Anda di halaman 1dari 39

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Infeksi

Selama dalam kandungan janin relatif aman terhadap kontaminasi kuman

karena terlindung oleh berbagai organ tubuh seperti plasenta, selaput amnion,

khorion, dan beberapa faktor anti infeksi dari cairan amnion. Infeksi pada neonatus

dapat terjadi antenatal, intranatal dan pascanatal. Lintas infeksi perinatal dapat

digolongkan antara lain infeksi antenatal, infeksi intranatal dan infeksi pascanatal.

2.1.1. Definisi Infeksi

Infeksi adalah invasi tubuh patogen atau mikroorganisme yang mampu

menyebabkan sakit (Perry & Potter, 2005). Infeksi adalah peristiwa masuk dan

penggandaan mikroorganisme di dalam tubuh penjamu (Linda Tietjen, 2004).

Infeksi adalah masuknya organisme ke dalam jaringan tubuh dan

berkembang biak. Mikroorganisme seperti disebut agen yang menular. Jika

mikroorganisme tidak memproduksi bukti-bukti infeksinya disebut asymptomatic

atau subclinical (Hassan & Jumah, 2007).

Dari pengertian tentang infeksi di atas peneliti menyimpulkan bahwa infeksi

adalah peristiwa masuknya mikroorganisme ke dalam tubuh penjamu yang

menyebabkan sakit, patogen mengganggu fungsi normal tubuh dan dapat berakibat

luka kronik, gangren, kehilangan organ tubuh dan bahkan kematian.

Universitas Sumatera Utara


2.1.2. Istilah Berkaitan dengan Infeksi

Beberapa istilah yang berkaitan dengan infeksi antara lain :

a. Asepsis atau teknik aseptik adalah istilah umum yang digunakan dalam pelayanan

kesehatan untuk menggambarkan semua usaha yang dilakukan untuk mencegah

masuknya mikroorganisme ke dalam tubuh yang kemungkinan besar

mengakibatkan infeksi. Tujuan utama dari asepsis adalah untuk mengurangi atau

menghilangkan jumlah mikroorganisme baik yang terdapat pada permukaan

benda hidup (kulit, jaringan) maupun benda mati (alat kesehatan) hingga

mencapai tingkat yang aman.

b. Antiseptik adalah pencegahan infeksi dengan membunuh atau menghambat

pertumbuhan mikroorganisme pada kulit dan jaringan tubuh lainnya.

c. Dekontaminasi adalah proses atau tindakan yang dilakukan agar benda-benda

mati (peralatan kesehatan) dapat ditangani dan disentuh oleh petugas secara aman,

terutama petugas pembersih alat medis. Sasaran yang dimaksud yaitu meja

pemeriksaan, meja operasi, alat-alat medis, sarung tangan yang terkontaminasi

oleh darah atau cairan tubuh sebelum dan sesudah melakukan tindakan medis.

d. Pencucian adalah proses secara fisik yang menghilangkan darah, cairan tubuh dan

benda asing lainnya seperti debu atau kotoran dari kulit atau permukaan.

e. Desinfekstan adalah menggambarkan proses pemusnahan banyak atau semua

mikroorganisme dengan pengecualian spora bakteri dari objek yang mati (Rutala,

1995). Biasanya dengan menggunakan desinfekstan kimia. Contoh desinfekstan

adalah alkohol, klorin, glurateraldehid dan fenol.

Universitas Sumatera Utara


f. Sterilisasi adalah penghancuran atau pemusnahan seluruh mikroorganisme

termasuk spora. Penguapan dengan tekanan, gas eliten oksida (ETO), dan bahan

kimia merupakan agens sterilisasi yang paling umum (Perry & Potter, 2005).

2.1.3. Infeksi Antenatal

Infeksi antenatal pada umumnya infeksi transplasenta, kuman berasal dari ibu,

kemudian melewati plasenta dan umbilikus dan masuk ke dalam tubuh bayi melalui

sirkulasi bayi. Infeksi bakteri antenatal antara lain oleh Streptococcus Group B.

Penyakit lain yang dapat melalui lintas ini adalah toksoplasmosis, malaria dan sifilis.

Pada dugaan infeksi transplasenta biasanya selain skrining untuk sifilis, juga

dilakukan skrining terhadap TORCH (Toxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus dan

Herpes).

2.1.4. Infeksi Intranatal

Infeksi intranatal pada umumnya merupakan infeksi asendens yaitu infeksi

yang berasal dari vagina dan serviks. Karena ketuban pecah dini maka kuman dari

serviks dan vagina menjalar ke atas menyebabkan korionitis dan amnionitis. Akibat

korionitis, maka infeksi menjalar terus melalui umbilikus dan akhimya ke bayi.

Selain itu korionitis menyebabkan amnionitis dan liquor amnion yang terinfeksi ini

masuk ke traktus respiratorius dan traktus digestivus janin sehingga menyebabkan

infeksi di janin.

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.1. Infeksi Akibat Chorioamnionitis

Infeksi lintas jalan lahir ialah infeksi yang terjadi pada janin pada saat

melewati jalan lahir melalui kulit bayi atau tempat masuk lain. Pada umumnya infeksi

ini adalah akibat kuman Gram negatif yaitu bakteri yang menghasilkan warna merah

pada pewarnaan Gram dan kandida. Menurut Centers for Diseases Control and

Prevention (CDC) Amerika, paling tidak terdapat bakteria pada vagina atau rektum

pada satu dari setiap lima wanita hamil, yang dapat mengkontaminasi bayi selama

melahirkan.

Universitas Sumatera Utara


2.1.5. Infeksi Pascanatal

Infeksi pascanatal pada umumnya akibat infeksi nosokomial yang diperoleh

bayi dari lingkungannya di luar rahim ibu, seperti kontaminasi oleh alat-alat, sarana

perawatan dan oleh yang merawatnya. Kuman penyebabnya terutama bakteri, yang

sebagian besar adalah bakteri Gram negatif. Infeksi oleh karena kuman Gram negatif

umumnya terjadi pada saat perinatal yaitu intranatal dan pascanatal. Lintas infeksi

perinatal dapat dilihat pada Gambar 2.2 berikut.

Gambar 2.2. Lintas Infeksi pada Neonatus di dalam Kandungan

Bila paparan kuman ini berlanjut dan memasuki aliran darah, akan terjadi

respons tubuh yang berupaya untuk mengeluarkan kuman dari tubuh. Berbagai reaksi

tubuh yang terjadi akan memperlihatkan pula bermacam gambaran gejala klinis pada

pasien. Tergantung dari perjalanan penyakit, gambaran klinis yang terlihat akan

Universitas Sumatera Utara


berbeda. Oleh karena itu, pada penatalaksanaan selain pemberian antibiotika, harus

memperhatikan pula gangguan fungsi organ yang timbul akibat beratnya penyakit.

2.2. Infeksi Nosokomial

2.2.1. Pengertian Infeksi Nosokomial

Infeksi adalah proses dimana seseorang yang rentan (susceptible) terkena

invasi agen pathogen atau infeksius yang tumbuh, berkembang biak dan

menyebabkan sakit. Yang dimaksud agen bisa berupa bakteri, virus, ricketsia, jamur

dan parasit. Penyakit menular atau infeksius adalah penyakit tertentu yang dapat

berpindah dari satu orang ke orang lain baik secara langsung ataupun tidak langsung.

Infeksi Nosokomial adalah infeksi yang muncul selama seseorang tersebut

dirawat di rumah sakit (Utama, 1999). Infeksi nosokomial adalah infeksi yang

didapat seseorang dalam waktu 3 x 24 jam sejak mereka masuk rumah sakit (Depkes

RI, 2012).

