Anda di halaman 1dari 29

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kabupaten Bojonegoro


2.1.1 Demografik Bojonegoro
Secara administrasi Kabupaten Bojonegoro dibagi menjadi 27 kecamatan dengan
419 desa dan 11 kelurahan dengan luas wilayah keseluruhan adalah 230.706 Ha. Kabupaten
Bojonegoro bagian dari Propinsi Jawa Timur dengan jarak 110 km dari ibukota propinsi
dan berbatasan langsung dengan Propinsi Jawa Tengah.
Dengan luas wilayah keseluruhan 230.706 ha, 40,15% wilayah Bojonegoro
merupakan wilayah hutan Negara yang sebagian besar berada di wilayah Selatan
Bojonegoro, 32,58% berikutnya berupa lahan sawah yang sebagian besar berada di sepanjang
aliran Sungai Bengawan Solo. Sebanyak 22,42% merupakan tanah kering dan sisanya 4,85%
adalah perkebunan dan lain-lain.
Pegawai Negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara sebagai abdi
masyarakat atau pelayan publik, Sedangkan fungsinya memberikan pelayanan kepada
masyarakat secara profesional, jujur, adil dan merata dalam penyelenggaraan tugas
negara, pemerintahan dan pembangunan. Untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan
sumber daya manusia yang memadai. Semakin tinggi pendidikan yang dimiliki diharapkan
memunculkan PNS yang ko berpendidikan sarjana, dan 23,78 persen masih
berpendidikan SMA kebawah. Tabel
2.1.2 Keadaan Penduduk Bojonegoro
Jumlah penduduk dan kepadatan penduduk pada suatu wilayah dapat digunakan
sebagai tolok ukur untuk mengetahui kecenderungan penyebaran penduduk. Jumlah
penduduk yang besar cenderung mengelompok pada tempat-tempat tertentu sehingga
menyebabkan pola penyebaran bervariasi. Kepadatan penduduk yang tinggi pada
umumnya dapat dijumpai pada daerah-daerah yang mempunyai aktifitas tinggi, adanya
sarana transportasi yang memadai dan keadaan sosial ekonomi yang lebih baik.
Sebaliknya kepadatan penduduk yang rendah pada umumnya terdapat pada daerah-
daerah yang aktifitas ekonomi yang relatif masih rendah dan keadaan sarana transportasi
yang masih sulit. Kabupaten Bojonegoro memiliki jumlah penduduk sebesar 1.430.316 jiwa
atau 403.468 KK yang terdiri dari 721.445 laki-laki dan 708.871 perempuan.
Sektor pertanian merupakan sektor utama dalam perekonomian Kabupaten
Bojonegoro sehingga penduduk Kabupaten Bojonegoro sebagian besar bermata
pencaharian sebagai petani. Dilihat dari struktur penduduk, masyarakat Kabupaten
Bojonegoro didominasi penduduk usia muda. Konsentrasi penduduk sebagian besar
berada pada kelompok usia 25-44 tahun dan paling sedikit penduduk pada usia 70-74
tahun. Dengan struktur penduduk yang didominasi oleh usia produktif merupakan
modal utama untuk meningkatkan produktifitas wilayah. Dengan terus meningkatkan
kualitas Sumber Daya Manusia maka potensi yang dimiliki Kabupaten Bojonegoro
dapat dimanfaatkan dengan maksimal dan berdaya saing.
Tingkat pertumbuhan penduduk yang relatif tinggi sangat mempengaruhi
pertumbuhan angkatan kerja. Semakin bertambahnya penduduk usia kerja akan
berpengaruh pada pertambahan jumlah angkatan kerja, baik sebagai pekerja maupun
pencari kerja. Peningkatan tersebut jika tidak diimbangi dengan pasar kerja yang besar maka
akan menimbulkan dampak kerawanan sosial dengan banyaknya pengangguran. Mengenai
ketenagakerjaan, jumlah penduduk usia kerja tercatat naik signifikan yaitu dari 6,47 persen
pada tahun 2010 menjadi 40,23 persen pada Tahun 2011. Begitu pula jumlah angkatan
kerja selama dua tahun terakhir mengalami kenaikan yaitu naik sebesar 5,62 persen pada
Tahun 2010 dan 6,00 persen di Tahun 2011. Kenaikan dua variabel diatas, yaitu Angkatan
kerja dan penduduk usia kerja, menyebabkan terjadinya penurunan Tingkat Partisipasi
Angkatan Kerja (TPAK) di Kabupaten Bojonegoro. Untuk Tahun 2009 TPAK Bojonegoro
tercatat sebesar 67,16 persen, kemudian turun menjadi 66,62 persen di Tahun 2010,
hingga akhirnya melorot 50,36 persen di Tahun 2011. Jumlah lowongan kerja yang
tersedia di Tahun 2011, yaitu sebesar 1.750 lowongan jauh menurun dibandingkan
tahun sebelumnya yaitu sebanyak 3.895 di Tahun 2009 dan 6.585 lowongan di Tahun
2010

