Anda di halaman 1dari 35

KAJIAN PSIKOLOGIS

TERHADAP REALITAS PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK

MAKALAH

ditulis untuk memenuhi tugas pada


Mata Kuliah Landasan Pedagogik

oleh:
KELOMPOK III
KELAS PENDIDIKAN DASAR A 2018
Ahmad Imam Maulana (1802492)
Rohma Mauhibah (1802715)
Rony Wirachman (1802981)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DASAR


SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2019

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami penjatkan kehadirat Allah SWT , yang atas rahmat dan
karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang
berjudul “Kajian Psikologis terhadap Realitas Perkembangan Peserta Didik”.
Penulisan makalah ini merupakan salah satu tugas kelompok yang diberikan dalam
mata kuliah Landasan Pedagogik pada program studi Pendidikan Dasar Universitas
Pendidikan Indonesia.
Dalam penulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan baik
pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang kami
miliki. Untuk itu, kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi
penyempurnaan pembuatan makalah ini. Akhir kata, kami menyampaikan ucapan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang membantu dalam
menyelesaikan makalah ini, khususnya kepada dosen kami Dr. H. Babang Robandi,
M.Pd yang telah memberikan tugas dan petunjuk kepada kami sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Bandung, 24 Maret 2019

Kelompok III

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................... ii


DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii
DAFTAR TABEL ............................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................1


A. Psikologi Pendidikan .......................................................................................1
B. Perkembangan Peserta Didik ...........................................................................2

BAB II KAJIAN PSIKOLOGIS TERHADAP REALITAS


PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK .............................................................4
A. Perkembangan Kognitif ..................................................................................4
B. Perkembangan Emosional................................................................................7
C. Perkembangan Sosial .......................................................................................8
D. Perkembangan Moral .....................................................................................13
E. Perkembangan Religi/ Spiritual .....................................................................19

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................22


A. Kesimpulan ...................................................................................................22
B. Saran .............................................................................................................22

DAFTAR RUJUKAN ............................................................................................v

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Perkembangan Emosional pada Peserta Didik Sekolah Dasar ................7

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Keragaman Keadaan Emosi Mempengaruhi Keragaman Tindakan


Sosial ........................................................................................................................7

v
Bab I
Pendahuluan

Makalah ini memaparkan tentang kajian psikologis terhadap realita


perkembangan peserta didik. Perkembangan tersebut meliputi perkembangan
kognitif, sosial, emosional, moral dan nilai serta religi. Sebelum dibahas lebih jauh
secara teoritis pandangan beberapa ahli mengenai perkembangan peserta didik,
akan dibahas terlebih dahulu tentang pengertian umum psikologi pendidikan.
Psikologi merupakan ilmu tamu dalam ilmu pendidikan (paedagogik).
Keberadaannya memberikan implikasi terhadap pembelajaran. Di dalam makalah
ini akan dibahas pula cakupan dan implikasi kajian psikologi pendidikan.
A. Psikologi Pendidikan
Secara umum psikologi dimaknai sebagai ilmu yang mempelajari
tentang perilaku kejiwaan manusia. Terdapat banyak cabang ilmu psikologi
berdasarkan objek kajian, di antaranya: psikologi klinis, piskologi sosial,
psikologi politik, psikologi pendidikan, piskologi perkembangan, psikologi
lingkungan, dll. Di sini yang akan dibahas adalah psikologi pendidikan.
Psikologi pendidikan adalah cabang ilmu psikologi yang
mengkhususkan diri pada pemahaman tentang proses belajar mengajar dalam
lingkungan pendidikan. Bidang psikologi pendidikan dirintis pada awal abad ke
20 oleh para ahli psikologi. Mengajar adalah hal yang komplek dengan peserta
didik yang variatif, jadi tidak ada cara tunggal yang paling efektif untuk
mengajar (Diaz, 1997). Guru harus menguasai beragam perspeltif dan strategi.
Serta harus mampu mengaplikasikan secara fleksibel. Menurut Santrock ada
dua hal utama yang perlu diperhatikan oleh pendidik dalam mengajar:
1. Pengetahuan dan Keahlian Profesional
Pengetahuan dan keahlian professional ini meliputi:
a. Penguasaan materi pelajaran
b. Strategi pengajaran
c. Penetapan tujuan dan keahlian perencanaan isntruksional
d. Keahlian manajemen kelas, motivasional dan komunikasi
e. Memahami latar belakang budaya peserta didik yang berbeda-beda

1
f. Dan menguasai teknologi
2. Komitmen dan Motivasi
Menjadi pendidik yang efektif membutuhkan komitmen dan motivasi.
Aspek ini mencakup sikap yang baik dan perhatian kepada peserta didik.
Komitmen dan motivasi membantu pendidik dalam masa-masa yang sulit
dan melelahkan dalam mengajar.

B. Perkembangan Peserta Didik


Menurut psikologi perkembangan adalah perubahan pola perubahan
biologis, kognitif dan sosioemosional yang dimulai sejak lahir dan terus
berlangsung sepanjang hayat (Santrock, 2007). Pendidikan harus disesuaikan
dengan perkembangan ini. Pembelajaran untuk peserta didik harus disajikan
berdasarkan tingkat perkembangannya. Ada dua hal dalam membahas
perkembangan yaitu proses dan periode.
1. Proses
Pola perkembangan merupakan proses yang kompleks karena
meliputi beberapa proses seperti proses biologis, kognitif dan
sosioemosional. Proses biologis adalah perubahan dalam tubuh peserta
didik. Di sini genetic sangat berperan penting. Proses biologis melandasi
perkembangan otak, berat dan tinggi badan, perubahan dalam kemampuan
bergerak dan perubahan hormonal di masa puber.
Proses kognitif adalah perubahan dalam pemikiran, kecerdasan dan
bahasa peserta didik. Proses perkembangan kognitif membuat peserta didik
mampu mengingat, membayangkan dan memecahkan soal matematis,
berpikir kreatif dan menghubungkan kalimat secara bermakna.
Proses sosioemosional adalah perubahan dalam hubungan peserta
didik dengan orang lain, perubahan dalam emosi dan kepribadian.
Pengasuhan, perkelahian, perubahan ketegasan perempuan dan perasan
gembira saat memperoleh nilai yang baik semua itu mencerminkan proses
perkembangan sosioemosional.
2. Periode

2
Umumnya perkembangan dimaknai sebagai periode perkembangan,
yaitu deskripsi perkembangan berdasarkan periode-periode.dalam system
klasifikasi yang paling banyak dipakai, periode perkembangan meliputi
periode infancy (bayi), early childhood (usia balita), middle dan late
childhood (periode sekolah dasar), adolescene (masa remaja), early
adulthood, middle adulthood dan late adulthood.
Di dalam makalah ini, yang dimaksud peserta didik adalah anak
pada tahapan middle dan late childhood (periode sekolah dasar). Biasanya
dimulai dari usia enam sampai sebelas tahun. anak mulai menguasai
keahlian membaca, menulis dan berhitung. Prestasi menjadi tema utama
dari kehidupan anak dan mereka semakin mampu mengendalikan diri.
Dalam periode ini mereka berinteraksi dengan dunia social yang lebih luas
dari keluarganya.

