Disusun Oleh :
SEMARANG
2019
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................................. 1
1.3 Tujuan ...................................................................................................................... 1
1.4 Manfaat .................................................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................................. 2
2.1 Toko Obat ............................................................................................................... 2
2.1.1 Pengertian Toko Obat .................................................................................... 2
2.1.2 Syarat Pendirian Toko Obat .......................................................................... 2
2.2 Obat .......................................................................................................................... 3
2.2.1 Pengertian Obat Keras ................................................................................... 3
2.2.2 Fungsi Obat Keras .......................................................................................... 4
2.3 Kriteria Obat-Obatan Menurut Perundang-UndangandiIndonesia....................... 4
2.4 Tindak Pidana Peredaran Sediaan Farmasi Tanpa Izin Edar dalam UU No. 36
Tahun 2009 .......................................................................................................................... 5
2.5 Sanksi Hukum Tindak Pidana Peredaran Sediaan Farmasi Tanpa Izin Edar .... 10
BAB III PEMBAHASAN .................................................................................................... 12
BAB IV KESIMPULAN ....................................................................................................... 16
SARAN ............................................................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 18
ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
Agar mengetahui bentuk pelanggaran yang terjadi di suatu Toko Obat Berizin serta
hukuman yang dijatuhkan sesuai Undang-undang Kesehatan No.36 tahun 2009.
1.4 Manfaat
Sebagai bahan masukan kepada pihak-pihak yang terkait untuk selalu memantau
penjualan obat daftar G dan pendistribusiannya.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Toko obat disebut juga dengan Pedagang Eceran Obat dalam pasal 1 Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 167/kab/B.VII/1972 yang telah diubah menjadi
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1331/MENKES/SK/X/2002
tentang Pedagang Eceran Obat.Pedagang eceran Obat adalah orang / Badan Hukum Indonesia
yang memiliki izin untuk menyimpan Obat –obat Bebas dan Obat-obat Bebas Terbatas untuk
dijual secara eceran ditempat tertentu sebagaimana tercantum dalam surat izin.
Pedagang Eceran Obata tau yang disebut juga Toko Obat juga harus memperkerjakan
seorang Asisten Apoteker sebagai penanggungjawab teknis farmasi sesuai yang telah diatur
dalam Pasal 4 Peratyran Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 167/Kab/B.VII/1972
yang telah diubah menjadi Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1331/MENKES/SK/X/2002 tentang Pedagang Eceran Obat.Kualifikasi pendidikan dari
Asisten Apoteker itu sendiri dapat berasal dari Lulusan Sekolah Asisten Apoteker,Sekolah
menengah Farmasi,DIII Farmasi,dan DIII Analis Farmasi dan Makanan.
Apabila sudah memenuhi syarat-syarat tertulis pendirian toko obat dan telah
mendapatkan izin dari Kepala Dinas Kesehatan kabupaten / kota setempat,sesuai Pasal 8 ayat
(1),ayat (2) dan ayat (3) PERMENKES Republik Indonesia Nomor 167/kab/B.VII/1972 yang
telah diubah menjadi Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1331/MENKES/SK/X/2002 tentang Pedagang Eceran Obat,toko obat wajib memasang papan
dengan tulisan “Toko Obat Berijin”dan tidak menerima resep dokter dan diletakan didepan
2
tokonya agar dapat dilihat oleh masyarakat ,serta dipojok kanan bawah dicantumkan nomor
izin toko obat tersebut.
2.2 Obat
2.2.1 Pengertian Obat Keras
Obat merupakan suatu zat yang digunakan untuk mendiagnosa pengobatan,melunakan
dan menyembuhkan atau mencegah penyakit yang terjadi atau diaalami manusia maupun
hewan (Stephen, 2013).
Obat hanya berfungsi sebagai alat perantara untuk menyembuhkan atau membebaskan
masing-masing individu dari berbagai penyakit yang menyerang.Tetapi,obat harus digunakan
sesuai dengan dosis atau takaran dan harus tepat agar penyakit yang hendak disembuhkan
akan segera hilang,sebaliknya obat akan berubah fungsi menjadi racun didalam individu
apabila dosis yang digunakan tidak sesuai dengan kebutuhan,baik itu kekurangan atau
kelebihan dosis.Obat Keras merupakan salah satu klasifikasi jenis obat yang memiliki khasiat
untuk menyembuhkan.Obat Keras ditandai dengan simbol lingkaran merah yang bergaris tepi
hitam dan bertuliskan huruf “K”berwarna hitam.
Adapun beberapa jenis obat yang termasuk didalam jenis obat keras atau obat daftar
“G”,antara lain sebagai berikut :
1. Daftar G atau Obat Keras ,seperti : Antibiotik,Antihipertensi,anti diabetes,dan lain
sebagainya
2. Daftar Obat O atau obat bius atau anastesi,sejenis golongan obat narkotika
3. OKT (Obat Keras Tertentu ) atau Psikotropika,seperti obat sakit jiwa,penenang,obat
tidur dan lain sebagainya
4. OWA(Obat Wajib Apotek),juga dikategorikan sebagai obat keras yang bisa dibeli
dengan menggunakan resep dokter.Tetapi,berbeda dengan obat keras jenis
lainya,OWA juga dapat dibeli dengan takaran tertentu tanpa harus menggunakan resep
dokter,seperti obat asma,pil KB,antihistamin dan obat kulit lainnya.
Berikut ini adalah beberapa jenis obat keras yang tidak boleh diperjualbelikan secara bebas
atau tanpa resep dokter :
3
2.2.2 Fungsi Obat Keras
Setiap obat pasti memiliki khasiat yang tersimpan didalamnya dan berfungsi untuk
menyembuhkan suatu penyakit.Begitupula dengan obat keras atau obat daftar “G”yang
diproduksi karena obat tersebut memiliki fungsi untuk mengobati
,menguatkan,mendesinfektankan,dan lain-lainya dalam tubuh manusia,hal tersebut
sebagaimananyayang telah tercantum pada Pasal 1 ayat(1) huruf a Undang-Undang Nomor
419 tahun 1949 tentang Ordonasi Obat Keras.
Obat Keras akan aman digunakan oleh pasien dewasa apabila digunakan sampai batas
dosis maksimum yang diperbolehkan dan dibawah pengawasan dokter.Akan
tetapi,penggunaanya akan berbahaya apabila dalam dosis yang berlebihan.Oleh karena itu
,obat keras hanya dapat diperbolehkan dijual diapotek.Dan hanya apoteker yang dapat
melayani pembelian obat keras dan dalam melayani pembelian obat keras juga harus disertai
dengan adanya resep dokter.
Menurut Pasal 1 Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Tahun
2011 Tentang Kriteria Tata Laksana Registrasi Obat, ada definisi tentang jenis-jenis
obat:
1. Obat copy adalah obat yang mengandung zat aktif dengan komposisi, kekuatan, bentuk
sediaan, rute pemberian, indikasi dan posologi sama dengan obat yang sudah disetujui.
2. Obat impor adalah obat yang dibuat oleh industry farmasi luar negeri dalam bentuk
produk jadi atau produk ruahan dalam kemasan primer yang akan diedarkan di
Indonesia.
3. Obat kontrak adalah obat yang pembuatanya dilimpahkan kepada farmasi lain.
4. Obat lisensi adalah obat yang dibuat oleh industry farmasi lain dalam negeri atas dasar
lisensi.
5. Obat produksi dalam negeri adalah obat yang dibuat dan/atau dikemas primer oleh
industry farmasi di Indonesia.
6. Obat yang dilindungi paten adalah obat yang mendapatkan perlindungan paten
berdasarkan Undang-undang Paten yang berlaku di Indonesia.
7. Obat Paten Adalah obat baru yang ditemukan berdasarkan riset dan pengembangan,
diproduksi dan dipasarkan dengan nama dagang tertentu dan dilindungi hak patennya
selama nomimal 20 tahun.
8. Obat Generik adalah obat yang dapat diproduksi dan dijual setelah masa paten suatu
obat inovator habis. Obat Generik adalah obat yg dipasarkan berdasarkan nama bahan
aktifnya. Obat Generik Bermerek Di Indonesia adalah obat generik yang dipasarkan
dengan menggunakan merek dagang tertentu.
9. Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan
hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang
secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai
dengan norma yang berlaku di masyarakat.
4
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No 1010/MENKES/PER/XI/2008 Tentang
Registrasi Obat. Pasal 4
2.4 Tindak Pidana Peredaran Sediaan Farmasi Tanpa Izin Edar dalam UU No. 36
Tahun 2009
Menurut pasal 2 penjelasan UU No 36 Tahun 2009 tentang kesehatan, dinyatakan
bahwa pembangunan kesehatan harus memperhatikan berbagai asas yang memberikan
arah pembangunan kesehatan. Asas tersebut dilaksanakan melalui upaya kesehatan,
sebagai berikut:
c. Asas manfaat berarti bahwa pembangunan kesehatan harus memberikan manfaat yang
sebesar-besarnya bagi kemanusiaan dan perikehidupan yang sehat bagi setiap warga
negara.
