Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Glomerulonefritis merupakan penyebab utama terjadinya gagal ginjal
tahap akhir dan tingginya angka morbiditas pada anak. Terminologi
glomerulonefritis yang dipakai disini adalah untuk menunjukkan bahwa
kelainan yang pertama dan utama terjadi pada glomerulus, bukan pada
struktur ginjal yang lain.
Menurut data World Health Organization (WHO), penyakit
glomerulonefritis telah menyebabkan kematian pada 850.000 orang setiap
tahunnya. Indonesia pada tahun 1995, melaporkan adanya 170 pasien yang
dirawat di rumah sakit pendidikan dalam 12 bulan. Pasien terbanyak dirawat
di Surabaya (26,5%), kemudian disusul berturut-turut di Jakarta (24,7%),
Bandung (17,6%), dan Palembang (8,2%). Pasien laki-laki dan perempuan
berbanding 2 : 1 dan terbanyak pada anak usia antara 3-8 tahun (40,6%).
Oleh sebab itu dalam makalah ini akan membahasa tentang penyakit
Glmerulonefritis pada anak.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian glomerulonefritis ?
2. Apa tanda dan gejala glomerulonefritis ?
3. Apa etiologi glomerulonefritis ?
4. Apa klasifikasi glomerulonefritis ?
5. Bagaimana patofisiologi glomerulonefritis ?
6. Apa komplikasi glomerulonefritis ?
7. Bagaimana penatalaksanan Non Farmakologi glomerulonefritis ?
8. Bagaiamana Asuhan keperawatan glomerulonefritis ?
C. Tujuan
Tujuan dibuatnya makalah ini untuk mengetahui dan memahami tentang
penyakit glomerulonefritis pada anak.
D. Manfaat
Menambah pengetahuan dan pemahaman tentang penyakit
glomerulonefritis pada anak.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi
Glomerulonefritis adalah suatu istilah umum yang dipakai untuk
menjelaskan berbagai macam penyakit ginjal yang mengalami proliferasi dan
inflamasi di glomerulus akibat suatu proses imunologis.
Glomerulonefritis kronis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan
terjadinya inflamasi pada glomerulus yang disebabkan oleh infasi bakteri atau
virus tertentu (Prabowo & Pranata, 2014, p. 42).
Berdasakan uraian diatas glomerulonefritis adalah suatu penyakit yang
disebabkan oleh infansi atau virus yang merupakan penyebab utama gagal
ginjal pada anak maupun dewasa.
B. Tanda dan Gejala
Menurut Burner & Suddarth dalam Prabowo dan Pranata (2014) tanda
dan gejala dari glomerulonefritis kronik adalah:

2
1. Sakit kepala
2. Demam
3. Odem wajah
4. Nyeri panggul
5. Hipertensi terdapat 60-70% anak pada hari pertama dan akan kembali
normal pada akhir minggu terakhir. Namun apabila terdapat kerusakkan
jaringan ginjal, tekanan darah akan tetap tinggi dan akan menjadi
permanen /Kronik.
6. Nyeri tekan pada seluruh sudut costovertebral
7. Proteinuria
8. Hematuria
9. Oliguria
10. Muntah, tidak nafsu makan dan diare.
11. Fatigue (kelelahan/keletihan)
(Prabowo & Pranata, 2014, p. 43)
C. Etiologi
Penyebab dari glomerulonefritis akud yaitu :
1. Bakteri, virus & proses imunologis
2. Bakteri streptococus golongan A tipe 4, 12, 25
3. Faktor iklim
4. Gizi
5. Faktor Alergi
Penyebab dari Glomerulo nefritis Kronis yaitu :
1. Lanjutan GNA, seringkali tanpa riwayat infeksi (Streptococcus beta
hemoliticus group A).
2. Keracunan.
3. Diabetes Melitus
4. Trombosis vena renalis.
5. Hipertensi kronik
6. Penyakit kolagen
7. Penyebab lain yang tidak diketahui yang ditemukan pada stadium lanjut.

