Anda di halaman 1dari 31

PRESENTASI KASUS

SINUSITIS MAXILLARIS DEXTRA KRONIS


ET CAUSA DENTOGEN
Disusun Untuk Memenuhi Syarat Kelulusan
Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher di RSUD Salatiga

Diajukan kepada:
dr. Tri Hana, Sp.THT-KL, M. Kes.

Disusun oleh:
Nama : Padang Tri Handoyo
NIM : 1413010037
NIPP : 1813020025

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
RSUD KOTA SALATIGA
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Telah disetujui dan disahkan presentasi kasus dengan judul


SINUSITIS MAXILLARIS DEXTRA KRONIS
ET CAUSA DENTOGEN

Disusun oleh:

Nama : Padang Tri Handoyo


NIM : 14130100037
NIPP : 1813020025

Telah dipresentasikan

Hari/Tanggal:

Disahkan oleh:

Dosen Pembimbing,

dr. Tri Hana, Sp.THT-KL, M. Kes


BAB I
LAPORAN KASUS

1. Identitas

Nama : Ny. A
Umur : 40 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : Cleaning Service
Alamat : Tegalrejo II RT02/RW04 Tegalrejo Kec.
Argomulyo Yogyakarta
Tanggal Masuk : 02 September 2019

2. Anamesis (Subjektif)
1. Keluhan utama
Pilek kental berbau pada hidung kanan
2. Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)
Ny A datang ke poliklinik THT dengan keluhan pilek kental berbau dari
hidung sebelah kanan sejak 2-3 minggu terakhir. Pasien mengatakan sejak ±
5 bulan terakhir pasien memiliki riwayat pilek kental disertai hidung
tersumbat dan berbau. Pasien mengeluarkan cairan hidung berwarna hijau
hingga jernih dan mengeluhkan seperti adanya lendir yang tertelan pada
tenggorokannya. Pasien juga mengeluhkan terkadang batuk dan pusing.
Pasien mengeluhkan nyeri gigi, dimana gigi geraham kanan pasien berlubang.
Bau mulut kadang-kadang terutama pagi hari. Sensasi nyeri hidung disangkal,
penurunan penciuman (+), nyeri tenggorokan disangkal, nyeri telinga
disangkal, demam disangkal. Keluhan nyeri area pipi kanan dan kiri serta area
sekitar mata juga disangkal.
3. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)
Pasien tidak pernah mengalami dan mengeluhkan hal yang serupa
sebelumnya. Pasien memiliki riwayat gula darah yang tinggi sudah 1 tahun,

1
namun 3 bulan terakhir sudah normal. Riwayat darah tinggi disangkal.
Riwayat asma disangkal. Riwayat asam urat disangkal.
4. Riwayat Penyakit Keluarga (RPK)
Riwayat penyakit pada keluarga pasien yaitu adik iparnya ada yang
terkena sinusitis dan sakit jantung. Riwayat darah tinggi, diabetes, asma dan
asam urat dikeluarga disangkal.
5. Riwayat Personal Sosial (RPSos)
Pasien bekerja sebagai cleaning service di samsat salatiga, ketika
bekerja pasien mengaku jarang menggunakan masker dan peralatan
keamanan kerja yang lain. Kosumsi alkohol dan rokok disangkal pasien.
Pasien terdaftar sebagai peserta BPJS.

3. Pemeriksaan fisik (Objektif)


A. Status Generalisata (8 Mei 2019)
Kesan Umum Tampak sakit sedang
Kesadaran Kompos mentis (GCS E4V5M6)
Tekanan Darah : 134 / 82 mmHg
Vital Signs /
Nadi : 90x/menit
Tanda-Tanda
Respirasi : 20x/menit
Vital
Suhu : 36,8 0C
Kepala dan Leher
Inspeksi Conjungtiva anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-), deviasi
trakea (-)
Palpasi Nyeri tekan (-), Pembesaran Limfonodi (-), Trakea
teraba di garis tengah
Pulmo
Inspeksi Bentuk dada simetris, tidak terdapat jejas dan
kelainan bentuk
Palpasi Tidak ada ketertinggalan gerak dan vokal fremitus
tidak ada peningkatan maupun penurunan

2
Perkusi Sonor
Auskultasi Suara vesikular dasar (SDV) : (+/+) (positif di
lapang paru kanan dan kiri)
Suara ronkhi: (-/-) Wheezing : (-/-)

Cor
Inspeksi Pulsasi tidak terlihat
Palpasi Teraba ictus cordis di SIC V linea midclavicularis
sinistra
Perkusi Ukuran jantung dalam batas normal
Auskultasi Suara S1 dan S2 terdengar regular dan tidak ada
bising ataupun suara tambahan jantung
Abdomen
Inspeksi Tidak tampak sikatriks
Auskultasi Peristaltik usus (+) normal
Palpasi Distensi (-), nyeri tekan (+) pada regio epigastrium
dan umbilical.
Perkusi Timpani (+)
Genitalia Tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas
Inspeksi Jejas (-)
Palpasi Akral hangat, pengisian kapiler < 2 dtk

B. Status Lokalis THT


1) Pemeriksaan Telinga

Bagian Auricula Dextra Sinistra


Normotia, Normotia
Auricula nyeri tarik (-) nyeri tarik (-)
nyeri tragus (-) nyeri tragus (-)

3
Bengkak (-) Bengkak (-)
Pre auricular nyeri tekan (-) nyeri tekan (-)
fistula (-) fistula (-)
Bengkak (-) Bengkak (-)
Retro auricular
Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
CAE Lapang, oedema (-)
Intak Intak
Membran timpani
Cone of light arah jam 5 (+) Cone of light arah jam 7 (+)
Lain –Lain Darah (-), Corpal (-), Discharge (-), cerumen (-)

2) Pemeriksaan Hidung

Bagian Hidung Luar


Dextra Sinistra
Bentuk Normal Normal
Inflamasi atau tumor - -
Nyeri tekan sinus - -
Deformitas / septum deviasi - -
Bagian Hidung Dalam
Vestibulum nasi Normal Normal
Cavum nasi Lapang
Sekret - -
Mukosa Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Septum Nasi ditengah
Concha nasi inferior. Eutrofi Eutrofi
Lain- Lain Mimisan (-), discharge (-), stosel (-)

3) Pemeriksaan Tenggorok

Lidah Ulkus (-), Stomatitis (-)


Uvula Bentuk normal, posisi di tengah

4
Tonsil Dextra Sinistra
Ukuran T1 T1
Warna Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Kripte Melebar (-) Melebar (-)
Detritus (-) (-)
Dinding Faring Tenang (-), hiperemis (-), granulasi (-), post nasal drip (+)
Posterior

4. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium

Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Laboratorium (28/08/2019)


Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
Hematologi
Leukosit 6,06 4,50 – 11,00 ribu/ul
Eritrosit 4,78 3,8 – 5,8 juta/ul
Hemoglobin 13,8 11,5 – 16,5 gr/dL
Hematokrit 40,7 35 – 47 vol%
MCV 85,2 80 – 96 Fl
MCH 28,9 28 – 33 Pg
MCHC 33,9 33 – 36 gr/dL
Trombosit 359 150 – 450 ribu/ul
Gol. Darah B
PT 12,9 11 -18 detik
APTT 37,8 27 – 42 detik
Hitung Jenis
Eosinophil 2,7 2–4 %

5
Basophil 0,4 0–1 %
Limfosit 36,8 25 – 60 %
Monosit 6,0 2–8 %
Neutrofil 54,1 50 -70 %
Kimia
GDS 83 < 140 mg/dl
Ureum 22 10 – 50 mg/dl
Creatinin 0,9 0,6 – 1,1 mg/dl
SGOT 20 < 31 U/L
SGPT 24 < 32 U/L

Pemeriksaan Radiologi
(24/08/2019)

Hasil :
 Tampak opasitas yang memenuhi sinus maxilaris dextra
 Sinus maxilaris sinistra dan frontalis tampak normolusen
 Concha nasalis dextra et sinistra dalam batas normal

6
 Septum nasi tak terdeviasi
Kesan :
 Menyokong gambaran sinusitis maxilaris dextra
 Tak tampak deviasi septum nasi
5. Assesment
Sinusitis Maxillaris Dextra Kronis Et Causa Dentogen

6. Penatalaksanaan/Planning
Dilakukan tindakan CWL pada sinus maxillaris dextra. Tindakan operasi
Caldwell Luc (CWL) akan dilakukan pada sinus maksilaris dextra dengan tujuan
untuk drainase sinus.
Tindakan yang dilakukan meliputi:
1. Tindakan pre operasi
a. Pasien di rawat inapkan untuk persiapan sebelum operasi
b. Pemeriksaan laboratorium
c. Pasien diminta puasa 6 jam sebelum tindakan operasi
d. Pasien dikonsulkan kepada dokter spesialis penyakit dalam dan spesialis
anestesi
e. Pasien diberi infus Ringer Laktat 20 tpm, injeksi Cefotaxim 1 gram/12
jam yang sudah di skin test, satu jam sebelum operasi pasien diberikan
injeksi Asam Tranexamat 500 mg
2. Tindakan intra operasi
a. Posisi pasien dalam keadaan terlentang, dan sudah diberikan General
Anestesi (GA)
b. Melakukan asepsis dan antiseptik dengan betadin dan alkohol
c. Pasangkan faringeal pack dan bucal pack bilateral
d. Injeksikan Adrenalin yang sudah diencerkan dengan aquabides
(1:100.000) pada mukosa ginggivobucal kanan
e. Insisi mukosa ginggivobucal diantaira gigi 3-5 kanan
f. Insisi mukosa sampai fossa canina kanan
g. Di bor sampai antrum maksila dextra

7
h. Polip dan pus di sinus dibersihkan sebersih mungkin
i. Atasi perdarahan
j. Cuci dengan cairan betadin dan perhidrol dan dilanjutkan dengan NaCl
k. Pasang tampon sinus dengan kasa gulung yang diberi betadin dan
Gentamicin salep
l. Lakukan penjahitan pada mukosa untuk menutup luka
m. Lepas faringeal pack dan bucal pack
n. Operasi selesai
3. Tindakan pasca operasi
a. Instruksi post operasi
b. Setelah tindakan oprasi selesai kemudian pasien dipindahkan ke ruang
pemulihan.
c. Setelah pasien sadar kemudian dikirim ke ruang
d. Awasi KU, Vital sign, tanda-tanda perdarahan
e. Bila sudah dapat flatus (buang angin)/ bising usus (+) diperbolehkan
minum minuman dingin dan makan makanan lunak
f. Pasien diberi Infus Ringer laktat 20 tpm, injeksi Cefotaxim 1 gram/12
jam, injeksi Asam Tranexamat 500 mg/8 jam, injeksi Metil Prednisolon
62,5 mg/12 jam, injeksi Ketorolac 30 mg/8 jam, injeksi Ranitidin 50
mg/12 jam.
g. Dua hari setelah operasi direncanakan untuk pengambilan tampon sinus.
h. Obat yang dibawa pulang oleh pasien yaitu Coamoxiclav 3 x 1. Metil
prednisolo 2 x 4 mg dan Trifed 2 x 1

8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Sinus Paranasal
Sinus paranasal adalah satu organ tubuh manusia yang merupakan hasil
pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang.
Ada empat pasang sinus paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila,
sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid. Semua sinus mempunyai muara
(ostium) ke dalam rongga hidung. Sinus yang bermuara ke meatus nasalis
superior adalah sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid, sedangkan sinus yang
bermuara ke meatus nasalis media adalah sinus etmiod anterior, sinus frontal dan
sinus maksila. Semua sinus dilapisi oleh epitel saluran pernafasan bersilia yang
mengalami modifikasi dan mampu menghasilkan mukus serta sekret yang
disalurkan ke dalam rongga hidung (Soetjipto & Mangunkusumo, 2014).

Gambar 2.1. Anatomi Sinus Paranasal


Sumber: Behrbohm et al. (2009)

Soetjipto & Mangunkusomo (2014) menyatakan bahwa pada pada


sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus nasalin media ada suatu

9
daerah yang rumit dan sempit yang disebut sebagai kompleks osteo-meatal
(KOM). Secara fungsional KOM berperan sebagai jalur drainase dan ventilasi
untuk sinus frontal, maksilaris dan etmoid anterior. KOM terdiri dari 1)
infundibulum etmoid; 2) prosesus unsinatus; 3) resesus frontalis; 4) bula etmoid;
5) sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya; 6) ostium sinus maksila.

Gambar 2.2. Kompleks ostio-meatal (KOM)


Sumber : Kennedy (2001)

Fungsi sinus paranasal sebagai berikut: (Soetjipto & Mangunkusumo,


2014).
a. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur
kelembaban udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah karena ternyata
tidak didapati pertukaran udara yang definitif antara sinus dan rongga hidung.
Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume
sinus pada tiap kali bernapas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk
pertukaran udara total dalam sinus. Selain itu, mukosa sinus tidak mempunyai
vaskularisasi yang sebanyak mukosa hidung.
b. Sebagai penahan suhu (thermal insulators)
Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi daerah
orbita dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah ubah. Akan
tetapi kenyataannya sinus-sinus yang besar tidak terletak di antara hidung dan
ogan-organ yang dilindungi.

10
c. Membantu keseimbangan kepala
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka.
Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengon tulang, hanya akan
memberikan pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori
ini dianggap tidak bermakna.
d. Membentu resonansi suara
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan
mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat posisi sinus
dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagal resonator yang
efektif, karena tidak ada korelasi antera resonansi suara dan besamya sinus
pada hewan-hewan tingkat rendah.
e. Sebaggai peredem perubahan tekanan udara
Fungsi ini bejalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak.
Misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus.
f. Membantu produksi mucus berfungsi untuk membersihkan rongga hidung
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil
dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk
membersihkan parlikel yang turut masuk dengan udara inspirasi. mukus ini
akan keluar dan meatus medius.

1. Sinus maksilaris
Sinus maksilaris yang juga disebut Antrum Highmore merupakan sinus
paranasal yang terbesar. Sinus maksilaris berbentuk piramid. Saat lahir sinus
maksilaris bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang mencapai ukuran
maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa. Dinding anterior sinus adalah permukaan
fasial os maksilaris yang disebut fossa canina, dinding posteriornya adalah
permukaan infratemporal maksilaris, dinding medialnya adalah dinding lateral
rongga hidung, dinding superiornya adalah dasar orbita, dan dinding inferiornya
adalah prosesus alveolaris dan palatum (Soetjipto & Mangunkusumo, 2014).

11
Sinus maksilaris merupakan sinus yang sering terinfeksi dibandingkan
sinus lainnya, hal tersebut dikarenakan sinus ini: 1) merupakan sinus paranasal
yang terbesar dan bentuknya bervariasi di setiap individu; 2) letak ostiumnya
lebih tinggi dari dasar, sehingga aliran sekret atau drainase dari sinus maksilaris
hanya tergantung dari gerakan silia; 3) dasar sinus maksilaris adalah dasar akar
gigi (prosesus alveolaris), yaitu premolar (Pl dan P2), molar (Ml dan M2).
kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi molar M3, bahkan akar-akar gigi
tersebut dapat mononjol ke dalam sinus, sehingga infeksi gigi dapat
menyebabkan sinusitis maksilaris; 4) ostium sinus maksilaris terletak di meatus
medius disekitar hiatus semilunaris yang sempit sehingga mudah tersumbat
(Mangunkusumo & Soetjipto, 2014).
2. Sinus frontalis
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke
empat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum
ethmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun
dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun (Mangunkusumo &
Soetjipto, 2014).
Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar dan
dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah.ukuran sinus frontal adalah
2,8 tingginya, lebarnya 2,4 cm, dan dalamnya 2 cm. sinus frontal bersekat-sekat
dan tepi sinus berlekuk-lekuk (Mangunkusumo & Soetjipto, 2014).
3. Sinus ethmoidalis
Sinus ethmoid merupakan sinus yang paling bervariasi dan dianggap
penting karena dapat menjadi fokus infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Sinus
ethmoid berbentuk piramid yang berongga-rongga seperti sarang tawon. Ukuran
dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm, dan lebar 0,5 cm di bagian
anterior dan 1,5 cm dibagian posterior (Mangunkusumo & Soetjipto, 2014).
Berdasarkan letaknya sinus ethmoid dibagi dua menjadi anterior dan
posterior. Di bagian terdepan sinus ethmoid anterior terdapat bagian yang
sempit, disebut resesus frontalis, yang berhubungan dengan sinus frontalis.

12
Terdapat suatu penyempitan disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium
maksilaris (Mangunkusumo & Soetjipto, 2014).
4. Sinus sfenoidalis
Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus ethmoid
posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid.
Sinus sfenoid berukuran 2 cm tingginya, dalamnya 2,3 cm, dan lebarnya 1,7 cm.
volum bervariasi dari 5 sampai 7,5 ml. saat sinus berkembang, pembuluh darah
dan nervus di bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan
rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding sinus sfenoid
(Mangunkusumo & Soetjipto, 2014).

B. Sinusitis
1. Definisi
Sinusitis adalah inflamasi mukosa sinus paranasal. Inflamasi tersebut
dinamakan sesuai sinus yang terkena yaitu sinusitis maksilarisris, sinusitis
etmoid, sinusitis frontal dan sinusitis sfenoid (Mangunkusumo & Soetjipto,
2014).
Sinusitis maksilaris kronis bilateral adalah inflamasi pada mukosa
sinus maksilaris kiri dan kanan yang berlangsung lebih dari 3 bulan (12
minggu). Jika sinus yang terkena berpasangan (kiri dan kanan) disebut
sinusitsi bilateral, jika sinus yang terkena > 1 sinus disebut multiple
sinusitis, dan jika semua sinus terkena disebut pansinusitis (Mangunkusumo
& Soetjipto, 2014; Leung, 2008).

2. Epidemiologi
Prevalensi sinusitis kronis di Amerika Serikat pada tahun 2000 adalah
sebesar 14% dan hampir 75% terjadi pada usia antara 30-69 tahun.
Prevalensi ini meningkat seiring dengan peningkatan usia, dengan prevalensi
rata-rata 2,7% dan 6,6% berturut-turut pada kelompok usia 20-29 tahun dan
50-59 tahun. Namun setelah usia 60 tahun, prevalensi ini mengalami
penurunan mencapai rata-rata 4,7%. Sinusitis kronis lebih sering dijumpai

13
pada wanita dibandingkan laki-laki dengan perbandingan sebesar 6 :4.
Adapun di Indonesia, prevalensi sinusitis kronis pada tahun 2004 dilaporkan
sebesar 12,6% dengan perkiraan sebanyak 30 juta penduduk menderita
sinusitis kronis (Budiman & Rosalinda, 2011).

3. Klasifikasi
 Akut : < 4 minggu
 Sub akut : 4-12 minggu
 Kronis : > 12 minggu
Sedangkan berdasarkan penyebabnya, sinusitis dapat dibagi menjadi:
 Rhinogenik (penyebab kelainan atau masalah di hidung), Segala
sesuatu yang menyebabkan sumbatan pada hidung dapat
menyebabkan sinusitis.
 Dentogenik / Odontogenik (penyebabnya kelainan gigi ), yang
sering menyebabkan sinusitis infeksi pada gigi geraham atas (pre
molar dan molar).
(Mangunkusumo & Soetjipto, 2014).

4. Etiologi
a. Infeksi
 Bakteri : streptococcus pneumonia
 Virus : rhinovirus (ISPA)
 Jamur : aspergilus
b. Kelainan anatomi
 Septum deviasi
 Hipertrofi konka
 Polip hidung
 Sumbatan KOM
 Hipertrofi adenoid

14
c. Diskinesia silia
 Sindrom katagener, suatu kondisi dimana terjadi: 1) sinus inversus,
yaitu posisi sinus terbalik, yang seharusnya di kanan menjadi dikiri,
begitupun sebaliknya; 2) primary ciliarydyskinesia, dimana
pergerakan silia berbalik arah, jumlah silia sedikit, dan silia tidak
bergerak seluruhnya.

5. Faktor predisposisi
a. Alergi : rinitis alergi
b. Lingkungan : udara kering, udara dingin, polusi udara dan rokok
c. Kelainan anatomi : septum deviasi, hipertrofi konka, sumbatan KOM,
dan tumor
d. Benda asing di hidung
e. Infeksi : gigi dan adenoid
(Mangunkusumo & Soetjipto, 2014).

6. Manifestasi klinis
a. Menurut task force (Busquets & Hwang, 2006).
Gejala major:
1) Nyeri wajah
2) Sekret purulen
3) Obstruksi hidung
4) Hiposmia atau anosmia
5) Demam (akut)
Gejala minor:
1) Sakit kepala
2) Sakit telinga
3) Nyeri gigi
4) Batuk
5) Lelah
6) Halitosis

15
7) Demam
Pasien dikatakan sinusitis bila didapatkan 2 gejala major atau 1 gejala
major dan 2 gejala minor.
b. Menurut EPOS (European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal
Polyps) (Fokkens et al., 2012).
Gejala:
1) Inflamasi hidung dan sinus paranasal yang ditandai dengan 2 atau
lebih gejala, salah satunya hidung tersumbat atau sekret
(anterior/posterior)
2) Nyeri wajah atau rasa tertekan di wajah
3) Penurunan atau hilang penghidu
Dan salah satu dari pemeriksaan endoskopi:
1) Polip dan / atau
2) Sekret mukopurulen di meatus nasalis media dan / atau
3) Oedem atau obstruksi mukosa meatus nasalis media
Dan / atau:
1) CT-Scan: perubahan mukosa di KOM dan / atau sinus paranasal
Menurut EPOS (2012) beratnya gejala rinosinusitis kronik
dapat dibagi menjadi ringan, sedang, berat, dimana derajat ringan
gejala rinosinusitis bila skor ≤3, derajat sedang skor >3−7, dan
derajat berat skor >7−10 untuk menilai berat ringannya gejala pasien
diminta untuk memberikan jawaban pada skala VAS tentang
keluhan/gangguan yang dirasakannya.

Gambar 2.3. Visual Analog Scale

16
7. Patogenesis dan Patofisiologi
Etiologi

Oedem konka

gangguan n.olfactorius

Menutup ostium sinus hiposmia/anosmia

Tekanan (-) sinus nafsu makan menurun

Transudasi cairan (serous) lemas

Penumpukan mukus tekanan sinus meningkat

Mukus kental menekan ujung saraf


n.facialis dan n.vidianus
Media biak yang baik bagi kuman patogen
(bakteri gram (-) dan anaerob) nyeri

Mukus purulen dan bau busuk

Halitosis nares anterior nares posterior

Sekret purulen post nasal drip

(Kentjono, 2005; Mangunkusumo & Soetjipto, 2014).

17
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan
kelancaran klirens mukosiliar didalam komplek osteo-meatal ( KOM ).
Mukus juga mengandung substansi antimicrobial dan zat – zat yang berfungsi
sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama
udara pernafasan ( Boeis , 2001).
Organ- organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila
terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu. Hal ini
menyebabkan silia tidak dapat bergerak dan juga menyebabkan tersumbatnya
ostium. Hal ini menimbulkan tekanan negatif didalam rongga sinus yang
menyebabkan terjadinya transudasi atau penghambatan drainase sinus, awal
mulanya akan keluarnya cairan serous yang dianggap sebagai rinosinusitis
non bakterial yang dapat sembuh tanpa pengobatan.
Bila kondisi ini menetap, sekret yang tertumpuk dalam sinus ini akan
menjadi media yang baik untuk tumbuh dan multiplikasi bakteri, dan sekret
akan berubah menjadi purulen yang disebut sinusitis akut bakterialis yang
membutuhkan terapi antibiotik . Jika terapi inadekuat maka keadaan ini bisa
berlanjut, akan terjadi hipoksia dan bakteri anaerob akan semakin
berkembang. Mukosa akan semakin membengkak dan menjadi rantai siklus
berputar hingga akhirnya terjadi perubahan kronik mukosa yaitu hipertrofi,
polipoid atau pembentukan polip dan kista. Pada keadan ini mungkin perlu
dilakukan tindakan operasi ( Boeis , 2001).

Gambar 2.4. Sinusitis akut menjadi sinusitis kronis


Sumber: Kentjono (2005).

18
Polip merupakan massa lunak yang mengandung banyak cairan
berwarna putih keabu- abuan, yang terjadi akibat inflamasi mukosa.
Pembentukan polip sering diasosiasikan dengan inflamasi kronik, disfungsi
saraf otonom serta predisposisi genetic. Menurut teori Barnstein , terjadi
perubahan mukosa hidung akibat peradangan atau aliran udara yang
berturbulensi, terutama didaerah sempit di kompleks ostiomeatal. Terjadi
prolaps submukosa yang diikuti oleh reepitealisasi dan pembentukan kelenjar
baru.Juga terjadi peningkatan penyerapan natrium oleh permukaan sel epitel
yang berakibat reten si air sehingga terbentuk polip (Soetjipto dan
Mangunkusomo, 2007).
Teori lain mengatakan karena ketidakseimbangan saraf vasomotor terjadi
peningkatan permeabilitas kapiler dan gangguan regulasi vaskular yang
mengakibatkan dilepaskannya sitokin-sitokin dari sel mast, yang akan
menyebabkan adanya edema d an lama-kelamaan menjadi polip (Soetjipto
dan Mangunkusomo, 2007).
Bila proses terus berlanjut, mukosa yang sembab makin membesar
menjadi polip dan kemudian akan turun ke rongga hidung dengan membentuk
tangkai (Soetjipto dan Mangunkusomo, 2007).
Makroskopis
Secara makroskopis polip merupakan massa bertangkai dengan
permukaan licin, berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabu- abuan,
agak bening, lobular, dapat tunggal atau multiple dan tidak sensitive (bila
ditekan atau ditusuk tidak terasa sakit). Warna polip yang pucat tersebut
disebabkan karena mengandung banyak cairan dan sedikitnya aliran darah ke
polip. Bila terjadi iritasi kronis atau proses peradangan warna polip dapat
berubah menjadi kemerah-merahan dan polip yang sudah menahun warnanya
dapat menjadi kekuning-kuningan karena ban yak mengandung jaringan ikat
(Soetjipto dan Mangunkusomo, 2007).
Tempat asal tumbuhnya polip terutama dari kompleks osteomeatal di
meatus medius dan sinus etmoid . Bila ada fasilitas pemeriksaan dengan

19
endoskop , mungkin tempat asal tangkai polip dapat dilihat (Soetjipto dan
Mangunkusomo, 2007).
Ada polip yang tumbuh kearah belakang dan membesar di nasofaring,
disebut polip koana.Polip koana kebanyakan berasal dari dalam sinus maksila
dan disebut juga polip antrokoana . Ada juga sebagian kecil polip koana ya
ng berasal dari sinus etmoid (Soetjipto dan Mangunkusomo, 2007).
Mikroskopis
Secara mikroskopis tampak epitel pada polip serupa dengan mukosa
hidung normal yaitu epitel bertingkat semu bersilia dengan submukosa yang
sembab.Sel-selnya terdiri dari limfosit, sel plasma, eosinofil , neutrofil dan
makrofag.Mukosa mengandung sel-sel goblet , pembuluh darah, saraf dan
kelenjar sangat sedikit.Polip yang sudah lama dapat mengalami metaplasia
epitel karena sering terkena aliran udara, menjadi epitel transisional, kubik
atau gepeng berlapis tanpa keratinisasi (Soetjipto dan Mangunkusomo, 2007).
Berdasarkan jenis sel peradangannya, polip dikelompokkan menjadi 2,
yaitu polip tipe eosinofilik dan tipe neutrofilik. Polip Eosinofilik mempunyai
latar belakang alergi dan Polip Neutrofilikbiasanya disebabkan in feksi atau
gabungan keduanya (Soetjipto dan Mangunkusomo, 2007).