Infeksi nosokomial terjadi diakibatkan oleh pemberian layanan kesehatan dan

fasilitas perawatan kesehatan. Rumah sakit merupakan satu tempat yang paling

mungkin mendapat infeksi karena mengandung populasi mikroorganisme yang tinggi

dengan jenis virulen yang mungkin resisten terhadap antibiotik (Perry & Potter,

2005).

Kriteria infeksi nosokomial menurut Depkes RI (2012), antara lain:

a. Waktu mulai dirawat tidak didapat tanda-tanda klinik infeksi dan tidak sedang

dalam masa inkubasi infeksi tersebut.

Universitas Sumatera Utara


b. Infeksi terjadi sekurang-kurangnya 3 x 24 jam (72 jam) sejak pasien dirawat

c. Infeksi terjadi pada pasien dengan masa perawatan yang lebih lama dari waktu

inkubasi infeksi tersebut

d. Infeksi terjadi pada masa neonatus yang diperoleh dari ibunya pada saat

persalinan atau selama dirawat di rumah sakit

e. Bila dirawat di rumah sakit sudah ada tanda-tanda infeksi dan terbukti infeksi

tersebut didapat penderita ketika dirawat di rumah sakit yang sama pada waktu

yang lalu, serta belum pernah dilaporkan sebagai infeksi nosokomial.

2.2.2. Penyebab Infeksi Nosokomial

Penularan kuman penyebab infeksi nosokomial dapat terjadi melalui:

a. Infeksi sendiri (self infection) yaitu infeksi nosokomial berasal dari penderita

sendiri (flora endogen) yang berpindah ke tempat atau bagian tubuh lain seperti

kuman escherichia coli dan staphylococus aureus, kuman tersebut dapat

berpindah melalui benda yang dipakai seperti linen atau gesekan tangan sendiri

(Perry & Potter, 2005).

b. Infeksi silang (cross infection) yaitu infeksi nosokomial terjadi akibat penularan

dari penderita atau orang lain di rumah sakit.

c. Infeksi lingkungan (environmental infection) yaitu infeksi yang disebabkan

kuman yang didapat dari bahan atau benda di lingkungan rumah sakit.

2.2.3. Epidemiologi Infeksi Nosokomial

Epidemiologi ialah penjelasan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi

terjadinya penyebaran penyakit pada sekelompok orang. Penyebab infeksi pada

Universitas Sumatera Utara


umumnya mempunyai mata rantai, begitu juga infeksi nosokomial. Mula-mula

kuman keluar dari sumber infeksi melalui tempat keluar (port of exit) dengan media

tertentu. Setelah itu berpindah atau menular secara langsung atau tidak langsung

kepada inang pengantara melalui tempat masuk (port of entry) mencapai hospes baru

yang rentan. Jadi ada tiga faktor determinan yang menyebabkan suatu infeksi

termasuk infeksi yang diperoleh di rumah sakit yaitu sumber infeksi, rute penyebaran

mikroorganisme dan host yang rentan terhadap infeksi.

2.2.4. Sumber Infeksi Nosokomial

Sumber penyebab infeksi nosokomial yaitu manusia, benda, aliran udara,

makanan dan hewan. Sumber mikroorganisme patogen yang paling banyak adalah

manusia. Parker (1983) menyatakan bahwa kuman penyebab infeksi nosokomial

secara umum dibedakan menjadi tiga tipe umum yaitu:

a. Mikroorganisme konvensional yaitu kuman penyebab penyakit pada orang sehat

yang tidak memiliki kekebalan khusus seperti virus influenza.

b. Mikroorganisme kondisional yaitu kuman yang dapat menyebabkan terjadinya

infeksi secara klinis pada bagian tubuh tertentu apabila terdapat faktor-faktor

predisposisi seperti pseudomonas sp dan proteus sp.

c. Mikroorganisme oppurtunistik yaitu kuman yang menyebabkan penyakit

menyeluruh pada orang yang sakit seperti mycobacterium sp dan nocardia.

Universitas Sumatera Utara


2.3. Gejala Klinik

Gejala klinik infeksi sistemik pada neonatus tidak spesifik dan seringkali

sama dengan gejala klinik gangguan metabolisme, hematologik dan susunan saraf

pusat. Peningkatan suhu tubuh jarang terjadi dan bila ada umumnya terdapat pada

bayi cukup bulan. Hipotermia lebih sering ditemukan daripada hipertermia. Leukosit

pada neonatus mempunyai rentang yang luas yaitu antara 4.000 s/d 30.000 per mm3.

Gejala klinik sepsis neonatorum pada stadium dini sangat sulit ditemukan

karena tidak spesifik, tidak jelas dan seringkali tidak terobservasi. Karena itu,

dibutuhkan suatu dugaan keras terhadap kemungkinan ini agar diagnosa dapat

ditegakkan. Gejala klinik sepsis pada neonatus dapat digolongkan sebagai:

2.3.1. Gejala umum seperti: bayi tidak kelihatan sehat (not doing well), tidak mau

minum, kenaikan suhu tubuh, penurunan suhu tubuh dan sclerema.

2.3.2. Gejala gastrointestinal seperti: muntah, diare, hepatomegali dan perut

kembung.

2.3.3. Gejala saluran pernafasan seperti: dispnea, takipne dan sianosis.

2.3.4. Gejala sistem kardiovaskuler seperti: takikardia, edema, dan dehidrasi.

2.3.5. Gejala susunan saraf pusat seperti: letargi, irritable, dan kejang.

2.3.6. Gejala hematologik seperti: ikterus, splenomegali, petekie, dan perdarahan

lain.

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.3. Sepsis pada Kulit Bayi karena Infeksi Bakteri dan Jamur dari
Jalan Lahir

2.4. Epidemiologi

2.4.1. Distribusi Frekuensi

Distribusi frekuensi epidemiologi dapat digolongkan berdasarkan orang

maupun tempat dan waktu.

a. Distribusi Frekuensi Menurut Orang

Penelitian Nugrahani, dkk tahun 2005 di RS Dr. Sardjito Yogyakarta

menyebutkan bahwa berdasarkan umur, proporsi bayi dengan sepsis yang

berumur 0 -7 hari adalah 77,2% sedangkan yang berumur > 7 hari adalah 22,8%.

Berdasarkan jenis kelamin, proporsi bayi laki-laki dengan sepsis adalah 61,4%

sedangkan bayi perempuan adalah 38,6%. Menurut Jumah, dkk tahun 2007 di

Iraq terdapat 22 bayi yang berumur < 7 hari (62,9%) meninggal akibat sepsis, dan

terdapat 31 bayi yang berumur 7-28 hari (3 6,5%) meninggal akibat sepsis.

Universitas Sumatera Utara


Sepsis lebih sering terjadi pada bayi berkulit hitam daripada bayi berkulit

putih, namun hal ini dapat dijelaskan berdasarkan tingginya insiden prematur,

pecah ketuban, ibu demam, dan berat lahir rendah. Perbedaan kejadian sepsis

neonatorum pada suku bangsa lebih dikaitkan dengan kebiasaan dan pola makan

yang telah dianut oleh ibu dari bayi tersebut. Hal ini sangat berpengaruh pada

kondisi gizi ibu yang kemudian berdampak pada keadaan bayi.

Menurut Thirumoorthi dalam simposium penanggulangan infeksi pada

kehamilan menyebutkan bahwa dari semua penderita sepsis awitan dini, sebanyak

54% terjadi pada bayi berkulit hitam dan dari semua penderita sepsis awitan

lambat, sebanyak 65% juga terjadi pada bayi berkulit hitam.

b. Distribusi Frekuensi Menurut Tempat dan Waktu

Insiden sepsis neonatorum di negara berkembang sangat bervariasi menurut

waktu dan lokasi. Insiden yang bervariasi di berbagai rumah sakit tersebut

dihubungkan dengan angka prematuritas, perawatan perinatal, persalinan, dan

kondisi lingkungan waktu perawatan. Penelitian Rasul tahun 2007 di Bangladesh

menyebutkan bahwa insiden infeksi perinatal yang tinggi yaitu 50 - 60% selama

dua puluh tahun yang lalu mengalami penurunan menjadi 20 - 30% di negara-

negara berkembang. Di India, berbagai studi menunjukkan bahwa kejadian

bervariasi antara 10 - 20 per 1.000 kelahiran hidup.