8. Keracunan.
9. Diabetes Melitus
10. Trombosis vena renalis.
11. Hipertensi kronik
12. Penyakit kolagen
13. Penyebab lain yang tidak diketahui yang ditemukan pada stadium lanjut.
Glomerulonefritis adalah suatu sindrom nefrotik yang ditandai timbulnya
hematoria, edema, hipertensi dan penurunan fungsi ginjal. Gejala ini timbul
setelah infeksi kuman streptococus beta hemolitikus golongan A disaluran
pernafasan bagian atas atau pada kulit. Glomerulonefritis terutama menyerang

3
pada anak laki-laki dengan usia kurang dari 3thn (Nuari & Widayati, 2017, p.
233).
Glomerulonefritis kronis juga disebabkan oleh sifilis, keracunan seperti
keracunan timaah hitam tridion, penyakit amiloid, trombosis vena renalis,
purpura anafilaktoid dan lupus eritematosus (Nuari & Widayati, 2017, p. 233).
D. Klasifikasi
Glomerulonefritis adalah gangguan pada ginjal yang ditandai reaksi
inflamasi dan/ atau lesi nekrosis dalam glomerulus, biasanya karena respon
imunologis.
Glomerulonefritis dibedakan menjadi 3 :
1. Difus
Mengenai semua glomerulus, bentuk yang paling sering ditemui
timbul akibat gagal ginjal kronik. Bentuk klinisnya ada 3 :
Akut : Jenis gangguan yang klasik dan jinak, yang selalu diawali
oleh
infeksi stroptococcus dan disertai endapan kompleks imun
pada membran basalis glomerulus dan perubahan
proliferasif seluler.
Sub akut : Bentuk glomerulonefritis yang progresif cepat, ditandai
dengan
perubahan-perubahan proliferatif seluler nyata yang
merusak glomerulus sehingga dapat mengakibatkan
kematian akibat uremia.
Kronik : Glomerulonefritis progresif lambat yang berjalan menuju
perubahan sklerotik dan abliteratif pada glomerulus, ginjal
mengisut dan kecil, kematian akibat uremia.
2. Fokal
Hanya sebagian glomerulus yang abnormal.
3. Lokal
Hanya sebagian rumbai glomerulus yang abnomral misalnya satu sampai
kapiler.

Klasifikasi menurut sumber yang lain :

1. Congenital (herediter)
a. Sindrom Alport
Suatu penyakit herediter yang ditandai oleh adanya
glomerulonefritis progresif familial yang seing disertai tuli syaraf dan

4
kelainan mata seperti lentikonus anterior. Diperkirakan sindrom alport
merupakan penyebab dari 3% anak dengan gagal ginjal kronik dan
2,3% dari semua pasien yang mendapatkan cangkok ginjal. Hilangnya
pendengaran secara bilateral dari sensorineural, dan biasanya tidak
terdeteksi pada saat lahir, umumnya baru tampak pada awal umur
sepuluh tahunan.
b. Sindrom Nefrotik Kongenital
Sindroma nefrotik yang telah terlihat sejak atau bahkan sebelum
lahir. Beberapa kelainan laboratories sindrom nefrotik
(hipoproteinemia, hiperlipidemia) tampak sesuai dengan sembab dan
tidak berbeda dengan sindrom nefrotik jenis lainnya.
Klasifikasi sindrom nefrotik konenital
1) Idiopatik : Sindrom nefrotik congenital tipe finlandia,
sklerosis mesangal difus, jenis lain
2) Sekunder : Sifilis kongenital, infeksi perinatal,
intoksikasi merkuri
3) Sindrom : Sindrom drash dan sindrom malformasi
lain
2. Glomerulonefritis Primer
a. Glomerulonefritis membranoproliferasif
Suatu glomerulonefritis kronik yang tidak diketahui etiologinya
dengan gejala yang tidak spesifik, bervariasi dari hematuria
asimtomatik sampai glomerulonefitis progresif. 20-30% pasien
menunjukkan hematuria mikroskopik dan proteinuria, 30 % berikutnya
menunjukkan gejala glomerulonefritis akut dengan hematuria nyata dan
sembab, sedangkan sisanya 40-45% menunjukkan gejala-gejala
sindrom nefrotik. Tidak jarang ditemukan 25-45% mempunyai riwayat
infeksi saluran pernafasan bagian atas, sehingga penyakit tersebut dikira
glomerulonefritis akut pasca streptococcus atau nefropati IgA.
b. Glomerulonefritis membranosa
Glomerulonefritis membranosa sering terjadi pada keadaan tertentu
atau setelah pengobatan dengan obat tertentu. Glomerulopati
membranosa paling sering dijumpai pada hepatitis B dan lupus
eritematosus sistemik. Tidak ada perbedaan jenis kelamin. Proteinuria

