BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan ilmu kedokteran tentang cairan dan tehnik pemberian cairan memberikan tantangan akan
pengetahuan tentang pengaruh dan respon yang dapat terjadi akibat pemberian cairan tersebut. Pada masa awal
tahun 1930-an penggunaan cairan infus yang dikenal hanya terbatas antara lain ; infus Nacl dan dextrose 5 % ,
akan tetapi sekarang ini telah banyak tersedia berbagai macam cairan mulai dari cairan infus untuk mengkoreksi
ketidakseimbangan elektrolit dan cairan infus yang merupakan suatu terapi dari suatu masalah kesehatan,
maupun cairan infus yang ditujukan untuk pemberian nutrisi (Wiensten. Sharon, 2007).
Cairan infus yang diindikasikan untuk pemenuhan kebutuhan nutrisi atau sering disebut nutrisi parenteral
juga mengalami banyak kemajuan. Nutrisi parenteral mengalami kemajuan yang bermakna, dimulai dengan
adanya aturan pemberian cairan nutrisi parenteral yang dikembangkan oleh Dr. Stanley Dudrik dan kolega pada
tahun 1970-an.
Studi terbaru menunjukkan kira-kira 40% pasien rawat inap mengalami malnutrisi dengan berbagai
derajat keparahan. Lebih dari 1/3 pasien bedah gastrointestinal mengalami malnutrisi sedang (Heys SD. 1999).
Pada penderita dengan penyakit kritis, baik yang diakibatkan oleh trauma, pembedahan, sepsis, luka bakar
maupun radio/kemoterapi, akan mengalami perubahan metabolisme dasar yang disebut stres metabolik. Respons
pada stress metabolik atau hipermetabolik ini meningkatkan kebutuhan energi, mempercepat proteolisis
diseluruh badan, katabolisme, lipolisis, peningkatan cardiac out put, peningkatan komsumsi oksigen dan
temperatur badan. Pada kondisi ini penderita harus mendapatkan tambahan nutrisi yang adekuat. Penambahan
yang paling baik adalah melalui enteral nutrisi, akan tetapi pada kondisi yang tidak memungkinkan penambahan
melalui enteral, pemberian nutrisi parenteral menjadi pilihan untuk pemenuhan nutrisi.
Tehnik atau cara pemberian melalui infus juga mengalami kemajuan, yang digunakan sebagai tindakan
diagnostik ataupun sebagai cara pemberian terapi. Salah satu cara pemberian yang paling sering digunakan
adalah pemasangan infus perifer atau perifer intravenous catheter (PIC) untuk memberikan transfusi darah, obat,
cairan maupun untuk pengambilan sampling darah (Nassaji dan Ghorbani, 2007).
Menurut United Kingdom of Central Council for Nursing, Midwifery and Health Visiting (UKCC) terapi
melalui infus sekarang ini merupakan bagian integral dalam praktek keperawatan profesional tidak hanya
mengawasi masuknya infus, akan tetapi dengan perkembangan ilmu keperawatan seorang perawat professional
akan terlibat dan bertanggungjawab akan pemasangan dan pelepasan katheter, dan juga bertanggungjawab akan
komplikasi akibat pemasangan katheter. UKCC tahun 1992 telah menerbitkan dokumen The Scope Of
Profesional Practice yang berisi tentang peningkatan pengetahuan, ketrampilan perawat dan tanggung jawab
terhadap tindakan yang dilakukan. Setelah tahun 2002 UKCC diganti dengan Nursing and Midwifery Council
(NMC) dengan menerbitkan dokumen The Code of Profesional Conduct, yang berisi tidak hanya keharusan
peningkatan pengetahuan dan ketrampilan perawat, akan tetapi perawat harus menerima tanggung gugat akan
tindakan yang dilakukan (Royal College of Nursing, 2010)
Sedemikian besar tanggung jawab yang dihadapkan pada seorang perawat akan tindakan pemberian infus
itu tentunya akan menjadi pemicu agar perawat terus berkembang dan meningkatkan kemampuannya. Seperti
telah diketahui bahwa semua tindakan akan memberikan dampak baik yang positif atau negatif atau dengan kata
lain memberikan komplikasi. Pada tindakan pemasangan infus dikenal dengan adanya komplikasi sistemik dan
komplikasi lokal antara lain phlebitis, ekstravasasi, infiltrasi dan hematoma.
Salah satu komplikasi yang sering didapatkan dari kathether intravena adalah kejadian phlebitis. Phlebitis
merupakan inflamasi vena yang disebabkan oleh iritasi kimia maupun mekanik. Hal ini ditunjukkan dengan
adanya daerah yang merah, nyeri dan pembengkakan di daerah penusukan atau sepanjang vena. Insiden plebitis
meningkat sesuai dengan lamanya pemasangan jalur intravena. Komplikasi cairan atau obat yang diinfuskan
(terutama PH dan tonisitasnya), ukuran dan tempat kanula dimasukkan. Pemasangan jalur IV yang tidak sesuai,
dan masuknya mikroorganisme pada saat penusukan (Brunner dan Sudarth, 2002). Akibat dari kejadian phlebitis
yang dapat menimbulkan masalah pada ketidaknyamanan pasien, penggantian katheter baru, menambah lama
perawatan, dan akan menambah biaya perawatan.
Berdasarkan laporan hasil penelitian Nassaji dan Ghorbani yang dilakukan mulai bulan April 2003
sampai dengan Pebruari 2004 pada suatu rumah sakit di Semman Iran, didapatkan hasil, komplikasi pemberian
infus berupa phlebitis sebesar 26 %. Dan telah banyak penelitian dilakukan dalam hal kejadian phlebitis yang
akhirnya dapat digunakan sebagai pedoman dalam pemberian cairan infus. Seperti penelitian yang dilakukan
oleh pujasari tahun 2002 di suatu bangsal penyakit dalam salah satu RSU di Jakarta pada tahun 2001, ditemukan
angka kejadian plebitis sebesar 10,1% (11 dari 109 responden), dengan prosentase menurut lama waktu
terpasangnya infus adalah pada hari pertama (0-24 jam ) sebesar 18,2%, pada hari kedua ( >24-48 jam ) sebesar
54,5%, dan pada hari ketiga (>48-72 jam) sebesar 27,2%. Sedangkan prosentase berdasarkan lokasi yang lebih
banyak menimbulkan plebitis adalah vena metakarpal (72;7 %), dan kemudian pada vena sefalika (27,3%).
Khusus penelitian yang dilakukan berkaitan dengan pemberian infus nutrisi parenteral seperti yang
dilakukan oleh Nordenstrom J dkk (2005) angka kejadian phlebitis yang terjadi sebesar 18 % pada pasien yang
dirawat di bangsal bedah (Darmawan, 2008). Dalam sebuah artikel berjudul ”Peripher Intravenous Nutrition
Therapy”, Bier D. Ian menyatakan adanya perhatian khusus pada osmolaritas cairan, lama pemasangan,
kecepatan tetesan dalam memberikan terapi nutrisi parenteral. Hal tersebut didasarkan pada beberapa penelitian
yang telah banyak dilakukan seperti dilaporkan Gazitua dkk (1979) kejadian kekerapan terjadinya phlebitis pada
pemberian cairan yang mempunyai osmolaritas lebih dari 600 mOsm/L, dan peningkatan kejadian phlebitis pada
pemberian cairan yang berisi amino acid. Sedangkan hasil penelitian Daly dkk (1985) tidak ada perbedaan
kejadian phlebitis antara pasien yang mendapatkan cairan nutrisi hiperosmoler dengan cairan iso-osmoler. Lama
terpasangnya katheter IV juga mempunyai pengaruh yang besar terhadap kejadian phlebitis, seperti yang
dilaporkan oleh Lundgren dkk (1996) yang mempelajari hubungan antara lama terpasangnya infus dan kejadian
phlebitis, menemukan hasil yang signifikan dimana frekuensi kejadian meningkat pada pasien yang terpasang
selama lima hari dibanding kelompok kontrol yang terpasang kurang dari 24 jam. (Ian D. Bier, 2000)
Untuk RS Dr. Kariadi, angka kejadian phlebitis yang berkaitan dengan pemasangan infus nurtisi
parenteral belum pencatatan yang adekuat, hal ini mungkin kurangnya kesadaran dari tingkat pelaksana.
Berdasarkan laporan dari The Antimicrobial Resistance in Indonesia : Prevalence and Preventing (AMRIN –
Study) yang melakukan penelitian di dua rumah sakit yaitu RS. Dr Sutomo dan RS. Dr. Kariadi selama tahun
2003 sampai dengan 2004, mencatat khususnya untuk RS Dr. Kariadi, bahwa 60 % pasien yang dirawat
menerima prosedur infasif, dan angka kejadian phlebitis hampir 4 %. Hal tersebut menjadi perhatian khusus jika
merujuk pada Kepmenkes No. 228 / 2002, tentang penyusunan Standar Pelayanan Minimal RS pada indikator
pelayanan rawat inap, dimana angka kejadian phlebitis harus kurang dari 2 %. (Buletin IHQN, 2006) .
