putera saudara
sepupu Tuan, Syaikh Maulana Ishak. Dia keturunan Sayyid Amir
Ahmad Khan Jalaluddin seperti kita. Dia seorang pengamal
Tarekat Ni’matullah. Almarhum ayahandanya, Syaikh Maulana
Ishak, adalah mursyid Tarekat Ni’matullah yang tinggal di Pasai.
Sekarang ini yang menggantikan Syaikh Maulana Ishak sebagai
mursyid di Nusa Jawa adalah Prabu Satmata,” kata Abdul Jalil.

Keinginan Syaikh Jumad al-Kubra untuk bahu membahu dengan


Abdul Jalil dalam upaya membuat tawar daya shakti ksetra-ksetra
dan tempat pemujaan Sang Bhumi, ternyata berkaitan dengan
rencana Raden Kusen sang penguasa tiga kadipaten (Terung-
Bubat-Surabaya) untuk menutup ksetra-ksetra di wilayah
kekuasaannya. Rupanya, berbeda pandang dengan orang-orang
yang mengaitkan peristiwa-peristiwa aneh di pedalaman dan amuk
yang dilakukannya dengan tulah Sang Naga Shesa, Raden Kusen
justru memandang hal tersebut berasal dari kelalaiannya dalam
menjalankan amanat guru yang dimuliakannya, Raden Ali
Rahmatullah Susuhunan Ampel Denta.

Beberapa hari sebelum wafat Raden Ali Rahmatullah telah


menyampaikan wasiat agar para putera, dan muridnya berusaha
secara bijak mengakhiri upacara pengorbanan manusia di wilayah
kekuasaan mereka masing-masing. Ternyata, sampai setahun
wafatnya Raden Ali Rahmatullah, amanat itu belum juga
dijalankan. Lantaran itu, terjadinya peristiwa buruk itu oleh Raden
Kusen dianggap sebagai peringatan dari gurunya. Dengan
pandangan seperti itu, Raden Kusen bertekad menjalankan
1637
amanat tersebut. Di depan para putera Raden Ali Rahmatullah,
Prabu Satmata, Khalifah Husein, Yusuf Siddhiq, dan Arya Bijaya
Orob, dia dengan tegas akan membuat ketetapan untuk menutup
ksetra-ksetra di wilayah kekuasannya. Ksetra yang pertama-tama
ditutup adalah Ksetra Nyu Denta (Jawa Kuno: Kelapa Gading)
yang terletak sekitar lima yojana di sebelah timur Masjid Ampel
Denta.

Abdul Jalil yang menangkap tengara tidak baik sebagai akibat


penutupan ksetra itu tidak bisa berdiam diri dan berusaha keras
mencegah pelaksanaan rencana tersebut. Tanpa menunda waktu,
di depan para peserta pertemuan, Abdul Jalil mengemukakan
pandangan bahwa kebijakan menutup Ksetra Nyu Denta tidak bisa
dilakukan oleh seorang penguasa kadipaten karena akan
menimbulkan akibat buruk yang tidak diinginkan.

Dengan suara direndahkan tetapi tegas, ia berkata, “Kami yakin,


kebijakan mengakhiri upacara korban manusia itu adalah mulia.
Kami juga yakin amanat almarhum saudara kami Raden Ali
Rahmatullah bukanlah tindakan menutup ksetra-ksetra secara
langsung berdasar ketetapan penguasa kadipaten. Sebab,
sepengetahuan kami, Paduka Susuhunan sangat tidak menyukai
hal-hal yang bersifat kekerasan. Kami sangat yakin di alam
kuburnya dia akan kecewa jika ada keluarga atau murid yang
menutup ksetra berdasar wewenang seorang adipati.”

1638
“Kenapa kami katakan dia kecewa dengan cara itu? Sebab kalau
ia memilih cara langsung seperti itu, tentunya sebagai raja
Surabaya ia sudah melakukannya sejak lama. Kenyataannya, ia
membiarkan Ksetra Nyu Denta seperti adanya. Jadi, menurut kami,
yang ia inginkan adalah mengakhiri upacara korban manusia,
sekali-kali bukan sekadar menutup ksetra. Sebab, upacara-
upacara korban manusia tidak selalu dilakukan di ksetra. Di tempat
pemujaan Sang Bhumi, di bangunan-bangunan besar yang butuh
wadal, di tempat-tempat orang mencari pesugihan, bahkan saat
orang mengamalkan ilmu kadigdayan pun korban manusia bisa
dilakukan. Karena itu, kami kurang sepakat jika Yang Mulia Adipati
Bubat akan membuat ketetapan menutup ksetra-ksetra di wilayah
kekuasaannya. Hal itu tidak saja akan menyulut kekisruhan besar
akibat perlawanan para pendeta, penduduk sekitar, dan ‘penguasa
ksetra’, tetapi yang terpenting, ketetapan itu tidak mengakhiri
kebiasaan korban manusia.”

Raden Kusen menarik napas berat dan mengangguk-angguk. Dia


bisa menerima pandangan Abdul Jalil, namun dia tidak memiliki
pilihan lain untuk menjalankan amanat gurunya tercinta itu.
Akhirnya, setelah termenung lama dia bertanya kepada Abdul Jalil,
“Aku memang sudah memikirkan tentang kemungkinan itu. Tetapi,
apa yang harus aku lakukan untuk memenuhi wasiat guruku?
Adakah engkau memiliki jalan keluar agar kami dapat memenuhi
wasiat terakhirnya?”

“Beberapa hari lalu kami telah memperbincangkan usaha-usaha


membuat tawar daya shakti ksetra-ksetra dan tempat pemujaan
1639
Sang Bhumi dengan Yang Mulia Pangeran Arya Pinatih di Giri
Kedhaton. Malahan, sore tadi kami juga memperbincangkan
masalah yang sama dengan saudara kami, Syaikh Jumad al-
Kubra. Ternyata, sekarang ini Paman akan melaksanakan
penutupan ksetra-ksetra sesuai amanat almarhum saudara kami.
Itu berarti, Allah telah mengatur semuanya. Maksud kami, amanat
menutup ksetra-ksetra dan tempat pemujaan Sang Bhumi itu tetap
akan kita jalankan, namun tidak melalui cara menutup berdasar
titah adipati, sebaliknya dengan cara membuat tawar daya
shaktinya. Kami yakin, jika ksetra-ksetra sudah kehilangan daya
shakti maka ia akan ditinggalkan orang. Dengan begitu, tanpa
ditutup pun ksetra itu akan dilupakan orang. Cara ini memang
butuh waktu, namun bisa menghindari kemungkinan kisruh,” kata
Abdul Jalil.

“Apakah engkau akan membuat tempat seperti Lemah Abang di


dekat Ksetra Nyu Denta?”

“Bukan hanya Lemah Abang, Paman. Kami juga berencana


membuka tempat-tempat bernama Lemah Putih, Lemah Ireng, dan
Lemah Jenar,” kata Abdul Jalil.

“Lemah Abang, Lemah Putih, Lemah Ireng, dan Lemah Jenar?”


gumam Raden Kusen dengan kening berkerut. Dia diam beberapa
jenak. Sejurus kemudian dia berkata, “Apakah itu bermakna
engkau akan mendirikan caturbhasa mandala? Apakah itu berarti

1640
engkau akan mendirikan empat wilayah lemah larangan (tanah
terlarang)?”

“Tepatnya memang demikian, Paman,” Abdul Jalil terhenyak


karena kerangka pikirannya telah ditebak oleh Raden Kusen.
Setelah termangu sejenak ia menjelaskan, “Tetapi, tempat-tempat
yang kami dirikan bukan hanya di empat tempat sebagaimana
caturbhasa mandala yang didirikan Bhattara Parameswara di
Sagara, Sukayajna, Kukub, dan Kasturi. Caturbhasa mandala yang
kami dirikan itu akan kami pilih letaknya di sejumlah ‘titik rawan’ di
Nusa Jawa. Dan melalui tempat-tempat itu, insya Allah, daya shakti
ksetra-ksetra akan tawar sehingga pada akhirnya tidak akan ada
lagi pembunuhan terhadap manusia sebagai upacara
persembahan kepada bhuta dan kala.”

“Tapi, kalau engkau mau membuat caturbhasa mandala dan lemah


larangan di banyak tempat, siapa yang akan menjadi penjaganya?
Siapakah yang akan menjadi Nawadewata? Siapa yang akan
engkau tunjuk sebagai lambang Wisynu, Sambhu, Iswara, Rudra,
Brahma, Maheswara, Mahadewa, Sangkhara, dan Paramasyiwa?”

“Kami belum bisa menentukan siapa saja mereka itu. Tetapi, kami
sudah membicarakan masalah tersebut dengan almarhum
saudara kami, Raden Ali Rahmatullah, dan Prabu Satmata serta
Adipati Demak tentang perlunya dibentuk suatu Majelis Guru Suci
(Syura al-Masyayikh) untuk mempersatukan dan sekaligus
menjadi naungan ruhani bagi kadipaten-kadipaten di Nusa Jawa.
1641
Maksudnya, melalui Majelis Guru Suci yang merupakan lambang
Nawadewata itulah kita dapat menyatukan semua kekuasaan yang
terpecah-pecah,” jawab Abdul Jalil.

Raden Kusen tertawa terbahak-bahak sampai tubuhnya


terguncang-guncang. Dia merasa geli mendengar gagasan Abdul
Jalil. Setelah rasa gelinya berkurang, dia berkata sambil
tersenyum, “Majelis Guru Suci? Majelis Susuhunan, maksudmu?
Apakah itu bukan perbuatan musyrik, menempatkan manusia
sebagai jelmaan Tuhan?”

“Justru dengan gagasan caturbhasa mandala, lemah larangan,


dan Majelis Guru Suci sebagai lambang Nawadewata itu, kami
ingin mengubah gagasan lama ke gagasan baru yang berdasar
Tauhid,” kata Abdul Jalil.

“Maksudmu?”

“Lambang Nawadewata sebagai penjaga caturbhasa mandala dan


lemah larangan akan kami ubah menjadi Majelis Guru Suci yang
sembilan, yang disebut Wali Songo, yaitu sembilan sahabat Tuhan.
Itu berarti, dari sisi Tauhid para guru suci yang tergabung di dalam
Wali Songo bukan lagi berkedudukan sebagai jelmaan Guru Suci
yang bersthana di Kailasa, yaitu Syiwa, melainkan hanya sebagai
sembilan orang sahabat Tuhan. Lantaran itu, di saat para guru suci
yang menjadi anggota Wali Songo itu wafat, kuburnya tidak akan
1642
dipuja dan disembah orang. Sementara dari sisi kekuasaan
duniawi, para raja yang selama ini dianggap sebagai dewaraja
(tuhan) akan berubah kedudukannya karena secara ruhani mereka
berada di bawah Majelis Wali Songo,” kata Abdul Jalil
menjelaskan.

“Ah, aku paham sekarang,” kata Raden Kusen manggut-manggut.


“Gagasan tentang Majelis Guru Suci yang disebut Wali Songo,
kalau tidak salah, adalah kelanjutan dari gagasanmu yang
mengubah gelar Buyut menjadi Ki Ageng dan gelar Rama menjadi
Ki Lurah. Kalau itu, aku setuju. Sebab, bagiku, yang penting di atas
perubahan adalah alasan-alasan yang berdasar Tauhid. Tapi,
siapa kira-kira yang engkau anggap pantas menempati kedudukan
pemimpin Wali Songo yang dalam gagasan Nawadewata itu
berkedudukan sama dengan Paramasyiwa?”

“Prabu Satmata, Ratu Giri Kedhaton yang sudah dikenal penduduk


sebagai titisan Sang Girinatha.”

“Itu bagus sekali. Aku setuju. Aku berharap dengan gagasan itu,
perubahan besar akan cepat terjadi di tengah jungkir baliknya
tatanan kehidupan di negeri ini. Tetapi, ada satu hal yang perlu
engkau jelaskan tentang mandala-mandala yang bakal engkau
dirikan itu. Bagaimana caramu meyakinkan penduduk bahwa
mandala-mandala tersebut memang sebuah mandala dan bukan
hunian biasa?” tanya Raden Kusen ingin tahu.

1643
“Kami akan menandai tiap mandala yang kami dirikan dengan
aturan ketat yang wajib dipatuhi oleh penghuninya. Maksud kami,
kami akan mendirikan dukuh-dukuh yang semua penduduknya
menjalankan syari’at Islam secara ketat, terutama dalam hal
berpakaian, berpantang makanan dan minuman, berpantang
dalam bertindak asusila, bersikap hidup luhur, dan sebagainya,”
kata Abdul Jalil.

“Menjalankan syari’at Islam secara ketat sebagai tanda mandala-


mandala? Aku belum paham maksudmu. Ini membingungkan.”

“Maaf, Paman. Paman pasti telah paham bahwa sudah ditetapkan


peraturan di dalam Satyabrata dan Yamabrata Silakrama tentang
peraturan hidup para wiku yang ketat. Sepanjang yang kami
ketahui, peraturan-peraturan untuk para wiku tersebut sangat mirip
dengan syari’at Islam,” jelas Abdul Jalil.

“Mirip bagaimana?” sergah Raden Kusen. “Aku tidak pernah


membandingkan peraturan hidup para wiku dengan syari’at Islam.
Jadi, jelaskan kepada kami supaya kami paham.”

“Dalam hal berpakaian, para penghuni caturbhasa mandala yang


kami dirikan akan kami perintahkan untuk mengikuti peraturan
yang berlaku bagi para wiku, yaitu berkepala gundul (amundi),
menutupi kepala dengan destar (adestar), memakai surban
(abebed sirah), berkopiah tarbus besar (aketu agung). Tapi, agak
1644
sedikit berbeda dengan para wiku, dalam hal berpakaian
(bhusana), para penghuni mandala kami hanya menggunakan kain
penutup bagian tubuh atas (dodot), sekali-kali mereka tidak
menggunakan hiasan-hiasan dari emas dan perak, kecuali
memakai aksamala, yaitu kalung dari untaian buah genitri sebagai
biji tasbih. Kami kira, dalam hal tata cara berpakaian, peraturan
yang diikuti oleh para wiku sama sekali tidak bertentangan dengan
hukum Islam. Sedangkan yang sangat membedakan antara para
wiku dan para penghuni mandala yang kami dirikan terletak pada
penyebaran tata cara berpakaian. Jika para wiku mengenakan
pakaian itu untuk kalangan mereka maka bagi pengikut kami
pakaian itu akan dijadikan pakaian resmi penduduk sekitar
mandala tanpa memandang apakah mereka itu wiku atau sekadar
orang dari kalangan sudra papa.”

“Sementara itu, dalam hal menjalankan pantangan-pantangan


terhadap makanan dan minuman, para penghuni mandala akan
kami wajibkan menjalani keberpantangan makanan dan minuman
sebagai seorang wiku berpantang, yaitu pantang memakan babi
peliharaan (celengwanwa), anjing (sona), kucing (kuwuk), tikus,
ular (ula), harimau (macan), kukur (ruti), kalajengking (teledu),
hewan merayap (galing), musang (rase), kera (wre), kera hitam
(lutung), tupai (wut), katak besar (wiyung), kadal (dingdang kadal),
burung buas (krurapaksi), burung bulu hitam (nila paksi), kakaktua
(atat), beo (siyung), jalak, hewan berjari lima, hewan yang hidup di
dalam tanah (bhuhkrim), ulat tanah (kutisa), hewan dan cacing
kecil-kecil menjijikkan (pramikimi), lalat (laler), nyamuk (namuk),
pijat-pijat (tinggi), kutu (tuma), dan kutu anjing (limpit). Mereka juga

1645
kami tekankan untuk menjauhi minuman keras (apaya-paya) dan
makanan najis (camah) sebagaimana laku seorang wiku.”

“Dalam kehidupan sehari-hari, para penghuni mandala juga kami


wajibkan mengikuti sikap hidup para wiku yang tidak bertentangan
dengan ajaran Islam, yaitu yang bersifat pengendalian diri untuk
menyucikan hati (snanawidhi), seperti tidak suka marah (akrodha),
tidak rakus (alobha), tidak suka bertengkar (tan awawida), tidak
gampang bingung (sammoha), tidak berutang-piutang dengan
bunga (rna-rni), tidak mencuri atau mengambil paksa hak orang
lain (angalap), tidak memberi makan pencuri (aweh pangan
maling), tidak menyuruh mencuri (akon maling), tidak bersahabat
dengan pencuri (tan amitra maling), menghindari tindakan tidak
mengembalikan barang pinjaman keluarga (anelang drewyaning
sanak tan pangulihaken), tidak mengambil hak orang lain secara
diam-diam (angutil), tidak merampok (ambegal), tidak singgah di
tempat perjudian meski kehujanan dan kepanasan, menjalankan
semua pantangan dan larangan (heyepadeva), dan yang
terpenting adalah mengendalikan diri dari desakan-desakan ikatan
kehidupan duniawi (wyawahara).”

“Sebaliknya, para penghuni mandala harus meniru sikap hidup


para wiku, yang menghiasi diri dengan perilaku luhur dan mulia,
seperti suka mengampuni (ksama), punya rasa malu (lajja), jujur
(satya), tidak menyakiti (ahimsa), murah hati (daya), lurus hati
(arjawa), kuat mengendalikan pikiran (dama), tulus lahir dan batin
(cauca), suka bersedekah (dana), kuat mengendalikan panca
indera (indriya samyana), selalu berpegang pada akhlak (susila)
1646
dan kebijaksanaan (jnana), selalu mandi setiap hari untuk
membersihkan diri (madyus acuddha sarira), memakai bedak
wewangian (bhasma), menyucikan diri dengan air pembasuh
(syiwambha), melakukan sembahyang (puja parikrama) tiga kali
sehari (trisandya) yaitu pada subuh, tengah hari, dan malam
bertasbih memuja Tuhan (mamuja), berdoa (majapa), dan melatih
diri menyemayamkan Tuhan di dalam hati (maglar sanghyang
anusthana). Bukankah segala apa yang menjadi tatanan hidup
para wiku itu jika kita bandingkan dengan ketentuan-ketentuan di
dalam syari’at Islam pada dasarnya tidak jauh berbeda?”

“Jadi, Paman, dengan menjalankan hidup sehari-hari berdasar


syari’at Islam yang ketat, terutama dalam hal berpakaian,
berpantang makanan, menjauhi minuman keras, dan berperilaku
luhur dalam hidup sehari-hari, akan memberi kesan kepada
penduduk Nusa Jawa bahwa orang-orang yang tinggal di Dukuh
Lemah Abang, Lemah Jenar, Lemah Ireng, dan Lemah Putih
adalah para wiku yang wajib dimuliakan. Jika di antara penduduk
di keempat mandala itu terbukti ada yang melanggar peraturan
karena rakus dan sombong, ia akan terkena hukuman seperti
hukuman yang dikenakan pada seorang wiku, yaitu dianggap
panten. Ia akan dikucilkan (tan wenang tinghalana) dan tidak boleh
diajak bicara (sabhasanen). Bahkan, jika tidak mau bertobat juga
maka pelanggar itu akan dicambuk dan diusir dari mandala. Sebab,
orang semacam itu tidak pantas tinggal di caturbhasa mandala.”

“Selain semua ketentuan di atas, para penghuni caturbhasa


mandala juga dibiasakan untuk berpuasa setiap hari Soma (Senin)
1647
dan Wrehaspati (Kamis). Dengan begitu, penduduk sekitar akan
menganggap mereka sebagai para wiku yang suka berpuasa,
pengikut sang purohita para dewa, yaitu wiku suci di swarga:
Bhagawan Wrehaspati. Dan yang tak kalah penting, mereka wajib
mengabdikan diri pada kehidupan ruhani dan harus bertindak
melayani kebutuhan penduduk sekitar sebagaimana yang
dilakukan para wiku. Perlu Paman ketahui, peraturan yang sudah
kami terapkan di sejumlah Dukuh Lemah Abang selama ini telah
menunjukkan hasil menggembirakan. Penduduk di sekitar Lemah
Abang mulai meninggalkan praktik-praktik lama yang berhubungan
dengan upacara mengorbankan manusia. Mereka mulai
menerapkan nilai-nilai keislaman tanpa sadar karena mereka
menganggapnya sebagai amaliah dari ajaran para wiku Syiwa-
Budha,” ujar Abdul Jalil.

“Jika demikian, apa yang membedakan penduduk dukuh-dukuh


yang engkau buka dengan para wiku?”

“Pertama-tama dalam hal mencari nafkah, Paman. Jika para wiku


tidak boleh berjual beli (tan adol awlya) maka penghuni dukuh
boleh berjual beli. Kedua, semua penduduk dukuh yang berkhitan,
sementara para wiku tidak. Ketiga, tata cara bersembahyang Islam
yang dilakukan dengan berdiri, rukuk, sujud, dan duduk tasyahud.
Keempat, arah kiblat ke Baitullah.”

“Jika memang demikian, aku setuju dengan gagasanmu. Tapi,


bagaimana jika nanti ada yang menanyakan tentang nama ajaran
1648
yang engkau sampaikan lewat caturbhasa mandala itu? Apakah
akan disebut Islam atau madzhab baru Syiwa-Budha?”

“Kami tetap menyebut ajaran Islam, yang bermakna Jalan


Keselamatan bagi manusia. Tetapi, sejak semula kami sudah
menyampaikan kepada para penghuni dukuh untuk menyatakan
bahwa Islam adalah penyempurna Syiwa-Budha. Lantaran itu, jika
ada penganut Syiwa-Budha yang menganggap bahwa apa yang
kami ajarkan itu adalah suatu madzhab baru dari agama mereka,
kami tidak punya hak untuk melarangnya. Sebab yang paling
penting bagi kami bukanlah nama dan bentuk rupa suatu ajaran
agama, melainkan hakikat Tauhid yang tersembunyi di balik
kebenaran agama itulah yang utama,” kata Abdul Jalil tegas.

1649
Mandala Lemah Putih
Setelah gagasan untuk membuat tawar
pengaruh daya shakti ksetra-ksetra
disepakati melalui pembukaan caturbhasa
mandala, Abdul Jalil bersama Syaikh Jumad
al-Kubra, Abdul Malik Israil, Ki Waruanggang,
Raden Sulaiman, Raden Sahid, Liu Sung,
dan para putera Raden Ali Rahmatullah
membuka dukuh baru yang terletak antara
Ksetra Nyu Denta (kelapa gading) dan Masjid Ampel Denta (bambu
gading), yaitu tanah shima (perdikan) Kasyaiwan Batu Putih.
Dipilihnya Batu Putih karena tempat itu dulunya adalah sebuah
Syiwa prathista (candi) tempat Syiwa dipuja dalam lambang lingga
putih dan sudah lebih dari tiga dasawarsa tidak digunakan lagi.
Daerah Batu Putih sendiri dijadikan pekuburan keluarga raja
Surabaya. Bahkan raja Surabaya pertama, Arya Lembusura,
dimakamkan di situ. Satu-satunya hunian dekat dengan Batu Putih
adalah Srenggakarana, tempat pelacuran yang terletak barang
satu yojana di sebelah selatannya.

Pemilihan tanah shima Batu Putih sebagai dukuh memang sesuai


dengan ketentuan yang berlaku. Dalam mendirikan sebuah dukuh,
ada larangan bagi para wiku untuk menempati bekas pertapaan,
asrama, dukuh, atau tanah pekarangan yang sudah dihuni wiku
lain (Imah wus kaprathista), kecuali jika tanah tersebut sudah dua
puluh lima tahun ditinggalkan dan tak dihuni lagi. Dukuh-dukuh
baru juga tidak diperkenankan berdiri di atas tanah yang sedang
digarap petani. Sesuai ketentuan, tanah yang baik untuk

1650
mendirikan dukuh adalah tanah angker (Imah abeng), tanah
kutukan (carik), lapangan dekat pertanian (patara tanya), tanah
tertutup (kuluwuk), dan tanah dekat pembakaran mayat
(Smasana). Sebagaimana Dukuh Lemah Abang, penetapan Batu
Putih sebagai dukuh pun pada dasarnya sudah memenuhi syarat-
syarat mendirikan sebuah dukuh.

Karena sudah dipilih sebagai dukuh, di Batu Putih rencananya


akan dibangun sebuah tajug (mushala) dan asrama. Sesuai tugas,
Raden Ahmad selaku mursyid Tarekat Kubrawiyyah ditunjuk
sebagai penjaga dan pelindung Batu Putih. Karena dukuh Batu
Putih bakal dibuka oleh Syaikh Jumad al-Kubra maka Abdul Jalil
mengajarkan kepadanya tentang tata cara memasang tu-mbal
sebagai bagian dari upaya penyucian jiwa tanah baik yang disebut
prascita, bhumisoddhana, dan bhuta-suddhi. Untuk itu, selain
mengupas hal-hal terkait dengan perlambang-perlambang tu-mbal
dan seluk beluk kehidupan Banu al-Jann di Nusa Jawa, Abdul Jalil
secara khusus mengajarkan kepada Syaikh Jumad al-Kubra
pengetahuan rahasia tentang bagaimana upaya “membebaskan”
jiwa-jiwa manusia yang dijadikan korban sembelihan di ksetra-
ksetra dan tempat pemujaan Prthiwi.

“Jika dengan cara-cara yang sudah aku ajarkan itu Tuan dapat
membebaskan jiwa-jiwa mereka dari pengaruh alam dunia ke alam
perbatasan (barzakh), maka dengan sendirinya kekuatan daya
shakti ksetra-ksetra dan tempat pemujaan Sang Bhumi akan
menjadi tawar. Kalaupun di situ masih ada sisa daya shakti, itu
adalah kekuatan dari makhluk-makhluk purwakala, yaitu para
1651
bhuta dan kala dari antara Banu al-Jann yang merupakan
kegandaan dari ablasa yang nirwujud. Untuk menghindarinya,
Tuan bisa menggunakan doa-doa keselamatan penolak pengaruh
jahat Banu al-Jann sesuai tuntunan Rasul Saw.. Berdasarkan
pengalamanku membuka dukuh-dukuh Lemah Abang, kurun
waktu yang dibutuhkan untuk menyucikan tanah lamanya sekitar
40 hari. Selalma 40 hari itulah kita akan tahu apakah tindakan yang
kita lakukan itu berhasil atau gagal,” kata Abdul Jalil.

“Saya akan ingat-ingat semua petunjuk yang telah Tuan ajarkan,”


kata Syaikh Jumad al-Kubra takzim.

“Satu hal lagi yang wajib Tuan ingat-ingat dari usaha penyucian
ini.”

“Apakah itu?” tanya Syaikh Jumad al-Kubra ingin tahu.

“Tuan harus bersiap-siap menghadapi kemungkinan terburuk dari


syarat-syarat yang akan diajukan penguasa tanah shima Batu
Putih,” tegas Abdul Jalil.

“Syarat-syarat?” gumam Syaikh Jumad al-Kubra mengerutkan


kening. “Syarat apa misalnya?”

1652
“Aku belum tahu pasti. Menurut ibunda asuhku, Sang Akasha,
pengejawantahan nafs al-Muthma’innah Sang Bhumi, biasanya
meminta tebusan jiwa putih yang ikhlas. Maknanya, Tuan akan
diminta menjalankan amukti palapa. Yang dimaksud amukti
palapa, pertama-tama kita tidak boleh memakan makanan yang
berasal dari pajak, upeti, bulu bekti, dan segala sesuatu yang
diperoleh dari pemungutan atas hasil tanah. Kedua, kita tidak boleh
memakan makanan dengan bumbu-bumbu. Ketiga, kita dan
keluarga tidak boleh mengambil manfaat dari perikatan janji kita
untuk pamrih duniawi.”

“Bagiku, semua itu bukan hal yang berat untuk dipenuhi oleh
manusia tak beranak istri seperti aku.”

“Aku yakin Tuan akan bisa mengatasinya,” kata Abdul Jalil sambil
tertawa. “Karena itu, aku ingin menambahkan nama kehormatan
bagi Tuan: al-Qalandar, sehingga orang akan menyebut Tuan
sebagai Syaikh Jumad al-Kubra al-Qalandar.”

“Aku tidak setuju dengan tambahan nama itu. Justru menurutku,


yang sesuai menggunakan nama kehormatan al-Qalandar adalah
Tuan, guru suci yang sudah termasyhur memiliki pengetahuan
ruhani yang tinggi dan kecintaan yang teguh terhadap-Nya,” sahut
Syaikh Jumad al-Kubra.

1653
“Aku setuju dengan nama kehormatan al-Qalandar, namun dengan
makna gelandangan tengik yang suka pamer keadaan ruhaninya
dengan bertingkah menyimpang.”

“Tuan memang seorang malamit sejati yang pintar


menyembunyikan kehebatan diri.”

Mendengar Syaikh Jumad al-Kubra mulai memuji-muji dirinya,


Abdul Jalil tak menanggapi ucapannya. Sebaliknya, ia
mengalihkan arah pembicaraan. “Karena Tuan baru sekali ini
melakukan penyucian tanah, aku mohon Tuan berkenan
didampingi sahabatku Ki Waruanggang. Dia seorang bekas
pendeta Bhairawa dan sekaligus bekas pemimpin ksetra. Jadi,
dalam hal membuka mandala dan membuat tawar daya shakti
ksetra, dia lebih paham dan lebih berpengalaman terutama jika
terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan.”

“Sebenarnya, aku sudah bersyukur dapat ikut serta bahu-


membahu dalam tugas suci dan mulia ini. Ini benar-benar
pengalaman baru bagiku. Karena itu, aku tentu sangat bergembira
didampingi oleh orang yang sudah berpengalaman,” kata Syaikh
Jumad al-Kubra dengan semangat berkobar-kobar.

Sebagaimana petunjuk Abdul Jalil, dengan bantuan sembilan


belas orang jama’ah Masjid Ampel Denta, Syaikh Jumad al-Kubra

1654
mulai menjalankan penyucian tanah untuk membuka Dukuh Batu
Putih dengan didampingi Ki Waruanggang.

Ketika penyucian tanah Batu Putih dilakukan oleh Syaikh Jumad


al-Kubra, Abdul Jalil tinggal di Masjid Ampel Denta bersama-sama
Abdul Malik Israil, Raden Mahdum Ibrahim, Ki Tameng, Raden
Sahid, Raden Sulaiman, dan Liu Sung. Rupanya, ia belum sampai
hati melepas sepenuhnya Syaikh Jumad al-Kubra dalam
melakukan penyucian tanah Batu Putih, meski sudah didampingi
Ki Waruanggang. Ia menganggap hal itu bukan saja disebabkan
Syaikh Jumad al-Kubra baru pertama kali melakukan penyucian
tanah, melainkan yang lebih mendasar upacara itu merupakan
pembukaan mandala pertama dari Dukuh Lemah Putih. Ia merasa
perlu memantau perkembangan penyucian tanah tersebut yang
sangat mungkin akan diwarnai peristiwa-peristiwa aneh yang tidak
diinginkan.

Sampai memasuki hari keenam tidak terjadi sesuatu yang berarti


di Batu Putih. Semua orang berharap keadaan itu bisa berlangsung
sampai hari keempat puluh. Tapi, harapan tinggal harapan.
Memasuki hari ketujuh terjadi peristiwa tak terduga yang sangat
mencekam.

Sejak sore awan-awan tebal berwarna kelabu kehitaman


bergumpal-gumpal di langit bagaikan menaungi tanah Batu Putih.
Angin yang biasanya berembus keras dari arah pantai tiba-tiba
berhenti. Udara mendadak panas. Kabut tebal mangalir dari arah
1655
timur dan selatan, menutupi tanah dan sungai. Keadaan di Batu
Putih itu terus meluas hingga seluruh kota seolah-olah berselimut
kabut. Semakin sore, kabut semakin tebal dan bayang-bayang
senjakala datang begitu cepat dan menghilang di balik kegelapan
yang menyelimuti kesepian dan kelengangan. Bahkan ketika
beduk maghrib di Masjid Ampel Denta ditabuh bertalu-talu,
gemanya tidak terdengar jauh, seolah-olah gaungnya tertutupi oleh
pekatnya gumpalan kabut yang makin menebal di tengah
kegelapan. Suasana senjakala berubah sangat lengang dan
mencekam.

Sadar sesuatu bakal terjadi, Abdul Jalil bergegas meninggalkan


Masjid Ampel Denta menuju Batu Putih dengan diikuti Abdul Malik
Israil, Raden Mahdum Ibrahim, Raden Sahid, Liu Sung, dan Raden
Sulaiman. Tetapi, karena permukaan tanah serta sungai tertutup
kabut dan perahu tambangan tidak terlihat, mereka terpaksa
berjalan ke arah selatan, yaitu ke kawasan Sanbongan, tempat
mereka dapat menyeberang ke timur sungai dengan melewati
jembatan kecil yang terbuat dari bambu. Dengan bantuan cahaya
obor mereka berjalan tersuruk-suruk di tengah gumpalan kabut
yang seolah melahap api di ujung obor tersebut. Mereka berusaha
secepat mungkin bisa sampai di Batu Putih.

Sementara itu, ketika Syaikh Jumad al-Kubra sedang khusuk


dalam doa, Ki Waruanggang yang mendampinginya menangkap
sasmita kurang baik terhadap suasana yang sangat aneh dan
mencekam itu. Sebagai bekas penguasa ksetra, ia paham suasana
itu merupakan pertanda “kehadiran” kekuatan adi-duniawi dari
1656
para arwah yang langgeng. Sadar akan hal itu, ia buru-buru
meminta Syaikh Jumad al-Kubra dan kesembilan belas jama’ah
dari Masjid Ampel Denta untuk tetap berada di dalam “lingkaran”
yang sebelumnya telah dibuat oleh Abdul Jalil. Ki Waruanggang
sendiri setelah itu terdiam membisu, berusaha menyatukan kiblat
hati dan pikiran kepada Kebenaran (al-Haqq) yang tersembunyi di
relung-relung jiwanya. Ia melakukan pernapasan kumbhaka dan
rechaka, berusaha menajamkan penglihatan mata batin. Saat itu
ia benar-benar menangkap suasana aneh yang mencekam.
Kesepian yang mencekam. Kesenyapan yang menggigit.
Kelengangan yang mengiris. Dan kesunyian yang merajalela.

Tiba-tiba, di tengah kesunyian dan kelengangan yang makin


mencekam, kesembilan belas orang jama’ah Masjid Ampel Denta
yang sedang mengumandangkan doa di tengah “lingkaran” itu
memekik terkejut dan kemudian membisu seperti batu. Mereka
gemetar dan meringkuk dengan tangan merangkul kepala. Saat itu
mereka melihat pemandangan mengerikan yang membuat darah
tersirap.

Di atas angkasa, di tengah kumparan kabut hitam berasap yang


bergumpal-gumpal, muncul perwujudan dahsyat yang sebelumnya
tidak pernah mereka saksikan: gambaran perwujudan Sang
Akasha yang dahsyat dan menggetarkan, mengenakan pakaian
serba putih, duduk di atas punggung gajah putih, bertangan empat,
yang satu memegang jerat (pasha), yang satu memegang pengait
gajah (angkusha), yang lainnya dalam sikap samadhi (mudra).
Sekejap kemudian citra Sang Akasha itu menghilang di tengah
1657
gumpalan kabut. Tetapi, sekejap pula muncul gambaran
perwujudan yang tak kalah menggetarkan, sosok putih, berkepala
lima, bermata tiga, berlengan sepuluh, dan di sampingnya berdiri
sosok perempuan dahsyat, yang berpakaian kuning, berlengan
empat, memegang busur, panah, pasha dan angkusha.

Gambaran perwujudan dahsyat itu terlihat sangat aneh dan


menggetarkan. Sesekali citra perwujudan tersebut mendekat
seolah-olah jaraknya hanya sejengkal, namun kemudian menjauh
seolah melampaui cakrawala. Kadang-kadang diam. Terkadang
berputar-putar mengerikan diiringi suara gemuruh bagaikan seribu
bukit runtuh. Kesembilan belas jama’ah Masjid Ampel Denta yang
melihat pemandangan mengerikan itu tak kuasa lagi menahan
gelegak rasa takut dan tegang. Kain mereka basah. Bahkan, dalam
hitungan detik mereka sudah berjatuhan. Pingsan. Sementara itu,
Syaikh Jumad al-Kubra sendiri, meski sudah khusyuk dalam doa,
sangat terkejut dan terguncang menyaksikan pemandangan
mengerikan yang terpampang di hadapannya. Belum pernah dia
menyaksikan pemandangan yang begitu menggetarkan.

Di tengah keterkejutan dan keterguncangan, Syaikh Jumad al-


Kubra mendengarkan perwujudan dahsyat itu berkata dalam
bahasa perlambang.

“Inilah aku, Sang Akasha. Akulah Kalachakra. Akulah penguasa


keimanan (shraddha), ketenteraman jiwa (santhosa), kasih sayang
(sneha), kemurnian (shuddhata), kebebasan (arati), rasa bersalah
1658
(aparadha), kemarahan (mana), kesedihan (shoka), kekacauan
(sambhrama), kekecewaan (kheda), dan keinginan (urmmi). Siapa
pun makhluk yang tidak bernaung di bawah kendali kekuasaanku
akan menderita dan sengsara hidupnya. Siapa yang mengingkari
akan Aku masukkan ke dalam golongan manusia tidak beriman,
yaitu orang-orang yang jiwanya tidak tenteram, hidupnya tidak
dilimpahi kasih sayang, penuh diliputi kepalsuan, terbelenggu
kekecewaan dan keputusasaan, dan semua keinginannya tidak
tercapai. Mereka yang mengabaikan Aku akan jauh dari
kenikmatan surgawi.”

Syaikh Jumad al-Kubra terhenyak membisu, membeku bagai


patung batu. Mulutnya terkunci. Lidahnya kelu. Tenggorokannya
kering hingga dia tak mampu menelan ludah. Peluh sebesar
butiran kacang berjatuhan dari keningnya. Dia seolah-olah dapat
mendengar detak jantungnya yang berdegup keras. Dia merasa
berada di perbatasan antara hidup dan mati. Tidak bisa berbuat
sesuatu, bahkan untuk berteriak atau melafazkan doa. Dia hanya
berdiam diri dan memasrahkan hidup dan matinya kepada al-
Khalik.

Pada saat Syaikh Jumad al-Kubra tidak berdaya dan pasrah itulah
Ki Waruanggang tiba-tiba beringsut ke depan dengan sikap takzim.
Berbeda dengan Syaikh Jumad al-Kubra yang tercengang tak
berdaya, ia yang sudah pernah menyaksikan penampakan yang
dahsyat itu saat melakukan upacara bhuta-suddhi – menyucikan
unsur-unsur yang membentuk tubuhnya – meski terkejut, tidak
terguncang. Malahan, dengan penglihatan mata batin ia tidak
1659
melihat perwujudan sosok apa pun, kecuali pancaran cahaya putih
yang sangat cemerlang berpendar-pendar di angkasa jiwanya.
Setelah terdiam sejenak ia berkata dengan bahasa perlambang.

“Sungguh, engkau adalah Sang Akasha. Engkau Kalachakra.


Engkau penguasa shraddha, santhosa, sneha, shuddhana, dama,
mana, aparadha, shoka, kheda, shuddhata, sambhrama, urmmi,
dan arati. Aku mempersaksikan bahwa engkau adalah jiwa putih
Sang Bhumi. Engkau tanmatra bunyi. Prthiwi, Waruna, Agni, dan
Bayu adalah pancaran keberadaanmu. Dari pancaranmu jua
kehidupan di bumi berasal. Engkaulah penguasa kemakmuran
bumi yang menjadi tumpuan harapan bagi manusia-manusia yang
mendamba apa yang ada di dalam genggaman kuasamu. Engkau
menjadi harapan manusia-manusia pecinta bumi. Tetapi kami
bukanlah mereka, manusia-manusia rakus yang dengan
berlebihan merampas dan merampok apa yang engkau genggam.
Kami bukanlah manusia-manusia sombong yang menepuk dada
sebagai penguasa bumi, yaitu orang-orang yang merampas hak
kuasamu. Kami bukanlah manusia-manusia buas yang dengan
cakar-cakar beracun mencabik-cabik bumimu. Kami bukan
perusak bumi.”

“Kami adalah manusia-manusia yang merasa bersyukur karena


lahir dari rahim Ibunda Agung Bhumi, pancaran
pengejawantahanmu, yang membentuk tubuh dan jiwa kami:
Prthiwi, Apah, Agni, Bayu. Karena itu, o Sang Akasha, makanan
dan minuman yang engkau limpahkan selalu kami gunakan secara
hak sesuai kebutuhan tubuh dan jiwa kami. Bahkan, kami adalah
1660
orang-orang yang sudah melepas semua keinginan untuk
menikmati apa yang engkau genggam dan engkau kuasai. Kami
tidak mengharap apa-apa dari engkau selain sekadar memenuhi
hak tubuh dan jiwa kami dengan perkenanmu sebagai jiwa putih
Ibunda Agung Bhumi. Kami tidak terikat pamrih apa-apa
denganmu. Kami hanya meminta kebebasan (arati), agar atman
(ruh) kami yang berasal dari Paramatman (Rabb ar-Arbab) dapat
kembali kepada-Nya dengan suci dan murni.”

Terdengar suara gemuruh yang diikuti pancaran cahaya agung


menyilaukan. Ki Waruanggang terhenyak dalam ketakjuban. Ia
seolah-olah menyaksikan sesuatu yang memesona dan mengisap
kesadarannya. Tetapi, pada saat yang sama Syaikh Jumad al-
Kubra justru mengalami keguncangan dan nyaris meninggalkan
tempat. Pada saat itulah Abdul Jalil dan rombongan tiba di Batu
Putih. Dengan buru-buru ia memerintahkan Abdul Malik Israil, Ki
Tameng, Raden Sahid, Raden Sulaiman, dan Liu Sung untuk
bergegas mengikutinya masuk ke dalam “lingkaran” yang
dibuatnya. Setelah menenangkan diri sejenak, ia berkata-kata
kepada pancaran cahaya agung di angkasa itu dengan al-‘ima,
yang jika diungkap ke dalam bahasa manusia berbunyi: “

Aku bersaksi bahwa engkau adalah Sang Akasha,


pengejawantahan Rabb Yang Maha Menjaga dan Maha
Memelihara (al-Hafidz). Engkau adalah pemancar dari rasa sayang
dan melindungi (sneha) dari Sang Pengasih (ar-Rahim). Engkau
menjadi pelimpah dari ketenteraman dan kepuasan jiwa
(santosha), yang memancar dari Sang Pemberi Kebahagiaan (al-
1661
Muhaimin). Kepada engkau semua makhluk di bumi terikat, karena
engkau pengejawantahan Sang Pengikat (al-Muqtadir). Engkau
senantiasa memberi kemurahan kepada semua makhluk di bumi
dengan tubuh dan jiwamu, karena engkau pancaran keberadaan
Sang Pemurah (ar-Rahman). Engkau senantiasa memberikan
dirimu kepada orang yang memohon, karena engkau pancaran
Sang Pengabul permohonan (al-Mujib). Karena itu, o Sang
Akasha, kabulkan permintaanku. Melalui bhuta-suddhi yang aku
lakukan untuk memuliakanmu, seraplah Sang Prthiwi, Sang Apah,
Sang Agni, dan Sang Bayu yang haus darah ke dalam mahligaimu.
Biarkanlah rasa sayangmu, pancaran dari Sang Pengasih
memancar kepada makhluk penghuni bumi laksana cahaya
matahari menerangi bumi sehingga terbentang cakrawala baru
kehidupan di bumi yang penuh ketenteraman dan kedamaian.”

“Kami tahu dan sadar bahwa persembahan darah memang pantas


dilakukan untuk manusia-manusia rakus perusak bumi. Kami tahu
bahwa kegemaran Sang Prthiwi terhadap darah dan madhu
tidaklah dapat diubah. Tetapi, kami memohon agar persembahan
itu bukan darah orang-orang tak bersalah. Kami memohon agar
darah yang tertumpah di permukaan bumi adalah darah para
perusak bumi. Biarlah Sang Prthiwi membasahi bibir dan
tenggorokannya dengan darah orang-orang rakus yang menebar
bencana dan membuat kerusakan di permukaan bumi. Karena itu,
o Sang Akasha, seraplah kekuatan shakti Sang Prthiwi dari tempat-
tempat pemujaan. Dan kami selaku pemohon, tidak memiliki
sesuatu yang bisa kami persembahkan kepadamu, kecuali tubuh
dan jiwa kami yang berasal darimu. Cabutlah nyawa kami, jika itu
membuatmu puas.”
1662
Suasana tiba-tiba hening. Cahaya agung yang memancar
mendadak lenyap. Abdul Jalil beringsut mendekati Syaikh Jumad
al-Kubra dan menepuk bahunya sambil berkata, “Semua telah
berakhir, Tuan Syaikh.”

“Apakah itu tadi, o Tuan Syaikh?” tanya Syaikh Jumad al-Kubra


dengan suara tergetar.

“Itulah perwujudan niscaya dari Sang Akasha, jiwa putih Ibunda


Agung Bhumi, yang darinya jiwa dan tubuh kita terbentuk.
Pancaran cahaya putih tadi adalah lambang perwujudan nafs al-
Muthma’innah bumi. Apa yang Tuan saksikan tadi akan Tuan
dapati juga di dalam diri Tuan karena tubuh dan jiwa Tuan berasal
darinya,” kata Abdul Jalil menjelaskan.

“Tapi, aku tidak melihat cahaya putih apa pun,” kata Syaikh Jumad
al-Kubra, “yang aku saksikan justru perwujudan dahsyat yang
sangat mengerikan.”

“Sesungguhnya, Rabb menjadi Sesuatu sesuai persangkaan


(zhan) hamba-Nya. Demikian pula pancaran dari Rabb, yaitu
Akasha, Bayu, Agni, Apah, dan Prthiwi akan menjadi sesuatu
sesuai prasangka kita.”

1663
“Astaghfirullah, aku baru ingat sekarang. Tadi siang aku sempat
berbicara dengan Ki Waruanggang tentang tanah shima Batu Putih
dengan makna-makna perlambangnya. Rupanya, gambaran yang
dipaparkan Ki Waruanggang masih melekat di ingatanku sehingga
aku tadi tidak menggunakan mata batin, tetapi malah terseret
angan-angan kosong,” kata Syaikh Jumad al-Kubra berulang-
ulang membaca istighfar.

“Pengalaman adalah guru terbaik, Tuan Syaikh.”

“Itu memang benar. Tetapi, apakah permohonan Tuan Syaikh


dikabulkan?”

“Pasti dikabulkan,” kata Abdul Jalil. “Sebab, dia adalah pancaran


dari Rabb Yang Maha Mengabulkan doa (al-Mujib), Rabb Yang
Maha Pemurah dan Maha Pengasih (ar-Rahman ar-Rahim), Maha
Pemberi (al-Wahhab), Maha Mendengar (as-Sami’), Maha
Mencukupi (al-Muqit), Mahaluas (al-Wasi’).”

“Bagaimana Tuan bisa sangat yakin jika permohonan Tuan akan


dikabulkan oleh Rabb ar-Arbab ?”

“Sebab, aku telah diberi sedikit pengetahuan oleh-Nya melalui Ruh


al-Haqq bahwa Rabb ar-Arbab telah berkenan menyingsingkan

1664
Asma’, Shifat, dan Af’al-Nya dari cakrawala lama ke cakrawala
baru,” kata Abdul Jalil.

“Apakah itu bermakna bahwa hukum kauniyah akan diubah oleh


Rabb ar-Arbab?”

“Hukum kauniyah tidak pernah berubah. Hukum itu tetap dan


langgeng, yang berubah hanya sudut pandang kita. Lantaran itu,
aku menggunakan istilah cakrawala baru. Maksudku, kehausan
Sang Prthiwi terhadap darah dan madhu tetap akan berlangsung
sebagaimana adanya. Tetapi, Sang Prthiwi tidak lagi meminum
darah dan madhu di tempat-tempat pemujaan, tetapi di medan
tempur dan di tempat-tempat bencana. Karena itu, menurut
hematku, perang antarmanusia dalam memperebutkan bumi di
masa yang akan datang akan jauh lebih besar dan menelan jiwa
manusia lebih banyak daripada perang di masa silam. Sebab, saat
itulah Ibunda Agung Prthiwi beserta para bhuta dan kala, bala
pengikutnya, akan berpesta pora membasahi bibir dan
tenggorokan mereka dengan darah dan madhu,” papar Abdul Jalil
menjelaskan.

Ketika upaya menyucikan Ksetra Nyu Denta melalui Dukuh Batu


Putih dianggap selesai, Abdul Jalil pergi ke Bangsal Sri Manganti
di Kraton Giri untuk memenuhi permintaan Prabu Satmata dan
Pangeran Arya Pinatih yang ingin membuka Dukuh Lemah Putih di
wilayah Giri Kedhaton, dengan tujuan agar daya shakti Ksetra
Adhidewa, Mangare, Dara, dan Indrabhawana menjadi tawar.
1665
Dengan didampingi Syaikh Jumad al-Kubra, Raden Sahid, Raden
Sulaiman, dan Liu Sung, Abdul Jalil pergi ke Kraton Giri melalui
Sungai Brantas. Tetapi belum lama menghiliri Sungai Brantas,
ketika melintasi penambangan Teda di Kadipaten Tedunan yang
berbatasan dengan Wisaya Gesang, ia menyaksikan semacam
gumpalan kabut putih diliputi cahaya merah, kuning keemasan,
dan hitam yang bergumpal-gumpal di atas suatu tempat di barat
sungai. Pemandangan itu, menurut Ruh al-Haqq di pedalaman
kalbunya, adalah pertanda keberadaan sebuah ksetra atau
pemujaan terhadap Sang Bhumi.

Ketika ia menunjuk arah kabut putih dan menanyakan kepada


tukang perahu tentang nama tempat tersebut, tukang perahu
mengungkapkan bahwa daerah di barat sungai yang ditunjuknya
itu disebut orang dengan nama Kabrahon (Jawa Kuno: barahu :
pancaran cahaya Sang Rahu) yang terkenal angker. Tukang
perahu tidak tahu kenapa tempat itu disebut Kabrahon. Dia hanya
tahu sejak zaman ayah dan kakeknya dulu tempat itu digunakan
orang untuk berlatih ilmu kadigdayan yang menggunakan wadal
manusia.

Mendengar penjelasan tukang perahu itu, Abdul Jalil hanya


mengangguk-angguk. Bagi mereka yang mengetahui seluk-beluk
ajaran Bhairawa-Tantra, nama Kabrahon jelas berkaitan dengan
makna wilayah kekuasaan Sang Rahu, Sang Penggelap, citra
Syiwa sebagai Pemangsa matahari (Suryya) dan rembulan
(Chandra), yakni penguasa waktu (Mahakala). Itu berarti,
Kabrahon adalah ksetra yang sudah sangat tua usianya dan
1666
mungkin sudah tidak digunakan lagi. Dengan demikian, kelirulah
orang yang menduga Kabrahon sebagai tempat orang mencari
ilmu kadigdayan dengan wadal.

Dugaan bahwa Kabrahon terkait dengan kekuasaan Sang Rahu


terbukti ketika Abdul Jalil dan rombongan turun dari perahu di
penambangan selatan Teda, yaitu di Bhogahangin. Nama
Bhogahangin (Jawa Kuno: Santapan Busuk) jelas terkait dengan
lambang Sang Putikeswara (Jawa Kuno: Penguasa Kebusukan)
yaitu Syiwa, Sang Penyelamat, yang telah menelan racun
Kalakutha, hingga tenggorokan-Nya menjadi biru: Sang
Nilakantha. Sebagaimana kelaziman ksetra yang bagi para
bhairawa-bhairawi adalah tempat yang menebarkan bau harum
mewangi, tempat di dekat Bhogahangin itu dinamai Kemlaten
(Jawa Kuno: tempat bunga melati). Bahkan, sebuah bukit
berbentuk perahu terbalik di utara Kabrahon yang disebut orang
Gunung Sari, mengingatkan Abdul Jalil pada Gunung Pulasari di
Banten, yaitu tempat yang diyakini sebagai sthana Syiwa. Di kaki
bukit Gunung Sari itu terdapat candi kecil bekas pemujaan purwa
yang disebut Jagalaya (pengawal kematian), yakni Sang Yama
(nama Syiwa).

Kawasan antara wilayah Tedunan dan Giri Kedhaton banyak


ditebari lambang yang menunjuk Syiwa. Hal itu wajar karena
lambang-lambang itu terkait erat dengan kekuasaan Prabu
Satmata sebagai penguasa Giri. Dikatakan terkait sebab penduduk
Majapahit di sekitar Giri Kedhaton dan di pedalaman meyakini
Prabu Satmata adalah titisan Syiwa. Kedekatan hubungan Prabu
1667
Satmata dengan para penguasa Blambangan dan Bali setidaknya
makin menguatkan anggapan bahwa Yang Dipertuan Giri
Kedhaton memang titisan Sang Girinatha, Syiwa. Bahkan,
keyakinan itu tidak goyah ketika para penguasa pesisir sepakat
menunjuknya sebagai khalifah dengan gelar Sri Naranatha Giri
Kedhaton Susuhunan Ratu Tunggul Khalifatullah. Saat itu para
adipati di pedalaman yang masih menganut kepercayaan Syiwa-
Budha tetap menunjukkan ketakziman dan sangat
menghormatinya sebagai titisan Syiwa. Mereka malah menyambut
gembira keputusan para adipati pesisir itu, dengan mengirim
utusan untuk menghaturkan persembahan dan bulu bekti kepada
Prabu Satmata.

Sore hari sesampai di Bangsal Sri Manganti, tanpa beristirahat


Abdul Jalil dan Ki Waruanggang pergi ke Ksetra Mangare di timur
kraton. Di gerbang ksetra Abdul Jalil disambut oleh seorang
sthapaka (penguasa bangunan suci), bernama Dang Acaryya
Laban. Berdasar petunjuk Dang Acaryya Laban, Abdul Jalil
mengetahui seluk-beluk Bangsal Sri Manganti yang mandala-
mandalanya benar-benar mencerminkan sthana Syiwa. Di timur
Bangsal Sri Manganti terletak Ksetra Mangare yang diyakini orang-
orang sekitar sebagai kediaman Syiwa-Bhairawa. Di utara ksetra
terletak Pakalangan tempat batu suci (Sanghyang Susuk)
disucikan, yaitu batu suci yang merupakan lingga lambang Syiwa.
Di sebelah barat ksetra terdapat arca Syiwa dalam wujud
mengerikan yang disebut Sang Randuwana (Syiwa yang bertaring
sebesar buah randu hutan). Di sebelah selatan arca Sang
Randuwana itu terdapat pendharmaan Sanghyang Pamunguwan
(ruh pelindung) yang disebut Siddhawungu.
1668
Selama berbincang-bincang dengan Abdul Jalil, Dang Acaryya
Laban sangat heran dengan pengetahuan lawan bicaranya yang
begitu mendalam tentang ajaran Syiwa-Budha dan bahkan
Bhairawa-Tantra. Tetapi, keheranan Dang Acaryya Laban berubah
menjadi keterkejutan ketika dia diberi tahu oleh Ki Waruanggang
bahwa lawan bicaranya yang bernama Abdul Jalil itu merupakan
guru suci yang termasyhur disebut orang dengan nama Syaikh
Lemah Abang. Dang Acaryya Laban yang semula duduk bersila
berhadap-hadapan dengan Abdul Jalil tiba-tiba bersujud
menyembah dan berkata-kata dengan suara bergetar, “Sembah
hamba kami haturkan kepada Paduka Syaikh Lemah Abang titisan
Mahaguru. Padukalah guru suci yang hamba nanti-nantikan
kedatangannya.”

“Tuan Acaryya,” kata Abdul Jalil sembari mengangkat bahu Dang


Acaryya Laban, “bagaimana Tuan bisa menyatakan kami titisan
Syiwa Mahaguru?”

“Kawan-kawan hamba yang berkata demikian, Paduka. Sungguh


telah tersebar kabar bahwa Paduka adalah guru suci utusan
Bhattara Guru untuk menyempurnakan ajaran lama yang ada.
Sahabat hamba, Kyayi Menjangan Tumlaka, kepala Dukuh
Dharma Lemah Abang di Pamotan, menceritakan kepada hamba
bahwa dia telah menjalani madiksha (baiat) kepada Paduka. Dia
menyatakan, Paduka dalam melakukan madiksha tidak
menggunakan Wiku Nabe secara sakala (rabithah), tetapi

1669
menggunakan Nabe Niskala kepada Hyang Widhi, yaitu madiksha-
widhi. Kyayi Menjangan Tumlaka juga menuturkan dia tertari
dengan ajaran Paduka karena dia dapat bertemu dengan Syiwa
dan bahkan Paramasyiwa. Karena itu, o Paduka Syaikh, hamba
mohon agar Paduka berkenan membimbing hamba sebagai sisya
(murid),” Dang Acaryya memohon sambil menyembah.

“Tuan Acaryya, tegakkanlah tubuh Tuan. Kami tidak suka dengan


peraturan sembah-menyembah antarmanusia. Siapa saja di antara
manusia yang ingin menjadi pengikut Syaikh Lemah Abang, wajib
menolak kebiasaan menekuk lutut kepada sesama manusia. Jika
Tuan Acaryya ingin mengikuti jalan kami, hendaknya Tuan
memenuhi dulu kewajiban pertama tersebut,” kata Abdul Jalil
tegas.

“Tapi Paduka Syaikh, bagaimana kami bisa bersikap tidak hormat


kepada Dang Guru Suci, Susuhunan, yang akan membawa kami
kepada dwijati (kelahiran kedua)?” gumam Dang Acaryya Laban.

“Hormat atau tidak hormat, tergantung dari sudut mana kita


memandang sesuatu,” kata Abdul Jalil menjelaskan. “Maksudnya,
jika Tuan menganggap bahwa bersikap hormat kepada Dang Guru
Suci adalah dengan menyembahnya sebagai perwujudan Sang
Mahaguru yang bersthana di Kailasa, yaitu Syiwa, maka hal itu
benar dan sah menurut Tuan. Tetapi menurut kami, hal tersebut
malah menista intisari ajaran kami. Sebab, dalam pandangan kami,
nilai-nilai yang benar adalah nilai yang bersumber pada Adwaya
1670
(Tauhid), dengan berlandaskan penghormatan dan
keseimbangan.”

“Penting untuk Tuan pahami bahwa nilai penghormatan yang kami


maksud bukanlah menghormati Dang Guru Suci dengan cara
menyembahnya sebagai perwujudan Tuhan, melainkan cukup
menghormatinya sebagaimana hormat kita kepada ibu dan bapak.
Lantaran itu, hal yang paling mendasar dari nilai penghormatan
yang kami maksud, pertama-tama, menyatakan begini: kewajiban
dasar manusia adalah menghormati keberadaan diri sendiri.
Maknanya, seorang manusia yang menghormati diri sendiri tidak
akan menista dan merendahkan martabat kemanusiaannya
dengan berlutut dan bersujud kepada pohon, batu, kayu, binatang,
bulan, bintang, matahari, manusia, dan sesama makhluk. Sebab,
kita telah berikrar dengan segenap jiwa dan raga bahwa kita hanya
berlindung, merajakan, dan menuhankan Rabb kita (QS. An-Nas:
1-3), yaitu Hyang Widhi. Itu sebabnya, dalam melakukan
madiksha, kami selalu menggunakan cara madiksha-widhi.”

“Kami paham dan akan mematuhi titah Paduka Syaikh.”

“Tetapi, sebelumnya kami beri tahukan kepada Tuan Acaryya


bahwa sebagaimana sisya kami yang lain, Tuan nanti akan
menjalani madiksha-widhi dengan menggunakan Nabe Niskala. Itu
berarti, Tuan nanti akan menemukan Kebenaran, Brahman,
dengan melewati jalan Paramasyiwa. Jika dalam waktu tujuh hari
setelah madiksha-widhi Tuan menemukan Kebenaran dalam
1671
perwujudan Syiwa yang masih mengambil perwujudan tertentu,
maka Tuan harus menemui kami atau sisya kami, Kyayi
Menjangan Tumlaka,” kata Abdul Jalil.

“Kami akan mematuhi semua titah Paduka Syaikh,” kata Dang


Acaryya Laban takzim.

“Hal ini perlu kami sampaikan kepada Tuan terlebih dulu karena
banyak di antara dikshita (salik) yang belum bisa membedakan
tahapan-tahapan ruhani dari bhaktimarga (syari’at), karmamarga
(thariqat), jnanamarga (haqiqat), dan yogamarga (ma’rifat) telah
tergelincir ke jurang kesesatan, karena mereka tanpa sadar telah
terpeleset oleh kekaburan batasan sakala (zahir), sakala-niskala
(barzakh) dan niskala (al-Batin). Mereka dengan pongah merasa
telah dianugerahi-Nya pengetahuan untuk mengenal-Nya.
Padahal, mereka saat itu sedang berada di ambang pengetahuan.
Mereka akan ditandai dengan kepintaran dalam berbicara tentang
Adwaya (Tauhid) dengan seluk-beluknya. Sementara jika dilihat
dengan mata batin, jiwa mereka telah tertutup pamrih pribadi. Jiwa
mereka adalah jiwa serigala, musang, gagak, dan bahkan
bayangan makhluk nirwujud.”

“Orang-orang yang seperti itu sungguh telah menyimpangkan


ajaran Kebenaran dan bertentangan dengan jalan (thariq) yang
kami ajarkan. Kami katakan menyimpang dari Kebenaran karena
mereka tergelincir dari jalan kesadaran jati diri menjadi adimanusia
(insan kamil). Mereka terperosok ke jurang angan-angan (al-
1672
wahm) menjadi al-Kamal. Sungguh, mereka telah sesat karena
menuhankan keakuan pribadinya yang kerdil. Sungguh, mereka
telah sesat karena terjerat angan-angan hingga menjadikan diri
sendiri sebagai perwujudan Yang Mahasempurna (al-Kamal). Hal
ini perlu kami sampaikan kepada Tuan, karena jalan menuju
Kebenaran sejati sangat licin dan penuh jebakan yang gampang
menggelincirkan seorang dikshita ke jurang kesesatan, terutama
saat dikshita berada di tengah persimpangan sakala-niskala
(barzakh) menuju niskala (al-bathin),” papar Abdul Jalil.

“Kami akan patuhi semua titah Paduka,” kata Dang Acaryya Laban
sambil bersujud menyembah, seolah dia sudah lupa dengan
ucapan Abdul Jalil yang baru saja melarangnya dengan bersujud
kepada sesama.

Berbeda dengan pembukaan Dukuh Batu Putih yang lancar,


rencana pembukaan Dukuh Lemah Putih di Giri Kedhaton diawali
dengan perdebatan yang panas. Hal itu bermula dari keterlibatan
Pangeran Zainal Abidin Dalem Timur, putera Prabu Satmata, dan
Raden Muhammad Yusuf, putera Raden Yusuf Siddhiq Adipati
Siddhayu. Dalam perencanaan membuka Dukuh Lemah Putih,
Pangeran Zainal Abidin mengusulkan kepada Abdul Jalil agar
dukuh yang bakal dibuka di wilayah Giri Kedhaton itu letaknya agak
berjauhan dari pusat ksetra. Ia beralasan, pembukaan Dukuh
Lemah Putih harus berbeda dengan Batu Putih. Sebab, tanah
shima Batu Putih sudah tidak digunakan barang tiga puluh tahun
silam dan Ksetra Nyu Denta pun sudah tidak digunakan lagi barang
tujuh tahun silam, sementara ksetra-ksetra di Giri Kedhaton masih
1673
digunakan. Bahkan, Ksetra Mangare di sebelah timur Bangsal Sri
Manganti masih belum ditutup dan penduduk di sekitarnya masih
banyak yang memuja Dewi Bhumi, Prthiwi, di situ. Selain itu,
keberadaan Ksetra Mangare masih menjadi lambang kekuasaan
lama yang menempatkan Prabu Satmata sebagai
pengejawantahan Syiwa Sang Girinatha. Lantaran itu, untuk
menghindari dampak yang tidak diharapkan dari perubahan
mencolok akibat munculnya Dukuh Lemah Putih di dekat ksetra,
yang bertujuan membuat tawar daya shakti ksetra, maka dukuh
tersebut harus jauh dari pusat ksetra.

Berbeda dengan Pangeran Zainal Abidin, Raden Muhammad


Yusuf yang jiwanya sedang dikobari semangat keagamaan
menyala-nyala menginginkan Dukuh Lemah Putih dibuka dekat di
dengan pusat ksetra. Ia beralasan, upaya membukan Dukuh
Lemah Putih adalah upaya yang haqq untuk menghilangkan
sesuatu yang batil. Upaya itu adalah jihad karena bertujuan
menyelamatkan manusia dari pembunuhan-pembunuhan atas
alasan agama. Lantaran berpandangan seperti itu, dengan suara
berapi-api dan penuh keyakinan diri ia berkata, “Tuan Syaikh tidak
perlu syak dan ragu-ragu dalam menghadapi kebatilan. Tuan
Syaikh tidak perlu mempertimbangkan yang lain-lain dalam hal
memerangi kebatilan. Sebab, Allah sudah menetapkan hukum
bahwa setiap datang yang haqq, maka yang batil akan sirna (QS.
Al-Isra’: 81).”

“Paman,” sergah Pangeran Zainal Abidin dengan suara ditekan


dan wajah menampakkan rasa tidak senang. “Paman jangan
1674
menghiraukan omongan orang yang masih mentah pengetahuan
agamanya. Paman jangan menghiraukan saran orang yang
menempatkan dalil-dalil Al-Qur’an secara kurang semestinya.
Sebab, menurut hemat kami, tidak ada dalil Al-Qur’an yang
menyatakan ksetra sebagai tempat batil. Ksetra dalam kenyataan
adalah tempat ibadah bagi umat bukan Islam. Jadi, ksetra pada
dasarnya sama maknanya masjid bagi umat Islam, yaitu tempat
suci yang digunakan oleh orang-orang bukan Islam dalam memuja
Tuhan sesuai tata cara mereka. Kita tidak bisa menilai apa yang
dilakukan para penganut ajaran Bhairawa-Tantra sebagai sesuatu
yang batil dengan menggunakan dalil Al-Qur’an.”

“Tuan Syaikh, Tuan telah mendengar sendiri ucapan dari sahabat


kami,” tukas Raden Muhammad Yusuf tak mau kalah. “Akankah
Tuan Syaikh membenarkan orang yang menganggap sama tempat
manusia-manusai disembelih dengan masjid yang suci tempat
orang diselamatkan dari maut? Akankah Tuan Syaikh
membenarkan orang yang menganggap sama tempat Kematian itu
dengan masjid yang suci tempat Keselamatan?”

“Aku tidak menganggap ksetra sama dengan masjid,” kilah


Pangeran Zainal Abidin dengan suara berapi-api. “Aku tadi
menyatakan, ksetra bagi penganut ajaran Bhairawa-Tantra sama
dengan masjid bagi umat Islam, yaitu tempat ibadah. Jika di ksetra-
ksetra ada orang dibunuh sebagai korban suci, itu adalah aturan
agama mereka. Kita tidak berhak menilainya sebagai sesuatu yang
batil. Tidakkah engkau mengetahui jika di masa lampau, para
dathu leluhur bangsa Arab juga mengorbankan putera sulung
1675
mereka kepada Tuhan? Tidakkah engkau tahu kisah Ibrahim a.s.,
Bapak Tauhid, yang pernah akan menyembelih putera sulungnya?
Tidakkah engkau tahu bahwa akikah yang diajarkan di dalam Islam
pada hakikatnya adalah kelanjutan kepercayaan purwa itu dalam
bentuk penyembelihan hewan sebagai ganti jiwa manusia.?”

“Tapi, sejak masa Ibrahim a.s. kebiasaan korban manusia sudah


diganti dengan domba?”

“Justru itu, tugas kita sekarang adalah memberitakan Kebenaran


tentang perubahan dalam tata cara korban kepada mereka yang
belum mengetahuinya. Kita harus menyampaikannya melalui cara-
cara yang bijak. Kita tidak bisa mencaci maki dan mencela
keyakinan orang menurut pandangan sepihak kita. Bukankah
tugas kita hanya menyampaikan kabar Kebenaran yang
disampaikan Nabi Muhammad Saw.? Bukankah orang lain bebas
menerima atau menolak kabar Kebenaran yang kita sampaikan?
Bukankah tidak ada paksaan dalam keyakinan agama? Bukankah
semua hidayah tergantung mutlak pada kehendak-Nya?” ujar
Pangeran Zainal Abidin.

“Ya, aku paham, tapi ... “ sahut Raden Muhammad Yusuf mencibir.

Abdul Jalil yang menangkap gelagat perdebatan itu akan makin


memanas buru-buru menukas, “Sudahlah, masalah seperti ini tidak
bisa dijadikan bahan berdebat. Sebab, penguasa ksetra tidak bisa
1676
diajak berdebat. Jadi, kalau kita keliru dalam bertindak, taruhannya
ribuan nyawa manusia. Untuk masalah ini aku berharap semua
pihak tidak menggunakan ukuran haqq dan batil dalam hal
keyakinan orang seorang. Sebab, segala sesuatu yang haqq
bersumber dari al-Haqq, sedangkan segala sesuatu yang batil
bersumber dari al-Mudhil. Baik al-Mudhil maupun al-Haqq
bergantung dari sisi mana kita memandang. Maksudnya, kita bisa
memandang orang lain sebagai kelompok yang batil karena
memuja al-Mudhil. Sebaliknya, orang bisa juga memandang dari
sudut lain dengan mengatakan justru kitalah sebagai kelompok
batil pemuja al-Mudhil. Padahal, baik al-Haqq maupun al-Mudhil
sejatinya adalah Asma’, Af’al, dan Shifat dari Zat dari Yang Maha
Tunggal: Allah. Karena itu, barang siapa yang menganggap al-
Mudhil dan al-Haqq adalah dua Zat yang berbeda maka dia
musyrik,” kata Abdul Jalil tegas.

“Ya, Tuan Syaikh, kami paham,” kata Raden Muhammad Yusuf.


“Jadi, bagaimana sekarang?”

“Aku beri tahukan kepada kalian, Ksetra Mangare terletak di pusat


Kraton Prabu Satmata, yaitu Bangsal Sri Manganti. Maksudku,
Ksetra Mangare letaknya bersebelahan dengan Bangsal Sri
Manganti. Malahan, Bangsal Sri Manganti kedudukannya diapit
oleh Ksetra Mangare dan asrama Rsigana Domas. Di utara Ksetra
Mangare terletak Pakalangan, yakni tempat batu suci (Sanghyang
Susuk) ditempatkan di lingkaran keramat. Di utara Pakalangan
terletak kediaman Pangeran Indrasari Patih Giri Kedhaton.”

1677
“Jadi, sebagaimana bentuk susunan kraton-kraton Jawa yang lain,
ksetra merupakan bagian tak terpisahkan dari kraton. Kalau
sampai ada perubahan susunan dengan munculnya asrama para
wiku baru yang disebut Dukuh Lemah Putih di dekat ksetra dan
Rsigana Domas, maka dipastikan akan menimbulkan kekacauan.
Sebab, yang akan melakukan perlawanan bukan hanya para
penguasa ksetra, melainkan pendeta dan penduduk juga akan
marah dan menentang. Karena itu, menurut hematku, letak Dukuh
Lemah Putih sebaiknya memang agak jauh dari pusat ksetra,”
papar Abdul Jalil.

“Aku kira, soal letak Dukuh Lemah Putih di Giri Kedhaton


sepatutnya memang kita serahkan sepenuhnya kepada Paman
Syaikh Lemah Abang. Sebab, yang sudah berpengalaman dalam
pembukaan dukuh-dukuh baru di Nusa Jawa adalah beliau,” kata
Pangeran Zainal Abidin.

Abdul Jalil yang melihat selisih pendapat antara Pangeran Zainal


Abidin dan Raden Muhammad Yusuf hanya bisa menggeleng-
gelengkan kepala. Ia paham, perbedaan mereka dalam
memandang sesuatu berasal dari perbedaan dari nilai-nilai yang
mereka anut. Pangeran Zainal Abidin lahir di kalangan bangsawan
Giri Kedhaton yang memiliki hubungan kekerabatan dengan
penguasa-penguasa di Majapahit, Blambangan, dan Bali.
Sementara Raden Muhammad Yusuf merupakan cucu Raden Ali
Murtadho, Raja Pandita Gresik dari istri ketiga asal Lawe,

1678
Barunadwipa, yaitu dari keluarga Orob. Sedangkan ibu Raden
Muhammad Yusuf berasal dari Malaka.

Sejak kecil Raden Muhammad Yusuf diasuh di lingkungan Islam


fanatik yang sulit menerima keberbedaan agama. Apalagi saat
memasuki kedewasaan dia sering diajak berdagang ke Malaka dan
berkenalan dengan sejumlah ulama Malaka yang fanatik.
Ayahandanya sendiri, Raden Yusuf Siddhiq Adipati Siddhayu,
putera bungsu Raden Ali Murtadho, dikenal penduduk Giri
Kedhaton sebagai orang Islam fanatik dan suka mencela praktik-
praktik tasawuf yang dianggap menyimpang dari syarak. Padahal,
dibanding tiga kakaknya lain ibu, yaitu Raden Zainal Abidin Adipati
Gresik, Raden Usman Kepala Negeri Tengah-Tengah di Kailolo,
Raden Ali Fada’ guru suci di Bima, Raden Yusuf Siddhiq bukanlah
apa-apa jika diukur dari sisi pengetahuan agama. Ketiga putera
Raja Pandhita itu, kakak Raden Yusuf Siddhiq, sejak muda dikenal
oleh penduduk Giri Kedhaton sebagai orang-orang yang saleh,
rendah hati, dan dermawan. Sementara Raden Yusuf Siddhiq
dikenal sebagai pemuda congkak, tidak mau kalah, dan suka
merendahkan orang lain, apalagi setelah usahanya berniaga
berkembang pesat dan menjadikannya sebagai adipati kaya raya.

Raden Yusuf Siddhiq dengan segala kecongkakannya sering


terlihat datang ke Giri Kedhaton untuk mengajak berdebat Prabu
Satmata dalam masalah agama. Tetapi, tidak sekali pun penduduk
Giri Kedhaton mendapatinya pernah memenangkan perdebatan.
Karena tidak pernah jera berdebat, meski telah berulang-ulang
kalah, maka di kalangan penduduk Giri Kedhaton muncul ejekan-
1679
ejekan tersembunyi yang dialamatkan kepada sang adipati. Salah
satu di antara ejekan-ejekan itu adalah gelar masyhur yang
diberikan oleh penduduk Giri Kedhaton, yaitu Ki Dipati Adam (Jawa
Kuno: raja yang belum matang). Tampaknya, kebiasaan mendebat
sang adipati itu dilanjutkan oleh puteranya, Raden Muhammad
Yusuf.

Dengan dikawal sekitar tiga puluh prajurit Giri, Abdul Jalil dan
rombongan dengan berjalan kaki meninggalkan Bangsal Sri
Manganti menuju arah selatan. Setelah melewati padang alang-
alang dan tanah berawa-rawa, sampailah mereka di Wisaya
Damyan. Sesudah singgah sebentar di kediaman Ki Ageng
Damyan, perjalanan dilanjutkan ke arah selatan dengan melewati
bukit-bukit berbatu kapur terjal. Di beberapa tempat di perbukitan
itu Abdul Jalil menemukan sejumlah lemah larangan yang layak
dijadikan dukuh, yaitu mala ning lemah seperti cerukan bukit
(sodong), batu padas bergantung (cadas gantung), tiga onggokan
batu melingkari suatu tanah (mungkal pategang), ngarai (lebak),
tanah tandus yang curam (lmah laki). Tapi, ia masih belum
menemukan yang benar-benar sesuai dengan hasrat hatinya.

Setelah semalam tidur di perbukitan, pada suatu siang ia


menemukan suatu hamparan lemah larangan yang dinilainya
sesuai untuk dukuh. Tanah itu terletak di timur laut Wisaya
Sumengka, tepat pada lekukan Sungai Brantas. Lantaran itu, tanah
tersebut digenangi air dan sebagian ada yang terlihat padat di
permukaannya, namun berlumpur di bawahnya. Di beberapa
sudutnya terlihat bukit-bukit tanah kecil tempat sarang anai-anai.
1680
Setelah mengamati keadaan sekeliling tanah, ia berkata kepada
Syaikh Jumad al-Kubra, “Menurut ibundaku, tanah di depan kita itu
memenuhi tiga syarat lemah larangan. Pertama, tanah di pinggir
barat dan selatan sungai itu termasuk jenis tanah dangdang
warian, yaitu tanah yang berceruk bagian tengahnya dan digenangi
air. Kedua, tanah di bagian tengah termasuk jenis tanah
garenggengan, yaitu tanah kering pada bagian permukaan, namun
berlumpur di bagian bawahnya. Ketiga, tanah paling utara
termasuk tanah hunyur, yaitu tanah dengan bukit-bukit kecil tempat
sarang anai-anai.”

“Baiklah, kita akan membuka tanah ini untuk dijadikan Dukuh


Lemah Putih,” kata Syaikh Jumad al-Kubra.

“Tetapi, kita hendaknya memberi tahu dulu kepala Wisaya


Sumengka bahwa atas perkenan Prabu Satmata, di tanah ini akan
dibuka dukuh baru yang dinamai Lemah Putih.” Abdul Jalil lantas
meminta kepada pengawal Giri untuk menyampaikan surat
penetapan shima dari Juru i Ayam Teas (pejabat berwenang dalam
urusan tanah perdikan) Giri Kedhaton. “Seandainya nanti
penguasa Wisaya Sumengka bertanya kenapa dinamai Lemah
Putih, Tuan katakan saja bahwa yang bisa menjelaskannya adalah
Prabu Satmata.”

1681
“Kami siap melaksanakan perintah, Kangjeng Syaikh,” kata kepala
pengawal sambil memerintahkan anak buahnya untuk memulai
pekerjaan membabat alang-alang dan semak belukar, menguruk
tanah berair, membuat pematang melingkar sebagai tanggul kecil,
dan memotong batang pohon untuk bahan bangunan.
Sebagaimana pembukaan desa-desa Lemah Abang, Abdul Jalil
menebarkan sarana tu-mbal. Tetapi, sedikit berbeda dengan di
Lemah Abang, di tempat yang akan dinamai Lemah Putih itu selain
menggunakan tanah, ia juga menambahkan garam dan beras.

Pekerjaan membabat alang-alang dan semak belukar serta


membuat pematang ternyata tidak memakan waktu lama. Sebab,
dari Sumengka dikirim sekitar lima puluh orang penduduk untuk
membantu pekerjaan itu. Menjelang senja semua alang-alang dan
semak belukar telah dibersihkan. Dan sepetak lahan dengan lima
pondok beratap ilalang telah tegak sebagai hunian sementara.
Ketika penduduk Sumengka telah kembali, Abdul Jalil meminta
para pengawal Giri Kedhaton untuk mengamalkan rangkaian doa
penolak godaan setan dan permohonan keselamatan,
sebagaimana dilakukannya saat membuka dukuh-dukuh.

Tatkala senjakala merambat ke peraduan malam dan para


pengawal Giri Kedhaton sedang khusyuk melafazkan doa-doa,
kegelapan tiba-tiba menggantung di angkasa. Kabut tebal
bergerak dari arah utara dan makin lama makin tebal memenuhi
permukaan bumi, merayap ke lembah dan aliran sungai Brantas.
Suasana mendadak berubah sangat senyap. Lengang. Seram.

1682
Mencekam. Lima pondok yang baru selesai didirikan sudah tidak
terlihat karena diselimuti kabut tebal.

Di tengah suasana senyap dan mencekam itu para pengawal Giri


Kedhaton mulai terlihat gelisah. Sambil melafazkan doa-doa,
mereka merangkul senjata masing-masing dan saling berdesakan.
Liu Sung yang sejak sore tak pernah jauh dari Raden Sahid dan
Raden Sulaiman terlihat menggeser duduknya ke dekat Abdul Jalil.
Beberapa kali dia menengok ke luar gubuk dengan perasaan
gelisah. Dia seolah menangkap isyarat di luar sana sedang
mengintai ancaman bahaya yang menggantung di angkasa
bersama gumpalan awan dan kabut. Pengalaman menggetarkan
di Batu Putih tiba-tiba berkelebatan memasuki relung-relung
ingatannya.

Abdul Jalil sendiri terlihat tenang. Ia duduk bersila di belakang


Syaikh Jumad al-Kubra sambil mengetuk-ketukkan tongkatnya ke
tanah dengan mulut terkatup rapat. Raden Sahid, Raden
Sulaiman, dan Liu Sung yang melihat gerak-gerik Abdul Jalil dan
suasana mencekam yang melingkupi hanya berdiam diri, meski
tanda tanya menggumpal di benak mereka. Tetapi, saat kabut tebal
makin bergumpal-gumpal serta menerobos ke dalam gubuk dan
sayup-sayup mereka mendengar denting senjata dan hiruk-pikuk
peperangan di luar pondok, mereka tak tahan lagi untuk tidak
bertanya. Dengan suara tergetar Raden Sulaiman bertanya,
“Paman, kami merasakan ada sesuatu yang bukan berasal dari
alam kita sedang berkeliaran di sekitar kita. Kami merasa mereka

1683
seolah-olah menginginkan nyawa kita. Apakah sesungguhnya
yang terjadi di tempat ini, o Paman?”

Abdul Jalil diam tak menjawab. Ia memandang ke luar pondok yang


gelap gulita. Sesaat kemudian ia berkata dengan suara yang lain,
“Kalian semua yang membaca doa-doa, berkumpullah ke sini!”

Bagaikan anak ayam mengerumuni induknya, para pengawal Giri


Kedhaton berebut mengerumuni Abdul Jalil. Mereka tampak gentar
dan ketakutan dengan wajah pucat. Wajah mereka semakin pucat
manakala di tengah suara denting senjata dan hiruk pikuk
peperangan itu, secara samar-samar mereka melihat kelebatan
bayangan-bayangan aneka bentuk makhluk yang mengerikan di
luar gubuk.

Seperti ttidak peduli dengan keadaan sekitar, Abdul Jalil


membisikkan sesuatu kepada Abdul Malik Israil yang bersila di
sampingnya. Setelah itu, ia berkata dengan suara lirih, “Aku beri
tahukan kepada kalian bahwa apa pun yang kalian dengar dan
kalian saksikan, pada hakikatnya itu adalah bayangan maya dari
ablasa yang nirwujud. Jika kalian mengesankannya dengan
prasangka-prasangka yang berlebih-lebihan maka mereka akan
mewujud sebagaimana prasangkamu. Jangan sekali-kali kalian
ikuti rasa takut yang mengeram di dalam jiwamu secara berlebihan
karena itu akan menyeret khayalanmu ke arah perwujudan
bayangan maya ablasa itu.”

1684
“Apa yang harus kita lakukan, o Kangjeng Syaikh?” tanya kepala
pengawal Giri Kedhaton gemetar.

“Tenangkan jiwamu! Arahkan kiblat hati dan pikiranmu hanya


kepada al-Haqq yang tersembunyi di dalam relung-relung hatimu
(qalb). Sesungguhnya, tidak ada Yang Wujud kecuali Dia. Allah.
Sesungguhnya, mereka yang menjadi hijab antara makhluk dan al-
Khaliq adalah bayangan ablasa yang nirwujud.”

Ketika para pengawal Giri Kedhaton berusaha mengarahkan kiblat


hati dan pikiran hanya kepada al-Haqq, Abdul Jalil membisikkan
sesuatu kepada Syaikh Jumad al-Kubra. Setelah itu ia bangkit dan
bergegas keluar dari gubuk. Raden Sahid, Raden Sulaiman, dan
Liu Sung buru-buru melompat mengikuti di belakangnya. Tetapi,
saat mereka berada di luar pintu gubuk, mereka terhenyak kaget.
Dalam jarak sekitar lima tombak di depan mereka terlihat dua
sosok makhluk hitam setinggi pohon kelapa berdiri menyeringai
dengan taring berkilat-kilat. Makhluk yang satu adalah laki-laki
dengan rambut disanggul terikat tiga. Makhluk yang satunya lagi
perempuan dengan rambut terurai hingga ke tanah. Di depan dua
makhluk menyeramkan itu terlihat Ki Waruanggang dan Ki Tameng
berdiri tegak seolah-olah sedang berbicara dengan mereka.
Sementara di belakang dua makhluk mengerikan itu berbaris
bayangan-bayangan hitam dalam jumlah beribu-ribu, seolah-olah
suatu bala tentara yang ganas sedang bersiaga menyerang
musuh.

1685
Sementara itu, Abdul Jalil yang bagai tak peduli dengan keadaan
sekitar yang mencekam, mengangkat tongkatnya ke atas sambil
berseru, “O Prabu Yaksha dan Nyi Wuragil, penguasa bumi
Tandhes dan Giripura, salam sejahtera untuk kalian berdua dan
kawula kalian. Aku minta kalian berdua tidak mengganggu
pekerjaan Syaikh Jumad al-Kubra, saudara kami yang membuka
dukuh baru di tempat ini. Kalian berdua adalah penghuni perut
bumi. Kami penghuni permukaan bumi. Kami tidak mengganggu
wilayah kekuasaan kalian maka kalian pun aku minta tidak
mengganggu kami.”

Dua makhluk setinggi pohon kelapa yang menyeramkan itu


celingukan dan saling pandang. Setelah itu, mereka berlutut dan
menyembah kepada Abdul Jalil dan berkata serentak, “Mohon
ampun Padukan Syaikh, kami kemari hanya ingin melihat wilayah
kami. Sebabm kami melihat kilatan cahaya petir dan kegaduhan di
tempat ini. Kami tidak tahu Paduka Syaikh ada di antara orang-
orang itu.”

Abdul Jalil tertawa dan berkata-kata kurang jelas sambil


menggerak-gerakkan tongkatnya, seolah-olah memberi isyarat
agar kedua makhluk mengerikan itu beserta bala tentaranya pergi
meninggalkan tempat itu. Suasana pun mendadak hening. Sekejap
kemudian terdengar suara seruling mengumandang diikuti suara
gemerincing genta-genta kecil dan lengkingan-lengkingan
terompet yang sahut menyahut dan sambung menyambung.
Setelah itu, dua makhluk mengerikan itu lenyap dari penglihatan.
Lalu terlihat kelebatan bayangan hitam berpusar-pusar mengitari
1686
tanah yang baru dibabat. Pusaran bayangan hitam itu makin lama
makin cepat dan menimbulkan suara semacam gedoran pintu yang
memekakkan telinga dengan diikuti oleh embusan angin. Di tengah
pusaran bayangan hitam dan embusan angin itu terdengar bunyi
derap kaki kuda yang mula-mula keras, makin lama makin lemah
dan menjauh. Kemudian suasana menjadi hening. Sunyi. Lengang.
Tak ada angin. Tak ada suara.

Ketika keadaan yang menegangkan telah berakhir, Abdul Jalil


masuk ke dalam pondok, berbicara kepada Syaikh Jumad al-Kubra
dan Abdul Malik Israil. Beberapa jenak kemudian ia pergi ke arah
utara menuju Bangsal Sri Manganti dengan disertai Raden Sahid,
Raden Sulaiman, dan Liu Sung. Setelah melintasi bukit-bukit kapur
yang terjal, menjelang dini hari mereka sudah sampai ke tempat
pemujaan Sanghyang Pamunguwan, ruh pelindung Bangsal Sri
Manganti, yang terletak di antara Bangsal Sri Manganti dan Ksetra
Mangare. Tempat itu dikenal penduduk dengan nama
pendharmaan Siddhawungu. Tanpa peduli dengan kegelapan
yang melingkupi, ia masuk ke pendharmaan dan membalik letak
batu lambang Sanghyang Pamunguwan sambil melafazkan doa-
doa. Sebagaimana saat menutup Kabhumian di Caruban, ia
berharap pendharmaan Siddhawungu akan secepatnya tersilap
dari ingatan penduduk.

Setelah dari pemujaan Sanghyang Pamunguwan, tanpa istirahat


sedikit pun ia dengan diikuti Raden Sahid, Raden Sulaiman, dan
Liu Sung menuju pendharmaan Siddhajangkung yang terletak di
belakang Bangsal Sri Manganti. Sebagaimana di pendharmaan
1687
Siddhawungu, di situ ia membalik letak batu perlambang
Sanghyang Jangkung sambil melafazkan doa-doa. Menjelang
subuh ia menganggap kerjanya telah selesai. Ia meninggalkan
pendharmaan Siddhajangkung menuju kediaman Pangeran Arya
Pinatih yang terletak di depan Bangsal Sri Manganti. Di sana ia
menjumpai sang pangeran baru saja turun dari sembahyang
malam. Melihat Abdul Jalil, Pangeran Arya Pinatih sangat senang.
Dia menanyakan ini dan itu tentang pembukaan Dukuh Lemah
Putih. Mereka pun berbincang sampai subuh.

Ketika hari sudah siang datanglah Syaikh Jumad al-Kubra, Ki


Tameng, Abdul Malik Israil, dan Ki Waruanggang menyusul. Saat
itu juga Abdul Jalil meminta Ki Waruanggang secepatnya kembali
ke Batu Putih. “Aku berharap Tuan bisa istiqamah menjalankan
upaya membuat tawar daya shakti Ksetra Nyu Denta dan Dharma
Palemahan, paling tidak selama empat puluh hari,” kata Abdul Jalil.

“Bagaimana dengan Dukuh Lemah Putih yang baru kita buka?”


tanya Ki Waruanggang.

“Biarkan saudara kita, Ki Tameng, yang tinggal di situ selama


empat puluh hari,” kata Abdul Jalil.

“Tetapi, bagaimana dengan asrama Rsigana Domas?” bisik


Pangeran Arya Pinatih ke telinga Abdul Jalil. “Bukankah kekuatan

1688
mereka itu tidak bisa ditawarkan?” bagaimana jika mereka tetap
melakukan upacara korban?”

Abdul Jalil tercenung sesaat. Setelah itu, ia berkata setengah


berbisik, “Biarlah putera Tuan, Pangeran Pringgabhaya, tinggal
sementara di pendharmaan Siddhajangkung sebagai sthapaka.
Kami melihat pancaran kekuatan batin tersembunyi di kedalaman
jiwanya. Dan sebagai putera Tuan, dia akan lebih mudah diterima
oleh anggota Rsigana Domas. Selain itu, kami kira Dang Acaryya
Laban yang sudah berbaiat kepada kami pun bisa membantunya.
Mudah-mudahan para anggota Rsigana Domas bisa tersadarkan.”

“Dang Acaryya Laban sudah berbaiat kepada Tuan?” seru


Pangeran Arya Pinatih seperti tak percaya.

“Beberapa waktu setelah kami hadir di sini, ia minta baiat kepada


kami.”

“Alhamdulillah, berarti Ksetra Mangare sudah tidak punya penjaga


lagi. Berarti aku tidak akan melihat lagi ibu-ibu yang menjadi gila
akibat kehilangan anak-anaknya,” kata Pangeran Arya Pinatih
dengan mata berkaca-kaca.

1689
Mandala Siti Jenar

Dengan diikuti Syaikh Jumad al-Kubra, Abdul


Malik Israil, Raden Sahid, Raden Sulaiman,
dan Liu Sung, Abdul Jalil menumpang
perahu ke Wirashabha. Ketika sampai di
penambangan Citrasabha, di dekat Terung,
ia beserta rombongan turun dan singgah ke
Pangawasen (pertapaan) Madhuratna yang dipimpin Wiku
Citragati, sisya Ki Waruanggang saat masih menjadi guru suci di
Surabhawana negeri Daha. Dalam pertemuan dengan Wiku
Citragati, Abdul Jalil memberi tahu bahwa sang guru suci Wiku
Suta Lokeswara telah memeluk Islam dan berganti nama menjadi
Ki Waruanggang. Wiku Citragati yang sejak awal sudah menduga
guru sucinya itu bakal mengikuti ajaran yang disampaikan Abdul
Jalil, tidak terkejut dengan penjelasan itu. Sebaliknya, Abdul Jalil
terkejut ketika diberi tahu oleh Wiku Citragati bahwa amuk yang
dilakukan Raden Kusen itu sebenarnya terkait dengan perebutan
takhta Majapahit.

Hampir setiap nayaka Kadipaten Terung menduga, aib yang


ditimpakan kepada Paduka Yang Mulia Adipati Terung itu sengaja
dilakukan untuk meruntuhkan kewibawaannya sebagai ratu
Majapahit. Sebab, kenyataan menunjuk bahwa penduduk Terung,
Japan, dan Wirasabha menyembahnya sebagai ratu penerus
takhta Majapahit. Kata-kata sang adipati menjadi sabda dan
perintahnya menjadi titah. Setiap tahun para kepala wisaya di
tlatah Terung, Japan, dan Wirasabha datang ke Bale Citrasabha
1690
membawa upeti, pajak, dan bulubekti untuk dipersembahkan
kepada sang ratu,” kata Wiku Citragati.

“Tapi, siapa kira-kira yang melakukannya? Apakah Ratu Stri


Maskumambang atau Stri Surawiryawangsaja?”

“Itu yang masih belum jelas,” kata Wiku Citragati. “Tetapi, menurut
kabar yang berkembang di kalangan prajurit, maling aguna yang
telah masuk ke dalam kaputren itu disebut sebagai seorang
pemuda tampan bernama Gendam Smaradahana asal Daha.
Anehnya, semua telik sandhi dari Terung yang ditempatkan di
Daha tidak satu pun menemukan hubungan antara Gendam
Smaradahana dan Gusti Patih Mahodara. Itu sebabnya, Yang
Mulia Adipati Terung sampai sekarang masih kebingungan karena
hanya bisa menduga-duga siapa dalang di balik peristiwa itu.”

Abdul Jalil termangu-mangu mendengar penjelasan Wiku Citragati.


Sejak awal sebenarnya ia sudah menangkap ketidaklaziman
tatanan di Kadipaten Terung, terutama nama-nama bangunan
yang mirip tatanan kraton. Bale Witana dan Bale Panca Rangkang
yang luar biasa besar dan megah itu, menurut hematnya, bukan
sesuatu yang lazim untuk ukuran sebuah kadipaten. Yang lebih
tidak lazim lagi, semua bale tempat kerja sang adipati disebut
dengan nama Kraton Katerungan. Puri kediaman pribadi sang
adipati yang terletak di belakang kraton disebut dengan nama yang
tidak lazim pula, Puri Kamerakan. Bahkan, keberadaan kraton dan
puri itu dilingkari oleh baluwarti (dinding benteng dari tanah) yang
1691
dijaga oleh pasukan khusus jagasatru. Semua tatanan itu,
sepengetahuan Abdul Jalil, jelas-jelas menunjuk pada kediaman
seorang ratu. Sebab, belum pernah ada cerita bahwa seorang
adipati memiliki kraton, puri, baluwarti, dan kesatuan jagasatru.

Tetapi, semua keagungan dan kebesaran Kadipaten Terung yang


mirip kraton itu dalam sekejap telah terhapus dari permukaan bumi
akibat amuk sang adipati. Seluruh bangunan kraton dan puri rata
dengan tanah. Menurut Wiku Citragati, dalam satu hari saja, atas
titah sang adipati, seluruh bangunan di Kraton Katerungan, Puri
Kamerakan, Bale Citrasabha, Jagasatru, Karang Puri, Pager
Humbug, arena pacuan kuda Jimbaran, Bhuwana Kalang,
Sagadgada, dan bangunan lain binasa. Hanya tiga bangunan yang
tersisa di Kadipaten Terung, yaitu tajug agung, Pangawasen
Madhuratna, dan Candinegara.

“Jika tempat-tempat ibadah tidak dirusak, berarti ia tidak


melakukan amuk. Sebab, ia masih sadar mana bangunan yang
boleh dirusak dan mana yang tidak boleh dirusak,” kata Abdul Jalil
menyimpulkan.

“Kami juga menduga begitu,” Wiku Citragati membenarkan.


“Setelah menghancurkan kadipaten, Yang Mulia Adipati Terung
malah memindahkan kratonnya ke Wirasabha. Bukankah tindakan
itu sama maknanya dengan membelah secara tegas Daha dan
Japan? Bukankah itu sama artinya dengan menantang dua
kekuatan?”
1692
“Ia mendirikan kraton di Wirasabha? Bukankah menurut kabar ia
pindah ke Bubat?” tanya Abdul Jalil ingin tahu.

“Kami tidak tahu kabar mana yang paling benar. Sepengetahuan


kami, kratonnya yang baru memang di Wirasabha. Sementara di
Bubat adalah tempat pasukan bedil besar dan gurnita,” tegas Wiku
Citragati.

“Jangan-jangan semua itu siasat?”

“Siasat yang bagaimana?” gumam Wiku Citragati.

“Bukankah dengan menyatakan pindah dari Terung ke Bubat, ia


telah menantang perang terbuka kepada siapa saja sebagaimana
para ksatria Majapahit bertarung di sana? Sementara dengan
kenyataan yang menunjuk ia tinggal di Wirasabha adalah
penegasan bahwa ia merupakan panglima perang tak terkalahkan
tempat para ksatria berdatang sembah untuk mengabdi?” kata
Abdul Jalil.

“Ia memang pantas menjadi ratu dan sekaligus senapati di


Wirasabha. Sebab, setahu kami, hampir seluruh petani yang
menggarap tanahnya telah dilatih olah keprajuritan dan mereka itu
selalu siap dikirim ke medan tempur untuk membantu prajurit
Terung,” kata Wiku Citragati.
1693
“Itu berarti, kabar yang menyatakan bahwa di antara semua
penguasa di Nusa Jawa ini, hanya adipati Terung yang memiliki
pasukan paling besar dan paling lengkap persenjataannya adalah
benar,” Abdul Jalil menyimpulkan.

“Kami kira itu memang tak terbantah.”

Setelah merasa cukup beroleh penjelasan dari Wiku Citragati,


Abdul Jalil dan rombongan melanjutkan perjalanan ke Wirasabha.
Sewaktu melewati bekas Kadipaten Terung, dari arah sungai ia
melihat reruntuhan bangunan teronggok merana bagaikan sebuah
daerah bekas terkena gempa. Tikungan Sungai Brantas yang
terhubung dengan Bengawan Terung tempat kapal-kapal harus
berbelok dan membayar cukai, sudah dibendung dengan
gundukan bukit tanah. Kayu-kayu besar bekas tiang saka Puri
Kamerakan terlihat berserakan dan sebagian mencuat di antara
gundukan tanah seolah-olah deretan tangan menunjuk ke langit.
Suasana sangat lengang seolah-olah di sekitar tempat itu tidak
pernah ada kehidupan.

Kebinasaan yang terjadi atas Kadipaten Terung ternyata sangat


mempengaruhi lalu lintas perniagaan di sepanjang Sungai Brantas.
Penambangan-penambangan yang terdapat di sepanjang sungai
seperti Jruklegi, Wringinsapta, Bogem, Singkal, dan Canggu
menjadi sepi. Satu dua perahu terlihat melintas dengan membawa
barang dagangan kebutuhan dapur seperti gula, garam, gerabah,
dan peralatan. Padahal, barang satu setengah tahun silam, saat
1694
melintasi kawasan itu Abdul Jalil melihatnya sebagai pusat
perdagangan yang paling ramai di pedalaman, meski saat itu
sedang terjadi perang antara Terung dan Daha.

Di dermaga Canggu, Abdul Jalil dan rombongan turun. Mereka


berjalan ke selatan, namun tidak melewati Kraton Japan. Setelah
melintasi kawasan Citrawulan (Trowulan), Ksetralaya (Tralaya),
hutan Kumeter (yang menggetarkan), reruntuhan kuil Dyanayana
(kuil pemujaan Wisynu), dan rimba raya Bahuwarna, mereka
mengikuti jalan setapak ke Wanasalam dan kemudian melintasi
bukit-bukit terjal serta tebing-tebing curam yang tak pernah dilewati
manusia. Mereka menuju Pusung Semar untuk menempatkan tu-
mbal, yang diharapkan dapat membuat tawar daya shakti ksetra-
ksetra di sekitar pusat kekuasaan Majapahit. Pusung Semar
sendiri diyakini sebagai tempat bersejarah, saat Dang Hyang
Semar memperolok-olok dan mengalahkan Bhattari Durga,
penguasa Ksetra Gandamayu, sebagaimana tersirat pada kidung
Sudamala yang dibaca pada tiap-tiap upacara lukatan (ruwatan).

Majahapit. Kraton yang dibangun Raden Kusen di pedalaman itu


menyimpan banyak perlambang. Kata “maja” dapat dimaknai
“wilwa” yang menunjuk pada Wilwatikta, yaitu Majapahit.
Sedangkan kata “hapit”, selain menunjuk perubahan bunyi dari
pahit ke hapit, juga dimaknai “yang berada di antara dua kekuatan”,
yang lazimnya merujuk pada istilah hapit lemah dan hapit kayu,
yakni sebutan untuk bulan dari kalender Saka: Jyestha. Jika nama
Kraton Majahapit dialihbahasakan ke Sansekerta akan menjadi
Wihwajyestha yang mengandung sejumlah makna: keturunan
1695
yang paling utama, bintang di antara para putera utama, yang
menggenggam dua kekuasaan, dan penerus takhta Wilwatikta
kesebelas. Makna yang terakhir, penerus takhta Wilwatikta
kesebelas, tampaknya bukan main-main karena menurut urut-
urutan maharaja Majapahit dari trah Warddhanawangsa, Raden
Kusen memang menduduki urutan kesebelas sesudah Prabu Stri
Tribhuwanatunggadewi, Rajasanegara, Wikramawardhana,
Suhita, Kertawijaya, Rajasawarddhana, Hyang Purwawisesa, Adi-
Suraprabhawa Singhawikramawarddhana, Krtabhumi, dan
Girindrawarddhana. Dengan begitu, Kraton Majahapit adalah
pernyataan dan sekaligus pengingkaran Raden Kusen terhadap
kekuasaan Sri Surawiryawangsaja maupun Stri Maskumambang
sebagai pelanjut takhta Wilwatikta kesebelas.

Tidak berbeda dengan susunan kraton-kraton sebelumnya, Kraton


Majahapit selain berpusat pada bangsal kraton juga dilengkapi puri
kediaman pribadi sang ratu yang terletak di belakang kraton. Puri
itu disebut dengan nama Bale Kepuh dan Bale Kambang. Bale
Kepuh (Jawa Kuno: Kepuh: pohon randu hutan) menunjuk
lambang Syiwa yang disebut Sang Randuwana (Jawa Kuno: yang
bertaring sebesar buah randu hutan), sedangkan Bale Kambang
adalah taman dengan kolam besar lengkap dengan pulau dan
pesanggrahan di bagian tengahnya. Di Puri Bale Kambang itulah
sang adipati tinggal bersama selir-selirnya. Sementara permaisuri
dan putera-puterinya ditempatkan di Puri Surabayan yang terletak
di Surabaya.

1696
Di depan Kraton Majahapit, tepatnya di seberang alun-alun,
terletak Kepatihan, tempat kerja sekaligus kediaman patih. Yang
diangkat menjadi patih adalah Arya Timbul, putera Arya Menak
Sunaya, adipati Pamadegan, Madura. Arya Menak Sunaya adalah
putera Ario Damar dengan Dewi Wahita, janda dari Bhre Daha,
asal Pamadegan. Jadi sang patih adalah kemenakan Raden
Kusen. Di sebelah selatan Kepatihan terletak Kepanjen, tempat
para panji (pejabat kraton bawahan sang pameget) yang
menjalankan tugas sebagai nayaka di bidang peradilan. Di sebelah
utara alun-alun terletak mandala Dapur Kajambon, yaitu
madhyadesa, lambang Jambhudwipa (satu dari tujuh benua yang
mengitari Gunung Meru) yang dijaga oleh para dapur (penduduk
desa dari kasta rendah). Sementara tepat di tengah-tengah alun-
alun berdiri Bale Bang yang di dalamnya tersimpan payung
khutlima berwarna merah yang disebut Jongbang (Jawa Kuno:
payung merah).

Abdul Jalil dan rombongan yang memahami makna-makna di balik


lambang-lambang Kraton Majahapit itu hanya menggeleng-geleng
kepala. Sebab, dari lambang-lambang yang terpampang di sekitar
kraton tersebut, mereka menangkap tengara betapa Raden Kusen
sudah benar-benar nekad untuk menggelar perang terbuka
terhadap siapa saja. Dengan payung khutlima warna merah,
lambang kekuasaan ratu Majapahit trah Warddhanawangsa itu,
Raden Kusen seolah-olah menantang siapa saja yang
berkepentingan merebut takhta Majapahit. Raden Kusen seolah-
olah menyatakan tidak mengakui kekuasaan Sri
Surawiryawangsaja di Daha maupun Ratu Stri Maskumambang di
Japan. Anehnya, meski lambang-lambang yang ditampilkan
1697
menunjukkan citra kekuasaan seorang ratu, Raden Kusen justru
menolak disebut ratu apalagi maharaja. Dia tetap ingin disebut
dengan gelar adipati, sesuai wasiat yang ditinggalkan gurunya,
Raden Ali Rahmatullah, susuhunan yang disemayamkan di Ampel
Denta. Boleh jadi karena sikapnya yang mendua itu, penguasa
Japan dan Daha tidak menanggapi sikap berlebihan dari Raden
Kusen yang dianggap semata-mata ingin melampiaskan
kegemarannya berperang.

Selama tinggal di Kraton Majahapit dalam rangka membuat tawar


daya shakti ksetra-ksetra, Abdul Jalil mendapati medan tempur
yang jauh lebih berat dibanding tempat-tempat yang pernah ia
singgahi. Sebab, daerah Wirasabha merupakan daerah yang
dijadikan lintasan dari sejumlah pusat kekuasaan sejak zaman
purwakala. Lantaran itu, jumlah ksetra dan tempat pemujaan Sang
Bhumi di kawasan itu jauh lebih banyak dibanding tempat lain. Di
sekitar Wanasalam saja terdapat tiga ksetra, yaitu Wanasalam,
Pulasari, dan Lung. Di sebelah timur Kraton Majahapit terdapat
pemujaan Dewi Bhumi yang disebut Palemahan. Di barat laut
kraton terdapat bekas pemujaan Rahu di Temu Wulan (gerhana)
dan Kala Sumanding (gerhana). Sementara di sebelah selatan
kraton purwa Watu Galuh yang didirikan Pu Sindok, tersebar
pemujaan Syiwa di Kali Wungu (Syiwa dipuja sebagai Sanghyang
Nilakantha), di Diwaka (Syiwa dipuja sebagai Sanghyang
Diwakara), di Gajah (Syiwa dipuja sebagai Sanghyang Ganapati),
di Gudha (Syiwa dipuja sebagai Sanghyang Niskala Mahamaya),
dan sebagainya.

1698
Sadar bahwa di pedalaman seperti Wirasabha dan Daha masih
cukup banyak orang yang memahami tatanan lama, sebagaimana
Raden Kusen yang dengan mudah menerka jalan pikirannya yang
ingin mewujudkan Caturbhasa mandala, maka Abdul Jalil
memutuskan untuk tidak menggunakan nama-nama yang
mencolok dari mandala yang bakal dibukanya di Wirasabha. Ia
tidak ingin menimbulkan konflik dengan munculnya dukuh-dukuh
baru berciri mandala yang empat (caturbhasa). Lantaran itu, ia
memutuskan untuk tidak membuka dukuh dan sebaliknya hanya
menanam tu-mbal untuk membuat tawar daya shakti ksetra-ksetra.

Beratnya medan di Wirasabha akhirnya menghadapkan Abdul Jalil


pada keputusan untuk membuka sekaligus empat mandala
(caturbhasa mandala) di situ. Demikianlah, ia mula-mula menanam
tu-mbal mandala kuning di belakang kraton Majahapit. Ia menandai
tu-mbal itu dengan menanam pohon kemuning, lalu meminta Liu
Sung untuk menunggui tempat itu selama empat puluh hari.

Liu Sung yang mendapat tugas menjaga tu-mbal di bawah pohon


kemuning itu heran dan bertanya, “Kenapa tempat itu tidak dinamai
Dukuh Lemah Jenar, o Tuan Syaikh?”

“Bukankah sudah ada pohon kemuning dan Kraton Majahapit?”


sahut Abdul Jalil singkat.

“Kami belum paham, Tuan Syaikh.”


1699
“Syarat tu-mbal tidak harus dikaitkan dengan tanah, terutama yang
berkaitan dengan lambang air dari nafs as-Sufliyyah. Pohon
kemuning yang bermakna kuning atau jenar dapat juga dijadikan
lambang.”

“Bagaimana dengan Majahapit? Apa kaitan Majahapit dengan


mandala kuning?”

“Tahukah engkau makna kata Apit atau Apita dalam bahasa


Sansekerta?”

“Tidak, Tuan Syaikh.”

“Artinya, warna kuning.”

“Kuning? Kenapa Yang Mulia Raden Kusen memilih nama


Majahapit untuk kratonnya? Bukankah di depat kraton, di Bale
Bang, ia menempatkan payung khutlima warna merah
(jongbang)?” tanya Liu Sung belum paham.

“Warna merah yang tercermin dari payung khutlima adalah


lambang khusus kekuasaan Warddhanawangsa, sedangkan
warna putih payung khutlima adalah lambang kekuasaan
Rajasawangsa. Jadi, dengan payung khutlima warna merah itu ia
1700
ingin menunjukkan diri kepada semua orang bahwa ia adalah trah
Warddhanawangsa. Sementara nama kratonnya, Majahapit yang
dihubungkan dengan warna kuning, menunjukkan keberadaannya
sebagai keturunan puteri kuning bernama Ratna Subanci. Karena
alasan itu, o Liu Sung, aku menunjukmu untuk menjalankan tugas
itu di situ,” kata Abdul Jalil tertawa.

Liu Sung mengangguk-angguk memahami penjelasan Abdul Jalil.


Tetapi, sejenak setelah itu bertanya lagi, “Jika demikian, Tuan
Syaikh tidak perlu susah-susah membuka Dukuh Lemah Abang di
tempat lain. Sebab, sarana tu-mbal itu bisa dipasang di Bale Bang
tempat payung khutlima jongbang itu diletakkan.”

“Itu memang benar. Dan aku akan menunjuk Raden Sulaiman


untuk menjaganya.”

“Bagaimana dengan mandala putih? Apakah juga tidak perlu


membuka Dukuh Lemah Putih?”

“Ya,” jawab Abdul Jalil singkat. “Sahabat kita Syaikh Jumad al-
Kubra sekarang sedang menulis wafak di atas lempengan perak
untuk ditanam di suatu tempat. Dan, sesuai tu-mbal, maka tempat
itu akan dinamai Dukuh Salaka atau Perak.”

“Untuk mandala hitam?”


1701
“Aku sudah memilih tempat di Watu Galuh, yaitu di tempat yang
terdapat batu hitam yang disebut Watu Gilang, tempat Pu Sindok
dulu dinobatkan sebagai raja. Di situlah sarana tu-mbal yang
kubuat akan kutanam sebagai lambang mandala hitam. Dan
sahabat kita Raden Sahid sekarang ini sedang menulis wafak pada
karas tanah untuk ditanam di sana,” kata Abdul Jalil menjelaskan.

Raden Sahid duduk termangu di sisi Abdul Jalil yang terbujur


lemah di atas lembar-lembar daun jati. Malam itu, di tengah rintik
gerimis yang membasahi bumi, dia menunggui Abdul Jalil yang
sakit di dalam naungan gubuk kecil beratap alang-alang. Suasana
sekitar yang gelap gulita diselimuti kabut terasa hening. Sepi.
Lengang. Angin tak sedikitpun berembus. Hanya tetes-tetes air
hujan yang jatuh dari atap gubuk ke bebatuan didengar Raden
Sahid seperti suara gamelan yang ditabuh makhluk penghuni
kegelapan. Di tengah kesendirian itu dia mencoba merangkai
kembali gambaran-gambaran peristiwa yang dialaminya selama
mengikuti Syaikh Lemah Abang melakukan perjalanan di
pedalaman Nusa Jawa.

Setelah usai memasang tu-mbal di Wirasabha, dia mengikuti


Syaikh Lemah Abang ke wilayah Daha. Raden Sulaiman dan Liu
Sung tidak ikut sebab mereka berdua dinikahkan oleh Raden
Kusen dengan dua puteri patih Wirasabha, Arya Timbul. Mereka
berdua diminta tinggal di Wirasabha. Sementara itu, setelah Syaikh
Lemah Abang dan rombongan sampai di tlatah Daha, mereka
menghadap Patih Mahodara, yang kelihatan senang sekali

1702
bertemu dengan Syaikh Lemah Abang. Mereka berbincang-
bincang dan bertukar pikiran sampai jauh malam.

Tidak berbeda dengan di Wirasabha, Syaikh Lemah Abang


menempatkan tu-mbal di tempat-tempat yang tidak jauh dengan
ksetra atau tempat pemujaan Sang Bhumi. Mula-mula, menanam
tu-mbal di bekas Kraton Keling sebagai perlambang penyucian
nafs al-Lawwammah Bhumi. Ini perlambang mandala Lemah Ireng.
Setelah itu, menanam tu-mbal di tempat yang terletak di tepi
Sungai Brantas. Tempat itu dinamai Putih sebagai perlambang
nafs al-Muthma’inah Bhumi. Itu perlambang mandala Lemah Putih.
Yang ketiga, menanam tu-mbal di bekas Ksetra Abobang (Jawa
Kuno: kebusukan darah; Putikeswara merah) di kaki Gunung Hijo
(Wilis). Yang terakhir, atas perkenan Patih Mahodara, Syaikh
Lemah Abang membuka dukuh di kutaraja, tepatnya di tepi timur
Sungai Brantas. Dukuh itu dinamai Kajenar (Kamuning).

Setelah empat puluh hari tinggal di Daha, menunggu Syaikh


Lemah Abang menanam tu-mbal dan membuka mandala-mandala
di sekitar Gunung Kamput (Kelud) dan Gunung Kawi, mereka
melanjutkan perjalanan. Yang ditunjuk menjadi kepala Dukuh
Kajenar di Daha adalah Kyayi Pocanan, bekas Poco (tokoh agama
Syiwa-Budha), yang bersama-sama dengan empat puluh orang
siswanya mengambil madiksha kepada Syaikh Lemah Abang.
Sepanjang perjalanan menembus pedalaman Nusa Jawa itu,
Raden Sahid berkali-kali mendapati Syaikh Jumad al-Kubra dan
Abdul Malik Israil terheran-heran dengan kebiasaan hidup
penduduk di pedalaman. Mereka heran dengan penduduk yang
1703
umumnya hanya mengenakan cawat dan para perempuan belum
mengenal penutup dada. Mereka hanya menggeleng-geleng
kepala ketika mengetahui kebiasaan penduduk yang jarang mandi
dan suka sekali memakan makanan najis, seperti botok cindil
(pepes anak tikus), botok ulat, trancam cacing, dendeng kucing,
ular bakar, pindang anjing, lawar-lawaran (daging mentah), bahkan
lalawar (darah mentah dengan parutan kelapa). Bahkan, mereka
hanya bisa mendecakkan mulut ketika mendapati penduduk yang
mengaku beragama Budo (Syiwa-Budha) itu ternyata para
penyembah ruh-ruh penunggu hutan, mata air, air terjun, pohon
besar, batu, kabuyutan, punden karaman, arwah leluhur, dan
nyaris tak mengenal dewa-dewa Hindu.

Setelah berkeliling ke berbagai tempat untuk memasang tu-mbal


atau membuka dukuh-dukuh, pada awal bulan kedua puluh tiga
dari perjalanan tersebut sampailah mereka di kaki utara Gunung
Mahendra (Lawu) yang membentang hingga aliran Bengawan Sori
(Sungai Wisynu, sekarang Bengawan Solo). Saat itu hari sudah
senja dan hujan turun dengan deras disertai embusan angin yang
cukup keras. Masih segar dalam ingatan Raden Sahid bagaimana
ia berlindung di balik pohon-pohon jati untuk menghindar dari
serangan air hujan. Titik-titik hujan yang diembus angin itu dia
rasakan bagaikan ribuan serangga menyengati wajahnya. Di
tengah guyuran hujan yang makin lebat itu dia sempat
menyaksikan suatu kenyataan yang mengherankan: di tengah
amukan hujan dan angin dia melihat betapa surban, wajah, dan
pakaian yang dikenakan Syaikh Lemah Abang tidak sedikit pun
basah. Semuanya kering seolah-olah sang syaikh sedang tidak
berada di tengah hujan. Tetapi, saat dia menanyakan keanehan
1704
tersebut, dalam sekejap semuanya mendadak berubah. Surban,
wajah, dan pakaian yang dikenakan Syaikh Lemah Abang tiba-tiba
basah kuyup dan tubuhnya terlihat menggigil kedinginan.

Sadar apa yang baru saja dilakukannya adalah sebuah kesalahan,


Raden Sahid diam dan merasa menyesal dalam hati. Dia sadar
segala sesuatu keanehan yang menyangkut keramat (karamah)
seorang kekasih Allah merupakan rahasia kekuasaan Ilahi yang
tidak boleh diukur dengan akal pikiran. Dia berjanji tidak akan
pernah lagi bertanya tentang ini dan itu yang terkait dengan
keanehan-keanehan yang dia saksikan pada diri Syaikh Lemah
Abang maupun kedua orang sahabatnya.

Setelah hujan mereda dan mereka beristirahat di pinggir


Bengawan Sori, dengan beratap langit dan pakaian basah, Raden
Sahid melihat Syaikh Lemah Abang berdiri tegak dengan wajah
menghadap ke selatan. Beberapa kali dia melihat mata sang
syaikh dikecilkan seolah ingin menembus kegelapan yang
menyembunyikan lengkungan-lengkungan garis bukit yang
menghitam di kaki Gunung Mahendra yang tegak laksana raksasa
duduk. Setelah cukup lama berdiri, dia melihat Syaikh Lemah
Abang membalikkan badan ke arah utara sambil berkata-kata
seolah ditujukan kepada dirinya sendiri, “Di sinilah mandala yang
empat (caturbhasa mandala) itu akan ditegakkan sebagai garis
pembatas bagi kekuatan-kekuatan adiduniawi yang berkuasa di
timur dan barat Nusa Jawa. Di sinilah mandala Siti Jenar
(Sansekerta: Ksiti: tanah) akan ditegakkan. Di sinilah keakuan
anak manusia bernama Abdul Jalil akan dianugerahi nama
1705
Abiseka Ksitiputra (Putera Sang Bhumi) dan akan dijadikan korban
untuk santapan Mahasitisuta (Sansekerta: Putera Teragung Sang
Bhumi), Sang Narakasura.”

Syaikh Jumad al-Kubra yang duduk di samping Raden Sahid


terlihat gelisah mendengar kata-kata sahabatnya itu. Berkali-kali
dia menarik napas panjang. Setelah suasana terasa hening, tiba-
tiba dia berdiri mendekati Syaikh Lemah Abang. Kemudian dengan
wajah diliputi kepedihan dia berkata penuh perasaan.

“Aku tidak paham dengan apa yang baru saja engkau ucapkan, o
Saudaraku. Tetapi, dengan tindakan yang telah engkau lakukan
selama ini: melukai tubuh dan menumpahkan darah di setiap
mandala Lemah Abang, adalah sesuatu yang sebelumnya tak
pernah terlintas di dalam pikiranku. Bahkan, ikatan perjanjian
dengan Sang Bhumi yang sudah engkau lakukan di mandala-
mandala kuning, bahwa engkau dan seluruh keturunanmu tidak
akan menikmati kemakmuran bumi dan akan mengingkari
kemasyhuran, adalah hal yang sulit dipahami. Bagaimana mungkin
ada seorang manusia rela berkorban untuk kepentingan orang lain
dengan memangkas seluruh pamrih pribadi hingga ke seluruh
garis keturunannya? Padahal, yang banyak aku jumpai adalah
manusia-manusia yang rela berkorban demi kejayaan
keturunannya mendatang. Ini sungguh aneh dan tak terpahami, o
Saudaraku.”

1706
“Kini, di tengah keletihan tubuh yang melemahkan jiwa kita, setelah
berkali-kali engkau menumpahkan darahmu di mandala-mandala
Lemah Abang, tiba-tiba saja engkau mengatakan akan
mempersembahkan keakuanmu untuk dijadikan santapan
Mahasitisuta, Sang Narakasura. Aku tidak paham maksudmu, o
Saudaraku terkasih. Apakah maksud ucapanmu itu? Siapakah
yang engkau maksud dengan Mahasitisuta, Sang Narakasura itu?”

“Mahasitisuta, Sang Narakasura, adalah nama neraka,” sahut


Syaikh Lemah Abang dingin.

“Nama neraka? Kami belum paham maksudmu, o Saudaraku.”

“Di dalam perikatan janjiku dengan Sang Bhumi, dalam kaitan


dengan penyucian nafs al-Ammarah Bhumi, anasir api, yang haus
darah dan madhu, keakuanku memang akan dibenamkan di
bawah permukaan bumi sebagai Ksitisuta (putera bumi). Tetapi
untuk penyucian nafs al-Lawwammah, Sufliyyah, dan
Muthma’innah Bhumi, anasir tanah, air, dan angin, maka
keakukanku akan dibenamkan terus hingga mencapai ke dasar
neraka tempat persemayaman Sang Narakasura, yakni Sang
Bhoma, putera Prthiwi. Keakuanku akan luluh dan tak berbentuk.
Dengan begitu, siapa pun nanti tidak akan mengenal lagi
keberadaanku. Itu berarti, jika tiba saatnya nanti, setiap orang wajib
menghujatku sebagai manusia paling bejat, busuk, tengik, sesat,
menyesatkan, dan tidak pantas menghuni tempat mana pun di

1707
jagat raya ini kecuali di neraka paling bawah,” kata Abdul Jalil
tegas.

“Kenapa engkau menerima ikatan perjanjian itu?” tanya Syaikh


Jumad al-Kubra heran. “Bukankah engkau dianugerahi karamah
yang memancar dari al-Karim? Bukankah engkau bisa
menggunakan karamah yang tercurah pada dirimu itu untuk
menekuk kekuatan Sang Bhumi? Kenapa engkau memilih jalan
penistaan seperti ini?”

“Aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu, o Saudaraku terkasih.


Aku juga tidak tahu kenapa aku memilih cara yang rumit dan
berbelit-belit ini. Tapi, satu hal yang bisa kujelaskan kepadamu,
bahwa zaman di mana kita hidup adalah zaman terjadinya
perubahan besar-besaran dalam tatanan kehidupan di bumi. Suatu
zaman di mana Sang Bhumi tidak lagi dihormati dan dimuliakan
sebagai anasir pembentuk jasad manusia. Sang Bhumi tidak lagi
dianggap sebagai sebagai Ibunda Suci. Sang Bhumi akan
dianggap sebagai gudan perbendaharaan yang bisa diserbu,
dikuasai, dirampok, dijarah, dan diperkosa untuk melampiaskan
nafsu hewani manusia yang rendah.”

Sebagaimana hukum kauniyah yang berlangsung tetap atas tiap-


tiap Sunnah Allah, Sang Bhumi akan meronta dan melawan
terhadap siapa saja yang akan membinasakan dirinya. Itu berarti,
hukum kauniyah yang menetapkan keseimbangan timbal balik atas
sesuatu, memberi hak bagi Sang Bhumi untuk meminta imbalan
1708
kepada mereka yang menyerbu, merampok, menjarah, dan
memperkosanya. Jika ada di antara manusia yang sudah paham
dengan rahasia di balik hukum kauniyah itu kemudian dengan
suatu kekuatan adikodrati akan melelikung kekuatan Sang Bhumi
untuk membela diri, maka manusia itu telah berbuat zalim, meski
ia seorang kekasih Allah.”

“Dalam beberapa kali perjumpaan ruhaniku dengan Sang Bhumi,


aku melihatnya dalam keadaan sangat marah dan seolah-olah
ingin menumpahkan amarahnya kepada manusia-manusia yang
dianggapnya tidak tahu membalas budi. Aku menangkap sasmita,
jika Sang Bhumi meledakkan amarahnya maka ia akan
melakukannya secara berlebihan sehingga akan menimbulkan
korban sangat besar yang akan mengenai pula manusia-manusia
tak bersalah. Karena itu, o Saudaraku terkasih, apa yang aku
lakukan dengan cara berliku-liku dan berbelit-belit ini tidak lain dan
tidak bukan adalah suatu upaya anak manusia, putera Sang
Bhumi, yang ingin menunjukkan bukti kepada Ibunda Bhumi,
bahwa di antara segala makhluk ciptaan Allah pada dasarnya tidak
ada yang melebihi kemuliaan manusia yang ditunjuk Allah sebagai
wakil-Nya di muka bumi (khalifah Allah fi al-ardh). Aku ingin
menunjukkan kepada Sang Bhumi bahwa sebesar apa pun
pengorbanan yang telah diberikannya dalam berkhidmat kepada
makhluk yang lahir darinya, terutama terhadap putera-puteranya,
manusia, tidakklah bisa melebihi pengorbanan putera-puteranya
yang sudah sadar akan keberadaan diri sebagai khalifah Allah,”
kata Abdul Jalil.

1709
“Apakah tindakanmu itu bisa meredakan amarah Sang Bhumi?”

“Ya, aku yakin,” sahut Syaikh Lemah Abang tegas. “Allah telah
menetapkan sebab-sebab untuk menjaga keseimbangan hukum
kauniyah yang ditetapkan-Nya. Apa yang aku lakukan
sesungguhnya hanya sebagian kecil sekali dari unsur-unsur yang
menjadi penyebab terciptanya keseimbangan itu, termasuk
meredanya amarah Sang Bhumi yang bisa menimbulkan
keguncangan.”

“Sungguh, hanya seorang malamit sejati yang bisa melakukan


tindakan sepertimu, o Saudaraku. Karena itu, sungguh tidak salah
ketika guru suci kami Syaikh Sayyid Abdullah Barzisyabadi
menganugerahi engkau dengan taj. Sungguh, aku akan bersaksi
bahwa engkau seorang malamit sejati. Aku akan selalu berdoa
kepada Allah supaya aku tidak diberi umur panjang sehingga aku
tidak akan menyaksikan saudaraku terkasih didera hujatan dan
caci maki manusia. Sungguh, aku tidak mampu menyaksikan
peristiwa itu,” kata Syaikh Jumad al-Kubra dengan mata berkaca-
kaca.

Saat itu Raden Sahid melihat Syaikh Lemah Abang diam seolah-
olah tidak mendengar ucapan Syaikh Jumad al-Kubra. Tetapi,
sejenak setelah itu, dengan tatapan mata diarahkan ke gugusan
bukit di lereng Gunung Mahendra yang membentang di selatan, dia
melihat Syaikh Lemah Abang berkata, “Mandala Siti Jenar yang
akan kita tegakkan ini belumlah akhir dari perjalanan. Bhumi
1710
Mataram (Sansekerta: Ibu Prthiwi) dan Kabhumian (Jawa Kuno:
wilayah khusus Sang Bhumi) masih menunggu kita di sebelah
barat. Artinya, kita masih harus mengucurkan darah kita dengan
ikhlas dan tanpa pamrih supaya Ibunda kita itu malu.”

Syaikh Jumad al-Kubra tidak berkata-kata. Dia diam dan tidak tidur
hingga pagi. Seiring terbitnya sang bagaskara di ufuk timur, Raden
Sahid menyaksikan Syaikh Lemah Abang memulai pekerjaan
membuka Dukuh Lemah Abang di antara kaki Gunung Mahendra
dan Bengawan Sori. Tampaknya pekerjaan memasang tu-mbal di
bakal Dukuh Lemah Abang kali ini sangat berat dibanding
sebelumnya. Hal itu mulai terlihat gelagatnya ketika usai
“mengucurkan darah” di atas sebongkah batu hitam, sebagaimana
diisyaratkan Sang Bhumi, Raden Sahid melihat Syaikh Lemah
Abang berjalan gontai tak tentu arah sambil menggumamkan
sesuatu yang tak jelas. Dia menduga saat itu sang syaikh sedang
membaca doa-doa.

Ketika cahaya matahari sudah condong ke barat dan langit dipadati


gumpalan awan hitam yang diselingi sambaran petir di angkasa,
Raden Sahid mulai gelisah karena tidak melihat Syaikh Lemah
Abang. Dengann hati diliputi kecemasan dia buru-buru menemui
Syaikh Jumad al-Kubra dan Abdul Malik Israil yang sedang
memasang tu-mbal di tepi Bengawan Sori, yaitu di tempat yang
dinamai Siti Cemeng (Jawa Kuno: tanah hitam), yang diapit dua
ksetra tempat pemujaan Dewi Prthiwi, Ksetra Bhumiaji dan Ksetra
Malale. Syaikh Jumad al-Kubra dan Abdul Malik Israil terkejut
mendengar laporan Raden Sahid. Mereka kemudian bergegas
1711
mencari Syaikh Lemah Abang ke mana-mana, namun tak juga
ketemu. Menjelang tengah malam mereka baru menemukan tubuh
Syaikh Lemah Abang tersungkur tak berdaya di pinggir sungai kecil
tak jauh dari bakal Dukuh Lemah Abang. Tubuhnya menggigil
panas dan bekas luka di tangannya terlihat merah membengkak.

Raden Sahid menarik napas panjang dan menyeka peluh yang


membasahi kening Syaikh Lemah Abang. Ingatannya tentang
peristiwa sakitnya Syaikh Lemah Abang dirasakannya sebagai
bagian dari rasa bersalahnya terhadap sang syaikh. Andaikata
malam itu dia tidak bertanya tentang pakaiannya yang tidak basah
tertimpa hujan, tentunya sang syaikh tidak akan jatuh sakit.
Bayangan Syaikh Lemah Abang yang menggigil kedinginan malam
itu terus dirasakannya laksana hantu yang memburu
ketenangannya. Bahkan, saat dia meyakini daun-daun dan akar-
akar obat yang diborehkannya ke lengan Syaikh Lemah Abang itu
mujarab untuk menyembuhkan luka, hatinya tetap diliputi
kekhawatiran.

Perjalanan selama dua puluh tiga bulan di pedalaman Nusa Jawa


memang telah menumbuhkan ikatan kuat di hati Raden Sahid
terhadap Syaikh Lemah Abang, Syaikh Jumad al-Kubra, dan Abdul
Malik Israil. Dia merasakan ketiga orang itu, terutama Syaikh
Lemah Abang, seolah-olah bagian dari hidupnya. Dia seperti sadar
bahwa ketiga orang itulah yang diam-diam telah mengukir jiwanya
dan menyingkapkan kesadarannya atas hakikat hidup manusia. Itu
sebabnya, dia sangat khawatir dan bahkan takut jika salah satu di
antara mereka akan meninggalkannya. Dan salah satu hal yang
1712
paling dikhawatirkannya saat ini adalah rencana Syaikh Lemah
Abang untuk membuka Dukuh Siti Jenar baru di seberang
Bengawan Sori. Dia khawatir jika salah satu syarat untuk membuka
dukuh itu sama dengan syarat membuka Dukuh Lemah Abang,
yaitu mengucurkan darah di atas batu hitam. Bukankah syarat itu
jika dipenuhi akan mengancam keselamatan sang syaikh yang
sedang sakit dan lukanya belum sembuh?

Ketika hari tergelap jatuh pada Anggara Kliwon, di suatu tempat


angker bernama Ksetra Gandamayu yang terletak di pantai Laut
Selatan di muara Sungai Opak, di tengah kepulan asap dupa dan
wangi bunga, dalam selimut kabut tebal, tubuh Abdul Jalil yang
dibungkus kain putih terlihat terbujur di atas altar persembahan
dengan alas daun kemuning. Di sekitar tubuhnya terlihat beberapa
jenis korban (bebanten) berupa ayam brumbun, ayam wiring, ayam
putih, itik bulu sikep, angsa, kambing, gudel merah, kerbau, tuak,
tumpeng, beras, dan bunga-bunga. Malam itu Ki Belawwalu,
pemimpin Ksetra Gandamayu, mengadakan upacara bhuta yadna
dengan menjadikan tubuh Abdul Jalil sebagai korban suguhan bagi
para bhutakala. Di dalam upacara bhuta yadna itu, Abdul Jalil
selain dijadikan sebagai pengganti anjing Bang Bungkem untuk
santapan bhutakala di bawah Rudra, ia juga dijadikan babi kucit
hitam untuk santapan bhutakala di bawah Bhattari Durga yang
berkuasa di sebelah selatan yang disebut Susuhunan Ratu Kidul.

Selama menjalankan upacara bhuta yadna yang disebut juga caru


palemahan atau bhumi-suddha itu, Ki Belawwalu didampingi
kawan setianya, Ki Gagangaking, seorang bujangga Waishnawa.
1713
Dengan penuh khidmat kedua orang itu melakukan upacara yang
mereka anggap dapat menyelamatkan kehidupan umat manusia
dari gangguan para bhutakala. Sementara Syaikh Jumad al-Kubra,
Abdul Malik Israil, dan Raden Sahid dengan wajah diliputi
ketegangan duduk bersila di belakang Ki Belawwalu dan Ki
Gagangaking. Mereka tidak tahu apa yang bakal dialami oleh
Abdul Jalil yang meminta dirinya dijadikan bebanten bagi
bhutakala.

Raden Sahid yang duduk paling belakang, di tengah selimut


kegelapan mengamati tubuh Abdul Jalil dari balik bahu Syaikh
Jumad al-Kubra. Dia tidak bisa melihat apa pun di sekitarnya,
kecuali tubuh Abdul Jalil yang remang-remang tergeletak di atas
altar. Dia merasa seperti berada di alam mimpi. Benaknya penuh
diliputi kelebatan tanda tanya. Hatinya tercekam kegelisahan.
Jantungnya berdegup keras. Tenggorokannya terasa kering.
Apakah sesungguhnya yang akan terjadi dengan Syaikh Lemah
Abang yang menyerahkan diri sebagai bebanten, katanya dalam
hati.

Ketika malam makin menyusup di bawah selimut kabut tebal,


Raden Sahid merasakan betapa suasana makin lama makin
mencekam. Dalam hening yang mencekam dia bisa mendengar
detak jantungnya sendiri. Dan dia merasakan jantungnya nyaris
berhenti ketika telinganya mendengar suara lengkingan dahsyat
membelah keheningan diikuti suara gemuruh sahut-menyahut,
diiringi munculnya seberkas cahaya merah yang membalut api

1714
kuning dari tengah lautan. Sambil menggosok-gosok mata, dia
membaca doa-doa dengan hati diliputi ketegangan.

Cahaya merah yang membalut api kuning itu terlihat makin


mendekat ke arah altar. Ketika jaraknya bertambah dekat,
terlihatlah ternyata cahaya merah itu dilingkari kabut hitam
bergumpal-gumpal. Suasana makin mencekam ketika dari arah
utara terdengar suara gemuruh yang diikuti munculnya cahaya
kuning membalut api merah. Raden Sahid paham, munculnya
cahaya dari arah selatan dan utara itu merupakan pertanda
kemunculan makhluk-makhluk halus sebagaimana dijelaskan Ki
Belawwalu dan Ki Gagangaking beberapa waktu lalu. Dia paham
bahwa cahaya yang membalut api itu adalah tengara dari
kemunculan makhluk-makhluk yang disebut pisaca-pisaci,
rakshasa-rakshasi, kalika-kaliki, yaksa-yaksi, bragala-bragali,
kamala-kamali, bhutakala-bhutakali, magunda-magundi, tonyo,
dan pemuka-pemukanya seperti Bhuta Dengen, Bhuta Kapiraga,
Bhuta Janggit, Bhuta Langkir, Bhuta Taruna, Bhuta Tiga Shakti,
Kala Sweta, serta Lembu Kere, juga para bhuta beserta kala
pengikut Durga dan Kala Rudra.

Beberapa saat suasana terasa sunyi. Hening. Mencekam. Cahaya


yang membalut api itu terlihat melayang-layang di dalam gumpalan
kabut hitam yang tebal mendekati tubuh Abdul Jalil. Semua mata
terarah ke tubuhnya. Dua cahaya dari arah berlawanan itu makin
lama makin dekat. Tatkala jarak keduanya makin dekat, terlihatlah
pemandangan menggetarkan, dua berkas cahaya yang membalut
api itu ternyata menampakkan gambaran perwujudan makhluk-
1715
makhluk halus yang mengerikan. Sambil berteriak-teriak dan
menjerit-jerit dengan suara hingar-bingar, perwujudan makhluk-
makhluk mengerikan itu mengerumuni tubuh Abdul Jalil. Dalam
sekejap tubuhnya sudah diselimuti gumpalan kabut hitam tebal
yang berpendar menutupi cahaya. Tetapi, tanpa terduga-duga
terjadi peristiwa aneh. Seberkas cahaya biru terang laksana
pancaran kristal tiba-tiba memancar dari dada Abdul Jalil. Secara
ajaib, gumpalan kabut hitam tebal yang menyelimuti tubuh itu
menyemburat ke berbagai arah dengan suara hiruk pikuk bagaikan
jeritan berjuta-juta setan di tengah bukit yang runtuh.

Ki Belawwalu dan Ki Gagangaking yang sedang tenggelam dalam


mantra-mantra terkejut bukan alang-kepalang ketika menyaksikan
pemandangan menakjubkan itu. Mereka makin terkejut ketika
merasakan tubuhnya seperti terangkat dari permukaan tanah. Dan
serentak menjerit bersama ketika menyadari tubuhnya terlempar
ke belakang dengan keras. Kemudian jatuh terguling-guling di atas
tanah pasir berbatu. Dengan merangkak-rangkak, mereka
berusaha kembali ke altar persembahan untuk melanjutkan
upacara. Tetapi, saat itu dari arah samudera terdengar suara
gemuruh ombak. Pancaran cahaya merah membalut api kuning
yang dilingkari kabut hitam bergerak ke arah altar. Pada saat
bersamaan terdengar pula suara gemuruh diikuti munculnya
cahaya kuning membalut api merah yang dilingkari gumpalan
awan hitam melesat ke arah altar. Raden Sahid yang bersembunyi
di balik jubah Syaikh Jumad al-Kubra menyaksikan Ki Belawwalu
dan Ki Gagangaking menyembah sambil menyebut nama Ratu
Susuhunan Kidul dan Sang Kala Rudra.

1716
Melihat penampakan aneh itu, Syaikh Jumad al-Kubra dan Abdul
Malik Israil menangkap sasmita tidak baik. Tanpa diperintah,
mereka serentak bangkit sebab mengkhawatirkan keselamatan
sahabat mereka, Abdul Jalil. Sambil membaca doa-doa penolak
kekuatan jahat jin dan setan, mereka melangkah ke arah altar
persembahan. Ketika jarak mereka tinggal sejangkauan, Syaikh
Jumad al-Kubra menerkam tengkuk Ki Belawwalu yang bersila di
kaki altar, sementara Abdul Malik Israil menjambak rambut Ki
Gagangaking yang sedang bersujud.

Ki Belawwalu yang bertubuh pendek dan Ki Gagangaking yang


bertubuh kurus itu tak berdaya dicengkeram tangan dua orang
bertubuh lebih tinggi dan berkekuatan lebih dari mereka. Mereka
hanya meronta sesaat, lalu diam seperti pasrah. Dengan wajah
pucat mereka menunggu apa yang bakal mereka alami
selanjutnya. Sementara itu, saat melihat keduanya berdiam diri,
Syaikh Jumad al-Kubra dan Abdul Malik Israil secara hampir
bersamaan melempar tubuh keduanya menjauhi altar seperti
orang melempar barang jinjingan. Kemudian bagaikan berebut
dengan waktu, mereka melompat ke arah altar untuk meraih tubuh
Abdul Jalil yang terbujur dibungkus kain putih. Tetapi, sebelum
mereka mencapai sisi altar, terjadi peristiwa aneh, tubuh mereka
terpental dengan keras ke belakang. Terbanting dan bergulingan
di dekat tubuh Ki Belawwalu dan Ki Gagangaking yang telah lebih
dulu terkapar di tanah berpasir.

Tak percaya dengan kenyataan, Syaikh Jumad al-Kubra dan Abdul


Malik Israil serentak bangkit dan menerjang ke arah altar sambil
1717
meneriakkan takbir. Untuk kali kedua, tubuh mereka terlempar
dengan sangat keras hingga terbanting dalam jarak sekitar sepuluh
tombak dari altar. Tetapi, tanpa kenal jera mereka berdua bangkit
kembali dan berusaha meraih tubuh Abdul Jalil. Dan seperti
peristiwa semula, tubuh mereka selalu terlempar dengan keras ke
arah belakang.

Ketika sadar usaha itu gagal, mereka pun menggunakan cara lain.
Mereka menangkap tubuh Ki Belawwalu dan Ki Gagangaking.
Kemudian dengan langkah lebar mereka berlari ke arah altar dan
melemparkan tubuh keduanya ke sisi altar. Terjadi peristiwa aneh
yang menakjubkan, tubuh Ki Belawwalu dan Ki Gagangaking yang
terlempar keras itu membentur sisi altar dan jatuh terguling dengan
kepala berdarah. Tetapi, secara bersamaan tubuh Syaikh Jumad
al-Kubra dan Abdul Malik Israil tiba-tiba terpental lagi dan
bergulingan di atas tanah. Saat mereka berusaha bangkit, kobaran
api terbalut cahaya dan gumpalan awan hitam yang melesat dari
arah selatan dan utara itu meluncur makin dekat ke altar.

Melihat bahaya mengancam Abdul Jalil, Raden Sahid yang


dicekam kegentaran tiba-tiba panik. Tanpa berpikir akan
keselamatan diri, dengan meneriakkan takbir sekeras-kerasnya dia
melompat ke arah altar. Dia berpikir akan meraih dan menarik
tubuh Abdul Jalil dari atas altar. Tapi, seperti nasib yang dialamui
Syaikh Jumad al-Kubra dan Abdul Malik Israil, tubuh Raden Sahid
terlempar keras ke belakang. Terguling-guling di atas tanah pasir
berbatu. Sementara kobaran api terbalut cahaya dan gumpalan
awan hitam itu bertambah dekat ke altar.
1718
Ketika ketiganya dengan susah payah berusaha bangkit, tiba-tiba
terlihat pemandangan tak terduga. Tubuh Abdul Jalil yang
terbungkus kain putih dan membujur di atas altar bangkit dan
duduk bersila dengan tetap berselimut kain putih. Suarah gemuruh
bagai bukit runtuh dan halilintar yang bersahutan terdengar
sambung menyambung seiring mendekatnya cahaya yang
membalut nyala api itu ke arahnya. Di tengah suara gemuruh itu
terdengar kata-kata lantang dari balik selimutnya.

“Dengan penuh keikhlasan aku persembahkan tubuhku kepada


Dhari Durga, Ratu Susuhunan Kidul, penguasa arah mata angin
selatan, sebagaimana telah aku persembahkan tubuhku kepada
Sri Durga, penguasa timur, Raji Durga, penguasa utara, Suksmi
Durga, penguasa barat, dan Dewi Durga, penguasa tengah.
Dengan penuh keikhlasan aku persembahkan pula jiwaku kepada
Sang Kala Rudra. Tetapi, ruhku yang suci aku pasrahkan kepada
Hyang Tunggal, Tuhan sarwa sekalian alam, yang telah
meniupkannya ke dalam tubuh-jiwaku. Bersatulah, o Dhari Durga
dan Kala Rudra! Mangsalah aku! Semoga dengan pengorbananku
ini akan lahir Sang Kala, zaman baru (amurwakala), zaman
keselamatan (Islam) bagi umat manusia sebagai pengejawantahan
keagungan Sang Pencipta (khalifah al-Khaliq) yang menata
kehidupan di jagad raya dengan akhlaq yang mulia (al-Khuluq al-
karim).”

Gumpalan kabut hitam yang membalut cahaya dari arah samudera


dengan suara gemuruh menyerbu ke arah Abdul Jalil dan
berpusar-pusar melingkarinya. Pada saat yang sama gumpalan
1719
awan hitam bersalut cahaya yang berpendar dari arah utara
melesat ke arahnya pula. Terdengar suara dentuman menggelegar
ketika kabut dan awan itu bertemu dan berpusar mengitari Abdul
Jalil dengan cahaya berpendar-pendar. Putaran itu makin lama
makin kencang. Setelah berlangsung beberapa jenak, terdengar
ledakan dahsyat diiringi benderang cahaya dan menyemburatnya
kabut dan awan hitam itu ke berbagai penjuru. Setelah itu, suasana
sangat sepi. Sunyi. Lengang. Hening. Dan Abdul Jalil dengan
wajah pucat pasi terlihat duduk termangu-mangu di atas altar
seperti orang kebingungan.

Syaikh Jumad al-Kubra, Abdul Malik Israil, dan Raden Sahid yang
melihat peristiwa aneh itu buru-buru mendekat dan bertanya
dengan penuh rasa khawatir, “Bagaimana, Saudaraku, apakah
engkau tidak apa-apa? Apa yang baru saja terjadi?”

Abdul Jalil menarik napas berat sambil melepas kain putih yang
menutupi tubuhnya. Setelah diam sejenak, ia menoleh dan
berkata, “Alhamdulillah, zaman baru bagi timbulnya matahari
keselamatan (Islam) di Nusa Jawa sudah terbit. Tugas kita
membuat tawar daya shakti ksetra-ksetra sudah selesai. Berarti,
munculnya Islam sebagai penyempurna Syiwa-Budha akan
menjadi keniscayaan. Tetapi, sebagaimana hukum alam (Sunnah
Allah) yang ditetapkan-Nya, para pelaku kejahatan moral,
pelanggar kepantasan adab, dan pemuja benda-benda duniawi
(thaghut) pada saat-saat tertentu akan tetap menjadi santapan
kesukaan Durga, Kali, Prthiwi, para bhuta dan kala dalam pesta
darah, meski mereka sudah mengaku Muslim.”
1720
“Kenapa Dhari Durga dan Kala Rudra tidak memangsamu yang
menyediakan diri sebagai korban?”

“Itu yang aku tidak mengerti,” kata Abdul Jalil. “Padahal, aku sudah
benar-benar pasrah menyerahkan hidupku untuk mereka jadikan
mangsa.”

Ketika Syaikh Jumad al-Kubra akan bertanya lebih dalam tentang


peristiwa aneh yang baru dilihatnya itu, tiba-tiba Ki Belawwalu dan
Ki Gagangaking bangkit menghambur dan menyembah kepada
Abdul Jalil. Dengan suara mengiba mereka bersujud dan
memohon, “Perkenankanlah kami menjadi siswa Paduka Syaikh.
Kami telah menyaksikan terbitnya zaman baru dengan
keberhasilan Paduka Syaikh membuat tawar daya shakti Ratu
Susuhunan Kidul dan Hyang Kala Rudra. Kami tahu Paduka
Syaikh adalah pertanda zaman baru yang harus kami ikuti sebagai
panutan. Terimalah kami sebagai siswa Paduka Syaikh.”

Abdul Jalil tersenyum dan berkata tenang, “Berdirilah kalian


berdua. Syarat utama dari mereka yang menjadi siswaku adalah
tidak bersujud kepada sesama makhluk, meski itu guru ruhani. Dan
aku beri tahukan kepada kalian berdua bahwa sesungguhnya aku
ini hanyalah alat saja dari Dia, Yang Mahakuasa, Yang Maha
Berkehendak dalam mengubah tatanan alam semesta. Karena itu,
jika kalian berdua telah menyaksikan sendiri lahirnya Sang Kala,
yang menyinari jagad di Nusa Jawa ini dengan wajah-Nya yang
baru, maka hendaknya kalian berdua mengikuti tatanan baru yang
1721
kubawa. Maksudku, kalian berdua hendaknya mengubah Ksetra
Gandamayu ini menjadi tempat ibadah Keselamatan (as-Salam)
bagi umat manusia. Kalian berdua harus tetap tinggal di sini
dengan tugas utama mengajar kepada manusia ajaran Jawa, yaitu
Tauhid. Ajarkan kepada semua orang agar mereka hanya
menyembah kepada Hyang Tunggal.”

“Kami akan melaksanakan apa pun petunjuk dari Paduka Syaikh,”


sembah Ki Belawwalu dan Ki Gagangaking.

“Karena kalian akan mengajarkan Kejawan (Ketauhidan) kepada


manusia maka kalian akan disebut orang dengan nama Syaikh
Belawwalu dan Syaikh Gagangaking. Syaikh berarti guru ruhani.
Dan setinggi-tinggi ajaran ruhani adalah ajaran Tauhid.
Mengesakan Tuhan,” ujar Abdul Jalil.

1722
Ksatria dan Prajurit tuhan

Vasco da Gama, anak ketiga Estevao da


Gama, penguasa kota Sines, adalah
gantungan harapan raja Portugis, Manuel,
untuk mewujudkan impian besarnya:
menemukan jalur laut ke India.

Vasco da Gama sendiri adalah perwira muda angkatan laut


Portugis berpangkat kapten mayor yang dikenal oleh orang-orang
di sekitarnya sebagai manusia kejam, telengas, tak kenal ampun,
dingin, suka menghina orang, dan ahli dalam menyiksa tawanan.
Gambaran tentang Vasco da Gama sendiri bukanlah sesuatu yang
berlebihan. Sebab, bagi mereka yang paham perwatakan manusia
berdasar bentuk wajah, tentu akan mengamini gambaran itu. Mata
Vasco da Gama yang cekung ke dalam dan tersembunyi di bawah
alis tebal bentuk pedang melengkung mencerminkan kerakusan
dan keganasan serigala yang memendam hasrat tak terpuaskan
dan penuh diliputi kebencian. Hidungnya yang bengkok paruh
rajawali menyembunyikan kelicikan dan jiwa pendendam seekor
ular yang bercabang lidahnya dan setiap ucapannya berbalut
pamrih beracun. Tulang pipinya yang menonjol pada wajahnya
yang tirus membiaskan keculasan dan kepura-puraan musang
yang selalu mengintai kelengahan lawan. Bibirnya yang selalu
terkatup sinis mengungkapkan kesombongan dan kekejaman
buaya yang tak kenal ampun.

1723
Sebagai anak seorang penguasa kota, Vasco da Gama dididik di
lingkungan bangsawan yang penuh pujian dan sanjungan. Dalam
usia muda ia sudah bekerja di Pengadilan Raja Joao II. Lantaran
pekerjaannya itu, ia banyak mengenal para pelaku kriminal dan
sampah masyarakat yang berurusan dengan pengadilan. Ia
dikenal sangat kejam dan tak kenal ampun. Karena perangainya
itu, Raja Joao II mengirimnya ke pantai barat Afrika untuk
memperkuat benteng pertahanan di Benteng Setubal, Algarvia,
dan koloni Portugis di pantai barat Afrika dalam upaya menghadapi
serbuan armada Perancis yang akan menghancurkan jalur
perniagaan Portugis di lautan. Selama menjalankan tugas di
angkatan laut Portugis itulah reputasinya sebagai manusia kejam
yang berdarah dingin makin termasyhur.

Impian menemukan negeri India sendiri adalah impian raja-raja


Portugis terdahulu yang diwariskan begitu saja kepada Manuel.
Henry, kakeknya, dan Joao II, ayahnya, sangat mempercayai
kebenaran sebuah dongeng tentang keberadaan kerajaan Kristen
bernama India yang letaknya di sebelah timur dunia Islam.
Kerajaan itu dipimpin oleh Prestor Joao, seorang Kristen yang
saleh. Entah dari mana dongeng tentang India itu berasal,
kenyataan kemudian menunjuk bahwa dongeng itu telah menjadi
sebuah impian dan bahkan menjadi pengharapan yang terus
memburu mereka siang dan malam. India. Ya, India: kerajaan
Kristen di negeri timur yang dilimpahi emas, permata, mutiara,
sutra, rempah-rempah, susu, madu, dan gandum.

1724
Sesungguhnya, bukan hanya raja-raja Portugis yang bermimpi
bisa menemukan negeri Kristen yang bernama India itu. Raja
Spanyol, Inggris, Italia, Belanda, Perancis, dan bahkan raja-raja
kecil dari kekuasaan-kekuasaan gurem di Eropa beramai-ramai
bermimpi bisa mencapai India. Sebab, telah terikat di dalam alam
pikiran Eropa saat itu bahwa siapa saja di antara raja-raja yang
bisa menguasai jalur perdagangan langsung dengan India, pasti
akan menuai keuntungan berlimpah. Sebab, menjalin perniagaan
langsung dengan India berarti akan memperoleh harga-harga
barang yang murah dan sekaligus akan memotong jalur
perniagaan di Laut Tengah yang selama itu dikuasai pedagang-
pedagang Muslim. Dan yang lebih penting dari itu, mereka akan
dengan mudah akan bisa mengajak raja India yang beragama
Kristen itu untuk bersekutu melawan dunia Islam.

Impian tentang India sendiri nyaris menjadi kenyataan ketika


Bartholomew Diaz dan Pedro Corvilhao yang dikirim Joao II
berhasil mencapai Tanjung Harapan (Cabo Agulhas) dan
menelusuri pantai timur Afrika. Tetapi, impian itu tinggal tergantung
di awang-awang akibat Bartholomew Diaz tidak mampu mengatasi
pemberontakan awak kapalnya yang menolak melanjutkan
pelayaran ke India. Dengan kecewa Joao II menunjuk Estevao da
Gama untuk memimpin armada Portugis ke India. Ternyata
Estevao da Gama meninggal sebelum menjalankan tugasnya.
Joao II lalu menominasikan Vasco da Gama, anak Estevao da
Gama, untuk melanjutkan tugas ayahnya.

1725
Ketika Manuel naik tahta menggantikan Joao II pada 1495, ia
memutuskan untuk memilih orang yang telah dinominasikan oleh
ayahnya: Vasco da Gama. Dalam sebuah audisi di Monte Moro-o-
Novo, Manuel mendapati betapa Vasco da Gama adalah perwira
muda yang jauh lebih kuat, lebih telangas, lebih dingin, dan lebih
fanatik dibanding Bartholomew Diaz. Vasco da Gama lahir di
Sines, Provinsi Alemtejo, Portugis, pada tahun 1469. darah yang
mengalir di tubuhnya adalah darah keluarga bangsawan da Gama,
yaitu keluarga ksatria dari ordo St. James. Estevao da Gama, ayah
Vasco, adalah ksatria ordo yang dianugerahi gelar Alcaide-Moor.

Keluarga da Gama bangga dengan kedudukannya sebagai ksatria


perkasa pembela tuhan. Tak beda dengan keluarganya, Vasco da
Gama juga menganggap dirinya adalah ksatria perkasa pembela
tuhan. Ia sangat tercekam oleh gelar ayahandanya, Alcaide-Moor.
Itu sebabnya, saat menghadapi armada Perancis di Setubal,
Algarve, dan Guinea ia menganggap semua prajurit Perancis yang
menjadi musuhnya sebagai musuh tuhan. Lalu termasyhurlah
Vasco da Gama sebagai perwira paling kejam dan tak kenal ampun
dalam menghadapi musuh-musuhnya.

Ada suatu hal aneh yang terselip pada citra diri ksatria tuhan ini.
Pertama-tama, meski mengaku keberadaan dirinya sebagai ksatria
tuhan, ia tidak memiliki cukup pengetahuan yang mendalam
tentang Tuhan dan jalan Tuhan. Bahkan, hari demi hari dilewatinya
dengan ingatan kuat yang terarah pada kelimpahan benda-benda,
jabatan, dan kemasyhuran nama pribadi. Tidak sedikit pun citra
Kristus yang penuh kasih tercermin pada sikap hidup dan tindakan-
1726
tindakannya yang kejam dan tak kenal ampun itu. Sikap dan
perilaku anehnya itu semakin tampak ke permukaan ketika Manuel
menunjuknya sebagai pemimpin armada Portugis ke India.

Sebagai ksatria tuhan, ternyata ia tidak sedikit pun tertarik untuk


didampingi oleh orang-orang yang saleh di antara bangsanya.
Sebaliknya, sebagai ksatria tuhan, ia memilih pendamping para
penjahat yang kejam, busuk, dan tengik. Di antara nama-nama ke-
171 orang awak kapal yang mengikutinya, hampir seluruhnya
narapidana atau sampah masyarakat yang terbuang dari
lingkungannya akibat bertindak jahat dan kejam. Sepuluh orang di
antara mereka itu justru para narapidana kelas berat yang sedang
menjalani hukuman mati akibat merampok dan membunuh.
Bahkan tangan kanan yang paling dipercayainya, Aires Correia,
adalah pembunuh berdarah dingin yang termasyhur
kekejamannya.

Pada 8 Juli 1497 Vasco da Gama membawa empat buah kapal ke


India, yaitu Sao Gabriel, Sao Rafael, Berrio, dan sebuah kapal
perbekalan dilepas oleh Raja Manuel dengan upacara kebesaran.
Para penduduk dan keluarga awak kapal berdesak-desak
memenuhi jalan-jalan kota dan pelabuhan. Mereka mengelu-
elukan Vasco da Gama dan armadanya bagaikan pahlawan-
pahlawan yang berangkat ke medan perang. Vasco da Gama
sendiri dengan membusungkan dada berdiri di anjungan kapal Sao
Gabriel yang dinakhodai oleh Goncalo Alvares. Di belakangnya
bergerak kapal Sao Rafael yang dinakhodai saudaranya, Paulo da
Gama. Kapal Berrio yang dinakhodai Nicolau Coelho berada di
1727
urutan ketiga dan yang paling belakang kapal perbekalan
dinakhodai Goncalo Nunes.

Karena terlanjur mengagungkan diri sebagai ksatria tuhan, Vasco


da Gama tanpa sadar telah terjerat oleh angan-angan kosong
kebesaran diri (al-wahm) untuk menempatkan diri sebagai orang
nomor satu yang menduduki tempat terdepan dan paling utama di
antara manusia. Lantaran itu, dalam pelayaran mencari jalan laut
ke India ia tidak mau disebut sebagai pelaut yang mengekor
kemasyhuran Bartholomew Diaz. Saat berlayar ia memilih
mengikuti angin ke arah barat laut, menyimpang dari jalur selatan
dan tenggara yang dilalui Bartholomew Diaz. Akibatnya, seluruh
awak kapalnya mengalami penderitaan yang nyaris membuat
mereka putus asa karena harus menghadapi badai samudera
Atlantik dan terseret hingga ke Cabo Verde, kepulauan Canary dan
St. Helena. Setelah lebih empat bulan dihajar gelombang dan
badai, barulah armada Vasco da Gama mencapai Tanjung
Harapan pada 22 Desember 1497. Sungguh sebuah harga yang
mahal untuk sebuah kesombongan mencari pengakuan diri. Sang
ksatria tuhan telah menukar waktu tempuh pelayaran yang
semestinya hanya dua minggu menjadi empat bulan lebih.

Sadar waktu telah dibuangnya dengan percuma, tanpa peduli saat


itu menjelang Natal, Vasco da Gama memerintahkan awak
kapalnya untuk melanjutkan pelayaran ke pantai timur Afrika
dengan harapan dapat mencapai India tepat di hari Natal.
Ternyata, pada saat Natal tiba armada yang dipimpinnya baru
mencapai daerah di pantai timur Afrika yang kemudian ia namai
1728
Natal. Sebulan kemudian Vasco da Gama dan armadanya baru
mencapai Sungai Quelimane di utara Natal. Ia kemudian menamai
sungai itu Rio Dos Bons Sinais (sungai pertanda baik). Disitu
Vasco da Gama beristirahat sekitar sebulan. Setelah itu ia
melanjutkan pelayaran hingga mencapai Mozambique pada 2
Maret 1498.

Di Mozambique, para awak kapal Portugis merasa sangat terpukul


ketika mendapati pedagang-pedagang Mozambique kebanyakan
Muslim dan mereka menjual barang-barang mahal dan mewah
seperti keranjang mutiara, lonjoran gading, balok-balok kayu hutan
kualitas utama, dan emas batangan. Dengan congkaknya para
pedagang Mozambique menyatakan bahwa mereka hanya mau
menukar barang dagangannya dengan rempah-rempah asal India,
porselen Cina, permata Persia, dan bahan kain yang bagus.
Sementara barang-barang dagangan yang dibawa kapal-kapal
Portugis yang berupa kerudung dari bahan katun, kain bergaris,
genta timah, gelang tembaga, waskom pencuci tangan, dan manik-
manik dari bahan beling ditertawakan oleh pedagang-pedagang
Mozambique sebagai barang murahan dan sedikit pun tidak
dihargai. Sadar bahwa barang dagangan yang dibawanya
memang murahan, akhirnya dengan sangat terpaksa, awak kapal
Portugis menukar barang dagangannya dengan buah-buahan,
sayur mayur, dan burung dara. Dan saat menyantap makanan
tersebut, mereka menghibur diri dengan menganggap makanan itu
sebagai “angin segar” Afrika.

1729
Vasco da Gama sendiri selaku kuasa dagang Portugis yang
mengaku wakil raja Portugis, Manuel, disambut dan dijamu oleh
Sultan Mozambique dengan sangat ramah. Sultan menduga Vasco
da Gama pastilah saudagar kaya raya yang ditunjuk raja Portugis
untuk membuka hubungan dagang dengan Mozambique. Sultan
Mozambique yang berkulit hitam, tampan, dan bertubuh tegap itu
menyambut Vasco da Gama dengan tata cara kebangsawanan.
Dalam menyambut Vasco da Gama, dia mengenakan pakaian
kebesaran seorang sultan: memakai celana putih hingga menutupi
mata kaki. Mengenakan mantel biru bersulam kembang dan
benang emas yang panjangnya hingga ke lutut. Ikat pinggangnya
dari sutra bersulam benang emas, disitu terselip pisau dan pedang
bergagang perak. Mahkotanya dari sutra aneka warna yang dibiasi
sulaman benang emas.

Vasco da Gama paham, segala kemewahan pakaian bangsawan


yang dikenakan oleh Sultan Mozambique adalah hadiah dari para
saudagar yang datang ke negeri itu. Ia sadar, armada yang
dipimpinnya tidak memiliki cukup barang-barang mewah untuk
diberikan sebagai hadiah kepada sultan, kecuali dagangan yang
mau dijualnya ke India. Selain itu, ia tidak menganggap perlu
memberi hadiah berlebih kepada penguasa kulit hitam yang
seharusnya menjadi budak itu. Demikianlah, dengan kepongahan
seorang ksatria tuhan yang agung, Vasco da Gama memberikan
hadiah kepada Sultan Mozambique seolah-olah memberi sedekah
seorang gelandangan: selembar kain kerudung merah, genta
timah, dan gelang tembaga.

1730
Vasco da Gama memang bukan saudagar. Ia adalah perwira
angkatan laut Portugis yang terkenal kejam, sombong, dan suka
merendahkan orang. Ia adalah manusia yang tercekam oleh
angan-angan kosong sebagai ksatria tuhan yang berkedudukan
paling tinggi di antara manusia. Lantaran itu, ia tidak mengira jika
Sultan Mozambique berkulit hitam itu merasa tersinggung ketika
diberinya hadiah barang murahan yang dibangga-banggakan
bangsanya itu. Bahkan, ia merasa heran ketika dalam tempo yang
sangat singkat tersebar kabar di antara pedagang-pedagang
Mozambique yang menyatakan bahwa orang-orang Portugis yang
datang itu bukanlah saudagar-saudagar kaya utusan raja Portugis
yang ingin berniaga, melainkan bajak laut yang berniat merampok.
Sultan yang tidak ingin kerusuhan pecah di wilayahnya akibat
kehadiran armada Portugis yang dicurigai penduduk sebagai
kawanan bajak laut itu, meminta Vasco da Gama untuk secepatnya
meninggalkan negerinya.

Dengan api amarah yang mengobari jiwanya akibat diusir secara


halus oleh orang-orang kulit hitam, Vasco da Gama bergegas
meninggalkan Mozambique. Tetapi saat kapal-kapalnya sudah
berada di pantai, ia memberi peringatan kepada sultan dengan
menembakkan meriam ke arah kota. Setelah itu ia melanjutkan
pelayaran ke utara. Sepanjang pelayaran ke utara itu, Vasco da
Gama melampiaskan amarah dengan menyerang setiap kapal
dagang yang ditemui dan kemudian merampas muatannya. Kapal-
kapal dagang di kawasan pantai timur Afrika yang tidak dilengkapi
persenjataan itu dengan mudah dilumpuhkan dan dirampas
muatannya oleh armada Portugis. Tetapi, dengan tindakan itu,
dalam waktu singkat telah tersebar kabar di antara pedagang-
1731
pedagang Arab dan Afrika tentang serangan kawanan bajak laut
kulit putih di samudera. Demikianlah, kabar itu terus menyebar dari
mulut ke mulut sehingga saat Vasco da Gama sampai ke
Mombasa, sultan dan para pedagang serta penduduk kota tersebut
menunjukkan sikap curiga dan tidak bersahabat. Vasco da Gama
pun buru-buru meninggalkan Mombasa karena ia tahu tidak akan
bisa menjalin perdagangan yang baik dengan penguasa negeri itu.

Pada 14 April 1498 Vasco da Gama sampai ke Malindi. Ternyata,


tidak berbeda dengan Mozambique dan Mombasa, penduduk
Malindi pun kebanyakan Muslim dan perniagaan besar dikuasai
orang-orang Arab. Tetapi, agak beda denga di Mozambique dan
Mombasa, Vasco da Gama disambut baik oleh penguasa Malindi,
yang merasa terancam oleh serangan penguasa Mozambique dan
Mombasa. Penguasa Malindi menyambut baik persekutuan
dengan Portugis dan kemudian memberikan seorang nakhoda
Muslim yang handal yang telah berkali-kali berlayar ke India,
Ahmad Ibnu Majid. Vasco da Gama dan awak kapalnya tentu
sangat bergembira sebab mereka akan dipandu oleh seorang
nakhoda yang sudah sering berkunjung ke India. Itu berarti,
mereka sudah pasti menjadi pelaut Eropa pertama yang
menemukan India.

Selama tinggal di Malindi, Vasco da Gama bertemu dengan


saudagar-saudagar Majapahit yang mereka kira orang-orang India.
Awak kapal Vasco da Gama mencatat, selama di Malindi mereka
bertemu dengan orang-orang berpenampilan aneh yang
membawa empat kapal niaga yang aneh bentuknya. Belum pernah
1732
ia melihat kapal-kapal seperti itu. Para pemilik kapal aneh itu
rambutnya panjang digelung dan tubuhnya tidak ditutupi pakaian
kecuali kain penutup sebatas pinggang. Karena menyangka orang-
orang aneh itu adalah penduduk India beragama Kristen, Vasco da
Gama berusaha menjalin persahabatan dengan mereka. Dengan
dikawal beberapa awak kapalnya, Vasco da Gama mendatangi
kapal-kapal aneh itu. Ternyata, di dalam kapal ia melihat patung-
patung dewi yang dipuja para saudagar tersebut. Ia mengira itulah
patung Bunda Maria. Tetapi, ia heran ketika diberi tahu para
pedagang itu tidak makan daging. Di kapal itu Vasco da Gama
ditawari dagangan cengkeh dan pala yang katanya banyak tumbuh
di negeri mereka.

Dengan bantuan Ahmad Ibnu Majid, nakhoda Arab asal Malindi,


Vasco da Gama dalam tempo hanya dua puluh tiga hari sudah
sampai ke pantai Malabar tepatnya di lepas pantai Kozhikode
(Calicut). Saat itu tepat tanggal 18 Mei 1498. ke empat kapal
Portugis itu tidak buru-buru menuju pelabuhan Kozhikode, tetapi
melempar sauh beberapa mil dari kota perniagaan itu. Matahari
yang bersinar terang menebarkan jutaan cahaya perak di
permukaan gelombang. Tiang-tiang kapal di seputar pelabuhan
Kozhikode terlihat berjajar bagaikan pagar tombak yang
bergoyang-goyang melingkari kota dari arah laut.

Dari arah dermaga tiba-tiba meluncur sebuah perahu kecil


pemandu yang datang mendekat. Vasco da Gama yang tercekam
oleh pengalaman selama pelayaran menuju India diam-diam
menaruh curiga terhadap perahu itu. Lantaran itu, ia tidak buru-
1733
buru mengikuti isyarat dari perahu pemandu untuk merapatkan
kapal-kapalnya ke dermaga. Sebaliknya, ia mengirim salah
seorang awak kapalnya, Joao Nunes, untuk mendarat dan
menyelidiki keadaan di kota Kozhikode. Joao Nunes adalah salah
seorang dari sepuluh penjahat besar yang dijatuhi hukuman berat,
namun dia diajak Vasco da Gama berlayar ke India untuk
menjalankan tugas-tugas berbahaya.

Setelah dua hari berada di kota Kozhikode, menjelang senja Joao


Nunes naik ke atas kapal. Vasco da Gama menyambutnya dengan
bertolak pinggang sambil bertanya acuh tak acuh, “Bagaimana
hasilmu selam di daratan?”

“Saya bertemu dua orang Moor yang bisa berbahasa Spanyol dan
Italia, Tuan,” kata Joao Nunes melapor. “Mereka bercerita banyak
tentang negeri Kozhikode, Tuan.”

“Mereka cerita tentang apa saja?”

“Mula-mula mereka tanya saya, kenapa saya bisa ada di


Kozhikode. Lalu saya jawab bahwa saya di India mencari orang-
orang Kristen dan rempah-rempah. Mereka bilang, di India tidak
ada orang Kristen. Orang Islam pun di Kozhikode sangat kecil
jumlahnya, namun mereka menguasai perniagaan.”

1734
“Tunggu!” sergah Vasco da Gama. “Mereka bilang orang Islam di
sini sedikit jumlahnya?”

“Benar tuan.”

“Setelah itu, mereka bilang apa lagi?”

“Saya disuruh bersyukur kepada Tuhan karena bisa datang ke


negeri yang makmur dan kaya raya penuh dilimpahi permata dan
rempah-rempah ini.”

“Apalagi mereka bilang?”

“Portugis akan susah bersaing di India, Tuan.”

“Alasannya?”

“Saudagar-saudagar yang berniaga di India adalah saudagar-


saudagar kaya yang memiliki barang-barang perniagaan mahal
dan bermutu. Sedangkan Portugis, menurut mereka, saudagar-
saudagarnya melarat dan barang-barang dagangannya murahan,
Tuan,” ujar Joao Nunes.

1735
“Kurang ajar. Mereka menghina kita.”

“Ya, Tuan. Mereka kurang ajar, Tuan. Sungguh kurang ajar mereka
itu, Tuan.”

“Apakah engkau sudah menemui penguasa Kozhikode?” tanya


Vasco da Gama.

“Sudah, Tuan.”

“Apakah dia seorang Kristen?”

“Kelihatannya Kristen, Tuan,” kata Joao Nunes. “Tetapi dia agak


bodoh.”

“Agak bodoh bagaimana?”

“Dia membiarkan pedagang-pedagang Muslim menguasai jalur


perniagaan di negerinya.”

“Begitukah?” gumam Vasco da Gama. “Apakah dia raja yang kaya


raya?”
1736
“Tentu saja, Tuan,” kata Joao Nunes menjelaskan. “Tampilannya
mirip dengan pedagang cengkeh dan merica yang kita temui di
Malindi. Tapi, kulitnya lebih hitam. Dia duduk di atas takhta. Tubuh
bagian atasnya tidak ditutupi kain, tetapi penuh dengan perhiasan.
Rambutnya digelung dengan ikatan tali untaian mutiara. Saya
heran, Tuan, karena mutiara yang dipakainya sebesar biji kemiri.
Seluruh jarinya penuh dengan cincin emas bermata mirah, zamrud,
dan intan. Kalung yang melingkar di lehernya diganduli permata
mirah delima dan zamrud ukuran besar. Dia terus menerus
mengunyah sirih dan meludahkannya pada cerana emas yang
dihias permata. Orang menyebutnya Zamorin.”

Vasco da Gama diam. Bayangan kegagalannya menjalin


hubungan baik dengan sultan Mozambique, akibat ia terlalu
melarat untuk memberi hadiah yang pantas, tiba-tiba berkelebat
memasuki benaknya. Ia sadar, barang dagangan yang dibawanya
adalah barang-barang murahan dibanding barang dagangan di
Mozambique dan India. Ia sadar negerinya terlalu melarat
dibandingkan Mozambique, apalagi India. Lantaran tidak ingin
mengulang kesalahan yang sama dengan Sultan Mozambique, ia
memutuskan untuk memberi hadiah yang lebih banyak kepada
Zamorin, sang penguasa Kozhikode.

Joao Nunes, bajingan dekil yang dipungut Vasco da Gama dari


penjara karena dihukum berat akibat merampok dan membunuh,
adalah pembual tengik yang tak berbeda dengan bajingan Portugis
lain. Dia suka mengarang cerita tentang kehebatan diri dan
keluarganya. Kebiasaan membual itu terbawa saat ia sedang
1737
menjalankan tugas berat mewakili Vasco da Gama menemui
penguasa Kozhikode, Raja Samaritu. Di depan raja yang
dianggapnya bodoh itu dia membual melebihi batas. Dia
mengarang cerita-cerita bohong tentang keluarganya yang kaya
dan terhormat. Dia membual tentang kekayaan rajanya, Manuel,
yang tidak ada tara dan bandingnya di dunia. Dia membual tentang
kekayaan negerinya, Portugis, yang dilimpahi emas, perak,
mutiara, permata, gandum, susu, minyak zaitun, dan madu. Dia
membual pula tentang kehebatan pemimpinnya, Vasco da Gama,
ksatria tuhan, Alcaide Moor, yang membawa misi suci mencari
Raja India beragama Kristen. Bahkan lebih konyol lagi, dia
membual tentang barang-barang berharga yang dibawa
armadanya.

Samaritu, penguasa Kozhikode, ternyata sangat mempercayai


bualan Joao Nunes. Sepanjang Hidup, para utusan dagang dari
berbagai negeri yang datang untuk berniaga di Kozhikode berasal
dari negeri-negeri kaya yang membawa dagangan-dagangan
bermutu tinggi. Dan akibat mempercayai bualan Joao Nunes,
Samaritu menyambut kedatangan Vasco da Gama, duta Raja
Portugis, dengan upacara kebesaran. Begitu turun dari kapal,
Vasco da Gama yang diiringi tiga belas awak kapal disambut oleh
sekitar dua ratus prajurit India yang membawa musket (senapan)
dan pedang terhunus. Vasco da Gama kemudian dinaikkan ke atas
tandu dan dipikul keliling kota dengan tembakan kehormatan ke
udara. Awak kapal Portugis yang menyaksikan upacara
penyambutan itu dengan terheran-heran menggumam, “Mereka
lebih menghormati kita daripada raja-raja kita.”

1738
Sebagai ksatria tuhan yang otaknya sudah diikat dengan
keyakinan membuta bahwa penduduk India beragama Kristen,
Vasco da Gama sangat yakin bahwa orang-orang India adalah
penganut Kristen. Itu sebabnya, ia menganggap wajar
penyambutan besar itu dilakukan untuknya sebagai wakil kerajaan
Kristen di Barat. Bahkan saat ia diturunkan dari atas tandu untuk
mengunjungi sebuah kuil yang besar dengan pilar-pilar tegak
menjulang, ia menduga kuil itu sebuah katedral. Patung-patung
dewi yang ada di kuil itu dianggapnya sebagai patung Bunda Maria.
Telinganya seolah-olah mendengar seruan Maria! Maria!
didengungkan orang dari dalam kuil. Sementara itu, gambar dewa-
dewi yang menghiasi dinding kuil ia kira gambar para santo, karena
di dalam dongeng-dongeng yang pernah didengarnya, beberapa
santo memang memiliki lengan empat atau lima sebagaimana
gambar dewa-dewi di kuil itu.

Tidak jauh berbeda dengan Joao Nunes, anak buahnya, Vasco da


Gama, sang ksatria tuhan itu, dihadapan Samaritu juga membual
tentang keagungan, kemuliaan, kekuatan, kekayaan, dan kejayaan
rajanya, Manuel. Karena sebelumnya sudah mendengar cerita
Joao Nunes, Samaritu makin meyakini bualan Vasco da Gama
tentang kehebatan Raja Portugis Manuel. Dengan suka cita
Samaritu berkata, “Kami menyambut baik persahabatan dengan
raja Anda. Kami secepatnya akan mengirimkan seorang duta ke
Portugis.”

Sekembalinya dari menghadap Samaritu, Vasco da Gama dan


anak buahnya merayakan keberhasilan misinya. Mereka
1739
menganggap tugas mereka sukses. Semalaman mereka berpesta-
pora menenggak anggur di atas kapal hingga mabuk.
Kegembiraan mereka mendadak pupus manakala keesokan
harinya secara tiba-tiba Samaritu berubah sikap, tidak
mempercayai Vasco da Gama dan bahkan mencurigainya sebagai
pemimpin kawanan bajak laut yang menyamar sebagai utusan
raja. Awal ketidakpercayaan penguasa Kozhikode terhadap Vasco
da Gama berlangsung sehari setelah upacara penyambutan yang
megah itu. Dalam pertemuan itu, Vasco da Gama
mempersembahkan hadiah yang dinilainya lebih banyak dan lebih
pantas daripada yang pernah diberikannya kepada Sultan
Mozambique. Kepada raja Kozhikode itu, ia persembahkan hadiah
dua belas lembar kain bergaris, empat lembar kerudung merah,
enam topi, empat gelang kerang, enam baskom pencuci tangan,
dua tong kecil minyak zaitun, dan madu.

Samaritu, raja Kozhikode, yang sebelumnya sudah tercekam oleh


bualan Joao Nunes dan Vasco da Gama tentang kehebatan Raja
Manuel sangat terkejut melihat persembahan hadiah yang
diterimanya. Sungguh, ia tidak menduga jika utusan dagang
kerajaan Portugis yang katanya terkaya di dunia itu hanya memberi
hadiah senilai sampah. Ia merasa telah dibohongi oleh orang-
orang Portugis dekil yang membualkan kehebatan dan kekayaan
rajanya. Padahal, sebagai utusan raja, mereka telah menunjukkan
kenyataan memalukan: sangat dekil dan melarat. Sepanjang
hidupnya, belum pernah Samaritu menemui utusan raja yang
begitu dekil dan tengik seperti Vasco da Gama dan Joao Nunes,
yang mempersembahkan tumpukan sampah kepadanya. Bahkan,
syahbandar Kozhikode yang peranakan Arab menertawakan
1740
hadiah itu dengan berkata sinis kepada Vasco da Gama,
“Pedagang Arab dari Makah yang paling miskin atau pedagang
paling miskin dari negeri lain selalu memberi hadiah lebih banyak
daripada yang Anda persembahkan ini. Jika mau berniaga di sini,
persembahkan hadiah emas kepada Raja.”

Sejak Samaritu tidak mempercayai Vasco da Gama dan seluruh


awak kapalnya, hampir semua pedagang di Kozhikode menolak
untuk berdagang dengan mereka. Vasco da Gama yang sudah
jauh dari negerinya tidak bisa membeli rempah-rempah kecuali
segenggam lada dan cengkeh. Para pedagang seperti bersepakat
menyatakan bahwa barang dagangan awak Portugis tidak cukup
pantas untuk ditukar dengan barang-barang mahal India. Vasco da
Gama mendengar barang dagangannya dinista. Ia makin marah
ketika mendapat laporan bahwa pedagang-pedagang Muslim telah
mempengaruhi pedagang-pedagang Kozhikode untuk tidak
melakukan jual-beli dengan mereka. Dengan gigi gemeletuk
menahan amarah, ia berjanji akan membasmi kekuatan Muslim di
seluruh India.

Bagi orang-orang yang alam pikirannya sudah terjerat angan-


angan kosong kebesaran diri (al-wahm) seperti Vasco da Gama,
pandangannya terhadap kehidupan di dunia menjadi sangat
terbatas karena tertutup oleh keakuan yang sempit menyesakkan.
Lantaran itu, Vasco da Gama cenderung melihat tatanan
kehidupan dunia sebagai rana yang sempit. Cakrawala
pandangannya hanya terbagi atas dua bagian besar: hitam dan
putih, atas dan bawah, benar dan salah, baik dan buruk, lurus dan
1741
sesat, patuh dan membangkang, saleh dan murtad, menang dan
kalah, surga dan neraka. Di atas itu semua, ia akan menempatkan
diri pada kedudukan yang paling atas.