5
didapatkan pada semua pasien dan sindrom nefrotik merupakan 80%
sampai lebih 95% anak pada saat awitan, sedangkan hematuria terdapat
pada 50-60%, dan hipertensi 30%.
c. Nefropati IgA (penyakit berger)
Nefropati IgA biasanya dijumpai pada pasien dengan
glomerulonefritis akut, sindroma nefrotik, hipertensi dan gagal ginjal
kronik. Nefropati IgA juga sering dijumpai pada kasus dengan
gangguan hepar, saluran cerna atau kelainan sendi. Gejala nefropati IgA
asimtomatis dan terdiagnosis karena kebetulan ditemukan hematuria
mikroskopik. Adanya episode hematuria makroskopik biasanya
didahului infeksi saluran nafas atas atau infeksi lain atau non infeksi
misalnya olahraga dan imunisasi.
3. Glomerulonefritis sekunder
Golerulonefritis sekunder yang banyak ditemukan dalam klinik yaitu
glomerulonefritis pasca streptococcus, dimana kuman penyebab tersering
adalah streptococcus beta hemolitikus grup A yang nefritogenik terutama
menyerang anak pada masa awal usia sekolah

Berdasarkan derajat penyakitnya :

a. Glomerulonefritis akut

Glomerulonefritis akut adalah peradangan glomerulus secara


mendadak. Peradangan akut glomerulus terjadi akibat peradangan
komplek antigen dan antibodi di kapiler- kapiler glomerulus. Komplek
biasanya terbentuk 7-10 hari setelah infeksi faring atau kulit oleh
Streptococcus (glomerulonephritis pascastreptococcus ) tetapi dapat
timbul setelah infeksi lain.

b. Glomerulonefritis kronik

Glomerulonefritis kronik adalah peradangan yang lama dari sel-sel


glomerulus. Kelainan ini dapat terjadi akibat glomerulonefritis akut
yang tidak membaik atau timbul secara spontan. Glomerulonefritis
kronik sering timbul beberapa tahun setelah cidera dan peradangan

6
glomerulus sub klinis yang disertai oleh hematuria (darah dalam urin)
dan proteinuria ( protein dalam urin ) ringan, yang sering menjadi
penyebab adalah diabetes mellitus dan hipertensi kronik. Hasil akhir
dari peradangan adalah pembentukan jaringan parut dan menurunnya
fungsi glomerulus. Pada pengidap diabetes yang mengalami hipertensi
ringan, memiliki prognosis fungsi ginjal jangka panjang yang kurang
baik.

E. Patofisiologi
Sebenarnya bukan sterptokokus yang menyebabkan kerusakan pada
ginjal. Diduga terdapat suatu antibodi yang ditujukan terhadap suatu antigen
khusus yang merupakan unsur membran plasma sterptokokal spesifik.
Terbentuk kompleks antigen-antibodi didalam darah dan bersirkulasi kedalam
glomerulus tempat kompleks tersebut secara mekanis terperangkap dalam
membran basalis.selanjutnya komplomen akan terfiksasi mengakibatkan lesi
dan peradangan yang menarik leukosit polimorfonuklear (PMN) dan trombosit
menuju tempat lesi. Fagositosis dan pelepasan enzim lisosom juga merusak
endothel dan membran basalis glomerulus (IGBM). Sebagai respon terhadap
lesi yang terjadi, timbu proliferasi sel-sel endotel yang diikuti sel-sel
mesangium dan selanjutnya sel-sel epitel. Semakin meningkatnya kebocoran
kapiler gromelurus menyebabkan protein dan sel darah merah dapat keluar ke
dalam urine yang sedang dibentuk oleh ginjal, mengakibatkan proteinuria dan
hematuria. Agaknya kompleks komplomen antigen-antibodi inilah yang terlihat
sebagai nodul-nodul subepitel pada mikroskop elektron dan sebagai bentuk
granular dan berbungkah-bungkah pada mikroskop imunofluoresensi, pada
pemeriksaan cahaya glomerulus tampak membengkak dan hiperseluler disertai
invasi PMN.
Kompleks-kompleks ini mengakibatkan kompelen yang dianggap
merupakan mediator utama pada cedera. Saat sirkulasi melalui glomerulus,
kompleks-kompleks ini dapat tersebar dalam mesangium, dilokalisir pada
subendotel membran basalis glomerulus sendiri, atau menembus membran
basalis dan terperangkap pada sisi epitel. Baik antigen atau antibodi dalam

