Anda di halaman 1dari 25

KONFLIK AGRARIA DAN

PENYELESAIANNYA
(Disusun untuk melengkapi tugas mata Kuliah Hukum Agraria)

Disusun Oleh:
Kelompok 11

RIDA HILYATI SAUDA 21110113120017


RISQI UMI RAHMAWATI 21110115120020
ARY NURHIDAYATI SUGIANTO 21110115120023
AHMAD SHOFIYUL HUDA 21110115130050

PROGRAM STUDI TEKNIK GEODESI


FAKULTAS TEKNIK-UNIVERSITAS DIPONEGORO
Jl.Prof.SoedartoSH,Tembalang Semarang Telp.(024)76480785;76480788
e-mail:jurusan@geodesi.ft.undip.ac.id
2016

i
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkah limpahan
rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan tugas dari mata kuliah Hukum Agraria
dengan judul “Konflik Agraria dan Penyelesaiannya”.

Selaku Penulis, kami sadar bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam
penyusunan tugas makalah ini. Untuk itu, penulis membutuhkan kritik dan saran
yang bersifat membangun demi perbaikan makalah ini. Semoga makalah ini
dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Amin.

Semarang, 29 Oktober 2016

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii


DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... I-1
I.1 LatarBelakang ........................................................................................ I-1
I.2 Rumusan Masalah .................................................................................. I-2
I.3 Tujuan ..................................................................................................... I-2
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................... II-1
II.1 Tentang Sengketa Tanah ...................................................................... II-1
II.1.1 Pengertian Sengketa Tanah ........................................................... II-1
II.1.2 Fungsi Tanah bagi Kehidupan ...................................................... II-2
II.1.3 Faktor Pendorong Terjadinya Sengketa Tanah ............................. II-2
II.1.4 Pandangan Pemerintah terhadap Sengketa Tanah di Indonesia .... II-5
II.1.5 Bentuk-bentuk Penyelesaian Sengketa Tanah .............................. II-7
II.2 Contoh Kasus Sengketa Tanah ........................................................... II-13
II.2.1 Penyebab Masalah ....................................................................... II-16
II.2.2 Akibat Masalah ........................................................................... II-17
II.2.3 Upaya yang Bisa Dilakukan Warga Negara Untuk Menimimalisir
Kasus......................................................................................................... II-17
BAB III PENUTUP ........................................................................................... III-1
III.1 Kesimpulan ...................................................................................... III-1
III.2 Saran ................................................................................................ III-1
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ iv

iii
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 LatarBelakang

Tanah merupakan kebutuhan hidup manusia yang sangat mendasar.


Manusia hidup serta melakukan aktivitas di atas tanah sehingga setiap saat
manusia selalu berhubungan dengan tanah dapat dikatakan hampir semua
kegiatan hidup manusia baik secara langsung maupun tidak langsung selalu
memerlukan tanah. Pun pada saat manusia meninggal dunia masih
memerlukan tanah untuk penguburannya Begitu pentingnya tanah bagi
kehidupan manusia, maka setiap orang akan selalu berusaha memiliki dan
menguasainya. Dengan adanya hal tersebut maka dapat menimbulkan suatu
sengketa tanah di dalam masvarakat. Sengketa tersebut timbul akibat adanya
perjanjian antara 2 pihak atau lebih yang salah 1 pihak melakukan
wanprestasi.

Tanah mempunyai peranan yang besar dalam dinamika pembangunan,


maka didalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 disebutkan
bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat .Ketentuan mengenai tanah juga dapat kita lihat dalam Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria atau yang biasa kita sebut dengan UUPA. Timbulnya
sengketa hukum yang bermula dari pengaduan sesuatu pihak (orang/badan)
yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah, baik terhadap
status tanah, prioritas, maupun kepemilikannya dengan harapan dapat
memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.

Mencuatnya kasus-kasus sengketa tanah di Indonesia beberapa waktu


terakhir seakan kembali menegaskan kenyataan bahwa selama 71 tahun
Indonesia merdeka, negara masih belum bisa memberikan jaminan hak atas
tanah kepada rakyatnya. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Undang-Undang Pokok Agraria (UU PA) baru sebatas menandai

I-1
dimulainya era baru kepemilikan tanah yang awalnya bersifat komunal
berkembang menjadi kepemilikan individual.

Menyikapi rentetan peristiwa konflik agraria yang salah satunya


melibatkan militer, misalnya sengketa tanah di Pasuruan. Sudah saatnya
pemerintah untuk mengevaluasi dan mengambil tindakan tegas terkait
dengan penguasaan militer dilapangan agraria, baik untuk kepentingan
latihan apalagi untuk kepentingan bisnis militer.

I.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian dari sengketa tanah?
2. Bagaimana uraian penyelesaian suatu contoh kasus sengketa tanah yang
pernah terjadi?

I.3 Tujuan
1. Mahasiswa mampu memahami pengertian dari sengketa tanah
2. Mahasisa mampu memberikan contoh kasus sengketa tanah
3. Mahasiswa mampu mengetahui analisa penyelesaian kasus sengketa tanah
yang ada.

I-2
BAB II
PEMBAHASAN

II.1 Tentang Sengketa Tanah


II.1.1 Pengertian Sengketa Tanah
Sengketa menurut kamus Bahasa Indonesia, berarti pertentangan atau
konflik, konflik dapat terjadi karena adanya pertentangan antara orang-
orang, kelompok-kelompok ataupun organisasi-organisasi. Pertentangan
atau konflik tersebut terjadi antara individu-individu atau kelompok-
kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas
suatu objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu
dengan yang lain. Adapun tujuan seseorang dalam memperkarakan sengketa
adalah untuk menyelesaikan masalah yang konkret dan memuaskan.
Tanah dapat definisikan menurut ilmu pastinya adalah kumpulan
tubuh alam yang menduduki sebagian besar daratan planet bumi,yang
mampu menumbuhkan berbagai tanaman dan sebagai tempat makhluk
hidup lainnya untuk melangsungkan kehidupan. Dapat disimpulkan
sengketa tanah merupakan perebutan hak atas kepemilikan tanah yang jelas
maupun karena kepemilikan tanah yang tidak jelas, dan sengketa tanah
terjadi karena ada sebuah kepentingan dan hak.
Sengketa tanah banyak terjadi karena adanya sebuah benturan
kepentingan antara siapa dengan siapa. Sadar akan pentingnya tanah untuk
tempat tinggal atau kepentingan lainnya menyebabkan tanah yang tidak
jelas kepemilikannya diperebutkan bahkan ada yang sudah jelas
kepemilikannyapun masih ada yang diperubutkan, hal ini terjadi karena
masyarakat sadar akan kepentingan dan haknya,selain itu harga tanah yang
semakin meningkat.Menurut Rusmadi Murad timbulnya sengketa hukum
yang bermula dari pengaduan sesuatu pihak (orang atau badan) yang berisi
keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah, baik terhadap status tanah,
prioritas, maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh
penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan.

II-1
Peraturan yang berlaku kasus pertanahan itu timbul karena adanya
klaim / pengaduan / keberatan dari masyarakat (perorangan/badan hukum)
yang berisi kebenaran dan tuntutan terhadap suatu keputusan Tata Usaha
Negara di bidang pertanahan yang telah ditetapkan oleh Pejabat Tata Usaha
Negara di lingkungan Badan Pertanahan Nasional, serta keputusan Pejabat
tersebut dirasakan merugikan hak-hak mereka atas suatu bidang tanah
tersebut. Dengan adanya klaim tersebut, mereka ingin mendapat
penyelesaian secara administrasi dengan apa yang disebut koreksi serta
merta dari Pejabat yang berwenang untuk itu. Kewenangan untuk
melakukan koreksi terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara di bidang
pertanahan (sertifikat / Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah), ada
pada Kepala Badan Pertanahan Nasional.Kasus pertanahan dapat berupa
permasalahan status tanah,masalah kepemilikan,masalah bukti-bukti
perolehan yang menjadi dasar pemberian hak dan sebagainya.
II.1.2 Fungsi Tanah bagi Kehidupan
Ada banyak sekali fungsi dan manfaat tanah, tetapi fungsi tanah yang
dimaksud dalam pembahasan makalah ini adalah fungsi tanah dari segi
sosial. Tanah semakin bagus fungsinya serta akan sangat bernilai tinggi jika
terletak di tempat yang strategis seperti dekat dengan jalan raya, dekat
dengan pasar, tempat hiburan dan tempat-tempat pentinglainnya yang
merupakan sumber kehidupan dan kebutuhan sosial masyarakat.
Menurut Saidin (2002) fungsi tanah selain sebagai tempat untuk
tinggal, tanah juga digunakan sebagai tempat mengadakan aktivitas
ekonomi, jalan untuk kegiatan lalu lintas, perjanjian dan yang padaakhirnya
sebagai tempat tinggal masa depan (kuburan). Jadi, tanah itu sangat bernilai
penting untuk kehidupan, sehingga banyak orang memperebutkan tanah dan
tidak heran jika satu keluarga (kakak-adik) bertengkar karena urusan tanah,
khususnya tanah warisan.
II.1.3 Faktor Pendorong Terjadinya Sengketa Tanah
Menurut Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Pusat,
setidaknya ada tiga hal utama yang menyebabkan terjadinya sengketa
tanah :

II-2
1. Persoalan administrasi sertifikasi tanah yang tidak jelas, akibatnya
adalah ada tanah yang dimiliki oleh dua orang dengan memiliki
sertifikat masing-masing.
2. Distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata. Ketidakseimbangan
dalam distribusi kepemilikan tanah ini baik untuk tanah pertanian
maupun bukan pertanian telah menimbulkan ketimpangan baik secara
ekonomi, politis maupun sosiologis. Dalam hal ini, masyarakat bawah,
khususnya petani/penggarap tanah memikul beban paling berat.
Ketimpangan distribusi tanah ini tidak terlepas dari kebijakan ekonomi
yang cenderung kapitalistik dan liberalistik. Atas nama pembangunan
tanah-tanah garapan petani atau tanah milik masyarakat adat diambil
alih oleh para pemodal dengan harga murah.
3. Legalitas kepemilikan tanah yang semata-mata didasarkan pada bukti
formal (sertifikat), tanpa memperhatikan produktivitas tanah.
Akibatnya, secara legal (de jure), boleh jadi banyak tanah bersertifikat
dimiliki oleh perusahaan atau para pemodal besar, karena mereka telah
membelinya dari para petani/pemilik tanah, tetapi tanah tersebut lama
ditelantarkan begitu saja. Mungkin sebagian orang menganggap remeh
dengan memandang sebelah mata persoalan sengketa tanah ini, padahal
persoalan ini merupakan persoalan yang harus segera di carikan
solusinya. Kenapa demikian? karena sengketa tanah sangat berpotensi
terjadinya konflik antar ras, suku dan agama. Akibatnya harga diri harus
dipertaruhkan.
Indonesia adalah Negara yang berdasar hukum, maka semua aspek
kehidupan bermasyarakat diatur oleh hukum yang diwujudkan dalam
peraturan perundang undangan. Masyarakat dalam suatu Negara hukum
akan menyelesaikan masalahnya dalam suatu lembaga peradilan yang diatur
khusus oleh undang undang. Begitu pula dengan pertanahan yang
mempunyai undang-undang politik agrarian (UUPA). Namun, sengketa
tanah yang terjadi di Indonesia tidak pernah berakhir, selalu ada
permasahalan terkait masalah kepemilikan tanah dan hak guna pakainya.
Faktor utama penyebab sengketa tanah adalah :