Dengan pandangannya yang terpilah hitam-putih itu, menjadi


wajarlah jika seorang Vasco da Gama menganggap kehidupan di
dunia ini hanya diwarnai oleh dua kekuatan besar yang saling
bertarung: Islam dan Kristen. Ia tidak tahu jika di dunia ini ada
Hindu, Budha, Syiwa-Budha, Konghucu, Sinto, dan beratus-ratus
kepercayaan yang dianut manusia. Dengan kepicikan
pandangannya, ia menyimpulkan bahwa boikot perdagangan yang
dilakukan pedagang-pedagang Kozhikode pada dasarnya
disebabkan oleh kebencian orang-orang Islam terhadap Kristen.
Vasco da Gama tidak mengetahui jika bagian terbesar pedagang
Muslim di Kozhikode adalah abdi maharaja Wijayanagara yang
beragama Hindu. Pedagang-pedagang Muslim yang disebut
orang-orang Mappila itu, meski beragama Islam, dari generasi ke
generasi telah mengabdi kepada penguasa Wijayanagara. Karena
itu, ketika Samaritu yang merupakan bawahan maharaja
Wijayanagara memerintahkan pedagang Muslim Mappila untuk
tidak berniaga dengan Portugis, tentu perintah itu akan mereka
laksanakan dengan patuh.

Ketidakpahaman Vasco da Gama, sang ksatria tuhan, terhadap


tatanan kehidupan di India yang menghormati dan menghargai
keragaman agama ternyata menjadi awal lahirnya kebencian
penduduk terhadap mereka. Selama berabad-abad hampir setiap
orang yang tinggal di India, termasuk orang-orang yang beragama
1742
Islam dari berbagai negeri yang dikenal sebagai penyiar agama
paling militan, memiliki anggapan bahwa masalah agama adalah
masalah kebebasan pribadi. Masalah petunjuk Ilahi (hidayah)
untuk beroleh kebenaran adalah urusan Tuhan. Tidak boleh ada
paksaan dalam agama. Yang mereka temukan dalam perselisihan
agama di India justru pertikaian di dalam masalah madzhab
agama-agama, seperti antara Sunni dan Syi’ah, Syi’ah Imamiyyah
dan Syi’ah Ismailiyyah, Hindu pemuja Wisynu dan Hindu pemuja
Syiwa, Budha Mahayana dan Hinayana.

Kenyataan tentang tidak dimasalahkannya hal agama yang


berbeda-beda di India memang sudah disaksikan sendiri oleh
awak kapal Portugis. Mereka sempat terheran-heran dengan
keakraban para saudagar dari berbagai jenis bangsa yang
berbeda-beda agama itu. Mereka sempat heran menyaksikan
saudagar-saudagar Muslim asal Sokotra, Malindi, Mozambique,
Mombasa, Yaman, Hijaz, Basrah, Baghdad, Mesir, Maroko,
Habsyi, Hamadan, Hormuz, Ahwaz, Isfahan, Gujarat, Bengali,
Wijayanagara, Pasai, Malaka, Aceh, Jawa, dan Cina berniaga
dengan saudagar-saudagar bukan Muslim asal Pegu, Siam, Cina,
Jawa, Sunda, Bugis, Luzon, dan Ryu-kyu di bandar-bandar
perniagaan seperti Calicut, Cochin, dan Goa. Mereka juga heran
karena umumnya para saudagar yang berasal dari beragam
bangsa itu menggunakan pengantar bahasa Melayu dan Arab
dalam berniaga, di samping menggunakan pengantar bahasa
Hindi. Sayangnya, apapun kenyataan yang mereka saksikan,
akibat otak mereka sudah diikat kefanatikan buta, mereka tetap
menganggap orang-orang yang bukan Muslim itu adalah Kristen.

1743
Vasco da Gama sering terlihat menggeleng-gelengkan kepala,
menyesali ketololan raja-raja India, terutama ketika ia diberi tahu
oleh awak kapalnya bahwa maharaja Wijayanagara yang
beragama “Kristen” itu memiliki pasukan pengawal khusus yang
tangguh dan terkenal kesetiaannya, yaitu pasukan yang anggota-
anggotanya adalah orang-orang Muslim dari suku Mappila. Tidak
tanggung-tanggung, jumlah pasukan khusus itu sekitar 2.000
orang. Sedangkan pada pasukan reguler Wijayanagara terdapat
sekitar 10.000 orang prajurit Muslim. Pasukan-pasukan Muslim itu
sudah dibentuk sejak era Maharaja Dewaraya I (1397 – 1426 M).
Bahkan, Vasco da Gama sempat tak percaya ketika diberi tahu
bahwa salah seorang menantu Maharaja Dewaraya I yang
bernama Firuz Khan adalah raja dari kerajaan Islam dinasti
Bahmanidi Deccan.

Selain terheran-heran dengan keragaman agama di India, Vasco


da Gama dan awak kapalnya nyaris tidak percaya ketika
mengetauhi keberadaan ibu kota Wijayanagara, Hampi, yang
menurut mereka jauh lebih luas dan lebih tertata rapi serta lebih
megah dibanding kota-kota di Eropa. Ya, sebuah kota raya yang
dikelilingi tujuh benteng megah dan kuat. Di dalamnya terdapat
empat pasar besar tempat para pedagang menjual berbagai jenis
buah, seperti jeruk, nenas, anggur, sayur-mayur, ayam, babi,
minyak, bunga, berbagai jenis kain, perhiasan emas, permata,
mutiara, intan, bermacam jenis rempah-rempah seperti lada,
cengkeh, kapulaga, pala, bahkan di situ dijual pula budak-budak.
Penduduk yang tinggal di situ anggota tubuhnya penuh dengan
perhiasan emas dan permata yang jumlahnya sangat berlebihan
menurut ukuran Eropa. Sungguh suatu kemakmuran luar biasa
1744
yang tak pernah mereka saksikan di negeri Eropa mana pun yang
pernah mereka kunjungi.

Keterpesonaan Vasco da Gama dan awak kapalnya terhadap


kemegahan dan kemakmuran kota-kota di India, terutama ibu kota
Wijayanagara, ternyata tidak berlangsung lama. Saat mereka
mendapati kenyataan betapapedagang Muslim di situ sangat
dihormati penduduk, rasa iri dan sakit hati pun membara dan
membakar jiwa mereka. Mereka sangat menyesali kebodohan
raja-raja India yang beragama “Kristen” itu dalam memberi tempat
yang begitu terhormat kepada pedagang-pedagang Muslim. Rasa
sesal mereka terhadap raja India itu berubah menjadi kemarahan
ketika pejabat syahbandar Kozhikode, yang keturunan Arab, atas
perintah Samaritu, mempermasalahkan biaya sandar kapal-kapal
mereka. “Sebagai jaminan untuk membayar biaya sandar, kapal-
kapal tuan akan kami tahan,” begitu petugas syahbandar itu
berkata.

Vasco da Gama marah. Ia adalah ksatria tuhan. Ia putera Alcaide-


Moor. Ia tidak pernah direndahkan orang seperti itu, apalagi oleh
orang Arab. Lantaran itu, ia membalas tindakan syahbandar
Kozhikode dengan memerintahkan awak kapalnya untuk
menyandera puluhan penduduk Kozhikode beragama “Kristen”.
Tindakan Vasco da Gama itu tentu saja mekin meningkatkan
kebencian penduduk terhadap Portugis, meski perundingan
berhasil dicapai. Setelah dilakukan kesepakatan, kemudian saling
melepas sandera, Vasco da Gama dan kapal-kapalnya tidak
mungkin legi bisa berniaga di Kozhikode.
1745
Setelah tinggal di Kozhikode sekitar tiga bulan, pada Agustus 1498,
setelah disarankan oleh Aires Correia, pembunuh berdarah dingin
kepercayaannya, Vasco da Gama dengan kemarahan dan
kekecewaan berat meninggalkan Kozhikode, “Kerajaan Kristen”
yang telah ditemukannya itu. Ia merasa dirinya sebagai orang yang
gagal. Ia marah. Tetapi, ia tidak tahu harus marah kepada siapa.
Walau begitu, ia cukup berbesar hati karena selama tinggal di
Kozhikode, diam-diam ia telah singgah di pulau Anjidiv, dekat Goa,
dan membeli sejumlah rempah-rempah dari pedagang Muslim di
sana. Hanya saja, karena kecurigaannya yang berlebihan bahwa
Goa yang merupakan bandar perniagaan di wilayah kerajaan
Muslim Bahmani akan bertindak serupa dengan Kozhikode, maka
ia memutuskan untuk menjauhi Goa.

Setelah berputar-putar di sejumlah bandar di pantai Malabar,


Vasco da Gama melanjutkan pelayaran ke selatan. Pada 8 Januari
1499 ia sampai ke Malindi. Di sana ia disambut meriah oleh Sultan
Malindi. Mereka berpesta-pora. Vasco da Gama, dengan alasan
berkurangnya jumlah awak kapal yang meninggal dan demi
efisiensi, memerintahkan membakar kapal Sao Rafael yang
dianggap sudah tidak berguna. Setelah itu, ia melanjutkan
pelayaran. Pada pertengahan Pebruari 1499 armada Vasco da
Gama sudah mencapai Mozambique.

Vasco da Gama, sang ksatria tuhan, yang sudah kehilangan


semangat itu ternyata telah menimbulkan derita panjang bagi awak
kapalnya. Satu demi satu, di tengah gempuran badai, kekurangan
pangan, kelangkaan obat-obatan, dan terkaman penyakit, mereka
1746
bertumbangan di geladak kapal kehilangan nyawa. Bangkai
mereka dilempar ke laut menjadi mangsa ikan. Kapal Sao Gabriel
dan Berrio, sebagai armada yang tersisa, berhasil mencapai
sungai Tagus pada 20 Maret 1499. Tetapi, Vasco da Gama tidak
langsung ke Lisbon. Ia memerintahkan awak kapalnya untuk
menjelajah kawasan Kepulauan Terceira di Azores. Di kepulauan
itulah Paulo da Gama, saudaranya, dan puluhan awak kapal yang
sudah lemah itu terserang penyakit dan mati dalam penderitaan.

Pada 20 September 1499 barulah Vasco da Gama, sang ksatria


tuhan, kembali ke Lisbon untuk menghadap raja dengan sisa awak
kapalnya yang hanya 54 orang ditambah sedikit sekali rempah-
rempah. Meski tidak sesuai harapan, Vasco da Gama disambut
dengan upacara kebesaran oleh Manuel. Kerajaan Portugis
mengumumkan kepada dunia bahwa Vasco da Gama adalah
penemu pertama kerajaan Kristen India. Manuel
menganugerahinya gelar kebangsawanan: Dom. Sebagai
peringatan, Manuel membangun sebuah katedral untuk Vasco da
Gama. Mata uang khusus dicetak untuk mengabadikan pelayaran
legendaris itu. Dan, Vasco da Gama sendiri diberi uang pensiun
1.000 cruzados setahun.

Percaya dengan bualan Vasco da Gama dan awak kapalnya yang


telah menemukan kerajaan Kristen India, Manuel memerintahkan
sang ksatria tuhan untuk beristirahat dan kemudian membentuk tim
ekspedisi dagang kedua yang akan membuka hubungan dagang
dengan India. Ia menunjuk Pedro Alvares Cabral sebagai
pemimpin. Cabral sendiri tidak memperoleh laporan rinci dari hasil
1747
pelayaran Vasco da Gama, terutama tentang kegagalannya
menjalin hubungan dagang di Mozambique, Mombasa, dan
Kozhikode. Dengan sangat percaya diri, Cabral berangkat
membawa tiga belas kapal ke India pada 15 Maret 1500.

Tercekam oleh keberhasilan Vasco da Gama, Cabral tidak mau


mengikuti rute Bartholomew Diaz, da sebaliknya mengikuti rute
Vasco da Gama yang menjauhi pantai barat Afrika. Akibatnya,
armada Cabral melenceng jauh hingga ke Brazilia. Cabral
memerintahkan beberapa kapalnya kembali ke Lisbon untuk
memberi tahu kepada raja Manuel bahwa armadanya telah
menemukan Brazilia. Sementara itu, setelah berbulan-bulan
berlayar barulah armada Portugis mencapai Tanjung Harapan dan
terus ke India. Dengan membawa enam kapal, dia berlabuh di
Kozhikode.

Bayangan keberhasilan berniaga dengan India ternyata buyar


menjadi kepingan kekecewaan dan kepedihan ketika Cabral
mendapati sikap bermusuhan penduduk Kozhikode. Padahal,
sesuai petunjuk Vasco da Gama, Cabral sudah membawa emas
dan barang dagangan yang sesuai dengan kebutuhan perniagaan
di India. Cabral kemudian memutuskan untuk menjalin perniagaan
dengan penguasa Cochin, tanpa tahu bahwa penguasa Cochin
bermusuhan dengan penguasa Kozhikode. Sementara itu, akibat
pandangan yang kurang benar tentang penduduk India, yang
dikiranya “orang Kristen bodoh” karena membiarkan pedagang-
pedagang Muslim menguasai jalur perniagaan, Cabral mendesak
bahkan memaksa pedagang India agar mau membeli
1748
dagangannya dan bersedia menjual rempah-rempah kepadanya.
Akibatnya, pedagang-pedagang India menjadi marah karena
mereka belum pernah mendapati cara-cara berdagang dengan
paksaan. Lalu timbullah perselisihan yang memuncak menjadi
kerusuhan. Sejumlah kapal Cabral dirusak dan awak kapalnya
tewas dibunuh.

Cabral sendiri baru memahami latar kebencian penduduk


Kozhikode terhadap Portugis setelah diberi tahu bekas awak kapal
Vasco da Gama. Dia paham bahwa kebencian itu bermula dari
kekecewaan Raja Kozhikode akibat merasa tertipu oleh Vasco da
Gama. Kemarahan penguasa Kozhikode itu ternyata semakin
membara ketika Cabral menjalin hubungan dagang dengan musuh
lamanya, Raja Cochin. Sadar bahwa keadaan akan semakin parah
jika armadanya tetap berada di Kozhikode, Cabral buru-buru
memerintahkan awak kapal untuk meninggalkan Kozhikode,
karena tidak ingin cap penipu itu melekat pada dirinya. Tetapi,
pandangan keliru yang disampaikan Vasco da Gama bahwa raja
India dan rakyatnya adalah Kristen, telah menyebabkan Cabral
mengira penduduk yang menyerang armadanya semuanya adalah
warga Muslim. Ia yakin penduduk India yang beragama Kristen
tidak akan mungkin menyerang saudaranya seiman.

Pandangan Cabral dan seumumnya orang Portugis yang mengira


penduduk India beragama Kristen ternyata sangat kuat mengikat
alam pikiran mereka dengan simpul-simpul keyakinan membuta.
Akhirnya, dengan denam kesumat berkobar-kobar terhadap
penduduk Muslim Kozhikode, pada 23 Juni 1500 Cabral
1749
memutuskan untuk meninggalkan India dengan hanya empat buah
kapal yang tersisa. Meski tersisa empat kapal, keempat-empatnya
penuh memuat rempah-rempah yang mereka beli dari pedagang
Muslim India.

Manuel menyambut gembira keberhasilan Cabral membawa


rempah-rempah begitu banyak. Tetapi, Manuel juga melihat sisi
lain dari keberhasilan Cabral yang tak mampu mempertahankan
kapal-kapal dan awaknya. Itu sebabnya, Manuel kemudian tidak
mengirim kembali Cabral ke India. Sebaliknya, ia menjagokan
Vasco da Gama untuk memimpin ekspedisi dagang ke India yang
ketiga.

Mendapat kepercayaan dari Manuel untuk memimpin kembali


armada dagang ke India, Vasco da Gama sadar ia akan sulit
mengajak awak kapal yang baru ke India. Sebab, bekas awak
kapalnya telah bercerita kepada keluarga masing-masing tentang
bagaimana sengsaranya mereka saat mengikuti pelayaran di
bawah kepemimpinannya. Mereka yang pernah merasakan
bagaimana pedihnya hukuman yang mereka dapatkan dari ksatria
tuhan yang mereka sebut “binatang buas” itu, pasti tidak ingin
mengalami mimpi buruk kedua.

Sadar ia harus menggunakan cara lain untuk memilih awak


kapalnya, Vasco da Gama mengumumkan sebuah pendaftaran
bagi “prajurit-prajurit tuhan” yang akan melakukan aksi balas
dendam terhadap panduduk Muslim Kozhikode yang telah
1750
menyerang armada Portugis di bawah pimpinan Pedro Alvares
Cabral beberapa waktu lalu. Darah yang mengalir dari tubuh
pejuang tuhan harus ditebus. Dalam sekejap, pengumuman itu
disambut hangat oleh para pemuda dan pelaut Portugis. Bahkan,
sebagian bekas awak kapal Vasco da Gama yang pernah ikut ke
India terlihat berbondong-bondong mendaftarkan diri untuk
menjadi prajurit-prajurit tuhan. Mereka siap meninggalkan
negerinya demi menjalankan perang suci, menghukum musuh-
musuh tuhan.

1751
Sang tuhan

Ketika Vasco da Gama sang ksatria tuhan


sibuk mengatur barisan prajurit-prajurit tuhan
untuk melakukan aksi balas dendam terhadap
penduduk muslim India, nun jauh di sebelah
barat daya India, tepatnya di negeri Persia,
tepatnya lagi di Shiraz, muncul seorang guru
suci (mursyid) Tarekat Safawiyyah bernama Isma’il bin Haydar,
yang menobatkan diri sebagai syah (raja) Persia dengan gelar
Syah Ismail. Tidak cukup mengangkat diri sebagai raja Persia,
Syah Ismail membangun pula sebuah sistem kekuasaan berbentuk
negara totaliter dengan menempatkan diri sebagai maharaja
absolut perwujudan tuhan di dunia.

Syah Ismail adalah putera ketiga Syaikh Haydar keturunan Syaikh


Safiuddin Ishaq. Sedangkan Syaikh Safiuddin Ishaq adalah pendiri
Tarekat Safawiyyah di Ardabil, Azerbaijan, pada akhir abad ke-
13M. Syaikh Safiuddin Ishaq dikenal sebagai seorang ulama Sunni
yang berkepribadian menarik dan memiliki banyak pengikut dari
suku-suku pengembara di Azerbaijan dan Anatolia timur. Tidak
berbeda dengan Syaikh Safiuddin Ishaq, para mursyid Tarekat
Safawiyyah di Azerbaijan berpaham Sunni. Baru pada
pertengahan abad ke-15M, terutama pada masa Syaikh Junayd
dan Syaikh Haydar, Tarekat Safawiyyah dengan terang-terangan
mendukung paham Syi’ah. Sejak itulah Tarekat Safawiyyah mulai
membangun pengikut-pengikut yang fanatik dan bahkan diam-
diam menyusun kekuatan bersenjata yang militan. Tarekat
1752
Safawiyyah yang awalnya terkenal damai dan mengajarkan cinta
kasih kepada manusia di dalam meniti jalan (thariq) menuju
Kebenaran (al-Haqq), tiba-tiba saja menjadi gerakan ghazi yang
sangat fanatik.

Sudah diketahui oleh hampir seluruh penduduk Azerbaijan bahwa


melalui pernikahan antar keluarga terjadi hubungan kekeluargaan
antara keluarga Safawi dan keluarga Aq-Qoyunlu (Domba Putih),
dinasti penguasa Turkmenia yang berpusat di Tabriz, yakni
penguasa wilayah Persia Barat. Lewat perkawinan-perkawinan itu,
keturunan keluarga Safawi merasa memiliki hak untuk mendapat
bagian kekuasaan. Lantaran itu, Syaikh Junayd dan kemudian
Syaikh Haydar membangun militansi pengikut-pengikutnya dalam
upaya merebut kekuasaan dari tangan dinasti Aq-Qoyunlu. Konflik
bersenjata antara keluarga Safawi dan keluarga Aq-Qoyunlu mulai
pecah dan melibatkan banyak pihak yang mendukung masing-
masing kekuatan.

Pada tahun 1488 M, Syaikh Haydar tewas dalam pertempuran


dengan bala tentara Uzun Hasan Aq-Qoyunlu. Ia meninggalkan
tujuh orang putera dan puteri. Untuk mematahkan gerakan
keluarga safawi, Uzun Hasan Aq-Qoyunlu memenjarakan putera
sulung Syaikh Haydar, Ali Mirza, dan dua orang adiknya, Ibrahim
dan Ismail, di tempat yang jauh dari pengikut-pengikutnya. Pada
tahun 1493, di tengah perselisihan para pangeran Aq-Qoyunlu
berebut takhta, Ali Mirza dan kedua orang adiknya berhasil lolos
dari penjara. Ali Mirza kemudian diangkat menjadi mursyid Tarekat
Safawiyyah, menggantikan ayahandanya, namun tak lama
1753
kemudian ia terbunuh oleh pengikut Uzun Hasan Aq-Qoyunlu.
Akhirnya, Ismail menggantikan kedudukannya sebagai mursyid
Tarekat Safawiyyah menggantikan Ali Mirza.

Dengan kedudukan sebagai mursyid tarekat, Ismail menjadi lebih


leluasa menanamkan fanatisme kepada para pengikutnya yang
selalu menyebutnya secara ganti-berganti antara Mahdi dan
Tuhan. Dengan mengutip teks-teks Al-Qur’an yang
disampaikannya dalam bahasa Arab dan Persia, ia telah
menempatkan diri sebagai imam badal yang mewakili dua belas
imam Syi’ah di dunia. Ia mendudukkan diri sebagai manusia ilahi,
yang hidup menyatu dengan tuhan dan merupakan satu-satunya
“jalan” menuju keselamatan ilahi. Tahun 1499, dengan dukungan
pengikut fanatik yang menganggapnya Mahdi dan sekaligus tuhan,
ia berhasil menguasai Anatolia. Tahun 1501, setelah berhasil
menghancurkan kekuatan Uzun Hasan Aq-Qoyunlu di Shurul, ia
merebut Azerbaijan dan menobatkan diri sebagai syah di Shiraz.
Demikianlah, para pengikut Safawiyyah yang fanatik itu terpenuhi
hasratnya untuk memuja Syah Ismail sebagai raja absolut dan
sekaligus guru suci reinkarnasi tuhan di dunia.

Entah kebetulan entah tidak, munculnya tuhan di Persia dewasa


itu berurutan waktu dengan munculnya ksatria tuhan dan prajurit-
prajurit tuhan di Portugis. Yang lebih menakjubkan, perwujudan
fisik Vasco da Gama dan Syah Ismail hampir sama baik bentuk
kepala, raut wajah, kening, mata, alis, hidung, mulut, tulang pipi,
dan dagu. Bahkan, sepak terjang kekejaman mereka terhadap
orang-orang yang membangkang nyaris tak berbeda. Ibarat dua
1754
saudara kembar yang memiliki kemiripan dalam segala hal,
pandangan Syah Ismail terhadap tatanan kehidupan di dunia ini
tidak jauh berbeda dengan Vasco da Gama: serba hitam-putih. Jika
Vasco da Gama cenderung membagi agama di dunia hanya dua,
yakni Kristen dan Islam, maka Syah Ismail tidak lebih dari itu, yakni
menganggap agama di dunia hanya dua: Sunni dan Syi’ah.

Dengan pandangan yang nyaris sama itu, wajar jika kemunculan


mereka menjadi tengara bagi lahirnya sebuah babak baru dari
sebuah cerita kehidupan yang dirancang Sang Sutradara, yang
mengubah tatanan panggung sandiwara kehidupan umat manusia
di muka bumi, baik alur cerita, panggung, musik pengiring, dan
pemain-pemainnya. Sebagaimana rahasia di balik cerita-cerita
sandiwara kehidupan manusia yang sudah digelar pada
pertunjukan-pertunjukan sebelumnya, kemunculan ksatria tuhan,
prajurit-prajurit tuhan, dan tuhan di atas panggung sandiwara saat
itu senantiasa diwarnai genangan darah dan air mata derita.
Artinya, meski babak baru dari cerita kehidupan itu ditandai
munculnya alur baru cerita, wajah-wajah baru dari pemain-pemain,
model pakaian yang berbeda, latar panggung yang lebih rumit,
senjata-senjata perang baru, dan musik pengiring yang juga baru,
namun adegan-adegan lama berupa seringai kebengisan dan
keganasan di tengah kelebatan pedang, lecutan cambuk,
tendangan kaki, dan tikaman tombak tetap juga menjadi bagian
sakral cerita lama yang diulang-ulang.

Akhir tahun 1501 dan awal 1502 M, tatkala Vasco da Gama sang
ksatria tuhan sedang sibuk menata barisan prajurit tuhan untuk
1755
menghukum penduduk Muslim Kozhikode di India, Syah Ismail
sang tuhan justru telah menumpahkan darah orang-orang muslim
tak bersalah di negeri Persia. Berdasar catatan-catatan para
pelarian yang tercecer, tersusun kabar bahwa segera setelah Syah
Ismail naik takhta, ia terbang ke angkasa angan-angan kebesaran
diri dan membayangkan dirinya tuhan, zat yang mahaberkuasa
dan mahaberkehendak yang berhak menata kehidupan manusia
dalam segala hal, termasuk dalam tata cara menyembah Allah.
Dan tentu saja, selaku sang tuhan, ia merasa berkewajiban menata
seluruh tatanan kehidupan manusia yang berada di wilayah
kekuasaannya untuk mengarahkan kiblat pada keberadaan dirinya
selaku reinkarnasi tuhan.

Dengan kemahakuasaan dan kehendaknya, Syah Ismail yang


terbang di angkasa angan-angan tentang keagungan dan
kemuliaan diri itu, dengan suara menggelegar bagai guntur
mengeluarkan sabda suci sambil menudingkan telunjuk ke
permukaan bumi.

“Inilah firman tuhan yang wajib dipatuhi oleh seluruh hamba tuhan.
Pertama-tama, hendaknya umat manusia mengarahkan kiblat hati
dan pikiran ke satu arah, yaitu al-Haqq (Kebenaran). Karena kiblat
Kebenaran bagi manusia hanya satu maka jalan (thariq) yang
dilewati pun wajib satu. Itu sebabnya, keragaman jalan-jalan
(tarekat) wajib dihapuskan! Seragamkanlah keragaman tarekat-
tarekat di bawah satu bendera: Safawiyyah! Maklumkan kepada
manusia-manusia sesat yang mengaku sebagai mursyid penunjuk
jalan kebenaran dan pengikut-pengikut tololnya, bahwa setiap
1756
makhluk yang hidup di permukaan bumi Persia wajib bernaung di
bawah bendera Safawiyyah!”

“Sesungguhnya, semua kebohongan keji manusia-manusia


rendah yang mengaku mursyid sudah harus diakhiri. Kebohongan
mereka yang mengaku memiliki garis nasab dengan Nabi
Muhammad Saw. harus diakhiri. Mereka semua adalah manusia-
manusia penipu. Karena itu, sejak saat ini, dimulai di negeri ini,
Persia, keragaman silsilah golongan Alawiyyin (keturunan Imam Ali
bin Abi Thalib r.a.), yang dijadikan sandaran oleh para guru suci
pendusta itu wajib dihapuskan! Maklumkan kepada dunia bahwa
galur nasab Alawiyyin yang sah adalah galur yang diakui oleh
keluarga Safawi!”

“Demi tegaknya tauhid dan kemurnian ajaran Islam akibat


kepalsuan ajaran para mursyid pengajar tarekat-tarekat, maka
demikianlah firmanku. Singkirkan para mursyid tarekat palsu yang
dianggap wali Allah oleh para pengikut dan penduduk di sekitarnya.
Aku maklumkan kepada dunia bahwa sesungguhnya kedudukan
wali-wali Allah yang disandang para mursyid tarekat itu adalah
bohong semata. Sebab, seluruh derajat kewalian sudah terserap
dalam diri dua belas imam, yaitu pemuka golongan Alawiyyin. Dan
yang paling penting untuk diketahui oleh seluruh umat Islam di
dunia bahwa aku, Syah Ismail, adalah imam badal yang mewakili
dua belas imam suci! Selaku imam badal, aku sama dengan imam
yang dua belas, yakni maksum (suci dan bebas dari kesalahan).
Itu berarti, Syah Ismail saat sekarang ini adalah satu-satunya wali

1757
Allah di dunia. Mereka yang tidak menerima ketentuan ini:
binasakan!”

Firman Syah Ismail, sang tuhan, yang maha berkuasa dan maha
berkehendak itu meledak bagaikan halilintar menyambar
permukaan bumi. Langit Persia yang terang dengan cahaya
matahari bersinar cemerlang tiba-tiba gelap diselimuti awan hitam
yang bergumpal-gumpal. Beberapa kejap kemudian, secara tiba-
tiba seluruh permukaan bumi Persia berubah menjadi gelap
berkabut. Burung-burung tidak berani terbang ke angkasa.
Margasatwa tidak berani keluar sarang. Ikan-ikan berhenti
berenang. Manusia tergulung di dalam selimut. Angin tidak berani
bertiup kencang. Air sungai berhenti mengalir. Pendek kata,
seluruh kehidupan makhluk mendadak seperti berhenti. Roda
waktu seperti mandek. Seiring firman tuhan itu, bumi Persia
mendadak berubah menjadi sebuah hamparan negeri asing yang
lengang dan menakutkan. Seluruh jiwa makhluk tercekam oleh
rasa takut yang mengambang laksana kabut tebal di permukaan
tanah.

Di tengah suasana mencekam di bumi Persia, bangkitlah manusia-


manusia bayangan yang memaklumkan diri sebagai pahlawan-
pahlawan tuhan dan bala tentara tuhan yang bersumpah setia akan
menjalankan firman Syah Ismail, sang tuhan. Manusia-manusia
bayangan itu adalah manusia-manusia yang alam pikirannya diikat
oleh dalil-dalil yang sudah ditafsirkan sepihak oleh Syah Ismail.
Mereka adalah manusia-manusia yang memiliki sudut pandang,

1758
kerangka pikir, gagasan, angan-angan, nilai-nilai, dan bahkan
khayalan yang sama dengan apa yang dikehendaki Syah Ismail.

Manusia-manusia bayangan hasil ciptaan Syah Ismail itu laksana


kawanan siluman berkeliaran ke berbagai sudut kehidupan
makhluk untuk mengintai gerak-gerik, ucapan, pikiran, perasaan,
dan suara hati manusia terutama para sufi yang tinggal di
lingkungan khanaqah dan bahkan zawiyyah. Kemunculan
manusia-manusia bayangan, bala tentara tuhan itu, dengan cepat
menyulut ketegangan hingga ke relung-relung terdalam jiwa
manusia. Saat bala tentara tuhan itu menemukan ada makhluk
yang berbeda dengan mereka, tak ayal lagi, dengan keganasan
dan kebrutalan tak terbayangkan, sosok berbeda itu akan mereka
buru dan mereka cabik-cabik. Darah pun tumpah. Nyawa-nyawa
beterbangan. Mayat-mayat bergelimpangan.

Kawanan manusia bayangan kaki tangan Syah Ismail itu melanda


wilayah Fars laksana awan hitam dan badai, memporak-
porandakan keberadaan para pengikut Kaziruni. Tidak kurang dari
empat ribu orang terbunuh dalam amukan badai itu. Tarekat
Naqsyabandiyyah yang tegak menjulang dengan kukuh di Persia
Barat dan Tengah tiba-tiba ambruk dan berantakan tanpa sisa
terlanda badai. Tarekat Ni’matullah yang berakar kuat di Syiraz
dengan guru-guru termasyhur seperti Rukhnuddin Syirazi,
Samsuddin Makki, Jalaluddin Khwarazmi, dan Qadiuddin Iji
terangkat dari permukaan tanah dan tersapu badai tanpa sisa.

1759
Sementara itu, sesuai firman Syah Ismail, untuk menegakkan
kemurnian tauhid, kawanan manusia bayangan itu menempatkan
para mursyid tarekat dan pengikut-pengikutnya yang dianggap
melawan, menentang, berseberangan, berbeda, atau tidak sejalan
dengan titah sang tuhan sebagai musuh. Malahan, tidak cukup
memburu dan membinasakan manusia-manusia yang mereka
anggap merusak tauhid itu dengan keberingasan tak terbayangkan
kawanan makhluk buas yang tak kenal ampun itu, beriap-riap
menuju sejumlah kuburan para mursyid dari tarekat-tarekat yang
ramai diziarahi penduduk negeri. Dengan suara hiruk pikuk dan
meraung-raung, mereka menyalak dan menyatakan bahwa
perbuatan penduduk menyembah kubur-kubur mursyid adalah
musyrik. Karena itu, kuburan-kuburan itu mereka bongkar dan
ratakan dengan tanah.

Penduduk yang ketakutan tidak berani berbuat apa-apa. Mereka


hanya berdiri menggigil ketika menyaksikan kuburan para mursyid
yang mereka ziarahi dibongkar. Mereka tidak berani berkata apa-
apa, meski mereka melihat keanehan yang dilakukan para tentara
tuhan itu. Mereka membongkar kubur para mursyid tarekat dengan
mengutuknya sebagai tempat-tempat kemusyrikan, namun pada
saat yang sama mereka justru menuhankan Syah Ismail dan
menziarahi kubur imam-imam dan mullah-mullah mereka. Menurut
kabar yang sempat menerobos ke perbatasan bumi Persia, di
tengah intaian Kematian yang mencekam akibat berkeliarannya
manusia-manusia bayangan pembela utama Syah Ismail, para
mursyid tarekat yang waskita, dengan kearifan manusia yang
sudah tercerahkan kesadarannya, membawa keluarga dan
pengikutnya berhijrah meninggalkan tanah airnya tercinta, Persia.
1760
Kepergian para mursyid tarekat-tarekat dari bumi Persia pada
dasarnya merupakan bagian lain dari lahirnya kembali cerita lama
terkait keyakinan kuno bangsa Arya tentang manusia Ilahi, hamkar,
yang menurut ajaran Zarathustra adalah manusia yang menyatu
dengan tuhan (hamemthwa hakhma), atau avatar yang menurut
ajaran Bhagavatam merupakan manusia ilahi jelmaan tuhan. Tidak
berbeda dengan keyakinan para dhatu leluhur bangsa Arya yang
memuja Ahura Mazda, Indra, dan Dyanayana (Wisynu) yang
meyakini manusia-manusia ilahi, reinkarnasi tuhan di dunia,
demikianlah para pengikut Syah Ismail telah menyatukan
keberadaan mursyid dan syah kepada satu pribadi reinkarnasi
tuhan: Syah Ismail. Mereka telah mengarahkan kiblat hati dan
pikiran hanya kepada Syah Ismail, mursyid sempurna (mursyid-i-
kamil) perwujudan ar-Rasyad dan al-Kamal yang menjadi penunjuk
jalan lurus (huda), yaitu al-Mahdi penjelmaan al-Hadi.

Agar doktrin yang mengajarkan tentang manusia-manusia ilahi itu


tidak tersanggah dan untuk mengukuhkan kedudukan diri sebagai
hamkar atau avatar, perwujudan yang ilahi di dunia maka Syah
Ismail mewajibkan taqlid kepada seluruh penduduk Persia dan
seluruh penganut Syi’ah di mana pun mereka berada. Untuk
membumikan kewajiban taqlid itu agar berjalan sesuai yang
dikehendaki, Syah Ismail selaku syah dan juga mursyid tarekat
menetapkan firman, “Hanya mullah yang ditunjuk Syah Ismail,
sang imam badal, yang memiliki wewenang mengajarkan dan
menafsirkan Al-Qur’an kepada manusia. Para mullah itulah yang
disebut marjak-taqlid (rujukan untuk taqlid). Mullah yang tidak
mendapat perkenan Syah Ismail, sang badal imam, sang tuhan,
terlarang menafsirkan Al-Qur’an apalagi mengajarkan kepada
1761
manusia. Mullah yang mengajar dan menafsir Al-Qur’an tanpa
perkenan Syah Ismail akan mendapat hukuman berat, yaitu diusir
dari bumi Persia atau dibinasakan.”

Menurut kabar yang dibawa para mursyid tarekat yang terusir dari
negerinya, sejak Syah Ismail berkuasa semua kegiatan mengkaji
Al-Qur’an telah terpenjara oleh terali-terali ketakutan yang
dibangun sang tuhan. Penduduk negeri hanya berani membaca Al-
Qur’an tanpa tahu maknanya sebab para mullah yang mengajar
tafsir Al-Qur’an sudah diawasi dari segenap penjuru. Jika terdapat
seorang mullah menafsir satu ayat Al-Qur’an yang berbeda dengan
yang dikehendaki penguasa maka terali penjara telah
menunggunya. Dan Al-Qur’an yang selama hampir seribu tahun
menjadi bacaan dan kajian sehari-hari bangsa Persia, tiba-tiba
telah menjadi kitab yang sangat disucikan hingga tak gampang
ditafsirkan maknanya, kecuali oleh manusia-manusia ilahi yang
bergelar ayatullah yang direstui Syah Ismail. Para ayatullah yang
tidak direstui Syah Ismail, tentu akan tersingkir dan bahkan binasa
jika tidak meninggalkan bumi Persia.

Yang paling terpuruk dalam tatanan baru kehidupan manusia yang


mengerikan ciptaan Syah Ismail itu adalah pengajaran tasawuf.
Bagaikan permukaan bumi di musim dingin tertutup tumpukan
salju, demikianlah bunga-bunga pengajaran tasawuf terbenam di
bawahnya. Para mursyid dan para salik yang dikenal sebagai para
penabur wangi bunga-bunga Qur’ani, dengan tafsirnya yang aneka
warna menekuni kebun ruhani, tiba-tiba meniarap di bawah selimut
salju. Tetapi, meski bunga-bunga pengajaran tasawuf tak lagi
1762
tampak di permukaan, gerak pencarian Keindahan (al-Kamal)
lewat bunga-bunga yang beragam bau dan warnanya tidak
musnah. Para mursyid tetap mengajarkan kepada para penempuh
tentang cara-cara mencari Keindahan lewat keharuman dan
keanekaan bunga-bunga di kebun ruhani, meski di bawah tanah
yang dingin membeku. Dan ternyata, Syah Ismail bukanlah tuhan
yang mahatahu. Selama ia berkuasa, tarekat-tarekat masih belum
terhapus dari negeri Persia, meski terpuruk di bawah rerumputan
dan batu-batu. Para mursyid tarekat dengan bijak menilai, betapa
keadaan yang mencekam di bumi Persia itu adalah bagian dari
kehendak Ilahi: Allah Yang Mahakuasa, Sumber Kebenaran Azali,
telah menyingsingkan Asma’, Shifat, dan Af’al-Nya sebagai azh-
Zhahir untuk digantikan dengan al-Bathin.

Sejarah pada akhirnya mencatat, bumi Persia yang termasyhur


sebagai taman terindah bagi para pencari Kebenaran, tempat
persinggahan yang memesona bagi mereka yang kehausan
mereguk Air Kehidupan (Abb al-Hayat) di telaga ruhani yang dijaga
Sang Hidup (al-Hayy), telah berubah wujud menjadi hamparan
gurun ganas yang mengerikan dan sekejap kemudian secara ajaib
menjadi hamparan tanah dingin membeku diselimuti salju. Persia
telah menjadi hamparan gurun atau salju yang sunyi, sepi,
lengang, dan mencekam bagi taman ruhani. Tidak satu pun
musyafir pencari Keindahan yang terlihat di sana. Sejauh mata
memandang, yang terlihat adalah manusia-manusia bayangan
yang akal pikirannya sudah terikat oleh simpul-simpul kefanatikan.
Manusia-manusia bayangan yang dengan mata menyala laksana
serigala mengintai Kematian setiap sosok yang berbeda
dengannya.
1763
Di tengah keadaan yang mencekam itu, di tengah kelengangan
dan kesunyian jiwa, dalam desau angin kering yang berembus dari
bumi Persia, terdengar ratapan pedih para salik yang bertebaran
laksana kumbang-kumbang kehilangan sayap mencari kesegaran
madu di taman ruhani yang merana. Mereka meratapi hilangnya
bunga-bunga dari taman indah yang memesona: taman indah
tempat kesadaran burung para salik beterbangan menuju angkasa
ruhani menghadap hadirat Sang Keindahan (al-Kamal). Taman
indah tempat para burung berkicau di dahan-dahan khanaqah
menyanyikan lagu rindu terhadap Simurgh (Raja Burung) yang
mengejawantahkan al-Waly. Taman indah tempat ikan-ikan
berenang di telaga Kehidupan yang sejuk menyegarkan. Ya,
mereka meratapi hilangnya taman indah itu. Bunga-bunga harum
aneka warna yang mengejawantahkan Keindahan yang beragam
seperti bunga Kubrawiyyah, Naqsyabandiyyah, Khalwatiyyah,
Maulawiyyah, dan Suhrawardiyyah yang terhampar di bumi Persia
telah tertutup oleh salju dan debu gurun kefanatikan atas titah sang
tuhan: Syah Ismail.

Syah Ismail yang telah meletakkan mahkota suci (taj) di atas


kepalanya dan duduk di atas singgasana ketidakbersalahan
sebagai raja sekaligus tuhan, memang berhak mengakui
kewenangan dirinya untuk menutupi bunga-bunga yang beragam
di taman ruhani yang telah dikuasainya. Ia juga berhak mengakui
kewenangan dirinya dalam menetapkan titah bahwa satu-satunya
bunga yang indah dan harum menyimpan madu adalah bunga
Safawiyyah. Tetapi, di balik semua pengakuan sepihak atas
wewenang yang dipegangnya itu, sesungguhnya ia telah
mewujudkan keberadaan dirinya sebagai raja absolut dan
1764
sekaligus tuhan di muka bumi, yang pernah muncul dan berkuasa
di negeri Mesir: Sang Fir’aun. Bahkan tanpa ia sadari,
sebagaimana telah dilakukan Fir’aun, sesungguhnya ia telah
berusaha menandingi Allah, Tuhan, al-Mutakabbir, dengan cara
menempatkan diri sebagai makhluk paling takabur (ablasa) yang
memproklamasikan keberadaan diri sebagai yang paling mulia dan
paling tinggi derajatnya di atas semua makhluk yang disebut
manusia (QS. Shad: 74-76).

1765
Perlawanan para Hamba Tuhan

Ketika gemuruh perburuan dan pembinasaan


para mursyid penunjuk jalan menuju
Kebenaran dilakukan oleh bala tentara tuhan,
hamba-hamba Syah Ismail yang fanatik, di
tengah kobaran api yang membakar
khanaqah-khanaqah dan zawiyyah-zawiyyah,
di antara genangan darah para salik tak
bersalah yang tersungkur di muka bumi, di tengah kelebatan
beliung-beliung tajam yang membongkar makam-makam para wali
Allah di bumi Persia, muncullah di tengah samudera raya iring-
iringan kapal berisi makhluk-makhluk bayangan yang tak kalah
mengerikan dibanding bala tentara Syah Ismail. Mereka adalah
armada kerajaan Portugis yang terdiri atas dua puluh kapal perang
bersenjata berat. Armada itu memuat para prajurit tuhan di bawah
pimpinan ksatria tuhan tak terkalahkan: Vasco da Gama. Bagaikan
monster lautan ganas, armada berisi prajurit-prajurit tuhan yang
dicekam dendam kesumat itu tiba-tiba berhenti di laut Arab.
Bagaikan sekawanan hiu mengintai mangsa, armada mendekam
dengan sikap siaga di tengah alunan gelombang. Armada itu
menunggu lewatnya kapal-kapal India yang kembali dari berniaga
di negeri-negeri Arab.

Ibarat pepatah pucuk dicinta ulam tiba, tidak lama armada Portugis
itu menunggu, lewatlah sebuah kapal penumpang India yang
memuat jama’ah muslim Kozhikode (Calicut/India). Kapal
berpenumpang 380 orang itu baru kembali dari Makah mengantar
1766
pulang jama’ah haji ke Kozhikode. Tanpa curiga sedikit pun kapal
itu melenggang di atas debur gelombang lautan. Nakhoda kapal
yang sudah beratus kali melintasi kawasan itu tidak menduga
bahwa kebinasaan sedang mengintainya.

Munculnya kapal niaga berbendera India itu menyulut


kegembiraan para prajurit dan ksatria tuhan. Dengan tertawa
terbahak-bahak bagaikan setan, Vasco da Gama memerintahkan
awak kapalnya untuk menangkap kapal tak bersalah itu. Vasco da
Gama memerintahkan para awak kapalnya untuk merampas
semua perbekalan yang ada di kapal tersebut. Kemudian sang
ksatria tuhan memerintahkan para prajurit tuhan yang dipimpinnya
untuk menawan dan mengunci seluruh penumpang di bawah
geladak. Lalu, diiringi sorak-sorai gembira para prajurit tuhan, sang
ksatria tuhan memerintahkan agar kapal tersebut dibakar. Setelah
terbakar selama tiga hari tiga malam, di tengah jeritan sahut-
menyahut manusia-manusia yang hangus terbakar dan gelak tawa
para prajurit, tenggelamlah kapal malang itu beserta seluruh
penumpangnya yang berjumlah 380 orang, termasuk perempuan
dan anak-anak.

Dengan kepongahan seorang ksatria tuhan yang bangga karena


telah membinasakan kaum sesat, musuh tuhan, Vasco da Gama
mengirim utusan kepada penguasa Kozhikode, Samaritu. Ia
menawarkan dua pilihan yang sama-sama berat kepada Samaritu.
Pertama, Vasco da Gama meminta agar Samaritu membunuh
semua penduduk Muslim di seluruh Kozhikode. Kedua, jika

1767
Samaritu menolak maka ia akan menghadapi pembalasan dari
Portugis.

Samaritu, penguasa Kozhikode (Calicut) yang tak menginginkan


perang, buru-buru mengirimkan utusan untuk melakukan
perundingan. Tetapi, pada saat itu Vasco da Gama memperoleh
laporan bahwa yang membakar kapal Pedro Alvares Cabral bukan
hanya penduduk Muslim Kozhikode, melainkan penduduk “Kristen”
India juga banyak terlibat. Dengan dada dikobari amarah, Vasco
da Gama kemudian menitahkan para prajurit tuhan untuk
menghukum mereka. Para prajurit tuhan pun dengan garang
menangkapi nelayan Kozhikode beragama “Kristen” yang
berkeliaran di pantai. Sekitar 38 orang nelayan Kozhikode yang
sesungguhnya beragama Hindu itu berhasil ditangkap. Setelah
perahu-perahu mereka ditenggelamkan, mereka dibinasakan
dengan cara: kepala dipenggal. Kaki dan tangan mereka dipotong-
potong. Kemudian di tengah gelak tawa kegirangan bagaikan
setan, para prajurit tuhan menyerakkan potong-potongan tubuh
para nelayan tak bersalah itu di laut. Potongan-potongan tubuh
malang itu terapung-apung di pantai dan dijadikan tontonan
penduduk kota. Untuk mengabadikan “hukum tuhan” agar yang
lain takut melawan ksatria dan prajurit tuhan, Vasco da Gama,
memerintahkan prajurit-prajurit tuhan yang dipimpinnya untuk
menembaki kota dengan meriam. Lalu tewaslah puluhan penduduk
kota tak bersalah.

Tindakan teror yang dilakukan Vasco da Gama dengan


memamerkan kekejaman dan kehebatan meriam-meriam Portugis
1768
terbukti telah membuat gentar para saudagar Arab dan saudagar
Muslim di Kozhikode. Tetapi, aksi teror itu ternyata tidak membuat
Samaritu memenuhi ancaman sang ksatria tuhan. Diam-diam
Samaritu meminta para saudagar Muslim Kozhikode yang
sebagian besar merupakan orang-orang Mappila, abdi maharaja
Wijayanagara, untuk pergi dari kota perniagaan tersebut.
Sementara sejumlah mursyid tarekat asal Persia yang baru
beberapa jenak mengecap ketenangan di Kozhikode tidak punya
pilihan, kecuali mengangkat kaki lagi untuk mencari tempat
hinggap yang baru. Akibat ancaman Vasco da Gama, para ulama
Kozhikode pun beramai-ramai meninggalkan negeri kelahiran
mereka. Demikianlah, di bawah intaian Sang Maut yang
mengembangkan sayap-Nya di atas kapal-kapal Portugis,
saudagar-saudagar Muslim, para ulama dan keluarganya, serta
para mursyid asal Persia berbondong-bondong meninggalkan
bumi Kerala menuju samudera selatan untuk membangun sarang
baru yang jauh dari ancaman ksatria dan prajurit-prajurit tuhan
yang ganas. Tetapi, sebagaimana lazimnya hukum alam, mereka
yang terusir oleh kekerasan dan kefanatikan itu membangun
“benteng-benteng” perlawanan di tempatnya yang baru terhadap
kemungkinan serbuan dari musuh utama mereka: orang-orang
Portugis, dinasti Safawi, pengikut Tarekat Safawiyyah, dan bahkan
semua pengikut Syi’ah.

Kabar naik takhtanya Syah Ismail yang diikuti kebijaksanaan


memburu, mengusir, menganiaya, dan membunuh para mursyid
tarekat serta para salik berlangsung susul-menyusul dan
sambung-menyambung dengan kabar kedatangan ksatria tuhan
dan prajurit tuhan asal Portugis di Kozhikode. Sifat sombong dan
1769
suka merendahkan mereka dengan cepat menyebar ke berbagai
tempat yang memiliki hubungan dengan Persia dan India. Dari
mulut ke mulut, kisah kekejaman Syah Ismail dan Vasco da Gama
beserta prajurit-prajuritnya dalam waktu singkat sudah terdengar di
berbagai bandar perniagaan di negeri-negeri Timur.

Kisah kesombongan dan kekejaman Syah Ismail dan Vasco da


Gama disebar pula secara lebih luas oleh para mursyid dan
saudagar dari negeri lain. Salah satu di antara para penyebar berita
kelam itu adalah para ulama dan saudagar Maghrib (Maroko –
Aljazair) yang sejak lama sudah memiliki hubungan dengan para
sufi di Baghdad, Istambul, dan Persia. Segera setelah para mursyid
tarekat meninggalkan Persia, berlindung di negeri yang dikuasai
dinasti Timuriyyah di Baghdad dan dinasti Usmaniyyah di Istambul,
para ulama sufi Maghrib yang berada di kedua tempat tersebut
dengan cepat menyebar ke berbagai negeri di timur dengan
menumpang kapal saudagar-saudagar Maghrib yang berniaga ke
Mesir, Yaman, Persia, India, Pasai, dan Malaka. Bagaikan dua
pasukan yang berjuang bahu-membahu dalam sebuah
pertempuran, ulama Maghrib menyebarkan kabar buruk tentang
lahirnya fir’aun baru bernama Syah Ismail yang menghalalkan
darah umat Islam sedunia, sementara para saudagar Maghrib
menyebarkan kabar buruk tentang datangnya bajak laut Portugis
yang akan merampok barang perniagaan maupun gudang
kekayaan milik saudagar-saudagar Muslim di seluruh dunia.

Keterlibatan para ulama sufi dan saudagar-saudagar Maghrib


untuk ikut mengambil peran dalam menyebarluaskan kabar
1770
berkuasanya telah menjadi gelombang yang susul-menyusul dan
sambung-menyambung yang membuat terkejut para pemuka dan
terutama saudagar-saudagar Muslim di negeri-negeri Timur.
Sebab, tak lama setelah berita itu disampaikan oleh para ulama
sufi dan saudagar asal Kerala dan Persia, datanglah berita dari
para ulama dan saudagar Maghrib. Para ulama dan saudagar asal
Maghrib itu mengaku berasal dari kabilah Bani Mathar, Bani Millal,
Bani Ounif, dan Bani Slimane yang dipimpin oleh dua orang kakak
beradik asal kota Kaar el-Kabir, Syaikh Abdul Jabbar el-Kabiry dan
Sidi Abdul Qadir el-Kabiry. Mereka bertolak dari bandar-bandar
perniagaan di Yaman dan Malabar menuju selatan dengan tujuan
utama membangkitkan perlawanan kaum Muslimin di berbagai
negeri terhadap musuh besar mereka: para penganut paham
Syi’ah dan bajak laut Portugis.

Kedatangan orang-orang Maghrib dalam jumlah ratusan di


pelabuhan-pelabuhan Nusantara sempat menimbulkan tanda
tanya penduduk setempat yang terheran-heran melihat mereka.
Sebab, perwujudan fisik mereka memang berbeda-beda. Ada yang
berkulit gelap, namun berambut perang dan bermata biru. Ada
yang berkulit putih dengan rambut hitam dan mata coklat. Ada yang
berkulit putih dengan mata biru, namun berambut gelap keriting.
Bahkan ada yang mirip dengan orang-orang Arab, namun kulitnya
sehitam jelaga. Yang lebih mengherankan, meski lelaki, mereka
sangat suka bersolek dan memakai perhiasan berlebihan.

Keanehan bentuk fisik orang-orang Maghrib berasal dari


kenyataan bahwa mereka adalah bangsa yang lahir dari
1771
bermacam-macam bangsa seperti Neger, Berber, Tuareg, Moor,
Kabil, Arab, Vandal, Romawi, Spanyol, dan Yahudi. Mereka lahir
dari bangsa-bangsa pengembara dan bangsa penakluk. Itu
sebabnya, mereka dikenal sebagai orang-orang yang suka
meninggalkan kampung halaman untuk berniaga ke berbagai
negeri. Mereka terkenal ramah dan gampang bergaul, namun jauh
di pedalaman jiwa mereka tersembunyi naluri gemar perang,
warisan sejarah masa silam dari leluhur mereka yang silih berganti
menguasai negeri Maghrib. Lantaran itu, saat bertemu dengan
musuh lama mereka, Portugis, mereka langsung membayangkan
sebuah pertarungan sengit sehingga mereka pun dengan terang-
terangan berusaha membuat medan tempur lebih luas, melalui
cara membangkitkan semangat perlawanan kaum Muslimin
terhadap Portugis. Dengan kepiawaian berkata-kata, mereka
berhasil memanas-manasi para syahbandar dan penguasa di
berbagai pelabuhan Nusantara seperti Dermayu, Muara Jati,
Samarang, Demak, Tuban, Surabaya, Gresik, dan tentu saja
setelah lebih dulu memanasi penguasa Aceh, Pasai, Patani,
Kedah, Malaka, Aru, Kampar, dan Palembang.

Sekalipun para syahbandar dan penguasa pesisir telah cukup lama


mendengar ramalan Abdul Jalil tentang bakal datangnya kawanan
Ya’juj wa Ma’juj, pembawa senjata penyembur api, yang dipimpin
Sang Kere putera To-gog, dan akan menjarah kekayaan
penduduk, ternyata mereka masih terkejut dengan kabar
kedatangan orang-orang Portugis yang disampaikan saudagar-
saudagar Maghribi tersebut. Sebuah pertemuan rahasia di antara
penguasa-penguasa pesisir dan pemuka warga trah Prabu
Kertawijaya buru-buru diadakan di Giri Kedhaton. Mereka yang
1772
hadir adalah Raden Patah Adipati Demak didampingi Imam Masjid
Demak Raden Mahdum Ibrahim, Khalifah Husein Imam Madura,
Raden Ahmad (putera almarhum Raden Ali Rahmatullah)
Susuhunan Khatib Ampel Denta, Raden Yusuf Shiddiq Adipati
Siddhayu, Raden Zainal Abidin Adipati Gresik, Arya Bijaya Orob
Adipati Tedunan, Raden Sahun (Pangeran Pandanarang) Adipati
Samarang, Pangeran Gandakusuma Adipati Kendal, Pangeran
Danareja Adipati Bojong, Raden Sulaiman Leba Wirasabha,
Syaikh Bentong, Syarif Hidayatullah mewakili Raja Caruban Sri
Mangana, Raden Kusen Adipati Terung, dan Pangeran Arya
Pinatih.

Mendapat kabar tentang diadakannya pertemuan rahasia tersebut,


Abdul Jalil yang didampingi Abdul Malik Israil, Syaikh Jumad al-
Kubra, dan Raden Sahid yang saat itu masih berada di Trigosthi
(Salatiga), setelah selama dua puluh tiga bulan lebih membuka
dukuh-dukuh hunian baru di pedalaman Nusa Jawa, buru-buru
beranjak meninggalkan Trigosthi menuju ke Giri Kedhaton.
Sepanjang perjalanan, Abdul Jalil mendapati orang-orang di
sekitar pelabuhan ramai membicarakan orang-orang Syi’ah yang
membunuhi para ulama dan santri, juga bajak laut Portugis yang
bakal menyerang Nusa Jawa. Sebagaimana lazimnya kebiasaan
penduduk Nusa Jawa yang alam pikirannya cenderung oleh bunyi
dan suara tertentu, nama Syah Ismail, raja orang Syi’ah,
dikesankan sebagai siluman tupai (Jawa Kuno: Sah : menyingkir;
Semal: tupai) yang memisahkan diri dari kawanannya, yang
menjelma menjadi manusia kejam dan haus darah. Bahkan kesan
siluman tupai itu kemudian berkembang menjadi salah satu jenis
tupai, yaitu bajing. Demikianlah, penduduk di sekitar pelabuhan
1773
mengesankan Syah Ismail sebagai siluman tupai yang menjadi
raja para penjahat: Prabu Semal ratu ning bajingan.

Tuduhan siluman dan bajingan di Nusa Jawa adalah tuduhan yang


tidak bisa diabaikan, apalagi dianggap lelucon. Sebab, siapa pun
di antara makhluk yang menyandang sebutan siluman atau
bajingan wajib disingkirkan dari lingkaran kehidupan penduduk
Nusa Jawa. Tuduhan sebagai makhluk siluman dan bajingan yang
dialamatkan kepada para penganut Syi’ah pun mengakibatkan
mimpi buruk yang mengerikan. Entah benar entah tidak, kumpulan-
kumpulan penduduk muslim yang dituduh sebagai penganut Syi’ah
tiba-tiba diburu dan dikepung penduduk. Mereka dituduh jelmaan
siluman tupai atau kawanan penjahat berbahaya. Darah pun
tumpah. Mayat pun bergelimpangan. Entah siapa yang mengawali,
tiba-tiba tersebar fatwa dari mulut ke mulut yang menegaskan
bahwa Syi’ah adalah paham sesat yang diajarkan ratu siluman
yang menghalalkan darah penduduk Nusa Jawa untuk
ditumpahkan.

Sementara itu, tidak berbeda dengan kesan tentang Syah Ismail


dan kaum Syi’ah, penduduk Jawa yang mengucapkan kata
Portugis dengan lafal Peranggi (Jawa Kuno: Prang-pranggi:
menyerang secara membabi-buta), cenderung mengesankan
keberadaan Portugis bukan sebagai bangsa manusia, melainkan
kawanan siluman kerbau putih bermata kucing (kebo bule mata
kucing) yang mengamuk dan memangsa manusia. Mereka juga
mengesankan pemimpin bangsa Peranggi itu, Vasco da Gama,
sebagai raja siluman bernama Kala Srenggi: siluman babi hutan
1774
bertaring besar. Bahkan yang berkembang kemudian adalah
kesan kuat bahwa bangsa Peranggi, kebo bule mata kucing,
merupakan kawanan makhluk penjarah asal Nusa Pranggi (Jawa
Kuno: negeri kacau) yang dipimpin Sang Kere putera Sang To-gog.
Mereka datang ke Nusa Jawa membawa bala tentara kelaparan
karena negeri mereka termasyhur kemiskinannya. Sang Kere dan
bala tentaranya itu dengan kerakusan tiada tara akan menjarah
kemakmuran Nusa Jawa dan memperbudak penduduknya.

Sebagai orang yang sejak awal telah mengetahui bakal terjadi


perubahan besar bagi tatanan kehidupan negeri-negeri Timur,
Abdul Jalil tidak menganggap kemunculan Syah Ismail dan bangsa
Portugis sebagai sesuatu yang mengagetkan. Ia malahan sangat
yakin, apa yang diperjuangkannya untuk melahirkan manusia-
manusia baru, adimanusia-adimanusia, yang memegang kuat
nilai-nilai berlandaskan Tauhid adalah benteng pertahanan yang
tak bakal bisa ditembus oleh para pecinta tubuh dan pemuja dunia
berkedok agama seperti Syah Ismail dan bangsa Portugis. Ia
sangat yakin bahwa para adimanusia yang lahir dari nilai-nilai
Tauhid akan dapat mempertahankan diri dari tindak kekerasan
yang dilakukan para pecinta tubuh dan pemuja dunia itu. Bahkan,
andaikata nanti bangsa Portugis dapat menaklukkan para
penguasa negeri dan meletakkan Nusa Jawa di bawah telapak
kakinya, mereka akan menghadapi kesulitan besar untuk
mengubah nilai-nilai Tauhid yang sudah dianut penduduk Nusa
Jawa. Itu sebabnya, ketika ia bertemu dengan Syaikh Abdul Jabbar
el-Kabiry dan Sidi Abdul Qadir el-Kabiry di pelabuhan Samarang,
ia tegas-tegas menolak ajakan untuk mengusir para penganut

1775
Syi’ah dan menghalau bangsa Portugis dengan senjata di mana
pun mereka berada.

“Bumi ini milik Allah, Tuan Syaikh,” kata Abdul Jalil. “Karena itu,
tidak ada hak satu bangsa melarang bangsa lain untuk
menginjakkan kaki di bumi Allah kecuali jika bangsa pendatang itu
telah terbukti berbuat zalim terhadap penduduk setempat.
Sepengetahuan kami, tidak ada dalil-dalil maupun teladan dari
Rasulullah Saw. bahwa kita mengusir saudara seagama atau
menyambut orang-orang yang mau berniaga dengan senjata. Jika
Syah Ismail berbuat kejam di Persia maka hendaknya hal itu
diselesaikan di sana. Janganlah penganut Syi’ah yang tidak tahu
apa-apa di negeri ini disangkut pautkan dengan tindakan bodoh
anak bangsa Azeri yang mengaku keturunan Nabi Saw. itu.
Bahkan, jika Tuan memiliki rasa bermusuhan dengan suatu kaum,
janganlah Tuan melibatkan orang lain dalam permusuhan itu.
Sebab, hal itu akan menunjukkan bukti bahwa Tuan kurang yakin
diri dalam menghadapi musuh Tuan.”

Syaikh Abdul Jabbar el-Kabiry terkejut dengan penolakan Abdul


Jalil yang dirasakannya bagaikan anak panah menembus jantung.
Dengan mata berkilat dan dada naik turun menahan amarah, dia
berkata dengan suara ditekan tinggi, “Tuan tahu apa tentang
orang-orang Syi’ah yang sesat itu. Mereka telah mengangkat Syah
Ismail sebagai fir’aun, penjelmaan tuhan di dunia. Mereka
membumihanguskan khanaqah-khanaqah dan zawiyyah-
zawiyyah. Mereka memburu-buru dan menyiksa bahkan

1776
membunuh para guru suci tarekat. Apakah kita akan berdiam diri
melihat kesesatan mereka?”

“Tuan Syaikh, demi Allah, kami sangat setuju memerangi Syah


Ismail yang telah menuhankan dirinya. Kami juga tidak percaya
sedikit pun jika dia keturunan Nabi Muhammad Saw. karena dia
dan leluhurnya berkebangsaan Azeri yang lahir di Azerbaijan. Syah
Ismail adalah pendusta berpikiran picik dan dungu. Dia hanya
berpikir tentang kekuasaan pribadi yang bakal didudukinya di
wilayah terbatas, yaitu negeri Persia. Dia sedikit pun tidak berpikir
bahwa akibat tindakannya itu para penganut Syi’ah di berbagai
negeri terancam jiwanya.”

“Karena itu, o Tuan Syaikh, kami sangat tidak setuju jika kita ikut-
ikutan berpikir picik seperti Syah Ismail untuk membunuh setiap
penganut Syi’ah hanya gara-gara tindakan sepihak makhluk
pendusta yang mabuk kekuasaan duniawi. Sebab, menurut hemat
kami, tidak semua penganut Syi’ah sepaham dengan Syah Ismail.
Dan tentang penganut Syi’ah di Nusa Jawa ini, hendaknya tidak
kita ganggu karena mereka tidak memiliki kaitan dengan gerakan
Syah Ismail di Persia,” kata Abdul Jalil.

“Bagaimana Tuan bisa yakin jika orang-orang Syi’ah tidak


berhubungan dengan Syah Ismail? Bukankah mereka itu satu
napas dan satu jiwa?” tanya Syaikh Abdul Jabbar el-Kabiry.

1777
“Siapa bilang Syi’ah itu satu napas dan satu jiwa? Siapa pula yang
bilang jika Sunni itu satu napas dan satu jiwa? Bukankah Tuan
Syaikh sudah paham bahwa hukum kauniyah yang ditetapkan
Allah itu tidak akan berubah oleh tindakan orang-seorang?
Maksudnya, jika hukum kauniyah tentang keragaman itu menjadi
keniscayaan bagi tatanan kehidupan di alam semesta, tentulah
mustahil jika keragaman itu bisa diseragamkan oleh seorang
manusia, apalagi pembohong tengik seperti Syah Ismail,” kata
Abdul Jalil.

“Bukankah Syah Ismail didukung oleh orang-orang Syi’ah asal


Baghdad, Mesir, dan Turki? Bukankah sesungguhnya kaum Syi’ah
itu bersatu dalam kesesatan?”

“Ketahuilah, o Tuan Syaikh, bahwa mertua kami, Syaikh Abdul


Malik al-Baghdady, adalah seorang ulama Syi’ah. Tetapi, dia
bukan pengikut Tareka Safawiyyah. Dia juga bukan pendukung
Syah Ismail. Bahkan kabar yang kami terima terakhir, dia yang
selama tiga tahun terakhir tinggal di Shiraz dibunuh oleh kaki
tangan Syah Ismail karena dianggap melindungi kawan-kawannya,
para ulama tarekat yang tidak patuh terhadap kekuasaan Syah
Ismail,” kata Abdul Jalil tegas.

“Apakah Tuan Syaikh sendiri penganut Syi’ah?” tanya Syaikh


Abdul Jabbar el-Kabiry curiga.

1778
“Kami adalah guru ruhani yang mengajarkan Tarekat Akmaliyyah
yang dinisbatkan kepada hadhrat Abu Bakar ash-Shiddiq. Tetapi,
kami tidak peduli apakah dituduh Syi’ah atau penyembah setan
sekalipun, karena tugas utama kami adalah menjaga
keseimbangan tatanan kehidupan manusia di dunia ini. Itu
sebabnya, ketika para pengikut ayahanda mertua kami yang
datang ke Caruban memburu-buru Syaikh Duyuskhani dan
pengikutnya untuk dibunuh, kami cegah sekuat kuasa kami.
Sebab, kami tahu pasti bahwa Syaikh Duyuskhani sekalipun orang
Persia dan penganut Syi’ah, ia tidak memiliki hubungan apa pun
dengan gerakan Syah Ismail. Dengan begitu, menurut hemat kami,
sungguh tidak pantas jika Syaikh Duyuskhani dan pengikutnya
yang tidak tahu-menahu tentang perbuatan Syah Ismail di Persia
itu harus ikut menanggung akibat hanya karena kebetulan
pahamnya sama.”

“Apakah Tuan Syaikh akan melindungi semua orang Syi’ah di Nusa


Jawa?”

“Bukan hanya orang Syi’ah. Siapa pun di antara manusia tak


bersalah yang teraniaya akan kami lindungi sekuat kuasa kami.”

“Tuan akan menuai bahaya akibat tindakan itu.”

“Kami sudah terbiasa menanggung akibat berbahaya dari tindakan


yang kami lakukan.”
1779
“Sungguh, Tuan Syaikh sedang melindungi kawanan ular berbisa.”

“Sesungguhnya, racun yang paling dahsyat bukanlah bisa ular,


melainkan racun kebencian yang terletak di taring ular jiwa yang
bersarang di dalam relung-relung hati kita. Sebab, dengan racun
kebencian itu manusia sering menjadikan dirinya sebagai ular
raksasa yang berbahaya bagi kehidupan sesamanya.”

Tidak berbeda dalam prinsip saat berdebat dengan Syaikh Abdul


Jabbar el-Kabiry, Abdul Jalil tetap berpegang teguh pada
prinsipnya saat berbincang-bincang dengan Sidi Abdul Qadir el-
Kabiry tentang bangsa Portugis. Abdul Jalil tetap berkukuh
menolak ajakan Sidi Abdul Qadir el-Kabiry untuk menyongsong
kehadiran bangsa Portugis di Nusa Jawa dengan senjata. Sebab,
menurut hematnya, kehadiran bangsa Portugis yang memamerkan
kekejaman itu pada hakikatnya adalah bagian dari cerita
kehidupan anak manusia yang mengandung rahasia pengukuhan
Tauhid bagi manusia di negeri-negeri Timur agar lebih sempurna.
“Kehadiran bangsa-bangsa perusak, Ya’juj wa Ma’juj, sepanjang
sejarahnya tidaklah dapat dilawan dengan senjata. Kekuatan
mereka hanya bisa ditawarkan dengan ajaran Tauhid yang kuat,”
ujar Abdul Jalil.

Sidi Abdul Qadir el-Kabiry yang tidak sukan dengan pandangan


Abdul Jalil tampak marah, meski berusaha meredamnya. Setelah
terdiam sesaat dia berkata dengan suara lantang, “Apakah Tuan
Syaikh belum tahu jika bangsa Portugis adalah kaum kafir? Apakah
1780
Tuan Syaikh belum pernah bertemu dan belum pula pernah
mengenal mereka? Apakah Tuan Syaikh tetap yakin jika mereka
itu bukan bangsa yang berbahaya bagi agama kita? Jika Tuan
menilai Portugis bukan bangsa yang berbahaya bagi agama kita,
itu karena Tuan selama ini tinggal di negeri yang jauh dari
keramaian dunia. Jika Tuan Syaikh tinggal di negeri Maghrib yang
berdekatan dengan negeri bangsa Portugis seperti kami, Tuan
akan tahu bagaimana busuk dan tengiknya mereka. Mereka suka
mabuk, gemar berzina, rakus harta, haus kekuasaan, suka
berperang, menjarah, merampok, memperkosa, dan yang paling
berbahaya, mereka memiliki kebencian yang berlebihan terhadap
agama kita. Bagaimana pendapat Tuan terhadap orang-orang
seperti itu?”

Abdul Jalil tertawa mendengar penjelasan Sidi Abdul Qadir el-


Kabiry. Setelah diam beberapa jenak ia berkata dengan suara lain,
“Jika apa yang Tuan sampaikan tentang bangsa Portugis itu benar
maka kami akan menyatakan keheranan atas sifat Allah yang
Maharahman dan Maharahim dan Mahaadil. Maksud kami,
sungguh tidak adil dan sangat aneh jika Allah SWT. mencipta suatu
kaum sebagai bangsa yang busuk dan tengik tanpa kebaikan
sedikit pun. Bagi kami, jika memang ada bangsa yang busuk
seluruhnya maka itu menunjukkan kemustahilan dari hukum alam
yang ditetapkan Allah.”

“Kami belum paham dengan kata-kata yang Tuan sampaikan,”


kata Sidi Abdul Qadir el-Kabiry.

1781
“Terus terang, kami tidak percaya dengan pandangan Tuan yang
menilai bangsa Portugis itu busuk dan tengik semua. Menurut
kami, hukum alam telah menetapkan bahwa di antara bangsa-
bangsa manusia itu wajib ada yang baik dan wajib pula ada yang
tidak baik. Lantaran itu, kami beranggapan kebaikan dan
keburukan tidak bersangkut paut dengan kebangsaan, warna kulit,
bahasa, dan keturunan orang seorang. Apakah menurut Tuan
semua orang Maghrib itu baik semua? Apakah orang-orang
Maghrib semuanya bersifat seperti malaikat yang tidak mempunyai
nafsu, tidak rakus harta, tidak suka perempuan, dan tidak gila
kekuasaan duniawi?” tanya Abdul Jalil.

“Kami kira tiap bangsa memang ada yang baik dan ada pula yang
buruk. Tetapi, bagaimana dengan kebencian mereka yang
berlebihan terhadap agama kita? Apakah kita akan mendiamkan
mereka? Apakah kita akan membiarkan agama kita mereka
hancurkan?”

“Islam adalah agama Kebenaran (ad-din al-haqq) yang akan dijaga


oleh Yang Mahabenar (al-Haqq). Itu berarti, kita tidak perlu ragu
apalagi khawatir bahwa Islam akan musnah dari muka bumi,
apalagi oleh kefanatikan suatu bangsa. Kami tetap yakin pada
hukum alam bahwa kehidupan di dunia ini wajib beragam. Itu
berarti, jika ada suatu bangsa ingin menyeragamkan kehidupan
manusia dengan alasan agama, keyakinan, budaya, bahasa, atau
kekuasaan, maka sesungguhnya bangsa itu sedang membangun
bagian kecil dari keragaman karena sangat mustahil ia bisa
mengubah hukum alam. Demikian pun dengan bangsa Portugis,
1782
jika mereka ingin menguasai dunia dan mengubah agama
penduduk dunia agar seperti agama mereka maka mereka
sejatinya sedang memecah-belah agamanya. Sebab, hukum alam
telah menggariskan bahwa keragaman agama adalah fitrah bagi
kehidupan makhluk di jagat raya ini. Lihat dan tunggulah, agama
yang dianut bangsa Portugis itu pada gilirannya nanti akan
terpecah-pecah tak terhitung jumlahnya,” kata Abdul Jalil.

“Sebagai seorang guru agama Islam, sungguh aneh sekali


pandangan Tuan,” kata Sidi Abdul Qadir el-Kabiry dengan nada
heran. “Tuan seolah-olah tidak punya ghirah terhadap agama
Tuan.”

“Itu karena Tuan Syaikh memiliki sudut pandang yang berbeda


dengan kami dalam memandang sesuatu sehingga penilaian Tuan
pun menjadi berbeda dengan kami,” kata Abdul Jalil datar.

“Kami belum paham dengan penjelasan Tuan,” kata Sidi Abdul


Qadir el-Kabiry.

“Begini Tuan Syaikh,” kata Abdul Jalil tenang. “Jika Tuan datang
ke pedalaman Nusa Jawa, kemudian Tuan menemukan suatu
kaum yang tinggal di suatu tempat memiliki keyakinan bahwa
Tuhan itu Esa, Tuhan tidak bisa disetarakan dengan sesuatu, yakin
akan datang hari kehancuran jagat raya, yakin jika surga dan
neraka itu bertingkat-tingkat, mereka berpuasa, bersembahyang,
1783
tidak makan babi, tidak makan anjing, tidak makan sesuatu yang
najis, tidak meminum minuman keras, tidak berjudi, tidak mencuri,
tidak menyakiti, beristri paling banyak empat, dan berusaha
menjalani kehidupan yang suci. Menurut Tuan, siapakan mereka
itu?”

“Tentu mereka itu orang-orang Muslim.”

“Tuan telah keliru menilai,” kata Abdul Jalil menukas, “sebab kaum
yang kami sebutkan itu adalah para pendeta Syiwa-Budha.”

“Benarkah itu?” tanya Sidi Abdul Qadir el-Kabiry terheran-heran.

“Tuan boleh mengikuti kami ke pedalaman Nusa Jawa untuk


membuktikan ucapan kami.”

“Itu yang kami belum tahu.”

“Kami kira, masalah permusuhan bangsa Tuan dengan orang-


orang Portugis terjadi karena tidak ada saling pengertian. Masing-
masing pihak merasa benar sendiri. Pihak satu tidak mau
memahami pihak lain.”

1784
“Kami kira, Tuan keliru dalam menilai orang-orang Portugis.
Mereka beda dengan penduduk Nusa Jawa. Kalau saja Tuan
pernah dekat dengan mereka, kami yakin Tuan akan memiliki
penilaian yang sama dengan kami. Tuan akan melihat betapa
berbahayanya meraka itu jika dibiarkan.”

“Kami memang kaum agamawan. Tetapi, kami bukannya orang


picik yang tidak mengenal bangsa-bangsa lain. Saat kami tinggal
di Baghdad, kami banyak bergaul dengan berbagai bangsa berikut
berbagai keyakinan dan adat budayanya. Bahkan saudara kami ini,
Abdul Malik Israil al-Gharnata, adalah seorang pemuka keluarga
Jethro dari antara Bani Israil di Andalusia. Pada saat Granada
jatuh, seluruh keluarganya yang beragama Yahudi pindah ke
Maghrib, yaitu negeri Tuan, karena mereka menolak dipaksa
pindah agama oleh penguasa Granada. Bukankah itu
menunjukkan bahwa masalah agama tidak bisa dipaksa-paksa?
Malahan kalau tidak keliru, sebagian keluarga dari saudara kami
itu ada yang tinggal di kota asal Tuan, Kaar el-Kabir,” ujar Abdul
Jalil.

“Tuan pernah tinggal di Baghdad?” gumam Sidi Abdul Qadir el-


Kabiry heran.

“Tidak lama, cuma tujuh belas tahun.”

1785
“Jika demikian, kenapa Tuan mau tinggal di tempat terpencil
seperti ini? Bukankah kehidupan di Baghdad jauh lebih
menyenangkan?” tanya Sidi Abdul Qadir el-Kabiry makin heran.

“Seburuk apa pun, negeri ini adalah tempat kami dilahirkan.


Menurut pepatah orang-orang di negeri ini, hujan emas di negeri
orang, masih baik hujan batu di negeri sendiri. Karena itu, sebagai
anak negeri dari negeri ini, tentunya kami lebih memahami pepatah
itu daripada orang lain. Kembali pada masalah bangsa Portugis,
kami tetap yakin mereka memang kawanan yang berbahaya,
terutama bagi manusia yang masih diliputi kecintaan berlebih
terhadap duniawi. Sebab, melalui bangsa Portugis itulah para
pecinta duniawi akan bersaing dan bertempur memperebutkan
dunia. Kami yakin, di mana pun bangsa Portugis itu berada,
mereka akan menghadapi perlawanan saudagar-saudagar apakah
itu Muslim atau bukan Muslim dengan alasan yang sama: berebut
harta kekayaan dan kekuasaan dunia.”

“Sementara bagi para pecinta Allah dan penampik dunia, mereka


tidak dianggap sebagai pesaing apalagi ancaman. Sebab, bagi
para pecinta Allah dan penampik dunia, telah jelas bahwa musuh
utama mereka bukanlah suatu kaum yang ditandai warna kulit,
bahasa, budaya, dan agama, melainkan mereka yang
terperangkap pada nafsu kecintaan berlebih pada dunia hingga
terhijab dari Allah SWT.. Sungguh, para pecinta dunia itulah kaum
yang berbahaya. Dengan demikian, tidak semua bangsa Portugis
yang beragama Kristen bisa digolongkan sebagai pecinta tubuh
dan pemuja dunia. Kami yakin, di antara mereka tentunya ada
1786
seseorang yang memiliki pandangan berbeda dengan kawan-
kawannya. Sebaliknya, di antara kaum Muslimin pun tidak bisa
dikata bahwa mereka semua adalah pecinta Allah sejati. Sebab,
kenyataan membuktikan, tidak kurang di antara mereka yang
menyatakan pecinta Allah itu sesungguhnya pecinta diri pribadi
yang berlebihan sehingga mata batin (‘ain al-bashirah) mereka
tertutup oleh benda-benda (thaghut) sehingga mereka terhijab dari
Kebenaran,” kata Abdul Jalil.

“Bagaimana Tuan bisa yakin jika di antara mereka itu ada yang
bukan pecinta tubuh dan pemuja dunia? Bukankah mereka jauh-
jauh dari negerinya hingga ke India sesungguhnya karena
berkeinginan merebut dan menguasai harta dunia? Mungkinkah di
antara mereka itu ada yang tidak sejenis dengan kawan-
kawannya?” gumam Sidi Abdul Qadir el-Kabiry.

“Kami tetap yakin dengan fitrah keragaman yang ditetapkan Allah


dalam hukum alam.”

“Keyakinan Tuan itu hanya pada tingkat gagasan saja. Tuan akan
kecewa jika mengetahui kenyataan betapa di antara mereka itu
tidak ada satu pun orang yang tidak mencintai tubuh dan memuja
dunia. Mereka selalu menyatakan diri sebagai prajurit tuhan,
ksatria tuhan, dan bahkan anak-anak tuhan. Tetapi, kiblat hati dan
pikiran mereka selalu tertuju pada benda-benda duniawi dan
pengumbaran nafsu.”

1787
“Kapan rombongan Tuan akan balik ke India?” tanya Abdul Jalil
dengan pertanyaan lain.

“Awal purnama bulan ini,” kata Abdul Jabbar el-Kabir singkat


sambil mengerutkan kening. “Kenapa Tuan bertanya tentang
kepulangan kami?”

“Jika diperbolehkan, kami ingin ikut rombongan Tuan. Kami ingin


membuktikan kepada Tuan bahwa apa yang baru saja kami
ucapkan bukan suatu khayalan.”

“Apakah hanya untuk itu Tuan ikut kami ke India?”

“Tentu saja tidak,” sahut Abdul Jalil datar. “Selain untuk


membuktikan ucapan kami, kami juga ingin pergi ke Gujarat untuk
menjemput anak dan istri kami di sana.”

“Tuan punya keluarga di Gujarat?”

“Ya, tetapi mereka sudah kami tinggalkan selama belasan tahun


silam.”

“Berapa lama Tuan pernah tinggal di sana?”


1788
“Kira-kira dua tahun.”

“O pantas saja, Tuan sangat berbeda dengan orang-orang sana.”

“Berbeda bagaimana?” tanya Abdul Jalil sambil tertawa. “Apakah


kami lebih lemah? Lebih tidak bersemangat? Dan lebih sulit untuk
dipanas-panasi? Begitu?”

Sidi Abdul Qadir el-Kabiry tersenyum kecut. Dia kemudian


menepuk-nepuk bahu Abdul Jalil dan kemudian mengajak bicara
Abdul Malik Israil. Dia mengalihkan pembicaraan dengan
memperbincangkan para pengungsi Bani Israil di Maghrib. Dalam
perbincangan itu, Sidi Abdul Qadir el-Kabiry ternyata mengenal
sejumlah pemuka keluarga Bani Israil yang tinggal di Kaar el-Kabir
yang ternyata kerabat Abdul Malik Israil. Dari penjelasan Sidi Abdul
Qadir el-Kabiry, diketahuilah jika sejumlah pemuda Bani Israil dari
keluarga Abraham, Menahem, David, Zakhari, Naum, Solomon,
Samail, Sarkis, dan bahkan Jethro diam-diam telah pergi ke
berbagai negeri di Eropa untuk berjuang melawan kekuatan gereja.
“Rupanya mereka sangat sakit hati diusir dari kampung
halamannya oleh penguasa baru Granada,” jelas Sidi Abdul Qadir
el-Kabiry.

“Bagaimana Tuan tahu mereka pergi ke Eropa?”

1789
“Karena kami yang membantu menyelundupkan mereka dari
wilayah perbatasan Usmani di Moson dengan melewati Sungai
Danube,” kata Sidi Abdul Qadir el-Kabiry.

Mendengar penjelasan Sidi Abdul Qadir el-Kabiry, Abdul Jalil


tertawa dan berkata menukas, “Menurut Tuan, apakah yang akan
dilakukan para pemuda Bani Israil itu di negeri Eropa?”

“Saya tidak tahu, Tuan Syaikh,” kata Sidi Abdul Qadir el-Kabiry.
“Tetapi, kami mengira mereka akan memberikan laporan-laporan
kepada para penguasa Usmani tentang kekuatan musuh.”

“Kalau menurut hemat kami, mereka tidak akan melakukan hal


seperti itu.”

“Maksudnya?”

“Tuan tunggulah barang satu atau dua dasawarsa lagi,” kata Abdul
Jalil dengan mata memandang kejauhan. “Tuan akan melihat hasil
perjuangan mereka yang gilang-gemilang sesuai hukum alam
tentang keragaman.”

“Kami belum paham maksud Tuan Syaikh?”

1790
“Menurut dugaan kami, dengan pengetahuan mereka yang
mendalam tentang al-Kitab, mereka akan berhasil menciptakan
keragaman gereja. Itu berarti, kebenaran agama bukan hanya
ditentukan oleh gereja Roma, melainkan akan ditentukan oleh
gereja di berbagai negeri di Eropa.”

“Maksud Tuan Syaikh, mereka akan membangun madzhab-


madzhab Nasrani baru?”

“Malah mungkin bukan madzhab, melainkan agama baru yang


ditandai kibaran panji-panji Bani Israil,” ujar Abdul Jalil tegas. “Dan
itu sah saja, sebagai perlawanan hamba Tuhan terhadap
kezaliman manusia-manusia yang mengaku-aku sebagai prajurit,
ksatria, anak-anak, dan bahkan tuhan.”

1791
Majelis Wali Songo

Sepanjang perjalanan dari Samarang ke Giri


Kedhaton, Abdul Jalil mendapati perselisihan
antara penduduk pesisir dan para penganut
paham Syi’ah makin menajam. Tanpa
diketahui siapa yang memimpin, tiba-tiba
terjadi penyerangan, penjarahan,
pembakaran, dan perusakan terhadap rumah-rumah dan tempat
ibadah yang diduga milik orang-orang Syi’ah. Tak kenal Muslim tak
kenal Hindu, penduduk Nusa Jawa seolah diarahkan oleh satu
kekuatan tak kasatmata untuk memburu orang-orang yang mereka
tuduh Syi’ah. Yang paling menderita dalam peristiwa itu adalah
penduduk keturunan Campa yang tegas-tegas menyatakan
penganut Syi’ah. Mereka lari ke hutan-hutan untuk menghindari
kejaran penduduk yang sudah gelap mata seolah keranjingan
setan.

Sadar bahwa masalah perselisihan itu tidak dapat diselesaikan


dengan meredamnya dari satu tempat ke tempat lain, Abdul Jalil
berusaha membawa masalah tersebut ke dalam pertemuan para
penguasa pesisir dan pemuka trah Prabu Kertawijaya di Giri
Kedhaton. Sebagaimana saat berdebat dengan Syaikh Abdul
Jabbar el-Kabiry, Abdul Jalil dalam pertemuan itu dengan tegas
menyatakan tidak setuju terhadap pandangan-pandangan picik
yang menghendaki agar semua penganut Syi’ah di Nusa Jawa
dibinasakan dan kedatangan Portugis wajib disambut dengan
senjata.
1792
Sebagai orang yang menghendaki terjadinya keseimbangan dalam
tatanan kehidupan, Abdul Jalil tidak menginginkan ada tindak
kekerasan yang berlebihan.

Di hadapan para penguasa pesisir dan keturunan Prabu


Kertawijaya itu ia berkata dengan suara lantang dan tegas,
“Sesungguhnya, kisah jatuh bangunnya suatu bangsa
sebagaimana sudah dialami umat manusia adalah pelajaran yang
agung jika kita mau berpikir. Jika Allah sudah berkehendak
menimpakan marabahaya kepada makhluk-Nya, tidak ada yang
bisa menghindarkannya kecuali Dia sendiri (QS. Yusuf: 107).
Dengan begitu, menurut hematku, kehadiran Ya’juj wa Ma’juj yang
membuat kerusakan di muka bumi pada dasarnya adalah
kehendak-Nya jua. Rahasia di balik hadirnya Ya’juj wa Ma’juj pada
dasarnya adalah peringatan keras dari Allah kepada sebagian
manusia yang telah menempatkan diri sebagai fir’aun-fir’aun. Ya’juj
wa Ma’juj selalu datang saat manusia sudah menuhankan makhluk
(thaghut) sebagaimana terjadi pada fir’aun.”

“Guru dan mertuaku, almarhum Syaikh Sayyid Abdul Malik al-


Baghdady, telah bercerita kepadaku tentang seorang sufi besar
bernama Syaikh Majiduddin al-Baghdady yang hidup pada masa
zaman Muhammad ibn Tikish, penguasa Khwarazm, yang
bertindak sewenang-wenang seperti fir’aun. Para ulama fiqh dan
guru tarekat yang mengitari penguasa Khwarazm tersebut adalah
penghasut-penghasut jahat yang pintar menjilat dan membiarkan
Ibn Tikish tenggelam di lautan nafsunya. Akibat hasutan para
ulama palsu tersebut, Ibn Tikish menghukum mati Syaikh
1793
Majiduddin al-Baghdady yang dianggapnya telah murtad dan
berbahaya bagi kekuasaannya. Padahal, Syaikh Majiduddin al-
Baghdady adalah seorang wali Allah. Dia tidak mau berkomplot
dengan penguasa. Sebaliknya, dia suka mencela tindakan-
tindakan Ibn Tikish yang tidak terpuji.”

Para ulama dan Ibn Tikish untuk sesaat bisa tertawa-tawa gembira
karena telah berhasil menyingkirkan “orang tak berguna” yang
berbahaya seperti Syaikh Majiduddin al-Baghdady. Para ulama
bisa tertawa-tawa gembira sebagaimana sebelumnya mereka
menghasut penguasa Khwarazm untuk membunuh Syaikh
Syihabuddin Yahya Suhrawardi dan Syaikh Ruzbihan Baqly. Tapi,
apa yang terjadi setelah kematian Syaikh Majiduddin al-
Baghdady? Sejarah mencatat, Al-Waly, Sang Kekasih, yang
selama itu melingkupi Syaikh Syihabuddin, Syaikh Ruzbihan
Baqly, dan Syaikh Majiduddin al-Baghdady meluapkan amarah
kemurkaan terhadap tindakan penguasa Khwarazm dan para
ulama jahat. Allah mengirim Ya’juj wa Ma’juj yang dipimpin oleh
seorang pembinasa: Jenghiz Khan.

Selama kurun lima tahun, seluruh kekuatan Ibn Tikish di segenap


penjuru Khwarazm diluluh lantakkan oleh kawanan Ya’juj wa
Ma’juj. Beribu-ribu ulama, pejabat, raja, keluarganya, bahkan
orang-orang tua, perempuan, dan anak-anak yang hidup di
permuakaan bumi Khwarazm dijagal tanpa kenal ampun. Saat itu
negeri-negeri bawahan Khwarazm seperti Balkh, Marv, Nishapur,
Herat, Thus, Ray, Qazwin, Hamadan, dan Ardabil tenggelam di
dalam kobaran lautan api. Tidak satu pun kekuatan senjata yang
1794
dimiliki Ibn Tikish dapat menahan Ya’juj wa Ma’juj. Tidak sepatah
kata pun fatwa ulama yang dapat menahan penghancuran
kawanan Ya’juj wa Ma’juj.

“Kini, ketika saudara-saudara kita asal Persia, Kerala, dan Maghrib


datang berbondong-bondong untuk memberitakan munculnya
fir’aun Persia dan hadirnya bajak laut Portugis yang mereka
anggap sebagai kaum perusak, Ya’juj wa Ma’juj, sepantasnyalah
kita mawas diri. Maksudku, jika kabar yang disampaikan saudara-
saudara kita itu benar maka kita wajib bertanya kepada diri kita:
‘Apakah di sekitar kehidupan kita sekarang ini tidak sedang
berkuasa manusia-manusia yang mengangkat diri sebagai fir’aun-
fir’aun? Apakah kiblat hati dan pikiran kita sekarang ini tidak
sedang terarah pada thaghut? Apakah Tauhid kita selama ini
sudah benar?’ Sebab, Allah tidak akan mengirimkan Ya’juj wa
Ma’juj kepada umat yang sudah benar dalam Tauhid. Dengan
begitu, menurut hematku, betapa baiknya jika kita mawas diri dan
memperbaiki kekeliruan serta kesalahan kita dalam Tauhid
daripada kita membunuhi penganut Syi’ah dan mempersiapkan
senjata untuk menghadapi kehadiran sekelompok orang yang kita
anggap berbahaya, hanya karena mereka itu kita curigai sebagai
Ya’juj wa Ma’juj.”

Mendengar uraian Abdul Jalil, para adipati pesisir pada prinsipnya


dapat menerima alasan yang dikemukakan Abdul Jalil. Tetapi, jauh
di dalam hati, kebanyakan mereka tetap merasa sulit
meninggalkan sikap curiga terhadap kehadiran bajak laut di Hindia.
Sebab, apa pun kenyataannya, bagian terbesar di antara adipati-
1795
adipat pesisir tersebut adalah “penguasa saudagar” sehingga
pandangan mereka tak jauh beda dengan pandangan saudagar-
saudagar Kerala dan Maghrib. Mereka tidak ingin kebebasan
mereka dalam berniaga tersaingi, apalagi terkuasai oleh kekuatan
baru. Mereka tidak bisa menerima kabar yang menyatakan bahwa
bajak laut Portugis itu telah menjagal jama’ah haji dan berencana
akan menguasai semua jalur perniagaan di lautan.

Untuk alasan pertahanan diri dan kebebasan berniaga, Abdul Jalil


tidak keberatan jika suatu perlawanan dilakukan kepada pihak-
pihak yang ingin menguasai. Sebagaimana tatanan kehidupan
yang tidak mengenal mutlak-mutlakan, dalam beragama dan
perniagaan pun tidak boleh ada mutlak-mutlakan di mana satu
pihak menguasai pihak lain dengan kekerasan melalui kekuatan
senjata. Walau begini, menurut Abdul Jalil, sebelum suatu
perlawanan dilakukan, wajiblah terlebih dulu dibangun benteng
pertahanan diri yang kuat. Dan sekuat-kuat benteng pertahanan
diri, menurutnya, adalah benteng pertahanan yang dibangun di
atas landasan nilai-nilai Tauhid.

Untuk alasan yang terakhir itu, dengan kata-kata tajam dan


bernada menyindir, ia berkata, “Aku kira, apa yang sedang kita
ributkan tentang fir’aun Persia hendaknya kita selesaikan secara
bijak. Maksudnya, jika seorang pemuka Syi’ah melakukan
kejahatan kemanusiaan, janganlah penganut Syi’ah yang tidak
ikut-ikutan melakukan kesalahan dijadikan sasaran kemarahan.
Karena itu, aku berharap kepada saudara-saudaraku, para raja
yang berkuasa, untuk mengambil tindakan tegas terhadap
1796
kekacauan di wilayahnya masing-masing. Jangan biarkan
penduduk saling membunuh hanya gara-gara tindakan orang laing
di negeri asing.”

“Kemudian tentang bajak laut Portugis, menurut hematku, pada


dasarnya adalah pembuktian apa yang sudah disampaikan Syaikh
Ibrahim al-Uryan yang telah menyaksikan Kitab Langit (Lauh al-
Mahfudz). Sesungguhnya, dia telah melihat perlambang kapal-
kapal yang tertambat di dermaga dan dari dalamnya keluarlah
kawanan serigala, musang, serta makhluk-makhluk pemangsa dari
Kegelapan. Mereka itu makhluk rakus yang tak pernah kenyang.
Kawanan serigala, musang, dan makhluk pemangsa itu menjelma
menjadi manusia-manusia berparas mengagumkan dan
perilakunya sangat santun. Mereka mendatangi manusia dengan
senyuman dan kata-kata manis. Tetapi, tangan mereka yang
tersembunyi di punggung menyembunyikan pisau beracun. Siapa
saja di antara manusia yang lengah dan terpesona oleh ucapan
manisnya akan ditikamnya.”

“Tikaman pisau beracun itu tidak menyebabkan manusia mati.


Sebaliknya, racun di pisau itu akan membuat hati manusia menjadi
biru dan membeku. Setelah itu, hati manusia akan menghitam dan
membatu. Saat itulah manusia-manusia yang hatinya hitam dan
membatu itu akan menjelma menjadi mayat-mayat hidup. Mereka
akan menjadi wadag kosong tak berjiwa (ash-shuwar al-qa’imah).
Kemudian mereka yang sudah menjadi mayat-mayat hidup itu
akan berjalan menyimpang dari Kebenaran. Sebab, yang
menampak pada cakrawala penglihatannya adalah perwujudan
1797
yang lain (al-aghyar) dari benda-benda dan angan-angan kosong
yang muncul dari wujud maya (ablasa). Itulah gambaran ruhaniah
yang diketahui Syaikh Ibrahim al-Uryan tentang bakal datangnya
suatu zaman di mana manusia hidup dalam kegelapan nurani
karena pelita jiwanya telah padam akibat kecintaan yang
berlebihan terhadap kehidupan duniawi.”

“Lantaran itu, ketika tanda-tanda perubahan zaman itu telah


tampak, aku berpikir bahwa saat inilah waktu yang tepat bagi kita
untuk mempersubur nilai-nilai Tauhid yang sudah tumbuh di
tengah kehidupan masyarakat. Sebab, manusia-manusia berparas
menakjubkan jelmaan serigala, musang, dan makhluk pemangsa
yang disaksikan Syaikh Ibrahim al-Uryan di Kitab Langit itu
tengaranya telah muncul tak jauh dari kehidupan kita. Menurut
penafsiranku, perlambang itu tidak hanya mengejawantah dalam
perwujudan bajak laut Portugis yang akan diikuti oleh bajak laut
lain yang akan memenuhi permukaan bumi, tetapi yang paling aku
khawatirkan, perlambang itu juga mewujud di antara umat Islam
sendiri. Maksudku, racun yang dibawa manusia-manusia jelmaan
serigala, musang, dan makhluk pemangsa itu akan menyebar ke
segenap penjuru dunia, baik melalui bajak laut Portugis maupun
orang-orang Muslim berjiwa bajak laut, sehingga akhirnya akan
lahir kawanan mayat hidup dari antara saudara-saudara kita yang
masih terperangkap pada kecintaan terhadap dunia,” papar Abdul
Jalil.

“Paman,” kata Pangeran Zainal Abidin, putera Prabu Satmata,


“apakah kekuatan yang kita miliki tidak cukup kuat untuk melawan
1798
mereka? Bukankah penyerbuan Caruban ke Rajagaluh telah
menunjukkan bukti bahwa kita sangat kuat jika bersatu.”

“Justru di situlah letak masalahnya, Pangeran,” kata Abdul Jalil


menjelaskan. “Para bajak laut itu akan datang tidak sebagai
musuh. Mereka akan datang sebagai mitra berniaga yang
menawarkan keuntungan besar. Sebagaimana kita ketahui, dalam
hal dagang tidak ada perkawanan yang sejati, apalagi persatuan.
Prinsip utama dalam hal dagang adalah bagaimana kita dapat
menempatkan kepentingan kita di atas semua kepentingan agar
kita dapat menangguk keuntungan sebesar-besarnya. Nah, pada
keadaan itulah aku tidak yakin bahwa kita bisa bersatu karena yang
kita hadapi bukanlah ujung senjata seperti yang ditodongkan
orang-orang Rajagaluh, melainkan tawaran keuntungan berlimpah
yang menyilaukan kita.”

“Jika demikian, apa yang sebaiknya kita lakukan untuk


menghadapi mereka?”

“Menegakkan nilai-nilai yang berasas pada Tauhid.”

“Bukankah selama ini kita semua sudah melakukannya? Bukankah


kita sudah menyiarkan dakwah Islam di berbagai tempat?” tanya
Pangeran Zainal Abidin.

1799
“Itu memang benar, Pangeran. Tetapi, semuanya masih dilakukan
secara sendiri-sendiri dan terbatas pada lingkungan sekitar kita.
Kalaupun ada Bhayangkari Islah, itu pun dilakukan pada batas-
batas wilayah sendiri. Padahal, yang kita butuhkan sekarang ini
adalah gerakan serentak di seluruh negeri untuk memperkuat
benteng nilai-nilai berasas Tauhid. Sebab, kawanan bajak laut itu
tidak akan mampu menembus pertahanan nilai-nilai suatu bangsa
yang tegak di atas landasan Tauhid. Karena itu, sekarang inilah
waktu yang tepat bagi kita untuk memulai kerja keras membangun
benteng pertahanan nilai-nilai sebelum para pecinta tubuh dan
pemuja dunia itu datang ke hadapan kita.”

“Bagaimanakah cara kita melakukannya?”

“Kita harus mewujudkan gagasan Majelis Wali Songo


sebagaimana yang sudah pernah aku bicarakan dengan
saudaraku, almarhum Susuhunan Ampel Denta, dan dengan
ayahandamu serta Pamanda Raden Kusen. Kenapa kita butuh
mewujudkan gagasan Wali Songo? Sebab, masyarakat ummah
(al-ummah) yang sudah terbentuk di sebagian Nusa Jawa ini
membutuhkan pemimpin ruhani (al-imam) dengan tetap
berpedoman pada keteladanan yang dicontohkan empat khalifah.
Maksudku, jika selama ini di Caruban, Majapahit, dan Madura ada
khalifah-khalifah yang berkuasa atas wilayahnya masing-masing
maka dengan terbentuknya Majelis Wali Songo, semua khalifah itu
bisa disatukan, di samping tentu saja membatasi kekuasaan
khalifah agar tidak menjadi fir’aun seperti Syah Ismail.”

1800
“Dengan alasan agar khalifah tidak menjadi fir’aun maka melalui
Majelis Wali Songo, kekuasaan khalifah akan dibagi menjadi dua.
Yang pertama, khalifah hanya menjadi penguasa wilayah dan
menjalankan pemerintahan duniawi sehingga lebih tepat jika ia
disebut al-amir atau as-sultan. Jabatan al-amir atau as-sultan akan
dipegang oleh seorang adipati yang ditunjuk oleh para adipati.
Yang kedua, kekuasaan ruhani yang meliputi kekuasaan agama
yang mengatur penduduk yang tinggal di wilayah kekuasaan as-
sultan. Kekuasaan itu dipegang oleh para guru suci (susuhunan) di
bawah kendali satu orang pemimpin ruhani (al-imam al-ummah).
Itu berarti, baik al-amir atau as-sultan dan seluruh penduduk wajib
tunduk kepada kekuasaan Wali Songo terutama yang terkait
dengan penegakan aturan-aturan syarak,” kata Abdul Jalil.

“Apakah dengan cara demikian kita bisa menghindari ancaman


bajak laut Peranggi?”

“Menurut hematku, kita tidak bisa melakukan untuk menghadapi


mereka yang mencintai dan memuja dunia. Sebab, jika kecintaan
terhadap tubuh dan dunia kita lawan dengan cara yang sama maka
tidak akan ada bedanya antara kita dengan mereka. Karena itu,
mereka harus dilawan dengan kekuatan ruhani. Maksudku, saat
inilah pemimpin-pemimpin ruhani harus muncul sebagai kiblat
panutan pemimpin duniawi dan penduduk sebelum kawanan
pecinta tubuh dan pemuja duniawi itu datang ke sini. Saat inilah
waktu yang tepat untuk mewujudkan Majelis Wali Songo,
penguasa ruhani di Nusa Jawa,” ujar Abdul Jalil.

1801
“Kenapa majelis itu harus disebut wali? Kenapa pula berjumlah
sembilan?” tanya Pangeran Zainal Abidin.

“Sebutan wali memiliki dua sisi makna,” ujar Abdul Jalil. “Pertama-
tama, bagi penduduk beragama Syiwa-Budha, kata wali bermakna
pendeta yang melaksanakan upacara caru demi terciptanya
keseimbangan kehidupan manusia. Mereka dimuliakan karena
dianggap memiliki kemampuan melakukan upacara bhumisuddha.
Sementara itu, dengan kenyataan yang menunjuk bahwa para wali
yang sembilan itu selain melaksanakan upacara juga adalah guru
suci (susuhunan), maka kedudukannya adalah sama dengan guru,
yang bersthana di Kailasa: Syiwa. Dengan begitu, penduduk
beragama Syiwa-Budha akan menganggap mereka sebagai
penjelmaan Nawadewata.”

“Menurut saudara kami, almarhum Susuhunan Ampel Denta, kata


wali dikaitkan dengan penduduk beragama Islam dengan makna
pelindung dan sekaligus penguasa yang merujuk pada Asma’,
Af’al, dan Shifat Allah, yaitu al-Waly. Jabatan wali dalam hal itu
dinisbatkan kepada manusia-manusia yang sudah mencapai
derajat tertentu sebagai wakil al-Waly di muka bumi (khalifah al-
Waly fi al-ardh). Hal itu sudah diterapkan di Caruban dalam bentuk
wali nagari dan waly al-Ummah, yang memiliki makna jabatan
duniawi dan ruhani. Tetapi, dengan alasan Tauhid dan demi
menghindari kemungkinan lahirnya fir’aun-fir’aun maka jabatan itu
harus dibagi dua, yaitu jabatan al-amir atau as-sultan dan jabatan
al-imam al-ummah. Jadi, jabatan wali dalam Wali Songo lebih

1802
tinggi dibanding jabatan al-amir, as-sultan, dan adipati karena
berkedudukan ruhaniah.”

Sedangkan kata Songo, yang bermakna sembilan, selain memiliki


perlambang penguasa delapan penjuru mata angin, yaitu
Nawadewata (1.Paramasyiwa, 2.Wisynu, 3.Sambhu, 4.Iswara,
5.Rudra, 6.Brahma, 7.Maheswara, 8.Mahadewa, 9.Sangkhara),
juga terkait dengan hitungan saudara kami, almarhum Susuhunan
Ampel Denta, yang berpedoman pada hitungan abjadiyah A Ba Ja
Dun Ha Wa Zun. Kata Songo, menurut beliau, memiliki makna
Jawa, yaitu huruf ketiga dan keenam pada abjadiyah A Ba Ja Dun
Ha Wa Zun. Dengan demikian, Wali Songo memiliki perlambang
penguasa ruhani delapan penjuru mata angin di Nusa Jawa dan
sekaligus pelindung empat lemah larangan (lemah abang, lemah
putih, lemah ireng, lemah jenar: Caturbhasa Mandala).”

“Didalam perbincangan, kami telah sepakat bahwa apa yang


disebut Jawa bukanlah nama tempat atau nama kumpulan orang-
orang. Yang disebut Jawa adalah sebuah tatanan nilai-nilai yang
berlandaskan Tauhid yang merupakan perpaduan anasir-anasir
Tauhid dari berbagai agama yang pernah ada di dunia. Itu
sebabnya, yang disebut Jawa tidak akan pernah mati dan
sebaliknya akan tetap hidup lestari abadi seiring putaran roda
waktu selama anasir Tauhid masih melekat padanya.”

“Karena nilai-nilai yang membentuk ke-Jawa-an adalah nilai-nilai


Tauhid. Maka nilai-nilai Jawa akan selalu hidup, meski
1803
menghadapi tantangan dan rintangan bagaimana pun dahsyatnya,
selama masih setia pada Sumbernya, yaitu Tauhid. Sebagaimana
telah kita pahami, di dalam tata bahasa Jawa telah terdapat aturan
bahwa di antara seluruh aksara yang ada hanya aksara Ja dan Wa
yang tidak bisa mati. Maksudnya, hanya aksara Ja dan aksara Wa
yang tidak bisa diberi pangkon. Itu mengandung makna bahwa
siapa saja di antara manusia yang mengaku sebagai orang Jawa
tetapi dia ‘mati’ ketika dipangku oleh jabatan, kekayaan, dan
kemuliaan duniawi maka sesungguhnya dia itu pembohong. Dia
belum bertauhid. Dia belum menjadi Jawa dan sekali-kali haram
mengaku Jawa. Sebab, Jawa maknanya adalah Tauhid. Jawa
adalah awang-uwung. Jawa ibarat huruf alif dalam bahasa Arab,
yaitu huruf yang tidak bisa mati. Nilai-nilai Tauhid inilah yang harus
mendasari segala tindak dan laku bagi mereka yang mengaku
manusia Jawa.”

Raden Ahmad Susuhunan Khatib yang belum jelas dalam


memahami gagasan Wali Songo mengemukakan keberatan
terhadap usulan Abdul Jalil itu dengan alasan Tauhid. Sebagai
khalifah Tarekat Kubrawiyyah yang menggantikan ayahandanya,
dia menolak tegas ajaran yang bersifat Ittihadiyyah. Itu sebabnya,
saat dijelaskan bahwa Majelis Wali Songo akan menggantikan
kedudukan Nawadewata, dia tidak bisa menerima. Sebab,
gagasan itu hanya mungkin dilakukan jika orang seorang
menganut ajaran Ittihadiyyah sebagaimana ajaran Bhagavatam
dalam agama Hindu. Menurutnya, usaha mengambil alih
kedudukan Nawadewata dengan Wali Songo dikhawatirkan akan
merusak akidah.

1804
Menangkap ketidakpahaman Raden Ahmad, Abdul Jalil kemudian
memaparkan gagasan Wali Songo sebagaimana yang pernah ia
sampaikan kepada Raden Ali Rahmatullah, Prabu Satmata, da
Raden Kusen, “Sesungguhnya di balik perubahan Nawadewata
menjadi Wali Songo terkait dengan perubahan jabatan Buyut
menjadi Ki Ageng dan jabatan Rama menjadi Ki Lurah. Semuanya
bertujuan menegakkan Tauhid. Dengan begitu, sebagaimana
jabatan Ki Ageng dan jabatan Ki Lurah yang berujung pada
penghapusan kabuyutan-kabuyutan dan punden-punden karaman
(makam para Buyut dan Rama yang disembah-sembah), jabatan
Wali Songo pun pada akhirnya berujung pada penghapusan
pemujaan terhadap guru suci dan raja sebagai dewa. Sebab,
mereka yang menjadi anggota Wali Songo, al-amir, atau as-sultan
bukanlah jelmaan Tuhan, melainkan hanya sahabat-sahabat dan
kekasih-kekasih Tuhan. Sehingga, saat anggota-anggota Majelis
Guru Suci yang menjadi anggota Majelis Wali Songo dan para
adipati meninggal, kuburnya tidak akan disembah penduduk.”

“Apa syarat-syarat untuk menjadi anggota Majelis Wali Songo?”

“Anggota Wali Songo terdiri atas guru suci, baik mursyid maupun
khalifah tarekat yang memiliki kewenangan untuk melakukan
upacara madhiksa (baiat).”

“Apakah gagasan Wali Songo itu tidak menyalahi akidah?” tanya


Raden Ahmad. “Sebab, kedudukan Wali itu terahasia dan tidak
boleh diketahui oleh sembarang manusia kecuali sesama wali.”
1805
“Jika yang dimaksud adalah wali Allah, memang kedudukannya
terahasia. Tetapi, sejak awal sudah aku jelaskan bahwa yang
dimaksud Wali Songo adalah waly al-Ummah, yang merujuk pada
kedudukan al-imam al-ummah. Jadi, Wali Songo adalah jabatan
ruhani yang bisa dikenal oleh seluruh masyarakat. Apakah para
anggota Wali Songo itu berkedudukan sebagai wali Allah? Hanya
Allah dan para kekasihnya saja yang tahu.”

“Satu hal yang sesungguhnya dapat kita tarik dari pembentukan


Majelis Wali Songo, yang terkait dengan Asma’, Shifat, dan Af’al
Allah, yakni pengejawantahan azh-Zhahir dan al-Bathin yang
abadi. Maksudku, jika suatu ketika azh-Zhahir pernah
mengejawantah di Andalusia dalam wujud Khilafah Islamiyah
maka saat itu al-Bathin tersembunyi secara rahasia. Ketika
Khilafah Islamiyah secara zahir menyingsing dari Andalusia, bukan
berarti Islam terhapus dari permukaan bumi, melainkan terbit di
tempat lain. Salah satunya, di Nusa Jawa ini.”

“Selama berbilang abad, al-Waly telah mengejawantah pada wujud


zahir para wali Allah yang mengajarkan Jalan Kebenaran (thariqah
al-haqq) kepada manusia dan orang-orang yang dipilih-Nya.
Tetapi, saat Syah Ismail dengan mulutnya yang lancang itu
menyatakan bahwa keberadaan wali Allah yang disandang para
guru tarekat dan orang-orang suci adalah kebohongan, dengan
alasan bahwa kedudukan hanya disandang oleh dua belas orang
imam Syi’ah, maka menyingsinglah al-Waly secara zahir dari bumi
Persia. Tetapi, itu bukan berarti al-Waly terbenam di dalam al-
Bathin. Dengan zahirnya Majelis Wali Songo ini, kita akan
1806
maklumkan kepada dunia bahwa al-Waly tetap mengejawantah
secara zahir di Nusa Jawa. Al-Waly secara zahir telah terbenam
dari bumi Persia, namun terbit di bumi Jawa. Ini adalah pembuktian
bahwa firman tuhan bernama Syah Ismail yang mengaku
keturunan Muhammad Saw itu hanya berlaku di wilayah
kekuasaannya saja. Al-Waly tetap mengejawantah secara zahir di
dunia.”

“Tapi paman,” Raden Ahmad ingin penjelasan lebih dalam,


“bukankah kedudukan wali yang ditetapkan Syah Ismail terserap
ke dalam diri dua belas imam? Sedangkan Majelis Wali Songo
hanya sembilan orang? Apakah penduduk Jawa yang menganut
Syi’ah akan mempercayai keberadaan Wali Songo?”

“Kita tidak perlu mengikuti cara berpikir Syah Ismail di Persia sana.
Kita tidak perlu mengikuti cara pikir penduduk Syi’ah di Nusa Jawa.
Kita harus bertindak dengan cara pikir penduduk Nusa Jawa yang
bakal menerima gagasan kita. Maksudnya, jika selama ratusan
tahun penduduk Nusa Jawa tidak mengenal imam yang dua belas
sebaliknya mereka lebih mengenal Nawadewata (sembilan dewa)
dan Trisamaya (tiga dewa), yang kesemua jumlahnya dua belas,
kenapa kita harus memaksa mereka dengan sesuatu yang tidak
mereka kenal? Menurut hematku, penduduk Nusa Jawa akan lebih
mudah menerima keberadaan Majelis Wali Songo sebagai
pengejawantahan Nawadewata dan Trisamaya. Itu berarti, kita
tidak perlu lagi terperangkap ke dalam perbedaan Sunni-Syi’ah.
Kita hanya mengenal paham tentang Jawa dan bukan Jawa,” kata
Abdul Jalil menegaskan.
1807
Akhirnya, semua pihak memahami pandangan dan gagasan yang
disampaikan Abdul Jalil. Mereka semua sepakat membentuk
Majelis Wali Songo yang ternyata sudah disetujui oleh almarhum
Raden Ali Rahmatullah.

Pertama-tama, semua sepakat bahwa Sri Naranatha Giri Kedhaton


Ratu Tunggul Khalifatullah, Prabu Satmata (Hyang Manon), Sang
Girinatha (raja gunung; Syiwa), ditetapkan sebagai pemimpin
MajelisWali Songo dan dianggap berkedudukan sebagai Bhattara
Paramasyiwa. Prabu Satmata berkedudukan di pusat kekuasaan
ruhani di Nusa Jawa. Lantaran menjadi lambang Paramasyiwa
maka Prabu Satmata menggunakan gelar Susuhunan Giri, yang
bermakna Guru Suci dari Giri (Sang Girinatha) perwujudan Guru
Agung yang bersthana di Gunung Kailasa.

Prabu Satmata berkedudukan di pusat, dilingkari guru suci lainnya


(Wisynu, Sambhu, Iswara, Rudra, Brahma, Maheswara,
Mahadewa, Sangkhara) dan sekaligus menjadi penguasa ruhani di
empat mandala utama (caturbhasa mandala), yaitu Sagaramadhu,
Sukharajya, Kembang, dan Sekarkurung. Di mandala-mandala
tersebut Prabu Satmata menjadi guru yang bertugas
menyampaikan ajaran Islam yang mencakup syari’at-thariqat-
haqiqat-ma’rifat, yaitu kelanjutan sempurna ajaran suci yang sudah
disampaika Bhattara Parameswara di caturbhasa mandala yang
terletak di Sagara (lautan), Sukhayajna (pemujaan), Kasturi
(semerbak wangi), dan Kukub (selimut).

1808
Di Sagaramadhu (lautan madhu), Prabu Satmata sebagai
susuhunan Tarekat Ni’matullah mengajarkan ilmu ma’rifat kepada
murid-murid utama yang tergolong ahl al-ahadiyyah di mana nama
Sagaramadhu terkait dengan lambang lautan wujud (bahr al-
wujud). Di Kembang (bunga), Prabu Satmata mengajarkan ilmu
haqiqat kepada murid-murid yang tergolong ahl al-wahdat di mana
nama Kembang terkait dengan lambang barzakh al-jami’. Di
Sukarajya, Prabu Satmata mengajarkan ilmu thariqat kepada
murid-murid yang tergolong ahl al-wahidiyyah di mana nama
Sukarajya terkait dengan lambang Sukhayajna (pemujaan), yakni
jihad an-nafs. Dan di Sekarkurung, sang susuhunan mengajarkan
ilmu syari’at kepada murid-murid yang tergolong ahl asy-syar’i di
mana nama sekar kurung (bunga yang terkurung) terkait dengan
lambang selimut (kukub), yakni perlambang orang-orang yang
kesucian jati dirinya masih terselubung hijab (mahjubin).

Di keempat mandala itu Prabu Satmata mengajarkan Tarekat


Ni’matullah kepada para dikshita yang mencari Kebenaran.
Pembagian tingkat pengajaran ruhani berdasar syari’at, thariqat,
haqiqat, dan ma’rifat bukanlah hal yang asing bagi penduduk Nusa
Jawa. Di dalam ajaran Syiwa-Budha, pembagian tingkat tersebut
sudah dikenal dengan istilah bhaktimarga (syari’at), karmamarga
(thariqat), jnanamarga (haqiqat), dan yogamarga (ma’rifat).
Sebagai penguasa dan guru suci pada caturbhasa mandala, Prabu
Satmata selaku lambang Bhattara Paramasyiwa memberikan
wewenang kepada Syaikh Siti Jenar sebagai lambang Maheswara,
penguasa barat daya, untuk menjadi penjaga empat lemah
larangan di wilayah Giri Kedhaton, yaitu Ksetra Adhidewa, Ksetra
Mangare, Dharma Lemah Abang, dan Lemah Putih.
1809
Raden Mahdum Ibrahim Imam Masjid Demak, mantan adipati
Lasem, ditetapkan sebagai lambang Wisynu yang berkedudukan
di utara dan menjadi penguasa sekaligus susuhunan pada
caturbhasa mandala di Shankapura, Komalasa, Bonang, dan
Trutup. Sebagai perlambang Wisynu, Raden Mahdum Ibrahim
menggunakan gelar Susuhunan Wahdat Cakrawati. Di keempat
mandala itu Susuhunan Wahdat Cakrawati selaku wakil mursyid
(khalifah) Tarekat Ni’matullah mengajarkan kepada para dikshita
jalan lurus menuju Kebenaran. Sebagai lambang Wisynu, Raden
Mahdum Ibrahim memberikan wewenang kepada Syaikh Lemah
Abang sebagai Maheswara untuk menjaga empat lemah larangan,
yaitu Ksetra Mahibit, Lemah Abang, Lemah Putih, dan Wulung.
Lantaran sudah menjadi anggota Majelis Wali Songo yang menjadi
guru suci di sejumlah tempat yang jauh dari Kadipaten Demak,
kedudukan Raden Mahdum Ibrahim sebagai Imam Masjid Demak
digantikan oleh saudara iparnya, Pangeran Karang Kemuning,
Tuan Ibrahim al-Gujarati, suami Nyi Gede Pancuran.

Pangeran Arya Pinatih yang masyhur dengan sebutan Syaikh


Manganti ditetapkan sebagai lambang Brahma yang
berkedudukan di selatan, sekaligus menjadi penguasa dan
susuhunan pada caturbhasa mandala di Tasikmadhu, Giribik,
Pandanwangi, dan Kamulan di Bumi Tumapel. Di keempat
mandala itu Pangeran Arya Pinatih selaku wakil mursyid (khalifah)
Tarekat Kubrawiyyah mengajarkan kepada para dikshita jalan
lurus menuju Kebenaran. Sebagai lambang Brahma, Pangeran
Arya Pinatih memberikan wewenang kepada Syaikh Lemah
Abang, lambang Maheswara, untuk menjadi penjaga empat lemah
larangan, yaitu Ksetra Wurare, Ksetra Sempalwadak, Tunggul
1810
Wulung, dan Kunir. Sementara itu, karena penjaga gerbang
selatan Sthana Syiwa adalah Bhattara Gana (Ganesha) maka
Pangeran Arya Pinatih menggunakan gelar Susuhunan Giri Gajah
alias Sang Girijatanaya (Ganesha Putera Uma).

Khalifah Husein Imam Madura ditetapkan sebagai lambang


Shambu yang berkedudukan di timur laut yang sekaligus menjadi
penguasa dan susuhunan pada caturbhasa mandala di Madura
yang terletak di Sagara di Gunung Geger (hiruk pikuk: Rudra),
Bulan-Bulan (Candrasekhara), Aromata (tanjung wewangian), dan
Kukub (Kokob). Di keempat mandala itu Khalifah Husein selaku
wakil mursyid (khalifah) Kubrawiyyah mengajarkan kepada para
dikshita jalan lurus menuju Kebenaran. Sebagai lambang Sambhu,
Khalifah Husein memberikan wewenang kepada Syaikh Lemah
Abang untuk menjadi penjaga empat lemah larangan, yaitu Gua
Daksha, Tanah Merah, Kemuning, dan Tabehan di Sapudi.

Raden Ahmad Susuhunan Khatib ditetapkan sebagai lambang


Iswara yang berkedudukan di timur yang sekaligus menjadi
penguasa dan susuhunan pada caturbhasa mandala di Ampel
Denta, Pinilih, Bang Kuning, dan Bukul. Di keempat mandala itu
Raden Ahmad selaku mursyid pengganti (khatib) Tarekat
Kubrawiyyah mengajarkan kepada para dikshita jalan lurus menuju
Kebenaran. Sebagai lambang Iswara, Raden Ahmad memberi
wewenang kepada Syaikh Lemah Abang untuk menjadi penjaga
empat lemah larangan, yaitu Ksetra Nyu Denta, Kadingding,
Palemahan, dan Sasawo.

1811
Syaikh Jumad al-Kubra ditetapkan sebagai lambang Rudra yang
berkedudukan di tenggara dan sekaligus menjadi penguasa dan
susuhunan pada caturbhasa mandala di Siddhasrema,
Pagedangan, Sagara, dan Tunggul Wulung. Di keempat mandala
itu Syaikh Jumad al Kubra mengajarkan kepada para dikshita jalan
lurus menuju Kebenaran, berdasar tingkatan syari’at, thariqat,
haqiqat, ma’rifat. Sebagai lambang Rudra, Syaikh Jumad al-Kubra
memberikan wewenag kepada Syaikh Lemah Abang untuk
menjadi penjaga empat lemah larangan, yaitu Ksetra Candika,
Ksetra Rabut Carat, Keboireng, Lemah Abang.

Syarif Hidayatullah Wali Nagari Gunung Jati ditetapkan sebagai


lambang Sangkhara yang berkedudukan di barat laut dan
sekaligus manjadi penguasa dan susuhunan pada caturbhasa
mandala di Sukhajaya, Tegalwangi, Tatakan, dan Wringinkurung.
Sebagai lambang Sangkhara, Syarif Hidayatullah memberikan
wewenang kepada Syaikh Lemah Abang untuk menjadi penjaga
empat lemah larangan, yaitu Gunung Pulasari, Gunung Lancar,
Gunung Karang, dan Sudamani.

Syaikh Bentong ditetapkan sebagai lambang Mahadewa yang


berkedudukan di barat dan sekaligus menjadi penguasa dan
susuhunan pada caturbhasa mandala di Sangkan Urip, Malang
Sumirang, Campaka, dan Sirnabhaya. Sebagai lambang
Mahadewa, Syaikh Bentong memberi wewenang Syaikh Lemah
Abang untuk menjadi penjaga empat lemah larangan, yaitu
Siddhawangi, Lemah Abang, Ksetra Kalahang, dan Girinatha.

1812
Keberadaan Syaikh Lemah Abang (Abdul Jalil) sebagai pendeta
yang paling berpengalaman dalam meredam dan membuat tawar
ksetra-ksetra, telah mendudukannya sebagai salah satu dari
anggota Wali Songo yang tidak sekadar bertugas menjaga empat
lemah larangan yang sebagian besar adalah ksetra di sembilan
wilayah, melainkan pula menjadi penguasa dan guru suci di
mandala-mandala yang mengandung makna empat warna seperti
Lemah Abang, Kajenar, Lemah Putih, Lemah Ireng, Kemuning,
Wulung, Sekar Putih, Perak, Batu Putih, Silapethak, Selamirah.
Untuk tugas itu, Syaikh Lemah Abang mempercayakan semua
wilayah yang dijaganya kepada para murid kepercayaannya. Ia
sendiri terlihat lebih banyak berkelana dari satu tempat ke tempat
lain.

Sesuai rencana, kesembilan orang anggota Wali Songo pengganti


Nawadewata adalah penguasa-penguasa ruhani yang baru bagi
mandala-mandala dan lemah-lemah larangan di Nusa Jawa.
Sebagaimana kedudukan khalifah yang sudah dipegang Prabu
Satmata, di dalam Majelis Wali Songo pun kedudukan pemimpin
juga dipegangnya, yaitu sebagai Sang Girinatha pengejawantahan
Paramasyiwa. Tugas utama Majelis Wali Songo bagi penduduk
Nusa Jawa penganut Syiwa-Budha adalah sebagai pendeta
utama, terutama sebagai wali (pemimpin upacara) keagamaan,
yang bertujuan menyelamatkan kehidupan umat manusia dari
pengaruh jahat para bhutakala. Sementara bagi penduduk Nusa
Jawa penganut Islam, Majelis Wali Songo adalah penguasa ruhani
yang menjadi pelindung dan sekaligus pemelihara keseimbangan
bagi kekuasaan duniawi dan keselamatan penduduk. Mereka
adalah para guru suci, sahabat-sahabat Tuhan (wali Allah) yang
1813
mengajarkan Islam secara sempurna mulai dari syari’at, thariqat,
haqiqat, dan ma’rifat. Kepada merekalah para adipati, penguasa
wilayah duniawi, tunduk dan meminta berkah ruhani.

Matahari merayap turun dan kabut tebal sudah memenuhi


permukaan bumi ketika Abdul Jalil yang diiringi Abdul Malik Israil
dan Raden Sahid menghadap Patih Mahodara di nDalem
Kapatihan yang terletak di barat Bangsal Kaprabon Daha. Sore itu
Abdul Jalil memenuhi undangan Patih Mahodara yang ingin
mengetahui perkembangan membingungkan di Bharatnagari yang
terkait dengan maraknya kabar pembunuhan terhadap orang-
orang Islam. Patih Mahodara yang mengenakan kain putih tanpa
hiasan didampingi Pangeran Karucil dan Pangeran Gogor, dua
orang putera Sri Surawiryyawangsaja. Setelah saling
mengabarkan keselamatan masing-masing, dengan nada penuh
selidik Patih Mahodara bertanya, “Kesalahan apa yang dilakukan
orang-orang Islam di Bharatnagari sehingga mereka dibunuh?
Apakah mereka mau merebut kekuasaan raja Bharatnagari?”

Abdul Jalil yang menangkap kecurigaan berlebih Patih Mahodara


atas terbentuknya Majelis Wali Songo, yang mungkin
dibayangkannya bakal merebut kekuasaan Majapahit di
pedalaman, menjelaskan duduk perkara kabar yang didengar sang
patih itu.

“Sesungguhnya, yang dibunuh oleh orang-orang Portugis adalah


orang-orang muslim Mappila, abdi maharaja Wijayanagara.
1814
Malahan, bukan hanya orang Mappila, para nelayan Hindu di
Kozhikode pun dibunuh. Tubuh mereka dicincang dan
dipertontonkan di pantai Kozhikode. Mereka yang dibunuh itu
sama sekali tidak berhubungan dengan perebutan kekuasaan
karena leluhur orang Mappila adalah abdi maharaja Wijayanagara.
Mereka yang dibunuh itu bukan prajurit atau pemberontak,
melainkan laki-laki tua, perempuan, dan anak-anak yang baru
kembali menunaikan ibadah haji. Mereka tidak bersalah apa-apa.
Mereka hanya menjadi korban dari orang-orang Peranggi yang
kejam dan ingin merampas kekuasaan dari tangan raja-raja
Bharatnagari.”

“Siapakah orang-orang Peranggi itu, o Tuan Syaikh?” tanya Patih


Mahodara ingin tahu. “Pu Pedhut dan Pu Pecuk, Puhawang dan
Pabanyaga Daha, telah melaporkan kepada kami tentang orang-
orang aneh yang mereka temui di negeri Malindi. Orang-orang itu,
kata mereka, kulitnya putih seperti kulit kerbau bule, matanya biru
seperti mata kucing, rambutnya kuning kemerahan seperti singa,
suaranya keras seperti guntur, pakaiannya dihiasi rumbai-rumbai,
topinya dari bahan besi. Kapal-kapalnya aneh. Pada lambung
kapalnya dipasangi bedil besar. Apakah yang ditemui Pu Pedhut
dan Pu Pecuk itu orang Peranggi yang membunuhi orang Islam di
Bharatnagari?”

“Menurut hemat kami memang demikian, Paduka,” sahut Abdul


Jalil sambil memandang Abdul Malik Israil. “Tapi mohon maaf, kami
tidak begitu paham tentang orang-orang Peranggi itu. Sepanjang
hidup, kami belum pernah bertemu mereka. Tetapi saudara kami,
1815
Abdul Malik Israil, sangat mengenal orang-orang Peranggi karena
tanah kelahiran mereka berdekatan. Maksud kami, tanah asal
sahabat kami ini dekat dengan tanah asal orang-orang Peranggi.”

“Benarkah itu?” tanya Patih Mahodara kepada Abdul Malik Israil.

“Benar, Paduka,” sahut Abdul Malik Israil menegaskan. “Jarak kota


kelahiran kami yang disebut Granada hanya sekitar seratus yojana
dari perbatasan negeri Peranggi. Negeri kami terletak di bumi
Andalusia.”

“Tapi, kulit Tuan Syaikh tidak putih. Mata Tuan tidak biru. Rambut
Tuan tidak kuning kemerahan,” sergah Patih Mahodara
mengerutkan kening, penuh curiga.

“Kami memang bangsa pendatang di bumi Andalusia. Asal tanah


leluhur kami di negeri Arab. Karena itu, saat orang-orang kulit putih,
mata biru, dan rambut kuning kemerahan itu berkuasa, kami
diusirnya dari bumi Andalusia. Bukan hanya kami, Bani Israil,
melainkan orang-orang Arab asal Maghrib pun diusirnya dari situ,”
jelas Abdul Malik Israil.

“Mereka mengusir orang yang tidak sama dengan mereka?” tanya


Patih Mahodara.

1816
“Mereka itu bangsa yang sombong, Paduka. Mereka suka
merendahkan orang lain yang kulitnya lebih gelap daripada
mereka. Karena itu, di mana pun mereka datang, mereka akan
membahayakan penduduk yang didatangi. Kenapa berbahaya?
Sebab, mereka punya kebiasaan yang aneh, Paduka,” papar Abdul
Malik Israil.

“Kebiasaan aneh? Apa itu misalnya?”

“Mereka memuja Raja laki-laki mereka dengan limpahan


kemewahan. Sedangkan Raja puteri mereka akan mereka iris-iris
dan mereka potong-potong. Para Aji mereka anggap sebagai
lombok yang bisa mereka jadikan sambal atau dikunyah-kunyah
sebagai lalapan. Para Ajar mereka anggap sebagai bawang putih
yang bisa mereka jadikan bumbu. Para Rama mereka anggap
sebagai ranting-ranting pohon yang bisa mereka jadikan kayu
bakar. Para Rana mereka anggap sebagai katak yang lezat
dipanggang. Para Patibulo akan mereka gantung seperti ikan di
pasar. Bahkan, para Basura akan mereka campakkan ke tempat
sampah,” kata Abdul Malik Israil.

“Mengerikan sekali perilaku mereka,” gumam Patih Mahodara


tertegun-tegun.

“Desa-desa yang mereka bangun pun adalah desa-desa aneh dan


menakutkan. Mereka menyebutnya Desacato, tempat para
1817
pembangkang. Mereka bangun pula Desalino, tempat yang
berantakan. Setelah itu, mereka bangun pula Desalmado yang
berisi manusia-manusia bengis dan kejam. Lalu mereka bangun
Desatino, kediaman orang-orang sesat. Kalau desa-desa itu sudah
terbentuk maka penduduknya akan membayar paja dengan
jerami.”

“Gila sekali kebiasaan mereka itu,” gumam Pangeran Gogor


seolah kepada diri sendiri.

“Pasar-pasar yang mereka sebut Pasar Hambre


memperdagangkan orang-orang kurus kelaparan. Pasar mereka
yang disebut Pasar Miedo merupakan tempat orang-orang
ketakutan disekap di dalam kerangkeng.”

“Sungguh gila,” gumam Pangeran Gogor menggeleng-gelengkan


kepala.

“Para Tanda akan ditangkap dan dihujani pukulan bertubi-tubi.


Bahkan mereka menamakan diri sebagai Devastador, penghancur
dewa. Jadi, kalau mereka ketemu dewa-dewa akan mereka
hancurkan.”

1818
“Sungguh gila,” seru Patih Mahodara agak marah. “Kalau begitu,
mereka jangan boleh mengunjungi negeri kita. Mereka harus kita
usir sebelum mengacau dan membinasakan kita.”

“Tetapi mereka tidak bisa dilawan dengan kekuatan kecil, Paduka.


Mereka harus dilawan dengan kekuatan yang besar dan bersatu.
Maksud kami, tidak mungkin kekuatan Daha, Wirasabha,
Surabaya, Demak, Giri, Pengging, Caruban, yang terpecah-pecah
dapat mengalahkan mereka. Semua harus bersatu untuk bisa
melawan mereka. Ya, seluruh kekuatan di Nusa Jawa harus
bersatu untuk melawan bangsa aneh itu.”

“Bagaimana caranya?”

“Dalam pertemuan di Giri Kedhaton pekan lalu, para guru suci telah
sepakat membentuk Majelis Wali Songo. Mereka adalah wali yang
memiliki tugas utama melakukan upacara-upacara yadna demi
keseimbangan hidup penduduk di Nusa Jawa. Mareka adalah para
pendeta yang menjadi pelindung ruhani bagi kekuasaan-
kekuasaan para adipati yang sepakat menolak kehadiran Peranggi
di Nusa Jawa,” papar Abdul Malik Israil.

“Apakah Wali Songo bukan siasat orang-orang Islam untuk


merebut kekuasaan?”

1819
Abdul Jalil menukas dengan suara lain, “Kami menjamin bahwa
selama kami hidup, Wali Songo tidak akan berkaitan dengan
kekuasaan duniawi. Sebab, kami yang merupakan salah satu
penggagas menempatkan Wali Songo semata-mata berkaitan
dengan tatanan ruhani. Wali Songo adalah kumpulan para
pendeta. Sebagai bukti bahwa Wali Songo adalah kumpulan
pendeta yang bertujuan menjaga keseimbangan kehidupan
penduduk di Nusa Jawa. Susuhunan Giri Gajah Pangeran Arya
Pinatih telah mengirim utusan ke Puri Kutulingkup di Bali. Sebagai
sesama keturunan Dewa Manggis Kuning, ia memberi tahu
penguasa Puri Kutulingkup, Kyayi Anglurah Agung Pinatih, untuk
bersiaga menghadapi kehadiran orang-orang Peranggi yang bakal
menjarah kekayaan negeri-negeri subur. Ia bahkan meminta
sejumlah pendeta dari Bali untuk membantu pelaksanaan upacara
bhumisoddhana di Jawa. Susuhunan Giri juga mengirim utusan ke
Blambangan dengan maksud yang sama, yaitu mengingatkan
penguasa Blambangan bakal datangnya bahaya bangsa Peranggi
dan meminta bantuan dalam melaksanakan upacara
bhumisoddhana di Jawa.”

“Ya, aku sudah mendapat laporan tentang itu,” kata Patih


Mahodara.

“Kami kira, tidak lama lagi akan datang utusan dari Demak ke Daha
untuk meminta dukungan bagi persiapan menghadapi kedatangan
Peranggi.”

1820
“Aku kira, Sri Prabu Surawiryyawangsaja tidak akan keberatan
bergabung dengan seluruh kekuatan adipati di Nusa Jawa untuk
menghadapi serbuan orang-orang Peranggi yang aneh itu,” kata
Patih Mahodara.

Malam itu, usai menghadap Patih Mahodara, tanpa beristirahat


sedikit pun Abdul Jalil dan Abdul Malik Israil serta Raden Sahid
kembali ke Surabaya. Tetapi, sebelum meninggalkan Daha Abdul
Jalil mempersaksikan keislaman Pangeran Kuracil sekaligus
upacara madiksha yang dilakukan di kediaman Kyayi Pocanan di
Kejenar. Rupanya, sejak dibukanya Dukuh Kajenar (Kamuning) di
barat kota Daha, ajaran Jawa (Tauhid) yang disampaikan Abdul
Jalil melalui murid-muridnya mulai tersebar di lingkungan keluarga
bangsawan Daha dan sejumlah desa sekitar. Cepatnya ajaran
tersebut menyebar karena apa yang disampaikan orang-0rang di
Dukuh Kajenar tidak jauh berbeda dengan ajaran Syiwa-Budha
yang telah dikenal, kecuali pertanda bahwa orang-orang Kajenar
dan pengikutnya berkhitan. Bahkan seperti kedudukan
sebelumnya, Kyayi Pocanan, pemangku Dukuh Kajenar, tetap
dianggap pendeta oleh penduduk sekitar.

Seusai upacara madiksha dan memberi sedikit wejangan kepada


pengikut-pengikutnya, saat berada di atas perahu menuju
Surabaya, Abdul Jalil bertanya kepada Abdul Malik Israil tentang
penjelasannya yang aneh kepada Patih Mahodara, “Bagaimana
mungkin Tuan bisa membohongi Patih Mahodara dengan
penjelasan yang keliru tentang orang-orang Portugis? Bukankah
orang-orang Portugis tidak segila yang Tuan gambarkan?”
1821
“Sesungguhnya, aku tidak berbohong sedikit pun kepada Patih
Mahodara, o Saudaraku,” kata Abdul Malik Israil dengan senyum
lebar. “Sebab, apa yang aku sampaikan tadi adalah berdasar
bahasa Spanyol yang aku kuasai. Jika tadi aku sebutkan bahwa
Raja puteri akan diiris-iris dan dipotong-potong, itu bukan bohong.
Sebab kata Raja dalam bentuk muanats (feminin) dalam bahasa
Spanyol artinya memang diiris-iris dan dipotong-potong. Begitu
juga kata Aji, dalam bahasa Spanyol berarti lombok yang bisa
disambal dan dijadikan lalapan. Kata Ajar berarti ladang bawang
putih yang hasilnya bisa jadi bumbu. Kata Rama artinya ranting.
Ranting yang lazimnya dijadikan kayu bakar dalam upacara
persembahyangan Hindu. Kata Tanda artinya hujan pukulan
bertubi-tubi. Kata Rana artinya katak. Kata Patibulo artinya
penggantungan. Kata Desacato artinya membangkang. Kata
Desalmado artinya bengis dan kejam. Jadi, aku hanya
mengemukakan kata-kata yang berbeda arti antara bahasa Jawa
dan bahasa Spanyol. Kalau Patih Mahodara membayangkan lain
tentang makna kata yang aku sampaikan, itu bukan salahku.”

1822
Hidayah al-Hadi

Suasana malam hari bandar Kozhikode


sebelum hadirnya orang-orang Portugis
sangat semarak. Para pelaut dari berbagai
negeri biasanya menghabiskan waktu di
kedai-kedai yang tersebar di kawasan
pelabuhan. Mereka menghamburkan uang di
meja judi, kedai minuman, rumah pelacuran, dan panggung
pertunjukan. Selama berpuluh tahun kehidupan malam di
Kozhikode benar-benar sangat semarak. Tetapi, sejak hadirnya
kapal-kapal Portugis di bawah Vasco da Gama, kehidupan malam
di Kozhikode tiba-tiba menjadi senyap. Kedai-kedai minuman di
sekitar pelabuhan terlihat redup dan sepi pengunjung. Rumah-
rumah pelacuran pun hanya dikunjungi satu dua orang, terutama
pelaut Portugis. Panggung pertunjukan tutup. Kapal-kapal niaga
yang biasanya tertambat di dermaga atau membuang sauh di lepas
pantai Kozhikode jumlahnya tinggal hitungan jari. Jika malam
merayap, penduduk Kozhikode lebih suka menutup pintu dan
menggulung diri dalam selimut.

Suatu malam, di bawah bayangan kota yang sepi, dalam liputan


malam yang dingin, di antara gonggongan anjing geladak yang
berkeliaran di jalanan, terlihat beberapa pelaut Portugis berjalan
sempoyongan keluar dari kedai minuman. Rupanya, mereka baru
saja menenggak minuman keras dengan dikawani pelacur-pelacur
sampai mabuk. Tanpa peduli keadaan sekitar, dengan langkah
gontai mereka merayap di tengah keremangan, melintasi lorong-
1823
lorong menuju pelabuhan. Salah seorang di antara mereka terlihat
menggenggam erat botol minumannya dan sesekali menenggak
isinya sambil terseok-seok. Setelah agak jauh melangkah, mereka
berangkulan dan bernyanyi-nyanyi sambil sesekali berteriak-teriak
dan mengumpat-umpat. Mereka mengumpat aturan ketat yang
melarang mereka menginap di luar kapal. Mereka mengumpat
tukang masak kapal yang menyiapkan menu sama dari waktu ke
waktu. Dan dengan perasaan getir, mereka mengumpat para
pelacur India yang menertawakan kejantanan mereka dengan
ibarat ayam dalam bercinta.

Di tengah gaduhnya pelaut-pelaut Portugis yang mabuk dan


mengumpat-umpat, di dalam embusan angin laut yang menampar-
nampar, di antara debur ombak yang menghantam tiang-tiang
dermaga, terlihat seorang pelaut muda Portugis duduk di sisi kanan
dermaga. Ia adalah Francisco Barbosa, prajurit bagian meriam
yang terkenal gagah berani dan tidak takut mati dalam
pertempuran. Agak berbeda dengan kawan-kawannya yang selalu
bergembira dan menghibur diri di kota, pelaut muda asal kota
Tavira, Algarvia, Portugis selatan itu selalu terlihat murung dan
gelisah. Seperti kebiasaan yang dilakukannya, malam itu ia duduk
di dermaga sambil mengayun-ayunkan kedua kakinya yang
menggantung ke arah depan dan belakang. Beberapa kali ia
terlihat memukul-mukul pahanya.

Kemurungan dan kegelisahan yang dirasakan Barbosa


sebenarnya berawal dari kekecewaan mendalam yang dialaminya
sewaktu mengikuti pelayaran Vasco da Gama ke Kozhikode. Ia
1824
yang sebelumnya memuja kepahlawanan dan kegagahberanian
ksatria di medan tempur, benar-benar kecewa dan sangat terpukul
ketika menyaksikan kebiadaban pemimpin dan kawan-kawannya
yang tertawa kegirangan sewaktu membakar kapal berisi orang-
orang muslim Kozhikode hingga tenggelam ke dasar laut. Ia tidak
bisa menerima apa pun alasan yang membenarkan peristiwa itu.
Bagaimana mungkin orang-orang yang mengaku ksatria dan
prajurit tuhan bisa melakukan tindakan nista: membakar kapal
yang ditumpangi laki-laki tua, perempuan, dan anak-anak tak
bersenjata. Sungguh, hanya bajingan pengecut yang membunuh
orang tua, perempuan, dan anak-anak, jeritnya dalam hati dari
waktu ke waktu. Sejak peristiwa keji itu, ia merasakan jiwanya luka
berdarah-darah.

Luka jiwa yang dialami Barbosa makin parah manakala ia


menyaksikan peristiwa yang tidak kalah nista: prajurit Portugis,
prajurit-prajurit tuhan yang perkasa, menangkapi nelayan tak
bersenjata dan membunuh mereka serta memotong-motong
anggota tubuh mereka. Tindakan keji itu, menurutnya, adalah
tindakan pengecut yang hina. Luka jiwa itu makin parah manakala
ia diperintahkan menembaki kota Kozhikode. Ia merasakan bukan
saja jiwanya luka dan mengalirkan darah, bahkan kedua
tangannya ia rasakan berlumuran darah.

Francisco Barbosa, prajurit muda Portugis yang sejak kanak-kanak


memuja kepahlawanan sebagai keutamaan, memang sangat sulit
menerima tindakan brutal kawan-kawannya yang mengaku prajurit
tuhan itu sebagai sebuah tindakan yang benar. Ia juga sulit
1825
menerima tindakan biadab pemimpinnya, yang mengaku ksatria
tuhan itu, sebagai sebuah tindakan mulia. Ia justru menangkap
kesan betapa pemimpin dan kawan-kawannya adalah kawanan
monster buas mengerikan yang mengaku-aku sebagai ksatria dan
prajurit tuhan. Dan kesan kemonsteran mereka itu makin kuat
tergambar di benak Barbosa ketika kilasan bayangan peristiwa
terkutuk itu laksana hantu memburu ingatannya. Tak jarang ia
mengamuk tanpa alasan ketika telinga jiwanya mendengar jerit
tangis perempuan dan anak-anak dari dalam kapal yang terbakar
itu. Pemandangan terkutuk itu benar-benar telah menggerus
jiwanya bagaikan tebing sungai yang longsor terkena arus.

Sebagai prajurit, Barbosa berusaha keras menutupi kegundahan


yang makin menggoyahkan ketegaran jiwanya. Tetapi, ia tetap
tidak mampu menyembunyikan kegalauan yang memancar dari
sorot matanya. Ia tidak sanggup lagi berbicara dengan tenang
akibat kecemasan yang mengharu biru jiwanya. Ia tidak dapat
bersikap ramah terhadap kawan-kawan yang dianggapnya
sebagai makhluk mengerikan. Bahkan, tarikan napas berat
berulang-ulang yang mulai sering dilakukannya saat berusaha
menenangkan jiwanya yang kacau, seolah-olah menunjuk betapa
menyesakkan beban jiwa di dadanya yang ingin ditumpahkan
lewat lubang hidungnya. Saat kegundahan sudah pepat memenuhi
dada hingga benaknya pun padat dijejali bayangan-bayangan
mengerikan, ia berusaha membersihkannya dengan minuman
keras. Tapi, yang paling sering dilakukannya saat tercekam
kegundahan adalah duduk semalaman di dermaga. Sebagaimana
malam-malam sebelumnya, Barbosa duduk menyendiri di

1826
dermaga untuk menenangkan jiwanya yang teraduk-aduk seperti
ombak lautan.

Gerak-gerik Barbosa yang dicekam kegelisahan itu ternyata cukup


lama diamati oleh Abdul Jalil, Abdul Malik Israil, Raden Sahid,
Syaikh Abdul Jabbar el-Kabiry, dan Sidi Abdul Qadir el-Kabiry yang
berdiri di ujung dermaga tak jauh darinya. Ketika beberapa orang
pelaut Portugis yang mabuk terlihat melangkah terseok-seok
menuju dermaga, Abdul Jalil berkata kepada Sidi Abdul Qadir el-
Kabiry, “Malam ini kita akan melihat kenyataan tentang manusia
yang sama dalam bentuk perwujudan, namun berbeda dalam
pandangan. Malam ini kita akan menyaksikan Kebenaran tentang
citra keberadaan suatu bangsa berdasar hakikat kemanusiaan,
tanpa dilandasi prasangka-prasangka. Kita akan menyaksikan
mana manusia yang dipancari hidayah dari al-Hadi dan mana
manusia yang diselimuti kelimpahan (thaghut) dari al-Mudhil.”

“Apakah Tuan Syaikh akan menunjukkan kepada kami bahwa


orang-orang yang berjalan sempoyongan di ujung jalan itu adalah
orang-orang sesat dan orang yang duduk di dermaga itu orang
yang mendapat petunjuk?” tanya Sidi Abdul Qadir el-Kabiry minta
penjelasan.

“Kami tidak pernah mengatakan sesat dan tidak sesat atas orang
seorang,” kata Abdul Jalil menjelaskan. “Kami selalu mengatakan
manusia yang beroleh pancaran hidayah dan manusia yang
diselubungi selimut thaghut. Manusia yang beroleh pancaran
1827
hidayah, segala tindakan yang dilakukan selalu dibimbing oleh akal
(‘aql) yang diterangi burhan dan dipancari cahaya mata batin (‘ain
al-bashirah). Manusia seperti itu ditandai oleh sikap dan tindakan
yang selaras dan terkendali. Sedangkan manusia yang diselubungi
selimut thaghut yang gelap, segala tindakannya dibimbing oleh
keakuan kerdil yang mengikat (‘iql) akal (‘aql) dengan nafsu-nafsu
rendah (hawa). Manusia seperti ini sikap dan tindakannya
cenderung melampaui batas (thagy), lalim (thagin), menindas
(thaghiyah), dan sewenang-wenang (thughyan). Itu berarti, orang-
orang yang sudah mengikrarkan dua kalimah syahadat pun, jika
sikap dan tindakannya dibimbing oleh keakuan kerdil yang diikat
akal dan nafsu-nafsu rendah, tetaplah sebagai manusia yang
masih diselubungi selimut thaghut yang memancar dari al-Mudhil.”

“Aneh sekali pandangan Tuan Syaikh ini. Padahal, menurut kami,


manusia yang mendapat hidayah adalah manusia yang sudah
mengucapkan dua kalimah syahadat,” kata Sidi Abdul Qadir el-
Kabiry.

“Itu berarti, Tuan masih memandang hakikat manusia dari sisi


lahiriah belaka. Sebab, kalau ukuran hidayah hanya terbatas pada
ucapan lisan seseorang, maka Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah
Saw. tidak dibutuhkan lagi sebagai pedoman bagi manusia yang
mengaku beroleh hidayah. Karena itu, menurut hemat kami,
pengakuan sepihak manusia-manusia yang sudah mengucapkan
dua kalimah syahadat sebagai orang yang mendapat hidayah
wajib diuji dulu dalam sikap dan tindakannya berdasar Al-Qur’an
dan Sunnah Rasulullah Saw.. Jika ternyata mereka dalam sikap
1828
dan tindakan masih cenderung melampaui batas-batas yang
ditetapkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. serta malah
terperangkap dalam kebendaan, maka mereka hanya mengaku-
aku saja sebagai manusia yang beroleh hidayah. Ya, mereka itu
hanya mengaku-aku. Seribu kali mengaku-aku. Sebab, sejatinya
mereka masih berada dalam cengkeraman kegelapan nafsu-nafsu
rendah.”

“Kami sepaham dengan Tuan dalam hal itu. Tetapi, kami sangat
sulit menerima pandangan yang mengatakan bahwa hidayah bisa
diperoleh oleh orang yang bukan muslim. Bagaimana orang yang
tidak mengucapkan dua kalimah syahadat bisa disebut beroleh
hidayah?” kata Sidi Abdul Qadir el-Kabiry tak paham.

“Tuan selaku muslim tentu saja berhak mengatakan secara


sepihak bahwa hidayah (petunjuk Ilahi) adalah mutlak milik orang
muslim. Sedangkan orang-orang Portugis yang Kristen juga
berhak mengatakan secara sepihak bahwa merekalah orang yang
mendapat petunjuk Ilahi. Demikian juga dengan penganut Budha,
Hindu, dan Majusi. Semua berhak menyatakan secara sepihak
sebagai umat yang beroleh petunjuk dan bimbingan Tuhan. Tapi,
semua itu ‘kan masih pernyataan sepihak. Sikap dan tindakan
merekalah yang mencerminkan apakah mereka hamba Tuhan
yang beroleh petunjuk atau tidak.”

“Kalau menurut Tuan Syaikh, bagaimana cara yang benar untuk


mengetahui siapa di antara manusia yang beroleh petunjuk dan
1829
ajaran agama mana yang benar menurut Allah?” tanya Sidi Abdul
Qadir el-Kabiry.

“Manusia yang beroleh hidayah bisa kita lihat dari sikap dan
tindakannya dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana telah kami
uraikan. Sementara pernyataan tentang manakah agama yang
benar menurut Allah, menurut kami adalah pernyataan yang
kurang pantas. Sebab, pada hakikatnya semua agama adalah
benar menurut penganutnya masing-masing. Maksudnya,
keragaman agama adalah kehendak Allah semata. Dia, Allah,
Tuhan Yang Maha Esa, ingin disembah ciptaan-Nya dengan
segala macam cara sebatas kemampuan dan pemahaman
penyembah bersangkutan. Dengan begitu, orang-orang yang
menyembah Allah dalam bentuk arca, batu, kayu, pohon, gunung,
bulan, bintang, matahari, dan bahkan manusia pada hakikatnya
menyembah-Nya juga sesuai kadar kemampuannya mengenal
Allah,” papar Abdul Jalil.

“Maksud kami, bagaimana cara kita untuk mengetahui suatu ajaran


agama itu nilai Tauhidnya lebih tinggi dibanding ajaran lain?”

“Kalau itu, Tuan bisa bertanya kepada anak kami, Raden Sahid.
Sebab, dia telah mengetahui rahasia untuk menilai tingkat
Ketauhidan suatu ajaran.”

1830
“Benarkah demikian, o Anak Muda?” tanya Sidi Abdul Qadir el-
Kabiry kepada Raden Sahid.

“Benar, Tuan.”

“Bisakah engkau menjelaskan kepada kami?”

“Pengetahuan rahasia itu tidak untuk dijelaskan dengan nalar,


Tuan. Sebaliknya, pengetahuan itu untuk dijalankan sebagai laku
ruhaniah.”

“Laku ruhaniah bagaimana?”

“Maksud kami, untuk mengetahui tingkat Ketauhidan suatu ajaran,


kita tidak boleh menggunakan akal pikiran kita, apalagi akal pikiran
yang sudah diikat prasangka. Kita harus masuk ke dalam suatu
matra yang disebut angkasa ruhani (‘alam al-‘Ulwi). Selama ini, di
bawah bimbingan guru kami Syaikh Lemah Abang, kami telah
beberapa kali terbang ke angkasa ruhani. Di sana kami bertemu
dengan ruh para wali Allah, ruh para brahmana, ruh para bikhu
Budha, ruh para bhagawan, ruh para rishi, ruh para yogin, ruh para
sadhu, dan pertapa-pertapa yang hidup kotor di dunia. Karena itu,
kami tidak berani lancang menista ajaran Hindu dan Budha
sebagai agama sesat pemuja berhala yang tidak berdasar Tauhid,”
kata Raden Sahid menjelaskan.
1831
“Bagaimana dengan orang-orang Syi’ah?” tanya Sidi Abdul Qadir
el-Kabiry.

“Kami bersaksi bahwa selama beberapa kali kunjungan ke


angkasa ruhani mengikuti guru-guru kami, tidak sekali pun kami
menjumpai ruh manusia yang mengaku al-Mahdi: Syah Ismail.
Yang kami jumpai justru ruh ayatullah-ayatullah dan bahkan
mullah-mullah desa yang secara sembunyi-sembunyi
mengamalkan tarekat. Karena kenyataan yang kami saksikan di
angkasa ruhani itu maka kami tidak berani menyatakan jika ajaran
Syi’ah itu sesat dan menyesatkan. Kami juga tidak berani
menyatakan ajaran Syi’ah itu menyimpang jauh dari landasan
Tauhid. Kami menyimpulkan, pencapaian kepada Kebenaran itu
bersifat sangat pribadi dan tidak berkaitan dengan madzhab-
madzhab, kelompok-kelompok, jama’ah-jama’ah, dan golongan-
golongan tertentu,” kata Raden Sahid tegas.

“Jika ruh Syah Ismail tidak pernah terlihat di angkasa ruhani,


bagaimana dia bisa mengaku-aku sebagai Mahdi? Bagaimana dia
bisa mengatur-atur tata hubungan manusia dengan Tuhan seolah-
olah dirinya adalah Nabi Allah Saw?” tanya Sidi Abdul Qadir el-
Kabiry.

“Kami berani bersaksi di hadapan Allah dan seluruh makhluk,


bahwa Syah Ismail adalah seorang pembohong besar. Kami yakin
dia tidak akan pernah bisa mencapai angkasa ruhani sebagai bukti
kebenaran jalan yang digelarnya. Kami juga yakin dia tidak akan
1832
pernah menjalankan ajaran Kebenaran sebagaimana diteladankan
Nabi Muhammad Saw. yang hidup dalam kezahidan dan tanpa
pamrih. Kami malah menduga, Syah Ismail selaku raja justru akan
membangun istana-istana, taman-taman, kota-kota, benteng-
benteng, harem-harem, monumen-monumen, dan masjid-masjid
mewah untuk menunjukkan kebesaran dirinya. Padahal, sedikit
pun hal seperti itu tidak pernah dicontohkan Nabi Muhammad
Saw.. Syah Ismail, menurut terkaan kami, akan menjadi cermin
keagungan dan kemuliaan fir’aun, bukan kesucian Nabi
Muhammad Saw,” kata Raden Sahid tegas.

Sidi Abdul Qadir el-Kabiry tertawa terkekeh-kekeh. Kemudian


sambil berlalu dia berkata, “Sungguh aku ingin membuktikan
kebenaran ramalanmu, o Anak Muda, bahwa Syah Ismail bakal
membangun istana, taman, kota, monumen, harem, benteng, dan
tempat ibadah mewah. Jika ramalanmu terbukti maka benarlah
pendusta tengik itu sesungguhnya cerminan fir’aun.”

Ketika malam telah larut dan pelaut-pelaut Portugis yang mabuk


sudah naik perahu kembali ke kapalnya, Abdul Jalil dan Abdul
Malik Israil mendekati Francisco Barbosa yang duduk termangu-
mangu di dermaga. Dengan menggunakan bahasa Spanyol yang
dipelajarinya dari Abdul Malik Israil selama perjalanan ke
Kozhikode, Abdul Jalil memperkenalkan dirinya sebagai Padre
Sacerdote de Jaoa (bapa pendeta dari Jawa). Barbosa yang
terkejut dengan kemunculan mendadak Abdul Jalil dan Abdul Malik
Israil tentu saja tidak mudah percaya dan malahan curiga dengan

1833
pernyataan itu. Menurut pikirannya, sangatlah aneh seseorang
yang mengenakan pakaian Muslim mengaku sebagai pendeta.

Sadar bahwa Barbosa masih cenderung melihat sesuatu dari


penampilan tubuh, Abdul Jalil langsung membidik kecurigaannya
dengan berkata, “Aku tahu, engkau mencurigai kejujuranku. Itu
tidak salah, karena kita memang baru sekali ini bertemu. Tetapi,
kalau aku boleh menerka, jiwamu saat ini sedang kacau seperti
lautan diaduk gelombang dahsyat. Jiwamu diaduk-aduk ombak
kegundahan akibat terluka oleh peristiwa yang bertentangan
dengan nuranimu. Engkau sekarang ini sudah kehilangan
kepercayaan terhadap pemimpin dan kawan-kawanmu. Engkau
merasa seperti satu-satunya manusia di tengah kawanan binatang
buas. Benarkah terkaanku itu?”

“Bagaimana Tuan bisa mengetahui kegundahan jiwa yang selama


ini aku sembunyikan?” tanya Francisco Barbosa terheran-heran.

Abdul Jalil diam. Sebaliknya, Abdul Malik Israil tanpa basa-basi


menimpali dengan mengungkapkan bagaimana liku-liku perjalanan
yang telah dilalui Barbosa sejak dari Lisbon hingga ke Kozhikode
dengan sangat tepat seolah-olah membaca catatan harian.
Keterusterangan Abdul Malik Israil itu untuk beberapa jenak
membuat Barbosa terperangah takjub. Tetapi, beberapa jenak
setelah itu Barbosa sadar dia tidak punya alasan untuk menampik
pengakuan Abdul Jalil dan Abdul Malik Israil sebagai pendeta. Dia
menduga kedua orang berpakaian Muslim di depannya itu
1834
kemungkinan adalah santo (orang suci) yang menyamar. Akhirnya,
dengan keheranan dia bertanya, “Apakah Bapa Pendeta berdua
adalah Santo Patron de Jaoa (orang suci pelindung Jawa)? Sebab,
pendeta biasa tidak mungkin bisa mengetahui isi hati dan isi kepala
manusia apalagi mengetahui dengan tepat liku-liku perjalanan
yang telah aku lewati hingga ke Kozhikode ini.”

“Kami berdua hanya pendeta biasa. Hanya saja, kami dianugerahi


kemampuan untuk membaca apa yang telah ditulis oleh Angel de
la Guarda (malaikat pelindung) pada dirimu tentang apa yang telah
engkau lakukan,” kata Abdul Malik Israil datar.

“Aku dilindungi malaikat pelindung? Semua tindakanku ditulis


malaikat?” tanya Barbosa heran.

“Bukan hanya engkau, Anak Muda, tetapi semua manusia


dilindungi malaikat pelindung dan semua perbuatan manusia yang
baik maupun yang buruk dicatat malaikat pelindungnya masing-
masing.”

“Aku belum percaya,” kata Barbosa dengan suara ditekan. “Kalau


setiap manusia dilindungi malaikat pelindung, kenapa manusia
satu bisa membinasakan manusia yang lain? Maksudku, jika
malaikat pelindung memang ada, bagaimana mungkin ratusan
orang tak berdaya bisa dibantai dalam sekejap oleh orang-orang

1835
yang memiliki senjata? Apakah saat itu malaikat-malaikat
pelindung mereka lari ketakutan?”

“Sesungguhnya, pada diri masing-masing manusia selain terdapat


malaikat pelindung, juga ada Angel de la Mortalidad (malaikat
kematian). Karena itu, tidak ada manusia yang hidup abadi di dunia
karena nyawanya sudah digenggam malaikat kematian sampai
saat ajalnya datang. Apakah engkau beranggapan bahwa orang-
orang yang membunuh itu tidak bakal mati seperti orang-orang
yang mereka bunuh?” kata Abdul Malik Israil.

“Semua orang memang akan mati. Baik yang dibunuh maupun


yang membunuh pasti mati jika sudah datang waktunya. Tetapi,
bagaimana dengan malaikat pelindung? Apa yang dikerjakannya
sehingga orang yang dilindunginya bisa dibunuh orang lain?” tanya
Barbosa belum paham.

“Tugas utama malaikat pelindung adalah melindungi manusia


sampai saat ajal. Tugasnya selesai ketika waktu hidup seseorang
sudah habis sesuai ketetapan takdir yang ditentukan Allah.”

“Apakah masing-masing manusia sudah ditentukan batas


hidupnya oleh Tuhan?”

“Ya.”
1836
“Bagaimana dengan orang-orang yang dibunuh? Bukankah
mereka mati sebelum batas waktunya?”

Abdul Malik Israil tertawa dan kemudian berkata mengutip sabda


Nabi Saw. dengan suara yang lain, “Manusia mati, kalau tidak
dengan pedang tentu dengan sebab yang lain. Tetapi, mati itu
sendiri cuma satu.”

“Aku belum paham dengan penjelasan Bapa Pendeta.”

Abdul Jalil yang mendengarkan perbincangan Barbosa dan Abdul


Malik Israil bertanya menyela, “Menurutmu, apakah sesungguhnya
yang disebut Kematian itu?”

“Apakah orang yang tidak berdosa, orang yang suci dari dosa,
akan beroleh hidup abadi?”

“Ya, itu yang aku yakini.”

“Apakah engkau pernah mengetahui ada manusia suci yang hidup


abadi di dunia?”

“Menurut cerita banyak orang-orang suci yang hidup abadi.”


1837
“Aku tidak bertanya tentang cerita dan dongeng. Aku bertanya
tentang kenyataan.”

“Sepengetahuanku tidak ada.”

“Apakah engkau sudah mengetahui apa yang disebut Kematian?


Apakah engkau sudah mengetahui pula apa yang disebut
Kehidupan?” tanya Abdul Jalil.

Francisco Barbosa menggeleng dan berkata lirih, “Belum.”

“Maukah engkau aku tunjukkan apa yang disebut Kematian?”

“Apakah Bapa Pendeta akan menunjukkan kuasa kegelapan


kepada aku?”

“Jika engkau menganggap Kematian sebagai kuasa kegelapan


maka anggapanmu itu akan terwujud sesuai keyakinanmu. Tetapi,
perlu aku beri tahukan kepadamu bahwa Kematian yang aku yakini
bukanlah kuasa kegelapan sebagaimana engkau yakini. Kematian,
menurutku, adalah sisi lain dari Kehidupan. Karena itu, mereka
yang mengenal Kematian sebagaimana yang aku yakini, tidak saja
menjadi manusia yang tidak takut pada Kematian, melainkan akan

1838
mencintai pula Kematian sebagaimana mereka mencintai
Kehidupan,” kata Abdul Jalil.

“Aneh sekali jalan pikiran Bapa Pendeta,” kata Barbosa keheranan.

“Engkau menganggap aneh apa yang aku katakan karena engkau


masih terikat dengan simpul-simpul pikiran yang menjerat
kesadaranmu dari Kebenaran hakiki tentang Kehidupan dan
Kematian. Jika engkau sudah menyaksikan sendiri dengan mata
hati dan ruh Kebenaran (ruh al-Haqq) yang ada pada dirimu
tentang kesejatian hakiki Kehidupan dan Kematian, maka engkau
tidak akan menganggap aneh apa yang aku katakan,” kata Abdul
Jalil.

“Apakah dengan mengetahui Kebenaran tentang Kematian berarti


aku akan mati?”

“Engkau takut mengenal Kematian karena pikiranmu masih terikat


oleh simpul-simpul gagasan dan pandangan yang berbeda dengan
apa yang aku sampaikan. Lantaran itu, wajar jika engkau berpikir:
dengan mengenal Kematian maka seseorang akan mati. Padahal,
menurut pandanganku, dengan mengenal Kematian secara benar
sesungguhnya kita mengenal Kehidupan sejati. Nah, beranikah
engkau mengenal Kematian dengan caraku?”

1839
“Jika ada jaminan aku tidak mati maka aku berani mengikutimu, o
Bapa Pendeta.”

Abdul Jalil tertawa. Sejenak setelah itu ia berkata dengan


tersenyum, “Siapakah yang bisa menjamin hidup dan mati
seseorang? Apakah saat engkau berangkat dari negerimu menuju
Kozhikode ini engkau sangat yakin akan terus hidup dan bisa
kembali dengan selamat ke kampung halamanmu? Apakah
engkau sekarang ini bisa menjamin jika dirimu akan hidup sampai
esok hari ketika matahari menyingsing?”

“Aku berharap bisa hidup sampai kembali ke kampung halamanku


kelak. Bahkan, aku berani menjamin jika esok hari saat matahari
terbit, aku masih hidup.”

Abdul Jalil dan Abdul Malik Israil tertawa bersama. Barbosa heran
dan merasa tersinggung. Dengan nada marah dia bertanya,
“Kenapa Bapa Pendeta menertawakan aku?”

“Karena engkau berpikiran konyol, Anak Muda,” sahut Abdul Malik


Israil.

“Aku berpikiran konyol? Apa alasan Bapa Pendeta berkata seperti


itu?”

1840
“Bagaimana mungkin orang waras bisa menjamin dirinya bakal
tetap hidup sampai esok hari?”

“Maksud Bapa Pendeta?”

“Anak Muda,” kata Abdul Malik Israil dingin sambil menepuk-nepuk


bahu Barbosa, “Lihatlah di ujung dermaga itu! Dua orang bertubuh
tinggi besar itu adalah orang-orang Mouros yang sangat membenci
orang Portugis. Sedangkan anak muda yang di sampingnya adalah
seorang Muslim asal Jawa. Bagaimana jika mereka datang ke sini
dan mengeroyok dirimu? Apa yang bisa engkau jaminkan bagi
hidupmu jika mereka mengikat tubuhmu dengan tali dan
menceburkanmu ke laut? Bukankah sekarang ini engkau tidak
membawa senjata apa pun?”

“Mereka akan membunuhku?” tanya Barbosa dengan wajah


mendadak pucat pasi.

“Kenapa engkau bertanya kepada kami? Bukankah engkau sudah


menjamin jika dirimu bakal hidup sampai esok pagi ketika matahari
terbit?”

Francisco Barbosa menarik napas panjang lalu


mengembuskannya keras-keras. Kemudian dengan nada tidak

1841
berdaya dia berkata, “Memang tidak ada yang bisa menjamin hidup
dan mati orang seorang.”

“Bukan saja tidak ada yang bisa menjamin, melainkan sering juga
Kematian datang mendadak tanpa terduga-duga,” kata Abdul Malik
Israil sambil mencabut belati dari balik jubahnya. “Apakah pernah
terlintas di pikiranmu jika secara tiba-tiba aku menikam dadamu
dengan belati ini?”

“Ya, ya, aku paham Bapa Pendeta,” kata Barbosa dengan wajah
makin pucat. “Kematian bisa datang sewaktu-waktu dan tanpa kita
sangka-sangka.”

Abdul Jalil yang melihat ketakutan menerkam jiwa Barbosa merasa


tidak sampai hati. Sambil menepuk-nepuk bahu pelaut muda itu, ia
berkata, “Engkau selama ini dikenal sebagai prajurit pemberani.
Engkau dikenal sebagai juru meriam yang handal dan pantan
menyerah dalam pertempuran. Semua kawan-kawan memujimu
sebagai prajurit pemberani yang tidak takut mati. Tapi sungguh
menyedihkan, kenyataan menunjukkan bahwa engkau masih
dikuasai oleh rasa takut menghadapi Kematian. Engkau masih
kalah dibanding anak muda Jawa yang berdiri di ujung dermaga
itu. Dia sudah kenal citra Kematian. Dia sudah berkali-kali
bersinggungan dengan citra Kematian. Karena itu, dia tidak takut
mati dan bahkan mencintai Kematian.”

1842
“Bapa Pendeta,” kata Barbosa merendah,” sejak masih kanak-
kanak, aku memang bercita-cita menjadi pahlawan pemberani
yang tidak takut mati. Sewaktu aku masuk dinas militer sebagai
pasukan meriam, aku sudah berusaha menunjukkan kepada
orang-orang di sekitarku bahwa aku adalah pahlawan pemberani
yang tidak takut mati. Ternyata, malam ini Bapa Pendeta berdua
telah menelanjangi kebohongan yang aku tutup-tutupi. Ya, aku
masih takut mati. Karena itu, aku akan belajar kepada Bapa
Pendeta untuk mengenal Kematian sesuai yang Bapa Pendeta
ajarkan agar aku benar-benar tidak takut mati.”

Francisco Barbosa telah kembali ke kapalnya. Matahari telah terbit


di ufuk timur, menyinari kapal-kapal dan sampan-sampan yang
terayun-ayun gelombang pantai Kozhikode. Sepagi itu, usai
menyantap bekal Abdul Jalil, Abdul Malik Israil, dan Raden Sahid
berpamitan kepada Syaikh Abdul Jabbar el-Kabiry dan Sidi Abdul
Qadir el-Kabiry. Mereka akan berpisah karena Abdul Jalil dan
Abdul Malik Israil beserta Raden Sahid akan ke Dwarasamudra,
sedangkan dua bersaudara asal negeri Maghrib itu akan kembali
ke kapalnya yang melepas sauh agak jauh dari pelabuhan
Kozhikode. Tetapi, sebelum berpisah Sidi Abdul Qadir el-Kabiry
menyampaikan pertanyaan kepada Abdul Jalil, “Kenapa Tuan
Syaikh tidak langsung meminta Francisco Barbosa mengucapkan
dua kalimah syahadat? Bukankah dia sudah sangat yakin dengan
pengetahuan gaib untuk mengenal Kematian yang telah Tuan
Syaikh ajarkan?”

1843
“Soal Islam adalah urusan as-Salam. Soal Hidayah adalah
sepenuhnya urusan al-Hadi. Soal Iman adalah urusan al-Mu’minin.
Maksud kami, meski al-Hadi telah memancarkan hidayah kepada
Francisco Barbosa, kalau pancaran-Nya belum seiring dengan as-
Salam yang memancarkan amanah ke dalam jiwanya, maka jika
dia diminta mengucapkan dua kalimah syahadat, hal itu justru akan
membahayakan dirinya sendiri dan orang lain,” kata Abdul Jalil
menjelaskan.

“Kami belum paham dengan penjelasan Tuan Syaikh,” sahut Sidi


Abdul Qadir el-Kabiry heran. “Bagaimana mungkin orang
mengucap dua kalimah syahadat bisa menimbulkan bahaya bagi
diri sendiri dan orang lain? Bukankah Islam adalah agama damai
dan keselamatan?”

“Tuan belum paham karena Tuan cenderung melihat sesuatu


hanya dari sisi duniawi, bentuk jasmani, dan gerak perilaku tubuh
semata sehingga Tuan cenderung menganggap bahwa manusia
yang sudah mengucapkan dua kalimah syahadat adalah orang
yang sudah beroleh hidayah dan menjadi penyebar keselamatan
(salamah) dan keamanan (amanan). Padahal, kenyataan sering
menunjuk berapa banyak manusia yang sudah mengucapkan dua
kalimah syahadat, namun sikap dan tindakannya malah
menimbulkan bencana dan ketidakamanan bagi manusia di
sekitarnya. Berapa banyak manusia yang mengibarkan panji-panji
Islam, tetapi tindak dan perilakunya mengerikan: memamerkan
kekejaman dan menimbulkan ketakutan di mana-mana.”

1844
“Kami sangat menghargai saudara-saudara kami yang
menganggap bukti kemusliman orang seorang. Tetapi, kebiasaan
yang kami lakukan adalah memperkukuh dulu landasan Tauhid
dari manusia-manusia yang beroleh pancaran cahaya hidayah dari
al-Hadi sampai terpancar cahaya salamah dan cahaya amanan
laksana bentangan pelangi di cakrawala jiwa. Jika Tuan bertanya
kenapa kami melakukan kebiasaan itu? Maka, kami akan
menjawab bahwa kami sangat meyakini betapa sesungguhnya
makna hakiki dari Islam adalah pancaran rahasia cahaya matahari
Kebenaran yang mengejawantahkan citra Kelempangan (al-Hadi),
Keselamatan (as-Salam), Keamanan (al-Mu’min), Kemurahan (al-
Karim), Kesabaran (ash-Shabur), Pengampunan (al-Ghaffar),
Kesucian (al-Quddus), Kesantunan (al-Halim), Kecintaan (ar-
Rahman), Kasih (ar-Rahim), dan pancaran dari Asma’, Shifat, Af’al
Allah yang mulia yang menerangi alam semesta dengan rahmat-
Nya (rahmatan lil al-‘alamin).”

“Dengan pandangan kami itu, jelaslah bagi kami bahwa apa yang
disebut al-Islam adalah ruhaniah. Al-Islam mutlak berada di dalam
genggaman Allah. Karena itu, kami menganggap tidak bijak jika
meminta Barbosa mengucapkan dua kalimah syahadat sebagai
tanda kemusliman, sementara kami menangkap isyarat ruhani
bahwa dia belum waktunya mengikrarkan keislaman dirinya. Jika
Barbosa dengan terburu-buru kita minta mengikrarkan syahadat,
maka dia akan secepatnya terlempar dari kaumnya dan bahkan
akan kehilangan nyawanya. Sementara dengan membiarkan dia
sebagaimana adanya, dia akan menjadi perantara bagi
terpancarnya cahaya hidayah kepada kaumnya. Lantaran itu, kami
sangat yakin jika waktunya telah datang, dia akan menemukan
1845
sendiri Kebenaran Sejati meski tanpa bimbingan kami. Kenapa
kami berpendapat demikian? Karena menurut pandangan kami,
persaksian keislaman orang seorang tidak bisa dipaksakan
waktunya. Jika sudah tiba saatnya, di mana pun dia berada akan
mempersaksikan dirinya sebagai Muslim. Dan kami sangat yakin
jika mereka telah dipancari hidayah oleh al-Hadi akan terbimbing
di jalan-Nya, meski mereka berada di lingkungan yang membenci
Islam,” kata Abdul Jalil.

“Kami makin bingung dengan penjelasan Tuan Syaikh.”

Abdul Jalil tertawa. Kemudian dengan suara lain ia berkata, “Tuan


yang belum memahami secara mendalam tentang dunia ruhani
memang sulit menerima penjelasan kami. Mereka yang belum
mencicipi manisnya madu tentu akan sulit dijelaskan tentang
kemanisan madu. Tetapi, kami yakin saudara Tuan, Syaikh Abdul
Jabbar el-Kabiry, telah sangat memahami apa yang telah kami
jelaskan. Tuan bisa berbincang lebih luas dan mendalam tentang
hal-hal ruhaniah kepadanya.”

“Tapi, Tuan Syaikh, apakah Tuan yakin jika Francisco Barbosa


kelak akan menjadi Muslim?”

“Menurut keyakinan kami, Francisco Barbosa kelak akan


mengikrarkan dua kalimah syahadat. Bahkan, dia akan
mempengaruhi beberapa orang kawannya. Tetapi, kami tidak tahu
1846
kapan waktunya dan bagaimana peristiwanya. Yang jelas, dia telah
menyaksikan Kebenaran Sejati tentang hakikat Kematian dengan
mata batin (‘ain al-bashirah) yang jernih. Karena itu, dia akan
berubah menjadi manusia yang tidak lagi gampang mempercayai
dalil-dalil dogmatik yang diucapkan manusia berdasar prasangka-
prasangka. Dan ujung dari keadaan manusia seperti itu ke mana
lagi kalau bukan ke samudera Tauhid?”

“Kenapa Tuan Syaikh tidak melakukan hal serupa kepada orang-


orang Portugis yang lain?”

“Kami tidak memiliki kewenangan apa pun untuk itu. Jika Tuan
bertanya kenapa kami melakukan itu hanya kepada Barbosa?
Maka, akan kami jawab bahwa hal itu kami lakukan untuk
membuktikan kepada Tuan bahwa tidak semua orang Portugis
kejam seperti pemimpin dan kawan-kawan Barbosa. Di damping
itu, Allah memang sudah memilih Francisco Barbosa sebagai salah
seorang manusia yang dianugerahi hidayah oleh al-Hadi untuk
menerima benderang nyala api al-Islam di relung-relung
sanubarinya,” papar Abdul Jalil.

“Baik, kami paham itu,” kata Sidi Abdul Qadir el-Kabiry. “Sebelum
berpisah, kami ingin Tuan Syaikh memberikan fatwa khusus
kepada kami agar bisa kami jadikan pedoman dalam melintasi
kehidupan yang kacau ini.”

1847
Abdul Jali tertawa dan kemudia berkata, “Sesungguhnya, saudara
Tuan, Syaikh Abdul Jabbar el-Kabiry, lebih layak memberikan
fatwa kepada Tuan sebab pengetahuan ruhaninya sangat luas dan
mendalam. Tetapi, Tuan tidak bisa melihat kelebihannya karena
Tuan terlalu dekan dengannya.”

“Kami tahu itu. Tapi, kami benar-benar ingin beroleh fatwa khusus
dari Tuan Syaikh agar bisa kami jadikan pelengkap pedoman
hidup, di samping terbukanya kesadaran kami tentang betapa
beragamnya pemikiran kaum Muslimin dalam memandang dan
menyikapi suatu persoalan.”

“Yang paling penting untuk Tuan sadari,” kata Abdul Jalil dengan
suara lain, “dalam menjalankan amaliah keislaman, Tuan jangan
sekali-kali terpengaruh oleh pandangan sempit orang-orang fanatik
seperti kawan-kawan Barbosa dan Syah Ismail. Maksud kami,
Tuan jangan pernah menggembar-gemborkan diri sebagai
pahlawan pembela Islam, apalagi mengaku-aku prajurit Allah
(jundu Allah). Sebab, pada saat orang seorang sudah menyatakan
diri sebagai pahlawan pembela Islam atau prajurit Allah, maka
orang tersebut telah mendangkalkan hakikat al-Islam menjadi
berhala yang penuh ditempeli atribut pamrih duniawi. Padahal, al-
Islam adalah sesuatu yang bersifat ruhaniah. Orang bisa menjadi
Islam bukan karena kehendak pribadi, melainkan kehendak Allah.
Al-Islam adalah pancaran cahaya Ilahi yang memancar dari Asma’,
Shifat, dan Af’al Allah yaitu as-Salam. Lantaran itu, al-Islam selalu
terpelihara dan terjaga dengan cara yang tidak terjangkau oleh akal
pikiran manusia.”
1848
“Kenapa kita tidak boleh mengaku-aku? Bukankah Rasulullah
Saw. mengajarkan bahwa keislaman kita harus dipermaklumkan
kepada manusia?”

“Keislaman memang harus dipermaklumkan sebagai kesaksian


iman. Tetapi permakluman yang berlebihan justru terlarang,
terutama permakluman secara sepihak oleh diri sendiri yang
mengaku-aku sebagai pahlawan pembela agama, prajurit tuhan,
atau bahkan perwujudan tuhan di dunia. Mereka yang mengaku-
aku dan gembar-gembor itu sejatinya telah mendangkalkan makna
al-Islam. Dengan lambang-lambang palsu keislaman, mereka
menepuk dada dan memamerkan kesombongan dan mengangkat
diri sebagai prajurit-prajurit Allah. Padahal, sejatinya bala tentara
Allah tersebar di langit dan bumi tanpa diketahui jumlah pastinya
(QS. Al-Fath: 4 dan 7; QS. Al-Mudatsir: 31). Prajurit-prajurit Allah
itu menjalankan tugas secara rahasia dengan setia dan penuh
kepatuhan. Mereka itu bisa berupa malaikat, rijal al-ghaib, auliya’
Allah, angin topan, halilintar, dan bahkan binatang. Dan tidak ada
satu pun di antara mereka itu yang menepuk dada untuk
mempermaklumkan diri sebagai prajurit Allah. Merekalah prajurit-
prajurit sejati Allah yang bertugas menjaga Islam.”

