Gabungan Linbud Klpok 1 Sudah Fix Tinggal Gas Print

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 23

BAB II

PEMBAHASAN

2.1.Pengertian Budaya

Greet Hoftstede memberikan penjelasan tentang pengertian budaya yang memiliki kaitan
dengan pemikiran. Budaya adalah terdiri dari program-program kelompok yang tersusun dari
pemikiran anggota suatu kategori satu dengan yang lain. Selain itu Hosfstede juga memberikan
penjelasan tentang nilai suatu budaya. Baginya nilai budaya terletak pada inti budaya itu sendiri.

Menurut Croydon, definisi budaya yaitu sekumpulan pola terpadu yang sebagian berada
pada di bawah kesadaran. Akan tetapi secara keseluruhan mengatur tentang perilaku manusia
seperti senar yang dimanipulasi dari kontrol bonekanya.

Terdapat banyak ilmuwan dan ahli budaya yang memberikan pengertian budaya yang
bermacam-macam. Setiap pendapat yang mereka sampaikan memiliki unsur-unsur tertentu
menurut segi pandangannya. Hal itulah yang membuat pemikiran mereka berbeda dalam
menyimpulkan tentang pengertian dari budaya.

Namun secara umum pengertian budaya adalah sebuah cara yang dimiliki bersama oleh
sekelompok orang yang prosesnya terjadi secara turun temurun. Sehingga diwariskan untuk
generasi selanjutnya. Itulah ulasan tentang pengertian budaya yang bisa disampaikan, semoga
menambah wawasan anda

2.2.Sifat Budaya

Budaya memiliki sifat universal, artinya terdapat sifat-sifat umum yang melakat pada
setiap budaya, kapan pun dan dimana pun budaya itu berada. Sifat-sifat itu adalah sebagai berikut:

2.2.1.Budaya adalah Milik Bersama


Budaya adalah milik Masyarakat pendukung budaya yang bersangkutan. Budaya bukanlah
milik perseorangan. Dalam catatan-catatan etnografi, tidak pernah ditemukan budaya si Anu atau
Pak Anu. yang ada adalah Budaya suku bangsa X, budaya masyarakat bangsa Y, budaya Nasional
dan seterusnya.
William A.Haviland mendefenisikan budaya sebagai seperangkat peraturan atau norma
yang dimiliki bersama oleh anggota masyarakatnya. Apabila peraturan atau norma tersebut
dilaksanakan atau dipatuhi, akan melahirkan perilaku yang oleh anggotanya dipandang layak dan
diterima. Adapun masyarakat didefenisikan sebagai sekelompok orang yang mendiami suatu
daerah tertentu, yang secara bersama-sama memiliki tadisi budaya yang sama.

2.2.2.Budaya Berkaitan dengan Situasi Masyarakatnya


Budaya mempunyai kecenderungan untuk bertahan terhadap perubahan apabila unsur-
unsur budaya yang bersangkutan masih sesuai fungsinya dengan kepentingan kehidupan
masyarakatnya. Contohnya, Budaya Petani di Desa cenderung bertahan, tidak berubah selama
pertaniannya masih memberikan kesejahteraan baginya. Budaya pun mempunyai kecenderungan
untuk berubah apabila unsur-unsurnya sudah tidak sesuai lagi dengan fungsinya. Contohnya,
karena lahan dan perkebunannya banyak tergusur untuk pemukiman baru atau untuk proyek-
proyek industri, banyak penduduk yang semula hidup di daerah pinggiran kota (Jakarta:"udik)
berurbanisasi ke kota. Akibatnya, budaya mereka berubah, yaitu harus menyesuaikan diri dengan
budaya kota.

2.2.3.Budaya Berfungsi untuk Membantu Manusia


Bronislaw Malinowski, seorang antropologi kelahiran Polandia menyatakan bahwa
manusia mempunyai kebutuhan bersama, baik yang besifat biologis maupun psikologis. Sudah
merupakan tugas budaya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Parsudi Suparlan,
seorang ahli antropologi Indonesia menyatakan bahwa budaya berfungsi sebagai pedoman hidup
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup manusia menurut peddington, Parsudi Suparlan
mengklasifikasikan kebutuhan hidup manusia kedalam tiga jenis:
 Kebutuhan Primer, merupakan kebutuhan hidup yang paling mendasar karena bertalian
erat dengan kebutuhan biologis atau kebutuhan fisik manusia. Manusia akan mati atau
punah apabila kebutuhan semacam ini tidak terpenuhi. Contoh kebutuhan primer antara
lain kebutuhan akan makanan, minuman atau kebutuhan fisik yang lain seperti kebutuhan
seksual yang bertalian dengan refroduksi. Kebutuhan akan sandang dan papan termasuk
juga ke dalam kebutuhan primer.
 Kebutuhan Sekunder atau Kebutuhan Sosial, yakni kenutuhan manusia untuk bergaul dan
hidup bersama.Contoh kebutuhan sekunder antara lain: Berkeluarga, Bertetangga,
Bermasyarakat, bahkan berbangsa dan bernegara. Segala bentuk pemenuhan kebutuhan
hidup manusia akan lebih mudah diperoleh melalui usaha bersama, dibandingkan dengan
usaha perorangan.
 Kebutuhan Integraif, yakni kebutuhan hidup manusia yang mengintegrasikan atau
memadukan seluruh kebutuhan hidupnya. Kebutuhan integratif akan terpenuhi bersamaan
dengan pemenuhan kebutuhan Primer dan Sekundernya. Pemenuhan kebutuhan integratif
mewujudkan hidup manusia yang sejahtera, aman, dan tertib, serta mampu menikmati
liburan atau rekreasi dan hiburan.

2.2.4.Budaya Diteruskan dan Diwariskan Melalui Proses Belajar


Semua budaya diteruskan dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui
proses belejar, bukan diwariskan secara biologis. Artinya, seorang anak tidak akan secara otomatis
pandai bicara, terampil bermain dengan sesama anak sebayanya, atau patuh akan segala tradisi
yang terdapat pada lingkungan sosial budayanya. Melalui proses panjang, seorang individu
semenjak dilahirkan akan belajar berintegrasi dengan lingkungan sosialnya. Ia juga akan belajar
menyatukan dirinya dengan lingkungan budayanya. Proses belajar menyatukan dirinya dengan
lingkungan sosialnya disebut sosialisasi, sedangkan proses belajar seorang individu dengan
lingkungan budayanya disebut pembudayaan atau enkulturasi.

