Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN

KEJANG DEMAM

Disusun oleh :
Azis Prasetyo
P17420211009
III A

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN SEMARANG
PRODI KEPERAWATAN
PURWOKERTO
2014
LAPORAN PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Kejang demam pada anak merupakan suatu peristiwa menakutkan pada
kebanyakan orang tua. Kejang demam adalah kejang yang terjadi mendadak
disertai kenaikan suhu tubuh (suhu rektal > 38 oC) yang disebabkan oleh
proses ekstrakranium.
Berbagai penelitian yang dilakukan para ahli menunjukkan bahwa
kejadian kejang demam cukup besar yaitu sekitar 2 – 4 %. Artinya dari 100
anak dengan demam ada sekitar 2 - 4 % yang mengalami kejang. Kejang
demam terjadi pada usia 6 bulan – 5 tahun dan terbanyak terjadi pada usia 17
– 23 bulan.
Kejang demam merupakan kedaruratan medis yang memerlukan
pertolongan segera. Diagnosa secara dini serta pengelolaan yang tepat sangat
diperlukan untuk menghindari cacat yang lebih parah, yang diakibatkan
bangkitan kejang yang sering. Untuk itu tenaga perawat/paramedis dituntut
untuk berperan aktif dalam mengatasi keadaan tersebut serta mampu
memberikan asuhan keperawatan kepada keluarga dan penderita, yang
meliputi aspek promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif secara terpadu dan
berkesinambungan serta memandang klien sebagai satu kesatuan yang utuh
secara bio-psiko-sosial-spiritual. Prioritas asuhan keperawatan pada kejang
demam adalah: Mencegah/mengendalikan aktivitas kejang, melindungi pasien
dari trauma, mempertahankan jalan napas, meningkatkan harga diri yang
positif, memberikan informasi kepada keluarga tentang proses penyakit,
prognosis dan kebutuhan penanganannya.

B. PENGERTIAN
1. Kejang demam: bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu tubuh rectal di atas 38o C) yang disebabkan oleh suatu
proses ekstrakranium (Mansjoer, Suprohaita, Wardhani, dan
Setiowulan, 2000: 434)
2. Kejang demam: kejang yang terjadi pada suhu badan yang tinggi yang
disebabkan oleh kelainan ekstrakranium (Lumban tobing, 1995: 1)
3. Kejang demam adalah bangkitan kejang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal di atas 38° c) yang disebabkan oleh suatu proses
ekstrakranium. Kejang demam sering juga disebut kejang demam tonik-
klonik, sangat sering dijumpai pada anak-anak usia di bawah 5 tahun.
Kejang ini disebabkan oleh adanya suatu awitan hypertermia yang
timbul mendadak pada infeksi bakteri atau virus. (Price dan Wilson,
1995).

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan kejang demam adalah bangkitan


kejang yang terjadi karena peningkatan suhu tubuh yaitu 38o C yang sering di
jumpai pada usia anak dibawah lima tahun.

C. ETIOLOGI
Menurut Mansjoer, dkk (2000: 434) dan Tobing (1995: 18-19) etiologi
dari kejang demam antara lain:
1. Demam itu sendiri
2. Demam yang disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan atas, otitis
media, pneumonia, gastroenteritis, dan infeksi saluran kemih, kejang
tidak selalu timbul pada suhu yang tinggi.
3. Efek produk toksik daripada mikroorganisme
4. Respon alergik atau keadaan umum yang abnormal oleh infeksi.
5. Perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit.
6. Ensefalitis viral (radang otak akibat virus) yang ringan, yang tidak
diketahui atau enselofati toksik sepintas.

Menurut staf pengajar ilmu kesehatan anak FKUI (1985: 50), faktor
presipitasi kejang demam: cenderung timbul 24 jam pertama pada waktu sakit
demam atau dimana demam mendadak tinggi karena infeksi pernafasan
bagian atas. Demam lebih sering disebabkan oleh virus daripada bakterial.

