Anda di halaman 1dari 4

Analisis Kasus Profesi Apoteker: Sakit Mata,

Apoteker Singapura Salah Baca Resep Beri


Lem Gigi
REPUBLIKA.CO.ID, SINGAPURA--Sebuah rumah sakit kemungkinan akan
"dituntut secara massal" oleh publik Singapura setelah melakukan kesalahan yang
menurut mereka tak termaafkan. Akibat salah resep, seorang pasien yang
mengalami iritasi mata harus menderita lebih lama: salep yang diberikan padanya
adalah salep untuk gigi.

'Tidak ada alasan untuk kesalahan seperti ini. Orang bisa mati karena resep yang
salah. Kami akan pastikan mereka mendapat kompensasi," kata pengguna internet
berinisial aries_kid.
Warga lain menyatakan kesalahan-kesalahan tersebut seharusnya tidak terjadi.
Untungnya, itu bukan obat oral atau konsekuensi akan lebih serius. 'Apoteker
perlu diberi peringatan keras dan kembali dilatih jika diperlukan," tambahnya.
Kejadian bermuka saat seorang ibu rumah tangga, Pang Har Tin,mengeluhkan
iritasi mata yang dialaminya. Ia mendatangi National University Hospital (NUH)
untuk mengobati sakitnya.

Dokter memberinya resep obat luar yang harus dioleskan. Resep ditebus, dan dia
menggunakannya di rumah. Setelah salep dioleskan, yang terjadi sungguh di luar
dugaan. Kedua kelopak matanya bersatu dan susah untuk dibuka. Belakangan
diketahui, salep yang diberikan padanya ternyata lem gigi.
Kini wanita 63 tahun ini tengah menjalani pemulihan. NUH meminta maaf dalam
sebuah pernyataan hari Selasa, mengatakan,"Kami sangat menyesal untuk
pengalaman Madam Pang Har Tin yang timbul dari kesalahan kami."
Kasus di atas akan dianalisis berdasarkan kaidah bioetik dasar serta peraturan dan
perundang-undangan di Indonesia mengenai kesehatan dan profesi apoteker
sebagai berikut.

Analisis kasus berdasarkan KDB:


1. Pelanggaran kaidah-kaidah nonmaleficence:
 Tidak mengobati secara proporsional.
 Tidak menjauhkan pasien dari bahaya.
 Membahayakan pasien karena kelalaian.

2. Pelanggaran kaidah-kaidah beneficence:


 Tidak mengusahakan agar kebaikan/manfaatnya lebih banyak
dibandingkan dengan keburukannya. Terjadinya kesalahan pembacaan
resep diperkirakan karena tulisan dokter yang kurang jelas. Bila sang
apoteker sedikit berusaha untuk menghubungi dokter apabila resep yang
dibaca kurang jelas, maka manfaatnya akan lebih banyak bagi pasien dan
apoteker itu sendiri.
 Tidak memaksimalisasi pemuasan kebahagiaan/preferensi pasien.
 Tidak meminimalisasi akibat buruk.
 Tidak memaksimalisasi kepuasan tertinggi secara keseluruhan.

Analisis kasus berdasarkan PP:


1. Pelanggaran terhadap Peraturan Pemerintah No.20 tahun 1962 tentang
Lafal Sumpah Apoteker keempat, yaitu: Saya akan menjalankan tugas
saya dengan sebaik-baiknya sesuai dengan martabat dan tradisi luhur
jabatan kefarmasian
2. Pelanggaran Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 mengenai
pekerjaan kefarmasian:

o Pasal 21 ayat (1): Dalam menjalankan praktek kefarmasian pada


Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker harusmenerapkan
standar pelayanan kefarmasian.

o Pasal 59 ayat (1) a: Pembinaan dan pengawasan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 58 diarahkan untuk melindungi pasien dan
masyarakat dalam hal pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian yang
dilakukan oleh Tenaga Kefarmasian.

Analisis kasus berdasarkan Kode Etik Apoteker Indonesia:


1. Pelanggaran Pasal 9: Seorang Apoteker dalam melakukan praktik kefarmasian
harus mengutamakan kepentingan masyarakat. menghormati hak azasi pasien dan
melindungi makhluk hidup insani.

Implementasi – penjabaran kode etik:


 Seorang apoteker harus yakin bahwa obat yang diserahkan kepada pasien
adalah obat yang terjamin mutu, keamanan, dan khasiat dan cara pakai
obat yang benar.
 Seorang apoteker harus mengambil langkah-langkah untuk menjaga
kesehatan pasien khususnya janin, bayi, anak-anak serta orang yang dalam
kondisi lemah.

