Anda di halaman 1dari 24

“ASUHAN KEPERAWATAN HELLP SINDROM”

OLEH :
Gita sonia
Nurfa rahim
Yuli kurniati

Poltekkes kemenkes RI padang


Prodi D III keperawatan solok
2019

1
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sindrom HELLP merupakan kumpulan tanda dan gejala : H untuk Hemolysis, EL
untuk Elevated Liver Enzymes, dan LP untuk Low Platelets. Patogenesis sindrom HELLP
belum jelas. Sampai sekarang tidak ditemukan faktor pencetusnya; kelihatannya
merupakan akhir dari kelainan yang menyebabkan kerusakan endotel mikrovaskuler dan
aktivasi trombosit intravaskuler, akibatnya terjadi agregasi trombosit dari selanjutnya
kerusakan endotel. Peningkatan kadar enzim hati diperkirakan sekunder dari obstruksi
aliran darah hati oleh deposit fibrin pada sinusoid. Trombositopeni dikaitkan dengan
peningkatan pemakaian dan atau destruksi trombosit.
Kriteria diagnosis sindrom HELLP terdiri : Hemolisis, kelainan apus darah tepi, total
bilirubin > 1,2 mg/dl, laktat dehidrogenase (LDH) > 600 U/L. Peningkatan fungsi hati,
serum aspartat aminotransferase (AST) > 70 U/L, laktat dehidrogenase (LDH) > 600 U/L.
Jumlah trombosit < 100.000/ml.3

B. Masalah
Masalah yang kami bahas dalam makalah ini adalah :
1. Bagaimanakah mendiagnosis sindroma HELLP?
2. Bagaimanakah penanganan sindroma HELLP ?
3. Bagaimana asuhan keperawatan pada sindroma HELLP

C. Tujuan
Tujuan kami menyusun maklah ini adalah :
1. Mengetahui definisi preeklamsia berat dan sindrom HELLP.
2. Mengetahui cara diagnosis preeklamsia berat dan sindrom HELLP.
3. Mengetahui hubungan preeaklamsia berat dengan sindroma HELLP.
4. Mengetahui dan memahami pengelolaan Preeklamsia Berat dengan sindrom HELLP
dalam kehamilan.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi
Preeklamsia berat adalah preeklamsia dengan tekanan darah sistolik ≥160mmHg
dan tekanan darah sistolik ≥110 mmHg disertai dengan proteinuria lebih 5g/24jam.2
Eklamsia merupakan kasus akut pada penderita preeklamsi, yang disertai dengan
kejang menyeluruh dan koma.
Sindroma HELLP ialah preeklamsia-eklamsia disertai timbulnya hemolisis,
peningkatan enzim hepar, disfungsi hepar, dan trombositopenia. H (Hemolisis) EL
(Elevated Liver Enzyme), LP (Low Platelete Count).

B. Patofisiologi
a. Preeklamsia – eklamsia
Vasokonstriksi merupakan dasar patogenesis PE-E. Vasokonstriksi menimbulkan
peningkatan total perifer resisten dan menimbulkan hipertensi. Adanya vasokonstriksi
juga akan menimbulkan hipoksia pada endotel setempat, sehingga terjadi kerusakan
endotel, kebocoran arteriole disertai perdarahan mikro pada tempat endotel. Selain itu
Hubel (1989) mengatakan bahwa adanya vasokonstriksi arteri spiralis akan
menyebabkan terjadinya penurunan perfusi uteroplasenter yang selanjutnya akan
menimbulkan maladaptasi plasenta. Hipoksia/ anoksia jaringan merupakan sumber
reaksi hiperoksidase lemak, sedangkan proses hiperoksidasi itu sendiri memerlukan
peningkatan konsumsi oksigen, sehingga dengan demikian akan mengganggu
metabolisme di dalam sel Peroksidase lemak adalah hasil proses oksidase lemak tak
jenuh yang menghasilkan hiperoksidase lemak jenuh. Peroksidase lemak merupakan
radikal bebas. Apabila keseimbangan antara peroksidase terganggu, dimana
peroksidase dan oksidan lebih dominan, maka akan timbul keadaan yang disebut stess
oksidatif. Pada PE-E serum anti oksidan kadarnya menurun dan plasenta menjadi
sumber terjadinya peroksidase lemak. Sedangkan pada wanita hamil normal,
serumnya mengandung transferin, ion tembaga dan sulfhidril yang berperan sebagai
antioksidan yang cukup kuat. Peroksidase lemak beredar dalam aliran darah melalui
ikatan lipoprotein. Peroksidase lemak ini akan sampai kesemua komponen sel yang

