Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit Jantung Koroner (PJK) atau penyakit kardiovaskular saat ini merupakan
salah satu penyebab utama dan pertama kematian di negara maju dan berkembang, termasuk
Indonesia. Pada tahun 2010, secara global penyakit ini akan menjadi penyebab kematian
pertama di negara berkembang, menggantikan kematian akibat infeksi. Diperkirakan bahwa
diseluruh dunia, PJK pada tahun 2020 menjadi pembunuh pertama tersering yakni sebesar
36% dari seluruh kematian, angka ini dua kali lebih tinggi dari angka kematian akibat
kanker.3 Di Indonesia dilaporkan PJK (yang dikelompokkan menjadi penyakit sistem
sirkulasi) merupakan penyebab utama dan pertama dari seluruh kematian, yakni sebesar
26,4%, angka ini empat kali lebih tinggi dari angka kematian yang disebabkan oleh kanker
(6%). Dengan kata lain, lebih kurang satu diantara empat orang yang meninggal di Indonesia
adalah akibat PJK. Berbagai faktor risiko mempunyai peran penting timbulnya PJK mulai
dari aspek metabolik, hemostasis, imunologi, infeksi, dan banyak faktor lain yang saling
terkait.5
Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan suatu masalah kardiovaskular yang utama
karena menyebabkan angka perawatan rumah sakit dan angka kematian yang tinggi.Sindrom
koroner akut merupakan spektrum manifestasi akut dan berat yang merupakan keadaan
kegawatdaruratan dari koroner akibat ketidakseimbangan antara kebutuhan oksigen
miokardium dan aliran darah 2. Sindrom koroner akut umumnya terjadi pada pasien di atas
usia 40 tahun. Walaupun begitu, usia yang lebih muda daripada 40 tahun juga dapat
menderita penyakit tersebut. Banyak penelitian yang telah menggunakan batasan usia 40-45
tahun untuk mendefinisikan “pasien usia muda” dengan penyakit jantung koroner atau infark
miokard akut. Sebagian besar pasien tidak mengalami gejala penyakit yang terdeteksi,
sehingga kemungkinan perkembangan penyakit ini dengan mudah diabaikan.Sindrom
koroner akut dibagi berdasarkan gambaran EKG yaitu dengan ST Elevasi Miokard Infark
(STEMI) dan Non STElevasi Miokard Infark (NSTEMI) serta Unstable Angina Pectoris
(UAP).Dari total 418 pasien SKA diketahui bahwa pasien dengan STEMI merupakan kasus
terbanyak dengan persentasi 44,7%, 34,2% merupakan NSTEMI, dan 2,1% adalah UAP.1

1
Diantara jenis sindrom koroner akut lainnya, UAP telah lama dikenal sebagai gejala
awal dari infark miokard akut (IMA).UAP adalah suatu sindrom klinik yang berbahaya dan
merupakan tipe angina pektorisyang dapat berubah menjadi infark miorkad.Banyak penelitian
melaporkan bahwa UAP merupakan risiko untuk terjadinya IMA dan kematian.Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa 60-70% penderita IMA dan 60% penderita mati mendadak
pada riwayat penyakitnya yang mengalami gejala UAP.Sedangkan penelitian jangka panjang
mendapatkan IMA terjadi pada 5%-20% penderita UAP dengan tingkat kematian 14-80%.
UAP menarik perhatian karena letaknya diantara spektrum angina pektoris stabil dan infark
miokard,sehingga merupakan tantangan dalam upaya pencegahan terjadinya infark miokard.4

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Definisi5

Sindrom Koroner Akut adalah terminologi yang digunakan pada keadaan aliran darah
koroner parsial hingga total ke miokard secara akut. Berbeda dengan angina pektoris stabil,
gangguan aliran darah ke miokard pada SKA bukan disebabkan oleh penyempitan yang statis
namun terutama akibat pembentukan trombus di dalam arteri koroner yang sifatnya
dinamis.Sindrom koroner akut dibagi berdasarkan gambaran EKG yaitu dengan miokard
infark yang disertai dengan ST elevasi dari hasil EKG (STEMI) dan tanpa elevasi segmen ST
yaitu NSTEMI dan UAP. Perbedaan dari UAP dan NSTEMI ialah :

 UAP adalah keadaan pasien dengan symptom iskemia sesuai SKA, tanpa terjadi
peningkatan enzim petanda jantung (CK-MB, troponin) tanpa perubahan EKG yang
menunjukan iskemia.
 NSTEMI adalah keadaan pasien dengan manifestasi sama seperti UAP tetapi disertai
dengan peningkatan enzim penanda jantung.

2.2. Etiologi

Faktor risiko penyakit kardiovaskular dibedakan menjadi faktor risiko yang dapat
dimodifikasi dan yang tidak dapat dimodifikasi.

a. faktor risiko yang dapat dimodifikasi2


 dislipidemia, LDL dapat berakumulasi di ruang subendotelial dan
menyebabkan kerusakan tunika intima.
 Merokok, meningkatkan LDL yang teroksidasi, menurunkan HDL, disfungsi
endotel, peningkatan adesi platelet, stimulasi simpatis yang tidak sesuai.
 Hipertensi, menyebabkan jejas endotel.
 DM dan sindroma metabolik, menyebabkan disfungsi endotel
 Kurangnya aktivitas fisik
b. faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi
 usia lanjut

3
 jenis kelamin laki-laki, estrogen menurunkan LDL, menaikan HDL dan
antioksidan serta antiplatelet
 Herediter

2.3 Patogenesis2

Patofisiologi terjadinya ACS terjadi dalam jangka waktu yang sangat lama, bahkan
dapat mencapai lebih dari 20 tahun.Awalnya berupa pembentukan aterosklerosis yang
kemudian mengalami ruptur dan menyebabkan terjadinya pembentukan trombus.Lebih dari
90% sindrom koroner akut terjadi karena adanya mekanisme ini.Selain karena adanya
pembentukan trombus, UAP/NSTEMI juga dapat disebabkan oleh peningkatan kebutuhan
oksigen miokardium (akibat adanya takikardia atau hipertensi) atau karena pengurangan
suplai (pengurangan diameter lumen vasKular oleh trombus, vasospasme atau
hipotensi).Mekanisme lain menyebabkan sindrom koroner akut dapat disebabkan sindrom
vaskulitis, emboli koroner, kelainan kongenital pembuluh darah koroner, trauma atau
aneurisma koroner, spasme berat arteri koroner, peningkatan viskositas darah, diskeksi
spontan arteri koroner.

a. Pembentukan Plak Ateroma

Plak ateroma diawali dengan adanya akumulasi dari lipoprotein pada tunika intima.Kemudian
terjadi oksidasi dan glikasi dari lipoprotein. Hal ini menyebabkan stres oksidatif yang
akhirnya akan menyebabkan peningkatan sitokin. Sitokin tersebut meningkatkan ekspresi dari
molekul adesi yang mengikat leukosit dan molekul kemoatraktan (seperti MCP-1/ monocyte
chemoattractan protein 1) yang menyebabkan migrasi leukosit ke tunika intima. Selanjutnya
akan terjadi stimulasi macrophage colony stimulating factor yang menyebabkan ekspresi dari
scavenger receptor. Reseptor ini memediasi uptake modified lipoprotein yang menyebabkan
terbentuknya foam cells. Foam cells merupakan sumber dari sitokin, molekul efektor seperti
anion superoksida dan matrix metalloproteinase. Kemudian akan terjadi migrasi sel otot

4
polos dari tunika media ke tunika intima yang akan menyebabkan peningkatan ketebalan
intima. Pada stage akhir dapat terjadi kalsifikasi dan fibrosis.

