Anda di halaman 1dari 6

1.

Enuresis
Enuresis berasal dari bahasa Yunani en-, yang berarti “di dalam” dan ouron, yang berarti
“urine”. Enuresis merupakan kegagalan untuk mengontrol buang air kecil setelah seseorang
mencapai usia “normal” untuk mampu melakukan kontrol. Enuresis diperkirakan
mempengaruhi 7% anak laki-laki dan 3% anak perempuan usia 5 tahun. Dalam DSM-V
dijelaskan kriteria diagnostic enuresis, yaitu :
- Anak berulang kali mengompol di tempat tidur atau pakaian, baik disengaja maupun tidak
disengaja;
- Tingkah laku tersebut signifikan secara klinis muncul pada frekuensi setidaknya 2 kali
seminggu selama sekurang-kurangnya 3 bulan berturut-turut atau menyebabkan
kemunculan distress yang signifikasn secara klinis atau hendaya dalam fungsi sosial,
akademik (pekerjaan) dan area-area fungsi penting lainnya;
- Usia kronologis anak minimal 5 tahun (atau anak berada pada tingkat perkembangan yang
setara);
- Tingkah laku tidak disebabkan oleh efek fisiologis dari penggunaan zat atau kondisi medis
lainnya (tidak memiliki dasar organik).

Subtype

Enuresis dibagi dalam dua jenis, yaitu enuresis primer dan enuresis sekunder. Menurut McElderry
dan Lewless (2001), enuresis primer adalah ketidaksengajaan mengeluarkan urin selama tidur
dengan tidak adanya periode yang tidak basah atau mengompol. Sedangkan enuresis sekunder
adalah keterulangan mengompol pada waktu malam hari setelah paling sedikit enam bulan selama
masa mengompol berhenti Menurut Lewless (2001), baik enuresis primer maupun enuresis
sekunder dibagi lagi dalam dua tipe yaitu enuresis nokturnal (mengompol pada malam hari) dan
enuresis diurnal (mengompol pada siang hari atau selama terjaga). Mengompol pada malam hari
adalah buang air kecil secara tidak sengaja dan terjadi secara berulang ketika sedang tidur, pada
seorang anak yang sudah cukup besar dan semestinya sudah tidak mengompol lagi di tempat tidur.
Enuresis nokturnal Monosimptomatik (MNE) didefinisikan sebagai buang air kecil yang normal
yang terjadi di malam hari di tempat tidur dengan ada dan tidaknya gejala yang disebutkan pada
wilayah urogenital, dan hal ini menghalangi simptomatologi pada siang hari (Gontard, 2012)
Prevelensi

Di Indonesia diperkirakan jumlah balita mencapai 30% dari 250 juta jiwa penduduk Indonesia,
dan menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) nasional diperkirakan jumlah balita yang
sudah mengontrol buang air besar dan buang air kecil di usia prasekolah mencapai 75 juta anak.
Namun demikian,masih ada sekitar 30% anak umur 4 tahundan 10% anak umur 6 tahun yang
masih takut ke kamar mandi terlebih pada saat malam hari. Menurut Child Development Institute
Toilet training pada penelitian American Psychiatric Association, dilaporkan bahwa10 -20% anak
usia 5 tahun, 5% anak usia10 tahun, hampir 2% anak usia 12- 14tahun, dan 1% anak usia 18 tahun
masih mengompol.5 Pada umumnya anak berhenti mengompol sejak usia 2,5 tahun. Pada anak
usia 3 tahun, 75% anak telah bebas mengompol siang dan malam hari. Pada usia 5 tahun, sekitar
10-15% anak masih mengompol paling tidak satu kali dalam seminggu. Pada usia 10 tahun masih
ada sekitar 7%, sedang pada usia 15 tahun hanya sekitar 1% anak yang masih mengompol (Elvira,
2005)

Perkembanggan dari gangguan enuresis

dua jenis perjalanan enuresis telah dijelaskan: tipe "primer", di mana individu tersebut tidak

pernah membangun kontinensi urin, dan tipe "sekunder", di mana gangguan berkembang setelah

periode kontinensi urin menetap. Tidak ada perbedaan dalam prevalensi gangguan mental

komorbiditas antara kedua jenis tersebut. Menurut definisi, enuresis primer dimulai pada usia 5

tahun. Waktu paling umum untuk timbulnya enuresis sekunder adalah antara usia 5 dan 8 tahun,

tetapi dapat terjadi kapan saja. Setelah usia 5 tahun, angka remisi spontan adalah 5% -10% per

tahun. Sebagian besar anak-anak dengan kelainan menjadi benua oleh remaja, tetapi dalam

sekitar 1% dari kasus kelainan berlanjut sampai dewasa. Enuresis diurnal jarang terjadi setelah

usia 9 tahun. Walaupun kadang-kadang inkontinensia diurnal tidak jarang terjadi pada masa

kanak-kanak tengah, secara substansial lebih umum pada mereka yang juga memiliki enuresis

nokturnal persisten. Ketika enuresis berlanjut hingga akhir masa kanak-kanak atau remaja,
frekuensi inkontinensia dapat meningkat, sedangkan kontinuitas pada anak usia dini biasanya

dikaitkan dengan penurunan frekuensi malam basah.

faktor penyebab gangguan enurisis

Menurut Nevid et al (2003), terdapat berbagai penjelasan psikologis untuk mengompol. Penjelasan
psikodinamika mengemukakan bahwa mengompol merupakan representasi dari ekspresi
kemarahan terhadap orang tua karena berbagai sebab, seperti misalnya pelatihan buang air kecil
dan besar yang keras. Selain itu mengompol dapat juga merupakan representasi pada respon
regresi terhadap kelahiran saudara kandung atau beberapa sumber stress lain atau perubahan dalam
kehidupan, seperti mulai bersekolah tau mengalami kematian orang tua atau anggota keluarga lain.
Para ahli teori belajar menekankan bahwa mengompol muncul paling sering pada anak-anak
dengan orang tua yang mencoba melatih mereka sejak dini. Kegagalan pada masa awal dapat
menghubungkan kecemasan dengan usaha untuk mengontrol buang air kecil. Kecemasan yang
terkondisi justru mendorong dan bukan menghambat buang air kecil (Sugini, 2011: 42).

Beberapa faktor penyebab mengompol disampaikan McElderry dan Lawless (2001) sebagai
berikut:

1. Keterlambatan perkembangan (maturation delay) Fakta bahwa kebanyakan anak yang


mengalami mengompol sampai menjadi sembuh dengan atau tanpa intervensi mendukung
keterlambatan perkembangan sebagai faktor dari Enuresis nokturnal Monosimptomatik (MNE).
Pada usia lima tahun, 15 % anak mengalami mengompol di tempat tidur dibandingkan dengan
hanya 10 % pada anak usia 6 tahun.

2. Faktor Psikologi Enuresis primer dapat disebabkan oleh adanya faktor stres selama periode
perkembangan antara umur 2-4 tahun. Pemisahan dari keluarga, kematian orang tua, kelahiran
saudara kandung, pindah rumah, pertengkaran orang tua dan child abuse merupakan keadaan yang
paling sering dianggap sebagai faktor presipitasi mengompol. Enuresis yang disebabkan oleh stres
biasanya intermiten dan sementara, sedangkan enuresis yang terus menerus biasanya akibat toilet
training yang kurang adekuat
Isu terkait dengan gangguan enuresis (budaya dan gender)

Enuresis telah dilaporkan di berbagai negara Eropa, Afrika, dan Asia serta di Amerika Serikat.

Pada tingkat nasional, tingkat prevalensi sangat mirip, dan ada kesamaan besar dalam lintasan

perkembangan yang ditemukan di berbagai negara. Ada tingkat enuresis yang sangat tinggi di

panti asuhan dan lembaga perumahan lainnya, kemungkinan terkait dengan mode dan

lingkungan di mana pelatihan toilet terjadi.

Enuresis nokturnal lebih sering terjadi pada pria. Inkontinensia diurnal lebih sering terjadi pada

wanita. Risiko relatif memiliki anak yang mengembangkan enuresis lebih besar untuk ayah yang

sebelumnya enuretik daripada ibu yang sebelumnya enuretik.

Konsekuensi dari gangguan enuresis

Jumlah gangguan yang terkait dengan enuresis adalah fungsi dari pembatasan kegiatan sosial

anak (mis., Tidak memenuhi syarat untuk tidur-jauh) atau pengaruhnya terhadap harga diri anak,

tingkat pengasingan sosial oleh teman sebaya, dan kemarahan, hukuman, dan penolakan dari

pihak pengasuh.

Perberdaan dalam diagnosis

Kandung kemih neurogenik atau kondisi medis lainnya. Diagnosis enuresis tidak dibuat dengan

adanya kandung kemih neurogenik atau kondisi medis lain yang menyebabkan poliuria atau

urgensi (mis., Diabetes mellitus yang tidak diobati atau diabetes insipidus) atau selama infeksi

saluran kemih akut. Namun, diagnosis sesuai dengan kondisi seperti itu jika inkontinensia urin
secara teratur hadir sebelum perkembangan kondisi medis lain atau jika tetap ada setelah

perawatan yang tepat untuk kondisi medis tersebut.

Efek samping obat. Enuresis dapat terjadi selama pengobatan dengan obat antipsikotik, diuretik,

atau obat lain yang dapat menyebabkan inkontinensia. Dalam hal ini, diagnosis tidak boleh

dibuat dalam isolasi tetapi dapat dicatat sebagai efek samping obat. Namun, diagnosis enuresis

dapat dibuat jika inkontinensia urin secara teratur hadir sebelum pengobatan dengan obat
Daftar pustaka

Elvira N. Efektifitas terapi akupuntur terhadap frekuensi enuresis pada anak usia prasekolah di
Kota Pontianak [skripsi]. Pontianak: Universitas Tanjungpura. 2015

Lawless, H. T. dan Heymann. H. 1998. Sensory Evaluation of Food : Principles and Practices.
Springer Science. New York
Gontard, N., Guilbert, S., Cuq, J.L. . Water and Glyserol as Plasticizer Affect Mechanical and
Water Barrier Properties at an Edible Wheat Gluten Film. J. Food Science. 58 (1): 206-211.

Nevid, S.F, Rathus, A.S., Greene, B. 2003. Psikologi Abnormal Edisi Kelima, Erlangga: Jakarta.

Yusuf, A.F. 2012. Hubungan Toilet Training Dengan Kontrol Enuresis Pada Anak Usia 3-6
Tahun Di Desa Tarasu Kecamatan Kajuara Kabupaten Bone(Skiripsi). Makasar. Universitas
Islam Negeri Alauddin Makasar.

Bustomi, C.E. Permatasari, C.R. 2018. Diagnosis dan Tatalaksana Enuresis Pediatri. Lppm
Unilla. Volume 7. Nomer 2. Diakses dari http://repository.lppm.unila.ac.id/8419/1/1891-2610-1-
PB.pdf

Anda mungkin juga menyukai