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang dapat diambil berdasarkan uraian latar belakang masalah adalah faktor – faktor apa saja
yang mempengaruhi kejadian phlebitis pada pemberian cairan nutrisi parenteral.
C. Tujuan
1. Tujuan umum
Mengetahui faktor – faktor yang berhubungan dengan kejadian phlebitis pada pemberian cairan nutrisi
parenteral.
2. Tujuan khusus.
a. Mendeskripsikan osmolaritas cairan, yang diberikan pada pemberian nutrisi parenteral.
b. Mendeskripsikan lokasi pemasangan dan tehnik perawatan balutan yang dilakukan dalam pemberian nutrisi
parenteral.
c. Mendeskripsikan kejadian phlebitis.
d. Menganalisis osmolaritas cairan dengan kejadian phlebitis.
e. Menganalisis lokasi pemasangan, tehnik perawatan dan jenis kelamin dengan kejadian phlebitis.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Phlebitis
1. Pengertian
Dalam pemberian terapi intravena tidak bisa lepas dari adanya komplikasi. Komplikasi yang bisa didapatkan
dari pemberian terapi intravena adalah komplikasi sistemik dan komplikasi lokal. Komplikasi sistemik lebih
jarang terjadi tetapi seringkali lebih serius dibanding komplikasi lokal seperti kelebihan sirkulasi, emboli udara
dan infeksi. Komplikasi lokal dari terapi intravena antara lain infiltrasi, phlebitis, trombophlebitis, hematoma,
dan ekstravasasi (Potter and Perry, 2005)
Phlebitis merupakan inflamasi vena yang disebabkan oleh iritasi kimia maupun mekanik. Hal ini ditunjukkan
dengan adanya daerah yang merah, nyeri dan pembengkakan di daerah penusukan atau sepanjang vena. Insiden
plebitis meningkat sesuai dengan lamanya pemasangan jalur intravena. Komplikasi cairan atau obat yang
diinfuskan (terutama PH dan tonisitasnya), ukuran dan tempat kanula dimasukkan. Pemasangan jalur IV yang
tidak sesuai, dan masuknya mikroorganisme pada saat penusukan (Brunner dan Sudarth, 2002)
Menurut Infusion Nursing Society (INS, 2006) phlebitis merupakan peradangan pada tunika intima
pembuluh darah vena, yang sering dilaporkan sebagai komplikasi pemberian terapi infus. Peradangan didapatkan
dari mekanisme iritasi yang terjadi pada endhothelium tunika intima vena, dan perlekatan tombosit pada area
tersebut.
2. Klasifikasi Phlebitis
Pengklasifikasian phlebitis didasarkan pada faktor penyebabnya. Ada empat kategori penyebab terjadinya
phlebitis yaitu kimia, mekanik, agen infeksi, dan post infus (INS, 2006)
a. Chemical Phlebitis (Phlebitis kimia)
Kejadian phlebitis ini dihubungkan dengan bentuk respon yang terjadi pada tunika intima vena dengan bahan
kimia yang menyebabkan reaksi peradangan. Reaksi peradangan dapat terjadi akibat dari jenis cairan yang
diberikan atau bahan material kateter yang digunakan. PH darah normal terletak antara 7,35 – 7,45 dan
cenderung basa. PH cairan yang diperlukan dalam pemberian terapi adalah 7 yang berarti adalah netral. Ada
kalanya suatu larutan diperlukan konsentrasi yang lebih asam untuk mencegah terjadinya karamelisasi dekstrosa
dalam proses sterilisasi autoclaf, jadi larutan yang mengandung glukosa, asam amino, dan lipid yang biasa
digunakan dalam nutrisi parenteral lebih bersifat flebitogenik. Osmolalitas diartikan sebagai konsentrasi sebuah
larutan atau jumlah partikel yang larut dalam suatu larutan. Pada orang sehat, konsentrasi plasma manusia adalah
285 ± 10 mOsm/kg H20 (Sylvia, 1991). Larutan sering dikategorikan sebagai larutan isotonik, hipotonik atau
hipertonik, sesuai dengan osmolalitas total larutan tersebut dibanding dengan osmolalitas plasma. Larutan
isotonik adalah larutan yang memiliki osmolalitas total sebesar 280 – 310 mOsm/L, larutan yang memliki
osmolalitas kurang dari itu disebut hipotonik, sedangkan yang melebihi disebut larutan hipertonik. Tonisitas
suatu larutan tidak hanya berpengaruh terhadap status fisik klien akaan tetapi juga berpengaruh terhadap tunika
intima pembuluh darah. Dinding tunika inti mati.
Kecepatan pemberian larutan intravena juga dianggap salah satu penyebab utama kejadian phlebitis. Pada
pemberian dengan kecepatan rendah mengurangi irritasi pada dinding pembuluh darah. Penggunaan material
katheter juga berperan pada kejadian phlebitis. Bahan kateter yang terbuat dari polivinil klorida atau polietelin
(teflon) mempunyai resiko terjadi phlebitis lebih besar dibanding bahan yang terbuat dari silikon atau poliuretan
(INS,2006).
Partikel materi yang terbentuk dari cairan atau campuran obat yang tidak sempurna diduga juga bisa
menyebabkan resiko terjadinya phlebitis. Penggunaan filter dengan ukuran 1 sampai dengan 5 mikron pada infus
set, akan menurunkan atau meminimalkan resiko phlebitis akibat partikel materi yang terbentuk tersebut.
(Darmawan, 2008)
b. Mechanical Phlebitis (phlebitis mekanik)
Phlebitis mekanikal sering dihubungkan dengan pemasangan atau penempatan katheter intravena.
Penempatan katheter pada area fleksi lebih sering menimbulkan kejadian phlebitis, oleh karena pada saat
ekstremitas digerakkan katheter yang terpasang ikut bergerak dan meyebabkan trauma pada dinding vena.
Penggunaan ukuran katheter yang besar pada vena yang kecil juga dapat mengiritasi dinding vena. (The Centers
for Disease Control and Prevention, 2002)
c. Backterial Phlebitis (Phlebitis Bakteri)
Phlebitis bacterial adalah peradangan vena yang berhubungan dengan adanya kolonisasi bakteri. Berdasarkan
laporan dari The Centers for Disease Control and Prevention (CDC) tahun 2002 dalam artikel intravaskuler
catheter – related infection in adult and pediatric kuman yang sering dijumpai pada pemasangan katheter infus
adalah stapylococus dan bakteri gram negative, tetapi dengan epidemic HIV / AIDS infeksi oleh karena jamur
dilaporkan meningkat.
Tabel 2.1 Kuman pathogen yang sering ditemukan di aliran darah Pathogen
Phatogen 1986 – 1989 1992 - 1999
Coagulase-negatif Staphylococus 27 37
S Aureus 16 13
Enterococcus 8 13
E coli 6 2
Enterobacter 5 5
P aeruginosa 4 4
K pneumoniae 4 3
Candida species 8 8
Gram-negatif rods 19 14
Adanya bakterial phlebitis bisa menjadi masalah yang serius sebagai predisposisi komplikasi sistemik yaitu
septicemia. Faktor – faktor yang berperan dalam kejadian phlebitis bakteri antara lain :
1. Teknik cuci tangan yang tidak baik.
2. Teknik aseptik yang kurang pada saat penusukan.
3. Tehnik pemasangan katheter yang buruk.
4. Pemasangan yang terlalu lama. (INS, 2002)
Cuci tangan merupakan hal yang penting untuk mencegah kontaminasi dari petugas kesehatan dalam
tindakan pemasangan infus. Dalam pesan kewaspadaan universal petugas kesehatan yang melakukan tindakan
invansif harus memakai sarung tangan. Meskipun telah memakai sarung tangan, tehnik cuci tangan yang baik
harus tetap dilakukan dikarenakan adanya kemungkinan sarung tangan robek, dan bakteri mudah berkembang
biak di lingkungan sarung tangan yang basah dan hangat, terutama sarung tangan yang robek ( CDC, 1989).
Tujuan dari cuci tangan sendiri adalah menghilangkan kotoran dan debu secara mekanis dari permukaan kulit
dan mengurangi jumlah mikroorganisme sementara. Cuci tangan menggunakan sabun biasa dan air, sama
efektifnya dengan cuci tangan menggunakan sabun anti mikroba (Pereira, Lee dan Wade, 1990).
Selama prosedur pemasangan atau penusukan harus menggunakan tehnik aseptic. Area yang akan dilakukan
penusukan harus dibersihkan dahulu untuk meminimalkan mikroorganisme yang ada, bila kulit kelihatan kotor
harus dibersihkan dahulu dengan sabun dan air sebelum diberikan larutan antiseptic.
Lama pemasangan katheter infus sering dikaitkan dengan insidensi kejadian phlebitis. May dkk (2005)
melaporkan hasil, di mana mengganti tempat (rotasi) kanula ke lengan kontralateral setiap hari pada 15 pasien
menyebabkan bebas flebitis. Namun, dalam uji kontrol acak yang dipublikasi baru-baru ini oleh Webster
disimpulkan bahwa kateter bisa dibiarkan aman di tempatnya lebih dari 72 jam JIKA tidak ada kontraindikasi.
The Centers for Disease Control and Prevention menganjurkan penggantian kateter setiap 72-96 jam untuk
membatasi potensi infeksi (Darmawan, 2008)
d. Post Infus Phlebitis
Phlebitis post infus juga sering dilaporkan kejadiannya sebagai akibat pemasangan infus. Phlebitis post infus
adalah peradangan pada vena yang didapatkan 48 – 96 jam setelah pelepasan infus. Faktor yang berperan dengan
kejadian phlebitis post infus, antara lai :
1. Tehnik pemasangan catheter yang tidak baik.
2. Pada pasien dengan retardasi mental.
3. Kondisi vena yang baik.
4. Pemberian cairan yang hipertonik atau terlalu asam.
5. Ukuran katheter terlalu besar pada vena yang kecil.
3. Diagnosa dan Pengenalan tanda Phlebitis
Phlebitis dapat didiagnosa atau dinilai melalui pengamatan visual yang dilakukan oleh perawat. Andrew Jackson
telah mengembangkan skor visual untuk kejadian phlebitis, yaitu :
Tabel 2.2 VIP Score ( Visual Infusion Phlebitis Score) oleh Andrew Jackson.
SKOR KEADAAN AREA PENUSUKAN PENILAIAN
0 Tempat suntikan tampak sehat Tak ada tanda
phlebitis
1 Salah satu dari berikut jelas Mungkin tanda dini
a. Nyeri area penusukan phlebitis
b. Adanya eritema di area
penusukan
Gambar 2.2
KESIMPULAN
Plebitis masih merupakan masalah lazim dalam terapi cairan, ketika kita memberikan obat intravena, terapi
cairan rumatan serta nutrisi parenteral. Berbagai faktor terkait dan faktor-faktor predisposisi meliputi usia lanjut,
trauma, ukuran kateter besar, diabetes, infeksi, hiperosmolaritas, pH, teknik aseptik yang jelek dll. Klinisi harus
memikirkan sebab-sebab multifaktor ini dan melakukan pemantauan ketat untuk mencegah dan mengatasi
komplikasi serius.
Indikasi pemberian nutrisi perential
A. Absolut
1. kondisi saluran pencernaan yang tidak adekuat.
2. Short Bowel Syndrome (karena prosedur operasi).
3. Illeus Paralitik.
B. Relative
1. Severe Radiation Enteritis.
2. Diarhe Refractory.
3. Kelainan serum elektrolit, glukosa dan mineral.
4. Intoleran pemberian makanan enteral.
5. Vomiting refractory.
DAFTAR PUSTAKA
Alexander, M., Corrigan, A., Gorski, L. (2010). Infusion Nursing : An Evidence Based Approach. Saunders
Elsevier Inc.
Charney, P., & Malone, A. (2007). ADA Pocket Guide to Parenteral Nutrition. American Dietetic Asociation :
United State of America
Djojosugito, M Ahmad et. al. 2001. Buku Manual Pengendalian Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit. IDI,
Jakarta.
Farichah, H., Djasri, H., Kuntjoro, T. (2006). Pengalaman dalam penyusunan Standar Pelayanan Minimal RS
Sebagai bagian dari persyaratan Badan Layanan Umum. Buletin IHQN Volume II/Nomor. 03.
Hamilton, H. (200). Total Parenteral Nutrition : A Practical Guide for Nurses. Harcourt Publisher: London.
Nassaji, M., & Ghorbani, R. (2007). Peripheral Intravenous catheter related phlebitis and related risk factors.
Singapore Medicine Journal 48 (8) : 733.
Potter, Patricia A. and Perry, Anne G. 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan, Konsep, Proses, dan Praktik.
EGC, Jakarta
Royal College of Nursing. (2010). Standards for Infusion Therapy (3th ed). RCN IV forum.
Sharon Wienstein, Ada Lawrence Plumer, (2007). Principles and practice of intravenous therapy, edisi 8.
Lippincott Wiliams & Wilkins
Smeltzer, Suzanne C.(2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal – Bedah Brunner & Suddarth. Editor Suzanne C.
smeltzer. Alih Bahasa Monika Ester. EGC, Jakarta