Anda di halaman 1dari 2

TUGAS MERESUME KEBHINEKAAN

NASIONALISME

Nasionalisme sebagai sebuah perasaan bangga dan cinta terhadap bangsa dapat diwujudkan
dalam tindakan. Nasionalisme relevan untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Fungsi
sikap nasionalisme adalah sebagai identitas sosial. Fungsi lain yang muncul yaitu motivasi
kesadaran atas pengetahuan. Pengembangan nasionalisme Indonesia sangat erat hubungannya
dengan sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaan dari cengkraman
penjajah, perjuangan bangsa Indonesia ini sudah di mulai sejak zaman kerajaan di nusantara.

Nasionalisme berasal dari kata nation yang berarti bangsa. Dengan demikian nasionalisme berarti
menyatakan keunggulan suatu afinitas kelompok yang didasarkan atas kesamaan bahasa, budaya,
dan wilayah.

SENJAKALA MASYARAKAT ADAT

Seribuan orang berjalan melintasi jalanan menuju ke Desa Pekuncen, Kecamatan Jatilawang
tepatnya di kompleks makam Kyai Bonokeling. Laki-laki dan perempuan baik tua maupun muda
tersebut begitu bersemangat, meski hanya jalan kaki. Mereka juga membawa berbagai macam
hasil bumi seperti beras dan sayursayuran. Di beberapa tempat, warga Bonokeling beristirahat di
tempat yang telah ditentukan, salah satunya adalah Pasar Kesugihan, Cilacap. Mereka tetap setia
untuk berjalan, walaupun sebetulnya bisa saja hasil bumi tersebut diangkut menggunakan
kendaraan bermotor.

Yang menarik, ternyata seluruh peralatan makan dan memasak menggunakan bahan alam.
Misalnya untuk kepungan atau makan bersama, maka yang dipakai adalah daun pisang untuk
alas makan. Kearifan lokal menyatu dengan alam tersebut, juga termasuk mempertahankan
pepohonan besar yang berada di areal makam dengan luasan 2 hektare.

Mereka menggunakan pakaian adat Jawa. Kalau laki-laki menggunakan kain seperti sarung dan
iket kepala, sedangkan perempuan adalah jarit dan bagian atasnya ada yang
menggunakan kemben atau baju Jawa.
Istilah adat berasal dari bahasa Arab yang berarti tradisi atau kebiasaan, praktik kaum adat pun
berkembang dalam khazananh Nusantara jauh sebelum masa kolonial. Dulu, istilah ini dipakai
tanpa adanya batas pengertian yang jelas serta tak selalu memiliki kaitan dengan agama.

Adat berlabel animisme diklaim mengandung aspek keagamaan, tetapi kurang memadai untuk
disebut agama. Seturut dengan alur konstruksi ini, paradigma “agama dunia” menjadi standar
yang digunakan untuk mendefinisikan praktik masyarakat adat sebagai objek untuk
dimodernisasi dan dikonversi ke “agama dunia”. Mereka yang disebut sebagai penganut
animisme pada dasarnya adalah semua kelompok yang dianggap tidak berafiliasi dengan “agama
dunia” sebagaimana dipahami pada waktu itu. Dalam hal ini, kelompok adat termasuk di antara
yang disebut penganut animisme.

Menurut Mufdil Tuhri dalam tesisnya Adat, Land and Religion: the Politics of Indigenous
Religions in Indonesia menyebutkan rezim yang berkuasa menjadikan kaum adat sebagai sasaran
kebijakan dalam tiga dimensi. Pertama, terkait dengan konsep identitas keindonesiaan yang
terumuskan melalui kebijakan politik kebudayaan. Kebijakan ini antara lain melahirkan
undangundang tentang identitas daerah, undang-undang pariwisata, dan lain sebagainya. Pada
masa Soeharto, adat bahkan secara sederhana dipahami sebagai budaya lokal.

Kedua, terkait dengan proyek hukum nasional, yang mencakup produk hukum yang mengatur
tentang hukum adat, seperti undang-undang agraria tentang tanah adat, undang-undang tentang
kehutanan, undang-undang tentang perkebunan, dan undang-undang tentang masyarakat adat.

Ketiga, terkait dengan pembakuan definisi agama yang menjadikan paradigma “agama dunia”
sebagai standar. Yang terakhir ini menjadi momentum paling utama dalam peminggiran aspek
keagamaan dalam praktik-praktik masyarakat adat. Produk hukum yang paling kentara terkait
dengan hal ini adalah UU No. 1/ PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau
Penodaan Agama.

Anda mungkin juga menyukai