2.4.2. Determinan Sepsis Neonatorum

Beberapa determinan sepsis neonatorum dibedakan berdasarkan host, agent,

dan environment.

Universitas Sumatera Utara


a. Host

Faktor host yang menjadi determinan terjadinya sepsis neonatorum dapat dilihat

dari faktor bayi dan ibu.

a) Faktor Bayi

1) Umur

Penelitian Jumah, dkk tahun 2007 menyebutkan bahwa secara statistik

angka kematian akibat sepsis lebih tinggi secara signifikan pada bayi

berumur < 7 hari dibandingkan pada bayi berumur 7-28 hari (p<0,001).

Hasil penelitian Nugrahani, dkk tahun 2005 dengan menggunakan

rancangan penelitian uji diagnostik potong lintang di RS Dr. Sardjito

Yogyakarta, proporsi penderita sepsis neonatorum berumur < 7 hari

77,2% dan > 7 hari 22,8%.

2) Jenis Kelamin

Laki-laki empat kali lebih beresiko terkena sepsis dibandingkan

perempuan, dan kemungkinan ini berhubungan dengan kerentanan host

berdasarkan jenis kelamin. Dalam penelitian Simbolon tahun 2008 dengan

menggunakan desain penelitian kasus kontrol di RSUD Curup Kabupaten

Rejang Lebong Bengkulu menyebutkan bahwa menurut faktor bayi,

kejadian sepsis neonatorum banyak terjadi pada bayi laki-laki (61,2%).

Hasil penelitian Patel, dkk (1995) di University of Mississippi Medical

Center (UMMC), proporsi penderita sepsis neonatorum tertinggi pada

bayi laki-laki (54,3%). Penelitian Jumah, dkk (2007) di Basrah Maternity

Universitas Sumatera Utara


and Children Hospital, penderita sepsis neonatorum lebih banyak pada

bayi laki-laki, diantaranya 56,75% yang hidup dan 43,25% yang

meninggal.

3) Prematuritas

Prematur adalah satu-satunya faktor paling signifikan berkorelasi dengan

sepsis. Risiko meningkat sebanding dengan penurunan berat lahir. Bayi

prematur adalah bayi yang lahir pada usia kehamilan kurang dari 37

minggu. Bayi yang lahir prematur mempunyai berat badan lahir rendah,

namun bayi yang mempunyai berat badan lahir rendah belum tentu

mengalami kelahiran prematur. Bayi prematur rentan mengalami infeksi

atau septikemia. Infeksi atau septikemia empat kali beresiko menyebabkan

kematian bayi prematur. Umumnya imunitas bayi kurang bulan lebih

rendah dari pada bayi cukup bulan. Transpor imunuglobulin melalui

plasenta terutama terjadi pada paruh terakhir trimester ketiga. Setelah

lahir, konsentrasi imunoglobulin serum terus menurun, menyebabkan

hipigamaglobulinemia berat. Imaturitas kulit juga melemahkan pertahanan

kulit. Incidence rate, sepsis neonatorum yang dilaporkan bervariasi, antara

1-8 per 1.000 kelahiran hidup, dengan kejadian terbanyak pada bayi

kurang bulan dengan berat badan lahir rendah.

4) Berat Lahir Rendah

Bayi berat lahir rendah adalah bayi yang kurang atau sama dengan 2500

gram saat lahir. Tujuh persen dari semua kelahiran termasuk kelompok

Universitas Sumatera Utara


ini. Kebanyakan persoalan terjadi pada bayi yang beratnya kurang dari

1500 gram dengan angka kematian yang tinggi dan membutuhkan

perawatan dan tindakan medik khusus.

Dalam penelitian Stoll, dari 7.861 bayi dengan berat badan lahir sangat

rendah (berat lahir <1500g) dari National Institute of Child Health and

Human Development (NICHD) pada tahun 1991 - 1993, 1,9% bayi

terbukti mengalami sepsis dalam 72 jam pertama kehidupan, meskipun

hampir 50% bayi di kelompok ini dianggap memiliki sepsis klinis dan

diobati dengan antibiotik selama lebih dari lima hari. Dua puluh enam

persen dari bayi tersebut meninggal.

5) Status Kembar

Bayi kembar berisiko tinggi untuk infeksi streptococcus grup B dan

infeksi lain walaupun sudah dikendalikan untuk prematuritasnya selain itu

bayi lahir dengan status kembar kemungkinan akan lahir dengan BBLR,

sehingga akan berisiko mengalami sepsis karena organ tubuhnya belum

sempurna sehingga sistem imunnya kurang yang menyebabkan mudah

terkena infeksi. Menurut Mochtar (1998), berat badan satu janin kembar

rata-rata 1.000 gram lebih ringan dari janin tunggal. Berat badan masing-

masing janin kembar tidak sama, umumnya berselisih antara 50 sampai

1.000 gram, dan karena pembagian sirkulasi darah tidak sama, maka yang

satu kurang bertumbuh dari yang lainnya. Pengaruh kehamilan kembar

pada janin adalah umur kehamilan tambah singkat dengan bertambahnya

Universitas Sumatera Utara


jumlah janin dalam kehamilan kembar, sehingga kemungkinan terjadinya

bayi prematur sangat tinggi.

Perubahan perilaku pada bayi mungkin dapat merupakan tanda

awal bayi sakit. Bayi yang stabil tetap terjaga dan aktif bila sedang

bangun, minum bayi dan dapat diam pada saat sedang menangis, ini akan

memberi sedikit peredaan pada keadaan yang dianggap normal. Beberapa

perubahan perilaku petunjuk bayi sakit adalah bayi tampak lesu, tidak

bertenaga, dan mengantuk, masalah malas minum meliputi dari kesulitan

mengisap. Bayi membutuhkan perawatan akan menujukan perilaku yang

sangat berbeda dengan bayi yang sehat memiliki berbagai macam refleks

alamiah yang membantu untuk melindungi dirinya dari sinar yang

berlebihan.

Menurut T. Berry Brazelton dan kawan-kawan dalam buku

Neonatalogi, Neonatal Behavioral Assessment Scale (NBAS) atau skala

Penilaian Perilaku Bayi Baru Lahir (SPPB) perilaku bayi yang

menjelaskan tentang kekuatan bayi, respon adaptasi dan hal yang rentan

yang mungkin terjadi pada bayi (IDAI, 2012)

Menurut Ai Yeyeh dalam buku Asuhan Neonatus Bayi dan Anak

Balita, yang dimaksud dengan bayi stabil atau normal jika memiliki tanda

antara lain, warna kulit yang kemerahan, frekuensi jantung lebih 100

kali/menit, ada reaksi terhadap rangsangan, menangis, otot dengan

gerakan aktif dan mempunyai usaha nafas dimana bayi menangis kuat.

Universitas Sumatera Utara


Pada usia kehamilan 37 minggu sampai 42 minggu dengan berat badan

lahir 2500- 4000 gram dengan nilai Afgar lebih dari 7 tanpa cacat bawaan

(Ai Yeyeh, dkk, 2010).

b. Faktor Ibu

1) Umur Ibu

Umur ibu melahirkan dibagi dalam 3 kelompok usia remaja dengan

umur < 20 tahun, kelompok usia reproduksi sehat dengan umur 20 - 35 tahun

dan kelompok usia risiko tua dengan umur > 35 tahun, ibu hamil dengan umur

lebih muda sering mengalami komplikasi kehamilan dengan hasil kehamilan

tidak baik. Pada kelompok umur risiko tua kejadian berat badan lahir rendah

juga meningkat. Menurut penelitian Nyoman Nuada di RS Denpasar pada

tahun 1999 ditemukan 84% ibu yang melahirkan bayi prematur berusia

kurang dari 20 tahun dan usia lebih dari 35 tahun (umur risiko tinggi).

