Anda di halaman 1dari 10

PHLEBITIS

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkembangan ilmu kedokteran tentang cairan dan tehnik pemberian cairan memberikan tantangan akan
pengetahuan tentang pengaruh dan respon yang dapat terjadi akibat pemberian cairan tersebut. Pada masa awal
tahun 1930-an penggunaan cairan infus yang dikenal hanya terbatas antara lain ; infus Nacl dan dextrose 5 % ,
akan tetapi sekarang ini telah banyak tersedia berbagai macam cairan mulai dari cairan infus untuk mengkoreksi
ketidakseimbangan elektrolit dan cairan infus yang merupakan suatu terapi dari suatu masalah kesehatan,
maupun cairan infus yang ditujukan untuk pemberian nutrisi (Wiensten. Sharon, 2007).
Cairan infus yang diindikasikan untuk pemenuhan kebutuhan nutrisi atau sering disebut nutrisi parenteral
juga mengalami banyak kemajuan. Nutrisi parenteral mengalami kemajuan yang bermakna, dimulai dengan
adanya aturan pemberian cairan nutrisi parenteral yang dikembangkan oleh Dr. Stanley Dudrik dan kolega pada
tahun 1970-an.
Studi terbaru menunjukkan kira-kira 40% pasien rawat inap mengalami malnutrisi dengan berbagai
derajat keparahan. Lebih dari 1/3 pasien bedah gastrointestinal mengalami malnutrisi sedang (Heys SD. 1999).
Pada penderita dengan penyakit kritis, baik yang diakibatkan oleh trauma, pembedahan, sepsis, luka bakar
maupun radio/kemoterapi, akan mengalami perubahan metabolisme dasar yang disebut stres metabolik. Respons
pada stress metabolik atau hipermetabolik ini meningkatkan kebutuhan energi, mempercepat proteolisis
diseluruh badan, katabolisme, lipolisis, peningkatan cardiac out put, peningkatan komsumsi oksigen dan
temperatur badan. Pada kondisi ini penderita harus mendapatkan tambahan nutrisi yang adekuat. Penambahan
yang paling baik adalah melalui enteral nutrisi, akan tetapi pada kondisi yang tidak memungkinkan penambahan
melalui enteral, pemberian nutrisi parenteral menjadi pilihan untuk pemenuhan nutrisi.
Tehnik atau cara pemberian melalui infus juga mengalami kemajuan, yang digunakan sebagai tindakan
diagnostik ataupun sebagai cara pemberian terapi. Salah satu cara pemberian yang paling sering digunakan
adalah pemasangan infus perifer atau perifer intravenous catheter (PIC) untuk memberikan transfusi darah, obat,
cairan maupun untuk pengambilan sampling darah (Nassaji dan Ghorbani, 2007).
Menurut United Kingdom of Central Council for Nursing, Midwifery and Health Visiting (UKCC) terapi
melalui infus sekarang ini merupakan bagian integral dalam praktek keperawatan profesional tidak hanya
mengawasi masuknya infus, akan tetapi dengan perkembangan ilmu keperawatan seorang perawat professional
akan terlibat dan bertanggungjawab akan pemasangan dan pelepasan katheter, dan juga bertanggungjawab akan
komplikasi akibat pemasangan katheter. UKCC tahun 1992 telah menerbitkan dokumen The Scope Of
Profesional Practice yang berisi tentang peningkatan pengetahuan, ketrampilan perawat dan tanggung jawab
terhadap tindakan yang dilakukan. Setelah tahun 2002 UKCC diganti dengan Nursing and Midwifery Council
(NMC) dengan menerbitkan dokumen The Code of Profesional Conduct, yang berisi tidak hanya keharusan
peningkatan pengetahuan dan ketrampilan perawat, akan tetapi perawat harus menerima tanggung gugat akan
tindakan yang dilakukan (Royal College of Nursing, 2010)
Sedemikian besar tanggung jawab yang dihadapkan pada seorang perawat akan tindakan pemberian infus
itu tentunya akan menjadi pemicu agar perawat terus berkembang dan meningkatkan kemampuannya. Seperti
telah diketahui bahwa semua tindakan akan memberikan dampak baik yang positif atau negatif atau dengan kata
lain memberikan komplikasi. Pada tindakan pemasangan infus dikenal dengan adanya komplikasi sistemik dan
komplikasi lokal antara lain phlebitis, ekstravasasi, infiltrasi dan hematoma.
Salah satu komplikasi yang sering didapatkan dari kathether intravena adalah kejadian phlebitis. Phlebitis
merupakan inflamasi vena yang disebabkan oleh iritasi kimia maupun mekanik. Hal ini ditunjukkan dengan
adanya daerah yang merah, nyeri dan pembengkakan di daerah penusukan atau sepanjang vena. Insiden plebitis
meningkat sesuai dengan lamanya pemasangan jalur intravena. Komplikasi cairan atau obat yang diinfuskan
(terutama PH dan tonisitasnya), ukuran dan tempat kanula dimasukkan. Pemasangan jalur IV yang tidak sesuai,
dan masuknya mikroorganisme pada saat penusukan (Brunner dan Sudarth, 2002). Akibat dari kejadian phlebitis
yang dapat menimbulkan masalah pada ketidaknyamanan pasien, penggantian katheter baru, menambah lama
perawatan, dan akan menambah biaya perawatan.
Berdasarkan laporan hasil penelitian Nassaji dan Ghorbani yang dilakukan mulai bulan April 2003
sampai dengan Pebruari 2004 pada suatu rumah sakit di Semman Iran, didapatkan hasil, komplikasi pemberian
infus berupa phlebitis sebesar 26 %. Dan telah banyak penelitian dilakukan dalam hal kejadian phlebitis yang
akhirnya dapat digunakan sebagai pedoman dalam pemberian cairan infus. Seperti penelitian yang dilakukan
oleh pujasari tahun 2002 di suatu bangsal penyakit dalam salah satu RSU di Jakarta pada tahun 2001, ditemukan
angka kejadian plebitis sebesar 10,1% (11 dari 109 responden), dengan prosentase menurut lama waktu
terpasangnya infus adalah pada hari pertama (0-24 jam ) sebesar 18,2%, pada hari kedua ( >24-48 jam ) sebesar
54,5%, dan pada hari ketiga (>48-72 jam) sebesar 27,2%. Sedangkan prosentase berdasarkan lokasi yang lebih
banyak menimbulkan plebitis adalah vena metakarpal (72;7 %), dan kemudian pada vena sefalika (27,3%).
Khusus penelitian yang dilakukan berkaitan dengan pemberian infus nutrisi parenteral seperti yang
dilakukan oleh Nordenstrom J dkk (2005) angka kejadian phlebitis yang terjadi sebesar 18 % pada pasien yang
dirawat di bangsal bedah (Darmawan, 2008). Dalam sebuah artikel berjudul ”Peripher Intravenous Nutrition
Therapy”, Bier D. Ian menyatakan adanya perhatian khusus pada osmolaritas cairan, lama pemasangan,
kecepatan tetesan dalam memberikan terapi nutrisi parenteral. Hal tersebut didasarkan pada beberapa penelitian
yang telah banyak dilakukan seperti dilaporkan Gazitua dkk (1979) kejadian kekerapan terjadinya phlebitis pada
pemberian cairan yang mempunyai osmolaritas lebih dari 600 mOsm/L, dan peningkatan kejadian phlebitis pada
pemberian cairan yang berisi amino acid. Sedangkan hasil penelitian Daly dkk (1985) tidak ada perbedaan
kejadian phlebitis antara pasien yang mendapatkan cairan nutrisi hiperosmoler dengan cairan iso-osmoler. Lama
terpasangnya katheter IV juga mempunyai pengaruh yang besar terhadap kejadian phlebitis, seperti yang
dilaporkan oleh Lundgren dkk (1996) yang mempelajari hubungan antara lama terpasangnya infus dan kejadian
phlebitis, menemukan hasil yang signifikan dimana frekuensi kejadian meningkat pada pasien yang terpasang
selama lima hari dibanding kelompok kontrol yang terpasang kurang dari 24 jam. (Ian D. Bier, 2000)
Untuk RS Dr. Kariadi, angka kejadian phlebitis yang berkaitan dengan pemasangan infus nurtisi
parenteral belum pencatatan yang adekuat, hal ini mungkin kurangnya kesadaran dari tingkat pelaksana.
Berdasarkan laporan dari The Antimicrobial Resistance in Indonesia : Prevalence and Preventing (AMRIN –
Study) yang melakukan penelitian di dua rumah sakit yaitu RS. Dr Sutomo dan RS. Dr. Kariadi selama tahun
2003 sampai dengan 2004, mencatat khususnya untuk RS Dr. Kariadi, bahwa 60 % pasien yang dirawat
menerima prosedur infasif, dan angka kejadian phlebitis hampir 4 %. Hal tersebut menjadi perhatian khusus jika
merujuk pada Kepmenkes No. 228 / 2002, tentang penyusunan Standar Pelayanan Minimal RS pada indikator
pelayanan rawat inap, dimana angka kejadian phlebitis harus kurang dari 2 %. (Buletin IHQN, 2006) .

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang dapat diambil berdasarkan uraian latar belakang masalah adalah faktor – faktor apa saja
yang mempengaruhi kejadian phlebitis pada pemberian cairan nutrisi parenteral.

C. Tujuan
1. Tujuan umum
Mengetahui faktor – faktor yang berhubungan dengan kejadian phlebitis pada pemberian cairan nutrisi
parenteral.
2. Tujuan khusus.
a. Mendeskripsikan osmolaritas cairan, yang diberikan pada pemberian nutrisi parenteral.
b. Mendeskripsikan lokasi pemasangan dan tehnik perawatan balutan yang dilakukan dalam pemberian nutrisi
parenteral.
c. Mendeskripsikan kejadian phlebitis.
d. Menganalisis osmolaritas cairan dengan kejadian phlebitis.
e. Menganalisis lokasi pemasangan, tehnik perawatan dan jenis kelamin dengan kejadian phlebitis.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Phlebitis
1. Pengertian
Dalam pemberian terapi intravena tidak bisa lepas dari adanya komplikasi. Komplikasi yang bisa didapatkan
dari pemberian terapi intravena adalah komplikasi sistemik dan komplikasi lokal. Komplikasi sistemik lebih
jarang terjadi tetapi seringkali lebih serius dibanding komplikasi lokal seperti kelebihan sirkulasi, emboli udara
dan infeksi. Komplikasi lokal dari terapi intravena antara lain infiltrasi, phlebitis, trombophlebitis, hematoma,
dan ekstravasasi (Potter and Perry, 2005)
Phlebitis merupakan inflamasi vena yang disebabkan oleh iritasi kimia maupun mekanik. Hal ini ditunjukkan
dengan adanya daerah yang merah, nyeri dan pembengkakan di daerah penusukan atau sepanjang vena. Insiden
plebitis meningkat sesuai dengan lamanya pemasangan jalur intravena. Komplikasi cairan atau obat yang
diinfuskan (terutama PH dan tonisitasnya), ukuran dan tempat kanula dimasukkan. Pemasangan jalur IV yang
tidak sesuai, dan masuknya mikroorganisme pada saat penusukan (Brunner dan Sudarth, 2002)
Menurut Infusion Nursing Society (INS, 2006) phlebitis merupakan peradangan pada tunika intima
pembuluh darah vena, yang sering dilaporkan sebagai komplikasi pemberian terapi infus. Peradangan didapatkan
dari mekanisme iritasi yang terjadi pada endhothelium tunika intima vena, dan perlekatan tombosit pada area
tersebut.
2. Klasifikasi Phlebitis
Pengklasifikasian phlebitis didasarkan pada faktor penyebabnya. Ada empat kategori penyebab terjadinya
phlebitis yaitu kimia, mekanik, agen infeksi, dan post infus (INS, 2006)
a. Chemical Phlebitis (Phlebitis kimia)
Kejadian phlebitis ini dihubungkan dengan bentuk respon yang terjadi pada tunika intima vena dengan bahan
kimia yang menyebabkan reaksi peradangan. Reaksi peradangan dapat terjadi akibat dari jenis cairan yang
diberikan atau bahan material kateter yang digunakan. PH darah normal terletak antara 7,35 – 7,45 dan
cenderung basa. PH cairan yang diperlukan dalam pemberian terapi adalah 7 yang berarti adalah netral. Ada
kalanya suatu larutan diperlukan konsentrasi yang lebih asam untuk mencegah terjadinya karamelisasi dekstrosa
dalam proses sterilisasi autoclaf, jadi larutan yang mengandung glukosa, asam amino, dan lipid yang biasa
digunakan dalam nutrisi parenteral lebih bersifat flebitogenik. Osmolalitas diartikan sebagai konsentrasi sebuah
larutan atau jumlah partikel yang larut dalam suatu larutan. Pada orang sehat, konsentrasi plasma manusia adalah
285 ± 10 mOsm/kg H20 (Sylvia, 1991). Larutan sering dikategorikan sebagai larutan isotonik, hipotonik atau
hipertonik, sesuai dengan osmolalitas total larutan tersebut dibanding dengan osmolalitas plasma. Larutan
isotonik adalah larutan yang memiliki osmolalitas total sebesar 280 – 310 mOsm/L, larutan yang memliki
osmolalitas kurang dari itu disebut hipotonik, sedangkan yang melebihi disebut larutan hipertonik. Tonisitas
suatu larutan tidak hanya berpengaruh terhadap status fisik klien akaan tetapi juga berpengaruh terhadap tunika
intima pembuluh darah. Dinding tunika inti mati.
Kecepatan pemberian larutan intravena juga dianggap salah satu penyebab utama kejadian phlebitis. Pada
pemberian dengan kecepatan rendah mengurangi irritasi pada dinding pembuluh darah. Penggunaan material
katheter juga berperan pada kejadian phlebitis. Bahan kateter yang terbuat dari polivinil klorida atau polietelin
(teflon) mempunyai resiko terjadi phlebitis lebih besar dibanding bahan yang terbuat dari silikon atau poliuretan
(INS,2006).
Partikel materi yang terbentuk dari cairan atau campuran obat yang tidak sempurna diduga juga bisa
menyebabkan resiko terjadinya phlebitis. Penggunaan filter dengan ukuran 1 sampai dengan 5 mikron pada infus
set, akan menurunkan atau meminimalkan resiko phlebitis akibat partikel materi yang terbentuk tersebut.
(Darmawan, 2008)
b. Mechanical Phlebitis (phlebitis mekanik)
Phlebitis mekanikal sering dihubungkan dengan pemasangan atau penempatan katheter intravena.
Penempatan katheter pada area fleksi lebih sering menimbulkan kejadian phlebitis, oleh karena pada saat
ekstremitas digerakkan katheter yang terpasang ikut bergerak dan meyebabkan trauma pada dinding vena.
Penggunaan ukuran katheter yang besar pada vena yang kecil juga dapat mengiritasi dinding vena. (The Centers
for Disease Control and Prevention, 2002)
c. Backterial Phlebitis (Phlebitis Bakteri)
Phlebitis bacterial adalah peradangan vena yang berhubungan dengan adanya kolonisasi bakteri. Berdasarkan
laporan dari The Centers for Disease Control and Prevention (CDC) tahun 2002 dalam artikel intravaskuler
catheter – related infection in adult and pediatric kuman yang sering dijumpai pada pemasangan katheter infus
adalah stapylococus dan bakteri gram negative, tetapi dengan epidemic HIV / AIDS infeksi oleh karena jamur
dilaporkan meningkat.
Tabel 2.1 Kuman pathogen yang sering ditemukan di aliran darah Pathogen
Phatogen 1986 – 1989 1992 - 1999
Coagulase-negatif Staphylococus 27 37
S Aureus 16 13
Enterococcus 8 13
E coli 6 2
Enterobacter 5 5
P aeruginosa 4 4
K pneumoniae 4 3
Candida species 8 8
Gram-negatif rods 19 14