7
kompleks ini tidak mempunyai hubungan imunologis dengan komponen
glomerulus. Pada pemeriksaan mikroskop elektron cedera kompleks imun,
ditemukan endapan-endapan terpisah atau gumpalan karateristik paa
mesangium, subendotel, dan epimembranosa. Dengan miskroskop
imunofluoresensi terlihat pula pola nodular atau granular serupa, dan molekul
antibodi seperti IgG, IgM atau IgA serta komponen-komponen komplomen
seperti C3,C4 dan C2 sering dapat diidentifikasi dalam endapan-endapan ini.
Antigen spesifik yang dilawan oleh imunoglobulin ini terkadang dapat
diidentifikasi.
Pola respon jaringan tergantung pada tempat deposit dan jumlah kompleks
yang dideposit. Bila terutama pada mesangium, respon mungkin minimal, atau
dapat terjadi perubahan mesangiopatik berupa ploriferasi sel-sel mesangial dan
matrik yang dapt meluas diantara sel-sel endotel dan membran basalis,serta
menghambat fungsi filtrasi simpai kapiler. Jika kompleks terutama terletak
subendotel atau subepitel, maka respon cenderung berupa glomerulonefritis
difusa, seringkali dengan pembentukan sabit epitel. Pada kasus penimbunan
kronik komplek imun subepitel, maka respon peradangan dan proliferasi
menjadi kurang nyata, dan membran basalis glomerulus berangsur- angsur
menebal dengan masuknya kompleks-kompleks ke dalam membran basalis
baru yang dibentuk pada sisi epitel.
Mekanisme yang bertanggung jawab terhadap perbedaan distribusi deposit
kompleks imun dalam glomerulus sebagian besar tidak diketahui, walaupun
demikian ukuran dari kompleks tampaknya merupakan salah satu determinan
utama. Kompleks-kompleks kecil cenderung menembus simpai kapiler,
mengalami agregasi, dan berakumulasi sepanjang dinding kapiler do bawah
epitel, sementara kompleks-kompleks berukuran sedang tidak sedemikian
mudah menembus membran basalis, tapi masuk ke mesangium. Komplkes juga
dapat berlokalisasi pada tempat-tempat lain.
Jumlah antigen pada beberapa penyakit deposit kompleks imun terbatas,
misal antigen bakteri dapat dimusnahkan dengan mekanisme pertahanan
penjamu atau dengan terapi spesifik. Pada keadaan demikian, deposit
kompleks-kompleks imun dalam glomerulus terbatas dan kerusakan dapat

8
ringan danberlangsung singkat, seperti pada glomerulonefritis akut post
steroptokokus.
Hasil penyelidikan klinis – imunologis dan percobaan pada binatang
menunjukkan adanya kemungkinan proses imunologis sebagai penyebab.
Beberapa penyelidik mengajukan hipotesis sebagai berikut :
1. Terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang melekat pada membrana
basalis glomerulus dan kemudian merusaknya.
2. Proses auto-imun kuman Streptococcus yang nefritogen dalam tubuh
menimbulkan badan autoimun yang merusak glomerulus.
3. Streptococcus nefritogen dan membran basalis glomerulus mempunyai
komponen antigen yang sama sehingga dibentuk zat anti yang langsung
merusak membrana basalis ginjal.
F. Komplikasi
Ada beberapa komplikasi yang muncul, antara lain :
1. Oliguria sampai anuria yang dapat berlangsung 2-3 hari.
Terjadi sebagai akibat berkurangnya filtrasi glomerulus. Gambaran
seperti insufisiensi ginjal akut dengan uremia, hiperkalemia,
hiperfosfatemia dan hidremia. Walau aliguria atau anuria yang lama jarang
terdapat pada anak, namun bila hal ini terjadi maka dialisis peritoneum
kadang-kadang di perlukan.
2. Ensefalopati hipertensi
Merupakan gejala serebrum karena hipertensi. Terdapat gejala berupa
gangguan penglihatan, pusing, muntah dan kejang-kejang. Ini disebabkan
spasme pembuluh darah lokal dengan anoksia dan edema otak.
3. Gangguan sirkulasi berupa dispne, ortopne, terdapatnya ronki basah,
pembesaran jantung dan meningginya tekanan darah yang bukan saja
disebabkan spasme pembuluh darah, melainkan juga disebabkan oleh
bertambahnya volume plasma. Jantung dapat memberas dan terjadi gagal
jantung akibat hipertensi yang menetap dan kelainan di miokardium.
4. Anemia yang timbul karena adanya hipervolemia di samping sintesis
eritropoetik yang menurun.
5. Ketidakseimbangan cairan dan eletrolit pada fase akut.
6. Malnutrisi
7. Hipertensi, congestive heart failure (CHF), endokarditis.
G. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan adalah untuk melindungi fungsi ginjal dan
menangani komplikasi dengan tepat.

9
1. Farmakologis
a. Pemberian penisilin pada fase akut. Pemberian antibiotika ini tidak
mempengaruhi beratnya glomerulonefritis, melainkan mengurangi
menyebarnya infeksi Streptococcus yang mungkin masih, dapat
dikombinasi dengan amoksislin 50 mg/kg BB dibagi 3 dosis selama 10
hari. Jika alergi terhadap golongan penisilin, diganti dengan eritromisin 30
mg/kg BB/hari dibagi 3 dosis.
b. Pengobatan terhadap hipertensi. Pemberian cairan dikurangi, pemberian
sedativa untuk menenangkan penderita sehingga dapat cukup beristirahat.
Pada hipertensi dengan gejala serebral diberikan reserpin dan hidralazin.
Mula-mula diberikan reserpin sebanyak 0,07 mg/kgbb secara
intramuskular. Bila terjadi diuresis 5-10 jam kemudian, maka selanjutnya
reserpin diberikan peroral dengan dosis rumat, 0,03 mg/kgbb/hari.
Magnesium sulfat parenteral tidak dianjurkan lagi karena memberi efek
toksis.
c. Pemberian furosemid (Lasix) secara intravena (1 mg/kgbb/kali) dalam 5-
10 menit tidak berakibat buruk pada hemodinamika ginjal dan filtrasi
glomerulus.
d. Bila timbul gagal jantung, maka diberikan digitalis, sedativa dan oksigen.
2. Non Farmakologis
a. Istirahat mutlak selama 3-4 minggu. Dulu dianjurkan istirahat mutlah
selama 6-8 minggu untuk memberi kesempatan pada ginjal untuk
menyembuh. Tetapi penyelidikan terakhir menunjukkan bahwa mobilisasi
penderita sesudah 3-4 minggu dari mulai timbulnya penyakit tidak
berakibat buruk terhadap perjalanan penyakitnya.
b. Pada fase akut diberikan makanan rendah protein (1 g/kgbb/hari) dan
rendah garam (1 g/hari). Makanan lunak diberikan pada penderita dengan
suhu tinggi dan makanan biasa bila suhu telah normal kembali.
c. Bila ada anuria atau muntah, maka diberikan IVFD dengan larutan glukosa
10%. Pada penderita tanpa komplikasi pemberian cairan disesuaikan
dengan kebutuhan
d. Bila ada komplikasi seperti gagal jantung, edema, hipertensi dan oliguria,
maka jumlah cairan yang diberikan harus dibatasi.
H. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Urinalisis menunjukkan adanya proteinuria (+1 sampai +4),

10
2. Hematuria makroskopik ditemukan hampir pada 50% penderita
3. Kelainan sedimen urine dengan eritrosit disformik
4. Leukosituria serta torak selulet
5. Granular
6. Eritrosit(++)
7. Albumin (+)
8. Silinder lekosit (+).
9. Kadang-kadang kadar ureum dan kreatinin serum meningkat dengan tanda
gagal ginjal seperti hiperkalemia, asidosis, hiperfosfatemia dan
hipokalsemia.
10. Kadang-kadang tampak adanya proteinuria masif dengan gejala sindroma
nefrotik. Komplomen hemolitik total serum (total hemolytic comploment)
dan C3 rendah pada hampir semua pasien dalam minggu pertama, tetapi C4
normal atau hanya menurun sedikit, sedangkan kadar properdin menurun
pada 50% pasien. Keadaan tersebut menunjukkan aktivasi jalur alternatif
komplomen.
Menurut (Sukandar, 2006) pendekatan diagnosis Penyakit Ginjal Kronik
(PGK) mempunyai sasaran berikut:
1. Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG)
2. Mengetahui etiologi PGK yang mungkin dapat dikoreksi
3. Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible factors)
4. Menentukan strategi terapi rasional
5. Menentukan prognosis
Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan
pemeriksaan yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan
fisik diagnosis dan pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan khusus
(Sukandar, 2006).
1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang
berhubungan dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi
PGK, perjalanan penyakit termasuk semua faktor yang dapat
memperburuk faal ginjal (LFG). Gambaran klinik (keluhan subjektif dan
objektif termasuk kelainan laboratorium) mempunyai spektrum klinik
luas dan melibatkan banyak organ dan tergantung dari derajat penurunan
faal ginjal (Sukandar, 2006).
2. Pemeriksaan laboratorium