3
BAB II
Kajian Teori

A. Realitas Perkembangan Kognitif Peserta Didik


Perkembangan kognitif peserta didik ini meliputi dua hal, yaitu
perkembangan kuantitas dan kualitas. Perkembangan kuantitas yang dimaksudkan
adalah tentang perkembangan otak. Sedangkan perkembangan kualitas yaitu
perkembangan struktur kognitif, bagaimana proses peserta didik menyusun
pengetahuan yang baru.
1. Teori Piaget
Jean Piaget seorang ahli psikologi berkebangsaan Swiss melakukan studi
intensif tentang perkembangan kognitif. Piaget menyebutkan bahwa struktur
kognitif sebagai schemata, yaitu kumpulan dari skema-skema. Seorang individu
dapat mengikat, memahami dan memberikan respon terhadap stimulus
disebabkan karena bekerjanya skemata ini. Skemata ini ini berkembang secara
kronologis sebagai hasil interaksi antara individu dengan lingkungannya.
Dengan demikian seorang individu yang lebih dewasa memiliki struktur
kognitif yang lebih lengkap daripada ketika masih kanak-kanak.
Perkembangan skemata ini terjadi terus menerus melalui adaptasi dengan
lingkungan. Schemata tersebut membentuk suatu pola penalaran tertentu dalam
pikiran anak. Proses terjadinya adaptasi dari schemata yang telah terbentuk
dengan stimulus baru dilakukan dengan dua cara yaitu: asimilasi dan
akomodasi.
Asimilasi adalah proses pengintegrasian secara langsung stimulus baru ke
dalam schemata yang yang telah terbentuk. Sedangkan akomodasi adalah
proses pengintegrasian stimulus baru ke dalam skema yang sudah terbentuk
secara tidak langsung. Hal ini terjadi karena stimulus baru tidak dapat
diasimilasi, karena tidak ada skema yang sesuai yang telah dimilikinya.
Keadaan tidak seimbang antara asimilasi dan akomodasi disebut dis
equilibrium. Dalam struktur kognitif setiap individu harus ada keseimbangan
(equillibrium) antara asimilasi dan akomodasi. Keseimbangan ini dimaksudkan
agar dapat mendeteksi persamaan dan perbedaan yang terdapat pada stimulus-

4
stimlulus yang dihadapi. Perkembangan kognitif pada dasarnya adalah
perubahan dari keseimbangan yang telah dimiliki ke keseimbangan baru yang
diperoleh.
Berdasarkan hasil penelitian Piaget, ada empat tahap perkembangan
kognitif. Yaitu:
a. Tahap sensori motor
Tahapan ini berlangsung dari bayi baru lahir sampai usia dua tahun.
pengalaman diperoleh melalui gerakan anggota tubuh (motorik kasar) dan
sensori (koordinasi alat indra). Pada mulanya pengalaman itu bersatu
dengan dirinya, ini berarti bahwa suatu objek itu ada bila tampak dalam
penglihatannya. Perkembangan selanjutnya ia berusaha untuk mecari objek
yang asalnya terlihat kemudian menghilang dari pandangannya.
b. Tahap pra operasi
Tahap ini terjadi pada usia 2-7 tahun. tahap ini adalah tahap persiapan untuk
pengorganisasian operasi konkret. Istilah operasi yang digunakan oleh
Piaget di sini merupakan tindakan-tindakan kognitif, seperti
mengklasifikasikan sekelompok objek (calssifying), menata letak benda-
benda menurut urutan tertentu (seriation), dan membilang (counting)
(mairer, 1978).
c. Tahap operasi konkret
Anak-anak pada tahap ini umumnya sudah berada pada sekolah dasar, yaitu
usia 7-11 tahun. Umumnya anak-anak pada tahap ini telah memahami
operai logis dengan bantuan-bantuan benda konkret. Kemampuan ini
terwujud dalam memahalmi konsep kekekalan, kemampuan untuk
mengklasifikasi dan seriasi, mampu memandang suatu objek dari sudut
pandang yang berbeda secara objektif dan mamu berpikir reversibel.
d. Tahap operasi formal
Tahap operasi formal terjadi pada usia lebih dari 11 tahun, merupakan tahap
akhir dari perkembangan kognitif seacara kualitas. Anak pada tahap ini
sudah mampu melakukan penalaran dengan menggunakan hal-hal yang
abstrak. Penggunaan benda-benda konkret tidak diperlukan lagi. Anak
mampu bernalar tanpa harus berhadapan dengan objek langsung. Penalaran

5
yang terjadi dalam struktur kognitifnya telah mampu hanya dengan
menggunakan symbol, ide, abstraksi dan generalisasi.

2. Menerapkan Teori Piaget Pada Peserta Didik


Piaget menunjukkan tentang beberapa hal penting yang perlu dicermati
dalam proses perkembangan kognitif. Implikasi penerapan teori piaget dalam
pembelajaran peserta didik menurut Santrock dalam bukunya Psikologi
Pendidikan antara lain:
a. Guru hendaknya menyusun pembelajaran dengan menggunakan
pendekatan konstruktivis.
b. Guru memfasilitasi peserta didik untuk belajar dengan berbagai aktivitas.
Pembelajaran yang efektif seharusnya dirancang dengan learning by doing.
c. Guru mempertimbangkan pengetahuan dan pemikiran peserta didik.
Peserta didik datang ke sekolah tidak dengan kepala kosong, tetapi
membawa gagasan-gagasan tentang dunia fisik dan alam.
d. Melakukan penilaian berkelanjutan.
e. Memberi stimulasi untuk meningkatkan kemampuan kognitif.
f. Menjadikan ruang kelas menjadi ruang eksplorasi dan penemuan.

B. Kajian Perkembangan Emosional Peserta Didik


Menurut (Nurihsan dan Agustin, 2016) emosi adalah suatu suasana yang
kompleks dan getaran jiwa yang menyertai atau muncul sebelum/sesudah terjadinya
perilaku. Suasana yang kompleks dapat diartikan sebagai suatu perasaan atau
keadaan jiwa yang sulit untuk dipahami, atau dijelaskan dengan kata-kata. Dengan
kata lain, mengetahui perasaan seseorang tidak dapat dilakukan dengan mudah,
namun membutuhkan pengamatan-pengamatan ilmiah terkait dengan sebab dan
akibat, karena emosi yang terdapat di dalam jiwa seseorang menyebabkan suatu
sikap dan perilaku tertentu. Contohnya, disaat seseorang marah, pada umumnya
akan terlihat wajah yang cemberut, murung, dan tegang. Selain itu, emosi juga akan
muncul karena perilaku atau keadaan dari lingkungan sekitarnya. Seperti yang
dijelaskan oleh Campos dan Saarni (dalam Santrock, 2007) bahwa emosi adalah
perasaan atau afeksi yang timbul ketika seseorang berada dalam suatu keadaan.

6
Keadaan yang dimaksud, diantaranya adalah perilaku dari keluarganya, teman
sebayanya, sekolah, masyarakat setempat, agamanya, kebudayaannya, dan
ekonominya. Dengan berbagai keadaan tersebut, akan mempengaruhi atau
memunculkan suatu emosi kepada seseorang termasuk peserta didik.
Membahas lebih lanjut tentang emosi, Goleman (dalam Nurihsan dan
Agustin, 2016) menjelaskan bahwa emosi merujuk pada kecerdasan emosional
(EQ), yaitu bahwa emosi adalah suatu perasaan atau pikiran-pikiran khasnya.
Maksudnya, setiap manusia diciptakan dengan kecerdasan emosional yang
berbeda-beda, sehingga setiap peserta individu akan memunculkan emosi yang
berbeda-beda walaupun di dalam keadaan yang sama. Dengan demikian, seorang
guru harus mengerti bahwa setiap anak memiliki perasaan yang berbeda-beda, dan
dapat disimpulkan bahwa dalam empat puluh peserta didik, maka terdapat juga
empat puluh jiwa yang harus dipahami dan diarahkan, sehingga emosi siswa dapat
berkembang kearah yang positif.
Pada hakikatnya, ekspresi emosi merupakan bentuk komunikasi anak dengan
lingkungannya, sehingga perkembangan emosi anak terjadi karena anak telah
memperoleh penilaian dari lingkungannya dan kemudian membentuk suatu
kebiasaan dan konsep diri (Nurihsan dan Agustin, 2016). Dengan demikian,
perkembangan emosional pada peserta didik sangat bergantung bagaimana keadaan
lingkungannya. Lingkungan yang baik akan memberikan penguatan, dan pengaruh
yang positif terhadap emosi yang dimunculkan oleh peserta didik yang kemudian
berkembang menjadi konsep diri yang positif, sedangkan lingkungan yang buruk
akan memberikan penguatan dan pengaruh yang negatif terhadap perkembangan
emosionalnya sehingga menjadi suatu konsep diri yang negatif. Untuk mencegah
peserta didik dari lingkungan yang negatif, peran sekolah sangat penting dalam
membimbing perkembangan emosional peserta didik sehingga membentuk konsep
diri/ karakter yang baik.
Dalam ruang lingkup sekolah, guru memiliki peran penting dalam
membimbing perkembangan emosional peserta didik. Salah satu upaya guru dalam
membimbing perkembangan emosional peserta didik Sekolah Dasar, adalah dengan
memahami perkembangan emosional yang terjadi pada anak secara umum. Berikut
ini adalah gambaran perkembangan emosional pada peserta didik Sekolah Dasar:

7
Tabel 2.1 Perkembangan Emosional pada Peserta Didik Sekolah Dasar
Rentang
Deskripsi
Usia
Mulai memahami situasi emosi
Mulai memahami bahwa kejadian yang sama akan menyebabkan
perasaan yang berbeda
Kejadian tertentu akan membuat perasaan yang bertahan lama
5-10 Mulai meningkatan tingkat kesadaran untuk mengontrol emosi sesuai
TAHUN dengan standar sosial melalui peniruan dan latihan
Semakin meninggalkan rasa egonya
Suka membanding-bandingkan dengan anak lain.
Jika tidak mampu mengerjakan sesuatu, maka dianggap tidak penting
Rasa ingin menolong dan berempati berkembang
1. Peningkatan kemampuan untuk memahami emosi kompleks,
contoh: malu, bangga
2. Peningkatan kemampuan untuk memahami bahwa seseorang bisa
mengalami lebih dari satu emosi dalam satu kejadian
3. Peningkatan kecendrungan untuk lebih mempertimbangkan
kejadian yang menyebabkan suatu reaksi emosi (mencoba mengerti
11-13 dalam mencari sebab akibat)
TAHUN 4. Peningkatan untuk menutupi reaksi emosional yang negatif
5. Penggunaan strategi personal untuk mengalihkan perasaan tertentu,
contoh: mengalihkan pikiran terhadap keadaan emosi tertentu.
6. Menunjukan empati yang tulus dan pemahaman emosional yang
lebih tinggi
7. Membandingkan pekerjaan yang praktis
8. Jiwa kompetitif yang tinggi

C. Kajian Perkembangan Sosial Peserta Didik


Secara epistomologis, manusia adalah makhluk sosial, yang tidak bisa hidup
sendiri tanpa peran atau bantuan orang lain. Manusia perlu berinteraksi dengan
manusia lainnya untuk memenuhi kebutuhannya. Namun, pada saat lahir manusia

8
belum bersifat sosial, yaitu belum mampu berinteraksi dengan orang lain. Untuk
memperoleh kemampuan bersosial, perlu adanya kesempatan dan pengalaman
bergaul dengan orang lain. Dengan begitu, manusia akan belajar bersosial dan
kemampuan bersosialnya akan selalu berkembang sesuai dengan banyaknya
pengalaman-pengalaman sosial yang dialamiya. Pengalaman sosial tersebut,
contohnya adalah melalui lingkungan keluarga, teman sebaya, media massa dan
masyarakat sekitar. Dengan demikian, lingkungan sekitar sangat mempengaruhi
terhadap perkembangan-perkembangan sosial seseorang. Lingkungan yang baik
akan membawa pada perkembangan sosial yang positif, sedangkan lingkungan
yang tidak baik pun akan membawa pada perkembangan sosial yang negatif.
Mengingat hal itu, dalam mencegah perkembangan sosial yang negatif ada suatu
upaya besar yang disebut dengan sosialisasi.
Sueann Robinson Ambron (dalam Nurihsan dan Agustin, 2016) mennjelaskan
bahwa sosialisasi itu sebagai proses belajar yang membimbing anak ke arah
perkembangan kepribadian sosial sehingga dapat menjadi anggota masyarakat yang
bertanggungjawab dan efektif. Sehingga, dapat dikatakan bahwa sosialisasi sebagai
upaya untuk menanamkan, dan menyadarkan seseorang untuk memilih lingkungan
yang baik, sehingga terbentuk sikap, tindakan, dan pemikiran sosial yang postif.
Dengan demikian, sosialisasi sebaiknya dilakukan pada anak sejak dini. Karena,
pada hakikatnya perkembangan sosial adalah suatu proses untuk pencapaian
kematangan dalam hubungan sosial (Syamsu Yusuf, 2015). Untuk menyiapkan
seseorang yang memiliki keterampilan sosial yang baik, maka perlu adanya proses
sosialisasi yang baik, secara bertahap dan tidak bersifat instan. Sehingga, anak-anak
disiapkan untuk menjadi warga masyarakat yang memiliki keterampilan sosial yang
baik dan berkarakter. Dalam hal ini, yang memiliki peran besar dalam memberikan
sosialisai dan membimbing perkembangan sosial anak adalah lingkungan sekolah,
terutama guru.
Guru adalah pelaksana pendidikan yang menggantikan peran orang tua di
dalam lingkungan sekolah. Selain untuk mengajar dan melatih, guru juga memiliki
peran untuk mendidik. (Sadulloh, Muharram dan Robandi, 2018) menjelaskan
bahwa mengajar adalah upaya meningkatkan kecerdasan intelektual, melatih adalah
upaya untuk meningkatkan keterampilan atau skills peserta didik, dan mendidik

9
adalah upaya untuk membimbing dan mengembangkan budi pekerti, hati nurani,
semangat, kecintaan, rasa kesusilaan, dan ketakwaan. Dengan demikian,
keberhasilan guru dalam melaksanakan pendidikan, terutama mendidik, akan
memiliki dampak yang sangat besar dan sangat baik terhadap perkembangan sosial
peserta didik. Sebagai langkah awal untuk melakukan tugasnya sebagai pendidik,
guru harus memahami tentang perkembangan sosial yang terjadi secara umum pada
peserta didiknya. Dalam konteks Sekolah Dasar, maka deskripsi tentang
perkembangan sosial adalah keadaan anak usia 7-12 tahun secara umum. Berikut
ini adalah gambaran deskripsi perkembangan sosial yang terjadi pada peserta didik
Sekolah Dasar secara umum menurut (Syamsu Yusuf, 2015):
Pembangkangan (Negativisme): muncul pada usia 18 bulan – 3 tahun dan menurun
pada usia 4-6 tahun; yang merupakan bentuk tingkah laku melawan sebagai reaksi
terhadap penerapan disiplin atau tuntutan orang tua/lingkungan yang tidak sesuai
dengan kehendaknya.
Agresi (Agression): perilaku menyerang balik secara fisik(nonverbal)
misalnya mencubit,menggigit,menendang dll.; maupun kata-kata (verbal), yang
merupakan salah satu bentuk reaksi terhadap rasa frustasi karena tidak terpenuhi
kebutuhan/keinginannya.
Berselisih/bertengkar: terjadi bila anak tersinggung atau terganggu oleh sikap atau
perilaku anak lain.
Menggoda (Teasing): bentuk lain dari sikap agresif,yang merupakan
serangan mental dalam bentuk verbal(kata-kata ejekan atau cemoohan) yang
menimbulkan marah pada orang yang digoda.
Persaingan (Rivaly) : keinginan untuk melebihi orang lain dan selalau
didorong oleh orang lain. Mulai terlihat pada usia empat tahun yaitu persaingan
prestice dan usia enam tahun semangat bersaing ini akan semakin baik.
Kerja sama (Cooperation): mau bekerja sama dengan orang lain, mulai
nampak pada usia tiga tahun atau awal empat tahun dan pada usia enam hingga
tujuh tahun semakin berkembang dengan baik.
Tingkah laku berkuasa (Ascendant behavior): tingkah laku menguasai
situasi sosial, mendominasi , bersikap bossiness; wujudnya adalah memaksa,
meminta, menyuruh, mengancam dsb.