Kendati kebudayaan dimiliki oleh setiap masyarakat itu tidak sama, seperti di Indonesia
yang terdiri dari berbagai suku bangsa yang berbeda, tetapi setiap kebudayaan memiliki ciri dan
sifat yang sma. Sifat tersebut bukan diartikan secara spesifik, melainkan bersifat universal. Dimana
sifat-sifat budaya itu memilki ciri-ciri yang sama bagi setiap kebudayaan manusia tanpa
membedakan faktor ras, lingkungan alam, atau pendidikan. Yaitu sifat hakiki yang berlaku bagi
setiap budaya dimanapun juga.
Sifat hakiki dari kebudayaan tersebut, antara lain:
 Budaya terwujud dan tersalurkan dari perilaku manusia.
 Budaya diperlukan oleh manusia dan diwujudkan dlam tingkah laku.
 Budaya mencakup peraturan-peraturan yang berisi kewajiban-kewajiban, tindakan-
tindakan, yang diterima atau ditolak, tindakan-tindakan yang dilarang, dan tindakan-
tindakan yang diijinkan.

Sifat hakiki tersebut menjadi ciri setiap budaya. Akan tetapi, apabila seseorang atau sekelompok
orang yang memahami sifat hakiki yang esensial, terlebih dahulu ia harus memecahkan
pertentangan-pertentangan yang ada didalamnya.

2.3.Fungsi Budaya
Fungsi budaya yaitu untuk mengatur manusia agar dapat mengerti bagaimana seharusnya
bertindak dan berbuat untuk menentukan sikap kalau akan berbehubungan dengan orang lain
didalam menjalankan hidupnya. budaya berfungsi sebagai:
 Suatu hubungan pedoman antar manusia atau kelompok, contohnya: Norma. Norma adalah
kebiasaan yang dijadikan dasar bagi hubungan antara orang-orang tersebut sehingga
tingkah laku masing-masing bisa diatur. Norma sifatnya tidak tertulis dan berasal dari
masyarakat. Makan apabilsa dilanggar, sangsinya berupa semoohan dari masyarakat.
 Wadah untuk menyalurkan perasaan-perasaan dan kehidupan lainnya, contoh: kesenian.
 Melindungi diri kepada alam. Hasil karya masyarakat melahirkan teknologi atau
kebudayaan kebendaan yang mempunyai kegunaan utama di dalam melindungi
masyarakat terhadap lingkungan alamnya.
 Pembimbing kehidupan manusia
 Pembeda antar manusia dan binatang
Hasil karya "masyarakat" melahirkan teknologi atau"kebudayaan" kebendaan yang mempunyai
kegunaan utama di dalam melindungi "masyarakat" terhadap lingkungan dalamnya. Teknologi
pada hakikatnya meliputi paling sedikit tujuh unsure kebudayaan, yaitu:
 Sistem Religi
Kepercayaan manusia terhadap adanya Sang Maha Pencipta yang muncul karena
kesadaran bahwa ada zat yang lebih dan Maha Kuasa.
 Sistem Organisasi Kemasyarakatan
Sistem yang muncul karena kesadaran manusia bahwa meskipun diciptakan sebagai
makhluk yang paling sempurna namun tetap memiliki kelemahan dan kelebihan masing –
masing antar individu sehingga timbul rasa utuk berorganisasi dan bersatu.
 Sistem Pengetahuan
Sistem yang terlahir karena setiap manusia memiliki akal dan pikiran yang berbeda
sehingga memunculkan dan mendapatkan sesuatu yang berbeda pula, sehingga perlu
disampaikan agar yang lain juga mengerti.
 Sistem Mata Pencaharian Hidup dan Sistem – Sistem Ekonomi
Terlahir karena manusia memiliki hawa nafsu dan keinginan yang tidak terbatas dan selalu
ingin lebih.
 Sistem Teknologi dan Peralatan
Sistem yang timbul karena manusia mampu menciptakan barang – barang dan sesuatu yang
baru agar dapat memenuhi kebutuhan hidup dan membedakan manusia dengam makhluk
hidup yang lain
 Bahasa
Sesuatu yang berawal dari hanya sebuah kode, tulisan hingga berubah sebagai lisan untuk
mempermudah komunikasi antar sesama manusia. Bahkan sudah ada bahasa yang
dijadikan bahasa universal seperti bahasa Inggris.
 Kesenian
Setelah memenuhi kebutuhan fisik manusia juga memerlukan sesuatu yang dapat
memenuhi kebutuhan psikis mereka sehingga lahirlah kesenian yang dapat memuaskan

2.4.Akar Budaya Indonesia

Akar budaya adalah pondasi utama yang menjadi sebuah pedoman bagi kehidupan
bermasyarakat. Budaya dapat tumbuh karena adanya akar budaya yang kuat, dalam artian terdapat
hal yang dijadikan sebagai acuan untuk menjalankan kehidupan bermasyarakat.

Budaya di Indonesia memang beragam karena dengan melihat banyaknya pulau yang
menjadikan setiap wilayah mempunyai adat istiadat sendiri yang sudah menjadi ciri khas masing-
masing. Contohnya dalam pernikahan di Bali, dimana sang mempelai wanita yang datang ke
rumah mempelai laki-laki, serta pengunaan baju adat Bali serta banyak lagi ciri khas perkawinan
yang ada di Indonesia.

Istilah penyatuan segala bentuk perbedaan yang kita temui dari segi kebudayaan, yaitu
Bhineka Tunggal Ika yang tertera di lambang negara Republik Indonesia. Maka dari itu, perbedaan
budaya di setiap wilayah tersebut, dapat disatukan dengan satu kebudayan yang sudah menjadi ciri
khas bangsa Indonesia yaitu gotong royong. Oleh karena itu, dengan gotong royong, masyarakat
dapat menyatukan segala perbedaan latar belakang dari segi wilayah dan adat istiadat.