2. Pelanggaran Pasal 13 : Seorang Apoteker harus mempergunakan setiap


kesempatan untuk membangun dan meningkatkan hubungan profesi, saling
mempercayai, menghargai dan menghormati sejawat petugas kesehatan lain.

Implementasi – penjabaran kode etik:

 Apoteker harus mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan tenaga


profesi kesehatan lainnya secara seimbang dan bermartabat. Pada kasus
ini, implementasi dari kode etik ini tidak dilakukan. Bila kasus ini terjadi
karena apoteker kesulitan membaca tulisan dokter, maka seharusnya
apoteker tidak enggan untuk menanyakan kepada dokter mengenai
ketidakjelasan resep. Rasa enggan untuk menghubungi dokter dapat
disebabkan kurangnya keinginan apoteker untuk membangun hubungan
yang harmonis kepada sejawat petugas kesehatan lain atau tidak
harmonisnya hubungan apoteker dengan dokter sejak awal.

3. Pelanggaran Pasal 15: Seorang Apoteker bersungguh-sungguh menghayati dan


mengamalkan kode etik Apoteker Indonesia dalam menjalankan tugas
kefarmasiannya sehari-hari.

Jika seorang Apoteker baik dengan sengaja maupun tak sengaja melanggar atau
tidak mematuhi kode etik Apoteker Indonesia, maka dia wajib mengakui dan
menerima sanksi dari pemerintah, ikatan/organisasi profesi farmasi yang
menanganinya (IAI) dan mempertanggungjawabkannya kepada Tuhan Yang
Maha Esa.

Implementasi – penjabaran kode etik:

 Apabila apoteker melakukan pelanggaran kode etik apoteker, yang


bersangkutan dikenakan sanksi organisasi. Sanksi dapat berupa
pembinaan, peringatan, pencabutan keanggotaan sementara, dan
pencabutan keanggotaan tetap. Kriteria pelanggaran kdoe etik diatur dalam
peraturan organisasi dan ditetapkan setelah melalui kajian yang mendalam
dari MPEAD. Selanjutnya MPEAD menyampaikan hasil telaahnya kepada
pengurus cabang, pengurus daerah, dan MPEA.

Analisis kasus berdasarkan UU:

1. Pelanggaran UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan:

 Pasal 24 ayat (1): Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal


23 harus memenuhi ketentuan kode etik, standar profesi, hak pengguna
pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur
operasional.

2. Pelanggaran UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen :

 Pasal (4) a: Hak konsumen adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan
keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.

Langkah Hukum Jika Pasien Dirugikan atas Apoteker yang Lalai

Pasien yang dirugikan dapat melaporkan apoteker yang bersangkutan kepada


pihak berwajib untuk diproses secara pidana atau melakukan gugatan kepada
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (“BPSK”), yakni badan yang bertugas
menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.
Tugas dan wewenang BPSK ini adalah:[12]
a. melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara
konsiliasi, mediasi atau arbitrase;

b. menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen


tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;

Setiap pelanggaran apotek terhadap ketentuan yang berlaku dapat dikenakan


sanksi, baik sanksi administratif maupun sanksi pidana. Sanksi administratif yang
diberikan menurut keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1332/ MENKES/ SK/ X/
2002 dan Permenkes No. 922/ MENKES/ PER/ X/ 1993 adalah :

a. Peringatan secara tertulis kepada APA secara tiga kali berturut-turut dengan
tenggang waktu masing – masing dua bulan.

b. Pembekuan izin apotek untuk jangka waktu selama – lamanya enam bulan
sejak dikeluarkannya penetapan pembekuan izin apotek. Keputusan
pencabutan SIA disampaikan langsung oleh Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten atau Kota dengan tembusan kepada Kepala Dinas Kesehatan
Propinsi dan Menteri Kesehatan RI di Jakarta.

c. Pembekuan izin apotek tersebut dapat dicairkan kembali apabila apotek tersebut
dapat membuktikan bahwa seluruh persyaratan yang ditentukan dalam
keputusan Menteri Kesehatan RI dan Permenkes tersebut telah dipenuhi.

Sanksi pidana berupa denda maupun hukuman penjara diberikan bila terdapat
pelanggaran terhadap :

a. Undang- Undang Obat Keras (St. 1937 No. 541).

b. Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.

c. Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.

d. Undang-Undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika.

Anda mungkin juga menyukai