KEJANG DEMAM
Disusun oleh :
Azis Prasetyo
P17420211009
III A
A. LATAR BELAKANG
Kejang demam pada anak merupakan suatu peristiwa menakutkan pada
kebanyakan orang tua. Kejang demam adalah kejang yang terjadi mendadak
disertai kenaikan suhu tubuh (suhu rektal > 38 oC) yang disebabkan oleh
proses ekstrakranium.
Berbagai penelitian yang dilakukan para ahli menunjukkan bahwa
kejadian kejang demam cukup besar yaitu sekitar 2 – 4 %. Artinya dari 100
anak dengan demam ada sekitar 2 - 4 % yang mengalami kejang. Kejang
demam terjadi pada usia 6 bulan – 5 tahun dan terbanyak terjadi pada usia 17
– 23 bulan.
Kejang demam merupakan kedaruratan medis yang memerlukan
pertolongan segera. Diagnosa secara dini serta pengelolaan yang tepat sangat
diperlukan untuk menghindari cacat yang lebih parah, yang diakibatkan
bangkitan kejang yang sering. Untuk itu tenaga perawat/paramedis dituntut
untuk berperan aktif dalam mengatasi keadaan tersebut serta mampu
memberikan asuhan keperawatan kepada keluarga dan penderita, yang
meliputi aspek promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif secara terpadu dan
berkesinambungan serta memandang klien sebagai satu kesatuan yang utuh
secara bio-psiko-sosial-spiritual. Prioritas asuhan keperawatan pada kejang
demam adalah: Mencegah/mengendalikan aktivitas kejang, melindungi pasien
dari trauma, mempertahankan jalan napas, meningkatkan harga diri yang
positif, memberikan informasi kepada keluarga tentang proses penyakit,
prognosis dan kebutuhan penanganannya.
B. PENGERTIAN
1. Kejang demam: bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu tubuh rectal di atas 38o C) yang disebabkan oleh suatu
proses ekstrakranium (Mansjoer, Suprohaita, Wardhani, dan
Setiowulan, 2000: 434)
2. Kejang demam: kejang yang terjadi pada suhu badan yang tinggi yang
disebabkan oleh kelainan ekstrakranium (Lumban tobing, 1995: 1)
3. Kejang demam adalah bangkitan kejang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal di atas 38° c) yang disebabkan oleh suatu proses
ekstrakranium. Kejang demam sering juga disebut kejang demam tonik-
klonik, sangat sering dijumpai pada anak-anak usia di bawah 5 tahun.
Kejang ini disebabkan oleh adanya suatu awitan hypertermia yang
timbul mendadak pada infeksi bakteri atau virus. (Price dan Wilson,
1995).
C. ETIOLOGI
Menurut Mansjoer, dkk (2000: 434) dan Tobing (1995: 18-19) etiologi
dari kejang demam antara lain:
1. Demam itu sendiri
2. Demam yang disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan atas, otitis
media, pneumonia, gastroenteritis, dan infeksi saluran kemih, kejang
tidak selalu timbul pada suhu yang tinggi.
3. Efek produk toksik daripada mikroorganisme
4. Respon alergik atau keadaan umum yang abnormal oleh infeksi.
5. Perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit.
6. Ensefalitis viral (radang otak akibat virus) yang ringan, yang tidak
diketahui atau enselofati toksik sepintas.
Menurut staf pengajar ilmu kesehatan anak FKUI (1985: 50), faktor
presipitasi kejang demam: cenderung timbul 24 jam pertama pada waktu sakit
demam atau dimana demam mendadak tinggi karena infeksi pernafasan
bagian atas. Demam lebih sering disebabkan oleh virus daripada bakterial.
D. MANIFESTASI KLINIS
Kebanyakan kejang demam berlangsung singkat, bilateral, serangan
berupa klonik atau tonik-klonik. Umumnya kejang berhenti sendiri. Begitu
kejang berhenti anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi
setelah beberapa detik atau menit anak terbangun dan sadar kembali tanpa
adanya kelainan saraf. Kejang demam dapat berlangsung lama dan atau
parsial. Pada kejang yang unilateral kadang-kadang diikuti oleh hemiplegi
sementara (Todd’s hemiplegia) yang berlangsung beberapa jam atau bebarapa
hari. Kejang unilateral yang lama dapat diikuti oleh hemiplegi yang menetap
(Tobing, 1989: 43).