3
dilewati termasuk sel-sel endotel yang akan mengakibatkan rusaknya sel-sel endotel
tersebut. Rusaknya sel-sel endotel tersebut akan mengakibatkan antara lain :
1. Adhesi dan agregasi trombosit.
2. Gangguan permeabilitas lapisan endotel terhadap plasma.
3. Terlepasnya enzim lisosom, tromboksan dan serotonin sebagai akibat dari rusaknya
trombosit.
4. Produksi prostasiklin terhenti.
5. Terganggunya keseimbangan prostasiklin dan tromboksan.
6. Terjadi hipoksia plasenta akibat konsumsi oksigen oleh peroksidase lemak

b. Sindrom HELLP
Patogenesis sindrom HELLP sampai sekarang belum jelas. Yang ditemukan pada
penyakit multisistem ini adalah kelainan tonus vaskuler, vasospasme, dan kelainan
koagulasi. Sampai sekarang tidak ditemukan faktor pencetusnya. Sindrom ini
kelihatannya merupakan akhir dari kelainan yang menyebabkan kerusakan endotel
mikrovaskuler dan aktivasi trombosit intravaskuler; akibatnya terjadi vasospasme,
aglutinasi dan agregasi trombosit dan selanjutnya terjadi kerusakan endotel. Hemolisis
yang didefinisikan sebagai anemia hemolitik mikroangiopati merupakan tanda khas.
Sel darah merah terfragmentasi saat melewati pembuluh darah kecil yang endotelnya
rusak dengan deposit fibrin. Pada sediaan apus darah tepi ditemukan spherocytes,
schistocytes, triangular cells dan burr cells.Peningkatan kadar enzim hati
diperkirakan sekunder akibat obstruksi aliran darah hati oleh deposit fibrin di
sinusoid. Obstruksi ini menyebabkan nekrosis periportal dan pada kasus yang berat
dapat terjadi perdarahan intrahepatik, hematom subkapsular atau ruptur hati. Nekrosis
periportal dan perdarahan merupakan gambaran histopatologik yang paling sering
ditemukan.
Trombositopeni ditandai dengan peningkatan pemakaian dan atau destruksi
trombosit. Banyak penulis tidak menganggap sindrom HELLP sebagai suatu variasi
dari disseminated intravascular coagulopathy (DIC), karena nilai parameter koagulasi
seperti waktu prothrombin (PT), waktu parsial thromboplastin (PTT), dan serum
fibrinogen normal. Secara klinis sulit mendiagnosis DIC kecuali menggunakan tes
antitrombin III, fibrinopeptide-A, fibrin monomer, D-Dimer, antiplasmin,
plasminogen, prekallikrein, dan fibronectin. Namun tes ini memerlukan waktu dan

4
tidak digunakan secara rutin.Semua pasiensindrom HELLP mungkin mempunyai
kelainan dasar koagulopati yang biasanya tidak terdeteksi.

C. Epidemiologi dan faktor resiko


a. Epidemiologi
Sindrom HELLP terjadi pada 2-12% kehamilan. Sebagai perbandingan,
preeklampsi terjadi pada 5-7% kehamilan. Superimposed sindrom HELLP
berkembang dari 4-12% wanita preeklampsi atau eklampsi. Tanpa preeklampsi,
diagnosis sindrom ini sering terlambat.
Sindrom HELLP dapat timbul pada masa postpartum. Sibai melaporkan dalam
penelitian 304 pasien sindrom HELLP, 95 pasien (31%) hanya bermanifestasi saat
postpartum. Pada kelompok ini, saat terjadinya berkisar dari beberapa jam sampai 6
hari, sebagian besar dalam 48 jam postpartum. Selanjutnya 75 pasien (79%) menderita
preeklampsi sebelum persalinan, 20 pasien (21%) tidak menderita preeklampsi baik
antepartum maupun postpartum.
b. Faktor resiko
1) Perempuan dengan masalah tekanan darah, terutama preeklampsia
2) Ras Kaukasia (kulit putih)
3) Hamil pada usia > 25 tahun
4) Multipara
5) Masalah pada kehamilan sebelumnya
6) Kehamilan sebelumnya juga menderita Sindrome HELLP

D. Manifestasi klinis
Pasien yang mengalami Sindom HELLP biasanya telah menderita hipertensi yang
diinduksi kehamilan (gestational hypertension) atau preeclampsia (peningkatan tekanan
darah dan proteinuria). Pasien sering mengalami sakit kepala (31%), pandangan menjadi
kabur, malaise (90%), mual dan muntah (30%), nyeri di abdomen bagian atas terutama
epigastrium (65%) dan parestesia (perasaan geli di ekstremitas, kesemutan). Edema
mungkin terjadi, tetapi keberadaannya tidak termasuk Sindrom HELLP. Pembekuan
intravaskuler yang kental juga terjadi pada 20% wanita dengan Sindrom HELLP dan
84% mengalami gagal ginjal akut. Karena diagnosis awal pada sindrom ini sangat
penting, setiap pasien dengan gejala lemah atau gejala yang mirip penyakit viral pada
trimester ketiga harus dievaluasi dengan pemeriksaan darah rutin dan tes fungsi hati.

5
Karena gejala klinis yang kurang jelas, diagnosis Sindrom HELLP biasanya
terlambat sampai kira-kira 8 hari. Banyak wanita dengan Sindrom HELLP mengalami
salah diagnosis dengan kelainan lain seperti kolesistitis, esofagitis, gastritis, hepatitis
atau trombositopenia idiopatik.