11
Tujuan pemeriksaan laboratorium yaitu memastikan dan menentukan
derajat penurunan faal ginjal (LFG), identifikasi etiologi dan menentukan
perjalanan penyakit termasuk semua faktor pemburuk faal ginjal
(Sukandar, 2006).
3. Pemeriksaan faal ginjal (LFG)
Pemeriksaan ureum, kreatinin serum dan asam urat serum sudah cukup
memadai sebagai uji saring untuk faal ginjal (LFG). Pemeriksaan klirens
kreatinin dan radionuklida (gamma camera imaging) hampir mendekati
faal ginjal yang sebenarnya (Sukandar, 2006).
4. Pemeriksaan laboratorium untuk perjalanan penyakit
Progresivitas penurunan faal ginjal, hemopoiesis, elektrolit, endoktrin,
dan pemeriksaan lain berdasarkan indikasi terutama faktor pemburuk faal
ginjal (LFG) (Sukandar, 2006).
Pemeriksaan penunjang diagnosis harus selektif sesuai dengan tujuannya,
yaitu:
a. Diagnosis etiologi PGK
Beberapa
pemeriksaan penunjang diagnosis, yaitu foto polos abdomen ,
ultrasonografi (USG), nefrotomogram, pielografi retrograde, pielografi
antegrade dan Micturating Cysto Urography (MCU) (Sukandar, 2006).
b. Diagnosis pemburuk faal ginjal
Pemeriksaan radiologi dan radionuklida (renogram) dan pemeriksaan
ultrasonografi (USG)
I. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Anamnesia
Glomerulonefritis kronik ditandai oleh kerusakan glomerulus secara
progresif lambat akibat glomerulonefritis yang sudah berlangsung lama.
Penyakit cenderung timbul tanpa diketahui asal usulnya, dan biasanya baru
ditemukan pada stadium yang sudah lanjut, ketika gejala-gejala
insufisiensi ginjal timbul. Pada pengkajian ditemukannya klien yang
mengalami glomerulonefritis kronik bersifat incidental pada saat
pemeriksaan dijumpai hipertensi atau peningkatan kadar BUN dan
kreatinin serum (Mutaqqin dan Sari, 2012).
c. Indetitas
sering ditemukan pada anak umur 3-7 tahun lebih sering padapria

12
d. Riwayat penyakit
1) Sebelumnya :
Adanya riwayat infeksi streptokokus beta hemolitik dan riwayat
lupus eritematosus (penyakit autoimun lain).
2) Sekarang :
Adanya keluaran kencing berwarna seperti cucian daging,
bengkak sekitar mata dan seluruh tubuh, tidak nafsu makan, mual ,
muntah dan diare yang dialami klien.
e. Pemeriksaan Fisik
1) Aktivitas atau istirahat
Gejala : kelemahan (malaise)
Tanda : kelemahan otot, kehilangan tonus otot
2) Sirkulasi
Tanda : hipertensi, pucat,edema.
3) Eliminasi
Gejala : perubahan pola berkemih (oliguri)
Tanda : Perubahan warna urine (kuning pekat, merah)
4) Makanan atau cairan
Gejala : edema, anoreksia, mual, muntah
Tanda : penurunan keluaran urine
5) Pernafasan
Gejala : nafas pendek
Tanda :Takipnea, dispnea, peningkatan frekwensi, kedalaman
(pernafasan kusmaul)
6) Nyeri (kenyamanan)
Gejala: nyeri pinggang, sakit kepala
Tanda: perilaku berhati-hati/distraksi, gelisah
f. Pengkajian berpola
1) Pola nutrisi dan metabolik:
Suhu badan normal hanya panas hari pertama sakit. Dapat terjadi
kelebihan beban sirkulasi karena adanya retensi natrium dan air, edema
pada sekitar mata dan seluruh tubuh. Perlukaan pada kulit dapat terjadi
karena uremia.
2) Pola eliminasi :
Gangguan pada glumerulus menyebakan sisa-sisa metabolisme
tidak dapat diekskresi dan terjadi penyerapan kembali air dan natrium
pada tubulus yang tidak mengalami gangguan yang menyebabkan
oliguria, anuria, proteinuri, hematuria.
3) Pola Aktifitas dan latihan :
Kelemahan otot dan kehilangan tonus karena adanya hiperkalemia.
Dalam perawatan klien perlu istirahat karena adanya kelainan jantung