D. MANIFESTASI KLINIS
Kebanyakan kejang demam berlangsung singkat, bilateral, serangan
berupa klonik atau tonik-klonik. Umumnya kejang berhenti sendiri. Begitu
kejang berhenti anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi
setelah beberapa detik atau menit anak terbangun dan sadar kembali tanpa
adanya kelainan saraf. Kejang demam dapat berlangsung lama dan atau
parsial. Pada kejang yang unilateral kadang-kadang diikuti oleh hemiplegi
sementara (Todd’s hemiplegia) yang berlangsung beberapa jam atau bebarapa
hari. Kejang unilateral yang lama dapat diikuti oleh hemiplegi yang menetap
(Tobing, 1989: 43).
Menurut Behman (2000: 843) kejang demam terkait dengan kenaikan suhu
yang tinggi dan biasanya berkembang bila suhu tubuh mencapai 39 o C atau
lebih ditandai dengan adanya kejang khas menyeluruh tonik klonik lama
beberapa detik sampai 10 menit. Kejang demam yang menetap > 15 menit
menunjukkan penyebab organik seperti proses infeksi atau toksik selain itu
juga dapat terjadi mata terbalik ke atas dengan disertai kekakuan dan
kelemahan serta gerakan sentakan terulang.

G. KLASIFIKASI
Menurut Ngastiyah ( 1997: 231), klasikfikasi kejang demam antara lain:
1. Kejang demam sederhana, yaitu kejang berlangsung kurang dari 15 menit
dan umum. Adapun pedoman untuk mendiagnosa kejang demam
sederhana dapat diketahui melalui Kriteria Livingstone, yaitu :
a. Umur anak ketika kejang antara 6 bulan sampai 4 tahun.
b. Kejang berlangsung hanya sebentar, tidak lebih dari 15 menit.
c. Kejang bersifat umum.
d. Kejang timbul dalam 16 jam pertama setelah timbul demam.
e. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal.
f. Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya 1 minggu sesudah suhu
normal tidak menunjukan kelainan.
g. Frekuensi kejang bangkitan dalam 1 tahun tidak melebihi 4 kali
2. Kejang kompleks
Kejang kompleks adalah tidak memenuhi salah satu lebih dari
ketujuh criteria Livingstone. Menurut Mansjoer, dkk (2000: 434) biasanya
dari kejang kompleks diandai dengan kejang yang berlangsung lebih dari
15 menit, fokal atau multiple (lebih dari 1 kali dalam 24jam). Di sini anak
sebelumnya dapat mempunyai kelainan neurology atau riwayat kejang
dalam atau tanpa kejang dalam riwayat keluarga.

E. PATOFISIOLOGI
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel/organ otak diperlukan
energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak
yaitu glukosa sifat proses ini adalah oksidasi dengan perantaraan fungsi paru-
paru dan diteruskan ke otak melalui sestem kardiovaskuler.
Dari uraian di atas, diketahui bahwa sumber energi otak adalah glukosa
yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air. Sel yang
dikelilingi oleh membran yang terdiri dari permukaan dalam yaitu lipoid dan
permukaan luar yaitu ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron
dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit oleh
natrium (Na+) dan elektrolit lainnya kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya
konentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan ion Na+ rendah, sedang di luar sel
neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena keadaan tersebut, maka terjadi
perbedaan potensial membran yang disebut potesial membran dari neuron.
Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan
bantuan enzim Na - K Atp – ase yang terdapat pada permukaan sel.
Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah oleh perubahan
konsentrasi ion di ruang ekstraseluler. Rangsangan yang datangnya mendadak
seperti mekanis, kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya dan perubahan
patofisiologi dan membran sendiri karena penyakit atau keturunan.
Pada demam, kenaikan suhu 1o C akan mengakibatkan metabolisme basal
10 - 15 % dan kebutuhan O2 meningkat 20 %.
Pada seorang anak berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari
seluruh tubuh dibandingkan dengan orang dewasa (hanya 15%) oleh karena
itu, kenaikan suhu tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel
neuron dan dalam waktu singkat terjadi difusi dari ion kalium dan natrium
melalui membran listrik. Ini demikian besarnya sehingga meluas dengan
seluruh sel dan membran sel sekitarnya dengan bantuan bahan yang tersebut
”neurotransmitter” dan terjadi kejang.
Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang dapat terjadi pada
suhu 38o C dan anak dengan ambang kejang tinggi, kejang baru terjadi pada
suhu 40o C atau lebih, kejang yang berlangsung lama (>15 menit) biasanya
disertai apnea. Meningkatnya kebutuhan O2 dan untuk kontraksi otot skelet
yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, denyut jantung yang tidak
teratur dan makin meningkatnya suhu tubuh karena tingginya aktifitas otot
dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otek meningkat. Faktor terpenting
adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga
meningkatkan permeabilitas kapiler dan timbul oedema otak yang
mengakibatkan kerusakan sel neuron otak (Ngastiyah, 1997: 229).
F. PATHWAY KEPERAWATAN
Infeksi bakteri rangsang mekanik dan biokimia.
Virus dan parasit gangguan keseimbangan
cairan&elektrolit