Menurut Behman (2000: 843) kejang demam terkait dengan kenaikan suhu
yang tinggi dan biasanya berkembang bila suhu tubuh mencapai 39 o C atau
lebih ditandai dengan adanya kejang khas menyeluruh tonik klonik lama
beberapa detik sampai 10 menit. Kejang demam yang menetap > 15 menit
menunjukkan penyebab organik seperti proses infeksi atau toksik selain itu
juga dapat terjadi mata terbalik ke atas dengan disertai kekakuan dan
kelemahan serta gerakan sentakan terulang.
G. KLASIFIKASI
Menurut Ngastiyah ( 1997: 231), klasikfikasi kejang demam antara lain:
1. Kejang demam sederhana, yaitu kejang berlangsung kurang dari 15 menit
dan umum. Adapun pedoman untuk mendiagnosa kejang demam
sederhana dapat diketahui melalui Kriteria Livingstone, yaitu :
a. Umur anak ketika kejang antara 6 bulan sampai 4 tahun.
b. Kejang berlangsung hanya sebentar, tidak lebih dari 15 menit.
c. Kejang bersifat umum.
d. Kejang timbul dalam 16 jam pertama setelah timbul demam.
e. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal.
f. Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya 1 minggu sesudah suhu
normal tidak menunjukan kelainan.
g. Frekuensi kejang bangkitan dalam 1 tahun tidak melebihi 4 kali
2. Kejang kompleks
Kejang kompleks adalah tidak memenuhi salah satu lebih dari
ketujuh criteria Livingstone. Menurut Mansjoer, dkk (2000: 434) biasanya
dari kejang kompleks diandai dengan kejang yang berlangsung lebih dari
15 menit, fokal atau multiple (lebih dari 1 kali dalam 24jam). Di sini anak
sebelumnya dapat mempunyai kelainan neurology atau riwayat kejang
dalam atau tanpa kejang dalam riwayat keluarga.
E. PATOFISIOLOGI
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel/organ otak diperlukan
energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak
yaitu glukosa sifat proses ini adalah oksidasi dengan perantaraan fungsi paru-
paru dan diteruskan ke otak melalui sestem kardiovaskuler.
Dari uraian di atas, diketahui bahwa sumber energi otak adalah glukosa
yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air. Sel yang
dikelilingi oleh membran yang terdiri dari permukaan dalam yaitu lipoid dan
permukaan luar yaitu ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron
dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit oleh
natrium (Na+) dan elektrolit lainnya kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya
konentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan ion Na+ rendah, sedang di luar sel
neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena keadaan tersebut, maka terjadi
perbedaan potensial membran yang disebut potesial membran dari neuron.
Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan
bantuan enzim Na - K Atp – ase yang terdapat pada permukaan sel.
Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah oleh perubahan
konsentrasi ion di ruang ekstraseluler. Rangsangan yang datangnya mendadak
seperti mekanis, kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya dan perubahan
patofisiologi dan membran sendiri karena penyakit atau keturunan.
Pada demam, kenaikan suhu 1o C akan mengakibatkan metabolisme basal
10 - 15 % dan kebutuhan O2 meningkat 20 %.
Pada seorang anak berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari
seluruh tubuh dibandingkan dengan orang dewasa (hanya 15%) oleh karena
itu, kenaikan suhu tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel
neuron dan dalam waktu singkat terjadi difusi dari ion kalium dan natrium
melalui membran listrik. Ini demikian besarnya sehingga meluas dengan
seluruh sel dan membran sel sekitarnya dengan bantuan bahan yang tersebut
”neurotransmitter” dan terjadi kejang.
Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang dapat terjadi pada
suhu 38o C dan anak dengan ambang kejang tinggi, kejang baru terjadi pada
suhu 40o C atau lebih, kejang yang berlangsung lama (>15 menit) biasanya
disertai apnea. Meningkatnya kebutuhan O2 dan untuk kontraksi otot skelet
yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, denyut jantung yang tidak
teratur dan makin meningkatnya suhu tubuh karena tingginya aktifitas otot
dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otek meningkat. Faktor terpenting
adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga
meningkatkan permeabilitas kapiler dan timbul oedema otak yang
mengakibatkan kerusakan sel neuron otak (Ngastiyah, 1997: 229).