Dalam penelitian Suwiyoga (2007) dengan menggunakan rancangan

penelitian studi kohort di Indonesia menemukan bahwa insiden sepsis

neonatorum di kelompok umur ibu kurang dari 20 tahun adalah 14,2%, lebih

tinggi dari insidens sepsis di kelompok umur 20 tahun atau lebih. Usia ibu

kurang dari 20 tahun diketahui berhubungan dengan kolonisasi kuman

Streptococcus Grup Beta di jalan lahir.

2) Pendidikan Ibu

Tingkat pendidikan ibu dapat menjadi salah satu faktor yang

mempengaruhi kesehatan bayi. Dengan berbekal pendidikan yang cukup,

Universitas Sumatera Utara


seorang ibu dinilai lebih banyak memperoleh infromasi yang dibutuhkan.

Selain itu, ibu dengan tingkat pendidikan relatif tinggi lebih mudah menyerap

informasi atau himbauan yang diberikan. Dengan demikian mereka dapat

memilih serta menentukan alternatif terbaik dalam melakukan perawatan dan

pemeriksaan kehamilan sehingga dapat melahirkan bayi sehat.

Menurut Bachroen, tingkat pendidikan mempunyai pengaruh besar

terhadap derajat kesehatan. Penelitian yang dilakukan menyebutkan bahwa

pendidikan paling berpengaruh adalah pendidikan ibu.

3) Pekerjaan Ibu

Variabel pekerjaan akan mencerminkan keadaan sosial ekonomi

keluarga. Penelitian Yahya K, dkk menyebutkan bahwa presentase terbanyak

adalah pada golongan berpenghasilan rendah. Di mana suami bekerja sebagai

burah, kemudian diikuti pedagang kecil, pegawai negeri golongan I dan II.

Sedangkan istrinya (ibu hamil) pada umumnya tidak bekerja. Rendahnya

kedudukan tingkat dan macam pekerjaan ini adalah akibat dari tingkat

pendidikan yang juga rendah. Di negara berkembang, banyak ibu bekerja

keras untuk membantu menopang kehidupan keluarganya di samping tugas

utama mengelola rumah tangga, menyiapkan makanan, mengasuh dan

merawat anak.

Salah satu studi menunjukkan bahwa 25% dari rumah tangga sangat

bergantung pada pendapatan kaum perempuan. Jika ibu hamil bekerja terlalu

keras dan intake kalori kurang selama hamil akan lebih mudah melahirkan

Universitas Sumatera Utara


bayi dengan berat lahir rendah yang merupakan faktor risiko terjadinya

infeksi.

4) Umur Kehamilan

Lama kehamilan yaitu 280 hari atau 40 minggu, dihitung dari hari

pertama haid yang terakhir. Lama kehamilan dapat dibedakan atas:

i. Partus prematurus, adalah persalinan dari hasil konsepsi pada kehamilan

28 -36 minggu, janin dapat hidup tetapi prematur. Berat janin antara 1.000

- 2.500 gram,

ii. Partus matures atau aterm (cukup bulan), adalah partus pada kehamilan

37- 40 minggu, janin matur, berat badan di atas 2.500 gram,

iii. Partus postmaturus (serotinus) adalah persalinan yang terjadi 2 minggu

atau lebih dari waktu partus cukup bulan.

5) Ketuban Pecah Dini (KPD)

Ketuban Pecah Dini (KPD) yaitu bocornya cairan amnion sebelum

mulainya persalinan, terjadi pada kira-kira 7 sampai 12 persen kehamilan.

Paling sering ketuban pecah pada atau mendekati saat persalinan; persalinan

terjadi secara spontan dalam beberapa jam. Bila ketuban pecah dini

dihubungkan dengan kehamilan preterm, ada risiko peningkatan morbiditas

dan mortalitas perinatal akibat imaturitas janin.

Sepsis neonatarum dini sering dihubungkan dengan KPD karena

infeksi dengan KPD saling mempengaruhi. Infeksi genital bawah dapat

mengakibatkan KPD, demikian pula KPD dapat memudahkan infeksi

Universitas Sumatera Utara


asendens. Infeksi asendens ini dapat berupa amnionitis dan korionitis,

gabungan keduanya disebut korioamnionitis. Bila ketuban pecah lebih dari 24

jam, kejadian sepsis pada bayi meningkat sekitar 1% dan bila disertai

korioamnionitis, kejadian sepsis akan meningkat menjadi 4 kalinya.

Dalam penelitian Suwiyoga, dkk (2007) dengan menggunakan

rancangan penelitian studi kohort di Indonesia menemukan bahwa resiko

Sepsis Awitan Dini (SAD), pada ketuban pecah kurang 12 jam adalah 1,5

kali, sesudah 12 -18 jam adalah 7 kali dan pada 18-24 jam adalah 9 kali.

Selain itu, KPD merupakan faktor risiko utama prematuritas yang merupakan

penyumbang utama SAD dan kematian perinatal.

i. Infeksi dan Demam (>38°C) pada Masa Peripartum

Infeksi dapat merupakan akibat korioamnionitis, infeksi saluran

kemih, kolonisasi vagina oleh Streptococcus Grup B (SGB), kolonisasi

permeal oleh E. coli, dan komplikasi obstetrik lainnya. Ibu yang menderita

infeksi ketika hamil dapat menyebabkan dampak yang besar terhadap ibu

maupun janin dan bayi neonatal seperti infeksi neonatal.

ii. Cairan Ketuban Hijau Keruh dan Berbau

Dalam penelitian Nugrahani, dkk tahun 2005 dengan menggunakan

rancangan penelitian uji diagnostik potong 1 in tang di RS Dr. Sardjito

Yogyakarta terdapat proporsi ibu dengan keadaan air ketuban keruh

melahirkan bayi yang mengalami sepsis neonatorum sebanyak 33,1%.

Menurut hasil penelitian Simbolon di instalasi kebidanan Rurnah Sakit

Universitas Sumatera Utara


Pusat Sardjito Yogyakarta dari bulan Januari 2001 ditemukan 72% faktor

risiko sepsis neonatorum adalah BBLR dengan keadaan air ketuban bau

busuk.

iii. Riwayat Persalinan Ibu

Bayi yang lahir dengan tindakan (ekstraksi cunam/vakum dan seksio

sesaria) beresiko mengalami sepsis neonatorum. Infeksi dapat diperoleh

bayi dari lingkungannya di luar rahim ibu, seperti alat-alat penolong

persalinan yang terkontaminasi. Dalam penelitian Simbolon tahun 2008

dengan menggunakan desain penelitian kasus kontrol di Kabupaten

Rejang Lebong Provinsi Bengkulu, kejadian sepsis neonatorum menurut

riwayat persalinan menunjukkan bahwa kejadian sepsis neonatorum

sedikit lebih banyak pada bayi dengan riwayat persalinan dengan tindakan

(ekstraksi cunam/vakum dan seksio sesaria). Bayi yang lahir dengan

tindakan beresiko 2,142 kali mengalami sepsis neonatorum dibandingkan

dengan bayi yang lahir secara normal.

iv. Frekuensi Pemeriksaan Kehamilan (Antenatal Care)

Pemeriksaan kehamilan (antenatal care) yang teratur berfungsi sebagai

kontrol untuk mendeteksi terjadinya tanda-tanda komplikasi kehamilan,

sehingga dapat mengantisipasi kemungkinan bahaya kehamilan dan

persalinan. Pemeriksaan kehamilan perlu dilakukan oleh ibu semasa

hamil, mulai dari trimester pertama sampai saat berlangsungnya

persalinan. Tujuan pemeriksaan kehamilan adalah untuk menemukan ibu

Universitas Sumatera Utara


hamil yang mempunyai risiko tinggi sehingga risiko kematian ibu atau

bayi dapat dikurangi. Pemeriksaan kehamilan yang dilakukan dapat

mengurangi kejadian kelahiran prematur pada bayi yang sangat rentan

terkena sepsis. Selain itu dengan melakukan pemeriksaan selama hamil

dapat dideteksi secara dini penyakit infeksi yang diderita oleh ibu yang

nantinya akan mengakibatkan infeksi pada bayinya.

