Anda di halaman 1dari 18

Health Education

INSPEKSI VISUAL ASAM ASETAT

Oleh :
Brily Johanes Lombogia
17014101003

Supervisor Pembimbing :
Prof. dr. Najoan N. Warouw, Sp.OG (K)

Residen Pembimbing :
dr. Helena Sunarja

BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SAM RATULANGI
RSUP PROF DR. R.D KANDOU
MANADO
2018
BAB I

PENDAHULUAN

Kanker serviks merupakan keganasan yang berasal dari serviks. Serviks


merupakan sepertiga bagian bawah uterus, berbentuk silindris, menonjol dan
berhubungan dengan vagina melalui ostium uteri eksternum. Penyebab kanker
serviks diketahui adalah virus HPV (Human Papilloma Virus) sub tipe onkogenik,
terutama sub tipe 16 dan 18. Adapun faktor risiko terjadinya kanker serviks
antara lain: aktivitas seksual pada usia muda, berhubungan seksual dengan
multipartner, merokok, mempunyai anak banyak, sosial ekonomi rendah,
pemakaian pil KB (dengan HPV negatif atau positif), penyakit menular seksual,
dan gangguan imunitas.

Sampai saat ini pemeriksaan sitologi dengan tes pap smear masih merupakan
pemeriksaan standar deteksi dini lesi prakanker serviks. Berdasarkan
GLOBOCAN 2012 kanker serviks menduduki urutan ke7 secara global dalam
segi angka kejadian (urutan ke urutan ke- 6 di negara kurang berkembang) dan
urutan ke-8 sebagai penyebab kematian (menyumbangkan 3,2% mortalitas, sama
dengan angka mortalitas akibat leukemia). Kanker serviks menduduki urutan
tertinggi di negara berkembang, dan urutan ke 10 pada negara maju atau urutan ke
5 secara global. Di Indonesia kanker serviks menduduki urutan kedua dari 10
kanker terbanyak berdasar data dari Patologi Anatomi tahun 2010 dengan insidens
sebesar 12,7%. Hal ini dikarenakan kurangnya efektivitas dan akses terhadap
pencegahan dan skrining awal. Akibatnya, kanker serviks baru diketahui ketika
sudah berada pada stadium lanjut dan sudah terlambat untuk diberikan
penanganan yang efektif.

Di negara-negara yang maju diperkirakan 40-50% wanita berkesempatan


untuk melakukan skrining dengan tes pap smear, sementara di negara
berkembang diperkirakan hanya 5% yang berkesempatan menjalani skrining. Di
negara maju, skrining secara luas dengan metode pemeriksaan sitologi tes pap
smear telah menunjukkan hasil yang efektif dalam menurunkan insidens kanker
leher rahim. Namun di negara-negara berkembang yang hanya memiliki sumber
daya terbatas, skrining hanya menjangkau sebagian kecil perempuan saja,
terutama di daerah perkotaan.1,2,6

Skrining dengan metode tes pap smear memerlukan tenaga ahli, sistem
transportasi, komunikasi dan tindak lanjut (follow-up) yang belum dapat dipenuhi
oleh negara-negara berkembang. Selain itu, tes pap smear memiliki keterbatasan
jumlah laboratorium sitologi dan tenaga sitoteknologi terlatih, akibatnya hasil tes
pap smear baru didapat dalam rentang waktu yang relatif lama (berkisar 1 hari - 1
bulan). Masalah yang berkembang akibat keterbatasan metode tes pap smear
inilah yang mendorong banyak penelitian untuk mencari metode alternatif
skrining kanker leher rahim.1,2,3

Tahun 1985 WHO merekomendasikan suatu pendekatan alternatif bagi


negara yang sedang berkembang dengan konsep down staging terhadap kanker
serviks, salah satunya adalah dengan cara Inspeksi Visual dengan Asam Asetat
(IVA). Pengolesan asam asetat 3-5% pada serviks pada epitel abnormal akan
memberikan gambaran bercak putih yang disebut acetowhite. Gambaran ini
muncul oleh karena tingginya tingkat kepadatan inti dan konsentrasi protein. Hal
ini memungkinkan pengenalan bercak putih pada serviks dengan mata telanjang
(tanpa pembesaran) yang dikenal sebagai pemeriksaan IVA.1,2,3

Metode IVA memberi peluang dilakukannya skrining secara luas di


tempat-tempat yang memiliki sumberdaya terbatas, karena metode ini
memungkinkan diketahuinya hasil dengan segera dan terutama karena hasil
skrining dapat segera ditindaklanjuti. Metode satu kali kunjungan (single visit
approach) dengan melakukan skrining metode IVA dan tindakan bedah krio untuk
temuan lesi prakanker (see and treat) memberikan peluang untuk peningkatan
cakupan deteksi dini kanker leher rahim, sekaligus mengobati lesi prakanker.2,3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi IVA

Pemeriksaan inspeksi visual dengan asam asetat (IVA) adalah pemeriksaan


yang pemeriksanya (dokter/bidan/paramedis) mengamati leher rahim yang telah
diberi asam asetat/ asam cuka 3-5% secara inspekulo dan dilihat dengan
1,2
penglihatan mata telanjang. Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA)
merupakan metode deteksi dini kanker serviks yang sesuai untuk negara
berkembang termasuk Indonesia. Pada lesi prakanker akan menampilkan warna
bercak putih yang disebut acetowhite epithelium.1,2,3

B. Dasar Pemeriksaan IVA

Pemeriksaan IVA pertama kali diperkenalkan oleh Hinselman (1925)


dengan cara memulas leher rahim dengan kapas yang telah dicelupkan dalam
asam asetat 3-5%. Pemberian asam asetat itu akan mempengaruhi epitel abnormal,
bahkan juga akan meningkatkan osmolaritas cairan ekstraseluler. Cairan
ekstraseluler yang bersifat hipertonik ini akan menarik cairan dari intraseluler
sehingga membran akan kolaps dan jarak antar sel akan semakin dekat. Sebagai
akibatnya, jika permukaan epitel mendapat sinar, sinar tersebut tidak akan
diteruskan ke stroma, tetapi dipantulkan keluar sehingga permukaan epitel
abnormal akan berwarna putih, disebut juga epitel putih (acetowhite).1,2

Daerah metaplasia yang merupakan daerah peralihan akan berwarna putih


juga setelah pemulasan dengan asam asetat tetapi dengan intensitas yang kurang
dan cepat menghilang. Hal ini membedakannya dengan proses prakanker yang
epitel putihnya lebih tajam dan lebih lama menghilang karena asam asetat
berpenetrasi lebih dalam sehingga terjadi koagulasi protein lebih banyak. Jika
makin putih dan makin jelas, makin tinggi derajat kelainan jaringannya.
Dibutuhkan 1-2 menit untuk dapat melihat perubahan-perubahan pada epitel.
Leher rahim yang diberi 5% larutan asam asetat akan berespons lebih cepat
daripada 3% larutan tersebut. Efek akan menghilang sekitar 50-60 detik sehingga
dengan pemberian asam asetat akan didapatkan hasil gambaran leher rahim yang
normal (merah homogen) dan bercak putih (mencurigakan displasia). Lesi yang
tampak sebelum aplikasi larutan asam asetat bukan merupakan epitel putih, tetapi
disebut leukoplakia yang biasanya disebabkan oleh proses keratosis.1,2,3

C. Sarana dan Prasarana Penunjang Pemeriksaan IVA


Untuk melaksanakan skrining dengan metode IVA, dibutuhkan tempat dan alat
sebagai berikut: 4
 Ruangan tertutup, karena pasien diperiksa dengan posisi litotomi.
 Meja/ tempat tidur periksa yang memungkinkan pasien berada pada posisi
litotomi.
 Sumber cahaya/ lampu sorot untuk melihat serviks
 Spekulum vagina
 Asam asetat (3-5%)
 Swab-lidi berkapas
 Sarung tangan

D. Teknik dan Interpretasi Pemeriksaan IVA

Prinsip metode IVA adalah melihat perubahan warna menjadi putih


(acetowhite) pada lesi prakanker jaringan ektoserviks rahim yang diolesi larutan
asam asetoasetat (asam cuka). Bila ditemukan lesi makroskopis yang dicurigai
kanker, pengolesan asam asetat tidak dilakukan namun segera dirujuk ke sarana
yang lebih lengkap. Perempuan yang sudah menopause tidak direkomendasikan
menjalani skrining dengan metode IVA karena zona transisional leher rahim pada
kelompok ini biasanya berada pada endoserviks rahim dalam kanalis servikalis
sehingga tidak bisa dilihat dengan inspeksi spekulum.1

Perempuan yang akan diskrining berada dalam posisi litotomi, kemudian


dengan spekulum dan penerangan yang cukup, dilakukan inspeksi terhadap
kondisi leher rahimnya. Setiap abnormalitas yang ditemukan dicatat. Kemudian
leher rahim dioles dengan larutan asam asetat 3-5% dan didiamkan selama kurang
lebih 1-2 menit untuk dilihat hasilnya. Leher rahim yang normal akan tetap
berwarna merah muda, sementara hasil positif bila ditemukan area, plak atau
ulkus yang berwarna putih.1,2,3

Lesi prakanker ringan/jinak (NIS 1) menunjukkan lesi putih pucat yang


bisa berbatasan dengan sambungan skuamokolumnar. Lesi yang lebih parah (NIS
2-3 seterusnya) menunjukkan lesi putih tebal dengan batas yang tegas, dimana
salah satu tepinya selalu berbatasan dengan sambungan skuamokolumnar
(SSK).1,2 Beberapa kategori temuan IVA tampak seperti tabel berikut :

Tabel 1. Kategori Temuan IVA1

Kategori

1. Negatif  tak ada lesi bercak putih (acetowhite


lesion)

 bercak putih pada polip endoservikal


atau kista nabothi

 garis putih mirip lesi acetowhite pada


sambungan skuamokolumnar

2. Positif 1 (+)  samar, transparan, tidak jelas, terdapat


lesi bercak putih yang ireguler pada
serviks

 lesi bercak putih yang tegas,


membentuk sudut (angular),
geographic acetowhite lessions yang
terletak jauh dari sambungan
skuamokolumnar

3. Positif 2 (++)  lesi acetowhite yang buram, padat dan


berbatas jelas sampai ke sambungan
skuamokolumnar

 lesi acetowhite yang luas,


circumorificial, berbatas tegas, tebal
dan padat

 pertumbuhan pada leher rahim menjadi


acetowhite
Gambar 2. Leher Rahim dengan Pemeriksaan IVA

Baku emas untuk penegakan diagnosis lesi prakanker leher rahim adalah
biopsi yang dipandu oleh kolposkopi. Apabila hasil skrining positif, perempuan
yang diskrining menjalani prosedur selanjutnya yaitu konfirmasi untuk penegakan
diagnosis melalui biopsi yang dipandu oleh kolposkopi. Setelah itu baru dilakukan
pengobatan lesi prakanker. Ada beberapa cara yang dapat digunakan yaitu
kuretase endoservikal, krioterapi, atau loop electrosurgical excision procedure
(LEEP), laser, konisasi, sampai histerektomi simpel.1,5

E. Sasaran Skrining IVA

Sasaran skrining kanker leher rahim yang ditetapkan WHO adalah sebagai
berikut:5
 Setiap perempuan yang berusia antara 25-35 tahun, yang belum pernah
menjalani tes Pap sebelumnya, atau pernah mengalami tes Pap 3 tahun
sebelumnya atau lebih.
 Perempuan yang pernah mengalami lesi abnormal pada pemeriksaan tes
Pap sebelumnya.
 Perempuan yang mengalami perdarahan abnormal pervaginam, perdarahan
pasca sanggama atau perdarahan pasca menopause atau mengalami tanda
dan gejala abnormal lainnya.
 Perempuan yang ditemukan ketidaknormalan pada leher rahimnya.

Dalam penerapan skrining kanker leher rahim di Indonesia, usia target saat
ini adalah antara usia 30-50 tahun, meskipun begitu pada perempuan usia 50-70
tahun yang belum pernah diskrining sebelumnya masih perlu diskrining untuk
menghindari lolosnya kasus kanker leher rahim. Selain sasaran diatas, semua
perempuan yang pernah melakukan aktivitas seksual perlu menjalani skrining
kanker leher rahim. WHO tidak merekomendasikan perempuan yang sudah
menopause menjalani skrining dengan metode IVA karena zona transisional leher
rahim pada kelompok ini biasanya berada pada endoleher rahim dalam kanalis
servikalis sehingga tidak bisa dilihat dengan inspeksi spekulum.1,2,3,5
Namun untuk pelaksanaan di Indonesia, perempuan yang sudah
mengalami menopause tetap dapat diikut sertakan dalam program skrining, untuk
menghindari terlewatnya penemuan kasus kanker leher rahim. Perlu disertakan
informed consent pada perempuan golongan ini, mengingat alasan di atas. Tidak
ditemukannya lesi prekanker tidak berarti tidak ada lesi prakanker pada golongan
perempuan ini. Interval skrining dilakukan 5 tahun sekali, kecuali bila ditemukan
radang pada leher rahim, interval dapat diperpendek. 1,2,4

F. Akurasi dan Keuntungan Pemeriksaan IVA Dibandikan dengan Pemeriksaan


Lain

Beberapa penelitian terdahulu menyebutkan bahwa metode IVA berpotensi


menjadi alternatif metode skrining kanker leher rahim di daerah-daerah yang
memiliki sumber daya terbatas. Namun demikian, akurasi metode ini dalam
penerapan klinis masih terus dikaji di berbagai negara berkembang. 1,2

Penelitian Universitas Zimbabwe dan JHPIEGO Cervical cancer project


yang melibatkan 2.203 perempuan di Zimbabwe melaporkan bahwa skrining
dengan metode IVA dapat mengidentifikasi sebagian besar lesi prakanker dan
kanker. Sensitivitas IVA dibanding pemeriksaan sitologi (Tes Pap) berturut-turut
adalah 76,7% dan 44,3%. Meskipun begitu, dilaporkan juga bahwa metode IVA
ini kurang spesifik, angka spesifisitas IVA hanya 64,1% dibanding sitologi 90,6%.
Penelitian lainnya mengambil sampel 1997 perempuan di daerah pedesaan di
Cina, dilakukan oleh Belinson JL dan kawan-kawan untuk menilai sensitivitas
metode IVA pada lesi prakanker tahap NIS 2 atau yang lebih tinggi, dikonfirmasi
dengan kolposkopi dan biopsi leher rahim. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
angka sensitivitas IVA untuk NIS 2 atau yang lebih tinggi adalah 71%, sementara
angka spesifisitas 74%. Beberapa penelitian menunjukkan sensitivitas IVA lebih
baik daripada sitologi. Claey et al. melaporkan penelitiannya di Nikaragua, bahwa
metode IVA dapat mendeteksi kasus LDT (Lesi Derajat Tinggi) dan kanker invasif
2 kali lebih banyak daripada Tes Pap.1

Beberapa penelitian terbaru tentang IVA menambah data tentang


kemungkinan penggunaan IVA sebagai alternatif metode skrining secara luas di
negara-negara berkembang. Ghaemmaghami et al. (2004) melaporkan angka
sensitivitas IVA dibandingkan dengan Tes Pap berturut-turut adalah 74.3% dan
72%, sementara angka spesifisitas adalah 94% dan 90.2%. Penelitian dilakukan
terhadap 1200 perempuan yang menjalani skrining dengan metode IVA dan Tes
Pap dan dikonfirmasi dengan kolposkopi dan biopsi. Hasil positif dari kedua
pemeriksaan tersebut berjumlah 308 orang, 191 orang diantaranya terdeteksi
positif melalui metode IVA. Hasil konfirmasi histologi menunjukkan 175 sampel
dinyatakan positif (dengan kriteria NIS I atau yang lebih berat), dari 175 sampel
tersebut, 130 diantaranya terdeteksi melalui metode IVA. Sementara Doh et al.
(2005) melaporkan hasil penelitian di Kamerun terhadap 4813 perempuan yang
menjalani skrining dengan metode IVA dan Tes Pap. Hasil penelitian
menunjukkan sensitivitas IVA dibanding Tes Pap 70.4% dan 47.7%, sedangkan
spesifitas IVA dan Tes Pap berturut-turut 77.6% dan 94.2%, nilai prediksi negatif
(NPV/ Negative Predictive Value) untuk IVA dan Tes Pap berturut-turut adalah
91.3% dan 87.8%. Suatu penelitian meta-analisis atas 11 penelitian potong lintang
(cross-sectional studies) yang dilakukan di India dan beberapa negara di Afrika
(2008) yang dilakukan Arbyn et al. membandingkan penggunaan metode IVA,
VILI, IVA dengan pembesaran (VIAM/Visual Inspection with Acetoacetat with a
Magnifying device), tes Pap dan HC2 (Hybrid Capture-2 assay). Penelitian ini
melibatkan lebih dari 58.679 perempuan usia 25-64 tahun. Hasil penelitian meta-
analisis ini untuk angka sensitivitas IVA,Vili, tes Pap dan HC2 berturut-turut
adalah sebagai berikut : 1,2

Tabel 2. Sensitifitas, Spesifisitas Berbagai Metode Skrining Terhadap CIN 21

Metode Sensitivitas(%) Spesifisitas (%)

IVA 79.2 84.7

VILI 91.2 84.5

Tes Pap 57 93
HC2 62 94

Berbagai penelitian telah menyatakan bahwa skrining dengan metode IVA


lebih mudah, praktis dan lebih sederhana, mudah, nyaman, praktis dan murah.
Pada tabel dibawah ini dapat dilihat perbandingkan antara pap smear dan IVA
dalam berbagai aspek pelayanan.

Tabel 3. Perbandingan Skrining Tes Pap dan IVA1

Uraian Metode Skrining Tes Pap IVA

Petugas kesehatan Sample takers (Bidan/ Bidan, perawat, dokter


perawat/ dokter umum/ umum, Dr Spesialis
Dr. Spesialis) Skrinner/
Sitologis/ Patologis

Sensitivitas 70 % - 80% 65% - 96%

Spesifisitas 90% - 95% 54% - 98%

Hasil 1 hari – 1 bulan Langsung

Sarana Spekulum, lampu sorot, Spekulum, lampu sorot,


kaca benda (slide), Asam asetat
laboratorium

Biaya Relatif mahal Murah

Dokumentasi Ada Tidak ada


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

 Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA) adalah metode yang cocok
untuk deteksi dini kanker serviks sesuai untuk negara berkembang salah
satunya Indonesia. Teknik IVA cukup sederhana, yaitu dengan
mengaplikasikan asam asetat 3-5% pada serviks. Pada lesi prakanker akan
menampilkan warna bercak putih yang disebut acetowhite epithelium.
Dengan munculnya bercak putih dapat disimpulkan bahwa tes IVA positif.
 Inspeksi visual asam asetat (IVA) mempunyai sensitivitas yang tinggi
untuk deteksi dini lesi prakanker serviks, mudah, murah, dan efektif
terutama jika dibandingkan dengan pap smear.

B. Saran

Inspeksi visual asam asetat (IVA) mempunyai sensitivitas yang tinggi


untuk deteksi dini lesi prakanker serviks dan mengingat faktor kemudahan,
biaya dan efektifitas maka pemeriksaan IVA dapat digunakan sebagai
alternatif untuk deteksi dini lesi prakanker serviks, serta diperlukan
penyebarluasan teknik pemeriksaan IVA pada petugas kesehatan terutama
bidan, sehingga kelainan serviks pada tahap dini dapat diketahui.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sapto Wiyono dkk, Inspeksi Visual Asam Asetat untuk deteksi Dini
Lesi Prakanker Serviks. Universitas Diponegoro: 2008.

2. Melianti M. Skining Kanker Serviks dengan Metode Inspeksi Visual


dengan Asam Asetat (IVA) test. Departmen Kesehatan Republik
Indonesia; Jakarta; 2008
3. Sukaca E B. Cara cerdas menghadapi kanker serviks (Leher Rahim).
Genius Printika; Yogyakarta: 2009.

4. Anonim, Peran Tenaga Kesehatan dalam Skrinning Kanker Leher


Rahim dalam Inspeksi Visual Asam Asetat. Universitas Sumatera
Utara: 2006

5. Sinta Sasika, dkk, Deteksi Dini Kanker Serviks Melalui Uji Sitologi
dan DNA HPV. Universitas Padjajaran Bandung: 2010.

6. Comprehensive Cervical Cancer Control: A Guide to Essential


Practice. World Health Organization. 2nd ed. 2014. ISBN
9789241548953.

DOKUMENTASI

Anda mungkin juga menyukai