13
dan dan tekanan darah mutlak selama 2 minggu dan mobilisasi
duduk dimulai bila tekanan ddarah sudah normaal selama 1 minggu.
4) Pola tidur dan istirahat :
Klien tidak dapat tidur terlentang karena sesak dan gatal karena
adanya uremia. keletihan, kelemahan malaise, kelemahan otot dan
kehilangan tonus
5) Kognitif & perseptual :
Peningkatan ureum darah menyebabkan kulit bersisik kasar dan
rasa gatal. Gangguan penglihatan dapat terjadi apabila terjadi
ensefalopati hipertensi.
6) Persepsi diri :
Klien cemas dan takut karena urinenya berwarna merah dan
edema dan perawatan yang lama.
7) Hubungan peran :
Anak tidak dibesuk oleh teman – temannya karena jauh serta anak
mengalami kondisi kritis menyebabkan anak banyak diam.
8) Nilai keyakinan :
Klien berdoa memohon kesembuhan kepada Tuhan.
d. Pemeriksaan Diagnostik
Hasil yang didapat Pada laboratorium :
1) Hb menurun ( 8-11 )
2) Ureum dan serum kreatinin meningkat.
a) Ureum
Laki-laki : 8,84-24,7 mmol/24jam atau 1-2,8 mg/24jam
Wanita : 7,9-14,1 mmol/24jam atau 0,9-1,6 mg/24jam
b) Serum kreatinin
Laki-laki : 55-123 mikromol/L atau 0,6-1,4 mg/dl
Wanita : 44-106 mikromol/L atau 0,5-1,2 mg/dl
c) Elektrolit serum (natrium
meningkat, normalnya 1100
g)
Pada rontgen: IVP abnormalitas pada sistem penampungan (Ductus
koligentes)
Urinalisis (BJ. Urine meningkat : 1,015-1,025 , albumin Å,
Eritrosit Å, leukosit Å)
d) Pemeriksaan darah
1) LED meningkat.
2) Kadar HB menurun.
3) Albumin serum menurun (++).
4) Ureum & kreatinin meningkat.

14
2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri Kronis b.d agens pencedera
b. Kelebihan Volume Cairan b.d gangguan mekanisme regulasi
c. Nausea b.d Uremia
d. Kerusakan Integritas jaringan b.d kelebihan volume cairan
3. Intervensi Keperawatan
Diagnosa Noc Nic
Nyeri Kronis b.d Setelah dilakukan tindakan Manajemen nyeri
1.1 Lakukan pengkajian
Agen Pencedera keperawatan ...×24 jam
nyeri komperhensif
mendapatkan kriteria hasil
Tingkat nyeri yang meliputi lokasi,
1. Panjangnya episode
karakteristik,
nyeri dari skala 2
onset/durasi,
ditingkatkan ke skala
frekuensi, kualitas,
5
atau beratnya nyeri
2. Ekspresi nyeri wajah
fan faktor pencetus.
dari skala 2
1.2 Berikan informasi
ditingkatkan ke skala
mengenai nyeri,
5
seperti penyebab
3. Mual dari skala 1 di
nyeri, berapa lama
tingkatkan ke skala 5
Keterangan: nyeri akan dirasakan,
(1) Berat
dan antisipasi dari
(2) Cukup berat
(3) Sedang ketidaknyamanan
(4) Ringan
akibat prosedur.
(5) Tidak ada
1.3 Berikan individu
penurun nyeri yang
optimal dengan
peresepan analgesic.
1.4 Evaluasi keefektifan
dari tindakan
pengontrol nyeri.
Kelebihan Volume Setelah dilakukan tindakan Monitor Cairan
2.1 Tentukan jumlah dan
Cairan b.d keperawatan ...×24 jam
jenis intake/asupan
gangguan mendapatkan kriteria hasil
Keseimbangan Cairan cairan serta kebiasaan

15
mekanisme 1. Tekanan darah dari eliminasi.
2.2 Periksa turgor kulit
regulasi skala 3 ditingkatkan
dengan memegang
ke skala 5
2. Turgor kulit dari skala jaringan sekitar tulang
2 di tingkatkan ke seperti tangan atau
skala 5 tulang kering,
3. Berat jenis urin dari
mencubit kulit dengan
skala 2 ditingkatkan
lembut, pegang
ke skala 5
dengan kedua tangan
Keterangan:
1) Sangat terganggu dan lepaskan (di
2) Banyak terganggu
mana, kulit akan turun
3) Cukup terganggu
4) Sedikit terganggu kembali dengan cepat
5) Tidak terganggu
jika pasien terhidrasi
dengan baik).
2.3 Monitor warna,
kuantitas, dan berat
jenis urin.
2.4 Berikan cariran
dengan tepat.
Nausea b.d Uremia Setelah dilakukan tindakan Monitor Cairan
3.1 Monitor tekanan
keperawatan ...×24 jam
darah, denyut nadi
mendapatkan kriteria hasil
Kontrol Mual & Muntah dan status
1. Mengenali pemicu
pernafasan.
stimulus dari sekala 1 Manajemen mual
3.2 Lakukan penilaian
menjadi 5
2. Melaporkan mual, dan lengkap terhadap
muntah yang terkontrol mulai, termasuk
dari skala 1 menjadi 5 frekuensi, durasi,
Keperahan Mual & Muntah
tingkat keparahan,
3. Frekuensi mual dari skala
dan faktor-faktor
1 menjadi 5
Keterangan: pencetus.
1) Sangat terganggu 3.3 Ajari penggunaan
2) Banyak terganggu
teknik

16
3) Cukup terganggu nonfarmakologi
4) Sedikit terganggu
(misalnya,
5) Tidak terganggu
biofeedback,
hipnosis, relaksasi,
imajinasi terbimbing,
terapi musik,
distraksi, akupresur)
untuk mengatasi
mual
3.4 Kolaborasi dengan
ahli gizi
Kerusakan Setelah dilakukan tindakan Pengecekan kulit (3590)
4.1 Monitor warna dan
Integritas jaringan keperawatan ...×24 jam
suhu kulit
b.d kelebihan mendapatkan kriteria hasil
4.2 Monitor infeksi,
Keparahan cairan
volume cairan
terutama dari daerah
berlebihan (0603)
1. Edema menyeluruh yang edema
4.3 Periksa kulit dan
dari skala 1 menjadi 5
2. Malaise dari sekala 1 selaput lendir terkait
menjadi 5 dengan adanya
kemerahan,
Keterangan
1 : berat kehangatan ekstrim,
2 : cukup berat
edema, atau drainase
3 : sedang
4.4 Amati warna,
4 : ringan
5 : tidak ada kehangatan,
bengkak, pulsasi,
tekstur, edema, dan
ulserasi pada
ekstremitas
4.5 Ajarkan anggota
keluarga/pemberi
aduhan mengenai
tanda-tanda

17
kerusakan kulit,
dengan cepat

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Glomerulonefritis adalah suatu istilah umum yang dipakai untuk menjelaskan


berbagai macam penyakit ginjal yang mengalami proliferasi dan inflamasi di
glomerulus akibat suatu proses imunologis.

Tanda dan gejala pada glomerulonefritis yaitu Sakit kepala, Demam, Odem
wajah, Nyeri panggul, Hipertensi terdapat 60-70% anak pada hari pertama dan
akan kembali normal pada akhir minggu terakhir, Nyeri tekan pada seluruh sudut
costovertebral, Proteinuria, Hematuria, Oliguria, Muntah, tidak nafsu makan dan
diare dan Fatigue (kelelahan/keletihan).

Klasifikasi Glomerulonefritis dibedakan menjadi 3 : Difus (Akut, Sub akut,


Kronik) Fokal, Lokal.

Diagnosa keperawatan yang dapat diambil yaitu Nyeri akut, kelebihan


volume cairan, nausea dan kerusakan integritas jaringan.

18
DAFTAR PUSTAKA

Gloria M., Bulechek, Howard K, Joanne M, Cheryl M. 2016. Nursing


Interventions Clasification NIC Edisi ke Enam Edisi Bahasa Indonesia.
Elseiver: Mocomedia

Moerhead, Sue., Marion J, Maridean L. 2016. Nursing Outcomes Clasification


NOC Pengukuran Outcomes Kesehatan Edisi Kelima Edisi Bahasa
Indonesia. Elseiver Mocomedia

Muttaqin, Arif. Sari, kumala.2011. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem


Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika.

Prabowo, E., & Pranata, A. E. (2014). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Sistem
Perkemihan. Yogyakarta: Nuha Medika.

19

Anda mungkin juga menyukai