8. Penegakan diagnosis
a. Anamnesis (PP PERHATI KL, 2016).
1) Gejala utama:
 Nyeri wajah
 Sekret purulen
 Obstruksi hidung
 Hiposmia atau anosmia
 Demam (akut)
2) Gejala tambahan:
 Sakit kepala
 Sakit telinga
 Nyeri gigi

20
 Batuk
 Lelah
 Halitosis
 Demam
3) Gejala faktor risiko, jika ada:
 Curiga rinitis alergi: gejala ingus encer, bersin, hidung gatal jika
terpajan alergen.
 Curiga refluks laringofaringeal: gejala suara serak, mendehem,
ingus belakang hidung, kesukaran menelan, batuk setelah
makan/berbaring, rasa tercekik, rasa mengganjal di tenggorok,
rasa panas di dada (skor reflux symptom index).
4) Dapat disertai keluhan gangguan kualitas tidur, sesuai dengan
Epworth sleepiness scale (skor lebih dari 4).
5) Jika terdapat keluhan bengkak di mata, penglihatan ganda, penurunan
penglihatan, nyeri dan bengkak di dahi yang berat, nyeri kepala berat
dengan kaku kuduk dipikirkan kemungkinan komplikasi sinusitis ke
orbita atau intrakranial.
b. Pemeriksaan Fisik (PP PERHATI KL, 2016).
1) Pemeriksaan rinoskopi anterior dan atau nasoendoskopi dapat
ditemukan:
 Sekret mukopurulen dari meatus nasalis media
 Edema dan/atau hiperemis dan/atau polip di meatus nasalis media
 Post nasal drip
 Septum deviasi/ konka paradoks/ defleksi prosesus unsinatus ke
lateral Dapat ditemukan bengkak dan nyeri tekan di pipi dan
kelopak mata bawah (pada sinus maksila)
2) Transiluminasi, sinar terhalang oleh puus dan/atau polip sehingga
sinus gelap.
3) Dapat ditemukan bengkak dan nyeri di dahi dan kelopak mata atas
pada sinusitis frontal juga di pipi pada sinusitis maksilaris.
4) Dapat ditemukan tanda komplikasi sinusitis, berupa:

21
 Edema/hiperemis periorbita
 Diplopia
 Oftamoplegia
 Penurunan visus
 Tanda-tanda meningitis
c. Pemeriksaan Penunjang (PP PERHATI KL, 2016).
1) CT scan sinus paranasal potongan koronal aksial soft tissue setting
ketebalan 3 mm tanpa kontras dilakukan jika:
 setelah pemberian antibiotika selama 2 minggu, tidak
memberikan perbaikan terhadap infeksi bakteri dan atau
 setelah pengobatan medikamentosa maksimal selama 6 – 8
minggu jika terdapat faktor risiko rinitis alergi atau refluks
laringofaringeal
2) Foto polos kepala (posisi waters, caldwell, dan lateral)
3) Jika diperlukan pemeriksaan alergi: dapat dilakukan tes cukit kulit
(skin prick test) dan pemeriksaan eosinofil darah tepi untuk
menentukan tipe inflamasi dan diagnosis faktor risiko rinitis alergi.
4) Jika diperlukan pemeriksaan rinofaringolaringoskopi serat optik
sebagai pemeriksaan menilai Refluks Finding Score (RFS) untuk
menegakkan diagnosis faktor risiko Refluks Laringofaringeal (RLF)
5) Jika diperlukan dilakukan pemeriksaan kultur bakteri dan tes
resistensi dari sekret hidung.
6) Bila terdapat kecurigaan komplikasi, konsultasi ke bidang terkait
(mata/neurologi)
7) Bila terdapat tanda infeksi bakteri, dilakukan pemeriksaan laju
endap darah (LED) dan C-reactive protein (CRP)
8) Untuk persiapan operasi : disesuaikan dengan Tindakan operasi yang
dilakukan.

22
9. Penatalaksanaan
Tujuan dari terapi sinusitis diantaranya : a) mempercepat penyembuhan;
b) mencegah komplikasi; dan c) mencegah perubahan menjadi kronik. Prinsip
pengobatan ialah membuka sumbatan di KOM sehingga drainase dan
ventilasi sinus-sinus pulih secara alami .
Antibiotik dan dekongestan merupakan pilihan pada sinusitis akut
bakterial, untuk menghilagkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta
membuka sumbatan ostium sinus. Antibiotik yang dipilih adalah golongan
penisilin seperti amoksisilin . Jika diperkirakan kuman telah resisten atau
memproduksi beta-laktamase, maka dapat diberikan amoksisilin -klavulanat
atau jenis sefalosporin generasi ke-2. Pada sinusitis antibiotik diberikan
selama 10-14 hari meskipun gejala klinik sudah hilang.
Pada sinusitis kronik diberikan antibiotik yang sesuai untuk kuman
negatif gram dan anaerob (Soetjipto dan Mangunkusomo, 2007). Selain
dekongestan oral dan topikal, terapi lain dapat diberikan jika diperlukan,
seperti analgetik , mukolitik, steroid oral/topikal, pencucian rongga hidung
dengan NaCL atau pemanasan (diatermi).
Antihistamin tidak rutin diberikan, karena sifat antikolinergiknya dapat
menyebabkan sekret jadi lebih kental. Bila ada alergi berat sebaiknya
diberikan antihistamin generasi ke-2. Irigasi sinus maksila atau Proetz
displacement therapyjuga merupakan terapi tambahan yang dapat
bermanfaat. Imunoterapi dapat dipertimbangkan jika pasien menderita
kelainan alergi yang berat (Soetjipto dan Mangunkusomo, 2007).
a. Non farmakologi
 Edukasi tentang sinusitis
 Menjaga kebersihan hidung dan mulut
 Hindari faktor predisposisi (rokok, polusi udara, udara kering, dan
udara dingin)
b. Farmakologi
 Kausatif
- Bakteri : amoxiclav 3 x 1 tab PO

23
- Virus : metisoprinol 60-100 mg/kgBB 4-6x / hari
- Jamur : amfoterisin 0,5-0,7 mg/kgBB
 Simpomatis
- Dekongestan : oxymetazolin 2-3 tetes / Rhinofed tab 3 x 1
- Analgetik : antalgin 50-100 mg dibagi 3 dosis
- Antipiretik : paracetamol 3 x 500 mg
- Mukolitik : Ambroxol 3 x 30 mg
- Steroid oral : dexametason 0,5 mg/ hari
- Steroid topikal : triamcinolon acetonide (nasacont) spray 2
semprotan tiap lubang hidung 1x/hari (220 mcg/hari)
- Antihistamin : cetirizin 10 mg 1x/ hari
- Cuci hidung dengan NaCl atau diatermi
c. Operasi
 Caldwell Luc (CWL)

Gambar 2.5. Prosedur Caldwell-Luc. (A), suatu insisi pada fosa kanina dan
(B) pengangkatan atau bor tulang dinding anterior sinus. (c) Lubang dapat
diperbesar dengan forsep penggigit, dibuat suatu lubang (D) pada meatus
inferior yang mirip suatu fenestra nasoantral untuk mengganti ostium alami
yang terganggu. (E) Ventilasi dan drainase sinus dapat terjadi melalui meatus
inferior atau ostium alami bila penyembuhan penyakit sinus dapat kembali
membuka ostium tersebut. (F) penutupan insisi oral

24
 Functional Endoscopy Sinus Surgery (FESS)
FESS merupakan operasi terkini untuk sinusitis kronis yang
memerlukan operasi. Tindakan ini telah menggantikan hampir semua
jenis bedah sinus terdahulu karena memberikan hasil yang lebih
memuaskan dan tindakan lebih ringan dan tidak radikal. Indikasi
absolut tindakan FESS adalah rinosinusitis dengan komplikasi,
mukosil yang luas, sinusitis jamur alergi atau invasif dan kecurigaan
neoplasma. Indikasi relatif tindakan ini meliputi polip nasi
simptomatik dan sinusitis kronis atau rekuren simptomatik yang tidak
respon dengan terapi medikamentosa. Sekitar 75-95% kasus sinusitis
kronis telah dilakukan tindakan FESS. Prinsip tindakan FESS adalah
membuang jaringan yang menghambat kompleks ostio-meatal
(KOM) yang menjadi sumber penyumbatan dan infeksi dan
memfasilitasi drainase dengan tetap mempertahankan struktur
anatomi normal sehingga ventilasi dan drenase sinus dapat lancar
kembali melalui ostium alami, sehingga dengan demikian mukosa
sinus akan kembali normal (Budiman & Rosalinda, 2011)

10. Komplikasi
a. Kelainan Orbita (kriteria Chandler)
Disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata (orbita),
yang paling sering ialah sinusitis etmoid , kemudian sinusitis frontal dan
maksila. Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan
perkontinuitatum. Kelainan yang dapat timbul ialah edema palpebra,
selulitis orbita, abses subperiostal, abses orbita dan selanjutnya dapat
terjadi trombosis sinus kavernosus
b. Kelainan Intrakranial
Dapat berupa meningitis, abses ekstradural atau subdural, abses otak dan
trombosis sinus kavernosus.

25
c. Osteomielitis dan abses subperiostal
Osteomielitis dan abses subperiostal paling sering timbul akibat sinusitis
frontal dan biasanya ditemukan pada anak - anak . Pada osteomielitis
sinus maksila dapat timbul fistula oroantral atau fistula pada pipi. d.
Kelainan paru Kelainan paru p aling sering timbul akibat sinusitis frontal
dan biasanya ditemukan pada anak - anak . Pada osteomielitis sinus
maksila dapat timbul fistula oroantral atau fistula pada pipi
( Mangunkusumo & Soetjipto, 2014).

11. Prognosis
Prognosis sinusitis maksilaris kronis sangat tergantung kepada
tindakan pengobatan yang dilakukan dan komplikasi penyakitnya. Jika
drainase sinus membaik dengan terapi antibiotik atau terapi operatif maka
pasien mempunyai prognosis yang baik (Mehra & Murad, 2004).

26
BAB III
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

1. Pembahasan
Ny A datang ke poliklinik THT dengan keluhan pilek kental berbau dari
hidung sebelah kanan sejak 2-3 minggu terakhir. Pasien mengatakan sejak ± 5
bulan terakhir pasien memiliki riwayat pilek kental diserta hidung tersumbat dan
berbau. Pasien mengeluarkan cairan hidung berwarna hijau hingga jernih dan
mengeluhkan seperti adanya lendir yang tertelan pada tenggorokannya. Pasien
juga mengeluhkan terkadang batuk dan pusing. Pasien mengeluhkan nyeri gigi,
dimana gigi geraham kanan pasien berlubang. Bau mulut kadang-kadang
terutama pagi hari. Sensasi nyeri hidung disangkal, penurunan penciuman (+),
nyeri tenggorokan disangkal, nyeri telinga disangkal, demam disangkal.
Keluhan nyeri area pipi kanan dan kiri serta area sekitar mata juga disangkal.
Riwayat keluhan serupa disangkal. Riwayat gula darah tinggi sejak 1 tahun yang
lalu. Riwayat penyakit pada keluarga pasien yaitu adik iparnya ada yang terkena
sinusitis dan sakit jantung
Pemeriksaan fisik menunjukan tidak ada kelainan di telinga, hidung,
maupun tenggorokan, hanya ditemukan adanya post nasal drip. Pemeriksaan
penunjang laboratorium normal dan pemeriksaan penunjng radiologi rontgen
waters menunjukan gambaran sinusitis maxilaris dextra.
Anamnesa berdasarkan kriteria Task Force ditemukan dua gejala major
(sekret purulent dan hiposmia) dan empat gejala minor (sakit kepala, nyeri gigi,
batuk dan halitosis) sehingga dapat mengarah pada diagnosa sinusitis.
Berdasarkan EPOSS ditemukan hidung tersumbat dan sekret nares anterior.
Tidak dilakukan pemeriksaan endoskopi namun dari anamnesis pasien
mengaku terkadang keluar sekret mukopurulen berbau dan dari gambaran
radiologi dicurigai adanya polip.
Sehingga dilakukan tatalaksana operasi Caldwell Luc (CWL) untuk
drainase sinus maksilaris dextra. Tatalaksana pre oprasi berupa: 1) Pasien di

27
rawat inapkan untuk persiapan sebelum operasi; 2) Pemeriksaan laboratorium;
3) Pasien diminta puasa 6 jam sebelum tindakan operasi; 4) Pasien dikonsulkan
kepada dokter anestesi; 5) Pasien diberi infus Ringer Laktat 20 tpm, injeksi
Cefotaxim 1 gram/12 jam yang sudah di skin test sebagai profilaksis terjadinya
infeksi, satu jam sebelum operasi pasien diberikan injeksi Asam Tranexamat
500 mg sebagai anti perdarahan. Tatalaksana operasi Caldwell Luc (CWL)
didapatkan polip pada sinus maksilaris dextra, polip dan pus pada sinus
maksilaris dextra. Tatalaksana post operasi berupa: 1) Pasien diberi Infus
Ringer laktat 20 tpm, injeksi Cefotaxim 1 gram/12 jam, injeksi Asam
Tranexamat 500 mg/8 jam sebagai anti perdarahan, injeksi Metil Prednisolon
62,5 mg/12 jam sebagai anti inflamasi, injeksi Ketorolac 30 mg/8 jam sebagai
anti nyeri, injeksi Ranitidin 50 mg/12 jam guna mengurangi asam lambung
sehingga tidak terjadi nyeri uluhati; 2) Pasien disarankan untuk makanan yang
dingin terlebih dahulu dan dua hari setelah operasi direncanakan untuk
pengambilan tampon sinus.

2. Kesimpulan
Sinusitis maksilaris merupakan penyakit sinusitis yang paling banyak
ditemukan dibanding penyakit sinusitis lainnya. Sinusitis maksilaris kronis
adalah peradangan kronis pada sebagian atau seluruh mukosa sinus maksilaris,
dengan gejala yang berlangsung lebih dari 3 bulan (12 minggu). Manifestasi
klinis berupa gejala major: 1) Nyeri wajah; 2) Sekret purulen; 3) Obstruksi
hidung; 4) Hiposmia atau anosmia; 5) Demam (akut). Dan gejala minor: 1) Sakit
kepala; 2) Sakit telinga; 3) Nyeri gigi; 4) Batuk; 5) Lelah; 6) Halitosis; 7)
Demam. Tatalaksana sinusitis harus adekuat agar tidak terjadi komplikasi yang
dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas.

28
DAFTAR PUSTAKA

Behrbohm, H., Kaschke, O., Nawka, T. & Swift, A. (2009). Ear, Nose, and Throat
Diseases with Head and Neck Surgery. 3rd Edition. New York, USA:
Thieme.
Budiman, B.J. & Rosalinda, R. (2011). Bedah Sinus Endoskopi Fungsional Revisi
pada Rinosinusitis Kronis. Padang: Bagian THT Bedah Kepala Leher, FK
Universitas Andalas/RSUP Dr M. Djamil.
Fokkens, W.J., Lund, V.J., Bachert, C. et al. (2012) European Position Paper on
Rhinosinusitis and Nasal Polyps. Rhinology. 50(23). p.1-298. Available
from: http://www.rhinologyjournal.com.
Kentjono, W.A. (2005). Rinosinusitis: Etiologi dan Patofisiologi. Surabaya:
Bagian/SMF Ilmu Kesehatan THT, FK Universitas Airlangga/RSUD Dr
Soetomo.
Kennedy, D.W. (2001). Functional Endoscopic Sinus Surgery: Concepts, Surgical
Indications, and Instrumentation. In: Kennedy, D.W., Bolger, W., &
Zinrech, S.J. (Eds.). Diseases of The Sinuses Diagnosis and Management.
(pp. 197-210). Ontario, Canada: BC Decker Inc; 2001.
Leung, R.S. & Katial, R. (2008). The diagnosis and management of acute and
chronic sinusitis. Primary Care Clinics in Office Practice, 35, 11-24.

Mangunkusumo, E. & Soetjipto, D. (2014). Sinusitis. In: Soepardi, E.A., Iskandar,


N., & Hastuti, R.D. (Eds). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala & Leher. Edisi 7. (pp. 127-130). Jakarta: Balai Penerbit
FK UI.

Mehra, P. & Murad, H. (2004). Maxillary sinus disease of odontogenic origin.


Otolaryngologic Clinics of North America. Vol 37. 347-364.

PP PERHATI KL. (2016). Panduan Praktis Klinis Tindakan di Bidang Telinga


Hidung Tenggorokan Kepala Leher. Volume 2. Perhimpunan Dokter
Spesialis Telinga Hidung Tenggorokan Bedah Kepala Leher Indonesia.

Soetjipto, D. & Mangunkusumo, E. (2014). Sinus Paranasal. In: Soepardi, E.A.,


Iskandar, N., & Hastuti, R.D. (Eds). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi 7. (pp. 122-126). Jakarta: Balai
Penerbit FK UI.

29

Anda mungkin juga menyukai