Anda di halaman 1dari 4

Sejak awal September 2017, saya ditempatkan di komite Pencegahan dan

Pengendalian Infeksi (PPI) yang berada dalam Satuan Penjaminan Mutu (SPM). Di
dalam SPM terbagi tiga komite, yaitu komite PPI, komite Keselamatan Pasien
(Patient Safety), dan komite Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Semua pegawai
yang ditempatkan di SPM adalah orang-orang yang masa kerjanya lebih dari 6 tahun.
Di PPI saya sebagai staf sekaligus Infection Prevention and Control Nurse (IPCN). Di
atas ketua komite PPI ada yang disebut ketua SPM yang selama 2 tahun terakhir
sudah 3 kali berganti tampuk kepemimpinan. Ketua SPM yang sebelumnya, bergaya
kepemimpinan partisipatif atau laissez faire yang dikombinasikan dengan demokratis.
Pada bulan Desember lalu, pimpinan kami diganti, dilihat dari segi usia beliau
pimpinan kami yang paling muda. Tapi jika dilihat dari gaya kepemimpinannya
beliau menggunakan gaya kepemimpinan otoriter yang berorientasi tugas (Weiss &
Tappen, 2015). Dia menggunakan kekuatan dan kontrol berlebihan, hanya percaya
pada dirinya sendiri, setiap perkataan yang beliau katakan harus dilakukan, beliau
sangat jarang mendengar apa yang kami katakan, hanya perkataan beliau yang benar.
Setiap selesai melakukan tugas kami harus membuat laporan dengan tenggat waktu 3
hari, hanya hasil yang dipedulikannya, tanpa peduli proses bagaimana kami
mengerjakannya. Namun, sayang sekali beliau tidak termasuk pemimpin yang berani
karena jika hasil laporan monitoring kami bagus, beliau yang mau presentasi ke
direktur, tapi jika hasilnya bermasalah beliau seringkali minta diwakilkan.

Analisis gaya kepemimpinan pimpinan di tempat kerja saya saat ini juga
bergaya otoriter karena dapat dilihat dari sikap keakuannya. Pemimpin ini selalu
menggunakan cara yang lebih dianggap cocok dan benar dari dirinya sendiri sehingga
segala sesuatu yang dilakukan olehnya sendiri pasti benar dan ide atau gagasan
karyawan atau bawahan tidak diakui (Huber, 2010). Setiap pemimpin sudah
seharusnya menjadi pusat mengambilan resiko pekerjaan apapun dengan tidak
menyalahkan bawahan (Faturahman, 2018). Seharusnya seorang pemimpin dapat
menjadi contoh yang baik dan bisa bertanggung jawab atas segala sesuatu yang
terjadi dalam organisasi yang dipimpinnya, tidak hanya ingin terlihat baik di depan
pemimpin yang lebih di atasnya (Weiss & Tappen, 2015). Gaya kepemimpinan
otoriter tidak cocok digunakan jika dilihat dari follower atau bawahannya yang sudah
cukup lama bergelut di bidangnya atau sudah ahli di bidangnya, tidak perlu lagi
diterus-menerus harus diarahkan. Sebaliknya menurut saya, gaya kepemimpinan
laissez faire yang dikombinasikan dengan demokratis yang cocok.

Tipe kepemimpinan otoriter biasanya berorientasi kepada tugas yang


diberikan. Artinya dengan tugas yang ada, maka kebijakan dari lembaganya ini akan
diproyeksikan dalam bagaimana ia memerintah kepada bawahannya ini akan
diproyeksikan tersebut dapat tercapai dengan baik (Faturahman, 2018). Bawahannya
hanya dipandang sebagai mesin yang dapat digerakan sesuai dengan kehendaknya
sendiri, inisiatif yang datang dari bawahan sama sekali tak pernah diperhatikan
(Schein, 2004). Jika seorang guru di kelas melaksanakan tipe kepemimpinan ini maka
jelas muridnya akan menjadi pasif dan inisiatifnya tidak berkembang dan gurulah
yang selalu paling benar (Wijayanti, 2010). Pemimpin otoriter berarti pemimpin
menganggap organisasi sebagai miliknya sendiri (Wijayanti, 2010). Ia bertindak
seperti diktator terhadap para anggota organisasinya dan menganggap mereka itu
sebagai bawahan dan hanya sebagai alat (Rohayani, 2013). Cara menggerakan para
anggota organisasi dengan unsur-unsur paksaan bahkan hingga berupa ancaman
hukum. Bawahan adanya hanya menurut dan menjalankan perintah atasan serta tidak
boleh membantah, karena pimpinan secara ini tidak mau menerima kritik, saran dan
pendapat (Miles & Scott, 2019). Rapat-rapat atau musyawarah dilakukan hanya untuk
menyampaikan instruksi-instruksi atau perintah (Miles & Scott, 2019). Tipe
kepemimpinan yang demokratis merupakan tipe kepemimpinan yang mengacu pada
hubungan (Faturahman, 2018). Gaya kepemimpinan ini mengutamakan hubungan
dengan yang dipimpinnya (Weiss & Tappen, 2015). Segala kebijaksanaan pemimpin
akan menjadi hasil musyawarah atau akan merupakan kumpulan ide yang konstruktif
(Faturahman, 2018). Pemimpin sebaiknya sering turun ke bawah guna menggunakan
informasi yang juga akan berguna untuk membuat kebijakan selanjutnya.
Tipe kepemimpinan yang demokratis ini meskipun memiliki kesamaan akan
tetapi harus dibedakan dengan tipe kepemimpinan yang laissez faire. Tipe
kepemimpinan yang laissez faire di dalamnya terdapat keterbatasan yang tak ada
batasnya sedangkan pada tipe kepemimpinan yang demokrastis itu tetap terdapat
keterikatan antara yang dipimpin dengan pemimpin guna mencapai tujuan organisasi
(Ginting & Haryati, 2012). Peningkatan kinerja karyawan adalah keharusan dalam
menghadapi semakin kompetitifnya persaingan dalam dunia pelayanan medis di
Indonesia. Semakin tinggi kinerja karyawan, maka semakin baik pula mutu pelayanan
terhadap pasien. Sedangkan menurut saya, untuk mencapai kinerja yang tinggi perlu
adanya gaya kepemimpinan yang sesuai dengan situasi di tempat kerja yang menjadi
salah satu penentu dalam menciptakan budaya berorganisasi.

DAFTAR PUSTAKA
Faturahman, B. M. (2018). Kepemimpinan dalam budaya organisasi. Kepemimpinan
Dalam Budaya Organisasi, Volume X(Nomor1 ISSN: 2085-143X), 1–11.

Ginting, R., & Haryati, T. (2012). Kepemimpinan dan Konteks Peningkatan Mutu
Pendidikan. Jurnal Ilmiah CIVIS, II(2).

Huber, D. L. (2010). Leadership and Nursing Care Management. (N. O’Brien, Ed.)
(4th ed.). Missouri: Elsevier.

Miles, J. M., & Scott, E. S. (2019). A New Leadership Development Model for
Nursing Education ☆. Journal of Professional Nursing, 35(1), 5–11.
https://doi.org/10.1016/j.profnurs.2018.09.009

Ratna Yulia Wijayanti. (2010). Pengaruh kepimpinan, motivasi, dan komitmen


organisasi terhadap kinerja PNS di linkungan organisasi DINAS pendidikan
Kabupaten Kudus. Analisis Manajemen, 4(2), 136–152.

Rohayani, L. (2013). Managemen keperawatan, Ilmu Keperawatan, Stikes Jenderal


Ahmad Yani Cimahi, Bandung,Jawa Barat. Hubungan Persepsi Perawat
Pelaksana Tentang Gaya Kepemimpinan Kepala Ruangan Dengan Kinerja
Perawat Pelaksana Dalam Melaksanakan Tindakan Keperawatan, 279–282.

Schein, E. H. (2004). Organizational Culture and Leadership. (J. Wiley, Ed.),


Journal of clinical pathology (Third Edit). San Fransisco: Jossey Bass. Retrieved
from
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/13481122%0Ahttp://www.pubmedcentral.
nih.gov/articlerender.fcgi?artid=PMC1024101

Weiss, S. A & Tappen, R. M. (2015). Essentials of Nursing Leadership and


Management. (M. Klim, Ed.) (Sixth Edit). Philadelphia: Davis Company.

Anda mungkin juga menyukai