Reaksi inflamasi Perubahan konsentrasi ion

Proses demam Ketidakseimbangan potensial


membran pada sel saraf otak

Hipertermi
a
Resiko kejang berulang Difusi natrium
dan kalium

Pengobatan, perawatan, kondisi,


prognosis dan diit
Lepasnya muatan listrik
dan neurotrans miter
Kurang terpaparnya
informasi Cemas
Kejang

Kurang pengetahuan
Lebih dari 15 menit

Kehilangan
koordinasi otot apneu
Kurang dari 15 menit
Perubahan suplai
Tidak menimbulkan Risiko cidera darah ke otak
gejala sisa
Resiko
kerusakan sel
neuron otak
Ketidakseimbangan Perfusi jaringan
nutrisi kurang dari serebral tidk efektif
kebutuhan tubuh
Kebutuhan
Hipoksia O2 dan
Mual, dan Natrium
energi
muntah asidosis meningkat
meningkat
Sumber : Behrman (2000: 2059-2066).
G. KOMPLIKASI
Menurut Tobing (1995: 31) Dan Staff Pengajar Ilmu Kesehatan Anak
FKUI (1985: 849-850) komplikasi kejang demam umumnya berlangsung
lebih dari 15 menit yaitu:
1. Kerusakan otak
Terjadi melalui mekanisme eksitotoksik neuron saraf yang aktif
sewaktu kejang melepaskan glutamat yang mengikat resptor MMDA
(M Metyl D Asparate) yang mengakibatkan ion kalsium dapat masuk ke
sel otak yang merusak sel neuoran secara irreversible.
2. Retardasi mental
Dapat terjadi karena deficit neurolgis pada demam neonatus.

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut Mansjoer, dkk (2000: 435) dan Tobing (1995) pemeriksaan
penunjang dapat dilakukan antara lain:
1. EEG
Pemeriksaan EEG dibuat 10-14 hari setelah bebas panas tidak
menunjukan kelainan likuor. Gelombang EEG lambat didaerah belakang
dan unilateral menunjukan kejang demam kompleks.
2. Lumbal Pungsi
Tes ini untuk memperoleh cairan cerebrospinalis dan untuk
mengetahui keadaan lintas likuor. Tes ini dapaat mendeteksi penyebab
kejang demam atau kejang karena infeksi pada otak.
- Pada kejang demam tidak terdapat gambaran patologhis dan
pemeriksaan lumbal pungsi
- Pada kejang oleh infeksi pada otak ditemukan :
1) Warna cairan cerebrospinal : berwarna kuning, menunjukan
pigmen kuning santokrom
2) Jumlah cairan dalam cerebrospinal menigkat lebih dari normal
(normal bayi 40-60ml, anak muda 60-100ml, anak lebih tua 80-
120ml dan dewasa 130-150ml)
3) Perubahan biokimia : kadar Kalium menigkat ( normal dewasa
3.5-5.0 mEq/L, bayi 3.6-5.8mEq/L)

H. PENATALAKSANAAN
Menurut Ngastiyah (1997: 232-235) dan Mansjoer, dkk (2000: 435-436)
ada 4 faktor yang perlu dikerjakan :
1. Segera diberikan diezepam intravena (dosis rata-rata 0,3 – 0,5
mg/kgBB/kali) kecepatan 1-2 mg/menit dengan dosis maksimal 20 mg
atau diazepam rektal ( dosis bila BB ≤ 10 kg = 5mg/kg atau ≥ 10 kg = 10
mg) dapat diulangi selang 5 menit kemudian bila kejang tidak berhenti.
Bila kejang tidak berhenti juga, berikan fenitoin dengan dosis awal 10-20
mg/kgBB secara intravena perlahan-lahan 1mg/kgBB/menit. setelah
pemberian fenitoin, harus dilakukan pembilasan dengan NaCl karena
fenitoin bersifat basa dan menyebabkan iritasi vena. Kemudian setelah
kejang berhenti:
a) Bila kejang berhenti dengan diazepam, lanjutkan dengan fenobarbitol
diberikan langsung setelah kejang berhenti. Dosis awal untuk bayi 1
bulan - 1 tahun 50 mg dan umur 1 tahun ke atas 75 mg secara IM.
Empat jam kemudian berikan fenobarbitol dosis rumat. Untuk 2 hari
pertama dengan dosis 8 – 10 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis,
untuk hari berikutnya dengan dosis 4-5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis.
Dosis total pemberian tidak boleh melebihi 200 mg/hari.
b) Bila kejang berhenti dengan fenitoin, lanjutkan fenitoin dengan dosis
4 – 8 mg/kgBB/hari, 12 – 24 jam setelah dosis awal.
2. Membebaskan jalan nafas, oksigenasi secukupnya
3. Menurunkan panas bila demam atau hipereaksi, dengan kompres seluruh
tubuh dan bila telah memungkinkan dapat diberikan parasetamol 10
mg/kgBB/kali kombinasi diazepam oral 0,3 mg/kgBB
4. memberikan cairan yang cukup bila kejang berlangsung cukup lama (> 10
menit) dengan IV : D5 1/4, D5 1/5, RL.
Ada juga penatalaksanaan yang lain yaitu:
a. Bila etiologi telah diketahui pengobatan terhadap penyakit primer
segera dilakukan. Bila terdapat hipogikemia, beri larutan glukosa 20 %
dengan dosis 2 - 4 ml/kg BB secara intravena dan perlahan kemudian
dilanjutkan dengan larutan glukosa 10 % sebanyak 60 - 80 ml/kg
secara intravena. Pemberian Ca - glukosa hendaknya disertai dengan
monitoring jantung karena dapat menyebabkan bradikardi. Kemudian
dilanjutkan dengan peroral sesuai kebutuhan. Bila secara intravena
tidak mungkin, berikan larutan Ca glukosa 10 % sebanyak 10 ml per
oral setiap sebelum minum susu.

b. Bila kejang tidak hilang, harus pikirkan pemberian magnesium dalam


bentuk larutan 50% Mg SO4 dengan dosis 0,2 ml/kg BB (IM) atau
larutan 2-3 % mg SO4 (IV) sebanyak 2 – 6 ml. Hati-hati terjadi
hipermagnesemia sebab gejala hipotonia umum menyerupai floppy
infant dapat muncul.

c. Pengobatan dengan antikonvulsan dapat dimulai bila gangguan


metabolik seperti hipoglikemia atau hipokalsemia tidak dijumpai. Obat
konvulsan pilihan utama untuk bayi baru lahir adalah Fenobarbital
(Efek mengatasi kejang, mengurangi metabolisme sel yang rusak dan
memperbaiki sirkulasi otak sehingga melindungi sel yang rusak karena
asfiksia dan anoxia). Fenobarbital dengan dosis awal 20 mg . kg BB IV
berikan dalam 2 dosis selama 20 menit.

