KORTIKOSTEROID
Disusun Oleh:
Astrid Tamara Maajid Budiman 130112160677
Ratu Synnar Putri Mayangsari 130112160663
Ottorino Farhan Masih Proses
Preseptor:
Kartika Ruchiatan, dr., SpKK, M.Kes
Pendahuluan
Keberhasilan penyembuhan berbagai kelainan kulit dengan menggunakan
kortikosteroid serta meningkatnya berbagai jenis sediaan di pasaran telah semakin
meningkatkan penggunaannya. Keadaan ini selain memberikan dampak positif, berupa
tersedianya alternatif sediaan kotikosteroid yang digunakan, juga berdampak negatif, yaitu
meningkatkan resiko terjadinya efek samping obat, terutama akibat misuse dan abuse sediaan
kortikosteroid.
Untuk meningkatkan keberhasilan terapi dan meminimalkan efek samping obat akibat
penggunaan kortikosteroid, perlu pola pikir yang rasional dalam memilih sedian kortikosteriod
dengan senantiasa mempertimbangkan antara lain jenis, fase, lokalisasi dan distribusi kelainan
kulit, usia penderita serta potensi, keamanan dan formulasi obat.
Kortikosteroid dibedakan menjadi dua golongan besar yaitu glukokortikoid dan
mineralokortikoid. Efek utama glukokortikoid adalah penyimpanan glikogen hepar dan efek
antiinflamasinya, sedangkan pengaruhnya pada keseimbangan air dan elektrolit kecil. Efek
utama golongan mineralokortikoid adalah terhadap keseimbangan air dan elektrolit, sedangkan
pengaruhnya pada penyimpanan glikogen hepar kecil. Golongan mineralokortikoid tidak
mempunyai efek antiinflamasi.
Sediaan kortikosteriod dapat dibedakan menjadi 3 golongan berdasarkan masa
kerjanya, yaitu kerja singkat, sedang dan lama. Sediaan kerja singkat mempunyai masa paruh
biologis kurang dari 12 jam. Sediaan kerja sedang mempunyai masa paruh biologis 12-36 jam.
Sediaan kerja lama mempunyai masa paruh biologis lebih dari 36 jam.
Biologi
Kortisol merupakan bentuk alami dari glukokortikoid yang disintesis dari kolesterol di
dalam korteks adrenal. Stimulus primer dalam pembentukan kortisol bermula daripada
hipotalamus. ACTH kemudiannya disekret dari kelenjar pituitary anterior. Zona fasikulata dari
korteks adrenal distimulasi untuk produksi kortisol.
Dalam keadaan normal, di dalam sirkulasi terdapat <5% kortisol bebas yang merupakan
bentuk aktif dalam terapi. Sedangkan sisanya dalam bentuk inaktif karena terikat dengan
cortisol-binding globulin (CBG, atau yang dikenal sebagai transcortin) (95%) atau berikatan
dengan albumin (5%). Sekresi cortisol setiap harinya berkisar antara 10-20 mg, dengan puncak
diurnal sekitar pukul 8 pagi. Kortisol memiliki waktu paruh 90 menit. Metabolismenya
terutama berlangsung di dalam hepar dan metabolit yang dihasilkan diekskresikan oleh ginjal
dan hepar.
Mekanisme Kerja
Hormon kortikosteroid yang alami berasal dari bahan dasar kortisol yang diproduksi
dan dilepaskan oleh korteks kelenjar adrenal. Fungsi hormon kortikosteroid adalah menjaga
fungsi homeostasis tubuh dengan mengatur aktivitas enzim dalam tubuh. Baik hormon
kortikosteroid alami maupun sintetik digunakan untuk diagnosis dan pengobatan gangguan
fungsi adrenal. Reseptor kortikosteroid ditemukan pada berbagai jenis sel seperti limfosit,
monosit/makrofag, osteoblas, sel hati, otot, lemak dan fibroblas. Hal ini menjelaskan mengapa
kortikosteroid memberikan efek biologis terhadap begitu banyak sel.