2.1.3 Tingkat Pendidikan


Banyak pendapat yang mengatakan bahwa hanya negara yang mempunyai
Sumber Daya Manusia (SDM) berkualitas yang akan mampu bersaing dengan negara lain
dalam era globalisasi. Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah khususnya pemerintah
daerah perlu lebih mengedepankan upaya peningkatan kualitas SDM melalui program-
program pem-bangunan yang lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan pen-didikan
baik formal maupun non formal. Karena sudah saatnya masyarakat menyadari bahwa
pendidikan merupakan kebutuhan yang tak kalah pentingnya dibandingkan dengan
kebutuhan lainnya. Dalam institusi terkecil seperti rumahtangga, pendidikan seyogyanya
telah menjadi kebu-tuhan utama. Kewajiban pemerintah untuk memfasilitasi hal
tersebut, karena bagaimanapun juga SDM yang bermutu merupakan syarat utama bagi
terbentuknya peradaban yang baik.
Rasio guru murid untuk Sekolah Dasar Negeri di Kabupaten Bojonegoro pada
Tahun 2011 tercatat 1: 12, sedangkan untuk rasio guru murid Sekolah Dasar Swasta di
Kabupaten Bojonegoro pada tahun yang sama adalah sebesar 1: 15. Untuk sekolah
lanjutan tingkat pertama negeri tercatat rasio guru murid sebesar 1:16 di Tahun 2011,
sedangkan untuk rasio guru murid Sekolah menengah pertama Swasta di Kabupaten
Bojonegoro pada tahun yang sama adalah sebesar 1: 9. Selanjutnya, untuk sekolah
lanjutan tingkat atas negeri tercatat rasio guru murid sebesar 1:14 di Tahun 2011, sedangkan
untuk rasio guru murid Sekolah menengah atas di Kabupaten Bojonegoro pada tahun
yang sama adalah sebesar 1: 8 Selain untuk mengurangi angka buta huruf, kejar paket
A,B dan C juga merupakan solusi bagi mereka yang sudah berusia di atas usia sekolah
namun ingin memiliki pengetahuan, kemampuan dan ijazah setara dengan SD, SMP
atau SMA. Kejar Paket A setara dengan Sekolah Dasar (SD), Kejar Paket B setara
dengan Sekolah Menengah Pertama (SMP), sedangkan Kejar Paket C setara dengan Sekolah
Menengah Atas (SMA).
Melalui program kejar paket tersebut siswa akan mendapatkan pelajaran setara
dengan tingkatannya. Di akhir program mereka bisa mengikuti ujian kejar paket (atau
istilahnya ujian persamaan atau ujian kesetaraan) untuk mendapatkan ijazah sebagai tanda
kelulusan Program kejar paket A masih aktif di Bojonegoro, untuk Tahun 2011 terdapat
7 lembaga yang menanganinya, dengan jumlah murid sebanyak 200 orang dan 21 pengajar.
Untuk kejar paket B, terdapat 24 lembaga dengan jumlah murid mencapai 2.007 orang
dan 223 tenaga pengajar. Untuk program kejar paket C, masih berlangsung di semua
kecamatan di Kabupaten Bojonegoro, kecuali Kecamatan Tambakrejo, Sekar dan
Kalitidu. Banyaknya kejar paket C di Kabupaten Bojonegoro Tahun 2011 tercatat
sebanyak 29 lembaga, dengan murid sebanyak 1.605 orang dan tenaga pengajar sebanyak 187
orang Selanjutnya untuk melihat keberhasilan bidang pendidikan dari sisi angka
partisipasi. angka partisipasi dalam kurun waktu 2010-2011 secara umum mengalami
peningkatan dari seluruh jenjang pendidikan baik dari sisi angka partisipasi kasar
maupun murni dapat dilihat pada penyajian tabel 4.6.
2.2 Pengertian dan Latar Belakang kemunculan Syiah
2.2.1 Sejarah Syiah
Syi’ah (Bahasa Arab: ‫شيعة‬, Bahasa Persia: ‫ )شيعه‬artinya golongan atau pendukung.
Sedangkan Syī`ī ‫شيعي‬.berarti orang yang menganut syi’ah. Syi'ah adalah bentuk pendek dari
kalimat bersejarah Syi`ah `Ali ‫ علي شيعة‬artinya "pengikut Ali", yang berkenaan tentang Q.S.
Al-Bayyinah ayat khoirul bariyyah, saat turunnya ayat itu Nabi SAW bersabda: "Wahai Ali,
kamu dan pengikutmu adalah orang-orang yang beruntung" (ya Ali anta wa syi'atuka
humulfaaizun).
Syi'ah menurut etimologi bahasa Arab bermakna: pembela dan pengikut seseorang.
Selain itu juga bermakna: Setiap kaum yang berkumpul di atas suatu perkara. Adapun
menurut terminologi syariat bermakna: Mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abi Thalib
sangat utama di antara para sahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk
kepemimpinan kaum muslimin, demikian pula anak cucunya sepeninggal beliau.
Muslim Syi'ah percaya bahwa Keluarga Muhammad (yaitu para Imam Syi'ah) adalah
sumber pengetahuan terbaik tentang Qur'an dan Islam, guru terbaik tentang Islam setelah
Nabi Muhammad SAW, dan pembawa serta penjaga tepercaya dari tradisi Sunnah. Secara
khusus, Muslim Syi'ah berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib, yaitu sepupu dan menantu
Nabi Muhammad SAW dan kepala keluarga Ahlul Bait, adalah penerus kekhalifahan setelah
Nabi Muhammad SAW, yang berbeda dengan khalifah lainnya yang diakui oleh Muslim
Sunni. Muslim Syi'ah percaya bahwa Ali dipilih melalui perintah langsung oleh Nabi
Muhammad SAW, dan perintah Nabi berarti wahyu dari Allah.
Mengenai kemunculan syi’ah dalam sejarah terdapat perbedaan di kalangan ahli.
Menurut Abu Zahrah, syi’ah mulai muncul pada masa akhir pemerintahan Usman bin Affaan
kemudian tumbuh dan berkembang pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, adapun
menurut Watt, syi’ah baru benar-benar muncul ketika berlangsung peperangan antara Ali dan
Mu’awiyah yang dikenal dengan perang Shiffin. Dalam peperangan ini, sebagai respon atas
penerimaan Ali terhadap arbritase yang ditawarkan Mu’awiyah. Pasukan Ali diceritakan
terpecah menjadi dua. Satu kelompok mendukung sikap Ali (Syi’ah) dan kelompok mendak
sikap Ali (Khawarij).
Kalangan syi’ah sendiri berpendapat bahwa kemunculan syi’ah berkaitan dengn
masalah penganti (Khilafah) Nabi SAW. Mereka menlak kekhalifahan Abu Bakar, Umar bin
Khathtab, dan Usman bin Affan karena dalam pandangan mereka hanya Ali bin Abi Thalib
yang berhak mengantikan Nabi SAW. Kepemimpinan Ali dalam pandangan syi’ah tersebut
sejalan dengan isyarat-isyarat yang diberikan Nabi SAW, pada masa hidupnya. Pada awal
kenabian ketika nabi Muhammad SAW diperintahkan menyampaikan dakwah ke kerabatnya,
yang pertama menerima adalah Ali bin Abi Thalib. Diceritakan bahwa Nabi pada saat itu
mengatakan bahwa orang yang pertama menemui ajakannya akan menjadi penerus dan
pewarisnya. Selain itu, sepanjang kenabian Muhammad, Ali merupakan orang yang luar biasa
besar.
Bukti utama tentang sahnya Ali sebagai penerus Nabi adalah peristiwa Ghadir
Khumm. Diceritakan bahwa ketika kembali dari haji terakhir, dalam perjalanan dari Mekkah
ke Madinah di suatu padang pasir yang bernama Ghadir Khumm. Nabi memilih Ali sebagai
pengantinya dihadapan massa yang menyertai beliau. Pada peristiwa itu, Nabi tidak hanya
menetapkan Ali sebagai pemimpin umum umat (walyat-i ‘ammali), tetapi juga menjadikan
Ali sebagaimana Nabi sendiri, sebagai pelindung (wali) mereka. Namun realitasnya berbicara
lain.
Ketika nabi wafat dan jasadnya belum dikuburkan, ada kelompok lain yang pergi ke
masjid untuk menentukan pemimpin yang baru karena hilangnya pemimpin yang secara tiba-
tiba, sedangkan anggota keluarga nabi dan beberapa sahabat masih sibuk dengan persiapan
upacara pemakaman Nabi. Kelompok inilah yang kemudian menjadai mayoritas bertindak
lebih jauh dan dengan sangat tergesa-gesa memilih pemimpin yang baru dengan alasan
kesejahteraan umat dann memcahkan masalah mereka saat itu. Mereka melakukan itu tanpa
berunding dahulu dengan ahlul bait, kerabat, lul bait, kerabat, atau pun sahabat yang pada
saat itu masih mengurusi pemakaman. Mereka tidak memberi tahu sedikitpun. Dengan
demikian, kawan-kawan Ali dihdapkan pada suatu hal yang sudah tak bias berubah lagi (faith
accomply). Adapun menurut Watt, dari sinilah syi’ah baru benar-benar muncul.
Karena kenyataan itulah muncul suatu sikap dari kalangan kaum muslimin yang
menentang kekhalifahan dan kaum mayoritas dalam masalah-masalah kepercayaan tertentu.
Mereka tetap berpendapat bahwa pengganti nabi dan penguasa keagamaan yang sah adalah
Ali. Mereka yakin bahwa semua masalah kerohanian dan agama harus merujuk kepadanya
dan mengajak masyarakat mengikutinya. Kaum inilah yang disebut dengan kaum Syi’ah.
Perbedaan pendapat dikalangan para ahli mengenai kalangan Syi’ah merupakan
sesuatu yang wajar. Para ahli berpegang teguh pada fakta sejarah “perpecahan” dalam Islam
yang memang mulai mencolok pada masa pemerintahan Usman bin Affan dan memperoleh
momentumnya yang paling kuat pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, tepatnya
setelah Perang Siffin. Adapun kaum Syi’ah, berdasarkan hadits-hadits yang mereka terima
dari ahl al-bait, berpendapat bahwa perpecahan itu sudah mulai ketika Nabi SAW. Wafat dan
kekhalifahan jatuh ke tangan Abu Bakar. Segera setelah itu terbentuklah Syi’ah. Bagi
mereka, pada masa kepemimpinan Al-Khulafa Ar-rasyidin sekalipun, kelompok Syi’ah sudah
ada. Mereka bergerak di bawah permukaan untuk mengajarkan dan menyebarkan doktrin-
doktrin syi’ah kepada masyarakat.