“Berarti Tuan Syaikh percaya bahwa di dunia ini ada yang disebut
Jama’ah Wali-Wali?”

“Tentu saja percaya, namun kepercayaan kami sangat berbeda


dengan kepercayaan umum.”
1849
“Berbeda bagaimana?”

“Yang dimaksud Jama’ah Wali-Wali menurut kepercayaan kami


adalah yang disebut Jama’ah Karamah al-Auliya’, yakni suatu
hierarki karamah al-auliya’ yang memancar dari Asma’, Shifat, dan
Af’al Allah, yaitu al-Karim dan al-Waly. Itu berarti, Jama’ah
Karamah al-Auliya’ bersifat ruhaniah sebagaimana al-Islam.
Karamah al-auliya’ yang ruhaniah itu, dalam menjalankan tugas
(tawalla) akan melimpah kepada orang-orang beriman yang sudah
mencapai derajat takwa (muttaqin), yaitu derajat ruhani yang
terpancar dari al-Qawiy. Karamah al-auliya’ yang ruhani itu bersifat
abadi sebagaimana al-Karim dan al-Waly. Itu sebabnya, jika
seorang manusia yang terlimpahi karamah al-auliya’ itu wafat
maka karamah auliya’ yang melimpah pada manusia tersebut akan
mencari tubuh baru untuk menjalankan tugas sucinya.”

“Dengan pandangan kami ini, jelaslah bahwa Jama’ah Karamah al-


Auliya’ adalah jama’ah ruhaniah. Artinya, jika mereka berkumpul di
suatu tempat di suatu waktu tertentu maka yang berkumpul itu
adalah karamah-karamah al-auliya’, bukan tubuh fisik manusia
takwa, meski pada keadaan tertentu yang khusus bisa terjadi
pertemuan tubuh fisik manusia takwa berderajat wali Allah di satu
tempat di satu waktu tertentu. Karena itu, kami menggunakan
istilah Jama’ah Karamah al-Auliya’ dan bukannya Jama’ah Wali-
Wali Keramat. Dengan begitu, kami akan menganggap
pembohong orang-orang yang menyatakan ini dan itu adalah
anggota Jama’ah Wali-Wali Keramat karena jama’ah semacam itu
tidak ada. Yang ada adalah Jama’ah Karamah al-Auliya’, yaitu
1850
jama’ah dari karamah-karamah al-auliya’ yang bersifat ruhaniah
yang memiliki tugas suci menjaga kelestarian ajaran Tauhid
terutama al-Islam.”

Sebenarnya, masih cukup banyak hal yang ingin ditanyakan Sidi


Abdul Qadir el-Kabiry kepada Abdul Jalil. Tetapi, Syaikh Abdul
Jabbar el-Kabiry buru-buru menyela dan mempersilakan Abdul
Jalil melanjutkan perjalanan ke Dwarasamudra. Rupanya, sebagai
seorang ulama yang mengamalkan ajaran Tarekat Qadiriyyah,
Syaikh Abdul Jabbar el-Kabiry sudah memahani semua uraian
Abdul Jalil.

1851
Syaikh Malaya

Perbincangan antara Abdul Jalil dan Sidi


Abdul Qadir el-Kabiry tentang hidayah al-
Hadi dan karamah al-auliya’, ternyata
membingungkan Raden Sahid. Ungkapan-
ungkapan yang dikemukakan Abdul Jalil
tentang Asma’, Shifat, dan Af’al Allah dalam
kaitan dengan hidayah, salamah, amanan, takwa, karamah masih
sulit dipahaminya. Sebagai seorang salik yang selalu dibimbing
dan diarahkan oleh Abdul Jalil, Abdul Malik Israil, dan Jumad al-
Kubra, Raden Sahid sudah terbiasa menanyakan hal-hal terkait
penempuhan ruhani yang sulit dipahami. Ketika mereka
menempuh perjalanan ke Dwarasamudra dan sampai di tepi hutan
yang membentang di kaki Pegunungan Malaya yang bersambung
dengan Pegunungan Nilgiri, Raden Sahid bertanya ini dan itu
tentang ketidakpahamannya dalam mencerna ungkapan yang
disampaikan Abdul Jalil kepada Sidi Abdul Qadir el-Kabiry.

Tidak seperti biasa, Abdul Jalil ternyata tidak menjawab sepatah


kata pun pertanyaan Raden Sahid tentang hidayah al-Hadi dan
karamah al-auliya’. Sebaliknya, dengan suara ditekan keras Abdul
Jalil malah menyatakan akan mengakhiri kebersamaan mereka.
“Seekor rajawali yang dibiasakan tinggal dengan kawanan bebek
tidak akan pernah bisa terbang mengepakkan sayap sebagai
pengarung kesunyian angkasa. Karena itu, sebagai rajawali muda,
engkau harus ditendang dari atas bukit agar jatuh ke jurang

1852
sehingga nalurimu untuk mengepakkan sayap akan muncul
dengan sendirinya,” katanya sambil berlalu.

“Tapi Paman,” kata Raden Sahid dengan bibir bergetar dan dada
naik turun, “sekarang ini kita sedang berada jauh di negeri orang.
Bagaimana mungkin Paman bisa sampai hati meninggalkan saya
sendirian?”

“Itulah yang aku maksud dengan bukit dan jurang tempatmu jatuh
melayang menuju kebinasaan. Jadilah rajawali perkasa jika
engkau ingin selamat dan aman sampai ke Tujuan.”

“Tapi saya masih butuh bimbingan Paman.”

Abdul Jalil tidak menjawab. Tanpa menoleh, ia melangkah cepat


dan menghilang di balik pepohonan. Raden Sahid tercengang
kebingungan melihat sikap Abdul Jalil yang begitu dingin. Ia
merasakan kegentaran merayapi jiwanya. Kemudian dengan
pandang mengiba, ia menyampaikan keheranannya kepada Abdul
Malik Israil, “Bagaimana ini, Eyang? Kenapa Paman tiba-tiba pergi
begitu saja meninggalkan kita? Apakah saya telah melakukan
kesalahan? Apa yang harus kita lakukan di tempat yang jauh ini?”

“Dia tidak meninggalkan kita,” kata Abdul Malik Israil dingin, “dia
meninggalkan engkau sendirian.”
1853
“Meninggalkan saya sendiri? Kenapa Eyang berkata demikian?”

“Karena aku pun akan pergi meninggalkanmu sendirian.”

“Eyang?” seru Raden Sahid dengan dada berdebar-debar.

“Engkau yang selama ini selalu butuh bimbingan, hendaknya


berani berdiri tegak untuk menguji kemampuan dan kedewasaan
ruhanimu. Semua salik harus dilepas agar mandiri dalam
melampaui tantangan yang menghadangnya. Bukankah selama ini
engkau selalu kami bimbing seperti anak-anak yang harus dituntun
ke mana-mana? Tidakkah engkau punya harapan untuk bisa
menembus alam gaib dengan kemampuan sendiri dan bukan
diajak oleh orang lain? Tidakkah engkau sadar bahwa Kebenaran
hanya bisa dikenal oleh pribadi dalam kesendirian?”

“Tapi Eyang ... “

Abdul Malik Israil tidak menyahut. Dia membalikkan badan dan


melangkah ke arah hutan. Dalam beberapa jenak tubuhnya sudah
menghilang di balik pepohonan. Suasana sejuk yang melingkupi
pinggiran hutan dengan desau angin dan kicau burung tiba-tiba
dirasakan hambar dan getir oleh Raden Sahid. Bagaikan orang
kebingungan di persimpangan jalan, ia termangu-mangu dengan

1854
tatapan menerawang kejauhan seolah ingin mencari sesuatu yang
tersembunyi di balik barisan gunung-gunung yang diselimuti awan.

Bagi Raden Sahid sendiri, masalah yang dirasakan paling berat


bukanlah karena ia ditinggal sendiri di negeri yang jauh. Sebab,
pengalaman ruhani yang dialaminya selama menyertai Abdul Jalil
dan Abdul Malik Israil telah menumbuhkan kesadaran pemikiran
bahwa keberadaannya sebagai manusia senantiasa dalam liputan
Allah SWT.. Yang dirasakannya paling berat justru
keterpisahannya yang mendadak dengan para pembimbing ruhani
yang selama ini dijadikannya gantungan harapan dalam
menempuh perjalanan ruhani. Ia merasa betapa berat berpisahan
dengan para guru ruhani yang sudah sangat dekat dan mengikat
jiwa itu.

Selama mengikuti Abdul Jalil di pedalaman Nusa Jawa, Raden


Sahid memang pernah mendengar cerita tentang persahabatan
sejati antara Jalaluddin Rumi dengan Syamsuddin at-Tabrizi yang
dipatahkan oleh takdir Ilahi, hingga membuat merana jiwa
Jalaluddin Rumi. Saat itu Raden Sahid hanya bisa memahami
rangkaian cerita tersebut sebagai bagian dari lingkaran kehidupan
para sufi yang tidak lazim. Bahkan, ia sempat menilai Jalaluddin
Rumi sebagai seorang sufi cengeng karena menjadi patah hati
karena ditinggal pergi sahabat dan sekaligus guru ruhaninya.
Tetapi, sekarang ia sendiri merasa tidak berdaya. Ia merasa seperti
burung yang patah kedua sayapnya. Selama tiga hari tiga malam
ia hanya duduk termangu-mangu di pinggir hutan tanpa peduli

1855
sengatan panas matahari dan dinginnya udara malam hari yang
menggigit dan mengoyak-koyak tubuhnya.

Memasuki hari keempat dari ketidakberdayaannya, suatu senja


saat angin bertiup kencang dengan suara gemuruh, Raden Sahid
sekonyong-konyong bangkit dan melangkah gontai ke sebongkah
batu yang tegak di bawah pohon cendana. Di dalam tatapan
matanya yang nanar, di antara gumpalan kabut yang mulai
menyelimuti permukaan tanah, ia melihat sosok manusia bertubuh
kecil berdiri di atas bongkahan batu tersebut. Antara sadar dan
tidak, di tengah rentangan kesadaran antara tidur dan jaga, ia
berusaha menegaskan penglihatannya. Menurut penglihatannya,
sosok manusia kecil berkulit hitam itu sangat aneh perwujudannya:
tidak hidup dan tidak pula mati. Tidak bergerak, tetapi tidak pula
diam. Tidak berkata-kata, tetapi tidak pula menutup mulut.
Sederhana tetapi rumit. Meliputi tetapi diliputi. Memancar tetapi
mengisap. Terbit tetapi menyingsing. Dia, manusia aneh itu,
keberadaannya tidak dapat diungkapkan secara utuh dengan
bahasa manusia.

Di tengah ketakjubannya menyaksikan sosok manusia aneh, tiba-


tiba saja ia merasakan cakrawala baru kesadaran jiwanya
tersingkap seiring terbitnya nur lawami’ di kedalaman jiwanya,
laksana matahari terbit di pagi hari. Dan laksana seorang pecinta
keindahan sedang menikmati kicau burung, harum bunga-bunga,
segar rerumputan, gemerisik angin, dan lincahnya margasatwa
yang berkejaran di sebuah taman indah, ia merasakan
pemahaman fawa’id yang tersembunyi di relung-relung jiwanya
1856
tiba-tiba terbuka, bagai bunga mekar menebarkan keharuman
yang memesona kumbang-kumbang pengetahuan ruhani. Dengan
pemahaman fawa’id itu, ia menangkap pengetahuan gaib yang
membentangkan kesadaran bahwa sosok aneh yang
disaksikannya itu adalah Rishi Agastya, putera Varuna dengan
Urvashi, yang lahir dari tempayan (kumbhayoni). Dialah guru suci
yang diyakini sebagai titisan Syiwa. Kemudian, bagaikan
menyaksikan rangkaian peristiwa yang panjang dan berliku dalam
waktu yang sangat singkat, Raden Sahid menangkap segala
sesuatu terkait dengan sang rishi bertubuh kecil dan berkulit hitam
itu.

Pada masa silam, barang empat puluh abad ke belakang, bumi


Jambhudwipa (India) dihuni oleh bangsa-bangsa berkulit hitam
yang hidup dilimpahi kemakmuran dan kedamaian. Bangsa-
bangsa itu sebagian tinggal di kota-kota berbenteng yang penuh
dipadati bangunan megah. Tetapi, kedamaian hidup manusia di
dunia tak pernah langgeng. Tanpa diduga dan disangka-sangka,
datanglah serbuan bangsa-bangsa pengembara dari arah utara.
Mereka adalah bangsa Arya yang berkulit putih, bermata biru, dan
berambut emas. Kota-kota berbenteng bangsa kulit hitam yang
tegak dilimpahi kemakmuran dan kedamaian itu satu demi satu
dikuasai oleh para penyerbu yang dipimpin dewa utama mereka:
Indra. Karena keberhasilannya dalam menaklukkan kota-kota
berbenteng yang dibangun bangsa kulit hitam, Indra termasyhur
dengan nama besar: Sang Puramdara (penakluk benteng).

1857
Sebagaimana lazimnya para pemenang, bangsa penyerbu kulit
putih itu menghinakan bangsa-bangsa kulit hitam sebagai budak
nista tak bermartabat. Tetapi, hinaan dan nistaan para penyerbu
kulit putih tidak melemahkan penduduk kulit hitam, sebaliknya
membangkitkan perlawanan di mana-mana. Muncul perlawanan
pahlawan dari laut bernama Vritra, mengamuk dan mengobrak-
abrik Indraloka. Tetapi, kelicikan Indra berhasil mematahkan
perlawanan Vritra. Setelah itu, bermunculan terus perlawanan dari
pahlawan-pahlawan kulit hitam seperti Hiranyakasipu, Paulana,
Kesin, Niwatakawaca, dan Kalakeya. Dan seperti nasib penentang
Indra, para pahlawan kulit hitam itu jatuh satu demi satu digilas
kelicikan Sang Surapati (Indra).

Di antara perlawanan gigih yang dilakukan bangsa kulit hitam


terhadap bangsa kulit putih, yang termasyhur adalah yang
dilakukan tiga bersaudara dari wangsa Rakshasa: Mali –
Malyawan – Sumali. Meski ketiganya mengalami kegagalan
sebagaimana pahlawan kulit hitam lain, cucu Sumali yang
bernama Rahuwana (Sang Penunggu Rahu), Maharaja Langka,
melakukan perlawanan hebat hingga mengobrak-abrik Indraloka
dan mengalahkan Indra. Sebagai pahlawan bangsa kulit hitam,
Rahuwana memperoleh bermacam-macam gelar kehormatan:
Mahaprabhavam Rajyam (Raja yang kekuasaannya besar),
Vitabhaya (manusia yang rasa takutnya hilang), Yuddhanipuna
(pahlawan yang cakap dalam perang), Dasamuka (yang berkepala
sepuluh; Rahu), Ravana (yang menjerit; Rudra), Amitrajit
(penakluk musuh).

1858
Di tengah gemuruh perubahan di utara, yang ditandai lambang
perkawinan Syiwa dan Parvati, yang dihadiri dewa-dewi, pergilah
Rishi Agastya ke selatan. Sang Rishi yang terhormat, yang
bertubuh pendek dan berkulit hitam, tidak membangun kekuatan
senjata untuk melawan para penyerbu kulit putih dari utara yang
dipimpin Indra. Putera Varuna dengan Urvashi itu membangun
sangam (akademi) di Dakshinakasi di wilayah hutan Pancavati, di
Gunung Malaya, dan kemudian di bukit Pothigai di negeri Pandya.
Ia mendidik 12 orang siswa utama dan mengajarkan kepada para
siswanya di sangam tentang ilmu ketabiban, ilmu perbintangan,
filsafat, tata krama, upacara-upacara keagamaan, mantra-mantra,
ilmu hitam, dan ilmu batiniah. Untuk mengukuhkan keberadaan
peradaban bangsa kulit hitam, sang rishi menyusun tata bahasa
Dravida, bangsa keturunan Dewi Ida.

Ketika keperkasaan Rahuwana dihancurkan oleh Ramachandra


yang didukung para pengkhianat seperti Bhibhisana dan Sugriwa,
di tengah tumpasnya ksatria-ksatria Langka yang unggul, di antara
jerit tangis perempuan dan anak-anak wangsa Rakshasa yang
diburu-buru dan dibunuh, keagungan dan kemuliaan Rishi Agastya
tidak tergoyahkan. Para cendikiawan dan brahmana kulit putih,
bahkan Indra sendiri, datang dengan penuh hormat memohon
berkah dari sang rishi kulit hitam. Para Rakshasa yang diburu-buru,
berlindung di bawah kaki seroja sang rishi. Demikianlah, sang rishi
yang lahir dari tempayan (Drona) itu dimuliakan oleh manusia, baik
yang berkulit putih maupun yang berkulit hitam, sebagai seorang
guru suci yang diyakini titisan Mahaguru yang bersthana di Kailasa.
Dialah Agastya, Sang Kumbhayoni, Drona, Acosti, yang dikenal
dengan nama masyhur Bhattara Guru. Dialah kulaguru dan
1859
sekaligus cikal bakal leluhur raja-raja Yavadvipa, Yavanadwipa,
Malayadvipa, Varunadvipa, dan Suvarnadvipa.

Pemahaman fawa’id tentang Sang Agastya yang meresap ke


segenap cakrawala kesadaran Raden Sahid tiba-tiba tersambung
dan menyingkapkan tirai kesadaran tentang sosok Syaikh Lemah
Abang yang meninggalkan dirinya di kesunyian hutan di kaki
Pegunungan Malaya itu. Bagaikan menemukan dua bentuk yang
sama meski waktu dan tempat berbeda, ia melihat kesamaan apa
yang dilakukan Rishi Agastya dengan sangam dan siswa-siswanya
serta apa yang dilakukan Syaikh Lemah Abang dengan paguron
dan dukuh-dukuh di Lemah Abang dan Kajenar yang dibukanya. Ia
menjadi paham kenapa Syaikh Lemah Abang tidak pernah peduli
dengan amukan kabar yang membadai terkait dengan kemunculan
Syah Ismail di Persia dan Portugis di Bharatnagari. Rupanya,
tebaran nilai-nilai dan ajaran Kebenaran yang disampaikan kepada
murid-muridnya lewat paguron dan dukuh-dukuh adalah benteng
jiwa manusia yang sulit ditembus oleh keperkasaan prajurit
maupun tajamnya senjata. Sebagaimana hal itu telah dibuktikan
oleh Rishi Agastya di masa lampau.

Di tengah ketakjuban Raden Sahid merasakan pemahaman


fawa’id dalam menangkap kenyataan hakiki yang disinari nur
lawami’, tiba-tiba sosok kecil aneh itu, Sang Agastya, berkata-kata
kepada Raden Sahid melalui al-ima’ yang jika diungkap dalam
bahasa manusia berbunyi:

1860
“O, engkau yang lahir bersama fajar, telah menyingsing kegelapan
nafsu-nafsu rendahmu oleh pancaran cahaya rahasia
pengetahuan. Sebab, orang yang memiliki pengetahuan tinggi
memiliki pancaran cahaya rahasia (Rgveda VII. 76:4). Terangilah
kegelapan dunia dengan cahaya rahasiamu, laksana Varuna
memancarkan pengetahuan kepada orang-orang yang tertutupi
ketidaktahuan. Sesungguhnya, seorang guru yang menanamkan
pengetahuan ke dalam jiwa siswa-siswanya adalah ibarat matahari
menerangi cakrawala siang dan rembulan serta bintang-bintang
menerangi cakrawala malam dengan cahayanya yang cemerlang.
Para guru adalah matahari yang menyebarkan terang (Rgveda VII.
79:2). Karena itu, seorang guru adalah orang yang sudah
memperoleh pencerahan jiwa dan dia tidak akan menutup
keingintahuan para siswanya (Atharvaveda XX. 21:2).”

“Seorang guru akan menjadi benderang cahaya pengetahuan yang


memesona jika memiliki kecerdasan seorang sarjana serta pandai
dalam merangkai bahasa laksana seorang penyair. Sebab,
kecerdasan dan kebijaksanaan adalah pengejawantahan dewa-
dewa (Atharvaveda VI. 123:3). Sedangkan bahasa adalah sabda
Tuhan yang ada di mana-mana meliputi langit dan bumi. Sabda
berembus bagaikan angin. Sabda menciptakan seluruh alam
semesta (Rgveda X. 125:8). Sabda adalah kekuatan yang
teragung. Sabda di pertajam dengan ilmu pengetahuan
(Atharvaveda XIX. 9:3).”

“Seorang sarjana dan sekaligus penyair memiliki pemahaman


mendalam tentang bahasa sebagai pancaran sabda dan
1861
pengetahuan. Lantaran itu, seorang sarjana-penyair dapat melihat
Kebenaran, sekalipun di dalam air samudera. Sarjana-penyair
bercahaya laksana matahari. Sarjana-penyair mengetahui rahasia
kitab suci dan kenyataan-kenyataan tersembunyi. Demikianlah,
seorang guru yang sarjana dan penyair adalah pembangun sebuah
bangsa. Tetapi, hendaknya selalu engkau ingat-ingat, o, engkau
yang telah lahir untuk kali kedua (dwijati), bahwa tugas utama
seorang guru yang sarjana sekaligus penyair adalah menebarkan
cahaya Pengetahuan melalui sraddha (keimanan) sampai
seseorang menyadari Kebenaran Ilahi yang hakiki ((keimanan)
sampai seseorang menyadari Kebenaran Ilahi yang hakiki
(Yajurveda. XIX. 30).”

Suatu pagi, saat ujung fajar masih menempel di gumpalan awan


dan lekukan gunung-gunung, Raden Sahid melangkah di tengah
keindahan dengan kesadaran baru seorang salik yang relung-
relung jiwanya sudah terpancari nur lawami’ dan pemahaman
fawa’id. Dengan ketakjuban yang mencengangkan, ia memandang
bunga-bunga yang bergoyang di atas rerumputan yang dibasahi
embun dengan kumbang-kumbang dan kupu-kupu beterbangan di
tengah semilir angin. Ia takjub dan tercengang karena saat itu
untuk kali pertama ia menangkap keharuman bunga, kesejukan
embun, kesegaran rumput, kemerduan dengung kumbang, kepak
sayap kupu-kupu yang gemulai, dan semilir angin dengan
pandangan dan perasaan yang lain. Ia menangkap kenyataan
aneh, betapa segala gerak dari makhluk yang terhampar di
sekitarnya pada hakikatnya adalah pernyataan puja dan puji
(tasbih) kepada Sang Pencipta. Keanekaragaman dalam bentuk,
warna, gerak, dan suara makhluk yang tak terhitung jumlahnya itu
1862
ternyata satu jua ujung dan pangkalnya: semua makhluk adalah
pengejawantahan Keagungan dan Kemuliaan Sang Pencipta.

Ketika Raden Sahid mulai menuruni bukit dengan dada terasa


lapang dan perasaan meluapkan kegembiraan, seorang brahmin
muda berwajah agung datang menghampiri dan menyapanya
dalam bahasa Melayu. Bagaikan telah mengenal Raden Sahid
selama bertahun-tahun, brahmin muda itu dengan penuh
keakraban mengajaknya melakukan pengembaraan ruhani agar
cakrawala kesadaran mereka tersingkap lebih luas dalam
memaknai cahaya Kebenaran. Dengan pancaran nur lawami’ yang
membentangkan pemahaman fawa’id pada kesadarannya, Raden
Sahid menangkap sasmita bahwa kehadiran dan sekaligus ajakan
brahmin muda itu adalah semata-mata karena kehendak Allah
semata. Itu sebabnya, tanpa menaruh keberatan ia menerima
ajakan sang brahmin.

Dengan ketakjuban seorang salik yang baru belajar terbang


mengepakkan sayap, ia mengikuti ke mana pun brahmin muda itu
mengajaknya mengembara. Berbagai tempat yang disucikan para
brahmin seperti Kamakostipuri, Kaveri, Sri Rangam, Har-ksetra,
dan bahkan Gunung Risabha telah dikunjunginya. Tanpa terasa,
telah tujuh puluh hari tujuh puluh malam ia telah melakukan
pengembaraan. Memasuki hari ke tujuh puluh tujuh, sang brahmin
muda mengajaknya ke Gunung Malaya, bekas kediaman Rishi
Agastya. Tanpa berkata sepatah pun, sang brahmin muda
meninggalkannya seorang diri di tengah kesunyian hutan kayu

1863
cendana yang menebarkan wangi ke segenap penjuru
penciumannya.

Di tengah keheningan pagi, ketika angin bertiup menebarkan


wangi cendana dan harumnya bunga-bunga rumput, Raden Sahid
duduk di tepi sungai kecil berair jernih yang mengalir ke lembah.
Dengan hati diliputi keindahan, ia memandang batu-batu yang
terendam sambil merenungkan kembali pengembaraan yang baru
saja dijalaninya. Hidup manusia, gumamnya dalam hati, ibarat air
yang mengalir dari mata air menuju samudera. Pada saat lahir dari
rahim bumi, semua air bening dan jernih. Tetapi, seiring
perjalanannya menuju samudera, air sering harus jatuh ke dalam
aliran sungai, jeram, selokan, terusan, dan muara yang keruh. Di
hamparan samudera itulah air kembali dijernihkan dan disucikan
menjadi gumpalan awan agar bisa jatuh ke permukaan bumi, lalu
meresap ke dalam perut bumi untuk lahir kembali sebagai air.

Memahami hidup manusia sebagaimana air, ia menangkap


sasmita bahwa harkat dan kedudukan manusia di tengah
kehidupan pada hakikatnya tidak jauh berbeda dengan air. Yang
paling jernih di antara air adalah yang tidak ternodai oleh lumuran
lumpur kehidupan. Demikianlah, manusia yang paling jernih dan
mulia kedudukannya adalah yang kesadarannya tidak ternodai
oleh benda-benda dan nafsu rendah duniawi. Lantaran itu, ia
memahami kenapa dalam tatanan masyarakat Hindu, kedudukan
para brahmana yang tidak terikat benda-benda dan nafsu rendah
duniawi ditempatkan di atas manusia lain. Dan yang terendah di
antara manusia adalah kalangan sudra dan paria, yakni manusia-
1864
manusia yang kesadaran hidupnya ditimbuni benda-benda dan
nafsu rendah duniawi.

Kisah Bhisma dan nelayan tukang ikan adalah cerita bijak tentang
harkat dan kedudukan manusia. Bhisma ditempatkan sebagai
manusia berkedudukan mulia (brahmana), sedangkan nelayan
sebagai manusia berkedudukan rendah (sudra). Bhisma, putera
Santanu, putera mahkota Hastina, datang ke sebuah desa nelayan
untuk melamar Rara Amis (gadis bau ikan), anak nelayan, sebagai
istri ayahandanya yang sedang mabuk kepayang oleh cinta.
Bhisma adalah ksatria sejati yang dengan tulus ingin berbakti
kepada ayahandanya. Ia rela berkorban apa saja asalkan
ayahandanya berbahagia. Beda Bhisma, beda pula nelayan.
Melihat kesempatan emas di balik kabar mabuk cintanya sang raja
terhadap puterinya, sang nelayan mengajukan syarat yang wajib
dilaksanakan jika Bhisma bersungguh-sungguh ingin melamar
puterinya untuk mendampingi raja Hastina. Pertama-tama, sang
nelayan menginginkan puterinya, Rara Amis, berkedudukan
sebagai permaisuri raja.

Dengan ketulusan seorang ksatria, Bhisma menyanggupi untuk


menerima syarat sang nelayan. Tetapi, kesanggupan Bhisma itu
belum cukup bagi sang nelayan. Dengan tanpa rasa malu sedikit
pun, dia mengajukan syarat kedua: putera dari Rara Amis dan
Santanu harus menjadi putera mahkota dan kelak menjadi raja
Hastina jika Santanu mangkat. Untuk kali kedua, Bhisma
menyatakan kesediaan untuk melepas haknya atas takhta Hastina.
Bhisma berjanji akan menjadikan putera Rara Amis dan Santanu
1865
sebagai raja Hastina kelak. Tetapi, kesanggupan Bhisma itu pun
belum cukup juga memuaskan kerakusan dan keserakahan sudra
sang nelayan. Dengan pongah, sang nelayan mengajukan syarat
berikut: dia tidak ingin hak atas takhta yang sudah dimiliki oleh
cucunya akan diganggu oleh keturunan Bhisma. Sang nelayan
dengan tegas menginginkan agar Bhisma tidak memiliki keturunan.
Demikianlah, sang ksatria sejati, Bhisma, berikrar di hadapan sang
nelayan untuk tidak menikah seumur hidup agar tidak memiliki
keturunan yang bisa mengancam takhta yang dikuasai cucu sang
nelayan.

Sepanjang pengembaraannya bersama sang brahmin muda,


Raden Sahid menyaksikan betapa penduduk golongan sudra yang
dijumpainya di desa-desa hampir semua menunjukkan sikap dan
perilaku seperti sang nelayan. Orang-orang sudra yang disaksikan
Raden Sahid adalah orang-orang yang selalu mengedepankan
keakuan pribadinya dan cenderung memenuhi alam pikirannya
dengan benda-benda dan angan-angan kosong. Untuk
kepentingan-kepentingan remeh temeh terkait kebutuhan
menumpuk benda-benda, tanpa segan-segan orang sudra akan
melakukan tindakan rendah menyembah kekuatan alam dengan
menyembelih anak-anaknya sebagai korban. Bahkan, sering kali
Raden Sahid menemukan sekumpulan orang sudra memuja
kawanan tikus di sebuah kuil yang diyakini dapat memberi berkah
keselamatan dan kemakmuran.

Dengan memahami tatanan masyarakat Hindu yang


kedudukannya berjenjang yang dikenal dengan catur warna dan
1866
kasta, Raden Sahid pun pada gilirannya menangkap hakikat yang
sama di dalam ajaran Islam yang dianutnya. Meski di dalam Islam
tidak dikenal pemilahan secara tegas atas kehidupan masyarakat
dalam jenjang-jenjang, pemilahan itu sebenarnya terjadi juga
secara alamiah. Manusia yang dianggap menempati kedudukan
paling tinggi dalam Islam adalah yang paling takwa. Padahal,
ukuran takwa adalah kemampuan orang seorang untuk hidup
meneladani Nabi Muhammad Saw., yang ditandai dengan
keterlepasan diri dari benda-benda (zuhud) dan tanpa pamrih
(ikhlas). Demikianlah, dikalangan masyarakat Muslim, keberadaan
seorang guru sufi yang hidup menjauhi keduniawian (zuhud) dan
tanpa pamrih sangat dimuliakan oleh umat, saat wafat pun kubur
mereka diziarahi.

Ketika merenung-renung tentang tinggi dan rendahnya harkat


serta kedudukan manusia berdasar tingkat keterikatan terhadap
benda-benda dan nafsu rendah duniawi, tiba-tiba Raden Sahid
dikejutkan oleh hadirnya brahmin muda yang muncul laksana
angin. Lebih terkejut lagi, sang brahmin tidak datang seorang diri,
tetapi dengan orang yang selama ini ditunggu-tunggunya, Syaikh
Lemah Abang. Raden Sahid benar-benar terperangah takjub
ketika Syaikh Lemah Abang menjelaskan bahwa brahmin muda
yang mengajaknya mengembara itu tiada lain adalah
Bharatchandra Jagaddhatri, Pangeran Wijayanagara yang
mengasingkan diri sebagai brahmin.

Dalam perjumpaan tak tersangka-sangka itu, Raden Sahid


merasakan kegembiraan yang meluap-luap hingga dadanya
1867
menjadi sangat lapang. Ia menuturkan semua pengalaman ruhani
yang dialaminya, terutama saat berjumpa dengan Rishi Agastya
yang menyingkapkan tirai hijab yang menyelubungi kesadaran
jiwanya. “Kami menangkap sasmita, Rishi Agastya menyampaikan
perlambang agar kami mengikuti jejaknya dalam menghadapi
serbuan bangsa-bangsa kulit putih. Rishi Agastya bahkan seperti
meminta agar kami menjadi guru yang sebijaksana sarjana dan
pandai mengolah bahasa sepiawai penyair.”

“Bukankah selama ini engkau telah menyaksikan apa yang telah


aku lakukan?” gumam Abdul Jalil.

“Kami baru menyadarinya sekarang, Paman.”

“Tahukah engkau, kenapa aku berjuang keras mewujudkan ajaran


Jawa (Tauhid) lewat dukuh-dukuh yang tersebar di penjuru Nusa
Jawa?” tanya Abdul Jalil seperti menguji.

“Saya belum tahu, Paman.”

“Tanyakan saja pada Paduka Brahmin Bharatchandra


Jagaddhatri!”

“Bertanya kepadanya?” tanya Raden Sahid heran.


1868
Abdul Jalil mengangguk. Bharatchandra Jagaddhatri yang melihat
Raden Sahid masih terheran-heran, tanpa ditanya langsung
berkata, “Apa yang dilakukan saudaraku dengan ajaran
Adwayashastra (Ilmu Tauhid) yang disampaikannya kepada
penduduk Nusa Jawa, sesungguhnya berkaitan dengan bakal
berubahnya tatanan kehidupan manusia di dunia.”

“Perubahan tatanan kehidupan manusia?” gumam Raden Sahid


makin heran.

“Ya, perubahan yang menjungkirkan tatanan lama ke tatanan


baru.”

“Kami belum paham dengan penjelasan Paduka.”

“Jika dari dahulu hingga sekarang ini para pecinta benda-benda


dan pengumbar nafsu rendah badani selalu ditempatkan pada
kedudukan terendah, maka di masa datang merekalah yang bakal
menduduki tempat tertinggi dalam tatanan kehidupan manusia.
Manusia dihormati karena memiliki kekayaan melimpah atas
benda-benda. Manusia dimuliakan karena menduduki jabatan dan
pangkat dalam pemerintahan duniawi. Manusia ditakuti karena
memiliki kekuatan senjata pembasmi kehidupan. Manusia disegani
karena memiliki kepandaian menipu manusia lain. Sementara
orang-orang suci yang menjauhi keduniawian akan dihina sebagai
manusia tolol dan lemah,” kata Bharatchandra Jagaddhatri.
1869
“Apakah itu berarti, kekuasaan dunia akan dipegang orang-orang
sudra?”

“Kekuasaan dunia akan dikuasai para pecinta benda-benda dan


pengumbar nafsu rendah badani. Mereka akan datang ke berbagai
penjuru bumi untuk merampok benda-benda dan mengumbar
nafsu-nafsu rendah badani mereka di mana-mana. Tidak ada satu
pun kekuatan manusia yang dapat melawan mereka, kecuali
kekuatan manusia-manusia yang bernaung di bawah
Adwayasashtra yang menjauhi gemerlap harta benda dan
mengikat kuat nafsu-nafsu rendah badaninya di bawah kendali hati
yang dipancari cahaya Ilahi. Lantaran aku mengetahui bakal
terjadinya perubahan tatanan itu, aku tinggalkan takhta untuk
mengajarkan Adwayasashtra kepada manusia. Dan sekarang ini,
tengara bakal terjadinya perubahan tatanan itu sudah mulai
menampakkan wajahnya.”

“Kami paham, yang Paduka maksudkan wajah dari perubahan itu


adalah orang-orang Portugis kelaparan yang mencari kemakmuran
di negara lain. Mereka itulah kawanan pecinta harta benda yang
bakal merampas dan merampok harta benda penduduk. Mereka
itulah kawanan saudagar rakus yang bakal menguasai bandar-
bandar perniagaan di seluruh negeri. Mereka itulah kawanan
pecinta kekuasaan yang bakal menjajah negeri-negeri dan
memperbudak penduduknya. Mereka kawanan dari makhluk-
makhluk bayangan yang bakal menjadikan penduduk negeri
sebagai mayat-mayat hidup tak berjiwa,” kata Raden Sahid.

1870
Bharatchandra Jagaddhatri tertawa mendengar kata-kata Raden
Sahid yang bergelora. Dia menepuk-nepuk bahu Raden Sahid
sambil membisikkan sesuatu ke telinganya. Sejenak setelah itu,
dia membalikkan badan dan melangkah ke arah hutan dan
menghilang di balik pepohonan. Abdul Jalil yang berdiri di samping
Raden Sahid tanpa menoleh bertanya lirih, “Dia membisikkan apa
ke telingamu?”

“Rsir viprah pura-eta jananam.”

“Tahukah engkau artinya?”

“Kalau tidak salah, seorang rishi harus melihat ke arah depan dan
bersikap bijaksana.”

“Itu kurang tepat, yang dia maksud adalah seorang guru harus
memiliki wawasan ke depan dan bersikap bijaksana. Itu berarti, dia
berharap engkau bisa menjadi guru yang bijaksana bagi umat
manusia, bukan pertapa yang mengasingkan diri dari kehidupan
duniawi,” kata Abdul Jalil.

“Saya paham, Paman.”

1871
“Karena itu, mulai sekarang orang akan menyebut namamu Syaikh
Malaya. Sebab, engkau telah beroleh pencerahan di Gunung
Malaya melalui Rishi Agastya,” kata Abdul Jalil.

“Saya menerima sebutan itu dengan suka cita, Paman. Tetapi, ada
satu hal yang ingin saya tanyakan kepada Paman,” kata Raden
Sahid.

“Pertanyaan tentang apa itu?”

“Kenapa Paman meninggalkan saya?”

“Aku tidak ingin menjadi hijab antara dirimu dengan-Nya.”

1872
SULUK MALANG SUNGSANG

KONFLIK DAN PENYIMPANGAN


AJARAN SYAIKH SITI JENAR

BUKU 7
AGUS SUNYOTO

Pengantar Redaksi

Akhirnya, saat-saat sejarah Syaikh Siti Jenar semakin mendekati


ujung. Buku ini merupakan satu dari dua buku penutup (Suluk
Malang Sungsang: Konflik dan Penyimpangan Ajaran Syaikh Siti
Jenar Buku Keenam dan Ketujuh). Sebagaimana sebuah teka-teki,
kisah akhir hidupnya menimbulkan pertanyaan beragam: Benarkah
dia mati? Benarkah dia tidak mati? Benarkah dia dimatikan?
Namun demikian, yang lebih penting adalah apa yang ada di balik
teka-teki itu. Bagaimana orang-orang memahami ajarannya?

Sejarah hampir tidak pernah berbicara tentang kelompok marjinal


karena dianggap telah subversif melalui wacana dan praksis
keagamaan yang mereka kembangkan. Mereka dianggap
menantang status quo kaum mayoritas. Sejarah kaum
terpinggirkan telah tertindas oleh sejarah yang berpusat pada
kaum borjuasi lain: ulama dan elit penguasa.

1873
Hegemoni menurut Gramsci bukan semata-mata dominasi,
melainkan juga “kepemimpinan” dan “kekuasaan” kelompok sosial
tertentu yang diwujudkan dalam masyarakat luas melalui
keberhasilan untuk mendapatkan pengaruh.

Persoalan dasar hegemoni bukanlah tentang bagaimana suatu


kelompok baru mendapatkan dominasi dan kekuasaan, melainkan
lebih penting lagi bagaimana kelompok itu sampai bisa diterima
tidak hanya sebagai penguasa, juga sebagai “pemandu”
masyarakat sehingga mampu memainkan peran sebagai
pemimpin moral.

Kepemimpinan moral yang hegemoni dapat menjadi dominan


secara formal melalui aliansi dengan kekuatan politik. Begitu
aliansi seperti itu terjadi maka kekuatan dominan dan hegemonik
dapat menggunakan kekuatan dan bahkan kekerasan untuk
mempertahankan posisinya yang dominan. Pada tahap inilah
muncul kelompok-kelompok terpinggirkan yang menjadi sasaran
dominasi dan penindasan.

Kerja keras Syaikh Siti Jenar Abdul Jalil untuk mewujudkan


pembaharuan-pembaharuan dalam tatanan hidup manusia masih
berlanjut pada buku ini. Ia membuka Dukuh Lemah Abang, Lemah
Ireng, Lemah Putih, Lemah Jenar, membentuk Caturbhasa
Mandala, dan Majelis Wali Songo. Di sini ia pun banyak
menyingkap perjanjian-perjanjian rahasia dalam mewujudkan cita-
citanya.
1874
Demikian pula, kabar kedatangan pasukan Dajjal, Ya’juj wa Ma’juj,
yang dibawa Syaikh Siti Jenar semakin mendekati kebenaran.
Bangsa kulit putih bermata biru tengah beriap-riap mengibarkan
pengaruhnya.

Tidak mudah memang merekonstruksi sejarah masa silam yang


jauh. Namun demikian, ini merupakan kerja penting untuk
medudukkan peristiwa-peristiwa historis dalam posisinya secara
proporsional dan adil.

Kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada Mas Agus


Sunyoto yang mempercayakan penerbitan karya ini kepada kami.
Kepada pembaca yang budiman, kami mengucapkan selamat
membaca.

1875
Cambuk Peringatan Tuhan

Selimut keremangan malam telah


disingkapkan oleh fajar gemilang yang terbit
dari balik pegunungan Nilgiri yang
memunggungi Kozhikode. Gemerisik daun-
daun kelapa terdengar lembut dibawa
embusan angin yang bertiup dari laut.
Kumbang-kumbang beterbangan di tengah embun yang terangkat
ke angkasa. Burung-burung berkicau sambil berlompatan di balik
rimbun pepohonan. Kokok ayam hutan terdengar nyaring
membelah keheningan pagi. Suasana pagi di pinggiran Kozhikode
terasa sejuk dan riang, meski sisa-sisa kabut tipis masih terlihat di
permukaan tanah.

Agak berbeda dengan suasana di pinggiran kota, di kawasan


perkampungan Kozhikode yang menuju arah pusat kota, suasana
pagi yang sejuk dan riang itu tidak lagi terasa. Dengung kumbang,
kicau burung, kokok ayam hutan, gemerisik daun-daun kelapa, dan
sejuknya embun di tengah semburan cahaya mentari pagi tak ada
lagi. Suasana pagi diwarnai kesibukan luar biasa dari orang-orang
berkeringat yang berjalan hilir mudik di tengah dentang suara palu,
gemuruh bising gergaji, detak ladam kuda, derit roda kereta, dan
teriakan-teriakan orang menghardik budaknya. Pagi itu suasana
memang sibuk sebab kapal-kapal baru buatan galangan kapal
Beypore yang dipesan Laksamana Kunjali Marakkar, panglima
angkatan laut kepercayaan Samutiru, telah bersandar di
pelabuhan Kozhikode. Kapal-kapal itu konon akan digunakan
1876
untuk menggempur armada Portugis yang berpangkalan di bandar
Cochazhi (Cochin).

Galangan kapal Beypore adalah galangan kapal terbesar di


wilayah kekuasaan Samutiru, bahkan terbesar di sepanjang pantai
Malabar. Kapal-kapal dan perahu besar pesanan saudagar dari
berbagai negeri dibuat di situ oleh tukang-tukang yang terampil
yang mewarisi keahlian itu secara turun-temurun. Namun,
belakangan ini menurut kabar yang tersebar di kota, segenap
tenaga para pembuat kapal di Beypore dikerahkan untuk membuat
kapal-kapal dengan ukuran besar. Kapal-kapal itu kabarnya akan
dilengkapi dengan meriam-meriam seperti kapal-kapal milik
Portugis. Bukan hanya menyiapkan kapal-kapal, Laksamana
Kunjali Marakkar kabarnya sedang menyiapkan kekuatan tempur
untuk menggempur armada Portugis yang bersekutu dengan raja
Cochazi. Sebuah pertempuran besar tampaknya bakal pecah
antara kekuatan Kozhikode di satu pihak dengan kekuatan
Cochazi dan Portugis di pihak lain.

Tindakan brutal Vasco da Gama membantai jama’ah Muslim


Kozhikode yang baru kembali dari tanah suci, membunuh dan
memotong-motong tubuh nelayan-nelayan Hindu, menyandera
penduduk, menginginkan kematian seluruh penduduk muslim
Kozhikode, menembaki kota Kozhikode dengan meriam, dan
mengancam-ancam Samutiru, tampaknya berbuntut panjang.
Bukan hanya Samutiru dan penduduk Kozhikode yang merasa
tertampar harga diri dan kehormatannya, melainkan seluruh
penduduk muslim di Bharatnagari tersulut amarahnya dengan
1877
tindak biadab itu. Seluruh penduduk muslim Bharatnagari –
terutama para saudagar, ulama, dan pemuka masyarakat –
berkobar-kobar semangatnya untuk membalas kematian saudara
mereka seiman yang sudah direndahkan oleh orang kafir. Tanpa
ada yang meminta, saudagar-saudagar muslim dari kota-kota
niaga di negeri Dekkan, Gujarat, Bengala, Sokotra, Yaman,
Basrah, hingga Mesir diam-diam memberikan dukungan kepada
penguasa Kozhikode untuk melawan Portugis.

Semangat perlawanan orang-orang Kozhikode yang berkobar-


kobar tampaknya memiliki kaitan dengan watak kota yang
melahirkan mereka. Kozhikode pada awalnya bukanlah kota
perniagaan. Ia lahir sebagai sebuah benteng pertahanan di wilayah
Ponniankara sekitar abad ke dua belas. Benteng itu dibangun oleh
raja Emad, Udaiyavar, setelah berhasil menaklukkan Raja
Polatthiri. Benteng itu disebut Velapuram dan diserahkan
penguasaannya kepada Nediyirippu (Panglima Penakluk)
bernama Swami Nambiyathiri Thirumulpad, yang termasyhur
dengan sebutan Samutiru atau Samuthiri. Sebagaimana layaknya
sebuah benteng, pada perkembangannya di sekitar Velapuram
mulai bermunculan pemukiman yang lambat laun tumbuh sebagai
kota kecil. Benteng yang menjadi kota kecil itu kemudian disebut
orang dengan nama Koyilkotta (istana benteng).

Di bawah kekuasaan Samutiru yang diwariskan secara turun-


temurun ke anak cucu, Koyilkotta berkembang menjadi kota
perniagaan antara bangsa, terutama akibat pengaruh saudagar-
saudagar keturunan Arab yang disebut suku Mappila. Koyilkotta
1878
dikenal sebagai salah satu bandar perniagaan rempah-rempah
terbesar di India. Lantaran yang berniaga ke Koyilkotta adalah
saudagar-saudagar dari berbagai negeri yang jauh, lafal
pengucapan untuk menyebut Koyilkotta pun menjadi beragam.
Ada yang melafalkan Koyilkotta dengan Kozhikode, ada yang
melafalkan Kalikat, Kalifo, dan belakangan orang Portugis
melafalkan: Calicut.

Sekalipun Kozhikode telah berkembang menjadi kota niaga antara


bangsa, citra keberadaannya sebagai kota benteng tetap tidak
sirna dari ingatan penduduk. Itu sebabnya, sejak awal kehadiran
orang-orang Portugis yang menipu Samutiru sehingga penduduk
menyangka mereka kawanan bajak laut, penduduk sudah
menyerang mereka sebagai musuh berbahaya. Bahkan, sejak
penduduk berselisih dengan Pedro Alvares Cabral hingga menjadi
tindakan ganas Vasco da Gama membombardir kota Kozhikode,
keterlibatan penduduk Kozhikode untuk membela kehormatan
kotanya sangatlah besar.

Sebagai penguasa, sesungguhnya Samutiru tidak ingin


peperangan terjadi di wilayah kekuasaannya. Dalam berselisih
dengan Portugis, ia selalu mengambil jalan damai. Saat Vasco da
Gama mengancam agar penduduk Muslim Kozhikode dibunuh
semua, ia meminta kepada warganya untuk pergi meninggalkan
Kozhikode. Untuk menghindari kesalahpahaman dengan maharaja
Wijayanagara, ia pun secara halus meminta kepada saudagar-
saudagar Mappila yang menjadi abdi maharaja Wijayanagara
untuk menyingkir sementara dari Kozhikode. Namun, sikap
1879
mengalah Samutiru itu tidak cukup berhasil meredam semangat
penduduk. Ketika sebagian warga muslim Kozhikode berlayar ke
negeri-negeri di selatan, orang-orang Mappila justru enggan
meninggalkan Kozhikode. Mereka menyingkir dari kota, tapi tinggal
tidak jauh dari situ. Mereka tinggal di Valapattanam, Thikkodi,
Pandalayani, dan Kakkadu. Orang-orang Mappila yang
menganggap Kozhikode sebagai negeri kelahirannya memang
sulit meninggalkan begitu saja kota yang mengukir jiwa mereka.
Alih-alih mengungsi ke kota-kota terdekat, mereka diam-diam
menyiapkan kekuatan bersenjata untuk melawan Portugis. Mereka
mendorong Laksamana Kunjali Marakkar, pemuka muslim
Kozhikode yang terkenal kegagahannya, agar melakukan
penyerangan terhadap kapal-kapal Portugis di mana pun berada.
Lewat saudagar-saudagarnya, orang-orang Mappila diam-diam
membeli bedil, pedang, tombak, dan bedil besar bikinan
Kuthiramalika di Tanjore untuk digunakan menyerang orang-orang
Portugis.

Sebagaimana warga muslim Kozhikode yang lain, Laksamana


Kunjali Marakkar tidak setuju dengan kebijaksanaan Samutiru
yang cenderung mengalah kepada Portugis. Mengalah kepada
musuh sama maknanya dengan membiarkan Kozhikode
kehilangan ruh kepahlawanannya. Laksamana Kunjali Marakkar
pun berusaha membangkitkan semangat Samutiru untuk melawan
Portugis lewat pengungkapan kembali kisah-kisah keperkasaan
leluhur Samutiru yang menjadi penguasa benteng Velapuram.
Akhirnya, Samutiru sepakat untuk melawan. Samutiru lalu
memerintahkan orang untuk memperbaiki dan memperkuat
benteng lama di Kottapadi yang letaknya dekat dengan Kuil Syiwa
1880
dan Kuil Vettakkorumakan. Ia menunjuk Parnambi, kepala suku
setempat, untuk menjadi penguasa benteng dan sekaligus pelatih
keprajuritan di benteng tersebut. Laksamana Kunjali Marakkar pun
diberi keleluasaan untuk membangun angkatan laut Kozhikode
sekuat mungkin.

Upaya diam-diam Samutiru membangun kekuatan militer tidak


diketahui Portugis maupun seteru lamanya, raja Cochazhi. Vasco
da Gama dan raja Cochazhi melakukan pembaharuan perjanjian
yang pernah dibuatnya dengan Cabral. Vasco da Gama juga
mengajak raja Cochazhi untuk membuat persekutuan dagang yang
disebut feitoria di Cochazhi. Untuk menunjukkan taring kegarangan
sebagai pemenang, Vasco da Gama sengaja membiarkan awak
kapalnya mencari hiburan di Kozhikode pada malam hari. Dengan
keyakinan bahwa Kozhikode sudah benar-benar bertekuk lutut,
Vasco da Gama kembali ke Portugal membawa kapal-kapalnya
yang penuh muatan rempah-rempah. Ia sengaja meninggalkan
seratus serdadu dan tiga kapal di bawah Francisco d’Albuquerque
yang ditugaskan melindungi Cochazhi, dan Duarte Pacheco
Pereira yang ditugaskan menjadi penasihat raja Cochazhi, dengan
keyakinan bahwa Samutiru tidak akan melakukan tindakan yang
bertentangan dengan kepentingan Portugis.

Bagian terbesar penduduk muslim Kozhikode yang disebut suku


Mappila adalah orang-orang yang leluhurnya berasal dari negeri
Yaman dan Teluk Persia. Berdasar cerita tutur yang samar-samar
masih diingat oleh generasi muda Mappila, para dhatu leluhur
mereka adalah pejuang pembela ahlul bait dari kalangan Syi’ah
1881
Zaidiyyah dan Ismailiyyah. Karena musuh mendesak terus dari
daratan maka leluhur mereka itu terdesak ke pantai dan lari
meninggalkan negerinya lewat laut. Mereka mendarat dan
kemudian tinggal di wilayah Kerala serta di sebagian tempat di
dalam negeri Wijayanagara. Sebagai pelarian, mereka berusaha
bertahan dengan cara berkompromi dengan penduduk sekitar
yang beragama Hindu. Sadar dengan keberadaan diri sebagai
warga pendatang, mereka melindungkan diri di bawag kekuasaan
raja-raja setempat yang beragama Hindu dan bersedia menjadi
abdi setia dari raja-raja tersebut.

Tidak banyak catatan sejarah ditulis orang tentang kehidupan


dhatu leluhur orang-orang Mappila yang merintis kehidupan awal
di negeri tersebut. Serpihan sejarah hanya mencatat bahwa
negeri-negeri di selatan Bharatnagari yang termasuk di dalamnya
wilayah Kerala tidak pernah sepi dari peperangan. Itu berarti, dhatu
leluhur orang-orang Mappila yang lari dari negeri kelahirannya
karena kalah perang harus bisa bertahan hidup di negeri baru yang
ternyata tidak pernah benar-benar padam dari nyala api
peperangan. Sejak pertempuran antar penguasa setempat,
Dantidurga dengan Chalukya, orang-orang Mappila seolah-olah
dipaksa oleh takdir untuk menyaksikan dan seringkali terlibat
dalam pertempuran antarraja besar dan kecil di sekitar mereka.
Bersama-sama penduduk pribumi Kerala, mereka berusaha
bertahan dari tekanan-tekanan peperangan yang terus membara
dari waktu ke waktu.

1882
Boleh jadi akibat kesamaan nasib karena terus-menerus menjadi
korban peperangan, orang-orang Mappila keturunan Arab asal
Yaman dan Teluk Persia itu pada gilirannya dapat berbaur dengan
penduduk setempat yang menganut Hindu dan Jaina. Bukan
hanya dalam hal bahasa Malayalam yang mereka gunakan
sebagai bahasa ibu, melainkan adat istiadat dan kepercayaan
mereka pun menunjukkan hasil perpaduan antara pengaruh Islam-
Hindu-Jaina. Lantaran itu, adat istiadat mereka agak berbeda
dengan muslim lain di Bharatnagari. Sekalipun hampir seluruh
penduduk muslim Kerala mengaku sebagai muslim penganut
Sunni dan bermadzhab Syafi’i, secara aneh mereka menjalankan
kebiasaan-kebiasaan yang lazimnya dijalankan oleh penganut
Syi’ah, Hindu, dan Jaina.

Sebagaimana lazimnya penganut Syi’ah Zaidiyyah dan


Ismailiyyah, orang-orang muslim Mappila memiliki adat istiadat dan
kepercayaan khas, yaitu mengadakan upacara khaul bagi orang
yang meninggal. Mereka membacakan talqin kepada jenasah.
Mereka memperingati Maulid Nabi Saw. dengan tontonan-
tontonan, nyanyian-nyanyian yang disebut Mappila Pattukal,
musik, dan upacara makan-makan yang disebut kenduri. Mereka
memperingati bulan Muharam dengan upacara-upacara melarung
tabut Hasan dan Husein di laut dan membuat bubur Asyura.
Mereka suka berziarah ke kubur wali-wali untuk meminta berkah.
Mereka melakukan pula upacara yang disebut Nercha untuk
meminta perlindungan kepada arwah pelindung suku dan desa,
dengan mempersembahkan suguhan utama kue-kue bulat dari
tepung beras yang disebut appam. Hampir semua ulama Mappila

1883
mengaku bernasab kepada Nabi Muhammad Saw. melalui galur
Fatimah az-Zahrah dan Imam Ali bin Abi Thalib.

Adat istiadat dan kepercayaan orang-orang Mappila itu ternyata


diikuti begitu saja oleh penduduk asli yang belakangan memeluk
Islam. Malahan, mereka tidak sekadar ikut-ikutan adat istiadat
orang Mappila, melainkan membaurkannya dengan adat istiadat
mereka. Akibatnya, terjadi keanehan-keanehan yang
mencengankan dari kebiasaan hidup sehari-hari penduduk muslim
di Kerala dan terutama di kota Kozhikode. Penduduk muslim
setempat yang umumnya berasal dari suku-suku berkasta rendah
dalam tatanan masyarakat Hindu sangat suka menggunakan
gelar-gelar asing seperti Syaikh, Khan, Sayyid, Syarif, dan Beg
untuk menunjukkan kesetaraan kedudukannya dengan
masyarakat muslim yang lain. Hal itu tentu menyulitkan orang
untuk membedakan keberadaan mereka dengan suku Mappila
maupun dengan saudagar-saudagar Arab pendatang. Ulama-
ulama setempat pun, sebagaimana ulama-ulama suku Mappila,
secara menakjubkan mengaku memiliki susunan silsilah
leluhurnya yang merujuk kepada Nabi Muhammad Saw. melalui
galur Fatimah az-Zahrah dan Imam Ali bin Abi Thalib.

Adat istiadat dan kepercayaan kaum muslimin di Kerala ternyata


tidak cukup menunjukkan citra budaya yang lazim dijalankan
orang-orang Syi’ah Zaidiyyah dan Ismailiyyah. Secara nyata,
mereka mengikuti pula adat istiadat dan kepercayaan penduduk
setempat yang beragama Hindu dan Jaina. Setiap tahun, misalnya,
mereka berduyun-duyun datang ke Masjid Pazhayangadi di kota
1884
Kondotti untuk mengadakan upacara Nercha selama empat hari
dengan sesaji utama kue appam, namun setelah dari masjid
mereka biasanya datang ke Kuil Kodungallur untuk mengikuti
upacara Bhadrakalipattu, tempat orang Hindu memuja Bhadrakali.
Mereka bersembahyang di Masjid Puthangadi, namun setelah itu
berziarah ke Kuil Tirumandankunnu di dekatnya, untuk memuja
Durga. Penduduk beragama Hindu pun melakukan hal yang sama:
setelah berziarah ke Kuil Sri Dharmasatha untuk memuja Ayyappa
dengan upacara Petta-Thullal atau Kanni Ayyappa, mereka
berziarah ke Masjid Vavar di dekatnya karena Vavar yang muslim
adalah sahabat Ayyappa.

Adat istiadat dan kepercayaan kaum muslimin di Kerala memang


aneh. Sekalipun dalam kehidupan kemasyarakatan mereka
terkenal sangat setia kepada rajanya, dalam hal keruhanian
mereka sangat mendewakan ulama-ulama panutannya. Hampir
setiap orang Mappila dan muslim Kerala memiliki anggapan bahwa
ulama yang mereka jadikan panutan selain adalah keturunan Nabi
Muhammad Saw., juga merupakan wali Allah yang suci dari dosa
(maksum). Bahkan, keluarga dari ulama pun mereka muliakan
sedemikian rupa seolah-olah mereka ikut terpancari kemaksuman
tersebut.

Dengan anggapan bahwa ulama yang mereka jadikan panutan


adalah keturunan Nabi Muhammad Saw. dan sekaligus wali Allah
yang maksum, kepatuhan para pengikut pun menjadi mutlak.
Ulama panutan yang umumnya memiliki kepandaian
menyembuhkan orang sakit dan memecahkan masalah kehidupan
1885
sehari-hari itu menjadi pusat ketergantungan bagi para
pengikutnya. Mereka seolah-olah menggantikan peran pendeta
dalam masyarakat Hindu, meski mereka paham bahwa di dalam
Islam tidak ada kependetaan. Itu sebabnya, saat ulama panutan
meninggal, makamnya akan dijadikan pusat ziarah oleh para
pengikutnya sebagai makam keramat seorang wali. Untuk
mempertahankan adat istiadat dan kepercayaan yang
menguntungkan kedudukannya itu, mereka secara turun-temurun
mewajibkan kepada semua pengikutnya untuk taklid buta.

Pagi sudah menjelang siang. Matahari tinggi di langit timur.


Cahayanya merata di permukaan bumi Kozhikode. Di sebuah
rumah besar yang terletak tak jauh dari benteng, di tengah hiruk
pikuk orang-orang yang berseliweran di jalan-jalan, di sela-sela
embusan angin pantai yang menerpa setiap bangunan di kota,
Abdul Jalil duduk bersila di sudut ruangan bersama Raden Sahid
dan pemilik rumah, Salim Chandidas, menantu saudagar
Ramchandra Gauranga, pengikut setia Bharatchandra
Jagaddhatri. Di sampingnya terlihat Bardud, anaknya yang berusia
sekitar empat belas tahun, menyandarkan kepalanya ke bahunya.

Siang itu Abdul Jalil sedang menunggu keberangkatan kapal yang


bakal membawanya ke Pasai. Menurut jadwal, kapal baru akan
berlayar setelah kegelapan menyelimuti bumi. Agak berbeda
dengan kelaziman pelayaran sebelumya, di mana kapal-kapal dari
Kozhikode dapat berlayar setiap waktu, saat itu orang cenderung
memilih berlayar malam. Alasannya, untuk menghindari ancaman
kapal-kapal Portugis. Para nakhoda banyak memilih waktu malam
1886
untuk membawa kapalnya keluar dari pelabuhan Kozhikode
karena saat itu kelasi-kelasi Portugis sibuk menghibur diri di kedai-
kedai Cochazhi maupun Kozhikode. Biasanya, dengan mengambil
jarak memutar yang cukup jauh dari pantai, kapal-kapal yang
meninggalkan pelabuhan Kozhidode akan menerobos kegelapan
malam tanpa penerangan lampu sampai ke tengah lautan bebas.

Selama menunggu keberangkatan kapal, Abdul Jalil menangkap


kegelisahan jiwa Salim Chandidas yang ditutup-tutupi dengan
senyum dan keramahan. Itu sebabnya, usai berbincang-bincang
tentang gerakan diam-diam penduduk Kozhikode yang
mendukung Laksamana Kunjali Marakkar melawan Portugis,
Abdul Jalil bertanya dengan nada menyindir, “Apakah setiap akan
melepas kapal para saudagar Kozhikode selalu dibayangi
kecemasan dan kekhawatiran bakal diserang Portugis?”

Salim Chandidas tercekat kaget. Setelah diam sejenak dia berkata,


“Kami kira, semua pemilik kapal di Kozhikode sekarang ini sedang
dicekam kegelisahan setiap kali akan melepas kapalnya. Kapal-
kapal Kozhikode yang memuat barang perniagaan terutama
rempah-rempah, belakangan ini sering tidak kembali ke
pangkalannya. Kapal-kapal itu lenyap begitu saja seperti ditelan
laut. Menurut kabar yang berkembang, kapal-kapal itu dirampas
muatannya dan kemudian ditenggelamkan oleh orang-orang
Portugis. Tetapi, tuduhan bahwa Portugis sebagai pelaku tindak
kejahatan itu sejauh ini belum bisa dibuktikan karena tidak ada satu
orang pun di antara awak kapal yang hilang itu pernah kembali ke
pangkalannya.”
1887
“Apakah Laksamana Kunjali Marakkar dan penduduk akan
menyerang Portugis jika kedapatan bukti bahwa merekalah pelaku
perampasan kapal?” tanya Abdul Jalil.

“Itu sudah pasti, Tuan Syaikh,” kata Salim Chandidas dengan gigi
berkerut-kerut menahan amarah, “hal itu kami kira tinggal
menunggu waktu saja.”

“Berarti, selama ini kabar yang beredar di kalangan penduduk


tentang kapal-kapal niaga yang ditenggelamkan Portugis itu belum
bisa dibuktikan kebenarannya? Maksudnya, semua kabar itu
masih sangkaan?”

“Bukti nyata memang belum ada, Tuan Syaikh,” kata Salim


Chandidas menarik napas panjang dengan wajah makin merah.
“Tetapi, secara sederhana orang yang paling awam pun wajib
mencurigai Portugis. Sebab, selama beratus-ratus tahun negeri
Kozhikode berniaga belum pernah terjadi peristiwa seperti ini.
Bayangkan, dalam waktu beberapa bulan sejak kehadiran Portugis
sudah belasan kapal niaga Kozhikode yang membawa muatan
rempah-rempah raib di tengah laut. Padahal, semua orang
mengetahui kapal-kapal Portugis yang berkeliaran di lautan kita itu
memiliki tujuan utama membeli rempah-rempah.”

“Jadi, yang raib itu hanya kapal-kapal yang memuat rempah-


rempah?”
1888
“Ya.”

“Apakah kapal yang akan kami tumpangi nanti memuat rempah-


rempah?”

“Itu memang kapal untuk memuat rempah-rempah. Tetapi, kalau


berangkat dari Kozhikode biasanya membawa barang-barang
niaga lain untuk ditukar dengan rempah-rempah. Muatan rempah-
rempah baru diangkut setelah kapal kembali dari negeri Jawi,” kata
Salim Chandidas.

“Tapi, kami dengar kapal-kapal milik orang Cochazhi tidak ada satu
pun yang hilang sebab penguasa mereka bersekutu dengan
Portugis. Apakah orang-orang Kozhikode tidak bisa menjalin
hubungan baik dengan Portugis sebagaimana dilakukan orang
Cochazhi?” tanya Abdul Jalil.

“Itu tidak mungkin, Tuan Syaikh,” sahut Salim Chandidas tegas.


“Sejak awal kedatangannya, orang-orang Portugis sudah
menempatkan diri sebagai kawanan bajak laut yang menipu
penguasa Kozhikode. Selain itu, Portugis dengan kekejamannya
yang menjijikkan telah membantai penduduk Kozhikode dan
mengancam-ancam raja kami. Lantaran itu, baik penduduk muslim
maupun Hindu di Kozhikode ini tidak akan sudi berbaik-baik
dengan Portugis, sedangkan orang-orang Cochazhi ikut dengan

1889
kebijakan penguasanya yang bersahabat dengan Portugis karena
mereka orang-orang yang lemah dan kurang percaya diri.”

“Berarti, musuh Kozhikode sekarang ini bertambah berat karena


Portugis bersekutu dengan Cochazhi. Bahkan, kabar terakhir yang
kami dengar, orang-orang Portugis sedang membangun benteng
di tepi sungai Periyar dekat muara,” kata Abdul Jalil.

“Itulah masalah rumit yang sedang kami hadapi. Para penguasa


negeri saling berseteru. Tidak ada yang mau mengalah. Dan,
Portugis kelihatannya memanfaatkan keadaan itu untuk
kepentingannya sendiri,” kata Salim Chandidas dengan nada
kurang bersemangat.

Abdul Jalil termangu-mangu sambil mengelus-elus janggutnya. Ia


menangkap sasmita bahwa mendung hitam Kematian sedang
menggantung di langit Kozhikode. Tidak lama lagi hujan dan angin
peperangan akan melanda negeri itu bersama ledakan halilintar
yang mengiringi kedatangan Ya’juj wa Ma’juj. Darah akan
membanjir. Sang Maut akan meniup terompet Kematian di tengah
mayat-mayat yang berserak di mana-mana. Secara tiba-tiba
ingatannya melesat ke Nusa Jawa. Apakah Nusa Jawa juga akan
dilintasi mendung hitam Kematian?

Sekejap mengingat Nusa Jawa, ia menangkap sasmita bahwa


mendung hitam Kematian tidak akan melintas di langit Nusa Jawa.
1890
Sebab, peristiwa pecah belah antarpenguasa sebagaimana yang
terjadi di negeri Kerala, sepengetahuannya, sudah tidak terjadi lagi
di Nusa Jawa. Para adipati di sepanjang pesisir Nusa Jawa sudah
bersatu dalam suatu persekutuan di bawah kepemimpinan Sultan
Demak. Persekutuan para penguasa daerah itu memiliki tujuan
utama menegakkan Tauhid di tengah kehidupan masyarakat.
Persekutuan adipati-adipati itu pun didukung penguasa Majapahit,
Japan, dan Blambangan sehingga tidak ada alasan untuk
berperang.

Sebagaimana lazimnya tatanan kekuasaan yang didasarkan atas


kaidah-kaidah tasawuf, yang menempatkan kekuasaan duniawi di
bawah kekuasaan ruhani, demikianlah dalam persekutuan adipati-
adipati di Nusa Jawa itu. Sultan Demak dan adipati-adipatinya
berada di bawah naungan kekuasaan ruhani para guru suci yang
tergabung dalam Majelis Wali Songo, Sultan Demak selaku
pemimpin persekutuan adipati wajib menjalankan tatanan agama
berdasarkan Tauhid kepada seluruh penduduk. Untuk itu, Sultan
Demak selain bergelar Amir al-Mu’minin juga beroleh gelar
Khalifah ar-Rasul Sayidin Panatagama dari Majelis Wali Songo.
Dengan tatanan kekuasaan sebagaimana diterapkan di Nusa Jawa
yang ditegakkan atas asas Tauhid itu, Abdul Jalil sangat yakin jika
kekuatan Portugis tidak akan dapat menembus Nusa Jawa. Ia
sangat yakin Allah tidak akan menimpakan malapetaka kepada
umat yang bertauhid dengan cara menyerahkannya kepada musuh
yang keji dan biadab.

1891
Ketika sore tiba, Abdul Jalil dan Raden Sahid terlihat berdiri di
sudut jalan yang menuju dermaga Kozhikode. Sambil memandangi
kapal-kapal dan perahu-perahu yang diayun-ayun gelombang laut,
di tengah kerdipan cahaya kuning matahari yang memantul di
permukaan air, Abdul Jalil menangkap sasmita di balik rangkaian
penderitaan yang dialami penduduk muslim Kozhikode sejak
kehadiran orang-orang Portugis. Orang-orang malang itu
sesungguhnya sedang dicambuk oleh peringatan Tuhan melalui
keganasan Ya’juj wa Ma’juj dalam wujud orang-orang Portugis.
Dengan kobaran dari senjata-senjata penyembur api, ketenangan
hidup penduduk muslim Kozhikode dijungkirbalikkan. Sasmita itu
sendiri sejatinya sudah ditangkapnya bertahun-tahun silam saat ia
berada dalam perjalanan dari Gujarat menuju Goa.

Setelah beberapa jenak merenung-renung tentang sasmita yang


ditangkapnya, dengan suara lain ia berkata-kata seolah-olah
ditujukan kepada dirinya sendiri.

“Sesungguhnya, Allah telah menetapkan perintah agar kaum


beriman hanya menyembah-Nya dan tidak menyekutukan dengan
ilah-ilah selain Dia (QS. al-Baqarah: 21 – 22; an-Nisa:36).
Sesungguhnya, jalan yang lurus adalah menyembah hanya
kepada Allah Yang Maha Esa (QS. Ali Imran: 51). Sebab, Allah
adalah Sang Pencipta, Yang Maha Memelihara, Maha Melihat,
Mahahalus, Maha Mengetahui (QS. al-An’am: 101 – 103), meliputi
segala sesuatu (QS. al-A’raf: 89; al-Anfal: 47; Hud: 92), juga
meliputi seluruh manusia (QS. al-Isra: 60).”

1892
“Karena Asma’, Af’al, dan Shifat Yang Menyesatkan (al-Mudhill)
dan Yang Memberi Petunjuk (al-Hadi) yang mengejawantahkan
kehendak Zat Yang Mahamutlak secara rahasia selalu berjalin
berkelindan dan berganti-ganti dalam menunjuki dan menyesatkan
manusia (QS. al-Fathir: 8), melalui pengilhaman terhadap jiwa
manusia atas kefasikan dan ketakwaan (QS. asy-Syams: 8), maka
manusia sebagai citra ar-Rahman (shurah ar-Rahman) terpilah
sesuai Asma’, Af’al dan Shifat-Nya, yaitu menjadi golongan yang
disesatkan dan golongan yang diberi petunjuk. Mereka yang
disesatkan akan dilimpahi azab Allah yang pedih (QS. Shad: 26).”

“Sesungguhnya, tanda paling terang dari kesesatan dan


ketakwaan suatu umat terlihat dari curahan azab dan limpahan
rahmat yang diterima masing-masing laksana perbedaan antara
pancaran cahaya dan selimut kegelapan. Dia (al-Hadi)
mengeluarkan orang beriman dari kegelapan menuju cahaya,
sedangkan setan (pengejawantahan kuasa al-Mudhill)
mengeluarkan orang ingkar dari cahaya ke dalam kegelapan (QS.
al-Baqarah: 256 -257). Mereka yang sesat itu mengikuti jalan
thaghut dan menganggap kaum beriman sesat (QS. an-Nisa: 51,
60). Padahal mereka itulah orang-orang yang dikutuk Allah (QS.
al-Maidah: 60).”

“O penduduk Kozhikode, kefasikan apa yang sesungguhnya telah


kalian lakukan hingga membuat cambuk Allah dilecutkan atas
kalian? Sesungguhnya, Allah tidak pernah membinasakan kota-
kota kecuali penduduknya telah melakukan kezaliman dan
kefasikan (QS. al-Qashash: 59; al-Ankabut: 34). Semoga lecutan
1893
cambuk dari-Nya tidak membinasakan, tetapi hanya menjadi
peringatan agar kalian kembali meneguhkan Tauhid; semata-mata
menyembah Allah dengan benar dan menjauhi penyembahan
kepada thaghut.”

Raden Sahid yang mendengar kata-kata Abdul Jalil itu memegang


keningnya. Dia berusaha merangkai makna di balik ucapan Abdul
Jalil dengan kenyataan pedih yang dialami penduduk Kozhikode,
yang dicekam kegelisahan akibat tindakan-tindakan orang Portugis
yang ganas. Setelah beberapa jenak merenung, dia bertanya
kepada Abdul Jalil, “Apakah Paman menganggap bahwa
kemalangan nasib yang dialami orang-orang muslim di Kozhikode
berkaitan dengan kemerosotan Tauhid mereka?”

“Itulah sasmita perlambang yang aku tangkap.”

“Kami pun menangkap sasmita seperti Paman. Semula, kami


melihat orang-orang muslim di Kozhikode sebagai muslim yang
baik dalam akidah. Tetapi, belakangan kami mendapati kenyataan
lain di mana kebanyakan mereka itu tanpa sadar telah mengikuti
kepercayaan-kepercayaan yang menyimpang dari prinsip-prinsip
Tauhid. Kebanyakan mereka telah menyimpang dari jalan yang
benar (fasik). Mereka banyak yang terseret keluar dari jalan Tauhid
dan cenderung menjadi umat yang durhakan kepada Allah,” kata
Raden Sahid.

1894
“Tahukah engkau, o Anakku, bahwa mereka yang bersembahyang
di masjid umumnya hanya kalangan ulama dan murid-muridnya?”
tanya Abdul Jalil.

“Ya, kami tahu itu.”

“Tahukah engkau apa yang dilakukan seumumnya penduduk jika


mereka datang ke masjid?”

“Kami melihat orang-orang datang ke masjid tidak untuk


bersembahyang. Sebaliknya, mereka berziarah ke makam para
wali yang terletak di belakang mihrab.”

“Sungguh aneh umat ini. Apakah mereka kaum penyembah Allah


atau kaum penyembah kubur?”

“Setahu kami, mereka datang berziarah ke kuburan untuk meminta


pertolongan dan berkah dari ahli kubur yang mereka anggap wali.”

“Bagaimana mereka tahu bahwa ahli kubur yang diziarahi dan


dijadikan perantara meminta pertolongan itu wali Allah?” kata
Abdul Jalil dengan suara ditekan tinggi. “Bukankah keberadaan
wali Allah itu dirahasiakan oleh-Nya dari pandangan awam?
Tidakkah engkau mengetahui bahwa di dalam tiap-tiap hati dan
1895
pikiran muslim di Kozhikode, sejatinya terselip anggapan bahwa
setiap ulama panutan mereka adalah wali Allah? Tidakkah engaku
mengetahui betapa mereka meyakini jika ulama-ulama mereka itu
suci dan terbebas dari dosa (maksum) seperti Nabi Saw., sehingga
patut bagi penduduk untuk memuja kuburan mereka? Tidakkah
engkau mengetahui, o Anakku, berapa banyak penduduk muslim
Kozhikode yang berziarah ke makam-makam untuk mencari
berkah agar keinginan nafsunya terpenuhi? Tahukah engkau,
selain meminta berkah ke kuburan ulama yang mereka anut,
mereka juga sering kedapatan meminta berkah ke Kuil Durga dan
Bhadrakali dengan mengikuti upacara-upacara yang mengancam
prinsip-prinsip Tauhid?”

“Tahukah engkau betapa banyak di antara kaum muslimin


Kozhikode diam-diam memelihara ular rumah (sarpa-kavu) yang
mereka dapat dari Kuil Mannarasala tempat memuja Nagaraja?
Tahukah engkau betapa mereka meyakini jika ular-ular itu bisa
memberikan berkah keselamatan terhadap mereka? Dan, tahukah
engkau berapa banyak di antara mereka yang tewas akibat dipatuk
ular peliharaan itu?”

“Ya, kami tahu itu.”

“Tidakkah engkau mengetahui juga bagaimana ulama-ulama


Kozhikode hampir selalu mengajarkan kepada para pengikutnya
bahwa berdoa langsung kepada Allah adalah sesuatu hal yang
mustahil bisa dilakukan, karena manusia terlalu kotor dan penuh
1896
dosa? Tahukah engkau bahwa mereka mewajibkan kepada
pengikut-pengikutnya untuk menggunakan wasilah kepada wali-
wali dalam memohon pertolongan Allah dan yang diwalikan itu
ternyata adalah diri ulama itu sendiri?”

“Kami tahu itu, Paman. Mereka berdalih dengan iktibar bahwa


orang awam biasa tidak akan mungkin bisa bertemu raja tanpa
melewati pengawal kerajaan atau orang-orang yang dekat dengan
raja. Sementara, para wali Allah adalah sahabat-sahabat Allah
yang senantiasa berkenan menjadi wasilah untuk menyampaikan
doa umat kepada Allah Yang Mahasuci. Tapi Paman, bukankah
wasilah melalui wali-wali diperbolehkan bagi orang awam?”

“Wasilah tidak dilarang asalkan yang dijadikan wasilah adalah


benar-benar wali Allah yang sempurna (kamil al-mukamil). Tapi,
berapa banyak di antara ulama atau kuburan yang disucikan
orang-orang itu sesungguhnya tidak terkait dengan keberadaan
wali Allah? Tidakkah engkau mengetahui, ulama Kozhikode dari
waktu ke waktu selalu berusaha meyakinkan para pengikutnya
agar mempercayai bahwa mereka adalah wali Allah? Padahal,
berapa banyak di antara mereka itu sejatinya adalah pembohong
besar? Mereka banyak yang berbohong mengaku keturunan Nabi
Muhammad Saw. dengan membuat susunan silsilah palsu.”

“Sungguh menyedihkan nasib umat muslim di negeri ini. Sebab,


mereka dipimpin oleh ulama-ulama yang tidak mencerminkan citra
pewaris Nabi: Suka menumpuk kekayaan. Gemar menghimpun
1897
tanah wakaf untuk dijadikan milik pribadi. Mempekerjakan murid-
murid di tanah-tanah itu tanpa upah sepeser pun. Lalu,
menempatkan diri sebagai pengabsah bagi kebijakan-kebijakan
penguasa yang sering menzalimi masyarakat. Melipat-lipat dan
membentuk tafsiran ayat-ayat Allah sesuai kepentingan penguasa
yang menyuap mereka. Menata dalil-dalil untuk menguntungkan
kepentingan mereka. Sungguh, kemuliaan dan keluhuran ulama
sebagai wakil al-Alim di muka bumi telah mereka tukar dengan
pengabdian membuta kepada harta benda dan kekuasaan.
Mereka tanpa punya rasa malu telah menekuk lutut dan
memperbudak diri sendiri kepada penguasa dengan imbalan
sangat murah,” kata Abdul Jalil tegas.

“Apakah mereka akan dibinasakan Allah?”

“Aku tidak menangkap sasmita bahwa mereka bakal dibinasakan


Allah,” kata Abdul Jalil datar. “Aku hanya menangkap sasmita
mereka sedang dicambuk oleh murka Allah, seolah-olah hewan
gembala dihardik agar tidak menyimpang jauh dari padang
gembalaan. Aku menangkap sasmita, mereka sedang
diperingatkan Allah dengan bahasa perlambang agar tidak larut di
dalam lingkungan yang merusak tiang-tiang penyangga Tauhid.
Tetapi, aku tidak yakin mereka bisa cepat tanggap dan sadar akan
kekeliruannya. Aku malah melihat mereka bakal bercerai-berai,
diusir dari tanah kelahirannya oleh cambuk Allah.”

1898
“Apakah itu bermakna bahwa Allah akan mencambuk mereka
dengan lebih keras lagi?”

“Kelihatannya akan seperti itu,” kata Abdul Jalil. “Tapi tahukah


engkau, o Anakku, sesungguhnya pada bagian manakah perilaku
ulama Kozhikode itu yang paling berbahaya bagi prinsip-prinsip
Tauhid?”

“Menurut hemat kami, ada beberapa hal dari perilaku ulama


Kozhikode yang kami anggap berbahaya bagi akidah Islamiyyah.
Pertama-tama, mereka membiarkan pengikutnya menjadi lintah
darat asal mereka tidak lupa memberi setoran. Mereka membuta-
tuli terhadap larangan-larangan Allah mengenai riba. Yang tak
kalah memuakkan dan menjijikkan, mereka suka sekali
mengabsahkan kewalian sebuah kuburan dengan harapan setiap
bulan mendapat setoran uang dari juru kunci penunggu kubur.
Bahkan yang lebih memuakkan, mereka tanpa kenal malu
bertengkar dengan sesama ulama untuk berebut jabatan mursyid
tarekat. Sepengetahuan kami, banyak di antara mereka itu
sejatinya tidak memenuhi syarat untuk menduduki jabatan
mursyid, tetapi berkukuh menduduki jabatan mursyid karena
alasan nasab. Bahkan, kami sering mendapati terjadinya
perseteruan sengit antarmursyid yang berujung pada pertumpahan
darah para jama’ah.”

“Itulah yang aku katakan berbahaya bagi Tauhid. Sebab


mengabsahkan riba, ‘memperdagangkan’ kuburan dengan modal
1899
kebohongan, memutar-balik ayat-ayat suci untuk kepentingan
kekuasaan, dan bertarung memperebutkan kemursyidan adalah
tindak kefasikan yang tidak boleh dibiarkan. Coba renungkan,
betapa berbahayanya jika mursyid satu sama lain mengkafirkan
dan menghalalkan darah masing-masing. Bagaimana mungkin
guru-guru tarekat yang seharusnya berakhlak mulia dan menjadi
panutan tiba-tiba menjelma wujud diri sebagai tukang fitnah,
tukang hasut, tukang mengkafirkan sesamanya, dan suka
mencelakakan guru tarekat lain demi kepentingan pribadi?
Sungguh, keadaan ini akan merobek-robek citra ajaran tasawuf
yang agung dan suci,” kata Abdul Jalil.

“Apakah kita perlu memberi peringatan kepada mereka, Paman?”

“Sesungguhnya tidak perlu,” kata Abdul Jalil datar. “Sebab, yang


wajib kita utamakan adalah menjaga Tauhid saudara-saudara kita
di Nusa Jawa.”

“Bukankah kita berkewajiban mengingatkan saudara-saudara kita


seiman di mana pun berada?”

“Itu memang benar, Anakku. Tetapi, engkau harus tahu bahwa


pada masing-masing tempat dan masing-masing kaum, sejatinya
sudah ada orang-orang yang ditugaskan Allah untuk memelihara
dan menjaga keseimbangan. Mereka akan menjalankan tugas
tanpa peduli apakah mereka akan dimusuhi atau didukung
1900
kaumnya. Masing-masing mereka tidak boleh melanggar wilayah
yang lain.”

“Maksud Paman, apakah mereka itu wali-wali Allah?”

“Satu saat nanti engkau akan mengetahui rahasia itu.”

1901
Mezbah Persembahan Baru

Malam menggelar permadani hitam dengan


hiasan bintang-bintang sebagai sulaman.
Kabut tebal yang menyelimuti permukaan
bumi Pasai membenamkan kehidupan
dalam kesunyian. Di tengah kesenyapan
yang melingkupi, sewaktu manusia
menggulung tubuh dalam selimut, ketika margasatwa tidur di
sarangnya, di saat terkaman hawa dingin menggigit hingga tulang,
terlihat tiga sosok bayangan manusia di bawah sebatang pohon
besar di hadapan segunduk tanah merah yang masih basah.
Mereka adalah Abdul Jalil, Raden Sahid, dan Tughra Hasan Khan,
kakak lelaki lain ibu Abdul Jalil. Agak jauh dari mereka, dalam jarak
sekitar dua puluh langkah, terlihat bayangan orang-orang duduk
berkerumun membentuk lingkaran di bawah pohon. Di antara
mereka yang berkerumun itu terlihat Tughril Muhammad Khan dan
Fadhillah Khan, putera Tughra Hasan Khan, Abdullah Kandang,
Orang Kaya Kenayan, Abdurrahman Singkel, ketiganya murid
Abdul Jalil, Shafa dan Bardud, istri dan anak Abdul Jalil, Na’ina
Husam, sufi perempuan asal Syiraz, dan belasan pengawal
hulubalang dengan senjata terhunus. Suasana terasa senyap.
Lengang. Tidak satu pun di antara mereka yang berkerumun itu
berkata-kata atau berbisik-bisik. Semua diam membisu seolah
dicekam ketegangan.

Di tengah kegelapan malam yang mencekam itu, sesungguhnya


Abdul Jalil tengah berziarah ke makam Husein bin Amir
1902
Muhammad bin Abdul Qadir al-Abbasi, kawan seperjalannya
dalam menunaikan ibadah haji belasan tahun silam. Namun,
suasana malam itu terasa sangat mencekam akibat perseteruan
yang terjadi antara penduduk yang menganut paham Syi’ah itsna
Asy’ariyah dan Syi’ah Zaidiyyah, ditambah lagi keterlibatan orang-
orang Sunni pengikut Imam Syafi’i dan Hanafi. Suasana ziarah
yang harusnya tenang justru keadaannya layaknya perang yang
menegangkan. Makam Husein hanya berupa gundukan tanah
merah, sengaja disamarkan oleh pengikut-pengikutnya tanpa
nisan dengan maksud tidak dibongkar oleh musuh-musuhnya.

Kematian Husein yang mendadak memang sangat mengejutkan


Abdul Jalil. Dalam perjalanan laut dari Kozhikode ke Pasai, ia
sudah memberi tahu Raden Sahid bahwa ia akan singgah di
kediaman sahabat lama yang masih berkerabat dengan Raden
Sahid, yaitu Husein yang bernasab al-Abbasi. Namun, saat mereka
sampai di Pasai dan singgah di kediaman Tughra Hasan Khan,
diperoleh kabar bahwa Husein tewas dibunuh orang tak dikenal.

Menurut Tughra, Husein terbunuh dalam serangan mendadak


barang dua pekan sebelum kehadiran Abdul Jalil ke Pasai. Tanpa
menduga sebelumnya, Husein yang baru kembali dari kediaman
Tughra diserang di tengah gelap malam. Ia terbunuh bersama
sepuluh orang pengikutnya dan lima orang pengawal yang dikirim
Tughra. Selama ini Husein dianggap oleh musuh-musuhnya
sebagai seorang tokoh agama pengikut Syah Ismail. Lantaran itu,
dengan terang-terangan atau sembunyi-sembunyi Husein
dimusuhi banyak orang.
1903
Husein yang memahami perkembangan suasana diam-diam
menemui Tughra dan meminta perlindungan karena kedudukan
Tughra sebagai salah seorang hulubalang Kesultanan Pasai.
Dalam pertemuan itu, Tughra menyatakan kesediaannya untuk
melindungi Husein dan keluarganya. Tughra bahkan menyatakan
akan mendamaikan pihak-pihak yang berselisih dalam waktu
secepatnya. Untuk membuktikan keseriusannya, ia
memerintahkan lima orang prajurit untuk mengawal Husein
kembali ke rumahnya. Namun, dalam perjalanan pulang itulah
Husein diserang oleh ratusan orang tak dikenal.

Menurut dugaan Tughra, orang-orang yang terlibat pembunuhan


itu berasal dari beberapa kelompok. Pertama-tama, penduduk
Pasai pengikut Syi’ah Zaidiyyah asal Yaman yang dipimpin Sayyid
Hasan al-Muqayyat dan para pendatang asal Kerala yang dipimpin
Syarif Ali Musliyar al-Munfashil. Kelompok berikutnya adalah
penduduk Pasai penganut Syi’ah Ismailiyyah asal Gujarat yang
dipimpin oleh Sayyid Abdul Aziz al-Khala’ dan para saudagar
Malaka penganut Imam Syafi’i yang dipimpin Tun Abdul Karim.
Sementara yang juga diduga kuat ikut memanas-manasi suasana
adalah saudagar-saudagar asal Maghrib.

Selama mendengarkan paparan Tughra tentang kemelut


“pertarungan” kaum muslimin di Pasai, terutama tentang
pembunuhan Husein, Abdul Jalil terdiam. Selama beberapa jenak
ia merasakan kegeraman terhadap kepicikan wawasan Syah
Ismail yang demi ambisi pribadinya telah mengorbankan banyak
nyawa dan penderitaan orang-orang yang tak bersalah. Namun,
1904
secepat itu pula ia disadarkan oleh Ruh al-Haqq bahwa Syah Ismail
pada hakikatnya hanyalah salah satu dari pemain sandiwara
kehidupan yang ditempatkan oleh Sang Sutradara pada alur cerita
yang sudah dirancang-Nya. Sadar akan hakikat sejatidi balik
peristiwa-peristiwa tragis itu, Abdul Jalil tidak dapat berbuat
sesuatu kecuali memuji kebesaran dan keagungan-Nya dengan
menggumam lirih.

“Wahai Engkau Yang Maha Menyesatkan! Wahai Engkau Yang


Maha Menghinakan! Wahai Engkau Tuannya Iblis! Wahai Engkau
Penguasa Setan. Wahai Engkau Yang Mahaagung! Sungguh tidak
berubah ketetapan hukum-Mu yang telah Engkau gariskan. Wahai
pemilik siksa paling pedih, meski Engkau telah memalingkan
‘wajah-Mu yang mengerikan (Bhairawa), meski Engkau telah
menyingsingkan kegelapan ‘malam-Mu’ (Candika) yang gelap dan
penuh darah ke terang siang-Mu yang dipancari cahaya kasih-Mu
(Shankara), ketetapan hukum-Mu tidaklah berubah: Korban darah!
Korban darah! Seribu kali korban darah! Ya, korban darah untuk
santapan Ibunda Bhumi, Sang Prthiwi, beserta para bhuta dan
kala.”

“Sungguh sempurna kehendak-Mu, o Yang Mahalanggeng.


Engkau memang sudah mengubah persembahan darah manusia
di atas mezbah batu sembelihan. Engkau memang sudah
menyelubungi mezbah-mezbah batu persembahan darah di
ksetra-ksetra dengan selimut rumah-rumah ibadah kaum beriman
yang memuji keagungan-Mu dengan kepasrahan. Engkau
bentangkan cermin hijab (al-mir’ah al-hajib) di hamparan
1905
cakrawala dunia hingga seluruh manusia di permukaan bumi
terpukau dengan gemilang kesantunan para pemuja-Mu yang
berpendar laksana matahari pagi yang sejuk. Tetapi, kini telah
hamba saksikan dengan mata batin (ain al-bashirah), dan hamba
pahami dengan fawa’id, betapa di balik bentangan cermin hijab itu
sesungguhnya umat-Mu, manusia, dengan diam-diam atau terang-
terangan masih banyak yang memuja ‘citra-Mu’ yang mengerikan
itu.”

“O Engkau Yang Maha Menyesatkan! O Engkau Yang Maha


Menghinakan (al-Mudzill)! O Engkau Yang Maha Pemberi Bahaya
(adh-Dharr)! O Engkau Yang Mahaperkasa! O, Engkau Tuannya
Iblis! O, Engkau Yang Maha Memelihara! Sungguh, Engkau telah
menganugerahi hamba kemuliaan sehingga hamba bisa
menyaksikan dengan mata batin keberadaan mezbah-mezbah
baru untuk korban sembelihan yang dibangun saudara-saudara
hamba seiman. Engkau telah menjadikan hamba sebagai saksi
tentang Keberadaan mezbah-mezbah baru yang dibangun
saudara-saudara hamba seiman. Engkau telah mencelikkan
penglihatan batin hamba untuk menyaksikan bagaimana saudara-
saudara hamba seiman tidak membuat mezbah persembahan dari
tumpukan batu yang dipahat, tetapi membangunnya dari tumpukan
dalil berdasar tafsiran akal pikiran yang mereka sebut madzhab.
Madzhab. Madzhab. Seribu kali Madzhab. Ya, madzhab yang
mereka bangun dengan kemegahan itulah yang mereka
berhalakan dan mereka jelmakan menjadi mezbah persembahan
baru tempat korban sembelihan dipersembahkan. Di atas mezbah-
mezbah baru itulah umat-Mu, yang menyebut diri kaum yang

1906
pasrah (qaum al-muslimin), menyembelih saudara-saudaranya
seiman, dengan harapan mendapat berkah dan ridho-Mu.”

Tughra Hasan Khan yang lamat-lamat mendengar gumam Abdul


Jalil mengerutkan kening dan bertanya keheranan, “Engkau bicara
apa, o Adikku? Apakah Engkau berbicara dengan Tuhan atau
mengajak-Nya bergurau?”

“Aku justru menertawakan kebingunganku sendiri.” Abdul Jalil


tersenyum pahit. “Maksudku, setiap kali aku menangkap sekelumit
Kebenaran Hakiki yang digelar-Nya di balik gemerlap kehidupan
dunia yang kasatmata, saat itu aku menyaksikan ketololanku
sendiri. Setiap kali aku menemukan Kebenaran Hakiki yang
menyingkapkan tirai jati diri di tengah bayangan maya-Nya, aku
dapati diriku seperti anak-anak bermain petak umpet yang selalu
kalah. Dalam keadaan itu, mereka yang tidak paham dengan
keadaanku akan menduga-duga aku telah bercanda dengan
Tuhan. Padahal, aku tidak bercanda dengan-Nya. Justru Dia yang
kurasakan mempermainkan aku, seolah Dia sangat suka melihatku
kebingungan di tengah kesempurnaan-Nya yang tak terbatas.”

“Tentang ucapan-ucapan aneh yang baru saja engkau ucapkan,


apakah berkaitan dengan itu juga?”

“Ya.”

1907
“Coba terangkan kepadaku, kenapa engkau mengatakan kaum
muslimin membangun mezbah-mezbah baru? Kenapa engkau
menilai mereka menyembelih saudara-saudaranya seiman demi
beroleh berkah dan ridho Tuhan?”

“Selama ini aku selalu berpandangan bahwa korban sembelihan


darah manusia hanya dilakukan oleh para penganut Bhairawa-
Tantra dalam upacara Pancamakara di ksetra-ksetra untuk
memuja Prthiwi, Durga, dan Kali. Dengan segenap upaya aku
sudah mengusahakan agar upacara menyembelih manusia itu
diakhiri. Aku paham bahwa upacara semacam itu adalah ketetapan
yang dikehendaki-Nya untuk memenuhi hak-hak Sang Prthiwi.
Lantaran itu, aku yakin jika upacara korban darah manusia akan
terus berlangsung dalam bentuk lain, seperti peperangan dahsyat
di suatu waktu tertentu atau bencana alam atau wabah penyakit.
Tapi kini, ketika Kebenaran Hakiki menyingsing di cakrawala
jiwaku, aku saksikan kenyataan yang mengejutkan dan tidak
kusangka-sangka: betapa di dalam amaliah peribadatan orang-
orang Islam pun sesungguhnya hal berkorban darah manusia itu
dilakukan juga baik secara diam-diam atau terang-terangan,” kata
Abdul Jalil tegas.

“Orang Islam melakukan korban sembelihan manusia?” sergah


Tughra terheran-heran, “Aku tidak paham maksud perkataanmu, o
Adikku.”

1908
“Kakanda,” kata Abdul Jalil lirih, “Jika kita melihat Kebenaran Hakiki
dengan hati yang jernih di balik terbunuhnya Husein, tidaklah kita
menyaksikan betapa sejatinya dia adalah korban sembelihan dari
orang-orang yang menganggap tindakannya paling benar?”

“Aku kira begitu, tetapi aku masih belum paham maksudmu.”

“Apakah Kakanda mengira bahwa orang-orang yang membunuh


Husein merasa bersalah dan berdosa atas apa yang telah mereka
lakukan?”

“Tentu saja tidak.”

“Apakah mereka merasa bahwa apa yang mereka lakukan dengan


membunuh Husein itu adalah keharusan agama demi tegaknya
Kebenaran?”

“Aku kira pikiran mereka memang seperti itu.”

“Apakah mereka merasa bahwa membunuh Husein adalah


tindakan memurnikan agama?”

“Kelihatannya memang demikian jalan pikiran mereka.”


1909
“Apakah mereka menganggap bahwa madzhab merekalah yang
paling benar?”

“Memang demikian.”

“Nah, jika dilihat dari Kebenaran Hakiki dengan hati yang jernih,
bukankah madzhab-madzhab yang dianut oleh para pembunuh
Husein itu sejatinya telah diberhalakan? Bukankah kita
menyaksikan secara hakiki bahwa madzhab-madzhab itu telah
menjadi mezbah persembahan dan Husein adalah korban
sembelihannya? Kebenaran Hakiki inilah, o Kakanda, yang tadi
aku saksikan bersinar gemilang di cakrawala kesadaranku.
Lantaran itu, aku tadi menertawakan kebingunganku yang selama
ini menganggap mezbah-mezbah persembahan hanya mutlak
milik penganut Bhairawa-Tantra. Aku menertawakan ketololanku
yang membayangkan mezbah-mezbah persembahan hanya
berbentuk batu yang dipahat dengan korban manusia di atasnya.”

“Kenapa engkau merasa tolol? Bukankah engkau harusnya


bersyukur dapat menangkap cahaya Kebenaran Hakiki yang
dipancarkan-Nya?”

“Memang, aku sangat bersyukur. Tetapi, selama bertahun-tahun


aku telah mengikuti pandangan yang keliru bahwa korban
sembelihan manusia hanya dilakukan oleh orang-orang penganut
ajaran Bhairawa-Tantra. Bahkan, dalam upaya membuat tawar
1910
daya sakti ksetra-ksetra, aku telah rela dan ikhlas menumpahkan
darahku di atas batu-batu di berbagai tempat. Kini, ketika sebagian
besar ksetra itu telah tawar daya saktinya, justru aku lihat mezbah-
mezbah baru untuk sembelihan manusia telah dibangun oleh
saudara-saudaraku seiman. Kini, aku saksikan mezbah-mezbah
persembahan dari madzhab-madzhab yang diberhalakan telah
tumbuh menggantikan ksetra-ksetra. Sekalipun mezbah-mezbah
persembahan yang baru itu tersamar dan tidak kasatmata,
kenyataan menunjuk bahwa mezbah-mezbah itu akan dijadikan
tempat bagi persembahan korban manusia yang tidak lebih sedikit
jumlahnya dibanding mezbah-mezbah batu di ksetra-ksetra.”

“Aku paham dengan Kebenaran Hakiki yang engkau peroleh, o


Adikku, tetapi janganlah Kebenaran ini engkau ungkapkan kepada
orang lain karena bisa menimbulkan salah paham.”

Usai berziarah, di tengah kegelapan yang diselimuti kabut, Abdul


Jalil tampak berdiri termangu menatap satu demi satu kerumunan
orang yang menunggunya di bawah pohon. Matanya yang setajam
binatang malam terlihat berkilat di tengah keremangan. Ketika
pandangannya jatuh pada Tughril Muhammad Khan, dengan suara
ditekan rendah ia bertanya, “Berapa usiamu sekarang, o Putera
saudaraku?”

“Tujuh belas, Paman.”

1911
Abdul Jalil diam. Ia mengalihkan tatapan pada Fadhillah Khan dan
bertanya, “Kalau engkau, o Putera saudaraku, berapa usiamu?”

“Lima belas tahun, Paman.”

“Berarti, kalian berdua sudah menginjak dewasa. Sebentar lagi


Tughril akan menikah dan beranak-pinak. Lalu Fadhillah akan
menyusulnya. Lantaran itu, o Putera saudaraku, sebelum kalian
berdua memasuki lautan kehidupan dengan menumpang bahtera
yang kalian kemudikan, hendaknya kalian ingat-ingat dan kalian
camkan petuah yang akan aku sampaikan kepada kalian berdua
sebagai bekal agar kalian selamat sampai ke Pelabuhan tujuan.”

“Kami akan menjadikan pusaka petuah-petuah dari Paman.”

“Pertama-tama,” Abdul Jalil memulai petuahnya, “Wajib bagi kalian


untuk menjadikan Nabi Muhammad Saw. sebagai satu-satunya
cermin yang membiaskan setiap gerak langkah kalian, baik dalam
berpikir, berkata-kata, bersikap, dan berperilaku. Sebab,
Muhammad Saw. adalah perwujudan dari akhlak mulia (al-khuluk
al-Karim), ‘cermin’ yang mengantarai dan sekaligus menjadi
penghubung antara Sang Pencipta (al-Khaliq) dan ciptaan (al-
khalaq). Semakin kuat kalian mengejawantahkan akhlak mulia
yang telah diteladankan Muhammad Saw., maka semakin dekatlah
kalian kepada-Nya, ibarat bayangan yang makin dekat kepada
Yang Bercermin.”
1912
“Aku tidak akan menjelaskan kepada kalian berdua tentang apa
saja dari Muhammad Saw. yang harus kalian jadikan cerminan.
Sudah terlalu banyak orang yang mengajarkan sesuatu tentang
dia. Sebaliknya, aku hanya akan mengajarkan kepada kalian
berdua intisari paling rahasia dari keberadaan Muhammad Saw.
selama menjalankan tugas Kenabian di dunia yang berpijak pada
satu tiang utama: Kebenaran (al-Haqq).”

“Ketahuilah oleh kalian bahwa Muhammad Saw. adalah pengabdi


dan sekaligus penyampai Kebenaran sejati yang tulus, ikhlas,
tanpa pamrih, yang tiada tandingan hingga derajatnya melampaui
ishthina’. Tahukah kalian di mana letak ketulusan dan
keikhlasannya dalam mengabdi kepada Kebenaran sampai
melampaui ishthina’ ? Tahukah kalian tentang resiko berat yang
dihadapi akibat pengabdiannya yang tulus dan ikhlas itu?
Dengarkan dan camkan benar-benar apa yang akan aku
sampaikan ini.”

“Pertama-tama, Muhammad Saw. mengajarkan Kebenaran


tentang Yang Ilahi sebagaimana ajaran yang disampaikan barisan
Nabi-Nabi sebelum dia. Padahal, dewasa itu hampir semua
bangsa Arab dan terutama kaum Quraisy, kaumnya Muhammad
Saw., menganut ajaran ‘kebenaran’ yang berbeda dengan ajaran
Nabi-Nabi. Untuk pengabdiannya kepada Kebenaran, Muhammad
Saw. harus berhadapan sebagai musuh dengan kaum dan
bangsanya sendiri. Seorang diri dia menyampaikan ajaran Tauhid
di tengah kejahilan bangsanya.”

1913
“Tidak hanya tentang Yang Ilahi. Ajaran Muhammad Saw. tentang
Nabi-Nabi pembawa Kebenaran pun ditandai oleh pengabdian
yang tulus dan tanpa pamrih. Di antara keimanan terhadap Nabi-
Nabi, terutama dua puluh lima orang Nabi dan Rasul Allah yang
wajib diyakini sebagai pembawa Kebenaran, tidak satu pun
menunjuk kepada salah satu dhatu leluhur bangsanya, kecuali
Ismail a.s. Leluhur suku-suku Arab yang dipuja sebagai
sesembahan oleh bangsa Arab justru ditetapkannya sebagai
pangkal kemusyrikan yang bertentangan dengan ajaran
Kebenaran Tauhid. Bahkan, dengan tulus dan ikhlas Muhammad
Saw. mewajibkan para pengikutnya untuk mengimani Kenabian
para Nabi Bani Israil seperti Ishak, Ya’kub, Yusuf, Musa, Harun,
Yusak, Sulaiman, Daud, Ilyas, Zakaria, Yahya, Isa a.s. dan
sebaliknya menolak keilahian dhatu-dhatu leluhur Arab yang
dituhankan seperti Latta, Uzza, Manat, dan Hubal. Keikhlasan
dalam menempatkan Kebenaran di atas segala itulah yang
membuat Muhammad Saw. menempati kedudukan melampaui
ishthina’, yaitu kedudukan ruhani orang yang tak terikat keakuan
manusiawi lagi.”

“Jika ada orang yang menuduh Muhammad Saw. Memiliki pamrih


dalam menyiarkan ajaran Tauhid, tentu akan ada bukti bahwa dia
telah mengagungkan dewa-dewa yang disembah bangsanya.
Padahal, kenyataan membuktikan bahwa dewa-dewa
sesembahan bansa Arab itulah yang justru ditentangnya. Dan
sebaliknya, Kebenaran Tauhid yang diajarkan oleh Nabi-Nabi
terdahulu termasuk Nabi-Nabi dari antaera Bani Israil yang dia
ajarkan untuk menggantikan paganisme yang berkembang
dewasa itu. Tauhid adalah Tauhid. Kebenaran adalah Kebenaran.
1914
Tidak ada anasir bahasa, bangsa, warna kulit, pangkat, derajat. Itu
prinsip dia.”

“Ingat-ingatlah, o Putera-Putera saudaraku, puncak tertinggi dari


pengabdian Muhammad Saw. kepada Kebenaran tercermin pada
keberhasilan dia dalam menghapus semua pamrih pribadi bagi
perjuangannya. Ingatlah sabda Muhammad Saw.: ‘Katakan
Kebenaran sekalipun pahit! (qul al-haqq walau kana muran).’ Itulah
tonggak pedoman yang mencerminkan keberadaannya sebagai
penyampai ajaran Tauhid dan pengabdi Kebenaran. Bahkan,
karena kesuciannya dari pamrih-pamrih dalam menyampaikan
ajaran Kebenaran maka suara Sang Kebenaran (al-Haqq)
mengejawantah dalam wujud Sabda Suci (Kalam Ilahi) yang
terungkap lewat lisannya. Sekalipun Muhammad Saw. adalah
manusia suci yang menjadi wahana bagi ‘kelahiran’ Sabda Suci
Ilahi ke dunia, dia dengan tegas melarang para pengikutnya untuk
menyembah selain Allah.”

“Dengan selalu mengingat ketulusan dan keikhlasan Muhammad


Saw. dalam mengabdikan diri kepada Kebenaran, hendaknya
kalian berdua menjadi sadar dan kemudian bergegas mengikuti
langkahnya. Maksudku, sekalipun di dalam aliran darah kita
terdapat darah Muhammad Saw., hendaknya jangan ada di antara
kita yang membiarkan jiwanya ternodai pamrih-pamrih pribadi.
Janganlah ada di antara kita yang mengaku-aku sebagai
keturunan Muhammad Saw. dengan pamrih supaya dihormati dan
dijadikan panutan manusia. Jangan ada di antara kita yang
menyatakan diri sebagai keturunan Muhammad Saw., tetapi
1915
menyembunyikan harapan agar bangsa-bangsa pemeluk Islam
bertekuk lutut kepada kita. Jangan ada di antara kita yang
mengaku keturunan Muhammad Saw. dan kemudian menutup
‘pintu Kebenaran’ dengan memberhalakan diri sebagai satu-
satunya penjaga ‘pintu Kebenaran’. Jangan ada di antara kita yang
mengaku-aku keturunan Muhammad Saw. dengan maksud
memperoleh keuntungan pribadi, apalagi sekadar sedikit kekayaan
dan kekuasaan duniawi.”

“Lantaran itu, ingat dan camkan! Kebenaran Tauhid yang diajarkan


Muhammad Saw. tidak mengenal bangsa, bahasa, warna kulit, dan
garis keturunan. Kebenaran adalah Kebenaran. Laksana wangi
bunga, Kebenaran tidak pernah menyebar-nyebarkan harum-Nya,
tetapi semerbak wanginya menebar sendiri ke mana-mana.
Jangan sekali-kali kalian menerima Kebenaran berdasar siapa
yang membawanya, melainkan terimalah Kebenaran sebagai
Kebenaran meski berasal dari orang-orang gelandangan yang tak
dihormati manusia. Kebenaran akan terbit sebagai matahari hakiki
yang cahanya-Nya bisa disaksikan sebagai bashirah. Hilangkan
segala macam pamrih, karena pamrih adalah bagian dari
kemusyrikan yang samar,” kata Abdul Jalil.

“Kami akan pusakakan wejangan Paman,” kata Tughril.

Abdul Jalil diam dan bergantian menatap Tughril dan Fadhillah.


Sejurus setelah itu, dengan suara yang lain ia berkata penuh
wibawa. “Jika kalian nanti mengarungi samudra kehidupan,
1916
janganlah kalian tergiur oleh warna-warni ‘cat’ yang menghias
‘bahtera’ yang katanya dibuat dari ayat-ayat Ilahi yang terang dan
abadi. Sebab, warna-warni ‘cat’ penghias ‘bahtera’ itu pada
dasarnya tidak lebih dari bahan-bahan penghias ‘bahtera’, yaitu
tafsiran-tafsiran dari ayat-ayat Ilahi yang diikat (‘iql) oleh serat-serat
nalar (‘aql) hingga menjadi jalinan tali-temali pemikiran (fikr) yang
nisbi jangkauannya.”

“Kenapa aku mengingatkan kalian akan hal ini? Sebab, segala


sesuatu yang dibangun di atas bangunan pemikiran yang nisbi
jangkauannya akan nisbi pula keberadaannya. Bahan-bahan
penghias selalu rentan dan gampang terkelupas dan luntur.
Lantaran itu, ingat-ingatlah selalu bahwa Kebenaran yang
terkandung di dalam ayat-ayat Ilahi adalah mutlak dan tidak
terbantah. Tetapi, penafsiran atas ayat-ayat tersebut berdasar akal
pikiran, adalah nisbi. Terbatas. Itu sebabnya, Allah melarang
melarang manusia untuk menggunakan pikiran dalam mengenal
Sang Pencipta. Pikiran hanyalah piranti yang digunakan untuk
mengenal ciptaan-Nya. Dengan demikian, jika ada manusia
menggunakan pikiran untuk mengenal Allah, justru hasilnya adalah
pengingkaran (kufur) terhadap Kebenaran dan bermuara pada
pengkafiran (takfir). Mereka yang menggunakan pikiran untuk
mencari Allah pasti akan sesat sehingga ‘bahtera’ yang mereka
tumpangi akan kandas ke jajaran karang tajam samudera ruhani
dan hancur berkeping-keping dalam Kebinasaan.”

“Tanamkan di hati sanubari kalian berdua, o Putera saudaraku,


Kebenaran Sejati tidak bisa diperdebatkan berdasar dali-dalil yang
1917
dibangun dari bahan-bahan hasil tafsiran akal pikiran. Kebenaran
Sejati hanya bisa dikenal dengan bashirah. Ingat itu: bashirah! Itu
sebabnya, hendaknya kalian berdua jangan terperangkap kepada
madzhab-madzhab yang saling berebut benar sendiri. Jangan
kalian memberhalakan madzhab. Jangan kalian berperang dan
membunuh sesamamu demi madzhab yang engkau anggap benar.
Jika itu yang kalian lakukan maka kalian sesungguhnya telah
membangun mezbah-mezbah persembahan dengan korban
sembelihan saudara kalian dari perselisihan madzhab.
Menghindarlah kalian dari perselisihan madzhab. Jadilah kalian
sebagai bagian dari kaum beriman (qaum al-mu’minin), wakil al-
Mu’min di muka bumi (khalifah al-Mu’min fi al-ardh), yang menjadi
pembawa keamanan bagi kehidupan makhluk di muka bumi.
Citrakan diri kalian sebagai wakil as-Salam di muka bumi (khalifah
as-Salam fi al-ardh) yang menjadi bagian dari pembawa dan
pemelihara kedamaian di bumi.”

Tughril termangu-mangu mendengar uraian Abdul Jalil. Setelah


merenung beberapa jenak, dia berkata dengan nada tanya, “Kami
sudah memahami akan apa yang Pamanda sampaikan. Tapi, kami
belum paham dengan penjelasan Pamanda tentang mengenal
Kebenaran dengan bashirah. Apakah yang Pamanda maksud
dengan bashirah? Bagaimanakah cara kita menggunakan
bashirah untuk mengenal-Nya?”

“Bashirah adalah piranti yang digunakan Nabi Muhammad Saw.


untuk menerangi jalan Kebenaran yang dia lalui dan digunakan
pula oleh orang-orang ang mengikutinya (QS. Yusuf: 108). Melalui
1918
piranti bashirah itulah Nabi Muhammad Saw. secara khusus
mengajarkan kepada sahabat-sahabat dekatnya ‘cara’ dan ‘jalan’
mengenal Allah. Tetapi, ajaran tentang bashirah ini sangatlah
rahasia sehingga tidak bisa diungkapkan di tengah manusia ramai.
Lantaran itu, aku akan mengajarkan kepadamu pengenalan akan
Allah melalui bashirah secara rahasia pula.”

Setelah mengajarkan pengetahuan rahasia tentang bashirah


kepada Tughril dan Fadhillah, Abdul Jalil menggandengan dua
orang kemenakannya itu berjalan ke arah Na’ina Husam, yang
duduk bersimpuh di samping Shafa, istrinya. Na’ina Husam sendiri
adalah sufi perempuan asal Syiraz, yang tinggal di Pasai di bawah
lindungan Tughra Hasan Khan. Dia meninggalkan negerinya akibat
diburu-buru kaki tangan Syah Ismail. Dia mula-mula datang ke
negeri Perlak. Namun, di sana suasananya tidak berbeda dengan
di Syiraz. Penduduk Perlak yang mendukung keluarga Safawi
terlibat pertarungan sengit dengan penduduk yang menentang
Syah Ismail. Darah tumpah di mana-mana. Di tengah pertarungan
yang mengalirkan darah itulah Na’inah Husam pergi ke Pasai dan
berlindung di kediaman Husein al-Abbasi. Ternyata, di Pasai pun
pertarungan tak kalah sengit dan bahkan membawa Husein ke
alam Kematian. Di tengah kecamuk pertarungan berdarah itulah,
atas permintaan keluarga Husein, Na’ina Husam dilindungi oleh
Tughra.

Malam itu cahaya bintang yang bertaburan di langit tak mampu


menembus kabut yang menyelimuti permukaan bumi dengan
keheningan. Suasana makin senyap. Hening. Di tengah
1919
keheningan, di bawah tatapan mata semua orang, Abdul Jalil
duduk bersila di depan Na’ina Husam sambil merangkul dua orang
kemenakannya. Beberapa jenak terdiam, tiba-tiba Abdul Jalil
bertepuk tangan sambil melantun sebaris syair:

“Marilah kita bertepuk tangan sambil berseru: berbahagialah


engkau yang terlempar dari tanah kelahirannya karena kecintaan
yang tulus dan suci kepada Sang Kekasih. Berbahagialah engkau
yang mabuk akibat menenggak anggur penderitaan yang diperas
dari buah kerinduan yang tak kesampaian. Berbahagialah engkau
yang mabuk anggur kerinduan, karena engkau yang mendamba
cinta-Nya. Berbahagialah engkau, o Na’ina Husam, sebagaimana
kebahagiaan yang telah direguk Rabi’ah, Rumi, Hallaj, Ba Yazid,
Attar, Hafiz, Sa’di.”

Na’ina Husam menegakkan wajah. Matanya yang semula sayu


tiba-tiba bercahaya. Dengan tatapan penuh gelora, ia memandang
wajah Tughril dan Fadhillah ganti-berganti. Kemudian ia
mengangkat kedua tangannya ke atas dan menepuk-nepukkannya
ke bahunya beberapa kali. Setelah itu, dengan suara lain dia
mengutip syair-syair yang digubah Sa’di.

“Berbahagialah hari-hari mereka yang mabuk cinta Ilahi karena


mereka belum atau sudah mengetahui pedihnya obat penawar
Ilahi. Merekalah pengemis yang menolak martabat raja dan
mereka sangat lama menderita di dalam permohonan mengharap
Dia.”
1920
Abdul Jalil menepuk-nepuk bahu kiri dengan tangan kanannya
sambil mengumandangkan syair.

“Wahai engkau yang membandingkan martabat pengemis dengan


raja-raja, telah kutangkap citra hidupmu yang tak seekor semut pun
pernah menderita karenamu. Sementara raja-raja yang tegak di
tengah kemegahan duniawi, hari-harinya selalu diwarnai taburan
penderitaan bagi makhluk sekitar. Itulah pertanda utama martabat
sang fakir dan sang raja, yang menjadi citra kehidupan dunia sejak
masa lalu hingga masa datang.”

Na’ina Husam menengadahkan wajah ke atas menatap bintang


gemintang. Dia menepuk-nepuk kembali bahunya. Kemudian
dengan air mata berlinang-linang, ia melantunkan syair.

“Kaki tangan Syah Ismail telah memburuku laksana binatang buas


yang berbahaya, hanya karena perhatianku selalu kuarahkan
kepada Sang Kekasih. Atas titah Syah, mereka menganggapku liar
dan karenanya aku harus ditangkap untuk ditundukkan. Sungguh
keliru mereka yang menganggap rajawali betina merasa bahagia
di dalam sangkar emas dalil-dalil yang mereka cipta. Memang,
jiwa-jiwa merpati dan beo bisa berada dalam kerangkeng yang
berbeda-beda, tetapi jiwa rajawali-rajawali Ilahi senantiasa
merdeka dan Satu.”

1921
“Kaki tangan Syah memaksaku untuk mengikuti jalan akal yang
mereka lalui, yaitu jalan yang penuh belokan, putaran, tanjakan,
liku-liku membingungkan, dan tebaran jebakan yang
membahayakan jiwa. Mereka tidak paham. Akal, sekalipun tinggi
dan mulia, bukanlah sang jalan., tetapi cahaya yang menunjukkan
jalan. Dengan cahaya akal orang dapat membedakan mana
keburukan, mana musuh dan mana kawan, mana benar dan mana
batil. Tetapi, dengan seberkas cahaya akal, orang tidak akan
mecapai tujuannya sampai dia menemukan jalan itu. Barangsiapa
yang telah diberi penerangan jalan, cahaya akalnya akan
tenggelam dalam pancaran matahari bashirah yang memancar
dari al-Bashir.”

“Aku telah menyaksikan salik-salik penyamar berjiwa serigala dan


musang yang ditebar Syah. Mereka berbaris di padang gurun
menuju kota-kota dan mengaku membawa berita-berita
Kebenaran. Sungguh aneh, mereka yang tidak bisa mendengar
suara Kebenaran karena telinga jiwa (sam’) mereka telah pekak
tertutup gumpalan awan keakuan, tiba-tiba mengaku sebagai
pembawa berita Kebenaran. Sungguh mengerikan mereka,
penyamar-penyamar itu. Tubuh mereka berbaris menuju kota-kota,
tetapi jiwa mereka terjerat oleh angan-angan kosong laksana laba-
laba terjerat jaring-jaring yang ditebar sendiri.”

“Kepada salik-salik sejati, para penempuh jalan Kebenaran, aku


sampaikan peringatan kepada kalian: hendaknya jangan sekali-kali
mempercayai dan mengikuti mereka yang mengaku-aku pembawa
berita Kebenaran. Sebab, mereka adalah para penyamar. Mereka
1922
yang mengaku membawa berita Kebenaran sejatinya adalah
orang-orang yang bertelinga tuli dan lidahnya bercabang.
Sadarkanlah kesadaranmu, o salik-salik sejati, bahwa
mengucapkan perkataan atas nama Kebenaran adalah jauh lebih
mudah daripada menemukan jalan Kebenaran.”

“Inilah perbedaan antara salik sejati dan salik penyamar, yang


pertama adalah Daud yang menyanyikan kidung Zabur, sedang
yang kedua adalah gaung nyanyiannya yang memantul di dinding
tebal. Atau laksana perbedaan antara ‘ilm al-tahqiqi dan ‘ilm al-
taqlidi. Yang pertama dijajakan di tengah keheningan dan dibeli
oleh Tuhan, sedang yang kedua dijajakan dan diperdagangkan di
pasar dan dibeli banyak orang bodoh.”

Abdul Jalil menepuk bahu kanan dan bahu kirinya. Setelah itu, ia
menepuk bahu Fadhillah dan Tughril. Kedua orang kemenakannya
itu beringsut ke depan, berlutut dan bergantian mencium tangan
Na’ina Husam. Meski orang-orang yang berkerumun di sekitar
mereka tidak memahami apa yang sesungguhnya terjadi antara
Abdul Jalil dan Na’ina Husam yang bersyair itu, Tughril dan
Fadhillah menangkap peristiwa itu sebagai pelajaran ruhani yang
sangat dalam dan penuh diliputi rahasia jiwa tak terungkapkan.

Keesokan harinya, ketika matahari merambat naik di ufuk timur,


Abdul Jalil duduk bersila di dermaga, tak jauh dari kapal yang akan
membawanya ke Malaka. Di tengah embusan angin yang
menerbangkan sisa-sisa embun pagi, di antara gemuruh ombak
1923
dan jeritan burung camar, di sela-sela suara kibaran layar, ia
memberikan wejangan kepada orang-orang yang dikasihinya;
Ahmad Kandang, Orang Kaya Kenayan, Abdurrahman Singkel,
Raden Sahid, Tughril, dan Fadhillah Khan yang bersila takzim di
depannya. Dengan suara lain yang meliputi ketenangan dan
kewibawaan, ia berkata di tengah desau angin pantai.

“Sesungguhnya, aku menangkap sasmita bahwa kalian berada


dalam kebingungan ketika aku beri tahukan tentang hakikat
hidayah dan iman dengan sudut pandang lain daripada yang
selama ini kalian pahami. Padahal, jika kalian memahami makna
Tauhid secara benar, hal yang aku sampaikan itu bukanlah
sesuatu yang sulit dipahami.”

“Sekali lagi aku ingatkan kepada kalian bahwa apa yang disebut
hidayah adalah pancaran dari Yang Memberi Petunjuk (al-Hadi).
Lantaran itu, di dalam hidayah tersimpan daya-daya iman yang
merupakan pancaran Yang Memberi Keamanan (al-Mu’min), daya-
daya Islam yang merupakan pancaran Yang Memberi Kedamaian
(as-Salam), dan daya-daya ruhani lain yang merupakan pancaran
Asma’, Shifat, dan Af’al Yang Ilahi, yang kesemua daya itu
bermuara ke samudera takwa, yakni pancaran Yang Memberi
Kekuatan (al-Qawiy).”

“Dengan memahami hidayah dari sisi Tauhid ini, hendaknya kalian


dapat menangkap tanda-tanda keberadaan manusia-manusia
yang beroleh anugerah hidayah, hidup mereka senantiasa ditandai
1924
oleh keterbimbingan dalam menapaki jalan hidup (sabil huda) yang
diterangi cahaya al-Hadi. Jika jalan hidup seseorang sudah
diterangi cahaya al-Hadi maka daya-daya iman yang memancar
dari al-Mu’min akan menandai pula keberadaan hidupnya. Itu
berarti, yang disebut manusia beriman adalah manusia yang bisa
mengejawantahkan pancaran al-Mu’min sebagai wakil-Nya di
muka bumi (khalifah al-Mu’min fi al-ardh). Sebagai wakil al-Mu’min,
manusia-manusia beriman akan menampakkan suasana hati dan
pikirannya yang selalu dipancari rasa aman, cenderung pada
terciptanya suasana aman dan selalu memberikan keamanan bagi
kehidupan di sekitarnya. Lantaran itu, Rasulullah Saw. bersabda:
tidaklah beriman orang yang membuat tetangganya tidak aman
dari gangguannya.”

“Ketahuilah, daya-daya iman secara hakiki tidak terpisah dari daya-


daya Islam. Itu berarti, keberadaan seorang manusia beriman
selain ditandai oleh keberadaan dirinya yang mengejawantahkan
pancaran Sang Pemberi Keamanan (al-Mu’min), juga ditandai oleh
keberadaannya sebagai pembawa kedamaian (al-Islam) yang
merupakan pancaran Sang Pemberi Kedamaian (as-Salam).
Dengan demikian, manusia-manusia yang beroleh hidayah selalu
ditandai oleh keberadaan diri sebagai pencipta keamanan dan
kedamaian bagi kehidupan di sekitarnya. Mereka yang paling kuat
dalam perjuangan mengaktualisasi daya-daya iman dan islam
dalam kehidupannya akan beroleh derajat dan maqam tertinggi
yang disebut takwa, yaitu pancaran dari Yang Mahakuat (al-
Qawiy). Manusia-manusia yang sudah menduduki derajat takwa
adalah orang yang paling kuat lahir dan batin di antara manusia,
karena mereka telah mampu mewujudkan keberadaan dirinya
1925
sebagai wakil Yang Mahakuat di muka bumi (khalifah al-Qawiy fi
al-ardh). Mereka itulah adimanusia-adimanusia yang akan
dianugerahi kemuliaan (karamah) yang memancar dari al-Karim.”

“Dengan apa yang telah aku sampaikan ini, sesungguhnya telah


jelas makna hakiki di balik hidayah dan iman yang bermuara ke
samudera takwa dan karamah. Artinya, mereka yang sudah
mencapai derajat takwa dan beroleh anugerah karamah dari al-
Karim, keberadaannya akan ditandai oleh kemurahan-kemurahan
dan kemuliaan-kemuliaan. Itulah citra kaum takwa (qaum al-
muttaqin), yang senantiasa menjadi rahmat bagi alam semesta
(rahmatan li al-‘alamin). Dengan demikian, jika kalian dapati ada
manusia-manusia yang menyatakan diri sebagai umat Islam yang
beriman dan bertakwa tetapi keberadaan dirinya ditandai oleh citra
menakutkan, menggelisahkan, menimbulkan ketidakamanan,
membuat suasana tidak damai, dan bahkan menebara kematian,
maka sesungguhnya mereka itu pendusta. Mereka itulah yang
pantas disebut kaum beragama yang tidak beriman. Mereka
mengaku muslim, tetapi tidak memiliki ruh Islam. Mereka mengaku
beriman, tetapi tidak memiliki iman. Mereka adalah mayat-mayat
hidup yang berbahaya bagi kehidupan makhluk.”

Semua mengangguk-angguk mendengar paparan Abdul Jalil.


Mereka menangkap kebenaran di dalam ucapan-ucapannya.
Setelah terdiam beberapa jenak, Orang Kaya Kenayan bertanya,
“Kami paham dan dapat menangkap paparan Tuan Syaikh. Tetapi,
yang masih membingungkan kami adalah bagaimana sikap kami
dalam menghadapi keadaan kacau di tengah pertarungan ini?
1926
Apakah kami harus berpangku tangan agar keadaan menjadi
aman dan damai, sementara orang-orang bergelut dalam
pertikaian berdarah?”

Abdul Jalil tertawa. Kemudian dengan suara ditekan tinggi ia


berkata, “Sungguh keliru mereka yang membayangkan keamanan
dan kedamaian sebagai sesuatu yang diam dan tanpa gerak.
Sebab, keamanan dan kedamaian adalah sebuah gerak dinamis
dari daya-daya kehidupan laksana arus sungai mengikuti
alirannya. Dengan demikian, aku katakan bahwa telah keliru
orang-orang yang lari meninggalkan kehidupan dan bertapa di
gua-gua karena beralasan ingin menjadikan kehidupan dunia
aman dan damai. Mereka itu sejatinya adalah orang-orang picik
yang menginginkan keamanan dan kedamaian bagi dirinya sendiri.
Mereka adalah para pengecut yang menjadi pecundang karena
tidak mampu mewujudkan citra dirinya sebagai wakil al-Mu’min di
muka bumi dan wakil as-Salam di muka bumi.”

“Ingat dan camkan dalam sanubari kalian! Tugas utama kaum


muslim yang beriman adalah memelihara keamanan dan
kedamaian karena mereka adalah wakil as-Salam dan al-Mu’min.
Itu berarti, jika terjadi suatu masa di mana ketidakamanan dan
kekacauan meliputi wilayah di sekitar kaum muslim yang beriman,
maka wajib baginya untuk menggunakan kekuatan tangan dan
mulutnya untuk menciptakan keamanan dan kedamaian. Bahkan,
untuk alasan demi terciptanya keamanan dan kedamaian, orang-
orang muslim beriman diwajibkan berperang untuk melindungi
orang-orang lemah baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak
1927
yang ditindas dan dianiaya orang-orang zalim (QS. An-Nisa: 75).
Orang-orang beriman yang berjuang menjalankan tugasnya dalam
menciptakan keamanan dan kedamaian itu akan dilindungi oleh
Allah (QS. al-Baqarah: 257).”

“Aku tahu kalian mencemaskan pertikaian antara para penganut


Syi’ah dan Sunni akibat tindakan Syah Ismail di negeri Persia. Aku
juga tahu kalian mencemaskan keberadaan orang-orang Portugis
di Cochazhi yang mengancam penduduk muslim. Sesungguhnya
kalian tidak perlu cemas akan semua peristiwa yang terjadi. Sebab,
jika Allah menghendaki, tidaklah manusia saling berbunuh-
bunuhan. Tetapi, Allah berbuat segala apa yang dikehendaki-Nya
(QS. Ali Imran: 200). Jangan sekali-kali kalian menyerang orang-
orang yang tidak menyerang kalian. Jangan sekali-kali kalian
menyerang orang-orang yang tidak berbuat zalim dan tidak
membuat kerusakan. Tetaplah kalian menjadi pelindung bagi
orang-orang lemah. Lindungilah mereka dalam keamanan dan
kedamaian. Kaum beriman tidak pernah menjadi penyerang dan
pembuat kekacauan di muka bumi.”

“Sesungguhnya, kehidupan kalian dengan alam sekitar kalian


adalah ibarat sekumpulan orang yang menumpang sebuah kapal.
Masing-masing penumpang memiliki hak untuk duduk di tempat
yang disediakan bagi mereka. Masing-masing penumpang wajib
menghargai hak penumpang lain. Itu sebabnya, jika salah seorang
penumpang mengeluarkan alat untuk melubangi kapal maka
seluruh penumpang wajib mencegahnya agar semuanya selamat
sampai ke pelabuhan tujuan.”
1928
“Andaikata saat berlayar itu ada kapal lain yang berusaha
merampas kapal dan menawan penumpangnya maka menjadi
kewajiban seluruh penumpang – terutama orang-orang yang kuat
(takwa), di antara penjaga keamanan (mu’min) dan kedamaian
(muslim) – untuk melawan penyerang itu dengan berbagai cara
dan membagi tugas masing-masing. Ada penumpang yang
bertugas melawan musuh dengan senjata. Ada yang bertugas
melindungi penumpang-penumpang lemah. Ada yang
mempertahankan ruang kemudi. Dan ada pula yang
mempertahankan keutuhan kapal agar tidak tenggelam. Bahkan,
ada yang menyelinap masuk ke kapal musuh untuk
menggoyahkan semangat mereka. Demikianlah perumpamaan
dari kehidupan orang-orang muslim beriman di sebuah negeri yang
diserang musuh.”

“Apa yang harus dilakukan oleh kaum muslim beriman, o Tuan


Syaikh, jika kapal yang mereka tumpangi tidak dapat
dipertahankan?” tanya Orang Kaya Kenayan.

“Ketidakmampuan mempertahankan kapal mesti dialami lebih dulu


oleh para penumpang yang bertugas melawan musuh dengan
kekuatan senjata. Jika itu yang terjadi maka menjadi tugas para
pelindung penumpang, penjaga ruang kemudi, penjaga keutuhan
kapal, dan penyusup untuk mengambil langkah bijaksana sesuai
tugas masing-masing. Artinya, demi keselamatan kapal dan
seluruh penumpang, dengan lapang dada dan penuh kepasrahan
mereka harus mengembalikan segala urusan kepada Yang
Mahakuasa (al-Muqtadir).”
1929
“Membiarkan pihak musuh menguasai kapal?” tanya Orang Kaya
Kenayan.

“Kalau terpaksa, kenapa tidak?” sahut Abdul Jalil datar. “Sebab,


masalah utama dalam peristiwa semacam itu bukanlah
kemenangan dalam menguasai kapal, melainkan sejauh mana
para penumpang kapal di bawah kekuasaan musuh tetap dapat
hidup dengan keyakinannya dan bisa setia melayani Sang
Rajadiraja semesta (al-Malik al-Mulki). Apalah artinya kemenangan
kuasa duniawi atas sebuah kapal jika para penumpang
mengabaikan dan enggan melayani-Nya? Justru pada saat
dikuasai musuh itulah para penumpang kapal harus mengukuhkan
kembali persaksian Tauhid kepada Sang Rajadiraja semesta;
Rabb manusia, Rajadiraja manusia, Sesembahan manusia,
dengan menafikan keraguan yang diakibatkan oleh bisikan maya
golongan jin dan manusia (QS. an-Nas: 1 – 6). Ya bisikan
meragukan dari golongan jin dan manusia tentang kehormatan,
kepahlawanan, kesyahidan, kebangsaan, kebebasan, kekuasaan,
kepentingan golongan dan keluarga harus dinafikan semua.
Sebab, semua itu bersifat maya. Saat itu, hati dan pikiran harus
dikiblatkan untuk menyucikan dan memuliakan-Nya.
Kesampingkan segala sesuatu selain Dia.”

“Apakah itu berarti para penumpang kapal menyerah total kepada


musuh dan menjadi budak mereka?”

1930
“Justru di bawah kekuasaan musuh itulah para penumpang kapal
memulai perjuangan yang sesungguhnya dalam menegakkan
Tauhid Mulukiyyah,” kata Abdul Jalil.

“Kami belum paham dengan penjelasan Tuan Syaikh tentang


Tauhid Mulukiyyah.”

“Camkan dalam kesadaran kalian, o Anak-Anakku!


Sesungguhnya, jatuh dan bangunnya suatu bangsa tergantung
seutuhnya pada kehendak Sang Rajadiraja semesta; Dia,
Maharajadiraja Yang Hakiki (al-Malik al-Haqq al-Mubin), Yang
Maha Mengangkat (ar-Rafi’), Yang Memberi Kemuliaan (al-Mu’iz,
Yang Memberi Keamanan (al-Mu’min), Yang Memberi Kedamaian
(as-Salam). Tetapi, Dia juga Maharajadiraja Penguasa alam jasadi,
Yang Maha Menyesatkan (al-Mudhill), Yang Maha Menjatuhkan
(al-Khafidh), Yang Maha Mencabut (al-Qabidh), Yang Maha
Menghinakan (al-Mudzill), Yang Memberi Bahaya (adh-Dharr), dan
Yang Maha Menyiksa (al-Muntaqim). Itu berarti, bangsa-bangsa
yang dihinakan di bawah kaki musuh hendaknya mawas diri. Ya,
mawas diri, apakah mereka selama itu sudah benar dalam
melayani Sang Maharajadiraja semesta? Sebab, telah tertulis pada
lembaran Kitab Suci dan sejarah bangsa-bangsa bahwa kejatuhan
suatu bangsa ke dalam kekuasaan bangsa lain lebih banyak
disebabkan oleh kenyataan bahwa bangsa bersangkutan telah
mengabaikan Sang Maharajadiraja semesta dengan membuat
sesembahan (thaghut) lain yang hina dan nista.”

1931
“Sesungguhnya, Sang Maharajadiraja semesta adalah Penguasa
semesta ciptaan. Dia menolak disekutukan. Dia ingin dijadikan
sebagai satu-satu-Nya kiblat Sesembahan dan Gantungan
harapan umat-Nya. Dia Maha Pencemburu dengan sekutu-sekutu.
Itu sebabnya, tugas utama para pemimpin kaum muslim beriman
di sebuah kapal adalah menciptakan keadaan di mana seluruh
penumpang kapal menjadi orang-orang yang bertakwa; yang
memuliakan keagungan-Nya sebagai Rabb, Maharajadiraja dan
Sesembahan seluruh makhluk. Semua penumpang wajib
menjadikan-Nya sebagai Pelabuhan harapan dan Kiblat Tujuan.
Para pemumpin kaum muslimin yang beriman dan bertakwa tidak
boleh membiarkan para penumpang kapal berlebihan dalam
mengumbar kesenangan nafsu; pesta pora menyantap makanan
lezat, menenggak khamr sampai mabuk, menari-nari, menyanyi-
nyanyi, menikmati kesyahwatan tanpa kendali hingga melanggar
aturan yang ditetapkan Sang Maharajadiraja semesta.
Demikianlah hukum kauniyah yang menetapkan syarat-syarat agar
kapal yang ditumpangi suatu kaum tidak merampas dan dikuasai
musuh,” papar Abdul Jalil.

“Apakah mungkin negeri kami nanti jatuh di bawah kaki orang-


orang kafir Portugis?” tanya Orang Kaya Kenayan sambil menarik
napas berat dan kemudian mengembuskannya keras-keras.

“Tidak ada sesuatu yang tidak mungkin di dunia ini,” sahut Abdul
Jalil dingin, “Tetapi, semua kemungkinan itu tergantung pada
ketakwaan orang-orang di suatu negeri.”

1932
“Maksud Tuan Syaikh?”

“Apakah penduduk negeri Pasai selama ini sudah melayani Sang


Maharajadiraja semesta dengan setia? Apakah mereka tidak
menyekutukan-Nya dengan sesembahan lain? Apakah mereka
tidak disibukkan oleh urusan-urusan remeh pemenuhan hasrat
nafsu mereka sendiri? Apakah para pejabat negeri ini terdiri atas
orang-orang yang setia melayani Sang Maharajadiraja semesta?
Apakah rakyat negeri ini setia menjadi hamba-Nya? Apakah rakyat
negeri ini hidup di bawah pancaran cahaya akhlak yang mulia
sebagaimana diteladankan rasul-Nya? Jawabannya, tergantung
kejujuran penduduk negeri ini dalam menangkap makna-makna di
balik segala sesuatu yang kelihatan di negeri ini. Apakah yang
sejatinya terjadi di negeri ini?”

“Lantaran itu, o Anak-anakku, lewatilah jalan-jalan di negeri ini!


Lihatlah dengan seksama kehidupan penduduknya! Periksalah,
apakah kalian menemukan orang-orang yang menjalankan
Keadilan dan mencari Kebenaran? Jika kalian tidak mendapati
cukup banyak penduduk negeri ini yang menjalankan Keadilan dan
mencari Kebenaran, itu pertanda Sang Maharajadiraja semesta
sedang dicekam kemurkaan. Itu berarti, jika waktu yang
ditentukan-Nya telah sampai, pasti Dia akan mengirimkan siksaan
dan hinaan kepada penduduk yang tidak mencitrakan Keadilan
dan Kebenaran sebagai wakil-Nya di muka bumi. Dia akan
mengirimkan harimau, singa, serigala, musang, dan hewan melata
dari hutan, dari padang belantara, gunung, rawa-rawa, danau, dan
lautan untuk merobek-robek negeri ini dalam kekacauan. Darah
1933
akan tumpah di mana-mana. Kemudian, dengan cambukan pecut-
Nya yang dahsyat Dia akan mendera penduduk dengan
kesengsaraan dan penderitaan. Dia akan mengirim perampok
yang merampok, penggarong yang menggarong, pencuri yang
mencuri, pemerkosa yang memperkosa, penyiksa yang menyiksa,
dan pembunuh yang haus darah. Dia akan menekuk lutut
penduduk negeri yang ingkar untuk direndahkan sebagai budak
bagi bangsa lain. Demikianlah hukuman yang pantas bagi
penduduk suatu negeri yang menyekutukan Sang Maharajadiraja
semesta.”

1934
Al-Maratib al-Wujud

Dalam usianya yang seabad lebih, Malaka


yang semula hanya muara tak berpenghuni
telah menjelma menjadi bandar perniagaan
antara bangsa yang sangat menakjubkan.
Berpuluh-puluh kapal besar dan kecil yang
berasal dari berbagai negeri berlabuh di situ.
Setiap hari kapal-kapal ukuran besar dan kecil silih berganti sandar
di dermaga. Tiang-tiangnya yang teracung ke atas berderet
laksana barisan tombak yang menghutan. Dari lambung kapal-
kapal itu mengalir berbagai jenis barang niaga dari berbagai negeri;
sutra, porselen, kain, kapur barus, kayu cendana, beras, pala,
cengkeh, lada, timah, kayu gelondongan, emas, batu permata, dan
budak.

Bandar Malaka sendiri terletak di muara sungai Malaka dan


terbelah oleh sungai tersebut dari barat ke timur. Di bagian selatan
sungai terletak bukit Malaka yang berdiri tegak dilingkari pohon-
pohon kelapa dan sepetak hutan kecil. Di bagian kaki bukit Malaka
terletak istana sultan dan masjid megah, anggun, dan mewah
dikitari bangunan-bangunan besar kediaman para pejabat
kerajaan. Bentangan jalan-jalan yang rapi dengan tanaman
berbunga di kedua sisinya terlihat indah dan sejuk. Jalan-jalan itu
membentang berliku menghubungkan kawasan istana dengan
pelabuhan dan kutaraja.

1935
Agak jauh dari bukit Malaka terdapat bukit kecil lain yang disebut
orang dengan nama Bukit Cina. Bukit Cina adalah kediaman Puteri
Hang Li Po, anak kaisar Yung Lo, yang dipersunting Sultan
Mansyur Syah, kakek Sultan Mahmud Syah. Para pangeran
keturunan Sultan Mansyur Syah dan Puteri Hang Li Po hanya
sedikit yang terlibat di pemerintahan. Mereka umumnya menjadi
saudagar. Mereka masih tinggal di Bukit Cina, meski jaraknya
cukup jauh dari pusat perniagaan di kutaraja. Dengan tetap tinggal
di Bukit Cina, mereka seolah-olah ingin menunjukkan kepada
semua orang bahwa mereka adalah bagian dari keluarga besar
Sultan Malaka.

Tidak jauh dari muara sungai Malaka terdapat jembatan besar


yang terbuat dari balok-balok kayu ukuran raksasa. Itulah jembatan
yang menghubungkan kawasan istana dengan kutaraja dan
pelabuhan. Agak beda dengan kawasan istana sultan, di bagian
kutaraja Malaka yang terletak di utara sungai tinggal berbagai jenis
manusia dari bermacam bangsa dan beragam lapisan kedudukan.
Jika di kawasan sekitar istana di selatan sungai suasananya terasa
tenang dan terkesan mewah, kawasan kutaraja di utara sungai itu
menampilkan suasana gaduh dan hingar-bingar. Bangunan-
bangunan besar berjejal-jejal dan berhimpit dengan bangunan-
bangunan kecil. Ada rumah kediaman para saudagar. Ada gudang-
gudang penimbunan barang niaga. Ada rumah peduduk
kebanyakan. Ada toko-toko, rumah makan, rumah gadai, pasar,
kedai-kedai kecil, bedeng-bedeng kumuh tempat kuli dan tukang,
dan barak-barak kotor hunian sementara budak-budak. Lorong-
lorong sempit dan pengap terselip di antara bangunan-bangunan.

1936
Beberapa ruas jalan yang agak lebar menebarkan debu jika
dilewati.

Setiap hari, sejak fajar menyingsing di ufuk timur, citra kehidupan


Malaka sebagai bandar antara bangsa sudah terlihat dalam bentuk
kelebatan manusia yang terseret arus kesibukan luar biasa.
Gerakan orang-orang yang berkelebat begitu cepat laksana biji-biji
gabah ditampi di tampah. Sejauh mata memandang ke jalan-jalan
dari arah pelabuhan ke kutaraja, yang terlihat adalah kelebatan
orang-orang yang hilir mudik dari satu tempat ke tempat lain,
seolah-olah mereka mengejar sesuatu yang tidak terlihat mata
telanjang. Ya, gerakan cepat orang-orang yang hilir mudik dan
berlari tersengal-sengal dengan tubuh bersimbah peluh sambil
memanggul karung, memikul barang dagangan, menggotong
balok, mendorong gerobak, menenteng keranjang, menyunggi
barang. Sementara yang lain terlihat bergegas mengendarai
kereta, diangkut tandu, naik pedati, menunggang kuda di tengah
kepulan debu dan teriakan-teriakan orang yang memerintah serta
gaduhnya celoteh kuli-kuli pengangkut yang berseliweran.

Barang seabad silam, di muara tempat bandar Malaka terletak


masih belum dihuni orang. Sebatang pohon Malaka yang dijadikan
tempat berteduh Parameswara, pangeran pemberontak asal
Majapahit asal Palembang, adalah satu-satunya saksi bisu tentang
bagaimana bandar niaga antara bangsa itu bermula. Parameswara
dan para pengikutnya itulah penghuni pertama muara sungai
Malaka itu. Dalam hitungan tahun sejak hunian pertama di Malaka
dibuka, utusan Kaisar Yung Lo bernama Laksamana Yin Ching
1937
mengunjugi tempat baru itu. Enam tahun kemudian, Laksamana
Cheng Ho datang pula ke Malaka. Dua tahun setelah kehadiran
Cheng Ho, Parameswara menghadap Kaisar Yung Lo ke Beijing.

Tak lama sekembali dari Beijing, Parameswara memeluk Islam


ketika menikahi puteri asal Pasai. Ia menggunakan nama muslim:
Megat Iskandar Syah. Sejak masuk Islamnya Parameswara,
Malaka dengan cepat menjadi bandar perniagaan yang ramai
ketika disinggahi para saudagar Muslim dari Cina, India, Arab,
Persia, Turki, dan Nusantara. Bahkan, karena letak Malaka yang
berada di tengah lintasan perniagaan dari utara ke selatan itu maka
dengan cepat ia tumbuh menjadi bandar antara bangsa.

Setelah dua puluh empat tahun berkuasa di Malaka, Megat


Iskandar Syah mangkat. Ia digantikan oleh puteranya, Muhammad
Syah yang bergelar Seri Maharaja. Ia meneruskan kebijakan
ayahandanya. Seri Maharaja memiliki dua orang putera. Yang
sulung bernama Raja Kassim, ibunya berasal dari kalangan jelata
berdarah Tamil. Putera kedua, Raja Ibrahim, ibunya berdarah biru,
puteri Sultan Rokan. Saat Seri Maharaja mangkat, Raja Ibrahim
dinobatkan menjadi sultan dengan gelar Seri Parameswara Dewa
Syah. Namun, tak sampai setahun berkuasa Raja Ibrahim diserang
oleh kakak tirinya, Raja Kassim, yang didukung kaum muslim Tamil
yang dipimpin Tun Ali. Dukungan Tun Ali dapat dipahami karena ia
adalah kakak kandung dari ibunda Raja Kassim. Raja Ibrahim pun
terbunuh. Raja Kassim kemudian menggantikan dedudukannya
dengan gelar Muzaffar Syah.

1938
Ketika takhta Malaka diduduki Muzaffar Syah inilah tampil seorang
negarawan ulung bernama Tun Perak yang menduduki jabatan
Bendahara Paduka Raja (Perdana Menteri). Dengan kecerdasan
dan kepiawaiannya menata pemerintahan, Malaka diarahkan
menjadi kekuatan maritim yang heba. Berbagai negeri sekitar
Malaka seperti Perak, Pahang, Johor, Kelantan, Rokan, Aru, Siak,
Kampar, Indragiri, Riau, dan Lingga ditaklukkan. Malaka
melengkapi kekuatan armadanya dengan senjata-senjata bikinan
Jawa. Lantaran armada Malaka sudah sedemikian rupa kuat maka
sewaktu pasukan dari Siam menyerbu, terjadi pertempuran sengit
di dekat Muar yang berakibat hancur binasanya pasukan Siam.

Ketika Muzaffar Syah mangkat, ia digantikan oleh puteranya, Raja


Abdullah, yang bergelar Mansyur Syah. Di bawah Mansyur Syah,
Malaka maju pesat terutama karena kehebatan Bendahara Tun
Perak dan Laksamana Hang Tuah. Pada zaman Mansyur Syah
inilah kebudayaan Melayu tumbuh dengan pesat dan
menancapkan akar-akarnya. Mansyur Syah digantikan oleh
puteranya yang bergelar Alauddin Riayat Syah, kemenakan
Bendahara Tun Perak. Ketika Alauddin Riayat Syah mangkat, ia
digantikan oleh puteranya yang bergelar Mahmud Syah.

Pada saat Mahmud Syah berkuasa, Bendahara Tun Perak sudah


tua dan kemudian meninggal. Ia digantikan oleh Tun Putih, yang
sudah tua juga. Belum dua tahun menjabat, Tun Putih meninggal.
Ia digantikan oleh Tun Mutahir, anak Tun Ali. Sebagaimana
ayahandanya, Tun Mutahir mendapat dukungan golongan muslim
Tamil. Untuk menunjukkan kehebatan diri, tak lama setalah
1939
menjadi Bendahara Raja, Tun Mutahir menaklukkan Kedah dan
Patani. Namun, Tun Mutahir bukanlah seorang pemimpin yang
baik. Ia dikenal sebagai pejabat curang dan kejam yang mabuk
kekuasaan, gila pangkat, dan rakus kekayaan. Ia tidak segan
menghabisi lawan-lawan politiknya atau siapa saja yang dianggap
melawan kebijakannya yang sering konyol.

Ibarat pepatah “bapak kencing berdiri anak kencing berlari”, sifat


buruk Tun Mutahir itu dengan cepat diikuti oleh bawahannya.
Hampir setiap hidung di segenap penjuru negeri Malaka
mengetahui jika Tun Mutahir dan pejabat kerajaan bawahannya
adalah komplotan pejabat tengik yang suka makan suap.
Peraturan-peraturan dibuat menurut kepentingan pihak-pihak yang
bisa menyuap. Peraturan-peraturan terkait konsesi perdagangan,
peraturan tata niaga, penetapan hukum peradilan, penentuan
kepangkatan dan jabatan, semuanya tergantung kepada berapa
besar orang seorang bisa menyuap pejabat tertingi. Celakanya,
Tun Mutahir tidak tahu kapan waktu yang tepat ia harus berhenti.
Tanpa sadar, ia menganggap keberadaannya sebagai Bendahara
Raja adalah sama dengan pemilik kekuasaan tertinggi, yaitu
sultan. Ia bahkan merasa lebih tinggi dari sultan. Itu sebabnya,
dengan berbagai cara yang licik dan busuk ia menyingkirkan
pejabat-pejabat yang setia kepada sultan. Ia bahkan memfitnah
Laksamana Hang Tuah hingga pahlawan gagah berani itu dijatuhi
hukuman mati oleh sultan. Setelah yakin kekuasaan sultan lemah,
ia dengan semau-maunya menjalankan pemerintahan yang korup
dan nepotis.

1940
Tindakan Tun Mutahir yang sewenang-wenang itu ternyata
menimbulkan reaksi. Tanpa ada yang menggalang, diam-diam
bermunculan pihak-pihak di lingkungan kerajaan yang melakukan
perlawanan terhadapnya. Pejabat-pejabat tinggi dan rendahan,
meski tak banyak jumlahnya, diam-diam menggalang kekuatan
untuk mendukung kekuasaan sultan. Gerakan itu ternyata
disambut baik oleh sultan yang merasa tak berdaya.

Di bawah Sultan Mahmud Syah, pada usianya yang sudah lebih


seabad, Malaka memang telah menjadi bandar antara bangsa
yang sangat ramai dan makmur. Malaka dihuni tak kurang dari
120.000 jiwa. Malaka menjadi gantungan harapan bagi anak negeri
untuk menapaki kemakmuran. Malangnya, akibat kekuasaan Tun
Mutahir dan kaki tangannya yang tercela, kehidupan di Malaka
yang sekilas tampak makmur itu malah menebarkan suasana
pengap, tengik, busuk, dan menyesakkan bagi mereka yang
memiliki hati nurani. Pedagang-pedagang kecil, petani, nelayan,
dan pejabat-pejabat jujur yang menamba sesuap nasi nyaris tidak
ada yang terbebas dari lilitan hutang. Kegiatan berutang dengan
bunga yang semula dilakukan di rumah-rumah gadai, pada
gilirannya telah berkembang di tengah penduduk laksana jamur di
musim hujan. Siapa saja di antara penduduk Malaka yang punya
uang, dapat menjadi lintah darat yang bebas mengisap darah
sesamanya tanpa kenal ampun. Para petugas kerajaan yang
beroleh suap dari para lintah darat sering kedapatan menjelma
dalam wujud tukang tagih yang menakutkan.

1941
Di tengah suasana pengap, tengik, busuk, dan menyesakkan hati
nurani itulah Abdul Jalil menginjakkan kakinya untuk kali kedua di
Malaka. Sebagai manusia yang hidup diterangi hati nurani, setelah
hampir tiga dasawarsa meninggalkan Malaka, ia tiba-tiba
merasakan dirinya seolah-olah orang asing yang belum pernah ke
Malaka. Entah apa yang telah berubah dari bandar itu, ia tidak
tahu. Ia hanya merasa tak mengenal lagi kota itu. Sejak turun dari
kapal menuju pusat kota dengan diikuti istri, anak, dan Raden
Sahid, ia menoleh ke kanan dan ke kiri seolah-olah asing dengan
bangunan-bangunan dan orang-orang yang tak dikenalnya. Ia
tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi dengan bandar Malaka,
bandar niaga ini benar-benar telah berubah dan nyaris tak dikenal
lagi, katanya dalam hati.

Setelah menyusuri sekitar pelabuhan sambil melihat-lihat


perubahan keadaan sekitarnya, Abdul Jalil berjalan lambat-lambat
melintasi jalan yang menuju arah pusat kota. Di persimpangan
jalan yang menuju arah kantor syahbandar, ia menghentikan
langkah. Dengan pandangan nanap, ia menyaksikan arus cepat
gerakan orang-orang yang hilir mudik di sekitarnya. Ia menangkap
semacam keanehan gerak dari orang-orang yang hilir mudik itu.
Beberapa jenak kemudian ia menoleh ke arah Raden Sahid dan
bertanya, “Menurut pandanganmu, o Anakku, apakah yang sedang
dilakukan oleh orang-orang yang hilir mudik itu?”

Raden Sahid yang diam-diam mengamati kesibukan orang-orang


itu tidak segera menjawab. Dia merenung sejenak. Setelah itu, dia
menelan ludah dan berkata, “Menurut hemat kami, sesungguhnya
1942
orang-orang yang hilir mudik di jalanan itu tidak melakukan apa-
apa, Paman.”

“Tidak melakukan apa-apa?” gumam Abdul Jalil dengan kening


berkerut. “Kalau mereka tidak melakukan apa-apa, kenapa mereka
berlari membawa beban dengan keringat bercucuran bagaikan
hewan pemikul beban didera tuannya?”

“Menurut hemat kami, sesungguhnya mereka sedang terseret arus


sungai kehidupan duniawi yang deras, Paman. Mereka timbul
tenggelam dihanyutkan oleh air bah kebendaan yang bakal
membenamkan mereka ke dalam endapan lumpur kebinasaan
yang pekat.”

“Itu jawaban yang arif. Itu menunjukkan cakrawala kesadaranmu


sudah diterangi nur lawami’ dan kalbumu sudah dipancari
pemahaman fawa’id. Tetapi masih perlu ditingkatkan,” ujar Abdul
Jalil.

“Kami mohon bimbingan Paman.”

“Aku katakan bahwa pernyataanmu itu sudah benar, o Anakku,”


kata Abdul Jalil dengan mata memandang gumpalan awan yang
berlayar di langit. “Betapa orang-orang itu sejatinya memang tidak
melakukan pekerjaan apa-apa. Mereka hanya terseret air bah
1943
kebendaan di sungai kehidupan duniawi tanpa mereka sadari.
Tetapi, cobalah engkau resapi lebih jernih tentang hakikat terdalam
dari sungai kehidupan duniawi itu. Resapi ia dengan benderang
kecemerlangan nur lawami’ di bentangan cakrawala kesadaranmu.
Resapi ia dengan terang dan luasnya pemahaman fawa’id di
kedalaman semesta kalbumu. Resapi dengan lebih jernih akan
hakikat yang maujud dan Yang Wujud.”

“Gunakan penglihatan mata batin untuk menangkap rahasia


keberadaan wilayah nirbendawi (malakut) yang tersembunyi di
balik wilayah jasadi (mulki) sejauh yang bisa engkau tangkap.
Resapi dengan tenang hakikat terdalam di balik perlambang
keberadaan mata air, lekukan dan liku-liku sungai, tinggi dan
rendah dasar sungai, arus, muara, lautan, dan air yang mengalir di
sungai kehidupan duniawi. Resapi semua itu dengan kalbu yang
jernih! Resapi kehadiran Asma’, Af’al, dan Shifat Ilahi sampai
engkau tangkap nuansa Kehadiran al-Malik al-Mulki di balik segala
sesuatu yang maujud! Lalu saksikan Kebenaran Sejati di balik
semua itu dengan mata batin yang jernih! Saksikan Kehadiran
Yang Serba Meliputi (Hadrah al-Jam’) yang tersembunyi di balik
kehadiran sesuatu (hadrah) sejauh yang bisa engkau tangkap
tingkatan-tingkatannya (al-maratib al-wujud)! Aku berharap,
engkau akan dapat menangkap rahasia hakiki di balik kehidupan
orang-orang yang terseret arus kehidupan duniawi yang
terpampang di hadapanmu itu.”

Raden Sahid diam. Dengan tenang dia duduk bersila dan


memejamkan mata sambil menarik napas dalam-dalam dan
1944
kemudian mengaturnya. Dia berusaha mengikuti semua petunjuk
yang diberikan Abdul Jalil. Setelah merasa tenang dalam mengatur
napas, ia mulai mendaki empat tangga menuju matra alam al-
ghaib, yaitu istighfar – shalawat – tahlil – nafs al-haqq. Dia
menyelaraskan kiblat hati dan pikiran kepada titik di antara kedua
matanya. Dia tidak mempedulikan panas matahari yang mulai
menyengat. Dia tidak mempedulikan suara hiruk pikuk dan teriakan
orang-orang di sekitarnya yang terseret air bah kehidupan duniawi.

Ketika pendakiannya sampai pada nafs al-haqq, tiba-tiba saja ia


merasakan tangan kiri Abdul Jalil menyentuh tengkuknya. Sejenak
setelah itu, dia merasakan telapak tangan kanan Abdul Jalil
menutupi kedua matanya sehingga kegelapan melingkupi
penglihatan indriawinya. Seiring terhamparnya kegelapan dalam
indera penglihatannya, dia sekonyong-konyong merasakan
keanehan terjadi pada dirinya. Secara menakjubkan, dia merasa
seolah-olah tidak berada di suatu tempat di Malaka dan tidak pula
berada di suatu tempat di muka bumi. Dia merasa seperti berada
di dunia lain, yang keadaannya hampir sama dengan saat dia
bertemu Maharisi Agastya di gunung Malaya. Bahkan, suasana
yang meliputinya dia rasakan jauh lebih menakjubkan lagi.

Tertegun merasakan keadaan yang meliputinya begitu aneh, tanpa


terduga dia mengalami peristiwa yang sangat menajubkan bagai
berada di alam mimpi: di tengah kegelapan penglihatan
indriawinya itu, tiba-tiba memancar cahaya menyilaukan nur
lawami’ yang terang benderang dari antara kedua matanya.
Cahaya itu sangat terang dan menyilaukan. Ketika dia tercengang,
1945
tiba-tiba nur lawami’ yang hampir membutakan itu meluncur cepat
laksana kilat, menyambar relung-relung kedalaman kalbunya.

Bagaikan orang terbangun dari tidur, dia tertegun-tegun


kebingungan karena cahaya nur lawami’ yang disaksikannya itu
memancar jauh lebih terang daripada yang pernah dia saksikan
sebelumnya. Sedetik kemudian, di tengah ketakjuban dan
ketertegunan, dia merasakan kesadaran baru demi kesadaran
baru menyingkapkan kegelapan jiwanya, laksana tirai penutup
disibakkan. Secara perlahan-lahan tetapi cepat, ia merasakan
kesadaran barunya terkuak laksana ular yang keluar dari
selongsong kulitnya. Atau, seperti kupu-kupu keluar dari
kepompongnya. Atau, anak ayam keluar dari cangkang telurnya.
Atau, hewan penghuni liang untuk kali pertama keluar dari
liangnya. Dan, seiring tersingkapnya kesadaran baru demi
kesadaran barunya itu, dia mendapati kenyataan menakjubkan
tergelar di hadapannya. Melalui cahaya di antara kedua matanya
itu, dia seperti memiliki mata ketiga yang melihat kenyataan di
sekitarnya dengan penglihatan yang berbeda.

Dengan mata ketiga itu, tiba-tiba cakrawala kehidupan yang


tergelar di hadapannya ia saksikan sebagai pemandangan yang
luar biasa ajaib: sejauh mata ketiga itu memandang, yang tampak
adalah perwujudan dari segala sesuatu yang maujud di sekitarnya
dengan tingkat kehadiran yang mustahil dijabarkan dengan nalar.
Dia tidak tahu apakah tingkat-tingkat kehadiran itu merupakan
tingkatan yang maujud dari wilayah jasadi (mulki) hingga wilayah
nirbendawi (malakut), ataukah itu merupakan tingkatan kesadaran
1946
dirinya yang berlapis-lapis laksana kesadaran cacing – kadal –
kucing – harimau – burung. Dia tidak mampu menjabarkannya.
Saat berada pada puncak kesadaraun dan sekaligus penglihatan
mata ketiga itu, tersingkaplah bentangan cakrawala pemahaman
fawa’id yang luar biasa yang jauh melebihi apa yang pernah
dialami dan dirasakannya. Dia terperangah takjub karena di
hadapannya secara ajaib terpampang pemandangan
menakjubkan yang sebelumnya belum pernah ia lihat dan ketahui.

Bagaikan berada di alam mimpi, ia menyaksikan dengan sangat


jelas kilasan-kilasan lembut dari perwujudan segala sesuatu yang
tegelar di hadapannya, laksana bentangan suatu matra kehidupan
di dalam samudera raya. Sejauh mata memandang, yang tampak
maujud di dalam samudera raya itu adalah perwujudan
menakjubkan dari anasir-anasir yang saling mengait, mulai anasir
yang paling padat hingga anasir yang paling halus sampai yang
nirbendawi. Aneh sekali penglihatan itu. Ajaib. Semua perwujudan
yang menampak terlihat dengan terang tingkat-tingkat
kehadirannya beserta seluruh anasir pembentuknya, di mana
kehadiran wilayah jasadi seolah-olah terhubung saling meliputi
dengan kehadiran wilayah nirbendawi dan terus terangkai dalam
liputan kehadiran wilayah Ilahi (al-Malik al-Mulki).

Sesaat dia tertegun-tegun dalam pesona atas pemandangan


mencengangkan itu. Betapa ajaibnya penglihatan batin yang
disaksikan mata ketiganya itu: yang maujud menampakkan jati diri
dalam rangkaian tingkatan-tingkatan saling meliputi dengan yang
nirbendawi sampai kepada liputan Yang Wujud. Inikah yang
1947
disebut al-maratib al-wujud, yaitu tingkatan-tingkatan kehadiran
Yang Wujud dalam tanazzul? Dia makin tertegun dan terpesong
ketika menyaksikan berbagai bentuk maujud di sekitarnya yang
berubah-ubah sangat menakjubkan: bangunan-bangunan, pohon-
pohon, batu-batu, kapal-kapal, lautan awan kapas di langit,
manusia-manusia yang hilir mudik di sekitarnya, hewan peliharaan
yang berjalan, burung-burung yang terbang di angkasa, bahkan
iring-iringan semut yang merambat di pepohonan, tampil sebagai
bentuk-bentuk aneh yang berseliweran di dalam “air” samudera
raya. Seluruh bentuk aneh itu terkait satu sama lain. Semua saling
berjalin berkelindan tak terpisah. Ke mana pun mereka bergerak,
mereka selalu terkait dan selalu berada di dalam liputan anasir “air”
samudera raya. Bahkan, anasir air yang meliputi mereka itu secara
menakjubkan diliputi oleh anasir “api” samudera api. Anasir api pun
diliputi anasir “kilatan halilintar” dari samudera petir. Anasir kilatan
halilintar pun diliputi anasir “cahaya” dari samudera cahaya.
Demikianlah, saling meliputi antara anasir satu dan anasir lain itu
terjadi secara menakjubkan, dari anasir terpadat hingga yang
bersifat lebih halus hingga nirbendawi.

Sesungguhnya, pemandangan aneh yang disaksikannya itu


tidaklah tepat benar dibandingkan dengan matra kehidupan
makhluk di dalam laut. Sebab, segala sesuatu yang maujud di
dalam penglihatan batinnya itu menampakkan anasir-anasir
pembentuknya yang hadir secara bertingkat. Pemandangan ajaib
itu bisa diibaratkan seperti bentangan kain yang terlihat seluruh
anasir pembentuknya, mulai dari jalinan benang, lalu benang
dibentuk dari jalinan kapas, kapas dibentuk dari serat-serat kapas,
terus ke anasir terkecil, hingga yang nirbendawi. Namun,
1948
gambaran itu pun tidak tepat benar karena tingkatan-tingkatan
kehadiran Yang Wujud memang tidak bisa dibanding-bandingkan
dengan sesuatu kecuali secara sedikit sekali. Di tengah
ketakjubannya itu, dia merasakan kesadarannya makin terserap
manakala mata ketiganya menayaksikan pelihatan ajaib yang
mencengngkan atas manusia-manusia yang berseliweran di
sekitarnya.

Secara ajaib, dia menyaksikan pancaran tujuh cahaya benderang


berpendar-pendar tak terbayangkan keindahan dan
kelembutannya pada tiap-tiap pribadi manusia. Pancaran cahaya
pertama tampak berpendar tepat dia atas kepala setiap manusia
dengan jarak sekitar sejengkal di atas ubun-ubun. Cahaya itu
berwarna putih cemerlang. Besarnya seukuran telur angsa.
Cahaya putih itu berpendar dengan tingkat kecemerlangan yang
tidak sama.

Tepat di kening, di antara dua mata masing-masing manusia,


memancar cahaya putih-kebiruan sebesar uang logam yang
berpendar dengan tingkat kecemerlangan tidak sama pula. Lalu,
tepat di ujung bawah tenggorokan masing-masing manusia, terlihat
cahaya lembayung-kemerahan sebesar telur merpati berpendar-
pendar dengan tingkat cemerlang yang juga tidak sama. Di
bawahnya, di bagian dada terlihat pancaran cahaya putih-
gemerlap sebesar kepalan tangan orang dewasa. Cahaya putih
gemerlap itu sangat menyilaukan laksana pantulan batu permata.
Sebagaimana pancaran cahaya yang lain, tingkat kecemerlangan

1949
cahaya di dada itu tidak sama pula, bahkan sangat banyak di
antaranya yang terlihat sangat redup.

Raden Sahid sadar bahwa penglihatan ajaib yang disaksikannya


itu adalah penglihatan bashirah yang akan menyingsing dan sirna
manakala dia melibatkan nalarnya. Itu sebabnya, dia membiarkan
keajaiban-keajaiban penglihatan itu membentang di cakrawala
pemahaman fawa’id tanpa perlu ia bertanya tentang ini dan itu.
Demikianlah ia menyaksikan lagi pancaran cahaya kuning-terang
berpendar sebesar telur ayam di bawah pusar manusia-manusia
itu dengan tingkat terang yang tidak sama. Setelah itu, dia saksikan
pancaran cahaya putih-kuning-merah-biru-hitam pada bagian
tengah tulang belakangnya. Dan terakhir, dia saksikan pancaran
cahaya biru-kehitaman yang redup di ujung tulang ekor masing-
masing manusia. Besar cahaya itu seukuran ekor harimau, tetapi
memanjang seperti ular. Cahaya di ujung tulang ekor manusia itu
memiliki tingkat keredupan yang tidak sama pula.

Raden Sahid tidak mengetahui makna di balik tujuh pancaran


cahaya yang berpendar itu. Dia hanya bisa tercenagang-cengang
menyaksikannya. Betapa aneh dua berkas cahaya di atas ubun-
ubun dan di ujung tulang ekor manusia itu. Setiap kali cahaya putih-
cemerlang yang memancar di atas ubun-ubun manusia berpendar
terang dan redup, saat itulah dia menyaksikan sosok dari makhluk-
makhluk itu bergerak dan melakukan berbagai kegiatan kehidupan.
Hal yang sama terjadi ketika cahaya biru-kehitaman yang
memanjang di ujung tulang ekor manusia-manusia itu berpendar
terang atau redup. Cahaya di atas ubun-ubun dan di ujung tulang
1950
ekor itu seolah merupakan saluran utama kehidupan yang
menentukan gerak hidup orang seorang. Sementara saat cahaya
di dada yang berwarna putih-cemerlang kristal itu memancar,
makhluk-makhluk itu berpikir, berangan-angan, dan berbicara.
Sungguh ajaib dan menakjubkan sosok manusia-manusia itu
dalam penglihatan batin. Mereka terlihat seperti boneka yang
digerakkan oleh daya gaib dari cahaya yang memancar di atas
ubun-ubun dan di ujung tulang ekor. Mereka berpikir, berangan-
angan, dan berbicara karena dipancari cahaya yang memancar
dari dadanya.

Raden Sahid tidak tahu berapa lama dia menyaksikan kenyataan


menakjubkan dari kehidupan manusia lewat pemahaman fawa’id
di kedalaman kalbu yang dipancari nur lawami’ itu. Dia hanya
merasakan mata ketiganya makin tercelikkan ketika menyaksikan
perwujudan hakiki dari perlambang-perlambang kehadiran jasadi
dan nirbendawi yang bertingkat-tingkat itu. Namun, akibat
peglihatan batin yang sangat mencengangkan itu, dia menjadi
termangu-mangu kebingungan seperti orang linglung ketika usai
mengalami peristiwa ajaib, terserap oleh suatu daya pesona
dahsyat yang memukau kesadaran manusiawinya.

Melihat Raden Sahid tercengang-cengang linglung kebingungan,


Abdul Jalil tertawa. Ia paham, pengaruh tersingkapnya (kasf)
kesadaran baru yang luas (basth) terlalu cepat, sebagaimana
pernah ia alami saat dibimbing oleh Misykat al-Marhum di gunung
Uhud, dapat membuat orang seorang mengalami keguncangan
jiwa (majnun) selama kurun waktu tertentu, karena akal pikiran dan
1951
kalbunya belum selaras. Itu sebabnya, ia tidak akan bertanya
tentang pengalaman ruhani yang dialami Raden Sahid dengan
bahasa lisan, melainkan dengan bahasa perlambang (isyarah)
yang langsung menembus ke dalam mahligai kalbunya.
Demikianlah, melalui isyarah, Raden Sahid mengungkapkan
pengalaman ruhani yang baru saja dialaminya, yang jika
dipaparkan dalam bahasa lisan manusia kira-kira berbunyi:

“Sesungguhnya, di balik keberadaan sungai kehidupan duniawi


yang bermuara ke samudera Wujud (bahr al-wujud) itu telah kami
saksikan betapa sejatinya Allah tidak tersembunyi karena Dia tidak
pernah tidak hadir. Sesungguhnya, kami telah saksikan bahwa di
balik yang maujud sejatinya tersembunyi Yang Wujud dalam
tingkatan-tingkatan kehadiran (al-maratib al-wujud), ibarat
keberadaan anasir nirbendawi, anasir air, anasir makhluk air,
anasir angin, anasir ombak, anasir buih, dan anasir pantai yang
membentuk samudera kehidupan semesta. Kami menyaksikan
dengan mata batin betapa sesungguhnya di balik keberadaan
sebuah bentangan samudera kehidupan semesta, sejatinya
tersembunyi perlambang Keberadaan Hakiki antara yang maujud
dan Yang Wujud. Kami menyaksikan dengan bashirah hakikat
turunnya (tanazzul) Yang Wujud ke wilayah pemunculan kehadiran
(maujud) secara bertingkat-tingkat dalam bentuk perlambang
mengejawantahnya Shifat, Af’al, dan Asma’-Nya dalam rangkaian
al-Malik – malakut – mulki.”

Abdul Jalil tertawa. Setelah itu, dengan suara lain ia berkata dalam
bahasa perlambang, “Benarlah apa yang engkau ungkapkan itu, o
1952
Anakku. Sebab, sejatinya di balik kehadiran (hadrah) segala
sesuatu yang maujud di alam semesta ini tidak ada yang terlepas
atau terpisah sama sekali dari Kehadiran Zat Wajib al-Wujud, yaitu
Zat Yang Serba Meliputi segala sesuatu yang diperbuat makhluk
(QS. al-Anfal: 47; Hud: 92; al-Isra’: 60). Segala ciptaan-Nya berasal
dari-Nya dan senantiasa berada di dalam liputan kekuasaan-Nya.
Dia Yang Mahaawal, Mahaakhir, Mahazahir, Mahabatin, dan Maha
Mengetahui tiap-tiap sesuatu (QS. al-Hadid: 3). Karena Dia
meliputi segala sesuatu maka ke mana pun engkau
menghadapkan wajah, di situ terpampang wajah-Nya (QS. al-
Baqarah: 115). Dan segala sesuatu yang maujud pasti rusak
binasa bentuknya kecuali wajah-Nya (QS. al-Qashash: 88).”

“Sungguh, dengan mata batin yang jernih, engkau telah berhasil


menangkap sasmita kehadiran penyaksian (hadrah asy-
syuhudiyyah) di balik sungai kehidupan duniawi yang sedang
menghanyutkan manusia-manusia yang terseret air bah
kebendaan di dalamnya itu. Engkau telah berhasil menyaksikan
rahasia Ilahi tentang bagaimana sejatinya tiap-tiap makhluk ubun-
ubunnya berada di dalam genggaman-Nya (QS. Hud: 56). Engkau
telah merasakan dan mempersaksikan makna rahasia dari sabda-
Nya bahwa Dia lebih dekat daripada urat lehermu (QS. Qaf: 16).
Engkau telah menyaksikan tanda-tanda Allah di bumi maupun di
dalam dirimu (QS. adz-Dzariyat: 20-21). Engkau telah berhasil
menyaksikan bahwa Dia adalah Cahaya langit dan bumi (QS. an-
Nur: 35). Jika nanti maqam yang engkau capai makin meningkat
maka engkau akan dapat menangkap sasmita kehadiran maka
engkau akan dapat menangkap sasmita kehadiran penyaksian
tentang Dia sebagai Cahaya di Atas Cahaya (QS. an-Nur: 35),
1953
sehingga engkau akan dapat mengetahui siapa orang yang
dibimbing al-Hadi dan siapa orang yang disesatkan al-Mudhill.”

“Apakah yang Paman maksud dengan kehadiran penyaksian


(hadrah asy-syuhudiyyah)? Adakah itu berhubungan dengan Yang
Maha Menyaksikan (Asy-Syahid)? Kami mohon bimbingan.”

“Sesungguhnya, sasmita Kebenaran yang engkau tangkap dari


keberadaan sungai kehidupan duniawi dalam bentuk perlambang
samudera raya beserta anasir-anasir pembentuknya itu pada
hakikatnya adalah pengejawantahan dari Kehadiran Asma
(Hadrah al-Asma’) yang memancar dari Zat Mahatunggal Yang
Serba Meliputi (Hadrah adz-Dzatiyyah). Sesungguhnya, engkah
telah menangkap perlambang hakiki, betapa di balik Mata Air yang
menjadi sumber sungai kehidupan duniawi itu sejatinya
tersembunyi Kehadiran Asma’, Af’al, dan Shifat Yang Maha
Mencipta (al-Khaliq), Yang Mahaawal (al-Awwal), Yang Maha
Memulai (al-Mubdi). Engkau telah menangkap perlambang hakiki
betapa di balik aliran sungai kehidupan duniawi yang mengalir itu
sejatinya tersembunyi Kehadiran Asma’, Af’al, dan Shifat Yang
Mahahidup (al-Hayy), Yang Maha Berlimpah (al-Wajid), Yang
Mahanyata (azh-Zhahir). Engkau juga telah menangkap
perlambang hakiki betapa di balik tinggi rendah permukaan dan
dasar sungai kehidupan duniawi sejatinya tersembunyi Kehadiran
Asma’, Af’al, dan Shifat Yang Maha Merendahkan (al-Mudzill),
Yang Maha tinggi (al-‘Ali), Yang Maha membentuk (al-
Mushawwir).”

1954
“Sungguh, engkau telah menangkap perlambang hakiki, betapa di
balik luas dan sempitnya tepian sungai kehidupan duniawi
sejatinya tersembunyi Kehadiran Asma’, Af’al, dan Shifat Yang
Maha Menyempitkan (al-Qabith), Yang Maha Meluaskan (al-
Bhasit), Yang Maha Menjaga (al-Muhaimin). Engkau telah
menangkap perlambang hakiki betapa di balik arus sungai yang
deras maupun yang lembut itu sejatinya tersembunyi Kehadiran
Asma’, Af’al, dan Shifat Yang Mahalembut (al-Latif), Yang Maha
Memaksa (al-Qahhar), Yang Maha Memberi Bahaya (adh-Dharr).
Engkau telah menangkap perlambang hakiki betapa di balik
lekukan dan liku-liku sungai kehidupan duniawi sejatinya
tersembunyi Kehadiran Asma’, Af’al, dan Shifat Yang Mahalurus
(al-Hadi), Yang Maha Membelokkan (al-Mudhill), Yang Maha
Menentukan (al-Muqtadir). Engkau telah menangkap perlambang
hakiki betapa di balik muara sungai kehidupan sejatinya
tersembunyi Kehadiran Asma’, Af’al, dan Shifat Yang Maha
Menghimpun (al-Jami’), Yang Maha Membuka (al-Fattah), Yang
Maha Memajukan (al-Muqaddim).”

“Engkau telah menangkap perlambang hakiki, betapa di balik


lautan kehidupan dan gumpalan awan yang menurunkan hujan
rahmat dari angkasa duniawi itu sejatinya tersembunyi Kehadiran
Asma’, Af’al, dan Shifat Yang Mahaluas (al-Washiy), Yang
Mahabesar (al-Kabir), Yang Mahakuat (al-Qawiy), Yang
Mahakokoh (al-Matin), Yang Mahamandiri (ash-Shamad), Yang
Mahaakhir (al-Akhir), Yang Maha Meyiksa (al-Muntaqim), Yang
Maha Mematikan (al-Mumit), Yang Maha Menghidupkan (al-
Muhyi), Yang Mahaperkasa (al-Jabbar), Yang Maha Menyucikan
(at-Tawwab), dan Segala Asma’, Af’al, Shifat Yang Serba Maha.”
1955
“Ya, engkau telah menangkap perlambang hakiki, betapa di balik
semua atribut dan perlambang Kehadiran Asma’, Af’al, dan Shifat-
Nya itu sejatinya tersembunyi Hakikat dari Zat Mutlak (Dzat al-
Muthlaqah): Zat Murni (Dzat al-Bahat) Yang Tersembunyi (al-
Bathin), Zat yang tak diketahui siapa pun kecuali Dia (kunhi Dzat),
Zat Yang Cinta Diketahui (al-Wadud), Zat Yang Mencipta (al-
Khaliq) segala ciptaan (makhluk) untuk Menyaksikan (asy-Syahid)
Keesaan (al-Wahid), Kemuliaan (al-Majid), Kesucian (al-Muta’ali),
Keluhuran (al-Jalil), Kekuasaan (al-Qadir), Kemurahan (al-Karim),
Keagungan (al-‘Azhim), Kesucian (al-Quddus), dan
Kemahamutlakan seluruh Kehadiran (Hadhrah) Asma’, Shifat,
Af’al, dan Dzat-Nya yang memancar dari tahap Haahuut-Lahut-
Jabarut-Malakut-Mitsal-Nasut. Demikianlah, engkau telah berhasil
menangkap makna hakiki kehadiran penyaksian (hadhrah asy-
syuhudiyyah) dari tingkatan-tingkatan kehadiran Yang Wujud (al-
maratib al-wujud) di alam semesta raya yang tak terukur luasnya
ini.”

“Kami paham, Paman,” kata Raden Sahid dengan wajah berbinar-


binar. “Tapi, bolehkah kami menyimpulkan bahwa sejatinya di balik
yang maujud ini bukanlah hamparan Kehampaan, melainkan suatu
Kepenuhan? Sebab, yang kami saksikan di balik yang maujud itu
adalah Kepenuhan Ilahi yang meliputi segala. Dalam penglihatan
mata batin kami, kami menyaksikan segala sesuatu yang maujud
di wilayah jasadi (mulki) sejatinya berada di dalam liputan Yang
Wujud, ibarat gelembung-gelembung udara kosong di dalam air.”

1956
“Janganlah engkau menyimpulkan sesuatu yang engkau saksikan
melalui mata batin dengan akal pikiranmu. Sebab, hal itu akan
menjerat hakikat Kebenaran yang tersembunyi di balik rahasia-
Nya. Engkau akan terpeleset oleh nalar untuk menafikan azh-
Zhahir dan mengisybatkan al-Bathin. Lantaran itu, cukup arif jika
engkau menilai apa yang engkau saksikan sebagai tingkatan-
tingkatan kehadiran Yang Wujud itu dengan istilah sederhana
tetapi rumit: awang-awang, yaitu ungkapan yang mewakili makna
Kehampaan sekaligus Kepenuhan. Janganlah kata-kata itu ditafsir-
tafsir lagi dengan nalar sehingga Keduanya menjadi terpisah
sendiri-sendiri sebagai Kehampaan dan Kepenuhan yang saling
Berdiri sendiri satu sama lain, atau Kedua-nya bisa saling menyatu
Satu sama lain. Apa yang telah engkau saksikan tidak boleh
ditafsir-tafsir.”

“Ingat dan camkan, apa yang engkau saksikan denga bashirah


tidak akan peernah bisa dijabarkan dengan akal pikiran manusia
yang terbatas. Ingat dan camkan pula, tingkatan-tingkatan
kehadiran Yang Wujud yang sudah engkau saksikan itu jelas-jelas
menunjukkan tatanan hukum yang sangat sempurna dalam
‘pemunculan’ hingga ke tingkat maujud. Itu berarti, tidak akan
mungkin Zat Yang Wujud bercampur baur (imtizaj) dengan yang
maujud. Zat Yang Wujud juga tidak akan mungkin menjadi satu
(ittihad) dengan yang maujud, apalagi sampai menjelma (hall)
dalam wilayah jasadi (mulki). Dengan demikian, jika ada orang
seorang dengan kekuatan akal budinya menyimpulkan bahwa Zat
Yang Wujud dapat berinkarnasi (hulul), bercampur baur (imtizaj),
menyatu (ittihad), dan meyakini bahwa ruh bisa berpindah-pindah
(naskh al-arwah) maka sesungguhnya orang tersebut tidak
1957
mengetahui bahwa di hamparan alam gaib sejatinya terdapat
ketetapan hukum Sempurna yang mengatur kehadiran masing-
masing tingkatan (al-maratib) ‘pemunculan’ dari Yang Wujud
hingga yang maujud, melalui tujuh tahap dengan lapisan selubung
berpuluh-puluh ribu hijab.”

“Kami memahami petunjuk Paman tentang tingkatan-tingkatan


‘pemunculan’ Yang Wujud melalui tujuh tahap. Tetapi kami masih
bingung dengan masing-masing tingkatan kehadiran, terutama
yang terkait dengan keberadaan piranti bahasa pada masing-
masing tingkat. Kami masih sulit membedakan makna hakiki di
balik bahasa indriawi, bahasa malakut, dan bahasa rabb pada
masing-masing kehadiran. Kami mohon penjelasan dan bimbingan
tentang itu, Paman,” kata Raden Sahid suatu malam, beberapa
hari setelah pengalaman yang menggetarkan jiwanya itu berlalu.

“Ingat dan resapi, o Anakku! Pada tingkat kehadiran wilayah jasadi


(mulki), bahasa yang digunakan sebagai piranti penghubung
antaranasir adalah bahasa yang bisa ditangkap panca indera.
Itulah bahasa yang mengalir dari mulut dan diserap oleh indera
pendengaran. Itulah bahasa yang bisa dipahami oleh nafs pada
masing-masing makhluk. Dengan bahasa ini, Adam a.s. mengenal
nama-nama. Pada tingkat kehadiran wilayah nirbendawi (malakut),
bahasa yang digunakan sebagai piranti penghubung antaranasir
adalah bahasa perlambang (isyarah) yang hanya bisa dipahami
maknanya oleh Ruh al-Idhafi lewat pendengaran batin (sam’).
Sementara pada tingkat Kehadiran wilayah Ilahi (al-Malik), bahasa
yang digunakan sebagai piranti penghubung adalah bahasa tanpa
1958
kata tanpa perlambang yang disebut al-ima’, yaitu bahasa rabb
yang hanya bisa ditangkap oleh Ruh al-Haqq dan al-Haqq,” Abdul
Jalil menjelaskan.

“Apakah yang disebut bahasa malakut itu sama dengan bahasa


ruh yang biasa digunakan oleh para pemuja Sang Prthiwi dan
pengamal ajaran Pangiwa saat mereka mengalami kerawuhan
(kehadiran) arwah dewata yang hidup langgeng?” tanya Raden
Sahid.

“Sepengetahuanku, bahasa malakut itu sama dengan bahasa ruh


yang dimaksud para pemuja Sang Prthiwi dan pengamal ajaran
Pangiwa. Aku katakan tidak sama sebab setahuku belakangan ini
banyak di antara pengamal ajaran Pangiwa, yang berasal dari
kalangan kebanyakan, telah keliru memaknai daya yang
memancar dari kantha-mula atau dar al-khanja-rah sebagai
bahasa ruh yang bersumber dari ruh suci Ilahi. Padahal, kantha-
mula adalah salah satu ‘tempat pengungkapan’ (al-mahall) bagi
mengalir keluarnya daya-daya kejahatan dan kebaikan, di mana
daya kejahatan dan daya kebaikan itu muncul dengan cara
diilhamkan kepada manusia melalui jalan kefasikan dan jalan
ketakwaan (QS. asy-Syams: 8). Dengan begitu, keberadaan
kantha-mula atau dar al-khanjarah itu memiliki dua kemungkinan:
ia bisa menjadi jalan bagi memancarnya ilham jalan ketakwaan
yang akan membawa orang seorang mengungkapkan Kebenaran
lewat lisannya, atau sebaliknya ia juga bisa menjadi jalan bagi
memancarnya ilham jalan kefasikan, yang akan memancarkan
jalan Kesesatan (ablasa) lewat lisannya.”
1959
“Jika suatu saat engkau mendapati orang seorang mengatakan
bahwa dia telah mengalami kehadiran arwah suci dewata yang
langgeng, sebagaimana diungkapkan para pemuja Sang Prthiwi
dan pengamal ajaran Pangiwa, maka ujilah pengakuannya itu
dengan pendengaran batin, sebagaimana sudah pernah engkau
gunakan saat bertemu Yang Mulia Rishi Agastya di gunung
Malaya. Dengan pendengaran batin, engkau akan mudah
mengetahui apakah ajaran seseorang itu igauan, sabda
kesesatan, ujar kebohongan, atau benar-benar ungkapan ruh suci
Yang Ilahi lewat bahasa perlambang atau lewat bahasa tanpa kata
tanpa perlambang. Dengan menguji lewat pendengaran batin
maka engkau akan mendapati bukti nyata apa yang sejatinya
diujarkan seseorang itu.”

“Sungguh telah sering aku jumpai orang seorang yang menjadi


pemuja Sang Prthiwi dan pengamal ajaran Pangiwa yang
mengaku-aku mengalami kerawuhan ruh suci yang
mahalanggeng. Mereka berceloteh dan mengomel tidak karuan
seperti orang mabuk, tetapi mereka tidak mengetahui makna dari
apa yang mereka ucapkan. Mereka dengan yakin diri menyatakan
bahwa celoteh dan omelan itu adalah bahasa ruh suci yang tak
terpahami. Sesungguhnya, dipandan dari sisi batiniah, mereka
adalah orang-orang terhijab yang sedang terperangkap jaring
angan-angan kosong (al-wahm) yang terpintal dari serat-serat tali
lamunan kosong (al-umniyah). Mereka terperangkap ke dalam
lingkaran kusut jaring imajinasi nirwujud (al-mumtani’) yang
menebarkan jaring-jaring kesesatan (al-idhlal) yang dibentangkan
Sang Penyesat (al-Mudhill) melalui Iblis beserta daya-dayanya.”

1960
“Sesungguhnya, apa yang mereka ucapkan dalam celoteh dan
omelan itu pada hakikatnya adalah ungkapan kehadiran ilham
kefasikan yang memancar dari kuasa nirwujud (ablasa) yang
tersembunyi di dalam nafs manusia, yaitu di relung-relung mahligai
kantha-mula atau dar al-khanjarah. Celoteh dan omelan itu
bukanlah bahasa ruh suci yang mahalanggeng melainkan
ungkapan kehadiran ilham kefasikan yang akan menghijab
manusia dari Kebenaran. Itu sebabnya, mereka yang terperangkap
pada jalan kefasikan yang ditebari jaring-jaring al-wahm dan al-
idhlal yang kosong tak bermakna itu, akan terbelenggu dalam
kerangkeng hijab dirinya dan jauh (bu’d) dari Kebenaran Sejati.
Mereka adalah manusia menyedihkan karena kesadaran jiwanya
sudah dikuasai imajinasi nirwujud yang tidak memiliki kiblat yang
Benar ke arah Tauhid.”

“Dengan uraianku ini, telah jelaslah bahwa mereka adalah


manusia-manusia yang telah terkuasai oleh daya-daya sang
nirwujud (ablasa). Dapat dipastikan mereka tidak akan pernah bisa
menangkap keindahan bahasa perlambang (isyarah) yang
tersembunyi di balik bahasa jiwa. Mereka tidak akan bisa
menangkap benderang cemerlangnya bahasa tanpa kata tanpa
perlambang. Mereka tidak akan pernah bisa menyingkap tirai-tirai
gaib yang menyelubungi kemaujudan alam semesta ini. Pada
ujungnya, mereka tidak akan pernah menyaksikan Kebenaran
Hakiki dari Yang Wujud. Sungguh, mereka itu sejatinya hanya
orang-orang yang dipermain-mainkan oleh angan-angan kosong
mereka sendiri. Pengalaman-pengalaman ruhani dangkal yang
mereka alami bukanlah penyingkapan tirai-tirai kegaiban,

1961
melainkan sekadar pengejawantahan khayalan-khayalan nirwujud
yang menyesatkan,” papar Abdul Jalil.

“Berarti, mereka tergolong orang-orang terhijab yang selama hidup


tidak akan pernah bisa menembus rahasia alam gaib dan tidak pula
mampu memahami bahasa rabb?” tanya Raden Sahid.

“Itu sudah pasti. Sebab, al-ima’ tidak pernah memancar lewat


kantha-mula atau dar al-khanjarah dalam bentuk celoteh dan
omelan tak terpahami yang bisa ditangkap indera pendengaran. Al-
ima’ hanya mungkin memancar dari dar al-khanjarah jika ‘tempat’
itu sudah disucikan dari nafsu-nafsu sehingga menjadi tempat suci
yang disebut bait al-qaddisah. Jika nanti engkau sudah terbiasa
menggunakan pendengaran batin dan lancar enggunakan bahasa
isyarah dan al-ima’, maka engkau tidak saja akan mengetahui
ucapan dusta para pembohong, melainkan dapat pula mengetahui
bahwa di balik ayat-ayat Al-Qur’an yang dilafazkan itu sejatinya
tersembunyi bahasa rabb. Itu sebabnya, ayat-ayat Al-Qur’an yang
muncul sebagai bahasa insani lewat bait al-qaddisah pada diri Nabi
Muhammad Saw. tidak bisa dipalsukan satu huruf pun, karena
orang-orang beriman yang sudah memahami bahasa isyarah dan
al-ima’ dengan mudah akan mengetahui pemalsuan-pemalsuan
yang dilakukan orang zalim.”

“Maksudnya, engkau harus pandai-pandai menyembunyikan


kemampuan itu dan sekaligus menyembunyikan jati dirimu. Jika
satu saat nanti datang kepadamu orang-orang jahil yang
1962
menantang-nantangmu untuk mengadu kehebatan dalam
menempuh jalan ruhani, tetapi orang itu masih menggunakan
bahasa lisan, maka wajiblah bagimu untuk menghindar.
Bersikaplah seolah-olah engkau bodoh dan tidak memiliki
pengetahuan ruhani. Lebih baik dirimu dianggap bodoh oleh
mereka daripada engkau meladeni mereka, karena orang-orang
jahil itu akan terperosok ke lembah ketakaburan yang mengundang
murka Allah. Biarlah mereka memuji-muji kehebatan diri dengan
menjadikanmu tumpuan pijakan.”

“Kami akan pusakakan petunjuk Paman. Kami sangat ingin


menggunakan pendengaran batin, bahasa isyarah, dan al-ima’
dengan lancar, meski kami sadar hal itu tidak gampang. Butuh
latihan keras dan waktu panjang. Kami ingin Paman tidak pernah
bosan membimbing kami,” kata Raden Sahid takzim.

“Engkau sudah tidak perlu bimbingan lagi. Engkau ibarat burung,


bisa terbang sendiri mengarungi angkasa luas. Tetapi, satu hal
yang wajib engkau ingat: jangan engkau berbuat zalim dengan
mengungkapkan pengetahuan ini kepada mereka yang tidak
berhak. Pengetahuan ini sangat rahasia. Engkau harus pandai-
pandai menyembunyikan kemampuan ini dan sekaligus
menyembunyikan jati dirimu,” Abdul Jalil mewanti-wanti.

“Kami akan pusakakan wejangan Paman. Tetapi, bagaimanakah


cara kami untuk mengajarkan kepada para murid yang belajar
kepada kami dalam menjelaskan perbedaan tingkat-tingkat
1963
bahasa, terutama untuk menguji pengakuan orang seorang yang
mengaku kehadiran ruh suci?”

“Secara sederhana, untuk menguji apakah orang seorang itu


benar-benar mengungkapkan bahasa ruh suci yang
mahalanggeng atau sedang terperangkap jerat-jerat al-wahm,
engkau dapat menggunakan ukuran penalaran yang cerdas, yaitu
membandingkan pertentangan-pertentangan antara apa yang
mereka ucapkan dengan perilaku dan perbuatan yang mereka
jalankan dalam kehidupan sehari-hari. Sungguh, telah bertahun-
tahun aku telah mengenal para pemuja Prthiwi dan pengamal
ajaran Pangiwa. Selama itu pula aku sering menangkap citra
keberadaan mereka dengan penanda sikap dan perilaku yang
mengejawantahkan citra sang nirwujud. Mereka itu orang-orang
yang citra dirinya ditandai sikap takabur, menilai terlalu tinggi diri
sendiri, suka merendahkan manusia lain, membanggakan
kekuatan diri, kuat ananiyyah (egois), tidak mau disaingi, penuh
dendam dan iri hati, suka mengaku-aku, hidup dibimbing nafsu,
kejam, pintar bicara, banyak siasat, cinta kebendaan, dan
berlebihan dalam segala hal. Dengan sikap dan perilaku yang
mengejawantahkan citra sang nirwujud maka citra diri mereka
ditandai oleh pertentangan (munaza’ah) dari citra diri mereka, yang
hal itu akan terungkap dalam ketidaksesuaian dan pertentangan
antara kata dan perbuatan mereka dalam kehidupan sehari-hari.”

“Jika suatu saat engkau bertemu dengan orang-orang semacam


mereka, berhati-hatilah engkau. Sebab, mereka adalah
pengejawantahan citra sang nirwujud. Tanda-tanda mereka itu
1964
mudah diketahui. Umumnya tanda-tanda itu seperti ini: jika mereka
berkata-kata yang menakjubkan tentang cinta kasih maka yang
mereka perbuat adalah tindak kekejaman dan kebrutalan yang
menjijikkan. Jika mereka berbicara tentang kerendahhatian maka
yang mereka perbuat adalah pamer ketakaburan dan
kecongkakan. Jika mereka berbicara tentang kedermawanan
maka yang mereka perbuat adalah merampas, merampok,
menggarong, menjarah, dan mengisap sesama. Jika mereka
berbicara menakjubkan tentang peradaban maka yang mereka
perbuat adalah tindak kebiadaban yang memalukan orang
beradab. Jika mereka berbicara tentang kemerdekaan dan
kesetaraan maka yang mereka perbuat adalah menindas,
menjajah, dan memperbudak sesama.”

“Dengan ketidaksesuaian antara kata dan perbuatan itu, di mana


pun mereka datang di suatu tempat maka saat itulah mereka akan
menebarkan malapetaka bagi makhluk di tempat tersebut. Mereka
akan menjadi pangkal kesengsaraan bagi makhluk lain. Sebab,
mereka tidak saja akan menjadi perampok, penggarong, penjarah,
perampas, penjajah, dan penindas, melainkan akan menjadi
penyesat pula bagi manusia yang mempercayai ucapan mereka.
Waspadalah terhadap mereka. Tetapi satu hal yang wajib engkau
waspadai, o Anakku, bahwa kecenderungan-kecenderungan
semacam mereka itu tidak selalu sama bentuknya dalam tiap
masa. Maksudku, kecenderungan itu bisa muncul dalam berbagai
bentuk dan ajaran yang berbeda dengan ajaran Pangiwa dan
ajaran pemuja Prthiwi. Tidak menutup kemungkinan
kecenderungan itu akan engkau dapati pada orang-orang yang

1965
mengenakan jubah keislaman atau jubah agama lain yang
kelihatan santun dan baik,” kata Abdul Jalil.

Raden Sahid menarik napas panjang. Dia merasakan kelegaan


memenuhi dadanya. Lalu, dengan suara lain dia berkata, “Kami
akan pusakakan petunjuk Paman. Kami sekarang ini benar-benar
merasa berbahagia. Sebab, ucapan Paman bahwa Allah tidak
tersembunyi karena Allah tidak pernah tidak hadir baru dapat kami
pahami dengan sebenarnya sekarang ini.”

“Itu berarti engkau telah mengetahui dengan bashirah sebagian


rahasia kekuasaan-Nya.”

“Terima kasih Paman.”

“Sebagai tanda bahwa engkau telah menapakkan kaki sebagai al-


arif billah yang sudah memenuhi syarat untuk menjadi pembimbing
ruhani, aku berikan ijasah untukmu dalam wujud: Ratu Arofah,”
kata Abdul Jalil memegang kedua bahu Raden Sahid.

“Kami terima ijasah sebagai pusaka.”

“Tapi, tahukah engkau apa yang aku maksud dengan Ratu


Arofah?”
1966
“Kami tidak tahu, Paman.”

“Dia adalah Zainab, puteriku. Aku berikan ia kepadamu sebagai


ijasah yang menandai bahwa engkau boleh mengajarkan apa yang
telah aku ajarkan kepadamu. Lantaran engkau telah ‘mengetahui’
rahasia-rahasia kekuasaan-Nya melalui bashirah maka ijasah itu
aku sebut dengan nama Ratu Arofah.”

“Kami pusakakan ijasah yang agung dan mulia itu.”

“Tapi ada satu hal yang harus engkau ingat-ingat, o Anakku.”

“Kami mohon petunjuk dan bimbingan.”

“Ucapan-ucapanku seperti ‘Allah tidak pernah tidak hadir’


hendaknya engkau jadikan rahasia. Sebab, ucapan itu menjadi
sesuatu yang benar jika diucapkan seorang guru kepada sang
penempuh (salik) dalam menuntun ke arah ketercelikan mata hati
untuk mengenal-Nya. Tetapi, ucapan itu menjadi suatu kezaliman
jika disampaikan kepada kalangan awam yang keadaan jiwanya
masih terhijab. Sehingga, mengungkapkan rahasia Kebenaran ini
kepada awam bisa diibaratkan seperti seorang penyair
mengungkapkan keindahan syair-syairnya kepada orang tuli,”
sahut Abdul Jalil.

1967
Tengara Murka Tuhan

Suatu siang, ketika Abdul Jalil mengajak


Raden Sahid pergi ke pelabuhan, tanpa
tersangka-sangka mereka berpapasan dengan
serombongan orang di depat kantor
syahbandar. Mereka tampaknya akan ke
kutaraja. Abdul Jalil berhenti mendadak.
Kemudian dengan suara lirih tetapi agak ditekan, ia berkata kepada
Raden Sahid. “Kalau tidak keliru, itu seperti rombongan orang-
orang dari Surabaya.”

Raden Sahid menghentikan langkah dan melihat iring-iringan


orang di depannya. Dilihat dari penampilan, pakaian, payung, dan
lambang-lambang yang dibawa, rombongan itu tampaknya
memang berasal dari Surabaya. Orang yang diusung di atas tandu,
yang belakangan diketahui sebagai Pangeran Arya Kediri, adalah
putera ketiga Raden Kusen Adipati Surabaya. Pangeran Arya
Kediri selama itu dikenal sebagai anak muda gagah berani. Ia
dipercaya ayahandanya mengepalai pasukan pengalasan
Surabaya. Ia selalu berjaya dalam berbagai pertempuran. Lantaran
kemenangan-kemenangan yang selalu diraihnya itulah, orang
kemudian menyebutnya dengan gelar terhormat: Pangeran
Tundhung Musuh.

Pangeran Arya Kediri datang ke Malaka didampingi Raden


Muhammad Yusuf, putera Raden Yusuf Siddhiq Adipati Siddhayu.
1968
Mereka berdua dikenal sebagai sahabat dekat. Melalui Raden
Muhammad Yusuf yang memiliki keluarga terpandang di Malaka,
Pangeran Arya Kediri menancapkan kekuatan untuk melindungi
saudagar-saudagar asal Surabaya yang berniaga di Malaka.
Dalam suatu perbincangan singkat dengan Pangeran Arya Kediri
dan Raden Muhammad Yusuf, Abdul Jalil mengetahui jika salah
satu alasan kehadiran putera Raden Kusen itu ke Malaka adalah
untuk berdagang senjata. Rupanya, melalui bantuan Raden
Muhammad Yusuf dan keluarganya, Pangeran Arya Kediri dapat
membangun kekuatan dan sekaligus mengembangkan kantor
perwakilan dagang di Malaka, terutama pemasaran bedil besar
(meriam) buatan Sapanjang dan Jepara. Selain bedil besar, dijual
juga mesiu buatan Palembang dan Samarang.

Menurut Pangeran Arya Kediri dan Raden Muhammad Yusuf,


dalam hal mutu, bedil besar buatan Sapanjang dan Jepara tidak
kalah dibanding meriam-meriam terbaik buatan Kerala dan Turki.
Dalam tiga empat kali uji coba mutu senjata, aku Pangeran Arya
Kediri, pihaknya sudah mendapat pesanan dari Sultan Malaka,
Sultan Brunei, dan Sultan Sulu. “Sultan Malaka Mahmud Syah
memesan seratus bedil besar dari bahan kuningan dan tujuh puluh
bedil besar dari bahan besi. Sultan Brunei Nakhoda Ragam Bolkiah
memesan lima puluh bedil besar dari bahan besi. Sedang Sultan
Sulu Kamaluddin Hasyim Abu Bakar memesan empat puluh bedil
besar dari besi.”

“Malam nanti kami akan bertemu dengan Hiyoshi, saudagar asal


Hakata dari negeri Jepun. Orang-orang Jepun kelihatannya sangat
1969
tertarik dengan bedil besar dan bedil,” kata Pangeran Arya Kediri
bangga.

“Bedil besar itu dibuat di Sapanjang? Maksudnya, Sapanjang di


selatan Surabaya?” gumam Abdul Jalil sambil mengerutkan kening
seolah belum percaya.

“Pengecoran di Terung sudah ditutup. Sebagai pengganti, dibikin


pengecoran baru di Sapanjang. Yang mengepalai pengecoran
adalah Raden Mahmud Pangeran Sapanjang, putera Susuhunan
Rahmatullah.”

“Apakah di Sapanjang dan Jepara orang-orang sudah bisa


membuat bedil?” tanya Abdul Jalil.

“Orang-orang kami belum mampu membuat bedil yang bagus.


Dalam beberapa kali uji coba, laras bedil yang dibuat orang-orang
kita selalu pecah setelah dipakai menembak dua tiga kali. Jadi,
untuk bedil kita masih membelinya dari saudagar-saudagar Kerala
dan Bengali. Tetapi, kami menawarkan bedil-bedil itu kepada siapa
saja yang berminat, termasuk kepada orang-orang Jepun,” kata
Pangeran Arya Kediri.

Abdul Jalil mengangguk-angguk sambil menarik napas berat.


Penjelasan Pangeran Arya Kediri tentang meningkatnya
1970
perniagaan bedil besar buatan Jawa telah semakin
menyadarkannya bahwa tengara kerusakan dahsyat yang bakal
ditimbulkan oleh senjata penyembur api itu makin mendekati
kenyataan. Ia sadar bahwa sebuah perubahan besar akibat
hadirnya Ya’juj wa Ma’juj, cambuk api yang bakal digunakan Allah
untuk menghajar bumi dan penghuninya, semakin dekat waktunya.
Itu berarti, ujian bagi manusia beriman yang teraduk-aduk bersama
azab bagi manusia yang lalai semakin dekat menghampiri dunia.

Ketika Abdul Jalil tengah merenungkan keterkaitan antara azab


Allah dan maraknya perdagangan senjata penyembur api, ia
dikejutkan oleh pekikan Raden Sahid. Ia menoleh dan mendapati
Raden Sahid berdiri gemetar dengan wajah pucat pasi.
Menangkap gelagat kurang baik, Abdul Jalil bertanya tentang apa
yang sedang dialami bakal menantunya itu. Dengan bibir gemetar
dan terbata-bata Raden Sahid berkata, “Kami menyaksikan orang-
orang di depan itu memiliki ekor.”

Abdul Jalil tertawa, lalu sambil menepuk bahu Raden Sahid ia


berbisik, “Bersyukurlah, engkau telah dianugerahi pengetahuan
gaib untuk mengetahui keberadaan manusia berekor.
Bersyukurlah!”

“Kenapa mereka diberi perlambang memiliki ekor?” tanya Raden


Sahid heran.

1971
“Bukankah engkau sudah menyaksikan tujuh cahaya pada tubuh
manusia?” bisik Abdul Jalil. “Yang engkau saksikan itu adalah
orang-orang yang hidupnya digerakkan oleh cahaya yang
memanjang di ujung tulang ekornya. Itulah tanda manusia yang
hidupnya terbimbing nafsu rendah hewani.”

Raden Sahid mengangguk paham. Tetapi, bagi Abdul Jalil,


anggukan Raden Sahid itu justru makin menguatkan sasmita yang
ditangkapnya sehubungan dengan bakal menggeletarnya cambuk
Tuhan atas Malaka. Ya, Malaka. Malaka lambang kemakmuran
bumi yang menebarkan suasana pengab, tengik, busuk, dan
menyesakkan jiwa dengan nilai-nilai kebenaran yang jungkir balik,
pancaran gemilang kelezatan duniawi yang menyilapkan banyak
manusia dari mengingat Tuhan. Tampaknya, Malaka sedang
menunggu giliran dihajar oleh lecutan cambuk api yang
menggeletar di tengah gemuruh murka Ilahi.

Tengara bakal dilecutnya Malaka oleh cambuk api murka Ilahi


makin kuat ditangkap getarannya oleh Abdul Jalil manakala ia
diajak oleh Pangeran Arya Kediri ke sebuah tempat pelatihan
militer di selatan kutaraja. Tempat itu berupa alun-alun yang luas
dikitari barak prajurit, gudang perbekalan, gudang senjata, istal,
dan kandan gajah. Di bagian tengah alun-alun terlihat barang
sepuluh orang-orangan dari jerami yang dipancang pada kayu,
sebagai sasaran bidikan bedil dan anak panah. Sejumlah prajurit
yang berdiri berjajar terlihat membawa bedil di tangan kiri dan
pedang di tangan kanan. Asap tipis masih mengepul dari moncong

1972
bedil ketika mereka dengan teriakan keras melompat ke arah
orang-orangan jerami sambil mengayunkan pedang.

Sebagian dari prajurit yang tinggal di barak-barak itu berasal dari


Jawa. Mereka dibayar oleh sultan sebagai tentara sewaan dengan
upah tinggi. “Kebanyakan mereka berasal dari Surabaya,
Siddhayu, Gresik, Terung, dan Demak. Mereka sangat berani dan
terampil menggunakan berbagai jenis senjata,” ujar Pangeran Arya
Kediri bangga.

Abdul Jalil hanya manggut-manggut mendengarnya. Setelah diam


sejurus, ia bertanya, “Kenapa sultan menyewa prajurit dari Jawa?
Apakah penduduk Malaka enggan menjadi prajurit?”

“Sepengetahuan kami, sultan memperkuat diri dengan prajurit-


prajurit sewaan dari Jawa lebih disebabkan oleh kepentingan
mengimbangi kekuatan Bendahara Raja Tun Mutahir yang
didukung orang-orang Keling. Bahkan, belakangan Tun Mutahir
didukung pula oleh pengungsi-pengungsi asal Kerala. Sultan
merasa Tun Mutahir telah bertindak terlalu jauh merongrong
kekuasaannya sehingga keberadaan sultan tak lebih dari boneka
tak berdaya. Sultan yang merasa berdarah Majapahit itu ingin
menunjukkan kekuatannya dengan mendatangkan prajurit-prajurit
unggul dari Jawa.”

1973
Abdul Jalil diam. Dalam diam ia menangkap sasmita betapa
rapuhnya usaha Sultan Malaka dalam memperkuat pertahanan
diri. Jika sultan merasa kuat dengan dukungan pasukan sewaan
yang besar jumlahnya maka sejatinya sultan seperti sedang
membangun benteng dari jaring laba-laba yang rapuh dan mudah
hancur. Sebab, seberapa kuatkah kesetiaan prajurit sewaan?
Bukankah mereka setiap waktu bisa mengalihkan pengabdian
kepada tuan yang membayar sewa lebih mahal?

Pada awal abad ke – 16, di mana-mana tempat yang dihuni


penduduk muslim, tak terkecuali Malaka, sedang berlangsung
pertarungan sengit antara pengikut Syi’ah dan Sunni. Akal sehat
dan persaudaraan kaum muslim (ukhuwah Islamiyyah) sepertinya
telah tersapu dari permukaan bumi dan tenggelam ke dalam lautan
kebencian tak bertepi. Matahari Kebenaran makin lama makin jauh
bersembunyi di balik bukit-bukit permusuhan yang dikobari api
amarah dan dialiri sungai darah. Fitrah manusia sebagai citra ar-
Rahman (shurah ar-Rahman) telah menjelma dalam bentuk
kawanan setan bertubuh api yang ganas dan haus darah. Saat itu
Sang Maut seolah-olah memanjangkan bayangan-Nya dan
menjulurkan cakar-Nya sampai ke bagian tergelap dari relung-
relung terdalam jiwa manusia.

Di tengah bayangan kelam Sang Maut yang mengintai di balik


cakrawala Kehidupan, di tengah permusuhan orang-orang Syi’ah
dan Sunni, Abdul Jalil dengan didampingi istri, anak, dan Raden
Sahid terlihat berjalan menelusuri lorong-lorong sempit di bandar
Malaka yang diapit bangunan-bangunan di kedua sisinya.
1974
Beberapa saat lalu ia baru saja bertemu dan singgah sejenak di
rumah Khoja Hasib al-Tughyan, seorang kenalan lamanya, yang
terletak di tepi utara sungai Malaka. Ia tidak menyangka Khoja
masih tetap sebagai Hasyib al-Tughyan yang pernah dikenalnya
barang tiga dasawarsa silam; seorang anak muda yang secara
ajaib tidak pernah terpengaruh putaran roda waktu. Wajahnya,
matanya, bibirnya, hidungnya, kulitnya, rambutnya, dan bahkan
bentuk tubuhnya tetap tidak berubah barang secuil pun. Khoja
tetap seorang pemuda yang sepertinya tidak pernah tua apalagi
sampai kulitnya keriput dan punggungnya bongkok lalu tumbang
ke bumi.

Tidak berbeda dengan penampilannya yang tidak pernah berubah


tua, Khoja juga tidak berubah dalam sikap dan perbuatan. Dia
selalu bersikap tegas, jujur, polos, suka berterus terang, dan yang
menakjubkan, ingatannya sangat kuat sehingga sekecil apa pun
peristiwa yang diketahuinya tidak akan pernah dilupakannya.
Melalui dia, Abdul Jalil mendapat cerita singkat tentang Syaikh
Abul Mahjuubin dan ketiga orang anaknya; Abul Maisir sang
penjudi, Abul Khamrun sang pemabuk, dan Abul Kadzib sang
penipu. Dengan suara gemerisik bagaikan daun-daun kering
diembus angin, Khoja bertutur.

“Manusia dekil yang kita kenal sebagai Syaikh Abul Mahjuubin


ternyata hidup tidak lama setelah engkau pergi meninggalkan
Malaka, o Sahabat. Rupanya, dia yang hidup dari mengisap darah
manusia, di dalam tubuhnya bersarang kawanan hewan pengisap
darah: lintah. Itu sebabnya, berapa banyak pun darah yang dia isap
1975
selalu tidak cukup memuaskan kawanan lintah yang menghirup
setiap tetes darah yang mengalir di tubuhnya. Bahkan, semakin
banyak darah yang diisapnya, semakin rakus lintah-lintah itu
mengganas dan mengisap darah yang mengalir di tubuhnya.
Ketika darah yang diisapnya diperebutkan oleh ketiga orang
anaknya, sehingga pasokan darah di tubuhnya berkurang, lintah-
lintah ganas itu dengan rakus mengisap semua cairan dan
menggeragoti organ-organ tubuhnya hingga ke tulang dan
sumsum. Dan, saat Sang Maut menghantamkan sayap Kematian
ke hulu tenggorokannya, tubuh celaka makhluk dekil pengisap
darah itu sudah tinggal tulang terbalut kulit. Dengan mata
terbelalak dan wajah pucat pasi ia meregang nyawa karena
sebelumnya ia tidak pernah menduga jika nyawanya bakal dicabut
secepat itu.”

“Pembohong seperti Syaikh Abul Mahjuubin memang harus hidup


dilingkari kebohongan demi kebohongan sehingga pada saat mati
pun ia masih juga diliputi kebohongan. Para murid dan keluarga
yang menunggui Syaikh Abul Mahjuubin saat menjelang sakaratul
maut, dengan kelincahan lidahnya memberikan kesaksian palsu
bahwa mereka telah menyaksikan gurunya mati dengan tersenyum
sambil mengucap kalimat: la ilaha illa Allah! Padahal, saat itu
malaikat, jin, setan, cicak, nyamuk, semut, dan aku yang berada di
sana mempersaksikan bahwa Abul Mahjuubin mati secara su’ul
khatimah, karena mengumpati Tuhan yang dianggapnya telah
menyiksanya dengan penyakit yang tak kunjung sembuh.”

1976
“Aku malah menyaksikan, bagaimana tidak lama setelah mayat
manusia lintah itu dikubur, ketiga orang anaknya merancang
kebohongan dengan membuat surat warisan palsu yang terkait
dengan pembagian harta peninggalan ayahanda mereka. Mereka
tanpa malu sedikit pun saling bertengkar, merebut warisan. Mereka
mengeluarkan banyak uang untuk menyuap hakim dan saksi
palsu. Mereka menyuap pejabat-pejabat korup agar berkenan
membela mereka masing-masing. Walhasil, tidak sampai tiga
bulan seluruh kekayaan yang sudah dikumpulkan dengan penuh
kecurangan oleh Syaikh Abul Mahjuubin selama bertahun-tahun itu
lenyap seperti tersapu angin prahara. Demikianlah, pada bulan
keempat setelah kematian Syaikh Abul Mahjuubin, orang melihat
Abul Maisir dan Abul Khamrun hidup menggelandang di pasar-
pasar sebagai orang setengah waras. Sedang Abul Kadzib, anak
bungsunya, diketahui orang keluar masuk gedung pengadilan dan
dijatuhi hukuman dera berulang-ulang akibat tidak bisa
meninggalkan kebiasaannya menipu.”

“Sungguh menyedihkan akhir cerita manusia pecinta duniawi


seperti Syaikh Abul Mahjuubin dan putera-puteranya,” gumam
Abdul Jalil menarik napas panjang.

“Mudah-mudahan kita tidak digolongkan-Nya sebagai kawanan


manusia tengik seperti mereka.”

Ketika Abdul Jalil dan Khoja sedang memperbincangkan kehadiran


orang-orang Kerala pendukung Tun Mutahir, muncul Thalib al-
1977
Akhbar, saudara sepupu Khoja, membawa kabar mengejutkan:
barang lima hari lalu Laksamana Kunjali Marakkar, panglima
angkatan laut Kozhikode, dengan kekuatan 280 buah kapal perang
dan pasukan berjumlah 50.000 orang menggempur bandar
Cochazhi (Cochin). Raja Cochazhi dan orang-orang Portugis
sekutunya yang tak menduga bakal mendapat serangan
mendadak itu terkejut bukan alang kepalang. Francisco
d’Albuquerque sampai serak suaranya berteriak-teriak memimpin
gerak mundur pasukannya yang hanya seratus orang itu dari
Cochazhi. Duarte Pacheco Pereira yang mendampingi raja
Cochazhi tidak dapat berbuat sesuatu kecuali menyarankan agar
sang raja yang dikawal delapan ratus orang serdadu sewaan dan
pengawal-pengawalnya itu untuk menyingkir dari kota. Setelah
berhasil menguasai bandar, ungkap Thalib al-Akhbar, para prajurit
dan pejuang Kozhikode beramai-ramai menghancurkan kantor
persekutuan dagang (feitoria) Portugis – Cochazhi beserta
gudang-gudangnya.

Setelah menyingkir dari bandar, Portugis dan raja Cochazhi


membawa sisa-sisa pasukannya ke pulau Vypin. Portugis
kemudian melanjutkan pembangunan benteng kayu di pulau itu
untuk menahan serbuan yang dilakukan prajurit dan pejuang-
pejuang Kozhikode. Portugis menamai benteng kayu itu dengan
sebutan Castelo de Cima. Di benteng itulah, menurut kabar,
Portugis dan raja Cochazhi melakukan perlawanan dengan taktik
dan strategi perang Eropa yang sangat berbeda dengan yang
diterapkan Laksamana Kunjali Marakkar.

1978
Kabar serbuan Laksamana Kunjali Marakkar ke Cochazhi yang
membuat Portugis dan sekutunya tunggang-langgang, ternyata
dengan cepat menyebar ke bandar-bandar perniagaan di selatan,
termasuk Malaka. Hal itu diketahui Abdul Jalil ketika ia berbincang-
bincang dengan Syaikh Dara Putih, adik lain ibu Syaikh Jumad al-
Kubra, dan Datuk Musa, saudara sepupunya, di rumahnya yang
terletak di kampung Pulau Upih. Anehnya, orang-orang Malaka
kelihatan tidak sedikit pun menganggap serius kabar pertempuran
Laksamana Kunjali Marakkar dengan Portugis itu. Mereka seolah-
olah menganggap peristiwa itu sebagai sesuatu yang biasa,
sebagaimana layaknya peristiwa perselisihan antarsaudagar atau
antarpenguasa bandar. Mereka justru jauh lebih menganggap
serius perselisihan antara pengikut Sunni dan Syi’ah.

Sekalipun dalam memperbincangkan berbagai masalah terkait


nasib umat Islam yang semrawut itu Abdul Jalil dinilai memiliki
pandangan berbeda dalam menyikapinya, baik Datuk Musa,
Syaikh Dara Putih, dan Raden Sahid sama-sama sepakat dengan
kesimpulan Abdul Jalil bahwa bertubi-tubinya masalah rumit yang
dihadapi umat Islam belakangan ini bukanlah suatu peristiwa
kebetulan. Mereka sepakat, keberadaan umat Islam yang
belakangan ini dijungkirbalikkan dalam berbagai peristiwa pedih
laksana tanah sawah dijungkir balik bajak adalah sebuah pertanda
bahwa Sang Pencipta sedang menyiapkan suatu rencana bagi
umat-Nya. Khusus tentang pertarungan antara pengikut Syi’ah dan
Sunni, mereka melihat adanya suatu keanehan. Pemuka-pemuka
Syi’ah maupun Sunni yang bertempur ternyata sama-sama
mengaku sebagai golongan Alawiyyin, keturunan Imam Ali bin Abi
Thalib, yang bertuhankan Allah, berkitab suci Al-Qur’an, bernabi
1979
Muhammad Saw, berkiblat Ka’bah sehingga tidak jelas siapa
sesungguhnya yang benar dan siapa yang berbohong dalam
pengakuan-pengakuan sepihak di tengah pertikaian itu.

Selama memperbincangkan masalah perseteruan Syi’ah dan


Sunni, Abdul Jalil diam-diam menangkap kenyataan tentang
kerasnya sikap Syaikh Dara Putih terhadap mereka yang dianggap
memihak dan mendukung Syah Ismail. Meski Syaikh Dara Putih
menyatakan tidak memihak salah satu pihak yang berseteru,
kenyataan menunjuk bahwa dia tidak segan membuat fatwa untuk
menghalalkan darah siapa pun di antara manusia yang terbukti
mendukung Syah Ismail. Kerasnya sikap Syaikh Dara Putih itu,
menurut hemat Abdul Jalil, kemungkinan bersumber dari
kemarahan tak terkendali adik Syaikh Jumad al-Kubra itu ketika
mendengar cerita tentang tindakan-tindakan brutal Syah Ismail
dalam menghancurkan tarekat-tarekat di bumi Persia. Sebab,
dengan penghancuran tarekat-tarekat itu, garis silsilah nasab para
Alawiyyin – Syaikh Dara Putih termasuk di dalamnya – menjadi
kacau dan bahkan terputus sehingga keabsahan silsilah mereka
sewaktu-waktu layak diragukan.

Menghadapi guru tarekat yang masih dijerat oleh keberpihakan


dan pamrih seperti Syaikh Dara Putih, Abdul Jalil tentu saja tidak
mau mengimbangi. Sebaliknya, ia berusaha mengalihkan alur
pembicaraan dengan membahas masalah kemerosotan akhlak
dan jungkir baliknya nilai-nilai yang sedang berlangsung di Malaka,
dengan terlebih dulu mengungkap latar di balik peperangan
Kozhikode di satu pihak dengan Portugis dan penguasa Cochazhi
1980
di pihak lain. Sebagaimana pandangannya yang selalu berpusat
pada Tauhid, Abdul Jalil menyimpulkan bahwa pertumpahan darah
yang menimbulkan korban jiwa di Kozhikode, Cochazhi, Perlak,
Pasai, dan Malaka belakangan ini pada hakikatnya adalah
rangkaian panjang dari lecutan demi lecutan cambuk Allah untuk
mengingatkan umat-Nya yang sedang berada di jalan kefasikan.

Setelah menguraikan berbagai hal terkait nasib pedih yang dialami


kaum muslimin di Kozhikode, yang kemungkinan akan mengalami
kekalahan dalam pertempuran lanjutan, Abdul Jalil tanpa terduga
menyarankan agar Datuk Musa, sepupunya, melakukan hijrah,
membawa keluarganya meninggalkan Malaka ke daerah
pedalaman. Alasan Abdul Jalil sederhana, yakni pusaran
kehidupan di Malaka sesungguhnya telah diluapi genangan arus
sungai kehidupan yang dibanjiri air bah kebendaan. Keadaan itu,
menurutnya, cepat atau lambat akan mendatangkan murka Allah
sebagaimana telah terjadi pada umat-umat terdahulu.

“Tumpahnya darah muslim di suatu tempat, apa pun alasannya,


menurut hematku, mesti memiliki hubungan tali-temali dengan
lecutan cambuk Tuhan. Peristiwa berdarah di Kozhikode dan
Cochazhi. Peristiwa berdarah di Perlak, Pasai dan Malaka, meski
dengan latar berbeda, pada dasarnya satu juga pangkalnya, yaitu
peringatan Tuhan. Jika kita masih tidak sadar juga dengan
peringatan-Nya itu maka lecutan cambuk Tuhan berikutnya akan
menggeletar lebih dahsyat dengan rasa sakit yang tak
tertanggungkan,” ujar Abdul Jalil.

1981
“Bagaimana engkau, o Saudaraku, bisa menilai kalau Malaka
bakal dilecut cambuk Tuhan seperti Kozhikode dan Cochazhi?”
tanya Datuk Masa seperti belum memahami sepenuhnya makna di
balik ucapan Abdul Jalil.

Abdul Jalil terdiam. Sejenak kemudian dengan suara lain ia


berkata, “Selama menjejakkan kaki untuk kali kedua di Malaka, aku
telah melihat genangan lumpur kemerosotan akhlak yang
diakibatkan oleh meluapnya sungai kehidupan duniawi yang
dibanjiri air bah kebendaan. Di hampir setiap penjuru kota aku
melihat manusia-manusia malang bertubuh kurus meringkuk tak
berdaya di tengah genangan lumpur. Mereka tidak bisa bergerak
bebas karena sekujur tubuhnya dililit ular beludak utang yang
beranak-pinak tak terhitung jumlahnya. Sungguh, telah aku
saksikan kawanan ular riba beriap-riap masuk ke rumah penduduk
dan mematuk para penghuninya dengan racunnya yang
mematikan.”

“Renungkan, o Saudaraku, jika sebuah kota sudah padat dihuni


ular riba beracun ganas, maka seluruh penduduk yang menghuni
kota itu lambat laun akan terkena pula racun yang mematikan.
Penduduk yang terkena racun berbisa dari gigi-geligi ular riba itu
pasti akan limbung dan terhuyung-huyung kebingungan. Kenapa
mereka limbung dan terhuyung-huyung kebingungan?
Sesungguhnya, mereka saat itu berada di antara kesadaran ular
dan kesadaran manusia. Kesadaran mereka terombang-ambing di
antara dua dunia yang berbeda, yaitu dunia manusia dan dunia
hewan melata. Mereka itulah yang disebut makhluk siluman:
1982
hewan bukan manusia pun bukan. Makin banyak manusia yang
terkena racun riba akan semakin banyak manusia yang menjadi
siluman. Sebagaimana kisah umat di masa silam yang terombang
ambing di antara alam manusia dan alam hewan, murka Tuhan
akan menghambur dari segenap penjuru. Lecutan cambuk Tuhan
akan menggeletar di mana-mana untuk memisahkan kembali
batas-batas wilayah kesadaran manusia dan hewan. Demikianlah,
penduduk negeri yang hidup berdampingan dengan kawanan ular
riba sehingga menjelma menjadi siluman, pasti akan merasakan
lecutan cambuk Tuhan yang pedih.”

“Apakah hanya karena riba yang merajalela di negeri ini sudah bisa
menjadi penyebab penduduknya dilecut oleh cambuk Tuhan?
Tidakkah penduduk Malaka yang lain masih cukup banyak yang
baik? Tidakkah saudaraku melihat orang-orang yang menjalankan
shalat jama’ah di masjid-masjid?” tanya Datuk Musa.

Abdul Jalil tercenung sesaat. Setelah itu, ia berkata seolah-olah


ditujukan kepada dirinya sendiri, “Jika hukum di sebuah negeri
telah disulap menjadi barang dagangan semurah kue-kue di pasar
maka akan turunlah murka Allah. Dia mengirim para perampok,
penggarong, pencuri, penyiksa, dan pembunuh yang ganas di
tengah penduduk. Kawanan makhluk jahat itulah pengejawantan
cambuk Tuhan yang menghukum penduduk negeri celaka itu. Jika
ada yang bertanya kenapa Tuhan murka ketika hukum
diperdagangkan di suatu negeri? Aku katakan, Tuhan murka
karena di balik keberadaan sebuah hukum, sejatinya tersembunyi
Kehadiran Ilahi (Hadrah al-Ilahiyyah) yang meliputi Asma’, Af’al,
1983
dan Shifat-Nya, yaitu Kebenaran pancaran al-Haqq, Kelurusan
pancaran al-Hadi, Penghisaban pancaran al-Hasib, Penghukuman
pancaran al-Hakam, Pengayoman pancaran al-Waly, Pembalasan
pancaran al-Muntaqim, Keseimbangan pancaran al-Muqsith,
Kebijaksanaan pancaran al-Hakim, dan Keadilan pancaran al-
‘Adl.”

“Sungguh celaka para hakim yang menggunakan nama Ilahi, al-


Hakim, untuk menista hukum dan keadilan demi kepentingan diri
pribadi. Sungguh celaka seribu kali celaka penjahat-penjahat
tengik yang menjual murah al-Hakim dan al-‘Adl demi
pengumbaran nafsu rendahnya. Sungguh celaka mereka. Mereka
tidak saja menghianati al-Hakim, tetapi juga al-‘Adl, al-Hakam, al-
Haqq, al-Hadi, al-Hasib, al-Waly, al-Muntaqim, al-Muqsith. Mereka
telah memerosokkan diri ke dalam lingkaran murka-Nya yang akan
membenamkan mereka ke dalam lumpur kehidupan benda-benda
yang busuk beracun. Mereka akan menjelma menjadi kaum
penyekutu Tuhan (qaum al-musyrikin); kaum pemuja benda-benda
yang melampaui batas (thaghut); kaum musyrikin yang paling
dikutuk Tuhan. Sesungguhnya, mereka telah membenamkan diri
mereka sendiri ke dalam genangan lumpur nafsu kebendaan
sehingga mata hati mereka buta (ummi), telinga jiwa mereka tuli
(shamam), dan suara kebenaran ruhnya bisu (bakam). Mereka
itulah kawanan makhluk terkutuk karena kesadaran jiwa mereka
sudah tertutup oleh benda-benda, seibarat besi-besi, seibarat besi-
besi rongsokan ditutupi karat tebal.”

1984
“Aku katakan: celaka! Seribu kali celaka manusia yang telah
merendahkan dan menista makna hakiki Kebenaran pancaran al-
Haqq, Kelurusan pancaran al-Hadi, Penghukuman pancaran al-
Hakam, Keadilan pancaran al-‘Adl, dan Kebijaksanaan pancaran
al-Hakim untuk menjadi sekadar uang recehan (al-fakkah al-
nuqud). Sebab, mereka dengan kesadaran kaum penyekutu Tuhan
yang jahil telah mengkhianati dan menista Asma’, Af’al, dan Shifat
Ilahi. Mereka dengan kejahilannya telah membuka (fakka)
kecaman (naqada) atas diri sendiri dan keluarganya, yaitu
kejahilan yang bakal mengangakan paruh burung (manaqid)
neraka di mana mereka akan dijadikan santapan utamanya.
Akankah Allah sebagai Rabb dari Semua Rabb (Rabb al-Arbab)
membiarkan para pengkhianat yang menista Asma’, Af’al, dan
Shifat-Nya itu bergembira ria menikmati hasil pengkhianatannya?”

“Tidakkah engkau saksikan dengan mata indriawi dan mata batin,


o manusia, bagaimana para pejabat di negeri ini telah mengaku-
akku sebagai hamba setia pentadbiran Kerajaan(hukumah
malakiyyah), padahal mereka itu sejatinya adalah hamba thaghut?
Tidakkah engkau saksikan sikap dan perilaku para pembantu
sultan yang jauh dari adab orang beriman? Tidakkah engkau
ketahui bahwa para hamba pentadbiran kerajaan itu telah menjadi
penyeleweng nista yang menjijikkan? Sungguh, telah aku saksikan
dengan mata indriawi dan mata batin bagaimana mereka yang
menduduki jabatan Bendahara Raja, Wazir, Qadi, Temenggung,
Laksamana, Menteri-hulubalang, Syahbandar, Penghulu Balai,
Penghulu Bendahari Yang di dalam, Penghulu Bendahari Yang di
luar, Penghulu Istana, Penghulu Jenang, hingga pegawai

1985
rendahan di kerajaan ini telah memanfaatkan kekuasaan yang
mereka miliki untuk memenuhi kehendak nafsunya.”

“Sementara itu, telah aku saksikan pula bagaimana para ulama


wakil al-‘Alim di muka bumi (khalifah al-‘Alim fi al-ardh) di negeri ini
banyak yang telah menjadi pengabdi setia penguasa baik sultan
maupun bendahara raja. Mereka tidak melakukan tugas dan
kewajibannya sebagai penyebar ilmu, penyampai kebenaran,
penegak akhlak, penunjuk bagi yang sesat jalan, sumber fatwa,
dan sosok panutan yang jadi keteladanan umat. Mereka justru
banyak yang berlaku zalim, dengan imbalan murah mereka telah
memutarbalik ayat-ayat Allah untuk mengabsahkan ‘pembenaran’
terhadap kebijakan penguasa. Mereka sibuk menumpuk kekayaan
dan mengibarkan panji-panji kemasyhuran pribadi. Mereka
membangun dinding-dinding kemunafikan untuk melindungi
kepentingan pribadinya. Dan dari dalam dinding-dinding
kemunafikannya itu mereka diam-diam sering membidikkan
panah-panah fitnah beracun terhadap ulama lain yang berbeda
kepentingan.”

“Sungguh, mereka semua telah bersekongkol dalam kejahatan


menjijikkan. Mereka telah menjadi pengkhianat citra Ilahi yang
tersembunyi di balik Asma’, Shifat, danAf’al Zat Yang Maha Merajai
(al-Malik al-Mulki) dan Maha Mengetahui (al-‘Alim) segala sesuatu.
Seluruh penduduk negeri pun sudah mafhum bahwa nilai
kebenaran, kekuasaan, kesetiaan, kehormatan, dan kemuliaan di
negeri ini ditentukan oleh kepintaran menjilat dan menyuap. Jika
ada di antara penduduk yang berkata bahwa dia masih melihat
1986
orang-orang bersembahyang di masjid-masjid, maka aku katakan
bahwa bagi mereka yang memiliki mata batin akan menyaksikan
betapa sebagian besar di antara mereka yang bersembahyang itu
sejatinya tanpa membawa iman. Betapa banyak di antara mereka
seusai sembahyang menjadi perampok, penggarong, pencuri,
perampas, penyiksa, dan pembunuh. Betapa banyak di antara
orang-orang yang bersembahyang itu lebih cocok disebut kaum
beragama yang tidak beriman. Akankah Tuhan tidak mengetahui
kemunafikan makhluk-makhluk terkutuk itu? Akankah Tuhan
membiarkan makhluk-makhluk terkutuk itu mengkhianati dan
menista citra keagungan Asma’, Af’al, dan Shifat-Nya?”

“Sesungguhnya para pengkhianat Tuhan itu sama bejatnya


dengan pelacur, tetapi kedudukan mereka jauh lebih rendah dan
nista. Kenapa aku katakan para hakim pejabat negeri, dan ulama
yang mengkhianati al-Hakim, al-Hakam, al-‘Adl, al-Haqq, al-Hadi,
al-Hasib, al-Waly, al-Malik al-Mulki, al-‘Alim, dan al-Karim itu lebih
rendah dan lebih nista dibanding pelacur? Sebab, pelacur adalah
manusia-manusia yang mengkhianati citra ar-rahim, yang diambil
dari nama-Nya, yaitu ar-Rahim (hadits Qudsy: ar-rahim syaqaqtu
laha asma’an min ismi). Para pelacur telah berkhianat karena
memperdagangkan citra ar-Rahim dengan harga murah. Tetapi
aku katakan, kedudukan para pelacur jauh lebih tinggi dibanding
hakim, pejabat negeri, dan ulama yang mengkhianati citra Ilahi
yang mereka wakili.”

“Jika engkau bertanya kenapa aku menempatkan kedudukan


pelacur lebih tinggi dibanding hakim, pejabat negeri, dan ulama
1987
yang mengkhianati citra Ilahi? Maka aku katakan, kedudukan
pelacur memang lebih tinggi daripada mereka. Sebab di mana pun
pelacur-pelacur berada, mereka selalu sadar akan kedudukannya
yang rendah dan nista di mata manusia dan dalam pandangan
Tuhan. Pelacur-pelacur selalu sadar bahwa mereka adalah orang
kotor yang berlumur dosa. Tetapi para hakim, pejabat negeri, dan
ulama yang mengkhianati citra Ilahi justru menganggap diri mereka
mulia dan terhormat di hadapan manusia dan Tuhan. Sungguh
muak aku melihat mereka. Muak. Muak. Seribu kali muak. Lantaran
itu, jika hukuman Allah untuk para penzina yang menista citra ar-
Rahim adalah rajam maka hukuman apakah yang paling layak
untuk hakim, pejabat negeri, dan ulama yang mengkhianati citra
Tuhannya? Salahkah aku jika mengatakan bahwa negeri Malaka
yang penuh diliputi kebusukan oleh tindakan penduduknya itu
sejatinya sedang terancam lecutan cambuk Tuhan yang tak
terbayangkan pedihnya?”

“Aku paham tentang apa yang engkau ucapkan, o Saudaraku,”


kata Datuk Musa. “Tetapi, apa yang akan aku lakukan di
pedalaman? Bukankah aku ini seorang saudagar, bukan guru
agama yang zuhud?”

“Aku tidak menyarankan engkau hijrah dari bandar Malaka untuk


menjadi pertapa. Aku juga tidak menyarankan engkau tinggal
sangat jauh dari Malaka. Aku hanya menyarankan engkau
berhijrah dengan keluargamu dari bandar Malaka dengan tujuan
utama menghindari kuatnya pengaruh kebendaan dan sekaligus
membangun benteng Tauhid baru di pedalaman. Aku tahu, ini
1988
sangat berat bagi saudagar besar sepertimu yang selama ini
terseret pusaran benda-benda dan uang dengan hitungan untung
dan rugi. Tetapi, aku yakin engkau akan mampu menjadi guru
agama penegak Tauhid,” kata Abdul Jalil.

“Terus terang, itu yang aku susah laksanakan,” Datuk Musa


menarik napas berat. “Sebagaimana engkau tahu, sejak muda aku
sudah bergelut dengan dunia perniagaan. Bagaimana mungkin
aku menjadi guru agama? Bagaimana mungkin aku yang terbiasa
di kota besar harus tinggal di pedalaman yang sepi? Di samping
itu, bekal apa yang aku punyai untuk menjadi guru agama?”

“Tidakkah engkau sudah paham dengan kehidupan Rasulullah


Saw.? bukankah dia awalnya juga seorang saudagar? Jika
Rasulullah Saw. yang dikenal sebagai saudagar bisa menjadi
pengajar Tauhid termasyhur sepanjang zaman, apakah suatu hal
mustahil jika engkau sebagai keturunannya mengikuti jejaknya?
Bukankah dia tidak pernah memiliki pengalaman menjadi guru
agama?” kata Abdul Jalil.

“Rasulullah Saw. memang sudah dipilih Allah untuk menjalankan


risalah-Nya. Tapi aku? Siapakah aku ini? Bisa apa akku dalam hal
agama?” Datuk Musa berkelit.

“Rasulullah Saw. adalah seorang ummi, yang tidak bisa membaca


dan menulis. Dia tidak pernah belajar pengetahuan agama dari
1989
siapa pun. Dia tidak pernah kenal agama-agama besar. Bahkan
saat pertama kali bertemu Jibril a.s., dia tidak mengetahui jika Jibril
adalah malaikat utusan Allah. Dia benar-benar tidak memiliki
pengetahuan apa-apa yang bisa dijadikan pijakan untuk
menyampaikan risalah Ilahi. Tetapi, dia dengan segala
keterbatasannya bersedia meninggalkan perniagaan demi
perjuangan menegakkan Tauhid. Dia rela meninggalkan tanah
kelahirannya demi menyampaikan risalah Ilahi. Dia rela kehilangan
semua harta kekayaannya demi tersiarnya ajaran suci pembimbing
manusia ke jalan Tauhid. Sementara engkau? Bukankah sejak
kecil engkau sudah dididik dalam lingkungan agama yang ketat?
Bukankah pengetahuan tentang agama jauh lebih luas dan
mendalam dibanding kawan-kawanmu sesama saudagar?
Bukankah sebagai murid ruhani Syaikh Dara Putih, masalah
Tauhid bukan sesuatu yang asing bagimu?”

“Sesungguhnya, menurut penilaianku, engkau adalah laki-laki


yang takut dengan bayangan angan-anganmu sendiri yang
memanjang dalam kegelapan alam pikiranmu. Engkau takut
berkata benar di tengah dunia perniagaan yang penuh kecurangan
dan kelicikan. Sebab, dengan berkata benar maka bayangan
angan-anganmu akan mengatakan bahwa engkau akan
kehilangan sekian banyak keuntungan dan malah akan terputus
dari hubungan dengan saudagar lain. Engkau bahkan sangat takut
oleh bayangan angan-anganmu tentang keberadaan dirimu yang
akan ditertawakan para saudagar ketika berkata benar dalam
berniaga. Bayangan angan-angan yang engkau takuti itu, o
Saudaraku, pernah dialami oleh Nabi Yunus a.s. saat diperintah
Allah berdakwah di negeri Niniveh. Apakah engkau ingin
1990
mengalami nasib seperti Nabi Yunus yang ditelan ikan raksasa
karena ingin menghindari perintah?” tanya Abdul Jalil.

Datuk Musa menarik napas panjang berulang-ulang. Dia mengakui


dalam hati bahwa kesadarannya saat itu memang sedang diaduk-
aduk oleh bayangan angan-angan yang menakutkan yang
memanjang dan melingkar-lingkar dari alam pikirannya sendiri.
Setelah merenung-renung beberapa jenak, ia mengembuskan
napas sambil berkata, “Jika harus hijrah meninggalkan bandar
Malaka, aku pikir itu bukan sesuatu yang susah bagiku. Tetapi, apa
yang bisa aku lakukan di luar Malaka? Aku tidak memiliki
kemampuan apa-apa untuk menjadi guru agama.”

“Engkau boleh berkilah dengan macam-macam alasan, o


Saudaraku. Tetapi bagi mereka yang memiliki penglihatan batin,
tidak akan syak lagi bahwa engkau sejatinya telah menduduki
maqam cukup tinggi dalam dunia ruhani. Untuk itu, aku berani
memintakan kepada Syaikh Dara Putih, mursyid panutanmu, agar
dia berkenan mengangkatmu sebagai khalifahnya. Sebab menurut
penilaianku, engkau sudah layak menduduki jabatan khalifah
Tarekat Kubrawiyyah. Bukankah demikian, Tuan Syaikh?” tanya
Abdul Jalil memandang Syaikh Dara Putih.

Syaikh Dara Putih mengangguk dan berkata, “Sesungguhnya,


sudah cukup lama aku akan membicarakan hal ini kepadanya,
Tuan Syaikh. Tetapi aku khawatir timbul fitnah bahwa aku memiliki

1991
pamrih pribadi. Maklum, tidak semua orang di negeri ini memiliki
kearifan seperti Tuan Syaikh.”

“Ya, kami paham dengan kekhawatiran Tuan,” kata Abdul Jalil


mengalihkan pandangan ke arah Datuk Musa. “Lantaran itu,
sebagai batu ujian pertama bagi engkau, o Saudaraku, cepat-
cepatlah engkau hijrah ke pedalaman. Biarlah rumah kediamanmu
yang megah ini dijadikan tempat oleh Syaikh Dara Putih untuk
mengajarkan Tauhid di kota yang terancam murka Tuhan ini.
Engkau tidak perlu menaruh curiga bahwa dia akan menjadikan
rumah ini sebagai miliknya pribadi.”

“O tidak, Saudaraku,” tukas Datuk Musa tergagap, “Aku justru akan


mengamanatkan rumah ini kepada guruku untuk dijadikan tempat
pengajar Tauhid yang utama. Tetapi, aku sendiri belum tahu apa
yang harus aku lakukan jika tinggal di pedalaman.”

“Engkau hendaknya menjadi pengajar Tauhid di tempatmu yang


baru. Maksudku, sudah waktunya engkau menjadi khalifah tarekat
yang mengajarkan Tarekat Kubrawiyyah kepada masyarakat.
Mudah-mudahan dengan semakin banyak orang mengajar tarekat
maka nilai-nilai Tauhid akan tegak di negeri ini,” kata Abdul Jalil.

Datuk Musa termangu-mangu. Dia merasakan ada sesuatu yang


disentakkan keras dari dadanya sehingga dia merasa kehilangan
sesuatu dari dadanya. Ia merasakan semacam kekosongan
1992
menguasai jiwanya. Sejenak kemudian dia bertanya, “Kenapa
engkau sangat yakin jika Malaka bakal dilecut cambuk Tuhan, o
Saudaraku? Apakah menurutmu negeri Jawa tidak akan terkena
lecutan cambuk Tuhan?”

“Semua negeri sesungguhnya selalu diintai oleh murka Tuhan.


Tidak terkecuali negeri Jawa, sewaktu-waktu akan luluh-lantak
dilecut cambuk-Nya jika penduduknya telah menyeleweng dari
Tauhid. Jika aku berani berkata bahwa Malaka akan dilecut
cambuk Tuhan, itu bukan mengada-ada. Sebab, telah aku
saksikan dengan mata indriawi dan mata batinku, betapa para
penguasa dan ulama di negeri ini beserta kaki tangannya telah
memberhalakan pangkat, jabatan, kekuasaan, kekayaan,
kemasyhuran. Mereka sibuk berselisih merebut kedudukan
duniawi seolah-olah kehidupan di dunia ini langgeng. Fitnah pun
bergentayangan seperti hantu.”

“Suka atau tidak suka, kebenaran harus diungkapkan.


Sesungguhnya, aku dan engkau telah tahu bahwa kebanyakan
orang di bandar Malaka ini telah menjadi buta mata hatinya, tuli
telinga jiwanya, dan kelu lidah ruhaninya akibat terseret nafsu
rendah duniawi. Dengan pandangan mata batin, kita akan
menyaksikan bahwa jiwa mereka adalah jiwa lintah darat, buaya
darat, serigala licik, musang penipu, dan burung nazar pemakan
bangkai. Dengan keganasan menakjubkan, kita telah menyaksikan
bagaimana mereka memangsa sesamanya. Sungguh menjijikkan
mereka itu bagiku. Jijik aku. Seribu kali jijik.”

1993
“Jika engkau bertanya tentang kemungkinan negeri Jawa akan
dihajar cambuk Tuhan, maka aku katakan bahwa hal itu tidak akan
terjadi selama pemimpin-pemimpin di sana menjalankan tugas
dengan baik. Ketahuilah, o Saudaraku, di Jawa sudah terbentuk
suatu tatanan pemerintahan yang berasaskan Tauhid. Di Jawa
sekarang ini selain terdapat sultan sebagai pemimpin persekutuan
raja-raja, juga terdapat sebuah Majelis Guru Suci (syura al-
masyayikh) yang beranggotakan para pemimpin ruhani yang
disebut Wali Songo. Majelis itu anggotanya terdiri atas para guru
suci tarekat-tarekat. Mereka memiliki peran dan tugas utama
mengatur kehidupan penduduk dalam hal Tauhid. Majelis itu
mempersatukan dan sekaligus menjadi naungan ruhani bagi
kadipaten-kadipaten di Nusa Jawa. Majelis berkewajiban
menegakkan akidah dan akhlak bagi seluruh penduduk negeri.
Mereka memiliki tugas utama menyusun rancangan dakwa untuk
mentauhidkan penduduk dan menyerahkan rancangan tersebut
kepada sultan untuk dilaksanakan. Majelis memiliki kewenangan
untuk melantik sultan yang merupakan pemimpin tertinggi dari
persekutuan raja-raja di Nusa Jawa. Majelis berhak mengontrol
tindakan sultan dan raja-raja di Jawa yang berkaitan dengan
pelaksanaan agama. Majelis juga berhak menolak pelantikan
sultan yang dinilai kurang mampu atau kurang sesuai menurut
ketentuan agama.”

“Dengan tatanan baru yang diterapkan di Jawa itu, tugas utama


seorang sultan, di samping mengatur pemerintahan, adalah
menjalankan rancangan Majelis Wali Songo untuk mentauhidkan
seluruh penduduk negeri. Sebab, dengan bertauhidnya penduduk
sebuah negeri hingga kebanyakan di antara mereka itu menduduki
1994
martabat orang-orang yang takwa (qaum al-muttaqin), dipastikan
Allah akan melimpahkan keberkahan dari langit dan bumi (QS. al-
A’raf: 96) sehingga masalah keamanan, ketentraman, kedamaian,
keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan akan datang dengan
sendirinya. Dengan demikian, selama Majelis Wali Songo, sultan,
dan raja-raja di Nusa Jawa setia menjalankan tugas masing-
masing, pastilah negeri Jawa akan terhindar dari lecutan cambuk
Tuhan yang pedih.”

“Sejauh ini aku menyaksikan sendiri betapa Majelis Wali Songo,


sultan, dan raja-raja di Jawa telah menjalankan tugasnya dengan
baik. Pengajaran Tauhid berlangsung ramai di Nusa Jawa.
Lantaran itu, aku yakin negeri Jawa tidak akan dilecut oleh cambuk
Tuhan. Aku yakin Portugis tidak akan bisa menginjakkan kaki di
Nusa Jawa. Sementara di Malaka, di mana sultan dan bendahara
raja sibuk berebut kuasa, akidah penduduk menjadi sangat
merosot karena para ulama ikut terlibat dalam perebutan itu. Dan
sebagaimana yang sudah kita saksikan bersama, setiap orang
mengetahui bagaimana di Malaka ini hukum peradilan
diperjualbelikan dengan murah, peraturan niaga dipermainkan di
tengah suap, keadilan dijungkirbalikkan oleh penawar tertinggi,
fatwa palsu yang memutar-balik ayat Ilahi, dan riba yang mencekik
tersebar merata di mana-mana. Kebenaran sudah tersilap oleh
bayangan hitam benda-benda, kaum beragama saling bunuh,
fitnah merajalela, kecurangan menyelinap di segenap penjuru,
kejahatan menggumpal laksana awan yang siap menurunkan
hujan. Akankah keberkahan Ilahi melimpahi negeri ini?” kata Abdul
Jalil.

1995
“Aku paham,” kata Datuk Musa. “Aku berencana akan membuka
pemukiman baru di dekat Sepang, kampung halaman istriku.
Tetapi daerah itu terkenal sangat angker. Aku tidak memiliki
pengetahuan sedikit pun untuk membuka daerah-daerah gawat
semacam itu.”

“Biarlah Raden Sahid tinggal beberapa waktu untuk membantumu


membuka daerah-daerah baru. Dia sudah bertahun-tahun
bersamaku membuka daerah-daerah baru di Jawa. Aku kira,
engkau cukup membuka empat tempat di sekitar Malaka,” kata
Abdul Jalil.

“Empat tempat?” seru Datuk Musa heran.

“Ya, di tempat yang memiliki kaitan dengan perlambang tanah


merah, kuning, putih, dan hitam.”

“Kenapa harus empat? Kenapa harus merah, kuning, putih, dan


hitam?” Datuk Musa belum paham.

“Sebab, jasadmu terbentuk dari tanah yang melambangkan empat


jenis nafsu: Lawwammah adalah anasir tanah berwarna hitam,
Sufliyyah adalah anasir air berwarna kuning, Ammarah adalah
anasir api berwarna merah, dan Muthma’innah adalah anasir angin
berwarna putih. Keempat jenis nafsu itu harus dipancari oleh
1996
cahaya ruh yang memancar dari-Nya, yaitu Ruh al-Idhafi, Ruh al-
Haqq, dan al-Haqq. Tanpa dipancari cahaya Kebenaran dari al-
Haqq maka manusia akan tinggal dalam kesesatan karena
hidupnya dikuasai nafsu-nafsunya yang gelap.”

1997
Kue Appam dan Orang-Orang Takut

Pada pengujung abad ke-16 pelabuhan Muara


Jati (sekarang Cirebon) merupakan pelabuhan
yang rama melebihi pelabuhan Dermayu
(Indramayu). Dari berbagai tempat di
pedalaman hingga berbagai bandar besar di
timur dan barat, perahu dan kapal
membongkar dan memunggah muatan di situ. Kawasan di sekitar
pelabuhan yang semula merupakan hutan pohon kelapa telah
ditumbuhi bangunan-bangunan besar: gudang-gudang, galangan
kapal, kantor syahbandar, kantor pabean, pasar ikan, kedai-kedai
makanan, dan sekumpulan rumah yang berkerumun di
perkampungan nelayan yang terletak di sebelah selatan
pelabuhan.

Abdul Jalil yang kembali ke Caruban beserta istri dan anaknya


terkejut sewaktu menginjakkan kaki di dermaga pelabuhan Muara
Jati. Ia merasa ada sesuatu yang berubah di situ. Matanya yang
tajam memandang ke jajaran pohon kelapa yang menghutan di
sepanjang pantai sebelah utara pelabuhan. Saat itu cahaya
matahari sore yang tersisa di cakrawala sudah meredup
kemerahan ditabiri awan kapas yang tampak menaungi pohon-
pohon kelapa yang bayangannya memanjang dan menghitam
seolah menyatu dengan selimut senjakala. Pandangannya tiba-
tiba terpaku pada sesuatu yang baru: di antara pohon-pohon
kelapa yang menghutan di utara pelabuhan, terlihat kerumunan
rumah baru berdesak-desakkan dengan sebuah tajug beratap
1998
tingkat tiga, tajug khas Kerala, terlihat berdiri tegak di ujung selatan
kampung.

Abdul Jalil heran dan bertanya-tanya dalam hati kapan kerumunan


rumah baru itu dibangun orang di situ. Barang setahun silam, saat
ia untuk kali terakhir meninggalkan Caruban, kawasan di utara
pelabuhan itu masih berupa hutan kelapa. Setelah terdiam
sejenak, ia mendatangi perkampungan baru itu. Namun, di tengah
perjalanan ia melihat dua orang pemuda sedang berjalan sambil
bercanda. Mereka berbicara satu sama lain dengan menggunakan
bahasa Malayalam, bahasa yang digunakan penduduk Kerala.

Ketika jarak mereka sudah dekat, Abdul Jalil menyapa mereka


dengan bahasa Malayalam. Dua pemuda itu terkejut dan buru-buru
menghormat takzim saat melihat orang yang menyapa mereka
mengenakan jubah dan surban warna hitam. Mereka cepat sadar
bahwa mereka sedang berhadapan dengan seorang ulama yang
wajib mereka hormati. Lantaran itu, dengan sikap sangat
merendah mereka menyalami Abdul Jalil. Mereka
memperkenalkan diri sebagai Ali Ladka Musliyar dan Hasan Mali
Pokkar, warga Muara Jati asal Kozhikode. Rupanya, mereka
menduga Abdul Jalil orang Mappila yang baru datang ke Caruban.
Dengan sedikit pertanyaan dari Abdul Jalil, mereka mengaku
sebagai pengungsi dari Kozhikode karena dicari-cari Portugis.
“Kami pergi meninggalkan kampung halaman kami setelah
Portugis menembaki kota dengan meriam dan mengancam akan
membunuh seluruh warga muslim Kozhikode,” ujar Ali Ladka
Musliyar.
1999
“Berapa orang warga Kozhikode yang menyingkir waktu itu?” tanya
Abdul Jalil ingin tahu.

“Sekitar dua ribu orang, Tuan Syaikh.”

“Semuanya tinggal di sini?”

“Tidak Tuan Syaikh. Yang tinggal di sini hanya empat ratus orang.
Saudara kami yang lain ada yang tinggal di Pasai, Malaka, Demak,
Tuban, dan Gresik,” kata Ali Ladka Musliyar.

“Siapa pemimpin kalian di sini?”

“Lebai Musa Chenda, Tuan Syaikh.”

“Kalian dipimpin seorang lebai? Seorang saudagar?” tanya Abdul


Jalil heran.

“Maksud kami, di Caruban ini kami memang dipimpin oleh Lebai


Musa Chenda. Sebab, Yang Dipertuan Caruban menunjuk dia
sebagai pemimpin kami. Tetapi, panutan kami yang sebenarnya
adalah Tuan Guru Kasim Kharab Andhkar. Beliau adalah guru dari
Lebai Musa Chenda, Tuan Syaikh.”
2000
Abdul Jalil diam. Ia ingat, saat berada di Kozhikode ia pernah
mendengar nama Musa Chenda, seorang saudagar kaya, yang
menjadi salah seorang pemimpin penyerangan terhadap armada
Portugis yang dipimpin Pedro Alvares Cabral. Ternyata, saudagar
kaya itu sekarang tinggal di Muara Jati. Setelah diam sejenak, ia
bertanya, “Akan ke manakah kalian sekarang ini?”

“Kami mau ke tajug, Tuan Syaikh. Nanti bakdal maghrib ada


upacara Nercha.”

“O begitu,” kata Abdul Jalil, “Tapi mana kue appam kalian?”

“Adik-adik kami sudah membawanya ke tajug, Tuan Syaikh.”

“Oya, apakah kalian sudah mendengar kabar tentang serbuan


pasukan Kozhikode di bawah Laksamana Kunjali Marakkar ke
pangkalan Portugis di Cochazhi?”

“Pasukan Kozhikode menyerang Portugis di Cochazhi? Kami


belum mendengar kabar itu, Tuan Syaikh,” seru Ali Ladka Musliyar
dengan mata berbinar-binar dan dada naik turun. “Kapan peristiwa
itu terjadi?”

2001
“Kira-kira tiga pekan lalu. Aku dengar kabar itu saat berada di
Malaka.”

“Apakah Yang Mulia Laksamana Kunjali Marakkar berhasil


menghancurkan armada Portugis?”

“Aku tidak tahu pasti. Aku hanya mendengar kalau orang-orang


Portugis dan Raja Cochazhi lari tunggang langgang meninggalkan
kota. Kantor dan gudang-gudang mereka dihancurkan. Orang
bilang, mereka bersembunyi di pulau Vypin,” tegas Abdul Jalil.

Dengan wajah diliputi kegembiraan, Ali Ladka Musliyar dan Hasan


Mali Pokkar saling pandang. Kemudian, dengan dada naik turun
mereka buru-buru berpamitan kepada Abdul Jalil untuk kembali ke
kampungnya. “Kami harus menyampaikan kabar gembira ini
kepada saudara-saudara kami. Terima kasih, Tuan Syaikh. Terima
kasih.”

Abdul Jalil tertawa melihat dua pemuda Kerala itu membalikkan


badan, berlari pulang ke rumahnya.

Ketika akan melanjutkan perjalanan ke tajug di kampung orang-


orang Kerala, Abdul Jalil melihat sekawanan anak laki-laki
beranjak dewasa datang dari arah perkampungan nelayan di
selatan. Anak-anak berusia sepuluh hingga tiga belas tahun itu
2002
menyunggi tampah berisi kue appam dan pisang. Kelihatannya
mereka memiliki tujuan yang sama dengan dua pemuda
Kozhikode, yaitu ke tajug untuk mengikuti upacara Nercha. Abdul
Jalil menyapa salah seorang anak yang paling besar. Anak laki-laki
yang kemudian diketahui bernama Enceng itu adalah anak nelayan
setempat. Dia mengaku akan pergi ke tajug untuk mengikuti
upacara Kenduri Neja bersama warga kampung baru. Bakdal
maghrib, ungkap Enceng, semua penduduk akan berkumpul di
tajug untuk mengikuti kenduri Neja dengan membawa sesaji kue
Appam dan pisang.

“Ada hajat apakah orang-orang mengadakan Kenduri Neja


maghrib nanti?” tanya Abdul Jalil tersenyum geli karena Enceng
mengucapkan nercha dengan lafal neja, yang secara kebetulan di
dalam bahasa Sunda bermakna permohonan.

“Negeri Caruban sedang perang, Tuan Syaikh. Orang-orang kafir


dari Galuh Pakuwan keluar sarang. Mereka akan menyerang kuta
dan membunuh semua penduduk. Semua orang ketakutan. Kami
mengikuti Kenduri Neja untuk meminta tolong arwah leluhur dan
arwah-arwah pelindung desa agar berkenan memberikan
perlindungan kepada kami semua,” ujar Enceng polos.

“Caruban sedang berperang?” seru Abdul Jalil terkejut, “Caruban


diserang Galuh Pakuwan?”

2003
“Apakah Tuan Syaikh belum mengetahui kabar itu?”

Abdul Jalil diam. Sejurus kemudian ia menguji keberanian anak


yang baru beranjak dewasa itu dengan bertanya, “Jika negeri
Caruban sedang perang, kenapa engkau dan kawan-kawanmu
tidak ikut berperang mengangkat senjata? Kenapa engkau tidak
membantu Yang Dipertuan Caruban melawan serangan musuh?”

Enceng terdiam. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Tapi, setelah
menoleh ke arah kawan-kawannya, dengan terbata-bata dia
berkata, “Kami belum dianggap dewasa, Tuan Syaikh. Bapak dan
kakak-kakak kami sudah berangkat ke medan perang dipimpin Ki
Dipati Suranenggala. Ibu kami menyuruh kami mengikuti Kenduri
Neja agar arwah leluhur kami dan arwah pelindung desa kami
berkenan melindungi bapak dan kakak-kakak kami.”

“Tolong jelaskan kepada aku, o Anak Muda, kenapa engkau


membawa kue appam dan pisang?” tanya Abdul Jalil ingin
mengetahui pemahaman Enceng tentang kue appam yang
digunakannya sebagai sesaji dalam Kenduri Neja, yang di negeri
asalnya, Kerala, disebut upacara Nercha. “Bukankah orang
Caruban tidak pernah menggunakan kue appam dalam kenduri?”

“Kami tidak tahu, Tuan Syaikh. Kami hanya mengikuti perintah ibu
kami. Ibu kami pun mengikuti suruhan guru mengaji kami, Tuan
Guru Kasim Kharab Andhkar,” kata Enceng polos.
2004
“Apakah ibumu tidak pernah memberi tahumu tentang guna dan
manfaat dari kue appam dalam upacara Kenduri Neja itu?” tanya
Abdul Jalil.

“Pernah, Tuan Syaikh. Ibu kaimi menerangkan jika kue appam


adalah sesaji yang sangat disukai arwah leluhur dan arwah
pelindung desa.”

“Apakah menurutmu arwah masih suka menyantap makanan dunia


seperti kue appam?”

“Kami tidak tahu, Tuan Syaikh. Kami hanya mengikuti apa yang
diajarkan ibu kami. Menurutnya, arwah orang mati memang suka
sekali mengisap saripati kue appam.”

“Selain arwah orang mati suka saripati kue appam, apa lagi yang
dikatakan ibumu?”

“Kata ibu, kue appam sangat berguna bagi kehidupan di alam


kubur dan di alam akhirat,” kata Enceng.

“Kue appam sangat berguna di alam kubur dan alam akhirat?”

2005
“Itu benar, Tuan Syaikh.”

“Apa maksudnya? Tolong jelaskan. Aku belum paham.”

“Menurut ibu, kue appam bisa dijadikan alat perlindungan dalam


kehidupan sesudah mati.”

“Kue appam bisa dijadikan sarana perlindungan sesudah mati?”


Abdul Jalil mengerutkan kening.

“Benar demikian, Tuan Syaikh.”

“Alat perlindungan apa yang engkau maksud, o Anak Muda?”

“Menurut ibu, kue appam bisa digunakan untuk melindungi diri dari
hal-hal mengerikan baik di alam kubur maupun di alam akhirat.”

“Melindungi diri dari hal-hal mengerikan? Aku masih belum paham.


Apa maksudnya itu?”

“Bukankah di padang mahsyar di akhirat nanti, pada waktu kiamat,


matahari jaraknya hanya sejengkal di atas kepala manusia?
2006
Bukankah saat itu seluruh makhluk akan kepanasan dan banyak di
antaranya yang terbakar hangus? Pada saat itulah, menurut ibu
kami, kue appam yang pernah disajikan pada upacara Kenduri
Neja akan bisa dijadikan payung untuk menaungi kita dari
sengatan panas matahari,” kata Enceng.

“Kue appam untuk payung?” Abdul Jalil menarik napas panjang


sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Adakah kegunaan lain kue
appam selain itu?”

“Ada, Tuan Syaikh.”

“Apa itu?”

“Menurut ibu kami, kalau kita di alam kubur dipukuli malaikat


dengan gada, kue appam bisa dijadikan perisai untuk menangkis
pukulan malaikat yang bertubi-tubi.”

“O begitu,” ujar Abdul Jalil terbahak. “Kalau begitu, pisang yang


disajikan bersama kue appam itu tentunya akan bisa dijadikan
senjata untuk melawan malaikat?”

“Memang begitu yang diajarkan ibu kepada kami, Tuan Syaikh.


Kami hanya mengikuti petunjuk ibu.”
2007
Abdul Jalil tertawa dan mempersilakan Enceng dan kawan-
kawannya ke tajug. Kemudian, dengan tatapan lain, ia
memandang Enceng dan kawan-kawannya yang berjalan
beriringan menyunggi kue appam. Ia termangu sambil menarik
napas panjang berulang-ulang. Dari sekilas peristiwa yang
ditemuinya, ia mendapati kenyataan betapa keyakinan orang-
orang muslim asal Kerala yang aneh itu begitu cepat diikuti oleh
penduduk awam, terutama para perempuan dan anak-anak. Ia
mengira, cepat atau lambat keyakinan-keyakinan aneh itu akan
menular ke tempat lain seperti Samarang, Demak, Jepara, Tuban,
dan Gresik yang dijadikan tempat mengungsi orang-orang Kerala.
Ia paham, betapa keyakinan aneh itu akan cepat diikuti kalangan
awam yang sedang diguncang peristiwa menggetarkan seperti
perang dan bencana, terutama pada saat jiwa manusia dicekam
rasa takut yang berkeliaran bagai kawanan hantu di tengah
kegelapan. Ya, ia sadar betapa keyakinan-keyakinan aneh itu jauh
lebih sederhana dan memiliki cekam gegwantuhwan (takhayul)
dibanding ajaran Tauhid yang disampaikannya melalui Sasyahidan
yang butuh penalaran, perenungan, wawasan, kebijaksanaan, dan
amaliah yang tidak menarik.

Senja itu, ketika awan kapas berubah menjadi gumpalan mendung


hitam, Abdul Jalil dengan istri dan anaknya terlihat berjalan di
antara batang-batang pohon kelapa menuju pondok Pesantren Giri
Amparan Jati. Sejak mengikuti sembahyang maghrib di tajug
orang-orang Kozhikode hingga perjalanan ke pondok, ia
menangkap suasana mencekam membias pada wajah setiap
orang yang dijumpainya. Di jalan ia melihat hampir setiap wajah
diliputi rasa was-was dan curiga. Semua orang yang berada di luar
2008
rumah selalu membawa senjata dan mengawasi siapa saja yang
mereka temui dengan pandang penuh kecurigaan.

Di tengah perjalanan, ketika berada di Kalisapu, ia bertemu dengan


Ki Gedeng Jatimerta yang sedang mengumpulkan penduduk
Kalisapu untuk diajak ke medan perang menghadapi musuh.
Berdasar penuturan Ki Gedeng Jatimerta, ia mengetahui jika
keadaan Caruban saat itu memang sedang genting, karena
terancam serbuan besar-besaran pasukan Galuh Pakuwan.
Pasukan Galuh Pakuwan yang memiliki tetunggul-tetunggul sakti
mandraguna dan masih didukung pula oleh tetunggul dari Talaga
dan Rajagaluh telah bergerak menuju kuta Caruban. Jumlah
seluruh kekuatan mereka, kabarnya, lebih dari setengah juta
pasukan.

Sekalipun Caruban sedang dicekam suasana genting, dengan


penduduk yang merasa cemas akibat simpang-siurnya kabar yang
tak jelas sumbernya, suasana sangat berbeda dengan rentang
waktu Caruban bertempur melawan Rajagaluh. Saat menghadapi
Galuh Pakuwan sekarang ini tidak ada satu pun di antara
penduduk Caruban yang mengungsi. “Seluruh penduduk Caruban
telah bertekad untuk mempertahankan tanah miliknya sampai titik
darah yang penghabisan. Seluruh penduduk sudah bersumpah
akan melawan sampai titik darah terakhir.”

Mendengar tekad penduduk itu, Abdul Jalil sangat senang. Sebab,


apa yang telah diajarkannya, terutama tentang hak milik pribadi
2009
dari wakil al-Malik di muka bumi, telah dipahami dan dijadikan sikap
hidup oleh penduduk Caruban. Bahkan, para Gede sebagai kepala
wisaya dan sekaligus pemimpin kabilah pun telah memiliki sikap
yang tegas dan jelas dalam menempatkan keberadaan dirinya
sebagai wakil al-Malik (khalifah al-Malik fi al-ardh) sekaligus wakil
al-Wakil (khalifah al-Wakil fi al-ardh) yang dipilih penduduk, yaitu
dengan tanggap dan tangkas menggalang kekuatan penduduk
yang diwakilinya untuk melawan musuh yang akan menyerang
wilayahnya. Caruban memang pantas disebut Garage, Nagara
Gede, pejabat daerah yang dipimpin dan diatur oleh para Gede,
pejabat daerah yang dipilih masyarakat, kata Abdul Jalil dalam hati.

Setelah berbincang-bincang beberapa bentar dengan Ki Gedeng


Jatimerta, Abdul Jalil melanjutkan perjalanan ke Giri Amparan Jati.
Ternyata, suasana mencekam tetap ia rasakan sampai saat ia
memasuki gerbang pondok pesantren. Ia mendapati setiap wajah
yang dijumpai selalu ditandai ketegangan. Wajah-wajah yang
pucat, kuyu, dan sorot mata yang diliputi rasa curiga. Empat-lima
orang anak laki-laki berusia belasan tahun dan anak-anak kecil
yang merupakan santri pondok, ia lihat berkeliaran di sekitar
gerbang dengan membawa obor dan sarung yang diisi bongkahan
batu. Anak-anak itu memandang curiga kepada siapa saja yang
tidak mereka kenal. Beberapa di antara mereka terlihat membawa
pentungan kayu. Dengan mengendap-endap, mereka menyelinap
di balik batang pohon-pohon jati yang menghutan di sekitar
pondok.

2010
Abdul Jalil menarik napas panjang melihat suasana yang
melingkupi pesantren tempat ia pernah di tempa itu. Suasana asri
dan damai yang mencitrai pesantren, saat-saat senja hari seperti
sekarang ini selalu diwarnai alunan suara anak-anak mengaji atau
menghafal pelajaran dengan nyanyian, tiba-tiba telah berubah
mencekam. Benderang nyala pelita yang menghiasi tiap-tiap
bangunan di lingkungan pesantren tidak lagi terlihat. Semua pelita
dipadamkan. Sejauh mata memandang, hanya keremangan
senjakala menyelimuti pohon-pohon jati dengan kelebatan
bayangan santri-santri kecil di sekitar gerbang. Sejauh telinga
mendengar, hanya nyanyian serangga dan cacing tanah yang
terdengar bersahutan di tengah gemerisik daun-daun jati kering
yang diserakkan angin ke berbagai arah.

Suasana mencekam di pondok berubah hiruk pikuk ketika Abdul


Jalil yang disertai istri dan anaknya memasuki kawawan dalam
pondok. Entah bagaimana awalnya, tiba-tiba saja berpuluh-puluh
santri yang rata-rata terdiri atas anak-anak usia sepuluh dan dua
belas tahun berhamburan dari berbagai arah bagaikan kawanan
lebah keluar sarang. Dengan berteriak-teriak dan sebagian
menangis ketakutan, mereka berebut saling berdesak dan dorong
untuk mendekati Abdul Jalil. Mereka yang di depan berebut
menyalami sambil menciumi tangan Abdul Jalil. Tidak cukup
menyalami dan mencium tangan, mereka merangkul dan
menciumi kaki Abdul Jalil. Bahkan, santri-santri di belakang
mereka berebut memegangi dan menarik-narik jubahnya. Mereka
terlibat saling desak dan saling dorong sehingga istri dan anak
Abdul Jalil tergeser oleh pusaran arus santri sampai tersingkir
keluar gerbang pondok.
2011
Abdul Jalil kebingungan dikerubuti santri-santri kecil itu buru-buru
menyambar bahu seorang santri agak besar yang berada di
dekatnya. Dengan sekali sentakan, ia mendekatkan wajah santri
itu ke wajahnya sambil berkata dengan suara ditekan tinggi,
“Kenapa engkau dan kawan-kawanmu berteriak-teriak dan
menangis ketakutan seperti orang tidak beriman? Di manakah
kakak-kakak kalian?”

Santri itu terbelalak ketakutan. Air matanya bercucuran


membasahi pipi. Dengan suara bergetar dan terbata-bata dia
berkata, “Orang-orang Galuh Pakuwan mengepung kuta Caruban,
Kangjeng Syaikh. Desa-desa dibakar. Prajurit Caruban banyak
yang terbunuh. Kakak-kakak kami semua berangkat ke medan
perang menghadapi musuh. Di pondok tidak ada yang memimpin.
Semua orang pergi meninggalkan kami.”

Abdul Jalil menarik napas panjang dan mengembuskannya keras-


keras. Ia sadar betapa serbuan Galuh Pakuwan kali ini tidak main-
main. Tekanan dari berbagai sisi tampak sekali dilakukan pihak
Galuh Pakuwan untuk mengguncang Caruban yang sedang tidak
siap tempur. Sadar akan apa yang sedang terjadi, setelah terdiam
beberapa jenak, ia mengangkat tangan kanannya ke atas memberi
isyarat kepada semua santri agar duduk tenang. Kegaduhan pun
terjadi, tapi setelah itu berangsur-angsur tenang. Santri-santri kecil
dengan berdesakan duduk mengerumuni Abdul Jalil seperti anak-
anak ayam meminta perlindungan induknya.

2012
Ketika Abdul Jalil akan memberikan wejangan kepada santri-santri
kecil yang dicekam ketakutan itu, tanpa sengaja ia melihat ke
bagian bawah bukit. Ia tercekat ketika melihat puluhan nyala obor
bergerak di antara bebatuan yang bertonjolan menuju pondok. Ia
mengerutkan kening. Ia tidak tahu siapa orang-orang yang naik ke
pondok dengan membawa obor itu. Ia menajamkan penglihatan
dan pendengaran ketika obor-obor itu semakin dekat dan
mendengar suara puluhan kaki menginjak ranting dan daun-daun
jati kering. Lalu, terdengar celoteh gaduh dari orang-orang yang
membawa obor itu. Ia merasa lega ketika mendengar namanya
disebut-sebut di tengah celotehan gaduh itu. Rupanya, malam itu
kabar kedatangannya ke Giri Amparan Jati telah disebarkan oleh
orang-orang Kalisapu ke desa-desa di sekitar Gunung Jati.
Akibatnya, penduduk sekitar Gunung Jati yang sedang dicekam
ketakukan berbondong-bondong pergi ke pondok pesantren untuk
menemuinya.

Tidak berbeda jauh dengan para santri, penduduk desa-desa di


sekitar Gunung Jati yang sedang dicekam ketakutan itu begitu
masuk halaman pondok sudah berdesak-desak dan berebut
mendekati Abdul Jalil. Yang di bagian depan menyalami dan
mencium tangannya. Yang terdekat merangkul lututnya.
Sementara yang agak jauh menarik-narik jubahnya, bahkan yang
tersungkur berusaha mencium kakinya. Lalu dengan suara gaduh
bersahutan mereka beramai-ramai memohon agar Abdul Jalil
berkenan menyelamatkan mereka dari serbuan orang-orang Galuh
Pakuwan. Mereka memohon agar Abdul Jalil berkenan
memanjatkan do’a kepada Allah. Mereka sangat yakin do’a Abdul
Jalil pasti dikabulkan Allah. Ketika Abdul Jalil termangu-mangu
2013
tidak menunjukkan tanggapan, mereka mengiba dan menangis
serta memohon agar Abdul Jalil mau berdoa bagi keselamatan
negeri Caruban beserta penduduknya.

Abdul Jalil bergeming. Sejurus kemudian dengan penuh kasih, ia


memandang orang-orang desa dan santri-santri kecil yang duduk
berkerumun mengitarinya. Ia melihat wajah-wajah ketakutan yang
menengadah penuh harapan. Ia menangkap jiwa-jiwa yang runtuh
ke jurang tanpa harapan pada wajah-wajah itu. Ia tidak ingin
ketakutan yang dirasakan penduduk itu meledak menjadi
keputusasaan dan bahkan kepanikan. Itu sebabnya, ia
memutuskan untuk memberikan penguatan jiwa khotbah Tauhid.
Sebab, hanya dengan kesadaran Tauhid, rasa takut orang seorang
terhadap selain Allah dapat dikalahkan. Lalu, di tengah beratus-
ratus wajah ketakutan orang-orang yang mengitarinya itu, ia
memulai khotbahnya.

“Dengarlah, hai anak-anak dan saudara-saudaraku, janganlah


engkau sekalian pernah melupakan Allah, Tuhan, Penciptamu, Zat
Yang Maha Melindungi (al-Waliy) dan Maha Menjaga (al-
Muhaimin). Ingatlah selalu akan Dia di mana pun engkau sekalian
berada. Memintalah pertolongan hanya kepada-Nya dalam
kesempitan maupun keluasan. Jangan sekali-kali engkau sekalian
melalaikan Allah. Jangan pernah membiarkan orang-orang fasik
menggoyahkan imanmu dengan mengatakan bahwa Allah tidak
akan menolong umat-Nya yang memohon pertolongan. Jangan
pernah meragukan sedikit pun akan pertolongan-Nya. Karena Dia
adalah Perisai dan Senjata pelindung bagi kaum beriman.
2014
Lantaran itu, jika engkau sekalian merasa sebagai kaum beriman,
jangan lagi ada syak dan ragu menggelayuti hati kalian, meski
kalian mendengar kabar dan kemudian menyaksikan sendiri
beratus ribu musuh mengepungmu. Pertolongan-Nya pasti akan
datang jika kalian benar-benar orang beriman dan bertakwa.”

“Camkanlah, o anak-anak dan saudara-saudaraku, bahwa Allah,


Zat Yang Maha Mendengar, selalu mendengar doa dari mulut
hamba-Nya yang tidak menipu dan tidak suka berdusta. Allah, Zat
Yang Maha Melihat, selalu melihat kesucian hati hamba-Nya yang
tidak diselubungi kefasikan dan kemunafikan. Allah, Zat Yang
Maha Mengetahui, selalu mengetahui kelempengan pikiran
hamba-Nya yang tidak dinodai angan-angan palsu dan kejahilan.
Allah, Zat Yang Maha Mengabulkan doa, selalu menerima dan
mengabulkan doa hamba-Nya yang tidak pernah menajiskan
nama-Nya dengan kemusyrikan dan kejahilan.”

“Sekarang ini, hai anak-anak dan saudara-saudaraku, marilah kita


memuji keagungan dan kemuliaan Allah, Zat Yang Mahasuci, Yang
Maha Mencipta, Maha Melindungi, dan Maha Memelihara hamba-
hamba-Nya yang beriman dan bertakwa. Hadapkanlah kiblat hati
dan pikiran kalian hanya kepada-Nya. Teguhkan konsentrasimu
hanya kepada-Nya. Jangan biarkan bayangan manusia, pohon,
batu, kayu, batu nisan, gunung, dan segala sesuatu yang maujud
di alam ini melintas di dalam ingatanmu. Teguhkan ingatanmu
bahwa tidak ada sesuatu yang patut diingat kecuali Allah: Cahaya
di atas segala cahaya. Ingatlah hanya Allah. Allah. Seribu kali
hanya Allah.”
2015
Abdul Jalil diam dan memejamkan mata. Para santri kecil dan
orang tua pun diam. Mereka berusaha menyatukan hati dan pikiran
untuk diarahkan kepada Allah sesuai petunjuk Abdul Jalil. Suasana
berubah sepi dan senyap. Hanya desah napas dan isak tangis lirih
terdengar menembus kesenyapan di antara desau angin yang
meluruhkan daun-daun jati. Setelah suasana benar-benar hening,
dengan suara lain yang digetari wibawa, Abdul Jalil mulai berdzikir,
menyebut Asma Allah dengan suara lirih. Meski lirih, seluruh yang
hadir terpesona mendengar kemerduan suaranya. Ketika seluruh
jama’ah mengikuti dzikir, menyebut-nyebut Asma Allah seperti
dicontohkan Abdul Jalil, terdengar suara bergelombang seperti
ombak lautan yang susul-menyusul dan sambung-menyambung,
yang membuat semua orang merasa seperti ditarik oleh daya
pesona yang memukau kesadaran. Ketika pribadi-pribadi yang
berdzikir sudah disatukan di dalam Asma Allah yang mengalun
indah laksana musik surgawi, Abdul Jalil mengucapkan doa
kepada Allah dengan suara keras.

“Wahai Engkau, Rabb al-Arbab, Zat Yang Maha Melindungi!


Engkaulah Pelindung bagi hamba-Mu yang tertindas! Engkaulah
Pelindung di waktu sempit dan sesak! Engkaulah Pembela semua
hamba-Mu yang setia memuja dan menyembah hanya kepada-Mu!
Engkau tidak pernah meninggalkan hamba-Mu yang
mengagungkan nama-Mu. Engkau senantiasa merentangkan
sayap-sayap rahmat-Mu untuk menaungi hamba-Mu yang
mencintai-Mu. Hanya kepada-Mu, o Allah, hamba-Mu yang ditimpa
kesusahan ini berserah diri.”

2016
“Wahai Engkau, Rabb al-Arbab, Zat Yang Maha Memelihara!
Engkaulah Gembala bagi hama-Mu di padang gembalaan duniawi
yang dihuni hewan-hewan pemangsa ganas. Bimbing dan
gembalakan kami, hamba-Mu, di padang gembalaan-Mu yang
subur dan penuh limpahan keselamatan. Lindungi kami, hamba-
Mu, dari intaian para pemangsa yang haus darah. Jauhkan kami,
hamba-Mu, dari orang-orang fasik. Jauhkan kami, hamba-Mu, dari
orang-orang tamak, loba, serakah, lalim, kejam, penindas, yang
mulutnya penuh fitnah dan sumpah serapah. Gembalakan kami,
hewan peliharaan-Mu, ke padang gembalaan yang aman dan
penuh dilimpahi kedamaian. Jangan biarkan kami jatuh ke jurang
kefasikan. Jangan biarkan kami memasuki gua singa. Peliharalah
kami dari segala kejahatan makhluk ciptaan-Mu. Lindungilah kami
dari panah-panah musuh yang dibidikkan dari tempat gelap.
Engkau adalah Pelindung kami. Engkau adalah Perisai kami.”

“Wahai Engkau, Rabb al-Arbab, Zat Yang Maha kuasa! Engkau,


al-Malik al-Mulki, Zat Yang Berkuasa atas segala ciptaan yang
Engkau cipta! Kami, hamba-Mu, berlindung di bawah naungan
kuasa-Mu. Kuatkan hati kami dari keraguan yang meruntuhkan
iman. Teguhkanlah hati kami dari kegoyahan jiwa yang
menggeragoti iman. Kibarkan bendera kemenangan di atas
menara ruh kami yang tegak di dalam benteng keimanan yang
kukuh. Lindungilah benteng kami dengan tentara-tentara-Mu
(jundullah) yang memenuhi langit dan bumi! Biarlah tentara-
tentara-Mu menghancurkan musuh kami dengan angin prahara,
hujan badai, tanah longsor, genangan lumpur, pohon-pohon yang
tumbang, dan sambaran halilintar! Halaulah musuh-musuh yang
mengintai kami dengan cara-Mu yang tidak kami ketahui! Wahai
2017
Engkau, Rabb al-Arbab, Zat Yang Mahaagung! Kami berpasrah diri
melindungkan diri di dalam naungan keagungan-Mu!”

Setelah berdoa dengan sura keras, Abdul Jalil tiba-tiba terdiam


dengan tangan tetap menengadah ke atas. Ia berdoa tanpa
bersuara. Orang-orang terus berdzikir dengan mata terpejam dan
air mata bercucuran. Ketika Abdul Jalil akan mengakhiri doa
dengan membaca shalawat, terjadi sesuatu yang mengejutkan
semua orang. Saat itu, tiba-tiba terdengar suara guruh bersahutan
di empat penjuru langit disusul sambaran halilintar menghajar
bumi. Selama beberapa kejap, pemandangan di sekitar pondok
pesantren menjadi terang-benderang oleh keredap cahaya
halilintar. Sedetik kemudian, hujan turun sangat lebat seperti
tumpahan air bah dicurahkan dari langit disambung embusan
angin yang bertiup membadai.

Perubahan alam yang mendadak itu membuat semua hati


tercekam dan mulut bungkam. Orang-orang saling pandang.
Beberapa jenak kemudian, dengan suara gaduh mereka berdesak-
desak berusaha mendekati Abdul Jalil sambil menangis dan
berteriak-teriak memuji kebesaran Allah. Mereka yakin doa yang
baru saja dipanjatkan Abdul Jalil telah diterima Allah dengan
pertanda halilintar dan hujan angin. Peristiwa alam itu pun mereka
yakini sebagai tengara hadirnya tentara Allah yang bakal
menceraiberaikan musuh yang sudah mengepung Caruban.

2018
Dicekam Bayang Bayang Musuh

Usai menitipkan istri dan anaknya kepada Nyi


Halimah, janda Syaikh Datuk Kahfi, tanpa
peduli hujan deras yang sedang mengguyur
bumi, Abdul Jalil menembus kegelapan malam
dengan sebatang obor yang ditudungi daun jati
menuju kuta Caruban. Malam itu terasa sangat
lengang dan mencekam. Kegelapan
melingkupi permukaan bumi. Hanya sesekali lidah petir terlihat
berkeredap menerangi alam dengan cahayanya. Tidak satu pun
bayangan makhluk terlihat di jalan. Kuta Caruban telah menjelma
jadi kota mati. Tidak setitik pun cahaya pelita terlihat dari rumah-
rumah penduduk. Jalan-jalan yang membelah kuta hingga ke
kawasan sekitar kraton pun terlihat gelap gulita dan sepi.
Kegelapan makin hitam ketika obor yang dipegang Abdul Jalil
padam karena kehabisan minyak dan terkena guyuran hujan.

Dengan berpedoman pada kilatan cahaya halilintar yang sesekali


menyambar, Abdul Jalil menelusuri lorong-lorong kuta yang sepi
itu. Meski gelap dan tidak melihat satu pun makhluk di jalanan, ia
mengetahui jika di tiap-tiap bangunan sesungguhnya sedang
bersiaga prajurit dan penduduk yang siap menyerang siapa saja
orang yang dicurigai sebagai musuh. Itu sebabnya, ia memaklumi
kenapa kawasan di sekitar kraton pun lampu-lampunya
dipadamkan. Satu-satunya bangunan yang terlihat agak terang
disinari cahaya pelita yang dinyalakan di beberapa sudut ruangan
adalah Ndalem Pekalifahan. Seorang prajurit dengan tubuh
2019
menggigil kedinginan menyambut Abdul Jalil dengan penuh
hormat dan memberi tahu bahwa khalifah Caruban, Sri Mangana,
saat itu tidak berada di Ndalem. “Sudah dua bulan lebih Paduka
Yang Mulia Khalifah Caruban pergi meninggalkan Ndalem
Pekalifahan.”

“Apakah Paduka Khalifah tidak memberi tahu pergi ke mana?”


tanya Abdul Jalil minta penjelasan.

“Kabarnya, beliau ke Gunung Panawarjati, Kangjeng Syaikh.”

“Selama beliau pergi, siapa yang menggantikan kedudukan


khalifah?” tanya Abdul Jalil.

“Yang Mulia Syarif Hidayatullah, wali nagari Gunung Jati.”

“Di mana dia sekarang? Aku tidak melihatnya.”

“Yang Mulia Syarif Hidayatullah tidak tinggal di Pekalifahan,


Kangjeng Syaikh. Beliau tinggal di Ndalem Pakungwati.”

“Di Ndalem Pakungwati?” tanya Abdul Jalil heran.

2020
“Mohon maaf, apakah Kangjeng Syaikh belum tahu jika Yang Mulia
Syarif Hidayatullah sudah menjadi menantu Paduka Khalifah?”

“O begitu,” gumam Abdul Jalil singkat dan langsung berpamitan ke


Ndalem Pakungwati. Di sana ia mendapati Syarif Hidayatullah
sedang berbincang-bincang dengan Raden Mahdum Ibrahim dan
adiknya, Raden Qasim. Tampaknya mereka bertiga sedang
membincang rencana menangkis serbuan pasukan Galuh
Pakuwan ke kuta Caruban.

Ketika Abdul Jalil mengucap salam dari luar pendapa, Syarif


Hidayatullah yang sangat mengenali suaranya buru-buru
menghambur keluar menyambutnya. Kemudian, tanpa diminta,
dengan wajah diliputi ketegangan dia memberi tahu Abdul Jalil
tentang keadaan genting yang sedang mencekam Caruban,
terutama kekalahan demi kekalahan yang dialami pihak Caruban
di medan tempur. Namun, ia merasa heran sebab Abdul Jalil
kelihatan sangat tenang seolah-olah tidak merasakan suasana
genting dan bahkan seolah tak peduli. Dia makin tidak paham
ketika Abdul Jalil dengan nada dingin malah bertanya tentang
kabar terakhir dari medan tempur.

“Laporan terakhir yang kami terima sore tadi, induk pasukan


Caruban yang berpangkalan di gunung Gundul telah dipermalukan
musuh. Para tetunggul Caruban kalah semua dalam adu kesaktian
denga tetunggul-tetunggul Galuh Pakuwan. Malahan, pasukan
Caruban sekarang ini sedang dikepung oleh berpuluh ribu pasukan
2021
Galuh Pakuwan di puncak gunung Gundul,” ujar Syarif
Hidayatullah berharap Abdul Jalil peduli.

“Di gunung Gundul?” gumam Abdul Jalil tetap dingin. “Kalau


pasukan Caruban kalah, berarti dua tiga hari lagi pasukan Galuh
Pakuwan sudah menyerbu kuta.”

“Kelihatannya demikian, Paman. Barusan tadi kami berunding


untuk mencari jalan keluar dalam menghadapi kemungkinan
serbuan Galuh Pakuwan ke kuta. Kami sepakat, besok akan
memerintahkan para gedeng untuk membawa masuk seluruh
kekuatan mereka ke dalam kuta. Kita akan bertempur habis-
habisan di dalam kuta,” kata Syarif Hidayatullah mengamati
perubahan wajah Abdul Jalil yang tetap tidak berubah sedikit pun.

Abdul Jalil diam. Ia tahu dirinya sedang diamati. Ia sengaja tidak


menunjukkan gejolak perasaan karena ia tidak ingin suasana
menjadi lebih tegang. Ia bahkan tidak berkomentar sedikit pun
tentang kabar kekalahan telak pasukan Caruban di gunung
Gundul, sebaliknya ia mengalihkan arus pembicaraan dengan
menanyakan hal lain. “Di Kalisapu tadi aku bertemu Ki Gedeng
Jatimerta. Menurutnya, Galuh Pakuwan bersekutu dengan Talaga.
Benarkah itu?”

“Sebenarnya bukan bersekutu, Paman. Sebab, Talaga sudah kita


taklukkan lebih dulu. Sekarang ini wilayah Talaga sudah disatukan
2022
dengan wilayah Caruban. Yang benar, sisa-sisa pasukan Talaga
yang membangkang dan tidak mau tunduk kepada kita telah
bergabung dengan Galuh Pakuwan. Sisa-sisa pasukan itu dipimpin
Dewi Tanduran Gagang, puteri Prabu Pucuk Umun,” papar Syarif
Hidayatullah.

“Talaga sudah takluk? Kapan perangnya?” Abdul Jalil


mengerutkan kening.

“Kira-kira tiga bulan silam, Paman.”

“Siapa yang memimpin pasukan Caruban?” tanya Abdul Jalil ingin


tahu.

“Dalam pertempuran dengan Talaga, kami ditunjuk ramanda


khalifah sebagai senapati.”

“Ramanda khalifah?” gumam Abdul Jalil menegakkan kepala


seolah-olah terkejut. “Kenapa engkau menyebut yang Dipertuan
Caruban dengan sebutan ramanda khalifah?”

“Maaf, Paman. Kira-kira tiga bulan silam kami diambil menantu


oleh ramanda khalifah, setelah kami memenangkan perang
dengan Talaga.”
2023
“Dinikahkan dengan Nyi Mas Pakungwati?”

“Benar, Paman.”

Abdul Jalil tertawa. Syarif Hidayatullah menunduk jengah. Lalu


seperti sengaja menggoda, Abdul Jalil tiba-tiba menyinggung
tentang pembicaraannya dengan Ki Gedeng Jatimerta di Kalisapu
sore tadi, terutama yang terkait dengan Nyi Mas Rarakerta, anak
perempuannya yang tidak lain dan tidak bukan adalah istri Syarif
Hidayatullah. “Tidakkah engkau ingat pada Nyi Mas Raramerta,
anak perempuan Ki Gedeng Jatimerta, yang kuangkat sebagai
anak untuk kujadikan saudari anak perempuanku Zainab?”

“Kami tentu ingat, Paman,” sahut Syarif Hidayatullah dengan suara


bergetar.

“Bukankah engkau pernah menikahinya?”

“Itu benar, Paman,” Syarif Hidayatullah menunduk dengan wajah


merah.

“Seingatku, ketika engkau beriktikaf di ‘Gunung Jati’ pada malam


tanggal 14 Rabiul Awal, anak sulungmu dari Nyi Mas Rarakerta
lahir. Lalu, Ki Gedeng Jatimerta memberi nama bayi itu Bung Cikal,
2024
yang bermakna anak sulung yang lahir pada waktu riadho pada
malam 14 Rabiul Awal?”

“Kami pasti tidak akan melupakan itu, Paman.”

“Selain membicarakan puterinya, Ki Gedeng Jatimerta sore tadi


juga membicarakan Bung Cikal,” kata Abdul Jalil datar. “Katanya,
dia sudah menjelang dewasa dan sering menanyakan ayahnya. Ki
Gedeng Jatimerta khawatir, dengan kedudukanmu yang semakin
tinggi engkau akan melupakan puteri dan cucunya, sekalipun ia
tahu pernikahanmu dengan puterinya itu bersifat sirri. Tapi, aku
sudah memberi jaminan kepadanya bahwa engkau akan
mengambil langkah bijaksana dalam masalah itu. Aku katakan
kepadanya bahwa apa pun kenyataannya, Nyi Mas Rarakerta
adalah saudari puteriku dan Bung Cikal adalah cucuku juga,
karena itu aku tadi berjanji akan membicarakan masalah ini
denganmu.”

“Masalah itu tidak perlu dibuat rumit. Kami pasti tidak akan
mengingkari darah daging kami, Paman.”

Abdul Jalil tertawa dan berkata, “Itu keputusan bijaksana. Perlu


engkau ingat, jika engkau bisa melampaui ujian terberat jalan
ruhani dalam wujud istri-istri dan anak-anakmu maka maqam
ruhanimu akan melesat cepat tak tertandingi,” lalu ia menepuk
bahu Syarif Hidayatullah memberi penguatan.
2025
“Kami akan pusakakan petunjuk Paman.”

Abdul Jalil tersenyum. Ia memahami benar kedudukan Syarif


Hidayatullah yang cukup sulit itu. Ia paham, betapa keberadaannya
sebagai pemuda berdarah Arab-Bani Israil telah menimbulkan
masalah tersendiri yang tidak gampang penyelesaiannya. Sejak
awal membawa Syarif Hidayatullah ke Caruban, ia sudah
menangkap sasmita bahwa cucu sahabatnya itu akan tumbuh
menjadi laki-laki muda yang akan sering menuai masalah rumit
karena akan digandrungi banyak perempuan. Dan ternyata ia tidak
salah, karena Syarif Hidayatullah memang tumbuh menjadi laki-
laki muda yang serba “paling” di lingkungannya: paling tinggi
perawakannya, paling tampan, paling gagah, paling mancung
hidungnya, paling terang kulitnya, paling cerdas pemikirannya,
paling luas wawasannya, paling baik pengetahuan agamanya, dan
paling bagus akhlaknya dibanding seumumnya anak-anak muda
Caruban dan Sunda, yang umumnya berperawakan kecil, berkulit
gelap, berhidung pesek, sempit wawasan, gampang tersinggung,
agak malas, dan jarang sekali memiliki pengetahuan agama
mendalam. Sejak awal ia sudah mewanti-wanti cucu sahabatnya
itu agar berhati-hati dan bijaksana dalam mengambil langkah,
terutama dalam menentukan keputusan memilih istri-istri dan
mertua, mengingat cukup banyak orang berkedudukan yang ingin
“memperbaiki” keturunan mereka dengan cara mengambilnya
sebagai menantu.

Ketika malam semakin larut dan hujan mulai reda, suasana di


Ndalem Pakungwati sangat sepi. Tidak terdengar suara apa pun
2026
kecuali titik-titik air yang jatuh dari atap ke atas tanah. Setelah
suasana sepi itu berlangsung beberapa lama, Abdul Jalil
memecahnya dengan sebuah pertanyaan. “Kenapa bisa terjadi
perang berurutan seperti ini? Kenapa setelah pecah perang
dengan Talaga tiba-tiba pecah perang dengan Galuh Pakuwan?
Siapa sesungguhnya yang memulai perang?”

“Kami sendiri tidak pernah menduga jika peperangan bisa terjadi


begitu cepat dan berturut-turut, Paman,” papar Syarif Hidayatullah
mengungkap latar di balik peperangan. “Yang kami tahu, perang
dengan Talaga berawal dari masalah sepele, yaitu perselisihan
antara Demang Talaga dan Tumenggung Kertanegara akibat salah
paham. Mereka berkelahi dan Demang Talaga terbunuh dalam
perkelahian itu. Kematian Demang Talaga ternyata telah membuat
marah Yang Dipertuan Talaga, Prabu Pucuk Umun, dan putera
mahkota, Pangeran Salingsingan. Kabarnya, mereka dihasut Rsi
Bungsu, yang menuduh peristiwa tewasnya Demang Talaga itu
didalangi oleh Yang Dipertuan Caruban. Lalu, pasukan Talaga
disiapkan untuk menyerbu wilayah Caruban.”

“Berarti Caruban tidak menyerang lebih dulu kan?”

“Justru tidak ada seorang pun penduduk Caruban yang menduga


jika Talaga bakal menyerang,” ujar Syarif Hidayatullah menuturkan
penyerbuan Talaga. Seluruh penduduk di perbatasan selatan
terkejut mendengar kabar serbuan pasukan Talaga. Mereka lebih
terkejut ketika mendapati pasukan Talaga sudah masuk ke gunung
2027
Keling di utara Cigugur, tidak lama setelah mereka memukul
mundur Tumenggung Kertanegara dan pasukannya di gunung
Sirah. Kepanikan pun terjadi ketika menyaksikan pasukan Talaga
dengan gerak cepat menerobos ke utara, menjarah dan
membakari desa-desa yang mereka lewati. Penduduk Gandasuli,
Kalapa Gunung, Sadamantra, Sambawa, dan Bojong
berhamburan keluar rumah. Lalu, beramai-ramai mereka
meninggalka desanya yang sudah menjadi lautan api.

“Dengan serbuan kilat ke utara, rupanya pasukan Talaga akan


menyerang langsung ke kuta Caruban. Namun, perlawanan
penduduk yang dipimpin para gedeng mulai dilakukan di Bojong.
Penduduk Gandasuli, Kalapa Gunung, Sadamantra, Sambawa,
dan Bojong bergabung dengan penduduk Sangkanurip, Karang
Muncang, Naggerang, Pakembangan, dan Linggasana melakukan
penghadangan dan perlawanan. Mereka berusaha keras menahan
gerak laju musuh sehingga pasukan Talaga tertahan di
Sindangkasih.

Kabar penyerbuan pasukan Talaga yang mendadak itu sangat


mengejutkan khalifah Caruban, Sri Mangana. Saat itu tidak ada
satu pun di antara tetunggul Caruban yang berada di kraton kecuali
Syarif Hidayatullah yang kebetulan menghadap untuk melaporkan
perkembangan gerakan dakwah di tanah Banten. Akhirnya,
khalifah Caruban mengangkat Syarif Hidayatullah sebagai
senapati dan menitahkannya untuk menghadapi serbuan Talaga
yang tak terduga-duga itu. “Alhamdulillah, kami dapat
mengalahkan pasukan Talaga tanpa perlawanan. Rupanya, pihak
2028
Talaga waktu itu sudah terjepit. Sebab, bersamaan waktu dengan
kedatangan pasukan kami ke medan tempur, dari arah selatan
terlihat pasukan Kuningan bergerak gegap-gempita. Merasa tidak
bakal menang menghadapi dua pasukan besar, Pangeran
Salingsingan akhirnya menyerah kepada kami. Dia bahkan
menyatakan keinginan untuk memeluk agama Rasulullah Saw.,”
papar Syarif Hidayatullah.

Abdul Jalil diam sambil mengelus-elus janggutnya. Setelah itu ia


berkata, “Syukurlah kalau ceritanya seperti itu. Yang penting,
jangan sampai pihak kita menyerbu lebih dulu tanpa alasan karena
Islam melarang memulai penyerbuan. Apakah dalam peperangan
sekarang ini Galuh Pakuwan juga menyerang Caruban lebih dulu?”

“Benar, Paman,” Syarif Hidayatullah mengangguk dan menuturkan


latar penyerbuan Galuh Pakuwan. Tidak lama setelah kekalahan
Talaga yang ditandai masuk Islamnya putera mahkota, Pangeran
Salingsingan, pihak Galuh Pakuwan menyiapkan kekuatan besar-
besaran untuk menggempur Kraton Caruban. Menurut perkiraan,
lebih dari 200.000 orang pasukan disiagakan untuk melumatkan
kuta Caruban. Para panglima, manggalayudha, perwira, ksatria
Rajagaluh, dan tetunggul Talaga yang masih sakit hati dengan
Caruban, dengan sisa-sisa pasukan yang setia mendukungnya,
bergabung ke dalam pasukan Galuh Pakuwan. Itu sebabnya,
ungkap Syarif Hidayatullah, di antara tetunggul Galuh Pakuwan
terdapat pula pendekar-pendekar tangguh yang pernah terlibat
perang di Rajagaluh dan Talaga, seperti Sanghyang Gempol,
Sanghyang Sutem, Patih Suradipa, Ki Dipati Kiban, Ki Gedeng
2029
Leuwimunding, Celeng Igel, Dalem Ciomas, Ki Dipasara. Bahkan
Dewi Tanduran Gagang, puteri Prabu Pucuk Umun, diunggulkan
sebagai manggala puteri yang siap dihadapkan dengan pahlawan
puteri Caruban: Nyi Mas Gandasari.

Tidak berbeda dengan saat terjadinya serbuan pasukan Talaga,


sewaktu para pahlawan Galuh Pakuwan membawa pasukan
besarnya masuk ke wilayah Caruban, tidak ada seorang pun di
pihak Caruban yang menduga negerinya bakal diserang
mendadak oleh musuh. Sri Mangana sendiri, selaku khalifah
Caruban, saat itu sedang tidak berada di Caruban karena
melakukan perjalanan ruhani ke “Gunung Panawarjati” untuk
mengobati jiwanya yang terluka ketika berburu di padang
perburuan ruhani.

Saat diserbu pasukan Galuh Pakuwan, penduduk yang tinggal di


perbatasan, terutama penduduk Nusaherang, melakukan
perlawanan di bawah komando gedengnya masing-masing.
Namun, kekuatan besar Galuh Pakuwan bukanlah tandingan
penduduk. Dalam waktu singkat, penduduk Nusaherang dibuat
kocar-kacir oleh pasukan Galuh Pakuwan. Setelah itu, tanpa
membuang waktu, pasukan Galuh Pakuwan menerobos cepat ke
utara dan menghancurkan Kadugede. Lalu, mereka menerjang
terus ke Kuningan.

Rupanya, para tetunggul Galuh Pakuwan sudah memperhitungkan


kekuatan wali nagari Kuningan yang merupakan penguasa paling
2030
disegani di wilayah perbatasan selatan. Dalam pertempuran
singkat, para tetunggul Galuh Pakuwan merencanakan sebuah
serangan kilat sebelum wali nagari Kuningan mendengar kabar
kekalahan penduduk Nusaherang dan Kadugede. Demikianlah,
melalui sebuah serangan kilat yang dilakukan secara besar-
besaran, Kadipaten Kuningan dapat dikuasai. Wali Nagari
Kuningan yang panik dan berusaha memimpin pasukan tidak
dapat mempertahankan kadipatennya dari serbuan musuh.
Pasukan Kuningan yang kurang dari 2.000 orang itu dalam waktu
singkat lari tunggang-langgang meninggalkan kadipaten.

Wali nagari Kuningan sendiri dalam serbuan itu dengan susah


payah berhasil lolos dan lari ke kraton untuk melaporkan peristiwa
itu kepada khalifah. Namun, Sri Mangana saat itu sedang tidak
berada di tempat. Karena saat itu yang ditunjuk mewakili Sri
Mangana adalah Syarif Hidayatullah, maka ia memutuskan untuk
mengangkat wali nagari Kuningan sebagai manggalayudha
Caruban didampingi Wali Nagari Gegesik Ki Suranenggala. Lalu,
dua orang tetunggul Caruban itu berangkat ke medan tempur untuk
memimpin pasukan dan satuan-satuan perlawanan yang dipimpin
para gedeng dan pemuka penduduk. “Tetapi berdasar laporan
yang kami terima, dalam pertempuran di Kasturi, pasukan Caruban
dipukul mundur. Mereka kemudian bertahan di gunung Gundul.
Laporan sore tadi memberitakan semua tetunggul Caruban telah
dikalahkan musuh. Bahkan, laporan terakhir barusan
mengabarkan seluruh pasukan Caruban sudah terkepung di
puncak gunung. Wali nagari Kuningan sampai sekaran belum
diketahui nasibnya,” papar Syarif Hidayatullah.

2031
“Menurut perkiraanku, kabar kepergian Paduka Khalifah ke
‘Gunung Panawarjati’ itulah yang dijadikan alasan utama oleh
Yang Dipertuan Galuh Pakuwan untuk menyerang Caruban secara
mendadak. Aku mengira, Prabu Surawisesa memaknai ‘Gunung
Panawarjati’ sebagai obat atau jampi-jampi sehingga menduga
Yang Dipertuan Caruban sesungguhnya sedang sakit. Prabu
Surawisesa tentunya sudah tahu bahwa kekuatan utama Caruban
terletak di genggaman tangan saudaranya, yaitu Paduka Khalifah
Sri Mangana. Nah, dengan kepergian Paduka Khalifah selama dua
bulan lebih, maka Prabu Surawisesa menyimpulkan kalau
kekuatan Caruban sedang lemah dengan kemungkinan sakitnya
Sri Mangana tidak terobati,” kata Abdul Jalil menyimpulkan.

“Kami kira memang seperti itu jalan pikiran Prabu Surawisesa,


Paman. Sebab, sepekan setelah kepergian ramanda khalifah, tiba-
tiba tersiar kabar bahwa Yang Dipertuan Caruban sedang sakit
keras. Lalu, pada pekan ketiga tersiar kabar jika ratu Caruban
mangkat. Bahkan pada pekan keempat, ketika pasukan Galuh
Pakuwan sudah menyerang, hampir setiap telinga penduduk
Caruban mendengar kasak-kusuk yang menyatakan bahwa Sri
Mangana sesungguhnya telah meninggal akibat dibunuh oleh
menantunya, Wali Nagari Gunung Jati, orang asing yang berambisi
merebut takhta Caruban. Serbuan Galuh Pakuwan ke Caruban,
menurut kasak-kusuk itu, sesungguhnya dilakukan untuk belapati
dan sekaligus menyelamatkan takhta Caruban dari tangan orang
asing,” kata Syarif Hidayatullah.

2032
Abdul Jalil tertawa dan menggelengkan kepala sambil berkata,
“Aku sangat yakin, fitnah keji itu pasti keluar dari kegelapan relung-
relung jiwa Rsi Bungsu. Mahasuci Allah, Zat Yang Mencipta
makhluk sekelam Rsi Bungsu.”

“Tidakkah engkau mengetahui keberadaan Nyi Mas Gandasari, o


Anakku?”

“Itulah yang membuat kami kebingungan, Paman. Nyi Mas


Gandasari bersama ibunda ratu ikut mengiringi ramanda khalifah
ke ‘Gunung Panawarjati’. Sehingga, di saat genting ini, ketika
pendekar setangguh Nyi Mas Gandasari dibutuhkan untuk
melawan Galuh Pakuwan, justru dia tidak berada di tempat. Kami
pun tidak bisa berbuat apa-apa untuk menghadapi musuh karena
ibarat burung yang patah kedua sayapnya, kami hanya bisa
melihat kehadiran musuh tanpa bisa melawan. Kami hanya
berharap terjadi keajaiban. Sungguh, kami tidak melihat
kemungkinan untuk menang melawan pasukan Galuh Pakuwan.
Kami hanya mampu menjalankan siasat terakhir: bertempur habis-
habisan menghadapi musuh di kuta Caruban,” kata Syarif
Hidayatullah kurang bersemangat.

“Kenapa engkau tiba-tiba menjadi lemah, o Anakku?” tukas Abdul


Jalil dengan suara ditekan tinggi. “Sungguh, aku meminta
kepadamu lebih untuk tegar menghadapi masalah seperti ini.
Jangan sekali-kali di tengah keterdesakanmu, engkau dilemahkan
oleh bayang-bayang musuhmu. Janganlah ketidakhadiran
2033
pahlawan-pahlawan dan pendekar-pendekar di sekitarmu
membuatmu goyah. Sungguh, aku meminta kepadamu untuk tidak
sekali-kali menjadikan paduka khalifah, Nyimas Gandasari, dan
tetunggul Caruban yang lain sebagai hijab bagi-Nya. Sebab Dia,
Rabb al-Arbab, adalah Zat Yang Mahakuasa, Yang Berhak
menentukan kalah dan menang pihak yang berperang tanpa
mensyaratkan keterlibatan ini dan itu dari makhluk-Nya. Ingat-
ingatlah itu, o Anakku, janganlah kiranya engkau sampai terpeleset
pada jebakan angan-angan dan akal pikiranmu. Tenangkan akal
pikiranmu. Gunakan piranti kalbumu untuk menangkap nuansa
kekuatan dan kekuasaan-Nya yang tersembunyi di balik hiruk-
pikuk masalah yang bagaimana pun hebatnya. Engkau sudah
berusia seperempat abad lebih. Engkau harus mandiri. Engkau
harus percaya diri dan tidak bersandar kepada siapa pun di antara
manusia.”

Syarif Hidayatullah merasakan tersambar petir mendengar kata-


kata Abdul Jalil. Dia menunduk dengan muka merah. Dia merasa
telah melakukan kesalahan langkah selama rentang waktu
menghadapi serbuan Galuh Pakuwan, yaitu kurang percaya diri
dan terlalu menggunakan kekuatan nalar untuk mengatasi setiap
masalah yang muncul. Dia sadar, selama ini sangat bergantung
pada orang-orang kuat di sekitarnya, seperti Sri Mangana. Dan
yang paling parah, dia telah melalaikan piranti kalbu sebagai
senjata paling ampuh. Namun, dia juga sadar betapa di tengah
suasana yang genting ini, ketika pasukan musuh sudah di depan
hidung, sangatlah sulit untuk buru-buru meninggalkan piranti akal
pikiran lalu menggunakan piranti kalbu yang butuh ketenangan

2034
lebih. Kenyataan itu membuat hatinya semakin diliputi
kegundahan.

Abdul Jalil yang menangkap kegundahan Syarif Hidayatullah


akibat diombang-ambing oleh alam pikirannya, berusaha
meredakan suasana dengan mengalihkan pembicaraan ke
masalah Syaikh Abdul Malik Israil, kakek Syarif Hidayatullah, yang
melakukan perjalanan ke Bharatnagari bersamanya. Diingatkan
tentang kakeknya, Syarif Hidayatullah terhenyak dan kemudian
dengan terburu-buru menanyakan perihal kakeknya, “Kami tidak
melihat kakek kami bersama Paman. Di manakah beliau sekarang
ini?”

“Terakhir aku bersama kakekmu di Kandesh,” kata Abdul Jalil


datar. “Tetapi setelah berziarah ke makam gurunya, Syaikh Abdul
Malik al-Isbiliy, kami berpisah. Aku ke Gujarat menjemput istri dan
anakku, kakekmu menemui keluarga Syaikh Abdul Malik al-Isbiliy
di pinggiran kota Kandesh.”

“Ke mana kira-kira kakek kami pergi setelah dari Kandesh,


Paman?”

“Aku tidak tahu pasti ke mana dia pergi. Sebelum berpisah dia
mengatakan akan berkunjung ke Cochizha. Katanya, dia mau
mengingatkan beberapa keluarga Bani Israil dan pemukim Cina di
Cochizha. Keluarga-keluarga Bani Israil itu dikenal penduduk
2035
setempat sebagai lintah darat besar. Sementara pemukim Cina di
Cochizha dikenal sebagai pedagang yang curang, kikir, kelewat
takabur, dan hanya berpikir tentang keuntungan saja sampai-
sampai mereka itu membahayakan saudaranya sesama muslim di
negeri Cina. Menurut kakekmu, dia akan mengingatkan keluarga-
keluarga Bani Israil itu agar tidak beternak ular riba karena hal itu
akan mendatangkan murka Tuhan. Pemukim-pemukim Cina
Cochizha juga akan diingatkan agar menyadari bahwa tindakan
mereka tidak saja akan membuat murka kaisar Cina tapi juga akan
mendatangkan murka Tuhan,” kata Abdul Jalil.

“Apakah peringatan kakek kami itu diindahkan?”

“Aku tidak tahu pasti. Tetapi, kira-kira tiga pekan lalu, saat aku di
Malaka, aku mendapat kabar jika kota Cochizha baru saja diserbu
pasukan Kozhikode yang dipimpin Laksamana Kunjali Marakkar.
Kota Cochizha dijarah. Persekutuan dagang antara raja Cochizha
dan orang-orang Portugis, sekutunya, lari tunggang-langgang
meninggalkan kota dan bersembunyi di pulau Vypin. Menurut
dugaanku, dalam serbuan itu rumah keluarga Bani Israil dan
pemukim Cina di kota Cochizha tentunya ikut dijarah kalau tidak
malahan ada di antara mereka itu yang tewas terbunuh,” kata
Abdul Jalil.

Syarif Hidayatullah menarik napas panjang dan menunduk teringat


pada kakek yang dicintainya. Lalu dengan suara bergetar dia

2036
bertanya, “Apakah kakek kami tidak meninggalkan sesuatu pesan
untuk kami?”

“Sebelum berpisah, Usman Haji, sahabatku terkasih itu memang


berpesan khusus untuk cucunya. Pertama-tama, ia mewanti-wanti
agar cucunya tetap teguh dan tak tergoyahkan menjadi pejuang
Tauhid. Dia mengharap agar di dalam menghadapi kehidupan
yang bakal dilanda prahara perubahan dahsyat, cucunya
mewaspadai dan tidak gampang percaya dengan segala sesuatu
yang ditawarkan para pecinta tubuh dan pendamba kenikmatan
dunia, yang digambarkan kakekmu dengan perlambang kawanan
serigala dan musang,” kata Abdul Jalil.

“Kami akan pusakakan pesan kakek kami. Tapi, apakah


perlambang kawanan serigala dan musang itu menunjuk pada
keberadaan orang-orang Portugis?”

“Engkau bebas menafsirkan pesan kakeku, o Anakku.”

“Apakah itu berarti, kakek kami telah membenarkan kabar yang


disampaikan orang-orang Maghrib bahwa Portugis adalah bangsa
perampok yang akan menjarah kekayaan bangsa-bangsa muslim
dan menyebarkan kesesatan di muka bumi?”

2037
“Aku kira pesan kakekmu tidak tegas-tegas menunjuk pada
keberadaan suatu bangsa. Yang aku tangkap dari pesan kakekmu,
justru dia ingin memberi tahu engkau bahwa zaman kemunculan
manusia-manusia ‘berekor’ pecinta tubuh dan pendamba
kehidupan dunia, yang digambarkan dengan perlambang kawanan
serigala dan musang, sudah sangat dekat waktunya.”

2038
Taj dan Khirqah Sufi

“Kalau menurut Paman sendiri, bagaimana


sesungguhnya orang-orang Portugis itu?”
tanya Syarif Hidayatullah denga benak masih
dikuasai kecurigaan akibat cerita-cerita yang
didapatnya dari orang-orang Maghribi,
“Seberapa berbahayanya mereka itu bagi
kita?”

“Dipandang dari mata indriawi, keberadaan orang-orang Portugis


itu sungguh menakjubkan: perawakannya tinggi, besar, tegap,
gagah, berkulit putih, berhidung mancung, bermata biru, berambut
emas, berkumis dan berjanggut lebat, kalau berbicara suaranya
keras seperti petir, semangatnya tinggi, dan tegas dalam bersikap.
Ditinjau dari sisi kepribadian berdasar pikiran yang jernih diterangi
burhan, mereka tidaklah berbeda dengan bangsa lain: ada yang
baik dan ada pula yang tidak baik. Ada yang ramah dan ada pula
yang tidak ramah. Ada yang cerdas, tapi banyak pula yang bebal.
Ada yang dermawan, tetapi banyak pula yang kikir. Ada yang suka
bercanda, tetapi banyak pula yang pemarah. Tapi kalau kita
melihat mereka dengan pandangan mata batin maka kita akan
menyaksikan mereka tidak lebih dari manusia-manusia yang
menyedihkan keadaan jiwanya, karena kalbunya tertutup hijab
keakuan (rayn) yang tebal dan berkarat. Mereka adalah manusia-
manusia yang terhijab dari Kebenaran karena ruhani mereka tidak
berkembang dewasa, sebaliknya tetap kerdil karena terperangkap
oleh jiwa anak-anak (al-ghulam an-nafsiyyah) yang cenderung
2039
terseret lamunan kosong (al-umniyyah) dan angan-angan kosong
(al-wahm). Di dalam perangkap jiwa anak-anaknya itu, mereka
membayangkan diri secara berlebihan (thaghut) di tengah semakin
kuatnya al-umniyyah dan al-wahm yang bakal memerosokkan
mereka ke sumur khayalan nirwujud (al-mumtani’) tak berdasar,
yang dipadati kabut keakuan yang tebal dan membutakan,” kata
Abdul Jalil.

“Menyedihkan sekali mereka itu,” ujar Syarif Hidayatullah


menggeleng-geleng dan mendecakkan mulut.

“Ya, begitulah mereka. Hampir semua pelaut Portugis yang kuajak


bicara selalu berkhayal tentang kemuliaan diri mereka sebagai
prajurit-prajurit tuhan yang gagah perkasa, agung, mulia, dan suci.
Mereka semua merasa memiliki kewenangan untuk
membinasakan orang-orang kafir dan menghukum pelaku bid’ah
dalam agama. Mereka merasa ini dan itu yang terkait dengan
kehebatan diri sebagai pejuang tuhan. Tetapi, di balik pengakuan
sepihak berdasar khayalan itu, mereka sedikit pun tidak
mencerminkan citra diri sebagai prajurit-prajurit tuhan yang agung,
suci, dan mulia. Sebaliknya, mereka justru mencerminkan citra diri
sahabat setan: dekil, jarang mandi, tidak kenal siwak, boros, suka
membual, selalu mabuk, akrab dengan perzinahan, takabur,
tamak, kejam, gampang membunuh, dan tidak mengorangkan
orang.”

2040
“Kami memahami perilaku orang-orang yang terhijab dari
Kebenaran memang seperti itu. Tetapi dari uraian Paman tadi,
pangkal keterperangkapan mereka ke dalam khayalan nirwujud
(al-mumtani’) itu berawal dari jiwa anak-anak yang memerangkap
mereka. Apakah sesungguhnya yang Paman maksud dengan jiwa
anak-anak itu? Kenapa mereka bisa terjerat oleh jiwa itu?” tanya
Syarif Hidayatullah minta penegasan.

“Jiwa anak-anak, al-ghulam an-nafsiyyah, adalah jiwa yang


ditandai kecenderungan untuk memandang sesuatu berdasar
ukuran anak-anak, yaitu menyenangkan dan tidak menyenangkan.
Berdasar ukuran menyenangkan dan tidak menyenangkan itulah
jiwa anak-anak itu mengukur nilai baik dan buruk, halal dan haram,
benar dan salah, untung dan rugi, berat dan ringan, kalah dan
menang, pantas dan tidak pantas, mudah dan sulit, lurus dan
bengkok. Engkau bisa membayangkan sendiri apa jadinya tatanan
kehidupan suatu kaum jika sebagian besar di antara mereka itu
mendasarkan nilai-nilainya pada ukuran menyenangkan dan tidak
menyenangkan,” kata Abdul Jalil.

“Tentu akan terjadi perpecahan dan kekisruhan karena semua


orang cenderung memilih yang menyenangkan nafsunya,” kata
Syarif Hidayatullah.

“Tapi, yang tidak kalah berbahaya dari jiwa anak-anak adalah


kecenderungan untuk menyeret kesadaran manusia ke lingkaran
setan yang penuh dipadati pintalan al-umniyyah dan lembaran al-
2041
wahm, yang dihiasi corak dan gambar al-mumtani’, di mana
ujungnya padat, pejal, dangkal, bendawi, dan menjerat keakuan.
Nah, dengan jiwa anak-anak itulah orang-orang Portugis yang
pernah kuajak berbicara itu memaknai segala sesuatu. Mereka
selalu menggunakan ukuran menyenangkan dan tidak
menyenangkan. Mereka dengan kekanak-kanakan memaknai nilai
Kebenaran agama, begini: ‘Kebenaran adalah sesuatu yang
menyenangkan, menguntungkan, membebaskan, mengasihi,
mengampuni, dan melimpahi manusia tanpa batas. Lantaran itu,
kami tidak mau menyembah Tuhan yang tidak menyenangkan,
tidak menguntungkan, tidak membebaskan, tidak mengasihi, tidak
mengampuni, tidak mau berkorban, dan tidak melimpahi kami
dengan macam-macam kenikmatan. Kami menampik tuhan yang
ganas, suka mengancam, suka menyiksa, dan selalu membebani
manusia dengan aturan-aturan berat.”

“Lantaran mereka berpandangan kekanak-kanakan seperti itu


maka saat memperbincangkan masalah Kebenaran agama, aku
dan kakekmu mereka jadikan bahan tertawaan. Mereka menilai
kami sebagai orang-orang konyol karena telah bertindak bodoh,
mengikuti agama yang keras, kejam, memberatkan, dan
menyengsarakan manusia. Mereka menertawakan kebodohan
kami yang mau saja menjalankan ibadah berat dan
menyengsarakan seperti berpuasa sebulan penuh, berkhitan
memotong kulup kemaluan, bersembahyang lima kali sehari,
berzakat membuang harta, berkurban menyembelih domba,
berhaji dengan biaya sangat mahal dan risiko bahaya tinggi, tidak
boleh minum anggur yang memabukkan, dilarang makan babi,

2042
dilarang melacur, dilarang membungakan uang, dilarang ini dan
itu, yang semua larangan itu sebenarnya nikmat dan lezat.”

“Penilaian miring itu ternyata tidak hanya ditujukan kepada kami,


orang yang berbeda agama. Pendeta-pendeta mereka sendiri pun
mereka nilai sebagai kumpulan orang malas, bodoh, dan rakus.
Tanpa rasa hormat sedikit pun mereka memberi sebutan-sebutan
merendahkan kepada pendeta-pendeta mereka seperti ‘si tambun
rakus’, ‘pencuri berkedok rahib’, atau ‘si rakus penimbun’. Bahkan
tanpa rasa malu, mereka sambil tertawa-tawa mengaku hampir
tidak pernah bersembahyang ke gereja.”

“Aneh sekali mereka itu?”

“Itulah yang aku katakan bahwa mereka adalah manusia-manusia


terhijab yang terperangkap jiwa anak-anak, yaitu orang dewasa
yang cenderung menilai segala sesuatu berdasar ukuran
menyenangkan dan tidak menyenangkan. Mereka boleh kita
golongkan sebagai orang-orang beragama yang tidak beriman
sebab mereka menjadikan agama tidak lebih hanya sebagai adat
istiadat kepantasan atau identitas kaum saja. Tapi, dengan
ceritaku ini, engkau jangan terburu menilai semua orang Portugis
berjiwa anak-anak. Sebab, yang aku ajak berbicara di Bharatnagari
adalah pelaut-pelaut Portugis yang dekil, kasar, kejam, pongah,
gemar mengumbar kesyahwatan, pemuja benda-benda,
pendamba kelezatan duniawi, dan mengkhayal dalam keyakinan.
Aku belum berkenalan dengan pendeta dan ruhaniwan mereka.
2043
Aku mengira, pendeta dan ruhaniwan mereka mestinya berbeda
dengan pelaut-pelaut dekil itu,” kata Abdul Jalil.

“Jika pelaut-pelaut Portugis yang datang ke Bharatnagari seperti


itu gambarannya, berarti kabar langit yang pernah disampaikan
Syaikh Ibrahim al-Uryan tentang serigala dan musang yang keluar
dari bulu burung gagak, sekarang ini sudah menampakkan
bayangannya, Paman?”

“Engkau bebas menafsirkan kabar langit itu, o Anakku. Tetapi, ada


satu hal yang wajib engkau ingat tentang sesuatu yang terkait
denga kabar langit.”

“Apa itu, Paman?”

“Pertama-tama, kabar langit tidak pernah ditujukan kepada satu


bangsa tertentu. Perlambang kawanan serigala dan musang bisa
menunjuk pada bangsa mana saja yang memenuhi syarat di mana
kabar tersebut tergenapi. Singkatnya, kawanan serigala dan
musang itu bisa muncul pada bangsa mana pun di dunia.”

“Apakah mungkin kawanan serigala dan musang muncul dari


antara bangsa-bangsa di negeri Timur?”

2044
“Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, o Anakku,” kata Abdul
Jalil menegaskan, “Tetapi ada satu hal yang patut engkau jadikan
pedoman dalam memaknai kabar langit yang disampaikan Syaikh
Ibrahim al-Uryan, yang sasmita gaibnya telah aku tangkap dengan
makna yang lebih tegas.”

“Kami akan mempusakakan petunjuk Paman.”

“Sesungguhnya, di balik perlambang munculnya kawanan serigala


dan musang dari balik bulu burung gagak, terselip makna hakiki
yang mengabarkan tentang bakal munculnya kawanan manusia
berekor, manusia-manusia sudra papa pengumpul benda-benda
duniawi, pendamba kelezatan dunia, pemuja setia nafsu rendah
badani, penyembah ibunda Bhumi, Sang Prthiwi, yang tersamar.
Mereka akan bermunculan ke permukaan bumi dengan jumlah tak
terhitung, laksana daun-daun di hutan yang berguguran ke atas
tanah. Mereka dengan semangat mencintai bumi yang berkobar-
kobar akan mendatangi negeri-negeri makmur dan menaklukkan
bangsa-bangsa penghuninya untuk dijadikan budak. Mereka,
sebagaimana para penguasa Ksetra pemuja Sang Prthiwi, akan
menggunakan gelar kebesaran: Wisesa Dharani (Sansekerta:
Penguasa Bhumi). Lalu, dengan gelar itu mereka akan
menempatkan diri sebagai penguasa yang berwenang menguasai
dan mengatur seluruh tatanan kehidupan negeri-negeri yang
sudah mereka taklukkan.”

2045
“Waspadalah terhadap mereka. Sebab, sebagai pengumpul
benda-benda duniawi, pemuja bumi, pengumbar nafsu rendah
badani, pendamba kelezatan duniawi, penyembah Prthiwi, mereka
adalah manusia-manusia berekor pemuja bumi sejati. Maknanya,
sebagai pemuja bumi sejati, manusia-manusia berekor itu akan
menampik semua ajaran agama yang bersifat ukhrawi karena tidak
berkaitan dengan bumi. Bagi mereka, kebenaran hanyalah sesuatu
yang terkait dengan bumi. Sehingga, segala sesuatu yang tidak
berkaitan dengan bumi apalagi tidak bisa dinikmati di bumi ini akan
mereka tampik sebagai kebohongan besar. Namun demikian,
hendaknya engkau selalu waspada karena manusia-manusia
berekor itu dalam usahanya merampok, menjarah, merampas, dan
menguasai negeri-negeri dan bangsa-bangsa di bumi hampir
selalu mengibarkan bendera agama-agama untuk mengecoh
manusia yang kurang waspada.”

“Waspadalah terhadap mereka. Sebab, sebagai pemuja Sang


Bhumi yang tersamar, mereka itu sejatinya masih setia melakukan
upacara korban manusia untuk santapan Sang Bhumi beserta para
bhuta pengikutnya. Tetapi, berbeda dengan tata cara pengorbanan
lama yang mensyaratkan orang-orang sukerta sebagai bebanten
untuk bhuta, mereka menetapkan syarat bagi orang-orang yang
bakal dikorbankan untuk bebanten itu begini: orang-orang yang
berani melawan penguasa bumi, orang-orang yang berani
meminta haknya atas tanah, orang-orang yang berusaha beroleh
kelimpahan hasil kemakmuran bumi, orang-orang yang berjuang
membebaskan diri dari kekuasaan penguasa bumi, orang-orang
yang berusaha memegahkan diri menjadi penguasa bumi seperti
mereka. Korban persembahan yang dilakukan para pemuja Sang
2046
Bhumi yang tersamar itu tidaklah disembelih di ksetra-ksetra,
melainkan di jalan-jalan, kerangkeng bawah tanah, tempat-tempat
peradilan, dan medan perang, bahkan jumlahnya jauh lebih besar
dibanding korban serupa di masa silam.”

“Sungguh mengerikan tanda-tanda kemunculan manusia-manusia


berekor pemuja Sang Bhumi yang tersamar itu. Apakah ikhtiar
untuk menghindari tengara mengerikan itu, Paman?”

“Ketahuilah, o Anakku, bahwa kabar langit yang disampaikan


Syaikh Ibrahim al-Uryan dan telah aku tangkap sasmita di baliknya
itu pada hakikatnya adalah ketetapan Sang Penentu (al-Muqtadir)
yang sudah ditulis dengan Pena Mulia (al-qalam al-‘ala) pada
Lembaran Terjaga (al-Lauh al-Mahfuzh). Itu berarti, tidak ada satu
pun makhluk yang bisa mengubah ketentuan-Nya itu. Kita,
manusia, hanya bisa pasrah kepada-Nya dan berharap bagaimana
kita bisa terhindar dari pengaruh jahat makhluk ciptaan-Nya. Dan
khusus untuk menghindari pengaruh jahat kawanan pemuja Sang
Bhumi itu, hendaknya kita memohon kepada-Nya dengan do’a
yang diajarkan Rasulullah Saw.: Allahumma inni ‘audzubika min
‘adzabi jahannam wa min ‘adzabi qabri wa min fitnah al-mahya wa
al mamati wa min fitnah al-masihi ad-dajjal.”

Seperti tidak peduli dengan keadaan genting yang mengintai


Caruban, malam itu Abdul Jalil menyampaikan pelajaran khusus
tentang intisari Tauhid dan sekaligus memberikan ijasah berupa taj
dan khirqah sufi kepada Syarif Hidayatullah, Raden Mahdum
2047
Ibrahim, dan Raden Qasim. Dengan suara lain, ia menjelaskan
tentang tiga pusaka lambang kemuliaan kaum sufi itu,
“Sesungguhnya, aku tidak memiliki apa-apa yang tersisa kecuali
tiga benda lambang kemuliaan para sufi. Yang pertama adalah taj,
mahkota sufi, yang aku peroleh dari sahabatku Syaikh Jumad al-
Kubra. Taj ini adalah pemberian dari mursyid Tarekat Kubrawiyyah
Syaikh Sayyid Abdullah Barzisyabadi yang khusus diberikan
kepadaku melalui Syaikh Jumad al-Kubra. Yang kedua adalah taj
dan khirqah (jubah sufi bertambal-tambal) yang aku peroleh dari
guru ruhaniku, Syaikh Abdul Ghafur al-Gujarati, mursyid Tarekat
Syattariyyah di Gujarat. Beberapa waktu sebelum ia wafat, ia
menitipkan taj dan khirqah itu kepada mertuaku untuk disampaikan
kepadaku jika sewaktu-waktu aku kembali ke Gujarat.”

“Bagi orang awam yang cenderung melihat sesuatu dari bentuk


luar, taj dan khirqah sufi tidak lebih dari kain lap yang tidak
berharga. Tetapi, bagi yang memahami jalan sufi, taj dan khirqah
sufi adalah lambang kemuliaan dan keluhuran. Khirqah biasanya
diberikan mursyid kepada salik yang menjalani tarekat atau telah
menyelesaikan jalan ruhani (suluk). Sedang taj diberikan kepada
salik atau sufi lain sebagai penghormatan khusus. Tetapi, bagiku,
taj yang terbaik adalah memahkotai diri dengan Kepasrahan (al-
Islam) dan menenggelamkan keakuan diri pada tujuh samudera
Kebenaran: al-Islam – Iman – ihsan – ‘ilm – al-yaqin – ‘ain al-yaqin
– haqq al-yaqin – al-Islam; lillah – billah – ma’allah; inna li Allahi wa
inna ilaihi raji’un. Bagiku, khirqah terbaik adalah menyelubungi diri
ke dalam liputan tujuh petala langit al-Wujud: nasut –mitsal –
malakut – jabarut – lahut – hahut; lillah – billah – ma’allah; inna li
Allaihi wa inna ilaihi raji’un.”
2048
“Malam ini, taj pemberian mursyid Tarekat Kubrawiyyah Syaikh
Sayyid Abdullah Barzisyabadi aku berikan kepada putera
saudaraku, Raden Mahdum Ibrahim. Taj pemberian mursyid
Tarekat Syattariyyag Syaikh Abdul Ghafur al-Gujarati aku berikan
kepada Syarif Hidayatullah, cucu sahabatku, Usman Haji, Syaikh
Abdul Malik Israil al-Gharnata. Khirqah aku berikan kepada putera
saudaraku, Raden Qasim. Dengan taj dan khirqah ini, kalian
bertiga telah beroleh ijasah yang sah dari Tarekat Kubrawiyyah dan
Tarekat Syattariyyah. Tetapi, satu hal yang aku inginkan dari kalian
dalam menyikapi keberadaan taj dan khirqah itu, yaitu tidak ada
kewajiban bagi kalian untuk secara terang-terangan
mengungkapkan jati diri sebagai mursyid Tarekat Kubrawiyyah dan
Syattariyyah. Kalian boleh mengajarkan jalan ruhani dengan nama
apa saja asalkan intisari ajarannya sama: Tauhid.”

“Sungguh, telah aku jelajahi negeri-negeri, telah aku kenal bangsa-


bangsa, dan telah aku ketahui madzhab-madzab serta tarekat-
tarekat termasyhur yang dianut manusia. Sungguh, telah aku
saksikan bahwa runtuhnya keagungan dan keluhuran madzhab
dan tarekat selalu diawali dari pemberhalaan nama. Orang-orang
bodoh dan picik sering kedapatan memberhalakan madzhabnya
dan melakukan upacara korban darah dengan menyembelih
saudara seiman yang berbeda madzhab dan tarekat. Sungguh,
telah aku saksikan madzhab-madzhab agung dan luhur ‘disucikan’
oleh para penganutnya yang picik dengan darah dan kebencian.
Sungguh, telah aku saksikan pula tarekat-tarekat yang suci dan
mulia ‘disucikan’ oleh pengikut-pengikut picik dengan darah dan air
mata. Orang-orang picik dan bebal, dengan pengetahuannya yang
dangkal tentang jalan ruhani, banyak yang tidak mampu
2049
menangkap makna hakiki di balik nama sebuah tarekat. Mereka
terpaku pada nama yang mereka jelmakan sebagai mahkota
kesombongan dan jubah kejahatan. Mereka tanpa sadar telah
terjerat ke dalam perangkap angan-angan kosong yang mereka
tebar sendiri. Mereka telah menempatkan nama tarekat sebagai
citra Kebenaran Hakiki. Dan ujung dari pemberhalaan nama
tarekat itu adalah pemberhalaan nama mursyid.”

“Selama perjalananku mendatangi negeri-negeri, telah sering


kudapati orang-orang picik dan jahil yang saling bertarung
memperebutkan jabatan mursyid sebuah tarekat. Mereka itu picik
karena cakrawala kesadaran nalarnya sudah tertutupi kabut khayal
yang bergumpal-gumpal. Lalu, mereka menjadi jahil karena
dengan kepicikan itu mereka memberhalakan nama tarekat.
Mereka menganggap nama tarekat adalah sama dan sebangun
dengan Kebenaran. Lantaran itu, menurut mereka, dengan
menjadi mursyid suatu tarekat maka sama dengan menjadi satu-
satunya ‘penuntun’ menuju Kebenaran. Nah, ujung dari
pemberhalaan nama tarekat itu adalah pemberhalaan diri pribadi
sang mursyid.”

“Sungguh memuakkan mereka itu bagiku. Dengan lidahnya yang


bercabang, mereka tidak segan menghalalkan cara apa saja,
termasuk menghalalkan darah saudara yang dianggap pesaing
dalam memperebutkan nama. Dan, hasil dari pertarungan itu
sering kali seperti ini: mereka yang muncul sebagai pemenang
akan menempatkan diri sebagai mursyid, pengejawantahan Yang
Maha Menunjuki (ar-Rasyid), pembimbing ruhani sempurna (kamil
2050
al-mukamil), satu-satunya penunjuk dan sekaligus penuntun suci
menuju Kebenaran. Padahal, kalau dilihat dari sisi batiniah,
mereka itu sejatinya hanyalah seorang mushtawif: sufi gadungan!
Mursyid palsu!”

“Sungguh aku bersaksi bahwa mereka sejatinya adalah orang-


orang yang berbahaya, karena membimbing banyak orang ke arah
Kebenaran tanpa pengetahuan ruhani yang benar. Mereka ibarat
orang-orang buta membawa obor yang diikuti orang-orang buta
lain. Mereka berjalan saling berpegangan karena akan menuju
tempat yang sangat jauh, yaitu negeri harapan tempat orang-orang
buta dicelikkan matanya. Mereka akan berjalan melintasi tujuh
lembah, tujuh hutan, tujuh gunung, tujuh jurang, tujuh gurun, tujuh
benteng, tujuh samudera, tetapi sedikit pun mereka tidak mau
bertanya kepada orang lain yang mereka jumpai di tengah
perjalanan, karena mereka sangat yakin jika jalannyalah yang
paling benar. Sungguh, musthawif sesat itu akan menyesatkan diri
sendiri dan orang lain, seperti orang buta penunjuk jalan yang
menyesatkan orang buta lainnya.”

“Untuk menghindari terjadinya pemberhalaan terhadap nama-


nama tarekat yang berujung pada pemberhalaan mursyid, aku
mengharap kepada guru-guru ruhani yang mempercayaiku untuk
tidak terpaku pada salah satu nama tarekat. Itu sebabnya, guru-
guru ruhani yang mengikuti jalanku menamai tarekat yang
dipimpinnya dengan beragam nama: Akmaliyyah, Syattariyyah,
Haqqmaliyyah, Khaliqiyyah, Kejawen, dan Sunda Wiwitan. Apa
pun nama tarekat yang beragam itu, pada intinya semua terlarang
2051
memberhalakan nama masing-masing. Semua pengamal tarekat
harus menghormati pengamal lain yang menempuh ‘jalan’
berbeda, sebagaimana Rasulullah Saw. Menghormati Uwaisy al-
Qarny.”

“Aku beritahukan kepada kalian bertiga bahwa dengan beroleh taj


dan khirqah ini, sesungguhnya tugas yang kalian pikul akan lebih
berat. Sebab, kalian harus mentauhidkan berbagai adat istiadat
dan kepercayaan jahil yang tumbuh semula maupun yang datang
bergelombang-gelombang ke Nusa Jawa ini. Kalian harus berpacu
dengan waktu untuk mengajarkan Tauhid kepada penduduk Nusa
Jawa seluas-luasnya, sebelum kawanan serigala dan musang
yang keluar dari bulu burung gagak datang dan menyerbu
kediamanmu. Tugas utama kalian adalah meneruskan
pembangunan benteng Tauhid yang dasar-dasarnya sudah dirintis
oleh pejuang-pejuang Tauhid terdahulu. Kalian harus mengawal
benteng itu dengan sebaik-baiknya sehingga saat datang
waktunya, ketika kawanan serigala dan musang yang kelaparan
menghampiri benteng yang kalian kawal, kalian tidak perlu syak
dan ragu lagi menghadapi mereka, karena Yang Mahatunggal (al-
Ahad), Penguasa Sejati benteng, akan melindungi benteng-Nya
dan sekaligus menghalau makhluk-makhluk rendah yang
mendekat dengan cara-Nya yang tak terpikirkan.”

“Aku beritahukan kepada kalian, kebanyakan runtuhnya benteng


Tauhid bukanlah akibat serangan kawanan musuh dari luar.
Sebaliknya, dinding-dinding benteng Tauhid sering kali dibongkar
dan digali dari dalam oleh penghuni-penghuninya yang bodoh dan
2052
jahil. Lantaran itu, jagalah kebersihan benteng Tauhid yang kalian
kawal. Jangan biarkan tikus-tikus tanah dan tikus-tikus air
bersarang dan beranak-pinak di situ. Jangan biarkan retakan atau
lubang menandai dinding benteng sehingga memungkinkan bagi
hewan-hewan buas dari hutan dengan leluasa masuk ke dalam.
Sebab, seekor saja di antara hewan-hewan buas itu masuk
benteng maka inilah yang akan terjadi: dia akan menggigit
penghuni benteng yang paling lemah. Mereka yang sudah terkena
gigitan hatinya menjadi biru dan beku. Lalu mereka menjadi mayat-
mayat , tubuh tak bernyawa, kerangka kosong tak berjiwa (ash-
shuwar al-qa’imah) yang patuh terhadap semua perintah hewan
buas.”

“Jika sebagian penghuni benteng Tauhid sudah menjadi mayat-


mayat, tubuh-tubuh tak bernyawa, kerangka kosong tak berjiwa
yang berkeliaran menakut-nakuti manusia seperti kawanan hantu,
maka kawanan serigala dan musang akan datang menyerbu
benteng dengan dipimpin rajanya. Mayat-mayat di dalam benteng
akan membukakan gerbang. Atau, meruntuhkan dinding benteng
dari dalam. Atau, membuat kekisruhan di dalam benteng hingga
para penghuninya lari ke luar. Atau, menjadi penunjuk jalan bagi
kawanan serigala melalui terowongan-terowongan yang dibuat
tikus-tikus. Jika para serigala dan musang sudah menguasai
benteng maka para penghuni benteng yang masih hidup akan
mereka mangsa dan sisanya akan mereka jadikan budak. Harta
benda dan segala jenis makanan simpanan di dalam benteng akan
mereka jarah dan mereka usung ke negeri serigala. Lalu benteng
itu akan dirajai oleh raja serigala. Lalu peraturan hukum di dalam
benteng pun diganti menjadi peraturan serigala. Lalu, manusia-
2053
manusia penghuni benteng akan hidup menderita
berkepanjangan.”

“Jika sebuah benteng Tauhid sudah dirajai serigala dan diatur


dengan hukum serigala, maka sudah tidak bergunalah benteng itu
sebagai tempat berlindung bagi kaum beriman yang bertauhid.
Sebab, benteng itu sudah tidak pantas lagi disebut benteng Tauhid,
persemayaman Yang Mahabenar (al-Haqq), Yang Tunggal (al-
Ahad), Pemilik Kemuliaan dan Kesucian (dzul jalali wa al-ikram)
karena penguasa dan penghuninya tidak lagi menebarkan rahmat
bagi alam tetapi malah menebarkan kerusakan dan malapetaka
dan kesengsaraan bagi makhluk sekitarnya. Lantaran itu, Dia,
Yang Mahakuasa (al-Muqtadir), Yang Mahaperkasa (al-Jabbar),
Yang Maha Meberi Bahaya (adh-Dharr), Yang Maha Meruntuhkan
(al-Khafidh), Yang Maha Menghinakan (al-Mudzill), akan
menghancurkan benteng celaka itu dengan cara mengirimkan
makhluk-makhluk buas dan mengerikan. Makhluk-makhuk buas
dan mengerikan itu akan bertarung dengan serigala-serigala dan
musang-musang penguasa benteng. Di tengah pertarungan
antarmakhluk buas itu, bertumbanganlah sisa-sisa manusia
penghuni benteng seperti buah busuk berguguran dari pohon.”

Sebagaimana lazimnya mendengar wejangan ruhani seorang guru


ruhani, Syarif Hidayatullah, Raden Mahdum Ibrahim, dan Raden
Qasim tidak sedikit pun bertanya. Mereka hanya mendengar dan
merenungkan makna dari ucapan-ucapan yang mereka dengar.
Baru setelah Abdul Jalil usai menyampaikan wejangan, Syarif
Hidayatullah bertanya tentang latar dianugerahinya mereka bertiga
2054
dengan taj dan khirqah sufi. Dengan suara menahan kegetiran dia
bertanya, “Apakah Paman menganugerahi kami bertiga dengan taj
dan khirqah ini dengan maksud agar kami pergi meninggalkan
Caruban dan menjadi guru suci, susuhunan, di tempat yang jauh
dari Caruban? Apakah itu berarti kami tidak perlu lagi melakukan
perlawanan terhadap pasukan Galuh Pakuwan yang akan
menyerbu kuta?”

Abdul Jalil tertawa. Kemudian dengan suara lain ia berkata,


“Engkau masih belum melepaskan diri dari prasangka (zhan), o
Anakku. Engkau masih dicekam oleh keraguan dalam menangkap
sasmita Asma’, Af’al, dan Shifat-Nya karena keterlibatan akal
pikiranmu yang kuat. Padahal, dengan bersabar menggunakan
piranti kalbu, yang menjadi takhta bagi penglihatan batin, engkau
akan bisa menangkap sasmita itu. Bukanlah selama ini engkau
sudah terbiasa menggunakan penglihatan mata batin? Kenapa
sekarang tiba-tiba terpejam kembali?”

“Maafkan kami, Paman. Kami bingung akibat datangnya kabar


buruk yang bertubi-tubi dari medan tempur. Kami tercekam dengan
akal dan pikiran kami sehingga melalikan kalbu kami,” kata Syarif
Hidayatullah mengiba.

“Bukankah aku telah mengajarkan engkau tentang bagaimana


dengan al-ism al-‘azham yang paling rahasia, dan pengetahuan
rahasia tentang Shifat dan Af’al-Nya, kita, manusia, bisa memohon
kepada Dia, Tuhan Yang Mahaperkasa (al-Jabbar), Yang
2055
Mahakuat (al-Qawiy), Yang Maha Melindungi, Yang Maha
Membinasakan (al-Mumit), Yang Maha Menyiksa (al-Muntaqim),
Yang Maha Memberi Bahaya (adh-Dharr), Yang Maha
Meruntuhkan (al-Khafidh), untuk mengerahkan bala tentara-Nya
(jundullah) yang gaib? Apakah engkau sudah melupakan itu
semua?”

“Kami merasa bersalah, Paman. Kami bingung karena secara


mendadak diserahi tugas menggantikan kedudukan ramanda
khalifah. Dan tanpa kami sangka-sangka, tahu-tahu wilayah kami
diserbu musuh dalam jumlah banyak. Sungguh, kami bingung dan
sejauh ini kami hanya menggunakan naluri dan akal pikiran saja
dalam memecahkan masalah.”

Abdul Jalil tertawa. Kemudian dengan suara ditekan ia berkata


lantang, “Sekarang kalian berdua, Syarif Hidayatullah dan Raden
Qasim, berdoalah kepada-Nya dengan al-ism al-‘azham yang
paling rahasia. Satukan kiblat hati dan pikiran kalian hanya kepada-
Nya. Resapi kerahasiaan Shifat dan Af’al-Nya sampai kalian
berdua merasakan kehadiran-Nya. Lalu, jika kalian sudah ‘sampai’,
mintalah Dia agar mengirimkan bala tentara-Nya untuk memporak-
porandakan pasukan Galuh Pakuwan.” Kemudian, dengan
isyarah, ia mengajak Raden Mahdum Ibrahim meninggalkan
Ndalem Pakungwati, menembus kegelapan malam yang diselimuti
kabut tebal.

2056
Bermula dari Kemenangan Tak
Terduga

Awan putih berarak rendah di langit biru.


Matahari bersinar terang di atas bukit-bukit
yang membentang di kaki gunung Ciremai.
Cahayanya yang kuning keperakan menyinari
tanah basah berlumpur yang diguyur hujan
semalaman. Di lereng gunung Gundul di sebuah hamparan tanah
berumput alang-alang yang sudah diaduk-aduk dengan gumpalan
tanah dan genangan air keruh, terbaring ribuan tubuh tak bernyawa
terbalut lumpur dan dibasahi darah segar. Dilihat dari pakaian yang
dikenakan dan panji-panji yang berserak di sekitarnya, tubuh-tubuh
bergelimpangan tanpa nyawa itu adalah prajurit Galuh Pakuwan.

Suasana pagi itu, meski terang, terasa sangat mencekam. Sejauh


mata memandang yang terlihat hanya tubuh-tubuh manusia tak
bernyawa yang bergelimpangan di antara bangkai-bangkai kuda
dan gajah, tombak-tombak patah, perisai-perisai belah, pedang-
pedang bertindihan, anak-anak panah bertancapan, dan panji-
panji yang berserakan penuh lumpur. Sejauh telinga menguping
tidak terdengar kicau burung atau suara margasatwa di sekitar
tempat itu. Satu-satunya suara yang terdengar adalah dengung
beribu-ribu kawanan lalat yang beterbangan mengerumuni mayat-
mayat dan bangkai-bangkai hewan yang berserak.

2057
Di tengah suasana mencekam, di antara hamparan tanah lumpur
yang teraduk-aduk, di sela-sela tubuh-tubuh manusia tak
bernyawa dan bangkai-bangkai yang berserakan, Abdul Jalil dan
Raden Mahdum Ibrahim berdiri termangu-mangu sambil sesekali
memuji kebesaran Ilahi karena mereka menangkap ‘bekas jejak’
Sang Maut melingkupi tempat itu. Tapi belum lama mereka
meresapi ‘bekas jejak’ Sang Maut yang mengerikan itu, tiba-tiba
dari arah puncak gunung terlihat iring-iringan orang menuruni
jalanan berlumpur yang terjal. Iring-iringan itu tidak lain dan tidak
bukan adalah prajurit dan pejuang Caruban yang terluka. Jumlah
mereka sekitar tiga puluh orang. Sebagian di antara mereka adalah
penduduk Kalisapu, Jatimerta, Babadan, dan Muara. Di antara
mereka terlihat Syaikh Duyuskhani, Abdul Karim Wang Tao, dan Ki
Anggasura yang terluka agak parah.

Ketika para prajurit dan pejuang Caruban itu melihat Abdul Jalil,
mereka tampak terkejut dan terperangah kebingungan. Mereka
saling pandang. Lalu, seperti tidak peduli dengan luka yang diderita
dan rasa sakit yang dirasakan, mereka berhamburan menghapiri
Abdul Jalil sambil berteriak-teriak kegirangan seperti anak kecil.
Mereka berebut menyalami dan mencium tangannya. Sebagian
lagi merangkul kaki Abdul Jalil dengan isak tangis dan yang lain
menarik-narik jubahnya atau mengusap kakinya. Abdul Jalil yang
heran melihat tindakan mereka, dengan suara ditekan tinggi
bertanya, “Ada apa ini? Apa sesungguhnya yang telah terjadi
sampai kalian bertindak berlebihan seperti ini?”

2058
Para prajurit dan pejuang Caruban yang mengerumuni Abdul Jalil
diam. Satu pun tidak ada yang menjawab pertanyaannya.
Sebaliknya, mereka malah bersujud beramai-ramai dan menangis
terisak. Abdul Jalil yang terheran-heran melangkah ke depan
mendekati Syaikh Duyuskhani sambil bertanya, “Apakah
sesungguhnya yang telah terjadi, Tuan Syaikh? Kenapa mereka
berlebihan seperti itu menyambut aku? Bukankah yang
seharusnya dielu-elukan sebagai pahlawan adalah mereka?”

Syaikh Duyuskhani yang dipapah dua orang muridnya diam tak


menjawab. Sejurus kemudian dia berkata, “Semalaman kami baru
saja mengalami sebuah peristiwa yang sangat menggetarkan.
Sebuah peristiwa ajaib yang tidak bakal kami lupakan seumur
hidup.”

“Peristiwa ajaib apakah itu, o Tuan Syaikh?” tanya Abdul Jalil ingin
tahu.

“Malam tadi, andaikata tidak terjadi keajaiban, kami semua tidak


akan bertemu dengan Tuan Syaikh di sini,” papar Syaikh
Duyuskhani menjelaskan peristiwa menggetarkan itu. Kemarin,
sepanjang hari, langit terlihat redup dan suram, diliputi gumpalan
awan hitam yang berdesak-desak dengan awan kelabu. Sejak pagi
matahari tidak terlihat. Seperti redup dan suramnya langit itulah
hati para prajurit dan pejuang Caruban. Sejak subuh, dengan
perasaan tertekan, mereka menunggu datangnya badai
pertempuran yang bakal melanda mereka. Perasaan mereka
2059
makin tertekan manakala di pagi yang suram itu terlihat lautan
panji, bendera, umbul-umbul, dan tombak beriap-riap di lembah
yang membentang di kaki selatan gunung Gundul, timbul
tenggelam di tengah hamparan rumput alang-alang dan semak-
belukar.

Sesungguhnya, perasaan tertekan itu bukan hanya dirasakan para


prajurit dan pejuang Caruban. Para tetunggul Caruban pun diam-
diam merasa tertekan luar biasa karena mereka harus bertempur
tanpa didampingi pemimpin tertinggi yang mereka jadikan kiblat
panutan: Sri Mangana. Jiwa mereka tertekan, keyakinan mereka
goyah, dan semangat tempur mereka padam. Bahkan, tanpa
sadar, tiba-tiba mereka semua merasakan semacam
ketidakpedulian menjerat jiwa mereka, terutama akibat santernya
kabar yang menyatakan bahwa Sri Mangana sebenarnya sudah
tewas dibunuh menantunya. Mereka semua merasa tidak perlu lagi
bertempur menghadapi musuh karena tidak ada lagi junjungan
yang perlu mereka bela. Di tengah ketidakpedulian itu, mereka
merasa seperti anak ayam kehilangan induk; anak ayam yang
berciap-ciap dan berlari tak tentu arah mencari perlindungan saat
diserang kawanan musang dan burung elang.

Di tengah suasana yang menekan itu, Angga, wali nagari


Kuningan, manggalayudha Caruban, mengambil keputusan
mengejutkan, yaitu menawarkan pertarungan antartetunggul.
Pertempuran dua belah pihak yang hanya dilakukan oleh para
tetunggul masing-masing tanpa melibatkan prajurit. Wali nagari
Kuningan yakin, dalam pertarungan antartetunggul itu pihaknya
2060
akan meraih kemenangan karena memiliki pendekar-pendekar
yang termasyhur kehebatannya di medan tempur. Tanpa syak
sedikit pun ia percaya para tetunggul Caruban akan mudah
mematahkan kehebatan tetunggul-tetunggung Galuh Pakuwan
yang kebanyakan sangat mengandalkan ilmu kawedukan, ilmu
karosan, pangerutan, dan pangabaran.

Dalam pertarungan itu, wali nagari Kuningan berhadapan dengan


musuh lamanya, Adipati Kiban. Keduanya, adalah seteru lama
yang saling berhasrat menghancurkan. Mereka bertarung sengit
seperti harimau kelaparan dan banteng luka. Dalam sekejap, di
tengah sorak-sorai prajuri kedua pihak, arena pertarungan berubah
menjadi palagan menggetarkan. Serpihan tanah dan batu
barhamburan di tengah kepulan debu yang bergumpal-gumpal.
Kelebatan tubuh dan senjata beradu teraduk-aduk di tengah suara
menggiriskan, seperti cangkul ditancapkan berulang-ulang pada
tumpukan kerikil. Akibat sengitnya pertarungan, tanpa sadar
keduanya telah berlaga keluar jauh dari arena. Beberapa puluh
prajurit dari kedua pihak diperintah untuk mengikuti dan sekaligus
mengawal dua orang manggalayuddha itu.

Selama menunggu akhir pertarungan wali nagari Kuningan dengan


Adipati Kiban, Ki Anggasura maju ke tengah arena berhadapan
dengan Ki Dipasara. Namun, jauh dari perhitungan wali nagari
Kuningan, Ki Anggasura yang sejak awal sudah tertekan, semakin
kehilangan semangat tempur dan ketrampilan bertarung sebelum
tampil di palagan. Dalam dua tiga kali gebrakan, ia tumbang
dengan luka tikaman di punggungnya. Ki Dipasara yang berada di
2061
atas angin tidak membunuhnya. Sebaliknya, dengan sikap jumawa
dan merendahkan ia meminta para prajurit Caruban untuk
membawa tetunggulnya itu ke belakang arena. “Obati lukanya.
Kalau sudah sembuh suruh dia berguru lagi. Aku tunggu lima belas
tahun lagi di sini untuk menjajal ilmunya.” Sekumpulan prajurit
Caruban dengan muka merah karena menahan malu menggotong
Ki Anggasura yang berlumuran darah.

Tampaknya, hari itu adalah hari keberuntungan bagi pihak Galuh


Pakuwan. Dalam waktu hanya satu hari, mereka sudah
memperlihatkan kehebatannya di arena pertarungan. Satu demi
satu tetunggul Caruban yang maju ke tengah arena, tanpa
kesulitan berarti dapat mereka kalahkan. Para tetunggul seperti
Syaikh Magelung, Pangeran Karang Kendal, Pangeran
Kapethakan, Pangeran Kandhayaksan, Ki Anggarunting, Li Han
Siang, Haji Shang Su, Abdul Karim Wang Tao, Abdul Razak Wu
Lien, Abdul Halim Tan Eng Hoat, Demang Singagati, Tumenggung
Jaya Orean, Abdul Qadir, dan Abdul Qahar al-Baghdady, bahkan
Adipati Suranenggala yang diunggulkan, bertumbangan tak
berdaya dikalahkan tetunggul-tetunggul Galuh Pakuwan.
Tragisnya, sebagaimana sikap Ki Dipasara, para tetunggul Galuh
Pakuwan yang lain sengaja tidak membunuh lawan, tetapi
menghinakan mereka sebagai pecundang nista. Rupanya para
tetunggul Galuh Pakuwan telah sepakat: tidak memberi
kesempatan kepada pihak lawan untuk gugur sebagai ksatria di
arena pertarungan, sebaliknya membiarkan mereka menjadi
pecundang nista yang akan menanggung malu seumur hidup
karena setelah kalah dihina dengan ejekan-ejekan merendahkan.

2062
Ketika sangkakala dibunyikan pertanda pertarungan usai, terjadi
kericuhan kecil saat sebagian prajurit Caruban terlibat tantang-
menantang dengan prajurit Galuh Pakuwan. Lalu terjadi
perkelahian kecil yang merembet menjadi besar, terutama ketika
Sanghyang Gempol memerintahkan pasukan Galuh Pakuwan
untuk menyerang perkemahan pasukan Caruban di puncak
gunung Gundul. Beribu-ribu prajurit Galuh Pakuwan yang
membawa obor mengepung puncak. Perlahan-lahan tetapi pasti,
lautan obor yang memenuhi delapan penjuru lereng itu terus
bergerak mengerucut ke atas laksana lautan api sabut yang belum
terbakar.

Menyaksikan gelombang lautan api yang terus mengerucut, semua


orang yang berada di puncak gunung dicekam rasa ketakutan,
bahkan sebagian sudah putus asa. Semua sadar bahwa Sang
Maut saat itu sudah terbang di angkasa merentangkan sayap-
sayap-Nya yang setajam pedang. Semua sadar Kematian bakal
datang secepat hitungan jari. Semua sadar, mereka hanya bisa
menunggu. Menunggu. Menunggu. Bahkan, prajurit dan pejuang
yang tak dapat menahan rasa takut dan putus asa berteriak-teriak
meminta tolong kepada Sri Mangana dan Syaikh Lemah Abang. Di
tengah hiruk pikuk teriakan para prajurit dan pejuang yang
memanggil-manggil, disusul ledakan halilintar, disambung
turunnya hujan deras, dan berembusnya badai. Obor-obor yang
dibawa musuh padam, tersiram hujan. Lalu, terdengar teriakan dan
jeritan dan caci maki musuh yang saling bunuh karena kegelapan
malam dan hujan badai telah membutakan mereka.

2063
Ketika semua orang Caruban terheran-heran menyaksikan musuh
yang saling berperang sendiri itu, terjadi peristiwa ajaib yang tak
kalah mengherankan. Tiba-tiba, terdengar seruan sambung-
menyambung di tengah kegelapan yang menyatakan bahwa Sri
Mangana telah muncul beserta bala bantuan dan menyerbu
gunung Gundul dari lembah utara. Orang-orang Caruban yang
memalingkan pandangan ke lembah utara melihat beribu-ribu titik
api memenuhi lembah dan bergerak cepat ke selatan. Semangat
pihak Caruban yang sudah surut mendadak berkobar kembali.
Takbir dikumandangkan sahut-menyahut.

Di tengah hiruk suara takbir, tiba-tiba terdengar seruan-seruan


lantang bersahutan yang memerintahkan pasukan Galuh Pakuwan
untuk mundur. Seperti digerakkan oleh kekuatan gaib, beribu-ribu
prajurit Galuh Pakuwan yang saling bertarung itu berhenti
serentak. Dan seperti dikomando, mereka berebut turun secara
berbarengan. Lalu terjadilah malapetaka tak terduga: tanah polos
yang memagari tebing-tebing di seputar gunung Gundul yang
sudah basah oleh air hujan ternyata tidak kuat menahan beban. Di
tengah berdesak-desaknya pasukan Galuh Pakuwan menuruni
tebing-tebing tanah itu, tiba-tiba terdengar suara gemuruh yang
menggiriskan. Rupanya, satu demi satu tebing tanah itu longsor
menimpa apa saja yang berada di bawahnya dan mengubur apa
saja yang tersambar oleh runtuhannya yang dahsyat.
“Demikianlah, Tuan Syaikh, kami yang sudah terjepit antara hidup
dan mati bisa lolos dari maut dan bahkan merebut kemenangan,”
kata Syaikh Duyuskhani.

2064
“Bukankah semua itu Af’al Allah dan tidak terkait dengan
keterlibatan makhluk-Nya?”

“Bagi mereka yang sudah tinggi Tauhidnya, peristiwa itu memang


merupakan perbuatan Allah mutlak. Tetapi bagi kebanyakan orang
awam, terutama yang berada pada keadaan antara hidup dan mati,
peristiwa semalam itu tidak bisa dimaknai lain kecuali sebagai
keajaiban yang tidak bisa tidak mesti terkait dengan keterlibatan
orang suci kekasih Allah. Sejak semalam, sebagian prajurit dan
pejuang kita menganggap peristiwa ajaib itu terjadi berkat
kekeramatan Tuan Syaikh. Sebab sambaran petir, curahan hujan,
dan embusan badai itu terjadi saat mereka berteriak-teriak
meminta pertolongan Tuan Syaikh. Sehingga, saat mereka turun
dan kemudian mendapati Tuan Syaikh di tempat ini, mereka makin
yakin bahwa kekeramatan Tuanlah yang telah menyebabkan
keajaiban itu,” kata Syaikh Duyuskhani.

“Sesungguhnya, mereka telah terjebak ke dalam lingkaran


prasangka-prasangka.”

“Tapi Tuan Syaikh, kami berharap Tuan tidak menafikan


pandangan mereka itu dengan sikap yang keras. Kami berharap
Tuan Syaikh berkenan memahami keadaan mereka yang belum
sepenuhnya mampu mewadahi ajaran Sasyahidan yang Tuan
ajarkan,” kata Syaikh Duyuskhani merendah.

2065
Abdul Jalil menatap puncak gunung Gundul dan kemudian
berusaha mengalihkan pembicaraan dengan bertanya,
“Berapakah jumlah pasukan Caruban yang semalam terkepung di
puncak, Tuan Syaikh?”

“Kurang dari dua belas ribu orang, Tuan Syaikh.”

“Lalu pihak Galuh Pakuwan yang mengepung berapa jumlahnya?”

“Kami tidak bisa menghitung dengan pasti, Tuan Syaikh. Yang


jelas, seputar gunung ini semalam sudah menjadi lautan api karena
obor-obor yang dibawa prajurit Galuh tak terhitung jumlahnya.”

“Apakah pasukan Caruban masih di atas? Aku tidak melihat


mereka.”

“Sejak subuh tadi Sri Mangana memimpin mereka ke Galuh


Pakuwan.”

Sri Mangana, khalifah Caruban, selain dikenal sebagai negarawan


ulung yang adil dan bijaksana, juga dikenal sebagai
manggalayuddha gagah perkasa dan tak tertandingi dalam
mengatur siasat perang. Hal itu paling tidak telah ia buktikan untuk
kali ke sekian ketika pasukan Caruban yang sudah terkepung di
2066
puncak gunung Gundul, tetapi kemudian beroleh kemenangan tak
terduga-duga.

Ketika pasukan Galuh Pakuwan masih sibuk menyelamatkan diri


dari amukan alam yang mengerikan itu, diam-diam Sri Mangana
memerintahkan beberapa prajuritnya untuk mengenakan pakaian
prajurit Galuh Pakuwan yang tewas. Lalu, di tengah hiruk orang-
orang yang berebut turun ke lembah di selatan gunung, prajurit-
prajurit penyamar itu menyebarkan berita yang intinya: pasukan
Galuh Pakuwan diperintahkan untuk menyusul Prabu Surawisesa
ke Pakuwan Pajajaran, sebab ibu kota Galuh Pakuwan telah jatuh
ke tangan Prabu Banyak Belanak, Yang Dipertuan Pasir Luhur,
yang menyerbu kutaraja Galuh secara mendadak. Di tengah
suasana hiruk yang membingungkan itu, baik prajurit maupun
tetunggul Galuh Pakuwan ternyata percaya begitu saja dengan
kabar itu. Dengan kalang-kabut dan tak teratur, masing-masing
pasukan Galuh Pakuwan membentuk barisan-barisan dari prajurit-
prajurit yang tersisa. Dengan buru-buru, satuan-satuan kecil itu
bergerak ke arah barat, ke Pakuwan Pajajaran. Sementara,
sebagian sisanya masih terlihat berkeliaran di kaki gunung Gundul,
sibuk menolong kawan-kawannya yang terluka.

Selain memerintah prajurit untuk menyebar kabar palsu, Sri


Mangana malam itu juga memerintahkan prajuritnya untuk
membangunkan penduduk yang tinggal di sekitar gunung Gundul.
Penduduk diminta keluar rumah dan mengibarkan kain apa saja
yang mereka punyai sebagai bendera atau umbul-umbul di
sepanjang jalan-jalan desa. Saat matahari terbit, pasukan Galuh
2067
Pakuwan yang masih berkeliaran di lembah selatan gunung
Gundul terkejut menyaksikan bendera dan umbul-umbul aneka
warna menghiasi segenap penjuru gunung. Mereka makin terkejut
manakala menyaksikan hiruk pikuk pasukan Caruban yang turun
dari puncak gunung sambil menggoyang-goyang panji-panji,
bendera, dan tombak.

Siasat cemerlang Sri Mangana ternyata membuahkan hasil


mengejutkan. Dalam waktu singkat, tanpa menumpahkan darah
setetes pun, pasukan Galuh Pakuwan terusir tanpa sisa. Hanya
tubuh-tubuh tak bernyawa dan bangkai-bangkai hewan yang
menebarkan bau anyir yang menampakkan sisa keberadaan
pasukan Galuh Pakuwan di situ. Saat pasukan Galuh Pakuwan
tersuruk-suruk menyusuri jalan yang melintasi lembah-lembah,
bukit-bukit, dan hutan-hutan menuju Pakuwan Pajajaran, orang
melihat Sri Mangana beserta sebelas ribu pasukannya beriringan
melintasi lembah dan bukit-bukit yang membentang di selatan
gunung Gundul. Bagaikan ular raksasa menerobos rimbunan
hutan dan belukar, iring-iringan pasukan Caruban bergerak cepat
ke arah timur dan kemudian berbelok ke selatan. Setelah bergerak
tanpa henti selama sehari dan semalam, pada hari ketiga iring-
iringan terlihat menyeberangi sungai Sanggarung.

Selama perjalanan ke selatan tanpa kenal istirahat itu, iring-iringan


pasukan Caruban terlihat bertambah panjang. Setiap kali melewati
desa-desa di kawasan perbatasan selatan, pasukan selalu
mendapat tambahan warga desa yang dipimpin kuwu masing-
masing. Saat iring-iringan pasukan itu berhenti di sisi utara sungai
2068
Julang, jumlahnya sudah membengkak dari sekitar sebelas ribu
menjadi dua puluh ribu orang. Meski jumlahnya semakin besar,
iring-iringan itu bergerak tanpa suara. Para prajurit dan pejuang
sepanjang perjalanan tidak berbicara. Derap langkah kaki pun
terdengar ringan. Bahkan, keempat kaki kuda-kuda tunggangan
para tetunggul dibebat kain supaya tidak menimbulkan suara.

Memasuki hari keempat, setelah melintasi bukit-bukit terjal di


gunung Manik, iring-iringan pasukan Caruban berhenti di
Padahurip, di utara sungai Julang. Sri Mangana memerintahkan
pasukan untuk beristirahat di situ. Namun, saat malam menjelang
ia memerintahkan Abdul Halim Tan Eng Hoat, Pangeran Karang
Kendal, dan Syaikh Magelung untuk pergi ke Tangkolo dengan
membawa tiga ribu pasukan yang sebagian besar berasal dari
Kendal. Mereka ditugaskan merebut kubu pertahanan Galuh
Pakuwan di Situmandala, yang letaknya di sisi selatan sungai
Julang. Selama penyerangan itu semua diperintahkan untuk
berbicara dan memberi aba-aba dalam bahasa Jawa.

Gerakan senyap pasukan Caruban ke Tangkolo tidak diketahui


pasukan Galuh Pakuwan yang mempertahankan kubu
Situmandala. Saat dinihari ketika permukaan bumi diselimuti kabut
tebal, sewaktu iring-iringan tiga ribu orang pasukan Caruban
bergerak menyeberangi sungai Julang, tidak sedikit pun
menimbulkan kecurigaan pihak Galuh Pakuwan bahwa musuh
bakal datang. Itu sebabnya, ketika pasukan Caruban menyerang
kubu saat subuh, pasukan Galuh Pakuwan yang sedang
mendengkur sangat terkejut. Tanpa perlawanan berarti, kubu
2069
Situmandala jatuh. Sekitar tujuh ratus orang prajurit ditawan. Yang
lain sengaja dibiarkan meloloskan diri.

Setelah merebut Situmandala, pasukan Caruban pada pagi hari


hingga siang merebut Patakarajya, Rancah, dan Kawunglarang
tanpa perlawanan. Serangan mendadak pasukan Caruban ini
ternyata menimbulkan kegemparan di kutaraja Galuh Pakuwan.
Laporan-laporan yang disampaikan prajurit-prajurit dari kubu
Situmandala yang lolos menyebutkan para penyerbu
menggunakan bahasa Jawa dengan logat aneh. Prajurit dari
Patakarajya serta penduduk Rancah dan Kawunglarang pun
menyampaikan laporan yang sama. Tidak syak lagi, Prabu
Surawisesa dan para menterinya menganggap penyerangan itu
dilakukan Prabu Banyak Belanak dari Pasir Luhur.

Di tengah kegemparan kabar serbuan orang-orang Pasir Luhur,


terjadi sesuatu yang lebih menggemparkan. Ketika matahari naik
sepenggalah, sewaktu prajurit-prajurit Galuh Pakuwan sedang
memperkuat pertahanan di sekitar Kraton Surawisesa, tersiar
kabar bahwa Sri Mangana dengan pasuka Caruban yang
berjumlah sekitar lima puluh ribu orang menyeberangi sungai
Julang dan langsung merebut pertahanan Galuh Pakuwan di kubu
Karangpaningal. Prajurit-prajurit dari kubu Karangpaningal yang
berhasil lolos melaporkan jika pasukan Caruban saat itu sedang
bergerak ke Kraton Surawisesa.

2070
Prabu Surawisesa terperangah kaget mendengar kabar serangan
bertubi-tubi itu. Ia tidak pernah menduga jika penguasa Pasir Luhur
dan penguasa Caruban bakal berkomplot untuk menyerang
kratonnya dalam waktu bersamaan. Padahal, seluruh kekuatan
Galuh Pakuwan saat itu sedang dipusatkan di Caruban. Itu
sebabnya, dengan terburu-buru ia mengumpulkan para menteri
dan penasihat untuk membicarakan masalah pelik itu. “Apa yang
bisa kita lakukan sekarang ini? Seluruh pasukan kita berada di
Caruban dan kabarnya sudah dikalahkan. Apa yang harus kita
lakukan?” tanya Prabu Surawisesa kebingungan.

Para menteri dan nayaka Galuh Pakuwan tidak dapat menjawab


pertanyaan junjungan mereka. Mereka pun saat itu sedang
dicekam ketakutan dengan datangnya kabar bertubi-tubi serangan
dari Caruban dan Pasir Luhur. Akhirnya, dalam pertemuan singkat
itu, semua yang hadir termasuk Prabu Surawisesa tidak memiliki
pilihan lain kecuali dengan tegas mengambil satu keputusan:
menyingkir dari kutaraja Galuh Pakuwan secepat-cepatnya
sebelum musuh datang menyerang. Demikianlah, dengan dikawal
sekitar dua ribu pasukan, Prabu Surawisesa dan keluarga serta
pejabat Galuh Pakuwan meninggalkan kutaraja. Dengan
menyusuri jalan berliku di lereng selatan gunung Sawal, iring-
iringan penguasa Galuh Pakuwan itu bergerak ke barat menuju
Pakuwan Pajajaran.

Ketika Sri Mangana dan pasukan Caruban memasuki kutaraja dan


menduduki Kraton Surawisesa, mereka mendapati kraton itu
dalam keadaan kosong dan semrawut. Peti-peti perhiasan, cerana
2071
dan piring berlapis emas, bertumpuk-tumpuk kain, ikatan-ikatan
naskah rontal, dan karas tanah terlihat berserakan di halaman
beserta busur, perisai, pedang, tombak, dan tahi kuda. Sementara
kayu-kayu dan tali-temali yang bakal dijadikan alat pertahanan
berserakan di berbagai sudut kraton menambah kesemrawutan.
Rupanya, Prabu Surawisesa lari dari kratonnya dengan terburu-
buru sehingga banyak barang bawaannya yang tertinggal. Sekitar
lima-enam orang dayang-dayang masih membawa cerana, cermin,
dan alat-alat rias.

Setelah seluruh tempat di kutaraja Galuh Pakuwan terkuasai, siang


itu juga Sri Mangana memaklumkan wilayah Galuh Pakuwan
sebagai bagian dari kekuasaan Caruban dengan batas-batas
sesuai yang berlaku atas wilayah Galuh Pakuwan sebelumnya,
yaitu batas timur dari gunung Gunatiga di utara sampai ke muara
sungai Tanduy di selatan. Batas selatan samudera. Batas barat
gunung Cakrabuwana di utara dan muara sungai Panerang di
selatan. Dengan demikian, seluruh wilayah kekuasaan Caruban
sudah terpisah sedemikian rupa dengan wilayah kerajaan Sunda,
laksana buah semangka dibagi dua. Batas wilayah Caruban di
utara sepanjang sungai Cimanuk dan berakhir di sungai Panerang
yang bermuara di samudera raya. Sebagaimana yang berlaku di
Rajagaluh dan Talaga, penaklukkan Galuh Pakuwan itu ditandai
dengan pembagian tanah kepada seluruh penduduk yang bersedia
menaungkan diri di bawah lindungan khalifah Caruban Sri
Mangana.

2072
Bermula dari kemenangan beruntun pasukan Caruban, yang
ditandai dengan awal kemenangan tak terduga di puncak gunung
Gundul, terjadilah sesuatu yang membingungkan dan sekaligus
merisaukan Abdul Jalil. Di tengah semarak kabar kemenangan tak
terduga pasuka Caruban di gunung Gundul, tersebar di bawah
permukaan tentang kabar burung yang menyatakan bahwa
kemenangan ajaib itu adalah berkat kekeramatan Syaikh Lemah
Abang. Lalu, seperti hempasan air bah tak terbendung, kabar
burung itu dengan deras melanda seluruh negeri. Tanpa ada yang
menduga sebelumnya, tiba-tiba kediaman Abdul Jalil di Lemah
Abang diserbu beratus-ratus bahkan beribu-ribu orang dari
berbagai tempat yang memiliki tujuan utama: mencari berkah
keselamatan dan bermacam-macam keperluan lain.

Ketika Abdul Jalil melihat orang-orang yang bergerombol


mengerumuni kediamannya makin lama makin beriap-riap, ia
menangkap sasmita tidak baik tentang bakal terjadinya sesuatu
yang tidak diharapkannya. Sambil mengelus-elus janggutnya, ia
menyapukan pandangan ke kerumunan orang di sekitarnya. Lalu
dengan suara lain ia berbisik kepada Ki Luwung Seta, yang duduk
di sampingnya, “Betapa aneh orang-orang yang kusaksikan hari
ini. Wajah mereka sedungu keledai. Punggung mereka sebongkok
unta. Kaki mereka sependek kura-kura. Tangan mereka sepanjang
lutung. Suara mereka separau bebek. Apa yang membuat mereka
beriap-riap datang ke gubukku?”

“Mereka menginginkan berkah keselamatan dari Kangjeng


Syaikh,” sahut Ki Luwung Seta lirih.
2073
“Sungguh celaka jika keinginan mereka itu dikabulkan,” gumam
Abdul Jalil tiba-tiba menyaksikan seluruh pemandangan di
sekitarnya berubah dalam beberapa kejap. Ia menyaksikan rumah-
rumah berubah menjadi gundukan tanah kering dan batu-batu
sungai. Pohon-pohon berubah menjadi tanah kering berwarna
merah dan hitam. Sementara mendung kelabu yang menggantung
di langit berubah menjadi gumpalan hitam seolah gunung batu
digantung di awang-awang.

Ketika pemandangan mengerikan yang melintas sesaat itu telah


berganti semula, Abdul Jalil berdiri dengan perasaan berat.
Dengan langkah goyah ia melangkah ke arah masjid. Namun, baru
berjalan beberapa langkah, orang-orang yang berkerumun di
gubuknya tiba-tiba menyerbu. Mereka berebut mendekati Abdul
Jalil. Ada yang menyalami dan menciumi tangannya. Ada yang
merangkul dan mencium lututnya. Ada yang mengelus dan
mencium kakinya. Ada yang menarik jubahnya. Bahkan, ada yang
mencium bekas tapak kakinya.

Abdul Jalil terhenyak kaget. Ia tiba-tiba merasakan malu


menerkam jiwanya. Ia malu melihat perilaku orang-orang yang
menurutnya jauh dari kepantasan orang-orang beriman. Ia
memalingkan pandangan dan berusaha lari cepat-cepat
meninggalkan tempat laknat itu. Namun, gerakan tubuhnya
terhalang kerumunan orang-orang. Malah dari kerumunan orang-
orang itu terdengar suara aneh yang gaduh, seperti beribu-ribu
suara bebek di tengah ringkikan kuda dan suara burung hantu. Dan
lamat-lamat, suara aneh yang gaduh itu terdengar berbunyi:
2074
“Syaikh Lemah Abang! Syaikh Lemah Abang! Limpahi kami berkah
keselamatan! Limpahilah kami berkah rezeki! Limpahilah kami
berkah kesehatan! Limpahilah kami berkah kekayaan! Limpahilah
kami berkah kemuliaan! Limpahilah kami berkah keagungan!”

Abdul Jalil merasakan bulu kuduknya meremang mendengar


suara-suara aneh itu. Ia merasakan dadanya tiba-tiba
menggelegak seperti air direbus di ketel. Ia merasakan darahnya
memuai. Namun, ia berusaha menahan gejolak jiwanya yang
membakar itu. Ia menahan. Menahan. Dan hasilnya, ia merasa
betapa kebingungan dan kerisauan tiba-tiba melingkar-lingkar
bagaikan benang kusut menjerat kesadarannya. Kemudian,
dengan hentakan kuat ia mendorong orang-orang yang
mengerumuninya sambil berteriak lantang, “Tahukah engkau
siapakah aku ini?”

“Kangjeng Syaikh Lemah Abang!” terdengar sahutan serempak.

“Syaikh Lemah Abang hanyalah nama,” Abdul Jalil terhenyak dan


kemudian berkata dengan suara ditekan rendah, “Sewaktu-waktu
aku bisa mengganti nama itu dengan nama lain. Engkau pun bisa
menunjuk orang ini dan itu dengan nama Syaikh Lemah Abang.
Semua orang di antara kalian boleh memakai nama Syaikh Lemah
Abang. Tetapi, hendaknya kalian tahu bahwa Syaikh Lemah Abang
juga memiliki nama lain pemberian guru agungnya, Syaikh Datuk
Kahfi, yaitu Sang Pajuningrat, baji pembelah dunia.”

2075
“Kenapa Syaikh Lemah Abang dinamai Sang Pajuningrat? Sebab,
dengan baji ia diharapkan dapat membelah kerasnya hati manusia
yang melebihi keras biji kemiri. Dengan baji, ia diharapkan dapat
menumbangkan pohon-pohon kemusyrikan di dalam jiwa manusia.
Dengan baji, ia diharapkan menghancurkan berhala-berhala
sesembahan baik dari kayu pahatan, batu pahatan, maupun
manusia pahatan. Dengan baji, ia diharapkan dapat memisahkan
benalu kemusyrikan dari pohon Tauhid. Dan apa yang diharapkan
dengan nama Pajuningrat itu telah aku genapi. Telah kubersihkan
dan kusucikan Pohon Tauhid dari benalu kemusyrikan dan
pemberhalaan.”

“Kini, engkau semua telah mengaku-aku sebagai murid-murid


Syaikh Lemah Abang, Sang Pajuningrat. Engkau datang
berduyun-duyun ke gubukku untuk meminta berkah keselamatan
dariku. Aku tidak keberatan engkau semua mengaku-aku muridku.
Tetapi, hendaknya engkau semua memahami dan mengamalkan
ajaran inti yang kusampaikan. Tahukan engkau semua apakah
ajaran inti Sang Pajuningrat? Pertama-tama, Sang Pajuningrat
berkewajiban menjaga dan memelihara pertumbuhan Pohon
Tauhid. Lalu, membersihkan Pohon Tauhid dari benalu-benalu dan
hama kemusyrikan. Lalu, membagi-bagikan buah Tauhid sebagai
rahmat kepada seluruh makhluk. Lalu, menanam benih-benih
Tauhid di tempat-tempat lain agar tumbuh Pohon Tauhid yang
lain.”

“Aku tegaskan kepada engkau semua dengan setegas-tegasnya,


berkah yang akan aku berikan kepada murid-murid dan pengikutku
2076
bukanlah berkah khayal seperti yang dibayangkan orang
kebanyakan. Berkah yang akan aku wariskan adalah berkah dalam
bentuk nama Pajuningrat. Siapa saja di antara manusia yang
mengaku sebagai murid atau pengikutku, hendaknya bersedia
menjadi paju. Baji. Alat pembelah yang digunakan untuk mengawal
kesucian Pohon Tauhid. Dengan demikian, jika satu saat nanti
engkau semua mendapati siapa saja di antara manusia, termasuk
orang yang menggunakan nama Syaikh Lemah Abang, disucikan
dan dijadikan berhala sesembahan manusia, maka kewajiban
kalianlah sebagai pemegang baji untuk menumbangkan dan
meratakannya dengan tanah.”

Orang-orang yang berkerumun menyibak seolah memberi jalan


untuk Abdul Jalil. Namun, saat Abdul Jalil melangkah, terdengar
mereka berceloteh gaduh. Lalu, dengan berdesak-desak mereka
berebut kembali mendekati Abdul Jalil. Sambil berteriak-teriak
gaduh mereka mendesak-desak, mendorong-dorong, menindih-
nindih, menarik-narik tubuh kawannya agar mereka dapat
mendekati Abdul Jalil.

Celoteh-celoteh gaduh itu lamat-lamat terdengar berbunyi, “Syaikh


Lemah Abang! Syaikh Lemah Abang! Kami memohon limpahan
berkahmu! Kami tidak paham fatwamu! Kami tidak mampu
menangkap butir-butir mutiara yang berhamburan dari mulutmu!”

Abdul Jalil termangu-mangu memandang orang-orang yang


berebut mendekati dirinya. Ia memandang mereka seperti seekor
2077
elang memandang kerumunan anak ayam yang menciap-ciap
ditinggal induknya. Ingin sekali rasanya ia menyantap anak-anak
ayam itu, mengunyah, dan memamahnya sampai lembut lalu
mengalir ke dalam darahnya. Ia ingin mengajak anak-anak ayam
itu terbang ke angkasa menikmati kebebasan jiwa. Namun, anak-
anak ayam itu terlalu lama menjadi anak ayam yang kecil, lembut,
tak berdaya, dan butuh perlindungan. Mereka tidak mampu
menangkap makna di balik suara jeritan elang, kecuali
mendengarnya dengan rasa takut berlebih. Mereka hanya bisa
menangkap makna suara ayam. Di tengah kerumunan anak-anak
ayam itu, Abdul Jalil bersikukuh meyakinkan diri bahwa ia adalah
elang perkasa yang sekali-kali tidak akan menjadi induk ayam
meski untuk alasan luhur: melindungi anak-anak ayam tak
berdaya.

Kedatangan beribu-ribu orang kegubuk Abdul Jalil ternyata tidak


cukup meminta berkah keselamatan. Beberapa di antara mereka,
yang umumnya datang dari tempat jauh, diam-diam berusaha
memanfaatkan keadaan dengan menempatkan diri sebagai bujang
Abdul Jalil. Tanpa malu sedikit pun mereka mengaku sebagai
pembantu dan bahkan murid terkasih Syaikh Lemah Abang. Lalu
dengan kesempitan wawasan yang menyedihkan, mereka
menirukan semua kata, wejangan, dan fatwa Syaikh Lemah
Abang. Untuk meyakinkan orang, dengan bekal pikiran picik dan
diliputi khayalan-khayalan naif, mereka mengarang-ngarang cerita
berlebihan tentang kekeramatan Syaikh Lemah Abang.

2078
Sadar sesuatu sedang terjadi pada dirinya, sepekan setelah
kediamannya yang terletak di samping masjid Lemah Abang itu
diserbu ribuan orang yang meminta berkah keselamatan, Abdul
Jalil diam-diam mengajak istri dan anaknya pergi ke kuta Caruban
untuk menghadap Sri Mangana dan Nyi Indang Geulis di
Pekalifahan. Di hadapan ayahanda dan ibunda asuh yang sangat
dihormati dan dimuliakannya itu, ia menyembah dan berpamitan
akan pergi meninggalkan Caruban dalam waktu yang tak terbatas.
Sri Mangana dan permaisuri terkejut mendengar permintaan pamit
Abdul Jalil yang tak terduga-duga itu.

Nyi Indang Geulis termangu-mangu dengan dada turun naik


seperti menahan sesuatu yang berat. Sri Mangana, yang masih
terlihat lelah setelah perjalanan kembali dari Galuh Pakuwan,
dengan suara tersekat di leher bertanya lirih, “Kenapa engkau
begitu terburu-buru meninggalkan negerimu, o Puteraku? Kenapa
engkau tiba-tiba meninggalkan bangunan masyarakat yang sudah
tegak dengan megah di negerimu ini? Kenapa engkau
meninggalkan apa yang telah engkau rintis dengan susah payah,
o Puteraku?”

“Mohon ampun seribu ampun, Ramanda Ratu,” Abdul Jalil


menyembah. “Sesungguhnya, ananda merasa berat hati
meninggalkan Caruban, tanah tumpah darah ananda. Ananda
merasa sedih harus berpisah dengan orang-orang yang ananda
cintai. Ananda merasa berduka karena meninggalkan tatanan
masyarakat ummah yang sudah terbentuk dengan baik ini. Tetapi,
demi menghindari kesesatan umat akibat munculnya berhala baru,
2079
ananda dengan perasaan berat terpaksa harus meninggalkan
Caruban. Sungguh, semua ini ananda lakukan semata-mata demi
tetap terpeliharanya kemurnian ajaran Tauhid yang telah tumbuh
subur di negeri ini.”

“Apakah yang engkau maksud dengan berhala baru itu, o


Puteraku?” Sri Mangana heran, “Dan kenapa engkau malah
menghindar darinya?”

“Sesungguhnya, yang ananda maksud berhala baru itu tidak lain


dan tidak bukan adalah ananda sendiri. Lantaran itu, tidak ada
pilihan lain bagi ananda untuk menghancurkan berhala itu kecuali
pergi meninggalkan tanah kelahiran ananda. Ananda akan pergi
karena orang-orang berdatangan ke kediaman ananda dengan
tujuan utama menjadikan ananda berhala sesembahan,” kata
Abdul Jalil tegas.

“Kenapa engkau merasa dirimu diberhalakan?” tanya Sri Mangana


ingin penjelasan.

“Ampun seribu ampun, Ramanda Ratu. Telah hampir sepekan ini


kediaman ananda di Lemah Abang didatangi beribu-ribu orang dari
berbagai tempat yang jauh. Mereka meminta berkah dan
keselamatan dari ananda. Mereka menganggap ananda adalah
wali Allah yang keramat yang bisa memberikan macam-macam
manfaat bagi manusia. Bahkan, sebagian di antara mereka
2080
mengaku-aku sebagai murid, bujang, dan pengikut ananda.
Mereka kemudian membesar-besarkan cerita bahwa kemenangan
Caruban atas Galuh sejatinya disebabkan keramat ananda.
Mereka bahkan mengarang-ngarang cerita takhayul murahan
tentang kekeramatan ananda. Mereka sejatinya adalah
pembohong-pembohong celaka karena telah menebarkan racun
kejahilan ke tengah umat manusia.”

“Racun kejahilan yang ditebar oleh para pembohong itu, ternyata


begitu dahsyat akibatnya. Seperti kawanan lalat mengerumuni
bangkai, beribu-ribu orang berdatangan dan mengerumuni
ananda. Seolah-olah ananda ini dewa. Mereka berdesakan
mengerumuni ananda. Mereka berlomba mencium tangan, lutut,
kaki, dan jubah ananda, seolah-olah pada diri ananda ini terdapat
pancaran berkah gaib. Tindakan orang-orang itu sungguh
berlebihan. Mereka sudah memberhalakan makhluk. Ananda telah
berusaha mengusir mereka baik dengan cara halus maupun kasar,
tetapi mereka terus berkerumun mengitari ananda seolah-olah
ananda ini benar-benar bangkai busuk yang pantas dikerumuni
lalat. Sungguh, Ramanda Ratu, paduka telah memahami
bagaimana isi kepala dan isi hati ananda. Perbuatan orang-orang
itu sungguh telah melukai jiwa ananda.”

Sri Mangana menarik napas berat dan menunduk. Setelah itu,


dengan suara berat ia berkata, “Aku memang sudah mendengar
kabar tentang kedatangan orang-orang dari penjuru negeri ke
kediamanmu di Lemah Abang. Aku berpikir bahwa apa yang
engkau alami itu adalah kehendak Allah semata. Aku tidak
2081
berprasangka lain kecuali menganggap bahwa semua itu adalah
anugerah dari Allah.”

“Ananda justru merasa berkewajiban untuk secepatnya mengambil


langkah tegas. Sebab, terlambat sedikit saja ananda bertindak
tentu akan terjadi kekisruhan yang bakal merusak tatanan
masyarakat ummah yang sudah terbangun dengan baik selama
ini.”

“Bagaimana engkau bisa berpikir bahwa hal itu bisa menimbulkan


masalah seserius itu?”

“Ampun seribu ampun, Ramanda Ratu,” kata Abdul Jalil dengan


suara lain, “Jika ananda membiarkan orang-orang dari berbagai
penjuru negeri berdatangan mengeramatkan ananda, bukan saja
hal itu akan melahirkan berhala baru yang disebut Syaikh Lemah
Abang. Sebaliknya, yang tak kalah membahayakan, hal itu bakal
menjadi penyebab lahirnya matahari kembar di atas langit
Caruban. Matahari yang satu memancar di Lemah Abang.
Matahari yang lain memancar di Pekalifahan Caruban. Dan, kalau
sudah seperti itu maka rusak binasalah tatanan masyarakat ummat
yang dengan susah payah sudah ananda tegakkan, warga
masyarakat yang sudah menerima ajaran Sasyahidan pun pada
gilirannya akan ikut terpengaruh memberhalakan ananda sehingga
Tauhid mereka yang sudah bersih itu akan rusak kembali.”

2082
Sri Mangana diam. Ia memejamkan mata dan menarik napas berat
berulang-ulang. Nyi Indang Geulis yang sejak tadi diam, dengan
mata berkaca-kaca bertanya, “Akan pergi ke manakah engkau, o
Puteraku?”

“Ampun seribu ampun, Ibunda Ratu,” Abdul Jalil menyembah dan


berkata, “Ananda akan pergi ke mana pun aliran sungai nasib
membawa ananda. Ananda hanya memohon doa dan restu Ibunda
Ratu.”

“Doaku selalu menyertai ke mana pun engkau pergi, o Puteraku.


Tetapi, apakah istri dan puteramu akan engkau bawa serta?”

“Ananda hanya pergi didampingi istri, Ibunda Ratu. Putera ananda,


Bardud, akan ananda serahkan pengasuhan dan pengajarannya
kepada menantu paduka, Syarif Hidayatullah.”

“Bagaimana dengan Zainab, puterimu?”

“Ananda telah menyerahkan semua urusan tentang dia kepada


menantu paduka, Syarif Hidayatullah. Perlu ananda beri tahukan
kepada Ibunda Ratu bahwa Zainab akan ananda nikahkan dengan
Raden Sahid putera adipati Tuban. Soal pernikahannya, telah
ananda serahkan sepenuhnya kepada menantu paduka pula,” kata
Abdul Jalil.
2083
“Sampai kapankah engkau meninggalkan Caruban, o Puteraku?”

“Ananda tidak tahu pasti, Ibunda Ratu. Ananda sudah bertekad


tidak akan kembali ke Caruban jika citra ananda sebagai berhala
belum pudar. Bahkan andaikata ananda kembali pun, ananda tidak
akan lagi disebut orang dengan nama Syaikh Lemah Abang. Nama
itu bagi ananda sudah mati dan harus dikubur dalam-dalam di
dasar bumi.”

2084
Berbagi Keberlebih-Kelimpahan

Setelah meninggalkan Caruban, tanah


kelahiran yang telah mengukir beribu-ribu
kenangan manis dan pahit, Abdul Jalil
dengan didampingi Shafa, istrinya, pergi ke
pedalaman Nusa Jawa, dengan mula-mula
memasuki tlatah Galuh Pakuwan yang sudah
menjadi bagian Caruban. Hari-hari dan
pekan-pekan selama perjalanan dilaluinya dalam kesendirian dua
anak manusia, yang seperti leluhurnya, Adam dan Hawa, hidup
berdua di alam perawan berkawan burung-burung dan
margasatwa yang bergembira menyanyikan senandung
Kehidupan memuji Yang Mahahidup. Lalu, tanpa sadar ia
merasakan semacam pesona Kehidupan surgawi: bentangan
gunung dan bukit, lembah dan ngarai, jeram dan aliran sungai,
padang rumput dan hutan perawan dengan gemericik air, kicau
burung, jerit margasatwa, dengung serangga, ranum buah-
buahan, wangi bunga-bunga, harum ilalang, dan segar embun
yang memukau kesadaran manusiawi.

Abdul Jalil yang selama bertahun-tahun terseret pusaran arus


Kehidupan, teraduk-aduk di tengah gelombang perubahan yang
diciptanya, tertegun dan tersilap oleh pesona ketenang-tenteraman
alam yang membentangkan keindahan ciptaan Ilahi tak
tergambarkan. Setiap pagi menjelang, ketika matahari merekah
diufuk timur dan hangat cahayanya mengangkat gumpalan kabut
dari permukaan bumi, ia menghirup keharuman napas hutan yang
2085
wangi. Ia menangkap kebijaksanaan hutan mengalir memenuhi
jiwanya, laksana mata air memenuhi telaga dan mengalir ke
sungai. Setiap siang membentangkan cakrawala, ketika burung-
burung beterbangan dan margasatwa berkejaran mencari makan,
ia menyantap buah-buahan hutan dan meminum madu hutan yang
menyegarkan kesadaran manusiawinya. Setiap malam datang
mengerudungi bumi dengan selimut hitam, ketika hewan malam
bersenandung merindukan bulan dan bintang-bintang, ia
menikmati hangatnya pelukan Sang Kekasih yang acapkali
kerahiman-Nya mengejawantah dalam wujud manusiawi sang istri:
Shafa.

Di tengah hamparan alam bebas, Abdul Jalil merasakan


kebebasan elangnya terbang tinggi di angkasa meninggalkan hiruk
pikuk kehidupan di bumi. Ia terpesona oleh keleluasaan langit
ruhani yang membentangkan kesunyian tanpa batas. Ia terpesona
oleh citra keperawanan alam yang telanjang, seolah
melemparkannya ke gugusan ingatan purba kehidupan manusiawi
leluhur, Adam dan Hawa. Di tengah keterpesonaan itu, ia bersyair
memuji Keagungan dan Kemuliaan Sang Pencipta. Suaranya yang
merdu tetapi tegar menggema di tengah suara alam yang
mendendangkan nyanyian pepujian atas Keagunngan Sang
Pencipta.

Wahai Kekasih / di dalam hutan rimba-Mu / di tengah hewan-


hewan-Mu / di tengah alam ciptaan-Mu / Engkau limpahkan
kenyamanan melebihi kuta, desa dan gubukku // seluruh makhluk
ciptaan-Mu / hadir telanjang tanpa topeng-topeng / nyanyian
2086
pepujian yang mereka lantunkan memuji-Mu / polos dan terbuka
tanpa polesan / merdu tanpa kepalsuan // di hutan bebas inikah
kediaman akhirku di dunia? / di alam bebas inikah elangku bisa
terbang tinggi menggapai citra hampa-Mu? / di sini, dihutan-Mu,
aku bersimpuh tanpa daya menghadap-Mu / aku persembahkan
diriku, utuh, meski kehidupan palsu duniawi telah mencabik-cabik
jiwaku //

Keindahan alam ciptaan Ilahi bagaimanapun bukanlah sesuatu


yang langgeng. Baik keindahan alam yang terbentang maupun
makhluk yang terpesona memandangnya, semua tidaklah abadi.
Semua terbatas dan dibatasi oleh waktu yang ganas yang selalu
menghancurkan tiap-tiap ciptaan tanpa belas kasihan. Keindahan
bumi, bulan, bintang, matahari, hewan, manusia, bahkan surga
pun pasti berakhir jika waktunya tiba. Hanya keindahan Sang
Penguasa waktu yang selalu kekal dan abadi. Sebagaimana
hukum alam (sunnatullah) yang berlaku, keindahan perjalanan
Abdul Jalil yang memesona laksana perjalanan di surga itu pun
akhirnya berakhir sesuai waktunya.

Ketika suatu pagi Abdul Jalil berjalan ke sungai kecil berair jernih
untuk mengambil air dengan tabung bambu, tiba-tiba ia tersentak
kaget ketika melihat bayangannya terpantul di permukaan air. Ia
merasakan sekujur tubuhnya gemetar dan dadanya berdegup
keras. Ia menajamkan pandangan. Jelas sudah, bayangan itu
bukan bayangan dirinya: wajah sangar, kulit gelap, tubuh bongkok,
tangan sangat panjang sampai melebihi lutut, mata terbelalak
lebar, hidung besar, dan mulut jelek dengan gigi tak beraturan.
2087
Lalu, bayangan itu secara menakjubkan bangkit dari dalam air
tanpa basah tubuhnya. Tanpa mengucap salam atau
memperkenalkan diri, bayangan manusia buruk rupa itu
sekonyong-konyong bertanya, “Siapakah engkau, o manusia jelek
pengambil air?”

Terheran-heran Abdul Jalil menajamkan pandangan untuk


menegaskan sosok bayangan itu. Dengan suara bergetar ia
berkata, “Aku seorang pengembara papa bernama Abdul Jalil.
Asalku dari Caruban Larang. Balik, siapakah engkau ini, o makhluk
yang muncul dari air?”

“Aku? Namaku Abdul Jalil seperti engkau. Asalku juga dari


Caruban Larang. Tapi aku tidak mengenalmu. Perwujudanmu
sangat buruk, sampai-sampai hatiku gemetar ketakutan melihat
sosokmu.”

“Engkau mengatakan perwujudanku buruk?”

“Ya, engkau manusia buruk rupa. Kenapa? Apakah engkau tidak


sadar jika perwujudanmu sangat buruk dan menakutkan? Apakah
engkau tidak melihat keberadaan bayangan dirimu yang palsu?
Aku tahu siapa engkau sebenarnya. Engkau adalah makhluk
jejadian yang membayangkan keberadaan dirimu sebagai Abdul
Jalil, guru manusia asal Caruban Larang. Padahal, engkau
hanyalah orang yang terseret angan-angan kosongmu menjadi
2088
orang lain. Engkau terperangkap khayalan nirwujudmu. Engkau
tidak mengenal dengan benar guru manusia itu,” kata manusia
buruk rupa itu dengan suara menggetarkan seolah diiringi bunyi
derik ribuan jangkrik dari napasnya.

“Bukankah Abdul Jalil, guru manusia itu, adalah aku?” tukas Abdul
Jalil terheran-heran.

“Aku tidak mengenalmu, o Pengaku-aku,” seru manusia buruk rupa


itu sembari menunjukkan giginya yang tak teratur dan bibirnya
yang tebal dalam seringai mengerikan. “Sebab, Abdul Jalil, guru
manusia, yang pernah aku kenal adalah seorang manusia
berlebih-kelimpahan. Dia manusia yang selalu merasa berat
menanggung keberlebih-kelimpahannya, sehingga hari-hari dari
hidupnya tidak pernah dilaluinya tanpa membagi-bagi keberlebih-
kelimpahannya. Ia terus membagi. Membagi. Seribu kali membagi.
Dengan membagi, beban keberlebih-kelimpahannya akan
berkurang.”

“Jika engkau bertanya kepada hutan, sungai, pohon, batu,


matahari, bulan, bintang dan margasatwa tentang siapa Abdul Jalil
maka engkau akan mendapati jawaban yang sama: dia, Abdul Jalil,
adalah guru sang pembagi keberlebih-kelimpahan. Dia, guru
manusia, yang selalu berkorban tanpa pamrih. Sebab, berkorban
membagi-bagi diri, baginya, adalah membebaskan diri dari beban
yang terus melimpahinya. Ya, itulah Abdul Jalil yang aku kenal,
guru manusia yang selalu membagi-bagi keberlebih-
2089
kelimpahannya. Sementara, engkau, manusia buruk rupa yang
mengaku-aku Abdul, apakah yang engkau sudah lakukan selama
di hutan ini? Bukankah hari-harimu hanya engkau isi dengan
menerima dan menikmati keramahan alam, seolah engkau orang
yang berkurang-kesusutan. Siapakah engkau ini sesungguhnya, o
manusia buruk rupa?”

Abdul Jalil terperangah kaget. Ia merasakan wajahnya panas


tertampar oleh ucapan makhluk buruk rupa itu. Bukan. Bukan
hanya tamparan yang ia rasakan menghantam wajahnya. Rasa
malu pun ia rasakan tiba-tiba menyesaki jiwanya. Rasa malu yang
bergelegak dan meluap-luap membanjiri seluruh jaringan tubuhnya
mulai dari ujung kaki naik terus ke ubun-ubun. Sekejap kemudian,
ia tiba-tiba mendapati sekujur tubunya sudah basah diguyur
keringat dingin. Lalu dengan hati risau ia membalikkan badan dan
pergi meninggalkan manusia buruk rupa yang telah membuatnya
malu itu. Namun, manusia buruk rupa itu mengejar dan memanggil-
manggilnya dengan suara serak, “Abdul Jalil! Abdul Jalil!
Berhentilah! Tunggu aku! Aku bukanlah orang lain. Aku adalah
bayang-bayangmu! Jangan tinggalkan aku!”

Dengan keringat bercucuran, Abdul Jalil berjalan menembus


kelengangan hutan. Ia tidak melihat lagi bayangan manusia buruk
rupa yang mengejarnya. Namu, saat ia melintasi sebuah tikungan
jalan setapak berbatu di lereng sebuah bukit, tiba-tiba ia terpekik
kaget. Rupanya, di tengah kecamuk pikirannya yang galau ia telah
menabrak seseorang yang sedang tersungkur di jalan. Raung
kesakitan dan makian kemarahan terdengar bersahutan seperti
2090
pekik elang dan desau angin yang menampar tebing batu yang
tinggi menjulang.

Dengan mata ditajamkan, Abdul Jalil menegaskan pandangannya


ke sosok yang baru saja ditabraknya. Ia terkejut dan merasakan
bulu kuduknya meremang saat mendapati kenyataan betapa sosok
orang yang ditabraknya itu, wajah dan perawakannya sangat mirip
dengannya. Anehnya, sosok itu luar biasa tambun. Saking
tambunnya, tubuh sosok itu seperti terbentuk dari gumpalan
daging. Hanya wajah sosok tambun itu saja yang mirip dengannya.
Lalu, dengan suara yang direndahkan dan hati kebat-kebit ia
berkata, “Maafkan aku. Aku tidak sengaja. Siapakah engkau ini, o
Tuan? Kenapa engkau tersungkur di tengah jalan?”

Sosok tambun mirip Abdul Jalil itu dengan gerakan lamban dan
sangat susah payah, berkata terbata-bata dengan suara serak
seperti kambing mengembik, “Maafkan aku, o Saudara. Bukan
maksudku tidur-tiduran di jalan untuk menikmati hangatnya
matahari sebagaimana anjing berjemur kehangatan matahari.
Bukan pula maksudku menghalang-halangi orang-orang yang
berjalan. Sebaliknya, ini yang harus engkau ketahuhi, aku adalah
manusia malang yang tidak kuat lagi menanggung beban
keberlebih-kelimpahan yang menghimpitku laksana bongkahan
batu gunung. Kakiku tidak cukup kuat menahan beban keberlebih-
kelimpahan yang memberati tubuhku. Itu sebabnya, aku
tersungkur tak berdaya karena napas dan tenagaku hampir habis
menahan beban keberlebih-kelimpahan yang terus bertambah
menindihku dari waktu ke waktu. Aku sudah tidak kuat menahan.
2091
Aku merasakan diriku seperti jembatan bambu rapuh yang tidak
kuat lagi menahan arus sungai yang meluap ganas akibat banjir di
hulu. Aku hanya bisa menunggu datangnya orang-orang yang
dengan suka rela menolongku; membagi keberlebih-kelimpahanku
kepada mereka yang membutuhkan. Aku hanya bisa menunggu.
Menunggu. Seribu kali menunggu. Dan engkau barusan tadi malah
menabrakku. Apakah dengan suka rela mau menolongku? Apakah
engkau bersedia membagi-bagi keberlebih-kelimpahanku kepada
mereka yang membutuhkan?”

“Maafkan aku, o Saudaraku,” sahut Abdul Jalil dengan hati diliputi


kepedihan, “Aku akan membawamu berkeliling ke mana pun
engkau inginkan. Aku akan membagi-bagi keberlebih-
kelimpahanmu kepada mereka yang membutuhkan. Apa pun akan
aku lakukan untuk membantumu. Tetapi, izinkan aku akan
berpamitan kepada istri yang sedang menungguku,” dengan tanpa
menoleh sedikit pun ia berlari meninggalkan sosok tambun itu. Ia
berlari ke tempat istrinya menunggu.

Ketika Abdul Jalil mendapati istrinya sedang duduk memakan


buah-buahan dan meminum madu hutan, ia mendekat dan
berkata, “Tadi aku ke sungai untuk mengambil air. Sekarang aku
sudah kembali. Tapi tidak setetes pun air yang kubawa.”

“Apakah yang telah terjadi dalam perjalananmu, o Suamiku?”


tanya Shafa menangkap sasmita bahwa suaminya telah
mengalami sesuatu.
2092
“Di pinggir sungai tadi aku melamu dan jatuh tertidur di bawah
pohon besar. Aku terbangun ketika seekor kucing hutan mencakar
dan menggigit dadaku. Waktu ia melihat aku terbangun, ia lari
ketakutan. Tetapi, buru-buru ia kuhentikan dan kutanya kenapa lari
ketakutan dariku. Bukankah ia telah berjasa membangunkan aku
dari tidur lelap? Lalu ia menjawab, ia lari karena telah melukaiku.
Lalu kukatakan kepadanya begini: masakan seekor kucing hutan
dapat melukai singa? Kubuka jubahku, dadaku memang tidak luka
oleh cakaran dan gigitannya. Lalu kucing hutan itu merunduk malu
dan menjilati kakiku.”

“Ketika kucing hutan itu pergi ke hutannya dan aku mengisi tabung
bambu dengan air, tiba-tiba muncul seekor sapi betina yang
berjalan terseok-seok dan menangis kesakitan. Dia mengeluh
kepadaku telah berbilang pekan ini sekujur tubuhnya meriang
kesakitan. Pasalnya, air susunya tidak ada yang mengisap dan
tidak pula ada yang memerah. Dia meratap dan memohon
kepadaku untuk menolongnya: memeras air susunya dan
membagi-bagikan air susu itu kepada siapa pun di antara bayi yang
membutuhkan susu. Aku tidak kuasa menolak keinginan makhluk
mulia yang menderita sakit karena tidak bisa mendermakan
keberlebih-kelimpahannya kepada sesama. Lalu aku menemuimu,
meminta pendapatmu apakah engkau berkenan membantuku
memerah susu sapi yang kesakitan itu, dengan imbalan engkau
akan beroleh manfaat dari susunya. Itulah sebabnya, o Istriku, aku
kembali tanpa membawa air setetes pun,” kata Abdul Jalil.

2093
Shafa tertawa. Lalu dengan manja ia bertanya, “Adakah sesuatu
pesan di balik ceritamu itu, o Suamiku?”

Abdul Jalil memandang ke atas, melihat langit dari sela-sela


rimbunan pohon. Setelah itu, ia menunduk dan berkata dengan
suara lain, “Dalam perjalananku mengambil air di sungai tadi, aku
melihat bayanganku di permukaan air. Tapi, aku tidak lagi
mengenalinya karena dia begitu buruk rupa dan mengerikan. Lalu
seperti seekor kucing hutan liar yang ganas, ia mencakar dan
menggigit kesadaranku. Aku terbangun. Dan, kudapati betapa
diriku telah menjadi orang lain yang tidak kukenal. Aku, Abdul Jalil,
guru manusia, yang dikenal orang sebagai sang pemberi yang
selalu membagi-bagi tubuh dan jiwanya laksana Raja Bagiratha
tiba-tiba telah menjelma menjadi makhluk papa, sang penerima
dan penikmat kelezatan dunia. Sungguh muak aku melihat cermin
diriku seperti itu.”

“Bayanganku telah membangunkan kesadaranku bahwa aku


adalah manusia yang dianugerahi keberlebih-kelimpahan, seperti
sapi perah betina dianugerahi keberlebih-kelimpahan susu. Dan
seperti sapi perah betina yang kesakitan tidak diperah, begitulah
kesakitan kurasakan merejam tubuh dan jiwaku saat aku tidak
membagi-bagi keberlebih-kelimpahanku kepada sesama.
Sungguh, telah berkali-kali aku sampaikan kepadamu bahwa
Kehidupan makhluk tidaklah kekal. Bukan hanya bumi, bulan,
bintang, matahari, dan planet-planet yang tidak kekal, bahkan
surga dan neraka pun tidak kekal. Sebagaimana yang telah engkau
yakini, Kehidupan di bumi ini hanya sekejap. Kita semua sedang
2094
berjalan menuju persemayaman Sang Maut, alamat Cinta Sejati
bertakhta. Kita tidak boleh dan tidak bisa bahkan tidak mungkin
berhenti. Kita harus berjalan menuju-Nya sambil melepas segala
sesuatu yang melekat pada diri kita. Kita harus melepas semua
sampai kita telanjang seperti bayi yang tidak mengenal sesuatu
yang lain kecuali puting susu ibunya. Begitulah sebaiknya kita
dalam kembali kepada-Nya. Sebagai orang yang sedang berjalan
menuju-Nya, tetapi menanggung beban keberlebih-kelimpahan
dari-Nya, maka wajiblah bagiku untuk meneruskan perjalanan di
bawah naungan-Nya dan membagi-bagi keberlebih-kelimpahan
yang dianugerahkan-Nya itu kepada yang membutuhkan. Aku
tidak ingin menjadi makhluk tambun yang terkapar sekarat di
jalanan, akibat menanggung derita tertimbun oleh keberlebih-
kelimpahan yang tidak dibagi.”

Shafa tersenyum dan bangkit. Sambil menunduk menyentuh kaki


Abdul Jalil, dia berkata lembut, “Aku tahu siapa sejatinya engkau,
o Suamiku. Aku telah menyaksikan keindahan telaga sunyi di
matamu. Aku telah merasakan kesejukan angin di desah napasmu.
Aku telah menyaksikan kegagahan sayap-sayapmu yang laksana
rajawali terbang mengarungi langit sunyi. Aku telah mendengarkan
bagaimana merdu suaramu menyanyikan pepujian atas
keagungan-Nya. Bahkan di atas semua penyaksian itu, aku telah
merasakan keberadaan dirimu secara utuh. Sungguh, telah
kukenal engkau melebihi yang lain. Karena itu, o Suamiku, ke
mana pun engkau pergi aku akan selalu ikut. Apa pun yang engkau
perintahkan aku akan patuhi. Apa pun yang engkau teladankan aku
akan ikuti. Bagiku, berlaku ketentuan suci seorang istri setia
laksana Sati, yang mengabdi kepada suami ibarat pepatah ‘ke
2095
surga ikut ke neraka tersangkut-paut’. Demikianlah ungkapan dari
lubuk jiwaku terdalam terhadapmu, o Suamiku.”

Setelah meninggalkan Kehidupan hutan, Abdul Jalil dengan


didampingi istri berjalan melintasi lembah, gunung, sungai, sawah,
dan padang belantara, dengan sesekali singgah di desa, dukuh,
padepokan, dan asrama-asrama. Sepanjang perjalanannya itu ia
laksana gumpalan awan di angkasa, dengan kegembiraan raya
mencurahkan keberlebih-kelimpahannya seperti hujan kepada
siapa saja yang membutuhkannya: ia mengobati yang sakit,
menghibur yang dirundung kesedihan, memberi obor yang dalam
kegelapan, menguatkan yang lemah, memberi makan yang lapar,
mengulurkan tangan kepada yang meminta, memberi petunjuk
kepada yang sesat jalan, mengajarkan jalan Kebenaran yang
lurus, memacu kesadaran manusia agar berjuang mewujudkan diri
menjadi adimanusia, dan yang tak pernah terlupakan adalah
memberitakan kabar langit tentang bakal datangnya kawanan
Ya’juj wa Ma’juj, pengikut Dajjal, yaitu kawanan ‘manusia berekor’,
binatang yang berpikir, manusia pembawa hewan buas yang bakal
menjatuhkan umat manusia ke jurang kebinasaan.

Sebagai guru manusia, Abdul Jalil paham jika manusia-manusia


yang dihadapinya adalah kawanan-kawanan manusia tak
berpribadi yang akal budi dan jiwanya dibentuk oleh lingkungan
yang penuh diliputi rasa takut, yaitu manusia-manusia yang sejak
bayi sudah ditakut-takuti takhayul dan kurafat. Ia paham bahwa
manusia satu dengan manusia yang lain diikat oleh jalinan tali-
temali nilai yang sama, yakni nilai-nilai yang dibangun di atas rasa
2096
takut pada sesuatu di luar diri manusia. Itu sebabnya, di dalam
membagi-bagi keberlebih-kelimpahannya kepada masyarakat
semacam itu, ia memutuskan untuk mengikat rangkaian itu pada
satu simpul utama yang kuat, yaitu mengikat kabar langit tentang
kawanan manusia berekor yang membahayakan Kehidupan umat
manusia sebagai simpul utama. Ia barharap, rasa takut orang-
orang terhadap kabar langit itu mengalahkan semua rasa takut
mereka terhadap hantu takhayul di sekitar mereka. Lalu, melalui
simpul utama itu ia berharap dapat memperkuat simpul yang lain
dari semua jalinan nilai yang akan diubahnya. Demikianlah, tanpa
kenal siang dan malam, di tengah kesibukan membagi-bagi
keberlebih-kelimpahannya, ia menyampaikan kabar langit yang
dahsyat itu kepada siapa saja yang datang kepadanya.

2097
Syaikh Jabarantas

Selama melakukan perjalanan membagi-bagi


keberlebih-kelimpahannya, Abdul Jalil
sengaja tidak memperkenalkan diri sebagai
Syaikh Lemah Abang, guru suci termasyhur
asal dukuh Lemah Abang di Caruban Larang.
Ia memperkenalkan diri dengan nama Pak
Bardud, yang bermakna bapaknya Bardud. Namun begitu, karena
sejak berangkat dari Caruban ia sudah mengenakan khirqah sufi,
dan orang tidak pernah menyebut seorang pendeta atau guru suci
yang memiliki kelebihan dengan sebutan pak ini dan pak itu, maka
tanpa ada yang menyuruh, para wiku dan penduduk di wilayah
pedalaman menyebutnya dengan nama Syaikh Jabarantas (Jawa
Kuno: Guru Suci yang berpakaian compang-camping).

Abdul Jalil tidak peduli dengan sebutan itu. Ia malah suka dengan
nama baru itu karena dapat menghapus kemasyhuran nama
Syaikh Lemah Abang yang sudah diberhalakan manusia.
Anehnya, dengan nama baru Syaikh Jabarantas itu, penghormatan
terhadap dirinya tidak berkurang, kalau tidak boleh dibilang malah
bertambah-tambah. Entah apa yang sesungguhnya terjadi, setiap
kali ia hadir di sebuah dukuh atau padepokan, ia justru disambut
dengan sangat berlebihan. Ia merasa betapa semua wiku yang
ditemuinya, tanpa sedikit pun membantah, mengikuti pandangan-
pandangan dan petunjuk-petunjuknya tentang keislaman sebagai
tatanan baru penyempurna tatanan Syiwa-Buda yang sudah ada.
Bahkan, saat ia meminta agar peraturan hidup para wiku di dukuh-
2098
dukuh disebarkan ke desa-desa sekitar, sebagaimana yang sudah
diberlakukan di dukuh-dukuh yang dibukanya, mereka dengan
patuh menjalankannya. Demikianlah, tanpa kesulitan berarti
lahirlah dukuh-dukuh baru bercitra caturbhasa mandala di Galuh
Pakuwan yang menjadi pelopor gerakan pembaharuan bagi desa-
desa di sekitarnya, seperti dukuh Sirnabhaya, Sukahurip, Kawasen
Ratawangi, Karangpawitan, dan Pamwatan.

Sepanjang perjalanan di pedalaman Galuh Pakuwan, Abdul Jalil


menyaksikan kenyataan tak terduga tentang keberadaan
penduduk keturunan Cina dan Campa yang tinggal di berbagai
desa hidup membaur dengan penduduk setempat. Meski banyak
di antara mereka tidak menampakkan lagi keberadaan diri sebagai
orang muslim sebagaimana citra diri warga Cina dan Campa di
pesisir, orang dengan mudah mengenal mereka lewat perbedaan
bentuk fisik mereka yang mencolok dengan penduduk asli. Kulit
mereka lebih terang. Mata mereka lebih sipit. Hidung mereka lebih
pesek. Rambut mereka lebih lurus. Orang-orang keturunan Cina
dan Campa masuk ke pedalaman Galuh Pakuwan melalui wilayah
Kuningan yang merupakan koloni penduduk keturunan Cina dan
Campa, yang dibangun orang barang seabad silam. Keturunan
Cina dan Campa banyak dijumpai di hampir seluruh tlatah bumi
Pasundan, termasuk di kutaraja Pakuan Pajajaran. Rupanya,
pemuka-pemuka masyarakat Sunda suka sekali mengambil
mereka sebagai menantu dengan tujuan utama memperbaiki
keturunan agar warna kulit keturunan mereka lebih terang.

2099
Keberadaan orang-orang keturunan Cina dan Campa di
pedalaman Galuh Pakuwan paling tidak memberikan semacam
kemudahan bagi Abdul Jalil dalam berbagi keberlebih-kelimpahan.
Sebab, mereka yang masih menyimpan sisa-sisa ‘ingatan purwa’
di alam bawah sadarnya yang berakar dari ajaran Islam tidak sulit
menerima apa yang disampaikan Abdul Jalil. Lewat merekalah
Abdul Jalil dikenal dan dijadikan guru panutan oleh pemuka-
pemuka masyarakat Sunda asli. Lewat mereka, Abdul Jalil beroleh
kemudahan jalan untuk berbagi keberlebih-kelimpahan. Lewat jasa
mereka pula, Abdul Jalil tanpa kesulitan membangun dukuh-dukuh
bercitra caturbhasa mandala di pedalaman Galuh Pakuwan.

Seperti hewan penanggung beban yang ingin melepaskan beban


di punggungnya, setelah merasa cukup berbagi keberlebih-
kelimpahan di tlatah Galuh Pakuwan, Abdul Jalil meneruskan
perjalanan ke timur, menyeberangi sungai Tanduy, memasuki
wilayah Pasir Luhur yang membentang di antara gunung Gora
(nama purba gunung Slamet) dan lembah subur di lereng barat dan
selatan pegunungan Dihyang. Pasir Luhur sendiri adalah kerajaan
di pedalaman Nusa Jawa yang wilayah intinya terletak di tlatah
Kabhumian (wilayah khusus yang milik Sang Bhumi). Wilayah
kekuasaan Dewi Bhumi: Bhattari Prthiwi. Lantaran itu, di kawasan
tersebut terdapat puluhan ksetra dan sanggar pemujaan Sang
Prthiwi yang umumnya dipimpin para pendeta sakti mandraguna.

Berbeda dengan saat berbagi di Galuh Pakuwan yang ditandai


kemudahan-kemudahan, saat berada di tlatah Kabhumian Abdul
Jalil menghadapi tantangan yang sangat luar biasa berat. Sejak
2100
awal kehadirannya di tlatah tersebut ia telah dihadang oleh
perlawanan para pendeta penguasa ksetra dan penguasa sanggar
pemujaan Sang Prthiwi. Rupanya, sejumlah pendeta penguasa
ksetra telah mencium gelagat tidak baik dari kehadirannya di tlatah
Kabhumian, yang selain berbagi keberlebih-kelimpahan, ternyata
melakukan upacara bhumi-sodhana untuk membuat tawar daya
sakti ksetra-ksetra dan sanggar-sanggar pemujaan Sang Prthiwi.
Tindakannya yang terakhir itulah yang menyulut amarah para
penguasa ksetra karena dianggap sebagai suatu ancaman
berbahaya yang harus dilenyapkan. Lalu, beramai-ramailah para
pendeta penguasa ksetra menggalang kekuatan untuk
menghadang gerak langkah sekaligus menyingkirkan Abdul Jalil
dari muka bumi.

Semula, Abdul Jalil tidak mengetahui jika gerak langkahnya


dihadang oleh suatu kekuatan tersembunyi yang ingin
menghancurkannya. Ia baru menangkap sasmita kurang baik
ketika mendapat laporan dari sejumlah pengikutnya tentang
beberapa desa yang baru disinggahinya, tetapi secara tiba-tiba
diserang wabah penyakit menular ganas dan menimbulkan
kematian banyak orang. Sasmita kurang baik itu semakin kuat
manakala ia menerima laporan susulan tentang desa-desa yang
baru disinggahinya mendadak terbakar secara beruntun hingga
meluluhlantakkan puluhan rumah. Akhirnya, ia menduga ada suatu
kesengajaan yang dilakukan orang untuk menghancurkan dirinya
ketika ia mendapat laporan tentang puluhan penduduk yang
mendadak kerasukan ruh setan secara serentak di dua desa yang
baru disinggahinya.

2101
Sadar halangan berat sedang menghadang langkahnya, dengan
suara getir Abdul Jalil berkata kepada beberapa orang pengikutnya
yang melapor, “Kejadian-kejadian ini bukanlah suatu peristiwa
kebetulan atau sebuah musibah. Aku menangkap sasmita,
kejadian-kejadian itu adalah suatu gerakan terencana yang
memiliki tujuan utama merusak citra diri dan ajaranku. Aku
menduga sebentar lagi akan berembus badai fitnah yang
menyambar-nyambar ganas ke arahku.”

Dugaan itu tidak meleset. Tak lama setelah kabar peristiwa-


peristiwa aneh yang beruntun itu menyebar, berembuslah badai
fitnah yang menyambar-nyambar dan susul-menyusul menerjang
Abdul Jalil dan istrinya dengan suara gemuruh mengerikan di
tengah jeritan-jeritan dan raungan serak yang tak jelas dari mana
datangnya. “Jauhi Syaikh Jabarantas! Syaikh Jabarantas adalah
dewa yang dikutuk dan diusir dari kahyangan untuk menjalani
hidup sebagai manusia hina dan nista. Jauhi dia! Jangan biarkan
dia menghampiri manusia! Sebab, dewa yang dikutuk, di mana pun
dia berada akan selalu diikuti para Kingkara, prajurit-prajurit
Bhattara Yama, penguasa Kematian! Jauhi dia, manusia jelmaan
dewa yang terkutuk yang di mana pun dia berada selalu membawa
bencana dan kebinasaan. Jauhi makhluk terkutuk itu!” Lalu seiring
bergaungnya jeritan dan raungan itu, tiba-tiba semua mata dengan
pandang ketakutan diarahkan kepada sosok Abdul Jalil dan istri.

Sebagai seorang guru manusia yang sudah kenyang menelan


pahit dan getirnya kehidupan, Abdul Jalil sedikit pun tidak goyah
dalam menghadapi terpaan badai fitnah. Kedewasaan ruhani yang
2102
sudah dicapainya telah menjadikan jiwanya sekukuh bukit-bukit
karang yang tegak perkasa meski dihempas badai dahsyat. Tanpa
peduli dengan kerasnya tamparan badai fitnah yang mengepung,
ia melangkahkan kaki di tengah tatapan mata penduduk yang
menutup pintu rumah rapat-rapat. Setelah berhari-hari tertatih-tatih
menelusuri jalanan berbatu tanpa satu pun pintu rumah dibukakan
untuk mereka, bahkan di sebuah jalan kecil di sebuah desa
beberapa orang secara sembunyi-sembunyi menimpukkan batu-
batu, tersungkurlah Shafa, istrinya, dengan kening berdarah, di
bawah sebatang pohon yang tumbuh di ujung desa. Tubuhnya
menggigil dengan demam tinggi. Rupanya, selama berhari-hari
dan bermalam-malam berjalan dengan sedikit istirahat dan hanya
memakan ubi mentah, meminum air sungai, dan tidur di udara
terbuka, telah membuat tubuhnya sangat lemah, ditambah luka
berdarah-darah, telah menumbangkan kekuatan tubuh dan
jiwanya.

Dengan wajah kuyu dicekam kepedihan, Abdul Jalil duduk


membisu di samping istrinya. Ia merasakan suatu tekanan yang
sangat berat sedang menindihnya dengan hebat. Belum pernah ia
mengalami saat-saat seberat itu, bahkan saat ia melakukan
upacara bhumi-sodhana dan membuka dukuh-dukuh bercitra
caturbhasa mandala selama bertahun-tahun. Ia rasakan saat ini
sebagai saat terberat karena yang mengalami tekanan-tekanan
Kehidupan bukan dirinya, melainkan istri yang tingkat ketangguhan
ruhaninya masih rapuh. Kepedihan ia rasakan makin mengigit
jiwanya manakala ia perhatikan wajah istrinya yang sedang sakit
dan masih dinodai bekas darah kering itu seolah semakin tua. Ia
tiba-tiba diterkam rasa bersalah karena telah menelantarkan masa
2103
muda istrinya selama belasan tahun hanya untuk menunggu
kedatangannya dari rantau. Teringat pada kesetiaan istrinya yang
ikhlas membuang usia untuk menunggunya dan kemudian saat
sudah bersamanya malah mengalami nasib begitu buruk, terlunta-
lunta dihalau manusia seperti hewan menjijikkan, tanpa sadar ia
menitikkan air mata haru.

Melihat air mata membasahi wajah yang sejak dulu tak pernah
menangis itu, Shafa terkejut. Meski tubuhnya masih menggigil
diterkam demam, dia dengan suara bergetar bertanya, “Kenapa
engkau menangis, o Tuan? Apakah keteguhan jiwamu sudah mulai
goyah? Apakah yang menyebabkan air mata itu menetes, o
Dewaku?”

Abdul Jalil diam. Ia merasakan dadanya kosong dan


tenggorokannya kering. Ia tidak mampu berkata-kata akibat
amukan kepedihan yang mengkoyak-koyak jiwanya. Tak ingin
mengecewakan istri, ia dengan terbata-bata berkata, “Air mata ini
jatuh untuk istri yang aku kasihi. Aku merasa bersalah kepadanya.
Telah berbilang tahun aku sia-siakan masa mudanya untuk
mengisi hari-hari kosong dari kepergianku yang tak jelas kapan
kembalinya. Kini, saat engkau bersamaku, aku justru membagi
beban berat yang tidak kuasa engkau tanggungkan. Sungguh, aku
merasa bersalah kepadamu, o Istriku setia.”

Shafa tersenyum dan menggelengkan kepala dan mengusap air


mata dari pipi Abdul Jalil. Dia berkata lembut, “Tuan jangan
2104
menangis lagi. Air mata Tuan yang menetes untuk hamba telah
mengobati semua luka jiwa yang pernah hamba derita dan bahkan
semakin mengobarkan api kesetiaan hamba kepada Tuan. Hamba
mengucapkan terima kasih kepada Tuan yang telah menghargai
pengabdian hamba yang tulus.”

Abdul Jalil menarik napas berat dan menggenggam erat tangan


istrinya. Dengan suara lirih ia berkata, “Sungguh aku bangga
dengan kesetianmu, o Istriku. Andaikan aku bisa, ingin aku
menanggung rasa sakit yang engkau derita.”

Shafa tersenyum bangga, “Hamba tersanjung dengan pujian Tuan.


Hamba merasa seolah-olah terbang di angkasa khayalan. Tapi
bolehkah hamba bertanya sesuatu dan Tuan menjawab
pertanyaan hamba dengan jujur?”

“Bertanyalah, o bungaku terharum. Aku akan menjawab dengan


jujur.”

“Apakah Tuan melihat wajah hamba sudah semakin tua?”

Abdul Jalil tercekat. Ia diam. Beberapa jenak kemudian ia


tersenyum dan berkata, “Jujur aku katakan, wajah istriku sekarang
ini memang lebih tua dibanding saat ia aku nikahi. Tetapi ibarat
kumbang yang lebih suka memilih bunga yang mekar daripada
2105
yang kuncup, begitulah rasa cintaku kepadamu sekarang ini tidak
kurang sedikit pun dan bahkan malah bertambah-tambah. Bagi
kumbang pengarung angkasa ruhani, makna sekuntum bunga
bukanlah terletak kepada keindahan dan keharumannya,
melainkan sejauh mana bunga itu dengan tulus memberikan sari
madunya demi Kehidupan sang kumbang.”

“Apakah Tuan tidak akan mencari bunga lain jika kuntum bunga
yang Tuan hinggapi sudah layu?”

“Bunga yang tulus memberikan madu tidak pernah layu bagi sang
kumbang. Sebab, yang dilihat sang kumbang bukanlah bentuk
ragawi bunga lagi, melainkan citra indah dari jiwa bunga yang tak
pernah layu. Itulah bunga abadi yang keharumannya memabukkan
bagi sang kumbang,” kata Abdul Jalil mengelus tulang pipi istrinya
yang kurus.

“Hamba benar-benar tersanjung, o Tuan. Tetapi, hamba takut jika


keberadaan bunga abadi itu akan membuat murka Raja Kumbang,
karena telah membuat mabuk sang kumbang hingga lupa kepada-
Nya,” kata Shafa.

“Raja kumbang tidak akan murka,” sahut Abdul Jalil lembut.


“Sebab, bunga abadi itu pada hakikatnya adalah cerminan dari
Bunga Abadi yang dijadikan mahligai persemayaman Raja
Kumbang.”
2106
Ketika Shafa akan berkata-kata, tiba-tiba muncul seorang pengikut
Abdul Jalil yang dengan wajah pucat dan terengah-engah memberi
tahu jika sekawanan begal yang ganas sedang mencari-carinya.
“Kami tidak tahu apa maksud mereka mencari Kangjeng Syaikh.
Tapi kami yakin mereka berniat tidak baik,” ujarnya gemetar.

“Pulanglah ke rumah,” kata Abdul Jalil tenang. “Janganlah rasa


takut membuatmu kehilangan iman. Sesungguhnya, Yang
Memberi Bahaya sedang menguji keteguhan manusia.
Berlindunglah kepada Yang Maha Melindungi dan Yang Memberi
Keamanan. Janganlah syak dan ragu menggoyahkan jiwamu.
Segala sesuatu bersumber dari-Nya. Kembalikanlah semua
urusan hanya kepada-Nya!”

Dengan tergopoh-gopoh pengikut itu melesat di balik pepohonan.


Abdul Jalil tersenyum dan memandang istrinya sambil
menggumam, “Apakah engkau yakin dengan apa yang baru saja
aku katakan, o Istriku terkasih?”

“Hamba mempercayai kata-kata Tuan. Tetapi, hamba masih


merasa ketakutan jika kawanan begal itu datang.”

“Rasa takut muncul karena kita masih diliputi keraguan. Yang


membisikkan keraguan di dalam hati kita tidak lain dan tidak bukan
adalah setan yang merupakan ‘citra bayangan’ dari Yang Maha
Menyesatkan. Lantaran itu, kita harus menghilangkan rasa ragu
2107
dengan menumpukan kiblat hati dan pikiran kita hanya kepada-
Nya: Zat Yang Mahamutlak dalam segala.” Abdul Jalil merengkuh
tubuh istrinya. Mendekapnya erat-erat sambil membisikkan kata-
kata agar sang istri diam. Sesaat kemudian, terlihat sekitar lima
belas orang berwajah sangar dengan membawa kelewang dan
tombak berjalan beriringan lewat di depan Abdul Jalil, seolah-olah
mereka tidak melihat sesuatu pun di depannya.

Ketika melihat kawanan begal yang mencarinya sudah jauh, Abdul


Jalil meninggalkan tempat. Ia memutuskan pergi ke ibu kota untuk
menemui Yang Dipertuan Pasir Luhur, Prabu Banyak Belanak,
yang tidak lain dan tidak bukan adalah saudara tiri ayahanda
asuhnya, Sri Mangana. Di tengah perjalanan, ketika ia dan istrinya
singga di sebuah desa yang ramah menyambut, terjadi sesuatu
yang nyaris merenggut nyawanya dan nyawa istrinya yang sedang
sakit. Sewaktu ia dan istri akan menyantap makanan yang
disuguhkan kepala desa, muncul anjing peliharaan kepala desa
yang mengendus-endus kakinya. Terbiasa dengan berbagi
keberlebih-kelimpahan, ia tanpa berpikir mengambil sekerat
daging dari atas piring dan memberikannya kepada anjing yang
dengan lahap menyantapnya. Saat itulah ia sadar kalau jiwanya
dan jiwa istrinya sedang terancam karena anjing yang menyantap
daging itu seketika menggelepar-gelepar dan mati.

Sadar rintangan yang dihadapinya semakin mengganas, Abdul


Jalil buru-buru pergi ke Kraton Pasir Luhur menemui Prabu Banyak
Belanak. Di depan penguasa yang sudah mengikrarkan keislaman
kepada Raden Mahdum Ibrahim itu, ia memperkenalkan diri
2108
sebagai putera Sri Mangana Ratu Caruban Larang. Prabu Banyak
Belanak sangat gembira menyambutnya dan menyatakan
kesediaan untuk mendukungnya dalam menyampaikan risalah
Kebenaran di wilayah Pasir Luhur yang masih diliputi kabut
kejahilan. Namun, Yang Dipertuan Pasir Luhur mengaku tidak
memiliki cukup kekuatan untuk mengatasi masalah yang dihadapi
Abdul Jalil. “Hendaknya ananda memahami kedudukan paman
yang sedang lemah sejak paman mengikrarkan keislaman. Di
kraton ini banyak nayaka dan abdi yang lebih patuh kepada
penguasa ksetra daripada kepada raja. Raja Pasir telah lemah
kuasa dan wibawa dibanding pendeta,” ujar Prabu Banyak
Belanak.

Sekalipun Prabu Banyak Belanak lemah kuasa dan wibawa, ia


tetaplah seorang raja yang memiliki pengikut-pengikut setia dan
sedikit kekuasaan. Ia mengetahui siapa saja di antara penguasa
ksetra dan sanggar pamujan Prthiwi dan nayaka Pasir Luhur yang
menggalang kekuatan untuk menghadang langkah dan sekaligus
ingin menyingkirkan Abdul Jalil dari muka bumi. Beberapa orang di
antara mereka itu adalah Ajar Carang Andul, Wiku Ragadana,
Rishi Banasari, Ajar Pohkumbang, Wiku Kalibacin, Rishi Wuaya,
dan Binatang Karya. Mereka adalah pendeta-pendeta yang hidup
dalam kelimpahan, kemuliaan, dan disembah-sujudi penduduk
karena mereka diyakini memiliki hubungan khusus dengan dewa-
dewa dan termasyhur kesaktiannya.

Abdul Jalil paham kedudukan tinggi dan mulia para penguasa


ksetra itu pada dasarnya ditegakkan di atas rasa takut penduduk
2109
yang tercekam lingkaran takhayul dan kurafat yang menempatkan
mereka sebagai penguasa tempat suci dan sekaligus wakil dewa-
dewa di dunia. Lewat cerita dan dongeng yang bersambung turun-
temurun dari mulut ke mulut, mereka telah menempatkan diri
sebagai pengawal Dewi Durga atau Dewi Prthiwi yang diagungkan
dan dimuliakan dan ditakuti penduduk. Hari-hari dari kehidupan
mereka penuh diwarnai dengan dongeng-dongeng klenik yang
menjerumuskan manusia ke jurang kejahilan mengerikan:
memberhalakan sesama titah sebagai sesembahan. Lantaran itu,
kehadiran Abdul Jalil yang tidak tersangka-sangka sangat
mengusik kemapanan mereka. Sebab, dalam waktu singkat ia
telah menjadi buah bibir sebagai guru suci yang memiliki kesaktian
luar biasa, mampu menyembuhkan orang sakit, menolak dan
mendatangkan hujan, menjinakkan binatang buas, mengusir ruh
setan yang merasuki manusia, menaklukkan setan, dan dapat
membuat tawar daya sakti ksetra-ksetra serta tempat-tempat
pemujaan Sang Prthiwi.

Keterusikan para penguasa ksetra-ksetra dan sanggar-sanggar


pemujaan Sang Prthiwi itu pada gilirannya menjelma menjadi
kemarahan, ketika ajaran Abdul Jalil mulai menampakkan
pengaruh dahsyat pada perilaku pengikut-pengikutnya. Orang-
orang yang semula penakut dan penurut, tiba-tiba berani bangkit
dan menuntut hak untuk melindungi anak-anak dan keluarga dari
kewajiban mempersembahkan mereka sebagai korban
sembelihan di ksetra-ksetra. Mereka membentuk kumpulan-
kumpulan dan melakukan perlawanan terhadap para pengawal
ksetra yang datang mengambil anak-anak calon korban. Bahkan,
mereka mulai menampik cerita-cerita dan dongeng-dongeng
2110
menakjubkan yang melingkupi ksetra-ksetra. Gerakan mereka
telah membuat marah para pendeta yang kemudian menggalang
kekuatan untuk menyingkirkan biang pembuat kisruh itu: Syaikh
Jabarantas.

Sekalipun sadar akan bahaya yang bakal dihadapi akibat


perlawanan para penguasa ksetra, Abdul Jalil bergeming dari
jalannya. Ia tidak membenci dan tidak pula meladeni tindakan
mereka yang menginginka nyawanya. Ia justru mengasihi mereka,
manusia-manusia picik yang cakrawala pemandangannya sangat
sempit dan pengetahuannya sangat dangkal. Ia paham,
sebagaimana penduduk pedalaman Nusa Jawa lain yang hidup di
tengah limpahan kesuburmakmuran tanah yang gemah ripa
lohjinawi, mereka adalah orang-orang yang tidak bisa melihat
Kehidupan dengan rana lebih luas dan lebih jauh dari sawah, desa,
sungai, gunung, dan lembah yang mengitari kediamannya.
Cakrawala pandangan mereka sangat sempit. Pendek. Picik.

Abdul Jalil sadar, membentangkan cakrawala pemandangan


manusia yang sempit tidaklah mungkin bisa dilakukan tanpa
menegakkan landasan nilai-nilai baru yang bisa dijadikan pijakan
bagi terbangunnya tatanan Kehidupan baru yang lebih leluasa dan
memberi harapan. Dan sebagaimana lazimnya sebuah perubahan,
dalam usaha membangunkan manusia dari alam Kehidupan yang
sempit dan menyesakkan itu, ia harus membongkar bangunan
nilai-nilai lama penduduk yang sarat diliputi takhayul dan kurafat
untuk diganti dengan bangunan nilai-nilai baru yang berlandaskan
Tauhid. Itu berarti, ia harus merobohkan dinding-dinding penyekat
2111
labirin nilai-nilai lama yang sarat dengan takhayul berliku-liku dan
menyesatkan. Ia harus membersihkan dan menyehatkan
keyakinan orang-orang yang terpenjara di dalam lorong-lorong gua
kurafat yang gelap gulita dengan terangnya matahari Pengetahuan
yang Hakiki tentang Tauhid. Lalu, ia mengajarkan tentang eling
(dzikir), pracaya (al-iman), mituhu (istiqamah), rila (ridho), lapang
dada (sabar), berani berkorban (wirya), bijaksana (arif), ngalah
(tawakal), nerima (qana’ah), temen (amanah), dan budi luhur
(akhlak al-Karim) baik sebagai nilai-nilai hidup dan amaliah ruhani.

Usaha Abdul Jalil untuk membangun nilai-nilai baru berdasar


Tauhid itu bukanlah sesuatu yang ringan. Ia dituntut oleh kewajiban
asasi untuk memberikan pelajaran ruhani yang dapat menyingkap
tirai kesadaran banyak manusia, agar bisa menyaksikan matahari
Kebenaran yang tersembunyi di dalam diri masing-masing, yaitu
matahari Kebenaran yang benderang cahaya-Nya jauh lebih
agung dan mulia dibanding “gumpalan kabut kejahilan” yang
terselip di pohon-pohon, batu-batu, gunung-gunung, mata air,
sungai-sungai, punden-punden. Ia harus menyadarkan banyak
orang bahwa ruh suci Ilahi yang ditiupkan Allah pada manusia saat
penciptaan adalah jauh lebih tinggi dan lebih suci dibanding ruh-
ruh gentayangan makhluk penghuni dasar bumi, seibarat
perbandingan terang matahari dengan kegelapan gumpalan kabut.
Usaha itu hanya mungkin terwujud jika dukuh-dukuh bercitra
caturbhasa mandala ditegakkan sebagai kediaman manusia-
manusia yang sudah tercerahkan oleh pancaran matahari
Kebenaran; manusia-manusia unggul yang akan membentangkan
cakrawala baru bagi Kehidupan umat manusia yang lebih gemilang
dan penuh harapan.
2112
Selama usaha menegakkan caturbhasa mandala yang mendapat
dukungan dari raja Pasir Luhur, Abdul Jalil terus dihadapkan pada
tekanan-tekanan hebat yang nyaris membuat orang-orang di
sekitarnya putus asa. Semakin kuat tekadnya untuk mewujudkan
tegaknya caturbhasa mandala di wilayah Kabhumian, semakin
hebatlah serangan yang datang untuk menggagalkannya. Namun,
di tengah suasana yang penuh tekanan itu, tanpa disadari ia
acapkali menampakkan kekeramatan-kekeramatan bersifat
adikodrati yang secara langsung atau tidak langsung memperkuat
keyakinan orang-orang yang mendukungnya. Bahkan, puncak dari
kekeramatan itu disaksikan oleh banyak manusia ketika
berlangsung upacara pembukaan empat dukuh pertama bercitra
caturbhasa mandala di Kabhumian, yaitu dukuh Tanah Sari, Soka,
Telaga, Wulung, dan Kali Putih.

Ketika Prabu Banyak Belanak menghadiri upacara pembukaan


keempat dukuh di Kabhumian itu, ia lebih dulu telah mengundang
para sesepuh dan pemuka desa, para balian, dukun, kumara,
pendekar, tuan tanah, saudagar, bangsawan, terutama penguasa
ksetra dan sanggar pemujaan Prthiwi di wilayah Kabhumian. Di
tengah upacara itu ia mengumumkan akan mencari guru suci
kerajaan yang linuwih. Hal itu dilakukan dengan cara menguji
kesaktian dan kedigdayaan calon guru suci tersebut. Raja ingin
menguji kemampuan semua orang sakti di wilayah Kabhumian
dengan cara mengadu kesaktian dan kedigdayaan masing-
masing. Siapa yang paling unggul maka dialah yang akan menjadi
guru suci kerajaan.

2113
Keiinginan raja untuk menguji kesaktian semua orang sakti di
Kabhumian disambut penuh semangat oleh semua undangan yang
merasa memiliki keunggulan dalam olah kanuragan maupun olah
kebatinan. Lalu, terjadilah unjuk kehebatan di antara orang-orang
yang berhasrat kuat menjadi guru suci kerajaan yang sangat
terhormat dan mulia itu. Namun, sesuatu yang tak terduga terjadi
ketika Syaikh Jabarantas tiba-tiba muncul dan berhasil lolos dari
ujian yang berat itu. Dalam ujian yang diselenggarakan raja Pasir
Luhur itu, Syaikh Jabarantas dengan cara sangat menakjubkan
yang sebelumnya belum pernah disaksikan orang. Ia dengan
mudah membuat tawar tuah dan tulah para penguasa ksetra dan
penguasa sanggar pemujaan Sang Prthiwi, melumpuhkan
keampuhan mantera-mantera para balian dan dukun-dukun,
membuat tidak berdaya kesaktian dan kedigdayaan para
pendekar, menggagalkan permainan ruh para kumara, dan
melemahkan daya sakti pusaka-pusaka keramat.

Setelah memenangkan ujian dan diangkat menjadi guru suci


kerajaan, Abdul Jalil tinggal di dukuh Tanah Sari dan menerima
banyak murid. Sebagaimana kebiasaan yang dilakukannya, ia
memberikan pelajaran berbagai pengetahuan baru yang memiliki
sudut pandang baru kepada para muridnya, yang membuat banyak
orang tertegun-tegun dan terheran-heran. Tanpa peduli dengan
keyakinan dan pemahaman sebagian besar penduduk yang sarat
takhayul dan gegwantuhuan, ia mengajarkan pengetahuan-
pengetahuan yang sebelumnya belum pernah diketahui orang.
Orang sering melihatnya menyampaikan ajaran-ajaran aneh
seperti “belajar mati”, menjadi adimanusia, Sasyahidan, dan
“menaklukkan setan”. Dengan suara aneh laksana desis ular di
2114
tengah derik ribuan jangkrik, ia mengajarkan cara menaklukkan
setan kepada murid-muridnya, yang kalau dipaparkan, kira-kira
begini intisarinya:

“Sungguh, telah berbilang tahun dan abad kalian mempercayai


bahwa ruh-ruh setan menghuni tempat-tempat angker yang
berbahaya bagi manusia. Kalian mempercayai bahwa ruh-ruh
setan ada yang baik, ada yang jahat, dan suka mengganggu
manusia. Kalian menyakini, orang-orang yang kesurupan adalah
orang-orang yang sedang dirasuki ruh setan penghuni batu,
pohon, sungai, mata air, punden, dan gunung. Padahal, apa yang
kalian yakini itu pada hakikatnya adalah dunia khayali yang kalian
bangun dengan prasangka-prasangka kosong. Yang kalian yakini
adalah dunia angan-angan yang mengada-ada karena kuatnya
daya cipta kalian sendiri.”

“Mulai sekarang, dengarlah apa yang diajarkan oleh Syaikh


Jabarantas tentang setan-setan yang menggentarkan jiwamu itu.
Ketahuilah, sejak awal zaman ketika manusia diciptakan Allah, di
dalam diri manusia sudah terkumpul berbagai anasir mulai Yang
Ilahi, malakut, setani, manusiawi, sampai hewani. Itu sebabnya,
anasir setani, yang membuat seseorang kesurupan, sejatinya
bukanlah anasir yang berasal dari luar diri manusia. Setan-setan
yang merasuki diri manusia bukanlah ruh-ruh gentayangan
penghuni tempat-tempat angker. Sebab, sejatinya, anasir-anasir
setani sudah ada di dalam diri manusia sejak awal zaman. Anasir
setani itu mengalir bersama aliran darah manusia. Setan ada di
dalam diri manusia. Setan itulah yang membuat was-was hati
2115
manusia dan mendorong-dorong manusia untuk menekuk kaki,
tubuh, dan kepala manusia, agar manusia bersujud kepada
sesembahan selain Allah. Setan di dalam diri manusia itulah yang
telah membuat lengah manusia dengan menunjuk bayangan
dirinya yang seolah-olah bersemayam di pepohonan, sungai-
sungai, batu-batu, mata air, gunung-gunung, dan punden-punden.
Setiap orang yang terperdaya oleh bujukannya akan mengikuti
bisikannya sehingga mereka tidak mengetahui di mana sejatinya
ruh setani itu berada.”

“Camkan oleh kalian semua, o orang-orang yang mengaku


pengikut Syaikh Jabarantas, mulai sekarang hendaknya kalian
semua tidak lagi mengarahkan kiblat hati dan pikiran kepada
sesembahan di luar diri kalian, baik itu pohon, batu, sungai, mata
air, gunung, laut, bintang, bulan, matahari dan tempat-tempat
angker. Kiblat Kebenaran yang sejati ada di dalam kalbu manusia.
Dengan kiblat yang benar, kalian akan menjadi penakluk segala
ciptaan karena kalian adalah wakil Allah di muka bumi. Dengan
demikian, ulai saat ini jangan lagi kalian takut terhadap bayangan
setan yang disebut Naga Shesha yang membagi-bagi waktu untuk
menggiring kiblat hati dan pikiran manusia dari jalan Kebenaran.
Sebagai wakil Allah di muka bumi, kalian akan bisa menjadi
manusia penakluk setan yang selama ini kalian takuti. Apakah
kalian ingin menjadi penakluk setan? Jika kalian ingin menjadi
manusia penakluk setan maka ikutilah petunjukku.”

“Mula-mula, arahkan kiblat kesadaranmu ke dalam dirimu sendiri.


Renungkan, rasakan, resapi, dan hayati keberadaan anasir setani
2116
yang bersembunyi di dalam dirimu. Sebab, setan di dalam dirimu
itulah setan yang sejati, bukan bayangannya yang menciptakan
angan-angan kosong di luar dirimu. Renungkan, rasakan, resapi,
dan hayati keberadaan anasir setani di dalam dirimu yang panas
membakar laksana api yang darinya setan dicipta. Renungkan,
rasakan, resapi, dan hayati anasir api yang mengobarkan sifat
takabur, iri, dengki, amarah, cemburu, dan dendam kesumat dalam
dirimu yang salah satu gerbangnya terletak pada indera
pendengaranmu. Jika kalian telah mengetahui dan menangkap
keberadaan setan beserta sifat-sifat dan af’al-nya di dalam diri
kalian masing-masing maka mudahlah bagi kalian untuk
menaklukkannya. Sebab, bagaimanapun rapi setan
menyembunyikan diri, kalian telah mengetahui jati dirinya.
Sehingga, kalian setiap saat akan dapat menertawakan segala
daya upaya setan yang akan membelokkan kiblat Kebenaran dari
kesadaran kalian. Itulah yang aku sebut kemenangan
menaklukkan setan karena setan tidak berdaya menghadapi
orang-orang yang sudah mengetahui dan mengenal jati dirinya.”

2117
Serpihan-Serpihan Manusia

Setelah merasa cukup berbagi keberlebih-


kelimpahan di Kabhumian, Abdul Jalil
dengan didampingi istri melakukan
perjalanan ke arah timur melintasi gunung,
bukit, lembah, ngarai, sungai, hutan, dan
padang hijau dengan istirahat sekadarnya di
desa-desa, dukuh-dukuh, padepokan-
padepokan dan asrama-asrama yang berkenan menerima
kehadirannya. Laksana seekor sapi membagi-bagi susunya
kepada siapa saja yang membutuhkan, ia membagi-bagi
keberlebih-kelimpahannya tanpa sedikit pun meminta imbalan
jasa. Dengan ketulusan dalam berbagi, tanpa dikehendaki ia telah
menimbulkan perubahan-perubahan pada manusia-manusia di
berbagai tempat yang di kunjunginya: perampok, begal,
penggarong, maling, pembunuh, dan pelacur yang selama itu
dianggap sebagai hama masyarakat, tiba-tiba banyak yang
bertobat dan kembali ke jalan yang benar; wiku-wiku yang
mengikuti upacara mediksha dengan sukarela mengikrarkan dua
kalimah syahadat diikuti upacara memotong kulup kemaluan;
beralih fungsinya ksetra-ksetra menjadi kuburan-kuburan
penduduk; dan munculnya dukuh-dukuh baru bercitra caturbhasa
mandala.

Setelah bulan-bulan dan tahun-tahun berlalu, dalam perjalanan


panjang membagi keberlebih-kelimpahannya, Abdul Jalil yang
dikenal orang dengan nama Syaikh Jabarantas telah menjadi buah
2118
bibir masyarakat. Sejak kawasan barat Pasir Luhur hingga
perbatasan Mataram, Pengging, dan Pajang, tidak ada orang yang
tidak kenal nama Syaikh Jabarantas yang mengajarkanajaran-
ajaran aneh: belajar mati, menaklukkan setan, Sasyahidan, dan
menjadi adimanusia. Suatu ajaran aneh yang telah mengobrak-
abrik kejumudan dan kemandekan Kehidupan ruhani di pedalaman
Nusa Jawa. Bahkan bukan sekadar ajaran anehnya, tapi
penampilan, perilaku, dan kekeramatannya yang luar biasa telah
menjadikannya dikenal dan dihormati orang dengan sangat
berlebihan. Di mana pun ia berada, ia selalu dijadikan pergunjingan
yang tak ada habis-habisnya. Hanya saja, keberadaannya yang
selalu berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain telah
menghindarkannya dari pemberhalaan sebagaimana telah terjadi
di Caruban. Penduduk di pedalaman Nusa Jawa kebanyakan
hanya satu dua kali melihat sosok Syaikh Jabarantas atau bahkan
hanya mendengar nama itu dari cerita mulut ke mulut.

Sebagaimana saat berada di wilayah Pasir Luhur, ketika memasuki


wilayah perbatasan Pasir Luhur, Mataram, Pengging, dan Pajang
yang membentang sejak lembah selatan pegunungan Dihyang
hingga lembah gunung Sindara – Sumbing, di kaki gunung
Candrageni (Merapi), dan Candramuka (Merbabu), Abdul Jalil
disambut dengan penghormatan berlebih setiap kali datang ke
dukuh-dukuh, padepokan-padepokan, asrama-asrama. Namun, di
tengah sanjungan dan pujian yang ditujukan kepada dirinya itu,
Abdul Jalil menangkap sasmita mengerikan tentang bakal
terjadinya azab Allah dalam bentuk bencana dahsyat yang akan
melanda wilayah tersebut.

2119
Sepanjang perjalanan memasuki wilayah yang bakal diterjang
bencana itu, Abdul Jalil menyaksikan jungkir baliknya tatanan nilai-
nilai yang dianut penduduk di kawasan tersebut. Ia menduga,
kemerosotan Majapahit yang diikuti tumbuh suburnya kerajaan-
kerajaan kecil dan kadipaten-kadipaten gurem yang saling
berselisih telah menjadi penyebab utama bagi lahirnya sebuah
tatanan baru masyarakat yang kabur dan tidak jelas kekuatan
tiang-tiang penyangganya. Kehidupan masyarakat telah teraduk-
aduk dan berantakan karena pilar-pilar kekuasaan, hukum,
keamanan, dan ketertiban telah runtuh serta hilang tersapu badai
keserakahan dan keganasan para penguasa yang berselisih
memperebutkan kuasa dan wibawa. Kekuasaan sudah berbaur
dengan ketidakteraturan. Hukum sudah bercampur dengan
perdagangan. Keadilan sudah sama dan sebangun dengan
keberpihakan. Kejujuran telah menyatu dengan dusta. Kebaikan
telah bercampur aduk dengan kejahatan. Kebenaran telah
tumpang tindih dengan kebatilan. Semua nilai telah kabur. Buram.
Gelap. Menyesakkan.

Di tengah perselisihan para penguasa serpihan-serpihan wilayah


Majapahit yang sebagian besar telah menjadi kekuasaan-
kekuasaan gurem itu, memang terjadi kesepakatan para penguasa
untuk membagi wilayah kekuasaan masing-masing dengan batas-
batas wilayah yang tegas. Namun, akibat tidak adanya kekuasaan
tertinggi yang memiliki kuasa dan wibawa, maka kesepakatan-
kesepakatan itu sering kali dilanggar. Lalu, terjadi tumpang tindih
dalam pengaturan daerah kekuasaan baik menyangkut batas

2120
tanah, pajak, cacah jiwa, administrasi, hingga status warga dan
jumlah nayakapraja. Di tengah ketumpangtindihan itu, rakyat
sengaja dibiarkan hidup dengan pilihan-pilihannya sendiri,
termasuk dalam hal melindungi diri sendiri dari berbagai masalah
berat yang seharusnya menjadi kewajiban penguasa. Akibatnya,
kerusuhan-kerusuhan kerap kali terjadi, baik dalam bentuk
perampokan, penyerobotan tanah, tawuran antardesa,
pembunuhan-pembunuhan, dan penjarahan-penjarahan. Para
penguasa biasanya pura-pura menutup mata seolah tidak
mengetahui keadaan carut marut yang terjadi di wilayah
kekuasaannya.

Sebagaimana perilaku alam, seiring perjalanan waktu, tatanan


Kehidupan di wilayah yang sarat perselisihan itu telah melahirkan
kenyataan hidup manusia yang sesuai dengan dasar-dasar hukum
alam: siapa yang kuat akan muncul sebagai pemenang. Di tengah
kehidupan yang mirip rimba raya itu, bermunculan makhluk-
makhluk mengerikan yang ganas, buas, rakus, dan keji, laksana
mayat-mayat hidup bangkit dari kubur bergentayangan menakuti
manusia. Atau, makhluk-makhluk buas yang curang, licik, kejam,
tamak, dan serakah, laksana kawanan lintah berkeriap dari rawa-
rawa mencari manusia untuk diisap darahnya. Atau, makhluk-
makhluk pemakan bangkai, laksana kawanan biawak merayap-
rayap dengan lidah bercabang terjulur meneteskan liur
keserakahan. Atau makhluk-makhluk dekil pemakan sampah,
laksana lalat beterbangan menebarkan bau busuk dan penyakit.
Makhluk-makhluk ganas itulah yang dikenal orang dengan nama:
tuan tanah, lintah darat, pemungut pajak, tukang tagih, centeng,
maling, penggarong, pemeras, orang-orang bayaran, dan
2121
penjarah. Semua makhluk menjijikkan itu hidup saling membahu,
tolong-menolong, manfaat-memanfaatkan, dukung-mengukung,
pendek kata saling bekerja sama dengan sesama maupun dengan
para penguasa. Mereka membangun kuasa dan wibawa yang
menakutkan bagi Kehidupan manusia karena kekuatan mereka
saling berjalin berkelindan, laksana dinding-dinding labirin yang
berliku-liku membingungkan dan menyesatkan.

Kemunculan makhluk-makhluk mengerikan itu ternyata akibat


keadaan tidak pasti yang membuat semua orang saling berlomba
memenuhi kepentingan pribadinya masing-masing di luar batas
kewajaran. Seperti sedang berpacu mengadu kecepatan, orang-
orang berlomba saling mendahului untuk meraih keuntungan
pribadi sebesar-besarnya. Siapa yang tercepat akan berada pada
urutan terdepan. Dalam perlombaan mengedepankan kepentingan
pribadi itu, muncul makhluk-makhluk mengerikan yang
membahayakan Kehidupan manusia. Sementara penduduk desa
yang selama berbilang abad merupakan orang-orang tangguh
yang mampu mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri, ternyata ikut
berubah menjadi kawanan makhluk pemalas rakus dan ganas
akibat tanah-tanah yang mereka garap secara turun-temurun
bergantian dirampas oleh penguasa yang berbeda dari satu waktu
ke waktu yang lain. Bagaikan kawanan lalat berkerumun mengitari
bangkai yang dimangsa serigala, begitulah penduduk desa-desa
yang sebelumnya dikenal sebagai komunitas yang mandiri tiba-tiba
menjelma menjadi kawanan pencoleng yang suka menangguk
keuntungan di tengah kekacauan. Selama kurun perselisihan yang
panjang itu, banyak desa yang semula penduduknya terkenal
ramah dan suka menolong tiba-tiba berubah menjadi desa para
2122
pelucut mayat. Perangai ramah dan suka menolong serta merta
lenyap digantikan wajah seram dari serpihan-serpihan manusia
yang suka melucuti barang-barang prajurit yang tewas dalam
pertempuran, seperti keris, sarung keris, pedang, sarung pedang,
busur, mata tombak, cincin, gelang, dan kantung jimat. Bahkan,
yang lebih banyak tumbuh lagi di samping desa-desa pelucut
mayat adalah desa-desa penggarong dan penjarah, yakni desa
dari serpihan-serpihan manusia ganas pembawa binatang buas
yang menjarah dan membiadab di tengah kekacauan.

Melucuti mayat dan menjarah. Kebiasaan yang dilakukan terus-


menerus di tengah perselisihan kuasa dan wibawa yang
berlangsung berpuluh-puluh tahun akhirnya mewujud menjadi
sebuah mentalitas kaum. Sebab, dengan melucuti mayat dan
menjarah, segala hal yang sulit menjadi mudah. Segala hal yang
rumit menjadi sederhana. Segala hal yang tidak mungkin menjadi
mungkin. Bukankah di dalam melakukan perlucutan mayat dan
penjarahan, orang hanya butuh sedikit kekuatan dan sekeping
keberanian untuk melakukan aksinya? Bukankah seorang pemalas
dekil pun tidak perlu mengeluarkan tenaga banyak untuk
melakukan tindakan perlucutan mayat atau aksi penjarahan?
Melucuti mayat. Menjarah. Melucuti mayat. Menjarah. Itulah
mentalitas kaum yang terus tumbuh subur baik di kalangan kawula
maupun di tingkat penguasa yang hidup di tengah konflik. Semakin
porak-porandan dan jungkir balik tatanan nilai-nilai kehidupan yang
sudah dirobek-robek perselisihan itu, semakin suburlah mentalitas
rendah itu dengan pertanda seringnya pecah kekacauan yang
bermuara ke perlucutan dan penjarahan besar-besaran.
Demikianlah, di wilayah persilangan Pasir Luhur, Mataram,
2123
Pengging, dan Pajang yang ditebari kadipaten-kadipaten gurem
seperti Bocor, Taji, Surabhuwana, Pakem, Semanggi, Wanabhaya,
Wirasabha, Bhagahalin, Jatinom, Kajoran, dan Tembayat itu nyaris
tidak pernah sepi dari kekacauan yang tampaknya sengaja dicipta
oleh para penjarah.

Di lembah selatan gunung Candrageni yang selalu mengeluarkan


asap, yang menurut penduduk di sekitar gunung tersebut terdapat
kerajaan gaib bangsa lelembut, yang dirajai Sang Kala Rudra, yang
pada waktu-waktu tertentu menyemburkan lahar panas dari
kepundan, terdapat pemukiman penduduk yang tersebar begitu
dekat jaraknya satu sama lain. Sejak berbilang abad, kawasan
tersebut dikenal sebagai daerah sangat subur karena muntahan
lahar dari gunung Candrageni telah menjadi pupuk bagi tanah yang
ditebarinya. Lantaran berlimpah kesuburan yang laksana berkah
tercurah dari langit, penduduk di kawasan tersebut hidup dalam
kemakmuran berlebihan. Namun, sejak ketidakpastian hidup mulai
mengambang seiring merosotnya kekuasaan Majapahit, seluruh
kemakmuran yang dinikmati penduduk tiba-tiba terampas oleh
tangan-tangan kekar bersenjata. Petani-petani penggarap sawah
diusir dan tanahnya dirampas oleh orang-orang kuat yang kelak
mendudukkan diri sebagai penguasa wilayah. Lalu, seiring
menguatnya penguasa wilayah, bermunculan para tuan tanah,
pemungut pajak, penagih sewa tanah, tukang kepruk, dan lintah
darat. Kemiskinan pun merebak menjadi keniscayaan yang
melahirkan manusia-manusia pemalas yang mengedepankan
kepentingan pribadi, yang dengan cara sangat ajaib menjelma
menjadi serpihan-serpihan manusia dekil berjiwa perampok,
penggarong, pencuri, pelucut mayat, pengutil, dan penjarah.
2124
Ketika Abdul Jalil dan istri dalam perjalanan membagi keberlebih-
kelimpahan tiba di kawasan lembah selatan gunung Candrageni,
ia menyaksikan kejahatan demi kejahatan dilakukan oleh manusia-
manusia yang sudah menjadi serpihan-serpihan berjiwa kawanan
binatang buas. Yang paling menderita dari keadaan itu tentu saja
orang-orang tua, perempuan, dan anak-anak yang tak berdaya.
Mereka meringkuk ketakutan di sudut-sudut rumah dengan tubuh
lemah diterkam rasa lapar dan putus asa. Dengan tatap mata
kosong, beberapa ibu yang kurus mendekap mayat bayinya yang
sudah kaku. Sementara orang-orang yang masih kuat acapkali
terlihat berlari tak tentu arah ketika rumah-rumah mereka dibakar
para perusuh yang laksana kawanan serigala haus darah
menjarah dan memburu siapa saja di antara manusia yang bisa
dijadikan mangsa. Demikianlah, di tengah jerit kematian, pekik
kesakitan, dan rintih keputusasaan orang-orang lemah tak berdaya
itu, terdengar gelak tawa para tuan tanah, lintah darat, tukang
tagih, pemungut pajak, tukang kepruk, para penjarah, dan tentu
saja para penguasa bermental penjarah.

Bagi kebanyakan orang yang tinggal di daerah lembah gunung


Candrageni dan Candramukha, compang-camping dan porak-
porandanya kehidupan penduduk dengan nilai-nilai yang jungkir
balik itu dianggap sebagai suatu hal biasa dan bahkan sangat
menyenangkan. Namun, bagi Abdul Jalil yang terbiasa berbagi
keberlebih-kelimpahan, keadaan itu sangat melukai jiwanya. Ia
merasa seolah-olah berdiri di tengah bentangan cermin yang
mengelilingi seperti lingkaran. Lalu, di dalam cermin itu ia melihat
bayangan mengerikan dari manusia-manusia berkurang-
kesusutan yang meraung-raung, melolong-lolong, dan melenguh-
2125
lenguh dengan mata menyala dan liur menetes, ingin melahap
mangsa. Betapa mengerikan bayangan makhluk-makhluk buas
berwujud manusia itu karena mereka lebih ganas dan lebih liar
dibanding binatang paling buas. Mereka tidak takut kepada
sesuatu karena di dalam diri mereka bersembunyi sesuatu yang
sangat menakutkan manusia.

Sesungguhnya, sebagai makhluk hidup, serpihan-serpihan


manusia itu memiliki naluri rasa takut. Sebab sebuas dan seliar apa
pun makhluk hidup, entah itu manusia atau binatang, tidak akan
pernah dapat membebaskan diri dari naluri rasa takut.
Demikianlah, serpihan-serpihan manusia dekil berkurang-
kesusutan yang dari waktu ke waktu mengumbar kejahatan demi
kejahatan itu ternyata lehernya dililit oleh rantai-rantai rasa takut,
yang diikat pada tiang api raksasa di puncak gunung Candrageni,
yang merupakan singgasana Sang Kala Rudra. Rasa takut kepada
Sang Kala Rudra itulah yang membuat mereka dapat berubah
menjadi kumpulan dari serpihan manusia yang dengan takzim
mempersembahkan sesaji kepada penguasa gunung serta
mematuhi pantangan-pantangan, terutama di saat mereka
menangkap tanda-tanda kemarahan Sang Penguasa Gunung.

Sementara, tercekam oleh penderitaan manusia akibat kejahatan


manusia lain, Abdul Jalil berusaha memberi peringatan kepada
semua orang agar mereka sadar bahwa tindak kejahatan yang
mereka lakukan dengan semena-mena itu telah membuat Yang
Mahakuasa murka. Dengan cara yang aneh, muncul mendadak
seperti orang terbawa tiupan angin, ia datang ke tengah para
2126
pendeta dan pemuka penduduk yang sibuk mengadakan upacara
persembahan bagi Sang Kala Rudra, penguasa gaib gunung
Candrageni, yang belakangan terlihat murka dengan pertanda
terbatuk-batuk dan menggeram-geramnya sang gunung. Ketika
semua terheran-heran dengan kemunculannya yang aneh itu,
Abdul Jaliln dengan cara yang aneh pula menyatakan bahwa ia
adalah punggawa kraton gaib gunung Candrageni, yang diutus
Sang Kala Rudra untuk memperingatkan manusia.

Di tengah rasa takut yang sedang menerkam, dengan


menunjukkan sedikit kekeramatan yang menakjubkan, Abdul Jalil
berhasil meyakinkana para pendeta dan pemuka penduduk.
Mereka yang meyakini bahwa dewa-dewa sering muncul di dunia
dalam wujud manusia, benar-benar yakin jika manusia yang
berpakaian compang-camping yang datang dengan cara aneh dan
mampu menunjukkan kesaktian itu adalah punggawa kepercayaan
Sang Kala Rudra. Dengan penuh ketundukan dan kepatuhan,
mereka menyembah dan kemudian duduk takzim bagaikan nayaka
sedang menunggu sabda rajanya.

Sadar orang-orang sudah meyakini dirinya adalah punggawa


kepercayaan Sang Kala Rudra, Abdul Jalil kemudian memberikan
wejangan-wejangan yang intinya adalah peringatan dan ancaman
kepada para pelaku kejahatan yang telah membuat murka
Penguasa gunung, sungai, hutan, lautan, dan langit. Dengan suara
nyaring laksana jeritan camar di tengah deburan ombak lautan, ia
berkata dengan suara lantang diliputi wibawa yang aneh.

2127
“Dengar! Dengarlah sabdaku, o pemimpin-pemimpin manusia
yang tinggal di wilayah kekuasaanku! Bukalah telingamu lebar-
lebar sebelum aku tusuk dengan batang bambu! Camkan
peringatan yang aku sampaikan ini! Pertama-tama, untuk apa
engkau sekalian melakukan upacara persembahan kepada
Tuanku, Sang Kala Rudra, dengan cara berlebihan? Untuk apa
tumpeng, ayam panggang, domba sembelihan, arak wangi, dan
dupa harum engkau suguhkan untuk Tuanku, jika apa yang kalian
persembahkan itu adalah hasil rampokan dan jarahan? Apakah
kalian menganggap Tuanku pemimpin perampok yang
memerintahkan kalian untuk merampas dan menjarah? Sungguh,
persembahan kalian adalah penistaan dan kejijikan bagi Tuanku.
Sungguh, perayaan upacara yang kalian adakan ini adalah suatu
kejahatan yang memalukan bagi Tuanku.”

“Dengar! Dengar sabdaku, o manusia-manusia memuakkan. Telah


bertahun-tahun Tuanku menahan murkanya atas penghinaan yang
kalian lakukan. Tuanku muak melihat kalian. Muak. Muak. Seribu
kali muak. Sehingga, kalau Tuanku mendapati kalian
menengadahkan tangan untuk berdoa kepadanya maka dia akan
memalingkan muka dan menutup telinganya. Dia tidak akan
mendengar doa kalian. Sebaliknya, dia murka dan akan
menebarkan kemurkaannya atas kalian semua. Tanpa kenal orang
tua, perempuan, anak-anak, dan bahkan bayi sekali pun, dia akan
mencurahkan amarahnya ke atas kepala tiap-tiap makhluk hidup
di sekitarnya. Dia, Sang Kala Rudra, Penguasa Waktu, akan turun
kepada kalian dalam wujud Yama, Sang Maut, Yang Maha
Membinasakan. Dia akan menyaksikan Kebinasaan manusia
akibat kejahatan-kejahatan yang mereka lakukan.”
2128
“Sekarang dengarkan! Dengarkan, o manusia-manusia jahat. Jika
kalian ingin selamat dari murka Tuanku maka ikutilah apa yang aku
tunjukkan ini: pertama-tama, sucikanlah dirimu dari semua
perbuatan jahat. Lalu, dermakan semua harta benda yang telah
kalian kumpulkan dengan cara tidak hak itu kepada mereka yang
membutuhkanu. Berbuat baiklah dengan menolong siapa saja di
antara manusia yang membutuhkan pertolongan. Lalu, tegakkan
keadilan dan cegah orang-orang dari perbuatan jahat. Lindungi
orang-orang tua tak berdaya. Bela hak anak-anak yatim dan
terlantar. Perjuangkan hak janda-janda tua dan orang-orang
tertindas. Berikan keberlebih-kelimpahan yang kalian miliki kepada
siapa saja di antara makhluk yang membutuhkan. Lalu, jangan
sekali-kali kalian melakukan upacara persembahan untuk Tuanku
lagi. Sebab, Tuanku telah berkata kepadaku bahwa Dia jijik dengan
persembahanmu. Sebaliknya, Dia menginginkan kalian untuk
menyembah-Nya dalam perwujudan Sanghyang Taya, Hyang
Tunggal, Tuhan sesembahan leluhurmu sejak awal zaman.
Kembalilah kalian kepada jalan Kebenaran yang pernah diajarkan
Danghyang Semar beribu tahun silam.

Kembalilah kalian kepada ajaran Kapitayan. Tinggalkan upacara-


upacara tak berguna yang menista Tuanku. Upacaramu itu tidak
mendatangkan kebaikan, tetapi malah menurunkan bencana
dahsyat bagi kalian.”

“Jika kalian ikuti petunjukku maka kalian akan selamat dari murka
Tuanku. Sekalipun kesalahan kalian sudah sehitam jelaga, jika
mengikuti petunjukku dengan benar maka kesalahan kalian akan
2129
dibersihkan dan disucikan seputih kapas. Jika kalian mau
mendengar dan menuruti petunjukku maka kelimpahan yang
Tuanku berikan akan semakin bertambah-tambah. Tetapi
sebaliknya, jika kalian menentang dan melawan petunjukku maka
kalian akan dimangsa oleh naga api raksasa yang bakal keluar dari
kraton Tuanku. Sekarang dengarkan dan ikuti seruanku: seibarat
kecepatan awan yang berarak ditiup angin kencang, begitulah
engkau dengan keluargamu hendaknya pergi jauh-jauh dari
wilayah kekuasaan Tuanku! Pergilah kalian menjauh dari tempat
ini karena murka Tuanku sudah tidak tertahankan lagi. Dia akan
menumpahkan murka-Nya ke empat penjuru negeri.”

Tiap-tiap umat memiliki ajal. Jika ajal suatu umat sudah datang
menghampiri, waktunya tidak dapat diundur atau dimajukan.
Sebagaimana keniscayaan hukum kehidupan, suatu umat yang
sedang menunggu ajal selalu menampakkan tanda-tanda yang
nyaris sama: mata nuraninya buta, telinga jiwanya tuli, lidah
kebenaran-hatinya bisu, cakrawala kesadaran ruh manusiawinya
tertutup gumpalan kabut pekat kejahilan. Sehingga, tidak seberkas
pun keindahan wejangan yang dapat mereka lihat, tidak secuil pun
kemerduan nasihat dapat mereka dengar, tidak sekerat pun
kelezatan petunjuk dapat mereka nikmati, dan tidak sebersit pun
bentangan cahaya Kebenaran dapat mereka ketahui. Mereka
seperti orang buta, tuli dan bisu yang berada di dalam sel penjara
yang gelap sehingga seberkas apa pun orang berusaha
mengingatkan mereka tentang terangnya Kebenaran pastilah tidak
akan mereka hiraukan.

2130
Sebagai seorang manusia yang memiliki kepekaan dalam
membaca tanda-tanda Kehidupan, Abdul Jalil sebenarnya
menangkap sasmita bakal terjadinya bencana sejak kali pertama
ia menginjakkan kaki di tanah yang dikerudungi kabut kejahatan.
Keluh kesah penduduk tentang serbuan hama tikus dan belalang
di sawah-sawah, disusul serangan penyakit ganas yang
menewaskan ternak, dan disambung terjangan angin puyuh yang
merusakkan tanah pertanian dan pemukiman, adalah tengara awal
yang ditangkapnya tentang bakal terjadinya bencana dahsyat di
daerah itu akibat kejahatan manusia. Ia tidak terkejut ketika
kemudian mendapati kejahatan demi kejahatan yang dilakukan
manusia-manusia dekil dan yang sudah buta nurani, tuli jiwa, dan
bisu batinnya itu tergelar di depan matanya. Ia hanya merasakan
dadanya sesak ketika dari waktu ke waktu menyaksikan ruh
kejahatan terus datang membadai dan sambung-menyambung,
menyelimuti jiwa manusia laksana embusan angin menggiring
gumpalan awan yang bakal menghamburkan prahara; badai
Kematian ganas yang ditunggangi Sang Maut, Penguasa
Kematian, Pembinasa Yang mengangkat cakar-cakar Kehancuran
dan akan menyantap nyawa semua makhluk yang ditemui-Nya.

Di tengah kebutaan mata hati, ketulian telinga batin, kebisuan lidah


ruhani manusia yang sudah menghitam, di antara kejahatan yang
tercurah laksana hujan deras dari langit, Abdul Jalil dengan diikuti
tiga puluh sembilan orang yang meyakini ucapannya, yang
kesemuanya adalah orang-orang tua, perempuan, dan anak-anak
yang lemah, berjalan beriringan tersuruk-suruk melewati pematang
sawah, jalan setapak, semak belukar, hutan, bukit-bukit terjal dan
menyeberangi sungai-sungai berair deras. Tanpa mempedulikan
2131
rasa lelah yang melumpuhkan jaringan otot tubuh dan rasa lapar
yang menerkam perutnya, ia dan istri terus berjalan cepat dan
secara bergantian menggendong anak-anak yang menangis
ketakutan mendengar raungan gunung Candrageni yang
menggemuruh. Ia berjalan sambil sesekali berteriak,
menyemangati orang-orang yang mengikutinya agar tidak putus
asa, meski kelelahan dan kelaparan telah menguras habis tenaga
mereka. “Jangan putus asa! Teruslah bergerak! Bergerak! Ingat, di
belakang kita Sang Maut sedang menggeliat dan akan memangsa
siapa saja yang berada di dekat-Nya. Sedikit saja terjadi
keterlambatan dari gerakan kita, tidak syak lagi, kita akan menjadi
santapan-Nya. Ayo percepat langkahmu!” seru Abdul Jalil
memapah seorang orang tua yang lemah kehabisan tenaga.

Setelah berjalan beberapa lama, Abdul Jalil beserta orang-orang


lemah yang mengikutinya mencapai lembah Martani, yang
membentang antara sungai Kuning dan sungai Gendol di kaki
selatan gunung Candrageni, terjadilah peristiwa mengerikan yang
sudah mereka tunggu dengan cemas: sebuah gempa dahsyat tiba-
tiba mengguncang bumi sekeras-kerasnya diikuti runtuhnya
bangunan-bangunan dan hiruk pikuk manusia yang
bergelimpangan di atas tanah. Lalu, jerit kepanikan sambung-
menyambung di tengah suara gemuruh runtuhnya segala sesuatu.
Suasana mendadak berubah sangat mencekam dan
menegangkan. Bayangan Kematian berkeliaran mengejar setiap
jiwa. Wajah Sang Maut yang mengerikan menyeringai sangat
menyeramkan, seolah kelaparan dan ingin melahap jiwa-jiwa yang
ketakutan melarikan diri dari amukan alam. Ke mana pun manusia

2132
menghadapkan wajah, di situ mereka menyaksikan wajah
Kematian yang tak tergambarkan dahsyatnya.

Ketika guncangan gempa yang dahsyat mulai mereda, semua


orang yang selamat dari runtuhan bangunan-bangunan ambruk
dengan kepala pening dan tatap mata kabur berhamburan keluar,
berjalan hilir-mudik tak tentu arah, berlari kebingungan memanggili
anak-anak, istri, suami, saudara, orang tua, dan handai taulannya.
Arus manusia tiba-tiba berpusar dengan cepat di bawah seringai
wajah Kematian. Kepanikan tersebar di mana-mana laksana air
lautan di aduk-aduk gelombang. Manusia-manusia yang jiwanya
sudah menjadi serpihan-serpihan tidak dapat berbuat sesuatu
kecuali berlari. Berlari. Berlari tanpa tahu ke mana arah hendak
dituju karena ke mana pun mereka berlari, bayangan Kematian
terlihat menunggu mereka di ujung jalan.

Sementara, Abdul Jalil dan orang-orang yang mengikutinya yang


sudah mengetahui bakal terjadi bencana, terlihat jauh lebih tenang.
Mereka tidak sebingung dan sepanik orang-0rang yang tak
mengetahui bakal terjadinya bencana tersebut. Saat orang-orang
berlarian tak tentu arah menyelamatkan diri atau mencari sanak-
keluarganya, mereka dengan tenang berjalan beriringan ke arah
timur menuju perbatasan Pajang yang jauh dari jangkauan gunung
Candrageni. Belum lagi mereka cukup jauh berjalan, tiba-tiba
terjadi sesuatu yang membuat semua mata terbelalak dan semua
mulut bungkam: sebuah ledakan dahsyat terdengar dari puncak
gunung diikuti suara gemuruh dari semburan lahar berapi yang
menjulang tinggi laksana tiang raksasa menggapai langit. Sekejap
2133
kemudian, tiang api raksasa itu tumbang ke bawah menjadi cairan
lahar berapi yang turun ke lereng dengan suara mengerikan,
berpacu mengadu kecepatan bagaikan kawanan raksasa api
berkejaran dan berlompatan saling mendahului, membentuk aliran
merah membara, dan menjelma dalam wujud naga api raksasa
yang merayap ganas, menyantap segala sesuatu yang
dilewatinya. Dalam beberapa jenak, pada bekas jejak naga api
raksasa itu terlihat beribu-ribu batang pohon tumbang yang
hangus, kayu-kayu hitam menyala berserakan, mayat-mayat
sehitam arang yang tak karuan lagi bentuknya, desa-desa yang
rata dengan tanah dan mengepulkan asap, dan sayap-sayap
Kematian yang terentang gagah menaungi kabut Kebinasaan yang
bergumpal-gumpal memenuhi cakrawala.

Tanpa peduli Kebinasaan yang memporak-porandakan Kehidupan


makhluk, Abdul Jalil dan orang-orang yang mengikutinya terus
bergerak menerobos kegelapan debu yang menyelimuti
permukaan bumi sambil terus mengagungkan kebesaran Ilahi.
Dengan keyakinan bahwa Kebinasaan yang menghambur dari
gunung Candrageni itu senapas dengan Kebinasaan yang pernah
melanda kaum ‘Ad dan kaum T’samut di zaman Nabi Luth a.s., ia
mewanti-wanti semua orang untuk tidak menoleh ke arah bencana.
“Arahkan kiblat hati dan pikiran kalian hanya kepada-Nya! Jangan
menoleh-noleh ke samping atau ke belakang! Barangsiapa yang
melanggar akan binasa dimangsa Sang Maut.”

Sekalipun sejak awal sudah mengetahui bakal datangnya


bencana, dalam perjuangan keras membawa orang-orang tua,
2134
perempuan, dan anak-anak untuk menghindar dari amukan
gunung yang marah, Abdul Jalil merasakan jiwanya dicekam
ketegangan yang membuat tubuhnya basah kuyup diguyur
keringat dingin. Sebab, secepat apa pun usaha yang dilakukannya
untuk membawa orang-orang yang kelelahan dan kelaparan itu
menjauh dari bencana, tak urung ia harus berhadapan dengan
hambatan-hambatan yang sangat berat dan menekan terutama
menyangkut kelambanan gerak. Sampai saat lahar berapi yang
membludak dari puncak gunung laksana naga api raksasa itu
meluncur ke bawah, melahap segala sesuatu yang menghadang
jalannya, Abdul Jalil dan mereka yang mengikutinya masih berada
di daerah aliran lahar. Ibarat sekumpulan anak-anak yang
kelelahan dikejar naga api raksasa, begitulah mereka berlari
terseok-seok, jatuh bangun diikuti aliran lahar berapi yang melaju
cepat dengan suara gemuruh.

Kejar-mengejar antara aliran lahar berapi dengan Abdul Jalil dan


mereka yang mengikutinya berlangsung sangat seru. Tanpa
mempedulikan rasa sakit akibat terjatuh atau rasa lelah dan
kehabisan napas, mereka berlari untuk menjauhi kejaran lahar
berapi yang membinasakan. Namun, apalah daya orang-orang tua,
perempuan, dan anak-anak yang sudah lapar dan kelelahan. Jarak
mereka dengan lahar berapi makin lama makin dekat sehingga
gemuruh amukan sang naga api raksasa itu dapat mereka dengar,
seolah-olah berada di belakang punggung. Kekuatan mereka
nyaris habis manakala tebaran panas dari naga api raksasa itu
mereka rasakan mulai menyengati tubuh. Sewaktu jarak mereka
dengan aliran lahar berapi itu sudah sangat dekat, kira-kira sekitar
tiga puluh tombak, Abdul Jalil tidak melihat kemungkinan lain untuk
2135
menghindar. Ia sudah membayangkan terjangan lahar berapi itu
akan melahap dan melumat para pengikut dan bahkan dirinya.

Manusia boleh berusaha, tetapi Tuhanlah penentu segala. Saat


bayangan Kematian sudah mengambang di permukaan bumi dan
wajah-Nya menyeringai sangat menyeramkan di depan mata, tiba-
tiba Abdul Jalil melihat secercah cahaya Kehidupan bersinar di
atas sebuah bukit kecil yang tegak di sisi sebalah kirinya. Seperti
digerakkan oleh kekuatan tak kasatmata, ia tiba-tiba saja berhenti
dan memerintahkan orang-orang untuk berbelok arah, bergerak
menyilang ke sisi kiri bukit yang memiliki jalan setapak menanjak
ke tebing. Orang-orang yang panik dan hanya melihat Abdul Jalil
sebagai satu-satunya penyelamat yang harus mereka ikuti tidak
memiliki pilihan lain kecuali mengikuti perintah panutannya.
Mereka berlari sekuat kuasa dengan sisa-sisa tenaga terakhir.
Lalu, terjadi suatu keajaiban: pada saat semua sudah mencapai
puncak bukit yang terletak di sisi timur sungai Gendol di dekat
tempuran sungai Opak, sampailah ujung lahar berapi itu ke sisi-sisi
bukit dan menerjang segala sesuatu di aliran sungai dengan suara
gemuruh. Aliran lahar berapi yang membinasakan itu meluncur
ganas dan hanya berjarak sekitar sepuluh tombak dari atas bukit
tempat Abdul Jalil dan pengikutnya berada.

Abdul Jalil yang tengah termangu-mangu menyaksikan hasil


amukan alam yang menyisakan Kebinasaan mengerikan di
sekitarnya, tiba-tiba dikejutkan oleh penglihatan batin yang
membuat jantungnya berdentam-dentam dan aliran darahnya
tersirap. Nun jauh di gugusan pantai selatan yang membentang di
2136
selatan kutaraja Mataram, terjadi Kebinasaan lain yang tidak kalah
dahsyat ketika sebuah gempa mengguncang samudera dan
memunculkan barisan gelombang besar yang bergerak hiruk-pikuk
sangat mengerikan menerjang pantai, menjelma dalam wujud
naga air raksasa yang menjulur ke tengah daratan dengan mulut
ternganga, menyapu segala sesuatu yang dilewatinya, dan
sewaktu kembali ke tengah lautan telah menyisakan bekas jejak
menggiriskan: rumah-rumah berantakan dan rata dengan tanah,
pohon-pohon tumbang bergulingan, pedati dan kereta
bergelimpangan, sampah-sampah membukit, air berlumpur yang
menggenang, mayat-mayat manusia berserakan, dan jiwa-jiwa
yang beterbangan ke langit.

“Ya Allah, hamba berlindung dari murka-murka-Mu. Hamba


percaya bahwa kasih-Mu lebih besar dari murka-Mu. Lindungilah
kami, o Sang Pelindung!” seru Abdul Jalil di tengah gemuruh
amukan Sang Maut. Namun, belum lagi bayangan Kematian
terhapus dari penglihatan batinnya, ia menyaksikan bayangan
Sang Maut berkeliaran ganas di antara garis langit dan permukaan
bumi. Seperti belum puas dengan amukan naga api dan naga air
raksasa yang menghamburkan Kebinasaan, murka Tuhan muncul
lagi dalam wujud amukan naga tanah raksasa yang menyeruak di
tengah kegelapan. Seiring tumpahnya air hujan dari langit yang
meluapkan sungai-sungai dan meggenangi puluhan bukit dan
lereng gunung, menjelmalah butir-butir air hujan yang lembut itu
menjadi kawanan raksasa tambun yang tidak dapat bergerak
karena tertahan bongkahan lahar berapi yang sudah padat. Tidak
kuat menahan beban yang makin berat seiring makin tambunnya
raksasa-raksasa air yang bergelantungan di punggungnya,
2137
runtuhlah tebing-tebing puluhan bukit itu ke bawah dengan suara
gemuruh, menjelma menjadi naga tanah raksasa yang bergerak
cepat menerjang pohon-pohon, hutan-hutan, lembah-lembah,
padang hijau, sawah-sawah, desa-desa, rumah-rumah, dan semua
makhluk yang berada di jalur lintasannya. Dalam sekejap, beribu-
ribu manusia hilang tertelan di dalam perut naga tanah raksasa
yang mengganas tak kenal ampun.

Ketika hari menjelang sore dan Abdul Jalil berdiri di atas bukit
dikerumuni orang-orang yang mengikutinya, orang-orang meyakini
bahwa dirinya adalah dewa yang turun ke dunia untuk
menyelamatkan mereka. Dengan tatap nanar ia memandang
Kebinasaan yang terhampar di sekitarnya. Setelah diam beberapa
lama, ia dengan suara lain yang aneh berkata, menasihati orang-
orang yang begitu mencintai dan memujanya.

“Wahai sahabat-sahabatku! Sesungguhnya, kita baru saja


terhindar dari sergapan Sang Maut dan sekarang ini kita saksikan
bersama padang Kebinasaan yang dipenuhi potongan dan
serpihan tubuh manusia yang hangus menghitam. Aku tidak tahu
apakah serpihan-serpihan itu tubuh manusia atau bangkai hewan
karena semua tidak karuan lagi bentuknya. Semua sudah menjadi
sekadar gumpalan atau serpihan daging hangus. Semua
kecantikan, kemolekan, ketampanan, kegagahan, keperkasaan,
dan kesempurnaan jasad ragawi manusia telah hilang, digantikan
gumpalan-gumpalan daging hangus tak berharga. Tak berharga.
Tak berharga. Seribu kali tak berharga.”

2138
“Inilah pemandangan mengerikan bagi manusia yang memiliki
penglihatan batin. Sebab, jauh sebelum pemandangan
mengerikan ini terjadi sebagai kenyataan, mata batin mereka telah
menyaksikan terlebih dahulu pemandangan ini. Mereka sudah
menyaksikan keberadaan serpihan-serpihan jiwa manusia yang
terkoyak-koyak dan hangus terbakar sehitam jelaga. Mereka
sudah menangkap sasmita tentang bakal terjadinya Kebinasaan
mengerikan karena Penguasa dunia tidak sudi lagi melihat citra-
Nya berantakan menjadi serpihan-serpihan ragawi yang
kehilangan jiwa insani. Lantaran itu, hendaknya kalian mengingat
bahwa kemuliaan ragawi yang selama ini diagungkan oleh kaum
sebangsamu, pada dasarnya tidak lebih dari kemuliaan palsu,
ibarat cerminan azab neraka yang memantul ke dunia. Semakin
kuat seorang manusia ingin mewujudkan Kehidupan surga di dunia
dengan diri dan keluarganya menjadi penghunianya,
sesungguhnya dia sedang membangun neraka yang mengerikan.”

“Kalian yang melihat apa yang terjadi saat ini hendaknya


menjadikannya sebagai pelajaran, bahwa yang terbaik dari
Kehidupan manusia adalah berada di tengah-tengah. Madya.
Wasathan. Jangan terperangkap pada pesona benda-benda,
tetapi juga jangan meninggalkannya. Janganlah mencintai dunia
berlebih, tetapi jangan pula membencinya. Madya. Madya. Seribu
kali madya. Ituah jalan hidup yang harus kalian lalui.”

“Tahukah kalian tentang hakikat dari benda-benda, o Sahabat-


Sahabatku? Tahukah kalian tentang nisbinya hukum keberadaan
benda-benda? Aku beri tahukan kepada kalian, wahai Sahabat-
2139
Sahabat, bahwa hakikat dari benda-benda adalah pantulan
gambar maya dari Yang Wujud. Benda-benda adalah ‘wujud
tergantung’ yang akan lenyap jika Wujud sejati-Nya terbenam di
balik cermin pengetahuan-Nya. Lantaran itu, jangan sekali-kali
kaian menggantungkan kiblat jiwa dan pikiran pada benda-benda
yang hanya bayangan maya dari Yang Wujud. Barangsiapa yang
mengarahkan atau bahkan menggantungkan kiblat hati dan
pikirannya pada benda-benda bayangan maya Yang Wujud maka
dia sudah musyrik. Musyrik. Musyrik. Seribu kali musyrik.”

“Lihatah ke sekelilingmu, o Sahabat-Sahabatku! Lihatlah semua


benda-benda rongsokan yang hangus di sekitar kalian! Lihatlah
bangkai benda-benda yang berserak tak berharga setelah dilahap
naga api raksasa! Lihatlah semua! Itukah benda-benda yang telah
memesona jiwa manusia? Itukah benda-benda yang ingin dimiliki
manusia? Itukah benda-benda yang dengan segala cara
dikumpulkan manusia tanpa kenal hak dan batil atau halal dan
haram? Itukah benda-benda yang dicintai dan digandrungi
manusia? Adakah sekarang sisa keindahan dan kelangkaan dari
benda-benda hangus yang selama ini mempesona kesadaran
manusia?”

“Sunggu, aku katakan kepada kalian semua, benda-benda


memesona yang dikumpulkan manusia dengan menghalalkan
segala cara itu pada hakikatnya tak lebih dari potongan, serpihan,
kepingan, dan gumpalan benda hangus tak berharga. Semua tidak
lebih dari tumpukan arang hitam, sehitam Kegelapan malam
tergelap yang menjadi persemayaman Sang Maut. Dan, saat Sang
2140
Maut membentangkan sayap-sayap Kematian yang mengerikan,
lalu membalikkan Wajah dari cermin pengetahuan-Nya, maka
tertelanlah semua benda karena pantulan bayangan pada cermin
akan terhapus saat Kegelapan meliputi seluruh permukaan cermin.
Seiring lenyapnya benda-benda para pecinta benda-benda pun
akan kehilangan miliknya yang paling berharga: ruh dan jiwa.”

“Wahai serpihan-serpihan manusia! Wahai pemburu benda-benda!


Wahai pengumpul benda-benda! Apakah yang akan engkau
banggakan jika benda-benda kecintaanmu berubah menjadi
kepingan dan gumpalan arang tak berharga? Apakah yang akan
engkau katakan jika Yang Wujud membalikkan Wajah dari cermin
hingga lenyap bayangan maya-Nya? Sungguh celaka engkau
sekalian, o pecinta benda-benda yang dengan segala kebodohan
mengumpulkan benda-benda dengan menghalalkan segala cara.
Sungguh bodoh. Bodoh. Seribu kali bodoh. Sebab, seiring
hancurnya benda-benda yang engkau kumpulkan ke pusaran
Kebinasaan, hancur pula benda-benda milikmu yang berharga:
anak-anak, istri-istri, saudara-saudara, orang tua, dan handai
taulan kembali ke haribaan-Nya, meninggalkan dirimu yang terkucil
di dalam terali penjara kebodohanmu yang gelap. Engkau telah
kehilangan segala-galanya, o makhluk bodoh pecinta bayangan
maya.”

Abdul Jalil menghentikan kata-kata sambil memandang ke arah


gumpalan lahar berapi yang sudah membeku dan padat yang
mgengitari bukitnya. Dengan mata penuh kasih ia kemudian
mengalihkan pandangan ke arah orang-orang kelaparan dan
2141
kelelahan yang mengerumuninya. Ia menarik napas panjang ketika
melihat anak-anak tertidur dengan senyuman, seolah bermimpi
menyantap sekerat makanan di tengah kelaparan yang menerkam
perutnya. Lalu, dengan senyum lebar ia berkata-kata, memberi
hiburan dan penguatan jiwa kepada mereka yang memujanya.

“Wahai sahabat-sahabatku yang baik! Sungguh beruntung engkau


yang telah menyaksikan Keagungan, Kemuliaan, dan
Kemahakuasaan Tuhan, Zat Pencipta, Yang telah menyelamatkan
kita dari Kematian. Beruntunglah engkau yang telah menyaksikan
manusia-manusia cerdik tetapi tumbang kecerdikannya karena
ditebang kecurangan dan kelicikan nafsunya. Semoga, semua hal
yang telah engkau saksikan itu akan membawamu ke masa depan
yang penuh harapan, masa depan adimanusia. Jadikanlah
peristiwa Kebinasaan ini sebagai pedoman bahwa engkau yang
telah diselamatkan dari Kematian hendaknya makin sadar untuk
berjalan pada jalan Kebenaran. Sebab, tidak kurang di antara
manusia yang diselamatkan dari Kematian justru menjauh dari
jalan Kebenaran dan bahkan lupa bagaimana berjalan yang
Benar.”

2142
Syaikh Siti Jenar

Setelah memasuki tahun kelima dari


perjalanannya di pedalaman Nusa Jawa,
sampailah Abdul Jalil di dukuh Lemah Abang
yang terletak di kaki utara gunung Mahendra
(Lawu) di lembah selatan Bengawan Sori. Di
dukuh yang dibukanya barang enam tahun
silam itu ia disambut dengan penuh sukacita
oleh murid-murid yang sangat merindukannya. Namun, ia
memutuskan tidak tinggal di Lemah Abang. Ia tinggal dan mengajar
di Siti Jenar, yang terletak di utara Bengawan Sori. Hari-hari pun
diliputi oleh semarak para murid yang dengan setia
mengerumuninya. Berbeda dengan tampilan keseharian sewaktu
ia menggunakan nama masyhur Syaikh Jabarantas, di dukuh Siti
Jenar itu ia melepaskan khirqah sufi dan tidak memperkenalkan diri
dengan nama Syaikh Jabarantas. Pelepasan khirqah sufi itu terkait
dengan peringatan-peringatan yang disampaikan istrinya
menyangkut sikap para wiku yang sangat berlebihan
menghormatinya, seolah-olah mereka adalah sekumpulan umat
yang menunggu sabda nabi panutannya. Para wiku selalu
mengiyakan apa saja yang disampaikan Abdul Jalil tanpa ada yang
bertanya apalagi membantah.

Bertolak dari peringatan-peringatan istrinya itu, Abdul Jalil tiba-tiba


disadarkan oleh cakrawala pemahaman baru yang tersingkap di
balik latar sikap para wiku yang terkesan sangat berlebihan itu.
Rupanya, semua hal yang terkait dengan penghormatan
2143
berlebihan yang dialamatkan kepadanya itu berhubungan dengan
khirqah sufi yang dikenakannya dan nama Syaikh Jabarantas yang
disandangnya. Tanpa ia sadari sebelumnya, khirqah sufi yang
seperti pakaian compang-camping, telah menumbuhkan kesan
mendalam di relung-relung ingatan para wiku tentang sosok
pertapa suci dari zaman purwakala yang berpakaian compang-
camping. Sosok pertapa suci yang terlihat hina, tetapi sangat
dihormati manusia dan disegani dewa-dewa. Dialah Bhagawan
Dhruwasa (pertapa yang berpakaian compang-camping). Seperti
menguatkan kembali sisa-sisa keyakinan umum tentang penitisan,
para wiku diam-diam menganggap Syaikh Jabarantas sebagai
titisan Bhagawan Dhruwasa, manusia setengah dewa berpakaian
compang-camping yang disucikan manusia dn dimuliakan dewa-
dewa.

Sadar anggapan keliru para wiku itu bakal mendatangkan masalah


yang tidak kalah pelik dibanding nama masyhur Syaikh Lemah
Abang di Caruban, Abdul Jalil pun buru-buru melepas khirqah
ketika akan memasuki dukuh Siti Jenar. Itu sebabnya, tidak ada
seorang pun yang mengenalnya sebagai guru suci termasyhur
bernama Syaikh Jabarantas. Kepada para murid yang semula
mengenalnya dengran nama Syaikh Lemah Abang, ia meminta
untuk tidak menggunakan nama itu lagi. Para murid dan penduduk
desa-desa sekitar menyebutnya dengan nama baru sesuai dukuh
tempatnya mengajar, yaitu Syaikh Siti Jenar (Jawa Kuno: guru suci
dari dukuh Siti Jenar).

2144
Dengan nama baru itu, Abdul Jalil menduga dirinya tidak bakal
dikenal oleh banyak orang karena dukuh Siti Jenar berada di
tengah hutan dan jauh dari keramaian. Namun, dugaan itu meleset.
Sebab, tidak berbeda dengan kebiasaannya selama itu, di dukuh
Siti Jenar yang terpencil itu ia tidak pernah berhenti mengajarkan
Sasyahidan, belajar mati, menaklukkan setan, dan menjadi
adimanusia kepada siapa saja tanpa memandang derajat dan
pangkat, sehingga keberadaannya sebagai guru manusia yang
ditandai citra berbagai keberlebih-kelimpahan dalam waktu singkat
telah menjadi buah bibir penduduk sekitar. Buah bibir itu makin
panjang sambung-menyambung ketika orang mengenal bahwa
dia, guru suci, yang disebut orang dengan nama Syaikh Siti Jenar,
tidak lain dan tidak bukan adalah Syaikh Jabarantas yang juga
disebut orang sebagai Syaikh Lemah Abang. Bahkan, sebagian
pengikut menyebutnya dengan nama hormat Susuhunan Binang
atau Syaikh Sitibrit, yang maknanya sama: guru suci dari Lemah
Abang. Lalu, terjadilah sesuatu di luar dugaannya. Bagaikan
kawanan anai-anai melihat cahaya pelita, atau kawanan lalat
membaui bangkai, atau seperti iring-iringan semut menyerbu gula,
penduduk dari berbagai desa di seputar lereng gunung Mahendra
dan tlatah timur Pajang berdatangan ke dukuh Siti Jenar untuk
beroleh berkah keselamatan dan limpahan kekeramatan.

Seperti pepatah sepanjang-panjang tali masih panjang mulut


orang, begitulah kabar kemunculan Syaikh Jabarantas yang
menggunakan nama baru Syaikh Siti Jenar bersambung dari satu
mulut ke mulut yang lain. Di dukuh Siti Jenar, beribu-ribu orang
datang untuk meminta berkah keselamatan dan limpahan
kekeramatan kepada seorang guru manusia yang waskita. Para
2145
pemuka penduduk dari berbagai tempat berdatangan untuk
berguru dan mengambil berkah darinya. Mereka yang datang itu
selain kawula alit, juga bangsawan, pemuka penduduk, ruhaniwan,
cerdik cendikiawan, dan para brahmin pencari Kebenaran. Orang
pun menyaksikan bagaimana manusia-manusia berdarah biru
yang unggul dan termasyhur seperti Pangeran Danaraja, Kyayi
Ageng Bhuwana Gumelar, Ki Bhisana, Kyayi Ageng Jumantana, Ki
Wanabaya, Tumenggung Karanganom, Ki Pringgabhaya, Ki Buyut
Sukadana, Ki Buyut Masahar, Ki Buyut Kedawung, dan Ki Gatak
berkerumun mengitari kakinya untuk mengambil baiat jalan
Keselamatan sebagai murid-murid terkasih. Tanpa kenal pagi,
siang, sore, dan malam, orang-orang kebanyakan dari berbagai
penjuru negeri datang berdesak-desak dan berkerumun-kerumun
berusaha mendekatinya. Sebagian di antara mereka ada yang
menyalami dan mencium tangannya. Sebagian ada yang
merangkul mencium lututnya. Sebagian yang lain lagi mengusap
dan mencium kakinya. Bahkan, tidak kurang di antara orang-orang
yang berdesak-desak itu mengambil tanah bekas telapak kakinya
yang dianggap mengandung berkah.

Perubahan demi perubahan yang terkait dengan semakin


masyhurnya nama Syaikh Siti Jenar sedikit pun tidak disadari
Abdul Jalil. Saat kemasyhuran telah mendorongnya ke puncak
kemuliaan yang berlebihan dan mendudukkannya sebagai
manusia yang diberhalakan, ia belum juga sadar. Ketidaksadaran
Abdul Jalil akan keadaan itu sesungguhnya sangat wajar dalam
kehidupan ruhani seorang manusia yang sudah melampaui derajat
maqam ruhani yang tinggi. Sejatinya jiwanya sudah tergolong jiwa
orang-orang yang sibuk tetapi bebas dari kesibukan (al-masyghul
2146
al-farigh). Maknanya, jiwa orang seperti Abdul Jalil telah masuk ke
dalam golongan jiwa orang-orang yang sibuk membagi keberlebih-
kelimpahannya, tetapi hatinya terbebas dari pamrih dan hanya
diliputi oleh kehadiran Allah. Allah. Allah. Tanpa sedikit pun
berkesempatan untuk berpaling kepada selain-Nya. Itu sebabnya,
ia baru sadar jika dirinya diberhalakan manusia ketika istrinya
menegurnya dengan keras karena selama berhari-hari ia
membiarkan para pengikutnya memperlakukannya secara tidak
semestinya.

Sadar apa yang selama ini dihindarinya, diberhalakan oleh sesama


manusia, terulang tanpa disadari, Abdul Jalil buru-buru mengambil
keputusan untuk pergi meninggalkan dukuh Siti Jenar, meski ia
tahu istrinya sedang hamil tua. Sebelum pergi, ia menyampaikan
khotbah Tauhid kepada para murid dan orang-orang yang
mengaku pengikutnya.

“Sebelum aku pergi meninggalkan kalian, sangat baik jika aku


tinggalkan wasiat kepada kalian, yang dengan wasiat itu kalian
tidak akan tersesat dalam menjalani hidup di dunia dan akhirat. Ya,
dengan wasiat itu kalian akan selalu berada di Jalan Kebenaran
sampai ke hadirat-Nya. Sebab itu, jangan sekali-kali kalian
melepaskan wasiat yang aku tinggalkan itu. Pegang erat wasiat itu
sebagai pusaka!”

“Pertama-tama, inilah wasiatku, setiap orang harus sadar jika


segala sesuatu yang tergelar di alam semesta ini adalah nisbi.
2147
Tidak ada yang bersifat mutlak. Lantaran itu, masing-masing orang
harus hidup madya (tengah-tengah), ora ngoyo (tidak berlebihan),
dan ora ngongso (tidak melampaui batas). Prinsip ini hendaknya
kalian jadikan pusaka dalam segala hal yang menyangkut
kehidupan kalian, baik yang duniawiah maupun ukhrawiah dan
Ilahiah. Dalam kehidupan duniawiah, kalian bisa memaknai prinsip
ini dengan kehidupa dunia yang sederhana dan tidak berlebih-
lebihan sehingga membuat orang tertimbun benda-benda
kekayaannya. Kalian juga boleh memaknainya sebagai
pengekangan terhadap nafsu perut dan nafsu syahwat yang sesuai
dengan nilai-nilai kepantasan manusia. Kalian juga boleh
memaknainya sebagai pengekangan terhadap ambisi kekuasaan
yang membahayakan. Pendek kata, maknailah prinsip madya itu
sesuai kemampuan akal budi dan hati nurani kalian masing-masing
dengan ukuran keseimbangan dan penghormatan atas
Kehidupan.”

“Di dalam kehidupan ruhaniah pun berlaku prinsip madya.


Lantaran itu, aku melarang murid-murid dan pengikutku untuk
bertapa di gua-gua dan di hutan-hutan, kurang makan, kurang
tidur, tidak kawin, tidak bergaul dengan manusia, tenggelam dalam
lautan ruhani. Sebab, hak-hak ruhani harus dipenuhi secara
pantas. Hak-hak jasmani pun hendaknya tidak diabaikan. Bayarlah
hak ruhani dan jasmani secara seimbang. Bukan aku menganggap
tidak baik perilaku orang-orang yang meninggalkan keduniawian
dengan menjadi pertapa. Semua manusia bebas memilih yang
terbaik bagi dirinya. Tetapi, bagi pengikut Syaikh Siti Jenar, hal
seperti itu tidak dibenarkan. Hiduplah dengan prinsip tengah-

2148
tengah (wasathan), yaitu madya. Madya. Madya. Seribu kali
madya.”

“Di dalam pengetahuan tentang Yang Ilahi pun prinsip madya itu
hendaknya tetap kalian pusakakan. Sebab, ada di antara umat
Islam yang memiliki pandangan berlebihan dalam memaknai Yang
Ilahi. Mereka memandang bahwa Allah adalah Zat Yang Mahasuci,
Mahasempurna, Mahabaik, Mahakasih. Lantaran itu, dari Allah
selalu memancar Kebaikan, Kesempurnaan, Kesucian, dan Kasih.
Mereka menganggap mustahil dari Allah bisa memancar
ketidakbaikan, ketidaksempurnaan, ketidaksucian, dan
kemurkaan. Pandangan semacam itu sah bagi pengikut paham itu.
Pandangan itu benar bagi yang meyakininya.”

“Tetapi, dengarlah, o murid-murid dan pengikutku, bahwa aku,


Syaikh Siti Jenar, tidak pernah mengajarkan keyakinan yang
berlebihan dan melampaui batas seperti itu. Ajaranku tetap
bertolak dari prinsip-prinsip madya, wasathan, tengah-tengah.
Sebab, jika orang seorang menganggap bahwa Allah adalah
Kebaikan, Kesempurnaan, Kesucian, Mahakasih dan dari-Nya
tidak bisa memancar ketidakbaikan, ketidaksempurnaan,
ketidaksucian, dan kemurkaan maka sejatinya orang tersebut telah
terperangkap ke dalam jaring-jaring masalah rumit yang bakal
membawanya ke jurang kemusyrikan. Mereka akan menganggap
ketidakbaikan dan ketidaksempurnaan berasal dari Zat selain
Allah, yaitu kuasa Kegelapan dan Kejahatan. Itu berarti, mereka
menganggap ada dua Zat berbeda, yaitu Zat Allah dan Zat selain
Allah. Kalau keyakina itu diikuti maka orang akan menolak
2149
keberadaan Asma Ilahi yang saling bertolak belakang (al-asma’ al-
mutaqabilah) yang berujung pada Asma Allah sebagai
‘keseluruhan yang bertentangan’ (majmu’ al-asma’ al-
mutaqabalah). Mereka akan menolak nama Ilahi Yang Maha
Menyesatkaan (al-Mudhill), Yang Memberi Kesempitan (al-
Qabidh), Yang Maha Menista (al-Mudzil), Yang Memberi Bahaya
(adh-Dharr), Yang Membinasakan (al-Mumit). Mereka juga akan
mengingkari bahwa dunia yang tidak sempurna ini berasal dari
Allah. Atau mengingkari bahwa iblis, setan, makhluk-makhluk
kegelapan, dan manusia-manusia terkutuk tidak berasal dari Allah.
Padahal, sesuai prinsip inna li Allahi wa inna ilaihi raji’un: segala
sesuatu berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya.”

“Dengan memegang teguh prinsip hidup madya ini, sangatlah tidak


masuk akal jika kalian sebagai murid-murid dan pengikutku
memperlakukan aku secara berlebihan. Bagaimana mungkin aku
bisa membiarkan kalian menciumi kakiku, merangkuk lututku,
mengusap jubahku, mengelus terompahku, bahkan mengambil
tanah bekas telapak kakiku. Itu berlebihan. Itu melampaui batas.
Itu thaghut. Itu pemberhalaan yang justru aku tentang selama ini.
Sebab, Nabi Muhammad Saw., manusia agung yang menjadi
panutanku, selalu menolak diperlakukan secara berlebihan. Dia
selalu menampakkan kehambaan dan kerendahatian. Dia selalu
berada di tengah-tengah (wasathan). Lantaran itu, mulai saat ini,
aku katakan bahwa mereka yang memperlakukan aku atau siapa
pun di antara manusia secara berlebihan dan bahkan
memberhalakan, maka bukanlah dia itu dari antara pengikutku,
apalagi murid ruhaniku.”

2150
Setelah memberikan petunjuk secukupnya kepada para sesepuh
di antara murid-muridnya, Abdul Jalil bersama istri meninggalkan
dukuh Siti Jenar. Kali ini karena sang istri sedang hamil tua, ia
berusaha menghindari desa-desa yang memungkinkan ia singgah
dan beroleh penghormatan berlebih yang mengakibatkan istrinya
terabaikan. Ia memilih melewati jalan setapak berliku di hutan atau
lembah yang tak banyak dilewati manusia. Namun, sepanjang
perjalanan yang diliputi kesunyian itu, ia justru merasakan
kerinduan yang kuat untuk berbagi keberlebih-kelimpahannya
kepada manusia. Ia merasa berat untuk menggenggam tangannya
erat-erat dan tidak memberi. Ia merasakan jiwanya seperti mata air
berbual-bual yang airnya tidak dapat mengalir karena tertahan
tumpukan batu-batu berbalut lumpur kotor.

Ketika jiwanya yang ingin memberi sedang menggemuruh laksana


kawah gunung berapi, tiba-tiba Abdul Jalil melihat sesosok
manusia muncul dari balik pepohonan dan berdiri tegak di
depannya. Wajah manusia itu sangat rupawan dengan
memancarkan cahaya berpendar-pendar. Lalu tanpa mengucap
salam, dengan suara semerdu kicauan burung, manusia rupawan
itu berkata, “Wahai engkau yang telah membagi-bagi keberlebih-
kelimpahanmu, hendaknya mulai engkau sadari bahwa segala
sesuatu yang tergelar di alam semesta ini, sebagaimana
pandanganmu, tidaklah abadi. Sebab itu, janganlah engkau
menganggap bahwa keberlebih-kelimpahanmu bakal terus
langgeng mencitrai dirimu. Ibarat sumur berkelimpahan air yang
ditimba oleh banyak orang, suatu saat ia akan kering juga.
Bukankah sudah sering engkau saksikan keberadaan sumur-
sumur mati tak berair? Lantaran itu, bersiagalah engkau untuk
2151
menghadapi akhir-akhir dari masa keberlebih-kelimpahanmu.
Engkau harus bersiaga. Siaga. Siaga. Seribu kali siaga.”

Abdul Jalil termangu-mangu menatap manusia rupawan itu.


Setelah diam sejenak, ia kemudian berkata, “Jika Allah, Zat Yang
Mahakuasa dan Maha Berkehendak mencabut keberlebih-
kelimpahan yang dianugerahkan-Nya kepadaku, maka hal itu
bukanlah sesuatu yang patut kurisaukan. Sebab telah jelas bagiku:
segala sesuatu berasal dari-Nya dan bakal kembali kepada-Nya.”

Manusia rupawan itu tertawa. Lalu, dengan suara sebening tetesan


air di malam hari ia berkata, “Sesungguhnya, di tengah
kemasyhuran namamu yang mengarah pada pemberhalaan diri
itu, engkau sudah menempati kedudukan ruhani orang-orang yang
terkucil sendirian (fard), yaitu orang yang mengejawantahkan citra
nama Ilahi: Yang Mahasendiri (al-Fard). Dengan demikian, engkau
tidak akan bisa lagi membagi-bagi sekehendakmu keberlebih-
kelimpahanmu kepada yang lain, kecuali sebatas yang dibutuhkan
musafir-musafir yang kehausan. Keberlebih-kelimpahanmu akan
menggenang menjadi telaga sunyi rahasia yang hanya diketahui
oleh-Nya dan mereka yang dikehendaki-Nya.”

“Jika memang demikian, aku akan membagi-bagikan sisa


keberlebih-kelimpahanku sebatas yang aku bisa,” kata Abdul Jalil
membalikkan badan, pergi menemui istrinya. Namun, manusia
rupawan itu mengejar dan menarik jubahna dari belakang sambil

2152
berkata, “Tunggu! Tunggu! Jangan tinggalkan aku! Aku adalah
bayanganmu.”

Dengan kesadaran orang-orang yang mencapai derajat


kesendirian, Abdul Jalil bersama istri melanjutkan perjalanan.
Tanpa kenal malam yang membentangkan selimut hitam dan jalan
berliku yang dihiasi batu-batu tajam, ia berjalan tertatih-tatih ke
arah barat sambil menuntun istri yang semakin tua usia
kandungannya. Setelah berjalan hampir tiga hari, sampailah ia di
kediaman Ki Buyut Butuh yang terletak di perbatasan Kerajaan
Pajang dan Pengging. Di kediaman Ki Buyut Butuh itulah, saat
menjelang subuh, istrinya melahirkan seorang bayi laki-laki yang
tampan. Lantaran saat kelahiran puteranya itu Abdul Jalil berada
pada kedudukan orang yang sendiri (fard), maka sebagai penanda
kedudukannya itu ia menamai puteranya: Fardun.

Sekalipun sudah sadar akan keberadaan diri sebagai orang yang


sendiri (fard) serta sudah berbilang keadaan (hal), kedudukan
(maqam), dan derajat ruhani (martabat) ia lampaui dengan tingkat-
tingkat ketersingkapan kesadaran (kasyf) yang tak terhitung, dalam
banyak hal, terutama yang terkait dengan keberadaan diri sendiri,
Abdul Jalil sering heran ketika dihadapkan pada masalah rahasia
di balik kehendak (iradah) dan kekuasaan (qudrah) )Allah atas
dirinya. Sewaktu ia menyadari keberadaan dirinya sebagai orang
yang sendiri, orang yang mengejawantahkan citra al-Fard, Yang
Mahasendiri, ia justru tidak tahu haris bersikap bagaimana: apakah
ia tetap menjadi orang sibuk yang tidak terikat kesibukan (al-
masyghul al-farigh), dengan akibat tak terduga bisa disembah
2153
orang sebagai manusia berhala, ataukah ia membagi-bagi sisa
keberlebih-kelimpahannya lalu mengasingkan diri dari keramaian
hidup manusia sebagai telaga sunyi rahasia milik-Nya.

Di tengah keheranannya sebagai orang yang sendiri dan di tengah


ketidaktahuan akan apa yang harus dilakukannya itu, tanpa
diduga-duga Ki Buyut Butuh datang menghadap dan meminta
untuk membaiatnya sebagai murid ruhaninya. Sebagai seorang
guru manusia yang selalu melayani dan berbagi, ia tentu tidak bisa
menolak permohonan Ki Buyut Butuh. Namun, seiring
menyebarnya kabar berbaiatnya Ki Buyut Butuh, datanglah
kerabat dan kawan-kawannya sesama buyut yang memohon agar
mereka dibaiat sebagai murid ruhani Syaikh Siti Jenar. Di antara
para buyut yang mengikuti jejak Ki Buyut Butuh adalah buyut
Ngerang, Banyubiru, Tingkir, Banyudana, Susukan, Susuruh,
Wanasegara, Pabelan, dan Banyumanik. Tidak berbeda dengan
saat tinggal di dukuh Siti Jenar, di Kabuyutan Butuh pun kehadiran
Syaikh Siti Jenar ditandai dengan kerumunan-kerumunan manusia
yang mencari limpahan berkah dan keselamatan.

Kerajaan Pengging, yang dijadikan persinggahan Abdul Jalil dalam


perjalanan berbagi keberlebih-kelimpahan, adalah daerah subur
makmur, gemah ripah lohjinawi, yang membentang sejak lembah
selatan dan tenggara gunung Candrageni hingga wilayah timur
gunung Candramukha, terus ke utara hingga perbatasan
Kadipaten Samarang. Meski Pengging hanya negara kecil
sempalan Majapahit yang lebih sempit wilayahnya dibanding
Pajang, Mataram, dan Pasir Luhur, di bawah kepemimpinan Prabu
2154
Adi Andayaningrat, kemakmuran Pengging tidak kalah dibanding
ketiga kerajaan tersebut. Bahkan, dalam hal keamanan boleh
dikata Pengging sangat kuat dan mantap kecuali wilayah
perbatasan Mataram – Pajang – Pasir – Pengging yang seperti
tanpa penguasa.

Sebagai sebuah kerajaan, Pengging baru muncul pada paro


terakhir abad ke-15 ketika keagungan Majapahit mengalami
kemerosotan. Prabu Adi Andayaningrat sendiri, penguasa pertama
Pengging, bukan seorang yang memiliki galur kebangsawanan dari
maharaja Majapahit. Ia anak Ki Bajul Sanghara, kepala wisaya
Semanggi, suatu daerah kabuyutan yang terletak di pinggiran
kutaraja Pajang. Meski hanya berkedudukan sebagai kepala
wisaya, di tengah kemerosotan Majapahit, Ki Bajul Sanghara
sangat berkuasa di wilayah Pajang karena keluarga-keluarga Bajul
yang tersebar di sepanjang Bengawan Semanggi hingga
Bengawan Sori tunduk di bawah perintahnya. Ki Bajul Sanghara di
daerah kekuasaannya ibarat seorang raja kecil yang disegani dan
ditakuti oleh kawan maupun lawan.

Ibunda yang melahirkan Prabu Andayaningrat adalah puteri Raden


Juru, ksatria Majapahit, adik kandung Patih Mahodara. Sejak
kematian istrinya Raden Juru bersama puteri tunggalnya
mengasingkan diri sebagai pertapa di kaki gunung Argapura. Ayah
beranak itu ingin meninggalkan kehidupan duniawi. Namun, di
tengah gemuruh ambisi Patih Mahodara menggalang kekuatan
untuk mempertahankan kekuasaan di Majapahit, kemenakannya
itu dinikahkan dengan Ki Bajul Sanghara. Sebuah pernikahan
2155
politik yang lazim dilakukan untuk beroleh dukungan dari penguasa
Bengawan Semanggi. Pernikahan itu membuahkan hasil seorang
anak yang diberi nama Jaka Sanghara. Namun, karena sejak kecil
anak itu dilatih olah keprajuritan dan olah kanuragan oleh guru-
guru unggul yang sakti mandraguna di Desa Bobodo, yang terletak
di kutaraja Pajang, maka ia dikenal pula dengan nama Jaka
Bobodo (pemuda dari Bobodo).

Ketika usianya sudah cukup dewasa, Jaka Sanghara pergi ke


gunung Argapura untuk berguru kepada kakeknya, Raden Juru,
yang mengajarinya ilmu pemerintahan. Setelah dianggap cukup, ia
pergi ke kutaraja dan bergabung dengan keluarga ibundanya yang
cukup kuat di kutaraja Majapahit. Atas jasa Patih Mahodara,
saudara tua kakeknya, ia menjadi salah seorang perwira andalan
kerajaan tua yang mulai merosot itu. Selama menjadi perwira
Majapahit, ia beberapa kali diikutsertakan dalam tugas menumpas
pemberontakan di ujung timur Jawa dan Bali. Dengan dukungan
tetunggul-tetunggul keluarga Bajul, Jaka Sanghara berhasil
menjalankan tugasnya menumpas kekuatan para pemberontak.
Atas jasa-jasanya itu, ia mendapat berbagai anugerah pangkat dan
jabatan tinggi, bahkan akhirnya ia diangkat menjadi menantu oleh
Prabu Kertawijaya Maharaja Majapahit. Ia dinikahkan dengan
puteri bernama Ratu Adhi. Setelah menjadi menantu maharaja, ia
dirajakan di Pengging didampingi permaisuri Ratu Adhi yang
memberinya dua orang putera: Kebo Kanigara dan Kebo Kenanga.

Sekalipun Andayaningrat dikenal sebagai raja yang cakap dan


memiliki kekuatan militer cukup besar, ia bukanlah seorang yang
2156
teguh pendirian. Itu yang menyebabkan ia sering dijadikan ajang
tarik menarik di antara pihak-pihak yang bersengketa
memperebutkan kuasa dan wibawa di Majapahit. Satu saat ia
ditarik oleh kelompok-kelompok kepentingan dari trah Prabu
Kertawijaya yang sebagian besar adalah para penguasa pesisir
beragama Islam. Di saat yang lain, ia ditarik oleh kelompok-
kelompok kepentingan dari Patih Mahodara yang sebagian besar
adalah penguasa-penguasa di pedalaman yang bukan muslim.
Akibat seringnya ditarik oleh kekuatan-kekuatan yang saling
berselisih memperebutkan kuasa dan wibawa, Adi Adayaningrat
sering mengorbankan nyawa perwira-perwira dan prajurit-prajurit
Pengging untuk membela kepentingan pihak-pihak yang
berperang. Sementara, letak Pengging yang merupakan
perlintasan antara daerah pedalaman dan pesisir utara telah pula
menempatkan wilayah itu sebagai daerah yang strategis, tetapi
sekaligus rawan konflik. Wilayah Pengging sangat rentan terhadap
pecahnya perselisihan antara penguasa muslim di pesisir dan
penguasa bukan muslim di pedalaman.

Sejak berembusnya angin perubahan di pesisir utara Nusa Jawa


yang melahirkan tatanan baru masyarakat ummah, yang dengan
cepat diikuti oleh penduduk dari kalangan kebanyakan, terjadi
kegemparan di kalangan pendeta-pendeta fanatik Syiwa-Buda dan
bangsawan-bangsawan Pengging, karena mereka melihat bahaya
besar sedang mengintai di balik perubahan yang digagas Syaikh
Lemah Abang itu. Secara bahu membahu mereka berusaha
menangkis pengaruh perubahan itu dengan membangun “benteng
pertahanan”, jalinan kekuatan antara pendeta penguasa ksetra,
dukuh, padepokan, dan asrama-asrama dengan pendeta-pendeta
2157
kraton dan bangsawan-bangsawan darah biru, untuk menahan
arus masuknya pengaruh agama Islam yang sangat deras
menerobos ke lapisan terbawah penduduk pedalaman. Namun, di
tengah usaha bahu membahu para pendeta fanatik dan
bangsawan-bangsawan Pengging itu, terjadi sesuatu yang
mencengangkan semua orang: tanpa disangka-sangka dan tanpa
diduga-duga, tersiar kabar di keempat penjuru negeri bahwa
sejumlah kepala wisaya yang masih terhitung kerabat raja tiba-tiba
memeluk agama Islam di bawah bimbingan Syaikh Siti Jenar,
seorang guru suci yang membawa ajaran pembaharuan Syiwa-
Buda yang disebut Islam.

Seperti sedang menyaksikan pemandangan menakjubkan, para


pendeta fanatik dan bangsawan-bangsawan Pengging itu saling
pandang, seolah mereka tidak percaya dengan kabar yang
didengarnya. Bagaimana mungkin “benteng pertahanan” yang
mereka bangun jalin-menjalin di sepanjang perbatasan utara
Pengging untuk menahan serbuan pengaruh Islam, tiba-tiba
ditembus dari arah selatan? Keadaan itu membuat mereka
kebingungan, terutama saat mereka menyadari bahwa orang-
orang yang memeluk Islam di tlatah Pengging bukan dari kalangan
penduduk kebanyakan, melainkan dari kalangan atas, termasuk
kerabat raja, yakni para kepala wisaya yang selama ini dipatuhi dan
dijadikan panutan masyarakat seperti raja-raja kecil. Bahkan,
mereka menjadi tercengang ketika mengetahui jika Syaikh Siti
Jenar sesungguhnya adalah Syaikh Lemah Abang, orang yang
menyebarkan gagasan masyarakat umat di pesisir utara.

2158
Ketercengangan para pendeta, terutama pendeta-pendeta kraton,
wajar karena mereka sadar bahwa kemunculan tak terduga
seorang guru suci bernama Syaikh Siti Jenar, yang belakangan
menjadi buah bibir di pedalaman dan bahkan menjadi guru panutan
para buyut di Pengging, tidak saja akan mengubah tatanan
Kehidupan penduduk di Pengging, melainkan akan mengancam
pula kedudukan mereka. Sementara, para bangsawan Pengging
pun tidak kurang merasakan ancaman yang berat karena mereka
sadar ajaran-ajaran Syaikh Siti Jenar sangat membahayakan
kedudukan mereka. Lantaran itu, disatukan oleh kepentingan yang
sama, mereka berusaha keras menolak kehadiran Syaikh Siti
Jenar di wilayah Pengging. Mula-mula mereka berusaha
mempengaruhi raja agar menggunakan kekuasaannya untuk
mengusir Syaikh Siti Jenar dari wilayah Pengging. Namun, raja
Pengging tidak percaya begitu saja dengan alasan-alasan mereka,
terutama setelah mendapat laporan dari nayaka kepercayaannya
bahwa guru suci yang dikenal dengan nama Syaikh Siti Jenar itu
sebenarnya bernama Syaikh Abdul Jalil, berasal dari dukuh Lemah
Abang di Caruban. Raja Pengging tahu pasti siapa guru suci yang
belakangan termasyhur dengan nama Syaikh Siti Jenar itu.
Lantaran itu, ia justru membuat keputusan yang mengecewakan
para pendeta fanatik dan bangsawan-bangsawan yang ketakutan.

“Jika guru suci yang disebut Syaikh Siti Jenar itu adalah Abdul Jalil,
orang asal Lemah Abang Caruban, maka dia tidak lain dan tidak
bukan adalah kerabatku sendiri. Karena ayahandanya, Ki
Danusela, adalah saudara tua istriku. Biarlah dia tinggal di
Pengging dan menyebarkan ajarannya di tlatah ini.”

2159
Kecewa karena tidak berhasil mempengaruhi raja, para pendeta
dan bangsawan yang bersekutu itu berusaha menghadang
kehadiran Abdul Jalil melalui putera mahkota Pengging, Pangeran
Kebo Kanigara. Pangeran muda yang dikenal angkuh dan
pemarah itu dengan gampang terhasut. Dengan sedikit memuji-
muji kehebatan ilmu kesaktian dan kedigdayaan Syaikh Siti Jenar,
mereka berhasil membakar api kebesaran diri putera mahkota.
Tanpa berpamitan kepada ayahandanya, Pangeran Kebo
Kanigara dengan diiringi sepuluh orang pendeta kraton mengajak
adiknya, Kebo Kenanga, untuk mencegat Abdul Jalil yang sedang
berjalan bersama istri dan anaknya menuju kutaraja Pengging.

Di depan gerbang selatan kutaraja Pengging, Pangeran Kebo


Kanigara mendapati Abdul Jalil sedang menggendong puteranya
yang berusia kurang dari dua bulan dengan diikuti sang istri. Tanpa
basa-basi, dengan dada dikobari kepongahan ia menghadang dan
langsung menantang Abdul Jalil untuk mengadu kesaktian.

Abdul Jalil yang tanggap cepat mengetahui jika pangeran muda di


depannya itu adalah orang yang angkuh dan pemarah. Ia tidak
mau meladeni tantangannya. Sebaliknya dengan suara lembut ia
berkata, “Jika ada orang yang menyampaikan berita kepada
Pangeran Kebo Kanigara bahwa kami, Syaikh Siti Jenar, adalah
orang yang memiliki kesaktian dan kedigdayaan luar biasa, maka
itu adalah bohong. Itu fitnah. Perlu Pangeran ketahui, selama kami
hidup di dunia, belum pernah kami berkelahi dengan orang
seorang. Kami juga tidak memiliki ilmu kanuragan, apalagi
kasantikan jayakawijayan. Lantaran itu, kalau Pangeran mau,
2160
dengan hanya menjentikkan telunjuk ke tubuh kami, dapat
dipastikan tubuh kami akan terpental dan hangus terbakar.”

“Tetapi, nama Tuan Syaikh sangat termasyhur sebagai orang yang


tak terkalahkan. Lalu apa yang menjadi kebiasaan Tuan Syaikh
sampai para buyut di tlatah Pengging beramai-ramai menjadi
pengikut Tuan Syaikh?”

“Terlalu sombong jika dikatakan tak terkalahkan. Soal buyut-buyut


yang menjadi pengikut kami, itu lebih terletak pada penghargaan
mereka terhadap kelebihan akal pikiran dan pengetahuan ruhani
yang dilimpahkan Allah kepada kami,” kata Abdul Jalil merendah.

“Bagaimana kalau kita mengadu keunggulan akal pikiran dan


pengetahuan ruhani kita?” tantang Pangeran Kebo Kanigara.

“Pangeran tidak bakal menang melawan kami,” kata Abdul Jalil


memancing amarah sang pangeran.

“Tuan Syaikh meremehkan aku,” tukas Pangeran Kebo Kanigara


dengan suara ditekan tinggi, “Apa yang membuat Tuan Syaikh
yakin bisa mengalahkan aku?”

2161
“Usia kami jauh lebih tua dari Pangeran. Pengalaman hidup kami
pun lebih banyak dibanding Pangeran. Tempat-tempat di dunia
yang pernah kami datangi lebih banyak daripada Pangeran.
Bahkan, dalam hal menyelam di dunia ruhani pun kami merasa
lebih dalam.”

“Tapi itu bukan ukuran untuk menduga kemampuan orang


seorang. Itu bukan ukuran untuk menilai Pangeran Kebo Kanigara
sebagai katak di dalam tempurung,” kata Pangeran Kebo Kanigara
berapi-api.

“Tidak perlu menilai berlebihan tentang ucapan kami itu, o


Pangeran.”

“Untuk membuktikan itu, kita harus mengadu akal pikiran dan


pengetahuan ruhani. Harus. Harus.”

“Apa yang akan Pangeran pertaruhkan dalam adu akal pikiran dan
pengetahuan ruhani ini?”

“Apa pun yang Tuan Syaikh inginkan akan aku pertaruhkain: emas,
permata, uang, tanah, atau apa? Sebaliknya, apa yang akan Tuan
Syaikh pertaruhkan?” tantang Pangeran Kebo Kanigara jumawa.

2162
“Taruhan kami adalah jiwa dan raga kami. Maksudnya, jika kami
kalah, kami akan menjadi hamba Pangeran. Hidup dan mati kami
akan kami pasrahkan kepada Pangeran sebagai budak, karena
kami adalah hamba dan pangeran adalah tuan kami.”

“Lalu taruhan apa yang akan Tuan Syaikh minta dari aku?”

“Mahkota.”

“Mahkota?” sergah Pangeran Kebo Kanigara terkejut, “Apakah


Tuan Syaikh ingin menjadi raja?”

“Sama sekali keliru penilaian Pangeran. Kami sedikit pun tidak


ingin menjadi raja. Kami hanya menginginkan Pangeran tidak
menjadi raja kelak. Sebab, seorang raja yang angkuh dan pemarah
akan membahayakan negeri dan kawulanya. Sebaliknya, kami
ingin Pangeran kelak menjadi seorang ruhaniwan. Sebab, dengan
menempa ruhani, Pangeran akan beroleh keselamatan di dunia
dan di akhirat serta negeri pun akan sentosa,” kata Abdul Jalil
sambil memandang ke arah Pangeran Kebo Kenanga yang
termangu-mangu heran melihat keangkuhan kakaknya.

“Baik, jika itu keinginan Tuan Syaikh. Mulai sekarang ini aku
tetapkan bahwa andaikata nanti aku kalah dalam mengadu akal
pikiran dan pengetahuan ruhani dengan Tuan Syaikh Siti Jenar,
2163
maka mahkota Pengging kelak akan jatuh ke tangan adik
kandungku, Pangeran Kebo Kenanga,” kata Pangeran Kebo
Kanigara sambil menepuk-nepuk bahu adiknya yang terheran-
heran.

Abdul Jalil tertawa. Ia menyerahkan bayi Fardun kepada istrinya


dan memintanya untuk menjauh. Setelah itu, ia menghampiri
Pangeran Kebo Kanigara dan berkata, “Kami siap menjawab teka-
teki yang akan Pangeran ajukan.”

Pangeran Kebo Kanigara terkejut karena Abdul Jalil ternyata


seperti sudah mengetahui jika dalam adu kemampuan akal pikiran
dan pengetahuan ruhani itu, ia akan mengajukan sebuah teka-teki.
Dengan pikiran kacau dan keyakinan diri yang goyah, ia
melontarkan juga teka-teki yang sudah disiapkannya.

“Tahukah Tuan Syaikh jawaban dari pertanyaan ini: apakah itu


yang luhur melebihi gunung, luas melebihi samudera, terang
laksana cahaya matahari siang hari, dan rata laksana padang
rumput?”

“Pertanyaan Pangeran, menurut kami, jawabnya terkait dengan


keberadaan seorang raja yang arif bijaksana,” kata Abdul Jalil
menebak. “Pertama, luhur melebihi gunung adalah gambaran raja
yang suka berderma membagi-bagikan harta kekayaan kepada
siapa saja yang membutuhkan. Kedua, luas melebihi samudera
2164
adalah gambaran raja yang suka memberi ampunan kepada
orang-orang yang bersalah dan meminta pengampunan. Ia juga
menerima segala kritik dan kecaman, laksana lautan menerima air
dari sungai-sungai. Ketiga, terang laksana cahaya matahari di
siang hari adaah gambaran raja yang memiliki kesadaran tinggi
sehingga dapat menjadi penerang pengetahuan bagi negerinya.
Keempat, rata laksana padang rumput adalah gambaran raja adil
bijaksana yang memberikan keamanan dan perlindungan kepada
seluruh penghuni negeri dan menjadi limpahan keguna-manfaatan
bagi siapa saja.”

“Benarlah apa yang Tuan jawabkan pada pertanyaanku,” kata


Pangeran Kebo Kanigara dengan tubuh gemetar dan dada naik
turun. “Sekarang ganti Tuan Syaikh yang harus memberi
pertanyaan kepada aku.”

Abdul Jalil tersenyum dan berkata, “Pertanyaan yang akan kami


ajukan sangat sederhana, tetapi tak gampang dijawab. Lantaran
itu, kami memberi kesempatan kepada para pendeta yang
mendampingi Pangeran untuk ikut serta menjawab pertanyaan
kami nanti.”

“Tuan Syaikh meremehkan kemampuan kami?” tukas Pangeran


Kebo Kanigara tersinggung.

“Sekali-kali tidak, Pangeran.”


2165
“Baiklah, apa pertanyaan Tuan Syaikh untuk kami?”

“Ada beberapa cara yang saling berbeda dari kemunculan


makhluk-makhluk di dunia ini. Tolong jelaskan kepada kami, cara
apa saja itu dan disebut apa proses kemunculan makhluk-makhluk
di dunia ini.”

Pangeran Kebo Kanigara tercekat kaget. Ia sungguh tidak


menduga akan mendapat pertanyaan yang benar-benar belum
pernah ia pelajari. Ia merasa sudah kalah sebelum berusaha
memikirkan jawaban. Tanpa sadar, ia menoleh ke arah para
pendeta yang mengawalnya. Ia berharap mereka dapat
membantunya. Namun, para pendeta itu kelihatannya tidak
memiliki jawaban pula. Akhirnya, setelah cukup lama terdiam, ia
berkata, “Kami tidak bisa menjawab pertanyaan Tuan Syaikh. Kami
mohon penjelasan.”

“Ketahuilah, o Pangeran, bahwa kemunculan makhluk hidup di


dunia ini melalui tiga cara berbeda yang disebut wetu telu (keluar
tiga). Pertama, adalah yang disebut manganak (melahirkan anak).
Kedua, adalah yang disebut mangendog (melalui telur). Ketiga,
adalah yang disebut masemi (tumbuh). Seluruh makhluk hidup
yang memiliki daun telinga, umumnya muncul ke dunia melalui
cara manganak. Sedang makhluk-makhluk yang tidak memiliki
daun telinga umumnya muncul ke dunia melalui cara mangendog.
Dan semua makhluk hidup yang muncul tidak melalui cara

2166
manganak dan mangendog, umumnya muncul ke dunia melalui
cara masemi,” kata Abdul Jalil menjelaskan.

“Baik, kami kalah satu. Tetapi kami belum menyerah,” kata


Pangeran Kebo Kanigara. Lalu, dengan emosi meningkat tetapi
keyakinan diri goyah, ia bertanya, “Tahukah Tuan Syaikh akan
makna rahasia di balik kata Uninang, Unining, Uninong?”

Abdul Jalil tersenyum dan berkata, “Sungguh tinggi nilai


pertanyaan Pangeran. Sebab jawaban dari pertanyaan itu tidak
bisa diungkap dengan kata-kata. Tetapi hanya bisa dibuktikan
dengan kenyataan.”

“Aku tidak paham dengan ucapan Tuan Syaikh.”

“Jika kata Uninang dimaknai dengan kata-kata maka jawabannya


bisa bermacam-macam tergantung yang menafsirkan. Bisa saja
Uninang dimaknai ‘suara nang-nang’ yaitu bunyi kepala botak saat
diketuk. Bisa juga Uninang dimaknai ‘suara inang’ yaitu panggilan
ibu. Bisa juga Uninang dimaknai ‘suara kanang’ yaitu tangisan. Jadi
ada seribu jawaban yang tidak pasti. Padahal, pertanyaan itu harus
dijawab dengan satu Kebenaran.”

“Itulah yang aku harapkan, Tuan Syaikh. Satu jawaban!”

2167
“Kami akan menjawab dengan satu Kebenaran. Tapi tidak dengan
kata-kata dan bahasa manusia.”

“Bagaimana Tuan bisa menjelaskan kepada aku bahwa itu benar


jika tanpa kata dan bahasa manusia?”

Abdul Jalil mendekati Pangeran Kebo Kenanga. Kemudian dengan


memegang kedua bahunya, ia berkata, “Maukah Pangeran
membantu aku memberi jawaban kepada kakakmu tanpa kata dan
bahasa manusia?”

“Kami akan melakukan apa yang kami mampu lakukan, Tuan


Syaikh,” kata Pangeran Kebo Kenanga.

“Pejamkan matamu, o Pangeran,” kata Abdul Jalil sambil menutupi


telinga Pangeran Kebo Kenangan dengan kedua telapak
tangannya.

Semua mata memandang ke arah Pangeran Kebo Kenanga.


Semua menunggu apa yang akan terjadi padanya. Dan, semua
terperangah seperti mimpi saat menyaksikan Pangeran Kebo
Kenanga terhenyak dengan wajah tegang dan keringat dingin
bercucuran. Namun sebelum mereka melakukan sesuatu,
Pangeran Kebo Kenanga dengan mata tetap terpejam berteriak,

2168
“Aku mendengar suara genta berdentang-dentang memenuhi
seluruh pendengaranku.”

Abdul Jalil menepuk bahu Pangeran Kebo Kenanga dan


memintanya membuka mata. Pangeran Kebo Kenanga dengan
sikap seperti meminta perlindungan merangkul erat-erat tubuh
Abdul Jalil. Melihat adiknya ketakutan, Pangeran Kebo Kanigara
menghardik, “Tuan Syaikh, apakah Tuan menggunakan sihir
hingga membuat adikku ketakutan?”

“Pangeran tidak perlu berlebihan curiga. Sesungguhnya, adik


Pangeran tadi mendengar suara Uninang, Unining, dan Uninong
yang Pangeran tanyakan kepada kami. Di dalam istilah agama
kami, itulah yang disebut jaras. Kami tidak bisa menjelaskan apa
itu sebab memang tidak bisa dijelaskan. Tapi, sudah menjadi
kehendak Hyang Tunggal jika adik Pangeran akan menjadi
seorang muslim sejati karena ia telah beroleh risalah Ilahi.”

Pangeran Kebo Kanigara sangat marah dengan penjelasan Abdul


Jalil. Ia berusaha menahan sambil terus menghujani Abdul Jalil
dengan berbagai pertanyaan dan teka-teki berat, tetapi semuanya
bisa dijawab dengan baik oleh Abdul Jalil. Sebaliknya, ketika hari
menjelang sore dan pertanyaan-pertanyaan Abdul Jalil tidak ada
satu pun yang bisa dijawabnya, maka meledaklah amarahnya.
Dengan mata menyala dan dada naik turun, ia memandang para
pendeta yang mendampinginya. Kemudian, dengan suara
meledak bagai halilintar ia menghardik, “Kalian semua adalah
2169
pendeta-pendeta bodoh. Pemalas. Kerja kalian cuma menghasut
dan memanas-manasi orang. Kalian jahat. Penuh dengki dan iri
hati. Kalian sesungguhnya takut dengan kehadiran Tuan Syaikh
Siti Jenar yang ternyata jauh lebih cerdas dan lebih bijaksana
daripada kalian. Sungguh malu aku hari ini karena mengikuti
hasutan orang-orang bodoh!” Dengan langkah lebar ia mendekati
Abdul Jalil dan berkata, “Tuan Syaikh, aku mengakui kekalahanku.
Ucapan Tuan Syaikh benar, aku terlalu angkuh dan pemarah.
Sesuai petunjuk Tuan Syaikh, aku akan menjadi ruhaniwan.
Tetapi, aku tidak akan berguru kepada pendeta-pendeta bodoh
seperti mereka. Adakah petuah yang bisa Tuan Syaikh berikan
untuk aku?”

“Pangeran,” kata Abdul Jalil lembut, “Pangeran adalah ksatria


sejati. Lantaran itu, jika Pangeran akan mendalami kehidupan
ruhani, Pangeran pasti akan melebihi orang biasa. Dan perlu
Pangeran ketahui, mendalami pengetahuan ruhani tidak harus
melalui guru tertentu. Sebab, guru sejati ada di dalam kalbu.
Carilah dia. Tanyalah segala sesuatu kepada kalbu Pangeran
sendiri.”

2170
Al-Fard
Setelah tinggal selama empat puluh hari di
lingkungan Kraton Pengging dan menjadi salah
satu penyebab bagi masuk Islamnya Pangeran
Kebo Kenanga, dengan diiringi tangis pedih
para pemuka penduduk yang menjadi
muridnya, Abdul Jalil meneruskan perjalanan
ke arah timur untuk berbagi keberlebih-
kelimpahan. Memang, empat puluh hari adalah
sebuah rentang waktu yang terlalu pendek bagi seseorang untuk
melakukan perubahan. Namun, dalam keterbatasan waktu yang
menghimpit itulah Abdul Jalil menunjukkan kelebihan yang sulit
dicari tolok bandingan pada zamannya: menjadi penggerak utama
sebuah perubahan.

Jejak yang ditinggalkan Abdul Jalil, yang mengarah pada


terjadinya perubahan tatanan kehidupan masyarakat, dari tatanan
yang berdasarkan gagasan catur-warna dan kasta menjadi
masyarakat ummah, terlihat pada kebijaksanaan raja Pengging
yang memberlakukan peraturan baru menyangkut status
kependudukan warga kerajaan yang beragama Islam. Di dalam
peraturan itu ditetapkan bahwa penduduk kerajaan yang berasal
dari kalangan rendah seperti Dhapur, Kewel, Domba, Sasak, Potet,
dan Mambang yang kedudukannya sangat hina dan nista di tengah
masyarakat, seketika akan disetarakan dengan penduduk yang
lain. Ketetapan raja itu sangat mengejutkan para bangsawan dan
warga kerajaan. Bagaimana mungkin kalangan rendah dan hina
papa itu bisa diberi status sederajat dengan warga kerajaan?

2171
Bagaimana mungkin manusia berkasta rendah dapat disejajarkan
dengan manusia luhur berkasta tinggi? Bukankah perubahan itu
akan merusak tatanan yang sudah berlaku beribu tahun?
Bagaimana mungkin Prabu Andayaningrat bisa menista peraturan
agamanya sendiri?
Keterkejutan para bangsawan dan warga Pengging adalah
keterkejutan yang ke sekian kali. Sebelum itu, mereka sudah
dikejutkan oleh kabar yang nyaris tidak masuk akal: mahkota
Pangeran Kebo Kanigara telah diserahkan kepada adiknya,
Pangeran Kebo Kenanga, setelah putera mahkota tersebut kalah
bertaruh dengan Syaikh Siti Jenar. Di saat orang masih ramai
membincang peristiwa aneh itu, telah tersiar lagi kabar yang sangat
tak terduga-duga: raja dan putera mahkota Pengging yang baru,
Pangeran Kebo Kenanga, menyatakan memeluk agama Islam.

Perubahan bertubi-tubi yang terjadi di Pengging tak pelak lagi telah


membuat semua mata diarahkan kepada sosok Abdul Jalil.
Sebagian memandang dengan penuh kekaguman, tapi tidak
sedikit yang memandangnya dengan mata menyembunyikan api
kemarahan. Sejumlah pendeta kerajaan yang benci, menjulukinya
dengan gelar hebat: si lidah menyala, si pengacau, si pembuat
kisruh, dan si perusak tatanan. Abdul Jalil sendiri tidak peduli
dengan pandangan dan penilaian yang dibidikkan orang ke arah
dirinya. Dengan tegar, seolah tidak terjadi sesuatu, ia terus
melakukan apa yang seharusnya ia lakukan. Tanpa peduli dengan
hantu-hantu fitnah yang berkeliaran mengerumuninya, ia dengan
penuh sukacita menyemburkan api menyala dari lidahnya untuk
menghangatkan manusia yang kedinginan atau mencurahkan air

2172
segar dari mulutnya yang berkelebih-kelimpahan kepada manusia
yang kehausan. Laksana bongkahan batu karang di tengah telaga
yang bergeming diterpa hujan, badai, dan panas, di tengah
gemuruh kecaman, caci maki, umpatan, fitnah, dan ancaman, ia
dengan ramah memberikan keberlebih-kelimpahannya kepada
makhluk yang menghampirinya.

Tanpa kenal lelah, ia ajarkan kepada manusia tentang cara


bercermin yang benar. Bercermin untuk mengenal diri sendiri
sebagai citra ar-Rahman. Ia sulut dan kobarkan semangat
perlawanan manusia terhadap keterbatasan diri sendiri. Ia ajarkan
kepada manusia-manusia yang mengikuti jalannya tentang
kewajiban dasar manusia untuk berjuang mewujudkan diri menjadi
adimanusia (insan kamil). Ia ajarkan kepada mereka cara-cara
sederhana bagi manusia untuk melampaui liku-liku jalan menanjak
dan menurun yang terentang antara martabat hewan dan
adimanusia. Ia ajarkan semua yang ia punyai sampai tuntas tanpa
sisa. Ia buka tangannya lebar-lebar sampai tak ada lagi sisa di
genggamannya. Lalu, dengan pengetahuannya yang mendalam
tentang jiwa manusia dan pengalaman ruhaninya yang matang, ia
meneguhkan kepercayaan diri para pengikutnya terhadap
keberadaan diri mereka sebagai makhluk paling agung dan mulia
di jagad raya. Ia untkapkan kepada mereka rahasia Ilahiyyah
yanmeng tersembunyi di daam diri setiap manusia, yang dengan
rahasia tersebut orang seorang akan memiliki senjata untuk
berjuang mewujudkan diri menjadi adimanusia. Ya, adimanusia,
insan kamil, wakil Allah di muka bumi, makhluk yang menduduki
derajat paling tinggi dan paling mulia di antara segala makhluk di

2173
jagad raya, yaitu wakil Allah yang menjadikan para malaikat
bersujud kepadanya.

Setelah merasa cukup berbagi selama empat puluh hari di


Pengging, dengan meninggalkan panji-panji persamaan derajat di
antara warga kerajaan, Abdul Jalil melanjutkan perjalanan ke arah
timur. Tanpa kenal lelah ia telusuri hutan jati, bukit padas, jurang,
lembah, dan jalanan berbatu. Ia hanya singgah di beberapa desa
untuk sekadar beristirahat, ketika melihat istrinya sangat kelelahan.
Setelah sepekan berjalan, ia sampai di Pamantingan, daerah
keramat tempat orang memuja Dewi Manting (dewi kesuburan). Di
tempat itu ia memutuskan untuk tinggal dan mengajar penduduk
sekitar. Ia berharap, dengan tinggal di tempat terkucil yang terletak
di tengah hutan jati ituta orang tidak akan banyak yang
mengenalnya. Namun, ibarat ratu lebah yang ke mana pun pergi
selalu diikuti lebah-lebah, begitulah kehadiran Abdul Jalil di
Pamantingan secepat embusan angin sudah menjadi buah bibir
penduduk sekitar. Kemunculan Abdul Jalil di tempat itu pun dalam
hitungan hari diikuti munculnya beratus-ratus dan bahkan beribu-
ribu manusia dari berbagai kalangan yang datang berduyun-duyun
mengerumuninya untuk beroleh berkah keselamatan. Di antara
mereka yang datang dan mengambil baiat kepadanya adalah para
bangsawan, pemuka penduduk, ruhaniwan, dan cerdik cendikia
pencari Kebenaran. Mereka itu adalah Ki Ageng Tarub, Ki Buyut
Brati, Ki Ageng Gabus, Kyayi Ageng Bulu, Pngerban Pandanarum,
Pangeran Sukalila, Pangeran Matahun, Pangeran Rajegwesi.

2174
Diserbu berarus-ratus dan bahkan beribu-ribu orang yagn meminta
berkah, Abdul Jalil untuk kali ke sekian merasa dihadapkan pada
persoalan yang membingungkan. Dikatakan membingungkan
karena setelah melampaui keadaan (hal), tingkatan (makanah),
derajat (martabat), dan kedudukan (maqam) ruhani yang tak
terhitung, ia tetap merasa sebagai orang bodoh yang belum
banyak mengetahui rahasia di balik kehendak Allah atas dirinya. Ia
sering terheran-heran dan kebingungan menghadapi hal-hal tak
terduga: ia diberhalakan manusia di saat ia meyakini jika
kedudukannya sebagai ‘yang terendah’ dalam perubahan tatanan
itu makin mendekati kenyataan. Bagaimana mungkin ia yang sejak
awal perubahan tatanan kehidupan baru sudah menempatkan diri
pada kedudukan di bawah seibarat tanah tempat berpijak, tiba-tiba
diserbu beribu-ribu orang dan disanjung-sanjung manusia setinggi
langit?

Bingung dan terheran-heran dengan kenyataan yang dialaminya,


Abdul Jalil dalam suatu sembahyang malam mengungkapkan
keterbatasan dirinya itu kepada Allah, Rabb al-Arbab, yang
belakangan ia rasakan seperti menutup Diri di balik selimut al-
Haqq. Ia mengungkapkan ketidakpahamannya terhadap kehendak
Rabb al-Arbab atas dirinya yang mendadak diberhalakan manusia.
Ia mengungkapkan rasa khawatirnya, betapa keadaan itu akan
mengancam ajaran Tauhid yang selama itu diajarkannya. Ia
mengungkapkan semua keheranan dan ketidakmengertiannya. Ia
mengungkapkan semua. Semua. Namun, sampai jauh malam ia
tidak mendapat secuil pun jawaban dari-Nya. Barulah pada detik-
detik menjelang subuh ia beroleh jawaban sangat singkat dari Allah
melalui al-Haqq yang menerobos relung-relung pedalaman ruhnya
2175
lewat al-ima’, yang jika diungkapkan denga bahasa manusia, kira-
kira intinya:

“Siapa yang memberimu hak untuk memilih? Siapa yang


memberimu hak untuk mengetahui sesuatu melebihi apa yang Ku-
kehendaki?”

Abdul Jalil tersentak kaget. Ia seketika sadar, jawaban itu sejatinya


merupakan sebuah perubahan dahsyat yang sedang berlangsung
atas jalan hidupnya. Sehingga, ia wajib memasrahkan utuh semua
urusan dirinya kepada-Nya. Ia pun segera sadar, inilah rentang
waktu di mana keberlebih-kelimpahannya akan berakhir. Ia sadar,
segala sesuatu harus terjadi sesuai waktu yang ditetapkan-Nya.
Tidak bisa diundur dan tidak bisa pula diajukan. Demikianlah,
setelah kesadaran demi kesadaran terdalamnya terkuak, ia
menutup diri di dalam kamar dan tidak bicara selama berhari-hari

Ketika rentang waktu seratus hari berlalu dan Abdul Jalil


meninggalkan Pamantingan, ia memutuskan untuk tidak memilih
tempat lain lagi untuk tinggal dan mengajar. Sebaliknya, ia
melanjutkan perjalanan ke arah timur sepanjang pedalaman,
mengunjugi dukuh-dukuh bercitra caturbhasa mandala daan lemah
larangan yang telah dibukanya, lalu berputar dan berbalik arah ke
arah barat sepanjang pantai utara, dengan tujuan akhir tanah
kelahiran, Caruban. Sesuai rencana, sepanjang perjalanan itu ia
akan singgah di dukuh-dukuh yang tersebar di berbagai tempat
tersebut, untuk mengetahui apakah tanaman yang telah ditebarnya
2176
telah tumbuh dengan baik atau merana tak berkembang. Ia
gembira sekaligus takjub ketika melihat ladang persemaian yang
dibukanya telah tumbuh subur menjadi tempat penyebaran benih-
benih unggul yang memberikan manfaat bagi Kehidupan di
sekitarnya.

Di tengah kegembiraan menyaksikan kesuburan pengajaran


Tauhid di dukuh-dukuh yang dibukanya itu, Abdul Jalil tiba-tiba
melihat setan muncul dalam wujud bayangan palsu dirinya, dengan
tujuan utama menodai dan meyimpangkan kemurnian ajaran
Tauhid yang disampaikannya. Hal itu ia ketahui ketika beberapa
murid terkemukanya melaporkan munculnya dukuh-dukuh baru
bernama Lemah Abang dan Kajenar, yang letaknya tidak jauh dari
dukuh-dukuh Lemah Abang dan Kajenar yang dibukanya. “Di
negeri Daha sekarang ini saja sudah ada dua dukuh Kajenar. Yang
satu di barat kutaraja, yaitu dukuh Kajenar yang paduka buka.
Yang satu lagi, dukuh Kajenar di dekat Tirwan, yang dibuka
seorang guru suci bernama San Ali Anshar. Kami tidak tahu berapa
dukuh lagi nanti yang muncul,” kata Kyayi Pocanan.

Menerima laporan kemunculan dukuh-dukuh baru bercitra Lemah


Abang dan Lemah Kuning, Abdul Jalil tiahdak merasa terkejut dan
khawatir. Tengara bakal munculnya setan yang akan
menyimpangkan ajarannya ke arah kesesatan yang sesesat-
sesatnya telah ia tangkap bertahun-tahun silam, saat ia bertemu
Pangeran Arya Pinatih di Bangsal Sri Manganti di Giri Kedhaton.
Munculnya orang bernama Hasan Ali alias Bango Samparan, yang
mengaku murid Syaikh Lemah Abang yang bernama asli San Ali
2177
Anshar, telah ia tangkap sebagai tengara tentang bakal
munculnyaq setan yang menyaru dalam wujud bayangan palsu
dirinya. Lalu, setan itu akan melakukan penyelewengan besar-
besaran terhadap ajaran yang sudah disampaikannya kepada
manusia. Ia merasa betapa kemunculan setan itu akan menjadi
salah satu penyebab yang menggenapi perjanjiannya dengan
Sang Prthiwi, yaitu mengobarkan keakuannya sebagai Putera
Sang Bhumi (Ksitiputera) yang akan disembelih sebagai santapan
Mahaksitiputra, Putera Teragung Sang Bhumi, Sang Bhoma
Narakasura.

Sadar munculnya setan yang menyaru dirinya itu adalah tengara


keniscayaan baginya untuk mengakhiri jalan dharmanya membagi-
bagi sisa keberlebih-kelimpahannya, Abdul Jalil tidak berkomentar
apa-apa menanggapi kemunculan dukuh-dukuh baru di sekitar
caturbhasa mandala yang dibukanya. Ia hanya meminta kepada
murid-murid terkemukanya untuk berdiam diri. Kepada murid-
murid terkemukanya itu, ia memberikan wejangan singkat:

“Ketahuilah, o engkau yang memiliki mata indriawi dan penglihatan


batin! Bahwa telah menjadi kodrat Kehidupan, di mana kehadiran
sesuatu yang haqq selalu diikuti oleh sesuatu yang batil, laksana
siang yang terang benderang diikuti malam yang gelap gulita. Itu
sebabnya, jika suatu ketika engkau sekalian berada di suatu masa
yang tak jelas batas-batas terang dan gelapnya, karena bumi
diliputi gumpalan awan, atau diselimuti gerhana, atau di ambang
fajar dan senjakala, di mana antara yang haqq dan yang batil tidak
jelas, maka saat itu diamlah! Diam! Seribu kali diam!”
2178
“Ketahuilah, o engkau yang memiliki penglihatan batin! Bahwa
dengan diam, mata hatimu (‘ain al-bashirah) yang tersembunyi di
relung-relung jiwamu akan menangkap tengara Kebenaran yang
muncul laksana matahari kembar, yaitu matahari yang sebenarnya
dan bayangan palsunya. Dengan demikian, o engkau yang melihat
dengan mata batin, engkau akan menemukan aku dan bayangan
palsuku berdiri di ujung jalan Kebenaran. Saat itu, engkau akan
sulit membedakan antanra aku dan bayangan palsuku. Sebab,
ibarat matahari di pagi dan sore hari yang sama-sama merah
cahayanya, demikianlah citra diriku dan citra diri bayangan palsuku
itu sama-sama menebarkan cahaya merah keraguan di hati
sanubarimu. Lantaran itu, aku beri tahukan kepada engkau
sekalian tentang tanda-tanda yang bisa engkau jadikan pedoman
untuk membedakan keberadaanku dan keberadaan bayangan
palsuku.”

“Pertama-tama, jika engkau sekalian bertemu dan berjabat tangan


dengan aku maka engkau akan mendapati tanganmu bersih tanpa
bekas apa pun. Sebaliknya, jika engkau sekalian menjabat tangan
bayangan palsuku maka engkau akan mendapati bekas tanda
pamrih berwarna hitam di telapak tanganmu. Segera lari
menjauhlah kalian dari bayangan palsuku jika melihat tanda hitam
itu, karena tanda itu akan melebar dan membesar, hingga
menutupi seluruh tubuh dan jiwamu. Bekas tanda hitam pamrih itu
akan membuatmu terhijab dari jalan Kebenaran dan bahkan akan
mementalkanmu jauh-jauh dari jalan-Nya sampai engkau
terperosok ke jurang Kesesatan.”

2179
“Aku beri tahukan kepadamu bahwa jalan Kebenaran adalah jalan
berliku-liku dan berkelok-kelok, terjal, curam, dan carut-marut
membingungkan jika tidak diterangi cahaya matahari Kebenaran.
Jalan Kebenaran yang terhampar pada Kitab Suci hanya mungkin
dilewati hingga ke mahligai Kebenaran Sejati jika ia diterangi
cahaya matahari Kebenaran yang tersembunyi di langit batin. Jika
suatu saat nanti engkau sekalian mendapati bayangan palsuku
mengaku-aku sebagai diriku, maka bentangkanah jalan Kebenaran
Kitab Suci dan berjalanlah di bawah pancaran cahaya matahari
Kebenaran yang menerangi penglihatan mata batinmu. Dengan
piranti Kitab Suci sebagai jalan Kebenaran dan penglihatan mata
batin sebagai cahaya matahari Kebenaran, engkau sekalian
dengan mudah akan bisa membedakan mana Syaikh Siti Jenar
yang sesungguhnya dan mana pula yang bayangan palsunya.
Ujilah kemunculan setan pengaku-aku itu dengan Kitab Suci dan
penglihatan mata batin, niscaya engkau sekalian akan
menemukan Kebenaran bahwa dia, bayangan palsuku, itu
hanyalah bayangan maya fatamorgana yang menyesatkan.”

“Ketahuilah oleh engkau sekalian, o para penempuh jalan ruhani


yang berjalan di bentangan jalan Kebenaran, bahwa aku akan
meninggalkan hiruk Kehidupan yang melingkupi bumi manusia ini.
Aku akan pergi ke duniaku sendiri. Aku tidak bisa mendampingi
kalian terus-menerus. Aku tidak bisa berkata ini dan itu ketika
bermunculan setan-setan penyesat yang menyaru diriku. Lantaran
itu, diamlah dan pasrahkan semua urusan kepada-Nya!”

2180
Sewaktu perjalanan yang dilakukannya sampai di Giri Kedhaton,
Abdul Jalil mendapati orang sedang sibuk mempersiapkan
peringatan khaul kesembilan wafatnya Prabu Satmata Sri
Naranatha Giri Kedhaton Susuhunan Ratu Tunggul Khalifatullah.
Ia buru-buru menemui Pangeran Zainal Abidin Dalem Timur,
putera Prabu Satmata yang menggantikan kedudukan
ayahandanya baik sebagai raja Giri Kedhaton maupun guru suci
Tarekat Ni’matullah. Saat bertemu dengan Pangeran Zainal Abidin
yang disebut orang dengan gelar Susuhunan Dalem Timur, ia
beroleh kabar yang mengejutkan, terkait dengan Majelis Wali
Songo. Setelah Prabu Satmata Susuhuna Giri Kedhaton mangkat,
anggota majelis lain yang meninggal adalah Pangeran Arya Pinatih
Susuhunan Giri Gajah, Khalifah Husein Imam Madura, dan Syaikh
Jumad al-Kubra. “Kakek kami, Susuhunan Giri Gajah digantikan
oleh putera Eyang Susuhunan Ampel Denta, Raden Qasim. Yang
Mulia Khalifah Husein digantikan oleh putera sulungnya, Usman
Haji. Yang Mulia Syaikh Jumad al-Kubra digantikan oleh adiknya,
Syaikh Dara Pethak. Sementara Paman, yang tak pernah
terdengar kabarnya, digantikan oleh Raden Sahid Susuhunan
Kalijaga. Yang menunjuk Raden Sahid sebagai pengganti Paman
adalah Syaikh Dara Putih,” kata Pangeran Zainal Abidin
menjelaskan.

“Kenapa Syaikh Manganti Susuhunan Giri Gajah diganti Raden


Qasim? Apakah ia meninggalkan wasiat agar digantikan Raden
Qasim?” tanya Abdul Jalil.

“Kakek kami memang berwasiat seperti itu.”


2181
“Bagaimana dengan putera-puteranya?”

“Pangeran Pringgabhaya menjadi kepala wisaya di Pamwatan dan


mengepalai keluarga Bajul di sepanjang Bengawan Sori hingga
muara. Sementara, Pangeran Kedhanyang menggantikan kakek
kami sebagai guru suci di Sri Manganti,” Pangeran Zainal Abidin
menerangkan.

Abdul Jalil mengangguk-angguk. Setelah itu ia berkata, “Tapi, tadi


sewaktu aku sembahyang di masjid, aku dengar kabar jika di
Demak sekarang ini ada ratu kembar: Yang Dipertuan Demak dan
Yang Dipertuan Japara. Bagaimana itu? Apakah yang sudah
terjadi sepeninggal Sultan Abdurahman Surya Alam Senapati
Jimbun Panembahan Palembang Sayidin Panatagama? Kenapa
bisa ada dua penguasa?”

“Semula yang mengganti sultan adalah Pangeran Sabrang Lor,


putera sulung sultan. Tapi, belum genap tiga tahun dia mangkat.
Sekarang ini Tranggana, yang menjadi Sultan Demak.”

“Tranggana?” gumam Abdul Jalil heran, “Putera sultan yang suka


mengumbar nafsu kesenangan itu?”

“Benar Paman. Kami juga tidak mengira kalau dia bakal naik
takhta.”
2182
“Bagaimana para adipati dapat memilih dia sebagai sultan?”

“Maaf Paman. Tranggana belum utuh menggantikan kedudukan


ayahandanya. Sebab, para adipati yang tergabung dalam
persekutuan telah sepakat menunjuk saudara iparnya, Pangeran
Hunus Adipati Japara, sebagai adipati dan senapati. Jadi sekarang
ini penguasa Demak yang berwenang memimpin persekutuan
adipati se-Nusa Jawa adalah Pangeran Hunus,” kata Pangeran
Zainal Abidin.

“Mungkin itu yang disebut penduduk dengan istilah ratu kembar.


Apakah itu tidak menimbulkan masalah?” tanya Abdul Jalil ingin
penjelasan.

“Kami berusaha memecahkan masalah itu dengan membagi


kekuasaan menjadi dua, yaitu kekuasaan duniawi yang dipegang
Pangeran Hunus dan kekuasaan ruhani yang dipegang
Tranggana. Pangeran Hunus menduduki jabatan adipati dan
senapati, sedang Tranggana menduduki jabatan sayidin
panatagama yang hanya mengurusi masalah keagamaan. Jadi,
meski ia bergelar sultan tetapi kekuasaannya hanya di bidang
agama.”

Abdul Jalil diam. Ia tidak ingin terlibat dengan masalah-masalah


rumit seputar pemerintahan, karena ia sudah menangkap sasmita
bakal mengalami perubahan jalan hidup yang sangat dahsyat. Itu
2183
sebabnya, usai mengikuti upacara peringatan khaul Prabu
Satmata, ia beserta istri dan anaknya bergegas meninggalkan Giri
Kedhaton ke barat. Sepanjang perjalanan mengunjungi dukuh-
dukuh bercitra caturbhasa mandala dan lemah larangan, Abdul
Jalil justru mendapati kenyataan yang sangat menggembirakan
hatinya. Sebab, tatanan kehidupan masyarakat ummah di
kawasan pesisir terlihat jauh lebih baik dibanding kehidupan di
pedalaman. Bukan saja bandar-bandar di pesisir dimakmurkan
oleh perdagangan dari pedalaman ke pesisir, melainkan
perniagaan antara bangsa pun membawa kelimpahan yang
menakjubkan. Kemakmuran benar-benar melimpah di pesisir
seolah sulit ditemukan orang fakir. Tajug dan masjid tegak di mana-
mana. Pesantren dan khanaqah pun tumbuh seperti jamur. Di
tengah berlimpahnya kemakmuran itu, tatanan kehidupan
masyarakat pesisir jauh terasa lebih aman dan tertib dibanding
pedalaman karena diterapkannya undang-undang hukum yang
disebut Angger-Angger Suryangalam, yakni hukum yang
diberlakukan di Kadipaten Demak dan seluruh kadipaten
sekutunya. Keadaan itu sangat berbeda dengan di pedalaman, di
mana hukum Majapahit Kutaramanawa sudah compang-camping
dan menjadi barang dagangan yang sangat murah sehingga tak
mampu membawa ketertiban apalagi keadilan.

Ketika perjalanan yang dilakukannya mencapai Demak, Abdul Jalil


melakukan sembahyang di Masjid Agung Demak yang telah
diperluas dan diperindah dengan segala kemegahan. Para arsitek
dan tukang yang diserahi tugas memperluas masjid adalah orang-
orang Mappila asal Kerala. Lantaran itu, rancang bangun masjid
baru itu mirip dengan masjid Kerala, yaitu beratap limas tingkat
2184
tiga. Masjid baru itu merupakan masjid terbesar di Nusa Jawa dan
dijadikan salah satu tempat bertemunya Majelis Wali Songo.
Sebenarnya, setelah bersembahyang Abdul Jalil berniat akan
singgah ke kraton menemui Tranggana untuk mengingatkan
bahaya dari takhta kekuasaan sebagai amanah Ilahi. Namun, baru
saja ia berjalan dari masjid ke alun-alun, tiba-tiba ia tersentak kaget
karena menjumpai sesuatu yang sedikit pun tidak pernah
diduganya: bertemu muka dengan sahabat penunjuk jalan
Kebenaran yang sangat dihormatinya, guru ruhani yang dimuliakan
dan pembimbing jalan lurus yang membawanya ke lingkaran
Jama’ah Karamah al-Auliya’, yaitu Ahmad Mubasyarah at-
Tawallud.

Seperti tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, Abdul Jalil


terperangah kebingungan menatap wajah Ahmad at-Tawallud
yang seperti tidak termakan usia. Dengan wajah berbinar-binar
penuh kegembiraan, ia menyalami, merangkul, mencium pipi, dan
kemudian berlutut sambil memegangi kaki guru tercintanya itu.
Lama ia terdiam seolah ingin menumpahkan kerinduannya sebagai
anak lewat kaki guru yang dihormatinya. Setelah diam beberapa
jurus, ia bertanya dengan suara bergetar, “Apakah yang membuat
Tuan, guru suci kami, datang ke negeri yang jauh tersembunyi di
balik kabut ini?”

Ahmad at-Tawallud tidak buru-buru menjawab. Sebaliknya, dia


mengusap kepala si kecil Fardun yang dipangku Shafa sambil
bertanya, “Berapa usianya?”

2185
“Satu tahun delapan bulan,” jawab Shafa.

“Siapa namanya?”

“Fardun.”

Ahmad at-Tawallud tertawa. Lalu dengan suara lain dia berkata,


“Nama anak ini Fardun, terkait dengan tugasku. Maksudku, aku
sekarang ini sedang mengemban tugas dari Misykat al-Marhum
untuk mencari engkau, o Tuan Abdul Jalil, untuk memberikan jubah
kehormatan (an-nawalah), sebagai tanda bahwa engkau telah
menjadi ‘orang yang sendiri’ (fard). Sebab, telah beberapa waktu
ini Misykat al-Marhum mengaku tidak lagi dapat memantau dan
mengawasi keberadaan Tuan. Ternyata, barang setahun delapan
bulan silam Tuan sudah mengetahui kedudukan Tuan itu.”

“Maaf Tuan, apakah dengan itu berarti kami sudah tidak menjadi
anggota Jama’ah Karamah al-Auliya’?”

“Tidak hanya itu.”

“Maksudnya?”

2186
“Keberadaan Tuan sebagai apa pun sudah selesai,” kata Ahmad
at-Tawallud lepas. “Artinya, Tuan tidak boleh lagi menjadi guru
manusia atau menjadi apa pun yang berkaitan dengan urusan
duniawiah. Tuan harus meninggalkan segala-galanya. Tuan telah
dipilih-Nya untuk menjadi kekasih-Nya yang setia. Kekasih yang
tidak memalingkan kiblat kepada yang lain kecuali kepada-Nya.
Dia menginginkan Tuan utuh sebagai pribadi tanpa predikat dan
atribut apa pun. Tuan akan dijadikan-Nya sebagai Abdul Jalil
(hamba Yang Mahaagung) dalam makna yang sebenar-benarnya.
Tuan akan dijadikan sebagai ‘yang sendiri’, kekasih ‘Yang Tunggal’
(al-Fard).”

Abdul Jalil tersungkur mencium tanah. Bersujud syukur atas


anugerah yang tak pernah dibayangkan dan diimpikannya itu.
Dengan air mata bercucuran ia menangis terisak-isak sampai
tubuhnya terguncang-guncang. Ia merasakan seluruh aliran
darahnya mengalir deras laksana air sungai. Ia merasakan
napasnya bertiup laksana angin pegunungan bertiup di musim
kemarau. Ia benar-benar merasa hilang diri. Hanya rasa rindu yang
tak kesampaian ia rasakan naik perlahan-lahan dari dada hingga
ke ubun-ubun.

Berbeda dengan Abdul Jalil yang menerima anugerah dari al-Fard


dengan penuh kesyukuran, Shafa justru terheran-heran dan
kebingungan menyaksikan kenyataan terkait nasib suaminya.
Dengan benak dipenuhi tanda tanya, dia bertanya kepada Ahmad
at-Tawallud, “Apakah dengan menjadi ‘yang sendiri’ dan menjadi
kekasih Yang Tunggal, suami kami sudah kehilangan segala-
2187
galanya? Apakah dia akan kehilangan juga istri dan anak-anak
yang dikasihinya?”

“Ananda,” kata Ahmad at-Tawallud lembut, “Secara manusiawi,


Tuan Abdul Jalil tetaplah suami ananda dan ayahanda dari putera-
puteranya. Tetapi, secara ruhaniah dia adalah mutlak milik-Nya.
Sebab itu, jika ananda melihat ke dalam relung-relung jiwa suami
ananda maka yang akan ananda dapati adalah Kehampaan.
Kosong. Kepenuhan. Pepat. Yang ada hanyala Yang Tunggal dan
Tak Terbandingkan. Tidak ada yang lain lagi.”

“Apakah tidak ada sedikit ruang yang tersisa bagi kami, istri dan
anak-anaknya?”

“Dia Mahasuci. Maha Pencemburu. Tidak mau disekutukan. Tidak


mau diduakan. Jika di dalam relung-relung jiwa orang-orang
seperti suami ananda masih terdapat ruang untuk yang lain, maka
yang lain itu akan dihapus dan dihancurkan tanpa sisa.”

“Lalu bagaimana dengan nasib kami, o Tuan?” tanya Shafa minta


penegasan dengan air mata bercucuran.

“Ananda janganlah berpikir dangkal sebagaimana pemikiran orang


kebanyakan pada umumnya, yang selalu bertanya begini:
Bagaimana nasibku dan nasib anak-anakku? Apa yang diberikan
2188
Tuhan untukku? Apa yang diberikan suamiku untuk aku?
Bagaimana hak-hakku sebagai istri dan bagaimana pula hak anak-
anakku sebagai anak? Sungguh, aku katakan kepada ananda
bahwa sebagai istri seorang penempuh jalan ruhani, hendaknya
ananda berpikir yang sebaliknya dari pandangan umum orang
kebanyakan. Ananda harus berpikir begini: bagaimana seharusnya
saya mengabdi secara benar kepada Allah, Sang Pencipta!
Bagaimana aku dapat melayani Allah dengan sebaik-baiknya.
Sebesar apakah pengorbanan yang harus aku lakukan untuk
berbakti kepada-Nya? Bukankah dengan melayani dan mengabdi
kepada kekasih Allah, sejatinya aku sudah melayani dan mengabdi
kepada-Nya? Bukankah semua yang ada di dalam dan di luar
diriku pada hakikatnya adalah milik-Nya? Pantaskah aku
menentang Dia Yang mengambil milik-Nya?”

2189
Citra Bayangan Sang Maut

Ketika hari menjelang sore, Abdul Jalil


mengantar Ahmad at-Tawallud ke pelabuhan
Demak. Guru ruhani terkasihnya itu ingin
sampai di sana sebelum senja sebab kapal
yang ditumpanginya akan berlayar sebelum
hari gelap. Saat mereka berjalan sambil
berbincang-bincang di te

pi pantai, tiba-tiba Abdul Jalil menyaksikan kilasan penglihatan


batin yang membuat darahnya tersirap dan langkahnya terhenti.
Saat itu, tanpa terduga-duga di bentangan langit barat yang mulai
memerah terpampang citra wajah Sang Maut yang memanjangkan
bayang-bayang-Nya hingga garis cakrawala. Bayangan yang terus
memanjang itu diselimuti semacam kabut tipis yang membentuk
gambaran aneka rupa perwujudan yang menampakkan seringai
wajah Kematian yang mengerikan. Sekejap kemudian, wajah
Kematian itu semburat dan mewujud dalam bentuk makhluk-
makhluk setengah manusia berdarah dingin yang mengerikan
wujudnya; matanya semenyala mata serigala, gigi-geliginya
setajam pedang, cakar-cakarnya seruncing tombak, raungannya
sedahsyat seribu singa, dan embusan napasnya sepanas tungku.
Kemudian, makhluk-makhluk mengerikan itu dengan keganasan
tak terlukiskan memburu beribu-ribu dan bahkan beratus-ratus ribu
makhluk hidup.

2190
Abdul Jalil menahan napas dan merasakan dadanya sesak
menyaksikan penglihatan batin yang mengerikan. Dengan suara
tergetar ia bertanya kepada Ahmad at-Tawallud, “Apakah Tuan
menyaksikan bayangan Sang Maut di cakrawala sebagaimana
yang kami saksikan? Apakah itu memiliki keterkaitan dengan jalan
yang harus kami lampaui untuk menjadi ‘yang sendiri’?”

Ahmad at-Tawallud berdiri di samping Abdul Jalil dengan mata


menatap ke garis cakrawala yang mulai kabur. Setelah diam
sejurus, ia berkata dengan suara lain, “Aku menyaksikan apa yang
Tuan saksikan. Apa yang Tuan saksikan barusan dapat Tuan
tafsirkan memiliki kaitan dengan jalan yang akan Tuan lampaui
untuk menjadi ‘yang sendiri’. Sebab, tatkala bayangan Sang Maut
menebar Kebinasaan atas orang-orang di sekitar Tuan, tidak
sedikit pun Tuan diperbolehkan untuk berbuat sesuatu guna
menolong mereka. Tuan yang dikenal orang sebagai manusia
luhur budi yang selalu berbagi keberlebih-kelimpahan dan rela
berkorban untuk yang lain, saat itu harus melepas citra diri Tuan.
Tuan harus menjadi sesuatu yang tidak berguna manfaat apa pun
di saat Tuan dengan mudah dapat memberi guna dan manfaat.
Tuan harus ikhlas melepas semua desakan hati nurani, meski
pahit. Tuan harus membiarkan manusia-manusia yang Tuan kasihi
melolong-lolong ketakutan, berlarian menghindari kejaran
makhluk-makhluk ganas berdarah dingin jelmaat bayangan
Kematian. Tuan harus dapat menahan rasa sakit tak terkatakan
ketika menyaksikan beratus-ratus bahkan beribu-ribu tangan
manusia tak berdaya menggapai-gapai ke arah Tuan untuk
meminta tolong, tanpa sedikit pun Tuan memberikan pertolongan.”

2191
“Seberat itukah jaan yang harus aku lampaui untuk menjadi ‘yang
sendiri’?” Abdul Jalil merasakan dadanya semakin sesak.

“Tuan akan terus menyaksikan bagaimana ganas dan brutalnya


makhluk-makhluk mengerikan bayangan Sang Maut meraung,
mencabik-cabik, mengoyak-koyak, dan merobek-robek semua
mangsa dengan gigi geligi dan cakar-cakarnya yang tajam serta
runcing. Tuan akan menyaksikan bagaimana mereka pamer
keganasan,a mengunyah-kunyah, memamah, dan menelan
mangsa-mangsanya di depan Tuan. Tuan harus diam
menyaksikan itu semua. Tuan harus diam. Diam. Sebab, Tuan
bukan siapa-siapa lagi,” kata Ahmad at-Tawallud menepuk bahu
Abdul Jalil.

“Tapi beri tahukan kepada kami, kenapa bayangan Sang Maut


terpampang di langit barat?”

“Sebab, bayangan Kematian yang Tuan saksikan itu adalah citra


bayangan Sang Maut yang sudah menebar Kebinasaan di barat
dan kemudian terbawa angin ke negeri Tuan.”

“Dapatkah Tuan menceritakan kepada kami tentang apa yang


sebenarnya telah terjadi di barat negeri kami?”

2192
Ahmad at-Tawallud diam dengan mata menerawang ke garis
cakrawala. Beberapa bentar kemudian ia duduk di atas hamparan
pasir dan memberi isyarat agar Abdul Jalil duduk di sampingnya.
Setelah itu, dengan suara lain dia mulai bercerita tentang badai
Kebinasaan yang telah melanda negeri-negeri di sebelah barat.

Di negeri Persia, bayangan Sang Maut kembali muncul dalam


wujud Syah Ismail yang mengamuk tidak lama setelah ia berhasil
menguasai Herat. Sebagaimana saat kemenangan yang pernah
diraih di Tabriz dan Shiraz, usai menaklukkan Herat, sang mahdi,
reinkarnasi tuhan itu, segera menudingkan telunjuk ke tempat-
tempat ‘kedurhakaan yang penuh kenajisan’: makam-makam para
sufi, dan zawiyyah-zawiyyah tarekat yang bertebaran di Herat. Lalu
seiring tudingan tangan sang tuhan, terdengarlah suara gemuruh
amukan badai yang menggiriskan yang membuat makam-makam
para sufi terbongkar, khanaqah-khanaqah berantakan, zawiyyah-
zawiyyah porak-poranda, para penempuh jalan Kebenaran
berpentalan terempas ke tepi jurang Kematian. Seringai wajah
Kematian yang mengerikan tampak melayang-layang di atas ubun-
ubun siapa saja di antara manusia yang menolak kemahdian dan
keilahian Syah Ismail.

Tangisan pilu terdengar di sudut-sudut rumah ketika makam sufi


besar Jami terbongkar porak-poranda dan rata dengan tanah
dilanda amukan badai Kebinasaan yang diembuskan Syah Ismail.
Para pengikut Tarekat Khalwatiyyah kocar-kacir dan ari tunggang
langgang, berjalan terhuyung-huyung meninggalkan khanaqah-
khanaqah dan zawiyyah-zawiyyah. Mereka tidak mampu menahan
2193
terjangan badai Kebinasaan yang susul-menyusul dan sambung-
menyambung menebar Kematian. Dengan langkah gontai dan
terseok-seok, mereka, dengan sisa-sisa terakhir tenaganya,
berjuang menyelamatkan Kehidupan mereka ke wilayah Turki
Usmani dan meminta perlindungan kepada Sultan Turki Usmani:
Bayazid. Sementara, para pengikut Tarekat Kubrawiyyah
Nurbakhsyi bersembunyi di lubang-lubang gua dan ruang-ruang
bawah tanah karena pemimpin mereka, Qawamuddin bin
Muhammad Nurbakhsyi, diintai bayangan Sang Maut yang
berkeliaran bersama gumpalan awan Kematian dan badai
Kebinasaan yang tak kenal ampun.

Bayangan Sang Maut yang mengembuskan badai Kebinasaan di


Herat ternyata berembus pula dengan dahsyat di Khanat Bukhara.
Seringai keganasan wujudnya membayang dalam wajah dingin
penguasa dinasti Shaybanid, yang menghempaskan Kehidupan
para pemimpin suku-suku Uzbek yang mengangkat senjata bagi
kemerdekaan negerinya. Sebagaimana di Persia, di Khanat
Bukhara, seiring gemuruh badai Kebinasaan yang melanda,
terdengar jeritan panjang sahut-menyahut di tengah hingar ringkik
kuda, gemerincing senjata, derap kaki, caci maki, dan sumpah
serapah. Pada saat semua pandangan diarahkan ke garis
cakrawala, terbelalaklah semua mata menyaksikan pemandangan
yang meremangkan bulu kuduk: genangan darah mengalir
bagaikan sungai, mayat-mayat bertumpuk membentuk bukit-bukit,
bangkai-bangkai kuda berkaparan, pedang-pedang patah, anak-
anak panah menghutan di palagan, dan jiwa-jiwa beterbangan ke
angkasa. Ke mana pun pandangan diarahkan, baik di wilayah
Tashkent di utara, baik di lembah Ferghana di timur, baik di lembah
2194
Afghan di selatan, baik di oasis Khwarazm di mulut Amu Darya di
barat, hanya bayangan wajah Sang Maut yang terpampang ganas,
mengintai dan mengepung Kehidupan makhluk.

Ketika badai Kebinasaan masih bergulung-gulung melumat


Kehidupan makhluk di Khanat Bukhara, di negeri Ferghana yang
terletak di sebelah timurnya berembus badai Kebinasaan yang
menggemuruh bersama debu dan hutan panji-panji yang
dikibarkan Zahiruddin Muhammad Babur, Yang Dipertuan
Ferghana dan Samarkand. Badai Kebinasaan itu dengan ganas
menerobos ke selatan, melintasi lembah, pegunungan, ngarai dan
jurang, melanda negeri Afghan. Laksana Indra, Sang Puramdara,
penakluk benteng, Babur memamerkan kekejaman luar biasa saat
menaklukkan Samarkand dan menghancurkan gerakan oposisi
yang menentangnya itu berteriak lebih garang di lembah Afghan.
Lalu, dengan keganasan hewan buas kelaparan, Babur menggiring
badai Kebinasaan melanda lembah subur Punjab di Bharatnagari.
Ke arah mana pun orang berpaling, yang terlihat hanyalah
bayangan Babur sebagai citra bayangan Sang Maut. Di mana pun
Babur berada, orang akan menyaksikan pengejawantahan Sang
Maut yang mewujud dalam bentuk hutan panji, bendera, dan
tombak yang bergerak serempak di antara meriam-meriam,
pedang-pedang, perisai-perisai, panah-panah, senapan-senapan,
dan dentam-dentam ladam kuda yang menggemuruh di tengah
bahana nyanyian perang membelah angkasa. Perang! Perang!
Perang!

2195
Sementara bayangan Sang Maut berkeliaran memangsa bangsa-
bangsa muslim di Persia, Khanat Bukhara, Samarkand, Ferghana,
Afghan, dan Punjab, di anak benua India bertiup badai Kebinasaan
yang tidak kalah dahsyat.

Alfonso d’Albuquerque, gubernur Portugis di India, menyeringai


dan mengembuskan napas Kematian di tengah debur ombak,
kibaran layar, dentum meriam, letusan senapan, gemerincing
pedang, dan pekik kemenangan pasukannya. Alfonso
d’Albuquerque adalah ksatria tuhan yang datang ke Bharatnagari
setelah Vasco da Gama. Ia lahir di Alandra, dekat Lisbon hambir
delapan windu silam, anak kedua Gonzalio d’Albuquerque, Senhor
de Villa Verde. Sejak muda, di bawah Raja Alfonso V, ia sudah
terlibat pertempuran dengan orang-orang Islam di Afrika Utara.
Lantaran pengalaman masa mudanya itu, sebagaimana Vasco da
Gama, ia beranggapan bahwa di dunia ini hanya ada dua agama
yang saling bermusuhan, yaitu Kristen dan Islam.

Alfonso d’Albuquerque datang ke India bersama sepupunya, Dom


Francisco d’Alameda. Sebagai ksatria tuhan yang termasyhur
kegagahannya di medan tempur, ketika tiba di India ia langsung
terlibat dalam pembangunan benteng yang disiapkan sebagai
‘ladang pembantaian’ bagi musuh-musuh tuhan. Dom Francisco
d’Alameda diangkat menjadi gubernur Portugis pertama di India
dan berjaya menghancurkan armada Samutiru Yang Dipertuan
Kozhikode. Tidak lama kemudian, d’Almadea digantikan
d’Albuquerque, yang sebelumnya telah menaklukkan bandar
Socotra dan Ormuz, di mulut Laut Merah. Tidak mau kalah dengan
2196
prestasi Vasco da Gama, sang ksatria tuhan d’Albuquerque
melengkapi kemenangan armada laut d’Alameda dengan
menggempur Kozhikode.

Dengan semangat ksatria tuhan yang membawa panji-panji


kebesaran agama, d’Albuquerque memimpin pasukannya, prajurit-
prajurit tuhan yang gagah berani. Bagaikan malaikat Kematian
memburu mangsa, mereka bergerak cepat laksana awan hitam
bersama gemuruh badai Kebinasaan, melanda pasukan
Kozhikode yang dipanglimai Laksamana Kunjali Marakkar. Dalam
waktu sangat singkat, sang ksatria tuhan dan pasukannya telah
menjadikan Kozhikode sebagai rumah jagal raksasa yang penuh
dengan bukit mayat dan bangkai hewan, genangan darah,
senapan berserak, tombak patah, baju zirah terbelah, dan bau
Kematian yang menusuk ke relung-relung jiwa.

Kemenangan yang dicapai d’Albuquerque di Kozhikode adalah


bagian dari kemenangan-kemenangan yang telah diraihnya
sebagai ksatria tuhan tak terkalahkan. Sanjungan dan pujian nyaris
tak pernah jauh darinya. Nama d’Albuquerque selalu disebut
dengan penuh kekaguman sepanjang jalur pelayaran antara India
hingga Portugal. Sebagai pemenang, ia tidak sadar jika dirinya
telah mabuk sanjungan dan pujian. Antara mabuk dan sadar, ia
secara tiba-tiba mengumbar kebanggaan akan kehebatan diri
sebagai ksatria tuhan yang tidak kalah hebat dibanding Vasco da
Gama. Kemudian, dengan kepongahan ksatria tuhan tak
terkalahkan, ia menggiring armadanya ke Goa, bandar niaga
kedua terpenting di wilayah Kesultanan Bijapur, yang terletak di
2197
sebuah pulau di muara sungai Mandovi. Dengan kegagahan
ksatria tuhan, ia dengan gampang merebut benteng Pangim.
Penduduk Goa yang sudah mendengar kehebatan pasukan
Portugis semenjak Vasco da Gama beramai-ramai mendatangi
ksatria tuhan baru, d’Albuquerque. Mereka menyatakan kesediaan
kotanya dijadikana bagian dari wilayah Kerajaan Portugal.

Sementara, kemenangan d’Albuquerque atas Goa untuk kali


kesekian mengejutkan para panglima perang Bharatnagari, yang
selama berabad-abad cenderung menilai secara berlebihan
kehebatan diri di medan tempur berdasar ukuran darah
kebangsawanan, keberanian, kesaktian, siasat gelar perang,
maupun besarnya jumlah pasukan. Para panglima yang bangga
dengan nilai-nilai ksatria dan kepahlawanan dalam bertempur tiba-
tiba dihadapkan pada kenyataan-kenyataan aneh terkait dengan
kekuatan-kekuatan baru kemiliteran Portugis yang memiliki sudut
pandang berbeda dengan apa yang selama ini mereka pahami.
Senapan yang selama itu lebih banyak digunakan untuk
memeriahkan pesta pada upacara perkawinan dan
penyambutanaaaa tamu terhormat atau perayaan-perayaan
keagamaan, terbukti di tangan Portugis menjadi alat pembunuh
yang ampuh. Mereka dengan terpaksa harus menggeleng-
gelengkan kepala ketika menyaksikan keuletan, ketangguhan,
kekompakan, dan keberanian satuan-satuan kecil pasukan
Portugis yang mampu menahan musuh berjumlah puluhan kali
lipat dengan hanya bersenjatakan senapan-senapan. Mereka tidak
tahu rahasia apa di balik kekuatan orang-orang kulit putih itu
hingga mereka menjadi orang-orang yang ulet, tangguh, kompak
dan pantang menyerah selama menghadapi musuh.
2198
Keuletan dan ketangguhan pasukan Portugis di bawah Francisco
d’Albuquerque selama menghadapi serangan besar-besaran
Panglima Kunjali Marakkar di Cochizha barang sewindu silam
memang telah menjadi buah bibir yang tak ada habisnya di anak
benua India. Orang dengan berdecak kagum berkata terheran-
heran, bagaimana mungkin Portugis yang hanya berkekuatan tiga
kapal dengan 100 orang serdadu ditambah 300 orang tentara
bayaran Malabar dan 5000 orang pengawal Raja Cochizha,
mampu menahan gempuran pasukan Kozhikode yang
berkekuatan 280 buah kapal dan 50.000 orang tentara selama lima
bulan? Bagaimana mungkin kekuatan kecil Portugis itu dengan
sangat gemilang akhirnya berhasil memukul baik kekuatan
Laksamana Kunjali Marakkar yang lebih besar itu sampai
terlempar keluar Cochizha?

Keuletan dan ketangguhan itu kini teruji lagi ketika pasukan


Portugis di bawah Alfonso d’Albuquerque berhasil menahan
serbuan Adil Shah, Sultan Bijapur, yang membawa 50.000 orang
prajurit mengepung Goa. D’Albuquerque dean pasukannya tidak
menyerah setelah dikepung tiga bulan oleh pasukan Bijapur, meski
kekurangan bahan pangan dan amunisi. Baru setelah empat bulan
terkepung, d’Albuquerque dan pasukannya mundur meninggalkan
Goa, dengan kapal-kapal rusak berat karena menerobos kepungan
pasukan Bijapur. Namun, saat datang bantuan dari Portugis
berupa 23 kapal perang dan 2000 orang serdadu pilihan, pada 25
November 1510 d’Albuquerque menyerang kembali Goa. Dalam
tempo hanya sehari, ia telah mengubah Goa menjadi rumah jagal
raksasa yang mengerikan: mayat-mayat dengan tubuh hangus

2199
berserpihan dan ceceran darah berserakan di bawah intaian
ratusan gagak yang berteriak-teriak serak di angkasa.

Usai menaklukkan Goa, d’Albuquerque yang sudah mabuk


kemenangan mengarahkan pandangan ke Malaka, bandar
perniagaan penting di timur, sebuah batu loncatan bagi Portugis
untuk mencapai negeri rempah-rempah. Sudah sejak awal
d’Albuquerque meneterkan liur hendak mencaplok bandar terkenal
kaya raya itu. Saat itu ia memiliki alasan kuat untuk menggempur
dan menguasai bandar kaya tersebut, karena penguasa Malaka
barang setahun silam telah menolak tawarannya untuk berniaga
dan malah menawan pelaut-pelaut yang dikirimnya di bawah Diego
Lopez d’Sequeira. Hasrat d’Albuquerque makin berkobar ketika
saudagar-saudagar Cina muslim Cochizha memberikan dukungan,
baik menyangkut keterangan-keterangan tentang kelemahan
bandar Malaka maupun tawaran jung-jung mereka untuk
mengangkut pasukan Portugis ke Malaka, tentunya, dengan
imbalan yang memadai.

Menurut kabar, Malaka saat itu sedang diguncang kemelut akibat


persekongkolan Tun Mutahir yang merencanakan suatu
pembunuhan terhadap sultan. Meski persekongkolan itu
terbongkar dan Tun Mutahir beserta keluarganya dihukum bunuh,
keruwetan yang ditimbulkan bendahara jahat itu masih membelit
Malaka. Kebobrokan akhlak pejabat-pejabat tinggi kerajaan yang
menular ke pegawai-pegawai rendahan masih kuat bercokol di
tubuh aparat kesultanan Malaka. Melalui liku-liku kebobrokan
akhlak para pejabat dan pegawai kesultanan itulah setumpuk
2200
laporan Ruy de Araujo tentang peta pertahanan bandar Malaka
dapat diselundupkan keluar tahanan hingga jatuh ke tangan
d’Albuquerque. Setelah memahami kelemahan pertahanan
Malaka, pada 25 Juli 1511 d’Albuquerque menggempur Malaka.
Pecah pertempuran sengit. Sultan dengan didukung tentara
bayarannya melawan. Meriam berdentuman dari kedua belah
pihak. Sekalipun d’Albuquerque sempat mendaratkan
pasukannya, sultan berhasil menghalau mereka kembali ke
kapalnya.

Seiring kembalinya pasukan Portugis ke kapal, terlihatlah


pemandangan mengerikan dari bekas jejak-jejak bayangan Sang
Maut: mayat-mayat bergelimpangan dan bertumpuk di hampir
setiap jengkal bandar Malaka. Bangunan-bangunan hangus
mengepulkan asap dengan kobaran api menjilat-jilat ke angkasa.
Meriam-meriam berserakan. Senapan-senapan berceceran. Anak
panah bertumpang tindih dengan tombak-tombak patah. Meriam-
meriam yang berdentuman dari kapal-kapal Portugis telah
mengejawantahkan citra bayangan Sang Maut. Alfonso
d’Albuquerque, sang ksatria tuhan, membuktikan bahwa dirinya
tidak kalah ganas dibanding Vasco da Gama.

Selama berada di kapalnya, setelah mundur dari bandar Malaka,


d’Albuquerque memperoleh laporan-laporan lebih lengkap tentang
keadaan musuhnya. Di antara laporan-laporan itu, yang terpenting
bagi d’Albuquerque adalah laporan tentang kecilnya nyali prajurit-
prajurit Malaka yang berakibat pada rendahnya semangat tempur
mereka. Dengan laporan itu, jelas sudah bagi d’Albuquerque
2201
bahwa kekuatan inti yang diandalkan sultan Malaka adalah tentara
bayaran asal Jawa, Persia, dan Kerala. Sebagai ksatria tuhan yang
berpengalaman, d’Albuquerque mengirim orang-orangnya untuk
melumpuhkan tentara-tentara bayaran itu dengan tawaran harga
yang lebih tinggi. Kemudian, setelah yakin kekuatan musuh
terbelah, pada 10 Agustus 1511 d’Albuquerque melakukan
serbuan besar-besaran ke Malaka. Tanpa kesulitan berarti
pasukannya berhasil mendarat kembali di bandar Malaka. Meski
perlawanan sengit dilakukan sultan dan pasukannya, akibat
sebagian di antara tentara bayaran asal Jawa sudah berpindah
tuan karena tergiur tawaran gaji yang lebih tinggi, maka porak-
porandalah pertahanan sultan. D’Albuquerque bersama
pasukannya meraih kejayaan gemilang. Prajurit-prajurit Portugis
yang berkemenangan itu kemudian menjarah kekayaan Malaka.
Mereka menjarah apa saja barang perniagaan yang terdapat di
Malaka; kain sutra, gading, emas lantakan, perhiasan, batu mulia,
keramik, aneka jenis senjata. Di antara barang-barang hasil
jarahan itu terdapat 3000 buah meriam yang terbuat dari kuningan
dan 2000 buah meriam yang terbuat dari besi, yang semua senjata
berat itu didatangkan dari Jawa.

Setelah Malaka jatuh, Sultan Mahmud Syah, dengan dikawal sisa-


sisa pasukannya meninggalkan ibu kota. Ia membangun kubu
pertahanan di Pagoh yang terletak di tepi sungai Muar. Namun,
d’Albuquerque yang khawatir kalau Sultan Mahmud Syah akan
merebut kembali Malaka segera memburunya. Dengan dukungan
400 orang prajurit Portugis, 600 orang tentara bayaran Jawa, dan
300 orang tentara bayaran Pegu (Burma), d’Albuquerque
menggempur kubu Sultan Mahmud Syah di Pagoh. Sultan tua yang
2202
sudah lelah itu tak kuasa menahan serbuan d’Albuquerque. Ia
mundur ke hulu sungai Muar sampai ke wilayah Pahang. Setahun
setelah di Pahang, sultan menggempur Pagoh, tapi ia kalah dan
lari hingga ke Bentam. Usaha sultan merebut kembali bandar-
bandarnya dari tangan Portugis mengakibatkan terjadinya perang
berlarut-larut. Perang! Perang! Perang!

2203
Dua Penguasa Berebut Kuasa

Paparan Ahmad Mubasyarah at-Tawallud


tentang amukan badai Kebinasaan di
berbagai negeri di barat seketika
mengingatkan Abdul Jalil tentang
pemukiman-pemukiman baru orang-orang
asing di Surabaya, Gresik, Tuban, Lasem,
dan Demak yang dijumpainya selama ia berkeliling mengunjugi
dukuh-dukuh larangan dan caturbhasa mandala. Rupanya, tiupan
dahsyat badai Kebinasaan yang melanda bumi Persia, Khanat
Bukhara, Samarkand, Ferghana, dan Afghan telah menimbulkan
ketakutan penduduk di negeri tersebut. Kekalahan, kekejaman,
kemenangan, kebiadaban, kegagahan, ketertindasan,
kepongahan, kebencian, keberanian, kekuatan, dan
ketidakberdayaan yang tumpang tindih di tengah bayangan
Kematian telah mengaduk-aduk jiwa manusia-manusia yang kalah.
Di tengah hiruk Kebinasaan tersebut, para pemuka pihak yang
kalah, para pemimpin marga yang enggan tunduk kepada
pemenang, guru-guru ruhani dan murid-muridnya yang teraniaya,
dan warga yang ketakutan terpusar dalam ketidakberdayaan yang
membingungkan. Mereka saling pandang dan saling bincang. Lalu,
mereka bersepakat meninggalkan tanah kelahiran mereka untuk
mencari keselamatan di negeri lain.

Seperti layaknya hewan yang mengetahui ke mana harus


bersembunyi ketika bahaya mengancam, manusia-manusia kalah
yang jiwanya didera ketakutan dan pikirannya diaduk-aduk
2204
kebingungan itu pergi meninggalkan tanah kelahiran mereka,
menuju negeri yang tersembunyi di balik kabut; negeri surgawi
penuh harapan dengan gunung-gunungnya yang biru dilimpahi
kesuburan, biji-bijian menguning membentuk bukit-bukit makanan,
buah-buahan ranum menyegarkan, susu dan madu melimpah
ruah, gemericik air sungai yang mengumandangkan nyanyian
Kehidupan, dan senyuman ramah penghuninya yang setengah
telanjang; surga dunia yang sejak zaman kuno disebut orang
negeri Jawi (sebutan pelaut-pelaut Arab untuk pulau-pulau
Nusantara di masa silam) yang terhampar laksana untaian
permata zamrud di tengah lautan.

Ketika waktu berlalu dan cakrawala Kehidupan terbit dengan


harapan baru, para pencari keselamatan itu telah terlihat
bermunculan di sepanjang pantai negeri Jawi. Dengan ketakjuban
luar biasa, mereka yang merasa telah sampai di negeri surgawi itu
beramai-ramai tinggal di negeri harapan yang mereka impikan.
Mereka mendatangi penguasa-penguasa negeri dan dengan
bahasa isyarat mereka meminta izin tinggal di situ. Penduduk
negeri Jawi yang terheran-heran melihat kehadiran orang-orang
asing di negeri mereka, menyebut mereka sebagai wong kabur
kanginan (orang-orang terbawa badai) asal negeri Rum, yaitu
negeri kediaman orang-orang berwajah rupawan di negeri Atas
Angin di angkasa.

Tercekam oleh paparan Ahmad at-Tawallud dan penglihatan batin


yang disaksikannya di atas langit Demak, Abdul Jalil ingin
mengetahui apakah gerangan yang sedang terjadi di negeri
2205
Demak sehingga memiliki kaitan dengan badai Kebinasaan yang
sudah mengamuk lebih dulu di barat. Apakah kedatangan orang-
orang yang terbawa badai dari negeri-negeri tersebut bakal
menjadi salah satu penyebab berembusnya badai Kebinasaan di
Nusa Jawa? Apakah yang sesungguhnya terjadi di Kesultanan
Demak setelah mangkatnya Sultan Abdurrahman Surya Alam
Senapati Jimbun Panembahan Palembang Sayidin Panatagama?

Usai mengantar guru terkasihnya, ia buru-buru menemui Gagak


Cemani, seorang pengikutnya yang tinggal di kuta Demak. Ia
menitipkan istri dan puteranya kepada Gagak Cemani. Setelah itu,
seorang diri ia melangkahkan kaki menuju Masjid Agung Demak.
Namun, saat berada di alun-alun ia merasakan hawa aneh
melingkupi daerah tersebut. Tanpa sengaja ia menangkap
kelebatan empat sosok bayangan hitam yang melintas cepat di
depannya dalam jarak sekitar sepuluh tombak. Ia tahu bayangan
yang berkelebat itu bukanlah manusia, melainkan bangsa jin. Lalu,
dengan bahasa perlambang ia memanggil mereka. Keempat
bayangan hitam itu berhenti seketika dan melesat berbalik arah.
Ternyata, mereka adalah Ratu Rara Dhenok, jin penguasa Demak.
Ia didampingi Ratu Banjaransari, jin penguasa Pengging,
Sapujagad, jin penguasa Jipang, dan Barat Katiga, jin penguasa
Samarang. Dengan terheran-heran, Abdul Jalil melihat keempat
pemuka jin itu dan bertanya, “Ada keperluan apakah sehingga
kalian yang datang dari Jipang, Pengging, dan Samarang berada
di Demak?”

2206
Ratu Banjaransari dengan sikap sangat hormat menjawab, “Kami
sedang merencanakan pesta, paduka.”

“Pesta darah, maksudmu?” sergah Abdul Jalil.

“Benar Paduka.”

“Apakah itu karena ada kemelut pergantian kekuasaan di Demak?”

“Paduka sudah lebih tahu tentang itu.”

Abdul Jalil diam. Ia sadar, cepat atau lambat badai Kebinasaan


akan berembus dengan dahsyat di Nusa Jawa. Ia sadar,
berkuasanya dua orang raja setelah mangkatnya Sultan
Abdurrahman Surya Alam akan berbuntut pesta darah para jin.
Sebab, perebutan pengaruh masing-masing raja yang akan
memanfaatkan apa saja yang bisa mereka gunakan untuk
mengukuhkan kekuasannya. Orang-orang terbawa badai sangat
mungkin akan dijadikan alat oleh salah satu di antara dua
penguasa tersebut untuk memperkuat kekuasaannya. Itu berarti,
embusan badai Kebinasaan yang akan memporak-porandakan
keberadaan umat Islam di Nusa Jawa tidak akan dapat dihindari
lagi. Para jin pasti akan mensyukuri Kebinasaan itu dalam pesta
darah yang menjadi hak mereka dari zaman ke zaman.

2207
Tengara bakal berembusnya badai Kebinasaan di Nusa Jawa
makin kuat ditangkap Abdul Jalil manakala ia menyaksikan
kenyataan-kenyataan yang berkaitan dengan keberadaan orang-
orang terbawa badai itu, bagaikan sebuah rangkaian cerita yang
sudah diatur.

Tidak lama setelah kedatangan orang-orang terbawa badai asal


Persia, Khanat Bukhara, Samarkand, Ferghana, dan Afghan,
datang pula orang-orang terbawa badai asal Goa dan Malaka yang
negerinya jatuh ke tangan Portugis. Tidak lama setelah itu, di
sepanjang pantai utara Nusa Jawa terlihat iring-iringan jung besar
dan kecil yang memuat penduduk muslim asal daratan Cina.
Mereka adalah saudagar-saudagar Cina yang lari dari tanah
kelahiran akibat amukan badai Kebinasaan yang berembus dari
istana Kaisar Langit. Menurut kabar yang beredar, berita
pengkhianatan saudagar-saudagar Cina Cochizha yang
menawarkan bantuan kepada Portugis yang disusul jatuhnya
Malaka, telah membuat Kaisar Langit sangat murka, terutama
ketika para pangeran tua asal Malaka, keturunan Sultan Mansyur
Syah dan Puteri Hang Li Po, menghadap dan membenarkan kabar
pengkhianatan tersebut.

Kaisar Langit yang ingin melindungi kerajaannya dari


pengkhianatan kemudian mengambil tindakan tegas:
mengeluarkan titah pembakaran atas semua kapal milik saudagar
di seluruh negeri. Seiring bergemanya titah tersebut, berembuslah
angin berapi yang makin lama makin membesar menjadi badai
Kebinasaan yang menghancurleburkan semua kapal milik
2208
saudagar Cina yang berserak di sepanjang pantai daratan Cina.
Tanpa peduli apakah saudagar tersebut memiliki hubungan
dengan saudagar Cochizha, pembinasaan terus dilakukan dengan
sangat ganas dan tak kenal ampun. Kepulan asap dan kobaran api
memenuhi garis pantai Cina yang memanjang dari selatan ke
utara, laksana naga api mengamuk. Celakanya, bagian terbesar
saudagar Cina yang berniaga di lautan adalah muslim seperti
saudagar-saudagar Cina Cochizha.

Di tengah amukan badai berapi yang tak memilih-milih sasaran itu,


ikut terbakarlah perahu-perahu kecil dan sebagian rumah para
saudagar. Bingung, panik, takut, dan rasa putus asa menerka jiwa
orang-orang tak bersalah yang berlarian di tengah gemerecik
runtuhnya benda-benda yang hangus menghitam. Bayangan
wajah Kematian tampak menyeringai ganas di cakrawala negeri
Cina. Ke mana pun orang berpaling, hanya bayangan wajah
Kematian yang terpampang mengerikan. Sekumpulan demi
sekumpulan manusia tak bersalah itu meloloskan diri dari
terkaman Kematian. Dengan jung-jung dan perahu-perahu kecil
yang tersisa, mereka berduyun-duyun membawa keluarganya
pergi meninggalkan tanah kelahiran, mengarungi lautan menuju
negeri surgawi harapan di laut selatan. Sebagaimana orang-orang
terbawa badai sebelumnya, para saudagar Cina yang terusir dari
negerinya itu tinggal di pantai-pantai negeri Jawi.

Di tengah hiruk menjamurnya pemukiman baru orang-orang


terbawa badai itu, menyeruakah seekor ular hitam bermahkota
emas dari reruntuhan jiwa pewaris kesultanan Demak: Tranggana.
2209
Penguasa yang diamuk amarah akibat kehilangan kuasa dan
wibawa itu tiba-tiba merasakan tubuhnya digetari semangat
berkobar-kobar ketika menyaksikan tumbuhnya hunian-hunian
baru pemukim asing di wilayahnya. Ular hitam bermahkota emas
yang selama bertahun-tahun selalu menggulung dalam tidur beku,
tiba-tiba mendongakkan kepala dan mendorong jiwanya untuk
mendaki puncak kekuasaan yang telah melemparkannya ke jurang
memalukan sebagai raja tanpa mahkota. “Bangkit dan pimpinlah
bangsa-bangsa yang datang terbawa angin itu untuk merebut
kekuasaanmu!” titah ular hitam bermahkota emas kepada
Tranggana dengan suara mendesis-desis.

Tranggana, putera Sultan Demak, belum genap dua puluh lima


usianya ketika menggantikan takhta ayahandanya. Ia dikenal
orang sebagai pangeran yang sangat suka mengumbar nafsu,
menikmati kesenangan-kesenangan syahwat. Ia seolah tidak
pernah peduli dengan masalah pemerintahan sebagaimana
kakaknya, Pangeran Sabrang Lor. Ia sangat bangga dikelilingi
perempuan cantik yang menyanjung dan memujinya. Dalam usia
lima belas tahun ia sudah memiliki tiga empat orang anak dari selir-
selirnya. Lantaran hari-hari hidupnya penuh warna-warni
kesenangan, tidak satu pun orang menduga ia bakal naik takhta
menggantikan ayahandanya. Sehingga, saat ia naik takhta menjadi
Yang Dipertuan Demak, orang mendecakkan mulut menahan
napas.

Memang banyak yang terkejut dengan kenaikan mendadak


Tranggana ke takhta kesultanan. Pada saat ayahandanya
2210
mangkant, orang hanya memilih harapan kepada putera sultan
tertua, Pangeran Sabrang Lor. Namun, tidak ada yang menyangka,
belum genap tiga tahun berkuasa, ketika akan dinobatkan menjadi
pemimpin persekutuan adipati-adipati pesisir dengan gelar sultan
oleh Majelis Wali Songo, tiba-tiba Pangeran Sabrang Lor sakit
keras dan meninggal secara mendadak. Kebingungan pun terjadi
di antara keluarga sultan sebab sepeninggalnya, putera Sultan
Abdurrahman Surya Alam dari permaisuri Ratu Asyiqah yang
memiliki hak atas takhta hanyalah Tranggana, karena saudaranya
yang lain, Pangeran Kanduruwan yang menjadi manghuri
(sekretaris negara) Ratu Sri Maskumambang di Japan, dan
adiknya, Pangeran Panggung, yang tinggal di Randu Sanga,
adalah putera-putera sultan dari selir. Dengan demikian, meski
semua mengetahui jika Tranggana bukan pemimpin dan
negarawan unggul seperti ayahandanya dan kakaknya, semua
tidak memiliki pilihan lain untuk tidak memilihnya sebagai
penguasa baru Demak.

Sekalipun keluarga dan kerabat sultan akhirnya sepakat menunjuk


Tranggana sebagai Yang Dipertuan Demak, untuk jabatan sultan-
pemimpin tertinggi persekutuan adipati-adipati pesisir utara Jawa-
dibutuhkan kesepakatan para adipati yang tergabung dalam
persekutuan tersebut untuk memilihnya. Tapi, kabar tentang
kelakuan buruk Tranggana sudah didengar tiap telinga dan
disaksikan setiap mata sehingga diam-diam para adipati pesisir
tidak bersimpati kepadanya. Pada saat seperti itu adipati Tedunan,
Rembang, Tetegal, Samarang, dan Siddhayu memanfaatkan
keadaan untuk mempengaruhi adipati yang lain agar tidak memilih
Tranggana sebagai pemimpin tertinggi persekutuan. Lalu, terjadi
2211
perubahan sejarah yang tidak terduga-duga. Dengan alasan
mengikuti kaidah-kaidah khalifah yang sudah disepakati bersama,
para adipati pesisir utara Jawa yang berkumpul di Masjid Agung
Demak memilih Pangeran Hunus Adipati Japara, adik ipar
Tranggana, sebagai pemimpin tertinggi mereka. Mereka memberi
gelar penguasa pilihan mereka itu: Adipati Hunus Senapati Jimbun
Sabrang.

Kesepakatan para adipati pesisir utara Jawa untuk memilih


Pangeran Hunus sebagai pemimpin tertinggi mereka adalah sama
maknanya dengan menunjuk adipati Japara itu sebagai pemegang
kekuasaan pemerintahan (adipati) dan komando angkatan perang
(senapati) yang menggantikan kedudukan mertuanya, Sultan
Abdurrahman Surya Alam. Itu berarti, Pangeran Hunuslah satu-
satunya penguasa yang memiliki kewenangan untuk mengerahkan
kekuatan militer di seluruh kadipaten pesisir. Hal itu tidak bisa
ditafsirkan lain, kecuali: kedudukan pemimpin tertinggi
persekutuan adipati pesisir utara Jawa telah pindah dari Demak ke
Japara. Bahkan, dengan naiknya Pangeran Hunus sebagai
pengganti mertuanya, menunjuk bukti betapa persekutuan marga
Orob yang berkuasa di Kadipaten Tedunan, Rembang, Tetegal,
dan Siddhayu telah berhasil menggalang kekuatan besar di Nusa
Jawa.

Tindakan para adipati memilih Pangeran Hunus adalah tamparan


keras bagi Tranggana.ia menganggap tindakan itu merupakan
usaha terang-terangan untuk meminggirkannya dari kekuasaan
atas Jawa yang diwariskan ayahandanya. Tindakan para adipati itu
2212
bagi Tranggana adalah persengkongkolan jahat yang telah
mengerdilkan kekuasaannya menjadi tidak lebih luas dari wilayah
Kadipaten Demak. Itu adalah suatu penghinaan besar. Yang paling
menyakitkan hati, Pangeran Panggung, saudara tirinya justru
mendukung kepemimpinan Pangeran Hunus dengan alasan
sesuai kaidah-kaidah khalifah, kekuasaan yang sah adalah yang
sesuai dengan hasil pemilihan yang disepakati. Padahal kakak
kandung Pangeran Panggung, yaitu Pangeran Kanduruwan,
tegas-tegas menyatakan dukungan kepadanya.

Andaikata tidak disadarkan 0leh sahabatnya, Pangeran Zainal


Abidin Susuhunan Dalem Timur, putera Prabu Satmata
Susuhunan Giri Kedhaton, Tranggana yang sudah dibakar amarah
akibat tersingkir dari takhta kesultanan itu akan mengambil jalan
pintas: merebut kekuasaan dari tangan Pangeran Hunus dengan
kekerasan. Ia akan menggempur adipati Samarang, Pangeran
Mangkubhumi, putera Pangeran Pandanarang, saudara sepupu
yang dianggapnya berkhianat. Ia juga akan menyingkirkan saudara
tirinya, Pangeran Panggung, yang dianggapnya berkhianat pula.
Jika hal itu terjadi, dipastikan ia akan terperosok ke jurang
kehancuran karena Pangeran Hunus didukung oleh kerabat dan
sahabat-sahabatnya yang menjadi adipati di Rembang, Tetegal,
Japara, Tedunan, Siddhayu, Samarang. Sementara, Pangeran
Panggung pun memiliki hubungan kuat dengan pemuka-pemuka
dukuh Lemah Abang karena ia adalah murid Syaikh Lemah Abang.

Akhirnya, berkat nasihat dari Susuhunan Dalem Timur, Tranggana


mengurungkan niat, baik merebut kekuasaan dari Pangeran Hunus
2213
maupun keinginan menggempur adipati Samarang dan membunuh
saudara tirinya, Pangeran Panggung. Ia sadar, kedudukannya
sebagai pewaris takhta sedang berada pada rentangan masa yang
sulit. Ia sadar, dirinya tidak saja telah ditinggalkan kuasa dan
wibawa, tetapi keluarganya pun sudah terpecah-belah dalam
kekuatan-kekuatan yang saling bertentangan. Dibanding adik
iparnya, Pangeran Hunus, ia bukanlah apa-apa karena
keberadaannya tidak lebih dari seekor singa tanpa gigi tanpa cakar
yang duduk di depan gua.

Tranggana yang sudah dikuasai nafsu berkuasa itu ternyata tidak


menyerah. Ia yang sudah dicekam harapan untuk berkuasa
sebagai raja Jawa sebagaimana ayahandanya, diam-diam
melakukan usaha-usaha yang sangat hati-hati untuk menyusun
kekuatan demi mewujudkan harapannya. Ia menyadari, saat itu
satu-satunya tiang penopang kekuasaannya yang bisa
diandalkannya hanyalah Majelis Wali Songo, yang kebetulan
dipimpin oleh sahabatnya, Pangeran Zainal Abidin Susuhunan
Dalem Timur. Ia juga menyadari hanya Majelis Wali Songolah satu-
satunya majelis yang memiliki kewenangan untuk melantik
seorang adipati pemimpin persekutuan dengan gelar sutan, selain
berwenang menganugerahi gelar keagamaan Sayidin
Panatagama kepada sultan.

Sadar dirisnya terjepit di tengah rentangan waktu yang makin


mendesak, Tranggana diam-diam menggeliat untuk tidak berdiam
diri menunggu nasib. Ia sadar, di tengah keterjepitan
kedudukannya itu ia harus berpacu dengan waktu untuk berlomba
2214
kecepatan menghambat jadwal pelantikan Pangeran Hunus
sebagai sultan. Diam-diam ia berusaha keras agar Pangeran
Hunus hanya dilantik oleh Majelis Wali Songo sebagai adipati dan
senapati, sebagaimana hasil pemilihan adipati-adipati. Itu berarti,
jabatan sayidin panatagama yang belum diperoleh Pangeran
Hunus dari Majelis Wali Songo akan direbutnya. Tranggana
berpikir, biarlah untuk sementara dia menjadi pemimpin
keagamaan asalkan memiliki wilayah kekuasaan di pesisir Jawa.
Untuk menggapai tujuan itu, ia harus mendapatkan simpati dari
Majelis Wali Songo. Lalu, Tranggana pun mengumumkan rencana
perluasan Masjid Agung Demak yang akan dijadikan masjid agung
terbesar dan termegah di Nusa Jawa sekaligus menjadi salah satu
tempat pertemuan Majelis Wali Songo paling terhormat.

Siasat Tranggana memperluas Masjid Agung Demak terbukti


membawa hasil tak terduga-duga. Pertama-tama, pelantikan
sultan hasil pilihan adipati-adipati yang akan dilakukan di Masjid
Agung Demak menjadi tertunda sampai pengerjaan perluasan
masjid selesai. Selama rentang waktu perluasan masjid,
Tranggana memperkuat kedudukan dengan memanfaatkan
semuda hal yang dapat dimanfaatkan. Secara diam-diam ia
mengirim saudarinya, Nyi Mas Ratu Winong, ke Wirasabha untuk
dinikahi oleh saudara sepupunya, Pangeran Arya Terung, putera
Raden Kusen. Alih-alih menikahkan adik perempuannya,
Tranggana menyuruh Pangeran Arya Terung untuk meminta hak
atas Kadipaten Sengguruh yang dikuasai Raden Pramana, putera
Patih Mahodara. Merasa nasihat Tranggana itu sangat baik,
Pangeran Arya Terung membawa pasukan dari Wirasabha dan
menggempur Kadipaten Sengguruh dari arah utara. Tanpa
2215
kesulitan berarti, Pangeran Arya Terung mengalahkan dan
mengusir Raden Pramana, yang menjadi adipati di Sengguruh.
Pangeran Arya Terung kemudian mengangkat diri menjadi adipati
Sengguruh. Para pemuka penduduk di Kadipaten Sengguruh
menerima baik kepemimpinan Arya Terung, sebab mereka
menganggap Kadipaten Sengguruh adalah bagian dari kekuasaan
Bhre Tumapel, kakek buyut Pangeran Arya Terung dari pihak ibu,
sehingga putera Raden Kusen itu dianggap lebih berhak menjadi
adipati di Sengguruh daripada Raden Pramana yang hanya
keturunan seorang patih. Dengan berkuasanya Pangeran Arya
Terung di Sengguruh, Tranggana telah memiliki satu kekuatan
pendukung di pedalaman Nusa Jawa.

Ketika perluasan masjid Demak selesai dan peresmiannya dihadiri


Majelis Wali Songo, terjadilah peristiwa langka yang sebelumnya
belum pernah terjadi: Majelis Wali Songo tiba-tiba melantik dua
orang penguasa dengan kekuasaan dan kewenangan dan gelar
berbeda. Pertama-tama, Majelis Wali Songo melantik Tranggana
sebagai sultan dengan gelar kebesaran Sultan Ahmad Abdul Arifin
Ki Mas Palembang Sayidin Panatagama. Dengan gelar itu,
Tranggana secara sah telah memiliki kekuasaan ruhani untuk
mengatur kehidupan beragama penduduk di Nusa Jawa. Itu
berarti, Tranggana telah memegang otoritas kekuasaan di bidang
agama, yakni sayidin panatagama yang merupakan pelaksana
kekuasaan Majelis Wali Songo selaku pemimpin ruhani umat
(imam al-ummah).

2216
Setelah melantik Tranggana, Majelis Wali Songo melantik
Pangeran Hunus yang telah dipilih para adipati-adipati
persekutuan adipati dengan gelar kebesaran Adipati Hunus
Sinihun Natapraja Amir al-Mukminin Senapati Jimbun Sabrang.
Dengan dikukuhkannya gelar Adipati Hunus pada Pangeran Hunus
dan gelar Ki Mas Palembang pada Tranggana, sesungguhnya
Majelis Wali Songo secara simbolik tidak saja telah memilahkan
secara tegas kekuasaan sultan dan adipati dengan wewenangnya
masing-masing, tetapi yang tak kalah penting adalah memilahkan
kedudukan garis nasab masing-masing, di mana nama Hunus
sama makna dengan Orob menunjuk bahwa pemilik nama tersebut
adalah bagian dari marga Orob, bangsawan asal Lawe,
Barunadwipa, sedang nama Ki Mas Palembang menunjuk bahwa
pemilik nama adalah keturunan sultan pertama Demak,
Panembahan Palembang. Dengan kebijakan itu, api di dalam
sekam yang selama itu membara di bawah permukaan Kesultanan
Demak untuk sementara dapat dipadamkan, karena dua orang
penguasa pengganti Sultan Abdurrahman Surya Alam sudah
memiliki kedudukan dan kewenangan sendiri-sendiri, baik
kedudukan dalam garis nasab maupun kedudukan di dalam
mengatur kekuasaan masing-masing; sultan Demak
berkedudukan di Demak dan Adipati Hunus berkedudukan di
Japara.

2217
Tiupan Badai Kematian

Sadar dirinya sudah memegang kekuasaan di


Nusa Jawa, meski hanya kekuasaan agama,
Tranggana merasakan semangatnya terbang
ke angkasa bersama ular hitam bermahkota
emas yang bersemayam di relung jiwanya.
Dari atas ketinggian hasratnya yang
melayang-layang laksana burung alap-alap itu, ia menyapukan
pandangan ke setiap sudut Kehidupan di wilayah kekuasaannya.
Saat itulah ia menyaksikan secercah cahaya harapan yang
membentang di garis cakrawala, yang menurut perhitungannya
dapat digunakan untuk membangun kekuatan baru yang akan
memperkokoh kuasa dan wibawanya sebagai sayidin panatagama
di Nusa Jawa. Secercah harapan yang disaksikannya itu adalah
keberadaan orang-orang terbawa badai, yaitu orang-orang yang
terusir dari negeri kelahiran akibat perang dan mereka hidup tanpa
harapan di rantau. Orang-orang terbawa badai itu pasti akan
memasrahkan kesetiaan mutlak kepadanya jika ia bisa
memberikan makna bagi kehidupan mereka. Sebab, mereka
dipastikan akan setia mutlak kepada siapa saja yang bisa memberi
makna dan harapan, sebagaimana kesetiaan Karna kepada
Duryudana, raja Hastina, yang mengangkatnya sebagai raja
Angga. Ya, kesetiaan mutlak Karna, anak kusir tanpa derajat dan
tanpa pangkat yang tak punya harapan, yang baru beroleh makna
hidup dan kehormatan setelah Duryudana mengangkatnya
menjadi raja.

2218
Salah satu langkah nyata Tranggana untuk membangun kekuatan
yang mengukuhnak kuasa dan wibawanya adalah ia tidak segan
mengawinkan sauradi-saudari, kemenakan, dan putera-puterinya
dengan putera-puteri adipati-adipati, guru-guru suci, kepala-kepala
marga, pemuka-pemuka penduduk berpengaruh. Setelah
menikahkan adiknya yang bernama Nyi Mas Ratu Winong dengan
Pangeran Arya Terung, Tranggana menikahkan lagi dua orang
adiknya yang lain, Nyi Mas Ratu Pembayun dan Nyi Mas Ratu
Nyawa, dengan dua orang putera Syarif Hidayatullah Susuhunan
Gunung Jati dari istri Syarifah Bahgdad, yaitu Pangeran
Jayakelana dan Pangeran Bratakelana. Syarif Hidayatullah yang
merupakan anggota Majelis Wali Songo, sekaligus menantu yang
mewakili Ratu Caruban Sri Mangana, menyatakan dukungan
kepadanya. Itu berarti,Tranggana memiliki tiga kekuatan
pendukung, yaitu Kerajaan Caruban Larang, Kerajaan Pasir, dan
Kadipaten Sengguruh. Ia juga nikahkan seorang puterinya yang
baru berusia sepuluh tahun, Nyi Mas Ratu Aria Japara, dengan
seorang nakhoda asal negeri Cina bernama Thio Bin Tang.
Dengan mengambil menantu seorang nakhoda Cina berpengaruh
maka penduduk Cina pelarian di Nusa Jawa akan menjadi
pendukungnya. Ia yakin, lewat menantunya itu, para pemukim Cina
yang terhempas badai bakal menjadi abdi-abdinya yang setia.

Selain melalui pernikahan, Tranggana menempuh langkah lain


untuk memperkuat pengaruh, yaitu mengangkat sejumlah guru
tarekat yang memiliki banyak pengikut sebagai penasihat-
penasihat utama di kesultanan. Mereka itu adalah Susuhunan
Rajeg, Syaikh Maulana Maghribi, Susuhunan Mantingan, Syaikh
Dara Putih, Susuhunan Udung, Syaikh Khwaja Zainal Akbar
2219
Badakhsi, Syaikh Najmuddin Bakharsi, dan Syaikh Abdullah
Sambar Khan. Mereka dianugerahi tanah perdikan yang luas untuk
mengembangkan ajarannya. Murid-murid terbaik para guru tarekat
diangkat menjadi nayaka kesultanan yang akan bekerjasama
dengan rekan-rekannya mengatur tata kehidupan beragama
penduduk Nusa Jawa. Mereka diangkat sebagai kali (qadhi), ketib
(khatib), penghulu, merbot, dan imamuddin yang merupakan
pejabat keagamaan di tingkat pusat sampai desa. Lalu, dengan
alasan demi tersebarluasnya dakwah Islam dan tertatanya
Kehidupan beragama di Nusa Jawa, ia mengirim nayaka-nayaka
keagamaannya ke kadipaten-kadipaten di luar Demak untuk
menjalankan tugas membantu para adipati menata Kehidupan
beragama di wilayah kekuasaan masing-masing. Melalui nayaka-
nayaka keagamaannya itu ia dapat memantau dan mengawasi
semua gerak-gerik para adipati di pesisir.

Sementara, untuk memperoleh dukungan lebih kuat dari orang-


orang terbawa badai, Tranggana menganugerahkan tanah-tanah
perdikan kepada alim ulama di antara mereka, terutama para alim
yang memiliki banyak pengikut di antara penduduk setempat.
Mereka diberi kewenangan untuk menyebarkan ajaran Islam
kepada penduduk di Nusa Jawa. Kepada mereka, Tranggana
menganugerahi gelar-gelar kebangsawanan seperti Kyayi Ageng,
Kyayi Anom, Kyayi, dan Raden. Tranggana berpikir, dengan gelar-
gelar kebangsawanan itu mereka akan menjadi abdi-abdi setianya.
Sebab, ia telah mengangkat derajat mereka dari kedudukan wong
kabur kanginan menjadi bangsawan yang dihormati.

2220
Anugerah tanah perdikan dan gelar kebangsawanan dari
Tranggana disambut gembira oleh para alim di antara orang-orang
terbawa badai itu. Namun demikian, karena yang tinggal lebih
dahulu di Demak adalah alim ulama asal Campa dan Kerala yang
sudah memiliki pengaruh cukup kuat di kalangan penduduk bumi
putera, maka merekalah yang paling beruntung dengan kebijakan
tersebut. Di antara mereka yang beruntung itu adalah alim ulama
yang kelak dikenal penduduk dengan nama terhormat: Kyayi
Ageng Kali Podang, Kyayi Ageng Kaliputu, Kyayi Ageng Germi,
Kyayi Ageng Medini, Kyayi Ageng Panawangan, Kyayi Ageng
Hujung Semi, Kyayi Ageng Tajug, Kyayi Telingsing, Kyayi Sun
Ging, Kyayi Anom Martani, Raden Ketib Anom Maranggi, dan
Raden Pengulu Terkesi.

Ketika dukungan terhadap kedudukan Tranggana sebagai sayidin


panatagama semakin kuat, terjadi langkah lanjutan untuk
memperkuat kedudukan para pendukung tersebut. Tanpa ada
yang menduga, tiba-tiba Tranggana membuat kebijakan aneh:
memberi kebebasan kepada para guru tarekat dan para alim yang
memiliki pengikut untuk membentuk satuan-satuan bersenjata
yang anggotanya berasal dari pengikut-pengikut mereka. Lebih
aneh lagi, Tranggana memberikan tugas khusus kepada pasukan
Suranata, satuan pengawalnya yang bersenjata tombak, untuk
melatih satuan-satuan bersenjata bentukan para guru tarekat dan
para alim tersebut. Para petani, perajin, tukang, pedagang kecil,
penyadap enau, dan nelayan berbondong-bondong ke kediaman
para alim panutannya untuk bergabung ke dalam satuan-satuan
bersenjata tombak yang memiliki tugas utama melindungi guru suci
dan alim ulama panutan mereka. Dalam waktu singkat, di tlatah
2221
Demak bermunculan satuan-satuan bersenjata tombak di
pesantren-pesantren, padepokan-padepokan, dan masjid-masjid.
Satuan-satuan itu secara khusus dilatih dan dikoordinasi oleh
pasukan Suranata, pengawal sultan.

Di tengah gemuruh bangkitnya satuan-satuan bersenjata itu,


Tranggana menancapkan bayangan kekuasaannya di pedalaman
Nusa Jawa dengan mengangkat Raja Pasir Prabu Banyak Belanak
sebagai panglima Demak di pedalaman dengan gelar Senapati
Mangkubhumi dan menghadiahinya seorang selir asal Kadipaten
Pati. Selir itu adalah puteri almarhum Adipati Pati Kayu Bralit yang
bersama saudara lelakinya, Raden Darmakusuma, melarikan diri
dan meminta perlindungan ke Demak. Raja Pasir ditugaskan
menjalankan dakwah Islam di pedalaman, sekaligus menggalang
kekuatan dengan adipati-adipati di pedalaman yang belum
tergabung dalam persekutuan adipati pesisir. Lalu, sebagaimana
di Demak, di Pasir pun dibentuk satuan-satuan bersenjata tombak
yang dipimpin alim ulama yang dikirim dari Demak.

Sementara, untuk memperkuat kedudukan di luar pesisir utara


Jawa, Tranggana berusaha menancapkan kuasa dan wibawanya
di ujung timur Madura di Kadipaten Sumenep. Menurut kabar,
dengan alasan yang tidak masuk akal dan terkesan dibuat-buat,
Pangeran Kanduruwan, adik tiri Tranggana, tiba-tiba mengaku
menjalankan titah Ratu Stri Maskumambang, Yang Dipertuan
Japan yang sudah tua, untuk menggempur Kadipaten Sumenep
dengan didukung pasukan dari Wirasabha dan Japan. Pangeran
Kanduruwan datang ke Sumenep untuk menghukum adipati
2222
Sumenep yang telah dianggap menolak keinginan nafsu syahwat
Ratu Japan yang sudah tua itu.

Saat itu yang menjadi adipati Sumenep adalah Aria Wanabaya,


putera Patih Sumenep, Aria Banyak Modang. Aria Wanabaya yang
anak patih itu dapat menjadi adipati karena menikahi puteri Adipati
Sumenep Aria Wigananda. Karena Aria Wigananda tidak memiliki
putera maka saat ia meninggal kedudukannya digantikan sang
menantu, Aria Wanabaya. Lalu, untuk memperkuat kekuasaannya,
Aria Wanabaya mengangkat saudara kandungnya menjadi patih
Sumenep dengan gelar: Tumenggung Tan Kondur. Kemudian
untuk mensahkan kekuasaannya, Aria Wanabaya meminta
perkenan Ratu Stri Maskumambang di Japan yang dianggap
penerus Majapahit. Namun, tindakan Aria Wanabaya itu malah
memunculkan masalah dengan Pangeran Kanduruwan, yang
merasa lebih berhak atas Kadipaten Sumenep dibanding Aria
Wanabaya, karena kakek buyutnya dari pihak ibu adalah raja
Sumenep, Kuda Panolih. Adik tiri Tranggana itu menganggap Aria
Wanabaya tidak lebih berhak menjadi adipati Sumenep dibanding
dirinya yang keturunan Kuda Panolih.

Menurut gari nasab, Raden Ali Fida’ yang termasyhur disebut


Susuhunan Padusan, putera Raden Ali Murtadho Raja Pandhita
Gresik, kakek Pangeran Kanduruwan dari pihak ibu, adalah
menantu Kuda Panolih. Raden Ali Fida’ menikahi puteri tertua
Kuda Panolih, kakak kandung Aria Wigananda. Dari pernikahan itu
lahir Nyi Malaka, ibunda Pangeran Kanduruwan, yang setelah
dinikahi Raden Patah Adipati Bintara tinggal di Randu Sanga. Nyi
2223
Malaka adalah kemenakan Aria Wiraganda. Dengan demikian,
ketika Aria Wiraganda meninggal tanpa meninggalkan keturunan
laki-laki maka Pangeran Kanduruwan merasa lebih berhak atas
takhta Sumenep dari pada anak patih. Namun, untuk
mempersingkat jalan menuju Kadipaten Sumenep, Pangeran
Kanduruwan menggunakan nama besar Ratu Japan yang masih
dipatuhi di pedalaman Jawa dan Madura. Demikianlah, Pangeran
Kanduruwan menggempur Aria Wanabaya. Adipati Sumenep itu
terbunuh di purinya (kelak dikenal penduduk dengan nama
Pangeran Sedeng Puri). Segera setelah Pangeran Kanduruwan
menjadi adipati di Sumenep, ia menyatakan dukungan kepada
kekuasaan Sultan Demak.

Setelah menangkap sasmita bahwa kilasan penglihatan batinnya


atas citra Sang Maut yang memanjangkan bayang-bayang-Nya di
langit Demak bakal mewujud dalam kenyataan, Abdul Jalil buru-
buru menyingkir dari bumi sengketa yang sudah mulai basah oleh
siraman minyak yang ditumpahkan Tranggana. Ia ingin menjauh
dari tempat yang akan terbakar oleh amukan api ambisi sultan baru
itu. Ia tidak ingin menyaksikan citra bayangan Sang Maut menebar
Kebinasaan di depan matanya, tanpa sedikit pun ia boleh
melakukan sesuatu. Ia tidak ingin menyaksikan manusia-manusia
tak bersalah melolong-lolong ketakutan, berlari kebingungan
menghindari kejaran makhluk-makhluk ganas berdarah dingin
yang membiaskan bayangan wajah Sang Maut. Ia tidak ingian
menyaksikan beratus-ratus dan bahkan beribu-ribu bangsa jin
sambil tertawa-tawa menyantap manusia-manusia tak berdaya. Ia
tidak ingin menyaksikan tangan-tangan yang menggapai-gapai ke
arahnya meminta tolong tanpa sedikit pun ia mampu memberikan
2224
pertolongan. Namun, semua keinginannya untuk menghindar dari
apa yang sudah dikemukakan Ahmad at-Tawallud itu ternyata
hancur. Saat itu tanpa sengaja ia menyasikan kilasan penglihatan
batin yang lain lagi.

Wajah Sang Maut terpampang mengerikan di balik awarn kelabu


yang bergumpal-gumpal dengan seringai wajah mengerikan. Citra
wajah Sang Maut tampak menaungi bayangan kelam-Nya yang
berkeliaran dalam wujud makhluk-makhluk bertubuh api yang
melayang-layang dan turun ke permukaan bumi merasuki jiwa
manusia. Lalu, mausia-manusia yang jiwanya sudah kerasukan
makhluk-makhluk bertubuh api itu tiba-tiba menjadi garang.
Mereka menyemburkan bara api dari mulutnya. Seiring gerakan
manusia-manusia kerasukan itu, terlihatlah gumpalan asap hitam
menyelimuti permukaan bumi yang dikobari nyala api yang
membakar hangus jiwa manusia-manusia tak berdaya.

Usai menyaksikan kilasan penglihatan batin yang mencengangkan


itu, Abdul Jalil memutuskan untuk menunda kepergiannya
meninggalkan kuta Demak. Namun, belum lagi ia beranjak jauh, ia
sudah didatangi orang-orang suruhan Gagak Cemani, yang
menyampaikan pesan bahwa saat itu terjadi peristiwa-peristiwa
janggal di Kadipaten Demak.

Di Kadipaten Demak, dalam beberapa hari belakangan muncul


kasak-kusuk yang membicarakan kebiasaan-kebiasaan penduduk
sekitar Randu Sanga dan dukuh Lemah Abang yang dianggap
2225
tidak lazim, yaitu memperbincangkan masalah agama. Entah siapa
yang memulai, tiba-tiba saja berkembang anggapan bahwa
kebiasaan itu merupakan sesuatu yang sangat tidak pantas.
Melanggar tabu. Melanggar hukum. Padahal, sejak masa Sultan
Abdurrahman Suryan Alam, kebiasaan penduduk membincang
masalah agama tidak diganggu-gugat, malah dianjurkan demi
cepatnya perkembangan agama Islam, sehingga bukan hal aneh
ketika orang melihat penduduk membincang masalah agama di
surau, tajug, bale banjar, bahkan di dangau di tengah sawah. Di
antara penduduk yang paling giat membincang masalah agama
adalah mereka yang tinggal di desa-desa yang terpengaruh ajaran
Syaikh Lemah Abang.

Namun, kebiasaan yang sudah menguat itu tiba-tiba dianggap


sebagai sesutau yang melanggar tabu dan hukum. Belakangan,
sultan yang baru, Tranggana mengubah kebijakan ayahandanya
itu. Tranggana kelihatannya sangat dipengaruhi alim ulama
Mappila asal Kerala yang menekankan taklid buta kepada
pengikutnya sehingga menganggap kebiasaan warga yang biasa
membincang masalah-masalah agama sebagai sesuatu yang
berbahaya. Tampaknya, para alim Mappila yang didewakan
pengikutnya sebagai wali Allah itu merasa terancam dengan daya
kritis warga. Selain itu, Tranggana sendiri kelihatannya tidak suka
dengan sikap kesederajatan yang ditunjukkan oleh warga pengikut
Syaikh Lemah Abang di Randu Sanga dan dukuh Lemah Abang.
Sejak terpuruk menjadi sultan yang hanya mengurusi masalah
agama, ia mendapat banyak laporan tentang perilaku penduduk di
sekitar Randu Sanga dan dukuh Lemah Abang yang tidak sekadar
membincang agama, tetapi juga masalah pemilihan sultan dan
2226
adipati-adipati. Seluruh penduduk yang tinggal di sekitar Randu
Sanga dan dukuh Lemah Abang, menurut laporan, mendukung
kepemimpinan Adipati Hunus yang naik takhta karena dipilih.
Semua laporan itu makin mengkhawatirkan Tranggana sebab
dapat menjadi anasir penentang kekuasaannya kelak. Rupanya,
pengaruh ajaran Syaikh Lemah Abang telah meracuni penduduk,
termasuk saudaraku, kata Tranggana dalam hati.

Kemarahan Tranggana makin memuncak ketika alim ulama


Mappila yang sejak tingga di negeri asalnya suka menjilat kepada
penguasa, memanas-manasinya dengan perilaku penduduk yang
sudah teracuni oleh ajaran Syaikh Lemah Abang. Mereka yang
merasa terancam oleh daya kritis penduduk Randu Sanga dan
dukuh Lemah Abang itu, dengan alasan demi kepentingan
kekuasaan dan dukungan dari alim ulama, memohon agar
Tranggana membuat keputusan untuk melarang ajaran Syaikh
Lemah Abang. Namun, Tranggana yang memahami masalah
pemerintahan tidak mengabulkan permohonan alim ulama Mappila
tersebut, dengan alasan waktu yang belum tepat dan jaringan
persaudaraan para pengikut Syaikh Lemah Abang yang sangat
luas dan kuat. Tranggana berjanji jika telah sampai waktu yang
tepat, pastilah Randu Sanga dan dukuh Lemah Abang akan
ditundukkan baik dengan siasat pendekatan kekeluargaan maupun
dengan kekerasan.

Ternyata, bukan hanya Tranggana yang dipengaruhi alim ulama


Mappila. Adipati Hunus pun dipengaruhi pula oleh mereka yang
diam-diam sudah menanamkan pengaruh kuat di kalangan
2227
penduduk pesisir lewat tradisi-tradisi yang sarat kurafat dan
takhayul. Mereka berusaha membakar semangat jihad Adipati
Hunus dengan dalil-dalil agama dan dongeng-dongeng takhayul
Kerala, dengan tujuan agar sang pemegang kekuasaan atas
angkatan perang Jawa itu mengambil tindakan tegas menggempur
bangsa “kafir” Portugis. Adipati Hunus sendiri yang sebenarnya
sudah mempersiapkan sebuah serangan ke Malaka, karena
saudagar-saudagar Japara yang berniaga di bandar tersebut
barang empat tahun lalu telah dihina oleh Sultan Malaka, seperti
api disiram minyak saja menyikapi hasutan alim ulama Mappila itu.
Tanpa berpikir panjang, ia berjanji secepatnya akan menggempur
Portugis di Malaka dan kalau berhasil akan dilanjutkan
menggempur Cochiza dan Kozhikode.

Sesungguhnya, tak berbeda dengan Tranggana, Adipati Hunus


diam-diam memperkuat kedudukannya sebagai raja Jawa untuk
mengimbangi langkah-langkah Tranggana dalam memperkuat
kekuasaan. Beberapa saat ketika ia mendengar Tranggana
menikahkan saudari-saudari iparnya dengan putera-putera Syarif
Hidayatullah Susuhunan Gunung Jati, buru-buru ia meminang
puteri Syarif Hidayatullah yang lain dari pernikahan dengan Nyi
Tepasari, ia berpikir, selain menjadi menantu seorang guru suci
yang masyhur di Caruban, ia juga menjadi cucu menantu Menak
Lampor Adipati Tepasana, sehingga kekuatan adipati-adipati di
wilayah Blambangan yang umumya masih kafir akan berpihak
kepadanya. Meski Yang Dipertuan Caruban Sri Mangana
menyatakan dukungan kepada Tranggana, dengan menikahi
puteri Syarif Hidayatullah yang juga menantu Sri Mangana,

2228
kedudukan Caruban akan berada di tengah-tengah jika sewaktu-
waktu ia terlibat perselisihan bersenjata dengan Tranggana.

Ketika di Kadipaten Pati terjadi kemelut perebutan kekuasaan


antara putera mahkota Raden Darmakusuma dan saudaranya
Raden Jatikusuma, Adipati Hunus berpihak kepada Raden
Jatikusuma yang tidak lain dan tidak bukan adalah sahabatnya. Ia
mengangkat Raden Jatikusuma sebagai adipati Pati, dengan nama
Kayu Bralit II, mengikuti nama ayahandanya. Ia tidak sekadar
mengangkat sahabatnya itu sebagai pejabat adipati, tetapi
memperkuatnya pula dengan pasukan dari Japara. Raden
Darmakusuma yang tersingkir lari ke Wirasari bersama
keluarganya dan meminta perlindungan kepada sultan Demak.
Adik perempuan Raden Darmakusuma inilah yang dihadiahkan
Tranggana sebagai selir Raja Pasir Prabu Banyak Belanak.

Sementara, melalui Raden Muhammad Yusuf Adipati Siddhayu,


yang merupakan kerabatnya dari pihak ayah, Adipati Hunus
menyampaikan pinangan kepada puteri Sultan Malaka. Sultan
yang saat itu mengungsi di Bentam menerima baik pinangannya.
Sultan Malaka sangat berharap Yang Dipertuan Japara dapat
mengambil tindakan tegas terhadap Portugis di Malaka.
Demikianlah, dengan bergabungnya semua kekuatan yang bakal
mendukungnya – persekutuan adipati ditambah Tepasana, Pati,
Malaka, dan Lawe – Adipati Hunus merasa kebesaran Majapahit
di masa lampau akan dapat ditegakkan kembali sehingga ia akan
menjadi raja agung yang paling besar di zamannya.

2229
Besarnya kekuasaan yang diterima Adipati Hunus yang masih
sangat muda usia itu ternyata telah mendorong sikap gegabah dan
cepat bangga dirinya. Dukungan dari kerabat dan sahabat-sahabat
membuatnya besar kepala. Hari-hari dari kesibukannya
memperkuat armada tempur nyaris tak pernah sepi dari puja dan
puji tentang kehebatan pasukannya yang paling perkasa di dunia.
Ia bangga dengan kapalnya yang dilengkapi meriam-meriam besar
yang diikat di geladak kapal, tanpa peduli dengan laporan-laporan
tentang bentuk kapal-kapal Portugis yang selalu unggul dalam
pertempuran laut. Hari-hari dilewatinya dengan semangat
bertempur yang menyala-nyala. Semangat tempurnya makin
menyala dan berkobar-kobar ketika seorang Portugis muslim
bernama Khwaja Zainal Abidin, yang sangat ahli dalam membuat
dan mengoperasikan meriam, yang bekerja di galangan kapal
Demak, diperbantukan Tranggana kepadanya untuk membantu
perbaikan mutu pengecoran meriam di Japara. Meski awalnya ia
curiga dan khawatir dengan orang kiriman Tranggana itu, pada
akhirnya ia malah sangat mempercayainya. Bahkan, Khwaja
Zainal Abidin yang memiliki nama asli Francisco Barbosa diangkat
sebagai penasihat utamanya. Atas nasihat Khwaja, ia
memerintahkan kapal-kapal perang Japara yang akan
menggempur Malaka dilapisi bahan besi.

Di tengah kesibukan Pangeran Hunus mempersiapkan kekuatan


untuk menggempur Malaka dan maraknya kasak-kusuk yang
memasalahkan kebiasaan penduduk membincang agama,
Tranggana tanpa alasan jelas mendadak memerintahkan para
nayaka keagamaannya untuk menertibkan penduduk di kuta
Demak yang mengajar agama maupun yang memperbincangkan
2230
masalah-masalah agama tanpa wewenang. Lalu, penangkapan-
penangkapan pun dilakukan terhadap penduduk yang dianggap
bersalah karena mengajarkan agama tanpa izin dari nayaka
keagamaan yang ditunjuk sultan. Penangkapan juga dilakukan
terhadap penduduk yang kedapatan memperbincangkan masalah
agama tanpa melibatkan alim ulama yang ditunjuk sultan. Mereka
yang ditangkap itu ada yang dikurung, dicambuk, diusir dari
kampung, bahkan beberapa orang di antaranya tak pernah kembali
ke desanya.

Ketika armada gabungan Japara, Demak, Pati, Tuban, Samarang,


Siddhayu, Rembang, Tetegal, Kendal, dan Tedunan bergerak dan
beriringan dari pelabuhan Japara ke barat dengan tujuan utama
Malaka, di tengah hingar-bingar penduduk yang mengelu-elukan
kegagahan dan kehebatan para pahlawan yang akan
menghancurkan kaum kafir, Abdul Jalil yang terpusar aliran
manusia di sepanjang pantai tiba-tiba menyaksikan lagi citra
bayangan wajah Sang Maut menaungi langit Demak. Ia
menangkap sasmita, bayangan wajah Sang Maut yang mengintai
di balik gumpalan awan itu tidak lama lagi akan turun ke
permukaan bumi, laksana kilatan halilintar yang menyambar-
nyambar dalam wujud badai Kematian yang mengerikan.

Penglihatan batin yang berulang-ulang ditangkap Abdul Jalil,


ternyata mewujud dalam kenyataan dua tiga hari setelah
keberangkatan armada gabungan tersebut. Ketika semua ksatria,
pahlawan, pendekar, dan prajurit yang berada di atas kapal-kapal
itu sedang dibakar semangat tempur untuk menghalau orang-
2231
orang Peranggi (Portugis) dari Malaka, di tengah warga yang
masih membincang keperkasaan kapal-kapal raksasa yang dilapisi
besi dan dilengkapi meriam-meriam besar, di saat semua orang
memuji keagungan dan kebesaran Adipati Hunus Sinuhun
Natapraja Amir al-Mukminin Senapati Jimbun Sabrang, penduduk
kuta Demak justru melihat iring-iringan barisan orang berjubah
putih mengibarkan panji-panji putih dan bersenjata tombak
bergerak keluar dari kuta Demak. Lalu, seperti kawanan hewan
buas haus darah yang kelaparan, iring-iringan demi iring-iringan
barisan putih itu menyebar dan berkeliaran menuju desa-desa di
tlatah Demak, terutama desa-desa yang terletak tidak jauh dari
Randu Sanga, kediaman Pangeran Panggung.

Ketika sampai di ujung desa-desa yang dituju, alim ulama yang


memimpin iring-iringan pasukan bertombak itu menghentikan
langkah tepat di jalan utama desa. Kemudian, dengan suara
lantang mereka berteriak keras menyitir ayat-ayat al-Qur’an,
“Sesungguhnya, agama yang diridhoi di sisi Allah adalah Islam
(QS. Ali Imran: 19). Barangsiapa mencari agama selain Islam,
sekali-kali tidak akan diterima daripadanya (QS. Ali Imran: 85).
Sebab itu, orang-orang yang mengaku beragama Islam tetapi
masih mencari-cari tafsiran lain sehingga menjadikan Islam bukan
Islam, akan sia-sialah usahanya itu. Orang muslim semacam itu
sesungguhnya telah murtad karena membuat agama baru. Dan,
tidak ada hukuman paling tepat dari orang-orang yang murtad
kecuali Kematian.”

2232
Seiring berakhirnya suara sang alim, terdengar suara gemuruh
orang-orang meneriakkan takbir, mengagungkan kebesaran Allah,
sambil mengacung-acungkan tombak. Disertai pekikan perang
sahut-menyahut, iring-iringan barisan seba putih itu bergerak cepat
dahulu-mendahului memasuki desa. Suara derap langkah dan
pekikan yang membelah ketenangan mengejutkan penduduk.
Semua mata diarahkan pada suara gemuruh. Semua mata pun
membelalak ketika menyaksikan peristiwa tak tersangka-sangka
yang sebelumnya tidak pernah mereka bayangkan: tombak-
tombak menghambur, mata-mata terbelalak, pedang-pedang
berkelebat, mulut-mulut terngaga, tangan-tangan menggapai ke
atas, leher-leher tersembelih, darah semburat ke mana-mana,
dada-dada berlubang, kepala-kepala bergelindingan, serta tubuh-
tubuh bertumbangan di atas bumi di tengah jerit Kematian dan
lolongan ketakutan. Para alim dengan satuan-satuan bersenjata
tombak, abdi setia Sultan Tranggana, sedang menjalankan tugas
suci melakukan penertiban terhadap penduduk yang telah
menyelewengkan agama, menghina alim ulama, membangun
agama baru, murtad dari agama. Demikian kabar yang tersebar
dari mulut ke mulut yang seketika menyulut rasa takut setiap orang.

Rupanya, setelah merasa waktu yang ditunggunya tiba,


Tranggana, dengan tindakan yang sangat tidak terduga,
menjulurkan tangan kekuasaannya untuk memperkukuh kuasa
dan wibawanya sebagai sayidin panatagama. Para pemuka agama
yang mengajar agama tanpa izin dan penduduk yang suka
membincang masalah agama tanpa melibatkan alim ulama
didatangi oleh satuan-satuan bersenjata tombak yang dipimpin
alim ulama utusan sultan. Mula-mula para alim itu berusaha
2233
menggiring mereka untuk mengiblatkan kesetiaan hanya kepada
sultan Demak. Para pemuka agama yang menerima akan
diberikan izin mengajar dan diangkat menjadi abdi setia sultan dan
beroleh hadiah-hadiah. Sementara, mereka yang menolak atau
mereka yang dinilai masih menduakan kesetiaan kepada selain
sultan dikenai tuduhan-tuduhan berat, seperti mengajarkan agama
tanpa izin, menyelewengkan agama, mengikuti paham sesat,
memberikan pelajaran agama yang berbahaya kepada umat,
berseberangan dengan paham dan madzhab resmi yang dianut
sultan, bahkan murtad. Para pemuka agama yang tidak menduga
bakal diserang oleh orang-orang bersenjata itu tidak memiliki
pilihan lain kecuali pasrah dan menerima kematian. Bagi yang
sempat menyelamatkan diri, mereka menyelinap pergi
meninggalkan rumah dan keluarga.

Di tengah tiupan badai Kebinasaan yang diembuskan Tranggana


yang menyambar-nyambar ganas itu, Abdul Jalil berdiri tegak
bagai tugu batu dengan rasa malu menguasai seluruh jiwanya. Ia
benar-benar malu menyaksikan kekejaman dan kebrutalan kaki
tangan Tranggana yang mengatasnamakan agama untuk
melampiaskan desakan nafsu rendah kekuasaan duniawi. Ia malu
dengan orang-orang yang menyandang gelar alim ulama dan
bahkan guru suci, tetapi tugas utamanya merangkak di depan
penguasa duniawi dan menjalankan semua tugas yang dititahkan
sang penguasa kepada mereka. Ia sungguh merasakan
bagaimana rasa malu itu menjalar di jiwanya dan perlahan-lahan
naik dari telapak kaki menerobos ke ubun-ubun. Ia malu sungguh
malu ketika menyaksikan tubuh-tubuh manusia tak bernyawa
bertumbangan ke atas tanah di tengah tawa kegirangan orang-
2234
orang yang mengaku prajurit-prajurit Allah (jundullah), pengawal
agama. Saat itu ia benar-benar ingin memalingkan muka dan
menjauhi pemandangan terkutuk itu. Namun, ia segera sadar
bahwa apa yang disaksikannya itu adalah bagian dari perjalanan
dirinya menjadi “yang sendiri”, sehingga ia tidak dapat berbuat
sesuatu kecuali membiarkannya begitu saja sebagai sesuatu yang
sudah dikehendaki-Nya. Bahkan ia hanya memejamkan mata dan
menahan napas ketika mendapat kabar bahwa Pangeran
Panggung, saudara sultan yang juga muridnya, dinyatakan buron
dan desa Randu Sanga diratakan dengan tanah, seluruh
penghuninya diusir keluar dari wilayah Kadipaten Demak.

Abdul Jalil sadar, derajat ruhani “yang sendiri” yang sudah


diperolehnya dengan perlambang nawalah dari Misykat al-
Marhum, pada hakikatnya bukanlah suatu kedudukan yang utuh
dan sempurna sebagai penanda kedudukannya. Citra al-fard yang
disandangnya bukan sesuatu yang “sudah jadi” sebagaimana
pangkat dan jabatan yang diperoleh seorang punggawa dari
rajanyae ia bukan buah yang sudah matang dan tinggal dipetik di
pohonnya. Ia bukan pula seperti pengantin yang menggambarkan
persatuan dua orang mempelai di pelaminan. Ia bahkan bukan
suatu kedudukan (maqam), keadaan (hal), tingkatan (makanah),
atau derajat (martabat) yang bisa disebut “sudah mapan” secara
utuh dan sempurna. Sebaliknya, kedudukan ruhani “yang sendiri”
yang disandangnya hendaknya dipahami sebagai suatu proses
“untuk menjadi”. Itu berarti, ia yang sudah ditempatkan pada
kedudukan ruhani “yang sendiri” dengan pertanda nawalah
bukanlah seseorang yang sudah menjadi “yang sendiri” dalam
makna utuh, melainkan ia adalah seseorang yang sedang berada
2235
pada kedudukan “akan menjadi” atau “untuk menjadi” atau “bakal
menjadi” seseorang yang menduduki derajat ruhani “yang sendiri”.

Abdul Jalil sadar, menjadi “yang sendiri” tidak berarti harus hidup
mengucilkan diri meninggalkan Kehidupan duniawi dengan
menjadi pertapa yang mengasingkan diri di gua-gua atau hutan-
hutan. Sebaliknya, menjadi “yang sendiri” harus dimaknai sebagai
proses pelepasan dari segala sesuatu yang melekat, terikat,
terhubung, terjalin, atau memiliki kaitan dengan keberadaan “aku”
yang sedang mengalami proses menjadi “yang sendiri”. Lantaran
itu, ia merasa dituntut oleh suatu keharusan untuk menyiapkan diri
menjadi “aku” yang “tunggal”, “aku” yang “terkucil”, “aku” yang tidak
memiliki keterkaitan apa pun dengan segala citra kemanusiaan. Ia
sadar sesadar-sadarnya bahwa keakuannya sedang mengalami
“proses menjadi” sesuatu yang benar-benar tunggal, sebatang
kara, mufrad, tiada duanya, esa yang unik; sebuah ketunggalan
yang mencerminkan citra Keberadaan Yang Tunggal Tak
Terbandingkan (al-Fard).

Sadar bahwa sebagai seseorang yang sedang mengalami proses


menjadi “yang sendiri” akan melampaui proses pelepasan-
pelepasan segala citra diri yang masih menempel pada dirinya,
Abdul Jalil pun dalam menjalani proses tersebut membiarkan
semuanya terjadi sesuai kehendak-Nya. Ia membiarkan
keakuannya ditinggalkan, dilepaskan, dijauhkan, dibersihkan, dan
disucikan dari segala sesuatu yang bersifat “tempelan” sementara,
seperti nama besar, kedudukan dan derajat ruhani, karya, jasa,
amaliah, dan segala sesuatu yang menyangkut citra diri
2236
kemanusiaan kecuali Yang Tunggal Tak Terbandingkan. Ia sadar,
rentang waktu yang harus ia lampaui untuk menjadi “yang sendiri”
adalah rentang waktu yang sangat panjang dan tidak diketahui
kapan berak hirnya. Ia sadar, selama itu pula ia akan merasakan
waktu berjalan sangat lambat dengan kehilangan demi kehilangan
citra dirinya, sampai semua yang “menempel” pada keakuannya
habis tak tersisa.

2237
Wejangan Terakhir

Di tengah gemuruh suara Sang Maut mengisap


napas-Nya di permukaan bumi Demak, bertiup
angin dari barat yang membawa kabar sangat
mengejutkan: gabungan armada Jawa yanga
menyerang Malaka mengalami kekalahan
telak. Dari 90 kapal yang berangkat, hanya
sepuluh kapal perang jenis jung yang berlapis
besi dan sepuluh kapal perbekalan yang kembali. Beribu-ribu
prajurit asal Samarang, Tetegal, Tedunan, Rembang, Tuban,
Siddhayu, Demak, Japara, Kendal, dan Pati tenggelam bersama
kapal yang mereka tumpangi ke dasar laut.

Ketika semua dada terasa sesak dan semua mata meneteskan air
mata kepedihan akibat peristiwa memalukan itu, terjadi peristiwa
yang membuat semua mata terpejam dan semua hati tergetar.
Satuan-satuan bersenjata yang dipimpin alim ulama Demak, yang
dengan ganas telah menertibkan Kehidupan beragama di setiap
sudut Kadipaten Demak, tiba-tiba mengarahkan pandangan ke
kadipaten lain: Samarang, Japara, Tetegal, Kendal, Rembang,
Siddhayu, dan Tedunan. Lalu, dengan gerakan sangat
menakjubkan laksana kawanan hewan buas keluar sarang,
mereka beriringan dengan suara gemuruh menerjang desa-desa
yang terletak di sekitar Lemah Abang sambil meneriakkan takbir.
Para alim dan pasukan tombaknya itu rupanya mendapat perintah
untuk menyerang desa-desa di sekitar dukuh-dukuh Lemah Abang
dengan tuduhan-tuduhan tanpa dasar. Sebagaimana peristiwa
2238
mengerikan yang telah terjadi di Demak, dengan alasan
menertibkan agama Islam yang telah disimpangkan penduduk,
satuan-satuan bersenjata tombak pimpinan alim ulama itu
melakukan perburuan dan penjagalan terhadap siapa saja di
antara manusia yang dituduh mengajarkan agama tanpa izin,
menyelewengkan agama, menyebarkan ajaran sesat, atau murtad
dari agama Islam.

Warga di kadipaten-kadipaten yang kebanyakan hanya


mendengar kabar burung tentang kekejaman satuan-satuan
bersenjata itu, dengan terheran-heran menyaksikan sendiri
bagaimana tindakan ganas dan brutal manusia-manusia tak
berjiwa yang menyebut diri barisan alim ulama pengawal agama
Islam itu. Mereka saling pandang dan saling bertanya dengan
keheranan.

Bagaimana mungkin alim ulama yang merupakan tokoh agama


bisa memiliki pasukan bersenjata dan menggunakannya untuk
menekan, menakuti, mengancam, dan bahkan membunuh orang-
orang yang tidak sepaham? Bukankah sejak zaman purwakala
belum pernah ada agamawan yang memiliki pasukan? Bagaimana
mungkin orang-orang yang mengaku pengawal agama Islam yang
suci memiliki kebiasaan meminum dan menjilati darah orang-orang
yang dibunuhnya? Bagaimana mungkin orang-orang yang
mengaku beriman gemar merusak mayat, memotongi telinga dan
alat kemaluan orang-orang yang dibunuh sebagai kesenangan?
Bagaimana mungkin sebuah agama ditertibkan lewat tekanan,
ancaman, teror, dan pembunuhan? Bagaimana mungkin citra
2239
sebuah agama yang damai yang menjanjikan keselamatan justru
menimbulkan ketakutan dan kepanikan, karena orang-orang yang
mengaku pengawal agama tersebut dengan keberingasan dan
kebengisan tak terbayangkan menciptakan ladang mayat dan
sungai darah?

Bagi sebagian besar penduduk yang keluarga, kerabat, tetangga,


kawan, atau kenalannya menjadi korban keganasan satuan-satuan
bersenjata pimpinan alim ulama Demak itu, mereka tidak bisa
memahami peristiwa biadab itu sebagai sesuatu yang bisa
dibenarkan oleh nurani. Mereka seumumnya menganggap
peristiwa itu sebagai sesuatu yang sangat membingungkan.
Sebab, citra Islam yang selama itu mereka pahami sebagai
penyempurnaan ajaran Syiwa-Buda ternyata sangat berbeda
dengan citra Islam yang dipahami alim ulama yang memiliki
satuan-satuan bersenjata, baik dalam amaliah ibadah maupun
istilah-istilah keagamaan sehari-hari. Mereka yang sehari-hari
biasa menggunakan istilah-istilah sembahyang, puasa, swarga,
neraka, langgar, tajug, Hyang Manon, Kangjeng, Nabi, pandhita,
susuhunan, wiku, kiai, ki, dukuh, destar, aksamala, bebet, dan
dodot cukup kebingungan dengan istilah-istilah yang digunakan
anggota-anggota satuan bersenjata dan alim ulamanya seperti
shalat, shaum, firdaus, jahannam, mushala, masjid, Allah
Subhanahu wa Ta’ala, Muhammad Saw, alim ulama, syaikh,
habaib, khwajah, tasbih, ghamis, surban, sarung, kopiah.

Istilah-istilah itu makin membingungkan ketika orang menyaksikan


keganasan anggota satuan-satuan bersenjata tombak yang
2240
memaklumkan diri sebagai pengawal Islam agama Keselamatan.
Mereka heran dengan kepongahan orang-orang bersenjata yang
mengaku-aku bahwa Tuhan yang paling Benar adalah Tuhannya,
sedang tuhan orang lain adalah tuhan-tuhanan alias tuan palsu.
Mereka heran dan menganggap pengakuan sepihak itu sebagai
sesuatu yang tidak masuk akal. Bagaimana mungkin agama Islam
yang menjanjikan keselamatan, di tangan para pengaku-aku itu
justru menjadikan banyak manusia tidak selamat? Bagaimana
mungkin agama Islam yang digembar-gemborkan sebagai agama
kedamaian justru menimbulkan kekisruhan? Bagaimana mungkin
Kebenaran Ilahi dan keimanan orang seorang dalam mengenal
Tuhan diukur dengan bilah tombak? Betapa mengherankan, tanpa
alasan yang jelas sejumlah pemuka agama Islam di berbagai desa
disembelih begitu saja karena dituduh murtad.

Tindak kekerasan yang dilakukan alim ulama asing dengan


satuan-satuan bersenjatanya itu memunculkan kesan miring bagi
penduduk pedalaman Jawa dalam memaknai Islam. Bagian
terbesar penduduk yang semula memahami Islam sebagai ajaran
penyempurna Syiwa-Buda, yaitu ajaran yang damai penuh
toleransi dan pembawa keselamatan sebagaimana telah
disampaikan para guru suci terdahulu, terutama ajaran Syaikh Siti
Jenar dan pengikut-pengikutnya, ternyata mendapati wajah dan
jiwa yang berbeda dengan agama Islam yang dianut alim ulama
bersenjata asal Demak. Islam yang mereka saksikan datang
bersama para alim itu adalah citra sebuah agama yang ganas tak
kenal ampun dan berlumur darah. Islam yang mereka saksikan
datang dari Demak sama menjijikkannya dengan ajaran Bhairawa-
Tantra yang dianut bhairawa-bhairawi peminum darah. Muara dan
2241
ketidakpahaman penduduk atas citra Islam yang dibawa alim
ulama Demak dan satuan-satuan bersenjatanya itu adalah tumbuh
suburnya sikap antipati terhadap sesuatu yang bersifat asing yang
dibayangkan akan menjajah dan membahayakan keberadaan
penduduk bumiputera. Dan entah bagaimana awalnya, tiba-tiba
istilah-istilah agama Jawa dan agama Arab mulai digunakan orang
untuk membedakan wajah agama yang dianut penduduk asli dan
agama yang dianut warga asing.

Abdul Jalil yang menyaksikan adegan demi adegan kekerasan aitu


dengan perasaan malu tak terlukiskan tidak dapat berbuat sesuatu
kecuali diam, laksana sebongkah batu di sungai dangkal berair
jernih. Ia benar-benar sebongkah batu yang menyaksikan semua
tindakan alim ulama yang bertopeng agama, tapi melumuri
tangannya dengan darah manusia. Ia menyaksikan semua gerak-
gerik alim ulama yang melakukan kejahatan atas titah seorang
penguasa duniawi. Ia menyaksikan semua tindaka alim ulama
yang melakukan pembunuhan demi imbalan sepetak tanah
perdikan dan hadiah-hadiah dari sultan. Ia tidak bisa berbuat apa-
apa selain diam. Diam. Seribu kali diam. Namun, di tengah
kecamuk perasaannya yang teraduk-aduk dalam diam itu, ia sadar
betapa citra dirinya sebagai salah seorang pendakwah ajaran
Kebenaran Islam sesungguhnya telah hilang bersama terbangnya
nyawa-nyawa kaum muslimin yang menjalankan Islam menurut
ajaran yang didakwahkannya. Ia yang dulu telah mendakwahkan
bahwa Islam adalah penyempurna ajaran Syiwa-Buda, ternyata
tidak berbuat sesuatu ketika apa yang didakwahkannya itu
dihancurbinasakan oleh orang-orang terbawa badai yang terbuang
dari negerinya dan mencari kemapanan hidup di negeri orang. Ia
2242
tidak melakukan apa pun – bahkan sekedar mengingatkan lewat
lisan – untuk mencegah kekeliruan tindakan yang dilakukan para
alim beserta pasukan tombaknya. Ia merasa semua yang telah
dirintisnya telah sirna tersapu prahara bersama lenyapnya citra
dirinya sebagai juru dakwah. Ia merasa benar-benar telah menjadi
sebongkah batu.

Ketika ia meresapi keterkaitan makna antara peristiwa memalukan


itu dan keterlepasan-keterlepasan citra diri yang dialaminya,
hingga membuat keberadaan dirinya tak lebih dari sebongkah
batu, terjadilah sesuatu yang selama ini sudah ditunggu-tunggunya
sebagai bagian dari keterlepasan yang sangat berat.

Badai Kebinasaan yang diembuskan Sang Maut telah berpusar-


pusar melanda permukaan bumi dan perlahan-lahan mulai
mendekati caturbhasa mandala dan lemah larangan yang telah
ditegakkannya selama berpuluh tahun dengan taruhan nyawa.
Seperti sedang menyaksikan sebuah pertunjukan sandiwara, ia
menyaksikan bagaimana para pemuka agama di desa-desa yang
berhasil meloloskan diri dari serangan satuan-satuan bersenjata
asal Demak beriringan mencari perlindungan ke dukuh Lemah
Abang, Lemah Ireng, Lemah Putih, dan Kajenar. Lantaran dukuh
Lemah Abang jumlahnya lebih banyak dibanding Lemah Ireng,
Lemah Putih, dan Kajenar, maka mereka hampir semuanya
bersembunyi dan meminta perlindungan ke Lemah Abang.

2243
Abdul Jalil sadar, cepat atau lambat ia bakal menyaksikan
kehancuran dukuh-dukuh yang mengabadikan karya besarnya itu.
Untuk itu, ia berusaha melepaskan segala keterkaitan dirinya
dengan tempat-tempat bersejarah itu. Ia ingin melupakan semua
kenangan yang menghubungkan dirinya dengan dukuh-dukuh
yang ditinggali murid-muridnya itu. Namun, hal itu tentu saja tidak
mudah. Sebab, rangkaian kenangan yang menandai jejak
langkahnya di dukuh-dukuh itu telah menjadi taman indah Tauhid
yang menebarkan wangi bunga-bunga Kebenaran. Menghapus
rangkaian kenangan yang telah mewujud menjadi keindahan akan
menimbulkan rasa kehilangan yang menyesakkan dada. Itu
sebabnya, pada saat ia menyaksikan para alim dengan satuan-
satuan bersenjatanya yang memburu orang-orang yang mereka
tuduh ahli bid’ah dan penyeleweng agama mendekat ke dukuh-
dukuh Lemah Abang, tanpa ia sadari tiba-tiba ia sudah bergerak
dan tahu-tahu sudah berada di dukuh Lemah Abang yang terletak
di Kadipaten Samarang. Hiruk pun pecah ketika Ki Wujil Kunting,
pemimpin dukuh dan pengikut-pengikutnya mengetahui
kedatangan Abdul Jalil. Beramai-ramai mereka mengerumuninya.
Menyaksikan wajah pengikut-pengikutnya yang diliputi ketegangan
itu, ia merasa trenyuh. Lalu, dengan penuh kasih ia berkata kepada
mereka dengan suara lain yang terdengar aneh.

“Sebagaimana perilaku alam yang terus berulang bersama putaran


waktu, begitulah waktu senja dari hidupku telah datang menjemput.
Dia akan mengajakku terbang ke langit hampa yang luas tanpa
batas. Melayang-layang sendiri memaknai kesendirian di tengah
liputan Yang Mahasendiri. Aku akan kembali bersama waktu
senjaku menikmati ketenag-damaian di mahligai keabadian-Nya
2244
yana azali. Bersama waktu senjaku, hendaknya diketahui oleh
semua manusia yang memiliki keterkaitan denganku, bahwa aku
yang disebut manusia dengan berbagai nama; San Ali, Syaikh
Datuk Abdul Jalil, Syaikh Lemah Abang, Syaikh Jabarantas,
Syaikh Siti Jenar, Syaikh Sitibrit, dan Susuhunan Binang adalah
manusia biasa yang lahir ke dunia dalam keadaan telanjang tidak
membawa apa-apa. Lantaran itu, aku kembali pun dalam keadaan
telanjang tidak membawa apa-apa. Aku datang dari Allah dan akan
kebali kepada-Nya. Inna li Alahi wa inna ilaihi raji’un.”

“Buka telinga indriawimu dan buka pula telinga batinmu untuk


mengingat-ingat pesanku yang terakhir. Aku yang lahir telanjang
dan bakal kembali kepada Sang Pencipta dalam keadaan
telanjang tidak akan pernah meninggalkan sesuatu yang bersifat
kebendaan yang bisa engkau kaitkan denganku. Aku tidak
meninggalkan warisan apa-apa dalam bentuk benda-benda
duniawi; rumah, harta benda, kitab, pusaka, murid, keluarga,
dukuh, atau apa pun. Yang aku wariskan kepada manusia
hanyalah ajaran rahasia berupa awrad yang tidak boleh ditulis atau
disimpan di dalam sesuatu yang bisa dibendakan. Lantaran itu, jika
di suatu masa ada manusia mengaku-aku pengikutku dengan
menunjukkan bukti ini dan itu berupa benda atau bukti-bukti
pengakuan nasab, sesungguhnya dia itu pendusta yang bakal
menyesatkan banyak orang.”

“Jika ada yang bertanya tentang makna apa di balik awrad yang
aku wariskan. Aku katakan, ia ibarat sebutir biji nangka, yang aku
tinggalkan sebagai satu-satunya warisan. Seperti biji nangka yang
2245
memuat hakikat batang, dahan, ranting, daun, bunga, akar, dan
buah yang akan tumbuh dengan baik di tanah subur yang terawat,
begitulah awrad rahasia itu jika kalian tanam di jiwa yang baik dan
dirawat dengan baik akan tumbuh menjadi pohon ruhani
Kemanusiaan Sempurna. Buah dari pohon ruhani Kemanusiaan
Sempurna itu bisa kalian bagi-bagi kepada siapa pun yang
membutuhkan. Tetapi, biji dari buah nangka itu akan tumbuh lagi
jika ditanam di tanah yang sesuai. Dengan demikian, selama kalian
setia memelihara dan mewariskan awrad yang aku tinggalkan
maka saat itu pula kalian telah mewarisi warisanku. Inilah pesan-
pesanku terakhir yang hendaknya kalian pusakakan: jadikan awrad
rahasia dariku itu sebagai satu-satunya warisan dariku untuk
wahana kembali menuju Sang Pencipta. Jadikanlah ia wahana
menuju inna li Allahi wa inna ilaihi raji’un !”

“Pesanku yang hendaknya kalian ingat-ingat adalah yang terkait


dengan keberadaan jasad dan tubuhku. Maksudnya, jika satu saat
nanti kalian mendapati tubuh jasadku terbujur tanpa nyawa karena
ruhku telah kembali kepada-Nya, hendaknya kalian kuburkan
jenasahku tanpa tanda apa pun yang bersifat bendawi. Jangan
biarkan siapa pun di antara manusia yang mengetahui jika itu
kuburanku. Jangan buat manusia datang menziarahiku. Sebab,
aku tidak ingin menjadi hijab setitik noktah pun bagi manusia dalam
berhubungan dengan Penciptanya. Biarkan aku terkubur sebagai
tanah yang diinjak-injak manusia. Biarkan jasad tubuh anak Adam
a.s. ini kembali menjadi tanah.”

2246
Para pengikut yang tak kuasa menahan haru mendengar wejangan
guru ruhani yang mereka cintai serentak menjatuhkan diri dan
merangkul kaki Abdul Jalil sambil mencucurkan air mata. Ki Wujil
Kunting yang terlihat tegar pun tak kuasa menahan haru. Dengan
napas tersengal menahan tangis, dia bersimpuh dan bertanya.
“Jika Kangjeng Syaikh kembali kepada-Nya tanpa meninggalkan
bekas bendawi, bagaimana kami dapat mengingat paduka yang
telah menyalakan api kesadaran di jiwa kami tentang Tauhid?
Bagaimana kami dapat melepaskan kerinduan kami kepada
Kangjeng Syaikh?”

Abdul Jalil tertawa. Kemudian, dengan suara digetari kepahitan ia


berkata, “Bukankah sudah aku katakan bahwa aku tidak ingin
menjadi hijab bagi manusia dalam memuja Penciptanya?
Bukankah sudah aku katakan bahwa aku hanya meninggalkan
awrad rahasia yang tak boleh ditulis? Apakah itu kurang cukup?
Apakah kalian masih belum paham juga dengan maksudku?”

“Kami paham maksud paduka Syaikh. Tapi, kami hanya manusia


biasa yang memiliki kerinduan pada rupa dan rasa. Sedang kami
paham bahwa Sang Wujud tidak bisa dirupakan dan dirasakan
kecuali melalui wahana ciptaan-Nya yang maujud. Jadi,
bagaimana cara kami melampiaskan kerinduan jiwa kami kepada-
Nya tanpa melalui ciptaan-Nya yang kami kenal seperti Kangjeng
Syaikh?”

2247
Abdul Jalil diam. Ia tidak memberikan jawaban. Ia paham, terlalu
banyak hal yang tidak dapat dijelaskan kepada pengikut-
pengikutnya. Namun, ia sadar bahwa semua itu adalah kehendak
Allah semata. Lantaran itu, ia memasrahkan semua urusan yang
terkait dengan pengikut-pengikunya itu kepada-Nya. Beberapa
jenak kemudian, ia pun berkata dengan suara tegar diliputi getar-
getar keanehan.

“Jika kalian membaca Kitab Suci Al-Qur’an dan memahami Sabda


Suci Ilahi di kitab tersebut sebagai rangkaian huruf Arab dengan
makna-makna yang terkandung di dalamnya, maka ia akan
menjadi seperti pemahaman kalian. Ia akan menjadi Sabda Suci
Ilahi yang dilafazkan mulut manusia. Ia hanya akan menjadi
rangkaian huruf-huruf bermakna. Ia akan menjadi Kalam al-
Lafzhiyyah. Tetapi, jika kalian memahami Sabda Suci Ilahi itu
sebagai Firman Ilahi yang pernah terucap lewat lisan Muhammad
Saw. Maka Ia akan menjadi seperti pemahaman kalian. Ia akan
menjadi Sabda Ilahi yang terucap lewat lisan Yang Terpuji Saw.. Ia
akan menjadi Kalam an-Nafsiyyah. Dan, jika kalian memahami
bahwa Yang Terpuji Saw. adalah pancaran dari Cahaya Yang
Terpuji (Nur Muhammad), maka Sabda Suci Ilahi pun akan kalian
pahami sebagai sabda-Nya. Ia akan menjadi Kalam Ilahiyyah.”

“Demikian pula dengan awrad rahasia yang telah aku tinggalkan


kepada kalian sebagai warisan satu-satunya itu. Jika kalian
mengamalkan awrad rahasia dengan pemahaman bahwa aku pun
telah mengamalkannya maka kalian akan merasakan kehadiranku
di situ. Sebab, seibarat biji nangka yang tumbuh di “tanah”
2248
bernama Abdul Jalil, demikianlah biji nangka itu akan tumbuh di
jiwa mereka yang mengamalkannya. Jika kalian lewat awrad itu
dapat merasakan kehadiranku maka satu saat kelak kalian akan
merasakan kehadiran hadrath Abu Bakar ash-Shiddiq, yang
mewariskan awrad rahasia itu kepadaku. Dan ujungnya, kalian
akan merasakan kehadiran Dia yang mewariskan awrad rahasia
itu kepada hadrath Abu Bakar ash-Shiddiq. Itu berarti, muara dari
kerinduan kalian kepada aku adalah Yang Terpuji (Ahmad) yang
merupakan pengejawantahan Yang Maha Terpuji (al-Hamid).”

“Dengan penjelasanku ini, hendaknya kalian sadar bahwa muara


dari segala sesuatu yang terkait denganku adalah Dia, Yang
Mahamutlak. Jika kalian menemukan manusia mengaku-aku
sebagai pelanjut ajaranku tetapi muara daari pengakuannya itu
terarah kepada dirinya pribadi, maka aku katakan bahwa dia
adalah pendusta yang bakal menyesatkan manusia. Mulai
sekarang ini hendaknya kalian ketahui bahwa siapa pun di antara
manusia yang mengaku sebagai pengikut Syaikh Siti Jenar, Syaikh
Lemah Abang, Syaikh Jabarantas, Syaikh Sitibrit, atau Susuhunan
Binang, sesungguhnya gelar-gelar masyhur dari manusia bernama
Abdul Jalil itu adalah tempelan sesaat yang menyelebungi makna
terdalam dari jati diriku. Maksudnya, hendaknya kalian ketahui
bahwa aku yang kalian ikuti sejatinya adalah pengikut Muhammad
Saw., citra Kemuliaan dari Yang Maha Terpuji. Itu berarti,
pengamal ajaranku yang paham dengan apa yang telah aku
ajarkan tidak akan pernah membawa-bawa namaku. Mereka akan
menisbatkan jalan ruhani (tarekat) yang diamalkannya kepada
Allah semata. Demikianlah, kalian akan mendapati ajaranku dalam
nama-nama yang dinisbatkan kepada-Nya, seperti Akmaliyyah (al-
2249
Kamal), Haqqmaliyyah (al-Haqq), Khaliqiyyah (al-Khaliq),
Sattariyyah (as-Sattar), Kubrawiyyah (al-Kabir), Wahidiyyah (al-
Wahid), dan sebagainya.”

“Kami memahami wejangan Kangjeng Syaikh. Tapi, apakah


Kangjeng Syaikh akan benar-benar meninggalkan kami semua?”
tanya Ki Wujil Kunting mengiba.

“Adakah Kehidupan di dunia ini yang tidak saling tinggal


meninggalkan? Kenapakah engkau ini bertanya sesuatu yang
menggelikan sepertinya engkau ini seorang anak kecil?”

“Kami tidak ingin berpisah dengan Kangjeng Syaikh. Kami rela


berkorban nyawa asalkan kami tetap bersama-sama dengan
Kangjeng Syaikh. Jika Kangjeng Syaikh kelak kembali kepada-
Nya, kami ingin merawat dan menguburkan junjungan kami
dengan tangan kami sendiri.”

Abdul Jalil tertawa. Kemudian sambil tersenyum ia berkata, “Wujil


… Wujil, bagaimana engkau bisa merawat dan mengubur
jenasahku jika waktu kematianku saja engkau belum tahu? Apakah
engkau yakin kalau aku mati lebih dulu daripada engkau? Sungguh
aku minta, janganlah kepedihan membuat engkau melakukan hal-
hal yang tidak benar. Jangan berandai-andai dengan masa depan.
Sebab, apa yang aku ajarkan adalah kekinian. Kini. Masa depan

2250
adalah angan-angan. Masa lampau adalah kenang-kenangan.
Semua akan bermakna jika ditarik ke masa kini.”

“Kami paham akan Kebenaran wejangan Kangjeng Syaikh. Kami


mohon, sudilah Kangjeng Syaikh memberi kami wejangan terakhir
sebelum kita saling berpisah. Sebab, kami menangkap sasmita
yang sudah padukan sampaikan bahwa tidak lama lagi kita akan
saling berpisah. Apakah yang sebaiknya kami lakukan, o Kangjeng
Syaikh?” kata Ki Wujil Kunting sambil memegangi jubah Abdul Jalil.

“Ingat-ingatlah selalu bahwa dunia yang kita diami ini adalah


kehinaan (danayah), rendah (daniyyun), bendawi (dunyawiyyun),
dekat (adna). Kita semua di dunia ini hanya tinggal untuk
sementara. Singkat. Kita semua tinggal di dunia ini sekadar
menjalani “hukuman” yang diwariskan leluhur kita: Adam a.s. yang
terperosok ke jurang kefanaan insani karena nafsu (hawa). Kita
semua sejatinya berada di dalam kerangkeng nafsu. Tetapi, jika
saatnya untuk pembebasan datang, kita semua bakal kembali
kepada-Nya. Lantaran itu, tugas utama kita sebagai anak
keturunan Adam adalah mencari jalan pembebasan untuk
melepaskan diri dari kerangkeng nafsu. Agar kita dapat bebas dan
kembali kepada-Nya sebagai manusia merdeka yang ridho dan
diridhoi.”

“Hendaknya kalian camkan bahwa dengan berjuang


membebaskan diri dari kerangkeng nafsu, dan jika kalian berhasil,
maka kalian akan menjadi manusia baru. Laksana kupu-kupu yang
2251
terbebas dari kepompongnya, begitulah kalian akan lahir sebagai
manusia baru yang disebut adimanusia: insan kamil, yakni citra
wakil Allah di muka bumi (khalifah Allah fi al-Ardh) sebagaimana
dikehendaki-Nya. Hendaknya kalian ingat-ingat dan kalian
pusakakan wejangan terakhirku ini: bahwa mereka yang disebut
adimanusia bukanlah manusia raksasa yang memiliki kekuatan
tubuh dan akal luar biasa, bukan pula manusia yang memiliki
kemampuan menaklukkan dunia dengan kekuasaan tubuh dan
akalnya itu. Sebaliknya, adimanusia adalah manusia-manusia
yang sudah merdeka dari kerangkeng nafsunya dan mencapai
tahap Tauhid tertinggi dalam mengenal Sang Pencipta dan
mengejawantahkan citra kekhalifahan-Nya.”

“Aku pesankan dan aku wanti-wanti kepada kalian bahwa akan


datang Dajjal dan bala tentaranya yang akan membalikkan kiblat
penilaian umat manusia tentang adimanusia sebagaimana yang
aku ajarkan. Dajjal dan balatentaranya akan menyatakan bahwa
adimanusia adalah manusia yang memiliki kekuatan tubuh luar
biasa akal cerdas tak tertandingi, harta benda berlimpah,
pengetahuan ilmu duniawi mengagumkan, senjata-senjata
pemusnah dahsyat, dan penakluk bangsa-bangsa lemah di dunia.
Sungguh, aku katakan bahwa penilaian Dajjal tentang adimanusia
itu adalah sesat. Sesat. Seribu kali sesat. Jika kalian mengikutinya
maka kalian pun akan sesat pula.”

“Aku beri tahukan kepada kalian tentang makna adimanusia dalam


pandangan Sang Pencipta melalui Sabda Suci-Nya yang

2252
termaktub dalam Kitab Suci al-Qur’an, yang jika ditafsirkan kira-kira
begini maknanya:

“Ketahuilah, o manusia, di antara puak bangsa-bangsa manusia,


yang paling mulia adalah manusia yang paling takwa (QS.al-
Hujurat: 13). Siapakah manusia takwa itu? Dia adalah manusia
yang selalu mengingat Aku, meski keteguhan jiwanya digoyahkan
setan dan diperosokkan kawan-kawan dekatnya agar tersesat
(QS.al-A’raf: 201 – 202). Dia hanya takut kepada Aku (QS.al-
Baqarah: 41). Dia mentauhidkan Aku dan takut hanya kepada-Ku
(QS.al-Nahl: 2). Dia hanya menyembah Aku dan takut hanya
kepada-Ku (QS.al-A’raf: 65). Itulah adimanusia. Insan kamil. Itulah
manusia-manusia unggul yang di mana pun berada selalu
bersama Aku (QS.al-Baqarah: 194; at-Taubah: 123). Dia selalu
berada di dalam lindungan-Ku (QS.al-Jatsiyah: 19). Dia tidak akan
dihisab atas dosa-dosanya (QS.al-An’am: 69). Dia kelak akan
menemui Aku (QS.al-Baqarah: 223).”

“Sekarang, jelaslah bagi kalian bahwa adimanusia yang aku


maksudkan adalah manusia-manusia merdeka yang sudah
berhasil membebaskan diri dari kerangkeng nafsunya. Itulah
manusia-manusia yang sudah mentauhidkan Allah dalam makna
yang sebenarnya. Itulah manusia-manusia unggul. Insan kamil.
Manusia sempurna. Ingatkah kalian akan kisah Fir’aun,
maharajadiraja Mesir yang memiliki kekuatan tubuh dan akal yang
luar biasa, kekayaan tak terhitung, istana-istana megah dan
mewah, bala tentara perkasa yang menakutkan, senjata-senjata
pembunuh yang mematikan, kehormatan, dan kemuliaan atas
2253
bangsa-bangsa manusia? Ingatkah kalian akan Fir’aun yang
disembah manusia? Meski ada yang mengatakan bahwa Fir’aun
adalah adimanusia yang berkuasa di zamannya, aku katakan
sebaliknya bahwa Fir’aun bukan adimanusia. Dia bukan
adimanusia. Sebab, dia adalah seorang manusia yang terpenjara
di dalam kerangkeng nafsunya. Jiwa Fir’aun adalah jiwa cacing
yang menggeliat di dalam lumpur duniawi yang menjijikkan.”

“Sebaliknya, aku katakan kepada kalian, bahwa yang disebut


adimanusia di zaman itu bukanlah Fir’aun dan bukan pula dukun-
dukun sakti yang mengitarinya. Adimanusia pada zaman itu adalah
Musa a.s.: laki-laki yang tidak punya rumah, tidak punya harta
benda, tidak punya pangkat dan kedudukan, tidak punya tentara,
tidak punya apa-apa. Manusia hanya mengenal dia sebagai salah
seorang pemuka budak Bani Israil. Musa itulah adimanusia pada
zamannya. Sebab, dia adalah pemuka di antara manusia-manusia
merdeka yang dipilih-Nya. Musa adalah manusia yang takwa dan
bertauhid kepada-Nya.”

“Ingatkah kalian akan detik-detik ketika Islam disampaikan


Muhammad Saw. di jazirah Arabia? Ingatkah kalian tentang
kekuasaan-kekuasaan duniawi yang mengitari jazirah Arabia saat
itu? Siapakah manusia yang saat itu tidak mengenal keagungan
an-Najasi Maharajadiraja Habasyah? Siapakah manusia yang
tidak mengenal kebesaran Heraklius Maharajadiraja Rum?
Siapakah manusia yang tidak mengenal kehebatan Chosroes II
Maharajadiraja Persia? Siapakah manusia yang saat itu tidak
mengenal para maharajadiraja yang kuat, cerdas, berlimpah harta
2254
benda, berkekuatan luar biasa, berpasukan mengerikan yang
membawa senjata penghancur? Siapa manusia zaman itu yang
tidak mengenal kehebatan mereka?”

“Tapi, aku katakan kepada kalian bahwa mereka para


maharajadiraja itu bukanlah adimanusia yang aku maksudkan.
Mereka hanyalah penguasa-penguasa duniawi yang terbelenggu
dan terpenjara di dalam kerangkeng nafsunya. Jiwa mereka adalah
jiwa hewan melata yang tak mampu melepaskan diri dari lumpur
duniawi. Sedang adimanusia pada zaman itu yang aku
maksudkan, tidak lain dan tidak bukan adalah Muhammad Saw.:
laki-laki buta huruf dari padang pasir, tidak punya rumah, tidak
punya harta benda, tidak punya pangkat dan kedudukan duniawi,
tidak punya apa-apa yang bersifat duniawiyah, yang tinggal di
masjid dan ketika wafat tidak meninggalkan secuil pun warisan
harta. Dialah adimanusia. Insan kamil. Manusia sempurna.
Manusia Yang Terpuji (Muhammad) citra pengejawantahan Yang
Maha Terpuji (al-Hamid). Dialah, sang guru pengajar Tauhid, yang
paling tinggi ketakwaannya di hadapan Allah. Dialah adimanusia
terbesar sepanjang zaman. Dialah manusia Tauhid yang dipilih-
Nya.”

“Dengan uraianku ini, jelaslah sudah bahwa sebagai manusia-


manusia yang bakal menjadi adimanusia, hendaknya kalian tidak
menimbun kesadaran Tauhid kalian dengan benda-benda duniawi
yang menjijikkan. Kalian adalah para pejuang pembebasan yang
akan menjadi orang-orang merdeka. Lantaran itu, jika ada di antara
manusia ingin membangun kerajaan surga di dunia, hendaknya
2255
kalian jauhi mereka. Sebab, mereka itu sejatinya sedang
membangun neraka bagi manusia dirinya dan manusia lain.
Mereka sedang membangun kerangkeng-kerangkeng nafsu yang
membahayakan manusia. Jika kalian dapati para pemuja duniawi
sudah berkuasa dan merajalela dengan kejahatannya, hendaknya
kalian hijrah! Hijrah! Hijrahlah kalian sebagaimana diteladankan
Muhammad Saw.! Tinggalkan kediamanmu. Bumi Allah sangat
luas. Di mana pun kalian berada dan kapan pun kalian hidup,
selama kalian bertauhid kepada-Nya dan berjuang keras
membebaskan diri dari kerangkeng nafsu-nafsu, maka kalian akan
menjadi selamat sentosa menjadi adimanusia. Kalian akan selalu
bersama-Nya.”

2256
Buah Dalima dan Makna-Makna

Sesungguhnya, Abdul Jalil ingin


menyampaikan wejangan lebih banyak
kepada pengikut-pengikutnya. Namun
sebelum keinginannya tercapai, di tengah
ketakziman para pengikutnya mendengar
wejangannya, tiba-tiba terdengar suara hiruk
pikuk di kejauhan seperti sorak-sorai
sambung-menyambung. Abdul Jalil mengarahkan pandangan ke
pintu dan melihat beberapa orang pengikutnya berjalan cepat ke
arahnya. Setelah dekat, pengikut itu menyampaikan kepadanya
bahwa seorang alim dari Demak bernama Syaikh Maulana
Maghribi dengan tiga ratus orang pasukan bersenjata tombak saat
itu berada di luar dukuh Lemah Abang. “Mereka ingin bertemu
dengan kepala dukuh Lemah Abang, Kangjeng Syaikh,” kata
mereka gelisah.

Abdul Jalil terdiam sejenak dan kemudian angkat tangan kanan ke


atas memberi isyarat agar semua diam. Setelah menarik napas
dua tiga kali, ia melangkah ke luar diikuti pengikut-pengikutnya.
Sepanjang perjalanan, ia menggumamkan nama Syaikh Maulana
Maghribi berulang-ulang di tengah ucapan menyebut Asma Allah.
Saat berada di ujung dukuh, ia melihat seorang lelaki tinggi
jangkung berkulit gelap dengan hidung sebengkok paruh burung
elang berdiri tegak sambil menggenggam pedang. Di kanan kirinya
terlihat beberapa orang pengawal membawa tombak
memperlihatkan wajah garang. Sementara beratus orang di
2257
belakangnya berkerumun dengan hutan tombak sambil sesekali
meneriakkan takbir dan caci maki:

“BUNUH! HANCURKAN! BAKAR! ALLAHU AKBAR! BUNUH


KAUM MURTAD!”

Teriakan sambung-menyambung laksana gelombang laut itu tidak


sedikit pun menggoyahkan Abdul Jalil. Dengan langkah lebar dan
tidak sedikit pun menunjukkan rasa takut, ia bergegas mendekati
Syaikh Maulana Maghribi. Setelah menyampaikan salam dan
berhadapan muka dengan muka dalam jarak sekitar dua depa, ia
seketika menghamburkan kata-kata dalam bahasa Arab secara
bertubi-tubi seolah tidak memberi kesempatan kepada Syaikh
Maulana Maghribi untuk menangkis.

“Aku sungguh merasa heran melihat alim, citra al-‘Alim di muka


bumi, ke mana-mana membawa pedang dan membunuhi manusia
yang dianggapnya sesat dan murtad. Sungguh aku merasa heran
melihat seorang mursyid, citra ar-Rasyid di muka bumi, berkeliaran
ke mana-mana menebarkan Kematian dan kebinasaan. Aku
sungguh merasa heran sebab, seingatku, Rasulullah Saw. hanya
berwasiat: “Sampaikan apa yang dari aku meski hanya satu ayat
(balighu ‘ani walau ayat).”

“Bagaimana Tuan, al-‘alim billah, bisa menafsirkan sabda


Rasulullah Saw. itu menjadi amanat pembunuhan? Bagaimana
2258
Tuan, al-‘arif billah, yang menduduki derajat paling takut kepada
Allah di antara hamba-hamba-Nya (QS. Al-Fathir: 28) justru takut
kepada sultan? Bagaimana Tuan yang kedudukannya ditinggikan
beberapa derajat di antara manusia (QS. Al-Mujadalah: 11) justru
merendahkan diri dengan bersujud menyembah sultan?
Bagaimana Tuan yang termasuk golongan alim yang tegak di atas
keadilan Mengesakan Allah (QS. Ali Imran: 18) justru merajakan
manusia? Sementara, Tuan tahu bahwa Dia adalah raja manusia
(QS. An-Nas: 2). Rupanya, Tauhid Mulukiyyah sudah runtuh dari
iman Tuan. Bagaimana Tuan selaku alim tidak menghiasi citra
Tuan dengan qalam, tetapi dengan pedang? Bagaimana Tuan
yang seharusnya menumpahkan tinta di atas kertas justru
menumpahkan darah di atas bumi? Apakah Tuan ini seorang alim
ataukah tukang jagal? Apakah Tuan ini seorang alim wakil al-‘Alim
yang bertugas utama menyampaikan pengetahuan ataukah
seorang pencabut nyawa yang menggantikan tugas Izrail?”

“Aku tahu bahwa tugas yang diberikan sultan kepada Tuan dan
kawan-kawan Tuan adalah menjadikan manusia di Nusa Jawa
tunduk dan setia hanya kepadanya. Mereka yang mengingkari
kekuasaan sultan harus dibinasakan. Tetapi, Tuan telah bertindak
berlebihan dan melampaui batas. Tuan telah memerintahkan
pembunuhan terhadap orang-orang yang Tuan anggap pengikut
Syi’ah. Tuan telah memerintahkan pembunuhan terhadap orang-
orang yang menurut Tuan berbeda akidah. Tidakkah Tuan tahu
bahwa Kebenaran di dalam Islam adalah pribadi sifatnya?
Tidakkah Tuan tahu bahwa ketakwaan orang seorang tidak bisa
diukur dengan paham, firqah, madzhab, jama’ah? Tidakkah Tuan
tahu bahwa pertanggung jawaban manusia di hadapan Allah
2259
adalah bersifat pribadi dan bukan jama’ah? Apakah Tuan dapat
menunjukkan dalil-dalil kepada aku bahwa seluruh pengikut Syi’ah
akan masuk neraka dan Tuan beserta pengikut Tuan yang
membunuhi penganut Syi’ah itu akan masuk surga? Apakah Tuan
punya dalil bahwa Allah mencipta surga semata-mata
diperuntukkan bagi Tuan dan pengikut Tuan?”

“Apa yang Tuan lakukan dengan pembunuhan-pembunuhan tanpa


hak itu, menurutku, sudah sangat melampaui batas kewajaran.
Tuan yang dangkal pengetahuan tentang kehidupan di Nusa Jawa
telah beranggapan bahwa siapa saja di antara manusia yang
menyembah Tuhan dengan menjalankan sembahyang tiga waktu
adalah pengikut Syi’ah, dan lantaran itu, Tuan memerintahkan
pengikut Tuan untuk membunuh mereka. Sungguh sebuah
kebodohan yang tidak terampunkan. Sebab, para wiku beragama
Hindu-Budha pun jika bersembahyang menyembah Tuhan mereka
lakukan tiga kali sehari (tri-sandya). Kenapa mereka yang bukan
muslim tanpa alasan yang jelas Tuan bunuh? Apakah Tuan bisa
menunjukkan dalil bahwa Muhammad Saw. pernah
memerintahkan umat Islam untuk membunuh umat beragama lain
tanpa alasan yang jelas? Asal Tuan tahu, akibat kecerobohan dan
kebodohan Tuan, sekarang ini agama Islam yang Tuan anut telah
dijadikan ejekan dan olok-olok penduduk. Islam dianggap sebagai
agama haus darah yang sama menjijikkannya dengan agama
Bhairawa-Tantra. Islam yang damai dan pembawa keselamatan
telah dihina penduduk sebagai agama pembawa ketidakselamatan
dan kematian. Semua itu gara-gara tindakan Tuan.”

2260
Syaikh Maulana Maghribi yang merasa terpojok tampak memerah
wajahnya dan matanya berkilat-kilat. Ingin rasanya ia memakan
dan mengunyah-kunyah Abdul Jalil dan kemudian menelannya
bulat-bulat. Namun, baru saja dia akan membuka mulut, tiba-tiba
Abdul Jalil sudah bergerak mendekatinya. Kemudian dengan
memegang kedua bahunya, Abdul Jalil berbisik lirih, “Aku tahu,
Tuan tidak pantas melakukan tindakan memalukan ini apalagi
dengan mengatasnamakan demi kesucian Islam. Sebab, Tuan
sendiri sesungguhnya telah melakukan tindakan yang lebih keji
dan lebih memalukan: menghamili seorang gadis tanpa hak dan
meninggalkannya begitu saja tanpa tanggung jawab. Aku tahu,
Tuan telah menghamili gadis bernama Nyi Mas Rasa Wulan dan
membuatnya sangat menderita. Dan asal Tuan tahu, kakak
kandung gadis malang itu, seorang laki-laki gagah bernama Raden
Sahid, adalah menantuku. Mereka berdua adalah putera-puteri
Adipati Tuban. Jika menantuku itu sampai tahu perbuatan terkutuk
Tuan, aku kira dia akan memburu Tuan sampai ke ujung dunia. Dia
akan membawa pasukan dari Tuban. Dia akan mengejar Tuan
sambil menyebarkan aib Tuan itu ke segenap penjuru dunia.”

Wajah Syaikh Maulana Maghribi yang semula merah padam tiba-


tiba menjadi pucat pasi. Matanya yang semula berkilat-kilat
dikobari nyala api amarah tiba-tiba redup. Dia bungkam tidak bisa
berbicara. Keringat dingin sebutiran kacang mendadak bercucuran
dari keningnya. Abdul Jalil yang melihat perubahan itu buru-buru
tegak kembali dan berkata dengan suara lantang, kali ini dalam
bahasa Jawa, “Aku tahu bahwa orang-orang seperti Tuan selalu
merasa diri sebagai pusat kebenaran. Batin Tuan selalu berkata:
aku yang paling benar. Aku yang paling mulia. Aku yang paling
2261
baik. Yang lain sesat, keliru, rendah, jahat. Padahal, sebagai alim
wakil al-‘Alim, Tuan seharusnya tahu bahwa makhluk Tuhan yang
pertama mengaku-aku paling baik adalah Iblis (QS. Shad: 76). Aku
tidak peduli apakah Tuan itu manusia yang benar-benar paling baik
ataukah Tuan sebenarnya pengejawantahan dari dia yang dikutuk
karena pengakuan sepihaknya. Aku tidak peduli itu. Tetapi, jika
Tuan memang merasa benar dan surga itu hak Tuan, maka aku
ingin bukti dengan meminta kematian Tuan sebagaimana
disyaratkan Allah (QS. al-Baqarah: 94). Maksudku, bagaimana
kalau aku dan Tuan mati bersama sekarang juga? Siapkah Tuan
bersama aku mati sekarang juga untuk membuktikan kebenaran
anggapan Tuan?”

Syaikh Maulana Maghribi yang sudah runtuh keyakinan dirinya


akibat duiungkap aibnya tidak berkata sesuatu untuk membela diri.
Dia malah memandang Abdul Jalil dengan mata sayu seolah minta
dikasihani. Abdul Jalil yang sudah merasa di atas angin
menyapukan pandang ke arah para pengikut Syaikh Maulana
Maghribi. Kemudia, dengan suara ditekan tinggi ia berteriak
menantang, “Adakah di antara kalian yang bersedia mati bersama
aku sekarang ini untuk membuktikan apakah kalian masuk surga
atau neraka? Ayo siapa yang berani mati sekarang?”

Semua diam. Semua menunduk. Ternyata, tidak ada satu pun di


antara orang-orang yang suka membunuh itu siap mati saat itu.
Syaikh Maulana Maghribi sendiri hanya menunduk seperti
pesakitan. Abdul Jalil yang tidak sampai hati mempermalukan lebih
jauh manusia yang sudah tidak berdaya itu akhirnya mengakhiri
2262
keadaan yang menegangkan itu. Setelah menarik napas berat
beberapa kali, dengan suara agak ditekan ia berkata, “Aku kira, kita
tidak perlu lagi memperdebatkan tentang masalah agama. Kita
akhiri perbedaan pandangan kita sampai di sini. Hanya satu yang
perlu Tuan ketahui bahwa penghuni dukuh Lemah Abang bukanlah
pengikut Syi’ah. Mereka adalah para pengamal tarekat yang
dibangsakan kepada hadhrat Abu Bakar ash-Shiddiq. Meski
demikian, mereka semua tidak pernah memusuhi manusia dari
agama apa pun, apalagi terhadap saudara-saudara seagama yang
berkitab suci satu, berkiblat satu, dan bernabi satu.”

Syaikh Maulana Maghribi merasa lega. Dia menjabat tangan Abdul


Jalil. Kemudian, dengan erat dia mendekap tubuh Abdul Jalil
sambil berbisik lirih, “Bagaimana Tuan bisa tahu masalah saya
dengan Nyi Mas Rasa Wulan?”

“Aku tidak bisa menjelaskan kepada Tuan. Tapi, jika di akhirat nanti
Tuan dihisab pada bagian itu maka Tuan hendaknya ingat bahwa
Allah Mahatahu. Maha Menghisab.”

“Apakah Nyi Mas Rasa Wulan memberitahu Tuan Syaikh?”

Abdul Jalil menggeleng. Kemudian dengan berbisik ia berkata,


“Aku telah dikaruniai Allah sedikit pengetahuan untuk membaca
kitab rahasia di dalam diri Tuan,” kata Abdul Jalil.

2263
Tuan bisa membaca catatan amaliah saya?”

“Bukan membaca seperti tulisan, tetapi menyaksikan gambaran


perbuatan Tuan. Semuanya. Semuanya. Bahkan, saat Tuan
mengintip Nyi Mas Rasa Wulan yang sedang mandi pun telah aku
saksikan.”

“Jika begitu, Tuan Syaikh adalah salah seorang kekasih-Nya.”

“Itu adalah rahasia-Nya. Tuan jangan menduga-duga.”

“Tuan Syaikh,” kata Syaikh Maulana Maghribi mempererat


pelukannya, “Doakan dan berkahilah saya, semoga saya bisa
menebus semua kesalahan saya. Saya akan bertobat. Saya akan
meninggalkan semua pekerjaan sia-sia ini,” Syaikh Maulana
Maghribi membasahi jubah Abdul Jalil dengan air mata. Sesaat
setelah itu, dia membalikkan badan dan memberi isyarat kepada
para pengikutnya untuk pergi meninggalkan dukuh Lemah Abang.
Abdul Jalil memandang para pembunuh itu sambil sesekali
menarik napas lega.

Ketika bayangan Syaikh Maulana Maghribi dan pasukannya sudah


tidak terlihat, Abdul Jalil dan para pengikutnya kembali ke dukuh.
Di jalan yang akan menuju tajug, ia melihat pohon dalima sedang
berbuah. Ia memetik sebuah dan memberikannya kepada salah
2264
seorang pengikutnya sambil berkata, “Sampaikan dalima ini ke
dukuh-dukuh Lemah Abang, Lemah Ireng, Lemah Putih, dan
Kajenar. Katakan bahwa dalima inilah perlambang keterlepasanku
yang terakhir dengan dukuh-dukuh dan pengikut-pengikutku.
Mereka yang memperoleh petunjuk Ilahi akan paham dengan
perlambang ini. Tetapi, mereka yang bebal dan tidak memperoleh
petunjuk Ilahi akan menafsirkan lain sesuai nafsunya.”

Kabar kegagalan Syaikh Maulana Maghribi menyerang dukuh


Lemah Abang karena kalah berdebat dengan Syaikh Lemah
Abang dalam waktu singkat telah terdengar oleh setiap telinga.
Cerita-cerita yang dilebih-lebihkan pun merebak tanpa ada yang
tahu siapa yang menambah-nambah bumbunya. Semua mata pun
di arahkan ke dukuh-dukuh Lemah Abang seolah menunggu
tindakan apa yang akan dilakukan oleh alim ulama Demak setelah
salah seorang rekan mereka dikalakan Syaikh Lemah Abang,
semua menunggu-nunggu apa yang akan terjadi dengan mereka
setelah terjadinya peristiwa yang memalukan alim ulama Demak
itu. Namun, di tengah ramainya orang membicarakan hal tersebut
dengan kemungkinan-kemungkinannya, penduduk dukuh Lemah
Abang justru dikejutkan oleh munculnya buah dalima kiriman guru
ruhani mereka. Mereka bertanya-tanya tentang makna apa yang
sejatinya terkandung di dalam perlambang buah dalima itu.

Karena Abdul Jalil tidak memberikan pesan apa pun di balik


pengiriman buah dalima tersebut, terjadi penafsiran-penafsiran
makna yang saling berbeda antar para pemuka dukuh-dukuh
Lemah Abang, Lemah Ireng, Lemah Putih, dan Kajenar di berbagai
2265
kadipaten. Sebagian di antara mereka memaknai buah dalima itu
sebagai isyarat peringatan dari sang guru, yang mengandung
makna kata da-lima, dina-lima, dali-ma, duma-lima, yang dikaitkan
dengan suatu perubahan dalam tatanan kehidupan beragama
mereka. Mereka menafsirkan bahwa guru ruhani mereka, Syaikh
Lemah Abang, telah menitahkan perubahan dalam tata cara
beribadah. Jika semula mereka bersembahyang tiga kali sehari,
yaitu Subuh dan Siang dan Malam, sebagaimana dilakukan para
pendeta Syiwa-Budha, kini mereka diharuskan mengubah menjadi
sembahyang lima waktu (da-lima). Ibadah sembahyang Jum’at
(dina-lima) yang semula dilakukan di dukuh Lemah Abang yang
diikuti dukuh yang lain dan dianggap sunnah, tiba-tiba
diselenggarakan di tiap-tiap dukuh. Karena dianggap sunnah, usai
sembahyang Jum’at mereka masih melakukan sembahyang
zhuhur. Setelah itu, mereka bersiaga meninggalkan kediamannya
untuk membangun dukuh baru ibarat burung dadali (dali-ma)
membuat sarang baru karena sarang lamanya dirampas tangan
kejahatan. Mereka membagi diri dalam lima kelompok warga yang
saling berhubungan. Kepada semua penghuni dukuh diberi suatu
peringatan bahwa mereka harus ikhlas menerima nasib untuk
hijrah karena dukuh yang mereka cintai itu bakal binasa diselimuti
asap (duma-lima), sehingga mereka harus pergi jauh dari dukuh
mereka.

Pemuka dukuh yang lain menafsirkan buah dalima kiriman Abdul


Jalil sebagai lambang dari kata da-lima, dama, dama-lima, dana-
lima. Mereka menganggap guru mereka menitahkan para
penghuni dukuh untuk meninggalkan sembahyang tiga waktu dan
selanjutnya menggantinya dengan lima dharma (dharma-lima),
2266
yaitu kebajikan (alpadharma), kesalehan (atidharma), kebaikhatian
(budidharma), kemurahatian (punyadharma), dan kedermawanan
(danadharma). Mereka berpikir: menjalankan lima dharma adalah
lebih baik daripada menjalankan sembahyang tiga waktu tapi hidup
penuh kejahatan. Dengan menjalankan lima dharma, mereka
merasa lebih bermanfaat bagi keselamatan dan keselarasan
kehidupan di alam semesta (memayu hayuning bhawana). Bagi
mereka, ikatan kasih sayang (dama) adalah perbuatan termulia
yang harus dilakukan manusia yang ingin membebaskan diri dari
anasir-anasir nafsu keduniawian.

Pemuka dukuh yang lain lagi memaknai buah dalima kiriman guru
ruhaninya sebagai perlambang permata mirah dalima yang
disatukan di dalam wadah laksana biji-biji dalima di dalam kulit
buah. Mereka berusaha mendapatkan permata mirah dalima
sebagai tanda pengikut Syaikh Siti Jenar. Mereka akan menolak
siapa pun di antara manusia yang mengaku pengikut Syaik Siti
Jenar jika tidak bisa menunjukkan permata mirah dalima sebagai
tanda kemuridan mereka. Sementara pemuka dukuh yang lain
menafsirkan buah dalima sebagai perlambang bahwa mereka
harus berperilaku seperti buah dalima; kesat dan padat kulit
luarnya tetapi jernih laksana biji permata di dalamnya.

Sekalipun para pemuka dukuh memiliki penafsiran berbeda dalam


memaknai buah dalima yang dikirim Abdul Jalil, mereka memiliki
arah yang sama dalam bersikap: berjalan di atas garis Tauhid dan
akhlak serta rela berkorban demi keselamatan sesama. Mereka
memandang tindak kekerasan dalam menentukan Kebenaran
2267
adalah sebuah kejahatan yang harus dijauhi. Mereka menilai
pembunuhan dengan atas nama agama adalah sama seperti
penyembelihan korban di atas mezbah persembahan; sebuah
upacara yang jelas-jelas bertentangan dengan jiwa Islam.
Sehingga, mereka sepakat untuk mengorbankan jiwa dan raga
mereka demi keselamatan sesama dari tindak kekerasan yang
dilakukan alim ulama Demak.

Salah seorang di antara pengikut Abdul Jalil yang merelakan


nyawanya untuk keselamatan orang lain itu adalah Ki Wanabaya,
seorang sesepuh marga Bajul, kepala dukuh Lemah Abang di
Pajang. Dengan suka rela dia mengorbankan jiwanya untuk
menghentikan tindak kekerasan para alim Demak. Saat para
pemuka agama di desa-desa sekitar dukuh Lemah Abang lari
ketakutan dikejar-kejar pasukan tombak asal Demak, Ki Wanabaya
dengan gagah berani mendatangi Kiai Ageng Kalipitu yang
memimpin satuan bersenjata itu. Tanpa basa-basi dengan meniru
tindakan gurunya yang menantang mengajak mati Syaikh Maulana
Maghribi, dia menantang Kiai Ageng Kalipitu untuk mati bersama
guna membuktikan Kebenaran yang dijadikan alasan membunuh
orang-orang tak bersalah. Saat Kiai Ageng Kalipitu tidak
menanggapi tantangannya, dia meminta agar nyawanya dicabut
sebagai ganti pemuka-pemuka agama di desa-desa yang dituduh
sesat dan diburu-buru, “Jika nyawaku dapat menghentikan nafsu
membunuhmu, bunuhlah aku!” tantang Ki Wanabaya tanpa sedikit
pun menunjukkan kegentaran.

2268
Seorang anggota satuan tombak yang tersinggung ulama
panutannya dipermalukan, tidak dapat menahan diri. Dengan
teriakan keras, ia hujamkan tombak yang digenggamnya ke dada
Ki Wanabaya sekuat tenaga. Terdengar suara derak tulang patah
ketika mata tombak menembus dada Ki Wanabaya. Lelaki berusia
setengah abad itu tersentak ke belakang. Namun, dia tidak
tumbang. Dengan memegangi dadanya yang dihiasi batang
tombak, dia menatap tajam ke arah Kiai Ageng Kalipitu sambil
tersenyum. Setelah itu dengan napas tersengal-sengal dia berkata,
“Lihatlah Tuan, apa yang aku alami ini. Sang Maut datang
menjemputku dengan senyum kegembiraan. Dia tersenyum
gembira. Ya tersenyum gembira. Sebab, Dia tidak aku sambut
dengan ketakutan dan kegentaran, melainkan dengan cinta dan
kerinduan. Kehadiran Sang Maut adalah pertanda cinta.” Lalu,
dengan teriakan keras dia berseru, “Aku pasrahkan hidupku
kepada Engkau, o Penguasa Yang Mahahidup,” dan tubuhnya
tumbang ke atas tanah tanpa nyawa.

Kiai Ageng Kalipitu terkesima menyaksikan peristiwa tak terduga-


duga yang begitu cepat kejadiannya. Ia merasa seolah-olah
sedang bermimpi. Setelah termangu beberapa jenak, ia benar-
benar terkesan dengan keberanian Ki Wanabaya menyongsong
kematian. Hanya mereka yang sudah mengenal Kematian dengan
akrab yang begitu mesra menyambut-Nya, gumamnya dalam hati.
Sebagai bukti tanda hormatnya kepada laki-laki pemberani dan
tabah itu, ia memutuskan untuk memenuhi permintaannya. Hari itu
juga, usai memakamkan Ki Wanabaya, ia memerintahkan para
pengikutnya untuk kembali ke Demak. Ia tidak pernah lagi

2269
memerintahkan pengejaran kepada pemuka-pemuka agama yang
dituduh sesat dan murtad.

Hampir bersamaan waktu dengan terbunuhnya Ki Wanabaya,


Kyayi Tapak Menjangan, kepala dukuh Lemag Abang di Kadipaten
Kendal, melakukan hal yang sama tetapi dengan cara Kematian
berbeda. Ketika pasukan alim ulama Demak yang dipimpin Syaikh
Abdullah Sambar Khan mengobrak-abrik desa sekitar dukuh
Lemah Abang untuk memburu pemuka-pemuka agama yang
dituduh sesat dan murtad, Kyayi Tapak Menjangan yang berusia
hampir lima puluh tahun, seorang diri maju menantang Syaikh
Abdullah Sambar Khan untuk mati bersama guna membuktikan
Kebenaran yang diakui sepihak oleh alim asal Kerala itu. Namun,
berbeda dengan kematian Ki Wanabaya yang sangat singkat,
Kyayi Tapak Menjangan sempat terlibat perdebatan dengan
Syaikh Abdullah Sambar Khan dalam masalah Kebenaran menurut
sudut pandang Islam. Dalam perdebatan itu, berkali-kali Kyayi
Tapak Menjangan menertawakan Syaikh Abdullah Sambar Khan
sebagai penganut tarekat Quburiyyah wa Sulthaniyyah, yaitu
tarekat pemuja kuburan dan penyembah sultan.

Syaikh Abdullah Sambar Khan yang terpojok sedianya akan


memerintahkan pengikutnya untuk membunuh Kyayi Tapak
Menjangan. Namun, kepala dukuh Lemah Abang itu menyatakan
bahwa dia akan mati menurut kehendaknya sendiri. “Tuan tidak
perlu mengotori tangan Tuan dengan darahku. Akan aku tunjukkan
kepada Tuan bahwa manusia yang sudah mengenal jalan
Kebenaran dan telah menemukan Kebenaran Sejati akan
2270
dikaruniai kehendak untuk mati. Sebab, mereka yang sudah
menyatu dengan Kebenaran pada hakekatnya menyatu pula
dengan Maut dan Hidup beserta kudrat dan iradat-Nya,” kata Kyayi
Tapak Menjangan tegar.

“Dengan cara bagaimana Tuan akan mati?” tanya Syaikh Abdullah


Sambar Khan sinis, “Dengan alat bantu apa Tuan akan mati?
Apakah itu tidak termasuk bunuh diri?”

“Aku mati dengan kehendakku sendiri tanpa alat bantu apa pun.
Bagi mereka yang terhijab, menghendaki Kematian diri sendiri
adalah bunuh diri. Sedang bagi yang sudah tercelikkan mata
batinnya, menghendaki Kematian adalah bagian dari kehendak-
Nya. Sebab, di saat ‘aku’ sudah tenggelam ke dalam ‘Aku’ maka
‘kehendakku’ tenggelam ke dalam ‘kehendak-Ku’. Kehidupan ‘aku’
akan kembali kepada ‘Aku’ Yang Mahahidup, melalui pintu yang
disebut Kematian yakni citra bayangan Sang Maut (al-Mumit).
Siapa yang menganggap Yang Mahahidup (al-Hayy) dan yang
Maha Membinasakan (al-Mumit) adalah dua zat yang berbeda,
mereka adalah musyrik.”

“Tunjukkan kepadaku kehebatan Tuan yang bisa menentukan


waktu Kematian diri sendiri tanpa alat bantu apa pun. Tunjukkan
Kebenaran ucapan Tuan itu kepadaku,” kata Syaikh Abdullah
Sambar Khan penasaran.

2271
Kyayi Tapak Menjangan melakukan sembahyang dua rakaat.
Setelah itu, dia duduk bersila mengatur pernapasan dengan mata
terpejam. Syaikh Abdullah Sambar Khan dan pengikut-
pengikutnya mendekat dan mengamati apa yang dilakukan kepala
dukuh Lemah Abang itu. Mereka tidak melihat keajaiban apa pun
kecuali sosok seorang laki-laki yang duduk bersila mengatur
napas. Mereka terus mengamati naik dan turunnya dada Kyayi
Tapak Menjangan. Mereka seolah ingin menyaksikan bagaimana
nyawa Kyayi Tapak Menjangan lepas dari raganya. Namun, semua
harapan mereka tidak kesampaian. Mereka tidak menyaksikan
keajaiban apa-apa. Mereka hanya mendapati tubuh Kyayi Tapak
Menjangan sudah tidak bernyawa lagi dalam keadaan duduk
bersila.

Syaikh Abdullah Sambar Khan terkejut menyaksikan kenyataan


yang tak pernah dibayangkannya itu. Ia sangat menyesali
kematian Kyayi Tapak Menjangan. Ia yang sejak kecil akrab
dengan kisah-kisah absurd tentang wali-wali Allah, tidak syak lagi
menganggap Kyayi Tapak Menjangan sebagai salah seorang di
antara kekasih-kekasih Allah. Ia semakin yakin bahwa lelaki yang
mati dengan kehendaknya sendiri itu adalah kekasih Allah
manakala ia menyadari betapa Kematian tersebut bukanlah untuk
kepentingan pribadi, melainkan demi menyelamatkan orang lain.
Saat itulah ia ingin menguburkan jenasah Kyayi Tapak Menjangan
dengan cara yang baik sebagaimana lazimnya orang-orang Kerala
menguburkan alim ulama mereka. Namun, keinginannya itu tidak
kesampaian karena warga dukuh Lemah Abang dan keluarga
Kyayi Tapak Menjangan menyatakan akan menguburkan sendiri di
tempat yang tidak diketahui orang. “Guru kami, Kyayi Tapak
2272
Menjangan, telah berwasiat: jika mati ia tidak ingin kuburnya diberi
tanda. Ia tidak ingin diziarahi dan dijadikan sesembahan manusia,”
ujar seorang warga, seolah menyindir Syaikh Abdullah Sambar
Khan yang suka bermujahadah di kuburan-kuburan keramat.

Selain Ki Wanabaya dan Kyayi Tapak Menjangan, pengikut-


pengikut Syaikh Lemah Abang yang terbunuh dalam peristiwa
kekerasan yang dilakukan alim ulama Demak adalah Ki Bhisana,
Ki Canthuka, Ki Pringgabhaya, Ki Ageng Panawangan, Kyayi
Ageng Brati Lemah Putih. Kematian mereka tidak saja telah
menyelamatkan dukuh-dukuh Lemah Abang, Lemah Putih, Lemah
Ireng, dan Kajenar karena mereka semua mencegat alim ulama
Demak dan pasukannya di luar dukuh, melainkan juga telah
membuat berhenti kaki tangan Tranggana itu dalam menebar
Kematian.

Tanpa ada yang menduga, ternyata Kematian sejumlah kepala


dukuh Lemah Abang itu mengundang simpati luas di kalangan
penduduk Nusa Jawa. Bibit-bibit kebencian terhadap alim ulama
asing yang telah bertindak sewenang-wenang terhadap penduduk
tumbuh semakin subur dan tak jelas menjalarnya. Jika pada
awalnya kebencian itu hanya diarahan kepada para alim beserta
pengikut bersenjatanya, belakangan kecaman, caci maki,
umpatan, ejekan, dan olok-olok diarahkan kepada agama mereka.
Di tengah hiruk kebencian penduduk itu terjadi sesuatu yang tak
terduga-duga: para mualaf yang belum memahami secara baik
ajaran Islam tiba-tiba banyak yang menyatakan tidak mau lagi
mengikuti agama yang dianggapnya mengajarkan kejahatan
2273
kepada manusia itu. Mereka menyatakan kembali ke agama
semula.

Di kuta Juwana, sejumlah pemuka masyarakat Cina muslim


menyatakan kembali ke agama leluhur karena mereka tidak mau
menodai tangan mereka dengan darah orang-orang tak bersalah.
Tindakan itu diikuti sejumlah besar muslim pribumi yang juga
menyatakan kembali ke agama leluhur. Tindakan penduduk
Juwana itu mengundang kemarahan alim ulama Demak. Mereka
menganggap tindakan itu sebagai kemurtadan yang harus diganjar
dengan Kematian. Lalu, terjadilah pengejaran, penangkapan, dan
pembunuhan terhadap penduduk Juwana yang dianggap telah
murtad dari Islam. Tidak pedulu Cina tidak peduli penduduk asli,
siapa di antara penduduk Juwana yang diketahui murtad digeret ke
alun-alun untuk dijadikan tontonan dan kemudian dijagal beramai-
ramai. Beberapa tajug yang diubah menjadi kelenteng dibakar.
Pura-pura dan asrama-asrama pun dibakar. Semua yang dianggap
terkait kemurtadan dibakar dan diratakan dengan tanah.

Penduduk yang ketakutan berbondong-bondong menyelamatkan


diri ke hutan-hutan di pedalaman. Sebagian meminta perlindungan
ke Wirasari dan Pengging, sebagian lagi kepada Yang Dipertuan
Majapahit di Daha. Patih Mahodara yang marah mendapat laporan
tentang pembantaian penduduk beragama Syiwa-Budha serta
penghancuran sejumlah pura dan asrama di Juwana, segera
mengirim satu detasemen pasukan. Dengan gerakan sangat
cepat, pasukan asal Daha itu menyerang kuta Juwana. Alim ulama
Demak dan pasukannya yang tak menduga bakal diserang
2274
mendadak, kelabakan dan berusaha menahan serangan tentara
kafir Daha itu dengan segenap daya dan kuasa mereka. Namun,
apalah arti perlawanan para petani, perajin, tukang, nelayan,
penyadap enau, dan pedagang kecil yang dipersenjatai tombak
dalam melawan prajurit-prajurit Daha yang terlatih. Dalam waktu
tidak lama, kuta Juwana telah penuh mayat. Darah menggenang
di mana-mana. Bahkan, seperti tidak puas membunuh alim ulama
dan pengikut bersenjatanya, pasukan Daha yang dikirim Patih
Mahodara membakar seluruh bangunan yang tegak di kuta
Juwana sehingga seluruh kuta nyaris rata dengan tanah.

Seiring menyebarnya kabar serbuan pasukan Daha ke Juwana, di


tlatah Pasir terjadi pergolakan. Pangeran Mangkubhumi, putera
mahkota Prabu Banyak Belanak Yang Dipertuan Pasir, tiba-tiba
mengangkat senjata bersama pengikutnya dengan didukung
pendeta-pendeta Syiwa-Buda, seperti Ajar Carang Andul, Wiku
Ragadana, Ajar Pohkombang, dan Binatang Karya. Perlawanan
putera mahkota Pasir itu sendiri semula tidak diketahui karena
serangan-serangan yang dilakukan alim ulama Demak dan
pasukannya itu berlangsung di wilayah yang sangat luar dari
Wirasabha, Manoreh, sampai Bocor. Namun, saat diketahui bahwa
di balik penyerangan-penyerangan itu terdapat perintah Pangeran
Mangkubhumi, tuduhan murtad pun buru-buru dialamatkan
kepadanya. Namun, pangeran yang sudah muak dengan
kekejaman yang dipamerkan-pamerkan alim ulama itu tidak peduli.
Ia terus melakukan perlawanan bersenjata, meski harus
menghadapi risiko kehilangan takhta yang diwariskan
ayahandanya.

2275
Sementara di Samarang, di tengah hiruk kembalinya para mualaf
Cina ke agama leluhur, Raden Kaji Adipati Samarang yang sangat
terpukul dengan kekalahan armada Japara di Malaka, atas saran
guru ruhaninya, Syaikh Malaya, mengundurkan diri dari jabatan
adipati Samarang. Ia digantikan oleh adiknya, Raden Ketib. Ia
sadar dan paham pada nasihat guru ruhaninya bahwa cepat atau
lambat, Tranggana akan semakin kuat dan dipastikan akan
menggilas semua kekuatan yang mendukung Adipati Hunus. Itu
sebabnya, demi menyelamatkan kadipaten yang dipimpinnya, ia
mundur untuk digantikan adiknya. Lalu, putera Raden Sahun itu,
cucu Ario Damar Palembang, diam-diam pergi meninggalkan
Samarang dan tinggal di pedalaman, di perbatasan Pajang dan
Mataram, yaitu di tempat yang disebut Tembayat. Ia menjadi guru
suci di situ dan karena itu ia disebut orang sebagai Susuhunan
Tembayat.

Hampir bersamaan dengan mundurnya Raden Kaji sebagai Adipati


Samarang, di Pengging terjadi pengungsian besar-besaran warga
muslim mualaf dari kalangan Sasak, Domba, Kewel, dan Dapur ke
Blambangan dan Bali. Penduduk kalangan bawah itu rupanya
sangat ketakutan karena tersebar kabar burung yang menyatakan
bahwa siapa saja di antara penduduk yang menjalankan
sembahyang tiga waktu akan dituduh pengikut Syi’ah dan akan
disembelih oleh alim ulama Demak. Meski tidak paham apa yang
dimaksud Syi’ah dan apa yang bukan Syi’ah, kisah menyangkut
pembantaian pengikut Syi’ah beberapa tahun silam telah membuat
mereka ketakutan. Mereka beramai-ramai menyelamatkan diri
meninggalkan kediamannya. Mereka dipimpin oleh tiga
bersaudara pemuka-pemuka keluarga Bajul, yang menjadi
2276
pasukan perairan (angreyok) Pengging, yaitu KiReyok Bhaya, Ki
Kawuk Bhaya, dan Ki Lendang Bhaya. Melalui jaringan keluarga
Bajul yang menguasai sungai dan pantai, para pengungsi berhasil
mencapai tanah Blambangan dan sebagian lagi melanjutkan
perjalanan ke Bali. Di Blambangan mereka dilindungi oleh Ki Juru,
kakek Prabu Andayaningrat yang menjadi pertapa di gunung
Argapura. Sedang di Bali mereka meminta perlindungan kepada
Danghyang Nirartha, murid Syaikh Siti Jenar yang menjadi guru
suci di Bali.

Sementara, mengetahui reaksi kebencian penduduk terhadap alim


ulama Demak dan pasukan bertombaknya, Tranggana buru-buru
memerintahkan mereka untuk kembali ke Demak. Kebijakannya
menarik alim ulamanya ke Demak tampaknya terkait dengan
laporan-laporan yang menyatakan sejak tersebarnya kabar
keberanian pemuka-pemuka dukuh Lemah Abang menghadapi
kematian, penduduk dari berbagai tempat selalu terlihat datang
berduyun-duyun ketika mendengar kabar akan adanya perdebatan
antara pemuka Lemah Abang dan alim ulama Demak. Bahkan
yang berkembang kemudian terdapat laporan yang mengatakan
bahwa prajurit-prajurit dari Kadipaten Samarang, Tetegal,
Rembang, Tedunan, Pati, Kendal, dan Siddhayu diam-diam
menyelundup ke desa-desa di sekitar dukuh Lemah Abang dengan
menyamar sebagai penduduk. Mereka mengawasi semua gerak-
gerik alim ulama asal Demak beserta satuan-satuan
bersenjatanya. Keadaan itulah yang membuat Tranggana
memutuskan alim ulamanya kembali ke Demak. Pada saat itu pula
ia semakin yakin jika dukuh-dukuh Lemah Abang adalah bagian
dari kekuatan yang mendukung kekuasaan Adipati Hunus.
2277
Lantaran itu, di balik titah penarikan mundur para alim dan
pasukannya itu, ia diam-diam menyiapkan kemungkinan-
kemungkinan untuk menghancurkan dukuh-dukuh penggalang
perlawanan seperti Lemah Abang itu jika keadaan sudah
memungkinkan.

Dukuh Lemah Abang baginya merupakan ancaman besar. Sebab,


pemuka-pemuka dukuh tersebut tidak saja telah mengajarkan
kepada penduduk tentang kesederajatan, kesamaan hak,
kebebasan berpikir, kebebasan memilih pemimpin, dan gagasan-
gagasan yang sangat berbahaya bagi sebuah kekuasaan,
melainkan telah memberi contoh pula bagaimana mengorbankan
nyawa untuk melawan kekuasaan yang semena-mena.

2278
Keterlepasan Ikatan-Ikatan Citra Diri

Seperti tak peduli dengan hiruk di sekitarnya,


Abdul Jalil berenang mengarungi lautan
waktu yang luas seolah tanpa batas. Sesekali
ia menoleh ke belakang, menyaksikan pulau
duniawi yang tampak semakin samar di
kejauhan. Ia merasakan betapa semua hal
yang telah disaksikan matanya dan didengar telinganya tentang
pulau duniawi telah semakin menjauh darinya. Cerita tentang
Kematian murid-muridnya terkasih yang terbunuh dengan gagah
dan pemuka-pemuka agama yang dituduh sesat dan murtad telah
semakin kabur. Namun demikian, ia masih merasakan ada sesuatu
yang menempel pada dirinya yang membuatnya terasa berat
sehingga sering kali ia tenggelam ke dasar samudera waktu.
Seperti orang berenang kehabisan udara dan terlalu banyak
meminum air, ia merasa megap-megap menggapai-gapaikan
tangan dan menjejak-jejakkan kaki sekuat kuasa supaya tidak
tenggelam. Saat berada di antara dasar dan permukaan, ia baru
menyadari jika pikiran dan jiwanya masih digelayuti oleh jaring-
jaring ingatan tentang keberadaan dirinya sebagai manusia yang
memiliki ikatan-ikatan dengan tubuh dan jiwa. Ya, jaring-jaring
ingatan tentang keberadaan diri. Lalu, seperti kapas di dalam
karung yang menjadi berat karena terkena air, begitulah ia
merasakan jiwanya menjadi berat digelayuti oleh ikatan-ikatan citra
diri manusiawi.

2279
Sadar untuk menjadi yang sendiri (fard) ia harus melepas semua
ikatan citra diri manusiawi, Abdul Jalil buru-buru melepas surban,
jubah, dan terompah yang dikenakannya. Lalu, seperti layaknya
orang kebanyakan, ia mengenakan celana hitam, baju hitam, ikat
pinggang lebar dari bahan kulit, destar batik kawung warna hitam,
dan bertelanjang kaki tanpa terompah. Dengan penampilan
barunya itu, ketika ia bersembahyang di Masjid Agung Demak atau
berjalan di jalanan dukuh Lemah Abang, ia tidak dikenal lagi oleh
orang-orang yang pernah mengenalnya. Kumis dan cambangnya
yang melebat hampir menutupi wajah semakin menjadikan dirinya
tak dikenal. Ia merasa lebih leluasa karena ia sudah bukan lagi
seorang guru ruhani. Ia hanya manusia biasa yang sedang
menunggu kesendirian menjadi yang sendiri. Dengan tidak
dikenalnya dirinya sebagai seseorang yang pernah termasyhur, ia
merasa lebih leluasa dalam mendengar dan melihat segala
sesuatu yang menjadi bagian dari citra dirinya yang harus
dilepaskannya.

Ketika suatu sore, dengan penampilan yang baru, Abdul Jalil


berjalan di bekas ksetra di Kaliwungu di timur kuta Demak, ia
melihat seorang laki-laki duduk sendirian di bawah sebatang pohon
besar. Ketika didekati, pahamlah a jika laki-laki itu adalah pelaut
Potugis yang pernah dikenanya di Kozhikode beberapa tahun
silam: Francisco Barbosa. Dilihat dari penampilannya dengan
jubah hitam berenda benang emas dan surban hitam dihias bulu
merak, jelas menunjuk bahwa pelaut Portugis itu tidak saja telah
memeluk agama Islam, tetapi juga menduduki jabatan terhormat di
istana. Setelah mengamati beberapa bentar, ia mendekati
Francisco Barbosa dan menyapa.
2280
“Assalamualaikum.”

“Wa alaikum salam warahmatullah.”

“Como esta usted?” Abdul Jalil menanya kabar dalam bahasa


Spanyol.

“Muy bien, gracias,” seru Barbosa terkejut dan bertanya balik,


“Habla usted Espanol?”

“Solo hablo un poco de Espanol,” Abdul Jalil tertawa menyatakan


sedikit bicara dalam bahasa Spanyol.

Francisco Barbosa terkejut dan menatap tajam Abdul Jalil. Ia


seperti mengingat-ingat sesuatu. Setelah beberapa jenak diam,
tiba-tiba ia tertawa sambil menyalami Abdul Jalil dan berkata penuh
kegembiraan dalam bahasa Jawa yang kurang fasih. “Bapa
pastilah Datuk Abdul Jalil, padre sacerdote de Jaoa. Saya tidak
akan pernah lupa suara Bapa.”

“Apakah nama Tuan masih Francisco Barbosa?”

2281
“Sejak memeluk Islam lima tahun lalu, saya ganti nama: Zainal
Abidin. Tapi orang-orang memanggil saya Khwaja Zainal.”

Setelah saling mengabarkan keadaan masing-masing, Abdul Jalil


dan Khwaja Zainal berbincang tentang berbagai hal. Dari dialah
Abdul Jalil mengetahui jika barang tiga bulan silam Syah Ismail,
sang tuhan, penguasa Persia, telah dikalahkan oleh Sultan Turki,
Salim, dalam pertempuran di Chaldiran pada 23 Agustus 1514.
“Syah Ismail lari terbirit-birit ke Daghestan meninggalkan
haremnya yang cantik. Sang mahdi telah kalah oleh si kejam
Salim,” kata Zainal Abidin.

“Apakah dalam kemenangannya anak Bayazid itu melumuri


tangannya dengan darah?” tanya Abdul Jalil.

“Menurut kabar, si kejam Salim telah menjagal 40.000 orang kaum


bid’ah pendukung Syah Ismail.”

Abdul Jalil menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya yang


tiba-tiba kering. Di benaknya tiba-tiba berkelebat bayangan
keganasan Salim, sultan Turki itu tertawa-tawa menyaksikan
musuh-musuhnya dijagal prajuritnya. Setelah menarik napas berat
beberapa kali, ia berkata, “Bagiku, makhluk seperti Salim dan
Ismail bukanlah penganut ajaran Muhammad Saw. yang kaffah.
Mereka hanya menjadikan Islam sebagai adat warisan untuk
menutupi agama mereka yang sebenarnya, yaitu agama
2282
purwakala yang di dalam memuja Tuhan mensyaratkan
penyembelihan korban manusia,” kata Abdul Jalil.

“Kenapa Bapa berpandangan seperti itu? Bukankah mereka itu


kalau beribadah di masjid?”

“Ya, mereka bersembahyang di masjid hanya sebagai penanda


formal bahwa mereka muslim. Sebab tempat ibadah mereka yang
sesungguhnya adalah mezbah tidak kasatmata yang disebut
madzhab. Di atas madzhab-madzhab yang tak kasatmata itulah
mereka menyembelih manusia yang mereka anggap mengotori
agama Tuhan. Mereka menganggap tindakan biadab menjagal
manusia itu sebagai bagian dari jihad menyucikan agama Allah.
Mereka tidak sadar diri siapa sesungguhnya mereka itu. Apa hak
mereka menyucikan agama Tuhan? Siapa yang memberi mereka
wewenang untuk menjalankan hak itu?” kata Abdul Jalil.

“Saya paham jalan pikiran Bapa. Tapi terus terang, belakangan ini
saya justru gelisah dengan tindakan sultan Jawa yang
membayangkan diri sebagai Salim.”

“Maksud Tuan, Tranggana?” gumam Abdul Jalil. “Apakah dia


memimpikan jadi sultan sebesar Salim?”

Khwaja Zainal mengangguk dengan muka murung.


2283
“Berarti, dia harus menjagal orang-orang yang dia anggap bid’ah
sebagaimana Salim menjagal orang-orang penganut Syi’ah,” kata
Abdul Jalil.

“Itu yang sedang saya risaukan, Bapa. Dalam pertemuan dengan


para alim kaki tangannya, sultan telah merencanakan pembasmian
terhadap kelompok penduduk yang disebut kaum Abangan.”

“Kaum Abangan?” gumam Abdul Jalil mengerutkan kening, “Siapa


mereka itu?”

“Itu sebutan untuk menandai penduduk yang mengikuti ajaran


Syaikh Lemah Abang. Katanya, Syaikh Lemah Abang itu guru
agama yang sesat karena mengajarkan manusia menjadi tuhan
dan menyuruh pengikut-pengikutnya bunuh diri. Tapi saya tidak
yakin dengan tuduhan itu. Menurut saya, itu hanya rekayasa.”

“Kenapa Tuan berpendapat begitu? Kenapa Tuan tidak percaya?”

“Kalau Syaikh Lemah Abang memang menyuruh pengikut-


pengikutnya bunuh diri, kenapa sultan repot-repot menbentuk
satuan-satuan bersenjata untuk menumpas mereka? Bukankah
dengan dibiarkan maka pengikut Syaikh Lemah Abang akan habis
sendiri karena bunuh diri semua?”

2284
“Tuan benar. Tapi tidak semua orang berpikiran cerdas seperti
Tuan.”

“Saya juga cemas mendengar kabar datangnya pengungsi-


pengungsi dari Persia di Udung, Pati, Rembang, Tuban, dan
Gresik. Saya khawatir sultan yang ingin seperti Salim itu akan
membantai mereka, karena kemarin alim ulama asal Kerala dan
Malaka telah memanas-manasi sultan dengan kabar persekutuan
Syah Ismail dengan Portugis.”

“Apakah Syah Ismail memang bersekutu dengan Portugis?”

“Ya Bapa. Ismail telah mengirim utusan kepadma gubernur


Portugis di India, Alfonso d’Albuquerque untuk meminta bantuan
melawan Salim dalam pertempuran di Bahrain dan al-Qathib serta
menindas pemberontakan di Baluchistan dan Makran.
D’Albuquerque telah menyanggupi untuk membantu Ismail dalam
melawan kekuatan militer Salim.”

Abdul Jalil diam. Ia menangkap sasmita bahwa badai Kebinasaan


masih akan terus berlangsung dengan ganas, seolah mengaitkan
gemuruh ambisi Tranggana dengan keterlepasan-keterlepasan
dirinya dari keterikatan-keterikatan yang melekat pada citra dirinya.
Kabar tentang kekalahan Syah Ismail, sang tuhan, semakin
memperjelas sasmita Kebinasaan yang sudah ditangkapnya.
Sebab, seiring menyingsingnya keagungan kekuasaan Syah
2285
Ismail, yang ternyata seorang manusia biasa yang bisa kalah
perang, secara langsung atau tidak langsung akan berpengaruh
kuat terhadap perubahan tatanan yang berlaku di Nusa Jawa.
Maksudnya, jika sebelum itu lambang kewalian dalam wujud
Majelis Wali Songo sebagai pemimpin tertinggi umat (wilayah al-
ummah) harus dimunculkan sebagai lembaga kewalian yang
diketahui manusia, sebagai lambang perlawanan terhadap Syah
Ismail dan kaki tangannya yang menafikan keberadaan wali Allah,
maka dengan tumbangnya kisah kemahdian dan ketuhanan cucu
Syaikh Saifuddin Ishaq itu, keberadaan lembaga kewalian seperti
Majelis Wali Songo secara hakiki tidak dibutuhkan lagi.
Keniscayaan tentang wali Allah akan kembali menjadi sesuatu
yang bersifat rahasia dari pengetahuan manusia. Itu berarti, secara
ruhaniah kekuasaan Tranggana akan menjadi tidak terkendali
karena tidak ada lagi lembaga ruhani berwibawa yang
membatasinya. Dan salah satu sasaran yang akan dimangsa
ambisi Tranggana adalah pengikut-pengikut yang sudah
dikelompokkan sebagai kaum Abangan, pengikut Syaikh Lemah
Abang.

Dengan hati gundah Abdul Jalil menjemput istri dan puteranya di


kediaman Gagak Cemani. Namun, baru saja ia masuk ke dalam
rumah Gagak Cemani, ia sudah diberi tahu oleh pengikutnya itu
bahwa beberapa saat yang lalu di pantai Demak dekat muara telah
terjadi pembantaian terhadap orang-orang berkulit merah yang
tinggal di situ barang dua pekan silam. Entah siapa pelakunya,
ungkap Gagak Cemani, menurut kabar yang didengarnya orang-
orang tersebut adalah pengungsi dari negeri Persia. “Kabar yang
kami dapat dari Masjid Agung Demak, orang-orang kulit merah
2286
yang terbunuh itu diduga prajurit-prajurit Persia yang menyamar
dan bertujuan menyerang sultan,” kata Gagak Cemani.

Abdul Jalil diam. Ia tahu, apa yang dicemaskan Khwaja Zainal


Abidin tentang para pengungsi Syi’ah telah mewujud menjadi
kenyataan. Pembunuhan demi pembunuhan terus berlangsung
seolah tak diketahui kapan berakhirnya. Bahkan, saat ia akan
mengajak istri dan puteranya meninggalkan kuta Demak, ia
mendapat kabar yang sangat mengejutkan: Abdul Qahar bin Abdul
Malik Baghdady, saudara iparnya yang membantu Raden Qasim
mendakwahkan Kebenaran Islam di Pamwatan, telah dibunuh
beserta belasan orang pengikutnya. Padahal, saat itu istri Abdul
Qahar sedang hamil lima bulan. Sepeninggal suaminya, istri Abdul
Qahar tinggal di Kaninyan Sendang, pertapaan seorang bhairawi
yang sangat ditakuti di Pamwatan. Istri Abdul Qahar dapat
terhindar dari pembunuhan karena dilindungi oleh sang
tapaswijana (pertapa perempuan) yang dikenal penduduk dengan
nama masyhur: Hyang Nini Durgandini.

Mengetahui nasib malang yang dialami Abdul Qahar, terutama


istrinya yang sedang hamil, ingin sekali Abdul Jalil pergi ke
Pamwatan dan menjemput istri saudara iparnya itu untuk dibawa
ke Caruban. Namun, ia segera sadar bahwa ia harus melepaskan
semua ikatan yang “menempel” pada dirinya baik ikatan
persahabatan, persaudaraan, kekerabatan, kekeluargaan, bahkan
akhirnya ikatan keakuan diri pribadi. Ia menekan segala kilasan
pikiran dan sentakan perasaan yang terkait dengan nasib istri
Abdul Qahhar yang mengandung anak yatim yang seharusnya
2287
menjadi tanggung jawabnya itu. Ia memasrahkan semua urusan
yang terkait dengannya kepada Yang Mahatunggal Tak
Terbandingkan. Saat sebuah kapal jung berangkat ke barat, ia
buru-buru mengajak istri dan puteranya menumpang dengan
tujuan Caruban. Sepanjang perjalanan ia terus dibayangi nasib
bayi yatim yang tidur lelap di perut ibundanya. “Ya Allah, Engkau
berkali-kali menunjukkan kepadaku kuasa dan kebesaran-Mu
dengan melindungkan mereka yang tak berdaya di bawah
naungan manusia-manusia peminum darah,” kata Abdul Jalil
dalam hati.

Ketika kapal jung yang ditumpanginya baru saja bersandar di


dermaga pelabuhan Muara Jati, Abdul Jalil sudah ditunggu oleh
sesuatu yang terkait dengan keterlepasan-keterlepasan ikatan
citra dirinya. Begitu akan turun dari kapal jung yang membawanya,
ia mendengar juru tambat dan awak kapal berbicara tentang
sesuatu yang tidak terduga-duga dan membuatnya terkejut: putera
Syaikh Maulana Jati Susuhunan Cirebon Girang, Pangeran
Bratakelana, telah diserang oleh sekawanan orang tak dikenal saat
berlayar dari Demak ke Caruban, tepatnya di lepas pantai Gebang.
Pangeran Bratakelana beserta semua pengawalnya terbunuh.
Jenasah Pangeran Bratakelana ditemukan di pantai Mundu dan
dimakamkan di sana.

Abdul Jalil mengatupkan mulut rapat-rapat mendengar


pembicaraan itu. Meski hasrat hatinya berkobar ingin bertanya
tentang kabar Kematian putera Syarif Hidayatullah itu, ia tindas
sekuat daya hasrat itu sampai ia rasakan dadanya sesak. Kilasan-
2288
kilasan kenangan saat ia menggendong dan bermain dengan
pangeran yang memiliki panggilan Gung Anom itu berkelebatan
memasuki ingatannya. Pangeran kecil yang setiap kali ia singgah
di Giri Amparan Jati selalu minta gendong itu kini telah kembali ke
hadirat-Nya. Meski sadar bahwa segala sesuatu adalah tergantung
mutlak pada kehendak-Nya, rangkaian ingatan yang mengikat
kenangannya dengan seseorang yang pernah dekat terasa sangat
menyesakkan dada. Untuk membebaskan diri dari kegundahan, ia
segera menenggelamkan keakuannya ke dalam Keakuan Yang
Mahaaku.

Ketika singgah di Pesantren Giri Amparan Jati, Abdul Jalil melihat


suasana berkabung menyelimuti. Namun, saat ia akan masuk ke
Ndalem ternyata tidak seorang pun di antara mereka yang
berpapasan mengenalnya. Rupanya, penampilannya yang
berubah telah menjadikannya sebagai orang seorang yang tak lagi
dikenali oleh mereka yang masih terikat pada bentuk penampilan
luar. Saat itu ia tiba-tiba sadar bahwa sebaiknya ia tidak ke Ndalem
karena pasti akan menemui Syarifah Baghdad, ibunda Pangeran
Bratakelana, yang tentu sangat berduka. Ia berbalik arah, naik ke
atas pemakaman Syaikh Datuk Khafi.

Di depat makam ia melihat Syarif Hidayatullah sedang berbincang-


bincang dengan Bardud, puteranya, yang sudah terlihat dewasa.
Saat mereka melihatnya, mereka serentak mengungkapkan
keheranan melihat perubahan yang terjadi pada dirinya. Mereka
heran melihat penampilannya yang seperti petani desa. Sebelum
ditanya ini dan itu, ia memberi tahu mereka tentang jalan hidup
2289
yang akan dilaluinya yang mengharuskannya uzlah meninggalkan
Kehidupan duniawi. “Saat turun dari kapal tadi, aku terkejut
mendengar kepergian cucuku yang memenuhi panggilan-Nya.
Tapi, seberat apa pun kita harus ikhlas melepasnya. Sebab, dia
yang berasal dari Dia pasti kembali kepada-Nya. Kita semua
sedang menunggu giliran. Yang membedakan di antara kita adalah
cara dan waktu kembali. Hendaknya engkau ketahui bahwa aku
pun sekarang ini sedang mengalami detik-detik kembali kepada-
Nya,” kata Abdul Jalil sambil meminta kepada Syarif Hidayatullah
agar kehadirannya kembali ke Caruban dirahasiakan dari siapa
pun kecuali keluarganya. “Biarlah orang-orang perlahan-lahan
melupakan keberadaanku. Biarlah anak Adam menjadi ‘adam
(tiada) dan kembali pada ‘Adam al-Muhith (Ketiadaan Yang Maha
Meliputi) tanpa diketahui oleh siapa pun di antara makhluk. Biarlah
wujud khayalan (wujud al-khayali) ini terserap ke dalam Wujud
Hakiki (Wujud al-Haqiqi).”

“Kami paham akan apa yang Pamanda alami,” kata Syarif


Hidayatullah dengan suara tersekat di tenggorokan, “Tapi, kami
berharap sudilah Pamanda meninggalkan kepada kami warisan
wejangan yang akan kami jadikan pusaka dalam mengarungi
samudera Kehidupan ini.”

Abdul Jalil menatap tajam Syarif Hidayatullah. Lalu, dengan suara


penuh kasih ia berkata, “Pertama-tama, sebagai penegak Tauhid,
hendaknya engkau tidak mendekat tetapi tidak juga menjauhi
kekuasaan Yang Dipertuan Demak. Sebab, Tranggana yang telah
membeli iman dan agama alim ulama dengan sepetak tanah dan
2290
hadiah-hadiah serta jabatan duniawi itu adalah bagian dari ujian-
Nya pada manusia beriman. Tranggana telah menjadi sarana
penyebab bagi banyak ulama pewaris Nabi (waratsat al-anbiya’)
yang berubah menjadi pedagang agama dan tukang jagal
bertopeng kesucian. Tranggana telah banyak menyesatkan alim
ulama. Lantaran itu, jangan engkau dekat dan jangan pula engkau
jauhi dia. Hendaklah engkau mengambil jarak dengannya.
Sebaliknya, jangan dekati siapa pun di antara alim ulama yang
telah menukar iman dan agamanya demi segenggam bara api
dunia yang mereka kira harta abadi. Sebab, mereka itu adalah
wakil al-‘Alim di muka bumi yang telah mengkhianati al-‘Alim Yang
Diwakilinya. Jauhi mereka! Hindari mereka!”

“Bagaimana dengan Majelis Wali Songo?” tanya Syarif


Hidayatullah, “Apakah harus kami tinggalkan pula?”

“Sesungguhnya, salah satu alasan dibentuknya Majelis Wali


Songo adalah sebagai perlambang untuk menghadapi keyakinan
sesat Syah Ismail beserta pengikut-pengikutnya. Majelis Wali
Songo dibentuk beberapa waktu sebelum Syah Ismail berkuasa.
Lantaran itu, ketika Syah Ismail dan pengikut-pengikutnya
menafikan keberadaan wali-wali Allah dan dengan tindak
kekerasan membongkar kuburan-kuburan para wali di wilayah
kekuasuannya, dengan kekejaman menjijikkan memburu para
guru tarekat dan orang-orang yang meyakini keberadaan wali
Allah, dan dengan doktrin-doktrin yang menyesatkan
menghancurkan keyakinan manusia tentang keberadaan wali-wali
Allah, maka keberadaan Majelis Wali Songo menjadi keniscayaan
2291
tak tersanggah. Sehingga, pada saat al-Waly menyingsing di tanah
Persia dalam citra al-Bathin maka di Nusa Jawa yang sudah
ditebari tanah Karbala oleh Syaikh Syamsuddin al-Baqir al-Farisi,
al-Waly terbit dalam citra azh-Zhahir. Tetapi kini, setelah tuhan
jejadian itu dikalahkan Salim, keberadaan Majelis Wali Songo
sudah tidak lagi menjadi keniscayaan karena sang tuhan yang
berfirman tentang ketiadaan wali-wali Allah itu telah lari tunggang-
langgang dihajar manusia kejam bernama Salim. Kewalian
(wilayah) kembali menjadi sesuatu yang bersifat rahasia dan
tersembuny dari manusia. Hanya mereka yang memahami hakikat
keseimbangan al-Bathin dan azh-Zhahir yang dapat mengetahui
rahasia tentang al-Waly dan wilayah beserta wali-wali.

“Engkau tentu telah melihat bagaimana aku melepas pakaian dan


semua atribut diriku sebagai seorang alim. Sebab, aku telah malu
mengenakannya. Malu. Malu. Seribu kali malu. Aku tidak tahan
menyaksikan setiap mata melihat pakaian ulama yang aku
kenakan dengan pandang curiga dan ketakutan, karena semua
menduga siapa pun yang berpakaian alim ulama adalah tukang
jagal bertopeng agama. Semua menangkap citra keulamaan
sebagai Yamadipati, Sang Maut. Sehingga, dengan pakaian itu
aku tidak bisa bergerak ke mana-mana. Sungguh memalukan
pakaian keulamaan saat ini, karena siapa pun di antara manusia
yang mengenakan jubah, destar, surban, terompah, tasbih, dan
kitab suci akan dipandang oleh semua mata sebagai kaki tangan
sultan. Memalukan. Memalukan. Citra wakil al-‘Alim di muka bumi
sudah direndahkan sebagai citra tukang-tukang sihir Fir’aun yang
tidak memiliki kemampuan lain kecuali menghasut dan menebar
fitnah menyesatkan. Sungguh memalukan citra al-‘Alim yang telah
2292
menjadi citra kaum musyrik dan munafik, yaitu kaum yang di mulut
mengaku-aku hamba Allah, tetapi dalam kenyataan bersujud di
kaki sultan. Memalukan.”

“Lantaran itu, o engkau yang terkasih, tegakkan Tauhid dengan


sekuat kuasamu tanpa keharusan engkau menampilkan diri
sebagai ulama dalam bentuk ragawi. Lebih baik engkau menjadi
sultan secara zahir, tetapi alim secara batin, daripada sebaliknya.
Tidakkah engkau pernah mendengar kisah guru terkasihku,
Ahmad Mubasyarah at-Tawallud? Dia adalah saudagar kaya raya
secara zahir, tetapi alim secara batin. Sebaliknya, alim ulama
sekarang ini secara zahir alim, tetapi secara batin adalah
saudagar. Itu sebabnya, waspadalah engkau sekarang ini kepada
siapa pun di antara manusia yang muncul di depanmu dengan
mengenakan pakaian keulamaan. Pandanglah mereka dengan
bashirah sehingga engkau mengetahui siapa mereka sejatinya.”

“Kami akan pusakakan wejangan Paman,” kata Syarif


Hidayatullah.

Ketika Abdul Jalil akan beranjak pergi, Syarif Hidayatullah


bertanya, “Apakah Paman nanti singgah dahulu ke Kalijaga?”

“Ke Kalijaga? Ada apa?” tanya Abdul Jalil tak paham.

2293
“Zainab,” kata Syarif Hidayatullah menjelaskan, “Puteri Paman,
sekarang tinggal di Kalijaga mendampingi suaminya yang menjadi
guru suci di sana.”

“Raden Sahid sudah mengajar?”

“Pengikut-pengikut Paman yang kebingungan dengan kabar


pembunuhan terhadap pemuka-pemuka dukuh Lemah Abang,
berdatangan ke Kalijaga dan menjadikan dia sebagai pengganti
Paman. Tidak hanya orang-orang dari Caruban yang berguru
kepadanya, bahkan mereka yang mengaku pengikut Paman dari
Luragung, Bojong, Tetegal, Pasir, Kendal pun berdatangan ke
Kelijaga.”

“Semua sudah diatur oleh-Nya. Biarlah terjadi apa yang harus


terjadi sesuai kehendak-Nya.”

“Apakah Paman sudah tahu jika Paman telah dikaruniai tiga orang
cucu, si kembar Watiswari dan Watiswara serta si bungsu
Wertiswari?”

“Aku sudah punya tiga orang cucu? Watiswari, Watiswara, dan


Wertiswari,” gumam Abdul Jalil. “Watiswari dan Watiswara
bermakna penguasa angin. Wertiswari bermakna penguasa

2294
sumbu lampu. Sungguh perlambang jalan ruhani yang baik nama-
nama itu. Berapa usia mereka sekarang?”

“Yang kembar sudah sembilan tahun. Yang bungsu tujuh tahun.


Tetapi, karena ketiga orang cucu Paman itu dianggap keluarga ratu
Caruban, maka sebagaimana ayahanda mereka yang dianugerahi
gelar Pangeran Kalijaga dan kakeknya dianugerahi gelar Pangeran
Lemah Abang, Watiswari dianugerahi gelar Nyi Mas Ratu
Mandapa, Watiswara dianugerahi gelar Pangeran Panggung, dan
yang bungsu dianugerahi gelar Nyi Mas Ratu Campaka,” kata
Syarif Hidayatullah.

Abdul Jalil diam dan menarik napas panjang berkali-kali. Ia


merasakan sesuatu yang berat sedang menyesaki dadanya.
Sebagai seorang ayah dan sekaligus kakek, nalurinya menarik-
narik hasratnya untuk cepat-cepat melangkahkan kaki ke Kalijaga.
Namun, ia segera sadar bahwa jalan hidup yang harus dilewatinya
akan penuh ditandai oleh keterlepasan-keterlepasan segala
sesuatu yang berkaitan dengan citra dirinya, sampai ia benar-
benar sendiri tidak memiliki apa pun dan tidak dimiliki oleh siapa
pun (la yamliku syaian wala yamlikuhu syaiun) kecuali Yang
Mahatunggal. Ia sadar, betapa setiap keterlepasan adalah sesuatu
yang menyakitkan baik bagi dirinya maupun bagi yang terlepas
dengannya. Lantaran alasan-alasan itu, setelah memberi pesan
secukupnya kepada Syarif Hidayatullah, ia mengajak istri dan
anaknya, Fardun, meninggalkan Pesantren Giri Amparan Jati.

Keterlepasan Nafs-Nafs
2295
Setelah singgah di Pekalifahan untuk berpamitan, Abdul Jalil
dengan istri dan anak berjalan menuju sebuah hutan bambu yang
terletak di selatan dukuh Lemah Abang. Di situ, seorang diri ia
mendirikan gubuk berdinding bambu beratap daun kawung. Ia
tinggal di gubuk itu bersama istri dan anak sebagai orang
kebanyakan, bukan guru suci, bukan sesepuh dukuh, bukan
pelopor pembaharuan, dan bukan pula seseorang yang pernah
dianggap berjasa kepada masyarakat. Sebagaimana layaknya
orang kebanyakan, dalam memenuhi kebutuhan diri sendiri
dengan istri dan anaknya, Abdul Jalil membuka sepetak lahan
untuk berladang. Pagi-pagi sekali, usai sembahyang subgih, ia
sudah terlihat di ladang mengayunkan cangkul atau membuat alat-
alat dapur dari bahan bambu dan tempurung kelapa, membuat
kopiah rajutan, atau menganyam tikar pandan yang akan dijual ke
pasar. Hari-hari hidupnya benar-benar dilaluinya sebagai orang
kebanyakan tanpa atribut dan tanpa gelar apa pun. Ia bukan orang
berkelebihan yang pantas disebut hormat dengan julukan
Kangjeng Syaikh, Susuhunan, Syaikh Datuk, Dang Guru Suci,
Pangeran, atau Sang Pandita Suci. Ia adalah Abdul Jalil. Ia adalah
Pak Bardud. Ia adalah orang kebanyakan tak dikenal yang sedang
menghabiskan hari-hari hidupnya untuk menunggu datangnya ajal.
Ia adalah orang tua yang sedang mempersiapkan pelepasan
segala sesuatu yang melekat pada dirinya untuk dipasrahkan utuh
kepada Sang Pemilik Sejati.

Sekalipun sejak awal ia menyadari bahwa dengan menempatkan


dirinya sebagai orang kebanyakan maka akan memudahkannya
melampaui tahap-tahap keterlepasan-keterlepasan ruhani, Abdul
Jalil tetap merasakan tekanan-tekanan berat menghantam jiwanya
2296
manakala ia dihadapkan pada kuatnya desakan-desakan
keinginan yang mendorong-dorong dan menarik-narik hasrat
jiwanya untuk berbagi keberlebih-kelimpahan kepada sesama.
Sebagai orang yang sudah terbiasa berbagi keberlebih-
kelimpahan, ia benar-benar merasakan suatu siksaan ketika
berusaha keras menutup dan membalikkan genggaman tangan
agar keberlebih-kelimpahannya terbendung dan tidak mengalir a
keluar. Di tengah tekanan-tekanan jiwanya yang sangat menyiksa
itu, ia merasakan sesuatu membakar hatinya, ketika tanpa
terduga-duga muncul seorang laki-laki yang terluka parah,
mengharap uluran tangannya.

Kemunculan laki-laki terluka itu sangat aneh. Tanpa diketahui


darimana asalnya, tiba-tiba dia muncul dengan langkah terseok-
seok dengan wajah menyeringai kesakitan. Tanpa terduga-duga,
dia tersungkur di depan pintu gubuk sambi mengerang kesakitan.
Dia meminta pertolongan dengan ratapan mengharu biru. Abdul
Jalil yang saat itu berada di dalam gubuk bersama istri dan
anaknya tersentak menyaksikan pemandangan menyedihkan itu.
Ia merasakan jiwanya ditarik-tarik oleh keinginan kuat untuk
memberikan pertolongan kepada laki-laki malang tersebut.
Namun, secepat itu ia sadar bahwa tindakannya menolong orang
malang itu akan mendatangkan sesuatu yang selama ini
dihindarinya: membagi-bagi keberlebih-kelimpahannya, terutama
kebiasaan dalam mengobati orang. Dengan menolong, ia akan
memberi peluang untuk menjadikan dirinya sebagai berhala bagi
manusia. Ia sadar bahwa dirinya sudah memutuskan untuk benar-
benar menghindari orang-orang agar tidak ada lagi yang
mengenalnya, baik sebagai Syaikh Lemah Abang, Syaikh
2297
Jabarantas, Syaikh Siti Jenar, Susuhunan Binang, Syaikh Sitibrit,
atau Pangeran Kajenar, nama-nama yang dikenal orang memiliki
daya linuwih dan kekeramatan-kekeramatan. Namun, hasrat kuat
dari kedalaman dirinya untuk menolong mereka yang
membutuhkan terus menggelegak dahsyat di relung-relung
jiwanya, sehingga ia merasakan jiwanya sangat tersiksa. Semakin
kuat ia berusaha menahan-nahan dan membendung hasrat
menolongnya, semakin ia rasakan jiwanya terkoyak-koyak oleh
rasa sakit tak tertahankan.

Ketika Abdul Jalil masih dibingungkan oleh hasrat menolong dan


hasrat menahan diri untuk tidak menolong, tiba-tiba ia dikejutkan
oleh suara ratapan laki-laki terluka itu, yang terdengar memilukan
tetapi penuh getar kemarahan, “Kenapa engkau tiba-tiba menjelma
menjadi makhluk yang begitu kejam dan tidak memiliki belas kasih,
o hamba Allah? Apakah hatimu sudah berubah menjadi batu
sehingga tidak sedikit pun tergerak untuk menolong sesamamu?
Kenapa engkau ini, o engkau yang terkasih dan selalu berbagi
keberlebih-kelimpahan?”

Mendengar ratapan laki-laki malang itu, Abdul Jalil bergegas keluar


dari gubuknya. Di luar, ia melihat laki-laki itu meliuk-liuk kesakitan
sambil terus mengerang-erang. Namun, Abdul Jalil tidak sedikit
pun merasa kasihan. Sebaliknya, dengan bentakan keras ia
menghardik, “Rupanya engkau setan. Engkau akan memperdaya
aku dengan siasat licikmu memanfaatkan kelemahanku. Engkau
datang meratap meminta tolong. Jika aku menolongmu, engkau
akan sebarkan kepada manusia jika aku adalah titisan Tuhan. Lalu,
2298
manusia datang beramai-ramai menyembahku sebagai berhala.
Sungguh keji siasatmu. Sekarang pergilah engkau dari
pedalamanku sebelum kutimpuk dengan batu.”

Laki-laki malang yang terluka dan tersungkur di depan gubuk itu


tiba-tiba bangkit. Dengan bersungut-sungut ia berkata,
“Bagaimana engkau tahu jika aku adalah aku, o Abdul Jalil?”

“Aku tahu engkau adalah engkau, karena engkau adalah setan di


pedalamanku,” kata Abdul Jalil tertawa, “Aku lebih mengenalmu
daripada engkau mengenalku. Ketika citra bayanganmu engkau
sungkurkan di depan gubukku dalam wujud laki-laki terluka yang
minta dikasihani, aku segera tahu bahwa engkau sedang berusaha
memperdayaku. Engkau mau memelesetakan aku dari jalanku.
Sekarang, pergilah engkau dari pedalamanku! Pergi!”

Seberkas cahaya merah tiba-tiba melesat dari mulut Abdul Jalil dan
dengan kecepatan kilat menyambar tubuh laki-laki yang berdiri
terperangah di depan gubuk. Terdengar jeritan panjang di tengah
suara dentuman. Secara ajaib tubuh laki-laki itu menggelepar-
gelepar dalam kobaran api yang menjilat-jilat ke angkasa. Dalam
beberapa saat, tubuh itu sudah terpanggang menjadi setumpuk
arang. Namun, secara ajaib tumpukan arang itu berubah menjadi
seekor ular belang warna kuning, hitam, putih dan merah.
Kemudian, dengan gerakan cepat laksana sambaran kilat, ular itu
sekonyong-konyong melesat dan membelit leher Abdul Jalil erat-
erat. Abdul Jalil terpekik kaget. Tanggannya menggapai-gapai
2299
berusaha menarik ular dari lehernya dan melemparkannya jauh-
jauh. Saat tangan kanannya berhasil memegang ekor sang ular,
tiba-tiba pendengaran batinnya disentuh oleh al-ima’ yang
menggema dari cakrawala kesadarannya, yang berasal dari Ruh
al-Haqq.

“Kenapa engkau ingin melempar ular belang itu dari lehermu?


Masakan engkau tidak mengenal ular belang yang membelit
lehermu itu, o Abdul Jalil, padahal dia adalah nafs al-
hayawaniyyah, anasir tanah bersifat zhulmun, yang tersembunyi di
dalam diri (nafs) yang bersemayam di dalam keakuanmu.
Sekarang ini engkau tidak perlu takut lagi terhadap keganasan
racunnya. Sebab, ibarat seekor naga yang tidak bakal mati karena
racun seekor ular kecil, begitulah engkau tidak akan binasa oleh
racun nafs al-hayawaniyyah itu.”

Abdul Jalil tertawa dan membiarkan ular belang itu melilit lehernya.
Ia tiba-tiba sadar sesungguhnya ia telah sering melihat ular itu
berkeliaran di sekitarnya. Ia bahkan baru menyadari jika ular itu
telah dikenalnya untuk kali pertama berpuluh tahun silam, saat ia
berguru kepada Ario Abdillah di Palembang. Saat itu, seingatnya,
ular belang kuning, hitam, putih, dan merah itu dilihatnya sekilas
merayap di sampingnya saat ia mengambil air wudhu untuk
bersembahyang malam. Sejak waktu itu, kelebatan ular itu sesekali
ia saksikan melintas di sekitarnya. Baru setelah ia mengalami
peristiwa ruhani di gunung Uhud bersama Misykat al-Marhum dan
Ahmad Mubasyarah at-Tawallud, kelebatan bayangan ular itu tidak
pernah lagi muncul.
2300
Kini, setelah ia melupakan citra ular belang itu, tiba-tiba sang ular
muncul dengan cara menakjubkan. Ia baru sadar jika ular itu tidak
lain dan tidak bukan adalah citra perwujudan nafs al-hayawaniyyah
yang tersembunyi di dalam dirinya sendiri. Kini ia tidak lagi merasa
khawatir terhadap keberadaan ular yang racunnya terkenal ganas
tersebut. Bahkan, ia membiarkan ular itu mengikuti ke mana pun ia
pergi. Ia menyebut ular belang itu dengan nama Manik Maya, yang
bermakna “permata khayalan” yang menyesatkan. Dengan nama
Manik Maya itu, ia berharap setiap kali melihatnya, ia akan selalu
teringat bahwa leluhurnya dahulu, Adam a.s., terperosok ke dalam
lingkaran dosa – melanggar titah Sang Pencipta – karena tersihir
pesona keindahan kata-kata “permata khayalan” yang dipancarkan
oleh Sang Iblis, sehingga Adam jatuh dari martabat “Adam Ma’rifat”
yang bisa berwawansabda dengan Allah dan disujudi malaikat
menjadi “Adam Mahjubin” yang terhijab dan direndahkan sebagai
asfala safilin (QS. At-Tin: 4-5), yaitu dihukum di planet dunia yang
ditumbuhi Pohon Kegelapan (syajarah azh-zhulmah) yang penuh
ditebari jalan berliku-liku yang menyesatkan untuk bisa kembali
kepada-Nya.

Hari kesembilan sejak Abdul Jalil tinggal di gubuk bersama ular


sahabatnya ditandai oleh sebuah peristiwa aneh yang mengubah
seluruh kisah perjalanan hidupnya sebagai adimanusia menjadi
yang sendiri (fard).

Sejak pertama kali mengalami perjalanan ruhani menuju


Kebenaran Sejati (as-safar min al-khaliq ila al-Haqq), telah
berulang-ulang Abdul Jalil mengalami hal serupa: tenggelam ke
2301
dalam Kebenaran Sejati (fana’ fi al-Haqq) dan kembali dari
Kebenaran Sejati menuju ciptaan bersama Kebenaran Sejati (as-
safar min al-Haqq ila al-khaliq bi al-Haqq), lalu melakukan
perjalanan di dalam ciptaan bersama Kebenaran Sejati (as-safar fi
al-khaliq bi al-Haqq). Ia tidak ingat lagi untuk kali keberapa ia
mengalami peristiwa ruhani yang tak tergambarkan kata-kata dan
tak terucap bahasa manusia itu. Namun, sejak ia bersahabat
dengan ular belang yang sangat jinak itu, ia justru mengalami
pengalaman ruhani mencengangkan yang sebelumnya tidak
pernah ia sangka-sangka dan sedikit pun tak pernah ia bayangkan
dalam pikiran. Perjalanan ruhani menuju Kebenaran Sejati (al-
Haqq) yang selama ini telah dialaminya berulang-ulang itu ternyata
bukan merupakan yang terpuncak. Sebab, di balik kefanaan di
dalam Kebenaran sejati (fana’ fi al-Haqq) yang tersembunyi di
dalam kerahasiaan dirinya itu, ia mendapati Kenyataan yang lebih
menakjubkan, yaitu kesadaran diri baru yang mengungkapkan
rahasia bahwa selama ini yang ia alami adalah tenggelam ke
dalam Rabb: Wujud al-Haqq.

Ia sendiri tidak mengetahui kenapa tiba-tiba ia mendapat


kesadaran baru setelah fana di dalam Rabb (fana’ fi al-Haqq) yang
ia anggap sebagai puncak dari perjalanan ruhani menuju
Kebenaran Sejati, karena berjalan di dalam Kebenaran Sejati (as-
safar fi al-Haqq). Lantaran itu, dengan tercengang-cengang
kebingungan ia melampaui pengalaman ruhani lanjutan yang
menakjubkan yang sebelumnya tidak pernah ia pikirkan dan ia
bayangkan itu: melakukan perjalanan ruhani di dalam al-Haqq
menuju Allah (as-safar fi al-Haqq ila Allah) menuju Wujud al-
Muhaqaq atau melakukan perjalanan di dalam Rabb menuju Rabb
2302
al-Arbab. Inilah perjalanan naik ke Hadirat Allah (mi’raj al-kubra)
setelah terlebih dulu berkali-kali naik ke Hadirat al-Haqq (mi’raj al-
shughra). Inilah perjalanan ruhani naik ke Hadirat Allah
sebagaimana telah dialami Nabi Muhammad Saw. dalam peristiwa
Isra Mi’raj.

Di dalam perjalanan naik ke Hadirat Allah, yang tak pernah ia


bayangkan sebelumnya itu, ia merasakan seperti terisap oleh
suatu kegaiban yang membuat seluruh kesadarannya berubah. Ia
merasakan seperti bayi yang lahir dari kandungan ibu ke dunia
yang lebih luas dengan kesadaran yang lebih tinggi. Ia tiba-tiba
menjadi sadar sesadar-sadarnya akan makna sejati dari Sabda
Ilahi: Sungguh telah datang seorang rasul dari nafs-mu sendiri (QS.
At-Taubah: 128); Aku ciptakan engkau (Muhammad) dari nur-Ku
dan aku cipta seluruh ciptaan dari Nur-mu (hadits Qudsy); jika
engkau tidak Aku cipta maka cakrawala tidak Aku cipta (hadits
Qudsy).” Ia benar-benar menyaksikan bahwa di balik hakikat
Asma’, Shifat, Af’al, dan Dzat yang terpancar pada ciptaan-Nya,
tersembunyi hakikat Ahmad (Asma’), Muhammad (Shifat),
Mahmud (Af’al), dan al-Hamid (Dzat). Ia merasakan dengan
senyata-nyatanya keterhubungan dirinya sebagai bagian Nur
Muhammad dan Haqiqat Muhammadiyyah.

Selama tenggelam di dalam al-Haqq menuju Allah – di dalam Rabb


menuju Rabb al-Arbab – tidak ada satu pun pengalaman ruhani
yang bisa diungkapkan dengan kata-kata dan bahasa manusia. Ia
tidak dapat mengungkapkan segala sesuatu yang dapat
diungkapkan dan digambarkan. Ia hanya tercengang-cengang
2303
menyaksikan kesadarannya terisap ke dalam kesadaran demi
kesadaran baru yang tak terlukiskan, di mana dengan kesadaran-
kesadaran barunya itu ia menyaksikan akhirat sebagai citra dari
Yang Mahaakhir (al-Akhir). Ia mendapati pemahaman baru bahwa
akhirat adalah “ruang tak beruang dan waktu tak berwaktu”; akhirat
adalah “pertemuan” ruang dan waktu dan Zat; akhirat adalah
wahdat adz-dzatiyyah. Di situ ia menyaksikan dengan terheran-
heran pancaran al-Hadi dalam wujud sabil sebagai cermin thariq,
dan sebaliknya thariq sebagai cermin sabil. Lalu, keduanya
menyatu di dalam shirath. Ia menyaksikan pula dengan terheran-
heran pancaran al-Hakam dalam wujud mizan al-ashli sebagai
cermin mizan asy-syar’i, dan sebaliknya mizan asy-syar’i
sebagaiaHakH cermin mizan al-ashli. Lalu keduanya menyatu di
dalam Mizan al-Ilahi. Ia menyaksikan al-jannah sebagai kedekatan
Allah dalam wujud adna sebagai cermin qurb, atau sebaliknya qurb
sebagai cermin adna. Lalu, keduanya menyatu di dalam Maqam
al-Mahmud. Ia juga menyaksikan an-nur sebagai kejauhan Allah
dalam wujud bu’d sebagai cermin al-idhlal, atau sebaliknya al-idhlal
sebagai cermin bu’d. Lalu, keduanya menyatu di dalam al-ghayr.

Dengan ketidakpahaman dengan apa yang disaksikannya, ia


merasakan kesadarannya terisap oleh suatu kekuatan tak terbatas
ke dalam al-Kursi. Dari dalam al-Kursi, kesadarannya tercengang-
cengang menyaksikan pemandangan yang sangat menakjubkan
dan tak pernah terlintas dalam angan-angan: alam semesta
tampak tergelar di bawahnya laksana hamparan pasir cahaya
berserak tak terhitung jumlahnya. Bumi, bulan, planet, matahari,
bintang, dan galaksi terhampar laksana butiran pasir dengan
bentuk-bentuk berbeda-beda dan berubah-ubah kumpulan serta
2304
kelompok-kelompoknya. Ada yang berkerumun dalam bentuk
lingkaran pipih seperti telinga gajah. Ada yang berkerumun
membenuk bulatan seperti gentong. Ada yang berbentuk lingkaran
hitam tetapi sangat ganas memangsa benda-benda di sekitar. Ada
yang terus berubah-ubah warna dan cahayanya. Seluruhnya
mengagungkan Rabb mereka tanpa kecuali. Di dalam al-Kursi itu
ia menyaksikan Buraq, kendaraan ruhani berwujud keledai (bighal)
dengan kecepatan tak terukur dan khusus dikendarai Nabi
Muhammad Saw. dalam peristiwa Isra Mi’raj.

Setelah tercengang-cengang di al-Kursi, ia terisap lagi oleh


kekuatan dahsyat ke dalam al-Arsy. Di situ ia tidak menyaksikan
sesuatu yang lain kecuali Nama-Nama Allah Yang Indah dan tak
terbatas jumlah-Nya. Semua terjalin dalam suatu ikatan
(muqadiyyah) dan dari situlah sejatinya Sabda Suci Ilahi (al-
kalimah al-ilahiyyah) memancar menjadi hukum dan kabar
Kebenaran. Di al-‘Arsy inilah ia menjumpai kegandaan dirinya – ‘Ali
al-Fatta Karamallahu Wajha sebagai pancaran citra al-‘Aly, al-
Fattah, ar-Rasyid, al-Karim, al-Hadi – di depan dua cermin yang
disebut haqiqat al-faydh dan haqiqat al-irsyad. Anehnya, di balik
‘Ali al-Fatta Karamallahu Wajha bukanlah punggung, melainkan
Abu Bakar ash-Shiddiq. Bahkan, yang tak terungkap dengan akal,
kata-kata dan bahasa manusia, keduanya ternyata tidak saling
berbeda dalam menghadapkan wajah, melainkan berhadap-
hadapan wajah. Yang membedakan keduanya: ‘Ali al-Fattah
Karamallahu Wajha memancarkan citra -al-mursyid (pembimbing
ruhani) sedang Abu Bakar ash-Shiddiq memancarkan citra as-
suhbah (persahabatan ruhani).

2305
Kesadaran demi kesadaran baru yang dialami Abdul Jalil
berangsur melenyap ketika ia terserap ke dalam hakikat Alif pada
citra Asma’ Allah. Lalu, terisap lagi ke dalam hakikat Lam pada citra
Af’al Allah. Lalu, terisap lagi ke dalam hakikat Lam pada citra Shifat
Allah. Dan terakhir, ia hilang kesadaran diri ketika terserap ke
dalam hakikat Hu. Di situ, ia tidak sadar lagi akan siapa dirinya. Ia
tidak tahu apakah berada di luar atau di dalam hakikat Hu. Ia telah
hilang kesadaran karena terserap oleh Sesuatu Yang Tak
Terlukiskan (laisa kamitslihi syai’un); Kunhi Dzat; Dzat al-Bahat
yang bersabda: “Kun-Tu (kanzan mahfiyyun),” yang dari Sabda-
Nya itu bersabda: “Ku Fayakun!.”

Sejak turun kembali (‘uruj at-tarkib) dari perjalanan naik (mi’raj at-
tahlil) ke Hadirat Allah Rabb al-Arbab, Abdul Jalil mengalami
peristiwa-peristiwa aneh yang sebelumnya tidak pernah ia alami,
yaitu keterlepasan nafs-nafs dari keakuannya. Ceritanya, tanpa
disangka-sangka, pada hari ketiga setelah turun kembali dari
perjalanan naik, di hadapannya tiba-tiba muncul seekor anjing
berbulu hitam kemerahan yang berjalan terseok-seok karena kaki
kanan depannya terluka. Dengan merintih kesakitan, anjing itu
menggeser-geserkan punggungnya ke kakinya. Mendengar anjing
yang merintih kesakitan itu, rasa kasihnya mengalir
berkelimpahan. Ia rengkuh anjing ke dalam pelukannya dan ia belai
kepalanya. Dengan penuh kasih ia mengobati lukan anjing itu
sambil berkata, “Aku menolong engkau, o anjing, bukan karena aku
kasihan atau iba melihatmu. Aku menolongmu semata-mata
karena rasa kasihku kepada sesama makhluk yang maujud di
dunia. Aku mengobati lukamu karena aku sadar bahwa antara

2306
engkau dan aku sejatinya sama-sama menyembunyikan hakikat
jejak rasul (qadam rasul).”

Seperti mengerti kata-kata Abdul Jalil, anjing hitam kemerahan itu


mengiuk-ngiuk dan mendesak-desakkan kepalanya ke dada Abdul
Jalil. Abdul Jalil tersenyum sambil membebat kaki kanan depan
anjing malang itu dengan destarnya. Namun, saat bebatannya
selesai, tiba-tiba terdengar suara al-ima’ menggema di relung-
relung kedalaman jiwanya.

“Kenalilah citra bayangan dirimu, o Abdul Jalil! Kenalilah citra nafs


yang menyelubungi keakuanmu! Bagaimana mungkin engkau
tidak mengenali anjing luka yang datang kepadamu itu? Padahal,
dia sejatinya adalah diri (nafs) yang tersembunyi di dalam
keakuanmu. Dia adalah anjingmu yang selalu menjulurkan lidah,
baik ketika engkau halau atau ketika engkau diamkan (QS. Al-A’raf:
176). Itulah diri (nafs al-ammarrah) yang tersembunyi di
pedalamanmu. Nafs yang cenderung kepada perbuatan jahat
(QS.Yusuf: 53). Sekarang ini, sebagaimanna ularmu, dia telah
keluar dari keakuanmu. Lantaran itu, sekarang ini bukan engkau
yang mengikuti dia, tetapi dia yang akan mengikuti ke mana pun
engkau pergi.”

Abdul Jalil tertawa dan mengelus-elus kepala anjing hitam


kemerahan itu dengan penuh kasih. Ia sadar, seburuk dan sejelek
dan bahkan senajis apa pun, anjing itu adalah bagian dari diri (nafs)
yang membentuk citra keakuannya sebagai wakil Allah di muka
2307
bumi (khalifah Allah fi al-ardh). Ia justru mensyukuri kemunculan
anjing yang selama ini bersemayam di pedalaman jiwanya yang
tersembunyi. Dengan suara lembut ia berkata kepada anjing itu:
“Karena engkau adalah citra diri yang pernah kuikuti tetapi
sekarang berbalik mengikutiku, maka engkau aku sebut dengan
nama Sang Lemah Abang. Sebab, itulah kemasyhuran nama yang
engkau damba-dambakan, o anjingku. Berbangga-dirilah engkau
dengan nama besarmu itu.” Sejak waktu itu, ke mana pun Abdul
Jalil berada, ia selalu terlihat bersama ular belang dan anjing hitam
kemerahannya, bahkan saat sembahyang pun ular dan anjing itu
dengan setia terlihat berdiri menunggu di belakangnya.

Ketika memasuki hari ketujuh sejak turun kembali dari kenaikan


ruhani, saat Abdul Jalil sedang bermain-main dengan ular dan
anjingnya, tiba-tiba ia dikejutkan oleh kemunculan mendadak
seekor anjing berbulu putih kekuningan dengan belang hitam
kemerahan yang menggelepar-gelepar di depan pintu gubuknya.
Rupanya, anjing itu kesakitan karena kepalanya luka mengucurkan
darah. Dengan pandangan penuh kasih, Abdul Jalil menolong
anjing malang itu. Namun, saat ia membersihkan luka di kepala
anjing itu dengan destarnya, ia tiba-tiba mendengar suara al-ima’
menggema dari cakrawala kesadarannya yang menegaskan
bahwa anjing putih kekuningan yang belang itu pun sejatinya
adalah bagian diri (nafs al-lawwamah) yang tersembunyi di dalam
keakuannya, yaitu jiwa pencela (QS. Al-Qiyamah: 2). Lalu, ia
menamai anjing belang itu Sang Siti Jenar. Sambil mengelus-elus
anjing itu, ia berkata, “Sebagaimana anjing hitam yang bangga
dengan kemasyhuran nama, maka engkau yang bangga dengan
amaliah perbuatanmu aku gelari nama masyhur Sang Siti Jenar.
2308
Semoga engkau bangga dengan nama terkenal itu.” Lalu, ke mana
pun Abdul Jalil pergi, ia selalu diikuti oleh ular dan dua ekor
anjingnya.

Suatu pagi, pada hari keempat puluh, ketika Abdul Jalil sedang
mengambil air wudhu di sungai kecil yang mengalir tak jauh dari
gubuknya ditemani ular belang dan dua ekor anjingnya, tiba-tiba
pangkuannya dijatuhi seekor kera coklat kemerahan dari atas
pohon yang tumbuh di pinggir sungai. Kera itu menjerit-jerit
kesakitan karena punggungnya terdapat luka mengaga seperti
kena tebasan pedang. Melihat keadaan kera itu, dengan penuh
kasih Abdul Jalil membersihkan darah dan membebat kera itu
dengan destarnya. Sebagaimana saat ia menolong dua ekor
anjingnya, tiba-tiba ia mendengar al-ima’ menggema di cakrawala
kesadarannya yang menegaskan bahwa kera itu sejatinya adalah
diri (nafs al-mulhammah) yang tersembunyi di kedalaman
keakuannya, yaitu jiwa yang terilhami kejahatan dan ketakwaan
(QS. Asy-Syams: 7-8). Lalu, ia menamai kera coklat kemerahan itu
Sang Jnanawesa, yang bermakna masuknya ilham ketakwaan dan
ilham kejahatan ke dalam jiwa.

Tidak lama kemunculan kera kemerahan yang dinamai Jnanawesa


itu, muncul kera berbulu putih dengan wajah bergaris-garis biru dan
putih. Begitu muncul, kera itu menjerit-jerit kesakitan karena
dadanya terluka. Abdul Jalil disadarkan oleh al-ima’ yang
mengungkapkan bahwa kera itu tidak lain dan tidak bukan adalah
diri (nafs al-muthma’innah) yang tersembunyi di dalam
keakuannya, yaitu jiwa yang tenang (QS.al-Muthma’innah: 27).
2309
Kera itu pun di namai Jnanaprasada, yang bermakna ketenangan
jiwa. Lalu, secara berututan muncul seekor singa putih yang
merupakan dirri (nafs ar-radhiyyah) yang tersembunyi di relung-
relung keakuannya. Singa putih itu dinamai Jnanekatwa, yang
bermakna ketunggalan jiwa. Disusul kemunculan seekor rajawali
putih yang terbang menyambar-nyambar ganas dan kemudian
bertengger di atas bahunya. Rajawali putih itu adalah diri (nafs al-
mardhiyyah) yang tersembunyi di relung-relung keakuannya.
Rajawali putih itu ia namai Sang Jnanasunya, yang bermakna
bebas dari kemenduaan. Dan, yang terakhir muncul adalah
bayangan burung anqa putih laksana kabut tipis yang diliputi
cahaya terang kebiru-biruan. Anqa putih itu bertengger di atas
kepalanya. Anqa putih itu adalah diri (nafs al kamilah) dan ia
menamainya Sang Jiwanmukta, yang bermakna “bebas” saat
masih hidup di dunia.

Setelah kemunculan tujuh ekor binatang aneka warna dan seekor


anqa putih laksana kabut tipis lambang citra diri (nafs) yang
tersembunyi di relung-relung keakuannya, Abdul Jalil merasakan
suatu perubahan dahsyat terjadi atas dirinya. Ia merasakan
kegembiraan luar biasa meliputi jiwanya laksana kupu-kupu
terbang di antara bunga-bunga. Atau, seperti seseorang yang
terseok-seok memikul beban berat tapi kemudian terlepas dari
bebannya. Atau, seperti seekor burung lepas dari sangkarnya dan
terbang bebas ke angkasa. Atau, seperti seekor ikan yang
menggelepar-gelepar di selokan berair keruh kemudian
dipindahkan ke kolam luas berair jernih. Demikianlah, hari-hari
hidupnya di gubuk yang sepi dilewati Abdul Jalil dengan
kegembiraan raya bersama hewan-hewan yang begitu jinak dan
2310
bersahabat dengannya. Ke mana pun ia pergi, hewan-hewan itu
selalu mengikutinya dengan setia.

2311
Makna Rahasia di Balik Nafs

Sejak bersahabat akrab dengan hewan-


hewannya, Abdul Jalil berubah menjadi
orang yang berperilaku sangat aneh dalam
pandangan orang-orang di sekitarnya.
Segala sesuatu yang terkait dengan
kebiasaan hidupnya sehari-hari mendadak
berubah aneh dan sangat mencengangkan. Shafa, istri setianya,
sebagai orang yang paling dekat, merasakan keheranan dan
khawatir luar biasa mendapati suaminya berperilaku sangat aneh.
Belum pernah ia menyaksikan suaminya berperilaku tidak lazim,
seperti duduk bersila dengan mata terpejam sejak subuh sampai
zhuhur. Atau, bersujud selama berjam-jam. Atau, melakukan
shalat malam sampai tujuh puluh rakaat. Atau, duduk takhiyat akhir
tanpa salam dari subuh hingga isya. Atau, saat shalat tidak
mengikuti hitungan rakaat sesuai aturan sarak. Atau, melamun
memandang langit dari pagi sampai sore.

Ketika sudah tidak mampu lagi memahami keanehan-keanehan


perilaku Abdul Jalil, Shafa akhirnya mengungkapkan keheranan
dan ketidakpahamannya. Shafa berharap dapat beroleh kejelasan
bahwa suami terkasihnya itu sejatinya tidak gila. Namun beda yang
diharapkan, jawaban yang diberikan Abdul Jalil kepadanya justru
berupa pertanyaan balik, “Siapakah engkau yang bertanya ini?”

2312
Shafa yang ditanya balik sangat terkejut dan menjawab
sekenanya, “Aku Shafa. Aku istri Tuan.”

“Shafa? Istriku?” Abdul Jalil mengerutkan kening, “Apakah aku


punya istri?”

“Ya, Tuan punya istri. Akulah istri Tuan.”

“Siapakah aku yang engkau sebut Tuan?”

“Bukankah Tuan adalah Syaikh Datuk Abdul Jalil? Syaikh Siti


Jenar? Syaikh Lemah Abang? Syaikh Jabarantas? Syaikh Sitibrit?
Susuhunan Binang?” sergah Shafa dengan hati diliputi
kecemasan.

“Syaikh Datuk Abdul Jalil? Syaikh Siti Jenar? Syaikh Lemah


Abang? Syaikh Jabarantas? Syaikh Sitibrit? Susuhunan Binang?
Siapakah dia yang memiliki banyak nama itu?” tanya Abdul Jalil
termangu-mangu.

“Bukankah itu Tuan sendiri?”

2313
“Aku?” gumam Abdul Jalil dengan tangan menunjuk dada, “Akukah
satu makhluk dengan banyak nama itu? Bukankah Syaikh Siti
Jenar itu nama anjing belang yang berdiri menjulurkan lidah di
depan pintu itu? Bukankah Syaikh Lemah Abang itu anjing hitam
yang duduk menjulurkan lidah di sampingnya?” ia menudingkan
tangan ke arah pintu gubuk.

Shafa terperangah mengikuti arah yang ditunjuk Abdul Jalil. Dia


terheran-heran mendapati pintu gubuk yang ditunjuk suaminya itu
kosong tanpa sekilas bayangan anjing terlihat di sana. Sadarlah
dia, sesungguhnya suaminya saat itu telah menjadi orang yang
hilang ingatan. Suaminya telah tidak ingat akan keberadaan dirinya
sendiri. Akhirnya, tanpa dapat ditahan lagi, air mata jatuh
bercucuran membasahi pipi Shafa. Dia merasakan dunianya
runtuh. Dia menangis terisak-isak sambil merangkul Fardun,
puteranya yang berdiri kebingungan memandang ibu dan ayahnya
berganti-ganti.

Ketika Shafa memastikan Abdul Jalil benar-benar telah hilang


ingatan, terjadi peristiwa yang membingungkannya. Tanpa hujan
tanpa angin, tiba-tiba Abdul Jalil sadar dan berperilaku
sebagaimana layaknya orang waras. Namun demikian, karena
sudah terlalu sering menyaksikan keanehan-keanehan perilaku
Abdul Jalil yang tak terpahami, akhirnya Shafa merasa harus
berlaku sangat hati-hati dalam menyimpulkan keadaan suaminya
itu. Perilaku tidak lazim yang ditunjukkan Abdul Jalil belakangan
memang sangat mengkhawatirkannya baik dalam hal makan,
minum, duduk, berjalan, berbicara, tidur, dan beribadah. Dalam hal
2314
makan saja, jika sebelumnya dia selalu mendapati suaminya selalu
menyantap makanan yang dihidangkannya asalkan baik dan halal
(halal ath-thayyibah), maka belakangan dia harus menyuguhkan
ubi-ubian dan buah-buahan karena makanan yang lain tidak
disentuh. Yang aneh, sesekali ia melihat suaminya tidak memakan
ubi dan buah-buahan yang disuguhkannya dengan alasan ada ulat
atau semut kecil di dalam buah itu. Suaminya menyatakan, ia tidak
mau memangsa makhluk kecil yang meratap sedih meminta
kepadanya agar tidak dimangsa. Beberapa kali dia melihat
suaminya memuntahkan buah yang dimakannya, hanya karena
ada seekor semut yang terselip di buah tersebut dan semut
tersebut meminta untuk tidak dimangsa. Bagaimana mungkin
orang waras berbicara dengan ulat dan semut, tanya Shafa dalam
hati, dengan perasaan tertekan.

Di antara keanehan-keanehan perilaku Abdul Jalil, yang sangat


menekan perasaan Shafa adalah saat dia mendampingi suaminya
melewati rentangan malam hari yang diliputi kesunyian dan
keheningan. Sepanjang malam itu dia tidak lagi mendapati
keberadaan suaminya sebagai sosok seorang suami yang memiliki
citra kehangatan dan penuh cinta kasih sebagaimana selama ini
dia kenal. Sepanjang malam sejak isya sampai subuh dia nyaris
selalu mendapati suaminya menjadi sesuatu yang aneh dan tak
pernah dikenalnya. Dia tidak tahu apakah yang sesungguhnya
telah terjadi pada suaminya. Dia hanya merasa suaminya telah
menjelma menjadi sesuatu yang diliputi keanehan tak
tergambarkan. Dia selalu merasakan semacam kegentaran
menerkam semangatnya setiap kali mendekati suaminya. Bahkan,
yang nyaris tak dipahaminya, setiap kali dia berada di hadapan
2315
suaminya, ia merasakan hatinya seperti diisap oleh suatu kekuatan
tak kasatmata yang sangat dahsyat yang tanpa sadar membuatnya
menunduk dan kemudian berlutut dan bersujud menyembah.

Sesungguhnya, yang merasakan adanya perubahan dahsyat


bukan hanya Shafa. Abdul Jalil sendiri, sejak kembali turun (‘uruj
at-tarkib) dari kenaikan ruhani (mi’raj at-tahlil), merasakan suatu
perubahan terjadi atas dirinya, terutama setelah kemunculan
hewan-hewan citra perwujudan nafs dari dalam dirinya. Ia tiba-tiba
sering merasakan detik-detik keberadaan dirinya lenyap,
tenggelam ke dalam Kemutlakan laksana setetes air menyatu
dengan Samudera Mahaluas. Sang pecinta yang tulus (muhib ash-
shadiq) telah lebur (fana’) ke dalam Sang Kekasih (al-Mahbub).
Pada detik-detik seperti itulah ia merasakan keakuannya sirna.
Lenyap. Yang Ada adalah Aku. Yang Tunggal. Mutlak. Tanpa
batas. Namun, seiring berlalunya detik-detik keleburan
keakuannya itu, ia mendapati cakrawala kesadaran dirinya lebih
luas dan lebih bebas dari batas-batas nisbi alam. Ia mendapati
keakuannya mengurai dan melepaskan segala ikatan yang selama
ini mengikatnya, yaitu ikatan-ikatan yang terkait atribut-atribut citra
diri.

Memang, ketersingkapan cakrawala kesadaran yang dialaminya


saat ini jauh lebih mencengangkan dibanding sebelumnya, karena
ketersingkapan ini berkaitan dengan keterlepasan-keterlepasan
atribut citra diri. Ia tiba-tiba merasa tercengang kebingungan saat
menyadari keberadaan dirinya sebagai seorang laki-laki telah
menyingsing. Ia merasakan kesadarannya sebagai makhluk
2316
semesta tersingkap begitu menakjubkan, ia mendapati citra dirinya
menjadi makhluk tak berjenis kelamin. Berhari-hari dan berpekan-
pekan ia meresapi keberadaan dirinya yang tiba-tiba sudah tidak
memiliki atribut citra diri, baik sebagai manusia berkelamin laki-laki,
suami, bapak, saudara laki-laki, mertua laki-laki, maupun kakek.
Semua atribut citra dirinya sebagai manusia tak jelas lagi, apakah
jiwanya masih jiwa seorang manusia atau sudah menjadi jiwa
makhluk semesta.

Ketika Abdul Jalil berada di tengah keheranan meresapi


keberadaan jati dirinya, ia mendapati kenyataan lain yang tak kalah
membingungkan, sewaktu cakrawala kesadarannya menangkap
kenyataan menakjubkan bahwa sejatinya hamparan Samudera
Makna-Makna (Bahr al-ma’ani) dan Samudera Bendawi
Kasatmata (Bahr al-mulk) itu berada di dalam liputan Samudera
Keuncuran (Bahr al-‘unshuriyyah) yang merupakan pancaran dari
Hakikat Sejati Segala Samudera (haqiqah al-faydh al-bahr).
Dikatakan menakjubkan sebab selain di balik Samudera-
Samudera itu terdapat Samudera di Atas Segala Samudera, ia juga
mendapati kenyataan betapa sesungguhnya Hakikat Sejati Segala
Samudera itu berada di dalam dirinya. Ia merasa keberadaan
dirinya seperti setetes air di tengah samudera raya, tetapi sekaligus
ia merasa seperti setetes air yang di dalamnya memuat hamparan
samudera raya. Sungguh perumpamaan yang tak gampang
dipahami maknanya.

Keterlepasan nafs-nafs yang dialami Abdul Jalil rupanya telah


menjadikan citra keakuannya meluas ibarat Samudera Kehidupan
2317
(Bahr al-Hayy) yang membentang tanpa pantai, di mana Samudera
Kehidupan itu memuat Samudera Keagungan (Bahr al-‘izzah) yang
suci, yakni Samudera Keagungan yang memuat Ruh al-Haqq, Ruh
Suci, yang ditiupkan (nafkh) Allah ke dalam diri Adam. Samudera
Keagungan itulah lambang kesucian hati manusia sempurna
(insan kamil) yang tanpa batas yang mampu memuat Ruh al-Haqq.
Dan, di tengah keluasan Samudera Keagungan itu tersembunyi
rahasia Keberadaan Rumah Suci (Baitul Haram) yang menjadi
persemayaman al-Haqq, yaitu Rumah Suci yang menjadi kiblat
Kesatuan dari kesatuan (jam’ al-jam’).

Pandangan mata lahirnya (bashar) yang selama ini sudah menjadi


pandangan seorang ahli ma’rifat (bashar al-‘arif) yang bisa
digunakannya memandang segala sesuatu yang terpampang di
hadapannya, tiba-tiba berubah menjadi Pandangan Ilahi (Bashar
al-Haqq) yang tidak memiliki batas-batas penyekat atau nisbi
penglihatan. Ia merasakan penglihatan bashirah-nya berkembang
meluas. Meluas. Meluas terus hingga mencapai setiap sudut
dunia, terus ke bulan, planet-planet, matahari, gemintang, galaksi-
galaksi, dan alam perwujudan semesta. Demikianlah, ketika ia
ingin melihat sesuatu di salah satu sudut dunia maka ia seperti
orang yang melihat sekuntum bunga dari satu sisi sesuai
keinginannya, dan jika diinginkan, ia dapat melihat hingga ke
bagian pedalaman bunga tersebut.

Bukan hanya penglihatan bashirah Abdul Jalil saja yang meluas,


bahkan pendengaran batin (sam’) yang selama ini terbatas pada
penembusan obyek-obyek yang tertangkap pendengaran
2318
indriawinya, tiba-tiba berkembang menjadi lebih luas seolah telinga
batinnya menjadi telinga raksasa yang dapat mendengar suara
semut sampai suara makhluk-makhluk angkasa yang berjarak
sangat jauh dari bumi. Dengan penglihatan dan pendengaran batin
yang tak terhalang sekat-sekat nafs itulah ia merasakan
pandangan bashirah-nya sangat menakjubkan, laksana kesadaran
rajawali putih, Sang Pinakatunggal, yang mengembara di angkasa
mengitari jagad Kehidupan. Ia sadar bahwa sesuatu di dalam
dirinya memang sudah sangat berubah, hingga ia sendiri nyaris tak
mengenal dirinya sendiri.

Tidak tahan menghadapi keanehan demi keanehan Abdul Jalil,


Shafa mengungkapkan segala apa yang tidak dipahaminya itu
kepada Bardudu, ketika suatu malam putera sulungnya itu
berkunjung ke gubuknya. Bardud yang beroleh penjelasan tentang
keadaan ayahandanya yang sedang mengalami proses menjadi
“yang sendiri” dari pembimbing ruhaninya, Syarif Hidayatullah,
tidak memberi penjelasan apa-apa kepada ibundanya. Ia tahu,
ibunda terkasihnya tidak akan paham diberi penjelasan yang
berbelit dan rumit dari keadaan yang dialami ayahandanya. Ia
hanya mengingatkan ibundanya pada penjelasan yang pernah
disampaikan Ahmad Mubasyarah at-Tawallud. “Sesungguhnya,
keanehan-keanehan perilaku ramanda bukanlah perilaku orang
hilang ingatan atau orang tidak waras. Apa yang dialami ramanda
pada dasarnya adalah penggenapan tengara yang pernah
disampaikan Kakek Ahmad at-Tawallud, bahwa ramanda akan
menjadi ‘yang sendiri’ (fard). Keanehan-keanehan perilaku
ramanda yang Ibunda hadapi selama ini adalah bagian dari
perubahan diri ramanda menjadi ‘yang sendiri’. Sebab itu, Ibunda
2319
harus bersabar mengantarkan ramanda menjadi apa yang
dikehendaki-Nya.”

“Tapi aku sangat ketakutan, o Puteraku,” kata Shafa menguatkan


diri, “Di tengah malam yang sunyi, aku sering mendapati
ramandamu duduk dikerumuni ular, anjing, kera, singa, dan burung
raksasa yang kadang menjelma dalam bentuk kabut tebal dan
kadang pula menjelma dalam bentuk cahaya-cahaya aneka warna.
Malah yang sering menakutkan aku, sering kali aku mendengar
semacam dentang lonceng yang sangat keras memenuhi seluruh
pendengaranku pada saat tubuh ramandamu diliputi semacam
cahaya subuh. Aku menduga, jangan-jangan ramandamu
berperilaku aneh karena diganggu setan.”

Ketika Bardud akan memberi penjelasan kepada ibundanya, tiba-


tiba Abdul Jalil yang duduk bersila menepuk-tepukkan tangannya.
Bardudu menoleh dan mendekati ayahandanya. Abdul Jalil diam
dan tetap duduk bersila dengan mata terpejam. Sejenak kemudian,
dengan menggunakan isyarah, ia berkata-kata kepada Bardud.

“Engkau sudah bertindak benar tidak menjelaskan sesuatu yang


tidak dipahami seseorang. Sesungguhnya, dia, orang yang engkau
sebut ayahanda itu bukan siapa-siapa. Ia tidak memiliki apa-apa
dan tidak dimiliki oleh siapa-siapa. Lantaran itu, o Bardud, bawalah
ibunda dan adikmu pergi dari sisi ayahandamu. Sebab, semua
tidak akan ada yang tahan hidup bersama ayahandamu. Biarkan

2320
ayahandamu sendiri di sini. Biarkan dia menjadi ‘yang sendiri’,
menyatu dengan Yang Mahasendiri Tak Terbandingkan.”

Bardud termangu-mangu memandang wajah ayahandanya


dengan penuh kasih. Ia merasakan kekosongan memenuhi
dadanya. Ia merasa semacam kehilangan ketika mendengar kata-
kata laki-laki tua yang telah menjadi sebab ia lahir ke dunia. Ia
merasakan semacam kepedihan menyayat-nyayat hatinya.
Dengan suara tercekat dan dada naik turun ia berkata terbata-bata,
“Kenapa keluarga dia, o adimanusia yang terkasih, harus hancur
berkeping-keping? Kenapa dia yang telah berjasa menegakkan
Tauhid di muka bumi justru harus mengalami hidup begitu pedih?
Kenapa dia tidak boleh lagi memiliki dan dimiliki oleh sesuatu?”

Wajah Abdul Jalil terlihat mengeras bagai batu. Lalu, dengan


bahasa perlambang berkata, “Renungkan dan tangkap makna di
balik kisah Sri Krishna yang seluruh keluarga dan keturunannya
hancur binasa! Renungkan dan hayati makna di balik kisah Sri
Rama yang keluarga dan keturunannya berantakan! Resapi kisah
Sidharta Gautama yang tak pernah tergantikan oleh satu pun di
antara keturunannya! Resapi kisah Nabi Musa a.s yang keluarga
dan keturunannya berserak di muka bumi tanpa satu pun ada yang
mengganti kedudukannya! Hayati kisah Nabi Isa a.s. yang tidak
beristri dan tidak berketurunan! Resapi dan hayati kisah Nabi
Muhammad Saw. yang keluarga dan keturunannya berserak di
muka bumi tanpa satu pun yang mengganti kedudukannya!”

2321
“Renungkan! Resapi! Hayati kisah semua avatar, manusia Ilahi,
yang tidak pernah terwakili oleh siapa pun di antara manusia,
sekalipun ada yang mengaku-aku keturunan mereka. Dengan
memahami kisah-kisah mereka dari rana Tauhid, engkau akan
mendapati kenyataan bahwa mereka yang dipilih-Nya menjadi
sesuatu wadah sebagai cermin dari Yang Tunggal akan berdiri
sendiri tanpa sekutu. Mereka adalah satu. Itu adalah rahasia
Tauhid. Sebab, Allah telah menetapkan hukum bahwa dia yang
dipilih-Nya adalah satu dan unik. Allah tidak pernah membiarkan
ada sekutu bagi yang dipilih-Nya. Lantaran itu, mulai saat ini, siapa
pun di antara keluarga ayahandamu jangan sekali-kali ada yang
mengaku-aku memiliki suatu hubungan darah dengannya dan
menjadi penerus paling sah keberadaannya. Sungguh, ia telah
dipilih-Nya menjadi ‘yang sendiri’. Sehingga, siapa saja di antara
manusia yang mengaku-aku keluarga dan keturunannya untuk
melanjutkan kedudukannya akan binasa. Binasa.”

“Apakah ayahanda kami seorang avatar, manusia Ilahi?”

“Ayahandamu adalah ‘yang sendiri’. Jangan ditafsir-tafsir lagi


makna itu dengan akalmu. Dia adalah ‘yang sendiri’. Sendiri.
Tunggal. Dia bukan ayah, suami, saudara, sahabat, guru suci,
orang beriman, muslim, atau atribut apa pun yang menandai
dirinya. Dia cermin dari citra Yang Mahasendiri Tak Terbandingkan
(al-Fard). Lantaran itu, jangan ada yang mencoba-coba menjadi
sekutunya untuk meraih pamrih pribadi.”

2322
Bardud terperangah mendengar kata-kata ayahandanya. Ia
merasakan seluruh sendinya lemah akibat gelegak perasaan yang
memenuhi dadanya. Ruang di dadanya ia rasakan semakin
kosong. Rasa kosong itu makin merajalela ketika di benaknya
berkelebatan bayangan ayahandanya yang duduk sendiri tanpa
kawan tanpa keluarga diselimuti sepi dan sunyi, tenggelam dalam
ketidaksadaran, tanpa makan tanpa minum. Terbayang pula di
benaknya bagaimana ayahandanya menjadi kurus tubuhnya
karena kekurangan makan dan perlahan-lahan kemudian
tubuhnya tumbang ke atas bumi tanpa ada yang mengetahui.
Akhirnya, tidak kuat lagi menahan gelegak perasaannya yang
digelayuti bayangan-bayangan buruk tentang ayahandanya,
Bardud menjatuhkan diri di pangkuan ayahandanya dan menangis
tersedu-sedu. Ia sadar, ia telah kehilangan ayah dan sekaligus
figur teladan yang sangat dipuja dan dirindukannya semenjak ia
kecil.

Keanehan di balik perubahan sikap dan perilaku Abdul Jalil yang


tak terpahami itu akhirnya terungkap sebagian ketika Raden Sahid
bersama istri dan tiga orang anaknya berkunjung ke gubuknya
pada sore hari menjelang maghrib. Ia mendapati Shafa, Bardud,
dan Fardun sedang duduk menunggu selesainya Abdul Jalil
bersembahyang. Mereka kelihatan sudah berkemas akan
berpamitan meninggalkan Abdul Jalil yang belum selesai
sembahyang. Saat itulah mereka membincang Abdul Jalil yang
bersembahyang dengan duduk takhiyat akhir sangat lama.
Menurut Shafa, suaminya sudah melakukan sembahyang sejak
subuh. Zainab yang mendengar penuturan ibunda tirinya itu tidak
dapat menahan perasaan khawatir. Dengan hati diliputi kerisauan
2323
ia bertanya ini dan itu tentang keadaan ayahandanya. Penjelasan
Shafa tentang sikap dan perilaku ayahandanya yang tak
terpahami, benar-benar membuatnya sangat terpukul. Sambil
menangis tersedu-sedu ia merangkul ayahandanya dan berusaha
membangunkannya. Namun, seperti orang mati, sedikit pun tubuh
ayahandanya bergeming, laksana karang di tengah samudera.

Ketika kekhawatiran Zainab makin memuncak dan ia memanggil-


manggil ayahandanya, tanpa terduga-duga tiba-tiba Raden
Watiswara, putera keduanya berlari kencang ke samping
kanannya. Kemudian dengan gerakan sangat cepat, anak yang
baru berusia sembilan tahun itu memungut tongkat yang tergeletak
di samping kakeknya. Lalu dengan sebuah sabetan dari atas ke
bawah, dia memukul tanah kosong di bagian belakang punggung
kakeknya. Terdengar bunyi gedebug ketika tongkat itu
menghantam tanah. Sebuah keanehan terjadi: saat itu, tanpa
terduga Abdul Jalil terlonjak kaget dan membelalakkan mata. Lalu,
dengan tatapan tajam yang menggetarkan ia memandang ke arah
Raden Watiswara.

Semua yang menyaksikan peristiwa itu menahan napas. Mereka


menduga Abdul Jalil akan marah. Namun, sejenak kemudian Abdul
Jalil justru tertawa terkekeh-kekeh merangkul Raden Watiswara
sambil menggumam, “Allah menganugerahimu dengan kemuliaan,
o Cucuku, sampai engkau bisa melihat ularku dan memukulnya
keras sekali.” Lalu, dengan suara digetari wibawa ia berpaling ke
arah Raden Sahid dan bertanya, “Bukankah engkau menyaksikan
dengan bashirah apa yang dilakukan puteramu itu?”
2324
“Ananda menyaksikannya, Ramanda Syaikh,” kata Raden Sahid
takzim, “Tapi, ananda tidak mengetahui rahasia apa di balik
hewan-hewan yang berbaris di belakang punggung Ramanda itu.
Kenapa mereka melakukan gerakan-gerakan shalat: qiyam – ruku’
– i’tidal – sujjud – jalsah – sujjud – jalsah akhir ? Ananda tahu
bahwa mereka itu sejatinya adalah nafs-nafs Ramanda yang telah
keluar dari takhta mahligai keakuan Ramanda. Tetapi, ananda
tidak mengetahui makna-makna di balik gerakan shalat mereka.
Ananda mohon, sudilah kiranya Ramanda berkenan
mengungkapkan rahasia di balik gerakan shalat mereka itu.”

Abdul Jalil menarik napas panjang dan membuat gerakan tangan


mengisyaratkan agar istri dan puteri serta cucu-cucu
perempuannya untuk pergi keluar gubuk. Setelah itu, ia memangku
Raden Watiswara dan merangkul Fardun, puteranya, yang duduk
di sampingnya. Ia meminta Bardud dan Raden Sahid mendekat.
Kemudian dengan suara lain, ia berkata.

“Ular belang yang dipukul oleh puteramu itu adalah citra


perwujudan nafs al-hayawaniyyah yang menjadi bagian
keakuanku. Secara naluriah, ia dikodratkan untuk selalu ingkar
pada titah Sang Pencipta (al-Khaliq). Ia adalah citra
pengejawantahan Sang Iblis, yang tubuhnya mengandung racun
ganas yang disebut al-umniyah dan al-wahm, yaitu racun yang
akan membuat siapa pun di antara manusia yang terkena akan
kehilangan kesadaran. Terseret imaji nirwujud (al-mumtami’) yang
membuat seseorang sesat (al-idhlal) dalam memaknai segala
sesuatu. Tetapi, jangan menganggap ia tidak beribadah memuja
2325
Tuhannya, karena sebagaimana sudah engkau ketahui, tidak ada
satu pun makhluk di jagat raya ini yang tidak memuja Sang
Pencipta. Hanya saja, caranya beribadah memuliakan dan
mengagungkan Allah, Rabb al-Arbab, berbeda dengan manusia. Ia
beribadah dengan cara menjalankan titah Yang Maha
Menyesatkan (al-Mudhill), yaitu menggoda orang-orang beriman
(qaum al-mu’minin) agar mereka tergelincir dari jalan lurus (shirat)
yang menuju istana Sang Pemberi Keamanan (al-Mu’min) dan
jatuh ke jurang kehinaan al-Mudzill yang sangat pedih. Lantaran
itu, ular beludak itu aku namai Manikmaya, yang bermakna
‘permata khayalan sang ablasa’, yang menyesatkan Adam a.s.
beserta keturunannya.”

“Anjing hitam kemerahan yang engkau saksikan berdiri di barisan


belakang sambil menjulurkan lidah itu adalah perwujudan nafs al-
ammarah yang secara naluriah dikodratkan memuja dan
menyembah Penciptanya dengan cara berdiri (qiyam). Ia
perlambang api yang secara kodrati selalu naik dengan arah tegak
lurus. Citra perwujudan anjing itulah yang di dalam tingkatan anak
tangga ruhani disebut dengan istilah al-Islam, yaitu tangga
Pengetahuan tingkat pertama. Ia hanya mengetahui bagaimana
menggonggong, menggigit, dan mencakar untuk menunjukkan
citra dirinya. Secara naluriah, ia cenderung mengajak kepada
perbuatan jahat. Meski gonggongan dan lenguhannya terdengar
jinak, ia sering menggigit tuannya dan orang lain. Ia sangat bangga
dengan nama besar dan identitas diri. Ia melakukan sesuatu
karena dilandasi pamrih ingin dipuji dan ingin merasakan
kenikmatan badani maupun ruhani. Lantaran itu, ia aku namai

2326
Sang Lemah Abang, nama masyhur yang pernah membuatku
nyaris menjelma jadi berhala terkutuk.”

“Anjing putih kekuningan dengan belang hitam kemerahan yang


engkau saksikan merunduk di depan anjing hitam kemerahan
sambil menjulurkan lidah itu adalah citra perwujudan nafs al-
lawwammah yang secara naluriah dikodratkan memuja dan
menyembah Penciptanya dengan cara merunduk (ruku’). Ia
perlambang tanah yang secara kodrati menyamping datar. Citra
perwujudan anjing itulah yang di dalam tingkatan anak tangga
ruhani disebut dengan istilah al-Iman, yaitu tangga Pengetahuan
tingkat kedua. Ia cenderung suka mengaku-aku kehebatan diri dan
mencela orang lain, atau sebaliknya mencela diri dan memuji orang
lain. Pengetahuannya masih sebatas mendengar. Keyakinannya
masih sebatas mulut. Sekali waktu, ketika ia mengarahkan
pandangan ke dalam dirinya, ia akan mencela dirinya sendiri dan
menemukan kebijaksanaan berlimpah di dalamnya. Tetapi, saat ia
mengarahkan pandangan ke luar dirinya, ia cenderung
menggonggong dan mencela orang lain. Ia sangat bangga dengan
amaliah perbuatannya. Lantaran itu, anjing itu aku namai Sang Siti
Jenar, nama besar yang bangga dengan amaliah berbagi
keberlebih-kelimpahan yang nyaris menjerumuskanku ke jurang
pemberhalaan diri.”

“Kera coklat kemerahan yang engkau saksikan berdiri tegak di


depan anjing putih kekuningan adalah perwujudan nafs al-
mulhammah yang secara naluriah dikodratkan memuja dan
menyembah Penciptanya dengan berdiri (i’tidal). Ia perlambang air
2327
yang secara kodrati turun dengan arah tegak lurus. Citra
perwujudan kera coklat kemerahan itulah yang di dalam tingkatan
anak tangga ruhani disebut dengan istilah al-Ihsan, yaitu tangga
Pengetahuan tingkat ketiga. Ia adalah kesadaran jiwa yang sudah
dapat merasakan perbedaan nuansa Kebenaran dan Kebatilan. Ia
mampu menangkap sarana yang bisa mengantar ke samudera
kebahagiaan. Ia dapat membedakan ilham kefasikan dan ilham
ketakwaan yang masuk ke dalam hatinya. Tetapi, sering kali ia
kurang waspada dan terseret ke dalam lingkaran ilham kefasikan.
Jiwa ini di dalam melakukan perjalanan ruhani berada di bawah
pengawasan Allah. Lantaran itu, ia aku namai Sang Jnanawesa,
yaitu nama yang bermakna masuknya ilham ketakwaan dan ilham
kefasikan ke dalam jiwa manusia.”

“Kera putih yang engkau saksikan bersujud di depan kera coklat


kemerahan adalah perwujudan nafs al-Muthma’innah yang secara
naluriah dikodratkan memuja dan menyembah Penciptanya
dengan bersujud (sujjud awwal). Ia perlambang angin yang secara
kodrati melingkupi Kehidupan di muka bumi. Citra perwujudan kera
putih itulah yang di dalam tingkatan anak tangga ruhani disebut
dengan istilah ‘ilm al-Yaqin, yaitu tangga Pengetahuan tingkat
keempat. Ia adalah jiwa yang sudah tenang karena kedudukannya
berada di tengah-tengah antara ruh dan nafs. Jiwa ini dalam
melakukan perjalanan ruhani berada bersama Allah. Ia masih
memiliki kecenderungan untuk tertarik pada suara-suara
keindahan yang terdengar dari taman surgawi pancaran al-Jamal.
Itu sebabnya, aku menamainya Sang Jnanaprasada, yang
bermakna ketenangan jiwa surgawi.”

2328
“Singa putih yang engkau saksikan duduk di depan kera putih
adalah perwujudan nafs ar-radhiyyah yang secara naluriah
dikodratkan memuja dan menyembah Penciptanya dengan duduk
(jalsah awwal). Ia perlambang aether. Citra perwujudan singa putih
itulah yang di dalam tingkatan anak tangga ruhani disebut dengan
istilah’ain al-Yaqin, yaitu tangga Pengetahuan tingkat kelima. Jiwa
ini dalam melakukan perjalanan ruhani berada di dalam Allah. Jiwa
ini tenggelam di dalam Pengetahuan Allah. Ia adalah jiwa yang
sudah berada di dalam keyakinan sempurna atas kehambaan
dirinya dan Keilahian Rabb-nya. Ia aku namai Sang Jnanekatwa,
yang bermakna ketunggalan jiwa dan Jiwa.”

“Rajawali putih yang engkau saksikan bersujud di depan singa


putih adalah perwujudan nafs al-mardhiyyah yang secara naluriah
dikodratkan memuja dan menyembah Penciptanya dengan
bersujud (sujjud tsani). Ia perlambang cahaya yang dipancarkan
dari matahari, bulan, dan bintang ke permukaan bumi. Citra
perwujudan rajawali putih itulah yang di dalam tingkatan anak
tangga ruhani disebut dengan istilah haqq al-Yaqin, yaitu tangga
Pengetahuan tingkat keenam. Ia adalah jiwa yang diridhoi Allah. Ia
menyaksikan Kebenaran Tuhan dengan Tuhan (‘araftu Rabbi bi
Rabbi). Ia jiwa yang terbang bebas memuji Keagungan dan
Kebesaran Yang Mahabenar. Dalam kelana jiwanya yang bebas,
ia selalu memuja Penciptanya dengan suara Kebenaran: Haqq!
Haqq! Haqq! Lantaran itu, ia aku namai Sang Jnanasunya, yang
bermakna bebas dari kemenduaan.”

2329
“Sedang burung anqa putih laksana kabut tipis yang engkau
saksikan duduk di depan rajawali putih adalah perwujudan nafs al-
kamilah yang secara naluriah dikodratkan memuja dan
menyembah Penciptanya dengan duduk (jalsah tsani). Itulah
lambang al-haba (atom). Citra perwujudan burung anqa putih
selembut kabut tipis itulah yang di dalam tingkatan anak tangga
ruhani disebut dengan istilah al-Islam, yaitu tangga Pengetahuan
tingkat ketujuh. Inilah tahap puncak perkembangan aku menuju
Aku. Iniah jiwa yang disucikan (nafs al-qaddisah). Aku namai
burung anqa putih laksana kabut tipis itu dengan gelar kemuliaan
Sang Kawula Pinakatunggal, yang bermakna hamba yang
menyelam ke Sumber Samudera Kesendirian Tuhan (al-‘aini al-
bahri al-wahdati).”

“Terima kasih Ramanda,” kata Raden Sahid takzim. “Sekarang


jelaslah bagi ananda, bahwa di balik ketentuan hukum sarak yang
mewajibkan manusia mendirikan shalat dengan gerakan qiyam –
ruku’ – i’tidal – sujjud – jalsah – sujjud – jalsah itu sejatinya
tersembunyi rahasia kodrati penyembahan masing-masing nafs
manusia. Ananda pun sekarang paham kenapa gerakan shalat tiap
satu raka’at itu terdiri atas tujuh gerakan, yaitu qiyam – ruku’ – i’tidal
– sujjud – jalsah – sujjud – jalsah. Rupanya, masing-masing
gerakan shalat itu mewakili kodrat penyembahan tujuh nafs di
dalam diri manusia, yaitu ammarah – lawwammah – mulhammah
– muthma’innah – radhiyyah – mardhiyyah – kamilah. Ananda juga
baru beroleh jawaban sekarang, kenapa di dalam melakukan
shalat, tujuh bagian anggota badan manusia harus menyentuh
tanah: kening – dua telapak tangan – dua lutut – dua ujung telapak
kaki. Bahkan sebelum shalat, ketika orang mengambil air wudhu
2330
untu membasuh tujuh bagian anggota tubuhnya: mulut – hidung –
wajah – tangan – telinga – kepala – kaki, rupanya semua itu terkait
dengan lambang penyucian tujuh nafs yang memiliki lima pintu
indria.”

“Memang demikianlah adanya,” sahut Abdul Jalil datar. “Bahkan,


ibadah shalat pun dianggap tidak sah jika tidak membaca surat al-
Fatihah yang terdiri atas tujuh ayat. Itu berarti, masing-masing ayat
dari surat al-Fatihah memiliki kaitan rahasia dengan pendakian
tujuh tangga Pengetahuan dari masing-masing nafs tersebut.
Dengan demikian, bagi orang-orang beriman yang sudah
mengetahui rahasia ini, ia tidak lagi menjadikan shalat sebagai
upacara formal di dalam menyembah Tuhan sebagaimana
layaknya seorang hamba menyembah rajanya. Mereka yang
sudah mengetahui rahasia ini menjadikan shalat sebagai proses
kenaikan (mi’raj) kesadaran dari anak tangga pertama
kemajemukan (katsrah), melampaui lima tahap kehadiran (al-
hadharat), dan berakhir pada anak tangga ketujuh: Kesatuan
(tauhid). Inilah yang dimaksud Nabi Muhammad Saw. dengan
ucapan ‘shalat itu mi’raj bagi orang-orang beriman (ash-shalat al-
mi’raj al-mu’minin)’, yakni proses terlampauinya tangga
Pengetahuan Islam – Iman – Ihsan – ‘Ilm al-Yaqin – ‘Ain al-Yaqin
– Haqq al-Yaqin – Islam. Dengan demikian, akhir sebuah shalat
adalah salam. Salam. As-Salam. Yang Maha memberi Kedamaian.
Islam adalah damai. Damai.”

2331
“Bagaimana dengan tindakan orang-orang yang mengaku sudah
makrifat dan kemudian meninggalkan shalat?” tanya Bardud minta
penjelasan.

Abdul Jalil diam. Mengatup rahang kuat-kuat. Matanya disapukan


ke sekitar. Sejenak setelah itu, ia berkata dengan suara aneh
seperti digetari lengkingan rajawali, “Jika ada manusia menyatakan
dirinya tidak perlu lagi melakukan ibadah shalat jasad karena
mengaku sudah makrifat – sementara jika dilihat dengan bashirah,
nafs-nafs-nya masih berkerumun di dalam keakuannya – maka aku
katakan, sesungguhnya manusia itu pembohong takabur yang
sesat jalan. Dia masih mengaku-aku. Mengaku Aku tetapi sejatinya
masih aku. Lantaran itu, lihatlah dengan bashirah. Bashirah.
Sebab, dengan bashirah, segala macam kebohongan akan
tersingkap.”

2332
Bayangan – Bayangan Kusam

Rentang waktu semenjak ditariknya alim


ulama dan pasukan bertombaknya ke Demak
adalah rentang waktu yang sarat dipenuhi
ketegangan. Saat itu, ibarat menunggu badai
susulan yang mengamuk, semua mata
diarahkan ke sosok Tranggana dan
menunggu-nunggu tindakan apa yang bakal
dilakukannya bersama kaki tangannya. Tindakan-tindakan
Tranggana menertibkan Kehidupan beragama yang berlanjut
dengan pembunuhan terhadap para pemuka dukuh Lemah Abang
telah menimbulkan berbagai reaksi yang umumnya mengarah
pada lahirnya kebencian baik terhadap Tranggana, alim ulama,
maupun agama Islam.

Di tengah ketegangan menunggu-nunggu itulah tersebar kabar


burung yang makin lama makin berkembang meningkatkan
ketegangan bahwa Tranggana sedang menyiapkan sebuah
pembasmian terhadap siapa saja di antara manusia yang menjadi
pengikut Syaikh Lemah Abang. Lalu, orang melihat sekumpulan
demi sekumpulan orang bergerak meninggalkan dukuh Lemah
Abang menuju berbagai penjuru negeri untuk menyelamatkan
ajaran dan keyakinan mereka dari pemusnahan yang dilakukan
penguasa. Mereka adalah penduduk dukuh Lemah Abang yang
menangkap perlambang makna dari guru suci panutannya sebagai
titah untuk meninggalkan dukuh dan membukan dukuh di tempat
lain. Mereka yang meninggalkan dukuh Lemah Abang itu ada yang
2333
tinggal di negeri Palembang, Malaka, Pasai, Banjar, Lawe, Gowa,
Butan, Haru, Hitu, Ternate, Tidore, dan Bima. Di sana mereka
mendirikan dukuh-dukuh Lemah Abang, Tanah Merah, Batu
Merah, Lemah Putih, Batu Putih, dan meneruskan ajaran-ajaran
Syaikh Lemah Abang yang mereka yakini kebenarannya.

Sementara, di tengah hiruk kabar burung dan pengungsian


penduduk dukuh Lemah Abang, tidak sedikit pun bukti menunjuk
bahwa Tranggana telah menggerakkan alim ulama dan
pasukannya untuk membumi hangus dukuh-dukuh Lemah Abang,
meski orang-orang di Demak melihat persiapan-persiapan
penyerangan sudah dilakukan. Rupanya, pada detik-detik akhir
menjelang dilakukannya penyerangan, Syarif Hidayatullah datang
menghadap Tranggana untuk melaporkan kematian puteranya,
Pangeran Bratakelana. Saat itu pula Syarif Hidayatullah memberi
saran agar penumpasan terhadap semua pengikut Syaikh Lemah
Abang tidak dilakukan. Sebab, kalau yang dianggap bersalah
adalah sang guru, hendaknya hukuman dijatuhkan kepada sang
guru yang bersangkutan. Lalu, dengan mengambil ibarat
membasmi tikus tidak perlu membakar rumah yang dijadikan
sarang, tetapi cukup mengusir dan membunuh tikus-tikus, sadarlah
Tranggana bahwa sebuah pembasmian tidak akan membawa hasil
yang lebih baik kecuali dendam dan kebencian. Syarif Hidayatullah
memberi tahu Tranggana bahwa di Caruban para pengikut Syaikh
Lemah Abang dapat ditundukkan dan menjadi pengikut Syaikh
Malaya Susuhunan di Kalijaga. “Jika pemuka-pemuka dukuh
Lemah Abang mengetahui hal itu, tentu mereka akan beramai-
ramai mengalihkan kiblat keyakinan mereka kepada saudara kami
yang tinggal di Kalijaga,” ujar Syarif Hidayatullah.
2334
Tranggana sangat yakin dengan kebenaran nasihat yang
disampaikan Syarif Hidayatullah. Usai membincang nasib
saudarinya, Nyi Mas Ratu Nyawa, yang sudah menjanda dan akan
dinikahkan dengan putera Syarif Hidayatullah yang lain, Pangeran
Muhammad Arifin, cucu Menak Lampor Adipati Tepasana,
Tranggana meminta kepada Syarif Hidayatullah agar berkenan
membujuk Syaikh Malaya Susuhunan Kalijaga untuk tinggal di
Demak. “Kami sudah mendengar kemasyhurannya di Caruban.
Kami pasti akan mengangkatnya sebagai imam masjid agung dan
sekaligus guru ruhani bagi keluarga kami,” kata Tranggana
berharap.

Kesanggupan Syarif Hidayatullah untuk mengusahakan agar


Syaikh Malaya Susuhunan Kalijaga berkenan tinggal di Demak,
meski waktunya tidak ditentukan, telah melegakan Tranggana. Ia
memutuskan untuk menunda penyerangan terhadap dukuh-dukuh
Lemah Abang sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Namun
demikian, pasukan tombak yang sudah bersiaga untuk menyerang
itu tidak bisa dihentikan begitu saja. Lalu, orang melihat iring-
iringan pasukan tombak yang dipimpin para alim Demak itu
bergerak ke wilayah Pati, menertibkan kehidupan beragama di
sana yang diikuti tumpahnya darah dan bergelimpangannya
mayat-mayat manusia yang dituduh murtad dan bid’ah. Bahkan,
saat terdengar kabar Adipati Hunus jatuh sakit, pasukan tombak
yang dipimpin alim ulama itu bergabung di bawah pimpinan Raden
Darmakusuma, putera mendiang Adipati Pati Kayu Bralit. Adipati
Pati Kayu Bralit II, adik Raden Darmakusuma, yang sejak
penyerbuan ke Malaka tidak didukung lagi oleh pasukan dari
Japara, tidak dapat menahan serangan pasukan tombak. Adipati
2335
Kayu Bralit II yang dengan gagah berani bersama sisa-sisa
pasukannya melakukan perlawanan, gugur dalam pertempuran
secara ksatria. Jenasah Adipati Kayu Bralit II dibuang ke tengah
hutan supaya dimakan binatang buas, karena ia dianggap murtad.

Keberhasilan Raden Darmakusuma menghancurkan kekuatan


adiknya ternyata tidak mematahkan pandangan penduduk yang
tidak membenarkan lagi kepemimpinan berdasar pembunuhan.
Saat Raden Darmakusuma dan para alim Demak beserta
pasukannya merayakan kemenangan, penduduk kuta dan desa-
desa di kadipaten Pati diam-diam menyingkir ke Wirasari, Sesela,
Bulu, Balora, Tuban, Jipang, Rajegwesi, dan terutama di dukuh-
dukuh Lemah Abang. Sebagaimana penduduk pedalaman Nusa
Jawa yang lain, mereka memendam sikap antipati terhadap orang-
orang berpakaian serba putih yang memaklumatkan diri sebagai
alim ulama penegak kesucian agama Islam. Mereka menganggap
semua ulama yang mengenakan jubah, surban, dan biji tasbih
sebagai jelmaan Bhattara Yama, Sang Maut, dan para pengikut
bertombaknya dianggap sebagai para Kingkara, prajurit-prajurit
Yamani (Jawa Kuno: neraka).

Tindakan penduduk Pati menyingkir ke pedalaman diterima


Tranggana sebagai sebuah bukti bahwa ajaran Syaikh Lemah
Abang sudah begitu kuat diikuti penduduk. Sebab, sebelum
gagasan masyarakat ummah yang disampaikan Syaikh Lemah
Abang dijalankan di kadipaten-kadipaten pesisir, penduduk
sebagai kumpulan manusia yang berkedudukan kawula (Jawa
Kuno: budak) hanyalah penghuni wilayah yang paling pasif.
2336
Mereka tidak pernah peduli dengan urusan pemerintahan
negerinya. Mereka tidak peduli bagaimana pemimpin-pemimpin
mereka berebut kuasa dan wibawa. Bahkan, mereka tidak peduli
siapa yang memimpin mereka dan bagaimana para pemimpin itu
memperlakukan mereka. Mereka hanya sadar bahwa mereka
adalah kawula. Budak. Tidak lebih dari itu. Bahkan untuk menandai
kebudakan mereka, pribadi-pribadi manusia itu membentuk
satuan-satuan terkecil anggota penduduk sebuah negeri dan
menyebut keberadaannya dengan istilah kawulawarga (Jawa
Kuno: kumpulan budak) yang seluruh hajat hidupnya dikuasai oleh
kalangan penguasa yang menyebut diri golongan gusti (Jawa
Kuno: tuan, yang berkuasa). Kini, setelah gagasan masyarakat
ummah yang dikemukakan Syaikh Lemah Abang diterima sebagai
tatanan baru kehidupan penduduk di pesisir Nusa Jawa, para
anggota kawulawarga itu mendadak menjadi liar dan susah
dikendalikan. Ibarat kawanan harimau keluar dari hutan, penduduk
yang menyebut diri sebagai masyarakat ummah itu telah menjelma
menjadi binatang liar yang buas dan berbahaya dan tidak gampang
dijinakkan.

Sesaat setelah diberi tahu oleh Syarif Hidayatullah tentang


perkembangan keadaan di Demak, Raden Sahid meninggalkan
Kalijaga untuk mengunjungi dukuh-dukuh Lemah Abang. Ia ingin
mengetahui apa sejatinya yang terjadi dengan dukuh-dukuh
tersebut setelah kemelut panjang yang meliputi perebutan kuasa
dan wibawa antara Yang Dipertuan Demak dengan Yang
Dipertuan Japara.

2337
Ketika sampai di Japara, ia menemui Ki Saridin, seorang murid
Syaikh Siti Jenar yang menjadi kepala dukuh Lemah Abang di
Japara. Sejak peristiwa terbunuhnya kawan-kawannya oleh
satuan-satuan bersenjata, Ki Saridin didaulat menjadi guru suci
wakil Syaikh Lemah Abang oleh para pengikut kepala dukuh yang
terbunuh. Karena kedudukan barunya itu, Ki Saridin disebut orang
dengan nama terhormat Syaikh Jangkung. Dia sangat dihormati
penduduk karena merupakan salah seorang murid Syaikh Lemah
Abang dari kalangan orang kebanyakan yang berhasil menjadi
adimanusia. Lantaran keberhasilannya itulah Raden Sahid
menempatkannya sebagai salah seorang murid Syaikh Lemah
Abang terkemuka.

Menurut Ki Saridin sendiri, sejak kematian para pemuka dukuh


Lemah Abang, yang disusul pengungsian sejumlah pemuka dukuh
ke berbagai negeri, ditambah raibnya sang guru suci bagai ditelan
bumi, terjadi perubahan besar di antara para pengikut Syaikh
Lemah Abang yang tersisa. “Ibarat anak-anak ayam ditinggal
induknya, para murid dan pengikut Kangjeng Syaikh terpecah
menjadi tiga kelompok besar. Pertama-tama, kalangan alim ulama
yang memimpin Tarekat Akmaliyyah, Haqqmaliyyah, Khaliqiyyah,
Sattariyyah, Kubrawiyyah, dan Wahidiyyah memutuskan untuk
menjadikan tarekat yang mereka pimpin sebagai ajaran rahasia
yang khusus diajarkan kepada keluarga. Kedua, kalangan
bangsawan juga memutuskan hal serupa, mengajarkan tarekat
hanya kepada keluarga. Yang justru membingungkan adalah
pengikut yang berasal dari kalangan orang kebanyakan, baik yang
tinggal di dukuh-dukuh Lemah Abang maupun di desa-desa
sekitarnya.”
2338
“Kenapa dengan mereka?” Raden Sahid minta penjelasan.

“Mereka terpecah menjadi tiga kelompok yang saling bersaing.


Kelompok pertama memilih pemimpin sendiri untuk melanjutkan
ajaran tarekat yang diwariskan kangjeng syaikh. Kelompok kedua,
dua tiga orang warga di sejumlah dukuh secara sepihak
mengajarkan ajaran batiniah yang dinisbatkan kepada kangjeng
syaikh dengan alasan mereka mendapat wangsit langsung dari
Allah untuk meneruskan tugas sang guru, membimbing manusia
menuju Kebenaran Sejati. Yang terakhir, beberapa orang warga
desa di sekitar dukuh mengajarkan ajaran batiniah yang juga
dinisbatkan kepada kangjeng syaikh dengan alasan ditemui sendiri
oleh arwah Syaikh Lemah Abang. Mereka mengaku ditugasi
kangjeng syaikh untuk meneruskan ajarannya. Sungguh, tiga
kelompok orang ini sangat membahayakan ajaran kangjeng
syaikh, karena setahu kami mereka itu kurang memahami ajaran
kangjeng syaikh secara benar dan sangat sedikit memahami ilmu-
ilmu Keislaman,” ujar Ki Saridin.

“Mereka menggunakan nama apa untuk tarekatnya?”

“Ada macam-macam nama yang mereka gunakan. Ada yang


menyebut tarekatnya dengan nama Agama Jawa, Islam Sejati,
Wahyu Utama, Murti Tunggal, Sapta Warah, Lelana Brata, dan
banyak lagi yang lain.”

2339
Raden Sahid termangu-mangu mendengar paparan Ki Saridin.
Dengan bekal penjelasan singkat itu, ia mendatangi dukuh-dukuh
Lemah Abang dan desa-desa sekitarnya baik dengan menyamar
sebagai penjual rumput, dalang wayang, maupun Syaikh Malaya.
Ketika ia berkeliling ke dukuh-dukuh dan desa-desa sekitar Lemah
Abang, dan mengenali para guru batiniah tersebut melalui
penglihatan mata batin dan pendengaran jiwa, ia mendapati
kenyataan yang memprihatinkan sekaligus mengharukan. Dengan
penglihatan mata batin, ia menyaksikan sebagian di antara guru
batiniah itu berdiri tegak menepuk dada penuh kepongahan,
memamerkan kehebatan dan kemegahan diri. “Lihatlah kami!
Lihatlah anak-anak yang lahir dari pikiran dan mimpi-mimpi Syaikh
Lemah Abang! Kami adalah anak-anak bangsa yang lahir dari
kehinaan dan nistaan bangsa lain. Kami adalah anak-anak yang
disusui dan disuapi Syaikh Lemah Abang dengan kesadaran dan
keyakinan diri! Kami adalah anak-anak yang sudah memiliki
keyakinan bahwa Tuhan adalah sesembahan segala bangsa dan
bukan milik bangsa tertentu! Kami adalah penerus ajaran Bapak
kami mulia, Syaikh Lemah Abang!”

Raden Sahid menarik napas panjang mendengar suara-suara itu.


Dengan suara lembut penuh kasih, ia berkata, “Aku tahu siapa
kalian sejatinya. Kalian adalah orang-orang yang sangat ceroboh
di dalam mengajarkan pengetahuan ruhani. Seibarat satu ember
air diambil dari sumber mata air yang jernih untuk dipindahkan ke
dalam kendi-kendi dengan cara disiramkan, demikianlah kalian
menumpahkan air yang jernih ke atas tanah dan hanya beberapa
tetes saja yang masuk ke dalam kendi-kendi. Kalian telah berbuat

2340
zalim karena memberikan kalung mutiara kepada kawanan kera
yang butuh pisang.”

“Wahai Syaikh Malaya! Janganlah engkau memandang kami dari


kedudukanmu yang tinggi. Lihatlah kami sebagai kami! Kami
adalah anak-anak bangsa yang diasuh, disusui, disuapi, dituntun,
dan bahkan dicambuk oleh Syaikh Lemah Abang untuk memiliki
keyakinan diri tinggi sebagai adimanusia. Kami dididik untuk yakin
akan keberadaan diri. Kami dididik untuk berani tampil sebagai
guru suci tanpa perlu membawa-bawa nama bangsa asing. Kami
dididik untuk meyakini bahwa Allah adalah Tuhan semua bangsa
dan bukan milik bangsa tertentu. Kami dididik agar yakin diri bahwa
segala sesuatu adalah semata-mata kehendak Allah, sehingga
kami tidak perlu berdusta mengatakan apa yang tidak kami punyai.
Inilah kami!”

“Benarlah apa yang kalian katakan, o bayangan-bayangan kusam


Syaikh Lemah Abang,” kata Raden Sahid penuh kasih, “Tetapi,
hendaknya kalian sadar bahwa sebagian besar di antaramu
menyampaikan pengetahuan yang tak jelas dari mana sumbernya.
Kalian mengumpulkan air tumpahan dari ember dan
memasukkannya ke kendi lain sehingga kemurnian dan kejernihan
air tidak lagi tersisa. Air yang sudah keruh itu tidak lagi dapat
memuaskan kehausan para musafir pencari Kebenaran, bahkan
bisa mengundang penyakit.”

2341
Terdengar suara hiruk dari orang-orang berceloteh. Sejenak
kemudian, terdengar suara berisik sahut-menyahut seperti ratusan
orang mengomel di dalam gua, “Tidakkah engkau mengetahui, 0
Syaikh Malaya, bahwa kecenderungan kalangan orang
kebanyakan yang berpengetahuan dangkal dan berwawasan
sempit dan bernalar picik adalah mencari guru yang sederajat
dengan mereka? Ketahuilah olehmu, o Syaikh Malaya, kamilah
guru yang sesuai dengan keinginan mereka. Sesungguhnya,
Syaikh Lemah Abang telah mengajarkan kepada kami bahwa Allah
selalu memahami prasangka hamba-Nya sesuai batas-batas
kemampuan sang hamba mengenal-Nya. Lantaran itu, biarlah
kami dengan kesempitan wawasan, kepicikan nalar, kedangkalan
pengetahuan, dan kepercayaan diri kami yang berlebihan, menjadi
apa yang kami kehendaki. Jangan kami dinilai dengan penilaian
yang tinggi. Sebab, Allah lebih tahu keterbatasan kami daripada
manusia-manusia takabur yang merasa paling benar sendiri.”

Raden Sahid memahami para petani, tukang, perajin, juru


tambang, penyadap getah enau, atau buruh tani yang tiba-tiba
menjadi guru suci dan membaiat pengikut-pengikutnya itu telah
menangkap dan memahami ajaran Syaikh Lemah Abang sebatas
cakrawala pandangan mereka yang tidak pernah lebih jauh dari
sawah, sungai, bukit, hutan, dan gunung yang melingkungi
mereka. Wawasan mereka yang tidak pernah lebih luas dari
kadipaten tempat mereka hidup telah menjadi ‘penghalang’ untuk
memahami ajaran sang syaikh yang telah melanglang buana dan
mereguk segarnya mata air ilmu dari berbagai bangsa. Kurangnya
mereka bergaul dengan bangsa lain, dengan pemikiran-pemikiran
yang beragam, telah pula menjadikan mereka sulit untuk
2342
menangkap secara baik dan sempurna tarekat yang diajarkan
Syaikh Lemah Abang yang mensyaratkan kecerdasan dan
perjuangan keras untuk mewujudkannya.

Sepengetahuan Raden Sahid, ajaran tarekat yang disampaikan


oleh Syaikh Datuk Abdul Jalil, mertuanya, selalu disampaikan
secara sistematik berupa pengetahuan ruhani dalam bentuk
analogi meteforik (qiyas bayani), pembabaran ungkapan (futuh al-
ibarah) pengetahuan gnostik (irfani), dan pembuktian-pembuktian
(burhani), sehingga dibutuhkan kecerdasan lebih untuk
menangkap dan memahaminya. Sebab itu, ia sangat memahami
tiga kelompok – kalangan alim ulama, bangsawan, dan orang
kebanyakan – karena masing-masing kelompok memiliki
pemahaman yang berbeda dalam menangkap intisari ajaran yang
disampaikan mertuanya. Bahkan, ia memahami ketika mendapati
ajaran agung mertuanya itu telah menjelma menjadi seperangkat
ajaran batiniah yang sangat dangkal dan membingungkan. Itu
sebabnya, bertolak dari pengetahuan otak-atik mathuk yang
merupakan dasar pengetahuan orang kebanyakan, para guru
batiniah yang menyatakan diri pelanjut ajaran Syaikh Lemah
Abang itu tanpa sadar telah membangun sistem epistemologi
pengetahuan batiniah dengan prinsip-prinsip analogi metaforik
(qiyas bayani) yang didasarkan atas kesamaan-kesamaan dan
penyerupaan-penyerupaan yang tidak terikat aturan tertentu atau
sekehendak sendiri dalam menafsirkan sesuatu. Dengan
keyakinan diri yang berlebih-lebihan, mereka memaklumkan
bahwa apa yang mereka sampaikan itu adalah Kebenaran mutlak
tak tersanggah sebagaimana diajarkan Syaikh Lemah Abang.

2343
Raden Sahid sendiri melihat pendangkalan atas ajaran mertuanya
berawal dari kekurangpahaman para guru batiniah itu di dalam
memaknai pokok-pokok bahasan pengetahuan ruhani yang
disampaikan Syaikh Lemah Abang. Pokok-pokok bahasan yang
seharusnya dipahami sebagai sistem pengetahuan ruhani yang
akan digunakan membimbing salik ke jalan Kebenaran, ternyata
diajarkan sebagai rangkaian doa-doa panjang untuk mencapai
Kebenaran. Entah bagaimana awalnya, ungkapan-ungkapan
metaforik dan kupasan-kupasan filosofis tentang jalan Kebenaran
yang diajarkan Syaikh Lemah Abang, tiba-tiba menjelma menjadi
rangkaian doa yang dihafal sedemikian rupa tanpa diketahui
maknanya. Ajaran Syaikh Lemah Abang yang didasarkan pada
keseimbangan pengetahuan bashrah yang memancar dari qalb
dengan pengetahuan akal (‘aql) yang diterangi burhan itu telah
berubah menjadi ajaran batiniah dangkal yang penuh mantera dan
diselimuti takhayul.

Raden Sahid merasa iba kepada para guru batiniah yang


memaknai ajaran Syaikh Lemah Abang sesuai pemahaman
mereka yang kelewat sederhana itu. Mereka hampir selalu
menyederhanakan masalah-masalah serius sesederhana
penalaran mereka. Sering terjadi, ajaran Syaikh Lemah Abang
yang bersifat rahasia dalam mengungkap Ruh al-Idhafi, dengan
sangat naif disederhanakan sebagai sekadar kilasan-kilasan
cahaya yang terlihat saat mata orang dikucek-kucek. Dengan
keyakinan diri berlebihan, para guru suci menyatakan kepada
pengikut-pengikutnya bahwa kilasan cahaya saat mata dikucek-
kucek itu adalah cahaya Ilahi yang disebut Ruh al-Idhafi. Itulah
mursyid pembimbing. Itulah guru sejati. Bahkan, dengan pongah
2344
tetapi naif dan konyol mereka menyatakan bahwa untuk melihat
cahaya Ilahi tidak sulit dan hanya butuh waktu beberapa kedipan
mata saja, yaitu saat mata orang dikucek-kucek. Demikianlah,
murid-murid yang sama sederhananya dengan mereka dalam
segala hal itu mengaminkan semua yang mereka ajarkan,
sehingga sering kali terjadi peristiwa-peristiwa konyol yang
memalukan di mana murid-murid yang senaif dan sekonyol
gurunya itu berteriak-teriak “aku sudah ketemu tuhan,” ketika
mereka menyaksikan kilasan cahaya di matanya yang sengaja
mereka kucek-kucek.

Yang memprihatinkan Raden Sahid, di antara ajaran ruhani yang


disampaikan guru-guru batiniah itu adalah pemberian makna kata-
kata di dalam bahasa Arab dengan makna bahasa Jawa. Mereka,
yang memang tidak paham dengan bahasa Arab yang menjadi
dasar ilmu-ilmu Keislaman, dengan kesederhanaannya memaknai
semua kata dan kalimat dalam bahasa Arab dengan bahasa Jawa.
Kata “padang Arafah” mereka maknai sebagai “terangnya
penglihatan”. Sebab, “padang” bermakna terang dalam bahasa
Jawa. Arafah bermakna penglihatan dalam bahasa Arab. Dengan
demikian, yang dimaksud “padang Arafah bukan tempat di Arab,
melainkan terang-benderangnya penglihatan atas kilasan-kilasan
cahaya saat mata dikucek-kucek.

Kata “Rasul Allah” mereka maknai sebagai “rasanya Allah”, karena


kata “rasul” disama-artikan dengan kata “rasa”. Bunyi “ras” dalam
bahasa Arab mereka pikir sama dengan “rasa” dalam bahasa
Jawa. Akibatnya, mereka menafsirkan bahwa yang disebut
2345
Muhammad Rasul Allah itu bukanlah orang Arab bernama
Muhammad yang menjadi Nabi umat Islam, melainkan Nur
Muhammad yang ada di dalam alam ruhani. Nur Muhammad itulah
“rasanya Allah”. Nur Muhammad itulah “rasul Allah”. Lantaran
Syaikh Lemah Abang telah mengajarkan bahwa masing-masing
manusia adalah pancaran dan percikan Nur Muhammad, maka
yang terpenting bagi manusia adalah bagaimana mereka
mengetahui dan mengenal Nur Muhammad tersebut.

Muara dari penafsiran berdasar prinsip otak-atik mathuk – bahasa


Arab dimaknai dengan bahasa Jawa dan sebaliknya – itu adalah
munculnya pandangan yang menyatakan bahwa manusia yang
melakukan sembahyang mengikuti ajaran agama Islam dari Arab
yang disampaikan Nabi Muhammad adalah keliru, apalagi dengan
berkiblat pada batu yang disebut Ka’bah. Bersembahyang
menghadap Ka’bah itu musyrik karena menyembah batu. Mereka
memaknai sembahyang yang dilakukan umat Islam sebagai
kegiatan mobah molah muna muni (bergerak-gerak dan berkata-
kata tanpa mengerti makna ucapannya). Bahkan, ajaran tentang
Nur Muhammad pun akhirnya dimaknai sebagai matahari yang
bersinar di tata surya.

Yang paling memprihatinkan Raden Sahid atas para guru batiniah


itu adalah kecenderungan mereka untuk memperbanyak pengikut
dengan membaiat semua orang secara serampangan dan
borongan. Dengan alasan diperintah langsung oleh Allah atau
arwa Syaikh Lemah Abang, mereka membaiat siapa pun yang
datang. Tanpa kenal siang dan malam, setiap orang yang datang
2346
bertamu diiming-iming dengan cerita-cerita isapan jempol tentang
tarekat, hakikat, makrifat, berkat, dan keramat yang jauh dari
keagungan ilmu tasawaf. Tidak peduli apakah orang paham atau
tidak dengan uraian dan penjelasannya, mereka langsung dibaiat.
Sebab, dengan membaiat banyak orang, kedudukan mereka
sebagai guru suci akan semakin kukuh dan melambung tinggi ke
langit karena masyarakat sangat memuliakan para guru suci
laksana dewa.

Sungguh berbeda apa yang dilakukan kebanyakan guru suci


tersebut dengan Syaikh Lemah Abang. Jika Syaikh Lemah Abang
mengajarkan tarekat secara rahasia, yakni kepada pencari
Kebenaran Sejati dan para salik terpilih, maka kebanyakan guru
suci baru itu mengajarkan tarekat secara terbuka selayaknya
barang dagangan murah yang dijajakan kepada siapa saja yang
mau menerima. Tidak hanya pencari Kebenaran Sejati, mereka
yang berkeinginan mencari pangkat, derajat, jabatan, rezeki,
bahkan pencari pesugihan pun diajari laku tarekat. Mereka
mengajarkan semau-maunya semua ajaran rahasia dengan
pamrih utama agar mereka menjadi guru suci yang memiliki
banyak pengikut dan disegani manusia. Bahkan, bagian terbesar
dari guru-guru batiniah baru yang semula adalah petani, pedagang
kecil, tukang, perajin, penyadap getah enau, dan buruh kecil
secara menakjubkan tiba-tiba menjelma menjadi “orang kaya
baru”, karena selain menjadi guru batiniah mereka juga mengambil
alih peran para janggan (dukun) di desanya. Dengan demikian, jika
Syaikh Lemah Abang mengajarkan tarekat semata-mata untuk
membimbing manusia menuju jalan Kebenaran, maka banyak di

2347
antara guru suci baru itu telah melumuri ajarannya dengan pamrih
pribadi berlebihan. Pamrih. Pamrih. Beribu-ribu kali pamrih.

2348
Suluk Malang Sungsang

Di tengah ketercengangan dan keprihatinan


Raden Sahid atas munculnya guru-guru
batiniah dari kalangan orang kebanyakan
yang menyampaikan ajaran Syaikh Lemah
Abang secara sederhana, ia mendengar
kabar mengejutkan yang tidak disangka-
sangka. Saat ia berada di kediaman Ki
Ageng Gabus di Wirasari, ia diberi tahu oleh murid Syaikh Datuk
Abdul Jalil itu tentang kemunculan dukuh-dukuh baru bernama
Lemah Abang tidak jauh dari dukuh-dukuh Lemah Abang yang
dibukan Syaikh Datuk Abdul Jalil. Di dukuh-dukuh Lemah Abang
yang baru muncul secara misterius seorang guru suci bernama
Hasan Ali yang dikenal dengan nama Syaikh Lemah Abang.
Laksana seorang pengembara berkaki seribu, guru suci itu
berkeliling dari satu dukuh Lemah Abang baru ke dukuh Lemah
Abang baru yang lain dengan kecepatan angin. Di setiap dukuh
Lemah Abang baru, sang tokoh misterius mengajarkan “jalan
kebenaran” kepada penduduk. “Karena ajaran-ajarannya sangat
sederhana dan gampang diikuti penduduk dari kalangan
kebanyakan maka dalam waktu singkat pengikutnya melimpah.
Para penduduk dari kalangan petani, tukang, perajin, pedagang
kecil, penambang, penyadap enau, dan kuli datang berduyun-
duyun untuk membaiat diri menjadi murid Hasan Ali,” ujar Ki Ageng
Gabus.

2349
“Apakah Hasan Ali itu orangnya bertubuh pendek dan kulitnya
hitam?” tanya Raden Sahid.

“Benar Raden,” sahut Ki Ageng Gabus, “Apakah Raden mengenal


dia?”

“Aku mengenal nama Hasan Ali dari penuturan Syaikh Datuk Abdul
Jalil. Aku pernah sekali bertemu sendiri dengan dia di Giri
Kedhaton,” sahut Raden Sahid.

“Tapi dia mengaku berasal dari Caruban, sama dengan Syaikh


Datuk Abdul Jalil. Sebab itu, penduduk yang belum pernah melihat
Syaikh Datuk Abdul Jalil mengira Hasan Ali adalah Syaikh Datuk
Abdul Jalil dan karena itu mereka menyebutnya Syaikh Lemah
Abang. Sebenarnya, aku dan kawan-kawan hendak meluruskan
masalah itu agar tidak terjadi kekeliruan yang menyesatkan.
Tetapi, aku segera ingat wejangan terakhir beliau tentang sang
bayangan. Karena beliau menitahkan semua pengikut harus diam
saat sang bayangan muncul maka kami semua akhirnya diam,”
ujar Ki Ageng Gabus.

“Hasan Ali memang kelahiran Caruban. Dia semula bernama


Raden Anggaraksa, putera Rsi Bungsu dan cucu Prabu
Surawisesa, Yang Dipertuan Galuh Pakuan,” kata Raden Sahid
menjelaskan. Saat memaparkan tentang Hasan Ali itulah tiba-tiba
di benak Raden Sahid berkelebat bayangan putera Rsi Bungsu itu:
2350
Tubuh yang pendek dan kulit yang gelap. Kepala yang lonjong
dibungkus destar putih yang selalu terlihat mendongak, pertanda
keangkuhan bawaan darah biru. Alis mata yang tebal, tetapi bola
mata yang tidak bisa tenang dan selalu bergerak-gerak dari satu
sudut ke sudut yang lain. Hidung yang kecil dan kurang mancung
dengan bagian bawahnya ditempeli kumis sekasar ijuk. Janggut
yang ditumbuhi beberapa helai rambut menjuntai menutupi dagu.
Bentuk bibir yang mencibir, seolah mengejek orang. Sungguh
sebuah citra diri manusia takabur yang selalu ingin menempati
kedudukan tertinggi.

Berbekal petunjuk Ki Ageng Gabus, Raden Sahid pergi ke dukuh


Lemah Abang baru yang letaknya memang tidak jauh dari dukuh
Lemah Abang yang dibangun Syaikh Datuk Abdul Jalil. Di situ ia
menyusup di antara pengikut-pengikut Syaikh Lemah Abang
gadungan. Ia memahami betapa bagi kalangan orang kebanyakan,
ajaran sederhana yang disampaikan Hasan Ali memang sangat
mudah dipahami dan diamalkan. Sebab, sebagaimana ajaran
guru-guru batiniah di Lemah Abang dan sekitarnya, ajaran Hasan
Ali pun hanya berupa teknik pernapasan ditambah sederetan doa
yang tidak perlu ditelaah maknanya. Doa-doa yang diajarkannya
pun lazimnya berkait dengan ilmu kanuragan, ilmu pengobatan,
ilmu sihir yang bercampur-aduk dengan ajaran batiniah. Murid-
murid yang umumnya datang dari kalangan orang kebanyakan
yang tidak memahami ilmu-ilmu Keislaman, rata-rata tidak bisa
membedakan mana ilmu pengetahuan ruhani yang menuju jalan
Kebenaran dan mana pengetahuan perdukunan yang menuju
pemenuhan pamrih pribadi yang diliputi hasrat-hasrat nafsu rendah
badani.
2351
Dalam waktu singkat Raden Sahid sudah mengenali perbedaan
mencolok antara ajaran mertuanya dan ajaran Hasan Ali dalam hal
meniti jalan ruhani menuju Kebenaran Sejati (al-Haqq). Pertama-
tama, ia sangat paham dan telah membuktikan Kebenaran ajaran
Syaikh Datuk Abdul Jalil di dalam konteks Kebenaran Sejati.
Syaikh Datuk Abdul Jalil tegas-tegas mengajarkan bahwa untuk
mencapai Aku, yang wajib dinafikan dari keberadaan seorang salik
adalah aku. Selama aku masih mengaku ada maka, Aku tidak akan
mengakuinya. Sehingga, selamanya aku akan terhijab dari Aku.
Sebaliknya, Hasan Ali mengajarkan bahwa untuk mencapai Aku
maka yang wajib dikuatteguhkan adalah aku. Syaikh Datuk Abdul
Jalil mengajarkan bahwa lamunan kosong (al-umniyyah) yang
membentuk angan-angan kosong (al-wahm) harus dihindari oleh
para salik karena akan membawa kepada kesesatan al-mumtani’
yang terbit dari al-ghyar. Hasan Ali sebaliknya, dia justru
mengajarkan tentang betapa pentingnya al-umniyyah dan al-wahm
sebagai piranti untuk mencapai Kebenaran Sejati. “Tanpa
menguatkan angan-angan khayalan menjadi Allah maka manusia
tidak akan bisa menyatu dan menjadi Allah. Sebab itu, kuat dan
teguhkan daya khayalmu bahwa engkau adalah Allah sendiri.
Akumu adalah Aku Allah,” ujar Hasan Ali meyakinkan murid-
muridnya.

Salah satu cara Hasan Ali untuk membuktikan kebenaran


ajarannya, ia memberikan amalan-amalan doa yang salah satunya
disebut Sindung Kraton, yaitu doa aneh yang jika dipaparkan
maknanya kira-kira begini:

2352
Eh ... eh ... eh. Akulah Sindung Liwang-liwung / Aku sudah ada di
sini / Aku Ratu Agung / Ratu Kayaraya / Ratu Yang Berkuasa / Ratu
Yang Didewakan / Ratu Sempurna Yang Tinggal di Pulau Kencana
/ Yang Merajai seluruh rasa / / Ruh-ku adalah ruh manusia / ruh api
/ ruh air / ruh angin / ruh bumi / ruh batu / ruh kayu / ruh besi / ruh
nabi / ruh wali / ruh orang beriman / ruh malaikat / ruh jin / ruh setan
/ ruh banaspati / ruh ilu-ilu / ruh demit / ruh perayangan / ruh
gandarwa / ruh makhluk sejagat / / datang hanyut datang terseret
kepada seluruh ciptaan / jangan ada yang tertinggal / perkumpulan
nabi wali orang beriman / terkumpul pada aku / Akulah Ratu
Maulana yang bersemayam di dada manusia / Akulah Ratu Agung
yang Merajai di dalam pagar batu kuasa / pintu-ku Ratu Kekayaan
/ tutup-ku Batu Agung / pintu rumah yang bisa menutup dan
membuka sendiri / leh ... leh ... leh/

Ketika menerima amalan doa Sindung Kraton ini, Raden Sahid


terkejut. Sepengetahuannya, amalan doa Sindung Kraton memuat
gagasan-gagasan ajaran Majusi (Magi Zoroaster) terkait pemujaan
Ormuzd. Bagaimana mungkin Hasan Ali bisa memperoleh doa-doa
yang memiliki kaitan dengan ajaran Majusi? Dan yang tak kalah
mengejutkan, Hasan Ali meyakinkan murid-muridnya bahwa doa
Sindung Kraton tersebut selain dapat mengukuhkan keyakinan diri
bahwa manusia sejatinya adalah jelmaan Yang Ilahi, yang ruh-nya
menyebar ke segala ciptaan, juga dapat membuka pintu kuasa dan
harta benda. Bahkan, kepada murid-murid yang dianggap sudah
mendekati makrifat diajarkan doa-doa tambahan yang disebut
Sindu Sepah, yang juga memuat gagasan doa bernuansa Majusi,
yang kira-kira maknanya begini: Eh ... eh ... eh ... Aku Sindung

2353
Liwang-liwung / Aku sudah Ada di sini / lautan ramai / hutan kosong
/ ehek ... ehek ... yang ada aku sendiri //.

Semakin mengetahui ajaran yang disampaikan Hasan Ali, semakin


sadarlah Raden Sahid jika makhluk dekil bernama Hasan Ali itu
sangat tidak pantas menggunakan nama masyhur Syaikh Lemah
Abang. Sebab, segala apa yang diajarkan Hasan Ali pada
dasarnya jauh lebih berbahaya dan lebih gampang menyesatkan
manusia dibanding yang diajarkan para guru batiniah di dukuh-
dukuh Lemah Abang. Namun demikian, karena ia sudah diberitahu
oleh mertuanya tentang akan munculnya bayangan hitam Syaikh
Lemah Abang yang bakal menyesatkan umat, maka ia tidak
berkata sesuatu pun tentang kepalsuan sosok Hasan Ali yang
menggunakan nama Syaikh Lemah Abang itu. Ia merasa wajib
untuk diam. Diam. Seribu kali diam, sebagaimana amanat terakhir
sang mertua. Di tengah kemuakannya dengan sosok Hasan Ali,
yang menuhankan diri itu, ia hanya menggumam dalam hati:
memang, bayangan selalu lebih hitam dari wujud aslinya.

Belum hilang muaknya terhadap sosok Hasan Ali, Syaikh Lemah


Abang gadungan, Raden Sahid mendapat kabar yang tak kalah
mengejutkan saat berada di Pamotan menemui sahabat karibnya,
Raden Qasim yang menjadi guru suci. Menurut Raden Qasim, di
sejumlah dukuh di pedalaman telah muncul seorang guru suci
bernama Syaikh Siti Jenar yang memiliki nama asli San Ali Anshar.
Dia adalah guru ruhani Hasan Ali, San Ali Anshar mendirikan
dukuh-dukuh Siti Jenar, Kajenar, dan Kamuning tidak jauh dari
dukuh-dukuh yang pernah didirikan oleh Syaikh Datuk Abdul Jalil.
2354
Di dukuh-dukuh itulah ia mengajarkan tarekat ganjil yang campur
aduk dengan ilmu ketabiban, ilmu sihir, dan ilmu kanuragan.

Mendengar nama San Ali Anshar, Raden Sahid merasa


jantungnya berdegup-degup dan darahnya terpompa keras. Tak
pelak lagi, San Ali Anshar yang dimaksud adalah Ali Anshar al-
Isfahany, pengkhianat tengik yang menjadi penyebab kehancuran
keluarga istrinya. Dan kini, makhluk rendah itu semakin menjadi-
jadi kejahatannya dengan mengaku-aku sebagai Syaikh Siti Jenar.
Tidak mungkin tidak, penganut ajaran Rawandi yang dibangsakan
kepada Hakim bin Hasyim itu akan merusak nama Syaikh Datuk
Abdul Jalil, katanya dalam hati.

Raden Qasim yang mengetahui bagaimana gejolak perasaan dan


kecamuk pikiran sahabat karibnya itu membiarkan Raden Sahid
menenangkan diri. Setelah suasana dirasa mereda, dia berkata,
“Aku diam-diam sudah pergi ke dukuh Kajenar di Negeri Daha
dengan menyamar sebagai pedagang kain. Aku berguru kepada
San Ali Anshar yang dipuja seperti dewa oleh pengikut-
pengikutnya. Dia mengajarkan macam-macam ilmu, terutama
sejenis sihir yang disebut gendam, yaitu ilmu yang dapat
mempengaruhi kesadaran orang seorang. Semua muridnya
seperti tersihir kekuatan dahsyat sehingga selalu mematuhi semua
titahnya.”

2355
“Ilmu Gendam?” gumam Raden Sahid seolah mengingat-ingat,
“Aku tiba-tiba teringat nama Gendam Smaradahana, penjahat
yang telah mempermalukan Yang Dipertuan Terung.”

“Tepat sekali. Memang ada keterkaitan antara ilmu gendam yang


diajarkan San Ali Anshar dan Gendam Smaradahana. Sebab,
manusia bernama Gendam Smaradahana itu adalah murid San Ali
Anshar. Dia sering membuat kisruh di berbagai tempat karena
kegemarannya menggoda anak dan istri pejabat-pejabat kerajaan.
Waktu aku di Daha, dia sedang dicari-cari oleh Adipati Panjer
karena membawa lari selirnya.”

“Apakah Yang Dipertuan Terung sudah mengetahui kabar itu?”

“Sudah. Aku langsung menemuinya di Kraton Majahapit di


Wirasabha. Sekarang ini pembunuh-pembunuh yang dikirim oleh
murid ayahandaku itu sedang memburu Gendam Smaradahana,”
papar Raden Qasim sambil menjelaskan bahwa semua ajaran
yang disampaikan San Ali Anshar sangat bertolak belakang
dengan ajaran Syaikh Datuk Abdul Jalil. “Kalau Syaikh Datuk Abdul
Jalil mengajarkan Sasyahidan kepada para murid yang menduduki
maqam ‘ahli kasyaf’ dan penemu (ahl al-kasyf wa al-wujud) agar
dalam pendakian ruhani mencapai maqam Kesatuan Penyaksian
(wahdat asy-syuhud), San Ali Anshar justru mengajarkan kepada
murid-muridnya yang paling baru sekalipun tentang Kesatuan
Wujud (wahdat al-wujud). Dia sangat terbuka membabar Kesatuan
Wujud. Selama membabar rahasia Kesatuan Wujud itu, jelas sekali
2356
dia hanya ingin memamerkan kehebatan nalarnya. Sebab,
sewaktu aku melihat dengan pandangan mata batin ternyata dia itu
hanya pintar berbicara dan beradu hujjah. Pengalaman ruhaninya
sangat rendah dan dangkal diliputi pamrih-pamrih duniawi.
Keganjilan-keganjilan perbuatan ajaib yang dipertontonkannya
semata-mata dari ilmu sihir,” ujar Raden Qasim.

“Apakah dia mengajarkan tentang Tuhan yang menjelma dalam


wujud manusia?” tanya Raden Sahid.

“Setahuku, ajarannya tidak jelas benar. Satu saat dia mengajarkan


bahwa manusia adalah jelmaan Tuhan sehingga saat dicipta
malaikat-malaikat disuruh bersujud. Setelah itu, dia mengajarkan
bahwa sifat Ilahiyyah yang ada pada diri para utusan Tuhan (rasul)
menitis dari satu rasul ke rasul yang lain. Lantaran San Ali Anshar
mengaku keturunan Nabi Muhammad Saw., maka ia menyatakan
mewarisi sifat Ilahiyyah Nabi Muhammad Saw. tetapi yang aneh,
dia mengajarkan pula keyakinan tentang avatar, yaitu titisan
Wisynu. Ia mengaku sebagai titisan Wisynu wakil Tripurusa
(Brahma-Wisynu-Syiwa) di dunia. Karena di Daha banyak pengikut
Waishnawa, dan dia berkali-kali mempertunjukkan kehebatan ilmu
sihirnya, maka dia diyakini pengikutnya sebagai titisan Wisynu.
Sebab itu, dukuh Kajenar yang dijadikannya tempat membabar
ilmu batiniah itu dinamai Wrendawana, yaitu kediaman Wisynu
bersama para gopi pengikutnya.”

2357
“Yang sangat membingungkan aku, dia mengajarkan dzikir
berjamaah kepada pengikut-pengikutnya. Aku katakan bingung,
sebab, pertama-tama, Syaikh Datuk Abdul Jalil tidak pernah
mengajarkan awrad seperti itu. Kedua, dzikir berjama’ah itu
dilakukan bersama-sama antara jama’ah laki-laki dan perempuan.
Semua berteriak-teriak seperti orang kesurupan dan banyak yang
pingsan. Bahkan yang nyaris tidak aku mengerti, dzikir berjamaah
itu dilakukan di makam Syaikh Syamsuddin ar-Rumi,” ujar Raden
Qasim.

“Sungguh berbahaya tindakan guru-murid itu. Mereka bukan hanya


merusak nama baik Syaikh Datuk Abdul Jalil, melainkan akan
menyesatkan banyak manusia,” kata Raden Sahid.

“Lantaran itu, orang-orang Giri Kedhaton menyebut jalan ruhani


(suluk) yang diajarkan Hasan Ali dan San Ali Anshar itu dengan
nama ejekan: Suluk Malang Sungsang, ajaran perjalanan ruhani
(tarekat) yang mengakibatkan sang salik makin terhijab dan
terjungkir kiblatnya dari Kebenaran Sejati yang dituju,” kata Raden
Qasim.

“Itu mewajibkan kita untuk mengambil tindakan pencegahan agar


benih-benih Tauhid yang telah disebar Syaikh Datuk Abdul Jalil
tidak terkotori oleh bid’ah-bid’ah yang disebar dua makhluk sesat
itu, sebagaimana tanaman padi di sawah dirambati semak-semak,”
kata Raden Sahid.

2358
“Bukankah kita semua diperintahkan untuk diam oleh Syaikh Datuk
Abdul Jalil?”

“Maksudku, kita tidak perlu mengurusi San Ali Anshar dan Hasan
Ali dalam hal ini. Kita hanya akan mengurusi pengikut-pengikut
Syaikh Datuk Abdul Jalil yang tersisa dan sebagian besar malah
menyembunyikan jati dirinya. Saat aku berkeliling ke sejumlah
dukuh Lemah Abang, banyak orang yang tidak berhak mengajar
telah lancang mengajar karena mengikuti nafsunya sehingga
ajaran Syaikh Datuk Abdul Jalil menjadi kabur karena
tercampurnya pengetahuan ruhani (tarekat) dengan ilmu
perdukunan,” kata Raden Sahid.

“Caranya bagaimana?” tanya Raden Qasim.

“Kita harus menghubungi semua pengikut Syaikh Datuk Abdul Jalil.


Mereka harus kita ingatkan bahwa melarikan diri dari kenyataan
hidup adalah sesuatu yang paling dibenci Syaikh Datuk Abdul Jalil.
Mereka harus mulai mengajarkan pengetahuan ruhani kepada
yang berhak dan tidak hanya diperuntukkan bagi keluarganya
sendiri. Saat mereka mengajar itulah, guru-guru batiniah yang
mengaku pengikut Syaikh Datuk Abdul Jalil kita minta untuk belajar
kepada mereka yang jelas-jelas memiliki kewenangan untuk
mengajar. Jika ada yang menolak, kita maklumkan bahwa mereka
itu bukan penerus ajaran Syaikh Datuk Abdul Jalil,” kata Raden
Sahid.

2359
“Berarti nanti akan ada penjenjangan untuk memilahkan siapa
yang mengajar apa?”

“Itu sudah pasti.”

“Ukuran untuk menentukan jenjang apakah cukup dengan


bashirah?”

“Tentu saja. Bukankah itu ukuran yang tidak bisa direkayasa?”

2360
Titah Sang Naga Hitam

Bagi kebanyakan penguasa di pesisir Nusa


Jawa, Tranggana selalu dikesankan sebagai
orang yang suka mengumbar kesenangan,
sembrono, kurang cerdas, kasar, gampang
naik darah, dan telengas. Namun, bagi yang
cermat mengamati tindakan-tindakan yang
dilakukannya selama ia menggantikan
kedudukan ayahanda dan kakaknya sebagai sultan, sekalipun
hanya berkedudukan sebagai penguasa keagamaan, mereka
melihat kelebihan-kelebihan yang dimilikinya, baik dalam hal
mengorganisasi kekuatan-kekuatan pendukung, memecah belah
kekuatan-kekuatan penentang, menggalang dukungan, bahkan
menahan kesabaran untuk tidak bertindak di saat menguntungkan
sampai benar-benar terbukti bahwa tindakannya itu dapat
membawa kemenangan. Dengan kelebihan-kelebihannya itu, di
tengah persaingan kuasa dan wibawa dengan saudara iparnya,
Adipati Hunus, ia selalu berhati-hati dalam bertindak. Ia tidak ingin
kelengahannya dimanfaatkan oleh pesaingnya. Lantaran itu, saat
alim ulama pendukungnya berniat membunuh semua pengungsi
asal Persia yang dituduh kaum bid’ah, ia justru melarangnya. Ia
tidak ingin pesaingnya mengambil manfaat dengan menjadi
pelindung bagi pengungsi-pengungsi malang itu. Bahkan, untuk
menghadang langkah pesaingnya, ia memberikan wewenang
kepada Susuhunan Udung, imam Masjid Agung Demak, salah
seorang anggota Majelis Wali Songo yang menjadi penasihat
ruhani keluarganya, untuk memberikan perlindungan kepada para
pengungsi asal Persia. Penunjukan itu penting sebab yang
2361
mengangkat Susuhunan Udung sebagai imam masjid adalah
Adipati Hunus.

Selain alasan tidak ingin memberi peluang kepada pesaingnya


dalam hal pengungsi asal Persia, Tranggana tampaknya sadar
bahwa ia tidak boleh membiarkan alim ulama asal Khanat Bukhara,
Samarkand, Kerala, Ferghana, Afghan, dan Malaka yang
mendukungnya memiliki kekuasaan lebih daripada alim ulama asal
Persia dan Goa yang selama itu kurang berperan. Ia tidak ingin
kelompok alim ulamanya memiliki pengaruh kuat melebihi
kekuasaannya. Ia sengaja membentuk kelompok lain dari alim
ulama yang berpaham Syi’ah dengan dukungan para alim asal
Persia dan Goa. Dengan tindakan itu, ia akan beroleh dukungan
dari tiga kelompok alim ulama, yaitu Majelis Wali Songo, alim
ulama Sunni dan alim ulama Syi’ah.

Dengan kebijakan berdiri di atas dukungan tiga pilar keagamaan


itu, kekuatan yang ditata Tranggana terbukti jauh lebih kuat
dibanding pesaingnya, Adipati Hunus. Sebab, di samping alim
ulama Sunni dan Syi’ah yang setia mengabdi laksana kesetiaan
dan pengabdian Karna kepada Duryudana, anggota-anggota
Majelis Wali Songo yang tidak lain dan tidak bukan adalah
kerabatnya telah menaikkan wibawanya di mata penduduk yang
menganggap para anggota Wali Songo itu sebagai sahabat-
sahabat Tuhan. Jika citra yang memancar selama masa awal
kesultanan Demak didirikan adalah bias dari Suryya Majapahit,
amak di saat Tranggana naik takhta citra itu bertambah gemilang

2362
dengan kenyataan yang menunjuk bahwa sultan Demak adalah
kerabat Wali Songo.

Pangeran Dalem Timur, pengganti Susuhunan Giri Kedhaton, yang


merupakan sahabat karibnya, sesungguhnya adalah saudara
sepupunya karena ibundanya dan ibunda Pangeran Dalem Timur
adalah kakak beradik, putera Raden Ali Rahmatullah Susuhunan
Ampel. Syarif Hidayatullah Susuhunan Gunung Jati adalah
besannya. Raden Mahdum Ibrahim Susuhunan Bonang, Raden
Ahmad Susuhunan Khatib Ampel Denta, dan Raden Qasim
Susuhunan Drajat di Pamotan adalah saudara-saudara dari
ibundanya. Raden Usman Haji Susuhunan Udung adalah besan
dari pamannya, Raden Kusen, karena Jakfar Shadiq, puteranya,
menikahi puteri Yang Dipertuan Terung yang bernama Nyi Mas
Ratu Prada Binabar. Syaikh Dara Putih, yang menggantikan
kedudukan Syaikh Jumad al-Kubra, adalah saudara lain ibu dari
kakeknya. Bahkan Raden Sahid Susuhunan Kalijaga, yang
diharapkan dapat membantunya, adalah kerabatnya juga karena
Nyi Ageng Manila, neneknya, adalah adik dari Arya Teja, kakek
Susuhunan Kalijaga.

Tindakan keras Tranggana terhadap para pengikut Syaikh Lemah


Abang sendiri sesungguhnya dilatari oleh kekecewaan berlebih
terhadap tindakan saudara tirinya, Pangeran Panggung, murid
Syaikh Lemah Abang yang tegas-tegas memihak kepada
saingannya, Adipati Hunus. Kekecewaan itu ditambah lagi oleh
sikap keras kepala para pemuka dukuh Lemah Abang yang tidak
mau diajak bersekutu untuk mendukungnya, meski mereka telah
2363
ditawari hadiah-hadiah dan jabatan-jabatan tinggi di kesultanan.
Bahkan yang paling ditakutkannya, kebanyakan mereka yang
menjadi murid Syaikh Lemah Abang adalah bangsawan-
bangsawan Majapahit yang memiliki kemungkinan besar untuk
merebut kekuasaan dari tangannya. Untuk yang terakhir ini, ia
memang telah terpengaruh oleh pandangan-pandangan alim
ulamanya tentang inti kekuatan kekuasaan Sultan Salim yang
ditandai oleh pembunuhan terhadap saudara-saudaranya yang
dicurigai dapat merebut takhta. Setiap sultan Turki, menurut alim
ulamanya, adalah putera tunggal karena ia akan membunuh
semua saudaranya yang mungkin dapat merebut kekuasaan
darinya.

Berangkat dari hasratnya yang kuat untuk menandingi kekuasaan


sultan Turki, diam-diam Tranggana sudah menyiapkan kekuatan-
kekuatan pendukung bagi upayanya merebut kuasa dan wibawa
sebagai raja jawa sebagaimana leluhurnya yang menjadi
maharaja-maharaja Majapahit. Namun, berbeda dengan
maharaja-maharaja Majapahit yang mengedepankan
kekeluargaan dalam memperkuat takhta, ia justru ingin mengikuti
jejak sultan-sultan Turki yang menjadi penguasa tunggal dengan
memangkas mereka yang dianggap memiliki potensi merebut
kekuasaan. Persaingannya dengan saudara iparnya, Adipati
Hunus, adalah bukti tentang betapa pentingnya pandangan
penguasa Turki itu diterapkan dalam kekuasaan yang bakal
dipegangnya. Lantaran itu, ia harus menahan diri untuk tidak
menggunakan kekuatan yang telah digalangnya, sampai Adipati
Hunus yang sudah sakit-sakitan itu mati.

2364
Selama menahan dengan kesabaran berlalunya sang waktu,
Tranggana bukan berdiam diri tidak melakukan sesuatu. Ia justru
melakukan hal-hal yang dinilainya dapat mempercepat kedatangan
Sang Maut ke Japara untuk mencabut nyawa saingannya. Saat ia
mendengar Adipati Hunus jatuh sakit, ia diam-diam
memerintahkan alim ulamanya untuk menggempur Kadipaten Pati
di bawah pimpinan Raden Darmakusuma. Terbunuhnya Adipati
Kayu Bralit II, sahabat dekat Adipati Hunus, terbukti semakin
memperparah sakit Yang Dipertuan Japara. Tak lama setelah itu,
ia mengirim utusan ke Japara meminta perkenan Adipati Hunus
menggunakan tenaga Khwaja Zainal Abidin untuk memperkuat
kapal-kapal Demak yang akan dilengkapi dengan lapis besi dan
meriam. Lalu, seiring kembalinya Khwaja Zainal ke Demak, tersiar
kabar bahwa Yang Dipertuan Japara makin parah sakitnya dan
beberapa kali tidak sadarkan diri.

Sementara, untuk mengambil simpati para pemuka dukuh Lemah


Abang, Tranggana melalui Syarif Hidayatullah meminta agar
Raden Sahid Syaikh Malaya yang tinggal di Kalijaga berkenan
membantunya menyelesaikan masalah dengan para pengikut
Syaikh Datuk Abdul Jalil. Meski Tranggana tidak mengetahui jika
Syaikh Malaya adalah menantu Syaikh Datuk Abdul Jalil, ia
meyakini penjelasan Syarif Hidayatullah bahwa guru suci dari
Kalijaga itu memiliki pengaruh kuat di kalangan pengikut tokoh
yang membukan dukuh-dukuh Lemah Abang. Lantaran itu, saat
Syaikh Malaya datang ke Demak, Tranggana menyambut sendiri
kedatangannya sebagai orang suci dan menganugerahinya tanah
perdikan di Kadilangu.

2365
Tranggana tidak mengetahui jika selama itu guru suci yang dikenal
dengan nama Syaikh Malaya yang tinggal di Kalijaga itu telah
berkeliling di wilayah kekuasaannya dengan menyamar sebagai
penjual rumput atau dalang wayang. Lantaran itu, ia sangat heran
dan takjub dengan pengetahuan sang guru suci tentang keadaan
di wilayah kekuasaannya, termasuk kebijakan-kebijakannya yang
tidak disukai penduduk. Tranggana bahkan menganggap sang
guru suci sebagai wwang linuwih kang weruh sadurunge winarah
(manusia berkelebihan yang mengetahui sesuatu sebelum
dibicarakan). Untuk mengikat tali kekeluargaan dengan guru suci
yang menjadi buah bibir penduduk itu, Tranggana menikahi puteri
sulungnya yang bernama Nyi Mas Ratu Mandapa.

Siasat Tranggana mengikat tali kekeluargaan dengan guru suci


dari Kalijaga itu terbukti membawa hasil luar biasa. Pengikut-
pengikut Syaikh Datuk Abdul Jalil yang selama itu sangat
memusuhinya dapat diredam oleh mertuanya, Susuhunan
Kalijaga. Banyak dukuh Lemah Abang yang sekalipun tidak mau
tunduk kepada sultan Demak, menyatakan tunduk di bawah
bimbingan Susuhunan Kalijaga. Hubungan baik dengan penguasa
Pengging yang selama itu renggang menjadi rapat ketika
Pangeran Kebo Kenanga, putera mahkota Pengging, menikah
dengan puteri Susuhunan Kalijaga yang bungsu, Nyi Mas Ratu
Cempaka. Ikatan kekeluargaan Demak dengan Pengging semakin
rapat dari pernikahan tersebut, karena Ratu Adi Ibunda Pangeran
Kebo Kenanga adalah saudara ayahanda Tranggana. Tranggana
benar-benar mendapatkan manfaat besar dengan kehadiran
Susuhunan Kalijaga yang menjadi mertuanya itu. Namun
demikian, ia merasa kurang puas karena sang mertua selalu tidak
2366
berada di kediaman meski telah dibangunkan rumah yang besar
dan megah di Kadilangu. Tranggana selalu melihat sang mertua
seolah seekor burung yang lebih suka terbang bebas di angkasa,
meski telah disediakan sangkar emas.

Sementara, selama menunggu dengan sabar datangnya waktu


yang tepat untuk merebut kuasa dan wibawa warisan
ayahandanya, rupanya Tranggana semakin tunduk dan tidak
berdaya menghadapi titah dari ular hitam yang bersarang di dalam
relung jiwanya. Hari-hari hidupnya dilewati dengan mematuhi
semua titah sang ular hitam yang bergelung dengan kepala
mendongak ke atas. Setelah tahun-tahun berlalu dan langkah demi
langkah dilaluinya dengan mematuhi titah sang ular, sampai ia
merasa telah semakin tinggi mendaki puncak gunung kekuasaan,
sang ular hitam telah tumbuh meraksasa menjadi naga hitam
mengerikan. Dengan mata menyala laksana bara api, sang naga
hitam menggeram-geram di pedalaman jiwa Tranggana seolah
ingin menyemburkan api dari mulutnya untuk membakar dunia.

Setelah bertahun-tahun menunggu dengan sabar, datanglah kabar


menggembirakan yang sangat diharapkan Tranggana: Adipati
Hunus Sinuhun Natapraja Amir al-Mukminin Senapati Jimbun
Sabrang mangkat setelah menderita sakit tak tersembuhkan.
Tranggana tertawa terbahak-bahak dalam hati ketika semua orang
meratapi kepergian pahlawan gagah berani tersebut. Namun, tawa
gembiranya itu tidak berlangsung lama sebab kesabarannya masih
harus diuji lagi. Hal itu ia sadari tidak lama setelah pemakaman
Adipati Hunus, ia tidak sedikit pun mendengar selentingan kabar
2367
tentang adanya rencana para adipati pesisir untuk berkumpul
menentukan pengganti almarhum. Itu berarti, ia masih dituntut
untuk menahan sabar menunggu sikap para adipati. Sementara
berdasar kasak-kusuk yang menebar, Tranggana mengetahui jika
para adipati pesisir sesungguhnya tidak melihat sosok lain yang
memenuhi syarat memimpin persekututan setelah kematian
Adipati Hunus selain dirinya. Namun, mereka tidak ingin ia menjadi
pemimpin karena ia adalah manusia berdarah dingin yang
menghalalkan segala cara untuk merebut kekuasaan. Para adipati
pesisir memilih diam sambil menunggu tindakan apa yang bakal
dilakukan Tranggana setelah kematian pesaingnya itu.

Mengetahui sikap menunggu para adipati pesisir itu, Tranggana


tetap menahan sabar dan menunggu. Namun, sebagaimana yang
dilakukannya selama ini, ia tidaklah diam dan menunggu dengan
pasif. Ia diam-diam selalu mengambil tindakan-tindakan yang
sangat hati-hati yang berujung pada penguatan citra dirinya
sebagai sultan yang berkuasa atas Nusa Jawa. Lantaran itu,
sepekan setelah pemakaman Adipati Hunus, ia memaklumkan
putera sulungnya, Pangeran Sabakingking, sebagai adipati Japara
menggantikan Adipati Hunus. Meski kekuasaan Pangeran
Sabakingking hanya sebatas Kadipaten Japara, pengangkatan
tersebut melambangkan betapa kekuasaan duniawi telah
digenggam sebagian oleh Tranggana. Pangeran Sabakingking
akan menjadi penopang baru bagi kekuasaan Tranggana yang
sudah didukung penguasa Pati, Sumenep, Sengguruh, Pasir,
Samarang, dan Caruban. Dalam waktu yang berurutan, Tranggana
memaklumkan pula bahwa putera keduanya, Pangeran Ratu, akan
menggantikan kedudukannya sebagai sayidin panatagama, yang
2368
ditandai dengan pengangkatannya sebagai penguasa
pesanggrahan sultan di gunung Prawata yang terletak di tenggara
kuta Demak.

Sepintas, pengangkatan Pangeran Sabakingking sebagai adipati


Japara merupakan langkah yang tepat untuk memperkuat
kekuasaan Tranggana dan sekaligus melambangkan kekuasaan
adipati telah digenggamnya. Namun, di balik pengangkatan itu,
Pangeran Ratu, ternyata memendam ketidakpuasan karena dia
ditempatkan sebagai pemimpin keagamaan (sayidin panatagama),
yang dia ketahui telah membuat ayahandanya sangat menderita.
Dia merasa tidak puas karena siapa pun di lingkungan keluarga
sultan mengetahui bahwa di antara putera-putera sultan, hanya
Pangeran Ratulah yang paling cerdas dan memiliki bakat dalam
mengatur pemerintahan. Tampaknya, ketidakpuasan putera kedua
Tranggana itu telah memunculkan ular hitam lain dari kedalaman
jiwanya, yang menggeliat dan mendongakkan kepala karena
melihat bayangan dirinya yang akan menjelma dalam bentuk naga
hitam raksasa.

Sepekan setelah pengukuhan Pangeran Sabakingking, Tranggana


memaklumkan penggantian jabatan imam Masjid Agung Demak
dari Raden Usman Haji Susuhunan Udung kepada puteranya,
Jakfar Shadiq. Meski usia Susuhunan Udung belum terlalu tua dan
putera yang menggantikannya masih terlalu muda, penggantian itu
sangat menentukan citra diri Tranggana sebagai penguasa baru,
karena semua orang mafhum bahwa yang mengangkat
Susuhunan Udung sebagai imam Masjid Agung Demak adalah
2369
Adipati Hunus. Dengan penggantian imam Masjid Agung Demak
tersebut, Tranggana semakin menunjukkan kuasa dan wibawanya
sebagai sultan yang memiliki kekuasaan duniawi sekaligus
keagamaan.

Dengan digantikannya kedudukan Susuhunan Udung sebagai


imam Masjid Agung Demak, bukan berarti putera Khalifah Husein
itu tidak memiliki jabatan lagi. Sebab, Susuhunan Udung yang telah
menjadi penasihat ruhani keluarga sultan dan diserahi tugas
melindungi para pengungsi Syi’ah asal Persia, diberi kepercayaan
oleh Tranggana untuk menduduki jabatan baru sebagai senapati
Suranata: panglima pasukan bertombak yang mengawal sultan.
Dengan adanya jabatan baru yang disebut Senapati Suranata
tersebut maka seluruh satuan bersenjata yang dipimpin alim ulama
Demak telah disatukan oleh Tranggana di bawah komando sang
senapati.

Pengangkatan Susuhunan Udung sebagai senapati Suranata


mengherankan dan sekaligus mengkhawatirkan para adipati
pesisir, terutama dari keluarga Orob. Semua tahu bahwa
Susuhunan Udung adalah seorang guru suci yang memiliki
pengetahuan mendalam di bidang keagamaan. Selama bertahun-
tahun menjadi anggota Majelis Wali Songo dan menduduki jabatan
imam Masjid Agung Demak serta penasihat ruhani keluarga sultan,
tidak sedikit pun ia diketahui memiliki keunggulan di bidang
kemiliteran. Anehnya, Tranggana justru mengangkat alim ulama
yang saleh itu menjadi senapati.

2370
Tranggana tampaknya mengetahui kekhawatiran para adipati
pesisir yang menduga ia akan memanfaatkan keberadaan
Susuhunan Udung sebagai ujung tombak dalam memperkuat
kuasa dan wibawanya selaku sultan. Lantaran itu, ia tetap
berusaha sabar menunggu dan tidak menampakkan hasratnya
untuk menggerakkan kekuatan bersenjata yang dipercayakannya
kepada Susuhunan Udung. Ia sudah merasa cukup memberi
perlambang kepada para adipati pesisir bahwa jabatan adipati dan
senapati sesungguhnya telah ia pegang dan ia serahkan kepada
orang kepercayaannya. Untuk menunjukkan kekuasaannya
sebagai penguasa keagamaan yang juga memiliki kekuasaan
duniawi, Tranggana dengan terbuka melakukan peningkatan mutu
pasukan Suranata melalui penambahan jumlah prajurit berkuda,
dan yang tak kalah penting adalah penanaman kefanatikan para
prajurit bahwa mereka adalah tentara Allah (jundullah) yang
memiliki tugas utama melindungi agama dan membersihkannya
dari bid’ah.

Tranggana sendiri kelihatannya sangat bangga dengan pasukan


Suranata yang sudah menunjukkan kesetiaan tinggi terhadapnya.
Keberhasilan-keberhasilan pasukan bertombak itu dalam
menjalankan tugasnya makin meningkatkan kecintaannya kepada
pasukan tersebut. Kegagahan pasukan Suranata saat menumpas
para penganut bid’ah di dukuh-dukuh Lemah Abang dan Randu
Sanga adalah bukti tak tersanggah dari keperkasaan sebuah
pasukan kaum beriman. Pasukan yang anggota-anggotanya terdiri
atas petani, pedagang kecil, perajin, tukang, penyadap enau, dan
kuli geladak itu telah menunjukkan kehebatan mereka ketika
memporak-porandakan Kadipaten Pati yang mengakibatkan
2371
tewasnya Kayu Bralit II, sang adipati. Kini, pasukan itu sedang
ditingkatkan ketrampilan dan perlengkapan tempurnya dan
diharapkan setara dengan pasukan kadipaten lain. Seiring
peningkatan mutu pasukan tersebut, Tranggana tampak sekali
sudah tidak dapat menahan hasrat untuk menggunakan
pasukannya. Ia merasa, betapa setelah bersabar menunggu
sekian lama, sudah waktunya ia memamerkan kekuatan yang
selama ini digalangnya. Ia ingin menunjukkan kepada para adipati
pesisir yang sudah merendahkannya bahwa ia setiap waktu dapat
menciptakan kebinasaan seperti di Kadipaten Pati. Ia ingin
menunjukkan bahwa kalau mau ia akan dapat mengganti
kedudukan siapa pun adipati yang tidak dikehendakinya.

Tranggana adalah Tranggana. Sekalipun ia memiliki


kecenderungan untuk meledakkan kemarahan, ia selalu dapat
berpikir jernih ketika akan mengambil keputusan akhir. Di tengah
amarah dan keinginannya untuk pamer kekuaran senjata dan
menghukum para adipati pesisir, ternyata ia masih dapat menahan
diri untuk tidak buru-buru mewujudkannya dalam kenyataan. Ia
sadar, menciptakan kebinasaan seperti di Kadipaten Pati akan
memakan waktu lama dan jalan panjang yang berliku-liku, bahkan
sangat mungkin bisa memunculkan serangan balik yang dilakukan
bersama-sama oleh para adipati. Ia sadar, cara lain untuk
menundukkan kepongahan adipati-adipati pesisir yang tegar
tengkuk itu masih terbuka. Salah satunya: menaklukkan
kekuasaan tua bangka yang sedang sekarat, Majapahit. Ya, para
adipati pesisir yang hampir semua – kecuali keluarga Orob –
mengaku keturunan Majapahit, tentu akan tunduk menyembah di

2372
bawah telapak kakiku, jika takhta Majapahit berada di dalam
genggamanku, kata Tranggana dalam hati.

Selama menunggu, Tranggana memang telah berpikir tentang


kurang kuatnya pilar kekuasaan Demak yang hanya didukung
adipati-adipati pesisir yang beragama Islam. Adipati-adipati di
pedalaman yang lazimnya masih menganut kepercayaan lama
enggan masuk ke dalam persekutuan. Mereka masih merasa
sebagai bagian dari kekuasaan Majapahit. Bahkan, para adipati
pesisir pun masih bangga mengaku-aku trah Majapahit. Tranggana
mendapati kenyataan bahwa kuatnya Majapahit bertahan –
terutama Patih Mahodara dan sekutunya – lebih dikarenakan
penguasaan atas pusaka-pusaka kerajaan. Ya, pusaka-pusaka
kerajaan sebagai bagian dari lambang kekuasaan seorang ratu
masih kuat mencekam ingatan semua orang, sehingga mereka
yang memegang pusaka-pusakalah yang bakal diakui keabsahan
kuasa dan wibawanya. Bahkan Raden Kusen Adipati Terung,
paman Tranggana yang menyimpan keris Naga Sasra peninggalan
Prabu Kertawijaya, diyakini masyarakat sebagai pembawa
sebagian kuasa dan wibawa Majapahit.

Sebagai seorang pangeran keturunan Majapahit, Tranggana


mengetahui sejumlah nama pusaka yang dianggap sebagai
penopang kuasa dan wibawa Majapahit. Dari ayahanda, paman,
kerabat, dan para empu pembuat pusaka, ia mengetahui jika kuasa
dan wibawa Majapahit di bawah Sri Surawiryawangsaja yang
bertakhta di Daha ditopang oleh tiga pusaka utama, yaitu Sang
Kalacakra, Sangkelat, Kyayi Carubwuk. Yang disebut Sang
2373
Kalacakra adalah pusaka yang dibuat dari emas berbentuk bulat
pipih dihias rajah-rajah berkekuatan gaib mengikuti delapan
penjuru mata angin. Pusaka Sang Kalacakra melambangkan
penguasaan atas waktu dan diyakini dapat menolak segala
marabahaya melalui sarana delapan kata rahasia yang dibaca
terbalik-balik: Yamaraja – Yamarani – Yamidora – Yamidosa –
Yasihama – Yasilapa – Yasiyaca – Yadayuda. Pusaka Sang
Kalacakra inilah yang oleh kalangan penduduk muslim disebut
dengan nama Kala Munyeng (putaran waktu). Sedang yang
disebut Sangkelat adalah pusaka yang diyakini dapat
mengeluarkan makhluk berkekuatan luar biasa yang selalu
membantu pemilik pusaka. Sementara yang disebut Kyayi
Carubwuk adalah pusaka yang dibuat dari lima jenis logam
campuran dan dibalur dengan tujuh jenis racun yang tidak ada
penangkalnya. Tiga pusaka itulah yang harus berada di dalam
genggaman Tranggana agar ia dapat berkuasa atas seluruh
Yawadwipamandala.

Gagasan Tranggana untuk menyerang Majapahit ternyata


mendapat sambutan gegap gempita dari alim ulama
pendukungnya, meski alasan masing-masing saling berbeda. Para
alim yang sudah sering mendengar kisah kebesaran kerajaan kafir
itu tidak dapat lagi menahan sabar untuk tidak membasmi segala
bentuk kemusyrikan yang masih berlangsung di kerajaan tua itu.
Mereka mendesak Tranggana untuk secepatnya mewujudkan
gagasan tersebut dalam kenyataan. Mereka bahkan menyatakan
dengan terbuka bahwa di antara sekian banyak kebijakan
Tranggana selama menjadi sultan, hanya kebijakan menundukkan
kerajaan kafir itu saja yang paling agung dan diridhai Allah. Dengan
2374
menunjukkan keunggulan, kegagahan, keberanian, dan kehebatan
prajurit-prajurit Suranata, mereka meyakinkan Tranggana bahwa
masalah penaklukan Majapahit sesungguhnya bukan sesuatu
yang sulit. Ibarat membalikkan telapak tangan, begitulah Majapahit
yang terkucil di tengah penduduk yang sudah muslim itu akan
mudah ditaklukkan.

Tranggana yang sudah diamuk nafsu berkuasa tentu tidak


menampik usulan-usulan alim ulama pendukungnya. Ia telah
memutuskan untuk mewujudkan hasratnya menaklukkan
Majapahit. Ia sangat yakin bahwa menaklukkan kerajaan tua yang
sudah terkucil di pedalaman memang bukan hal sulit. Ia tampaknya
telah lupa pada peristiwa pahit yang terjadi barang sewindu silam,
ketika pasukan Majapahit menyerang dengan gagah tak terlawan
oleh pasukan Suranata dan bahkan meluluh-lantakkan kuta
Juwana. Ia benar-benar sudah tersilap oleh ambisi, hasutan, dan
bualan alim ulama pendukungnya yang dibutakan oleh
kemenangan-kemenangan dan dalil-dalil agama yang mereka
tafsir-tafsir sendiri.

Di tengah kesibukannya mempersiapkan gempuran ke Majapahit,


Tranggana tiba-tiba didatangi Raden Sahid Susuhunan Kalijaga,
mertuanya. Dengan pandangan seorang arif, Raden Sahid
mengingatkan menantunya agar membatalkan serangan ke
Majapahit. Selain mengingatkan tentang kehancuran Juwana
sewindu silam, Raden Sahid juga mengingatkan bahwa setangguh
apa pun pasukan Suranata yang dibangga-banggakan itu,
hendaknya tetap diingat bahwa mereka sebagian besar bukanlah
2375
prajurit-prajurit yang lahir dari keluarga prajurit. “Anggota-anggota
pasukan Suranata hampir seluruhnya berasal dari kalangan petani,
tukang, perajin, penyadap enau, kuli geladak. Jiwa mereka tentu
tidak akan setangguh jiwa prajurit yang memang berdarah prajurit.
Semangat juang mereka pun digantungkan semata-mata pada
jimat-jimat, rajah, haekal, wafak, dan tosan aji. Sementara, para
alim asal negeri atas angin yang memimpin mereka juga bukan
orang-orang tangguh yang memiliki nyali dan ketabahan di medan
laga. Mereka adalah para pecundang yang lari menghindari
kenyataan pahit di negerinya. “Seibarat ayam jago kampung,
dilatih setangguh apa pun jika tidak memiliki trah ayam aduan
pastilah sang ayam kampung akan kalah jika berlaga melawan
ayam aduan,” kata Raden Sahid.

“Ananda akan pusakakan petunjuk Ramanda Susuhunan,” kata


Tranggana takzim.

“Di samping itu, penunjukan saudaraku Susuhunan Udung sebagai


senapati sungguh sangat rawan karena hal itu bersangkut-paut
dengan citra Majelis Wali Songo, apalagi sekarang malah
diperintahkan menyerang Majapahit. Aku sangat yakin akan cepat
berkembang pandangan penduduk bahwa Majelis Wali Songo
sudah berubah menjadi lembaga keagamaan yang dibayar dan
tunduk di bawah perintah sultan Demak. Hal itu tidak saja akan
berpengaruh pada keberadaan Majelis Wali Songo, melainkan
akan mempengaruhi kedudukan ananda sendiri. Jika selama ini
semua tunduk dan patuh pada Majelis Wali Songo maka saat
lembaga itu jatuh di bawah kaki sultan, semua orang akan
2376
merendahkannya dan sekaligus berani menentang sultan.
Bukankah sikap para adipati pesisir selama ini sangat memuliakan
Wali Songo tetapi kurang menghormati sultan? Dan di atas semua
itu, hal penting yang hendaknya ananda pertimbangkan, betapa
sesungguhnya pengaruh Patih Mahodara masih sangat kuat di
pedalaman. Hendaknya ananda jangan meremehkan orang tua
yang sudah puluhan tahun malang melintang mengendalikan
kekuasaan Majapahit.”

Tranggana menerima baik saran dan nasihat dari Raden Sahid. Ia


memutuskan untuk menunda penyerangan. Selama penundaan
itu, ia memerintahkan untuk menempa lebih kuat lagi pasukan
Suranata yang akan dikirimnya ke Majapahit, baik dalam ha
kemampuan tempur maupun peralatan yang digunakan. Ia
berharap, dengan menunjukkan keseriusannya membangun
kekuatan militer, tidak saja para adipati pesisir akan secepatnya
mengambil sikap untuk menentukan pilihan pemimpin
persekutuan, tetapi juga untuk membuktikan kepada mertuanya
bahwa pasukannya dapat setangguh pasukan Majapahit. Ia ingin
menunjukkan bahwa pasukan Suranata yang dibanggakannya itu
dapat menjadi “ayam aduan” yang tangguh dan tak gampang
dikalahkan.

Ketika hari, pekan, bulan, dan tahun berlalu tanpa melihat adanya
gelagat bahwa para adipati pesisir akan berkumpul untuk memilih
sultan baru sebagai pemimpin persekutuan, kesabaran Tranggana
pun akhirnya pupus. Setelah menunggu dalam kurun dua tahun
lebih, Tranggana tidak dapat lagi menahan kesabaran. Naga hitam
2377
yang menguasai jiwanya menggeliat dan menyemburkan api dari
mulutnya hingga membuat darah di seluruh jaringan tubuhnya
mendidih. Sang naga hitam benar-benar sudah murka. Dengan
raungan dahsyat yang mengguncang cakrawala jiwa, ia
menitahkan Tranggana agar mematahkan leher makhluk-makhluk
dekil yang tegar tengkuk supaya mereka semua menunduk di
hadapan duli kuasanya. Ia menitahkan Tranggana untuk
mematahkan punggung makhluk-makhluk pongah lurus punggung
itu supaya mereka membongkok di depan takhtanya. Ia
menitahkan Tranggana untuk mematahkan kedua lutut mereka
supaya mereka berlutut di bawah kaki serojanya. Dan ia
menitahkan Tranggana untuk menginjak kepala mereka supaya
mereka bersujud di bawah telapak kakinya.

Tampaknya, titah sang naga hitam sudah menyilap kesadaran


Tranggana. Kesabaran yang selama itu dijadikan tali kendali kuda-
kuda nafsunya sudah terlepas dari genggamannya. Ia sudah
melupakan segala saran dan nasihat yang pernah disampaikan
Raden Sahid, mertua yang dihormatinya. Benaknya benar-benar
penuh sesak dengan titah sang naga hitam. Relung-relung
pemikirannya telah diliputi kelebatan bayangan-bayangan
menakjubkan tentang keberhasilan menundukkan Majapahit, yang
dilanjutkan dengan penghukuman terhadap adipati-adipati pesisir
yang selama itu sangat merendahkan dan menista dirinya.

Sementara, Raden Sahid yang dengan kearifannya telah


menyaksikan bagaimana sesungguhnya Tranggana sudah
meringkuk di bawah kuasa sang naga hitam, tidak lagi bersedia
2378
mengingatkan menantunya. Ia sadar, tidak ada gunanya lagi
mengingatkan manusia yang sudah terjerat oleh jaring-jaring nafsu
kekuasaan yang ditebar sang naga hitam. Di samping itu, ia secara
tidak sengaja telah bertemu dengan para penghuni purwakala
Nusa Jawa yang akan menghadiri undangan pesta darah yang
menandai pergantian kekuasaan. Ia menyimpulkan bahwa
pertumpahan darah tidak akan dapat dihindari lagi. Lantaran itu, di
tengah hiruk kesibukan orang berkemas mempersiapkan
penyerangan ke Majapahit, ia justru meninggalkan kediamannya.
Ia pergi dengan rasa malu tak terperi karena sepanjang jalan ia
menyaksikan alim ulama – wakil al-‘Alim di muka bumi – menepuk
dada dengan pongah dan menyatakan akan mengambil alih tugas
Izrail mencabut nyawa manusia. Ia malu menyaksikan para alim
yang menyeru manusia agar mengikuti agama Keselamatan, tetapi
mereka justru menampilkan diri sebagai sosok-sosok yang akan
menjadi penyebar ketidakselamatan.

Kepergian Raden Sahid tak pelak lagi menyebabkan Tranggana


semakin tanpa kendali. Dengan hanya berpedoman pada dalil-dalil
agama dan bualan para alim yang memesona, ia benar-benar talah
membulatkan tekad untuk menggempur Majapahit yang
dianggapnya sebagai lambang kekuasaan kafir di pedalaman
Nusa Jawa. Namun, berbeda dengan alasan sebelumnya, kali ini
ia menggunakan dalih utama menyerbu kerajaan tua itu untuk
meminta hak kepewarisannya atas takhta Majapahit sebagai
peninggalan dari kakeknya, Prabu Kertawijaya. Tranggana
menyatakan bahwa ia lebih berhak atas takhta Majapahit
dibanding Patih Mahodara yang dari keturunan bangsawan
rendahan itu. Demikianlah, dengan keyakinan diri tak tergoyahkan
2379
bahwa pasukan yang dikirimnya bakal meraih kemenangan besar,
Tranggana melepas pasukan Suranata dengan upacara
kebesaran. Beribu-ribu penduduk memenuhi alun-alun dan kanan
kiri jalan untuk mengucap selamat kepada pasukan kebanggaan
sultan. Mereka mendecak kagum ketika melihat iring-iringan para
pejuang gagah yang akan menggempur kerajaan kafir Majapahit.

Kekuatan pasukan Suranata yang dikirim sultan sekitar 5.000


orang ditambah bala bantuan dari Madura 2.000 orang, Udung
(Kudus) 1.000 orang, Samarang 1.000 orang, Japara 1.000 orang.
Alim ulama yang bergabung mendampingi Senapati Suranata
adalah Susuhunan Rajeg, Syaikh Maulana Maghribi, Susuhunan
Mantingan, Syaikh Abdullah Sambar Khan, Kyayi Ageng Germi,
Kyayi Ageng Medini, Kyayi Ageng Penawangan, Kyayi Ageng
Tajug, Kyayi Sun Ging, Kyayi Anom Martani, dan Raden Ketib
Anom Maranggi. Sebagaimana Tranggana, seluruh pasukan
sangat yakin mereka akan meraih kemenangan, karena hampir
setiap anggota pasukan telah melengkapi diri dengan jimat, rajah,
haekal, dan wafak. Keyakinan akan menang itu semakin menguat
manakala mereka diberi tahu bahwa Senapati Suranata
Susuhunan Udung melengkapi diri dengan jubah Antakusuma,
pusaka pemberian Nabi Muhammad Saw. dari langit yang tidak
dapat ditembus segala jenis senjata.

Keyakinan berlebihan Tranggana dan seluruh anggota pasukan


yang akan menyerbu Majapahit sesungguhnya tidak lepas dari
kepandaian para alim dalam meyakinkan kehebatan tentara Allah
yang bertugas membasmi kebatilan dari muka bumi. Bualan-
2380
bualan, rajah, jimat, haekal, wafak, hizb, tosan aji, sampai dalil-dalil
Al-Qur’an yang mereka berikan benar-benar telah membutakan
semua orang terhadap kenyataan. Bukan hanya Tranggana, para
prajurit paling rendah pun sangat yakin mereka akan secepat angin
mematahkan kekuatan kaum kafir Majapahit dan kemudian
memporak-porandakan sarang yang penuh disesaki kemusyrikan.
Namun, beda keyakinan beda pula kenyataan. Ternyata segala
bualan, jimat, rajah, haekal, wafak, hizb, tosan aji, dan dalil yang
disampaikan para alim itu, ditambah semangat kefanatikan,
latihan-latihan, perbaikan peralatan tempur, dan penambahan
jumlah prajurit terbukti malah menimbulkan catatan sejarah yang
sangat memalukan, tidak menghasilkan kemenangan sedikit pun
ketika berhadap-hadapan sebagai musuh dengan pasukan kafir
Majapahit.

Ketika iring-iringan pasukan Demak turun dari jung-jung dengan


sorak sorai menggiriskan berusaha menerobos masuk ke kuta
Tuban, mereka dihadang oleh sekitar 3.000 pasukan Majapahit
yang dipimpin dua patih, Patih Daha bernama Permada dan Patih
Japan bernama Wahan. Dalam sebuah pertempuran singkat di
barat kuta Tuban, pasukan Demak yang jumlahnya lebih banyak
itu berantakan dan kocar-kacir dikejar-kejar pasukan kafir
Majapahit. Para alim yang memekikkan takbir sambil berteriak-
teriak membangkitkan semangat prajurit tidak dapat menahan
kegentaran prajurit-prajurit yang lari tunggang langgang ketakutan,
terutama saat segala benda-benda jimat yang mereka andalkan
tidak terbukti keampuhannya. Pasukan Suranata yang terkenal
ganas ketika melakukan penertiban agama dan selalu menang di
medan tempur itu terbukti tidak berdaya saat menghadapi prajurit
2381
Majapahit. Peristiwa tragis di Juwana lebih sewindu silam terulang
dengan menyakitkan di Tuban. Apa yang pernah diungkapkan
Raden Sahid kepada Tranggana bahwa prajurit-prajurit Suranata
tidak akan mampu menghadapi kekuatan pasukan Majapahit, telah
terbukti menjadi kenyataan.

2382
Perangkap Patih Mahodara

Kekalahan memalukan di Tuban sangat


menampar Tranggana. Ia geram dan
menumpahkan kemarahannya, terutama
kepada alim ulama terbawa badai yang
selama itu dianggap terlalu banyak
membual. Dalam amarahnya, Tranggana
membandingkan mereka dengan para pemuka dukuh Lemah
Abang yang berani menyongsong Kematian. “Aku mengira kalian
setabah orang-orang Lemah Abang dalam menyongsong Maut.
Ternyata, kalian lari tunggang langgang menghadapi orang-orang
yang kalian anggap kafir, najis, dan hina. Memalukan. Sungguh
memalukan,” kata Tranggana dengan nada sangat kecewa.

Kabar kemarahan Tranggana terhadap para alim terbawa badai


ternyata sampai kepada Susuhunan Udung yang bertahan di
perbatasan Lasem. Dia mengirim utusan kepada Tranggana
meminta perkenan untuk memimpin kembali pasukan gabungan
Demak menyerbu Majapahit. Tranggana yang sudah tertampar
oleh rasa malu memperkenankan keinginan pahlawannya yang
pemberani itu dengan mengirim pasukan tambahan dari Pati 1.000
orang yang dipimpin oleh Raden Iman Sumantri dan dari Sesela
1.000 orang yang dipimpin Ki Ageng Sesela. Ketika pasukan dari
Pati dan Sesela berangkat ke perbatasan Lasem untuk bergabung,
tidak satu pun di antara alim ulama terbawa badai yang ikut dalam
serangan kedua itu. Mereka bersembunyi ketakutan dan hanya
mengirim wakil-wakil keluarga mereka dari kalangan muda.
2383
Menghadapi serangan gelombang kedua dari Demak, Patih
Mahodara telah menyiapkan sebuah perangkap mematikan.
Pertama-tama, ia membiarkan pasukan alim ulama memasuki
Tuban tanpa perlawanan. Ketika mereka meneruskan serangan ke
arah Daha, satuan-satuan kecil pasukan Majapahit akan
menyerang dan lari sehingga mereka mengira mendapat
kemenangan. Saat mereka sampai di Wirasabha, barulah
dilakukan serangan balik secara besar-besaran sebab di
Wirasabha telah berkumpul pasukan gabungan yang datang dari
Kadipaten Dengkol, Garuda (Pasuruan), Kedhawung, Japan
(Japanan), Pengging, Daha, Blambangan, Puger, Srengat, Panjer,
Rawa, Jipang, dan Wirasabha. Menurut kabar, pasukan gabungan
yang akan menghadang pasukan Demak di Wirasabha itu dipimpin
sendiri oleh pemuka-pemuka mereka seperti Andayaningrat dan
puteranya Kebo Kanigara dari Pengging, Menak Supethak dan
saudaranya Raden Pramana dari Garuda, Menak Pentor dari
Blambangan, Menak Pangseng dari Puger, Arya Simping dari
Kedhawung, Arya Puspa dari Dengkol, Nila Suwarna dai Panjer,
Arya Tiron dari Pamenang, Arya Matahun dari Rajegwesi, Arya
Gugur putera mahkota Majapahit. Bahkan, yang ditunjuk menjadi
senapati pasukan gabungan Majapahit adalah Raden Kusen
Adipati Terung, paman Tranggana.

Siasat Patih Mahodara menjebak pasukan alim ulama Demak di


Wirasabha sesungguhnya sudah diketahui Susuhunan Udung.
Sebab, pada saat pasukan Demak akan menyeberang Bengawan
Sori, Raden Kusen, yang tidak lain dan tidak bukan adalah
besannya, telah mengirim peringatan lewat Raden Sulaiman, Leba
Wirasabha, yang meminta agar pasukan Demak mengurungkan
2384
penyerangan ke Majapahit, karena pihak Majapahit sudah
memasang jebakan. Namun, Susuhunan Udung yang sudah
terlanjur malu dengan kekalahan pasukannya di Tuban tidak
mengindahkan peringatan itu. Tampaknya, dia yang sejak kecil
hanya mengenal masalah-masalah agama dan tidak mengetahui
kemiliteran, kurang memahami isyarat-isyarat bahaya yang
diberikan oleh besannya. Di samping itu, dia sudah tercekam oleh
dalil-dalil agama yang menjanjikan kemenangan bagi kaum
beriman dalam bertempur menghadapi kaum kafir. Dia semakin
yakin bakal meraih kemenangan karena sudah mengenakan
pusaka jubah antakusuma.

Dengan keyakinan kuat bakal menang itulah Susuhunan Udung


memerintahkan pasukannya untuk bergerak cepat ke Wirasabha.
Tanpa peduli gelap dan kabut, dia memimpin pasukan ke selatan
pada malam hari dengan mengikuti jalan utama Wirasabha –
Tuban. Saat pagi menjelang, ribuan kaki pasukannya sudah
mengaduk-aduk dangkalan sungai Brantas yang mereka
seberangi dari tepi utara ke tepi selatan. Meski jumlah pasukannya
kurang dari 10.000 orang, Susuhunan Udung sangat bangga
dengan mereka yang menunjukkan semangat tinggi. Seperti tak
kenal lelah, setelah menyantap jatah makanan di tepi selatan
sungai Brantas, mereka bergerak lagi. Seperti berlari mereka
bergerak terus dengan cepat ke arah selatan. Beberapa orang
penunggang kuda yang memimpin barisan terlihat berseru sambil
menggeletarkan cemetinya ke udara, “Kita harus cepat sampai ke
Wirasabha! Kita serang Wirasabha! Musuh-musuh kita ada di
Wirasabha! Musuh Allah di sana! Cepat! Cepat!”

2385
Dengan semangat yang terus dipacu, pasukan Demak yang
berpakaian serba putih itu memang menakjubkan gerakannya.
Ketika matahari baru naik sepenggalah, mereka sudah sampai di
sungai Tambak Beras, sungai bersejarah yang diingat penduduk
sebagai tempat hancurnya balatentara Tuban yang dipimpin
Ranggalawe barang dua abad silam. Setelah berhenti beberapa
jenak untuk minum usai menyeberangi sungai Tambak Beras,
mereka bergerak lagi dengan langkah lebih cepat. Seperti berpacu,
mereka melesat dengan cepat ke arah kuta Wirasabha.

Ketika dari kejauhan dinding kuta Wirasabha yang terbuat dari batu
bata terlihat kukuh di bawah langit, mereka berhenti dan membagi
pasukan dalam tiga sayap. Sayap kiri dipimpin oleh Ki Ageng
Sesela. Sayap kanan dipimpin Raden Iman Sumantri. Induk
pasukan tengah dipimpin Susuhunan Udung. Lalu diiringi teriakan
takbir gegap-gempita laksana bukit runtuh, ketiga pasukan yang
memiliki panji-panji berbeda itu bergerak cepat ke arah gerbang
kuta. Mereka berlomba saling mendahului untuk bisa secepat
mungkin sebagai yang pertama sampai.

Sementara, sejak pagi gerbang barat kuta Wirasabha sudah


dibuka sebagian. Anehnya, di balik pintu gerbang yang ditutup
sebelah itu terdapat tumpukan batu-batu besar seolah gerbang itu
sengaja ditutup separo. Lebih aneh lagi, ketika gegap-gempita
iring-iringan pasuka Demak mendekati kuta dan berpacu
mener0b0s gerbang barat, prajurit penjaga gerbang justru lari
meninggalkan pos penjagaan sambil tersenyum-senyum. Mereka
seperti sengaja membiarkan gerbang yang dijaganya itu tetap
2386
terbuka separo. Mereka seperti sengaja membiarkan musuh
masuk ke kuta.

Ketika pasukan Demak menerjang ke arah gerbang bagaikan air


yang membanjir, terjadi sesuatu yang tidak diperhitungkan
sebelumnya. Pasukan Demak yang berlomba saling mendahului
itu berdesak-desak, terhalang oleh pintu gerbang yang terbuka
separo. Lantaran tidak ada satu pun di antara prajurit Demak yang
mau mengalah dan mereka terus berdesak-desak ingin
mendahului yang lain masuk ke dalam kuta, makin sesaklah
gerbang itu dipadati manusia. Semangat prajurit-prajurit Demak
yang berkobar-kobar ingin secepatnya masuk ke kuta Wirasabha
makin menyesaki gerbang. Sementara para prajurit berkuda yang
melambai-lambaikan pedang memberi perintah agar semua
prajurit tidak saling berdesakan, tidak lagi digubris. Ujung dari
keadaan itu adalah terjadinya kerusakan formasi pasukan Demak.
Prajurit-prajurit yang dengan susah payah berhasil masuk ke
dalam gerbang, terlihat celingukan mencari barisannya yang
berantakan.

Di tengah rusaknya formasi pasukan yang berantakan itu, terjadi


peristiwa yang sangat mengejutkan. Pasukan gabungan Majapahit
yang sejak pagi menunggu di dalam kuta, tiba-tiba bergerak
serentak menyongsong kedatangan pasukan Demak. Lalu,
seibarat beruang ganas mengangakan mulut mendekati
sekawanan lebah yang berkerumun di sarangnya, demikianlah
pasukan gabungan Majapahit yang berjumlah sekitar 30.000 orang
dengan gelar perang Bajrapanjara-byuha (Jawa Kuno: formasi
2387
tempur sangkar intan) mendekati pasukan Demak yang berdesak-
desak di pintu gerbang. Semua menahan napas, menunggu apa
yang akan terjadi ketika pasukan Majapahit semakin lama semakin
dekat jaraknya.

Ketika jarak kedua pasukan semakin dekat, tampak sekali pasukan


Demak tidak saja masih berantakan formasinya, melainkan
terputus pula tali komandonya. Tanpa ada yang memerintah, tiba-
tiba saja barisan pertama dari sayap kanan pasukan Suranata
yang berada di bawah pimpinan Raden Iman Sumantri bergerak
cepat ke depan menyerbu sayap kiri pasukan Majapahit. Dengan
pekikan takbir sambung-menyambung, mereka menyambut musuh
yang menghadang dengan tombak terhunus. Namun, saat jarak
mereka dengan musuh tinggal tiga empat tombak, tanpa terduga-
duga pasukan berkuda Majapahit dari barisan tengah mendadak
bergerak cepat ke depan. Lalu, dengan kecepatan menakjubkan
mereka melakukan gerakan memutar.

Pasukan Demak yang berhadapan dengan pasukan sayap kiri


Majapahit tersentak kaget ketika mendengar suara gemuruh dari
arah belakang mereka. Secara refleks mereka menoleh serentak.
Terbelalaklah mata mereka ketika menyaksikan betapa di
belakang mereka sudah mengepung pasukan berkuda musuh.
Mereka gugup. Mereka baru sadar jika telah terperangkap di
tengah-tengah kepungan musuh. Laksana sekumpulan rusa
dikepung kawanan anjing pemburu, mereka hanya tercengang-
cengang kebingungan ketika pasukan sayap kiri dan pasukan
berkuda Majapahit mengerumuni dan menghujani mereka dengan
2388
tikaman-tikaman tombak dan aneka jenis senjata. Mereka tidak
dapat berbuat lain kecuali melawan sekuat daya serangan bertubi-
tubi itu. Terdengar suara gaduh dari senjata yang beradu disusul
jerit kematian dan pekik kesakitan yang sambung-menyambung.
Tak lama kemudian, ketika prajurit-prajurit Majapahit kembali ke
barisannya masing-masing, orang melihat barisan depan pasukan
sayap kanan Demak itu menjadi tumpukan mayat bersimbah
darah.

Kebinasaan yang dialami barisan pertama pasukan Demak segera


menyulut kemarahan kawan-kawan mereka. Bau anyir darah yang
menebar di tengah medan tempur membangkitkan nafsu
membunuh prajurit-prajurit Demak laksana kobaran api. Mereka
merasakan tubuh mereka panas dan kaki mereka seolah tidak
menginjak tanah. Saat teriakan menyerang terdengar bersahutan
dari para pemimpin, mereka serentak berlari ke depan dengan
berteriak sekeras-kerasnya. Mereka berteriak dengan tombak
terhunus menerjang siapa saja yang berada di hadapan mereka.
Mereka menerjang terus ke depan dengan membabi-buta. Namun,
yang mereka saksikan hanyalah hutan tombak dan panji-panji
musuh yang bergerak maju mundur dan ke kanan kiri
membingungkan. Ibarat sarang lebah dicabik-cabik kuku dan mulut
beruang kelaparan, serangan demi serangan membabi-buta yang
mereka lakukan semburat diluluh-lantakkan pasukan Majapahit
yang bertempur dengan disiplin dan semangat tinggi.

Menyaksikan barisan pasukannya selalu berantakan setiap kali


menyerang musuh, Susuhunan Udung memerintahkan Ki Ageng
2389
Sesela menyemangati pasukan yang dipimpinnya dan secepatnya
memimpin mereka menerjang sayap kanan musuh. Ia juga
memerintahkan Raden Iman Sumantri untuk bergegas ke depan
menyemangati para prajurit dan menyerang ke barisan tengah
musuh. Sementara ia sendiri dengan teriakan-teriakan takbir
menggetarkan, seolah-olah digetari kekuatan gaib,
membangkitkan semangat tempur prajurit-prajuritnya. Setiap
prajurit Demak yang mendengar pekikan takbir senapati mereka
merasakan terbakar semangatnya. Mereka seperti tidak peduli
dengan tebasan pedang dan tikaman tombak pasukan Majapahit.
Mereka mengamuk, menerjang, menerobos, dan melangkahi
mayat kawan-kawan dan musuh-musuhnya. Akibatnya, pasukan
Majapahit yang selalu berhasil menahan serangan mereka
terheran-heran menghadapi perubahan mendadak tersebut.
Secara berangsur-angsur daya tempur mereka menurun dan
formasi tempur mereka pun mulai berantakan.

Melihat formasi tempur pasukannya mulai berantakan, para


pemuka pasukan gabungan Majapahit meminta Yang Dipertuan
Pengging dan Yang Dipertuan Terung untuk tampil ke depan
menghadapi amukan pasukan musuh. Mereka, yang sebagian
besar adalah putera dan kemenakan dan cucu Patih Mahodara,
ingin menguji kesungguhan janji dua orang tetunggul Majapahit
yang sudah bersumpah setia akan mempertahankan kerajaan
tersebut, meski keduanya telah menjadi pemeluk agama Islam.
Alih-alih ingin menguji kesetiaan kedua orang tersebut,
sesungguhnya Patih Mahodara ingin memecah belah kekuatan
Tranggana dengan kedua orang pamannya itu. Kedua tetunggul itu
tampaknya tidak memiliki pilihan lain kecuali menunaikan janji
2390
mereka untuk membela Majapahit sebagai pelaksanaan dharma
ksatria mereka.

Andayaningrat, Raja Pengging yang sudah tua itu, terlihat maju ke


garis depan medan tempur. Puteranya, Kebo Kanigara, dan
sejumlah ksatria berkerumun di sekitarnya. Dengan tatapan mata
yang sudah agak kabur, dia menyaksikan medan tempur di
depannya dipenuhi gelimpangan mayat prajurit kedua pihak. Dia
menarik napas berat ketika mengetahui betapa sejauh itu pasukan
Majapahit belum berhasil mematahkan serangan pasukan Demak
yang lebih sedikit jumlahnya. Amarahnya meledak ketika di
kejauhan ia melihat senapati Demak, Susuhunan Udung, berdiri
gagah sambil mengacung-acungkan keris pusaka menyemangati
prajurit-prajuritnya yang memaki musuh-musuhnya sebagai kafir
penghuni neraka. Dengan keris terhunus, dia berlari ke arah
Susuhunan Udung. Sementara, Susuhunan Udung yang
mengetahui akan diserang Raja Pengging hanya tegak berdiri
sambil menggenggam erat-erat keris pusakanya. Ia menunggu.

Ketika jarak keduanya sudah sekitar tiga empat depa,


Andayaningrat berteriak keras sambil menyerang dengan tikaman
keris ke arah dada Susuhunan Udung. Susuhunan Udung yang
sudah menunggu serangan musuh hanya berdiri tegak tidak
berusaha menghindar. Ketika keris Andayaningrat terlihat
berkelebat ke arah dadanya, Susuhunan Udung membarenginya
dengan tikaman keris ke dada Andayaningrat.

2391
Terdengar suara gemeretak dan jeritan terpekik ketika dua keris
pusaka itu secara bersamaan mengenai sasaran. Tubuh
Andayaningrat tampak limbung dan sejenak kemudian tumbang ke
atas bumi. Rupanya tikaman keris Susuhunan Udung dengan telak
mengenai dada kirinya hingga mematahkan tulang-tulang iganya.
Sementara, dada Susuhunan Udung yang ditutupi jubah
antakusuma tidak sedikit pun menunjukkan luka.

Melihat tetunggul musuhnya terbunuh, semangat pasukan Demak


seketika meningkat. Sambil meneriakkan takbir mereka
meningkatkan serangan yang menewaskan puluhan prajurit lawan.
Namun tak lama sesudah itu, serangan mereka berantakan ketika
Kebo Kanigara, putera Andayaningrat, mengamuk dan
menimbulkan korban besar di antara pasukan Demak. Bahkan,
beberapa jenak kemudian semua mata tertuju ke tengah medan
tempur, menyaksikan Senapati Majapahit Raden Kusen berdiri
berhadap-hadapan dengan Senapati Demak Susuhunan Udung.
Semua seolah ingin mengetahui, apakah yang akan terjadi dengan
dua orang besan yang sama-sama menjadi panglima dari dua
pasukan yang saling bermusuhan itu.

Susuhunan Udung sendiri merasakan adanya getaran-getaran


aneh yang membuatnya gugup saat berhadap-hadapan dengan
Raden Kusen. Ia merasakan jiwa seperti digelayuti lintasan
bayangan bahwa laki-laki tua yang berdiri di depannya itu adalah
sahabat ayahandanya, mertua puteranya, pelindung umat Islam di
pedalaman, dan tentu saja paman dari sultan Demak. Ia sadar
sedang berhadapan dengan manusia tangguh dalam pengalaman
2392
tempur. Ia sadar, dalam hal pertempuran ia tidak bisa dibandingkan
dengan laki-laki yang sudah malang-melintang selama hampir
setengah abad di medan tempur itu. Dengan suara merendah ia
berusaha menyadarkan panglima yang dijadikan andalan pihak
musuh itu. Ia meminta agar sebagai sesama muslim apalagi
berbesan, mereka tidak perlu bertempur sebagai musuh. “Sungguh
kami sulit menerima kenyataan, seorang pahlawan muslim seperti
Tuan bertempur melawan saudara seiman demi membela kerajaan
kaum kafir,” kata Susuhunan Udung.

“Andaikata guruku terkasih, Raden Ali Rahmatullah Susuhunan


Ampel Denta, tidak memerintahkan aku untuk mengabdi kepada
Majapahit, niscaya aku tidak berada di hadapanmu sebagai
musuh, o Saudaraku. Aku tidak peduli apakah aku akan dituduh
murtad atau kafir dengan kedudukanku sebagai panglima
Majapahit ini. Aku hanya tahu bahwa dharmaku sebagai murid
adalah menjalankan amanat guruku apa pun akibatnya,” Raden
Kusen berkali-kali menarik napas berat dengan tubuh dibasahi
keringat dingin.

Sebagai seorang guru suci, Susuhunan Udung dapat memahami


pandangan Raden Kusen yang begitu teguh memegang amanat
guru ruhaninya. Ia sadar, pertarungan antara dia dan besannya
tidak bisa dihindari. Ia sadar, mereka berdua tidak ada yang bisa
disalahkan karena masing-masing menjalankan dharma sesuai
keyakinan. Dalam pertempuran satu lawan satu yang seru itu,
Susuhunan Udung gugur akibat tikaman keris Raden Kusen.
Prajurit Demak yang menyaksikan sendiri bagaimana pusaka
2393
jubah antakusuma itu ternyata tidak bertuah lagi karena tertembus
tikaman keris Raden Kusen Adipati Terung, tidak dapat menahan
diri untuk tidak mengambil langkah seribu. Mereka berhamburan
ke berbagai arah untuk menyelamatkan diri. Hanya pasukan yang
dipimpin Ki Ageng Sesela yang tidak melarikan diri. Dengan sisa-
sisa pasukannya, Ki Ageng Sesela membawa jenasah Susuhunan
Udung ke Demak.

Kabar terbunuhnya secara gagah Susuhunan Udung dalam


pertempuran melawan Raden Kusen menggemparkan semua
orang yang mendengar. Simpati dan sesal ganti-berganti
diungkapkan dengan berbagai gejolak perasaan. Ujung dari kabar
menggemparkan itu, semua kegeraman diarahkan kepada
Tranggana yang dianggap kurang cerdas dalam memperkuat
kuasa dan wibawa melalui penyerangan ke Majapahit dengan
menggunakan barisan alim ulama. Tak kurang penyesalan
diungkapkan diam-diam oleh anggota-anggota Majelis Wali Songo
yang tidak paham dengan jalan pikiran Tranggana yang padat
dijejali ambisi berkuasa. Mereka merasa tertampar karena dengan
gugurnya salah satu anggota Wali Songo di medan perang, telah
menimbulkan kesan bahwa anggota-anggota Wali Songo tidak lagi
dilindungi Allah. Mereka mafhum bahwa bagi kebanyakan
penduduk Nusa Jawa, gambaran seorang wali identik dengan
manusia setengah dewa yang diliputi anugerah-anugerah ruhani,
barokah dan karomah. Lantaran itu, saat salah seorang anggota
Wali Songo dikalahkan oleh seorang panglima perang,
kegemparan pun tak dapat lagi dihindarkan. Penduduk dari
kalangan kebanyakan nyaris tidak percaya bahwa seorang

2394
anggota Wali Songo dapat kalah menghadapi seorang panglima
perang.

Kekalahan pasukan Demak dan gugurnya panglima mereka di


Wirasabha ternyata membawa akibat lain yang tidak
diperhitungkan Tranggana, yaitu terampasnya Kadipaten
Sengguruh dan Balitar. Pada saat seluruh kadipaten di pedalaman
bergabung dengan pasukan Majapahit, dua orang putera Raden
Kusen, Pangeran Arya Terung Adipati Sengguruh dan Pangeran
Arya Balitar Adipati Balitar, tidak muncul dan tidak pula
mengirimkan bala bantuan. Ha itu dijadikan alasan oleh Raden
Pramana, putera Patih Mahodara, untuk merebut kembali
Kadipaten Sengguruh dari tangan Arya Terung. Tindakan merebut
kembali Kadipaten Sengguruh dilakukan bersamaan dengan
perebutan Kadipaten Balitar. Raden Kusen sendiri tidak dapat
berbuat sesuatu menghadapi tindakan sepihak putera-putera Patih
Mahodara tersebut. Jatuhnya Sengguruh dan Balitar ke tangan
putera-putera Patih Mahodara telah menjadikan Tranggana tidak
lagi memiliki pijakan kekuasaan di pedalaman.

Bagi Tranggana sendiri, peristiwa kekalahannya yang kedua


adalah pelajaran terbaik. Ia mulai membenarkan pandangan-
pandangan Raden Sahid Susuhunan Kalijaga, mertuanya,
terutama yang terkait dengan pasukan alim ulama. Apa pun
alasannya, ia sadar bahwa selama ini ia telah keliru menjadikan
pasukan Suranata sebagai inti kekuatan militer Demak. Kekeliruan
itu sebenarnya berpangkal pada kebakilannya sendiri. Ia sadar,
salah satu alasannya menyandarkan kekuatan militer pada
2395
pasukan Suranata lebih disebabkan karena pasukan yang
terbentuk dari kalangan petani, tukang, perajin, penyadap enau,
pedagang kecil, dan buruh itu tidak digaji. Mereka adalah para
pengikut alim ulama yang fanatik dan bersedia melakukan apa saja
untuk mematuhi titah tokoh panutannya, termasuk menjadi prajurit
pembela agama tanpa imbalan gaji kecuali mendapat bagian
pampasan perang. Tranggana sadar, kebakilan yang selama ini
dipeliharanya ternyata membawa akibat mengerikan bagi
tewasnya beribu-ribu kaum beriman yang sudah tersihir hasutan
dan bualan alim ulama kaki tangannya.

Sadar akan kekeliruannya, Tranggana menendang jauh-jauh


kebakilannya. Ia sadar bahwa tanpa pesaing, ia tidak perlu risau
pada aliran pajak yang selama itu mengalir ke Japara. Kini semua
jenis pajak akan mengalir ke Demak. Itu berarti, sudah waktunya
ia wajib membentuk satuan-satuan tempur baru yang anggota-
anggotanya diseleksi sedemikian rupa ketat agar yang terjaring
adalah prajurit-prajurit yang benar-benar berdarah prajurit. Untuk
beroleh prajurit unggul, dilakukan seleksi dengan cara memilih
juara-juara dalam lomba-lomba adu keunggulan kaum muda.
Melalui lomba-lomba itulah masing-masing peserta diuji
ketabahan, keberanian, ketrampilan, ketangguhan, dan
kepantang-menyerahan mereka. Bahkan, untuk memilih perwira-
perwira, Tranggana tidak segan menguji sendiri. Lantaran ketatnya
pemilihan, Ki Ageng Sesela yang telah menunjukkan keberanian di
medan tempur Wirasabha dinyatakan gagal dalam ujian, gara-gara
memalingkan muka saat memecahkan kepala seekor kerbau. Ia
dinilai Tranggana berdarah petani, karena tidak tahan melihat
darah. Walhasil, dengan ketatnya seleksi tersebut, kebanyakan di
2396
antara mereka yang lulus ujian adalah putera-putera para prajurit
Demak lama yang umumnya berasal dari Wanasalam di tenggara
Wirasabha.

Galangan-galangan kapal Demak yang nyaris tak berfungsi


dikembangkan lagi untuk menghasilkan kapal-kapal perang besar
yang dilapisi besi dan dilengkapi meriam-meriam ukuran besar.
Khusus untuk membangun armada laut, Tranggana
mempercayakan kepada Khwaja Zainal Abidin, ahli meriam asal
Algarvia daerah di selatan Portugal. Dari Khwaja Zainal Abidin
inilah Tranggana memiliki pengetahuan tentang raja-raja di Eropa
yang bermusuhan dengan Salim, sultan Turki. Tranggana tahu
bahwa raja-raja Eropa adalah raja-raja miskin yang kekayaannya
tidak lebih besar dibanding seorang adipati gurem di Nusa Jawa.
Itu sebabnya, mereka tidak pernah menang melawan Salim, yang
kekayaannya berlimpah ruah. Dengan pengetahuan barunya itu,
hasrat Tranggana menjadi sultan sebesar Salim semakin menguat.
Hasratnya untuk membangkitkan kembali kebesaran Majapahit
makin berkobar-kobar. Ia membayangkan dirinya sebagai sultan
yang memiliki kekuasaan luas, seluas Majapahit awal. Untuk itu, ia
membutuhkan dukungan militer yang kuat dan tentu saja jauh lebih
kuat dibanding pasukan Suranata.

Sekalipun satuan-satuan tempur baru telah dibentuk, Tranggana


belum berani merombak struktur pasukannya. Ia tetap menyebut
satuan-satuan tempur barunya itu dengan nama Suranata karena
kedudukannya masih sebagai sultan yang memiliki kewenangan di
bidang kekuasaan agama. Di samping itu, keberadaan pasukan
2397
Suranata yang dikaitkan dengan alim ulama itu dinilainya masih
dapat menyulut simpati penduduk yang mulai banyak memeluk
agama Islam. Ia ingin memanfaatkan ghirah Keislaman penduduk
untuk memperkuat kuasa dan wibawanya. Untuk alasan itu,
beberapa bulan setelah kekalahan di Wirasabha berlalu, ia
mengangkat Ja’far Shadiq, putera Susuhunan Udung, sebagai
adipati Udung dan sekaigus menetapkannya sebagai senapati
Suranata. Demi menghindari terulangnya kekalahan – menjadikan
seorang alim ulama sebagai panglima perang – Tranggana
menempatkan seorang manggalayuddha yang bertugas
mendampingi Ja’far Shadiq dalam penyusunan siasat dan taktik
perang. Manggalayuddha dimaksud adalah seorang bangsawan
Majapahit yang beragama Islam, yang dikenal orang dengan nama
Pangeran Pancawati.

Dengan diangkatnya Ja’far Shadiq sebagai senapati Suranata dan


sekaligus adipati Udung, jabatannya sebagai imam Masjid Agung
Demak harus ditinggalkannya. Tranggana ternyata sudah
menyiapkan pengganti untuk jabatan imam Masjid Agung Demak,
yaitu Susuhunan Kalijaga, mertuanya. Tranggana sadar bahwa
kehadiran sang mertua di sampingnya sangat dibutuhkannya.
Sebab, selama itu sang mertua nyaris tidak pernah berada di
kediaman. Dengan mengangkatnya menjadi imam Masjid Agung
Demak, sang mertua tentu akan lebih sering berada di kediaman.

2398
Geliat Sang Naga Hitam
Di tengah gegap peningkatan kekuatan
bersenjata Demak, hadirlah di Demak dua
orang pejuang asal negeri Pasai yang tidak
saja memiliki kemampuan tempur
menakjubkan, tetapi juga memiliki
pengetahuan agama yang luas dan
mendalam. Dia adalah Tughril Muhammad
Khan dan adiknya yang bernama Fadhillah
Khan. Mereka meninggalkan negeri kelahirannya barang empat
tahun silam ketika Portugis menduduki Pasai. Setelah menunaikan
ibadah haji dan tinggal beberapa waktu di tanah suci, dua
bersaudara itu pergi ke Caruban untuk mencari paman mereka,
Syaikh Datuk Abdul Jalil. Ternyata mereka tidak bertemu karena
sang paman dinyatakan telah lama pergi meninggalkan Caruban
dan belum pernah kembali. Mereka hanya bertemu Syaikh Datuk
Bardud, putera Syaikh Datuk Abdul Jalil, sepupu mereka. Lalu,
mereka dipertemukan dengan Syaikh Datuk Bayanullah, sepupu
ayahanda mereka yang sudah sangat uzur. Oleh Syaikh Datuk
Bayanullah, mereka disarankan pergi ke Demak, menemui Raden
Sahid, menantu Syaikh Datuk Abdul Jalil, yang dikenal dengan
nama Susuhunan Kalijaga.

Tughril dan Fadhillah yang sudah mengenal Raden Sahid sewaktu


di Pasai kemudian pergi ke Demak. Ternyata, menantu paman
mereka itu menjadi imam masjid Agung Demak dan sekaligus
mertua sultan Demak. Melalui Raden Sahidlah dua bersaudara itu
berkenalan dengan Tranggana yang ternyata sangat

2399
membutuhkan orang-orang gagah seperti mereka. Untuk mengikat
mereka, Tranggana menikahkan saudarinya yang bernama Nyi
Mas Galuh dengan Tughril. Sedang Fadhillah dinikahkan dengan
janda Adipati Hunus, Nyi Mas Ratu Ayu, puteri Syarif Hidayatullah
Susuhunan Gunung Jati.
Keberadaan Tughril, Fadhillah, dan Khwaja Zainal Abidin yang
dipercaya Tranggana membangun angkatan perang Demak telah
membentuk pola kemiliteran baru yang merupakan perpaduan
antara dasar-dasar kemiliteran setempat dengan Portugis dan
Pasai. Angkatan bersenjata Demak yang sebelumnya hanya terdiri
atas pasukan tombak dan sedikit pasukan berkuda telah
dikembangkan sedemikian rupa dengan pembentukan satuan-
satuan pemanah, meriam, dan senapan. Formasi gelar perang pun
tidak mengikuti cara lama yang mengandalkan jumlah besar
pasukan. Keyakinan diri, keberanian, ketangguhan, keuletan,
ketabahan, dan kepantang-menyerahan dijadika dasar utama
dalam pembinaan mental setiap prajurit.

Ketika hiruk latihan tempur sedang dilakukan satuan-satuan


tempur baru di bawah arahan Tughril, Fadhillah, dan Khwaja
Zainal, terbetik sebuah laporan singkat dari Malaka yang
mengejutkan Tranggana tentang rencana Portugis membangun
benteng di pelabuhan Banten dan Kalapa yang merupakan dua
pelabuhan utama Kerajaan Sunda. Laporan yang diperoleh
Tranggana dari utusan Sultan Malaka di Banten itu melempar
kembali ingatannya pada peristiwa empat tahun silam, ketika Syarif
Hidayatullah Susuhunan Gunung Jati memberi tahunya tentang

2400
perjanjian antara Kerajaan Sunda dan penguasa Portugis di
Malaka yang dilakukan di pelabuhan Kalapa.

Selain dari Syarif Hidayatullah, Tranggana beroleh kebenaran


adanya perjanjian Kerajaan Sunda dengan Portugis itu dari Khwaja
Zainal. Menurut Khwaja Zainal, antara tanggal 18 – 21 Agustus
1522, barang tiga tahun silam, memang telah dilakukan perjanjian
antara Kerajaan Sunda dan penguasa Portugis di Malaka melalui
wakil-wakil mereka. Ratu Sanghyang Maharaja Sunda menunjuk
Adipati Siput Tumenggung Argatala dan syahbandar Kalapa untuk
mewakilinya dalam perjanjian tersebut. Jorge d’Albuquerque
penguasa Malaka diwakili oleh Amrrique Leme, didampingi saksi-
saksi utama: Fernam d’Almeyda, kapten kapal, Framcisquo Annes,
saudagar wakil raja, Baltesar Memdez, juru tulis, Nicolao da Sylva,
juru tinggi kapal, Jorge d’Oliveira, juru mudi kapal, dan para perwira
militer seperti Manuell Mendez, Sebastio Diaz do Rego, Francisco
Diaz, Joham Coutinho, Joham Goncalvez, Gil Barbosa, T0mee
Pymto, Ruy Goncalvez, Joham Rodriguez, Joham Fernandez,
Diogo Fernandez, Diogo Diaz, Alfonso Fernandez. Berdasar
perjanjian tersebut, Portugis akan mendirikan benteng di
pelabuhan Kalapa untuk melindungi Kerajaan Sunda dengan
imbalan akan memperoleh lada berharga murah.

Kabar bakal dibangunnya benteng Portugis di Banten dan Kalapa


itu dalam waktu pendek meluas ke sepanjang pesisir utara Nusa
Jawa. Rupanya, Tranggana diam-diam sengaja menyebarluaskan
kabar tersebut kepada alim ulama asal Maghribi, Socotra,
Kozhikode, Cochazi, Goa, dan Malaka yang tinggal di kawasan
2401
tersebut. Hasilnya sudah bisa ditebak, betapa para alim yang
tercekam sikap antipati terhadap Portugis itu dengan tergopoh-
gopoh datang ke Demak menghadap Tranggana. Mereka
memohon agar Tranggana selaku pelindung agama Islam di Nusa
Jawa mengambil tindakan tegas terhadap rencana Portugis
tersebut. Namun, dengan sangat diplomatis Tranggana
menyatakan bahwa selaku sultan yang berkedudukan sayidin
panatagama, ia tidak memiliki kewenangan untuk menindak
Portugis yang akan mendirikan benteng di pelabuhan Banten dan
Kalapa. “Orang-orang Peranggi dan orang-orang Sunda
mengadakan perjanjian dagang. Tidak ada kaitan dengan agama.
Selaku sultan yang hanya berwenang menjadi pelindung agama,
aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk menindak baik Peranggi
maupun Sunda. Urusan Peranggi dan Sunda adalah urusan
dagang,” kata Tranggana dingin.

Jawaban Tranggana yang dingin itu menampar keras kesadaran


para alim. Mereka baru sadar jika selama itu, sejak mangkatnya
Adipati Hunus, di Nusa Jawa sesungguhnya tidak ada pemimpin
tertinggi dari persekutuan adipati. Padahal, umat Islam dan
khususnya mereka sangat membutuhkan pemerintah yang kuat
yang bisa melindungi mereka dari musuh-musuh. Mereka butuh
pemerintah yang memiliki pasukan bersenjata dan tidak sekadar
mengurusi tata kehidupan beragama. Mereka butuh pemerintah
yang mengurusi tata kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Akhirnya, tidak ada lagi yang dapat mereka lakukan kecuali
mendaulat Majelis Wali Songo untuk menobatkan Tranggana
sebagai Sultan Demak yang memegang kekuasaan adipati,
senapati, dan sayidin panatagama. Untuk itu, mereka mengawali
2402
dengan menyatakan sumpah setia secara terbuka mendukung
kepemimpinan Tranggana sebagai satu-satunya raja dan
pelindung agama di Nusa Jawa.

Tranggana tentu saja menyambut gembira pernyataan alim ulama


yang umumnya memiliki banyak pengikut itu. Ia merasakan sekujur
tubuhnya digetari kegembiraan meluap-luap. Di tengah luapan
kegembiraan itu, ia dapati naga hitam yang bersemayam di
kedalaman relung-relung jiwanya, meraung-raung kelaparan ingin
memangsa siapa saja makhluk yang terlihat sebagai musuh-
musuhnya. Naga hitam itu terus meraung dan membesar tubuhnya
seolah-olah menutupi cakrawala kesadaran Tranggana. Bahkan,
karena berkuasanya sang naga hitam di kedalaman jiwa
Tranggana, sampai-sampai Yang Dipertuan Demak itu tidak bisa
lagi membedakan apakah ia masih seorang manusia atau seekor
naga hitam bermahkota. Hari-hari dari hidup Tranggana panas
membara akibat semburan-semburan api dari mulut sang naga
hitam yang membakar jaringan tubuh dan jiwanya. Anehnya,
semakin sering sang naga hitam menyemburkan api dari mulutnya,
Tranggana merasakan tubuh dan jiwanya semakin kuat seolah
campuran berjenis-jenis logam yang ditempa menjadi senjata
pusaka.

Khawatir rencana Portugis membangun benteng di Banten dan


Kalapa akan menghadang ambisinya menjadi penguasa Jawa,
Tranggana mengirim 1.000 orang prajurit pilihan di bawah
pimpinan Fadhillah ke Caruban. Kepada Yang Dipertuan Caruban
Sri Mangana, Tranggana meminta bantuan pasukan untuk
2403
menyerang Banten dan Kalapa. Sri Mangana menambah pasukan
Demak dengan 967 orang prajurit Caruban pilihan dipimpin
Pangeran Cirebon, puteranya, selaku manggala yang didampingi
adipati Keling, adipati Kuningan, dan adipati Cangkuwang.
Pasukan gabungan Demak dan Caruban itu tidak menundukkan
Kalapa dulu, melainkan langsung ke Banten yang keadaannya
sudah kisruh akibat Pangeran Sabakingking, putera Syarif
Hidayatullah dengan Nyi Kawunganten, mengadakan kekacauan
bersama pengikut-pengikutnya.

Sejak berangkat dari Caruban, pasukan gabungan yang dipimpin


Fadhillah disiagakan untuk menduduki pelabuhan Panjang yang
dalam setahun belakangan dijadikan pelabuhan lada oleh Yang
Dipertuan Banten. Kapal-kapal milik saudagar Sunda dari
pelabuhan Banten, Kalapa, Cibuaya, dan Pamanukan secara
diam-diam mengangkut lada dari gudang-gudang penimbunan
yang dibangun di pelabuhan Panjang untuk dibawa ke Malaka.
Bahkan, beberapa kali orang melihat kapal-kapal Portugis
bersandar di pelabuhan Panjang untuk mengangkut lada. Di
pelabuhan Panjang inilah Portugis rencananya akan mendirikan
benteng untuk melindungi Banten dari penguasa-penguasa muslim
di sekitarnya.

Sejak kekisruhan yang dilakukan Pangeran Sabakingking dan


pengikut-pengikutnya, Yang Dipertuan Banten Prabu Sedah nyaris
kebingungan. Sebab, putera Syarif Hidayatullah itu tidak sekadar
didukung oleh penduduk beragama Islam yang kebanyakan adalah
pengikut Ki Kawunganten yang tinggal di Waka, Pontang,
2404
Kasemen, dan Karanghantu, tetapi didukung pula oleh penduduk
di sekitar gunung Pulasari. Bahkan Rsigana Domas, delapan ratus
orang resi yang tingga di gunung Pulasari di bawah pimpinan
Brahmana Kandali, diketahui memihak kepada Pangeran
Sabakingking. Kebingungan Yang Dipertuan Banten makin
sempurna manakala tanpa terduga-duga, pasukan gabungan
Demak dan Caruban secara tiba-tiba menduduki pelabuhan
Panjang dan mendirikan pertahanan kuat di sana. Prabu Sedah
tidak memiliki kekuatan lagi sebab dengan dikuasainya pelabuhan
Panjang dan kawasan pantai di Waka, Pontang, Kasemen, serta
Karanghantu oleh Pangeran Sabakingking, pintu keluar Banten
Girang ke daerah-daerah lain telah tertutup.

Kabar keberhasilan pasukan gabungan Demak dan Caruban yang


dipimpin Fadhillah menduduki pelabuhan Panjang disambut
gembira di Caruban dan terutama di Demak. Namun, di tengah
kegembiraan itu, tanpa ada yang menduga tersiar kabar Sang Ratu
Caruban Larang Sri Mangana mangkat tak lama setelah berziarah
ke makam Syaikh Datuk Kahfi. Seluruh Kehidupan di Caruban
seperti terhenti selama beberapa kejap. Angin tidak bertiup.
Sungai-sungai seolah tidak mengalir. Burung-burung tidak ada
yang terbang. Ikan-ikan berhenti berenang. Hewan ternak berhenti
memamah biak. Manusia-manusia hilir mudik di jalanan
menghentikan langkah dan kendaraan yang ditumpanginya.
Mereka berdiri dengan dada kosong dan air mata membasahi pipi.
Semua berhenti seolah ingin menghormati kepergian seorang raja
yang alim, arif, bijaksana, zuhud, dan dicintai rakyatnya
menghadap ke hadirat Maharajadiraja Penguasa semesta.

2405
Sepeninggal Sri Mangana, para wali nagari dan gedeng se-
Caruban Larang sepakat memilih Pangeran Muhammad Arifin
putera Syarif Hidayatullah untuk menggantikan kedudukan sebagai
khalifah Caruban. Semua sepakat memilih pangeran yang masih
muda itu karena dianggap sebagai orang yang memenuhi syarat-
syarat khilafah sebagaimana diajarkan Syaikh Datuk Abdul Jalil.
Pangeran Muhammad Arifin sendiri dikenal sebagai sahabat akrab
Syaikh Datuk Bardud, putera Syaikh Datuk Abdul Jalil. Bahkan,
nama Pasarean (pekuburan) yang diberikan oleh Syaikh Datuk
Bardud kepadanya ditafsirkan oleh para wali nagari dan gedeng –
yang sebagian besar adalah pengikut Syaikh Datuk Abdul Jalil –
sebagai tanda keberhasilan putera Syarif Hidayatullah dalam
mengamalkan ajaran ‘mati sebelum Kematian’ (mutu qabla an-
tamutu) sebagaimana yang disampaikan Syaikh Datuk Abdul Jalil.
Demikianlah, Pangeran Muhammad Arifin yang dikenal orang
dengan nama Pangeran Pasarean itu dinobatkan sebagai
pengganti Sri Mangana menjadi pemimpin pemerintahan (amir al-
mu’minin) dan penguasa keagamaan (sayidin panatagama).
Sementara Pangeran Cirebon, putera Sri Mangana yang telah
ditunjuk oleh ayahandanya menjadi manggala dalam penyerbuan
ke Banten dan Kalapa, ditetapkan sebagai pengganti kedudukan
ayahandanya sebagai manggalayuddha (senapati ing alaga) yang
memiliki kewenangan dalam menata dan memerintah kekuatan
militer Caruban.

Di tengah pergantian kepemimpinan di Caruban Larang, terdengar


kabar dari Malaka yang menyatakan pertahanan Sultan Malaka di
Bentam baru saja dihancurkan oleh pasukan Portugis di pimpinan
gubernur Malaka Pedro Mascarenhas. Dalam penyerbuan itu,
2406
pasukan Portugis diperkuat oleh pasukan pimpinan Francisco de
Sa. Yang lebih mengejutkan, sehari setelah itu tersebar kabar
susulan yang menyatakan bahwa gubernur Malaka menitahkan de
Sa pergi ke negeri Sunda untuk membangun benteng di sana. De
Sa membawa armada besar. Ia sendiri naik sebuah kapal perang
dengan 300 orang prajurit pilihan. Armada de Sa diperkuat oleh
Duarte Coelho yang membawa sebuah kapal jenis galeota dan dua
kapal jenis fusta. Sebagai siasat penyerangan, de Sa
memerintahkan sebagian kapalnya berangkat lebih dulu ke Jawa.
Menurut rencana, pada minggu ketiga bulan Juni 1526 seluruh
kapal akan berkumpul di Kalapa untuk melindungi pembuatan
benteng di sana.

Mendengar kabar keberangkatan armada Portugis itu, Tranggana


yang masih diliputi rasa bangga dengan keberhasilan pasukannya
menguasai pelabuhan Panjang, buru-buru mengirim Tughril ke
Caruban dengan kekuatan 500 orang prajurit pilihan. Tughril
diperintah untuk meminta bantuan pasukan dari Caruban kepada
pengganti Sri Mangana. Karena Pangeran Cirebon, manggala
Caruban, sedang memimpin pasukan bersama Fadhillah di
Banten, Pangeran Pasarean selaku khalifah Caruban mengirim
Pangeran Wirakusuma, putera Pangeran Cirebon, untuk
memimpin 1.000 orang prajurit Caruban dan bergabung dengan
prajurit Demak untuk merebut pelabuhan Kalapa sebelum Portugis
datang dan mendirikan benteng di sana.

Sesuai rencana, Kalapa akan diserang dari dua arah, dari arah
barat oleh pasukan yang dipimpin Fadhillah dan dari arah timur
2407
yang dipimpin Tughril. Sekalipun dengan kekuatan 1.500 orang
Tughril yakin dapat merebut Kalapa, sebagai seorang pejuang
yang pernah terlibat pertempuran dengan Portugis di Pasai, ia
merasa heran dengan keberadaan prajurit-prajurit Caruban yang
tidak mau menggunakan meriam dan senapan. Ketika hal itu
ditanyakan Tughril kepada Syaikh Datuk Bardud, sepupunya, ia
diberi tahu bahwa ayahandanya telah melarang penggunaan
senjata-senjata penyembur api seperti meriam, gurnita, dan
senapan dengan alasan senjata berpengaruh setani. “Karena
kakek kami, Sri Mangana almarhum, menyetujui pandangan
ayahanda kami maka ia melarang pasukan Caruban
menggunakan meriam, gurnita, dan senapan,” Syaikh Datuk
Bardud menjelaskan.

“Tapi yang akan kita hadapi di Kalapa nanti adalah pasukan


Portugis yang sudah termasyhur kehebatannya di medan tempur.
Meriam-meriam dan senapan-senapan yang mereka gunakan
tidak mungkin kita lawan dengan panah, tombak, pedang, keris,
dan pentungan,” kata Tughril tidak paham dengan penjelasan
Syaikh Datuk Bardud.

“Manakah menurutmu yang lebih unggul, o Saudaraku, senjata


meriam dan senapan dibanding senjata iman seorang sahabat
Allah?” tanya Syaikh Datuk Bardud.

“Tentu saja senjata iman seorang sahabat Allah lebih dahsyat,”


kata Tughril masih belum paham, “Tetapi yang akan menghadapi
2408
meriam dan senapan Portugis itu prajurit-prajurit Demak dan
Caruban yang aku pimpin. Aku bukan sahabat Allah, begitu pula
prajurit-prajuritku.”

“Sebelum engkau berangkat, mohonlah doa restu dari guru suciku,


Syaikh Maulana Jati. Ia telah diajari oleh ayahandaku untuk
meminta kepada Allah agar menggerakkan tentara-Nya (jundullah)
dalam pertempuran melawan para pemuja taghut. Yakinlah bahwa
dengan perkenannya, engkau akan meraih kemenangan melawan
pasukan Portugis yang bersenjata meriam dan senapan,” kata
Syaikh Datuk Bardud.

Di dalam selimut kabut dan gumpalan awan yang mencurahkan


hujan lebat, pada suatu siang yang gelap kelabu, perahu-perahu
yang memuat prajurit gabungan Demak-Caruban yang datang dari
Caruban merapat di pantai Cilincing di timur pelabuhan Kalapa.
Pada saat hampir bersamaan, perahu-perahu bermuatan prajurit
gabungan Demak-Caruban yang datang dari pelabuhan Panjang
merapat di pantai Kamal di barat pelabuhan Kalapa. Lalu, seperti
kawanan hantu yang berbaris di tengah keremangan senjakala,
kedua pasukan itu bergerak tanpa suara. Rawa-rawa dangkal
berlumpur dengan pohon-pohon bakau yang sering dijadikan
sarang buaya tidak dianggap sebagai penghalang bagi kedua
pasukan yang berlomba menjadi yang pertama sampai di Kalapa.

Setelah berjalan setengah berlari selama beberapa jam, iring-


iringan pasukan gabungan Demak-Caruban mulai melihat
2409
pelabuhan Kalapa, yang samar-samar tampak seperti kerumunan
pohon, pondok, dan tiang-tiang kapal yang kelabu tertutup tirai
hujan dan kabut. Dengan tubuh basah kuyup, semua merunduk
dan mendekam. Lalu, sambil menggunakan isyarat gerakan
tangan, jatah makanan dibagikan. Prajurit-prajurit yang kelaparan
dan kedinginan itu melahapnya dengan ganas. Usai menyantap
jatah makan, mereka bergerak lagi mendekati Kalapa yang makin
tampak remang-remang karena hari telah memasuki senjakala.

Ketika hari benar-benar gelap dan hujan tersisa dalam gerimis tipis,
terjadi peristiwa yang sudah ditunggu-tunggu oleh semua prajurit.
Sebuah pondok di ujung dermaga terbakar hebat. Pertanda
penyerangan atas Kalapa dimulai. Teriakan-teriakan perang
terdengar bersahutan dan sambung-menyambung diikuti oleh
bergeraknya bayangan-bayangan hitam dari kegelapan,
menerjang ke depan dengan panji-panji digoyang-goyang dan
tombak diacungkan. Semua bergerak sangat cepat seolah berpacu
saling mendahului. Karena jalanan berlumpur dan menjadi licin
akibat hujan, beberapa sosok bayangan terbanting dengan keras
ke tanah, tetapi secepat itu kawan-kawannya menarik dan
menggeretnya untuk bangkit dan berlari. Beberapa orang yang
berlari di bagian depan berteriak lantang memberi arahan kepada
kawan-kawannya.

“Ke rumah syahbandar!”

2410
Di tengah gelap yang hanya sesekali ditandai kilatan petir, jarak
bayangan-bayangan hitam para prajurit yang berlari itu semakin
dekat dengan kediaman syahbandar Kalapa. Teriakan-teriakan liar
bersahutan di antara suara benturan senjata. Para prajurit Sunda
yang menjaga kediaman syahbandar Kalapa hanya sedikit
jumlahnya. Mereka terkejut menghadapi serangan mendadak yang
tak mereka sangka-sangka. Mereka melawan sekuat-kuatnya,
tetapi dengan mudah ditewaskan atau dihalau dari kubu
pertahanan. Kepanikan merebak di mana-mana. Syahbandar
Kalapa yang melakukan perlawanan bersama pengawal-
pengawalnya tanpa kesulitan dibinasakan oleh para penyerang
yang bertempur bagaikan kawanan hewan buas mencabik-cabik
mangsa. Dalam semalam, pelabuhan Kalapa yang dipertahankan
oleh sekitar 1.000 orang prajurit Sunda itu jatuh ke dalam
kekuasaan pasukan gabungan Demak-Caruban.

Kemenangan merebut pelabuhan Kalapa tidak dirayakan.


Sebaliknya, seluruh pasukan digabungkan menjadi satu di bawah
kepemimpinan Tughril untuk menghadapi pasukan Portugis yang
sedang dalam perjalanan menuju Kalapa. Menurut perhitungan
Tughril, meriam-meriam yang sudah ditempatkan pasukan
gabungan Demak-Caruban di pelabuhan Panjang dipastikan akan
menghalau armada Portugis yang akan singgah di sana. Portugis
yang belum tahu jika Kalapa sudah jatuh pasti akan mengarahkan
armadanya ke pelabuhan Kalapa. Untuk menghadang kedatangan
armada Portugis, pihaknya akan menunggu di pantai sesuai
petunjuk Susuhunan Gunung Jati. Meski agak kurang yakin
sepenuhnya dengan penjelasan Datuk Bardud, bahwa Susuhunan
Gunung Jati mampu meminta datangnya balatentara Allah, dan
2411
lantaran itu ia memerintahkan pembangunan kubu-kubu dari kayu
dan bambu di sekitar muara, tak urung Tughril memerintahkan
kepada seluruh pasukan untuk tidak menyerang musuh sebelum
mendarat di pantai. Tughril terombang-ambing antara desakan
nalarnya yang liar dan tali kendali keyakinannya yang kadang
kencang tapi kadang mengendor.

Sementara, ketika armada yang dipimpin de Sa baru beberapa


saat melintasi Selat Sunda tiga empat legoa (1 legoa = 5,5 mil laut),
terjadi peristiwa yang hampir membuat semua pelaut di dalam
armada itu ketakutan. Hujan angin turun sangat ganas disusul
amukan puting beliung yang menerjang kapal-kapal raksasa itu,
laksana tangan-tangan raksasa terjulur dari balik gumpalan awan
mempermainkan sabut-sabut kelapa di atas laut. Kapal perang
yang ditumpangi de Sa tergulung badai dan dijauhkan dari pantai
Sunda, terseret gelombang hingga ke ujung timur Nusa Jawa.
Kapal perang yang ditumpangi Duarte Coelho dengan satu kapal
galeo dan satu kapal fusta pendampingnya berhasil lolos dari
amukan badai. Coelho dan seluruh awaknya belum sadar jika
kapal yang ditumpangi pemimpin mereka, de Sa, telah terseret
arus dan badai jauh ke arah timur berpuluh-puluh legoa. Coelho
memutuskan untuk membawa tiga kapal yang dipimpinnya ke
pelabuhan Kalapa mendahului kapal de Sa. Ia berharap raja Sunda
sahabat Portugis akan menyambutnya dan membantu perbaikan
layar kapal-kapalnya yang rusak akibat badai.

Ketika iring-iringan kapal yang dinakhodai Coelho melintasi pulau-


pulau kecil yang tersebar di teluk Kalapa, bergeraklah gumpalan
2412
awan hitam dari arah selatan menutupi langit. Pada saat
bersamaan terlihat gumpalan kabut memenuhi permukaan laut.
Lalu, seperti dua hamparan kegelapan disatukan, gumpalan awan
hitam di langit dan gumpalan kabut di permukaan laut itu disatukan
oleh gemuruh hujan dan diselingi ledakan halilintar. Semua awak
kapal yang beberapa waktu sebelumnya sempat melihat remang-
remang pelabuhan Kalapa, tercekam kegentaran ketika
menyaksikan gumpalan awan hitam, kabut, hujan, dan halilintar
bergerak cepat ke arah kapal-kapal mereka. Semua merasakan
jantungnya berdebar-debar saat melihat putting beliung bergerak
seperti tangan raksasa mengaduk-aduk laut.

Coelho yang masih tercekam kengerian amukan putting beliung di


lepas Selat Sunda hanya membelalakkan mata dan menutup
mulutnya rapat-rapat ketika pusaran putting beliung menyambar
kapal fusta yang melaju di depannya. Kapal berukuran panjang
dengan dua tiang dan 15 bangku pendayung itu seperti sabut
dicengkeram tangan yang kuat, meronta tak berdaya ketika tiang-
tiangnya satu demi satu patah. Ia menahan napas ketika
menyaksikan kapal yang bermuatan 30 orang itu terangkat dari
permukaan laut dan kemudian terlempar keras ke daratan.
Menyaksikan keanehan demi keanehan peristiwa yang dialami
sejak terempas badai di lepas Selat Sunda, ia tidak dapat berbuat
lain ketika kapal yang ditumpanginya dan galeo yang berada di
dekatnya terseret arus dan badai ke arah daratan, menyusul kapal
fusta yang sudah tersungkur lebih dahulu di tengah rawa-rawa
berlumpur. Ia hanya bisa memerintahkan kepada awak kapalnya
untuk berdoa kepada Tuhan.

2413
Di tengah kepasrahan atas nasib yang bakal mereka alami, terjadi
suatu keanehan. Badai tiba-tiba menyingkir. Gumpalan awan hitam
dan kabut mendadak bergerak ke timur dan menghilang. Saat
itulah Coelho menyaksikan pemandangan yang membuat dadanya
sesak dan tenggorokannya kering: sekumpulan orang bersenjata
tombak dan kelewang menangkapi para awak kapal fusta yang
sebagian melakukan perlawanan. Perlawanan tak berarti dari
awak-awak kapal malang itu berakibat terjadinya penyembelihan
terhadap kawan-kawan mereka. Tidak peduli tentara atau
pendayung, satu demi satu seolah sengaja memamerkan
kebuasan – awak kapal fusta dijagal tanpa kenal belas kasihan.

Terkejut oleh peristiwa tak terduga itu, Coelho mengirim sebuah


perahu yang mengibarkan bendera putih untuk mengajak orang-
orang bersenjata itu berunding. Namun saat perahu itu mendekat,
dari balik gundukan-gundukan tanah dan kubu-kubu kayu yang
memanjang di pantai, berhamburan ratusan anak panah disusul
letusan senapan. Awak perahu yang tak menduga bakal diserang,
buru-buru berbalik arah. Kembali ke kapal. Coelho dengan napas
sesak menyaksikan bagaimana orang terakhir dari awak kapal
fusta itu disembelih dan mayatnya dilempar ke lumpur. Sejak
mengalami peristiwa mengerikan, dan berkat pertolongan Tuhan
saja yang tersisa bisa selamat, Duarte Coelho tidak mau lagi ke
Sunda. Tanpa menunggu lebih lama kedatangan kapal de Sa, ia
kembali ke Malaka.

De Sa yang belum mengetahui nasib malang yang dialami awak


kapal Duarte Coelho, mengumpulkan kapal-kapal perang yang
2414
sudah disebarnya lebih dahulu di sejumlah pelabuhan di Jawa. Ia
menunggu mereka di pelabuhan Panarukan. Tak kurang dari tujuh
kapal perang besar dengan tiga galeo dan tiga fusta berkumpul.
Dari Panarukan, ia dengan penuh yakin diri memimpin armada ke
pelabuhan Kalapa. Ketika sampai di teluk Kalapa, ia mendapati
permukaan air laut sedang surut. Tanpa mengetahui jika Kalapa
sudah jatuh ke tangan pasukan gabungan Demak-Caruban, ia
mendarat di Kalapa dengan sekoci-sekoci yang memuat sekitar
tujuh puluh orang prajurit bersenapan.

Ketika naik ke daratan, De Sa menangkap gelagat tidak beres


karena pelabuhan Kalapa yang selalu ramai itu terasa sekali
lengang. Ia bergegas menuju kediaman syahbandar. Sebelum
masuk, ia memerintahkan beberapa orang untuk memberi tahu
syahbandar yang seharusnya menyambut kedatangannya. Saat
orang-orang yang disuruhnya itu kembali, ia terperangah
mendengar laporan bahwa yang menguasai kediaman syahbandar
adalah pejuang asal Pasai yang sudah mereka kenal, dua
bersaudara Tughril dan Fadhillah Khan.

Tercekam oleh tugas yang diemban untuk secepatnya mendirikan


benteng di Kalapa, De Sa tidak berpikir panjang. Saat itu pula ia
memerintahkan pasukannya untuk merebut kediaman syahbandar
Kalapa. Namun, dua orang pejuang asal Pasai yang sudah
menyiagakan pasukan dengan keberanian luar biasa menyerang
de Sa dan pasukan yang mengawalnya. Terjadi pertempuran jarak
pendek. Prajurit Portugis yang tidak memiliki kesempatan mengisi
senapan dalam pertempuran jarak pendek itu menjadi sasaran
2415
empuk bagi tombak dan keris yang digunakan Tughril dan
Fadhillah beserta prajurit-prajuritnya. Tiga empat orang prajurit
Portugis tumbang ke atas tanah berlumpur tanpa nyawa. Yang lain
berusaha mundur sambil menlindungi pemimpin mereka. Saat de
Sa beserta sisa-sisa pasukan kembali ke kapal dengan sekoci,
Fadhillah memimpin dua puluh delapan perahu berisi pasukan
panah dan tombak untuk mengejar sekoci-sekoci Portugis yang
melarikan diri.

Begitu berhasil naik ke kapal, de Sa buru-buru memerintahkan


kapal-kapalnya untuk bergegas pergi meninggalkan teluk Kalapa.
Ia sadar, perahu-perahu yang sedang memburunya itu akan
menjadi ancaman yang membahayakan bagi kapal-kapalnya.
Pertempuran jarak pendek! Ia bayangkan kapal-kapalnya
dikerubuti perahu-perahu kecil itu tanpa dapat menggunakan
meriam. Pertempuran jarak pendek yang baru saja dialaminya di
Kalapa harus dihindari. Demikianlah, di tengah sorak-sorai para
penumpang perahu yang dipimpin Fadhillah, kapal-kapal Portugis
di bawah de Sa terbirit-birit meninggalkan teluk Kalapa.

2416
Bangkit! Maju! Berkuasa!
Kabar kemenangan gemilang di Kalapa
diterima Tranggana dengan kegirangan
orang mabuk. Kepalanya terasa membesar
dan berat. Matanya sayu tapi penuh hasrat.
Dadanya naik turun dipenuhi rasa hangat.
Kakinya gontai. Sesuatu ingin ia tumpahkan
dari pedalamannya. Dan, satu-satunya hal
yang mengisi benaknya adalah kilasan-
kilasan khayalan yang mengalir dari mulut sang naga hitam yang
menyemburkan api. Kilasan-kilasan khayalan itu melesat dari
benaknya, terbang ke angkasa menjadi tangan-tangan hitam
berkuku panjang yang menjulur ke bentangan masa depan yang
diselimuti kabut misterius. Tranggana tersentak kaget ketika naga
hitam yang bersarang di pedalamannya meraung keras,
menggetarkan cakrawala jiwanya, “Bangkit dan majulah!”

Tranggana termangu-mangu. Ia merasakan kegembiraan bergelut


dengan luapan kebanggaan memenuhi jiwanya. Lalu ia
mendengar lagi raungan naga hitam di pedalamannya, “Bangkit!
Maju! Berkuasalah! Raihlah keagungan dan kemuliaan raja-raja!
Jaya! Jaya!” Pada saat orang masih sibuk membincang
kemenangan pasukan gabungan Demak-Caruban yang
menghantam keras-keras kekuatan Portugis, Tranggana sudah
menitahkan Raden Ja’far Shadiq Senapati Suranata membawa
pasukan untuk menggempur Majapahit. Untuk memperkuat
pasukan yang dilengkapi meriam dan senapan itu, Tranggana
meminta bantuan pasukan dari Giri Kedhaton. Kemenangan atas

2417
Banten dan Kalapa tampaknya memperkuat hasrat Tranggana
untuk berkuasa atas seluruh Nusa Jawa.

Sangat berbeda dengan saat ayahandanya menyerang Majapahit


yang berakibat kegagalan, Raden Ja’far Shadiq selaku senapati
tidak lagi mempercayai bualan alim ulama yang penuh diliputi
khayalan dan dalil kosong. Ia lebih percaya kepada manggala dan
perwira-perwiranya yang mengenal benar makna pertempuran dan
nilai-nilai yang meliputinya. Sabda Nabi Muhammad Saw.,
“Serahkan semua urusan kepada ahlinya” , dipegangnya sebagai
harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar. Masalah perang
hendaknya diserahkan kepada manusia-manusia yang darah dan
jiwanya dialiri darah ksatria. Kegagalan dan kepedihanlah yang
akan diperoleh jika masalah perang diurusi ahli agama yang hanya
berbekal dalil-dalil dan semangat.

Di bawah arahan manggala dan perwira-perwira kepercayaannya,


Raden Ja’far yang ditugaskan menyerang Majapahit tidak serta
merta menerobos ke Wirasabha. Sebaliknya, ia menggempur
Kadipaten Tuban yang merupakan pelabuhan utama Majapahit.
Jika Tuban sudah dikuasai maka Majapahit akan terkucil dari dunia
luar. Sebab, dengan menguasai Tuban, bukan saja alur
perniagaan akan dapat dikendalikan oleh sang pemenang,
melainkan lalu lintas pelayaran di Bengawan Sori pun dapat
diawasi melalui tempat-tempat penambangan yang dikuasai
keluarga Bajul yang sebagian sudah memeluk agama Islam.
Gagasan Raden Ja’far Shadiq beserta manggala dan perwira-
perwira kepercayaannya itu terbukti tidak lama setelah Tuban
2418
ditaklukkan. Seluruh jalur perniagaan dari pesisir ke pedalaman
menjadi sangat terhambat.

Kehati-hatian Raden Ja’far Shadiq dalam bertindak paling tidak


telah menyebabkan Tranggana tidak sabar. Ia berharap
senapatinya itu bisa bertindak cepat seperti Tughril dan Fadhillah
yang tanpa kesulitan berhasil gemilang menaklukkan Banten dan
Kalapa. Namun, saat ia diberi tahu bahwa salah satu alasan yang
sangat dipertimbangkan oleh Raden Ja’far Shadiq beserta
manggala dan perwiranya untuk menunda-nunda penyerbuan ke
Majapahit adalah keberadaan Raden Kusen Adipati Terung,
paman Sultan Demak, ia tidak dapat berbuat sesuatu. Apa pun
kenyataannya, pamannya itu adalah satu-satunya sesepuh
keluarga yang harus dipatuhi sebagaimana wasiat ayahandanya
beberapa waktu sebelum mangkat. Bahkan, Tranggana
merasakan gundah ketika Susuhunan Kalijaga, mertuanya,
memberi tahu bahwa Prabu Bhre Wijaya, maharaja Majapahit
pengganti Sri Surawiryawangsaja, telah menyatakan Keislaman di
hadapannya.

Di tengah keraguan dan kegundahan untuk menyerang Majapahit,


terbetik usulan yang disampaikan Susuhunan Dalem Timur terkait
dengan usaha menyingkirkan Raden Kusen menjelang saat-saat
penyerangan ke Majapahit. Dalam usulan itu, Susuhunan Dalem
Timur meminta salah seorang sentana Susuhunan Ampel Denta
agar menemui Raden Kusen. Sentana itu akan menuturkan bahwa
ia bermimpi bertemu dengan Susuhunan Ampel Denta yang
melambaikan tangan ke arah Raden Kusen tanpa berkata-kata
2419
sesuatu. Semua orang yang mengetahui bagaimana kepatuhan
Yang Dipertuan Terung itu kepada gurunya dapat menduga
dengan gampang apa yang akan terjadi.

Ketika saat pertempuran yang ditentukan datang, di mana pasukan


gabungan Majapahit berhadap-hadapan dengan pasukan
gabungan Demak di Wirasabha, terjadi sesuatu yang tak terduga-
duga. Raden Kusen, dengan alasan dipanggil oleh guru suci yang
dipatuhinya, pergi ke Ampel Denta untuk berziarah. Patih
Mahodara dan para tetunggul Majapahit yang siaga bertempur
mati-matian menghadapi serangan Demak, kebingungan dan
hilang kendali menghadapi kejadian yang tak pernah disangka-
sangka itu. Mahodara sempat memerintahkan kepada para
tetunggulnya untuk tidak keburu menyerang sampai sang adipati
kembali dari ziarah ke Ampel Denta. Kesempatan emas itu tidak
disia-siakan oleh pasukan gabungan Demak. Berberapa saat
setelah dilaporkan bahwa perahu yang membawa Raden Kusen
sampai di pelabuhan Canggu, serangan awal dilakukan oleh
pasukan gabungan Demak.

Serentetan tembakan senapan yang dihamburkan oleh sekitar lima


pulu prajurit Demak asal Palembang dan menumbangkan puluhan
prajurit Majapahit telah membelalakkan mata para tetunggul
Majapahit. Mereka tidak pernah menduga jika alat bernama bedil
yang selama itu mereka gunakan untuk merayakan upacara
perkawinan dan menghormati tamu itu digunakan oleh pasukan
Demak sebagai senjata pembunuh. Yang lebih membingungkan,
pasukan pembawa senapan itu mengibarkan panji-panji
2420
bergambar lebah emas yang merupakan lambang panji-panji
adipati Palembang. Seiring berkibarnya panji-panji tersebut,
pasukan dari Wirasabha dan Japan yang diandalkan sebagai
kekuatan utama pasukan Majapahit tiba-tiba mundur serentak
tanpa diperintah. Akibatnya, pasukan sayap kanan Majapahit
terbelah.

Melihat mundurnya pasukan Wirasabha dan Japan, pasukan


gabungan Demak serta merta menyerbu secara bergelombang
bagaikan ombak menerjang pantai. Sisa pasukan sayap kanan
Majapahit yang dipimpin Arya Simping Adipati Kedhawung dan
Arya Tiron Adipati Pamenang seketika itu berantakan formasinya
diterjang pasukan dari Giri Kedhaton yang dipimpin dua pendekar
Cina bernama Panji Laras dan Panji Liris. Tak lama kemudian,
formasi pasukan sayap kiri Majapahit yang dipimpin Arya Puspa
Adipati Dengkol dan Arya Matahun Adipati Rajegwesi berantakan
juga diterjang pasukan gabungan dari Pati, Udung, dan Madura.
Puncak kehancuran formasi tempur pasukan Majapahit adalah
saat pasukan utama Demak di bawah Raden Ja’far Shadiq
didampingi manggala Pangeran Pancawati menyerang pasukan
utama yang dipimpin Arya Gugur, putera mahkota Majapahit, yang
didampingi Menak Supethak Adipati Garuda, Menak Pentor Adipati
Blambangan, Menak Pangseng Adipati Puger, Raden Pramana
Adipati Sengguruh, Nila Suwarna Adipati Pajer, Arya Jeding
Adipati Rawa, Arya Babon Adipati Srengat.

Di tengah porak-porandanya formasi tempur pasukan Majapahit,


pasukan gabungan Demak tidak melakukan pengejaran
2421
sebagaimana lazimnya pasukan yang berada di atas angin.
Sebaliknya, secara serentak pasukan gabungan Demak bergegas
kembali ke garis belakang pasukannya masing-masing. Pasukan
Majapahit yang sudah berantakan berusaha memanfaatkan
kesempatan itu untuk membangun lagi formasi tempurnya.
Namun, baru saja beberapa orang perwira berkuda melesat ke
kanan dan kiri sambil berteriak-teriak memerintahkan pasukannya
untuk menata barisan, terdengar suara gemuruh menggentarkan
dada dan memekakkan telinga ketika meriam-meriam yang
dipasang pasukan Demak mulai menyalak. Seiring melesatnya
bola-bola besi bersalut api dari mulut-mulut meriam-meriam itu,
berhamburanlah tubuh para prajurit Majapahit yang sedang
menata barisan. Serpihan daging, tulang, dan rambut berserak di
tengah cipratan darah. Bau mesiu dan anyir darah menebar ke
mana-mana menyesakkan dada.

Ketika kabar kehancuran pasukan gabungan Majapahit di


Wirasabha sampai ke Demak, Tranggana buru-buru mengirim
pesan kepada Raden Ja’far Shadiq selaku senapati Suranata
untuk secepat mungkin memboyong singgasana maharaja beserta
pusaka dan pustaka Majapahit. Selama menunggu kembalinya
sang utusan, Tranggana menitahkan kepada punggawanya agar
menyebarkan kabar kemenangan tersebut kepada seluruh kawula.
Mereka diperintahkan untuk datang ke alun-alun Demak
menyaksikan perpindahan singgasana yang akan dikirab bersama
pusaka-pusaka keramat dari kerajaan tua tersebut. Di tengah hiruk
persiapan para punggawa menyongsong kirab agung itu,
Tranggana justru sedang terbuai mimpi: terbang bersama naga
hitam ke angkasa tinggi kediaman raja-raja leluhurnya yang
2422
gemerlap disinari cahaya emas keagungan kekuasaan. Ia terbang
tinggi untuk menerima mahkota kekuasaan dari leluhurnya dan ia
akan menjadi raja bagi manusia.

Beda mimpi yang dialami Tranggana beda pula kenyataan yang


ditangkap oleh orang-orang di sekitarnya. Ketika Tranggana
membayangkan diri sebagai raja agung penerus kekuasaan raja-
raja leluhurnya, orang-orang di sekitarnya justru melihat perubahan
jiwanya yang mirip seekor ular berbisa: dingin, angkuh, licik,
berbisa, lidah bercabang, sulit didekati, selalu curiga, dan
pendendam. Keularan Tranggana setidaknya terlihat ketika
singgasana, pusaka-pusaka, dan pustaka-pustaka yang dibawa
dari Kraton Majapahit di Daha ditempatkan di Giri Kedhaton selama
empat puluh hari. Sekalipun para alim dan sesepuh sudah
menjelaskan bahwa penempatan lambang-lambang kekuasaan
Majapahit di Giri Kedhaton itu adalah prasyarat bersifat ruhani dari
perpindahan sebuah kekuasaan, Tranggana diam-diam
mencurigai Susuhunan Dalem Timur, sepupu dan juga
sahabatnya, menyembunyikan hasrat untuk menjadi penguasa.
“Darah Bhre Wirabhumi yang mengalir di tubuhmu, o Saudaraku,
tampaknya tidak cukup puas dengan kekuasaan seluas Giri
Kedhaton,” kata Tranggana dalam hati.

Menghadapi kemungkinan-kemungkinan munculnya kekuatan tak


terduga yang bakal menghambat jalan menuju puncak kekuasaan
di Nusa Jawa, Tranggana mengambil keputusan-keputusan yang
memiliki kaitan dengan penguatan kekuasaannya. Untuk menjaga
keseimbangan kekuatan Raden Muhammad Yusuf Adipati
2423
Siddhayu, ia mengangkat Ki Supa, adik ipar Susuhunan Kalijaga,
menjadi Adipati Sendang Siddhayu yang merupakan perbatasan
Siddhayu dengan Pamotan. Sementara, untuk menjaga
keseimbangan kekuatan dengan Susuhunan Dalem Timur, ia
mengangkat Pangeran Anggung Bhaya, putera Pangeran
Pringgabhaya, menjadi adipati Sekar-Widang.

Kecurigaan Tranggana terhadap Susuhunan Dalem Timur makin


meningkat manakala pusaka-pusaka Majapahit yang diharapkan
dapat dimilikinya ternyata tidak satu pun sampai ke tangannya.
Pusaka Kala Cakra, Sangkelat, dan Carubwuk yang menjadi
lambang kekuasaan Majapahit tidak satu pun muncul di
hadapannya. Raden Ja’far Shadiq sang senapati hanya
menyerahkan pusaka-pusaka Majapahit yang tidak masyhur.
Tranggana tidak sedikit pun curiga kepada senapatinya itu, sebab
ia mengetahui jika putera Susuhunan Udung itu tidak mengenal
dengan baik masalah pusaka-pusaka. Tranggana justru curiga,
pusaka-pusaka itu “menghilang” saat berada di Giri Kedhaton
selama empat puluh hari.

Ketidakberhasilan Tranggana memboyong pusaka-pusaka


masyhur Majapahit berakibat serius pada keberadaan dirinya
sebagai sultan. Meski Majelis Wali Songo telah melantiknya
sebagai sultan yang memiliki kewenangan dalam pemerintahan
(amir al-mu’minin), kemiliteran (senapati ing alaga), dan pengatur
agama (sayidin panatagama), para adipati pesisir tetap belum
menunjukkan tanda-tanda untuk mendukung kepemimpinannya.
Tidak sabar lagi menghadapi sikap menunggu para adipati pesisir,
2424
Tranggana menyiagakan serangan ke Rembang untuk
menyingkirkan Arya Pikrama Orob. Namun, Arya Pikrama Orob
yang sejak kekalahan kemenakannya dalam pertempuran di
Malaka sudah melihat gelagat kurang baik dari Tranggana, segera
menyingkir ke pedalaman bersama pasukannya. Arya Pikrama
Orob kemudian menggalang kekuatan bersama Arya Matahun
Adipati Rajegwesi. Bahkan, persekutuan itu diperkuat oleh adipati
Wirasari dan didukung pula oleh Ki Ageng Sesela yang pernah
dikecewakan Tranggana karena ditolak waktu mendaftar sebagai
tamtama Demak.

Marah mendengar persekutuan adipati-adipati dan penguasa


Sesela untuk menentang kekuasaannya, Tranggana menyatakan
mereka yang berkubu di Wirasari adalah para pemberontak. Lalu,
ia memimpin sendiri pasukannya ke Wirasari. Di Wirasari ia
mendapat perlawanan keras dan gagah berani dari para
pemberontak. Pasukannya yang terlatih, dengan susah-payah dan
banyak korban baru berhasil mematahkan perlawanan para
pemberontak. Setelah tujuh hari pertempuran, Wirasari baru jatuh.
Tranggana mengangkat Kidang Telangkas, putera Dewi
Rasawulan dengan Syaikh Maulana Maghribi, kemenakan
Susuhunan Kalijaga sebagai adipati Wirasari. Arya Pikrama Orob
Adipati Rembang yang terbunuh dalam pertempuran digantikan
kedudukannya oleh Raden Iman Sumantri. Kadipaten Rajegwesi
yang kosong akibat terbunuhnya Arya Matahun, dimasukkan ke
dalam wilayah Jipang yang dirajai putera ketiga Tranggana,
Pangeran Arya Jipang.

2425
Penumpasan terhadap pemberontakan Wirasari dijadikan salah
satu alasan oleh Tranggana untuk menggempur Pengging.
Pertama-tama, sisa-sisa pemberontak, yaitu Ki Ageng Sesela dan
saudara-saudaranya Ki Ageng Pakis, Ki Ageng Adibaya, Ki Ageng
Wanglu, Ki Ageng Bokong, Ki Ageng Kare, dan Ki Ageng Purna
melarikan diri ke wilayah Pengging. Mereka menyembunyikan diri
di Ngerang, yaitu kediaman ayahanda mereka Ki Ageng Ngerang.
Selain itu, Tranggana mendapati kenyataan keterlibatan sejumlah
pengikut Syaikh Lemah Abang dalam pemberontakan di Wirasari
yang lari ke Pengging. Namun, banyak yang paham bahwa alasan
Tranggana menyerang Pengging lebih disebabkan oleh rasa
khawatirnya terhadap Pangeran Kebo Kenanga yang menggantika
kedudukan ayahandanya sebagai penguasa Pengging. Kebo
Kenanga dianggap ancaman bagi kekuasaannya. Tranggana yang
terilhami kekuasaan Sultan Turki Salim tidak ingin melihat trah
Majapahit menandingi kekuasaannya.

Dalam upaya mengabsahkan penyerangan ke Pengging,


Tranggana kembali menggerakkan pasukan Suranata yang
dipimpin alim ulama Demak untuk melakukan penumpasan
terhadap penduduk yang diduga menjadi pengikut Syaikh Lemah
Abang. Sejarah kelabu alim ulama membunuhi penduduk tak
bersalah terulang kembali. Tombak-tombak berkelebat. Dada-
dada berlubang. Darah tumpah. Nyawa beterbangan ke angkasa.
Janda-janda dan anak-anak yatim berlipat-lipat jumlahnya.
Penumpasan terhadap para pengikut Syaikh Lemah Abang itu
diramaikan pula oleh para dukun dan pedagang jimat-jimat yang
merasa dirugikan oleh ajaran Syaikh Lemah Abang. Bahkan pada
gilirannya, keadaan itu dimanfaatkan oleh banyak orang untuk
2426
menjatuhkan saingan atau merebut istri orang. Kebejatan dan
kelicikan manusia bergulat menjadi satu dengan lenguhan setan
dan hewan buas.

Syaikh Lemah Abang sendiri, menurut kabar, ditangkap dan diadili


di Demak dengan tuduhan menyebarkan ajaran sesat. Syaikh
Lemah Abang dijatuhi hukuman mati. Untuk membuktikan
kesesatannya, jenasah Syaikh Lemah Abang telah berubah
menjadi seekor anjing hitam kudisan. Demikianlah, setelah guru
suci penyebar kesesatan itu tewas, pasukan Demak disiagakan
menyerang Pengging karena penguasa Pengging Pangeran Kebo
Kenanga yang masyhur dengan gelar Ki Ageng Pengging itu
adalah pengikut setia Syaikh Lemah Abang.

Ketika Tranggana akan berangkat memimpin pasukan ke


Pengging, tiba-tiba Raden Ja’far Shadiq menghadap dan
memohon agar dirinya diperkenankan memimpin penaklukan ke
Pengging. Raden Ja’far Shadiq beralasan, tidak sepantasnya
sultan seagung Tranggana membawa pasukan besar untuk
menaklukkan Pengging yang sudah bukan merupakan kerajaan
lagi. “Sepengetahuan kami, Pengging telah menjadi semacam
kadipaten kecil setingkat wisaya yang dipimpin oleh seorang Ki
Ageng Pengging. Apa kata orang jika Sultan Demak yang perkasa
menggunakan kekuatan besar untuk menumpas Pengging yang
wilayahnya hanya empat wisaya, yaitu Tingkir, Banyubiru, Butuh,
dan Ngerang. Akan lebih bijak jika paduka sultan menitahkan kami
untuk menaklukkan Pengging,” kata Raden Ja’far Shadiq
berharap.
2427
Tranggana yang menganggap pandangan Raden Ja’far Shadiq
masuk akal, menerima usulan itu. Ia menyerahkan penaklukan
atas Pengging kepada menantu dari pamannya itu. Tanpa
mengeluarkan darah orang-orang tak bersalah, Raden Ja’far
Shadiq berhasil menaklukkan Pengging. Menurut kabar, Ki Ageng
Pengging tewas dengan luka goresan di sikunya. Setelah itu, Yang
Dipertuan Tingkir, Butuh, Banyubiru, dan Ngerang menyatakan
tunduk kepada sultan.

Kemenangan atas Pengging makin menyeret hasrat Tranggana


untuk meyujudkan mimpinya sebagai sultan yang berkuasa atas
seluruh Jawa. Segerah setelah Pengging takluk, Tranggana
menyerang Kadipaten Bojong. Adipati Bojong Arya Danaraja Orob
yang sudah uzur itu terbunuh. Kadipaten Bojong lalu dipecah
menjadi tiga, yaitu Kersana, Tetegal, Pamalang. Belum puas
menaklukkan daerah pesisir, Tranggana menggerakkan
pasukannya ke pedalaman menyerang Gagelang dan
Medangkungan. Badai Kematian ia embuskan. Gunung mayat ia
ciptakan. Janda-janda dan anak-anak yatim ia serakkan ke
permukaan bumi.

Setelah melumat Gagelang dan Medangkungan, Tranggana


menggilas Kadipaten Siddhayu dan mengusir Adipati Siddhayu
Muhammad Yusuf, sahabat karib Adipati Hunus. Kadipaten
Tedunan di selatan Surabaya yang dikuasai Arya Bijaya Orob tak
ketinggalan dibumi hangus. Pendek kata, seluruh kekuatan
keluarga Orob dan adipati-adipati pendukungnya dihabisi tanpa
sisa oleh Tranggana. Tak cukup melampiaskan ambisi
2428
kekuasannya di Nusa Jawa, Tranggana mengirim Tughril
Muhammad Khan ke Baruna Dwipa untuk membela Raden Paksi
yang berselisih dengan saudaranya, Raden Tumenggung,
memperebutkan takhta kerajaan Banjar. Tranggana beralasan,
dengan memiliki pijakan di Barunadwipa, alur pelayaran kapal-
kapal Portugis dari dan ke Wandan dapat diawasi dan sewaktu-
waktu dapat diserang. Demikianlah, hari-hari dari hidup Tranggana
dilampauinya dengan ketakziman mendengar titah naga hitam di
kedalaman jiwanya yang terus-menerus berseru: “Bangkit! Maju!
Berkuasalah!”

Ketika ayam jantan berkokok sahut-menyahut pertanda subuh


bakal menjelang, di tengah embusan angin dingin yang membawa
gumpalan kabut, Raden Ketib tersentak dari kehanyutan jiwanya
selama mendengarkan pengungkapan kisah Syaikh Datuk Abdul
Jalil dari Susuhunan Kalijaga. Ia merasakan betapa tirai rahasia
yang selama ini menyelubungi Kehidupan Syaikh Datuk Abdul Jalil
makin tersingkap seterang matahari di siang hari. Namun
demikian, sekeping tanda tanya masih tersisa di benaknya tentang
akhir hidup sang guru suci tersebut. Lantaran itu, setelah menarik
napas panjang berulang-ulang, ia bertanya kepada Susuhunan
Kalijaga, “Kami sudah memahami semua kisah tentang beliau, o
Paduka Guru. Tetapi masih tersisa tanda tanya di benak kami yang
bebal ini. Maksud kami, jika Paduka Guru menuturkan kepada kami
bahwa Syaikh Datuk Abdul Jalil tinggal di selatan dukuh Lemah
Abang di Caruban dalam keadaan hilang ingatan (majnun) akibat
tarikan Ilahi (jadzab), apakah yang dibunuh di Demak itu Syaikh
Lemah Abang yang bernama Hasan Ali?”

2429
Raden Sahid diam. Setelah menarik napas, dia berkata, “Engkau
benar, yang dibunuh adalah Hasan Ali. Tapi dia tidak dibunuh di
Demak, melainkan di kediamannya sendiri di Kanggaraksan, kuta
Caruban. Dia ditikam dengan keris Kanta Naga milik saudaraku,
Syarif Hidayatullah. Sedang Syaikh Siti Jenar yang bernama San
Ali Anshar dibunuh di Pamantingan.”

“Tapi cerita yang kami dengar, Syaikh Siti Jenar atau Syaikh
Lemah Abang dibunuh di Masjid Agung Demak dan di Tajug Agung
Caruban. Kami benar-benar bingung dengan cerita simpang siur
itu.”

Raden Sahid tertawa. Kemudian dengan suara digetari wibawa dia


berkata menjelaskan, “Masjid adalah tempat manusia beribadah
menyembah Allah. Masjid maknanya tempat bersujud. Lantaran
itu, sangat jahil jika masjid digunakan untuk mengadili dan
membunuh manusia. Bahkan, lebih jahil lagi kalau sampai terjadi
bangkai anjing dikubur di mihrab masjid.”

“Jadi cerita-cerita itu?”

“Sebagian besar dibuat dan disebarkan oleh pengikut-pengikut


Hasan Ali dan San Ali Anshar untuk memuliakan guru mereka.
Mereka mereka-reka cerita jika jenasah guru mereka itu
menebarkan wangi bunga. Mereka membuat-buat cerita jika anjing
jelmaan guru mereka itu dikubur di mihrab Masjid Agung Demak.”
2430
“Lalu cerita tentang bangkai anjing itu bagaimana? Peran Majelis
Wali Songo bagaimana?” tanya Raden Ketib masih penasaran.

“Cerita tentang bangkai anjing adalah rekayasa alim ulama jahat


abdi Tranggana. Mereka mengabsahkan titah pelarangan ajaran
Syaikh Siti Jenar oleh Sultan Demak melalui cerita-cerita yang
membodohkan manusia. Untuk mengabsahkan pelarangan itu,
mereka menebar cerita bohong bahwa yang membunuh Syaikh
Lemah Abang adalah Majelis Wali Songo. Padahal, yang
membunuh San Ali Anshar di Pamantingan adalah aku sendiri.
Lalu, yang membunuh Hasan Ali di Kanggaraksan Caruban adalah
keris Kanta Naga milik saudaraku Syarif Hidayatullah. Jadi, Majelis
Wali Songo tidak pernah bersidang di Masjid Agung Demak untuk
mengadili Hasan Ali maupun San Ali Anshar. Itu semua kabar
bohong yang dibikin alim ulama Tranggana. Tetapi biar saja begitu,
karena dengan cerita-cerita itu keberadaan Syaikh Lemah Abang,
Syaikh Siti Jenar, Syaikh Sitibrit, Syaikh Jabarantas, Susuhunan
Binang, Pangeran Kajenar, benar-benar telah jatuh sebagai tanah
yang diinjak-injak dan direndahkan manusia sesuai kehendak dan
keinginan Syaikh Datuk Abdul Jalil,” kata Raden Sahid.

Raden Ketib termangu-mangu menangkap pemahaman baru


tentang kisah Kematian Syaikh Datuk Abdul Jalil yang selama itu
sangat membingungkan dan simpang siur. Dengan penjelasan
Susuhunan Kalijaga yang begitu terang, ia menjadi paham dengan
teka-teki yang pernah disampaikan Syaikh Datuk Bardud tentang
Sang Rajawali yang pengarung Kesunyian dan Kehampaan. Ia
semakin yakin Syaikh Datuk Abdul Jalil saat itu masih hidup.
2431
Namun demikian, ia tidak berani menanyakan hal keberadaan
Syaikh Datuk Abdul Jalil kepada Susuhunan Kalijaga. Sebaliknya,
ia ingin mengetahui latar belakang alasan dibunuhnya Hasan Ali
dan San Ali Anshar. “Apakah mereka berdua melakukan kesesatan
sehingga pantas untuk dibunuh, o Padukan Guru?” tanya Raden
Ketib.

Raden Sahid terdiam. Dia mengelus-elus janggutnya. Setelah itu,


dengan suara penuh wibawa dia berkata, “Sesungguhnya, tidak
ada hak bagi manusia satu menghakimi manusia lain dalam
masalah amaliah agama. Sedangkal apa pun orang seorang
menafsirkan ajaran agama, tidaklah ada hak bagi orang lain untu
menyatakan ini sesat itu bid’ah dan kemudian membunuhnya.
Satu-satunya kesalahan berat yang dilakukan San Ali Anshar
adalah dia secara sengaja telah menggunakan nama orang lain,
yaitu Syaikh Siti Jenar, nama masyhur Syaikh Datuk Abdul Jalil,
dengan tujuan membuat fitnah dan kerusakan. Dengan sengaja ia
menggunakan ilmu sihir, dzikir berjama’ah laki-laki dan
perempuan, mengaku tuhan titisan Wisynu, menghujat sahabat-
sahabat Nabi Muhammad Saw. sebagai kafir, dan menjadikan
perempuan sebagai barang yang bisa dimiliki bersama. Dia telah
merusak tatanan hidup manusia. Itu semua dia nisbatkan kepada
nama Syaikh Siti Jenar. Di balik alasan-alasan itu, aku sengaja
membunuhnya untuk membalaskan utang darah yang
dilakukannya terhadap keluarga kakek istriku, khususnya Syaikh
Abdul Qahhar al-Baghdady, paman istriku yang dibunuh oleh
orang-orang suruhannya. Dia kubunuh dengan tanganku sendiri
karena aku merasa berhak melakukan belapati (qishash) atasnya.”

2432
“Akan hal Hasan Ali, tak jauh kesalahannya dengan gurunya. Dia
pertama-tama telah menggunakan nama Syaikh Lemah Abang
dengan membuat fitnah dan kerusakan. Kenapa dia dibunuh di
Caruban? Sebab, dia terang-terangan membangun dukuh Lemah
Abang di selatan dukuh Lemah Abang yang didirikan Syaikh Datuk
Abdul Jalil. Dia mengajarkan ajaran sesat seperti gurunya. Dia
tidak sadar bahwa para sesepuh Caruban sangat kenal siapa
Syaikh Datuk Abdul Jalil dan siapa Hasan Ali putera Rsi Bungsu.
Kesalahannya yang terbesar, dia memerintahkan pengikut-
pengikutnya untuk membunuh Pangeran Bratakelana, putera
saudaraku Syarif Hidayatullah. Dia sangat membenci Syarif
Hidayatullah yang dianggapnya merampas haknya sebagai
pelanjut Pesantren Giri Amparan Jati, yang didirikan oleh Syaikh
Datuk Kahfi, suami dari uwaknya. Dia menganggap dirinya lebih
berhak menjadi guru suci di Giri Amparan Jati dibanding Syarif
Hidayatullah. Dia tidak pernah tahu jika yang mengangkat Syarif
Hidayatullah sebagai pelanjut Syaikh Datuk Kahfi adalah Syaikh
Datuk Abdul Jalil, yaitu santri terkasih dan saudara sepupu yang
diamanati Syaikh Datuk Kahfi mengembangkan pesantren
tersebut. Bahkan Syaikh Datuk Bayanullah, adik kandung Syaikh
Datuk Kahfi tidak sedikit pun pernah menyoal masalah tersebut. Ia
bahkan tinggal bersama kemenakannya, Tughril Muhammad Khan
di negeri Banjar di Barunadwipa.”

Raden Ketib terdiam. Ia benar-benar merasakan kelapangan


terhampar di dadanya. Benaknya yang digelayuti tanda tanya pun
sudah terang laksana langit pagi hari tanpa awan. Semua telah
terang. Namun, saat ia menoleh tanpa sengaja matanya melihat
dua bentuk gambar aneh yang terbuat dari kulit tipis yang
2433
menempel di dinding. Gambar itu aneh, karena melukiskan sosok
orang berhidung sebengkok paruh rajawali, mengenakan surban,
destar, jubah, biji tasbih, dan pedang. Sesaat ia teringat bahwa
Susuhunan Kalijaga selama itu dikenal sebagai guru suci yang
suka menyamar sebagai dalang yang memainkan pertunjukan
wayang. Ia menduga, gambar aneh itu pastilah bagian dari
pertunjukan wayang, meski ia tidak tahu nama dari gambar tokoh
aneh itu.

Sekalipun Raden Ketib tidak bertanya, Susuhunan Kalijaga seperti


dapat membaca isi pikirannya. Tanpa terduga-duga, ia bertanya
kepada Raden Ketib, “Menurutmu, gambar apakah yang
menempel di dinding itu?”

“Menurut hemat kami, itu gambar alim ulama asing,” sahut Raden
Ketib.

“Tahukah engkau siapakah nama dua gambar itu?”

Raden Ketib menggeleng, “Kami tidak mengetahuinya, o Paduka


Guru.”

“Yang tinggi besar itu aku sebut Sang Yamadipati.”

2434
“Dewa Kematian? Sang pencabut nyawa?” gumam Raden Ketib
terkejut.

“Yang satu lagi, yang lebih kecil, aku sebut Pandita Durna.”

“Pandita yang jadi abdi setia Kurawa.”

“Tepat seperti itu.”

“Kenapa Dewa Kematian dan Pandita Durna digambarkan


berpakaian alim ulama?” tanya Raden Ketib tak paham dan
meminta penjelasan.

“Ini adalah caraku mencatat sejarah bangsaku yang terhina dan


teraniaya akibat tindakan alim ulama jahat yang mengkhianati citra
keulamaannya dengan menjadikan diri sebagai Sang Yamadipati,
mencabut nyawa manusia yang dianggapnya berbeda pandangan
dengannya. Ini juga caraku mengungkapkan suasana batin
bangsaku yang telah mencitrakan pakaian keulamaan sebagai
atribut Sang Pencabut nyawa. Gambar Pandita Durna adalah
caraku mengungkapkan rasa muak bangsaku terhadap alim ulama
yang menjilat kepada kekuasaan; menggunakan dalil-dalil agama
untuk mengeruk keuntungan pribadi dengan mencelakakan
banyak orang sebagai tumbalnya. Citra alim ulama tukang hasut,
penyebar fitnah, penggunjing, dan pengadu domba itulah yang aku
2435
tuangkan dalam sosok wayang Durna. Jika engkau nanti kembali
ke Caruban dan menangkap pandangan jiwa penduduk sepanjang
perjalananmu, engkau akan mendapati sudut pandang yang sama
pada mereka saat memandang alim ulama; semua orang
menganggap alim ulama yang mengenakan jubah, destar, surban,
terompah, dan memutar biji tasbih adalah para pencabut nyawa
dan begundal sultan,” kata Raden Sahid menjelaskan.

Raden Ketib menggeleng-gelengkan kepala mendengar uraian


Susuhunan Kalijaga. Meski sepintas seperti berlebihan, sepanjang
perjalanan kembali ke Caruban, Raden Ketib benar-benar
membuktikan Kebenaran kata-kata Susuhunan Kalijaga tersebut.
Pandangan penduduk Nusa Jawa, terutama di pedalaman, benar-
benar miring terhadap alim ulama yang mengenakan jubah, destar,
surban, terompah, biji tasbih. Bagaikan melihat Dewa Pencabut
Nyawa, Yama, penduduk serentak menutup pintu rapat-rapat
setiap kali melihat ada orang seorang mengenakan pakaian
keulamaan putih melintas di sekitar kampung. Bahkan,
kemunculan alim ulama asal negeri Yaman yang tidak tahu-
menahu tindakan rekan-rekannya, telah disalahpahami sangat
serius. Sebab, nama Yamani yang lazimnya digunakan alim ulama
asal negeri Yaman, dalam bahasa Jawa bermakna neraka.
Sehingga, mendengar nama Yamani digunakan sebagai nama
orang, penduduk seketika lari tunggang-langgang karena
menyangka berhadapan dengan makhluk dari neraka, pengikut
Dewa Yama. Demikianlah, hampir semua orang Jawa di
pedalaman berharap orang-orang yang mengenakan pakaian
keulamaan, terutama yang menggunakan nama Yamani tidak
masuk ke dalam rumah mereka karena citra Sang Maut yang
2436
sudah berurat dan berakar di kedalaman jiwa. Bahkan lantaran itu,
hampir seluruh alim ulama di pedalaman mengenakan pakaian
khas seperti yang dikenakan Susuhunan Kalijaga, yaitu destar
hitam, baju hitam, celana hitam, kain batik, ikat pinggang kulit, dan
sebilah keris terselip di dada.

2437
Sang Suwung

Ketika Raden Ketib sampai di Caruban, ia


tidak langsung kembali ke kediamannya di
Tegal Gubuk, tetapi bergegas ke dukuh
Lemah Abang, mencari pemukiman baru
yang terletak di selatan dukuh tersebut.
Namun, yang ditemuinya di selatan dukuh
Lemah Abang hanya hutan bambu yang cukup lebat. Tidak satu
pun hunian ia temukan di hutan tersebut. Yakin bahwa apa yang
diungkapkan Susuhunan Kalijaga tentang kediaman Syaikh Datuk
Abdul Jalil adalah Kebenaran, ia berjalan terus menelusuri hutan
bambu sampai di perbatasan dukuh Lemah Abang yang baru yang
didirikan Hasan Ali. Semakin yakin dengan Kebenaran cerita
Susuhunan Kalijaga, ia mengitari lagi hutan bambu yang cukup
luas itu. Setelah berputar-putar di tengah rimbunan bambu-bambu,
ia mendapati sebuah keanehan pada salah satu celah yang
terdapat pada sekumpulan rumpun yang lebat. Aneh, sebab celah
itu dijaga oleh tak kurang lima orang prajurit bersenjata tombak.

Penasaran dengan keanehan itu, Raden Ketib mendekati kelima


prajurit tersebut. Kepada mereka ia menanyakan ini dan itu,
terutama tentang keberadaan mereka di situ. Seolah tidak pedulu
berhadapan dengan seorang gedeng, salah seorang prajurit itu
menegaskan bahwa ia dititahkan oleh Syaikh Maulana Jati
Susuhunan Caruban Larang untuk menjaga celah itu. “Kami tidak
tahu apa yang kami jaga. Tetapi kami diperintahkan untuk menolak

2438
siapa pun di antara manusia yang akan melewati jalan ini,” kata
prajurit itu menunjuk celah itu.

Raden Ketib diam. Ia sadar bahwa jalan setapak di celah rumpun


bambu itu pastilah jalan menuju tempat Syaikh Datuk Abdul Jalil
tinggal. Namun, ia juga sadar bahwa para prajurit itu pasti akan
menolaknya masuk ke celah itu. Lantaran itu, ia hanya meminta
izin kepada para prajurit untuk sekedar beristirahat beberapa
bentar di situ. Ia tidak tahu bagaimana cara untuk bisa melewati
penjagaan itu. Untuk meminta ijin Syaikh Maulana Jati pun tidak
mungkin dilakukan karena yang bersangkutan berada di Banten.
Akhirnya, ia hanya duduk sambil menenangkan diri dan berharap
beroleh cara untuk bisa masuk.

Setelah cukup lama berdiam diri, tiba-tiba Raden Ketib mendengar


detak-detak ladam kuda mendekat dari arah utara. Saat ia
menoleh, ia terkejut. Tak jauh di belakangnya, di antara rimbunan
rumpun bambu, ia melihat Pangeran Pasai Fadhillah Khan
melompat turun dari atas kuda tunggangannya. Lalu dengan
tersenyum dia mendekat dan berkata, “Engkau akan menemui dia
yang sudah ditarik Allah (majdzub) dalam kemabukan (sukr) tak
bertepi?”

“Kami menunggu perkenan untuk menghadap,” kata Raden Ketib.

2439
“Masuklah! Engkau sudah diperkenankan meluhatnya,” kata
Fadhillah memberi isyarat tangan kepada para prajurit penjaga,
“Tetapi ingat, engkau hanya menyaksikan. Menyaksikan. Bersaksi.
Tidak lebih. Jangan melakukan sesuatu yang tidak disukainya.”

“Terima kasih,” sahut Raden Ketib, “Tapi bolehkah kami


mengetahui nama tempat itu?”

“Kami menyebutnya Suwung! Hampa!”

“Apakah hanya ada satu tempat bernama Suwung?”

“Ada tiga. Yang satu di tanah Bali. Yang satu di Banten. Yang satu
di sini.”

Setelah mengucapkan terima kasih, Raden Ketib melesat ke celah


rumpun bambu. Ternyata, celah itu merupakan jalan setapak yang
berliku. Beberapa lama berjalan melewati jalan berliku itu, ia
merasakan suasana aneh menyelimuti keadaan sekitarnya. Ia
tidak tahu keanehan apa yang dirasakannya. Ia hanya merasa
betapa ungkapan Syaikh Datuk Bardud tentang Kehampaan dan
Kesunyian sebagai kediaman sang rajawali ia rasakan mulai
menerkam jiwanya. Saat sampai di sebuah tanah lapang, ia
melihat beberapa ekor anjing berlarian di depan seekor singa yang
tidur di bawah sebatang pohon. Anehnya, anjing-anjing itu tidak
2440
menyalak dan singa itu tidak mengaum. Merekaa bersahabat
sangat akrab. Ketika ia mengongak ke langit terlihat dua-tiga ekor
rajawali terbang berputar-putar. Anehnya, burung perkasa itu tidak
memperdengarkan pekikannya. Semua diam. Sunyi. Hening.
Bahkan rumpun bambu yang biasanya berderit, tidak sedikit pun
terdengar bunyinya.

Di tengah keheranannya merasakan keanehan suasana sekitar,


Raden Ketib melihat tanah lapang di depannya itu ditumbuhi lima
enam gubuk bambu beratap daun kawung. Melihat gubuk-gubuk
kecil yang sangat sederhana itu, ia menarik napas berat. Ia
merasakan keharuan mencakari hatinya. Sungguh, ia tak pernah
membayangkan bahwa manusia raksasa yang membawa
perubahan besar itu harus hidup terkucil di tempat seperti itu dalam
keadaan hilang ingatan karena terpengaruh tarikan Ilahi. Betapa
sepi dan sunyinya hidup di tengah hutan bambu berkawan hewan-
hewan bisu. Namun, secepat itu ia sadar bahwa apa yang
disaksikan oleh mata indriawi tidaklah mewakili kenyataan yang
sebenarnya. Ia sadar, apa yang ia bayangkan tentang sosok
Syaikh Datuk Abdul Jalil tidaklah sama persis dengan kenyataan
yang sebenarnya tentang yang bersangkutan.

Ketika Raden Ketib baru saja melangkah mendekati gubuk-gubuk


itu, ia melihat seorang perempuan setengah umur bertubuh tinggi
semampai berjalan sangat cepat dari satu gubuk ke gubuk yang
lain diikuti dua ekor anjing hitam kemerahan dan putih belang.
Sekalipun sudah berumur, garis-garis kecantikan masih terlihat
jelas di wajahnya. Anehnya, beberapa kejap menyaksikan
2441
perempuan itu, ia merasakan benderang terangnya mata batin
(‘ain al-bashirah) menyingkap kesadarannya. Tanpa ada yang
memberi tahu, ia tiba-tiba sadar bahwa perempuan setengah umur
yang diikuti dua ekor anjing itu adalah Nyi Mas Gandasari, kakak
perempuan Syaikh Datuk Abdul Jalil. Rupanya, panglima
perempuan Caruban yang menghilang sejak jatuhnya Rajagaluh
itu mengalami peristiwa yang sama dengan yang dialami adiknya,
yaitu terpengaruh tarikan Allah (majdzub) dan hilang kesadaran
manusiawinya.

Tak lama setelah Nyi Mas Gandasari masuk ke dalam gubuk,


Raden Ketib melihat seorang laki-laki tua membawa tongkat
berjalan cepat keluar dari gubuknya. Melihat sosoknya, usia laki-
laki itu tak kurang dari delapan puluh tahun. Namun, dia masih
sangat teguh dan tidak sedikit pun menunjukkan tanda-tanda akan
tumbang. Rambutnya yang putih tampak terurai hingga sebatas
lutut. Alisnya yang putih tebal seperti segumpal kapas menempel
di atas matanya. Kumis dan janggutnya yang putih menggantung
sebatas dada. Di lehernya melilit seekor ular belang besar. Meski
tua dan tidak terurus, sorot matanya yang berkilat laksana harimau
menggetarkan yang melihatnya. Ia mendadak sadar, lelaki tua
yang ia lihat itu tidak lain dan tidak bukan adalah Ki Waruanggang,
seorang bekas pendeta Bhairawa bernama Wiku Suta Lokeswara.
Dia adalah adik Pandita Asmaranatha, Mantri Herhaji Majapahit
yang bergelar Dang Acarya Candralekha alias Rishi Punarjanma.
Ia adalah pendeta Bhairawa yang mengasuh Danghyang Nirartha.
Sungguh, tak ada yang menduga jika bekas pendeta pemakan
manusia dan peminum darah itu bisa mendapat derajat ruhani

2442
begitu tinggi hingga tinggal di Suwung bersama Syaikh Datuk
Abdul Jalil.

Tak lama setelah Ki Waruanggang berjalan, muncul pula dari


gubuknya seorang laki-laki tegap berusia kurang dari empat puluh
tahun. Tubuhnya masih kukuh dengan kulit terang dan wajah
tampan. Sekalipun rambutnya dibiarkan terurai sepunggung awut-
awutan, gerak-geriknya yang mencerminkan kebangsawanan tidak
hilang. Ada keagungan dan kewibawaan darah biru yang terpancar
dari sosok tak terurus itu. Lewat pandangan batin, Raden Ketib
mengetahui jika lelaki gagah itu adalah Pangeran Kebo Kenanga
yang masyhur disebut dengan nama Ki Ageng Pengging, menantu
Susuhunan Kalijaga. Rupanya, kabar yang menyatakan ia dibunuh
Raden Ja’far Shadiq hanya isapan jempol. Yang Dipertuan
Pengging, yang terpengaruh tarikan Allah itu, tinggal bersama guru
suci dan sekaligus kakek istrinya. Para pengawalnya dari Pengging
yang berjumlah sekitar tiga ratus orang tinggal di kuta Caruban,
tepatnya di utara kraton yang disebut Kasunean.

Setelah melihat Nyi Mas Gandasari, Ki Waruanggang, dan Ki


Ageng Pengging, Raden Ketib mendekat ke arah gubuk-gubuk. Di
ujung gubuk paling barat ia mendapati seorang laki-laki tua duduk
bersila di bawah sebatang pohon. Rambutnya yang kemerahan
terurai sebatas punggung. Wajahnya hampir tertutup kumis dan
cambang yang berwarna kemerahan juga. Hidungnya mancung.
Alisnya tebal. Matanya yang terpejam menyembunyikan
keagungan. Bentuk tubuhnya tinggi dan tegap. Anehnya, meski
keadaan tubuhnya tidak terawat dan mirip orang tidak waras,
2443
pancaran kewibawaan yang berpendar dari sosoknya sangat
menggetarkan. Raden Ketib merasakan sendi lututnya lemas dan
jantungnya berdebar-debar ketika memandangnya. Tidak syak
lagi, laki-laki berambut kemerahan itu pastilah Syaikh Datuk Abdul
Jalil, katanya dalam hati.

Didorong oleh rasa cinta dan hormat, Raden Ketib mendekat ke


arah laki-laki berambut kemerahan itu dengan berjalan merunduk.
Ketika jaraknya tinggal empat lima langkah, ia berhenti dan duduk
bersimpuh. Tak tahan menghadap pancaran wibawanya, ia
membungkuk hendak bersujud. Namun, baru saja ia menekuk
punggung, tiba-tiba lelaki itu mengangkat tangan kanannya dan
berkata-kata kepadanya dengan isyarah.

“Janganlah kata-kata, angan-angan, gambaran-gambaran,


gagasan-gagasan, dan makna-makna menarik kesadaranmu dan
menjadi beban yang menindih punggungmu hingga engkau
menunduk dan bersujud pada sesuatu perwujudan.
Sesungguhnya, segala yang maujud adalah citra bayangan dari
Yang Wujud. Jika engkau tunduk dan bersujud pada sesuatu yang
maujud maka engkau telah membanting kesadaran jiwamu
sebagai citra bayangan Yang Wujud. Sejatinya, nilai tiap-tiap yang
maujud tergantung pada seberapa kuat ia memancarkan citra
Yang Wujud. Itu sebabnya, seekor kucing bagi mereka yang telah
mengenal Kebenaran, jauh lebih berharga daripada sebongkah
emas.”

2444
Raden Ketib tercengang takjub. Ia merasakan tubuhnya meriang,
bibirnya bergetar, tenggorokkannya kering, dan dadanya penuh. Ia
takjub karena kemampuannya menangkap bahasa perlambang
mendadak sangat tajam dan cemerlang. Bahkan, seperti didorong
suatu kekuatan tak kasatmata, ia tiba-tiba dapat lancar berkata-
kata dengan bahasa perlambang. “Kami adalah penempuh jalan
ruhani (salik) yang tak kenal lelah mencari Kebenaran Sejati. Kami
memohon paduka berkenan membagi Pengetahuan kepada kami
yang masih terus mencari.”

Laki-laki tua berambut kemerahan itu membuka matanya yang


berkilat-kilat seperti memancarkan cahaya. Raden Ketib
menunduk tak kuat menahan pandangannya. Sejenak setelah itu,
dia berkata lagi dalam bahasa perlambang, “Engkau terlalu sibuk
mencari sampai tidak engkau temukan apa yang engkau cari.
Sebab, Kebenaran Sejati yang engkau cari telah engkau selubungi
sendiri dengan kata-kata, angan-angan, gambaran-gambaran,
gagasan-gagasan, dan makna-makna yang jauh dari Kebenaran
itu sendiri. Ketahuilah, o Salik, bahwa Wujud Kebenaran (Wujud al-
Haqq) adalah Zat Yang Mahatampak (azh-Zhuhur al-Haqq). Dia
tampak pada segala sesuatu (azh-Zhahir bi kulli syai’). Dia
menampakkan segala sesuatu (azh-Zhahara kulla syai’). Dia nyata
atas tiap-tiap sesuatu (azh-Zhahir li kulli syai’). Dia adalah Yang
Nyata sebelum segala sesuatu ada (Hawa Zhahir qabla wujudi kulli
syai’). Dia meliputi segala sesuatu (Hawa ‘ala kulli syai’).”

“Ibarat seekor ikan kecil di dalam laut mencari air, demikianlah


engkau sesungguhnya sedang berenang di Samudera Wujud
2445
(Bahr al-Wujud), mencari Wujud Kebenaran (Wujud al-Haqq). Lalu
ibarat ikan yang tidak dapat melihat air dan tidak sadar hidup di
dalam air, demikianlah engkau tidak dapat melihat Wujud al-Haqq
yang meliputi dan bahkan engkau tidak sadar berada di dalam
liputan-Nya. Sungguh, Dia meliputi segala sesuatu laksana air
meliputi seluruh samudera raya beserta segala isinya.”

“Adakah suatu cara untuk menjadikan ikan sadar akan airnya?”


tanya Raden Ketib.

“Diam! Rasakan! Resapi! Hayati! Sadari keberadaan air,” kata laki-


laki berambut kemerahan itu dalam bahasa perlambang, “Sebab,
selama sang ikan masih menggerakkan sirip dan melihat
perwujudan di sekitarnya dengan indera penglihatan, penciuman,
pendengaran, pengecapan, dan perabaannya; tidaklah mungkin ia
mengetahui hakikat sejati air. Selama ia menggunakan
pengetahuan indriawinya, ia masih terbelenggu oleh kata-kata,
angan-angan, gambaran-gambaran, gagasan-gagasan, dan
makna-makna menyesatkan dari yang maujud. Ia masih terjepit
pada kewaktuan yang dibentuk oleh kata-kata, angan-angan,
gambaran-gambaran, gagasan-gagasan, dan makna-makna.
Padahal, Dia mutlak tidak terikat ruang dan waktu. Lantaran itu,
diam adalah kunci utama. Di dalam diam, waktu akan dapat
menyingsing. Di dalam diam, sang ikan akan menemukan-Nya.
Diam! Diam!”

2446
Raden Ketib terperanjat dengan peringatan lelaki itu tentang diam.
Ia mendadak sadar bahwa selama ini ia sangat disibukkan oleh
keakuan hingga belum paham dengan apa yang disebut diam. Ia
menduga diam adalah suatu keadaan yang sudah jadi. Ternyata,
diam adalah keadaan. “akan menjadi”. Keadaan yang harus
diperjuangkan keras. Untuk diam, ternyata butuh perjuangan keras
karena nalar dan keakuannya tidak pernah bisa diam. Akal dan
keakuan. Dua anasir inilah yang selalu mengganggu usahanya
untuk diam.

Didorong oleh rasa cinta dan ketundukan yang memenuhi jiwanya,


Raden Ketib duduk bersila dan menegakkan badan di hadapan
laki-laki berambut kemerahan itu. Kemudian, dengan
mengarahkan pandangan ke sosok tersebut ia tutup kedua
matanya. Ia berusaha memutuskan belenggu kata-kata, angan-
angan, gambaran-gambaran, gagasan-gagasan, dan makna-
makna dari ingatannya. Ia merasakan, meresapi, dan menghayati
bahwa sosok di hadapannya itu bukanlah sosok Syaikh Datuk
Abdul Jalil, bukan sosok seorang guru suci, bukan sosok seorang
laki-laki, bukan sosok seorang lelaki tua berambut kemerahan,
bukan sosok seseorang yang terpengaruh tarikan Ilahi, bukan pula
sosok seorang manusia. Ia menghadapi sosok di depannya tanpa
memberi makna apa-apa kecuali sesuatu yang maujud yang
diliputi Yang Wujud. Ia berusaha diam. Diam. Diam.

Beberapa jenak diam membuat Raden Ketib terkejut. Ia mendapati


semacam pancaran sesuatu yang tak tergambarkan mengalir
secara bergelombang-gelombang ke dalam relung-relung jiwanya.
2447
Ia merasakan pancaran semacam cahaya berpendar-pendar
memenuhi cakrawala kesadarannya. Namun setelah itu, cahaya itu
menyingsing dan ia merasakan sesuatu yang lebih aneh di mana
tidak ada cahaya dan tidak ada kegelapan. Ia merasakan
keberadaannya seperti larut ke dalam keberadaan sosok di
depannya.

Ketika Raden Ketib membuka matanya, ia terperanjat bukan alang-


kepalang. Sebab, sosok laki-laki berambut kemerahan itu lenyap.
Ia hanya menangkap citra kekosongan dari bekas kedudukannya.
Sebaliknya, ia saksikan keadaan kosong yang meliputi sekitar
kedudukan sosok berambut kemerahan itu penuh dengan aneka
perwujudan yang tak tergambarkan yang merangkum makna
Kehidupan dan Kematian, Kebenaran dan Kebatilan, Terang dan
Gelap, Pahala dan Hukuman, Kebaikan dan Kejahatan, Masa
lampau dan Masa mendatang, semua berlangsung sangat aneh
dan menakjubkan.

Ketika Raden Ketib memalingkan pandangan melihat keadaan


kosong yang meliputi sekitar kedudukan lelaki berambut
kemerahan itu, ia justru menyaksikan sosoknya berada pada
kedudukan seperti sediakala. Dengan tercengang-cengang, ia
terus memandang sosok lelaki berambut kemerahan dan
kekosongan yang meliputinya itu ganti-berganti, sehingga ia
menjadi kebingungan. Ia kebingungan karena saat itu ia seperti
menyaksikan keberadaan sesuatu di depan bentangan cermin
yang berhadap-hadapan dengan luas tanpa batas, sehingga ia
tidak dapat membedakan mana bayangan dan mana perwujudan
2448
yang sebenarnya dari sesuatu itu. Dan, saat itulah ia tiba-tiba
disadarkan oleh Ruh al-Haqq yang tersembunyi di kedalaman
jiwanya bahwa Syaikh Datuk Abdul Jalil yang dicarinya selama itu
telah ia temukan sebagai sesuatu yang tak dapat ia jabarkan
dengan kata-kata; dia bukan bapak, bukan saudara, bukan suami,
bukan laki-laki, bukan guru suci, bukan ulama, bukan orang
beriman, bukan orang beragama, bukan manusia, bukan sesuatu
yang bisa dikaitkan dengan kata-kata, angan-angan, gambaran-
gambaran, gagasan-gagasan, dan makna-makna. Lalu antara
sadar dan tidak sadar, antara samar-samar dan terang, antara
hening dan hiruk pikuk, antara jauh dan dekat, antara tidur dan
jaga, ia menangkap getaran suara di pedalamannya yang
menggunakan bahasa aneh antara isyarah dan al-ima’.

“Dialah sang suwung! Hampa! Tak bermakna apa-apa!”

Raden Ketib terperanjat. Ia merasakan kehampaan tiba-tiba


memenuhi dadanya. Ia merasakan kekosongan bersimaharajalela
memenuhi benaknya. Ia merasakan ada sesuatu yang hilang dari
dirinya. Lalu tanpa dikehendaki, ia membungkuk dan mencium
tanah yang terhampar di depan sang suwung tak bermakna apa-
apa itu. Butiran-butiran air bening ia rasakan mengalir hangat dari
matanya membasahi wajah dan tanah yang diciumnya. Ia tidak
tahu untuk alasan apa air matanya itu bergulir dari kelopak
matanya. Ia juga tidak tahu untuk alasan apa ia mencium tanah di
depan sang suwung tak bermakna apa-apa itu. Ia tidak bisa
menjelaskan kenapa ia melakukan semua itu. Ia hanya merasakan
Kehampaan yang membebaskan memenuhi jiwanya. Satu-
2449
satunya hal yang diingatnya adalah kenyataan tak tersanggah
bahwa lantaran sang suwung tak bermakna apa-apa itulah ia telah
memiliki kesadaran burung yang sangat menghormati dan
memuliakan kemerdekaan, cinta kasih, ketulusan, kehidupan,
kesucian, dan pengorbanan yang justru telah menghilang dari jiwa
banyak manusia di zamannya.

Malang, Rabiul Awwal 1426 H.

2450
Kepustakaan

Abdullah al-Habsyi. 1396H. As-Sufiyyah wa al-


Fuqaha fi al-Yaman. San’a: Dar al-Kutub al-
Tsaqafiyyah.

Abdullah bin Muhammad al-Misri. 1987 Hikayat


Tanah Bali (editor Monique Zaini-Lajoubert).
Bandung: Angkasa – EFEO.

Abdurrahman Dabbag. 1959. Kitab Masyariq Anwar al-Qulub wa


Mafatih Asrar al-Bhuyub. Beirut: Dar al-Sadir

Abdurrahman Jami. 1327H. Syarh ‘ala Fushush al-Hikam.


Firuzpursyahr. Fayd Bakhsyi.

Abdul Karim bin Ibrahim al-Jili. t.t. Al-Insan al-Kamil fi Ma’rifah al-
Awakhir wa al-Awa’il. Juz II. Beirut: Dar al-Fikr.

Abdul Mun’in al-Namir. 1378H. Tarikh al-Islam fi al-Hindi. Kairo:


Dar al-‘Abd al-Jadid li al-Thaba’ah.‘

2451
Abdul Qadir Mahmud. 1387H. Al-Falsafah al-Shufiyyah fi al-Islam.
Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi.

Abu al-‘Ala al-‘Afifi. 1365H. Al-Malamatiyyah wa at-Shufiyyah wa


Ahl al-Futuwwah. Kairo: Dar al-Ma’arif.

Abu al-Fida’. t.t. al-Bidayah wa al-Nihayah. Beirut: Dar al-Fikr.

Abu Bakr Muhammad Kalabadzi. 1388H. At-Ta’arruf li-Mazhab Ahl


at-Tashawwuf. (editor Mahmud Amin al-Nawawi). Kairo: Maktabat
al-Kuliyyat al-Azhariyyah.

Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali. 1382H.


Misykat al-Anwar (editor Abu al-‘Ala a’Afifi). Kairo: al-Dar al-
Qawmiyyah.

1411H. Ihya ‘Ulum ad-Din. 5 Jilid. Beirut: Dar al-Fikr.

1401H. Jawahir al-Qur’an. Beirut: Dar al-Fikr.

1402H. Mukasyafah al-Qulub al-Muqarrah ila Hadrah ‘Alam al-


Ghuyub fi ‘Ilm al-Tashawwuf. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

2452
1406H. Misykah al-Anwar wa Mishfah al-Asrar. Beirut: al-‘Alam al-
Kutub.

Abu Thalib Makki. 1381H. Qut al-Qulub. 2 Jilid, Kairo: Dar al-Fikr
al-‘Arabi.

Abu Qasim al-Hasan ibn Muhammad ibn Habib al-Naysaburi. t.t.


‘Uqala al-Majanin. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Adiparwa Parikan. Naskah di Gedung Kirtya Singaraja No. 656.

Albright, W.F. 1968. Yahweh and the Gods of Canaan. New York:
Doubleday.

Al-Alusi. 1985. Ruh al-Ma’ani. Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi.


Cet. Ke-4.

1382H. al-Tashawwuf al-Tsaurah al-Ruhiyyah fi al-Islam. Kairo:


Dar al-Ma’arif.

Al-‘Allamah Ibn Katsir. t.t. Tafsir al-Qur’an al-Azhim (tafsir Ibnu


Katsir). 4Jilid. Beirut: Dar al-Ihya at-Turats al-Arabi.

2453
Al-Biruni. 1999. India (editor Qeyamuddin Ahmad). 4th reprint. New
Delhi: National Book Trust.

Al-Imam Ahmad ibnu Hanbal. 1368H. Al-Musnad. 6Jilid. Kairo: Dar


al-Ma’arif.

Al-Khwarizmi. t.t. Mafatih al-‘Ulum. Kairo: Dar al-Nahdlah al-


‘Arabiyah.

Al-Munjid fi al-‘A’lam (Kamus). 1986. Beirut: Dar al-Masyriq. Cet.


Ke-28.

Al-Nisabury. t.t. Kitab Ma’rifatu ‘Ulum al-Hadits. Kairo: Maktabah al-


Mutanabbi.

Ali ibn ‘Utsman al-Hujwiri. 1982. The Kasyf al-Mahjub: The Oldest
Persian Treatise on Sufism (Penerjemah R. Nicholson). New Delhi:
Taj Company.

A. Budiman. 1978. Semarang Riwayatmu Dulu. Jilid I. Semarang:


Tanjung Sari.

2454
A. H. Nasir. 1990. Kota-kota Melayu. Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka.

A. Kasdi. 1978. Kepurbakalaan Sunan Giri: Sosok Akulturasi


Kebudayaan Hindu dan Islam pada Abad ke-15-16. Surabaya:
Jurusan Sejarah IKIP Surabaya dan IAIN Sunan Ampel.

A. S. Ahmad. 1986. Sulalatus Salatin (Sejarah Melayu). Kuala


Lumpur: Dewan Bahasa & Pustaka Kementerian Pelajaran
Malaysia.

A. Sutaarga. 1984. Prabu Siliwangi atau Ratu Purana Prebu Guru


Dewataprana Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran.
1474-1513. Jakarta: Pustaka Jaya.

Arberry, A. J. 1963. The Legacy of Persia. Oxford: Oxford


University Press.

Arjomand, S. A. 1984. The Shadow of God an the Hidden Imam:


Religion, Political Order, and Societal Change in Shi’ite Iran from
the Beginning to 1890. Chicago: University of Chicago Press.

2455
Amstrong, A. 1998. Khazanah Istilah Sufi: Kunci Memasuki Dunia
Tasawuf (Penerjemah M. S. Nasrullah dan Ahmad Baiquni).
Cetakan ke 2. Bandung: Mizan.

Amstrong, K. 2001. Holy War: The Crusades and Their Impact on


today’s World. 2nd Edition. New York: Anchor Books.

Arnold, T. W. 1913. The Preaching of Islam; A History of The


Propagation of The Muslim Faith. London: Constable.“

Arya Kemuning Keturunan Kaisar Cina”. Pikiran Rakyat. 3 Juli


1993.

Al-Ashbahani. t.t. Hilyat al-Auliya’ wa Thabaqat al-Ashfiya’. Beirut:


Dar al-Kutub al-‘Arabi.

Artja. 1967. Carita Parahiyangan. Titilar Karuhun Urang Sunda


Abad ke-16 Masehi. Bandung: Yayasan Kebudayaan Nusalarang.

1986. Carita Purwaka Caruban Nagari; Karya Sastra sebagai


Sumber Pengetahuan Sejarah. Bandung: Proyek Pengembangan
Permeseuman Jawa Barat.

2456
Avalon, A. 1931. The Serpent Power (sat-cakra-nirupana and
paduka-pancaka). 3rd ed. Rev. Madras & London: t.p.

1960. Principles of Tantra. Madras: t.p.

(Sir John Woodroffe). 1972. Tantra of the Great Liberation


(Mahanirwana Tantra). New York: Dover Publication.

Avi-Yonah, M. 1966. The Holy Land, From Persian to the Arab


Conquests, 1536 BC to 640 AD, A Historical Geography. Michigan:
t.p.

Ayatrohaedi. 1977. “Kerajaan Sunda Menjelang Keruntuhannya”.


MISI. Jakarta: FSUI.

Babad Banyumas. Naskah di Museum Sonobudoyo Yogyakarta


No. S-148.

Babad Buleleng. Naskah di Museum Bali Denpasar No. 435.

Babad Cirebon. Naskah di Museum Sonobudoyo Yogyakarta No.


S-145.

2457
Babad Ciungwanara. Naskah di Museum Sonobudoyo Yogyakarta
No. S-39.

Babad Demak. Naskah di Perpustakaan Mangkunegaran No. B-


31.

Babad Gresik. Naskah di Museum Sonobudoyo Yogyakarta No. S-


138.

Babad ing Gresik. Naskah di Museum Radya Pustaka Surakarta


No. SM 137.

Babad Kalinyamat. Naskah di Museum Sonobudoyo Yogyakarta


No. S-159.

Babad Mentaram. Naskah Koleksi Dr. Saleh Al Djufri.

Babad Nampeldenta. Naskah di Museum Sonobudoyo Yogyakarta


No. S-136.

Babad Pasir. Naskah Koleksi EFEO Bandung No. MS-85/ Sj5.

2458
Babad Pengging. Naskah di Museum Sonobudoyo Yogyakarta No.
S-47.

Babad Sangkala. Naskah di Museum Nasional Jakarta. Koleksi


Brandes No. 608.

Babad Sang Brahmana Catur. Koleksi Gedung Kirtya Singaraja


No. Vd.273/4.

Babad Tuban. Terbitan Tan Khoen Swie, Kediri.

Baker, D. B. (ed). 1993. Explores and Discovers of the World.


Detroit: Gall Research Inc.

Besant, A. 1912. The Bagavad Gita. 4th ed. & rev. London: t.p.

Berg, C.C. 1974. Penulisan Sejarah Jawa. Jakarta: Bhratara.

Berg, L.W.C. van den. 1989. Hadramaut dan Koloni Arab di


Nusantara (Penerjemah Rahayu Hidayat). Jakarta: INIS.

Bisri Musthofa. 1952. Tarikh al-Auliya. Kudus: Menara Kudus.


2459
humi Kamulan. Naskah milik keluarga K. Ng. H. Amir Arifin.

Boechari, M. 1963. “A Pleminary Note on the Study of the Old


Javanese Civil Administration”, MISI I. hlm. 122-33.

1981. “Ulah Para Pemungut Pajak di dalam Masyarakat Jawa


Kuna”. Majalah Arkeologi, IV (1-2). Hlm. 67-87.

Boekoe Siti Djenar ingkang toelen. 1931. Kediri: Tan Khoen Swie.

Brandes, J. L. A. 1920. Pararaton (Ken Angrok) of het boek der


koningen van Tumapel en Majapahit. Cet. ke-2; N.J. Krom. VBG
Vol. 62. ‘s-Gravenhage: Martin Nijhoff; Batavia: Albrecht & Co.

Bulliet, R.W. 1972. The Practicians of Nishapur. Cambridge:


Harvard University Press.

B. Suharto. 1974. Riwayat Sunan Kalijaga. Demak: Demak Trah


Kadilangu.

Cabaton, A. 1981. “Orang-orang Cam Islam di Indocina Perancis”.


EFEO. “Kerajaan Campa”. Jakarta: Balai Pustaka.

2460
Carr, E.H. 1973. What is History? London: Penguin Books.

Casparis, J. G. 1975. Indonesian Palaeography, A History of


Writing in Indonesia from the Beginning to c. A.D. 1500. Leiden:
E.J. Brill.

Christie, J. W. 1982. “Pattern of Trade in Western Indonesia: Ninth


through Thirteenth Centuries AD” Disertasi. 2 vol. London: SOAS,
University of London.

Coedes, G. 1968. The Indianized States of South-East Asia. Kuala


Lumpur: University of Malaya Press.

1981. “Sejarah Campa dari Awal Sampai Tahun 1471”, dalam


EFEO. “Kerajaan Campa”. Jakarta: Balai Pustaka.

Colles, B. E. “Majapahit Revisited”. JMBRAS, XLVII (2). Hlm. 124-


61.

Coomaraswamy, A. K. 1927. History of Indian and Indonesian Art.


New York: t. p.

2461
Cortesao, A. (ed). 1944. The Suma Oriental of Tome Pires: An
Account of the East. Jilid XXVIXL. London: The Hakluyt Society.

Couto, Diogo do. 1973. Decadas da Asia. I-XIV. Lisbon: t.p.

Craig, S. 1997. “A Passage to India”. Geographical Magazine, Juli.


Hlm. 73-75.

Crucq, K. C. 1939. “De kanonnen in den Kraton te Soerakarta”.


TBG LXXXVIII.

Dalal, R. 2002. The Puffin History of India for Children 3000 BC-AD
1947. New Delhi: Puffin Books.

Danvers, F. C. 1966. The Portuguese in India. New York: Octagon


Books.

DeCasparis, J.G. 1956. “Selected Inscription from the 7th to the 9th
Century A. D.” Dalam Prasasti Indonesia. Jilid II. Bandung: Masa
Baru.

DeWeese, D. 1988. “The Eclipse of the Kubrawiyyah in Central


Asia”. Iranian Studies 21. hlm. 45-83.
2462
Diamond, J. 1998. Guns, Germs and Steel: A Short History of
Everybody for the Last 13,000 Years. London: Vintage.

Digby, S. 1990. “The Sufi Shaykh and the Sultan: a conflict of


Claims to Authority in Midieval India”. Iran: Journal of the British
Institute of Persian Studies. Vol. 28. hlm. 71-81.

De Graaf, H. J. 1997. Cina Muslim di Jawa abad XV dan XVI antara


Historisitas dan Mitos. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Drewes, G. W. J. 1978. An early Javanese code of Muslim ethics.


Den Haag: Martinus Nijhoff.

D. D. Bintarti. 1981. “Punden Berundak di Gunung Padang, Jawa


Barat”, Amerta 4: hlm. 28-37.

D. Dwijanto. 1993. “Perpajakan pada Masa Majapahit”. Dalam


Sartono Kartodirdjo, dkk. (ed). 700 Tahun Majapahit (1923-1993)
Suatu Bunga Rampai. Surabaya: Dinas Pariwisata Daerah Provinsi
Dati II Jawa Timur. hlm. 217-34.

Eiseman, F. B. 1988. Bali: Sekala & Niskala (Essay on Religion,


Ritual, an Art). 1st ed. Berkeley-Singapore: Periplus Editions.

2463
Ensink, J. t.t. On the Old Javanese Cantakaparwa and its Tale of
Sutasoma. t.kp.:VKI 54.

Eringa, F.S. 1949. “Loetoeng Kasaroeng: een Mythologisch


Verhaal uit West Java”. Disertasi. VKI. VIII. ‘s-Gravenhage:
Martinus Nijhoff.

E. Budiwanti. 2000. Islam Sasak: Wetu Telu versus Waktu Lima.


Yogyakarta: LkiS.

E. S. Ekajati. 1977. Wawasan Sajarah Galuh. Bandung: EFEO.

1984. Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya. Jakarta: Girimukti


Pusaka.

E. Zarkasi. 1977. Unsur Islam dalam Pewayangan. Bandung: al-


Ma’arif.

Ferm, V. (ed). 1976. An Encyclopedia of Religion. Connecticut:


Greenwood Press.

Frye, R. 1975. The Golden Age of Persia. London: Weidenfield &


Nicholson.“
2464
Gandasari Putri Datuk Sholeh, Gandasari Adakan Sayembara Adu
Jurit”. Pikiran Rakyat Edisi Cirebon. 3 Februari 1992.

Garuda Purana. (Penerjemah Oka Sanjaya). 2001. Surabaya:


Paramita.

Ghazi al-Tamam. 1441 H. Iqtishadiyaat al-Harb fi al-Islam. Riyadh:


Maktabah Rasyid.

Goitein, S. D. 1955. Jews and Arab: Their Contact Throught the


Ages. New York: Schoken Books Inc.

Green, R. W. 1973. Protestantism, Capitalism, and Social


Sciences: The Weber Thesis Controversy. London: D.C. Heath and
Company.

Groeneveldt, W. P. 1960. Historical Notes on Indonesia and


Malaya, Compiled from Chinese Sources. Jakarta: Bhratara.

Guillot, C. 1992. “Perjanjian dan masalah perjanjian antara


Portugis dan Sunda tahun 1522”. Dalam Aspek-Aspek Arkeologi
Indonesia (XIII). Jakarta: t.p.

2465
G. Pudja. 1985. Weda-Pengantar Agama Hindu. Jakarta:
Mayasari.

Hall, D. G. E. 1969. A History of Shouteast Asia. 3rd ed. New York


: Macmillan.

Haqq, F. A. 1959. Suluk Seh Malaja. Yogyakarta: Bratakesawa.

Hart, H. H. 1950. The Sea Road to the Indies. New York: Macmillan
Company.

Hastings, J. (ed). 1928. Encyclopedia of Religion and Ethnics. 13


Jilid. New York: t.p.

Heidel, A. 1949. The Gigamesh Epic and the Old Testament


Parallels. 2nd ed. Chicago: Chicago University Press.

Heine-Geldern, R.v. 1982. Konsepsi Tentang Negara dan


Kedudukan Raja di Asia Tenggara. Jakarta: Rajawali Press.

Hemming, J. (ed). 1997. Atlas of Exploration. New York: Oxford


University Press.

2466
Herklots, G. A. 1921. Islam in India or The Qanun-i-Islam. The
Customs of the Musalamans of India Comprising a Full and Exact
Account of the Various Rites and Ceremonies from the Moment of
Birth to the Hour of Death. London: Oxford University Press.

Hirth, F. & W. W. Rockhill. 1966. Chau Ju-Kua: on the Chinese and


Arab Trade in the twelfth and thirteenth Centuries, entitled Chu-
fanchi. Terjemahan dari The Chinese and Annotated. Amsterdam:
Oriental Press.

Holladay, W. L. 1971. A Concise Hebrew and Aramaic Lexicon of


the Old Testament. Leiden: Grand Rapids.

Howard, J. 1966. Malay Manuscripts. Kuala Lumpur University of


Malaya.

H. Djajaningrat. 1957. “Kanttekeningen bij het Javaanse rijk


Tjerbon in de eerstre eeuwen van zijn bestaan”. BKI Vol. 113. hlm.
380-391.

1983. Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten. Jakarta: Jambatan


– KITLV.

2467
H. Djafar. 1978. Girindrawarddhana: Beberapa Masalah Majapahit
Akhir. Jakarta: Yayasan Dana Pendidikan Buddhis Nalanda.

t.t. “Historiografi dalam Prasasti”. Majalah Arkeologi. VI (1): 3-50.

H. I. Hasan. 1964. Tarikh al-Islam. Kairo: Maktabah al-Nahdlah al-


Misriyah.

H. Santiko. 1992. “Bhatari Durga”. Disertasi tidak dipublikasikan.


Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Ibn al-Bana Sarqusthi. t.t. Iqadh al-Himam fi Syarah al-Hikam Ibn


‘Atha’illah Sukandary. Beirut: Dar al-Fikr.

Ibn Mi’mar Hanbali al-Baghdadi. 1985. Kitab al-Futuwwuh.


Baghdad: Maktabah al-Musanna.

Ibrahim Syahatah. 1980. Athwar al-‘Alaqaat al-Maghribiyyah al-


‘Utsmaniyyah. Iskandariyah: Mansyaatu al-Ma’arif.

I. B. Oka dan I Made Suandra. 1991. Tuntunan Pitra Yadnya.


Denpasar: Upada Sastra.

2468
I. B. O. Puniyatmadja. 1976. Silakrama. Denpasar: Parisada Hindu
Dharma Pusat.

I. B. P. Purwita. 1993. Upacara Mediksa. Denpasar: Upada Sastra.

I. G. B. Sugriwa. 1956. Babad Pasek. Denpasar: Balimas.

1991. Dwijendra Tatwa. Denpasar: Upada Sastra.

I. M. Gambar. t.t. Tingkahing Wiku. Denpasar: t.p.

I. N. Kantun dan I Ketut Yadnya. 1989. Babad Sidakarya.


Denpasar: Upada Sastra.

I. N. S. Wikarman. 1998. Caru: Pelemahan dan Sasih. Surabaya:


Paramita.

Imam Abul Hasan Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi al-Naisaburi.


1412 H. Shahih Muslim. Kairo: Dar al-Hadits.

Jamil Saliba’. 1416 H. Tarikh al-Falsafah al-‘Arabiyyah. Beirut: Dar


al-Kitab al-Lubnani.
2469
Jay, R. R. 1963. Religion and Politics in Central Java. New Haven:
Yale University.

Jones, A. M. B. 1984. Early Tenth Century Java from the


Inscriptions. Dodrecht-Holland: Foris Publication.

Juynboll, H. H. 1899. Catalogus van de Maleische en


Sundaneesche Handschriften der Leidsche Universiteitbibliotheek.
Leiden: E. J. Brill.

J. Gonda. 1952. Sanskrit in Indonesia. Nagpur: International


Academy of Indian Culture.

Kartosoedjono. 1950. Kitab Wali Sepuluh. Kediri: Tan Khoen Swie.

Kats, J. 1910. Sanghyang Kamahayanikan Oud Javaansche Tekst


met inleiding, Vertaling en Aanteekeningen. ‘s-Gravenhage:
Nijhoff.

1953. Punika Papethikan Saking Serat Jawi Ingkang Tanpa Sekar.


Jakarta: t.p.

2470
Kellinger dan W. Rudolph (ed). 1967-1977. Biblia Hebraica
Stuttgartensia. Stuttgart: t.p.

Klokke, J. Maryke dan Thomas de Bruijn. 1993. Tantri Relief on


Ancient Javanese Candi. Leiden: KITLV Press.

Kramaning Dadi Wiku. Naskah milik keluarga K. Ng. H. Amir Arifin.

Lawrence, J. 1961. The Hard Fact of Unity. London: S.C.M. Press.

Leur, J. C. Van. 1955. Indonesian Trade and Society: Essay in


Asian Social and Economic History. The Hague-Bandung: W. Van
Hoeve Ltd.

London, K. P. 1948. Southeast Asia Crossroad of Religion.


Chicago: University of Chicago Press.

L. D. Ratnawati. 1992. “Jenis-jenis Masakan pada Masa Jawa


Kuna menurut Data Prasasti”. PIA VI. Jakarta: Pusat Penelitian
Arkeologi Nasional. hlm. 185-204.

L. Ismail. 1988. Sejarah Malaysia 1400-1963. Kuala Lumpur:


Utusan Publication & Distributiors.
2471
Mackenzie, D. A. t.t. Indian Mith and Legend. London: Gresham
Publishing Company.

Mead, J. P. 1914. “Hikayat Raja-Raja Pasai”. JSBRAS LXVI : 1-54.

Meilink-Roelofsz, M. A. P. 1962. Asia Trade and European


Influence in the Indonesian Archipelago between 1500 and about
1630. The Hague: Martinus Nijhoff.

Meinsma, J. J. 1874. Babad Tanah Jawa, in Proza, Javaansche


Geschiedenis Loopende tot het jaar 1647 der Javaansche
jaartelling. ‘s-Gravenhage: KITLV.

Middleditch, M. 1985. The Penguin Map of Europe on a Conic


Projection. t.kp. : Michael Graham Publication.

Miller, R. 1976. Mappila Muslims of Kerala. Madras: Orient


Longmans.

Mills, J. V. G. (ed). 1970. Ma Huan Ying-yai Shenglan: The Overall


Survey of the Ocean’s Shores (1433). Cambridge: Cambridge
University Press.

2472
Moens, J. L. 1974. Buddhisme di Jawa dan Sumatra Dalam Masa
Kejayaannya Terakhir. Jakarta: Bhratara.

Monier, S. W. 1899. A Sanskrit-English Dictionary. Oxford:


Clarendon Press.

Muhammad al-‘Amrusi. 1412 H. Al-Huruuqi al-Shalibiyyah fi al-


Masyriq wa al-Maghrib. Beirut: Dar al-Gharb al-Islami.

Muhammad bin Abdul Karim Syahristani. 1270 H. Al-Milal wa al-


Nihal. Kairo: Mathbaah al-Adabiyyah.

Muhammad bin Ismail al-Bukhari. 1412 H. Shahih Bukhari. Kairo:


Dar al-Hadits.

Muhyiddin Ibn. ‘Arabi. 1386 H. Tarjuman al-Asywaq. Beirut: Dar al-


Sadir.

1392 H. Al-Futuhat al-Makkiyyah. Vol. 4. Kairo: al-Hay’at al-


Misriyyah al-‘Ammah lil Kitab.

1400 H. Fushush al-Hikam (editor Abu al-‘Ala al-‘Afifi). Beirut: Dar


al-Kitab al-‘Arabi.
2473
t.t. Syajarah al-Kaun. Iskandariah: Maktabat al-Syamrali.

Muhammad ibn Jarir al-Thabari. 1399 H. Tarikh al-Umam wa al-


Mulk. Damaskus: Dar al-Fikr.

1405 H. Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil al-Qur’an. Beirut: Dar al-Fikr.

Muusses, M. A. t.t. “Singhawikramawarddhana”. Feestbundel II:


207-214.

M. Budiardjo. (ed). 1984. Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan


Wibawa. Jakarta: Sinar Harapan

M. Yamin. 1956. Atlas Sedjarah. Jakarta: Djambatan.

1962. tatanegara Majajpahit: Saptaparwa. 4 jilid. Jakarta: Yayasan


Prapanca.

Nawal al-Shairafi. 1403 H. Al-Nufudz al-Burtughali fi al-Khalij al-


‘Arabi. Riyadh: Mathbuah Dar al-Malik Abdul Aziz.

2474
Nicholson, R. A. 1975. The Mystic of Islam. London: Routledge and
Kegan Paul.

Nietzsche, F. 1968. The Will to Power. Penerjemah Walter


Kaufmann dan R. J. Holling Dale. New York: Vintage Books.

2000. Sabda Zarathustra. Penerjemah Sudarmaji dan Ahmad


Santoso. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Noorduyn, J. 1978. “Majapahit in the Fifteenth Century”. BKI 134:


207-274. “

Bujangga Manik’s Journeys Through Java: Topographical Data


fram an Old Sundanese Source”. BKI 138: 413-442.

N. Harnani. 1989. “Arca Dewa Kemakmuran di Jawa: Telaah


Ikonografi”. PIA V (IIa). Yogyakarta: Ikatan Ahli Arkeologi
Indonesia. hlm. 413-433.

N. T. Raras. 2004. Kajeng Kliwon: Kerinduan Kosmik Panca Maha


Bhuta. Surabaya: Paramita.

2475
Olthoff, W. L. (ed). 1941. Poenika Serat Babad Tanah Djawi Wiwit
Saking Nabi Adam Doemoegi in Tahoen 1647. ‘s-Gravenhage: M.
Nijhoff.

Pangeran Wangsakerta, dkk. 1677. Carita Parahiyangan Sakeng


Bhumi Jawa Kulwan. Naskah di Museum Sri Baduga Bandung No.
MNJBS/ Sj7-Sj7a.

1678-1685. Pustaka Rajya-Rajya i Bhumi Nusantara. Naskah di


Museum Sri Baduga Bandung No. MNJBS/ Sj169-Sj186.

1692-1697. Nagara Kretabhumi. Naskah di Museum Sri Baduga


Bandung No. MNJBS/Sj8-Sj10. 4 teks naskah.

1675-1677. Pustaka Dwipantara. Naskah di Museum Sri Baduga


Bandung No. Sj188-Sj195. 8 dari 10 jilid.“

Perang Besar antara Kerajaan Galuh dan Cirebon”. Pikiran Rakyat


Edisi Cirebon. 5 Maret 1994.

Pigeaud, Th. G. Th. 1924. “De Tantu Panggelaran, uitgegeven,


vertaald toegelicht”. Disertasi. Universitas Leiden: ‘s-Gravenhage.

2476
1938. Javaansche Volksvertoningen. Batavia: Bijdrage to de
beschrijving van Land en Volk.

1967. Literature of Java. 3 vols. Batavia: Martinus Nijhoff.

1960-1963. Java in the 14th Century: A Study in Cultural History.


Vol. I-V. The Hague: Martinus Nijhoff.

Pleyte, C. M., 1915. “Maharaja Cri Jayabhupati, Soenda’s Oudst


Bekende Vorst: Vijfde Bijrage tot de Kennis van het Oude Soenda”.
TBG. hlm. 201-218.

Poerbatjaraka. 1992. Agastya di Nusantara. Jakarta: Yayasan


Obor Indonesia. “

Nirartha – Prakkreta”. BKI 107: 201-225.

Pott, P. H. 1946. Yoga en Yantra in hunne betekenis voor de


Indische Archeologie. Leiden: t.p.

Pritchard, J. B. 1954. Ancient Near Eastern Texts Relating to the


Old Testament. Princenton: Princenton University Press.

2477
Priyohutomo. 1934. Nawaruci, Groningen: JB. Wolters Uitgevers
Maatchapij.

Pustaka Pakungwati Carbon. 1779. Naskah di Museum Sri Baduga


Bandung No. MNJBS/Sj53.

P. Arifin. 1995. Babad Blambangan. Yogyakarta: EFEO dan


Bentang Budaya.

P. H. M. Sudjiman. 1996. Adat Raja-Raja Melayu. Jakarta: UI


Press.

P. Mus. 1981. “Agama-agama India dan Asli di Kerajaan Campa”.


Dalam Kerajaan Campa. EFEO. Jakarta: Balai Pustaka.

P. S. Sulendraningrat. 1968. Nukilan Sedjarah Tjirebon Asli.


Tjirebon: Pustaka Tjirebon.

1972. Purwaka Caruban Nagari. Jakarta: Bhratara.

1982. Babad Tanah Sunda. Cirebon: t.p.

2478
1985. Sejarah Cirebon. Jakarta: Balai Pustaka.

Raffles, T. S. 1982. The History of Java. Vol.II Kuala Lumpur:


Oxford University Press.

Reid, A. (ed). 1983. Slavery, Bondager and Dependency in South-


east Asia. St. Lucia: University of Queensland Press.

1988. Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680. volume


Two; Expansion and Crisis. New Haven and London: Yale
University Press.

Rinkes, D. A. 1996. Nine Saints of Java. Editor Alijah Gordon.


Kualalumpur: Malaysian Sociological Research Institute.

Robson, S. O. 1981. “Java at the Crossroads: Aspect of Javanese


Cultural History in the 14th and 15th Centuries”. BKI 137. hlm. 259-
292.

Roorda, T. 1844. Javaansche Wetten. Amsterdam: Johannes


Muller.

2479
Rouffaer, G. P. 1899. “Wanner is Majapahit gevallen? Het Tijdpark
van Godsdienstovergang (1400-1600) in den Malaischen Archipel”.
BKI, Zesde Volgreeks, 6e deel. hlm. 111.

Rouse, Ruth dan Stephen Charles Neill. 1997. A History of the


Ecumenical Movement 1517-1948. 4rd ed. Geneva: World Council
of Churches.

Runia, K. 1948. “The Hermeneutic of the Reformers”. Calvin


Theological Journal 19. November. hlm. 121-152.

R. Darmosoetopo. 1997. “Hubungan Tanah Sima dengan


Bangunan Keagamaan di Jawa Pada Abad IX-X”. Disertasi tidak
dipublikasikan. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

R. H. U. Sunardjo. 1983. Meninjau Sepintas Panggung Sejarah


Pemerintahan Kerajaan Cirebon 1479-1809. Bandung: Tarsito.

R. Ng. Wongsodilogo. 1994. Serat Babad Mentaram. Surakarta


Hadiningrat.

R. Tanojo. 1966. Kidungan Purwadjati. Surakarta: Trijasa.

2480
R. Sasrawidjaja. 1958. Serat Seh Siti Jenar. Yogyakarta:
Bratakesawa.

R. Sastraatmadja. 1917.Boekoe Tjerita Babad Tjirebon. Batavia:


Kho Theng Bie.

R. Satjadibrata. 1950. Kamoes Soenda-Indonesia. Cetakan


Kedua. Djakarta: Balai Poestaka.

Sajarah Regen Soerabaja. Naskah di Museum Nasional Jakarta.


Koleksi Brandes. No. 474.

Sarasilah Brawijaya V. Naskah Milik Keluarga K. Ng. Amir Arifin.

Sanders, J. J. 1965. A History of Medieval Islam. London:


Routledge & Kegan Paul.

Sastri, N. 1966. A History of South India from Prehistoric Times to


the Fall of Vijayanagar. Oxford: Oxford University Press.

Satya Prakash Sarasvati Svami dan Satyakam Vidyalankar Pandit.


1977. Rgveda Samhita. (Terjemahan dari bahasa Inggris). New
Delhi: Rashtriya Veda Vidya Pratisthana.
2481
Schrieke, B. J. O. 1916. “Het Boek van Bonang”. Disertasi
Universitas Leiden. Utrecht: Den Boer.

1959. Penguasa-penguasa Pribumi. Terjemahan. Jakarta: Balai


Pustaka.

Schutte, G. J. 1994. State and Trade in the Indonesia Archipelago.


Leiden: KITLV.

Serat Babad Majapahit. Naskah di Museum Sonobudoyo


Yogyakarta No. S-44.

Serat Darmasonya. Naskah Milik Keluarga K. Ng. Amir Arifin.

Serat Dewaroetji. 1928. Kediri: terbitan Tan Khoen Swie.

Serat Gatolotjo. 1931. Kediri: terbitan Tan Khoen Swie.

Serat Jugul Mudha. Naskah di Museum Sonobudoyo Yogyakarta


No. H-1.

Serat Kebokanongo. 1921. Kediri: terbitan Tan Khoen Swie.


2482
Serat Kandha. Naskah di Museum Nasional Jakarta. Koleksi KBG
No. 540.

Serat Kandaning Ringgit Purwa. 1986. Menurut Naskah Tangan


Lor 6379 (8 jilid, disalin A. Sarman Am). Jakarta: KITLV-
Djambatan.

Serat Manikmaya. Naskah di Museum Sonobudoyo Yogyakarta


No. S-8.

Serat Momana. Naskah di Museum Sonobudoyo Yogyakarta No.


S-2.

Serat Seh Malaya. Naskah di Museum Sonobudoyo Yogyakarta


No. P-159.

Serat Siti Djenar. 1922. Kediri: terbitan Tan Khoen Swie.

Serat Soeloek Walisono. 1932. Kediri: terbitan Tan Khoen Swie.

Serat Walisana. Naskah di Museum Nasional Jakarta. Koleksi KBG


No.1022ab.

2483
Shellabear, W. G. 1967. Sejarah Melayu. Kuala Lumpur: Oxford
University Press.

Silsilah Galuh Cirebon. Naskah di EFEO Bandung No. MS-140.

Simuh. 1995. Sufisme Jawa: Transformasi Tasauf Islam ke Mistik


Jawa. Yogyakarta: Bentang Budaya.

Siva Purana (Terjemahan Oka Sanjaya). 2001. Surabaya:


Paramitra.

Slamet Muljana. 1968. Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan


Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara. Jakarta: Bhratara.

1979. Negarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara


Karya Aksara.

Snaith, N. H. (ed). 1958. Hebrew Old Testament. London: British


and Foreign Bible Society.

Soebadio, H. 1985. Jnanasiddhanta. Jakarta: Djambatan.

2484
Societal Change in Shi’ite Iran from the Beginning to 1890.
Chicago: University of Chicago Press.

Soeloek Seh Malaja. 1931. Solo: De Bliksem.

Stutterheim, W. F. 1947. De Islam in de Archipel. 2nd ed. Jakarta:


Groningen.

Suluk Malang Sumirang. 1961. Yogyakarta: Kulawarga


Bratakesawa.

Sunan Abi Dawud. 1990. Cet. I. Beirut: Dar al-Fikr.

Sunan An-Nasa’i. 1930. Cet. I. Beirut: Dar al-Fikr.

Syakib Arselan. t.t. Khulashat Tarikh al-Andalus. Beirut: Dar al-


Maktabah al-Hayat.

Syauqi ‘Atha’ullah al-Jamal. 1977. Al-Maghrib Al-‘Arabi Al-Kabir.


Kairo: Maktabah Anglo Al-Mishriyyah.

2485
Syihabuddin Ahmad bin Muhammad al-Asady al-Makky. 1936 H.
Ikhbar al-Kiram bi Akhbar al-Masjid al-Haram. Benares: al-
Mathba’ah as-Syalafiyyah.

Syihabuddin Umar Suhrawardi. 1403 H. ‘Awarif al-Ma’arif. Beirut:


Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

Syihabuddin Yahya Suhrawardi. 2003. Hikmah al-Isyraq: Teosofi


Cahaya dan Metafisika Huduri. Penerjemah Muhammad al-
Fayyadl. Yogyakarta: Islamika.

Syiwa Ratrikalpa – Lubdhaka. (Penyalin. Wayan Budha Gautama).


1911 Saka. Bali: CV. Kayumas.

S. Danasasmita, dkk. 1987. Sewaka Darma, Sanghyang


Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung. (Transkrip dan
terjemahan). Bandung: Proyek Penelitian dan Pengkajian
Kebudayaan Sunda.

S. H. Widyastuti. 2001. Suluk Wujil: Suntingan Teks dan Tinjauan


Semiotik. Semarang: Mekar.

S. K. Ikram. 1965. Muslim Civilization in India (editor Ainslie T.


Embree). New York: Columbia University Press.
2486
S. M. Afnan. 1969. A Philosophical Lexicon in Persia and Arabic.
Beirut: Dar al-Masyriq.

S. Q. Fatimi. 1963. Islam Comes to Malaysia. Singapore:


Malaysian Sociological Research Institute.

S. Rahardjo. 2002. Peradaban Jawa: dinamika pranata politik,


agama, dan ekonomi Jawa Kuno. Jakarta: Komunitas Bambu.

S. Sadihutomo. 2001. Sinkretisme Jawa-Islam. Yogyakarta:


Bentang Budaya.

S. Sastrodiwiryo. 1999. Perjalanan Danghyang Nirartha: Sebuah


Dharmayatra (1478-1560) dari Daha sampai Tambora. Denpasar:
BP.

S.S. Chandrasekharendra Sarasvati. 1988. The Vedas. Bombay:


Bharatiya Vidya Bhavan.

S. Wardi. 1950. Kumpulan Tjerita Lama dari Kota Wali. Demak:


Wahju.

2487
Tantu Panggelaran. Naskah di Museum Sonobudoyo Yogyakarta
No. S-6.

Tedhak Dermayudan. Naskah Milik Keluarga K. Ng. Amir Arifin.

Tedhak Pusponegaran. Naskah Milik Keluarga K. Ng. Amir Arifin.

Thapar, R. 2003. The Penguin History of Early India from the Origin
to AD 1300. New Delhi: Penguin Books.

The Bhagavadgita or The Song Divine (with Sanskrit text and an


English Translation). 1969. Gorakhpur: Gita Press.

Tiele, C. P. 1912. The Religion of the Iranian Peoples. Bombay:


Parsi Publishing Co.

T. Haryono. 1913. “Aspek-aspek Simbolik Dalam Teknik Arkeo-


metalurgi Masa Klasik Jawa Kuna”. Proceedings AHPA IV:
Metalurgi dalam Arkeologi. Jakarta: Depdikbud & Puslit Arkeologi
Nasional. hlm. 341-347.

T. R. Sudharta. 1997. Slokantara: Untaian Ajaran Etika, Teks,


Terjemahan dan Ulasan. Denpasar: Upada Sastra.
2488
T. S. Nastiti. t.t. “Pandai Logam dalam Kehidupan Masyarakat
Jawa Kuno”. AHPA IV. Jilid I: 269-278.

Vansina, J. 1973. Oral Tradition: A Study in Historical Methodology.


London: Penguin Books.

Van der Tuuk, H. N. 1897-1912. Kawi-Balineesch-Nederlandsch


Woordenboek. 4 volume. Batavia: Landsdrukkerij.

Virkler, H. A. 1981. Hermeneutics: Principle and Processes of


Biblical Interpretation. Michigan: Baker Book House.

Vlekke, B. H. M. 1965. Nusantara: a History of Indonesia. The


Hague: W. Van Hoeve Ltd.

Voorhoeve, P. 1957. Handlist of Arabic Manuscripts in Library of


the University of Leiden and Other Collections in the Netherlands.
Leiden: Bibliotheca Universitet.

Watson, A. 1992. The Evolation of International Society. London:


Routledge.

2489
Weraspati Kalpa: Tenung Pedukunan. (Penyalin I Made Gambar).
1992. Denpasar: Cempaka.

Wickens, G. M. 1952. “The Persian Conceptions of Artistic Unity in


Poetry dan its Implications in Other Fields”. BSOAS. Vol. 14,3.

Winstedt, R. 1953. The Malay: A Cultural History. 3rd ed. London:


Routledge & Kegan Paul.

Woodroffe, S. J. 1959. Sakti and Sakta. Madras: t.p.

Woodward, M. R. 1999. Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus


Kebatinan. Yogyakarta: LKiS.

Wrhaspati Tattwa (Sudharsana Dewi). 1957. New Delhi:


International Academy of Indian Culture.

W. Saksono. 1995. Mengislamkan Tanah Jawa: Telaah atas


Metode Dakwah Walisongo. Bandung: Mizan.

Yochai, Rabbi Shimonbar. t.t. The Zohar. New York: Yeshivat Kol
Yehudah.

2490
Yusuf bin Ismail al-Nabhani. 1381 H. Jami’ Karamat al-Awliya’. 2
Jilid. Beirut: al-Maktabah al-Tsaqafah.

Yusuf Zaidan. t.t. Tarikh Adab al-Arabiyyah. Beirut: Dar al-


Maktabah al-Hayyah.

1408 H. Al-Fikr al-Shufi ‘inda ‘Abd al-Karim al-Jili. Beirut: Dar al-
Nahdah al-‘Arabiyyah.

Zoetmulder, P. J. dan I. R. Poedjawijatna. 1954. Bahasa Parwa. 2


jilid. Djakarta: t.p.

1983. Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta:


Djambatan.

1990. Manunggaling Kawula-Gusti, Pantheisme dan Monisme


Dalam Sastra Suluk Jawa. (Penerjemah Dick Hartoko). Jakarta:
Gramedia.

1997. Kamus Jawa Kuna-Indonesia. 2 jilid. Cet. ke-2. Jakarta: PT


Gramedia Pustaka.

Daftar Singkatan
2491
AHPA : Analisis Hasil Penelitian Arkeologi.

BEFEO : Bulletin de I’Ecole Franscaisse d’Extereme Orient.

BKI : Bijdragen tot de Tall-, Land-, en Vokenkunde van het


Koninkllijk

Instituut.

BSOS : Bulletin of the School of Oriental (and African) Studies,


London.

EFEO : Ecole Francaise d’Extreme-Orient.

INIS : Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies.

JA : Journal Asiatic.

JMBRAS : Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic


Society.

2492
JSBRAS : Journal of the Straits Branch of the Royal Asiatic Society
(Singapore)

KBG : Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-, en Vokenkunde.

KITLV : Koninklijk Instituut voor Taal-, Land, en Volkenkunde.

LPLI : Lembaga Penerangan dan Laboratorium Islam “Sunan


Ampel”

Surabaya.

MISI : Majalah Ilmu-ilmu Sastra Indonesia. Diterbitkan oleh


Fakultas

Sastra Universitas Indonesia.

PIA : Pertemuan Ilmiah Arkeologi.

SOAS : School of Oriental and Afrikan Studies, London.

2493
TBG : Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-, en Vokendunde.

Uitgegeven door het KBG

VG : Verspreide Gescheriften.

VBG : Verhandeling van het Bataviaasch Genootschap van


Kunsten en

Wetenschappen.

VKI : Verhandelingen Konijnklijk Instituut voor Taal-, Land- en

Volkenkunde.

2494
Biodata Penulis

Agus Sunyoto, Drs., M. Pd., dilahirkan di


Surabaya, 21 Agustus 1959. pendidikan S1
diselesaikan di Jurusan Seni Rupa, FPBS IKIP
Surabaya tahun 1985. Magister Kependidikan
diselesaikan tahun 1990 di Fakultas
Pascasarjana IKIP Malang bidang Pendidikan
Luar Sekolah.

Pengalaman kerja diawali sebagai kolumnis sejak 1984. Tahun


1986-1989 menjadi wartawan Jawa Pos. setelah keluar dan
menjadi wartawan free-lance, sering menulis novel dan artikel di
Jawa Pos, Surabaya Post, Surya, Republika, dan Merdeka. Sejak
tahun 1990-an mulai aktif di LSM serta melakukan penelitian sosial
dan sejarah. Hasil penelitian ditulis dalam bentuk laporan ilmiah
atau dituangkan dalam bentuk novel.

Karya-karyanya yang sudah diterbitkan dalam bentuk buku adalah:


Sumo Bawuk (Jawa Pos, 1987); Sunan Ampel: Taktik dan Strategi
Dakwah Islam di Jawa (LPLI Sunan Ampel, 1990); Penelitian
Kualitatif dalam Ilmu Sosial dan Keagamaan (Kalimasahada,
1994); Banser Berjihad Melawan PKI (LKP GP Ansor Jatim, 1995);
Darul Arqam: Gerakan Mesianik Melayu (Kalimasahada, 1996);
Wisata Sejarah Kabupaten Malang (Lingkaran Studi Kebudayaan,
1999); Pesona Wisata Sejarah Kabupaten Malang (Pemkab
Malang, 2001).
2495
Karya-karya fiksinya banyak dipublikasikan dalam bentuk cerita
bersambung, antara lain di Jawa Pos: Anak-Anak Tuhan (1985);
Orang-Orang Bawah Tanah (1985); Ki Ageng Badar Wonosobo
(1986); Khatra (1987); Hizbul Khofi (1987); Khatraat (1987);
Gembong Kertapati (1988); Vi Daevo Datom (1988); Angela
(1989); Bait al-Jaubar (1990); Angin Perubahan (1990). Di harian
sore Surabaya Post: Sastra Hajendra Pangruwat Diyu (1989);
Kabban Habbakuk (1990); Misteri di Snelius (1992); Kabut
Kematian Nattayya (1994); Daeng Sekara (1994-1995); Sang
Sarjana (1996); Jimat (1997). Di harian Surya: Dajjal (1993). Di
Radar Kediri: Babad Janggala-Panjalu dengan episode: (1)
Rahuwahana Tattwa, (2) Ratu Niwatakawaca, (3) Ajisaka dan
Dewata Cahangkara, (4) Titisan Darah Baruna. Di harian Bangsa:
Suluk Abdul Jalil (2002).

2496

Anda mungkin juga menyukai