Anda di halaman 1dari 23

Judul :Dermoscopy of skin infestations and infections

(entomodermoscopy) - Part I: dermatozoonoses and bacterial


infections
Penulis : Bakos RM, Reinehr C, Escobar GF, Leite LL.
Diambil dari :Bakos RM, Reinehr C, Escobar GF, Leite LL. Dermoscopy of skin
infestations and infections (entomodermoscopy) - Part I:
dermatozoonoses and bacterial infections. Anais Brasileiros de
Dermatologia 2021;96(6):735-45.
Penerjemah : Izzah Basyir S

DERMOSKOPI INFESTASI DAN INFEKSI KULIT


(ENTODERMOSKOPI) – BAGIAN I:
DERMATOZOONOSIS DAN INFEKSI BAKTERI
Abstrak
Dermoskopi merupakan teknik diagnostik in vivo yang penting dalam evaluasi klinis tumor kulit.
Saat ini, hal yang sama juga dapat dikatakan tentang implikasinya ketika mendekati situasi klinis
yang berbeda dalam Dermatologi. Semakin banyak laporan yang telah diterbitkan mengenai
tentang skenario dan penyakit dermatologis, di mana dermoskopi diketahui sangat membantu
dalam diagnostik. Istilah “entomodermoskopi” diciptakan untuk menggambarkan temuan
dermoskopik pada infestasi kulit dan juga pada dermatosis etiologi infeksi. Pada artikel ini akan
dibahas terkait deskripsi dermoskopi utama zoodermatosis dan infeksi bakteri. Pada banyak
penyakit, seperti skabies, pedikulosis, myiasis, dan tungiasis, identifikasi patogen dapat dilakukan,
dan, akibatnya, penegakan diagnosis dapat ditentukan lebih cepat dan menggunakan teknik
tersebut untuk menindaklanjuti efektivitas terapi. Dalam situasi lain yang akan dijelaskan,
dermoskopi dapat memungkinkan pengamatan temuan klinis dengan lebih rinci,
mengesampingkan diagnosis banding, dan meningkatkan tingkat kepercayaan dalam kecurigaan
klinis.
Kata kunci: Infeksi bakteri; Dermoskopi; Penyakit kulit
Pendahuluan
Dermoskopi adalah metode non-invasif yang digunakan dalam
pemeriksaan penunjang untuk gejala kulit dan skenario klinis dermatologis.
Popularitas metode ini terutama disebabkan oleh penggunaannya yang praktis,
akurasi yang baik dan juga karena dapat diakses oleh sebagian besar dokter yang
mengevaluasi kulit. Hal ini memungkinkan pengamatan in vivo terhadap dunia
morfologi baru dan, dengan demikian, identifikasi struktur yang tidak terlihat
secara kasat mata, sehingga memberikan kontribusi besar untuk deteksi penyakit

1
kulit ini. Pemeriksaan ini dulu disebut sebagai ‘stetoskop dokter kulit’ karena
perannya dalam membantu praktik klinis sehari-hari.
Penggunaan dermoskopi pada awalnya dijelaskan untuk penilaian lesi
berpigmen dan untuk diagnosis banding tumor kulit, namun saat ini penggunaan
dermoskopi telah diperluas dan dalam beberapa dekade terakhir, dengan semakin
banyak laporan atau serangkaian kasus yang menggunakannya dalam penelitian
terhadap penyakit kulit yang berasal dari parasit infeksius, seperti dalam ulasan
ini. Identifikasi struktur dermoskopi memerlukan periode pembelajaran, sama
seperti ketika diterapkan dalam evaluasi lesi berpigmen. Perlu dicatat bahwa
variabilitas klinis yang ditunjukkan oleh beberapa penyakit parasit menular
membuat beberapa pola dan struktur dermoskopik yang dilaporkan pada penyakit
ini memiliki tingkat reproduktifitas yang bervariasi menurut pengamat, tergantung
pada skenario klinis dan situasi spesifik pasien. Untuk menggambarkan temuan
dermoskopi yang paling diterima secara luas, International Society of
Dermoscopy baru-baru ini melakukan konsensus pada dermoskopi yang
digunakan pada penyakit infeksi dan inflamasi.
Temuan dermoskopik harus selalu dikaitkan dengan gejala pasien dan
karakteristik morfologi klinis. Hal ini penting untuk mendukung kinerja terbaik
dari dermoskopi dalam praktek klinis untuk menggabungkannya dengan
anamnesis dan pemeriksaan fisik dermatologis yang baik. Artikel ini bertujuan
untuk menunjukkan kegunaan utama dari dermoskopi dalam identifikasi penyakit
infeksi-parasit. Penelitian ini menjelaskan mengenai pola dermoskopik
dermatozoonosis dan infeksi bakteri.
Dermatozoonosis
Skabies
Skabies adalah penyakit kulit menular yang disebabkan oleh tungau Sar-
coptes scabiei var. homini. Kondisi ini terjadi di seluruh dunia dan tidak memiliki
predileksi untuk jenis kelamin, usia atau kelompok etnis. Setelah kawin, tungau
jantan mati dan betina memasuki epidermis. Tunggu ini bergerak untuk kemudian
menciptakan terowongan tungau, di mana ia bertelur dan mengeluarkan tinja.
Gatal di area ini dapat menjadi intens, terutama di malam hari. Secara klinis, dapat

2
diamati papula eritematosa, kadang-kadang linier atau serpiginosa (terowongan
tungau), seringkali tertutup oleh hematoma akibat ekskoriasi. Lokasi yang paling
sering terkena adalah sela jari, pergelangan tangan, ketiak, daerah inframammaria,
periumbilikal, dan genital. Lesi dapat disertai eksimatisasi atau impetiginisasi
sekunder. Meskipun umum, kasus skabies tertentu pada awalnya dapat diobati
sebagai jenis dermatosis lain, sehingga menunda penegakan diagnosisnya.
Temuan dermoskopi skabies pertama kali dijelaskan oleh Argenziano dkk.
Dalam penelitiannya, diidentifikasi struktur segitiga coklat (dalam bentuk “hang
glider” ) di bagian anterior daerah serpiginosa warna keputihan yang disebut “jet
with contrail” yang ditemukan pada 93% dari 70 pasien (Gambar 1).

Gambar 1. Gambar dermoskopi skabies menunjukkan


struktur segitiga berwarna coklat diikuti oleh struktur linier
keputihan membentuk gambaran “jet with contrail”.
(FotoFinder,perbesaran x20)
Struktur kecokelatan ini sesuai dengan bagian anterior tungau, sementara
struktur keputihan menggambarkan terowongan skabies. Deskripsi ini merupakan
tonggak penting dalam entomodermoskopi, karena merupakan laporan pertama
tentang penerapan praktis dermoskopi untuk diagnosis penyakit infeksi-parasit.
Data ini direproduksi dalam penelitian lain. Dupuy dkk. membandingkan
dermoskopi dengan metode tradisional goresan kulit dan pengamatan fragmen di
bawah mikroskop optik setelah pembuatan preparat. Dermoskopi menunjukkan
sensitivitas (91%) dan spesifisitas (86%) yang tinggi serta kinerja yang lebih
cepat, juga menjadi teknik yang disukai oleh pasien. Saat ini, teknik tersebut dapat
dianggap sebagai salah satu metode skrining utama untuk skabies, karena
memungkinkan identifikasi dari agen penyebab, yang merupakan kriteria utama

3
untuk menegakkan diagnosis menurut kriteria konsensus diagnosis skabies yang
ditetapkan International Alliance for the Control of Scabies (IACS) tahun 2020
Dalam situasi klinis tertentu, antara lain pada pasien imunosupresi, atau
individu dengan kondisi neurologis kronis, tungau dapat menyebar dan
membentuk varian skabies krustosa, yang disebut juga sebagai skabies Norwegia.
Secara klinis, plakat berskuama eritematosa dan bahkan eritroderma juga dapat
diamati. Dermoskopi juga dapat mengidentifikasi sejumlah besar struktur
berbentuk terowongan dengan struktur segitiga kecoklatan. Gambaran ini juga
kadang dapat bersilangan, membentuk pola seperti mie atau “noodle sign”
(Gambar 2).

Gambar 2. Gambar dermoskopik eritroderma


akibat skabies yang menunjukkan “noodle
sign”. (FotoFinder, perbesaran x20)
Banyak pasien juga dapat mengalami lesi pruritus atau prurigo nodularis
selama berminggu-minggu setelah pengobatan. Dermoskopi juga dapat sangat
membantu dalam tindak lanjut terapeutik, memungkinkan pengamatan tungau
yang hidup atau mengesampingkan kehadiran mereka setelah perawatan.

Myiasis
Myiasis adalah akibat dari infestasi larva lalat dan dapat secara klasik
diklasifikasikan sebagai furunkular atau kavitas. Infestasi larva lalat Dermatobia
hominis pada kulit biasanya tampak sebagai myiasis furunkular, suatu bentuk
manifestasi penyakit yang sering terjadi, terutama di daerah pedesaan. Kondisi ini
merupakan dermatosis yang umum di seluruh Amerika tropis. Telur lalat
mencapai kulit yang diangkut oleh serangga yang membawa sumber infeksi,
seperti nyamuk, dan menembus melalui folikel rambut atau melalui lubang

4
gigitan. Siklus ini berlanjut dengan perkembangan larva di jaringan subkutan
(dapat bertahan hingga 30 hari) hingga mencapai tahap siap untuk muncul dan
menjadi kepompong di dalam tanah.
Secara klinis, kondisi ini bermanifestasi sebagai nodul eritematosa yang
menyakitkan dengan lubang sentral yang menghasilkan sekresi serosa, yang
sering disalahartikan sebagai lesi abses. Infeksi sekunder dapat terjadi, dan, oleh
karena itu, penting untuk memiliki kecurigaan dan melakukan deteksi.
Dermoskopi dapat membantu dalam proses ini, karena memungkinkan identifikasi
larva. Bagian anteriornya, di mana sistem pernapasan (spirakel) berada, terlihat
secara in vivo melalui lubang rongga. Bagian ini tampak berulang kali
menunjukkan gerakan menuju permukaan untuk bernapas. Kontak dermoskopi
menyebabkan oklusi lubang, dan, akibatnya, larva akan menjadi lebih sering
bergerak ke permukaan, sehingga memudahkan dalam identifikasi. Dermatoskopi
memungkinkan pengamatan terhadap struktur pusat kekuningan dengan tonjolan
seperti duri di sekitarnya, tergantung pada ukuran larva. Larva jarang ditemukan
pada tahap awal perkembangan penyakit (Gambar 3).

Gambar 3. Gambar dermoskopi myiasis


furunkuler yang menunjukkan adanya
bagian anterior larva Dermatobia hominis.
(FotoFinder, perbesaran x20)
Terdapat laporan tentang pengamatan larva dengan dermoskopi non-
kontak menggunakan peralatan cahaya terpolarisasi; namun, ada kemungkinan
waktu pengamatan harus lebih lama untuk mengidentifikasi pergerakan larva.
Temuan ini juga membantu dalam pengobatan myiasis furunkuler, karena oklusi
selama beberapa jam menyebabkan kematian larva. Oklusi lubang dengan pita

5
perekat atau sejenisnya membuat larva sulit bernapas, dan dermoskopi membantu
dalam pengamatan tidak adanya gerakan pernapasan.
Myiasis kavitas biasanya terjadi pada luka, area nekrotik, atau tumor.
Kebersihan yang buruk atau individu dengan kondisi sosial khusus seperti usia
lanjut, atau seseorang dengan penyakit psikiatri atau neurodegeneratif mungkin
juga lebih rentan terhadap penyakit ini. Secara klinis, dapat diamati sejumlah
besar larva dalam rongga yang sama. Di Brazil, spesies yang paling sering
berhubungan dengan myiasis adalah lalat Cochliomyia hominivorax. Pada
dermoskopi, larva dapat segera diidentifikasi dan dapat terlihat berwarna
kekuningan, dengan spirakel di salah satu ujungnya dan cincin spikula kehitaman.

Pedikulosis
Pedikulosis ditandai dengan infestasi pada kulit kepala oleh kutu kepala
Pediculus humanis capitis. Pedikulosis dapat terjadi di seluruh dunia, kadang-
kadang sebagai wabah di sekolah-sekolah atau tempat-tempat di mana banyak
orang berkerumun. Deteksi kutu rambut sangat penting untuk diagnosis, namun,
karena kecepatan geraknya, kutu tidak selalu dapat dilihat. Oleh karena itu,
kecurigaan diagnostik biasanya bergantung pada terjadinya gejala seperti gatal
pada kulit kepala dan daerah servikal posterior. Selain itu, secara klinis
dimungkinkan untuk mengamati papula eritematosa dengan krusta hematik,
kadang disertai ekskoriasi di area ini, selain itu dapat pula diamati telur kutu pada
batang rambut. Impetiginisasi sekunder dan eksematisasi sering terjadi.
Dalam penelitian Stefani dkk. penggunaan dermoskopi dijelaskan untuk
pertama kalinya dalam membantu diagnosis pedikulosis. Dermatoskop cahaya
terpolarisasi dapat menunjukkan kemampuannya membedakan telur kutu in vivo
dari puing-puing keratin yang menempel pada batang rambut yang berasal dari
erupsi kulit kepala bersisik, seperti dermatitis seboroik atau psoriasis. Selain itu,
dermatoskopi memungkin pengamatan beberapa telur kutu kosong yang patah di
salah satu ujungnya, sementara ujung lainnya utuh dan dipenuhi kutu. Laporan
lain menunjukkan kemungkinan penggunaan dermoskopi ex vivo untuk
identifikasi telur kutu. Batang rambut dengan struktur keputihan tampak terpotong

6
dan juga memungkinkan untuk mengidentifikasi penskalaan dan telur yang hidup
atau kosong (Gambar 4).

Gambar 4. Gambar dermoskopik pedikulosis,


menunjukkan telur kutu yang kosong (A) dan telur kutu
yang hidup (B). (FotoFinder, perbesaran x20)
Pedikulosis pubis atau phthiriasis disebabkan oleh kutu Phthiruspubis.
Penyakit ini lebih sering diamati pada orang dewasa muda, biasanya diperoleh
melalui kontak seksual. Fomit seperti seprai dan handuk juga dapat menularkan
agen penyebab. Pruritus di daerah genital adalah gejala yang paling relevan dan,
tergantung pada tingkat infestasi, dapat menyebar ke area tubuh lainnya. Papula
eritematosa ekskoriasi sering terjadi. Dermoskopi memungkinkan identifikasi
kutu dengan mudah. Kutu dapat ditemukan dengan cakar yang menempel pada
rambut, seringkali dengan bagian anterior yang menyerang kulit. Serupa dengan
pedikulosis pada kulit kepala, telur kutu dapat menempel pada rambut dan dapat
ditemukan kosong atau masih hidup.

Tungiasis
Tungiasis adalah ektoparasitosis yang dapat sembuh sendiri, endemik di
daerah tropis dan subtropis, berasal dari Amerika Selatan dan Tengah, kemudian
menyebar ke Afrika dan Asia. Penyakit ini disebabkan oleh kutu Tunga penetrans
betina, yang hidup di tanah yang kering dan berpasir, lalu menembus kulit pejamu
(manusia, anjing, kucing, dan babi) setelah kontak langsung dengan tanah.
Penyakit ini memiliki prevalensi tinggi di daerah berpenghasilan rendah di
negara-negara endemik, dengan kurangnya jalan beraspal dan kebiasaan berjalan
tanpa alas kaki. Penyakit ini sering lebih sering terjadi pada anak- anak, terutama
laki- laki
Kutu memasuki epidermis dan memakan darah dari pleksus vaskular
dermis. Kutu ini merupakan yang terkecil dari semua spesies kutu (dengan
panjang maksimal 1 mm), dan betina gravid dapat mencapai ukuran hingga 1 cm

7
di dalam tubuh pejamu, di mana kutu tersebut menetap selama beberapa waktu
hingga 5 minggu. Pertumbuhan eksponensial ini terjadi dalam 2 minggu pertama,
diikuti oleh peletakan telur oleh kutu dan kematiannya.
Kutu pasir adalah pelompat yang buruk (mereka hanya dapat melompat
hingga 20 cm), sehingga area tubuh pejamu yang paling sering terkena adalah
kaki, lebih disukai pada tepi subungual, namun bagian tubuh mana pun dapat
terpengaruh. Lesi biasanya tampak sebagai papula putih kekuningan, dengan
bagian tengah berwarna coklat tua. Lesi sering disertai dengan gejala seperti
pruritus, nyeri, dan sensasi benda asing. Infeksi bakteri sekunder adalah
komplikasi yang umum, dan, kadang-kadang, tetanus dapat menjadi komplikasi
yang serius.
Tunga penetrans adalah serangga makroskopik dan banyak strukturnya dapat
diamati secara kasat mata. Temuan dermoskopik biasanya sesuai dengan elemen
anatomi kutu, seperti struktur luar eksoskeleton atau bahkan struktur viseral
internal.
Dari sudut pandang dermoskopik, pada sebagian besar lesi dapat diamati
struktur annular berpigmen dengan pori sentral. Warnanya dapat bervariasi dari
coklat muda sampai hampir hitam dan sesuai dengan pigmen kitin yang
mengelilingi bukaan di ujung posterior perut serangga.
Darah pejamu di dalam usus kutu dapat diamati pada pemeriksaan
dermoskopi. Bintik-bintik abu-abu kebiruan dan tubulus berbelit-belit kemerahan
adalah temuan dermoskopis yang berhubungan dengan hematin. Demonstrasi
video dermoskopi dari peristaltik usus kutu in vivo yang menggerakkan struktur
tersebut menguatkan temuan adanya kutu. Struktur ini tidak ditemukan pada
semua kasus dan mungkin tidak terlihat pada pemeriksaan.
Struktur yang digambarkan sebagai “rantai putih” merupakan temuan
dermoskopi yang sering ditemukan dan berhubungan dengan telur di dalam perut
wanita hamil. Telur tampak sebagai struktur oval keputihan kecil, biasanya
tersusun dalam rantai di dalam kutu, membentuk temuan karakteristik ini. Selain
itu, tidak jarang telur yang sudah dikeluarkan oleh betina terlihat di area di luar
lesi (Gambar 5).

8
Gambar 5. Gambar dermoskopi tungiasis menunjukkan cincin kitin dengan bintik
abu-abu kebiruan (hematin) di sekitarnya dan struktur keputihan dalam distribusi
berantai (A) dan cincin kitin sentral dikelilingi oleh struktur keputihan (telur) (B).
(FotoFinder perbesaran x20)
Baru-baru ini, dideskripsikan suatu temuan lain yang digambarkan sebagai
serat dendritik perak, ditandai dengan struktur berserat berwarna perak yang
terhubung ke cincin berpigmen pusat. Struktur ini mewakili trakea kutu, yang
terhubung ke spirakel yang terletak di pori berpigmen sentral. Selain itu, analisis
dermoskopi memungkinkan menunjukkan aktivitas T. penetrans secara in vivo,
seperti bernapas melalui spirakel dan buang air besar. Dalam literatur juga telah
terdapat video yang mengamati adanya peristalsis visceral.
Di daerah endemik, tungiasis mudah dikenali dan diobati dengan eksisi
sederhana, seringkali oleh pasien sendiri atau oleh dokter perawatan primer.
Namun, lesi memiliki diagnosis banding dengan kutil virus, myiasis, furunkel,
abses, paronikia, gigitan artropoda, folikulitis, granuloma benda asing, dan
granuloma jamur, yang dapat merupakan tantangan diagnostik, terutama di daerah
non-endemik, di mana dokter tidak terbiasa dengan penyakit ini atau dalam kasus
dengan presentasi atipikal. Dermoskopi adalah metode non-invasif, cepat dan
murah yang membantu identifikasi, yang bertujuan untuk menghindari komplikasi
dan kelanjutan siklus hidupnya.

Larva Migrans
Kutaneus larva migrans adalah penyakit parasit yang disebabkan oleh
larva cacing tambang setelah kontak dengan tanah yang terkontaminasi oleh
kotoran kucing atau anjing. Agen utamanya adalah Ancylostoma braziliense,
tetapi terdapat pula beberapa spesies lain yang terlibat, seperti Ascarissuum dan
Bunostomum phlebotomum. Larva ini tidak dapat menembus membran dasar kulit

9
manusia dan tetap terbatas pada epidermis, menyebabkan lesi saat larva berjalan
melalui kulit. Secara klinis, mereka tampak sebagai lesi serpiginosa, eritematosa,
dengan pruritus yang biasanya terjadi pada ekstremitas bawah di mana kontak
dengan tanah terjadi lebih sering.
Terdapat laporan tentang pengamatan larva dan strukturnya dengan
dermoskopi. Meski pembesaran x40 cukup untuk mendeteksi larva, pembesaran
x10 tidak membantu untuk menegakkan diagnosis.
Pada dermoskopi tampak gambaran tak berstruktur yang tembus cahaya,
dengan daerah coklat disertai pinggiran kekuningan. Gambarnya tampak tersusun
oval atau segmental. Temuan ini sesuai dengan tubuh larva dan dikonfirmasi oleh
pengamatan pencitraan fluoresensi mendekati inframerah. Jalur kosong yang
dihasilkan dari perjalanan larva terlihat sebagai titik-titik pembuluh berwarna
merah (Gambar 6).

Gambar 6. Gambar dermoskopik larva migrans


menunjukkan area tanpa struktur yang tembus cahaya
dalam susunan segmental. (perbesaran x20)
Meskipun anamnesis dan pemeriksaan fisik cukup untuk diagnosis,
temuan dermoskopik dapat berguna pada kasus yang tidak jelas.

Strongyloidiasis Diseminata
Strongyloidiasis diseminata adalah infeksi cacing yang disebabkan oleh
Strongyloides stercoralis, lebih sering terjadi pada pasien immunocompromised
dan memiliki angka kematian yang tinggi. Meskipun manifestasi kulit jarang
terjadi, bila manifestasi ini ada, mungkin relevan untuk menimbulkan kecurigaan
diagnostik, dan penggunaan dermoskopi dapat berguna dalam kasus ini. Kejadian
strongyloidiasis diseminata meningkat dengan sebagian besar kasus dikaitkan
dengan penggunaan kortikosteroid sistemik atau agen imunosupresif lainnya.

10
Kortikosteroid sistemik dikaitkan dengan hiperinfeksi akibat Strongyloides
stercoralis, meningkatkan risiko mengembangkan bentuk penyakit yang
menyebar luas hingga tiga kali lipat, bahkan pada dosis rendah dan untuk waktu
yang singkat. Selain itu, pasien dengan gangguan imunitas sel, seperti pasien
dengan keganasan hematologi dan mereka yang terinfeksi dengan HIV atau
human T-cell lymphotropic virus (HTLV-1), mengalami peningkatan risiko
berkembangnya strongyloidiasis diseminata. Infeksi Strongyloides stercoralis
dimulai dengan penetrasi larva filariform melalui kulit yang kontak dengan tanah
yang terkontaminasi. Pada pasien imunosupresi, siklus infeksi terjadi lebih cepat,
menyebabkan beban parasit yang tinggi dan infeksi diseminata yang simtomatik.
Dalam kasus ini, beberapa organ dapat terpengaruh, termasuk kulit.
Gejala kulit yang paling umum dari infeksi Strongyloidesstercoralis
adalah larva currens, yaitu lesi pruritus urtikaria linier di tempat penetrasi aktif
larva ke dalam kulit. Dalam bentuk diseminata, manifestasi kulit akibat
penyebaran hematogen parasit tampak sebagai purpura dan petekie pada
periumbilikal dan paha, sehingga menghasilkan pola “sidik jari”. Purpura
periumbilikal terjadi karena keterlibatan dermis oleh larva Strongyloides
stercoralis yang bermigrasi dari dinding pembuluh darah ke jaringan ikat dermal,
karena ekstravasasi eritrosit, dan lokasi periumbilikal adalah akibat dari aliran
vena retrograde. Dermoskopi dari lesi purpura ini menyoroti adanya area purpura
yang homogen, sesuai dengan area hemoragik (Gambar 7).

11
Gambar 7. Gambar dermoskopik strongyloidiasis
diseminata menunjukkan area purpura yang
homogen. (FotoFinder, perbesaran x20)
Temuan ini didasarkan pada beberapa laporan kasus; namun, temuan
dermoskopik mungkin berguna untuk menyingkirkan penyakit dermatologis
lainnya. Diagnosis definitif strongyloidiasis diseminata melibatkan identifikasi
larva, baik pada pemeriksaan patologi anatomi kulit, bilasan bronkoalveolar atau
lambung, maupun pada sekret trakea, tergantung pada gejala pasien. Analisis
histopatologi lesi kulit purpura menunjukkan infiltrat limfositik ringan dan
keberadaan larva di dalam dermis.

Demodesidosis
Demodesidosis adalah infeksi pada unit pilosebasea manusia yang terkait
dengan Demodex, tungau ektoparasit yang mempengaruhi wajah dan kulit kepala.
Terdapat dua spesies yang terlibat dalam infeksi manusia: Demodex folliculorum
dan Demodex brevis, dan diperkirakan prevalensi infeksi Demodex pada manusia
bervariasi dari 24% hingga 100% pada individu yang sehat. Infestasi Demodex
harus selalu dipertimbangkan pada kasus dermatitis perioral atau pada pasien
dengan lesi rosaseosa yang refrakter terhadap pengobatan. Gambaran lesi juga
dapat menyerupai dermatitis seboroik dan folikulitis pustular.
Secara klinis, infeksi bermanifestasi sebagai kekasaran kulit (spinulosis),
eritema, papula, dan/atau pustula, biasanya disertai pruritus dan sensasi terbakar.

12
Bentuk primer terjadi ketika tidak ada penyakit kulit inflamasi yang sudah ada
sebelumnya dan bentuk sekunder terjadi ketika ada peningkatan abnormal jumlah
Demodex pada pasien dengan penyakit kulit yang sudah ada sebelumnya di
daerah tersebut, atau bahkan karena penggunaan kortikosteroid topik jangka
panjang. Diagnosis banding yang paling penting adalah rosasea dan dermatitis
seboroik, juga folikulitis, dermatitis perioral, dan akne vulgaris, yang penegakan
diagnosisnya memerlukan alat bantu spesifik dan profesional kesehatan yang
mumpuni.
Dermoskopi dapat membantu dalam diagnosis banding. Sebagai contoh,
pola yang terlihat pada dermatitis seboroik, yang meliputi titik-titik pembuluh dan
skuama halus kekuningan, tidak umum ditemukan pada demodesidosis. Segal
dkk. melakukan penelitian dengan 72 pasien yang memiliki erupsi eritematosa di
wajah, dengan 55 di antaranya mengalami demodesidosis. Pada dermoskopi, 54
pasien memiliki “ekor Demodex” dan lubang folikel yang mengandung Demodex.
Konfirmasi mikroskopis untuk diagnosis demodesidosis dapat dilakukan pada 52
pasien, dan kesesuaian antara temuan dari dua metode itu cukup tinggi. Gambaran
“Ekor Demodex” mewakili filamen gelatinosa non-folikular dan perifolikular
yang menonjol dari bukaan folikel dan menunjukkan keberadaan tungau (Gambar
8).

Gambar 8. Gambar dermoskopik demodesidosis


menunjukkan ‘ekor Demodex’. (FotoFinder,
perbesaran x20)

13
Bukaan folikel dengan Demodex adalah bukaan folikuler yang melebar
yang berisi sumbat dari bahan amorf abu-abu-coklat yang dikelilingi oleh halo
eritematosa. Kedua temuan tersebut spesifik untuk diagnosis demodesidosis.
Pada pasien dengan demodesidosis varian inflamatorik, dapat pula diamati
pembuluh darah retikuler melebar horizontal, namun temuan ini tidak spesifik
untuk dermatitis ini. Pada bentuk pustular, temuannya juga tidak spesifik, dengan
kumpulan purulen berukuran diameter 1 sampai 10 mm, dikelilingi oleh halo
eritematosa. Dermoskopi juga dapat digunakan untuk memantau respons terhadap
pengobatan, karena struktur yang disebutkan di atas mungkin tidak ada atau
kurang sering muncul pada analisis dermoskopik.

Infeksi Bakteri
Kusta
Kusta merupakan penyakit menular kronis yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae, yang endemik di Brazil dan negara berkembang lainnya.
Penyakit ini memiliki spektrum klinis yang luas, bervariasi dari kutub tuberkuloid
pausibasiler hingga kutub lepromatosa multisiler. Variasi ini didasarkan pada
respon imun pasien sehingga sulit untuk mengidentifikasi penyakit dengan tepat.
Selain itu, presentasi atipikal dan reaksi kusta dapat terjadi, yang selanjutnya
menunda penegakan diagnosis.
Meskipun kecurigaan kusta dinilai dengan serangkaian tanda dan gejala
yang terdeteksi pada pemeriksaan fisik dan data dari anamnesis, dermoskopi baru-
baru ini dimasukkan sebagai alat yang dapat berguna dalam identifikasi pada
kasus-kasus tertentu. Oleh karena itu, beberapa temuan telah dijelaskan, bervariasi
sesuai dengan bentuk klinisnya.
Kusta tuberkuloid (TL) adalah bentuk klinis yang dibatasi oleh respon
imun yang baik dari pejamu, menunjukkan sedikit lesi yang secara klinis tampak
sebagai plakat anular berbatas tegas dengan tepi terangkat dan pusat hipokromik.
Dermoskopi pada tepi lesi menunjukkan area tak berstruktur, berwarna kuning-
oranye dikelilingi oleh eritema bercabang linier dan telangiektasis yang terkait
dengan penurunan jaringan berpigmen, hilangnya folikel rambut, dan
berkurangnya gambaran titik putih (ostia kelenjar keringat) (Gambar 9A).

14
Gambar 9. (A) Gambaran dermoskopi
kusta tuberkuloid borderline
menunjukkan area kuning-oranye yang
dikelilingi oleh eritema dan telangiektasis
dengan percabangan linier; dan (B),
gambaran dermoskopi kusta multibasiler
varian histoid menunjukkan lesi apapular
dengan warna kekuningan difus dan
telangiektasia heteromorfik multipel. (B)
(FotoFinder, perbesaran x20).
Temuan dermoskopi ini serupa dengan yang ditemukan pada bentuk
borderline tuberkuloid (BT). Selain itu, area putih, yang diinterpretasikan sebagai
pengurangan melanosit yang diinduksi penyakit, sering terlihat pada lesi BT.
Secara histopatologi, kasus ini menunjukkan berkurangnya adneksa kulit,
granuloma dermal, dan ektasia vaskular. Granuloma dermis dan ektasia vaskuler
dalam dermoskopi masing-masing tampak sebagai area kuning-oranye dan
telangiektasis.
Kusta bordeline lepromatosa (BLL) dan lepra lepromatosa (LL) tampak
khas pada dermoskopi, dengan daerah oranye kekuningan seperti pada dermatosis
granulomatosa lainnya dan berkurangnya adneksa kulit, disertai area atrikia.
Terlepas dari kesamaan temuan dermoskopik dalam kasus ini, kemungkinan
adalah infiltrat histiositik. Pada BLL, jaringan pigmen dapat berkurang atau
bahkan tidak ada, yang telah dilaporkan sebagai area linier yang mirip dengan

15
chrysalides, di mana observasi yang teliti dapat membantu membedakannya dari
penyakit kulit granulomatosa lainnya. Di sisi lain, peningkatan jaringan pigmen
telah dijelaskan pada LLL, yang dikaitkan dengan dilatasi pembuluh bercabang.
Selain itu, telah diamati pula adanya skuama yang terkait dengan xerosis kulit.
LL dapat muncul dengan lesi nodular yang disebut hansenoma, yang pada
dermoskopi tampak sebagai warna kekuningan difus, halo kecoklatan, dan, di
tengah lesi, disertai aspek sikatrik putih seperti mutiara yang dikelilingi oleh
telangiektasia heteromorfik multipel, serupa dengan yang ditemukan pada kusta
histoid, suatu bentuk kusta lepromatosa langka yang ditandai oleh beban basil
yang tinggi serta nodul dan plak pada kulit yang tampak normal (Gambar 9B).
Namun, bentuk lesi histoidform, menunjukkan struktur putih terang, mirip dengan
yang terlihat pada dermatofibroma, melanoma, dan karsinoma sel basal dan
karsinoma sel skuamosa. Struktur ini hanya akan terlihat di bawah dermoskopi
cahaya terpolarisasi dan mungkin sesuai dengan perubahan fibrotik dermis. Pada
histopatologi, hansenoma menunjukkan banyak makrofag dan pembuluh darah
ektasia, yang pada dermoskopi, masing-masing tampak memiliki tampilan noduler
dan telangiektasis.
Kerontokan rambut tubuh termasuk alis adalah kejadian yang umum pada
kusta, dengan sekitar tiga perempat dari pasien multibasiler datang dengan
madarosis. Beberapa temuan trikoskopik yang sesuai dengan alopesia non-sikatrik
telah dijelaskan pada alis, terutama berkurangnya kepadatan kapiler, rambut
vellus multipel, dan distorsi pigmentasi kulit. Selanjutnya, temuan yang paling
umum adalah titik-titik putih seperti kepala peniti yang dikelilingi oleh pigmentasi
target dan area tak berstruktur berwarna putih kekuningan.
Selain itu, hiperpigmentasi yang diinduksi oleh klofazimin, obat yang
termasuk dalam rejimen polikemoterapi untuk pasien multibasiler, telah
dijelaskan pada dermoskopi sebagai pola sarang lebah yang khas, dengan globula
kuning dan putih diselingi di atas latar belakang yang gelap.
Reaksi kusta juga telah dipelajari menggunakan dermoskopi. Kondisi ini
dapat terjadi sebelum, selama, bahkan setelah menyelesaikan rejimen pengobatan.
Reaksi tipe I, yang juga disebut reaksi reversal, sering mempengaruhi bentuk

16
klinis dimorfik dan merupakan konsekuensi dari respon imun seluler yang terkait
dengan hipersensitivitas lanjut. Pada dermoskopi, lesi memiliki latar belakang
eritematosa diusir, terkait dengan area jingga kekuningan atau jingga kemerahan.
Dapat diamati pula pembuluh darah arboriform, pembuluh halus linier pendek,
dan pembuluh linier yang tampak buram. Adanya skuama putih dan sumbatan
folikel juga telah dilaporkan dalam literatur. Pembuluh darah yang buram tampak
menjadi temuan yang spesifik dan diduga disebabkan oleh peningkatan jumlah
limfosit dan hilangnya organisasi normal granuloma.
Reaksi kusta tipe 2, juga disebut eritema nodosum leprosum, adalah akibat
dari deposisi kompleks imun dan tidak khas pada pasien multibasiler. Kondisi ini
tampak sebagai munculnya lesi pada permukaan ekstensor ekstremitas, kadang-
kadang terkait dengan gejala sistemik. Temuan dermoskopi tidak spesifik dan
berhubungan dengan peningkatan eritema dan pembuluh darah telangiektasis
bercabang.
Seperti penyakit granulomatosa non-infeksi lainnya, adanya struktur yang
digambarkan sebagai warna oranye atau kuning pada dermoskopi pada kasus
kusta sangat terkait dengan adanya granuloma dermis dan efek massa yang
ditimbulkannya. Pembuluh telangiektasis dan pola yang diamati biasanya
bervariasi sesuai dengan etiologi. Pada granuloma anulare, pembuluh darah
menunjukkan pola putus-putus, pada nekrobiosis lipoid, pembuluh darah tampak
bercabang-cabang seperti pohon (arboriformis), sementara pada lupus vulgaris
dan sarkoidosis, cabang pembuluh darah tampak linier. Penulis mengamati bahwa
variasi ini berulang dalam spektrum klinis kusta, dengan pola vaskular bervariasi
sesuai dengan bentuk klinis. Selain dua perubahan utama ini, yang umum terjadi
pada penyakit kulit granulomatosa lainnya, kelainan pigmen dan hilangnya
adneksa kulit adalah temuan tambahan yang lebih spesifik yang menunjukkan
diagnosis kusta.
Prevalensi kusta telah terus menurun di seluruh dunia sejak munculnya
polikemoterapi. Namun, penyakit milenium ini masih endemik di beberapa
wilayah Brasil dan dunia. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, dermoskopi dapat

17
berkontribusi pada diagnosis in vivo, sebagai langkah penting untuk memutus
rantai penularan.

Sifilis
Sifilis adalah penyakit menular, ditularkan terutama melalui kontak
seksual tetapi juga secara vertikal, yang disebabkan oleh Treponema pallidum,
dan telah mengalami kebangkitan yang signifikan dalam dua dekade terakhir.
Sifilis sekunder terjadi setelah patogen menyebar melalui darah atau jalur
limfatik, biasanya 6 sampai 8 minggu setelah resolusi lesi primer. Kondisi ini
ditandai dengan erupsi makula atau papula simetris, biasanya berskuama pada
batang tubuh, ekstremitas, telapak tangan, dan telapak kaki.
Berbagai gambaran tipikal maupun atipikal dari sifilis sekunder membuat
penyakit ini dikenal sebagai “peniru yang luar biasa” dan menyulitkan dalam
diagnosis, disertai berbagai diagnosis banding. Dari jumlah tersebut, yang utama
termasuk pityriasis rosea Gilbert, aktinik porokeratosis, eritema angular
sentrifugum, granuloma anulare, lupus subakut, lupus diskois, dan psoriasis varian
annular tertentu. Uji dermoskopi pada lesi dapat membantu dalam identifikasi dan
membedakan kondisi ini dari dermatosis lainnya. Hingga saat ini, hanya laporan
kasus yang diterbitkan tentang topik tersebut.
Dalam kasus lesi kulit bersisik, identifikasi tanda Biett atau kolaret dapat
difasilitasi dengan dermoskopi, dan telah dijelaskan dalam literatur, terutama pada
lesi lokasi palmar, sebagai area berskuama melingkar keputihan yang berkembang
ke luar. Meski dapat terlihat secara kasat mata, dermoskopi memungkinkan
deteksi pada lesi yang lebih kecil, di mana tanda kolaret tidak diamati secara
klinis. Tanda ini secara khas tampak sebagai latar belakang oranye atau merah
kekuningan difus. Diperkirakan bahwa tanda ini mungkin berhubungan dengan
ekstravasasi sel darah merah dan deposit hemosiderin pada lesi sifilis sekunder.
Keberadaan tanda ini dapat membantu membedakannya dari kondisi yang dapat
mengacaukan dan menunda diagnosis sifilis, seperti psoriasis palmar dalam
bentuk papula, porokeratosis, dan liken planus. Selain itu, kasus lesi kulit kepala
telah dijelaskan menunjukkan skuama sirkular. dengan perkembangan ke dalam
pada dermoskopi.

18
Keterlibatan palmoplantar adalah salah satu manifestasi paling umum dari
sifilis sekunder, dan beberapa penyakit mungkin melibatkan wilayah ini, membuat
penyakit ini semakin sulit untuk dibedakan. Selain itu, titik-titik pembuluh darah,
yang telah ditemukan pada beberapa kasus sifilis sekunder, merupakan temuan
khas psoriasis. Oleh karena itu, identifikasi melalui pemeriksaan klinis dan/atau
dermoskopi dari Biett's collarette dan latar belakang warna oranye merupakan
temuan yang lebih spesifik dari sifilis sekunder di lokasi tersebut.
Sifilis alopesia (SA) juga bisa menjadi manifestasi sifilis sekunder. Sifilis
alopesia diklasifikasikan sebagai alopecia non-sikatrik yang mungkin terkait
dengan gejala sifilis mukosa-kutan lainnya (SA simptomatik) atau menjadi satu-
satunya elemen klinis infeksi (SA esensial). Meski SA paling sering
mempengaruhi kulit kepala, rambut dari bagian tubuh mana pun dapat
terpengaruh. Trikoskopi telah terbukti menjadi alat diagnostik penting pada pasien
dengan alopesia yang tidak diketahui asalnya dan dapat membantu
mengidentifikasi SA, terutama bila lesi kulit khas sifilis tidak ada. Tidak adanya
rambut bentuk ‘tanda seru’ dapat membantu menyingkirkan alopecia areata, suatu
kondisi yang sering menyerupai SA. Terdapat empat pola klinis SA: (1) Pola
‘gigitan ngengat’: pola yang paling umum dan khas; (2) Pola difus: mirip dengan
telogen effluvium akut; (3) Pola campuran: kombinasi dari dua pola tersebut di
atas; (4) Alopesia alis.
Area alopesia dalam pola “gigitan ngengat” tampaknya menunjukkan ciri
khusus pada trikoskopi: berkurangnya jumlah rambut terminal, dengan batang
rambut tipis yang mirip dengan rambut vellus yang muncul yang tidak terlihat
secara kasat mata (diameter <20 µm), atau bahkan atrikia. Beberapa ostia folikel
yang kosong juga tampak jelas, baµhkan di daerah oksipital kulit kepala, yang
dapat membantu membedakannya dari alopesia androgenetik.
Temuan non-infeksi spesifik lainnya telah dilaporkan, tampak sebagai titik
hitam, hipopigmentasi batang rambut, titik kuning, kapiler darah melebar tidak
teratur, batang rambut yang patah dan tampak “zigzag”. Pigmentasi warna
cokelat kemerahan juga dapat ditemukan pada daerah alopesia di kulit kepala,
namun tidak diamati pada daerah janggut dan alis. Pigmentasi ini berkurang

19
setelah pemberian terapi antibiotik, dan telah diperkirakan bahwa pigmentasi ini
disebabkan oleh vaskulitis pembuluh darah kecil yang diinduksi oleh respon imun
terhadap T. pallidum yang terletak di dalam darah pembuluh dari perifolikuler
epitel.
Pada akhirnya, sifilis adalah penyakit yang sangat umum, dengan
implikasi serius pada beberapa organ dan sistem. Terlepas dari potensi
keparahannya, sifilis biasanya cukup efektif diobati dengan penisilin. Identifikasi
penyakit dan pemberian pengobatan yang memadai dapat mencegah komplikasi
sistemik yang parah dari sifilis. Temuan dermoskopi dan trikoskopik seperti yang
telah dijelaskan di atas dapat meningkatkan deteksi dini “petunjuk” untuk
diagnostik, sehingga mengarah pada kecurigaan klinis yang lebih besar dan
mengganggu perjalanan alami penyakit melalui penerapan tindakan terapeutik.

Folikulitis
Folikulitis adalah sekelompok penyakit inflamasi yang dapat berasal dari
infeksi atau tidak. Kondisi ini terjadi di daerah berambut, dan secara klinis,
tampak sebagai erupsi papular-pustular di atas dasar aneritematosa, sering disertai
dengan pruritus. Perawatan bervariasi tergantung pada identifikasi agen penyebab.
Serangkaian uji prospektif mengevaluasi temuan dermoskopi terhadap 240 kasus
folikulitis. Daerah yang paling sering terkena adalah wajah (35% kasus), batang
tubuh (30,4%), dan kulit kepala ( 21,3%). Sebagian besar kasus berasal dari
infeksi (90%), dengan akurasi diagnostik dengan dermoskopi mencapai 72%.
Tergantung pada agen etiologi, temuan dermoskopik mungkin bervariasi. Dalam
kasus folikulitis yang berasal dari bakteri, biasanya kondisi ini disebabkan oleh
Staphylococcus aureus, dengan temuan utama terdiri dari pustula sentrofolikuler,
dikelilingi oleh eritema atau pembuluh darah yang tampak terputus-putus
(Gambar 10).

20
Gambar 10. Gambar dermoskopi pustula
folikular yang dikelilingi oleh eritema
folikulitis bakterial. (FotoFinder, perbesaran
x20).
Folikulitis lainnya, seperti folikulitis yang disebabkan oleh pityrosporum,
skabies atau demodesidosis menunjukkan struktur yang telah dijelaskan dalam
bagian sebelumnya dari artikel ini.
Sebuah laporan kasus juga telah mengidentifikasi adanya pustula
sentrofolikel dalam kasus folikulitis yang disebabkan oleh Pseudomonas
aeruginosa. Dalam kasus ini, penting untuk menambahkan riwayat klinis kontak
dengan lingkungan yang berpotensi terkontaminasi oleh patogen, seperti bak
mandi, kolam renang, atau kolam renang buatan yang terbuat dari balon. Selain
itu, erupsi papulopustular di daerah intertrigo atau yang ditutupi oleh pakaian
renang juga merupakan gambaran yang khas.

Trikobakteriosis
Trikobacteriosis, kondisi yang sebelumnya disebut sebagai trikomikosis,
adalah infeksi bakteri superfisial yang disebabkan oleh bakteri genus
Corynebacterium sp. Kondisi ini dapat terjadi secara tunggal atau bersama dengan
corynebacteriosis lain, seperti eritrasma dan keratolisis pungtata. Kondisi ini
sebelumnya dikaitkan dengan C. tenuis, dengan agen utama adalah C. flavescens.
Infeksi lain yang juga telah dijelaskan dalam literatur diantaranya disebabkan oleh
C. propinquum dan Dermabacter hominis.
Secara klinis, penyakit ini tampak sebagai gumpalan kekuningan yang
melekat kuat pada batang rambut, terutama di daerah tubuh yang lembab, seperti
daerah aksila dan pubis. Meski jarang, warnanya mungkin kemerahan atau
kehitaman. Temuan ini sering dikaitkan dengan bau yang tidak sedap dan

21
keluarnya pigmen dalam keringat, sehingga sering menodai pakaian. Faktor
predisposisi utamanya adalah hiperhidrosis, obesitas, dan kebersihan yang buruk.
Pada dermoskopi, dapat diamati cairan kekuningan atau tembus cahaya
atau gumpalan yang lunak, yang menempel di sepanjang batang rambut. Dapat
pula ditemukan bentuk yang menunjukkan interupsi di antara konkresi. Konkresi
telah digambarkan memiliki bentuk nodular, seperti api, sikat, atau bulu.
Meskipun diagnosisnya lebih sering ditentukan secara klinis, gambarnya
dapat dikacaukan dengan kondisi lain yang tentu saja memiliki struktur yang
melekat pada batang rambut. Kondisi ini secara klinis menggambarkan kutu,
sehingga struktur ini disebut pseudonit dan sesuai dengan kondisi yang menjadi
diagnosis banding dengan pedikulosis, misalnya trikobakteriosis itu sendiri, piedra
putih, piedra hitam, dan kondisi inflamasi, seperti psoriasis, dermatitis seboroik,
lupus eritematosus kulit, dan liken planopilaris. Trikoskopi memungkinkan
pembedaan yang mudah antara kondisi ini dan dengan cepat akan memungkinkan
diagnosis trikobakteriosis bila ada keraguan klinis. Penggunaan Lampu Wood
(fluoresensi kuning), pemeriksaan langsung pada Kalium Hidroksida (KOH), dan
pewarnaan Gram, selain konfirmasi melalui kultur, merupakan metode
pemeriksaan tambahan yang tersedia; namun, pemeriksaan ini mungkin tidak
perlu dilakukan. Perawatan terdiri dari menyingkirkan rambut dari area yang
terkena dan mengoptimalkan kebersihan. Antibiotik topikal juga dapat diberikan,
seperti azitromisin atau klindamisin.

Pertimbangan Akhir
Dermoskopi dapat menambah informasi berharga ketika mengevaluasi
berbagai zoodermatosis atau infeksi kulit bakterial. Temuan dermoskopik yang
dijelaskan di sini didasarkan pada identifikasi serangkaian agen etiologi dari
penyakit ini, yang berperan dalam penegakan diagnosis. Selain itu, dermoskopi
juga membantu mengidentifikasi implikasi klinis dari keberadaan patogen pada
kulit. Dalam kasus ini, korelasi klinis sangat penting untuk klarifikasi diagnostik,
baik berdasarkan data anamnesis atau kekhasan dalam pemeriksaan fisik. Jika, di
satu sisi, ada pola dermoskopi yang terkait erat dengan beberapa penyakit kulit
yang dijelaskan, dapat diamati bahwa, hingga saat ini, deskripsi didasarkan pada

22
laporan terisolasi atau serangkaian kasus untuk entitas nosologis lainnya, yang
tidak akan cukup untuk menentukan pola yang seragam untuk semua kasus. Oleh
karena itu, menjadi wilayah yang menarik untuk digali lebih lanjut secara ilmiah.
Perlu disebutkan bahwa banyak dari lesi yang disebabkan oleh agen infeksi
memiliki area diskontinuitas kulit dan berpotensi terkontaminasi. Untuk
mencegah dermatoskop menjadi fomite yang akan menularkan infeksi, disarankan
untuk menggunakan perangkat cahaya terpolarisasi, tanpa kontak dengan kulit.
Saat menggunakan perangkat dengan cahaya terpolarisasi atau non-terpolarisasi
yang membuat kontak dengan kulit, segera bersihkan perangkat dengan antiseptik
setelah digunakan. Penggunaan bahan isolasi yang melekat pada lensa
dermatoskop juga mungkin dilakukan, namun akan menyebabkan beberapa
penurunan kualitas pencitraan pada area yang diperiksa.

Rencana dibacakan pada tanggal 18 Mei 2022


Moderator

dr Galih Sari Damayanti, Sp.KK, FINSDV

23

Anda mungkin juga menyukai