Anda di halaman 1dari 40

SKENARIO 4

Oh my son... !

A boy called Thomas who is 12 years old came with this mother to the
primary health care complaining of itchy on the folded area of his elbow and his
knee since 2 weeks ago. Around those area were found some red spot, this
complaint comes and go since the age of one year old. Everytime the itches comes
he would go to the doctor and after he drinks the medicine the itches would soon
dissapear. Other than that, Thomas also suffered from asma when he was 6 years
old. His mother had a history of sneezing in the morning or when the weather gets
cold.

From the physical examination the doctor found erythematouse spot,


papule and plakat with erosion oh the fold area of both the elbow and knee. The
doctor then gave a topycal corticosteroid and oral antyhystamine. The patient was
then sugested to be consulted to the dermatologyst for a skin prick test.

1
BAB I
KLARIFIKASI ISTILAH

1.1 Plakat

Peninggian yang solid dengan permukaan yang kasar dan lebar


dibandingkan tingginya terhadap permukaan kulit. Terjadi karena penyebaran
papul atau penyatuan beberapa paul (Djuanda,2011).

1.2 Erosi

Erosi adalah kelainan kulit yang disebabkan kehilangan jaringan yang


tidak melampaui stratum basalis pada epidermis. Sebagai contoh bila digaruk
sampai stratum spinosum akan keluar cairan serosa dari bekas garukan
(Boediardja, 2016).

1.3 Eritema

Eritema adalah perubahan warna kulit menjadi berwarna kemerahan


(Siregar,2004).

2
BAB II
IDENTIFIKASI MASALAH

2.1 Mengapa pasien mengeluhkan gatal pada lipatan siku dan lutut sejak 2
minggu yang lalu?
2.2 Mengapa keluhan tersebut kambuh - kambuhan?
2.3 Bagaimana hubungan RPD dan RPK pasien dengan keluhan sekarang?
2.4 Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan fisik?
2.5 Mengapa dokter memberikan obat kortikosteroid topikal dan antihistamin
oral?
2.6 Mengapa pasien disarankan untuk melakukan skin prick test?
2.7 Apakah kemungkinan diagnosis banding pada kasus tersebut?

3
BAB III
CURAH PENDAPAT

3.1 Mengapa pasien mengeluhkan gatal pada lipatan siku dan lutut sejak
2 minggu yang lalu?

Di dalam kompartemen dermo-epidermal dapat berlangsung respon imun


yang melibatkan sel Langerhans (SL) epidermis, limfosit, eosinofil dan sel mas.
Bila suatu antigen (bisa berupa alergen hirup, alergen makanan, autoantigen
ataupun super antigen) terpajan ke kulit individu dengan kecenderungan atopi,
maka antigen tersebut akan mengalami proses : ditangkap IgE yang ada pada
permukaan sel mas atau IgE yang ada di membran SL epidermis. Bila antigen
ditangkap IgE sel mas (melalui reseptor FcεRI), IgE akan mengadakan cross
linking dengan FcεRI, menyebabkan degranulasi sel mast dan akan keluar
histamin dan faktor kemotaktik lainnya. Reaksi ini disebut reaksi hipersensitif tipe
cepat (immediate type hypersensitivity). Pada pemeriksaan histopatologi akan
nampak sebukan sel eosinofil. Selanjutnya antigen juga ditangkap IgE, sel
Langerhans (melalui reseptor FcεRI, FcεRII dan IgE-binding protein), kemudian
diproses untuk selanjutnya dengan bekerjasama dengan MHC II akan
dipresentasikan ke nodus limfa perifer (sel Tnaive) yang mengakibatkan reaksi
berkesinambungan terhadap sel T di kulit, akan terjadi diferensiasi sel T pada
tahap awal aktivasi yang menentukan perkembangan sel T ke arah TH1 atau TH2.
Sel TH1 akan mengeluarkan sitokin IFN-γ, TNF, IL-2 dan IL-17, sedangkan sel
TH2 memproduksi IL-4, IL-5 dan IL-13. Meskipun infiltrasi fase akut DA
didominasi oleh sel TH2 namun kemudian sel TH1 ikut berpartisipasi. Jejas yang
terjadi mirip dengan respons alergi tipe IV tetapi dengan perantara IgE sehingga
respons ini disebut IgE mediated-delayed type hypersensitivity. Pada pemeriksaan
histopatologi nampak sebukan sel netrofil. Selain dengan SL dan sel mas, IgE
juga berafinitas tinggi dengan FcεRI yang terdapat pada sel basofil dan terjadi
pengeluaran histamin secara spontan oleh sel basofil. Garukan kronis dapat
menginduksi terlepasnya TNF α dan sitokin pro inflamasi epidermis lainnya yang
akan mempercepat timbulnya peradangan kulit (Correa, 2012).

4
3.2 Mengapa keluhan tersebut kambuh - kambuhan?

Sawar epidermis terletak pada stratum korneum berfungsi sebagai lapisan


kulit terluar. Stratum korneum berfungsi mengatur permeabilitas kulit dan
mempertahankan kelembaban kulit, melindungi kulit dari mikroorganisme dan
radiasi ultraviolet, menghantarkan rangsang mekanik dan sensorik. Lapisan ini
terbentuk dari korneosit yang dikelilingi lipid, yang terdiri dari ceramide,
kolesterol, dan asam lemak bebas. Ceramide berikatan kovalen dengan selubung
korneosit membentuk sawar yang menghalangi hilangnya air dari lapisan kulit.
Hidrasi korneosit juga dipengaruhi oleh produksi natural moisturizing factor
(NMF) yang berasal dari pemecahan filagrin dalam korneosit menjadi asam amino
(Correa, 2012).
Pada pasien tersebut ditemukan mutasi gen filagrin sehingga mengganggu
pembentukan protein yang esensial untuk pembentukan sawar kulit. Gangguan
fungsi sawar epidermis ini menyebabkan gangguan permeabilitas dan pertahanan
terhadap mikroorganisme. Transepidermal water loss (TEWL) menjadi lebih
tinggi pada pasien tersebut dibandingkan pada kulit normal karena kandungan
lipid stratum korneum pada penderita juga berubah. Jumlah dan kandungan
ceramide jenis tertentu berkurang dan susunan lipid di stratum korneum juga
berubah. Selain itu, ukuran korneosit pada kulit penderita tersebut jauh lebih kecil
dibandingkan korneosit kulit normal (gambar 1). Semuanya menyebabkan bahan-
bahan iritan, alergen, dan mikroba mudah masuk ke dalam kulit. Selain itu, pada
penderita terjadi defek respons imun bawaan (innate immunity) yang
menyebabkan pasien lebih rentan terhadap infeksi virus dan bakteri. Pada fase
awal respons sel T didominasi oleh T helper 2 (Th2) tetapi selanjutnya terjadi
pergeseran dominasi menjadi respons Th1 yang berakibat pada pelepasan
kemokin dan sitokin proinfl amasi, yaitu interleukin (IL) 4, 5, dan tumor necrosis
factor yang merangsang produksi IgE dan respons inflamasi sistemik. Akibatnya,
terjadi pruritus pada kulit pasien (Watson, 2011).

5
3.3 Bagaimana hubungan RPD dan RPK pasien dengan keluhan
sekarang?

Anak tersebut menderita asma pada usia 6 tahun dan sang ibu memliki
riwayat rinitis alergi. Ditinjau dari keluhan sekarang pasien, ini merupakan pola
trias atopik. Trias atopik terdiri dari kelainan alergi berupa asma, rinitis alergi, dan
dermatitis atopik. Hal ini akan selalu beriringan pada suatu keluarga.

Sekitar 90% pasien DA akan sembuh saat mencapai pubertas, sepertiganya


menjadi rinitis alergika dan sepertiga yang lain berkembang menjadi asma (Jamal,
2007).

Selain itu, penelitian lain di Inggris juga menunjukkan bahwa anak laki-
laki mempunyai risiko lebih tinggi untuk mempunyai Dermatitis Atopik (Morgan,
2004). Hubungan antara jenis kelamin dan asma bervariasi sesuai usia. Pada masa
awal anak-anak, kejadian asma lebih sering terjadi pada anak laki-laki, namun
pada usia lebih tua kejadian asma seimbang antara anak laki-laki dan perempuan
(Asher, 2006).

3.4 Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan fisik?

Pada skenario ini ditemukan pemeriksaan fisik sebagai berikut :

6
a. Eritema : kemerahan pada kulit yang disebabkan oleh pelabaran
pembuluh darah kapiler yang reversible
b. Papul dan plakat : terjadi kare adanya peradangan yang sebagian besar
terjadi di dermis kemudian komponen-komponen tersebut membentuk
massa yang solid
c. Erosi : terjadi karena adanya trauma sehingga terjadi pemisahan
lapisan epidrmis dengan laserasi rupture vesikel atau bula dan nekrosis
epidermal.

3.5 Mengapa dokter memberikan obat kortikosteroid topikal dan


antihistamin oral?

Disini, alasan mengapa dokter memilih kortikosteroid topikal sebagai


terapi, karena mengurangi sintesis kolagennya, membuat vasokonstriksi sehingga
mengurangi terjadinya eritema, dan menyebkan antimitosis (sintesis DNA). Dan
mengapa memilih sediaan topikal, karena vehikulum yang dipilih sudah sesuai
dengan kasus.

Cara kerja kortikosteroid:

Kortikosteroid menembus membran sel Nukleus menstimulasi RNA


dan protein spesifik berikatan dengan kromatin sel mengalami perubahan
menyebabkan tidak ada pelepasan mediator inflamasi tidak ada reaksi rasang
tidak ada kemotaksis sel – sel radang tidak ada proliferasi sel. Hal tersebut,
menyebabkan hilangnya rasa gatal, nyeri (Syarief dkk, 2012).

Alasan mengapa dokter memilih antihistmine oral, karena mengurangi


rasa gatal. Disini antihistmine yang dipakai adalah generasi I. Dimana cara
kerjanya menghentikan pengeluaran antihstamine, sehingga permeabilitas
berkurang, sehingga muncul gatal dan papul. AH1 menghambat efek histamin
pada pembuluh darah, bronkus, & bermacam-macam otot polos. Selain itu AH1
bermanfaat untuk mengobati reaksi hipersensitivitas atau keadaan lain yang
disertai pelepasan histamin endogen berlebihan. Pada otot polos, menghambat
keja histamin otot polos (usus, bronkus). Menghambat bronko konstriksi akibat
efek histamin pada bronkus. Permeabilitas kapiler, AH1 dapat menghambat secara

7
efektif peninggian permeabilitas kapiler & udem akibat histamine (Syarief dkk,
2012).

Antihistamin H1 merupakan inhibitor kompetitif terhadap histamin.


Antihistamin dan histamin saling berlomba menempati reseptor histamin. Blokade
reseptor H1 oleh antihistamin H1 tidak diikuti aktivasi reseptor H1, tetapi hanya
mencegah agar histamin tidak berikatan dengan reseptor H1, sehingga tidak
terjadi efek biologik misalnya kontraksi otot polos, vasodilatasi, dan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah. Antihistamin H1 bukan hanya sebagai antagonis
tetapi juga sebagai inverse agonist yang dapat menurunkan aktivitas konstitutif
reseptor H1 atau menurunkan aktivitas reseptor H1 yang diinduksi agonis (Lázar,
2004).

3.6 Mengapa pasien disarankan untuk melakukan skin prick test?

Skin prick test ini adalah tes kulit pada alergi ini untuk menentukan
macam alergen sehingga di kemudian hari bisa dihindari dan juga untuk
menentukan dasar pemberian imunoterapi. Selain itu terdapat pula indikasi untuk
skin prick test, yaitu :

a. Rinitis alergi : Apabila gejala tidak dapat dikontrol dengan


medikamentosa sehingga diperlukan kepastian untuk mengetahui jenis
alergen maka di kemudian hari alergen tsb bisa dihindari.
b. Asthma : Asthma yang persisten pada penderita yang terpapar
alergen (perenial).
c. Kecurigaan alergi terhadap makanan. Dapat diketahui makanan
yang menimbulkan reaksi alergi sehingga bisa dihindari.
d. Kecurigaan reaksi alergi terhadap sengatan serangga
(MayoClinicstaff, 2005).

3.7 Apakah kemungkinan diagnosis banding pada kasus tersebut?


Berdasarkan keluhan dan gambaran klinis, diagnosis kerja pasien
mengarah ke penyakit dermatitis atopik. Pada awalnya diagnosis dermatitis atopik

8
didasarkan atas berbagai fenomena klinis yang tampak, terutama gejala gatal.
George Rajka menyatakan bahwa diagnosis dermatitis atopik tidak dapat dibuat
tanpa adanya riwayat gatal. Hanifin Rajka telah membuat kriteria diagnosis untuk
dermatitis atopik yang didasarkan pada kriteria mayor dan minor yang sampai
sekarang masih banyak digunakan.

Terdapat sejumlah penyakit kulit inflamasi, imunodefisiensi, penyakit


genetik, penyakit infeksi, dan infestasi yang mempunyai gejala dan tanda yang
sama dengan dermatitis atopik. Dermatitis atopik didiagnosis banding dengan
dermatitis seboroik, dermatitis kontak, dermatitis numularis, skabies, iktiosis,
psoriasis, dematitis herpetiformis, sindrom Sezary danpenyakit Letterer-Siwe.
Pada bayi, dapat pula didiagnosis banding dengan sindromWiskott-Aldrich dan
sindrom hiper IgE. (Watson, 2011)

9
BAB IV

KERANGKA KONSEP

Thomas
Laki -
laki
12
RPD RPK
Asma sejak usia Ibunya menderita
6 tahun rhinitis alergi

Atopi diturunkan
secara genetik
melalui
kromosom

IgE, eusinofil
meningkat
Pelepasan Histamin

Reaksi
Hipersensitivitas tipe I

RPS
 Gatal sejak 2
minggu yang lalu
Pemeriksaan Pemeriksaan Fisik:
 Gatal di lipat siku
Penunjang: dan lutut bercak eritematosa,
Skin prick test  Bercak mera papul, plakat, erosi
 Kambuh –
kambuhan

DD
Dermatitis Atopik
Dermatitis Kontak Alergi
Dermatitis Kontak Iritan

Diagnosis
Utama:

Penatalaksanaan:
Famakologi
Kortikosteroid topikal
dan Antihistamin oral

10
BAB V
TUJUAN PEMBELAJARAN

5.1 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan mengenai sistem


imunologi
5.2 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan mengenai Dermatitis
Atopi
5.3 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan mengenai Dermatitis
Kontak Alergi (DKA)
5.4 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan mengenai Dermatitis
Kontak Iritan (DKI)

11
BAB VI
BELAJAR MANDIRI

12
BAB VII
HASIL BELAJAR

7.1 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan mengenai sistem


imunologi

Kebutuhan tubuh dipertahankan oleh system pertahanan yang terdiri atas


system imun non spesifik (natural/innate) dan spesifik (adaptive/acquired).
1. SISTEM IMUN NON SPESIFIK
Sistem imun non spesifik merupakan pertahanan tubuh terdepan dalam
menghadapi serangan berbagai mikroorganisme, karena system imun spesifik
membutuhkan waktu sebelum dapat memberikan responsnya. Sistem tersebut
disebut non spesifik, karena tidak ditujukan terhadap mikroorganisme tertentu.
Komponen-komponen imun non spesifik terdiri atas :
a. Pertahanan fisik dan mekanis
- kulit
- selaput lender
- silia
- batuk
- bersin
b. Pertahanan biokimia
- asam lambung
- lisozim
- laktoferin
- asam neurominik
c. Pertahanan humoral
- komplemen
- interferon
- C reactive Protein (CRP)
d. Pertahanan selular
- fagosit (mononuclear, seperti monosit dan makrofag)
- Sel Nol (Sel NK/ Natural Killer Cell dan Killer Cell atau sel K)

13
- Sel Mediator (basofil, mastosit, dan trobosit)

PERTAHANAN HUMORAL NON SPESIFIK


Komplemen mengaktifkan fagosit dan membantu destruksi bakteri dan
parasit dengan jalan opsonisasi. Kejadian tersebut adalah fungsi system imun
spesifik, tetapi dapat pula terjadi atas pengaruh respon imun spesifik.
Interferon adalah suatu glikoprotein yang dihasilkan berbagai sel manusia
yang mengandung nucleus dan dilepas sebagai respons terhadap infeksi virus.
Interferon mempunyai sifat antivirus dengan jalan mengiduksi sel-sel sekitar sel
yang telah terserang virus tersebut. Disamping itu, interferon dapat pula
mengakibatkan natural killer cell / sel NK untuk membunuh virus dan sel
neoplasma.
CRP dibentuk tubuh pada keadaan infeksi. Perannya ialah sebagai opsonin
dan dapat mengaktifkan komplemen.

2. SISTEM IMUN SPESIFIK


Berbda dengan system imun non spesifik, system imun spesifik mmpunyai
kemampuan untuk mengenal benda yang dianggap asing bagi dirinya. Benda
asing yang pertama timbul dalam badan yang segera dikenal system imun
spesifik, akan mensensitisasi sel-sel imun tersebut. Bila system sel imun tersebut
terpajan ulang dengan benda asing yang sama, yang akhir akan dikenal lebih cepat
dan dihancurkannya.Oleh karena itu system tersebut disebut spesifik. Sistem imun
spesifik dapat bekerja sendiri untuk menghancurkan benda asing yang berbahaya
bagi badan, tetapi pada umumnya terjalinkerja sama yang baik antara antibody,
komplemen, fagosit dan antara sel T-makrofag. Oleh karena komplemen turut
diaktifkan, repon imun yang terjadi sering disertai dengan reaksi inflamasi.

