Seorang pria berusia 60 tahun datang ke poliklinik RS dengan keluhan berkemih tidak
lancar sejak 1 tahun terakhir dan dalam 1 bulan ini dirasakan keluhan semakin memberat. Dari
anamnesa diketahui bahwa penderita mengalami kesulitan untuk memulai berkemih, harus
mengejan, pancaran kemih melemah, dan rasa tidak lampias setelah berkemih, juga berkemih
malam hari lebih dari 5 kali dalam 1 malam. 1 bulan terakhir ini sering disertai rasa nyeri dan
panas saat berkemih dan kadang-kadang disertai demam. Penderita pernah mengalami berkemih
disertai darah segar 2 minggu sebelum ke RS, disertai nyeri, namun membaik dan hilang dengan
sendirinya 1 hari kemudian. Tidak ada riwayat trauma/kateterisasi sebelumnya, tidak ada riwayat
kencing keluar nanah sebelumnya.
Kata kunci : Berkemih tidak lancar, Sering berkemih di malam hari, Tidak lampias, Tidak ada
riwayat trauma/kateterisasi
Learning Objective
1. Mahasiswa mampu menjelaskan pendekatan diagnosis pada BPH dan striktur urethra
2. Mahasiswa mampu menjelaskan etiologi dan faktor resiko pada masing–masing diagnosa
banding
3. Mahasiswa mampu menjelaskan patofisiologi masing–masing diagnosa banding
4. Mahasiswa mampu menjelaskan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang yang diperlukan pada masing-masing diagnosa banding
5. Mahasiswa mampu menjelaskan prinsip penatalaksanaan, prognosis, dan komplikasi pada
masing-masing diagnose banding
Minimal pertanyaan
Faktor resiko
Banyak sekali faktor yang diduga berperan dalam proliferasi/pertumbuhan jinak kelenjar
prostat, tetapi pada dasarnya BPH tumbuh pada pria yang menginjak usia tua dan masih
mempunyai testis yang masih berfungsi normal menghasilkan testosteron.
Di samping itu pengaruh hormon lain (estrogen, prolaktin), diet tertentu, mikrotrauma, dan
faktor-faktor lingkungan diduga berperan dalam proliferasi sel-sel kelenjar prostat secara tidak
langsung. Faktor-faktor tersebut mampu mempengaruhi sel-sel prostat untuk mensintesis protein
growth factor, yang selanjutnya protein inilah yang berperan dalam memacu terjadinya
proliferasi sel-sel kelenjar prostat. Fakor-faktor yang mampu meningkatkan sintesis protein
growth factor dikenal sebagai faktor ekstrinsik sedangkan protein growth factor dikenal sebagai
factor intrinsik yang menyebabkan hiperplasia kelenjar prostat.
Diagnosis
Diagnosis BPH dapat ditegakkan berdasarkan atas berbagai pemeriksaan awal dan
pemeriksaan tambahan. Jika fasilitas tersedia, pemeriksaan awal harus dilakukan oleh setiap
dokter yang menangani pasien BPH, sedangkan pemeriksaan tambahan yang bersifat penunjang
dikerjakan jika ada indikasi untuk melakukan pemeriksaan itu. Pada 5 th International
Consultation on BPH (IC-BPH) membagi kategori pemeriksaan untuk mendiagnosis BPH
menjadi: pemeriksaan awal (recommended) dan pemeriksaan spesialistik urologi (optional),
sedangkan guidelines yang disusun oleh EAU membagi pemeriksaan itu dalam: mandatory,
recommended, optional, dan not recommended.
Pemeriksaan yang dilakukan oleh dokter umum, dokter spesialis non urologi, maupun spesialis
urologi:
I. Pemeriksaan awal
1. Harus diperiksa oleh setiap dokter/tenaga kesehatan (bersifat mandatory) meliputi:
a. Anamnesis/wawancara tentang riwayat penyakit untuk menyingkirkan penyebab lain dari
gangguan miksi, atau untuk mengungkap kemungkinan adanya penyakit lain yang
mempengaruhi hasil terapi yang akan diberikan.
b. Pemeriksaan fisik termasuk disini adalah colok dubur dan pemeriksaan neu-rologis
c. Urinalisis untuk mencari kemungkinan adanya hematuria dan leukosituria
2. Diperiksa jika fasilitas tersedia (bersifat Recommended), meliputi:
a. PSA guna menyingkirkan kemungkinan adanya karsinoma prostat stadium awal.
b. Pemeriksaan ini terutama ditawarkan kepada pasien yang mempunyai usia harapan hidup
lebih dari 10 tahun atau usianya belum mencapai 70 tahun.
c. Test faal ginjal (kreatinin serum) untuk menilai kemungkinan adanya penyulit BPH pada
saluran kemih bagian atas. Peningkatan harga kreatinin dalam serum merupakan indikasi
untuk melakukan atas IPSS dan QoL untuk menentukan derajat keluhan miksi dan
kualitas hidup, kecuali jika pasien yang sebelumnya sudah memakai kateterisasi karena
retensi urine.
d. Catatan harian miksi.
Pilihan terapi
1. Watchful waiting
Ditujukan untuk pasien dengan gejala ringan atau sedang dengan keluhan yang tidak
mengganggu (IPSS≤7) dan pasien yang menolak terapi medikamentosa. Pasien hanya
diberikan petunjuk, di antaranya adalah:
Hindari obat-obatan yang dapat menyebabkan terjadinya serangan LUTS atau retensi
urine akut
Batasi minum yang menyebabkan diuresis, terutama pada malam hari
Diperbanyak melakukan aktivitas fisik.
Setiap 6 bulan dilakukan evaluasi, dan jika tidak ada kemajuan selama terapi atau keluhan
bertambah berat perlu dipikirkan untuk pemberian terapi medikamentosa.
2. Medikamentosa
Pasien BPH bergejala biasanya memerlukan pengobatan bila telah mencapai tahap tertentu.
Pada saat BPH mulai menyebabkan perasaan yang mengganggu, apalagi membahayakan
kesehatannya, direkomen-dasikan pemberian medikamentosa. Dalam menentukan pengobatan
perlu diperhatikan beberapa hal, yaitu dasar pertimbangan terapi medikamentosa, jenis obat yang
digunakan, pemilihan obat, dan evaluasi selama pemberian obat11. Perlu dijelaskan pada pasien
bahwa harga obat-obatan yang akan dikonsumsi tidak murah dan akan dikonsumsi dalam jangka
waktu lama.
Dengan memakai piranti skoring IPSS dapat ditentukan kapan seorang pasien memerlukan
terapi. Sebagai patokan jika skoring >7 berarti pasien perlu mendapatkan terapi medi-kamentosa
atau terapi lain.
Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk:
(1) mengurangi resistensi otot polos prostat sebagai komponen dinamik atau
(2) mengurangi volume prostat sebagai komponen statik.
Terapi intervensi
Terapi intervensi dibagi dalam 2 golongan, yakni teknik ablasi jaringan prostat atau
pembedahan dan teknik instrumentasi alternatif. Termasuk ablasi jaringan prostat adalah:
pembedahan terbuka, TURP, TUIP, TUVP, laser prostatektomi. Sedangkan teknik instrumentasi
alternatif adalah interstitial laser coagulation, TUNA, TUMT, dilatasi balon, dan stent uretra.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ikatan Ahli Urologi Indonesia. Konsensus sementara benign prostatic hyperplasia di
Indonesia, 2000.
2. AUA practice guidelines committee. AUA guideline on management of benign prostatic
hyperplasia (2003). Chapter 1: diagnosis and treatment recommendations. J Urol 170:
530-547, 2003.
3. Barry MJ, Fowler FJ, O’Leary MP, et al. The American Urological Association Symptom
Index for Benign Prostatic Hyperplasia. J Urol 148: 1549, 1992.
4. Kirby M. Management of benign prostatic hyperplasia (BPH) in a primary care setting.
http://www.urohealth.org