F. PATHWAY KEPERAWATAN
Infeksi bakteri rangsang mekanik dan biokimia.
Virus dan parasit gangguan keseimbangan
cairan&elektrolit
Hipertermi
a
Resiko kejang berulang Difusi natrium
dan kalium
Kurang pengetahuan
Lebih dari 15 menit
Kehilangan
koordinasi otot apneu
Kurang dari 15 menit
Perubahan suplai
Tidak menimbulkan Risiko cidera darah ke otak
gejala sisa
Resiko
kerusakan sel
neuron otak
Ketidakseimbangan Perfusi jaringan
nutrisi kurang dari serebral tidk efektif
kebutuhan tubuh
Kebutuhan
Hipoksia O2 dan
Mual, dan Natrium
energi
muntah asidosis meningkat
meningkat
Sumber : Behrman (2000: 2059-2066).
G. KOMPLIKASI
Menurut Tobing (1995: 31) Dan Staff Pengajar Ilmu Kesehatan Anak
FKUI (1985: 849-850) komplikasi kejang demam umumnya berlangsung
lebih dari 15 menit yaitu:
1. Kerusakan otak
Terjadi melalui mekanisme eksitotoksik neuron saraf yang aktif
sewaktu kejang melepaskan glutamat yang mengikat resptor MMDA
(M Metyl D Asparate) yang mengakibatkan ion kalsium dapat masuk ke
sel otak yang merusak sel neuoran secara irreversible.
2. Retardasi mental
Dapat terjadi karena deficit neurolgis pada demam neonatus.
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut Mansjoer, dkk (2000: 435) dan Tobing (1995) pemeriksaan
penunjang dapat dilakukan antara lain:
1. EEG
Pemeriksaan EEG dibuat 10-14 hari setelah bebas panas tidak
menunjukan kelainan likuor. Gelombang EEG lambat didaerah belakang
dan unilateral menunjukan kejang demam kompleks.
2. Lumbal Pungsi
Tes ini untuk memperoleh cairan cerebrospinalis dan untuk
mengetahui keadaan lintas likuor. Tes ini dapaat mendeteksi penyebab
kejang demam atau kejang karena infeksi pada otak.
- Pada kejang demam tidak terdapat gambaran patologhis dan
pemeriksaan lumbal pungsi
- Pada kejang oleh infeksi pada otak ditemukan :
1) Warna cairan cerebrospinal : berwarna kuning, menunjukan
pigmen kuning santokrom
2) Jumlah cairan dalam cerebrospinal menigkat lebih dari normal
(normal bayi 40-60ml, anak muda 60-100ml, anak lebih tua 80-
120ml dan dewasa 130-150ml)
3) Perubahan biokimia : kadar Kalium menigkat ( normal dewasa
3.5-5.0 mEq/L, bayi 3.6-5.8mEq/L)
H. PENATALAKSANAAN
Menurut Ngastiyah (1997: 232-235) dan Mansjoer, dkk (2000: 435-436)
ada 4 faktor yang perlu dikerjakan :
1. Segera diberikan diezepam intravena (dosis rata-rata 0,3 – 0,5
mg/kgBB/kali) kecepatan 1-2 mg/menit dengan dosis maksimal 20 mg
atau diazepam rektal ( dosis bila BB ≤ 10 kg = 5mg/kg atau ≥ 10 kg = 10
mg) dapat diulangi selang 5 menit kemudian bila kejang tidak berhenti.
Bila kejang tidak berhenti juga, berikan fenitoin dengan dosis awal 10-20
mg/kgBB secara intravena perlahan-lahan 1mg/kgBB/menit. setelah
pemberian fenitoin, harus dilakukan pembilasan dengan NaCl karena
fenitoin bersifat basa dan menyebabkan iritasi vena. Kemudian setelah
kejang berhenti:
a) Bila kejang berhenti dengan diazepam, lanjutkan dengan fenobarbitol
diberikan langsung setelah kejang berhenti. Dosis awal untuk bayi 1
bulan - 1 tahun 50 mg dan umur 1 tahun ke atas 75 mg secara IM.
Empat jam kemudian berikan fenobarbitol dosis rumat. Untuk 2 hari
pertama dengan dosis 8 – 10 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis,
untuk hari berikutnya dengan dosis 4-5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis.
Dosis total pemberian tidak boleh melebihi 200 mg/hari.
b) Bila kejang berhenti dengan fenitoin, lanjutkan fenitoin dengan dosis
4 – 8 mg/kgBB/hari, 12 – 24 jam setelah dosis awal.
2. Membebaskan jalan nafas, oksigenasi secukupnya
3. Menurunkan panas bila demam atau hipereaksi, dengan kompres seluruh
tubuh dan bila telah memungkinkan dapat diberikan parasetamol 10
mg/kgBB/kali kombinasi diazepam oral 0,3 mg/kgBB
4. memberikan cairan yang cukup bila kejang berlangsung cukup lama (> 10
menit) dengan IV : D5 1/4, D5 1/5, RL.
Ada juga penatalaksanaan yang lain yaitu:
a. Bila etiologi telah diketahui pengobatan terhadap penyakit primer
segera dilakukan. Bila terdapat hipogikemia, beri larutan glukosa 20 %
dengan dosis 2 - 4 ml/kg BB secara intravena dan perlahan kemudian
dilanjutkan dengan larutan glukosa 10 % sebanyak 60 - 80 ml/kg
secara intravena. Pemberian Ca - glukosa hendaknya disertai dengan
monitoring jantung karena dapat menyebabkan bradikardi. Kemudian
dilanjutkan dengan peroral sesuai kebutuhan. Bila secara intravena
tidak mungkin, berikan larutan Ca glukosa 10 % sebanyak 10 ml per
oral setiap sebelum minum susu.
A. PENGKAJIAN
Pengkajian Primer
1. Airways
- Sumbatan / penumpukan sekret
- Wheezing atau krekles
2. Breathing
- Sesak dengan aktifitas ringan atau istirahat
- RR lebih dari 24 kali/menit, irama ireguler, dangkal
- Ronchi, krekles
- Ekspansi dada tidak penuh
- Penggunaan otot bantu nafas
3. Circulation
- Nadi lemah , tidak teratur
- Takikardi
- TD meningkat / menurun
- Edema
- Gelisah
- Akral dingin
- Kulit pucat, sianosis
- Output urine menurun
Triase: Merah
Pengkajian Sekunder
1. Riwayat Keperawatan
a. Adanya riwayat kejang demam pada pasien dan keluarga
b. Adanya riwayat infeksi seperti saluran pernafasan atas, OMA,
pneumonia, gastroenteritis, Faringitis, bronkhopeumonia, morbili
varisela dan campak.
c. Adanya riwayat peningkatan suhu tubuh
d. Adanya riwayat trauma kepala
2. Pengkajian fisik
a. Adanya peningkatan : suhu tubuh, nadi, dan pernafasan, kulit teraba
hangat
b. Ditemukan adanya anoreksia, mual, muntah dan penurunan berat
badan
c. Adanya kelemahan dan keletihan
d. Adanya kejang
e. Pada pemeriksaan laboratorium darah ditemukan adanya peningkatan
kalium, jumlah cairan cerebrospiral meningkat dan berwarna kuning
3. Riwayat Psikososial atau Perkembangan
a. Tingkat perkembangan anak terganggu
b. Adanya kekerasan penggunaan obat – obatan seperti obat penurun
panas
c. Pengalaman tantang perawatan sesudah/ sebelum mengenai anaknya
pada waktu sakit.
4. Pengetahuan keluarga
a. Tingkatkan pengetahuan keluarga yang kurang
b. Keluarga kurang mengetahui tanda dan gejala kejang demam
c. Ketidakmampuan keluarga dalam mengontrol suhu tubuh
d. Keterbatasan menerima keadaan penyakitnya
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Menurut Doengoes, dkk (1999: 876) dan Carpenito (2000: 132) diagnosa yang
mungkin muncul pada pasien dengan kejang demam
1. Risiko tinggi terhadap cidera berhubungan dengan aktivitas kejang
2. Hipertermi berhubungan dengan efek langsung dari sirkulasi
endotoksin pada hipotalamus
3. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan reduksi
aliran darah ke otak
4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan kebutuhan metabolik tinggi.