d. Banyak penulis tidak atau jarang menggunakan diazepam untuk


memberantas kejang pada BBL dengan alasan efek diazepam hanya
sebentar dan tidak dapat mencegah kejang berikutnya. Disamping itu
pemberian bersama-sama dengan fenobarbital akan mempengaruhi
pusat pernafasan karena zat pelarut diazepam mengandung natrium
benzoat yang dapat menghalangi peningkatan bilirubin dalam darah.
I. PENCEGAHAN
Menurut Ngastiyah (1997: 236-239) pencegahan difokuskan pada
pencegahan kekambuhan berulang dan penegahan segera saat kejang
berlangsung.
1. Pencegahan berulang
a. Mengobati infeksi yang mendasari kejang
b. Penkes tentang
1) Tersedianya obat penurun panas yang didapat atas resep dokter
2) Tersedianya obat pengukur suhu dan catatan penggunaan
termometer, cara pengukuran suhu tubuh anak, serta keterangan
batas-batas suhu normal pada anak ( 36-37ºC)
3) Anak diberi obat anti piretik bila orang tua mengetahuinya pada
saat mulai demam dan jangan menunggu sampai meningkat
4) Memberitahukan pada petugas imunisasi bahwa anaknya pernah
mengalami kejang demam bila anak akan diimunisasi.
2. Mencegah cedera saat kejang berlangsung kegiatan ini meliputi :
a. Baringkan pasien pada tempat yang rata
b. Kepala dimiringkan untuk menghindari aspirasi cairan tubuh
c. Pertahankan lidah untuk tidak menutupi jalan napas
d. Lepaskan pakaian yang ketat
e. Jangan melawan gerakan pasien guna menghindari cedera
KONSEP DASAR KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
Pengkajian Primer
1. Airways
- Sumbatan / penumpukan sekret
- Wheezing atau krekles
2. Breathing
- Sesak dengan aktifitas ringan atau istirahat
- RR lebih dari 24 kali/menit, irama ireguler, dangkal
- Ronchi, krekles
- Ekspansi dada tidak penuh
- Penggunaan otot bantu nafas
3. Circulation
- Nadi lemah , tidak teratur
- Takikardi
- TD meningkat / menurun
- Edema
- Gelisah
- Akral dingin
- Kulit pucat, sianosis
- Output urine menurun

Triase: Merah

Pengkajian Sekunder
1. Riwayat Keperawatan
a. Adanya riwayat kejang demam pada pasien dan keluarga
b. Adanya riwayat infeksi seperti saluran pernafasan atas, OMA,
pneumonia, gastroenteritis, Faringitis, bronkhopeumonia, morbili
varisela dan campak.
c. Adanya riwayat peningkatan suhu tubuh
d. Adanya riwayat trauma kepala
2. Pengkajian fisik
a. Adanya peningkatan : suhu tubuh, nadi, dan pernafasan, kulit teraba
hangat
b. Ditemukan adanya anoreksia, mual, muntah dan penurunan berat
badan
c. Adanya kelemahan dan keletihan
d. Adanya kejang
e. Pada pemeriksaan laboratorium darah ditemukan adanya peningkatan
kalium, jumlah cairan cerebrospiral meningkat dan berwarna kuning
3. Riwayat Psikososial atau Perkembangan
a. Tingkat perkembangan anak terganggu
b. Adanya kekerasan penggunaan obat – obatan seperti obat penurun
panas
c. Pengalaman tantang perawatan sesudah/ sebelum mengenai anaknya
pada waktu sakit.
4. Pengetahuan keluarga
a. Tingkatkan pengetahuan keluarga yang kurang
b. Keluarga kurang mengetahui tanda dan gejala kejang demam
c. Ketidakmampuan keluarga dalam mengontrol suhu tubuh
d. Keterbatasan menerima keadaan penyakitnya

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Menurut Doengoes, dkk (1999: 876) dan Carpenito (2000: 132) diagnosa yang
mungkin muncul pada pasien dengan kejang demam
1. Risiko tinggi terhadap cidera berhubungan dengan aktivitas kejang
2. Hipertermi berhubungan dengan efek langsung dari sirkulasi
endotoksin pada hipotalamus
3. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan reduksi
aliran darah ke otak
4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan kebutuhan metabolik tinggi.
5. Kurang pengetahuan orang tua tentang kondisi, prognosis,
penatalaksanaan dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan
kurangnya informasi