2.2.2 Perkembangan Paham Syiah di Indonesia


Syiah mendapat pengikut yang besar terutama pada masa Dinasti Amawiyah.
Hal ini menurut Abu Zahrah merupakan akibat perlakuan kasar dan kejam Dinasti ini
terhadap Ahlul Bait sebagai contoh Yazid Ibn Mu‟awiyah memerintahkan pasukannya
yang dipimpin oleh Ibn Ziyad, untuk memenggal kepala Ali di Karbala. Dalam sejarah
disebutkan bahwa setelah kepala Ali dipenggal lalu dibawa ke hadapan Yazid Ibn
Mu‟awiyah memukul-mukulkan tongkatnya pada kepala cucu Rasulullah saw, yang
pada waktu kecil sering diciumi oleh Rasulullah. Kekejaman seperti yang digambarkan
di atas, menyebabkan sebagian kaum Muslimin menaruh simpati terhadap tragedi Ahlul
Bait atau keluarga Rasul dan tertarik untuk mengikuti mazhab Syiah, atau menaruh
simpati yang mendalam terhadap tragedi yang menimpa Ahlu Al-Bait. Menurut para ahli
sejarah, peristiwa kesyahidan Husain di Karbala inilah penyebab utama terbentuknya Syiah
secara hakiki, sejak tragedi ini sebutan Syiah tidak lagi dirangkaikan dengan nama-
nama tertentu seperti sebelummya, syiah Ali, Syi’ah Husain, tetapi cukup dengan Syiah
saja dan sebagai bukti. Dalam perkembangan selanjunya, Syiah selain memperjuangkan
hak kekhalifahan Ahlul Bait di hadapan Amawiyah dan Abbasiyah, juga
menggambarkan doktrin-doktrinya sendiri. Berkaian dengan teologi, mereka mempunyai
lima rukun iman, yakni Tauhid (kepercayaan terhadap keesaan Allah); Nabuwwah
(kepercayaan kepada kenabian); Ma’ad (kepercayaan akan adanya kehidupan akhirat);
Imamah (kepercayaan akan adanya imamah yang merupakan hak ahl al-bait); dan Adl
(Keadilan Ilahi).
Belum ada pendapat yang benar-benar bisa dipercaya kapan masuk paham
Syiah di Indonesia. Namun bila dilihat dari sejarah dan kejadiannya beberapa abad
yang lalu paham Syiah masuk ke Indonesia tidak terlepas dari sejarah politik negara
asalnya Syiah yaitu Iran. Sejak runtuhnya Syah Reza Pahlevi pada tahun 1979 dengan
melalui sebuah revolusi besar-besaran yang dipimpin oleh Khomeini. Mulai saat itulah
paham Syiah mulai menyebar ke seluruh dunia khususnya Indonesia. Keberhasilan
seorang ulama (Khumeini) dalam menjatuhkan rezim Pahlevi yang mempunyai
kekuatan militer nomor lima di dunia hanya dengan ceramah-ceramahnya dari suatu
tempat yang jauh dari terpencil di Prancis. Sehingga menggugah para Intelektual untuk
mengetahui lebih jauh tentang mazhab Syiah tersebut.
Khomeini sebagai tokoh sentral revolusi pada saat itu mempunyai pandangan
yang berbeda tentang kekuasaan (pemerintahan) yang disebutkannya dengan istilah wilayah
al-fiqih. Dalam hal ini menurut Attamimy dalam pandangan Khomeini, islam bukan
hanya agama yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, tetapi juga agama yang
penuh dengan keadilan dan kebenaran bagi kemanusiaan orang per orang atau masyarakat.
Bahkan menurut Khomeini, Islam juga merupakan agama yang ingin melakukan
pembebasan dari setiap bentuk penindasan yang dilakukan. Bukan seperti kebanyakan
para ulama yang membicara nikmat surga dan siksa neraka. Ia lebih banyak membicarakan
tentang kesadaran umat dalam beragama, disiplin diri dan sebab-sebab kemunduran dalam
Islam.
Sebagai sebuah gerakan atau kelompok paham Syiah di Indonesia dapat disebutkan
memulai perkembangannya pasca revolusi Iran pada tahun 1979. Memanfaatkan
momentum kelahiran Iran sebagai “negara Syiah” yang menggunakan Islam sebagai
dasar perjuangannya, Syiah di dunia Islam tidak terkecuali Indonesia mulai berani
menunjukkan jati dirinya. Gerakan-gerakannya pun mulai tersusun secara sistematis dalam
kerangka kelembagaan atau organisasi-organisasi yang pahamnya berafiliasi terhadap
Syiah. Hanya saja, ini tidak berarti bahwa sebagai sebuah paham, Syiah baru ada pasca 1979.
Beberapa pakar sejarah bahkan justru meyakini bahwa orang Syiah lah yang pertama kali
menyebarkan Islam di Nusantara.
Jalaluddin Rahmat mengemukakan tiga teori terkait cara Syiah masuk ke Indonesia.
Pertama, Syiah dibawa oleh penyebar Islam awal yang datang ke Indonesia dan ber-
taqiyyah dengan menjalankan mazhab Syafi‟i. Mereka menampakkan Syafi‟i di luar,
namun Syiah di dalam. Asumsi ini didukung dengan ditemukannya akulturasi aspek-
aspek Syiah pada mazhab Syafi‟i di Indonesia yang tidak ditemukan di tempat lain.
Kedua, Syiah tidaklah datang pada Islam periode awal adalah ulama Sunni yang membawa
Islam ke Indonesia. Syiah baru datang kemudian melalui praktek-praktek mistik dan sufistik.
Ketiga, Syiah baru datang ke Indonesia setelah Revolusi Iran pada tahun 1979 melalalui
buku-buku tentang filsafat atau pergerakan yang ditulis tokoh-tokoh Syiah Iran. Aliran Syiah
berpendapat bahwa kekhalifahan imamahnya berdasarkan pengangkatan, baik secara
terbuka maupun tersembunyi. Mereka juga berpendirian bahwa imamah sepeninggalan Ali,
hanya berada di tangan keluarga Ali. Penganut paham Syiah, mengakui bahwa nabi telah
menunju penggantinya yang dinilai memiliki kualifikasi pemimpin ruhani dan pemimpin
umat sekaligus.
Pengganti nabi tersebut tidak lain adalah Ali bin Abi Thalib dan sebelas
keturunannya. Dengan demikian para imam dalam konsep Syiah itu adalah melanjutkan nabi
yang bertugas memberi petunjuk manusia, pemelihara dan penjelas hukum Allah. Oleh
karenanya imam adalah pilihan Tuhan yang berilmu, berakhlak tinggi dan terpelihara
dari dosa. Imamah merupakan doktrin Syiah yang paling pokok, semua paham yang lain
pada dasarnya merupakan penjelasan dari paham ini. Misalnya ketika pandangan
Imamah dimunculkan sebagai prinsip dasar dalam menunjuk dan pengangkatan imam,
mereka memperkuatnya melalui penjelasan bahwa semua nabi Allah dan para Imam pasti
bebas dari dosa kecil.
Perkembangan Syiah atau yang mengatasnamakan madzhab Ahlul Bait di Indonesia
memang cukup pesat. Sejumlah lembaga yang berbentuk pesantren maupun yayasan
didirikan di beberapa kota di Indonesia, seperti Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa
Timur dan luar Jawa. Dan membanjirnya buku-buku tentang Syiah yang sengaja
diterbitkan oleh para penerbit yang memang berindikasi Syiah atau lewat media massa,
ceramah-ceramah agama dan lewat pendidikan dan pengkaderan di pesantren-pesantren, di
majelis-majelis talim.

2.2.3 Perpecahan Syi'ah


Semua sekte dalam Syi'ah sepakat bahwa imam yang pertama adalah Ali bin Abi
Thalib, kemudian Hasan bin Ali, lalu Husein bin Ali. Namun setelah itu muncul perselisihan
mengenai siapa pengganti imam Husein bin Ali. Dalam hal ini muncul dua pendapat.
Pendapat kelompok pertama yaitu imamah beralih kepada Ali bin Husein, putera Husein bin
Ali, sedangkan kelompok lainnya meyakini bahwa imamah beralih kepada Muhammad bin
Hanafiyah, putera Ali bin Abi Thalib dari isteri bukan Fatimah.
Akibat perbedaan antara dua kelompok ini maka muncul beberapa sekte dalam Syi'ah.
Para penulis klasik berselisih tajam mengenai pembagian sekte dalam Syi'ah ini. Akan tetapi,
para ahli umumnya membagi sekte Syi'ah dalam empat golongan besar, yaitu Kaisaniyah,
Zaidiyah, Imamiyah dan Kaum Ghulat.
a. Al-Kaisaniyah
Kaisaniyah ialah nama sekte Syiah yang meyakini bahwa kepemimpinan setelah Ali
bin Abi Thalib beralih ke anaknya Muhammad bin Hanafiyah. Para ahli berselisih pendapat
mengenai pendiri Syiah Kaisaniyah ini, ada yang berkata ia adalah Kaisan bekas budak Ali
bin Abi Thalib r.a. Ada juga yang berkata bahwa ia adalah Almukhtar bin Abi Ubaid yang
memiliki nama lain Kaisan.
Di antara ajaran dari Syiah Kaisaniyah ini ialah, mengkafirkan khalifah yang
mendahului Imam Ali r.a dan mengkafirkan mereka yang terlibat perang Sifin dan Perang
Jamal (Unta), dan Kaisan mengira bahwa Jibril a.s mendatangi Almukhtar dan mengabarkan
kepadanya bahwa Allah Swt menyembunyikan Muhammad bin Hanafiyah.
Sekte Kaisaniyah ini terbagi menjadi beberapa kelompok, namun kesemuanya
kembali kepada dua paham yang berbeda yaitu: 1. Meyakini bahwa Muhammad bin
Hanafiyah masih hidup. 2. Meyakini bahwa Muhammad bin Hanafiyah telah tiada, dan
jabatan kepemimpinan beralih kepada yang lain.
Pokok-pokok ajaran Syi’ah al-Kaisaniyah anatara lain:
(1) Mereka tidak percaya adanya roh Tuhan menetes ke dalam tubuh Ali ibn Abi Thalib,
seperti kepercayaan orang-orang Saba’iyah.
(2) Mereka mempercayai kembalinya imam (raj’ah) setelah meninggalnya. Bahkan
kebanyakan pengikut al-Kaisaniyah percaya bahwa Muhammad Ibn Hanafiyah itu
tidak meninggal, tetapi masih hidup bertempat di gunung Radlwa.
(3) Mereka menganggap bahwa Allah Swt. itu mengubah kehendak-Nya menurut
perubahan ilmu-Nya. Allah Swt. Memerintah sesuatu, kemudian memerintah pula
kebalikannya.
(4) Mereka mempercayai adanya reinkarnasi (tanasukh al-arwah).
(5) Mereka mempercayai adanya roh.

b. Az-Zaidiyah
Zaidiyah adalah sekte dalam Syi'ah yang mempercayai kepemimpinan Zaid bin Ali
bin Husein Zainal Abidin setelah kepemimpinan Husein bin Ali. Mereka tidak mengakui
kepemimpinan Ali bin Husein Zainal Abidin seperti yang diakui sekte imamiyah, karena
menurut mereka Ali bin Husein Zainal Abidin dianggap tidak memenuhi syarat sebagai
pemimpin. Dalam Zaidiyah, seseorang dianggap sebagai imam apabila memenuhi lima
kriteria, yakni: keturunan Fatimah binti Muhammad SAW, berpengetahuan luas tentang
agama, zahid (hidup hanya dengan beribadah), berjihad dihadapan Allah SWT dengan
mengangkat senjata dan berani.
Sekte Zaidiyah mengakui keabsahan khalifah atau imamah Abu Bakar As-Sidiq dan
Umar bin Khattab. Dalam hal ini, Ali bin Abi Thalib dinilai lebih tinggi dari pada Abu Bakar
dan Umar bin Khattab. Oleh karena itu sekte Zaidiyah ini dianggap sekte Syi'ah yang paling
dekat dengan sunnah. Disebut juga Lima Imam dinamakan demikian sebab mereka
merupakan pengikut Zaid bin 'Ali bin Husain bin 'Ali bin Abi Thalib. Mereka dapat dianggap
moderat karena tidak menganggap ketiga khalifah sebelum 'Ali tidak sah. Urutan imam
mereka yaitu:
1. Ali bin Abi Thalib (600–661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin
2. Hasan bin Ali (625–669), juga dikenal dengan Hasan al-Mujtaba
3. Husain bin Ali (626–680), juga dikenal dengan Husain asy-Syahid
4. Ali bin Husain (658–713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin
5. Zaid bin Ali (658–740), juga dikenal dengan Zaid bin Ali asy-Syahid, adalah anak Ali
bin Husain dan saudara tiri Muhammad al-Baqir.

Pokok-pokok ajaran Syi’ah Zaidiyah, terdiri dari beberapa hal, yaitu :


1. Meyakini seseorang dari keturunan Fathimah (puteri Nabi) yang melancarkan
pemberontakan dalam membela kebenaran, dapat diakui sebagai imam, jika ia
memiliki pengetahuan keagamaan, berakhlak mulia, berani, dan murah hati.
Selanjutnya mereka mengatakan bahwa siapapun dari keturunan Ali bin Abi Thalib
dapat menjadi imam, bisa lebih dari seorang dan bahkan tidak ada sama sekali.
Jabatan imam dapat dikukuhkan berdasarkan kemampuan dalam memimpin dan dapat
juga berdasarkan latar belakang pendidikan.
Ajaran Syi’ah Zaidiyah mengenai kepemimpinan Khulafa al-Rasyidin, mengakui
kekhalifahan Abu Bakr, Umar dan Utsman pada awal masa pemerintahannya,
meskipun Ali bin Abi thalib dinilainya sebagai sahabat yang paling mulia.
Dalam ajaran Syi’ah Zaidiyah, tidak mengakui paham ishmah, yaitu keyakinan bahwa
para imam dijamin oleh Allah dari perbuatan salah, lupa dan dosa. Mereka juga
menolak paham rajaah (seorang imam akan muncul sesudah bersembunyi atau mati),
paham mahdiyah (seorang imam yang bergelar al-Mahdi akan muncul untuk
mengambangkan keadilan dan memusnahkan kebatilan), dan paham taqiyah (sikap
kehati-hatian dengan menyembunyikan identitas di depan lawan).
2. Dari segi ushul atau prinsip-prinsip umum Islam, ajaran Syi’ah Zaidiyah mengikuti
jalan yang dekat dengan paham Mu’tazilah atau paham rasionalis. Adapun dari segi
furu’ atau masalah hukum dan lembaga-lembaganya, mereka menerapkan fikih
Hanafi (salah satu mazhab fikih dari golongan Sunni). Karenanya, dalam hal nikah
mut’ah mereka mengharamkannya, meskipun pada awal Islam nikah itu pernah
dibolehkan namun telah dibatalkan. Dewasa ini, fikih Syi’ah Zaidiyah termasuk fikih
yang diajarkan di Universitas al-Azhar.

c. Al-Imamiyah
Imamiyah adalah golongan yang meyakini bahwa nabi Muhammad SAW telah
menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai imam pengganti dengan penunjukan yang jelas dan
tegas. Oleh karena itu, mereka tidak mengakui keabsahan kepemimpinan Abu Bakar, Umar,
maupun Utsman. Bagi mereka persoalan imamah adalah salah suatu persoalan pokok dalam
agama atau ushuludin.
Sekte imamah pecah menjadi beberapa golongan. Golongan yang besar adalah
golongan Isna' Asyariyah atau Syi'ah dua belas. Golongan terbesar kedua adalah golongan
Isma'iliyah. Golongan Isma'iliyah berkuasa di Mesir dan Baghadad. Disebut juga Tujuh
Imam. Dinamakan demikian sebab mereka percaya bahwa imam hanya tujuh orang dari 'Ali
bin Abi Thalib, dan mereka percaya bahwa imam ketujuh ialah Isma'il. Urutan imam mereka
yaitu:
1. Ali bin Abi Thalib (600–661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin
2. Hasan bin Ali (625–669), juga dikenal dengan Hasan Al-Mujtaba
3. Husain bin Ali (626–680), juga dikenal dengan Husain Asy-Syahid
4. Ali bin Husain (658–713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin
5. Muhammad bin Ali (676–743), juga dikenal dengan Muhammad Al-Baqir
6. Ja'far bin Muhammad bin Ali (703–765), juga dikenal dengan Ja'far Ash Shadiq
7. Ismail bin Ja'far (721 – 755), adalah anak pertama Ja'far ash-Shadiq dan kakak Musa
al-Kadzim.

Pokok-pokok ajaran Syi’ah Imamiyah, terdiri dari beberapa hal :


(a) Ilmu al-Faidh al-Ilahi, yang Allah melimpahkannya pada imam. Maka dengan itu
imam-imam, mempunyai kedudukan di atas manusia pada umumnya dan beilmu
belebihi manusia lainnya. Mereka secara khusus mempunyai ilmu yang tidak dimiliki
orang lain. Baginya mengetahui ilmu Syari’at melebihi apa yang diketahui.
(b) Sesungguhnya iman itu tidak harus tampak dan di kenal masyarakat, tetapi boleh jadi
samar bersembunyi. Namun demikian tetap harus ditaati. Dialah al-Mahdi yang
member petunjuk kepada manusia, sekalipun dia tidak tampak pada beberapa waktu.
Dia tentu muncul, dan hari kiamat tidak akan dating sampai al-Mahdi itu muncul,
memenuhi bumi ini dengan keadilan, sebagaimana kejahatan dan kezaliman telah
merajalela.
(c) Sesungguhnya imam itu tidak bertanggungjawab di hadapan siapa pun. Seorang pun
tidak boleh menyalahkannya, apa pun yang diperbuatnya. Masyarakat harus
membenarkan bahwa apa yang diperbuatnya adalah baik, tidak ada kejelekan
sedikitpun. Sebab imam mempunyai ilmu yang tidak dapat dicapai orang lain. Karena
itulah mereka menetapkan bahwa imam itu ma’shum.