II-3
1. Luas tanah yang tersedia terbatas, tapi di sisi lain kebutuhan akan
tanahmeningkat sehingga nilai tanah lebih besar.
2. Masalah pengaturan, penguasaan, dan pemilikan yang pengendaliannya
belum efektif.Kasus konflik pertanahan seperti sengketa tanah hampir
terjadi seluruh penjuru tanah air indonesia. Setelah diusut dan diteliti
semua kasus sengketa tanah yang terjadi menunjukkan pola sengketa
yang sebangun. Berbagai kasus pertanahan yang menyangkut nasib
ribuan warga itu pun dikenal memakan waktu lama dan terasa
menggetirkan dalam proses penyelesaiannya.

Banyak masalah sengketa tanah yang terkadang selalu memberikan


kerugian kepada orang yangseharusnya tidak bersalah misalnya warga
(rakyat biasa) yang bersengketa dengan suatu instansi yang mempunyai
wewenang dan kekuasaan, karena carut-marutnya hukum pertanahan
Indonesian sebenarnya sudah menjadi hal yang biasa.Dari mulai pungli
(pungutan liar), korupsi sampaikearah mafia pertanahan yaitu juga
melibatkan lembaga peradilan kita.
Sifat permasalahan dari suatu sengketa ada beberapa macam:
1. Masalah yang menyangkut prioritas untuk dapat ditetapkan sebagai
pemegang hak yang sah atas tanah yang berstatus hak atas tanah yang
belum ada haknya.
2. Bantahan terhadap sesuatu alas hak/bukti perolehan yang digunakan
sebagai dasar pemberian hak.
3. Kekeliruan/kesalahan pemberian hak yang disebabkan penerapan
peraturan yang kurang/tidak benar.
4. Sengketa/masalah lain yang mengandung aspek-aspek sosial praktis
(bersifat strategis).
Jadi dilihat dari substansinya, maka sengketa pertanahan meliputi
pokok persoalan yang berkaitan dengan :
1. Peruntukan dan/atau penggunaan serta penguasaan hak atas tanah.
2. Keabsahan suatu hak atas tanah.
3. Prosedur pemberian hak atas tanah.

II-4
4. Pendaftaran hak atas tanah termasuk peralihan dan penerbitan tanda
bukti haknya.
II.1.4 Pandangan Pemerintah terhadap Sengketa Tanah di Indonesia
Masalah sengketa tanah bukan sekadar insiden, tapi (lagi-lagi) tragedi.
Celakanya, tragedi semacam ini bukan hanya sekali-dua, tapi berulang-
ulang seakan tak ada bosannya. Tragedi ini pun semakin menambah panjang
daftar korban dari berbagai kasus yang bersumberkan sengketa tanah
(agraria) di Indonesia.Sengketa tanah dan sumber-sumber agraria pada
umumnya sepertinya merupakan konflik laten. Dari berbagai kasus yang
terjadi, bangkit dan menajamnya sengketa tanah tidaklah terjadi seketika,
namun tumbuh dan terbentuk dari benih-benih yang sekian lama memang
telah terendap.Pihak-pihak yang bersengketa pun sebagian besar kalaupun
tidak bisa disebut, hampir seluruhnya bukan hanya individual, namun
melibatkan tataran komunal. Keterlibatan secara komunal inilah yang
memungkinkan sengketa tanah merebak menjadi kerusuhan massal yang
menelan banyak korban. Tatkala kerusuhan meledak, rakyat lah yang kerap
menanggung akibat yang paling berat.
Pada konteks kasus-kasus sengketa tanah ini, kiranya bukan sekadar
desas-desus jika ada cerita, negara justru kerap bersekongkol dengan para
pemilik modal. Rakyat cukup diberi ilusi semua demi negeri ini, demi
terwujudnya kehidupan masyarakat yang gemah ripah loh jinawi repeh rapih
toto tengtrem kerto raharjo. Mereka yang menolak ilusi tersebut, gampang
saja solusinya tinggal memberinya shock therapy dengan teror, intimidasi,
dan tindakan refresi.Cerita semacam ini kiranya bukan hanya tersimpan
sebagai milik Rezim Orde Baru. Di alam keindonesiaan kita hari ini yang
konon tengah menyuarakan reformasi, berbagai bentuk intimidasi dan
kekerasan oleh (aparat) negara terhadap masyarakat masih kerap terjadi
dalam konteks sengketa tanah dan sumber-sumber agraria pada umumnya.
Sebut saja, kasus penggusuran Masyarakat Adat Meler-Kuwus, Manggarai,
NTT yang dituduh telah melakukan “perampasan tanah negara” pada tahun
2002 atau kasus penangkapan dan intimidasi terhadap delapan anggota

II-5
Serikat Petani Pasundan di Garut yang dituduh sebagai perambah dan
perusak hutan pada awal Maret 2006.
Padahal, Tap MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam telah mengamatkan bahwa “menghormati
dan menjunjung tinggi hak asasi manusia” adalah salah satu prinsip yang
wajib ditegakkan oleh (aparat) negara dalam penanganan sengketa agraria.
Dengan merujuk pada Tap MPR ini saja, cara-cara yang ditempuh oleh
(aparat) negara itu tentu saja menjadi tindakan yang tragis-ironis. Sekali lagi
hal itu pun bisa menunjukkan, betapa bobroknya implementasi hukum kita,
dan betapa masyarakat yang semestinya dilindungi selalu berada dalam
posisi tidak berdaya, selalu dipersalahkan, dan menjadi korban. Malangnya,
hampir dalam setiap kasus sengketa tanah, posisi masyarakat selalu lemah
atau dilemahkan. Masyarakat sering tidak memiliki dokumen-dokumen
legal yang bisa membuktikan kepemilikan tanahnya. Mereka bisanya hanya
bersandar pada “kepemilikan historis” dimana tanah yang mereka miliki
telah ditempati dan digarap secara turun-temurun.
Didalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria
(UUPA) sebenarnya termaktub satu ketentuan akan adanya jaminan bagi
setiap warga negara untuk memiliki tanah serta mendapat manfaat dari
hasilnya (pasal 9 ayat 2). Jika mengacu pada ketentuan itu dan juga merujuk
pada PP No. 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah (terutama pasal 2) Badan
Pertanahan Nasional (BPN) semestinya dapat menerbitkan dokumen legal
(sertifikat) yang dibutuhkan oleh setiap warga negara dengan mekanisme
yang mudah, terlebih lagi jika warga negara yang bersangkutan sebelumnya
telah memiliki bukti lama atas hak tanah mereka. Namun sangat
disayangkan pembuktian dokumen legal melalui sertifikasi pun ternyata
bukan solusi jitu dalam kasus sengketa tanah. Seringkali sebidang tanah
bersertifikat lebih dari satu, pada kasus Meruya yang belakangan sedang
mencuat, misalnya. Bahkan, pada beberapa kasus, sertifikat yang telah
diterbitkan pun kemudian bisa dianggap aspro (asli tapi salah prosedur).

II-6
II.1.5 Bentuk-bentuk Penyelesaian Sengketa Tanah
Pada hakikatnya, kasus pertanahan merupakan benturan kepentingan
(conflict of interest) di bidang pertanahan antara siapa dengan siapa, sebagai
contoh konkret antara perorangan dengan perorangan; perorangan dengan
badan hukum; badan hukum dengan badan hukum dan lain
sebagainya.Sehubungan dengan hal tersebut di atas, guna kepastian hukum
yang diamanatkan UUPA, maka terhadap kasus pertanahan dimaksud antara
lain dapat diberikan respons/reaksi/penyelesaian kepada yang
berkepentingan (masyarakat dan pemerintah), berupa solusi melalui Badan
Pertanahan Nasional dan solusi melalui Badan Peradilan. Solusi
penyelesaian sengketa tanah dapat ditempuh melalui cara berikut ini :

II-7
1. Solusi melalui BPN
Kasus pertanahan itu timbul karena adanya
klaim/pengaduan/keberatan dari masyarakat (perorangan/badan
hukum) yang berisi kebenaran dan tuntutan terhadap suatu
keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan yang telah
ditetapkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan Badan
Pertanahan Nasional, serta keputusan Pejabat tersebut dirasakan
merugikan hak-hak mereka atas suatu bidang tanah tersebut.
Dengan adanya klaim tersebut, mereka ingin mendapat
penyelesaian secara administrasi dengan apa yang disebut koreksi
serta merta dari Pejabat yang berwenang untuk itu. Kewenangan
untuk melakukan koreksi terhadap suatu keputusan Tata Usaha
Negara di bidang pertanahan (sertifikat/Surat Keputusan Pemberian
Hak Atas Tanah), ada pada Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Kasus pertanahan meliputi beberapa macam antara lainmengenai
masalah status tanah, masalah kepemilikan, masalah bukti-bukti
perolehan yang menjadi dasar pemberian hak dan sebagainya.
Setelah menerima berkas pengaduan dari masyarakat tersebut di
atas, pejabat yang berwenang menyelesaikan masalah ini akan
mengadakan penelitian dan pengumpulan data terhadap berkas
yang diadukan tersebut. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan
sementara apakah pengaduan tersebut dapat diproses lebih lanjut
atau tidak dapat. Apabila data yang disampaikan secara langsung
ke Badan Pertanahan Nasional itu masih kurang jelas atau kurang
lengkap, maka Badan Pertanahan Nasional akan meminta
penjelasan disertai dengan data serta saran ke Kepala Kantor
Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kepala Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota setempat letak tanah yang
disengketakan.
Bilamana kelengkapan data tersebut telah dipenuhi, maka
selanjutnya diadakan pengkajian kembali terhadap masalah yang
diajukan tersebut yang meliputi segi prosedur, kewenangan dan

II-8
penerapan hukumnya. Agar kepentingan masyarakat (perorangan
atau badan hukum) yang berhak atas bidang tanah yang diklaim
tersebut mendapat perlindungan hukum, maka apabila dipandang
perlu setelah Kepala Kantor Pertanahan setempat mengadakan
penelitian dan apabila dari keyakinannya memang harus distatus
quokan, dapat dilakukan pemblokiran atas tanah sengketa.
Kebijakan ini dituangkan dalam Surat Edaran Kepala Badan
Pertanahan Nasional tanggal 14-1-1992 No 110-150 perihal
Pencabutan Instruksi Menteri Dalam Negeri No 16 tahun 1984.
Dengan dicabutnya Instruksi Menteri Dalam Negeri No 16
Tahun 1984, maka diminta perhatian dari Pejabat Badan
Pertanahan Nasional di daerah yaitu para Kepala Kantor Wilayah
Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota, agar selanjutnya di dalam melakukan penetapan
status quo atau pemblokiran hanya dilakukan apabila ada penetapan
Sita Jaminan (CB) dari Pengadilan. (Bandingkan dengan Peraturan
Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 3
Tahun 1997 Pasal 126).Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa
apabila Kepala Kantor Pertanahan setempat hendak melakukan
tindakan status quo terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara
di bidang Pertanahan (sertifikat/Surat Keputusan Pemberian Hak
Atas Tanah), harusnya bertindak hati-hati dan memperhatikan asas-
asas umum Pemerintahan yang baik, antara lain asas kecermatan
dan ketelitian, asas keterbukaan (fair play), asas persamaan di
dalam melayani kepentingan masyarakat dan memperhatikan
pihak-pihak yang bersengketa.
Terhadap kasus pertanahan yang disampaikan ke Badan
Pertanahan Nasional untuk dimintakan penyelesaiannya, apabila
dapat dipertemukan pihak-pihak yang bersengketa, maka sangat
baik jika diselesaikan melalui cara musyawarah. Penyelesaian ini
seringkali Badan Pertanahan Nasional diminta sebagai mediator di