Menurut Ulina (2004) dalam penelitiannya di Kelurahan Tanjung

Jati Kecamatan Binjai, hasil cakupan kegiatan yang berhubungan dengan

pelayanan antenatal yaitu Kl (81%) dan K4 (66,7%). Dari hasil cakupan

tersebut terlihat relatif tinggi drop out antara Kl dan K4 yaitu sebesar

14,3%. Rendahnya pencapaian cakupan K4 ini disebabkan oleh beberapa

faktor, seperti ibu hamil merasa kurang membutuhkan pelayanan antenatal

karena beranggapan dirinya sehat, pendidikan ibu rendah, kurangnya

pengetahuan ibu hamil akan pentingnya perawatan pada masa kehamilan

secara berkala, bagi ibu hamil yang bekerja kurang memiliki waktu untuk

memeriksakan kehamilannya, tingkat pendapatan keluarga sehubungan

dengan kondisi ibu hamil.

c. Agen

Agent atau organisme tersering sebagai penyebab penyakit adalah

Escherichia coli dan Streptococcus group B (yang bersama-sama bertanggung

jawab atas 50 - 75% kasus pada kebanyakan pusat pelayanan kesehatan),

Streptococcus termasuk kelompok bakteri yang heterogen, dan tidak ada satu

Universitas Sumatera Utara


sistem pun yang mampu untuk mengklasifikasikannya. Ada dua puluh jenis,

termasuk streptococcus pyogenes (group A), streptococcus agalactiae (group B)

dan jenis enterococcus (group D), dapat dicirikan dengan berbagai tampilannya

yang bervariasi: dan" karakteristik koloni pertumbuhan, pola hemolisis pada

media agar darah (hemolisis a, hemolisft, atau tanpa hemolisis), komposisi

antigen pada substansi dinding sel dan reaksi biokimia. Jenis Streptococcus

pneumonia (pneumococcus) lebih lanjut diklasifikasikan berdasarkan komposisi

antigen polisakarida pada kapsul.

Selain itu penyebab lain dari sepsis neonatorum adalah Staphylococcus

aureus, Klebsiella, Enterobacter sp, Pseudomonas aeruginosa, Proteus sp,

Listeria manocytogenes dan bakteri anaerob, Sepsis awitan dini akan terlihat

sebagai proses nyata, yang mengenai banyak organ pada minggu pertama

kehidupan, sedangkan sepsis awitan lambat, sering dimanifestasikan sebagai

meningitis setelah minggu pertama kehidupan.

Pertama-tama biasanya dihubungkan dengan faktor-faktor ibu dan organisme

yang berasal dari cairan ketuban yang terinfeksi atau ketika janin melewati jalan lahir,

dan setelah itu bayi mungkin terinfeksi dari lingkungannya atau dari sejumlah sumber

di rumah sakit. E. coli dan streptococcus B mungkin bertanggung jawab atas

terjadinya sepsis awitan dini atau lambat, sedangkan S. aureus, Klebsiella,

Enterobacter sp, P. aemginosa dan Serratila sp, lebih lazim menyebabkan sepsis

awitan lambat.

Universitas Sumatera Utara


d. Environment

Beberapa faktor lingkungan yang menjadi determinan sepsis neonatorum

terutama berasal dari keadaan Neonatal Intensive Care Unit (NICU) yaitu jumlah

pasien yang terlalu banyak, kurangnya tempat dan sabun untuk mencuci tangan,

kurangnya handuk atau tissue, tempat penyimpanan sarana kesehatan yang tidak

nyaman, buruknya kebersihan, buruknya ventilasi aliran udara dan fasilitas

ruangan isolasi, dapat meningkatkan angka kejadian sepsis neonatorum.

a) Perubahan perilaku yang dapat terjadi pada Bayi

Perubahan pada bayi mungkin dapat merupakan tanda awal bayi sakit,

meskipun tingkat aktivitas, nafsu makan dan tangis bayi secara normal

bervariasi dari hari kehari bahkan dari jam ke jam, perubahan mencolok dapat

menjadi petujuk bayi sakit.Biasanya bayi tetap terjaga dan aktif bila sedang

bangun, minum baik dan dapat didiamkan bila sedang menangis.

b) Bayi malas Minum

Masalah malas minum meliputi bayi kesulitan menghisap payudara atau

botol, bayi tidak lapar, bayi dengan kehilangan berat badan atau berat bayi

tidak naik, kesulitan bayi minum karena masalah bayi kesulitan menghisap,

c) Bayi sakit

Bayi yang dirawat biasanya menunjukan perilaku yang berbeda dengan bayi

sehat, BKB, kurang dapat mengontrol dan mengkoordinasikan gerakannya

dibanding BCB. Dokter yang merawat harus memberitahu orangtuanya

keadaan ini (IDAI, 2012)

Universitas Sumatera Utara


Semua faktor-faklor di atas sering dijumpai dalam praktek sehari-hari dan

masih menjadi masalah sampai saat ini. Hal ini merupakan salah satu faktor penyebab

tidak adanya perubahan pada angka kejadian sepsis neonatal dalam dekade terakhir

ini. Faktor-faktor risiko ini walaupun tidak selalu berakhir dengan infeksi, harus tetap

mendapatkan perhatian khusus terutama bila disertai gambaran klinis.

2.4.3. Pencegahan Primer

Pencegahan primer meliputi segala bentuk kegiatan yang dapat menghentikan

kejadian suatu penyakit atau gangguan sebelum hal itu terjadi. Pencegahan primer

juga diartikan sebagai bentuk pencegahan terhadap terjadinya suatu penyakit pada

seseorang dengan faktor resiko. Upaya yang dapat dilakukan sebagai pencegahan

primer terhadap kejadian sepsis neonatorum adalah:

A. Mewujudkan Pelayanan Kebidanan yang Baik dan Bermutu

Bidan memegang peranan penting dalam upaya meningkatkan kesehatan.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk mewujudkan pelayanan kebidanan

yang baik dan bermutu antara lain:

a) Pelayanan yang diberikan bermutu.

b) Walaupun tidak semua persalinan berlangsung di rumah sakit namun ada

kemungkinan untuk mendapat perawatan segera di rumah sakit jika terjadi

komplikasi.

c) Diwajibkan bersalin di rumah sakit

d) Pengawasan ibu dan bayi pada saat intranatal dan postnatal

e) Perawatan Antenatal (Antenatal Care)

Universitas Sumatera Utara


Kunjungan antenatal sebaiknya dilakukan paling sedikit 4 kali selama masa

kehamilan

a. Mencuci tangan

Dalam lingkungan perawatan kesehatan, tangan merupakan salah satu

syarat penularan yang paling efisien untuk infeksi nosokomial. Oleh

karena itu, mencuci tangan menjadi metode pencegahan dan pengendalian

yang paling penting. Tujuan mencuci tangan adalah untuk menurunkan

bioburden (jumlah mikroorganisme) pada tangan dan untuk mencegah

penyebarannya ke area yang tidak terkontaminasi, seperti pasien, tenaga

perawatan kesehatan (TPK) dan peralatan. Tenaga perawatan diharuskan

mencuci tangan sebelum dan setelah memegang bayi untuk menghindari

terjadinya infeksi pada bayi tersebut.

Mencuci tangan yang kurang tepat menempatkan baik pasien dan

tenaga perawatan kesehatan pada risiko terhadap infeksi atau penyakit.

Tenaga perawatan kesehatan yang mencuci tangan kurang adekuat

memindahkan organisme-organisme seperti Staphylococcus, Echeriscia

coli, Pseudomonas, dan Klebsiella secara langsung kepada hospes yang

rentan, yang menyebabkan infeksi nosokomial dan epidemik di semua

jenis lingkungan pasien. Kepatuhan mencuci tangan sangat penting dalam

mencegah infeksi nosokomial.

Universitas Sumatera Utara


Di bawah ini tujuh langkah mencuci tangan yang baik dan benar:

Gambar 2.4. Tujuh Langkah Mencuci Tangan

b. Pemberian ASI secepatnya

Upaya pencegahan terhadap penyakit infeksi dapat dilakukan dengan

keadaan gizi bayi yang baik. Pemeliharaan gizi bayi dan balita yang baik

memerlukan pengaturan makanan yang tepat yaitu salah satunya dengan

pemberian ASI secara benar dan tepat. Air susu ibu memegang peranan

yang penting untuk menjaga kesehatan dan kelangsungan hidup bayi.

Awal menyusui yang baik adalah 30 menit setelah bayi lahir karena dapat

merangsang pengeluaran ASI selanjutnya, di samping itu akan terjadi

interaksi atau hubungan timbal balik dengan cepat antara ibu dengan bayi.

Universitas Sumatera Utara


Penggunaan Air Susu Ibu (ASI) sudah dibuktikan dapat mencegah

terjadinya infeksi pada bayi. Bayi yang mendapat ASI mempunyai risiko

lebih kecil untuk memperoleh infeksi daripada bayi yang mendapat susu

formula. Efektivitas ASI tergantung dari jumlah yang diberikan, semakin

banyak ASI yang diberikan semakin sedikit risiko untuk terkena infeksi.

Insidensi infeksi nosokomial pada bayi premature yang mendapat ASI

(29,3%) lebih kecil dibandingkan dengan bayi premature yang mendapat

susu formula (47,2%).

c. Pencegahan Infeksi

Pada tempat perawatan bayi dimana bayi banyak disatukan, infeksi silang

sulit dihindari dengan rawat gabung. Lebih mudah mencegah infesi

kolustrum yang mengandung antibodi dalam jumlah tinhgi akan melapisi

seluruh permukaan kulit dan saluran pencernaan bayi dan diserap oleh

bayi sehingga bayi akan mempunyai kekebalan yang tinggi.

d. Pembersihan Ruang Perawatan Bayi

Bentuk, konstruksi dan suasana ruang perawatan yang baik dan memadai

dapat mengurangi insidens infeksi nosokomial. Setiap ruang perawatan

terutama NICU (Neonatal Intensive Care Unit) memerlukan paling sedikit

1 ruangan isolasi untuk 2 pasien yang terinfeksi dan ruangan untuk cuci

tangan, ruangan tempat memakai baju steril untuk tindakan invasif dan

tempat penyimpanan alat-alat atau material yang sudah dibersihkan.

Universitas Sumatera Utara


e. Perawatan Persalinan Aseptik

Perawatan ibu selama persalinan dilakukan secara aseptik menurunkan

risiko terjadinya infeksi. Antibiotik tersebut diberikan sebagai obat

profilaksis.

2.4.4. Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder ini diberikan kepada mereka yang menderita atau

dianggap menderita. Adapun tujuan pada pencegahan sekunder yaitu diagnosis dini

dan pengobatan yang tepat.

a. Diagnosis

Saat ini, upaya penegakan diagnosis sepsis mengalami beberapa perkembangan.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007. Dalam Penatalaksanaan Sepsis

Neonatorum. Depkes RI, mengajukan usulan kriteria diagnosis sepsis pada

neonates berdasarkan perubahan klinis sesuai dengan perjalanan infeksi.

Gambaran klinis sepsis neonatorum dikelompokkan menjadi 4 variabel, yaitu

variabel klinik, variabel hemodinamik, vairabel perfusi jaringan dan variabel

inflamasi seperti tampak pada Tabel 2.1.

Universitas Sumatera Utara


Tabel 2.1. Kriteria Diagnosis Sepsis pada Neonatus

Jenis Variabel Kriteria


Klinis - Suhu tubuh tidak stabil
- Denyut nadi > 180 kali/menit atau < 100 kali/menit
- Laju nafas > 60 kali/menit, dengan retraksi atau desaturasi
oksigen
- Letargi
- Intoleransi glukosa (plasma glukosa > 10 mmol/L)
- Intoleransi minum
Hemodinamik - TD < 2 SD menurut usia bayi
- TD sistolik < 50 mmHg (bayi usia 1 hari)
- TD sistolik < 65 mmHg (bayi usia < 1 bulan)
Perfusi Jaringan - Pengisian kembali kapiler > 3 detik
- Asam laktat plasma > 3 mmol/L
Inflamasi - Leukositosis (>34000x109L)
- Leucopenia (<5000 x 109/L)
- Neutrofil muda > 10%
- Neutrofil muda/total neutrofil (I/T ratio) > 0,2
- Trombositopenia < 100000 x 109/L
- C Reactive Protein > 10 mg/dL atau > 2 SD dari nilai
normal

Dalam menentukan diagnosis klinik sepsis, setiap lembaga hendaknya

membuat sendiri kriteria yang cocok untuk dipakai di tempatnya. Pengkajian

secara statistic mengenai hal ini sangat sulit, karena faktor predisposisi infeksi

maupun gejala klinis sangat sulit digolongkan karena saling tumpang tindih.

b. Penatalaksanaan

Eliminasi kuman penyebab merupakan pilihan utama dalam tata laksana

sepsis neonatorum, sedangkan di pihak lain penentuan kuman penyebab

membutuhkan waktu dan mempunyai kendala tersendiri. Hal ini merupakan

masalah dalam melaksanakan pengobatan optimal karena keterlambatan

pengobatan akan berakibat peningkatan komplikasi yang tidak diinginkan.

Universitas Sumatera Utara


1) Pemberian Antibiotik

Pada kasus tersangka sepsis, terapi antibiotik empirik harus segera dimulai

tanpa menunggu hasil kultur darah. Setelah diberikan terapi empirik, pilihan

antibiotik harus dievaluasi ulang dan disesuaikan dengan hasil kultur dan uji

resistensi. Bila hasil kultur tidak menunjukkan pertumbuhan bakteri dalam 2-

3 hari dan bayi secara klinis baik, pemberian antibiotik harus dihentikan.

a) Pemilihan antibiotik untuk sepsis awitan dini

Pada bayi dengan sepsis awitan dini, terapi empirik harus meliputi

Streptococcus Group B, E. coli, dan Lysteria monocytogenes. Kombinasi

penisilin dan ampisilin ditambah aminoglikosida mempunyai aktivitas

antimikroba lebih luas dan umumnya efektif terhadap semua organisme

penyebab sepsis awitan dini. Kombinasi ini sangat dianjurkan karena

akan meningkatkan aktivitas antibakteri.

b) Pemilihan antibiotik untuk sepsis awitan lambat

Kombinasi pensilin dan ampisilin ditambah aminoglikosida juga dapat

digunakan untuk terapi awal sepsis awitan lambat. Pada kasus infeksi

Staphylococcus (pemasangan kateter vaskular), obat anti staphylococcus

yaitu vankomisin ditambah aminoglikosida dapat digunakan sebagai

terapi awal. Pemberian antibiotic harusnya disesuaikan dengan pola

kuman yang ada paa masing-masing unit perawatan neonatus.

Universitas Sumatera Utara


2) Terapi Suportif (adjuvant)

Pada sepsis neonatorum berat mungkin terlihat disfungsi dua sistem organ

atau lebih yang disebut Disfungsi Multi organ, seperti gangguan fungsi

respirasi, gangguan kardiovaskular diseminata (KID), dan/atau supresi sistem

imun. Pada keadaan tersebut dibutuhkan terapi suportif seperti pemberian

oksigen, pemberian inotropik dan pemberian komponen darah. Terapi suportif

ini dalam kepustakaan disebut terapi adjuvant dan beberapa terapi yang

dilaporkan di kepustakaan antara lain pemberian intravenous immunoglobulin

(IVIG), pemberian transfuse dan komponen darah, granulocyte-macrophage

colony stimulating factor (G-CSF dan GM-CSF), inhibitor reseptor IL-1,

transfuse tukar (IT) dan lain-lain.

2.4.5. Pencegahan Tertier

Tujuan utama dari pencegahan tertier adalah mencegah cacat, kematian, serta

usaha rehabilitasi. Penderita sepsis nenatorum mempunyai risiko untuk mengalami

kematian jika tidak dilakukan diagnosis dini dan terapi yang tepat. Untuk itu bayi-

bayi yang menderita sepsis perlu mendapat penanganan khusus dari petugas

kesehatan dalam rangka mencegah kematian dan membatasi gangguan lain yang

dapat timbul di kemudian hari.

Universitas Sumatera Utara


2.5. Hipotermi

2.5.1. Definisi Hipotermi

Hipotermi adalah suhu tubuh bayi baru lahir yang tidak normal (<36ºC) pada

pengukuran suhu melalui aksila, dimana suhu tubuh bayi baru lahir normal adalah

36,5ºC-37,5ºC (suhu aksila). Hipotermi merupakan suatu tanda bahaya karena dapat

menyebabkan terjadinya perubahan metabolisme tubuh yang akan berakhir dengan

kegagalan fungsi jantung paru dan kematian (Departemen Kesehatan Republik Indonesia,

2007).

Hipotermi adalah temperatur tubuh yang rendah, seperti yang disebabkan oleh

pemajanan terhadap cuaca dingin, atau keadaan tubuh yang diinduksi dengan cara

menurunkan metabolisme dan dengan demikian menurunkan kebutuhan oksigen

(Maimunah, 2005)

2.5.2. Penyebab terjadinya Hipotermi

Suhu tubuh rendah (hipotermi) dapat disebabakan oleh karena terpapar dengan

lingkungan yang dingin (suhu lingkungan rendah, permukaan yang dingin atau basah)

atau bayi dalam keadaan basah atau tidak berpakaian (Departemen Kesehatan Republik

Indonesia, 2007)

Hipotermi dapat terjadi sangat cepat pada bayi sangat kecil atau bayi yang

diresusitasi atau dipisahkan dari ibu. Dalam kasus-kasus ini, suhu dapat cepat turun <

35ºC (Saifuddin, 2002). Jika bayi sangat kecil (<1500 gram atau <32 minggu) sering

terjadi masalah yang berat misalnya sukar bernafas, kesukaran pemberian minum, ikterus

Universitas Sumatera Utara


berat dan infeksi sehingga bayi rentan terjadi hipotermi jika tidak dalam inkubator

(Saifuddin, 2002).

Hipotermi dapat disebabkan oleh beberapa keadaan, antara lain:

a. Keadaan yang menimbulkan kehilangan panas yang berlebihan, seperti lingkungan

dingin, basah atau bayi yang telanjang, cold linen, selama perjalanan dan beberapa

keadaan seperti mandi, pengambilan sampel darah, pemberian infus serta

pembedahan. Juga peningkatan aliran udara dan penguapan.

b. Ketidaksanggupan menahan panas, seperti pada permukaan tubuh yang relatif luas,

kurang lemak, ketidaksanggupan mengurangi permukaan tubuh, yaitu dengan

memfleksikan tubuh dan tonus otot yang lemah yang mengakibatkan hilangnya panas

yang lebih besar.

c. Kurangnya metabolisme untuk menghasilkan panas, seperti defisiensi brown fat,

misalnya bayi preterm, kecil masa kelahiran, kerusakan sistem saraf pusat

sehubungan dengan anoksia, intra kranial hemorrhage, hipoksia dan hipoglikemi.

Menurut Departemen Kesehatan RI 2007, diagnosa bayi baru lahir yang

mengalami hipotermi dapat ditinjau dari riwayat asfiksia pada waktu lahir, riwayat bayi

yang segera dimandikan sesaat sesudah lahir, riwayat bayi yang tidak dikeringkan

sesudah lahir, dan tidak dijaga kehangatannya, riwayat terpapar dengan lingkungan yang

dingin dan riwayat melakukan tindakan tanpa tambahan kehangatan pada bayi.

Menurut Departemen Kesehatan RI 2007, mekanisme kehilangan panas pada bayi

baru lahir dapat melalui 4 cara, yaitu:

a. Radiasi yaitu dari bayi ke lingkungan dingin terdekat

Universitas Sumatera Utara


b. Konduksi yaitu langsung dari bayi ke sesuatu yang kontak dengan bayi

c. Konveksi yaitu kehilangan panas dari bayi ke udara sekitar

d. Evaporasi yaitu penguapan air dari kulit bayi.

2.5.3. Tanda-tanda Hipotermi

Gejala awal hipotermi adalah apabila suhu bayi baru lahir <36ºC atau kedua kaki

dan tangan teraba dingin. Bila seluruh tubuh bayi teraba dingin, maka bayi sudah

mengalami hipotermi sedang (suhu 32ºC-36ºC). Disebut hipotermi berat apabila suhu

tubuh bayi <32ºC (Saifuddin, 2006)

Menurut Saifuddin 2006, penilaian tanda-tanda hipotermi pada bayi baru lahir

meliputi bayi tidak mau minum/menetek, bayi tampak lesu atau mengantuk, tubuh bayi

teraba dingin, dalam keadaan berat denyut jantung bayi menurun dan kulit tubuh bayi

mengeras (sklerema).

Tanda-tanda hipotermi sedang antara lain meliputi aktifitas bayi berkurang

(letargis), tangisan bayi lemah, kulit berwarna tidak rata (Cutis mamorata), kemampuan

menghisap lemah dan kaki teraba dingin (Saifuddin 2006). Tanda-tanda hipotermi berat

sama dengan hipotermi sedang antara lain bibir dan kuku kebiruan, pernafasan lambat,

pernafasan tidak teratur dan bunyi jantung lambat (Saifuddin 2006).

2.5.4. Pencegahan Hipotermi

Untuk mencegah akibat buruk dari hipotermi karena suhu lingkungan yang

rendah atau dingin harus dilakukan upaya untuk merawat bayi dalam suhu lingkungan

yang netral, yaitu suhu yang diperlukan agar konsumsi oksigen dan pengeluaran kalori

minimal. Keadaan ini dapat dicapai bila suhu inti bayi (suhu tubuh tanpa berpakaian)

Universitas Sumatera Utara


dapat dipertahankan 36,5ºC-37,5ºC. Kelembaban relatif sebesar 40-60% perlu

dipertahankan untuk membantu stabilitas suhu tubuh bayi, yaitu dengan cara mengurangi

kehilangan panas pada suhu lingkungan yang rendah, mencegah kekeringan dan iritasi

pada selaput lendir jalan nafas, terutama saat mendapat terapi oksigen dan selama

pemasangan intubasi endotrakea atau nasotrakea dan mengencerkan sekresi yang kental

serta mengurangi kehilangan cairan insesibel dari paru (Surasmi, 2003).

Menurut Departemen Kesehatan RI 2007, langkah-langkah pencegahan

terjadinya hipotermi adalah jangan memandikan bayi sebelum berumur 12 jam,

kemudian rawatlah bayi kecil di ruang yang hangat tidak kurang 25ºC dan bebas dari

aliran angin. Jangan meletakkan bayi dekat dengan benda yang dingin misalnya dinding

dingin atau jendela walaupun bayi dalam inkubator atau di bawah pemancar panas dan

jangan meletakkan bayi langsung dipermukaan yang dingin misalnya alas tempat tidur

atau meja periksa dengan kain atau selimut hangat sebelum bayi diletakkan.

Pada waktu dipindahkan ketempat lain, jaga bayi tetap hangat dan gunakan

pemancar panas atau kontak kulit dengan perawat, bayi harus tetap berpakaian atau

diselimuti setiap saat, agar tetap hangat walau dalam keadaan dilakukan tindakan

misalnya bila dipasang jarum infus intravena atau selama resusitasi dengan cara memakai

pakaian dan mengenakan topi, bungkus bayi dengan pakaian yang kering dengan lembut

dan selimuti, buka bagian tubuh yang diperlukan untuk pemantauan atau tindakan,

berikan tambahan kehangatan pada waktu dilakukan tindakan misalnya menggunakan

pemancar panas, ganti popok setiap kali basah (Departemen Kesehatan RI 2007).

Universitas Sumatera Utara


Bila ada sesuatu yang basah ditempelkan di kulit misalnya kain kasa yang basah,

usahakan agar bayi tetap hangat, jangan menyentuh bayi dengan tangan yang dingin dan

ukur suhu tubuh: bila bayi sakit frekuensi pengukurannya setiap jam, bila bayi kecil

frekuensi pengukurannya setiap 12 jam dan bila keadaan bayi membaik frekuensi

pengukurannya setiap sekali sehari (Departemen Kesehatan RI 2007).

Menurut Wahyuningsih 2008, metode mencegah terjadinya hipotermi umumnya

dapat dilakukan dengan cara menghangatkan dahulu setiap selimut, topi atau pakaian

sebelum kelahiran kemudian segera keringkan bayi baru lahir. Kemudian mengganti

selimut yang basah setelah mengeringkan bayi baru lahir dan hangatkan dahulu area

resusitasi bayi baru lahir. Kemudian mengatur suhu ruangan kelahiran pada 24ºC, jangan

melakukan pengisapan pada bayi baru lahir diatas tempat tidur yang basah, tunda

memandikan bayi baru lahir sampai suhu bayi stabil selama 2 jam kemudian atur agar

tempat perawatan bayi baru lahir jauh dari jendela, dinding-dinding luar atau pintu keluar

serta pertahankan kepala bayi baru lahir tetap tertutup dan badannya dibedung dengan

baik setiap 48 jam.

2.5.5. Penanganan Hipotermi

Seorang bayi yang cukup bulan yang sehat dan berpakaian akan mempertahankan

suhu tubuh sebesar 36-37 ºC asalkan suhu lingkungan dipertahankan antara 18 dan 21 ºC,

gizi cukup dan gerakannnya tidak terhambat oleh bedong yang ketat. Laju metabolisme

bayi berbeda-beda, tetapi masing-masing bayi harus diawasi tidak boleh terlalu panas.

Universitas Sumatera Utara


Hipotermi padat terjadi jika bayi berada dekat pada sumber radiasi panas.

Aktivitas berkeringat akan berlangsung terutama didaerah dahi, walaupun kemampuan

ini masih terbatas pada bayi baru lahir (Wahyuningsih, 2008).

Saat merawat bayi beresiko, harus melakukan pengukuran ekstra untuk

mempertahankan suhu lingkungan yang netral (neutral thermal environment [NTE])

untuk bayi tersebut. Suhu lingkungan yang netral adalah suhu lingkungan dimana bayi

tertentu akan mempertahankan suhu normal tanpa menggunakan energi berlebihan untuk

melakukannya. Bayi yang mengalami hipotermi akan meningkatkan kecepatan

metabolismenya untuk meningkatkan suhu tubuhnya dalam kisaran normal (Jensen,

2005).

Penanganan bayi hipotermi berat dapat dilakukan tindakan yaitu segera

hangatkan bayi dibawah alat pemancar panas yang telah dinyalakan sebelumnya, bila

mungkin gunakan inkubator atau ruangan hangat bila perlu. Kemudian ganti baju yang

dingin dan basah bila perlu beri pakaian yang hangat, pakai topi dan selimuti dengan

selimut hangat. Bayi harus dihindari dari paparan panas yang berlebihan dan usahakan

agar posisi bayi sering diubah bila bayi dengan gangguan nafas (frekuensi nafas lebih 60

atau kurang 40 kali/menit, tarikan dinding dada, merintih saat ekspirasi).

Penanganan bayi yang mengalami hipotermi sedang dapat dilakukan

tindakanyaitu dengan mengganti pakaian yang dingin dan basah dengan pakaian yang

hangat, memakai topi dan selimut dengan selimut hangat. Apabila ada ibu atau pengganti

ibu, anjurkan menghangatkan bayi dengan melakukan kontak kulit dengan kulit

(perawatan bayi lekat) akan tetapi apabila ibu tidak ada: hangatkan kembali bayi dengan

Universitas Sumatera Utara


menggunakan alat pemancar panas. Gunakanlah inkubator dan ruangan hangat bila perlu.

Kemudian periksa suhu alat penghangat dan suhu ruangan, beri ASI perah dengan

menggunakan salah satu alternatif cara pemberian minum dan sesuaikan pengatur suhu.

Hindari paparan panas yang berlebihan dan posisi bayi lebih sering diubah (Departemen

Kesehatan Republik Indonesia, 2007).

2.6. Kebijakan dan Prosedur Ruang Perinatologi

Kebijakan penanganan bayi di ruang perinatologi adalah sebagai berikut:

1. Bila ada neonatus resti masuk ruang sakit harus melalui UGD dan dikonsulkan

spesialis anak

2. Setiap neonates resti minimal dirawat 2 x 24 jam

3. Pasien dengan resiko tinggi dirawat dalam incubator

Prosedur penanganan bayi di ruang perinatologi mengikuti langkah-langkah

sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi tempat untuk bayi berisiko :

a. Bayi resiko tinggi tanpa sepsis –(asphyxia, prematur, bblr<2.000gr) dirawat di

inkubator

b. Bayi Resiko tinggi dengan sepsis, rawat di incubator

c. Bayi resiko sedang di rawat di ruang bayi

d. Bayi resiko sedang untuk primer SC, observasi 6 – 8 jam/sampai k.u stabil,

bisa ikut ibu.

Universitas Sumatera Utara


e. Bayi resiko sedang lahir dengan tindakan di observasi 12 – 24 jam, bisa ikut

ibu bila keadaan baik.

f. Bayi resiko sedang dengan BB > 2000 gr – 2500 gr dirawat di R Perinatologi

2. Melakukan pendokumentasian yang lengkap

a. Melakukan registrasi pasien dalam 24 jam

b. Memasukkan pasien ke sensus harian dalam 24 jam

c. Melengkapi CM keperawatan

d. Dokter melengkapi CM perjalanan penyakit

2.7. Kerangka Konsep

Kerangka konsep adalah usaha untuk menyusun kerangka kerja berdasarkan

konsep-konsep teori dan fenomena secara benar dan berhubungan dengan tujuan

penelitian.

Kerangka konsep penelitian ini menggambarkan pengaruh pemisahan ruang

perinatologi terhadap tanda kejadian infeksi perinatal di Rumah Sakit Tapanuli

Selatan.

Variabel independen Variabel dependen

Kejadian Infeksi
Diruang perinatologi
Pemisahan Ruang - Diare
Perinatologi - Hipotermi
- Hipertermi
- Infeksi Tali Pusat
- Kemauan Menghisap
- Lama rawatan

Gambar 2.5 Kerangka Konsep Penelitian

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai