PENDAHULUAN
Penyakit Jantung Koroner (PJK) atau penyakit kardiovaskular saat ini merupakan
salah satu penyebab utama dan pertama kematian di negara maju dan berkembang, termasuk
Indonesia. Pada tahun 2010, secara global penyakit ini akan menjadi penyebab kematian
pertama di negara berkembang, menggantikan kematian akibat infeksi. Diperkirakan bahwa
diseluruh dunia, PJK pada tahun 2020 menjadi pembunuh pertama tersering yakni sebesar
36% dari seluruh kematian, angka ini dua kali lebih tinggi dari angka kematian akibat
kanker.3 Di Indonesia dilaporkan PJK (yang dikelompokkan menjadi penyakit sistem
sirkulasi) merupakan penyebab utama dan pertama dari seluruh kematian, yakni sebesar
26,4%, angka ini empat kali lebih tinggi dari angka kematian yang disebabkan oleh kanker
(6%). Dengan kata lain, lebih kurang satu diantara empat orang yang meninggal di Indonesia
adalah akibat PJK. Berbagai faktor risiko mempunyai peran penting timbulnya PJK mulai
dari aspek metabolik, hemostasis, imunologi, infeksi, dan banyak faktor lain yang saling
terkait.5
Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan suatu masalah kardiovaskular yang utama
karena menyebabkan angka perawatan rumah sakit dan angka kematian yang tinggi.Sindrom
koroner akut merupakan spektrum manifestasi akut dan berat yang merupakan keadaan
kegawatdaruratan dari koroner akibat ketidakseimbangan antara kebutuhan oksigen
miokardium dan aliran darah 2. Sindrom koroner akut umumnya terjadi pada pasien di atas
usia 40 tahun. Walaupun begitu, usia yang lebih muda daripada 40 tahun juga dapat
menderita penyakit tersebut. Banyak penelitian yang telah menggunakan batasan usia 40-45
tahun untuk mendefinisikan “pasien usia muda” dengan penyakit jantung koroner atau infark
miokard akut. Sebagian besar pasien tidak mengalami gejala penyakit yang terdeteksi,
sehingga kemungkinan perkembangan penyakit ini dengan mudah diabaikan.Sindrom
koroner akut dibagi berdasarkan gambaran EKG yaitu dengan ST Elevasi Miokard Infark
(STEMI) dan Non STElevasi Miokard Infark (NSTEMI) serta Unstable Angina Pectoris
(UAP).Dari total 418 pasien SKA diketahui bahwa pasien dengan STEMI merupakan kasus
terbanyak dengan persentasi 44,7%, 34,2% merupakan NSTEMI, dan 2,1% adalah UAP.1
1
Diantara jenis sindrom koroner akut lainnya, UAP telah lama dikenal sebagai gejala
awal dari infark miokard akut (IMA).UAP adalah suatu sindrom klinik yang berbahaya dan
merupakan tipe angina pektorisyang dapat berubah menjadi infark miorkad.Banyak penelitian
melaporkan bahwa UAP merupakan risiko untuk terjadinya IMA dan kematian.Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa 60-70% penderita IMA dan 60% penderita mati mendadak
pada riwayat penyakitnya yang mengalami gejala UAP.Sedangkan penelitian jangka panjang
mendapatkan IMA terjadi pada 5%-20% penderita UAP dengan tingkat kematian 14-80%.
UAP menarik perhatian karena letaknya diantara spektrum angina pektoris stabil dan infark
miokard,sehingga merupakan tantangan dalam upaya pencegahan terjadinya infark miokard.4
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Definisi5
Sindrom Koroner Akut adalah terminologi yang digunakan pada keadaan aliran darah
koroner parsial hingga total ke miokard secara akut. Berbeda dengan angina pektoris stabil,
gangguan aliran darah ke miokard pada SKA bukan disebabkan oleh penyempitan yang statis
namun terutama akibat pembentukan trombus di dalam arteri koroner yang sifatnya
dinamis.Sindrom koroner akut dibagi berdasarkan gambaran EKG yaitu dengan miokard
infark yang disertai dengan ST elevasi dari hasil EKG (STEMI) dan tanpa elevasi segmen ST
yaitu NSTEMI dan UAP. Perbedaan dari UAP dan NSTEMI ialah :
UAP adalah keadaan pasien dengan symptom iskemia sesuai SKA, tanpa terjadi
peningkatan enzim petanda jantung (CK-MB, troponin) tanpa perubahan EKG yang
menunjukan iskemia.
NSTEMI adalah keadaan pasien dengan manifestasi sama seperti UAP tetapi disertai
dengan peningkatan enzim penanda jantung.
2.2. Etiologi
Faktor risiko penyakit kardiovaskular dibedakan menjadi faktor risiko yang dapat
dimodifikasi dan yang tidak dapat dimodifikasi.
3
jenis kelamin laki-laki, estrogen menurunkan LDL, menaikan HDL dan
antioksidan serta antiplatelet
Herediter
2.3 Patogenesis2
Patofisiologi terjadinya ACS terjadi dalam jangka waktu yang sangat lama, bahkan
dapat mencapai lebih dari 20 tahun.Awalnya berupa pembentukan aterosklerosis yang
kemudian mengalami ruptur dan menyebabkan terjadinya pembentukan trombus.Lebih dari
90% sindrom koroner akut terjadi karena adanya mekanisme ini.Selain karena adanya
pembentukan trombus, UAP/NSTEMI juga dapat disebabkan oleh peningkatan kebutuhan
oksigen miokardium (akibat adanya takikardia atau hipertensi) atau karena pengurangan
suplai (pengurangan diameter lumen vasKular oleh trombus, vasospasme atau
hipotensi).Mekanisme lain menyebabkan sindrom koroner akut dapat disebabkan sindrom
vaskulitis, emboli koroner, kelainan kongenital pembuluh darah koroner, trauma atau
aneurisma koroner, spasme berat arteri koroner, peningkatan viskositas darah, diskeksi
spontan arteri koroner.
Plak ateroma diawali dengan adanya akumulasi dari lipoprotein pada tunika intima.Kemudian
terjadi oksidasi dan glikasi dari lipoprotein. Hal ini menyebabkan stres oksidatif yang
akhirnya akan menyebabkan peningkatan sitokin. Sitokin tersebut meningkatkan ekspresi dari
molekul adesi yang mengikat leukosit dan molekul kemoatraktan (seperti MCP-1/ monocyte
chemoattractan protein 1) yang menyebabkan migrasi leukosit ke tunika intima. Selanjutnya
akan terjadi stimulasi macrophage colony stimulating factor yang menyebabkan ekspresi dari
scavenger receptor. Reseptor ini memediasi uptake modified lipoprotein yang menyebabkan
terbentuknya foam cells. Foam cells merupakan sumber dari sitokin, molekul efektor seperti
anion superoksida dan matrix metalloproteinase. Kemudian akan terjadi migrasi sel otot
4
polos dari tunika media ke tunika intima yang akan menyebabkan peningkatan ketebalan
intima. Pada stage akhir dapat terjadi kalsifikasi dan fibrosis.
Selain karena adanya pembentukan trombus, UAP/NSTEMI juga dapat disebabkan oleh
peningkatan kebutuhan oksigen miokardium (akibat adanya takikardia atau hipertensi) atau
karena pengurangan suplai (pengurangan diameter lumen vaskular oleh thrombus,
vasospasme atau hipotensi).
2. Pembentukan Trombus
Pembentukan trombus dari plak aterosklerotik melibatkan proses ruptur plak yang
akan memaparkan elemen darah terhadap substansi trombogenik dan disfungsi endotel
sehingga kehilangan fungsi vasodilatasi dan antitrombotik. Rupturnya plak merupakan
pemicu utama.Hal ini dapat disebabkan oleh faktor-faktor yang mengurangi stabilitas plak,
stress fisik.
Komposisi dari plak atheroma dipengaruhi oleh mekanisme sintesis dan degradasi.Sintesis sel
otot polos membuat formasi fibrouscapdisamping kolagen dan elastin.Foam
cellmeningkatkan aktivasi dan enzim proteolitik seperti matrix metalloproteinase yang
mendegradasi kolagen dan elastolitik katepsin.Derivate dari sel limfosit T juga merusak
fibrous cap. Plak dengan fibrous cap yang tipis mudah menjadi rupture jika ada stres yang
tinggi baik secara spontan maupun saat aktivitas fisik.
5
Setelah terjadi rupturnya plak akan terjadi pemaparan platelet terhadap lapisan kolagen
subendotelial sehingga platelet teraktivasi dan menjadi beragregasi. Mengaktivasi kaskade
koagulasi dan vasokonstriksi.Mekanismenya dapat dilihat pada gamar di bawah. Disfungsi
endotel akan menyebabkan penurunan produksi vasodilator dan antiplatelet.
6
2.4 Patologi dan patofisiologi2
Pada UAP tidak terjadi kematian sel sedangkan pada STEMI dan NSTEMI terjadi
kematian sel. Infark dibedakan menjadi 2 yaitu infark transmural dan infark
sunendokardial.Infark transmural mengenai hampir seluruh lapisan miokardium yang
disebabkan oleh oklusi yang lama.Infark subendokardial yang hanya mengenai sebagian
lapisan subendokardial saja yang merupakan area paling rentan terhadap terjadinya iskemia.
Setelah terjadinya oklusi maka kadar oksigen akan menurun dan menyebabkan terjadinya
metabolism anaerob yang menyebabkan penumpukan asam laktat. Pengurangan produksi
ATP menyebabkan disfungsi dari Na-K-ATP ase transmembran sehingga menyebabkan
leakage dari Na dan K. Na lebih banyak di intrasel yang menyebabkan edema sel da K lebih
banyak di ekstrasel yang menyebabkan perubahan potensial transmembran. Perubahan
tersebut akan menyebabkan penurunan fungsi jantung dalam 2 menit pertama. Tanpa
intervensi kerusakan dapat terjadi dalam 20 menit. Edema miokardium terjadi dalam 4-12
7
jam dan gambaran histologik yang terlihat adalah irreversible injury berupa edema
interseluler.
Perubahan lanjut yang terjadi adalah pembuangan sel miokardium yang nekrotik dan
penggantian dengan jaringan fibrosa.
8
Perubahan fungsi yang terjadi antara lain gangguan pada kontraktilitas (sistolik) dan daya
regang (diastolik) jantung, stunned miokardium, iskemik preconditioning, dan ventricular
remodeling.
2.5.1. Anamnesis
Sebagian besar pasien SKA dating dengan keluhan nyeri dada angina pektoris (rasa
berat, atau rasa seperti ditekan atau rasa seperti dicengkram di belakang sternum, bisa
menjalar ke rahang, bahu, punggung, atau lengan). Kalau pada angina pektorisstabil keluhan
nyeri dada hanya berlangsung kurang dari dari 15 menit, pada SKA berlangsung lebih lama.
Namun pada populasi lanjut usia (.75 tahun), wanita, dan diabetes, keluhan tidak khas. Pada
pasien lanjut usia lebih sering terjadi NSTEMI, dan presentasinya sering atipikal, seperti
sinkope, lemas ataudelirium, dan sering disertai gagal jantung.
Keluhan angina pada SKA biasanya disertai dengan keringatf digin karena respon
simpatis, mual, dan muntah karena stimulasi vagal, rasa lemas tidak bertenaga. Ada tiga
presentasi angina pada sindrom koroner akut, yaitu :
9
regurgitasi katub aorta akibat diseksi aorta, pneumotorkas, nyeri pleuritik disertai suara napas
yang tidak seimbang perlu dipertimbangkan dalam memikirkan diagnosis banding SKA.
Sedangkan pada STEMI akan terjadi evolusi gambaran EKG seperti di bawah ini:
10
LOKASI IMA LOKASI ELEVASI SEGMEN
ST
Anterior V1–V4
Anteroseptal V1, V2, V3, V4
Anterolateral V4–V6, I, aVL
Inferior Inferior: II, III, and aVF
Lateral I and aVL
Inferolateral II, III, aVF, and V5 and V6
2.5.4Perubahan enzimatik2
11
Tes yang negatif pada satu kali pemeriksaan awal tidak dapat dipakai untuk
menyingkirkan diagnosis infark miokard akut. Kadar troponin pada pasien infark miokard
akut meningkat di dalam darah perifer 3 – 4 jam setelah awitan infark dan menetap sampai 2
minggu bila terjadi nekrosis luas. Apabila pemeriksaan troponin tidak tersedia, pemeriksaan
CKMB dapat digunakan. CKMB akan meningkat dalam waktu 4 hingga 6 jam, mencapai
puncaknya saat 12 jam, dan menetap sampai 2 hari.3
Langkah pertama dalam penanganan pasien dengan Keluhan nyeri dada bertujuan
untuk menegakan diagnosis kerja dengan cepat dan memilih tatalaksan yang tepat.
Berdasarkan kualitas nyeri dada, anamnesa, dan pemeriksaan fisik terarah serta gambaran
EKG, pasien dikelompokan menjadi salah satu dari : STEMI, NSTEMI, dan kemungkinan
diagnosis SKA rendah.
Penanganan awal dimulai saat diagnosis Angina Pektoris Tidak Stabil dan STEMI
ditegakan atau bahkan saat kecurigaan terhadap SKA cukup tinggi, meliputi :
12
Berdasarkan estimasi stratifikasi risiko diatas, strategi tatalaksana ditentukan antra
strategi invasive (angiografi koroner dengan tujuan revaskularisasi ) atau konservatif
(medikamentosa).
Inisiasi terapi antitrombotik (antiplatelet dan antikoagulan) untuk mencegah
terjadinya trombosis baru dan embolisasi dari plak aterosklerosis yang ruptur atau
erosi.
Pemberian penyekat beta untuk mencegah terjadinya iskemia berulang dan aritmia
ventrikular maligna.
Penanganan awal diikuti dengan pemberian beberapa terapi medikamentosa yang telah
terbukti dapat memperbaiki prognosis jangka panjang seperti pemberian antiplatelet
jangka panjang untuk menurunkan risiko trombosis arteri koroner berulang, penyekat
beta, dan statin.
1. Anti Iskemia
a. Penyekat Beta (Beta blocker).
Keuntungan utama terapi penyekat beta terletak pada efeknya terhadap reseptor beta-1
yang mengakibatkan turunnya konsumsi oksigen miokardium. Terapi hendaknya tidak
diberikan pada pasien dengan gangguan konduksi atrio-ventrikler yang signifikan, asma
bronkiale, dan disfungsi akut ventrikel kiri. Pada kebanyakan kasus, preparat oral cukup
memadai dibandingkan injeksi. Penyekat beta direkomendasikan bagi pasien UAP atau
NSTEMI, terutama jika terdapat hipertensi dan/atau takikardia, dan selama tidak terdapat
indikasi kontra (Kelas I-B).penyekat beta oral hendaknya diberikan dalam 24 jam pertama
(Kelas I-B). Penyekat beta juga diindikasikan untuk semua pasien dengan disfungsi ventrikel
kiri selama tidak ada indikasi kontra (Kelas I-B). Pemberian penyekat beta pada pasien
dengan riwayat pengobatan penyekat beta kronis yang datang dengan SKA tetap dilanjutkan
kecuali bila termasuk klasifikasi Kilip =III (Kelas I-B).
Tabel 1. Jenis dan dosis penyekat beta untuk terapi IMA
Penyekat beta Selektivitas Aktivitas agonis Dosis untuk
parsial angina
Atenolol B1 - 50-200 mg/hari
Bisoprolol B1 - 10 mg/hari
13
Carvedilol a dan b + 2x6,25 mg/hari,
titrasi sampai
maksimum 2x25
mg/hari
b. Nitrat
Keuntungan terapi nitrat terletak pada efek dilatasi vena yang mengakibatkan
berkurangnya preload dan volume akhir diastolic ventrikel kiri sehingga konsumsi oksigen
miokardium berkurang. Efek lain dari nitrat adalah dilatasi pembuluh darah koroner baik
yang normal maupun yang mengalami aterosklerosis.
1. Nitrat oral atau intravena efektif menghilangkan keluhan dalam fase akut dari episode
angina (Kelas I-C).
2. Pasien dengan UAP/NSTEMI yang mengalami nyeri dada berlanjut sebaiknya mendapat
nitrat sublingual setiap 5 menit sampai maksimal 3 kali pemberian, setelah itu harus
dipertimbangkan penggunaan nitrat intravena jika tidak ada indikasi kontra (Kelas I-C).
3. Nitrat intravena diindikasikan pada iskemia yang persisten, gagal jantung, atau hipertensi
dalam 48 jam pertama UAP/NSTEMI. Keputusan menggunakan nitrat intravena tidak boleh
menghalangi pengobatan yang terbukti menurunkan mortalitas seperti penyekat beta atau
angiotensin converting enzymes inhibitor (ACE-I) (Kelas I-B).
4. Nitrat tidak diberikan pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90 mmHg atau >30
mmHg di bawah nilai awal, bradikardia berat (<50 kali permenit), takikardia tanpa gejala
gagal jantung, atau infark ventrikel kanan (Kelas III-C).
5. Nitrat tidak boleh diberikan pada pasien yang telah mengkonsumsi inhibitor
fosfodiesterase: sidenafil dalam 24 jam, tadalafil dalam 48 jam. Waktu yang tepat untuk
terapi nitrat setelah pemberian vardenafil belum dapat ditentukan (Kelas III-C).
Tabel 2. Jenis dan dosis nitrat untuk terapi IMA
Nitrat Dosis
Isosorbid dinitrate (ISDN) Sublingual 2,5–15 mg (onset 5 menit)
Oral 15-80 mg/hari dibagi 2-3 dosis
14
Intravena 1,25-5 mg/jam
Isosorbid 5 mononitrate Oral 2x20 mg/hari
Oral (slow release) 120-240 mg/hari
Nitroglicerin Sublingual tablet 0,3-0,6 mg–1,5 mg
(trinitrin, TNT, glyceryl trinitrate) Intravena 5-200 mcg/menit
Tabel 3. Jenis dan dosis penghambat kanal kalsium untuk terapi IMA
Penghambat kanal kalsium Dosis
Verapamil 180-240 mg/hari dibagi 2-3 dosis
Diltiazem 120-360 mg/hari dibagi 3-4 dosis
Nifedipine GITS (long acting 30-90 mg/hari
Amlodipine 5-10 mg/hari
15
2. Antiplatelet
1. Aspirin harus diberikan kepada semua pasien tanda indikasi kontra dengan dosis
loading 150-300 mg dan dosis pemeliharaan 75-100 mg setiap harinya untuk jangka
panjang, tanpa memandang strategi pengobatan yang diberikan (Kelas I-A).
2. Penghambat reseptor ADP perlu diberikan bersama aspirin sesegera mungkin dan
dipertahankan selama 12 bulan kecuali ada indikasi kontra seperti risiko perdarahan
berlebih (Kelas I-A).
3. Penghambat pompa proton (sebaiknya bukan omeprazole) diberikan bersama DAPT
(dual antiplatelet therapy - aspirin dan penghambat reseptor ADP) direkomendasikan
pada pasien dengan riwayat perdarahan saluran cerna atau ulkus peptikum, dan perlu
diberikan pada pasien dengan beragam faktor risiko seperti infeksi H. pylori, usia =65
tahun, serta konsumsi bersama dengan antikoagulan atau steroid (Kelas I-A).
4. Penghentian penghambat reseptor ADP lama atau permanen dalam 12 bulan sejak
kejadian indeks tidak disarankan kecuali ada indikasi klinis (Kelas I-C).
5. Ticagrelor direkomendasikan untuk semua pasien dengan risiko kejadian iskemik
sedang hingga tinggi (misalnya peningkatan troponin) dengan dosis loading 180 mg,
dilanjutkan 90 mg dua kali sehari. Pemberian dilakukan tanpa memandang strategi
pengobatan awal.Pemberian ini juga dilakukan pada pasien yang sudah mendapatkan
clopidogrel (pemberian clopidogrel kemudian dihentikan) (Kelas I-B).
6. Clopidogrel direkomendasikan untuk pasien yang tidak bisa menggunakan ticagrelor.
Dosis loading clopidogrel adalah 300 mg, dilanjutkan 75 mg setiap hari (Kelas I-A).
7. Pemberian dosis loading clopidogrel 600 mg (atau dosis loading 300 mg diikuti dosis
tambahan 300 mg saat IKP) direkomendasikan untuk pasien yang dijadwalkan
menerima strategi invasif ketika tidak bisa mendapatkan ticagrelor (Kelas I-B).
8. Dosis pemeliharaan clopidogrel yang lebih tinggi (150 mg setiap hari) perlu
dipertimbangkan untuk 7 hari pertama pada pasien yang dilakukan IKP tanpa risiko
perdarahan yang meningkat (Kelas IIa-B).
9. Pada pasien yang telah menerima pengobatan penghambat reseptor ADP yang perlu
menjalani pembedahan mayor non-emergensi (termasuk CABG), perlu
dipertimbangkan penundaan pembedahan selama 5 hari setelah penghentian
pemberian ticagrelor atau clopidogrel bila secara klinis memungkinkan, kecuali bila
terdapat risiko kejadian iskemik yang tinggi (Kelas IIa-C).
16
10. Ticagrelor atau clopidogrel perlu dipertimbangkan untuk diberikan (atau dilanjutkan)
setelah pembedahan CABG begitu dianggap aman (Kelas IIa-B).
11. Tidak disarankan memberikan aspirin bersama NSAID (penghambat COX2 selektif
dan NSAID non-selektif) (Kelas III-C).
Keterangan: DAPT perlu tetap diberikan selama 12 bulan tanpa memperdulikan jenis stent.
Tabel 4. Jenis dan dosis antiplatelet untuk terapi IMA
Antiplatelet Dosis
Aspirin Dosis loading 150-300 mg, dosis
pemeliharaan 75-100 mg
Ticagrelor Dosis loading 180 mg, dosis
pemeliharaan 2x90 mg/hari
Clopidogrel Dosis loading 300 mg, dosis
pemeliharaan 75 mg/hari
4. Antikogulan.
Terapi antikoagulan harus ditambahkan pada terapi antiplatelet secepat mungkin.
1. Pemberian antikoagulan disarankan untuk semua pasien yang mendapatkan terapi
antiplatelet (Kelas I-A).
2. Pemilihan antikoagulan dibuat berdasarkan risiko perdarahan dan iskemia, dan berdasarkan
profil efikasi-keamanan agen tersebut. (Kelas I-C).
3. Fondaparinuks secara keseluruhan memiliki profil keamanan berbanding risiko yang
paling baik. Dosis yang diberikan adalah 2,5 mg setiap hari secara subkutan (Kelas I-A).
17
4. Bila antikoagulan yang diberikan awal adalah fondaparinuks, penambahan bolus UFH (85
IU/kg diadaptasi ke ACT, atau 60 IU untuk mereka yang mendapatkan penghambat reseptor
GP Iib/IIIa) perlu diberikan saat IKP (Kelas I-B).
5. Enoksaparin (1 mg/kg dua kali sehari) disarankan untuk pasien dengan risiko perdarahan
rendah apabila fondaparinuks tidak tersedia (Kelas I-B).
6. Heparin tidak terfraksi (UFH) dengan target aPTT 50-70 detik atau heparin berat molekul
rendah (LMWH) lainnya (dengan dosis yang direkomendasikan) diindaksikan apabila
fondaparinuks atau enoksaparin tidak tersedia (Kelas I-C).
7. Dalam strategi yang benar-benar konservatif, pemberian antikoagulasi perlu dilanjutkan
hingga saat pasien dipulangkan dari rumah sakit (Kelas I-A).
8. Crossover heparin (UFH and LMWH) tidak disarankan (Kelas III-B).
18
3. Jika antikoagulan diberikan bersama aspirin dan clopidogrel, terutama pada penderita tua
atau yang risiko tinggi perdarahan, target INR 2- 2,5 lebih terpilih (Kelas IIb-B).
7. Statin
Tanpa melihat nilai awal kolesterol LDL dan tanpa mempertimbangkan modifikasi
diet, inhibitor hydroxymethylglutary-coenzyme A reductase (statin) harus diberikan pada
semua penderita UAP/NSTEMI, termasuk mereka yang telah menjalani terapi
revaskularisasi, jika tidak terdapat indikasi kontra (Kelas I-A). Terapi statin dosis tinggi
hendaknya dimulai sebelum pasien keluar rumah sakit, dengan sasaran terapi untuk mencapai
19
kadar kolesterol LDL <100 mg/dL (Kelas I-A). Menurunkan kadar kolesterol LDL sampai
<70 mg/dL mungkin untuk dicapai.
Pada pasien dengan SKA non ST Elevasi memiliki resiko tinggi untuk berulangnya
iskemia setelah fase awal. Oleh karena itu prevensi sekunder secara aktif sangat penting
sebagai tatalaksana jangka panjang yang mencakup :
Perbaikan gaya hidup seperti : berhenti merokok, aktifitas fisik teratur, dan diet.
Penurunan berat badan pada pasien obese dan kelebihan berat badan (overweight)
Kontrol tekanan darah
Tatalaksana diabetes
Intervensi terhadap profil lipid : statin direkomendasikan pada semua pasien dengan
SKA tanpa ST elevasi dengan tujuan menstabilisasi dinding plak aterosklerosis, efek
pleitropik. Disarankan terapi penurunan level lipid sceara intensif dengan target LDL
<100mg/dl dan bila memungkinkan <70mg/dl.
Meneruskan ,pemberian anti-platelet.
Pemakaian beta bloker harus diberikan pada semua pasien termasuk pasien dengan
fungsi ventrikel kiri yang menurun dengan atau tanpa gejala gagal jantung.
ACE inhibitor atau ARB diindikasikan sebagai terapi jangka panjang pada semua
pasien dnegan LVEF ≤40%dan pada pasien dengan diabetes, hipertensi, atau gagal
ginjal kronik.
Antagonis reseptor aldosterone harus dipertimbangkan pada pasien pasca infark
miokard yang telah mendapatkan ACE/ARB dan beta bloker dan dengan LVEF
≤40% dan dengan diabetes atau gagal jantung, tanpa disfungsi renal atau
hiperkalemia.
Rehabilitasi dan kembali ke aktivitas fisik : setelah suatu SKA tanpa elevasi,
direkomendasikan penilaian kapasitas fungsional. Berdasarkan status kardiovaskular
dan penilaian kapasitas fisik fungsional tersebut, pasien diberi informasi mengenai
waktu dan level aktivitas fisik yang direkomendasikan termasuk kreasi, kerja, dan
20
aktivitas seksual. Pasien pasca SKA tanpa elevasi dapat disarankan menjalani uji latih
jantung dengan EKG atau suatu pemeriksaan stress tes non invasive untuk iskemia
yang setara, dalam 4-7 minggu setelah perawatan.
21
22
2.7. Komplikasi4
Komplikasi dari sindrom koroner akut dapat digambarkan pada bagan di bawah ini.
23
Prognosis
Perdarahan dikaitkan dengan prognosis yang buruk pada NSTEMI, sehingga segala
upaya perlu dilakukan untuk mengurangi perdarahan sebisa mungkin. Variabel-variabel yang
dapat memperkirakan tingkat risiko perdarahan mayor selama perawatan dirangkum dalam
CRUSADE bleeding risk score, antara lain kadar hematokrit, klirens kreatinin, laju denyut
jantung, jenis kelamin, tanda gagal jantung, penyakit vaskular sebelumnya, adanya diabetes,
dan tekanan darah sistolik. Dalam skor CRUSADE, usia tidak diikutsertakan sebagai
prediktor, namun tetap berpengaruh melalui perhitungan klirens kreatinin. Skor CRUSADE
yang tinggi dikaitkan dengan kemungkinan perdarahan yang lebih tinggi.
24
Jenis kelamin
Laki-laki 0
Perempuan 8
Tanda gagal jantung saat datang
Tidak 0
Ya 7
Riwayat penyakit vaskular
sebelumnya
Tidak 0
Ya 6
Diabetes
Tidak 0
Ya 6
Tekanan darah sistolik, mmHg
≤90 10
91-100 8
101-120 5
121-180 1
181-200 3
≥200 5
25
Skor CRUSADE Tingkat risiko Risiko perdarahan
1-20 Sangat rendah 3,1%
21-30 Rendah 5,5%
31-40 Moderat 8,6%
41-50 Tinggi 11,9%
>50 Sangat tinggi 19,5%
26
BAB III
Laporan Kasus
I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : TIOS
Umur : 80 Tahun
Bangsa : Indonesia
Suku : Bali
Agama : Hindu
Status : Menikah
II. ANAMNESIS
Keluhan Utama:
Nyeri dada
Pasien datang dengan keluhan nyeri dada kiri sejak ±4 jam sebelum datang ke
rumah sakit. Nyeri dada timbul secara mendadak pada pagi hari sekitar pukul 08.00
27
setelah pasien bangun tidur.Awalnya nyeri dikatakan tidak terlalu berat dan pasien masih
dapat menahan rasa nyeri yang muncul.Pasien sempat melakukan aktivitas menyapu di
pekarangan rumah.Nyeri yang timbul di dada kiri dirasakan seperti diremas-remas dan
menjalar hingga ke punggung. Nyeri dada yang dirasakan bersifat menetap dan dirasakan
terus menerus (>20 menit) tidak membaik dengan menarik nafas, perubahan posisi
ataupun dengan istirahat. Pasien juga mengeluh keluar keringat dingin berbarengan
dengan nyeri dada yang dirasakan. Pasien lalu dibawa oleh keluarga ke RS.
Pasien mengaku sebelumnya pernah mengalami nyeri dada seperti yang dirasakan
saat ini, namun dikatakan tidak seberat yang dirasakan saat ini. Dimana pasien
mengatakan keluhan yang sama sebelumnya biasanya akan menghilang sendiri saat
pasien beristirahat. Pasien juga merasakan sesak nafas. Keluhan lainnya seperti berdebar,
mual, dan muntah.disangkal oleh pasien. Pasien mengatakan buang air kecil tidak
terganggu dimana pasien biasa buang air kecil 3-4x sehari dan sebanyak kira-kira 1 gelas
tiap kali buang air kecil sedangkan untuk buang air besar dikatakan normal, terakhir 1
hari yang lalu.
Pasien mengatakan belum pernah mengalami keluhan yang serupa. Pasien memiliki
riwayat penyakit hipertensi sejak tahun 2010. Pasien tidak rutin mengonsumsi obat dan hanya
menerapkan pola hidup sehat. Pasien mengatakan tidak ada alergi terhadap makanan atau
obat-obatan. Riwayat diabetes, penyakit paru, dan riwayat opname di rumah sakit disangkal
oleh pasien.
Riwayat Pengobatan
Pasien dikatakan sebelum dibawa ke klinik, dan disana pasien diberikan obat berupa
ISDN 5 mg dan Lansoprazol 1x30 mg
Riwayat Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang mengeluh hal yang sama dengan pasien. Tidak
ada riwayat penyakit jantung, ginjal, kencing manis pada keluarga pasien. Selain itu
dikatakan juga tidak ada riwayat hipertensi pada keluarga pasien
28
Riwayat Pribadi Dan Sosial
Sekarang pasien sebagai ibu rumah tangga dan tidak bekerja hanya melakukan
aktivitas bersih-bersih di rumah saja. Pasien memiliki 2 orang anak dan saat ini pasien
sudah memasuki masa menopause. Pasien tidak pernah mengonsumsi obat-obatan
terlarang dan merokok. Pasien mengaku masih susah mengontol pola makan dan jenis
jenis makanan yang sebaiknya dimakan. Pasien masih memilki kebiasaan meminum kopi,
kurang lebih sebanyak 1-2 gelas perhari. Riwayat meminum alkohol disangkal oleh
pasien.
GCS : E4M5V6
Nadi : 72 x/ menit
Respirasi : 20 x/ menit
Berat badan : 50 kg
Gizi : Baik
29
Status general
Thorax :
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba, thrill (-), kuat angkat (-)
Perkusi : Sonor/sonor
30
Hepar/lien tidak teraba
Edema - - Hangat + +
- - + +
1. Ekokardiografi (EKG)
EKG (26/2/2018)
31
Interpretasi :
Simpulan:
2. Laboratorium
32
Parameter Hasil Nilai Normal Interpretasi
3. Radiologi
33
Cor: Kesan normal, CTR 50%, segmen aorta menonjol, segmen pulmonal normal,
pinggang jantung terlihat, apeks jantung normal
Kesan:
V. Diagnosis kerja
VI. Penatalaksanaan
34
- Rawat inap
- IVFD RL 0,9% 8 tetes / menit
- O24 liter / menit
- Aspilet 1 x 80 mg
- Clopidogrel 1 x 75 mg
- Bisoprolol 1 x 5 mg
- Atorvastatin 1 x 20 mg
- Cedocard 3 x 5 mg
- Lovenox 2 x 0,6 cc (SC)
- Laxadin syr 3 x CI per oral
VII. Prognosis
Tanggal 28/2/18
S : Nyeri dada (-), keringat dingin (-), mual (-), makan/minum (+)
O: TD : 100/70 mmhg
PR: 80 kali/menit
RR : 18 kali/menit
Suhu : 36,0oC
Mata : anemis (-), ikterus (-)
THT :kesan tenang
Thorax: Simetris
Cor : S1S2 normal, regular, murmur (-)
Pulmo : bronkovesikuler +/+, Rhonki -/-, Wheezing -/-
Abdomen : distensi (-), bising usus normal
Ekstremitas : hangat (+), edema (-)
A: UAP
P: - IVFD RL 0,9% 8 tetes / menit
- O24 liter / menit
35
- Aspilet 1 x 80 mg
- Clopidogrel 1 x 75 mg
- Bisoprolol 1 x 5 mg
- Atorvastatin 1 x 20 mg
- Cedocard 3 x 5 mg (k/p)
- Lovemp 2 x 0,6 cc (SC)
- Laxadin syr 3 x CI per oral
- Metylcobal 2 x 500 mg
Tanggal 1/3/18
S : Keluhan : BAB cair sebanyak 2 kali
O: TD : 120/70 mmhg
PR: 72 kali/menit
RR : 18 kali/menit
Suhu : 36,5oC
Mata : anemis (-), ikterus (-)
THT :kesan tenang
Thorax: Simetris
Cor : S1S2 normal, regular, murmur (-)
Pulmo : bronkovesikuler +/+, Rhonki -/-, Wheezing -/-
Abdomen : distensi (-), bising usus normal
Ekstremitas : hangat (+), edema (-),
A: UAP
P: - IVFD RL 0,9% 8 tetes / menit
- O24 liter / menit
- Aspilet 1 x 80 mg
- Clopidogrel 1 x 75 mg
- Bisoprolol 1 x 5 mg
- Atorvastatin 1 x 20 mg
- Cedocard 3 x 5 mg (k/p)
- Lovemp 2 x 0,6 cc (SC)
- Laxadin syr 3 x CI per oral STOP
- Metylcobal 2 x 500 mg
Tanggal 2/3/18
S : Keluhan : tidak ada
O: TD : 100/60 mmhg
36
PR: 86 kali/menit
RR : 20 kali/menit
Suhu : 36,0oC
Mata : anemis (-), ikterus (-)
THT :kesan tenang
Thorax: Simetris
Cor : S1S2 normal, regular, murmur (-)
Pulmo : bronkovesikuler +/+, Rhonki -/-, Wheezing -/-
Abdomen : distensi (-), bising usus normal
Ekstremitas : hangat (+), edema (-),
A: UAP
P: - BPL
- Aspilet 1 x 80 mg
- Clopidogrel 1 x 75 mg
- Bisoprolol 1 x 5 mg
- Atorvastatin 1 x 20 mg
- Cedocard 3 x 5 mg (k/p)
- Metylcobal 2 x 500 mg
- KIE : control kembali ke poli jantung hari kamis, 8 Maret 2018.
BAB IV
37
PEMBAHASAN
Pasien datang dengan keluhan nyeri dada kiri sejak ±4 jam dimana nyeri dada timbul
secara mendadak pada pagi hari setelah pasien bangun tidur.Nyeri dirasakan pasien semakin
lama semakin memberat.Nyeri yang timbul di dada kiri dirasakan seperti diremas-remas dan
menjalar hingga ke punggung.Nyeri dada yang dirasakan bersifat menetap dandirasakan terus
menerus (>20 menit) tidak membaik dengan menarik nafas, perubahan posisi ataupun dengan
istirahat.Pasien juga mengeluh keluar keringat dingin bersamaan dengan nyeri dada yang
dirasakan.Berdasarkan karakteristik tersebut, dapat dikatakanbahwa nyeri dada yang dialami
pasien merupakan nyeri dada angina pektoris dimana nyeri dada dirasakan seperti diremas-
remas dan menjalar ke punngungdisertai dengan keringat dingin dan lebih spesifik mengarah
ke sindrom koroner akutkarena nyeri yang dirasakan muncul ketika pasien sedang
beristirahat, nyeri yang dirasakan menetap dan terus menerus lebih dari 20 menit yang tidak
membaik walaupun dengan beristirahat.Pada infark miokardium akut baik STEMI, NSTEMI,
maupun angina pektoris tidak stabil mempunyai gejala berupa rasa ridak nyaman atau nyeri
pada dada yang lebih berat, lebih lama, dan menjalar lebih luas. Rasa tidak nyaman tersebut
disebabkan oleh pelepasan mediator seperti adenosin dan laktat yang merangsang ujung
saraf.Iskemia pada infark miokardium akut dapat bersifat persisten prosesnya progresif
menuju nekrosis sehingga memprovokasi substansi-substansi tersebut untuk lebih
berakumulasi lagi dan mengaktifkan jalur aferen saraf untuk waktu yang lama.Biasanya rasa
tidak nyaman ini mengenai dermatom C7 sampai T4.
38
Pada pemeriksaan fisik biasanya normal pada sindrom koroner akut.Adanya tanda-
tanda kongesti dan hemodinamik instabilitas memerluksan penanganan secepatnya.Pada
pasien ini hemodinamik pasien stabil dengan tekanan darah 120/70. mmhg, saturasi oksigen
97%, respiratory rate 20 kali per menit, dengan nadi yang sedikit meningkat yaitu 108 kali
per menit berhubungan dengan nyeri yang dirasakan pasien (skala 5/10).Berdasarkan
tampilan EKG infark miokardium dapat dibedakan menjadi UAP/NSTEMI dengan STEMI
dengan menilai segmen ST dan T. Berdasarkan hasil EKG kasus ini didapatkan
Iramasinus,HR86 x/menit reguler, Axis Defiasi ke kiri, Gelombang Pnormal, Interval
PRnormal <0.20 detik,Kompleks QRS : RSR’ di V1, >0.12 detik, wide S di V6, ST-T
changes : tidak ada. dengan kesimpulan irama sinus, HR 86 X/menit, Complete Right Bundle
Branch Block. Pada pasien ini tidak ditemukan adanya kelainan EKG pada segmen ST dan T
sehingga diagnosis mengarah ke UAP/ NSTEMI.Perbedaan antara angina pectoris tidak stabil
(APTS) dengan STEMI adalah beratnya iskemia. Pada NSTEMI, iskemia yang terjadi cukup
berat sehingga mengakibatkan kerusakan miokard yang ditandai dengan peningkatan enzim
petanda jantung (CKMB, troponin). Pada kasus ini tidak ditemukan adanya peningkatan
enzim jantung sehingga akhirnya pasien ini didiagnosis dengan Angina Pektoris Tidak Stabil.
Pada pasien ini dilakukakan tatalaksana berupa rawat inap, pemberian oksigen 4 liter,
pemasangan infus RL, aspilet 1 x 80 mg, clopidogrel 1 x 75 mg, bisoprolol 1 x 5 mg,
atorvastatin 1 x 20 mg, cedocard 3 x 5 mg, lovenox 2 x 0,6 cc (SC), laxadin syr3 x CI per
oral, dan metylcobal 2 x 500mg.`Penanganan awal dimulai saat diagnosis angina pektoris
tidak stabil dan STEMI ditegakan atau bahkan saat kecurigaan terhadap SKA cukup tinggi
ialah yang pertama dengan mngatasi nyeri dada akibat iskemia yaitu dengan pemberian
oksigen dan isosorbid dinitrat secara sublingual dnegan tujuan untuk dilatasi arteri koroner,
arteri sistemik, dan dilatasi system vena sehingga dapat menurunkan pre load, menurunkan
konsumsi oksigen, dan meningkatkan aliran darah. Pada pasien ini telah diberikan dengan
dosis 5 mg dan setelah pemeberian pasien merasa nyerinya berkurang dan mneghilang
perlahan.Penanganan selanjutnya dengan inisiasi antitrombotik (antiplatelet dan
antikoagulan) untuk mencegah terjadinya thrombosis dan embolisasi dari plak aterosklerosis
yang rupture atau erosi. Pada kasus ini diberikan dua jenis anti platelet yaitu aspilet (siklo
oksiginase/COX1) dan clopidogrel (penyekat reseptor P2Y2) Banyak studi telah
membuktikan bahwa kombinasi atikoagulan dan antiplatelet sangat efektif dalam mengurangi
serangan jantungakibat trombosis . Kombinasi kedua agenakan lebih efektif dari pada hanya
pemberian salah satu agen saja. Antikoagulan diberikan untuk mencegah generasi trombin
39
dan aktivitasnya.Pada kasus ini pasien diberikan heparin (lovenox) 2 x 0.6cc secara
subkutan.Bisoprolol (Beta Blocker) diberikan untuk mencegah terjadinya iskemia berulang
dan aritmia ventrikular maligna.Atorvastatin (golongan statin) direkomendasikan pada semua
pasien dengan SKA tanpa ST elevasi, diberikan dengan tujuan menstabilisasi dinding plak
aterosklerosis.
40
BAB V
KESIMPULAN
Sindrom Koroner Akut adalah terminologi yang digunakan pada keadaan aliran darah
koroner parsial hingga total ke miokard secara akut. Berbeda dengan angina pektoris stabil,
gangguan aliran darah ke miokard pada SKA bukan disebabkan oleh penyempitan yang statis
namun terutama akibat pembentukan trombus di dalam arteri koroner yang sifatnya
dinamis.Sindrom koroner akut dibagi berdasarkan gambaran EKG yaitu dengan miokard
infark yang disertai dengan ST elevasi dari hasil EKG (STEMI) dan tanpa elevasi segmen ST
yaitu NSTEMI dan UAP.Perbedaan dari UAP dan NSTEMI.Sebagian besar pasien SKA
datang dengan keluhan nyeri dada angina pektoris (rasa berat, atau rasa seperti ditekan atau
rasa seperti dicengkram di belakang sternum, bisa menjalar ke rahang, bahu, punggung, atau
lengan) yang dirasakan lebih dari 15 menit. Pemeriksaan fisik dilakukan untuk
mengidentifikasikan faktor pencetus iskemia, komplikasi iskemia, penyakit penyerta, dan
menyingkirkan diagnosis banding. Pemeriksaan penunjang yang penting dilakukan untuk
menentukan diagnosis dan terapi ialah pemeriksaan EKG dan laboratorium enzim jantung.
Penanganan awal dimulai saat diagnosis Angina Pektoris Tidak Stabil dan STEMI
ditegakan atau bahkan saat kecurigaan terhadap SKA cukup tinggi meliputi mengatasi nyeri
dada akibat iskemia, melakukan penilaian status hemodinamik dan perbaiki kelainannya,
risiko untuk terjadi komplikasi diestimasi menggunakan stratifikasi risiko dini, inisiasi terapi
antitrombotik (antiplatelet dan antikoagulan), dan pemberian penyekat beta. Penanganan awal
diikuti dengan pemberian beberapa terapi medikamentosa yang telah terbukti dapat
memperbaiki prognosis jangka panjang seperti pemberian antiplatelet jangka panjang untuk
menurunkan risiko trombosis arteri koroner berulang, penyekat beta, dan statin.Pada laporan
kasus, pasien laki-laki usia 79 tahun ini dating dengan keluhan nyeri dada spesifik nyeri dada
angina pektoris tidak stabil. Dimana setelah dilakukan pemriksaan EKG dan enzim jantung
tidka ditemukan adanya keainan pada segmen ST dan laboraorium enzim jantung sehingga
pasien didiagnosis dengan UAP dan telah mendapatkan pengobatan rawat inap, pemberian
oksigen 4 liter, pemasangan infus RL, aspilet 1 x 80 mg, clopidogrel 1 x 75 mg, bisoprolol 1
x 5 mg, atorvastatin 1 x 20 mg, cedocard 3 x 5 mg, lovenox 2 x 0,6 cc (SC), laxadin syr3 x CI
per oral, dan metylcobal 2 x 500mg sesuai dengan teori. Dan setelah 3 hari perwatan pasien
akhirnya pulang pulang dalm kondisi yang lebih baik.
41
DAFTAR PUSTAKA
1. Braunwald E, Antman EM, Beasley JW, Califf M, Cheitlin MD, Hochman JS.
ACC/AHA Guidelines for the Management of Patients With Unstable Angina and
Non- ST-Segment Elevation Myocardial Infarction: Executive Summary and
Recommendations : A Report of the American College of Cardiology/American Heart
Association Task Force on Practice Guidelines (Committee on the Management of
Patients With Unstable Angina). Circulation. 2000;102:1193-1209.
2. Lilly LS. Pathophysiology of Heart Disease. Fifth Edition. 2011. Philadelphia:
Lippincott Williams&Wilkins.
3. Bonow RO, mann DL, Zipes DP, Libby P, Braunwald E. Braunwald’s heart disease: a
textbook of cardiovascular medicine. 9th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2012.
4. Connor RE, Brady W, Brooks SC, Diercks D, Egan J, Ghaemmaghami C, dkk. Part
10: Acute Coronary Syndromes : 2010 American Heart Association Guidelines for
Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular care. Circulation
2010, 122:S787-S817.
5. PERKI (Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia).2015. Pedoman
Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. Jurnal Kardiologi Indonesia. 3:1-74.
42