Selain karena adanya pembentukan trombus, UAP/NSTEMI juga dapat disebabkan oleh
peningkatan kebutuhan oksigen miokardium (akibat adanya takikardia atau hipertensi) atau
karena pengurangan suplai (pengurangan diameter lumen vaskular oleh thrombus,
vasospasme atau hipotensi).

2. Pembentukan Trombus

Pembentukan trombus dari plak aterosklerotik melibatkan proses ruptur plak yang
akan memaparkan elemen darah terhadap substansi trombogenik dan disfungsi endotel
sehingga kehilangan fungsi vasodilatasi dan antitrombotik. Rupturnya plak merupakan
pemicu utama.Hal ini dapat disebabkan oleh faktor-faktor yang mengurangi stabilitas plak,
stress fisik.

Komposisi dari plak atheroma dipengaruhi oleh mekanisme sintesis dan degradasi.Sintesis sel
otot polos membuat formasi fibrouscapdisamping kolagen dan elastin.Foam
cellmeningkatkan aktivasi dan enzim proteolitik seperti matrix metalloproteinase yang
mendegradasi kolagen dan elastolitik katepsin.Derivate dari sel limfosit T juga merusak
fibrous cap. Plak dengan fibrous cap yang tipis mudah menjadi rupture jika ada stres yang
tinggi baik secara spontan maupun saat aktivitas fisik.

5
Setelah terjadi rupturnya plak akan terjadi pemaparan platelet terhadap lapisan kolagen
subendotelial sehingga platelet teraktivasi dan menjadi beragregasi. Mengaktivasi kaskade
koagulasi dan vasokonstriksi.Mekanismenya dapat dilihat pada gamar di bawah. Disfungsi
endotel akan menyebabkan penurunan produksi vasodilator dan antiplatelet.

6
2.4 Patologi dan patofisiologi2

Pada UAP tidak terjadi kematian sel sedangkan pada STEMI dan NSTEMI terjadi
kematian sel. Infark dibedakan menjadi 2 yaitu infark transmural dan infark
sunendokardial.Infark transmural mengenai hampir seluruh lapisan miokardium yang
disebabkan oleh oklusi yang lama.Infark subendokardial yang hanya mengenai sebagian
lapisan subendokardial saja yang merupakan area paling rentan terhadap terjadinya iskemia.
Setelah terjadinya oklusi maka kadar oksigen akan menurun dan menyebabkan terjadinya
metabolism anaerob yang menyebabkan penumpukan asam laktat. Pengurangan produksi
ATP menyebabkan disfungsi dari Na-K-ATP ase transmembran sehingga menyebabkan
leakage dari Na dan K. Na lebih banyak di intrasel yang menyebabkan edema sel da K lebih
banyak di ekstrasel yang menyebabkan perubahan potensial transmembran. Perubahan
tersebut akan menyebabkan penurunan fungsi jantung dalam 2 menit pertama. Tanpa
intervensi kerusakan dapat terjadi dalam 20 menit. Edema miokardium terjadi dalam 4-12

7
jam dan gambaran histologik yang terlihat adalah irreversible injury berupa edema
interseluler.

Perubahan lanjut yang terjadi adalah pembuangan sel miokardium yang nekrotik dan
penggantian dengan jaringan fibrosa.

8
Perubahan fungsi yang terjadi antara lain gangguan pada kontraktilitas (sistolik) dan daya
regang (diastolik) jantung, stunned miokardium, iskemik preconditioning, dan ventricular
remodeling.

2.5 Manifestasi klinis5

2.5.1. Anamnesis

Sebagian besar pasien SKA dating dengan keluhan nyeri dada angina pektoris (rasa
berat, atau rasa seperti ditekan atau rasa seperti dicengkram di belakang sternum, bisa
menjalar ke rahang, bahu, punggung, atau lengan). Kalau pada angina pektorisstabil keluhan
nyeri dada hanya berlangsung kurang dari dari 15 menit, pada SKA berlangsung lebih lama.
Namun pada populasi lanjut usia (.75 tahun), wanita, dan diabetes, keluhan tidak khas. Pada
pasien lanjut usia lebih sering terjadi NSTEMI, dan presentasinya sering atipikal, seperti
sinkope, lemas ataudelirium, dan sering disertai gagal jantung.

Keluhan angina pada SKA biasanya disertai dengan keringatf digin karena respon
simpatis, mual, dan muntah karena stimulasi vagal, rasa lemas tidak bertenaga. Ada tiga
presentasi angina pada sindrom koroner akut, yaitu :

1. Angina saat istirahat dengan durasi lebih dari 20 menit


2. Angina pertama kali sehingga aktivitas fisik menjadi sangat terbatas
3. Angina progresif : pada pasien dengan angina pektoris stabil, terjadi perburukan
keluhan dimana angina terjadi lebih sering, durasi lebih lama, atau dengan aktivitas
yang lebih ringan.

2.5.2. Pemeriksaa Fisik5

Pada pemeriksaan fisik biasanya normal. Namun biasanya pemeriksaan fisik


dilakukan untuk mengidentifikasikan faktor pencetus iskemia, komplikasi iskemia, penyakit
penyerta, dan menyingkirkan diagnosis banding. Regurgitasi katup mitral akut, suara
jantungtiga (S3), rhonki basah halus, dan hipotensi hendaknya selalu diperiksa untuk
mengidentifikasi komplikasi iskemia.Ditemukannya tanda-tanda regurgitasi katup mitral
akut, hipotensi, diaphoresis, ronkhi basah halus atau edema paru meningkatkan kecurigaan
terhadap SKA.Pericardial friction rub karena pericarditis, kekuatan nadi tidak seimbang dan

9
regurgitasi katub aorta akibat diseksi aorta, pneumotorkas, nyeri pleuritik disertai suara napas
yang tidak seimbang perlu dipertimbangkan dalam memikirkan diagnosis banding SKA.

2.5.3. Perubahan tampakan EKG4

Berdasarkan tampilan EKG infark miokardium dapat dibedakan menjadi


UAP/NSTEMI dengan STEMI. Pada UAP dan NSTEMI perubahan yang dapat terjadi antara
lain:

Sedangkan pada STEMI akan terjadi evolusi gambaran EKG seperti di bawah ini:

10
LOKASI IMA LOKASI ELEVASI SEGMEN
ST
Anterior V1–V4
Anteroseptal V1, V2, V3, V4
Anterolateral V4–V6, I, aVL
Inferior Inferior: II, III, and aVF
Lateral I and aVL
Inferolateral II, III, aVF, and V5 and V6

2.5.4Perubahan enzimatik2

Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atautroponin I/T merupakan marka nekrosis miosit


jantung dan menjadi markauntuk diagnosis infark miokard. Troponin I/T sebagai marka
nekrosis jantungmempunyai sensitivitas dan spesifisitas lebih tinggi dari CK-MB.
Peningkatanmarka jantung hanya menunjukkan adanya nekrosis miosit, namun tidak
dapatdipakai untuk menentukan penyebab nekrosis miosit tersebut
(penyebabkoroner/nonkoroner). Troponin I/T juga dapat meningkat oleh sebab
kelainankardiak nonkoroner seperti takiaritmia, trauma kardiak, gagal jantung,hipertrofi
ventrikel kiri, miokarditis/perikarditis. Keadaan nonkardiak yangdapat meningkatkan kadar
troponin I/T adalah sepsis, luka bakar, gagal napas,penyakit neurologik akut, emboli paru,
hipertensi pulmoner, kemoterapi, dan insufisiensi ginjal. Pada dasarnya troponin T dan
troponin I memberikaninformasi yang seimbang terhadap terjadinya nekrosis miosit, kecuali
padakeadaan disfungsi ginjal. Pada keadaan ini, troponin I mempunyai spesifisitasyang lebih
tinggi dari troponin T.
Dalam keadaan nekrosis miokard, pemeriksaan CK-MB atau troponinI/T
menunjukkan kadar yang normal dalam 4-6 jam setelah awitan SKApemeriksaan hendaknya
diulang 8-12 jam setelah awitan angina. Jika awitanSKA tidak dapat ditentukan dengan jelas,
maka pemeriksaan hendaknyadiulang 6-12 jam setelah pemeriksaan pertama. Kadar CK-MB
yangmeningkat dapat dijumpai pada seseorang dengan kerusakan otot skeletal(menyebabkan
spesifisitas lebih rendah) dengan waktu paruh yang singkat(48 jam). Mengingat waktu paruh
yang singkat, CK-MB lebih terpilih untukmendiagnosis ekstensi infark (infark berulang)
maupun infark periprosedural.