E. Diagnosis
a. Indikasi untuk test
Ibu hamil dengan gambaran klinis preeklamsia, trombositopenia, gagal hati akut.
b. Kriteria diagnosis
Tiga kelainan utama pada sindrorn HELLP berupa hemolisis, peningkatan kadar
enzim hati dan jumlah trombosit yang rendah. Banyak penulis mendukung nilai laktat
dehidrogenase (LDH) dan bilirubin agar diperhitungkan dalam mendiagnosis
hemolisis. Derajat kelainan enzim hati harus didefinisikan dalam nilai standar deviasi
tertentu dan nilai normal di masing-masing rumah sakit.
1) Hemolisis
 Kelainan apusan darah tepi
 Total bilirubin > 1,2 mg/dl
 Laktat dehidrogenase (LDH) > 600 U/L
2) Peningkatan fungsi hati
 Serum aspartate aminotransferase (AST) > 70 U/L
 Laktat dehidrogenase (LDH) > 600 U/L
3) Jumlah trombosit yang rendah
 Hitung trombosit < 100.000/mm

Sebagai pelengkap catatan medik dan pemeriksaan fisik, prosedur diagnosis


untuk Sindrome HELLP antara lain :

1. Pengukuran tekanan darah

2. Pemeriksaan darah lengkap terutama jumlah sel darah merah dan trombosit

3. Tingkat bilirubin, bahan yang dihasilkan dari lisis sel darah merah

4. Tes fungsi hati

5. Tes protein pada urin

6
F. Diagnosis banding
Pasien sindrom HELLP dapat menunjukkan tanda dan gejala yang sangat
bervariasi, yang tidak bernilai diagnostic pada preeklampsi berat. Akibatnya sering
terjadi salah diagnosis, diikuti dengan kesalahan pemberian obat dan pembedahan.
Diagnosis banding pasien sindrom HELLP meliputi:
1. Penyakit yang berhubungan dengan kehamilan :
 Benigna trombositopenia dalam kehamilan
 Acute Fatty Liver of Pregnancy (AFLP)
2. Penyakit infeksi dan inflamasi, tidak berhubungan dengan kehamilan :
 Hepatitis
 Kolangitis
 Kolesistisis
 Gastritis
 Ulkus gaster
 Pankreatitis akut
 Infeksi saluran kemih bagian atas
3. Trombositopenia
 ITP
 Defisiensi asam folat
 SLE
G. Klasifikasi
a. Klasifikasi berdasarkan jumlah kelainan.
Dalam sistem ini, pasien diklasifikasikan sebagai sindrom HELLP parsial
(mempunyai satu atau dua kelainan) atau sindrom HELLP total (ketiga kelainan
ada). Wanita dengan ketiga kelainan lebih berisiko menderita komplikasi seperti DIC,
dibandingkan dengan wanita dengan sindrom HELLP parsial. Konsekuensinya pasien
sindrom HELLP total seharusnya dipertimbangkan untuk bersalin dalam 48 jam,
sebaliknya yang parsial dapat diterapi konservatif.
b. Klasifikasi berdasarkan jumlah trombosit.
Berdasarkan kadar trombosit darah, maka sindroma HELLP diklasifikasikan
dengan nama “ klasifikasi Mississippi”
1. kelas I
 kadar trombosit ≤ 50.000/ml

7
 LDH ≥600 IU/l
 AST dan atau ALT ≥40IU/l
2. Kelas II
 Kadar trombosit antara >50.000 ≤100.000/mm
 LDH ≥600 IU/l
 AST dan atau ALT ≥40IU/l
3. Kelas III
 Kadar trombosit antara >100.000 ≤150.000/mm
 LDH ≥600IU/l
 AST dan atau ALT ≥40IU/l
Klasifikasi ini telah digunakan dalam memprediksi kecepatan pemulihan penyakit
pada post partum, keluaran maternal dan perinatal.Sindrom HELLP kelas I berisiko
morbiditas dan mortalitas ibu lebih tinggi dibandingkan pasien kelas II dan kelas III.
H. Komplikasi
a. Komplikasi terhadap ibu
Angka kematian ibu dengan sindrom HELLP mencapai 1,1%; 1-25%
berkomplikasi serius seperti DIC, solusio plasenta, adult respiratory distress
syndrome, kegagalan hepatorenal, udem paru, hematom subkapsular, dan rupture hati.
b. Komplikasi terhadap bayi
Angka kematian bayi berkisar 10-60%, disebabkan oleh solusio plasenta, hipoksi
intrauterin, dan prematur. Pengaruh sindrom HELLP pada janin berupa pertumbuhan
janin terhambat (IUGR) sebanyak 30% dan sindrom gangguan pernafasan (RDS).

I. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan spesifik untuk Sindrom HELLP akan ditentukan berdasarkan:
a. Kehamilan ibu, kesehatan umum dan catatan medik
b. Perkembangan penyakit

c. Toleransi terhadap obat-obatan, prosedur dan terapi spesifik

Penatalaksaan mungkin meliputi:

a. Tirah baring (istirahat di rumah maupun di rumah sakit sangat dianjurkan)

b. Hospitalisasi (tenaga dan peralat khusus mungkin dibutuhkan)

8
c. Tranfusi darah (untuk anemia berat dan platelet yang rendah)
d. Pemberian magnesium sulfat (untuk mencegah seizure)
e. Obat-obatan antihipertensi (untuk menurunkan tekanan darah)
f. Monitor fetus (untuk mengevaluasi kesehatan fetus)
1) Hitung pergerakan janin, perubahan jumlah atau frekuensi pergerakan janin
mungkin menandakan fetus dalam keadaa stress.
2) Non Stress Test (NST), tes untuk mengetahui denyut jantung janin sebagai
respon pergerakan janin
3) Profil biofisikal, sebuah tes yang merupakan kombinasi dari NST dengan USG
untuk menobservasi fetus
4) Doppler flow studies, sebuah tipe ultrasound yang menggunakan gelombang
suara untuk mengukur aliran darah melalui pembuluh darah.
g. Tes laboratorium untuk fungsi hati, urin dan darah (sebagai sinyal bila Sindrom
HELLP semakin memburuk)
h. Obat-obatan seperti kortikosteroid yang dapat membantu maturasi paru-paru janin
(paru-paru imatur adalah masalah utama bayi prematur)
i. Rujukan (bila Sindrom HELLP semakin memburuk dan membahayakan
keselamatan ibu atau bayi, secepatnya harus dirujuk) (www.uvahealth.com, 2004).
J. Pencegahan
Tidak ada cara untuk mencegah penyakit ini. Hal terbaik yang dapat Anda lakukan
adalah senantiasa kontrol ke dokter secara teratur dan beritahukan gejala-gejala yang Anda
alami selama melahirkan (Maureen O Padden, 2006). Identifikasi awal wanita yang
berisiko Sindrom HELLP mungkin membantu mencegah beberapa komplikasi penyakit.
Pendidikan tentang tanda-tanda bahaya juga penting karena penegenalan awal mungkin
membantu seorang wanita untuk menerima pengobatan dan komplikasi penyakit
(www.uvahealth.com, 2004).

ASUHAN KEPERAWATAN

1) PENGKAJIAN
9
A. Anamnesa :
a. Nama, umur, agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, berapa kali nikah,
dan berapa lama.
b. Riwayat kehamilan sekarang : kehamilan yang ke berapa, sudah pernah melakukan
ANC, terjadi peningkatan tensi, oedema, pusing, nyeri epigastrium, mual muntah,
dan penglihatan kabur.
c. Riwayat kesehatan ibu sebelumnya : penyakit jantung, ginjal, HT, paru.
d. Riwayat kehamilan, persalinan, nifas yang lalu : adakah hipertensi atau
preeklampsi.
e. Riwayat kesehatan keluarga : adakah keluarga yang menderita penyakit jantung,
ginjal, HT, dan gemmeli.
f. Pola pemenuhan nutrisi.
g. Pola istirahat.
h. Psiko-sosial- spiritual :emosi yang tidak stabil dapat menyebabkan kecemasan.

B. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi : oedema, yang tidak hilang dalam kurun waktu 24 jam.
b. Palpasi : untuk mengetahui TFU, letak janin, lokasi oedema dengan menekan
bagian tertentu dari tubuh.
c. Auskultasi : mendengarkan DJJ untuk mengetahui adanya fetal distress, kelainan
jantung, dan paru pada ibu.
d. Perkusi : untuk mengetahui reflek patela sebagai syarat pemberian Mg SO4.

C. Pemeriksaan penunjang
a. Tanda vital yang diukur 2 kali dengan interval 6 jam.
b. Laboratorium : proteinuri dengan kateter atau midstream (biasanya meningkat
hingga 0,3 gr/lt atau + 1 sampai + 2 pada skala kualitatif), kadar hematokrit
menurun, berat jenis urine meningkat, serum kreatinin meningkat, uric acid > 7
mg/100 ml.
c. USG : untuk medeteksi keadaan kehamilan, dan plasenta.
d. NST :untuk menilai kesejahteraan janin.
2) Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan nutrisi pada fetus berhubungan dengan placenta yang mengalami hipoksia
b. Resiko tinggi defisit volume cairan berhubungan dengan oliguria dan anuria.
10
c. Gangguan perfusi jaringan ginjal berhubungan dengan hipoksia
d. Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan kehamilan dengan tek. darah tinggi
e. Resiko tinggi injury ibu berhubungan dengan penurunan aliran darah dalam otak

3) Intervensi keperawtan

11
TINDAKAN/INTERVENSI RASIONAL
Gangguan nutrisi pada fetus
berhubungan dengan placenta yang
mengalami hipoksia
MANDIRI
1. Kaji status nutrisi seraca continu, Memberikan kesempatan untuk
selama perawatan setiap hari, mengobserpasi penyimpangan dari
perhatikan tingkat energi; normal atau dasar pasien dan
keinginan untuk makan dan mempengaruhi pilihan intervensi.
anoreksia.
2. Timbang berat badan setiap hari Membuat data dasar, membantu dalam
dan bandingkan dengan berat memantau keefektifan aturan
badan saat penerimaan. terapeutik, dan menyadarkan perawat
terhadap ketidak tepatan kecendrungan
dalam penurunan atau penambahan
berat badan.
3. Dokumentasikan masukan oral Mengidentifikasi ketidakseimbangan
selama 24 jam, riwayat makanan, antara perkiraan kebutuhan nutrisi dan
jumlah kalori dengan tepat. masukan aktual.
4. Berikan larutan nutrisi pada Ketentuan dukungan nutrisi didasarkan
kecepatan yang dianjurkan pada perkiraan kebutuhan kalori dan
melalui alat kontrol infus sesuai protein.
kebutuhan atur kecepatan
pemberian per jam sesuai
anjuran. Jangan meningkatkan
kecepatan untuk “ mencapai”
Resiko tinggi defisit volume cairan
berhubungan dengan oliguria dan
anuria.
Mandiri
1. Rencanakan penggantian cairan Membantu menghindari periode tanpa
pada pasien, berikan minuman cairan, meminimalkan kebosanan
yang disukai sepanjang 24 jam. pilihan yang terbatas dan menurunkan
rasa kekurangan dan haus.
2. Pertahankan masukan dan haluaran Penurunan perfusi ginjal, insufisiensi
akurat. Perhatikan penurunan jantung, dan perpindahan cairan dapat
haluaran urin, keseimbangan cairan menyebabkan penurunan haluaran urin
positif pada kalkulasi 24 jam. dan pembentukan edema.
3. Timbang berat badan sesuai Satu liter retensi cairan sama dengan 12
indikasi. Waspada terhadap penambahan berat badan 1 kg.
penambahan berat badan akut dan
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan.
Sindroma HELLP ialah preeklamsia-eklamsia disertaitimbulnya hemolisis,
peningkatan enzim hepar, disfungsi hepar, dan trombositopenia. H (Hemolisis) EL
(Elevated Liver Enzyme), LP (Low Platelete Count).
Faktor risiko sindrom HELLP berbeda dengan preeklampsi. Dalam laporan Sibai
dkk (1986), pasien sindrom HELLP secara bermakna lebih tua (rata-rata umur 25 tahun)
dibandingkan pasien preeklampsi-eklampsi tanpa sindrom HELLP (rata-rata umur 19
tahun). lnsiden sindrom ini juga lebih tinggi pada populasi kulit putih dan
multipara.Sindrom ini biasanya muncul pada trimester ke tiga, walaupun pada 11% pasien
muncul pada umur kehamilan <27 minggu, pada masa antepartum sekitar 69% pasien dan
pada masa postpartum sekitar 31%. Pada masa post partum, saat terjadinya khas, dalam
waktu 48 jam pertama post partum.

B. Saran
Diharapkan kepada kalangan medis dapat mendiagnosa sindroma HELLP dan
mengetahui bagaimana cara mengelola serta mengetahui upaya pencegahan terhadap
sindroma HELLP agar menurunkan angka kematian ibu dan anak.

13
DAFTAR PUSTAKA

Doenges, Marilynn E, dkk. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC
Cunningham FG, Gant FN, Leveno KJ, dkk. Obstetri Williams. Edisi 21. Jakarta: EGC, 2005.
Saifuddin AB. Dalam Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Edisi Keempat. Jakarta :
BP – SP, 2008.
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/11_151_SindromHELLP.pdf/11_151_SindromHELLP.
html diakses pada tanggal 20 juli 2011.
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/11_152_preeklamsiaeklamsia.pdf/11_152_preeklamsiae
klamsia.html diakses pada tanggal 20 juli 2011.
http://www.biomedcentral.com/1471-2393/9/8 diakses pada tanggal 21 juli 2011.
http://www.puzip.com/preview.php?key=Dic
%20Syndrome&url=http://www.arupconsult.com/assets/print/HELLP.pdf. diakses pada
tanggal 20 juli 2011.

14
SUMBER KE 2

ASUHAN KEPERAWATAN

Pengkajian merupakan tahap awal dari proses keperawatan. Suatu proses kolaborasi
melibatkan perawat, ibu dan tim kesehatan lainnya. Pengkajian dilakukan melalui wawancara
dan pemeriksaan fisik. Dalam pengkajian dibutuhkan kecermatan dan ketelitian agar data
yang terkumpul lebih akurat, sehingga dapat dikelompokan dan dianalisis untuk mengetahui
masalah dan kebutuhan ibu terhadap perawatan.
Menurut Mitayani (2012) pengkajian yang dilakukan pada pasien antara lain sebagai berikut :
1. Identitas umum ibu

2. Riwayat kesehatan dahulu


Kemungkinan ibu menderita hipertensi sebelum hamil, mempunyai riwayat pre eklamsia –
eklamsia pada kehamilan terdahulu, biasanya mudah terjadi pada ibu dengan obesitas serta
ibu hamil mungkin pernah menderita penyakit ginjal kronis.

3. Riwayat kesehatan sekarang


Biasanya ibu merasa sakit kepala di daerah frontal, terasa sakit di ulu hati / nyeri epigastrium,
gangguan virus (penglihatan kabur, skrotoma dan diplopoa), mual dan muntah, tidak nafsu
makan, gangguan serebral lainnya (terhuyung-huyung, refleks tinggi dan tidak tenang),
edema pada ekstremitas, tengkuk terasa berat serta kenaikan berat badan mencapai 1
kg/minggu.

4. Riwayat kesehatan keluarga


Kemungkinan mempunyai riwayat preeklamsia dan eklampsia dalam keluarganya.

5. Riwayat perkawinan
Biasanya terjadi pada wanita yang menikah dibawah usia 20 tahun atau diatas 35 tahun

15
6. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum (biasanya lemah)
b. Sakit kepala dan wajah terlihat edema
c. Konjungtiva sedikit anemis, edema pada retina.
d. Nyeri daerah epigastrium, anoreksia serta mual dan muntah
e. Hiper refleksia dan klonus pada kaki
f. Oliguria dan proteinuria
g. DJJ tidak teratur serta gerakan janin melemah

7. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
1) Penurunan Hemoglobin (nilai rujukan atau kadar normal Hemoglobin untuk wanita hamil
adalah 12 – 14 gr%).
2) Hematokrit meningkat (nilai rujukan 37 – 43 vol%)
3) Trombosit menurun (nilai rujukan 150 – 450 ribu/mm3
4) Ditemukan protein dalam urin
5) Bilirubin meningkat ( N= <1 mg/dl)
6) LDH (laktat dehidrogenase) meningkat
7) AST (asparat aminomtransferase) > 60 ui
8) SGPT meningkat ( N=15 – 45 μ/ml)
9) SGOT meningkat ( N= < 31μ /l).
10) Total protein serum menurun ( N=6,7 – 8,7 gr/dl)
b. Pemeriksaan radiologi
Ditemukan retardasi pertumbuhan janin intrauterus, pernafasan intrauterus lambat, aktivitas
janin lambat dan volume cairan ketuban sedikit serta denyut jantung bayi melemah.

8. Data sosial ekonomi


Berat lebih banyak terjadi pada wanita dan golonganekonomi rendah, karena mereka kurang
mengkonsumsi makanan yang mengandung protein dan juga kurang melakukan perawatan
antenatal yang teratur.

16
9. Data psikologis
Biasanya ibu berada dalam kondisi yang labil dan mudah marah, ibu merasa khawatir akan
keadaan dirinya dan keadaan janin dalam kandungannya, ibu takut nanti anaknya lahir cacat
atau meninggal dunia sehingga ibu takut untuk melahirkan.

17
B. DiagnosaKeperawatan

Menurut Mitayani (2012) dari hasil pengkajian diatas diagnose keperawatan yang mungkin
muncul adalah sebagai berikut :
1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan tekanan osmotic,
perubahan permeabilitas pembuluh darah serta retensi sodium dan air.
2. Penurunan curah jantung berhubungan dengan hipovolemi, penurunan aliran
balik vena
3. Resiko cedera pada janin berhubungan dengan tidak adekuatnya perfusi darah
ke plasenta
4. Risiko kejang pada ibu b/d penurunan fungsi organ (vasospasme dan peningkatan tekanan
darah).
5. Gangguan pemenuhan ADL b/d immobilisasi; kelemahan
6. Kurang pengetahuan mengenai penatalaksanaan terapi dan perawatan b/d
misinterpretasi informasi
7. Nyeri akut b/d peningkatan tekanan vaskuler cerebral akibat hipertensi
8. Risiko cedera ibu b/d edema / hipoksia jaringan.

C. Rencana Keperawatan
Perencanaan keperawatan merupakan tugas lanjut dari perawatan setelah mengumpulkan data
yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan ibu sesuai dengan pengkajian yang telah
dilakukan. Pada tahap ini ditetapkan tujuan dan alternative tindakan yang akan dilakukan
sesuai dengan kemungkinan diagnosis yang telah dijelaskan sebelumnya (Mitayani, 2012).
1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan tekanan osmotic, perubahan
permeabilitas pembuluh darah serta retensi sodium dan air.
Tujuan :
Volume cairan kembali seimbang
Intervensi :
a. Pantau dan catat intake dan output setiap hari
R/. dengan memantau intake dan output diharapkan dapat diketaui adanya keseimbangan
cairan dan dapat diramalkan keadaan dan kerusakan glomerulus.
b. Pantau tanda-tanda vital, catat waktu pengisian kapiler atau CRT (capillary refill time)
18
R/. dengan memantau tanda tanda vital dan pengisian kapiler dapat dijadikan pedoman untuk
penggantian cairan atau menilai respons dari kardiovaskular.
c. Pantau serta ukur berat badan ibu
R/. dengan mengukur berat badan ibu dapat diketahui berat badan yang merupakan indicator
yang tepat untuk menentukan keseimbangan cairan
d. Observasi keadaan edema
R/. keadaan edema merupakan indicator keadaan cairan dalam tubuh
e. Kaji distensi vena jugularis dan perifer
R/. retensi cairan yang berlebihan bisa dimanifestasikan dengan pelebaran vena jugularis dan
edema perifer.

f. Kolaborasi dengan ahli gizi tentang pemberian diit rendah garam R/. diit rendah garam
akan mengurangi terjadinya kelebihan cairan
g. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat diuretic
R/. diuretic dapat meningkatkan filtrasi glomerulus dan menghambat penyerapan nsodium
dan air dalam tubulus ginjal.
2. Penurunan curah jantung berhubungan dengan hipovolemi, penurunan aliran balik vena
Tujuan :
Curah jantung kembali normal Intervensi :
a. Pantau nadi dan tekanan darah
R/. dengan memantau nadi dan tekanan darah dapat melihat peningkatan
volume plasma, relaksasi vascular dengan penurunan tahanan perifer.
b. Lakukan tirah baring pada ibu dengan posisi miring ke kiri
R/. meningkatkan aliran balik vena, curah jantung dan perfusi ginjal
c. Kolaborasi untuk pantau parameter hemodinamik
R/. memberikan gambaran akurat dari perubahan vascular dan volume cairan. Konstruksi
vascular yang lama, peningkatan dan hemokonsentrasi serta perpindahan cairan menurunkan
curah jantung.
d. Kolaborasi pemberian obat antihipertensi sesuai kebutuhan
R/. obat antihipertensi bekerja secara langsung pada arteriol untuk meningkatkan relaksasi
otot polos kardiovaskular dan membantu meningkatkan suplai darah.
e. Pantau TD dan setelah pemberian obat antihipertensi
R/. mengetahui efek samping yang terjadi seperti takikardi, sakit kepala. Mual, muntah dan
palpitasi.
19
3. Resiko cedera pada janin berhubungan dengan tidak adekuatnya perfusi darah ke plasenta.
Tujuan :
Tidak terjadi cedera pada janin Aliran darah ke plasenta adekuat Intervensi :
a. Monitor tekanan darah ibu
R/. dengan mengetahui tekanan darah ibu dapat mengetahui keadaan aliran darah ke plasenta
seperti tekanan darah tinggi, aliran darah ke plasenta berkurang sehingga suplai oksigen ke
janin berkurang.
b. Pantau denyut jantung janin
R/. dengan memantau denyut jantung janin (DJJ) dapat diketaui keadaan jantung janin lemah
atau menurun menandakan suplai oksigen ke plasenta berkurang sehingga dapat direncanakan
intervensi selanjutnya.
c. Anjurkan ibu untuk istirahat
R/. dengan mengistirahatkan ibu diharapkan metabolism tubuh menurun dan peredaran darah
ke plasenta menjadi adekuat sehingga kebutuhan oksigen untuk janin dapat dipenuhi.
d. Anjurkan ibu untuk tidur miring ke kiri
R/. dengan posisi miring kekiri diharapkan venan kava di bagian kanan tidak tertekan oleh
uterus yang membesar sehingga aliran darah keplasenta menjadi lancer
e. Berikan obat hipertensi setelah kolaborasi dengan dokter
R/. dengan diberikannya obat hipertensi dapat menurunkan tonus arteri dan menyebabkan
penurunan afterload jantung dengan vasodilatasi pembuluh darah sehingga tekanan darah
menurun. Dengan menurunnya tekanan darah maka aliran darah ke plasenta menjadi adekuat

4. Risiko kejang pada ibu b/d penurunan fungsi organ (vasospasme dan peningkatan tekanan
darah).
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan perawatan tidak terjadi kejang pada ibu
Intervensi :
a. Monitor tekanan darah tiap 4 jam
R/. Tekanan diastole > 110 mmHg dan sistole 160 atau lebih merupkan
indikasi dari PIH
b. Catat tingkat kesadaran pasien
R/. Penurunan kesadaran sebagai indikasi penurunan aliran darah otak
c. Kaji adanya tanda-tanda eklampsia ( hiperaktif, reflek patella dalam,
20
penurunan nadi,dan respirasi, nyeri epigastrium dan oliguria )
R/. Gejala tersebut merupakan manifestasi dari perubahan pada otak, ginjal, jantung dan paru
yang mendahului status kejang
d. Monitor adanya tanda-tanda dan gejala persalinan atau adanya kontraksi uterus
R/. Kejang akan meningkatkan kepekaan uterus yang akan memungkinkan
terjadinya persalinan
e. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian anti hipertensi dan SM
R/. Anti hipertensi untuk menurunkan tekanan darah dan SM untuk mencegah terjadinya
kejang
5. Resiko cedera ibu berhubungan dengan edema / hipoksia jaringan. Tujuan :
Ibu tidak mengalami risiko cedera karena mengalami edema Intervensi :
a. Kaji adanya masalah SSP ( mis; sakit kepala, peka rangsang ,gangguan penglihatan atau
perubahan pada pemeriksaan funduskopi )
R/: Edema serebral dan vasokontriksi dapat diev aluasi dari masa perubahan gejala, prilaku
atau retina.

b. Tekankan pentingnya klient melaporkan tanda tanda dan gejala yang berhubungan dengan
SSP.
R/: Keterlambatan tindakan atau awitan progresif gejala-gejala yang dapat menga kibatkan
kejang tonik-klonik atau eklamsia.
c. Perhatikan perubahan pada tingkat kesadaran.
R/: Pada kemajuan HKK vasokonstriksi dan vasospasme pembuluh darah serebral
menurunkan konsumsi ogsigen 20% dan mengakibatkan iskemia serebral
d. Kaji tanda tanda eklamsia yang akan datang; hiperaktivitas (3+sampai 4+) dari reflek
tendon dalam, klonus pergelangan kaki, penurunan nadi dan oernafasan , nyeri epegastrik,
dan oliguria (kurang dari 50ml/jam ) .
R/: Edema / vasokonstiksi umum, dimanifestasikan oleh masalah SSP berat dan masalah
ginjal hepar ,kardiovaskular dan pernapasan mendahului kejang .
e. Implementasi tindakan pencegahan kejang perprotokol. R/: Menurunkan resiko cidera bila
kejang terjadi.
f. Pada kejadian kejang , miringkan klient; pasng jalan nafas/blok gigitan bila mulut rileks;
berikan oksigen lepaskan pakaian yang ketat ; jangan membatasi gerakan ; dan
dokumentasikan masalah motorik , durasi kejang , dan perilaku pasca kejang.

21
R/: Mempertahankan jalan nafas menurunkan resiko aspirasi dan mencegah lidah menyumbat
jalan nafas . memaksimalkan oksigenasi .(catatan ; waspada dengan penggunaan jalan nafas /
blok gigitan ; jangan mencoba bila rahang keras karena dapat terjadi cidera).
6. Nyeri akut (epigastrium) berhubungan dengan peningkatan tekanan vaskuler cerebral
akibat hipertensi
Tujuan :
Nyeri mendekati normal
Nyeri terkontrol dan Pasien merasa nyaman

Intervensi :
a. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
b. Kaji penyebab nyeri, tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
c. Kurangi factor presipitasi nyeri
d. Pilih dan lakukan penanganan nyeri ( farmakologi , non farmakologi, dan
inter personal )
e. Ajarkan teknik relaksasi
f. Monitor penerimaan pasien tentang manajemen nyeri
g. Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri
h. Evaluasi keefektifan control nyeri
i. Tingkatkan istirahat
j. Kolaborasikan dengan dokter atau medis lain jika ada keluhan dan
tindakan nyeri tidak berhasil
7. Gangguan pemenuhan ADL berhubungan dengan immobilisasi; kelemahan Tujuan :
ADL dan kebutuhan beraktifitas pasien terpenuhi secara adekuat.
Mampu beraktivitas secara mandiri
Intervensi :
a. Kaji toleransi pasien terhadap aktifitas menggunakn termometer berikut :
nadi 20/m diatas frekuensi nadi istirahat, catat peningkatan tekanan darah, Dispenia, nyeri
dada, kelelahan berat, kelemahan, berkeringat, pusing atau pingsang.
b. Tingakat istirahat, batasi aktifitas pada dasar nyeri atau respon hemodinamik
c. berikan aktifitas senggang yang taidak berat.
d. Kaji kesiapan untuk meningkatkan aktifitas ; penurunan kelemahan dan
kelelahan, tekanan darah stabil, peningkatan perhatian pada aktifitas dan
perawatan diri.
22
e. Dorong memjukan aktifitas atau toleransi perawatan diri.

f. Anjurkan keluarga untuk membantu pemenuhan kebutuhan ADL pasien


g. Anjurakan pasiien menghindari peningkatan tekanan abdomen, mengejan
saat defekasi.
h. Jelaskan pola peningkatan bertahap dari aktifitas, contoh : posisi duduk
diatas tempat tidur bila tidak ada pusing dan nyeri, bangun dari tempat tidur, belajar berdiri
dst.
8. Kurang pengetahuan mengenai penatalaksanaan terapi dan perawatan berhubungan dengan
misinterpretasi informasi
Tujuan :
Kebutuhan pengetahuan terpenuhi secara adekuat.
Intervensi :
a. Identifikasi dan ketahui persepsi pasien terhadap ancaman atau situasi.
Dorong mengekspresikan dan jangan menolak perasaan marah, takut dll.
b. Mempertahankan kepercayaan pasien ( tanpa adanya keyakinan yang
salah )
c. Terima tapi jangan beri penguatan terhadap penolakan
d. Orientasikan klien atau keluarga terhadap prosedur rutin dan aktifitas,
tingkatkan partisipasi bila mungkin.
e. Jawab pertanyaan dengan nyata dan jujur, berikan informasi yang
konsisten, ulangi bila perlu.
f. Dorong kemandirian, perawatan diri, libatkan keluarga secara aktif dalam
perawatan.

23
A. Kesimpulan
BAB IV PENUTUP
Hellp Sindrom yaitu singkatan dari Hemolysis, Elevated Liver Enzyme, Low Platelets Count
merupakan suatu variasi dari Pre-eklampsi berat yang disertai trombositopenia, hemolisis dan
ganggua fungsi hepar. Faktor resiko Hellp Sindrom berbeda dengan pasien Pre-eklampsi,
pasien Hellp Sindrom secara bermakna lebih tua (rata-rata umur 25 tahun) dibandingkan
pasien Pre-eklampsi dan Eklampsi tanpa Hellp Sindrom. Gambaran klinis Hellp Sindrom
bervariasi. Oleh sebab itu diperlukan pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis Hellp
Sindrom. Diagnosis ini sangat penting mengingat banyak penyakit yang mirip dengan Hellp
Sindrom. Pengobatan Hellp Sindrom juga harus memperhatikan cara-cara perawatan dan
pengobatan pada Pre-eklampsi dan eklampsi.

24

Anda mungkin juga menyukai