Hormon-hormon steroid dihasilkan oleh ovarium, testis, dan korteks adrenal. Kedua
kelenjar adrenal, yang masing-masing mempunyai berat kira-kira 4 gram, terletak di kutub
superior dari kedua ginjal. Tiap kelenjar terdiri atas 2 bagian yang berbeda, yaitu medula
adrenal dan korteks adrenal. Medula adrenal secara fungsional berkaitan dengan sistem saraf
simpatis yang mensekresi hormon epinefrin dan norepinefrin. Korteks adrenal mensekresi
kelompok hormon kortikosteroid. Korteks adrenal sendiri dibagi dalam 3 zona yang
mensintesis berbagai steroid. Bagian luar yaitu zona glomerulosa menghasilkan
mineralokortikoid, yaitu aldosteron yang mempengaruhi keseimbangan elektrolit (mineral)
cairan ekstraselular, terutama natrium dan kalium. Tanpa mineralokortikoid, maka besarnya
konsentrasi ion kalium dalam cairan ekstraselular meningkat secara bermakna, konsentrasi
natrium dan klorida akan berkurang, dan volume total cairan ekstraselular dan volume darah
juga akan sangat berkurang. Pasien akan mengalami penurunan curah jantung yang dapat
berakibat kematian. Oleh karena itu mineralokortikoid dikatakan merupakan bagian
“penyelamat nyawa” dari hormon adrenokortikal.
Bagian tengah, zona fasikulata dan lapisan terdalam zona retikularis mensintesis
glukokortikoid seperti kortisol/hidrokortison dan androgen adrenal. Kortisol sendiri memiliki
efek yang bermacam – macam, beberapa diantaranya adalah untuk merangsang proses
glukoneogenesis (pembentukan karbohidrat dari beberapa protein dan zat lain) oleh hati,
penurunan pemakaian glukosa oleh sel-sel tubuh, pengurangan protein sel di seluruh tubuh
kecuali protein hati, mobilisasi asam lemak dan efek anti inflamasi.
Pelepasan atau sekresi kortikosteroid diatur oleh hormon hipotalamus yaitu CRH
(Corticotropin Releasing Hormone). CRH kemudian akan memberi sinyal kepada hipofisis
anterior untuk mengeluarkan ACTH. ACTH ini akan merangsang sel fasikulata pada korteks
adrenal untuk mengeluarkan kortisol.
Obat kortikosteroid topikal adalah suatu modifikasi kortisol, suatu molekul dasar yang
ditambah atau diubah dari grup fungsional pada posisi tertentu yang menyebabkan perubahan
potensi serta efek samping, yang digunakan secara topikal.
Farmakokinetik
1. Absorpsi
Pada umumnya kortikosteroid sintetik dapat diabsorpsi secara cepat dan lengkap bila
diberikan per oral.. Perubahan kecil pada struktur kimianya dapat merubah absorpsi, onset of
action, ataupun duration of action obat.
Glukokortikoid juga dapat diserap secara sistemik melalui pemberian lokal, seperti
ruang sinovial, sakus konjungtiva, kulit, dan traktus respiratorius. Jika diberikan dalam waktu
yang cukup lama, atau pada area kulit yang luas, absorpsi yang terjadi dapat menyebabkan efek
sistemik, termasuk supresi sumbu hipothalamus-hipofisis-adrenal.
2. Distribusi
Pada keadaan normal, >90% kortisol dalam plasma terikat pada protein. Hanya fraksi
kortikosteroid yang tidak terikat yang dapat memasuki sel dan menimbulkan efek.3 Jika kortisol
plasma melebihi 20-30 μg/dL, CBG akan tersaturasi dan konsentrasi kortisol bebas akan
meningkat dengan cepat.Protein plasma yang mengikat sebagian besar hormon steroid adalah:
1. Corticosteroid binding globulin (CBG, disebut juga transkortin)
CBG adalah suatu α-globulin yang disintesa oleh hepar. CBG memiliki afinitas tinggi
terhadap steroid, namun kapasitas pengikatan total (total binding capacity) nya rendah.
CBG memiliki afinitas yang relatif tinggi terhadap kortisol, dan memiliki afinitas rendah
terhadap aldosteron dan metabolit steroid terkonjugasi glukoronid.
CBG akan meningkat pada kehamilan, pemberian estrogen, dan hipertiroid, dan menurun
pada hipotiroid, defek genetik pada sintesis, dan defisiensi protein.
2. Albumin
Albumin juga disintesa oleh hepar, namun memiliki sifat yang berbeda dengan CBG, di
mana memiliki afinitas yang rendah terhadap steroid dan kapasitas pengikatan yang tinggi.
Kortikosteroid sintetik, seperti dexametason, sebagian besar terikat pada albumin.
Waktu paruh kortisol pada sirkulasi adalah sekitar 60-90 menit; waktu paruh dapat
meningkat pada pemberian hidrokortison dalam dosis besar, pada keadaan stres, hipotiroid,
atau pada gangguan hepar.
3. Metabolisme
Sebagian besar kortisol diinaktivasi oleh hepar dengan reduksi ikatan ganda 4, 5 pada
cincin A dan akan diubah menjadi tetrahidrokortisol dan tetrahidrokortison oleh 3-
hidroksisteroid dehidrogenase. Beberapa diubah menjadi kortol dan kortolon dengan reduksi
keton C20.
Sebagian besar metabolit kortisol mengalami konjugasi dengan asam glukoronat atau
sulfat pada hidroksil C3 dan C21, yang kemudian akan kembali memasuki sirkulasi.
Steroid sintetik dengan komponen 11-keto, seperti kortison dan prednison, secara
enzimatik harus direduksi menjadi derivat 11-β hidroksi supaya menjadi aktif. Reaksi ini
dikatalisis di hepar isozim tipe 1 11-β hidroksisteroid dehidrogenase, sehingga untuk pasien
dengan gagal hati ataupun gangguan enzim tersebut, lebih baik diberi steroid yang tidak perlu
aktivasi enzimatik (seperti hidrokortison dan prednisolon).
4. Ekskresi
Steroid yang sudah terkonjugasi akan menjadi larut air (water soluble) dan dapat
diekskresikan melalui urin. Sekresi steroid juga dapat terjadi melalui bilier dan fecal, namun
dalam jumlah yang kurang bermakna.
KORTIKOSTEROID SISTEMIK
Indikasi
Tabel Indikasi Penggunaan Kortikosteroid Sistemik
- dermatitis atopik
- fotodermatitis
- eritroderma eksfoliatif
Pemilihan Glukokortikoid
Sejumlah pertimbangan dalam pemilihan glukokortikoid antara lain :
1. Obat dengan efek mineralokortikoid minimal biasanya dipilih untuk menurunkan
retensi sodium.
2. Penggunaan prednison oral jangka panjang atau obat lain yang serupa, dengan waktu
paruh sedang dan afinitas reseptor steroid lemah, dapat menurunkan efek samping.
Penggunaan obat jangka panjang seperti dexamethasone, yang mempunyai waktu
paruh lama dan afinitas reseptor-glukokortikoid tinggi, dapat mempunyai efek
samping lebih banyak daripada efek terapi.
3. Jika pasien tidak berespon terhadap cortisone atau prednisone, harus dipertimbangkan
bentuk aktif biologis pengganti yaitu cortisole atau prednisolone, kecuali pada penyakit
hepar yang berat.
4. Methylprednisolone digunakan dalam terapi karena memiliki karakteristik sodium-
retaining dan potensi tinggi.
Sebelum memulai pengobatan dengan glukokortikosteroid, perlu dipertimbangkan:
Cara Pemberian
a. Oral
Glukokortikoid secara oral dapat diberikan untuk terapi jangka pendek dan
jangka panjang. Dikatakan terapi jangka pendek jika lama nya pengobatan hanya
berkisar 3 minggu atau kurang dan terapi jangka panjang jika waktunya mencapai 4
minggu atau lebih, terkadang dapat mencapai waktu berbulan-bulan sampai bertahun-
tahun. Bila pemberian glukokortikoid berlangsung selama 3-4 minggu,
pemberhentiannya bisa tanpa dengan tapering off, karena HPA-axis yang tersupresi
bisa pulih dengan cepat.