10
Mementingkan diri sendiri (Selffishness): sikap egosentris dalam memenuhi
interest atau keinginananya masih ada
Simpati (Sympaty): sikap emosional yang mendorong individu untuk
menaruh perhatian terhadap orang lain, mau mendekati atau bekerjasama dengan
dirinya.
Membahas perkembangan sosial anak Sekolah Dasar, (Hurlock, 2013)
menjelaskan secara umum, bahwa usia anak Sekolah Dasar adalah usia “geng”,
yaitu usia yang mulai bermain dengan teman sebaya, menghabiskan banyak waktu
dengan teman bermain, sehingga waktu bersama keluarga mulai berkurang. Oleh
karena itu, Hurlock menjelaskan bahwa anak usia “geng” tersebut sudah siap untuk
belajar bertanggung jawab, berkompetisi, bekerja sama, mandiri, sportif,
berolahraga, setia, dan siap untuk menyesuaikan diri dengan peraturan sosial yang
ada. Maksud dari kata geng bukan mengarah kepada suatu hal yang negatif, namun
dapat diartikan bahwa anak mulai merasa ingin diakui dengan hidup secara
berkelompok. Keadaan bisa mengarah pada tindakan yang negatif, apabila tidak ada
pengawasan dan sosialisasi baik dari guru maupun orang tua. Namun keadaan ini
juga bisa mengarah pada tindakan yang positif atau bahkan pada konsep diri yang
positif, jika diarahkan, diawasi dan disosialisasikan dengan baik oleh guru dan
orang tuanya serta pengaruh lingkungan lainnya.
Berbeda pandangan dari gambaran perkembangan Yusuf, Bronson yang
telah melakukan penelitian pada anak 5 tahun- 16 tahun, menyimpulkan tiga pola
kecendrungan sosial anak, yang bisa menjadi pola sosial saat dewasa, yaitu:
1. withdrawal-expansive: yaitu perilaku cenderung menyendiri/ introvert.
2. reactivity-placidity: yaitu perilaku merespon secara aktif terhadap kehidupan
di lingkungannya.
3. passivity-dominance: yaitu perilaku kurang aktif terhadap kehidupan di
lingkungannya.
Namun, untuk mengetahui pola dasar sosial seperti pada penjelasan
Bronson, perlu ada pengamatan atau pemeriksaan secara khusus melalui para ahli
psikolog. Terlepas dari gambaran perkembangan diatas, harus tetap dipahami,
bahwa setiap anak memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Perbedaan itu akan
diwujudkan dalam keragaman kecerdasan emosional peserta didik yang

11
mengakibatkan suatu sikap sosial yang berbeda-beda. Berikut ini, adalah suatu
contoh bentuk tindakan sosial yang terkait perbedaan keadaan emosional anak
(dalam Hurlock, 2013):

Marah

Gambar 2.1 Keragaman Keadaan Emosi Mempengaruhi Keragaman Tindakan


Sosial
Dengan demikian, diharapkan guru yang juga bertugas sebagai pendidik,
memahami keadaan emosional dan sosial setiap peserta didik yang ditanganinya,
dan mengupayakan untuk menciptakan pembelajaran yang membimbing
perkembangan emosional dan sosialnya.
Upaya Guru dalam Perkembangan Sosial dan Perkembangan Emosional
Peserta Didik
Berikut ini adalah, beberapa upaya yang dapat dilakukan guru sebagai
pendidik dalam membimbing perkembangan sosial dan perkembangan emosional
peserta didik Sekolah Dasar, yang mana upaya tersebut dapat diwujudkan dalam
komponen-komponen kurikulum, yaitu:
1. Mengembangkan tujuan pembelajaran yang berorientasi pada semua aspek,
yaitu pada afektif, keterampilan dan pengetahuan peserta didik. Tujuan
pembelajaran pada pendidikan dasar, terutama pada jenjang SD seharusnya
tidak menitik beratkan hanya pada aspek kognitif, namun yang harus
menjadi tujuan utama adalah bagaimana menanamkan dan melatih

12
keterampilan dalam mengelola emosi, dan keterampilan bersosial, sehingga
anak bukan disiapkan untuk sebatas berhasil menjawab soal, akan tetapi
anak bisa memiliki keterampilan dalam menjalani hidup di masa
dewasanya. Sebagai upaya guru dalam hal ini, adalah dengan mengkritisi
kurikulum yang disediakan, yaitu bukan hanya mengikuti kurikulum yang
disediakan secara mutlak dan mengembangkan kurikulum tersebut dalam
rencana dan proses pembelajaran.
2. Menerapkan metode pembelajaran yang inovatif, variatif, dan kreatif.
Dengan memahami bahwa keadaan sosial dan emosional peserta didik
berbeda-beda, maka guru menerapkan metode pembelajaran yang inovatif,
variatif, dan kreatif. Artinya, guru bukan hanya menerapkan pembelajaran
dengan satu metode, namun juga dengan gabungan dari berbagai metode
pembelajaran, yang bertujuan untuk mencakup berbagai gaya belajar siswa.
Guru juga harus kreatif dalam mengelola suasana kelas, agar siswa
termotivasi, terapresiasi, dan tersosialisasi secara optimal dalam suasana
yang nyaman dan tanpa paksaan, seperti dengan memadukan pembelajaran
dengan humor, mendongeng, permainan, dan berkelompok.
3. Mengembangkan materi/ bahan ajar dengan isu-isu sosial yang terjadi
didaerah setempat. Dengan demikian, pembelajaran akan menjadi
bermakna dalam kehidupan nyata siswa, karena dikaitkan dengan kejadian-
kejadian sosial yang kemudian diberikan arahan dan bimbingan dalam
menyikapi kejadian sosial tersebut.
4. Menerapkan evaluasi pembelajaran yang baik dan sesuai dengan keadaan
peserta didik. Dengan berbagai keadaan emosional dan sosial siswa, guru
memberikan tugas yang melatih keterampilan siswa dalam bersosial,
terampil dalam mengelola emosinya dan bukan hanya sebatas menjawab
soal tes, seperti tugas portofolio, tugas dalam diskusi kelompok, pertanyaan
tentang studi kasus. Sehingga penilaian bukan hanya diakhir atau diawal
pembelajaran, namun juga di saat proses pembelajaran perlangsung.

13
D. Kajian Terhadap Perkembangan Moral Dan Nilai Peserta Didik
1. Moral
Istilah moral berasal dari kata Latin Mores yang artinya tata cara dalam
kehidupan, adat istiadat, atau kebiasaan. Maksud moral adalah sesuai dengan ide-
ide yang umum diterima tentang tindakan manusia mana yang baik dan wajar.
Moral merupakan kaidah norma dan pranata yang mengatur perilaku individu
dalam kehidupannya dengan kelompok sosial dan masyarakat. Moral merupakan
standar baik-buruk yang ditentukan bagi individu sebagai anggota sosial.

A. Teori Psikoanalisis tentang Perkembangan Moral


Dalam mengambarkan perkembangan moral, toeri psikoanalisa dengan
pembagian struktur kepribadian manusia atas tiga, yaitu id, ego dan superego. Id
adalah struktur keperibadian yang terdiri atas aspek biologi yang irasional dan tidak
disadari. Ego adalah struktur kepribadian yang terdiri atas aspek pskikologis, yakni
subsitem ego yang rasonal dan disadari, tetapi tidak memiliki moralitas. Superego
adalah struktur kepribadian yang terdiri atas aspek sosial yang berisikan system
nilai moral, yang memperhitungkan benar atau salahnya sesuatu.
Menurut teori psikoanalisis klasik Freud, semua orang mengalami konflik oedipus.
Konflik ini akan menghasilkan pembentukan struktur kepribadian yang dinamakan
Freud sebagai superego. Ketika anak mengatasi konflik oedipus ini, maka
perkembangan moral dimulai. Salah satu alasan mengapa anak mengatasi konflik
oedipus adalah perasaan khawatir akan kehilangan kasih sayang orang tua dan
ketakutan akan dihukum karena keinginan seksual mereka tidak dapat diterima
terhadap orang tua yang berbeda jenis kelamin.
Struktur supergo ini mempunya komponen, yakni ego ideal kata hati (conscience).
Kata hati menggambarkan bagian dalam atau kehidupan mental seseorang,
peraturan-peraturan masyarakat, hukum, kode, etika dan moral. Pada usia kira-kira
5 tahun perkembangan superego secara khas akan menjadi sempurna. Ketiha hal ini
terjadi, maka suara hati terbentuk. Ini berarti bahwa pada usia sekitar 5 tahun orang
sudah menyelesaikan pengembangan moralnya (Lerner & Hultsch, 1983).

14
B. Teori Belajar-Sosial tentang Perkembangan Moral
Teori belajar sosial melihat tingkag laku moral sebagai respons atau
stimulus. Dalam hal ini, proses-proses penguatan, penghukuman, dan peniruan
digunakan untuk menjelaskan perilaku moral anak-anak. Bila anak diberi hadiah
atas perilaku yang sesuai dengan aturan dan kontrak sosial, mereka akan
mengulangi perilaku tersebut. Sebaliknya, bila mreka dihukum atas perilaku yang
tidak bermoral, maka perilaku itu akan berkurang atau hilang.
Semua mahluk hidup terutama mansuia, manusia adalah mahluk sosial. Berbicara
tentang mahluk sosial manusia tidak lepas dengan interaksi sosial. Interaksi sosial
adalah hubungan manusia dengan manusia lainnya, hubungan manusia dengan
kelompok, hubungan kelompok dengan kelompok lainnya. aspek yang mendasari
interaksi sosial, yaitu komunikasi, sikap, tingkah laku kelompok, dan norma-norma
sosial.
a. Komunikasi
Komunikasi adalah proses pengiriman berita dari seseorang kepada orang
lainnya. Dalam kehidupans sehari-hari kita melihat komunikasi ini dalam berbagai
bentuk, misalnya percakapan antara dua orang, pidato dari ketua kepada anggota
rapat, berita yang dibacakan oleh penyiar televise atau radio, buku cerita, Koran,
surat, teleks, telegram, telepon, facsimile, internet, e-mail, sms, dan sebagainnya.
Komunikasi terbagi menjadi dua bagian, yakni komunikasi satu arah,
komunikasi dua arah. Komunikasi satu arah adalah komunikasi yang dating dari
satu pihak saja, sedangkan pihakyang lain hanya mejadi penerima. Sedangkan
komunikasi dua arah, yaitu penerima dapat berubah fungsi menjadi pengirim berita,
sedangkan pengirim dapat menjadi penerima berita.
b. Sikap
Sikap merupakan istilah yang mencerimkan rasa senang, tidak senang dan
rasa tidak terjadi apa-apa. Sikap yang memunculkan rasa senang disebut sikap
positif, sikap yang memunculkan rasa tidak senang disbut sikap negative dan sikap
yang mencermikan perasaan tidak terjadi apa-apa disebut sikap natural.
Sikap dinyatakan pada tiga domein ABC, yakni Affect, behavior, cognition. Affect
adalah perasaan yang timbul (senang, tak senang), behavior adalah perilaku yang

15
mengikuti perasaan itu (mendekat, menghindar), dan cognition adalah penilaian
terhadap objek sikap (bagus, tidak bagus) (Sarwono, 1997).
c. Tingkah laku kelompok
Tingkah laku kelompok terdapat mekanisme-mekanisme yang terjadi dalam
kelompk tersebut. Tingkah laku yang ada pada kelompok ini disebut dinamika
kelompok.
Teori dinamika kelompok diajukan pertama kali oleh Kurt Lewin (1890-1947) yang
menyatakan bahwa tingkah laku kelompok adalah fungsi dari kepribadian individu
dan situasi sosial.
Neil Selemser berpendapat perilaku kelompok ditimbulkan oleh enam factor
sebagai berikut :
a) Keadaan masyarakat yang tertekan (structural Strain)
b) Keadaan masyarakat yang kondusif untuk terjadinya perilaku massa
(structural conduciveness)
c) Adanya kepercayaan masyarakat bahwa sesuatu hal sedang atau akan terjadi
(generalized belief)
d) Ada sarana dan perasarana untuk mengarahkan kelompok (mobilization for
action)
e) Kurangnya kontrol sosial (lack of sosial control)
f) ada peristiwa pencetus (triggering factor)
d. Norma sosial
Norma sosial adalah nilai-nilai yang berlaku dalam suatu kelompok yang
membatasi tingkah laku individu dalam kelompok itu. Yang membedakan norma
sosial dengan produk-produk sosial dan budaya, serta konsep-konsep psikologi
lainnya adalah bahwa dalam norma sosial ada terkandung sanksi sosial.
Pengaruh norma sosial terhadap kepribadian individu anggota kelompok adalah
sebagai berikut.
a) Norma sosial merupakan factor yang mendorong motivasi
b) Norma itu selalu mempengaruhi tiap tingkah laku dalam hubungan
interpersonal seperti persepsi, sikap, ingatan dan sebagainya.
c) Norma sosial selalu menimbulkan tekanan psikis

16
d) Norma yang bertentangan memaksa individu untuk mengikuti satu norma
saja. Akan tetapi hal ini selalu tidak mudah untuk mengatasi hal ini maka
dapat ditempuh beberapa cara, yaitu:
a. Masyaarakat atau kelompok itu sendiri memberikan kelonggaran-
kelonggaran dalam pelaksanaan nornma-normanya.
b. Rasionalisasi kebudyaan, yaitu penjelasan atau penalaran untuk
memberikan dasar logika kepada perilaku yang sesungguhnya tidak
dapat dibenarkan.

C. Teori Kognitif Piaget tentang Perkembangan Moral


Teori kognitif Piaget mengenai perkembangan moral melibatkan prisnsip-
prinsip dan proses-proses yang sama dengan pertumbuhan kognitif yang ditemui
dalam teorinya tentang perkembangan intelektual. Bagi Piaget, perkmebangan
moral digambarkan melalui aturan permainan. Karena itu, hakikat moralitas adalah
kecenderungan untuk menerima dan menaati sistem peraturan. Piaget
menyimpukjan bahwa pemikiran anak-anak tentang moralotas dapat dibedakan
atas 2 tahap, yaitu tahap heterenomous morality dan autonomous morality.
Heterenomous morality atau morality of constraint ialah tahap
perkmebnagan moral yang terjadi pada anak usia kira-kira 6-9 tahun. Anak-anak
pada masa ini yakin akan keadalian ammanem, yaitu konsep bahwa suatu aturan
dilanggar, hukuman akan segera dijatuhkan.
Autonomous morality atau morality of cooperation ialah tahap
perkmebnagan moral yang terjadi pada anak usia kira-kira 9-12 tahun. Pada tahap
ini, anak mulai sadar bahwa aturan-aturan dan hukum-hukum merupakan ciptaan
manusia dan dalam menerapkan suatu hukuman atas suatu tindakan harus
mempertimbangkan maksud pelaku serta akibat-akibatnya.

D. Teori Kohlberg tentang perkembangan moral


Tahapan perkembangan moral adalah ukuran dari tinggi rendahnya moral
seseorang berdasarkan perkembangan penalaran moral yang diungkapkan. Teori
perkembangan moral Lawrence E. Kohlbert berpandangan bahwa penalaran moral
yang merupakan dasar dari perilaku etis mempunyai enam tahapan. Keenam

17
tahapan tersebut dibagi kedalam tiga tingkatan: pra-konvensional (orientasi
kepatuhan, takut hukuman, dan orientasi minat pribadi), konvensional (orientasi
keserasian interpersonal, konformitas dan otoritas, pemeliharaan aturan sosial) dan
pasca konvensional (orientasi kontrak sosial dan prinsip etika universal).
Mengikuti persyaratan yang dikemukakan Piaget untuk suatu Teori
perkembangan kognitif, adalah sangat jarang terjadi kemunduran dalam tahapan-
tahapan ini. Walaupun demikian, tidak ada suatu fungsi yang berada dalam tahapan
tertinggi sepanjang waktu. Juga tidak dimungkinkan untuk melompati suatu
tahapan; setiap tahap memiliki perspektif yang baru dan diperlukan, dan lebih
komprehensif, beragam, dan terintegrasi dibanding tahap sebelumnya.

Tingkat 1 (Pra-Konvensional)
1. Orientasi kepatuhan dan hukuman
2. Orientasi minat pribadi
( Apa untungnya buat saya?)
Tingkat 2 (Konvensional)
3. Orientasi keserasian interpersonal dan konformitas
( Sikap anak baik)
4. Orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan sosial
( Moralitas hukum dan aturan)
Tingkat 3 (Pasca-Konvensional)
5. Orientasi kontrak sosial
6. Prinsip etika universal
( Principled conscience)

1) Pra-Konvensional
Tingkat pra-konvensional dari penalaran moral umumnya ada pada anak-
anak, walaupun orang dewasa juga dapat menunjukkan penalaran dalam tahap ini.
Seseorang yang berada dalam tingkat pra-konvensional menilai moralitas dari suatu
tindakan berdasarkan konsekuensinya langsung. Tingkat pra-konvensional terdiri
dari dua tahapan awal dalam perkembangan moral, dan murni melihat diri dalam
bentuk egosentris.