Adanya bakterial phlebitis bisa menjadi masalah yang serius sebagai predisposisi komplikasi sistemik yaitu
septicemia. Faktor – faktor yang berperan dalam kejadian phlebitis bakteri antara lain :
1. Teknik cuci tangan yang tidak baik.
2. Teknik aseptik yang kurang pada saat penusukan.
3. Tehnik pemasangan katheter yang buruk.
4. Pemasangan yang terlalu lama. (INS, 2002)
Cuci tangan merupakan hal yang penting untuk mencegah kontaminasi dari petugas kesehatan dalam
tindakan pemasangan infus. Dalam pesan kewaspadaan universal petugas kesehatan yang melakukan tindakan
invansif harus memakai sarung tangan. Meskipun telah memakai sarung tangan, tehnik cuci tangan yang baik
harus tetap dilakukan dikarenakan adanya kemungkinan sarung tangan robek, dan bakteri mudah berkembang
biak di lingkungan sarung tangan yang basah dan hangat, terutama sarung tangan yang robek ( CDC, 1989).
Tujuan dari cuci tangan sendiri adalah menghilangkan kotoran dan debu secara mekanis dari permukaan kulit
dan mengurangi jumlah mikroorganisme sementara. Cuci tangan menggunakan sabun biasa dan air, sama
efektifnya dengan cuci tangan menggunakan sabun anti mikroba (Pereira, Lee dan Wade, 1990).
Selama prosedur pemasangan atau penusukan harus menggunakan tehnik aseptic. Area yang akan dilakukan
penusukan harus dibersihkan dahulu untuk meminimalkan mikroorganisme yang ada, bila kulit kelihatan kotor
harus dibersihkan dahulu dengan sabun dan air sebelum diberikan larutan antiseptic.
Lama pemasangan katheter infus sering dikaitkan dengan insidensi kejadian phlebitis. May dkk (2005)
melaporkan hasil, di mana mengganti tempat (rotasi) kanula ke lengan kontralateral setiap hari pada 15 pasien
menyebabkan bebas flebitis. Namun, dalam uji kontrol acak yang dipublikasi baru-baru ini oleh Webster
disimpulkan bahwa kateter bisa dibiarkan aman di tempatnya lebih dari 72 jam JIKA tidak ada kontraindikasi.
The Centers for Disease Control and Prevention menganjurkan penggantian kateter setiap 72-96 jam untuk
membatasi potensi infeksi (Darmawan, 2008)
d. Post Infus Phlebitis
Phlebitis post infus juga sering dilaporkan kejadiannya sebagai akibat pemasangan infus. Phlebitis post infus
adalah peradangan pada vena yang didapatkan 48 – 96 jam setelah pelepasan infus. Faktor yang berperan dengan
kejadian phlebitis post infus, antara lai :
1. Tehnik pemasangan catheter yang tidak baik.
2. Pada pasien dengan retardasi mental.
3. Kondisi vena yang baik.
4. Pemberian cairan yang hipertonik atau terlalu asam.
5. Ukuran katheter terlalu besar pada vena yang kecil.
3. Diagnosa dan Pengenalan tanda Phlebitis
Phlebitis dapat didiagnosa atau dinilai melalui pengamatan visual yang dilakukan oleh perawat. Andrew Jackson
telah mengembangkan skor visual untuk kejadian phlebitis, yaitu :
Tabel 2.2 VIP Score ( Visual Infusion Phlebitis Score) oleh Andrew Jackson.
SKOR KEADAAN AREA PENUSUKAN PENILAIAN
0 Tempat suntikan tampak sehat Tak ada tanda
phlebitis
1 Salah satu dari berikut jelas Mungkin tanda dini
a. Nyeri area penusukan phlebitis
b. Adanya eritema di area
penusukan

2 Dua dari berikut jelas ; Stadium dini phlebitis


a. Nyeri area penusukan
b. Eritema
c. pembengkakan

3 Semua dari berikut jelas ; Stadium moderat


a. nyeri sepanjang kanul phlebitis
b. eritema
c. indurasi

4 Semua dari berikut jelas ; Stadium lanjut atau


a. nyeri sepanjang kanul awal
b. eritema thrombophlebitis
c. indurasi
d. venous chord teraba

5 Semua dari berikut jelas ; Stadium lanjut


a. nyeri sepanjang kanul thrombophlebitis
b. eritema
c. indurasi
d. venous chord teraba
e. demam

Gambar 2.2

4. Tindakan Pencegahan Phlebitis


Kejadian phlebitis merupakan hal yang masih lazim terjadi pada pemberian terapi cairan baik terapi rumatan
cairan, pemberian obat melalui intravena maupun pemberian nutrisi parenteral. Oleh karena itu sangat
diperlukan pengetahuan tentang faktor – faktor yang berperan dalam kejadian phlebitis serta pemantauan yang
ketat untuk mencegah dan mengatasi kejadian phlebitis. Ada banyak hal yang dapat dilakukan untuk mencegah
terjadinya phlebitis yang telah disepakati oleh para ahli, antara lain :
a. Mencegah phlebitis bakterial
Pedoman yang lazim dianjurkan adalah menekankan pada kebersihan tangan, tehnik aseptik, perawatan daerah
infus serta antisepsis kulit. Untuk pemilihan larutan antisepsis, CDC merekomendasikan penggunaan
chlorhexedine 2 %, akan tetapi penggunaan tincture yodium, iodofor atau alcohol 70 % bisa digunakan.
b. Selalu waspada dan tindakan aseptic.
Selalu berprinsip aseptic setiap tindakan yang memberikan manipulasi pada daerah infus. Studi melaporkan
Stopcock (yang digunakan sebagai jalan pemberian obat, pemberian cairan infus atau pengambilan sampel darah
) merupakan jalan masuk kuman.
c. Rotasi katheter.
May dkk (2005) melaporkan hasil pemberian Perifer Parenteral Nutrition (PPN), di mana mengganti tempat
(rotasi) kanula ke lengan kontralateral setiap hari pada 15 pasienmenyebabkan bebas flebitis. Namun, dalam uji
kontrol acak yang dipublikasi baru-baru ini oleh Webster dkk disimpulkan bahwa kateter bisa dibiarkan aman di
tempatnya lebih dari 72 jam jika tidak ada kontraindikasi. The Centers for Disease Control and Prevention
menganjurkan penggantian kateter setiap 72-96 jam untuk membatasi potensi infeksi.
d. Aseptic dressing
INS merekomendasikan untuk penggunaan balutan yang transparan sehingga mudah untuk melakukan
pengawasan tanpa harus memanipulasinya. Penggunaan balutan konvensional masih bisa dilakukan, tetapi kassa
steril harus diganti tiap 24 jam.
e. Kecepatan pemberian
Para ahli umumnya sepakat bahwa makin lambat infus larutan hipertonik diberikan makin rendah risiko flebitis.
Namun, ada paradigma berbeda untuk pemberian infus obat injeksi dengan osmolaritas tinggi. Osmolaritas boleh
mencapai 1000 mOsm/L jika durasi hanya beberapa jam. Durasi sebaiknya kurang dari tiga jam untuk
mengurangi waktu kontak campuran yang iritatif dengan dinding vena. Ini membutuhkan kecepatan pemberian
tinggi (150 – 330 mL/jam). Vena perifer yang paling besar dan kateter yang sekecil dan sependek mungkin
dianjurkan untuk mencapai laju infus yang diinginkan, dengan filter 0.45mm. Katheter harus diangkat bila
terlihat tanda dini nyeri atau kemerahan. Infus relatif cepat ini lebih relevan dalam pemberian infus sebagai jalan
masuk obat, bukan terapi cairan maintenance atau nutrisi parenteral.
f. Titrable acidity
Titratable acidity mengukur jumlah alkali yang dibutuhkan untuk menetralkan pH larutan infus. Potensi phlebitis
dari larutan infus tidak bisa ditaksir hanya berdasarkan pH atau titrable acidity sendiri. Bahkan pada pH 4.0,
larutan glukosa 10% jarang menyebabkan perubahan karena titrable acidity nya sangat rendah(0.16 mEq/L).
Dengan demikian makin rendah titrable acidity larutan infus makin rendah risiko phlebitisnya.
g. Heparin dan hidrokortison
Heparin sodium, bila ditambahkan ke cairan infus sampai kadar akhir 1 unit/mL, mengurangi masalah dan
menambah waktu pasang katheter. Risiko phlebitis yang berhubungan dengan pemberian cairan tertentu (misal,
kalium klorida, lidocaine, dan antimikrobial) juga dapat dikurangi dengan pemberian aditif IV tertentu, seperti
hidrokortison. Pada uji klinis dengan pasien penyakit koroner, hidrokortison secara bermakna mengurangi
kekerapan phlebitis pada vena yg diinfus lidokain, kalium klorida atau antimikrobial. Pada dua uji acak lain,
heparin sendiri atau dikombinasi dengan hidrokortison telah mengurangi kekerapan phlebitis, tetapi penggunaan
heparin pada larutan yang mengandung lipid dapat disertai dengan pembentukan endapan kalsium.

B. Jenis cairan infus


Pembagian jenis cairan infus tergantung pada konteks apa cairan tersebut yang akan dibedakan, bisa
berdasarkan tonisitas suatu larutan, besar molekul suatu cairan, atau dibedakan pada komposisi atau kandungan
dalam suatu larutan infus
Pembagian cairan infus menurut tonisitas suatu larutan, berdasarkan pada tekanan osmotik yang terdapat dalam
larutan tersebut, antara lain :
1. Larutan isotonik.
Adalah cairan infus yang mempunyai tekanan osmotik sama seperti cairan tubuh normal. Sebagai contoh :
normal saline (Na Cl0,9%), Ringer Laktat (RL).
2. Larutan hipotonik
Larutan dikatakan hipotonik apabila mempunyai tekanan osmotic lebih rendah dari cairan tubuh, misalnya :
D5%, dan cairan rumatan.
3. Larutan Hipertonik
Cairan infus yang memiliki tekanan osmotik lebih tinggi dari plasma darah disebut hipertonik. Contohnya adalah
cairan manitol.
Berdasarkan besar molekul yang terkandung dalam suatu larutan, cairan infus dapat dibedakan menjadi :
1. Cairan koloid.
Mempunyai ukuran molekul yang besar, sehingga tidak akan keluar dari membrane kapiler. Contohnya adalah
larutan albumin dan steroid.
2. Cairan kristaloid.
Ukuran molekulnya lebih kecil disbanding cairan koloid. Cairan ini berfungsi untuk mengisi sejumlah volume
cairan kedalam plasma (volume expander). Misalnya cairan NaCl 0,9% dan RL.
Sedangkan berdasarkan komposisi yang terkandung dalam suatu cairan infus, dapat dibedakan menjadi :
1. Cairan elektrolit
Cairan ini diberikan untuk memenuhi kebutuhan akan beberapa elektolit tubuh yang mengalami kekurangan,
misalnya NaCl, RL, Ringer Asetat.
2. Cairan nutrisi
Untuk cairan ini komposisi yang ada dalam larutan diberikan untuk memberikan dukungan nutrisi.
C. Nutrisi Parentral
1. Pengertian
Istilah untuk pemberian cairan nutrisi yang diberikan secara parenteral ada bermacam – macam. Istilah
Intravenous Hyperalimentasion (IVH) sering dihubungkan dengan pemberian asam amino dan cairan
hiperosmoler dekstrosa yang banyak, yang menghasilkan produksi nitrogen dalam proses katabolisme. Total
Parenteral Nutrition (TPN) sering diartikan pemberian semua kebutuhan nutrisi melalui jalur intravena.
Suplemental Parenteral Nutrition (SPN) adalah pemberian beberapa substrat nutrisi yang diperlukan. Ada lagi
istilah central parenteral nutrition (CPN) dan peripher parenteral nutrition (PPN), yang dihubungkan dengan
rute atau cara yang digunakan dalam memberikaan cairan nutrisi parenteral, apakah melalui akses vena perifer
ataukah melalui akses vena sentral. Dari semua istilah tersebut TPN lebih sering digunakan sebagai pengertian
pemebrian nutrisi melalui jalur vena, walaupun para ahli lebih menyukai penggunaan istilah Parenteral
Nutrition atau PN ( Hamilton, Helen. 2000).
2. Indikasi pemberian
Setiap pasien yang masuk RS harus dinilai status nutrisinya dengan cepat (quick nutritional assesment) untuk
dapat memberikan informasi tentang kebutuhan akan dukungan nutrisi yang diperlukan. Pengkajian yang
dilakukan bisa melalui parameter penampilan klinis ataupun melalui pemeriksaan biokimia.
Untuk penampilan klinis dapat dilakukan asessmen tentang total kehilangan berat badan, riwayat vomitus,
anoreksia, diare dan penilaian klinis pada otot dan jaringan lemak. Pemeriksaan biokimia bisa dilakukan mulai
dari yang sederhana, misalkan pemeriksaan yang sering dilakukan adalah penilaian terhadap serum albumin.
Nilai kadar albumin kurang dari 3,5 gr/dl mengindikasikan adanya malnutrisi moderat, sedangkan nilai albumin
kurang dari 3 gr/dl dikatakan sebagai kondisi malnutrisi berat. Penilaian biokimia dapat dilakukan yang lebih
akurat dengan pemeriksaan serum pre-albumin dan retinol, akantetapi pemeriksaan ini jarang dilakukan dan
butuh biaya mahal. (Labeda, 2001)
Sebagai contoh pasien yang didapatkan keadaan malnutrisi berat harus segera mendapatkan dukungan nutrisi,
melalui jalur intravaskuler apabila jalur enteral tidak memungkinkan. Beberapa keadaan yang diindikasikan
untuk pemberian nutrisi parenteral, antara lain :
Tabel 2.3 Indikasi pemberian nutrisi parenteral
Absolut
Kondisi saluran pecernaan yang tidak adekuat.
Short Bowel Syndrome ( oleh karena prosedur
operasi) Illeus paralitik
Adanya obstruksi mekanik non-operatif.
Relative
Severe radiation enteritis.
Diarhe refractory.
Kelainan serum elektrolit, glukosa dan mineral.
Intoleran pemberian makanan enteral.
Vomiting refractory.

3. Komposisi nutrisi parenteral


a. Larutan dextrose hipertonik.
Larutan Dextrosa Hypertonik adalah larutan awal yang digunakan untuk TPN. Larutan dektrosa hipertonik ini
harus di infus melalui jalur sentral vena besar, high-flow untuk menghindari thrombophlebitis.
b. Larutan lemak (lipid)
Lemak menghasilkan 9 kalori/gram sedangkan dextrosa menghasilkan 4 kalori/gram. Keuntungan tambahan dari
larutan lemak adalah isotonis, sehingga dapat di infus lewat perifer. Lemak sangat dibutuhkan oleh pasien-pasien
yang mengalami stress, karena metabolisme lebih banyak penggunaan lemak daripada glukosa selama stress
phase. Larutan lemak juga mengandung asam lemak esensial seperti acid Arachidonic, acid Linolenic, dan acid
Linoleic meskipun kandungannya sangat kecil.
Larutan lemak untuk TPN berupa emulsi (minyak dalam air) yang stabil tapi tidak dapat bertahan dengan
beberapa zat tambahan. Penambahan dextrosa konsentrasi tinggi atau larutan acidic/obat-obatan dapat merusak
emulsi ini, lemak akan membentuk lapisan pemisah. Infus dengan larutan yang telah terurai ini dapat berakibat
fatal. Meskipun hal seperti ini jarang ditemukan, tetapi tetap harus diperhatikan bila mencampur emulsi lemak
dengan larutan lain.
c. Larutan asam amino
Larutan asam amino harus dibedakan dari larutan protein tersedia lainnya misalnya Albumin atau Plasma.
Larutan Albumin dan Plasma mengandung molekul protein yang lebih besar yang akan dipecah menjadi asam
amino sebelum digunakan untuk menyusun komposisi protein baru. Sebaliknya asam amino sederhana dapat
digunakan secara langsung untuk menyusun komposisi protein baru. Larutaan asaam amino tidak menimbulkan
resiko transmisi infeksi seperti pada larutan Albumin atau Plasma. Asam amino jika dioxidasi menghasikan 4
kal/gr. Walaupun demikian larutan ini, harus dilindungi dari oxidasi yang tidak perlu dan harus murni digunakan
untuk penyusunan protein. Hal ini dapat dicapai dengan menyediakan sejumlah substrat energi yang adekuat
secara bersamaan (dextrose, lemak). Untuk itu, sebelum infus asam amino diberikan, ketersediaan kalori yang
adekuat harus dipastikan dulu.
Ada beberapa macam larutan asam amino yang bersifat khusus dalam penggunaannya, yang biasaanya
disesuaikan dengan penyakit dasarnya. Pada pasien-pasien dengan penyakit hati lebih baik menggunakan asam
amino Branched-chain. Larutan asam amino yang diperkaya dengan Glutamine terbukti meningkatkan
survivalitas pada pasien-pasien dengan stress. Arginine memperbaiki fungsi imun. Larutan asam amino yang
diperkaya dengan asam amino esensial terbukti bermanfaat pada pasien-pasien dengan gagal ginjal.
Sediaan asam amino biasanya dalam larutan 10%. Ini terlalu hyperosmolar untuk penggunaan perifer. Tersedia
juga larutan 5% yang dapat digunakan secara perifer untuk beberapa hari. Asam amino tidak mempunyai efek
samping yang berat. Meskipun demikian asam amino dosis tinggi harus dihindari pada Encephalopathy hepatis.
(Labeda.Ibrahim, 2001)
d. Multivitamin dan Trace elemen
Kebanyakan pasien telah mengalami defesiensi vitamin dan trace elemen saat diberikan TPN, sehingga harus
diberikan suplemen sesegera mungkin. Larutan multivitamin dan Trace Elemen keduanya relatif tidak stabil bila
dicampur dan tidak tersedia dalam komposisi larutan TPN siap pakai serta digunakan hanya sebelum larutan
yang lain diberikan. Trace Elemen oral dapat diberikan jika pasien mampu untuk intake oral walaupun dengan
jumlah yang sangat sedikit.
e. Zat additive lainnya.
Pada pasien diabetes cenderung terjadi hyperglicaemi karena penggunaan larutan hypertonis dengan volume
yang besar. Bahkan pasien non-diabetes harus memerlukan insulin jika terdapat glycosuria selama infus dextrosa
hypertonis. Suplemen Calcium diberikan secara khusus karena merusak larutan TPN dan jika dibutuhkan
diberikan lewat jalur vena lainnya. Jika bercampur dengan larutan TPN, calcium dapat menyebabkan presipitasi
dari setiap phosphate inorganik dalam larutan tersebut dan infus seperti ini sangat berbahaya. Dengan adanya
lemak dalam larutan TPN akan mengganggu perkiraan presipitasi yang terjadi. Larutan-larutan TPN khusus yang
mengandung phophate organik yang tidak dapat terpresipitasi juga mengandung calcium.
Heparin kadang-kadang juga ditambahkan pada larutan all-in-one dengan kadar yang kecil untuk mengurangi
terjadinya thrombophlebitis dan thrombosis vena. Juga memperlancar metabolisme lemak.
f. Larutan All in one
Larutan-larutan all-in-one (juga disebut dengan larutan Three-in-one) merupakan pengembangan terapi TPN
yang paling besar saat ini. Larutan asam amino, larutan dextrosa hypertonik dan emulsi lemak dicampur didalam
satu komposisi dan diberikan sebagai infus. Keuntungan dari jenis ini adalah:
1. Mengurangi resiko infeksi. Setiap penggantian botol infus di bangsal membawa resiko infeksi melalui jalur
sentral. Dengan penambahan semua larutan ke dalam satu wadah yang aseptik akan mengurangi jumlah
penggantian infus menjadi sekali sehari, mengurangi angka kejadian infeksi.
2. Larutan yang diberikan menjadi lebih cair. Dengan penambahan larutan asam amino dan larutan lemak akan
melarutkan larutan dextrosa dan sebaliknya. Sehingga 250 gr glukosa (rata-rata kebutuhan perhari) dapat
diberikan seperti halnya 1000 ml dextrosa 25% atau seperti halnya 2.500 ml dextrosa 10%. 2.500 ml larutan,
pada contoh ini, dapat dicapai dengan mencampurkan 1000 ml dextrosa 25% dengan 500 ml larutan lemak, 500
ml larutan asam amino dan 500 ml normal saline. Ini akan melarutkan dextrosa dan larutan asam amino
hypertonis. Dengan campuran kadar lemak yang tinggi dari larutan Three-in-one, infus lewat vena perifer dapat
diberikan.

4. Komplikasi pemberian nutrisi parenteral


Beberapa komplikasi yang dapat timbul akibat pemberian cairan nutrisi parenteral harus selalu menjadi
perhatian, baik komplikasi metabolik maupun komplikasi terkait dengan jalur pemberian cairan nutrisi
parenteral. Komplikasi metabolik akibat pemberian cairan nutrisi parenteral bisa menjadi serius, tetapi bisa
diminimalkan dengan pemantauan yang adekuat. Komplikasi metabolic mencakup defisiensi metabolic,
khususnya kalium, magnesium fosfor dan magnesium. Dengan pemberian dektrosa bisa menimbulkan kejadian
hiperglikemia, yang dapat memperburuk prognosa penyakit yang diderita misalkan mikoard infark, stroke, dan
pasien post operasi jantung. Keadaan hiperglikemia juga bisa mengganggu fungsi leukosit sehingga
meningkatkan angka kejadian infeksi nosokomial. Hipertrigliseridemia bisa meningkatkan resiko perlemakan
hati (steatosis hepatis).

Tabel 2.4 Komplikasi metabolik terkait pemberian nutrisi parenteral


Komplikasi Bukti
Hiperglikemia Lebih dari 12 mmol/L
Hipoglikemia Kurang dari 3 mmol/L
KAD pH arteri kurang dari 7,3 ditambah
bendo keton urin atau serum
HONK Glukosa darah sangat tinggi, osmolaritas
serum lebih dari 350 mOsm/L, tanpa
benda keton
Kelainan elektrolit Nilai serum diluar kisaran normal
Hipertrigliseridemia Lebih dari 150% pagu atas normal
Asidosis Hiperkloremik Serum Chlorida lebih 115 mmol/L, pH
kurang 7,3
Hiperazotemia Lebih dari dua kali pagu atas normal.
Disfungsi hati Hasil ALT,AST,ALP, dan bilirubin lebih
dari dua kali pagu atas normal.
Kelebihan cairan Gagal jantung, edema
Koagulopati Waktu protrombin atau parsial
tromboplastin time lebih dari150% pagu
atas normal.

Sedangkan komplikasi pada jalur pemberian nutrisi parenteral antara lain ;


a. Jalur vena sentral
Jenis komplikasinya ialah trauma pada saraf-saraf dan pembuluh darah yang berdekatan, pneumothorax, emboli
udara, masuknya larutan TPN kedalam cavum pleura karena salah penempatan jalur dan infeksi. Letak dari
pemasangan pada semua jalur vena sentral harus dipastikan dengan x-ray sebelum diberikan infus. Harus dengan
prosedur aseptik.
b. Jalur vena perifer.
Thrombophlebitis merupakan komplikasi tersering dari TPN perifer.
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Plebitis masih merupakan masalah lazim dalam terapi cairan, ketika kita memberikan obat intravena, terapi
cairan rumatan serta nutrisi parenteral. Berbagai faktor terkait dan faktor-faktor predisposisi meliputi usia lanjut,
trauma, ukuran kateter besar, diabetes, infeksi, hiperosmolaritas, pH, teknik aseptik yang jelek dll. Klinisi harus
memikirkan sebab-sebab multifaktor ini dan melakukan pemantauan ketat untuk mencegah dan mengatasi
komplikasi serius.
Indikasi pemberian nutrisi perential
A. Absolut
1. kondisi saluran pencernaan yang tidak adekuat.
2. Short Bowel Syndrome (karena prosedur operasi).
3. Illeus Paralitik.
B. Relative
1. Severe Radiation Enteritis.
2. Diarhe Refractory.
3. Kelainan serum elektrolit, glukosa dan mineral.
4. Intoleran pemberian makanan enteral.
5. Vomiting refractory.
DAFTAR PUSTAKA
Alexander, M., Corrigan, A., Gorski, L. (2010). Infusion Nursing : An Evidence Based Approach. Saunders
Elsevier Inc.

Charney, P., & Malone, A. (2007). ADA Pocket Guide to Parenteral Nutrition. American Dietetic Asociation :
United State of America

Darmawan, I. (2008). Flebitis, apa penyebabnya dan bagaimana cara mengatasinya?.

Djojosugito, M Ahmad et. al. 2001. Buku Manual Pengendalian Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit. IDI,
Jakarta.

Farichah, H., Djasri, H., Kuntjoro, T. (2006). Pengalaman dalam penyusunan Standar Pelayanan Minimal RS
Sebagai bagian dari persyaratan Badan Layanan Umum. Buletin IHQN Volume II/Nomor. 03.

Hamilton, H. (200). Total Parenteral Nutrition : A Practical Guide for Nurses. Harcourt Publisher: London.

Ian D, Bier. (2000;5(4):347-354). Peripheral Intravenous Nutrition Therapy ; Outpatient, Office-Based


Administration

Nassaji, M., & Ghorbani, R. (2007). Peripheral Intravenous catheter related phlebitis and related risk factors.
Singapore Medicine Journal 48 (8) : 733.
Potter, Patricia A. and Perry, Anne G. 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan, Konsep, Proses, dan Praktik.
EGC, Jakarta

Royal College of Nursing. (2010). Standards for Infusion Therapy (3th ed). RCN IV forum.

Sharon Wienstein, Ada Lawrence Plumer, (2007). Principles and practice of intravenous therapy, edisi 8.
Lippincott Wiliams & Wilkins

Smeltzer, Suzanne C.(2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal – Bedah Brunner & Suddarth. Editor Suzanne C.
smeltzer. Alih Bahasa Monika Ester. EGC, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai

  • Bab 1
    Bab 1
    Dokumen4 halaman
    Bab 1
    Hamonangan Damanik
    Belum ada peringkat
  • Bab Iv
    Bab Iv
    Dokumen3 halaman
    Bab Iv
    Hamonangan Damanik
    Belum ada peringkat
  • BAB IV Eka - Doc 1
    BAB IV Eka - Doc 1
    Dokumen3 halaman
    BAB IV Eka - Doc 1
    Hamonangan Damanik
    Belum ada peringkat
  • Bab Vi
    Bab Vi
    Dokumen2 halaman
    Bab Vi
    Hamonangan Damanik
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen19 halaman
    Bab Ii
    Hamonangan Damanik
    Belum ada peringkat
  • Abstrak
    Abstrak
    Dokumen1 halaman
    Abstrak
    Hamonangan Damanik
    Belum ada peringkat
  • Bab Iii
    Bab Iii
    Dokumen4 halaman
    Bab Iii
    Hamonangan Damanik
    Belum ada peringkat
  • Soal Gadar
    Soal Gadar
    Dokumen10 halaman
    Soal Gadar
    Hamonangan Damanik
    100% (1)
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen5 halaman
    Bab I
    Hamonangan Damanik
    Belum ada peringkat
  • Bab Vi
    Bab Vi
    Dokumen2 halaman
    Bab Vi
    Hamonangan Damanik
    Belum ada peringkat
  • RPS KD 2 Perbaikan
    RPS KD 2 Perbaikan
    Dokumen12 halaman
    RPS KD 2 Perbaikan
    Hamonangan Damanik
    Belum ada peringkat
  • Soal Maternitas Natari
    Soal Maternitas Natari
    Dokumen8 halaman
    Soal Maternitas Natari
    Hamonangan Damanik
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen5 halaman
    Bab I
    Hamonangan Damanik
    Belum ada peringkat
  • Bab V
    Bab V
    Dokumen5 halaman
    Bab V
    Hamonangan Damanik
    Belum ada peringkat
  • Log Book Praktek Klinik
    Log Book Praktek Klinik
    Dokumen44 halaman
    Log Book Praktek Klinik
    Hamonangan Damanik
    Belum ada peringkat
  • RPS KD 2 Perbaikan
    RPS KD 2 Perbaikan
    Dokumen12 halaman
    RPS KD 2 Perbaikan
    Hamonangan Damanik
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen5 halaman
    Bab I
    Hamonangan Damanik
    Belum ada peringkat
  • Soal Gadar
    Soal Gadar
    Dokumen10 halaman
    Soal Gadar
    Hamonangan Damanik
    100% (1)
  • Soal 1
    Soal 1
    Dokumen1 halaman
    Soal 1
    Hamonangan Damanik
    Belum ada peringkat
  • PHLEBITIS
    PHLEBITIS
    Dokumen10 halaman
    PHLEBITIS
    Hamonangan Damanik
    Belum ada peringkat
  • Evaluasi PBM
    Evaluasi PBM
    Dokumen1 halaman
    Evaluasi PBM
    Hamonangan Damanik
    Belum ada peringkat
  • Soal 1
    Soal 1
    Dokumen1 halaman
    Soal 1
    Hamonangan Damanik
    Belum ada peringkat
  • RPS KD 1 Fix
    RPS KD 1 Fix
    Dokumen13 halaman
    RPS KD 1 Fix
    Hamonangan Damanik
    Belum ada peringkat
  • Soal 1
    Soal 1
    Dokumen8 halaman
    Soal 1
    Hamonangan Damanik
    Belum ada peringkat
  • Soal 1
    Soal 1
    Dokumen8 halaman
    Soal 1
    Hamonangan Damanik
    Belum ada peringkat
  • Soal 1
    Soal 1
    Dokumen8 halaman
    Soal 1
    Hamonangan Damanik
    Belum ada peringkat