Anda di halaman 1dari 71

Laporan Kasus

Kejang Demam Kompleks, ISK dan


Bronkopneumonia Pada Anak

Disusun oleh:
Laili Holidian Tikasari 18710068

Pembimbing:
dr. Endah Tjiptaningsih, Sp.A

SMF ILMU KESEHATAN ANAK


RSUD dr. M. SALEH KOTA PROBOLINGGO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA
SURABAYA
2019
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
JUDUL : KEJANG DEMAM KOMPLEKS, ISK DAN
BRONKOPNEUMONIA

Telah disetujui dan disahkan pada:


Hari :
Tanggal :

Mengetahui,
Dokter Pembimbing

dr. Endah Tjiptaningsih, Sp.A

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat dan rahmat-Nyalah penulis dapat menyelesaikan Laporan kasus ini
sesuai dengan harapan dan tepat pada waktunya.
Tugas Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi syarat penilaian
menurut kurikulum pendidikan profesi di rumah sakit. Dalam penyusunan tugas
ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah
memberikan bimbingan dan dukungan, sehingga tugas ini dapat selesai dengan
baik. Oleh karena itu, sudah selayaknya penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. dr. Endah Tjiptaningsih, Sp.A sebagai kepala bagian kepaniteraan klinik
SMF Ilmu Kesehatan Anak di RSD dr. Moh. Saleh Probolinggo
2. dr. Dwi Agustina, Sp.a sebagai pembimbing Laporan kasus ini.
3. Seluruh Dokter Pengajar di SMF Ilmu Kesehatan Anak
4. Orang tua kami yang memberikan dukungan moral dan spiritual kepada
penulis.
5. Teman – teman sejawat dokter muda Fakultas Kedokteran Universitas
Wijaya Kusuma RSUD dr. Mohammad Saleh Kota Probolinggo
khususnya kelompok dokter muda A yang telah memberikan masukan–
masukan membangun.
Penulis menyadari akan segala keterbatasan kemampuan baik di bidang
pengalaman maupun sumber-sumber yang mendukung dalam hal menyusun tugas
ini. Untuk itu penulis memohon maaf atas kekurangan dan penulis mengharapkan
kritik dan saran demi kesempurnaan tugas ini. Untuk itu penulis ucapkan terima
kasih. Penulis berharap semoga laporan kasus ini dapat berguna bagi semua yang
memanfaatkannya.
Probolinggo, Januari 2019

Penulis
iii
DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan …………………………………………………………... ii


Kata Pengantar ………………………………………………………………... iii
Daftar Isi ……………………………………………………………………… iv
BAB I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang ………………………………………………… 1
1.2 Rumusan masalah ………………………………………………. 2
1.3 Tujuan .......................................................................................... 2
BAB II Tinjauan Pustaka
A. Kejang Demam
1. Definisi .......................................……………………..…………… 3
2. Epidemiologi .......................................................................……... 4
3. Etiologi............................................................................................. 4
4. Patofisiologi..................................................................................... 5
5. Faktor Resiko................................................................................ 7
6. Klasifikasi …................................................................................... 8
7. Tipe Kejang ...................................................................................... 9
8. Manifestasi Klinis ………………..…….……………………. 10
9. Diagnosis ……………………………………............................. 11
10. Diagnosis Banding ……………………………………………. 13
11. Tatalaksana……………..……………………………………… 15
12. Pronogsis…………………………..………………………….. 17
B. Bronkopneumonia
1. Definisi …………………………….………………………….. 19
2. Epidemiologi………………………….………………………… 19
3. Etiologi ……………………………………………………. 20
4. Patofisiologi………………………………………………… 22
5. Msnifestasi Klinis…………………………………….……… 24
6. Diagnosis ……………………………………………………. 25
7. Diagnosis Banding…………………………………………… 28
iv
8. Komplikasi ……………………………………………………. 29
9. Penatalaksanaan ……………………………………………….. 30
C. Infeksi Saluran Kemih
1. Definisi …………………………….………………………….. 34
2. Epidemiologi………………………….………………………… 34
3. Etiologi ……………………………………………………. 35
4. Patofisiologi………………………………………………… 36
5. Msnifestasi Klinis…………………………………….……… 36
6. Diagnosis ……………………………………………………. 37
7. Diagnosis Banding…………………………………………… 39
8. Penatalaksanaan ……………………………………………….. 40
9. Prognosis ………………………………………………………. 42
BAB III Laporan Kasus
A. Identitas Pasien…………………………………………………… 43
B. Subjektif…………………………………………………………. 43
C. Objektif…………………………………………………………… 45
D. Hasil Laboratorium……………………………………………… 47
E. Assessment ……………………………………………………… 48
F. Planning………………………………………………………….. 48
G. Follow UP………………………………………………………… 48
BAB IV Pembahasan………………………………………………………… 57
BAB V Penutup………………………………………………………………… 61
Daftar Pustaka ……………………................………………………………... 63

v
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal diatas 380C) oleh suatu proses ekstrakranium yaitu tanpa
adanya infeksi susunan saraf pusat, gangguan elektrolit atau metabolik lain. [1]

Kejang demam dikelompokkan menjadi kejang demam sederhana dan


kompleks berdasarkan manifestasi klinisnya yaitu lama kejang, frekuensi kejang,
dan sifat kejang. Klasifikasi ini berpengaruh pada pengobatan dan menjadi salah
satu faktor risiko terjadinya epilepsi di kemudian hari. [1]

Prevalensi kejang demam sekitar 2– 5% pada anak balita. Umumnya


terjadi pada anak umur 6 bulan sampai 5 tahun. Ada beberapa faktor yang ikut
mempengaruhi, diantaranya usia, jenis kelamin, riwayat kejang dan epilepsy
dalam keluarga, dan normal tidaknya perkembangan neurologi.[1]

Prognosis kejang demam baik, namun bangkitan kejang demam membawa


kekawatiran bagi orang tua. Maka diperlukan tindakan pencegahan terhadap
berulangnya bangkitan kejang demam tersebut.[1]

Penelitian Nelson dan Ellenberg (1978) serta Lewis (1979) menunjukkan


pencetus kejang demam terbanyak adalah infeksi saluran napas atas, diikuti
dengan infeksi saluran kemih (ISK), otitis media, pneumonia, gastroenteritis,
roseola infantum, dan penyakit non-infeksi. Imunisasi juga dapat menjadi
penyebab kejang demam namun insidennya sangat kecil. [1]

Pneuomonia adalah infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah yang


mengenai parenkim paru. Bronkopneumonia disebut juga pneumonia loburalis

1
yaitu suatu peradangan pada parenkim paru yang terlokalisir, biasanya mengenai
bronkiolus dan juga alveolus disekitarnya yang sering terjadi pada anak-anak dan
balita.[1]

ISK merupakan penyebab demam kedua tersering setelah infeksi akut


saluran napas pada anak berusia < 2 tahun. Infeksi saluran kemih (ISK) adalah
infeksi yang terjadi pada sistim saluran kemih, mulai dari meatus uretra sampai ke
ginjal. [1]

1.2 Rumusan masalah


1. Jelaskan Definisi Kejang Demam Kompleks, Bronkopneumonia dan ISK
2. Jelaskan Epidemiologi Kejang Demam Kompleks, Bronkopneumonia dan
ISK
3. Jelaskan Etiologi Kejang Demam Kompleks, Bronkopneumonia dan ISK
4. Jelaskan Patogenesis Kejang Demam Kompleks, Bronkopneumonia dan ISK
5. Jelaskan Manifestasi Kejang Demam Kompleks, Bronkopneumonia dan ISK
6. Jelaskan Diagnosis Kejang Demam Kompleks, Bronkopneumonia dan ISK
7. Jelaskan Diagnosis Banding Kejang Demam Kompleks, Bronkopneumonia
dan ISK
8. Jelaskan Penatalaksanaan Kejang Demam Kompleks, Bronkopneumonia dan
ISK
9. Jelaskan prognosis Kejang Demam Kompleks, Bronkopneumonia dan ISK

1.3 Tujuan
Untuk mengetahui dan mempelajari tentang Kejang Demam Kompleks,
Bronkopneumonia dan ISK pada anak

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KEJANG DEMAM
1. DEFINISI
Demam merupakan salah satu keluhan utama tersering yang
disampaikan orang tua pada saat membawa anaknya ke dokter atau ke tempat
pelayanan kesehatan. Demam didefinisikan bila suhu tubuh lebih dari normal
sebagai akibat peningkatan pusat pengaturan suhu tubuh di hipotalamus yang
dipengaruhi oleh interleukin-1 (IL-1). Anak yang demam akan dinilai dan
dikenali oleh orang tuanya. Selanjutnya, orang tua akan melakukan 2 pilihan
yaitu tindakan atau pengobatan berupa penanganan sendiri dulu di rumah dan
meminta pertolongan ke sarana kesehatan setempat untuk mendapatkan
pelayanan yang optimal. [2]
Kejang adalah manifestasi klinis intermiten yang khas dapat berupa
gangguan kesadaran, tingkah laku, emosi, motorik, sensorik dan atau otonom
yang disebabkan oleh lepasnya muatan listrik yang berlebihan di neuron
otak.[3]
Kejang tersebut biasanya timbul pada suhu badan yang tinggi
(demam). Demamnya sendiri dapat disebabkan oleh berbagai sebab, tetapi
yang paling utama adalah infeksi. Demam yang disebabkan oleh imunisasi
juga dapat memprovokasi terjadinya kejang demam. [4]
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan
suhu tubuh (suhu rektal diatas 380C) oleh suatu proses ekstrakranium yaitu
tanpa adanya infeksi susunan saraf pusat, gangguan elektrolit atau metabolik
lain. [4]
Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang
demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam. Kejang disertai demam
pada bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam.

3
Bila anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami
kejang didahului demam, pikirkan kemungkinan lain misalnya infeksi SSP,
atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam.[4]

2. EPIDEMIOLOGI
Kejang demam merupakan salah satu kelainan saraf yang paling
sering dijumpai pada bayi dan anak. Prevalensi kejang demam sekitar 2– 5%
pada anak balita. Umumnya terjadi pada anak umur 6 bulan sampai 5 tahun.
Ada beberapa faktor yang ikut mempengaruhi, diantaranya, usia, jenis
kelamin, riwayat kejang dan epilepsi dalam keluarga, dan normal tidaknya
perkembangan neurologi. [5]
Menurut Consensus Statement on Febrile Seizures (1980), kejang
demam adalah suatu kejadian pada bayi atau anak, biasanya terjadi antara
umur 3 bulan sampai 5 tahun, berhubungan dengan demam tetapi tidak pernah
terbukti adanya infeksi intrakranial atau penyebab tertentu. Namun menurut
The American Academy Of Pediatrics (AAP) usia termuda bangkitan kejang
demam yaitu umur 6 bulan.[6]
Insiden yang paling sering terjadinya kejang demam terutama pada
golongan anak umur 6 bulan sampai 5 tahun. Hampir 3% dari anak yang
berumur di bawah 5 tahun pernah menderita kejang demam. Kejang demam
sering didapatkan pada laki-laki daripada perempuan. Hal tersebut disebabkan
karena pada wanita didapatkan maturasi serebral yang lebih cepat
dibandingkan laki-laki. [7]

3. ETIOLOGI
Penentuan faktor penyebab kejang sangat menentukan untuk
tatalaksana selanjutnya, karena kejang dapat diakibatkan berbagai macam
etiologi.
a. Faktor genetika

4
Faktor keturunan di salah satu penyebab terjadinya kejang demam
25-50% anak yang pernah mengalami kejang demam.
b. Penyakit infeksi
1) Bakteri
Penyakit pada traktus respiratorius, faringitis, tonsillitis, otitis
media, infeksi saluran kemih
2) Virus
Varicella (cacar), morbili (campak), dengue
c. Demam
Kejang demam cenderung timbul dalam waktu 24 jam pertama pada
waktu sakit dengan demam tinggi.
d. Trauma kepala
Kejang berkembang pada minggu pertama setelah kejadian cedera
kepala.
e. Gangguan metabolik
Hipoglikemia, hiponatremia, hipoksemia, hipokalsemia, gangguan
elektrolit, defisiensi piridoksin, gagal ginjal, gagal hati, gangguan
metabolik bawaan

4. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi kejang demam masih belum jelas, tetapi faktor genetik
memainkan peran utama dalam kerentanan kejang. Kejadian kejang demam
dipengaruhi oleh usia dan maturitas otak.
Temperatur tubuh normal antara 36,5C-37,5C. Peningkatan suhu
tubuh diinduksi oleh pusat termoregulator di hipotalamus sebagai respon
terhadap perubahan tertentu. Kejang demam merupakan kejang yang terjadi
karena rangsangan demam, tanpa adanya proses infeksi intrakranial. Suhu
yang sering menimbulkan kejang demam adalah 38,5 C.

5
Perubahan temperatur tubuh berpengaruh terhadap nilai ambang kejang
dan eksitabilitas neural. Kenaikan suhu tubuh berpengaruh pada kanal ion dan
metabolisme seluler serta produksi adenosine triphosphate (ATP). Setiap
kenaikan suhu tubuh 1C akan meningkatkan metabolisme basal 10%-15%
dan kebutuhan oksigen 20%. Akibat keadaan tersebut, reaksi oksidasi
berlangsung lebih cepat sehingga oksigen lebih cepat habis. Oksigen dalam
jaringan yang kurang dapat menyebabkan terjadi keadaan hipoksia.
Oksigen dibutuhkan dalam proses transport aktif ion Na-K yang berguna
untuk menstabilkan membran sel saraf. Kestabilan membran sel saraf yang
terganggu dapat mengakibatkan konsentrasi ion Na intrasel meningkat
sehingga terjadi depolarisasi.
Kejang terjadi apabila terdapat depolarisasi berlebihan pada neuron
dalam sistem saraf pusat dan jika kondisi ini berada pada level yang tetap dan
mendapat rangsangan yang kuat seperti demam tinggi (>38C).

Gambar 1. Patofisiologi Kejang Demam

6
Pada demam, kenaikan suhu 10 C akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10 - 15 % dan kebutuhan O2 meningkat 20 %. Pada
seorang anak berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh
dibandingkan dengan orang dewasa (hanya 15%) oleh karena itu, kenaikan
suhu tubuh dapat mengubah keseimbangan membran sel neuron dan dalam
waktu singkat terjadi difusi dari ion kalium dan natrium melalui membran
listrik dengan bantuan ”neurotransmitter”, perubahan yang terjadi secara tiba-
tiba ini dapat menimbulkan kejang. [4]

5. FAKTOR RESIKO [8]


a. Demam
Anak dengan demam kurang dari 2 jam untuk terjadinya
bangkitan kejang demam, 2-4 kali lebih besar dibanding anak yang
mengalami demam lebih dari 2 jam. Anak demam dengan suhu lebih dari
39C memiliki risiko 10 kali lebih besar untuk menderita bangkitan
kejang, dibandingkan anak yang demam dengan suhu kurang dari 39C.
b. Faktor Usia
Anak kejang dengan usia kurang dari 2 tahun memiliki risiko
bangkitan kejang 3-4 kali lebih besar dibanding anak yang mengalami
kejang pada usia lebih dari 2 tahun.
c. Riwayat Kejang dalam Keluarga
Orang tua dan atau saudara kandung yang pernah mengalami
kejang demam, merupakan faktor risiko. Bila kedua orang tua tidak
pernah memiliki riwayat kejang demam, maka faktor risikonya hanya 9%.
Apabila salah satu dari orang tua pernah menderita kejang demam, maka
faktor risikonya menjadi 20-22%. Apabila kedua orang tua pernah
mengalami kejang demam, maka faktor risikonya menjadi 59-64%.
d. Faktor Perinatal dan Pascanatal

7
Kehamilan pada usia lebih dari 35 tahun, berat badan lahir sangat
rendah atau amat sangat rendah, merupakan faktor risiko terjadinya
kejang demam.
e. Faktor Vaksinasi/Imunisasi
Risiko kejang demam dapat meningkat setelah beberapa imunisasi
pada anak, seperti imunisasi difteri, tetanus, dan pertusis (DPT) atau
mumps-rubela (MR).

6. KLASIFIKASI [9]
Secara klinis klasifikasi kejang demam dibagi menjadi dua yaitu
kejang demam simpleks/sederhana dan kompleks. Keduanya memiliki
prognosis dan kemungkinan rekurensi.
a. Kejang Demam Simpleks/Sederhana
- Kejang umum tonik, klonik, atau tonik-klonik tanpa gerakan fokal
- Anak dapat terlihat mengantuk setelah kejang
- Berlangsung singkat < 15 menit
- Umumnya berhenti sendiri
- Tidak berulang dalam 24 jam
- Tidak ada defisit neurologis
- Riwayat keluarga mengalami kejang demam 
- Riwayat keluarga tanpa kejang demam 
- Abnormalitas neurologis sebelumnya 
b. Kejang Demam Kompleks
- Berlangsung 15 menit
- Bentuk kejang fokal atau kejang umum yg didahului kejang fokal
- Berulang dalam 24 jam
- Defisit neurologis 
- Riwayat keluarga mengalami kejang demam 

8
- Riwayat keluarga tanpa kejang demam 
- Abnormalitas neurologis sebelumnya 

7. TIPE KEJANG [10]


1) Kejang Parsial
a. Kejang Parsial Sederhana :
- Kesadaran tidak terganggu
- Terdapat satu atau lebih gejala seperti kedutan pada wajah, tangan,
atau salah satu sisi tubuh, muntah, berkeringat, muka merah,
dilatasi pupil.
b. Kejang Parsial Kompleks :
- Terdapat gangguan kesadaran
- Terdapat gerakan mengecapkan bibir, menguyah, gerakan
mencongkel berulang pada tangan dan kaki
- Tatapan terpaku.
2) Kejang Umum
a. Kejang Absens
- Tatapan terpaku, yang umumnya berlangsung kurang dari 15
detik
- Awitan dan akhiran cepat, seelah itu kembali konsentrasi penuh
- Umumnya dimulai pada usia antara 4 dan 14 tahun, dan sering
sembuh sendirinya pada usia 18 tahun.
b. Kejang Mioklonik
- Kedutan involunter pada otot secara mendadak
- Secara fisiologis sering terlihat pada orang selama tidur, secara
patologis berupa kedutan sinkron di leher, bahu, lengan atas dan
kaki.
- Umumnya berlangsung kurang dari 15 detik

9
- Kehilangan kesadaran sesaat
c. Kejang Tonik-Klonik
- Didahului hilangnya kesadaran
- Saat tonik, kaku umum pada otot ekstremitas, batang tubuh, dan
wajah yang berlangsung kurang dari 1 menit.
- Dapat disertai dengan hilangnya kontrol kandung kemih dan usus
- Diikuti dengan gerakan klonik pada ekstremitas atas dan bawah
- Setelah kejang lemas, bingung, dan kemudian tidur
d. Kejang Atonik
- Hilangnya tonus otot secara mendadak
- Kelopak mata turun, kepala menunduk atau jatuh ke tanah
- Singkat dan terjadi tiba tiba
e. Status Epileptikus
- Kejang tonik-klonik umum yang terjadi berulang
- Anak tidak sadar diantara kejang
- Berpotensi terjadi depresi nafas, hipotensi dan hipoksia
- Memerlukan bantuan medis segera

8. MANIFESTASI KLINIS [11]

Kejang selalu didahului oleh naiknya suhu tubuh dengan cepat. Batas
suhu yang bisa mencetuskan kejang demam adalah 38,0C atau lebih, tetapi
suhu sebenarnya pada waktu kejang sering tidak diketahui.

Adanya tanda kejang demam yang bersifat tonik-klonik, tonik, klonik,


fokal atau parsial. Ada juga tanda lain seperti menggigit lidah. Gigi atau
rahang terkatup rapat, inkontinensia urin, gangguan pernafasan (apneu dan
kulit biru).

10
Anamnesis dan pemeriksaan fisik harus diarahkan untuk mencari fokus
infeksi penyebab demam, tipe kejang, serta pengobatan yang diberikan
sebelumnya. Selain itu, tanyakan riwayat trauma, riwayat perkembangan dan
fungsi neurologis, serta riwayat kejang demam maupun kejang tanpa demam
pada keluarga.

Pada pasien dengan kejang demam, tidak ditemukan adanya penurunan


kesadaran. Namun, pada kejang demam ditemukan perkembangan dan
neurologis yang normal. Pemeriksaan neurologis yang dilakukan meliputi
pemeriksaan kepala, ubun ubun besar, tanda rangsangan meningeal, pupil,
saraf kranial, motorik, tonus otot, reflek fisiologis dan patologis.

9. DIAGNOSIS [12]
a. Anamnesa
- Deskripsi kejang: tipe kejang, lama kejang, frekuensi dalam 24 jam
(berulang/tidak), interval kejang, keadaan anak pasca kejang
(sadar/tidak untuk menyingkirkan diagnosa meningoensefalitis).
- Suhu sebelum/saat kejang
- Riwayat demam (sejak kapan, timbul mendadak atau perlahan,
menetap atau naik turun).
- Penyebab demam di luar infeksi susunan saraf pusat (gejala infeksi
saluran nafas akut/ISPA, ISK/infeksi saluran kemih, OMA/otitis
media akut)
- Riwayat kejang sebelumnya (kejang disertai demam maupun tidak
disertai demam atau epilepsi)
- Riwayat kejang dalam keluarga
- Riwayat gangguan neurologis (menyingkirkan diagnosa epilepsi)
- Kondisi medis yang berhubungan, trauma, gejala infeksi, riwayat
kehamilan (ibu terjangkit Rubella), Riwayat persalinan,
perkembangan mental dan motoric.

11
- Singkirkan penyebab kejang yang lain (missal diare/muntah yang
mengakibatkan gangguan elektrolit, sesak yang mengakibatkan
hipoksemia, asupan kurang yang menyebabkab hipoglikemia)
b. Pemeriksaan Fisik
- Kesadaran (apakah terdapat penurunan kesadaran)
- Suhu tubuh (apakah terdapat demam atau kenaikan suhu tubuh)
- Tanda rangsang meningeal (kaku kuduk, Brudzinski I dan II, Kernique,
Laseque)
- Tanda peningkatan TIK (Tekanan Intra Kranial) : UUB membonjol ,
papil edema
- Tanda infeksi di luar SSP (system saraf pusat) : ISK,ISPA,OMA
- Pemeriksaan neurologi : tonus, motoric, reflex fisiologis, reflek patologis
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mengetahui penyebab
demam, seperti :
- Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada
kejang demam, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi
penyebab demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan
misalnya, hematologi rutin/darah lengkap, urin lengkap.
- Pemeriksaan atas indikasi
Pemeriksaan atas indikasi, seperti pemeriksaan kadar glukosa,
elektrolit, pungsi lumbal. Pemeriksaan cairan cerebrospinal pada pungsi
lumbal dilakukan untuk menegakan atau menyingkirkan kemungkinan
meningitis. Pada bayi kurang dari 12 bulan, sangat dianjurkan
pemeriksaan pungsi lumbal. Pada bayi antara 12-18 bulan dianjurkan,
sedangkan pada bayi lebih dari 18 bulan, tidak rutin dilakukan. Bila secara
klinis tidak menunjukan tanda meningitis, maka tidak perlu dilakukan
pungsi lumbal.

12
- Pemeriksaan EEG
Pemeriksaan EEG dilakukan pada kejang demam kompleks pada
anak usia lebih dari 6 tahun, atau kejang demam fokal. Pemeriksaan ini
tidak dapat menentukan kemungkinan kejadian kejang demam berulang,
ataupun resiko epilepsi, oleh karena itu pemeriksaan EEG tidak
direkomendasikan.
- Pemeriksaan lain
Pemeriksaan lainnya seperti X-ray, CT-SCAN, atau MRI, hanya
diindikasikan bila ada kelainan neurologis menetap, kelainan saraf kranial
yang menetap, atau papiledem.

10. DIAGNOSA BANDING


a. Meningitis [13]
Meningitis bakterial adalah inflamasi meningen, terutama araknoid
dan piamater, yang terjadi karena invasi bakteri ke dalam ruang subaraknoid.
Pada meningitis, terjadi rekrutmen leukosit ke dalam cairan serebrospinal
(CSS). Biasanya proses inflamasi tidak terbatas hanya di meningen, tapi juga
mengenai parenkim otak (meningoensefalitis), ventrikel (ventrikulitis),
bahkan bisa menyebar ke medula spinalis.
Faktor risiko meningitis adalah status immunocompromised (infeksi
human immunodeficiency virus, kanker, dalam terapi obat imunosupresan,
dan splenektomi), trauma tembus kranial, fraktur basis kranium, infeksi
telinga, infeksi sinus nasalis, infeksi paru, infeksi gigi,dan penyakit kronik.
Infeksi bakteri mencapai sistem saraf pusat melalui invasi langsung,
penyebaran hematogen, atau embolisasi trombus yang terinfeksi.
Transmisi bakteri patogen umumnya melalui droplet respirasi atau
kontak langsung dengan karier. Proses masuknya bakteri ke dalam sistem
saraf pusat merupakan mekanisme yang kompleks. Awalnya, bakteri
melakukan kolonisasi nasofaring dengan berikatan pada sel epitel

13
menggunakan vili adesif dan membran protein. Risiko kolonisasi epitel
nasofaring meningkat pada individu yang mengalami infeksi virus pada
sistem pernapasan atau pada perokok.
Meningitis bakteri akut memiliki trias klinik, yaitu demam, nyeri
kepala hebat, dan kaku kuduk. Tidak jarang disertai kejang umum dan
gangguan kesadaran. Tanda Brudzinski dan Kernig juga dapat ditemukan
serta memiliki signifikansi klinik yang sama dengan kaku kuduk, namun
sulit ditemukan secara konsisten. Penegakan diagnosis meningitis sulit jika
manifestasi awal hanya nyeri kepala dan demam. Selain itu, kaku kuduk
tidak selalu ditemukan pada pasien sopor, koma, atau pada lansia.
Meningitis bakteri merupakan kegawat daruratan medik. Pemilihan
antibiotik yang tepat adalah langkah yang krusial, karena harus bersifat
bakterisidal pada organisme yang dicurigai dan dapat masuk ke CSS dengan
jumlah yang efektif. Pemberian antibiotik harus segera dimulai sambil
menunggu hasil tes diagnostik dan nantinya dapat diubah setelah ada temuan
laboratorik.
b. Epilepsi [14]
Epilepsi merupakan penyakit saraf yang ditandai dengan episode
kejang yang dapat disertai hilang- nya kesadaran penderita. Penyakit ini
disebabkan oleh ketidakstabilan muatan listrik pada otak yang selanjutnya
mengganggu koordinasi otot dan bermanifestasi pada kekakuan otot atau pun
hentakan repetitif pada otot.
Faktor resiko epilepsi antara lain asfiksia neonatorium, riwayat
demam tinggi, riwayat ibu yang memiliki faktor resiko tinggi (wanita dengan
latar belakang susah melahirkan atau pengguna obat-obatan, hipertensi),
pasca trauma kelahiran, riwayat ibu yang menggunakan obat anti konvulsan
selama kehamilan, riwayat intoksikasi obat-obatan maupun alkohol, adanya
riwayat penyakit pada masa anak-anak (campak, mumps), riwayat gang-
guan metabolisme nutrisi dan gizi, riwayat keturunan epilepsi.

14
Penyebab timbulnya kejang pada penderita antara lain
ketidakpatuhan meminum obat sesuai jadwal yang diberikan oleh dokter dan
dosis yang telah ditetapkan, meminum minuman keras seperti alkohol,
memakai narkoba seperti kokain atau pil lain seperti ekstasi, kurangnya tidur
pada penderta, mengkonsumsi obat lain sehingga mengganggu efek obat
epilepsi.

11. PENATALAKSANAAN [9]


a. Saat Kejang
- ABC terlebih dahulu
Pastikan jalan nafas tidak terhalang, pakaian ketat dilonggarkan, anak
diposisikan miring agar lendir atau cairan dapat mengalir keluar untuk
menghindari terjadinya aspirasi cairan. Periksa tanda vital (RR,HR, dan
Suhu) dan berikan oksigen.
- Pemberian Diazepam
Jika terjadi kejang dirumah, maka orang tua dapat memberikan
diazepam rektal dengan dosis 0,5-0,75 mg/kgBB, atau diazepam rektal 5
mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg, dan diazepam rektal
10 mg untuk anak dengan berat badan lebih dari 10 kg. Jika kejang belum
berhenti, dapat diulang dengan jarak waktu 5 menit. Jika setelah 2 kali
pemberian diazepam anak masih kejang, dianjurkan dibawa ke rumah sakit.
Di rumah sakit, jika pasien datang dalam keadaan kejang, maka dapat
diberikan injeksi diazepam intravena dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgBB,
dengan cara perlahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam 3-5
menit, dosis maksimal yang dapat diberikan adalah 20 mg. Jika kejang
belum berhenti, maka dapat diberikan phenytoin intravena dengan dosis
awal 10-20 mg/kgBB/kali dengan kecepatan 1mg/kgBB/menit atau kurang
dari 50mg/menit. Jika kejang berhenti, maka dilanjutkan dengan pemberian
phenytoin setelah 12 jam dari pemberian pertama dengan dosis 4-8

15
mg/kgBB/hari. Jika dengan pemberian phenytoin kejang belum berhenti,
maka pasien harus dirawat di ruang intensif.
b. Saat demam
- Antipiretik dan kompres
Suhu yang tinggi harus segera diturunkan dengan kompres dan
pemberian antipiretik. Dosis parasetamol yang digunakan 10 – 15
mg/kgBB/kali diberikan 4 kali sehari. Dosis ibuprofen 5 – 10
mg/kgBB/kali, 3 sampai 4 kali sehari . Meskipun jarang, asam asetil
selisilat dapat menyebabkan sindrom Reye terutama pada anak kurang
dari 18 bulan , sehingga penggunanya tidak dianjurkan.
- Antikonvulsan
Pemberian diazepam oral dengan dosis 0,3 mg/kgBB tiap 8 jam saat
demam, atau diazepam rektal dengan dosis 0,5 mg/kgBB tiap 8 jam pada
suhu 38,5C dapat menurunkan risiko kejang berulang.
c. Obat Rumatan
Fenobarbital atau Asam valproat merupakan obat rumatan pilihan,
untuk menurunkan risiko terjadinya kejang berulang. Dosis asam valproat
adalah 15-40 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2-3 dosis, sedangkan dosis
fenobarbital adalah 3-4 mg/kgbb/hari dibagi 1-2 dosis. Namun, pemakaian
fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan perilaku dan
kesulitan belajar pada 40-50% kasus. Obat pilihan saat ini adalah asam
valproate. Pengobatan diberikan selama 1 tahun bebas kejang, kemudian
dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan.
Obat rumatan diberikan jika kejang lama dengan durasi lebih dari 15
menit, kejang fokal, dan ada kelainan neurologis nyata sebelum atau
sesudah kejang seperti hemiparesis, paresis todd, cerebral palsy, retradasi
mental, dan hidrosefalus.

16
Pemberian obat rumatan dipertimbangkan bila kejang berulang 2 kali
atau lebih dalam 24 jam, kejang demam yang terjadi pada bayi usia kurang
dari 12 bulan, atau kejang demam dengan frekuensi lebih dari 4 kali per
tahun.

Gambar 2. Penatalaksaan Kejang Demam

12. PROGNOSIS [15]

Prognosis anak dengan kejang demam merupakan suatu kondisi yang


baik. Pencapaian intelektual normal. Sebagian besar akan menghilang pada usia
5-6 tahun. Kemungkinan mengalami kejang demam kembali kurang lebih 25 s/d
50 % pada 6 bulan pertama dari serangan pertama. Resiko terjadinya epilepsi di
kemudian hari tergantung dari adanya riwayat kejang demam kompleks, riwayat
epilepsi dalam keluarga, dan terdapat defisit neurologis.

17
Kejang demam sederhana Kejang demam komplek

Sadar Penuh Kejang berkepanjangan

Kejang berulang dalam 24 jam


Anak tampak sehat
dengan penyakit yang sama

Fokus infeksi Fokus infeksi tidak


dapat ditemukan dapat ditemukan
dari pemeriksaan
fisk

Terapi sumber
demam
Pertimbangkan
pemeriksaan
tambahan :
- Urinalisis
-DL, diff count
- CXR
-Kultur darah

1. Pertimbangkan dx banding
2. Pemeriksaan tambahan :
Berikan KIE Perawatan - Urinalisis
dirumah - DL, diff count
- CXR
- Kultur darah
3. Pertimbangkan pungsi lumbal bila :
- Curiga meningites
- Meningeal sign (+)
- Sumber demam tidak jelas
- Anak berusia 12-18 bulan
-

Penanganan kejang aktif :

- Buccal midazolam 0,5 mg/kg, dosis max 10 mg, atau

- Diazepam 0,5 mg/kg per rectum, dosis max 20 mg, atau

- Lorazepam 0,1 mg/kg per rectum atau iv, dosis max 4 mg

18
Gambar 3. Penanganan Darurat Kejang Demam Pada Anak
B. BRONKOPNEUMONIA
1. DEFINISI

Pneuomonia adalah infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah yang


mengenai parenkim paru dimana asinus terisi dengan cairan radang, dengan
atau tanpa disertai infiltrasi dari sel radang ke dalam interstitium. Secara klinis
pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru yang disebabkan oleh
mikroorganisme. [16]

Bronkopneumonia disebut juga pneumonia loburalis yaitu suatu


peradangan pada parenkim paru yang terlokalisir, biasanya mengenai
bronkiolus dan juga alveolus disekitarnya yang sering terjadi pada anak-anak
dan balita yang disebabkan oleh infeksi mikroorganisme seperti bakteri, virus,
jamur, parasite dan sebagian kecil disebabkan oleh penyebab non infeksi yang
akan menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas
setempat.[16]

2. EPIDEMIOLOGI

Pneumonia merupakan penyakit yang menjadi masalah di berbagai


Negara terutama di Negara berkembang termasuk Indonesia. Insidens
pneumonia pada anak < 5 tahun di Negara maju adalah 2-4
kasus/100anak/tahun, sedangkan di Negara berkembang 10-20
kasus/100anak/tahun. Pneumonia menyebabkan lebih dari 5 juta kematian per
tahun pada anak balita di Negara berkembang. [12]

Infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan masalah utama dala
m bidang kesehatan, baik di negara yang sedang berkembang maupun yang
sudah maju. Laporan WHO 1999 menyebutkan bahwa penyebab kematian
tertinggi akibat penyakit infeksi di dunia adalah infeksi saluran napas akut
termasuk pneumonia dan influenza.

19
Imunisasi memberikan dampak yang sangat besar dalam menurunkan
insidens pneumonia yang disebabkan oleh pertussis, difteri, campak
haemophilus influenza dan streptococcus pneumonia. Diperkirakan lebih dari
4 juta kematian setiap tahun di Negara berkembang disebabkan infeksi
respiratori akut. Faktor resiko untuk infeksi respiratori bawah termasuk
refluks gastroesofageal, gangguan system neurologi (aspirasi), kondisi
imunokompromais, abnormalitas anatomis system respiratori, dan saat dalam
perawatan di rumah sakit ataupun sedang menjalani prosedur tindakan
invasive. [10]

3. ETIOLOGI [16]

Usia pasien merupakan peranan penting pada perbedaan dan kekhasan


pneumonia anak, terutama dalam spectrum etiologi, gambaran klinis dan
strategi pengobatan.

Usia Penyebab Tersering Penyebab Jarang


0-20 hari Bakteri Bakteri
Escherichia coli Organisme
Group B streptococci Group B streptococci
Listeria monocytogenes Haemophilus influenzae
Streptococcus pneumoniae
Ureaplasma urealyticum
Virus
Cytomegalovirus
Herpes simplex virus
3 minggu-3 bulan Bakteri Bakteri
Chlamydia trachomatis Bordetella pertussis
S. pneumoniae H. influenzae tipe B dan
Virus non-typeable

20
Adenovirus Moraxella catarrhalis
Influenza virus Staphylococcus aureus
Parainfluenza virus 1, 2 dan U. urealyticum
3 Virus
Respiratory syncytial virus Cytomegalovirus
4 bulan-5 tahun Bakteri Bakteri
Chlamydia trachomatis H. influenzae tipe B
Mycoplasma pneumoniae M. catarrhalis
S. pneumoniae Mycobacterium tuberculosis
Virus Neisseria meningitis
Adenovirus S. aureus
Influenza virus S. aureus Virus
Parainfluenza virus Varicella-zoster virus
Rhinovirus
Respiratory syncytial virus
6-18 tahun Bakteri Bakteri
Clamydia pneumoniae H. influenza
Mycoplasma pneumoniae Legionella species
Streptococcus pneumoniae M. tuberculosis
S. aureus
Virus
Adenovirus
Epstein-Barr virus
Influenza virus
Parainfluenza virus
Rhinovirus
Respiratory syncytial virus
Varicella-zoster virus

21
4. PATOFISIOLOGI [16]

Bronkopneumonia dimulai dengan masuknya kuman melalui inhalasi,


aspirasi, hematogen dari fokus infeksi atau penyebaran langsung. Sehingga
terjadi infeksi dalam alveoli, membran paru mengalami peradangan dan
berlubang-lubang sehingga cairan dan bahkan sel darah merah dan sel darah
putih keluar dari darah masuk ke dalam alveoli. Dengan demikian alveoli
yang terinfeksi secara progresif menjadi terisi dengan cairan dan sel-sel, dan
infeksi disebarkan oleh perpindahan bakteri dari alveolus ke alveolus.
Kadang-kadang seluruh lobus bahkan seluruh paru menjadi padat
(consolidated) yang berarti bahwa paru terisi cairan dan sisa-sisa sel.
Bakteri Streptococcus pneumoniae umumnya berada di nasofaring dan
bersifat asimptomatik pada kurang lebih 50% orang sehat. Adanya infeksi
virus akan memudahkan Streptococcus pneumoniae berikatan dengan reseptor
sel epitel pernafasan. Jika Streptococcus pneumoniae sampai di alveolus akan
menginfeksi sel pneumatosit tipe II. Selanjutnya Streptococcus pneumoniae
akan mengadakan multiplikasi dan menyebabkan invasi terhadap sel epitel
alveolus. Streptococcus pneumoniae akan menyebar dari alveolus ke alveolus
melalui pori dari Kohn. Bakteri yang masuk kedalam alveolus menyebabkan
reaksi radang berupa edema dari seluruh alveolus disusul dengan infiltrasi sel-
sel PMN.
Proses radang dapat dibagi atas 4 stadium yaitu:
1. Stadium I (4 – 12 jam pertama/kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan
yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai
dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat
infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator
peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera
jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan

22
prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen.
Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk
melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas
kapiler paru.
Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam
ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar
kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus
meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan
karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling
berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen
hemoglobin.
2. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel
darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host)
sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat
oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga
warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium
ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan
bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48
jam.
3. Stadium III (3 – 8 hari)
Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin
terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa
sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap
padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu
dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
4. Stadium IV (7 – 11 hari)

23
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan
peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh
makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.

5. MANIFESTASI KLINIS [10]

Usia merupakan faktor penentu dalam manifestasi klinis pneumonia.


Neonatus dapat menunjukkan hanya gejala demam tanpa ditemukan gejal-
gejala fisis pneumonia. Pola klinis yang khas pada pasien pneumonia viral dan
bacterial umumnya berbeda antara bayi yang lebih tua dan anak, walaupun
perbedaan tersebut tidak selalu jelas pada pasien tertentu. Demam, menggigil,
takipnea, batuk, malaise, nyeri dada akibat pleuritis, retraksi dan iritabilitas
akibat sesak respiratori, sering terjadi pada bayi yang lebih tua dan anak.

Pneumonia virus lebih sering berasosiasi dengan batuk, mengi, atau


stridor, dan gejala demam lebih tidak menonjol dibanding pneumonia
bacterial. Pneumonia bacterial secara tipikal berasosiasi dengan demam tinggi,
menggigil, batuk, dyspnea, dan pada auskultasi ditemukan adanya tanda
konsolidasi paru. Pneumonia atipikal pada bayi kecil ditandai oleh gejala yang
khas seperti takipneu, batuk, ronkhi kering (crackles) pada pemeriksaan
auskultasi, dan seringkali ditemukan bersamaan dengan timbulnya
konjungtivitis chlamydial. Gejala klinis lainnya yang dapat ditemukan adalah
distress pernafasan termasuk nafas cuping hidung, retraksi interkosta dan
subkosta, dan merintih (grunting).

Semua jenis pneumonia memiliki ronkhi kering yang terlokalisir dan


penurunan suara respiratori. Pada pemeriksaan darah tepi ditemukan adanya
leukositosis dengan predominan PMN. Pada pemeriksaan rontgen thoraks
ditemukan adanya infiltrat interstitial dan infiltrat alveolar serta gambaran

24
bronkopneumonia. Adanya efusi pleura menyababkan bunyi pekak pada
pemeriksaan perkusi

6. DIAGNOSIS
a. Anamnesa

Anamnesa bergantung pada berat ringannya infeksi. Secara umum


dapat ditemukan :

I. Gejala infeksi umum


- Demam tinggi terus menerus, menggigil (pada anak), kejang (pada
bayi)
- Nyeri dada. Biasanya anak sering berbaring pada sisi yang sakit
- Sakit kepala
- Gelisah
- Malaise
- Penurunan nafsu makan
- Keluhan gastrointestinal (mual, muntah, diare)
II. Gangguan respiratori
- Batuk yang awalnya kering, kemudian menjadi produktif dengan
dahak purulent bahkan bisa berdarah
- Sesak nafas

b. Pemeriksaan Fisik
- Penilaian keadaan umum anak, frekuensi nafas, dan nadi harus
dilakukan pada saat awal pemeriksaan sebelum pemeriksaan lain yang
dapat menyebabkan anak gelisah/rewel.
- Penilaian keadaan umum meliputi kesadaran dan kemampuan
makan/minum.

25
- Tanda yang mungkin ada adalah suhu > 390C
- Inspeksi : adanya inspiratory effort ditandai dengan takipnea, gerakan
dinding thoraks dapat terlihat bagian yang tertinggal pada sisi yang
sakit waktu bernafas, adanya retraksi, adanya nafas cuping hidung dan
sianosis.
- Palpasi : fremitus meningkat pada bagian yang sakit
- Perkusi : normal/redup di sisi yang sakit
- Auskultasi : suara nafas utama melemah atau mengeras, suara nafas
tambahan berupa ronkhi basah halus di lapangan paru yang sakit.
c. Pemeriksaan Penunjang
I. Pemeriksaan Laboratorium
a) Darah Perifer Lengkap
- Jumlah leukosit dan hitung jenis leukosit untuk menentukan
pemberian antibotik.
- Pneumonia virus seringkali normal ataupun sedikit meningkat
dengan limfosit predominan
- Pneumonia bakteri hitung jenis leukosit mengalami
peningkatan (> 20.000/mm3) dengan predominan neutrophil
- Pada infeksi Chlamydia trachomatis kadang ditemukan
eosinophilia pada bayi
b) CRP (C Reaktif Protein)
Meningkat pada infeksi bacterial (> 80 mg/L)
c) LED
Adanya peningkatan, Jika > 30 infeksi bacterial
II. Foto Thoraks
- Pemeriksaan foto dada tidak direkomendasikan secara rutin pada
anak dengan infeksi saluran nafas bawah akut ringan tanpa
komplikasi

26
- Pemeriksaaan foto dada direkomendasikan pada penderita
pneumonia yang dirawat inap atau bila tanda klinis yang ditemukan
membingungkan
- Pemeriksaan foto dada follow up bila terdapat gejala yang menetap,
memburuk dan tidak respon terhadap antibiotic
- Pemeriksaan foto dada biasanya dilakukan dalam posisi AP. Foto
thoraks AP dan Lateral hanya dilakukan pada pasien dengan tanda
dan gejala klinik distress pernafasan seperti takipnea, batuk dan
ronkhi dengan atau tanpa suara nafas yang lemah.
- Secara umum gambaran foto thoraks yaitu :
 Infiltrate intersisial : peningkatan corakan bronkovaskular,
hiperaerasi
 Infiltar alveolar : konsolidasi paru dengan air bronchogram
disebut sebagai pneumonia lobaris bila mengenai satu lobus
paru
 Infiltrate bronkopneumonia : bercak-bercak infiltrar difus
merata pada kedua paru (dapat meluas hingga daerah perifer
paru) disertai dengan peningkatan corakan peribronkial
 Pneumonia bakteri ditandai dengan adanya konsolidasi lobaris
atau berbentuk bundar dan air bronchogram
 Pneumonia virus ditandai dengan adanya infiltrate
bronkopneumonia yang berbentuk seperti garis yang tumpang
tindih (streaky) dan menyebar (difus)

III. Pemeriksaan mikrobiologi


Pemeriksaan biakan darah harus dilakukan pada semua anak
yang dicurigai menderita pneumonia bakteri, pneumonia berat,

27
pneumonia dengan komplikasi. Hasil (+) hanya didapatkan pada 10–
30% kasus.
IV. Pemeriksaan sputum

Walaupun kurang berguna,tetapi jika anak memungkinkan


untuk mengeluarkan sputum, periksa preparat gram. Rapid test untuk
deteksi antigen bakteri mempunyai spesifisitas dan sensitivitas rendah.

7. DIAGNOSIS BANDING [22]


a. Bronkiolitis

Pada pasien didapatkan keluhan berupa batuk, nafas cuping hidung


dan retraksi intercostals sehingga diagnosis banding dari pasien adalah
Bronkiolitis. Bronkiolitis adalah penyakit infeksi respiratorik akut (IRA)-
bawah yang ditandai dengan adanya inflamasi pada bronkiolus umumnya
infeksi tersebut disebabkan oleh virus. bronkiolitis sering menyerang anak
usia 2-24 bulan dengan puncak insidensi pada bayi laki-laki usia 2-8 bulan
yang tidak mendapatkan air susu ibu (ASI) dan hidup di lingkungan padat
penduduk. Secara klinis ditandai dengan episode pertama wheezing
setelah sebelumnya muncul gejala awal ISPA seperti pilek ringan, batuk,
dan demam disusul dengan batuk disertai sesak nafas, merintih, nafas
berbunyi, rewel, dan penurunan nafsu makan. Diagnosis banding
bronkiolitis Bisa disingkirkan karena pada pemeriksaan fisis tidak
ditemukan gejala khas obstruksi saluran respiratori bawah yaitu gejala
ekspirasi memanjang hingga wheezing.

b. Bronkitis

Pada pasien didapatkan keluhan berupa batuk sehingga diagnosis


banding dari pasien adalah Bronkhitis, bronkhitis adalah proses inflamasi
selintas akibat virus maupun bakteri yang mengenai trakea, bronkus utama
menengah yang bermanifestasi sebagai batuk. Bronkitis akibat virus

28
biasanya bersifat akut mengikuti gejala-gejala infeksi respiratori seperti
rhinitis dan faringitis. Batuk biasanya muncul 3-4 hari setelah rhinitis.
Batuk bersifat kering dan keras yang kemudian menjadi batuk produktif
serta ditemukan ronchi pada alkultasi paru. Pada bronkhitis akibat bakteri
biasanya terjadi pada anak diatas 5 tahun atau remaja, invasi bakteri ke
bronkus dapat merupakan infeksi sekunder setelah terjadi kerusakan
mukosa oleh infeksi virus sebelumnya. Diagnosis banding bronkhitis
dapat disingkirkan karena pasien tidak di dapatkan demam dan jarang
yang sesak nafas sampai mengakibatkan retraksi dan pernafasan cuping
hidung serta di temukan wheezing pada auskultasi paru dan mengalami
batuk kronis dengan riwayat rhinitis dan faringitis disangkal.

8. KOMPLIKASI [10]
a. Efusi pleura/Empiema
Pneumonia bacterial seringkali menyababkan cairan inflamasi
terkumpul di ruang pleura
b. Bronkiektasis
Efusi dalam jumlah banyak akan membatasi pernafasan dan harus
dilakukan tindakan drainase. Disesksi udara diantara jaringan paru
mengakibatkan timbulnya kantung udara (pneumatokel). Jaringan parut
pada saluran respiratori dan parenkim paru akan menyebabkan terjadinya
dilatasi bronkus yang mengakibatkan bronkiektasis dan peningkatan resiko
berulang.
c. Abses paru
Yaitu jaringan paru yang nekrosis akibat aspirasi pneumonia atau
infeksi dibelakang bronkus yang mengalami obstruksi. Lokasi yang sering
terkena adalah segmen posterior lobus superior dan segmen superior lobus
inferior, dimana materi yang teraspirasi terlokalisir saat anak meminum
sesuatu yang mengakibatkan aspirasi.

29
9. TATALAKSANA [18]
1. Indikasi rawat inap di rumah sakit

a. Ada kesukaran bernapas, tampak toksik

b. Sianosis

c. Umur kurang dari 6 bulan

d. Ada penyulit, misalnya: muntah-muntah, dehidrasi, empiema

e. Di duga infeksi oleh Stfilococcus

f. Imunokompromis

g. Perawatan di rumah kurang baik

h. Tidak ada respon dengan pemberian antibiotik oral

2. Pemberian oksigenasi: dapat diberikan oksigen nasal atau masker,

monitor dengan pulse oxymetry. Bila ada tanda gagal napas diberikan

bantuan ventilasi mekanik.

3. Pemberian cairan dan kalori yang cukup (bila perlu cairan parenteral).

Jumlah cairan sesuai berat badan, peningkatan suhu dan status

dehidrasi.

4. Bila sesak tidak terlalu hebat dapat dimulai dengan diet enteral bertahap

melalui selang nasogastrik, urogastrik maupun per oral.

5. Jika sekresi lendir berlebihan dapat diberikan inhalasi dengan salin

normal.

6. Koreksi kelainan asam basa atau elektrolit yang terjadi.

30
7. Pemilihan antibiotik berdasarkan umur, keadaan umum penderita dan

dugaaan penyebab. Evaluasi pengobatan dilakukan setiap 48-72 jam.

Bila tidak ada perbaikan klinis, dilakukan penggantian antibiotik

sampai anak dinyatakan sembuh.

Lama pemberian antibiotik tergantung:

1. Kemajuan klinis penderita

2. Hasil pemeriksaan laboratorium

3. Foto thoraks dan jenis kuman penyebab

4. Sebagian besar membutuhkan waktu 10-14 hari, kecuali untuk kuman

Stafilococcus dapat diberikan hingga 6 minggu.

5. Pada keadaan imunokompromis (gizi buruk, penyakit jantung bawaan,

gangguan neuromuskular, keganasan, pengobatan kortikosteroid jangka

panjang, fibrosis kistik, infeksi HIV), pemberian antibiotik harus segera

dimulai saat tanda awal pneumonia diketahui.

6. Atasi penyakit penyerta.

Pada Pneumonia dapat dipertimbangkan juga pemberian:

1. Kotrimoksazol pada pneumonia Pneumocystic cranii.

2. Antiviral (Acyclovir, Gancyclovir) pada pneumonia karena Cyto

Megalous Virus (CMV).

3. Anti jamur (Amphotericin B, Ketoconazole, Fluconazole) pada

pneumonia karena jamur.

4. Imunoglobulin.

31
A. Petunjuk Pemberian Antibiotik Empiris

1. Pilihan antibiotik untuk penderita pneumonia baru yang datang ke UGD

atau rawat jalan yang belum pernah mendapatkan perawatan di RS lainnya

yaitu:

a. Pneumonia ringan yang bisa rawat jalan:

1) Amoksisilin 50-80 mg/kg/hari per oral dibagi dalam 3 dosis, atau

2) Amoksisilin + Asam klavulanat 50 mg/kg peroral dibagi dalam 3

dosis

b. Pneumonia yang memerlukan rawat inap:

1) Ampisilin 100 mg/kg/hari intravena dibagi dalam 4 dosis, atau

2) Ampisilin sulbaktam 100 mg/kg/hari hari intravena dibagi dalam 4

dosis.

c. Pneumonia yang memerlukan rawat inap yang disertai penyakit

penyerta yang menular tanpa disertai sepsis (seperti ISK,

Gastroenteritis, Morbili): Ampisilin sulbaktam 100 mg/kg/hari

intavena dibagi dalam 4 dosis

d. Pneumonia yang memerlukan rawat inap yang disertai sepsis:

Ampisilin sulbaktam 200 mg/kg/hari intarvena dibagi dalam 4 dosis

2. Pilihan antibiotik untuk penderita pneumonia yang dirujuk dari RS lain

yaitu:

32
a. Pernah mendapatkan perawatan di RS lain kurang dari 72jam

1) Ampisilin sulbaktam 100 mg/kg/hari intavena dibagi dalam 4 dosis

b. Pernah mendapatkan perawatan di RS lain lebih dari 72jam

1) Sefotaksim 200 mg/kg/hari intravena dibagi dalam 3 dosis, atau

2) Ceftriaxon 100 mg/kg/hari intravena dibagi dalam 2 dosis, atau

3) Sesuai dengan kultur dahak/kultur darah yang ada, atau

pertimbangan lain

3. Pilihan antibiotika untuk penderita pneumonia dengan penyakit penyerta

yang tidak menular (non-infeksi) seperti kelainan jantung bawaan sianotik

atau nonsianotik, kelainan hematologi, kelainan kongenital dan

sebagainya, sesuai dengan poin no. 1.

4. Pilihan antibiotik untuk penderita pneumonia yang disebabkan oleh

infeksi kuman atipik (pneumonia atipik) dapat diberikan salah satu

antibiotik dibawah ini:

a. Spiramisin 50 mg/kg/hari dibagi dalam 3 dosis (10-14 hari)

b. Eritromisin 30-50 mg/kg/hari dibagi 3-4 dosis (10-14 hari)

c. Azitromisin 10 mg/kg/hari sekali sehari (5 hari)

d. Klaritromisin 15 mg/kg/hari dibagi 2 dosis (7-10 hari).

33
C. INFEKSI SALURAN KEMIH
1. DEFINISI
ISK adalah istilah umum untuk menyatakan adanya pertumbuhan
bakteri di dalam saluran kemih, meliputi infeksi di perenkim ginjal sampai
infeksi di kandung kemih. Pertumbuhan bakteri yang mencapai > 100.000
unit koloni per ml urin segar pancar tengah (midstream urine) pagi hari
digunakan sebagai batasan diagnosa ISK.[12]
Infeksi saluran kemih (ISK) adalah infeksi yang terjadi pada sistim
saluran kemih, mulai dari meatus uretra sampai ke ginjal. Susunan
anatominya meliputi uretra, kandung kemih, ureter, pelvis renalis, dan
parenkim ginjal. Organ lain yang kadang dapat memberikan manifestasi ISK
berulang adalah prostat, epididimis dan juga fasia perirenal.[19]
Infeksi yang terjadi berasal dari bakteri patogen yang terdapat pada
flora usus, menyebar melalui daerah perineal, vaginal dan periuretra ke
saluran kemih bagian bawah membentuk koloni.

2. EPIDEMIOLOGI
ISK merupakan penyebab demam kedua tersering setelah infeksi akut
saluran napas pada anak berusia < 2 tahun. Sekitar 8% anak perempuan dan
2% anak laki-laki pernah menderita ISK ketika berusia 11 tahun. Insidens
ISK sepanjang usia anak, pada permepuan berkisar 30% dibandingkan
dengan laki-laki yang hanya 1%. Sekitar 75% bayi berumur < 3 bulan yang
mengalami bakteriuria adalah laki-laki, seadangkan pada kelompok umur 3-
8 bulan hanya 10%. Setelah usia > 12 bulan, ISK pada anak secara umum
sehat kebanyakan ditemukan pada anak perempuan.
Saluran uretra yang pendek merupakan faktor predisposisi ISK pada
anak perempuan. Risiko ISK pada bayi laki-laki yang belum disirkumsisi
meningkat 5-12 kali lipat dibandingkan dengan anak lelaki yang telah
disirkumsisi. Hambatan pada aliran urin dan stasis urin merupakan faktor

34
resiko mayor dan dapat disebabkan oleh kelainan anatomi, nefrolitiasis,
tumor ginjal, kateter urin yang terpasang terlalu lama, obstruksi pada
ureteropelvic junction, megaureter, kompresi ekstrinsik dan kehamilan.

3. ETIOLOGI

Infeksi saluran kemih disebabkan berbagai jenis mikroba, seperti


bakteri, virus, dan jamur. Penyebab ISK paling sering adalah bakteri
Escherichia coli. Escherichia coli merupakan flora usus yang naik ke
saluran kemih yang menyebabkan terjadinya infeksi pertama (90%) dan
berkontribusi menyebabkan infeksi berulang (75%). Bakteri lain yang
juga menyebabkan ISK adalah Enterobacter sp, Proteus mirabilis,
Providencia stuartii, Morganella morganii, Klebsiella pneumoniae,
Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus epidermidis, Streptococcus
faecalis, dan bakteri lainnya. Bakteri Proteus dan Pseudomonas sering
dikaitkan dengan ISK berulang, tindakan instrumentasi, dan infeksi
nosokomial. Bakteri patogen dengan virulensi rendah maupun jamur dapat
sebagai penyebab ISK pada pasien dengan imunokompromais. Infeksi
Candida albicans relatif sering sebagai penyebab ISK pada
imunokompromais dan yang mendapat antimikroba jangka lama.[pardede]

Bila ditemukan Staphylococcus dalam urin harus dicurigai adanya


penyebaran infeksi hematogen ke ginjal. Demikian pula Pseudomonas
aeruginosa dapat menginfeksi saluran kemih secara hematogen sedangkan
25% pasien demam tifoid dapat diisolasi Salmonella pada urinnya. Saat
ini semakin banyak ditemukan ISK yang disebabkan jamur, khususnya
Candida sp, terutama pada pasien dengan kateter, pasien dengan diabetes
melitus, atau yang mendapat pengobaran antibiotik spektrum luas. Semua
jamur sistemik dapat menyebar ke saluran kemih secara
hematogen.[haerni]

35
4. PATOFISIOLOGI [10]
Ada 2 jalur utama terjadinya penyakit infeksi saluran kemih. 2 jalur
utama tersebut adalah hemtogen dan ascending. Namun, dari 2 jalur
penyebab terjadinya ISK jalur ascendinglah yang paling sering terjadi. Dua
jalur tersebut adalah sebagai berikut :
a. Hematogen
Pada jalur ini bakteri yang berasal dari pembuluh darah masuk
ke dalam ginjal dan menginfeksi jalur saluran kemih. Infeksi ini
kebanyakan terjadi pada pasien dengan daya tahan tubuh yang rendah
yang dikarenakan menderita suatu penyakit kronik atau bisa juga
terjadi pada pasien yang mendapat pengobatan imunoprsupresif.
b. Ascending
Pada jalur ini bakteri masuk menuju saluran kemih melewati
uretra yang kemudian menuju ke kandung kemih. Bakteri kemudian
berkembang biak dalam urin yang kemudian naik melewati ureter
menuju pelvis dan ginjal.

5. MANIFESTASI KLINIS [20]

Manifestasi klinis ISK pada anak bervariasi, tergantung pada usia,


tempat infeksi dalam saluran kemih, dan beratnya infeksi atau intensitas
reaksi peradangan. Gambaran klinis ISK sangat bervariasi dan sering tidak
khas, dari asimptomatik sampai gejala sepsis berat. [10]

a. Pada bayi terdapat beberapa gejala yang memiliki nilai prediktif tinggi
secara konsisten yaitu gejala gagal tumbuh, demam, nafsu makan
berkurang, dan icterus (peningkatan hiperbilirubin direk dapat timbul
sekunder akibat endotoksin bakteri Gram negatif).
b. Bayi berusia 1 bulan – 2 tahun gejala dapat berupa kesulitan makan,
gagal tumbuh, muntah, diare, dan demam yang tidak dapat dijelaskan.

36
Tanda-tanda klinis yang ada dapat menyerupai penyakit gastrointestinal
dengan gejala kolik, iritabilitas, dan menjerit secara periodic
(rewel/cengeng).
c. Pada usia 2 tahun anak mulai menunjukkan tanda-tanda klasik ISK
seperti tidak dapat menahan untuk berkemih/ rasa ingin miksi terus
(urgency), dysuria (sakit waktu miksi), sering berkemih (frequency), atau
nyeri perut atau pinggang.
d. Infeksi saluran kemih perlu dipertimbangkan pada semua bayi dan anak
berumur 2 bulan hingga 2 tahun dengan demam yang tidak jelas
penyebabnya. Infeksi saluran kemih pada kelompok umur ini terutama
yang dengan demam tinggi harus dianggap sebagai pielonefritis. Pada
anak besar gejala klinik biasanya lebih ringan, dapat berupa gejala lokal
saluran kemih berupa polakisuria, disuria, urgency, frequency, ngompol.
Dapat juga ditemukan sakit perut, sakit pinggang, atau demam tinggi.

6. DIAGNOSIS
a. Anamnesa
- Gejala klinis infeksi saluran kemih bagian bawah secara klasik yaitu :
dysuria, frequency dan ngompol
- Gejala klinis infeksi saluran kemih bagian bawah biasanya: panas
tinggi, gejala sistemik, nyeri di daerah pinggang belakang.
b. Pemeriksaan Fisik
- Nyeri ketok sudut kostrovertebral
- Nyeri tekan suprasimfisis
- Kelainan pada genetalia eksterna (fimosis, hipospadia, epispadia,
atau sinekia vulva)
- Kelainan tulang belakang (spina bifida)
c. Pemeriksaan penunjang [12]
1) Pemeriksaan laboratorium

37
i. Kultur Urine
- Urine porsi tengah (midstream)  dikatakan bakteriuria
bermakna bila didapatkan pertumbuhan bakteri dari organisme
tunggal mecapai 100.000 CFU/ml (colony forming unit).
- Kateterisasi transurethral  dikatakan bakteriuria bermakna
bila didapatkan pertumbuhan bakteri > 10.000 CFU/ml
- Aspirasi suprapubik  dikatakan bakteriuria bermakna bila
didapatkan pertumbuhan bakteri > 1000 CFU/ml

Tabel 1. Interpretasi Hasil Biakan Urin

ii. Urine Lengkap


- Hasil urinalisis yang menunjukkan piuria (leukosituria,
ditemukan > 10 sel darah putih/mm3 atau > 5/LPB (leukosit
per lapangan pandang besar), hematuria (eritrosit > 5/LPB )

38
2) Pemeriksaan penunjang lain dilakukan untuk mencari faktor resiko
a) USG  untuk menyingkirkan kemungkinan adanya kelainan
antomi
b) CT-SCAN atau MRI  untuk menilai fungsi dan anatomi traktus
urinarius

7. DIAGNOSIS BANDING [21]


a. Pyelonefritis akut (febrile urinary tract infection)
Adalah infeksi yang melibatkan Pielonefritis merupakan
infeksi yang melibatkan traktus urinarius bagian atas khususnya ginjal
dan pelvis renalis.
Gejala yang timbul demam (>38oC dengan atau tanpa
menggigil) dan nyeri pinggang. Gejala lain seperti mual muntah.
Pemeriksaan fisis dapat ditemukan demam, takikardia,
hipertensi. Dapat ditemukan nyeri palpasi pada sudut costovertebral.
Pemeriksaan laboratorium ditemukan fungsi konsentrasi ginjal
menurun dan respon terhadap antibiotika kurang baik.
b. Sistitis ( non febrile urinary tract infection)
Adalah Infeksi pada vesika urinaria. Gejala meliputi dysuria,
Urgency, frequency,suprapubic pain (nyeri perut bagian bawah),
Incontinence,tidak disertai demam dan tidak menyebabkan renal
injury.
Pemeriksaan fisis tidak terlaru khas, namun dicurigai inflamasi
pelvis bira terdapat gejara uretrItis atau vaginitis seperti iritasi vagina.
Pemeriksaan laboratorium saat dilakukan pemeriksaan sedimen urin
ditemukan leukosit yang berkelompok.

39
8. TATALAKSANA [12]
a. Supportif
- Pemberian nutrisi adekuat
- Kebersihan urogenital
- Mencegah konstipasi
- Perawatan kebersihan perineum dan periuretra
b. Medikamnetosa

Penyebab tersering ISK adalah Escheria coli. Sebelum ada


hasil biakan dan uji kepekaan, antibiotic diberikan secara empiric
selama 7-10 hari untuk eradikasi infeksi akut.

c. Bedah
Koreksi bedah sesuai dengan kelainan saluran kemih yang
ditemukan untuk menghilangkan factor predisposisi
d. Pemantauan
- Jika dalam 2x24 jam gejala belum menghilang  pertimbangkan
untuk mengganti antibiotic atau gunakan antibiotic sesuai hasil
kultiur.
- Dilakukan pemeriksaan kultur dan uji resistensi urin ulang 3 hari
setelah pengobatan fase akut dihentikan, dan bila memungkinkan
setelah 1 bulan dan setiap 3 bulan. Jika ada ISK beikan antibiotic
sesuai hasil uji kepekaan.
- Bila ditemukan adanya kelainan anatomic maupun fungsional yang
menyebabkan obstruksi  beri antibiotic profilaksis

40
Tabel 2. Dosis Antibiotika Parenteral (A), Oral (B), Dan Profilaksis (C)

9. Indikasi Rawat Inap

Pada neonatus sampai usia 2 bulan, gejalanya menyerupai gejala


sepsis berupa :

- Demam
- Apatis
- Berat badan tidak naik
- Muntah
- Mencret
- Anoreksia

41
- Tidak dapat minum oral
- Sianosis

10. Prognosis

ISK tanpa kelainan anatomis mempunyai prognosis baik bila


dilakukan pengobatan pada fase akut yang adekuat dan disertai
pengawasan terhadap kemungkinan infeksi berulang. Sedangkan, pada ISK
dengan kelainan anatomis, umumnya kurang memuaskan meskipun telah
diberikan pengobatan yang adekuat dan dilakukan koreksi bedah.

Maka prognosis tergantung ada atau tidaknya kelainan anatomi dan


kecepatan serta ketepatan terapi.

42
BAB III
LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : An. Amira Maulidia Putri
Umur : 1 tahun 1 Bulan 3 Hari
Tanggal Lahir : 2 Desember 2017
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Jl. KH. Ahmad Dahlan 207 RT
No Register : 641031
Ruangan : Mawar III
Tanggal Masuk : 5 Januari 2019 pukul 06.08 WIB
Tanggal Kelua : 10 Januari 2019

B. Subjektif
Pasien MRS datang melalui IGD RSUD Dr. Moh Saleh pada
tanggal 5 Januari 2019 pukul 06.08 WIB
1. Keluhan Utama
Kejang
2. Anamnesis (Hetero anamnesis Ibu Pasien)
Pasien datang karena anak kejang di rumah, kejang baru pertama kali.
Kejang berlangsung selama perjalanan ke rumah sakit kurang lebih 30
menit , di IRD masih kejang. Kejang general (kedua kaki dan tangan
gerak), Saat kejang mata pasien mendelik ke atas, setelah kejang anak
sadar dan menangis, kejang didahului demam, saat datang demam sejak
kemarin sore. Batuk dan pilek kurang lebih 1 minggu yang lalu, batuk
berdahak. Sesak -, muntah -, mual -, diare -
3. RPD
Pasien tidak pernah mengalami kejang sebelumnya

43
4. RPK
Tidak ada keluarga yang menderita seperti ini
5. Riwayat Imunisasi
Imunisasi tidak lengkap hanya kata ibu dulu pernah 2x (Inj. Vit K dan
hepatitis)
6. Riwayat Kelahiran
Pasien lahir normal/ ibu tidak tahu karena adopsi di Rumah Sakit Malang /
BBL 3 kg
7. Riwayat Psikososial
Pasien belum sekolah, diasuh oleh orang tua angkat, status mental dan
tingkah laku saat MRS gelisah dan cengeng..
8. Riwayat Diit
Susu , nasi, lauk
9. Riwayat Alergi
Alergi obat (-), alergi makanan (-)
10. Riwayat Sosial
Kakak perokok
11. Riwayat Tumbuh Kembang
Pasien tumbuh gigi pertama usia 8 bulan, mulai bisa duduk usia 7 bulan, mulai
bisa bicara usia 10 bulan, berjalan sendiri usia 12 bulan.

44
C. Objektif
1. Keadaan umum : Cukup
2. Kesadaran : Komposmentis
3. Tanda tanda vital :
- Tekanan darah :-
- Nadi : 120x/ menit
- Suhu : 37,6C
- RR : 28x/ Menit , SpO2 = 95 %
4. Data Antropometri
- Berat Badan : 11 kg
- Tinggi Badan : 72 cm
- Lingkar Kepala : 49 cm
- Lingkar Lengan Atas : 16 cm
- Status Gizi :
- Weight for Length Z-Score +2SD s.d +3SD = Overweight
- Weight for Age Z-Score 0SD s.d +2SD = Normal
- Height for Age Z-Score 0SD s.d -2SD = Normal
- BMI = BB/ TBxTB = 11/0,72x0,72 = 21.2
- BBI = 8.9 kg

= 11/8.9 x 100 %
= 123 % (Obesitas)
- BMI for age Z-Score +2SD s.d +3SD = Overweight
- Head Circumreference for age +2SD = Normal
- Arm Circumreference for Age +1SD s.d +2SD = Normal

5. Pemeriksaan Fisik :
- Kepala : A/I/C/D -/-/-/-

45
UUB Datar
- Mata : Bentuk simetris
Mata cowong (-)
- Hidung : Pernafasan cuping hidung (-)
- Telinga : Cairan di telinga (-)
- Mulut : Mukosa lembab, hiperemi (-), stomatitis (-)
Tonsil : -/-

Faring hiperemi (-)

- Leher : Pembesaran KGB (-)


- Dada : Bentuk dada simetris
Retraksi diniding dada +/+

- Pulmo : Ronkhi +/+


Wheezing -/-

- Cor : S1/S2 tunggal reguler, Gallop (-), Murmur (-)


- Abdomen : Soefel (+), Bising usus (+), Nyeri tekan (-),
- Ekstremitas : Akral hangat, edema (-), CRT 2detik
- Genetalia : Jenis kelamin perempuan, tidak ada kelainan
- Status Neurologis : Kaku kuduk (-)

46
D. Hasil Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal 5 Januari 2019 (06.42)
- Darah Stick : 204 mg/dl
- Darah Lengkap
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal / Satuan Keterangan

Hemoglobin 11.7 12,0 Normal

Leukosit 16.460 10.600/cmm Lekositosis

Trombosit 454.000 150.000- 450.000/cmm Trombositosis

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Keterangan

RBC 4.42 4.0-5.0 Dbn

HCT 36.8 36-48 % Dbn

MCV 83.3 84-96 fL Dbn

MCH 26.5 28-34 pg Menurun

MCHC 31.8 32-36.0 g/dL Menurun

- Hitung Jenis Leukosit :


Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Keterangan

Eosinofil 1.2 0.5-5.0 % Dalam batas normal

Basofil 0.2 0.0-1.0% Dalam batas normal

Neutrofil 56.1 50.0-70.0 % Dalam batas normal

Limfosit 34.1 20.0-40.0% Dalam batas normal

47
Monosit 8.4 3.0-12.0 % Dalam batas
normal

- Urine Lengkap : belum keluar

E. Assessment
- IGD : Kejang demam kompleks + Rinofaringitis Akut
- Ruangan : Kejang demam kompleks + Suspect Pneumonia
F. Planning
a. Diagnosis : DL, GDA, CRP, UL
b. Terapi :
- IGD : Diazepam supp 5 mg  diazepam 3.5 mg iv
Infus D5 1/2 NS 1050 cc/24 jam
Infus Sanmol 120 mg 3x1 (prn bila S > 37,50C)
O2 Nasal 2-3 lpm
- Ruangan : - Infus D5 1/4 NS 850 cc/24 jam
- infus sanmol 4x100 mg (prn bila suhu > 37.50C)
- Injeksi Ceftriaxone 2x400 mg i.v
- Injeksi Diazepam 2.5 mg i.v (prn bila kejang)

FOLLOW UP

Tanggal 7 Januari 2019 8 Januari 2019


Sakit hari ke 1 Sakit hari ke-2
S - Demam naik turun, demam h- - Demam naik turun, demam
3 h-4
- Kejang di rumah 1x, di IGD - Kejang -
1x - Batuk berdahak dan pilek

48
- Batuk berdahak dan pilek - Sesak -
- Sesak – - BAB + BAK +
- BAB – sudah 2 hari, BAK + - Makan minum mau
- Makan minum mau
O - KU : Cukup - KU : rewel
- Kesadaran : Composmentis - Kesadaran : Composmentis
- Vital Sign : - Vital Sign :
TD : mmHg TD : mmHg
HR : 122 x/menit HR : 115 x/menit
RR : 24 x/menit RR : 26 x/menit
S : 38.30 C S : 37.60 C
- Kepala : A/I/C/D : -/-/-/- - Kepala : A/I/C/D : -/-/-/+
- Pembesaran KGB : - - Pembesaran KGB : -
- Thorax : simetris +/+, retraksi - PCH (+)
(-) - Thorax : simetris +/+,
- Paru : Wheezing -/-,Rhonki retraksi (+)
+/+ - Paru : Wheezing -/-,Rhonki
- Jantung : suara jantung S1/S2 +/+
tunggal, regular, murmur (-), - Jantung : suara jantung
gallop (-) S1/S2 tunggal, regular,
- Abdomen : soefl, bising usus murmur (-), gallop (-)
(+),nyeri tekan(-), turgor baik - Abdomen : soefl, bising
(< 2 detik )pembesaran organ usus (+),nyeri tekan(-),
(-) turgor baik (< 2 detik
- Genitalia : perempuan, dbn )pembesaran organ (-)
− −
- Ekstremitas : oedem , - Genitalia : perempuan, dbn
− −
− −
+ + - Ekstremitas : oedem ,
Akral hangat , CRT ≤ 2 − −
+ +
+ +
detik. Akral hangat + +
, CRT ≤

49
2 detik.
Hasil Urine Lengkap TIDAK DILAKUKAN
Lab Foto Thorax PEMERIKSAAN
Nb: Hasil Ada Dibawah
A Bronkopneumonia + KDK + ISK Bronkopneumonia + KDK + ISK
P Pdx : - Pdx : -
Ptx : Ptx :
- Inf. D5 NS ¼ 1000cc/24 jam - Inf. D5 NS ¼ 1000cc/24 jam
- Inf. Sanmol 4x150 mg iv - Inf. Sanmol 4x150 mg iv
- Inj.Ceftriaxone 2x500 mg iv - Inj.Ceftriaxone 2x500 mg iv
- Inj. Diazepam 3.5 mg iv bila - Inj. Diazepam 3.5 mg iv bila
kejang kejang
- Ventolin nebul 1.5 cc + pz
1.5 cc/ 8 jam  suction

Hasil lab follow up tanggal 7 Januari 2019


Urine Lengkap :
UL Normal
Albumin - -
Bilirubin - -
Epithel 10-15 0-1 / LP
Eritrosit 1-2 0-1 / LP
Kristal - -
Lain-lain LEKO+ -
Lekosit 7-10 0-1/ LP
Reduksi - -

50
Silinder - -
Urobilin - -

Foto thorax (5 Januari 2019)


COR Dalam Batas Normal

PULMO Patchy Inflitrat


suprahiller D/S parahiler
D/S

Sinus Sudut costophrenicus


Costophrenicus D/S Tajam

Tanggal 9 Januari 2019 10 Januari 2019


Sakit hari ke-3 Sakit hari ke-4
S - Demam naik turun h-5 - Demam naik turun h-6
- Kejang (-) - Kejang (-)
- Batuk berdahak berkurang - Batuk berdahak namun
dan pilek (-) jarang dan pilek
- Setelah kemarin di uap pasien - Sesak (+)
muntah (+) muntah dahak - BAB (+) BAK (+)
encer - Makan minum mau
- Sesak (-)
- BAB (+), BAK (+)
- Makan minum mau
O - KU : Cukup - KU : cukup
- Kesadaran : Composmentis - Kesadaran : Composmentis
- Vital Sign : - Vital Sign :
TD : mmHg TD : mmHg

51
HR : 105 x/menit HR : 109 x/menit
RR : 28 x/menit RR : 26 x/menit
S : 35.80 C S : 36.00 C
- Kepala : A/I/C/D : -/-/-/+ - Kepala : A/I/C/D : -/-/-/+
- Pembesaran KGB : - - Pembesaran KGB : -
- PCH (+) - PCH (+)
- Thorax : simetris +/+, retraksi - Thorax : simetris +/+,
(+) retraksi (+)
- Paru : Wheezing -/-,Rhonki - Paru : Wheezing -/-,Rhonki
+/+ +/+
- Jantung : suara jantung S1/S2 - Jantung : suara jantung
tunggal, regular, murmur (-), S1/S2 tunggal, regular,
gallop (-) murmur (-), gallop (-)
- Abdomen : soefl, bising usus - Abdomen : soefl, bising
(+),nyeri tekan(-), turgor baik usus (+),nyeri tekan(-),
(< 2 detik )pembesaran organ turgor baik (< 2 detik
(-) )pembesaran organ (-)
- Genitalia : perempuan, dbn - Genitalia : perempuan, dbn
− − − −
- Ekstremitas : oedem , - Ekstremitas : oedem ,
− − − −
+ + + +
Akral hangat , CRT ≤ 2 Akral hangat , CRT ≤
+ + + +

detik. 2 detik.
Hasil TIDAK DILAKUKAN Darah Lengkap , CRP
Lab PEMERIKSAAN
A Bronkopneumonia + KDK + ISK Bronkopneumonia + KDK + ISK
P Pdx : DL, CRP Pdx : -
Ptx : Ptx :
- Inf. D5 NS ¼ 1000cc/24 jam - Inf. D5 NS ¼ 1000cc/24 jam
- Inf. Sanmol 4x150 mg iv (STOP)

52
- Inj.Ceftriaxone 2x500 mg iv - Inj.Ceftriaxone 2x500 mg iv
- Inj. Diazepam 3.5 mg iv bila (pagi ini terakhir)
kejang - Ventolin nebul 1.5 cc + pz
- Ventolin nebul 1.5 cc + pz 1.5 1.5 cc/ 8 jam  suction k/p
cc/ 8 jam  suction Obat yang dibawa pulang dan
diminum mulai nanti sore :
Cefixime 2xcth ½
San B Plex 1x0.5 ml
Paracetamol syr 3x cth I

Cek Laboratorium:
Darah lengkap,CRP
Hasil laboratorium DL tanggal 10 JANUARI 2019

Pemeriksaan Hasil Harga Normal

DARAH LENGKAP

CRP NEGATIF
0-2/0-1/1-3/45-70/35-50/0-
DIFFCOUNT 2/-/12/80/6
2%

Hemoglobin 12.8 g/dl L:13-18, P:12-16g/dl

Leukosit 4730/mm3 4000-11000/mm3

Trombosit 119000/mm3 150.000-350000/mm3

HCT 33 35-47%

53
Gambar 12. Weight for Length Z-Score

Gambar 4. Weight for Age Z-Score

54
Gambar 5. Length for Age Z-Score

Gambar 6. BMI for Age Z-Score

55
Gambar 7. Head Circumference chart

Gambar 8. Arm Circumfence for Age Z-Score

56
BAB IV

PEMBAHASAN

Pembahasan kasus pada anak Amira, usia 1 tahun 1 bulan. Pasien


datang tanggal 5 Januari 2019 pukul 06.08 WIB. Pada anamnesis
(heteroanamnesa) didapatkan, pasien datang karena kejang di rumah, kejang
baru pertama kali sebelumnya tidak pernah kejang. Pasien langsung dibawa ke
RS, waktu tempuh dari rumah sampai RS + 15 menit, selama perjalanan
pasien masih kejang, di IRD pasien masih kejang. Kejang berhenti + 15 menit
kemudian. Pasien kejang berlangsung kurang lebih 30 menit. Kejang general
(kedua kaki dan tangan gerak), mata mendelik ke atas, setelah kejang anak
sadar dan menangis, kejang didahului demam, saat datang demam sejak
kemarin sore. Batuk dan pilek kurang lebih 1 minggu yang lalu, batuk
berdahak, sesak (-) muntah (-), mual (-), makan berkurang, minum masih
baik, diare (-), BAK (+).
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum anak tampak
gelisah dan rewel, dengan kesadaran komposmentis. Didapatkan tanda-tanda
vital, Nadi 120 x/menit, RR 28 x/menit, Suhu 37.6˚C. Kepala/Leher tampak
normal, tidak ada pembesaran KGB, tonsil (-), Faring hiperemi (-), dada
simetris dan retraksi dada (-), auskultasi paru ditemukan suara nafas
tambahan ronkhi di lapang paru, jantung S1 S2 tunggal regular, abdomen
soefl (+) BU (+), ekstremitas akral hangat kering merah, CRT <2 detik. Serta
status neurologis masih dalam batas normal kaku kuduk (-).
Pada pemeriksaan laboratorium tanggal 5 januari 2019, hasil Darah
Lengkap didapatkan Hb 11,7g/dl (menurun), Leukosit 16.460 /cmm
(leukositosis), trombosit 454.000/cmm (trombositosis) dan GDA 204 mg/dl.
Hasil UL (-) dan foto thorax (-).

57
Diagnosa saat di IGD adalah Kejang Demam Kompleks +
Rinofaringitis akut. Namun, saat di follow up diruangan berdasarkan dari
hasil anmnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang dapat ditarik
kesimpulan diagnosa pasien ini adalah Kejang Demam Kompleks dan
Suspect Pneumoni.Untuk memastikan diagnosa perlu dilakukan pemeriksaan
laboratorium foto thoraks.
Terapi yang didapat pasien adalah infus IVFD D5¼NS 850
cc/24jam, diberikan untuk mengganti cairan pasien yang hilang akibat
demam serta pemberian nutrisi secara parenteral, Inf. Sanmol 4x100 mg
sebagai antipiretik untuk menurunkan demam, Inj. Diazepam 2.5 mg iv
bila kejang, Inj. Ceftriaxone 2x400 mg sebagai antibiotik. Pemeriksaan
yang direncanakan Urine Lengkap dan Foto Thorax.
Pada pasien didapatkan berat badan 11 kg, panjang badan 72 cm,
status gizi (BB/PB) +2 s.d +3SD (overweight). Hasil tersebut didapatkan
berdasarkan perhitungan menurut WHO (Weight For Length  birth to 2
years). BBI = 8.9 kg
Saat follow up hari ke 3 (7-01-2019) perkembangan di ruangan,
pasien sudah tidak kejang, tetapi masih demam naik turun hari ke 3. Batuk
(+) batuk berdahak, dahak warna kekuningan, pilek (+), mual (-), muntah
(-), anak tampak rewel, BAB (-) sejak 2 hari yang lalu, BAK (+), nafsu
makan menurun, tetapi masih mau minum susu. Pemeriksaan temperature
38.3˚C, RR 24 x/menit, Nadi 122 x/menit. Pulmo terdengar suara
tambahan ronkhi di lapang paru.
Pada pemeriksaan laboratorium hasil Urine Lengkap yaitu epitel
meningkat (10-15/LP), eritrosit meningkat (1-2/LP), leukosit meningkat
(7-10/LP) dan lain-lain (LEKO+). Hasil Foto Thorax bronkopnemonia.
Dari hasil follow up hari ini diagnosis pasien adalah KDK +
Bronkopneumonia + ISK

58
Terapi yang diberikan adalah infus IVFD D5¼NS 1000
cc/24jam,Inf. Sanmol 4x150 mg, Inj. Ceftriaxone 2x500 mg, Inj.
Diazepam 3.5 mg iv bila kejang.
Follow up hari ke-4 (8-01-2019) kejang (-), demam naik turun hari
ke 4. Batuk (+) batuk berdahak, BAB (+), BAK (+), nafsu makan
menurun, tetapi masih mau minum susu. Anak tampak rewel, Pemeriksaan
temperature 37.6˚C, RR 26 x/menit, Nadi 115 x/menit. Dyspnea (+), PCH
(+), retraksi dada (+), suara tambahan ronkhi di lapang paru..
Terapi yang diberikan adalah sama seperti sebelumnya namun
tambahan terapi ventolin nebule 1.5 cc + pz 1.5 cc/8jam  suction
Follow up hari ke-5 (9-01-2019), kejang (-), demam naik turun
hari ke 5. Batuk (+) batuk berdahak tetapi sudah agak berkurang. Setelah
kemarin di uap pasien muntah (+) muntah dahak encer, pilek (-), sesak (-),
BAB (+), BAK (+), makan sedikit, minum (+). Pemeriksaan temperature
35.8˚C, RR 28 x/menit, Nadi 105 x/menit. Dyspnea (+), PCH (+), retraksi
dada (+),suara tambahan ronkhi di lapang paru.
Terapi yang diberikan adalah sama seperti sebelumnya namun
tambahan terapi ventolin nebule 1.5 cc + pz 1.5 cc/8jam  suction.
Pemeriksaan yang direncanakan DL/CRP.
Follow up hari ke-6 (10-01-2019) pasien dibolehkan pulang karena
keluhan pasien semakin berkurang. Kejang (-), demam turun hari ke 6,
batuk (+) batuk berdahak jarang, pilek (-), sesak (-), BAB (+), BAK (+),
makan dan minum (+) banyak. Pemeriksaan temperature 37.6˚C, RR 26
x/menit, Nadi 115 x/menit. Dyspnea (+), PCH (+), retraksi dada (+), suara
tambahan ronkhi di lapang paru.
Pada pemeriksaan laboratorium hasil CRP (Negatif) dan DL 
trombosit 119000 (trombositopenia), namun hasil leukosit sudah turun
(4730).

59
Terapi yang diberikan adalah Inj.Ceftriaxone 2x500 mg iv (pagi ini
terakhir, Ventolin nebul 1.5 cc + pz 1.5 cc/ 8 jam  suction k/p. Obat
yang dibawa pulang dan diminum mulai nanti sore terdiri dari Cefixime
2xcth ½, San B Plex 1x0.5 ml dan Paracetamol syr 3x cth I.
Berdasarkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang dapat ditarik keismpulan diagnos pasien ini adalah Kejang
Demam Kompleks + Bronkopneumonia + ISK.
Gejala yang didapatkan pada pasien ini yang mengarah ke kejang
demam kompleks ialah, kejang yang dialami pasien ini berlangsung lama,
yang dimana diperkirakan oleh keluarga pasien sekitar ± 30 menit. Pada saat
kejang, mata pasien mendelik ke atas, kedua tangan dan kaki bergerak (kejang
general). Kejang diserati demam. Setelah kejang pasien sadar dan menangis.
Sedangkan, gejala yang mengarah pada infeksi umum pneumonia, yaitu gejala
infeksi umum (demam, gelisah, malaise, penurunan nafsu makan) dan gejala
respiratori batuk berdahak dan pilek. Hasil foto thorax adalah
bronkopneumonia (adanya bentukan patchy infiltrate suprahiller D/S
parahiller D/S). Gejala pada ISK yaitu demam, frequency BAK banyak dan
sering, leukosit meningkat (leukositosis).
Terapi yang diberikan selama masuk rumah sakit Inf. D5 NS ¼
1000cc/24 jam diberikan selama 5 hari, Inf. Sanmol 4x150 mg iv diberikan
selama 6 hari, Ventolin nebul 1.5 cc + pz 1.5 cc/ 8 jam  suction diberikan
sebanyak 3 kali dan Inj.Ceftriaxone 2x500 mg iv diberikan selama 6 hari.
Terapi yang dibawa pulang pasien Cefixime 2xcth ½, San B Plex 1x0.5 ml dan
Paracetamol syr 3x cth I.
Prognosis dari pasien ini cukup baik. Setelah dirawat di Rumah sakit
selama 5 hari pasien sudah tidak kejang, demam turun dan tidak sesak, tidak
pilek namun masih batuk tetapi jarang. Pasien dipulangkan dan memberikan

60
edukasi terhadap orang tua untuk kontrol ke poli anak dan dapat menjaga
asupan nutrisi sebaik mungkin.

61
BAB V

PENUTUP

Kejang demam kompleks adalah kejang yang didahului dengan


demam yang berlangsung > 15 menit. Kejang berulang dalam 24 jam. Kejang
fokal atau fokal menjadi general. Pencetus kejang demam terbanyak adalah
infeksi saluran napas atas, diikuti dengan infeksi saluran kemih (ISK).

Bronkopneumonia disebut juga pneumonia loburalis yaitu suatu


peradangan pada parenkim paru yang terlokalisir disebabkan oleh infeksi
mikroorganisme dan non infeksi yang akan menimbulkan konsolidasi jaringan
paru dan gangguan pertukaran gas setempat.

ISK adalah adanya pertumbuhan bakteri di dalam saluran kemih,


meliputi infeksi di perenkim ginjal sampai infeksi di kandung kemih.

Pada anamnesa pasien ini didapatkan kejang, batuk berdahak, demam,


sering kencing dan banyak Pemeriksaan penunjang yang dilakukan juga
cukup menunjang untuk mengakkan diagnose pada pasien ini yaitu hasil foto
thorax ditemukan adanya bentukan patchy infiltrate suprahiller D/S parahiller
D/S yaitu khas dari Bronkopneumonia dan pada hasil darah lengkap leukosit
yang meningkat. Terapi yang diberikan adalah Cefixime 2xcth ½, San B Plex
1x0.5 mg dan Paracetamol syr 3x cth I. Edukasi pasien yang diberikan adalah
untuk kontrol ke poli agar mendapatkan pengobatan.

62
DAFTAR PUSTAKA

1. Nindela, R dkk. 2014. Karakteristik Penderita Kejang Demam di Instalasi


Rawat Inap Bagian Anak Rumah Sakit Muhammad Hoesin Palembang .Jurnal
Kedokteran Dan Kesehatan. Vol. 1, No. 1, Hal. 41-45
2. Purnasiwi, D dkk. 2008. Faktor Resiko Kejadian Kejang Demam Pada Anak
Di Instalasi Rawat Inap Rs.Bethesda Yogyakarta. Journal JIK vol 03, NO.02
3. Ismet. 2017. Kejang Demam (Febrile Seizure).Jurnal Kesehatan Melayu :
Pekanbaru
4. Irdawati .2009. Kejang Demam Dan Penatalaksanaanya. Berita Ilmu
Keperawatan ISSN 1979-2697, Vol 2 No.3, September 2009: 143-146
5. Arifuddin, A .2016. Analisis Faktor Risiko Kejadian Kejang Demam Di
Ruang Perawatan Anak Rsu Anutapura Palu. Jurnal Kesehatan Tadulako Vol.
2 No. 2, Hal : 1-72
6. Deliana, M . 2002. Tata Laksana Kejang Demam pada Anak. Jurnal Sari
Pediatri, Vol. 4, No.2, Hal. 59-62
7. Lutfi, M . 2013 . Kejang Demam Kompleks. Jakarta : Referat Kepaniteraan
Klinik Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Umum Daerah Koja Fakultas
Kedokteran Universitas Trisakti
8. Munir Badrul. Neurologi dasar. 2015. Sagung Seto
9. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2006. Konsensus Penatalaksanaan Kejang
Demam. Badan Penerbit IDAI
10. Kliegman Robert M, et al. 2011. Buku Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esensial
edisi 6. Singapore. Elsevier.
11. Lilihata, G dan Hendriastuti, S. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta :
Media Aesculapius
12. Pudjiadi, A dkk. 2009. Pedoman Pelayanan Medis . Ikatan Dokter Anak
Indonesia

63
13. Meisadona Goror. Soebroto Anne D. Estiasari Riwanti. 2015. Diagnosis dan
Tatalaksana Meningitis Bakterialis. Jakarta: Department Neurologi Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
14. Kristanto Andre. 2017. Epilepsi Bangkitan Umum Tonik Klonik Di UGD
RSUP Sanglah Denpasar Bali. Denpasar. Intisari Sains Medis
15. Dasmayanti,dkk . 2015. Hubungan Kadar Hemoglobin dengan Kejang
Demam pada Anak Usia Balita. Banda Aceh. Jurnal Sari Pediatri
16. Alsagaff, Hood dkk. 2004. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Bagian Ilmu
Penyakit Paru dan Saluran Napas FK Unair : Surabaya.
17. Bennete. M. J.(2013). Pediatric pneumonia. http : www//emedicine.
Medscape.com /arti / cle / 67822-overview. Di unduh : 15 Februari 2015
18. Iskandar. D., Setyoningrum. R.A., dan Setiawati. L. 2014. Modul
Pembelajaran Ilmu Kesehatan Anak: Pneumonia. Airlangga University Press:
Surabaya. hal. 287-296.
19. Maimun . 2008 . Penanganan Infeksi Saluran Kemih . Jurnal Kedokteran
Syiah Kuala. Volume 8, No.1, Hal.61-66
20. Pardede, S . 2018 . Infeksi Pada Ginjal Dan Saluran Kemih Anak: Manifestasi
Klinis Dan Tata Laksana . Jurnal Sari Pediatri . Vol 19, No.6, Hal. 364-374
21. Rasyid, H dan Tessy, M . 2014 . Urinary Tract Infection . Buku Abstrak
Pertemuan Ilmiah Tahunan V . Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fk Universitas
Hasanuddin
22. Octaria Anggraini, Murdoyo Rahmanoe. 2014. Three month baby with
bronchopneumonia. Lampung. Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.
Volume 1no 2.

64
DISKUSI PERTANYAAN

1. Bagaimana gejala ISK (Infeksi Saluran Kemih) pada bayi?


2. Bagaimana bisa terjadinya komplikasi bronkiektasis pada bronkopneumonia?
3. Bagaimana cara membedakan bronkiolitis, bronchitis dan bronkopneumonia?

JAWABAN

1. Manifestasi klinis ISK pada anak bervariasi, tergantung pada usia, tempat
infeksi dalam saluran kemih, dan beratnya infeksi atau intensitas reaksi
peradangan. Gambaran klinis ISK sangat bervariasi dan sering tidak khas, dari
asimptomatik sampai gejala sepsis berat. [10]
 Pada bayi terdapat beberapa gejala yang memiliki nilai prediktif tinggi
secara konsisten yaitu gejala gagal tumbuh, demam, nafsu makan
berkurang, dan icterus (peningkatan hiperbilirubin direk dapat timbul
sekunder akibat endotoksin bakteri Gram negatif).
 Bayi berusia 1 bulan – 2 tahun gejala dapat berupa kesulitan makan,
gagal tumbuh, muntah, diare, dan demam yang tidak dapat dijelaskan.
Tanda-tanda klinis yang ada dapat menyerupai penyakit gastrointestinal
dengan gejala kolik, iritabilitas, dan menjerit secara periodic
(rewel/cengeng).
 Pada usia 2 tahun anak mulai menunjukkan tanda-tanda klasik ISK
seperti tidak dapat menahan untuk berkemih/ rasa ingin miksi terus
(urgency), dysuria (sakit waktu miksi), sering berkemih (frequency), atau
nyeri perut atau pinggang.
 Infeksi saluran kemih perlu dipertimbangkan pada semua bayi dan anak
berumur 2 bulan hingga 2 tahun dengan demam yang tidak jelas
penyebabnya. Infeksi saluran kemih pada kelompok umur ini terutama

65
yang dengan demam tinggi harus dianggap sebagai pielonefritis. Pada
anak besar gejala klinik biasanya lebih ringan, dapat berupa gejala lokal
saluran kemih berupa polakisuria, disuria, urgency, frequency, ngompol.
Dapat juga ditemukan sakit perut, sakit pinggang, atau demam tinggi.
2. Efusi dalam jumlah banyak akan membatasi pernafasan dan harus dilakukan
tindakan drainase. Disesksi udara diantara jaringan paru mengakibatkan
timbulnya kantung udara (pneumatokel). Jaringan parut pada saluran
respiratori dan parenkim paru akan menyebabkan terjadinya dilatasi bronkus
yang mengakibatkan bronkiektasis dan peningkatan resiko berulang.

3. Perbedaan

Perbedaan Bronkopneumonia Bronkiolitis Bronchitis


Demam + + -
Usia Semua usia < 2 tahun Semua usia
Suara tambahan ronkhi wheezing -
Sesak + + +

66

Anda mungkin juga menyukai