SISTEM IMUN SPESIFIK HUMORAL


Yang berperan dalam system imun spesifik humoral adalah limfosit B atau
sel B. Sel B tersebut berasal dari sel asal multipoten. Pada unggas sel asal tersebut
berdifferensiasi menjadi sel B didalam alat yang disebut bursa fabricius yang
letaknya dekat kloaka. Bila sel B dirangsang benda asing, sel tersebuit akan

14
berproliferasi dan berdifferensiasi menjadi sel plasma yang dapat membentuk
antibody. Antibodi yang dilepas dapat dimukan didalam serum. Serum fungsi
utama antibody ialah mempertahankan tubuh terhaadap infeksi bakteri, virus dan
netralisasi toksin.
Antibodi atau Immunoglobulin (Ig) adalah golongan protein yang dibentuk
sel plasma (proliferasi sel B) akibat kontak dengan antigen. Antibodi mengikat
antigen yang menimbulkannya secara spesifik. Bila serum protein tersebut
dipisahkan secara elektroforesis, Ig ditemukan terbanyak dalam fraksi globulin γ
meskipun ada beberapa yang ditemukan juga dalam fraksi globulin α dan β.
Semua molekul Ig mempunyai 4 polpeptid dasar yang terdiri atas 2 rantai berat
(heavy chain) dan 2 rantai ringan (light chain) yang identik, dihubungkan satu
dengan lainnya oleh ikatan disulfide.
1. IgG
IgG merupakan komponen utama immunoglobulin serum, dengan
berat molekul 160.000. Kadarnya dalam serum yang sekitar 13 mg/mL
merupakan 75 % dari semua Ig. IgG ditemukan juga dalam berbagai cairan
lain diantaranya CSF dan urine. IgG dapat menembus plasenta dan masuk
ke fetus dan berperan pada imunitas bayi sampaiumur 6-9 bulan. IgG dapat
mngaktifkan komplemen, meningkatkan pertahanan badan melalui
opsonisasi dan reaksi inflamasi. Ig G mempunyai sifat opsonin yang
efektif oleh karena monosit dan makrofag yang memiliki reseptor untuk
fraksi Fc dari IgG yang dapat mempererat hubungan antara fagosit dengan
sel sasaran. Selanjutnya opsonisasi dibantu reseptor untuk komplemen
pada permukaan fagosit. IgG mempunyai 4 subkelas yaitu Ig1, Ig2, Ig3
dan Ig4. Ig4 dapat diikat oleh sel mast dan basofil
2. IgA
IgA ditemukan dalam jumlah sedikit dalam serum, tetapi kadarnya
dalam sekresi saluran nafas, saluran cerna, saluran kmih, airmata, keringat,
ludah dan kolostrum lebih tinggi sebagai IgA sekretori. Baik IgA dalam
seru maupun dalam secret dapat menetralisasi toksin atau virus dan atau
mencegah kontak antara toksin/virus dengan alat sasaran. Sekretori IgA

15
diproduksi lebih dulu daripada IgA dalam serum dan tidak menembus
plasenta
3. IgM
IgM mempunyai rumus bangun pentamer dan merupakan Ig terbesar.
Molekul-molekul tersebut diikat rantai γ pada fraksi Fc. Kebanyakan sel B
mempunyai IgM pada permukaannya sebagai reseptor antigen. IgM
dibentuk paling dahulu pada respon imun primer tetapi tidak dapat
berlangsung lama, karena itu kadar IgM yang tinggi merupakan tanda
adanya infeksi dini. Bayi yang baru dilahirkan hanya mempunyai IgM
10% dari kadar IgM orang dewasa oleh karena IgM tidak menembus
plasenta. Fetus umur 12 minggu sudah dapat membentuk IgM bila sel B
nya dirangsang oleh infeksi intra uterine, seerti sifilis congenital, rubella,
toksoplasmosis, dan virus sitomegalo. Kadar IgM anak mencapai kadar
IgM dewasa pada usia satu tahun. Kebanyakan antibody alamiah seperti
isoaglutinin, golongan darah AB, antibody heterofil adalah IgM. IgM
dapat mencegah gerakan mikroorganisme pathogen, mempermudah
fagositosis dan merupakan aglutinator kuat terhadap butir antigen. IgM
juga merupakan antibody yang dapat mengikat komplemen dengan kuat
dan tidak menembus plasenta.
4. IgD
IgD ditemukan dengan kadar yang sangat rendah dalam darah. IgD
tidak mengikat komplemen, mempunyai aktivitas antibody terhadap
antigen berbagai makanan dan autoantigen seperti komponen nucleus.
Selanjutnya IgD ditemukan bersama IgM pada permukaan sel B sebagai
reseptor antigen.
5. IgE
IgE ditemukan dalam serum dalam jumlah yang sangat sedikit. IgE
mudah diikat sebagai mastosit, basofil, eosinofil, makrofag, dan trombosit
yang pada permukaannnya memiliki reseptor untuk fraksi Fc dari IgE. IgE
dibentuk juga setempat oleh sel plasma dalam selaput lender saluran nafas
dan cerna. Kadar IgE serum yang tinggi ditemukan pada alergi, infeksi
cacing, skistomiasis, penyakit hidatid, trikinosis. Kecuali pada alergi, IgE

16
diduga juga berperan pada imunitas parasit. IgE pada alergio dikenal
sebagai antibody regain (Baratawidjaya, 2006).

7.2 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan mengenai Dermatitis


Atopik

1. Definisi Dermatitis Atopik


Dermatitis atopik adalah penyakit kulit inflamasi yang khas, bersifat kronis
dan sering terjadi kekambuhan (eksaserbasi) terutama mengenai bayi dan anak-
anak dapat pula terjadi pada orang dewasa. Penyakit ini biasanya disertai dengan
peningkatan kadar IgE dalam serum serta adanya riwayat rinitis alergika dan asma
pada keluarga maupun penderita (Kariosentono, 2006).

2. Epidemiologi Dermatitis Atopik


Dermatitis atopik merupakan penyakit kulit yang sering menyerang anak-
anak dengan prevalensi pada anak-anak 10-20%, dan prevalensi pada orang
dewasa 1-3% di Amerika, Jepang, Eropa, Australia, dan negara industri lain.
Sedangkan pada negara agraris seperti Cina dan Asia Tengah prevalensi
dermatitis atopi lebih rendah. Di Indonesia, angka prevalensi kasus dermatitis
atopik menurut Kelompok Studi Dermatologi Anak (KSDAI) yaitu sebesar
23,67% dimana dermatitis atopic menempati menempati peringkat pertama dari
10 besar penyakit kulit anak. Dermatitis atopik lebih sering terjadi pada wanita
daripada laki-laki dengan ratio kira-kira 1,3:1 (Sularsito , 2011).
Pada anak, sekitar 45% kasus dermatitis atopic muncul dalam 6 bulan
pertama kehidupan, 60% muncul dalam tahun pertama kehidupan, dan 85% kasus
muncul sebelum usia 5 tahun. Dermatitis atopik sering dimulai pada awal masa

17
pertumbuhan (early-onset dermatitis atopic). Sekitar 45% kasus dermatitis atopic
anak muncul dalam 6 bulan pertama kehidupan, 60% muncul dalam tahun
pertama kehidupan, dan 85% kasus muncul sebelum usia 5tahun. Sebagian besar
yaitu 70% kasus penderita dermatitis atopik anak, akan mengalami remisi spontan
sebelum dewasa. Namun penyakit ini juga dapat terjadi pada saat dewasa (late
onset dermatitis atopic ) (Bieber, 2010 ).
Dermatitis atopik cenderung diturunkan. Bila seorang ibu menderita atopi
maka lebih dari seperempat anaknya akan menderita Dermatitis atopik pada 3
bulan pertama. Bila salah satu orang tua menderita atopi maka lebih separuh
anaknya menderita alergi sampai usia 2 tahun dan bila kedua orang tua menderita
atopi, angka ini meningkat sampai 75 % (Sularsito , 2011).

3. Etiologi dan Patogenesis Dermatitis Atopik


Faktor-faktor yang dapat memicu eksaserbasi gejala DA adalah suhu panas,
keringat, kelembapan, bahan-bahan iritan misalnya sabun dan deterjen, infeksi
misalnya Staphylococci, virus, Pityrosporum, Candida, dan dermatofita,
makanan, bahan-bahan yang terhirup (inhalan), alergen kontak, stres emosional.
Meskipun masih kontroversi, alergi makanan terdapat pada sepertiga anak-anak
DA. Secara umum, makin muda usia pasien DA dan makin berat penyakitnya,
makin besar kemungkinan peran alergi makanan pada eksaserbasi penyakit ini.
Pencetus gatal yang umum pada pasien DA : (Schneider, 2013)

18
Tidak semua pasien DA akan tercetus oleh setiap stimulus di atas. Sebagian
pasien DA akan mengalami eksaserbasi oleh beberapa pencetus tetapi tidak oleh
pencetus yang lain (Schneider, 2013).
Patogenesis DA belum sepenuhnya dipahami tetapi diduga merupakan
interaksi faktor genetik, disfungsi imun, disfungi sawar epidermis, dan peranan
lingkungan serta agen infeksius (Watson, 2011).
Fungsi sawar epidermis terletak pada stratum korneum sebagai lapisan kulit
terluar. Stratum korneum berfungsi mengatur permeabilitas kulit dan
mempertahankan kelembaban kulit, melindungi kulit dari mikroorganisme dan
radiasi ultraviolet, menghantarkan rangsang mekanik dan sensorik. Lapisan ini
terbentuk dari korneosit yang dikelilingi lipid, yang terdiri dari ceramide,
kolesterol, dan asam lemak bebas. Ceramide berikatan kovalen dengan selubung
korneosit membentuk sawar yang menghalangi hilangnya air dari lapisan kulit.
Hidrasi korneosit juga dipengaruhi oleh produksi natural moisturizing factor
(NMF) yang berasal dari pemecahan filagrin dalam korneosit menjadi asam amino
(Correa, 2012).
Pada penderita DA ditemukan mutasi gen filagrin sehingga mengganggu
pembentukan protein yang esensial untuk pembentukan sawar kulit. Gangguan
fungsi sawar epidermis ini menyebabkan gangguan permeabilitas dan pertahanan
terhadap mikroorganisme. Transepidermal water loss (TEWL) menjadi lebih
tinggi pada DA dibandingkan pada kulit normal karena kandungan lipid stratum
korneum pada DA juga berubah. Jumlah dan kandungan ceramide jenis tertentu
berkurang dan susunan lipid di stratum korneum juga berubah. Selain itu, ukuran
korneosit pada kulit pasien DA jauh lebih kecil dibandingkan korneosit kulit
normal. Semuanya menyebabkan bahan-bahan iritan, alergen, dan mikroba mudah
masuk ke dalam kulit. Agen infeksius yang paling sering terdapat pada kulit DA
adalah Staphylococcus aureus yang membuat koloni pada 90% pasien DA
(Watson, 2011).
Selain itu, pada DA terjadi defek respons imun bawaan (innate immunity)
yang menyebabkan pasien DA lebih rentan terhadap infeksi virus dan bakteri.
Pada fase awal DA respons sel T didominasi oleh T helper 2 (Th2) tetapi
selanjutnya terjadi pergeseran dominasi menjadi respons Th1 yang berakibat pada

19
pelepasan kemokin dan sitokin proinflamasi, yaitu interleukin (IL) 4, 5, dan tumor
necrosis factor yang merangsang produksi IgE dan respons infl amasi sistemik.
Akibatnya, terjadi pruritus pada kulit pasien DA (Watson, 2011).

4. Manifestasi Klinis Dermatitis Atopik


Gejala utama dermatitis atopik adalah gatal/pruritus yang muncul sepanjang
hari dan memberat ketika malam hari yang dapat menyebabkan insomnia dan
penurunan kualitas hidup. Rasa gatal yang hebat menyebabkan penderita
menggaruk kulitnya sehingga memberikan tanda bekas garukan (scratch mark)
yang akan diikuti oleh kelainan-kelainan sekunder berupa papula, erosi atau
ekskoriasi dan selanjutnya akan terjadi likenifikasi bila proses menjadi kronis.
Gambaran lesi eksematous dapat timbul secara akut (plak eritematosa, prurigo
papules, papulovesikel), subakut (penebalan dan plak ekskoriasi), dan kronik
(likenifikasi). Lesi eksematous dapat menjadi erosif bila terkena garukan dan
terjadi eksudasi yang berakhir dengan lesi berkrustae. Lesi kulit yang sangat basah
(weeping) dan berkrusta sering didapatkan pada kelainan yang lanjut (Bieber,
2010 ).
Gambaran klinis dermatitis atopic dibagi menjadi 4 tipe berdasarkan
lokaliasasinya terhadap usia : (Sularsito, 2011)
1. Dermatitis Atopik Infantil (0-1 tahun)
Dermatitis atopi sering muncul pada tahun pertama kehidupan dan dimulai
sekitar usia 2 bulan. Jenis ini disebut juga milk scale karena lesinya menyerupai
bekas susu. Lesi berupa plak eritematosa, papulo-vesikel yang halus, dan menjadi
krusta akibat garukan pada pipi dan dahi. Rasa gatal yang timbul menyebabkan
anak menjadi gelisah, sulit tidur, dan sering menangis. Lesi eksudatif, erosi, dan
krusta dapat menyebabkan infeksi sekunder dan meluas generalisata dan menjadi
lesi kronis dan residif.
2. Dermatitis Atopik pada Anak (1- 4 tahun)
Dapat merupakan kelanjutan bentuk infantile atau timbul sendiri. Pada
umumnya lesi berupa papul eritematosa simetris dengan ekskoriasi, krusta kecil,
dan likenifikasi. Lesi dapat ditemukan di bagian fleksura dan ekstensor
ekstremitas, sekitar mulut, kelopak mata, tangan dan leher.

20
3. Dermatitis Atopik pada Anak (4- 16 tahun)
Pada usia 4-16 tahun dapat dijumpai dermatitis pada tubuh bagian atas dan
wajah. Umumnya muncul dermatitis yang simetris pada area fleksura, tangan, dan
kaki.
4. Dermatitis Atopik pada Dewasa (4-16 tahun)
Pada orang dewasa, lesi dermatitis kurang karakteristik, dapat di wajah,
tubuh bagian atas, fleksura, bibir dan tangan. Lesi kering, papul datar, plak
likenifikasi dengan sedikit skuama, dan sering terjadi ekskoriasi dan eksudasi
karena garukan. Terkadang dapat berkembang menjadi eritroderma. Stres dapat
menjadi faktor pencetus karena saat stres nilai ambang rasa gatal menurun.
Dermatitis atopik dapat disertai berbagai kelainan seperti hiperlinearis
palmaris, xerosis kutis, iktiosis, pomfoliks, ptiriasis alba, keratosis pilaris, tanda
Hertoghe, keilitis, liken spinulosus, dan keratokonus (Sularsito, 2011).
5. Penegakan Diagnosis Dermatitis Atopik
Tidak ada pemeriksaan laboratorium atau gambaran histologik yang spesifi
k untuk menegakkan diagnosis DA. Dengan demikian, anamnesis dan
pemeriksaan fi sik menjadi dasar penegakan diagnosis DA. Peningkatan kadar IgE
ditemukan pada 80% pasien DA, tetapi hasil serupa juga dapat ditemukan pada
keadaan atopik lain. Uji tusuk kulit (skin prick test/SPT) atau pemeriksaan IgE
spesifi k yang hasilnya positif hanya menunjukkan adanya sensitisasi terhadap
alergen bersangkutan, tetapi tidak berarti secara langsung menjadi penyebab.
Hasil positif dapat digunakan sebagai panduan dokter untuk mempertimbangkan
kemungkinan pencetus pada pasien. Pemeriksaan biopsi kulit juga tidak spesifik
dan hanya menunjukkan hiperkeratotik dengan inflamasi perivaskular (Jamal,
2007).
Diagnosis DA ditegakkan jika terdapat paling sedikit 3 kriteria mayor dan 3
kriteria minor yaitu : (Jamal, 2007)

21
6. Tatalaksana Dermatitis Atopik
Perbaikan sawar kulit dengan perawatan kulit yang baik sangat penting
untuk mengontrol DA. Fungsi sawar kulit diperbaiki dengan hidrasi yang baik dan
aplikasi pelembab. Disarankan berendam di air hangat selama kurang lebih 10
menit, memakai sabun dengan pelembab (moisturizing cleanser), diikuti aplikasi
pelembab segera setelah mandi. Untuk mengeringkan kulit disarankan
menggunakan handuk lembut dengan menekan lembut saja dan tidak menggosok
kulit. Emolien melembutkan kulit dan mengurangi gatal, menciptakan lapisan
minyak diatas kulit yang dapat memerangkap air dibawahnya. Perbaikan sawar ini
mencegah penetrasi bahan-bahan iritan, alergen dan bakteri. Emolien dapat berupa
losion, krim, dan ointment. Ointment paling efektif sebagai emolien, tetapi banyak
orang lebih menyukai krim atau losion. Produk emolien yang kaya ceramide
sangat berguna mempertahankan kelembapan kulit. Jika memakai tabir surya,
emolien diaplikasikan setengah jam sebelum memakai tabir surya. Dermatitis
atopik ringan sering kali membaik hanya dengan pemakaian emolien, tetapi pada
keadaan inflamasi akut, dibutuhkan tambahan steroid topikal yang dapat
digunakan sebelum penggunaan emolien agar efektivitasnya tidak berkurang
(Watson, 2011).

22
Steroid topikal masih menjadi pilihan utama untuk mengatasi DA. Namun
steroid topikal tidak dapat menggantikan peranan emolien yang diaplikasikan
berulang untuk memperbaiki sawar kulit. Potensi steroid yang digunakan bersifat
individual, bergantung pada derajat dermatitis, lokasi dermatitis, luas permukaan
kulit yang terkena, dan usia pasien. Risiko efek samping bergantung pada potensi
steroid yang digunakan, jumlah steroid yang digunakan, penggunaan oklusi, luas
area yang terlibat, dan keutuhan kulit. Penetrasi steroid paling tinggi pada wajah
dan genitalia, paling rendah pada telapak tangan dan telapak kaki. Antiinflamasi
lain sebagai lini kedua adalah takrolimus dan pimekrolimus topikal untuk anak
berusia 2 tahun atau lebih dan dewasa. Preparat tar memiliki efek antiinflamasi
dan antipruritik, dapat digunakan sendiri atau bersama steroid. Preparat tar
berbentuk sampo, sabun cair, dan krim, tidak terlalu iritatif dibandingkan preparat
tar berbentuk gel yang dapat mengandung alkohol (Jamal, 2007).
Takrolimus dan pimekrolimus adalah preparat imunomodulator topikal yang
baru mulai digunakan pada tahun 2002 untuk mengobati DA. Ini sebagai lini
kedua penanganan DA derajat sedang hingga berat pada pasien imunokompeten
berusia 2 tahun atau lebih, untuk jangka pendek dan tidak terus menerus.
Antihistamin oral digunakan untuk mengontrol gatal. Antihistamin sedatif
misalnya hydroxyzine, diphenhydramine, chlorpheniramine, (Jamal, 2007).

7. Komplikasi Dermatitis Atopik


Barier kulit yang rusak, respon imun yang abnormal, penurunan produksi
peptida antimikrob aendogen, semua presdiposisi mempengaruhi penderita
dermatitis atopik terkena infeksi sekunder. Infeksi kutan ini dapat menimbulkan
lebih resiko yang serius pada bayi dan pada waktu mendatang akan berpotensi
untuk infeksi sistemik. Penderita dermatitis atopik juga sangat rentan dengan
infeksi virus, yang paling berbahaya adalah herpes simplex dengan penyebaran
luas dapat mengakibatkan ekzema hepetikum yang dapat terjadi pada semua usia.
Komplikasi pada mata juga dihubungkan dengan dermatitis kelopak mata dan
blepharitis kronis yang umumnya terkait dengan dermatitis atopik dan dapat
mengakibatkan gangguan penglihatan dari jaringan parut kornea.
Keratokonjungvitis atopik biasanya bilateral dan dapat memiliki symptom seperti

23
rasa gatal dan terbakar pada mata, mata berair dan mengeluarkan diskret yang
mukoid (Watson, 2011).

8. Prognosis Dermatitis Atopik


Sebagian besar pasien DA akan membaik dengan tatalaksana yang tepat.
Meskipun demikian, pasien dan orang tua pasien harus memahami bahwa
penyakit ini tidak dapat sembuh sama sekali. Eksaserbasi diminimalkan dengan
strategi pencegahan yang baik. Sekitar 90% pasien DA akan sembuh saat
mencapai pubertas, sepertiganya menjadi rinitis alergika dan sepertiga yang lain
berkembang menjadi asma. Prognosis buruk jika riwayat keluarga memiliki
penyakit serupa, onset lebih awal dan luas, jenis kelamin perempuan, dan
bersamaan dengan rinitis alergika dan asma (Watson, 2011).
7.3 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan mengenai Dermatitis
Kontak Alergi

1. Definisi
Dermatitis kontak alergi tidak berhubungan dengan atopi. DKA
merupakan reaksi hipersensitivitas tipe lambat, atau reaksi imunologi tipe IV,
dimediasi terutama oleh limfosit yang sebelumnya tersensitisasi, yang
menyebabkan peradangan dan edema pada kulit(Holgate,dkk., 2006).

2. Epidemiologi
Epidemiologi DKA sering terjadi. Penyakit ini terhitung sebesar 7% dari
penyakit yang terkait dengan pekerjaan di Amerika Serikat. Berdasarkan beberapa
studi yang dilakukan, insiden dan tingkat prevalensi DKA dipengaruhi oleh
alergen-alergen tertentu. Dalam data terakhir, lebih banyak perempuan (18,8%)
ditemukan memiliki DKA dibandingkan laki-laki (11,5%). Namun, harus
dipahami bahwa angka ini mengacu pada prevalensi DKA dalam populasi (yaitu,
jumlah individu yang potensial menderita DKA bila terkena alergen), dan ini
bukan merupakan angka insiden (yaitu, jumlah individu yang menderita DKA
setelah jangka waktu tertentu). Tidak ada data yang cukup tentang epidemiologi
dermatitis kontak alergi di Indonesia, namun berdasarkan penelitian pada penata
rias di Denpasar, sekitar 27,6 persen memiliki efek samping kosmetik, dimana 25,
4 persen dari angka itu menderita DKA (Belsito,2003).

24
3. Etiologi
Penyebab dermatitis kontak alergik (DKA) adalah alergen, paling sering
berupa bahan kimia sederhana dengan berat molekul kurang dari 500-1000 Da,
yang juga disebut hapten, bersifat lipofilik, sangat reaktif, dan dapat menembus
stratum korneum. Dermatitis yang timbul dipengaruhi oleh potensi sensitisasi
alergen, derajat pajanan, dan luasnya penetrasi di kulit, lama pajanan, suhu dan
kelembaban lingkungan, vehikulum, dan pH. Faktor individu juga ikut berperan,
misalnya keadaan kulit pada lokasi kontak (utuh, terluka, kering, tebal epidermis
bergantung pada lokasinya) dan status imunologik (sedang sakit, atau terpajan
matahari). Sekitar 25 bahan kimia yang tampaknya memberi pengaruh terhadap
sebanyak setengah dari semua kasus DKA. Ini termasuk nikel, pengawet,
pewarna, dan parfum (JamesWD, 2006).

4. Patofisiologi

a. Fase sensitisasi

Alergen atau hapten diaplikasikan pada kulit dan diambil oleh sel
Langerhans. Antigen akan terdegradasi atau diproses dan terikat pada Human
Leucocyte Antigen-DR (HLA- DR), dan kompleks yang diekspresikan pada
permukaan sel Langerhans. Sel 5 Langerhans akan bergerak melalui jalur limfatik
ke kelenjar regional, dimana akan terdapat kompleks yang spesifik terhadap sel T
dengan CD4-positif. Kompleks antigen- HLA-DR ini berinteraksi dengan reseptor
T-sel tertentu (TCR) dan kompleks CD3. Sel Langerhans juga akan mengeluarkan
Interleukin-1 (IL-1). Interaksi antigen dan IL-1 mengaktifkan sel T. Sel T
mensekresi IL-2 dan mengekspresikan reseptor IL-2 pada permukaannya. Hal ini
menyebabkan stimulasi autokrin dan proliferasi sel T spesifik yang beredar di
seluruh tubuh dan kembali ke kulit(MarksJG,dkk., 2002).

b. Tahap elisitasi

Setelah seorang individu tersensitisasi oleh antigen, sel T primer atau


memori dengan antigen-TCR spesifik meningkat dalam jumlah dan beredar
melalui pembuluh darah kemudian masuk ke kulit. Ketika antigen kontak pada
kulit, antigen akan diproses dan dipresentasikan dengan HLA-DR pada

25
permukaan sel Langerhans. Kompleks akan dipresentasikan kepada sel T4
spesifik dalam kulit (atau kelenjar, atau keduanya), dan elisitasi dimulai.
Kompleks HLA-DR-antigen berinteraksi dengan kompleks CD3-TCR spesifik
untuk mengaktifkan baik sel Langerhans maupun sel T. Ini akan menginduksi
sekresi IL-1 oleh sel Langerhans dan menghasilkan IL-2 dan produksi IL-2R oleh
sel T. Hal ini menyebabkan proliferasi sel T. Sel T yang teraktivasi akan
mensekresi IL-3, IL- 4, interferon-gamma, dan granulocyte macrophage colony-
stimulating factor (GMCSF). Kemudian sitokin akan mengaktifkan sel
Langerhans dan keratinosit. Keratinosit yang teraktivasi akan mensekresi IL-1,
kemudian IL-1 mengaktifkan phospolipase. Hal ini melepaskan asam arakidonik
untuk produksi prostaglandin (PG) dan leukotrin (LT). PG dan LT menginduksi
aktivasi sel mast dan pelebaran pembuluh darah secara langsung dan pelepasan
histamin yang melalui sel mast. Karena produk vasoaktif dan chemoattractant, sel-
sel dan protein dilepaskan dari pembuluh darah. Keratinosit yang 6 teraktivasi
juga mengungkapkan intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) dan HLA-DR,
yang memungkinkan interaksi seluler langsung dengan sel-sel darah
(MarksJG,dkk., 2002).

5. Penegakkan diagnosis

a. Anamnesis

Perempuan lebih sering mengalami DKA daripada laki-laki, dan ada


peningkatan insiden dengan bertambahnya usia. Riwayat awal pasien terkena
penyakit ini yang pada akhirnya akan dievaluasi sebagai DKA merupakan standar
anamnesa dermatologi. Riwayat dimulai dengan diskusi tentang penyakit ini dan
fokus pada tempat timbulnya masalah dan agen topikal yang digunakan untuk
mengobati masalah. Riwayat penyakit kulit, atopi, dan kesehatan umum juga
secara rutin diselidiki. Gambaran klinis DKA tergantung pada jenis alergen yang
menyebabkan. Biasanya, dermatitis terjadi pada lokasi aplikasi alergen tetapi
penyebaran dermatitis juga mungkin terjadi. Dalam anamnesis riwayat pasien,
penting untuk mempertimbangkan pekerjaan, rumah tangga, dan kemungkinan
paparan terhadap alergen saat bepergian, dan juga tentu saja waktu, lokalisasi,

26
alergen sebelumnya diidentifikasi, diatesis topik, perawatan kulit, kosmetik, dan
obat topikal maupun sistemik (MarksJG,dkk.,2002).

b. Pemeriksaan Fisik

Penampilan klinis DKA dapat bervariasi tergantung pada lokasi dan


durasi. Pada kebanyakan kasus, erupsi akut ditandai dengan makula dan papula
eritema, vesikel, atau bula, tergantung pada intensitas dari respon alergi. Namun,
dalam DKA akut di daerah tertentu dari tubuh, seperti kelopak mata, penis, dan
skrotum, eritema dan edema biasanya mendominasi dibandingkan vesikel. Batas-
batas dermatitis umumnya tidak tegas. DKA pada wajah dapat mengakibatkan
pembengkakan periorbital yang menyerupai angioedema. Pada fase subakut,
vesikel kurang menonjol, dan pengerasan kulit, skala, dan lichenifikasi dini bisa
saja terjadi. Pada DKA kronis hampir semua kulit muncul scaling, lichenifikasi,
dermatitis yang pecah-pecah (membentuk fisura), dengan atau tanpa
papulovesikelisasi yang menyertainya. DKA tidak selalu tampak eksema, ada
varian noneksema yang mencakup lichenoid kontak, eritema multiformis (EM),
hipersensitivitas kontak kulit seperti selulitis, leukoderma kontak, purpura kontak,
dan erythema dyschromicum perstans. Dari jumlah tersebut, varian lichenoid dan
EM terlihat paling sering. Daerah kulit yang berbeda juga berbeda dalam
kemudahan tersensitisasi. Tekanan, gesekan, dan keringat merupakan faktor yang
tampaknya meningkatkan sensitisasi. Kelopak mata, leher, dan alat kelamin
adalah salah satu daerah yang paling mudah peka, sedangkan telapak tangan,
telapak kaki, dan kulit kepala lebih resisten (MarksJG,dkk.,2002).

c. Pemeriksaan Penunjang
 Uji Tempel atau Patch Test (In Vivo)

Uji tempel digunakan untuk mendeteksi hipersensitivitas terhadap zat


yang bersentuhan dengan kulit sehingga alergen dapat ditentukan dan tindakan
korektif dapat diambil. Uji tempel merupakan pemeriksaan untuk konfirmasi dan
diagnostik tetapi hanya dalam 8 kerangka anamnesis dan pemeriksaan fisik, uji
tempel ini jarang membantu jika tanpa anamnesis dan pemeriksaan fisik. Uji
tempel dapat diadministrasikan dengan thin-layer rapid-use epicutaneous (TRUE)

27
atau dengan ruang aluminium yang disiapkan tersendiri (Finn) dimana dipasang
pada tape Scanpor. Zat uji biasanya diaplikasikan pada punggung atas, meskipun
jika hanya satu atau dua yang diterapkan, lengan luar atas juga dapat digunakan.
Tempelan dihapus setelah 48 jam (atau lebih cepat jika gatal parah atau terbakar
pada kulit) kemudian dibaca. Kulit yang ditempel ini perlu dievaluasi lagi pada
hari ke-4 atau 5, karena reaksi positif mungkin tidak muncul sebelumnya
(Belsito,2003).

 Provocative Use Test

Pemeriksaan ini akan mengkonfirmasi reaksi uji tempel yang mendekati


positif terhadap bahan-bahan dari zat, seperti kosmetik. Pemeriksaan ini juga
digunakan untuk menguji produk-produk untuk kulit. Bahan digosok ke kulit
normal pada bagian dalam lengan atas beberapa kali sehari selama lima hari
(Belsito,2003).
 Uji Photopatch
Uji photopatch digunakan untuk mengevaluasi fotoalergi kontak terhadap
zat seperti sulfonamid, fenotiazin, p-aminobenzoic acid, oxybenzone, 6-metil
kumarin, musk ambrette, atau tetrachlorsalicylanilide. Sebuah uji tempel standar
diterapkan selama 24 jam, hal ini kemudian terekspos 5 sampai 15 J/m2 dari
ultraviolet-A dan dibaca setelah 48 jam(Belsito,2003).
 Tes in Vitro
Tes in vitro dan tes pada hewan untuk diagnosis DKA telah menerima
banyak perhatian dalam dekade terakhir. Laboratorium studi seperti transformasi
limfosit atau inhibisi makrofag telah dievaluasi sebagai pengukuran DKA pada
manusia dan hewan. Masalah utama dalam mengembangkan sistem in vitro
adalah kurangnya pengetahuan tentang 9 apa yang merupakan bagian antigenik
dari suatu bahan kimia tertentu. Meskipun pada uji tempel in vivo, di mana kulit
dapat memproses alergen untuk presentasi, saat ini tetap menjadi "standar baku"
masih ada prospek menarik dalam pengujian in vitro di masa depan(Belsito,2003).

6. Penatalaksanaan

a. Pencegahan

28
Menghindari Alergen Setelah kemungkinan penyebab masalah
dermatologi pasien telah ditentukan oleh uji tempel, sangat penting untuk
menyampaikan informasi ini kepada pasien dengan cara yang mudah dimengerti.
Ini melibatkan penjelasan cermat terhadap bahan yang mengandung alergen.
Namun, untuk beberapa bahan kimia (seperti nikel dan kromium logam),
penghindaran langsung setelah sekali sensitisasi tidak selalu menghasilkan
perbaikan gejala. Secara keseluruhan, prognosis untuk alergi akibat kerja ini
buruk. Dengan demikian, menghindari alergen yang sudah pernah terpapar sekali
adalah pencegahan yang tidak memadai. Selain itu, menasihati pekerja dengan
DKA untuk meninggalkan posisi mereka saat ini mungkin bukan saran terbaik,
terutama jika perubahan pekerjaan akan menghasilkan dampak ekonomi yang
signifikan buruk(Belsito,2003).

b. Pengobatan

Terapi Gejala Bahan pengering seperti aluminium sulfat topikal, kalsium


asetat bermanfaat untuk vesikel akut dan erupsi yang basah, sedangkan erupsi
likenifikasi paling baik ditangani dengan emolien. Pruritus dapat dikontrol dengan
antipruritus topikal atau antihistamin oral, antihistamin topikal atau anestesi
sebaiknya dihindari karena risiko merangsang alergi sekunder pada kulit yang
sudah mengalami dermatitis. Pengobatan dengan agen fisikokimia yang
mengurangi respon juga mungkin diperlukan. Glukokortikoid, macrolaktam, dan
radiasi ultraviolet yang paling banyak digunakan. Individu dengan DKA akibat
kerja yang secara ekonomi tidak mampu untuk berhenti bekerja dengan alergen
dan yang juga tidak dapat bekerja dengan sarung tangan atau krim pelindung,
dapat mengambil manfaat dari terapi UVB atau PUVA(Belsito,2003).

7. Prognosis
Individu dengan dermatitis kontak alergi dapat memiliki dermatitis
persisten atau kambuh, terutama jika bahan yang mereka alergi tidak dapat
diidentifikasi atau jika mereka terus menggunakan perawatan kulit yang tidak lagi
sesuai (yaitu, mereka terus menggunakan bahan kimia untuk mencuci kulit
merekadan tidak menggunakan emolien untuk melindungi kulit mereka). Semakin

29
lama seorang individu mengalami dermatitis yang parah, semakin lama dermatitis
dapat disembuhkan setelah penyebabnya terindentifikasi. Beberapa individu
memiliki dermatitis persisten diikuti dermatitis kontak alergi, yang tampaknya
benar terutama pada individu yang alergi terhadap krom. Masalah yang khusus
adalah neurodermatitis (lichen simpleks chronicus), di mana individu berulang
kali menggosok atau menggaruk daerah awalnya terpengaruh oleh dermatitis
kontak alergi. Tes TRUE dapat memberikan informasi dasar yang akurat tentang
alergen yang sering menyebabkan DKA(Hogan,2009).

7.4 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan mengenai Dermatitis


Kontak Iritan

1. Definisi

Dermatitis kontak iritan adalah efek sitotosik lokal langsung dari bahan
iritan baik fisika maupun kimia, yang bersifat tidak spesifik, pada sel-sel
epidermis dengan respon peradangan pada dermis dalam waktu dan konsentrasi
yang cukup (Health and Safety Executive, 2004).

2. Epidemiologi

Dermatitis kontak iritan (DKI) dapat diderita oleh semua orang dari
berbagai golongan umur, ras dan jenis kelamin. Jumlah penderita DKI
diperkirakan cukup banyak terutama yang berhubungan dengan pekerjaan (DKI
akibat kerja), namun dikatakan angkanya secara tepat sulit diketahui. Hal ini
disebabkan antara lain oleh banyaknya penderita dengan kelainan ringan tidak
datang berobat, atau bahkan tidak mengeluh (Djuanda, 2011). Di Amerika, DKI
sering terjadi pada pekerjaan yang melibatkan kegiatan mencuci tangan atau
paparan berulang pada kulit terhadap air, bahan makanan atau iritan lainnya.
Pekerjaan yang berisiko tinggi meliputi pembatu rumah tangga, pelayan rumah
sakit, tukang masak, dan penata rambut. Prevalensi dermatitis tangan karena
pekerjaan ditemukan sebesar 55,6% di intensive care unit dan 69,7% pada pekerja
yang sering terpapar (dilaporkan dengan frekuensi mencuci tangan >35 kali setiap
pergantian). Penelitian menyebutkan frekuensi mencuci tangan >35 kali setiap

30
pergantian memiliki hubungan kuat dengan dermatitis tangan karena pekerjaan
(odds ratio 4,13) (Hogan, 2009).

Di Jerman, angka insiden DKI adalah 4,5 setiap 10.000 pekerja, dimana
insiden tertinggi ditemukan pada penata rambut (46,9 kasus per 10.000 pekerja
setiap tahunnya), tukang roti dan tukang masak (Hogan, 2009). Berdasarkan jenis
kelamin, DKI secara signifikan lebih banyak pada perempuan dibanding laki-laki.
Tingginya frekuensi ekzem tangan pada wanita dibanding pria karena faktor
lingkungan, bukan genetik (Hogan, 2009).

3. Etiologi

Penyebab munculnya DKI adalah bahan yang bersifat iritan, misalnya


bahan pelarut, deterjen, minyak pelumas, asam alkali, serbuk kayu, bahan abrasif,
enzim, minyak, larutan garam konsentrat, plastik berat molekul rendah atau bahan
kimia higroskopik. Kelainan kulit yang muncul bergantung pada beberapa faktor,
meliputi faktor dari iritan itu sendiri, faktor lingkungan dan faktor individu
penderita (Djuanda, 2011).

Iritan adalah substansi yang akan menginduksi dermatitis pada setiap


orang jika terpapar pada kulit dalam konsentrasi yang cukup, pada waktu yang
sufisien dengan frekuensi yang sufisien. Masing-masing individu memiliki
predisposisi yang berbeda terhadap berbagai iritan, tetapi jumlah yang rendah dari
iritan menurunkan dan secara bertahap mencegah kecenderungan untuk
menginduksi dermatitis. Fungsi pertahanan dari kulit akan rusak baik dengan
peningkatan hidrasi dari stratum korneum (suhu dan kelembaban tinggi, bilasan
air yang sering dan lama) dan penurunan hidrasi (suhu dan kelembaban rendah).
Efek dari iritan merupakan concentration-dependent, sehingga hanya mengenai
tempat primer kontak (Safeguards, 2000).

Pada orang dewasa, DKI sering terjadi akibat paparan terhadap bahan yang
bersifat iritan, misalnya bahan pelarut, detergen, minyak pelumas, asam, alkali,
dan serbuk kayu. Kelainan kulit yang terjadi selain ditentukan oleh ukuran
molekul, daya larut, konsentrasi, vehikulum, serta suhu bahan iritan tersebut, juga
dipengaruhi oleh faktor lain. Faktor yang dimaksud yaitu lama kontak, kekerapan

31
(terus-menerus atau berselang), adanya oklusi menyebabkan kulit lebih
permeabel, demikian pula gesekan dan trauma fisis. Suhu dan kelembaban
lingkungan juga berperan (Safeguards, 2000).

Faktor lingkungan juga berpengaruh pada dermatitis kontak iritan,


misalnya perbedaan ketebalan kulit di berbagai tempat menyebabkan perbedaan
permeabilitas; usia (anak dibawah umur 8 tahun lebih muda teriritasi); ras (kulit
hitam lebih tahan daripada kulit putih), jenis kelamin (insidensi dermatitis kontak
alergi lebih tinggi pada wanita), penyakit kulit yang pernah atau sedang dialami
(ambang rangsang terhadap bahan iritan turun), misalnya dermatitis atopik
(Safeguards, 2000).

Sistem imun tubuh juga berpengaruh pada terjadinya dermatitis ini. Pada
orang-orang yang immunocompromised, baik yang diakibatkan oleh penyakit
yang sedang diderita, penggunaan obat-obatan, maupun karena kemoterapi, akan
lebih mudah untuk mengalami dermatitis kontak (Hogan, 2009).

4. Patogenesis

Kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel yang disebabkan oleh bahan
iritan melalui kerja kimiawi atau fisis. Bahan iritan merusak lapisan tanduk,
denaturasi keratin, menyingkirkan lemak lapisan tanduk dan mengubah daya ikat
air kulit. Kebanyak bahan iritan (toksin) merusak membran lemak keratinosit
tetapi sebagian dapat menembus membran sel dan merusak lisosom, mitokondria
atau komplemen inti (Safeguards, 2000).

Kerusakan membran mengaktifkan fosfolipase dan melepaskan asam


arakidonat (AA), diasilgliserida (DAG), faktor aktivasi platelet, dan inositida
(IP3). AA dirubah menjadi prostaglandin (PG) dan leukotrien (LT). PG dan LT
menginduksi vasodilatasi, dan meningkatkan permeabilitas vaskuler sehingga
mempermudah transudasi komplemen dan kinin. PG dan LT juga bertindak
sebagai kemotraktan kuat untuk limfosit dan neutrofil, serta mengaktifasi sel mast
melepaskan histamin, LT dan PG lain, dan PAF, sehingga memperkuat perubahan
vaskuler (Djuanda, 2011).

32
DAG dan second messenger lain menstimulasi ekspresi gen dan sintesis
protein, misalnya interleukin-1 (IL-1) dan granulocyte macrophage-colony
stimulating factor (GM-CSF). IL-1 mengaktifkan sel T-helper mengeluarkan IL-2
dan mengekspresi reseptor IL-2 yang menimbulkan stimulasi autokrin dan
proliferasi sel tersebut. Keratinosit juga mengakibatkan molekul permukaan
HLADR dan adesi intrasel (ICAM-1). Pada kontak dengan iritan, keratinosit juga
melepaskan TNF-α, suatu sitokin proinflamasi yang dapat mengaktifasi sel T,
makrofag dan granulosit, menginduksi ekspresi molekul adesi sel dan pelepasan
sitokin (Safeguards, 2000).

Rentetan kejadian tersebut menimbulkan gejala peradangan klasik di


tempat terjadinya kontak di kulit tergantung pada bahan iritannya. Ada dua jenis
bahan iritan, yaitu: iritan kuat dan iritan lemah. Iritan kuat akan menimbulkan
kelainan kulit pada pajanan pertama pada hampir semua orang dan menimbulkan
gejala berupa eritema, edema, panas, dan nyeri. Sedangkan iritan lemah hanya
pada mereka yang paling rawan atau mengalami kontak berulang-ulang, dimulai
dengan kerusakan stratum korneum oleh karena delipidasi yang menyebabkan
desikasi dan kehilangan fungsi sawar, sehingga mempermudah kerusakan sel
dibawahnya oleh iritan. Faktor kontribusi, misalnya kelembaban udara, tekanan,
gesekan, dan oklusi, mempunyai andil pada terjadinya kerusakan tersebut
(Djuanda, 2011).

5. Gejala Klinis

Gejala klinis dermatitis iritan dibedakan atas dermatitis kontak iritan akut
dan dermatitis iritan kronik.

a. Dermatitis kontak iritan akut

Reaksi ini bisa beraneka ragam dari nekrosis (korosi) hingga


keadaan yang tidak lebih daripada sedikit dehidrasi (kering) dan
kemerahan. Kekuatan reaksi tergantung dari kerentanan individunya dan
pada konsentrasi serta ciri kimiawi kontaktan, adanya oklusi dan lamanya
serta frekuensi kontak (Safeguards, 2000).

33
Satu kali kontak yang pendek dengan suatu bahan kimiawi kadang-
kadang sudah cukup untuk mencetuskan reaksi iritan. Keadaan ini
biasanya disebabkan oleh zat alkali atau asam, ataupun oleh detergen. Uap
dan debu alkali dapat menimbulkan rekasi iritan pada wajah. Jika lemah
maka reaksinya akan menghilang secara spontan dalam waktu singkat.
Luka bakar kimia merupakan reaksi iritan yang terutama terjadi ketika
bekerja dengan zat-zat kimia yang bersifat iritan dalam konsentrasi yang
cukup tinggi (Safeguards, 2000).

Kontak yang berulang-ulang dengan zat iritan sepanjang hari akan


menimbulkan fissura pada kulit (chapping reaction), yaitu berupa
kekeringan dan kemerahan pada kulit, akan menghilang dalam beberapa
hari setelah pengobatan dengan suatu pelembab. Rasa gatal dapat pula
menyertai keadaan ini, tetapi yang lebih sering dikeluhkan pasien adalah
rasa nyeri pada bagian yang mengalami fissura. Meskipun efek kumulatif
diperlukan untuk menimbulkan reaksi iritan, namun hilnganya dapat
terjadi spontan kalau penyebabnya ditiadakan (Djuanda, 2011).

b. Dermatitis kontak iritan kronis

DKI kronis disebabkan oleh kontak dengan iritan lemah yang


berulangulang, dan mungkin bisa terjadi oleh karena kerjasama berbagai
macam faktor. Bisa jadi suatu bahan secara sendiri tidak cukup kuat
menyebabkan dermatitis iritan, tetapi bila bergabung dengan faktor lain
baru mampu. Kelainan baru nyata setelah berhari-hari, berminggu-minggu
atau bulan, bahkan bisa bertahun-tahun kemudian. Sehingga waktu dan
rentetan kontak merupakan faktor paling penting (Djuanda, 2011).

Gejala klasik berupa kulit kering, eritema, skuama, lambat laun kulit
tebal dan terjadi likenifikasi, batas kelainan tidak tegas. Bila kontak terus
berlangsung maka dapat menimbulkan retak kulit yang disebut fisura.
Adakalanya kelainan hanya berupa kulit kering dan skuama tanpa eritema,
sehingga diabaikan oleh penderita. Setelah kelainan dirasakan
mengganggu, baru mendapat perhatian (Djuanda, 2011).

34
9. Histopatologis

Gambaran histopatologis DKI tidak mempunyai karakteristik. Pada DKI


akut (oleh iritan primer), dalam dermis terjadi vasodilatasi dan sebukan sel
mononuklear di sekitar pembuluh darah dermis bagian atas. Eksositosis di
epidermis diikuti spongiosis dan edema intrasel dan akhirnya menjadi nekrosis
epidermal. Pada keadaan berat, kerusakan epidermis dapat menimbulkan vesikel
atau bula. Di dalam vesikel atau bula ditemukan limfosit atau neutrofil. Pada DKI
kronis dijumpai hiperkeratosis dengan area parakeratosis, akantosis dan
perpanjangan rete ridges (Hogan, 2009).

10. Diagnosis

Diagnosis DKI didasarkan anamnesis yang cermat dan pengamatan


gambaran klinis. DKI akut lebih mudah diketahui karena munculnya lebih cepat
sehingga penderita pada umumnya masih ingat apa yang menjadi penyebabnya.
Sebaliknya DKI kronis timbul lambat serta mempunyai variasi gambaran klinis
yang luas, sehingga kadang sulit dibedakan dengan DKA. Untuk ini diperlukan uji
tempel dengan bahan yang dicurigai (Djuanda, 2011).

11. Pengobatan

Upaya pengobatan DKI yang terpenting adalah menghindari pajanan


bahan iritan, baik yang bersifat mekanik, fisis atau kimiawi serta menyingkirkan
faktor yang memperberat. Bila dapat dilakukan dengan sempurna dan tanpa
komplikasi, maka tidak perlu pengobatan topikal dan cukup dengan pelembab
untuk memperbaiki kulit yang kering (Djuanda, 2011).

Apabila diperlukan untuk mengatasi peradangan dapat diberikan


kortikosteroid topikal. Pemakaian alat perlindungan yang adekuat diperlukan bagi
mereka yang bekerja dengan bahan iritan sebagai upaya pencegahan (Djuanda,
2011).

12. Komplikasi

Adapun komplikasi DKI adalah sebagai berikut:

35
a. DKI meningkatkan risiko sensitisasi pengobatan topikal

b. Lesi kulit bisa mengalami infeksi sekunder, khususnya oleh S. aureus

c. Neurodermatitis sekunder (liken simpleks kronis) bisa terjadi terutapa


pada pekerja yang terpapar iritan di tempat kerjanya atau dengan stres
psikologik

d. Hiperpigmentasi atau hipopigmentasi post inflamasi pada area terkena


DKI

e. Jaringan parut muncul pada paparan bahan korosif atau ekskoriasi.

13. Prognosis

Prognosis baik pada individu non atopi dimana DKI didiagnosis dan
diobati dengan baik. Individu dengan dermatitis atopi rentan terhadap DKI
(Hogan, 2009).

Bila bahan iritan tidak dapat disingkirkan sempurna, prognosisnya kurang


baik, dimana kondisi ini sering terjadi pada DKI kronis yang penyebabnya
multifaktor (Djuanda, 2011).

36
BAB VIII

PENUTUP

8.1 Kesimpulan
Dermatitis atopik ialah keadaan peradangan kulit kronis dan residif,
disertai gatal, yang berhubungan dengan atopi. Kata “atopi” yaitu istilah
yang dipakai untuk sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai
riwayat kepekaan dalam keluarganya, misalnya : asma bronchial, rinitis
alergik, konjungtivitis alergik dan dermatitis atopik. Penyebabnya ialah
ditemukan Riwayat stigmata atopi (herediter) berupa asma bronchial, rinitis
alergik, dermatitis atopic dalam keluarganya, peningkatan jumlah IgE dalam
serum, penurunan Imunitas seluler dan respons terhadap reaksi
hipersensitivitas tipe lambat, sehingga berakibat meningkatnya kerawanan
terhadap infeksi virus, bakteri, dan jamur, alergi terhadap berbagai alergen,
kelembaban rendah, keringat berlebihan, dan bahan iritan, faktor psikologik.
Gejala utama dermatitis atopik ialah gatal (pruritus). Akibat garukan akan
terjadi kelainan kulit yang bermacam-macam, misalnya papul, likenifikasi
dan lesi ekzematosa berupa eritema, papulo-vesikel, erosi, ekskoriasi, dan
krusta. Dermatitis atopik dapat terjadi pada masa bayi (infantil), anak,
maupun remaja dan dewasa. Diagnosis Dermatitis atopik ditegakkan
berdasarkan gambaran klinis dan adanya riwayat atopik (dalam keluarga
maupun sendiri).
8.2 Saran

Pada tutorial kali ini mahasiswa dapat membahas dengan baik skenario
yang disajikan. Sedikit motivasi akan membuat performa mahasiswa lebih baik
lagi pada skenario-skenario selanjutnya.

37
DAFTAR PUSTAKA

Asher MI, Grant C. Epidemiology of Asthma. Dalam: Chernick V, Boat TF,


Wilmott RW, Bush A, penyunting. Disorders of the respiratory tract in
children. Edisi ke-7. Philadelphia: Saunders; 2006. h. 762-85.

Baratawidjaya K G. Imunologi Dasar. Edisi ke 7. Jakarta : Balai Penerbit


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006.

Belsito DV. Allergic Contact Dermatitis. Dalam: Freedberg IM, Eisen AZ,
Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI (eds). Fitzpatrick’s
Dermatology in General Medicine. 6th ed. New York: The McGraw-
Hill; 2003

Boediardja, S. 2016. Morfologi Kulit dan Cara Membuat Diagnosis. dalam


Buku Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Jakarta: Fakultas Kedokeran
Univesitas Indonesia

Bieber T. Atopic dermatitis. J Ann Dermatol [online]. Mei 2010 [cited 2015
January]; 22(2): 125-137. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles /PMC2883413/

Correa MCM, Nebus J. Management of Patients With Atopic Dermatitis:


The Role of Emollient Therapy. Dermatology Research and Practice.
2012;1-15.

Djuanda S,Sularsito SA. Dermatitis Atopik. Dalam: Djuanda A,editor. Ilmu


Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi ke- 6. Jakarta: FK UI; 2011.

Health and Safety Executive, 2004. Medical Aspect of Occupational Skin


Disease. Inggris

Hogan DJ. Contact Dermatitis, Allergic: Follow-up. Florida: 2009

Hogan, D.J. 2009. Conatct Dermatitis, Allergic. EMedicine Dermatology

38
Holgate S, Church MK, Lichtenstein LM. Allergy. 3rd ed. Philadelphia:
Mosby Elsevier; 2006

Jamal ST. Atopic dermatitis: an update review of clinical manifestations


and management strategies in general practice. Bulletin of the Kuwait
Institute for medical specialization. 2007;6;55-62.

James WD, Berger TG, Elston DM. Andrew’s Diseases of the Skin Clinical
Dermatology. 10th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2006

Kariosentono H. Dermatitis Atopik (Eksema). Cetakan 1 . Surakarta: LPP


UNS dan UNS Press; 2006.

Lázar-Molnár E. 2004. Signal-transduction pathways of histamine re-


ceptors. In: Falus A, Grosman N, Darvas Zs.eds. Histamine: bio- logy
and medical aspects. Budapest, Hungary: Spring Med Publishing

Marks JG, Elsner P, Deleo VA. Contact & Occupational Dermatology. 3rd
ed.USA: Mosby Inc; 2002

Mayo Clinic staff. Allergy Skin Tests: Identify The Sources of Your
Sneezing, Mayo Foundation For Medical Education And Research,
April 2005
Morgan J, Williams P, Norris F, Williams CM, Larkin M, Hampton S.
Eczema And Early Solid Feeding In Preterm Infants. Arch Dis Child.
2004;89:309-14.

Safeguards. 2000. Contact Dermatitis. Government of South Australia.


Departemen for Administrative and Information Services

Schneider L, Tilles S, Lio P, et al. Atopic Dermatitis: A Practice Parameter


Update 2012. J Allergy Clin Immunol. 2013;131(2):295-9.

Syarief, dkk. 2012. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: EGC

Watson W, Kapur S. Atopic dermatitis. Allergy, Asthma & Clinical


Immunology. 2011

39
40

Anda mungkin juga menyukai