11
Tes yang negatif pada satu kali pemeriksaan awal tidak dapat dipakai untuk
menyingkirkan diagnosis infark miokard akut. Kadar troponin pada pasien infark miokard
akut meningkat di dalam darah perifer 3 – 4 jam setelah awitan infark dan menetap sampai 2
minggu bila terjadi nekrosis luas. Apabila pemeriksaan troponin tidak tersedia, pemeriksaan
CKMB dapat digunakan. CKMB akan meningkat dalam waktu 4 hingga 6 jam, mencapai
puncaknya saat 12 jam, dan menetap sampai 2 hari.3

Gambar. Waktu timbulnya berbagai jenis marka jantung

2.6. Tata laksana4,5

2..6.1. Evaluasi Awal

Langkah pertama dalam penanganan pasien dengan Keluhan nyeri dada bertujuan
untuk menegakan diagnosis kerja dengan cepat dan memilih tatalaksan yang tepat.
Berdasarkan kualitas nyeri dada, anamnesa, dan pemeriksaan fisik terarah serta gambaran
EKG, pasien dikelompokan menjadi salah satu dari : STEMI, NSTEMI, dan kemungkinan
diagnosis SKA rendah.

2.6.2. Penanganan Awal

Penanganan awal dimulai saat diagnosis Angina Pektoris Tidak Stabil dan STEMI
ditegakan atau bahkan saat kecurigaan terhadap SKA cukup tinggi, meliputi :

 Atasi nyeri dada akibat iskemia


 Melakukan penilaian status hemodinamik dan perbaiki kelainannya.
 Risiko untuk terjadi komplikasi diestimasi menggunakan stratifikasi risiko dini.

12
 Berdasarkan estimasi stratifikasi risiko diatas, strategi tatalaksana ditentukan antra
strategi invasive (angiografi koroner dengan tujuan revaskularisasi ) atau konservatif
(medikamentosa).
 Inisiasi terapi antitrombotik (antiplatelet dan antikoagulan) untuk mencegah
terjadinya trombosis baru dan embolisasi dari plak aterosklerosis yang ruptur atau
erosi.
 Pemberian penyekat beta untuk mencegah terjadinya iskemia berulang dan aritmia
ventrikular maligna.

Penanganan awal diikuti dengan pemberian beberapa terapi medikamentosa yang telah
terbukti dapat memperbaiki prognosis jangka panjang seperti pemberian antiplatelet
jangka panjang untuk menurunkan risiko trombosis arteri koroner berulang, penyekat
beta, dan statin.

1. Anti Iskemia
a. Penyekat Beta (Beta blocker).
Keuntungan utama terapi penyekat beta terletak pada efeknya terhadap reseptor beta-1
yang mengakibatkan turunnya konsumsi oksigen miokardium. Terapi hendaknya tidak
diberikan pada pasien dengan gangguan konduksi atrio-ventrikler yang signifikan, asma
bronkiale, dan disfungsi akut ventrikel kiri. Pada kebanyakan kasus, preparat oral cukup
memadai dibandingkan injeksi. Penyekat beta direkomendasikan bagi pasien UAP atau
NSTEMI, terutama jika terdapat hipertensi dan/atau takikardia, dan selama tidak terdapat
indikasi kontra (Kelas I-B).penyekat beta oral hendaknya diberikan dalam 24 jam pertama
(Kelas I-B). Penyekat beta juga diindikasikan untuk semua pasien dengan disfungsi ventrikel
kiri selama tidak ada indikasi kontra (Kelas I-B). Pemberian penyekat beta pada pasien
dengan riwayat pengobatan penyekat beta kronis yang datang dengan SKA tetap dilanjutkan
kecuali bila termasuk klasifikasi Kilip =III (Kelas I-B).
Tabel 1. Jenis dan dosis penyekat beta untuk terapi IMA
Penyekat beta Selektivitas Aktivitas agonis Dosis untuk
parsial angina
Atenolol B1 - 50-200 mg/hari

Bisoprolol B1 - 10 mg/hari

13
Carvedilol a dan b + 2x6,25 mg/hari,
titrasi sampai
maksimum 2x25
mg/hari

Metoprolol B1 - 50-200 mg/hari

Propanolol Nonselektif - 2x20-80 mg/hari

b. Nitrat
Keuntungan terapi nitrat terletak pada efek dilatasi vena yang mengakibatkan
berkurangnya preload dan volume akhir diastolic ventrikel kiri sehingga konsumsi oksigen
miokardium berkurang. Efek lain dari nitrat adalah dilatasi pembuluh darah koroner baik
yang normal maupun yang mengalami aterosklerosis.
1. Nitrat oral atau intravena efektif menghilangkan keluhan dalam fase akut dari episode
angina (Kelas I-C).
2. Pasien dengan UAP/NSTEMI yang mengalami nyeri dada berlanjut sebaiknya mendapat
nitrat sublingual setiap 5 menit sampai maksimal 3 kali pemberian, setelah itu harus
dipertimbangkan penggunaan nitrat intravena jika tidak ada indikasi kontra (Kelas I-C).
3. Nitrat intravena diindikasikan pada iskemia yang persisten, gagal jantung, atau hipertensi
dalam 48 jam pertama UAP/NSTEMI. Keputusan menggunakan nitrat intravena tidak boleh
menghalangi pengobatan yang terbukti menurunkan mortalitas seperti penyekat beta atau
angiotensin converting enzymes inhibitor (ACE-I) (Kelas I-B).
4. Nitrat tidak diberikan pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90 mmHg atau >30
mmHg di bawah nilai awal, bradikardia berat (<50 kali permenit), takikardia tanpa gejala
gagal jantung, atau infark ventrikel kanan (Kelas III-C).
5. Nitrat tidak boleh diberikan pada pasien yang telah mengkonsumsi inhibitor
fosfodiesterase: sidenafil dalam 24 jam, tadalafil dalam 48 jam. Waktu yang tepat untuk
terapi nitrat setelah pemberian vardenafil belum dapat ditentukan (Kelas III-C).
Tabel 2. Jenis dan dosis nitrat untuk terapi IMA
Nitrat Dosis
Isosorbid dinitrate (ISDN) Sublingual 2,5–15 mg (onset 5 menit)
Oral 15-80 mg/hari dibagi 2-3 dosis

14
Intravena 1,25-5 mg/jam
Isosorbid 5 mononitrate Oral 2x20 mg/hari
Oral (slow release) 120-240 mg/hari
Nitroglicerin Sublingual tablet 0,3-0,6 mg–1,5 mg
(trinitrin, TNT, glyceryl trinitrate) Intravena 5-200 mcg/menit

c. Calcium channel blockers (CCBs).


Nifedipin dan amplodipin mempunyai efek vasodilator arteri dengan sedikit atau
tanpa efek pada SA Node atau AV Node. Sebaliknya verapamil dan diltiazem mempunyai
efek terhadap SA Node dan AV Node yang menonjol dan sekaligus efek dilatasi arteri.
Semua CCB tersebut di atas mempunyai efek dilatasi koroner yang seimbang.Oleh karena itu
CCB, terutama golongan dihidropiridin, merupakan obat pilihan untuk mengatasi angina
vasospastik. Studi menggunakan CCB pada UAP dan NSTEMI umumnya memperlihatkan
hasil yang seimbang dengan penyekat beta dalam mengatasi keluhan angina.
1. CCB dihidropiridin direkomendasikan untuk mengurangi gejala bagi pasien yang telah
mendapatkan nitrat dan penyekat beta (Kelas I-B).
2. CCB non-dihidropiridin direkomendasikan untuk pasien NSTEMI dengan indikasi kontra
terhadap penyekat beta (Kelas I-B).
3. CCB nondihidropiridin (long-acting) dapat dipertimbangkan sebagai pengganti terapi
penyekat beta (Kelas IIb-B).
4. CCB direkomendasikan bagi pasien dengan angina vasospastik (Kelas I-C).
5. Penggunaan CCB dihidropiridin kerja cepat (immediate-release) tidak direkomendasikan
kecuali bila dikombinasi dengan penyekat beta. (Kelas III-B).

Tabel 3. Jenis dan dosis penghambat kanal kalsium untuk terapi IMA
Penghambat kanal kalsium Dosis
Verapamil 180-240 mg/hari dibagi 2-3 dosis
Diltiazem 120-360 mg/hari dibagi 3-4 dosis
Nifedipine GITS (long acting 30-90 mg/hari
Amlodipine 5-10 mg/hari

15
2. Antiplatelet
1. Aspirin harus diberikan kepada semua pasien tanda indikasi kontra dengan dosis
loading 150-300 mg dan dosis pemeliharaan 75-100 mg setiap harinya untuk jangka
panjang, tanpa memandang strategi pengobatan yang diberikan (Kelas I-A).
2. Penghambat reseptor ADP perlu diberikan bersama aspirin sesegera mungkin dan
dipertahankan selama 12 bulan kecuali ada indikasi kontra seperti risiko perdarahan
berlebih (Kelas I-A).
3. Penghambat pompa proton (sebaiknya bukan omeprazole) diberikan bersama DAPT
(dual antiplatelet therapy - aspirin dan penghambat reseptor ADP) direkomendasikan
pada pasien dengan riwayat perdarahan saluran cerna atau ulkus peptikum, dan perlu
diberikan pada pasien dengan beragam faktor risiko seperti infeksi H. pylori, usia =65
tahun, serta konsumsi bersama dengan antikoagulan atau steroid (Kelas I-A).
4. Penghentian penghambat reseptor ADP lama atau permanen dalam 12 bulan sejak
kejadian indeks tidak disarankan kecuali ada indikasi klinis (Kelas I-C).
5. Ticagrelor direkomendasikan untuk semua pasien dengan risiko kejadian iskemik
sedang hingga tinggi (misalnya peningkatan troponin) dengan dosis loading 180 mg,
dilanjutkan 90 mg dua kali sehari. Pemberian dilakukan tanpa memandang strategi
pengobatan awal.Pemberian ini juga dilakukan pada pasien yang sudah mendapatkan
clopidogrel (pemberian clopidogrel kemudian dihentikan) (Kelas I-B).
6. Clopidogrel direkomendasikan untuk pasien yang tidak bisa menggunakan ticagrelor.
Dosis loading clopidogrel adalah 300 mg, dilanjutkan 75 mg setiap hari (Kelas I-A).
7. Pemberian dosis loading clopidogrel 600 mg (atau dosis loading 300 mg diikuti dosis
tambahan 300 mg saat IKP) direkomendasikan untuk pasien yang dijadwalkan
menerima strategi invasif ketika tidak bisa mendapatkan ticagrelor (Kelas I-B).
8. Dosis pemeliharaan clopidogrel yang lebih tinggi (150 mg setiap hari) perlu
dipertimbangkan untuk 7 hari pertama pada pasien yang dilakukan IKP tanpa risiko
perdarahan yang meningkat (Kelas IIa-B).
9. Pada pasien yang telah menerima pengobatan penghambat reseptor ADP yang perlu
menjalani pembedahan mayor non-emergensi (termasuk CABG), perlu
dipertimbangkan penundaan pembedahan selama 5 hari setelah penghentian
pemberian ticagrelor atau clopidogrel bila secara klinis memungkinkan, kecuali bila
terdapat risiko kejadian iskemik yang tinggi (Kelas IIa-C).
16
10. Ticagrelor atau clopidogrel perlu dipertimbangkan untuk diberikan (atau dilanjutkan)
setelah pembedahan CABG begitu dianggap aman (Kelas IIa-B).
11. Tidak disarankan memberikan aspirin bersama NSAID (penghambat COX2 selektif
dan NSAID non-selektif) (Kelas III-C).
Keterangan: DAPT perlu tetap diberikan selama 12 bulan tanpa memperdulikan jenis stent.
Tabel 4. Jenis dan dosis antiplatelet untuk terapi IMA
Antiplatelet Dosis
Aspirin Dosis loading 150-300 mg, dosis
pemeliharaan 75-100 mg
Ticagrelor Dosis loading 180 mg, dosis
pemeliharaan 2x90 mg/hari
Clopidogrel Dosis loading 300 mg, dosis
pemeliharaan 75 mg/hari

3. Penghambat Reseptor Glikoprotein IIb/IIIa


Pemilihan kombinasi agen antiplatelet oral, agen penghambat reseptor glikoprotein
IIb/IIIa dan antikoagulan dibuat berdasarkan risiko kejadian iskemik dan perdarahan (Kelas
I-C).Penggunaan penghambat reseptor glikoprotein IIb/IIIa dapat diberikan pada pasien IKP
yang telah mendapatkan DAPT dengan risiko tinggi (misalnya peningkatan troponin, trombus
yang terlihat) apabila risiko perdarahan rendah (Kelas I-B).Agen ini tidak disarankan
diberikan secara rutin sebelum angiografi (Kelas III-A) atau pada pasien yang mendapatkan
DAPT yang diterapi secara konservatif (Kelas III-A).

4. Antikogulan.
Terapi antikoagulan harus ditambahkan pada terapi antiplatelet secepat mungkin.
1. Pemberian antikoagulan disarankan untuk semua pasien yang mendapatkan terapi
antiplatelet (Kelas I-A).
2. Pemilihan antikoagulan dibuat berdasarkan risiko perdarahan dan iskemia, dan berdasarkan
profil efikasi-keamanan agen tersebut. (Kelas I-C).
3. Fondaparinuks secara keseluruhan memiliki profil keamanan berbanding risiko yang
paling baik. Dosis yang diberikan adalah 2,5 mg setiap hari secara subkutan (Kelas I-A).

17
4. Bila antikoagulan yang diberikan awal adalah fondaparinuks, penambahan bolus UFH (85
IU/kg diadaptasi ke ACT, atau 60 IU untuk mereka yang mendapatkan penghambat reseptor
GP Iib/IIIa) perlu diberikan saat IKP (Kelas I-B).
5. Enoksaparin (1 mg/kg dua kali sehari) disarankan untuk pasien dengan risiko perdarahan
rendah apabila fondaparinuks tidak tersedia (Kelas I-B).
6. Heparin tidak terfraksi (UFH) dengan target aPTT 50-70 detik atau heparin berat molekul
rendah (LMWH) lainnya (dengan dosis yang direkomendasikan) diindaksikan apabila
fondaparinuks atau enoksaparin tidak tersedia (Kelas I-C).
7. Dalam strategi yang benar-benar konservatif, pemberian antikoagulasi perlu dilanjutkan
hingga saat pasien dipulangkan dari rumah sakit (Kelas I-A).
8. Crossover heparin (UFH and LMWH) tidak disarankan (Kelas III-B).

Tabel 5. Jenis dan dosis antikoagulan untuk IMA


Antikoagulan Dosis
Fondaparinuks 2,5 mg subkutan
Enoksaparin 1mg/kg, dua kali sehari
Heparin tidak terfraksi Bolus i.v. 60 U/g, dosis
maksimal 4000 U.
Infus i.v. 12 U/kg selama
24-48 jam dengan dosis maksimal 1000 U/jam
target aPTT 11/2-2x control

5. Kombinasi Antiplatelet dan Antikoagulan


1. Penggunaan warfarin bersama aspirin dan/atau clopidogrel meningkatkan risiko
perdarahan dan oleh karena itu harus dipantau ketat (Kelas I-A).
2. Kombinasi aspirin, clopidogrel dan antagonis vitamin K jika terdapat indikasi dapat
diberikan bersama-sama dalam waktu sesingkat mungkin dan dipilih targen INR terendah
yang masih efektif. (Kelas IIa-C).

18
3. Jika antikoagulan diberikan bersama aspirin dan clopidogrel, terutama pada penderita tua
atau yang risiko tinggi perdarahan, target INR 2- 2,5 lebih terpilih (Kelas IIb-B).

6. Inhibitor ACE dan Penghambat Reseptor Angiotensin


Inhibitor angiotensin converting enzyme (ACE) berguna dalam mengurangi
remodeling dan menurunkan angka kematian penderita pascainfark-miokard yang disertai
gangguan fungsi sistolik jantung, dengan atau tanpa gagal jantung klinis.Penggunaannya
terbatas pada pasien dengan karakteristik tersebut, walaupun pada penderita dengan faktor
risiko PJK atau yang telah terbukti menderita PJK, beberapa penelitian memperkirakan
adanya efek antiaterogenik.
1. Inhibitor ACE diindikasikan penggunaannya untuk jangka panjang, kecuali ada indikasi
kontra, pada pasien dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri =40% dan pasien dengan diabetes
mellitus, hipertensi, atau penyakit ginjal kronik (PGK) (Kelas I-A).
2. Inhibitor ACE hendaknya dipertimbangkan pada semua penderita selain seperti di atas
(Kelas IIa-B). Pilih jenis dan dosis inhibitor ACE yang telah direkomendasikan berdasarkan
penelitian yang ada (Kelas IIa-C).
3. Penghambat reseptor angiotensin diindikasikan bagi pasien infark mikoard yang intoleran
terhadap inhibitor ACE dan mempunyai fraksi ejeksi ventrikel kiri =40%, dengan atau tanpa
gejala klinis gagal jantung (Kelas I-B).

Tabel 6. Jenis dan dosis inhibitor ACE untuk IMA


Inhibitor ACE Dosis
Captopril 2-3 x 6,25-50 mg
Ramipril 2,5-10 mg/hari dalam 1 atau 2 dosis
Lisinopril 2,5-20 mg/hari dalam 1 dosis
Enalapril 5-20 mg/hari dalam 1 atau 2 dosis

7. Statin
Tanpa melihat nilai awal kolesterol LDL dan tanpa mempertimbangkan modifikasi
diet, inhibitor hydroxymethylglutary-coenzyme A reductase (statin) harus diberikan pada
semua penderita UAP/NSTEMI, termasuk mereka yang telah menjalani terapi
revaskularisasi, jika tidak terdapat indikasi kontra (Kelas I-A). Terapi statin dosis tinggi
hendaknya dimulai sebelum pasien keluar rumah sakit, dengan sasaran terapi untuk mencapai

19
kadar kolesterol LDL <100 mg/dL (Kelas I-A). Menurunkan kadar kolesterol LDL sampai
<70 mg/dL mungkin untuk dicapai.

2.6.3. Tatalaksana Jangka Panjang

Pada pasien dengan SKA non ST Elevasi memiliki resiko tinggi untuk berulangnya
iskemia setelah fase awal. Oleh karena itu prevensi sekunder secara aktif sangat penting
sebagai tatalaksana jangka panjang yang mencakup :

 Perbaikan gaya hidup seperti : berhenti merokok, aktifitas fisik teratur, dan diet.
 Penurunan berat badan pada pasien obese dan kelebihan berat badan (overweight)
 Kontrol tekanan darah
 Tatalaksana diabetes
 Intervensi terhadap profil lipid : statin direkomendasikan pada semua pasien dengan
SKA tanpa ST elevasi dengan tujuan menstabilisasi dinding plak aterosklerosis, efek
pleitropik. Disarankan terapi penurunan level lipid sceara intensif dengan target LDL
<100mg/dl dan bila memungkinkan <70mg/dl.
 Meneruskan ,pemberian anti-platelet.
 Pemakaian beta bloker harus diberikan pada semua pasien termasuk pasien dengan
fungsi ventrikel kiri yang menurun dengan atau tanpa gejala gagal jantung.
 ACE inhibitor atau ARB diindikasikan sebagai terapi jangka panjang pada semua
pasien dnegan LVEF ≤40%dan pada pasien dengan diabetes, hipertensi, atau gagal
ginjal kronik.
 Antagonis reseptor aldosterone harus dipertimbangkan pada pasien pasca infark
miokard yang telah mendapatkan ACE/ARB dan beta bloker dan dengan LVEF
≤40% dan dengan diabetes atau gagal jantung, tanpa disfungsi renal atau
hiperkalemia.
 Rehabilitasi dan kembali ke aktivitas fisik : setelah suatu SKA tanpa elevasi,
direkomendasikan penilaian kapasitas fungsional. Berdasarkan status kardiovaskular
dan penilaian kapasitas fisik fungsional tersebut, pasien diberi informasi mengenai
waktu dan level aktivitas fisik yang direkomendasikan termasuk kreasi, kerja, dan

20
aktivitas seksual. Pasien pasca SKA tanpa elevasi dapat disarankan menjalani uji latih
jantung dengan EKG atau suatu pemeriksaan stress tes non invasive untuk iskemia
yang setara, dalam 4-7 minggu setelah perawatan.

21
22
2.7. Komplikasi4

Komplikasi dari sindrom koroner akut dapat digambarkan pada bagan di bawah ini.

23
Prognosis
Perdarahan dikaitkan dengan prognosis yang buruk pada NSTEMI, sehingga segala
upaya perlu dilakukan untuk mengurangi perdarahan sebisa mungkin. Variabel-variabel yang
dapat memperkirakan tingkat risiko perdarahan mayor selama perawatan dirangkum dalam
CRUSADE bleeding risk score, antara lain kadar hematokrit, klirens kreatinin, laju denyut
jantung, jenis kelamin, tanda gagal jantung, penyakit vaskular sebelumnya, adanya diabetes,
dan tekanan darah sistolik. Dalam skor CRUSADE, usia tidak diikutsertakan sebagai
prediktor, namun tetap berpengaruh melalui perhitungan klirens kreatinin. Skor CRUSADE
yang tinggi dikaitkan dengan kemungkinan perdarahan yang lebih tinggi.

Tabel 2 Skor risiko perdarahan CRUSADE


Prediktor Skor
Hematokrit
<31 9
31-33,9 7
34-36,9 3
37-39.9 2
≥40 0
Klirens kreatinin, mL/menit
≤15 39
>15-30 35
>30-60 28
>60-90 17
>90-120 7
>120 0
Laju denyut jantung (kali per menit)
≤70 0
71-80 1
81-90 3
91-100 6
101-110 8
111-120 10
≥121 11

24
Jenis kelamin
Laki-laki 0
Perempuan 8
Tanda gagal jantung saat datang
Tidak 0
Ya 7
Riwayat penyakit vaskular
sebelumnya
Tidak 0
Ya 6
Diabetes
Tidak 0
Ya 6
Tekanan darah sistolik, mmHg
≤90 10
91-100 8
101-120 5
121-180 1
181-200 3
≥200 5

Tabel 3. Stratifikasi risiko berdasarkan skor CRUSADE

25
Skor CRUSADE Tingkat risiko Risiko perdarahan
1-20 Sangat rendah 3,1%
21-30 Rendah 5,5%
31-40 Moderat 8,6%
41-50 Tinggi 11,9%
>50 Sangat tinggi 19,5%

26
BAB III

Laporan Kasus

I. IDENTITAS PENDERITA

Nama : TIOS

Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 80 Tahun

Alamat : Jalan Gadung no 18

Bangsa : Indonesia

Suku : Bali

Agama : Hindu

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Status : Menikah

Pendidikan : Tamat SMA

Tanggal MRS : 25 Oktober 2018

Tanggal Pemeriksaan : 26 Oktober 2018

II. ANAMNESIS

Keluhan Utama:

Nyeri dada

Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien datang dengan keluhan nyeri dada kiri sejak ±4 jam sebelum datang ke
rumah sakit. Nyeri dada timbul secara mendadak pada pagi hari sekitar pukul 08.00

27
setelah pasien bangun tidur.Awalnya nyeri dikatakan tidak terlalu berat dan pasien masih
dapat menahan rasa nyeri yang muncul.Pasien sempat melakukan aktivitas menyapu di
pekarangan rumah.Nyeri yang timbul di dada kiri dirasakan seperti diremas-remas dan
menjalar hingga ke punggung. Nyeri dada yang dirasakan bersifat menetap dan dirasakan
terus menerus (>20 menit) tidak membaik dengan menarik nafas, perubahan posisi
ataupun dengan istirahat. Pasien juga mengeluh keluar keringat dingin berbarengan
dengan nyeri dada yang dirasakan. Pasien lalu dibawa oleh keluarga ke RS.

Pasien mengaku sebelumnya pernah mengalami nyeri dada seperti yang dirasakan
saat ini, namun dikatakan tidak seberat yang dirasakan saat ini. Dimana pasien
mengatakan keluhan yang sama sebelumnya biasanya akan menghilang sendiri saat
pasien beristirahat. Pasien juga merasakan sesak nafas. Keluhan lainnya seperti berdebar,
mual, dan muntah.disangkal oleh pasien. Pasien mengatakan buang air kecil tidak
terganggu dimana pasien biasa buang air kecil 3-4x sehari dan sebanyak kira-kira 1 gelas
tiap kali buang air kecil sedangkan untuk buang air besar dikatakan normal, terakhir 1
hari yang lalu.

Riwayat Penyakit Sebelumnya

Pasien mengatakan belum pernah mengalami keluhan yang serupa. Pasien memiliki
riwayat penyakit hipertensi sejak tahun 2010. Pasien tidak rutin mengonsumsi obat dan hanya
menerapkan pola hidup sehat. Pasien mengatakan tidak ada alergi terhadap makanan atau
obat-obatan. Riwayat diabetes, penyakit paru, dan riwayat opname di rumah sakit disangkal
oleh pasien.

Riwayat Pengobatan

Pasien dikatakan sebelum dibawa ke klinik, dan disana pasien diberikan obat berupa
ISDN 5 mg dan Lansoprazol 1x30 mg

Riwayat Keluarga

Tidak ada anggota keluarga yang mengeluh hal yang sama dengan pasien. Tidak
ada riwayat penyakit jantung, ginjal, kencing manis pada keluarga pasien. Selain itu
dikatakan juga tidak ada riwayat hipertensi pada keluarga pasien

28
Riwayat Pribadi Dan Sosial

Sekarang pasien sebagai ibu rumah tangga dan tidak bekerja hanya melakukan
aktivitas bersih-bersih di rumah saja. Pasien memiliki 2 orang anak dan saat ini pasien
sudah memasuki masa menopause. Pasien tidak pernah mengonsumsi obat-obatan
terlarang dan merokok. Pasien mengaku masih susah mengontol pola makan dan jenis
jenis makanan yang sebaiknya dimakan. Pasien masih memilki kebiasaan meminum kopi,
kurang lebih sebanyak 1-2 gelas perhari. Riwayat meminum alkohol disangkal oleh
pasien.

III. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum : Sakit sedang

Kesadaran : Compos mentis

GCS : E4M5V6

Tensi : 200/100 mmHg

Nadi : 72 x/ menit

Respirasi : 20 x/ menit

Temp. axilla : 36,5º C

Skor Nyeri : 5/10

Saturasi Oksigen : 97% tanpa oksigen

Berat badan : 50 kg

Tinggi badan : 160 cm

BMI : 19,53 kg/m2

Gizi : Baik

29
Status general

Mata : anemis (-) , ikterus (-) , Pupil isokor

Leher : Pembesaran kelenjar (-), JVP PR + 0 cmH2O

Thorax :

Cor: Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak

Palpasi : Ictus cordis tidak teraba, thrill (-), kuat angkat (-)

Perkusi : Batas atas: ICS II

Batas bawah : setinggi ICS V

Batas kanan: PSL Dextra

Batas kiri: MCL sinistra ICS V

Auskultasi : S1S2 normal, regular, murmur (-)

Pulmo: Inspeksi : simetris saat statis dan dinamis, retraksi (-)

Palpasi : Vokal fremitus N/N

Perkusi : Sonor/sonor

Auskultas i: Vesikuler +/+, Rhales -/-, Wheezing -/-

+/+ -/- -/-

+/+ -/- -/-

Abdomen : Inspeksi : Distensi (-)

Auskultasi : BU (+) Normal

Palpasi: Nyeri tekan (-)

30
Hepar/lien tidak teraba

Perkusi: Timpani (+)

Ekstremitas: sianosis (-)

Edema - - Hangat + +

- - + +

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Ekokardiografi (EKG)

EKG (26/2/2018)

31
Interpretasi :

Iramasinus,HR86 x/menit reguler, Axis Defiasi ke kiri, Gelombang Pnormal, Interval


PRnormal <0.20 detik,Kompleks QRS : RSR’ di V1, >0.12 detik, wide S di V6, ST-T
changes : tidak ada

Simpulan:

Irama sinus, HR 86 X/menit, Complete Right Bundle Branch Block

2. Laboratorium

Darah lengkap, 24 Oktober 2018

Parameter Hasil Interpretasi Rentang Normal


WBC 6.31 Normal 4.5-11
NEU 2.82 Normal 2.0-7.0
LYM 1.73 Rendah 0.8-4.0
MONO 0.65 Normal 0.1-1.2
EOS 0.42 Normal 0.0-0.5
BASO 0.04 Rendah 0.0-0.1
RBC 3.49 Rendah 4.50-5.90
HGB 13.3 Rendah 11.0-16.0
HCT 43.4 Rendah 37.0-50.0
MCV 97.8 Normal 80.0-100.0
MCH 30.0 Normal 27.0-31.0
MCHC 30.6 Rendah 32.0-36.0
RDW 14.03 Normal 11.6-14.8
PLT 243 Normal 150-450

Kimia Darah, 27 Februari 2018

32
Parameter Hasil Nilai Normal Interpretasi

SGOT 31 <38 Normal

SGPT 22 <41 Normal

Glukosa 120 70-140 Normal


Sewaktu
BUN 45 15-40 Normal

reatinin 0.86 0.7-1.2 Normal

CKMB Massa 2.1 <5.1 Normal

Hs-Troponin 9 <10 Normal


I(Kuantitatif)

3. Radiologi

Rontgen Thorax, 27Februari 2018

33
Cor: Kesan normal, CTR 50%, segmen aorta menonjol, segmen pulmonal normal,
pinggang jantung terlihat, apeks jantung normal

Pulmo: Tak tampak nodul, infiltrat, corakan bronkovaskuler normal.

Sinus pleura kanan dan kiri tajam.

Diafragma kanan dan kiri normal.

Tulang-tulang tidak tampak kelainan.

Soft tissue dan chest wall tidak tampak kelainan.

Kesan:

Cor dan pulmo kesan normal, tidak tampak kelainan.

V. Diagnosis kerja

Unstable Angina Pectoris(UAP)

VI. Penatalaksanaan

a. Terapi (27 Februari 2018)

34
- Rawat inap
- IVFD RL 0,9% 8 tetes / menit
- O24 liter / menit
- Aspilet 1 x 80 mg
- Clopidogrel 1 x 75 mg
- Bisoprolol 1 x 5 mg
- Atorvastatin 1 x 20 mg
- Cedocard 3 x 5 mg
- Lovenox 2 x 0,6 cc (SC)
- Laxadin syr 3 x CI per oral

VII. Prognosis

Vitally : dubius ad bonam

Functionally : dubius ad bonam

Sanationam : dubius ad bonam

VIII. Follow Up Pasien

Tanggal 28/2/18
S : Nyeri dada (-), keringat dingin (-), mual (-), makan/minum (+)
O: TD : 100/70 mmhg
PR: 80 kali/menit
RR : 18 kali/menit
Suhu : 36,0oC
Mata : anemis (-), ikterus (-)
THT :kesan tenang
Thorax: Simetris
Cor : S1S2 normal, regular, murmur (-)
Pulmo : bronkovesikuler +/+, Rhonki -/-, Wheezing -/-
Abdomen : distensi (-), bising usus normal
Ekstremitas : hangat (+), edema (-)
A: UAP
P: - IVFD RL 0,9% 8 tetes / menit
- O24 liter / menit

35
- Aspilet 1 x 80 mg
- Clopidogrel 1 x 75 mg
- Bisoprolol 1 x 5 mg
- Atorvastatin 1 x 20 mg
- Cedocard 3 x 5 mg (k/p)
- Lovemp 2 x 0,6 cc (SC)
- Laxadin syr 3 x CI per oral
- Metylcobal 2 x 500 mg
Tanggal 1/3/18
S : Keluhan : BAB cair sebanyak 2 kali
O: TD : 120/70 mmhg
PR: 72 kali/menit
RR : 18 kali/menit
Suhu : 36,5oC
Mata : anemis (-), ikterus (-)
THT :kesan tenang
Thorax: Simetris
Cor : S1S2 normal, regular, murmur (-)
Pulmo : bronkovesikuler +/+, Rhonki -/-, Wheezing -/-
Abdomen : distensi (-), bising usus normal
Ekstremitas : hangat (+), edema (-),
A: UAP
P: - IVFD RL 0,9% 8 tetes / menit
- O24 liter / menit
- Aspilet 1 x 80 mg
- Clopidogrel 1 x 75 mg
- Bisoprolol 1 x 5 mg
- Atorvastatin 1 x 20 mg
- Cedocard 3 x 5 mg (k/p)
- Lovemp 2 x 0,6 cc (SC)
- Laxadin syr 3 x CI per oral  STOP
- Metylcobal 2 x 500 mg

Tanggal 2/3/18
S : Keluhan : tidak ada
O: TD : 100/60 mmhg

36
PR: 86 kali/menit
RR : 20 kali/menit
Suhu : 36,0oC
Mata : anemis (-), ikterus (-)
THT :kesan tenang
Thorax: Simetris
Cor : S1S2 normal, regular, murmur (-)
Pulmo : bronkovesikuler +/+, Rhonki -/-, Wheezing -/-
Abdomen : distensi (-), bising usus normal
Ekstremitas : hangat (+), edema (-),
A: UAP
P: - BPL
- Aspilet 1 x 80 mg
- Clopidogrel 1 x 75 mg
- Bisoprolol 1 x 5 mg
- Atorvastatin 1 x 20 mg
- Cedocard 3 x 5 mg (k/p)
- Metylcobal 2 x 500 mg
- KIE : control kembali ke poli jantung hari kamis, 8 Maret 2018.

BAB IV

37
PEMBAHASAN

Pasien datang dengan keluhan nyeri dada kiri sejak ±4 jam dimana nyeri dada timbul
secara mendadak pada pagi hari setelah pasien bangun tidur.Nyeri dirasakan pasien semakin
lama semakin memberat.Nyeri yang timbul di dada kiri dirasakan seperti diremas-remas dan
menjalar hingga ke punggung.Nyeri dada yang dirasakan bersifat menetap dandirasakan terus
menerus (>20 menit) tidak membaik dengan menarik nafas, perubahan posisi ataupun dengan
istirahat.Pasien juga mengeluh keluar keringat dingin bersamaan dengan nyeri dada yang
dirasakan.Berdasarkan karakteristik tersebut, dapat dikatakanbahwa nyeri dada yang dialami
pasien merupakan nyeri dada angina pektoris dimana nyeri dada dirasakan seperti diremas-
remas dan menjalar ke punngungdisertai dengan keringat dingin dan lebih spesifik mengarah
ke sindrom koroner akutkarena nyeri yang dirasakan muncul ketika pasien sedang
beristirahat, nyeri yang dirasakan menetap dan terus menerus lebih dari 20 menit yang tidak
membaik walaupun dengan beristirahat.Pada infark miokardium akut baik STEMI, NSTEMI,
maupun angina pektoris tidak stabil mempunyai gejala berupa rasa ridak nyaman atau nyeri
pada dada yang lebih berat, lebih lama, dan menjalar lebih luas. Rasa tidak nyaman tersebut
disebabkan oleh pelepasan mediator seperti adenosin dan laktat yang merangsang ujung
saraf.Iskemia pada infark miokardium akut dapat bersifat persisten prosesnya progresif
menuju nekrosis sehingga memprovokasi substansi-substansi tersebut untuk lebih
berakumulasi lagi dan mengaktifkan jalur aferen saraf untuk waktu yang lama.Biasanya rasa
tidak nyaman ini mengenai dermatom C7 sampai T4.

Pada anamnesis, pasien memiliki kebiasaan memakan makanan berlemak yang


merupakan salah satu faktor pencetus kadar kolesterol yang tinggi. Kadar kolesterol tinggi
(dislipidemia) dapat berupa peningkatan kadar trigliserida, kadar kolesterol total, peningkatan
LDL, atau penurunan HDL. LDL merupakan komponen yang berakumulasi di subendotelial
dan mengalami modifikasi menyebabkan kerusakan intima dan pembentukan aterosklerosis.
HDL berfungsi untuk transport kolesterol dari peripheral jaringan ke hati. HDL juga bersifat
antioksidatif dan antiinflamasi.Pasien memiliki riwayat merokok sejak ±20 tahun,
mengkonsumsi 12 batang rokok per hari namun sudah berhenti sekitar 5 tahun yang
lalu.Tembakau meningkatkan oksidasi dari LDL, menurunkan kadar HDL, disfungsi endotel,
meningkatkan daya lekat platelet, peningkatan ekspresi dari LAM, stimulasi simpatik yang
berlebihan, dan gangguan hemoglobin (lebih banyak mengikat CO).

38
Pada pemeriksaan fisik biasanya normal pada sindrom koroner akut.Adanya tanda-
tanda kongesti dan hemodinamik instabilitas memerluksan penanganan secepatnya.Pada
pasien ini hemodinamik pasien stabil dengan tekanan darah 120/70. mmhg, saturasi oksigen
97%, respiratory rate 20 kali per menit, dengan nadi yang sedikit meningkat yaitu 108 kali
per menit berhubungan dengan nyeri yang dirasakan pasien (skala 5/10).Berdasarkan
tampilan EKG infark miokardium dapat dibedakan menjadi UAP/NSTEMI dengan STEMI
dengan menilai segmen ST dan T. Berdasarkan hasil EKG kasus ini didapatkan
Iramasinus,HR86 x/menit reguler, Axis Defiasi ke kiri, Gelombang Pnormal, Interval
PRnormal <0.20 detik,Kompleks QRS : RSR’ di V1, >0.12 detik, wide S di V6, ST-T
changes : tidak ada. dengan kesimpulan irama sinus, HR 86 X/menit, Complete Right Bundle
Branch Block. Pada pasien ini tidak ditemukan adanya kelainan EKG pada segmen ST dan T
sehingga diagnosis mengarah ke UAP/ NSTEMI.Perbedaan antara angina pectoris tidak stabil
(APTS) dengan STEMI adalah beratnya iskemia. Pada NSTEMI, iskemia yang terjadi cukup
berat sehingga mengakibatkan kerusakan miokard yang ditandai dengan peningkatan enzim
petanda jantung (CKMB, troponin). Pada kasus ini tidak ditemukan adanya peningkatan
enzim jantung sehingga akhirnya pasien ini didiagnosis dengan Angina Pektoris Tidak Stabil.

Pada pasien ini dilakukakan tatalaksana berupa rawat inap, pemberian oksigen 4 liter,
pemasangan infus RL, aspilet 1 x 80 mg, clopidogrel 1 x 75 mg, bisoprolol 1 x 5 mg,
atorvastatin 1 x 20 mg, cedocard 3 x 5 mg, lovenox 2 x 0,6 cc (SC), laxadin syr3 x CI per
oral, dan metylcobal 2 x 500mg.`Penanganan awal dimulai saat diagnosis angina pektoris
tidak stabil dan STEMI ditegakan atau bahkan saat kecurigaan terhadap SKA cukup tinggi
ialah yang pertama dengan mngatasi nyeri dada akibat iskemia yaitu dengan pemberian
oksigen dan isosorbid dinitrat secara sublingual dnegan tujuan untuk dilatasi arteri koroner,
arteri sistemik, dan dilatasi system vena sehingga dapat menurunkan pre load, menurunkan
konsumsi oksigen, dan meningkatkan aliran darah. Pada pasien ini telah diberikan dengan
dosis 5 mg dan setelah pemeberian pasien merasa nyerinya berkurang dan mneghilang
perlahan.Penanganan selanjutnya dengan inisiasi antitrombotik (antiplatelet dan
antikoagulan) untuk mencegah terjadinya thrombosis dan embolisasi dari plak aterosklerosis
yang rupture atau erosi. Pada kasus ini diberikan dua jenis anti platelet yaitu aspilet (siklo
oksiginase/COX1) dan clopidogrel (penyekat reseptor P2Y2) Banyak studi telah
membuktikan bahwa kombinasi atikoagulan dan antiplatelet sangat efektif dalam mengurangi
serangan jantungakibat trombosis . Kombinasi kedua agenakan lebih efektif dari pada hanya
pemberian salah satu agen saja. Antikoagulan diberikan untuk mencegah generasi trombin

39
dan aktivitasnya.Pada kasus ini pasien diberikan heparin (lovenox) 2 x 0.6cc secara
subkutan.Bisoprolol (Beta Blocker) diberikan untuk mencegah terjadinya iskemia berulang
dan aritmia ventrikular maligna.Atorvastatin (golongan statin) direkomendasikan pada semua
pasien dengan SKA tanpa ST elevasi, diberikan dengan tujuan menstabilisasi dinding plak
aterosklerosis.

40
BAB V

KESIMPULAN

Sindrom Koroner Akut adalah terminologi yang digunakan pada keadaan aliran darah
koroner parsial hingga total ke miokard secara akut. Berbeda dengan angina pektoris stabil,
gangguan aliran darah ke miokard pada SKA bukan disebabkan oleh penyempitan yang statis
namun terutama akibat pembentukan trombus di dalam arteri koroner yang sifatnya
dinamis.Sindrom koroner akut dibagi berdasarkan gambaran EKG yaitu dengan miokard
infark yang disertai dengan ST elevasi dari hasil EKG (STEMI) dan tanpa elevasi segmen ST
yaitu NSTEMI dan UAP.Perbedaan dari UAP dan NSTEMI.Sebagian besar pasien SKA
datang dengan keluhan nyeri dada angina pektoris (rasa berat, atau rasa seperti ditekan atau
rasa seperti dicengkram di belakang sternum, bisa menjalar ke rahang, bahu, punggung, atau
lengan) yang dirasakan lebih dari 15 menit. Pemeriksaan fisik dilakukan untuk
mengidentifikasikan faktor pencetus iskemia, komplikasi iskemia, penyakit penyerta, dan
menyingkirkan diagnosis banding. Pemeriksaan penunjang yang penting dilakukan untuk
menentukan diagnosis dan terapi ialah pemeriksaan EKG dan laboratorium enzim jantung.

Penanganan awal dimulai saat diagnosis Angina Pektoris Tidak Stabil dan STEMI
ditegakan atau bahkan saat kecurigaan terhadap SKA cukup tinggi meliputi mengatasi nyeri
dada akibat iskemia, melakukan penilaian status hemodinamik dan perbaiki kelainannya,
risiko untuk terjadi komplikasi diestimasi menggunakan stratifikasi risiko dini, inisiasi terapi
antitrombotik (antiplatelet dan antikoagulan), dan pemberian penyekat beta. Penanganan awal
diikuti dengan pemberian beberapa terapi medikamentosa yang telah terbukti dapat
memperbaiki prognosis jangka panjang seperti pemberian antiplatelet jangka panjang untuk
menurunkan risiko trombosis arteri koroner berulang, penyekat beta, dan statin.Pada laporan
kasus, pasien laki-laki usia 79 tahun ini dating dengan keluhan nyeri dada spesifik nyeri dada
angina pektoris tidak stabil. Dimana setelah dilakukan pemriksaan EKG dan enzim jantung
tidka ditemukan adanya keainan pada segmen ST dan laboraorium enzim jantung sehingga
pasien didiagnosis dengan UAP dan telah mendapatkan pengobatan rawat inap, pemberian
oksigen 4 liter, pemasangan infus RL, aspilet 1 x 80 mg, clopidogrel 1 x 75 mg, bisoprolol 1
x 5 mg, atorvastatin 1 x 20 mg, cedocard 3 x 5 mg, lovenox 2 x 0,6 cc (SC), laxadin syr3 x CI
per oral, dan metylcobal 2 x 500mg sesuai dengan teori. Dan setelah 3 hari perwatan pasien
akhirnya pulang pulang dalm kondisi yang lebih baik.
41
DAFTAR PUSTAKA

1. Braunwald E, Antman EM, Beasley JW, Califf M, Cheitlin MD, Hochman JS.
ACC/AHA Guidelines for the Management of Patients With Unstable Angina and
Non- ST-Segment Elevation Myocardial Infarction: Executive Summary and
Recommendations : A Report of the American College of Cardiology/American Heart
Association Task Force on Practice Guidelines (Committee on the Management of
Patients With Unstable Angina). Circulation. 2000;102:1193-1209.
2. Lilly LS. Pathophysiology of Heart Disease. Fifth Edition. 2011. Philadelphia:
Lippincott Williams&Wilkins.
3. Bonow RO, mann DL, Zipes DP, Libby P, Braunwald E. Braunwald’s heart disease: a
textbook of cardiovascular medicine. 9th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2012.
4. Connor RE, Brady W, Brooks SC, Diercks D, Egan J, Ghaemmaghami C, dkk. Part
10: Acute Coronary Syndromes : 2010 American Heart Association Guidelines for
Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular care. Circulation
2010, 122:S787-S817.
5. PERKI (Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia).2015. Pedoman
Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. Jurnal Kardiologi Indonesia. 3:1-74.

42

Anda mungkin juga menyukai