Anda di halaman 1dari 6

Bambu memiliki kontribusi yang banyak terhadap keberlanjutan lingkungan

seperti, konservasi tanah dan air serta rehabilitasi tanah yang terdegradasi,
penyaringan air melalui hutan bambu, konservasi terhadap keanekaragaman
hayati di hutan bambu dengan menyediakan habitat dan makanan untuk hewan
dan menyediakan pengganti kayu, penyerap karbon dan sebagai bahan konstruksi
yang ramah lingkungan dengan hasil/produksi tinggi dan produktivitas
berkelanjutan. Nilai ekonomi bambu, sementara maraknya penggundulan atau
kebakaran hutan, bambu sangat baik jika dikelola, diolah dan dimanfaatkan
sebagai pengganti kayu. Bambu memiliki sifat mekanik dan fisik yang unggul,
seperti murah, cepat tumbuh, memiliki efisiensi tinggi dan dapat dipanen secara
berkelanjutan dalam 3 hingga 5 tahun. Pemanfaatan bambu meliputi pemrosesan
tradisional dan modern. Beberapa kegunaan bambu secara tradisional yaitu,
perumahan, perakitan kapal, jembatan, tiang, mangkuk, tikar, keranjang partisi,
sapu, meja, kursi, tempat tidur, sangkar, hingga seruling. Pemrosesan modern
mencakup dua teknik: pemrosesan mekanis membantu menghasilkan produk
seperti tikar, lantai, tirai, tas, furniture, dll. Pemrosesan kimia menghasilkan
produk seperti arang, bir, minuman, kosmetik, pasta gigi, obat-obatan, dll.
Penyebaran bambu di dunia, ada sekitar 70 genera, lebih dari 1200 spesies, luas
22 juta ha (Huijin, 2014).

Bambu terkenal karena karakteristiknya yang cepat tumbuh dan ramah lingkungan
serta memiliki rasio kekuatan terhadap berat yang tinggi. Saat ini terdapat minat
yang besar untuk mengembangkan pemanfaatan bambu untuk bangunan modern
maupun struktur jembatan. Gas rumah kaca sebagian besar terdiri dari karbon
dioksida dan penyebab utama penghasil karbon dioksida ke atmosfer bumi berasal
dari aktivitas manusia melalui pembakaran bahan bakar fosil. Seperti kayu, bambu
juga merupakan bahan organic, yang berfungsi sebagai penyerap karbon alami
(Xiao, 2016).

Karena focus pembangunan diarahkan pada konstruksi yang lebih berkelanjutan,


penggunaan bambu sebagai bahan bangunan struktural menjadi topik yang sangat
menarik. Bambu merupakan material terbarukan, memiliki energi yang rendah,
dan memiliki rasio kekuatan terhadap berat yang tertinggi dibandingkan baja,
beton, dan kayu (Mirmehdi, 2016).

Bambu merupakan material dengan karakteristik serat memanjang yang memiliki


kuat tarik yang tinggi, sifat elastis yang sangat baik, sehingga cocok untuk
digunakan sebagai material rekayasa. Selain itu, bambu memiliki waktu
pertumbuhan yang pendek, sehingga disebut “sustainable green material”. Bambu
banyak diolah sebagai bahan laminasi. Bambu yang direkatkan merupakan “green
building material” yang dapat digunakan secara luas sebagai balok dan kolom
bangunan (Zhao, 2018).

Bambu telah terbukti memiliki sifat mekanik yang sebanding dengan bahan
bangunan konvensional dan ketersediaan globalnya memberikan potensi besar
sebagai bahan bangunan alternative. Bambu structural dewasa dalam jangka
waktu 3-5 tahun, sangat jauh berbeda dengan kayu lunak dan kayu keras yang
masing-masing membutuhkan waktu 10 dan 30 tahun. Pertumbuhan yang cepat,
perawatan yang mudah, sertaa memiliki banyak kegunaan, menjadikan bambu
sebagai bahan berkelanjutan yang baik. Namun, sebagai bahan organic, bambu
harus dirawat dan diolah dengan baik sesuai dengan tujuan penggunaannya,
terutama untuk struktur yang terbuka (Xu, 2014).

Bambu merupakan material fungsional yang berevolusi sehingga mampu untuk


menahan muatan utamanya di alam yaitu berat sendiri dan beban lateral akibat
pengaruh angin. Ketebalan dinding terbesar terletak di dasar batang dan berkurang
seiring dengan pertambahan ketinggian. Di sepanjang ketinggian batang bambu
terdapat node yang mampu menahan tekuk ke daerah ruas yang berdinding tipis
dan berfungsi untuk menahan retakan yang merambat pada ruas. Volume serat
meningkat seiring dengan ketinggian batang mengimbangi kekuatan dan
kekakuan yang menurun akibat diameter dan ketebalan dinding yang berkurang.
Bambu memiliki 3 karakteristik struktur utama yang berbeda dengan tumbuhan
lainnya. Yang pertama, bambu memiliki banyak node yang berperan untuk
menahan retak aksial dan tekuk. Yang kedua, ketebalan batang, diameter luar dan
jarak node berubah secara teratur sesuai dengan ketinggian dari tanah. Yang
ketiga, volume serat meningkat dari dalam kea rah luar permukaan batang bambu
(Amada, 1996).

Bambu telah banyak dimanfaatkan dalam kehidupan manusia dan sejarahnya yang
digunakan sebagai bahan bangunan dan jembatan dapat ditelusuri seperti halnya
kayu. Sifat alaminya cukup sebanding dengan kayu. Namun, bentuk geometris
asli batang bambu membuatnya sulit digunakan dalam konstruksi modern. Bambu
merupakan bahan konstruksi yang menjanjikan untuk dikembangkan dalam
rangka menuju pembangunan yang berkelanjutan. Bambu dapat dengan mudah
ditemukan di banyak belahan dunia, sifat mekanik yang baik, serta memiliki
dampak lingkungan yang rendah dalam pengolahannya (Xiao, 2014).

Bahan konstruksi rendah karbon dibutuhkan untuk mengurangi emisi karbon


dioksida pada bangunan berbasis lingkungan. Contonhnya bambu laminasi
(Sharma, 2016).

Bambu merupakan bahan yang dapat diperbaharui dengan cepat yang memiliki
banyak aplikasi dalam konstruksi dan memiliki sifat mekanik yang hampir sama
dengan kayu. Produk bambu rekayasa dihasilkan melalui pengolahan batang
bambu mentah menjadi komposit laminasi menggunakan bahan perekat dan
pengawet. Bambu merupakan bahan anisotropic yang memiliki sifat mekanik
yang bervariasi dalam arah longitudinal, radial dan transversal (Sharma, 2015).

Untuk meningkatkan pemanfaatan, bambu rekayasa dikembangkan sebagai


komposit laminasi, kekuatan yang melekat dari bahan baku dipertahankan untuk
membentuk bagian yang seragam sehingga mengurangi variabilitas pada sifat
bambu (Sharma, 2014).

Bambu yang dioalh dapat dibuat menjadi elemen struktur yang besar dan
memiliki durabilitas yang tinggi sehingga memiliki potensi untuk digunakan
dalam pembuatan bangunan yang berskala besar yang transformative. Bambu
laminasi merupakan bahan bambu rekayasa structural yang menjanjikan dan
umumnya terbuat dari bambu yang dirawat untuk meningkatkan daya tahannya.
Bambu merupakan bahan anisotropik dengan kekakuan dan kekuatan yang lebih
tinggi pada arah sejajar serat daripada dalam arah orthogonal (Reynolds, 2019).

Penggunaan bambu dalam aplikasi struktural berkembang pesat yang berpotensi


mengubah cara bangunan dan infrastruktur dibangun. Beberapa tahun terakhir,
karena pengaruh perubahan iklim menjadi lebih dimengerti dan diperhatikan,
telah ada upaya untuk menemukan bahan structural baru yang rendah karbon
untuk mengurangi emisi CO2 dari aktivitas konstruksi (Penellum, 2018).

Jumlah lem yang digunakan memiliki pengaruh pada kekuatan ikatan bambu
laminasi, serta memiliki efek jangka panjang pada sifat teknis dari bambu
laminasi yang diproduksi. Jumlah perekat tidak berpengaruh signifikan terhadap
sifat fisik bambu laminasi. Namun berpengaruh signifikan terhadaop beberapa
sifat mekanik seperti kekuatan lentur dan modulus patah (MOE) (Ogunsanwo,
2019).

Penggunaan bambu sebagai bahan bangunan sudah terjadi sejak lama. Sebagian
besar rumah tradisional di Indonesia dan Asia menggunakan bambu sebagai bahan
bangunan, baik sebagai bahan structural maupun non-struktural. Penggunaan
bambu di rumah-rumah tradisional disebabkan oleh fakta bahwa bambu tumbuh
subur di hutan hujan tropis. Tetapi setelah era industry telah mulai, penggunaan
bambu sebagai bahan bangunan menjadi using. Bambu dianggap sebagai bahan
yang murah dan tidak permanen, serta dianggap sebagai bahan kelas rendah,
bahkan disebut sebagai “kayu orang miskin”. Orang cenderung memilih batu bata,
beton dan baja sebagai bahan structural dan konstruksi untuk bangunan modern.
Namun setelah masalah pemanasan global dan keberlanjutan muncul, bambu
sebagai bahan bangunan kembali dibahas dan ditinjau secara luas. Beberapa
arsitek dan pembangun saat ini cenderung memilih bambu untuk bahan bangunan.
Kayu yang berkualitas tinggi untuk konstruksi jarang ditemukan saat ini karena
penggundulan hutan. Kayu juga membutuhkan waktu lama untuk tumbuh kembali
dan siap digunakan sebagai bahan konstruksi. Sementara bambu bisa dipanen
dalam waktu singkat, yaitu antara 3-5 tahun. Sebagai bahan konstruksi, bambu
memiliki serat yang sangat kuat. Kekuatan tekan bambu dua kali lebih tinggi dari
beton, sedangkan kekuatan tariknya dekat dengan baja. Serat bambu memiliki
tegangan geser yang lebih tinggi dari kayu. Bambu memiliki bentang lebih luas
dari kayu. Bambu juga bisa melengkung tanpa patah. Meskipun bambu adalah
bahan bangunan yang umum di Indonesia, tetapi karena pemikiran bahwa bambu
adalah bahan yang murah dan hanya digunakan oleh “orang miskin”, potensi dan
pesona bambu menjadi tenggelam. Namun ketika sebuah bangunan dari bambu
dibuat oleh organisasi Internasional, orang menjadi sadar akan pesona bambu.
Seiring dengan meningkatnya popularitas bambu untuk umum, penggunaan
bambu sebagai bahan bangunan mulai diimplementasikan pada bangunan
komersial seperti hotel, resort, dan restoran eksklusif dan mahal. Namun sangat
penting untuk dilakukan penelitian tentang metode pengolahan bambu sebagai
bahan bangunan yang berkelanjutan dalam rangka emminimalkan dampak
negative terhadap lingkungan, agar kita bisa menggunakan bambu dengan cara
yang andal dan bertanggung jawab (Nurdiah, 2016).

Bambu dianggap sebagai salah satu bahan bangunan yang sangat kuat dengan
kekuatan tarik lebih dan kurang dari 28.000 N per inci persegi, dibandingkan
dengan baja yang 23.000 N per inci persegi (Anagal, et al, 2010 dalam Nurdiah,
2016).

Tidak hanya pertumbuhannya yang cepat, namun bambu dinilai lebih efisien
dibandingkan dengan bahan struktur lainnya. Bambu lebih kuat menahan lentur
dibanding kayu, dan rasio kekuatan terhadap beratnya (dinyatakan sebagai
MOR/berat jenis) lebih besar dibandingkan dengan kayu, cast iron, aluminium
alloy, dan baja (Mahdavi dkk, 2011).

Meskipun bambu merupakan bahan yang menjanjikan untuk digunakan sebagai


pengganti kayu, namun bambu terbatas pada diameter batang bambu dan
kekakuan bambu yang rendah. Untuk mengatai keterbatasan ukuran dan
meningkatkan konsistensi dimensi, kekuatan, dan keseragaman, batang bambu
diolah menjadi lamina datar tipis dan kemudian dilaminasi bersama menggunakan
perekat untuk membentuk anggota structural yang dapat disertifikasi (Li, 2013).

Perekat aqueous polymer isocyanate (API) yang juga dikenal dengan nama
emulsion polymer isocyanate (EPI) nama aslinya aqueous vinyl polymer solution-
isocyanate adhesive (Hori dkk, 2008), pertama kali dikembangkan di Jepan pada
tahun 1974. Perekat API merupakan perekat yang memiliki sifat fisik yang bagus
pada suhu ruang dan ketahanan yang luar biasa pada air hangat/mendidih,
memiliki ph netral, memiliki kuat ikatan yang tinggi, tahan terhadap penuaan, dan
tidak memiliki kandungan formaldehid dan fenol sehingga sangat ramah terhadap
lingkungan, telah banyak digunakan pada industry pengolahan kayu (Hu, 2006).

Berdasarkan JAS 2053-1992 (Japanese Agriculture Standard), perekat API dapat


digunakan untuk memproduksi chipboard (Lix & Liu, 1998 dalam Hu, 2006).

Perekat EPI telah digunakan di Pasar Jepang sebagai perekat kayu sejak 30 tahun
lalu. Perekat emulsi berbasis air dengan isocyanate sebagai cross-linker telah
digunakan untuk memproduksi berbagai bahan olahan kayu di dunia seperti :
panel kayu, frame jendela, plywood, bahan structural seperti balok glulam dan
balok-I. beberapa keunggulan menggunakan perekat EPI yaitu, kecepatan setting
yang cepat, memiliki susut yang rendah pada garis ikatan, membutuhkan waktu
penekanan yang relative cepat dan memiliki ketahanan yang tinggi terhadap
kelembaban (Grostad, 2010).

Industri konstruksi telah diakui sebagai salah satu konsumen utama dari sumber
daya dan energi yang bertanggung jawab untuk sebagian besar limbah yang
dihasilkan.

Anda mungkin juga menyukai