C. INTERVENSI KEPERAWATAN
DX 1: Risiko tinggi terhadap cidera berhubungan dengan aktivitas kejang
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam
diharapkan risiko cidera dapat di hindari, dengan kriteria hasil
NOC: Pengendalian Risiko
a. Pengetahuan tentang risiko (skala 5)
b. Monitor lingkungan yang dapat menjadi risiko (skala 5)
c. Monitor kecemasan personal (skala 5)
d. Kembangkan strategi efektif pengendalian risiko (skala 5)
e. Penggunaan sumber daya masyarakat untuk pengendalian risiko (skala
5)
Indikator skala :
1 = tidak adekuat
2 = sedikit adekuat
3 = kadang-kadan adekuat
4 = adekuat
5 = sangat adekuat
NIC : Manajemen lingkungan
a. Sediakan lingkungan yang aman untuk pasien.
b. Identifikasi kebutuhan keamanan pasien sesuai dengan kondisi fisik dan
fungsi kognitif pasien dan riwayat penyakit terdahulu pasien.
c. Hindari lingkungan yang berbahaya.
d. Pindahkan barang-barang yang dapat membahayakan pasien.
e. Pasang side rail tempat tidur.
f. Sediakan tempat tidur yang nyaman dan bersih.
g. Anjurkan keluarga untuk selalu menemani pasien.
h. Berikan penjelasan pada pasien dan keluarga atau pengunjung adanya
perubahan status kesehatan dan penyebab penyakit.

DX 2: Hipertermi berhubungan dengan efek langsung dari sirkulasi


endotoksin pada hipotalamus
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam
diharapkan suhu tubuh dalam rentang normal.
NOC: Themoregulation
a. Suhu tubuh dalam rentang normal (skala 5)
b. Nadi dan RR dalam rentang normal (skala 5)
c. Tidak ada perubahan warna kulit dan tidak warna kulit dan tidak pusing
(skala 5)
Indikator skala

1. : ekstrem

2 : berat

3 : sedang

4 : ringan

5 : tidak ada gangguan

NIC: Temperatur regulation


a. Monitor suhu minimal tiap 2 jam
b. Rencanakan monitor suhu secara kontinyu
c. Monitor nadi dan RR
d. Kolaborasi dalam pemberian obat antipiretik dan antibiotik jika perlu
e. Berikan cairan intravena
f. Berikan kompres dingin (air keran) pada lipat paha dan axila pasien
g. Tingkatkan intake cairan dan nutrisi
DX 3: Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan reduksi
aliran darah ke otak
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam
diharapkan suplai darah ke otak dapat kembali normal , dengan kriteria hasil :
NOC: Status sirkulasi
a. TD sistolik dalam batas normal (skala 5)
b. TD diastole dalam batas normal (skala 5)
c. Kekuatan nadi dalam batas normal (skala 5)
d. Tekanan vena sentral dalam batas normal (skala 5)
e. Rata- rata TD dalam batas normal (skala 5)
Indikator skala
1 = Ekstrem
2 = Berat
3 = Sedang
4 = Ringan
5 = tidak terganggu
NIC: Monitor TTV
a. Monitor TD, nadi, suhu, respirasi rate
b. Catat adanya fluktuasi TD
c. Monitor jumlah dan irama jantung
d. Monitor bunyi jantung
e. Monitor TD pada saat klien berbaring, duduk, berdiri
NIC II : Status neurologia
a. Monitor tingkat kesadran
b. Monitor tingkat orientasi
c. Monitor status TTV
d. Monitor kesadaran
DX 4: Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan kebutuhan metabolic tinggi
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam
diharapkan Status nutrisi terpenuhi.
NOC: Status nutrisi
a. Mempertahankan pemasukan nutrisi (skala 5)
b. Mempertahankan berat badan (skala 5)
c. Melaporkan keadekuatan tingkat energy (skala 5)
Indikator skala :
1 = tidak adekuat
2 = sedikit adekuat
3 = kadang-kadang adekuat
4 = adekuat
5 = sangat adekuat

