Share
Sesudah memposting tulisan tentang makanan untuk ibu menyusui, berikut ini artikel yang saya
dapat dari sebuh sumber tentang cara-cara dan hal-hal yang berkaitan dengan menyusui.
Sekiranya dapat dijadikan sebuah pengetahuan, sehingga penyampaian gizi yang terbaik bagi
bayi oleh sang ibu dapat dilakukan dengan baik dan dengan cara yang baik pula.
Perempuan mendapat anugrah Tuhan untuk dapat mengandung, melahirkan dan menyusui.
Kodrat pada perempuan ditandai oleh perangkat reproduksi yakni rahim, kandung telur serta
payudara sebagai organ penunjang. Sayangnya tidak semua perempuan bisa memahami dan
menghayati kodratnya, seorang ibu lebih memilih susu formula daripada ASI, padahal s/d
sekarang ASI belum ada tandingannya.
Menyusui membuat tubuh ibu sukar kembali ke bentuk semula ( faktanya, timbunan
lemak akan mudah lenyap saat menyusui )
ASInya tak mencukupi ( faktanya, ASI diproduksi sesuai dengan permintan,makin
sering menyusui makin banyak produksi yang dihasilkan)
Ukuran payudara ( >Besar kecilnya payudara tidak berkaitan dengan kemampuan
memberikan ASI. >ASI diproduksi oleh jaringan kelenjar susu(alveolus),bukan jaringan
lemak (pada payudara besar). Asal normal produksi ASI akan sesuai dengan kebutuhan
bayi.)
ASI pertama bisa menimbulkan penyakit (Pada hari pertama s/d kelima banyak
mengandung protein tinggi,zat kekebalan tubuh,serta laktosa dan lemak yang rendah
sehingga mudah dicerna.)
Menyusui membuat bentuk payudara tidak bagus (Bagus tidaknya bentuk payudara
dipengaruhi oleh faktor keturunan dan usia)
Menyusui itu merepotkan Sebenarnya menyusui lebih praktis,buka payudara tinggal
sodorkan ke mulut bayi pasti suhunya pas, takaranya pas daripada membersihkan botol,
menakar,membawa perlengkapan susu kemana-mana saat pergi.
1. Isapan bayi pada payudara merangsang hormon oxytocin yang diproduksi kelenjar
hipofise meningkat, sehingga mengecilnya rahim kebentuk semula( involusi )lebih cepat.
Mencegah perdarahan pasca melahirkan dan Resiko kanker payudara lebih rendah.
2. Menyusui secara murni ( eklusive ),akan menunda kehamilan karena hormon menyusui
akan menghambat proses ovulasi.
3. Kedekatan psikologis dengan anak, kasih sayang lebih tercurah, bayi merasa aman ada di
dekapan ibu.
1. Menurunkan angka kesakitan dan kematian anak ( ASI mengandung zat kekebalan )
2. Mengurangi subsidi untuk RS
3. Bayi yang diberi ASI lebih jarang dirawat di RS daripada bayi yang mendapat susu
formula.
4. Mengurangi pengeluaran negara untuk import susu formula
5. Kuranglebih Rp 8,6 Milyar/th yang digunakan untuk membeli susu formula.
6. Meningkatkan kualitas generasi penerus bangsa. Anak bisa tumbuh dan berkembang
secara optimal.
Teknik menyusui
Posisi : Bayi lurus sejajar, menghadap ibu, telinga dan lengan pada satu garis lurus, dagu bayi
setinggi aerola,ada bonding antara ibu dan bayi.Perlekatan : hidung menempel payudara,
sebagaian besar aerola bawah masuk mulut,mulut terbuka lebar, bibir bawah ndower
1. sebelum menyusui, ASI dikeluarkan sedikit kemudian dioleskan pada putimg susu dan
aerola sekitarnya.Cara ini mempunyai manfaat sebagai desinfektan dan menjaga
kelembaban puting susu.
2. Bayi diletakkan menghadap perut ibu/payudara.
3. Payudara dipegang dengan ibu jari diatas dan jari lain menopang dibawah, jangan
menekan puting susu atau aerolanya saja.
4. Bayi diberi rangsangan untuk membuka mulut (rooting reflek) dengan cara : 1.
menyentuh pipi dengan puting susu atau, 2.menyentuh sisi mulut bayi
5. Setelah bayi membuka mulut,dengan cepat kepala bayi didekatkan ke payudara ibu
dengan puting serta aerola dimasukkan ke mulut bayi; a. Usahakan sebagaian besar
aerola dapat masuk kemulut bayi,sehingga puting susu berada dibawah langit-langit dan
lidah bayi akan menekan ASI keluar dari tempat penampungan ASI yang terletak
dibawah aerola. b. Setelah bayi mulai menghisap, payudara tak perlu dipegang atau
disangga lagi
Menyusui dengan tehnik yang tidak benar bisa menyebabkan puting susu menjadi lecet, ASI
keluar tidak optimal sehingga mempengaruhi produksi ASI selanjutnya atau bayi enggan
menyusu.Untuk mengetahui bayi telah menyusui dengan benar, perhatikan :
Setelah meyusui pada satu payudara sampai terasa kosong,sebaiknya mengganti denagn
payudara yang lain.Cara melepas isapan bayi :
# jari kelingking ibu dimasukkan kemulut bayi melalui sudut mulut atau,
Setelah selesai menyusui,ASI dikeluarkan sedikit kemudian dioleskan pada puting susu
dan aerola sekitarnya,biarkan kering dengan sendirinya.
Menyendawakan bayi,dengan tujuan mengeluarkan udara dari lambung supaya bayi tidak
muntah(gumoh)setelah menyusui.dengan cara: Bayi digendong tegak dengan bersandar
pada bahu ibu kemudian punggungnya ditepuk perlahan-lahan atau, Bayi tidur tengkurap
dipangkuan ibu,kemudian punggungnya ditepuk perlahan-lahan.
Sebaiknya bayi disusui secara sesuai keinginan bayi(on demand),karena bayi akan menentukan
sendiri kebutuhannya.Bayi yang sehat dapat mengosongkan satu payudara sekitar 5-7 menit dan
ASI dalam lambung akan kosong dalam 2 jam. Menyusui yang dijadwalkan akan berakibat
kurang baik,karena isapan bayi sangat berpengaruh pada rangssangan produksi
berikutnya.menyusui malam hari juga akan memacu produksi ASI.
Selama masa menyusui sebaiknya ibu menggunakan BH (kutang) yang dapat menyangga
payudara,tetapi tidak terlalu ketat.
ASI
Pengeluaran ASI
Apabila ASI berlebihan, sampai keluar memancar,maka sebelum menyusui sebaiknya ASI
dikeluarkan lebih dahulu untuk menghindari bayi tersedak atau enggan menyusu.Pengeluaran
ASI juga berguna bagi ibu yang bekerja bisa meninggalkan ASI untuk bayinya.
Penyimpanan ASI
ASI yang dikeluarkan dapat disimpan untuk beberapa saat.Ada perbedaan lamanya disimpan
dikaitkan dengan tempat penyimpanan:
- Di udara bebas/terbuka : 6-8 jam
- Di lemari Es : 24 jam
ASI yang didinginkan tidak boleh direbus bila akan dipakai,karena kualitsnyaakan
menurun,yaitu unsur kekebalannya.ASI tersebut cukup didiamkan beberapa saat didalam suhu
kamar,agar tidak terlalu dingin,atau dapat pula direndam di dalam wadah yang telah terisi air
panas.
Perlu diperhatikan,jangan diberikan dengan botol/dot,karena hal ini akan menyebabkan bayi
“bingung puting”.Berikan pada bayi dengan cangkir atau sendok,sehingga saat ibu menyusui
langsung,bayi tidak menolak menyusu.
Demikian sedikit informasi yang bisa saya sampaikan, semoga ada manfaatnya dan berguna bagi
temen-temen yang mempunyai bayi. Semoga anak-anak kita menjadi generasi yang lebih baik
dari kita dan tentunya menjadi anak yang sholeh & sholehah….Amien.
Oleh:
DWI ASTUTIK, S.Ag
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2005
SAMPUL DEPAN
Sampul Dalam
Prasyarat Gelar
Persetujuan
Penetapan Panitia
Ucapan Terima Kasih
Ringkasan
Summary
Abstract
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian
Perkembangan sosial budaya, politik, ekonomi, teknologi, serta pertumbuhan penduduk yang
cukup cepat, langsung atau tidak langsung, telah mempengaruhi tatanan nilai dan budaya suatu
bangsa. Secara material arus pertumbuhan dan perkembangan tersebut seolah-olah berjalan
dengan mulus dan menjadi kebanggaan suatu bangsa.
BAB 6. PEMBAHASAN
6.1 Pengembangan Model Pembinaan Anak Jalanan di Jawa Timur berdasarkan Analisa SWOT
Dalam merancang sebuah program akan nampak ideal jika diketahui terlebih dahulu adanya
kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman / hambatan yang dalam hal ini biasa dikenal dengan
Analisa SWOT. Kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman ini jika difahami dan dijadikan
dasar pijakan akan didapat solusi yang tepat dalam mendapatkan sebuah perencanaan yang
strategis. Jika dikaitkan dengan masalah mencari model pembinaan bagi anak jalanan maka
didapatkan sebuah perencanaan strategis layanan dalam bentuk model pembinaan yang tepat
bagi sasaran program yakni anak jalanan.
6.2 Pengembangan Model Pembinaan Anak Jalanan di Jawa Timur berdasarkan Kebutuhan dan
Harapan Anak Jalanan
7.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Ciri-Ciri Fisik dan Psikis
Tabel 4.1 Kondisi Pembangunan Jawa Timur
Tabel 6.1 Beberapa Kombinasi Valensi, Harapan dan Instrumentalitas
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Keterkaitan Pihak-Pihak dalam Konteks KHA
Gambar 2.2 Beberapa Alternatif Tempat Rujukan
Gambar 4.1 Proses
Gambar 5.1 Standar Layanan Anak Jalanan
Gambar 6.1 Analisa SWOT
Gambar 6.2 Hirarki Kebutuhan Manusia Menurut Maslow
Monks dkk. (1988) menuliskan bahwa autistik berasal dari kata “Autos” yang berarti “Aku”.
Dalam pengertian non ilmiah dapat diinterpretasikan bahwa semua anak yang mengarah kepada
dirinya sendiri disebut autistik. Berk (2003) menuliskan autistik dengan istilah “absorbed in the
self” (keasyikan dalam dirinya sendiri). Wall (2004) menyebutnya sebagai “aloof atau withdraw
an” dimana anak-anak dengan gangguan autistik ini tidak tertarik dengan dunia disekitarnya. Hal
yang senada diungkapkan oleh Tilton (2004) bahwa pemberian nama autistik karena hal ini
diyakini dari “keasyikan yang berlebihan” dalam dirinya sendiri. Jadi, autistik dapat diartikan
secara sederhana sebagai anak yang suka menyendiri/ asyik dengan dunianya sendiri.
Gangguan pada anak autistik terdapat kelompok ciri-ciri yang tersedia sebagai kreteria untuk
mendiagnosis autistik. Hal ini terkenal dengan istilah “Wing’s Triad of Impairment” yang
dicetuskan oleh Lorna Wing dan Judy Gould. (Jordan, 2001; Jordan & Powell, 1995; Wall, 2004;
Yuwono, 2006). Tiga gangguan yang ditulis oleh Wing dijabarkan secara berbeda dalam tulisan
Jordan (2001) dan Wall (2004) meskipun secara diskriptif memiliki kesamaan. Jordan
menuliskan tiga gangguan tersebut terdiri dari interaksi sosial, bahasa dan komunikasi, dan
pikiran dan perilaku. Sedang Wall menuliskan interaksi sosial, komunikasi dan imajinasi.
Perbedaanya hanya pada istilah pikiran dan perilaku dengan imajinasi. Tetapi keduanya
menjabarkan dalam manifestasi yang tidak jauh berbeda.
Berbagai definisi tentang autistik telah dituliskan oleh berbagai ahli. Menurut Treatment and
Educational of Autistik and Communication Handicapped Children Program (TEACCH) dalam
Wall (2004) dituliskan:
Autism is a lifelong developmental disability that prevents individuals from properly
understanding what they see, hear and otherwise sense. This results in severe problem of sosial
relationships, communication and behaviour.
Autistik dipahami sebagai gangguan perkembangan neurobiologis yang berat sehingga ganguan
tersebut mempengaruhi bagaimana anak belajar, berkomunikasi, keberadaan anak dalam
lingkungan dan hubungan dengan orang lain. (The Association for Autistik Children in WA,
1991). Berdasarkan konsep dan definisi yang semula dikembangkan oleh Ritvo dan Freeman
(1978) dan The Autism Society of America (2004) mendefinisikan bahwa autistik merupakan
gangguan perkembangan yang komplek dan muncul selama tiga tahun kehidupan pertama
sebagai akibat gangguan neurologis yang mempengaruhi fungsi otak.
Definisi yang lebih operasional dinyatakan oleh The Individuals With Disabilities Education Act
(1997).
Autism is complex developmental disability that typically appears during the first 3 years of life.
It can result in challenges in language, communication, emotion, behavior, fine and gross motor
skills and sosial interaction.
Berdasarkan paparan definisi-definisi di atas, penulis menarik kesimpulan bahwa autistik adalah
gangguan perkembangan neurobiologis yang sangat komplek/berat dalam kehidupan yang
panjang, yang meliputi gangguan pada aspek perilaku, interaksi sosial, komunikasi dan bahasa,
serta gangguan emosi dan persepsi sensori bahkan pada aspek motoriknya. Gejala autistik
muncul pada usia sebelum 3 tahun.
Anak autistik ditinjau dari masa kemunculannya/kejadiannya dapat terjadi dari sejak lahir yang
disebut dengan autistik klasik dan sesudah lahir dimana anak hingga usia 1-2 tahun menunjukkan
perkembangan yang normal. Tetapi pada masa selanjutnya menunjukkan perkembangan yang
menurun/ mundur. Hal ini disebut dengan autistik regresi.
Dalam lingkungan bermasyarakat akan banyak sekali ditemukannya masalah sosial. Masalah sosial tidak
hanya melibatkan diri sendiri sebagai pelaku, melainkan juga akan memberikan banyak pengaruh bagi
lingkungan dan masyarakat banyak. Salah satu masalah lingkungan yang akan saya gali lebih dalam
adalah masalah lingkungan mengenai anak jalanan. Di Indonesia komunitas anak jalanan begitu banyak,
tersebar tidak hanya di kota-kota besar saja, di daerah-daerah juga banyak sekali anak-anak jalanan.
1.3 Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dari pembuatan paper ini adalah sebagai berikut:
1. Memberi gambaran mengenai kehidupan anak jalanan.
2. Memberi gambaran dalam strategi dan cara penanggulangan anak jalanan.
1.4 Manfaat
Dengan pemahaman yang baik mengenai masalah sosial dan segala hal mengenai masalah sosial yang
salah satu contohnya adalah masalah anak jalanan, diharapkan kita bisa mengambil ilmu dan
pengalaman. Yang kemudian akan mengarahkan kita kepada pemahaman akan pentingnya pemahaman
masalah sosial sebagai salah satu unsur penting dalam pembangunan ekonomi masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
Sebutan anak jalanan digunakan bagi kelompok anak-anak yang hidup di jalanan yang umumnya sudah
tidak memiliki ikatan dengan keluarga dan bekerja dijalanan bagi mereka yang masih memiliki ikatan
dengan keluarganya. Walaupun pengertian anak jalanan memiliki konotasi yang negatif, namun pada
dasarnya dapat juga diartikan sebagai anak-anak yang bekerja di jalanan yang bukan hanya sekedar
bekerja di sela-sela waktu luang untuk mendapatkan penghasilan, melainkan anak yang karena
pekerjaannya maka mereka tidak dapat tumbuh dan berkembang secara wajar baik secara jasmani,
rohani dan intelektualnya. Hal ini disebabkan antara lain karena jam kerja panjang, beban pekerjaan,
lingkungan kerja dan lain sebagainya.
Setiap harinya berita tentang anak jalanan seolah-olah tidak ada hentinya. Derita dan penyiksaan yang
mereka alami sering muncul dalam berita. Anak jalanan di bawah umur kebanyakan diperas, ditindas
dan dipaksa untuk bekerja oleh para preman dan hasil kerja yang mereka peroleh dipaksa untuk
disetorkan kepada preman tesebut. Anak jalanan harus berjuang ditengah-tengah kota yang kejam
untuk mendapatkan sejumlah uang agar mereka bisa bertahan hidup dan tidak kelaparan. Pekerjaan
yang mereka kerjakan misalnya menjual rokok, membersihkan bus umum, penjaja koran, atau juga
mengamen.
Keuntungan yang mereka dapat tidak seberapa, namun harus mereka lakukan agar dapat tetap hidup di
kota metropolis ini. Anak-anak jalanan ini biasanya mangkal di terminal atau di persimpangan-
persimpangan jalan. Apa yang mereka lakukan adalah sebenarnya karena faktor ekonomi. Keadaan
ekonomi yang memaksa mereka harus bekerja, dan pekerjaan yang bisa mereka lakukan untuk seusia
mereka adalah pekerjaan di sektor informal.
Penggusuran yang sering kali dilakukan oleh Satpol PP terhadap anak jalanan ini akan memperparah
keadaan. Akan timbul masalah sosial yang lebih besar. Anak-anak yang digusur akan kehilangan mata
pencaharian, sedangkan secara ekonomi, mereka harus mencari lapangan usaha yang mampu
memenuhi kebutuhannya.
Bila lapangan usaha tersebut hilang, maka mereka akan mencari lapangan usaha lain, dan bila ini tidak
didapatkan, mereka akan melakukan tindakan apa saja yang penting bagi mereka bisa menghasilkan
uang. Hal inilah yang menimbulkan dampak sosial. Sebab apa yang mereka lakukan sudah tidak
memperhatikan norma-norma hukum yang berlaku.
Bila ini sudah terjadi tentunya aparat keamanan akan semakin disibukkan kembali. Pencopetan,
perampokan, penodongan dan tindak kriminal lainnya akan menjadi suatu tindak pidana baru yang
pelakunya adalah anak-anak di bawah umur.
Masalah anak jalanan adalah masalah yang sangat kompleks yang menjadi masalah kita bersama.
Pemerintah harus konsen dalam menyelesaikan masalah sosial tersebut. Masalah ini tidak dapat
ditangani hanya oleh satu pihak saja melainkan harus ditangani bersama-sama oleh berbagai pihak yang
perduli terhadap permasalahan ini dan juga dapat diatasi dengan suatu program yang komprehensi dan
tidak akan dapat tertangani secara efektif bila dilaksanakan secara persial.
Program penanggulangan diatas diharapkan bisa memberikan kesadaran penuh kepada anak-anak
jalanan bahwa manusia dapat memperbaiki kondisi kehidupan sosialnya dengan jalan mengorganisir
tindakan kolektif dan tindakan kolektif tersebut dapat dilakukan oleh masyarakat untuk melakukan
perubahan menuju kondisi yang lebih sejahtera.
BAB III
KESIMPILAN
Bangsa Indonesia tidak akan bisa maju selama bangsa ini belum bisa menyelesaikan masalah-masalah
sosial yang terjadi dalam masyarakat. Penyelesaian tersebut tidak akan bisa tercapai selama para
pemimpin pusat dan para pemimpin daerah hanya sibuk memanfaatkan kepercayaan yang masyarakat
berikan sebagai aset untuk memperoleh kekayaan sebanyak-banyaknya dengan cara tidak menyalurkan
dana yang seharusnya diberikan untuk kesejahteraan masyarakat.
Hal ini akan menyebebkan orang yang kaya akan semakin kaya dan yang miskin akan semakin miskin dan
terpuruk, serta tidak akan tercapai selama pemerintah pusat dan daerah belum mempunyai kesadaran
untuk lebih mementingkan kesejahteraan masyarakat dibanding kesejahteraan sendiri.
Untuk dapat menyelesaikan masalah sosial khususnya masalah sosial anak jalanan tidak akan tercapai
hanya dengan mengandalkan pemerintah pusat tetapi juga pemerintah daerah juga harus ikut andil
dalam penyelesaian tersebut.
Melirik Kondisi Kejiwaan Anak Jalanan
Senin, 17 Mei 2010 - 10:23 wib
Perkara mendasar di Tanah Air tercinta Indonesia tampaknya belum mau kunjung surut. Masih segar
dalam ingatan berbagai kasus terkait anak jalanan (anjal).
Beberapa kasus terbaru yang “tampak” terkait dengan anak jalanan di antaranya adalah kasus Babeh
dengan kelainan jiwa pedofilia yang memakan korban anak-anak jalanan. Juga kita lihat bagaimana Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengutuki pihak yang bersalah melibatkan anak-anak dan
menganiaya anak-anak sehingga sejumlah anak terluka dalam peristiwa bentrok makam Mbah Priok di
Koja beberapa waktu silam. Penulis pun teringat pada pengalaman masa silam saat berpraktik sebagai calon
dokter jiwa dan menangani kasus seorang perempuan dewasa dengan kasus gangguan jiwa obsesif kompulsif
yang jika dirunut riwayatnya, dia pernah mengalami pelecehan seksual oleh paman sendiri pada saat masih
berusia 13 tahun.
Selain pihak anak banyak yang takut melaporkan peristiwa kekerasan seksual yang dialaminya karena
dirinya diancam dan orang tua beranggapan bahwa kasus seperti itu aib, sewajarnya juga seorang anak
(seseorang dengan usia di bawah 18 tahun) yang belum berkembang sempurna secara psikoseksual tidak
memahami bahwa dia menjadi korban kekerasan seksual. Akibatnya kekerasan seksual terhadap anak
merupakan sebuah fenomena gunung es. Berdasarkan informasi dari Pusat Data dan Informasi Kementerian
Sosial (2008), jumlah anak jalanan sebesar 232.984 jiwa. Jumlah tersebut cenderung meningkat bila
dibandingkan tahun 2007 sebanyak 104.000 anak dan tahun 2006 sebanyak 144.000 anak.
Dari jumlah tersebut hanya 12% saja yang tertampung dirumah singgah, sedangkan 50% anak jalanan
tinggal bersama orang tuanya. Data dari Yayasan Cinta Anak Bangsa juga menunjukkan bahwa jumlah
anak telantar di Indonesia ada sekira 3,3 juta anak dan 160.000 di antaranya adalah anak jalanan.
Berdasarkan data Komisi Nasional Perlindungan Anak, kasus kekerasan seksual yang menimpa anak-anak
sepanjang 2008 meningkat 30 persen menjadi 1.555 kasus atau 4,2 kasus per hari dari 1.194 kasus pada 2007.
Menurut catatan Dinas Sosial DKI Jakarta, sedikitnya ada 4.023 anak jalanan yang tersebar di 52 wilayah di
Jakarta.
Per definisi, anak jalanan adalah sebuah istilah umum yang mengacu pada anak-anak yang mempunyai
kegiatan ekonomi di jalanan, tetapi masih memiliki hubungan dengan keluarganya. Sementara Kementerian
Sosial RI mendefinisikan anak jalanan sebagai anak yang sebagian besar menghabiskan waktunya untuk
mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan atau tempat-tempat umum lain. Ada dua hipotesis kontradiktif
tentang hal ihwal keberadaan anak jalanan di jalanan: mereka berada di jalan karena memang menikmati
berada di jalan atau karena mereka tidak punya pilihan lain.
Walau pilihan kedua tampaknya menjadi mayoritas, adakalanya kita temukan ekspresi jiwa anak jalanan
yang bermain musik dengan riang dan sepenuh hati sehingga bisa dikatakan perasaan semacam itu
menyelamatkan mereka dari “kegilaan” karena getirnya hidup. Sejauh ini anak jalanan tidak bisa dikatakan
berada di jalanan untuk “menikmati” hidup di jalanan yang keji tanpa fasilitas kecuali kerap mengonsumsi
teratur vitamin berupa polusi udara dan suara karena pada dasarnya mereka selalu menjadi korban.
Dengan begitu banyaknya dasar hukum penyelenggaraan perlindungan anak di Indonesia dan salah satunya
yang utama adalah UU No 23 Tahun 2002 yang juga membahas perlindungan anak dari kekerasan dan
diskriminasi, lantas kenapa jumlah anak jalanan bertambah?
Kenapa pula pada praktiknya aksi-aksi penanganan anak jalanan masih dilakukan secara parsial, sektoral,
dan terfragmentasi tanpa kesinambungan waktu yang cukup memadai untuk sebuah program dapat
berjalan dan terpantau dengan evaluasi dari efektivitasnya?
Ilustrasi Kasus
Ranah kekerasan terhadap anak dapat terjadi di jalanan, tetapi juga dapat terjadi di dalam ranah keluarga
yang notabene aman dan nyaman bagi anak. Di jalanan anak-anak dipaksa menjadi pengemis, pelacur anak,
pekerja malam, dan lainnya. Untuk ruang keluarga–– seperti banyak dieksploitasi oleh sinetron kita––
adalah contoh bagaimana anak dieksploitasi menjadi pekerja rumah tangga dan mengalami penganiayaan
fisik, juga psikis. Begitu juga kekerasan seksual terhadap anak yang tidak henti-hentinya terjadi. Babeh alias
Baekuni (48 tahun) mengaku telah membunuh delapan anak jalanan, hampir semua dimutilasi setelah
sebelumnya menjadi korban pedofilia.
Kasus seperti itu menjadi repetisi dari sebuah kasus klasik yang sempat menjadi mimpi buruk, yaitu
kekejaman Robot Gedek pada pertengahan tahun sembilan puluhan. Untuk melengkapi ironi dan tragedi
dari kebengisan Robot Gedek, tentu semua korbannya adalah anak jalanan yang sepertinya memang identik
dengan penderitaan. Anak korban pedofilia dapat mengalami gangguan fisik dan mental. Bila kejadian
tersebut disertai paksaan dan kekerasan, tingkat trauma psikologis yang ditimbulkan lebih berat, bahkan
sampai usia dewasa akan sulit dihilangkan. Gangguan kejiwaan dan berbagai kelainan psikopatologis
lainnya juga tidak terelakkan.
Dikatakan bahwa gangguan pedofilia yang dialami Babe diawali oleh kejadian dirinya menjadi korban
pedofilia di usia remaja. Secara ideal, tentu kita berharap korban pedofilia dilaporkan. Jika saja korban
pedofilia tersebut terlaporkan atau nyawanya tidak melayang, pendekatan terapi sejak dini harus segera
dilakukan. Masih banyak lagi ragam kondisi kejiwaan yang bisa dialami oleh anak jalanan yang kadarnya
dianggap di atas sekadar juvenile delinquency (kenakalan remaja) seperti penyalahgunaan zat dengan
bahaya mematikan, gangguan emosi dan perilaku, gangguan afektif seperti depresi, kepribadian antisosial,
perilaku impulsif. Namun cukup dengan menelaah satu kasus Babeh saja, kita dapat membayangkan betapa
berbedanya cara hidup anak pada umumnya dan anak jalanan.
Anak-anak pada umumnya dapat hidup nyaman dan tenteram dalam lingkungan keluarga (nature) dengan
pola asuh (nurture) yang baik untuk anak, sementara anak jalanan bertanggung jawab atas tubuh dan
dirinya secara utuh. Mereka wajib kebal terhadap risiko atas kekerasan hidup dan pekerjaan fisik yang
tidak terbayangkan dapat diterima oleh anak seusianya. Seolah-olah mereka hidup dengan menggantungkan
panjang usia hidupnya pada proses seleksi alam.
Metode Terapeutik
Berbagai program telah diciptakan untuk menangani anak jalanan. Ditjen Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial
Kementerian Sosial RI memiliki program Pelayanan Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) dengan salah satu
sasaran adalah anak jalanan. Pada April 2010 lalu juga dikatakan bahwa Kementerian Sosial berencana
memberikan bantuan tunai bersyarat yang besarnya antara Rp900.000 sampai dengan Rp1,8 juta per anak
per tahun. Bantuan tunai itu akan disalurkan melalui lembaga sosial anak yang ditunjuk pemerintah dan
harus digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar anak jalanan serta meningkatkan akses mereka ke
sarana pelayanan sosial dasar seperti fasilitas pendidikan dan kesehatan.
Namun, jangan diabaikan bahwa jika jiwanya sudah rapuh, tidak mudah untuk memenetrasi anak jalanan
aga mau belajar dan peduli dengan kesehatan. Pada shelter ataupun program Kota Layak Anak (KLA)
sebagai bagian dari upaya Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, perlu
diselipkan metode terapeutik seperti community intervention strategies yang ditujukan untuk memperkuat
kemampuan dari komunitas untuk meningkatkan perilaku yang prososial dan mengurangi sikap antisosial
dan kenakalan remaja. Caranya dengan mengombinasikan case management komunitas yang agresif,
pendekatan keluarga secara intensif, dan pembentukan pola perilaku yang spesifik untuk mengurangi
kriminalitas, kedekatan dengan teman sepergaulan yang menyimpang, penyalahgunaan zat, dan sebagainya.
Metode ini tampaknya mempunyai dampak jangka panjang yang paling efektif terhadap perilaku remaja,
terutama anak jalanan, sehingga keluar dari kubangan rasa ketidakberdayaan atau learned helplessness.
Anak jalanan bukan pesakitan dan tidak boleh distigma sakit jiwa. Namun, dengan menghitung logika beban
jiwLa yang harus mereka hadapi, mereka berhak untuk terganggu jiwanya.(*)
‘/k