Anda di halaman 1dari 18

CLINICAL SCIENCE SESSION

KORTIKOSTEROID

Disusun Oleh:
Astrid Tamara Maajid Budiman 130112160677
Ratu Synnar Putri Mayangsari 130112160663
Ottorino Farhan Masih Proses

Preseptor:
Kartika Ruchiatan, dr., SpKK, M.Kes

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2018
KORTIKOSTEROID

Pendahuluan
Keberhasilan penyembuhan berbagai kelainan kulit dengan menggunakan
kortikosteroid serta meningkatnya berbagai jenis sediaan di pasaran telah semakin
meningkatkan penggunaannya. Keadaan ini selain memberikan dampak positif, berupa
tersedianya alternatif sediaan kotikosteroid yang digunakan, juga berdampak negatif, yaitu
meningkatkan resiko terjadinya efek samping obat, terutama akibat misuse dan abuse sediaan
kortikosteroid.
Untuk meningkatkan keberhasilan terapi dan meminimalkan efek samping obat akibat
penggunaan kortikosteroid, perlu pola pikir yang rasional dalam memilih sedian kortikosteriod
dengan senantiasa mempertimbangkan antara lain jenis, fase, lokalisasi dan distribusi kelainan
kulit, usia penderita serta potensi, keamanan dan formulasi obat.
Kortikosteroid dibedakan menjadi dua golongan besar yaitu glukokortikoid dan
mineralokortikoid. Efek utama glukokortikoid adalah penyimpanan glikogen hepar dan efek
antiinflamasinya, sedangkan pengaruhnya pada keseimbangan air dan elektrolit kecil. Efek
utama golongan mineralokortikoid adalah terhadap keseimbangan air dan elektrolit, sedangkan
pengaruhnya pada penyimpanan glikogen hepar kecil. Golongan mineralokortikoid tidak
mempunyai efek antiinflamasi.
Sediaan kortikosteriod dapat dibedakan menjadi 3 golongan berdasarkan masa
kerjanya, yaitu kerja singkat, sedang dan lama. Sediaan kerja singkat mempunyai masa paruh
biologis kurang dari 12 jam. Sediaan kerja sedang mempunyai masa paruh biologis 12-36 jam.
Sediaan kerja lama mempunyai masa paruh biologis lebih dari 36 jam.

Biologi
Kortisol merupakan bentuk alami dari glukokortikoid yang disintesis dari kolesterol di
dalam korteks adrenal. Stimulus primer dalam pembentukan kortisol bermula daripada
hipotalamus. ACTH kemudiannya disekret dari kelenjar pituitary anterior. Zona fasikulata dari
korteks adrenal distimulasi untuk produksi kortisol.
Dalam keadaan normal, di dalam sirkulasi terdapat <5% kortisol bebas yang merupakan
bentuk aktif dalam terapi. Sedangkan sisanya dalam bentuk inaktif karena terikat dengan
cortisol-binding globulin (CBG, atau yang dikenal sebagai transcortin) (95%) atau berikatan
dengan albumin (5%). Sekresi cortisol setiap harinya berkisar antara 10-20 mg, dengan puncak
diurnal sekitar pukul 8 pagi. Kortisol memiliki waktu paruh 90 menit. Metabolismenya
terutama berlangsung di dalam hepar dan metabolit yang dihasilkan diekskresikan oleh ginjal
dan hepar.

Mekanisme Kerja
Hormon kortikosteroid yang alami berasal dari bahan dasar kortisol yang diproduksi
dan dilepaskan oleh korteks kelenjar adrenal. Fungsi hormon kortikosteroid adalah menjaga
fungsi homeostasis tubuh dengan mengatur aktivitas enzim dalam tubuh. Baik hormon
kortikosteroid alami maupun sintetik digunakan untuk diagnosis dan pengobatan gangguan
fungsi adrenal. Reseptor kortikosteroid ditemukan pada berbagai jenis sel seperti limfosit,
monosit/makrofag, osteoblas, sel hati, otot, lemak dan fibroblas. Hal ini menjelaskan mengapa
kortikosteroid memberikan efek biologis terhadap begitu banyak sel.
Hormon-hormon steroid dihasilkan oleh ovarium, testis, dan korteks adrenal. Kedua
kelenjar adrenal, yang masing-masing mempunyai berat kira-kira 4 gram, terletak di kutub
superior dari kedua ginjal. Tiap kelenjar terdiri atas 2 bagian yang berbeda, yaitu medula
adrenal dan korteks adrenal. Medula adrenal secara fungsional berkaitan dengan sistem saraf
simpatis yang mensekresi hormon epinefrin dan norepinefrin. Korteks adrenal mensekresi
kelompok hormon kortikosteroid. Korteks adrenal sendiri dibagi dalam 3 zona yang
mensintesis berbagai steroid. Bagian luar yaitu zona glomerulosa menghasilkan
mineralokortikoid, yaitu aldosteron yang mempengaruhi keseimbangan elektrolit (mineral)
cairan ekstraselular, terutama natrium dan kalium. Tanpa mineralokortikoid, maka besarnya
konsentrasi ion kalium dalam cairan ekstraselular meningkat secara bermakna, konsentrasi
natrium dan klorida akan berkurang, dan volume total cairan ekstraselular dan volume darah
juga akan sangat berkurang. Pasien akan mengalami penurunan curah jantung yang dapat
berakibat kematian. Oleh karena itu mineralokortikoid dikatakan merupakan bagian
“penyelamat nyawa” dari hormon adrenokortikal.

Bagian tengah, zona fasikulata dan lapisan terdalam zona retikularis mensintesis
glukokortikoid seperti kortisol/hidrokortison dan androgen adrenal. Kortisol sendiri memiliki
efek yang bermacam – macam, beberapa diantaranya adalah untuk merangsang proses
glukoneogenesis (pembentukan karbohidrat dari beberapa protein dan zat lain) oleh hati,
penurunan pemakaian glukosa oleh sel-sel tubuh, pengurangan protein sel di seluruh tubuh
kecuali protein hati, mobilisasi asam lemak dan efek anti inflamasi.
Pelepasan atau sekresi kortikosteroid diatur oleh hormon hipotalamus yaitu CRH
(Corticotropin Releasing Hormone). CRH kemudian akan memberi sinyal kepada hipofisis
anterior untuk mengeluarkan ACTH. ACTH ini akan merangsang sel fasikulata pada korteks
adrenal untuk mengeluarkan kortisol.
Obat kortikosteroid topikal adalah suatu modifikasi kortisol, suatu molekul dasar yang
ditambah atau diubah dari grup fungsional pada posisi tertentu yang menyebabkan perubahan
potensi serta efek samping, yang digunakan secara topikal.

Farmakokinetik
1. Absorpsi
Pada umumnya kortikosteroid sintetik dapat diabsorpsi secara cepat dan lengkap bila
diberikan per oral.. Perubahan kecil pada struktur kimianya dapat merubah absorpsi, onset of
action, ataupun duration of action obat.
Glukokortikoid juga dapat diserap secara sistemik melalui pemberian lokal, seperti
ruang sinovial, sakus konjungtiva, kulit, dan traktus respiratorius. Jika diberikan dalam waktu
yang cukup lama, atau pada area kulit yang luas, absorpsi yang terjadi dapat menyebabkan efek
sistemik, termasuk supresi sumbu hipothalamus-hipofisis-adrenal.

2. Distribusi
Pada keadaan normal, >90% kortisol dalam plasma terikat pada protein. Hanya fraksi
kortikosteroid yang tidak terikat yang dapat memasuki sel dan menimbulkan efek.3 Jika kortisol
plasma melebihi 20-30 μg/dL, CBG akan tersaturasi dan konsentrasi kortisol bebas akan
meningkat dengan cepat.Protein plasma yang mengikat sebagian besar hormon steroid adalah:
1. Corticosteroid binding globulin (CBG, disebut juga transkortin)
CBG adalah suatu α-globulin yang disintesa oleh hepar. CBG memiliki afinitas tinggi
terhadap steroid, namun kapasitas pengikatan total (total binding capacity) nya rendah.
CBG memiliki afinitas yang relatif tinggi terhadap kortisol, dan memiliki afinitas rendah
terhadap aldosteron dan metabolit steroid terkonjugasi glukoronid.
CBG akan meningkat pada kehamilan, pemberian estrogen, dan hipertiroid, dan menurun
pada hipotiroid, defek genetik pada sintesis, dan defisiensi protein.
2. Albumin
Albumin juga disintesa oleh hepar, namun memiliki sifat yang berbeda dengan CBG, di
mana memiliki afinitas yang rendah terhadap steroid dan kapasitas pengikatan yang tinggi.
Kortikosteroid sintetik, seperti dexametason, sebagian besar terikat pada albumin.
Waktu paruh kortisol pada sirkulasi adalah sekitar 60-90 menit; waktu paruh dapat
meningkat pada pemberian hidrokortison dalam dosis besar, pada keadaan stres, hipotiroid,
atau pada gangguan hepar.

3. Metabolisme
Sebagian besar kortisol diinaktivasi oleh hepar dengan reduksi ikatan ganda 4, 5 pada
cincin A dan akan diubah menjadi tetrahidrokortisol dan tetrahidrokortison oleh 3-
hidroksisteroid dehidrogenase. Beberapa diubah menjadi kortol dan kortolon dengan reduksi
keton C20.
Sebagian besar metabolit kortisol mengalami konjugasi dengan asam glukoronat atau
sulfat pada hidroksil C3 dan C21, yang kemudian akan kembali memasuki sirkulasi.
Steroid sintetik dengan komponen 11-keto, seperti kortison dan prednison, secara
enzimatik harus direduksi menjadi derivat 11-β hidroksi supaya menjadi aktif. Reaksi ini
dikatalisis di hepar isozim tipe 1 11-β hidroksisteroid dehidrogenase, sehingga untuk pasien
dengan gagal hati ataupun gangguan enzim tersebut, lebih baik diberi steroid yang tidak perlu
aktivasi enzimatik (seperti hidrokortison dan prednisolon).

4. Ekskresi
Steroid yang sudah terkonjugasi akan menjadi larut air (water soluble) dan dapat
diekskresikan melalui urin. Sekresi steroid juga dapat terjadi melalui bilier dan fecal, namun
dalam jumlah yang kurang bermakna.
KORTIKOSTEROID SISTEMIK

Indikasi
Tabel Indikasi Penggunaan Kortikosteroid Sistemik

1. Dermatitis berat - dermatitis kontak

- dermatitis atopik
- fotodermatitis
- eritroderma eksfoliatif

2. Autoimmune connective tissue disease - systemic lupus erythematosus (SLE)


- mixed connective tissue disease

3. Blistering disease - pemfigus (semua bentuk)


- bullous pemphigoid
- cicatrical pemphigoid
- toxic epidermal necrolysis (TEN)
- erythema multiforme

4. Vaskulitis - cutaneous (various type)


- systemic (various type)

5. Miscellaneous dermatoses - sarcoidosis


- lichen planus
- urticaria/angioedema
- arthropods bites/stings
- hemangioma
Equivalent Mineralo- Plasma Duration
Glucocorticoid corticoid Half-life of Action
Potency (mg) Potency (min) (H)
Short-acting
Hydrocortisone 20 0,8 90 8-12
(Cortisol)
Cortisone 25 1 30 8-12
Intermediate-acting
Prednisone 5 0,25 60 24-36
Prednisolone 5 0,25 200 24-36
4 0 180 24-36
Methylprednisolone 4 0 300 24-36
Triamcinolone
Long-acting 0,75 0 200 36-54
Dexamethasone

Penggunaan Terapeutik Kortikosteroid Sistemik


Prinsip Dasar
Sebelum pemberian terapi dengan glukokortikoid harus dipertimbangkan :
1. Keuntungan yang didapat dibandingkan dengan efek samping potensial.
2. Terapi alternatif atau terapi tambahan terutama apabila memikirkan untuk terapi jangka
panjang.
3. Penyakit lain yang ada bersamaan seperti diabetes, hipertensi, atau osteoporosis.
4. Faktor predisposisi pada pasien terhadap efek samping.

Pemilihan Glukokortikoid
Sejumlah pertimbangan dalam pemilihan glukokortikoid antara lain :
1. Obat dengan efek mineralokortikoid minimal biasanya dipilih untuk menurunkan
retensi sodium.
2. Penggunaan prednison oral jangka panjang atau obat lain yang serupa, dengan waktu
paruh sedang dan afinitas reseptor steroid lemah, dapat menurunkan efek samping.
Penggunaan obat jangka panjang seperti dexamethasone, yang mempunyai waktu
paruh lama dan afinitas reseptor-glukokortikoid tinggi, dapat mempunyai efek
samping lebih banyak daripada efek terapi.
3. Jika pasien tidak berespon terhadap cortisone atau prednisone, harus dipertimbangkan
bentuk aktif biologis pengganti yaitu cortisole atau prednisolone, kecuali pada penyakit
hepar yang berat.
4. Methylprednisolone digunakan dalam terapi karena memiliki karakteristik sodium-
retaining dan potensi tinggi.
Sebelum memulai pengobatan dengan glukokortikosteroid, perlu dipertimbangkan:

Potensi efek samping


 Untuk pemberian jangka panjang, pertimbangkan pemberian pengobatan alternatif atau
obatan tambahan lain
 Penyakit lain yang dideritai pasien
 Efek samping kortikosteroid sistemik dapat mengenai sistem kardiovaskular,
pernafasan, pencernaan, kulit, ginjal, sistem endokrin, saraf dan jiwa, dan masih banyak
lagi.

Cara Pemberian
a. Oral
Glukokortikoid secara oral dapat diberikan untuk terapi jangka pendek dan
jangka panjang. Dikatakan terapi jangka pendek jika lama nya pengobatan hanya
berkisar 3 minggu atau kurang dan terapi jangka panjang jika waktunya mencapai 4
minggu atau lebih, terkadang dapat mencapai waktu berbulan-bulan sampai bertahun-
tahun. Bila pemberian glukokortikoid berlangsung selama 3-4 minggu,
pemberhentiannya bisa tanpa dengan tapering off, karena HPA-axis yang tersupresi
bisa pulih dengan cepat.
Pada terapi secara oral, jenis glukokortikoid yang sering digunakan adalah
prednison (intermediate duration) setiap hari atau setiap 2 hari karena prednisone lebih
murah dan tersedia dalam beberapa sediaan. Daily dose dari prednisone bergantung
pada tingkat keparahan penyakit, bisa bervariasi dari 2,5 mg hingga beberapa ratus
miligram per hari.

Pemberian terapi awal menggunakan dosis terendah pada pagi hari untuk
mengurangi kemungkinan timbul efek samping. Hal ini disebabkan oleh tingkat
kortisol yang berpuncak pada pagi hari sekitar pukul 8 pagi.

b. Intramuskular
Pemberian glukokortikoid secara intramuscular dilakukan bila kortikosteroid
tidak dapat diberikan secara oral, misalnya pada pasien dengan gangguan
gastrointestinal (mual dan muntah). Pemberian kortikosteroid mengalami kerugian
dimana ada kesulitan untuk mengawasi dosis harian dan karena efeknya berlangsung
dalam jangka panjang dapat berisiko menimbulkan efek samping berupa supresi HPA-
axis dan myopati

c. Intravena
Penggunaan glukokortikoid secara intravena digunakan 2 situasi yaitu pada
stress coverage, yaitu pada pasien yang sakit akut atau yang menjalani operasi dan pada
kasus dermatologi yang mengancam jiwa sehingga diperlukan reaksi yang cepat.
Contohnya pada kasus vaskulitis sistemik dan SLE.
Pada terapi ini harus dilakukan monitoring fungsi kardiovaskular karena pada
pemberian glukokortikoid secara intravena dapat menyebabkan aritmia dan sudden
death bila obat diberikan terlalu cepat. Penyebab dari aritimia dan sudden death ini
adalah terjadinya acute electrolyte shift sehingga perlu diberikan infus potasium
sebagai pencegahan. Administrasi perlahan selama 2 hingga 3 jam dapat
meminimalisasi efek samping serius, selama tanda-tanda vital dipantau.
Efek samping lain yang berbahaya adalah reaksi anafilaksis dan kejang.
d. Intralesi
Penggunaan glukokortikoid secara intralesi digunakan pada kasus localized
dermatology yang tidak dapat diterapi dengan menggunakan kortikosteroid topical dan
tidak dapat menggunakan terapi secara sistemik.
Jenis yang digunakan adalah triamcinolone acetonide. Dosis yang diberikan
bergantung pada lokasi lesi dan sifat dari lesi itu sendiri. Jika lesi terdapat pada daerah
muka atau tempat- tempat lain yang memungkinkan untuk terjadinya atropi dermis dan
lemak, maka konsentrasi yang diberikan sangat rendah (2-3 mg/ml) misalnya pada
wajah. Sedangkan untuk lesi dermal yang tebal seperti pada kasus keloid, konsentrasi
yang dapat diberikan adalah 20-40 mg/ml.

INISIASI TERAPI

Prinsip utama dalam pemberian terapi glukokortikoid sistemik adalah


mempertimbangkan keuntungan dari terapi dimana harus lebih banyak daripada efek samping
yang mungkin timbul.
Pemilihan glukokortikoid bisa didasarkan pada beberapa petimbangan, yaitu: efek
mineralokortikoid minimal untuk mengurangi retensi sodium, menggunakan intermediate half-
life dan afinitas reseptor steroid rendah untuk mengurangi efek samping, mempertimbangan
penggunaan substitusi bentuk aktif biologis pada pasien yang tidak merespon terapi kortison
dan prednisolon, penggunaan metilprednisolon untuk pulse therapy.

Evaluasi Sebelum Terapi


Untuk mengurangi kemungkinan timbulnya efek samping, sebaiknya dilakukan
pemeriksaan awal yaitu pemeriksaan riwayat keluarga yang bisa menunjukkan ada tanda-tanda
diabetes, hipertensi, hiperlipidemia, glaucoma. Selain itu sebaiknya dilakukan pemeriksaan
mata dan PPD, dan pemeriksaan densitas tulang untuk melihat adanya risiko pengobatan.

PENGAWASAN TERAPI
Selama terapi, tanyakan pasien ada tidaknya kondisi-kondisi: poliuria, polidipsi, nyeri
abdomen, demam, gangguan tidur, efek psikologis.
Pengawasan berat badan, tekanan darah, serum elektrolit, gula darah puasa, kolesterol,
dan trigliserida sebaiknya dilakukan. Pemeriksaan mata untuk melihat tanda-tanda katarak dan
glaucoma dilakukan untuk melihat efek samping yang mungkin timbul akibat terapi.

Komplikasi
Sistem saraf pusat Endokrinologik
Pseudotumor serebri Supresi aksis HPA
Gangguan psikiatri Kegagalan pertumbuhan
Muskuloskeletal Amenore sekunder
Osteoporosis dengan fraktur spontan Metabolik
Nekrosis tulang aseptik Hiperglikemia dan predisposisi
Miopati genetik
Okular Diabetes mellitus
Glaukoma dan katarak Status hiperosmolar non ketotik
Gastrointestinal Hiperlipidemia
Ulserasi peptik Perubahan distribusi lemak (typical
Perforasi intestinal cushingoid appearance)
Pankreatitis Infiltrasi lemak dalam hati
Kardiovaskular dan retensi cairan Interaksi obat (mengurangi efek
Hipertensi antikoagulan ethyl biscoumacetate)
Retensi natrium dan cairan Inhibial fibroblas
Alkalosis hipokalemia Penghambatan penyembuhan luka
Aterosklerosis Antrofi jaringan subkutan
Reaksi hipersensitivitas Supresi pertahanan tubuh
Urtikaria Imunosupresi, anergi
Anafilaksis Efek terhadap kinetik dan fungsi
fagosit
Peningkatan insidensi infeksi

Perhatian Khusus Pada Wanita Hamil dan Menyusui


 Glukokortikosteroid dapat melintasi plasenta, tetapi tidak bersifat teratogenik.
 Pada wanita yang menyusui dan mendapatkan pengobatan glukokortikoid sistemik,
perlu dilakukan monitoring bayinya terhadap adanya supresi adrenal dan
pertumbuhan.

Perhatian Khusus Pada Anak


 Pada anak, glukokortikoid menyebabkan hambatan pertumbuhan dan osteoporosis dini
 Ini disebabkan oleh reaksi direk pada metabolisme sel, efek pada kalsium dan fosforus
dan penurunan sekresi hormone pertumbuhan dengan inihibisi formasi matriks tulang.
KORTIKOSTEROID TOPIKAL

Prinsip dermatoterapi
Dalam mengobati seorang penderita penyakit kulit, dianut prinsip-prinsip umum, dan
bila diberikan obat topikal, selain berlaku prinsip umum dianut pula prinsip khusus.

Prinsip Khusus
1. Pemilihan vehikulum tergantung pada :

a. Stadium/gambaran klinis penyakit

- Obat topikal yang diberikan diubah sesuai dengan perjalanan penyakitnya.

- Pada stadium akut (eritem/edem/basah) → kompres beri krim, bedak kocok,


bedak pasta.

- Stadium kronik/kering → beri salep

b. Distribusi dan lokalisasi penyakit

- Misalnya salep tidak untuk kelainan kulit yang generalisata (kecuali salep
2-4 untuk scabies), dan tidak boleh digunakan untuk kepala berambut.

c. Efek yang diinginkan

- Misalnya digunakan kompres untuk membersihkan.

2. Makin akut/produktif penyakit kulitnya, makin rendah konsentrasi bahan aktif yang
digunakan.

3. Beri penjelasan kepada penderita mengenai cara pemakaian obat dan cara
membersihkannya.

4. Hindarkan pemberian obat topikal yang bersifat sensitizer : misalnya mengandung


penisilin, sulfa dan antihistamin.

5. Batasi jumlah obat yang tidak stabil/tidak dapat disimpan lama misalnya larutan
permanganan kalikus.

Mekanisme kerja kortikosteroid topikal


Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein. Molekul
hormon memasuki jaringan melalui membran plasma secara difusi pasif di jaringan target,
kemudian bereaksi dengan reseptor steroid. Kompleks ini mengalami perubahan bentuk, lalu
bergerak menuju nukleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini menstimulasi transkripsi
RNA dan sintesis protein spesifik. Induksi sintesis protein ini merupakan perantara efek
fisiologis steroid. Efek katabolik dari kortikosteroid bisa dilihat pada kulit sebagai gambaran
dasar dan sepanjang penyembuhan luka. Konsepnya berguna untuk memisahkan efek ke dalam
sel atau struktur-struktur yang bertanggungjawab pada gambaran klinis ; keratinosik (atropi
epidermal, re-epitalisasi lambat), produksi fibrolast mengurangi kolagen dan bahan dasar
(atropi dermal, striae), efek vaskuler kebanyakan berhubungan dengan jaringan konektif
vaskuler (telangiektasis, purpura), dan kerusakan angiogenesis (pembentukan jaringan
granulasiyang lambat). Khasiat glukokortikoid adalah sebagai anti radang setempat, anti-
proliferatif, dan imunosupresif. Melalui proses penetrasi, glukokortikoid masuk ke dalam inti
sel-sel lesi, berikatan dengan kromatin gen tertentu, sehingga aktivitas sel-sel tersebut
mengalami perubahan. Sel-sel ini dapat menghasilkan protein baru yang dapat membentuk atau
menggantikan sel-sel yang tidak berfungsi, menghambat mitosis (anti-proliferatif), bergantung
pada jenis dan stadium proses radang. Glukokotikoid juga dapat mengadakan stabilisasi
membran lisosom, sehingga enzim-enzim yang dapat merusak jaringan tidak dikeluarkan.
Kortikosteroid mengurangi akses dari sejumlah limfosit ke daerah inflamasi didaerah
yang menghasilkan vasokontriksi. Fagositosis dan stabilisasi membran lisosom yang menurun
diakibatkan ketidakmampuan dari sel-sel efektor untuk degranulasi dan melepaskan sejumlah
mediator inflamasi dan juga faktor yang berhubungan dengan efek anti-inflamasi
kortikosteroid. Meskipun demikian, harus digaris bawah di sini bahwa khasiat utama anti
radang bersifat menghambat : tanda-tanda radang untuk sementara diredakan. Perlu diingat
bahwa penyebabnya tidak diberantas, maka bila pengobatan dihentikan, penyakit akan
kambuh.
Efektifitas kortikosteroid topikal bergantung pada jenis kortikosteroid dan penetrasi.
Potensi kortikosteroid ditentukan berdasarkan kemampuan menyebabkan vasokontriksi pada
kulit hewan percobaan dan pada manusia. Jelas ada hubungan dengan struktur kimiawi.
Kortison, misalnya, tidak berkhasiat secara topikal, karena kortison didalam tubuh mengalami
transformasi menjadi dihidrokortison, sedangkan di kulit tidak menjadi proses itu.
Hidrokortison efektif secara topikal mulai konsentrasi 1%. Sejak tahun 1958, molekul
hidrokortison banyak mengalami perubahan. Pada umumnya molekul hidrokortison yang
mengandung fluor digolongkan kortikosteroid poten.Penetrasi perkutan lebih baik apabila yang
dipakai adalah vehikulum yang bersifat tertutup. Di antara jenis kemasan yang tersedia yaitu
krem, gel, lotion, salep, fatty ointment (paling baik penetrasinya). Kortikosteroid hanya sedikit
diabsorpsi setelah pemberian pada kulit normal, misalnya, kira-kira 1% dari dosis larutan
hidrokortison yang diberikan pada lengan bawah ventral diabsorpsi. Dibandingkan absorpsi di
daerah lengan bawah, hidrokortison diabsorpsi 0,14 kali yang melalui daerah telapak kaki, 0,83
kali yang melalui daerah telapak tangan, 3,5 kali yang melalui tengkorak kepala, 6 kali yang
melalui dahi, 9 kali melalui vulva, dan 42 kali melalui kulit scrotum. Penetrasi ditingkatkan
beberapa kali pada daerah kulit yang terinfeksi dermatitis atopik ; dan pada penyakit eksfoliatif
berat, seperti psoriasis eritodermik, tampaknya sedikit sawar untuk penetrasi. Secara
keseluruhan, kortikosteroid topikal berhubungan dengan empat hal yaitu:
1. Vasokonstriksi
Kemampuan kortikosteroid topical yang dapat mengakibatkan vasokonstriksi pada
kapiler-kapiler kecil pada dermis superfisial dapat mengurangi kemerahan yang terdapat
pada dermatosis. Kemampuan agen glukokortikoid untuk menyebabkan vasokonstriksi
biasanya berhubungan dengan efek antiinflamasinya.
2. Antiproliferatif
Proliferasi sel terdapat pada membrane basalis epidermis kulit. Kortikosteroid
topical dapat mengurangi mitosis dan proliferasi sel melalui penghambatan sintesis dan
mitosis DNA. Penyakit yang mempunyai karakteristik proliferasi yang berlebihan seperti
pada psoriasis dapat menggunakan efek dari kortikosteroid ini. Pada penggunaan
kortikosteroid dalam jangka waktu yang lama dan penggunaan secara intralesi dapat
mengakibatkan hipopigmentasi. Kortikosteroid topikal dapat menyebabkan peningkatan
aktivitas fibroblastik pada dermis.
3. Efek antiinflamasi
Efek antiinflamasi glukokortikoid didapat dengan menghambat pembentukan
prostaglandin dan derivat lain dari asam arakidonat. Glukokortikoid menghambat
pelepasan fosfolipase A2, enzim yang berperan dlam pelepasan asam arakidonat dari
membran sel, sehingga menghambat jalur pembentukan arakidonat. Mekanisme laindari
efek antiinflamasi glukokortikoid melibatkan penghambatan fagositosis dan stabilisasi dari
membran lisosom dari sel-sel fagosit.
4. Imunosupresi
Efek imunosupresi glukokortikoid belum dipahami, namun beberapa penelitian
menunjukkan glukokortikoid menyebabkan penurunan jumlah sel mast di kulit dan inhibisi
kemotaksis neutrofil local. Beberapa sitokin (IL-1, TNFα, Granulocyte Macrophage
Colony Stimulating Factor, IL-8) juga dipengaruhi secara langsung oleh glukokortikoid.

Contoh berbagai efek kortikosteroid topical terhadap berbagai dermatosa :

Sunburn : efek yang diharapkan  vasokonstriksi dan anti peradangan.

Eczema : efek yang diharapkan  anti peradangan.

Psoriasis : efek yang diharapkan  antiproliferasi.

Klasifikasi
Berdasarkan dengan potensi klinisnya, kortikosteroid dibagi menjadi 7 kelas:
1. Kelas I (super potent)
Krim Temovate 0.05% (klobetasol propionate)
Salep Temovate 0.05%
Krim Diprolene 0.05% (betametason dipropionat) (vehikulum optimal)
Salep Diprolene 0.05%(betametason dipropionat) (vehikulum optimal)
Salep Psorcon 0.05% (diflorason diasetat)

Krim Ultravate 0.05% (halobetasol propionat)


2. Kelas II (potent)
Salep Cyclocort 0.1% (amkinonide)
Krim Diprolene AF 0.05% (betametason dipropionat) (vehikulum optimal)
Salep Diprosone 0.05% (betametason dipropionat) (vehikulum optimal)
Salep Florone 0.05% (diflorason diasetat)
Salep Elocon 0.1% (mometason furoate)
Krim Halog 0.1% (halkinonide)
Krim Lidex 0.05% (flukinonide)
Gel Lidex 0.05% (flukinonide)
Salep Lidex 0.05%(flukinonide)
Salep Maxiflor 0.05% (diflorason diasetat)
Krim Topicort 0.25% (deksometason)
Gel Topicort 0.05% (deksometason)
Salep Topicort 0.25%(deksometason)
3. Kelas III
Salep Aricocort 0.1% (triamkinolone asetonide)
Salep Cutivate 0.005% (flutikason propionat)
Krim Cyclocort 0.1% (amkinonide)
Lotion Cyclocort 0.1% (amkinonide)
Krim Diprosone 0.05% (betametason dipropionat)
Krim Florone 0.05 (diflorason diasetat)
Krim Lidex A 0.05% (flukinonide)
Krim Maxiflor 0.05%(diflorason diasetat)
Salep Valisone 0.1% (diflorason diasetat)
4. Kelas IV (setengah potensi)
Salep Cordran 0.05% (flurandrenolide)
Krim Elocon 0.1% (mometason furoat)
Krim Kenalog 0.1% (triamkinolone asetonide)
Foam/Busa Luxiq 0.12% (betametason valerat)

Salep Synalar 0.025% (fluorokinolon asetonide)


Salep Westcort 0.2% (hidrokortison valerat)
5. Kelas V
Krim Cordran 0.05% (flurandrenolide)
Lotion Cordran 0.05% (flurandrenolide)
Krim Cutivate 0.05%(flutikason proprionat)
Lotion Diprosone 0.05% (betametason diproprionat)
Lotion Kenalog 0.1% (triamkinolone asetonide)
Krim Locoid 0.1% (hidrokortison butirat)
Krim Synalar 0.025% (fluokinolon asetonide)
Krim Valisone 0.1 (betametason valerat)
Krim Westcort 0.2% (hidrokortison valerat)
6. Kelas VI (sedang)
Krim Aclovate 0.05% (aklometason dipropionat)
Salep Aclovate 0.05% (aklometason dipropionat)

Krim Aristocort 0.1% (triamkinolon asetonide)


Krim DesOwen 0.05% (desonide)
Krim Synalar 0.01% (fluokinolon asetonide)
Solusi Synalar 0.01% (fluokinolon asetonide)
Krim Tridesilon 0.05% (desonide)
Lotion Valisone 0.1% (betametason valerat)
7. Kelas VII
Topikal dengan hidrokortison, deksametason, flumetson, prenisolon dan
metilprednisolon

Indikasi
Indikasi untuk pemberian kortikosteroid topikal dapat dikompilasi berdasarkan respon
penyakit yang menjadi indikasi terhadap steroid, yakni sebagai berikut:

RESPONS TINGGI RESPONS SEDANG RESPONS LEMAH


-Psoriasis ( intertriginosa) -Psoriasis (tubuh) -Palmoplantar psoriasis
-Dermatitis atopik (anak) -Dermatitis atopik (dewasa) -Psoriasis pada kuku
-Dermatitis seboroik -Dermatitis numularis -Eksema dishidrotik
Intertrigo
-Dermatitis iritan primer -Lupus eritematosus
-Urtikaria papular -Pemfigus

-Parapsoriasis -Liken planus


-Liken simpleks kronikus -Granuloma anularis
-Nekrobiosis lipoidika
diabetikorum
-Sarkoidosis
-Dermatitis kontak alergik,
fase akut
-Gigitan serangga

Diberikan :
Diberikan :
Diberikan :
Kortikosteroid dengan
Kortikosteroid dengan
potensi rendah Kortikosteroid dengan
potensi sedang
potensi kuat

Kontraindikasi
Penggunaan kortikosteroid topikal sebaiknya tidak diberikan pengobatan pada daerah
yang mengalami infeksi atau rasa sakit. Pemberian pada orang yang sedang hamil harus hati –
hati dan diberikan jika sangat perlu. Pada ibu yang sedang menyusui diharapkan konsultasi
dengan dokter sebelum menggunakan karena dalam jumlah sedikit muncul pada air susu ibu.
Tidak dianjurkan pemberian terapi pada rosacea (muncul efek rebound fenomena berupa
edema dan pustule), perioral dan periocular dermatitis.
Efek samping
Terjadi bila pengunaan kortikosteroid yang lama dan berlebihan. Semakin tinggi
potensi kortikosteroid, semakin cepat terjadinya efek samping. Gejala efek samping : atrofi,
strie atrofise, telangiektasis, purpura, dermatosis akneformis, hipertrikosis setempat,
hipopigmentasi, dermatitis perioral, menghambat penyembuhan ulkus, infeksi mudah terjadi
dan meluas, gambaran klinis penyakit infeksi menjadi kabur (contoh : dermatofitosis yang
diobati dengan kortikosteroid gambaran klinisnya menjadi tidak khas karena efek anti –
inflamasinya, pinggirnya menjadi kabur dan meluas dikenal sebagai tinea incognito). Efek
samping sering muncul pada penggunaan terhadap kulit yang tipis, pada lansia, dan anak anak.
Efek samping paling sering muncul adalah Striae dan atrofi, terutama pada penggunaan
jangka panjang. Lokasi paling sering muncul efek samping adalah daerah yang berkerigat dan
mungkin terjadi oklusi seperti axilla dan groin.Atrofi jarang muncul sebelum pemakaian jangka
3 – 4 minggu dan sifatnya reversible, striae muncul stelah kulit yang lemah mengalami
peregangan dan sifatnya ireversibel. Penggunaan jangka panjang memunculkan steroid acne,
ditandai crop of dense, inflamasi pustule, lesi terjadi di wajah, dada, dan punggung.Daerah
perioral dan periocular dermatitis berhubungan dengan penggunaan topical corticosteroid, dan
membaik setelah penggunaannya dihentikan.Menimbulkan purpura bila pemberian steroid
pada kulit. Supresi pituitary - adrenal axis, retardasi pertumbuhan, dan iatrogenic cushing
sindrom walaupun jarang.Mungkin muncul dermatitis kontak iritan terhadap steroid.
Cara pemilihan
Dianjurkan pemakaian salep 2 – 3 x/ hari sampai penyakit sembuh. Perlu dipertimbangkan
munculnya gejala takifilaksis (menurunnya respon kulit terhadap glukokortikoid karena
pemberian obat yang berulang – ulang, berupa toleransi akut, dimana efek vasokonstriksinya
menghilang, setelah diistirahatkan efek vasokonstriksinya muncul lagi).
Cara pakai
Frekuensi aplikasi topikal kortikosteroid dikembangkan secara empiris, dengan buku
teks paling merekomendasikan penggunaan sehari-hari yang banyak. Logo dan Maibach
menyatakan bahwa untuk kortikosteroid superpotent, aplikasi sehari sekali adalah bermanfaat
sama seperti aplikasi dua kali sehari. Demikian juga, tidak ada perbedaan atau hanya sedikit
perbedaan dengan aplikasi sekali atau dua kali sehari pada kortikosteroid potent atau moderate.
Oleh itu, penulis Fitzpatrick menyimpulkan bahawa penggunaan kortikosteroid sekali sehari
adalah lebih baik karena dapat mengurangkan risiko efek samping, kos perubatan, dan
memperbaiki kepatuhan pasien. Sebagai working rule, tidak lebih dari 45g/minggu bagi
kortikosteroid yang potent dan 100 g/minggu bagi kortikosteroid yang lemah dan sedang boleh
digunakan jika penyerapan sistemik ingin dihindari.

Interaksi Obat
 Hanya sedikit yang diketahui.
 Pemakaian obat ini sering dicampur dengan obat topikal lainnya, seperti antijamur dan
antibiotik.
 Pembuatan beberapa produk kombinasi yang baru, tidak disarankan bahkan ditolak
oleh FDA misalnya kombinasi neomisin, bacitrasin, hidrokortison.
REFERENSI

1. Sherwood, Lauralee. The Peripheral Endocrine Glands. In: Human Physiology. 7th ed.
Canada : Brooks/Cole, Cengage Learning, 2010 : 698-704
2. Werth, Victoria. Systemic Glucocorticosteroids. In: Goldsmith, Lowell., Katz, Stephen,
Wolff, Klaus, Gilchrest, Barbara, editor. Fitzpatrick’s Dermatology in General
Medicine. 8th edition. USA : The Mcgraw-Hill Companies, Inc., 2012: 2714-2720
3. Guyton, Arthur C; Hall, John E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. 2011:
907-1011.
4. Hamzah, Mochtar. Dermatoterapi. Dalam : Djuanda, Adhi, Hamzah, Mochtar, Aisah,
Siti, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 3. Jakarta. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2002 : 326 – 329.
5. Syarif A, Sari Wiria M. Farmakologi & terapi. Edisi ke-6. Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta; 2016.
6. Valencia, Isabel, Kerdel, Fransisco. Topical Glucocorticosteroids. IN : Wolff, Klaus,
Jhonson, Richard, Suurmond, Dick, editor. Fitzpatrick’s Colour Atlas and Synopsis of
Clinical Dermatology. 8th Edition. USA : The McGraw-Hill Companies, Inc., 2011 :
2324 - 2327.
7. http://www.medicinenet.com/corticosteroids-topical/article.htm

Anda mungkin juga menyukai