Akar kebudayaan bangsa Indonesia yang paling utama untuk kehidupan masyarakat itu
adalah gotong royong atau kebersamaan. Untuk mewuudkan tujuan yang diinginkan bersama, akar
inilah yang harus dijaga kuat dan dikembangkan terus-menerus dan tidak boleh hilang
sebagaimana yang terjadi saat ini.

2.5.Bagaimana Budaya Bisa Bertahan

Kebudayaan akan terus hidup manakala masyarakat mau mempertahankannya,


sebaliknaya kebudayaan akan musnah jika masyarakat tidak lagi menggunakannya. Dalam
mempelajari kebudayaaan selalu harus diperhatikan hubungan antara unsur-unsur yang
mempengaruhi budaya itu cenderung bertahan atau berubah dan situasi serta kondisi yang dialami
oleh masyarakat yang bersangkutan.

Unsur- unsur penyebab kecenderungan bertahannya suatu budaya antara lain:

 Unsur Ideologi
Ideologi merupakan kumpulan, gagasan, serta tatanan yang baik dalam kehidupan
masyarakat dan bernegara. Idiologi adalah jiwa dan kepribadian bangsa yang menyebabkan
suatu bangsa berbeda dengan bangsa lain.Ideologi digunakan sebagai pedoman hidup suatu
bagsa. Dengan demikian, unsur idiologi ini kecenderungan tetap bertahan karena sudah
diyakini kebenarannya oleh suatu masyarakat atau bangsa.
 Unsur Kepercayaan / Religi
Semua aktivitas manusioa yang berhubungan dengan kepercayaan / religi didasarkan pada
suatu keyakinan akan suatu kebenaran (keimanan). Oleh karena itu unsur kepercayaan atau
religi ini cenderung tetap bertahan karean menyangkut keyakinan, krpatuhan, atau
keimanan yang diyakini.

 Unsur Seni
Seni adalah sesuatu yang bersifat indah, seni melahirkan cinta kasih, kasih sayang,
kemesraan, pemujaan, baik terhadap Tuhan, maupun terhadap sesama manusia.
Pengungkapan rasa seni dapat melalui musik, tari, lukis, sastra, dan sebagainya, sebagai
hasil cipta, karsa, manusia yang cenderungbertahan dari masa ke masa.
 Unsur Bahasa
Bahasa merupakan alat komunikasi, penghubung suatu maksud antar manusia, dari bahasa
kita dapat mengungkapkan apa yang kita inginkan. Bahasa kecenderungan tetap berubah
dari masa ke masa, meskipun kosakatanya semakin berkembang, tanpa bahasa manusia
tidak dapat berhubungan satu sama lain.

Sedangkan, unsur- unsur kecenderungan perubahan budaya dikarenakan antara lain:

 Unsur Mata pencaharian

Mata pencaharian dengan sistem tradisional cenderung berubah menjadi suatu system yang lebih
maju. Perubahan mencakup sistem produksi, distribusi, konsumsi. Perubahan tersebut disebabkan:

a) Rasa tidak puas terhadap keadaan dan situasi yang ada


b) Sadar akan adanya kekurangan- kekurangan
c) Usaha- usaha menyesuaikan diri dengan perubahan zaman
d) Meningkatkan kebutuhan
e) Adanya keinginan untuk meningkatkan taraf hidup
f) Sikap terbuka terhadap hal- hal baru (inovatif)

Dengan demikian, sistem mata pencaharian hidup cenderung berubah dari masa ke masa, seiring
dengan perubahan jaman, perkembangan ilmu dan teknologi, serta pola hidup.

 Unsur sistem teknologi


Manusia tidak dapat menutup diri dari kemajuan teknologi karena teknologi sendiri
bernaksud memudahkan manusia. Kemajuan teknologi berkembang seiring dengan
meningkatnya pengetahuan manusia. Perkembangan teknologi dapat dilihat dari
periodisasi zaman, yaitu zaman batu, zaman perunggu, zaman besi, dan kini disebut zaman
modern. Dengan demikina teknologi kecenderungan berubah seiring perkembangan akal
dan pengetahuan manusia.
 Unsur Pengetahuan
Sistem pengetahuan manusia mengalami perubahan menjadi ilmu pengetahuan. Ilmu
pengetahuan bertujuan agar manusia lebih mengetahui dan mendalami segi kehidupan.
Oleh karena itu, ilmu pengetahuan terus berkembang sesuai dengan perkembangan dan
tingkat keingintahuan manusia. Misalnya dulu kita mengetahui bahwa untuk melakukan
komunikasi jarak jauh, digunakan media surat menyurat, yang mana akan memakan waktu
yang sangat lama, terlebih jika lawan bicara kita adalah orang yang berada di luar daerah.
Sekarang, dengan berkembang nya teknologi informasi dan ilmu pengetahuan,
diciptakanlah

2.6.Tipologi Budaya

Menurut Jeff Cartwright (1999:11) ada 4 tipologi budaya sebagai siklus hidup budaya:

 The monoculture
The Monocolture merupakan model “ras murni” yang menyebabkan banyak konflik dalam
dunia dimana banyak etnis dan kelompok rasial berbeda. Monoculture berfokus tajam,
dalam bisnis monoculture diunggulkan satu orang, satu sasaran, yang berfikir tunggal dan
jiwa kewirausahaan.
 The superordinate culture
Tipe ideal budaya organisasi. Keberagaman budaya menjadi pemicu pemisahan dan
konflik, kreatifitas dan energy. Pikiran difokuskan pada kebersamaan daripada perbedaan.
 The divisive culture
Bersifat memecahbelah. Oraganisasi ditari kearah berbeda. Tidak ada pemisahan konflik
antara “kita dan mereka”.
 The disjunctive culture
Pemecahan organisasi secara eksplosif menjdi unit budaya individual. Pecahnya
konglomerasi dengan menjual unit bisnis individual dan gagalnya merger organisasi karena
tidak cocok dengan b udaya.
2.7.Fungsi Kebudayaan Bagi Masyarakat