d. Al-Ghaliyah
Istilah ghulat berasal dari kata ghala-yaghlu-ghuluw yang artinya bertambah dan naik.
Ghala bi ad-din yang artinya memperkuat dan menjadi ekstrim sehingga melampaui batas.
Syi’ah ghulat adalah kelompok pendukung Ali yang memiliki sikap berlebih-lebihan atau
ekstrim. Lebih jauh Abu Zahrah menjelaskan bahwa Syi’ah ekstrem (ghulat) adalah
kelompok yang menempatkan Ali pada derajat ketuhanan, dan ada yang mengangkat pada
derajat kenabian, bahkan lebih tinggi daripada Nabi Muhammad.
Gelar ektrem (ghuluw) yang diberikan kepada kelompok ini berkaitan dengan
pendapatnya yang janggal, yakni ada beberapa orang yang secara khusus dianggap Tuhan dan
ada juga beberapa orang yang dianggap sebagai Rasul setelah Nabi Muhammad. Selain itu
mereka juga mengembangkan doktrin-doktrin ekstrem lainnya tanasukh, hulul, tasbih dan
ibaha.
Sekte-sekte yang terkenal di dalam Syi’ah Ghulat ini adalah Sabahiyah, Kamaliyah,
Albaiyah, Mughriyah, Mansuriyah, Khattabiyah, Kayaliyah, Hisamiyah, Nu’miyah,
Yunusiyah dan Nasyisiyahwa Ishaqiyah. Nama-nama sekte tersebut menggunakan nama
tokoh yang membawa atau memimpinnya. Sekte-sekte ini awalnya hanya ada satu, yakni
faham yang dibawa oleh Abdullah Bin Saba’ yang mengajarkan bahwa Ali adalah Tuhan.
Kemudian karena perbedaan prinsip dan ajaran, Syi’ah ghulat terpecah menjadi beberapa
sekte. Meskipun demikian seluruh sekte ini pada prinsipnya menyepakati tentang hulul dan
tanasukh. Faham ini dipengaruhi oleh sistem agama Babilonia Kuno yang ada di Irak seperti
Zoroaster, Yahudi, Manikam dan Mazdakisme.
Adapun doktrin Ghulat menurut Syahrastani ada enam yang membuat mereka ektrem
yaitu:
1) Tanasukh yang merupakan keluarnya roh dari satu jasad dan mengambil tempat pada
jasad yang lain. Faham ini diambil dari falsafah Hindu. Penganut agama Hindu
berkeyakinan bahwa roh disiksa dengan cara berpindah ke tubuh hewan yang lebih
rendah dan diberi pahala dengan cara berpindah dari satu kehidupan kepada
kehidupan yang lebih tinggi. Syi’ah Ghulat menerapkan faham ini dalam konsep
imamahnya, sehingga ada yang menyatakan seperti Abdullah Bin Muawiyah Bin
Abdullah Bin Ja’far bahwa roh Allah berpindah kepada Adam seterusnya kepada
imam-imam secara turun-temurun.
2) Bada’ yang merupakan keyakinan bahwa Allah mengubah kehendakNya sejalan
dengan perubahan ilmuNya, serta dapat memerintahkan dan juga sebaliknya.
Syahrastani menjelaskan lebih lanjut bahwa bada’ dalam pandangan Syi’ah Ghulat
memiliki bebrapa arti. Bila berkaitan dengan ilmu, maka artinya menampakkan
sesuatu yang bertentangan dengan yang diketahui Allah. Bila berkaitan dengan
kehendak maka artinya memperlihatkan yang benar dengan menyalahi yang
dikehendaki dan hukum yang diterapkanNya. Bila berkaitan dengan perintah maka
artinya yaitu memerintahkan hal lain yang bertentangan dengan perintah yang
sebelumnya. Faham ini dipilih oleh Mukhtar ketika mendakwakan dirinya dengan
mengetahui hal-hal yang akan terjadi, baik melalui wahyu yang diturunkan kepadanya
atau melalui surat dari imam. Jika ia menjanjikan kepada pengikutnya akan terjadi
sesuatu, lalu hal itu benar-benar terjadi seperti yang diucapkan, maka itu
dijustifikasikan sebagai bukti kebenaran ucapannya. Namun jika terjadi sebaliknya, ia
mengatakan bahwa Tuhan menghendaki bada’
3) Raj’ah yang masih ada hubungannya dengan mahdiyah. Syi’ah Ghulat mempercayai
bahwa Imam Mahdi Al-Muntazhar akan datang ke bumi. Faham raj’ah dan mahdiyah
ini merupakan ajaran seluruh sekte dalam Syi’ah. Namun mereka berbeda pendapat
tentang siapa yang akan kembali. Sebagian mengatakan bahwa yang akan kembali itu
adalah Ali dan sebagian lagi megatakan bahwa yang akan kembali adalah Ja’far As-
Shaddiq, Muhammad bin Al-Hanafiyah bahkan ada yang mengatakan Mukhtar ats-
Tsaqafi.
4) Tasbih artinya menyerupakan, mempersamakan. Syi’ah Ghulat menyerupakan salah
seorang imam mereka dengan Tuhan atau menyerupakan Tuhan dengan makhluk.
Tasbih ini diambil dari faham hululiyah dan tanasukh dengan khaliq.
5) Hulul artinya Tuhan berada pada setiap tempat, berbicara dengan semua bahasa dan
ada pada setiap individu manusia. Hulul bagi Syi’ah ghulat berarti Tuhan menjelma
dalam diri imam sehingga imam harus disembah.
6) Ghayba yang artinya menghilangkan Imam Mahdi. Ghayba merupakan kepercayaan
Syi’ah bahwa Imam Mahdi itu ada di dalam negeri ini dan tidak dapat dilihat oleh
mata biasa. Konssep ghayba pertama kali diperkenalkan oleh Mukhtar Ats-Tsaqafi
pada tahun 66 H/686 M di Kufa ketika mempropagandakan Muhammad Bin
Hanafiyah sebagai Imam Mahdi.

2.2.4 Pokok-Pokok Ajaran Syi'ah


Kaum Syi’ah memiliki 5 pokok pikiran utama yang harus dianut oleh para
pengikutnya diantaranya yaitu at tauhid, al ‘adl, an nubuwah, al imamah dan al ma’ad.
1. At tauhid
Kaun Syi’ah juga meyakini bahwa Allah SWT itu Esa, tempat bergantung semua
makhluk, tidak beranak dan tidak diperanakkan dan juga tidak serupa dengan makhluk yang
ada di bumi ini. Namun, menurut mereka Allah memiliki 2 sifat yaitu al-tsubutiyah yang
merupakan sifat yang harus dan tetap ada pada Allah SWT. Sifat ini mencakup ‘alim
(mengetahui), qadir (berkuasa), hayy (hidup), murid (berkehendak), mudrik (cerdik, berakal),
qadim azaliy baq (tidak berpemulaan, azali dan kekal), mutakallim (berkata-kata) dan
shaddiq (benar). Sedangkan sifat kedua yang dimiliki oleh Allah SWT yaitu al-salbiyah yang
merupakan sifat yang tidak mungkin ada pada Allah SWT. Sifat ini meliputi antara tersusun
dari beberapa bagian, berjisim, bisa dilihat, bertempat, bersekutu, berhajat kepada sesuatu dan
merupakan tambahan dari Dzat yang telah dimilikiNya.

2. Al ‘adl
Kaum Syi’ah memiliki keyakinan bahwa Allah memiliki sifat Maha Adil. Allah tidak
pernah melakukan perbuatan zalim ataupun perbuatan buruk yang lainnya. Allah tidak
melakukan sesuatu kecuali atas dasar kemaslahatan dan kebaikan umat manusia. Menurut
kaum Syi’ah semua perbuatan yang dilakukan Allah pasti ada tujuan dan maksud tertentu
yang akan dicapai, sehingga segala perbuatan yang dilakukan Allah Swt adalah baik. Jadi
dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep keadilan Tuhan yaitu Tuhan selalu
melakukan perbuatan yang baik dan tidak melakukan apapun yang buruk.Tuhan juga tidak
meninggalkan sesuatu yang wajib dikerjakanNya.

3. An nubuwwah
Kepercayaan kaum Syi’ah terhadap keberadaan Nabi juga tidak berbeda halnya
dengan kaum muslimin yang lain. Menurut mereka Allah mengutus nabi dan rasul untuk
membimbing umat manusia. Rasul-rasul itu memberikan kabar gembira bagi mereka-mereka
yang melakukan amal shaleh dan memberikan kabar siksa ataupun ancaman bagi mereka-
mereka yang durhaka dan mengingkari Allah SWT. Dalam hal kenabian, Syi’ah berpendapat
bahwa jumlah Nabi dan Rasul seluruhnya yaitu 124 orang, Nabi terakhir adalah nabi
Muhammad SAW yang merupakan Nabi paling utama dari seluruh Nabi yang ada, istri-istri
Nabi adalah orang yang suci dari segala keburukan, para Nabi terpelihara dari segala bentuk
kesalahan baik sebelum maupun sesudah diangkat menjadi Rasul, Al Qur’an adalah mukjizat
Nabi Muhammad yang kekal, dan kalam Allah adalah hadis (baru), makhluk (diciptakan)
hukian qadim dikarenakan kalam Allah tersusun atas huruf-huruf dan suara-suara yang dapat
di dengar, sedangkan Allah berkata-kata tidak dengan huruf dan suara.

4. Al-Imamah
Bagi kaun Syi’ah imamah berarti kepemimpinan dalam urusan agama sekaligus dalam
dunia. Ia merupakan pengganti Rasul dalam memelihara syari’at, melaksanakan hudud (had
atau hukuman terhadap pelanggar hukum Allah), dan mewujudkan kebaikan serta
ketentraman umat. Bagi kaum Syi’ah yang berhak menjadi pemimpin umat hanyalah seorang
imam dan menganggap pemimpin-pemimpin selain imam adalah pemimpin yang ilegal dan
tidak wajib ditaati. Karena itu pemerintahan Islam sejak wafatnya Rasul (kecuali
pemerintahan Ali Bin Abi Thalib) adalah pemerintahan yang tidak sah. Di samping itu imam
dianggap ma’sum, terpelihara dari dosa sehingga imam tidak berdosa serta perintah, larangan
tindakan maupun perbuatannya tidak boleh diganggu gugat ataupun dikritik.

5. Al-Ma’ad
Secara harfiah al ma’dan yaitu tempat kembali, yang dimaksud disini adalah akhirat.
Kaum Syi’ah percaya sepenuhnya bahwahari akhirat itu pasti terjadi. Menurut keyakinan
mereka manusia kelak akan dibangkitkan, jasadnya secara keseluruhannya akan
dikembalikan ke asalnya baik daging, tulang maupun ruhnya. Dan pada hari kiamat itu pula
manusia harus memepertanggungjawabkan segala perbuatan yang telah dilakukan selama
hidup di dunia di hadapan Allah SWT. Pada saaat itu juga Tuhan akan memberikan pahala
bagi orang yang beramal shaleh dan menyiksa orang-orang yang telah berbuat kemaksiatan.

2.2.5 Nikah Mut’ah sebagai salah satu ajaran Syiah


Nikah mut’ah menggambarkan sebuah perkawinan yang didasarkan pada kontrak atau
kesepakatan-kesepakatan tertentu, yang mengatur mengenai jangka waktu perkawinan,
imbalan bagi salah satu pihak, hak dan kewajiban masing-masing pihak, dan lain-lain. Tujuan
dari nikah mut’ah adalah untuk menyalurkan nafsu birahi, tanpa disertai adanya keinginan
untuk membentuk rumah tangga yang kekal, serta terkadang juga tidak mengharapkan adanya
keturunan. Nikah mut’ah merupakan perkawinan yang bersifat sementara, dan sangat
menonjolkan nilai ekonomi.
Mut’ah memiliki keistimewaan besar dalam aqidah Syiah. Disebut dalam Minhajus
Shadiqin, ditulis oleh Fathullah al-Kasyani, dari ash-Shadiq bahwa mut’ah adalah bagian
dari agamaku, dan agama nenek moyangku. Barang siapa yang mengamalkannya
berarti ia mengamalkan agama kami, dan yang mengingkarinya berarti mengingkari
agama kami, bahkan ia bisa dianggap beragama dengan selain agama kami. Anak yang
dilahirkan dari hasil perkawinan mut’ah lebih utama daripada anak yang dilahirkan melalui
nikah yang tetap, dan orang yang mengingkari nikah mut’ah, ia kafir dan murtad.
Perkawinan mut’ah ini merupakan akad perseorangan yang berdasar kepada
persetujuan diantara mereka berdua tanpa ada tekanan dari keluarga wanita. Dan tidak
memerlukan saksi atau pemberitahuan kepada badan hukum. Karena hal ini tergantung
dari kedua pasangan mut’ah. Dari 1 jam misalnya sampai 99 tahun umpamanya. Pada
jangka waktu yang telah ditentukan, pasangan mut’ah berpisah tanpa ada suata upacara
perceraian. Adapun menurut segi syareat, mut'ah adalah perkawinan seorang laki-laki
dengan perempuan hanya semata mata untuk digauli (dinikmati) dalam batas waktu tertentu
atau disepakati tanpa adanya saksi dan wali dengan membayar mahar (upah) yang
disebutkan dalam aqadnya. Apabila telah habis masa mut’ah yakni kontrak dalam waktu
tertentu. Masa transaksi, maka perpisahanpun terjadi tanpa ada talak sebelumnya serta tidak
berlaku hukum waris mewaris di dalamnya.
Keyakinan Syiah tentang nikah mut’ah beserta sumbernya:
a. Syiah meyakini mut’ah sebagai salah satu dasar pokok (ushul) agama, dan orang
yang mengingkarinya dianggap sebagai orang yang ingkar terhadap agama.
(Sumber: Kitab Man Laa Yahdhuruhu Al-Faqih, 3/366 dan Tafsir Minhaj Ash-
Shadiqin, 2/495).
b. Syiah menganggap mut’ah sebagai salah satu keutamaan agama dan dapat
meredam murka Tuhan. (Sumber: Tafsir Minhaj Ash-Shadiqin, karya Al-Kasyani,
2/493).
c. Menurut Syiah seorang wanita yang dimut’ah akan diampuni dosanya. (Sumber:
Kitab Man Laa Yahdhuruhu Al-Faqih, 3/366).
d. Syiah menganggap mut’ah sebagai salah satu sebab terbesar dan utama seseorang
masuk ke dalam surga, bahkan dapat mengangkat derajat mereka hingga mereka
mampu menyamai kedudukan para nabi di surga. (Sumber: Kitab Man Laa
Yahdhuruhu Al-Faqih, 3/366).
e. Syiah selalu menyebutkan bahwa orang yang berpaling dari mut’ah akan
berkurang pahalanya pada hari kiamat, mereka katakan: “Barang siapa keluar dari
dunia (meninggal) sedangkan dia belum pernah melakukan mut’ah maka pada hari
kiamat dia datang dalam keadaan pincang yakni terputus salah satu anggota
badanya.” (Sumber: Tafsir Minhaj AshShadiqin, 2/495).
f. Tidak ada batasan jumlah wanita yang dimut’ah, seorang laki-laki dapat melakukan
mut’ah dengan wanita sesukanya sekalipun mencapai seribu wanita atau lebih.
(Sumber: Al-Istibshar, karya Ath-Thusi, 3/143 dan Tahdzib Al-Ahkam, 7/259)
g. Syiah beranggapan boleh melakukan mut’ah dengan gadis sekalipun tanpa
izin dari walinya dan tanpa ada saksi atasnya. (Sumber: Syarai’ Al-Ahkam,
karya Najmuddin Al-Hulli 2/186 dan Tahdzib Al-Ahkam, 7/254).
h. Dalam Syiah diperbolehkan melakukan mut’ah dengan anak perempuan kecil
yang belum baligh, dimana umurnya tidak kurang dari sepuluh tahun. (Sumber:
Al-Istibshar, karya Ath-Thusi, 3/145 dan Al-Kafi fi AlQuru’, 5/463).
i. Dalam Syiah diperbolehkan liwath dengannya (perempuan kecil) dengan cara
mendatanginya di bagian belakangnya (duburnya). (Sumber: Al-Istibshar, karya
Ath-Thusi, 3/243 dan Tahdzib Al-Ahkam, 7/514).
j. Syiah memandang tidak perlu menanyakan terlebih dahulu kepada wanita
yang akan dinikahi secara mut’ah, apakah wanita itu telah bersuami atau wanita
pelacur. (Sumber: Al-Istibshar, karya Ath-Thusi, 3/145 dan Al-Kafi fi Al-Quru’,
5/463).
k. Mereka juga beranggapan bahwa batasan minimal dalam melakukan mut’ah
bisa dilakukan dengan sekali tidur saja bersama wanita, mereka menamakanya
dengan (meminjamkan kemaluan). (Sumber: AlIstibshar, karya Ath-Thusi, 3/151
dan Al-Kafi fi Al-Quru’, 5/460).
l. Wanita yang dinikahi secara mut’ah tidak mendapatkan harta waris dan tidak pula
dapat mewariskan harta. (Sumber: Al-Mut’ah wa Masyru’iyatuha fi Al-Islam,
karya sejumlah ulama Syi‟ah, hal 116-121 dan Tahrir Al-Wasilah, karya Al-
Khomeini, 2/288).

Tentang masa berlakunya nikah mut’ah bisa beberapa jam, hari, bulan maupun
tahun, dan yang terpenting tegas batas waktunya. Nikah mut’ah dengan sendirinya akan
berakhir masa berlaku pernikahan bila waktu yang telah ditentukan karena tidak mengenal
talak. Nabi Muhammad saw pernah memberikan keringanan kepada para sahabat untuk
melakukan nikah mut’ah dengan dua sebab yang diterima pada waktu itu, sebab
pertama: dalam keadaan darurat yaitu pada masa peperangan di waktu safar. sebab
kedua: dalam waktu yang sangat singkat, diantaranya selama tiga (3) hari.
Itulah mut’ah yag telah beliau izinkan sebanyak dua kali pada dua tempat di
masa perang dan dalam waktu yang singkat. Dari sinilah bisa diketahui bahwa nikah
mut’ah yang pernah diizinkan oleh Nabi Muhammad saw sangat jauh berbeda dengan
nikah mut’ah yang diyakini oleh Syiah. Nikah mut’ah tidak halal dan telah diharamkan
sampai hari kiamat.

2.3 Hukum Perkawinan di Indonesia


2.3.1 Pengertian Perkawinan
Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan nomor 1 Tahun
1974. Pengertian perkawinan menurut Pasal 1 UU No.1 Tahun 1974 adalah :
“Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.”.
Dari bunyi pasal 1 Undang-Undang Perkawinan ini bisa ditarik unsur-unsur dari perkawinan
itu sendiri, yaitu :
1. Adanya ikatan lahir batin
Bahwa perkawinan hendaknya bukan hanya didasari oleh ikatan secara fisik (lahir)
semata antara suami dengan istri dan juga dengan masyarakat, tetapi hendaknya juga
mempunyai ikatan perasaan (batin) yaitu suatu niat untuk sungguh-sungguh hidup
bersama sebagai suami istri.
2. Antara seorang pria dan wanita
Bahwa perkawinan di Indonesia hanya mengenal perkawinan antara seorang pria
dengan wanita dan sebaliknya. Tidak diperbolehkan perkawinan antara sesama jenis,
baik antara pria dengan pria atau wanita dengan wanita.
3. Bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
Hendaknya perkawinan yang telah dilaksanakan berlangsung seumur hidup untuk
selama-lamanya dan dapat tercipta keluarga yang rukun, damai dan sejahtera.
4. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
Bahwa perkawinan di Indonesia harus berdasarkan atau berlandaskan agama. Di
Indonesia tidak diperbolehkan perkawinan yang dilangsungkan oleh seseorang yang
tidak beragama (atheis). Agama dan kepercayaan yang dianut juga berperan untuk
menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan.

Dalam undang-undang nomer 1 tahun 1974 ditentukan prinsip-prinsip atau asas-asas


mengenai perkawinan dan segala yang berhubungan dengan perkawinan yang telah
disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Asas-asas atau prinsip-prinsip yang
tercantum dalam undang-undang ini adalah sebagai berikut:
1. Tujuan Perkawinan
Pada pasal 1 UU no 1 th 1974 Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar
masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai
kesejahteraan spiritual dan materiil.
2. Sahnya perkawinan
Dalam pasal 2 UU no 1 tahun1974 dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah
bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan tersebut
dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundangan
yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan
peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, yaitu kelahiran dan kematian
yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta resmi yang juga dimuat
dalam daftar pencatatan.
3. Asas Monogami
Dalam pasal 3 UU no 1 tahun 1974 menganut asas monogami. Hanya apabila
dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang
bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang.
Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri, meskipun
hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan
apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan.
Persyaratan untuk suami dapat beristri lebih dari seorang terdapat dalam pasal 4 dan 5
UU no 1 tahun 1974.
4. Usia Perkawinan
Dalam pasal 6 dan 7 Undang-undang nomer 1 tahun 1974 menganut prinsip bahwa
calon suami istri itu harus telah matang jiwa raganya untuk dapat melangsungkan
perkawinan, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir
pada perceraian dan juga untuk mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu
harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri yang masih di bawah umur.
Selain itu dalam perkawinan harus diketahui orang tua sebagai wali nikah.
5. Hak dan Kedudukan Istri
Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik
dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga
dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan
bersama oleh suami-istri.

2.3.2 Syarat – syarat perkawinan


Untuk dapat melangsungkan perkawinan secara sah, harus dipenuhi syarat-syarat
perkawinan yang ditegaskan dalam Pasal 6 Undang-Undang Perkawinan, yaitu :
1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mendapat umur 21 (dua puluh
satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan
tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud dalam ayat (2) pasal ini
cukup diperoleh dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu
untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara
atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan ke atas selama
mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
5. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3)
dan (4) pasal ini atau salah seorang atau lebih di antara mereka tidak menyatakan
pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan
melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin
setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal
ini.
6. Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak
menentukan lain.

Dalam pasal 7 UU nomer 1 tahun 1974 dijelaskan sebagai berikut:


1. Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas)
tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
2. Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada
pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak
wanita.
3. Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tesebut
dalam Pasal 6 ayat (3) dan (4) undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan
dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini tidak mengurangi yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat
(6).

2.3.3 Akibat dari hukum perkawinan


Di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terdapat akibat-
akibat yang timbul dalam perkawinan terhadap suami istri, yaitu :
1. Bagi suami dan istri akan timbul hak dan kewajiban di antara mereka berdua dan
hubungan mereka dengan masyarakat luas, hal ini tertuang pada pasal 30 s/d pasal 34.
Pasal 30 menyebutkan bahwa : Suami-istri memikul kewajiban yang luhur
untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat.
menegakkan rumah tangga artinya berusaha supaya rumah tangga tetap utuh dan tidak
bubar karena terjadi perceraian. Kewajiban ini harus pula dihubungkan dengan tujuan
perkawinan yang disebutkan dalam pasal 1 yaitu membentuk keluarga yang kekal dan
bahagia. Dengan tetap utuhnya setiap perkawinan dalam suatu masyarakat tertentu,
akan berakibat terpeliharanya masyarakat yang bersangkutan dengan baik dan tertib
serta sejahtera, karena suatu keluarga adalah merupakan sendi dasar yang paling
utama dan pertama dalam susunan masyarakat.
Kewajiban suami istri dalam pasal 30 tersebut di atas lebih lanjut ditegaskan
lagi atau diperinci lebih lanjut dalam pasal 33 UUP bahwa : Suami istri wajib saling
cinta-mencintai, hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang
satu kepada yang lain. Karena dengan saling mencintai, saling menghormati, saling
membantu lahir batin dan saling setia serta saling memberi di antara suami istri itu,
maka terpenuhi kewajiban masing-masing dalam menegakkan rumah tangga mereka.
Sebab dengan demikian akan terwujud suasana damai dan saling pengertian yang
merupakan syarat mutlak bagi tegaknya sebuah rumah tangga. Dengan pengertian
akan kewajiban saling mencintai dan saling membantu itu, jelas harus diakui oleh
masing-masing suami istri, mereka telah menjadi satu kesatuan yang utuh dan
masing-masing mengakui bahwa diantara mereka mempunyai kelebihan dan
kekurangan. Hal itu ditegaskan dengan jelas dalam Penjelasan Umum pada butir 4 a :
untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing
dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mecapai kesejahteraan sprituil
dan materiil. Yaitu untuk mencapai tujuan perkawinan tersebut dalam pasal 1. Lebih
lanjut lagi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya masing-
masing dalam saling membantu untuk mencapai kesejahteraan di bidang materi
(keduniawian) tetapi juga di bidang sprituil (kerohanian dan keakhiratan).
Pasal 31 ayat 1 mengatakan bahwa : Hak dan kedudukan istri adalah seimbang
dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan
hidup bersama dalam masyarakat.
2. Terbentuknya harta benda yang ada dalam perkawinan.
Mengenai harta benda dalam perkawinan diatur dalam pasal 35, 36, 37 UUP.
Ketentuan mengenai harta benda perkawinan ini sangat dipengaruhi oleh hukum adat
yang berlaku di Indonesia, khususnya hukum adat Jawa. Sedangkan pengaruh dari
ketentuan hukum agama, khususnya agama Islam tidak ada terhadap ketentuan harta
benda perkawinan.
Dalam hal harta benda perkawinan ini, Undang-Undang Perkawinan
menegaskan bahwa :
a. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama (diatur
dalam pasal 35 ayat 1).
b. Mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua
belah pihak (diatur dalam pasal 36 ayat 1).
c. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh
masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan
masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain (diatur dalam pasal
35 ayat 2).
3. Lahirnya keturunan atau anak
a. Tentang status anak dan kedudukan anak
Di dalam UU hanya dikenal dua buah status atau kedudukan anak, yaitu anak sah
dan anak tidak sah. Anak sah disebutkan dalam pasal 42 : Anak yang sah adalah
anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Sedangkan
anak yang tidak sah artinya tidak dilahirkan dalam perkawinan yang sah dimana
disebut dalam pasal 43 ayat 1 : Anak yang diluar perkawinan hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Selanjutnya dalam pasal
43 ayat 2 UUP dikatakan bahwa : Kedudukan anak tersebut dalam ayat 1 di atas
selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
b. Hak dan kewajiban orang tua dan anak
Pada bab X dengan judul Hak dan Kewajiban antara Orang Tua dan Anak yang
meliputi pasal 45, 46, 47, 48 dan 49. Unsur-unsur yang perlu diperhatikan
mengenai hak dan kewajiban antara orang tua dan anak adalah antara lain :
 Usia belum dewasa bagi seorang anak :
UU nomer 1 tahun 1974 menentukan seorang wanita minimal berumur 16
tahun untuk bisa melangsungkan perkawinan, sedangkan laki-laki minimal
berumur 19 tahun (Pasal 17 ayat 1), dll.
 Kewajiban dan kekuasan orang tua terhadap anak
Pasal 45 ayat 1 : Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak
mereka sebaik-baiknya.
Pasal 45 ayat 2 : Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini
berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana
berlaku terus meskipun perkawinan kedua orang tua putus.
Pasal 48 : Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau
menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum
berumur 18 tahun atau belum melangsungkan perkawinan, kecuali apabila
kepentingan anak itu menghendakinya.
Pasal 47 ayat 1 : Anak yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama
mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.
 Kewajiban anak terhadap orang tua
Pasal 46 ayat 1 : Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak
mereka yang baik.
Pasal 46 ayat 2 : Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut
kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas bila mereka
itu memerlukan bantuannya.
c. Perwalian terhadap anak
Mengenai perwalian ini diatur dalam bab XI UUP dengan judul Perwalian yang
terdiri dari pasal 50 s/d pasal 54.
Pasal 50 ayat 1 : Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua,
berada di bawah kekuasaan wali.

2.4 Pernikahan dalam adat jawa


Masyarakat Jawa memandang perkawinan yang terjadi antara laki-laki dan perempuan
hakekatnya hanyalah gambaran pertemuan Mar dan Marti yang sudah berjodoh sejak sebelum
lahir. “Pertemuan” (baca : perkawinan) memiliki relevansi dengan arti perkawinan secara
faktual bahwa perkawinan dalam jagat tradisi Jawa tidak dimulai dengan nikah, melainkan
diinisiasikan dengan upacara, Sebuah upacara peralihan status, dari satu jeneng (status) ke
jeneng lain yang lebih tinggi (Djojodigoeno : 1957), dari status remaja ke status dewasa
berumah tangga.
Dari tulisan di atas dapat kita pahami bahwa dalam adat jawa pernikahan
menempatkan pasangan yang menikah pada suatu status yang lebih tinggi. Dalam adat jawa
pernikahan memiliki unsur tanggung jawab yang merupakan ciri kedewasaan dalam rumah
tangga. Sementara dalam pernikahan mut'ah yang dijalankan penganut Syiah di Bojonegoro
menempatkan pasangan yang menikah dalam pernikahan itu tanpa ada tanggung jawab yang
mengikat, bahkan statusnya pun tidak diakui. Hal ini tentu sangat bertentangan dengan adat
masyarakat Bojonegoro yang adalah suku Jawa pada umumnya.

2.5 Pernikahan dalam Perspektif Hukum Islam


2.5.1 Pengertian Pernikahan
Pengertian pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri, dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Perkawinan berasal dari kata nikah yang menurut bahasa artinya mengumpulkan,
saling memasukan, dan digunakan untuk arti bersetubuh (wathi). Sedangkan menurut istilah
hukum Islam, perkawinan menurut syara’ yaitu akad yang ditetapkan syara’ untuk
membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan dan menghalalkan
bersenang-senangnya perempuan dengan laki-laki.
Pernikahan adalah pintu gerbang yang sakral yang harus dimasuki oleh setiap insan
untuk membentuk sebuah lembaga yang bernama keluarga. Perhatian Islam terhadap
keluarga begitu besar, karena keluarga merupakan cikal bakal terbentuknya sebuah
masyarakat yang lebih luas. Keluarga adalah pemberi warna dalam setiap masyarakat, baik
tidaknya sebuah masyarakat tergantung pada masing-masing keluarga yang terdapat dalam
masyarakat tersebut

2.5.2 Syarat dan Rukun Pernikahan


Syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu
pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti
menutup aurat untuk shalat, atau menurut Islam calon pengantin laki-laki/ perempuan itu
harus beragama Islam.
Sedangkan rukun yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya
suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti
membasuh muka untuk wudhu dan takbiratul ihram untuk shalat, atau adanya calon
pengantin laki-laki/perempuan dalam perkawinan.
Sah yaitu sesuatu pekerjaan (ibadah) yang memenuhi rukun dan syarat. Rukun dan
syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau
tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum.
Jumhur ulama sepakat bahwa rukun perkawinan itu terdiri atas:
a. Adanya calon suami dan isteri yang akan melakukan perkawinan.
b. Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita.
c. Adanya dua orang saksi.
d. Sighat akad nikah, yaitu ijab kabul yang diucapkan oleh wali atau wakilnya dari
pihak wanita, dan dijawab oleh calon pengantin laki-laki.

Sedangkan syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan.


Apabila syarat-syaratnya terpenuhi, maka perkawinan itu sah dan menimbulkan adanya
segala hak dan kewajiban sebagai suami isteri.
Pada garis besarnya syarat-syarat sahnya perkawinan itu ada dua:
1. Calon mempelai perempuannya halal dikawini oleh laki-laki yang ingin
menjadikannya isteri. Jadi, perempuannya itu bukan merupakan orang haram
dinikahi, baik karena haram dinikahi untuk sementara maupun untuk selama-
lamanya.
2. Akad nikahnya dihadiri para saksi.
Adapun secara rinci masing-masing syarat sah pernikahan yaitu:
a. Syarat calon pengantin pria:
1. Terang (jelas) bahwa calon suami itu betul laki-laki.
2. Jelas orangnya.
3. Tidak terdapat halangan perkawinan.
4. Beragama Islam.
5. Calon mempelai laki-laki itu tahu betul calon isterinya halal baginya.
6. Tidak karena paksaan.
7. Tidak sedang mempunyai istri empat.
b. Syarat calon pengantin wanita:
1. Beragama Islam atau ahli atau beragama meskipun Yahudi atau Nasrani.
2. Jelas bahwa ia perempuan.
3. Jelas orangnya.
4. Tidak terdapat halangan perkawinan.
c. Syarat-syarat wali
1. Laki-laki
2. Dewasa
3. Mempunyai hak perwalian
4. Tidak terdapat halangan perwaliannya
5. Berakal dan adil (tidak fasik).
d. Syarat-syarat saksi
1. Minimal dua orang laki-laki
2. Hadir dalam ijab qabul
3. Dapat mengerti maksud akad
4. Islam
5. Dewasa dan berakal.
e. Ijab qabul syarat-syaratnya
1. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali
2. Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai pria
3. Memakai kata-kata nikah, tazwij, atau terjemahan dari kata nikah dan tazwij
4. Antara ijab dan qabul bersambungan
5. Antara ijab dan qabul jelas maksudnya
6. Orang yang berkait ijab qabul tidak sedang ihram haji/ umrah
7. Majlis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum empat orang, yaitu calon mempelai
pria atau wakilnya, wali dari mempelai wanita atau wakilnya, dan dua orang saksi
2.5.3 Tujuan Pernikahan
Tujuan pernikahan menurut agama Islam ialah untuk memenuhi petunjuk agama
dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. Harmonis dalam
menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga; sejahtera artinya terciptanya ketenangan
lahir batin disebabkan terpenuhinya keperluan hidup lahir dan batinnya, sehingga timbul
kebahagian, yakni kasih sayang antar anggota keluarga.
Menurut Imam Ghazali tujuan perkawinan yaitu:
a. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan
b. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan kasih
sayangnya.
c. Memenuhi panggilan agama, memlihara diri dari kejahatan dan kerusakan.
d. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta
kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan yang halal.
e. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram dan kasih
sayang.

2.5.4 Putusnya Pernikahan


Dalam Islam perceraian prinsipnya dilarang, ini dapat dilihat pada isyarat Rasulullah
saw bahwa talak atau perceraian adalah perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah.
Sabda Nabi Muhammad saw:
Artinya:” Sesuatu perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talak
(perceraian). (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Al-Hakim).
Isyarat tersebut menunjukan bahwa talak atau perceraian merupakan alternatif terakhir
sebagai pintu darurat yang boleh ditempuh, manakala bahtera kehidupan rumah tangga tidak
dapat lagi dipertahankan keutuhannya.
Setidaknya ada empat kemungkinan yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga yang
dapat memicu timbulnya keinginan untuk memutus/putusnya perkawinan.
a. Terjadinya nusyuz dari pihak isteri
b. Terjadinya nusyuz dari pihak suami
c. Terjadinya perselisihan atau percekcokan antara suami dan isteri, dan
d. Li’an karena salah satu melakukan fahisyah, terlebih lagi terbukti melakukan zina, maka
jelas penyelasainnya akan memutuskan tali perkawinan.

Anda mungkin juga menyukai