18
Dalam tahap pertama, individu-individu memfokuskan diri pada konsekuensi
langsung dari tindakan mereka yang dirasakan sendiri. Sebagai contoh, suatu
tindakan dianggap salah secara moral bila orang yang melakukannya dihukum.
Semakin keras hukuman diberikan dianggap semakin salah tindakan itu.[12]
Sebagai tambahan, ia tidak tahu bahwa sudut pandang orang lain berbeda dari sudut
pandang dirinya. Tahapan ini bisa dilihat sebagai sejenis otoriterisme.
Tahap dua menempati posisi apa untungnya buat saya, perilaku yang benar
didefinisikan dengan apa yang paling diminatinya. Penalaran tahap dua kurang
menunjukkan perhatian pada kebutuhan orang lain, hanya sampai tahap bila
kebutuhan itu juga berpengaruh terhadap kebutuhannya sendiri, seperti “kamu
garuk punggungku, dan akan kugaruk juga punggungmu.”[4] Dalam tahap dua
perhatian kepada oranglain tidak didasari oleh loyalitas atau faktor yang berifat
intrinsik. Kekurangan perspektif tentang masyarakat dalam tingkat pra-
konvensional, berbeda dengan kontrak sosial (tahap lima), sebab semua tindakan
dilakukan untuk melayani kebutuhan diri sendiri saja. Bagi mereka dari tahap dua,
perpektif dunia dilihat sebagai sesuatu yang bersifat relatif secara moral.
2) Konvensional
Tingkat konvensional umumnya ada pada seorang remaja atau orang
dewasa. Orang di tahapan ini menilai moralitas dari suatu tindakan dengan
membandingkannya dengan pandangan dan harapan masyarakat. Tingkat
konvensional terdiri dari tahap ketiga dan keempat dalam perkembangan moral.
Dalam tahap tiga, seseorang memasuki masyarakat dan memiliki peran
sosial. Individu mau menerima persetujuan atau ketidaksetujuan dari orang-orang
lain karena hal tersebut merefleksikan persetujuan masyarakat terhadap peran yang
dimilikinya. Mereka mencoba menjadi seorang anak baik untuk memenuhi harapan
tersebut,[4] karena telah mengetahui ada gunanya melakukan hal tersebut.
Penalaran tahap tiga menilai moralitas dari suatu tindakan dengan mengevaluasi
konsekuensinya dalam bentuk hubungan interpersonal, yang mulai menyertakan
hal seperti rasa hormat, rasa terimakasih, dan golden rule. Keinginan untuk
mematuhi aturan dan otoritas ada hanya untuk membantu peran sosial yang
stereotip ini. Maksud dari suatu tindakan memainkan peran yang lebih signifikan
dalam penalaran di tahap ini; 'mereka bermaksud baik.

19
Dalam tahap empat, adalah penting untuk mematuhi hukum, keputusan, dan
konvensi sosial karena berguna dalam memelihara fungsi dari masyarakat.
Penalaran moral dalam tahap empat lebih dari sekadar kebutuhan akan penerimaan
individual seperti dalam tahap tiga; kebutuhan masyarakat harus melebihi
kebutuhan pribadi. Idealisme utama sering menentukan apa yang benar dan apa
yang salah, seperti dalam kasus fundamentalisme. Bila seseorang bisa melanggar
hukum, mungkin orang lain juga akan begitu - sehingga ada kewajiban atau tugas
untuk mematuhi hukum dan aturan. Bila seseorang melanggar hukum, maka ia
salah secara moral, sehingga celaan menjadi faktor yang signifikan dalam tahap ini
karena memisahkan yang buruk dari yang baik.
3) Pasca-Konvensional
Tingkatan pasca konvensional, juga dikenal sebagai tingkat berprinsip,
terdiri dari tahap lima dan enam dari perkembangan moral. Kenyataan bahwa
individu-individu adalah entitas yang terpisah dari masyarakat kini menjadi
semakin jelas. Perspektif seseorang harus dilihat sebelum perspektif masyarakat.
Akibat ‘hakikat diri mendahului orang lain’ ini membuat tingkatan pasca-
konvensional sering tertukar dengan perilaku pra-konvensional.
Dalam tahap lima, individu-individu dipandang sebagai memiliki pendapat-
pendapat dan nilai-nilai yang berbeda, dan adalah penting bahwa mereka dihormati
dan dihargai tanpa memihak. Permasalahan yang tidak dianggap sebagai relatif
seperti kehidupan dan pilihan jangan sampai ditahan atau dihambat. Kenyataannya,
tidak ada pilihan yang pasti benar atau absolut - 'memang anda siapa membuat
keputusan kalau yang lain tidak'? Sejalan dengan itu, hukum dilihat sebagai kontrak
sosial dan bukannya keputusan kaku. Aturan-aturan yang tidak mengakibatkan
kesejahteraan sosial harus diubah bila perlu demi terpenuhinya kebaikan terbanyak
untuk sebanyak-banyaknya orang.[8] Hal tersebut diperoleh melalui keputusan
mayoritas, dan kompromi. Dalam hal ini, pemerintahan yang demokratis tampak
berlandaskan pada penalaran tahap lima.
Dalam tahap enam, penalaran moral berdasar pada penalaran abstrak
menggunakan prinsip etika universal. Hukum hanya valid bila berdasar pada
keadilan, dan komitmen terhadap keadilan juga menyertakan keharusan untuk tidak
mematuhi hukum yang tidak adil. Hak tidak perlu sebagai kontrak sosial dan tidak

20
penting untuk tindakan moral deontis. Keputusan dihasilkan secara kategoris dalam
cara yang absolut dan bukannya secara hipotetis secara kondisional (lihat imperatif
kategoris dari Immanuel Kant[13]). Hal ini bisa dilakukan dengan membayangkan
apa yang akan dilakukan seseorang saat menjadi orang lain, yang juga memikirkan
apa yang dilakukan bila berpikiran sama (lihat veil of ignorance dari John
Rawls[14]). Tindakan yang diambil adalah hasil konsensus. Dengan cara ini,
tindakan tidak pernah menjadi cara tapi selalu menjadi hasil; seseorang bertindak
karena hal itu benar, dan bukan karena ada maksud pribadi, sesuai harapan, legal,
atau sudah disetujui sebelumnya. Walau Kohlberg yakin bahwa tahapan ini ada, ia
merasa kesulitan untuk menemukan seseorang yang menggunakannya secara
konsisten. Tampaknya orang sukar, kalaupun ada, yang bisa mencapai tahap enam
dari model Kohlberg ini
Berdasarkan penelitiannya, Kohlbert (1995) menarik sejumlah kesimpulan sebagai
berikut:
a. Penilaian dan perbuatan moral pada intinya bersifat rasional.
b. Terdapat sejumlah tahap pertimbangan moral yang sesuai dengan pandangan
formal harus diuraikan dan yang biasanya digunakan remaja untuk
mempertanggungjawabkan perbuatan moralnya.
c. Membenarkan gagasan Jean Piaget bahwa pada masa remaja sekitar umur 16
tahun telah mencapai tahap tertinggi dalam proses pertimbangan moral

2. Nilai
Dalam kamus bahasa Indonesia, nilai adalah harga, angka kepandaian.
Adapun menurut Spranger, nilai diartikan sebagai suatu tatanan yang dijadikan
panduan oleh individu untuk menimbang dan memilih alternative keputusan dalam
situasi sosial tertentu.
Dalam perspektif Spranger, kepribadian manusia terbentuk dan berakar
pada tatanan nilai-nilai dan kesejahteraan. Meskipun menempatkan konteks sosial
sebagai dimensi nilai dalam kepribadianmanusia, tetapi spranger tetap mengakui
kekuatan individual yang dikenal dengan istilah“ rohsubjektif” (subjective spirit)
dan kekuatan nilai-nilai budaya merupakan “roh objektif” (objevtive spirit). Roh
objektif akan berkembang manakala didukung oleh roh subjektif, sebaliknya roh

21
subjektif terbentuk dan berkembang dengan berpedoman kepada roh objektif yang
diposisikan sebagai cita-cita yang harusdicapai.
Menurut Harrocks, nilai merupakan sesuatu yang memungkinkan individu
atau kelompok social membuat keputusan mengenai apa yang dibutuhkan atau
sebagai suatu yang ingin dicapai. Dalam buku psikologi perkembangan peserta
didik oleh Prof. Sinolungan mengatakan nilai adalah suatu yang diyakini
kebenarannya, dipercayai dan dirasakan kegunaannya, serta diwujudkan dalam
sikap atau perilakunya. Jadi, nilai bersifat normatif, suatu keharusan yang menuntut
diwujudkan dalam tingkah laku, misalnya nilai kesopanan dan kesederhanaan.
Misalnya, seseorang yang selalu bersikap sopan santun akan selalu berusaha
menjaga tutur kata dan sikap sehingga dapat membedakan tindakan yang baik dan
yang buruk. Dengan kata lain, nilai-nilai perlu dikenal terlebih dahulu, kemudian
dihayati dan didorong oleh moral, baru kemudian akan terbentuk sikap tertentu
terhadap nilai-nilai tersebut.
Secara dinamis, nilai dipelajari dari produk social dan secara perlahan
diinternalisasikan oleh individu serta diterima sebagai milik bersama dengan
kelompoknya. Nilai merupakan standar konseptual yang relatif stabil dan emplisit
membimbing individu dalam menentukan tujuan yang ingin dicapai serta aktivitas
dalam rangka memenuhi kebutuhan psikologisnya.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Moral dan Nilai


Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap perkembangan nilai, moral,
dan sikap individu mencakup aspek psikologis, sosial, budaya, dan fisik kebendaan,
baik yang terdapat dalam lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat.
Kondisi psikologis, pola interaksi, pola kehidupan beragama, berbagai sarana
rekreasi yang tersedia dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat akan
mempengaruhi perkembangan nilai, moral dan sikap individu yang tumbuh dan
berkembang di dalam dirinya.
a. Lingkungan Keluarga
Keluarga sebagai lingkungan pertama yang mempengaruhi perkembangan
nilai, moral dan sikap seseorang. Biasanya tingkah laku seseorang berasal dari
bawaan ajaran orang tuanya. Orang-orang yang tidak memiliki hubungan yang

22
harmonis dengan orang tuanya di masa kecil, kemungkinan besar mereka tidak
mampu mengembangkan super egonya sehingga mereka bisa menjadi orang yang
sering melakukan pelanggaran norma.
b. Lingkungan Sekolah
Di sekolah, anak-anak mempelajari nilai-nilai norma yang berlaku di
masyarakat sehingga mereka juga dapat menentukan mana tindakan yang baik
dan boleh dilakukan. Tentunya dengan bimbingan guru. Anak-anak cenderung
menjadikan guru sebagai model dalam bertingkah laku, oleh karena itu seorang
guru harus memiliki moral yang baik.
c. Lingkungan Pergaulan
Dalam pengembangan kepribadian, faktor lingkungan pergaulan juga turut
mempengaruhi nilai, moral dan sikap seseorang. Pada masa remaja, biasanya
seseorang selalu ingin mencoba suatu hal yang baru. Dan selalu ada rasa tidak enak
apabila menol ak ajakan teman. Bahkan terkadang seorang teman juga bias
dijadikan panutan baginya.
d. Lingkungan Masyarakat
Masyarakat sendiri juga memiliki pengaruh yang penting terhadap
pembentukan moral. Tingkah laku yang terkendali disebabkan oleh adanya kontrol
dari masyarakat itu sendiri yang mempunyai sanksi-sanksi tersendiri untuk
pelanggar-pelanggarnya.
e. Teknologi
Pengaruh dari kecanggihan teknologi juga memiliki pengaruh kuat terhadap
terwujudnya suatu nilai. Di era sekarang, remaja banyak menggunakan teknologi
untuk belajar maupun hiburan. Contoh: internet memiliki fasilitas yang
menawarkan berbagai informasi yang dapat diakses secara langsung.
Nilai positifnya, ketika remaja atau siswa mencari bahan pelajaran yang mereka
butuhkan mereka dapat mengaksesnya dari internet. Namun internet juga memiliki
nilai negative seperti tersedianya situs porno yang dapat merusak moral remaja.
Apalagi pada masa remaja memiliki rasa keingintahuan yang besar dan sangat
rentan terhadap informasi seperti itu. Mereka belum bias mengolah pikiran secara
matang yang akhirnya akan menimbulkan berbagai tindak kejahatan seperti
pemerkosaan dan hamil di luarnikah/hamil usia dini.

23
E. Kajian Terhadap Perkembangan Religi Peserta Didik.
Kata spiritualitas berasal dari bahasa inggris yaitu “spirituality”, kata
dasarnya “spirit” yang berarti: “roh, jiwa, semangat”. Kata spirit sendiri berasal dari
kata latin “spiritus” yang berarti: “luas atau dalam (breath),keteguhan hati atau
keyakinan (courage), energy atau semangat (vigor), dan kehidupan. Kata sifat
spiritual berasal dari kata latin spiritualis yang berarti “of the spirit” (kerohanian).
Definisi spiritual setiap individu dipengaruhi oleh budaya, perkembangan,
pengalaman hidup, kepercayaan dan ide-ide tentang kehidupan. Spiritualitas juga
memberikan suatu perasaan yang berhubungan dengan intrapersonal (hubungan
antara diri sendiri), interpersonal (hubungan antara orang lain dengan lingkungan)
dan transpersonal (hubungan yang tidak dapat dilihat yaitu suatu hubungan dengan
ketuhanan yang merupakan kekuatan tertinggi). Jadi spiritual merupakan
kepercayaan peserta didik terhadap suatu keyakinan yang didasarkan pada adat
istiadat maupun ketuhanan.
Menurut aliah B. Purwakania Hasan, spiritualis memiliki ruang lingkup dan
makna pribadi yang luas, hanya saja, spiritualis mungkin dapat dimengerti dengan
membahas kata kunci yang sering muncul ketika orang-orang menggambarkan arti
spiritualis bagi mereka. Dengan mengutip hasil penilitian Martsolf dan Mickley,
Aliah B. Purwakania Hasan menyebutkan beberapa kata kunci yang bisa
dipertimbangkan, yaitu:
a) Meaning (makna). Makna merupakan sesuatu yang signifikan dalam
kehidupan manusia, merasakan situasi, memiliki dan mengarah pada suatu
tujuan.
b) Values (nilai-nilai). Nilai-nilai adalah kepercayaan, standart dan etika yang
dihargai.
c) Transcendence (transedensi). Transedensi merupakan pengalaman,
kesadaran, dan penghargaan terhadap dimensi transedental bagi kehidupan
di atas diri seseorang.
d) Connecting(bersambung). Bersambung adalah meningkatkan kesadaran
terhadap hubungan dengan diri sendiri,orang lain, tuhan dan alam.

24
e) Becoming (menjadi). Menjadi adalah membuka kehidupan yang menuntut
refleksi dan pengalaman, termasuk siapa seseorang dan bagaimana
seseorang mengetahui.

a. Spiritualitas dan Religiusitas


Untuk lebih memahami pengertian tentang spiritualitas, perlu juga
diuraikan tentang hubungannya dengan religiusitas, ini adalah penting karena
belakangan berkembang paham yang menganggap spiritualitas lebih penting dari
agama. Agama memang tidak mudah untuk didefinisikan secara tepat, karena
agama mengambil bentuk bermacam-macam diantara suku-suku dan bangsa-
bangsa di dunia ini.
Secara etimologi religion (agama) berasal dari bahasa latin religio, yang
berarti suatu hubungan antara manusia dan Tuhan. Berbeda dengan agama,
spiritualitas lebih banyak melihat aspek dalam lubuk hati, gerakan hati nurani
pribadi, sikap personal yang bagi banyak orang merupakan misteri, karena intimitas
jiwa. “agama memang tidak sama dengan spiritualitas, namun agama merupakan
bentuk spiritualitas yang hidup dalam peradaban”, dengan pernyataanWilliam
Irwin Thompson (dalam Aliah B. Purwakania Hasan, 2006). Agama bisa dikatakan
tidak sama dengan spiritualitas, tetapi keduanya tidak bisa dipisahkan. Agama tanpa
spiritualitas adalah kering dan spiritualitas tanpa agama lumpuh.
Wagner berpendapat bahwa apa yang sering ditafsirkan sebagai keraguan
religious kenyataan adalah tanya-jawab religius.
Menurut Wagner (1970) banyak remaja menyelidiki agama sebagai suatu
sumber dari rangsangan emosional dan intelektual.
Pola perubahan minat religius remaja
a. Priode kesadaran
b. Priode keraguan riligius
c. Priode Rekonstruksi agama

4. Penghayatan keagamaan masa remaja (12-18 tahun) dapat dibagi kedalam


dua subtahapan,
1. Masa remaja awal, dengan ciri

25
Sikap negative (meskipun tidak selalu terang-terangan) disebabkan alam
pikirannya yang kritis melihat kenyatan orang-orang beragama secara hypocrit
(pura-pura) yang pengakuan dan ucapannya tidak selalu selaras dengan perbuatan
Pandangan dalam ketuhanannya menjadi kacau karena ia banyak membaca atau
mendengar berbagai konsep dan aliran pemikiran atau paham banyak yang
bertentangan satu sama lain.
Penghayatan rohaniahnya cenderung skeptic sehingga banyak yang
melakukan berbagai kegiatan ritual yang selama ini dilakukannya dengan penuh
kepatuhan.
2. Masa remaja akhir, dengan ciri
Sikap kembali, pada umumnya, kearah posited dengan tercapainya
kedewasaan intelektual, bahkan agama dapat menjadi pegangan hidupnya mejelang
dewasa.
Pandangan dalam hal ketuhanan dipahamkannya dalam konteks agama yang dianut
dan dipilihnya.
Penghayatan rohaniahnya kembali tenang setelah melalui proses
identifikasi dan merindu puja, ia dapat membedakan antara agama sebagai doktrin
atau dari baik (saleh) dari yang tidak.
Dalam studi perkembangan, tema tentang spiritualitas tidak banyak dibahas
oleh para ahli psikologi. Dalam uraian akan dikemukakan perkembangan
spiritualitas yang diajukan oleh James W. Fowler:
a. Teori Perkembangan Spiritual Fowler
Dewasa ini salah satu teori tentang perkembangan spiritualitas dan
kepercayaan yang banyak dijadikan acuan dalam mempelajari perkembangan
kehidupan spiritual atau agama manusia adalah stages of faith development dari
James Fowler. Fowler adalah perintis teori mengenai tahap perkembangan
kepercayaan, yang dimaksudkan untuk menunjukkan penelitian empiris dan
refleksi teoritis yang sementara ini diakui secara internasional sebagai psikolog
agama yang sangat penting (cremers,1995).
Konsep tentang spiritualitas dan kepercayaan yang digunakan Fowler merujuk pada
apa yang dikemukakan oleh Wilfred Cantwell Smith, bahwa kepercayaan
eksistensial merupakan kualitas pribadi, yaitu suatu orientasi kepribadian seseorang

26
yang menanggapi nilai dan kekuasaan tersenden, orientasi terhadap dirinya,
sesamanya dan alam semesta yang dilihat dan dipahami lewat bentuk-bentuk tradisi
kumulatif. Kepercayaan itu sendiri menurut Smith menyatakan bersifat universal
yang dimiliki bersama oleh semua umat manusia. Artinya kepercayaan bagi
manusia merupakan satu kodrat, alamiah, yang dimiliki manusia.
Dalam teorinya, Fowler mengusulkan tahap perkembangan spiritual dan
keyakinan yang dibangun atas dasar teori-teori perkembangan dari Erikson, Piaget,
Kohlberg, Perry, Gilligan, dan Levinson. Fowler percaya bahwa spiritualitas dan
kepercayaan dapat berkembang hanya dalam lingkup perkembangan intlektual dan
emosional yang dicapai oleh seseorang. Ketujuh tahap perkembangan agama itu
adalah: (1) Primal faith (2) intuitive-projective faith (3) mythic-literal faith (4)
synthetic-conventional faith (5) individuative-reflective faith (6) conjuctive faith
(7) universalizing faith (Dacey & Kenny, 1997).
b. Karakteristik Perkembangan Spiritual Peserta Didik
Kepercayaan anak kepada Tuhan pada usia ini, bukanlah keyakinan hasil
pemikiran, akan tetapi merupakan sikap emosi yang berhubungan erat dengan
kebutuhan jiwa akan perlindungan dan kasih sayang. Oleh karena itu, dalam
mengenalkan Tuhan kepada anak, sebaiknya ditonjolkan sifat-sifat pengasih dan
penyayangnya. Jangan menonjolkan sifat yang menghukum, mengazab, atau
memberikan siksaan dengan neraka.
Sampai kira-kira usia 10 tahun, ingatan anak masih bersifat mekanis, sehingga
kesadaran beragamanya hanya merupakan hasil sosialisasi orang tua, guru, dan
lingkungannya. Oleh karena itu, pengamalan ibadahnya mash bersifat peniruan,
belum dilandasi kesadarannya.
Pada usia 10 tahun ke atas, semakin bertambah kesadaran anak akan fungsi agama
baginya, yaitu berfungsi moral dan sosial. Anak mulai dapat menerima bahwa nilai-
nilai agama lebih tinggi dari nilai-nilai pribadi atau keluarga. Dia mulai mengerti
bahwa agama bukan kepercayaan pribadi atau keluarga, tetapi kepercayaan
masyarakat. Berdasarkan pengertian ini, maka shalat berjamaah, shalat Idul
Fitri/Idul Adha, dan ibadah sosial (menolong fakir miskin) sangat menarik baginya.
Periode usia sekolah dasar merupakan masa pembentukkan nilai-nilai
agama sebagai kelanjutan periode sebelumnya. Kualitas keagamaan anak sangat

27
dipengaruhi oleh proses pendidikan yang diterimanya. Berkaitan dengan hal
tersebut, pendidikan agama di sekolah dasar mempunyai peranan yang sangat
penting.

28
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Kajian psikologis peserta didik sangat penting untuk dikaji dan dipahami,
terutama dalam bahasan pedagogik. Kajian ini memiliki peran yang besar terhadap
pedagogik, karena di dalamnya terdapat kajian tentang manusia yang berdasarkan
pada kajian ilmiah, kenyataan, atau kajian secara deskriptif. Bahasan dalam kajian
ini adalah tentang pekembangan kognitif, sosial, emosional, nilai, moral, dan
spiritual peserta didik. Namun, dalam konteks pedagodi, psikologi hanya sebagai
ilmu bantu, karena pada dasarnya pedagogi berangkat dari sisi normatif, dasar dan
idealnya dalam pendidikan. Dengan demikian, dalam pendagogik, yang menjadi
pengatur pembelajaran adalah orang dewasa atau pendidik, sebagai lambang
individu yang sudah melakukan norma-norma atau aturan-aturan.

B. Saran
Keadaan psikologis peserta didik harus dipahami oleh setiap unsur
pendidik, maupun calon pendidik, diantaranya yaitu guru, orang tua, pengembang
kurikulum, dosen, mahasiswa pendidikan guru sekolah dasar, dan mahasiswa
pendidikan dasar. Guru dan dosen memiliki peran yang besar dalam bidang
pendidikan, karena secara formal, guru dan dosen adalah unsur yang
menyelenggarakan proses pembelajaran dari kurikulum yang disediakan atau
direncanakan. Dengan demikian, guru, dosen, calon guru, dan calon dosen harus
memahami bagaimana keadaan dan perkembangan psikologis peserta didiknya,
baik dalam aspek kognitif, sosial, emosional, moral, dan spiritual. Selain itu,
pemahaman tersebut harus diaplikasikan dalam setiap komponen kurikulum, yaitu
menyesuaikan keadaan psikologis anak terhadap tujuan pendidikan/ pembelajaran,
model/ metode pembelajaran yang digunakan, bahan ajar/ materi yang disiapkan,
serta pada teknik evaluasi dalam pembelajaran.

29
Daftar Pustaka

Agustin & Nurihsan. 2016. Dinamika Perekembangan Anak & Remaja Tinjauan
Psikologi, Pendidikan, dan Bimbingan. Bandung: PT Refika Aditama.
Desmita. 2012. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Diaz, C. 1997. Unpublished Review of Santrock's Educational Psychology.
Newyork: Mc. Graw-Hill.
Hurlock, E. B. (2013). Perkembangan Anak. Jakarta: Penerbit Erlangga
Nurihsan, J. & Agustin, M. (2016). Dinamika Perkembangan Anak dan Remaja:
Tinjauan Psikologi, Pendidikan, dan Bimbingan. Bandung:
Refika Aditama
Sadulloh, U., Muharrom, A. & Robandi, B. (2018). PEDAGOGIK (Ilmu Mendidik).
Bandung: Alfabeta
Santrock, J. W. (2007). Perkembangan Anak. Jakarta: Penerbit Erlangga
Santrock, J. W. 2007. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Kencana
Sarwono, Sarlio W. 2013. Pengantar Piskologi Umum. Jakarta: PT RajaGrafindo.
Turmudi, dkk. 2001. Common Textbook: Strategi Pembelajaran Matematika
Kontemporer. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia
Yusuf, S. (2015). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: Remaja
Rosdakarya

30

Anda mungkin juga menyukai