Kebudayaan mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat.
Bermacam kekuatan yang harus dihadapi masyarakat dan anggota-anggotanya seperti
kekuatan alam, maupun kekuatan-kekuatan lainnya di dalam masyarakat itu sendiri yang
tidak selalu baik baginya. Kecuali itu, manusia dan masyarakat memerlukan pula kepuasan, baik
dibidang spiritual maupun materiil. Kebutuhan-kebutuhan masyarakat tersebut diatas, untuk
sebagian besar dipenuhi oleh kebudayaan yang bersumber pada masyarakat itu sendiri.
Dikatakan sebagian besar oleh karena kemampuan manusia adalah terbatas, dan dengan demikian
kemampuan kebudayaan yang merupakan hasil ciptaannya juga terbatas di dalam memenuhi
segala kebutuhan. Hasil karya masyarakat melahirkan teknologi 2atau kebudayaan kebendaan
yang mempunyai kegunaan utama di dalam melindungi masyarakat terhadap lingkungan
dalamnya. Teknologi pada hakikatnya meliputi paling sedikit tujuh unsur, yaitu :

 Alat-alat produktif
 Senjata
 Wadah
 Makanan dan minuman
 Pakaian dan perhiasan
 Tempat berlindung dan perumahan
 Alat-alat transpor

Dalam tindakan-tindakannya untuk melindungi diri terhadap lingkungan alam, pada


taraf permulaan, manusia bersikap menyerah dan semata-mata bertindak di dalam batas-
batas untuk melindungi dirinya. Taraf tersebut masih banyak dijumpai pada masyarakat-
masyarakat yang hingga kini masih rendah taraf kebudayaannya. Misalnya suku Kubu yang
tinggal di pedalaman daerah Jambi, masih bersikap menyerah terhadap lingkungan
alamnya. Rata-rata mereka itu masih merupakan masyarakat yang belum mempunyai tempat
tinggal tetap, hal mana disebabkan karena persediaan bahan pangan semata-mata tergantung dari
lingkungan alam. Akan tetapi setiap orang, bagaimanapun hidupnya ia akan selalu
menciptakan kebiasaan bagi dirinya sendiri. Kebiasaan (habit) merupakan suatu perilaku pribadi.
Pribadi berarti bahwa kebiasaan orang seseorang itu berbeda dari peri kebiasaan orang lain, walau
misalnya mereka hidup dalam satu rumah. Jadi setiap orang akan membentuk kebiasaan
yang khusus bagi dirinya sendiri. Menurut Ferdinand Tonnies, kebiasaan mempunyai tiga
arti, yaitu :

1. Dalam arti yang menunjuk pada suatu kenyataan yang bersifat obyektif, Misalnya,
kebiasaan untuk bangun pagi, kebiasaan untuk tidur di siang hari, kebiasaan untuk minum
kopi sebelum mandi dan lain-lain. Artinya adalah, bahwa seseorang biasa melakukan
perbuatan-perbuatan tadi dalam tata cara hidupnya.

2. Dalam arti bahwa kebiasaan tersebut dijadikan kaidah bagi seseorang, norma mana
diciptakannya untuk dirinya sendiri. Dalam hal ini, orang yang bersangkutanlah
yang menciptakan suatu perilaku bagi dirinya sendiri.

3. Sebagai perwujudan kemauan atau keinginan seseorang untuk berbuat sesuatu.

Jadi kebiasaan tersebut menunjuk pada suatu gejala bahwa seseorang di dalam
tindakan-tindakannya selalu ingin melakukan hal-hal yang teratur baginya.
Kebiasaan-kebiasaan yang baik akan diakui serta dilakukan pula oleh orang-
orang lain semasyarakat. Bahkan lebih jauh lagi, begitu mendalamnya pengakuan
atas kebiasaan seseorang, sehingga dijadikan patokan bagi orang lain, bahkan
mungkin dijadikan peraturan. Kebiasaan yang dijadikan kebiasaan yang teratur oleh
seseorang, kemudian dijadikan dasar bagi hubungan antara orang-orang tertentu,
sehingga tingkah laku atau tindakan masing-masing dapat diatur dan itu semuanya
menimbulkan norma atau kaidah. Kaidah yang timbul dari masyarakat sesuai dengan
kebutuhannya pada suatu saat, lazimnya dinamakan adat-istiadat (custom). Adat
istiadat berbeda di satu tempat dengan adat-istiadat di tempat lain, demikian pula
adat istiadat di satu tempat, berbeda menurut waktunya. Adat istiadat yang mempunyai
akibat hukum, bernama hukum adat. Namun adat istiadat yang mempunyai akibat-
akibatnya apabila dilanggar oleh anggota masyarakat di mana adat istiadat tersebut
berlaku. Misalnya adat istiadat perkawinan di kalangan orang lampung, adat
menetapkan bahwa prialah yg melakukan peminangan terhadap gadis. Adat istiadat
tersebut bersifat tdk tertulis dan dipelihara turun temurun.
Masyarakat adalah orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan.
Tidak ada masyarakat yang tidak mempunyai kebudayaan, sebaliknya tidak ada
kebudayaan tanpa masyarakat. Kebudayaan mempunyai makna yang luar biasa
pentingnya bagi masyarakat. Kebudayaan menyentuh hampir semua segi kehidupan kita.
Pada awalnya, kita datang ke dunia tanpa suatu bahasa ,tanpa nilai dan moralitas, tanpa ide
mengenai agama, perang, uang, cinta, pemanfaatan ruang, dan seterusnya. Kita juga
tidak memiliki orientasi dasar yang telah kita anggap benar dan sedemikian penting
dalam menentukan kita akan menjadi tipe manusia seperti apa. Dalam suatu waktu
kita memperolehnya yang oleh para sosiolog disebut kebudayaan dalam diri kita.
Mengingat pentingnya kebudayaan bagi masyarakat, maka dua antropolog terkemuka
Melville J. Herkovits dan Broinslaw Malinowski mengemukakan istilah Cultural
Determinism, yakni segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh
kebudayaan yang dimiliki masyarakat itu. Kebudayaan merupakan sesuatu yang super-
organik karena sifat kebudayaan yang turun-temurun dari generasi ke generasi tetap
hidup terus, meskipun orang-orang yang menjadi anggota masyarakat silih berganti
karena kematian dan kelahiran.

