Anda di halaman 1dari 30

NEGARA-NEGARA ISLAM

DI KALIMANTAN
1425 1905 M
K. Subroto
Edisi 18 / Desember 2017
SYAMINA

Negara-negara Islam di Kalimantan


1425 – 1905 M

K. Subroto

Laporan
Edisi 18 / Desember 2017

ABOUT US
Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS). LKS merupakan sebuah
lembaga kajian independen yang bekerja dalam rangka membantu masyarakat untuk mencegah segala
bentuk kezaliman. Publikasi ini didesain untuk dibaca oleh pengambil kebijakan dan dapat diakses oleh
semua elemen masyarakat. Laporan yang terbit sejak tahun 2013 ini merupakan salah satu dari sekian banyak
media yang mengajak segenap elemen umat untuk bekerja mencegah kezaliman. Media ini berusaha untuk
menjadi corong kebenaran yang ditujukan kepada segenap lapisan dan tokoh masyarakat agar sadar realitas
dan peduli terhadap hajat akan keadilan. Isinya mengemukakan gagasan ilmiah dan menitikberatkan pada
metode analisis dengan uraian yang lugas dan tujuan yang legal. Pandangan yang tertuang dalam laporan ini
merupakan pendapat yang diekspresikan oleh masing-masing penulis.

Untuk komentar atau pertanyaan tentang publikasi kami,


kirimkan e-mail ke:
lk.syamina@gmail.com
Seluruh laporan kami bisa didownload di website:
www.syamina.org
SYAMINA Edisi 18 / Desember 2017

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI — 3
EXECUTIVE SUMMARY — 4
Islamisasi Kalimantan 7
Negara Islam Kesultanan Brunei Darussalam (1425-1888) — 8
Hukum Islam di Kesultanan Brunei Darussalam — 10
Negara Islam Kesultanan Banjar (1526–1905) — 12
Masa Keemasan Kesultanan Banjar — 14
Hukum Islam dan Peran Syekh Al Banjari di Kesultanan Banjar — 14
Penghapusan Hukum Islam dan Kedaulatan Banjar — 17
Jihad Sultan Hidayatullah dan Sultan Antasari Melawan Belanda — 18
Negara Islam Kesultanan Sambas (1671 -1855 M) — 20
Hukum Islam di Sambas — 23
Kesultanan Kutai Karta Negara (1732-1844) — 23
Islamisasi Kutai — 24
Hukum Islam di Kutai — 25
Penutup — 27
Daftar Pustaka — 28

3
Edisi 18 / Desember 2017 SYAMINA

EXECUTIVE SUMMARY

K
alimantan atau juga disebut Borneo pada jaman penjajahan (kolonial), adalah
pulau terbesar ketiga di dunia yang terletak di sebelah utara Pulau Jawa dan
di sebelah barat Pulau Sulawesi. Saat ini pulau Kalimantan masuk ke wiliyah
tiga negara, Indonesia (73%), Malaysia (26%), dan Brunei (1%). Pulau Kalimantan
terkenal dengan julukan "Pulau Seribu Sungai" karena banyaknya sungai yang
mengalir di pulau ini.
Nama Borneo, yang berasal dari nama kesultanan Brunei (karena Brunei saat
itu merupakan pelabuhan yang ramai dan strategis) adalah nama yang dipakai oleh
penjajah Spanyol, Perancis, Inggris dan Belanda untuk menyebut pulau ini secara
keseluruhan. Sedangkan Kalimantan adalah nama yang digunakan oleh penduduk
kawasan timur pulau ini yang sekarang termasuk wilayah Indonesia. Jika ditilik dari
bahasa Jawa, nama Kalimantan berarti "Sungai Intan”.
Negara-negara Islam muncul, berkembang dan berjaya di Kalimantan pada
saat kekuatan Islam secara global sedang kuat dan berjaya. Terbukti tahun 1453
kekhilafahan Turki Utsmani berhasil menaklukkan Konstantinopel di Barat dan di
ujung Timur, Islam berkembang di kepulauan Indonesia dan Filipina. Sebaliknya
kekuatan Eropa (Barat) belum menjadi kekuatan yang diperhitungkan di tataran
global maupun kawasan Asia Tenggara.
Sebelum abad ke-17 banyak umat Islam yang menulis sejarahnya sendiri.
Namun setelah abad ke-17 penulisan sejarah didominasi oleh para penulis Barat
(Eropa) yang mulai menancapkan kuku-kuku penjajahannya di dunia Islam. Pada
masa penjajahan tersebut sejarah peradaban Islam ditulis oleh orang Barat yang
kebanyakan menngunakan perspektif penjajah. Penulisan sejarah Islam oleh
sejarahwan dari negara penjajah tersebut berusaha mengecilkan peran Islam dan
politik Islam dengan berusaha memunculkan dan membesar-besarkan peran dan
kejayaan politik pra Islam (nativisme).
Di Nusantara hal ini terjadi karena hampir di semua daerah, penjajah Belanda
selalu berhadapan dengan orang Islam ketika mereka hendak mencapai tujuan
penjajahannya. Para ulama dan pemimpin Islam memimmpin jihad untuk
mempertahankan wilayah dan hak-hak mereka yang berusaha dirampas oleh
penjajah kafir. Oleh sebab itu, seorang arsitek politik kolonial yang mashur, Snouck
Hurgronje menyimpulkan bahwa Islam menjadi ancaman paling berbahaya bagi
penjajah Belanda untuk mewujudkan dan melanggengkan misi penjajahannya
(Gold, Glory and Gospel).

4
SYAMINA Edisi 18 / Desember 2017

Para penjajah sadar bahwa sejarah menjadi sarana yang efektif untuk
mempropagandakan idiologi dan peradaban selain Islam, yang lebih bisa kompromi
dengan penjajah. Maka, tulisan-tulisan sarjana Belanda banyak sekali mengangkat
sejarah era pra Islam. Bahkan De Graaf, seorang sejarahwan Belanda, menyebut
bahwa terlalu banyak tulisan mengenai sejarah di abad 20 yang meneliti dan
mengulas peradaban pra Islam yang merupakan peradaban yang datang dari India
tersebut.
Perusakan sejarah yang didukung dengan teori nativikasi (kembali ke aslinya)
yang dilakukan oleh penjajah adalah salah satu upaya mereka mencegah kebangkitan
kembali institusi politik yang berdasarkan Islam yang bisa mengancam kepentingan
dan keberlangsungan penjajahan.
Eksistensi negara Islam berusaha dikaburkan dalam penulisan sejarah Belanda
di masa lalu, dan berlanjut di era kemerdekaan. Tegaknya negara yang berdasarkan
Islam di Asia Tenggara dan khusunya di Kalimantan adalah sebuah fakta sejarah
yang tidak bisa ditutup-tutupi, dan mulai terkuak seiring dengan berjalannya waktu.
Kejayaan politik dan peradaban Islam tidak kalah dengan kejayaan peradaban pra
Islam yang selalu berusaha dipromosikan oleh Penjajah.
Berdasar konvensi Montevideo 27 Desember 1933 mengenai hak dan kewajiban
Negara (Rights and Duties of States) menyebutkan bahwa Negara sebagai subjek
dalam hukum internasional harus memiliki empat unsur yaitu : penduduk yang tetap,
wilayah tertentu, pemerintahan yang berdaulat dan kapasitas untuk berhubungan
dengan Negara lain.
Dalam konteks Islam, sebuah negara bisa disebut sebagai sebuah negara Islam
(Daarul Islam), bila memenuhi syarat-syarat sesuai ketentuan syar’i (hukum Islam).
Ibnu Qayyim berkata, “Jumhur ulama telah bersepakat bahwa Daarul Islam adalah
negeri yang dikuasai kaum muslimin dan ditegakan hukum-hukum Islam. Sedangkan
negeri yang tidak berlaku padanya hukum-hukum Islam, maka ia bukan termasuk
Daarul Islam meskipun ia berbatasan langsung (dengan Daarul Islam).”
Seiring dengan berjalannya waktu, keemasan masa kejayaan peradaban Islam di
wilayah ini mulai terkuak sedikit demi sedikit. Emas tetaplah emas walaupun tertutup
dengan lumpur penjajahan Eropa. Emas itu berusaha ditutupi dengan berbagai
propaganda penjajah yang menyatakan bahwa masa Islam adalah masa yang penuh
dengan kekerasan dan pertumpahan darah. Namun sejarah justru membuktikan
sebaliknya, rakyat negara-negara Islam di kepulauan Nusantara hidup damai, aman,
tentram dan penuh keadilan dengan syariat Islam, sebelum kedatangan penjajah.
Ketika penjajah datang keadaan berubah demikian cepat; kekerasan, ketidak
adilan dan pertumpahan darah terjadi di mana-mana, di tempat penjajah berusaha
menamcapkan kepentingannya. Negara-negara Islam yang menerapkan hukum
(syariat) Islam -yang dianggap tidak berperikemanusiaan oleh para penjajah Barat-
justru terbukti berhasil mencapai tujuan untuk mewujudkan masyarakat yang aman,
adil dan makmur. Sebaliknya penjajah yang membawa sistem hukum Barat terbukti
gagal mewujudkan semua itu.
5
Edisi 18 / Desember 2017 SYAMINA

Negara-negara kesultanan Islam yang banyak terdapat di pulau Kalimantan


seperti, Kesultanan Samudera Brunei Darussalam, Banjar, Kutai serta negara-negara
lainnya memenuhi syarat disebut sebagai sebuah negara dan negara Islam. Di
negara-negara tersebut Islam menjadi agama resmi negara yang dianut oleh para
pemimpinnya dan mayoritas rakyatnya. Kehidupan bermasyarakat dan bernegara
juga dilandaskan pada aturan syariat Islam.
Negara Islam Kesultanan Brunei berdaulat dan menerapkan hukum Islam secara
menyeluruh termasuk dalam hal jinayah (pidana). Brunei telah mempunyai Undang-
undang tertulis yang menjadi pedoman hukum islam yang sudah dikodifikasi
menjadi Hukum Kanun Brunei yang berdasarkan ketentuan hukum (syariat) Islam.
Demikian juga negara Islam kesultanan Banjar yang berdaulat dan berhasil
memakmurkan rakyatnya serta menciptakan keadilan dengan menerapkan syariat
Islam selama ratusan tahun. Hukum Islam yang yang dijalankan berdasarkan Al
Qur’an dan Hadits Nabi juga mengakomodasi adat setempat yang sudah mengalami
proses islamisasi sehingga tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Di masa akhir
Banjar baru dilakukan kodifikasi hukum Islam yang sebelumnya telah dilaksanakan.
Sebelum adanya campur tangan penjajah Belanda, Pengadilan Agama di
Kesultanan Sambas secara turun-temurun melaksanakan hukum Islam yang juga
menerapkan Qisas menurut hukum Islam. Misalnya membunuh dihukum bunuh,
berzina dikenakan hukum rajam.
Setelah masa penjajahan hukum Islam berusaha dikebiri, hanya diberlakukan
untuk masalah keluarga dan ibadah mahdhah saja. Sedangkan untuk perkara pidana
tidak boleh lagi dilaksanakan dan diganti dengan hukum penjajah yang dibawa dari
Eropa.
Rakyat di kesultanan Kutai dan Sambas serta negara-negara Islam lainnya di
Kalimantan hidup dengan makmur, temtram dan damai sebelum kedatangan para
penjajah Eropa. Para sultan di negara-negara Islam di Kalimantan tersebut semuanya
muslim dan berusaha mengamalkan ajaran-ajaran Islam serta berusaha menerapkan
aturan hukum syariat Islam. Adapun mengenai adanya unsur adat dalam kitab
hukum yang ditemukan para sejarahwan bukan sesuatu yang mengejutkan, karena
memang hukum islam bisa menerima dan mentolerir adat selama adat tersebut tidak
bertentangan dengan ajaran Islam atau telah mengalami proses Islamisasi.
Para pemimpin dan ulama tidak tinggal diam dengan terjadinya penjajahan,
dan kezaliman di negerinya. Mereka bahu membahu bersama rakyat mengobarkan
perang sabil untuk melawan penjajah Belanda. Pangeran Hidayatullah dari
Kesultanan Banjar contohnya, menganggap perang melawan Belanda adalah perang
sabil atau jihad terhadap orang kafir Belanda. Untuk itu Belanda memberikan
imbalan atas kepala Pangeran Hidayatullah seperti juga Pangeran Antasari sebesar
10.000,- gulden bagi siapa saja yang berhasil menangkapnya atau membunuhnya.

6
SYAMINA Edisi 18 / Desember 2017

Negara-negara Islam di
Kalimantan
1425 – 1905 M

A. Islamisasi Kalimantan
Islam masuk ke Kalimantan, semula lebih dikenal dengan nama Borneo,
melalui tiga jalur. Jalur pertama melalui Malaka yang dikenal sebagai Kesultanan
Islam setelah Perlak dan Pasai. Jalur kedua, Islam datang dan disebarkan oleh para
mubaligh dari tanah Jawa. Ekspedisi dakwah ke Kalimantan ini mencapai puncaknya
saat kerajaan Demak berdiri. Demak mengirimkan banyak Muballig ke negeri ini.
Para da’i tersebut berusaha mencetak kader-kader yang akan melanjutkan misi
dakwah ini. Maka lahirlah para ulama besar, salah satunya adalah Syekh Muhammad
Arsyad Al Banjari. Jalur ketiga para da’i datang dari Sulawesi (Makasar) terutama da’i
yang terkenal saat itu adalah Datuk Ri Bandang dan Tuan Tunggang Parangan.1
Jatuhnya Kesultanan Malaka (1511) -sebagai bandar perdagangan terbesar
dan teramai di Asia Tenggara saat itu- ke tangan Portugis, justru membawa berkah
bagi penyebaran Islam. Sebagaimana jatuhnya Baghdad (1258), runtuhnya kota
pelabuhan Malaka membuat perkembangan Islam lebih luas dan lebih jauh dari
sebelumnya. Pedagang-pedagang muslim yang pindah dari Malaka kemudian
mencari dan membuat pemukiman baru serta melakukan perdagangan ke daerah-
daerah bagian Timur kepulauan Nusantara. Oleh sebab itu proses Islamisasi secara
efektif di daerah-daerah kepulauan Nusantara bagian Timur baru terjadi pada
dasawarsa kedua abad ke-16.
Di antara para pedagang muslim dari Malaka, banyak yang pindah dan menetap
di Kalimantan. Sejak awal Kalimantan merupakan penghasil dan pusat perdagangan
intan. Akhirnya di pesisir Kalimantan Barat bagian utara berdiri negara Islam yang

1 Puguh Prasetyo, Penyebaran Agama Islam Di Indonesia, Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian 7
Universitas Tanjungpura Pontianak 2012. h.10
Edisi 18 / Desember 2017 SYAMINA

masyhur, Kesultanan Brunei. Dan di bagian selatan pesisir Kalimantan Barat berdiri
Kesultanan Sukadana.
Penyebaran Islam ke daerah-daerah Kalimantan Selatan dan Timur banyak
dilakukan oleh orang-orang Islam yang datang dari Jawa. Para Mubaligh banyak
dikirim oleh negara Islam Kesultanan Demak untuk berdakwah menyebarkan ajaran
Islam di daerah tersebut. Pusat dakwah Islam di Kalimantan Selatan berada di
Banjarmasin. Maka di daerah ini kemudian berdiri sebuah negara Islam, Kesultanan
Banjar. Sedangkan di Kalimantan Timur juga berdiri sebuah negara Islam, Kesultanan
Kutai, yang merupakan kelanjutan kerajaan Kutai yang bercorak Hindu.2

B. Negara Islam Kesultanan Brunei Darussalam (1425-1888)

Diperkirakan pada tahun 1425 M. penguasa Brunei Wang Alak Betatar pergi ke
Malaka untuk mengunjungi Sultan Muhammad Syah,dan di sana ia masuk Islam. 3
2 A. Daliman, Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia, Penerbit Ombak Yogyakarta,
2012, h.193-194
3 Acep Zoni Saeful Mubarak, Hukum Keluarga Islam di Negara Brunei Darussalam, dalam Atho’ Mudzhar dan
Khaeruddin Nasution [Editor], Hukum Keluarga di Dunia Islam Moderen (Jakarta: Ciputat Press, 2003), h. 176

8
SYAMINA Edisi 18 / Desember 2017

Negara Brunei terletak di pesisir Barat Kalimantan bagian Utara. Pengaruh Islam di
negara ini sampai ke Filipina. Banyak mubaligh dari Brunei yang dikirim ke pulau-
pulau yang sekarang menjadi wilayah negara Filipina bagian Selatan.
Peran Brunei dalam perdagangan cukup penting. Itulah sebabnya Portugis pada
tahun 1530 datang pada Sultan Brunei untuk memohon normalisasi perdagangan
dengan Malaka yang putus karena ulah Portugis mengekspansi Malaka pada tahun
1511. Utusan Portugis juga meminta agar kapal-kapalnya diizinkan untuk berlayar ke
wilayah Brunei. Permohonan itu dikabulkan oleh Sultan Brunei yang membuat lalu
lintas perdagangan di Brunei semakin ramai.
Perdagangan Brunei-Filipina juga cukup ramai. Legapsi, seorang pelaut Spanyol
yang mendarat di Filipina pada tahun 1565 menjumpai banyak agen sultan Brunei di
sana. Komoditas yang diperjual-belikan antara lain; tembaga, timah, porselen Cina,
kemenyan, katun India, besi dan baja. Brunei banyak mengekspor baja ke Filipina.
Kekuasaan Sultan Brunei meluas sampai ke Serawak, Mindanao dan Luzon.
Melihat perkembangan kekuasaan Negara Brunei dan aktifitasnya dalam
penyebaran Islam, membuat Spanyol khawatir dan berusaha membendungnya.
Raja Spanyol Filip V kemudian memerintahkan De Sande, raja mudanya di Filipina
untuk mengultimatum Sultan Brunei, Sultan Reksar agar menghentikan usaha untuk
menyebarkan Islam di Filipina. Tuntutan itu dengan tegas ditolak sultan. De Sande
kemudian dengan kekuatan militer yang tangguh menyerbu Brunei dan berhasil
mengalahkan pasukan kesultanan tersebut dan menguasainya pada tahun 1578.4
Pada awal abad ke-16, Kesultanan Brunei merupakan Negara yang kuat dan
memiliki otoritas tidak hanya meliputi seluruh pulau Borneo tetapi juga beberapa
bagian pulau-pulau Sulu dan Filipina. Namun kemudian memasuki abad ke-17 hingga
pada abad ke-18, kekuasaan Kesultanan Brunei mulai berkurang akibat adanya konsesi5
yang dibuat dengan Belanda, Inggris, Raja Serawak, British North Borneo Company
dan juga serangan-serangan para pembajak. Namun kebijakan atas konsesi tersebut
justru merugikan Brunei sendiri. Dan akhirnya memasuki abad ke-19, wilayah
Negara Brunei Darussalam terreduksi menjadi sangat kecil sampai batas-batas yang
ada sekarang.6
Pada tahun 1847 Sultan Brunei mengadakan perjanjian dengan Inggris Raya
untuk memajukan hubungan dagang dan penumpasan para pembajak. Perjanjian
berikutnya diadakan pada tahun 1881 yaitu perjanjian negara Brunei berada dibawah
proteksi Inggris Raya. Pada tahun 1963 negara Brunei berbentuk negara Merdeka
Melayu Inggris dengan tidak bergabung dengan federasi Malaysia. Sampai akhirnya
tanggal 1 Januari 1984 Brunei Darusalam menjadi negara Kesultanan yang merdeka
dan berdaulat.7

4 A. Daliman, op.cit. h.194-195


5 Konsesi adalah Pemberian izin untuk membuka tambang atau untuk menebang hutan, dsb. Lihat: Tim Penyusun
Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi II (Jakarta: Balai
Pustaka, 1995), h. 520
6 Acep Zoni Saeful Mubarak, Hukum Keluarga Islam di Negara Brunei Darussalam, h. 178-179, dalam: Atho’
Mudzhar dan Khaeruddin Nasution [Editor], Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern,Jakarta: Ciputat Press,
2003. 9
7 Inamulah khan (Ed), The World Muslim Gazeteer, (Delhi: International Islamic publisher, 1992), h. 175
Edisi 18 / Desember 2017 SYAMINA

Islam menjadi agama resmi negara semenjak Raja Awang Alak Betatar
masuk Islam dan berganti nama menjadi Muhammad Shah (1406-1408).8
Perkembangan Islam semakin maju setelah pusat penyebaran dan kebudayaan Islam
di Malaka jatuh ke tangan portugis (1511) sehingga banyak ulama dan pedagang
Islam pindah ke Brunei. Kemajuan dan perkembangan Islam semakian nyata pada
masa pemerintahan Sultan Bolkiah (sultan ke-5), yang wilayahnya meliputi Suluk,
Selandung, seluruh Pulau Kalimantan (Borneo), Kepulauan Sulu, Kepulauan Balakac,
Pulau Banggi, Pulau Balambangan, Matanani, dan Utara Pulau Pallawan sampai ke
Manila.

Pada masa Sultan Hassan, Sultan ke-9 (1605-1619 M) dilakukan


penyempurnaan tata pemerintahan, yaitu : 1) menyusun institusi-institusi
pemerintahan agama, karena agama memainkan peranan penting dalam
memandu negara Brunei ke arah kesejahteraan. 2) menyusun adat-istiadat
yang dipakai dalam semua upacara, baik suka maupun duka, disamping
menciptakan atribut kebesaran dan perhiasan raja; 3) menguatkan undang-
undang Islam, yaitu Hukum Qanun yang mengandung 46 pasal dan 6 bagian.9

Hukum Islam di Kesultanan Brunei Darussalam


Sebelum kedatangan penjajah Inggris, Undang-Undang yang dilaksanakan di
Brunei ialah Undang-Undang Islam yang telah dikanunkan dengan Hukum Qanun
Brunei. Hukum Qanun Brunei tersebut ditulis pada masa pemerintahan Sultan
10 8 Ibid
9 Ensiklopedia Islam, Op.Cit., hal. 257-258
SYAMINA Edisi 18 / Desember 2017

Hassan (1605-1619 M) yang disempurnakan oleh Sultan Jalilul jabbar (1619-1652 M).10
Pada tahun 1888-1983 Brunei di bawah jajahan Inggris. Brunei memproklamasikan
kemerdekaannya pada tanggal 31 Desember 1983.
Setelah campur tangan penjajah Inggris, Mahkamah Syari’ah Brunei hanya
diberi wewenang melaksanakan undang-undang Islam yang berkaitan dengan
perkara-perkara kawin, cerai, dan ibadat (khusus) saja. Sedangkan masalah yang
berkaitan dengan jinayat (pidana) diserahkan kepada undang-undang Inggris yang
berdasarkan Common Law England. Hukum had
Pada tahun 1871 M., W.H Treacher, Pejabat Konsul General Inggris dalam
lawatan ke Brunei dengan menggunakan kapal perang angkatan laut Inggris telah
(hukum
mencatat bahawa undang-undang Brunei pada waktu itu ialah undang-undang Islam) pernah
yang berasal dari al-Qur’an.11 Undang-undang yang dimaksudkan itu ialah beberapa diberlakukan
aturan hukum syarak yang terdapat di dalam Hukum Kanun Brunei. Hukum Kanun
Brunei dan Undang-Undang serta Adat Brunei Lama (Old Brunei Law and Custom)
di kesultanan
merupakan dua naskah undang-undang Islam tertulis dan dikanunkan. Keduanya Banjar
menjadi bukti pelaksanaan undang-undang Islam di Brunei Darussalam.12 bagi kasus
H.R Hughes-Hallet juga berpendapat bahwa zaman perintahan Sultan Hassan
merupakan zaman awal pemakaian Undang-Undang Hukum Kanun.13
pembunuhan,
Kenyataan ini mungkin berdasarkan beberapa faktor; pertama walaupun tidak
murtad dan
tercatat tanggal dan tahun penulisannya tetapi naskah Hukum Kanun didapati di perzinaan
dalam pemerintahannya. Kedua; di zaman Sultan Hassan mungkin dilakukan
penyesuaian Hukum Kanun yang dijalankan sebelum Islam pada undang-undang
sebagai
yang berdasarkan hukum Islam.14 Ketiga di zaman Sultan Hasan mungkin dilakukan pengamalan
penyusunan dan penulisan ulang Hukum Kanun supaya lebih teratur. hukum syariat
Pada zaman pemerintahan Sultan Abdul Jalilul Akbar (1598-1659), Islam.
Undang-Undang Hukum Kanun Brunei telah dilaksanakan dengan baik.15
Sultan Abdul Jalilul Akbar juga berwasiat agar anaknya Sultan Jalilul Jabbar
melaksanakan Undang-Undang Hukum Kanun Brunei dalam menjalankan
pemerintahan negaranya.
Sebagai contoh pelaksanaan Undang-Undang Hukum Kanun Brunei ialah
kasus pencurian. Perbuatan ini dilakukan oleh beberapa orang pencuri yang telah
berhasil mencuri beberapa jenis barang termasuk sebuah jam tangan emas dan
sebuah senapan dari kapal perang Inggris yang berlabuh di sungai Brunei. Tiga orang

10 Haji Mahmud Saedon Awang Othman, Mahkamah Syari’ah di Negara Brunei Darussalam dan Permasalahannya,
dalam Jurnal Mimbar Hukum No.22 Tahun VI, September-Oktober 1995, h. 41-42
11 W. H Treacher, “British Borneo : Sketches of Brunei, Sarawak, Labuan and North Borneo”, JMBRAS , Vol. 20,
1880, hlm. 39
12 Dato Dr. Haji Mahmud Saedon Awang Othman, Perlaksanaan Dan Pentadbiran Undang-undang Islam di
Negara Brunei Darussalam : Satu Tinjauan, hlm. 21
13 H. R. Hughes-Hallet, A Sketch of the History of Brunei, JMBRAS, Vol. XV111, part 11, 1940, hlm. 31
14 Hajah Masnon bt. Haji Ibrahim, Perlaksanaan Undang-undang Keluarga Islam di Brunei dan Perbandingannya
dengan Undang-Undang Keluarga Islam di Sarawak, Tesis MA, Universiti Kebangsaaan Malaysia, 1988, hlm. 3
15 Dato Dr. Haji Mahmud Saedon Awang Othman, Perlaksanaan Dan Pentadbiran Undang-undang Islam di
Negara Brunei Darussalam : Satu Tinjauan, hlm. 2
11
Edisi 18 / Desember 2017 SYAMINA

yang terlibat dalam kejadian itu kemudian ditangkap dan dijatuhi hukuman potong
tangan.16
Setelah campur Kasus lainnya ialah hukuman bunuh terhadap seorang nara pidana bernama
tangan penjajah Maidin. Kesalahannya ialah melakukan perampokan harta benda dan membunuh
inggris, beberapa orang pedagang yang berdagang bolak-balik antara Brunei ke Labuan dan
mahkamah sepanjang pantai di bawah kekuasaan Brunei.
17

syari’ah brunei Berdasarkan keterangan di atas, jelas sebelum kedatangan Inggris, Brunei telah
hanya diberi diperintah berdasarkan Undang-Undang Hukum Kanun Brunei yang berasaskan
wewenang hukum Islam yang telah18 dikanunkan. Pemakaian dan perlaksanaannya adalah
meluas dan menyeluruh.
melaksanakan
Setelah diteliti dan dikaji tentang Hukum Kanun Brunei dan dibandingkan
undang-undang
dengan ajaran Islam, maka didapati bahwa Hukum Kanun Brunei itu sebagian
islam yang
besarnya berdasarkan ajaran Islam, khususnya dalam masalah perkawinan dan
berkaitan dengan perceraian, jenayah (pidana) dan mahkamah, demikian juga dalam hal jual beli
perkara-perkara dan riba. Sebagian isi yang lain berdasarkan adat, seperti yang dinyatakan dalam
kawin, cerai, dan mukaddimah Hukum Kanun tersebut, yaitu adat yang tidak bertentangan dengan
ibadat (khusus) hukum Islam.19
saja. Sedangkan
masalah yang
berkaitan dengan C. Negara Islam Kesultanan Banjar (1526–1905)
jinayat (pidana) Kesultanan Banjar merupakan kelanjutan dari sebuah kerajaan Hindu
diserahkan di Kalimantan Selatan yaitu Kerajaan Daha. Pada akhir abad ke-15 Kalimantan
kepada undang- Selatan dibawah pengaruh Kerajaan Daha, yang pada saat itu dipimpin oleh Raja
undang inggris Sukarama, ia mempunyai tiga orang anak yaitu Pangeran Mangkubumi, Pangeran
yang berdasarkan Tumenggung, dan Putri Galuh. Peristiwa kelahiran Kerajaan Banjar bermula dari
konflik yang dimulai ketika terjadi pertentangan dalam keluarga istana. Konflik
common law
terjadi antara Pangeran Samudera dengan pamannya Pangeran Tumenggung, yang
england. mana Pangeran Samudera adalah pewaris sah Kerajaan Daha sesuai keputusan dari
Raja Sukarama sebelum meninggal.20
Pangeran Samudera adalah cucunya Raja Pangeran Sukarama. Mengetahui
keputusan ayahnya ini, keempat puteranya tidak menyetujuinya, terlebih Pangeran
Tumenggung yang sangat berambisi terhadap kekuasaan Kerajaan Daha.21 Setelah
Pangeran Sukarama meninggal, jabatan raja dipegang ole anak tertuanya yaitu
16 W. H Treacher, “British Borneo : Sketches of Brunei, Sarawak, Labuan and North Borneo”, JMBRAS , 1880, Vol.
20, hlm. 40
17 W. H Treacher, “British Borneo : Sketches of Brunei, Sarawak, Labuan and North Borneo”, JMBRAS, 1880, Vol.
20, hlm. 41.
18 Haji Mahmud Saedon Awang Othman, Perlaksanaan dan Pentadbiran Undang-Undang Islam di Negara Brunei
Darussalam : Satu Tinjauan, hlm. 2
19 Dr. Hajah Saadiah, Pentadbiran Undang-Undang Islam Di Negara Brunei Darussalam Pada Zaman British,
Universiti Brunei Darussalam, disampaikan dalam Seminar Sejarah Brunei III Sempena Sambutan Hari
Kebangsaan Negara Brunei darussalam ke 22 Tahun 2006, pada 8-9hb March 2006M/ 8-9 Safar 1427H
bertempat di Dewan Persidangan 2, Pusat Persidangan Antarabangsa, Berakas, Brunei. h.4-6 www.
bruneiresources.com/pdf/nd06_saadiah.pdf
20 Saifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia (Bandung: AlMa’arif, 1979),
386,
12 21 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Rajawali Press, 1997), 386.
SYAMINA Edisi 18 / Desember 2017

Pangeran Mangkubumi. Karena pada saat itu Pangeran Samudera masih berumur 7
tahun.
Pangeran Mangkubumi tidak lama berkuasa, ia dibunuh oleh seorang pegawai istana
atas hasutan Pangeran Tumenggung. Dengan meninggalnya Pangeran Mangkubumi
maka Pangeran Tumenggunglah yang menggantikannya sebagai raja Kerajaan Daha.
Pada saat itu, Pangeran Samudera menjadi musuh besar Pangeran Tumenggung.
Ia kemudian dibantu oleh Patih Masih yang menguasai Bandar Pelabuhan Banjar.
Karena tidak mau menyerahkan upeti kepada Pangeran Tumenggung, maka Patih
Masih ingin mengangkat Pangeran Samudera sebagai Raja.22
Patih Masih banyak bergaul dengan para Mubaligh yang datang dari Tuban dan
Gresik. Dari para Mubaligh inilah ia mendengar kisah tentang Wali Songo dalam
memimpin Kesultanan Demak dan membangun masyarakat yang adil dan makmur.
Bagi Patih Masih, kisah tersebut sangat mengagumkan, seiring berjalannya waktu, ia
akhirnya memeluk agama Islam.23
Atas bantuan Patih Masih Pangeran Samudera dapat menghimpun kekuatan
perlawanan dan mulai menyerang Pangeran Tumenggung. Dalam serangan
pertamanya Pangeran Samudera berhasil menguasai Muara Bahan, sebuah
pelabuhan strategis yang sering dikunjungi para pedagang luar, seperti utara Jawa,
Gujarat, dan Malaka.
Peperangan terus berlangsung, Patih Masih mengusulkan kepada Pangeran
Samudera untuk meminta bantuan kepada Kerajaan Demak. Waktu itu Sultan
Kerajaan Demak adalah Sultan Trenggono. Sultan Demak bersedia membantu dengan
syarat Pangeran Samudera masuk Islam. Sultan Demak kemudian mengirimkan
bantuan seribu orang tentara beserta seorang penghulu bernama Khatib Dayan
untuk mengislamkan Pangeran Samudera beserta seluruh masyarakat Banjar.24
Dalam peperangan tersebut dengan bantuan dari Demak, Pangeran Samudera
memperoleh kemenangan dan sesuai dengan janjinya, ia beserta seluruh kerabat
kraton dan rakyat Banjar menyatakan diri masuk Islam.25
Jumlah orang yang masuk Islam saat itu mencapai 400.000 orang.26
Setelah masuk Islam pada tahun 1526 M, Kerajaan Daha berubah menjadi Kesultanan
Islam Banjar dan Pangeran Samudera pun diberi gelar Sultan Suryanullah atau Sultan
Suriansyah, yang dinobatkan sebagai raja pertama dalam Negara Islam Kesultanan
Banjar.27

22 Harun Yahya, Kerajaan Islam Nusantara: Abad XVI Dan XVII (Yogyakarta: Kurnia Kalam Sejahtera, 1995), h.72
23 Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia , 392
24 Zuhri, Op.Cit. h.220
25 J.J Ras, Hikayat Banjar a study in Malay Historiography (Leiden, 1968), 426, dalam: Nisa Ushulha, Kerajaan
Banjar Dan Perang Banjar (1859-18905 M), Fakultas Adab Dan Humaniora Universitas Islam Negeri Sunan
Ampel Surabaya 2016, h.17
26 Zuhri, Op.cit. h.389
27 Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, 220 13
Edisi 18 / Desember 2017 SYAMINA

Masa Keemasan Kesultanan Banjar


Syekh
Puncak kejayaan Kerajaan Banjar terjadi di masa Sultan Mustain Billah, ia
Muhammad menggantikan ayahnya setelah ayahnya meninggal dunia, yaitu Sultan Hidayatullah.
Arsyad Al Pada masa ini, lada menjadi komoditas perdagangan utama di Kesultanan Banjar.
Banjari Banjarmasin sebagai ibukota Kerajaan Banjar mulai berkembang menjadi bandar
mengusulkan perdagangan yang besar. Para pedagang dari berbagai suku datang ke Banjarmasin
kepada untuk mencari berbagai barang dagangan seperti lada hitam, rotan, damar, emas,
intan, madu, dan kulit binatang.28
Sultan agar
Khususnya lada hitam, komoditi yang satu ini menjadi primadona dalam
di kesultanan perdagangan internasional. Sebagai bandar perdagangan, penduduk di Banjarmasin
Banjarmasin banyak yang berstatus sebagai pedagang. Mereka juga melakukan perdagangan
diberlakukan sampai ke Pulau Jawa, tepatnya ke pelabuhan Banten.
hukum Islam,
bukan hanya Hukum Islam dan Peran Syekh Al Banjari di Kesultanan Banjar
Agama Islam merupakan agama resmi negara dan menempatkan kedudukan para
terbatas
ulama pada tempat yang terhormat dalam Kesultanan, tetapi selama berabad-abad
pada hukum lamanya hukum Islam belum melembaga dalam pemerintahan karena pada saat itu
perdata, tetapi belum ada ulama yang mendampinginya. Setelah Sultan Tahmidullah II berkuasa
juga hukum pada tahun 1761 -1801 M, barulah hukum Islam melembaga di Negara Islam Banjar
dengan didampingi oleh Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari, salah seorang ulama
pidana Islam,
besar yang telah berhasil membina masyarakat Banjar untuk mengamalkan ajaran
misalnya, Islam.29
hukuman Kehadiran Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari menimbulkan terjadinya
mati bagi perubahan dalam pemerintahan, terutama setelah beliau datang dari Mekah dan
pembunuh, tiba di Martapura pada tahun 1772 M. 30

potong tangan Dengan kebijakan Syeikh al-Banjari, perlahan-lahan hukum dan ajaran Islam
masuk ke Istana Banjar. Hukum Islam dijadikan hukum pemerintahan sebagai
bagi pencuri,
sumber pokok dalam membuat undang-undang dan peraturan yang berdasarkan
dicambuk bagi Al-qur’an dan Hadist berdasarkan pemahaman Ahlus Sunnah wal Jamaah dengan
penzina, dan madzhab Syafi’i. Di masyarakat Banjar ajaran fiqih madzab syafi’i sangat berpengaruh
hukum mati sehingga menjadi hukum adat rakyat. Hukum had (hukum pidana Islam) pernah
diberlakukan di kesultanan Banjar bagi kasus pembunuhan, murtad dan perzinaan
bagi orang
sebagai pengamalan hukum syariat Islam.
Islam yang
Syeikh Muhammad Arsyad menyadari bahwa pelaksanaan hukum Islam
murtad secara nyata tidak mungkin tanpa adanya lembaga hukum yang mengatur dan
melaksanakannya. Oleh karena itu ia mengusulkan kepada Sultan untuk membentuk
Mahkamah Syari’ah dan disetujui Sultan, yakni suatu lembaga pengadilan agama
yang dipimpin seorang mufti sebagai ketua hakim tertinggi, pengawas pengadilan

28 Suriansyah Ideham, Urang Banjar dan Kebudayaannya (Banjarmasin: Badan Penelitian dan Pengembangan
Daerah Provinsi Kalimantan Selatan dan Pustaka Benua, 2007), 20.
29 Yusuf Halidi, Syekh Muhammad Al-Banjari Ulama Besar Kalimantan Selatan Silsilah Raja -raja yang Berkuasa
Pada Masa al-Banjari dari Lahir Hingga Wafat (Surabaya: Al-Ihsan, 1968), h.25.
14 30 Azzumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (Bandung:
Mizan, 1994), h.252
SYAMINA Edisi 18 / Desember 2017

umum. Lembaga ini bertugas mengurusi masalah-masalah keagamaan yang timbul


dalam masyarakat agar senantiasa terbimbing dengan kebenaran hukum Islam.
Mufti sebagai ketua mahkamah syariah didampingi oleh seorang Qadhi yang
bertugas sebagai pelaksana hukum dan mengatur jalannya pengadilan. Dengan
kepastian hukum Islam yang diterapkan dalam Kerajaan, segala urusan dalam
masyarakat dapat diselesaikan dalam pengadilan agama yang mendapat legitimasi
dari Kerajaan.31
Dari sudut pandang Islam, otoritas sultan berasal dari perannya sebagai pelaksana
hukum Islam (Syari’ah). Menurut teori tentang pemerintahan, sultan bertanggung
jawab atas pelaksanaan syari’ah di negaranya, sedangkan rakyat bertanggung jawab
kepadanya. Bahkan sebuah pemerintahan militer dipandang sebagi pemerintahan
yang sah sepanjang ia mengakomodasi syari’ah dan memenuhi kebutuhan mendasar
kaum muslim secara umum.32
Perkembangan Islam yang sangat berarti terjadi pada masa pemerintahan Sultan
Tahmidullah II (Pangeran Nata Alam), sekitar tahun 1785-1808; dan Sultan Sulaiman
(1808-1825), yang kedatangan seorang ulama besar yaitu Syekh Muhammad Arsyad
al-Banjari dari perantauannya, setelah menuntut ilmu di dua kota suci di Mekkah
dan Madinah. Dalam menyebarkan agama Islam, Syekh Muhammad Arsyad al-
Banjari mendapat dukungan dengan disediakannya segala sarana dan fasilitas dalam
menyebarkan agama Islam oleh Sultan.33
Hasil-hasil pemikiran yang cermelang dari Syekh Muhammad Arsyad alBanjari
menambah berkembangnya agama Islam di Banjarmasin, antara lain:
1. Mengajarkan ilmu agama kepada masyarakat Banjarmasin;
2. Mengusulkan kepada Sultan agar diangkat Mufti dan Qadi di kesultanan
Banjarmasin, serta diangkat pengurus mesjid seperti khatib, imam, muazzin,
dan penjaga mesjid;
3. Mengusulkan kepada Sultan agar di kesultanan Banjarmasin diberlakukan
hukum Islam, bukan hanya terbatas pada hukum perdata, tetapi juga hukum
pidana Islam, misalnya, hukuman mati bagi pembunuh, potong tangan bagi
pencuri, dicambuk bagi penzina, dan hukum mati bagi orang Islam yang
murtad;
4. Untuk melaksanakan hukuman secara Islam tersebut, beliau mengusulkan
dibentuk Mahkamah Syariah, semacam pangadilan tingkat banding, di
samping lembaga qadi.34
5. Menulis beberapa kitab yang berisi ajaran-ajaran agama Islam sebagai
pegangan dan pedoman bagi umat Islam. Di antara kitab-kitabnya yang
terkenal dan menjadi rujukan dakwah adalah: (1) Ushuluddin, (2) Luqtatul

31 Yahya Harun, Kerajaan Islan Nusantara Abad XVI dan XVII, Yogyakarta: Kurnia Kalam Sejahtera, 1995, h.83-84
32 Ira Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999), 492.
33 Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1992, h. 229
34 Zamzam, n.y.; Daudi, 1980; dan Ensiklopedi Islam, 1992, dalam: Ita Syamtasiyah Ahyat, Perkembangan Islam
di Kesultanan Banjarmasin, SOSIOHUMANIKA: Jurnal Pendidikan Sains Sosial dan Kemanusiaan, 8(1) Mei
2015, h.15, by; Minda Masagi Press Bandung, UNHAS Makassar, and UNIPA Surabaya, Indonesia ISSN 1979- 15
0112 website: www.sosiohumanika-jpssk.com.
Edisi 18 / Desember 2017 SYAMINA

‘Ajlan, (3) Kitabul Faraid, (4) Kitabun Nikah, (5) Tuhfatur Raghibin, (6)
Sabilal Muhtadin, (7) Qawlul Mukhtasar, (8) Kanzul Ma’rifah, (9) Hasyiah
Fathil Jawad, dan (10) Mushaf al Quranil Karim.35
Untuk memimpin Mahkamah Syariah, maka ditunjuklah seorang Mufti. Dan
Mufti pertama yang diangkat oleh Sultan adalah Syekh Muhamad As’ad, cucu dari
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari; dan bertindak sebagai Qadi pertama adalah Abu
Zu’ud, anak dari Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Kemudian, Sultan mengangkat
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari sebagai Musytasyar (Mufti Besar) kesultanan
Banjarmasin untuk mendampingi Sultan dalam menjalankan pemerintahan sehari-
hari. 36
Kedudukan agama Islam sebagai agama Negara juga terlihat dengan jelas pada
masa pemerintahan Sultan Adam Al-Wasik Billah yang memerintah pada tahun
1825-1857 M, ia mendapatkan gelar Sultan Muda sejak tahun 1782. Ia mengeluarkan
Undang-Undang Negara pada tahun 1835 yang kemudian dikenal sebagai Undang-
Undang Sultan Adam, yang mana dalam Undang-Undang tersebut terlihat jelas
bahwa sumber hukum yang dipergunakan adalah hukum Islam.37
Undang-Undang Sultan Adam adalah hukum Islam dalam bidang politik sebagai
proses perkembangan perundangan Islam di dalam kesultanan Banjarmasin.
Sebagai seorang penguasa, Sultan Adam dikenal sebagai Sultan yang shalih dan
gemar dalam menjalankan ajaran Islam serta dihormati oleh rakyatnya. Beliau juga
merupakan salah seorang Sultan yang sangat memperhatikan perkembangan Islam
di Kalimantan.38
Undang-Undang Sultan Adam terdiri atas 31 pasal yang materinya dapat
dikelompokkan kedalam enam masalah, sebagai berikut:
Pertama, masalah-masalah Agama dan Peribadatan, yang mencakup: pasal
1 tentang masalah kepercayaan; pasal 2 tentang mendirikan tempat ibadah dan
sembahyang berjemaah; serta pasal 20 tentang kewajiban melihat awal Ramadhan
atau awal bulan puasa.
Kedua, masalah-masalah Hukum dan Tata-Pemerintahan, yang mencakup: pasal
3 dan pasal 21 tentang kewajian tetuha kampung; serta pasal 31 tentang kewajiban
lurah dan mantri-mantri.
Ketiga, masalah Hukum Perkawinan, yang mencakup: pasal 4 dan pasal 5 tentang
syarat nikah; pasal 6 tentang perceraian; pasal 18 tentang barambangan; pasal 25
tentang mendakwa istri berzinah; serta pasal 30 tentang perzinahan.
Keempat, masalah Hukum Acara Peradilan, yang mencakup: pasal 7 dan pasal
9 tentang tugas mufti; pasal 10 tentang tugas hakim; pasal 11 tentang pelaksanaan
putusan; pasal 12 tentang pengukuhan keputusan; pasal 13 tentang kewajiban
bilal dan kaum; pasal 14 tentang surat dakwaan; pasal 15 tentang tenggang waktu

35 Shaghir Abdullah, H.W. Muhd. (1990). Syekh Muh. Arsyad al-Banjari: Matahari Islam. Banjarmasin: Seri Ulama
Pengarang Asia Tenggara, Periode III. h. 41-42
36 Zamzam, n.y.; dan Daudi, 1980, dalam: Ita Syamtasiyah Ahyat, op.cit. h.15-16
37 Undang-Undang Negara, Undang-Undang Sultan Adam, 1835, dalam: Nisa Ushulha, op.cit. h.22
16 38 Kiaibondan, Amir Hasan. (1953). Suluh Sedjarah Kalimantan. Bandjarmasin: Penerbit Fadja, 1953, dalam : Ita
Syamtasiyah Ahyat, op.cit. h.17
SYAMINA Edisi 18 / Desember 2017

gugatmenggugat; pasal 19 tentang larangan raja-raja atau mantri-mantri campur


tangan urusan perdata, kecuali ada surat dari hakim; serta pasal 24 tentang kewajiban
hakim memeriksa perkara.
Kelima, masalah Hukum Tanah, yang mencakup: pasal 17 tentang gadai tanah;
pasal 23 dan pasal 26 tentang masalah daluarsa; pasal 27 tentang sewa tanah; pasal
28 tentang pengolahan tanah; serta pasal 29 tentang menterlantarkan tanah.
Keenam, masalah Peraturan Peralihan, yang mencakup: pasal 16 tentang
peraturan peralihan.
Undang-Undang Sultan Adam ditetapkan pada tahun 1251 Hijriah oleh Sultan
Adam sendiri. Undang-undang ini dibuat oleh sebuah tim dengan pimpinan Sultan
Adam, serta dibantu oleh para anggota, antara lain menantu Sultan Adam, Pangeran
Syarif Hussein, Mufti H. Jamaluddin, dan lain-lain. Maksud dan tujuan dari Undang-
Undang Sultan Adam itu dikeluarkan, seperti yang jelas tertulis, adalah: untuk
menyempurnakan agama dan kepercayaan rakyat; untuk mencegah jangan sampai
terjadi pertentangan di kalangan rakyat; serta untuk memudahkan bagi para hakim
dalam menetapkan hukum, sehingga rakyatnya menjadi baik.39

Penghapusan Hukum Islam dan Kedaulatan Banjar


Kedaulatan Banjar sebenarnya telah berusaha digerogoti penjajah Belanda
dengan adanya perjanjian pada tahun 1787 M. Pernjanjian antara Kerajaan Banjar
yang diwakili oleh Sultan Tahmidillah II dan Belanda yang diwakili oleh Kapten
Christoffel Hoffman ditandatangani pada tanggal 13 Agustus 1787. Dalam perjanjian
itu, salah satu poin penting yang menunjukkan bahwa Belanda telah menanamkan
pengaruh yang kuat di Kerajaan Banjar adalah pengalihan kedaulatan atas Kerajaan
Banjar kepada Belanda dan penyerahan bagian-bagian penting dari Kerajaan
Banjar kepada Belanda yang kemudian menjadi wilayah milik Belanda. 21 Daerah
tersebut, menurut Pasal 6 perjanjian 13 Agustus 1787, membentang dari pantai
Timur Kalimantan ke Barat, termasuk Pasir, Pulau Laut, Tabanio, Mendawai, Sampit,
Pembuang, dan Kota Waringin dengan lingkungan sekitar dan daerah taklukannya,
serta sebagian dari desa Tatas.40
Kedaulatan Banjar benar-benar telah lenyap pada tahun 1826 M ketika diadakan
sebuah kontrak baru yang ternyata bertahan sampai penghapusan Kerajaan Banjar
secara sepihak oleh Belanda pada tahun 1860 M.
Kontrak itu isinya antara lain adalah:
1. Pemilihan dan penetapan putra mahkota harus disetujui oleh pemerintah
Hindia Belanda. Demikian pula penunjukan perdana menteri yang bertugas
melaksanakan perintah Sultan atas seluruh daerah kekuasaan Kerajaan
Banjar.

39 Kiaibondan, op.cit. h.151-155 17


40 Poesponegoro, Sejarah Nasioanl Indonesia IV, h.219
Edisi 18 / Desember 2017 SYAMINA

2. Tidak ada seluruh wilayahpun yang diperintah Sultan bisa diserahkan kepada
pihak lain tanpa seizin Gubernemen.
3. Sultan, anak-anaknya, dan keluarganya tidak diizinkan menerima surat atau
duta dari negara-negara asing, raja-raja lain atau mengirimkannya kepada
mereka tanpa memberitahu sebelumnya kepada Residen.
4. Mangkubumi dan masyarakat Banjar yang tinggal di daerah Sultan di
Banjarmasin atau di tempat-tempat lain, bila berbuat kejahatan terhadap
pemerintah Hindia Belanda atau pegawainya akan dihukum oleh pengadilan
yang didirikan oleh Sultan dan Gubernemen wilayah Banjarmasin.
5. Semua orang Banjar yang tinggal dalam wilayah Kerajaan Banjar akan diadili
oleh pengadilan yang diatur oleh Kerajaan Banjar itu sendiri.
6. Semua hukuman yang merusak badan misalnya memotong tangan, dan
sebagainya dihapuskan.
7. Tiap orang diizinkan berdagang dan raja mempunyai hak untuk
mengadakan cukai dan pajak yang adil, dan lain sebagainya.41

Jihad Sultan Hidayatullah dan Sultan Antasari Melawan Belanda


Pangeran Hidayatullah diangkat menjadi Sultan Banjar berdasarkan Surat
Wasiat Kakek beliau Sultan Adam. Pengangkatan ini dilakukan karena ayah Pangeran
Hidayatullah, Sultan Muda Abdurrahman wafat.
Penghapusan hukum Islam di Banjar dan campur tangan Belanda yang semakin
mencengkeram kedaulatan negara Banjar membuat rakyat marah dan melakukan
perlawanan, jihad, perang sabil melawan penjajah Belanda. Perlawanan rakyat
terhadap Belanda mulai berkobar di daerah-daerah yang dipimpin oleh Pangeran
Antasari yang berhasil menghimpun 3.000 orang dan menyerbu pos-pos Belanda.
Pos-pos Belanda di Martapura dan Pangaron diserang oleh Pangeran Antasari pada
tanggal 28 April 1859. Disamping itu, kawan-kawan seperjuangan Pangeran Antasari
juga telah melakukan penyerangan terhadap pasukan-pasukan Belanda yang
dijumpainya.
Pada saat Pangeran Antasari mengepung benteng Belanda di Pengaron,
Kyai Demang Leman dengan pasukannya telah bergerak di sekitar Riam Kiwa
dan mengancam benteng Belanda di Pengaron. Lalu bersama-sama dengan
Haji Nasrun pada tanggal 30 Juni 1859 ia menyerbu pos Belanda yang berada
di istana Martapura. Dalam bulan Agustus 1859 Kyai Demang Leman bersama
Haji Buyasin dan Kyai Langlang berhasil merebut benteng Belanda di Tabanio.42

41 Naskah fotocopy Proklamasi Penghapusan Kerajaan Banjar oleh Belanda , 11 Juni 1860. h.3 dalam: Nisa
Ushulha, Kerajaan Banjar Dan Perang Banjar (1859-18905 M), Fakultas Adab Dan Humaniora Universitas Islam
Negeri Sunan Ampel Surabaya 2016, h.36-37
18 42 Soeri Soeroto, Perang Banjar (Jakarta: Departemen Ketahanan dan Keamanan Pusat Sejarah ABRI, 1973),
h.171.
SYAMINA Edisi 18 / Desember 2017

Dengan meluasnya perlawanan rakyat ini pemerintah Hindia Belanda di


Banjar menghadapi kesulitan. Meluasnya pengaruh perlawanan di kalangan rakyat
diusahakan untuk dibatasi. Kepala-kepala daerah dan para ulama diberi peringantan,
Sebelum adanya
agar mereka menunjukkan sikap setia kepada pemerintah Belanda, dan agar mereka
mengecam kaum pejuang. Peringatan tersebut dikemukakan dengan disertai suatu campur tangan
ancaman yang berat bagi siapa saja yang tidak mengindahkannya. penjajah Belanda,
Kepala-kepala daerah dan para ulama menjadi cemas karena adanya Pengadilan Agama
pengumuman tersebut. Namun kebanyakan dari mereka tidak mau di Kesultanan
mengindahkan ancaman tersebut dan justru bergabung dengan para pejuang.43
Sambas secara
Dalam perang ini, seperti juga perang di daerah lain, Belanda juga menerapkan
strategi licik, belah bambu dan pecah belah (devide et empera), menggunakan turun-temurun
pejabat Kerajaan yang memihak padanya untuk menindas perlawanan rakyaknya melaksanakan
sendiri.44 hukum Islam yang
Sebenarnya bagi para pengikut dan pemimpin-pemimpin perjuangan lainnya, juga menerapkan
Pangeran Hidayatullah lebih merupakan sebuah simbol perjuangan mereka
Qisas menurut
daripada seorang yang aktif dalam pertempuran. Namanya digunakan sebagai sebuah
titik tumpu untuk mendapatkan lebih banyak pengikut. Tampaknya Pangeran hukum Islam.
Antasari, Demang Lehman, Aminullah, dan lainnya, mula-mula melakukan Misalnya membunuh
perlawanan itu untuk kepentingannya. Pangeran Hidayatullah juga menganggap dihukum bunuh,
perang melawan Belanda adalah perang sabil atau jihad terhadap orang Belanda
berzina dikenakan
“kafir.” Untuk itu Belanda memberikan imbalan atas kepala Pangeran Hidayatullah
seperti Pangeran Antasari sebesar 10.000,- gulden.45 hukum rajam
Perlawanan semakin meluas, kepala-kepala daerah dan para ulama ikut
memberontak, memperkuat barisan pejuang Pangeran Antasari bersama-sama
pangeran Hidayat, langsung memimpin pertempuran di berbagai medan melawan
pasukan kolonial Belanda. Tetapi karena persenjataan pasukan Belanda lebih lengkap
dan modern, pasukan Pangeran Antasari dan Pangeran Hidayat terus terdesak serta
semakin lemah posisinya. Setelah memimpin pertempuran selama hampir tiga
tahun, karena kondisi kesehatan, akhirnya Pangeran Hidayat menyerah pada tahun
1861 dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat.
Setelah Pangeran Hidayat menyerah, maka perjuangan umat Islam Banjar
dipimpin sepenuhnya oleh pangeran Antasari, baik sebagai pemimpin rakyat yang
penuh dedikasi maupun sebagai pewaris kesultanan Banjar. Untuk mengokohkan
kedudukannyasebagai pemimpin perjuangan umat Islam tertinggi di Kalimantan
Selatan, maka pada tanggal 14 Maret 1862, bertepatan dengan 13 Ramadhan 1278
Hijriah, dimulai dengan seruan: "Hidup untuk Allah dan Mati untuk Allah," seluruh
rakyat, pejuang-pejuang,para alim ulama dan bangsawan-bangsawan Banjar; dengan

43 Idwar Saleh, Pangeran Antasari (Proyek Infentaris Dokumentasi Sejarah Nasional, 1993), h.9 dalam; Nisa
Ushulha, op.cit. h.41-42
44 A Gazali Usman, “Pangeran Hidayatullah” (Banjarmasin: Kalimantan Scientie, 1988), h.6
45 Rees, De Bandjermasinsche Krijg van 1859—1863, II, h. 161-162. Lihat juga; Happe, Memorie van over, ANRI,
dalam; Ita Syamtasiyah Ahyat, Pangeran Hidayatullah Melawan Belanda: Kasus Perang Banjarmasin (1859-
1863), Departemen Sejarah, Fakulras Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, makalah Prosiding
The 5 th International Conference on Indonesian Studies: “Ethnicity and Globalization”. h.298 19
Edisi 18 / Desember 2017 SYAMINA

suara bulat mengangkat Pangeran Antasari menjadi 'Panembahan Amiruddin


Khalifatul Mukminin'.46
Setelah Sultan Antasari wafat, kemudian digantikan putranya, Muhammad
Seman untuk meneruskan perjuangan melawan penjajah Belanda. Muhammad
Pangeran Seman gugur pada 24 Januari 1905 ditembak Belanda yang mengakhiri Perang
Banjar dan banyak para pahlawan pejuang yang tertangkap, Pangeran Aminullah
Hidayatullah
(menantu Pangeran Prabu Anom) dibuang ke Surabaya, Ratu Zaleha diasingkan ke
menganggap Bogor, keturunan Tumenggung Surapati yang tertangkap diasingkan ke Bengkulu,
perang melawan dan sebagai penerus Sultan Muhammad Seman adalah Gusti Berakit. Negeri Banjar
menjadi sepenuhnya di bawah pemerintahan Residen Belanda dilanjutkan Gubernur
Belanda adalah
Haga, Pimpinan Pemerintahan Civil, Pangeran Musa Ardi Kesuma (Ridzie Zaman
perang sabil Jepang), Pangeran Muhammad Noor (Gubernur Kalimantan I), sekarang menjadi
atau jihad Provinsi Kalimantan Selatan.

terhadap orang
kafir Belanda. D. Negara Islam Kesultanan Sambas (1671 -1855 M)
Untuk itu Belanda Wilayah Kesultanan Sambas, saat ini terletak di ibukota Sambas, tepatnya di
memberikan antara pertemuan tiga anak sungai yakni, sungai Sambas Kecil, sungai Sungai Subah,
dan sungai Teberau. Istana Kesultanan Sambas berada di daerah Muara Ulakan,
imbalan atas
sekarang di Desa Dalam Kaum, Kecamatan Sambas, Kabupaten Sambas, Provinsi
kepala Pangeran Kalimantan Barat. Saat ini wilayah tempat Kesultanan Sambas lebih dikenal dengan
Hidayatullah masyarakat Melayu Sambas. Melayu Sambas merupakan etnoreligius Muslim yang
berbudaya Melayu, berbahasa Melayu dan menempati sebagian besar wilayah
seperti Pangeran Kabupaten Sambas, Kabupaten Bengkayang, Kota Singkawang dan sebagian kecil
Antasari sebesar Kabupaten Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat.47

10.000,- gulden Jauh sebelum agama Islam masuk dan berkembang di Kalimantan Barat, tepatnya
di Sambas, Islam sudah berkembang di daerah Kalimantan bagian lain seperti
Banjarmasin. Agama Islam dibawa oleh para pedagang dari Arab yang kemudian
diperkenalkan lagi oleh para pedagang dari Banjarmasin dan Brunei Darussalam.
Agama Islam masuk di Kalimantan Barat sekitar abad ke-15 Masehi. Daerah yang
pertama kali bersentuhan dengan agama Islam adalah Pontianak pada tahun 1741,
Matan pada tahun 1743, dan Mempawah pada tahun 1750.
Berdasarkan perkembangan agama Islam yang terjadi di Kalimantan Barat,
turut berdiri juga Kesultanan Pontianak pada tanggal 23 Oktober 1771 Miladiah
(14 Rajab 1185 H) dengan raja yang bernama Sultan Syarif Abdurahman Al Qadrie.
Dengan semakin berkembangnya agama Islam di Kesultanan Pontianak, semakin
memudahkan terjadinya proses Islamisasi terhadap daerah-daerah pedalaman yang
memiliki akses ke Kesultanan Pontianak dan berada di daerah aliran sungai Kapuas.
Proses ini banyak dilakukan oleh para pedagang dari Banjarmasin dan Brunei
Darussalam yang datang dengan tujuan berniaga. Kebanyakan dari para pedagang

46 Abdul Qadir Djaelani, Perang Sabil Versus Perang Salib Ummat Islam Melawan Penjajah Kristen Portugis Dan
Belanda, Penerbit: Yayasan Pengkajian Islam Madinah Al-Munawwarah Jakarta 1420 H / 1999 M h.52
20 47 Mario Inirgo Oki Menes Belo, Islam Di Kesultanan Sambas Kalimantan Barat 1600 – 1732, Skripsi Program
Studi Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta 2016. h.30
SYAMINA Edisi 18 / Desember 2017

ini melakukan perjalanan melalui aliran sungai Kapuas. Para pedagang masuk
ke Sambas dimulai sejak abad ke-14 M yang pada waktu itu masih berada dalam
kekuasaan kerajaan Hindu. Dengan melakukan proses perdagangan dan hidup
cukup lama di Sambas, para pedagang ini mendapat izin dari raja untuk menetap.
Penyebaran agama Islam bermula dari lingkungan kerajaan, seperti melakukan
pernikahan campuran yang kemudian diikuti oleh raja. Ketika raja memeluk agama
Islam, sebagian besar penduduk ikut memeluk agama Islam. Kebanyakan yang ikut
memeluk agama Islam adalah para pribumi yang berada di sekitar kerajaan dan
berada di daerah aliran lalu lintas perdagangan sungai. Namun ada juga yang tidak
masuk agama Islam dengan melakukan perpindahan ke daerah pedalaman atau ke
wilayah lain khususnya suku Dayak yang sebagian menolak agama Islam.48
Masuk dan semakin berkembangnya Islam di Sambas dimulai ketika kedatangan
Raja Tengah di Kota Bangun. Raja Tengah adalah seorang Raja Serawak yang
selama 40 tahun tinggal di daerah Sukadana/Matan dan Sambas. Raja Tengah yang
pernah tinggal di Sukadana menikah dengan adik Sultan Matan, Sultan Muhammad
Syafiuddin yakni Ratu Surya Kesuma yang dikaruniai seorang anak bernama Raden
Sulaiman. Raden Sulaiman kemudian menjadi cikal bakal pendiri Kesultanan Sambas
dengan gelar Sultan Muhammad Syafiuddin I yang berkuasa dari tahun 1631-1668
merupakan Sultan pertama Sambas.49
Raden Sulaiman yang bergelar Sultan Muhammad Syafiuddin I merupakan Sultan
pertama yang memeluk Islam dan membuat Islam semakin berkembang di Sambas.
Hal ini dibuktikan dengan diikuti oleh keluarga besar maupun kerabat Kesultanan.
Oleh karena melihat dan terdorong keluarga Kesultanan yang memeluk Islam,
banyak rakyat yang berada di sekitar daerah dan di bawah pemerintahan Kesultanan
ikut serta memeluk Islam. Selain itu, terdapat juga masyarakat yang sudah memeluk
Islam jauh sebelum Sultan dan keluarga Kesultanan memeluk Islam. Masyarakat ini
kebanyakan memeluk Islam karena sudah menikah dan hidup berbaur dengan para
pedagang dari Arab, Gujarat, Brunei, dan Banjar.
Berkembangnya Islam di daerah Sambas sangat mempengaruhi perkembangan
Islam di daerah lainnya. Saat Islam mulai masuk di daerah Sambas, Kerajaan Hindu
masih berkuasa dan masih di perintah oleh seorang Ratu dengan gelar Ratu Sepudak.
Ratu Sepudak merupakan keturunan Majapahit terakhir yang berkuasa sebelum
menyerahkan kerajaan kepada Raja Tengah. Raja Tengah merupakan anak dari
Sultan Brunei, Sultan Muhammad Hasan (1582-1598) yang dikeluarkan dari negeri
Brunei oleh abangnya Sultan Abdul Jalilul Akbar karena perebutan kekuasaan ke
daerah Serawak dengan ditemani seribu orang Sakai (hulubalang, prajurit yang
berasal dari suku Kedayan dan pulau Bunut). Selain para Sakai, Raja Tengah juga
ditemani oleh orang-orang pembesar dan pemuda-pemuda yang akan menjadi
pejabat penting, serta yang sudah menikah berangkat beserta keluarga mereka. Para

48 Mario Inirgo Oki Menes Belo, Islam Di Kesultanan Sambas Kalimantan Barat 1600 – 1732, Skripsi Program
Studi Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta 2016. h.30
49 Ansar Rahman, dkk, Kabupaten Sambas – Sejarah Kesultanan dan Pemerintah Daerah. Pontianak: Taurus- 21
Semar Karya, 2001, h. 12
Edisi 18 / Desember 2017 SYAMINA

pengikut Raja Tengah ini kemudian menjadi cikal bakal dari orang Melayu di Serawak
dan membaur dengan orang Melayu dari keturunan Abang Gulam.50
Pada periode awal berdirinya Kerajaan Sambas, negeri Sambas sering disebut
dengan “Negeri Kebenaran” yang masa itu dikuasai oleh raja-raja dari keturunan
Majapahit. Raja yang terakhir berkuasa di Kerajaan Sambas ialah Ratu Sepudak dan
Ratu Anom Kesuma Yuda selama periode tahun 1300-1631.
Masuk dan berkembangnya Islam di Sambas tidak terlepas dari adanya peran
penting para da’i dan ulama dari Arab, Gujarat, Brunei, dan Banjar yang telah
menganut Islam membawa Islam masuk baik melalui jalur laut maupun jalur darat
dengan cara berdagang serta adanya pernikahan campuran baik dengan masyarakat
lokal maupun kaum bangsawan kerajaan. Selain itu, pengaruh dari Raja Tengah
yang melakukan pengembangan ajaran Islam di Sambas semakin membuat Islam
diterima dengan baik oleh masyarakat. Hal ini terjadi dikarenakan baik para pedagang
maupun Raja Tengah melakukan proses integrasi yang kemudian menghasilkan
akulturasi dengan masyarakat Sambas. Puncaknya Ratu Anom Kesuma Yuda yang
merupakan raja terakhir kerajaan Hindu Sambas menyerahkan pemerintahan dan
negeri Sambas kepada Raden Sulaiman dan istri.51
Setelah mendapatkan negeri dan pemerintahan Sambas melalui upacara serah
terima yang dilakukan oleh Ratu Anom Kesuma Yuda, Raden Sulaiman kemudian
pindah dari Kota Bandir ke daerah Lubuk Madung. Di daerah Lubuk Madung inilah
pada tanggal 9 Juli 1631, Raden Sulaiman dinobatkan sebagai Sultan Sambas dengan
gelar Sultan Muhammad Syafiuddin I. Lubuk Madung merupakan suatu daerah di
sebelah hulu sungai Teberau, anak sungai dari sungai Sambas Kecil simpang kanan
yang di bagian hilirnya terdapat sebuah desa yang bernama Lubuk Lega.
Sultan Muhammad Syafiuddin I merupakan raja pertama di Kerajaan Islam
Sambas yang menggunakan gelar Sultan. Gelar ini kemudian diteruskan sampai
Sultan Sambas ke-15. Sultan Muhammad Syafiuddin I merupakan orang yang
pertama menerapkan tata pemerintahan yang berlandaskan Islam di Kesultanan
Sambas. pada pemerintahan Sultan Muhammad Tajuddin, Kesultanan Sambas
semakin mengalami kemajuan baik dalam hal ekonomi maupun agama. Di setiap
desa didirikan surau dan tempat pengajian untuk memperdalam Islam.
Dari sejak berdirinya Kesultanan Sambas pada tahun 1671 dengan Sultan pertama
Kesultanan Sambas yaitu Sultan Muhammad Shafiuddin I hingga tahun 1818 yaitu
dimasa pemerintahan Sultan Sambas ke-8 yaitu Sultan Muhammad Ali Shafiuddin
I (Pangeran Anom), Kesultanan Sambas pada rentang masa itu (1671 M - 1818 M)
adalah dalam kondisi berdaulat penuh yaitu pada rentang masa itu tidak ada satu
pun kekuasaan asing yang menduduki atau mendirikan perwakilan pemerintahan di
Kesultanan Sambas dan pada rentang masa itu Kesultanan Sambas tidak ada tunduk
atau mengantarkan upeti apapun kepada pihak kekuasaan asing manapun.

50 Abang Gulam adalah seorang pedagang Melayu dari Minangkabau, Sumatera Barat yang bermukim di
Kampung Beladin, Saribas, Ansar Rahman, dkk.,op.cit. h. 28-29.
22 51 Ansar Rahman, dkk, Kabupaten Sambas – Sejarah Kesultanan dan Pemerintah Daerah. Pontianak: Taurus-
Semar Karya, 2001, h. 42-43.
SYAMINA Edisi 18 / Desember 2017

Belanda mulai menanamkan kekuasaannya di Kesultanan Sambas pertama kali


pada tahun 1818 M dan saat itu posisi Hindia Belanda di Kesultanan Sambas itu
masih sebagai mitra bagi Kesultanan Sambas (belum mengendalikan pemerintahan
Kesultanan Sambas) di mana saat itu Hindia Belanda hanya sebatas menangani /
mengatur Kongsi-Kongsi pertambangan emas yang ada di wilayah Kesultanan
Sambas. Hindia Belanda mulai mengendalikan pemerintahan Kesultanan Sambas
sejak tahun 1855 M yaitu di masa pemerintahan Sultan Sambas ke-12 yaitu Sultam
Umar Kamaluddin (Raden Tokok) Tahun 1855, Sultan Abubakar Tadjuddin II
dipaksa turun takhta dan diasingkan ke Jawa oleh penjajah Belanda, dan mengakhiri
Sebelum adanya
kedaulatan Kesultanan Sambas.
campur tangan
Hukum Islam di Sambas penjajah Belanda,
Para Sultan Sambas yang dimulai dari Sultan Muhammad Syafiuddin I sampai Pengadilan Agama
wafatnya Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Syafiuddin, selama 312 tahun telah di Kesultanan
mengembangkan Islam. Selain mendirikan Istana Kesultanan, para Sultan juga
mendirikan masjid dan menganjurkan kepada masyarakat untuk membangun
Sambas secara
surau dan masjid di setiap perkampungan. Masjid Sambas pertama diperkirakan turun-temurun
didirikan pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Tajuddin dengan bentuk melaksanakan
yang sederhana.52 hukum Islam yang
Sebelum adanya campur tangan penjajah Belanda, Pengadilan Agama di juga menerapkan
Kesultanan Sambas secara turun-temurun melaksanakan hukum Islam yang
berpedoman pada Al Qur’an dan Hadits Nabi yang juga menerapkan Qisas menurut
Qisas menurut
hukum Islam. Misalnya membunuh dihukum bunuh, berzina dikenakan hukum hukum Islam.
rajam.53 Misalnya membunuh
dihukum bunuh,
berzina dikenakan
E. Kesultanan Kutai Karta Negara (1732-1844)
hukum rajam
Ada beberapa versi yang menerangkan tentang asal kata Kutai. Pertama, Kutai
berasal dari bahasa Hindu (Sansekerta) quetairy yang berarti hutan lebat atau hutan
raya. Kemungkinan pemunculan kata ini karena tanah Kutai memiliki kekayaan
alam yang Kesultanan Sambas berlimpah ruah, diantaranya hutan. Versi kedua,
berdasarkan monografi Kutai tahun 1968, kata Kutai berasal dari bahasa Cina yaitu
Kho dan Thaiyang artinya Negara Besar, argumentasi pendapat kedua ini setidaknya
dilihat dari beberapa peninggalan benda-benda antik yang berasal dari negeri Cina
dan hal ini terjalin karena hubungan dagang dan kontak budaya.54
Terlepas dari perbedaan versi asal penamaan Kutai, setidaknya penyebutan kata
Kutai mengingatkan bahwa kesultanan Kutai adalah sebuah imperium yang telah
menaklukan kerajaan Hindu tertua di Indonesia pada tahun 1605, yaitu kerajaan
Martadipura/Martapura yang lebih dikenal sebagai kerajaan Mulawarman. Dinasti
Kudungga yang kemudian lebih dikenal dengan dinasti Mulawarman sebagai
52 Ibid., h. 88.
53 Ansar Rahman, dkk. Kabupaten Sambas – Sejarah Kesultanan dan Pemerintah Daerah. Taurus-Semar Karya,
Pontianak 2001, h. 78j
54 Dep. Pendidikan dan Kebudayaan Kaltim, Wujud Arti dan Fungsi Puncak-puncak Kebudayaan Lama dan Asli di 23
Kalimantan Timur, Kanwil Dikbud Prov. Kalimantan Timur, 1995/1996, hal. 9
Edisi 18 / Desember 2017 SYAMINA

dinasti tertua di Nusantara berkuasa selama 12 abad dengan rajanya yang terakhir
Mulawarman Dharma Setia. Kekuasaannya meliputi kerajaan Pasir, kerajaan
Sambaliung dan kerajaan kecil yang terletak di hulu sungai Mahakam seperti kerajaan
Sendawar, Pantun, Seri Muntai, dan Seri Bangun.
Nama lengkap Kesultanan Kutai adalah Kesultanan Kutai Karta Negara Ing
Martadipura (Martapura), hal ini menunjukan bahwa kesultanan ini bermula dari
dua kerajaan yang berbeda yang kemudian disatukan dalam bentuk penaklukan
atas kerajaan Martadipura pada abad ke-17 yaitu semasa pemerintahan Pangeran
Sinum Panji Mendapa (1635–1650). Kerajaan Martadipura adalah kerajaan yang
hidup sejak abad ke-4 dengan Kudungga sebagai rajanya yang pertama, terletak di
pedalaman (hulu) aliran sungai Mahakam. Sedangkan kerajaan Kutai adalah kerajaan
melayu yang pada awal berdirinya merupakan koloni dari kerajaan Majapahit55
yang setelah menerima pengaruh ajaran Islam merubah nama menjadi kesultanan
Kutai, dan pusat pemerintahan kesultanan Kutai ini di muara sungai Mahakam.
Istilah kesultanan diambil karena raja yang berkuasa bergelar sultan, hal ini dimulai
sejak raja kutai yang ke 14 yaitu Sultan Aji Muhammad Idris (1732-1739).56
Suku asli kesultanan Kutai terbagi dari dua kelompok suku besar yaitu pertama,
Kelompok suku Melayu (Melayu Muda); terdiri dari puak pantun, Puak Punang,
Puak Pahu, puak Tulur Dijangkat dan puak Melani. Yang selanjutnya puak-puak ini
berkembang menjadi suku Kutai yang memiliki bahasa yang sama tetapi dealek yang
berbeda. Kedua, Kelompok suku Dayak (Melayu Tua); terdiri dari suku Tunjung,
Bahau Benuaq Penihing Busang dan Modang.57

Islamisasi Kutai
Mayoritas penulis kesejarahan Islam di Kalimantan Timur menyimpulkan bahwa
Islam berkembang di kerajaan Kutai dibawa oleh para Mubaligh dari Sulawesi Selatan.
Namun ada dua teori lain yang dikemukakan yaitu pertama, Islam dibawa oleh para
pedagang dari Brunei di Kalimantan Utara dan Moro Filipina Selatan yang Islamnya
sudah ada sejak awal abad 16 melalui kerajaan Bulungan atau Berau mengingat lalu
lintas pelayaran diperairan Kalimantan Timur ini sudah terbuka sejak berabad-abad
lamanya. Kedua, Islam masuk dari Kalimantan Selatan.58
Konstruksi pengembangan dan Islamisasi Nusantara secara umum berlaku pula
untuk proses Islamisasi Kutai. Seorang raja memiliki peranan yang sangat strategis
dalam mengemban misi tersebut. Peran dan fungsi raja dalam di Kesultanan
Nusantara yaitu fungsi pemerintahan umum, pertahanan keamanan, dan penata
bidang agama. Untuk fungsi yang terakhir ini seorang raja atau sultan diberi gelar
seperti, sayidin Panatagama Khlaifatullah – khalifah Allah pengatur agama, di
samping jabatan para raja, ada juga gelar-gelar yang menunjukan adanya pengaruh

55 Setwilda TI II Kutai, Gelora Mahakam dalam Cuplikan Tulisan, Setwilda, Tenggarong, 1999, hal. 9
56 Depdikbud, Wujud Arti … , Op. Cit., hal. 71.
57 Setwilda TK II Kutai, Kutai Perbendaharaan Kebudayaan Kalimantan Timur, Humas Pemkab Tk II Kutai, 1999,
24 hal. 41-44
58 Setwilda Kutai, Gelora Mahakam Op. Cit., hal. 2
SYAMINA Edisi 18 / Desember 2017

dan watak ketatanegaraan dari pelaksanaan syari’at Islam di Nusantara, yaitu, gelar
Kanjeng Penghulu, Penghulu Tuanku Mufti, Modin, Lebai dan sebagainya.59
Hal demikian dibuktikan dengan strategi yang diterapkan oleh Datuk Ditiro
(Tunggang Parangan) yang bernama asli Abdul Kadir Khatib, seorang mubaligh yang
berasal dari Minangkabau. Sebelumnya menyebarkan Islam di Goa Tallo Makasar
dan selanjutnya mengIslamkan raja Aji Mahkota (1565-1607).
Raja Kutai pertama yang menerima ajaran Islam adalah Raja Mahkota (1545-
1610) bergelar Aji Mahkota Mulia Islam adalah raja ke – 6 kerajaan Kutai, yang
diIslamkan oleh Datu Ditiro. Selanjutnya Islam berkembang melalaui beberapa jalur,
yaitu perdagangan, perkawinan, pendidikan dan seni budaya.60
Pada abad pertengahan dikenal sebuah adagium Cuius regio illius est religi yang
berarti rakyat yang tinggal di wilayah seorang raja, diwajibkan memeluk agama
raja. Dengan kata lain, agama raja agama rakyat. Hal demikianpun terjadi dalam
kehidupan sejarah bangsa Nusantara, pada masa kerajaan Majapahit dikenal pula
pola “mengagamakan” rakyat di dalam kerajaan mengikuti agama ageming ratu
(agama raja).
Dalam kehidupan sosial budaya masyarakat Kutai banyak dipengaruhi oleh nila-
inilai agama, karena nilai (agama) bagi masyarakat Kutai (Melayu) merupakan kriteria
untuk memilih tujuan hidup, yang terwujud dalam prikelakuan, yaitu keagamaan.
Agama menjadi suatu penunjuk identitas dan status seseorang pada kehidupan
masyarakat di tanah Kutai.

Hukum Islam di Kutai


Pada masa pemerintahan Pangeran Aji Sinum Panji Mendapa (1605-1635) raja
Kutai yang ke- 8, fungsi pimpinan keagamaan yang sebelumnya melekat pada diri raja,
dikuasakan kepada seorang pejabat di bidang keagamaan yang disebut mas penghulu.61
Dan pada perkembangan selanjutnya, lembaga mas penghulu ini menjadi cikal bakal
lahirnya institusi Mahkamah Agama pada tahun 1854 pada masa pemerintahan
Sultan Aji Muhammad Sulaiman (1850-1899).
Pangeran Aji Simum Paji Mendapa mengambil kebijakan hukum dengan
memberlakukan produk hukum tertulis pertama bagi kerajaan yaitu Undang-Undang
Panji Selaten.62 Produk undang-undang ini menggunakan aksara arab melayu tanpa
mencantumkan tanggal dan tahun diterbitkannya.
Secara politis, dinamika pemerintahan kesultanan kutai telah mengalami pasang
surut. Kondisi ini pun turut mempengaruhi kebijakan hukum kesultanan. Panji
Selaten dan Berajaniti semenjak diundangkannya terus diberlakukan secara penuh
sampai ditandatanganinya perjanjian pengakuan kekuasaan Gubernemen Hindia

59 Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Gama Media, Yogyakarta, 2001, hlm. 55-56.
60 Murjani, Interaksi Agama Dan Politik Hukum Kesultanan Kutai Kartanegara: Studi Keagamaan Etnis Dayak –
Kutai. h.4-5
61 Dahlan Syahrani, Sejarah Masuknya Agama Islam di Kalimanatan Timur, Makalah, disampaiakan dalam
Seminar sejarah masuknya Islam di Kalimantan Timur, Samarinda, 26-28 Nopember 1981, hal. 27.
62 Edwar Jamaris, dkk, Naskah Undang-Undang dalam Sastra Indonesia Lama, (Jakarta: Pusat Pembinaan dan 25
Pengembangan Bahasa Depdiknas, 1981), Cet. Ke-1, hlm.3
Edisi 18 / Desember 2017 SYAMINA

Belanda atas kesultanan Kutai oleh Sultan Aji Muhammad Salehuddin pada tanggal
11 Oktober 1844.
Selanjutnya, pada tahun 1846 pada masa pemerintahan Sultan Aji Muhammad
Sulaiman, Belanda menempatkan Asisten Residen – H. van Dewall - yang
berkedudukan di Samarinda. Maka pemberlakuan perundang-undangan kerajaan
diperbolehkan sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundangan
pemerintah Hindia Belanda.63
Dalam perjalanan selanjutnya, penerapan hukum Islam yang sebelumnya
berada ditangan sultan, sejak tahun 1845 atau semasa kesultanan berada di bawah
Dewan Perwalian (1845 – 1850) telah dibentuk sebuah institusi peradilan sebagai
wadah penyelesaian problematika keagamaan masyarakat. Institusi ini diberi nama
Mahkamah Agama (mahkamah syar’iyah).

Kewenangan Kewenangan Mahkamah agama ini meliputi semua aspek kehidupan masyarakat.
Dari persoalan al-ahwal al-syakhsiyah – hukum kekeluargaan Islam – sampai
Mahkamah syariah
persoalan jinayat dan bughot (menetang kekuasaan). Di samping itu Mahkamah
di Kesultanan Kutai agama ini diberikan kewenangan mengeluarkan izin dakwah para da’i, dan izin
meliputi semua mendirikan lembaga pendidikan.64
aspek kehidupan Pada tanggal 8 Agustus 1825 Sultan Aji Muhammad Salehuddin – sultan ke 17
masyarakat. Dari - mengadakan suatu kontrak atau MoU dengan Gubernemen Hindia Belanda yang
diwakili Gerge Muller. MoU ini dilakukan oleh kesultanan Kutai sebagai upaya
persoalan al-ahwal
melepaskan diri dari kekuasaan kesultanan Banjar yang menaklukan kerajaan Kutai
al-syakhsiyah – Kartanegara dengan bantuan pasukan kerajaan Demak pada masa pemerintahan
hukum kekeluargaan Pangeran Samudera (1595-1620) dan Kutai saat itu diperintah oleh Aji di Langgar
Islam – sampai (1610-1635).

persoalan jinayat Dalam MOU ini kesultanan Kutai berada di bawah protektorat Pemerintah
Belanda. Dan pihak gubernemen diberi hak atas: 1) pengaturan hukum; 2) mengatur
(pidana) dan bughot
bea cukai; 3) menaksir pajak kepala terhadap orang cina; dan hak eksploitasi tambang
(pemberontakan). emas dan lahan pertambangan lainnya. Kompensasinya kesultanan akan mendapat
ganti kerugian sebesar 8.000 real.65
Selanjutnya, akibat lemahnya pertahanan keamanan dan politis, maka kesultanan
Kutai pada akhirnya tepat tanggal 11 Oktober 1844 Sultan Aji Muhammad Salehuddin
harus menanda tangani perjanjian baru dengan pemerintah Hindia Belanda yang
isinya Sultan mengakui pemerintahan Belanda sebagai yang dipertuan, dan tunduk
kepada Gubernemen Hindia Belanda yang diwakili oleh Residen Borneo Selatan dan
Timur (Zuiden Oostkust van Borneo) yang berkedudukan di Banjarmasin.66

63 Pemkab. Kutai, Salasilah Kutai II, Pemkab Kutai, Tenggarong, 1979, hal 63
64 Murjani dkk, Eksistensi Agama Islam di Kabupaten Kutai, Laporan Penelitian, P3M STAIN, Tidak diterbitkan,
2001/2002, hal. 40
26 65 Gelora Mahakam …, Op.Cit., hal. 10
66 Pemkab. Kutai, Salasilah Kutai II, Pemkab Kutai, Tenggarong, 1979, hal. 4
SYAMINA Edisi 18 / Desember 2017

Penutup
Selain negara-negara Islam yang di bahas di atas masih ada beberapa negara Islam
yang tidak di bahas dalam tulisan ini. Diantaranya adalah Kesultanan Pontianak,
Kesultanan Sukadana, Kesultanan Pasir, Kesultanan Kotawaringin, Kesultanan
Berau, Kesultanan Sambaliung, Kesultanan Bulungan dan Kesultanan Gunung
Tabur. Kesultanan Pontianak didirikan oleh Pangeran Syarif Abdul Rahman al
Qadri, yang berasal dari Mempawah, pada Januari 1772.
Sedangkan Sukadana awalnya adalah kerajaan yang berada di bawah kekuasaan
Majapahit. Setelah Majapahit runtuh dan digantikan Demak, maka kerajaan
Sukadana menjadi bagian dari Negara Islam Kesultanan Demak. Pada masa
kekuasaan Demak inilah Islam mulai masuk dan berkembang di Sukadana dan
dipeluk oleh penduduknya. Pada tahun 1600 an daerah sepanjang pantai telah
diislamkan semuanya. Perkembangan Islam yang begitu pesat tidak lepas dari peran
seorang ulama yang bernama syekh Syamsudin. Saat itu Sukadana dipimpin oleh
Sultan Muhammad Safiudin (w.1677).
Sebelum penjajah Eropa datang ke Kalimantan, Negara-negara Islam yang
berbentuk kesultanan eksis di bumi Borneo, Kalimantan. Negara-negara tersebut
berdaulat, memiliki wilayah, rakyat dan membina hubungan dengan negara lain
-yang paling kelihatan adalah hubungan dagang.
Setelah meningkatnya kekuatan dan pengaruh bangsa Eropa dengan misi
kolonialismenya di wilayah Asia Tenggara, negara-negara di wilayah ini tidak mampu
mengimbangi tekanan yang di terima. Negara-negara tradisional tidak mampu
menghadapi kekuatan raksasa dunia dengan program penjajahan dan eliminasi
terhadap dunia Islam khususnya. Para elit gagal mengikuti perkembangan zaman
untuk mempertahankan eksistensi dan kedaulatan negaranya dari rongrongan
penjajah, terutama dalam hal militer dan strategi militernya. Karena sifat penjajahan
Eropa klasik saat itu lebih menekankan pada aspek penjajahan fisik, menundukkan
dengan kekuatan militer.
Sebelum kedatangan penjajah, semua negara Islam di Kalimantan yang dibahas
dalam tulisan ini memenuhi syarat disebut sebagai sebuah negara Islam. Ketika masa
penjajahan unsur-unsur kedaulatan negara-negara tersebut berusaha dipereteli satu
per satu. Satu hal yang mencolok dan dirampas pertama kali oleh para penjajah
adalah kedaulatan hukum. Sebuah negara Islam sudah tak berarti tanpa kedaulatan
untuk melaksanakan hukum Islam. Bukankan salah satu syarat sebuah negara bisa
disebut sebagai negara Islam adalah tegaknya hukum Islam. Hal itu tampaknya
disadari oleh para penjajah Eropa, sehingga yang pertama kali mereka jajah, yang
pertama dirampas dari negera-negara Islam di Kalimantan adalah kedaulan hukum.
Pemimpin dan rakyat dipaksa untuk menerima produk hukum Eropa dan pada saat
yang sama mencampakkan hukum Islam dari Kalimantan.

27
Edisi 18 / Desember 2017 SYAMINA

Daftar Pustaka
A. Daliman, Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia,
Penerbit Ombak Yogyakarta, 2012
A. Gazali Usman, “Pangeran Hidayatullah”(Banjarmasin: Kalimantan Scientie, 1988
A. Intan Cahyani, Hukum Keluarga Islam Di Brunei Darussalam, dalam Jurnal Al-
Qadāu Volume 2 Nomor 2/2015. http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/
al-qadau/article/view/2638/2489
Abdul Qadir Djaelani, Perang Sabil Versus Perang Salib Ummat Islam Melawan
Penjajah Kristen Portugis Dan Belanda, Penerbit: Yayasan Pengkajian Islam
Madinah Al-Munawwarah Jakarta 1420 H/1999 M
Acep Zoni Saeful Mubarak, Hukum Keluarga Islam di Negara Brunei Darussalam,
dalam Atho’ Mudzhar dan Khaeruddin Nasution [Editor], Hukum Keluarga di
Dunia Islam Moderen (Jakarta: Ciputat Press, 2003)
Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Gama Media, Yogyakarta,
2001
Ansar Rahman, dkk, Kabupaten Sambas – Sejarah Kesultanan dan Pemerintah
Daerah. Pontianak: Taurus-Semar Karya, 2001
Azzumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
XVII dan XVIII, Penerbit Mizan Bandung, 1994
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Rajawali Press Jakarta, 1997)
Dahlan Syahrani, Sejarah Masuknya Agama Islam di Kalimanatan Timur, Makalah,
disampaiakan dalam Seminar sejarah masuknya Islam di Kalimantan Timur,
Samarinda, 26-28 Nopember 1981.
Dato Dr. Haji Mahmud Saedon Awang Othman, Perlaksanaan Dan Pentadbiran
Undang-undang Islam di Negara Brunei Darussalam : Satu Tinjauan
Dep. Pendidikan dan Kebudayaan Kaltim, Wujud Arti dan Fungsi Puncak-puncak
Kebudayaan Lama dan Asli di Kalimantan Timur, Kanwil Dikbud Prov.
Kalimantan Timur, 1995/1996
Dr. Hajah Saadiah, Pentadbiran Undang-Undang Islam Di Negara Brunei Darussalam
Pada Zaman British, Universiti Brunei Darussalam, disampaikan dalam
Seminar Sejarah Brunei III Sempena Sambutan Hari Kebangsaan Negara
Brunei darussalam ke 22 Tahun 2006, pada 8-9hb March 2006M/ 8-9 Safar
1427H bertempat di Dewan Persidangan 2, Pusat Persidangan Antarabangsa,
Berakas, Brunei. www.bruneiresources.com/pdf/nd06_saadiah.pdf

28
SYAMINA Edisi 18 / Desember 2017

Edwar Jamaris, dkk, Naskah Undang-Undang dalam Sastra Indonesia Lama, Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdiknas Jakarta, 1981
Ensiklopedi Islam. PT Ichtiar Baru Van Hoeve Jakarta, 1992
H. R. Hughes-Hallet, A Sketch of the History of Brunei, JMBRAS, Vol. XV111, part 11,
1940
Hajah Masnon bt. Haji Ibrahim, Perlaksanaan Undang-undang Keluarga Islam di
Brunei dan Perbandingannya dengan Undang-Undang Keluarga Islam di
Sarawak, Tesis MA, Universiti Kebangsaaan Malaysia, 1988,
Haji Mahmud Saedon Awang Othman, Mahkamah Syari’ah di Negara Brunei
Darussalam dan Permasalahannya, dalam Jurnal Mimbar Hukum No.22 Tahun
VI, September-Oktober 1995
Harun Yahya, Kerajaan Islam Nusantara: Abad XVI Dan XVII, Penerbit Kurnia Kalam
Sejahtera Yogyakarta, 1995
Idwar Saleh, Pangeran Antasari, Proyek Infentaris Dokumentasi Sejarah Nasional,
1993
Inamulah khan (Ed), The World Muslim Gazeteer, International Islamic publisher
Delhi, 1992
Ira Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, PT Raja Grafindo Persada Jakarta, 1999
Ita Syamtasiyah Ahyat, Pangeran Hidayatullah Melawan Belanda: Kasus Perang
Banjarmasin (1859-1863), Departemen Sejarah, Fakulras Ilmu Pengetahuan
Budaya, Universitas Indonesia, makalah Prosiding The 5 th International
Conference on Indonesian Studies: “Ethnicity and Globalization”
Ita Syamtasiyah Ahyat, Perkembangan Islam di Kesultanan Banjarmasin,
SOSIOHUMANIKA: Jurnal Pendidikan Sains Sosial dan Kemanusiaan, 8 (1) Mei
2015, Minda Masagi Press Bandung, UNHAS Makassar, and UNIPA Surabaya,
Indonesia ISSN 1979-0112 website: www.sosiohumanika-jpssk.com.
J.J Ras, Hikayat Banjar a study in Malay Historiography (Leiden, 1968),
Joshua Gedacht, Holy War, Progress, and “Modern Mohammedans” in Colonial
Southeast Asia, in Journal Muslim Word, Volume 105, Number 4, October 2015
Kiaibondan, Amir Hasan. Suluh Sedjarah Kalimantan. Penerbit Fadja Bandjarmasin,
1953
Mario Inirgo Oki Menes Belo, Islam Di Kesultanan Sambas Kalimantan Barat 1600 –
1732, Skripsi Program Studi Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta 2016.
Murjani dkk, Eksistensi Agama Islam di Kabupaten Kutai, Laporan Penelitian, P3M
STAIN, Tidak diterbitkan, 2001/2002
Murjani, Interaksi Agama Dan Politik Hukum Kesultanan Kutai Kartanegara: Studi
Keagamaan Etnis Dayak – Kutai. 29
Edisi 18 / Desember 2017 SYAMINA

Nisa Ushulha, Kerajaan Banjar Dan Perang Banjar (1859-18905 M), Skripsi
Fakultas Adab Dan Humaniora Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Surabaya 2016,
Pemkab. Kutai, Salasilah Kutai II, Pemkab Kutai, Tenggarong, 1979
Poesponegoro, Sejarah Nasioanl Indonesia IV
Puguh Prasetyo, Penyebaran Agama Islam Di Indonesia, Program Studi
Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura Pontianak 2012.
Saifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia,
AlMa’arif Bandung, 1979
Setwilda Tk. II Kutai, Gelora Mahakam dalam Cuplikan Tulisan, Setwilda,
Tenggarong, 1999
Shaghir Abdullah, H.W. Muhd. Syekh Muh. Arsyad al-Banjari: Matahari Islam.
Seri Ulama Pengarang Asia Tenggara, Periode III. Banjarmasin 1990
Slamet Muljana, Sriwijaya. PT LKiS Pelangi Aksara 2006.
Soeri Soeroto, Perang Banjar, Departemen Ketahanan dan Keamanan Pusat
Sejarah ABRI Jakarta, 1973
Suriansyah Ideham, Urang Banjar dan Kebudayaannya, Badan Penelitian dan
Pengembangan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan dan Pustaka Benua,
Banjarmasin 2007
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Edisi II, Balai Pustaka Jakarta, 1995
W. H Treacher, “British Borneo : Sketches of Brunei, Sarawak, Labuan and North
Borneo”, JMBRAS , Vol. 20, 1880
Yusuf Halidi, Syekh Muhammad Al-Banjari Ulama Besar Kalimantan Selatan
Silsilah Raja -raja yang Berkuasa Pada Masa al-Banjari dari Lahir Hingga
Wafat, Al-Ihsan Surabaya, 1968

30

Anda mungkin juga menyukai