Pada terapi secara oral, jenis glukokortikoid yang sering digunakan adalah
prednison (intermediate duration) setiap hari atau setiap 2 hari karena prednisone lebih
murah dan tersedia dalam beberapa sediaan. Daily dose dari prednisone bergantung
pada tingkat keparahan penyakit, bisa bervariasi dari 2,5 mg hingga beberapa ratus
miligram per hari.
Pemberian terapi awal menggunakan dosis terendah pada pagi hari untuk
mengurangi kemungkinan timbul efek samping. Hal ini disebabkan oleh tingkat
kortisol yang berpuncak pada pagi hari sekitar pukul 8 pagi.
b. Intramuskular
Pemberian glukokortikoid secara intramuscular dilakukan bila kortikosteroid
tidak dapat diberikan secara oral, misalnya pada pasien dengan gangguan
gastrointestinal (mual dan muntah). Pemberian kortikosteroid mengalami kerugian
dimana ada kesulitan untuk mengawasi dosis harian dan karena efeknya berlangsung
dalam jangka panjang dapat berisiko menimbulkan efek samping berupa supresi HPA-
axis dan myopati
c. Intravena
Penggunaan glukokortikoid secara intravena digunakan 2 situasi yaitu pada
stress coverage, yaitu pada pasien yang sakit akut atau yang menjalani operasi dan pada
kasus dermatologi yang mengancam jiwa sehingga diperlukan reaksi yang cepat.
Contohnya pada kasus vaskulitis sistemik dan SLE.
Pada terapi ini harus dilakukan monitoring fungsi kardiovaskular karena pada
pemberian glukokortikoid secara intravena dapat menyebabkan aritmia dan sudden
death bila obat diberikan terlalu cepat. Penyebab dari aritimia dan sudden death ini
adalah terjadinya acute electrolyte shift sehingga perlu diberikan infus potasium
sebagai pencegahan. Administrasi perlahan selama 2 hingga 3 jam dapat
meminimalisasi efek samping serius, selama tanda-tanda vital dipantau.
Efek samping lain yang berbahaya adalah reaksi anafilaksis dan kejang.
d. Intralesi
Penggunaan glukokortikoid secara intralesi digunakan pada kasus localized
dermatology yang tidak dapat diterapi dengan menggunakan kortikosteroid topical dan
tidak dapat menggunakan terapi secara sistemik.
Jenis yang digunakan adalah triamcinolone acetonide. Dosis yang diberikan
bergantung pada lokasi lesi dan sifat dari lesi itu sendiri. Jika lesi terdapat pada daerah
muka atau tempat- tempat lain yang memungkinkan untuk terjadinya atropi dermis dan
lemak, maka konsentrasi yang diberikan sangat rendah (2-3 mg/ml) misalnya pada
wajah. Sedangkan untuk lesi dermal yang tebal seperti pada kasus keloid, konsentrasi
yang dapat diberikan adalah 20-40 mg/ml.
INISIASI TERAPI
PENGAWASAN TERAPI
Selama terapi, tanyakan pasien ada tidaknya kondisi-kondisi: poliuria, polidipsi, nyeri
abdomen, demam, gangguan tidur, efek psikologis.
Pengawasan berat badan, tekanan darah, serum elektrolit, gula darah puasa, kolesterol,
dan trigliserida sebaiknya dilakukan. Pemeriksaan mata untuk melihat tanda-tanda katarak dan
glaucoma dilakukan untuk melihat efek samping yang mungkin timbul akibat terapi.
Komplikasi
Sistem saraf pusat Endokrinologik
Pseudotumor serebri Supresi aksis HPA
Gangguan psikiatri Kegagalan pertumbuhan
Muskuloskeletal Amenore sekunder
Osteoporosis dengan fraktur spontan Metabolik
Nekrosis tulang aseptik Hiperglikemia dan predisposisi
Miopati genetik
Okular Diabetes mellitus
Glaukoma dan katarak Status hiperosmolar non ketotik
Gastrointestinal Hiperlipidemia
Ulserasi peptik Perubahan distribusi lemak (typical
Perforasi intestinal cushingoid appearance)
Pankreatitis Infiltrasi lemak dalam hati
Kardiovaskular dan retensi cairan Interaksi obat (mengurangi efek
Hipertensi antikoagulan ethyl biscoumacetate)
Retensi natrium dan cairan Inhibial fibroblas
Alkalosis hipokalemia Penghambatan penyembuhan luka
Aterosklerosis Antrofi jaringan subkutan
Reaksi hipersensitivitas Supresi pertahanan tubuh
Urtikaria Imunosupresi, anergi
Anafilaksis Efek terhadap kinetik dan fungsi
fagosit
Peningkatan insidensi infeksi
Prinsip dermatoterapi
Dalam mengobati seorang penderita penyakit kulit, dianut prinsip-prinsip umum, dan
bila diberikan obat topikal, selain berlaku prinsip umum dianut pula prinsip khusus.
Prinsip Khusus
1. Pemilihan vehikulum tergantung pada :
- Misalnya salep tidak untuk kelainan kulit yang generalisata (kecuali salep
2-4 untuk scabies), dan tidak boleh digunakan untuk kepala berambut.
2. Makin akut/produktif penyakit kulitnya, makin rendah konsentrasi bahan aktif yang
digunakan.
3. Beri penjelasan kepada penderita mengenai cara pemakaian obat dan cara
membersihkannya.
5. Batasi jumlah obat yang tidak stabil/tidak dapat disimpan lama misalnya larutan
permanganan kalikus.
Klasifikasi
Berdasarkan dengan potensi klinisnya, kortikosteroid dibagi menjadi 7 kelas:
1. Kelas I (super potent)
Krim Temovate 0.05% (klobetasol propionate)
Salep Temovate 0.05%
Krim Diprolene 0.05% (betametason dipropionat) (vehikulum optimal)
Salep Diprolene 0.05%(betametason dipropionat) (vehikulum optimal)
Salep Psorcon 0.05% (diflorason diasetat)
Indikasi
Indikasi untuk pemberian kortikosteroid topikal dapat dikompilasi berdasarkan respon
penyakit yang menjadi indikasi terhadap steroid, yakni sebagai berikut:
Diberikan :
Diberikan :
Diberikan :
Kortikosteroid dengan
Kortikosteroid dengan
potensi rendah Kortikosteroid dengan
potensi sedang
potensi kuat
Kontraindikasi
Penggunaan kortikosteroid topikal sebaiknya tidak diberikan pengobatan pada daerah
yang mengalami infeksi atau rasa sakit. Pemberian pada orang yang sedang hamil harus hati –
hati dan diberikan jika sangat perlu. Pada ibu yang sedang menyusui diharapkan konsultasi
dengan dokter sebelum menggunakan karena dalam jumlah sedikit muncul pada air susu ibu.
Tidak dianjurkan pemberian terapi pada rosacea (muncul efek rebound fenomena berupa
edema dan pustule), perioral dan periocular dermatitis.
Efek samping
Terjadi bila pengunaan kortikosteroid yang lama dan berlebihan. Semakin tinggi
potensi kortikosteroid, semakin cepat terjadinya efek samping. Gejala efek samping : atrofi,
strie atrofise, telangiektasis, purpura, dermatosis akneformis, hipertrikosis setempat,
hipopigmentasi, dermatitis perioral, menghambat penyembuhan ulkus, infeksi mudah terjadi
dan meluas, gambaran klinis penyakit infeksi menjadi kabur (contoh : dermatofitosis yang
diobati dengan kortikosteroid gambaran klinisnya menjadi tidak khas karena efek anti –
inflamasinya, pinggirnya menjadi kabur dan meluas dikenal sebagai tinea incognito). Efek
samping sering muncul pada penggunaan terhadap kulit yang tipis, pada lansia, dan anak anak.
Efek samping paling sering muncul adalah Striae dan atrofi, terutama pada penggunaan
jangka panjang. Lokasi paling sering muncul efek samping adalah daerah yang berkerigat dan
mungkin terjadi oklusi seperti axilla dan groin.Atrofi jarang muncul sebelum pemakaian jangka
3 – 4 minggu dan sifatnya reversible, striae muncul stelah kulit yang lemah mengalami
peregangan dan sifatnya ireversibel. Penggunaan jangka panjang memunculkan steroid acne,
ditandai crop of dense, inflamasi pustule, lesi terjadi di wajah, dada, dan punggung.Daerah
perioral dan periocular dermatitis berhubungan dengan penggunaan topical corticosteroid, dan
membaik setelah penggunaannya dihentikan.Menimbulkan purpura bila pemberian steroid
pada kulit. Supresi pituitary - adrenal axis, retardasi pertumbuhan, dan iatrogenic cushing
sindrom walaupun jarang.Mungkin muncul dermatitis kontak iritan terhadap steroid.
Cara pemilihan
Dianjurkan pemakaian salep 2 – 3 x/ hari sampai penyakit sembuh. Perlu dipertimbangkan
munculnya gejala takifilaksis (menurunnya respon kulit terhadap glukokortikoid karena
pemberian obat yang berulang – ulang, berupa toleransi akut, dimana efek vasokonstriksinya
menghilang, setelah diistirahatkan efek vasokonstriksinya muncul lagi).
Cara pakai
Frekuensi aplikasi topikal kortikosteroid dikembangkan secara empiris, dengan buku
teks paling merekomendasikan penggunaan sehari-hari yang banyak. Logo dan Maibach
menyatakan bahwa untuk kortikosteroid superpotent, aplikasi sehari sekali adalah bermanfaat
sama seperti aplikasi dua kali sehari. Demikian juga, tidak ada perbedaan atau hanya sedikit
perbedaan dengan aplikasi sekali atau dua kali sehari pada kortikosteroid potent atau moderate.
Oleh itu, penulis Fitzpatrick menyimpulkan bahawa penggunaan kortikosteroid sekali sehari
adalah lebih baik karena dapat mengurangkan risiko efek samping, kos perubatan, dan
memperbaiki kepatuhan pasien. Sebagai working rule, tidak lebih dari 45g/minggu bagi
kortikosteroid yang potent dan 100 g/minggu bagi kortikosteroid yang lemah dan sedang boleh
digunakan jika penyerapan sistemik ingin dihindari.
Interaksi Obat
Hanya sedikit yang diketahui.
Pemakaian obat ini sering dicampur dengan obat topikal lainnya, seperti antijamur dan
antibiotik.
Pembuatan beberapa produk kombinasi yang baru, tidak disarankan bahkan ditolak
oleh FDA misalnya kombinasi neomisin, bacitrasin, hidrokortison.
REFERENSI
1. Sherwood, Lauralee. The Peripheral Endocrine Glands. In: Human Physiology. 7th ed.
Canada : Brooks/Cole, Cengage Learning, 2010 : 698-704
2. Werth, Victoria. Systemic Glucocorticosteroids. In: Goldsmith, Lowell., Katz, Stephen,
Wolff, Klaus, Gilchrest, Barbara, editor. Fitzpatrick’s Dermatology in General
Medicine. 8th edition. USA : The Mcgraw-Hill Companies, Inc., 2012: 2714-2720
3. Guyton, Arthur C; Hall, John E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. 2011:
907-1011.
4. Hamzah, Mochtar. Dermatoterapi. Dalam : Djuanda, Adhi, Hamzah, Mochtar, Aisah,
Siti, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 3. Jakarta. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2002 : 326 – 329.
5. Syarif A, Sari Wiria M. Farmakologi & terapi. Edisi ke-6. Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta; 2016.
6. Valencia, Isabel, Kerdel, Fransisco. Topical Glucocorticosteroids. IN : Wolff, Klaus,
Jhonson, Richard, Suurmond, Dick, editor. Fitzpatrick’s Colour Atlas and Synopsis of
Clinical Dermatology. 8th Edition. USA : The McGraw-Hill Companies, Inc., 2011 :
2324 - 2327.
7. http://www.medicinenet.com/corticosteroids-topical/article.htm