II-9
dalam menyelesaikan sengketa hak atas tanah secara damai saling
menghormati pihak-pihak yang bersengketa.
Berkenaan dengan itu, bilamana penyelesaian secara
musyawarah mencapai kata mufakat, maka harus pula disertai
dengan bukti tertulis, yaitu dari surat pemberitahuan untuk para
pihak, berita acara rapat dan selanjutnya sebagai bukti adanya
perdamaian dituangkan dalam akta yang bila perlu dibuat di
hadapan notaris sehingga mempunyai kekuatan pembuktian yang
sempurna.
Pembatalan keputusan tata usaha negara di bidang pertanahan
oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional berdasarkan adanya cacat
hukum/administrasi di dalam penerbitannya. Yang menjadi dasar
hukum kewenangan pembatalan keputusan tersebut antara lain :
1. Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria.
2. Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah.
3. Keputusan Presiden No 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan
Nasional Di Bidang Pertanahan.
4. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional No 3 Tahun 1999.
5. Dalam praktik selama ini terdapat perorangan/ badan hukum
yang merasa kepentingannya dirugikan mengajukan keberatan
tersebut langsung kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Sebagian besar diajukan langsung oleh yang bersangkutan
kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional dan sebagian
diajukan melalui Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota
setempat dan diteruskan melalui Kepala Kantor Wilayah
Badan Pertanahan Nasional Provinsi yang bersangkutan.
2. Melalui Badan Peradilan
Apabila penyelesaian melalui musyawarah di antara para
pihak yang bersengketa tidak tercapai, demikian pula apabila

II-10
penyelesaian secara sepihak dari Kepala Badan Pertanahan
Nasional tidak dapat diterima oleh pihak-pihak yang bersengketa,
maka penyelesaiannya harus melalui pengadilan.
Setelah melalui penelitian ternyata Keputusan Tata Usaha
Negara yang diterbitkan oleh Pejabat Badan Pertanahan Nasional
sudah benar menurut hukum dan sesuai dengan prosedur yang
berlaku, maka Kepala Badan Pertanahan Nasional dapat juga
mengeluarkan suatu keputusan yang berisi menolak tuntutan pihak
ketiga yang berkeberatan atas Keputusan Tata Usaha Negara yang
telah dikeluarkan oleh Pejabat Badan Pertanahan Nasional tersebut.
Sebagai konsekuensi dari penolakan tersebut berarti Keputusan
Tata Usaha Negara yang telah dikeluarkan tersebut tetap benar dan
sah walaupun ada pihak lain yang mengajukan ke pengadilan
setempat.
Sementara menunggu putusan pengadilan yang berkekuatan
hukum tetap, dilarang bagi Pejabat Tata Usaha Negara yang terkait
mengadakan mutasi atas tanah yang bersangkutan (status quo).
Oleh karena itu untuk menghindari terjadinya masalah di kemudian
hari yang menimbulkan kerugian bagi pihak-pihak yang berperkara
maupun pihak ketiga, maka kepada Pejabat Tata Usaha Negara di
bidang Pertanahan yang terkait harus menerapkan asas-asas umum
pemerintahan yang baik, yaitu untuk melindungi semua pihak yang
berkepentingan sambil menunggu adanya putusan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde).
Kemudian apabila sudah ada putusan hakim yang mempunyai
kekuatan hukum yang pasti, maka Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota setempat melalui Kepala Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional Provinsi yang bersangkutan mengusulkan
permohonan pembatalan suatu Keputusan Tata Usaha Negara di
bidang Pertanahan yang telah diputuskan tersebut di atas.
Permohonan tersebut harus dilengkapi dengan laporan mengenai

II-11
semua data yang menyangkut subjek dan beban yang ada di atas
tanah tersebut serta segala permasalahan yang ada.
Kewenangan administratif permohonan pembatalan suatu
Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah atau Sertifikat Hak
Atas Tanah adalah menjadi kewenangan Kepala Badan Pertanahan
Nasional termasuk langkah-langkah kebijaksanaan yang akan
diambil berkenaan dengan adanya suatu putusan hakim yang tidak
dapat dilaksanakan. Semua ini agar diserahkan kepada Kepala
Badan Pertanahan Nasional untuk menimbang dan mengambil
keputusan lebih lanjut.Di bidang pertanahan, belum ada suatu
peraturan perundang – undangan yang secara eksplisit memberikan
dasar hukum penerapan Alternatif Dispute Resolution
(ADR).Namun, hal ini tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak
menggunakan lembaga ADR di bidang pertanahan berdasarkan 2
(dua) alasan, yaitu :Pertama, di dalam setiap sengketa perdata yang
diajukan di muka pengadilan, hakim selalu mengusulkan untuk
penyelesaian secara damai oleh para pihak (Pasal 130 HIR).Kedua,
secara eksplisit cara penyelesaian masalah berkenaan dengan
bentuk dan besarnya ganti kerugian dalam kegiatan pengadaan
tanah diupayakan melalui jalur musyawarah.
Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1993 tentang Pengadaan
Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum,
(“Keppres No.53 tahun 1993”) dan Peraturan Menteri Negara
Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 tahun 1994
yang merupakan peraturan pelaksanaan Keppres No. 55 tahun
1993, mengatur tentang tata cara melakukan musyawarah secara
cukup terinci.Dalam perkembangannya, hal ini dimuat dalam
Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah
bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum
(“Perpres No. 36 tahun 2005”) yang diubah dengan Peraturan
Presiden Nomor 65 tahun 2006 yang telah dilengkapi dengan
Peraturan Kepala BPN Nomor 3 tahun 2007. Dengan berlakunya

II-12
Perpres No. 36 tahun 2005, maka Keppres No. 55 tahun 1993
dinyatakan tidak berlaku lagi.
Dengan berjalannya waktu, penyelesaian sengketa melalui
ADR secara implisit dimuat dalam Peraturan Presiden Nomor 10
tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional (“BPN”). Dalam
struktur organisasi BPN dibentuk 1 (satu) kedeputian, yakni Deputi
Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik
Pertanahan (“Deputi”). BPN telah pula menerbitkan Petunjuk
Teknis Penanganan dan Penyelesaian Masalah Pertanahan melalui
Keputusan Kepala BPN RI Nomor 34 tahun 2007. Dalam
menjalankan tugasnya menangani sengketa pertanahan, BPN
melakukan upaya melalui mediasi sebagai cara penyelesaian
sengketa alternatif.
Pembentukan Deputi tersebut menyiratkan 2 (dua) hal, yaitu
pertama, bahwa penyelesaian berbagai konflik dan sengketa
pertanahan itu sudah merupakan hal yang sangat mendesak
sehingga diupayakan membentuk kedeputian untuk
penanganannya.Kedua, terdapat keyakinan bahwa tidak semua
sengketa harus diselesaikan melalui pengadilan.

II.2 Contoh Kasus Sengketa Tanah


“Hukum Terhadap Kasus Sengketa Tanah Proyek Pemukiman TNI-
AL Di Pasuruan Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 Tentang Pokok Agraria”
Sengketa tanah Prokimal (proyek pemukiman TNI AL) meletus tahun
1998. Warga di sekitar Prokimal sering menggelar unjuk rasa dengan cara
memblokade jalur pantura (pantai utara) untuk menuntut pembebasan lahan
yang dianggap miliknya. Di lain pihak, menurut keterangan TNI AL, lahan
yang diinginkan warga itu merupakan milik TNI AL yang diperoleh dengan
pembelian yang sah tahun 1960 seluas 3.569,205 hektare yang tersebar
didua kecamatan, yakni Nguling dan Lekok, serta di 11 desa, yakni Desa
Sumberanyar, Sumberagung, Semedusari, Wates, Jatirejo, Pasinan,
Balunganyar, Brang, Gejugjati, Tamping, dan Alas Telogo.

II-13
Saat itu tanah tersebut dibeli seharga Rp 77,66 juta dan rencananya
digunakan untuk pusat pendidikan dan latihan TNI AL yang terlengkap dan
terbesar. Karena belum memiliki dana, agar tidak telantar, tanah tersebut
dijadikan area perkebunan dengan menempatkan 185 keluarga prajurit.
Kemudian pada 1984 keluar Surat Keputusan KSAL No Skep/675/1984
tanggal 28 Maret 1984 yang menunjuk Puskopal dalam hal ini Yasbhum
(Yayasan Sosial Bhumyamca) untuk memanfaatkan lahan tersebut sebagai
lahan perkebunan produktif, dengan memanfaatkan penduduk setempat
sebagai pekerja.
Upaya-upaya penyelesaian sertifikasi tanah yang dilaksanakan
Lantamal III Surabaya sejak 20 Januari 1986 dapat terealisir BPN pada 1993
dengan terbitnya sertifikat sebanyak 14 bidang dengan luas 3.676 hektare.
Meski demikian masih ada penduduk yang belum melaksanakan pindah dari
tanah yang telah dibebaskan TNI AL. Pada 20 November 1993 Bupati
Pasuruan mengirimkan surat kepada Komandan Lantamal III Surabaya
perihal usulan pemukiman kembali nonpemukim TNI AL di daerah
Prokimal Grati. Kemudian Bupati Pasuruan mengajukan surat kepada
KSAL pada 3 Januari 1998 untuk mengusulkan bahwa tanah relokasi untuk
penduduk nonpemukim TNI AL agar diberikan seluas 500 meter persegi per
KK.
Dalam setahun terakhir terjadi dua kali pemblokiran jalan pantura oleh
warga, yakni 14 Desember 2006 dan 10 Januari 2007. Selain itu, warga
Desa Alas Telogo, Kecamatan Lekok, memilih menempuh jalur hukum dan
menggugat kepemilikan tanah itu ke Pengadilan Negeri (PN) Bangil, 18 Juli
2006 lalu. Gugatan itu ditempuh 256 warga, namun mereka dinyatakan
kalah oleh PN Bangil dalam sidang 12 Maret. Munculnya keputusan
tersebut membuat warga marah hingga berujung pada bentrokan dengan
polisi seusai sidang putusan. Sebelum persidangan itu, yakni pada 15
Februari, Pangarmatim Laksda Moekhlas Sidik meresmikan Prokimal
sebagai pusat latihan tempur (Puslatpur) dan warga 11 desa yang berjumlah
sekitar 5.700 keluarga rencananya direlokasi ke bagian yang aman. “Sesuai
pesan Panglima TNI, 2007 ini lahan akan di-set up ulang sebagai pusat

II-14
latihan tempur untuk meningkatkan profesionalitas prajurit TNI AL. Untuk
relokasi warga, karena ada niatan baik dari kami, tidak akan terjadi masalah
seperti saya utarakan di hadapan warga,” kata Laksda Moekhlas Sidik saat
meresmikan Prokimal sebagai Puslatpur.
Janji untuk merelokasi warga kemudian diwujudkan, dan 360 hektare
tanah diberikan kepada warga di 11 desa yang ditempatkan di luar sabuk
batas tempat latihan tempur. “Sesuai Keputusan KSAL, lahan Prokimal
dijadikan pusat latihan tempur dan 5.702 rumah direlokasi di luar garis
latihan. Setiap rumah diberi tanah 500 meter persegi sekaligus bentuk
pelepasan dari inventarisasi kekayaan negara (IKN) AL. Untuk biaya
relokasi, TNI AL dan Bupati akan mengusulkan kepada pimpinan masing-
masing,” tandas Moekhlas Sidik didampingi Bupati Pasuruan Jusbakir
Aldjufri kepada wartawan seusai bertemu dengan 11 kepala desa mewakili
warga di lahan Prokimal Grati, 22 Maret lalu.
Selain itu, TNI AL juga memberikan tambahan lahan sebesar 20
persen untuk pemenuhan fasilitas umum. Dengan adanya keputusan ini,
diharapkan masyarakat tidak resah karena jaminan keamanan tidak terkena
peluru nyasar serta adanya keputusan hukum atas tanah yang dimilikinya.
Upaya relokasi warga 11 desa ini disambut positif Pemkab Pasuruan,
bahkan Pemkab mengusulkan anggaran untuk relokasi itu ke pemerintah
pusat ditambah dengan anggaran dari APBD Kabupaten Pasuruan. Meski
TNI AL memberikan tanah seluas 360 hektare kepada warga 11 desa,
namun para kepala desa saat itu tidak berani menerimanya dan hanya akan
menyampaikan lebih dulu kepada warga. Alasannya, lahan 500 meter
persegi dianggap kurang untuk memenuhi kebutuhan warga.
Di tengah upaya penyelesaian sengketa kasus tanah dengan jalan
damai itulah, tiba-tiba terjadi insiden antara Marinir dengan warga Rabu
(30/5), yang menyebabkan empat warga tewas dan enam lainnya luka-luka.
Sengketa masalah tanah antara warga dengan TNI di Kabupaten Pasuruan
bukan hanya terjadi di lahan Prokimal, Grati. Di Raci, Kecamatan Bangil,
juga terjadi kasus sengketa tanah serupa antara warga dengan TNI Angkatan
Udara (AU). Namun dalam kasus Raci ini, pihak TNI AU telah memberikan

II-15
lampu hijau untuk pengelolaan lahan dengan porsi 60:40 untuk TNI AU dan
warga Desa Raci.
II.2.1 Penyebab Masalah
Masalah tersebut bukan sekadar insiden, tapi (lagi-lagi) tragedi.
Celakanya, tragedi semacam ini bukan hanya sekali-dua, tapi berulang-
ulang seakan tak ada bosannya. Tragedi ini pun semakin menambah
panjang daftar korban dari berbagai kasus yang bersumberkan sengketa
tanah (agraria) di Indonesia. Sengketa tanah dan sumber-sumber agraria
pada umumnya sepertinya merupakan konflik laten. Dari berbagai kasus
yang terjadi, bangkit dan menajamnya sengketa tanah tidaklah terjadi
seketika, namun tumbuh dan terbentuk dari benih-benih yang sekian lama
memang telah terendap.
Dari hal tersebut setidaknya ada 3 (tiga) faktor penyebab sering
munculnya masalah sengketa tanah, diantaranya yaitu :
a. Sistem administrasi pertanahan, terutama dalam hal sertifikasi tanah,
yang tidak beres. Masalah ini muncul boleh jadi karena sistem
administrasi yang lemah dan mungkin pula karena banyaknya oknum
yang pandai memainkan celah-celah hukum yang lemah.
b. Distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata. Ketidakseimbangan
dalam distribusi kepemilikan tanah ini baik untuk tanah pertanian
maupun bukan pertanian telah menimbulkan ketimpangan baik secara
ekonomi, politis maupun sosiologis. Dalam hal ini, masyarakat bawah,
khususnya petani atau penggarap tanah memikul beban paling berat.
Ketimpangan distribusi tanah ini tidak terlepas dari kebijakan
ekonomi yang cenderung kapitalistik dan liberalistik.
c. Legalitas kepemilikan tanah yang semata-mata didasarkan pada bukti
formal (sertifikat), tanpa memperhatikan produktivitas tanah.
Akibatnya, secara legal (de jure), boleh jadi banyak tanah bersertifikat
dimiliki oleh perusahaan atau para pemodal besar, karena mereka
telah membelinya dari para petani atau pemilik tanah, tetapi tanah
tersebut lama ditelantarkan begitu saja.Ironisnya ketika masyarakt
miskin mencoba memanfaatkan lahan terlantar tersebut dengan

II-16
menggarapnya, bahkan ada yang sampai puluhan tahun, dengan
gampanya mereka dikalahkan haknya di pengadilan tatkala muncul
sengketa.
II.2.2 Akibat Masalah
Terjadi insiden antara Marinir dengan warga Rabu (30/5), yang
menyebabkan empat warga tewas dan enam lainnya luka-luka. Sengketa
masalah tanah antara warga dengan TNI di Kabupaten Pasuruan bukan
hanya terjadi di lahan Prokimal, Grati. Di Raci, Kecamatan Bangil, juga
terjadi kasus sengketa tanah serupa antara warga dengan TNI Angkatan
Udara (AU). Serta menyebabkan ketidakharmonisan antara TNI dengan
warga masyarakat sekitar lahan tersebut. Sering pula terjadi pemblokiran
jalan di daerah pantura (pantai utara) sebagai akibat dari kekesalan warga
terhadap tanah yang mereka anggap tanahnya sendiri sehingga menganggu
ketertiban umum.
II.2.3 Upaya yang Bisa Dilakukan Warga Negara Untuk Menimimalisir
Kasus
Banyaknya permasalahan pertanahan yang melibatkan masyarakat
dengan masyarakat, masyarakat dengan perusahaan maupun masyarakat
dengan pemerintah yang kerap berujung pada dirugikannya salah satu pihak
dirasakan perlu dilakukan penyelesaian sengketa alternatif (PSA). Saat ini di
Indonesia belum ada langkah PSA, selama ini permasalahan sengketa
pertanahan selalu di selesaikan di pengadilan di mana biasanya dalam proses
pengadilan tersebut membutuhkan waktu yang cukup lama, biaya cukup
mahal dan tidak bisa langsung di eksekusi. Sehingga sebelum berkas
perkara masuk ke pengadilan perlu dibuat mekanisme PSA. Diantaranya
membuat lembaga mediasi dan membuat arbitrase pertanahan, di mana
lembaga mediasi bertugas mempertemukan pihak-pihak bersengketa,
sedangkan arbitrase mempunyai tugas untuk melakukan penyelesaian di luar
pengadilan tetapi berkas berada di pengadilan serta kepada warganegara
dalam menempati atau membeli tanah harus ada sertifikat yang jelas
kepemilikannya sehingga jika terjadi sengketa tidak perlu khawatir atas hak
milik tanah karena setifikat itu sangat penting dalam kasus seperti ini.

II-17
BAB III
PENUTUP

III.1 Kesimpulan
1. Sengketa tanah adalah pertentangan atau konflik dapat terjadi karena
adanya pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok ataupun
organisasi-organisasi yang perebutan hak atas kepemilikan tanah yang
jelas maupun karena kepemilikan tanah yang tidak jelas, dan sengketa
tanah terjadi karena ada sebuah kepentingan dan hak.
Pertentangan atau konflik tersebut terjadi antara individu-individu atau
kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang
sama atas suatu objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum
antara satu dengan yang lain.
2. Upaya penyelesaian pada konflik sengketa tanah antara TNI dan warga
di Kecamatan Lekok yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait antara
lain:
- Melalui jalur hukum, warga Desa Alas Telogo, Kecamatan Lekok
menggugat kepemilikan tanah tersebut ke Pengadilan Tinggi
Negeri, yang menghasilkan keputusan bahwa warga Desa Alas
Telogo kalah dalam pengadilan tersebut.
- Merelokasi warga setempat di luar daerah tersebut agar adanya
jaminan keamanan tidak terkena peluru nyasar serta adanya
keputusan hukum atas tanah yang dimilikinya. Namun terjadi
insiden tewasnya empat orang warga dan enam orang luka-luka.

III.2 Saran
Banyak sekali penyebab sengketa tanah di Indonesia ini, baik karena
fungsi tanah itu sendiri yang sangat dibutuhkan, maupun masalah
administrasinya, tetapi sebagaimana dari hasil catatan Badan Pertanahan
Negara tentang kasus sengketa tanah yang terjadi di Indonesia ini, faktor
utama penyebabnya adalah masalah administrasi sertifikat yang tidak jelas,
distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata, dan legalitas kepemilikan

III-1
tanah yang semata-mata pada sertifikat saja, tanpa memperhatikan
produktifitas tanahnya. Berdasarkan faktor utama penyebab sengketa di atas
dapat disimpulkan pemerintah sangat diharapkan berperan aktif supaya tidak
mengalami sengketa tanah di masa akan datang, baik upaya peningkatan
administrasi yangmana harus jeli melihat dan akan membuat sertifikat-
sertifikat tanah, agar tidak ada yang berduplikat, maupun dalam pembagian
tanah untuk pemukiman yang merata bagi setiap rakyat Indonesia. Di sisi
lain disarankan juga bagi masyarakat yang akan membeli, memperoleh
tanah maupun akan membuat surat bukti kepemilikan tanah agar berhati-hati
melihat kelegalan surat-surat atau dokumen-dokumen kepemilikan tanah
yang ada supaya tidak terjadi permasalahan nantinya.
Mungkin akan lebih baik jika langkah berikut ini diambil oleh pihak-pihak
terkait.

- Membuat lembaga mediasi, yaitu sebagai media ata perantara untuk


mempertemukan pihak-pihak yang bersengketa
- Membuat arbitrase pertanahan untuk melakukan penyelesaian masalah
sengketa di luar pengadilan tetapi berkas berada di pengadilan
- Dalam menempati atau membeli tanah harus ada sertifikat yang jelas
kepemilikannya sehingga jika terjadi sengketa tidak perlu khawatir atas
hak milik tanah karena setifikat itu sangat penting dalam kasus seperti
ini

III-2
DAFTAR PUSTAKA
Andiny,Sri.2016. Analisis Kasus Agraria Di Indonesia.
http://sriandinyr.blogspot.co.id/2016/04/analisis-kasus-agraria-di-
indonesia.html.Diakses pada tanggal 29 Oktober 2016
Fia S. Aji. 2007. Penyelesaian Sengketa Pertanahan di Indonesia.
http:///www.fiaji.blogspot.com.Diakses pada tanggal 29 Oktober 2016

Lovetya. 2008. “Hak Milik atas Tanah” Pengaturan Hak Milik atas Tanah dan
Pendaftaran Tanah.
http:///www.lovetya.wordpress.com/2008/12/24/pengaturan-hak-milik-
atas-tanah-dan-pendaftaran-tanah. Diakses pada tanggal 29 Oktober
2016.
Minangkabawi,Qaid.2012.Makalah Tentang Sengketa Tanah.http://mahasiswa-
adm.blogspot.co.id/2012/11/makalah-tentang-sengketa-tanah.html.
Diakses pada tanggal 27 Oktober 2016

iv

Anda mungkin juga menyukai