5
f. Asas keadilan berarti bahwa penyelenggaraan kesehatan harus dapat memberikan
pelayanan yang adil dan merata kepada semua lapisan masyarakat dengan
pembiayaan yang terjangkau.
Pengaturan mengenai sediaan farmasi di Indonesia diatur di dalam Pasal 98 ayat (3) UU
RI No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, yaitu:
Peraturan Pemerintah yang dimaksud oleh pasal 98 ayat (3) UU Kesehatan di atas adalah
Peraturan Pemerintah RI No. 72 Tahun 1998, yang tercantum dalam BAB IV, yaitu:
Pasal 6
Peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan terdiri dari penyaluran dan
penyerahan
Pasal 7
Peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan dilaksanakan dengan memperhatikan
upaya pemeliharaan mutu sediaan farmasi dan alat kesehatan.
Pasal 8
(1) Setiap pengangkutan sediaan farmasi dan alat kesehatan dalam rangka peredaran
harus disertai dengan dokumen pengangkutan sediaan farmasi dan alat kesehatan.
(2) Setiap pengangkut sediaan farmasi dan alat kesehatan dalam rangka peredaran
bertanggung jawab atas kelengkapan dokumen pengangkutan sediaan farmasi
dan alat kesehatan.
Pasal 9
(1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah memperolah
izin edar dari Menteri.
(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bagi sediaan
farmasi yang berupa obat tradisional yang diproduksi oleh perorangan.
6
Pasal 10
(1) Izin edar sediaan farmasi dan alat kesehatan diberikan atas dasar permohonan
secara tertulis kepada Menteri.
(2) Permohonan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disertai dengan
keterangan dan/atau data mengenai sediaan farmasi dan alat kesehatan yang
dimohonkan untuk memperoleh izin edar serta contoh sediaan farmasi dan alat
kesehatan
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan izin edar sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) oleh Menteri.
Pasal 11
Sediaan farmasi dan alat kesehatan yang dimohonkan untuk memperolah izin
edar dari segi mutu, keamanan dan kemanfaatan
Pasal 12
(1) Pengujian sediaan farmasi dan alat kesehatan dilaksanakan melalui :
a. Pengujian laboratoris berkenaan dengan mutu sediaan farmasi dan alat
kesehatan.
b.Penilaian atas keamanan dan kemanfaatan sediaan farmasi dan alat
kesehatan.
(2) Tata cara pengujian sediaan farmasi dan alat kesehatan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 13
(1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan yang lulus dalam pengujian diberikan izin edar
(2) Izin edar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan dalam bentuk
persetujuan pendaftaran.
(3) Sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak lulus dalam pengujian diberikan
surat keterangan yang menyatakan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang
bersangkutan tidak memenuhi persyaratan untuk diedarkan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai izin edar dan surat keterangan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) , ayat (2), dan ayat (3) diatur oleh Menteri.
Pasal 14
(1) Menteri menjaga kerahasiaan keterangan dan/atau data sediaan farmasi dan alat
kesehatan yang disampaikan serta hasil pengujian sediaan farmasi dan alat
kesehatan.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut
oleh Menteri dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang undangan
yang berlaku.
7
Pasal 15
(1) Penyaluran sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat dilakukan oleh :
a. Badan usaha yang telah memiliki izin sebagai penyalur dari Menteri sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk
menyalurkan sediaan farmasi yang berupa bahan obat, obat dan alat
kesehatan.
b.Badan usaha yang telah memiliki izin sebagai penyalur sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk menyalurkan
sediaan farmasi yang berupa obat tradisional dan kosmetika.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikecualikan bagi perorangan
untuk menyalurkan sediaan farmasi yang berupa obat tradisional dan kosmetika
dengan jumlah komoditi yang terbatas dan/atau diperdagangkan secara langsung
kepada masyarakat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyaluran sediaan farmasi dan alat
kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Menteri.
Pasal 16
(1) Penyerahan sediaan farmasi dan alat kesehatan dilakukan untuk digunakan dalam
pelayanan kesehatan atau kepentingan ilmu pengetahuan.
(2) Penyerahan sediaan farmasi dan alat kesehatan untuk digunakan dalam pelayanan
kesehatan dilakukan berdasarkan :
a. resep dokter
b. tanpa resep dokter
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyerahan sediaan farmasi dan alat
kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh
Menteri.
Sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998, di dalam UU Kesehatan juga
diatur mengenai peredaran sediaan farmasi yang tercantum dalam pasal 106,
(1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin
edar.
(2) Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi
persyaratan objektivitas dan kelengkapan serta tidak menyesatkan.
(3) Pemerintah berwenang mencabut izin edar dan memerintahkan penarikan dari
peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan yang telah memperoleh izin edar,
yang kemudian terbukti tidak memenuhi persyaratan mutu dan/atau keamanan
dan/atau kemanfaatan, dapat disita dan dimusnahkan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
8
Adapun dalam hal ini hak pasien tertera dalam UU no 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen salah satu larangan bagi pelaku usaha (tenaga kesehatan)
dalam menjalankan kegiatan usahanya adalah :
a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dari ketentuan
perundang-undangan.
b. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau neto, dan jumlah dalam hitungan
sebagaimana dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut.
c. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah dalam hitungan menurut
ukuran yang sebenarnya.
e. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau
penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan alam label, etiket, atau keterangan barang
dan/atau jasa tersebut.
f. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan, atau
promosi barang dan/atau jasa tersebut.
i. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang,
ukuran, berat/isi bersih atau neto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat
sampingan, nama, dan alamat pelaku usaha, serta keterangan lain untuk penggunaan
yang menurut ketentuan harus dipasang atau dibuat.
k. Memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa
memberikan informasi yang lengkap.
l. Memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas, dan
tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap (Saliman, 2005).
9
2.5 Sanksi Hukum Tindak Pidana Peredaran Sediaan Farmasi Tanpa Izin Edar
Setiap hubungan hukum pasti mempunyai 2 (dua) sisi hak dan kewajiban. Hak dan
kewajiban harus dibedakan dengan hukum karena hak dan kewajiban mempunyai sifat
individual, melekat pada individu, sedangkan hukum bersifat umum, berlaku pada
setiap orang. Hak pasien dapat muncul dari hubungan hukum antara tenaga kesehatan
dan pasien dan muncul dari kewajiban profesional tenaga kesehatan berdasarkan
ketentuan-ketentuan profesi. Menurut Fred Ameln hak pasien meliputi hak atas
informasi, hak memilih sarana kesehatan, hak atas rahasia kedokteran, hak menolak
pengobatan, hak menolak suatu tindakan medik tertentu, hak untuk menghentikan
pengobatan, hak melihat rekam medis, hak second opinion. Tanggung jawab hukum
tenaga kesehatan dimaksudkan sebagai keterkaitan seorang tenaga kesehatan terhadap
ketentuan-ketentuan hukum dalam menjalankan profesinya. Tanggung jawab hukum
tersebut meliputi:
1. Bidang hukum pidana, UU No. 36 Tahun 2009, pasal 190-200 dan pasalpasal dalam
KUHP seperti pasal 48-51, 224, 267-268, 322, 344-361, 531 dan pasal 535.
Dalam hukum pidana, untuk dapat dipidanakan suatu kesalahan yang dapat
diartikan sebagai pertanggungjawaban haruslah memenuhi 3 (tiga) unsur, yaitu:
2. Adanya hubungan batin antara petindak dan perbuatannya yang dapat berupa
kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa).
10
kesehatan. Namun karena tindakan yang dilakukan tenaga kesehatan hanya
menyangkut kewajiban untuk berupaya, sulit untuk membuktikan keslahan atau
kelalaian dan sikap kurang hati-hati. Kewajiban berusaha didasarkan pada suatu
standar profesi yang ditentukan oleh kelompok profesi itu sendiri dan penilaian
terhadap penyimpangannya hanya dapat dilakukan oleh mereka. Jadi, pasien tidak
mempunyai cukup informasi untuk membuktikannya. Oleh sebab itu kelompok
profesi harus memiliki kesadaran hukum dalam menjalankan tugas demi kehormatan
profesi itu sendiri.
Barang siapa memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan atau alat
kesehatan tanp izin edar sebagaimana dimaksud dalam pasal 41 ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling banyak
Rp. 140.000.000.00 (seratus empat puluh juta rupiah)
Dalam UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pasal 197
menyebutkan:
11
BAB III
PEMBAHASAN
12
Obat yang boleh dijual di Toko Obat hanya obat-obat bebas dan obat-obat bebas
terbatas, dan Toko Obat tidak boleh menjual obat-obat keras atau obat daftar “G”. Obat Keras
hanya boleh dijual di Apotek.obat keras atau obat daftar “G”yang diproduksi karena obat
tersebut memiliki fungsi untuk mengobati ,menguatkan,mendesinfektankan,dan lain-lainya
dalam tubuh manusia,hal tersebut sebagaimananyayang telah tercantum pada Pasal 1 ayat(1)
huruf a Undang-Undang Nomor 419 tahun 1949 tentang Ordonasi Obat Keras.
Obat Bebas adalah obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli tanpa resep
dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas adalah lingkaran hijau dengan
garis tepi berwarna hitam. Obat Bebas Terbatas adalah obat yang sebenarnya termasuk obat
keras tetapi masih dapat dijual atau dibeli bebas tanpa resep dokter, dan disertai dengan
tanda peringatan. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas terbatas adalah
lingkaran biru dengan garis tepi berwarna hitam. Sedangkan Obat Keras adalah obat yang
hanya dapat dibeli di apotek dengan resep dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket
adalah huruf K dalam lingkaran merah dengan garis tepi berwarna hitam.
Tetapi dalam kenyataannya banyak obat golongan G yang dijual di Toko Obat Berizin.
Sehingga adanya tindak pidana untuk mengoptimalisasi hukum pidana sebagai sarana dalam
upaya pencegahan kejahatan yang diatur dalam UU No. 36 Tahun 2009. Penyebab masalah
ini adalah rendahnya kontrol pemerintah terhadap distribusi dan penjualan obat. Regulasi
yang dibuat tidak ditegakkan, bahkan mungkin tidak ada yang merasa memiliki wewenang
dan tanggung jawab untuk menegakkan peraturan ini di level masyarakat.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1331/MENKES/SK/X/2002 tentang
Pedagang Eceran Obat. Yang didalam peraturan tersebut menjelaskan bahwa Pedagang
Eceran Obat memiliki izin untuk menyimpan Obat-obat Bebas dan Obat-obat Bebas
Terbatas untuk dijual secara eceran ditempat tertentu sebagaimana tercantum dalam surat
izin.
Tetapi peraturan yang dibuat di atas implementasinya di bawah tidak berjalan. Takutnya
Tenanga Kefarmasian atau mereka yang melakukan perdagangan obat tidak melihat
masalah ini sebagai masalah utama. Tidak ada kesadaran masyarakat juga tentang bahaya
penggunaan obat keras secara bebas. Fenomena tersebut benar terjadi di tengah masyarakat.
Masyarakat pasti menginginkan akses yang mudah terhadap obat-obatan, apalagi bila obat-
obatan tertentu dirasa berguna bagi dirinya.
Selama ada kesempatan melakukan perdagangan obat secara bebas, pedagang akan terus
memasok masyarakat dengan keinginan mereka. Hal ini terus terjadi selama bertahun-tahun,
13
bahkan berdekade-dekade, baik dengan cara konvensional seperti Toko Obat, atau bahkan
mulai marak penjualan secara daring (online).
Dampaknya signifikan. Penggunaan obat-obatan keras bisa menyebabkan efek samping
yang besar pula. Belum lagi pengobatan swadaya tanpa keilmuan kedokteran yang tepat
mungkin bisa memperburuk kondisi penyakit seseorang. Masalah resistensi antibiotik?
Sudah menjadi rahasia umum bahwa resistensi antibiotik meningkat salah satunya
disebabkan oleh penggunaan antibiotik yang tidak sesuai dengan indikasi dan irasional.
Mereka yang melanggar perlu diberikan sanksi tegas agar peredaran obat-obatan di
masyarakat terkontrol sesuai tindak pidana yang diatur dalam UU Nomor 36 Tahun 2009.
Undang-undang ini diharapkan dapat menjerat para pelaku tindak pidana mengedarkan
sediaan farmasi tanpa izin edar serta upaya yang dapat dilakukan dalam penanganan tindak
pidana ini dilakukan kebijakan.
Salah satunya pada kasus yang kami bahas. Berdasarkan Direktori Putusan Mahkamah
Agung Republik Indonesia, Putusan Nomor 153/Pid.Sus/2014/PN Kbr Pengadilan Negeri
Kota Baru telah menetapkan putusan dalam perkara terdakwa RD pemilik Toko Obat berizin
Nurul Jannah yang beralamat di Simpang Lundung Kecamatan Sungai Pagu Kabupaten
Solok Selatan secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Tidak
memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukan praktik kefarmasian”. Sebagaimana
dimaksud dalam pasal 198 jo. Pasal 108 ayat (1) UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan. Terdakwa RD dijatuhi pidana denda sebesar Rp 2.000.000,- (Dua juta rupiah)
subsudair 2 (dua) bulan kurungan dan menetapkan barang bukti berupa :
1 (satu) box Licostan;
190 (seratus sembilan puluh) tablet Faxiden 20;
1 (satu) box Fargetix;
2 (dua) box Fenaren;
1 (satu) box Norvom 10;
1 (satu) box Infatrim;
3 (tiga) box Trunal-DX;
90 (sembilan puluh) tablet Novatrim;
1 (satu) box Andalan;
1 (satu) box Faxiden 10;
1 (satu) box Kemocillin 500;
1 (satu) box Divoltar 50;
100 (seratus) tablet Grathazon;
14
50 (lima puluh) tablet Vosea;
70 (tujuh puluh) tablet Alofar;
1 (satu) box Ketoconazole;
Terdakwa RD dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp 5.000,- (Lima ribu rupiah).
Setelah mendengarkan Terdakwa RD mengakui dan menyesali perbuatannya dan memohon
untuk dan meminta untuk diberikan keringanan pidananya, Penuntut Umum menyatakan
tetap pada tuntutan pidananya.
Terdakwa RD telah menyediakan obat-obat tersebut di Toko Obat Berizin Nurul Jannah
milik terdakwa RD sejak awal tahun 2013 untuk dijual kepada orang yang datang membeli
ke toko obat milik Terdawa dan Terdakwa dalam menyimpan dan menjual obat-obat
tersebut hanya memiliki izin Toko Obat dari Dinas Kesehatan Kabupaten Solok Selatan
yang hanya boleh menjual obat bebas dan obat bebas terbatas sehingga Terdakwa tidak
diperbolehkan menyimpan dan menjual obat golongan obat keras.
Padahal obat keras akan aman digunakan oleh pasien dewasa apabila digunakan sampai
batas dosis maksimum yang diperbolehkan dan dibawah pengawasan dokter. Akan tetapi,
penggunaannya akan berbahaya apabila dalam dosis yang berlebihan. Oleh karena itu, obat
keras hanya dapat diperbolehkan dijual diapotek. Dan hanya apoteker yang dapat melayani
pembelian obat keras dan dalam melayani pembelian obat keras juga harus disertai dengan
adanya resep dokter.
15
BAB IV
KESIMPULAN
16
100 (seratus) tablet Grathazon;
50 (lima puluh) tablet Vosea;
70 (tujuh puluh) tablet Alofar;
1 (satu) box Ketoconazole;
Dirampas untuk dimusnahkan.
Membebankan Terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp 5.000,- (Lima ribu
rupiah).
Keputusan tersebut diputuskan pada hari Senin tanggal 26 Januari 2015 dalam rapat
permusyawaratan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kota Baru oleh kami Aris Dwihartoyo,
SH selaku Hakim Ketua, Sapperijanto, SH dan Syvia nanda Putri, SH, masing-masing
selaku Hakim Anggota, putusan tersebut diucapkan pada hari dan tanggal itu juga, dalam
sidang yang terbuka untuk umum oleh Hakim Ketua didampingi Hakim-Hakim Anggota
tersebut, dibantu oleh Niswan selaku Panitera Pengganti pada Pengadilan Negeri Kota Baru
dan dihadiri oleh Hendrik Dolok Tambunan, SH. Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri
Padang Aro dan dihadapan terdakwa.
SARAN
Perlu kontrol ketat dari BPOM atau Kementerian Kesehatan mengenai syarat pengadaan
Toko Obat.
Mereka yang melanggar perlu diberikan sanksi tegas agar peredaran obat-obatan di
masyarakat terkontrol.
Alur distribusi dari pabrikan harus diatur dengan sistematis, tidak bisa dibariakn mengalir
seperti distribusi produk lain.
17
DAFTAR PUSTAKA
Saliman, A. R. (2005). Hukum Bisnis Untuk Perusahaan. Jakarta: Pranada Media Grup .
Stephen Zeenot. (2013). Pengelolaan & Penggunaan Obat Wajib Apotek. Yogjakarta: D-
Medika.
18
Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan(Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144,Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5063.
Yusuf Shofie. (2002). Pelaku Usaha Konsumen dan Tindak Pindana Korporasi.cet.1.
Jakarta: Ghalia Indonesia.
19