NIC: Manajemen nutrisi


a. Kaji status nutrisi pasien
b. Ketahui makanan kesukaan pasien
c. Anjurkan pasien makan sedikit demi sedikit tapi sering
d. Sajikan makanan selagi hangat
e. Timbang BB pada interval yang tepat
f. Pertahankan terapi IV line (misalnya: cairan infus)
g. Kolaborasi dengan tim gizi dalam pemberian diet yang sesuai

DX 5: Kurang pengetahuan orang tua tentang kondisi, prognosis,


penatalaksanaan dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang
informasi
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam
diharapkan keluarga mengerti tentang kondisi pasien.
NOC : Knowledge ; diease proses
a. Keluarga menyatakan pemahaman tentang penyakit kondisi prognosis
dan program pengobatan (skala 5)
b. Keluarga mampu melaksanakan prosedur yang dijelaskan secara benar
(skala 5)
c. Keluarga mampu menjelaskan kembali apa yang dijelaskan perawat/
tim kesehatan lainya (skala 5)
Indikator skala :
1. Tidak pernah dilakukan
2. Jarang dilakukan
3. Kadang dilakukan
4. Sering dilakukan
5. Selalu dilakukan

NIC : Teaching: diease process


a. Berikan penilaian tentang penyakit pengetahuan pasien tentang proses
penyakit yang spesifik
b. Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan bagaimana hal ini berhubungan
dengan anatomi fisiologi dengan cara yang tepat
c. Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyakit, dengan
cara yang tepat
d. Identifikasikan kemungkinan dengan cara yang tepat

D. EVALUASI
Dx Kriteria hasil Keterangan skala
1 a. Pengetahuan tentang resiko 5
b. Monitor lingkungan yang dapat menjadi 5
resiko
c. Monitor kemasan personal 5
d. Kembangkan strategi efektif 5
pengendalian resiko
e. Penggunaan sumber daya masyarakat 5
untuk pengendalian resiko
2 a. Suhu tubuh dalam rentang normal 5
b. Nadi dan RR dalam rentang normal
5
c. Tidak ada perubahan warna kulit dan
tidak warna kulit dan tidak pusing 5

3 a. TD sistolik dbn 5
b. TD diastole dbn 5
c. Kekuatan nadi dbn 5
d. Tekanan vena sentral dbn 5
e. Rata- rata TD dbn 5
4 a. Keluarga menyatakan pemahaman 5
tentang penyakit kondisi prognosis dan
program pengobatan
b. Keluarga mampu melaksanakan 5
prosedur yang dijelaskan secara benar
c. Keluarga mampu menjelaskan kembali 5
apa yang dijelaskan perawat/ tim
kesehatan lainya
DAFTAR PUSTAKA

Behrman, R. E., Kliegman, R. M., & Arvin, A. M. (1999). Ilmu kesehatan anak.
Jakarta: EGC.
Carpenito, L. J. (2002). Rencana asuhan keperawatan dan dokumentasi
keperawatan. Jakarta: EGC.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1989). Perawatan bayi dan anak,
Ed. 1. Jakarta: Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan.
Doenges, M. E. (1999). Rencana asuhan keperawatan. Terjemahan oleh Kariasa I
Made. 2002. Jakarta: EGC.
Tobing, N. L. (1989). Penatalaksanaan muthakhir kejang pada anak. Jakarta:
FKUI.
Mansjoer, A., Suprohaita, Wardhani, W.I., & Setiowulan, W. (2000). Kapita
selekta kedokteran, Ed. 3 Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius.
Ngastiyah. (1997). Perawatan anak sakit. Jakarta: EGC.
Price, A.S., & Wilson, L. M. (1995). Patofisiologi: konsep klinis proses-proses
penyakit, Ed. 4. Terjemahan oleh Peter Anugerah. 2006. Jakarta: EGC.
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. (2000). Buku kuliah dua ilmu
kesehatan anak. Jakarta: Percetakan Info Medika.
Wilkinson, J. M., & Ahern, N. R. (2009). Buku saku diagnosis keperawatan:

Diagnosa NANDA, intervensi NIC, kriteria hasil NOC, Ed. 9. Terjemahan

oleh Esty Wahyuningsih. 2011. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai