Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia. Segala sesuatu yang

berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang

diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan

tambahan pangan, bahan baku dan bahan lain yang digunakan dalam proses pengolahan

makanan dan minuman (Mahendratta, 2007). Karena itu masalah yang berkaitan dengan

pengolahan pangan dari tahap produksi sampai ketahap konsumen harus ditanganin sampai

tuntas agar mutu kehidupan manusia terus meningkat. (Pratama et.al, 2015).

Undang - Undang Kesehatan RI No.36 Tahun 2009 Pasal 109-111 tentang

pengamanan makanan dan minuman menyebutkan setiap orang dan badan hukum yang

memproduksi, mengolah, serta mendistribusikan makanan dan minuman yang diperlakukan

sebagai makanan dan minuman hasil teknologi rekayasa genetik yang diedarkan harus

terjamin agar aman bagi manusia, dan lingkungan (Depkes, 2009).

Sejak pertengahan abad ke-20 ini, peranan tambahan pangan semakin penting

sejalan dengan kemajuan teknologi produksi bahan tambahan pangan sintesis. Banyaknya

bahan tambahan pangan dalam bentuk lebih murni dan tersedia secara komersil dengan

harga yang relatif murah akan mendorong meningkatnya pemakaian bahan tambahan

pangan yang berarti meningkatkan konsumsi bahan tersebut bagi setiap individu (Cahyadi,

2009).

Seiring berkembangnya teknologi, produksi instan sangat digemari oleh

masyarakat karena mudah, cepat dan murah. Berkembangnya bahan tambahan pangan

Universitas Sumatera Utara


mendorong pula perkembangan makanan hasil olahan pabrik, yakni bertambah aneka

ragam jenisnya serta cita rasa dan penampakannya (Saparianto dan Hidayati, 2006).

Penggunaan bahan tambah pangan (BTP) banyak digunakan oleh para produsen

untuk memberikan daya tarik tersendiri bagi produksi pangan. BTP seperti pewarna mampu

menarik mata pembeli. Anak-anak dan orang dewasa pun terkadang sering terjebak oleh

tampilan luar dari makanan seperti warna dan bentuk. Hal ini merupakan kelemahan

konsumen yang dimanfaatkan oleh produsen. Sehingga konsumen harus cerdas memilih

produk yang aman untuk di konsumsi, karena tidak semua bahan tambahan (adiktif) aman

bagi tubuh (Aminah dan Himawan, 2009).

Berdasarkan Permenkes No. 33 Tahun 2012 tentang bahan tambahan pangan,

penggolongan BTP terdapat 27 golongan, beberapa golongan yang biasa menjadi perhatian

masyarakat seperti zat pewarna, pemanis dan pengawet (Permenkes RI, 2012). Penggunaan

Bahan Tambahan Pangan seperti pewarna dan pemanis buatan sering dilakukan terhadap

bahan pangan untuk dikonsumsi sehari-hari. Pada dasarnya penggunaan BTP memiliki

persyaratan khusus, yaitu tidak bersifat toksik (racun), tidak digunakan untuk upaya

menutupi keadaan buruk yang sesungguhnya, dan penggunaan harus sesuai dengan dosis

tertentu untuk menghindari efek keracunan atau alergi yang dapat terjadi (Mahendradatta,

2007).

Departemen kesehatan telah memasyarakatkan BTP yang diizinkan dalam proses

produksi makanan dan minuman, yang tertuang dalam Permenkes dengan acuan UU No.36

Tahun 2009 tentang kesehatan yang menekankan aspek keamanan. Sedangkan UU No.7

Tahun 1996 tentang pangan, selain mengatur aspek keamanan dan mutu dan gizi, juga

Universitas Sumatera Utara


mendorong terciptanya perdagangan yang jujur dan bertanggung jawab serta terwujudnya

tingkat kecukupan pangan yang terjangkau sesuai kebutuhan masyarakat (Cahyadi, 2009).

Walaupun pemerintah sudah menetapkan peraturan mengenai penggunaan BTP,

masih saja produsen yang menggunakan BTP yang dilarang yang dapat membahayakan

kesehatan manusia. Seperti hasil penelitian BPOM yang telah dilakukan di 18 provinsi pada

Tahun 2008 diantaranya Jakarta, Surabaya, Semarang, Bandar Lampung, Denpasar dan

Padang terhadap 861 contoh makanan terbukti bahwa 39,95% (344 sampel) tidak memenuhi

syarat keamanan pangan. Terdapat 10,45% mengandung Rhodamin B dan Metanil Yellow

(BPOM, 2008)

Penelitian juga dilakukan Badan POM terhadap Pangan Jajanan Anak Sekolah

(PJAS) yang diambil dari 886 Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah yang tersebar di 30 kota

di Indonesia. Selama Tahun 2011 telah diambil sebanyak 4.808 sampel PJAS terdapat

1.705 (35,46%) sampel diantaranya tidak memenuhi syarat kemanan dan mutu pangan

(BPOM, 2011).

Hasil pengujian terhadap parameter uji bahan tambahan pangan yang dilarang

yaitu boraks dan formalin pada 3.206 sampel terdiri dari mie basah, bakso, kudapan dan

minuman ringan, diketahui bahwa 94 (2,93%) sampel mengandung boraks dan 43 (1,43%)

formalin. Untuk pewarna yang dilarang pada 3.925 sampel terdiri dari minuman berwarna

merah, sirup, jelly, dan makanan ringan diketahui 40 sampel mengandung Rhodamin B.

Disamping itu dari 3.925 sampel produk PJAS juga ditemukan 421 (10,73%) sampel

mengandung pemanis siklamat, 52 (1,32%) sakarin, 10 (0,25%) asesulfam yang melebihi

batas persyaratan. Dan 32 (0,82%) sampel mengandung pengawet benzoate, 4 (0,10%)

sorbat yang juga melebihi batas persyaratan (BPOM, 2011).

Universitas Sumatera Utara


Penggunaan bahan tambahan makanan yang dinyatakan terlarang pada produk

makanan atau penggunaan yang melebihi batas ketentuan aman, masih sering ditemukan

dipasaran. Produk makanan yang kurang sehat berasal dari industri kecil dan industri rumah

tangga atau bahkan juga tanpa disadari masih selalu muncul dikeluarga. Sehingga

penggunaan pewarna makanan sering menimbulkan kontroversi khususnya terhadap resiko

kesehatan (Pitojo dan Zumiati, 2009).

Penelitian tahun 2011 yang telah dilakukan Badan POM terhadap pemeriksaan

4.946 sarana distribusi pangan, 1,752 (35,42%) sarana distribusi ditemukan tidak memenuhi

ketentuan karena menjual produk pangan rusak, pangan kadaluarsa, pangan Tanpa Izin Edar

(TIE) dan pangan Tidak Memenuhi Ketentuan (TMK) label. Dari hasil intensifikasi

pengawasan dicurigai pada sarana distribusi ditemukan 164.529 kemasan pangan memenuhi

syarat. 4.155 (2,53%) pangan dalam keadaan rusak, 49.433 (30,04%) pangan kadaluarsa,

80.442 (48,89%) pangan TIE, dan 30.499 (18,45%) pangan TMK (BPOM, 2011).

Banyaknya kasus keracunan makanan yang terjadi dimasyarakat

mengindikasikan adanya kesalahan yang dilakukan masyarakat dalam mengolah dan

mengawetkan bahan makanan yang dikonsumsi. Problematika mendasar pengolahan

makanan dilakukan masyarakat lebih disebabkan budaya pengolahan pangan yang kurang

berorientasi terhadap nilai gizi. Serta keterbatasan pengetahuan sekaligus desakan sehingga

masalah pemenuhan dan pengolahan bahan pangan terabaikan (Pratama et.al, 2015).

Hasil penelitian juga di lakukan oleh Ayuningtias pada jajanan roti di Kecamatan

Binjai Kota dan Binjai Utara tahun 2014 terhadap zat pewarna, zat pemanis dan zat

pengawet menunjukkan dari 20 roti isi selai terbukti menggunakan zat pewarna, 2 (16,7%)

jajanan roti menggunakan zat pewarna Methanyl yellow dan 3 (37,5%) jajanan roti

Universitas Sumatera Utara


menggunakan Rhodamine B. Dari 20 roti isi selai terdapat 9 (45%) jajanan roti mengunakan

zat pemanis siklamat. Dari 60 jajanan roti seluruhnya menggunakan zat pengawet

potassium bromated (Ayuningtias, 2014).

Sejumlah zat aditif berdampak buruk pada sistem pencernaan, saraf, pernapasan,

dan kulit. Gangguan pada pencernaan berupa diare dan nyeri. Gangguan pada saraf berupa

hipereaktivitas, insomnia dan iritasi. Gangguan pernapasan berupa asma, rhinitis, dan

sinusitis. Sementara gangguan pada kulit berupa urtikaria, gatal, kemerahan dan

pembengkakan (Arisman, 2009).

Salah satu jenis produk makanan yang biasanya menggunakan bahan tambahan

makanan adalah selai. Selai buah merupakan salah satu produk pangan semi basah yang

cukup dikenal dan disukai masyarakat. Food and Drug Administration (FDA)

mendefinisikan selai sebagai produk olahan buah-buahan, baik berupa buah segar, buah

beku, buah kaleng maupun campuran ketiganya, pemanfaatan buah menjadi produk selai

dapat mendatangkan keuntungan yang cukup. Selai yang dihasilkan juga dapat disimpan

dalam waktu relatif lama (Fachruddin, 1997).

Penelitian Agustina pada produk selai yang beredar dibeberapa pasar tradisional

Kota Medan tahun 2013, diketahui dari 12 sampel selai yang diperiksa (selai bermerek dan

tidak bermerek) ditemukan dari 6 selai roti bermerek yang diperiksa 4 sampel mengandung

zat pewarna yang diizinkan dan 6 sampel selai roti tidak bermerek yang diperiksa 3 sampel

mengandung zat pewarna yang diizinkan yaitu Amaranth dan Tartrazine. Kadar yang

terdapat pada 12 sampel selai roti bermerek terdapat 2 sampel yang tidak memenuhi syarat

yaitu 346 mg/kg, 205 mg/kg dan 1 sampel selai roti tidak bermerek tidak memenuhi syarat

yaitu 295 mg/kg (Agustina, 2013).

Universitas Sumatera Utara


Banyaknya produk selai dengan merek yang berbeda dipasaran membuat para

produsen rumah tangga bersaing meningkatkan daya tahan penyimpanan serta penampilan

pada selai dengan menambahkan berbagai bahan tambahan makanan (BTM), diantaranya

yang digunakan seperti bahan zat pemanis, zat pewarna dan zat pengawet. Banyaknya selai

dalam kemasan yang berasal dari produksi rumah tangga yang penambahan BTM tidak

dicantumkan berupa kadar BTM, sehingga dimungkinkan kadar yang ditambahkan melebihi

batas maksimum yang telah ditetapkan (Pratama et.al, 2015).

Pada dasarnya pasar tradisional mempunyai fungsi untuk menyediakan

kebutuhan hidup masyarakat sehingga pasar menjadi tempat yang sangat ramai dikunjungi

oleh masyarakat di Kota Medan. Pasar tradisional banyak menyediakan berbagai produk

pangan berupa kebutuhan primer maupun sekunder seperti beras, sayur mayur, ikan, daging,

buah-buahan, pakaian, sepatu dan lain-lain. Jumlah pasar tradisional yang ada di Kota

Medan terdiri dari lima puluh tiga jenis pasar baik yang berskala kecil maupun berskala

besar. Segala sesuatu yang dibutuhkan masyarakat dengan mudah dapat ditemukan dalam

pasar yang menyediakan segalanya yang dibutuhkan (Carolina,2013).

Hasil survei pendahuluan peneliti di beberapa pasar tradisional yang ada di kota

Medan seperti Pasar Helvetia, Pasar Setia Budi, Pasar Kampung Lalang, Pasar Simpang

Limun dan Pasar Aksara. Pasar ini dipilih sebagai lokasi penelitian dikarenakan pasar-pasar

ini yang hanya menjual produk selai buah tidak bermerek dengan banyak variasi rasa seperti

rasa strawberry, blueberry, nanas, coklat dan selai lainnya seperti srikaya, kacang dan

pandan. Variasi rasa dari selai banyak diminati oleh masyarakat, baik itu untuk dikonsumsi

sendiri (35%) dan digunakan ke dalam produk makanan untuk dijual (75%) berdasarkan

wawancara oleh produsen selai buah yang tidak bermerek.

Universitas Sumatera Utara


Selai buah rasa strawberry, blueberry dan nanas dipilih sebagai sampel

penelitian nantinya karena selai rasa ini lebih diminati masyarakat Kota Medan disamping

harga yang relatif murah dan memiliki karakteristik yang berbeda dari selai lainnya seperti

aroma yang khas, rasa yang manis dan warna yang menarik serta mempunyai daya simpan

yang cukup lama dan mudah untuk diaplikasikan ke berbagai produk makanan.

Biasanya selai buah paling banyak digunakan untuk isi roti bakar yang ada dijual di

beberapa jalan yang ada di Kota Medan. Selain itu selai juga digunakan untuk aneka kue,

cemilan dan isi roti pedagang keliling. Selai ini mudah dijumpai ditoko roti dan ditoko

makanan di beberapa pasar tradisional di Kota Medan, selai ini dikemas rapat dengan

berbagai jenis ada selai bermerek dan tidak bermerek yang berasal dari produksi lokal

maupun import dari luar negri.

Peneliti disini hanya memfokuskan pada selai buah yang tidak bermerek yang

dipasarkan dibeberapa pasar tradisional Kota Medan, dijual dalam bentuk kemasan plastik

ukuran seperempat dan setengah kilogram dengan harga yang relatif murah sehingga

dikhawatirkan terjadinya penyimpangan dalam jenis dan kadar penggunaan bahan

tambahan pangan seperti zat pewarna, pemanis dan pengawet pada selai tersebut.

Berdasarkan survei awal yang telah dilakukan peneliti tertarik untuk menganalisis jenis dan

kadar penggunaan bahan tambah pangan seperti zat pewarna, pemanis dan pengawet pada

selai buah yang tidak bermerek.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

penelitian adalah mengetahui jenis dan kadar zat pemanis, pewarna dan pengawet pada selai

buah tidak bermerek yang dijual dibeberapa Pasar Tradisional di Kota Medan pada Tahun

Universitas Sumatera Utara


2016 dan penggunaanya akan disesuai dengan persyaratan Permenkes RI Nomor 33 Tahun

2012 tentang Bahan Tambahan Pangan, yang menyatakan bahwa bahan tambah pangan

boleh digunakan jika tidak melebihi batas maksimum penggunaan dalam kategori pangan.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini untuk mengetahui jenis dan kadar zat pemanis, zat pewarna dan zat

pengawet yang digunakan dalam selai buah tidak bermerek yang dijual di beberapa Pasar

Tradisional Kota Medan kemudian disesuaikan dengan Permenkes RI Nomor 33 Tahun

2012 tentang Bahan Tambahan Pangan.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Sebagai informasi bagi masyarakat selaku konsumen untuk berhati-hati dalam

memilih makanan khususnya produk selai buah dijual dibeberapa Pasar Tradisional

di Kota Medan.

2. Sebagai bahan masukan bagi Dinas Kesehatan dan Badan POM untuk mengadakan

pengawasan terhadap penggunaan bahan tambah pangan seperti zat pewarna,

pemanis dan pengawet pada selai buah yang ada dibeberapa Pasar Tradisional di

Kota Medan.

3. Menambah pengetahuan bagi peneliti dan pembaca terutama mengenai penggunaan

zat pewarna, pemanis dan pengawet pada selai buah yang dijual di pasar tradisional

Kota Medan.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai