Oh my son... !
A boy called Thomas who is 12 years old came with this mother to the
primary health care complaining of itchy on the folded area of his elbow and his
knee since 2 weeks ago. Around those area were found some red spot, this
complaint comes and go since the age of one year old. Everytime the itches comes
he would go to the doctor and after he drinks the medicine the itches would soon
dissapear. Other than that, Thomas also suffered from asma when he was 6 years
old. His mother had a history of sneezing in the morning or when the weather gets
cold.
1
BAB I
KLARIFIKASI ISTILAH
1.1 Plakat
1.2 Erosi
1.3 Eritema
2
BAB II
IDENTIFIKASI MASALAH
2.1 Mengapa pasien mengeluhkan gatal pada lipatan siku dan lutut sejak 2
minggu yang lalu?
2.2 Mengapa keluhan tersebut kambuh - kambuhan?
2.3 Bagaimana hubungan RPD dan RPK pasien dengan keluhan sekarang?
2.4 Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan fisik?
2.5 Mengapa dokter memberikan obat kortikosteroid topikal dan antihistamin
oral?
2.6 Mengapa pasien disarankan untuk melakukan skin prick test?
2.7 Apakah kemungkinan diagnosis banding pada kasus tersebut?
3
BAB III
CURAH PENDAPAT
3.1 Mengapa pasien mengeluhkan gatal pada lipatan siku dan lutut sejak
2 minggu yang lalu?
4
3.2 Mengapa keluhan tersebut kambuh - kambuhan?
5
3.3 Bagaimana hubungan RPD dan RPK pasien dengan keluhan
sekarang?
Anak tersebut menderita asma pada usia 6 tahun dan sang ibu memliki
riwayat rinitis alergi. Ditinjau dari keluhan sekarang pasien, ini merupakan pola
trias atopik. Trias atopik terdiri dari kelainan alergi berupa asma, rinitis alergi, dan
dermatitis atopik. Hal ini akan selalu beriringan pada suatu keluarga.
Selain itu, penelitian lain di Inggris juga menunjukkan bahwa anak laki-
laki mempunyai risiko lebih tinggi untuk mempunyai Dermatitis Atopik (Morgan,
2004). Hubungan antara jenis kelamin dan asma bervariasi sesuai usia. Pada masa
awal anak-anak, kejadian asma lebih sering terjadi pada anak laki-laki, namun
pada usia lebih tua kejadian asma seimbang antara anak laki-laki dan perempuan
(Asher, 2006).
6
a. Eritema : kemerahan pada kulit yang disebabkan oleh pelabaran
pembuluh darah kapiler yang reversible
b. Papul dan plakat : terjadi kare adanya peradangan yang sebagian besar
terjadi di dermis kemudian komponen-komponen tersebut membentuk
massa yang solid
c. Erosi : terjadi karena adanya trauma sehingga terjadi pemisahan
lapisan epidrmis dengan laserasi rupture vesikel atau bula dan nekrosis
epidermal.
7
efektif peninggian permeabilitas kapiler & udem akibat histamine (Syarief dkk,
2012).
Skin prick test ini adalah tes kulit pada alergi ini untuk menentukan
macam alergen sehingga di kemudian hari bisa dihindari dan juga untuk
menentukan dasar pemberian imunoterapi. Selain itu terdapat pula indikasi untuk
skin prick test, yaitu :
8
didasarkan atas berbagai fenomena klinis yang tampak, terutama gejala gatal.
George Rajka menyatakan bahwa diagnosis dermatitis atopik tidak dapat dibuat
tanpa adanya riwayat gatal. Hanifin Rajka telah membuat kriteria diagnosis untuk
dermatitis atopik yang didasarkan pada kriteria mayor dan minor yang sampai
sekarang masih banyak digunakan.
9
BAB IV
KERANGKA KONSEP
Thomas
Laki -
laki
12
RPD RPK
Asma sejak usia Ibunya menderita
6 tahun rhinitis alergi
Atopi diturunkan
secara genetik
melalui
kromosom
IgE, eusinofil
meningkat
Pelepasan Histamin
Reaksi
Hipersensitivitas tipe I
RPS
Gatal sejak 2
minggu yang lalu
Pemeriksaan Pemeriksaan Fisik:
Gatal di lipat siku
Penunjang: dan lutut bercak eritematosa,
Skin prick test Bercak mera papul, plakat, erosi
Kambuh –
kambuhan
DD
Dermatitis Atopik
Dermatitis Kontak Alergi
Dermatitis Kontak Iritan
Diagnosis
Utama:
Penatalaksanaan:
Famakologi
Kortikosteroid topikal
dan Antihistamin oral
10
BAB V
TUJUAN PEMBELAJARAN
11
BAB VI
BELAJAR MANDIRI
12
BAB VII
HASIL BELAJAR
13
- Sel Mediator (basofil, mastosit, dan trobosit)
14
berproliferasi dan berdifferensiasi menjadi sel plasma yang dapat membentuk
antibody. Antibodi yang dilepas dapat dimukan didalam serum. Serum fungsi
utama antibody ialah mempertahankan tubuh terhaadap infeksi bakteri, virus dan
netralisasi toksin.
Antibodi atau Immunoglobulin (Ig) adalah golongan protein yang dibentuk
sel plasma (proliferasi sel B) akibat kontak dengan antigen. Antibodi mengikat
antigen yang menimbulkannya secara spesifik. Bila serum protein tersebut
dipisahkan secara elektroforesis, Ig ditemukan terbanyak dalam fraksi globulin γ
meskipun ada beberapa yang ditemukan juga dalam fraksi globulin α dan β.
Semua molekul Ig mempunyai 4 polpeptid dasar yang terdiri atas 2 rantai berat
(heavy chain) dan 2 rantai ringan (light chain) yang identik, dihubungkan satu
dengan lainnya oleh ikatan disulfide.
1. IgG
IgG merupakan komponen utama immunoglobulin serum, dengan
berat molekul 160.000. Kadarnya dalam serum yang sekitar 13 mg/mL
merupakan 75 % dari semua Ig. IgG ditemukan juga dalam berbagai cairan
lain diantaranya CSF dan urine. IgG dapat menembus plasenta dan masuk
ke fetus dan berperan pada imunitas bayi sampaiumur 6-9 bulan. IgG dapat
mngaktifkan komplemen, meningkatkan pertahanan badan melalui
opsonisasi dan reaksi inflamasi. Ig G mempunyai sifat opsonin yang
efektif oleh karena monosit dan makrofag yang memiliki reseptor untuk
fraksi Fc dari IgG yang dapat mempererat hubungan antara fagosit dengan
sel sasaran. Selanjutnya opsonisasi dibantu reseptor untuk komplemen
pada permukaan fagosit. IgG mempunyai 4 subkelas yaitu Ig1, Ig2, Ig3
dan Ig4. Ig4 dapat diikat oleh sel mast dan basofil
2. IgA
IgA ditemukan dalam jumlah sedikit dalam serum, tetapi kadarnya
dalam sekresi saluran nafas, saluran cerna, saluran kmih, airmata, keringat,
ludah dan kolostrum lebih tinggi sebagai IgA sekretori. Baik IgA dalam
seru maupun dalam secret dapat menetralisasi toksin atau virus dan atau
mencegah kontak antara toksin/virus dengan alat sasaran. Sekretori IgA
15
diproduksi lebih dulu daripada IgA dalam serum dan tidak menembus
plasenta
3. IgM
IgM mempunyai rumus bangun pentamer dan merupakan Ig terbesar.
Molekul-molekul tersebut diikat rantai γ pada fraksi Fc. Kebanyakan sel B
mempunyai IgM pada permukaannya sebagai reseptor antigen. IgM
dibentuk paling dahulu pada respon imun primer tetapi tidak dapat
berlangsung lama, karena itu kadar IgM yang tinggi merupakan tanda
adanya infeksi dini. Bayi yang baru dilahirkan hanya mempunyai IgM
10% dari kadar IgM orang dewasa oleh karena IgM tidak menembus
plasenta. Fetus umur 12 minggu sudah dapat membentuk IgM bila sel B
nya dirangsang oleh infeksi intra uterine, seerti sifilis congenital, rubella,
toksoplasmosis, dan virus sitomegalo. Kadar IgM anak mencapai kadar
IgM dewasa pada usia satu tahun. Kebanyakan antibody alamiah seperti
isoaglutinin, golongan darah AB, antibody heterofil adalah IgM. IgM
dapat mencegah gerakan mikroorganisme pathogen, mempermudah
fagositosis dan merupakan aglutinator kuat terhadap butir antigen. IgM
juga merupakan antibody yang dapat mengikat komplemen dengan kuat
dan tidak menembus plasenta.
4. IgD
IgD ditemukan dengan kadar yang sangat rendah dalam darah. IgD
tidak mengikat komplemen, mempunyai aktivitas antibody terhadap
antigen berbagai makanan dan autoantigen seperti komponen nucleus.
Selanjutnya IgD ditemukan bersama IgM pada permukaan sel B sebagai
reseptor antigen.