5. Kurang pengetahuan orang tua tentang kondisi, prognosis,
penatalaksanaan dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan
kurangnya informasi
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
DX 1: Risiko tinggi terhadap cidera berhubungan dengan aktivitas kejang
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam
diharapkan risiko cidera dapat di hindari, dengan kriteria hasil
NOC: Pengendalian Risiko
a. Pengetahuan tentang risiko (skala 5)
b. Monitor lingkungan yang dapat menjadi risiko (skala 5)
c. Monitor kecemasan personal (skala 5)
d. Kembangkan strategi efektif pengendalian risiko (skala 5)
e. Penggunaan sumber daya masyarakat untuk pengendalian risiko (skala
5)
Indikator skala :
1 = tidak adekuat
2 = sedikit adekuat
3 = kadang-kadan adekuat
4 = adekuat
5 = sangat adekuat
NIC : Manajemen lingkungan
a. Sediakan lingkungan yang aman untuk pasien.
b. Identifikasi kebutuhan keamanan pasien sesuai dengan kondisi fisik dan
fungsi kognitif pasien dan riwayat penyakit terdahulu pasien.
c. Hindari lingkungan yang berbahaya.
d. Pindahkan barang-barang yang dapat membahayakan pasien.
e. Pasang side rail tempat tidur.
f. Sediakan tempat tidur yang nyaman dan bersih.
g. Anjurkan keluarga untuk selalu menemani pasien.
h. Berikan penjelasan pada pasien dan keluarga atau pengunjung adanya
perubahan status kesehatan dan penyebab penyakit.
1. : ekstrem
2 : berat
3 : sedang
4 : ringan
D. EVALUASI
Dx Kriteria hasil Keterangan skala
1 a. Pengetahuan tentang resiko 5
b. Monitor lingkungan yang dapat menjadi 5
resiko
c. Monitor kemasan personal 5
d. Kembangkan strategi efektif 5
pengendalian resiko
e. Penggunaan sumber daya masyarakat 5
untuk pengendalian resiko
2 a. Suhu tubuh dalam rentang normal 5
b. Nadi dan RR dalam rentang normal
5
c. Tidak ada perubahan warna kulit dan
tidak warna kulit dan tidak pusing 5
3 a. TD sistolik dbn 5
b. TD diastole dbn 5
c. Kekuatan nadi dbn 5
d. Tekanan vena sentral dbn 5
e. Rata- rata TD dbn 5
4 a. Keluarga menyatakan pemahaman 5
tentang penyakit kondisi prognosis dan
program pengobatan
b. Keluarga mampu melaksanakan 5
prosedur yang dijelaskan secara benar
c. Keluarga mampu menjelaskan kembali 5
apa yang dijelaskan perawat/ tim
kesehatan lainya
DAFTAR PUSTAKA
Behrman, R. E., Kliegman, R. M., & Arvin, A. M. (1999). Ilmu kesehatan anak.
Jakarta: EGC.
Carpenito, L. J. (2002). Rencana asuhan keperawatan dan dokumentasi
keperawatan. Jakarta: EGC.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1989). Perawatan bayi dan anak,
Ed. 1. Jakarta: Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan.
Doenges, M. E. (1999). Rencana asuhan keperawatan. Terjemahan oleh Kariasa I
Made. 2002. Jakarta: EGC.
Tobing, N. L. (1989). Penatalaksanaan muthakhir kejang pada anak. Jakarta:
FKUI.
Mansjoer, A., Suprohaita, Wardhani, W.I., & Setiowulan, W. (2000). Kapita
selekta kedokteran, Ed. 3 Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius.
Ngastiyah. (1997). Perawatan anak sakit. Jakarta: EGC.
Price, A.S., & Wilson, L. M. (1995). Patofisiologi: konsep klinis proses-proses
penyakit, Ed. 4. Terjemahan oleh Peter Anugerah. 2006. Jakarta: EGC.
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. (2000). Buku kuliah dua ilmu
kesehatan anak. Jakarta: Percetakan Info Medika.
Wilkinson, J. M., & Ahern, N. R. (2009). Buku saku diagnosis keperawatan: