PENDAHULUAN
Beberapa puluh tahun silam pernah diadakan sidang UNESCO di Paris yang
membicarakan salah satunya untuk mencapai dan memelihara saling pengertian,
penghargaan, dan kerja sama antar sesama mansusia. Hal ini dapat disimpulkan, bahwa
calon sarjana filsafat, sangat perlu mendapatkan pendidikan filsafat. Dengan harapan untuk
memperoleh sifat-sifat pribadi berdasarkan kemampuan seorang ahli filsafat, yakni dapat
mengamalkan kemampuan yang dimilikinya. Seseorang yang mampu berfilsafat setidak-
tidaknya akan memiliki sifat pribadi, seperti:
a. Susila.
b. Demokrasi.
c. Berjiwa nasional.
d. Jujur sesuai dengan ajaran agamanya.
e. Memiliki pandangan hidup, tujuan hidup, dan filsafat hidup.
Dengan demikian bagi orang yang telah memperoleh pendidikan filsafat, maka akan
memahami bahwa setiap manusia mempuyai filsafatnya sendiri-sendiri, yakni seperti
tentang kehidupannya, dan mempunyai pandangan yang spesifik tentang dunia ini bagi
masing-masing manusia. Misalnya bagi seorang perwira, ia akan bersikap sesuai dengan
tugas dan fungsinya, begitu juga bagi seorang teknokrat, ia akan bersikap juga sesuai
dengan keahliannya sebagai ahli teknologi, dan lain sebagainya.
b.Secara Sistematis – mempelajari isinya, yaitu mempelajari bidang bahasan, seperti cabang
metafisika, epistemologi, logika, etika, dll. Pada garis besarnya filsafat mempunyai tiga
cabang besar, yakni dimensi epistemologis (teori pengetahuan), dimensi ontologism (teori
hakekat), dan dimensi aksiologis (teori nilai).
Dimensi epistemologis pada dasarnya membicarakan cara memperoleh
pengetahuan. Dimensi ontologism membahas semua objek, dan hasilnya ialah pengetahuan
filsafat.
Yang ketiga, yakni dimensi aksiologis adalah membicarakan guna pengetahuan tersebut di
atas.
B. ARTI FILSAFAT
e. Arti Filsafat sbg. analisis logis tentang bahasa & penjelasan makna istilah
Para filsuf memakai metode analisis untuk menjelaskan suatu istilah. Para filsuf seperti G. E.
Moore, Bentrand Russel, Ludwig Wittgenstein, dll. Mengatakan bahwa tujuan filsafat adalah
menyingkirkan kekaburan kekaburan dengan cara menjelaskan istilah. Sebab menurutnya
bahasa adalah laboratorium para filsuf. Misal, kata “ada” ini tentang adanya Tuhan dan
adanya Manusia berbeda. Begitu juga ada dalam ruang waktu berbeda dengan ada secara
transenden, dll.
ULASAN
Setelah dicoba menjelaskan dari berbagai segi dan bermacam cara, dapat dimengerti
bahwa filsafat adalah pengetahuan yang diperoleh dengan cara berpikir logis, tentang objek
yang abstrak logis, kebenarannya hanya dipertanggung jawabkan secara logis pula. Jika
diringkaskan, maka dapat juga dikatakan bahwa filsafat adalah pengetahuan yang logis yang
tidak dapat dibuktikan secara empiris. Definisi ini memang belum lengkap, belum mencakup
seluruh konsep yang terkandung dalam istilah filsafat, namun aganya telah mampu
menunjukkan apa itu filsafat secara garis besarnya. Untuk mengetahuan apakah diri
pembaca (Anda) telah mengerti apa filsafat, caranya mudah: yakni, Bacalah beberapa
makalah, buku, atau apapun namanya, setelah itu Anda akan dapat mengatakan, bahwa
makalah ini atau buku ini adalah makalah atau buku filsafat, atau malah mengatakan
sebaliknya, yakni bahwa makalah atau buku ini adalah makalah atau buku sains, bukan
filsafat dan buku bukan buku filsafat. Dengan demikian bila Anda telah mampu berbuat
demikian, maka yakinlah bahwa Anda telah memahami apa filsafat itu.
C. FILSAFAT
Apa yang mendorong timbulnya filsafat – Jawaban terhadap pertanyaan ini kiranya akan
membantu memahami apa filsafat itu sebenarnya. Dengan membaca ini mudah mudahan
pengertian filsafat akan terungkap sedikit demi sedikit.
Hata dalam bukunya, Alam Pikiran Yunani (1966, 1:1-3), menulis sbb:
“Tiap bangsa betapapun biadabnya, mempunyai dengeng takhayul (mitologi). Ada yang
terjadi dari kisah perintang hari, keluar dari mulud orang yang suka bercerita. Ada yang
terjadi dari muslihat menakut-nakuti anak supaya ia tidak nakal. Ada pula yang timbul dari
keajaiban alam yang menjadi pangkal heran dan takut. Dari itu orang mengira ala mini
penuh oleh makhul-makhluk gaib. Lama kelamaan timbul berbagai fantasi. Dengan fantasi
itu manusia dapat menyatu ruh dengan alam sekitarnya. Orang yang membuat fantasi itu
tidak ingin membuktikan kebenaran fantasinya, karena kesenangan ruhnya terletak pada
fantasi itu. Tetapi kemudian ada orang yang ingin mengetahui lebih jauh. Di antaranya ada
orang yang tidak percaya, ada yang bersifat kritis, lama kelamaan timbul keinginan pada
kebenaran. Orang-orang Grik dahulunya banyak mempunyai dongeng dan takhayul. Tetapi
yang ajaib pada mereka ialah bahwa angan-angan yang indah itu menjadi dasar untuk
mencari pengetahuan semata-mata untuk tahu saja. Tidak mengharapkan untung dari situ.
Berhadapan dengan alam yang indah dan luas, yang sangat bagus dan ajaib pada malam
hari, timbul di hati mereka keinginan hendak mengetahui rahasia alam itu. Lalu timbul
pertanyaan di dalam hati mereka, dari mana datangnya ala mini, bagaimana terjadinya,
bagaimana kemajuannya dank e mana sampainya. Demikianlah selama berates tahun alam
ini menjadi pertanyaan yang memikat perhatian ahli-ahli piker Grik.”
Dari kutipan di atas dapat diambil dua kesimpulan. Pertama, dongeng dan takhayul
dapat menimbulkan filsafat. Di antara orang-orang ada yang tidak percaya begitu saja. Ia
kritis, ingin mengetahui kebenaran dongeng itu. Dari situ timbul filsafat. Kedua, keindahan
alam besar, terutama ketika malam hari, menimbulkan keinginan pada orang Grik untuk
mengetahui rahasia alam itu. Keinginan mengetahui rahasia alam, berupa rumusan-
rumusan pertanyaan, ini juga menimbulkan filsafat.
a.Heran, kagum, dan takjub terhadap alam semesta dan peristiwa peristiwanya.
Pertama tama bangsa Yunani dalam menghadapi alam semesta beserta peristiwanya
itu, yang muncul dari rasa heran, kagum dan takjub adalah percaya adanya mitologi. Karena
mitologi mitologi itu merupakan percobaan untuk mengerti. Mite mite sudah memberi
jawaban atas kekaguman dan keheranan manusia pada waktu itu. Kemudian mereka mulai
mengadakan beberapa usaha, seperti mensistematiskan mite, menghubung hubungkan
antara mite mite, dll. Akirnya mereka mulai berpikir secara serius dan muncullah filsafat.
Kesusastraan dimaksud bukanlah dalam arti sempit, seperti puisi atau sebangsanya,
melainkan dalam arti yang seluas luasnya, sehingga dapat meliputi seperti, teka teki,
dongeng, ceritera pendek, syair, dll. Kemudian karya sastra seperti inilah yang mulai dipakai
sebagai semacam buku pendidikan untuk rakyat Yunani. Contoh, yaitu syair syair dapat
berperan sebagai pendidikan, hal ini bisa dibandingkan di Jawa atau Bali seperti wayang
dan semacamnya.
2. Definisi Filsafat
Menurut Plato, bahwa filsafat adalah ilmu pength. yang berminat mencapai kebenaran yang
asli.
Menurut Aristoteles, filsafat adalah ilmu pength. Yang meliputi kebenaran yang terkandung
di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, etika, ekonomi, politik, dan estetika.
Menurut Descartes, bahwa filsafat adalah kumpulan segala pengetahuan di mana Tuhan,
alam, dan manusia menjadi pokok penyelidikan.
Menurut Notonagoro, bahwa filsafat mengelola hal-hal yang menjadi objeknya dari sudut
intinya yang mutlak dan tindakan yang tidak berobah, yaitu disebut hakekat.
Menurut Everton, bahwa Philosophy is love of learning, Philosohy is an interpretation of
live, its value and meaning, Philosophy provides us with a rational view of the world.
Jadi menurut penulis, filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu yang ada dengan
mendalam sampai ke hakekatnya.
a. Universal, artinya dalam berpikir tidak berkaitan dengan hal-hal khusus, melainkan
berkaitan dengan idea-idea besar, misal: bukan menanyakan berapa harta anda
disedekahkan, namun apa keadilan itu, dsb.
b. Spekulatif, artinya berpikir yang melampaui batas batas bidang pengeth. Ilmiah, berpikir
untuk menduga apa yang akan terjadi, dan berpikir terkaan terkaan yang cerdik thdp hal hal
di luar pength, kematian, kebahagiaan sempurna, dll
c. Nilai nilai (Inggris: values), artinya berpikir tentang keputusan penilaian, seperti nilai
moral, nilai estetis, nilai sosial, nilai religius, dll. Dalam hal ini nilai sifatnya abstrak yang
melekat pada suatu hal, sehingga dapat menimbulkan rasa senang atau puas terhadap
halnya.
d. Kritis, artinya dalam berpikir mengahadapi sesuatu hal tidak menerima begitu saja,
namun memeriksa dan menilai asumsi asumsinya, mengungkapkan arti, dan menentukan
batas penerapannya.
e. Sinoptik, artinya meninjau hal yang menjadi objeknya secara menyeluruh, yaitu berusaha
mengadakan generalisasi, menganalisa, mensintesakan, dan mengadakan integrasinya. Jadi
mencakup setruktur kenyataan secara menyeluruh.
f. Radikal, kata ini berasal dari lata Yunani “radix” artinya akar. Jadi berarti berpikir sampai
ke akar akarnya, yaitu berpikir sampai ke hakikat, esensi atau substansi yang dipikirkan.
g. Konseptual, artinya berpikir sampai ke hasil generalisasi dan abstraksi dari pengalaman
tentang hal hal dan proses individual. Misal: berpikir tentang manusia tidak secara khusus,
melainkan manusia secara umum, seperti: apa hakekat manusia ?.
h. Koheren dan konsisten, arinya dalam berpikir sesuai dengan kaidah kaidah berpikir
(logis), dan tidak mengandung kontradiksi.
i. Sistematis, , artinya dalam berpikir merupakan kebulatan dari sejumlah unsur yang saling
berhubungan untuk mencapai suatu maksud dan tujuannya.
j. Komprehensif, artinya dalam berpikir mencakup secara menyeluruh, sehingga tidak ada
satupun yang tertinggal di luarnya.
k. Bebas, artinya bebas dari prasangka prasangka sosial, historis, kultural, religius, dan lain
sebagainya.
l. Bertanggung jawab, artinya berpikir yang bertanggung jawab, misalnya: dalam berpikir
ada pertanggung jawaban terhadap hati nuraninya sendiri.
4. Pengertian Filsafat
Terkait dengan pengertian filsafat, perlu ditegaskan di sini bahwa dalam garis besarnya
filsafat minimal mempunyai tiga dimensi besar, yakni:
1. dimensi epistemologis
2. dimensi ontologis
3. dimensi aksiologis
Inilah keseluruhan filsafat dalam garis besar yang ringkas. Untuk itu agar lebih jelas
tentang kapling-kapling filsafat dimaksud adalah sebagai berikut:
1.Dimensi epistemologis, yakni dimensi yang membicarakan bagaimana cara memperoleh
pengetahuan. Runes (1971: 94) dalam kamusnya menjelaskan bahwa epistemology is the
branch of philosophy which investigates the origin, structure, methods and validity of
knowledge. Itulah sebabnya sehingga sering disebut dengan istilah filsafat pengetahuan,
karena ia membicarakan hal pengetahuan. Untuk hal ini ada beberapa aliran yang
membicarakan, seperti:
Aliran empirisme, yakni kata yang berasal dari kata Yunani empeirikos yang asal
katanya adalah empeiria, artinya pengalaman. Oleh sebab itu, menurut aliran ini bahwa
manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalamannya. John Locke (1632-1704), bapak
aliran ini pada zaman Modern mengemukakan teori tabula rasa yang dalam bahasa Indonesia
adalah meja lilin. Maksudnya adalah bahwa manusia pada mulanya kosong dari pengetahuan,
kemudian pengalamannya mengisi jiwa yang kosong itu, sehingga manusia memiliki
pengetahuan.
Aliran Rasionalisme, yakni aliran yang menyatakan bahwa “akal adalah dasar
kepastian pengetahuan”. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal.
Menurut aliran ini, bahwa manusia memperoleh pengetahuan melalui kegiatan akal
menangkap objek. Bapak aliran ini di zaman Modern adalah Rene Descartes (1596-1650), ini
benar. Akan tetapi sesungguhnya paham semacam ini sudah ada jauh sebelum itu, yakni
orang orang Yunani Kuno telah meyakini juga bahwa akal adalah alat dalam memperoleh
pengetahuan yang benar, lebih-lebih pada Aristoteles yang teleh disebutkan di depan. Di
samping kedua aliran ini masih banyak aliran filsafat yang belum disebutkan di sini.
2.Dimensi ontologis, hal ini setelah membenahi cara memperoleh pengetahuan, filsuf mulai
menghadapi objek-objeknya untuk memperoleh pengetahuan. Objek-objek itu dipikirkan
secara mendalam sampai pada hakikatnya. Inilah sebabnya bagian ini dinamakan teori
hakikat, yang biasa disebut dengan istilah ontologi (Ahmad Tafsir, 2009: 28). Bidang
bahasan dalam dimensi ontologis ini sangat luas, yakni segala yang ada, dan yang mungkin
ada, yang boleh juga mencakup pengetahuan dan nilai (yang dicarinya ialah hakikat
pengetahuan dan kakikat nilai).
3.Dimensi aksiologis, bahwa dalam dimensi ini seandainya ditanyakan kepada Socrates atau
Nietzsche tentang apa guna filsafat, agaknya mereka akan menjawab bahwa filsafat dapat
menjadikan manusia menjadi manusia. Artinya, dengan filsafat orang akan bisa menjadi
orang bijaksana. Namun bila melihat rumusan ini nampaknya terlalu umum, sehingga sulit
dipahami. Untuk memahami kegunaan filsafat di tingkat teknis operasionalnya, dapat dimulai
dengan melihat filsafat sebagai tiga hal, pertama filsafat sebagai kumpulan teori, kedua
filsafat sebagai pandangan hidup (philosophy of life), dan ketiga filsafat sebagai metode
pemecahan masalah (Ahmad Tafsir, 2009: 42).
Filsfat sebagai kumpulan teori filsafat, digunakan untuk memahami dan mereaksi dunia
pemikiran. Sedangkan filsafat sebagai philosophy of life (pandangan hidup) ini sangat
penting untuk dipelajari, sebab dalam hal ini fungsinya mirip dengan agama (Ahmad Tafsir,
2009: 42). Dalam posisi ini filsafat dapat menjadi jalan kehidupan. Jika dalam agama X
dikatakan bahwa agama X itu adalah jalan kehidupan, maka filsafat sebagai filsafat hidup
demikian juga halnya. Ia menjadi pedoman. Isinya berupa ajaran dan ajaran itu dilaksanakan
dalam kehidupan. Perbedaannya agama dengan filsafat adalah bila filsafat dipandang sebagai
teori, maka teori itu ada yang dipakai dan ada yang tidak dipakai, ada yang diakui
kebenarannya dan ada yang tidak diakui. Intinya bahwa filsafat sebagai philosophy of life
gunanya untuk petunjuk dalam menjalani kehidupan, lebih singkat lagi: untuk dijadikan
agama (Ahmad Tafsir, 2009: 43). Dan selanjutnya, bahwa filsafat sebagai metodology dalam
memecahkan masalah, ada berbagai cara yang ditempuh orang bila hendak menyelesaikan
sesuatu masalah. Seperti memecahkan masalah dengan cara sains, sehingga hal ini pusat
perhatiannya pada fakta empiric, namun ada juga yang menyelesaikan masalah dengan cara
filsafat, dan lain sebagainya.
Berdasarkan uraian singkat di atas, dapatlah dikatakan bahwa dimensi aksiologis dari filsafat
adalah berupa kegunaan filsafat dan itu luas sekali. Di mana pun dan pada apa pun filsafat
diterapkan di situ filsafat memiliki kegunaan. Bila digunakan dalam pedidikan, maka akan
dapat dilihat bahwa filsafat berguna bagi pendidikan, bila digunakan dalam bahasa, ia
berguna bagi bahasa, dan bila digunakan dalam agama, maka filsafat juga dapat dilihat bahwa
filsafat berguna bagi agama, dan seterusnya. Inilah pemehaman filsafat dalam dimensi
aksiologis.
5. Objek Filsafat
Tujuan filsafat ialah menemukan kebenaran yang sebenarnya. Jika kebenaran yang
sebenarnya itu disusun secara sistematis, jadilah ia sistematika filsafat. Sistematika filsafat
itu pada garis besarnya ada tiga dimensi besar filsafat, yakni dimensi epistemologis, dimensi
ontologism, dan dimensi aksiologis.
Isi filsafat ditentukan oleh objek apa yang dipikirkan. Objek yang dipikirkan oleh
filososf adalah segala yang ada dan yang mungkin ada, jadi sangat luas objeknya. Oleh sebab
itu objek filsafat dapat dipahami sebagai berikut:
Objek filsafat ada dua jenis, yaitu:
a. Objek materiil.
Tentang objek materiil filsafat banyak yang sama dengan objek materiil sains. Bedanya ialah
dalam dua hal. Pertama, bahwa sains menyelidiki objek materiil yang empiris, sedangkan
filsafat menyelidiki objek itu juga, tetapi bukan bagian yang empiris, melainkan bagian yang
abstraknya. Kedua, objek materiil filsafat yang memang tidak dapat diteliti oleh sains,
seperti Tuhan, hari akhir,, yaitu objek materiil yang untuk selama lamanya tidak empiris. Jadi
objek materiil filsafat tetap saja lebih luas dari objek materiil sains.
b. Objek formil.
Objek formil, yaitu sifat penyelidikan. Objek formil filsafat adalah penyelidikan yang
mendalam. Artinya, ingin tahunya filsafat adalah ingin tahu bagian dalamnya. Kata
mendalam, artinya ingin tahu tentang objek yang tidak empiris.
6. Cara memahami objek material filsafat.
Pemahaman pertama atas segala sesuatu ialah pemahaman mengenai suatu yang
identik. Artinya, bahwa “Sesuatu” itu Sesuatu yang tertentu, dan bukannnya sesuatu yang
lain. Yaitu: “Ini” adalah Ini dan bukan Itu. Kelanjutannya berupa suatu konsep, bahwa A=A,
A bukan non A, segala sesuatu itu A atau non A. Contoh kongkritnya ialah bahwa “Mangga”
itu Mangga.
Jadi terdapat suatu keteraturan, bahwa kalau kita menanam biji mangga, maka kita pada
suatu waktu akan memetik buah mangga. Mengapa ?. Karena segala sesuatu itu identik
dengan hakekatnya, jati dirinya. Segala sesuatu itu menjadi sesuatu di dalam suatu kerangka
himpunan hal hal, sedemikian rupa sehingga pemahaman tentang sesuatu juga kita peroleh
melalui vector, atau medan keberadaannya. Suatu alat rumah tangga misalnya, yang kita
kenal sebagai “Meja”, kita takrifkan sebagai “Alat Rumah Tangga” yang isi pengertiannya
plus terhadap pengertian Alat Rumah Tangga, namun yang wilayah berlakunya pengertian
“meja” lebih sempit daripada wilayah yang dicakup oleh pengertian Alat Rumah Tangga.
Suatu Subjek yang didefinisi harus lebih sempit dari Predikatnya, dan juga lebih
kongkret. Rumusnya ialah : S < P. Lalu kalau kita bertanya : Semua ini apa ?.
Sesuai dengan aturan di atas, Sesuatu itu, yaitu Semua, yang harus merada pada sesuatu
yang keluasannya melebihi Sesuatu yang kita sifatnya sebagai Semua itu tadi. Kalau begitu,
maka Semua itu bukan Semua, sebab masih ada sesuatu yang mengatasi kesemuanya. Baru
membicarakan suatu hal yang kita sebut “Semua” saja, kita berhadapan dengan sesuatu,
yang mau tidak mau kita lalu .......(merenung) . Jadi yang namanya “semua” adalah disebut
“ada”. Artinya: ada dalam realita (kenyataan), ada dalam pikiran, dan ada dalam
kemungkinan.
7. sistematika Filsafat
Hasil berpikir tentang segala sesuatu yang ada dan mungkin ada itu tadi telah banyak
sekali terkumpul, di dalambuku buku tebal dan tipis. Setelah disusun secara sistematis, ia
dinamakan sistematika filsafat, disebut juga struktur filsafat. Sebelum ini sudah disebutkan
bahwa dalam garis besarnya filsafat dibagi tiga cabang besar, yaitu: teori pengetahuan atau
pemikiran filosofis tentang pengetahuan, teori hakikat, dan teori nilai, yaitu pemikiran
filosofis tentang nilai. Berikut ini ketiga cabang itu akan diuraikan lebih rinci lagi.
Karena objek penelitian filsafat luas sekali (objek filsafat), dan sifat penelitiannya
yang mendalam (objek forma), hasil penelitian itu bertambah terus dan tidak ada yang
dibuang, maka hasil pemikiran yang terkumpul dalam sistematika filsafat menjadi banyak
sekali. Karena banyaknya, jangankan mempelajarinya, membaginya pun repot. Oleh karena
itu, tidak seorang pun yang berani mengaku ahli dalam filsafat; paling banter ia mengaku
ahli logika, atau ahli dalam filsafat hokum, atau ahli dalam eksistensialisme saja. Di sini akan
dicoba melihat cabang-cabang filsafat sampai yang kecil-kecil supaya dapat dipahami
kapling-kaplingnya.
Perlu diulang lagi bahwa dalam garis besarnya filsafat mempunyai tiga cabang besar,
yaitu: teori pengetahuan, teori hakikat, dan teori nilai. Teori pengetahuan pada dasarnya
membicarakan cara memperoleh pengetahuan. Teori hakikat membahas semua objak, dan
hasilnya ialah pengetahuan filsafat. Yang ketiga, teori nilai atau disebut juga aksiologi,
membicarakan guna pengetahuan tadi. Kalau begitu ringkasannya ialah sebagai berikut:
-teori pengetahuan membicarakan cara memperoleh pengetahuan, disebut epistemology
-teori hakikat membicarakan pengetahuan itu sendiri, disebut ontology
-teori nilai membicarakan guna pengetahuan itu, disebut axiology (Ahmad Tafsir, 2009:
23).
Inilah keseluruhan filsafat dalam garis besar yang ringkas, dan beriut bias dilihat
sedikit lebih luas dan dalam.
ad. a.Kuantitas terdiri dari: 1). Monisme (satu) ; 2). Dualisme (dua) ; 3). Pluralisme (banyak)
Ad.b.Kualitas terdiri dari: Spiritualisme dan Meterialisme
Jadi, Comte yakin bahwa ilmu-ilmu yang positivistik telah bergerak dari status yang lebih
bersifat umum menuju tahap dan sifat yang lebih konkrit dan kompleks, seperti:
matematika, astronomi, fisika, kimia, biologi, dan sosiologi.
Comte mengatakan, bahwa budi atau pemikiran manusia mengalami 3 tingkatan, yaitu:
Tingkat teologis,
Tingkat metafisis,
Tingkat positif.
Pada tingkat teologis, manusia mengarahkan jiwanya kepada hakekat “batiniah” segala
sesuatu dengan pengaruh dan sebab sebab yang melebihi kodrat, yaitu kepada “sebab
pertama” dan “tujuan terakhir”.
Pada tingkat kedua, yaitu tingkat metafisika yang hanya perubahan saja dari teologis, karena
yang hendak diterangkan harus melalui abstraksi.
Sebab kekuatan yang adikodrati hanya diganti dengan kekuatan yang abstrak, yang
dipandang sebagai asal segala penampakan atau gejala yang khusus.
Tingkat ketiga, yaitu tingkat positif di mana manusia menganggap, bahwa tidak ada
gunanya untuk berusaha mencapai pengetahuan yang mutlak, baik pengetahuan teologis,
maupun pengetahuan metafisis.
Sebab tujuan tertinggi adalah bilamana gejala gejala telah dapat disusun dan diatur di
bawah satu fakta yang umum saja, misal: gaya berat. Jadi di sini hanya memperhatikan yang
sungguh sungguh dan sebab akibat yang sudah ditentukan.
Emile Durkheim yang mengatakan bahwa positivisme sebagai asas sosiologis.
John Stuart Mill menggunakan sistem positivisme pada ilmu jiwa, logika, dan kesusasteraan.
6). Aliran Evolusionisme,
Yaitu: aliran yang berpandangan bahwa manusia adalah perkembangan tertinggi dari taraf
hidup yang paling rendah.
Prosesnya: yaitu alam yang juga diatur oleh hukum hukum mekanik.
Berupa hukum survival of the fittest dan hukum struggle for live.
Tokohnya: Charles Darwin (1809-1882); Herbert Spencer (1820-1903).
Darwin mengatakan, bahwa manusia adalah perkembangan tertinggi dari taraf hidup yang
paling rendah, yaitu alam, dan juga diatur oleh hukum-hukum mekanik Jadi, hukum survival
of the fittest dan hukum struggle for live dari tumbuh-tumbuhan dan hewan berlaku pula
bagi manusia.
Sedangkan bagi Herbert Spencer, yang dapat dikenal adalah “yang menjadi”, bukannya
“yang ada”. Oleh sebab itu, proses dunia ini tiada lain merupakan berkumpulnya kembali
gerak dan bahan. Maka, evolusi adalah peralihan hubungan yang lebih erat (integrasi) dalam
bahan, yang dengan sendirinya disertai oleh perluasan gerak.
7). Aliran Eksistensialisme,
Yaitu: aliran yang berpandangan untuk mengerti seluruh realitas.
Artinya, bahwa manusia harus bertitik tolak pada manusia yang konkrit, yaitu manusia
sebagai existensi; dan sehubungan dengan titik tolak ini maka bagi manusia existensi itu
mendahului essensi.
Prosesnya, yaitu memahami secara sadar, apakah sebenarnya mengetahui itu, maka harus
mengetahui manusia yang benar-benar ada.
Tokohnya: Martin Heidegger (1889- ); Karl Jaspers (1883- ); Jean Paul Sartre (1905- ).
Ciri-ciri aliran existensialisme adalah:
1. manusia menyuguhkan dirinya (existere) dalam kesungguhannya.
2. manusia harus berhubungan dengan dunia.
3. manusia merupakan kesatuan sebelum ada perpisahan antara jiwa dan badannya
4. manusia berhubungan dengan “yang ada”.
Hal di atas seperti dikatakan oleh Martin Heidegger, bahwa persoalan tentang “berada”
hanya dapat dijawab melalui ontologi.
Artinya: jika persoalan ini dihubungkan dengan manusia dan dicari artinya dalam hubungan
ini, maka agar berhasil harus dipergunakan metode “fenomenologis”.
Jadi, yang penting menemukan arti “berada” itu. Satu-satunya “berada” yang dapat
dimengerti sebagai “berada”, ialah “berada”-nya manusia.
Catatan: harus dibedakan antara “berada” (Sein) dan “yang berada” (Seinde)
Ungkapan “yang berada” (Seinde) hanya berlaku bagi benda-benda, yang bukan manusia.
Jadi, benda-benda itu hanya “vorhanden”, artinya: hanya terletak begitu saja di depan
orang, tanpa ada hubungannya dengan orang itu.
Keberadaan manusia disebut “Dasein”, artinya: “berada di dalam dunia”.
Oleh karena manusia “berada di dalam dunia”, maka manusia dapat memberi tempat
kepada benda-benda yang di sekitarnya.
Seandainya ditanyakan kepada Socrates atai Nietzsche apa guna filsafat, agaknya
mereka akan menjawab bahwa filsafat dapat menjadi manusia menjadi manusia. Dengan
filsafat orang akan mungkin menjadi orang bijaksana. Kegunaan filsafat dalam rumusan ini
terlalu umum sehingga sulit dipahami. Berikut ini dicoba dengan menampilkan beberapa
aliran seperti:
1.Aliran Hedonisme, yaitu aliran yang menganjurkan bahwa manusia untuk mencapai
kebahagiaan yang didasarkan pada kenikmakatn, dan kesenangan.Tokohnya: Epicurus (341-
270 SM) yang menyatakan bahwa kesenangan dan kebahagiaan adalah tujuan hidup
manusia. Epikuros mengatakan, bahwa manusia harus mengikuti tatanan dunia, tidak perlu
takut mati, harus menggunakan kehendak yang bebas dan mencari kesenangan sebanyak
mungkin. Namun, jika terlalu banyak kesenangan itu akan membuat sengsara. Oleh karena
itu, manusia perlu membatasi diri dengan mengutamakan batin (Suparlan Suhartono, 2007:
102)
2.Aliran Pragmatisme, yaitu aliran yang menyatakan bahwa tindakan yang baik adalah
tindakan yang menimbulkan kosekuensi-konsekuensi yang menguntungkan.
Tokohnya, yakni John Dewey (th. 1859-1952) mengatakan, bahwa kebenaran adalah
dimisalkan manusia sedang tersesat di tengah hutan. Kepada diri sendiri manusia akan
berkata dengan yakin bahwa “jalan keluarnya adalah ke arah kiri”. Pernyataan ini akan
berarti jika manusia benar benar melangkah ke arah kiri. Selanjutnya, pernyataan ini benar
apabila arah kiri itu pada akhirnya mengakibatkan konsekuensi positif, yakni benar-benar
dapat membawa manusia tersebut keluar dari hutan itu.
Jadi, benar menurut pragmatisme bergantung pada kondisi-kondisi yang berupa (manfaat),
kemungkinan dapat dikerjakan (workability), dan konsekuensi yang memuaskan
(satisfactory results) ((Suparlan Suhartono, 2007: 81)
Kenyataan Abstraksi
A B
Mengabstrakhir adalah membuang sifat sifat yang tampak satu persatu, sehingga
tinggallah suatu gambaran yang sifatnya universal. Aristoteles, pemikir besar Yunani Kuno,
mengatakan bahwa segala sesuatu mempunyai cara-cara berbeda, yang disebut kategori.
Sedangkan darinya (hal yang ada) itu mempunyai sepuluh kategori, yaitu: substansi,
kualitas, kuantitas, relasi, waktu, tempat, keadaan, aksi, pasi, dan posisi. Dengan cara
menghilang satu persatu dari kategori-kategori itu, maka yang tinggal hanyalah satu hal
yaitu substansi. Mengabstraksikan sesuatu hal, misalnya meja, adalah menangkap
keseluruhan meja itu agar berada di dalam angan-angan akal pikiran setelah melampaui
proses penghilangan segala sifatnya yang Nampak (Sembilan kategori) sehingga tinggal
hanya satu hal yaitu substansi.
c. beralasan.
Berpikir ilmiah filsafat haruslah beralasan. Jika dijumpai suatu pertanyaan, apakah
alas an saudara tidak mau sekolah ?. jawabnya biasanya dimulai dengan kata “karena”.
Misalnya, karena sakit, atau yang lain. Jawaban pertama kiranya menyangkut soal prinsip,
sebab jika tidak sakit tentu ia akan pergi ke sekolah. Tetapi, jawaban kedua menyangkut soal
realisasi atau akibat dari tujuan, karena ia mempunyai maksud kesengajaan tertentu,
misalnya supaya gurunya diganti dan dengan demikian tidak mengganggu belajarnya. Jadi
masalah alas an kiranya selalu dirangkaikan dengan soal tujuan. Jadi, alasan adalah suatu
tanggung jawab atas suatu tindakan tertentu. Kalau demikian, apakah tanggung jawab dari
berpikir ilmiah filsafat itu ?. jelas di sini tampak suatu tujuan dari berpikir ilmiah filsafat,
yaitu untuk memperoleh jawaban/ keterangan sedalam dalamnya dari suatu objek.
Keterangan yang demikian itu berhubungan dengan sudut pandangan.
d. Harus Sistematis
Berfilsafat bukanlah merenung tanpa isi atau melamun belaka dan juga bukan
berpikir yang bersifat kebetulan. Berfilsafat dengan berpikir ilmiah adalah mencoba
menyusun suatu system ilmu pengetahuan yang saling berhubungan, rasional, konseptual,
dan memenuhi syarat untuk memahami dunia tempat manusia hidupmaupun untuk
memahami dirinya sendiri. Pendek kata, berpikir ilmiah filsafat mengenai suatu hal perlu
disusun sebagai suatu system, yaitu bagian yang satu dengan bagian yang lain saling
berhubungan dan semua bagian merupakan kesatuan serta kebulatan, tidak boleh dipisah
pisahkan dan tidak boleh berdiri sendiri sendiri.
Jika dilihat, bahwa tujuan ilmu pengetahuan adalah deskripsi dan kontrol, apabila
seni tujuannya kreativitas, kesempurnaan, bentuk, keindahan, komunikasi dan ekspresi,
maka tujuan filsafat adalah pengertian dan kebijaksanaan (Inggris: understanding and
wisdom). Oleh sebab itu, filsafat memberi hikmah pada manusia, sehingga filsafat memberi
kepuasan pada keinginan manusia akan pengetahuan yang tersusun dengan tertib, akan
kebenaran.
Jadi, bagi manusia berfilsafat artinya mengatur hidupnya seinsaf-insafnya, sesentral-
sentralnya dengan perasaan tanggung jawab.
Henry Bergson (1858-1941) berkata, bahwa berfilsafat itu ibarat berenang.
Jadi, masing-masing orang mempunyai gayanya sendiri-sendiri.
Oleh sebab itu, filsafat bukanlah barang hafalan, seperti 2x2=4 yang setiap orang
mempunyai pendapat sama.
Setiap masalah filsafat dapat meluas menjadi pertanyaan akan sistem dan berakhir pada visi
ahli filsafat.
Dengan kata lain, ciri dari filsafat pada akhirnya, ialah subyektif.
Hal di atas seperti dikatakan oleh Louis O. Kattsoff dalam buku Elements of Philosophy,
yaitu: Bilamana anda mengaharapkan jawaban-jawaban yang tingkat terakhir atas
persoalan-persoalan anda, artinya jawaban-jawaban yang oleh semua ahli filsafat saja akan
dianggap merupakan kebenaran, maka anda akan kecewa sekali.
D. PENUTUP
Aksidensia terdiri dari 9 hal, yang cirri-cirinya disebutkan oleh Gazalba (1973:11: 145-6)
sebagai berikut:
1. Kualitas/sifat, tentang bagaimana mutu sesuatu, seperti gagah, lemah, kuat, dll.
2. Kuantitas/ jumlah, pertanyaan mengenai jumlah, seperti satu, dua, banyak, dll.
3. Relasi/ hubungan, menunjuk suatu hubungan dengan hal lain.
4. Aksi, menunjuk pada perubahan pada suatu hal.
5. Pasivitas, menunjuk pada penerimaan perubahan atau dipengaruni oleh hal lain.
6. Isi, menunjuk pada besar kecilnya sesuatu
7. Waktu, yang menyatakan bilamana sesuatu itu berada.
8. Situasi, menerangkan bagaimana sesuatu itu pada tempatnya.
9. Tempat, pengertian yang menjelaskan hal hal lain yang mengerumuni benda itu.
DaftarPustaka