5. IgE
IgE ditemukan dalam serum dalam jumlah yang sangat sedikit. IgE
mudah diikat sebagai mastosit, basofil, eosinofil, makrofag, dan trombosit
yang pada permukaannnya memiliki reseptor untuk fraksi Fc dari IgE. IgE
dibentuk juga setempat oleh sel plasma dalam selaput lender saluran nafas
dan cerna. Kadar IgE serum yang tinggi ditemukan pada alergi, infeksi
cacing, skistomiasis, penyakit hidatid, trikinosis. Kecuali pada alergi, IgE
16
diduga juga berperan pada imunitas parasit. IgE pada alergio dikenal
sebagai antibody regain (Baratawidjaya, 2006).
17
pertumbuhan (early-onset dermatitis atopic). Sekitar 45% kasus dermatitis atopic
anak muncul dalam 6 bulan pertama kehidupan, 60% muncul dalam tahun
pertama kehidupan, dan 85% kasus muncul sebelum usia 5tahun. Sebagian besar
yaitu 70% kasus penderita dermatitis atopik anak, akan mengalami remisi spontan
sebelum dewasa. Namun penyakit ini juga dapat terjadi pada saat dewasa (late
onset dermatitis atopic ) (Bieber, 2010 ).
Dermatitis atopik cenderung diturunkan. Bila seorang ibu menderita atopi
maka lebih dari seperempat anaknya akan menderita Dermatitis atopik pada 3
bulan pertama. Bila salah satu orang tua menderita atopi maka lebih separuh
anaknya menderita alergi sampai usia 2 tahun dan bila kedua orang tua menderita
atopi, angka ini meningkat sampai 75 % (Sularsito , 2011).
18
Tidak semua pasien DA akan tercetus oleh setiap stimulus di atas. Sebagian
pasien DA akan mengalami eksaserbasi oleh beberapa pencetus tetapi tidak oleh
pencetus yang lain (Schneider, 2013).
Patogenesis DA belum sepenuhnya dipahami tetapi diduga merupakan
interaksi faktor genetik, disfungsi imun, disfungi sawar epidermis, dan peranan
lingkungan serta agen infeksius (Watson, 2011).
Fungsi sawar epidermis terletak pada stratum korneum sebagai lapisan kulit
terluar. Stratum korneum berfungsi mengatur permeabilitas kulit dan
mempertahankan kelembaban kulit, melindungi kulit dari mikroorganisme dan
radiasi ultraviolet, menghantarkan rangsang mekanik dan sensorik. Lapisan ini
terbentuk dari korneosit yang dikelilingi lipid, yang terdiri dari ceramide,
kolesterol, dan asam lemak bebas. Ceramide berikatan kovalen dengan selubung
korneosit membentuk sawar yang menghalangi hilangnya air dari lapisan kulit.
Hidrasi korneosit juga dipengaruhi oleh produksi natural moisturizing factor
(NMF) yang berasal dari pemecahan filagrin dalam korneosit menjadi asam amino
(Correa, 2012).
Pada penderita DA ditemukan mutasi gen filagrin sehingga mengganggu
pembentukan protein yang esensial untuk pembentukan sawar kulit. Gangguan
fungsi sawar epidermis ini menyebabkan gangguan permeabilitas dan pertahanan
terhadap mikroorganisme. Transepidermal water loss (TEWL) menjadi lebih
tinggi pada DA dibandingkan pada kulit normal karena kandungan lipid stratum
korneum pada DA juga berubah. Jumlah dan kandungan ceramide jenis tertentu
berkurang dan susunan lipid di stratum korneum juga berubah. Selain itu, ukuran
korneosit pada kulit pasien DA jauh lebih kecil dibandingkan korneosit kulit
normal. Semuanya menyebabkan bahan-bahan iritan, alergen, dan mikroba mudah
masuk ke dalam kulit. Agen infeksius yang paling sering terdapat pada kulit DA
adalah Staphylococcus aureus yang membuat koloni pada 90% pasien DA
(Watson, 2011).
Selain itu, pada DA terjadi defek respons imun bawaan (innate immunity)
yang menyebabkan pasien DA lebih rentan terhadap infeksi virus dan bakteri.
Pada fase awal DA respons sel T didominasi oleh T helper 2 (Th2) tetapi
selanjutnya terjadi pergeseran dominasi menjadi respons Th1 yang berakibat pada
19
pelepasan kemokin dan sitokin proinflamasi, yaitu interleukin (IL) 4, 5, dan tumor
necrosis factor yang merangsang produksi IgE dan respons infl amasi sistemik.
Akibatnya, terjadi pruritus pada kulit pasien DA (Watson, 2011).
20
3. Dermatitis Atopik pada Anak (4- 16 tahun)
Pada usia 4-16 tahun dapat dijumpai dermatitis pada tubuh bagian atas dan
wajah. Umumnya muncul dermatitis yang simetris pada area fleksura, tangan, dan
kaki.
4. Dermatitis Atopik pada Dewasa (4-16 tahun)
Pada orang dewasa, lesi dermatitis kurang karakteristik, dapat di wajah,
tubuh bagian atas, fleksura, bibir dan tangan. Lesi kering, papul datar, plak
likenifikasi dengan sedikit skuama, dan sering terjadi ekskoriasi dan eksudasi
karena garukan. Terkadang dapat berkembang menjadi eritroderma. Stres dapat
menjadi faktor pencetus karena saat stres nilai ambang rasa gatal menurun.
Dermatitis atopik dapat disertai berbagai kelainan seperti hiperlinearis
palmaris, xerosis kutis, iktiosis, pomfoliks, ptiriasis alba, keratosis pilaris, tanda
Hertoghe, keilitis, liken spinulosus, dan keratokonus (Sularsito, 2011).
5. Penegakan Diagnosis Dermatitis Atopik
Tidak ada pemeriksaan laboratorium atau gambaran histologik yang spesifi
k untuk menegakkan diagnosis DA. Dengan demikian, anamnesis dan
pemeriksaan fi sik menjadi dasar penegakan diagnosis DA. Peningkatan kadar IgE
ditemukan pada 80% pasien DA, tetapi hasil serupa juga dapat ditemukan pada
keadaan atopik lain. Uji tusuk kulit (skin prick test/SPT) atau pemeriksaan IgE
spesifi k yang hasilnya positif hanya menunjukkan adanya sensitisasi terhadap
alergen bersangkutan, tetapi tidak berarti secara langsung menjadi penyebab.
Hasil positif dapat digunakan sebagai panduan dokter untuk mempertimbangkan
kemungkinan pencetus pada pasien. Pemeriksaan biopsi kulit juga tidak spesifik
dan hanya menunjukkan hiperkeratotik dengan inflamasi perivaskular (Jamal,
2007).
Diagnosis DA ditegakkan jika terdapat paling sedikit 3 kriteria mayor dan 3
kriteria minor yaitu : (Jamal, 2007)
21
6. Tatalaksana Dermatitis Atopik
Perbaikan sawar kulit dengan perawatan kulit yang baik sangat penting
untuk mengontrol DA. Fungsi sawar kulit diperbaiki dengan hidrasi yang baik dan
aplikasi pelembab. Disarankan berendam di air hangat selama kurang lebih 10
menit, memakai sabun dengan pelembab (moisturizing cleanser), diikuti aplikasi
pelembab segera setelah mandi. Untuk mengeringkan kulit disarankan
menggunakan handuk lembut dengan menekan lembut saja dan tidak menggosok
kulit. Emolien melembutkan kulit dan mengurangi gatal, menciptakan lapisan
minyak diatas kulit yang dapat memerangkap air dibawahnya. Perbaikan sawar ini
mencegah penetrasi bahan-bahan iritan, alergen dan bakteri. Emolien dapat berupa
losion, krim, dan ointment. Ointment paling efektif sebagai emolien, tetapi banyak
orang lebih menyukai krim atau losion. Produk emolien yang kaya ceramide
sangat berguna mempertahankan kelembapan kulit. Jika memakai tabir surya,
emolien diaplikasikan setengah jam sebelum memakai tabir surya. Dermatitis
atopik ringan sering kali membaik hanya dengan pemakaian emolien, tetapi pada
keadaan inflamasi akut, dibutuhkan tambahan steroid topikal yang dapat
digunakan sebelum penggunaan emolien agar efektivitasnya tidak berkurang
(Watson, 2011).
22
Steroid topikal masih menjadi pilihan utama untuk mengatasi DA. Namun
steroid topikal tidak dapat menggantikan peranan emolien yang diaplikasikan
berulang untuk memperbaiki sawar kulit. Potensi steroid yang digunakan bersifat
individual, bergantung pada derajat dermatitis, lokasi dermatitis, luas permukaan
kulit yang terkena, dan usia pasien. Risiko efek samping bergantung pada potensi
steroid yang digunakan, jumlah steroid yang digunakan, penggunaan oklusi, luas
area yang terlibat, dan keutuhan kulit. Penetrasi steroid paling tinggi pada wajah
dan genitalia, paling rendah pada telapak tangan dan telapak kaki. Antiinflamasi
lain sebagai lini kedua adalah takrolimus dan pimekrolimus topikal untuk anak
berusia 2 tahun atau lebih dan dewasa. Preparat tar memiliki efek antiinflamasi
dan antipruritik, dapat digunakan sendiri atau bersama steroid. Preparat tar
berbentuk sampo, sabun cair, dan krim, tidak terlalu iritatif dibandingkan preparat
tar berbentuk gel yang dapat mengandung alkohol (Jamal, 2007).
Takrolimus dan pimekrolimus adalah preparat imunomodulator topikal yang
baru mulai digunakan pada tahun 2002 untuk mengobati DA. Ini sebagai lini
kedua penanganan DA derajat sedang hingga berat pada pasien imunokompeten
berusia 2 tahun atau lebih, untuk jangka pendek dan tidak terus menerus.
Antihistamin oral digunakan untuk mengontrol gatal. Antihistamin sedatif
misalnya hydroxyzine, diphenhydramine, chlorpheniramine, (Jamal, 2007).
23
rasa gatal dan terbakar pada mata, mata berair dan mengeluarkan diskret yang
mukoid (Watson, 2011).
1. Definisi
Dermatitis kontak alergi tidak berhubungan dengan atopi. DKA
merupakan reaksi hipersensitivitas tipe lambat, atau reaksi imunologi tipe IV,
dimediasi terutama oleh limfosit yang sebelumnya tersensitisasi, yang
menyebabkan peradangan dan edema pada kulit(Holgate,dkk., 2006).
2. Epidemiologi
Epidemiologi DKA sering terjadi. Penyakit ini terhitung sebesar 7% dari
penyakit yang terkait dengan pekerjaan di Amerika Serikat. Berdasarkan beberapa
studi yang dilakukan, insiden dan tingkat prevalensi DKA dipengaruhi oleh
alergen-alergen tertentu. Dalam data terakhir, lebih banyak perempuan (18,8%)
ditemukan memiliki DKA dibandingkan laki-laki (11,5%). Namun, harus
dipahami bahwa angka ini mengacu pada prevalensi DKA dalam populasi (yaitu,
jumlah individu yang potensial menderita DKA bila terkena alergen), dan ini
bukan merupakan angka insiden (yaitu, jumlah individu yang menderita DKA
setelah jangka waktu tertentu). Tidak ada data yang cukup tentang epidemiologi
dermatitis kontak alergi di Indonesia, namun berdasarkan penelitian pada penata
rias di Denpasar, sekitar 27,6 persen memiliki efek samping kosmetik, dimana 25,
4 persen dari angka itu menderita DKA (Belsito,2003).
24
3. Etiologi
Penyebab dermatitis kontak alergik (DKA) adalah alergen, paling sering
berupa bahan kimia sederhana dengan berat molekul kurang dari 500-1000 Da,
yang juga disebut hapten, bersifat lipofilik, sangat reaktif, dan dapat menembus
stratum korneum. Dermatitis yang timbul dipengaruhi oleh potensi sensitisasi
alergen, derajat pajanan, dan luasnya penetrasi di kulit, lama pajanan, suhu dan
kelembaban lingkungan, vehikulum, dan pH. Faktor individu juga ikut berperan,
misalnya keadaan kulit pada lokasi kontak (utuh, terluka, kering, tebal epidermis
bergantung pada lokasinya) dan status imunologik (sedang sakit, atau terpajan
matahari). Sekitar 25 bahan kimia yang tampaknya memberi pengaruh terhadap
sebanyak setengah dari semua kasus DKA. Ini termasuk nikel, pengawet,
pewarna, dan parfum (JamesWD, 2006).
4. Patofisiologi
a. Fase sensitisasi
Alergen atau hapten diaplikasikan pada kulit dan diambil oleh sel
Langerhans. Antigen akan terdegradasi atau diproses dan terikat pada Human
Leucocyte Antigen-DR (HLA- DR), dan kompleks yang diekspresikan pada
permukaan sel Langerhans. Sel 5 Langerhans akan bergerak melalui jalur limfatik
ke kelenjar regional, dimana akan terdapat kompleks yang spesifik terhadap sel T
dengan CD4-positif. Kompleks antigen- HLA-DR ini berinteraksi dengan reseptor
T-sel tertentu (TCR) dan kompleks CD3. Sel Langerhans juga akan mengeluarkan
Interleukin-1 (IL-1). Interaksi antigen dan IL-1 mengaktifkan sel T. Sel T
mensekresi IL-2 dan mengekspresikan reseptor IL-2 pada permukaannya. Hal ini
menyebabkan stimulasi autokrin dan proliferasi sel T spesifik yang beredar di
seluruh tubuh dan kembali ke kulit(MarksJG,dkk., 2002).
b. Tahap elisitasi
25
permukaan sel Langerhans. Kompleks akan dipresentasikan kepada sel T4
spesifik dalam kulit (atau kelenjar, atau keduanya), dan elisitasi dimulai.
Kompleks HLA-DR-antigen berinteraksi dengan kompleks CD3-TCR spesifik
untuk mengaktifkan baik sel Langerhans maupun sel T. Ini akan menginduksi
sekresi IL-1 oleh sel Langerhans dan menghasilkan IL-2 dan produksi IL-2R oleh
sel T. Hal ini menyebabkan proliferasi sel T. Sel T yang teraktivasi akan
mensekresi IL-3, IL- 4, interferon-gamma, dan granulocyte macrophage colony-
stimulating factor (GMCSF). Kemudian sitokin akan mengaktifkan sel
Langerhans dan keratinosit. Keratinosit yang teraktivasi akan mensekresi IL-1,
kemudian IL-1 mengaktifkan phospolipase. Hal ini melepaskan asam arakidonik
untuk produksi prostaglandin (PG) dan leukotrin (LT). PG dan LT menginduksi
aktivasi sel mast dan pelebaran pembuluh darah secara langsung dan pelepasan
histamin yang melalui sel mast. Karena produk vasoaktif dan chemoattractant, sel-
sel dan protein dilepaskan dari pembuluh darah. Keratinosit yang 6 teraktivasi
juga mengungkapkan intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) dan HLA-DR,
yang memungkinkan interaksi seluler langsung dengan sel-sel darah
(MarksJG,dkk., 2002).
5. Penegakkan diagnosis
a. Anamnesis
26
alergen sebelumnya diidentifikasi, diatesis topik, perawatan kulit, kosmetik, dan
obat topikal maupun sistemik (MarksJG,dkk.,2002).
b. Pemeriksaan Fisik
c. Pemeriksaan Penunjang
Uji Tempel atau Patch Test (In Vivo)
27
atau dengan ruang aluminium yang disiapkan tersendiri (Finn) dimana dipasang
pada tape Scanpor. Zat uji biasanya diaplikasikan pada punggung atas, meskipun
jika hanya satu atau dua yang diterapkan, lengan luar atas juga dapat digunakan.
Tempelan dihapus setelah 48 jam (atau lebih cepat jika gatal parah atau terbakar
pada kulit) kemudian dibaca. Kulit yang ditempel ini perlu dievaluasi lagi pada
hari ke-4 atau 5, karena reaksi positif mungkin tidak muncul sebelumnya
(Belsito,2003).
6. Penatalaksanaan
a. Pencegahan
28
Menghindari Alergen Setelah kemungkinan penyebab masalah
dermatologi pasien telah ditentukan oleh uji tempel, sangat penting untuk
menyampaikan informasi ini kepada pasien dengan cara yang mudah dimengerti.
Ini melibatkan penjelasan cermat terhadap bahan yang mengandung alergen.
Namun, untuk beberapa bahan kimia (seperti nikel dan kromium logam),
penghindaran langsung setelah sekali sensitisasi tidak selalu menghasilkan
perbaikan gejala. Secara keseluruhan, prognosis untuk alergi akibat kerja ini
buruk. Dengan demikian, menghindari alergen yang sudah pernah terpapar sekali
adalah pencegahan yang tidak memadai. Selain itu, menasihati pekerja dengan
DKA untuk meninggalkan posisi mereka saat ini mungkin bukan saran terbaik,
terutama jika perubahan pekerjaan akan menghasilkan dampak ekonomi yang
signifikan buruk(Belsito,2003).
b. Pengobatan
7. Prognosis
Individu dengan dermatitis kontak alergi dapat memiliki dermatitis
persisten atau kambuh, terutama jika bahan yang mereka alergi tidak dapat
diidentifikasi atau jika mereka terus menggunakan perawatan kulit yang tidak lagi
sesuai (yaitu, mereka terus menggunakan bahan kimia untuk mencuci kulit
merekadan tidak menggunakan emolien untuk melindungi kulit mereka). Semakin
29
lama seorang individu mengalami dermatitis yang parah, semakin lama dermatitis
dapat disembuhkan setelah penyebabnya terindentifikasi. Beberapa individu
memiliki dermatitis persisten diikuti dermatitis kontak alergi, yang tampaknya
benar terutama pada individu yang alergi terhadap krom. Masalah yang khusus
adalah neurodermatitis (lichen simpleks chronicus), di mana individu berulang
kali menggosok atau menggaruk daerah awalnya terpengaruh oleh dermatitis
kontak alergi. Tes TRUE dapat memberikan informasi dasar yang akurat tentang
alergen yang sering menyebabkan DKA(Hogan,2009).
1. Definisi
Dermatitis kontak iritan adalah efek sitotosik lokal langsung dari bahan
iritan baik fisika maupun kimia, yang bersifat tidak spesifik, pada sel-sel
epidermis dengan respon peradangan pada dermis dalam waktu dan konsentrasi
yang cukup (Health and Safety Executive, 2004).
2. Epidemiologi
Dermatitis kontak iritan (DKI) dapat diderita oleh semua orang dari
berbagai golongan umur, ras dan jenis kelamin. Jumlah penderita DKI
diperkirakan cukup banyak terutama yang berhubungan dengan pekerjaan (DKI
akibat kerja), namun dikatakan angkanya secara tepat sulit diketahui. Hal ini
disebabkan antara lain oleh banyaknya penderita dengan kelainan ringan tidak
datang berobat, atau bahkan tidak mengeluh (Djuanda, 2011). Di Amerika, DKI
sering terjadi pada pekerjaan yang melibatkan kegiatan mencuci tangan atau
paparan berulang pada kulit terhadap air, bahan makanan atau iritan lainnya.
Pekerjaan yang berisiko tinggi meliputi pembatu rumah tangga, pelayan rumah
sakit, tukang masak, dan penata rambut. Prevalensi dermatitis tangan karena
pekerjaan ditemukan sebesar 55,6% di intensive care unit dan 69,7% pada pekerja
yang sering terpapar (dilaporkan dengan frekuensi mencuci tangan >35 kali setiap
pergantian). Penelitian menyebutkan frekuensi mencuci tangan >35 kali setiap
30
pergantian memiliki hubungan kuat dengan dermatitis tangan karena pekerjaan
(odds ratio 4,13) (Hogan, 2009).
Di Jerman, angka insiden DKI adalah 4,5 setiap 10.000 pekerja, dimana
insiden tertinggi ditemukan pada penata rambut (46,9 kasus per 10.000 pekerja
setiap tahunnya), tukang roti dan tukang masak (Hogan, 2009). Berdasarkan jenis
kelamin, DKI secara signifikan lebih banyak pada perempuan dibanding laki-laki.
Tingginya frekuensi ekzem tangan pada wanita dibanding pria karena faktor
lingkungan, bukan genetik (Hogan, 2009).
3. Etiologi
Pada orang dewasa, DKI sering terjadi akibat paparan terhadap bahan yang
bersifat iritan, misalnya bahan pelarut, detergen, minyak pelumas, asam, alkali,
dan serbuk kayu. Kelainan kulit yang terjadi selain ditentukan oleh ukuran
molekul, daya larut, konsentrasi, vehikulum, serta suhu bahan iritan tersebut, juga
dipengaruhi oleh faktor lain. Faktor yang dimaksud yaitu lama kontak, kekerapan
31
(terus-menerus atau berselang), adanya oklusi menyebabkan kulit lebih
permeabel, demikian pula gesekan dan trauma fisis. Suhu dan kelembaban
lingkungan juga berperan (Safeguards, 2000).
Sistem imun tubuh juga berpengaruh pada terjadinya dermatitis ini. Pada
orang-orang yang immunocompromised, baik yang diakibatkan oleh penyakit
yang sedang diderita, penggunaan obat-obatan, maupun karena kemoterapi, akan
lebih mudah untuk mengalami dermatitis kontak (Hogan, 2009).
4. Patogenesis
Kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel yang disebabkan oleh bahan
iritan melalui kerja kimiawi atau fisis. Bahan iritan merusak lapisan tanduk,
denaturasi keratin, menyingkirkan lemak lapisan tanduk dan mengubah daya ikat
air kulit. Kebanyak bahan iritan (toksin) merusak membran lemak keratinosit
tetapi sebagian dapat menembus membran sel dan merusak lisosom, mitokondria
atau komplemen inti (Safeguards, 2000).
32
DAG dan second messenger lain menstimulasi ekspresi gen dan sintesis
protein, misalnya interleukin-1 (IL-1) dan granulocyte macrophage-colony
stimulating factor (GM-CSF). IL-1 mengaktifkan sel T-helper mengeluarkan IL-2
dan mengekspresi reseptor IL-2 yang menimbulkan stimulasi autokrin dan
proliferasi sel tersebut. Keratinosit juga mengakibatkan molekul permukaan
HLADR dan adesi intrasel (ICAM-1). Pada kontak dengan iritan, keratinosit juga
melepaskan TNF-α, suatu sitokin proinflamasi yang dapat mengaktifasi sel T,
makrofag dan granulosit, menginduksi ekspresi molekul adesi sel dan pelepasan
sitokin (Safeguards, 2000).
5. Gejala Klinis
Gejala klinis dermatitis iritan dibedakan atas dermatitis kontak iritan akut
dan dermatitis iritan kronik.
33
Satu kali kontak yang pendek dengan suatu bahan kimiawi kadang-
kadang sudah cukup untuk mencetuskan reaksi iritan. Keadaan ini
biasanya disebabkan oleh zat alkali atau asam, ataupun oleh detergen. Uap
dan debu alkali dapat menimbulkan rekasi iritan pada wajah. Jika lemah
maka reaksinya akan menghilang secara spontan dalam waktu singkat.
Luka bakar kimia merupakan reaksi iritan yang terutama terjadi ketika
bekerja dengan zat-zat kimia yang bersifat iritan dalam konsentrasi yang
cukup tinggi (Safeguards, 2000).
Gejala klasik berupa kulit kering, eritema, skuama, lambat laun kulit
tebal dan terjadi likenifikasi, batas kelainan tidak tegas. Bila kontak terus
berlangsung maka dapat menimbulkan retak kulit yang disebut fisura.
Adakalanya kelainan hanya berupa kulit kering dan skuama tanpa eritema,
sehingga diabaikan oleh penderita. Setelah kelainan dirasakan
mengganggu, baru mendapat perhatian (Djuanda, 2011).
34
9. Histopatologis
10. Diagnosis
11. Pengobatan
12. Komplikasi
35
a. DKI meningkatkan risiko sensitisasi pengobatan topikal
13. Prognosis
Prognosis baik pada individu non atopi dimana DKI didiagnosis dan
diobati dengan baik. Individu dengan dermatitis atopi rentan terhadap DKI
(Hogan, 2009).
36
BAB VIII
PENUTUP
8.1 Kesimpulan
Dermatitis atopik ialah keadaan peradangan kulit kronis dan residif,
disertai gatal, yang berhubungan dengan atopi. Kata “atopi” yaitu istilah
yang dipakai untuk sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai
riwayat kepekaan dalam keluarganya, misalnya : asma bronchial, rinitis
alergik, konjungtivitis alergik dan dermatitis atopik. Penyebabnya ialah
ditemukan Riwayat stigmata atopi (herediter) berupa asma bronchial, rinitis
alergik, dermatitis atopic dalam keluarganya, peningkatan jumlah IgE dalam
serum, penurunan Imunitas seluler dan respons terhadap reaksi
hipersensitivitas tipe lambat, sehingga berakibat meningkatnya kerawanan
terhadap infeksi virus, bakteri, dan jamur, alergi terhadap berbagai alergen,
kelembaban rendah, keringat berlebihan, dan bahan iritan, faktor psikologik.
Gejala utama dermatitis atopik ialah gatal (pruritus). Akibat garukan akan
terjadi kelainan kulit yang bermacam-macam, misalnya papul, likenifikasi
dan lesi ekzematosa berupa eritema, papulo-vesikel, erosi, ekskoriasi, dan
krusta. Dermatitis atopik dapat terjadi pada masa bayi (infantil), anak,
maupun remaja dan dewasa. Diagnosis Dermatitis atopik ditegakkan
berdasarkan gambaran klinis dan adanya riwayat atopik (dalam keluarga
maupun sendiri).
8.2 Saran
Pada tutorial kali ini mahasiswa dapat membahas dengan baik skenario
yang disajikan. Sedikit motivasi akan membuat performa mahasiswa lebih baik
lagi pada skenario-skenario selanjutnya.
37
DAFTAR PUSTAKA
Belsito DV. Allergic Contact Dermatitis. Dalam: Freedberg IM, Eisen AZ,
Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI (eds). Fitzpatrick’s
Dermatology in General Medicine. 6th ed. New York: The McGraw-
Hill; 2003
Bieber T. Atopic dermatitis. J Ann Dermatol [online]. Mei 2010 [cited 2015
January]; 22(2): 125-137. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles /PMC2883413/
38
Holgate S, Church MK, Lichtenstein LM. Allergy. 3rd ed. Philadelphia:
Mosby Elsevier; 2006
James WD, Berger TG, Elston DM. Andrew’s Diseases of the Skin Clinical
Dermatology. 10th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2006
Marks JG, Elsner P, Deleo VA. Contact & Occupational Dermatology. 3rd
ed.USA: Mosby Inc; 2002
Mayo Clinic staff. Allergy Skin Tests: Identify The Sources of Your
Sneezing, Mayo Foundation For Medical Education And Research,
April 2005
Morgan J, Williams P, Norris F, Williams CM, Larkin M, Hampton S.
Eczema And Early Solid Feeding In Preterm Infants. Arch Dis Child.
2004;89:309-14.
39
40