Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN

KETERAMPILAN DASAR PROFESI


GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN ELIMINASI
ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. S DENGAN RESIKO KONSTIPASI
FEKAL

Disusun oleh:
Sri Anggraini
G3A018091

PROGRAM STUDI NERS (TAHAP PROFESI)


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
2019

1
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Pengertian Eliminasi Fekal

Eliminasi adalah proses pembuangan sisa metabolisme tubuh baik berupa urin atau feses.
Eliminasi fekal adalah proses pembuangan atau pengeluaran sisametabolisme berupa feses yang
berasal dari saluran pencernaan melalui anus. Perawat sering kali menjadi tempat konsultasi atau
terlibat dalam membantu klien yang mengalami eliminasi.
Eliminasi fekal adalah proses pembuangan sisa metabolisme tubuh berupa feses (bowel).
Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum. Hal ini juga disebut bowel movement.
Frekuensi defekasi pada setiap orang sangat bervariasi dari beberapa kali perhari sampai 2 atau 3
kali perminggu. Banyaknya feses juga bervariasi setiap orang. Ketika gelombang peristaltik
mendorong feses kedalam kolon sigmoid dan rektum, saraf sensoris dalam rektum dirangsang
dan individu menjadi sadar terhadap kebutuhan untuk defekasi.

B. Fisiologi Defekasi.

Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum, sedangkan fisiologi defekasi adalah
mekanisme perjalanan makanan hingga akhirnya keluar menjadi feses melalui anus dalam
proses defekasi. Frekuensi defekasi sangat bersifat individual, yang beragam dari beberapa kali
sehari hingga dua atau tiga kali seminggu. Jumlah yang dikeluarkan juga bervariasi pada setiap
orang. Jika gelombang peristaltic menggerakkan feses ke kolon sigmoid dan rektum,saraf
sensorik di rektum di stimulasi dan individu menjadi ingin defekasi. Jika sfingter anal internal
relaks, maka feses akan bergerak menuju anus. Setelah individu di dudukkan pada toilet, sfingter
anal eksternal akan berelaksasi secara volunter. Pengeluaran feses dibantu oleh kontraksi otot
abdomen dan diagfragma, yang meningkatkan tekanan abdomen dan oleh kontraksi otot dasar
panggul, yang memindahkan feses ke saluran anus.
Berikut ini akan dibahas secara singkat organ-organ yang berperan dalam sistem pencernaan
beserta fungsinya.
1. Mulut
Proses pertama dalam sistem pencernaan berlangsung di mulut. Makanan akan
dipotong, diiris, dan dirobek dengan bantuan gigi. Makanan yang masuk ke mulut
dipotong menjadi bagian yang lebih kecil agar mudah di telan dan untuk memperluas
permukaan makanan yang akan terkena enzim. Setelah makanan dipotong menjadi
bagian yang lebih kecil, maka selanjutnya makanan akan diteruskan ke faring dengan
bantuan lidah.

2
2. Faring
Faring adalah rongga dibelakang tenggorokan yang berfungsi dalam sistem
pencernaan dan pernafasan. Dalam sistem pencernaan, faring berfungsi sebagai
penghubung antara mulut dan esofagus.
3. Esofagus
Esofagus adalah saluran berotot yang relatif lurus yang terbentang antara faring
dan lambung. Pada saat menelan, makanan akan dipicu oleh gelombang peristaltik
yang akan mendorong bolus menelusuri esofagus dan masuk ke lambung.
4. Lambung
Lambung adalah organ yang terletak antara esofagus dan usus halus. Di dalam
lambung makanan yang masuk akan disimpan lalu disalurkan ke usus halus. Sebelum
makanan masuk ke usus halus, makanan terlebih dahulu akan dihaluskan dan
dicampurkan kembali sehingga menjadi campuran cairan kental yang biasa disebut
dengan kimus. Lambung menyalurkan kimus ke usus halus sesuai dengan kapasitas
usus halus dalam mencerna dan menyerap makanan dan biasanya satu porsi makanan
menghabiskan waktu dalam hitungan menit.
5. Usus halus
Usus halus adalah tempat sebagian besar pencernaan dan penyerapan
berlangsung.
6. Usus besar
Usus besar adalah organ pengering dan penyimpan makanan.Kolon mengekstrasi
H2O dan garam dari isi lumennya untuk membentuk masa padat yang disebut
feses.Fungsi utama usus besar adalah untuk menyimpan feses sebelum
defekasi.Kolon terdiri dari 7 bagian, yaitu sekum, kolon asendens, kolon transversal,
kolon desendens, kolon sigmoid, rektum dan anus.
Usus besar adalah sebuah saluran otot yang dilapisi oleh mukosa.Serat otot yang
dilapisi oleh membrane mukosa. Serat otot berbentuk sikular dan longitudinal yang
memungkinkan usus membesar dan berkontraksi melebar dan memanjang. Otot
longitudinal lebih pendek dibandingkan kolon, oleh karena itu usus besar membentuk
kantung atau yang biasa disebut dengan haustra.Kolon juga memberi fungsi
perlindungan karena mensekresikan lendir.
Lendir ini berperan untuk melindungi usus besar dari trauma akibat pembentukan
asam di dalam feses dan berperan sebagai pengikat yang akan menyatukan materi
fekal. Lendir ini juga akan melindungi usus besar dari aktifitas bakteri.
Di dalam usus besar terdapat 3 tipe pergerakan yaitu gerakan haustral churning,
peristalsis kolon, peristalsis masa. Gerakan haustral churning akan menggerakan
makanan ke belakang dan ke depan yang berperan untuk menyatukan materi feses,
membantu penyerapan air dan untuk menggerakan isi usus kedepan. Gerakan

3
peristalsis kolon adalah gerakan yang menyerupai gelombang yang akan mendorong
isi usus kedepan. Gerakan ini sangat lambat dan diduga sangat sedikit menggerakan
materi feses tersebut disepanjang usus besar. Yang ketiga adalah gerakan peristalsis
massa. Gerakan ini melibatkan suatu gerakan kontraksi yang sangat kuat sehingga
menggerakkan sebagian besar kolon. Biasanya gerakan ini terjadi setelah makan,
distimulasi oleh keberadaan makanan di dalam lambung dan usus halus. Gerakan
peristalsis massa hanya terjadi beberapa kali dalam sehari pada orang dewasa.
7. Rectum dan Anus
Rektum pada orang dewasa biasanya memiliki panjang 10 – 15 cm sedangkan
saluran anus memiliki panjang 2,5 – 3 cm. Di dalam rektum terdapat lipatan-lipatan
yang dapat meluas secara vertical. Setiap lipatan vertikal berisi sebuah vena dan
arteri. Diyakini bahwa lipatan ini membantu menahan feses di dalam rektum.Jika
vena mengalami distensi seperti yang dapat terjadi jika terdapat tekanan berulang.
Saluran anus diikat oleh otot sfingter internal dan eksternal.Sfingter internal
berada dibawah kontrol involunter dan dipersarafi oleh sistem saraf otonom,
sedangkan sfingter eksternal berada di bawah kontrol volunter dan dipersarafi ooleh
sistem saraf somatik.

C. Etiologi
Penyebab umum konstipasi yang dikutip dari Potter dan Perry, 2005 adalah sebagai
berikut:
1. Kebiasaan defekasi yang tidak teratur dan mengabaikan keinginan untuk defekasi
dapat menyebabkan konstipasi.
2. Klien yang mengonsumsi diet rendah serat dalam bentuk hewani (misalnya daging,
produk-produk susu, telur) dan karbohidrat murni (makanan penutup yang berat)
sering mengalami masalah konstipasi, karena bergerak lebih lambat didalam saluran
cerna. Asupan cairan yang rendah juga memperlambat peristaltik.
3. Tirah baring yang panjang atau kurangnya olahraga yang teratur menyebabkan
konstipasi.
4. Pemakaian laksatif yag berat menyebabkan hilangnya reflex defekasi normal. Selain
itu, kolon bagian bawah yang dikosongkan dengan sempurna, memerlukan waktu
untuk diisi kembali oleh masa feses.
5. Obat penenang, opiat, antikolinergik, zat besi (zat besi mempunyai efek menciutkan
dan kerja yang lebih secara lokal pada mukosa usus untuk menyebabkan konstipasi.
Zat besi juga mempunyai efek mengiritasi dan dapat menyebabkan diare pada
sebagian orang), diuretik, antasid dalam kalsium atau aluminium, dan obat-obatan
antiparkinson dapat menyebabkan konstipasi.
6. Lansia mengalami perlambatan peristaltic, kehilangan elastisitas otot abdomen, dan
penurunan sekresi mukosa usus. Lansia sering mengonsumsi makanan rendah serat.
7. Konstipasi juga dapat disebabkan oleh kelainan saluran GI (gastrointestinal), seperti
obstruksi usus, ileus paralitik, dan divertikulitus.
8. Kondisi neurologis yang menghambat implus saraf ke kolon (misalnya cedera pada
medula spinalis, tumor) dapat menyebabkan konstipasi.
9. Penyakit-penyakit organik, seperti hipotirodisme, hipokalsemia, atau hypokalemia
dapat menyebabkan konstipasi.
Ada juga penyebab yang lain dari sumber lain, yaitu:

4
10. Peningkatan stres psikologi. Emosi yang kuat diperkirakan menyebabkan konstipasi
dengan menghambat gerak peristaltik usus melalui kerja dari epinefrin dan sistem
syaraf simpatis. Stres juga dapat menyebabkan usus spastik (spastik/konstipasi
hipertonik atau iritasi colon ). Yang berhubungan dengan konstipasi tipe ini adalah
kram pada abdominal, meningkatnya jumlah mukus dan periode bertukar-tukarnya
antara diare dan konstipasi.
11. Umur
Otot semakin melemah dan melemahnya tonus spinkter yang terjadi pada orang tua
turut berperan menyebabkan konstipasi.

D. Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala akan berbeda antara seseorang dengan seseorang yang lain, karena pola
makan, hormon, gaya hidup dan bentuk usus besar setiap orang berbeda-beda, tetapi
biasanya tanda dan gejala yang umum ditemukan pada sebagian besar atau kadang-
kadang beberapa penderitanya adalah sebagai berikut:
1. Perut terasa begah, penuh, dan bahkan terasa kaku karena tumpukan tinja (jika tinja
sudah tertumpuk sekitar 1 minggu atau lebih, perut penderita dapat terlihat seperti
sedang hamil).
2. Tinja menjadi lebih keras, panas, dan berwarna lebih gelap daripada biasanya, dan
jumlahnya lebih sedikit daripada biasanya (bahkan dapat berbentuk bulat-bulat kecil
bila sudah parah).
3. Pada saat buang air besar tinja sulit dikeluarkan atau dibuang, kadang-kadang harus
mengejan ataupun menekan-nekan perut terlebih dahulu supaya dapat
mengeluarkan tinja.
4. Terdengar bunyi-bunyian dalam perut.
5. Bagian anus terasa penuh, dan seperti terganjal sesuatu disertai sakit akibat
bergesekan dengan tinja yang panas dan keras.
6. Frekuensi buang angin meningkat disertai bau yang lebih busuk daripada biasanya
(jika kram perutnya parah, bahkan penderita akan kesulitan atau sama sekali tidak
bisa buang
7. Menurunnya frekuensi buang air besar, dan meningkatnya waktu transit buang air
besar (biasanya buang air besar menjadi 3 hari sekali atau lebih).
8. Terkadang mengalami mual bahkan muntah jika sudah parah.

Suatu batasan dari konstipasi diusulkan oleh Holson, meliputi paling sedikit 2 dari
keluhan di bawah ini dan terjadi dalam waktu 3 bulan :
1. Konsistensi feses yang keras,
2. Mengejan dengan keras saat BAB,
3. Rasa tidak tuntas saat BAB, meliputi 25% dari keseluruhan BAB, dan
4. Frekuensi BAB 2 kali seminggu atau kurang.

E. Patofisiologi
Patofisiologi konstipasi masih belum dipahami. Konstipasi diyakini, berhubungan
dengan pengaruh dari sepertiga fungsi utama kolon : (1) transpor mukosa, (2) aktifitas
mioelektrik, atau (3) proses defekasi. Dorongan untuk defekasi secara normal dirangsang
oleh distensi rektal melalui empat tahap kerja : rangsangan refleks penyekat rektoanal,
relaksasi otot sfingter internal, relaksasi otot sfingter external dan otot dalam region
pelvik, dan peningkatan tekanan intra-abdomen.

5
Gangguan salah satu dari empat proses ini dapat menimbulkan konstipasi.
Apabila dorongan untuk defekasi diabaikan, membran mukosa rektal dan muskulatur
menjadi tidak peka terhadap adanya massa fekal, dan akibatnya rangsangan yang lebih
kuat diperlukan untuk menghasilkan dorongan peristaktik tertentu agar terjadi defekasi.
Efek awal retensi fekal ini adalah untuk menimbulkan kepekaan kolon, dimana pada
tahap ini sering mengalami spasme, khususnya setelah makan, sehingga menimbulkan
nyeri kolik midabdominal atau abdomen bawah. Setelah proses ini berlangsung sampai
beberapa tahun, kolon kehilangan tonus dan menjadi sangat tidak responsif terhadap
rangsangan normal, akhirnya terjadi konstipasi. Atoni usus juga terjadi pada proses
penuaan, dan ini dapat diakibatkan oleh penggunaan laksatif yang berlebihan

F. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Eliminasi Fekal


Pada defekasi bertahap dalam kehidupan yang berbeda. Keadaan diet, asupan dan
haluran cairan, aktivitas, faktor psikologis, gaya hidup, pengobatan dan prosedur medis,
serta penyakit juga mempengaruhi defekasi.
1. Perkembangan

Bayi yang baru lahir, batita, anak – anak,dan lansia adalah kelompok yang
anggotanya memiliki kesamaan dalam pola eliminasi.
a. Bayi yang baru lahir
Mekonium, adalah materi feses pertama yang dikeluarkan oleh bayi baru lahir,
normalnya terjadi dalam 24 jam pertama setelah lahir. Bayi sering mengeluarkan
feses, sering kali setiap sesudah makan. Karena usus belum matur, air tidak
diserap dengan baik dan feses menjadi lunak, cair, dan sering dikeluarkan.
Apabila usus telah matur, flora bakteri meningkat. Setelah makanan padat
diperkenalkan, feses menjadi lebih keras dan frekuensi defekasi berkurang.
b. Batita
Sedikit kontrol defekasi telah mulai dimiliki pada usia 1 ½ sampai 2 tahun. Pada
saat ini anak – anak telah belajar berjalan dan sistem saraf dan sistem otot telah
terbentuk cukup baik untuk memungkinkan kontrol defekasi. Keinginan untuk
mengontrol defekasi di siang hari dan untuk menggunakan toilet secara umum
dimulai pada saat anak menyadari ketidaknyamanan yang disebabkan oleh
popok yang kotor dan sensasi yang menunjukkan kebutuhan untuk defekasi.
Kontrol di siang hari umumnya diperoleh pada usia 2 ½ tahun., setelah sebuah
proses pelatihan eliminasi.
c. Anak usia sekolah dan remaja
Anak usia sekolah dan remaja memiliki kebiasaan defekasi yang sama dengan
kebiasaan mereka saat dewasa. Pola defekasi beragam dalam hal frekuensi,

6
kuantitas, dan konsistensi. Beberapa anak usia sekolah dapat menunda defekasi
karena aktivitas seperti bermain.
d. Lansia
Konstipasi adalah masalah umum pada populasi lansia. Ini sebagian, akibat
pengurangan tingkat aktivitas, ketidakcukupan jumlah asupan cairan dan serat,
serta kelemahan otot. Banyak lansia percaya bahwa “keteraturan” berarti
melakukan defekasi setiap hari. Mereka yang tidak memenuhi kriteria ini sering
kali mencari obat yang dijual bebas untuk meredakan kondisi yang mereka
yakini sebagai konstipasi. Lansia harus dijelaskan bahwa pola normal eliminasi
fekal sangat beragam.
Bagi beberapa orang dapat setiap dua hari sekali bagi orang lain, dua kali dalam
satu hari. Kecukupan serat dalam diet, kecukupan latihan, dan asupan cairan 6
sampai 8 gelas sehari merupakan upaya pencegahan yang essensial terhadap
konstipasi. Berespons terhadap refleks gastrokolik (peningkatan peristalsis kolon
setelah makanan memasuki lambung) juga merupakan pertimbangan yang
sangat penting. Individu paruh baya harus diperingatkan bahwa penggunaan
laksatif secara konsisten akan menghambat refleks defekasi alamiah dan diduga
menyebabakan konstipasi dan bukan menyembuhkannya.
2. Diet
Bagian massa (selulosa, serat) yang besar di dalam diet dibutuhkan untuk
memberikan volume fekal. Diet lunak dan diet rendah serat berkurang memiliki
massa dan oleh karena itu kurang menghasilkan sisa dalam produk buangan untuk
menstimulasi refleks defekasi. Makanan tertentu sulit atau tidak mungkin untuk
dicerna oleh beberapa orang. Ketidakmampuan ini menyebabkan masalah
pencernaan dan dalam beberapa keadaan dapat menghasilkan feses yang encer.
3. Cairan
Bahkan jika asupan cairan atau haluaran (misalnya urine atau muntah) cairan
berlebihan karena alasan tertentu, tubuh terus akan menyerap kembali cairan dari
kime saat bergerak di sepanjang kolon. Kime jadi lebih lebih kering dibandingkan
normal, menghasilkan feses yang keras. Selain itu pengurangan asupan cairan
memperlambat perjalanan kime disepanjang usus, makin meningkatkan penyerapan
kembali cairan dari kime.
4. Aktivitas
Aktivitas menstimulasi peristalsis, sehingga memfasilitasi pergerakan kime
disepanjang kolon. Otot abdomen dan panggul yang lemah sering kali tidak efektif
dalam meningkatkan tekanan intra abdomen selama defekasi atau dalam mengontrol
defekasi.

7
5. Faktor psikologis
Beberapa orang yang merasa cemas atau marah mengalami peningkatan aktivitas
peristaltik dan selanjutnya mual dan diare. Sebaliknya, beberapa orang yang
mengalami depresi dapat mengalami perlambatan motilitas usus, yang menyebabkan
konstipasi. Bagaimana seseorang berespons terhadap keadaan emosional ini adalah
hasil dari perbedaaan individu dalam respons sistem saraf enterik terhadap vagal
dari otak.
6. Kebiasaan defekasi
Pelatihan defekasi sejak dini dapat membentuk kebiasaan defekasi pada waktu yang
teratur. Banyak orang yang melakukan defekasi setelah sarapan, saat refleks
gastrokolik menyebabkan gelombang peristaltik massa di usus besar.
7. Obat-obatan
Beberapa orang memiliki efek samping yang dapat mengganggu eliminasi normal.
Beberapa obat menyebabkan diare: obat lain seperti obat penenang tertentu dalam
dosis besar dan pemberian morfin dan kodein secara berulang, menyebabkan
konstipasi karena obat tersebut menurunkan aktivitas gastrointestinal melalui
kerjanya pada sistem saraf pusat.
8. Proses diagnostik
Sebelum prosedur diagnostik tertentu seperti visualisasi kolon, klien dilarang
sssssmengomsumsi makanan atau minuman. Bilas enema dapat dilakukan pada
klien sebelum pemeriksaan. Dalam kondisi ini, defekasi normal biasanya tidak akan
terjadi sampai klien mengomsumsi makanan kembali.
9. Anastesia dan pembedahan
Anestesi umum menyebabkan pergerakan kolon normal berhenti atau melambat
dengan menghambat stimulasi saraf parasimpatis ke otot kolon. Klien yang
mendapatkan anastesia regional atau spinal kemungkinan lebih jarang mengalami
masalah ini. Pembedahan yang melibatkan penanganan usus secara langsung dapat
menyebabkan penghentian pergerakan usus secara sementara. Kondisi ini disebut
ileus.
10. Kondisi patologis
Cedera medula spinalis dan cedera kepala dapat menurunkan stimulasi sensorik
untuk defekasi. Hambatan mobilitas dapat membatasi kemampuan klien untuk
merespons terhadap desakan defekasi dan klien dapat mengalami konstipasi, atau
seorang klien dapat mengalami inkontinensia fekal karena buruknya fungsi sfingter
anal.

8
11. Nyeri
Klien yang tidak mengalami ketidaknyamanan saat defekasi sering menekan
keinginan akibat defekasinya untuk menghindari nyeri. Akibatnya klien tersebut
dapat mengalami konstipasi. Klien yang meminum analgesik narkotik untuk
mengatasi nyeri dapat juga mengalami konstipasi sebagai efek samping obat
tersebut.

G. Masalah-masalah Yang Terjadi Pada Eliminasi Fekal


Berikut ini adalah masalah umum yang terkait dengan eliminasi fekal, yaitu:
1. Konstipasi
Konstipasi dapat didefinisikan sebagai defekasi kurang dari tiga kali per
minggu.Ini menunjukkan pengeluaran feses yang kering, keras atau tanpa pengeluaran
feses.Konstipasi terjadi jika pergerakan feses di usus besar berjalan lambat, sehingga
memungkinkan bertambahnya waktu reabsorpsi cairan di usu besar. Konstipasi
mengakibatkan sulitnya pengeluaran feses dan bertambahnya upaya atau penekanan
otot-otot volunter defekasi.
Namun, sangat penting untuk mendefinisikan konstipasi terkait dengan pola
eliminasi regular sesorang. Beberapa orang secara normal melakukan defekasi hanya
beberapa kali seminggu; sementara orang lain melakukan defekasi lebih dari satu kali
sehari. Pengkajian cermat mengenai kebiasaan seseorang dibutuhkan sebelum
diagnosa konstipasi dibuat.

Contoh Batasan Karakter Konstisipasi


 Penurunan frekuensi defekasi
 Feses keras, kering, memiliki bentuk
 Mengejan saat defekasi; defekasi terasa nyeri
 Melaporkan tentang rasa penuh pada rektum atau mengejan atau mengeluarkan
feses secara tidak komplet.
 Nyeri abdomen, kram, atau distensi
 Penggunaan laksatif
 Penurunan nafsu makan
 Sakit kepala

Banyak penyebab dan faktor-faktor yang menyebabkan konstipasi, yaitu:


 Ketidakcukupan asuran serat
 Ketidakcukupan asuran cairan
 Ketidakcukupan aktivitas atau imobilitas
 Kebiasaan defekasi yang tidak teratur

9
 Perubahan rutinitas harian
 Kurangn privasi
 Penggunaan laksatif atau enema kronis
 Gangguan emosional seperti depresi atau kebingungan mental
 Medikasi seperti opiat atau garam zat besi.

Konstipasi dapat berbahaya bagi beberapa klien.Mengejan akibat konstisipasi


seringkali disertai dengan menahan napas.Manuver Valsava ini dapat menyebabkan
masalah serius pada penderita penyakit jantung, cedera otak, atau penyakit
pernapasan.Menahan napas meningkatkan tekanan intratoraks dan intrakranial.
2. Impaksi Fekal

Impaksi fekal adalah suatu massa atau pengumpulan fese yang keras didalam
lipatan rektum. Impaksi terjadi akibat retensi dan akumulasi materi fekal yang
berkepanjangan.Pada impaksi berat, feses terakumulasi dan meluas sampai ke kolon
sigmoid dan sekitarnya.Impaksi fekal dapat dikenali dengan keluarnya rembesan
cairan fekal (diare) dan tidak ad feses normal. Cairan feses merembes sampai keluar
dari massa yang terimpaksi. Impaksi dapat juga dikaji dengan pemeriksaan rektum
menggunakan jari tangan, yang sering kali dapat mempalpasi massa yang mengeras.
Seiring dengan pembesaran cairan feses dan konstipasi, gejala meliputi keinginan
yang sering namun bukan keinginan yang produktif untuk melakukan defeksi dan
sering mengalami nyeri rektal.Muncul perasaan umum menalami suatu penyakit; klien
anoreksik, abdomen menjadi terdistensi, dan dapt terjadi mual dan muntah.
Penyebab impaksi fekal biasanya adalah kebiasaan defekasi yang bukruk dan
konstipasi.Penggunaan barium dalam pemeriksaan radiologi pada saluran
pencernaanatas dan bawah juga menjasi sebuat faktor penyebab.Oleh karena itu,
setelah pemeriksaan ini, laksatif atau enema biasanya digunakan untuk memastikan
pengeluaran barium.
Pemeriksaan impaksi menggunakan jari di rektum harus dilakukan secara lembut
dan hati-hati.Walaupun pemeriksaan digital (jari tangan) berada dalam ruang lingkup
praktik keperawatan, beberapa kebijakan lembaga memerlukan impaksi fekal secara
digital.
Walaupun impaksi fekal secara umum dapat dicegah, kadng kala dibutuhkan
terapi untuk feses yang mengalami impaksi. Jika dicurigai adanya impaksi fekal, klien
sering kali diberikan suatu minyak sebagai enema retensi, lalu diberikan enema
pembersih pada 2 sampai 4 jam kemudian, dan enema pembersih tambahan setiap
hari, supositoria, atau pelunak feses setiap hari. Jika upaya ini gagal, sering kali
dibutuhkan pengeluaran feses secara manual.

10
3. Diare
Diare menunjuk pada pengeluaran feses encer dan peningkatan frekuensi
defekasi.Diare merupakan kondisi yang berlawanan dengan konstipasi dan terjadi
akibat cepatnya pergerakan isi fekal di usus besar.Cepatnya pergerakan kime
mengurangi waktu usus besar untuk menyerap kembali air dan elektrolit.Beberapa
orang mengeluarkan feses dengan frekuensi sering, tetapi diare tidak terjadi kecuali
feses relatif tidak terbentuk dan mengandung cairan yang berlebihan.
Seseorang yang mengalami diare sering kali merasa sulit atau tidak mungkin
mengendalikan keinginan defekasi dalam waktu yang sangat lama.Diare dan ancaman
inkontinensia merupakan sumber kekhawatiran dan rasa malu.Sering kali kram
spasmodik dikaitkan dengan diare.Bising usus meningkat.Dengan diare persisten,
biasanya terjadi iritasi di dareah anus yang meluas ke perineum dan
bokong.Keletihan, kelemahan, lelah dan emasiasi (kurus dan lemah) merupakan
akibar dari diare yang berkepanjangan.
Apabila penyebab diare adalah karena adanya iritan di saluran usus, diare diduga
sebagai suatu mekanisme pembilasan pelindung.Namun, diare dapat mengakibatkan
kehilangan cairan dan elektrolit berat di dalam tubuh, yang dapat terjadi dalam
periode waktu singkat yang menakutkan, terutama pada bayi, anak kecil, dan lansia.
Penyebab utama diare dan respon fisiologi tubuh:
Penyebab Efek Fisiologis

Stress psikologis (mis., ansietas) Meningkatkan motilitas usus dan sekresi lendir

Obat-obatan
Inflamasi dan infeksi mukosa akibat pertumbuhan
Antibiotik
mikroorganisme usus yang berlebihan
Zat Besi Iritasi mukosa usus
Katartik Iritasi mukosa usus
Alergi terhadap makanan, cairan,
Pencernaan makann atau cairan yang tidak komplet
obat-obatan
Intoleransi terhadap makanan
Peningkatan motilitas usus dan sekresi lendir
atau cairan
Penurunan cairan absorpsi
Penyakit kolon (mis., Sindrom
Inflamasi mukosa sering kali menyebakan pembentukan
malabsorpsi penyakit Crohn)
tukak

Feses bersifat asam dan mengandug enzim pencernaan yang sangat mengiritasi
kulit. Oleh karena itu, area di sekitar anus harus dijaga tetap bersih, kering dan
dilindungi dengan zink oksida atau salep lain.

11
4. Inkontinensia Alvi

Inkontinensia alvi (bowel), atau disebut juga inkontinensia fekal, adalah


hilangnya kemampuan volunter untuk mengontrol pengeluaran fekal dan gas dari
spingter anal.Inkontinensia dapat terjadi pada waktu-waktu tertentu, seperti setelah
makan, atau dapat terjadi secara tidak teratur. Dua tipe inkontinensia alvi
digambarkan: parsial dan mayor. Inkontinensia parsial adalah ketidakmampuan untuk
mengontrol flatus atau mencegah pengotoran minor.Inkontinensia mayor adalah
ketidakmampuan untuk mengontrol feses pada konsistensi normal.
Inkontinensia fekal secara umum dihubungkan dengan gangguan fungsi sfingter
anal atau suplai sarafnya, seperti beberapa penyakit neuromuskular, trauma medula
spinalis, dan tumor pada otot sfingter anal eksternal.
Inkontinensia fekal adalah masalah yang membuat distres emosional yang pada
akhirnya dapat menyebabkan isolasi sosial.Penderita dapat menarik diri ke dalam
rumahnya, atau jika di rumah sakit, mereka tetap berada di dalam kamar mereka
meminimalkan rasa malu akibat pengotoran oleh fekal.Beberapa prosedur bedah
digunakan untuk penatalaksanaan inkontinensia fekal.Penatalaksanaan ini meliputi
perbaikan sfingter dan disversi fekal atau kolostomi.
5. Flatulens

Terdapat tiga sumber utama flatus:


a. Kerja bakteria dalam kime di usus besar.
b. Udara yang tertelan
c. Gas yang berdifusi di antara aliran darah dan usus.

Sebagian besar gas yang tertelan akan dikeluarkan melalui mulut dengan
sendawa. Namun, sejumlah gas dapat terkumpul di perut, yang menyebabkan distensi
lambung.Gas yang terbentuk di usus besar terutama diabsobsi melalui kapiler usus ke
sirkulasi.Flatulens adalah keberadaan flatus yang berlebihan di usus dan menyebabkan
peregangan dan inflasi usus (distensi usus). Flatulens dapat terjadi di kolon akibat
beragam penyebab, seperti makanan (mis., kol, bawang merah), bedah abdomen, atau
narkotik.
Apabila gas dikeluarkan dengan meningkatkan aktivitas kolon sebelum gas
tersebut dapat diabsobsi, gas dapat dikeluarkan melalui anus.Apabila gas yang
berlebihan tidak dapat dikeluarkan melalui anus, mungkin perlu memasukkan slang
rektal untuk mengeluarkannya.

12
H. Proses Keperawatan

1. Pengkajian
Untuk mengkaji pola eliminasi dan menentukan adanya kelainan, perawat
melakukan pengkajian riwayat keperawatan, pengkajian fisik abdomen,
menginspeksi karikteristik feses, dan meninjau kembali hasil pemeriksaan yang
berhubungan
a. Riwayat keperawatan
Banyak riwayat keperawatan dapat dikelompokkan berdasarkan faktor-
faktor yang mempengaruhi eliminasi.
 Penentuan pola eliminasi klien yang biasa, termasuk frekuensi dan waktu
defekasi dalam sehari.
 Identifikasi rutinitas yang dilakukan untuk meningkatkan eliminasi normal.
Contoh rutinitas tersebut adalah konsumsi cairan panas, penggunaan laksatif,
pengonsumsian makanan tertentu, atau mengambil waktu untuk defekasi selama
kurun waktu tertentu dalam satu hari.
 Gambaran setiap perubahan terbaru dalam pola eliminasi
 Deskripsi klien tentang karakteristik feses. Perawat menentukan wama khas
feses, konsistensi feses yang biasanya encer atau padat atau lunak atau keras
 Riwayat diet. Perawat menetapkan jenis makanan yang klien inginkan dalam
sehari. perawat menghitung penyajian buah-buahan, sayur-sayuran, sereal, dan
roti
 Gambaran asupan cairan setiap hari. Hal ini meliputi tipe dan jumlah cairan
 Riwayat olahraga. perawat meminta klien menjelaskan tipe dan jumlah olahraga
yang dilakukannya setiap hari secara spesifik
 Pengkajian penggunaan alat bantuan buatan di rumah. Perawat mengkaji apakah
klien menggunakan enema, laksatif, atau makanan khusus sebelum defekasi.
 Riwayat pembedahan atau penyakit yang mempengaruhi saluran GI. Informasi
ini seringkali dapat membantu menjelaskan gejala-gejala yang muncul.
 Keberadaan dan status diversi usus. Apabila klien memiliki ostomi, perawat
mengkaji frekuensi drainase feses, karakter feses, penampilan dan kondisi stoma
 Riwayat pengobatan. Perawat menanyakan apakah klien mengonsumsi obat-
obatan (seperti laksatif, antasid, suplemen zat besi, dan analgesik) yang mungkin
mengubah defekasi atau karakteristik feses.
 Status emosional. Emosi klien dapat mengubah frekuensi defekasi secara
bermakna. Selama pengkajian, observasi emosi klien, nada suara, dan sikap yang
dapat menunjukkan perilaku penting yang mengindikasikan adanya stres.

13
 Riwayat sosial. Klien mungkin memiliki banyak aturan dalam kehidupannya.
Tempat klien tinggal dapat mempengaruhi kebiasaan klien dalam defekasi dan
berkemih.
 Mobilitas dan ketangkasan. Mobilitas dan ketangkasan klien perlu dievaluasi
untuk menentukan perlu tidaknya peralatan atau personel tambahan untuk
membantu klien.

b. Pengkajian fisik
Perawat melakukan pengkajian fisik system dan fungsi tubuh yang
kemungkinan dipengaruhi oleh adanya masalah eliminasi.
 Mulut.
Pengkajian meliputi inspeski gigi, lidah, dan gusi klien.Gigi yang buruk
atau struktur gigi yang buruk mempengaruhi kemampuan mengunyah.
 Abdomen.
 Perawat menginspeksi keempat kuadran abdomen untuk melihat warna,
bentuk,kesimetrisan, dan warna kulit. Inspeksi juga mencakup memeriksa
adanya masa, gelombang peristaltik, jaringan parut, pola pembuluh darah
vena, stoma, dan lesi. Dalam kondisi normal, gelombang peristalis tidak
terlihat. Namun, gelombang peristaltik yang terlihat dapat merupakan tanda
adanya obstruksi usus
 Perawat mengauskultasi abdomen dengan menggunakan stetoskop untuk
mengkaji bising usus di setiap kuadran. Bising usus normal terjadi setiap 5
sampai 15 detik dan berlangsung selama ½ sampai beberapa detik. Sambil
mengauskultasi, perawat. Memperhatikan karakter dan frekuensi bising
usus
Peningkatan nada hentakan pada bising usus atau bunyi "tinkling"
(bunyi gemerincing) dapat terdengar, jika terjadi distensi.
Tidak adanya bising usus atau bising usus yang hipoaktif (bising
usus kurang dari lima kali per menit) terjadi jika klien menderita ileus
paralitik, seperti yang terjadi pada klien setelah menjalani pembedahan
abdomen.
Bising usus yang bernada tinggi dan hiperaktif (bising usus 35 kali
atau lebih per menit) terjadi pada obstruksi usus dan gangguan inflamasi.
 Perawat mempalpasi abdomen untuk melihat adanya masa atau area nyeri
tekan. Penting bagi klien untuk rileks. Ketegangan otot-otot abdomen
mengganggu hasil palpasi organ atau masa yang berada di bawah abdomen
tersebut
 Perkusi mendeteksi lesi, cairan, atau gas di dalam abdomen.

14
 Rektum
Perawat menginspeksi daerah di sekitar anus untuk melihat adanya lesi,
perubahan warna, inflamasi, dan hemoroid. Untuk memeriksa rektum, perawat
melakukan palpasi dengan hati-hati. Setelah mengenakan sarung tangan sekali
pakai, perawat mengoleskan lubrikan ke jari telunjuk. Kemudian perawat
meminta klien mengedan dan saat klien melakukannya, perawat memasukkan jari
telunjuknya ke dalam sfingter anus yang sedang relaksasi menuju umbilikus
klien. Sfingter biasanya berkonstriksi mengelilingi jari perawat. Perawat harus
mempalpasi semua sisi dinding rektum klien dengan metode tertentu untuk
mengetahui adanya nodul atau tekstur yang tidak teratur.Mukosa rektum
normalnya lunak dan halus.

c. Pemeriksaan lab
 Tes Guaiak, yaitu pemeriksaan darah samar di feses (fecal occult blood testing,
FOBT), yang menghitung jumlah darah mikroskopik di dalam feses. Tes guaiak
membantu memperlihatkan darah yang tidak terdeteksi secara visual
 Visualisasi langsung, Instrumen yang dimasukkan ke dalam mulut
(memperlihatkan saluran Gllagian atas atau upper GI, UGI) atau rektum
(memperlihatkan saluran GI bagian bawah) memungkinkan dokter menginspeksi
integritas lendir, pembuluh darah; dan bagian orgun tubuh
 Endoskop fiberoptik merupakan sebuah instrumen optic yang dilengkapi dengan
lensa pengamat, selang fleksibel yang panjang, dan sebuah sumber cahaya pada
bagian ujungnya. Alat ini memungkinkun penempatan struktur pada ujung selang
dan pemasukkan instrumen khusus untuk biopsi.
 Visualisasi tidak langsung, apabila visualisasi tidak memungkinkan (seperti
struktur GI yang lebih dalam), dokter mengandalkan pemeriksaan sinar-X tidak
langsung. Klien menelan media kontras atau media diberikan sebagai enema
Salah satu media yang paling umum digunakan adalah barium, suatu substansi
radioopaq berwarna putih menyerupai kapur, yang diminumkan ke klien seperti
milkshake. Barium digunakan dalam pemeriksaan UGI dan barium enema.
 Media kontras biasanya dilengkapi dengan penyedap rasa agar rasanya lebih baik.

2. Diagnosa Keperawatan
Contoh diagnose keperawatan menurut NANDA:
 Konstipasi yang berhubungan dengan
a. Imobilitas
b. Kurang privasi
c. Asupan cairan kurang adekuat

15
 Konstipasi kolon yang berhubungan dengan :
a. Asupan serat kurang adekuat
b. Asupan cairan kurang adekuat
c. Penggunaan obat dan enema yang berlangsung lama

 Konstipasi dirasakan yang berhubungan dengan :


a. Keyakinan atau budaya keluarga tentang kesehatan
b. Gangguan proses piker

 Diare yang berhubungan dengan :


a. Stress dan ansietas
b. Asupan diet

 Inkontinensia defekasi yang berhubungan dengan :


a. Keterlibatan neuromuskuler
b. Depresi, ansietas berat

 Deficit perawatan diri (toileting) yang berhubungan dengan :


a. Penurunan kekuatan dan daya tahan tubuh
b. Intoleransi aktivitas

 Resiko kerusakan intergritas kulit berhubungan dengan :


a. Inkontinensia feses
 Gangguan citra tubuh yang berhubungan dengan :
a. Adanya ostomi
b. Inkontinensia feses

3. Intervensi
Rencana keperawatan harus menetapkan tujuan dan kriteria hasil dengan
menggabungkan kebiasaan atau rutinitas eliminasi klien sebanyak mungkin. Tujuan
perawatan klien dengan masalah eliminasi meliputi hal-hal berikut:
- Memahami eliminasi normal
- Mengembangkan kebiasaan defekasi yang teratur.
- memahami dan mempertahankan asupan cairan
yang tepat
- Mengikuti program olahraga secara teratur'
- Memperoleh rasa nyaman.

16
- Mempertahankan integritas kulit.
- Mempertahankan konsep diri.

4. Implementasi
Keberhasilan intervensi keperawatan bergantung pada upaya meningkatkan
pemahaman klien dan keluarganya tentang eliminasi fekal. Di rumah, di rumah sakit,
atau di fasilitas perawatan jangka panjang, klien yang mampu belajar dapat diajarkan
tentang kebiasaan defekasi yang efektif. Perawat harus mengajarkan klien dan
keluarga tentang diet yang benar, asupan cairan yang adekuat, dan factor-faktor yang
menstimulasi atau memperlambat peristaltik, seperti stres emosional.

5. Evaluasi
Keefektifan perawatan bergantung pada keberhasilan dalam mencapai tujuan dan
hasil akhir yang diharapkan dari perawatan Secara optimal klien akan mampu
mengeluarkan feses yang lunak secara teratur tanpa merasa nyeri. Klien juga akan
memperoleh informasi yang dibutuhkan untuk menetapkan pola eliminasi normal
dan untuk mendemonstrasikan keberhasilan yang berkelanjutan, yang diukur
berdasarkan interval waktu tertentu dalam suatu periode yang panjang. Klien akan
mampu melakukan defekasi secara normal dengan memanipulasi komponen-
komponen alamiah dalam kehidupan sehari-hari seperti diet, asupan cairan, dan
olahraga. Ketergantungan klien pada tindakan bantuan untuk membantu defekasi
seperti enema dan penggunaan laksatif, menjadi minimal. Klien akan merasa
nyaman dengan protokol ostomi dan mengidentifikasikan protocol tersebut sebagai
sesuatu yang dapat dipraktikkan secara pasti.

17
DAFTAR PUSTAKA

Kozier, dkk. 2010. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Edisi 7 Volume 2. Jakarta: EGC.
Sherwood, Lauralee. 2014. Fisiologi Manusia Edisi 8. Jakarta : EGC
M. Wilkinson, Judith dan R.A, Nancy. 2012. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Edisi
9.Jakarta: EGC

18
RESUME ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. S DENGAN GANGGUAN
PEMENUHAN KEBUTUHAN ELIMINASI
DI GEDUNG SULAIMAN 5 RUANG 512 RUMAH SAKIT ROEMANI
MUHAMMADIYAH SEMARANG

A. Pengkajian
1. Data Personal
1) Tanggal masuk : 18 April 2019
2) Tanggal pengkajian : 22 April 2019
3) Nama lengkap : Tn. S
4) Nomor RM : 29-16-28
5) Jenis kelamin : Laki-laki
6) Tanggal lahir/umum : 28 Agustus 1936 (82 Th)
7) Alamat : Lamper Tengah
8) Status perkawinan : Menikah
9) Agama : Islam
10) Pekerjaan :-
11) Suku/bangsa : Jawa/Indonesia
12) Diagnosa medic : PPOK

2. Riwayat
1) Keluhan utama : Pasien mengatakan tidak bisa BAB

2) Keluhan Penyakit Sekarang : Tn. S mengatakan tidak bisa BAB, pasien


mengatakan biasanya frekuensi BAB 1 kali sehari dengan feses lembek, pasien
mengatakan belum BAB sejak 5 hari yang lalu sejak pasien dirawat di rumah
sakit, pasien juga mengatakan perutnya terasa sakit dan tidak nyaman. Pasien
mengatakan perutnya terasa nyeri pada saat bergerak, nyeri dirasakan seperti
tertusuk-tusuk, lokasi nyeri dibagian perut kiri bawah, skala nyeri 3, nyeri terasa
hilang timbul. Pasien juga mengatakan tidak mempunyai gigi pasien hanya dapat
makan makanan lembut seperti bubur. Saat dilakukan pengkajian pasien terbaring
lemah, semua aktivitas dibantu oleh keluarga.

3. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum : pasien tampak lemas
- Kesadaran : kompos mentis, GCS : 15
- TB : 160 cm
- BB : 55 kg

19
b. Tanda-tanda Vital
- TD : 138/90 mmHg
- Nadi : 116 x/menit
- Rr : 28 x/menit
- Suhu : 36,8 ˚C
- Spo2 : 87 %
c. Pemeriksaan Head To Toe
1. Abdomen :
- Inspeksi : tampak membesar/ penuh
- Auskultasi : bising usus tidak terdengar
- Perkusi : terdengar pekak
- Palpasi : teraba padat, nyeri saat ditekan
2. Genetalia : tidak terpasang kateter
4. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Hari/ tanggal : 18 April 2019
No Jenis Hasil Nilai Normal
1. Hemoglobin 12,7 g/dl 13,2-17.3
2. Lekosit 5100 /mm3 3800-10600
3. Hematokrit 40,2 % 40-52
4. Trombosit 293000 /mm3 150000-440000
5. Eritrosit 5,22 jt/mm3 4,4-5,9
6. MCV 77,0 fl 80-100
7. MCH 24,4 pg 26-34
8. MCHC 31,7 g/dL 32-36
9. RDW 15,5 % 11,5-14,5
10. MPV 7,8 fL 7,0-10,0
11. Eosinofil 2,7 % 2-4
12. Bisofil 0,4 % 0-1
13. Neutrofil 61,5 % 50-70
14. Limposit 29,3 % 25-40
15. Monosit 6,1 % 2-8
16. Glukosa 98 mg/dL 75-140
Sewaktu
17. Ureum 28 mg/dL 10-50
18. Kreatinin 1,1 mg/dL 0,65-1,10
19. Kalium 3,9 mEq/L 3,5-5,0
20. Natrium 142 mEq/L 135-147
21. Chlorida 98 mEq/L 95-105
22. Calsium 8,8 mg/dL 8,8-103

20
5. Terapi Medik
Hari / tanggal : 23 April 2019
No Jenis obat / Terapi Dosis Fungsi
1. Infus RL IV 20 tpm 1. Sebagai cairan
hidrasi dan
elektrolit

2. Ceftriaxone IV 2 gr/24 jam 2. Sebagai


antibiotic

3. Ventolin + Pulmicort 1 amp/8 jam 3. Digunakan


Inhalasi untuk
membuka
saluran
nafas di paru2

4. Dulcolax Suppositories 10 mg/24jam 4. Untuk


(Rectum) mengatasi
sembelit

B. Analisa Data
No Data Fokus Penyebab Masalah

1 DS : Ketidakcukupan Resiko Konstipasi


- Pasien mengatakan tidak bisa BAB asupan serat
DO :
- Keadaan Umum : Pasien tampak
lemas
- Kesadaran compos mentis
GCS:15
- Pasien tampak tidak memiliki
gigi untuk mengunyak
- Pasien tampak memegang area
yang sakit
- P : nyeri saat bergerak
- Q : nyeri terasa seperti ditusuk-
tusuk
- R : nyeri dibagian perut kiri
bawah
- S : skala nyari 3
- T : nyeri hilang timbul
- TD : 138/90 mmHg
- Nadi : 116 x/menit

21
- Suhu : 36,8 ˚C
- RR : 28 X/menit
- Terpasang O2 3L/menit
(nasal kanul)
- Spo2 87%

C. Diagnosa keperawatan
1. Resiko Konstipasi b.d ketidakcukupan asupan serat

D. Intervensi Keperawatan
No Hari/tanggal Diagnosa Intervensi Rasional
keperawatan
Tujuan intervensi
1 Selasa Resiko Konstipasi 1. Identifikasi 1. Mengetahui
23 April 2019 b.d factor-faktor factor-faktor
08.00 Ketidakcukupan yang penyebab terjadinya
Asupan Serat menyebabkan konstipasi
setelah dilakukan konstipasi
tindakan 2. Kaji adanya 2. Untuk membantu
keperawatan keluhan nyeri dalam
selama 1x8 jam pada abdomen mendiaknosis dan
diharapkan masalah menentukan
teratasi dengan tindakan yang akan
kriteria hasil: dilakukan
1. Pola BAB (manajemen nyeri)
dalam batas 3. Edukasi 3. Membantu
normal 1-2/hari paien/keluarga memudahkan
2. Feses lunak untuk keluarnya feses
3. Cairan dan mengkonsumsi
serat adekuat makanan tinggi
4. Aktivitas serat seperti
adekuat sayuran dan
buah-buahan

22
5. Nyeri hilang 4. Kolaborasi 4. Membantu dalam
atau skala nyeri dengan ahli gizi pemenuhan asupan
berkurang terkait diit serat
tinggi serat
5. Kolaborasi 5. Membantu
dalam Mempercepat
pemberian proses
terapi penyembuhan

E. Implementasi Keperawatan
No Hari/tgl Diagnosa Implementasi Respon TTD
keperawatan
1 Selasa Resiko 1. Mengkaji KU S : pasien mengatakan lemas
23 April Konstipasi b.d pasien O : pasien tampak lemas
2019 Ketidakcukupan
08.00
Asupan Serat 2. Mengkaji S : - pasien mengatakan tidak
keluhan utama bias BAB sudah 5 hari
- Pasien mengatakan
perutnya terasa sakit
dan tidak nyaman
- Pasien mengatakan
nyeri pada bagian perut
- Pasien mengatakan
sudah tidak
mempunyai gigi untuk
mengunyah
O : - pasien tampak lemas
- Kesadaran compos
mentis GCS:15
- Pasien terlihat sudah
tidak memiliki gigi
untuk mengunyah
- Pasien
tampak memegang
area yang sakit

3. Mengedukasi S : - pasien mengatakan akan


untuk mengikuti anjuran perawat

23
mengkonsumsi untuk mengkonsumsi makanan
makanan berserat
berserat seperti O : pasien kooperatif
sayuran dan
buah-buahan

4. Mengkaji TTV S : pasien mengatakan sesak


O : - TD : 138/90 mmHg
- Nadi : 116 x/menit
- Suhu : 36,8 ˚C
- RR : 28 X/menit
- Terpasang
O2 3L/menit
(nasal kanul)
- Spo2 87%

5. Mengkaji S : - pasien mengatakan


adanya keluhan perutnya terasa nyeri pada
nyeri abdomen bagian perut kiri bawah
O : - P : nyeri saat bergerak
- Q : nyeri terasa seperti
ditusuk-tusuk
- R: nyeri dibagian perut
kiri bawah
- S : skala nyari 3
- T : nyeri hilang timbul

6. Memberikan S : - pasien mengatakan


privasi dan tampak nyaman
menciptakan O : - pasien kooperatif
lingkungan
nyaman saat
BAB

7. Mengkolaborasi S:-
dalam O : pasien sangat kooperatif
pemberian
terapi

24
F. Evaluasi Keperawatan
No Diagnosa keperawatan Evaluasi
1 Resiko Konstipasi b.d S : Pasien mengatakan tidak bias BAB
Ketidakcukupan
Asupan Serat O : - Pasien tampak memegang area yang
sakit
PQRS :
- P : nyeri saat bergerak
- Q : nyeri terasa seperti ditusuk-
tusuk
- R : nyeri dibagian perut kiri
bawah
- S : skala nyari 3
- T : nyeri hilang timbul

Vital Sign :
- TD : 138/90 mmHg
- Nadi : 116 x/menit
- Suhu : 36,8 ˚C
- RR : 28 X/menit
- Terpasang O2 3L/menit
(nasal kanul)
- Spo2 87%

A : Masalah eliminasi belum teratasi

P : lanjutkan intervensi
- Mengedukasi pasien untuk
mengkonsumsi makanan berserat
seperti sayuran dan buah-buahan
- Mengkaji TTV
- Mengkaji jika ada keluhan nyeri
abdomen
- Mengkolaborasi dalam pemberian
terapi

25

Anda mungkin juga menyukai