Manusia dan masyarakat memerlukan kepuasan baik di bidang spiritual


maupun material. Kebutuhan itu dipenuhi oleh kebudayaan yang bersumber pada
masyarakat sendiri. Karsa masyarakat mewujudkan norma dan nilai-nilai sosial yang
sangat perlu untuk mengadakan tata tertib dalam pergaulan masyarakat. Karsa
merupakan daya upaya manusia untuk melindungi diri terhadap kekuatan-kekuatan
lain yang ada di dalam masyarakat. Kebudayaan mangatur agar manusia dapat
mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, menentukan sikapnya kalau mereka
berhubungan dengan orang lain. Kebiasaan (habit) merupakan suatu perilaku pribadi,
yaitu kebiasaan perorangan untuk berada dari kebiasaan orang lain, walaupun mereka
hidup dalam suatu rumah. Jadi, setiap orang akan membentuk kebiasaan yang khusus bagi
dirinya sendiri. Kebiasaan tersebut menunjuk pada suatu gejala seseorang di
dalam tindakan-tindakannya selalu ingin melakukan hal-hal yang teratur baginya.
Kebiasaan-kebiasaan yang baik akan diakui serta dilakukan pula oleh orang lain yang
se-masyarakat, kemudian kebiasaan selanjutnya akan dapat menjadi peraturan. Dalam
mengatur hubungan antar manusia, kebudayaan dinamakan sebagai struktur normatif
artinya kebudayaan sebagai suatu garis-garis pokok tentang perilaku yang
menetapkan peraturan-peraturan mengenai apa yang harus dilakukan, apa yang
dilarang, dan sebagainya.

2.8.In-group bias dan Prejudice.

Intergroup bias sering dikenal dengan istilah ingroup bias atau ingroup favoritism. Ingroup
Bias adalah kecenderungan manusia untuk lebih membantu dan memandang lebih positif terhadap
anggota kelompok mereka sendiri dibandingkan anggota kelompok luar. Pada dasarnya, upaya
mempertahankan konsep diri positif ini bermula dari level diri personal individu, namun saat
individu masuk ke dalam suatu kelompok, mereka akan menarik upaya ini ke dalam level sosial
atau kelompok (Reed & Aquino, 2003).

Hal ini merupakan konsekuensi logis mengingat identitas sosial merupakan bagian dari
konsep diri individu. Tajfel dan Turner (1979) juga menekankan bahwa upaya tersebut hanya dapat
terjadi jika individu menginternalisasi keanggotaan mereka dalam kelompok sebagai bagian dari
konsep diri mereka atau mengidentifikasikan diri mereka secara subjektif ke dalam kelompok.
Dengan kata lain, individu belum dikatakan telah mengidentifikasikan dirinya terhadap suatu
kelompok jika ia hanya dianggap sebagai anggota kelompok tersebut oleh orang-orang lain tanpa
individu tersebut merasa bahwa dia bagian dari kelompok. Lebih jauh, Hogg dan Abrams (2000)
mengungkapkan bahwa seluruh bentuk perilaku antar kelompok (contoh: konformitas, stereotipe,
kohesivitas kelompok, diskriminasi antarkelompok, dll) baru akan terjadi ketika identitas sosial
yang dimiliki individu merupakan bagian dari konsep diri individu yang bersifat menonjol. Dengan
kata lain, intergroup bias akan terjadi ketika individu mengidentifikasikan dirinya secara kuat ke
dalam kelompok sosialnya. Wann & Branscombe (1995), dalam studinya, menemukan bahwa
ingroup favoritism dan stereotype hanya ditemukan pada orang yang identifikasinya terhadap
kelompok tinggi (high identified).

Terdapat bermacam-macam intergroup bias. Berikut ini beberapa contoh intergroup bias yang
umumnya terjadi:
 Intergroup attibution bias / the ultimate attribution error, yakni kecenderungan
individu untuk memberikan atribusi internal pada perilaku positif ingroup dan
atribusi eksternal pada perilaku outgroup. Hal ini ditemukan pada studi Taylor dan
Jaggi (1974) pada umat Hindu di India Selatan. Partisipan Hindu diberikan ilustrasi
mengenai perilaku yang diterima secara sosial dan tidak diterima secara sosial yang
dilakukan oleh orang Hindu dan Islam. Selanjutnya, partisipan diminta
memberikan atribusi atas perilaku tersebut. Hasilnya menunjukkan bahwa
partisipan cenderung melekatkan atribusi internal pada perilaku positif orang Hindu
dan atribusi eksternal pada perilaku negatif yang dilakukan orang Islam.
Sebaliknya, melekatkan atribusi eksternal pada perilaku positif orang Hindu dan
atribusi internal pada perilaku negatif yang dilakukan orang Islam. Pettigrew
(1979) juga menemukan hasil yang serupa, yakni saat melihat perilaku negatif yang
dilakukan oleh outgroup, individu cenderung menilai perilaku tersebut sebagai
watak atau karakter yang melekat secara genetik pada orang tersebut. Di sisi lain,
perilaku negatif yang dilakukan oleh ingroup akan dianggap sebagai kebetulan,
sebuah pengecualian (the exceptional case), atau manipulasi.

 Intergroup sensitivity effect, yakni kecenderungan individu untuk lebih menerima


kritik yang diberikan oleh anggota kelompoknya dibandingkan kritik yang
diberikan anggota kelompok lain (Hornsey & Imani, 2004). Temuan ini diperoleh
dalam studi yang dilakukan Hornsey dan Imani (2004) pada warga Australia yang
cenderung menunjukkan sikap defensif terhadap kritik yang diberikan warga non-
Australia dibandingkan warga Australia, meskipun warga non-Australia tersebut
telah lebih berpengalaman. Temuan serupa ditemukan pada studi terhadap orang
Inggris yang dilakukan oleh Sutton, Elder, dan Douglas (2006).

 Black sheep effect, yakni suatu keadaan dimana individu menilai penyimpangan
yang dilakukan ingroup lebih negatif dibandingkan penyimpangan yang dilakukan
outgroup (Marques dkk., 1988). Pada black sheep effect, individu akan lebih
meyalahkan ingroup dibandingkan outgroup walaupun jenis penyimpangan yang
dilakukan sama. Meski berbeda dengan jenis intergroup bias lainnya, black sheep
effect memiliki dasar yang sama dengan intergroup bias lainnya, yakni dilakukan
dalam rangka mempertahankan konsep diri positif individu (Tajfel & Turner,
1979). Menurut Khan dan Lambert (1998), black sheep effect akan terjadi ketika
kesalahan yang dilakukan sudah sangat jelas mencoreng nama baik kelompok
(unambiguously negative).

2.8.1.Prasangka Sosial (Social Prejudice)

Prasangka sosial merupakan suatu maslah yang tidak dapat kita hindari di dalam hidup
bermasyarakat. Apa yang dimaksud dengan prasangka sosial? Prasangka sosial (prejudice) adalah
merupakan suatu sikap perasaan orang-orang terhadap golongan manusia tertentu, golongan ras
atau golongan kebudayaan yang berlainan dengan golongan orang yang berprasangka itu.
Prasangka sosial itu terdiri dari attitude-attitude sosial yang negatif terhadap golongan lain dan
mempengaruhi tingkah lakunya terhadap golongan lain tersebut. Pada dasarnya prasangka sosial
merupakan sikap-sikap negatif, yang lama kelamaan menyatakan dirinya dalam tindakan- tindakan
diskriminatif terhadap orang yang termasuk golongan yang diprasangkai itu, tanpa adanya alasan-
alasan yang obyektif pada pribadi orang-orang yang dikenakan tindakan-tindakan diskriminatif.
(Gerungan, 1983 : 168). Keterangan dalam prasangka sosial diatas mengindikasikan adanya sikap,
sedangkan sikap sendiri adalah suatu hal yang menentukan sifat dan hakikat baik perbuatan yang
sekarang maupun perbuatan yang akan datang. W.J. Thomas memberi batasan sikap sebagai suatu
kesadaran individu yang memberikan perbuatan-perbuatan yang nyata ataupun mungkin akan
terjadi di dalam kegiatan-kegiatan sosial. Prasangka sosial yang terjadi dari perubahan sikap
mempunyai ciri-ciri yaitu :

 Adanya pembatasan tentang situasi dari segi proconseption pandangan tertentu


sebelumnya
 Sikap yang dalam itu bertahan dengan kuatnya, dalam arti sikap tersebut berlangsung
dalam waktu yang lama
 Tinjauan terhadap sikap menjurus kepribadian arah yang negatif, kearah yang tidak
menyenangkan Misalnya seseorang mempunyai suatu keyakinan bahwa suatu suku irian
atau indian adalah rendah derajadnya, atas dasar keyakinan ini maka segala pengalaman
yang diperoleh orang tersebut mengenai suku ini dipandang rendah atau ditafsirkannya dari
segi keyakinannya tersebut, maka akibatnya tidak mau tahu terhadap kenyataan-kenyataan
yang tidak sesuai dengan prasangka tersebut. (Abu Ahmadi, 1979 : 83)

2.8.2.Prasangka dan Diskriminasi

Prasangka dan diskriminasi adalah merupakan dua hal yang ada relevansinya. Keduanya
dapat merugikan pertumbuhan, perkembangan bahkan integrasi manusia. (Masyarakat), yang
berawal dari peristiwa kecil yang menyangkut dua orang dapat menyangkut orang banyak yang
disertai dengan tindakan-tindakan kekerasan dan distruktif. Prasangka mempunyai dasar pribadi,
dimana setiap orang memilikinya sejak masih kecil, unsur permusuhan sudah nampak. Suatu hal
yang saling berkaitan, apabila seorang individu mempunyai prasangka sosial biasanya bertindak
diskriminasi terhadap ras (golongan) yang diprasangkainya, tetapi dapat pula yang bertindak
diskriminatif tanpa disadari prasangka dan sebaliknya seorang yan berprasangka dapat saja
bertindak tidak dismriminatif. Jadi prasangka merupakan kecenderungan yang tidak tampak dan
sebagai tindak lanjutnya timbul tindakan aksi yang sifatnya realistis. Dengan demikian
diskriminatif merupakan tindakan yang realistis. Sedangkan prasangka tidak realistis hanya
diketahui oleh individu. (Abu Ahmadi, 1988 : 265)

Dalam kehidupan sehari-hari prasangka itu banyak diminati oleh emosi-emosi atau unsur
efektif yang kuat. Jika prasangka itu disertai oleh agresifitas dan rasa permusuhan, semuanya tidak
dapat disalurkan dengan wajar. Biasanya orang yang bersangkutan lalu mencari obyek, yaitu suatu
obyek untuk melampiaskan semua frustasi serta rasa-rasa negatif. Obyek itu biasanya individu
atau kelompok yang lemah (kelompok sosial), mereka mencoba mendiskripsikan pihak-pihak lain
yang belum tentu pihak tersebut bersalah. Prasangka sebagai suatu sikap tidaklah merupakan
wawasan dasar individu, melainkan merupakan hasil proses interaksi antar individu atau golongan.
Dapat juga dikatakan bahwa prasangka itu merupakan hasil dari belajar dan pengenalan individu
dalam perkembangannya. Pada prinsipnya seseorang akan bersikap tertentu terhadap suatu
kelompok apabila ia mempunyai pengetahuan itu dan tidak dapat dipastikan apakah bersifat positif
atau negatif. Pengetahuan dapat membuat seseorang atau suatu kelompok mempunyai persepsi dan
merasa terhadap obyek tertentu. Dari sinilah lahirnya suatu sikap dari dalam bentuk tingkah laku
yang cenderung negatif. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa prasangka seperti yang
dikemukakan oleh Newcomb sebagai sikap yang tidak baik dan sebagai preposisi untuk berfikir,
merasa dan bertindak dengan cara yang menentang atau menjauhi dan bukan menyokong atau
mendekati orang-orang lain, terutama sebagai anggota kelompok. (Newcomb Turser, 1981 : 564)

2.8.3.Stereotip

Setelah dijelaskan sedikit tentang prasangka dan diskriminatif tidak kalah penting juga
peranan stereoti didalam prasangka sosial, karena adanya prasangka sosial itu bersamaan dengan
adanya stereotip, yang merupakan tanggapan atau gambaran tertentu mengenai sikap dan watak
pribadi orang lain yang bercorak negatif. Stereotip ini bertindak berdasarkan keterangan-
keterangan yang kurang lengkap dan subyektif, gambaran orang Amerika yang berkulit putih
terhadap orang yang berkulit Negro. Mereka menganggap semua orang Negro itu bodoh, kurang
ajar dan tidak mempunyai susila. Peranan stereotip pada orang yang berprasangka itu sangat besar
dan dalam pengalaman sosialnya, maka stereotip menentukan sikapnya. Terhadap semua orang
Negro itu terlepas dari pendidikan atau dari tingkat kebudayaan pada umumnya. Gambaran
stereotip tersebut tidak mudah berubah bahkan cenderung untuk dipertahankannya. Dan apabila
mereka berprasangka, bahwa orang Negro yang telah maju itu sebagai pengecualian saja.
Walaupun demikian, stereotip dan prasangka sosial itu dapat berubah, yaitu dengan usaha-usaha
yang intensif secara berlangsung ataupun karena keadaan (perubahan) masyarakat pada umumnya.
Prasangka dapat dinyatakan dengan tindakan- tindakan diskriminatif terhadap golongan-golongan
tertentu dan stereotip tertentu pula.(Gerungan, 1983 : 170)

2.8.4.Latar Belakang Terjadinya Prasangka Sosial

Prasangka sosial (prejudice) tidak terjadi begitu saja, melainkan ditimbulkan oleh beberapa
sebab, yaitu :

1. Latar Belakang Sejarah Orang berkulit putih Amerika Serikat berprasangka negatif
terhadap orang-orang Negro, bahwa latar belakang masa lampau, yaitu orang kulit putih sebagai
tuan sedangkan orang Negro saat ini dapat dibanggakan terutama dalam bidang olahraga. Tetapi
prasangka negatif mereka terhadap orang Negro sampai saat ini belum juga hilang
2. Perkembangan Sosio Kultural dan Situasional Suatu prasangka muncul dan berkembang
dari suatu individu terhadap individu yang lain atau terhadap kelompok sosial tertentu, apabila
terjadi penurunan status atau pemutusan hubungan kerja (PHK) prasangka dapat berkembang lebih
jauh sebagai akibat adanya jurang pemisah antara si kaya dengan si miskin

3. Kepentingan Pribadi atau Kelompok Para ahli psikologi berpendapat bahwa prasangka
lebih dominan disebabkan oleh tipe kepribadian orang-orang tertentu. Maksud tipe disini adalah
authoritas personality, adalah sebagai ciri kepribadian seseorang yang penuh prasangka. (Abu
Ahmadi, 1979 : 270) Menurut Prof. AM Rose dalam bukunya "Brosur Unesco: The Roots Of
Prejudice", prasangka sosial digunakan untuk mengeploitasi golongan-golongan lainnya demi
kemajuan perseorangan ataupun kelompok. Hal ini tampak penjajahan dimana kaum penjajah
menggunakan dab memupuk prasangka- prasangka untuk (sosial) antara golongan yang satu
dengan golongan yang lain demi keselamatan kelompoknya sendiri (De Vide Et Impera).
Demikian pula yang terjadi pada model masyarakat muslim puritan, secara sosial tampak seakan
membela islam tetapi sesungguhnya sangat merugikan islam.

4. Kekurangan Pengetahuan dan Pengertian akan Fakta-fakta Kekurangan pengetahuan dan


pengertian akan fakta-fakta kehidupan yang sebenarnya dari golongan yang dikenakan stereotip-
stereotipnya. Orang yang kurang pengetahuannya akan mudah dikenai prasangka-prasangka
(menjadi bulanbulanan) daripada orang yang mempunyai pengetahuan.

5. Perbedaan Keyakinan, Kepercayaan (Agama), Politik, Ekonomi dan Ideologi Prasangka


yang bersumber dari hal-hal yang tersebut dapat dikatakan sebagai prasangka yang universal.
Beberapa contoh, antara lain konflik Irlandia Utara, Irlandia Selatan, konflik antar keturunan
Yunani-Turki di Cyprus adalah berlatar belakang adanya prasangka agama atau kepercayaan.
Perang Vietnam, perang-perang di lingkungan Amerika Tengah sebagian besar konflik (bermotif)
ideology politik dan strategi politik. Munculnya kelompok-kelompok pertahanan (NATO) adalah
adanya suatu prasangka dan adanya politik global dari Negara-negara adikuasa. (Abu Ahmadi,
1979 : 271)
2.8.5.Ciri-ciri Orang yang Berprasangka Sosial

 Proses generalisasi terhadap perbuatan anggota kelompok lain

Menurut Ancok dan Suroso (1995), jika ada salah seorang individu dari kelompok luar
berbuat negatif, maka akan digeneralisasikan pada semua anggota kelompok luar. Sedangkan jika
ada salah seorang individu yang berbuat negatif dari kelompok sendiri, maka perbuatan negatif
tersebut tidak akan digenaeralisasikan pada anggota kelompok sendiri lainnya.

 Kompetisi sosial

Kompetisi sosial merupakan suatu cara yang digunakan oleh kelompok untuk
meningkatkan harga dirinya dengan membandingkan kelompoknya dengan kelompok lain dan
menganggap kelompok sendiri lebih baik daripada kelompok lain.

 Penilaian ekstrem terhadap anggota kelompok lain.

Individu melakukan penilaian terhadap anggota kelompok lain baik penilaian positif
ataupun negatif secara berlebihan. Biasanya penilaian yang diberikan berupa penilaian negatif.

 Pengaruh persepsi selektif dan ingatan masa lalu.

Pengaruh persepsi selektif dan ingatan masa lalu biasanya dikaitkan dengan stereotipe.
Stereotipe adalah keyakinan (belief) yang menghubungkan sekelompok individu dengan ciri-ciri
sifat tertentu atau anggapan tentang ciri-ciri yang dimiliki oleh anggota kelompok luar. Jadi,
stereotipe adalah prakonsepsi ide mengenai kelompok, suatu image yang pada umumnya sangat
sederhana, kaku, dan klise serta tidak akurat yang biasanya timbul karena proses generalisasi.
Sehingga apabila ada seorang individu memiliki stereotype yang relevan dengan individu yang
mempersepsikannya, maka akan langsung dipersepsikan secara negatif.
 Perasaan frustasi (scone goating)

Menurut Brigham (1991), perasaan frustasi (scope goating) adalah rasa frustasi seseorang
sehingga membutuhkan pelampiasan sebagai objek atas ketidakmampuannya menghadapi
kegagalan. Kekecewaan akibat persaingan antar masing-masing individu dan kelompok
menjadikan seseorang mencari pengganti untuk mengekspresikan frustasinya kepada objek lain.
Objek lain tersebut biasanya memiliki kekuatan yang lebih rendah dibandingkan dengan dirinya
sehingga membuat individu mudah berprasangka.

 Agresi antar kelompok

Agresi biasanya timbul akibat cara berpikir yang rasialis, sehingga menyebabkan
seseorang cenderung berprilaku agresif.

 Dogmatisme

Dogmatisme adalah sekumpulan kepercayaan yang dianut seseorang berkaitan dengan


masalah tertentu, salah satunya adalah mengenai kelompok lain. Bentuk dogmatisme dapat berupa
etnosentrisme dan favoritisme.

 Etnosentrisme adalah paham atau kepercayaan yang menempatkan kelompok sendiri


sebagai pusat segala-galanya.
 Favoritisme adalah pandangan atau kepercayaan individu yang menempatkan kelompok
sendiri sebagai yang terbaik, paling benar, dan paling bermoral.
2.8.6.Usaha Mengurangi Prasangka Sosial

Berikut berbagai cara untuk mengatasi prasangka:

1. Memutuskan siklus prasangka: belajar tidak membenci karena dapat


membahayakan diri sendiri dan orang lain. Dengan cara mencegah orang tua dan
orang dewasa lainnya untuk melatih anak menjadi fanatic.
2. Berinteraksi langsung dengan kelompok berbeda: i) contact hypothesis—
pandangan bahwa peningkatan kontak antara anggota dari berbagai kelompok
sosial dapat efektif mengurangi prasangka diantara mereka. Usaha-usaha tersebut
tampaknya berhasil hanya ketika kontak tersebut terjadi di bawah kondisi-kondisi
tertentu. ii) extended contact hypothesis—sebuah pandangan yang menyatakan
bahwa hanya dengan mengetahui bahwa anggota kelompoknya sendiri telah
membentuk persahabatan dengan anggota kelompok out-group dapat mengurangi
prasangka terhadap kelompok tersebut.
3. Kategorisasi ulang batas antara “kita” dan “mereka” hasil dari kategorisasi ulang
ini, orang yang sebelumnya dipandang sebagai anggota out-group sekarang dapat
dipandang sebagai bagian dari in-group.
4. Intervensi kognitif: memotivasi orang lain untuk tidak berprasangka, pelatihan
(belajar untuk mengatakan “tidak” pada stereotype).

3.1.Teori Etnosentrisme

William Graham Sumner menilai bahwa masyarakat tetap memiliki sifat heterogen (
pengikut aliran evolusi). Menurut Sumner (1906), manusia pada dasarnya seorang yang
individualis yang cenderung mengikuti naluri biologis mementingkan diri sendiri sehingga
menghasilkan hubungan di antara manusia yang bersifat antagonistic (pertentangan yang
menceraiberaikan). Agar pertentangan dapat dicegah maka perlu adanya folkways yang bersumber
pada pola-pola tertentu.

Pola-pola itu merupakan kebiasaan (habits), lama-kelamaan, menjadi adat istiadat


(customs), kemudian menjadi norma-norma susila (mores), akhirnya menjadi hukum (laws).
Kerjasama antarindividu dalam masyarakat pada umumnya bersifat antagonictic cooperation
(kerjasama antarpihak yang berprinsip pertentangan). Akibatnya, manusia mementingkan
kelompok dan dirinya atau orang lain. Lahirlah rasa ingroups atau we groups yang berlawanan
dengan rasa outgroups atau they groups yang bermuara pada sikap etnosentris.

Kecendrungan untuk memandang orang lain lebih rendah. Biasanya akan dilihat dengan
cara memandangan dan mengukur kebudayan asing dengan kebudayaan miliknya sendiri. Secara
bahasa, etnosentrisme adalah sebuah pandangan terkait suatu hal yang diandaskan berdasarkan
aspek aspek yang ada di budaya sendiri, yang kemudian digunakan utuk menilai budaya lain.
Contoh sederhana: Budi orang jawa. Ia menganggap orang batak itu kasar dan tidak sopan,
karena mereka suka berbicara keras dengan nada tinggi.

Dalam kasus yang terjadi pada Budi, ia melakukan penilaian terhadap orang Batak
menggunakan standar budaya ‘jawa’ yang biasa berbicara secara halus dan pelan, dan apabila ada
orang yang tidak berbicara secara halus dan pelan ia akan dianggap tidak sopan. Padahal jika kita
mencoba untuk memahaminya melalui sudut pandang orang Batak, belum tentu ia memiliki
maksud demikian. Bisa jadi orang berbicara secara keras dan lantang itu sebenarnya dianggap
sebagai suatu hal yang lumrah di budaya batak.

Apa yang terjadi jika seseorang memiliki sikap etnosentrisme yang berlebihan dan tidak
mau memahami orang yang memiliki latar budaya berbeda?

 In-group favoritism

Salah satu kecenderungan seseorang untuk menilai hal hal yang berasal dari kelompok seseorang
berada lebih baik daripada hal hal yang berasal dari luar kelompok mereka. Seseorang menjadi
cenderung menilai sesuatu secara bias, dengan menganggap bahwa semua yang berasal dari
kelompoknya bagus, sedangkan segala hal yang berasal dari luar kelompok mereka itu buruk. Hal
ini tentu menjadi tidak baik dan dapat berpotensi untuk menuntun pada permasalahan lain, yakni
munculnya prasangka terhadap kelompok lain yang akan menuntun pada konflik horizontal antar
kelompok masyarakat.
 Konflik horizontal antar kelompok masyarakat.

Bayangkan jika katakanlah Budi menganggap bahwa budaya jawa, budaya yang melekat di
dirinya, adalah budaya yang terbaik. Lalu datanglah si Harahap, yang berasal dari suku Batak, juga
beranggapan bahwa budaya Batak adalah budaya yang terbaik. Mereka kemudian bertemu dan
saling memberikan judgement terhadap budaya satu sama lain menggunakan standar nilai budaya
yang masing masing mereka anut. Kira kira, apa yang akan terjadi? Kemungkinan terbesar yang
akan terjadi adalah konflik horizontal.

Anda mungkin juga menyukai